J. Biol. Indon. Vol 7, No.2 (2011) ISSN 0854-4425 ISSN 0854-4425
JURNAL JURNAL BIOLOGI BIOLOGI INDONESIA INDONESIA Akreditasi: No 816/D/08/2009 Vol. 7, No. 2 Desember 2011 Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia Suyadi
195
Study of Pteridophyte Diversity and Vegetation Analysis in Jatikerep Legonlele and Nyamplung, Karimunjawa Island Central Jawa Fahreza Saputra & Labibah Qotrunnada
207
Javan Leaf Monkey (Trachypithecus auratus) Movement in a Fragmented Habitat, at Bromo Tengger Semeru National Park, East Java, Indonesia M.Hari Subarkah, Novianto Bambang Wawandono, Satyawan Pudyatmoko, Subeno , Sandy Nurvianto, & Arif Budiman
213
Impact of Invasive Ant Species in Shaping Ant Community Structure on Small Islands in Indonesia Akhmad Rizali, Abdul Rahim, Bandung Sahari, Lilik Budi Prasetyo, & Damayanti Buchori
221
Relationship Different Riparian Vegetation Cover with Stream Conditions in Cikapinis Stream, West Jawa Della Kemalasari & Devi N. Choesin
231
Affect of Canopy Stratum and Methods of Breaking Seed Dormancy on Seedling Growth of Calliandra tetragona Beth. and Acacia tamarindifolia (L.) Willd. Indriani Ekasari
243
Shoot Tip Culture of Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl. In Vitro Lazarus Agus Sukamto, Mujiono, Djukri, & Victoria Henuhili
251
Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung Kakatua Putih (Cacatua alba dan C. moluccensis) Dwi Astuti
263
BOGOR, INDONESIA
J. Biol. Indon. Vol 7, No. 2 (2011) Jurnal Biologi Indonesia diterbitkan oleh Perhimpunan Biologi Indonesia. Jurnal ini memuat hasil penelitian ataupun kajian yang berkaitan dengan masalah biologi yang diterbitkan secara berkala dua kali setahun (Juni dan Desember). Editor Pengelola Dr. Ibnu Maryanto Dr. I Made Sudiana Deby Arifiani, S.P., M.Sc
Dr. Izu Andry Fijridiyanto Dewan Editor Ilmiah Dr. Abinawanto, F MIPA UI Dr. Achmad Farajalah, FMIPA IPB Dr. Ambariyanto, F. Perikanan dan Kelautan UNDIP Dr. Aswin Usup F. Pertanian Universitas Palangkaraya Dr. Didik Widiyatmoko, PK Tumbuhan, Kebun Raya Cibodas-LIPI Dr. Dwi Nugroho Wibowo, F. Biologi UNSOED Dr. Parikesit, F. MIPA UNPAD Prof. Dr. Mohd.Tajuddin Abdullah, Universiti Malaysia Sarawak Malaysia Assoc. Prof. Monica Suleiman, Universiti Malaysia Sabah, Malaysia Dr. Srihadi Agungpriyono, PAVet(K), F. Kedokteran Hewan IPB Y. Surjadi MSc, Pusat Penelitian ICABIOGRAD Drs. Suharjono, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Dr. Tri Widianto, Pusat Penelitian Limnologi-LIPI Dr. Witjaksono Pusat Penelitian Biologi-LIPI Alamat Redaksi
Sekretariat d/a Pusat Penelitian Biologi - LIPI Jl. Ir. H. Juanda No. 18, Bogor 16002 , Telp. (021) 8765056 Fax. (021) 8765068 Email :
[email protected];
[email protected] Website : http://biologi.or.id Jurnal ini telah diakreditasi ulang dengan nilai A berdasarkan SK Kepala LIPI 816/ D/2009 tanggal 28 Agustus 2009.
J. Biol. Indon. Vol 7, No.2 (2011)
JURNAL BIOLOGI INDONESIA
Perhimpunan Biologi Indonesia.
J. Biol. Indon. Vol 7, No. 2 (2011)
J. Biol. Indon. Vol 7, No.2 (2011) KATA PENGANTAR
Jurnal Biologi Indonesia yang diterbitkan oleh PERHIMPUNAN BIOLOGI INDONESIA edisi volume 7 nomer 2 tahun 2011 memuat 17 artikel lengkap, tujuh artikel diantaranya telah dipresentasi pada seminar ATCBC di Bali 2010. Penulis pada edisi ini sangat beragam yaitu dari Balai Penelitian Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber daya Genetik Pertanian Bogor, Balai Tanaman Sayuran Lembang, Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor Kementerian Pertanian, BATAN. Fak. MIPA-Biologi Universitas Indonesia, Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta, Fakultas Kehutanan dan Fakultas Pertanian IPB Bogor, Sekolah Tinggi Hayati dan Departemen Tehnik Kimia ITB Bandung, Fakultas Pertanian Universitas Borneo, Tarakan, Universitas Negeri Yogyakarta, Fakultas Sain dan Tehnologi Universitas Islam Hidayatullah Jakarta, Kebun Raya Cibodas LIPI, Puslit Biologi LIPI, Puslit Oseanografi LIPI, PEKA dan Asosiasi Pelestari Curik Bali, Taman Safari Cisarua Bogor. Topik yang dibahas pada edisi ini meliputi bidang Botani, mikrobiologi, zoologi, remote sensing. Editor
J. Biol. Indon. Vol 7, No. 2 (2011) UCAPAN TERIMA KASIH Jurnal Biologi Indonesia mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada para pakar yang telah turut sebagai penelaah dalam Volume 7, No 2, Juni 2011: Drs. Roemantyo, Puslit Biologi-LIPI Dr. Dwi Astuti, Puslit Biologi-LIPI M.Fathi Royani, MA., Puslit Biologi-LIPI Dr. Iwan Saskiawan, Puslit Biologi-LIPI Drs. Ary Wahyono, Puslit Kemasyarakatan-LIPI Muhamad Irham MSc., Puslit Biologi-LIPI Dr. Enung Fuad, Puslit Bioteknologi-LIPI Drs. Boeadi, Puslit Biologi LIPI (Purna Bakti) Dr. Edi Mirmanto, Puslit Biologi-LIPI
Sebagian dari edisi ini dibiayai oleh DIPA Puslit Biologi-LIPI 2011
J. Biol. Indon. Vol 7, No.2 (2011) DAFTAR ISI Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia Suyadi
195
Study of Pteridophyte Diversity and Vegetation Analysis in Jatikerep Legonlele and Nyamplung, Karimunjawa Island Central Jawa Fahreza Saputra & Labibah Qotrunnada
207
Javan Leaf Monkey (Trachypithecus auratus) Movement in a Fragmented Habitat, at Bromo Tengger Semeru National Park, East Java, Indonesia M.Hari Subarkah, Novianto Bambang Wawandono, Satyawan Pudyatmoko, Subeno , Sandy Nurvianto, & Arif Budiman
213
Impact of Invasive Ant Species in Shaping Ant Community Structure on Small Islands in Indonesia Akhmad Rizali, Abdul Rahim, Bandung Sahari, Lilik Budi Prasetyo, & Damayanti Buchori
221
Relationship Different Riparian Vegetation Cover with Stream Conditions in Cikapinis Stream, West Jawa Della Kemalasari & Devi N. Choesin
231
Affect of Canopy Stratum and Methods of Breaking Seed Dormancy on Seedling Growth of Calliandra tetragona Beth. and Acacia tamarindifolia (L.) Willd. Indriani Ekasari
243
Shoot Tip Culture of Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl. In Vitro Lazarus Agus Sukamto, Mujiono, Djukri, & Victoria Henuhili
251
Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung Kakatua Putih (Cacatua alba dan C. moluccensis) Dwi Astuti
263
Kajian Pendahuluan: Perpindahan Gen dari Tanaman Kentang Transgenik Katahdin RB ke Tanaman Kentang Non Transgenik A. Dinar Ambarwati, M. Herman, Agus Purwito , Eri Sofiari,& Hajrial Aswidinoor
277
Virus Influenza Novel H1N1 Babi di Indonesia NLP Indi Dharmayanti, Atik Ratnawati, & Dyah Ayu Hewajuli
289
Karakterisasi Produk Biosolubilisasi Lignit oleh Kapang Indigenus dari Tanah Pertambangan Batubara di Sumatera Selatan Irawan Sugoro, Sandra Hermanto,D. Sasongko,D. Indriani & P. Aditiawati
299
J. Biol. Indon. Vol 7, No. 2 (2011) Potensi Virus Avian Influenza H5NI Isolat A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 Sebagai Vaksin R. Indriani, NLP I Dharmayanti, R.M.A Adjid, & Darminto Variasi dan kekerabatan genetik pada dua jenis baru belimbing (Averrhoa leucopetala Rugayah et Sunarti sp nov dan A. dolichorpa Rugayah et Sunarti sp nov., Oxalidaceae) berdasarkan profil Random Amplified Polymorphic DNA Kusumadewi Sri Yulita Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran Horisontal dan Vertikal Katak Hellen Kurniati Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912 di Bali Bagian Barat Mas Noerdjito, Roemantyo &Tony Sumampau Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat Curik Bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) di Kawasan Labuan Lalang, Taman Nasional Bali Barat Roemantyo Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan Manusia dengan Tumbuhan dan Lingkungannya Eko Baroto Walujo
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 195-206 (2011)
Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia Suyadi Indonesian Institute of Sciences (LIPI), M.Sc in Information Technology for Natural Resources Management, Bogor Agricultural University (IPB) ABSTRAK Deforestasi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatra, Indonesia. Studi ini menerangkan deforestasi dan penyebabnya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang merupakan habitat bagi berbagai satwa liar yang terancam punah. Penelitian ini menghubungkan metode penginderaan jauh dengan metode wawancara untuk memperkirakan laju deforestasi dan mengetahui penyebab deforestasi. Hasil wawancara menunjukan bahwa penggundulan hutan di TNBBS di mulai sejak tahun 1960an, lebih awal dari perkiraan sebelumnya. Hasil tersebut di perkuat oleh hasil analisa citra-satelit yang menunjukan bahwa sebelum 1972 tutupan hutan seluas 46.100 ha atau sekitar 13% dari luas hutan di TNBBS telah hilang. Ratarata laju deforestasi sejak 1972 hingga 2006 adalah 0,64% per tahun. Hanya sekitar 67.225 ha hutan yang tersisa pada 2006 dari 310.670 ha hutan pada tahun 1972, atau sekitar 22% tutupan hutan telah hilang sejak 1972 hingga 2006. Laju deforestasi di TNBBS paling tinggi di hutan perbukitan (9.01 km2/tahun), kemudian hutan dataran rendah (7.55 km2/tahun), and hutan pegunungan (3.43 km2/tahun). Deforestasi tertinggi terjadi pada dekade pertama (1972-1985), setiap tahunnya seluas 28 km2 hutan di babat habis, kemudian pada dekade berikutnya (19861996) deforestasi hanya 15 km2/tahun, namun pada dekade terakhir deforestasi meningkat kembali (21 km2/tahun). Pelaku yang secara fisik membabat hutan di TNBBS adalah petani yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan. Meskipun demikian, yang menjadi penyebab terpenting deforestasi di TNBBS adalah penyebab tidak langsung seperti illegal logging, Hak Pengusahaan Hutan, tingginya harga kopi, lemahnya penegakan hukum, dan situasi sosial-ekonomi di tingkat lokal dan nasional. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor external yang mendorong petani untuk membuka hutan di TNBBS atau memperluas lahan garapannya. Kata kunci: Deforestasi, Penyebab deforestasi, Survei wawancara, Penginderaan jauh, Taman Nasional Bukit Barisan
INTRODUCTION Bukit Barisan Selatan National Park (BBSNP) is the third-largest protected area on the Indonesian island of Sumatra, and tropical deforestation constitutes one of the greatest threats to its conservation. The United Nations Framework Convention on Climate Change/
UNFCCC (2007) declared that the international community faces the urgent task of reducing tropical deforestation as one of a suite of measures to reduce the impacts of global climate change and to maintain biological diversity. One of many responses of conservation biologists to this threat has been to develop an array of tools for measuring and monitoring 195
Suyadi
deforestation, many of which use remotely sensed data collected by satellites (Saatchi et al. 2001). Satellite-based datasets can provide fine-scale measures of deforestation rates; however, many aspects of deforestation processes that are related to social phenomena (including causes of deforestation) cannot be measured using satellite sensors (Turner et al. 2001). Therefore, approaches that link administrative and remote-sensing data are important for understanding trends in and causes of deforestation. Most studies linking remote-sensing observations and administrative data have been undertaken at the scale of the administrative units (Wood & Skole 1998). However, Mertens et al. (2000) do integrate remote-sensing data and household surveys to understand the impact of macroeconomic change on deforestation processes in South Cameron. BBSNP contains some of the largest tracts of tropical forest remaining on Sumatra and is a good example of the dramatic loss of tropical forest in Indonesia. Although BBSNP was declared a World Heritage site by UNESCO (decision 28COM 14B.5), in the past decade BBSNP's forest cover has declined dramatically. Since the early 1970s, much of the forest cover in BBSNP has been cleared, but there are conflicting estimates of the scale and rates of loss. For example, Kinnaird et al. (2003) found that between 1985 and 1999 the park lost more than 661 km2 of forest (28%). On other hand, Gaveau et al. (2007) showed that the average rate of deforestation from 1972 to 2002 in an area of 1.17 million ha in southwest Sumatra that includes 196
BBSNP was 1.69% per year. In addition, BBSNP is also a perfect example of the complex causes of deforestation. BBSNP has a long border of approximately 700 km, and the park is there are villages, agriculture, and plantation forestry adjacent to the park (Kinnaird et. al. 2003). The high rates of interaction between the people and the forest in the area that borders BBSNP may induce humans to enter the park to clear more forest. Consequently, wildlife such as tigers (Panthera tigris sumatrae) and elephants (Elephas sumatranus) also travel outside the park borders and damage crops and livestock. In addition, conflicts over land ownership between Lampung-based local groups and the government, as well as conflicts among governmental institutions, have promoted further deforestation (Kusworo 2000; Verbist et al. 2004). The dramatic loss of forest cover in BBSNP is attributed to variety of factors including illegal logging, timber concessions (denoted HPHs in Indonesia), conversion to agriculture (by opportunistic settlers and those arriving through Indonesia's official transmigration program), development of estate crops, and forest fires (Sunderlin et al. 2001; Suyanto et al. 2000; Holmes 2002). However, information about the causes of deforestation in BBSNP is lacking. Gaveau et al. (2007) reports that coffee prices, law enforcement, and rural poverty are the primary causes of deforestation in southwest Sumatra (including BBSNP). Suyadi & Gaveau (2007) show that in a small area (Pemerihan) within BBSNP, the cause of deforestation is il-
Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park
legal logging. This study integrates a time series of satellite images and interview data to measure deforestation rates and to determine the root causes of deforestation in BBSNP. The detailed objectives are to provide an estimate of deforestation rates and maps of deforestation patterns and to unravel the causes of deforestation in BBSNP. This study documents the extent of deforestation in the park from 1972 to 2006 and examines the causes of deforestation using interview data. This information is crucial for future conservation because BBSNP's forest is home to some of the world's most endangered large mammals and is within the major watershed for southwestern Sumatra. MATERIALS AND METHODS Bukit Barisan Selatan National Park (BBSNP) is the third-largest protected area (356,800 ha) on the Indonesian is-
land of Sumatra (Figure 1). Located in southwestern portion of the island (4o 31' to 5o 57' S and 103o 34' to 104o 43' E), it forms part of the provinces of Lampung and Bengkulu. The park extends 150 km along the Bukit Barisan mountain range and is composed of diverse topography that ranges from the coastline in the south to forested mountains in the north. Rainfall is seasonal, ranging from 3,000 mm to 4,000 mm annually, and temperatures fluctuate between 22oC and 35oC. The park is narrow in shape, with a perimeter greater than 700 km in length, and is bordered by villages, agriculture, and plantations (Kinnaird et al. 2003). Encroachments for agriculture and illegal logging are rife in BBSNP. Forest loss has become the greatest threat to the conservation of Bukit Barisan Selatan National Park. This study uses LANDSAT images acquired in the years 1972, 1976, 1978, 1982, 1985, 1989, 1994, 1997, 2000, 2002, 2004, and 2006 to detect forest-cover
Figure. 1. Study area in southern Sumatra showing Bukit Barisan Selatan National Park (BBSNP) and forest type based on elevation.
197
Suyadi
change across Bukit Barisan Selatan National Park. All images had cloud cover of less than 2.0% and the LANDSAT images from 2006 are Scan Line Corrector (SLC) off which the gaps have been filled by Wildlife Conservation Society (WCS). The images were geo-referenced using 2006 scenes that were verified with Ground Control Points (GCPs) collected in the field by staff of WCS using Global Positioning Systems (GPS). All data were projected to the Universal Transverse Mercator (UTM) projection, Zone 48 South. Forest and non-forest land-cover classes were classified using a supervised Maximum Likelihood Classification (MLC). I edited the classification results by manual on-screen digitization (particularly in areas where the MLC algorithm often produces misclassification errors). For land-cover change analyses, I used post-classification comparisons and timeseries analyses (via transition matrixes), with forest cover at each point in time used as the base forest cover for the next point in time. This method detected the area of deforestation and any fluctuations in deforestation rates over time. Analyses were conducted via spatial analyses using a GIS software (ArcView 9.2) with geo-processing extensions. In this paper, forest refers to non-modified forest areas of old-growth vegetation dominated by closed-canopy tree cover (50%). Deforestation or forest loss is defined as complete removal of forest cover over an area equivalent to 1 ha. Non-forest comprises agricultural areas, grasslands, village enclaves, and unknown, non-forested vegetation types. 198
The study used a 30-m resolution ASTER Digital Elevation Model (DEM) to categories forest types by elevation. Three elevation-based categories were selected using the classification system of the Indonesian Ministry of Forestry and Kinnarid et al. (2003). The classes are lowland forest (0-500 m), hill forest (501-1000 m), and submontane forest (>1001 m). The ASTER DEM was assembled at the BBSNP office. The BBSNP boundary (at a scale of 1:25,000) was obtained from the BBSNP office and was corrected in the field using GPS technology by a team from the BBSNP Office, WCS, and World Wildlife Fund (WWF). Logging trails, road networks, and villages were assembled from WCS data. Locations of illegal logging were manually interpreted through on-screen digitization and were verified in the field with a GPS. This research used data from interviews conducted in 2005-2006 in 1384 households within selected villages in and around the Park. Interviews were conducted using Indonesian and local languages (Lampungnese and Javanese). Before interviewing in each village, the WCS team and I conducted group discussions (focus groups) to identify the specific characteristics of the local society. The respondents were farmers who own cultivated land in or within 5 km of the park boundary and villagers who labored on these farms. In order to avoid reticence, (especially in areas where conflicts with park management are frequent) the interviews began with nonsensitive questions about conservation in general, progressively focused more spe-
Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park
cifically on deforestation, and finally addressed issues concerning the respondents' own farmland in Bukit Barisan Selatan National Park. Semi-open interview techniques were used in this research with a standardized questionnaire that addressed the following: 1) personal details (including household demographics); 2) farming practices; 3) respondent origins (i.e., migrants or indigenous residents); 4) land ownership; 5) respondent expectations about increased land scarcity; and 6) respondent attitudes towards the surrounding forest. The questions included when respondents first cleared forest cover for farmland, for what reasons farmers cleared forest cover, and the area of forest that was cleared. These questions served to make the data more comparable to forest-cover data from time-series of satellite images I assembled time-series statistics (1972 to 2006) on annual international (US dollar) and local (Indonesian Rupiah, Rp) coffee prices from the International Coffee Organization's (ICO) indicator price reports and statistics on human population from the provincial government. The local coffee price time-series data were deflated by the Consumer Price Index (CPI, 2006=100) for southern Sumatra to account for the increase in local consumer prices and agricultural input prices over time. The study also used local and national historic records about government policies, socio-economic issues, law enforcement (including evictions of people from BBSNP), timber concessions (legal logging), and illegal logging. All of
these data were collected from the BBSNP office, the Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation (PHKA), and provincial government. RESULTS The Patterns of Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park (BBSNP) The household interview surveys show that forest clearing in Bukit Barisan Selatan National Park (BBSNP) began in the 1960s. The image analyses justify this finding and show that before 1972, approximately 46,100 ha of forest cover in BBSNP was lost representing a 13% loss of the total area of BBSNP (356,800 ha). The image analyses also indicate that the majority (80%) of forest conversion resulted from agricultural development. The interview data indicate that the first forest clearing in BBSNP occurred in Sidorejo (Kaur, Bengkulu) in 1961, five years after transmigrants from Java came to a village (Desa Trans Kulik) near BBSNP (±2 km from the park boundary). Subsequently, deforestation began in Pemerihan (West Lampung) in 1966 and in Way Nipah (Tanggamus) and Suoh (West Lampung) in 1970. From 1972 to 2006, deforestation in the BBSNP averaged 20 km2 (0.64%) per year. In total, 67,225 ha of the original 310,670 ha of forest that was present in 1972 were lost, representing a 22% loss from 1972 to 2006. The trends in forest loss from 1972 to 2006 are plotted in Figure 2 and mapped in Figure 3. Figure 2 showed that two peaks in forest 199
Suyadi
loss occurred in 1978-1982 and 19972000. The average rate of deforestation is alarmingly high and results in declining forest cover. In contrast, the average rate of reforestation is only 1.13 km2 per year (representing 0.94% per year). Forest loss in BBSNP began at the buffer of the park and has progressed towards the park interior. The average rate of deforestation in the 10-km buffer is 1.83% per year, and the rate is higher inside the park. Deforestation rates in BBSNP vary with elevation. Deforestation rates in lowland forests (0-500 m), which represent 43% of the area of BBSNP, were 7.55 km2/year. In hill forests (501-1000 m), which represent 38% of the park area, they were 9.01 km2/ year, and in montane forests (>1001 m) they were 3.43 km2/year. Figure 4 shows that (as was the case for rates of total forest loss in BBSNP) peak forest loss in all three forest types occurred during 1978-1982 and 1997-2000. In the recent years (2004-2006), the rate of forest loss in lowland forests has decreased gradually, but forest loss in hill forests and montane forests has tended to increase. De-
forestation rates also vary with slope. On relatively flat slopes (0-20°), forest loss averaged 16.5 km 2/year but the rate dropped to 0.8 km2/year on the steepest slopes (>40°). Based on the temporal patterns of deforestation, the study period was divided into three decades of deforestation. The highest deforestation rate in BBSNP (about 28 km2 per year) occurred in the first decade (1972-1985). In the second decade (1986-1996), the deforestation rate decreased to 15 km2 per year. In the most recent decade (1997-2006), the deforestation rate in the park increased and approximately 21 km2 of forest cover were lost per year (Figure 5). The Causes of Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park The agents who play the most important physical roles in forest-cover change in BBSNP are the farmers who live in and around the park. These agents operate in separate locations and have little contact with one another; their few interactions are not sufficient to drive farmers to clear forest. Farmers them-
Figure 2. Forest loss in Bukit Barisan Selatan National Park, 1972-2006.
200
Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park
Figure 3. The spatial distribution of forest loss in Bukit Barisan Selatan National Park, 19722006
Figure 4. Forest loss in the three types of forest in Bukit Barisan Selatan National Park, 19722004
30
Forest loss (km²/year)
25
20
15
10
5
0
1972-1985
1986-1996
1997-2006
Decades (Years)
Figure 5. The three decades of deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park
selves are not the primary cause of deforestation; instead, there are external factors that drive farmers to clear forest cover in BBSNP. The external factors are varied, and differ according to the location. The interview surveys showed that transmigration was one of the external factors that induced farmers to clear
more forest in Sidorejo, BBSNP in 1961. This factor resulted in relatively more open access to the forest. The other external factors that spurred farmers were the political crisis in 1965 and the actions of timber concession companies (Perusahaan HPH) in the 1970s. Linear regression analyses indicate that logging 201
Suyadi
trails that were built by concession companies are significantly correlated with forest loss (r2= 0.771, p = 0. 085). These external factors drove farmer to clear more forest cover in the areas of Pemerihan, Way Nipah, and Suoh. Image analyses indicate that deforestation rates caused by timber concessions in these areas were higher than deforestation rates caused by transmigration (in Sidorejo for example). Image analyses also show that deforestation rates increased dramatically in 1978-1982 and 1997-2000 (54.28 km2 and 44.48 km2 per year, respectively). The regression analyses indicate that the causes of deforestation (the external factor) in these years were high coffee prices in 1978 (r2 = 0.484, p = 0.058) and high coffee prices again in 1997 (r2 = 0.494, p = 0.061). A linear regression model (Figure 6) indicates that local coffee prices closely predicted deforestation rates inside BBSNP (P = 0.005, r2 = 0.47). Thus, higher local prices for coffee induced faster deforestation (b = 0.029, P = 0.028).
DISCUSSION This research shows that deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park has occurred since the 1960s. However, Kinnaird et al. (2003) report that deforestation in BBSNP began in 1985, and Gaveau et al. (2007) show that deforestation in BBSNP began in 1972. These are two essential sides in the ongoing debate over the rate of deforestation in BBSNP. On the one hand, Kinnaird et al. (2003) estimate that the deforestation rate in BBSNP from 1985 to 1999 was 2.0% per year; they predicted that in 2010 about 70% of the BBSNP would be agricultural lands or village enclaves. On the other hand, Gaveau et al. (2007) finds that the average rate of deforestation in BBSNP from 1972 to 2002 was 0.63% per year. The current study shows that the average rate of deforestation from 1997 to 2006 was 0.64% per year and that 69% of the area of BBSNP is currently forest and 31% is agricultural lands.
Figure 6. Results of the linear regression (solid line) between forest loss and local coffee prices.
202
Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park
Suyadi & Gaveau (1997) found that the external cause that drives farmers to clear forest in Pemerihan, BBSNP is illegal logging. They explain that illegal logging causes limited damage to the forest, but that this illegal activity prompted farmers to go inside the park and to clear more forest for agricultural land. The causes of deforestation in BBSNP are complex and vary with place and time. Thus, this study does not only focus on a single set of deforestation drivers, but recognizes several forms of deforestation causes that each play a significant role in the process of forest conversion. The three levels of deforestation causes suggested by Sunderlin & Resosudarmo (1996) are agents, immediate causes, and underlying causes. In BBSNP, the agents that physically clear forest are farmers. The immediate causes of deforestation (which trigger agents to clear more forest cover) are timber concessions, illegal logging, and high coffee prices. Finally, the underlying causes of deforestation (which directly influence the behavior of the immediate causes) are lack of law enforcement and local and national socio-economic conditions. The most important causes of deforestation in BBSNP are the immediate and the underlying causes because these causes trigger more clearing of forest cover by farmers. This study applies the three-levels explanation suggested by Sunderlin & Resosudarmo (1996) to clarify the causes of deforestation in the three decades during which deforestation occurred (Figure 5). The immediate causes of increasing deforestation in the first decade (1972-
1985) were timber concessions (r2 = 0.771) and high coffee prices (r 2 = 0.484); lack of law enforcement was an underlying cause. In areas where this sequence took place, farmers (the agents) merely filled a "vacuum" created by the loggers. In the second decade (19861996), deforestation in BBSNP decreased due to strong law enforcement after the third World Parks Congress (WPC) held in Bali in 1982. During this time, hundreds of families were evicted from the Pemerihan area in BBSNP (including my family and myself). In the most recent decade (1997-2006), deforestation rates in the park increased because of the high coffee prices that occurred as an effect of the Asian economic crisis of 1997-1998 and because of illegal logging that was a result of lack of law enforcement after the fall of President Suharto in 1998. Both of these factors had had a direct influence on the behavior of the illegal loggers and farmers. Figure 7 illustrates the patterns of forest loss and the causes of increase or decrease in deforestation rates. Management Implications This study and two previous studies (Kinnaird et. al. 2003) showed that deforestation is one of the greatest threats to the conservation of BBSNP. Loss of forest has proven to be one of the most difficult and complex problems facing Indonesia's conservation agencies. If we are to conserve the forests of BBSNP, we must take immediate and dramatic actions and a holistic approach. Forest management should focus on strategic efforts such as conserving the remaining 203
Suyadi
forests as well as forest restoration, law enforcement, increasing the participation of local people, increasing financial support, and increasing the incomes of farmers around the park. Forest management must concentrate on conserving the remaining forest within the park. Managers may also need to consider restoration of lost or heavily disturbed forest and of the forest edge. The strong law enforcement present in the early 1980s in BBSNP greatly reduced deforestation especially in the southern portion of BBSNP. Therefore, law enforcement is necessary to safeguard the integrity of BBSNP from farmers who would otherwise clear the forest. Keane et al. (2008) suggested that law enforcement interventions are also necessary to protect endangered species. Law enforcement is also important for reducing illegal logging activities (Suyadi & Gaveau 2007). This study found that in recent years, the deforestation rate in hill and montane forests has tended to increase. The majority of hill and montane forests located in northern BBSNP that contain "active" encroachments have experienced little
regrowth. I predict that deforestation in the northern section of the park be will higher than deforestation in the southern section. Gaveau et al. (2007) classified the northern section of the park into a low law-enforcement zone in which accessibility for rangers is difficult and ranger patrols are lacking. On other hand, accessibility for farmers is easy (near). Therefore, the study suggests that ranger patrols should also be focused in the northern section of the park. The park manager should reactivate the patrol offices or may also consider building new patrol offices in the northern section of the park. This is important for creating better accessibility of northern section for rangers. CONCLUSIONS Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park began in the 1960s, which is earlier than previous estimations. Forest loss between 1972 and 2006 proceeded at an average rate of 20 km2 per year or 0.64% per year. More than 22% of the forest in Bukit Barisan Selatan National Park was lost from 1972 to
Figure 7. The trends in and causes of increase or decrease in deforestation over three decades.
204
Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park
2006. This indicates that deforestation is one of the greatest threats to the conservation of BBSNP. Deforestation has occurred in lowland forests, higher-elevation hill forests and montane forests, but in recent years, deforestation in hill and montane forests has tended to increase gradually. This study predicts that the deforestation rate in the northern section of the park (which contains a large area of hill forest and montane forest) will be higher than deforestation in the southern section, which is dominated by lowland forest. The agents that have the main physical role in forest clearing in BBSNP are farmers that live in and around the park. However, the most important of the causes of deforestation are immediate causes such as timber concessions, illegal logging, and high coffee prices; these causes induce farmers to cleared more forest. Finally, lack of law enforcement and socio-economic conditions are the important underlying causes that drive the immediate causes. ACKNOWLEDGMENTS This study was supported by the Russell E. Train Education for Nature Program of the World Wildlife Fund, the Royal Geographical Society (with IBG) with a Royal Dutch Shell International Leadership and Capacity Building Programme Bursary, and the Wildlife Conservation Society. I would like to express gratitude to Mr. Russel E. Train, to Dr. Marion Adeney for review, and comments, to Dr. Margaret F. Kinnaird and Dr. David Gaveau. Special thanks are
given to the interview teams from Wildlife Conservation Society, Center for International Forestry Research, and LSM Ulayat. REFERENCES Gaveau, DLA., Wandono, & H., F. Setiabudi. 2007. Three decades of deforestation in southwest Sumatra: have protected areas halted forest loss and logging, and promoted regrowth?. Biol.Cons 134: 495-504. Holmes, DA. 2002. The predicted extinction of lowland forests in Indonesia. Pages 7-13 In E. Wickramanayake, E. Dinerstein, C. J. Loucks, D. M. Olson, J. Morrison, J. Lamoreux, M. McKnight, & P. Hedao, editors. Terrestrial ecoregions of the Indo-Pacific: a conservation assessment. Island Press, Washington, D.C. Keane, A., JPG. Jones, E. Jones, & G., Milner-Gulland. 2008. The sleeping policeman: understanding issues of enforcement and compliance in conservation. Animal Cons 11: 7582. Kinnaird, MF., EW. Sanderson, TG. O'Brien, HT. Wibisono, & G. Woolmer. 2003. Deforestation trends in a tropical landscape and implications for endangered large mammals. Cons. Biol. 17: 245-257. Kusworo, A. 2000. Perambah hutan atau kambing hitam? Potret sengketa kawasan hutan di Lampung. Pustaka Latin, Bogor. Mertens, B., WD. Sunderlin, & O. Ndoye. 2000. Impact of macroeco205
Suyadi
nomic change on deforestation in South Camerron: Integration of household survey and remotelysensed data. World Development 28: 983-999. Saatchi, S., D. Agosti, K. Alger, J. Delabie, & J. Musinsky. 2001. Examining fragmentation and loss of primary forest in the southern Bahian Atlantic Forest of Brazil with radar imagery. Cons. Biol. 15: 867-875. Sunderlin, WD., A. Angelsen, DP. Resosudarmo, &A. Dermawan. 2001. Economic crisis, small farmer well-being and forest cover change in Indonesia. World Development 29: 767-782. Sunderlin, WD. & IAP. Resosudarmo. 1996. Rates and causes of deforestation in Indonesia: towards a resolution of the ambiguities. Occasional Paper No.9. Center for International Forestry Research, Bogor. Suyadi, & DLA. Gaveau, 2007. Akar Penyebab Deforestati di Sekitar Sungai Pemerihan, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung Barat. Jurnal Berita Biologi 8(4): 279-290 Suyanto, S., RA. Dennis, I. Kurniawan, F. Stolle, P. Maus,& G. Applegate. 2000. The underlying causes and
impact of fires in South-east Asia. Site 1. Sekincau, Lampung Province, Indonesia. CIFOR, ICRAF and USFS, Bogor, Indonesia. The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFC CC). 2007. Decision2/CP.13: Reducing emissions from deforestation in developing countries: approaches to stimulate actions. In: United Nations Climate Change Conference. Bali, Indonesia. Turner, W., EJ. Sterling, & AC. Janetos. 2001. Contributions of remote sensing to biodiversity conservation: a NASA approach. Cons. Biol. 15: 832-834. Verbist, B., & G. Pasya. 2004. Perspektif sejarah status kawasan hutan, konflik dan negosiasi di Sumberjaya, Lampung BaratPropinsi Lampung. Agrivita 26: 2028. Wood, CH., & D. Skole. 1998. Linking satellite, census and survey data to study deforestation in the Brazilian Amazon. Pages 70-93 In D. Liverman, E. F. Moran, R. R. Rinduss, & P. C. Stern, editors. People and pixels: linking remote sensing and social science. National Academy Press, Washington, DC.
Received: Juli 2010 Accepted: April 2011
206
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2):207-212 (2011)
Study of Pteridophyte Diversity and Vegetation Analysis in Jatikerep Legonlele and Nyamplung, Karimunjawa Island Central Jawa Fahreza Saputra & Labibah Qotrunnada Department of Biology, University of Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kajian Diversitas Pteridofit dan Analisis Vegetasi di Jatikerep Legonlele dan Nyamplung, Pulau Karimunjawa, Jawa Tengah. Kajian Pteridofit dan analisis vegetasi dilakukan di tiga lokasi di Kep.Karimunjawa Jawa Tengah. Tujuan dari kajian ini untuk mendata Pterydofit yang dapat tumbuh di kawasan dataran rendah dengan kondisi tanah berpasir dan rendah jumlah curah hujannya. Tiga belas jenis Pteridofit dapat ditemukan di kawasan tersebut dengan jenis yang mendominasi adalah Lygodium flexuosurydom diikuti oleh Pteris vittata, Lygodium microphyllum, Lindsaea ensifolia, Pteris ensiformis, Nephrolepis brownii, Chelianthes tenuifolia, Nephrolepis hirsutula, Cyclosorus extensus, Blechnum finlaysonianum, Taenitis blechnoides, Abacopteris triphylla, dan Pteris semipinnata . Indeks diversitas dikawasan tersebut sanga rendah (Shannon-Wiener (H’) = 1.5462). Unsur tanah dan pH tidak banyak mempengaruhi signifikan diversitas Pterydofit. Kata kunci: Karimunjawa; Pteridofit diversitas; dataran rendah.
INTRODUCTION Pteridophyte is a seedless vascular plant which can be distributed in high and low topographic positions (Sastrapradja 1979). Several studies of tropical rain forest have documented that the distribution of plant group is correlated with topographic position (Tuomisto & Poulsen 2000). The distribution of pteridophyte which is rooted in the hilly topographic area, the highest number of species and species diversity were found in the valley or lower parts of the slopes and changed with bryophytes in the higher slopes (Djalil 2000). When the topographic position was regularly flat,
the distribution and species diversity were found in the highest parts of the slopes (Tuomisto & Poulsen 2000). Several studies of pteridophyte diversity were conducted at high topographic position in Gunung Gede Pangrango National Park. The result was that pteridophyte diversity is affected by topographic position. Asplenium caudatum, Polysticum proliticans, Athyrium montanum, Dryopteris hirtipes, and Pteris biuarita were found more abundance in the high slope (Djalil, 2000). In contrast, several studies resulted that some genera of Lygodium mostly found in the low topographic position. Lygodium can grow in the 207
Saputra & Qotrunnada
ground which is lies 1.500 m asl, less canopy, and soil pH is mostly low (Siregar et al. 2004). Study of pteridophyte diversity needs to be conducted in order to examine the value of the pteridophyte in the ecological system and also ethnobotany (Sastrapradja 1979; Siregar dkk. 2004 ). Study of pteridophyte diversity has never been conducted in lowland rain forest of Karimunjawa National Park. This study needs to be conducted to examine the pteridophyte diversity in lowland rain forest, dry soil, and low amount of rainfall. We also recorded several abiotic factors to examine the correlation between pteridophyte diversity and its environment.
The coverage was also measured. In order to know the effect of environment condition to the pteridophyte diversity, some abiotic factors were also recorded in each plot. The soil moisture was recorded using soil meter and soil pH was recorded using pH meter. Number of relative frequency, number of species density, and number of dominance were calculated in order to measure indices of important value. Species diversity was measured with Shannon-Wiener diversity indices. In order to know the correlation between abiotic factor and pteridophyte diversity, the diversity in each plot was measured. The diversity in each plot was also correlated with pH and soil moisture using correlation analysis.
MATERIALS AND METHODS RESULTS Field work was conducted at three sites of Karimunjawa Island: Jatikerep ( 5°52’3"S, 110°25’56" E), Legonlele (5°51’37" S, 110°26’46" E), and Nyamplungan (5°50’8"S, 110°25’46"E). There are no soil differences in Jatikerep, Legonlele and Nyamplungan. Karimunjawa soil texture is lithosol. The topographic character is a range of hills with quartz sand, mica sand, and silt sand as main soil composition. Karimunjawa Island lies in 0 – 506 m above sea level. Annual average precipitation exceeds 3000 mm and average temperature ranges 30 — 31°C. All pteridophytes which are rooted in the ground were recorded following the plot method. Thirty plots of 10 m x 10 m were separated randomly in Jatikerep, Legonlele and Nyamplungan. 208
The total number of species of terrestrial pteridophyte recorded within 30 plots was 13 species. Blechnum orientale, Dicranopteris linearis, Lyndsaea ensifolia, and Stenochlaena palustris were also found outside the plots. The total number of pteridophyte individuals found within one plot varied between 3 and 40 individuals per plot; the mean is 18 individuals per plot. The most abundance pteridophyte was Lygodium flexuosum which was represented by 396 individuals in 30 plots with indices of important value 1.331. Then it is followed by Pteris vittata, Lygodium microphyllum, Lindsaea ensifolia, Pteris ensiformis, Nephrolepis brownii, Chelianthes tenuifolia, Nephrolepis hirsutula, Cyclosorus
Study of Ptridophyte Diversity and Vegetation Analysis
extensus, Blechnum finlaysonianum, Taenitis blechnoides, Abacopteris triphylla, and Pteris semipinnata respectively (Table 1). Based on the numerical analysis, the diversity of pteridophyte in Karimunjawa is low with indices of Shannon – Wiener = 1.54.
Pteridophyte diversity was correlated with soil conditions. The diversity was not greater at sites with high pH condition (Figure 1) and was greater at sites with high moisture (Figure. 2). Although soil conditions have correlated with pteridophyte diversity, the
Table 1. Density (Den), Dominance (Dom), Frequency (F), Relative density (RDen), Relative dominance (RDom), Frequency Relative (FR) were calculated to measure Indices of Important Value (IIV). Indices of Important Value of Lygodium flexuosum was the highest. Species Abacopteris tryphilla Blechnum finlaysonianum Cyclosorus Lygodium flexsuosum Lindsaea microphylum Lygodium microphylum Nephrolepis brownii Nephrolepis hirsitula Pteris ensiformis Pteris semipinnata Pteris vittata Cheilanthes tenuifolia Taenitis blechnoides
Den 0.0003 0.0007 0.0053 0.0973 0.0133 0.0047 0.011 0.0036 0.005 0.0003 0.0246 0.002 0.0027 0.1707
Dom 0.00023 0.00178 0.0018 0.0398 0.0064 0.0247 0.004 0.00135 0.0085 0.00004 0.0138 0.0015 0.00194 0.10584
F 0.0333 0.067 0.033 0.733 0.3 0.167 0.067 0.067 0.067 0.033 0.167 0.133 0.033 1.9003
Rden 0.0019 0.0039 0.0313 0.569 0.0779 0.0273 0.0643 0.0215 0.0294 0.0019 0.1443 0.0117 0.0156 1
Rdom 0.0022 0.0169 0.0167 0.3762 0.0613 0.2333 0.0379 0.0129 0.0801 0.0004 0.1301 0.0137 0.0183 1
FR 0.0175 0.0358 0.0175 0.3859 0.1578 0.0877 0.0351 0.0351 0.0351 0.0175 0.0877 0.0701 0.0175 1.0003
IIV 0.0217 0.0558 0.0654 1.3313 0.2971 0.3483 0.1372 0.0693 0.1445 0.0199 0.362 0.0955 0.0514 2.9994
Figure 1. The correlation between pteridophyte diversity (H') and soil pH was negative. Higher soil pH has a tendency to decrease pteridophyte diverstity. But, the correlation is not significant.
209
Saputra & Qotrunnada
correlation was not significant. Numerical analysis using SPSS 16 resulted that there is no significant correlation between pteridophyte diversity with soil pH and pteridophyte diversity with soil moisture (Table 2). DISCUSSION On the study, pteridophyte diversity in Karimunjawa is low with H’ = 1.546. The range of low indices of diversity is 1 to 1.5 (Rasidi 2003). Lygodium flexuosum was measured to be the most abundance species in Karimunjawa. Lygodium can grow well in the lowland, less canopy, and dry soil (Darma et al. 2003). Soil moisture and soil pH has a tendency to affect diversity. Pteridophyte diversity is greater while soil moisture is high while pteridophyte diversity is less
greater while the soil pH is high. Although it was has a tendency, Pteridophyte diversity in Karimunjawa was not affected significantly with environment condition. Several studies also resulted that there is no significant correlation between pteridophyte diversity and environment condition: soil moisture and soil pH (Djalil 2000, Richard et al. 2000). Next study need to be conducted in order to examine the correlation between pteridophyte diversity and its environment. This study used Shannon – Wiener indices to measure the diversity in each plot. Generally, Shannon – Wiener indices is used to measure the diversity in one area which is represented by severals sample. Thus, next study to measure the correlation between diversity and its environment condition need to be conducted with another method.
Figure. 2. The correlation between pteridophyte diversity (H') and soil moisture was positive. Higher soil pH has a tendency to increase pteridophyte diverstity. But, the correlation is not significant.
210
Study of Ptridophyte Diversity and Vegetation Analysis
Table 2. The environment condition in each plot. H' is diversity in each plot correlated to soil pH and soil mositure. PLOT
pH
Moist.
1
H’ 0.68709
7
3
2
0
7
1
3
0
7
1
4
1.1358
7
1
5
0.90026
7
1
6
0
7
1
7
0.34883
7
3
8
0.63651
7
1
9
0
7
1
10
0.26714
7.1
0.9
11
0.69315
7
1
12
0.68291
7
1
13
0.16794
7
1
14
0.27119
7
1
15
0
7
1
16
0.56234
7
1
17
0.69176
7
1
18
0.5402
7
1
19
0
7
1
20
0
7
1
21
0.26405
7
1
22
0.80806
7.2
1
23
0.63903
7
3.5
24
0
7.2
0.8
25
0
7.2
0.8
26
0
7.1
0.8
27
1.07338
7.2
0.9
28
0.62109
7
1
29
0.60017
7
1
30
0
7.2
0.8
ACKNOWLEDGEMENTS. We are grateful to persons who help in the field work: Abdul Rahim, Annisa Balqis, Bregas Adi Luhur, Diny
Hartiningtyas, Sentot Tri Prabowo, Zulfa Hanif, Dhimar Adi Permana, Maulana Akbar, Tiara Dewi, Nabila Chairunnisa, Febrial Hikmah and help in the process of numerical analysis: Agung Sedayu.
211
Saputra & Qotrunnada
REFERENCES Darma, IDP., HM. Siregar & M. Siregar. 2003. Paku Ata (Lygodium circinatum (Burm.f.) Sw.) for handicraft production in Bali. Botanic Garden International Conference, Bali Botanical Garden, Indonesia, July 15 – 18, 2003. Djalil , A. 2000. Pola heterogenitas serta perbandingan komposisi dan struktur komunitas tumbuhan paku di hutan pegunungan bawah dan pegunungan atas lereng utara Gunung Gede, Jawa Barat. Departemen Biologi FMIPA UI Holtum, RE. 1959. Flora of Malesiana Ser. II Pteridophyta 1. Martinus Nijhoff/Dr.W. Junk Publishers, The Hague: xxiii + 62
Rasidi, S. 2003. Ekologi Tumbuhan. Cetakan I Universitas Terbuka, Jakarta Richard, M. T. Bernhardt, & G. Bell. 2000. Environmental heterogeneity ang the spatial structure of fern species diversity in one hectare of old-growth forest. Ecography 23: 231 – 245. Sastrapadja, S., JJ. Afriastini, D. Daernaedi & E. Wijaya. 1979. Jenis Paku Indonesia. Lembaga Biologi Nasional. LIPI. Bogor. Siregar, M., IM. Ardaka, IK. Sudiarka., IDP. Dharma, & HM. Siregar. 2004. Penelitian pendahuluan kesesuaian tumbuh paku ata (Lygodium circinatum (Burm.f.) Sw.) pada ketinggian tempat yang berbeda. Laporan Teknik “Eka Karya” Bali:129 – 134 Tuomisto, H.& AD. Poulsen. 2000. Pteridophyte diversity and species composition in four Amazonian rain forest. J. Veget. Sci. 11: 383 – 396.
Received: Juli 2010 Accepted: April 2011
212
Jurnal Biologi Indonesia 7(2):213-220 (2011)
Javan Leaf Monkey (Trachypithecus auratus) Movement in a Fragmented Habitat, at Bromo Tengger Semeru National Park, East Java, Indonesia M.Hari Subarkah ¹, Novianto Bambang Wawandono ², Satyawan Pudyatmoko ³, Subeno ³, Sandy Nurvianto ³, & Arif Budiman ¹ ¹ Wildlife researcher at Wildlife Laboratory Faculty of Forestry Gadjah Mada University, ² Biodiversity Conservation, Departement of Forestry ³Faculty of Forestry Gadjah Mada University. E-mail:
[email protected] ABSTRAK Pergerakan Lutung budeng (Trachypithecus auratus) didaerah habitat terfragmentasi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur, Indonesia. Pergerakan lutung budeng di daerah habitat terfragmentasi diamati dengan metode transek. Hasil kajian menunjukkan bahwa ada empat kelompok masing masing beranggotakan 12 (grup A), 16 (grup B), 15 (grup C) dan 12 lutung (grup D). Penelitian yang dilakukan disekitar hunian penduduk, jalan, hutan terdegradasi dan jalan-jalan setapak mengindikasikan bahwa lutung dalam aktivitas hariannya memerlukan waktu 32,82% diantaranya digunakan untuk makan, 30,97% untuk istirahat dan sisanya 31,79 untuk pergerakan perpindahan. Lutung dalam aktivitasnya 50,53% menggunakan wilayah puncak kanopi tumbuhan, 41,99%menggunakan kanopi tumbuhan bagian tengah dan hanya 2,49 % yang menggunakan kanopi bawah. Kata kunci: Lutung budeng (Trachypithecus auratus), habitat terfragmentasi
INTRODUCTION Most primate species live in tropical forests, (Mittermeier & Cheney 1987; Chapman et al. 2006) where 2 major threats are habitat destruction and hunting by human (Mittermeier & Cheney 1987). Alteration of forests into agricultural land, degraded function of the conservation area, are several causes decreasing the primate population. Primate populations, like those other organisms, face the challenges of coping with the dynamic of their habitat, because habitat are continually changing and primate must
adapt to changes in order to survive; failure to adapt dooms species to extinction (Isabirye-Basuta & Jeremiah 2008; Sharkley1996, Newsome et al. 2005). Habitat loss and fragmentation are associated with fewer resources, greater isolation, and more intense and far-reaching edge effects (Laurance & Bierregaard 1997), and both are considered was major threats to wildlife. Unless the current rate of forest conversion is halted, it is inevitable that more and more primate populations will live in an isolated fragment (Isabirye-Basuta & Jeremiah 2008). Understanding the biology behind the dis 213
Subarkah et al.
tinction between species at risk and more persistent species should help inform conservation efforts (Gibbons & Harcourt 2009). Coban Trisula are an intensive used areas in Bromo Tengger Semeru National Park, consist of 3 natural waterfalls, and also the habitat for the vurnerable of javan leaf monkey (IUCN 2010). In addition to tourism, this region is also intensively used by local people to take the wood, fodder, mushrooms, honey, medicine and kinds of forest fruits for consumption. The location immediatelies adjacent to the cultivation, split by a highway connecting Bromo and district of Malang and located between Gubugklakah and Ngadas villages. This condition has turned the area fragmented. This study aims to determine the daily movements in the area of Coban Trisula as forms of javan leaf monkey adaptation in fragmented habitat. MATERIALS AND METHODS The study sites was at Coban Trisula resort conservation area, Bromo Tengger Semeru National Park, at coordinate 08o 00'11.5"- 07 o 59'52.3"LS and 112 o 51'51.6"-112o 52'21.4"BT, at 1335-1591 m asl, covering 89 hectares. Administratively it is located in the Gubugklakah village Malang, East Java. This research was conducted in August-December 2009 and January 2010. The methods used during the study were: 1) Population survey of Javan langurs using Line Transect Method (Strukhsaker 1981) conducted onece each month, and then calculated the average number of individuals found; 2) 214
vegetation data collected using Point Centered Quarter-Method (MuellerDumbois & Ellenberg 1974) only to the level of the tree with a minimum diameter of 35cm, measured at breast height, and 3) observations of daily activity of Javan langurs using Focal Animal Sampling method (Lehner 1976) by observing the feeding, social, resting and moving. RESULTS Coban Trisula and surounding are intensif used areas, as ecotourism object. The object were consisting three natural waterfalls, namely upper coban, middle coban and down coban, flows in Lajing river. The management has created semi permanent trail to reach the object, about 600 meters long. The object was opened only in weekend, and visited by tourist about 50 - 100 peoples a day. Coban Trisula located as the border of Bromo Tengger Semeru National Park, directly connected with localvillagers cultivation. The area is also cut by permanent road connecting Bromo mountain and district Malang and 3 villages that are Ranu Pani village, Ngadas village and Gubugklakah village. Inside the area there are many trail used by local villagers taking any resources needed. These facilities make villagers and visitors can access freely. Inside the location, there are three natural rivers that is Sadam river, Lajing river and Amprong river. Illegal cutting for cabin, firewood and cattle food for cows and goat are the biggest contribution to the habitat loss
Javan Leaf Monkey (Trachypithecus auratus) Movement
Figure 1. Habitat type of javan leaf monkey (Trachypithecus auratus) at Coban Trisula.
