Jurnal
ISSN : 2407-1765 Vol : 3 Nomor : 1 Pages : 1-72 Makassar, Januari - Juni 2016 AKTUALISASI SINERGITAS KOMPONEN GOVERNANCE DALAM PENINGKATAN PELAYANAN PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP DI KOTA MAKASSAR Yusriadi EFEKTIVITAS BUDAYA DISIPLIN KERJA PEGAWAI PADA BIRO ORGANISASI DAN KEPEGAWAIAN SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN Sabugdaria, M. Nippi Tambe, Jamaluddin PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN, MOTIVASI, DISIPLIN KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN PT. CATUR PUTRA HARMONIS MAKASSAR Musdalifah UPAYA KEMENTERIAN AGAMA DAN NON GOVERNMENT ORGANIZATION (NGO) DALAM MEMPERBAIKI MANAJEMEN MASJID DI KOTA MALANG Niko Pahlevi Hentika, Sumartono, Endah Setyowati PENGEMBANGAN KAPASITAS DINAS KESEHATAN KABUPATEN GORONTALO Dikson Junus MODEL PENGAWASAN DPRD TERHADAP PEMERINTAH DAERAH DI KABUPATEN SINJAI Juharni, Umar
Di terbitkan oleh; Programm Studi Pendidikan Administrasi Perkantoran Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar
Volume: Nomor: 11, Januari – Juni 2016 Volume: 13 Nomor:
ISSN: 2407-1765
AD’ M I N I S T R A R E Jurnal Pemikiran Ilmiah dan Pend. Administrasi Perkantoran Pelindung Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar Penanggung Jawab Ketua Program Studi Pendidikan Administrasi Perkantoran Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar Ketua Redaksi Dr. Risma Niswaty, SS., M.Si. Penyunting Pelaksana Drs. Abd. Hafid Amirullah, M.Pd. Drs. M. Nippi Tambe, M.Pd. Muhammad Darwis, S.Pd., M.Pd Sirajuddin Saleh, S.Pd., M.Pd. Jamaluddin, S.Pd. M.Si.
Penelaah Ahli: Prof. Dr. Haedar Akib, M.Si. (UNM) Prof. Dr. Rifdan, M.Si (UNM) Dr. Muhammad Guntur, M.Si. (UNM) Dr. H. Dahyar Daraba, M.Si (IPDN) Dr. H. M. Said Saggaf, M.Si (STIA PRIMA, Sengkang) Redaksi Pelaksana: Rudi Salam, S.Pd, M.Pd. Aris Baharuddin, S.Pd, M.AB. Nasaruddin, S.Pd, M.Pd. Syamsu Alam, S.Si, M.Si. STAF SEKRETARIAT Haerul, S.Pd.
A. Armansyah ALAMAT REDAKSI Program Studi Pendidikan Administrasi Perkantoran FIS UNM Kampus UNM Gunungsari Baru Makassar, Telp. (0411) 5392333 Call Center: 085255641615/085299555515, Email:
[email protected] Website:http://www.unm.ac.id
Pengantar Redaksi Syukur Alhamdulillah, kita haturkan kehadirat Ilahi Rabbi, karena atas Rakhmat dan Taufiq-Nya, sehingga Jurnal Ad’ministrare Program Studi Pendidikan Administrasi Perkantoran FIS UNM dapat hadir di hadapan kita semua. Mempersiapkan jurnal ilmiah seperti ini tidak mudah, karena memerlukan adanya tim kerja yang solid, perencanaan yang matang, perhatian dan kerja sama yang cermat dalam memilih dan menyajikan materi yang akan diterbitkan. Oleh karena itu, saya ucapkan terima kasih kepada semua tim kerja yang telah berpartisipasi aktif dalam penerbitan perdana ini. Sebagai terbitan Vol. 3 No. 1 periode Januri-Juli 2016, jurnal ini masih jauh dari kesempurnaan, mudah-mudahan di masa yang akan datang kehadirannya senantiasa disertai dengan peningkatan kualitas. Jurnal ini, Insya Allah akan diterbitkan dua kali dalam setahun yang akan menghadirkan tulisan ilmiah khusus dalam bidang administrasi perkantoran. Jurnal ini adalah media publikasi untuk menyalurkan karya ilmiah bagi dosen, guru, praktisi di bidang administrasi, dan para pemerhati administrasi. Jurnal ini diterbitkan oleh Program Studi Pendidikan Administrasi Perkantoran Fakultas Ilmu Sosial Univesitas Negeri Makassar. Tulisan yang dapat diterbitkan melalui media ini dapat berupa ide/pemikiran, hasil penelitian, pengembangan, pengajaran, tulisan popular, dan kajian buku dalam bidang administrasi. Akhirnya, tak lupa kami memohon maaf atas segala kekurangan yang ada pada jurnal ini, kami menanti kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca yang budiman. Semoga Allah SWT senantiasa melimpakan Rakhmat-Nya kepada kita semua dan semoga jurnal ini bermanfaat adanya. Amin. Selamat membaca dan terima kasih Makassar, 30 Juni 2016 Dewan Redaksi,
Dr. Risma Niswaty, SS., M.Si. Pemimpin Umum
Volume: 3 Nomor: 1, Januari – Juni 2016
ISSN: 2407-1765
AD’ M I N I S T R A R E Jurnal Pemikiran Ilmiah dan Penelitian Pendidikan Administrasi Perkantoran
DAFTAR ISI Halaman 1. AKTUALISASI SINERGITAS KOMPONEN GOVERNANCE DALAM PENINGKATAN PELAYANAN PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP DI KOTA MAKASSAR Yusriadi ..........................................................................................
1 - 16
2. EFEKTIVITAS BUDAYA DISIPLIN KERJA PEGAWAI PADA BIRO ORGANISASI DAN KEPEGAWAIAN SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN Sabugdaria, M. Nippi Tambe, Jamaluddin ..................................... 17 - 26 3. PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN, MOTIVASI, DISIPLIN KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN PT. CATUR PUTRA HARMONIS MAKASSAR Musdalifah .......................................................................................
27 - 37
4. UPAYA KEMENTERIAN AGAMA DAN NON GOVERNMENT ORGANIZATION (NGO) DALAM MEMPERBAIKI MANAJEMEN MASJID DI KOTA MALANG Niko Pahlevi Hentika, Sumartono, Endah Setyowati .....................
38 - 50
5. PENGEMBANGAN KAPASITAS DINAS KESEHATAN KABUPATEN GORONTALO
Dikson Junus .................................................................................
51 – 56
6. MODEL PENGAWASAN DPRD TERHADAP PEMERINTAH DAERAH DI KABUPATEN SINJAI
Juharni, Umar .................................................................................
57 - 72
AKTUALISASI SINERGITAS KOMPONEN GOVERNANCE DALAM PENINGKATAN PELAYANAN PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP DI KOTA MAKASSAR Yusriadi Dosen Universitas Indonesia Timur, Makassar
ABSTRAK Potensi sinergitas pelayanan pendidikan kecakapan hidup di Kota Makassar cukup besar dan beragam, terutama terkait dengan penyediaan peluang usaha dan lapangan kerja, penyertaan SDM dalam pelaksanaan program, dan penyediaan sarana dan prasarana untuk mendukung layanan PKH. Adapun potensi penyediaan sumber pembiayaan dan jaringan kemitraan belum tergali secara optimal. Peran pemerintah, masyarakat dan sektor swasta pada tahap sosialisasi layanan, rekrutmen peserta didik, pemantauan dan evaluasi layanan PKH, telah terbangun secara sinergis. Namun demikian, sinergitas peran antarkomponen governance pada tahap identifikasi kebutuhan layanan, rekrutmen instruktur dan mitra kerja, penyusunan kurikulum, pengadaan sarana dan prasarana, proses pembelajaran dan pendampingan layanan PKH, belum terbentuk dalam suatu sinergitas yang konstruktif. Model sinergitas komponen governance dalam pelayanan PKH idealnya terbangun dalam empat tahapan sinergitas, yaitu: (1) tahapan identifikasi kebutuhan layanan; (2) tahapan persiapan pelaksanaan layanan; (3) tahapan pelaksanaan layanan (4) tahapan evaluasi hasil dan evaluasi dampak layanan.
Kata kunci: Aktualisasi, Sinergitas, Governance, Pendidikan Kecakapan Hidup
PENDAHULUAN
Reformasi yang bergulir sejak tahun1998 merupakan momentum yang menandai perubahan mendasar pada berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Di bidang governance, skala reformasi yang dijalankan di Indonesia cukup luas cakupannya. Governance dapat dimaknai sebagai proses interaksi atau jaringan antara berbagai aktor dalam pemerintahan negara. Pada konteks ini, pemerintah adalah aktor setara yang mempunyai kapasitas memadai untuk memobilisasi aktor-aktor masyarakat dan swasta untuk mencapai tujuan kesejahteraan berbangsa dan bernegara. Di bidang pendidikan nonformal, salah satu kendala yang dihadapi adalah lemahnya governance yang menyebabkan layanan pendidikan nonformal belum dapat dilaksanakan secara merata, bermutu, berkeadilan, dan akuntabel. Sementara, kemampuan masyarakat untuk mengakses layanan pendidikan nonformal dan informal belum dapat direalisasikan secara optimal sebagai akibat rendahnya partisipasi
2|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
masyarakat di bidang pendidikan. Di samping itu, sebagian besar sasaran program pendidikan nonformal dan informal tinggal di daerah pedesaan yang terpencil dan terisolir (Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Depdiknas, 2009:3). Pendidikan Kecakapan Hidup sebagai salah satu layanan publik di bidang pendidikan nonformal yang ditujukan untuk membekali warga masyarakat dengan kemampuan yang dapat digunakan secara fungsional untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan sehari-hari. Relevansi pendidikan kecakapan hidup dengan kondisi empiris masyarakat di Indonesia saat ini cukup besar. Pengangguran dan kemiskinan hingga saat ini merupakan masalah besar bangsa yang belum terpecahkan. Berdasarkan data BPS pada bulan Agustus 2010, jumlah pengangguran tercatat sebanyak 7,41% dari total angkatan kerja sebanyak 116,5 juta orang. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2010 sebesar 31,02 juta (13,33%).(Berita Resmi Statistik, 2010) Di Provinsi Sulawesi Selatan, data BPS pada bulan Maret 2009 menunjukkan angka penduduk miskin sebesar 963.000 jiwa (12,31%). Sebagian besar (87,08%) penduduk miskin berada di daerah pedesaan. Dari total angkatan kerja sebanyak 3.391.044 orang pada bulan Februari 2009, sekitar 296.559 orang diantaranya adalah penganggur terbuka. (Berita Resmi Statistik Sulsel, 2009). Pelayanan pendididkan kecakapan hidup memiliki peran penting dalam mengatasi persoalanmasyarakat. Namun demikian, pelayanan pendidikan kecakapan hidup ternyata tidak terlepas dari berbagai persoalan yang cukup kompleks, yaitu 1) belum optimalnya perhatian pemerintah kotadalam menyelenggarakan pelayanan pendidikan nonformal, khususnya pelayanan di bidang pendidikan kecakapan hidup, yang dapat dilihat dari rendahnya alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk mendukung pelayanan pendidikan nonformal secara umum; 2) rendahnya akuntabilitas dan kapasitas lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan kecakapan hidup serta tidak memiliki tradisi membangun kemitraan/jaringan sehingga pengembangan dan peningkatan kapasitas keluaran belum mencapai hasil optimal; 3) terdapat lembaga penyelenggara pendidikan kecakapan hidup yang sepenuhnya mengandalkan bantuan pemerintah; 4) fenomena lain adalah lembaga yang secara yuridis memiliki legalitas formal yang sah, tetapi tidak memiliki kedudukan sekretariat yang jelas; 5) partisipasi masyarakat dalam menunjang penyelenggaraan layanan pendidikan kecakapan hidup masih sangat rendah; dan 5) rendahnya partisipasi sektor swasta untuk membantu proses pendidikan dan penyerapan keluaran pendidikan kecakapan hidup di dunia kerja. Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa konsep governance, yang menekankan pentingnya pembagian dan optimalisasi peran pemerintah, masyarakat dan sektor swasta, belum terlaksana secara baik.
Yusriadi, Aktualisasi Sinergitas Komponen Governance Dalam Peningkatan Pelayanan Pendidikan Kecakapan Hidup di Kota Makassar|3
KAJIAN TEORI Konsep Governance dalam Perspektif Administrasi Publik
Gambaran pemikiran tentang konsep governance dalam perspektif administrasi publik dapat dilacak dari terjadinya pergesaran paradigma dalam konsep administrasi publik. Pergeseran tersebut dapat dilacak dari tiga tahapan, yaitu: (1) Old Public Administration; (2) New Public Management; dan (3) New Public Service. 1.Theold public administration Thoha (2008) menyarankan agar struktur pemerintahan mengikuti model bisnis yang memiliki eksekutif otoritas, pengendalian, struktur organisasi hierarki, dan mengedepankan efisiensi dalam pencapaian tujuan. Lebih jauh, Thoha (2008) menjelaskan sebagai berikut: a. Titik perhatian pemerintah adalah pada jasa pelayanan yang diberikan langsung oleh dan melalui instansi-instansi pemerintah yang berwenang; b. Kebijakan dan administrasi publik berkaitan dengan merancang dan melaksanakan kebijakan-kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan politik; c. Administrasi publik memainkan peran yang lebih kecil dari proses pembuatan kebijakankebijakan pemerintah ketimbang upaya untuk melaksanakan kebijakan publik; d. Upaya memberikan pelayanan harus dilakukan oleh para administrator yang bertanggung jawab kepada pejabat politik dan yang diberikan diskresi terbatas untuk melaksanakan tugasnya; e. Para administrator bertanggung jawab kepada pemimpin politik yang dipilih secara demokratis; f. Program-program kegiatan diadministrasikan secara baik melalui garis hierarki organisasi dan dikontrol oleh para pejabat dari hierarki atas organisasi; g. Nilai-nilai utama dari administrasi publik adalah efisiensi dan rasionalitas; h. Administrasi publik dijalankan sangat efisien dan sangat tertutup, karena itu warga negara keterlibatannya amat terbatas; i. Peran dari administrasi publik dirumuskan secara luas seperti planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting, dan budgeting. 2. New public management Vigoda (dalam Said, 2007:152) mengemukakan bahwa new public management adalah sebuah pendekatan dalam administrasi publik yang memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman-pengalaman yang didapat dalam manajemen bisnis dan disiplin-disiplin ilmu lain untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan kinerja umum dan layanan-layanan publik birokrasi modern. New public management didasarkan pada asumsi bahwa organisasi-organisasi
4|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
sektor publik harus belajar dari sektor swasta dalam hal efisiensi pengalokasian dan penggunaan sumber-sumber daya yang dimiliki. Konsep new public management sangat menititikberatkan pada mekanisme pasar dalam mengarahkan program-program pelayanan masyarakat. Konsep new public management dapat dipandang sebagai sebuah konsep manajemen publik yang hendak menerapkan pola manajemen yang dijalankan lembaga bisnis ke dalam instansi pemerintah dengan menerapkan efisiensi sumber daya, memusatkan pada ukuran kinerja, memperpendek jalur birokrasi yang berbelitbelit, penyediaan produk-produk layanan yang kompetitif dan inovatif serta menjadikan pemenuhan kebutuhan serta akses masyarakat kepada layanan publik yang berkualitas sebagai tujuan utama. 3. New public service Denhardt dan Denhardt (2003) menyatakan bahwa new public service lebih diarahkan pada konsep demokrasi, kebanggaan/harga diri, dan warga negara daripada konsep pasar, kompetisi, dan pelanggan seperti yang ada pada sektor privat. Konsep Good Governance dalam Perspektif Pelayanan Publik Konsep good governance menggunakan istilah pelayanan publik (public service) disamakan artinya dengan istilah pelayanan umum atau pelayanan masyarakat.Pelayanan adalah fungsi pemerintah ataupun swasta untuk menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat. Sementara menurut Nurcholish (2005:178) publik merupakan sejumlah orang yang mempunyai kebersamaan berpikir, perasaan, harapan, sikap dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki. Istilah pelayanan publik yang ada dalam Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Apratur Negara (Meneg PAN) Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, didefinisikan sebagai kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan penerima layanan sesuai tuntutan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara normatif, di Indonesia terdapat beberapa segi yang perlu diperhatikan dalam pelayanan publik sesuai dengan keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) Nomor 18/1993, yaitu: (1) prinsip sederhana; (2) prinsip kejelasan dan kepastian; (3) prinsip keamanan; (4) prinsip keterbukaan; (5) prinsip ekonomis; (6) prinsip keadilan pelayanan; dan (7) prinsip kualitas pelayanan yang selalu tepat waktu dengan kualitas tanpa cacat. Secara empirik, pelayanan yang disesuaikan tuntutan standar dan norma oleh organisasi publik masih perlu diperbaiki secara berkelanjutan karena selama ini terdapat kecenderungan pelayanan yang diterima oleh masyarakat masih jauh dari yang diharapkan. Oleh karena itu, sinergitas komponen governance dalam kepelayanan publik perlu dioptimalkan.
Yusriadi, Aktualisasi Sinergitas Komponen Governance Dalam Peningkatan Pelayanan Pendidikan Kecakapan Hidup di Kota Makassar|5
Sinergitas Komponen Governance dalam Pelayanan Publik 1. Konsep sinergitas komponen governance Dalam perspektif teori governance, pelayanan publik yang berkualitas merupakan hasil dari interaksi sinergis beragam aktor atau institusi. Uphof (dalam Suwondo, 2000:4) merekomendasikan keterlibatan tiga sektor dalam memberikan pelayanan publik, yaitu: sektor negara (government/state), pasar (market) dan Non Government Organization (NGO)/Grassroot Organization/Civil Institusion. Terkait dengan uraian di atas, Uphof (Suwondo, 2000) menjelaskan hubungan komplementer antar aktor dalam pelayanan publik sebagai berikut: a. Pada sektor pemerintahan: (1) yang menjadi mekanisme pengendali adalah organisasi birokrasi yang berlevel mulai dari pusat sampai ke desa; (2) sebagai pengambil keputusan adalah para administrator yang dikelilingi oleh elit ahli; (3) dalam memberikan layanan mendasarkan kepada aturan-aturan birokrasi (perundang-undangan); (4) kriteria keberhasilan keputusan adalah banyaknya kebijaksanaan yang berhasil diimplemenasikan; (5) dalam memberlakukan sanksi mempergunakan kekuasaan negara yang mempunyai sifat memaksa; dan (6) modus operandi layanan mendasarkan mekanisme yang berasal dari atas (top-down) atau pemerintahan sendiri. b. Pada sektor privat: (1) mekanisme pengendali layanan publik mengandalkan proses pasar; (2) pengambilan keputusan dilakukan oleh individu, para penabung dan investor; (3) pedoman perilaku adalah kecocokan harga; (4) kriteria keberhasilan keputusan/layanan adalah efisiensi yaitu memaksimalkan keuntungan dan atau kepuasan dan meminimalkan kerugian dan atau ketidakpuasan; (5) sanksi yang berlaku berupa kerugian finansial;dan (6) modus operandi pelayanan dilakukan oleh perorangan. c. Pada sektor sipil: (1) mekanisme pengendali pelayanan adalah suatu asosiasi sukarela; (2) pembuatan keputusan pelayanan dilakukan secara bersama-sama oleh pemimpin dan anggota; (3) pedoman perilaku adalah persetujuan anggota; (4) yang dijadikan sebagai kriteria keberhasilan suatu keputusan adalah terakomodasinya interest anggota; (5) sanksi yang ada berupa tekanan sosial anggota; dan (6) modus operandi pelayanan dilakukan dari bawah (bottom-up). Dwipayana, dkk (2006) menyatakan sekurang-kurangnya terdapat tiga alasan yang melatarbelakangi bahwa pembaharuan pelayanan publik dapat mendorong pengembangan praktik good governance di Indonesia. Pertama, perbaikan kinerja pelayanan publik dinilai penting oleh semua pemangku kepentingan, yaitu pemerintah, warga pengguna, dan para pelaku pasar karena pada gilirannya dapat memperbaiki kesejahteraan warga pengguna dan efisiensi mekanisme pasar. Kedua, melalui penyelenggaraan layanan publik, pemerintah, warga sipil, dan para pelaku pasar berinteraksi secara intensif sehingga manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat dan para pelaku pasar. Ketiga, nilai seperti efisiensi, keadilan,
6|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas yang mencirikan praktik good governance dapat dapat diukur secara mudah dalam praktik penyelenggaraan layanan publik. 2. Konsep pelayanan publik Kurniawan (2005:4) mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara (MenegPAN) memberikan definisi pelayanan publik sebagai segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 menyebutkan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Selanjutnya, undang-undang dimaksud mengatur jenis pelayanan publik yang meliputi: (1) pelayanan barang publik, (2) pelayanan jasa publik, serta (3) pelayanan administratif. Adapun ruang lingkup dari ketiga jenis pelayanan publik tersebut adalah di dalam bidang pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata dan sektor strategis lainnya. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang petunjuk teknis transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik menunjuk tiga poin penting, yaitu: 1) Transparansi pelayanan publik yang meliputi manajemen dan penyelenggaraan pelayanan publik; prosedur pelayanan; persyaratan teknis dan administratif; rincian biaya; waktu penyelesaian; pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab; lokasi; janji; standar pelayanan publik dan informasi pelayanan; 2) Akuntabilitas pelayanan publik yang meliputi akuntabilitas kinerja; akuntabilitas biaya; dan akuntabilitas produk pelayanan publik; 3) Tindak lanjut pengaduan masyarakat, pemanfaatan e-government dan kerjasama dengan Komisi Ombudsman Nasional.
Pendidikan Nonformal dan Pendidikan Kecakapan Hidup 1. Konsep pendidikan nonformal Pendidikan nonformal lahir sebagai sebuah inovasi dari sistem pendidikan yang telah ada pada saat itu. Literacy Watch Bulletin (2001) menulis bahwa kelahiran pendidikan nonformal dilatarbelakangi oleh kritik terhadap pendidikan formal yang pada abad ke-19 menjadi satu-satunya sistem pendidikan yang mengemuka. Menurut UNESCO (1997:41), pendidikan nonformaldidefinisikan sebagaikegiatan pendidikan yang terorganisir dan
Yusriadi, Aktualisasi Sinergitas Komponen Governance Dalam Peningkatan Pelayanan Pendidikan Kecakapan Hidup di Kota Makassar|7
berkesinambungan yang tidak berhubungan secara langsung dengan definisi pendidikan formal. Dengan demikian, pendidikan nonformal dapat dilakukan baik di dalam maupun di luar lembaga pendidikan, dan melayani orang dari segala usia. Cakupan pendidikan nonformal tergantung pada konteks negara, mulai dari program-program pendidikan keberaksaraan bagi orang dewasa, pendidikan dasar bagi anak-anak yang putus sekolah, kecakapan hidup, keterampilan kerja dan budaya umum. Program pendidikan nonformal tidak harus mengikuti 'tangga' sistem, dapat memiliki jangka waktu yang berbeda, dan dapat memberi atau tidak memberi sertifikasi terhadap pembelajaran yang telah dicapai oleh peserta didik. Dari berbagai definisi di atas, tampak adanya perbedaan yang cukup mendasar antara pendidikan formal dengan pendidikan nonformal. Dengan memperhatikan berbagai perbedaan sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya pemerintah dalam mengembangkan kualitas sumber daya manusia Indonesia melalui jalur pendidikan tidak dapat mengabaikan keberadaan pendidikan nonformal (selanjutnya disebut pula pendidikan luar sekolah) sebagai bagian integral yang tidak terpisahkan dalam sistem pendidikan itu sendiri. Melalui pendidikan nonformal, pemerintah akan memperoleh keuntungan yang tidak mungkin diperoleh melalui jalur pendidikan formal. Keuntungan pendidikan nonformal, dinyatakan pula oleh Napitupulu (1991:1) sebagai berikut: “(1) Adanya keluwesan berkenaan dengan waktu dan lama belajar, usia peserta didik, isi pelajaran, cara penyelenggaraan pengajaran dan cara penilaian hasil belajar; (2) Terdapatnya sasaran yang sangat besar dan multi segmen, dimulai dari usia dini sampai dengan lanjut usia, dari yang putus sekolah sampai dengan mereka yang berkeinginan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan praktis, serta kecakapan untuk bekerja dan memperoleh penghasilan.” Pelayanan pendidikan nonformal di Indonesia merupakan amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pasal 13 yang menyebutkan bahwa “Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya”. Selanjutnya, pasal 26 ayat 1menjelaskan “Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat”. Sebagai upaya mewujudkan amanat undang-undang dimaksud, Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional (Ditjen PNFI Kemdiknas), sebagai lembaga yang memiliki tugas merumuskan dan menetapkan kebijakan nasional di bidang pendidikan nonformal, telah menyusun dan menetapkan program pokok layanan pendidikan nonformal, yaitu: (1) Layanan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) nonformal; (2)Layanan program pendidikan keaksaraan; (3) Layanan pendidikan kesetaraan; (4) Layanan pendidikan kecakapan hidup; (5) Layanan peningkatan budaya baca; dan (6)Layanan pengarusutamaan gender dalam bidang pendidikan.