Figure 2. Ilegal cutting for cabin and cattle food.
and habitat fragmentation inside and outside the area. It was done by local villagers from Gubugklakah village, Tosari village and Duwet village. Illegal cutting is intensive in the dry season, and decreasing in rainy season. It was created a "hole" in the area and formed a liaison at each habitat corridor that is used for moving by Javan leaf monkey to explore the home range. The population survey was conducted a month over study period. It showed a population density of 55 indi-
viduals that are divided into four groups. Group 1 was up to 12 individuals, group 2 was 12 individuals, group 3 was 15 individuals and group 4 was16 individuals. Sex ratio is 1:1.5 (19 males and 29 females). The age structure and sex ratio of each group are presented in the Table 1. The table shows, density of javan leaf monkey at Coban Trisula is 0,6 individu per hectare. The density was higher than in Blok Ireng-Ireng which consisted of 64 individuals at area 428 215
Subarkah et al.
hectars, means 0,1 individu per hectare. The observation samples consist of group 1 and group 2, while group 3 and group 4 are considered equal. Observations were done on daily behavior, exploiting strata canopies, canopy height and density of trees used in its daily activities. To determine the density of trees used for moving, feeding and other activities, vegetation analysis was conducted using the Centre Point-Quadrat Method. The density of trees is 228.7 individuals per hectare, the average distance between trees is 7.34 meters, the average tree height is 8.40 meters, average canopy width is 7.13 meters and canopy density is 41.51% (scale 3 of Braun-Blanquet Scale). Species found include Danglo (Engelhardtia spicata), Tritih (Nitrocous sp), Preh (Ficus spp), Anggrung (Trema orientalis), Bodak (Nauclea orientalis), Blarang (Maca-
ranga sp), Dadap (Erythrina orientalis), Nyampuh Sentul (Actinodaphne sp) and Salam (Syzygium polyanthum). DISCUSSION Canopy level used by javan leaf monkey were different from any activities. During the observations, canopy level used by javan leaf monkey is presented in the Figure3 The charts shows (Table 2), canopy used at top level are 50,53%, at middle level are 41,99% and lower canopy used 4,98%. It seems associated with the habit of javan leaf monkey as arboreal primate. Utilization of canopy level was associated with the height and canopy density, and diversity of tree species such as feeding trees, shelter and so forth. For example, Preh (Ficus spp), was used as a feeding trees, resting and social activi-
Table 1. Population, age structure and sex ratio of javan leaf monkey at Coban Trisula and surrounding No 1 2 3 4
Groups Group 1 Group 3 Group 2 Group 4 Total
Population, age structure and sex ratio Adult Sub-adult Juvenile Total Male Female Male Female 3 6 2 1 12 2 4 1 1 4 12 3 6 3 2 1 15 3 6 2 4 1 16 11 22 8 7 7 55
Table 2. Height and canopy density (in average) of trees at core area in home range. Item/ Activities Group 1 Group 2 Overlapping
216
Resting Canopy Heigh Density t (m) (%) 23.86 47.95% 24.08 47.88% 25.11 53.42%
Feeding Canopy Height Density (m) (%) 24.77 53.33% 20.87 45.00% 23.55 54.50%
Social Canopy Heigh Density t (m) (%) 26.47 57.35% 25.00 52.78% 28.92 55.00%
Sleeping Canopy Heigh Density t (m) (%) 27.67 58.33% 25.57 52.86% 29.20 59.50%
Javan Leaf Monkey (Trachypithecus auratus) Movement
ties, also as moving trees to other areas. Equitable form of branching, 45% canopy density, 20 meters height and shape of the rounded canopy javan leaf monkey used top, middle and lower canopy level. But, Anggrung (Trema orientalis), average height 20 meters and a canopy density 25%, more often utilized as a resting trees and social activities at the middle canopy. While types of Bodak (Nauclea orientalis), with the same height and canopy density 40%, more often utilized as resting trees social activities on top, middle and lower canopy level. During observations, sometimes javan leaf monkey found above the ground to find insects, consuming sev-
eral species of plants and shrubs around the river, some areas where there are no human activities. Daily activities of javan leaf monkey, showed on Figure 4 Average percentage of daily activity of javan leaf monkey for rest and social activities amounted to 30.97%. Both activities were performed in the same span of time before afternoon (07.30 10.00 am) and in the afternoon (12.00 14.30 pm). Social activities that were found during the observation is grooming and playing, but no breeding activity had been found. Foraging and eating approximately 31.82% & were performed by all individuals' javan leaf
50.53% 41.99%
4.98%
Top Canopy
Middle Canopy
Lower Canopy
2.49% Above the Ground
Canopy Level
Figure 3. Percentage of time budget in javan leaf monkey daily activity
Resting and Social Activity, 30.97%
Moving & Ranging, 31.79%
Foraging & Eating, 31.82%
Figure 4. Canopy level used by javan leaf monkey
217
Subarkah et al.
monkey in the morning (06.00 - 07.30 am) and afternoon periods (14.30 - 17.00 pm). While moving activity and ranging is approximately 31.79%, which is performed in the morning, afternoon and evening at the home range in each group. Based on the observation and calculation above, it is known that the javan leaf monkey have good adaptability to the state of the fragmented habitat. Utilization of trees were various in daily activities formed important areas and frequently visited, known as core area. Core areas used by javan leaf monkey are closely linked with the height and density of tree canopies. Height of trees was used by Javan langurs to avoid harassment and threats from both human and predator. While the canopy density selected by javan leaf monkey was mainly to protect themselves from sunlight, rain, wind and low temperatures. Utilization of core areas in resting, feeding, social activities and sleeping was different one to another, and are presented in the Table 2 below. In the observation of home range, there is overlapping between home range group 1 and group 2. At each home range of two groups, there are a core area used jointly by the Group 1 and Group 2. Resting activities were spread on several trees on the top and middle canopy level, on average height of 23.86 meters in home range of Group 1, 24.08 meters in home range of Group 2 and 25.11 meters in overlapping home range. Higher trees were used by javan leaf monkey in circumstances of potential nuisance and threat. When interference or threat appears, javan leaf monkey can 218
move easily to another tree and hide. The average number of canopy density are 47.95% used by group 1, 47.88% used by the Group 2 and 53.42% in overlapping home range, because Javan langurs are adequately shielded from sunlight, rain, wind, low temperature and relatively hidden from predators. At feeding activity, the average height of trees that was used by group 1 is 24.77 m, 20.87 m in group 2 and 23.55 m in overlapping home range. The average number of canopy density was 53.33% in Group 1, 45.00% in group 2 and 54.50% in overlapping home range. Canopy height and density associated with the volume of feed that is available, although sometimes javan leaf monkey also moved above the ground to eat insects, several types of shrubs and plants such as kecubung (Brugmansia sp), kaliandra (Calliandra calothyrsus), mencokan (Debregeasia sp). Social activities carried out during resting time such as grooming, playing and mating. At the core areas, social activities are carried out on trees with an average height of 26.47 m in group 1, 25.00 m in group 2 and in overlapping home range 28.92 m. Canopy density in Group 1 amounted to 57.35%, in Group 2 was 52.78% and in overlapping home range of 55.00%. While playing, javan leaf monkey used top and middle canopy level to practice running, jumping, wrestling and climbing. This activity was carried out by sub-adult and juvenile, occasionally watched by their mother. Sometimes another adult female or males occasionally join into. Grooming and other social activities are often carried
Javan Leaf Monkey (Trachypithecus auratus) Movement
out by two or more individuals, alternately, conducted on middle canopy level or a branching tree or large tree trunks and flat. Another social activity is breeding. However, during observations the social activity was not found. Javan leaf monkey stopped their activities by entering the aleeping trees at 17:30 to 18:00. Selection of trees to sleep are very important because javan leaf monkey must ensure that the tree has well-height and high density canopies. The average numbers of tree height are 27.67 m in group 1, 25.57 m in group 2 and 29.10 m in overlapping home. Canopy density in sleeping tree of group 1 was 58.33%, group 2 was 52.86% and in overlapping home range were 59.50%. Sleeping trees used were higher and more densely than the height and canopy density trees for other activities. Tree height based on a better sense of security from the threat of predators, whereas high canopy density for shelter from the wind and cold air, and from the rain.
sunlight, wind, rain, low temperature as well as a place to hide from threats and predators and human disturbance. In Coban Trisula Resort, conflict of interest between human and javan leaf monkey could become a serious threat to the existence or the preservation of these animals, which are death and/or displacement to another areas or habitats that are more supportive. Therefore, conservation action to conserve javan leaf monkey has to be taken in the future. ACKNOWLEDGEMENTS Many thanks to Mr. Novianto Bambang Wawandono, Director of Biodiversity Conservation, Departement of Forenstry, The Nature Conservancy (TNC), Directorate General of Higher Education (DIKTI), Bogor Agricultural University (IPB), The Indonesian Biological Society (PBI), Association for Tropical Biology and Conservation (ATBC), Bromo Tengger Semeru National Park and all staff, and many many people are not name here.
CONCLUSIONS REFERENCES These observations concluded that javan leaf monkey was able to adapt to the fragmented habitat areas. Height and canopy density of trees have important functions in supporting the daily activities of Javan langurs such as feeding behavior, resting, social activities and moving. Tree height associated with a sense of preferential because they feel safe from harassment and threat of predators. While the density of the canopy allows protecting the body from
Chapman, CA., MJ. Chapman & HAC. Eeley. 2006. What hope for African Primate Diversity?. African J. Ecol. 44: 116-133 Dumbois, DM. & H. Ellenberg. 1974. Aims and Method of Vegetation Ecology. John Wiley & Sons. New York, London, Sydney, Toronto Gibbons, MA. & AH. Harcourt. 2009. Biological correlates of extinction and persistence of primates in small 219
Subarkah et al.
forest fragments: a global analysis. Trop. Cons.Sci. 2 (4):388-403. IUCN. 2010. IUCN Red List of Threatened Species. www.iucn redlist.org. Downloaded on 20 June 2010. Isabirye, B., M. Gilbert & SL. Jeremiah. 2008. Primate Population and Their Interaction with Changing habitat. Int. J. Primatology. 18th, 2008. Laurance, WF. & RO. Bierregaard. 1997. Tropical Forest Remnants. Ecology, management, and conservation of fragmented communities. Chicago: University of Chicago Press. Lehner, PN. 1976. Handbook of Ethological Methods. Garlang STPM Press, New York & London. 395. Mittermeier, RA. & DL. Cheney. 1987. Conservation of Primates and Their Habitat. In B. B. Smuts, DL Cheney, RM. Seyfarth, RW. Wrangham, & TT. Struhsaker (Eds.), Primate Societies. Chicago University Press. 475-490. Newsome D., D. Ross & M. Susan. 2005. Wildlife Tourism. Aspects of
Tourism. Channel View Publications. Clevedon. Buffalo. Toronto. 152. Shackley, M. 1996. Wildlife Tourism. ITP. International Thomson Business Press. An International Publishing Company. London. Bonn. Boston. Singapore. Tokyo. 299. Struhsaker, TT. 1981. Census Methods for Estimating Densities. In: Subcommittee on Conservation of Natural Population, Committee on Nonhuman Primates, Division of Biological Sciences, Assembly of Life Sciences & National Research Council (eds) Techniques for the study of primate population ecology. Nation Academy Press, Washington, pp 36-80 Wawandono, BW. 2010. Pemodelan Daya Dukung Habitat Lutung Jawa (Modelling of Javan Langur Habitat Carrying Capacity). [Disertation]. Gadjah Mada University. Yogyakarta.
Received: July 2010 Accepted: Aprl 2011
220
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 221-230 (2011)
Impact of Invasive Ant Species in Shaping Ant Community Structure on Small Islands in Indonesia Akhmad Rizali1,2*, Abdul Rahim3, Bandung Sahari2, Lilik Budi Prasetyo4, & Damayanti Buchori2 1
Department of Plant Protection, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University 2 PEKA Indonesia Foundation (Indonesian Nature for Conservation Foundation) 3 Department of Agrotechnology, Faculty of Agriculture, Borneo University, Tarakan 4 Department of Forest Resources Conservation and Ecotourism, Bogor Agricultural University E-mail:
[email protected] ABSTRAK
Dampak Invasiv Species Semut pada Pembentukan Struktur Komunitas Semut di Kawasan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Peneletian tentang pengaruh spesies invasif di kawasan pulau-pulau kecil menjadi perhatian konservasi yang sangat penting,teristimewa pengaruhnya terhadap fauna lokal dan teristimewa untuk semut-semut endemik yang menjadi kajian pada penelitian ini. Pada kajian ini penelitian dilakukan di tiga pulau yaitu Pulau Bokor, Rambut dan Untung Jawa. Semut diambil menggunakan metode pitfall trap. Metode penghitungan dengan model korelasi dan linier digunakan untuk mengukur penyebarannya secara acak di setiap pulau. Diperoleh tiga species invasif dua diantaranya yaitu Solenopsis geminata dan Paratrechina longicornis dapat dijumpai di ketiga pulau tersebut sedangkan untuk Anoplolepis gracilipes hanya dijumpai di Pulau Rambut. A. gracilipes dan S. geminata merupakan spesies yang melimpah dan komposisi keterdapatannya berkorelasi dengan faktor habitat (F2, 52 = 19.469, p<0.001). Kata kunci: Semut, keragaman jenis, spesies invasif
INTRODUCTION Alien invasive ant species are major threats to local biodiversity especially indigeneous ants in certain area (Holway et al. 2002). As anthrophilic species, invasive ants have ability to occupy human-modified habitats, e.g. in urban habitat (Gibb & Hochli 2002), ability for nesting in human structure (Schultz & McGlynn 2000) and are easily dispersed by humans. Therefore, with its rapid
adaptive mechanism and high competitive ability, invasive ants have negative impacts on the existence of local ants. For example, invasive species Linepithema humile (Argentine ant) has strongly affected native ant communities in fragmented coastal scrub habitats in Southern California (Suarez et al. 1998). Habitat fragmentation facilitates the establishment of invasive ants (Holway et. al. 2002). In small island, habitat fragmentation and occurrence of invasive 221
Rizali et al
ants can have a great negative impact on local species since the survival of species is very restricted by the availability of limited nature resource and space (Donlan & Wilcox 2008). Invasive species in small island are able to displace indigeneous species and shape biotic homogenization which makes populations of native species especially prone to extinction (e.g. Cole et al. (1992), the occurrence of Hypoponera opaciceps and Solenopsis papuana caused disappearing native ants in Hawaii Islands). As consequences, this invasion may affect to change the ecological function on whole ecosystem in the small island. This research investigated the implication of invasive ant to local ant community in Thousand Islands Archipelago, Indonesia that has never been conducted in this area. The archipelago is located in the northern sea of Jakarta Bay and consisted of 160 unique islands with size less than 1 km2 (Alamsyah 2003). Although, this number does not include several islands that have been disappeared several years ago (UNESCO 1997). Several islands of the Sanctuary have been dramatically modified and used for living and tourism and those will bring new threats for many ant species (some of which may be endemic) through habitat modification and migration of invasive species from other places. Previous study by Rizali et al. (2008) indicated that human activities have aided the distribution of invasive alien ant species Anoplolepis gracilipes and Solenopsis geminata
222
in several small islands of Thousand Islands. MATERIALS AND METHODS Ecological observation was conducted in three different islands of Thousand Islands Archipelago (Figure 1) i.e. (1) Untung Jawa Island (represents high populated island), (2) Rambut Island (represents as unique habitat where from 160 islands, only this island marine birds breed and live), and (3) Bokor Island (represents as unexplored island characterized by very diverse habitats and as a protected area) (Figure 1; detail see Table 1). To determined the habitat types on each island, Quick bird maps were used for mapping and quantify the islands characteristics with GIS software. To assess the impact of invasive ants on local ant species, pitfall trapping and leaf litter sampling were carried out in 5 m x 5 m plots. The number of plots on each island differs based on habitat types (Table 1) and randomization using GIS tool (with minimum distance among plots is 75 m). Plot observations were carried out two days on each island from March to May 2008 (Table 1). In each plot, four pitfall traps were positioned 5 m apart on a diagonal line across the sample plot. All specimens were stored in small vials with 70% alcohol and given a label in the field before being sorted and identified in the laboratory. Ants were identified using relevant taxonomic literature (e.g. Bolton 1994) and the reference collection of Seiki Yamane (Kagoshima University,
Impact of Invasive Ant Species in Shaping Ant
Table 1. Number of plots and description for each island in Thousand Island Archipelago Island
No. plot
Description
Date of sampling
Bokor
16
Natural forest with dense canopy dominating with Dysoxylum amooroides, Sterculia futida, and Allophylus cobbe. Area 16,34 ha include sea shore
17& 18 March 2008
Natural forest with dominance mangrove plants (Dysoxylum amooroides, Guettarda speciosa, Allophylus cobbe. Area 45,80 ha but only around 20 ha that possible for plotting. This island is island marine birds
14 & 15 March 2008
High populated island and tourist island. Area 39,12 ha, dominancy by settlement and with planted tree Annona squamosa, Thespesia populena and Artocarpus communis
12 & 13 March 2008
Rambut
17
Untung Jawa
25
8 & 9 April 2008 16 & 17 May 2008
10 & 11 April 2008 18 & 19 May 2008
12 & 13 April 2008 13 & 14 May 2008
Figure 1. Map of study sites in the Thousand Islands Archipelago (Kepulauan Seribu) off Jakarta, Indonesia (inset). (a) Bokor Island (represents as unexplored island characterized by very diverse habitats and as a protected area), (b) Rambut Island (represents as protected area with swamp forest), and (c) Untung Jawa Island (represents as high populated island).
223
Rizali et al
Japan) regarded as one of the most complete collections of identified Asian ants in the world. Diversity partitioning modified from Clough et al. (2007) was used to determine the difference of ant communities among islands. The total observed ã-obs, for each island can be
partitioned as ã-obs = á + âP + âI where á is the mean á-diversity per plot on each island, âP is the between-plots âdiversity, and âI the mean betweenislands â-diversity The correlation between invasive ant and ant diversity were assessed using Spearman rank correlation. The occurrence of invasive ant (presenceabsence) was compared with number of individual and species richness of the other ants within island and between islands. Impacts of invasive ants and the habitat types (island) were tested simultaneously in general linear models (GLMs) with island as a fixed variable and plots nested within island. All analyses were done with STATISTICA 6.0 (StatSoft 2001). Differences in ant community structure were quantified using Sørensen’s index for similarity based on presence/absence of species, which was calculated with the Biodiv97 macro for Microsoft Excel (Messner, pers. comm.). The similarity matrix was then reduced to a two-dimensional ordination using non-metric multidimensional scaling (NMDS) performed with STATISTICA 6.0 (StatSoft 2001).
224
RESULTS Ant diversity partitioning between islands In total from three islands, we found 62,902 individual belongs to 32 species of ant (Table 2). The most abundance and highest ant species richness was found in Untung Jawa (27 species). However, five other ant species were not found in this island and only found in Bokor and Rambut. Based on diversity partitioning shown similar pattern that the highest mean á is also found in Untung Jawa (Figure 2). Although, Bokor has lowest mean á, the â between islands is highest compare with the others (Fig 2). This means that there still many of ant species in Bokor unexplored from this research. Spatial distribution and abundance of invasive ant species Three invasive ant species were recorded during this observation i.e. Anoplolepis gracilipes, Paratrechina longicornis, and Solenopsis geminata. P. longicornis and S. geminata were found in all islands, whereas A. gracilipes was only found in Untung Jawa (Table 2 and 3). Based on the occurrences of invasive ant per plot on each island, P. longicornis seems to have ability to spread on whole habitat within island (Table 3). In contrast, S. geminata seems does not have ability to spread especially in Bokor which is only 8 plots recorded from 16 plots in total (Table 3). The most abundance of invasive ant was found in Untung Jawa which is domi-
Impact of Invasive Ant Species in Shaping Ant
Table 2 Number of individual and ant species diversity per month in each island in Thousand Island Archipelago; Tramp species are printed in bold. SKY = from the reference collection of Seiki Yamane (Kagoshima University, Japan). Species
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.
Dolichoderinae Dolichoderus thoracicus Iridomyrmex anceps Tapinoma melanocephalum Formicinae Anoplolepis gracilipes Camponotus reticulatus Camponotus sp.47 of SKY Oecophylla smaragdina Paratrechina longicornis Paratrechina sp.17 of SKY Paratrechina sp.24 of SKY Polyrachis acuata Myrmicinae Cardiocondyla nuda Crematogaster difformis Crematogaster sp.10 of SKY Monomorium destructor Monomorium floricola Monomorium monomorium Monomorium sp.04 of SKY Oligomyrmex sp.10 of SKY Pheidole sp.01 Pheidole sp.02 Pheidole sp.03 Solenopsis geminata Solenopsis sp.02 Strumigenys emmae Tetramorium pacificum Tetramorium smithi Tetramorium walshi Ponerinae Anochetus graeffei Hypoponera sp.01 Odontomachus similimus Ponera
Bokor Apr May
Tot
Mar
5
3 11
9 23
40
1 30
48
1 118
35
93
116
244
3
6
20
29
1 1 54
1 3 96 9 1
Mar
3 6
1 28 1
1 14 8
1
16 44862 839
1747
2559
1451
5757
26 6 822 8 190
41 3 314 8 128
17 6 1101 5 123 5
84 15 2237 21 441 5
3 1 2 70 149 93 1 2 49
12 1 3 256 706 170 5 7 168
4 1
5
23
32 1
1 5 1 117 6 10
9 4 94 3 3
8 3 209 4 16
1 22 8 420 13 29
191
1 164
2 254
3 609
29 1 1 2 22 173
30 6 1 1 7 199
90 15 2 4 61 532
5
7 2 731 1
52
1
1
2
4
2
nated by A. gracilipes (Figure 3). Based on box-plot analysis, abundance of invasive ant per plot every month in Untung Jawa is always higher than other islands. While, Bokor has lowest population of invasive species especially S. geminata
9 8802 414
35 1 309
28
149
2 5476 204
23 1 279
23
60
5 30584 221
1 114 3 974
1
56
Tot
1 56 1 386
1 32 160
33
Untung Jawa Apr May
49 119
23
3 6 16
1 194 4
Mar
9 55
12 7 2 48
11 12 1 7
143
Tot
31 41
1 454 6 3 29 35 3 78
117 2
Rambut Apr May
31 8
220 1
2 228
283
9 1 150 421 47 4 2 93
36 136 30 3 26
2053 17 1
897 3
1057 7 1
4007 27 2
48 1014
2 833
13 1291
63 3138
1
8 3 19
9 5 46
2 11
16
which only 29 individual collected from three months sampling in this island. Impact the occurrence of invasive species Within all islands, the occurrences 225
Rizali et al
Figure 2.Alpha and beta- (between-plot and between-islands) and ãobs-diversity values for the ant species richness in the Thousand Islands Archipelago; Error bars are ± 1 SE of the means.
Table 3. Proportion of (a) plots with and without invasive ant species, (b) species richness and (c) number of individual of invasive and non-invasive ant that found in each island in Thousand Island Archipelago. Items (a) Plot Total of plots Plots with invasive ant A. gracilipes P. longicornis S. geminata (b) Species richness Total of species Non-invasive Invasive (c) Number of individual Total of individual Non-invasive Invasive A. gracilipes P. longicornis S. geminata
226
Bokor
Island Rambut Untung Jawa
16 15
17 17
14 8
15 14
25 25 18 25 22
22 20 2
26 24 2
27 24 3
1,330 1,057
3,843 2,779
62,902 50,901
244 29
974 90
5,757 2,237 4,007
Impact of Invasive Ant Species in Shaping Ant
of invasive ant have correlations with ant abundance and species richness on each plot within island. Based on Spearman rank correlation, the presence of A. gracilipes has correlation with ant abundance (r=0.71, p<0.05) and ant species richness (r=0.46, p<0.05) on each plot. The similar pattern also found in S. geminata that has correlation with ant abundance (r=0.51, p<0.05) and ant species richness (r=0.38, p<0.05). We also found that A. gracilipes and S. geminata can co-occur which has correlation both in abundance and ant species richness (r=0.38, p<0.05).
From the GLM analysis, the occurrences of invasive species have no significant effects to ant communities (p>0.05). Island (habitat types) is the main factor that affects ant species composition (F2, 52 = 19.469, p<0.001). However, based on NMDS analysis, the similarities of ant species composition between plots per month on each island are differed and unstable (Fig 4). There are other factors that affect ant species composition on the islands.
Figure 3. Box-plot of three invasive species on each island per month and all months sampling in the Thousand Islands Archipelago
227
Rizali et al
DISCUSSION Untung Jawa as high populated island consists of high population of invasive species. The highest abundance of invasive species in this island depicted that habitats in Untung Jawa are suitable for invasive species which can co-exist with human. The human structure and their activities can support the nesting sites and food for invasive species (McKinney & Lockwood 2001; Olden et. al. 2004). Although invaded by invasive species, Bokor and Rambut both as protected area and with low intensity of human disturbance have very low abundance of invasive species. Habitat conditions on these islands may have contribution to protect from increasing population by invasive species. For example, S. geminata as hot climate specialist, this species can well adapt in habitat such as settlement area, forest edge, and agriculture area (Ness & Bronstein 2004), whereas Bokor and Rambut have only few area suitable for this species due to covered by forest (Figure 1, Table 1). Therefore, this species is able to act efficiently in open area (Perfecto & Vandermeer 1996), such as Untung Jawa, S. geminata has correlation with both abundance and species richness of other ants. It means that the occurrence of this species may affect the other ant species. Another finding, A. gracilipes was only found in Untung Jawa. The existence of settlements and human activities in this island may role as an important factor for A. gracilipes to well adapt and has high abundance. In previous re228
search, this species was also only recorded in the islands that have settlement and human activities inside (Rizali et al. 2008). Even if the island have a lot of Homopteran insects, this species could well adapt and will have high densities due to associations with them (Hill et al. 2003). Agroforestry habitat such as cacao plantation was also possible as suitable habitat for A. gracilipes due to habitat disturbance and suitable of microclimate (Bos et al. 2008). In Untung Jawa, the occurrence of this species has correlation with other ant species. The high abundance of this species in Untung Jawa may have negative impact to local ant communities due to very competitive and has occupation mechanism. The different pattern was found for P. longicornis. Although this species is less abundance than other invasive species, they could widely spread in different habitat within island as well as different island. Based on McGlynn (1999) and Brown (2000), P. longicornis have ability to spread and well adapt in various habitat condition. In Thousand Island Archipelago, the occurrence of this species seems have no effect to local ant communities. However, the occurrence of invasive ant in certain habitat may have direct and indirect effect to local ant communities. Invasive ant that have ability in occupying and dominating in new habitat, as consequence cause disappearing of local ant communities and even become extinct due to can not compete with invasive species (Holway et al. 2002). Habitat disturbance and habitat fragmentation also have important role in support-
Impact of Invasive Ant Species in Shaping Ant
ing the existence of invasive ant (Suarez et. al. 1998). In conclusion, the combination of both invasive species and habitat fragmentation will significantly effect on decreasing local ant species. ACKNOWLEDGEMENTS We are grateful to Iyus Rahman and Nina Herlina for support and cooperation during field research. This research project was funded by the Biodiversity, Ecology and Health Fund, Wildlife Trust, USA (Ref Log #: 07-08-259, 2006/2007 Grant Award). REFERENCES Bolton, B. 1997. Identification Guide to the Ant Genera of the World. London: Harvard University Press. Bos, MM., JM. Tylianakis, I. SteffanDewenter& T. Tscharntke. 2008. The invasive Yellow Crazy Ant and the decline of forest ant diversity in Indonesia cacao agroforest. BioL. Invasion 10(8): 1399-1409. Brown WL. 2000. Divesity of Ants. In: Ants: Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity (Agosti D, Mejer JD, Alonso LE, Schultz TR, eds). Washington: Smithsonian Institution Press. Clough, Y., A. Holzschuh, D. Gabriel, T. Purtauf, D. Kleijn, A. Kruess, I. Steffan-Dewenter&T. Tscharntke. 2007. Alpha and beta diversity of arthropods and plants in organically and conventionally managed wheat fields. J.Appl. Ecol. 44: 804-812.
Donlan, CJ & C.Wilcox. 2008. Diversity, invasive species and extinctions in insular ecosystems. J. App. Ecol. 45: 1-10 Eubanks MD, SA. Blackwell, CJ. Parrish, ZD. Delamar & HH. Sanders. 2002. Intraguild predation of beneficial arthropods by red imported fire ants in cotton. Envir. Ento.31: 1168-1178 Gibb, H & DF.Hochuli, 2003. Colonization by a dominant ant facilitated by anthropogenic disturbance: affect on assemblages composition, biomass and resource use. Oikos 103: 469-478 Hill, M., K. Holm, T.Vel, NJ. Shah & P. Matyot. 2003. Impact of the introduced yellow crazy ant Anoplolepis gracilipes on Bird Island, Seychelles. J. Biod. Cons12: 19691984 Hölldobler B & Wilson EO, 1990. The Ants. Canada: Harvard University Press Holway DA, L.Lach, AV.Suarez, ND. Tsutsui & TJ. Case. 2002. The causes and consequences of ant invasions. Ann. Rev. Ecol. Sys. 33: 181-233 McGlynn TE, 1999. The worldwide transfer of ants: geographical distribution and ecological invasions. J.Biogeo. 26: 535-538 McKinney ML & JL. Lockwood. 2001. Biotic homogenization: a sequential and selective process. In: Biotic Homogenization (Lockwood JL, McKinney ML, eds). New York: Kluwer Academic. Ness JH & JL. Bronstein, 2004. The Ef229
Rizali et al
fects of Invasive Ants on Prospective ant Mutualists. Biological of Invasions 6: 445-461 Olden JD, NL. Poff, MR. Douglas, ME. Douglas & KD. Faucsh. 2004. Ecological and evolutionary consequences of biotic homogenization. Trends. Ecol. Evol. 19 (1): 18-24 Perfecto I & J. Vandermeer.1996. Microclimatic changes and the indirect loss of ant diversity in a tropical agroecosystem. Cons. Ecol. 108 (3): 577-582. Rizali A., MM. Bos, D.Buchori, S. Yamane & CH.Schulze. 2008. Ants in tropical urban habitats: the
myrmecofauna in a densely populated area of Bogor, West Java, Indonesia. HAYATI J. Biosciences 15: 77-84 Schultz TR & TP. McGlynn. 2000. The interactions of Ants with other organism. In: Agosti et al. eds. Ants: Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity . Washington: Smithsonian Institution Press Suarez AV, DT. Bolger & TJ. Case. 1998. Effect of fragmentation and invasion on native ant communities in Coastal Southtern California. J. Ecol. 79(6): 2041-2055.
Received: Juli 2010 Accepted: April 2011
230
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 231-242 (2011)
Relationship Different Riparian Vegetation Cover with Stream Conditions in Cikapinis Stream, West Jawa Della Kemalasari & Devi N. Choesin School of Life Sciences and Technology, Institut Teknologi Bandung Institute of Technology E-mail:
[email protected] ABSTRAK Hubungan antra Perbedaan Tutupan Vegetasi Riparian pada Kondisi Air mengalir di kawasan Cikapinis, Jawa Barat. Vegetasi memiliki peran sangat penting di kawasan perairan yang mengalir; banyak hubungan antara tutupan vegetasi dengan aliran air dan struktur makroinvertebrata yang menghuninya. Oleh sebab itu penelitian dirancang di kawasan aliran Cikapinis Jawa barat dengan mengambil contoh stasion penelitian yang terbagi menjadi tiga lokasi yaitu di hulu, tengah dan hilir. Kawasan tengah merupakan kawasan yang terbuka karena kebakaran 8 bulan sebelum penelitian. Kawasan hulu merupakan kawasan dengan kondisi banyak tertutup oleh tumbuhan perdu yang agak berbeda dengan kondisi kawasan hilir dan diikuti dengan kawasan tengah. Di kawasan tebangan, kandungan kimia air yaitu nitrat dan orthophosphat meningkat dan diikuti penurunan indeks diversitas makroinvertebrata, rendahnya kelimpahan teristimewa terjadi pada alga larva Petrophila sp. Analisis Komponen (PCA) yang digunakan pada penelitian ini mengindikasikan adanya pengaruh antara vegetasi riparian dan kondisi fisik kimia air. Keeratan hubungan terlihat antara rendahnya tutupan vegetasi, tingginya suhu udara, intensitas sinar, kondisi tanah, nitrat, dan orthophosphat. Kata kunci: Vegetasi riparian, Aliran air, Kondisis fisik kimia, Makroinvertebrata, logging.
INTRODUCTION Riparian vegetation is an important feature of the landscape because it functions as a corridor (Forman 2001). Riparian vegetation affects stream processes as both sink and source of matter and energy. As a sink, riparian vegetation dissipates energy of flowing water, while retaining and absorbing nutrients and particles from the upland area. As a source, the production of leaf litter and woody debris contributes matter to the stream ecosystem, an important resource for organisms in first-order streams which depend mainly on
allochthonous (outside) sources of energy (Tabacchi et al. 1998 in Heartsill-Scalley &Aide 2003). Riparian vegetation also provides canopy coverage to the streambank (Sweeney etal. 2004), thus reducing diurnal temperature fluctuation, in both the terrestrial and aquatic habitats. As a consequence of the above, deforestation in riparian areas may affect the ecological assemblages in stream ecosystems, due to the lack of shade, which causes high level of solar radiation to the stream, leading to higher temperatures (Sweeney et al. 2004); and loss of woody debris and leaf litter, which 231
Kemalasari & Choesin
will alter the stream from being allochthonous (terrestrial-based productivity) to autochthonous (algaldriven) (Heartsill-Scalley and Aide 2003). The above changes, coupled with excess nutrients transported by runoff, will result in organic enrichment and changes in macroinvertebrate assemblages (Iwata et al. 2003). In other words, change in riparian vegetation due to deforestation minimizes its potential to filter nutrients from uplands to streams. To date, numerous studies have emphasized the importance of temperate riparian ecosystems, but information on tropical riparian ecosystems, is still very limited (Iwata et al. 2003). One case example to study the effects of riparian deforestation on tropical stream ecosystems is to assess Cikapinis stream, located in Ciamis Regency, southern part of West Java, which has a recent history of extensive riparian logging in 2008, eight months before this study was conducted. The objective of this study was to assess the relationship between riparian vegetation and: (1) stream water quality, and (2) stream macroinvertebrate community, in Cikapinis stream. It is hypothesized that riparian vegetation condition is related to both stream water quality and the macroinvertebrate community. MATERIALS AND METHODS The study was conducted along Cikapinis stream in Ciamis Regency, in the southern part of West Java province, Indonesia. The upstream is located at 232
07°35’51.5" (S) and 108°24’37.9" (E), with the elevation of area sampled varying between 156 meters a.s.l. at the downstream to 170 meters a.s.l. at the upstream area. Topography of the landscape was characterized by hilly steep uplands consisting of mixed foresttree plantation or rice paddy fields in areas that are less steep; all are relatively remote from settlements. Cikapinis is a small first-order stream with a length of approximately 4 km and width between 0.8 and 3.5 meters. Part of the riparian area around the midstream of Cikapinis stream experienced extensive logging and was deforested on July 2008. The logging itself eliminated a total forest area of approximately 5,700 ha (Perum Perhutani 2008) and most of the study area was burned until almost no vegetation was left. This condition lasted for about five months; in a field survey conducted in December, only red-colored bare soil and burned tree stumps remained. Cikapinis stream was sampled at three stations: upstream (station 1), midstream (station 2), and downstream (station 3); with the general assumption that station 1 can be used as reference area without disturbance in terms of logging, station 2 as a logged area, and station 3 as an area with less logging disturbance. The initial design of the study was to compare the stream with a reference stream without logging impacts, located nearby, with similar upstream conditions. However, due to field conditions and technical difficulties, the study was then conducted on only one stream; this approach is still
Relationship Different Riparian Vegetation Cover
considered acceptable, as in the study of Osborne and Kovacic (1993). Riparian vegetation was assessed for structure and composition in four plots, measuring 10 x 10 m, placed alternately on either side of the stream on each station. Vegetation structure assessment included measurements of herbaceous and shrub vegetation cover, density, and frequency; tree basal area and density; and number of species. Terrestrial physico-chemical factors were also measured for microclimate and soil characteristics. Microclimate parameters measured included light intensity, air temperature, and relative humidity, while soil characteristics measured were pH, temperature, and relative humidity. All parameters were measured with three times replication within each station. Streambank structures at the three stations were described based on measurements of width, water depth and average stream water velocity. Furthermore, stream physico-chemical characteristics were measured three times for replications, with temperature and dissolved oxygen assessed on location, while pH, orthophosphate, biological oxygen demand, and dissolved carbon dioxide concentrations were analyzed in the Aquatic Ecosystem Analysis laboratory, School of Life Sciences and Technology, Institut Teknologi Bandung. Biological oxygen demand, pH, and dissolved carbon dioxide concentrations were measured using titration method, while orthophosphate concentration was measured using stannous chloride-
spectrophotometry method. Nitrate concentration was measured using Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater 20th 1998 in Environmental Engineering Water laboratory, Faculty of Civil and Environmental Engineering, Institut Teknologi Bandung. Macroinvertebrate samples were collected from five sampling points at each station using a Surber net or Eykman grab, depending on the type of substrate. Macroinvertebrate samples were filtered with 35 nm mesh metal filter, put into clear sample plastic bags measuring 60 x 100 cm, then preserved with 40% formaldehyde. Species were analyzed under a light microscope and identified using Pennak (1953), Dharma (2005), van Benthem Jutting (1953), and Merritt and Cummins (1996) as references in the Aquatic Ecosystem Analysis laboratory, School of Life Sciences and Technology, Institut Teknologi Bandung. The macroinvertebrate community was analyzed using the Shannon (H') diversity index and Sørensen similarity coefficient (CS), and percentage of Importance Value. Vegetation coverage was analyzed statistically using non-parametric test of Kruskal Wallis, while the rest variables except for macroinvertebrate were analyzed using Principal Component Analysis (PCA) with SPSS 16 statistical program. Macroinvertebrate analysis does not included in PCA due to its complexity which could generate another PCA plot itself. PCA was used to identify underlying variables, or factors, that explain the 233
Kemalasari & Choesin
pattern of correlations within a set of observed variables, and was thus used to generate hypotheses regarding causal mechanisms (SPSS 2004). The first component has maximum variance and successive components explain progressively smaller portions of the variance. Prior to analysis, all data which have different measurement units were standardized using the Z-score method. The Kaiser criterion was applied to retain all factors with eigenvalues exceeding a value of 1 (Statistica 1991 cited in Rachmansah 2009). Using the first and second extracted components as axes, a Cartesian graph of variables was made to assess detectable pattern in the data. RESULTS In general, riparian vegetation within a width of ten meters along Cikapinis stream was composed of herbaceous plants and shrubs. Station 1 exhibited the highest Shannon diversity index (H') for all categories (herbs=2.32; shrubs=0.75; trees=0.99), indicating that riparian vegetation at station 1 was more diverse than other stations with the presence of Cocos nucifera (coconut), the only species tree present among all other stations. The Shannon diversity index for stations 2 and 3 shrubs have zero values because each station was only composed of a single species, i.e., Paraserianthes falcataria, with the same density. Riparian vegetation cover was significantly different among all stations for herbaceous cover, shrub cover, and tree basal area (non-parametric KruskalWallis test; P<0.05). Overall, station 1 234
exhibited the highest value in all categories, i.e., herbaceous vegetation cover, shrub cover, stem basal area, and number of species. Station 2 had the lowest vegetation cover, with herbaceous vegetation and shrubs covering less than 50% of the area. Station 3 contained the lowest number of species from all stations, but had an herbaceous coverage of 100% (Figure 1). In general, microclimate at station 1 was relatively favorable, with temperatures ranging between 27.2 to 27.8 °C (Table 1), lower than the other two stations. On the other hand, temperatures in logged areas or station 2 measured within the highest range (31.1 - 33.9°C), with a light intensity range of (17,170 to 190,500 lux), therefore suggesting a positive relationship between the two variables. Furthermore, soil temperature was found highest at the logged area, and lowest at areas with no logging. This may be related to light intensity and air temperature (Table 2) which may increase temperatures on exposed and less vegetated soil. The area with highest coverage exhibited the lowest average water temperature (25.4°C), while the area with lowest vegetation coverage exhibited the highest water temperature (29.9°C) (Table 3). This suggests the riparian vegetation function of shading the stream bank so that water temperature does not fluctuate rapidly during the day. Nitrate measurements were found highest at the logged area, i.e., up to 0.779 mg/L and averaged about 0.651 mg/L; while lowest nitrate concentration was
Relationship Different Riparian Vegetation Cover
found at the upstream area (0.090 mg/ L), with an average of about 0.363 mg/L (Table 3). Contrary to the downstream accumulation effect, nitrate concentrations in station 3 were lower than in logged area (0.229-0.464 mg/L). This may suggest that riparian vegetation cover at the downstream area was able to absorb excess nitrate from the logged area located in midstream. Stream water orthophosphate concentrations are low on area that are relatively covered with vegetation (station 1=0.952 to 1.160mg/ L; station 3=0.952-1.370 mg/L); while area with less vegetation coverage exhibited highest level of orthophosphate (1.056-1.797 mg/L) (Table 3). Relationship analysis between riparian vegetation cover and stream conditions was examined by Principal Component
Analysis (PCA) statistical test. The analysis yielded six principal components from seventeen variables accounted. The first principal component accounted for most of the total variance explained and reached a value of 49.8 %; whereas the second component which accounted for the next smaller progressive number reached 14.5%. The relative position of the variables on the graph indicates the degree of similarity (Figure 2). The first component (Component 1) was positively correlated with water temperature, water alkalinity, dissolved oxygen concentration in water, soil pH and temperature; and negatively correlated with relative air humidity and carbon dioxide concentration in water. Accordingly, the Component 1 axis was regarded as a habitat character
Table 1. Range of microclimate measurements at the three stations Microclimate parameters Temperature (°C) Relative humidity (%RH) Light intensity (lux)
1 27.2 – 27.8 84 – 86 11,200 – 89,500
Station 2 31.1 – 33.9 78 – 85 17,170 – 190,500
3 26.7 – 30.0 76.5 – 77 2,380 – 4,560
Figure 1. Percent cover of riparian vegetation in three stations
235
Kemalasari & Choesin
associated with an open-to-shaded gradient. Component 2 was positively correlated with soil organic content and air temperature, and negatively with water pH and soil mineral content. The axis was interpreted as a habitat gradient of burned-area character. On the other hand, less vegetated areas as represented by positive values of component 1, might be associated with the environmental characters of high light intensity, high nitrate and orthophosphate, and also higher bulk density, as relatively evident from the previous discussion. On the center of the axes, variables such as light intensity, bulk density, nitrate and orthophosphate are clustered, indicating a strong association among those variables. This suggests that higher nitrate and orthophosphate concentrations might concur with condition of high soil bulk density and light intensity. One mechanism that may involve the condition above is runoff, because increased light intensity will cause dryness of soil and increased bulk density value, which in turn may affect stream nutrient concentration, particularly during the rainy season.
Meanwhile, inversely related values of soil organic and mineral content were largely separated by component 2, which suggests higher soil organic content in station 2 from clearance burning. Water temperature, alkalinity, and soil pH are also somewhat grouped into a distinct cluster. This suggests that all of the above parameters are interlinked one to another. In conclusion, PCA analysis generated two components that may explain all of the variances in all of the variables, i.e open-to-shaded area and burned area characteristics. All variables included in the analysis followed the two characteristics above to explain general relationship between riparian vegetation cover and stream condition. Furthermore, the relationship analysis between riparian vegetation cover with macroinvertebrate communities had to be done separately and is summarized in Table 4, with increasing Shannon diversity index in line with increasing vegetation cover. In addition, the functional feeding groups for macroinvertebrate species that have highest importance values differed from one station to another (Table 4). Macroinvertebrate community on station 2 had a higher abundance-to-
Table 2. Range of soil measurements at the three stations Soil parameters Temperature (°C) pH Humidity (%) Organic content (%) Mineral content (%) Bulk density
236
1 22.0 – 26.0 6.0 – 6.4 70.39 – 92.97 76.09 – 88.69 11.31 – 23.91 0.71 – 0.76
Station 2 30.0 – 32.0 6.2 – 6.8 55.98 – 80.26 92.67 – 92.99 7 – 7.33 0.80 – 0.87
3 29.0 – 30.0 6.4 – 6.8 48.74 – 84.82 85.54 – 92.43 7.57 – 14.45 0.59 – 1.00
Relationship Different Riparian Vegetation Cover
richness ratio among all stations (A/ R=23.36) (Table 4). This suggests that riparian vegetation logging may have had considerable impact on macroinvertebrate species. Stressed environments will affect sensitive species that may potentially be eliminated, thus reducing the richness of the community. DISCUSSION The shrubs at all stations were dominated by Paraserianthes falcataria, herbaceous cover at stations 2 and 3 were mainly composed of several native species and a few species of grass (e.g., Crassocephalum crepidioides and Paspalum conjugatum with importance values of 20.04% and 29.85% respectively). Grass buffers can also intercept pollutants (Lee et al. 2003, in Sweeney et al. 2004), but not as effective as trees or shrubs. The dense ground cover may be effective in trapping sediments from upland and preventing the movement of debris during storm events, but it gives minimal shading to streams that may support algal
productivity, as assumed to be the case at station 3. Highest measurement of soil bulk density at station 2 may indicate more soil compaction in the logged area. Increased bulk density will also lead to decreased porosity and soil infiltration rates (Prakoso 2005 in Syaufina 2008), thus becoming more susceptible to factors causing erosion and floods. Soil organic content in the logged area also reached the highest value of up to 92.99%. Organic carbon content tends to increase eight months after clearance burning (Yudasworo 2001 in Syaufina 2008). This suggests that loss of riparian vegetation decreased the potential of the riparian area to absorb nutrients before washing into the stream bank. Slight differences in concentration exceeding normal levels may have to be considered because increasing water temperatures may amplify the reactivity of pollutants and hence the effects of logging would be more severe. Increased levels of phosphorus in water often results in immediate enhancements of rates of algal photosynthesis and growth (Hart and Robinson 1990 cited in Wetzel 2001),
Table 3. Stream water parameters at the three stations Water parameters Temperature (°C) Dissolved oxygen (mg/L) pH Dissolved carbon dioxide (mg/L) Alkalinity (m.eq/L) Total suspended solid (g) Nitrate concentration (mg/L) Orthophosphate concentration (mg/L)
1 25.3 - 25.4 7.65 - 7.97 7.13 - 7.18 60 – 70 76 – 83 0.02 - 0.05 0.090 - 0.603 0.952 - 1.160
Station 2 29.8 - 29.9 7.68 - 7.69 8.13 - 8.15 30 - 40 258 - 266 0.10 - 0.11 0.43 - 0.779 1.056 - 1.797
3 29.6 - 29.7 7.88 - 7.89 8.10 - 8.13 30 – 45 274 – 277 0.11 - 0.13 0.229 - 0.464 0.952 - 1.370
237
Kemalasari & Choesin
Table 4. Macroinvertebrate species abundance and richness in the three stations. Station
Vegetation coverage
Abundance
28
1
Richness
17
Macroinvertebrate A/R
1.65
H’
2.56 Stat.1 to Stat.2 = 35.71
(upstream - highest vegetation coverage)
257
2
Cs
11
23.36
1.67
Stat.1 to Stat.3 = 26.08
Species of Highest Importance-Value
% IV
Feeding Groups
Heptageniidae 2*
21
Algal scraper
Melanoides tuberculata
18
Grazer
Petrophila sp.*
35
Algal scraper
Heptageniidae 1*
23
Algal scraper
19
Algal scraper
Melanoides maculata
18
Grazer
Syncera woodmasoniana**
17
Grazer
14
Grazer
Ephemerellidae 1*
(midstream - lowest vegetation coverage)
473
3
29
16.31
2.46
Stat.2 to Stat.3 = 1.5
Lymnaea sp.2
(downstream medium vegetation coverage)
as assumed to be the major factor for high diatom productivity observed (Asthary 2009). Furthermore, vegetation cover is interpreted to have similar characteristics with soil humidity, water CO2 and relative air humidity, while on the other hand, is inversely related to soil and water temperature (Fig. 2). Stream water values for CO2 indeed has an inverse relation to pH and air temperature (Wetzel 2001) due to the water buffering 238
system of inorganic carbon. This probably means that high cover of riparian vegetation might affect the stream to have lower water temperature, lower pH and high CO2 content. PCA plot showed that vegetation cover is related to soil humidity, water CO2 and relative air humidity; while on the other hand, is inversely related to soil and water temperature. Less vegetated areas might be associated with high light intensity, bulk density, nitrate and
Relationship Different Riparian Vegetation Cover
orthophosphate, as represented by clustered positive value in component 1, indicating a strong association among those variables. Increasing light intensity will cause increased soil dryness and bulk density, which in turn may affect nutrient runoff, particularly during the rainy season. Higher nutrient runoff to the stream may be associated with high diatom productivity, which supported the life of aquatic insect community in logged area compared with other stations. In other words, the alterations of riparian area are indirectly associated with stream conditions and stream macroinvertebrate communities. Based on Table 4, station 1 with high vegetation coverage is assumed to have a more diverse macro invertebrate community, so that species with different functional feeding groups (e.g. algal
scraper and grazer) but with the same activities (herbivores) can coexist in one location. This might be due to the presence of predators that have a strong interaction and effect on its prey, keeping an overall balance of species abundance and composition. The presence of fish as top predator (Kemalasari 2009, unpublished data) suggests that stream biotic integrity is still preserved, along with diverse fauna found in station 1. Paine (1969 in Molles 2005) concluded that predators may increase species diversity. Therefore, the presence of fish in station 1 as top-predator indicates a relatively good stream condition. Diversity index was found highest in station 1 (H’=2.56), contrasts with the lowest in station 2 or logged area (H’=1.67). Species composition in station 2 was almost entirely aquatic insect larvae and dominated by aquatic moth
Figure 2. Principal Component Analysis plot for environmental variables and vegetation cover
239
Kemalasari & Choesin
larvae Petrophila sp., a genus of Lepidoptera which has an aquatic larval stage (Merritt and Cummins 1996). The larvae have an exceptional importance value of 35% and thus became a single dominant species on the community. The presence of Petrophila sp. is considered a subject to further study about its correlations with deforestation indicative. The abundance of the species was probably due to high supply of diatoms (Asthary 2009) as increasing light intensity favor the growth of abundant periphytic algae, in addition to stream orthopshosphate concentration. Sources of nutrients from the adjacent area would increase productivity of diatoms, which will further increase dissolved oxygen content, as was evident during day measurements. As the vegetation canopy shades incident light and reduces water temperatures thus inûuencing primary productivity (Boothroyd et al. 2001), the absence of riparian vegetation will shade out the stream bank and increase light penetration into stream, and thus increase aquatic primary production from algae (autochthonous source). The light penetration may also lead to high fluctuation of diurnal temperature (Sweeney et.al 2004) that may not support many species, as indicated by low diversity index in the logged area. Another possible explanation regarding the distinct difference in macro invertebrate composition in station 2 was the difference in substrate type. Substrate plays an important role in determining macro invertebrate composition on stream (Molles 2005), although an oversimplified food chain may suggest an 240
environmental stress condition (Mason 1981). The absence or low number of predators suggests a stressed or imbalance environment where one or several species takes advantage of remaining abundant resources while the others cannot survive by reduction mechanisms of competitive exclusion. Increasing light penetration in station 3 due to lack of vegetation canopy also favored algae supply for gastropods and bivalves, coupled with more alkaline water that is crucial for shell growth (Pennak 1953). Although the abundance of species was very high, it was relatively comparable to its number if species (i.e. species richness) so that abundance-torichness ratio is kept lower than that of the logged area in station 2. In conclusion, vegetation cover on the three stations may have indirect relationships with macroinvertebrate communities. Several factors may also involve in determining the condition, i.e substrate, predators, and local microclimate conditions. But in general, riparian vegetation condition may be a good predictor of the stream condition and its macroinvertebrate communities. CONCLUSIONS Based on the results of this study, it can be concluded that: Upstream riparian vegetation, reaching 100% coverage of herbs, shrubs and trees is associated with lower water temperature, nitrate and orthophosphate concentrations, and a more diverse macroinvertebrate community.
Relationship Different Riparian Vegetation Cover
Low vegetation cover is associated with high stream nutrient concentration, solar radiation (light intensity) and soil bulk density. One mechanism that may connect all the above parameters is runoff, which becomes particularly apparent in rainy season. Riparian deforestation leads to higher water temperature and algal productivity that may favor tolerant herbivorous macroinvertebrate species, but on the contrary, reduces sensitive species as well as overall species diversity. Stream macroinvertebrate assemblages along the deforested riparian area is marked by the abundance of Petrophila sp, an aquatic caterpillar larvae, together with the abundance of mayfly families (Heptageniidae and Ephemerellidae), which indicate logging activities on the area. The relationship between riparian vegetation cover with stream condition is largely explained by two factors or characteristics, i.e., open-to-shaded area and burned area. All variables measured follow those characteristics to explain the complex relationship found in Cikapinis stream and its riparian area. Riparian vegetation may be a good predictor of the stream condition and its macroinvertebrate communities. REFERENCES Asthary, PB.2009. Struktur dan Komunitas Diatom Perifiton di Sungai Cikapinis, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Skripsi
Sarjana Program Studi Biologi SITH ITB. Boothroyd, IKG, Quinn JM, Langer ER, Costley KJ, Steward G (2004) Riparian Buffers Mitigate Effects of Pine Plantation Logging on New Zealand Streams: 1. Riparian Vegetation Structure, Stream Geomorphology and Periphyton. For. Ecol.Manag. 194:199-213. Dharma, B. 2005 Recent and Fossil Indonesian Shells. Conchbooks, Hackenheim. Forman, RTT (2001) Land Mosaics: The Ecology of Landscape and Regions. Cambridge University Press, Cambridge. Heartsill-Scalley, T & TM. Aide 2003. Riparian Vegetation and Stream Condition in a Tropical Agriculture - Secondary Forest Mosaic. Ecol. Appl. 13 (1) : 225 - 234. Iwata, T, S. Nakano, M. Inoue 2003. Impacts of Past Riparian Deforestation on Stream Communities in a Tropical Rain Forest in Borneo. Ecol. Appl. 13 (2) : 461 - 473. Merritt, RJ & KW. Cummins. 1996. An Introduction to the Aquatic Insects of North America. Taken from www.googlebooks.com [accessed August 6, 2009]. Molles Jr, MC. 2005. Ecology, 3rd edn. McGraw-Hill, New York. Osborne, LL. DA. Kovacic.1993. Riparian Vegetated Buffer Strips in Water-Quality Restoration and Stream Management. Freshwater Bio. 29 : 243 - 258.
241
Kemalasari & Choesin
Pennak, RW (1953) Freshwater Invertebrates of the United States. Ronald Press, New York: Sweeney, BW, TL. Bott, JK. Jackson, LA. Kaplan, JD. Newbold, LJ. Standley, WC. Hession, RJ. Horwitz. 2004. Riparian Deforestation, Stream Narrowing, and Loss of Stream Ecosystem Services. Proc. Nat. Acad. Sci 101 (39) : 14132 - 14137. Syaufina, L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia : Perilaku Api,
Penyebab, dan Dampak Kebakaran. Bayumedia Publishing, Malang. van Benthem Jutting, WSS. 1953. Systematic Studies of the NonMarine Mollusca of the IndoAustralian Archipelago V. Critical Revision of the Javanese Freshwater Gastropods. Treubia 22:19-73. Wetzel, RG. 2001. Limnology : Lake and River Ecosystems, 3rd edn. San Diego: Academic Press.
Received: Juli 2010 Accepted: April 2011
242
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 243-249 (2011)
Affect of Canopy Stratum and Methods of Breaking Seed Dormancy on Seedling Growth of Calliandra tetragona Beth. and Acacia tamarindifolia (L.) Willd. Indriani Ekasari Cibodas Botanical Garden- Indonesia Institute of Sciences, (LIPI). Email:
[email protected]. ABSTRAK Pengaruh Strata Tajuk Pohon dan Metode Pemecah Dormansi Biji Terhadap Pertumbuhan Semai Kaliandra (Calliandra tetragona Benth.) dan Akasia (Acacia tamarindifolia (L.) Willd.) Fase semai merupakan langkah awal untuk pertumbuhan suatu pohon. Diduga terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan semai yang berasal dari biji. Beberapa faktor tersebut antara lain pengaruh penerimaan cahaya matahari terhadap letak buah pada strata tajuk pohon serta metode pemecahan dormansi biji pada tipe biji ortodok menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Sedangkan jenis-jenis pohon yang diuji pada studi ini adalah Kaliandra (Calliandra tetragona Benth.) dan Akasia (Acacia tamarindifolia (L.) Willd.). Kedua jenis pohon ini merupakan jenis tanaman multi fungsi karena dapat digunakan sebagai tanaman perintis (pioneer species). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan semai yang paling baik dengan menentukan letak buah pada posisi strata tajuk serta menentukan metode pemecah dormansi biji yang paling tepat untuk biji ortodok. Lokasi penelitian berada di wilayah UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas-LIPI. Pengujian pengambilan buah pada kedua jenis pohon dibagi menjadi 2 strata tajuk (atas dan bawah) dan metode pemecahan dormansi biji dibagi menjadi 3 (kontrol, fisik dan mekanis). Setiap satu jenis pohon terdapat 6 kombinasi perlakuan. Sedangkan setiap kombinasi perlakuan berisikan 100 biji dan hanya 20 semai yang dihitung untuk sample pada tiap kombinasi perlakuan. Penelitian ini dilakukan hingga semai berumur 3 bulan. Parameter pengamatan pertumbuhan semai ini adalah panjang batang dan panjang akar. Hasil ANOVA didapatkan hasil pertumbuhan batang kedua jenis pohon tersebut signifikan (0,026) pada level 5% untuk interaksi jenis pohon, strata tajuk pohon dan metode pemecahan dormansi. Hasil pada pertumbuhan panjang akar terlihat signifikan (4,239) pada level 5% untuk interaksi antara jenis tanaman dan strata tajuk pohon. Sedangkan interaksi antara metode pemecah dormansi dan jenis pohon signifikan (20,332) pada level 1%. Kata kunci: Strata tajuk, Pemecah dormansi biji, Pertumbuhan semai.
INTRODUCTION Plant propagation is the important point of species to survive and existence on the earth. Commonly, a species reproduction process result a seed. A
seed contains the embryo from which a new plant will grow under proper conditions. Seed also usually contain a supply of stored energy and it is wrapped in the seed coat or testa. The seed coat helps protect the embryo from 243
Indriani Ekasari
mechanical injury and from drying out. The seed coat also causes dormancy seed viability such as seed on Fabaceae family. Fabaceae has an orthodox seed characteristic to storage. The orthodox seed was has ability to be stored the seed for years even though centuries. Seed dormancy stage has usually occurs so that the seed metabolic on ripening stage was not active (Schmidt 2002). Seeds of annual Fabaceae have physical dormancy level, which means that seeds need scarification method to open the seed coat, but under natural conditions, germination occurs in response to rainfall (Dauro et al. 1997 in Baskin & Baskin 2001). Some artificial softening of waterimpermeable seed coats are mechanical scarification, acid scarification, enzymes, organic solvent, percussion, high atmospheric pressures, wet heat, dry heat, etc. Sahupala (2007) said that mechanical and physical scarification could be chosen to break the dormancy on Fabaceae seeds. Smith et al. (2003) said that seed collection activity should aim to ensure that seed had been collected at peak quality such that their longevity in the seed bank is optimal. Seed maturity was therefore an important consideration; harvest too early and losses may be incurred because the seeds have not yet acquired desiccation tolerance and because the seeds loose viability more rapidly in storage due to impaired longevity. Kaliandra (Calliandra tetragona Benth.) and Akasia (Acacia tamarindifolia (L.) Willd.), from Fabaceae family or well known as legumes, were the chosen species in this study. C. 244
tetragona species, which has white flowers, has proved to be slower growing than C. calothyrsus. Kaliandra trees mature rapidly and usually flower and bear fruit within their first year. In Indonesia they set flower year-round but most seed produced in June-September. Akasia leaves were used to in rations mixed with ammoniated rice straw and maize hominy, it was evaluated for growing goats in Venezuela. The role of legumes, with their nitrogen fixing capability, energy resources as fuel wood and woodland understories, should be an important component of praire restoration or rangeland rehabilitation efforts in the future (Dittus & Muir 2010). To obtain seed for planting, the pods are collected when they turn brown. After 1 or 2 days of drying in the sun, they open to expose the seed inside. The seeds can be germinated without treatment, but they germinate more quickly if boiling water is poured over them and they are allowed to cool and soak for 24 hours or seed physical scarification (Anonymous 1983). Seedling quality depends on the ability to produce new roots quickly, a well developed root system, a large root collar diameter and a balanced shoot: root ratio. The shoot : root ratio is an important measure for seedling survival. It relates the transpiring area (shoot) and to the water absorbing area (root) (www.w o r l d a g r o f o re s t r y c e n t r e . o rg - / NurseryManuals/Community/ SeedQuality.pdf). The reason to divide canopy strata for seed procurement was the difference of sunlight absorbed by canopy. van Noordwijk & Lusiana (2002)
Affect of Canopy Stratum and Methods of Breaking Seed
said that sunlight as one of environmental factors that might influence tree growth such as the growth of fruits, trunks, leaves and roots. The two other factors are nutrients and water. Sitompul (2002) also said that plant biomass production including the economical part (part for harvesting) was resulted by photosynthesis process. Sunlight is as an important source for photosynthesis process on plant. Also it influenced the production of seeds as photosynthesis result. Meanwhile, the canopy stratification was the important point to know which canopy strata has good seeds to germinate. The aims of this study were to compare 2 tree canopy stratum position to collect the fruits and 3 methods of breaking seed dormancy on Kaliandra and Akasia seedlings growth as bioenergy resources. MATERIALS AND METHODS The research was conducted in Cibodas Botanical Garden (CBG) area for 4 months from July until November 2009. The activities included seed procurement, seed selection, observation on seed germination and seedling growth measurements (shoot and root length). The seeds were collected from stands on CBG. After seed selection has been done, the seeds were sowed into sand media in the pot-tray inside CBG’s glass house. The data of seed viability were collected every 2 days. The measurement of shoot and root length were collected in the end of observation or when the seedlings was 3 months old after germination. The experimental
design consisted of 2 legume species: 1) Kaliandra (Calliandra tertagona Benth.) and 2) Akasia (Acacia tamarindifolia (L.) Willd.), 2 canopy stratification: 1) upper canopy and 2) below canopy; and 3 breaking seed dormancy methods: 1) control, 2) mechanical and 3) physical. The examined species were Kaliandra and Akasia, from Fabaceae family, were selected for this study based on their potential for rehabilitation area (Anonymous 1983). To abrasive surface of seed coat on sand paper was applied for mechanical breaking seed dormancy method. To soaking seed in to warm water (80º C) for 12 hours was done as physical scarification method. Each experimental unit consisted of combination between canopy stratification and breaking seed dormancy. There are 6 treatment units on seed observation. Each treatment unit has 100 seeds and only 20 seedlings were measured for shoot and root length. The shoot length was measured from bottom point of stem until point of growth of stem. The root length was measured from upper point of root growth until point of growth of root. One Way ANOVA was used in this data analysis to find the affect of canopy stratification and breaking seed dormancy to seedlings growth. RESULTS The lowest seed viability was showed by Kaliandra’s seed on seed procurement from below canopy and control breaking seed dormancy (14%). The highest percentage of seed viability 245
Indriani Ekasari
Figure 1. Graphic for percentage of seed viability versus treatment on seedling growth for Kaliandra and Akasia species
(93%) on Akasia’s seed is showed by seed procurement from upper canopy and control breaking seed dormancy. The lowest percentage of seed viability (50%) on Akasia’s seed is showed by seed procurement from lower canopy and physical breaking seed dormancy. On average the percentage of mechanical breaking seed dormancy method was lower than physical and control methods for Acacia’s seed germination. Figure 1 showed the percentage of seed viability versus treatment on seedling growth for Kaliandra dan Akasia species. The data of shoot growth interactions among canopy stratification, breaking seed dormancy and two examined species was significant. The data for shoot growth of Kaliandra dan Akasia species can be seen on Table 1. Shoot growth on seedlings of two species were affected by different canopy strata of seed procurement and breaking seed dormancy methods. The seeds which were harvested from different canopy strata have different ripen physiology.
246
The data of root growth interactions between canopy stratification and two examined species was significant. The reason was seeds have diverse andcomplex responses to the environmental stress during seed development and it decreased seed quality. Dewley & Black (1994) said that stresses such as water deficits, low or high temperature, nutrient deprivation, and shading can occur at any time during seed development. The effect of these stresses on seed development may be magnified and greater than the sum of the individual stresses. Furthermore interactions between breaking seed dormancy methods and two examined species was significant choosing the right breaking seed dormancy method was important for Fabaceae’s seeds. The data for shoot growth of Kaliandra dan Akasia species can be seen on Table 2. DISCUSSION Seed germination rates and uniformity are important factors in establishing viable native species. Many legumes have high percentage of
Affect of Canopy Stratum and Methods of Breaking Seed
Table 1. One Way ANOVA for shoots growth of Kaliandra and Akasia species.
Source
Df
Canopy strata Breaking seed dormancy Species Canopy strata X Breaking seed dormancy Canopy strata X Species Breaking seed dormancy X Species Canopy strata X Breaking seed dormancy X Species Error
1 2 1 2 1 2 2 108
Mean Square 4.219 81.389 306.241 0.887 37.744 68.909 10.883 2.870
F 1.470ns 28.358** 106.704** 0.309ns 13.151** 24.010** 3.792*
Table 2. One Way ANOVA for shoots length of Kaliandra and Akasia species.
Source
Df
Canopy strata Breaking seed dormancy Species Canopy strata X Breaking seed dormancy Canopy strata X Species Breaking seed dormancy X Species Canopy strata X Breaking seed dormancy X Species Error
1 2 1 2 1 2 2 108
Mean Square 10.561 174.481 140.833 7.899 37.856 181.592 17.980 8.931
F 1.182ns 19.535** 15.768** 0.884ns 4.239* 20.332** 2.013ns
hardseededness. The most common and successful methods for increasing water upake by legume seed includes mechanical (seedcoat abrasion), immersion in sulphuric acid, and soaking in hot water (Haferkamp and others 1984; Muir and Pitman 1987 in Dittus and Muir 2010). Kaliandra (Calliandra tetragona Benth.) and Akasia (Acacia tamarindifolia (L.) Willd.) have an orthodox seed type and they also have different ability to break the seed dormancy (Hong et al. 1998). Kaliandra’s seeds have very low ability to breaking seed dormancy in control method for breaking seed dormancy. This
condition was different to Akasia’s seeds, they could break seed dormancy in control method. the data showed that all seeds which were collected from upper canopy have higher percentage on seed viability than from the lower canopy. On Kaliandra’s seed, the unit for seed procurement from upper canopy and mechanical breaking seed dormancy showed the highest percentage of viability (100%). Different canopy stratification has an affect on seed germination on Kaliandra. The upper canopy has received more sunlight radiation than lower canopy, it increases the ability of seed germination. Sitompul 247
Indriani Ekasari
(2002) said that the affect of sunlight radiation on plant growth can be seen clearly on plant that grows below another plant. The plant growth was slower than plant that grows upper the below plant. The mechanical breaking seed dormancy has the higher affect on seed viability than other breaking seed dormancy for Kaliandra’s seed. Baskin and Baskin (2001) said that is caused by mechanical breaking seed dormancy method will create a small hole in the seed coat and water enters through this opening. Baskin & Baskin (2001) said that the mechanical method did not work well for thick-coated seeds like those of Acacia spp. It occurs when photosynthesis was not in good process in all canopy strata. Schmidt (2000) said that the high physiology quality was needed to gain viability capacity and high seed vigor, and it will (Bewley & Black 1994) take a longer time for very young embryos to germinate than older ones and the former dependent on the nutrient medium for survival than the latter. This is because early during development the embryos initially lack sufficient nutrients to support their development to the germination stage, and also lack nutrients and stored reserves to support germination and postgermination growth. CONCLUSIONS 1.There were 2 canopy strata division for seed procurement, they were upper canopy and lower canopy. The highest percentage for seed viability on Kaliandra (Calliandra tetragona 248
Benth.) and Akasia (Acacia tamarindifolia (L.) Willd.) was on seed procurement from upper canopy. 2.There were 3 breaking seed dormancy methods, they were control, physical and mechanical. The highest percentage for seed viability on Kaliandra was on mechanical breaking seed dormancy method. And for Akasia seed was on control breaking seed dormancy method. 3.The data of shoot growth interactions among canopy stratification, breaking seed dormancy and two examined species was significant. The data of root growth interactions between canopy stratification and two examined species was significant. Also for interactions between breaking seed dormancy methods and two examined species was significant. REFERENCES Anonymous. 1983. Calliandra: A Versatile Small Tree for the Humid Tropics. Innovations in Tropical Reforestation. Report of an Ad Hoc of the Advisory Committee on Technology Innovation Board on Science and Technology for International Development Office of International Affairs National research Council. National Academic Press. Washington, D.C. USA. Baskin, CD. & JM. Baskin. 2001. Seeds. Ecology, Biogeography, and Evolution of Dormancy and Germination. Scool of Biological Sciences. University of Kentucky. Academic Press. USA.
Affect of Canopy Stratum and Methods of Breaking Seed
Bewley, JD & M. Black. 1994. Seeds. Physiology of Development and Germination. Second Edition. Plenum Press. New York. USA. Dittus, DA. & JM. Muir. 2010. Breaking Germination Dormancy of Texas Native Perennial Herbaceous Legumes. J. Nat. Plants 11:5-10. Hong, TD., S. Linington & RH. Ellis. 1998. Compendium of Information on Seed Storage Behaviour. Volume Two I-Z. Royal Botanic Gardens, Kew. England.http:// dictionary.sensagent.com/seed/enen/, 2009 Sahupala, A. 2007. Teknologi Benih. Pelatihan Penanaman Hutan di Maluku dan Maluku Utara, Ambon. Panitia Implementasi Program NFP-FAO Regional Maluku dan Maluku Utara. Indonesia. Schmidt, L. 2002. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis. Direktorat Jendral
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan. Jakarta. Indonesia. Smith, RD., JB. Dickie,SH. Linington, HW. Pritchard, &RJ. Probert. 2003. Seed Conservation. Turning Science Into Practice. Royal Botanic Garden Kew. England. Van Noordwijk. M & B.Lusiana. 2002. WaNuLCAS. Model Simulasi untuk Sistem Agroforestri. International Centre for Research on Agroforestry. Southeast Asian Regional Research Programme. Bogor. Indonesia. Sitompul, SM. 2002. Radiasi dalam Sistem Agroforestri. Bahan Ajar 5. WaNuLCAS. Model Simulasi untuk Sistem Agroforestri. International Centre for Research on Agroforestry. Southeast Asian Regional Research Programme. Bogor. Indonesia. w w w. w o r l d a g r o f o r e s t r y. o r g / NurseryManuals/Community/ SeedQuality.pdf, 2010.
Received: Juli 2010 Accepted: April 2011
249
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 251-261 (2011)
Shoot Tip Culture of Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl. In Vitro Lazarus Agus Sukamto1, Mujiono2, Djukri2, & Victoria Henuhili2 1
Research Center for Biology – Indonesian Institute of Sciences. Jl. Raya Jakarta - Bogor Km 46 Cibinong 16911, E-mail:
[email protected] 2 Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta ABSTRAK
Kultur Pucuk Tanaman Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl. secara In Vitro. N. albomarginata adalah kantong semar kerah putih (white collared pitcher plant), salah satu tanaman pemakan serangga yang sangat menarik sebagai tanaman hias. Tanaman ini terancam punah karena pengambilan dan kerusakan habitatnya. Penelitian perbanyakan secara in vitro dilakukan dengan menggunakan pucuk tanaman N. albomarginata pada media formulasi setengah Murashige and Skoog (1/2 MS) dengan tambahan zat pengatur tumbuh 6benzyladenine (BA) 1 mg l-1 dengan atau tanpa kombinasi dengan á-naphthalene acetic acid (NAA) atau 4 amino 3,5,6, trichloropicolinic acid (Picloram) 0.5, 1, 1.5, and 2 mg l-1. Perlakuan kombinasi BA 1 mg l-1 dengan NAA 0.5 mg l-1 menghasilkan pertambahan tinggi tanaman terbesar. Tanaman menghasilkan jumlah daun terbanyak pada kontrol. Perlakuan BA 1 mg l-1 menumbuhkan tunas aksilar terbanyak, sedangkan kombinasinya dengan NAA 1.5 mg l-1 merupakan perlakuan yang dapat menghasilkan tunas adventif. Kombinasi BA 1 mg l-1 dan NAA 2 mg l-1 menginduksi kalus terbaik. Tanaman yang dihasilkan belum membentuk akar, tetapi pertumbuhan lebih lanjut dapat membentuk perakaran dan dapat hidup di luar botol kultur setelah diaklimasi. Kata kunci: Nepenthes albomarginata, tanaman pemakan serangga, kantong semar, kultur pucuk tunas, in vitro
INTRODUCTION Carnivorous plant has an adaptation strategy to unfavorable conditions, mostly to low nutrient availability in wet and acid soils (Adamec 1997), considers having criteria of catching or trapping prey, absorbs metabolites from prey, and utilizes these metabolites for growth and development (Lloyd 1942). The plants consist of over 600 species, out of a total about 300,000 species of vascular plants in the world (Adamec 1997). The genus Nepenthes produce pitchers from its leaf
tips, consists of 129 species, the largest genus of carnivorous plant in the world (Anonym 2010). There are many new natural and artificial hybrids among the genus Nepenthes (D'Amato 1998; Anonym 2010; Merbach & Merbach 2010). The distribution of Nepenthes is restricted to tropical areas of the old world. Its habitats are very diverse: limestone cliffs that continually damp, sand areas that have wet and dry season, swamps that under water part of the year, sea shores, epiphytes on tree plants, and creepers on the surface of the soil (Pietropaolo & 251
Sukamto et al.
Pietropaolo 1986). These plants have been used for medication, the fluid of unopened pitchers have been used as a laxative, remedy for burns, coughs, inflamed eyes, bed wetter's, fever, stomachache, dysentery, and various skin disorders. The open pitchers have been used as pots to carry water and cook food, the vines have been used as a cordage; and use for ornamental purposes (Perry & Metzger 1980; Pietropaolo & Pietropaolo 1986; Phillips & Lamb 1996; D'Amato1998; Puspitaningtyas & Wawangningrum 2007). N. albomarginata is one of the carnivorous plants, a tropical plant native to Borneo, Sumatra, and the Malay Peninsular, characterized by coriaceous leaf in texture and lack of petioles, tendrils are up to 20 cm long, an attracted white collar of velvety hairs directly beneath the peristome, pitcher size can be up to 15 cm high, the color usually is green, but there are red, purple, and black forms. It feeds mainly on termites (D'Amato 1998; Moran et. al. 2001; Merbach & Merbach 2010). Nepenthes spp. in Southeast Asia are in danger of extinction because of over exploitation, clear-cut deforesting, area conversion to settlements, mount eruption, climate change, and pollution (D'Amato 1998; Puspitaningtyas & Wawangningrum 2007). These plants could be propagated by seed, stem cutting, air layering, and ground layering (Pietropaolo & Pietropaolo 1986). Sexual propagation by seed has pollination problem because male and female flowers occurred on different plants. Vegetative 252
propagation by cutting or layering takes long time and low results. Vegetative propagation by tissue culture (in vitro) is a good choice to get a lot number of uniform plants in relatively short time in order to conserve, reduce exploitation on wild stocks, and replenish declining populations in the habitat. Some carnivorous plants had been propagated successfully by tissue culture, such as Cephalotus follicularis (Adams et al. 1979a), Dionaea muscipula (Teng1999; Jang et al. 2003), Drosera intermedia, D. hilaris, D. brevifolia, D. rotundifolia, D. capensis, D. binata, D. omissa, D. peltata, D. indica (Kulkulczansa 1991; Anthony 1992; Sukamto 1999; Kim & Jang 2004; Jayaram & Prasad 2007), Drosophyllum lusitanicum (Goncalves & Romano, 2005), Nepenthes khasiana (Latha & Seeni 1994), Pinguicula moranensis, P. lusitanica (Adams et al. 1979b; Goncaves et. al. 2008), and Urticularia inflexa (Ram et al. 1972). The best formulation of culture medium was ½ MS (Anthony 1992; Kim & Jang 2004; Goncalves et al. 2008). There is no report on N. albomarginata tissue culture; those successes on other carnivorous plants could be used as references for in vitro propagation of N. albomarginata. MATERIALS AND METHODS Seeds of N. albomarginata originated from West Sumatra, grown in vitro on half strength of macro and micro elements of MS basal medium formulation (Murashige & Skoog 1962). Plantlets grown from the seeds in vitro were cut
Shoot Tip Culture of Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl.
their 1 cm shoot tips with five leaves used as explants. Each explant was grown on each culture bottles that contain 20 ml medium of ten series treatments with 12 replications. There were 120 shoot tip explants of N. albomarginata for experimental study. Media culture based on MS basal medium consisted of Mg SO4.7H2O 185 mg l-1, CaCl2.2H2O 220 mg l-1, KNO3 950 mg l-1, NH4.NO3 825 mg l-1, KH2PO4 85 mg l-1, FeSO4.7H2O 13.9 mg l-1, MnSO4.7H2O 11.15 mg l-1, ZnSO4.7H2O 4.3 mg l-1, H3BO3 3.1 mg l-1, glycine 2 mg l-1, vitamin B1 0.1 mg l1, vitamin B6 0.5 mg l-1, nicotinic acid 0.5 mg l-1, KI 0.415 mg l-1, CoCl2.6H2O 0.0125 mg l-1, CuSO4.5H2O 0.0125 mg l-1, NaMoO4.2H2O 0.0125 mg l-1, myoinositol 100 mg l-1, sucrose 20 g l-1, and phytagel 2 g l-1 with addition of BA at 1 mg l-1 with or without NAA or Picloram at 0.5, 1, 1.5, 2 mg l-1. The pH was adjusted to 5.7 - 5.8, before it was autoclaved. The medium of 20 ml was poured into 100 ml culture bottle, autoclaved at 1210C and 1 kg cm-2 pressure for ten minutes. The experimental design was a randomized complete design (RCD) with one factor of hormone doses. There were ten treatments: (1) 0.5 MS (control), (2) BA 1 mg l-1, (3) BA 1 mg l-1 + NAA 0.5 mg l-1, (4) BA 1 mg l-1 + NAA 1 mg l-1, (5) BA 1 mg l-1 + NAA 1.5 mg l-1, (6) BA 1 mg l-1 + NAA 2 mg l-1, (7) BA 1 mg l-1 + Picloram 0.5 mg l-1, (8) BA 1 mg l-1 + Picloram 1 mg l-1, (9) BA 1 mg l-1 + Picloram 1.5 mg l-1, (10) BA 1 mg l-1 + Picloram 2 mg l-1. The cultures were incubated at 26 ± 1 0C under 16:8 photo-
period with TL lamp 40 watt. The parameter growth of increasing plantlet height, increasing leaf number, axillary shoot number, adventitious shoot number, percentage of dried leaf, percentage of forming calli, quantitative and qualitative calli, and root formation were recorded every 2 weeks until 12 weeks of culture (WOC). Increasing plantlet height was measured by substracting plantlet height to plantlet height 2 weeks before. This measurement was also same for increasing leaf number. Axillary shoot is the shoot grown from node, whereas adventitious shoot is the shoot grown from other parts of the node. Good callus is white color, wet, and can grow further, whereas bad callus is black color, dry, and did not grow further. Data were analyzed with analysis of variance (ANOVA) to know differences among treatments, followed with Duncan's multiple range test (DMRT), Procedure of Statistical Product and Service Solution (SPSS) 12.00 for Windows. RESULTS Increasing Plantlet Height and Leaf Number Hormone treatments were not significantly different on increasing plantlet heights of N. albomarginata but the average of plantlet height was higher in control than other treatments on 2 WOC. The explants produced the highest plantlets on 4 WOC in media with addition of BA 1 mg l-1 or its combination with NAA 1 mg l-1. Later on, shoot tips of N. albomarginata produced the highest plantlets on 6 - 12 WOC in media with 253
Sukamto et al.
addition of BA 1 mg l-1 + NAA 0.5 mg l1. Increasing plantlet height decreased by increasing NAA doses combined with BA; even combination of BA and Picloram at 1 - 2 mg l-1 did not have any increasing plantlets height (Figure 1 A; Table 1). N. albomarginata shoot tips produced the highest leaf number in control on 2 - 4 WOC. The addition of BA 1 mg l-1 + NAA 0.5 mg l-1 produced the highest leaf number on 6 - 10 WOC. The addition NAA at higher dose than 0.5 mg l-1 inhibited leaf growth (Figure 1 B). Later on, N. albomarginata produced the highest leaf number in control on 12 WOC (Table 1). Axillary and Adventitious Shoot Numbers Shoot tip explants of N. albomarginata have not produced any
axillary shoot on 2 WOC. They started to produce axillary shoots at BA 1 mg l-1 treatment or it's combined with NAA 0.5 mg l-1 and NAA 1.5 mg l-1 on 4 WOC. Axillary shoot number at BA 1 mg l-1 was significantly higher compared to those other treatments on 6 - 12 WOC, its combination with NAA inhibited producing axillary buds. The combination of BA and Picloram did not produce any axillary shoot (Figure 2 A; Table 1). Shoot tip explants of N. albomarginata started to produce adventitious shoots in media with addition of BA 1 mg l-1 + NAA 1.5 mg l-1 on 6 WOC (Figure 2 B). The other treatments did not produce any adventitious shoot (Table 1) Dried leaf Explants had been cut and grown in media culture, became stress and showed
Table 1. Effects of BA, combined with NAA or Picloram on growth, dried leaf and callus formation of N. albomarginata shoot tip on 12 WOC Hormone Treatments (l-1)
Increasing Height (mm)
Leaf Number
Shoot Numbers Axillary
Adventi.
Dried Leaf (%)
Callus Formation %
Quan
Qualit.
tit.
1/2 MS (Control)
3.50 ab
5.58 a
0.00 b
0.00 a
24.12 de
0.00 c
-
-
BA 1.0
3.50 ab
4.92 ab
1.58 a
0.00 a
9.20 e
0.00 c
-
-
BA 1.0+NA 0.5
4.08 a
5.42 a
0.17 b
0.00 a
12.02 e
8.33 bc
+
bad
BA 1.0+NA 1.0
3.58 ab
4.92 ab
0.00 b
0.00 a
39.25 d
8.33 bc
+
bad
BA 1.0+NA 1.5
2.83 b
3.83 bc
0.08 b
0.25 a
59.67 c
8.33 bc
+
good
BA 1.0+NA 2.0
1.67 c
3.58 c
0.00 b
0.00 a
61.37 c
41.67 a
++++
good
BA 1.0+Pic 0.5
1.18 c
1.64 d
0.00 b
0.00 a
80.62 b
0.00 c
-
-
BA 1.0+Pic 1.0
0.00 d
0.27 e
0.00 b
0.00 a
94.15 ab
36.36 ab
+++
good
BA 1.0+Pic 1.5
0.00 d
0.00 e
0.00 b
0.00 a
100.00 a
25.00 abc
++
bad
BA 1.0+Pic 2.0
0.00 d
0.00 e
0.00 b
0.00 a
100.00 a
33.33 ab
++
bad
Notes: Means in the same group followed by the same letter in the columns are not significantly different based on DMRT test at the 5% level
254
Shoot Tip Culture of Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl.
A)
B)
Figure 1. Effect of hormone treatments on increasing plantlet height (A) and increasing leaf number (B) of N. albomarginata every 2 WOC A)
B)
Figure 2. Effect of hormone treatments on axillary shoot number (A) and adventitious shoot number (B) of N. albomarginata every 2 WOC A)
B)
Figure 3. Effect of hormone treatments on dried leaf percentage (A) and calli percentage (B) of N. albomarginata every 2 WOC
drying their leaves 24.12%. The addition of BA 1 mg l-1 and its combination with NAA 0.5 mg l-1 could decrease dried leaf 9.20% and 12.02% consecutively, even though it was not significantly different. Combination of BA 1 mg l-1 with NAA
0.5 - 2 mg l-1 increased substantially the dried leaf, even combination of BA 1 mg l-1 with Picloram 0.5 - 2 mg l-1 caused deadly the explants, especially all explants died at Picloram 1,5 - 2 mg l-1 (Figure 3a; Table 1).
255
Sukamto et al.
Figure 4. N. albomarginata culture in vitro (left) and . N. albomarginata ac climatized in vivo (right)
Callus formation
Shoot tip explants of N. albomarginata started to produce callus in BA 1 mg l-1 + NAA 1.5 mg l-1 on 6 WOC. Then, producing calli occurred in BA 1 mg l-1 combined with NAA 1 - 2 mg l-1 or Picloram 1 - 2 mg l-1 on 8 WOC (Figure 3b). The best calli production occurred on combination BA 1 mg l-1 with NAA 2 mg l-1 (Table 1). Resulted calli of N. albomarginata were wet, white color, and compact on BA 1 mg l-1 + NAA 2 mg l-1, but white color and friable on BA 1 mg l-1 + Picloram 1 mg l-1 treatments. Root formation All plantlets derived from the treatments did not produce any root. However, eventually, plantlets grew further could produce pitchers and roots in vitro (Figure 4). These plantlets were acclimatized and could survive in mixture media of soil, sand, compost, coco peat, and burned rice hulls in vivo.
256
DISCUSSION The average of plantlet height of N. albomarginata was higher in control than other treatments on 2 weeks of culture. It could be the shoot tip explants have not adapted on media with addition of exogenous hormones. Later on, shoot tips of N. albomarginata produced the highest plantlets in media with addition of BA 1 mg l-1 + NAA 0.5 mg l-1 on 6 - 12 weeks of culture. It showed the shoot tips have adapted to BA and NAA hormones. Increasing plantlet height decreased by increasing NAA doses combined with BA. It indicated that combination of BA 1 mg l-1 and low dose of NAA (0.5 mg l1) caused synergism effect. This result was agreed with Windasari (2004) on shoot tip culture of Chrysanthemum morifolium; Goleniowski et. al. (2003) on meristem culture of Origanum vulgare x applii. The high dose of NAA greatly stimulate ethylene formation, which it inhibits elongation of stems and roots (Salisbury & Ross, 1978). Combination of BA and Picloram at 1 - 2 mg l-1 did
Shoot Tip Culture of Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl.
not have any increasing plantlets height. It because Picloram considers as hormone and also strong herbicide that is stronger than other auxins for inhibiting organogenesis (Davis & Olson 1993) and Picloram disturbs DNA transcription and RNA translation that inhibits producing enzyme for growth regulator (Salisbury & Ross 1978). N. albomarginata plantlets produced the highest leaf number in control on 2 - 4 weeks of culture, but the addition of BA 1 mg l-1 + NAA 0.5 mg l-1 produced the highest leaf number on 6 10 weeks of culture. It showed the plantlets have adapted to BA and NAA hormones and caused synergism effect to improve increasing leaf number on lower dose of NAA. The same result had been reported by Chairunnisa (2004) on increasing leaf number of Chrysanthemum. NAA is an auxin that could increase leaf number (Lyndon 1990). However, the addition NAA at dose higher than 0.5 mg l-1 inhibited leaf growth. The similar result also reported by Windasari (2004) on Chrysanthemum morifolium. Later on, N. albomarginata produced the highest leaf number in control on 12 weeks of culture. It could be plantlets had been exposure long enough to the hormones that inhibited producing leaf number. Plantlets of N. albomarginata produced axillary shoots that was significantly higher at BA 1 mg l-1 compared to those other treatments on 6 - 12 weeks of culture. It showed that BA is an important cytokinin that releases apical dominance and stimulates outgrowth of axillary shoot (Bidwell 1979). The addition of NAA inhibited activity of BA and
also inhibited producing axillary buds. It related to the ratio cytokinin to auxin that is an important to control morphogenesis, high values of ratio cytokinin to auxin stimulate shoot formation (Skoog & Miller 1957). Combination of BA and Picloram did not produce any axillary shoot. It showed that Picloram is stronger auxin than NAA that inhibited axillary shoot formation of N. albomarginata. Plantlets of N. albomarginata produced adventitious shoots only in media with addition of BA 1 mg l-1 + NAA 1.5 mg l-1. It showed that combination of BA 1 mg l-1 and NAA 1.5 mg l-1 was the right dose for initiating adventitious shoots. This result has agreed with Bidwell (1979) that interaction of cytokinin with auxin at the right dose could induce organ formation. The addition of BA 1 mg l-1 and its combination with 0.5 mg l-1 NAA inhibited leaf senescence, because cytokinins including BA could prevent chlorophyll loss (Bidwell 1979) and inhibits leaf senescence (Salisbury & Ross1978; De Klerk 2010). Dried leaf of N. albomarginata explants decreased over twice by addition of BA 1 mg l-1. Different result was obtained by Sukamto (2001), which BA mg l-1 increased twice dead explants. It happened because of media, micro-environment (light & temperature) and culture period differences. Combination of BA 1 mg l-1 with NAA or Picloram 0.5 - 2 mg l-1 increased substantially the dried leaf. It happened because auxins (NAA & Picloram) could increase ethylene, high ethylene accumulation in the bottle culture caused leaf senescence (George 1996; De Klerk 257
Sukamto et al.
2010). NAA and Picloram at high concentration could kill plants and categorize as effective herbicides (Salisbury & Ross 1978). Shoot tip explants of N. albomarginata could produce callus at BA 1 mg l-1 + NAA 1.5 mg l-1, BA 1 mg l-1 + NAA 1 - 2 mg l-1 or Picloram 1 - 2 mg l1 but did not produced any callus on control, BA 1 mg l-1, BA + NAA or Picloram at doses 0.5 mg l-1. It showed shoot tip tissues of N. albomarginata did not have enough auxin endogen. Ratio cytokinin to auxin is an important to control morphogenesis; low values of ratio cytokinin to auxin stimulate callus formation (Skoog & Miller 1957). Plant tissues formed callus because of wounded tissue or stress (Kyte 1990). Resulted calli of N. albomarginata from BA 1 mg l-1 + NAA 2 mg l-1 were wet, white color, and compact, whereas from BA 1 mg l-1 + Picloram 1 mg l-1 were white color and friable. Calli structures are important for further morphogenesis. Compact calli structures are usually produce adventitious shoot, whereas friable structure indicated embryogenic calli (Torres 1989). The similar results of Picloram effect were reported by Vaverde et al. (1987) in embryogenesis of pejibaje palm; Omar & Novak (1990) in callogenesis of date palm; Davis & Olson (1993) in organogenesis of spurge. All plantlets derived from the treatments did not produce any root. This experiment was only use 0.5 MS and BA + NAA or Picloram but did not use NAA alone or other auxins. Adventitious root development is usually promoted by auxin treatment (Salisbury & Ross 1978). It 258
could be affected by inhibition of BA cytokinin to auxin's function or MS strength, and the auxin type. This result confirmed by Goncalves & Romano (2005) that the highest rooting frequency was 0.25 MS and indole-3-butyric acid (IBA) at 0.2 mg l-1 on Drosophyllum lusitanicum culture; Goncalves et al. (2008) reported that 0.25 MS and indole acetic acid (IAA) at 0.2 mg l-1 produced the highest rooting frequency, NAA at 0.5 mg l-1 suppressed completely rooting response on Pinguicula lusitanica culture. This experiment revealed that shoot tip culture of N. albomarginata could grow on 0.5 MS media with or without addition of hormones, but axillary and adventitious shoots could not formed on control. The highest increasing height of plantlets occurred on combination BA 1.0 mg l-1 and NAA 0.5 mg l-1, whereas the highest increasing leaf number on control. The best formation of axillary shoots occurred on BA 1.0 mg l-1, whereas adventitious shoot only occurred on BA 1 mg l-1 + NAA 1.5 mg l-1. The best callus occurred on BA 1 mg l-1 + NAA 2 mg l-1. All plantlets did not produce root but eventually, plantlets grew further could produce pitchers and roots in vitro, also survived after acclimatization in vivo. This successful propagation of N. albomarginata could be used for conservation and increasing population. ACKNOWLEDGMENTS The authors thank to Dra. Hartutiningsih M. Siregar and Dr. Irawati who gave fruits of N. albomarginata for experiments.
Shoot Tip Culture of Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl.
REFERENCES Adams, RM., SS. Koenigsberg, & RW. Langhans. 1979a. In vitro propagation of Cephalotus follicularis (Australian pitcher plant). Hort. Sci. 144:512-513. Adams, RM., SS. Koenigsberg, & RW. Langhans. 1979b. In vitro propagation of the butterwort Pinguicula moranensis H.B.K. HortScience 14(6):701-712. Adamec, L. 1997. Mineral nutrition of carnivorous plants: a review. Bot. Rev. 63(3): 272-299. Anonymous.2010.Nepenthes albomarginata. Wikipedia, the Free Encyclopedia. http://en.wikipedia.org/wiki/Nepenthes_ albomarginata. Anthony, JL. 1992. In vitro propagation of Drosera spp. HortScience 27(7):850. Bidwell, RG.S. 1979. Plant Physiology. 2nd ed. Macmillan Publishing Co., Inc. New York. Chairunnisa. 2004. Pengaruh Pemberian Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Pertumbuhan Chrysanthemum growth (Chrysanthemum sp. var. surf). [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. D'Amato, P. 1998. The Savage Garden, Cultivating Carnivorous Plants. Ten Speed Press. California. Davis, DG. & PA. Olson. 1993. Organogenesis in leafy spurge (Euphorbia esula L.). In Vitro Cell Dev. Biol. Plant 29:97-101. De Klerk, GJ. 2010. Plant hormones. In:
Kors, F.T.M. (ed.), Plant Cell and Tissue Culture, Phytopathology, Biochemicals. Duchefa Cataloque 2010-2012. Duchefa Biochemie B.V., The Netherlands. h. 18-23. George, EF. 1996. Plant Propagation by Tissue Culture. Part 2 In Practice. 2nd ed. Exegetics Limited. Great Britain. Goleniowski, M., E. Flamarique, & P. Bima. 2003. Micropropagation of oregano (Origanum vulgare x applii from meristem tips. In Vitro Cell Dev. Biol. Plant 39:125-128. Goncalves, S. & A. Romano. 2005. Micropropagation of Drosophyllum lusitanicum (Dewy pine), an endangered West Mediterranean endemic insectivorous plant. Biod. Cons.14:1071-1081. Goncalves, S., AL. Escapa, Grevenstuk, & A. Romano. 2008. An efficient in vitro propagation protocol for Pinguicula lusitanica, a rare insectivorous plant. Plant Cell Tissue Organ Cult. 95:239-243. Jang, GW., KS. Kim, & R.D. Park. 2003. Micropropagation of Venus fly trap by shoot culture. Plant Cell Tissue Organ Cult. 72:95-98. Jayaram, K. & MNV. Prasad. 2007. Rapid in vitro multiplication of Drosera indica L.: a vulnerable, medicinally important insectivorous plant. Plant Biotechnol. Rep. 1:79-84. Kim, KS. & GW. Jang. 2004. Micropropagation of Drosera peltata, a tuberous sundew, by shoot tip culture. Plant Cell Tissue Organ Cult. 77:211-214. 259
Sukamto et al.
Kukulczanka, K. 1991. Micropropagation and in vitro germplasm storage of Droseracea. Botanic Gardens Micropropagation News 1(4):3742. Kyte, L. 1990. Plants from Test Tubes, An Introduction to Micropropagation. Timber Press. Oregon. Latha, PG. & S. Seeni. 1994. Multiplication of the endangered Indian Pitcher plant (Nepenthes khasiana) through enhanced axillary branching in vitro. Plant Cell Tissue Organ Cult. 38:69-71. Lloyd, FE. 1942. The Carnivorous Plants. Chronica Botanica Company. Waltham, Mass., USA. Lyndon, RF. 1990. Plant Development, The Cellular Basis. Unwin Hyman Ltd. London. Merbach, M. & D. Merbach. 2010. Nepenthes from Borneo - Nepenthes albomarginata. http://nepenthes. merbach.net/english/_albomarginata.html. Moran, JA., MA. Merbach, NJ. Livingston, CM. Clarke, & WE. Booth. 2001. Termite prey specialization in the pitcher plant Nepenthes albomarginata - evidence from stable isotope analysis. Ann. Bot. 88:307-311. Murashige, T. & F. Skoog. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassays with tobacco tissue cultures. Physiol. Plant. 15:473-497. Omar, MS. & FJ. Novak. 1990. In vitro plant regeneration and ethylmethanesulphonate (EMS) uptake in somatic embryos of date palm (Phoe-
260
nix dactylifera L.). Plant Cell Tissue Organ Cult. 20:185-190. Perry, LM. & J. Metzger. 1980. Medicinal Plants of East and Southeast Asia: Attributed Properties and Uses. The MIT Press. England. Phillips, A. & A. Lamb. 1996. Pitcherplants of Borneo. Natural History Publications (Borneo) Sdn. Bhd., Malaysia. Pietropaolo, J. & P. Pietropaolo. 1986. Carnivorous Plants of the World. Timber Press. Oregon. Puspitaningtyas, DM. & H. Wawangningrum. 2007. Diversitas Nepenthes di Taman Nasional Sulasih Talang-Sumatra Barat. Biodiversitas 8(2):152-156. Ram, MHY., H. Harada, & JP. Nitsch. 1972. Studies on growth and flowering in axenic cultures of insectivorous plants: effects of photoperiod, ethrel, morphactin and a few other growth substances and metabolic inhibitors on Urticularia inflexa. Z. Pflanzenphysiol. 68: 235-253. Salisbury, F.B. & C.W. Ross. 1978. Plant physiology. 3rd ed. Wadsworth Publishing Company. California. Skoog, F. & CO. Miller. 1957. Chemical regulation of growth and organ formation in plant tissues cultured in vitro. Symp. Soc. Exp. Biol. 11:118-140. Sukamto, L.A. 1999. Kultur daun Drosera omissa Diels secara in vitro. Buletin Kebun Raya Indonesia 9(1):1-6. Sukamto, LA. 2001. Kultur Nepenthes
Shoot Tip Culture of Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl.
gracilis secara in vitro. Prosiding Symposium Nasional Pengelolaan Pemuliaan dan Plasma Nutfah. Bogor. 22 - 23 Agustus 2000. 685690. Teng, WL. 1999. Source, etiolation and orientation of explants affect in vitro regeneration of Venus fly-trap (Dionaea muscipula). Plant Cell Rep. 18:363-368. Torres, KC. 1989. Tissue Culture Techniques for Horticultural Crops. Chapman & Hall. New York.