8|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
2. Pendidikan kecakapan hidup Layanan pendidikan kecakapan hidup adalah salah satu jenis layanan pendidikan nonformal yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tetang Sistem Pendidikan Nasional pasal 26 ayat 3 layanan pendidikan nonformal ini diperuntukkan bagi warga masyarakat yang berkeinginan memperoleh keterampilan sebagai bekal bermatapencaharian untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Esensi kecakapan hidup adalah kemampuan yang dapat digunakan secara fungsional untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan sehari-hari. Kecakapan hidup bukanlah semata-mata kecakapan untuk bekerja. Kecakapan hidup memiliki cakupan yang lebih luas, dan kecakapan untuk bekerja hanyalah merupakan salah satu jenis kecakapan hidup yang harus dikuasai oleh seseorang dalam kehidupannya, disamping kecakapan-kecakapan hidup lain. Tujuan utama penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup adalah menyiapkan peserta didik agar yang bersangkutan mampu, sanggup, dan terampil menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya di masa datang. Setelah mengikuti program pendidikan kecakapan hidup peserta didik diharapkan dapat: (1) memiliki keterampilan, pengetahuan dan sikap sebagai bekal untuk mampu bekerja atau berusaha mandiri; (2) memiliki penghasilan yang dapat menghidupi diri dan keluarganya; (3) menularkan/memberikan kemampuan yang dirasakan bermanfaat kepada orang lain; dan (4) meningkatkan kualitas kehidupan diri, keluarga dan lingkungannya. Manfaat yang dapat diperoleh masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan berorientasi kecakapan hidup adalah: (1) mengurangi pengangguran; (2) menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain; (3) mengurangi kesenjangan sosial; dan (4) meningkatnya keamanan masyarakat. Adapun manfaat yang diperoleh pemerintah melalui pendidikan kecakapan hidup adalah: (1) meningkatkan kualitas sumber daya manusia di daerah; (2) meningkatnya produktivitas bangsa (3) mencegah urbanisasi; (4) menumbuhkan kegiatan usaha ekonomi masyarakat; dan (5) menekan kerawanan sosial. Ditjen Diklusepa (2003) menyebutkan hakikat pendidikan berorientasi kecakapan hidup di bidang pendidikan nonformalsebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan kemampuan yang memungkinkan peserta didik dapat hidup mandiri. Penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup di bidang pendidikan nonformal didasarkan atas prinsip lima pilar pendidikan, yaitu: learning to know (belajar untuk memperoleh pengetahuan), learning to learn (belajar untuk tahu cara belajar), learning to do (belajar untuk dapat berbuat/melakukan pekerjaan), learning to be (belajar agar dapat menjadi orang yang berguna sesuai dengan minat, bakat dan potensi diri), dan learning to live together (belajar untuk dapat hidup bersama dengan orang lain). Kerangka Konseptual Penelitian Sinergi Pemerintah Kota Makassar, masyarakat dan sektor swasta dalam menangani pendidikan kecakapan hidup diharapkan dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan layanan pendidikan kecakapan hidup, sehingga bermuara kepada terciptanya lulusan-lulusan peserta
Yusriadi, Aktualisasi Sinergitas Komponen Governance Dalam Peningkatan Pelayanan Pendidikan Kecakapan Hidup di Kota Makassar|9
didik yang mampu bekerja pada lembaga-lembaga usaha atau membuka usaha mandiri dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Beberapa permasalahan yang penulis identifikasi antara lain adalah belum optimalnya perhatian Pemerintah Kota Makassar dalam penyelenggaraan layanan pendidikan kecakapan hidup, rendahnya akuntabilitas dan kapasitas lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan kecakapan hidup, rendahnya partisipasi masyarakat dalam menunjang penyelenggaraan layanan pendidikan kecakapan hidup. Mencermati uraian di atas, tergambar bahwa belum tercipta sinergi dan belum terdapat upaya yang serius untuk merintis pola kemitraan yang terlembaga antarkomponen governance dalam penyelenggaraan layanan pendidikan kecakapan hidup di kota Makassar. Oleh karena itu, penelitian ini berupaya untuk mengidentifikasi potensi-potensi sinergi dalam mendukung penyelenggaraan layanan, memetakan kondisi eksisting peran masing-masing komponen governance dalam pelayanan pendidikan kecakapan hidup di tiga lembaga, yaitu: LKP Widyaloka, Yayasan Kesarpatih, dan SKB Kota Makassar. Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka konseptual dalam penelitian ini digambarkan dalam bentuk gambar sebagai berikut:
Gambar 1 Kerangka Konseptual Penelitian
METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian ini digunakan untuk mengungkap secara lengkap dan mendetail tentangpotensi sinergitaskepelayanan pendidikan kecakapan hidup dan peran
10|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
komponen governance dalam penyelenggaraan layanan pendidikan kecakapan hidup.Di samping itu, penelitian ini membangun sebuah kerangka model pelayanan yang mengakomodir peran sinergis semua komponen governance, yang diharapkan mampu memberi alternatif jalan keluar terhadap permasalahan yang ada dalam penyelenggaraan layanan pendidikan kecakapan hidup di Kota Makassar. Penelitian ini berlokasi di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, dilaksanakan pada tiga lembaga penyelenggara layanan pendidikan kecakapan hidup, yaitu: (1) Lembaga Widyaloka; (2) Yayasan Kesarpati Indonesia; dan (3) Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kota Makassar.Penelitian dimulai pada bulan April hingga Agustus 2011. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi: (1) data tentang potensi sinergitas komponen governance dalam pelayanan pendidikan kecakapan hidup; (2) data terkait peran komponen governance (pemerintah, masyarakat dan sektor swasta) dalam penyelenggaraan layanan pendidikan kecakapan hidup; dan (3) data terkait dengan konseptualisasi model sinergitas komponen governance dalam pelayanan pendidikan kecakapan hidup. Penelitian ini mengutamakan peneliti sebagai instrumen dalam pengumpulan data. Namun demikian, untuk menuntun dalam proses pengumpulan data, maka peneliti menggunakan alat bantu pengumpulan data, yaitu pedoman wawancara dan pedoman diskusi grup terfokus. Pemeriksaan keabsahan data pada penelitian ini mengikuti kriteria yang diajukan oleh Nasution (1992) dan Moleong (1993) yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability). Analisis data dilakukan berdasarkan model analisis interaktif sebagaimana dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1984: 23). Analisis data pada model ini terdiri atas empat komponen yang saling berinteraksi yaitu: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan dan verifikasi. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Potensi sinergitas kepelayanan pendidikan kecakapan hidup Berdasarkan deskripsi hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa potensi sinergitaskepelayanan dalam penyelenggaraan layanan pendidikan kecakapan hidup di Kota Makassar cukup besar. Terdapat banyak peluang kemitraan sinergis antarkomponen governance dalam pelayanan pendidikan kecakapan hidup di Kota Makassar. Terkait dengan sinergitas dalam penyediaan peluang usaha dan peta kerja, Disnaker Kota Makassar menawarkan Sinergitas antara LPK dengan lembaga-lembaga penyelenggara PKH sebagai upaya untuk meningkatkan akses lulusan PKH ke dunia usaha dan dunia kerja, karena LPK adalah lembaga yang memiliki jaringan mitra penerima kerja. Disamping itu, Disnaker Kota Makassar menawarkan penguatan kompetensi lulusan PKH dalam rangka mempersiapkan mereka memasuki dunia usaha dan dunia kerja. Balai Diklat Koperasi dan SDM pun membuka peluang Sinergitas dalam penyediaan informasi berwirausaha melalui program “Koperasi bagi Sarjana”, serta menyiapkan tenaga pendamping untuk membina lulusan PKH yang berkeinginan mengembangkan proposal wirausaha.
Yusriadi, Aktualisasi Sinergitas Komponen Governance Dalam Peningkatan Pelayanan Pendidikan Kecakapan Hidup di Kota Makassar|11
Potensi Sinergitas penyediaan sumber pembiayaan yang dapat dieksplorasi dalam mendukung penyelenggaraan PKH lebih fokus kepada tahapan implementasi layanan. Disnaker membuka peluang sinergitas antara LPK yang menjadi binaannya dengan lembaga-lembaga penyelenggara PKH untuk menyelenggarakan PKH. Demikian pula dengan Balai Diklat Koperasi dan UKM yang menyarankan agar sinergitas sumber pembiayaan dilakukan pada Dinas Koperasi/UKM di kabupaten/kota. Penyertaan SDM memiliki potensi yang paling besar untuk disinergikan dalam pelayanan PKH di Kota Makassar. Pada bagian ini, hampir semua pemangku kepentingan menawarkan kontribusi penyertaan SDM dalam setiap tahapan penyelenggaraan layanan. Disnaker Kota Makassar menawarkan SDM untuk membantu penguatan kompetensi kerja peserta didik melalui proses pembelajaran dan uji kompetensi, dalam rangka mempersiapkan perserta didik membuka usaha atau bekerja pada lembaga-lembaga usaha yang relevan. Balai Diklat Koperasi dan UKM menawarkan pembimbing untuk menyusun proposal untuk memperoleh peluang dukungan modal berwirausaha. Adapun Disdikpora Kota Makassar memiliki staf yang dapat membantu sosialisasi PKH dan proses penerbitan izin bagi lembaga-lembaga penyelenggara PKH. Sedangkan LP2UKM menyediakan banyak skema penyertaan SDM dalam penyelenggaraan PKH, antara lain: tenaga narasumber teknis, pelatih, dan fasilitator di bidang kewirausahaan dan permodalan/perbankan, konsultan dengan pengetahuan dan keahlian yang beragam yang tersebar di 23 Kabupaten/Kota, dan pengembangan kurikulum PKH berorientasi wirausaha. Terkait dengan sinergitas penyediaan sarana dan prasarana, setiap pemangku kepentingan mempunyai komitmen untuk mendukung penyelenggaraan PKH melalui pemanfaatan sarana dan prasarana yang mereka miliki. Disnaker Kota Makassar menawarkan sarana dan prasarana yang ada pada BLK dan LPK untuk dimanfaatkan dalam penyelenggaraan layanan progam PKH. Adapun Balai Diklat Koperasi dan UKM bersedia bersinergi dalam penyediaan sarana dan prasarana melalui mekanisme otonomi daerah. Sedangkan Disdikpora, walaupun hanya memiliki aula serbaguna, menawarkan fasilitas tersebut untuk dipergunakan dalam penyelenggaraan layanan PKH. Terkait dengan sinergitas jaringan kemitraan, LP2UKM dan Disnaker menyatakan kesediaan mereka untuk memfasilitasi kemitraan penyelenggaraan layanan PKH melalui jaringan kemitraan yang mereka miliki, baik di bidang kewirausahaan, akses permodalan/perbankan, maupun penempatan kerja. Uraian di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya, komponen governance memiliki potensi yang beragam untuk membantu berbagai tahapan dalam penyelenggaraan layanan PKH. Oleh karena itu, dalam menyelenggarakan layanan pendidikan kecakapan hidup di Kota Makassar, pemerintah tidak perlu mengambil peran yang dominan (omnipotent) dan hegemonik sebagai penguasa tunggal yang mengatur segala-galanya. Potensi telah terbagi kepada komponen governance lain, sehingga dalam menjalankan kekuasaan dan otoritasnya untuk memberikan layanan pendidikan kecakapan hidup kepada masyarakat, pemerintah perlu memiliki “the art of steering”. Artinya, pemerintah tetap menjadi pemain kunci dalam penyelenggaraan layanan pendidikan kecakapan hidup, namun pada saat yang bersamaan, ia harus memiliki kapasistas/kemampuan yang memadai untuk memobilisasi komponen governance yang lain untuk bersinergi mencapai tujuan-tujuan pelayanan pendidikan kecakapan hidup.
12|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
Terdapat satu hal penting yang terungkap dari hasil pengumpulan data terkait dengan sinergitas kepelayanan pendidikan kecakapan hidup bahwa pada dasarnya komponen governance memiliki potensi yang cukup besar untuk melakukan sinergi. Namun demikian, kurangnya komunikasi, koordinasi, dan inisiasi antarkomponen governance menyebabkan mereka menjalankan progaramnya secara parsial tanpa memikirkan bentuk sinergitas yang konstruktif, walaupun dalam kenyataannya sasaran programnya beririsan satu dengan yang lain. Oleh karena itu, komunikasi, koordinasi dan inisiasi merupakan kata-kata kunci yang perlu dilakukan dalam rangka mengoptimalkan sinergitas antarkomponen governance dalam penyelenggaraan layanan pendidikan kecakapan hidup. Peran komponen governance dalam penyelenggaraan layanan pendidikan kecakapan hidup Berdasarkan hasil pengumpulan data, dapat dikemukakan bahwa peran komponen governance dalam penyelenggaraan layanan PKH belum teraktualisasi secara optimal. Meskipun Peran pemerintah, masyarakat dan sektor swasta pada tahapan sosialisasi layanan, rekrutmen peserta didik, pemantuan dan evaluasi layanan, terbagi secara merata, namun pada tahapan identifikasi kebutuhan layanan, rekrutmen instruktur dan mitra kerja, penyusunan kurikulum, pengadaan sarana dan prasarana, proses pembelajaran dan pendampingan, peran yang dimainkan oleh ketiga lembaga penyelenggara PKH sangat dominan. Di satu sisi, kondisi di atas merupakan indikasi bahwa lembaga-lembaga penyelenggara layanan PKH (baik yang merepresentasi sektor swasta maupun pihak pemerintah) memiliki keinginan yang kuat untuk berkontribusi dalam penyelenggaraan layanan PKH bagi warga masyarakat. Akan tetapi di sisi lain, dominasi lembaga-lembaga ini pada berbagai tahapan penyelenggaraan layanan PKH tidak memberi peluang kepada komponen governance yang lain untuk mengaktualisasikan perannya. Sebagai akibatnya, penyelenggaraan layanan PKH kehilangan kesempatan untuk memperoleh dukungan yang maksimal dari berbagai pemangku kepentingan, sehingga program ini tidak mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi warga masyarakat. Dalam perspektif teori governance, pelayanan publik yang berkualitas merupakan hasil dari interaksi sinergis beragam aktor atau institusi. Hasil akhir yang memuaskan dari sebuah pelayanan publik tidak mungkin tercapai jika hanya mengandalkan satu sektor saja. Tidak ada satu aktor pun, bahkan negara sekalipun, yang mampu secara efisien, ekonomis dan adil menyediakan berbagai bentuk pelayanan publik secara mandiri. Oleh karena itu, dipandang dari perspektif teori governance, perumusan dan implementasi setiap tahapan penyelenggaraan layanan PKH di Kota Makassar tidak dapat didesain dan diimplementasikan oleh satu komponen governance saja, tetapi senantiasa mempertimbangkan secara kritis interaksi yang sinergis antara kemampuan nyata dari pemerintah, masyarakat dan sektor swasta. Setiap komponen governance berkepentingan terhadap terciptanya sinergitas dalam penyelenggaraan layanan PKH. Sinergitas komponen governance dalam penyelenggaraan layanan PKH akan menghasilkan luaran peserta didik yang berkualitas. Luaran peserta didik yang berkualitas akan memudahkan mereka untuk memasuki pasar kerja atau membuka usaha
Yusriadi, Aktualisasi Sinergitas Komponen Governance Dalam Peningkatan Pelayanan Pendidikan Kecakapan Hidup di Kota Makassar|13
sebagai wirausahawan baru. Hal tersebut pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan tingkat kesejahteraan warga masyarakat, sehingga daya beli mereka turut terdongkrak. Bagi pemerintah, PKH yang berhasil akan mampu meningkatkan legitimasi pemerintah di mata masyarakat, terutama masyarakat miskin dan menganggur. Implementasi sinergitas dalam PKH akan memperkecil biaya birokrasi, yang pada gilirannya akan memperbaiki kesejahteraan warga masyarakat. Selanjutnya, melalui penyelenggaraan layanan PKH ketiga komponen governance berinteraksi secara intensif. Dengan demikian, apabila pemerintah dapat memperbaiki kualitas penyelenggaran layanan PKH, maka manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat dan pelaku pasar. Model sinergitas komponen governance dalam pelayanan pendidikan kecakapan hidup Model sinergitas komponen governance merupakan kristalisasi dari hasil identifikasi potensi kepelayanan PKH dan pemetaan aktualisasi peran komponen governance dalam pelayanan PKH di Kota Makassar. Model ini terbangun dari hasil studi pustaka, hasil wawancara dan diskusi grup terfokus (FGD I dan FGD II). Pengembangan model sinergitas komponen governance dalam pelayanan PKH dilakukan melalui empat tahapan sinergitas antarkomponen. Pertama adalah sinergitas pada tahapan identifikasi kebutuhan layanan, kedua sinergitas pada tahapan persiapan pelaksanaan layanan, ketiga sinergitas pada tahapan pelaksanaan layanan, dan keempat sinergitas pada tahapan evaluasi layanan. Berikut ini dikemukakan gambar kerangka model sinergitas komponen governance dalam pelayanan PKH.
Gambar 2 Kerangka Model Sinergitas Komponen Governance dalam Pelayanan PKH.
14|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
Berdasarkan gambar 2 dapat dijelaskan bahwa pelayanan PKH terbangun atas empat tahapan, yaitu: (1) tahapan identifikasi kebutuhan layanan; (2) tahapan persiapan pelaksanaan layanan; (3) tahapan pelaksanaan layanan; dan (4) tahapan evaluasi layanan. Setiap tahapan memiliki beberapa dimensi kegiatan yang saling terkait satu dengan yang lain. Tahapan identifikasi kebutuhan layanan terdiri atas lima dimensi kegiatan, yaitu: koordinasi, identifikasi kebutuhan pasar kerja dan peluang kerja, identifikasi jenis program PKH, identifikasi peserta didik dan refleksi tahapan. Tahapan persiapan pelaksanaan layanan terdiri atas enam dimensi kegiatan, yaitu: koordinasi, seleksi calon penyelenggara layanan, rekrutmen peserta didik, instruktur dan mitra kerja, penyusunan kurikulum, penyiapan sarana dan prasarana, dan refleksi tahapan. Tahapan pelaksanaan layanan terdiri atas enam dimensi kegiatan, yaitu: koordinasi, pelaksanaan proses pembelajaran dan pemagangan, pemantauan, uji kompetensi, pendampingan pasca pembelajaran, dan refleksi tahapan. Adapun tahapan evaluasi terdiri atas empat dimensi kegiatan, yaitu: koordinasi, evaluasi hasil, evaluasi dampak, dan refleksi tahapan. Empat tahapan dalam pelayanan PKH sebagaimana di atas merupakan sebuah siklus yang saling terkait satu dengan yang lain. Keberhasilan tahapan persiapan pelaksanaan layanan ditentukan oleh terlaksananya secara baik kegiatan identifikasi kebutuhan layanan, demikian pula kualitas pelaksanaan layanan sangat ditentukan oleh kualitas persiapan yang dilakukan oleh penyelenggara layanan. Pada akhirnya, tahapan evaluasi akan menetapkan hasil dan dampak yang dicapai dari keseluruhan tahapan penyelenggaraan layanan PKH. Pelayanan PKH yang berorientasi governance menempatkan sinergitas antarkomponen governance (pemerintah, masyarakat dan sektor swasta) sebagai inti dari semua tahapan dan dimensi kegiatan. Hal ini bermakna bahwa penyelenggaraan setiap tahapan dan dimensi kegiatan dalam pelayanan PKH harus senantiasa dilandasi oleh semangat dan komitmen sinergitas antarkomponen governance. Dalam komitmen dan semangat sinergitas ini terkandung nilai-nilai kemitraan atas dasar, kesetaraan, transparansi, akuntabilitas dan kemandirian untuk mencapai tujuan bersama. Model Sinergitas Komponen Governance dalam Pelayanan PKH menempatkan unsur Pemerintah Kota Makassar sebagaiinisiator dan motivator untuk mengajak semua pihak berperan dalam pelayanan PKH. Pemerintah Kota Makassar diharapkan mampu membangun kemitraan dan jaringan dengan kedua komponen governance lainnya dan memobilisasi mereka untuk mencapai tujuan-tujuan pelayanan PKH. Intinya, Pemerintah Kota Makassar diharapkan bertindak sebagai sentrum kekuasaan politik yang bekerja secara efisien dan efektif dengan mengedepankan peran serta semua pilar governance dalam penyelenggaraan layanan PKH. Sinergitas Pemerintah Kota Makassar, masyarakat dan sektor swasta dalam menangani pendidikan kecakapan hidup diharapkan dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan layanan pendidikan kecakapan hidup, sehingga bermuara kepada terciptanya lulusan-lulusan peserta didik yang mampu bekerja pada lembaga-lembaga usaha atau membuka usaha mandiri dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Sinergitas, sebagaimana dikemukakan di dalam model ini, bukanlah sebuah konsep yang bersifat parsial dan terikat secara kaku, tetapi merupakan kontinum peran yang bersifat elastis dan dapat secara fleksibel dipertukarkan antara satu dengan yang lain, berdasarkan kondisi kekinian yang berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Yusriadi, Aktualisasi Sinergitas Komponen Governance Dalam Peningkatan Pelayanan Pendidikan Kecakapan Hidup di Kota Makassar|15
Pada titik ini, pemerintah memiliki tugas penting untuk mengorkestrasi pemangku kepentingan agar dapat memaksimalkan potensi yang mereka miliki dalam mewujudkan pelayanan pendidikan kecakapan hidup yang berkualitas. Berdasarkan uraian di atas, maka konsep kemitraan yang sinergis dan konstruktif antarkomponen govermance terbangun dari beberapa proposisi-proposisi hipotetis sebagai berikut: (1) Kemitraan yang sinergis dan konstruktif antarkomponen governance menentukan keakuratan identifikasi kebutuhan layanan PKH; (2) Kemitraan antarkomponen governance yang bersinergi secara konstruktif menentukan efektivitas persiapan pelaksanaan layanan PKH; (3) kemitraan yang sinergis dan konstruktif antarkomponen governance menentukan transparansi, akuntabilitas, dan kepastian pelaksanaan layanan PKH; (4) kemitraan antarkomponen governance yang bersinergi dan konstruktif dalam evaluasi layanan menentukan produktivitas, kualitas dan daya saing layanan PKH.
PENUTUP
Penelitian ini, yang merupakan sintesis dari hasil kajian pustaka dan pengumpulan data tentang sinergitas komponen governance dalam pelayanan PKH, menyimpulkan: 1. Potensi sinergitas kepelayanan pendidikan kecakapan hidup di Kota Makassar cukup besar dan beragam. Potensi tersebut terutama terkait dengan penyediaan peluang usaha dan lapangan kerja, penyertaan SDM dalam pelaksanaan program, dan penyediaan sarana dan prasarana untuk mendukung layanan PKH. Adapun potensi penyediaan sumber pembiayaan dan jaringan kemitraan belum tergali secara optimal dan memerlukan sinergi konstruktif antarpemangku kepentingan untuk mengaktualisasikan pemanfaatan potensi dimaksud dalam pelayanan PKH. 2. Peran komponen governance pada tahapan sosialisasi layanan telah teraktualisasi secara baik. Namun demikian, aktualisasi peran komponen governance pada tahapan penyusunan sarana dan prasarana serta pelaksanaan layanan belum terselenggara secara baik. Adapun pada tahapan persiapan pelaksanaan layanan, penyusunan kurikulum dan evaluasi layanan, belum terlihat adanya aktualisasi peran komponen governance dalam pelayanan PKH. 3. Model sinergitas komponen governance dalam pelayanan PKH di Kota Makassar terbangun dalam empat tahapan sinergitas yaitu: (1) sinergitas pada tahapan identifikasi kebutuhan layanan; (2) sinergitas pada tahapan persiapan pelaksanaan layanan; (3) sinergitas pada tahapan pelaksanaan layanan (4) sinergitas pada tahapan evaluasi layanan.
16|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
DAFTAR PUSTAKA Berita Resmi Statistik Provinsi Sulawesi Selatan. 2009. Edisi No 24/05/73/Th.III, tanggal 15 Mei 2009. Berita Resmi Statistik. 2010. Edisi No. 77/12/Th. XIII tanggal 1 Desember 2010. Denhardt, J. V. & Denhardt, R. B. 2003. The New Public Service: Serving, Not Steering. New York: M.E. Sharepe, Inc. Ditjen Diklusepa Depdiknas. 2003. Pedoman Penyelenggaraan Program Kecakapan Hidup (Life Skills) Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Bagian Proyek Life Skills PLS Ditjen Diklusepa Depdiknas. Ditjen Pendidikan Nonformal dan Informasi Depdiknas. 2009. Rencana Strategis Pendidikan Nonformal dan Informal 2010-2014. Ditjen PNFI Depdiknas: Jakarta. Dwipayana, A., dkk. 2003. Membangun Good Governance di Desa. Yogyakarta: IRE Press. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Kurniawan, A. 2005. Transformasi Pelayanan Publik. Yogyakarta: Pembaruan. Literacy Watch Bulletin. 2001. Innovation in Non formal Education. Litercay Watch Bulletin, No. 17. Miles, M. B. & Huberman, A. M. 1984. Qualitative Data Analysis. Beverly Hills: Sage Publication. Moleong, L. J. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Napitupulu, W. P. 1991. The Implementation of Adult Education as An Out of School Educational Programme In Indonesia. Jakarta: Proyek Perencanaan Terpadu dan Pengembangan Ketenagaan. Nasution, S. 1992. Metodologi Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Said, M. 2007. Birokrasi di Negara Birokratis: Makna, Masalah dan Dekonstruksi Birokrasi di Indonesia. Malang: UMM Press. Suwondo. 2000. Desentralisasi Pelayanan Publik: Hubungan Komplementer antara Sektor Negara, Mekanisme Pasar dan Organisasi Non Pemerintah. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang, I (2). Thoha, M. 2008. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. UNESCO. 1997. International Standard Classification of Education ISCED 1997. Paris: UNESCO.