Vaverde, R., O. Arias, & TA. Thorpe. 1987. Picloram-induced somatic embryogenesis in pejibaye palm (Bactris gasipaes H.B.K.). Plant Cell Tissue Organ Cult. 10:149156. Windasari, A. 2004. Pengaruh Kombinasi Auksin dan Sitokinin pada Perbanyakan Krisan Pot (Chrysanthemum morifolium) Varietas Delano Red Secara In Vitro. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Received: January 2011 Accepted: Aprl 2011
261
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 263-276 (2011)
Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung Kakatua Putih (Cacatua alba dan C. moluccensis) Dwi Astuti Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Cibinong Science Centre, Jl. Raya JakartaBogor, Cibinong-Indonesia. E-mail:
[email protected] ABSTRACT Variation in The Mitochondrial Cytochrome b Gene in The Two White Cockatoo Species (Cacatua alba and C. molucensis). DNA sequence variation in the 791-bp of mitochondrial cytocrome b gene in the two white cockatoo species (C. alba and C. moluccensis) were analyzed in this study. Two pairs of internal primers used to amplify two fragments of cytochrome b from 30 individuals cockatoo. The results show that there were genetic variations among individuals of C. alba and C. moluccensis. Twenthy eight haplotypes occured in 30 individuals studied; 14 haplotypes (Hca1-Hca14) in 16 individuals of C. alba, and 14 haplotypes (Hcm1-Hcm14)in 14 individuals of C. moluccensis. Hca5 was dominant and owned by 3 individuals (H37, KBS62, 28, BBP88). Within C. alba there were 18 variable sites, 0.00701 of nucleotide diversity (Pi), 0.975 ± 0.035 of haplotype diversity (Hd), and 0.005 ± 0.002 of mean genetic distance. Whitin C. moluccensis there were 18 variable sites, 0.00830 of Pi, and 0.9999 ± 0.028 of Hd, and 0,010 ± 0.002 (0.001-0.010) mean genetic distance. Divergence between C. alba and C. moluccensis was 0.064 ± 0.088 %. Neigbor-joining (NJ) analysis showed two main clusters consisted of : C. alba and C. moluccensis separately, and indicated that although there were some variations in the DNA sequences, but the individuals within a species remain clustered in the same cluster. Key words: genetic variation, mitochndrial cytochrome b, cockatoo bird, Cacatua alba, Cacatua moluccensis
PENDAHULUAN Di dunia terdapat 11 jenis kakatua putih yg termasuk dalam marga Cacatua. Enam jenis diantaranya terdapat dan endemik di kepulauan Indonesia, dan C. alba dan C. moluccensis merupakan kakatua yang endemik di kepulauan Maluku. Menurut Forshaw (1989) secara umum burung kakatua memiliki jambul di kepalanya dan paruh besar yang melengkung dan kuat. C. moluccensis memiliki bulu tubuh dengan warna pink,
panjang tubuh 52 cm. C. alba bulu tubuhnya putih dengan panjang tubuh 46 cm. Saat ini populasi kedua jenis kakatua tersebut di alam cenderung mengalami penurunan, sehingga tercatat dalam dan menjadi prioritas dalam World Conservation Union, IUCN 2006, dan termasuk ke dalam to appendics CITES; dimana C. moluccensis di dalam appendics I dan C. alba di dalam appendics II.
263
Dwi Astuti
Untuk tujuan conservasi dari kedua jenis kakatua ini, maka berbagai penelitian dan kegiatan lain dilakukan baik secara ex-situ maupun in-situ. Semenjak penangkaran diketahui berperan penting di dalam mekanisme konservasi satwa langka, maka upaya koservasi kedua jenis kakatua ini dilakukan di beberapa Taman Margasatwa dan penangkaran. Dari perspektif konservasi, harus diprioritaskan pada kuantifikasi dan karakterisasi tingkat diversitas genetiknya bagi semua satwa terancam punah, karena ini dapat menuntun kita dalam mengevaluasi efek genetik dari perubahan populasi pada masa mendatang dan dapat dijadikan sebagai petunjuk dalam pengelolaan konservasi yang bertujuan untuk menjaga tingkat diversitas saat sekarang (Roques & Negro 2005). Satwa terancam punah memiliki ciri dengan tingkat variasi genetik yang rendah, khususnya bila dibandingkan dengan jenis kerabat yang tidak terancam punah (Ardern & Lambert 1997; Spielman et al. 2004). Jadi diperlukan pengetahuan tentang variasi ditingkat molekuler dengan menggunakan analisis penanda molekuler. Penanda molekuler telah berguna untuk menjawab berbagai pertanyaan menyangkut upaya konservasi dan biologi populasi pada berbagai jenis burung , misal pada S. albifrons (Whittier et al. 2006). DNA mitokondria adalah penanda genetik yang sangat penting digunakan dalam mempelajari evolusi, kekerabatan, dan variasi genetik pada berbagai taxa hewan (Kocher et al. 1989, Ingman et al. 2000) dan juga sering digunakan untuk mengevaluasi diversitas genetik pada berbagai jenis burung (Gill et al. 2005; Martens et al. 2006). . 264
Cytochrome b adalah salah satu dari gen pada mitokondria yang mengkode protein dan diketahui sebagai penanda DNA dalam mengungkap sejarah evolusi hewan (Kocher et al. 1989; Montgelard et al. 1997; Prusak et al. 2004) bahkan untuk mempelajari variasi genetik pada tingkatan jenis maupun marga pada mamalia, burung, reptile, ikan dan hewan vertebrata lainnya. Pada ikan marga Cynolebia, cytochrome b menunjukkan tingkat divergensi sekuen yang tinggi (28 %) antara jenis-jenis ikan tersebut (Garci et al. 2000), namun pada Macruronus menujukkan kurangnya diferensiasi genetik (Olavarria et al. 2006). Pada penelitian ini dilakukan analisis pada sekuen DNA dari mitokondria cytochrome-b pada dua jenis burung kakatua; Cacatua alba dan C. moluccensis untuk mengetahui variasi genetik diantara individu dalam satu jenis (intraspecies) maupun beda jenis (interspecies). BAHAN DAN CARA KERJA Tiga puluh (30) sampel darah dari masing-masing individu burung kakatua (C. alba dan C. moluccensis) dikoleksi dari taman Margasatwa, penangkaran, maupun Taman Burung di Indonesia. Darah dipreservasi dengan etanol absolut di dalam tabung plastik 2 mL dan disimpan dalam almari es pada temperatus 4 ºC di Laboratorium Genetika, Bidang ZoologiPuslit Biologi_LIPI, Cibinong. DNA total diekstraksi dari masing-masing sampel, dengan menggunakan DNA Extraction Mini Kid Qiagen. Larutan DNA yang didapat di simpan dalam almari es 4 ºC dan untuk selanjutnya digunakan pada
Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung
proses analisis berikutnya. Probociger aterrimus digunakan sebagai outgroup dalam mengkonstruksi pohon NJ. Dua fragmen dari gen cytochrome b diamplifikasi melalui proses PCR dengan menggunakan dua pasang primer internal: L14841 (Kocher et al. 1989) / H 15547 dan L15424/H15767 (Edwards et al. 1991). Posisi primer-primer ini digambarkan pada Figure 1. Larutan untuk PCR dibuat dalam volume 20 ìL , dan dalam kondisi 35 siklus dari (denaturasi 94°C - 1 menit; penempelan 52°C -1 min; ekstensi 72°C -2 menit) dan dilengkapi dengan 1 x siklus pada 72°C 10 min. Selanjutny 3 mL dari produk PCR dielektroforesis pada 1 % gel agarose dan direndam dalam larutan ethidium bromide, dan divisualisasi di bawah ultraviolet illuminator. Sisa larutan produk PCR dipurifikasi dengan QIAquick (QIAGEN) dan kemudian disekuen DNA-nya pada dua sisi (forwardreverse) using the ABI Prism™ 3100 automated sequencer. Primer yang digunakan sama dengan primer PCR. Proses mensejajarkan (aligment) sekuen DNA dari semua individu yang diteliti, dilakukan dengan dengan menggunakan perangkat lunak ProSeq software. Karakter data sekuen DNA
seperti komposisi basa, subtitusi transisitransversi, jarak genetik, situs bervariasi, dan sekuen variasi dianslisis menggunakan perangkat lunak MEGA3 (Kumar et al. 2004) . Diversitas nukleotida dan diversitas haplotipe dianalisis dengan perangkat lunak DnaSP4. Data tersebut juga dikonfirmasi ke asam amino untuk mengetahui apakah fragmen DNA yang teramplifikasi adalah bener-benar target yang diinginkan. Untuk mengkonfirmasi bahwa variasi genetik yang terdapat diantara individu dalam satu spesies tidak mempengaruhi dalam pengelompokannya, maka dikonstruksi pohon neighborjoining (Saitou & Nei 1987) berdasarkan Kimura’s 2-parameter distance pada MEGA3 dan nilai bootstrap dianalisis dengan 1000 x pengulangan. HASIL Pasangan primer L14841/ H 15547 mengamplifikasi fragmen DNA sepanjang sekitar 760-bp, sedangkan L15424-H15767 mengamplifikasi fragmen 370-bp. Pada proses mensejajarkan data sekuen DNA (aligment), sepanjang sekitar 100-bp data sekuen posisinya overlapping diantara dua set primer tersebut. Disamping itu, L15424
L14841
791-bp H15547
H15767
cytochrome b
Gambar 1 Posisi dari primer-primer yang digunakan dalam mengamplifikasi gen cytochrome b. Garis tebal dengan angka 791- bp adalah posisi dan panjang sekuen DNA yang dianalisis pada penelitian ini.
265
Dwi Astuti
beberapa data sekuen DNA dari beberapa individu kakatua yang diteliti tidak lengkap, sehingga hanya 791-bp yang dianalisis pada penelitian kali ini. Hasil dari proses menterjemahkan data sekuen DNA menjadi asam amino, menunjukkan bahwa fragmen ataupun sekuen DNA yang teramplifikasi, benarbenar merupakan gen target, ini ditunjukkan dengan tidak terdapatnya stop codon sebagi ciri khas dari gen pengkode protein. Komposisi basa timin, sitosin, adenin, dan guanin pada sekuen DNA cytochrome b sepanjang 791-bp ditampilkan dalam Tabel 1. Komposisinya meliputi 40.3 % basa purine dan 59, 7 % basa pirimidin. Komposisi guanin paling rendah (14,2 %) dan sitosin tertinggi (34,2 %). Ini juga terlihat pada cytochrome b baik pada C. alba maupun C. moluccensis jika kedua spesies ini dianalisa secara terpisah. Substitusi transisi dan transversi Transisi merupakan substitusi antara dua basa purin (adenin dan guanin) atau
antara dua basa pirimidin (timin dan sitosin). Tranversi merupakan substitusi basa antara purin dan pirimidin. Table 2 menampilkan frekuensi substitusi basa yang terjadi pada 30 data sekuen cytochrome b sepanjang 791-bp, terdapat 23 substitusi yang bersifat transisi, yang meliputi 11 purin (T <--> C) dan 12 pirimidin (A <--> G). Sedangkan substitusi transversi hanya 5. Jumlah transisi lebih banyak dari transversi, ditunjukkan baik pada C. alba maupun C. moluccensis. Pada 30 individu yang dianalisis, substitusi basa terjadi paling banyak pada posisi codon 3 (20 substitusi) diikuti codon pertama (5 substitusi) dan kedua (4 substitusi). Begitu juga jika analisis dilakukan secara terpisah, baik pada C. alba maupun C. moluccensis menunjukkan substitusi basa yang juga mengikuti pola yang sama yaitu substitusi paling banyak terjadi pada posis codon ketiga, diikuti posisi pertama dan kedua (Tabel 2). Jarak genetik antara individu-individu C. alba dengan C. moluccensis
Tabel 1 : Komposisi basa di dalam 791-bp gen cytochrom b pada kakatua yang diteliti Posisi codon
Komposisi basa C. alba T
C
A
C. moluccensis G
T
C
A
G
(C. alba & C. moluccensis) T
C
A
G
Total
25.8 34.0 26.5 13.7
25.5 34.4 25.7 14.4
25.5 34.2 26.1 14.2
ke-1
23.5 29.2 24.8 22.6
23.3 29.1 24.8 22.8
23.6 29.0 24.8 22.6
ke-2
38.6 28.0 20.0 13.4
38.4 28.0 20.3 13.3
38.5 27.6 20.1 13.7
ke-3
15.3 44.7 34.9 5.1
14.9 46.2 32.0 6.9
14.4 46.1 33.4 6.2
266
Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung
(between species) adalah 0.064 ± 0.088. Sedangkan jarak genetik di antara individu-individu di dalam satu jenis (within species) kakatua adalah 0.005 ± 0.002 (0.001 – 0.015) pada C. alba, dan 0.010 ± 0.002 (0.001-0.010) pada C. moluccensis.
haplotipe dari sekuen DNA gen cytochrome b, baik dintara maupun antara jenis kakatua yang diteliti. Jumlah situs yang mengalami subsitusi diantara dua jenis C. alba dan C. moluccensis relatif sedikit bahkan kurang dari 10 %. Namun demikian dari sejumlah situs yang bervariasi itu mengahsilkan nilai diversitas nukleotida maupun diversitas haplotipe yang tinggi. Analisis dari seluruh 30 individu (16 C. alba dan 14 C. moluccensis) yang diteliti secara keseluruhan terdapat 28 haplotipe di dalam 791- bp cytochrome b. Haplotipe ini meliputi 14 haplotipe (Hca1-Hca14) terdapat pada C. alba, dan 14 haplotipes (Hcm1-Hcm14) pada C. moluccensis. Tiga individu (H37, KBS62, dan BBP88) memiliki haplotipe yang sama yaitu Hca5. Ini artinya bahwa haplotipe Hca5 adalah paling dominan dan ketiga individu tersebut memiliki urutan sekuen DNA yang sama atau tidak tejadi substitusi basa diantara ketiganya. Mengejutkan, bahwa di antara individu-individu C. moluceensis, tidak
Variasi sekuen DNA, diversitas nukleotida, haplotipe, dan diversitas haplotipe. Dari semua data sekuen DNA sepanjang 791-bp pada 30 individu kakatua, terjadi substitusi basa pada 63 situs, ini menunjukkan adanya situs yang bervariasi (variable sites) sebesar sekitar 8,8 % . Di antara individu-individu C. alba terdapat 18 (2,42 %) situs yang bervariasi , dan di antara individu-individu C. moluccensis terdapat 19 (2,44 %) situs yang bervariasi. Terdapatnya substitusi basa dintara sekuen DNA cytochrome b ini memperlihatkan adanya susunan basa yang bervariasi dan juga tipe substitusi basanya, sehingga pada penelitian ini terdeteksi adanya haplotipe-
Table 2 : Rata-rata frekuensi substitusi basa di dalam 791-bp dari cytochrome b pada C. alba dan C. moluccensis Positi kodon
C. alba
C. moluccensis
C. alba + C. moluccensis
ii
si
sv
ii
si
sv
ii
si
sv
Total
785
4
2
783
5
3
763
23
5
Ke-1
263
1
0
262
1
1
259
4
1
Ke-2
263
0
1
263
0
1
261
2
2
Ke-3
259
3
1
258
4
1
243
18
2
Catatan: ii = pasangan identik, si = transisi, sv = transversi.
267
Dwi Astuti
ada satupun individu yang memiliki urutan sekuen DNA yang sama. Sehingga ini memunculkan haplotipe yang berbeda satu dengan lainnya dan tidak ada haplotipe yang dominan pada C. moluccensis. Situs yang bervariasi, variasi sekuen DNA, dan gambaran haplotipe disajikan pada Tabel 3. Parameter diversitas meliputi banyaknya variasi, diversitas nukleotida, jumlah dan diversitas haplotipe yang terdapat pada sekuen DNA cytochrome b pada semua individu (Tabel 4). Tabel 4 menunjukkan, bahwa diversitas nukleotida dan haplotipe dari C. moluccensis relatif lebih tinggi dari C. alba. Analisis Neighbor-joining Analisis pohon Neighbor-joining (NJ) menghasilkan 2 kelompok yang terpisah secara jelas yaitu: 1) kelompok yang terdiri dari individu-individu C. alba, dan 2) kelompok individu-individu C. moluccensis, yang masing-masing didukung dengan nilai bootstrap 100 %. Kedua jenis dipisahkan dengan divergensi sekuen 6,4 %. Kelompok C. alba terbagi menjadi 2 kelompok utama, sedangkan pada C. moluccensis dua individu Bn9 dan Bn10 terpisah dari individu-individu lainnya. Individu-individu C. moluccensis dengan kode BBP terpisah dari individu-individu TMR dan KBY, namun pengelelompokan di dalam kelompok C. alba maupun kelompok C. moluccensis hanya didukung nilai boostrap kurang dari 50 %. Pohon NJ (Gambar 2) memperlihatkan bahwa individu-individu satu jenis mengelompok pada kelompok yang sama. 268
DISKUSI Komposisi basa pada kedua kakatua ini sesuai dengan cytochrome b pada burung lain (e.g Turdus: Pan et al. 2007), vertebrata lain (Prusak & Grzybowski 2004) termasuk ikan (Abol-Munafi et al. 2007). Ciri khas dari gen pengkode protein termasuk cytochrome b adalah komposisi guanin menempati paling rendah dan sitosin yang tertinggi (Avise1994). Seperti yang dikatakan oleh Brown et al. (1982) bahwa biasanya substituti transisi lebih dominan terjadi dibandingan dengan transversi. Basa purin (A ad G) memperlihatkan terjadinya saturasi pada tingkat divergensi yang rendah dibandingkan pirimidin (T dan C), itu menyebabkan frekuensi A dan G menjadi jauh berbeda dari frekuensi C dan T (Kocher & Carleton 1997). Pola substitusi basa dimana substitusi paling banyak terjadi pada posisi codon ketiga, diikuti posisi pertama dan kedua, ini sesuai dengan pola substitusi pada DNA mitikondria khususnya gen cytochrome b pada beberapa kelompok burung lainnya misalkan Turdus (Pan et al. 2007). Hasil analisis terhadap jarak genetik menunjukkan dengan pasti, bahwa antara dua jenis yang berbeda memiliki jarak genetik lebih tinggi dibandingkan dengan di antara individu-individu pada jenis yang sama (intraspecies). Rata-rata jarak genetik antara individu pada C. moluccensis (0.010 ± 0.002) lebih tinggi dari C. alba (0.005 ± 0.002), dan jarak di antara kedua jenis adalah 0.064 ± 0.088. Jarak genetik pada Oryx 0.062 (Khan et al. 2008). Dilaporkan Dai et
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Bn11 Bn12 H35 H36 H37 H38 BP P 6 KBY5 KBS62 KBS67 BBP 88 BBP 19 BBP 20 TMI16 TMR57 TMR58 BN9 BN10 BBP 13 BBP 14 BBP 78 BBP 79 BBP 80 BBP 81 KBY2 TMR52 TMR53 TMR54 TMR55 TMR56
C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. moluccensis C. moluccensis C. moluccensis C. moluccensis C. moluccensis C. moluccensis C. moluccensis C. moluccensis C. moluccensis C. moluccensis C. moluccensis C. moluccensis C. moluccensis C. moluccensis
2 A . . G . . . G . . . G G G G G G G G G G G G G G G G G G G
3 A . . . . . . . . . . . C C C C . . C C C C C C . . C . . .
6 C . . . . . . . . . . . . . . . T T T T T T T T T T T T T T
2 1 T . . . . . . . . . . . . . . . C C C C C C C C C C C C C C
2 4 A . . . . . C . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
2 8 G . . A . . . . . . . . . . . . . . . A . . . . . . . A . .
4 4 A . . . . . . . . . . . . . . . G G G G G G G G G G G G G G
6 3 A . . . . . . . . . . . . . . . C C C C C C C C C C C C C C
6 6 A . . . . . . . . . . . . . . . T T T T T T T T T T T T T T
7 0 A . G G G . G G G . G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G
8 3 G . . . . . . . . . . . . . . . A A A A A A A A A A A A A A
9 6 T . . . . . . . . . . . . . . . C C C C C C C C C C C C C C
1 0 2 A . . . . . . . . . . . . . . . G G G G G G G G G G G G G G
1 2 9 G . . . . . . . . . . . . . . . A A A A A A A A A A A A A A
1 3 2 C . . T . . . T . . . . . . . T . . . . . . . . . . . . . .
1 3 6 T . . . . . . . . . . . . . . . C C C C C C C C C C C C C C
1 5 0 C . . . . . . . . . . . . . . . T T T T T T T T T T T T T T
1 5 3 C . . . . . . . . . . . . . . . T T T T T T T T T T T T T T
1 8 2 T . . . . . . . A A . . . A A A A A A A A A A A A A A A A A
1 8 9 G . . . . . . . . . . . . . . . C C C C C C C C C C C C C C
1 9 5 A . . . . . . . . . . . . . . . G G G G G G G G G G G G G G
2 0 4 A . . . . . G . G . . . . . . . G G G G G G G G G G G G G G
2 1 6 A . . . . . . . G . . G . . . . . . . . . . . . . . . . . .
2 7 1 C . . . . . . . . . . . . . . . A A . . . . . . A . . . . .
2 7 7 T . C . . . C . . . . . C . . . C C C C C C C C C C C C C C
2 8 8 A . . . . . . . . . . . . . . . . . G G G G G G . . . . . .
3 0 0 C . . . . . T . . . . T . . . . . . . . . T . . . . T . . .
3 0 3 G . . . . . . . . . . . . . . . A A . . . A . . A A A A A A
3 4 5 G . . . . A . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3 5 7 A . . . . . G . . . . . . . . . G G G G G G G G G G G G G G
3 9 0 C T . . . T . . . . . . . . . . T . T T T T T T T T T T T T
Table 3 : Situs nukleotida yang bervariasi dan tipe haplotipe di dalam 791-bp sekuen DNA dari gen cytochrome b No Sampe l Je nis Situs nukle otida yang be rvariasi 3 9 6 A . . . . . . . . . . . . . . . G G G G G G G G G G G G G G Hca1 Hca2 Hca3 Hca4 Hca5 Hca6 Hca7 Hca8 Hca9 Hca10 Hca11 Hca12 Hca13 Hca14 Hca15 Hca16 Hcm1 Hcm2 Hcm3 Hcm4 Hcm5 Hcm6 Hcm7 Hcm8 Hcm9 Hcm10 Hcm11 Hcm12 Hcm13 Hcm14
Haplotipe
Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung
269
270
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Bn11 Bn12 H35 H36 H37 H38 BP P 6 KBY5 KBS62 KBS67 BBP 88 BBP 19 BBP 20 TMI16 TMR57 TMR58 BN9 BN10 BBP 13 BBP 14 BBP 78 BBP 79 BBP 80 BBP 81 KBY2 TMR52 TMR53 TMR54 TMR55 TMR56
C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. moluccensis C. moluccensis C. moluccensis C. moluccensis C. moluccensis C. moluccensis C. moluccensis C. moluccensis C. moluccensis C. moluccensis C. moluccensis C. moluccensis C. moluccensis C. moluccensis
No Sampe l Je nis
Tabel 3. Lanjutan
4 2 6 C . . . . . . T . . T . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4 3 2 C . . . . . . . . . . . . . . . . . T T T T T C . . T . . .
4 5 9 A . . . . . C . . . . C C . C C T T T T T T T T T T T T T T
4 8 3 A . . . . . . . . . . . . . . . G G G G G G G G G G G G G G
4 8 9 T . . . . . . . . . . . . . . . C C C C C C C C C C C C C C
5 3 4 C . . . . . . . . . . . . . . . T T T T T T T T T T T T T T
5 3 7 T . . . . . . . . . . . . . . . C C C C C C C C C C C C C C
5 4 2 T . . . . . . . . . . . . . . . . . . . A . . . . A . . . .
5 5 8 A . . . . . . . . . . . . . . . G G G G G G G G G G G G G G
5 6 4 A . . . . . . . . . . G G G G G G G G G G G G G G G G G G G
5 7 1 A . . . . . . . . . . . . . . . G G G G G G G G G G G G G G
5 7 3 T . . . . . . . . . . . . . . . . . C C C C C C . . . . . .
5 8 2 C . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . T . . T . . . .
5 9 4 A . . . . . . . . . . . . . . . C C C C C C C C C C C C C C
6 0 0 A . . . . . . . . . . . . . . . C C C C C C C C C C C C C C
6 1 5 C . . . . . . . . . . . . . . . . T . T . . . . . . . . . .
6 2 4 G . . . . . . . . . . . . . . . A A A A A A A A A A A A A A
6 2 5 G . . . . . . . . . . . . . . . A . . A A A A A A A A A A A
6 3 6 T . . . . . . . . C . . C . . . . C . C . . . . . . . C . C
6 4 2 A . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
6 6 8 C . . . . . . T . . . T . . . . . . . . . . . . . . . . . .
6 8 6 G . . . . . . . . . . . . . . . T . . T T T T T T T T T T T
6 9 4 C . . . . . . . . . . . . . . . . G G G G G . G G G G G G G
Situs nukle otida yang be rvariasi 7 2 1 A . . . . . . . . . . . . . . . . . T . . . T . . . . . . .
7 3 2 G . . . . . . . . . . . . . . . A A A A A A A A A A A A A A
7 3 3 T . . . . . . . . . . . . . . . C C C C C C C C C C C C C C
7 4 5 C . . . . . . . . . . . . . . . T T T T T T T T T T T T T T
7 7 9 T . . . . . . . . . . . . . . . . A A A A A A . . . . . . .
7 8 6 A . . . . . . . . . . . . . . . G G G G G G G G G G G G G G Hca1 Hca2 Hca3 Hca4 Hca5 Hca6 Hca7 Hca8 Hca9 Hca10 Hca11 Hca12 Hca13 Hca14 Hca15 Hca16 Hcm1 Hcm2 Hcm3 Hcm4 Hcm5 Hcm6 Hcm7 Hcm8 Hcm9 Hcm10 Hcm11 Hcm12 Hcm13 Hcm14
Haplotipe
Dwi Astuti
Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung
Table 4. Parameter-parameter diversitas mitokondria DNA gen cytochrome b di dalam 791bp pada dua jenis kakatua (C. alba dan C. moluccensis)
Parameter genetika
C. alba
C. moluccensis
Total
Jumlah individu (n) Jumlah situs bervariasi (S) Diversitas nukleotida/ asam amino (Pi) Jumlah haplotipe (h) Diversitas haplotipe (Hd):
16 18 0,00701 14 0.975 ± 0.035
14 19 0,00830 14 0.9999 ± 0.027
30 63 0,03353 28 0.991 ± 0.012
Bn11 C. alba KBS67 C. alba Bn12 C. alba BBP6 C. alba H35 C. alba H38 C. alba H37 C. alba KBS62 C. alba BBP88 C. alba
100
H36 C. alba KBY5 C. alba TMI16 C. alba BBP19 C. alba BBP20 C. alba TMR57 C. alba TMR58 C. alba Bn10 C. moluccensis
100
Bn9 C. moluccensis BBP78 C. moluccensis BBP79 C. moluccensis BBP81 C. moluccensis BBP14 C. moluccensis BPP13 C. moluccensis BBP10 C. moluccensis TMR53 C. moluccensis KBY2 C. moluccensis TMR55 C. moluccensis TMR56 C. moluccensis TMR52 C. moluccensis TMR54 C. moluccensis
P. aterrimus
Gambar 2. Pohon Neighbor-joining (NJ) dari 30 individu C. alba dan C. moluccensis yang dikonstruksi berdasarkan substitusi transisi dan transversi pada 791 bp sekuen DNA gen cytochrome b. Nilai-nilai bootsrap di bawah 50 % tidak ditampilkan.
271
Dwi Astuti
al. (2010), bahwa divergensi sekuen DNA cytochrome b di antara individuindividu pada jenis burung yang sama (within species) berkisar dari 0 (Parus dichrous) hingga 2,8 % (Aegithalos concinnus), dan antara dua jenis dalam satu marga sebesar 8,10 ± 0.007 (Aegithalos) dan 0.077 ± 0.005 (Parus). Individu-individu dari populasi yang sama dibedakan oleh 1 % divergensi sekuen, sedangkan divergensi sekuen antara lokasi yang berbeda sebesar 0.25% - 8%, dan antara dua jenis 3 %- 21 %. Divergensi intraspesifik secara ekstrim bervariasi dari 0 hingga 1% pada sebagian besar kasus tetapi bisa lebih tinggi pada bebrapa jenis burung (4.1% antara dua individu S. collaris, dan 5.3%6.3% di antara S. castaneiventris (Lijtmaer et al. 2004). Jumlah situs yang bervariasi diantara individu pada jenis yang sama pada kedua kakatua ini tidak lebih dari 10 %, tetapi kedua kakatua ini memiliki nilai diversitas tinggi. Dilaporkan oleh Germin et al. ( 2007) bahwa di antara populasi burung Alectoris chukar diversitas haplotipenya tinggi (0,85 %) demikian juga dengan diversitas nukleotidanya di dalam populasi 0,17 % - 0, 25 %. Pada burung Taiko yang berstatus terancam punah juga memiliki diversitas haplotipe (0,68 %) dan nukleotida (0,13 %) (Lawrence & Taylor 2008 ), dan pada mamalia kecil (Lontra felina) yang terancam punah dengan diversitas haplotipe 0.86 dan diversitas nukleotida 0.0117 (Valqui et al. 2010). Tingginya nilai diversitas dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya karena seleksi terkadang 272
mendukung retensi keanekaragaman genetik yang sangat tinggi dalam populasi kecil dan terisolasi (Kaeuffer et al. 2007), kemungkinan kenyataan bahwa ada burung yang belum ditemukan berbiak di tempat lain, sehingga dapat meningkatkan estimasi ukuran populasi. Keanekaragaman genetik relatif tinggi pada jenis langka dapat menunjukkan bahwa penurunan jumlah populasi tersebut terjadi relatif baru-baru ini (Moritz 1994). Tingginya keanekaragaman genetik walaupun secara substansial ada penurunan populasi telah ditunujukkan pada satwa berumur panjang dengan kematangan seksual tertunda seperti burung Taiko (Lawrence & Taylor, 2008), Ornate Box Turtle Terrapene ornate (Kuo &Janzen 2004) ; Orang-utan Pongo pygmaeus (Goossens et al. 2005), Copper Redhorse Moxostoma hubbsi (Lippe et al. 2006). Hal ini menunjukkan bahwa ciri-ciri sejarah kehidupan generasi lama dan kematangan sexual yang tertunda dapat menjadi buffer (penyangga) hilangnya variasi genetik, terutama ketika penurunan terjadi barubaru ini. Teori genetika populasi memprediksi bahwa severe bottlenecks tidak dapat secara drastis mengurangi keragaman genetik ketika mereka berakhir dengan jumlah populasi yang kecil (Amos & Balmford 2001). Kakatua juga merupakan burung berumur panjang, bisa hidup mencapai umur 80 tahun dan reproduksi lambat dengan dewasa kelamin dicapai paling cepat pada umur 3-4 tahun (Forshaw 1989), sehingga bisa mengurangi tingkat pergeseran genetik tetapi juga memperlambat pemulihan jumlah populasinya. Jadi wajar jika pada
Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung
kakatua yang di teliti di sini memiliki nilai diversitas genetik yang tinggi, walau populasi di alam mengalami penurunan. Dari hasil ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar dalam program pelestarian burung kakatua baik di alam maupun di penangkaran. Seperti dikatakan oleh Iyengar et al. ( 2007) bahwa perspectif yang memiliki nilai global tentang program penangkaran yang lebih efektif, adalah dengan perlunya mengetahui dan merawat diversitas genetik untuk menjaga jenisjenis terancam punah, dan dimungkinkan dalam mendukung upaya konservasi ini, karena secara nyata dapat berkontribusi di dalam program penangkaran dan strategi reintroduksi untuk konservasi berbagai satwa yang terancam punah (Russello & Amato 2007). Secara keseluruhan rata-rata jumlah basa yang bervariasi (k) dan nilai diferensiasi pada C. alba lebih rendah dari C. moluccensis. Demikian juga untuk nilai diversitas nukleotida dan diversitas haplotipe. Pada penelitian ini tidak diketahui lokasi maupun populasi individu-individu tersebut, karena sampel darah di koleksi dari individu-individu yang sudah berada di taman Margasatwa maupun tempat penangkaran. Ini kemungkinan individu-individu berasal dari populasi yang berbeda, bahkan mungkin dari pulau-pulau yang berbeda, atau berkaitan dengan isolasi geografiknya (Randi et al. 2006). Seperti dikatakan oleh Forshaw (1989) bahwa C. moluccensis hanya tersebar di Ceram, Saparua and Haruku, dan C. alba terdistribusi Obi, Bacan, Halmahera. Dikatakan bahwa perbe-
daan sejarah populasi dan hidup serta ekologi reproduksi hewan dapat berefek pada kecepatan penurunan dan diversitas genetiknya (Kuo & Janzen 2004). Nilai divergensi sekuen atau jarak genetik antara individu-individu satu jenis dan antara individu-individu beda jenis kakatua, sangat jelas bedanya. Perbedaan jarak genetik ini berimplikasi pada pengelompokan yang terjadi pada hasil analisis neighbor-joining, dimana individu-individu beda jenis pada penelitian ini berada pada kelompok yang berbeda dan individu-individu sejenis mengelokpok pada kelompok yang sama, seperti ditunjukkan pada pohon NJ. KESIMPULAN Jumlah situs yang mengalami substitusi basa dan bervariasi pada individu-individu sejenis kurang dari 10 % dari panjang basa cytochrome b yang dianalisis, namun diversitas nukleotida/ asam amino maupun haplotipe pada individu-individu C. alba maupun C. moluccensis yang diteliti, relatif tinggi. Analisis neigbor joining memisahkan kelompok antara C. alba dan C. moluccensis, dengan nilai divergensi sekuen 6,4 %. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada sdr. Agus Kundarmasno dan Alwin Marakamah yang telah membantu dalam proses koleksi sampel darah, staf di Laboratorium Genetika, Bidang ZoologiPuslit Biologi LIPI atas kerjasamanya. Penelitian ini didukung oleh JICA 273
Dwi Astuti
Konservation Project dan JSPS Core University Project. DAFTAR PUSTAKA Abol-Munafi AB, MA. Ambak, P.Ismail, BM. Tam. 2007. Molecular data from the cytochrome b for phylogeny of Channidae (channa sp.) in Malaysia. Biotechnology 6 (1): 22-27. Amos W, & A. Balmford. 2001. When does conservation genetics matter? Heredity 87:257– 265 Ardern SL, DM.Lambert 1997. Is the Black Robin in genetic peril? Mol Ecol 6:21–28 Avise JC. 2004. Molecular markers, natural history, and evolution. 2nd edn. Sinauer Associates, Massa-chusetts Brown WM, EM. Prager, A. Wang, & AC. Wilson. 1982. Mitochondrial DNA sequences of primates: tempo and mode of evolution. J. Mol. Evol. 18: 225–239. Crochet, PA., JD. Lebreton, & F. Bonhomme. 2002. Systematics of large white-headed gulls: patterns of mitochondrial DNA variation in western European taxa. Auk 119: 603-620. Dai C, K. Chen, R. Zhang, X. Yang, Z. Yin , H. Tian, Z. Zhang, Y. Hu, F. Lei. 2010. Molecular phylogenetic analysis among species of Paridae, Remizidae and Aegithalos based on mtDNA sequences of COI and cyt b. Chinese Birds 1(2):112–123
274
Edwards SV, P. Artander, & AC.Wilson. 1991. Mitochondrial resolution of a deep branch in the geneological tree for perching birds. Proceedig Royal Society london. Science 243: 99-107. Forshaw JM. 1989. Parrots of the World. Tird Edn. Lansdowne Editions, Sydney, Australia. Garci AG, G. Wlasiuk & EP. Lessa. 2000. High levels of mitochondrial cytochrome b divergence in annual killifishes of the genus Cynolebias (Cyprinodontiformes, Rivulidae). Zool. J. Linnean Soc.129: 93–110 Gill FB, B. Slkas, FH. Sheldon. 2005. Phylogeny of titmice (Paridae): II. Species relationships based on sequences of the mitochondrial cytochrome-b gene. Auk. 122:121– 143. Goossens B, L. Chikhi, MF. Jalil, M.Ancrenaz, I. Lackman Ancrenaz, M. Mohamed, P. Andau, & MW. Bruford. 2005. Patterns of genetic diversity and migration in increasingly fragmented and declining Orang-utan (Pongo pygmaeus) populations from Sabah, Malaysia. Mol. Ecol. 14:441–456 Guerrini, M., P. Panayides, P. Hadjigerou, L.Taglioli, F. Dini,. & F. Barbanera. 2007. Lack of genetic structure of Cypriot Alectoris chukar (Aves, Galliformes) populations as inferred from mtDNA sequencing data. Animal Biodiv. Cons. 30.1: 105–114. Ingman M, H. Kaessmann, S. Paabo., & U. Gyllensten. 2000. Mitochondrial genome variation and the
Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung
origin of modern humans. Nature 408: 708-713. IUCN (The World Conservation Union). 2006. 2006 IUCN red list of threatened species. http://www. iucnredlist.org, Cited 13 Nov 2006 Iyengar A, T. Gilbert, T. Woodfine, JM. Knowles. 2007. Remnants of ancient genetic diversity preserved within captive groups of scimitarhorned oryx (Oryx dammah). Mol. Ecol. 16: 2436-2449. Kaeuffer R, DW. Coltman, JL. Chapuis, D. Pontier, &D. Reale. 2007. Unexpected heterozygosity in an island Mouflon population founded by a single pair of individuals. Proc Royal. Soc B 274:527–533. Kocher TD, WK. Thomas, A. Meyer, SV. Edwards, S. Paabo, FX. Villablanca, & AC. Wilson. 1989. Dynamics of mitochondrial DNA evolution in animals: amplification and sequencing with conserved primes. Proc. Nat. Acad. Sci USA.86: 6196–200. Kocher RD & KL Carleton. 1997. Base substitution in fish mitochondrial DNA: patters and rates. In Molecular systematics of Fish. Kocher, TD and Ca Stepien (Eds.). Academic Press: San Diego. Kuo C-H, & FJ. Janzen. 2004. Genetic effects of a persistent bottleneck on a natural population of Ornate Box Turtles (Terrapene ornata). Cons. Gen. 5:425–437 Khan HA, IA. Arif, AA. Al Homaidan, & AH. Al Farhan. 2008. Application of 16S rRNA, cytochrome b and control region
sequences for understanding the phylogenetic relationships in Oryx species. Cons.Gen. 9:1293–1301 Kumar S, K. Tamura, & M. Nei. 2004. MEGA3. Integrated software for molecular evolutionary genetics analysis and sequence alignment. Briefings in Bioinformatics 5: 150-163 Lijtmaer DA, NMM. Sharp, PL. Tubaro, SC. Lougheed. 2004. Molecular phylogenetics and diversification of the genus Sporophila (Aves: Passeriformes). Mol.Phyl.Evol. 33: 562–579 Lippe C, P. Dumont, L. Bernatchez 2006). High genetic diversity and no inbreeding in the endangered Copper Redhorse, Moxostoma hubbsi (Catostomidae, Pisces): the positive sides of a long generation time. Mol Ecol 15:1769–1780 Martens J, DT. Tietze, & YH. Sun. 2006. Molecular phylogeny of Parus (Periparus), a Eurasian radiation of tits (Aves: Passeriformes: Paridae). Zool. Abh. Mus. Tierkd Dresden. 55:103–120. Montgelard C, FM. Catzeflis, E. Douzery. 1997. Phylogenetic relationships of artiodactyls and cetaceans as deduced from comparison of cytochrome b and 12S rRNA mitochondrial sequences. Mol. Biol Evol. 14: 550–9. Moritz, C. 1994 Applications of mitochondrial DNA analysis in conservation: a critical review. Mol Ecol. 3:401–411 Olavarria C, F. Balbontin, R.Bernal, &C. Baker. 2006. Lack of divergence 275
Dwi Astuti
in the mitochondrial cytochrome b gene between Macruronus species (Pisces: Merlucciidae) in the Southern Hemisphere. Short communication. New Zealand J.Mar. Freshwater Res. 40: 299– 304. Pan QW, FM. Lei, ZH. Yin, A. Kristin, & P. Kanuch. 2007. Phylogenetic realationships within Turdus species: mitochondrial cytochromeb gene analysis. Ornis Fennica 84: 1-11. Prusak B, G. Grzybowski, & G. Zieba. 2004 Taxonomic position of Bison bison (Linnaeus, 1758) and Bison bonasus (Linnaeus, 1758) based on analysis of cytb gene. Anim. Sci Pap Rep. 22: 27–35. Prusak B & T. Grzybowski. 2004. Nonrandom base composition in codons of mitochondrial cytochrome b gene in vertebrates. Acta Biochimica Polonica 51 (4): 897– 905 Randi, E., C. Tabarroni. & S. Kark 2006. The role of history vs. demography in shaping genetic population structure across an ecotone: chukar partridges (Alectoris chukar) as a case study. Diversity and Distributions, 12: 714–724. Rocha-Olivares A, CA. Kimbrell, BJ. Eitner & RD. Vetter. 1999. Evolution of a Mitochondrial Cytochrome b Gene Sequence in
the Species-Rich Genus Sebastes (Teleostei, Scorpaenidae) and Its Utility in Testing the Monophyly of the Subgenus Sebastomus. Molecular Phylogenetics and Evolution 11 (3): 426–440. Roques S, & JJ. Negro. 2005. MtDNA genetic diversity and population history of a dwindling raptorial bird, the Red Kite (Milvus milvus). Biol Cons. 126:41–50 Russello MA & G. Amato. 2007. On the horns of a dilemma: molecular approaches refine ex situ conservation in crisis. Mol. Ecol. 16: 2405-2406. Spielman D, BW. Brook, & R. Frankham. 2004. Most species are not driven to extinction before genetic factors impact them. Proc. Natl Acad Sci USA 101:15261– 15264 Saitou N & M. Nei. 1987 The neighborjoining method: A new method for reconstructing phylogenetic trees. Mol Biol Evol 4: 406–425 Whittier JB, JR. Leslie. RA.van Den Bussche. 2006. Genetic variation among subspecies of Least Tern (Sterna antillarum): implications for conservation. Waterbirds 29:176– 184.
Memasukkan: Desember 2010 Diterima: Mei 2011
276
Jurnal Biologi Indonesia 7(2): 277-287 (2011)
Kajian Pendahuluan: Perpindahan Gen dari Tanaman Kentang Transgenik Katahdin RB ke Tanaman Kentang Non Transgenik A. Dinar Ambarwati1, M. Herman1, Agus Purwito2 , Eri Sofiari3, & Hajrial Aswidinnoor2 1
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Jl. Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111 2 Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Bogor 16680 3 Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang, Jl. Tangkuban Perahu 517, Lembang, Bandung 40391 ABSTRACT Preliminary study: Gene transfer from transgenic potato Katahdin RB to non transgenic potato. One of the concerns associated with the release of transgenic crops, is the possibility of the gene flow from transgenic crops to neighboring crops of the same species or to related species. In plants, gene flow is a routine process occur through the natural hybridization. The opportunity for gene flow occur depends principally on two factors, the degree of sexual compatibility between donor and recipient species, and the physical distance between the two. The experiment was conducted to determine whether the gene flow from transgenic potato Katahdin RB to non transgenic was occurred, based on selection using a 50 mg/l kanamycin, and to estimate gene flow mediated by natural hybridization at different isolation distances. Preliminary result indicated that a rapid and simple method using MS0 liquid media with kanamycin 50 mg/l was effective for screening the seeds. There was a gene flow from transgenic potato Katahdin RB to non transgenic, based on a rapid and simple selection method using 50 mg/l of kanamycin as selectable marker. The isolation distance used in the study were 0.8, 1.6, 2.4, 3.2, 4.0, 4.8, 5.6, 6.4, 7.2, 8.0, 8.8, 9.6, 10.4, and 11.2 m from the row of transgenic potato Katahdin RB. The gene flow through natural hybridization at a isolation distances of (0.8 - 1.6 m), (2.4 – 4 m), and (4.8 – 6.4 m) from transgenic to non transgenic plants were 13.78, 10.92, and 3.82%, respectively. At a distance of 7.2 – 8 m, the frequency of gene flow was declined to 0%. The frequency of gene flow from transgenic potatoes to non transgenic potatoes markedly decreased by increasing the isolation distance, and was negligible at 7.2 m. Key words : natural hybridization, transgenic potato RB, kanamycin selection
PENDAHULUAN Kentang transgenik pertama kali diuji di lapangan uji terbatas atau LUT (confined field trial) di United Kingdom pada tahun 1987. Selama
kurun waktu empat tahun berikutnya, terdapat lebih dari 70 permohonan uji kentang transgenik di LUT yang telah disetujui di seluruh dunia (Chasseray & Duesing 1992), hampir 2% dari seluruh percobaan LUT kentang transgenik di 277
Ambarwati dkk.
dunia dilakukan di Amerika Tengah dan Selatan, kurang lebih 8% adalah untuk sifat toleran herbisida, 58% untuk ketahanan terhadap serangga hama, bakteri, cendawan patogen, dan sisanya untuk sifat perbaikan kualitas dan gengen penanda (Goy & Duesing 1995). Untuk tanaman transgenik yang akan dikembangkan di Indonesia dan digunakan sebagai bahan pangan dan pakan seperti jagung, kedelai, kentang, harus memenuhi persyaratan keamanan hayati. Dalam rangka pengaturan keamanan hayati telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (Herman 2009). Dalam PP No. 21 Tahun 2005 yang dimaksud dengan keamanan hayati adalah keamanan lingkungan, keamanan pangan, dan/atau keamanan pakan. Salah satu aspek yang perlu dikaji sehubungan dengan tanaman transgenik adalah kemungkinan risiko terjadinya perpindahan gen (gene flow) ke tanaman sekerabat atau ke kerabat liar (McPartlan & Dale 1994; Messeguer 2003). Perpindahan gen merupakan suatu peristiwa yang terjadi secara rutin melalui persilangan alami. Kemungkinan terjadinya perpindahan gen tergantung dari dua faktor, yaitu tingkat kompatibilitas seksual dan jarak isolasi antara spesies donor dan spesies penerima (McPartlan & Dale 1994). Jarak isolasi adalah jarak tanam antara baris tanaman transgenik ke kentang non transgenik. Pada tanaman, perpindahan gen dapat terjadi melalui penyebaran serbuk sari (pollen), biji, atau organ vegetatif (Lu 2008). Perpindahan gen dapat diukur 278
dengan mengidentifikasi suatu tanaman dalam suatu populasi, dengan marka (marker) genetik (transgen) yang khas, dan mengikuti keberadaan marka tersebut pada generasi lebih lanjut melalui teknik molekuler (Latta et al.1998). Analisis perpindahan gen dengan metode seleksi secara cepat untuk suatu transgen, dianggap sebagai cara yang efisien untuk identifikasi tanaman. Analisis laboratorium seperti Southern Blot, ELISA, uji aktivitas enzim merupakan metode yang mahal, memerlukan waktu lama, terutama ketika menganalisis sejumlah besar populasi tanaman (Howe & Feng 2004). Seleksi cepat dan sederhana (simple) telah dilakukan oleh Weide et al. (1989); De Block et al. (1984) dan McPartlan & Dale (1994). Evaluasi perpindahan gen sehubungan dengan penanaman kentang transgenik telah dilakukan di Kanada dan Amerika Serikat (Love 1994). Pengujian tingkat penyerbukan silang pada berbagai jarak isolasi dari tanaman kentang transgenik toleran herbisida klorsulfuron dilakukan oleh Tynan et al. (1990); McPartlan & Dale (1994), sedangkan Skogsmyr (1994) mengkaji frekuensi penyebaran transgen dari tanaman kentang transgenik yang mengandung gen penanda gus dan nptII. Banyaknya faktor yang mempengaruhi terjadinya perpindahan gen menyebabkan kuantifikasi perpindahan gen tidak mudah dilakukan (Messeguer 2003). Informasi mengenai jarak isolasi minimal yang disyaratkan dari tanaman transgenik ke tanaman non transgenik diperlukan dalam strategi manajemen berkaitan dengan
Kajian Pendahuluan: Perpindahan Gen dari Tanaman Kentang
perpindahan gen (Conner 2006), disamping faktor lain seperti isolasi fisik atau biologis (Celis et al. 2004). Di Indonesia, kajian perpindahan gen dari tanaman kapas transgenik Bt (CryIAc) ke kapas non Bt sudah dilakukan di Sulawesi Selatan (Purwito et al. 2001), sedangkan analisis perpindahan gen untuk tanaman kentang transgenik RB belum pernah dilaporkan di Indonesia. Pada penelitian ini dilakukan studi pendahuluan untuk mengetahui terjadinya perpindahan dari tanaman kentang transgenik RB ke tanaman kentang non transgenik, menggunakan metode seleksi cepat dengan marka kanamisin 50 mg/l dan tingkat persilangan alami pada berbagai jarak isolasi antara tanaman kentang transge-nik RB dengan tanaman kentang non transgenik, yang berkaitan dengan perpindahan gen. BAHAN DAN CARA KERJA Kajian perpindahan gen dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang, Oktober 2008-Mei 2009. Materi genetik yang digunakan adalah tanaman kentang transgenik Katahdin SP951 yang membawa gen RB sebagai sumber serbuk sari, dan Katahdin non transgenik, Granola serta Atlantic. Transgenik Katahdin SP951 dan Katahdin non transgenik diperoleh dari Universitas Wisconsin, Amerika Serikat melalui kerjasama USAID - ABSP (Agricultural Biotechnology Support Project) II. Materi yang digunakan adalah biji hasil persilangan antara tanaman kentang transgenik Katahdin SP951 dengan Atlantic. Biji disterilisasi dengan alkohol
70% dan dikecambahkan dalam cawan petri yang berisi media MS0 (MS tanpa penambahan zat pengatur tumbuh). Biji yang berkecambah ± 0.3 – 0.5 cm diseleksi, baik pada media MS0 padat dengan penambahan 50, 75 dan 100 mg/ l kanamisin maupun pada media MS0 cair dengan penambahan kanamisin 50 dan 75 mg/l. Biji berkecambah yang dapat tahan atau lolos pada seleksi kanamisin, ditanam dalam pot kecil berisi media campuran arang sekam, tanah dan pupuk kandang dalam perbandingan volume 2:1:1. Untuk mengkonfirmasi terjadinya perpindahan gen pada tanaman yang lolos seleksi kanamisin, dilakukan analisis PCR. Daun tanaman diambil untuk diisolasi DNAnya (Fulton et al. 1995) kemudian dilakukan analisis molekuler PCR, dengan primer 1-5(5’-CTCATTTT ACCCCTACAA-3’) dan primer 3-5 (5’CGCAAAACCTGGGAAAAT-3’) serta primer cf1 (5’-TAAGCATGAGTT GGAATAACT-3’) dan primer cr1 (5’CGGTCAGAAGAGGATAAGGGA-3'). Umbi kentang transgenik Katahdin SP951, Katahdin non transgenik, Granola dan Atlantic ditumbuhkan sampai muncul tunas (± 2-3 cm) kemudian ditanam di lapang. Tanah diolah dalam bedengan berukuran 0.4 x 6 m untuk setiap baris nomor tanaman yang akan diuji, kemudian dibuat lubang tanam yang berjarak 40 cm pada tiap bedengan. Jarak antar baris bedengan adalah 0.8 m. Bibit tanaman ditanam pada setiap lubang, dan pemupukan dilakukan dengan pupuk kandang 30 ton/ha, NPK (15-15-15) 800 kg/ha, dengan dosis ¾ diberikan pada saat tanam dan 1/4 bagian pada saat tanaman berumur 30 hari. Pemeliharaan terhadap 279
Ambarwati dkk.
organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dilakukan dengan penyemprotan insektisida maupun fungisida. Tanaman transgenik Katahdin SP951 ditanam dalam satu baris bedengan, ditengahtengah plot. Sedangkan tanaman non transgenik Katahdin, Granola, dan Atlantic ditanam secara berseling pada satu baris bedengan, dengan berbagai jarak isolasi mengikuti pola tanam pada budidaya kentang, yaitu 0.8, 1.6, 2.4, 3.2, 4.0, 4.8, 5.6, 6.4, 7.2, 8.0, 8.8, 9.6, 10.4, dan 11.2 m dari baris tanaman transgenik. Plot percobaan dan pertanaman di lapang disajikan pada Gambar 1. Seleksi secara cepat dilakukan menggunakan kanamisin sebagai marka seleksi. Semua buah yang terbentuk pada tanaman non transgenik pada berbagai jarak isolasi, diproses untuk mendapatkan biji. Semua biji disterilkan dengan alkohol 70% dan direndam dalam larutan GA3 1500 ppm selama satu malam untuk pematahan dormansi. Biji dikecambahkan dalam cawan petri yang berisi media MS0 (MS tanpa penambahan zat pengatur tumbuh) cair. Biji yang berkecambah ± 0.3 – 0.5 cm dipindahkan ke media seleksi yaitu MS0 cair dengan penambahan kanamisin 50 mg/l, sedangkan biji yang tidak berkecambah dianggap tidak mempunyai viabilitas untuk tumbuh sehingga tidak diseleksi. Biji yang tahan dan tumbuh membentuk tunas daun hijau atau tidak mengalami bleaching selama diseleksi dalam media kanamisin, dianggap telah lolos seleksi. Perpindahan gen melalui tingkat persilangan alami diamati pada jarak isolasi 0.8 – 1.6 m, 2.4 – 4 m, 4.8 – 6.4 m dan 7.2 – 8 m dari tanaman transgenik 280
ke tanaman non transgenik, berdasarkan biji berkecambah yang lolos seleksi kanamisin. HASIL Uji pendahuluan introgresi gen melalui persilangan alami dengan metode seleksi secara cepat Uji pendahuluan seleksi secara cepat untuk biji hasil persilangan, menunjukkan bahwa semua biji yang diseleksi ternyata semuanya tahan dan dapat tumbuh, setelah ± 3 minggu pada media MS0 padat dengan kanamisin 50, 75, maupun 100 mg/l (Gambar 2). Seleksi dengan cara ini ternyata tidak efektif karena tidak bisa menyeleksi biji tahan dan tidak tahan, sehingga perlu dicari alternatif lainnya. Seleksi pada media MS0 cair, baik dengan kanamisin 50 maupun 75 mg/l dapat menyeleksi biji berkecambah yang tahan dan tidak tahan. Biji berkecambah yang lolos seleksi kanamisin selanjutnya dianalisis secara molekuler untuk memastikan ada tidaknya introgresi gen RB. Dari semua tanaman yang lolos seleksi kanamisin 50 mg/l maupun 75 mg/ l ternyata positif mengandung gen RB, dengan munculnya produk amplifikasi berukuran 619 bp untuk produk N-term dan 840 bp untuk produk C-term (Gambar 3). Untuk tahap selanjutnya seleksi dilakukan menggunakan media MS0 cair dengan kanamisin 50 mg/l karena sudah bisa menyeleksi biji yang tahan dan tidak tahan. Kajian perpindahan gen Penelitian pada berbagai jarak isolasi yaitu 0.8 - 11.2 m antara tanaman
Kajian Pendahuluan: Perpindahan Gen dari Tanaman Kentang
0.8 m
0.8 m
4.0
3.2
2.4
1.6
0.8
40 cm
x x x x x x x x x xx x x x x x x x x xx
11.2 m
6m
0.8
1.6
2.4 3.2 4.0
…… 11.2 m
x : Transgenik Katahdin SP951 - : Non transgenik
Gambar 1 Plot percobaan (atas) dan penanaman di lapang pada analisis perpindahan gen (bawah)
transgenik Katahdin SP951 dengan non transgenik menunjukkan bahwa buah hanya terbentuk pada jarak isolasi 0.8 sampai 8 m (Tabel 1). Sebanyak 6 buah kentang sudah gugur sebelum masak sehingga tidak dapat diproses untuk seleksi lebih lanjut, karena belum terbentuk biji. Biji yang berasal dari 67 buah yaitu sebanyak 7772 biji diproses untuk diseleksi lebih lanjut. Seleksi biji hasil persilangan alami dalam media kanamisin 50mg/l ditampilkan pada Gambar 4. Biji dengan kecambah ± 0.3 sampai 0.5 cm (Gambar 4a) dipindahkan ke media seleksi. Setelah kurang lebih 4 – 6 minggu diseleksi, daun tanaman yang tahan akan tetap hijau segar dan dianggap telah lolos seleksi kanamisin,
sedangkan tunas daun yang tidak tahan, akan berubah warnanya menjadi kuning pucat atau putih (Gambar 4b) atau sama sekali tidak tumbuh tunas daun (Gambar 4 c) dan dianggap tidak lolos seleksi. Semaian tahan dapat ditanam dan dipelihara dalam media arang sekam dan pupuk kandang (Gambar 4d). Tidak semua biji yang diproses dapat berkecambah. Kemampuan biji untuk dapat berkecambah berkisar dari 35.08 sampai 60.52% (Tabel 1). Seleksi hanya dilakukan pada biji yang mempunyai viabilitas untuk berkecambah. Hasil seleksi dengan metode secara cepat menggunakan kanamisin 50 mg/l, menunjukkan bahwa 55 sampai 82% biji berkecambah tidak tahan dalam seleksi, 281
Ambarwati dkk.
a
b
c
Gambar 2 Seleksi biji pada media MS0 padat, semua dapat tumbuh pada kanamisin 50 mg/l (a), 75 mg/l (b) dan 100 mg/l (c). M
1
2
3
4
5
6
7
8
9
M 1
2
3 4
5
6
7
8
9
840 bp 619 bp
A
B
Gambar 3 Hasil amplifikasi PCR: A) N-term end dan B) C term-end pada biji hasil persilangan yang lolos seleksi kanamisin. M: 1 Kb DNA ladder, 1-3: biji lolos seleksi kanamisin 50 mg/l, 4 – 6: biji lolos seleksi kanamisin 75 mg/l, 7: transgenik Katahdin SP951, 8: Atlantic, 9: H2O. Tabel 1 Seleksi cepat biji hasil persilangan alami tanaman kentang transgenik dengan non transgenik pada berbagai jarak isolasi Seleksi kanamisin 50 mg/l Biji berkecambah yang diseleksi*
Tunas daun hijau**
Tunas daun kuning**
Tunas daun putih**
Tidak tumbuh tunas daun**
2234
1139 (50.98)
157 (13.78)
93 (8.17)
138 (12.12)
751 (65.94)
28
2708
1639 (60.52)
179 (10.92)
184 (11.23)
212 (12.93)
1064 (64.92)
4.8 - 6.4
24
2805
996 (35.08)
38 (3.82)
50 (5.02)
89 (8.94)
819 (82.23)
7.2 - 8.0
1
25
9 (36)
0 (0)
1 (11.11)
3 (33.33)
5 (55.56)
Jumlah buah
Jumlah biji
0.8 -1.6
20
2.4 - 4.0
Jarak isolasi (m)
*: Persentase dihitung dari jumlah biji, **: Persentase dihitung dari biji berkecambah yang diseleksi
282
Kajian Pendahuluan: Perpindahan Gen dari Tanaman Kentang
yang ditandai dengan tidak adanya pertumbuhan lebih lanjut, dan tidak dapat membentuk tunas daun. Sebanyak 5 sampai 33% biji dapat tumbuh membentuk tunas daun hijau, namun demikian dalam perkembangannya tunas daun mengalami bleaching menjadi kuning atau putih setelah 1 sampai 2 minggu dalam seleksi kanamisin. Hal ini mengindikasikan bahwa biji tersebut tidak tahan. Sebaliknya, biji berkecambah yang mampu bertahan, akan tumbuh membentuk tunas daun yang tetap berwarna hijau,
A
B
setelah 4 sampai 6 minggu dalam media seleksi kanamisin. Persentase tingkat persilangan alami untuk mengetahui terjadinya perpindahan gen dari tanaman kentang transgenik RB ke tanaman kentang non transgenik dengan metode seleksi cepat, ditentukan berdasarkan biji berkecambah yang dapat tahan atau lolos seleksi kanamisin dengan membentuk tunas daun hijau. Pada jarak isolasi 0.8 sampai 1.6 m dari tanaman transgenik ke tanaman non transgenik, terjadi persilangan alami sebesar 13.78% (Tabel 2). Pada jarak isolasi 2.4 - 4 m
D
C
Gambar 4. Seleksi biji hasil persilangan alami. Perkecambahan biji pada media MS0 cair (a), Biji berkecambah yang diseleksi dalam media MS0 cair + kanamisin 50 mg/l, dengan tunas daun hijau, kuning atau putih (b) atau tidak dapat membentuk tunas daun (c) dan semaian yang ditanam dan dipelihara dalam media arang sekam dan pupuk kandang (d). Tabel 2 Perpindahan gen melalui persilangan alami berdasarkan seleksi kanamisin pada berbagai jarak isolasi Jarak isolasi (m) 0.8 -1.6
Biji berkecambah yang diseleksi 1139
Lolos seleksi kanamisin* 157 (13.78)
Tumbuh jadi tanaman** 5 (3.18)
2.4 - 4.0
1639
179 (10.92)
4 (2.23)
4.8 - 6.4
996
38 (3.82)
1 (2.63)
7.2 - 8.0
9
0 (0)
0 (0)
*: Persentase dihitung dari biji berkecambah yang diseleksi, **: Tanaman berasal dari tunas lolos seleksi kanamisin
283
Ambarwati dkk.
dan 4.8 - 6.4 m, berturut-turut terjadi persilangan alami sebesar 10.92% dan 3.82%, dan pada jarak isolasi 7.2 - 8 m tidak ada lagi persilangan alami karena tidak ada biji berkecambah yang lolos seleksi kanamisin. Persentase tingkat persilangan alami semakin kecil dengan bertambah jauhnya jarak isolasi. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa tidak semua biji berkecambah yang lolos seleksi kanamisin dapat tumbuh menjadi tanaman dengan akar dan daun. Dapat dikatakan bahwa terjadinya perpindahan gen melalui persilangan alami dapat mempengaruhi viabilitas dan menghambat pertumbuhan tanaman. PEMBAHASAN Seleksi introgresi gen melalui persilangan alami dilakukan menggunakan media MS0 cair dengan kanamisin 50 mg/l karena sudah bisa menyeleksi biji yang tahan dan tidak tahan. Pertimbangan pemakaian ini mengacu pada proses transformasi tanaman kentang. Seleksi transforman RB dilakukan dengan media ZIG (Cheng & Veilleux 1991) yang mengandung kanamisin 50 mg/l. Plasmid biner pCLD04541 yang digunakan untuk trans-formasi kentang, selain mengandung gen RB juga membawa gen nptII, sehingga tanaman yang lolos seleksi kanamisin akan mengandung gen RB (Song et al. 2003). Seleksi cepat dan simpel untuk introgresi gen dilakukan oleh Weide et al. (1989) di rumah kaca menggunakan marka seleksi kanamisin. Tanaman transgenik tomat muda dengan tiga sampai empat daun, disemprot larutan 284
kanamisin. Daun tanaman yang tidak tahan berubah menjadi putih dalam waktu 7 hari, sedangkan tanaman dengan daun tetap hijau dan tidak ada nekrosis menunjukkan tanaman tahan dan mengandung produk gen seleksi. De Block et al. (1984) menguji ketahanan biji F1 hasil penyerbukan tanaman tembakau transgenik, yang diseleksi pada media padat B5 dengan penambahan 100 mg/l kanamisin. Biji yang tahan dapat berkecambah dan membentuk semaian setelah 3 minggu,biji yang peka meskipun dapat berkecambah, tetapi setelah 1 minggu kecambah tidak dapat tumbuh, mengalami etiolasi dan mati setelah 2 minggu dalam media seleksi. Skrining ketahanan pada biji dari persilangan alami tanaman kentang transgenik varietas Desiree dengan non transgenik dilakukan oleh McPartlan & Dale (1994). Biji disterilisasi dan ditanam pada media MS0 padat dengan 200 mg/l kanamisin. Semaian dikategorikan sebagai peka apabila mengalami bleaching atau memutih, sedangkan tanaman yang tahan masih tetap hijau setelah 2 bulan dalam media seleksi. Perpindahan gen melalui persilangan alami pada penelitian ini adalah sebesar 0 – 13.78%. Menurut Plaisted (1980) perkiraan tingkat penyerbukan silang tanaman kentang pada kondisi lapang berkisar dari 0 sampai 20%, meskipun beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa potensi terjadinya penyerbukan silang relatif kecil, dan penyebaran serbuk sari pada umumnya terbatas (Harding & Harris 1994). Kemungkinan terjadinya transfer gen melalui persilangan alami ditentukan oleh
Kajian Pendahuluan: Perpindahan Gen dari Tanaman Kentang
jarak fisik antara spesies donor dan spesies penerima (McPartlan & Dale 1994) serta sistem perkawinan dan model penyerbukan (Messeguer 2003; Lu 2008). Menurut Treu dan Emberlin (2000) tingkat penyebaran serbuk sari pada tanaman kentang berhubungan dengan jenis serangga penyerbuk atau polinator. Bumblebees, seperti Bombus funebris di Peru dan Bombus impatiens di Amerika Serikat merupakan polinator yang baik untuk kentang (OECD 1997), yang bergerak atau berpindah hanya pada jarak yang pendek diantara bunga, sehingga sebagian besar serbuk sari tertahan atau tersimpan disekitar sumber serbuk sari (Skogsmyr 1994). McPartlan & Dale (1994) mengamati frekuensi perpindahan gen pada berbagai jarak isolasi antara tanaman kentang transgenik Desiree toleran herbisida dengan non transgeniknya. Pada kentang transgenik ditanam secara berseling dengan non transgenik, atau pada jarak tanam dimana daunnya saling bersinggungan, frekuensi progeni tanaman non transgenik yang mengandung gen ketahanan kanamisin berkisar dari 23.1 sampai 28.8%. Pada jarak isolasi 3 dan 10 m, frekuensinya berkurang masing-masing menjadi 2% dan 0.017%. Dengan bertambah jauhnya jarak isolasi sampai 20 m, tidak lagi terjadi penyerbukan silang antara tanaman kentang transgenik dan non transgenik. Pengujian dispersal transgen melalui serbuk sari dari tanaman kentang transgenik toleran herbisida klorsulfuron ke tanaman non transgenik yang dilakukan di New Zealand (Tynan et al. 1990), menunjukkan pada jarak isolasi
1.5 sampai 3 m frekuensi hibrida yang mengandung marka transgen sebesar 1%, dan pada jarak 3-4.5 m, frekuensinya turun menjadi 0.05%. Pada jarak isolasi 4.5 - 6 m dan 9 sampai 10 m tidak dijumpai hibrida yang toleran klorsulfuron, atau tidak ada perpindahan gen. Beberapa penelitian lapang pada tanaman kentang transgenik yang mengandung transgen sebagai penanda, menunjukkan bahwa penyebaran transgen oleh serbuk sari ke tanaman kentang lainnya sangat terbatas dan tidak terjadi pada jarak lebih dari 10 m (Conner & Dale 1996). Tindakan manajemen untuk meminimalkan pindahnya transgen yang dimediasi serbuk sari, dapat dilakukan dengan pembatas fisik, meliputi isolasi spasial, yaitu menanam spesies lain diantara plot tanaman transgenik dengan non transgenik, isolasi temporal yaitu dengan perbedaan waktu tanam antara transgenik dengan non transgenik serta pembatas biologi, seperti penggunaan tanaman transgenik mandul jantan (Lu 2008). Disamping itu, informasi mengenai jarak isolasi minimal yang disyaratkan dari tanaman transgenik ke non transgenik, diperlukan untuk strategi manajemen perpindahan gen (Conner 2006). KESIMPULAN Perpindahan gen terjadi melalui persilangan alami dari tanaman kentang transgenik RB ke tanaman kentang non transgenik, berdasarkan metode seleksi secara cepat dengan marka kanamisin 50 mg/l. Perpindahan gen melalui persilangan alami pada jarak isolasi (0.8 - 1.6 m), (2.4285
Ambarwati dkk.
4 m), dan (4.8–6.4 m) dari tanaman kentang transgenik RB ke tanaman non transgenik, berturut- turut s 13.78, 10.92, dan 3.82%. Pada jarak isolasi (7.2 – 8 m) sudah tidak terjadi persilangan alami (0%). Persentase perpindahan gen melalui persilangan alami semakin menurun dengan bertambah jauhnya jarak isolasi. DAFTAR PUSTAKA Celis, C., M. Scurrah, S. Cowgill, S. Chumbiauca, J. Green, J. Franco, G. Main, D. Kilzebrink, RGF. Visser, & HJ. Atkinson. 2004. Environmental biosafety and transgenic potato in a centre of diversity for this crop. Nature 432: 222-225. Conner, AJ. & PJ. Dale. 1996. Reconsideration of pollen dispersal data from field trials of transgenic potatoes. Theor. Appl. Genet. 92(5): 505-508. Conner, AJ. 2006. Biosafety evaluation of transgenic potatoes: Gene flow from transgenic potatoes. International Symposium, Ecological and Environmental Biosafety of Transgenic Plants.127-140. Chasseray, E. & J. Duesing. 1992. Field trials of transgenic plants an overview. Agro-Food-Industry Hi-Tech 3(4):5-10. Cheng, J. & RE. Veilleux . 1991. Genetic analysis of protoplast cultureability in Solanum phureja. Plant Science. 75: 257-265. De-Block, M., L. Herrera-Estrella, M. Van Montagu, J. Schell, & P. 286
Zambryski. 1984. Expression of foreign genes in regenerated plants and in their progeny. The EMBO J. 3(8):16 81-1689. Fulton, TM., J. Chunwongse, & SD. Tanksley. 1995. Microprep protocol for extraction of DNA from plants. Plant Mol. Biol. Rep. 13(3):207209. Goy, PA. & JH. Duesing. 1995. From pots to plots: genetically modified plants on trial. Bio/Technology 13:454-458. Harding, K. & PS. Harris. 1994. Risk assessment of the release of genetically modified plants. A review. MAFF. Herman, M. 2009. Pengaturan keamanan tanaman PRG di Indonesia. Dalam: Purwantara B & M. Thohari (eds.). Tanaman Produk Rekayasa Genetik dan Kebijakan Pengembangannya. Volume 2. Status global tanaman produk rekayasa genetik dan regulasinya. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Biotekno-logi dan Sumber Daya Genetik Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 105-132. Howe, AR. & PCC. Feng. 2004. Assay for the detection of selectable marker expression in plants. Patent Application Publication. 1-10. Latta, RG., YB. Linhart, D. Fleck, & M. Elliot. 1998. Direct and indirect estimates of seed versus pollen movement within a population of ponderosa pine. Evolution 52:61-67.
Kajian Pendahuluan: Perpindahan Gen dari Tanaman Kentang
Love, SL. 1994. Ecological risk of growing transgenic potatoes in the United States and Canada. Amer. Potato J. 71:647-658. Lu, BR. 2008. Transgene escape from GM crops and potential biosafety consequences: An environmental perspective. Collection of Biosafety Reviews 4:66-141. Messeguer, J. 2003. Gene flow assessment in transgenic plants. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 73:201-212. McPartlan, HC. & PJ. Dale. 1994. An assessment of gene transfer by pollen from field grown transgenic potatoes to non transgenic potatoes and related species. Transgenic Research 3:216-225. [OECD] Organization for Economic Cooperation and Development. 1997. Consensus Document on the Biology of Solanum tuberosum subsp. tuberosum (Potato). OECD Environmental Health Safety Publications, Series on Harmonization of Regulatory Oversight in Biotechnology. No 8. Environment Directorate. Paris. 27. Purwito, A., H. Aswidinnoor, & N. Amin. 2001. Gene flow kapas transgenik di Sulawesi Selatan: Jarak dan frekuensi persilangan luar pada kapas transgenik. Laporan Kajian Kapas Bt sub bidang Analisis Risiko Lingkungan. Makalah dipresentasikan dalam Diskusi Ilmiah tentang Evaluasi Pelepasan Terbatas Kapas Bt di Sulawesi Selatan. Bogor, 21 November 2001.
Plaisted, RL. 1980. Potato. In : Fehr WR. & HH. Hadley (eds.). Hybridisation of crop plants. American Society of Agronomy, Madison. 483-494. Song, J., JM. Bradeen, SK. Naess, JA. Raasch, SW. Wielgus, GT. Haberlach, J. Liu, H. Kuang, S. Austin-Phillips, CR. Buell, JP. Helgeson, & J. Jiang. 2003. Gene RB cloned from Solanum bulbocastanum confers broad spectrum resistance to potato late blight. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 100: 9128-9133. Skogsmyr, I. 1994. Gene dispersal from transgenic potatoes to conspecifics: A field trial. Theor. App. Gen. 88:770-774. Treu, R. & J. Emberlin. 2000. Pollen dispersal in the crops Maize (Zea mays), Oil seed rape (Brassica napus ssp oleifera), Potatoes (Solanum tuberosum), Sugar beet (Beta vulgaris ssp vulgaris) and Wheat (Triticum aestivum). Soil Association. Tynan, JL., MK. Williams, & AJ. Conner. 1990. Low frequency of pollen dispersal from a field trial of transgenic potatoes. J. Gen. Breed. 44:303-306. Weide, R., M. Koornneef, & P. Zabel. 1989. A simple, nondestructive spraying assay for the detection of an active kanamycin resistance gene in transgenic tomato plants. Theor. Appl. Genet.78:169-172. Memasukkan: Maret 2011 Diterima: Juni 2011 287
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 289-297 (2011)
Virus Influenza Novel H1N1 Babi di Indonesia NLP Indi Dharmayanti1, Atik Ratnawati1, & Dyah Ayu Hewajuli1 1
Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. RE Martadinata 30, Bogor E-mail:
[email protected] ABSTRACT
Novel H1N1 influenza virus in Swine in Indonesia. Novel H1N1 influenza virus occurred since April 2009 has caused mortality in human population. In Indonesia, this situation require intensive surveillance to prevent reassortant probability between the H5N1 virus and novel H1N1 virus. This study conduct preliminary surveillance of novel H1N1 virus circulation by using Real Time-Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (qRT-PCR), that validated by CDC to detect novel H1N1 virus. Result of this study revealed that the influenza novel H1N1 virus was detected in swine/pigs in Indonesia especially in Bulan island and two individual sample from Kapok slaughter house in Jakarta. These findings showed that in Indonesia the novel H1N1 virus is not only found in human but also has circulated in swine in Indonesia. Key words: pig/swine, influenza novel H1N1 virus
PENDAHULUAN Virus influenza A/H1N1 pertama kali diisolasi dari babi pada tahun 1930 (Shope 1931). Mulai dari tahun 1930-an sampai akhir tahun 1990 virus swine influenza pada babi yang bersirkulasi di USA relatif stabil. Antigenisitas virus ini relatif stasis sampai tahun 1998 dan selama waktu itu antigenic drift terjadi pada virus H1 manusia yang akhirnya menciptakan suatu jarak antara virus swine influenza dengan virus seasonal flu pada manusia (Garten et al. 2009). Pada tanggal 29 April 2009, World Health Organization (WHO) mengumumkan bahwa telah terjadi penyebaran yang sangat cepat (rapid global spread) virus influenza strain H1N1 yang dideteksi pada minggu sebelumnya dan dengan cepat menjadi pandemi fase 5 (global pandemic alert level to
phase 5) (www.who.int/csr/disease/ swineflu/). Fase 5 mengindikasikan transmisi virus dari manusia ke manusia dari strain influenza yang berasal dari hewan dari satu bagian negara di dunia dan dengan cepat menyebar ke bagian lain di dunia. Pada akhir bulan April, genom komplit virus ini sudah diketahui dan diketahui sebagai novel reassortant (Dawood et al. 2009). Virus ini dengan cepat menginfeksi populasi manusia hampir di seluruh negara dan menciptakan pandemi yang banyak menimbulkan kerugian akibat morbiditas dan mortalitasnya pada populasi manusia. Ratusan laporan penelitian, review dan kesimpulan tentang virus ini telah dipublikasi dalam waktu enam bulan. Semua studi menyimpulkan bahwa virus novel H1N1 yang menginfeksi populasi manusia kemungkinan terjadi sekitar 289
Dharmayanti dkk.
bulan Januari 2009 (Smith et al. 2009; Traser et al. 2009). Semua laporan penelitian tersebut menyetujui bahwa enam dari gen virus yaitu yang mengkode protein polimerase (PB2, PB1 dan PA), hemaglutinin (HA), nukleoprotein (NP) dan non-struktural (NS) menunjukkan tripple reassortant dari virus influenza yang ditemukan pada babi di Amerika Utara pada tahun 1998, sedangkan gen lainnya yaitu yang mengkode protein neuraminidase (NA) dan protein matrix (MP) dari Eurasian avian-like virus lineage yang diisolasi di Eropa sekitar tahun 1979 (Brockwell et al. 2009; Shinde et al. 2009; Olsen et al. 2002; Richt et al. 2003; Pensaert et al.1981; Brown et al. 1997; Scholtissek et al. 1983; Webster et al. 1992). Hampir semua negara di dunia melaporkan telah terinfeksi virus novel H1N1 termasuk Indonesia. Di Indonesia, data jumlah kumulatif infeksi Flu A H1N1 sampai dengan 23 Agustus 2009 sebanyak 1.005 orang dengan 5 orang di antaranya meninggal dunia. (www.depkes.go.id). Hal ini harus diwaspadai karena Indonesia masih mempunyai masalah dengan virus influenza H5N1 dan telah menjadi endemis, sehingga dengan teridentifikasinya novel H1N1 pada manusia di Indonesia, tentu menjadi hal serius yang perlu diperhatikan diantaranya adalah kemungkinan terjadinya reassortant antara virus H5N1 dengan virus influenza lainnya termasuk virus novel H1N1. Babi berperan penting dalam ekologi virus influenza dikarenakan babi sensitif terhadap reseptor mamalia dan unggas. Sel saluran nafas babi mengandung 290
reseptor sialyloligosac-charides yang memiliki reseptor avian yaitu N-acetylneuraminic acid-a2,3-galactose dan Nacetylneuraminic acid-a2,6-galactose yang merupakan reseptor virus influenza untuk mamalia (Ito et al. 1998; Rogers & Paulson 1983) atau salah satu peyebab babi diduga berperan sebagai mixing vessel virus influenza dari spesies berbeda dan menyediakan tempat untuk reassortant adaptasi bagi inang (Scholtissek 1990). Babi yang dapat berperan sebagai mixing vessel dari virus influenza ini, menjadi kunci utama untuk memulai surveilans, pendataan dan evaluasi mengetahui situasi virus influenza yang bersirkulasi di Indonesia. Pada penelitian ini dilakukan pengambilan sampel di beberapa lokasi sebagai upaya untuk mengetahui penyebaran virus influenza terutama virus influenza novel H1N1 pada babi di Indonesia. Pada studi ini dilakukan pendeteksian virus novel H1N1 pada babi dari rumah potong hewan (RPH) Kapok, Jakarta, peternakan babi di pulau Bulan-Riau (pengekspor babi untuk Singapura) dan Kota Batam yang dekat dengan dengan Singapura. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2009 sampai Nopember 2010. BAHAN DAN CARA KERJA Pool/individual usapan nasal babi dilakukan isolasi RNA. RNA yang dihasilkan kemudian dijadikan template untuk uji RT-PCR dan qRT-PCR. Pengujian RT-PCR menggunakan primer Nucleoprotein, primer H1, H5 dan primer N1 untuk mendeteksi adanya virus
Virus Influenza Novel H1N1 Babi di Indonesia
avian influenza subtipe H1N1; pengujian qRT-PCR dilakukan dengan menggunakan primer dan probe sesuai dengan CDC protocol realtime RT-PCR untuk influenza A (H1N1) (WHO 2009). Prosesing sampel yang berasal dari usapan nasal dilakukan sesuai dengan prosedur CDC (2009). Isolasi RNA dilakukan dengan menggunakan QIAmp RNA mini kit (Qiagen) yang tersedia secara komersial. Reaksi RT-PCR dilakukan dengan menggunakan Superscript III one Step RT-PCR system (Invitrogen). Primer NP, H5 dan H1 serta program RT-PCR yang digunakan sesuai dengan Lee et al. (2001). Prosedur dan program untuk subtiping N1 yang digunakan sesuai dengan Wright et al. (1995). Hasil amplifikasi divisualisasi dengan uv transluminator. Pengujian qRT-PCR dilakukan dengan menggunakan primer dan probe sesuai dengan CDC protocol realtime RT-PCR for influenza A (H1N1) (WHO 2009). Swab nasal babi yang teridetifikasi positif virus influenza atau novel H1N1 dengan metode qRT-PCR dan RT-PCR ditanam pada sel MDCK. Semua pekerjaan pembuatan inokulum dan inokulasi virus pada sel MDCK dilakukan di Laboratorium dengan fasilitas BSL-3. HASIL Identifikasi virus novel H1N1 pada RPH Kapuk Jakarta Pada bulan Mei 2009, sebanyak 103 pool sampel usapan nasal berhasil dikoleksi dari 558 babi dari beberapa suplier/kongsi babi di Jakarta yang
sebagian besar memperoleh babi tersebut dari Jawa Tengah (Tabel 1). Seluruh babi berumur sekitar 6-8 bulan berasal dari spesies lokal. Seratus tiga pool usapan nasal yang diidentifikasi dengan primer influenza A dan subtipe H5 hanya dua sampel yang positif terdeteksi adanya virus H5N1 yaitu kode pool sampel D19 dan D100 dari kongsi yang berbeda tetapi berasal dari daerah yang sama yaitu Solo, Jawa Tengah. Seratus satu sampel sisanya tidak terdeteksi adanya virus influenza A, sedangkan identifikasi virus yang dilakukan setahun kemudian tepatnya pada bulan Mei 2010, memperlihatkan sebanyak 102 pool swab nasal yang dikoleksi dari 460 babi umur 6-8 bulan, tidak terdeteksi adanya infeksi virus influenza A (Tabel 1). Identifikasi selanjutnya pada bulan OktoberNopember 2010, delapan sampel individual yang dikoleksi dari RPH Kapuk (kiriman dari BKHI Jakarta) menunjukkan 2 sampel positif teridentifikasi virus influenza novel H1N1. Identifikasi virus novel H1N1 pada peternakan babi di pulau Bulan Pool sampel nasal babi yang diduga terinfeksi virus novel H1N1 dari pulau Bulan. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa pool sampel S1, S2, S10 dan S11 selain terdeteksi adanya virus swine flu H1 juga terdeteksi adanya virus novel H1N1 yang merupakan virus pandemi saat ini. Pool sampel S5 merupakan pool sampel yang terdeteksi adanya virus novel H1N1 dan subtipe H5, dan Pada pool sampel S6 terdeteksi adanya virus H1 seasonal flu, H5 dan novel 291
Dharmayanti dkk.
Tabel 1. Identifikasi sampel swab nasal babi dari RPH Kapok dengan menggunakan RT-PCR konvensional dan RealTime RT-PCR menggunakan beberapa set primer Lokasi dan Bulan Pengambilan sampel
Jumlah babi/ Pool sampel
Hasil PCR
RT-PCR/qRT-
RPH Kapok (Mei 2009)
558/103
2 Pool sampel positif H5N1
RPH Kapok (Mei 2010)
460/102
Semua pool sampel negatif influenza A
8 individual
2 individual sampel positif Novel H1N1
RPH Kapok (Okt-Nop 2010)
H1N1, sedangkan S7dan S8 kemungkinan terdeteksi adanya virus H1 seasonal flu karena tidak dapat terdeteksi ketika diamplifikasi dengan primer Swine Flu A. Pool sampal S9 terdeteksi adanya virus subtipe H5 dan H1 (Tabel 2). Keberhasilan mengidentifikasi virus influenza subtipe H1 seasonal flu dan H5 pada babi mengindikasikan bahwa babi dapat terinfeksi virus avian influenza dan virus influenza manusia. Sampel swab nasal babi yang dikoleksi dari Kota Batam, Kepulauan Riau yang relatif dekat dengan Singapura menunjukkan bahwa tidak terdeteksi adanya virus novel H1N1 (Tabel 3).
bahwa sel MDCK yang membentuk CPE positif terdeteksi adanya virus novel H1N1 (Gambar 1b). Hasil identifikasi ulang virus dari supernatan sel MDCK menunjukkan positif virus novel H1N1. Penelitian ini menunjukkan bahwa telah berhasil diidentifikasi virus novel H1N1 pada babi di Indonesia meskipun dalam lokasi yang terbatas. Mengapa hal ini terjadi masih belum diketahui dengan pasti, apakah babi terinfeksi dari manusia yang lebih dahulu terinfeksi oleh virus novel H1N1. Hal ini memerlukan kajian lebih lanjut.
Infeksi sel MDCK dengan virus novel H1N1 Sel MDCK yang diinfeksi oleh inokulum sampel positif virus novel H1N1 secara qRT-PCR memperlihatkan adanya Cythopathic Effect (CPE) yang menunjukkan adanya pertumbuhan virus (Gambar 1). Selanjutnya sel MDCK yang membentuk CPE diidentifikasi ulang dengan menggunakan metode qRT-PCR seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil identifikasi ulang menunjukkan
Sirkulasi virus novel H1N1 yang tercatat sampai tanggal 13 Juni 2010, menunjukkan bahwa lebih dari 214 negara termasuk Indonesia melaporkan kasus konfirmasi pandemic influenza H1N1 2009 dan lebih dari 18.172 meninggal dunia akibat infeksi virus ini (WHO 2010). Di lain pihak sirkulasi virus ini pada babi, khususnya di Indonesia sampai penelitian ini di lakukan belum pernah dilaporkan kejadian infeksi virus novel H1N1 pada babi. Pada penelitian
292
PEMBAHASAN
Virus Influenza Novel H1N1 Babi di Indonesia
Tabel 2. Identifikasi sampel swab nasal babi dari pulau Bulan(*) dengan menggunakan RTPCR konvensional dan RealTime RT-PCR menggunakan beberapa set primer Hasil Identifikasi dengan RT-PCR dan qRT-PCR Kode pool sampel
dengan set primer S wFluA
S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 S11
Flu A
H5
N1
H1
+ + + + ++ + + + + + +
_ _ _ _ + + _ _ + _ _
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
+ + _ _ _ + + + + + +
S wH1(qRTPCR) novel (qRT-PCR) + + _ _ _ _ _ _ _ + +
+ + _ _ + + _ _ _ + +
(*) Kiriman dari BPPV Bukittinggi
(a)
(b)
Gambar 1. Sel MDCK (a) normal (sel tampak penuh dan confluent) ; (b) Sel MDCK diinfeksi sampel S10 yang positif terdeteksi adanya virus influenza novel H1N1 (sel tampak terpisah-pisah dan bergerombol).
ini virus novel H1N1 berhasil dideteksi pada babi di pulau Bulan dan beberapa babi yang berasal dari rumah potong babi di Jakarta. Hasil pengamatan klinis memperlihatkan bahwa babi-babi tersebut tampak sehat dan tidak menunjukkan gejala klinis influenza. Berdasarkan data penelitian Lange et al.
(2009) menyebutkan bahwa penelitian ekperimental pada babi yang diinfeksi dengan virus novel H1N1 (A/ Regensburg/D6/09/H1N1) secara intranasal menimbulkan gejala klinis khas influenza berupa demam, bersin, keluarnya lendir dari hidung dan diare terjadi mulai satu hari setelah inokulasi 293
Dharmayanti dkk.
Tabel 3. Identifikasi sampel swab nasal babi dari Kota Batam (*) dengan menggunakan RTPCR konvensional dan RealTime RT-PCR menggunakan beberapa set primer Hasil Identifikasi dengan RT-PCR dan qRT-PCR Kode pool SwFluA SwH1 sampel Flu A H5 N1 H1 (qRT-PCR) (qRT-PCR) novel SA1
+
_
_
_
_
_
SA2
+
_
_
_
_
_
SA3
+
_
_
_
_
_
SA4
+
_
_
_
_
_
SA5
+
_
_
_
_
_
SA6
+
_
_
_
_
_
SA7
+
_
_
_
_
_
SA8
+
_
_
_
_
_
SA9
+
_
_
_
_
_
SA10
+
_
_
_
_
_
SA11
+
_
_
_
_
_
SA12
+
_
_
_
_
_
SA13
+
_
_
_
_
_
SA14
+
_
_
_
_
_
SA15
+
_
_
_
_
_
SA16
+
_
_
_
_
_
SA17
+
_
_
_
_
_
(*) Kiriman dari BPPV Bukittinggi
virus. Babi yang terinfeksi ini dapat menulari babi lainnya tetapi tidak dapat menginfeksi ayam yang ditandai dengan tidak adanya gejala klinis, sero konversi ataupun ekskresi virus. Tidak dapat terinfeksinya ayam oleh virus novel H1N1 juga didukung oleh penelitian Babiuk et al. (2010) yang menyatakan bahwa virus novel H1N1 tidak patogen pada ayam. Data yang menunjukkan bahwa ayam tidak peka terhadap virus ini memberikan sedikit keuntungan terhadap kita karena situasi virus H5N1 yang masih 294
bersirkulasi pada ayam di Indonesia, setidaknya tidak bertambah buruk dengan hadirnya virus novel H1N1 ini. Pada hasil penelitian ini menunjukkkan bahwa sebagian besar babi yang diteliti pada penelitian ini memperlihatkan tidak terdeteksinya virus novel H1N1 menginfeksi babi di Indonesia kecuali babi di pulau Bulan dan individual sampel swab nasal babi dari RPH Kapuk yang dikoleksi sekitar Oktober-Nopember 2010. Terdeteksinya virus novel H1N1 dari babi di RPH Kapok pada akhir tahun
Virus Influenza Novel H1N1 Babi di Indonesia
2010, menunjukkkan bahwa peran surveilans dan monitoring virus ini masih harus terus dilakukan. Kekhawatiran akan terjadinya reassortant virus H5N1 dan virus H1N1 atau dengan virus seasonal flu lainnya harus tetap diwaspadai, dikarenakan babi sangat peka terhadap infeksi avian dan influenza virus manusia, genetic reaasortament antara avian dan influenza manusia dapat terjadi ketika virus ini menginfeksi secara bersama-sama pada seekor babi (Scholtissek 1990). Potensi meningkatnya virulensi yang kemungkinan terjadi reassortant antara highly patogenic H5N1 dengan virus novel H1N1 khususnya di Indonesia membutuhkan suatu perencanaan kemungkinan terjadinya pandemi reassortant virus-virus tersebut (Brockwell-Staats et al. 2009). KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Indonesia telah terdeteksi virus novel H1N1 pada babi pada salah satu peternakan di Pulau Bulan pada tahun 2009 dan dua sampel dari RPH Kapuk juga berhasil diideteksi adanya virus novel H1N1. Hal ini memperlihatkan bahwa sirkulasi virus influenza novel H1N1 masih harus diwaspadai. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada drh Yuli Miswati dan drh M Syibli (BPPV Bukittinggi) serta drh Irma Budiarti (BKHI Jakarta) atas kontribusinya. Ucapan terima kasih juga kepada Nana
Suryana dan Teguh Suyatno atas bantuan teknisnya. DAFTAR PUSTAKA Babiuk, S., R. Albrecht, Y. Berhene, P. Marszal, JA. Richt, A. GarciaSatre, J. Pasick, & Weingartl, H. 2010. 1908 and 2009 H1N1 influenza viruses are not pathogenic in birds. J. Gen Virol. 91 : 339-342 Brockwell-Staats C., RG.Webster, & RJ. Webby. 2009. Diversity of influenza viruses in swine and the emergence of a novel human pandemic influenza A (H1N1). Influenza and Other Respiratory Viruses. 3: 207-213 Brown IH., S. Ludwig, CW. Olsen, C. Hannoun, C. Scholtissek , VS. Hinshaw, PA. Harris, JW. McCauley, I. Strong, & DJ. Alexander. 1997. Antigenic and genetic analyses of H1N1 influenza A viruses from European pigs. J. Gen. Vir. 78: 553-562 Dawood FS, S. Jain, L. Finelli, MW. Shaw, S. Lindstrom, RJ. Garten, LV. Gubareva, X. Xu, CB. Bridges, TM. Uyeki. 2009. Emergence of a novel swine-origin influenza A (H1N1) virus in humans. N Engl J Med. 360 : 2605-615 Garten, RJ, CT. Davis, CA. Russell, B. Shu, S. Lindstrom, A. Balish, WM. Sessions, X. Xu, E. Skepner, V. Deyde, M. Okomo-Adhiambo, L Gubareva, J Barnes, CB. Smith, SL. Emery, MJ. Hillman, P. Rivailler, J. Smagala, M. de Graaf, 295
Dharmayanti dkk. D F. Burke, RAM. Fouchier, C Pappas, CM. Alpuche-Aranda, H. López-Gatell, H. Olivera, I. López, CA. Myers, D. Faix, PJ. Blair, C. Yu, KM. Keene, PD Dotson, Jr., DBoxrud, AR. Sambol, SH. Abid, K St. George, T. Bannerman, AL. Moore, DJ. Stringer, P. Blevins, Gail J. Demmler-Harrison, M. Ginsberg, P. Kriner, S. Waterman, S. Smole, HF. Guevara, EA. Belongia, PA. Clark, ST. Beatrice, R. Donis, J. Katz, L. Finelli, CB. Bridges, M. Shaw, DB. Jernigan, TM. Uyeki, DJ. Smith, AI. Klimov, & NJ. Cox. 2009. Antigenic and genetic characteristics of swineorigin 2009 A(H1N1) influenza viruses circulating in humans. Science. 325:197-201 Ito T, JN. Couceiro JN, & S. Kelm. 1998. Molecular basis for the generation in pigs of influenza A viruses with pandemic potential. J Virol. 72:7367–7373. Lee, MS., PC. Chang, JH. Shien, MC. Cheng,& HP. Shieh. 2001. Identification and subtyping of avian influenza viruses by reverse transcription-PCR. J.Virol. Methods. 97: 13-22. Lange, E., D. Kalthoff, U. Blohm, JP. Teifke, A. Breithaupt, C. Maresh, E. Starick, S. Fereidouni, B. Hoffman, TC. Mettenleiter, M. Beer, & TW. Vahlenkamp. 2009. Pathogenesis and transsimission of the novel swine-origin influenza virus A/H1N1 after experimental infection of pigs. J. Gen Virol. 90: 2119-2123 296
Olsen, CW. 2002. The emergence of novel swine influenza viruses in North America. Virus Res. 85:199210. Pensaert, M., K. Ottis , J. Vanderputte, MM. Kaplan, & PA. Buchmann. 1981. Evidence for the natural transmission of influenza A virus from wild ducks to swine and its potential for man. Bulletin of the World Health Organization. 59:75-78 Richt, JA., KM. Lager, BH. Janke, RD. Woods, RG. Webster,& RJ. Webby. 2003. Pathogenic and antigenic properties of phylogene-tically distinct reassortant H3N2 swine influenza viruses cocircula-ting in the United States. J. Clin. Microbiol. 41:3198-3205 Rogers, GN., JC. Paulson. 1983. Receptor determinants of human and animal influenza virus isolates: differences in receptor specificity of the H3 hemagglutinin based on species of origin. Virol. 127:361– 373. Scholtissek, C., H. Burger, PA. Bachmann, & C. Hannoun. 1983. Genetic relatedness of hemagglutinins of the H1 subtype of influenza A viruses isolated from swine and birds. Virology. 129:521523 Scholtissek C. 1990. Pigs as the ‘‘mixing vessel’’ for the creation of new pandemic influenza A viruses. Med Principles Pract. 2:65–71 Shinde V, Bridges CB, TM. Uyeki, B. Shu, A. Balish, X. Xu, S.Lindstrom, LV. Gubareva, V. Deyde, RJ.
Virus Influenza Novel H1N1 Babi di Indonesia
Garten, M. Harris, S. Gerber, F. Vagasky, F. Smith, MD, Neal Pascoe, K. Martin, D. Dufficy, K.Ritger, C. Conover, P. Quinlisk A. Klimov, JS. Bresee, & L. Finelli. 2009. Triple-reassortant swine influenza A (H1) in humans in the United States, 2005-2009. N. Engl. J. Med. 360: 2616-2625 Shope, RE. 1931. Swine influenza. III. Filtration experiments and etiology. J. Exp. Med. 54 : 373–385 Smith, GJ., D. Vijaykrishna, J. Bahl, SJ. Lycett, M. Worobey, OG. Pybus, SK. Ma, CL. Cheung, & J. Raghwani. 2009. Origins and evolutionary genomics of the 2009 swine-origin H1N1 influenza A epidemic. Nature. 459 : 1122–1125
Webster, RG., WJ. Bean, OT. Gorman, TM. Chambers, & Y. Kawaoka. 1992. Evolution and ecology of influenza A viruses. Microbiol. Rev. 56:152-179. WHO, 2010. Pandemic (H1N1) 2009 update 105.http://www.who.int. diakses 20 Juni 2010. WHO, 2009. CDC Protocol of realtime RT-PCR for influenza A (H1N1). Revision 30 April 2009. The WHO Collaborating Centre for influenza at CDC Atlanta, United States of America. Wright, KE., GAR. Wilson, GD. Novosad, C. Dimock, D. Tan, D & JM. Weber. 1995. Typing and subtyping of influenza viruses in clinical samples by PCR. J. Clin Microbiol. 33:1180–1184
Memasukkan: Februari 2011 Diterima: Juni 2011
297
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 299-308 (2011)
Karakterisasi Produk Biosolubilisasi Lignit oleh Kapang Indigenus dari Tanah Pertambangan Batubara di Sumatera Selatan 1),2)
Irawan Sugoro, 3)Sandra Hermanto, 4)Dwiwahju Sasongko, 2) Dea Indriani & 2) Pingkan Aditiawati
1)
Pusat Aplikasi Teknologi Radiasi – BATAN Pasar Jumat, 2)Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati - Institut Teknologi Bandung, 3) Program Studi Kimia FST UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 4)Departemen Teknik Kimia – Institut Teknologi Bandung Email:
[email protected] ABSTRACT Characterization of Lignite Biosolubilization Products by Indigenous Moulds from Soil of Coal Mining in South Sumatera. Biosolubilization of coal is a potential technology of converting solid coal to liquid fuel and chemicals at ambient condition. Our previous research has successfully isolated four moulds from soil at coal mining - South Sumatera and has potency as lignite biosolubilization agent, i.e. T1, T2, T4, T5. The objective of this research was to characterize of lignite biosolubilization products by four isolates. The method used was sub-merged culture. Cultivation medium was MSS+ (minimal salt + sucrose 0,1% + yeast extract 0,01% + lignite 5 %). Incubation was conducted at room temperature for 28 days. The result showed that all indigenos moulds have different ability in lignite biosolubilization. The highest biosolubilization occurred after 7 days of incubation belonging to T1 isolate. However, GC-MS analysis showed the largest percentage of hydrocarbon compound which equivalent to gasoline and diesel was T5 after 7 days of incubation. Key words: Biosolubilization, lignite, moulds, coal.
PENDAHULUAN Batubara menjadi sumber energi yang penting di dunia seiring dengan semakin terbatasnya cadangan minyak dan gas alam. Data menunjukkan bahwa cadangan batubara, minyak dan gas alam hingga akhir tahun 2007 sebesar 462,6, 164,5 dan 163,3 triliun ton, dengan asumsi tingkat konsumsi tahun 2007, cadangan batubara akan memenuhi kebutuhan energi untuk 146 tahun ke depan, sedangkan minyak untuk 50 tahun dan gas alam untuk 63 tahun (IEA 2009).
Data pada akhir tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sumber daya dan cadangan batubara Indonesia sebesar 104,8 miliar dan 20,98 miliar ton. Cadangan batubara Indonesia didominasi oleh jenis lignit (kandungan kalori rendah) sebesar 59%, subbituminus (kandungan kalori sedang) sebesar 27%, dan bituminus mencapai 14%, sedangkan antrasit kurang dari 0,5% (ESDM 2010). Secara alamiah. Atas dasar data tersebut maka penggunaan batubara yang efisien menjadi sangat penting untuk diteliti. Batubara banyak digunakan untuk 299
Sugoro dkk.
pembangkit tenaga listrik dan panas. Umumnya jenis batubara yang digunakan adalah kualitas rendah dari jenis lignit sebesar 96,4 %. Hal tersebut dapat mengakibatkan polusi udara yang cukup serius. Emisi dari pembakaran lignit terutama berupa sulfur oksida (SOx), nitrogen oksida (NOx), karbon dioksida (CO2) dan logam berat (Xu dkk 2000). Oleh karena itu, pembakaran lignit secara langsung bukan merupakan teknologi yang baik dilihat sisi perlindungan lingkungan, sehingga dibutuhkan teknologi baru untuk penanganannya. Biosolubilisasi adalah salah satu teknologi yang menjanjikan dengan memanfaatkan mikroba untuk mencairkan padatan batubara sehingga diperoleh sumber energi dengan produk bersih. Produk biosolubilisasi yang berupa cairan hitam menyimpan 97,5% dari nilai pemanasan lignit mentah (Shi dkk 2009). Dibandingkan dengan liquefaksi termal batubara, biosolubilisasi memiliki beberapa keuntungan, yaitu proses dilakukan dalam kondisi suhu dan tekanan atmosfer, mikroba dapat menggunakan hidrogen dari air dan tidak membutuhkan energi eksternal hidrogen untuk membentuk lignit tersolubilisasi. Mikroba dapat mencairkan batubara dengan bantuan enzim pada kondisi suhu dan tekanan atmosfer, sedangkan proses termal membutuhkan suhu dan tekanan yang tinggi. Peningkatan rasio H/C produk batubara cair diperoleh dengan memanfaatkan hidrogen dari air, sedangkan proses termal perlu proses hidrogenasi yang menyebabkan biaya operasi tinggi. Produk yang dihasilkan pun tidak menghasilkan SOx dan NOx 300
selama proses pembakaran dan itulah sumber energi bersih (Fakoussa & Hofrichter 1999). Batubara dicairkan dengan cara menggunakan suhu dan tekanan sangat tinggi. Disamping itu, penelitian ini mendukung program pemerintah melaui Peraturan Presiden. No.5 Tahun 2006 mengenai Kebijakan Energi Nasional (KEN), dimana penggunaan batubara akan ditingkatkan menjadi 33% dan batubara yang dicairkan sebesar 2 % pada tahun 2025 untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi. Biosolubilisasi batubara menjadi menarik untuk diteliti lebih dalam dengan alas an yang telah dijelaskan di atas. Hasil solubilisasi yang rendah dan dibutuhkannya waktu konversi yang lama menjadi hambatan pengembangan biosolubilisasi batubara serta jenis batubara yang berbeda untuk setiap lokasi. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan memanfaatkan kapang indigenus di pertambangan batubara untuk memudahkan saat pengaplikasian karena secara alami telah teradaptasi dengan substrat batubara. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan telah diperoleh 8 isolat kapang dari tanah dan batubara. Penelitian ini menggunakan 4 isolat kapang hasil isolasi dari tanah pertambangan batubara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, yaitu kapang kode T1, T2, T4 dan T5 (Sugoro dkk. 2011). Kapang tersebut memiliki kemampuan mengsolubilisasi batubara kualitas rendah seperti lignit, akan tetapi belum diketahui karakteristik produknya. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik produk biosolubilisasi dari keempat kapang tersebut.