EFEKTIVITAS BUDAYA DISIPLIN KERJA PEGAWAI PADA BIRO ORGANISASI DAN KEPEGAWAIAN SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN Sabugdaria M. Nippi Tambe Jamaluddin Pendidikan Administrasi Perkantoran FIS UNM
ABSTRAK Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif yang bertujuan mengetahui tingkat efektifitas pelaksanaan budaya disiplin kerja pegawai pada Biro Organisasi dan Kepegawaian Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Jumlah populasi penelitian ini adalah 38 responden. Tekhnik pengumpulan data yang di gunakan adalah observasi, angket, wawancara dan dokumentasi. Tekhnik analisis data adalah analisis presentasi dan distribusi secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, Pelaksanaan kedisiplinan pegawai pada kantor Sekretariat Daerah Provinsi Sulsel dilihat dari aspek ketetapan waktu, menggunakan peralatan kantor dengan baik, tanggung jawab yang tinggi, dan ketaatan terhadap aturan kantor dapat di katakan sudah berjalan efektif, walau demikian masih terdapat sebagian pegawai yang terkadang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan kedisiplinan yang telah ditetapkan, dan telah di upayakan berbagai pendekatan untuk meminimalisir tindakan indisipliner dari pegawai tersebut.Untuk memaksimalkan penerapan kedisiplinan pegawai, maka Sekretariat Daerah Provinsi Sulsel, telah melakukan upaya sosialisasi tentang aturan disiplin Pegawai Negeri Sipil, memberikan keteladanan kepemimpinan yang baik, memasang spanduk Budaya Malu, mengoptimalkan pemberian reward dan Punishmen, memberikan rasa keadilan antara pegawai, pemberian motivasi dan peningkatan kesejahteraan pegawai, peningkatan sarana dan prasarana kerja dan penciptaan lingkungan kerja yang nyaman. Kata kunci: Budaya Disiplin Kerja Pegawai .
PENDAHULUAN Manusia merupakan sumber daya penggerak lembagapemerintahan dan berperan untuk menentukan berhasil atau tidaknya tujuanlembaga pemerintahan tersebut. Sumber daya manusia atau disebut pegawaiberperan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalianorganisasi agar lembaga pemerintahan mencapai visi dan misi dengan baik. Kenyataan di zaman modern ini, kondisi disiplin pegawai perlu ditingkatkan. Terbukti dari terus berlangsungnya berbagai macam prilaku yang menyimpang dan melanggar hukum dan norma yang berlaku dalam bentuk sikap dan tindakan yang kurang patuh dan tertib. Hal ini
18|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
terjadi karena kurangnya kedisiplinan dan rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan dan lingkungan di mana ia berada. Kurangnya disiplin dan rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan tidak terkecuali pula di kantor pemerintah yang merupakan pelaksanaan utama pemerintah dan pembangunan nasional. Ketaatan terhadap peraturan kurang dilaksanakan secara sadar, ikhlas dan lahir batin, sehingga tercermin sikap dan perilaku yang kurang bertanggung jawab terhadap pekerjaanya. Yang dapat berperan utama dalam proses perkembangan budaya disiplin ini adalah sumber daya manusia yang ada didalam instansi atau kantor tersebut. Untuk lebih mengembangkan peran ini, pembangunan aparatur pemerintah diarahkan agar meningkatkan kualitas aparatur untuk lebih bersikap arif dan bijaksana serta berdedikasi yang tinggi terhadap pengabdian, sehingga dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat secara optimal. Demikian keberadaan aparat/pegawai sebagai satu kesatuan dalam perangkat pemerintahan daerah yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS), Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud adalah: Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah kesanggupan Pegawai Negeri Sipil muntuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin.
Untuk dapat melaksanakan tugas dengan baik, maka pembinaan pegawai diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar memiliki tingkat kedisiplinan sehingga dapat memberikan pelayanan secara maksimal sesuai tuntutan perkembangan masyarakat. Dengan pembinaan disiplin kerja yang terus menerus dengan upaya yang strategis, diharapkan setiap pegawai tidak melakukan disiplin karena takut kepada pimpinan atau takut pada sanksi yang akan diterima, akan tetapi diharpkan setiap pegawai berdisiplin karena adanya dorongan dan kesadaran diri, sehingga disiplinitu sendiri akan tetap berjalan sesuai dengan perkembangan program dan beban kerja organisasi. Mengingat tugas pokok dan fungsi Kantor Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan sangat kompleks, maka menjadi sebuah keharusan untuk memiliki dukungan kualitas sumber daya aparatur. Oleh karena itu, diperlukan sumber daya manusia yang mempunyai disiplin tinggi karena dengan disiplin akan dapat mendukung peningkatan kinerja pegawai. Dengan adanya kedisiplinan pegawai yang mencerminkan kesanggupan pegawai tersebut dalam mentaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, maka diharapkan sikap dan perilaku pegawai tidak akan jauh melenceng dari semangat pengabdian, kejujuran, tangguh jawab, disiplin serta wibawa sehingga dapat memberikan pelayanan sesuai tuntutan perkembangan masyarakat. Berdasarkan hasil observasi awal pada tanggal 15 Juni 2015 yang dilakukan oleh peneliti, terdapat beberapa indikasi yang menunjukan masih adanya pegawai yang masih kurang profesionalseperti seringnya ada pegawai yang datang terlambat, istirahat sebelum waktunya, alpa tanpa pemberitahuan, meninggalkan tempat kerja tanpa alasan penting, bekerja tanpa pertanggung jawaban, pulang sebelum waktunya, dan lain-lain., maka dari itu tujuan dari peneliatan ini agar mengetahui kekurangankedisiplinan pegawai tersebut yang masih sering pegawai jadikan budaya kerja dalam suatu instansi.
Sabugdaria, Efektivitas Budaya Disiplin Kerja Pegawai Pada Biro organisasi dan kepegawaian Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan|19
Seperti yang diketahui dengan aturan disiplin PNS yaitu setiap PNS harus mematuhi aturan organisasi yang mengatur tentang sistem kerja pada setiap instansi baik yang mengatur kerja, apel kerja, pakaian kerja, ijin, cuty, tugas dinas dan sebagainya. Aturan ini dibuat untuk mengatur sistem kerja agar kegiatan pelayanan publik dapat berjalan dengan baik serta tujuan organisasi dapat dicapai dengan baik. Berdasarkan observasi tersebut diatas, tentu sangat menggangu sistem kerja yang tentunya akan mempengaruhi kinerja suatu kantor. Bahkan, sebenarnya diluar kedinasan setiap PNS harus tetap menjaga martabak dengan tetap menunjukkan pola sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan kode etik PNS. Hal ini sangat penting, karena diluar kedinasan itu setiap PNS akan berintegrasidengan anggota masyarakat lainnya dan diri sendiri sebagai warga masyarakat yang memiliki jati diri sebagai Pegawai Negeri Sipil meskipun sudah ada slogan yang mengingatkan pegawai untuk bersikap malu.
KAJIAN TEORI Pengertian Efektifitas Setiap usaha atau kegiatan tentunya diharapkan berlangsung secara efektif dan efisien. Namun demikian, suatu usaha tentunya tidak semudah yang kita rencanakan. Berbagai kendala yang dilalui disertai dengan perencanaan yang mantap serta keterlibatan semua unsur yang ada sehingga tujuan yang telah direncanakan dapat tercapai. Secara umum efektifitas berasal dari kata dasar efektif, yang berarti terjadinya suatu efek atau akibat yang diinginkan dengan kata lain perbuatan seorang yang efektif adalah perbuatan yang menimbulkan akibat sebagaimana yang dikehendaki orang tersebut.Menurut Poerwardarminta dalam Remiwati (2000: 6) bahwa “Efektifitas dalam arti mencapai sasaran, yakni masing-masing individu pegawai memiliki kemampuan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya” Pendapat di atas, memberikan pengertian yang mendasar bahwa efektif mengandung arti adanya kemampuan yang dapat mempengaruhi tercapainya sasaran yang telah direncanakan. Jadi suatu kegiatan dikatakan efektif apabila tercapainya sasaran yang di inginkan. Menurut Soekarno. K (2002: 42) Efektifitas adalah “Pencapaian tujuan atau hasil yang dikehendaki/diinginkan tanpa memperdulikan faktor-faktor yang telah dihambur-hamburkan betapa besarnya”. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa apa yang dianggap betul-betul efektif belum tentu efisien, sebab dalam mengejar efek atau hasil yang dicita-citakan sama sekali tidak memperhitungkan daya, dana dan sarana yang dikeluarkan betapa pun besar jumlahnya. Sedangkan apa yang dianggap efisien sudah tentu efektif. Adapun Kriteria atau aturan mengenai pencapaian tujuan secara efektif atau tidak, dapat dilihat pendapat Siagian (2002: 76) yaitu: 1) Kejelasan tujuan yang di kehendaki, 2) Kejelasan strategi pencapian tujuan, 3) Proses analisa dan perumusan kebijaksanaan yang mantap, 4) Perencanaan yang matang, 5) Penyusunan program yang mantap, 6) Tersedianya saran dan prasaran, 7) Pelaksanaan efektif dan efisien, 8) Sistem pengawasan dan pengendalian yang
20|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
bersifat mendidik. Sedangkan menurut The Liang Gie (1997:125) bahwa “Efektifitas (efektiveness) adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki. Kalau seseorang melakukan perbuatan dengan maksud tertentu yang memang dikehendaki, maka orang itu dikatakan efektif kalau menimbulkan akibat atau mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendaki”. Melihat beberapa pengertian efektifitas yang dikemukakan di atas, maka terlihat bahwa yang menjadi sorotan perhatian dalam efektifitas adalah tercapainya sasaran dan tujuan yang telah ditentukan tepat pada waktunya dengan menggunakan sumber-sumber yang telah dialokasikan dalam melaksanakan berbagai kegiatan-kegiatan organisasi. Biasanya efektifitas dikaitkan dengan faktor memanfaatkan waktu. Pengertian Budaya Kerja Kata budaya dalam beberapa hal terdapat berbagai definisi yang saling berbeda satu sama lain, akan tetapi dalam perbedaan itu ada persamaan yang terletak dalam pengakuan bahwa budaya atau kebudayaan itu berhubungan dengan manusia. Menurut Batalipu dalam Remiwati (2000: 9) bahwa “Budaya atau kebudayaan adalah kenyataan yang dilahirkan oleh manusia dengan perbuatan. Baik asal dan kelanjutannya sangat terikat kepada perbuatan manusia itu sendiri. Sedangkan perbuatan tergantung pada jiwa manusia. Perbuatan manusia meliputi aspek sosial, ekonomi, politik, tekhnik, kesenian, filsafat, agama dan sebagaiannya” Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya adalah perwujudan dari cara berpikir dan merasa yang dilahirkan oleh manusia dengan perbuatan. Baik asal dan kelanjutannya sangat terikat kepada perbuatan manusia itu sendiri. Sedangkan perbuatan bergantung pada jiwa manusia. The Liang Gie (1997: 26) menyatakan bahwa “Kerja adalah keseluruhan pelaksanaan aktivitas-aktivitas jasmani dan rohani yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai tujuan atau dengan suatu maksud tertentu yang berhubungan dengan kelangsungan hidupnya”. Menurut Marbun (1993:158), bahwa Kerja adalah pendayagunaan tenaga kerja untuk mencapai sasaran”.Meunurut Batalipu (1997: 78) kerja adalah “aktivitas atau kegiatan untuk mencapai tujuan. Jadi budaya kerja adalah perbuatan atau kegiatan manusia yang dilahirkan secara sadar atau tergantung pada jiwa manusia itu sendiri”. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan kerja pada hakikatnya merupakan kegiatan manusia baik jasmaniah yang berwujud perbuatan maupun rohaniah yang berwujud pemikiran untuk mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya, pengertian Budaya Kerja sebagaimana yang tercantum dalam buku pedoman Gerakan Disiplin Nasional (1997: 29) adalah memulai dan menyelesaikan pekerjaan tepat waktu sesuai dengan rencana. Oleh karena itu terkait dengan masalah kedisiplinan, sebab dengan penerapan disiplin yang baik akan menghasilkan penyelesaian tepat pada waktunya. Pada sisi lain budaya kerja menurut Soekarno (2002: 11) adalah sikap hidup dan perilaku yang menceerminkan tanggung jawab terhadap kehidupan dan pekerjaan tampa paksaan dari luar. Sikap dan perilaku inidianut berdasarkankeyakinan bahwa hal ini adalah benar, dengan keinsyafan hal itu bermanfaat bagi kepentingan masyarakat dan diri sendiri”. Siagian (2002: 188) mengatakan budaya organisasi adalah kemauan, kemampuan dan kesediaan seseorang
Sabugdaria, Efektivitas Budaya Disiplin Kerja Pegawai Pada Biro organisasi dan kepegawaian Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan|21
menyesuaikan perilakunya dengan budaya organisasi, mempunyai relevansi tinggi dengan kemauan, kemampuan, dan kesediaanya meningkatkan produktifitas kerjanya” Beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Budaya Kerja adalah sikap hidup dan perilaku yang menceerminkan tanggung jawab terhadap kehidupan dan pekerjaan tampa paksaan dari luar. Sikap dan perilaku inidianut berdasarkan keyakinan bahwa hal ini adalah benar, dengan keinsyafan hal itu bermanfaat bagi kepentingan masyarakat dan diri sendiri. Pengertian Disiplin Kerja Disiplin merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menciptakan pegawai yang berkualitas dalam menjalankan tugas yang diserahkan kepadanya, dengan disiplin akan mewujudkan suatu sikap yang mencerminkan ketaatan terhadap suatu peraturan. Secara umum disiplin adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk melatih diri dalam melaksanakan kegiatan dengan baik dan benar. Untuk memperjelas pengertian disiplin, akan dikemukakan beberapa pengertian disiplin kerja menurut para ahli. Hasibuan (2003: 193) mengatakan bahwa “Kedisiplinan adalah kesadaran dan ketaatan seseorang terhadap peraturan perusahaan/lembaga dan norma social yang berlaku. Davis (2000: 112) mengemukakan bahwa “Disiplin adalah tindakan manajemen untuk memberikan semangat kepada pelaksanaan standar organisasi, ini adalah pelatihan yang mengarah pada upaya membenarkan dan melibatkan pengetahuan-pengetahuan sikap dan perilaku pegawai sehingga ada kemauan pada diri pegawai untuk menuju pada kerjasama dan prestasi yang lebih baik”. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disiplin Pegawai Kecenderungan manusia kearah tidak disiplin daripada kearah disiplin, untuk itulah agar manusia ini menjadi disiplin harus diusahakan. Merancang karakter seseorang agar menjadi disiplin dapat dimulai sejak kecil, remaja dan dapat juga dilakukan pada orang dewasa, yaitu mereka yang bekerja di berbagai organisasi atau lembaga. Menurut Tohardi dalam Laela (2012: 12) “ada beberapa hal yang dapat kita lakukan dalam metode pembinaan disiplin tersebut, diantara lain adalah: “(1) Funismhent and Reward, (2) Adil dan tegas, (3) Motivasi, (4) Keteladanan, (5) Lingkungan yang kondusif”. Menurut Saydam (2000: 202) faktor-faktor yang mempengaruhi kedisiplinan adalah 1) Besar kecilnya pemberian kompensasi, 2) Ada tidaknya keteladanan pemimpin dalam perusahaan, 3) Ada tidaknya aturan pasti yang dapat dijadikan pegangan, 4) Keberanian pemimpin dalam mengambil tindakan, 5) Ada tidaknya pengawasan pimpinan, 6) Ada tidaknya perhatian kepada pegawai, dan 7) Disiptakan kebiasaan-kebiasaan yang mendukung tegaknya disiplin.
22|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
METODE PENELITIAN Penelitian ini mengkaji satu variabel, yaitu bagaimana gambaran pelaksanaan budaya disiplin kerja pegawai di Kantor Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, yang dikenal dengan variabel tunggal. Sehingga penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif. Populasi penelitian ini adalah seluruh pegawai yang ada pada Biro Organisasi dan Kepegawaian Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 38 orang. Pengumpulan data penelitian ini berdasarkan tekniknya, yaitu melalui wawancara, angket, observasi, dan dokumentasi. Setelah data hasil angket di analisis dengan menggunakan rumus presentasi menurut Sudijono (1996: 40) Sebagai berikut: P
:
F
×
100 %
N Keterangan: P : Presentasi F : Frekuensi Jawaban Responden N : Jumlah Responden Data-data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis presentasi dengan cara mempresentasikan setiap pertanyaan. Untuk mengetahui efektifitas disiplin kerja pegawai, digunakan rumus yang di kemukakan oleh Ali (2000: 184) yaitu: %
=
n
x
100
N Keterangan: % : Presentasi n : Nilai yang di peroleh N : Jumlah seluruh nilai HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis data yang telah dirumuskan menunjukkan bahwa presentase yang dicapai sebesar 73,13 persen. Hal ini menunjukkan bahwa presentasi yang dicapai bila dikonfirmasikan dengan kategori yang telah di tentukan sebelumnya yaitu berada pada interval 61-80 persen yang berarti bahwa efektivitas pelaksanaan budaya disiplin kerja pegawai pada Biro Organisasi dan Kepegawaian Sekretariat Daerah Provinsi Sulsel tergolong efektif. Hasil wawancara, diketahui bahwa upaya penegakan disiplin pegawai telah dilakukan dengan sungguh-sungguh tampa adanya untuk menutupi kesalahan atau pembelaan pegawai yang melanggar. Bila hal ini tidak dijalankan dengan baik maka akan membuat kecemburuan dan ketidak adilan yang berakibat pada kurangnya motivasi kerja dan kurangnya disiplin pegawai.
Sabugdaria, Efektivitas Budaya Disiplin Kerja Pegawai Pada Biro organisasi dan kepegawaian Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan|23
Indikator ketepatan waktu Indikator ketetapan waktu terdiri atas 5 item pertanyaan. Skor lima item pertanyaan tersebut dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Efektivitas budaya disiplin kerja pegawai berdasarkan indikator ketetapan waktu. No. Item 1 2 3 4 5
A 14 10 7 5 4
Pilihan Jawaban B C D 13 6 4 7 17 2 20 10 1 13 15 2 10 20 4
E 1 2 0 3 0
Jumlah Resp. 38 38 38 38 38 Jumlah
A 70 50 35 25 20
Nilai yang di peroleh B C D 52 18 8 28 51 4 80 30 2 52 45 4 40 60 8
Jumlah E 1 2 0 3 0
149 135 147 129 128 688
Sumber : Hasil pengolahan angket indikator ketetapan waktu %
:
688 x 100 5 x 5 x 38 % : 68.800 x 100 72,42 % 950 Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa efektivitas budaya disiplin kerja pegawai berdasarkan indikator ketetapan waktu. Berdasarkan perhitungan rumus presentase adalah 72,42 persen berada pada interval 61 - 80 persen dinilai efektif. Indikator menggunakan peralatan kantor Indikator menggunakan peralatan kantor terdiri atas 5 item pertanyaan. Skor lima item pertanyaan tersebut dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Efektivitas budaya disiplin kerja pegawai berdasarkan indikator menggunakan peralatan kantor. No. Item 6 7 8 9 10
Pilihan Jawaban A B C D 10 17 10 1 27 9 2 0 3 10 20 5 5 19 7 4 0 6 21 7
E 0 0 0 3 4
Jumlah Resp. 38 38 38 38 38 Jumlah
Nilai yang di peroleh A B C D 50 68 30 2 135 36 6 0 15 40 60 10 25 76 21 8 0 24 63 14
Sumber : Hasil pengolahan angket indikator menggunakan peralatan kantor % : 690 x 100 5 x 5 x 38 % : 69.000 x 100 72, 63 % 950
E 0 0 0 3 4
Jumlah 150 177 125 133 105 690
24|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa efektifitas budaya disiplin kerja pegawai berdasarkan indikator menggunakan peralatan kantor. Berdasarkan perhitungan rumus presentase adalah 72,63 persen berada pada interval 61 - 80 persen dinilai efektif. Tanggung jawab yang tinggi Indikator tanggung jawab yang tinggi terdiri atas 5 item pertanyaan. Skor lima item pertanyaan tersebut dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Efektifitas budaya disiplin kerja pegawai berdasarkan indikator tanggung jawab yang tinggi. No. Item 11 12 13 14 15
Pilihan Jawaban A 20 19 5 2 12
B 11 8 22 12 14
C 7 9 11 10 11
D 0 2 0 10 1
E 0 0 0 4 0
Jumlah Resp. 38 38 38 38 38 Jumlah
Nilai yang di peroleh A 100 95 25 10 60
B 44 32 88 48 56
C 21 27 33 30 33
D 0 4 0 20 2
E 0 0 0 4 0
Jumlah 165 158 146 112 151 732
Sumber : Hasil pengolahan angket indikator tanggung jawab yang tinggi % : 732 x 100 5 x 5 x 38 % : 73.200 x 100 77,05 % 950 Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa efektifitas budaya disiplin kerja pegawai berdasarkan indikator tanggung jawab yang tinggi. Berdasarkan perhitungan rumus presentase adalah 77,05 persen berada pada interval 61 - 80 persen di nilai efektif. Ketaatan terhadap peraturan Indikator ketaatan terhadap peraturan terdiri atas 5 item pertanyaan. Skor lima item pertanyaan tersebut dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Efektifitas budaya disiplin kerja pegawai berdasarkan indikator ketaatan terhadap peraturan. No. Item 16 17 18 19 20
A 12 9 3 9 0
Pilihan Jawaban B C D 15 11 0 10 12 5 21 9 5 12 11 6 12 16 7
E 0 2 0 0 3
Jumlah Resp. 38 38 38 38 38 Jumlah
A 60 45 15 45 0
Nilai yang di peroleh B C D 60 33 0 40 36 10 84 27 10 48 33 12 48 48 14
Sumber : Hasil pengolahan angket indikator ketaatan terhadap peraturan % : 673 x 100 5 x 5 x 38 % : 67,300 x 100 70,84 % 950
E 0 2 0 0 3
Jumlah 153 133 136 138 113 673
Sabugdaria, Efektivitas Budaya Disiplin Kerja Pegawai Pada Biro organisasi dan kepegawaian Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan|25
Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa efektivitas budaya disiplin kerja pegawai berdasarkan indikator ketaatan terhadap peraturan. Berdasarkan perhitungan rumus presentase adalah 70,42 persen berada pada interval 61 - 80 persen di nilai efektif. Upaya penegakan Budaya Disiplin Pegawai yang terlihat nyata terdapat pada sistem absensinya yang menerapkan sistem elektrik (sidik jari). Dengan demikian tertentu akan mudah dalam pengawasan kedisiplinan pegawai utamanya dalam sistem kehadiran. Untuk data absensi pegawai pada saat apel pagidi guanakan sistem manual, di mana para atasan atau kepala bidang akan mengawasi masing-masing bawahannya, kemudian dikelola sub bagian kepegawaian dan keuangan dan selanjutnya melaporkan kepada sub bagian atau kepala Biro Organisasi dan Kepegawaian Sekretariat Daerah Provinsi Sulsel. Untuk mendukung upaya penegakan disiplin pegawai tersebut diatas, Sekretariat Daerah Provinsi Sulsel melakukan pemberian motivasi dan peningkatan kesejahteraan pegawai. Pemberian motivasi kepada pegawai di maksudkan agar mereka mampu meningkatkan kinerja, taat aturan sehingga tujuan organisasi dapat terwujud. Peningkatan motivasi ini dapat di lakukan dengan pengarahan-pengarahan kerja, pemberian penghargaan, peningkatan sarana dan prasarana kerja dan menciptakan lingkungan kerja yang nyaman. Sementara itu, peningkatan kesejahteraan pegawai dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka agar mampu berkonsentrasi pada tugas sehari-hari tidak diliputi pemikiran untuk mencapai sampingan yang akan mengganggu tugas sehari-hari dan mengganggu pencapaian tujuan dan kinerja organisasi. Kegiatan yang dapat dilakukan untuk peningkatan kesejahteraan pegawai adalah pemberian insentif dan kesejahteraan melalui anggaran kantor dalam jumlah yang cukup. PENUTUP Berdasarkan hasil analisis data pembahasan, maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Pelaksanaan budaya disiplin kerja pegawai pada Biro Organisasi dan Kepegewaian Sekretariat Daerah Provinsi Sulsel dilihat dari indikator-indikator yang ada dapat dikatakan secara efektif, walau sebagian masih terdapat pegawai terkadang tidak mengindahkan peraturan-peraturan kedisiplinan yang telah ditetapkan, dan telah diupayakan berbagai pendekatan untuk meminimalisir tindakan disiplin dari pegawai tersebut. Untuk memaksimalkan penerapan disiplin pegawai, maka Sekretariat Daerah Provinsi Sulsel, telah melakukan upaya sosialisasi tentang aturan disiplin PNS, memberikan keteladanan kepemimpinan yang baik, memasang spanduk Budaya Malu, mengoptimalkan pemberian reward dan Punishmen, memberikan rasa keadilan antara pegawai, pemberian motivasi dan peningkatan kesejahteraan pegawai, peningkatan sarana dan prasarana kerja dan penciptaan lingkungan kerja yang nyaman.
26|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
DAFTAR PUSTAKA Abdul, Aziz. 2005. Pengaruh Motivasi Kerja Dalam Meningkatkan Prestasi Kerja Pegawai Dinas Pendidikan Nasional Kota Kendari. Skripsi.Program Pasccasarjana.UNM. Makassar Ali, Muhammad, 2000. Penelitian Pendidikan Prosedur dan Strategi. Bandung: Bumi Aksara Arikunto Suharsimi, 1998. Prosedur Penelitian Suatu Praktek. Jakarta Rhineka Cipta Batalipu, Baharuddin, dkk 1997. Sejarah Nasional Indonesia. Ujungpandang Unhas Davis, Keith. 2000. Fundamental Organization Behavior, Di terjemahkan Agus Dharma. Jakarta: Erlangga Geswar Andi Goesli. 2005. Pengaruh Motivasi Dan Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Dinas Pendidikan Propinsi Sulawesi Selatan.Skripsi.Program Pasccasarjana.UNM. Makassar Handoko, Hani. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia Hasibuan, Melayu, S.P 2003.Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara Heidjachman dan Husnah, Saud. 2002. Manajemen Personalia. Yogyakarta: BPFE Laela .Kadri.2012. Upaya Penegakan Disiplin Kerja Pegawai pada Kantor Perwakilan BKKBN Provinsi Sulawesi Selatan.Skripsi.FIS.UNM. Makassar Marbun, B.N..Et. Al 1993. Kamus Istilah Manajemen. Jakarta Balai Pustaka Mangkunegara Anwar Prabu. 2005. “Perilaku dan Budaya Organisasi”, Bandung: PT Refika Aditama Ratnawati Potutu. 2003. Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Motivasi Kerja Pegawai Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tenggara.Skripsi.Program Pasccasarjana.UNM. Makassar Remiwati. 2002. Efektivitas Pelaksanaan Budaya Kerja Di Dinas Kenersihan dan Pertamanan Kabupaten Gowa. Skripsi.FIS.UNM. Makassar Riduwan. 2004.Metode dan Tekhnik Menyusun Karya Ilmiah. Cetakan Pertama. Bandung: Penerbit Alfabeth Saydam, Ghozali. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Binarupa Siagian, S. P, 2002. Pengembangan Sumber Daya Insani. Jakarta: Gunung Agung Sudjono. 1996. Metode Statistika. Bandung : Tarsito Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Adminstrasi (Edisi Revisi). Bandung, Alfabeta Soekarno. K. 2002. Dasar- Dasar Manajemen. Jakarta: Miswar Soejono. 2000. Disiplin Nasional. Yogyakarta. Terry, G. R. 1996. Motivasi.Jakarta : Aksara Baru The Liang Gie, dkk. 1997. Enksilopedia Administrasi dan Manajemen. Jakarta: Rhineka Cipta
PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN, MOTIVASI, DISIPLIN KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN PT. CATUR PUTRA HARMONIS MAKASSAR Musdalifah STKIP Pembangunan Indonesia, Makassar ABSTRAK Kepemimpinan merupakan unsur penting di dalam sebuah perusahaan, sebab tanpa adanya kepemimpinan dari seorang pemimpin maka suatu perusahaan tersebut akan mengalami kemunduran. Setiap pemimpin pada dasarnya memiliki perilaku yang berbeda dalam memimpin atau sering disebut dengan gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan yang dijalankan oleh seorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku orang lain sesuai dengan keinginannya itu dipengaruhi oleh sifat pemimpin itu sendiri. Pemimpin dengan gaya kepemimpinan yang baik akan menciptakan motivasi yang tinggi di dalam diri setiap bawahan, sehingga dengan motivasi tersebut akan timbul disiplin kerja yang dapat meningkatkan kinerja dari bawahan itu. Penelitian ini menggunakan metode kuantitaif dengan teknik analisis regresi berganda dengan jumlah populasi yaitu 112 karyawan. Kemudian diadakan teknik penarikan sampel dengan menggunakan rumus slovin sehingga diperoleh sampel sebanyak 53 karyawan. Data yang diperoleh diuji dengan uji validitas dan reliabilitas untuk memastikan kevalidan data, kemudian dilakukan analisis data dengan uji regresi dan korelasi dengan bantuan SPSS 16. Adapun hasil uji analisis data yang diperoleh adalah (1) gaya kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan dengan nilai koefisien r2 = 0,316 atau 31,6 %, (2) motivasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan dengan nilai koefisien r 2 = 0,343 atau 34,3%, (3) disiplin kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan dengan nilai koefisien r2 = 0,222 atau 22,2%. Dari 3 uji analisis yang dihasilkan motivasi yang paling banyak memberikan sumbangan pengaruh dalam membentuk kinerja karyawan. Kata kunci: Gaya Kepemimpinan, Motivasi, Disiplin Kerja, Kinerja Karyawan
PENDAHULUAN Organisasi merupakan kesatuan social yang dikoordinasikan secara sadar dengan sebuah batasan yang reaktif. Semua tindakan yang diambil dalam dalam setiap kegiatan diprakarsai dan ditentukan oleh manusia yang menjadi anggota perusahaan. Perusahaan membutuhkan adanya faktor sumber daya manusia yang potensial baik pemimpin maupun karyawan pada pola tugas dan pengawasan yang merupakan penentu tercapainya tujuan perusahaan. Sumber daya manusia merupakan tokoh sentral dalam organisasi maupun perusahaan yang harus memiliki pengetahuan dan keterampilan tinggi serta usaha dalam mengelola perusahaan seoptimal mungkin.
28|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
Keberhasilan suatu organisasi dipengaruhi oleh kinerja karyawannya, suatu organisasi akan berupaya untuk meningkatkan kinerja karyawannya dengan harapan tujuan perusahaan dapat tercapai. Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi antara lain termasuk kuantitas output, kualitas output, jangka waktu output, kehadiran di tempat kerja dan sikap kooperatif (Mathis dan Jackson, 2002). Kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama (Rivai, 2005). Kinerja menurut Mangkunegara (2006) bahwa kinerja karyawan (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang tercapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Dengan demikian, kinerja merupakan hal yang penting bagi organisasi atau perusahaan serta dari pihak karyawan itu sendiri. Oleh karena itu, kinerja karyawan akan berjalan dengan efektif apabila didukung oleh gaya kepemimpinan diiringi dengan motivasi dan disiplin kerja. Beberapa peneliti telah menguji pengaruh motivasi dan disiplin kerja terhadap kinerja karyawan, antara lain Hakim (2006) tentang “Analisis pengaruh motivasi, komitmen organisasi, dan iklim organisasi terhadap kinerja pegawai pada Dinas Perhubungan dan Telekomunikasi Provinsi Jawa Tengah”, disimpulkan bahwa secara parsial (individu) terdapat pengaruh secara signifikan dan positif antara motivasi kerja, komitmen organisasi, dan iklim organisasi terhadap kinerja pegawai. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Maslan Banni, Nilam Korompot dan Robiansyah terhadap kinerja pegawai PT.PLN wilayah Kalimantan Timur juga membuktikan bahwa disiplin dan motivasi berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai. Sementara itu, penelitian yang dilakukan Tampi (2014) menyatakan bahwa pengujian hipotesis menggunakan uji T bahwa gaya kepemimpinan dan motivasi pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Berdasarkan survei pendahuluan, peneliti mendapatkan informasi mengenai disiplin dan motivasi serta kinerja karyawannya melalui Kepala Bagian Sumber Daya Manusia (SDM) yang menyebutkan bahwa karyawan PT. Catur Putra Harmonis Makassar masih terdapat karyawan yang tidak disiplin yaitu datang tidak tepat waktu dan terkadang masih terdapat karyawan yang menitip absen kepada rekan kerjanya apabila karyawan masih di perjalananan menuju kantor. Selain itu, kurang adanya peranan kepemimpinan dalam menciptakan komunikasi yang harmonis serta memberikan pembinaan pegawai, akan menyebabkan tingkat kinerja pegawai rendah. Demikian halnya dengan kurangnya motivasi pegawai seperti tidak disiplin masuk kerja, malas-malasan dalam bekerja akan menyebabkan kinerja pegawai rendah. KAJIAN TEORI Gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang dirancang sedemikian rupa untuk mempengaruhi bawahannya agar dapat memaksimalkan kinerja yang dimiliki bawahannya sehingga kinerja organisasi dan tujuan organisasi dapat dimaksimalkan. Seorang pemimpin harus menerapkan gaya kepemimpinan untuk mengelola bawahannya, karena seorang pemimpin
Musdalifah; Pengaruh Gaya Kepemimpinan, Motivasi, Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Karyawan PT. Catur Putra Harmonis Makassar|29
akan sangat mempengaruhi keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya (Guritno dan Waridin, 2005). Menurut Tjiptono (2006:161) gaya kepemimpinan adalah suatu cara yang digunakan pemimpin dalam berinteraksi dengan bawahannya. Sementara itu, pendapat lain menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku (kata-kata dan tindakantindakan) dari seorang pemimpin yang dirasakan oleh orang lain (Hersey, 2004:29). Dalam kehidupan berorganisasi, pemberian dorongan sebagai bentuk motivasi kerja kepada bawahan penting dilakukan untuk meningkatkan kinerja karyawan. Menurut Hasibuan (2005: 143), motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti dorongan atau pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif, dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk mencapai kepuasan. Motivasi merupakan factor yang kehadirannya dapat menimbulkan kepuasan kerja, dan meningkatkan kinerja karyawan (Umar,1999). Kemudian Siagian (2002) mengatakan bahwa dalam kehidupan berorganisasi, termasuk kehidupan berkarya dalam organisasi, aspek motivasi kerja mutlak mendapat perhatian serius dari para pemimpin yang setiap hari berkontak langsung dengan bawahan di tempat kerja. Menurut Moenir (2002), disiplin adalah suatu bentuk ketaatan terhadap aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang telah ditetapkan. Disiplin harus ditumbuhkembangkan agar tumbuh pula ketertiban dan efisiensi. Sedangkan menurut Rahmatullah (2003), disiplin haruslah dimiliki oleh setiap karyawan dan harus terus ditingkatkan. Salah satu syarat agar dapat ditumbuhkan disiplin dalam lingkungan kerja ialah, adanya pembagian pekerjaan yang tuntas sampai kepada pegawai atau petugas yang paling bawah, sehingga setiap orang tahu dengan sadar apa tugasnya, bagaimana melakukannya, kapan pekerjaan dimulai dan kapan selesai, seperti apa hasil kerja yang disyaratkan, dan kepada siapa ia mempertanggungjawabkan hasil pekerjaan itu. Setiap karyawan dituntut untuk memberikan kontribusi positif melalui kinerja yang baik, mengingat kinerja organisasi tergantung pada kinerja karyawannya. Menurut Dessler (2006) kinerja karyawan merupakan prestasi kerja, yakni perbandingan antara hasil kerja yang dilihat secara nyata dengan standar kerja yang telah ditetapkan organisasi. Kemudian Robbins (2008) mendefinisikan kinerja yaitu suatu hasil yang dicapai oleh karyawan dalam pekerjaanya menurut kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan. Berdasarkan pengertianpengertian kinerja dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan hasil kerja baik itu secara kualitas maupun kuantitas yang telah dicapai karyawan, dalam menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan organisasi, hasil kerja tersebut disesuaikan dengan yang diharapkan organisasi, melalui kriteria atau standar yang berlaku dalam organisasi. Berhasil tidaknya kinerja yang dicapai organisasi tersebut di pengaruhi kinerja karyawan secara individual maupun kelompok. Dengan asumsi semakin baik kinerja karyawan maka semakin baik kinerja organisasi.
30|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Berdasarkan uraian pemikiran latar belakang dan rumusan masalah, secara skematis rancangan penelitian digambarkan seperti dibawah ini :
Gaya Kepemimpinan (X1) Motivasi Kerja (X2)
Kinerja Karyawan (Y)
Disiplin Kerja (X3) Gambar 1 : Rancangan Penelitian Populasi dan Sampel Populasi adalah gabungan dari seluruh elemen yang berbentuk peristiwa atau orang yang memiliki karakteristik serupa yang menjadi pusat perhatian peneliti. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan yang ada di perusahaan PT. Catur Putra Harmonis yang berjumlah 112 karyawan. Adapun teknik pengambilan sampel yang dilakukan dengan menggunakan rumus Slovin sehingga jumlah sampel yang dihasilkan adalah 53 karyawan. Jabaran Variabel Penelitian Variabel penelitian adalah hal-hal yang dapat membedakan atau membawa variasi pada nilai. Adapun jabaran variable dalam penelitian ini adalah Tabel 1 : Jabaran Variable Penelitian Variabel Indikator Gaya Kepemimpinan 1. Pemimpin yang otokratik 2. Pemimpin yang paternalistic 3. Pemimpin yang kharismatik 4. Pemimpin yang demokratik Motivasi 1. Pekerjaan itu sendiri 2. Pengakuan dan tanggungjawab
Pengukuran Menggunakan skala likert dengan interval 1-5 Menggunakan skala likert dengan interval
Musdalifah; Pengaruh Gaya Kepemimpinan, Motivasi, Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Karyawan PT. Catur Putra Harmonis Makassar|31
Variabel
Disiplin Kerja
Kinerja Karyawan
Indikator 3. Gaji 4. Hubungan antar pribadi 5. Kondisi kerja (Herzberg, dalam Sondang P. Siagian, 2002) 1. Mematuhi semua peraturan perusahaan 2. Penggunaan waktu secara efektif 3. Tanggung jawab dalam pekerjaan dan tugas 4. Tingkat absensi 5. Lokasi tempat kerja (Hasibuan, 2010) 1. Kuantitas yang melebihi rata-rata 2. Kualitas yang lebih baik dari karyawan lain. 3. Standar karyawan yang melebihi standar resmi perusahaan 4. Pengetahuan karyawan yang berkaitan dengan pekerjaan. 5. Kreativitas karyawan dalam melaksanakan pekerjaan. Ketepatan waktu menyelesaikan tugas. 6. Kemandirian dalam mengerjakan tugas (Tsui, Anne S., Jone L., Pearce dan Lyman W. Porter, 1997, dalam Fuad Mas‟ud, 2004)
Pengukuran 1-5
Menggunakan skala likert dengan interval 1-5
Menggunakan skala likert dengan interval 1-5
Definisi Operasional Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini akan dijadikan indicator empiris yang meliputi: a. Kinerja Karyawan (Y) Kinerja karyawan adalah perbandingan hasil kerja nyata karyawan dengan standar kerja yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Indikatornya adalah kualitas, kuantitas, ketepatan waktu, efektivitas, dan kemandirian. b. Gaya Kepemimpinan (X1) Gaya kepemimpinan adalah cara pemimpin memanfaatkan kekuatan yang tersedia untuk memimpin karayawannya. Indikatornya adalah pemimpin yang otokratik, pemimpin yang paternalistic, pemimpin yang kharismatik, pemimpin yang demokratik.
32|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
c. Motivasi (X2) Motivasi merupakan faktor yang mempengaruhi semangat dan kegairahan kerja karyawan untuk berperan secara aktif dalam proses kerja. Indikatornya adalah pekerjaan itu sendiri , pengakuan dan tanggungjawab, gaji, hubungan antar pribadi, kondisi kerja d. Disiplin Kerja (X3) Disiplin kerja adalah keadaan ideal dalam mendukung pelaksanaan tugas sesuai aturan dalam rangka mendukung optimalisasi kerja. Indikatornya adalah Mematuhi semua peraturan, perusahaan Penggunaan waktu secara efektif, tanggung jawab dalam pekerjaan dan tugas , tingkat absensi, lokasi tempat kerja Teknik Analisis Data Sebelum melakukan analisis data, maka perlu dilakukan tahap-tahap teknik pengolahan data sebagai berikut: 1. Editing 2. Coding 3. Scoring 4. Tabulating. Setelah itu dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas. Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model regresi linier berganda yaitu: Y = bo + b1x1 + b2x2 + b3x3 Keterangan: Y b0 b1, b2, b3 X1, X2, X3
= Kinerja Karyawan = Intercept = Koefisien regresi yang akan dihitung = Gaya kepemimpinan, Motivasi dan Disiplin Kerja
Model analisis ini dipilih untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel-variabel bebas terhadap kinerja kerja karyawan, baik secara bersama-sama, maupun secara parsial. Pengujian hipotesis atas regresi dan korelasi digunakan dengan alat analisis berikut: 1. Pengujian Regresi secara Parsial (Uji t) 2. Pengujian secara Simultan dengan uji serempak (Uji F) 3. Koefisien Determinasi (r2) HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian 1. Uji Validitas dan Realibilitas Suatu data dikatakan valid apabila nilai r hitung > r table sedangkan suatu data dikatakan relaibel apabila nilai cronbach alpha lebih besar dari 0,60.
Musdalifah; Pengaruh Gaya Kepemimpinan, Motivasi, Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Karyawan PT. Catur Putra Harmonis Makassar|33
Tabel 2 : Uji Validitas Data No Indikator Gaya Kepemimpinan 1 Item 1 2 Item 2 3 Item 3 4 Item 4 Motivasi 1 Item 1 2 Item 2 3 Item 3 4 Item 4 5 Item 5 Disiplin Kerja 1 Item 1 2 Item 2 3 Item 3 4 Item 4 5 Item 5 Kinerja Karyawan 1 Item 1 2 Item 2 3 Item 3 4 Item 4 5 Item 5 6 Item 6
R hitung
R tabel
Keterangan
0.773 0.772 0.662 0.774
0.185 0.185 0.185 0.185
Valid Valid Valid Valid
0.816 0.787 0.709 0.662 0.737
0.185 0.185 0.185 0.185 0.185
Valid Valid Valid Valid Valid
0.670 0.638 0.634 0.700 0.767
0.185 0.185 0.185 0.185 0.185
Valid Valid Valid Valid Valid
0.688 0.843 0.820 0.662 0.708 0.750
0.185 0.185 0.185 0.185 0.185 0.185
Valid Valid Valid Valid Valid Valid
Tabel 3 : Uji Reliabilitas Data Variabel Nilai Alpha Keterangan Gaya Kepemimpinan 0.706 Reliabel Motivasi 0.796 Reliabel Disiplin 0.712 Reliabel Kinerja Karyawan 0.834 Reliabel 2. Uji Regresi Berganda Berdasarkan uji estimasi regresi berganda dengan program SPSS 16 diperoleh hasil penelitian seperti table dibawah ini:
34|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
Tabel 4 : Hasil Estimasi Regresi Coefficient Standardized Coefficient Beta
Unstandardized
Model 1 (Constant) Gaya Kepemimpinan Motivasi Disiplin Kerja
B 2.787 .460 .329 .259
Std. Error 1.522 .122 .091 .097
.316 .343 .222
t 1.831 3.784 3.628 2.665
Sig.
Collinearity Statistics Tolerance VIF
070 .000 .000 .009
.555 .434 .556
1.801 2.305 1.799
Berdasarkan table di atas, maka persamaan regresi yang terbentuk adalah Y = 2.787 + 0,316X1 + 0,343X2 + 0.222X3 Sementara itu, uji hipotesis yang dihasilkan adalah 1. Gaya kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan dengan nilai koefisien r2 = 0,316 atau 31,6 %, 2. Motivasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan dengan nilai koefisien r2 = 0,343 atau 34,3%, 3. Disiplin kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan dengan nilai koefisien r2 = 0,222 atau 22,2%. Dari 3 uji analisis yang dihasilkan motivasi yang paling banyak memberikan sumbangan pengaruh dalam membentuk kinerja karyawan. Tabel 5 : Tabel Anova Anova Model 1 Regression
Sum of Squares 561.611
df 3
Mean Square 187.204 3.763
Residual
403.452
108
Total
965.063
111
F 50.113
Sig. .000
Pengujian pengaruh variable bebas secara bersama-sama terhadap variable terikatnya dengan menggunakan Uji F. Hasil perhitungan statistiknya menunjukkan F = 50.113. Hal ini berarti bahwa secara simultan variable gaya kepemimpinan, motivasi dan disiplin kerja mempunyai pengaruh terhadap kinerja karyawan.
Musdalifah; Pengaruh Gaya Kepemimpinan, Motivasi, Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Karyawan PT. Catur Putra Harmonis Makassar|35
Tabel 6 : Koefisien Determinasi Model R 1
.763
R Square .582
Adjusted R Square .570
Std. Error of the Estimate 1.933
Hasil perhitungan regresi dapat diketahui bahwa koefisien determinasi (R2) yang diperoleh sebesar 0.582. Hal ini berarti 58,2% variable kinerja karyawan dijelaskan oleh gaya kepemimpinan, motivasi, dan disiplin kerja. Sisanya dipengaruhi variable lain sebanyak 41,8%. Pembahasan Berdasarkan hasil pengujian secara statistik dapat terlihat dengan jelas bahwa secara parsial (individu) semua variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat. Pengaruh yang diberikan ketiga variabel bebas tersebut bersifat positif artinya semakin tinggi gaya kepemimpinan, motivasi dan disiplin kerja, maka mengakibatkan semakin tinggi pula kinerja karyawan yang dihasilkan. Penjelasan dari pengaruh masing-masing variabel dijelaskan sebagai berikut: Pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja karyawan Hasil pengujian hipotesis telah membuktikan terdapat pengaruh antara gaya kepemimpinan terhadap kinerja karyawan. Melalui hasil perhitungan yang telah dilakukan diperoleh nilai t hitung sebesar 3.784 dengan taraf signifikansi hasil sebesar 0,000 tersebut lebih kecil dari 0,05, dengan demikian membuktikan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh secara positif terhadap kinerja karyawan. Pengaruh motivasi terhadap kinerja karyawan Hasil pengujian hipotesis telah membuktikan terdapat pengaruh antara motivasi terhadap kinerja karyawan. Melalui hasil perhitungan yang telah dilakukan diperoleh nilai thitung sebesar 3.628 dengan taraf signifikansi hasil sebesar 0,000 tersebut lebih kecil dari 0,05, yang berarti bahwa secara statistik membuktikan bahwa motivasi berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan. Artinya bahwa ada pengaruh antara variabel motivasi terhadap kinerja karyawan. Pengaruh disiplin kerja terhadap kinerja karyawan Hasil pengujian hipotesis telah membuktikan terdapat pengaruh antara disiplin kerja terhadap kinerja karyawan. Melalui hasil perhitungan yang telah dilakukan diperoleh nilai t hitung sebesar 2.665 dengan taraf signifikansi hasil sebesar 0,009 tersebut lebih kecil dari 0,05, dengan demikian membuktikan bahwa disiplin kerja berpengaruh secara positif terhadap kinerja karyawan Berdasarkan Nilai R Square yang didapat sebesar 0,582 atau 58,2% menjelaskan besarnya pengaruh variabel X (gaya kepemimpinan, motivasi dan disiplin kerja) terhadap variabel Y (kinerja karyawan). Nilai R Square di atas dapat diartikan bahwa besarnya pengaruh variabel X terhadap Y adalah sebesar 58,2% sedangkan sisanya 41,8% dipengaruhi oleh variabel lain di luar variabel yang diteliti dalam penelitian ini seperti atmosfir kerja, penempatan, pendidikan dan variabel lainnya.
36|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Secara umum hasil analisis statistik dengan cara pengambilan kuesioner dari tanggapan responden menyatakan sangat setuju terhadap variabel gaya kepemimpinan, motivasi dan disiplin kerja. 2. Persamaan regresi berganda yang didapatkan adalah Y =2.787+0,316X1+0,343X2+ 0.222X3 3. Berdasarkan Nilai R Square yang didapat sebesar 0,582 atau 58,2% menjelaskan besarnya pengaruh variabel X (gaya kepemimpinan, motivasi dan disiplin kerja) terhadap variabel Y (kinerja karyawan). Nilai R Square di atas dapat diartikan bahwa besarnya pengaruh variabel X terhadap Y adalah sebesar 58,2% sedangkan sisanya 41,8% dipengaruhi oleh variabel lain di luar variabel yang diteliti dalam penelitian ini seperti atmosfir kerja, penempatan, pendidikan dan variabel lainnya DAFTAR PUSTAKA Dessler, Gary. 2006. MSDM, Jilid II, PT. Indeks, Jakarta. Guritno, Bambang dan Waridin. 2005. Pengaruh Persepsi Karyawan Mengenai Perilaku Kepemimpinan, Kepuasan Kerja dan Motivasi Terhadap Kinerja. JRBI. Vo. 1 No. 1 Hal. 63-74. Hakim, Abdul. 2006. Analisis Pengaruh Motivasi, Komitmen Organisasi dan Iklim Organisasi terhadap Kinerja Pegawai pada Dinas Perhubungan dan Telekomunikasi Provinsi Jawa Barat. JRBI. VO. 2 No. 2 Hal: 165-180. Hasibuan, Malayu S.P. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Revisi. Bumi Aksara, Jakarta. Hersey, 2004. Kunci Sukses Pemimpin Situasional. Jakarta Delaprasata Husein, Umar, 1999, Riset Sumber Daya Manusia Dalam rganisasi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Mangkunegara , Prabu, A.A Anwar, 2006. Perencanaan dan Pengembangan Manajemen Sumber Daya Manusia, Pen. PT Refika Aditama Mathis, dan Jackson, 2002, Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi pertama, Cetakan Pertama, Yogyakarta : Salemba Empat. Moenir, 2002. Manajemen Pelayanan Umum Indonesia.Bumi Aksara. Jakarta Rahmatullah, Adi. 2003. Kedisiplinan dan Ketegasan, Bandung : Fakultas Ekonomi Unimus Bandung Rivai, Veithzal, 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan, dari Teori ke Praktik, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Robbins, Stephen. 2008. Organizational Behaviour, Tenth Edition (Perilaku Organisasi Edisi ke Sepuluh), Alih Bahasa Drs. Benyamin Molan. Jakarta : Salemba Empat.