Karakterisasi Produk Biosolubilisasi Lignit oleh Kapang
BAHAN DAN CARA KERJA Alat utama yang digunakan adalah Gas Chromatograph Mass Spectrometer (GC-MS) untuk analisa hidrokarbon hasil biosolubilisasi, Fourier Transform Infra Red (FTIR) Spectrum One Perkin Elmer untuk identifikasi profil gugus fungsi batubara sebelum dan setelah biosolubilisasi, Spektrofotometer UV-Vis Spectronic Genesys, mikroskop, Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), pH meter HANNA Instruments HI 8520 dan saringan berukuran 100 mesh. Bahan yang digunakan adalah batubara jenis lignit dengan ukuran 100 mesh, 4 jenis isolat kapang berasal dari tanah pertambangan Tanjung Enim - Sumatera Selatan (kode T1, T2, T4, dan T5), medium Minimal Salt (MS/1g NH4(SO4), 0,52 g MgSO4.7H2O, 5 g KH2PO4, 0,005 g FeSO4.7H2O, 0,003 g MnCl2.4H2O dan 0,003 g ZnSO 4.7H 2O lalu ditambah akuades hingga volumenya mencapai 1000 ml dan pH 5,5), medium PDMA (Potatoes Dextrose Agar : MS (1 : 1) + serbuk batubara 0,1%), medium MSS+ (MS + sukrosa 0,1 % + ekstrak ragi 0,01% + batubara 5%), benzena, heksana, dietil eter dan serbuk KBr kering. Kapang diremajakan dalam medium PDMA dan diinkubasi selama 4 hari hingga dihasilkan spora. Kemudian spora dilepaskan dari miselia dan sebanyak 5% v/v (106 sel spora/ml) diinokulasikan ke dalam 30 ml medium MSS. Kultur diinkubasi menggunakan shaking incubator dengan kecepatan 150 rpm dan suhu ruang selama 28 hari. Pencuplikan sampel kultur dilakukan pada hari ke - 0,
7, 14, 21, dan 28 untuk pengukuran pH medium, kolonisasi, kadar asam humat dan fulvat, analisis gugus fungsi batubara dengan FTIR dan analisis produk biosolubilisasi dengan GC-MS. Pengukuran asam humat dan fulvat dilakukan dengan menambahkan asam klorida (HCl) 4 N ke dalam supernatan sampel hingga pH mencapai 1. Setelah pH mencapai nilai yang diinginkan kemudian dilakukan sentrifugasi selama 20 menit (8000) rpm. Dari proses tersebut didapatkan supernatan dan pelet yang terpisah di dasar tabung sentrifugasi. Supernatan yang didapatkan kemudian dipindahkan ke dalam tabung terpisah dan diukur absorbansinya menggunakan spekrofotometer pada panjang gelombang 280 nm. Setelah proses asidifikasi menggunakan HCl 4 N, maka endapan yang didapatkan dari hasil sentrifugasi diperlakukan lebih lanjut yakni dengan membilasnya menggunakan aquades hingga pH-nya mencapai nilai 4. Setelah itu dilakukan pengukuran absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 450 nm (Fakuosa & Frost 1998). Analisis gugus fungsi batubara sebelum dan setelah biosolubilisasi dilakukan dengan FTIR pada kisaran frekuensi 4000- 450 cm-1 resolusi 4 cm-1. Batubara hasil biosolubilisasi terlebih dahulu dioven pada suhu 55oC. Sampel dicampurkan dengan serbuk KBr kering dengan lumpang agate dengan perbandingan 1:100 hingga benar-benar homogen. Campuran tersebut dicetak dengan handy press. Cakram KBr yang sudah terbentuk dimasukkan ke dalam KBr disc holder dan direkam dengan alat 301
Sugoro dkk.
spektrofotometer FTIR (Shi dkk 2009). Analisis hasil solubilisasi batubara oleh kapang dengan menggunakan GCMS. Supernatan hasil biosolubilisasi ditambahkan pelarut dengan perbandingan 1:1. Pelarut yang digunakan adalah campuran benzena : heksana : dietil eter dengan perbandingan 3:1:1. campuran lalu diaduk, didiamkan beberapa saat sampai terbentuk fase atas dan bawah. Fase atas selanjutnya dimasukkan ke dalam vial untuk dianalisis dengan alat GC-MS. Kontrol yang digunakan adalah batubara yang dilarutkan dalam medium MSS+, kemudian diekstrak dengan pelarut yang sama (Silva dkk 2007). HASIL Perubahan pH Medium dan Kolonisasi Biosolubilisasi yang dilakukan oleh keempat isolat kapang pada penelitian ini menghasilkan pH yang asam. Nilai pH awal seluruh kapang pada hari ke-0, yaitu berkisar antara 4,25 - 4,5. Selanjutnya hingga hari ke 21 inkubasi, pH mengalami penurunan berkisar antara 3,31-4,5. Setelah hari ke 28 inkubasi pH cenderung mengalami sedikit peningkatan berkisar
antara 3,49 - 3,55 (Tabel 1). Hal ini, didukung pula hasil pengamatan mikroskopis yang menunjukkan terjadinya interaksi berupa kolonisasi miselia kapang pada batubara (Gambar 1). Kolonisasi kapang setelah 7 hari inkubasi menunjukkan hasil berbeda-beda dan kolonisasi terbaik dilakukan oleh kapang T2. Kandungan Asam Humat dan Fulvat pada Produk Solubilisasi Batubara Pengukuran asam humat dan fulvat pada produk solubilisasi batubara dilakukan melalui penentuan absorbansinya secara kualitatif pada panjang gelombang 450 nm (asam humat) dan 280 nm (asam fulvat). Pada Gambar 2 terlihat grafik perubahan absorbansi asam humat dan fulvat yang menunjukkan kecenderungan pola perubahan yang sama antar isolat. Peningkatan asam humat terjadi setelah hari ke-7 dan cenderung stasioner setelah hari ke-14 untuk isolat kapang T1 dan T4, sedangkan kandungan asam humat isolat kapang T2 dan T4 mengalami peningkatan lebih lanjut. Hasil berbeda terjadi pada kandungan asam fulvat yang mengalami kenaikan hingga hari ke-7 untuk semua isolat kapang dan
Tabel 1. Nilai perubahan pH Medium untuk isolat kapang T1, T2, T4, dan T5 kapang dalam medium MSS yang diinkubasi pada suhu kamar dan agitasi 150 rpm. Rata-rata nilai pH
Hari
302
T1
T2
T4
T5
0
3,93
3,84
3,92
3,94
7
3,26
3,41
3,35
3,265
14
3,02
2,24
3,13
3,035
21
3,085
3,31
3,245
3,125
28
3,08
3,315
3,195
3,12
Karakterisasi Produk Biosolubilisasi Lignit oleh Kapang
T1
T2
T4
T5
Gambar 1. Kolonisasi batubara oleh isolat kapang TI, T2, T4, dan T5 dalam medium MSS yang diinkubasi pada suhu kamar dan agitasi 150 rpm (miselia; tanda panah hijau; batubara: tanda panah kuning ; perbesaran 400 x). 0.2 0.18 0.16 Absorbansi as. humat 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0
T1 T2 T4 T5
0
7 14 waktu (hari)
21
28
1 0.9 0.8 Absorbansi 0.7 as.fulvat 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
T1 T2 T4 T5
0
7 14 waktu (hari)
21
28
Gambar 2. Perubahan nilai absorbansi asam humat dan fulvat supernatan medium hasil biosolubilisasi batubara oleh kapang hasil T1, T2, T4 dan T5 dalam medium MSS yang diinkubasi pada suhu kamar dan agitasi 150 rpm
setelahnya mengalami penurunan. Kandungan asam fulvat tertinggi terjadi pada isolat kapang T5 dengan nilai absorbansi 0,74. Spektrum FTIR Batubara Hasil Biosolubilisasi Identifikasi gugus fungsi batubara hasil degradasi dengan menggunakan FTIR digunakan untuk mengkarakterisasi lignit mentah (kontrol) dan lignit yang telah diberi perlakuan selama proses biosolubilisasi (Gambar 3). Hasil analisa FTIR menunjukkan, batubara lignit mengandung gugus hidroksil fenol (O-H)
pada daerah serapan 3200-3550 cm-, gugus alkana (C-H) 2850-3000 cm-, gugus (C=C) aromatik pada daerah 15001600 cm-, gugus fosfor (P-H) di daerah 2440-2280 cm-, dan gugus alkohol (C-O) pada daerah serapan 970-1250 cm. Setelah terjadi proses solubilisasi, spektrum yang dihasilkan pada sampel dibandingkan dengan spektrum kontrol batubara lignit. Gugus O-H fenol, C-O fenol C-H alkana, dan C=C aromatik pada semua kapang mengalami penurunan sedangkan gugus P-H posfor pada sampel T1 meningkat.
303
Sugoro dkk.
Gambar 3. Pola spektrum endapan batubara hasil biosolubilisasi oleh keempat isolat kapang hasil analisis dengan FTIR.
Hasil Analisis GCMS Produk Biosolubilisasi Batubara Sampel yang digunakan adalah perwakilan dari setiap kapang yang memiliki hasil absorbansi solubilisasi terbesar yaitu T1, T4, dan T5 pada hari ke-7 inkubasi serta T2 pada hari ke-4 inkubasi. Kontrol yang digunakan adalah batubara yang dilarutkan dalam medium minimal salt. Hasil identifikasi menggunakan GC-MS (Tabel 2) menunjukkan pada kontrol terdeteksi 18 senyawa hidrokarbon, sedangkan kapang T1 terdeteksi 11 senyawa, T4 terdeteksi 17 senyawa, T5 terdeteksi 11 senyawa, dan T2 terdeteksi 13 senyawa. Pada kontrol terdapat senyawa dengan rantai karbon panjang yang tidak terdapat pada ke-4 sampel yaitu n-heneikosil siklopen-tana (C26H52) dan n-nonakosana (C29H60). Senyawa napthalene (C10H8) baik pada kontrol maupun perlakuan pada masing-masing kapang memiliki persentase area yang tertinggi dibandingkan dengan senyawa lain yang terdeteksi. Jika dibandingkan dengan kontrol, analisis terhadap keempat sampel menunjukkan terjadi peningkatan 304
persentase area pada rantai karbon pendek. Peningkatan persentase area terjadi pada senyawa C 9H 18, C 10H 8 , C 12 H 26 , dan C 14 H 30 . Senyawa baru seperti senyawa C 11 H 24 dan C 15 H 35 terbentuk pada perlakuan menggunakan kapang T4 dan T2. PEMBAHASAN Perubahan pH medium merupakan indikator terjadinya pertumbuhan atau metabolisme kapang selama proses biosolubilisasi. Hal ini didukung hasil pengamatan mikroskopis setiap kapang yang mampu tumbuh dan mengkolonisasi batubara (Gambar 1). Penurunan pH yang terjadi dapat disebabkan terbentuknya asam-asam organik dan juga dapat disebabkan telah terjadinya desulfurisasi. Dimana sulfur dalam batubara terlarut ke dalam medium cair dalam bentuk ion sulfat (SO42-) sehingga terbentuk asam sulfat. Jenis asam organik diantaranya adalah asam karboksilat dan asam fulvat yang merupakan senyawa humat yang terdapat dalam batubara (Hammel 1996).
Karakterisasi Produk Biosolubilisasi Lignit oleh Kapang
Tabel 2. Senyawa Hasil Biosolubilisasi Batubara Menggunakan GC-MS.
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Nama Senyawa 2,4-dimetil-1-heptena (C9H18 ) 2,4-dimetilheptana(C9H 20 ) 4-metiloktana (C9H20 ) 3-etil-2-metilheksana (C9H20) Naptalena ( C10H8 ) Undekana,3,7-dimetil (C11H24) 3,7-Dimetildekana (C12H26 ) Dekana,3,7,-dimetil (C12H26) n-dodekana (C12H26) 4-metildodekana (C13H28) 5-metil-5-propilnonana(C13H28) 5-isobutilnonana(C13H28 ) 5-sek-butilnonana (C13H28 ) 5-butilnonana (C13H28) n-tetradekana (C14H30) 4,6-dimetildodekana (C14H30) Dodekana,4,6-dimetil (C14H30) 4,6-dimetildodekana (C14H30 ) n-Pentadekana(C15H35) 2,6,10-trimetiltetradekana(C17H36) 2,6,10-trimetiltetradekana(C17H36) n-heptadekana(C17H36 ) 2-metilheksadekana (C17H36) n-oktadekana (C18H38) n-nonadekana (C19H40) 9-metilnonadekana (C20H42) 2,6,10,14-tetrametilheksadekana(C20H42) 2,6,11,15-tetrametilheksadekana(C20H42 ) 2,6,10,14-tetrametilheptadekana (C21H44) n-dokosana (C22H46) n-trikosana(C23H48) n-heneicosylcyclopentana (C26H52) n-nonakosana (C 29H60) Total % Area Total senyawa
Penurunan nilai pH tidak terjadi secara terus-menerus sampai akhir masa inkubasi. Setelah memasuki hari ke-28 inkubasi nilai pH mengalami sedikit kenaikan (Tabel 1). Kemungkinan
Kontrol 0,64 1,04 1,82 30,38 3,42 0,67 0,93 2,45 4,00 1,70 0,48 7,56 2,42 2,43 11,69 6,6 3,05 18,73 100 18
% Area Kode isolat T2 T4 T1 0,96 0,72 4,71 3,33 2,26 1,47 2,15 1,00 45,23 27,34 61,22 0,99 9,45 6,83 4,19 2,88 1,44 0,69 3,27 1,60 1,06 6,66 1,49 1,83 8,17 5,15 8,78 4,06 0,33 1,57 10,88 14,38 1,92 11,15 0,56 2,81 1,56 4,00 31,91 100 100 100 11 17 11
T5 2,69 52,15 4,30 0,87 1,33 5,87 1,03 3,22 2,07 2,88 2,18 18,64 2,77 100 13
kenaikan pH medium disebabkan terbentuknya senyawa amonia hasil solubilisasi senyawa piridin dalam batubara kemudian larut dalam medium dan bereaksi dengan air membentuk 305
Sugoro dkk.
amonium hidroksida (NH 4OH) yang bersifat basa lemah (Ying dkk 2010). Terjadinya penurunan pH didukung pula dengan hasil pengukuran absorbansi asam humat dan fulvat yang terlarut. Menurut Stevenson (1982) batubara terutama jenis lignit, merupakan senyawa organik yang berpotensi kaya akan substansi humat. Substansi humat memiliki kontribusi besar sebagai mantel suatu partikel. Kondisi itu kemungkinan besar proses solubilisasi batubara ditandai dengan melarutnya beberapa lapisan substansi humat tersebut ke dalam medium. Oleh karena itu pengukuran terhadap keberadaan substansi humat berupa asam humat dan asam fulvat dalam medium dapat dijadikan sebagai acuan atau faktor uji dalam memastikan terjadinya biosolubilisasi batubara. Tingginya nilai absorbansi asam humat pada awal inkubasi karena batubara masih mengandung banyak senyawa aromatik yang memiliki ikatan terkonjugasi yang merupakan komponen utama penyusun asam humat dalam batubara. Penurunan kadar asam humat pada awal inkubasi (hari ke-7) diikuti dengan kenaikan kadar asam fulvat (Gambar 2). Penurunan nilai absorbansi asam humat yang berimplikasi pada peningkatan nilai asam fulvat disebabkan oleh penguraian ikatan konjugasi pada senyawa aromatik dimana naftasena yang merupakan penyusun utama asam humat terurai menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti naftalena yang merupakan penyusun utama asam fulvat (Zylstra & Kim 1997). Kondisi tersebut menyebabkan konsentrasi asam fulvat yang terlarut dalam medium mulai 306
mengalami peningkatan. Setelah hari ke7 inkubasi, kadar asam humat mengalami kenaikan, sedangkan asam fulvat mengalami penurunan hingga akhir inkubasi. Kemungkinan yang terjadi adalah pelepasan asam humat di batubara yang tinggi karena aktivitas kapang dan asam fulvat yang terlarut dalam medium mengalami proses degradasi lanjut. Terjadinya biosolubilisasi batubara dapat dilihat dari adanya perubahan gugus fungsi batubara. Menurut Scott & Lewis (1990), perubahan ini disebabkan biosolubilisasi yang dilakukan oleh kapang terhadap batubara yang merupakan proses oksidatif. Struktur lignit didegradasi menjadi senyawa fenolik dan alifatik lignin hasil degradasi cincin aromatik. Peningkatan P-H posfor dan penurunan gugus O-H, C-O fenol, C-H alkana dan C=C aromatik pada sampel yang dibandingkan dengan kontrol menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan struktur lignit menjadi senyawa yang lebih sederhana atau terlarut dalam medium. Hal ini didukung pula dari hasil analisis GC-MS supernatan medium yang menunjukkan adanya senyawa-senyawa baru yang berasal dari batubara. Penurunan komposisi dan konsentrasi senyawa mengindikasikan terjadinya biosolubilisasi. Proses biosolubilisasi ini menyebabkan pemutusan rantai karbon oleh kapang menjadi rantai yang lebih sederhana dan sebagian digunakan untuk proses metabolisme kapang dimana selama masa inkubasi kapang menggunakan sumber karbon pada senyawa batubara tersebut untuk proses metabolismenya. Bukti terjadinya biosolubilisasi adalah terdeteksinya senyawa napthalene
Karakterisasi Produk Biosolubilisasi Lignit oleh Kapang
(C10H8) pada medium yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Senyawa ini merupakan komponen utama asam fulvat dan sesuai dengan hasil pengukuran absorbansi asam fulvat yang menunjukkan terjadinya peningkatan pada hari ke7 (Gambar 3). Hasil berbeda ditunjukkan oleh Sugoro dkk (2009), produk biosolubilisasi oleh kapang Penicillium sp. tidak mendeteksi adanya senyawa naftalene karena batubara yang digunakan adalah dari jenis subbituminus. Jika dibandingkan dengan komposisi senyawa hidrokarbon yang terdapat pada bensin dengan jumlah atom karbon sebanyak 4 sampai 12, dan minyak solar yang memiliki panjang rantai karbon 10 sampai 13 (American Petroleum Institute 2001). Senyawa hidrokarbon yang terdapat pada keempat sampel hasil solubilisasi batubara lignit memiliki kemiripan dengan jumlah atom karbon pada bensin dan solar. Produk tertinggi yang setara dengan bensin dihasilkan oleh kapang T5 dengan persentase area sebesar 74,97, disusul oleh T1,T2 dan T4 dengan persentase area berturut-turut sebesar 64,7; 60,01 dan 37,19. Produk tertinggi yang setara dengan solar dihasilkan oleh kapang T5 dengan (72,58%), disusul oleh T1,T2 dan T4 berturut-turut sebesar 64,49; 65,52 dan 36,1%. Dari keempat kapang yang digunakan untuk proses biosolubilisasi ternyata yang terbaik mendegradasi batubara kompleks menjadi senyawa yang setara dengan komponen bensin dan solar adalah kapang T5 pada hari ke-7 inkubasi. Dengan demikian hasil degradasi batubara oleh keempat kapang
indigenus ini, memiliki potensi sebagai energi alternatif penganti bahan bakar minyak yang setara dengan bensin dan solar. KESIMPULAN Keempat isolat kapang indigenus memiliki kemampuan yang berbeda dalam mensolubilisasi batubara. Hasil analisis FTIR menunjukkan terjadinya penurunan absorbansi gugus O-H fenol, C-O fenol C-H alkana, dan C=C aromatik pada semua kapang yang mengindikasikan terjadinya reaksi oksidasi enzimatik selama proses biosolubilisasi. Hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa kapang T5 pada hari ke-7 inkubasi menghasilkan persentase senyawa hidrokarbon terbesar dengan komposisi karbon yang setara dengan bensin dan solar. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada DIKTI melalui program Hibah Stranas 2010 yang telah mendanai penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA American Petroleum Institute. 2001. Properties of Fuels. http:// www.afdc.energy.gov.pdf. ESDM. 2011. Lokakarya Energi Baru dan Terbarukan. ITB. Bandung Fakoussa R & M Hofrichter. 1999. Biotechnology and Microbiology of Coal Degradation. Appl. Microbiol. Biotech. 52: 25-40. 307
Sugoro dkk.
Fakuosa RM &J Frost. 1998. Production of Water-Soluble Coal-Substance by Partial Microbial Liquefaction of Untreated Hard Coal. Resor. Conserve. Recycle.251-60. Hammel KE. 1996. Extracelluler Free Radicalbiochemistry of Ligninolytic Fungi. New J Chem. 20:195-198. IEA 2009. International Energy Outlook. http : www.ieo.org. Scott CD & SN Lewis. 1990. Solubilization of Coal by Microbial Action. In: Wise, L..D. (editor). Bioprocessing and Biotreatment of Coal. Marcel Dekker Inc.New York Selvi V.A. & R Banerje. 1982. Coal biotechnology : Bio-conversion of Different Rank Indian Coal for The Extraction of Liquid Fuel and Fertilizer. Appl. Biochem. Biotech. 7: 16-21. Shi K Y, XX. Tao, SD.Yin & YLvZP. Du. 2009. Bio-solubilization of Fushun lignite. The 6th Proceeding Conference on Mining Science dan Technology in Procedia Earth Planet. Sci. I. 627-633. Silva, ME, CJ. Vengadajellum, HA Janjua, STL Harrison, SG Burton & DA Cowan. 2007. Degradation of low rank coal by Trichoderma atroviride ES11. J. Indus. Microbiol. Biotech. 34:625-631.
Stevenson, FJ. 1982. Humus Chemistry, Genesis, Composition, Reaction. John Willey dan sons Inc. New York. Hlm. 443 Sugoro I, T Kuraesin, MR. Pikoli, S Hermanto & P Aditiawati. 2009. Isolasi dan Seleksi Fungi Pelaku Solubilisasi Batubara Subbituminus. J. Biologi Lingkungan AlKaunyah. (3):75-87 Sugoro I, D Sasongko, D Indriani & P Aditiawati. 2010. Isolasi dan Seleksi Fungi dari Pertambangan Batubara sebagai Agen Biosolubilisasi Batubara dalam Laporan Penelitian Hibah Unggulan Strategis Nasional Tahap I. ITB. Xu XH, CH Chen & HY Qi. 2000. Development of Coal Combustion Pollution Control for SO2 and NOx in China. Fuel Proces. Tech. 62(2/ 3): 153-160. Ying D, T Xiuxiang, K Shi, & L Yang. 2010. Degradation of Lignite Model Compounds by the Action of White Rot Fungi. Mining Sci. Tech. 20: 0076-0081 Zylstra GJ & E Kim. 1997. Aromatic Hydrocarbon Degradation by Sphingomonas yanoikuyae B1. J. Indus. Microbiol. Biotech. 408414.
Memasukkan Januari 2011 Diterima: Mei2011
308
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 309-320 (2011)
Potensi Virus A/Ck/West Java/PWT-Wij/2006 Sebagai Vaksin
R. Indriani, NLP. I. Dharmayanti, R.M.A Adjid, & Darminto Balai Besar Penelitian Veteriner, PO Box 151, JL. RE Martadinata 30 , Bogor 16114 ABSTRACT Potential virus A/Ck/West Java/PWT-Wij/06 for Vaccin. Vaccination program for controlling avian influenza (AI) virus infection in poultry have been emerged during the past 5 years in Indonesia. However, due to the mutation character of this virus the available vaccines were no longer effective. Therefore a new local isolate of avian influenza virus A/Ck/West Java/PwtWij/2006 was studied. The virus, formulated as inactive vaccine, was injected in to 3 weeks old of layer chickens intramuscularly. At 3 weeks after vaccination, vaccinated chickens were challenged against seven local isolates of HPAI H5N1 intranasaly. Unvaccinated chickens were included in the challenge test as control. Results showed that the vaccine produced 100% protection against A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 (homologous), A/Ck/West Java/1067/ 2003, A/Ck/West Java/Hj-18/2007, and A/Ck/Payakumbuh/BPPVRII/2007; produced 90% protection against A/Ck/BB149/5/2007, and 80% protection against A/Ck/West Java/Hamd/ 2006 isolates. The vaccine also stoppped viral shedding by day 5 to 7 after challange. This study indicate that the new local isolate of avian influenza A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 has good potency as vaccine with broad spectrum against a range of AI viruses available in Indonesia. Key words: avian influenza, HPAI, H5N1,vaccine, poultry.
PENDAHULUAN Penyakit avian influenza (AI) telah dibuktikan ada di Indonesia sejak akhir tahun 2003 (Dharmayanti dkk. 2004; Wiyono dkk. 2004) dan, disebabkan oleh virus yang termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Informasi dari lapangan menunjukkan kasus penyakit AI masih sering terjadi pada peternakan unggas baik komersial (sektor 2 dan 3) maupun unggas peliharaan (sektor 4) (Komunikasi pribadi 2010). Kejadian ini diduga karena vaksin-vaksin AI yang dipergunakan untuk pencegahan terhadap serangan virus AI sudah tidak
dapat lagi memberikan proteksi atau perlindungan yang baik. Banyak vaksin inaktif AI subtype H5 komersial yang ditawarkan dan merupakan wujud kontribusi dalam penanggulangan penyakit AI di Indonesia, namun keberadaan dan kemampuannya di dalam memproteksi ayam (unggas) dan penurunan sheeding virus dari infeksi AI subtype H5 lapang belum diketahui pasti. Swayne (2007) menegaskan bahwa vaksin yang beredar di Indonesia tidak efektif lagi terhadap isolat virus AI yang diketahui telah bermutasi. Beberapa virus vaksin yang beredar di Indonesia seperti H5N2 (StrainA/Ck/Mexico/232/ 94/
309
Indriani dkk.
CPA), H5N2 (A/Turkey/England /N28/ 73) dan H5N9 (A/Turkey/ Wisconsin/ 68(H5N9)/ LSPV-4H5N9OA01) tidak lagi mampu menahan serangan virus AI A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006. Ayam yang telah divaksin tersebut mengalami kematian antara 60 – 100%. Sementara itu vaksin AI yang terbuat dari isolat lokal H5N1 tahun 2003 memperlihatkan tingkat kematian antara 40 - 50 %. Virus AI H5N1 yang menyebabkan outbreak pertama pada tahun 2003 mempunyai motif asam amino PQRERRRKKR//G pada cleavage site gen HA. Pada tahun 2005 dan 2006, virus AI (khususnya dari daerah Jawa Barat) diketahui telah mengalami mutasi pada cleavage site gen HA, yaitu sekuen asam aminonya telah mengalami perubahan menjadi PQRESRRKKR//G, dimana posisi R/arginin digantikan oleh S/serin (Dharmayanti dkk. 2006). Adanya perubahan tersebut membuktikan bahwa telah terjadi antigenic drift pada isolat virus AI yang ada di Indonesia, termasuk virus AI A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 yaitu pada epitope A (posisi asam amino 124, 131, dan 137) (Dharmayanti dan Darminto, 2009). Selanjutnya virus ini disebut sebagai varian virus AI. Berdasarkan clade prediction pada Gen Bank, virus AI A/ Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 ini termasuk dalam clade 2.1.3 (WWW. fluegenome. org). Dharmayanti dkk. (2008) menyatakan bahwa terdapat enam keragaman genetik pada virus-virus AI Indonesia yang telah berhasil diisolasi dari tahun 2003-2007, dan dari hasil tersebut terdapat 3 kelompok keragaman genetik 310
yang dapat digunakan sebagai kandidat vaksin baru, salah satunya adalah kelompok yang didalamnya terdapat virus AI A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006. Temuan-temuan Swayne (2007) dan Dharmayanti dkk. (2008) inilah yang mendorong untuk dilakukan penelitian ini, yaitu untuk mengetahui dan membuktikan potensi isolat virus A/Ck/West Java/PwtWij/2006 jika digunakan sebagai vaksin yang kemudian ditantang dengan berbagai isolat virus AI yang beredar pada kondisi lapangan di Indonesia. Pembuatan vaksin AI di Indonesia bukanlah hal yang baru, Indriani dkk. (2006) dari penelitiannya telah menghasilkan prototipe vaksin AI yang dibuat dari virus AI A/Ck/West Java/ 1067/2003. Namun virus AI di Indonesia masih dan terus mengalami mutasi sehingga vaksin yang ada tidak efektif lagi menahan varian virus AI yang baru, maka secara berkala perlu dilakukan evaluasi atas keputusan dan kebijakan program vaksinasi yang telah diambil oleh pemerintah. Salah satunya adalah mengevaluasi dan mencari virus AI baru yang tepat untuk digunakan sebagai vaksin di Indonesia. BAHAN DAN CARA KERJA Hewan coba pada uji vaksin adalah ayam layer komersial yang induknya divaksin, bukan ayam SPF. Hal ini dimaksudkan agar kondisi ayam sama seperti kondisi ayam yang ada di lapangan, namun ayam tersebut diupayakan tidak lagi memiliki antibodi AI pada saat divaksin dengan cara membiarkan ayam tersebut sampai
Potensi Virus Avian Influenza H5NI Isolat A/Ck/West Java/
berumur 3 minggu. Sejumlah ayam dikelompokan menjadi 2 kelompok besar, yaitu: (1) Kelompok 1: ayam divaksinasi dengan vaksin AI isolat lokal A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 dan (2) Kelompok 2: yang tidak divaksinasi sebagai kontrol. Isolat lokal virus AI dengan identitas A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 digunakan sebagai bahan dasar vaksin. Virus ini berasal dari wabah AI pada tahun 2006 yang terjadi pada peternakan ayam petelur di Purwakarta, Jawa Barat, diisolasi dan telah diidentifikasi oleh Dharmayanti dkk. (2008). Vaksin dibuat dengan kandungan virus 108 ELD50 per 0,1 ml, diinaktivasi dengan Betapropiolacton (1:2000-4000) sesuai prosedur OIE (2004), dan selanjutnya diformulasikan dalam bentuk vaksin emulsi. Adapun formula vaksin adalah air-minyak dengan perbandingan 30 : 70, yaitu 30% cairan virus (dalam phosphate buffer saline) dan 70% Montanide Isa 70 VG Adjuvant (Seppic SA, FRANCE). Dalam penggunaannya vaksin inaktif AI ini dicampur secara hati-hati, kemudian vaksin ini disuntikkan secara intra muskular ke hewan coba dengan dosis 0,3 ml per ekor (konsentrasi massa antigen AI setara 480 HAU). Vaksinasi hewan coba dilakukan pada saat ayam berumur 3 minggu. Untuk mendapatkan gambaran dan dinamika antibodi AI dalam hewan coba akibat vaksinasi secara lengkap, maka pemeriksaan antibodi AI dalam tubuh ayam dilakukan pada saat sebelum dan setelah ayam divaksinasi. Darah ayam diambil secara berkala (setiap dua minggu) mulai dari ayam berumur nol hari (DOC) sampai dengan ayam berumur 20
minggu. Sementara itu pemeriksaan antibodi juga dilakukan pada ayam berumur nol hari (DOC), 3 minggu (saat vaksinasi), dan pada saat ayam berumur umur 6 minggu (3 minggu setelah vaksinasi atau pada saat akan diuji tantang). Serum ayam yang dihasilkan kemudian periksa dengan uji Haemagglutinasi Inhibisi (HI) menggunakan antigen terbuat dari isolat AI A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 dengan kadar 4 HA unit (OIE, 2004; Indriani dkk. 2004). Untuk mengetahui tingkat proteksi vaksin, ada 7 isolat virus AI H5N1 yang digunakan sebagai virus tantang. Virusvirus tantang tersebut adalah virus AI isolat lokal dengan kode 1) A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006; 2) A/Ck /West Java/ Hamd/2006; 3) A/Ck/ West java/HJ-18/ 2007; 4) A/Ck/West Java/1067/2003; 5) A/Ck/Payakumbuh/BPPVRII/2007; 6) A/Ck/BB149/ 5/07; dan 7) A/Ck/ Maros /BBVM/44(17)/2008. Pada setiap uji tantang dengan isolat virus AI, 10 ekor ayam dari Kelompok 1 dan 10 ekor ayam dari Kelompok 2 digunakan dalam pengujian. Uji tantang hewan coba dilakukan pada minggu ke 6 (pada saat 3 minggu setelah hewan coba divaksinasi). Uji tantang dilakukan dengan cara meneteskan virus tantang pada setiap ayam dengan kandungan virus 106 ELD50 per 0,1 ml secara intranasal (Swayne, 2007). Uji tantang dilaksanakan di Laboratorium BSL-3 (Lab. Zoonosis) menggunakan fasilitas kandang isolator BSL-3. Setelah hewan coba diuji tantang, dilakukan pengamatan setiap hari selama 2 minggu terhadap gejala klinis, patologis dan pemeriksaan shedding virus. Gejala 311
Indriani dkk.
klinis yang diamati adalah kelesuan, membungkuk, enggan atau sulit berdiri tegak, sayap menggantung, dan kematian (Damayanti dkk. 2004). Bedah bangkai dilaksanakan pada ayam yang mati untuk mengamati perubahan patologis makroskopik, termasuk melihat kemungkinan terjadinya lesi lokal pada tempat dilakukannya vaksinasi. Pengambilan sampel dari oropharingeal dan kloaka dilakukan secara berkala menggunakan kapas bertangkai (cotton swab) dimulai pada hari ke 2 setelah tantang, selanjutnya pada hari ke 5, 7, 9, 12 dan 14 untuk mengetahui adanya shedding virus. Pemeriksaan shedding virus dilakukan dengan cara isolasi virus pada telur ayam tertunas specific pathogenic free (SPF) berumur 9-11 hari. Sampel dari oropharingeal dan kloaka hewan coba pertama-tama di sentrifugasi pada kecepatan 1.000 x g, selanjutnya cairan atas (supernatant) dari hasil sentrifugasi tadi diambil dan diinokulasikan ke telur ayam SPF tertunas berumur 9-11 hari. Telur ayam SPF tertunas yang telah di infeksi tersebut kemudian disimpan pada alat pengeram telur dengan suhu 36-370C untuk selama 3 hari. Telur yang mati akibat infeksi diambil cairan allantiosnya dan selanjutnya dilakukan pembuktian adanya virus AI dengan uji agglutinasi sel darah merah ayam. Jika dalam pengujian hasilnya negative maka cairan tersebut diinokulasikan lagi ke dalam telur ayam SPF tertunas sedikitnya 2 kali lintasan, kemudian diuji lagi terhadap adanya virus AI dengan cara yang sama.
312
HASIL Kandungan Antibodi AI pada Hewan Coba Sebelum dan Setelah Vaksinasi Hasil pemeriksaan kandungan antibody AI pada hewan coba sebelum dilakukan vaksinasi seperti terlihat dalam Gambar 1. Pada saat ayam berumur satu hari (DOC) kandungan antibody AI adalah 4,8±0,97 log2, kemudian menjadi 0,1±0,39 log2 pada saat ayam berumur 2 minggu, dan mendekati nilai nol pada saat ayam berumur 3 minggu (pada saat ayam divaksinasi). Setelah ayam divaksin dengan virus A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006, maka terlihat adanya peningkatan kandungan antibody AI secara bertahap, yaitu 8,36±0.73log2 (ayam berumur 6 minggu, atau 3 minggu setelah vaksinasi). Rataan titer antibodi kemudian menurun secara perlahan menjadi 7,23±0,42 log2 (ayam umur 8 minggu) , 6,96±0,57 log2 (ayam umur 10 minggu), 6,06±0,73 log2 (ayam umur 12 minggu), 5,65±0,65 log2 (ayam umur 14 minggu), 5,0±0,83 log2 (ayam umur 16 minggu), 4,95±0,77 log2 (ayam umur 18 minggu) dan 4,5±0,66 log2 (ayam umur 20 minggu). Sementara itu pada ayam kontrol (tidak divaksinasi) kandungan antibodi maternal terhadap AI H5N1 sangat rendah atau nol hingga ayam berumur 20 minggu. Pengamatan klinis pada ayam yang divaksinasi tidak menunjukkan adanya kelainan, baik dalam bentuk lesi lokal pada tempat vaksinasi maupun gejala klinis umum lainnya seperti kelesuan dan demam. Selain itu ayam masih lincah dan segar tidak terlihat penurunan nafsu makan.
Potensi Virus Avian Influenza H5NI Isolat A/Ck/West Java/
Tingkat Proteksi, Gejala Klinis, Patologis, Shedding Virus dan Kandungan Antibodi AI Setelah Uji Tantang Pada saat ayam berumur 6 minggu (3 minggu setelah vaksinasi), hewan coba (hewan yang divaksin, hewan tidak divaksin/control) ditantang dengan virus AI. Tingkat proteksi vaksin terhadap uji tantang dengan 7 isolat virus AI dapat dilihat pada Gambar 2. Hewan coba yang tidak divaksin (kontrol) mengalami gejala klinis dan kematian setelah dilakukan uji tantang dengan tingkat kematian sebesar 100%. Sebaliknya hewan coba yang divaksin dan ditantang masing-masing oleh 7 isolat virus AI tingkat kematiannya antara 0 20%, atau proteksinya 80-100%, dengan gejala klinis yang bervariasi. Hewan yang tidak divaksin (kontrol) memperlihatkan gejala klinis kelesuan, membungkuk, enggan atau sulit berdiri
tegak, berbaring dan lesu/sayapnya turun. Kematian hewan terlihat mulai pada hari ke 1 hingga 2 hari setelah uji tantang dengan mean dead time (MDT) 1,4 – 1,8 hari (Tabel 1.). Perubahan patologi anatomi atau makroskopik memeperlihatkan adanya odem pada kepala dan muka, hemoragi dan necrosis pada daerah pial dan jengger, adanya cyanosis di bawah kulit didaerah kepala dan kaki. Pada organ jantung, limpa dan proventrikulus terlihat adanya hemoragi (petechia), pada paru-paru terjadi kongesti, serta adanya cairan disekitar jantung, ureter dan ginjal. Sementara itu pada hewan coba yang divaksin, gejala klinis seperti tersebut pada hewan kontrol tidak begitu tampak, kecuali pada kelompok hewan coba yang ditantang dengan virus A/Ck/ BB149/5/2007, dan virus A/Ck/West Java/Hamd/2006. Secara lebih rinci
Titer antibodi (log2) 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
c Do
1
gg m
2m
gg 3
m
gg 6
gg m
8
m
gg 10
m
gg 12
m
gg 14
m
gg 16
gg m
18
m
gg 20
m
gg
Umur ayam (minggu)
Gambar 1: Kandungan antibodi AI pada hewan coba sebelum dan setelah vaksinasi yang diukur dengan uji HI menggunakan antigen AI homolog A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006
313
Indriani dkk.
Gambar 2. Tingkat proteksi ayam yang divaksin dengan virus A/Ck/West Java/ PwtWij/2006 masing-masing terhadap uji tantang 7 isolat virus AI pada saat ayam berumur 6 minggu (3 minggu setelah vaksinasi)
sebagai berikut: ayam yang divaksin tidak memperlihatkan gejala klinis dan tidak ada kematian setelah di tantang dengan virus AI A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006, A/Ck/West Java/HJ-18/2007, A/Ck/West Java/1067/2003, A/Ck/BPPVRII/ Payakumbuh/ 2007, dan A/Ck/Maros/ BBVM/44 (17)/2008. Sementara pada hewan coba yang divaksin dan diuji tantang dengan virus AI A/Ck/BB/149/ 5/2007, 1 dari 10 ekor ayam atau 10% mati pada hari ke 2 setelah tantang dengan gejala klinis kelesuan. Demikian halnya dengan hewan coba yang divaksin dan diuji uji tantang dengan virus AI A/ Ck/West Java/Hamd/2006, terjadi kematian pada 2 dari 10 ekor ayam dengan gejala klinis kelesuan (Gambar 3). Ayam yang mati setelah uji tantang terbukti mati akibat oleh virus AI tantang yang ditunjukkan dengan berhasilnya isolasi ulang virus AI pada telur SPF tertunas. Pada pemeriksaan adanya shedding virus dari ayam yang divaksin kemudian ditantang dengan virus A/Ck/West Java/ 314
PwtWij/06 9/06, A/Ck/West Java/HJ-18/ 2007 dan A/Ck/West Java/1067/2003 tidak memperlihatkan adanya shedding virus tantang baik melalui oropharingeal maupun kloaka. Sementara kelompok ayam yang ditantang dengan virus A/Ck/ Payakumbuh/ BPPVRII/2007, AI A/Ck/ West Java/Hamd/2006, serta A/Ck/BB/ 149/5/2007 shedding virus terdeteksi pada hari ke 2 baik melalui oropharingeal dan kloaka. Pada ayam yang ditantang dengan virus A/Ck/Maros/BBVM/ 44(17)/2008 shedding virus terdeteksi pada hari ke 2 melalui oropharingea maupun kloaka serta pada hari ke 5 melalui kloaka (Tabel 1). PEMBAHASAN Dari 6 kelompok virus AI di Indonesia diprediksi ada kelompok virus yang memiliki potensi sangat tinggi untuk digunakan sebagai vaksin, yaitu kelompok 1, 5 dan 6. Kelompok 1 terdiri dari virusvirus A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 dan
Potensi Virus Avian Influenza H5NI Isolat A/Ck/West Java/
1
2
4
3
Gambar 3. Perubahan Pathologi anatomi berupa; cyanosis di bawah kulit didaerah kaki (1) dan kepala (2), odem pada daerah muka dan kepala (2), hemoragi dan necrosis pada daerah pial dan jengger (2), hemoragi didalam lemak jantung, spleen dan proventiculus juga adanya cairan disekitar jantung (3), kongesti pada paru, uretes di dalam uneteas dan ginjal (4)
A/Ck/West Java/HJ-18/ 2007, kemudian Kelompok 5 terdiri dari virus A/Ck/ BBPVRII/ Payakumbuh/2007, Kelompok 6 terdiri dari virus A/Ck/ West Java/Hamd/2006, A/Ck/BB/149/5/2007, dan A/Ck/Maros/BBVM /44(17)/2008. Swayne (2007) membuktikan bahwa virus AI A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 sangat virulen dan ketika digunakan sebagai virus tantang pada uji vaksin, maka tidak satupun vaksin yang diuji mampu menahan serangan virus ini dengan tingkat kematian mencapai 5060%, atau proteksi vaksin berkisar 4050%. Vaksin-vaksin tersebut adalah vaksin yang beredar di Indonesia. Uji vaksin menunjukkan adanya peningkatan antibodi AI dalam tubuh hewan coba. Antibodi ini terus meningkat mencapai puncaknya pada saat ayam berumur 6 minggu atau minggu ke 3 setelah vaksinasi (kandungan antibodi
8,36±0.73log2) kemudian menurun secara perlahan dan pada saat ayam berumur 20 minggu kandungan antibodinya 4,5±0,66 log2. Sementara itu pada hewan coba yang tidak divaksinasi (kontrol) antibodinya tetap rendah mencapai nol sampai ayam berumur 20 minggu. Tidak adanya antibodi pada hewan control menunjukkan bahwa selama percobaan berlangsung tidak terjadi infeksi alam oleh virus AI di lingkungan tersebut. Dengan demikian maka antibodi yang dihasilkan setelah vaksinasi adalah antibodi yang dirangsang oleh vaksin dan kekebalan yang ditimbulkan adalah kekebalan akibat vaksinasi, bukan karena kontaminasi atau infeksi alam. Indriani dkk. (2005) juga melaporkan hal yang serupa pada hewan coba yang divaksin pada umur 3 minggu, tidak ada antibodi pada saat tersebut, 315
316
Keterangan: td= tidak dilakukan/hewan tidak ada karena telah mati
Tabel 1. Data tingkat kesakitan, tingkat kematian dan shedding virus pada hewan coba setelah uji tantang. Kesakitan Kematian Isolasi Virus Hari ke 2 Isolasi Virus Hari ke 5 Isolasi Virus Hari ke 7 irus Tantang sakit/total mati/total (positif/total) (positif/total) (positif/total) ewan Coba (MDT) Oropharingeal kloaka Oropharingeal kloaka Oropharingeal kloaka /ck/wj/Pwt-Wij/2006 aksinasi 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 ontrol 10/10 10/10(1,4) 10/10 10/10 td td td td /ck/wj/Hamd/2006 aksinasi 2/10 2/10(2,0) 2/10 2/10 0/10 0/10 0/10 0/10 ontrol 10/10 10/10(1,8) 10/10 10/10 td td td td /ck/Hj-18/2007 aksinasi 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 ontrol 10/10 10/10(1,7) 10/10 10/10 td td td td /ck/BPPV Pyk/2007 aksinasi 0/10 0/10 1/10 1/10 0/10 0/10 0/10 0/10 ontrol 10/10 10/10(1,7) 10/10 10/10 td td td td /ck/BB/149/5/2007 aksinasi 1/10 1/10(2,0) 1/10 2/10 0/10 0/10 0/10 0/10 ontrol 10/10 10/10(1,8) 10/10 10/10 td td td td /ck/wj/1067/2003 aksinasi 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 ontrol 10/10 10/10(1,8) 10/10 10/10 td td td td /ck/BBM/44(17)2008 aksinasi 0/10 0/10(2,0) 1/10 2/10 0/10 1/10 0/10 0/10 ontrol 10/10 10/10(1,7) 10/10 10/10 td td td td
Indriani dkk.
Potensi Virus Avian Influenza H5NI Isolat A/Ck/West Java/
antibodi kemudian terus meningkat secara bertahap hingga mencapai puncaknya 4,14 log2 pada minggu ke delapan dan kemudian menurun hingga mencapai kandungan antibodi 2,38 log2 pada minggu ke duabelas setelah vaksinasi. Perbedaan tingginya titer antibodi pasca vaksinasi dalam studi ini disebabkan formulasi adjuvant yang digunakan di dalam vaksin yaitu, adjuvant komersial Montanide Isa 70 VG Adjuvant (Seppic SA, FRANCE), sementara pada studi pengembangan prototipe vaksin AI H5N1 (Indriani dkk.,2005) menggunakan adjuvant dengan formulasi (4 bagian Drakeol 6VR yang mengandung 10% arlacel 80 dan 1% Tween 80) Pada saat uji tantang ayam-ayam yang divaksinasi memiliki tingkat proteksi yang tinggi, yaitu e” 90%, kecuali terhadap virus A/Ck/West Java/Hamd/ 2006. Waktu shedding virus diketahui tidak melebihi 7 hari setelah uji tantang. Hal ini membuktikan bahwa vaksin menginduksi kekebalan sehingga dapat mencegah kematian tinggi serta mampu menahan replikasi virus yang berkepanjangan pada tempat predileksi tumbuhnya, baik pada saluran pencernaan (kloaka) maupun pada saluran pernafasan (oropharingeal). Dengan demikian dari hasil uji tantang ini maka vaksin AI yang dibuat dari isolat virus AI A/Ck/West Java/PwtWij/2006 telah memenuhi persyaratan dimana proteksinya minimal 90% terhadap 6 isolat virus AI berbeda dengan waktu shedding virus tidak lebih dari 7 hari. Berdasarkan ketentuan FOHI (2007) vaksin ini dikategorikan sebagai vaksin yang baik dan memenuhi
persyaratan untuk dapat digunakan di Indonesia. Selanjutnya, meskipun vaksin memberikan proteksi 80% terhadap infeksi virus AI dari kelompok A/Ck/West Java/Hamd/2006, penggunaannya pada tingkat lapangan dapat dipertimbangkan mengingat vaksin ini memiliki tingkat proteksi yang baik dan spektrum yang luas terhadap kelompok virus AI lainnya, termasuk kelompok virus AI tahun 2003 bila masih ada di lapangan. Hewan yang tidak divaksin (kontrol) memperlihatkan kematian hewan mulai pada hari ke 1 hingga 2 hari setelah uji tantang dengan mean dead time (MDT) 1,4 – 1,8 hari (Tabel 1.), keadaan ini mirip seperti yang pernah di lakukan oleh Swayne dan Patinn (2006) ayam terinfeksi oleh virus HPAI antara 1,5 – 5,5 MDT. Selanjutnya perubahan patologi anatomi atau makroskopik yang terlihat, seperti odem pada kepala dan muka, hemoragi dan necrosis pada daerah pial dan jengger, adanya cyanosis di bawah kulit didaerah kepala dan kaki, hemoragi (petechia) di organ jantung, limpa dan proventrikulus, kongesti di paruparu terjadi kongesti, adanya cairan disekitar jantung, ureter dan ginjal. Keadaan ini bisa saja disebabkan oleh agen virus lain, namun hasil isolasi dan identifikasi virus membuktikan bahwa penyebabnya adalah virus AI yang digunakan dalam uji tantang, termasuk kematian pada beberapa hewan coba yang divaksinasi. OIE (2004) menetapkan batas titer antibodi yang dianggap protektif yaitu e” 4log2, sementara Indriani dkk. 2004 dalam studi deteksi respon antibodi 317
Indriani dkk.
dengan uji hemagglutinasi inhibisi dan titer proteksi terhadap virus Avian Influenza subtipe H5N1, memperlihatkan ayam yang memiliki titer antibodi 3log2 mampu memberikan proteksi terhadap infeksi virus tantang H5N1 homolog. Dengan demikian maka ayam yang telah divaksinasi dengan virus AI isolat A/Ck/ West Java/Pwt-Wij/2006 ini diperkirakan akan memiliki proteksi terhadap infeksi virus AI homolog sampai dengan ayam berumur 20 minggu. Meskipun proteksi vaksin nilainya ada yang tidak mencapai 100% pada kasus uji tantang dengan virus A/Ck/ West Java/Hamd/2006 dan virus A/Ck/ BB149/5/07, vaksin tadi mampu mengurangi dan memberhentikan shedding virus tantang dari ayam-ayam tersebut sampai dengan hari ke 5 dan hari ke 7 pasca tantang. Swayne dkk.( 2006) juga menjelaskan adanya penurunana shedding virus HPAI tantang sebesar 104-5 ELD 50 per ml pada 2 hari pasca infeksi. Hal ini tentunya dapat menggambarkan kondisi di lapangan dimana hewan yang divaksin tadi dapat mengurangi kontaminasi lingkungan dari virus HPAI H5N1 yang menginfeksinya serta tentunya dapat mengurangi transmisi virus AI ini ke unggas lainnya (Swayne dkk. 2006). Sebagai contoh gambaran yang lebih buruk yaitu pada ayam-ayam yang mendapat vaksin AI H5N2. Meskipun vaksin dapat mencegah kematian yang tinggi terhadap virus tantang HPAI H5N1, namun waktu shedding virus tantang mencapai lebih dari 30 hari setelah uji tantang. Keadaan ini tentu saja akan lebih berbahaya, yaitu dapat 318
mengkontaminasi lingkungan dan memberikan peluang terjadinya penularan virus ke unggas lain dalam waktu yang cukup lama (komunikasi Dr Varkentin Andres (2008); Indriani dkk. 2009). Swayne dkk. (1997) juga menjelaskan bahwa efektifitas immunisasi dapat diartikan adanya kemampuan mengurangi transmisi secara kontak langsung virus HPAI diantara unggas dalam suatu peternakan komersial di lapangan KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian ini telah membuktikan bahwa virus AI isolat A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 yang digunakan sebagai vaksin mampu memberikan daya proteksi tinggi dengan spectrum luas terhadap berbagai virus AI yang digunakan dalam penelitian ini yang berasal dari di berbagai daerah di Indonesia. Virus ini direkomendasikan untuk digunakan sebagai seed vaksin oleh produsen vaksin nasional dan digunakan dalam pengendalian penyakit AI di Indonesia. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini terlaksana atas anggaran DIPA Bbalitvet 2008. Penghargaan dan ucapan terimakasih disampaikan kepada semua kolega di BPPV Bukittinggi, Banjarbaru dan BBVet Maros atas kontribusi isolat virus AI. Terimakasih juga diberikan kepada Heri Hoerudin, Apipudin, Teguh Suyatno, Nana Suryana teknisi Kelompok Peneliti Virologi Bbalitvet.
Potensi Virus Avian Influenza H5NI Isolat A/Ck/West Java/
DAFTAR PUSTAKA Dharmayanti, NLP. I., R. Damayanti, A. Wiyono, R. Indriani, dan Darminto. 2004. Identifikasi Virus Avian Influenza Isolat Indonesia dengan Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Rection (PT-PCR). JITV. 9(3):136 - 142 Damayanti R., NLP. I. Dharmayanti, A. Wiyono, R. Indriani, dan Darminto. 2004. Gambaran klinis dan patologis pada ayam yang terserang Flu Burung sangat patogenik (HPAI) di beberapa peternakan di Jawa timur dan Jawa barat. JITV. 9(3):128 - 135 Dharmayanti, NLP. I, R. Indriani & Darminto. 2006. Dinamika Virus Avian Influenza Setelah 2 tahun bersirkulasi di Indonesia. Laporan Akhir Penelitian tahun 2006. Bbalitvet.Bogor. Indonesia Dharmayanti, NLP. I., R. Indriani, R Hartawan, DA. Hewajuli, A. Ratnawati dan Darminto. 2008. Pemetaan Genetik Virus Avian Influenza di Indonesia 2007. J. Biol Indonesia. 5 (2) : 155-171 Dharmayanti, NLP. I dan Darminto. 2009. Mutasi Virus AI di Indonesia Antigenic Drift Protein Hemaglutinasi (HA) Virus Influenza H5N1 Tahun 2003 – 2006. Media Kedokteran Hewan 25(1): 1 - 8 Direktorat Jendral Bina Produksi Peternakan. 2004. Farmakope Obat Hewan Indonesia. Edisi 2. Vaksin Influenza Inaktif. 73-74. Indriani, R., NLP.I. Dharmayanti, L. Parede, A.Wiyono, dan Darminto.
2004. Deteksi Respon Antibodi dengan Uji Hemagglutinasi Inhibisi dan titer proteksi terhadap virus Avian Influenza subtipe H5N1. JITV. 9(3):204 - 209 Indriani, R., NLP.I. Dharmayanti, T.Syafriati, A.Wiyono, dan RMA Adjid. 2005. Pengembangan Prototipe Vaksin Inaktif Avian Influenza (AI) H5N1 Isolat Lokal dan Aplikasinya Pada Hewan Coba di Tingkat Laboratorium. JITV 10(4): 315 - 321 Indriani, R., NLP.I. Dharmayanti, RMA Adjid dan Darminto. 2009. Efikasi vaksin AI yang beredar di Indonesia. Laporan Akhir Penelitian tahun 2009. Bbalit-vet.Bogor. Indonesia Office International des Epizooties. 2004. Manual Of Standards for Diagnostik tests and vaccines. pp 212– 219 Swayne, DE. 2007. Progress report of vaccine efficacy. International Avian Influenza vaccination. Jakarta 11-12 Juni 2007. FMPI, DEPTAN, USDA. Swayne, DE., JR. Beek, & TR. Mickle. 1997. Efficacy of recombinant fowl pox vaccine in protecting chickens against highly pathogenic Mexicanorigin H5N2 avian influenza virus. Avian Dis. 41: 910-922 Swayne, D. E, Chang-Wong Lee and E Spackman. 2006. Inactivated North American and European H5N2 avian Influneza virus vaccines protect chickens from Asian H5N1 high pathologenicity avaian influenza virus. Avian Patho. 35(2), 141_/146
319
Indriani dkk.
Swayne, D.E., & M. Patinn-Jackwood. 2006. Pathogenicity of avian influenza viruses in poultry. Dev Biol (Basel). 124:61-67. Wiyono, A., R. Indriani, NLP.I. Dharmayanti, R. Damayanti, dan Darminto. 2004. Isolasi dan Karakterisasi Virus Highly
Pathogenic Avian Influenza subtipe H5 dari ayam asal Wabah di Indonesia. JITV. 9(3):61 – 71. WWW.fluegenome.org. 2007. Genotyping Influenza A Viruses with Full Genome Seguences.
Memasukkan: Februari 2011 Diterima: Mei 2011
320
Jurnal Biologi Indonesia 7(2): 321-330 (2011)
Variasi dan kekerabatan genetik pada dua jenis baru belimbing (Averrhoa leucopetala Rugayah et Sunarti sp nov dan A. dolichorpa Rugayah et Sunarti sp nov., Oxalidaceae) berdasarkan profil Random Amplified Polymorphic DNA Kusumadewi Sri Yulita Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi- LIPI, Jl. Raya Bogor Km 46, Cibinong 16911, Email:
[email protected] ABSTRACT Genetic variation and relatedness of two new species of star fruit (Averrhoa leucopetala Rugayah et Sunarti sp nov and A. dolichorpa Rugayah et Sunarti sp nov., Oxalidaceae) based on Random Amplified Polymorphic DNA. Two wild species of Averrhoa from Papua and Gorontalo respectively has recently been described. These two species were previously treated as ‘intermediate species’ between A. carambola and A. blimbi on the basis of morphological characters. This present study aimed to assess genetic variation and genetic relatedness of the two species compared to their relatives (A. carambola and A. blimbi) by using Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Five RAPD primers (OPA 9E, OPA 13, OPB 7, OPB 18 dan OPN 12) were used to amplify total DNA genom and produced 31 bands to which 90.32% were polymorphic. These bands were ranging in size from 300-1700 bp. DNA fingeprints for each species was indicated by differences in RAPD profiles resulted from amplification of five primers. Clustering analysis was performed based on RAPD profiles using the UPGMA method. The genetic similarity range between 0.25-1.00 indicating wide range of genetic variations observed. Results also indicated that the two species were genetically distant from A. carambola and A. blimbi, thus supported the recent morphological treatment. Key words: Averrhoa, RAPD profiles, genetic variations.
PENDAHULUAN Belimbing (Averrhoa L.) merupakan buah yang cukup populer di Indonesia dan sudah lama dibudidayakan untuk dimanfaatkan sebagai buah meja, sayur dan obat. Ada dua jenis belimbing yang dikenal oleh masyarakat luas, yaitu belimbing wuluh (A. blimbi L.) dan belimbing manis (Averrhoa carambola L). Belimbing tersebar luas di Asia
Tenggara, namun ada yang menduga berasal dari Amerika Selatan (Brasil) walaupun adapula dugaan bahwa asal usul belimbing adalah Asia Tenggara (Samson 1997). Selain kedua jenis belimbing ini, beberapa ahli taksonomi tumbuhan (Kooders & Valeton 1903; Kunth 1931) telah mengenal beberapa taksa belimbing dibawah tingkat jenis, yaitu A. carambola var angusticepala Projek
321
Kusumadewi Sri Yulita
(dari Amerika Selatan), A. carambola f. acida K. & V. dan A. carambola f. dulcis K. & V (dari Jawa), serta A. blimbi f. papuana Kunth. (dari Papua). Rugayah & Sunarti (2008) mendeskripsikan dua jenis baru belimbing, yaitu Averrhoa leucopetala Rugayah et Sunarti sp nov dan Averrhoa dolichorpa Rugayah et Sunarti sp nov. berdasarkan koleksi hidup belimbing yang ada di Kebun Raya Bogor yang masingmasing berasal dari Gorontalo (Sulawesi) dan Papua. Sebelumnya kedua jenis belimbing ini dinyatakan sebagai jenis ‘intermedia’ antara belimbing manis dan belimbing wuluh karena memiliki karakter morfologi yang merupakan campuran antara belimbing manis dan belimbing wuluh. Berdasarkan pengamatan morfologi yang telah mereka lakukan, mereka menemukan perbedaan karakter daun, perbungaan, bunga dan buah kedua jenis baru ini dengan belimbing wuluh dan belimbing manis. Berdasarkan karakter vegetatif, A. leucopetala dan A. dolichorpa mirip dengan A. carambola, sedangkan berdasarkan karakter generatif kedua jenis tersebut lebih mirip dengan A. blimbi (Rugayah & Sunarti 2008). Penggunaan karakter selain morfologi, misalnya anatomi, sitologi dan molekuler sudah umum dilakukan untuk mengklarifikasi status taksonomi suatu takson. Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) merupakan salah satu marka molekuler yang telah banyak digunakan sebagai tool untuk memecahkan dan mengklarifikasi masalah taksonomi, seperti deteksi hibrid (Allan et al. 1997; Ferdinandez & Coulman 322
2002; Shasany et al. 2005), spesies kompleks (Stammers et al. 1994; Sebastiani et al. 2001; Zervakis et al. 2001) dan kekerabatan genetik (Ferdinandez & Coulman 2002; Martin et al. 2002 ). RAPD dilakukan dengan menggunakan teknik amplifikasi PCR terhadap total DNA genom dengan menggunakan primer tunggal yang dibuat secara random. Kelebihan utama dari RAPD adalah proses yang cepat dan efesiensi biaya dalam hal operasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman dan kekebaratan genetik A. leucopetala dan A. dolichorpa dengan kerabatnya yaitu belimbing manis dan belimbing wuluh berdasarkan profil RAPD. BAHAN DAN CARA KERJA Sampel belimbing yang dianalisis sejumlah delapan aksesi (Tabel 1), yang terdiri atas A. leucopetala (1 aksesi) yang berasal dari Gorontalo dan A. dolichorpa (2 aksesi) yang berasal dari Papua dikoleksi dari Kebun Raya Bogor. Selain dua jenis ini juga dilakukan koleksi terhadap belimbing wuluh (2 aksesi) dan belimbing manis (3 kultivar) dari Kebun Plasma Nutfah LIPI (cv Dewi dan Rawasari) dan dari Kabupaten Demak (cv Kunir). Sampel dikoleksi dalam bentuk daun yang dikeringkan dalam silica gel. Total DNA genom diisolasi dengan menggunakan protokol CTAB (Doyle & Doyle 1990) yang dimodifikasi dengan perlakuan RNAse 200 μg/mL. Lima μL total DNA genom dielektrophoresis dalam 0.7% gel agarosa dalam larutan
Variasi dan Kekerabatan Genetik pada Dua Jenis Baru
Tabel 1. Daftar nama sampel belimbing. Nomor aksesi IP3 VI.C.310ª VII.D.96 B3 B4 B20 TT401 TT402
Nama jenis
Asal
A. leucopetala A. dolichorpa A. dolichorpa A. carambola cv Dewi A. carambola cv Rawasari A. carambola cv Kunir A. blimbi A. blimbi
Gorontalo Papua (Koleksi KRB) Papua (Koleksi KRB) KPN-CSC KPN-CSC Kabupaten Demak, Jawa Tengah Jawa Barat Jawa Barat
penyangga TAE, kemudian diwarnai dengan ethidium bromida dan difoto dengan menggunakan gel documentation system (Atto Bioinstrument). DNA yang telah diisolasi disimpan dalam -20ºC. Amplifikasi RAPD dilakukan dengan menggunakan lima primer RAPD (Operon Technologies Almeda, Calif., USA) dalam mesin PCR Takara thermocycler mengikuti protokol Williams et al. (1990), sebagai berikut: denaturasi pada 94°C selama 2 menuit, diikuti oleh 45 siklus amplifikasi yang terdiri atas fase denaturasi pada suhu 94°C selama 1 menit, fase penempelan primer pada suhu 36°C selama 1 menit dan tahap pemanjangan pada suhu 72°C selama 2 menit. Siklus ini dilanjutkan dengan tahap pemanjangan pada suhu 72°C selama 2 menit yang diakhiri dengan tahap pendinginan hasil PCR pada suhu 25°C. Volume reaksi total PCR adalah 15 ml yang terdiri atas 1x PCR PCR Green Master Mix (Promega), 2 μM primer (Operon Technologies Almeda, Calif., USA), dan ~10 ng DNA template. Hasil amplifikasi PCR kemudian dipisahkan secara elektroforesis dalam
2% gel agarosa yang direndam dalam larutan penyangga TAE 1X pada tegangan listrik 50 Volt selama 120 menit. Gel agarosa kemudian diwarnai dalam 0.5 mg/ml larutan etidium bromida dan divisualisasi serta difoto menggunakan gel documentation system (Atto Bioinstrument). Reaksi PCR diulang sebanyak dua kali untuk memastikan keberulangan dan konsistensi hasil PCR. Pita RAPD diskor secara manual berdasarkan profil RAPD hasil foto gel elektroforesis. Setiap pita RAPD dianggap sebagai satu lokus putatif. Hanya lokus yang menunjukkan pita yang jelas yang digunakan untuk diskor 1 bila ada pita dan 0 bila tidak ada pita. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program NTSys-PC (Numerical Taxonomy System, versi 2.02i, Rohlf 1998). Data yang telah diskor kemudian dikelompokkan hingga membentuk matriks binari di program Microsoft Excel. Matriks tersebut kemudian diolah menggunakan program SIMQUAL (Similarity for qualitative data) untuk menghitung koefisien kesamaan Jaccard. Matriks kesamaan ini kemudian digunakan untuk membuat dendrogram 323
Kusumadewi Sri Yulita
UPGMA (unweighted pair group method with aritmethical average) dan Principal coordinate analysis. HASIL Profil Umum Pita RAPD Amplifikasi PCR-RAPD terhadap total DNA genom dari kedelapan aksesi belimbing dengan menggunakan lima primer (OPA 9E, OPA 13, OPB 7, OPB 18 dan OPN 12) menghasilkan 31 pita DNA yang dapat diskor. Jumlah pita yang dihasilkan berkisar antara 2 (OPB 18) hingga 11 (OPN 12) dengan ukuran pita berkisar antara 300 pb hingga 1700 bp (Tabel 2). Dari keseluruhan pita ini, 90.32 % adalah pita polimorfik dengan rata-rata jumlah pita polimorfik 5.4 per primer. Variasi genetik yang dijumpai pada seluruh aksesi belimbing umumnya diperoleh dari perbedaan profil RAPD. Sebagian besar 31 pita RAPD dijumpai
pada seluruh aksesi (Gambar 1a-e). Pita umum yang dijumpai pada seluruh aksesi adalah OPA 9E ukuran 900 bp, OPA 13 ukuran 800 bp dan OPB 18 ukuran 600 bp (Tabel 2; Gambar 1a, b dan d). Selain itu, dijumpai pula pita spesifik yang hanya dijumpai pada jenis atau aksesi tertentu (Tabel 2; Gambar 1a-e) yang dapat digunakan untuk karakterisasi jenis atau kultivar tertentu dapat digunakan untuk karakterisasi jenis A. carambola dan A. blimbi karena terdapat pita spesifik ukuran 1100 pada jenis A. carambola serta pita ukuran 350 dan 650 bp pada jenis A. blimbi (Gambar 1a). Sedangkan primer OPA 13 dapat digunakan untuk karakterisasi jenis A. carambola dan A. dolichorpa karena terdapatnya pita spesifik ukuran 1200, 1500, 1700 pada A. carambola cv Rawasari, serta pita ukuran 600 bp pada A. dolichorpa (Gambar 1b). OPB 7 dapat digunakan untuk karakterisasi kultivar belimbing
Tabel 2. Nama primer, urutan DNA, pita polimorfik dan sebarannya pada setiap jenis / kultivar. Huruf cetak tebal adalah nukleotida tambahan. 1) A. leucopetala, 2) A. dolichorpa, 3) A. carambola, 4) A. blimbi. Nama primer
Urutan DNA primer
5′ TTGGGTAACGCC 3′
Jumlah dan ukuran pita terpendekterpanjang (bp) 4 (350-1100)
Ukuran pita umum (bp) 900
OPA 9E
-
-
1100
OPA 13
5′CAGCACCCAC 3′
6 (600-1700)
800
-
600
OPB 7
5′ GGTGACGCAG 3′
7 (350-1700)
-
-
-
OPB 18 OPN 12
5’ CCACAGCAGT 3’ 5′ CACAGACACC 3′′
2 (600-1500) 11 (300-1400)
600 -
-
110 0
1200, 1500, 1700 (cv Rawasari) 350 (cv Kunir) 1200 (cv Dewi) 1500 900
324
Ukuran pita unik pada setiap jenis belimbing (bp) 1 2 3 4 350 650
-
300, 600
Variasi dan Kekerabatan Genetik pada Dua Jenis Baru
manis dengan terdapatnya pita spesifik ukuran 350 bp pada A. carambola cv Kunir dan 1200 bp pada A. carambola cv Dewi (Gambar 1c). Sedangkan OPB 18 hanya dapat digunakan untuk karakterisasi ketiga kultivar belimbing manis (Gambar 1d). Primer OPN dapat digunakan untuk karakterisasi A. carambola (pita ukuran 900 bp) dan A. blimbi (pita ukuran 300 dan 600 bp) (Gambar 1e).
Analisis pengelompokkan Analisis kluster menunjukkan pemisahan tanaman belimbing ke dalam kluster yang mengelompok berdasarkan jenisnya (Gambar 2). Nilai koefisien kesamaan genetik kedelapan aksesi duku berkisar antara 25% hingga 100%. Hasil analisis kluster menunjukkan adanya tiga kluster (A, B dan C). Kluster A (koefisien kesamaan 42%) terdiri atas A.
3000 bp 2000 bp 1500 bp 900 bp
1000 bp
800 bp
500 bp 100 bp
M 1
2
3
4
5 6
1
7 8
2
a
3
4
5
6
7
8 M
b
3000 bp 2000 bp 1500 bp 1200 bp 1000 bp 500 bp 600 bp 100 bp
M
1
2
3
4
5
6
7
M
8
1
2
3
c
4
5
6
7
8
d
3000 bp 2000 bp 1500 bp 1000 bp
500 bp
100 bp
M 1
2
3
4
5
6
7
8 M
Gambar 1. Profil sidik RAPD delapan aksesi belimbing dengan menggunakan primer OPA 9E (a), OPA 13 (b), OPB 7 (c), OPB 18 (d) dan OPN 12 (e). M: GeneRuler 100 bp plus (Fermentas), 1: A. leucopetala, 2-3: A. dolichorpa, 4-6: A. carambola, 7-8: A. blimbi. Anak panah garis putus-putus: pita umum. Anak panah garis solid: pita spesifik. Ukuran pita spesifik sesuai dengan Tabel 2.
325
Kusumadewi Sri Yulita
leucopetala dan A. dolichorpa, kluster B (koefisien kesamaan 51%) terdiri atas tiga kultivar blimbing manis (A. carambola) dan kluster C (koefisien kesamaan 85%) terdiri atas dua aksesi belimbing wuluh (A. blimbi) (Gambar 2). Sementara itu, diagram ordinasi 3dimensi menunjukkan pengelompokkan yang serupa dengan hasil analisis kluster (Gambar 3). PEMBAHASAN Pengamatan terhadap pola pita DNA hasil amplifikasi menunjukkan profil DNA yang berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan urutan nukleotida pada keempat primer yang digunakan, sehingga menyebabkan perlekatan primer di sepanjang DNA genom sampel juga berbeda. Pita yang dihasilkan setelah amplifikasi DNA
dengan PCR sangat bergantung pada bagaimana primer mengenal daerah komplemennya pada cetakan (template) DNA yang digunakan. Semakin banyak situs penempelan dari primer yang digunakan, maka semakin banyak jumlah pita DNA yang dihasilkan (Tingey et al. 1994). Secara umum, hasil amplifikasi total DNA genom sampel belimbing dengan menggunakan primer terpilih menghasilkan serangkaian pita-pita, diantaranya ada pita-pita yang umum dijumpai pada seluruh sampel dan adapula pita spesifik yang hanya ditemukan pada spesies/ kultivar tertentu. Keseluruhan profil pita yang dihasilkan dari amplifikasi primer RAPD inilah yang merupakan sidik DNA setiap jenis/kultivar. Hasil amplifikasi dengan menggunakan lima primer RAPD menunjukkan bahwa terdapat kemiripan yang cukup
1 2 3 4 5 6 7 8 0.25
0.44
0.63
0.81
1.00
Coefficient
Gambar 2. Diagram pengelompokkan UPGMA berdasarkan koefiesien kesamaan Jaccard pada delapan aksesi belimbing. 1: A. leucopetala, 2-3: A. dolichorpa, 4-6: A. carambola, 7-8: A. blimbi. Garis putus-putus vertikal: garis referensi.
326
Variasi dan Kekerabatan Genetik pada Dua Jenis Baru
1
5 4
6
2 3
7 8
Gambar 3. Diagram tiga-dimensi PCA pada delapan aksesi belimbing. 1-2: A. leucopetala, 23: A. dolichorpa, 4-6: A. carambola, 7-8: A. blimbi. Lingkaran menunjukkan pengelompokkan yang sesuai dengan diagram UPGMA pada Gambar 6.
tinggi antara profil RAPD pada A. leucopetala dan A. dolichorpa. Namun tidak ada pita spesifik yang dapat digunakan untuk mengkarakterisasi A. leucopetala. Sedangkan A. dolichorpa dapat dikarakterisasi dengan menggunakan primer OPA 13 pada ukuran 600 bp dan primer OPN 12 pada ukuran 1100 bp (Gambar 1b dan 1e). Selain itu, belimbing manis (A. carambola) dapat dikarakterisasi dengan menggunakan primer OPA 9E pada ukuran 1100 bp, OPB 18 pada ukuran 1500 bp, serta OPN 12 pada ukuran 900 bp (Gambar 1a, c dan e). Karakterisasi kultivar pada belimbing manis ini dapat dideteksi dengan menggunakan primer OPA 13 (Gambar 1b). Belimbing wuluh (A. blimbi) dapat dikarakterisasi dengan menggunakan primer OPA 9E pada
ukuran 350 dan 650 bp, serta primer OPN 12 pada ukuran 300 dan 600 bp (Gambar 1d dan 1e). Ada atau tidaknya pita DNA spesifik sangat dipengaruhi oleh situs penempelan primer pada cetakan DNA. Weising et al. (1995) berpendapat bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan perbedaan pita DNA yang teramplifikasi, yaitu (1) perubahan nukleotida pada sampel yang mencegah terjadinya amplifikasi, (2) delesi pada pelekatan primer, (3) insersi yang menyebabkan daerah pelekatan primer terlalu jauh untuk menyokong terjadinya amplifikasi dan (4) insersi dan delesi yang mengubah produk amplifikasi. Setiap primer juga menghasilkan produk amplifikasi yang berbeda spesifitasnya untuk setiap jenis/kultivar.
327
Kusumadewi Sri Yulita
Dalam hal ini primer OPB 7 sangat polimorfik sehingga tidak menghasilkan pita umum untuk semua jenis yang diamplifikasi, sehingga primer ini kurang cocok bila digunakan untuk karakterisasi jenis/kultivar belimbing (Gambar 1c). Sebaliknya primer OPB 18 (Gambar 1d) menghasilkan produk PCR dengan polimorfisme yang cukup rendah dan hanya berguna untuk karakterisasi belimbing manis. Dengan demikian, primer ideal yang direkomendasi untuk digunakan pada karakterisasi jenis dan kultivar belimbing adalah OPA 9E, OPA 13 dan OPN 12 (Gambar 1a, b dan e). Hasil analisis pengelompokkan menunjukkan rentang kesamaan genetik antara 25-100% mengindikasikan adanya variasi genetik yang cukup tinggi diantara keempat jenis belimbing. Kelompok belimbing wuluh memiliki nilai koefiesien kesamaan yang lebih tinggi (85%) dibanding belimbing manis (51%). Nilai koefisien kesamaan genetik yang tinggi diantara belimbing wuluh artinya keragaman genetik yang lebih sempit. Hal ini mungkin karena belimbing manis memiliki banyak lebih kultivar hasil budidaya yang lebih intensif dibandingkan belimbing wuluh, sehingga memiliki keragaman genetik belimbing manis lebih luas daripada belimbing wuluh. Kisaran koefisien sekitar 50% dengan marka RAPD dapat menunjukkan adanya interspesifik hibrid, sedangkan kisaran 61%-99% merupakan kesamaan genetik dalam tingkat spesies pada tumbuhan Lilac (Marsolais et al. 1993), 56% pada Mentha spicata dan 49% pada M. Arvensis (Shasany et al. 2005). Di dalam kluster belimbing manis (B), cv Kunir 328
terpisah dari cv Dewi dan cv Rawasari yang membentuk kelompok dengan koefisien kesamaan 64%. Untuk mengetahui apakah perbedaan ini disebabkan oleh intraspesifik hibrid pada cv Kunir, memerlukan studi lebih lanjut. A. leucopetala dan A. dolichorpa membentuk kelompok tersendiri (42%) yang terpisah dari kelompok belimbing wuluh-belimbing manis (B&C, koefisien kesamaan 32.5%). Sesuai dengan hasil pengamatan morfologi yang dilakukan oleh Rugayah & Sunarti (2008), kedua jenis ini memang berbeda secara morfologi dari belimbing wuluh dan belimbing manis. Perbedaan properti genetik kedua jenis belimbing tersebut dapat mengindikasikan proses radiasi adaptif tersendiri di wilayah persebarannya di Pulau Papua dan Sulawesi. Secara geografi, kawasan Sulawesi dan Papua serta pulau-pulau diantaranya memang memiliki sejarah geologi yang berbeda dengan kawasan Malesia bagian Barat, dipisahkan oleh garis Wallacea. Dengan demikian, hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Rugayah & Sunarti (2008) yang mendeskripsikan A. leucopetala dan A. dolichorpa menjadi jenis baru yang terpisah dari A. averrhoa dan A. blimbi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa marka RAPD cukup potensial untuk karakterisasi jenis dan kultivar belimbing, serta memecahkan permasalahan taksonomi seperti spesies kompleks yang ada pada jenisjenis belimbing. Untuk kerja lanjutan, penggunakan data molekuler yang lebih sensitif mendeteksi polimorfisme pada tingkat nukleotida seperti DNA
Variasi dan Kekerabatan Genetik pada Dua Jenis Baru
sequencing kemungkinan besar akan menghasilkan resolusi hasil analisis kluster yang lebih baik. UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini sepenuhnya didukung oleh dana proyek DIPA tahun 2009 yang berjudul “Kajian genetika plasma nutfah buah-buahan Indonesia” Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Terima kasih kepada Ibu Dra. Inggit, Dr. Rugayah, Dr Siti Sunarti, Dr. Teguh Triono, dan Dr. Marlina Ardiyani yang telah berbaik hati memberikan material DNA belimbing wuluh, belimbing A. dolicharpa dan A. leucopetala. Terima kasih juga kepada Herlina dan Fajarudin Ahmad atas bantuan teknis yang telah diberikan. DAFTAR PUSTAKA Allan, GJ., C. Clark & LH. Reiseberg. 1997. Distribution of parental DNA markers in Encelia virginensis (Asteraceae: Helian-theae), a diploid species of putative hybrid origin. Pl. Syst. Evol. 205: 205221. Doyle, JJ. & JL. Doyle. 1990. Isolation of plant DNA from fresh tissue. Focus. 12: 13-15. Ferdinandez, YSN. & BE. Coulman. 2002. Evaluating genetic variation and relationships among two bromegrass species and their hybrid using RAPD and AFLP markers. Euphytica 125: 281-291. Kooders, SH. & TH. Valeton. 1903. Oxalidaceae. Bijdrage No.9 Boomsroten op Java. Mededee-
lingen uit’s Land Plantentuin 61: 106-113. G. Kolff & Co. Batavia. Kunth, R. 1930. Oxalidaceae (Averrhoa). Dalam: Engler, A.(ed.). Pfl. R. Verlag von Wilhem Engelmann. Leipzig. 95: 417-419. Marsolais, JV., JS. Pringle & BN. White. 1993. Assessment of random amplied polymorphic DNA (RAPD) as genetic markers for determining the origin of interspecific lilac hybrids. Taxon 42: 531-537. Martin, C., E. Uberhuaga & C. Perez. 2002. Application of RAPD markers in the characterisation of Chrysanthemum varieties and the assessment of somaclonal variation. Euphytica 127: 247-253. Rohlf, FJ. 1998. NTSYS-PC. Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis. Version 1.8. Exeter Software, New York. Rugayah & S. Sunarti. Two new wild species of Averrhoa (Oxalidaceae) from Indonesia. Reinwardtia 12(4): 325-334. Samson, JA. 1997. Averrhoa L. Dalam:. Verheij, E.W.M & R.E. Coronel (eds). Buah-buahan yang dapat dimakan. PROSEA Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 2. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 109-112. Shasany, AK., MP. Darokar, S. Dhawan, AK. Gupta, S. Gupta, AK. Shukla, NK. Patra & SPS. Khanuja. 2005. J. Heredity 96(5): 542-549. Sebastiani, F., RR. Meiswinkel, LM. Gomulski, CR. Guglielmino, PS. Mellor, AR. Malacrida & G. 329
Kusumadewi Sri Yulita
Gasperi. 2001. Molecular differentiation of the Old World Culicoides imicola species complex (Diptera, Ceratopogonidae), inferred using random amplified polymorphic DNA markers. Mol.Ecol. 10(7): 1773-1786. Stammers, M., J. Harris, GM. Evans, MD. Hayward & JW. Forster. 1995. Use of PCR (RAPD) technology to analyse phylogenetic relationships in the Lolium/Festuca complex. Heredity 74: 19-27. Tingey, SV., JA. Rafalski & MK. Hanafey. 1994. Genetic analysis with RAPD markers. Dalam: Coruzzi C. & P. Puidormenech
(eds). Plant Mol. Biol. Pringer. Berlin. 491-498. Williams, JGK., AR. Kubelik, KJ. Livak, JA. Rafalski & SV. Tingey. 1990. DNA polymorphisms amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nuc. Acids Res. 18: 65316535. Zervakis, GI., G. Venturella & K. Papadopoulou. 2001. Genetic polymorphism and taxonomic infrastructure of Pleurotus eryngii species-complex as determined by RAPD analysis, isozyme profiles and ecomorphological characters. Microbiology 147: 3183-3194.
Memasukkan Maret 2011 Diterima: Juli 2011
330
Jurnal Biologi Indonesia 7(2): 331-340 (2011)
Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran Horisontal dan Vertikal Katak Hellen Kurniati Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI, Gedung Widyasatwaloka-LIPI, Jalan Raya Cibinong km 46, Cibinong 16911, Jawa barat, Email:
[email protected] ABSTRACT The Effect of Environmental Factors on the Horizontal and Vertical Movement of Frogs. Four environmental factors (moon phase, air temperature, water temperature and air humidity) were measured to determine the impact of environmental factors on the dynamics of horizontal and vertical spread of the frog Rana erythraea, R. nicobariensis and Occidozyga lima in a wetland area of Ecology Park, LIPI Campus Cibinong. Observation was done follows transect line (100 meters long) and set along the edge of the lake where the habitat was more diverse compared to the other sites. Observations were carried out from July to November 2009. The position of individual frogs (distance from water’s edge and height from the ground or water) was recorded and then grouped into intervals of 100 cm distance and height each. Correlation analysis between the number of individuals per unit distance or height with environmental factors was measured using the statistical program SPSS version 16.0. The results of this study proved that the air and water temperature as well as air humidity have significant effect on horizontal and vertical ecological distribution of R. erythraea and R. nicobariensis; whereas four environmental factors had no impact on horizontal distribution of O. lima. The movement of R. erythraea was strongly positively correlated with air temperature, but strongly negatively correlated with air humidity; however the abundance of R. nicobariensis was strongly negatively correlated with air temperature and strongly positively correlated with air humidity. Mixed vegetation of species Leerxia hexandra and Eleocharis dulcis at a distance between 0-100 cm from the edge of the water and height between 0-100 cm from the ground constituted the preferred microhabitat of frog species R. erythraea and R. nicobariensis. Key words: Environmental factors, Rana erythraea, Rana nicobariensis, Occidoziga lima, Ecology Park, wetland.
PENDAHULUAN Jenis-jenis katak yang bersifat akuatik ataupun semi-akuatik selalu melakukan pergerakan pindah tempat untuk menjauhi atau mendekati perairan. Berdasarkan penelitian Inger (2009), jenis-jenis katak asli hutan yang bersifat semi-akutik dapat melakukan perpinda-
han tempat sampai lebih dari 200 meter dari perairan, sedangkan jenis yang bersifat semi-arboreal dapat berada lebih dari satu meter di atas vegetasi sekitar perairan. Dari penelitian Inger (2009) pada tujuh jenis katak asli hutan yang kerap dijumpai yang bersifat akuatik, semi-akutik dan semi-arboreal di Borneo tidak mengkaitkan faktor-faktor 331
Hellen Kurniati
lingkungan terhadap distribusi horizontal dan vertikal. Untuk mengetahui dampak faktor lingkungan terhadap pergerakan individu katak, maka dilakukan pengamatan terhadap jenis-jenis nonhutan yang hidup di lahan basah Ecology Park, Kampus LIPI, Cibinong yang terletak pada posisi LS 060 29’ 40.2" ; BT 1060 51’ 06.3" dengan ketinggian tempat 165 meter dari permukaan laut (dpl). Tiga jenis katak mendominasi lahan basah Ecology Park, yaitu Rana erythraea, R. nicobariensis dan Occidozyga lima (Kurniati, 2010). Kelimpahan ketiga jenis katak tersebut sangat berasosiasi kuat dengan beberapa jenis vegetasi lahan basah yang tumbuh di sekitar dan di dalam perairan danau (Kurniati 2010). Bila dilihat dari habitatnya, R. erythraea dan R. nicobariensis bersifat semi-akuatik dan semiarboreal, mereka kadang kala dijumpai pada habitat tanpa air atau di atas vegetasi yang tumbuh di sekitar danau, sedangkan O. lima bersifat akuatik penuh (Kurniati 2010). Jumlah individu, penyebaran horizontal dan vertikal ketiga jenis katak tersebut penuh dinamika. Berdasarkan dinamika tersebut maka dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh faktor lingkungan (fase bulan, suhu udara, suhu air dan kelembaban udara) terhadap pergerakan katak. BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian ini dilakukan selama lima bulan (Juli-November 2009) dengan 14 kali pengamatan untuk mengetahui 332
pengaruh lingkungan (fase rembulan, kelembaban dan suhu udara dan suhu air) terhadap penyebaran horizontal dan vertikal katak R. erythraea, R. nicobariensis dan O. lima di lahan basah Ecology Park. Digunakan metode transek Jaeger (1994) dengan kerja sebagai berikut: a. Transek sepanjang 100 meter dibentang di bagian tepi danau yang mempunyai habitat paling beragam. Tali rafia digunakan sebagai pengukur jarak transek. Tali rafia sepanjang 100 meter diberi nomor sebanyak 10 untuk menandakan jarak setiap 10 meter. Awal dari nomor pada 10 meter pertama adalah 1. Tali rafia dibentang satu jam sebelum pengamatan dimulai pada satu sisi perairan dengan mengikuti alur dari tepi danau. b. Pengamatan dilakukan dengan berjalan perlahan menyusuri tepi danau; antara pukul 20.30-23.00 malam hari menggunakan lampu senter yang bersinar kuat untuk menyilaukan matanya supaya katak tetap diam ditempat. c. Luas areal yang diamati adalah 10 meter ke lebar kanan kiri tepi danau. d. Tiap katak yang dijumpai dicatat di atas lembar data; jaraknya dari tepi danau dan tingginya dari air atau tanah. e. Posisi katak dalam lembar data kemudian dikelompokkan menurut satuan jarak dari tepi danau untuk mengetahui penyebarannya secara horizontal, yaitu dengan pengelompokan: 1) <0 cm: untuk yang tercatat di dalam air; 2) 0-100 cm, >100-200 cm, >200-300 cm, >300-400 cm, >400-500 cm, >500-600 cm dan >600-700 cm: untuk yang di luar areal perairan. Pengelompokan secara vertikal
Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran
berdasarkan tinggi dari tanah atau air, yaitu: 0-100 cm, >100-200 cm dan >200300 cm. Catatan tentang fase rembulan, kelembaban udara, suhu udara dan suhu air melengkapi data lingkungan yang kemungkinan besar mempengaruhi penyebaran horizontal dan vertikal individu ketiga jenis katak tersebut pada mikrohabitatnya. Alat yang digunakan untuk mengukur suhu udara dan suhu air: thermometer digital (ketelitian satu digit dibelakang koma) merk SATO model SK-2000 MC; pengukur kelembaban udara: thermo-hygrometer merk Isuzu model 3-1167-01; untuk fase rembulan selama pengamatan berpedoman kepada: h t t p : / / w w w. t i m e a n d d a t e . c o m / worldclock/moonrise.html. Semua data yang diperoleh diuji dengan program statistik SPSS versi 16.0. Analisis korelasi dipakai untuk menguji pengaruh dinamika parameter lingkungan (fase rembulan, kelembaban dan suhu udara dan suhu air) terhadap jumlah individu yang dijumpai pada satuan jarak dari tepi danau dan satuan tinggi dari tanah atau air. Hasil analisis berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (p d” 0.05). HASIL Jumlah kehadiran individu tiga jenis katak yang mendominasi lahan basah Ecology Park sepanjang 100 meter panjang transek selama 14 kali pengamatan sangat bervariasi. Jumlah R. erythraea berkisar antara 48-151 individu, R. nicobariensis antara 10-35 individu dan O. lima antara 2-18 individu
(Tabel 1). Faktor lingkungan yang nyata mempengaruhi jumlah kehadiran individu R. erythraea adalah suhu udara (r = 0.681; p = 0.018); pada R. nicobariensis adalah suhu udara (r = -0.573; p = 0.032) dan kelembaban udara (r = 0.572; p = 0.033); tetapi keempat faktor lingkungan yang diukur (fase rembulan, suhu udara, suhu air dan kelembaban udara) tersebut tidak berpengaruh nyata pada kehadiran O. lima. Hasil dari pengelompokan jumlah individu ketiga jenis katak tersebut berdasarkan penyebarannya secara horizontal dan vertikal terhadap faktor lingkungan memperlihatkan indikasi yang kuat untuk jarak dan tinggi tertentu. Hasil analisis statistik setiap jenis adalah sebagai berikut: R. erythraea Faktor lingkungan yang berpengaruh nyata pada penyebaran horizontal individu R. erythraea adalah suhu udara, suhu air dan kelembaban udara. Suhu udara berkorelasi positif kuat pada jumlah individu untuk jarak >100-200 cm dan >200-300 cm (Tabel 2), semakin naik suhu udara selama pengamatan maka jumlah individu pada jarak tersebut semakin banyak. Jarak tersebut sangat terkait dengan lebarnya bagian tepi danau yang ditumbuhi vegetasi lahan basah. Jumlah rata-rata individu paling banyak adalah pada jarak 0-100 cm (42.71±19.71 individu; Tabel 2); pada jarak ini tidak ada faktor lingkungan berpengaruh nyata pada kehadiran individu R. erythraea. Suhu udara berkorelasi positif kuat pada jumlah individu untuk ketinggian 0-100 cm (Tabel 333
Hellen Kurniati
Tabel 1. Jumlah individu tiga jenis katak dominan di Ecology Park selama 14 kali pengamatan beserta empat faktor lingkungan yang diukur. Waktu Pengamatan (2009)
Jumlah Individu Fase Bulan (sepanjang transek 100 meter) (%) R. erythraea R. nicobariensis O. lima
Suhu Udara (0C)
Suhu Air (0C)
Kelembaban Udara(%)
9 Juli
104
12
5
98.4
27.5
26.7
63
16 Juli
151
14
7
44.3
26.5
26.0
72
23 Juli
137
15
4
2.0
26.4
26.1
94
6 Agustus
118
11
2
100
27.3
28.8
73
13 Agustus
131
16
18
59.6
27.7
28.2
77
20 Agustus
118
16
17
0.1
27.8
28.4
68
3 September
111
10
11
99.0
27.3
29.3
73
10 September
116
26
7
73.8
25.8
28.0
90
24 September
120
19
11
32.8
24.7
27.8
96
15 Oktober
79
35
9
12.4
25.3
26.8
90
29 Oktober
91
17
11
81.3
26.6
29.3
84
12 November
77
25
8
24.7
25.4
27.9
88
19 November
64
17
7
6.2
25.3
26.1
91
25 November
48
20
7
55.5
23.7
27.2
97
Rataan±SD
104.64±29.25
18.07±6.74
8.86± 4.50
49.29±37.21
26.24±1.24
27.61±1.15
82.57±11.28
2); pada ketinggian ini rata-rata jumlah individu paling banyak (102.79±27.74 individu; Tabel 2). Ketinggian ini sepertinya merupakan mikrohabitat yang disukai individu R. erythraea, karena daun rumpun vegetasi paling padat yang kemungkinan besar menjaga kestabilan suhu mikroklimat dari dinamika suhu udara lingkungan. Suhu air berkorelasi positif kuat pada jumlah individu untuk jarak >100-200 cm; sedangkan kelembaban udara berpengaruh negatif kuat pada kehadiran individu R. erythraea pada jarak <0 cm (di dalam perairan danau). Jarak <0 cm merupakan areal yang terbuka, sedikit sekali rumpun vegetasi yang tumbuh di sini, kemungkinan besar dinamika kelembaban udara sangat terasa bagi individu R. erythraea. Kondisi ini 334
mengindikasikan menurunnya kelembaban udara memicu jumlah individu meningkat pada jarak <0 cm. Untuk mengatasi turunnya kelembaban udara, individu R. erythraea yang berada pada areal terbuka bergerak mendekati air. Hasil penelitian ini mengindikasikan penyebaran horizontal dan vertikal individu R. erythraea dipengaruhi oleh faktor suhu udara dan suhu air yang berkorelasi positif, sedangkan kelembaban udara berkorelasi negatif. Untuk meminimalkan faktor lingkungan yang dinamis, individu R. erythraea mencari mikrohabitat yang nyaman yang tersedia di rumpun vegetasi lahan basah di sekitar perairan danau (Kurniati 2010). Fungsi rumpun vegetasi ini sangat penting bagi kehidupan katak R. erythraea
r = -0.628 p=0.016**
Kelembaban Udara
r = -0.343 p = 0.230
r = -0.138 p = 0.639
42.71±19.71 r = 0.039 p = 0.894 r = 0.514 p = 0.060
0-100 cm (jumlah individu)
** berbeda nyata pada p = 0.05
r = -0.310 p = 0.281
3.71±5.30 r = 0.358 p = 0.209 r = 0.403 p = 0.153
<0 cm (jumlah individu)
Suhu Air
Suhu Udara
Rataan±SD Fase Bulan
Korelasi Dengan Faktor Lingkungan Jarak Dari Tepi Perairan (danau) >100-200 >200-300 >300-400 >400-500 cm cm cm cm (jumlah (jumlah (jumlah (jumlah individu) individu) individu) individu) 20.50±6.05 24.07±8.81 7.64±5.57 5.36±3.82 r = 0.236 r = 0.161 r = -0.199 r = -0.357 p = 0.416 p = 0.583 p = 0.495 p = 0.210 r = 0.586 r = -0.261 r = -0.282 r = 0.557 p = 0.367 p = 0.329 p= p= 0.039** 0.028** r = 0.580 r = 0.346 r = -0.058 r = -0.191 p= p = 0.226 p = 0.850 p = 0.514 0.030** r = -0.412 r = -0.366 r = 0.323 r = 0.352 p = 0.144 p = 0.198 p = 0.260 p = 0.216 r = 0.273 p = 0.345
r = 0.112 p = 0.703
>500-600 cm (jumlah individu) 1.00±2.45 r = 0.167 p = 0.568 r = -0.199 p = 0.494
r = -0.270 p = 0.351
r = -0.404 p = 0.152
r = -0.488 p = 0.077
r = 0.098 p = 0.740
r = 0.168 p = 0.567
r = -0.427 p = 0.128
r = 0.292 p = 0.312
r = -0.379 p = 0.181
Tinggi Dari Tanah Atau Air >600-700 0-100 cm >100-200 >200-300 cm (jumlah cm cm (jumlah individu) (jumlah (jumlah individu) individu) individu) 0.29±1.07 102.79±27.74 1.79±4.30 0.07±0.27 r = -0.39 r = 0.153 r = -0.280 r = -0.366 p = 0.896 p = 0.601 p = 0.332 p = 0.198 r = 0.061 r = 0.635 r = 0.105 r = 0.038 p = 0.835 p = 0.015** p = 0.721 p = 0.897
Tabel 2. Korelasi antara faktor lingkungan dan jumlah individu pada setiap satuan jarak dan tinggi jenis R. erythraea.
Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran
335
Hellen Kurniati
dalam menghadapi perubahan alami faktor lingkungan. R. nicobariensis Faktor lingkungan yang berpengaruh nyata terhadap dinamika jumlah individu R. nicobariensis adalah suhu udara pada jarak 0-100 cm dengan nilai korelasi negatif kuat, kemudian kelembaban udara pada jarak yang sama dengan nilai korelasi positif kuat (Tabel 3). Kondisi yang terjadi pada individu R. nicobariensis terhadap suhu udara dan kelembaban udara merupakan kebalikan dari individu R. erythraea; pada R. nicobariensis, semakin rendahnya suhu udara selama pengamatan menyebabkan bertambahnya individu pada jarak 0-100 cm. Rendahnya suhu udara biasanya diikuti dengan naiknya kelembaban udara, karena kedua faktor ini berhubungan dengan kondisi lingkungan yang basah setelah hujan. Rata-rata jumlah individu pada jarak 0-100 cm dari tepi perairan adalah terbanyak (7.79±4.56 individu; Tabel 3); di dalam jarak ini terdapat rumpun vegetasi Leerxia
hexandra dan Eleocharis dulcis yang juga merupakan mikrohabitat yang disukai R. nicobariensis dan R. erythraea (Kurniati 2010). Kelembaban udara berkorelasi positif kuat terhadap jumlah individu R. nicobariensis pada ketinggian 0-100 cm (Tabel 3), jumlah individu bertambah sejalan dengan naiknya kelembaban udara. Pada ketinggian ini rata-rata jumlah individu R. nicobariensis terbanyak (18.07±6.74 individu; Tabel 3), begitu pula jumlah rata-rata individu R. erythraea (lihat Tabel 2). Antara individu R. erythraea dan R. nicobariensis terjadi persaingan untuk mendapatkan mikrohabitat di sepanjang 100 meter panjang transek yang terdapat rumpun vegetasi. Berdasarkan hasil analisis, korelasi jumlah individu dua jenis ini adalah negatif, tetapi tidak cukup kuat (r = 0.423; p = 0.132). Hasil regresi linier (Rn=28.28-0.09753Re) memperlihatkan bahwa terjadi kecenderungan menurunnya jumlah individu R. nicobariensis bila jumlah individu R. erythraea bertambah (Gambar 1).