Musdalifah; Pengaruh Gaya Kepemimpinan, Motivasi, Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Karyawan PT. Catur Putra Harmonis Makassar|37
Siagian P. Sondang. 2002. Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta : Rineka Cipta. Tampi, Bryan Johannes. 2014. Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Motivasi terhadap Kinerja Karyawan pada PT. Bank Negara Indonesia,tbk (regional Sales Manado). Journal “Acta Diurna” Volume III. No. 4 . Tahun 2014. Hal. 1-20. Tjiptono, Fandy. 2006. Manajemen Jasa. Edisi Pertama. Yogyakarta
UPAYA KEMENTERIAN AGAMA DAN NON GOVERNMENT ORGANIZATION (NGO) DALAM MEMPERBAIKI MANAJEMEN MASJID DI KOTA MALANG Niko Pahlevi Hentika Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya Sumartono Dosen Pascasarjana Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya Endah Setyowati Dosen Pascasarjana Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis upaya Kementerian Agama Kota Malang dan NGO (Pengurus Daerah Dewan Masjid Indonesia dan Pengurus Masjid Jami’) Kota Malang dalam memperbaiki manajemen masjid; serta menjelaskan dan menganalisis model hubungan keduanya dalam memperbaiki manajemen masjid di Kota Malang. Jenis penelitian adalah deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kementerian Agama Kota Malang dan NGO (Pengurus Daerah Dewan Masjid Indonesia dan Pengurus Masjid Jami’) telah melakukan upaya perbaikan manajemen masjid melalui beberapa program/kegiatan yangdapat diklasifikasikandalam tiga aspek manajemen masjid, yaituaspek organisasi masjid (idarah), kemakmuran masjid (imarah), dan bengunan dan fasilitas fisik masjid (ri’ayah). Kementerian Agama Kota Malang dan NGO menjalin hubungan dengan model hubungan autonomous. Kata kunci: Manajemen Publik, Manajemen Masjid, Non Government Organization (NGO)
PENDAHULUAN Indonesia adalah negara yang menjamin warganya untuk memeluk agamanya masingmasing. Hal ini secara jelas termaktub dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2. Karena itu, negara dituntut untuk menciptakan kondisi agar setiap warga negaranya dapat menjalankan ibadah dengan tenang. Lebih dari itu pemerintah juga mempunyai tugas untuk memberikan bimbingan dan pelayanan agar setiap penduduk dalam melaksanakan ajaran agamanya dapat berlangsung dengan rukun, lancar, dan tertib. Termasuk dalam hal ini adalah mengatur bagaimana rumah ibadah. Rumah ibadah diharapkan menjadi ruang yang nyaman bagi setiap pemeluknya untuk beribadah di dalamnya; rumah ibadah juga diharapkan memberikan fasilitas dan pelayanan yang maksimal. Begitu pula dengan masjid yang merupakan tempat ibadah umat Islam. Masjid merupakan tempat ibadah yang paling banyak di Indonesia; terdapat kurang lebih 700.000
Niko Pahlevi Hentika, dkk; Upaya Kementerian Agama Dan Non Government Organization (NGO) Dalam Memperbaiki Manajemen Masjid Di Kota Malang|39
masjid tersebar dari Sabang sampai Merauke yang digunakan oleh 207.176.162 jiwa umat Islam atau 87,185% dari penduduk Indonesia (BPS, 2010). Hal tersebut memberikan arti bahwa masjid harus dikelola secara maksimal agar umat dapat beribadah dengan sempurna. Jika umat tidak sempurna dalam beribadah, maka Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia tidak dapat teraplikasikan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sebagaimana sila Pertama yang berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berbicara lebih jauh tentang kebutuhan umat beragama terhadap rumah ibadah, maka rumah ibadah dapat dikatakan sebagai jantungnya umat beragama. Dalam Islam misalnya jika masjid sudah tidak dikelola dengan baik maka ia merupakan salah satu tanda rusaknya umat Islam. Sebagaimana hasil temuan dari Gazalba (1989:338) yang menyimpulkan bahwa,” Krisis masjid membawa pada krisis kehidupan umat Islam atau sebaliknya krisis kehidupan umat Islam membawa krisis masjid. Sebab yang satu berakibat pada yang lain dan sebaliknya. Di sisi lain rumah ibadah juga merupakan lambang eksistensi dan pengakuan bagi komunitas umat beragama. Sekarang pemenuhan pemeluk agama terhadap rumah ibadah harus visioner. Dalam konteks masjid misalnya, ia harus dapat menampilkan manajemen yang modern tetapi tetap sesuai dengan koridor aturan Islam. Pembangunan fisik masjid yang baik perlu diimbangi dengan penyediaan layanan yang lain, misalnya penyediaan pusat informasi Islam yang dikelola didukung dengan jaringan internet, website, dan aplikasi-aplikasi gadget, penyediaan sarana pendidikan Al-Qur’an dengan audio-visual untuk anak-anak hingga dewasa, kegiatan kuliah ilmiah Islam dengan pembicara pakar-pakar dibidangnya, dan pelaporan dana umat dan program kerjanya yang akuntabel serta dapat diakses oleh masyarakat Disamping tuntutan untuk menjadikan masjid lebih baik ternyata kondisi kekinian masjid masih mengalami berbagai permasalahan. Sucipto (2014:66) menyampaikan, bahwa terdapat dua kecenderungan penyimpangan dalam pengelolaan masjid. Pertama, pengelolaan masjid secara konvensional. Artinya, gerak dan lingkup masjid dibatasi pada dimensi-dimensi vertikal (hubungan manusia dengan Allah) saja, sedang dimensi-dimensi horizontal kemasyarakatan dijauhkan dari masjid. Kedua, pengelolaan masjid yang melewati batasan syariat Islam. Artinya, melakukan penyelenggaraan masjid pada ranah fungsi sosial namun kebablasan; dengan menyelenggarakan berbagai acara yang menyimpang di masjid. Masalah lain adalah masih banyak pengurus masjid melakukan pengelolaan secara tradisional, yang tanpa perencanaan yang jelas, tanpa pembagian tugas, tanpa laporan pertanggungjawaban keuangan dan sebagainya (Ayub, Muhsin, dan Mardjoned, 1996:33-34). Melihat hajat warga negara terhadap rumah ibadah (masjid) yang demikian besar ditambah dengan manajemen masjid masih menemui berbagai hambatan, maka sangat mendesak bagi semua umat Islam dan seluruh stakeholder untuk menyelesaikan permasalahan masjid. Sehingga dicapai suatu kehidupan beragama yang lebih berkualitas yang mencerminkan pengamalan Pancasila. Dari sisi pemerintah, maka peran dan upaya Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia dalam menyelenggarakan urusan di bidang kemasjidan menjadi penting. Baik dalam menyediakan regulasi, menegakkan regulasi, maupun secara langsung mengelola dan
40|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
menyediakan rumah ibadah yang baik. Lebih detail, Kemenag mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga KUA mempunyai tugas didalamnya. Diantara upaya Kemenag untuk memperbaiki manajemen masjid adalah pendataan masjid; dan sejak 2013 telah menggunakan sistem informasi berbasis web atau disebut program Sistem Informasi Masjid (SIMAS), mengadakan pelatihan, dan bimbingan kepada penguruspengurus masjid, memberikan bantuan dana untuk pembangunan masjid, dan menjalin kerjasama dengan berbagai Non Government Organization (NGO). Sedangkan upaya yang dilakukan masyarakat melalui NGO baik dari penguruspengurus masjid atau pun organisasi yang bergerak dibidang kemasjidan. Secara khusus diantara organisasi di bidang kemasjidan yang aktif dalam upaya perbaikan manajemen masjid adalah Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang mempunyai program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) berbasis masjid, program Unit Mobil Pemelihara Masjid, dan pembinaanpendampingan pengurus-pengurus masjid. Nahdlatul Ulama dengan Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama (LTMNU) yang melakukan pendampingan dan mempunyai platform tersendiri bagi masjid-masjid NU, Muhammadiyah yang juga mempunyai pola pendampingan bagi masjid-masjid Muhamadiyah, dan Masjid Agung Kabupaten/Kota yang secara kultural merupakan induk bagi masjid-masjid yang ada di wilayah Kabupaten/Kota juga berupaya untuk melakukan pembimbingan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa upaya stakeholder khususnya pemerintah dalam perbaikan manajemen masjid belum dapat dirasakan secara utuh. Adanya pembangunan atau renovasi masjid yang selama bertahun-tahun tidak terselesaikan, sengketa pengelolaan masjid, manajemen masjid yang tradisional dan buruk, belum adanya pola pebinaan yang rutin dan terukur untuk para pengurus masjid, serta belum adanya data secara lengkap dan up-to date tentang jumlah dan kondisi masjid-mushalla yang ada di Indonesia; adalah potret dari masalah yang dihadapi. Beranjak dari hal diatas, penulis tertarik untuk melakukan kajian atas upaya yang dilakukan Kemenag dan NGO dalam memperbaiki manajemen masjid di Indonesia. Dan sebagai lokasi penelitian dipilihlah Kota Malang, dikarenakan kota ini merupakan salah satu kota yang potensial bagi perkembangan upaya perbaikan manajemen masjid. Dengan kondisinya sebagai kota terbesar kedua di Jawa Timur dengan penduduk 873.716 pada tahun 2015 (Dispendukcapil Kota Malang, 2015). Selain itu, Kota Malang juga dipengaruhi oleh kondisi Provinsi Jawa Timur yang merupakan salah satu provinsi yang menjadi pusat perkembangan Islam di Indonesia, dengan penduduk mayoritasnya memeluk Islam dan tersebarnya pesantren-pesantren tersohor sebagai pusat pendidikan Islam, diantaranya pesantren tebu ireng, sidogiri, lirboyo dan gontor, menjadi ladang yang subur bagi perkembangan kehidupan agama Islam. Harus diingat pula Jawa Timur merupakan pusat berkembangnya organisasi Islam terbesar (Nahdlatul Ulama). Lebih lanjut, Kota Malang dianggap kondusif untuk upaya perbaikan manajemen masjid karena secara umum kondisi masyarakat yang aktif berpartisipasi dalam aktivitas keagamaan. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya kegiatan yang bernilai keagamaan seperti, majelis shalawat yang dihadiri oleh ribuan masyarakat Kota Malang, Islamic book fair yang
Niko Pahlevi Hentika, dkk; Upaya Kementerian Agama Dan Non Government Organization (NGO) Dalam Memperbaiki Manajemen Masjid Di Kota Malang|41
telah diselenggarakan pada beberapa tahun terakhir, belum lagi acara seminar atau kajian Islam yang diadakan oleh pengurus-pengurus masjid yang juga semakin banyak. Adapun rumusan masalah sebagai berikut: (1) Bagaimanakah Upaya Kementerian Agama Kota Malang dalam memperbaiki manajemen masjid di Kota Malang? (2) Bagaimanakah upaya Non Government Organization (Pengurus Daerah DMI dan Pengurus Masjid Jami’) Kota Malang dalam memperbaiki manajemen masjid di Kota Malang? (3) Bagaimanakah Hubungan antara Kementerian Agama Kota Malang dan Non Government Organization (Pengurus Daerah DMI dan Pengurus Masjid Jami’) dalam memperbaiki manajemen masjid di Kota Malang yang dilihat dari model hubungannya?
KAJIAN TEORI Manajemen Publik Kata ‘manajemen’ berasal dari bahasa Italia ‘managio’ yang berarti pengurusan. Dalam bahasa Inggris kemudian menjadi management, dan dalam bahasa Indonesia menjadi tata laksana, pengelolaan atau pengurusan (Sumarsono: 2003, 72). Secara istilah manajemen oleh Prajudi (dalam Syafiie, dkk, 1999:50-51) diartikan sebagai, ”Pengendalian dan pemanfaatan dari semua faktor serta sumber daya yang menurut suatu perencanaan, diperlukan untuk mencapai atau menyelesaikan suatu prapta atau tujuan kerja tertentu.” Makharita (dalam Handayaningrat, 1980:19) mendefinisikan manajemen sebagai, “Pemanfaatan sumber-sumber yang tersedia atau yang potensial di dalam pencapaian tujuan.” Selanjutnya dalam menggerakkan sumber daya manusia dan sumberdaya yang lain menurut Sumarsono (2003:73) manager melakukan lima pola perbuatan, yaitu perencanaan, pembuatan keputusan, pembimbingan, pengorganisasian, dan pengendalian. Secara sederhana manajemen publik berarti manajemen instansi pemerintah (Pasolong, 2008:82). Tidak hanya itu Syafiie, dkk (1999:51) menambahkan bahwa, manajemen publik mempunyai warna pengabdian dan pelayanan masyarakat yang lebih menonjol. Overman dalam (Pasolong, 2009:83) mengemukakan manajemen publik adalah, ”Suatu studi interdisipliner dari aspek-aspek umum organisasi, dan merupakan gabungan antara fungsi manajemen seperti planning, organizing, dan controlling di satu sisi; dengan SDM, keuangan, fisik, informasi, dan politik disisi lain.” Dalam bahasan administrasi publik dapat diibaratkan bahwa kebijakan publik sebagai sistem otak dan manajemen publik sebagai jantung; dengan kata lain manajemen publik merupakan proses menggerakkan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya sesuai dengan perintah kebijakan publik (Ott, Hude, dan Shafritz dalam Pasolong, 2009:83). Menurut Islamy (2003:55-56) manajemen publik berkaitan dengan fungsi dan proses manajemen yang berlaku baik pada sektor publik (pemerintah), maupun sektor non-pemerintah yang tidak bertujuan mencari untung. Manajemen publik memanfaatkan fungsi-fungsi perencanaan, penggorganisasian, penggerakan, dan pengawasan sebagai sarana untuk mencapai
42|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
tujuan publik, maka ia memfokuskan diri pada alat-alat manejerial, teknik-teknik, pengetahuanpengetahuan, dan keahlian-keahlian yang dipakai untuk mengubah kebijakan menjadi pelaksanaan program. Manajemen Masjid Ketika berbicara tentang manajemen masjid maka akan dihubungkan dengan manajemen publik yang menjadi bidang kajian yang lebih luas dari manajemen masjid. Sebagaimana yang disampaikan Islamy (2003:55-56) bahwa manajemen publik berkaitan dengan fungsi dan proses manajemen yang berlaku baik pada sektor publik (pemerintah), maupun sektor non-pemerintah yang tidak bertujuan mencari untung. Ketika ‘manajemen’ disandingkan dengan kata ‘masjid’ berarti manajemen diarahkan untuk mencapai tujuan masjid yang ideal. Jika boleh meminjam istilah Gazalba (1975:116) maka yang dimaksud masjid ideal adalah masjid yang berfungsi sebagai pusat ibadah dan peradaban umat Islam. Yani (2009:145) mendefinisikan manajemen masjid sebagai, ”Suatu proses atau usaha untuk mencapai kemakmuran masjid yang ideal, dilakukan oleh seorang pemimpin pengurus masjid bersama staf dan jama’ahnya melalui berbagai aktivitas yang positif.” Dalam Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/802 Tahun 2014 tentang Standar Pembinaan Manajemen Masjid istilah manajemen disebut dengan idarah (bahasa Arab) yang diartikan sebagai kegiatan mengembangkan dan mengatur kerjasama dari banyak orang guna mencapai suatu tujuan tertentu; tujuan yang dimaksud adalah agar masjid lebih mampu mengembangkan kegiatan, makin dicintai jamaah dan berhasil membina dakwah di lingkungan. Menurut Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/802 Tahun 2014 tentang Standar Pembinaan Manajemen Masjid dinyatakan bahwa, manajemen masjid dibagi dalam tiga aspek, yaitu: a) Idarah; yaitu: kegiatan pengelolaan yang menyangkut perencanaan pengorganisasian, pengadministrasian, keuangan, pengawasan dan pelaporan. (b) Imarah; yaitu: kegiatan memakmurkan masjid, seperti: penyelenggaraan kegiatankegiatan peribadatan, majlis taklim, pembinaan remaja masjid, pengadaan perpustakaan, pengadaan taman kanak-kanak, pengadaan madrasah diniyah, pembinaan ibadah sosial, peringatan hari besar Islam dan hari besar nasional, pembinaan wanita, koperasi, dan layanan kesehatan. (c) Ri’ayah; yaitu: kegiatan pemeliharaan bangunan, peralatan, lingkungan, kebersihan, keindahan, dan keamanan masjid termasuk penentuan arah kiblat. Model Hubungan Pemerintah dan NGO Non Government Organization (NGO) diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Organisasi Non Pemerintah (Ornop) atau sering pula disebut Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). NGO merupakan salah satu pilar penegak civil society. Sebagaimana yang diketahui, civil society sendiri merupakan salah satu dari tiga stakeholder dari berjalannya sebuah negara, bersama dengan pemerintah dan swasta. Tocqueville (dalam Hikam, 2000:118) mengatakan bahwa civil society merupakan kekuatan penyeimbang dari kekuatan negara, artinya posisi civil
Niko Pahlevi Hentika, dkk; Upaya Kementerian Agama Dan Non Government Organization (NGO) Dalam Memperbaiki Manajemen Masjid Di Kota Malang|43
society mempunyai kekuatan politis yang dapat mengekang atau mengontrol kekuatan intervensionis negara. NGO sebagai salah satu pilar dari civil society akan berhubungan dengan pemerintah. Dalam konteks sejarah Indonesia hubungan antara pemerintah dan NGO mengalami pasang surut. Terkadang saling bertolak belakang dan terkadang dapat saling bermitra. Solihin (dalam Ruhana, 2010:201) menyebutkan lima model hubungan antara CSO, (civil society organization)yang NGO berada di dalam lingkupannya, dengan pemerintah sebagai berikut: (1) Autonomous/Benign Neglect, yaitu model hubungan dimana pemerintah tidak menganggap CSO sebagai ancaman. Oleh karena itu, pemerintah membiarkan CSO bekerja secara independen dan mandiri. (2) Facilitation/Promotion; dalam model ini pemerintah menganggap kegiatan CSO sebagai sesuatu yang bersifat komplementer. Pemerintahlah yang menyiapkan suasana yang mendukung bagi CSO untuk beroperasi; tidak jarang pula pemerintah mendukung dengan menyediakan fasilitas dana, peraturan, dan pengakuan hukum serta hal-hal yang sifatnya administratif lainnya. (3) Collaboration/Cooperation; pemerintah menganggap bahwa bekerjasama dengan CSO merupakan suatu yang menguntungkan. Hal ini dikarenakan dengan bekerjasama semua potensi dapat disatukan guna mencapai tujuan bersama. (4) Cooptation/Absorption; pemerintah mencoba menjaring dan mengarahkan kegiatan CSO dengan mengatur segala aktivitas mereka. Kalangan CSO harus memenuhi ketentuan yang dikeluarkan pemerintah; tidak jarang pula pemerintah melakukan kontrol secara aktif. (5) Containment/Sabotage/Dissolution; pemerintah melihat CSO sebagai tantangan bahkan ancaman. Sehingga pemerintah menghambat kerja CSO, dan bahkan sampai tindakan. Berbeda dengan Solihin, Eldrige (dalam Praja, 2009: 19-20) membagi model hubungan antara NGO dan pemerintah menjadi tiga yaitu: (1) High Level Partnership: Grassroots Development Dalam hal ini NGO mempunyai kegiatan yang partisipatif yang mengutamakan pada halhal yang berkaitan dengan pembangunan dari pada advokasi. NGO dalam hal ini tidak bersinggungan dengan proses politik, namun mereka mempunyai perhatian yang besar untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. NGO pada jenis ini umumnya tidak begitu besar dan hanya bersifat lokal. (2) High Level Politics: Grassroot Mobilization NGO dalam kategori ini mempunyai kecenderungan untuk aktif dalam kegiatan politik dan menempatkan dirinya sebagai pembela masyarakat baik dalam upaya perlindungan ataupun terhadap isu-isu kebijakan yang menjadi perhatian. NGO dalam kategori ini bersifat advokatif, terutama dalam memobilisasi masyarakat guna mendapatkan tempat dalam kehidupan politik. Umumnya NGO kategori ini tidak begitu saja dapat bekerja sama dengan pemerintah. (3) Empowerment at The Grassroot NGO kategori ini mempunyai pusat aktivitas pada usaha peningkatan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat akar rumput akan hak-haknya. Mereka tidak berminat
44|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
mengadakan kontak dengan pejabat pemerintah, mereka berkeyakinan bahwa perubahan akan muncul sebagai akibat dari meningkatnya kapasitas masyarakat dan bukan sesuatu yang berasal dari pemerintah. METODE PENELITIAN Jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Fokus penelitian, yaitu (1) upaya Kementerian Agama Kota Malang dalam memperbaiki manajemen masjid pada aspek idarah (organisasi masjid), imarah (kemakmuran masjid), dan ri’ayah (bangunan dan fasilitas fisik masjid). (2) Upaya Non Government Organization (Pengurus Daerah DMI dan Pengurus Masjid Jami’) Kota Malang dalam memperbaiki manajemen masjid pada aspek idarah (organisasi masjid), imarah (kemakmuran masjid), dan ri’ayah (bangunan dan fasilitas fisik masjid). (3) Hubungan antara Kementerian Agama Kota Malang dan Non Government Organization (Pengurus Daerah DMI dan Pengurus Masjid Jami’) dalam memperbaiki manajemen masjid di Kota Malang yang dilihat dari model hubungannya. Situs penelitian yaitu Kantor Kementerian Agama Kota Malang, Kantor Pengurus Daerah Dewan Masjid Indoneisa (PD DMI) Kota Malang, dan Kantor Yayasan Masjid Agung Jami’ Kota Malang. Teknik pengumpulan data dengan wawancara dan dokumentasi. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Upaya Kementerian Agama Kota Malang dalam Memperbaiki Manajemen di Kota Malang Kemenag Kota Malang dalam kurun 2012-2015 telah melakukan sebelas program/kegiatan dalam memperbaiki manajemen masjid di Kota Malang. Program/kegiatan tersebut yaitu: (1) Pembinaan tentang fungsi dan manajemen masjid terhadap pengurus masjid. Pembinaan ini dilakukan dengan mengundang takmir masjid (sekitar 50 orang) sebagai perwakilan dari lima kecamatan di Malang. Pembinaan dilakukan di Kantor Kemenag dengan diberikan materi tentang fungsi dan manajemen kemasjidan. Pembinaan dilakukan selama sehari dari pagi sampai sore. (2) Pembinaan tentang pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah (zis). Pembinaan ini dilakukan dengan mengundang organisasi amil zakat dan unsur masjid/takmir masjid yang telah mempunyai lembaga zakat dengan peserta sekitar 40 orang. Pembinaan dilakukan di Kantor Kemenag dengan diberikan materi seputar pengelolaan zakat. (3) Pembinaan tentang pengelolaan tanah wakaf kepada nadzir. Bentuk kegiatan pembinaan dilakukan dengan mengundang nadzir sekitar 50 orang. Pembinaan dilakukan di Kantor Kemenag dengan diberikan materi seputar pengelolaan aset waqaf; terutama tanah waqaf yang diperuntukan untuk masjid dan mushalla. (4) Pembinaan tentang pengelolaan pendidikan Al-Qur’an. Pembinaan dilakukan dengan mengundang perwakilan Lembaga Pendidikan Al-Qur’an (LPQ). Peserta sebanyak 150 orang dari perwakilan penyelenggara pendidikan Al-Qur’an termasuk masjid yang
Niko Pahlevi Hentika, dkk; Upaya Kementerian Agama Dan Non Government Organization (NGO) Dalam Memperbaiki Manajemen Masjid Di Kota Malang|45
mempunyai LPQ. Pembinaan dilakukan di luar Kantor Kemenag (biasanya di aula hotel yang telah ditentukan) dengan diberikan materi tentang penyelenggaraan LPQ. (5) Pembinaan tentang Pengelolaan Madrasah Diniyah. Pembinaan dilakukan dengan mengundang organisasi penyelenggara madrasah diniyah yang disana juga diundang dari unsur masjid yang mempunyai madrasah diniyah. Peserta sebanyak (50-60 orang). Pembinaan dilakukan di Kantor Kemenag dengan diberikan materi tentang penyelenggaraan madrasah diniyah. (6) Pembinaan tentang arah kiblat terhadap pengurus masjid. Pembinaan dilakukan dengan mengundang perwakilan pengurus masjid yang ada di Kota Malang. Namun, tidak semua pengurus masjid se-Malang yang diundang hanya sekitar 25 orang. Kemudian diberikan pembinaan selama sehari oleh Kemenag. Pembinaan ini diarahkan agar pengurus masjid faham terkait dengan penentuan arah kiblat. Pembinaan ini terakhir dilakukan pada tahun 2012. (7) Pelayanan pengukuran dan penetapan arah kiblat kepada masjid dan mushalla. Pengukuran arah kiblat dilakukan oleh Tim dari Kemenag atas permintaan dari takmir masjid. Setelah dilakukan pengukuran arah kiblat pada masjid dan dilakukan penyesusaian pada penanda shaf-shaf dalam shalat, selanjutnya masjid diberikat sertifikat “Pengukuran dan Penetapan Arah Kiblat”. (8) Bantuan dana untuk pembangunan atau rehab masjid. Program ini dilakukan dengan pemberian dana secara langsung bagi masjid yang dalam tahap pembangunan/rehab; yang didahului dengan pengajuan proposal bantuan dana oleh pengurus masjid kepada Kemenag Kota Malang. Program ini dilaksanaan pertama pada 2015. (9) Pemberian rekomendasi bantuan dana pembangunan/rehab masjid oleh Kemenag Kota Malang. Pemberian rekomendasi bantuan pembangunan/rehab masjid dilakukan oleh Kemenag ketika pengurus masjid di Kota Malang mengajukan proposal permohonan bantuan kepada Kemenag RI atau Kemenag Provinsi Jawa Timur. Rekomendasi tersebut menjadi syarat sebelum dana diturunkan oleh Kemenag RI atau Kemenag Provinsi kepada masjid yang memohon bantuan. (10) Pemberian tunjangan kepada imam Masjid Besar oleh Kemenag Kota Malang. Pemberian uang tunjangan kepada lima imam masjid besar di kecamatan. Tunjangan yang diberikan sebesar Rp 200.000 per bulan atau Rp 2.400.000 selama setahun. Program ini diharapkan akan dapat meningkatkan kinerja imam. Program ini pertama dilakukan pada 2015. (11) Pemberian bantuan buku-buku ke-Islaman dan Al-Qur’an kepada pengurus masjid. Pemberian bantuan buku buku ke-Islaman dan Al-Qur’an. Bantuan tersebut tidak hanya diberikan kepada masjid namun juga ponpes dan madrasah. Buku dan Al-Qur’an didatangkan dari Kemenag RI yang diberikan dengan dua cara, yaitu secara langsung dan dengan pengajuan proposal dari takmir masjid ke Kemenag. Tujuan utama dari perbaikan manajemen masjid adalah mengembalikan fungsi-fungsi masjid sebagaimana mestinya (Ayub dkk, 2005:35); karena masjid pada masa sekarang pada umumnya hanya dijadikan tempat ibadah mahdhah saja. Sedangkan fungsi masjid sebagai tempat pembinaan umat, pengumpulan dana dan penyalurannya, dan sosial kemasyarakatan sudah tidak banyak ditemukan.
46|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
Sebelas program/kegiatan tersebut dapat digolongkan kedalam tiga aspek perbaikan manajemen masjid, yaitu aspek organisasi masjid (idarah), kemakmuran masjid (imarah), dan bangunan dan fasilitas fisik (ri’ayah.). Program/kegiatan yang tergolong dalam perbaikan manajemen masjid pada aspek idarah mencakup , yaitu program pembinaan tentang fungsi dan manajemen masjid terhadap pengurus masjid dan pembinaan tentang pengelolaan tanah wakaf kepada nadzir. Selanjutnya, program/kegiatan yang tergolong perbaikan manajemen masjid pada aspek imarah, yaitu pembinaan tentang fungsi dan manajemen masjid terhadap pengurus masjid, pembinaan tentang pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah (ZIS), pembinaan tentang pengelolaan pendidikan Al-Qur’an, pembinaan tentang pengelolaan madrasah diniyah, pemberian tunjangan kepada imam Masjid Besar oleh Kemenag Kota Malang. Perbaikan aspek imarah mempunyai tujuan utama perbaikan pada penyelenggaraan ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah di dalam masjid. Terakhir, program/kegiatan yang tergolong perbaikan manajemen masjid pada aspek ri’ayah, yaitu pembinaan tentang fungsi dan manajemen masjid terhadap pengurus masjid, pembinaan tentang arah kiblat terhadap pengurus masjid, pelayanan pengukuran dan penetapan arah kiblat kepada masjid dan mushalla, bantuan dana untuk pembangunan atau rehab masjid, dan pemberian rekomendasi bantuan pembangunan/rehab masjid. Program pembinaan tentang fungsi dan manajemen masjid terhadap pengurus masjid dapat tergolong kedalam tiga aspek perbaikan manajemen karena di dalam pembinaan tersebut disampaikan materi manajemen masjid aspek idarah, imarah, dan ri’ayah. Upaya Non Government Organization (Pengurus Daerah DMI dan Pengurus Masjid Jami’) Kota Malang dalam Memperbaiki Manajemen di Kota Malang Terdapat total tujuh program/kegiatan yang dilakukan NGO sebagai upaya dalam memperbaiki manajemen masjid di Kota Malang; baik upaya yang dilakukan oleh PD DMI maupun Pengurus Masjid Jami’ Kota Malang. Adapun program/kegiatan PD DMI Kota Malang yaitu: (1) Mengoperasikan unit mobil pemelihara masjid. (2) Pembinaan tentang manajemen masjid kepada pengurus-pengurus masjid. (3) Menjadikan Masjid Sabilillah sebagai contoh bagi masjid-masjid di Kota Malang. Sedangkan program/kegiatan Pengurus Masjid Jami’ Kota Malang dalam upaya memperbaiki masjid adalah: (1) Pembinaan tentang pengelolaan zakat fitrah dan hewan kurban kepada penguruspengurus masjid (2) Memberikan keterangan bagi pengurus masjid yang studi banding ke Masjid Jami’ (3) Pemberian jadwal imsakiyah ramadhan kepada masjid dan mushalla di Kota Malang (4) Pemberian bantuan mushaf Al-Qur’an kepada masjid-masjid di Kota Malang. Tujuh program/kegiatan yang dilakukan oleh PD DMI dan Pengurus Masjid Jami’ tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga aspek perbaikan manajemen masjid. Dalam klasifikasi tersebut memungkinkan satu program/kegiatan dapat tergolong kedalam beberapa
Niko Pahlevi Hentika, dkk; Upaya Kementerian Agama Dan Non Government Organization (NGO) Dalam Memperbaiki Manajemen Masjid Di Kota Malang|47
aspek perbaikan manajemen masjid. Hal ini dikarekan program tersebut tidak hanya bertujuan pada perbaikan satu aspek saja. Perbaikan manajemen masjid pada aspek idarah mencakup program pembinaan tentang manajemen masjid kepada pengurus-pengurus masjid dan menjadikan Masjid Sabilillah sebagai contoh bagi masjid-masjid di Kota Malang yang dilakukan oleh PD DMI Kota Malang dan pemberian keterangan bagi pengurus masjid yang studi banding ke Masjid Jami. Perbaikan manajemen masjid pada aspek imarah mencakup pembinaan tentang manajemen masjid kepada pengurus-pengurus masjid dan menjadikan Masjid Sabilillah sebagai contoh bagi masjid-masjid di Kota Malang oleh PD DMI Kota Malang. Sedangkan, Pengurus Masjid Jami’ melakukan program/kegiatan, yaitu memberikan keterangan bagi pengurus masjid yang studi banding ke Masjid dan pemberian jadwal imsakiyah ramadhan kepada masjid dan mushalla di Kota Malang. Selanjutnya, manajemen masjid pada aspek ri’ayah mencakup pengoperasian unit mobil pemelihara masjid, pembinaan tentang manajemen masjid kepada pengurus-pengurus masjid, dan menjadikan Masjid Sabilillah sebagai contoh bagi masjid-masjid di Kota Malang yang dilakukan oleh PD DMI Kota Malang. Sedangkan, Pengurus Masjid Jami’ melakukan program/kegiatan, yaitu memberikan keterangan bagi pengurus masjid yang studi banding ke Masjid dan memberikan bantuan mushaf Al-Qur’an kepada masjid-masjid di Kota Malang. Hubungan antara Kementerian Agama Kota malang dan Non Government Organization (Pengurus Daerah DMI dan Pengurus Masjid Jami’) dalam Memperbaiki Manajemen Masjid di Kota Malang yang Dilihat dari Model Hubungannya Melihat kondisi dilapangan hubungan antara Kemenag dengan PD DMI Kota Malang belum mengarah kepada kemitraan-kemitraan secara formal yang diwujudkan dalam program kerja. Namun, komunikasi diantara keduanya masih terjalin dengan baik. Pada saat PD DMI membutuhkan bantuan data-data terkait masjid dan tempat rapat, maka Kemenag membantu. Pada kasus lain Kemenag dan PD DMI juga terlibat saling membantu dalam hal sertifikasi tanah-tanah masjid dan mushalla. Kondisi hubungan yang hampir sama juga terjadi antara Kemenag Kota Malang dengan Pengurus Masjid Jami’. Dimana hubungan keduanya belum terbentuk kemitraan. Namun, untuk komunikasi yang terjadi selama ini, tidak ada masalah. Pertanyaan yang muncul selanjutnya mengapa hubungan Kemenag Kota Malang dan NGO belum terjalin hubungan Kemitraan? Sebagaimana dikatakan oleh Al-Jauhari (2006:4) bahwa kondisi pada era reformasi yang semakin mendukung bagi bagi perkembangan NGO Namun, sebagaimana dikatakan oleh Suharko (2005:275-279) terdapat tantangan yang dihadapi oleh NGO. Pertama, tantangan internal NGO sendiri yaitu, masalah inefisiensi manajemen, pertikaian antara aktivis (pengurus), kurangnya transparansi, dan sebagainya. Kedua, sumber keuangan. Pada umumnya NGO menghadapi masalah ketiadaan sumber dana yang mendiri Ketiga, akuntabilitas NGO yang masih lemah dan problematis Keempat, masalah keterputusan hubungan antara NGO dengan masyarakat atau komunitas.
48|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
Melihat apa yang disampaikan Al-Jauhari dan apa yang terjadi di lapangan, maka salah satu jawaban mengapa Kemenag dan NGO belum dapat menjalin kemitraan adalah karena kondisi internal NGO yang masih bermasalah. Saat ini PD DMI Kota Malang menghadapi dua permasalahan utama. Pertama, masalah sedikitnya anggota PD DMI yang dapat berkontribusi aktif dalam organisasi. Hal ini menyebabkan program kerja dan kegiatan yang terlaksana juga masih sedikit. Kedua, masalah keterbatasan dana untuk operasional organisasi dan untuk menjalankan program kerja. PD DMI masih sangat tergantung pada sumbangan pihak pemerintah Kota Malang. Kondisi yang sedikit berbeda terjadi pada Pengurus Masjid Jami’. Dalam kasus Masjid Jami’ memang aktivitas upaya perbaikan pada masjid-masjid di Kota Malang bukan menjadi kerja utama. Prioritas kerja Pengurus Masjid Jami’ adalah mengelola Masjid Jami’ sendiri. Pada sisi yang lain tentu saja ketika suatu organisasi ingin menjalin kemitraan dengan organisasi lain, maka harus memastikan efisiensi, kinerja, dan kesehatan organisasi calon mitra. Hal itulah yang dijadikan pertimbangan oleh Kemenag Kota Malang untuk menjalin kemitraan dengan NGO. NGO perlu dilihat kinerja, kontribusi terhadap bidang kerja, dan kesungguhan untuk benar-benar menjalin kemitraan dengan pemerintah (Kemenag). Selanjutnya apabila menilik kondisi dilapangan yang dihadapkan dengan lima macam model hubungan pemerintah dan NGO yang disampaikan oleh Solihin (dalam Ruhana, 2010:201), maka model hubungan Kemenag Kota Malang dan NGO (PD DMI dan Pengurus Masjid Jami’) tentu saja bukan collaboration/cooperation dimana diantara aktor-aktornya melakukan kolabarasi atau kemitraan dengan adanya kontrak perjanjian bersama untuk melakukan suatu program yang ditanggung bersama. Kedua, model hubungan cooptation/absorption tidak mungkin terjadi karena Kemenag Kota Malang tidak melakukan hal tersebut. Apalagi kondisi pemerintah Indonesia secara umum telah membuka ruang bagi berkembangnya NGO-NGO. Sebagaimana disampaikan oleh Suwondo (dalam Hadiwijoyo, 2012:94-95) bahwa dalam era reformasi sekarang pemerintah telah membuka ruang bagi perkembangan civil society termasuk NGO. Ketiga, model hubungan yang lebih represif, yaitu containment/ sabotage/dissolution antara Kemenag dan NGO akhirnya juga tidak terjadi. Oleh karena itu, hanya terdapat dua kemungkinan model hubungan yang masih mungkin terjadi, yaitu autonomous/benign neglect atau facilitation/promotion. Model hubungan facilitation/promotion diartikan bahwa terdapat upaya aktif yang dilakukan pemerintah untuk mendukung bagi NGO untuk beroperasi. Upaya aktif tersebut dilakukan dengan dukungan dana, peraturan, pengakuan hukum dan hal lainnya. Dalam kasus hubungan Kemenag dan NGO dalam memperbaiki manajemen masjid di Kota Malang tampaknya tidak ada upaya aktif yang dilakukan oleh Kemenag untuk mendukung NGO. Walaupun secara komunikasi lancar dan pada beberapa kesempatan melakukan kerja sama tetapi komunikasi dan kerja sama yang dilakukan tidak dalam konteks menyiapkan suasana yang mendukung bagi NGO untuk beroperasi, selain itu komunikasi yang terjalin masih terbatas pada aktivitas teknis yang tidak berdampak berkelanjutan. Jadi, model hubungan facilitation/promotion tidak terjadi antara Kemenag dan NGO.
Niko Pahlevi Hentika, dkk; Upaya Kementerian Agama Dan Non Government Organization (NGO) Dalam Memperbaiki Manajemen Masjid Di Kota Malang|49
Maka, model hubungan Kemenag Kota Malang dengan NGO dibidang kemasjidan dalam hal ini PD DMI dan Pengurus Masjid Jami’ Kota Malang adalah autonomous/benign neglect dimana pemerintah tidak menganggap NGO sebagai ancaman. Oleh karena itu, pemerintah membiarkan NGO bekerja secara independen dan mandiri. Kedepan perlu kirannya Kemenag dan NGO (PD DMI dan Pengurus Masjid Jami’) Kota Malang menjalin model hubungan yang lebih erat dari pada model hubungan autonomous. Model autonomous yang selama ini telah berjalan dan tidak terbukti hasilnya hendaknya dicoba dirubah dengan model hubungan yang baru, yaitu model collaboration/ cooperation. Inilah model yang paling efisien karena dapat menghemat sumber daya diantara dua aktor tersebut dan juga dapat memaksimalkan sumber daya yang dimiliki oleh keduanya. Keterbatasan pemerintah dapat ditutupi oleh NGO pun demikian sebaliknya (Enns, 2006:35).
PENUTUP Kementerian Agama Kota Malang dan NGO (Pengurus Daerah Dewan Masjid Indonesia dan Pengurus Masjid Jami’) telah melakukan upaya perbaikan manajemen masjid pada tiga aspek manajemen masjid, yaitu aspek organisasi masjid (idarah), kemakmuran masjid (imarah), dan bengunan dan fasilitas fisik masjid (ri’ayah). Model hubungan Kementerian Agama Kota Malang dan Non Government Organization (PD DMI dan Pengurus Masjid Jami’) Kota Malang dalam memperbaiki manajemen masjid di Kota Malang adalah autonomous/benign neglect, yaitu dimana pemerintah tidak menganggap NGO sebagai ancaman. Oleh karena itu, pemerintah membiarkan NGO bekerja secara independen dan mandiri. Terdapat beberapa kendala Kemanag dalam upaya memperbaiki manajemen masjid, yaitu keterbatasan anggaran. Hal ini terutama terjadi dalam penyelenggaraan program yang berupa pembinaan-pembinaan. Sehingga menyebabkan tidak semua sasaran pembinaan tidak dapat diundang secara keseluruhan. Kendala yang dihadapi PD DMI Kota Malang adalah tidak semua anggota PD DMI dapat berkontribusi aktif dan keterbatasan dana. Sedangkan untuk Pengurus Masjid Jami’ Kota Malang relatif tidak menemui hambatan yang berarti, hanya saja memang Pengurus Masjid Jami’ tidak fokus kepada program perbaikan manajemen masjid bagi masjid-masjid lainnya, namun lebih berfokus pada bagaimana mengelola dan mengisi Masjid Jami’ sendiri. Dari masalah tersebut dapat disarankan kepada Kemenag dan NGO (PD DMI dan Pengurus Masjid Jami’) Kota Malang agar melakukan model hubungan collaboration/cooperation yang mengharuskan adanya kerjasama diantara mereka. Selain itu, Kemenag perlu tampil sebagai pemimpin dan perekat dalam kerjasama tersebut karena Kemenag yang mempunyai sumber daya dan otoritas dari negara.
50|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
DAFTAR PUSTAKA Al-Jauhari, Abas. 2006. Refleksi tentang Hubungan NGO dengan Pemerintah http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/Mixed/Refleksi%20Hubungan%20NGPemerin tah.pdf (Diakses pada 13 November 2015) Ayub, Moh.E, Muhsin dan Mardjoned, Ramlan. 2005. Manajemen Masjid. Gema Insani Press. Jakarta Enns, Christopher. 2006. The Dynamic of NGO-Local Government Collaboration for Rural Development, with cases from Bangladesh. Thesis. The Faculty of Graduate Studies of The University of Guelph Gazalba, Sidi. 1975. Mesjid: Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam. Pustaka Antara. Jakarta Hadiwijoyo. 2012. Negara, Demokrasi dan Civil Society. Graha Ilmu. Yogyakarta Handayaningrat, Soewarno. 1980. Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen. Gunung Agung. Jakarta Hikam, Muhammad.A.S. 2000. Islam, Demokrasi, dan Pemberdayaan Civil Society. Erlangga. Jakarta Islamy, Irfan, 2003. Dasar-dasar Administrasi Publik dan Manajemen Publik. Universitas Brawijaya. Malang Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/802 Tahun 2014 tentang Standar Pembinaan Manajemen Masjid Ruhana, Akmal Salim. 2010. Peran dan Hubungan LSM dan Pemerintah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat beragama di Indonesia. Harmoni [Internet], Volume IX, Nomor 34, April-Juni 2010 Suharko. 2005. Merajut Demokrasi Hubungan NGO, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001). Tiara Wacana.Yogyakarta Sumarsono, Sonny. 2003. Manajemen Koperasi: Teori dan Praktek. Graha Ilmu. Yogyakarta Syafiie, Inu Kencana, Tandjung, Djamaludin dan Modeong, Supardan. 1999. Ilmu Administrasi Publik. PT. Rineka Cipta. Jakarta Yani, Ahmad. 2009. Panduan Memakmurkan Masjid. Al Qalam. Jakarta
PENGEMBANGAN KAPASITAS DINAS KESEHATAN KABUPATEN GORONTALO Dikson Junus Email:
[email protected] Universitas Gorontalo ABSTRAK Penelitian ini bertujuan menganalisis kapasitas sarana prasarana Dinas Kesehatan di Kabupaten Gorontalo. Metode penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Pengumpulan data melalui observasi dan wawancara dengan pimpinan dan staf pegawai. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan rancangan model interaktif terdiri dari koleksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil Penelitian ini menujukkan penyediaan sarana dan prasarana kesehatan di Kabupaten Gorontalo telah memadai, namun belum mencapai target 100%. Hal ini disebabkan adanya keterbatasan sumber daya berupa anggaran dan tenaga kesehatan. Kesimpulan, di perlukan dukungan sumber daya (resources) untuk meningkatkan sarana prasarana agar jangkauan pelayanan kesehatan di Kabupaten Gorontalo dapat terpenuhi. Untuk mengantisipasi keterbatasan sumber daya, penelitian ini menyarankan pelaksanaan program dilaksanakan secara komprehensif integral dengan melibatkan stakeholder, sehingga target kegiatan dan tujuan program tercapai.
Kata kunci: Capacity Building, Sarana Prasarana.
PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dan terpenting dalam pembangunan nasional. Tujuan diselenggarakannya pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat (1) bahwa setiap orang berhak hidup sejahteralahirdanbatin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat ditentukan oleh tersedianya sarana dan prasarana kesehatan. Oleh karenanya peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana salah satu prioritas dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan di Kabupaten Gorontalo. Selain itu, dapat dilihat dari sumber daya yang dimiliki oleh rumah sakit itu sendiri. Menurut Trisnantoro, (2011) mengatakan bahwa salah satu argumen menarik di daerah mengenai hal ini adalah agar Dinas Kesehatan jangan sampai menjadi “kerajaannya” para dokter dan tenaga kesehatan. Oleh karena itu, Dinas Kesehatan perlu dibuka untuk dapat dipimpin oleh tenaga yang mempunyai pendidikan S1 dan S2 di luar kesehatan. Berdasarkan informasi tersebut, bahwa dalam rangka pengembangan kapasitas dinas kesehatan bukan hanya dilihat dari aspek kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana akan tetapi dibutuhkan sumber daya manusia yang memadai sehingga mampu memberikan hasil yang maksimal.
52|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo sebagai salah satu Organisasi Perangkat Daerah (OPD), merupakan organisasi publik yang melaksanaan program dan kegiatan kesehatan sesuai dengan tujuan dan sasaran program dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat serta dapat meningkatkan kinerja pembangunan kesehatan. Salah satu program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan adalah penyediaan sarana prasarana kesehatan di Kabupaten Gorontalo.
KAJIAN TEORI Secara umum konsep capacity building dapat dimaknai sebagai proses membangun kapasitas individu, kelompok atau organisasi. Capacity building dapat juga diartikan sebagai upaya memperkuat kapasitas individu, kelompok atau organisasi yang dicerminkan melalui pengembangan kemampuan, ketrampilan, potensi dan bakat serta penguasaan kompetensikompetensi sehingga individu, kelompok atau organisasi dapat bertahan dan mampu mengatasi tantangan perubahan yang terjadi secara cepat dan tak terduga. Capacity building dapat pula dimaknai sebagai proses kreatif dalam membangun kapasitas yang belum nampak. Pelaksanaan pengembangan kapasitas (capacity building) di Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi sebagai organisasi sektor publik untuk kelancarkan penyelenggaraan pembangunan dalam berbagai sektor. Untuk itu, penting bagi pemerintahan daerah untuk melaksanakan pengembangan kapasitas (capacity building) dengan tujuan memperbaiki dan memperbarui sistem untuk memanifestasikan penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Grindle (1997:6-22), mengatakan bahwa: “Capacity building is intended to encompass a variety of strategies that have to do with increasing the efficiency, effectiveness, and responsiveness of government performance.” Pendapat Grindle dapat dimaknai bahwa pengembangan kapasitas (capacity building) merupakan upaya yang dimaksudkan untuk mengembangkan suatu ragam strategi meningkatkan efisiensi dalam hal waktu (time) dan sumber daya (resources) yang dibutuhkan guna mencapai suatu outcomes, efektivitas berupa kepantasan usaha yang dilakukan demi hasil yang diinginkan danresponsivitas merujuk kepada bagaimana mensikronkan antara kebutuhan dan kemampuan untuk maksud pencapaian kinerja pemerintah yang lebih baik. Selanjutnya Grindle (1997) mengungkapkan bahwa sarana dan prasarana merupakan salah satu indikator dari dimensi penguatan organisasi dalam konsep capacity building. Sejalan dengan pendapat Grindle, Soeprapto (2006) mengatakan bahwa modal fisik dalam dimensi organisasi pengembangan kapasitas menyangkut sarana prasarana berupa peralatan, bahanbahan yang diperlukan, dan gedung yang dibutuhkan oleh organisasi publik maupun privat.
Dikson Junus, Pengembangan Kapasitas Dinas KesehatanKabupaten Gorontalo|53
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah kualitatif yang didasarkanpengamatan dan teknik pengumpulan data lainnya untuk memahami, menjelaskan, menafsirkandan melaporkan hasil penelitian. Pengumpulan data dilakukan melalui tahap: observasi, wawancara, dan dokumentasi (Creswell, J.W, 2009). Lokasi penelitian di Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo. Data primer bersumber dari observasi dan dari informan yang terdiri dari pimpinan dan staf pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo. Sedangkan data sekunder bersumber dari dokumen yang berkaitan dengan objek penelitian. Kemudian data dianalisis secara kualitatif (Milles, Huberman dan Saldana, 2014) terdiri dari tiga komponen analisis yaitu: koleksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan HASIL DAN PEMBAHASAN Tugas pokok dan fungsi Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo untuk mendukung dan mewujudkan Visi Kabupaten Gorontalo 2011-2015 yaitu “Kabupaten Gorontalo Sehat, Cerdas, Kreatif Dan Berwawasan Lingkungan Menuju Masyarakat Yang Sejahtera Dan Mandiri “maka Visi Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo adalah” Kabupaten Gorontalo Sehat yang Mandiri dan Produktif ” Untuk dapat mewujudkan Visi tersebut di atas, Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalomenetapkan 4 (empat) misi yaitu: 1. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dengan mengoptimalkan daya dukung sumber daya kesehatan, institusi dan lingkungan; 2. Mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat; 3. Memelihara dan menjamin terselenggaranya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, terjangkau dan berkeadilan; 4. Menjamin ketersediaan sumber daya kesehatan. Implemetnasi Visi, misi tersebut pada tataran operasional dijabarkan dalam bentuk program dan kegiatan. Program merupakan kumpulan kegiatan yang sistematis dan terpadu guna mencapai sasaran dan tujuan. Program kesehatan tahun 2013 mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 13Tahun 2006tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah beserta perubahannya Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2007, namun demikian inti program kesehatan tersebut sesuai dengan Rencana strategis pemerintah Kabupaten 2011-2015 dan merupakan kegiatan lanjutan dari tahun sebelumnya. Salah satu program dan kegiatan kesehatan yang ada dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006, yaitu Program Pengadaan, Peningkatan dan Perbaikan Sarana dan Prasarana Pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) dan Jaringannya. Terdapat 3 (tiga) dimensi dalam pengembangan kapasitas, salah satunya adalah penguatan organsasi (Grindle 1997). Organisasi dalam memberikan pelayanan publik harus meyediakan sarana dan prasarana untuk menunjang aktivitas organisasi. Penyediaan sarana dan prasarana diperlukan, untuk memperkuat eksistensi organisasi publik dalam menyediakan kebutuhan masyarakat.
54|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
Sarana kesehatan yang ada di Kabupaten Gorontalo terdiri dari 21 pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas), 72 pusat kesehatan masyarakat pembantu (Pustu) dan 55 Poskesehatan desa (Poskesdes). Untuk mengoptimalkan pelayanan kesehatan berbagai upaya dilakukan, diantaranya pembangunan puskesmas pembantu di desa yang belum ada sarana kesehatan, rehabilitasi puskesmas, dan pengadaan kenderaan Dinas roda dua. Pada tahun 2015 jumlah pusat kesehatan masyarakat pembantu yang dibagun sebanyak 2(dua) unit di lokasi desa Biyonga Kecamatan limboto dan di Desa Liyoto Kecamatan Bongomeme. Sedangkan untuk rehabilitasi 21 pusat kesehatan masyarakat sebanyak tiga Unit yakni di Kecamatan Batudaa, Boliyohuto dan Dungaliyo. Selain itu juga untuk pengadaan sarana dan prasarana diadakan 10 unit kenderaan roda dua yang diperuntukan bagi petugas Gizi Puskesmas. Dari 3 (tiga) indikator yang ada hanya ada1 (dua ) indikator yang belum mencapai 100% yaitu jumlah puskesmas yang direhab, sedangkan indikator yang lainnya sudah memenuhi target. Hasil capaian indikator tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel1Target Dan Realisasi Peningkatan Sarana prasarana Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo Tahun 2015 Capaian Status No. Indikator-Indikator Target Realisasi (%) Kinerja 1 Jumlah sarana kesehatan di desa Sangat 2 2 100 yang dibangun Baik 2 Jumlah pusat kesehatan masyarakat yang 3 2 66,7 Cukup ditingkatkan/diperluas/direhabilitasi 3 Jumlah kendaraan sepeda motor Sangat 10 10 100 yang diadakan Baik Sumber: Dinas Kesehatan 2016 Indikator yang belum tercapai yakni rehabilitasi pusat kesehatan masyarakat di Kecamatan Dungaliyokarena perubahan rencana lokasi pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Sementara untuk pembangunan Puskesmas pembantu dan pengadaan kenderaan sepeda motor untuk petugas medis dapat dilaksanakan dengan baik. Belum tercapainya salah satu indikator tersebut di atas dikarenakan adanya keterbatasan alokasi anggaran dan perubahan lokasi pembangunan sarana kesehatan. Selain itu juga adanya keterbatasan jumlah tenaga yang tersebar terutama di desa sehingga ada beberapa puskesmas pembantu maupun poskesehatan desa yang dibangun tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal sehingga terkesan tidak ada manfaatnya membangun sarana kesehatan jika tidak dibarengi dengan tenaga medis, prasarana lainnya seperti alat kesehatan dan alat penunjang lainnya. Keterbatasan anggaran daerah untuk melakukan pengadaan, pembangunan dan perbaikan sarana prasarana kesehatan, berbagai upaya yang akan ditempuh adalah mendapatkan peluang anggaran dari pemerintah pusat, salah satunya adalah Dana Alokasi Khusus. Anggaran dari pemerintah pusat ini digunakan untuk penyediaan sarana pelayanan kesehatan dasar seperti Pusat kesehatan masyarakat “Global” yang berada di Kecamatan Limboto, Mongolato, Tibawa,
Dikson Junus, Pengembangan Kapasitas Dinas KesehatanKabupaten Gorontalo|55
Batudaa, dan Sidomulyo. Kemudian Peningkatan Pusat kesehatan masyarakat “Medical Centre”di Kecamatan Limboto Barat, Telaga Jaya, Tilote, Tuladenggi, Buhu, Bongomeme, Tabongo, Mootilango dan Sukamakmur. Pusat kesehatan masyarakat “Standar” di Kecamatan Molopatodu, Kayubulan, Biluhu, Pongongaila, Bilato, Bululi. Dan pengadaan peralatan kesehatan. Temuan ini, sejalan dengan pendapat Kaho (2007:124) yang mengemukakan bahwa keuangan daerah adalah salah satu faktor yang mempengaruhi pelaksanaan Otonomi Daerah. Lebih lanjut Kaho mengungkapkan bahwa salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan self-supporting dalam bidang keuangan Sedangkan untuk keterbatasan tenaga medis, Dinas Kesehatan telah merencanakan untuk merekrut tenaga medis yang ingin melakukan praktek kerja dan melakukan kerja sama dengan kementerian kesehatan untuk penempatan dokter non Pegawai Negeri Sipil atau dokter kontrak. PENUTUP Pengembangan kapasitas yang diadopsi untuk meningkatkan kapasitas program di Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo telah sesuai dengan pandangan para ahli, bahwa dimensi penguatan organisasi dalam pengembangan kapasitas memerlukan dukungan sarana dan prasarana. Dukungan sumber daya tersebut sangat membantu dalam meningkatkan mutu dan keterjangkauan pelayanan kesehatan di Kabupaten Gorontalo. Rekomendasi penelitian perlu adanya pelaksanaan program secara komprehensif integral (menyeluruh dan terpadu) yang berorientasi pada pencapain tujuan program. DAFTAR PUSTAKA Creswell, J.W. 2009. Research Design :Qualitatif, Quantitatif, and Mix Methods Approaches (Third Edition). SAGE Publications Inc, Los Angeles, USA. Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo, 2015. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Grindle, M. S. l997“Getting Good Government : Capacity Building in the Publik Sector of Developing Countries”, Boston, MA : Harvard Institue for international Development Kaho Josef Riwu, 2007. Prospek Otonomi Daerah Di Negara Republik Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers Miles, Matthew B. Qualitative data analysis: a methods source book/Matthew B. Miles, A. Michael Huberman, Johnny Saldaña, Arizona State University. Third edition. Copyright © 2014 SAGE Publications, Inc. Soeprapto, Riadi. Pengembangan Sumber Daya Aparatur Daerah di Era Reformasi. Jurnal Administrasi Negara. Volume IV No. 1 september FIA Universitas Brawijaya, Malang. 2006 (20)
56|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
Trisnantoro, Laksono. 2011. Pengembangan Kapasitas Kepala Dinas Kesehatan: Apakah Perlu Diperkuat dengan Aturan di Level Peraturan Pemerintah?. Jurnal Manajemen
Pelayanan Kesehatan Vol 14, No 03 (2011).
MODEL PENGAWASAN DPRD TERHADAP PEMERINTAH DAERAH DI KABUPATEN SINJAI Juharni Dosen Fisipol Universitas Bosowa Makassar Umar Dosen STISIP Muhammadiyah Sinjai Email:
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini berjudul tentang Model pengawasan DPRD terhadap Pemerintah daerah di Kabupaten Sinjai. Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya efektifitas model pengawasan DPRD terhadap pemerintah daerah, dengan melakukan analisis terhadap konsep utama, tentang model pengawasan DPRD terhadap pemerintah di Kabupaten Sinjai. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, jenis studi kasus dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara yang mendalam dan yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah anggota DPRD, Sekretaris daerah kabupaten Sinjai, Bagian pemerintahan dan Pembangunan, tokoh masyarakat, pimpinan partai (politisi), SKPD, LSM, KOPEL, pihak ketiga (Kontrakor). Analisis data secara deskriptif kualitatif melalui teknik pengolahan data dengan tahapan reduksi, display dan verifikasi data. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa DPRD kabupaten Sinjai tidak memiliki mekanisme atau model khusus dalam menjalankan pengawasan terhadap perjanjian antara pemerintah dengan pihak ketiga di Kabupaten Sinjai. Oleh karena itu peneliti telah mengajukan gagasan atau konsep tentang mekanisme pengawasan sebagaimana telah dikemukakan pada hasil penelitian. Kata Kunci: Model dan Pengawasan DPRD, dan Pemerintah daerah.
PENDAHULUAN Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah merupakan salah satu unsur penentu atas keberhasilan pelaksanaan pemerintahan di daerah, karena DPRD adalah merupakan bahagian dari pemerintah daerah dan mitra dari eksekutif dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Dalam posisinya sebagai mitra pemerintah daerah telah diatur didalam undangundang tentang fungsi dan peran yang harus diemban dalam menjalankan tugasnya sebagai representasi dari masyarakat yang diweakilinya. Ada tiga fungsi yang menjadi kewenagan DPRD untuk membantu pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan, yakni fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Dalam sejarah perkembangan fungsi dan peran DPRD sebagai mitra pemerintah, mulai sejak pemerintahan orde baru hingga orde reformasi seperti sekarang ini, ada kecenderungan sebahagian masyarakat menilai bahwa ketiga fungsi tersebut di atas, satu diantaranya dianggap kurang berjalan secara maksimal, yakni fungsi pengawasan (controlling), fungsi tersebut bagi
58|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
sebahagian orang dianggap tidak maksimal, karena secara faktual DPRD dianggap sangat lemah dan kurang mempu untuk melakukan penekanan atau dianggap kurang mampu untuk mengurangi tingkat penyelewengan yang dilakukan pihak eksekutif dalam menjalankan tugasnya selaku eksekutor, hal ini ditandai dengan masih dijumpainya berbagai kecurangan, ketidakadilan, Nepotisme dan korupsi yang cukup signifikan, yang kemudian pada ahirnya akan menggerogoti kehidupan masyarakat secara umum, padahal sangat jelas telah diatur didalam undang-undang nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah dan undangundang Nomor 27 tahun 1999 tentang MPR,DPR,DPD dan DPRD Propinsi/Kabupaten Kota, menerangkan bahwa anggota Legislatif memiliki tiga fungsi, khususnya fungsi pengawasan, yang dalam menjalankan fungsi ini, DPRD memiliki kewenangan secara politis untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah dalam bentuk memberikan teguran atau arahan atas kebijakan yang akan dijalankan oleh pemerinrtah. Secara umum fungsi pengawasan bertujuan untuk mengarahkan agar apa yang telah direncanakan sebelumnya dapat berjalan secara maksimal sesuai apa yang menjadi harapan bersama (LAN: 143.2008) demikian pula halnya dengan fungsi pengawasan DPRD, meskuipun hanya pengawasan yang bersifat politis, akan tetapi pada pengawasan ini juga diharapkan akan dapat menjadi kendali bagi pemerintah dalam menjalankan sistem dan mekanisme pemerintahan. Hal ini senada dengan pendapat Syamsi (1998:108) yang mengatakan bahwa pengawasan adalah fungsi manajemen yang mengusahakan agar pekerjaan kegiatan terlaksana sesuai dengan rencana, instruksi, pedoman, patokan peraturan atau hasil yang telah ditetapkan sebelumnya. Secara khusus Pengawasan Legislatif, (DPRD) pada hakekatnya adalah lembaga pengawas yang bertugas mengawasi tindakan pemerintah daerah provinsi dan Kabupaten/Kota. Pengawasan legislatif ini tidak terbatas pada tatacara pemerintahan saja, tetapi juga terhadap tatacara penyelenggaraan keuangan daerah. Pengawasan legislatif merupakan pengawasan politik terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebagai mitra kerja eksekutif, DPRD perlu memberikan bantuan agar pelaksanaan amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) oleh pemerintah daerah dapat tercapai secara efisien dan efektif dari berbagai sudut pandang termasuk politik. Kendatipun pengawasan legislatif telah diupayakan secara maksimal, akan tetapi hasil yang dicapai dianggap belum maksimal oleh berbagai pihak, (Pen) yang ditandai dengan masih ditemukannya berbagai kelemahan dan kekuraangan pada tahap implementasi kebijakan pemerintah khususnya mengenai kelemahan pihak DPRD dalam mengawasi jalannya perjanjian antara pemerintah dengan pihak ketiga di Kabupaten Sinjai, dan masih dijumpainya pula kelemahan-kelemahan pada tubuh DPRD itu sendiri. Berdasarkan pada realitas di atas, maka penulis mencoba untuk mengkaji persoalan ini ke dalam sebuah jurnal ilmiah, dengan harapan agar permasalahan-permasalahan tersebut di atas, dapat ditemukan apa yang menjadi penyebab utama sehingga persoalan lemah atau tidak maksimalnya fungsi pengawasan DPRD dapat ditemukan dan dibuktikan secara ilmiah.dengan mengangkat dalam sebuah jurnal yang bertajuk ‘’ efektifitas fungsi Pengawasan DPRD terhadap Perjanjian antara Pemerintah dengan pihak ketiga di Kabupaten Sinjai.
Dikson Junus, Pengembangan Kapasitas Dinas KesehatanKabupaten Gorontalo|59
KAJIAN TEORI
Konsep Pengawasan Untuk menjamin terselenggaranya pemerintahan daerah yang baik (Good lokal Governance), diperlukan penerapan sistem pengawasan yang jelas, tepat dan legitimate, agar penyelenggaraan pemeritahan daerah dapat berlangsung secara efisien,efektif, bersih dan bertanggung jawab,serta bebas dari KKN (LAN: 143.2008). Pemerintahan daerah sebenarnya merupakan sub sistem dari pemerintahan nasional, sehingga pengawasan terhadap pemerintahan daerah juga merupakan bagian integral dari sistem pemerintahan nasional. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah ditujukan untuk menciptakan pemerintahan yang efisien, efektif berorientasi pada pencapaian visi dan misi. Dengan pengawasan tersebut diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengambilan keputusan untuk: (1) menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan dan ketidakadilan; (2) mencegah terulangnya kembali kesalahan,penyimpangan penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidakadilan tersebut; dan (3) mendapatkan cara-cara yang lebih baik atau membina yang telah baik untuk mencapai tujuan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi organisasi dan pencapaian visi dan misi organisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sedangkan manfaat terpenting dari pengawasan adalah: (1) tersedianya bahan informasi bagi manajemen tentang situasi nyata dalam mana organisasi berbeda; (2) dikenalinya faktorfaktor pendukung terjadinya operasionalisasi rencana dengan efesinsi dan efektivitas; (3) pemahaman tentang berbagai faktor yang menimbulkan berbagai kesulitan dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan operasionalisasi; (4) langkah-langkah apa yang segera dapat diambil untuk menghargai kinerja yang memuaskan; dan (5) tindakan preventif apa yang segera akan dilakukan agar deviasi dari standar tidak terus berlanjut. Sedangkan sasaran dari pengawasan adalah: (1) agar pelaksanaan tugas umum pemerintahan dilakukan secara tertib berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku serta berdasarkan sendi-sendi kewajaran penyelenggaraan pemerintahan agar tercapai daya guna, hasil guna dan tepat guna yang sebaikbaiknya; dan (2) agar pelaksanaan pembagunan dilakukan sesuai dengan rencana dan program pemerintah serta peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga tercapai sasaran yang telah ditetapkan ( LAN: 144. 2008). Menurut Sujamto (1987:19) pengawasan merupakan proses yang berlanjut yaitu dilaksanakan terus menerus, sehingga dapat memperoleh hasil pengawasan yang berkesinambungan .Menurut Moekijat (1990: 19) mendefinisikan bahwa pengawasan adalah suatu proses yang menentukan tentang apa yang diselenggarakan sejalan dengan rencana. Sarwoto memberi pengertian pengawasan sebagai kegiatan manager yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau hasil yang dikehendaki. Menurut Mondy R.Wayne et.Al (1991:488) adalah Controling is the process of comparing actual performance with standards and taking any necessary corrective action. Artinya bahwa pengendalian merupakan proses dalam membandingkan pencapaian standar yang diperlukan standar korektif.
60|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
Hal ini senada dengan pendapat Syamsi (1998:108) yang mengatakan bahwa pengawasan adalah fungsi manajemen yang mengusahakan agar pekerjaan kegiatan terlaksana sesuai dengan rencana, instruksi, pedoman, patokan peraturan atau hasil yang telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan menurut Ramli (1985:2) mengemukakan bahwa: pengawasan diartikan sebagai usaha menentukan apa yang sedang dilaksanakan dengan cara menilai prestasi yang dicapai dan kalau terdapat kesalahan maka diadakan usaha perbaikan, sehingga semua hasil yang tercapai sesuai rencana. Arifin abdul Rahman dalam Situmorang dan Juhir (1994: 15) mengatakan bahwa pengawasan adalah: a. b. c. d.
Untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan dengan baik rencana yang ditetapkan. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu telah berjalan sesuai dengan instruksi seeta prinsip-prinsip yang telah ditetapkan. Untuk mengetahui apakah kelemahan, kesulitan dan kegagalannya, sehingga dapat diadakan perubahan –perubahan untuk memperbaiki dan mencegah perulangan kegiatankegiatan yang salah. Untuk mengetahui apakah sesuatu berjalan efisien,apakah tidak dapat diadakan perbaikanperbaikan lebih, sehingga mendapat efisiensi yang lebih besar. Me Farland memberikan definisi pengawasan, (Control) sebagai berikut:
“control is proces by with an executive gets the performance of hisubordinates to correspond as closely as posible to chosen plans,orders, objectives, or policies. Artinya pengawasan adalah suatu proses dimana pimpinan ingin mengetahui apakah hasil pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh bawahannya sesuai dengan rencana, perintah,tujuan atau kebijakan yang telah ditentukan, pengawasan harus berpedoman pada: 1) Rencana (Planning) yang telah diputuskan, 2) Perintah (Order) terhadap pelaksanaan pekerjaan, 3) Tujuan (Goal).
Gambar 1. Proses Pengawasan Standar
RENCANA (PLANNING)
Pelaksanaan Pekerjaan Monitoring(Performanc e) Umpan Balik
Pedoman
Hasil Koreksi
PENGAWASAN (CONTROL)
Sumber: Moekijat dalam Mc. Farland, (1990:18)
Dikson Junus, Pengembangan Kapasitas Dinas KesehatanKabupaten Gorontalo|61
Pengawasan itu dilakukan untuk mencegah atau untuk memperbaiki kesalahan, penyimpangan, ketidak sesuaian, penyelewengan dan lainnya yang tidak sesuai dengan tugas dan wewenang yang telah ditentukan. Jadi maksud pengawasan bukan mencari kebenaran terhadap hasil pelaksanaan pekerjaan. James A.F. Stoner /Charles Wankel (1986: 65) menyatakan bahwa pengawasan adalah suatu upaya yang sistematis untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan, untuk merancang sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah ditentukan, untuk menetapkan apakah telah terjadi penyimpangan dan mengukur signifikansi penyimpangan tersebut, serta untuk mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya organisasi telah digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan organisasi. Definisi tersebut mengacu pada unsur-unsur pokok proses pengawasan. Adapun langkah-langkah dalam pelaksanaan pengawasan sebagaimana telah dikemukakan oleh James A.F.Stoner/Charles Wankel (1986:69) sebagaimana dapat diperlihatkan pada gambar 2 berikut ini:
Penetapan standar Pengukuran
Pengukuran Kinerja
Apakah kinerja sesuai dengan standar
Perbaiki Penyimpangan
Tida k Ya
Tidak Berbuat apa-apa Gambar 2. Langkah-langkah proses Pengawasan Selanjutnya Strong dan Smith (1989:75), menyatakan bahwa tanpa tegaknya sistem pengawasan yang memadai, kecil kemungkinannya suatu manajemen akan berhasil, meskipun dalam manajemen itu telah ada perencanaan yang baik tentang tujuan yang akan dicapai, organisasi yang kuat, para pelaksana yang cakap dan motivasi yang bergairah. Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Strong dan Smit, Massie (1971) menyatakan bahwa pengawasan merupakan “Pengukur Kinerja” yang sedang berjalan memandunya ke depan kearah yang telah ditentukan, esensi pengawasan terletak pada
62|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
pengecekan kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan dibandingkan dengan hasil yang diinginkan yang telah ditetapkan dalam proses perencanaan. Sesuai dengan pernyataan yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli tersebut di atas, maka Hariadi Darmawan (1998) menyatakan bahwa pengawasan adalah segenap kegiatan untuk meyakinkan dan menjamin bahwa pekerjaan dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan, kebijakankebijakan yang telah digariskan dan petunjuk teknis dan operasional yang telah diberikan, dalam rangka pelaksanaan rencana tersebut secara efisien dan efektif, pengawasan harus mampu menjadi alat kendali dan alat ukur terhadap proses dan hasil kerja yang ingin dicapai, menilai pelaksanaan kegiatan (Kinerja) serta mengadakan tindakan perbaikan dan penyusuaian yang dipandang perlu dan sedini mungkin. Lebih lanjut dikatakan bahwa sesungguhnya pengawasan itu bertujuan untuk: (1) menjamin ketepatan pelaksanaan kegiatan agar sesuai dengan rencana, kebijakan dan petunjuk operasional, serta ketaat- asasan terhadap peraturan perundang-undangan yang benar-benar mencerminkan rasa keadilan masyarakat; (2) Menjamin kelancaran dan terwujudnya kepuasan masyarakat atas mutu/kualitas nilai barang atau jasa/pelayanan yang dihasilkan; (3) menyerasikan dan menetapkan koordinasi pelaksanaan kegiatan yang saling terkait; (4) mencegah pemborosan dan penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang; (5) membina kepercayaan, penghargaan dan kepatuhan masyarakat terhadap kepemimpinan dan pembinaan instansi teknis terkait. Konsep Fungsi dan Pengawasan DPRD 1. Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Membahas secara mendalam tentang fungsi dan peran lembaga legislatif, maka secara teoritis ada beberapa pandangan ahli antara lain adalah Pendapat Miriam Budiardjo,(2000:182183) bahwa untuk dapat mengemban tugas sebagai wakil rakyat, legislatif memiliki fungsi utama, yakni: Pertama Menentukan Policy (Kebijaksanaan) dan membuat undang-undang, untuk itu sebagai wakil rakyat diberi hak inisiatif untuk merubah rancangan undang-undang yang disusun oleh pemerintah, dan hak budget, Kedua Mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga semua tindakan eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan, maka untuk menyelenggarakan tugas ini, lembaga legislatif diberik hak-hak kontrol khusus. Joseph Lapalombara (1974:135), mengatakan bahwa anggota legislatif sebagai basis perpanjangan tangan rakyat dalam kehidupan politik memiliki lima fungsi, yakni: “ Rule Making, (Menetapkan undang-undang), Representation (Perwakilan atau saluran aspirasi), agregation of Interest (Penyatuan Kepentingan) Political socialisation and education (sosialisasi politik dan Pendidikan), Supervision and Secrutiny (supervisi dan Penyidikan) kemudian lebih lanjut La Palombara menjelaskan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi kualitas anggota Legislatif dalam melaksanakan fungsinya sebagai wakil rakyat, Rule Orientation (Orientasi Kekuasaan), Nature and Timing of Issue ( Sumber dan Momentum yang menentukan
Dikson Junus, Pengembangan Kapasitas Dinas KesehatanKabupaten Gorontalo|63
issu itu berkembang), Behavior, enviromental and Political (Lingkungan dan Politik) semua faktor tersebut saling melengkapi. Sedangkan Imawan (dalam Jimung, dkk .2004) mengatakan bahwa lembaga Legislatif memiliki empat fungsi, yaitu: “ Pertama, Fungsi Legislasi (Perundang-undangan) meliputi: pembuatan aturan sendiri, Menjadi mediator antara kepentingan rakyat dengan pemerintah,” Kedua Fungsi budget (Penganggaran) meliputi: Merancang dan menentukan arah serta aktifitas pemerintah, fungsi ini berkaitan dengan kemampuan DPRD dalam mendistribusikan sumber daya lokal (termasuk anggaran dan sebagainya) sesuai skala prioritas yang secara politis telah ditetapkan, Ketiga Fungsi pengawasan (Kontrol) Meliputi: aktifitas memfasilitasi perkembangan kepentingan masyarakat berdasarkan agenda yang telah ditentukan oleh pemerintah, lembaga perwakilan menilai apakah aktifitas pemerintah masih selaras dengan aspirasi masyarakat serta memastikan bahwa perkembangan aspirasi masih bisa diakomodir dalam rencana kerja pemerintah, Keempat adalah Regulator Konflik , meliputi aktifitas menampung dan menyerap konflik kepentingan yang berkembang di dalam masyarakat sehingga konflik pada tataran masyarakat dapat berubah menjadi konflik internal lembaga perwakilan sebagai bagian dari sebuah sistem politik. 2. Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bertitik tolak dari hakekat DPRD sebagai lembaga legislatif daerah, maka pengawasan terhadap eksekutif merupakan fungsi lain DPRD. Pengawasan dilakukan melalui penggunaan hak-hak yang dimiliki oleh DPRD. Tuntutan akan pelaksanaan fungsi pengawasan menjadi sangat penting, sebagaimana dikemukakan oleh Effendi dalam Syukriy (2004). “Pelaksanaan fungsi pengawasan oleh badan perwakilan rakyat terhadap perumusan pelaksanaan kebijaksanaan-kebijaksanaan Negara amat menarik perhatian peneliti ilmu politik maupun peneliti administrasi negara oleh karena itu merupakan suatu indikator dari pelaksanaan kedaulatan rakyat yang menjadi inti sistem demokrasi Pancasila.” Terlepas dari ada atau tidaknya penyelewengan atau pemborosan dan inefisiensi, berbagai bentuk pengawasan, termasuk pengawasan legislatif tetap diperlukan karena fungsi ini merupakan salah satu fungsi intern dalam pengelolaan pembangunan. bahwa pengawasan legislatif adalah salah satu pencerminan demokrasi Pancasila dan karena itu perlu dilaksanakan agar rakyat dapat berpartisipasi dalam pengelolaan pembangunan. Dengan demikian, pengawasan oleh DPRD terhadap penyelenggaraan pemerintahan sangat penting guna menjaga adanya keserasian penyelenggaraan tugas pemerintah dan pembangunan yang efisien dan berhasil guna serta dapat menghindari dan mengatasi segala bentuk penyelewengan yang dapat merugikan atau membahayakan hak dan kepentingan negara, daerah dan masyarakat. Fungsi pengawasan oleh DPRD adalah salah satu bentuk pengawasan yang sangat penting diperlukan pelaksanaannya dalam pengelolaan pembangunan, sebagai refleksi partisipasi masyarakat dan hakekat kedaulatan rakyat yang dilaksanakan lewat para wakilnya dalam lembaga perwakilan, sebagai hakekat demokrasi Pancasila. Legislatif atau DPRD merupakan lembaga yang menurut undang-undang memiliki posisi strategis dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap pemerintah Daerah, Realitas
64|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
fungsi pengawasan tersebut kadangkala tidak maksimal. Hal ini dikarenakan oleh ketidakpahaman para legislator untuk menjabarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahkan yang lebih ekstrim, fungsi pengawasan hanya digunakan sebagai alat untuk menyorot kesalahan eksekutif bukan pada peran untuk membantu eksekutif dalam menjalankan tugas pemerintahan, sebagaimana tertuang pada pasal 3 ayat 1 UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu fungsi legislatif yang sentral menjadi perhatian dan perbincangan semua kalangan adalah fungsi pengawasan. Dalam Ilmu administrasi, fungsi pengawasan mengandung tindakan lembaga yang bersifat Prefentif dan repressif yang mengandung makna mengevaluasi dan mengawasi program-program pemerintah daerah. Oleh karena mengandung makna mengevaluasi, maka konsekwensinya adalah semua kebijakan pemerintah daerah dalam menjalankan program-programnya, tidak serta merta termentahkan oleh karena sebuah pengawasan, akan tetapi yang perlu ditegaskan adalah fungsi pengawasan tidak memiliki kekuatan represif atau eksekutor untuk membatalkan sebuah program pemerintah sepanjang program yang dimaksud untuk pembangunan daerah. Menurut Malik dalam Jimung (2004), mengatakan bahwa Pengawasan sering disamakan artinya dengan kata “ Kontrol, supervisi, monitoring dan auditing” dalam konteks pengawasan yang dilakukan oleh DPRD yang salah satu fungsinya adalah pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai kebijakan publik di daerah yang dilaksanakan oleh lembaga eksekutif , apakah kebijakan itu telah dilakukan sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), sehingga kata yang tepat untuk digunakan untuk mewakili istilah “Pengawasan “ adalah Oversight, yang berarti pengamatan dan pengarahan sebuah tindakan berdasarkan kerangka yang ditentukan. Dalam kontek DPRD sebagai lembaga politik, fungsi pengawasan yang dijalankan merupakan bentuk pengawasan politik yang lebih bersifat strategis dan bukan pengawasan teknis adminstrasi. Hal inilah yang membedakan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPRD dengan lembaga lain seperti, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Bawasda, Inspektorat lainnya. Fungsi pengawasan DPRD bersifat politis, yang paramaeternya adalah Program Kerja Pemerintah Daerah (PKPD) yang ditetapkan setiap tahun berdasarkan Rencana Program Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang merupakan formalisasi pejaabaran visi dan misi aatau janji politik kepala daerah dan wakil kepala daerah ketika berkampanye. Pada pasal 343, ayat 1 Point c Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009, Tentang Susunan dan Kedudukan MPR,DPR,DPD dan DPRD dinyatakan bahwa DPRD sebagai sebuah Lembaga, bukan sebagai individual dalam melakukan pengawasan terhadap Pelaksanaan Peraturan Daerah, kebijakan dan keputusan Pemerintah daerah serta APBD. Penekanan DPRD sebagai sebagai sebuah lembaga di sini, saangat penting, mengingat didalam undang-undang ini tidak ada satu ayat yang menyatakan bahwa anggota DPRD secara pribadi-pribadi mempunyai fungsi dan kewenangan. Artinya fungsi pengawasan yang dimiliki oleh anggota DPRD adalah fungsi secara Lembaga, artinya bahwa DPRD dalam melakukan pengawasan harus dilakukan melalui kelengkapan DPRD. Oleh karena itu, langkah yang paling mendasar untuk menguatkan fungsi pengawasan adalah: Pertama Merumuskan tentang ruang lingkup batasan Kerja dan prioritas Pengawasan, Kedua, merumuskan standar akuntabilitas yang baku dalam pengawasan
Dikson Junus, Pengembangan Kapasitas Dinas KesehatanKabupaten Gorontalo|65
yang dapat diterima oleh lembaga yang menjadi sasaran dan mitra pengawasnnya, karena dengan memiliki dan memahami standar akuntabilitas yang baku, DPRD dapat menghindarkan diri dari politisasi fungsi pengawasan dan terhindar dari dampak negatif yang mungkin ditimbulkannya.Ketiga, rumusan standar atau ukuran yang jelas untuk menentukan sebuah kebijakan publik dikatakan berhasil, gagal atau menyimpang dari RKPD yang telah ditetapkan, Keempat, Merumuskan rekomendasi serta tindak lanjut dari hasil pengawasan, baik itu pada tingkat kebijakan, proyek atau kasus-kasus tertentu. Semua itu harus dirumuskan dalam tata tertib DPRD, sehngga alat kelengkapan DPRD dalam melakukan pengawasan memiliki pemahaman meskipun berasal dari fraksi yang berbeda-beda Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, dimana kepala daerah dan wakil kepala Daerah dipilih langsung oleh masyarakat, terdapat perubahan fundamental dalam hal hubungan kerja antara pemerintah daerah dengan DPRD. Sebagai mitra Legislatif, Pemerintah tidak lagi bertanggung jawab kepada DPRD, melainkanhanya menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) kepada DPRD dalam bentuk Progres Report Kinerja Pemerintah daerah selama satu tahun anggaran, oleh karena itu pengawasan yang dilakukan DPRD, tidak lagi dalam bentuk menerima atau menolak, oleh karena itu tindakan memposisikan Pemerintah daerah dengan DPRD pada dua kutub yang berbeda di era otonomi daerah seperti sekarang ini adalah sebuah tindakan yang tidak tepat, karena sebagaimana telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah khususnya pada pasal 19 ayat (2) bahwa Penyelenggara Pemerintahan di daerah adalah Pemerintah Daerah Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian dalam bentuk studi kasus (Case Study) yakni suatu penelitian yang dilakukan dengan cara studi yang mendalam tentang model Pengawasan DPRD Terhadap Pemerintah di Kabupaten Sinjai. Adapun alasan memilih Sinjai sebagai lokus penelitian, karena ahir-ahir ini Kabupaten Sinjai sering mendapat sorotan dari masyarakat, tentang tidak jelas dan tidak efektifnya model pengawasan yang dijalankan oleh pihak DPRD terhadap Pemerintah daerah di Kabupaten Sinjai. Karena penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka instrumen Penelitian yang digunakan adalah peneliti sendiri berfungsi sebagai instrumen penelitian. Selain itu peneliti menggunakan instrumen penelitian lain seperti Pedoman Observasi,pedoman wawancara dan Pedoman studi dokumentasi serta dokumen. HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah melakukan pengkajian dan analisis secara mendalam terhadap fungsi dan model pengawasan yang dijalankan oleh anggota DPRD kabupaten Sinjai periode keangotaan 2014-2019, terhadap pemerintah, dengan mengajukan beberapa konsep mekanisme pengawasan legislatif yang telah disusun secara sistematis oleh peneliti
66|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
dengan menyandingkan hasil pemikiran dan konsep yang telah dikemukakan oleh Ali Rokhman ; 2009. Dimana dalam konsep pemikirannya telah mengemukakan konsep pengawasan dengan urutan sebagai berikut, 1) Membuat agenda Pengawasan; 2)Penerapan Metodologi pengawasan; 3) Membangun jaringan; 4) Menjalankan Pengawasan; 5) Membuat laporan; 6) Menindak lanjuti Laporan dan ; 7) Penilaian terhadap LKPJ Bupati. Dari ketuju konsep yang telah dikemukakan di atas, setelah dilakukan penelitian dengan menganalisis penerapannya dalam setiap fase atau tahapan pengawasan yang dijalankan oleh anggota DPRD kabupaten Sinjai, maka data menunjukkan bahwa tidak satupun dari ketuju indikator tersebut diterapkan secara maksimal , sehingga dengan demikian peneliti dapat berkesimpulan bahwa mekanisme dan model pengawasan yang telah dijalankan oleh anggota DPRD belum memilki konsep yang baku, sehingga menurut peneliti, untuk meningkatkan kinerja DPRD dalam menjalankan fungsi pengawasan, khsusunya pengawasan terhadap perjanjian antara pemerintah dengan pihak ketiga di kabupaten Sinjai, perlu dibuat suatu mekanisme pengawasan yang baku untuk dijadikan sebagai acuan dalam menjalankan fungsi pengawasan DPRD. Penerapan ketuju indikator atau konsep dari mekanisme pengawasan yang telah dikemukakan di atas, bukanlah suatu jaminan yang pasti akan berjalannya fungsi pengawasan DPRD secara efektif, tapi paling tidak akan menjadi patron bagi setiap anggota DPRD dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pengawasan yang bersifat politis. Karena pengawasan DPRD bukan merupakan pengawasan fungsional sehingga mekanisme dan tatacara pelaksanaannya tidak diatur secara detail sebagaimana halnya dengan pengawasan terhadap APBD dan pengawasan terhadap PERDA, sehingga dengan demikian pengawasan terhadap perjanjian antara pemerintah dengan pihak ketiga sangat mungkin terjadinya salah interpretasi dalam proses menjalankannya. Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap perjanjian antara pemerintah dengan pihak keiga, maka perlu dilakukan penyempurnaan terhadap konsep-konsep tersebut melalui mekanisme pengawasan yang diawali dengan peroses pelibatan pihak-pihak yang terkait pada saat pelaksanaan musrenbang di setiap strata pemerintahan yang dimulai dari tingkat desa hingga ke tingkat musrenbang tingkat kabupaten, kemudian dilanjutkan dengan penertapan agenda pengawasan, penentuan Metode pengawasan, membangun jaringan dengan berbagai pihak, melaksanakan pengawasan, membuat laporan, melakukan tindak lanjut pengawasan serta menilai LKPJ bupati pada setiap ahir tahun anggaran atau ahir masa jabatan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan mekanisme pengawasan yang telah diformulasi oleh peneliti pada gambar 3 .
Dikson Junus, Pengembangan Kapasitas Dinas KesehatanKabupaten Gorontalo|67
DPRD
DPRD
Rekomendasi
Menilai LKPJ
Tindak Lanjut
Membuat Laporan
Mengawasi
Membangun jaringan
Menentukan Metode
Agenda
Pembahasan RAPBD
Pihak ketig aa SKP D
EKSEKUTI F
Musrenbang kabupaten
Musrenbang cam
DPR D
Musrenbang Desa
Gambar 3 Bagan atau Model Mekanisme Pengawasan DPRD di Kabupatens Sinjai Dari model pengawasan yang telah dikemukakan pada bagan 1 (satu) tersebut di atas, tergambar secara sistematis alur mekanisme pengawasan terhadap pemerintah dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah daerah, untuk lebih jelasnya akan diuraikan secara teknis bagaimana mengimplementasi secara praktis model tersebut kedalam praktek pengawasan DPRD sebagai berikut: 1. Tahap Musrenbang Pada tahapan ini, adalah merupakan tahap perencanaan pembangunan yang secara hirarkis, terbagi atas tiga tingkatan untuk kategori perencanaan pembangunan di tingkat kabupaten, yakni musrenbang tingkat Desa atau kelurahan, murenbang tingkat
68|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
kecamatan dan musrenbang tingkat kabupaten/Kota yang dalam pelaksanannya tentunya dihadiri oleh pihak-pihak yang terkait, berdasarkan tingkatan pemerintahan yang menjadi pelaksana kegiatan tersebut, tidak terkecuali anggota DPRD harus hadir dan mengikuti pelaksanaan kegiatan musrenbang dalam kapasitasnya sebagai wakil rakyat yang bertugas untuk memberikan masukan sekaligus mengawali proses pengawasan terhadap pemeintah dalam melakukan perencanaan pembangunan, sebab selama ini banyak keluhan dari masyarakat, khususnya pada pelaksanaan Musrenbang di tingkat desa/kelurahan dan kecamatan seringkali apa yang telah direncanakan tidak diakomodir oleh pemerintah daerah dan seolah kegiatan musrenmbang hanya sekedar formalitas saja, sehingga dengan demikian tentunya sangat diharapkan kehadiran dari anggota DPRD pada setiap tingkatan musrenbang sebagai representasi dari masyarakat untuk membantu menyalurkan aspirasi masyarakat bawah. Sehingga dengan demikian kehadiran anggota DPRD pada setiap pelaksanaan murenmbang adalah dalam rangka mengawal aspirasi rakyat. 2. Tahap Pembahasan RAPBD Setelah tahap perencanaan telah selesai, maka kegiatan selanjutnya adalah dilakukan pembahasan RAPBD, dimana kegiatan ini dilakukan oleh Pemerintah atau (SKPD) terkait bersama dengan DPRD, dalam peroses pembahasan ini, peran DPRD adalah sebagai mitra dari pemerintah daerah sekaligus sebagai representasi dari masyarakat untuk memperjuangkan apa yang menjadi kebutuhan dan aspirasi dari masyarakat yang diwakilinya. 3. Tahap Perjanjian dengan Pihak ketiga (Tender) Tahapan selanjutnya setelah pembahasan RPABD dinyatakan selesai yang ditandai dengan telah ditetapkannya APBD tahun berjalan , maka kegiatan selanjutnya adalah peroses pelelangan proyek (Tender) yang dilakukan oleh Pemerintah atau SKPD terkait yang dihadiri oleh peserta tender atau pihak ketiga dan tidak terkecuali anggota DPRD harus mengikuti kegiatan tersebut , dimana kehadiran anggota DPRD adalah dalam kedudukannya sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintah dalam melakukan perjanjian dengan pihak ketiga. 4. Penentuan Agenda Pengawasan Penentuan agenda pengawasan adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh DPRD untuk menentukan agenda dan jadual pengawasan, yang menetapakan kapan pengawasan itu dimulai, siapa yang berkompeten dan komisi apa yang berhak untuk melakukan pengawasan, tentu penetapan agenda pengawasan ini dilakukan untuk
Dikson Junus, Pengembangan Kapasitas Dinas KesehatanKabupaten Gorontalo|69
menghindari terrjadinya kesimpangsiuran dalam menjalankan fungsi pengawasan, sebab selama ini sering terjadi kesalahpahaman dalam melakukan pengawasan karena tidak adanya penentuan dan penetapan agenda sebelum melakukan pengawasan. 5. Penentuan Metode Pengawasan Penentuan metode pengawasan, adalah merupakan hal yang sangat penting dan menentukan tingkat keberhasilan dan efektifitas fungsi pengawasan, sebab perlu diketahui bahwa metode pengawasan politik dengan metode pengawasan fungsional sangat berbeda, hal inilah yang sering menjadi pemicu munculnya kesalahan dan kesimpangsiuran pengawasan yang dijalankan oleh DPRD sebab seringkali teknik pengawasan fungsional ingin diterapkan dalam pengawasan politik, padahal substansinya sangat berbeda, DPRD sebagai lembaga pengawasan politik memiliki beberapa metode pengawasan, antara lain; 1) Pengaduan; 2)Rapat dengar pendapat umum (Public Hearing); 3).Kegiatan kunjungan kerja dan 4) Rapat kerja Komisi dengan Pemerintah., tentunya keempat metode pengawasan ini harus dipahami benar oleh anggota DPRD, agar tidak salah kapra dalam menjalankan fungsi pengawasan. 6. Membangun jaringan Membangun jaringan dalam menjalankan fungsi pengawasan bagi DPRD juga merupakan hal yang sangat penting, sebab DPRD memiliki keterbatasan untuk melakukan pengawasan, baik itu keterbatasan dari segi kuantitas, keterbatasan kualitas maupun keterbatasan dari segi waktu, oleh karena itu jalan yang harus ditempuh adalah membangun jaringan kerjasama dengan pihak-pihak yang dianggap memiliki kemampuan untuk membantu dalam menjalankan fungsi pengawasan politik, oleh karena itu DPRD harus membangun jaringan dengan Partai Politik, LSM, Perguruan Tinggi, media massa, pihak kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya, sebab perlu dipahami bahwa kewenangan DPRD dalam melakukan pengawasn tidak sampai kepada proses justifikasi, tetapi hanya sebatas melakukan hearing atau mengarahkan pemerintah jika terjadi kesalahan atau kekeliruan dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan. 7. Melaksanakan Pengawasan Pelaksanaan pengawasan terhadap perjanjian antara pemerintah dengan pihak ketiga secara praktis berlangsung pada saat kegitatan tender berlangsung dan berakhir pada setiap tahun anggaran atau sampai pada saat proyek tersebut telah diterima oleh pemerintah selaku pemilik atau pengguna proyek. Dan yang bertindak sebagai
70|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
pelaklsana pengawasan adalah anggota DPRD dari setiap komisi yang menjadi mitra dari pemeintah atau SKPD yang bersangkutan dan didalam menjalankan fungsi pengawasan tentunya setiap anggota DPRD bertanggung jawab kepada ketua komisi, selanjutnya bertanggung jawab kepada ketua melalui komisi, seluruh hasil pengawasan yang telah dilakukan oleh anggota DPRD harus dipertanggung jawabkan kepada pimpinan dengan tujuan agar setiap anggota DPRD yang telah melakukan pengawasan tidak sekedar bertindak tanpa harus dibarengi oleh prinsip-prinsip akuntabilitas, sebab selama ini ada banyak kasus pengawasan yang dilaksanakan oleh anggota DPRD tanpa dilandasi oleh pertanggung jawaban sehingga banyak diantaranya anggota DPRD menjalankan fungsi pengawasan berdasarkan pemahaman sendiri, sehingga seringkali salah dalam bertindak, yang pada ahirnya akan merugikan masyarakat. 8. Membuat Laporan Agar pelaksanaan pengawasan DPRD terhadap perjanjian antara pemerintah dengan pihak ketiga dapat berjalan secara efektif dan dapat dipertanggungjawabkan secara administratif, maka kegiatan pengawasan yang telah dilaksanakan harus dibuatkan laporan sebagai pertanggung jawaban kepada pimpinan komisi atau pimpinan DPRD ataupun kepada pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan pengawasan, termasuk menyampaikan laporan kepada bupati sebagai atasan langsung dari instansi yang melakukan pelanggaran, dengan harapan bahwa bupati sebagai atasan dapat memberikan arahan atau teguran jika bahwahannya terbukti melakukan pelanggaran. Salah satu kelemahan pengawasan yang telah dijalankan oleh anggota DPRD adalah karena jarang membuat laporan sehingga seringkali hasil pengawasan tidak ditindak lanjuti oleh pihak yang berkompeten. 9. Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Setiap pengawasan yang telah dilakukan oleh DPRD tentunya tidak hanya berakhir pada pembuatan atau penyampaian dalam bentuk laporan, akan tetapi jika terbukti ada temuan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang diawasi, maka selanjutnya harus ditindak lanjuti dengan melakukan monitoring dengan tujuan agar apa yang menjadi temuan di lapangan dapat dihentikan atau dapat dicegah melalui pengawasan secara berkala. Selain itu,memonitoring juga dilakukan untuk mengetahui apakah kasus yang telah menjadi temuan mendapatkan tindak lanjut dari pimpinan atau pihak-pihak yang berkompoten untuk memberi justifikasi terhadap permasalahan yang terjadi.
Dikson Junus, Pengembangan Kapasitas Dinas KesehatanKabupaten Gorontalo|71
10. Menilai Laporan Keterangan Pertanggung jawaban (LKPJ) Tahapan terakhir dari mekanisme pengawasan terhadap perjanjian antara pemerintah dengan pihak ketiga adalah menilai laporan keterangan pertanggung jawaban (LKPJ) bupati pada setiap ahir tahun anggaran atau ahir masa jabatan, dalam kegiatan ini DPRD melakukan penilaian terhadap LKPJ bupati, apakah pelaksanaan kegiatan yang telah dilakukan selama satu tahun sesuai dengan rencana sebelumnya atau tidak, jika ternyata apa yang telah dilakukan selama satu tahun anggaran ada ketidak sesuaian dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya, maka pihak DPRD dapat memberikan rekomendasi untuk dilakukan perbaikan. Karena berdasarkan aturan perundangundangan apabila dalam LKPJ bupati ternyata terdapat kekurangan atau ketidak sesuaian dengan rencana sebelumnya, maka DPRD tidak lagi memiliki kewenangan untuk menerima atau menolak LKPJ, tetapi hanya sebatas mendengarkan. Kelemahan dari sistem ini, membuka peluang bagi pemerintah atau bupati untuk melakukan penyelewengan, karena kalaupun terjadi kesalahan dalam pembacaan LKPJ, maka DPRD hanya sebatas memberi rekomendasi untuk dilakukan perbaikan dan tidak perlu disampaikan dalam forum resmi dihadapan sidang DPRD, tetapi cukup dengan penyamapaian secara tertulis bahwa telah dilakukan perubahan sesuai dengan saransaran DPRD. Berdasarkan pada tahapan-tahapan pengawasan yang telah dikemukakan di atas, maka hasil ahir dari seluruh rangkaian yang ada adalah membuat rekomendasi perbaikan dan penyempurnaan terhadap tahapan-tahapan tersebut jika sekiranya terdapat penyimpangan atau kekurangan selama berlangsungnya kegiatan yang berkaitan dengan perjanjian antara pemerintah dengan pihak ketiga di kabupaten Sinjai. PENUTUP
Model pengawasan DPRD terhadap pemerintah daerah di kabupaten Sinjai, tidak berjalan sebagaimana mestinya atau tidak efektif, karena tidak adanya mekanisme yang telah ditetapkan sebelumnya untuk digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam menjalankan fungsi pengawasan, sehingga mekanisme yang dijalankan hanya berdasarkan pada persepsi masing-masing anggota DPRD.
72|Ad’ministrare, Vol. 3 No. 1, 2016
DAFTAR PUSTAKA
Isra, Saldi, 2002 Potret Lembaga Perwakilan Rakyat, Jurnal ilmu Pemerintahan,edisi 18 Jakarta. Jimung, Martinus. 2004. Kemampuan anggota Dewan dalam Melaksanakan Fungsi Legislasi dan Pengawasan, Jurnal Sosiosains, Vol.17 no.3ommunication skills.Addison Wesley Lungman Australia PTY Limited LaPalombara, Josep. 1974. Legislatures Fungctions and Behavior” Dalam Ensiclopedia of democracy (Congressional Quarterly) Lembaga Administrasi Negara. 2008. Manajemen Pemerintahan Daerah, Jakarta: LAN. Miles, M.B. dan Huberman, M., 1992 Analisis data Kualitatif, Terjemahan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi, Jakarta UI Press. Malik, M.,2008. Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah: antara pengawasan Politik dan Manuver Politik, http//Cetak bangka pos.com. Matthews, Donald R. 2006, Legislative recruitmen, and Legislatif Careers, Legislative Studies Quarterly. USA Rohkman Ali, 2009, Teknik Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, http://www.docstoc.com/docs/ (diakses 18Agustus 2011) Silaban, Pasaman. 2009. Kinerja Eksekutif dan Legislatif dalam Peroses penganggaran dan implikasinya terhadap Perwujudan Good Governance Jurnal Legislatif diakses April 2011 Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,Jakarta: Infodata Indonesia. Undang-undang RI No. 27 Tahun 2009, Tentang MPR,DPR DPD dan Dewan Perwakilan rakyat Daerah (DPRD), Jakarta : Pancausaha
Pusat
PERSYARATAN NASKAH 1.
Artikel merupakan hasil penelitian atau yang setara dengan hasil penelitian di bidang ilmu administrasi perkantoran yang belum pernah dipublikasikan.
2.
Artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Inggris, maksimal 20 halaman kuarto spasi ganda dilengkapi abstrak dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dan kata-kata kunci. Artikel dikirim disertai CD dan diketik dengan program Microsoft Word (file word document dan RTF).
3.
Artikel hasil penelitian memuat: Judul Nama dan unit kerja Abstrak, memuat tujuan, metode, dan hasil penelitian. Kata kunci Pendahuluan (tanpa sub judul) memuat: Latar belakang masalah, tinjauan pustaka, masalah, dan tujuan penelitian; Metode Penelitian; Hasil Penelitian; Pembahasan; Penutup; Daftar rujukan (berisi pustaka yang dirujuk dalam uraian saja).
4.
Artikel setara hasil penelitian memuat: Judul Nama dan unit kerja Abstrak Kata kunci Pendahuluan (tanpa sub judul) Subjudul Subjudul Subjudul
Sesuai dengan kebutuhan
Penutup (atau kesimpulan dan saran) Daftar rujukan (berisi pustaka yang dirujuk dalam uraian saja) 5. Artikel disertai disket (CD) dikirim/diantar langsung paling lambat 1 (satu) bulan sebelum bulan penerbitan kepada: Redaksi Jurnal Ad’ministrare: d/a Program Studi Pendidikan Administrasi Perkantoran Fakultas Ilmu Sosial UNM Jl. A.P. Pettarani Kampus Gunungsari Baru Makassar 90222, (0411) 830366, E-mail: unm.ac.id Open Journal System (OJS): http://ojs.unm/administrare 6. Penulis yang artikelnya dimuat akan mendapat bukti pemuatan sebanyak 2 (dua) eksamplar. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan kecuali atas permintaan pemiliknya.