Tabel 3. Korelasi antara faktor lingkungan dan jumlah individu pada setiap satuan jarak dan tinggi jenis R. nicobariensis. Korelasi Dengan Faktor Lingkungan Rataan±SD Fase Bulan Suhu Udara
Suhu Air Kelembaban Udara
Jarak Dari Tepi Perairan (danau) <0 cm
0-100 cm
>100-200 cm
0.07±0.27 r = 0.080 p = 0.786 r = 0.339 p = 0.236
7.79±4.56 r = -0.417 p = 0.138 r = -0.656 p= 0.011** r = -0.227 p = 0.436 r = 0.556 p= 0.039**
5.00±2.99 r = -0.368 p = 0.195 r = -0.400 p = 0.157
3.57±2.50 r = -0.019 p = 0.947 r = 0.193 p = 0.508
1.29±1.20 r = 0.194 p = 0.507 r = -0.095 p = 0.748
0.36±0.50 r = -0.217 p = 0.456 r = -0.271 p = 0.349
18.07±6.74 r = -0.430 p = 0.124 r = -0.573 p = 0.032**
r = 0.063 p = 0.831 r = 0.475 p = 0.086
r = -0.228 p = 0.434 r = -0.217 p = 0.456
r = 0.319 p = 0.266 r = 0.270 p = 0.350
r = -0.373 p = 0.189 r = 0.317 p = 0.269
r = -0.175 p = 0.550 r = 0.572 p = 0.033**
r = 0.147 p = 0.617 r = -0.142 p = 0.628
** berbeda nyata pada p d” 0.05
336
Tinggi Dari Tanah/Air >200-300 cm >300-400 cm >400-500 cm 0-100 cm
Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran
O. lima Faktor-faktor lingkungan yang diukur tidak ada yang berpengaruh nyata kepada dinamika jumlah individu O. lima (Tabel 4). Kemungkinan karena sifat katak ini yang akuatik penuh dapat mengatasi kondisi tidak nyaman dari dinamika faktor lingkungan dengan berendam diri di dalam air. Jenis O. lima mempunyai kebiasaan membenamkan
tubuhnya di dalam air, hanya matanya terlihat di permukaan air (Iskandar 1998; Kurniati 2010). Katak ini biasanya aktif mengeluarkan suara dan duduk di atas daun Teratai yang mengapung tidak jauh dari tepi danau. Penyebaran horizontal individu O. lima maksimum pada jarak >100-200 cm. Jarak 0-200 cm merupakan perairan yang dangkal dengan kedalaman sekitar 40 cm
Rn = 28.28 - 0.09753 Re 35
R. nicobariensis
30
25
20
15
10 50
75
100 R. erythraea
125
150
Gambar 1. Grafik regresi linier antara jumlah individu R. erythraea dan R. nicobariensis pada 100 meter panjang transek. Tabel 4. Korelasi antara faktor lingkungan dan jumlah individu pada setiap satuan jarak untuk jenis O. lima. Korelasi Dengan Faktor Lingkungan Rataan±SD Fase Bulan Suhu Udara Suhu Air Kelembaban Udara
Jarak Dari Tepi Perairan (danau) <0 cm (jumlah individu) 6.00±4.42
0-100 cm (jumlah individu) 2.57±3.01
>100-200 cm (jumlah individu) 0.29±0.61
r = 0.013 p = 0.964 r = 0.418 p = 0.137 r = 0.236 p = 0.416 r = -0.318 p = 0.268
r = -0.288 p = 0.318 r = -0.115 p = 0.696 r = 0.276 p = 0.340 r = 0.142 p = 0.629
r = -0.120 p = 0.682 r = -0.409 p = 0.146 r = -0.039 p = 0.894 r = 0.343 p = 0.230
** berbeda nyata pada p d” 0.05
337
Hellen Kurniati
dan dasar perairan berlumpur. Jenis ini banyak dijumpai di persawahan (Iskandar 1998) yang berair dangkal dan dasar berlumpur. Kemungkinan besar katak ini tidak dijumpai lebih dari 200 cm di dalam perairan danau Ecology Park disebabkan dalamnya air pada bagian pertengahan danau. PEMBAHASAN Suhu udara berpengaruh nyata pada kehadiran individu R. erythraea dan R. nicobariensis, tetapi pada R. erythraea suhu udara berkorelasi positif, makin tinggi suhu udara selama pengamatan maka jumlah kehadiran individu makin bertambah; sedangkan pada R. nicobariensis berkorelasi negatif, makin rendah suhu udara selama pengamatan maka kehadiran individu makin banyak. Bertambahnya jumlah individu R. erythraea sejalan dengan meningkatnya suhu udara mengindikasikan jenis ini aktif bergerak menyebar pada lokasi transek yang diamati. Sebagian besar individu aktif berada pada rumpun vegetasi lahan basah L. hexandra dan E. dulcis yang tumbuh di bagian tepi danau (Kurniati 2010). Kemungkinan besar rumpun vegetasi ini merupakan mikrohabitat yang nyaman bagi individu R. erythraea dalam menjaga kestabilan suhu mikroklimat. Kondisi sebaliknya terjadi pada R. nicobariensis, semakin rendah suhu lingkungan dan bertambahnya kelembaban udara maka jumlah individu yang hadir semakin bertambah. Jenis ini juga terlihat aktif bersuara di sela-sela rumpun vegetasi L. hexandra dan E. 338
dulcis yang juga dihuni individu R. erythraea (Kurniati 2010). Kemungkinan besar fenomena ini merupakan strategi kedua jenis katak ini untuk meminimalkan persaingan dalam mendapatkan mikrohabitat yang nyaman pada rumpun vegetasi yang disukai mereka. Jenis O. lima mempunyai relung terpisah dengan R. erythraea dan R. nicobariensis; mikrohabitat juga berbeda, O. lima bersifat akuatik penuh, sedangkan R. erythraea dan R. nicobariensis bersifat semi-akuatik dan semi-arboreal. Kehadiran O. lima tidak banyak dipengaruhi faktor-faktor lingkungan yang diukur kemungkinan besar karena sifatnya yang akuatik penuh. Penyebaran horizontal individu R. erythraea lebih jauh (Tabel 2) dibandingkan individu R. nicobariensis (Tabel 3), mereka dapat mencapai jarak >600-700 cm dari tepi perairan, sedangkan R. nicobariensis hanya mencapai jarak >400-500 cm; selain itu penyebaran vertikal individu R. erythraea (Tabel 3) juga lebih tinggi dapat mencapai >200-300 cm dari permukaan tanah (Tabel 5), sedangkan R. nicobariensis maksimum hanya 0100 cm. Jumlah individu yang banyak pada R. erythraea kemungkinan besar menjadi penyebab utama lebarnya pergerakan individu R. erythraea untuk meminimalkan kompetisi antar individu; kondisi ini membuat individu R. nicobariensis harus berkompetisi agar mendapatkan mikrohabitat yang nyaman di rumpun vegetasi. Sifat biologi R. erythraea yang aktif sejalan dengan meningkatnya suhu
Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran
udara, sedangkan R. nicobariensis aktif sejalan dengan menurunnya suhu udara kemungkinan basar berpengaruh besar terhadap distribusi vertikal kedua jenis katak ini. Di Kalimantan distribusi vertikal R. erythrae mulai dari 0-500 meter dpl, sedangkan R. nicobariensis antara 100-1150 meter dpl (Inger 2005). Di Jawa R. erythraea dapat dijumpai mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 1110 meter dpl, sedangkan R. nicobariensis mulai dari daerah pantai sampai ketinggian 1500 meter dpl (Iskandar 1998; Kurniati dkk 2000; Kurniati 2003; Liem 1973). Berdasarkan ukuran tubuh, jantan dewasa R. erytrhraea asal Jawa berkisar antara 30-45 mm, betina antara 50-75 mm; sedangkan jantan dewasa R. nicobariensis asal Jawa berkisar antara 35-45 mm, betina antara 45-50 mm (Iskandar, 1998). Kisaran ukuran tubuh jantan dewasa kedua jenis katak ini tidak jauh berbeda, sedangkan kisaran ukuran tubuh betina dewasa berbeda nyata, betina R. erythraea lebih besar dibandingkan betina R. nicobariensis. Kemungkinan lebih besarnya ukuran tubuh pada betina R. erythraea menjadi penyebab jenis ini merasa nyaman hidup pada daerah dataran rendah dengan suhu lingkungan yang hangat. Untuk membuktikan ini perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai fisiologi katak R. erythraea. KESIMPULAN
erythraea dan R. nicobariensis pada areal transek sepanjang 100 meter. Korelasi pada R. erythraea positif kuat, sedangkan pada R. nicobariensis negatif kuat; (2) Penyebaran horizontal dan vertikal individu R. erythraea dipengaruhi oleh faktor suhu udara dan suhu air yang berkorelasi positif kuat, sedangkan kelembaban udara berkorelasi negatif kuat; (3) Penyebaran horizontal dan vertikal individu R. nicobariensis dipengaruhi oleh faktor suhu udara yang berkorelasi negatif kuat, sedangkan kelembaban udara berkorelasi positif kuat; (4) Rumpun vegetasi lahan basah pada jarak dan ketinggian 0-100 cm merupakan mikrohabitat yang disukai R. erythraea dan R. nicobariensis; (5) Faktor lingkungan (fase bulan, suhu udara, suhu air dan kelembaban udara) tidak berpengaruh nyata pada penyebaran horizontal O. lima. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima ksih kepada Wahyu Tri Laksono dan Saiful yang telah membantu sepenuhnya penelitian di lapangan. Ucapan terima kasih juga diberikan kepada Proyek Kegiatan Insentif Bagi Peneliti Dan Perekayasa DIKTI-LIPI tahun 2009 yang telah membiayai seluruh kegiatan penelitian ini. Terakhir kali ucapan terima kasih diberikan kepada Dr. Arjan Boonman yang telah membantu dalam memperbaiki abstrak bahasa Inggris.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan: (1) Suhu udara berpengaruh nyata pada dinamika jumlah individu R. 339
Hellen Kurniati
DAFTAR PUSTAKA Inger, RF. 2005. The systematics and zoogeography of the amphibians of Borneo. Natural History Publication (Borneo). Kota Kinabalu. Inger, RF. 2009. Contributions to the natural history of seven species of bornean frogs. Fieldiana Zool. (116): 1-25. Iskandar, DT. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Puslitbang Biologi-LIPI. Bogor. Jaeger, RG. 1994. Transect sampling. Dalam : Heyer, WR., MA. Donnely, RW. McDiarmid, LC. Hayek & MS. Foster (editors). Measuring and monitoring biological diversity, standard method for amphibians Smithso-
nian Institution Press. Washington. 103-107 Kurniati, H. W. Crampton, A. Goodwin, A. Locket & S. Sinkins. 2000. Herpetofauna diversity of Ujung kulon National Park: An inventory results in 1990. J. Biol. Res. 6 (2): 113-128. Kurniati, H. 2003. Amphibians and reptiles of Gunung Halimun National Park, West Java, Indonesia. Research Center for Biology-LIPI. Cibinong. Kurniati, H. 2010. Keragaman dan kelimpahan jenis katak serta hubungannya dengan vegetasi pada lahan basah “Ecology Park”, Kampus LIPI Cibinong. Berita Biologi. 10 (3):283-296 Liem, DSS. 1973. The frogs and toads of Tjibodas National Park, Mt. Gede, Java, Indonesia. The Philippine J. Sci. 100 (2): 131-161.
Memasukkan: April 2011 Diterima: Juli 2011
340
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 341-359 (2011)
Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912 di Bali Bagian Barat Mas Noerdjito
1,3)
, Roemantyo 1), &Tony Sumampau
2,3)
1)
Research Centre for Biology – LIPI, CSC, jl Raya Jakarta Bogor, Km 46, Cibinong 2) Taman Safari Indonesia, Cisarua-Bogor 3) Asosiasi Pelestari Curik Bali, TSI, Cisarua-Bogor ABSTRACT
Habitat Reconstruction of Bali Starling Leucopsar rothschildi Stresemann 1912 in Western Part of Bali Island. Bali Starling Leucopsar rothschildi Stresemann 1912 is an endemic species of north western part of lowland of Bali Island. The land use changes of original habitat Bali Straling to resettlement and agriculture area since the year 1980, has caused this species moved to the marginal habitat in the Prapatagung Peninsula and resided in Telukkelor areas. In wet season this bird in Prapatagung Peninsula can have enough food from vegetation in the monsoon forest in Telukkelor, but in dry season the birds must look for the food in evergreen forest near Prapatagung. At the end of 2005, this species was categorized as an extinct species in the wild, but population in captured are still abundant. In 2007 and 2008, the release of this bird in the nature has been done in Prapatagung peninsula area. In following year bird monitoring showed that some pairs of these birds can breed sucessfully. The development of Bali province has caused the end of adding more the electrical power supply from Java electrical power system. To transmite the electrical power to Bali, extra high voltage electrical power transmission infrastructure (SUTET) that will be passing and cutting the lowland forest ecosystem in Prapatagung Peninsula is needed. Other infrastructures such as Jawa–Bali bridge and high way were under studied to develop in similar area. The infrastructures were assumed will decrease the carrying capacity of evergreen forest in supporting Bali Starling food especially during dry season. Based on the recent condition, study on the habitat recovery of Bali Starling should was conducted especially on the original habitat that already changed. The results showed that local state land tenure of Sumberklampok, Sumberbatok, Tegalmuara and Tanjunggelap as in the past known as Bali Starling habitat should be returned back their function as home of Bali Starling. To support this action plant inventarisation has been conducted to understand the rest of plant diversity in supporting Bali Starling conservation. Key words: Bali starling, Leucopsar rothschildi, reconstruction, habitat.
PENDAHULUAN Burung Curik bali Leucopsar rothschildi (Stresemann, 1912) merupakan satwa endemik Indonesia. Secara alami, spesies ini hanya terdapat
di dataran rendah pulau Bali bagian barat laut, antara Bubunan dengan Gilimanuk (Paardt 1926); namun tidak terdapat di semenanjung (Sem.) Prapatagung (Balen dkk. 2000). Pertambahan penduduk 341
Noerdjito dkk.
menyebabkan hampir seluruh habitat Curik bali dialihfungsikan untuk mendukung kehidupan masyarakat; antara Bubunan dengan Banyuwedang diubah menjadi lahan pertanian dan pemukiman sedangkan kawasan Sumberklampok dan Sumberbatok diubah menjadi perkebunan kelapa dan kapuk. Perubahan tersebut, diduga, menyebabkan berkurang atau terputusnya daur ketersediaan pakan dan/ atau hilangnya tempat persarangan bagi Curik bali sehingga pada tahun 1980 populasi Curik bali yang tersisa tergeser ke Sem. Prapatagung (Balen dkk. 2000). Perpindahan ke tempat yang tidak pernah mereka huni sebelumnya dapat diartikan bahwa Sem. Prapatagung sebenarnya bukan kawasan yang sepenuhnya dapat mendukung kehidupan Curik bali; atau sebenarnya hanya merupakan daerah “marginal” bagi kehidupan Curik bali. Di Sem. Prapatagung, Curik bali menempati hutan musim (monsoon forest) di sekitar pos Telukkelor sampai pos Lampumerah. Pada musim hujan, hutan musim bersemi dan diikuti dengan meledaknya populasi serangga pakan Curik bali di berbagai spesies tumbuhan yang sedang menghijau. Pada musim kemarau, pada saat daun-daun di hutan musim berguguran, serangga pakan maupun buah-buahan tidak lagi tersedia di daerah ini. Akibatnya, Curik bali terpaksa harus mencari pakan di hutan mala hijau (evergreen forest) dan sekitarnya di daerah antara pos Prapatagung dengan pos Tegalbunder. Dikenal 2 jalur terbang Curik bali dari hutan musim menuju hutan mala hijau, yaitu: (1) melalui Lampumerah – 342
Batulicin – Prapatagung; (2) melalui Telukbrumbun – Tanjungkotal Tegalbunder. Oleh karena itu, adanya hutan mala hijau yang cukup luas sangat diperlukan bagi kelestarian Curik bali di alam. Oleh berbagai sebab, pada saat melakukan survei pada Desember 2005, Noerdjito bersama beberapa wartawan anggota Forum Komunikasi Satwa Liar Indonesia (FOKSI, tidak dipublikasikan) sama sekali tidak dapat menemukan Curik bali yang hidup bebas di Sem. Prapatagung. Kenyataan ini dikuatkan oleh keterangan beberapa petugas lapangan TN Bali Barat. Sadar akan fungsi penting Curik bali bagi (a) kelestarian alam, (b) kebanggaan masyarakat Bali, (c) hubungan diplomatik dengan negara sahabat, serta (d) masih adanya Curik bali di berbagai lembaga konservasi maupun di tangan masyarakat maka pada tahun 2006 dibentuklah Asosiasi Pelestari Curik Bali (APCB). Misi utama APCB adalah membantu Dep Kehutanan untuk memulihkan populasi Curik bali di alam. Sejak awal APCB bekerjasama dengan berbagai Instansi Pemerintah (terutama Puslit Biologi – LIPI yang telah melakukan penelitian lebih dahulu) serta lembaga konservasi eks-situ (terutama Taman Safari Indonesia) lainnya. Disepakati bahwa pemulihan populasi Curik bali akan dilakukan di Sem. Prapatagung. Pemulihan diawali dengan mengembalikan kemampuan individu-individu Curik bali yang telah beberapa generasi hidup di dalam sangkar sehingga dapat bertahan hidup di alam bebas. Tempat pelepasliaran dipilih di tempat perkem-
Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi
bangbiakannya, yaitu di hutan musim di dekat pos Telukbrumbun, Telukkotal dan di Tanjunggelap. Pada tahun 2007 dan 2008 sebagian dari hasil penangkaran lembaga konservasi dilepasliarkan di tiga tempat tersebut dan beberapa di antaranya berhasil berkembang biak. Kenyataan menunjukkan bahwa, bagi manusia, setiap jengkal lahan bersifat multiguna. Hal ini berlaku juga bagi kawasan Sem. Prapatagung. Di satu sisi, sampai dengan tahun 2008, peruntukan Sem. Prapatagung masih “mutlak” sebagai kawasan pelestarian Curik bali. Namun di sisi lain, untuk mendukung pariwisata, Pulau Bali memerlukan pasokan listrik dari pembangkit di Jawa. Pada akhir tahun 2010 telah disepakati bahwa pasokan listrik dari Jawa akan dilakukan melalui saluran udara tegangan tinggi (SUTET). Menara di ujung Jawa akan dibangun di Watudodol sedangkan di ujung Bali akan dibangun di dekat pos Lampumerah. Kedua menara tersebut dibangun setinggi 375 meter. Listrik kemudian dialirkan melalui jalur pos Lampumerah, Batulicin, pos Prapatagung kemudian diseberangkan ke gardu induk Gilimanuk. Selain SUTET, menurut rencana, antara Watudodol di Jawa Timur dengan pos Lampumerah di Bali juga akan dibangun jembatan penghubung Jawa Bali. Direncanakan pula, untuk menghubungkan ujung jembatan di pos Lampumerah dengan jalur jalan Gilimanuk – Singaraja di Sumberklampok akan dibangun jalan penghubung melalui Batulicin, pos Prapatagung dan pos Tegalbunder. Secara rinci, rencana jalur belum ada.
Namun untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, yang mungkin baru akan timbul dikemudian hari, maka dinilai perlu untuk segera melakukan kajian ulang dampak pembangunan SUTET serta kemungkinan jalur jalan tembus dari pos Lampumerah ke pos Sumberklampok terhadap fungsi hutan mala hijau sebagai sumber kehidupan Curik bali di musim kemarau. Jika pembangunan tersebut diperkirakan akan berdampak negatif maka perlu segera dilakukan penyediaan habitat baru atau merestorasi bekas habitat Curik bali di lahan yang masih memungkinkan. Penelusuran bekas habitat Curik bali dapat dilakukan dengan mengumpulkan data habitat di masa lampau serta mengobservasi beberapa kawasan yang diperkirakan masih memiliki komponen habitat yang mirip dengan habitat Curik bali di masa lampau untuk ditelaah struktur, komposisi dan tipe vegetasinya. Dengan modal data tersebut diharapkan model dan konstruksi habitat Curik bali dapat dibangun kembali. BAHAN DAN CARA KERJA Menelusuri pengaruh SUTET dan rencana jalan tembus terhadap ekosistem dataran rendah yang dilalui, terutama hutan mala hijau. 1.Melakukan pencitraan (analisis spasial) di Sem. Prapatagung untuk menggambarkan tipe ekosistem dan batas hutan mala hijau. 2. Memperkirakan kemungkinan jalur jalan tembus berdasarkan kekerasan batuan dasar serta topografi yang tidak terlalu berbukit-bukit.
343
Noerdjito dkk.
3.Menumpangsusunkan jalur SUTET dan rencana jalan di atas peta citra ad. A.1. Menelusuri tipe habitat Curik bali di masa silam. 1. Mencari dan merekonstruksi peta lama yang memuat gambaran ekosistem Bali masa lalu. 2. Menumpangsusunkan titik-titik koleksi spesimen Curik bali ke atas peta lama ad. B.1. 3. Menelusur tipe tanah serta curah hujan kawasan Bali bagian barat. 4. Menentukan kawasan bekas habitat Curik bali yang memiliki kemungkinan untuk direhabilitasi. Penelusuran spesies tumbuhan di habitat Curik bali. 1. Menelusur spesies tumbuhan di kawasan bekas ekosistem savana maupun hutan mala hujau di Bali bagian barat. 2. Metoda yang dipakai adalah transek. HASIL Pengaruh SUTET dan rencana jalan terhadap ekosistem dataran rendah serta hutan mala hijau: Dari peta Citra Ikonos May 20, 2009 (Space Imaging 2000) yang telah diberi referensi geografi: WGS1984 UTM Zone 50S dalam Proyeksi Transverse Mercator, Datum: DWGS 1984 digambarkan tempat-tempat penting yang terkait dengan konservasi Curik bali di kawasan hutan Bali bagian barat (Gambar 1) serta hutan mala hijau (Gambar 2). 344
Berdasarkan pertimbangan bahwa membuat jalan di atas pantai berlumpur, hutan bakau atau pun perbukitan akan memerlukan biaya yang sangat tinggi maka diperkirakan jalur jalan tembus pos Lampumerah - Batulicin - pos Prapatagung - pos Tegalbunder akan melawati jalur sebagaimana tergambarkan pada Gambar 2. Setelah peta citra di tumpangsusunkan dengan peta rencana pemasangan SUTET dan peta kemungkinan jalan tembus terlihat bahwa dataran rendah antara pos Lampumerah dengan pos Sumberklampok terpotong-potong menjadi beberapa segmen; sedangkan hutan mala hijau akan terpotong oleh jalan tembus. Menelusuri tipe habitat Curik bali di masa silam. Diperoleh beberapa peta topografi lama yang diterbitkan sebelum tahun 1950 (van Carnbee, P. Baron Melvill 1856; Topographisch bureau, 1905; Koninklijke Vereeniging Java Motor Club, 1922; Topographische Dienst 1932; Topographische Dienst 1935 dan Army Map Service 1950). Dari peta-peta tersebut, Topographische Dienst (1935) dinilai cukup menggambarkan ekosistem Bali bagian barat dimasa lampau. Peta tersebut kemudian diberi referensi geografi: WGS1984 UTMZone 50S dengan Projection Transverse Mercator, Datum: DWGS1984. Data keterdapatan Curik bali dimasa lampau hasil kompilasi titik temuan oleh Balen dkk. (2000) yang ditumpangsusunkan di atas Topographische Dienst menunjukkan bahwa pada masa lampau
Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi
Gambar 1. Citra Ikonos May 20, 2009 (Space Imaging 2000) dengan tempat-tempat penting di kawasan hutan Bali bagian barat. Citra Ikonos telah di beri referensi geografi: WGS1984 UTM Zone 50S. Projection: Transverse Mercator, Datum: DWGS1984
Gambar 2. Peta rencana SUTET, perkiraan letak jembatan Jawa- Bali dan perkiraan jalan tembus dari pos Lampumerah sampai pos Sumberklampok. Citra Ikonos May 20, 2009 (Space Imaging 2000) dan Shuttle Radar Topography Mission (USGS 2004) dengan kawasan hutan mala hijau (evergreen forest). Citra Ikonos telah di beri referensi geografi: WGS1984 UTMZone 50S. Projection: Transverse Mercator, Datum: DWGS 1984
345
Noerdjito dkk.
Curik bali umumnya hidup di savana dan hutan campuran basah. Secara teoritis, seluruh savana dan hutan campuran basah di Bali bagian barat yang telah dialihfungsikan dapat dipulihkan kembali; namun biaya pembebasan lahan diperkirakan akan sangat tinggi. Ekosistem savana dan hutan campuran basah yang seharusnya dapat dipulihkan tanpa melakukan pembebasan lahan adalah lahan milik negara. Lahan tersebut terdapat di Sumberklampok, Sumberbatok, Tegalmuara dan Tanjunggelap. Keempat kawasan ini menjadi sangat penting artinya bagi kelestarian Curik bali sehingga dapat disebutkan sebagai kawasan penting keanekaragaman hayati.
Bagian utara Bali bagian barat memiliki iklim kering dengan curah hujan yang sangat rendah, sehingga dikelompokkan ke dalam kategori D4 (3 - 4 bulan basah dan lebih dari 6 bulan kering). Sedangkan bagian selatan memiliki iklim yang lebih basah sehingga dikelompokkan ke dalam kategori D3 (3 - 4 bulan basah dan 4 - 6 bulan kering). Dari peta tanah (RePPProt 1989) terlihat bahwa sebaran utama Curik bali, di pantai utara berada di atas tanah andosol dan regosol sedangkan di bagian selatan berada di atas tanah aluvial. Dengan perbedaan tipe tanah masih sangat sulit untuk untuk mempersempit pemilihan lokasi rehabilitasi lahan. Namun dengan memperhatikan peta sistem lahan (RePPProt 1989) diketahui bahwa
Gambar 3. Sebaran alami curik bali (Leucopsar rothschildi Stresemann 1912) sebelum tahun 1950. Sumber: Topografische dienst, Batavia 1935). Peta telah di beri referensi geografi: WGS1984 UTMZone 50S. Projection: Transverse Mercator, Datum: DWGS1984
346
Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi
hampir seluruh daerah sebaran Curik bali berada di atas batuan aluvium. Kawasan yang berada di atas batuan aluvium yang kepemilikannya masih berada di tangan Negara c.q. Pemerintah Daerah Kabupaten Buleleng hanyalah Sumberklampok - Sumberbatok. Dengan demikian, Sumberklampok - Sumberbatok merupakan lokasi prioritas untuk direkonstruksi menjadi habitat Curik bali kembali. Penelusuran spesies tumbuhan di habitat Curik bali. Dari hasil penelusuran dijumpai 146 spesies tumbuhan; termasuk walikukun (Schoutenia ovata), kaliombo (Terminalia microcarpa), kemloko (Phyllanthus emblica) serta talok (Grewia koordensis) yang biasa dimanfaatkan Curik bali untuk bersarang. Hasil selengkapnya dapat dilihat di lampiran. PEMBAHASAN SUTET dan jalan tembus Peta keberadaan jalur kabel serta letak tiang SUTET yang ditumpangsusunkan pada peta citra menunjukkan bahwa bakal jaringan ini berada cukup jauh dari hutan mala hijau sehingga, berdasarkan jarak, seolah-olah pembangunan SUTET tidak akan berpengaruh negatif bagi keberlanjutannya hutan mala hijau (Gambar 2). Namun dengan dibangunnya SUTET maka akan terjadi perubahan struktur dan komposisi vegetasi di kawasan jalur terbang Curik bali yang melalui Lampumerah – Batulicin – Prapatagung.
Perubahan struktur ini diperkirakan akan menyebabkan ekosistem lebih terbuka sehingga dapat mempermudah burungburung pemangsa menyambar Curik bali yang sedang terbang atau pun yang sedang hinggap untuk beristirahat. Selain itu, dalam proses pembuatannya, tentunya semua bahan akan diangkut melalui jalan yang telah ada sehingga ada kemungkinan perlu dilakukan pelebaran atau pelurusan jalan yang memiliki peluang timbulnya gangguan terhadap kehidupan berbagai jenis satwa. Gangguan mungkin juga dapat timbul dari pancaran medan listrik yang cukup besar dari SUTET terhadap berbagai spesies satwa yang beraktivitas di dekatnya. Bagi manusia, medan listrik dari SUTET sangat merugikan kesehatan. Memperkirakan jalur jalan tembus dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa pembangunan jalan akan menghindari hutan mangrove, lahan berlumpur serta tempat-tempat dengan topografi berbukit-bukit. Hasil perkiraan, jalan tembus akan memotong ujung hutan mala hijau sebagaimana tersaji dalam Gambar 2. Dampak negatif yang timbul bukan hanya munculnya akibat pengalihfungsian tegakan hutan menjadi badan jalan beserta sempadannya tetapi juga dampak fragmentasi yang timbul. Dampak fragmentasi adalah tergesernya ekotone menjauhi badan dan sempadan jalan sehingga akan mempersempit luasan hutan mala hijau. Ekotone yang mungkin timbul diperkirakan dapat mencapai 500 meter dari sisi sempadan jalan sehingga luas hutan mala hijau yang efektif fungsinya diperkirakan hanya akan tersisa sekitar 0,6 sampai 0,5 347
Noerdjito dkk.
bagian; secara tepat, lebar ekotone yang mungkin akan timbul perlu diteliti lebih lanjut. Kompilasi data yang disampaikan oleh Balen (2000) menunjukkan bahwa sejak tahun 1991 - 1994 jumlah Curik bali yang dapat bertahan hidup di Sem Prapatagung hanya berkisar antara 34 – 55 ekor. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa pada musim hujan, hutan musim hanya dapat menyediakan tempat persarangan maksimal bagi 27 pasang Curik bali; atau pada musim kemarau, hutan mala hijau hanya dapat mendukung pakan bagi sekitar 55 ekor Curik bali. Padahal untuk dapat lestari populasi optimal (minimum viable population) burung produktif adalah 500 ekor. Oleh karena itu, ada atau pun tidak adanya program pemasangan SUTET maupun pembuatan jalan penghubung, untuk melestarikan Curik bali di alam perlu dicarikan atau dibuatkan habitat yang lebih luas. Menelusuri tipe habitat Curik bali di masa silam. Tampilan kawasan Bali bagian barat yang disajikan pada beberapa seri petapeta topografi lama yang diterbitkan sebelum tahun 1950 (van Carnbee, P.Baron Melvill 1856; Topographisch bureau 1905; Koninklijke Vereeniging Java motor club 1922; Topographische dienst 1932; Topographische dienst 1935 dan Army Map Service 1950), menunjukkan bahwa sampai sekitar tahun 1930 an kawasan pulau Bali bagian barat belum banyak dihuni oleh masyarakat; bahkan masih merupakan hutan yang belum banyak disentuh oleh 348
penduduk. Sejak tahun 1922, pemerintah (Belanda) mulai membuka kesempatan dengan menyewakan beberapa kawasan (persil/lahan) untuk diusahakan oleh pihak swasta di Sem Prapatagung. Sejak awal tahun 1926 dan 1930 an, kawasan hutan di Telukterima - Sumberrejo dan sekitarnya telah dibuka oleh pemerintah Belanda untuk dijadikan perkebunan kelapa, hutan jati dan pemukiman penduduk (Voogd 1937). Sejak saat itulah didatangkan banyak pekerja, baik dari Madura maupun Bali sendiri. Pada tahun 1936 hutan di daerah Celukan bawang, terutama yang cukup air, juga dibuka dijadikan sawah. Sedangkan di bagian baratnya, mulai dari Grogak, dibuka untuk kawasan pemukiman dan usaha pertanian lahan kering (Voogd 1937). Pada tahun 1950 an kawasan ini menjadi lebih ramai karena meningkatnya kegiatan perkebunan dan bertambahnya pemukiman akibat dibuatnya infrastruktur jalan. Dari penumpangsusunan daerah sebaran Curik bali masa lampau dengan peta topografi lama (Topografische Dienst 1935) terlihat bahwa tempat didapatnya spesimen koleksi di Bubunan, Celukanbawang, Grogak, Pulaki, Goris, Labuhanlalang, Sumberbatok, Sumberklambok, Sumberrejo dan Gilimanuk semuanya berada di ekosistem savana dan hutan campuran basah (Gambar 3). Jika sebaran Curik bali masa lampau ditumpangsusunkan pada citra satelit tahun 2009 (Space Imaging 2000), tampak bahwa habitat Curik bali umumnya sudah berubah fungsinya. Kawasan Gilimanuk sudah menjadi kawasan pemukiman padat; kawasan
Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi
Sumberklampok, Telukterima sampai ke Bubunan merupakan desa yang cukup padat; kawasan hutan produksi di sebelah timur Sumberklampok dan Sumberbatok telah dibuka dijadikan hutan kemasyarakatan; kawasan Tegalmuara telah menjadi hutan tanaman; kawasan Tanjunggelap telah ditetapkan sebagai zona pemanfaatan yang dikelola oleh pihak swasta. Dengan demikian terlihat bahwa perombakan habitat Curik bali telah dimulai oleh penjajah Belanda sejak tahun 1922 dan terus dilanjutkan sampai 2 - 3 tahun lalu dengan mengubah kawasan hutan produksi di sebelah timur Sumberklampok dan Sumberbatok menjadi hutan kemasyarakatan. Sebagaimana disebutkan di atas, ekosistem savana dan hutan campuran basah yang seharusnya dapat dipulihkan tanpa melakukan pembebasan lahan adalah lahan milik negara. Lahan tersebut terdapat di Sumberklampok, Sumberbatok, Tegalmuara dan Tanjunggelap. Sedangkan berdasarkan batuan pendukungnya Sumberklampok Sumberbatok merupakan lokasi prioritas untuk direkonstruksikan menjadi habitat Curik bali kembali. Penelusuran spesies tumbuhan di habitat Curik bali. Penelusuran pustaka terhadap spesies tumbuhan di kawasan hutan musim habitat Curik bali menunjukkan komposisi tumbuhan dengan perawakan herba, perdu/semak dan pohon. TN Bali Barat sendiri memiliki daftar tumbuhan dengan jumlah sekitar 175 spesies. Beberapa spesies tumbuhan hutan sekitar Prapatagung (Voogd 1937) antara lain
Lantana camara, Mimosa invisa, Melanolephis glandulosa, Zanthoxyllum rhetza, Schoutenia ovata. Di kawasan sekitar G Prapatagung (300 m) terdapat tegakan Manilkara kauki murni; di daerah pantai tumbuh Pemphis acidula, Premna integrifolia, Guettarda speciosa dan juga beberapa spesies tumbuhan mangrove seperti Rhizophora apiculata, Avicienia spp., Luminitzera sp., Ceriops tagal, Ceriops decandra. Di sekitar Gilimanuk tercatat ada Borassus flabellifer, Ziziphus nummularia, Acacia leucophloea dan Phyllanthus emblica. Umumnya spesies-spesies tersebut juga terdapat di kawasan savana dekat Sumberbatok, Sumberklampok, hingga sampai di sekitar Telukterima. Kemudian ditemukan juga tumbuh di sepanjang pantai utara pulau Bali bagian barat mulai dari Labuanlalang, sekitar Banyuwedang, Pegametan, Pamuteran sampai di sekitar Bubunan dekat Singaraja. Spesies-spesies herba yang banyak ditemukan adalah dari suku Poaceae dan didominasi oleh rumput (Isachne globosa) sehingga tampak seperti karpet hijau. Sedangkan di pinggirnya lebih banyak ditumbuhi alangalang (Imperata cylindrica). Observasi lapangan yang dilakukan di hutan Tanjunggelap ditemukan sekitar 146 spesies tumbuhan yang tergolong dalam 119 marga dan 45 suku (lihat lampiran). Spesies yang dilaporkan ini baru berasal dari kawasan hutan Tanjunggelap yang luasnya kira-kira kurang dari sepertiga dari seluruh kawasan TN Bali Barat. Suku-suku dari kelompok Fabaceae, Euphorbiaceae, 349
Noerdjito dkk.
Poaceae, Rutaceae dan Malvaceae adalah yang paling sering dijumpai anggota spesiesnya. Beberapa spesies tumbuhan yang terdapat di kawasan ini tergolong dalam spesies yang sudah semakin sulit ditemukan, antara lain Rauvolfia serpentina, Santalum sp. (cendana), Strychnos lucida, Zizyphus horsfieldii, Zizyphus rotundifolia, Brucea javanica, Protium javanicum, Flacourtia indica dan Zanthoxylum rhetsa. Sedangkan beberapa spesies ternyata memiliki assosiasi dengan Curik bali baik sebagai penyedia pakan, tempat bersarang dan mengasuh anak. Spesiesspesies tersebut antara lain adalah Acacia leucophloea, Lantana camara, Erythrina variegata, Passiflora foetida, Strychnos lucida, Sterculia foetida, Deeringia sp., Zizipus sp. dan beberapa spesies Ficus spp. (Sieber 1978.; Sungkawa dkk. 1974; Helvoort dkk. 1986; Soewelo 1976). Jika ditinjau dari kondisi alam kawasan yang memiliki curah hujan yang rendah vegetasi kawasan ini menunjukkan keragaman yang cukup tinggi (Oldemann 1980). Jumlah yang mencapai 146 spesies tumbuhan di sebuah kawasan hutan semusim disebuah hutan Tanjunggelap dengan luas sekitar 600 hektar menunjukkan keanekaragaman yang cukup tinggi. Jika dibandingkan dengan spesies-spesies vegetasi yang dilaporkan oleh Voogd (1937), tampak banyak di antara spesies yang masih dapat ditemukan di kawasan observasi seperti Acacia leucophloea, Corypha utan, Borassus flabelifer, Schoutenia ovata, Grewia eriocarpa, Albizia lebbeckoides, Azadirachta indica, 350
Schleichera oleosa, Vitex pubescens, Ziziphus nummularia, Phyllanthus emblica, Manilkara kauki, Sterculia foetida, Erythrina variegata, Tamarindus indica. Namun kemung-kinan besar struktur dan komposisinya telah berbeda karena ada kemungkinan beberapa spesies sudah semakin terbatas populasinya. Walaupun demikian, untuk memulihkan kawasan Sumberklampok, Sumberbatok, Tegalmuara dan Tanjunggelap menjadi savana dan hutan campuran basah, di kawasan ini masih tersedia cukup banyak spesies sebagaimana dihasilkan dalam inventarisasi ini. Tercatat pula bahwa terdapat spesies pendatang seperti Acacia nilotica, Acacia auriculiformis (akasia), Cissus sp, Dalbergia latifolia (sonokeling), Tectona grandis (jati), Pterocarpus indicus (angsana), Gliricidia sepium (gamal), Leucaena leucocephala (lamtoro) dan Widelia biflora, tampak mulai berkembang di kawasan ini. Spesies-spesies pendatang ini perlu segera dikendalikan pertumbuhannya karena dapat menjadi sangat dominan sehingga dapat mengalahkan spesies tumbuhan asli kawasan ini. KESIMPULAN Baik SUTET maupun (rencana) jalan penghubung antara jembatan JawaBali dengan jaringan jalan yang telah ada dapat dipastikan akan berdampak terpotong-potong (fragmentasi) dan menyempitnya berbagai ekosistem dataran rendah antara pos Lampumerah dengan pos Sumberklampok di Sem Prapatagung. Salah satu tipe ekosistem
Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi
yang akan terganggu adalah satu-satunya hutan mala hijau yang saat ini merupakan satu-satunya penyedia pakan Curik bali di musim kemarau. Baik pembangunan SUTET maupun jalan penghubung antara jembatan JawaBali dengan jaringan jalan yang telah ada harus tetap terlaksana namun Curik bali juga harus tetap lestari dan berfungsi di dalam ekosistem hutan Bali bagian barat. Untuk melestarikan Curik bali perlu merevitalisasi habitat Curik bali yang masih merupakan tanah negara. Habitat paling sesuai untuk di-revitalisasi adalah Sumberbatok, Sumberklampok, Tegalmuara dan Tanjunggelap. Telah teridentifikasi 146 spesies tumbuhan yang diperlukan untuk mendukung kehidupan Curik bali; baik sebagai tempat penyedia pakan secara berkelanjutan maupun tempat untuk bersarang. Berbagai spesies tumbuhan pendatang telah teridentivikasi keberadaannya di hutan Bali bagian barat. Jika dibiarkan, hal ini sangat membahayakan kelestarian ekosistem, termasuk kelestarian Curik bali. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Balgooy, Dr. Welzen, Dr. de Wilde, Dr. Adema, dan Dr. Berg dari Herbarium Leyden Belanda yang telah membantu dalam mengidentifikasi beberapa spesies spesimen koleksi yang telah dikumpulkan. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada Joko
Waluyo SHut yang banyak memberi penjelasan tentang rencana tapak SUTET serta Sdr Putu Yasa yang banyak membantu kegiatan di hutan mala hijau. Penelitian ini dibiayai oleh Proyek DIKTI – LIPI di Pusat Penelitian Biologi tahun 2010 dengan tambahan dana dari APCB. DAFTAR PUSTAKA Army Map Service 1954. Singaradja T 503, Indonesia, scale 1:250.000. Corps of Engineer US Army, Washington DC. Army Map Service, Corps of Engineer. Bakosurtanal 1999. Peta Rupa Bumi dan Topografi Digital, Skala 1:250.000. Bakosurtanal 1999. Balen, van S., IWA. Dirgayusa, IMWA. Putra & Herbert H.T. Prins.2000. Status and distribution of the endemic Bali Starling Leucopsar rothschildi. Oryx 34 (3): 188-197. Hadiwidjojo, MMP., H. Samodra & TC.Amin 1998. Peta Geologi Lembar Bali, Nusatenggara. P3 Geologi. Noerdjito, M. 2005. Pola Persarangan Curik Bali Leucopsar rothschildi Stresemann 1912 dan Kerabatnya di Taman Nasional Bali Barat. Berita Biologi 7(4): 215-222. Paardt, Th. van der 1926. Manoek Poetih; Leucopsar rothschildi. Tropische Natuur 15(5): 169-173. USGS 2004, Shuttle Radar Topography Mission, 3 Arc Second scene SRTM_ffB03_p117r066, Unfilled Unfinished 2.0, Global Land Cover Facility, University of Maryland, 351
Noerdjito dkk.
College Park, Maryland, February 2000. RePPProt 1989. Land System, Land Use. Review of phase I results. Java and Bali. Land Resources Departement, Overseas Development Administration, United Kingdom and Derektorat Jendral Bina Program - Direktorat Jenderal Penyiapan Pemukiman, Departemen Transmigrasi. Sungkawa, W., D. Natawirya, RS. Amongprawira & F. Kurnia 1974. Pengamatan Jalak Putih (Leucopsar rothschildi) di Taman Perlindungan Alam Bali Barat. Laporan No. 95. Lembaga Penelitian Hutan. (ii + 29) hlm. Voogd, CNA. 1937. Botanische aantekeningen van de Kleine Soenda. Eilanden III. Bali Zoals een toerist het niet ziet. Trop. Natuur 26: 1-9, 37-40. Space Imaging (2000), IKONOS, Level Standard Geometrically Corrected, GeoEye, Dulles, Virginia, May 20, 2009
352
S uku Acanthaceae Acanthaceae Amarantaceae Anonaceae Apiaceae Apocynaceae Apocynaceae Apocynaceae Arecaceae Asclepiadaceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Bignoniaceae Bignoniaceae Boraginaceae Boraginaceae Boraginaceae Boraginaceae Burseraceae Capparidaceae
S pesies Acanthus ilicifolius L. Barleria sp Deeringia sp Uvaria rufa Bl. Hydrocotyle sp Alstonia angustifolia M iq. Rauvolfia serpentina (L.) Bth. Ex Thevetia peruviana (Pers.) Nypa fruticans Wurmb Callotropis gigantea (Willd.) Ageratum conyzoides L. Blumea lacera (Burm. f.) DC. Euphatorium odoratum L. Spilanthes sp Vernonia cinerea (L.) Less. Widelia biflora (L.) DC. Dolichandrone spathacea (L.f.) Radermachera sp. Carmona retusa (Vahl) M asamune Cordia dichotoma Forst.f. Cordia mixa Linn Cordia sp. Protium javanicum Burm. f. Crateva odora Buch-Ham.
Perawakan Pohon Perdu M erambat M erambat Herba Pohon Perdu Perdu M angrove Perdu Herba Herba Herba Herba Herba Herba Pohon Pohon Perdu Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon
Nama Daerah Jeruju Acanthaceae (landep ?) Bayem angin Bayem angin antanan besar, M idosari, Pule (Raufulfia) Pule pandak Kontol semar Nipa Callotropis Pengukan Blumea Tekelan, Kirinyuh Spilanthes Vernonia Widelia Kayu Jaran Bunga trompet Kesingen/kesinen Kendal, Kendal alas Kendal banyu Kendal Trengulun Kayu sonok
Tempat tumbuh Pantai Tanah Terbuka Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Pantai Tanah Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Tanah terbuka Tanah terbuka Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar
Lampiran 1: Spesies tumbuhan yang ditemukan di kawasan hutan musim Tanjunggelap TN Bali Barat.
Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi
353
354
S pesies Ipomoea sp. Merremia tridentata (L.) Hallier.f. Porana volubilis Burm.f. Luffa aegyptiaca M err. Breynia virgata (Bl.) M uel.Arg. Bridelia monoica (Lour.) M err. Croton sp. Croton argytatus Bl. Euphorbia hirta L.
Excoecaria agallocha L.
Glochidion sp. Jatropa sp Phyllanthus emblica L. Phyllanthus niruri L. Abrus precatorius L. Acacia nilotica (L.) Willd ex Del. Acacia sp. Acasia leucophloea (Roxb.) Willd. Albizia sp. Albizia lebekkoides (DC.) Bth. Bauhinia sp Calopogonium mucunoides Desv
S uku Convolvulaceae Convolvulaceae Convolvulaceae Cucurbitaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae
Euphorbiaceae
Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae
Lampiran 1. Lanjutan
Pohon Perdu Pohon Herba M erambat Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Perdu M erambat
Pohon
Perawakan Herba M erambat M erambat M erambat Perdu Pohon Pohon Pohon Herba Bun dingin-dingin Bligo, Gambas alas Katu hutan Asuli Pati kalah Putihan patikan mas Buta-buta, Kayu butabuta/menengen Amer Jarak Kemloko M eniran Saga, Saga manis Akasia Suli Pilang Kibihang Tekik Bauhinia/Tiga kancu Kacangan
Nama Daerah Kopi-kopian
Tanah terbuka Tanah terbuka Hutan/belukar Tanah terbuka Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Tanah terbuka
Pantai
Tempat tumbuh Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Tanah terbuka
Noerdjito dkk.
S uku Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Flacoutiaceae Flacoutiaceae Lamiaceae Lauraceae Leeaceae Loganiaceae Lythraceae M alvaceae Urticaceae M alvaceae M alvaceae
S pesies Cassia sp. Cassia surattensis Burm.f. Cassia alata L. Dalbergia latifolia Desmodium sp Dichrostachys cineria (L.) W.& A. Erythrina variegata Mimosa pudica L. Ormocarpum sennoides Phanera fulfa (Bl. Ex Korth.) Bth. Pongamia sp. Sesbania cannabina (Retz.) Poir. Tamarindus indica L. Flacourtia indica (Burm.f.) M err. Flacourtia sp. Ocimum basillicum L. Litsea sp Leea sp Strychnos lucida R.Br. Pemphis acidula J.R.& G.Forst. Abutilon indicum (L.) Sweet. Boehmeria sp Hibiscus tiliaceus L. Sida rhomboidea L.
Lampiran 1. Lanjutan
Perawakan Perdu Perdu Perdu Pohon Herba Pohon Perdu Perdu Perdu M erambat Pohon Perdu Pohon Pohon Perdu Herba Pohon Pohon Pohon Perdu Perdu Perdu Pohon Herba Girang-girang Kayu pahit, Kipahit Sentigi Kapasan Boehmeria Waru Sidagori
M imosa Sida paksa Bun Ketepeng Kuanji Gereng-gereng,encengAsem kem/rukem Bustam Lampes
Nama Daerah Gamal laut Kembang kuning Ketepeng Sonokeling Desmodium
Tempat tumbuh Tanah terbuka Tanah terbuka Tanah terbuka Hutan/belukar Tanah terbuka Hutan/belukar Hutan/belukar Tanah terbuka Tanah terbuka Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Tanah terbuka Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Pantai Hutan/belukar Tanah terbuka Hutan/belukar Tanah terbuka
Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi
355
356
S uku M alvaceae M alvaceae M eliaceae M eliaceae M eliaceae M enispermacea M oraceae M oraceae M oraceae M oraceae M oraceae M yrsinaceae M yrsinaceae M yrtaceae M yrtaceae M yrtaceae Olacaceae Passifloraceae Pedaliaceae Poaceae Poaceae Poaceae Poaceae Poaceae
S pesies Thespesia populnea (L.) Soland.ex Thespesia lampas (Cav.) Dalz. & Azadirachta indica Juss. Xylocarpus granatum Koen. Xylocarpus moluccensis (Lamk) Fibraurea sp Ficus sp Ficus microcarpa L. Ficus virens Aiton. Ficus superba M iq. Streblus asper Lour. Aegiceras floridum R.& S. Ardisia humilis Vahl Melaleuca leucadendron (L.) L. Osbornea octodonta F.v. M . Syzygium sp Olax imbricata Roxb Passiflora foetida L. Josephinia imperatricis Vent. Axonophus compresus (Swartz) Cynodon dactyton (L.) Pers. Eleusine indica (L.) Gaertn. Otochloa nodosa Dandy Poganatherum paniceum (Lamk)
Lampiran 1. Lanjutan
Perawakan Pohon Perdu M angrove Pohon Pohon M erambat Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Perdu Perdu Pohon Pohon Pohon M erambat M erambat Perdu Herba Herba Herba Herba Herba
Tempat tumbuh Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Kresek Hutan/belukar Pungut, Serut Hutan/belukar Cabe-cabe/pisang-pisang Hutan/belukar Lempeni Hutan/belukar Kayu Putih Hutan/belukar Gelam-gelam Hutan/belukar Kelampok Hutan/belukar melati hutan Hutan/belukar Santiet Hutan/belukar Kecubung kasihan Hutan/belukar pahitan (Axonopus) Tanah terbuka rumput kawatan Tanah terbuka Andropogon? (jampang) Tanah terbuka Alang keling/pringTanah terbuka Pring-pringan Tanah terbuka
Nama Daerah waru laut, Rami-ramian Thespesia Intaran Nyirih bentawas (nyirih) Fibraurea Bunut Apak
Noerdjito dkk.
S uku Poaceae Poaceae Rhamnaceae Rhamnaceae Rhizoporaceae Rhizoporaceae Rhizoporaceae Rhizoporaceae Rhizoporaceae Rhizoporaceae Rhizoporaceae Rhizoporaceae Rhizoporaceae Rhizoporaceae Rubiaceae Rubiaceae Rubiaceae Rubiaceae Rubiaceae Rutaceae Rutaceae Rutaceae Rutaceae Rutaceae
S pesies Spinifex littorius (Burm. f.) M err. Themeda arguens (L.) Hack. Ziziphus horsfieldii Bl. Ziziphus rotundifolia Lamk Bruguiera cylindrica (L.) Bl. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lmk Ceriops australis Ceriops tagal (Perr.) C.B.Robins. Lumnitzera racemosa Willd. Rhizophora anamalayana Rhizophora apiculata Bl. Rhizophora lamarckii Rhizophora mucronata Lmk Rhizophora stylosa Griff. Borreria sp Canthium horridum Bl. Meyna grisea (King &Gamble) Morinda citrifolia L. Musaenda sp. Clausena sp. Feroniella sp Glycosmis sp. Micromelum sp Micromelum minutum (Fortst.f.)
Lampiran 1. Lanjutan
Perawakan Herba Herba M erambat Perdu M angrove M angrove M angrove M angrove M angrove M angrove M angrove M angrove M angrove M angrove Herba Perdu Perdu Pohon Perdu Perdu Perdu Perdu Perdu Pohon Klau Kengkeng Kemuning alas Duri-durian (jerukKayu bok
Tinjang gandul Borreria Landepan Delimoan Tibah
Nama Daerah jukut lararian Padang merak Ketket bukal Bekol Tinjang putih Tinjang (bakau), Tinjang Tingi Tingi Kedukduk Tanjang Tanjang slengkreng Tanjang
Tempat tumbuh Tanah terbuka/ Tanah terbuka/ Hutan/belukar Hutan/belukar Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai Tanah terbuka Tanah terbuka Hutan/belukar Hutan/belukar Tanah terbuka Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar
Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi
357
358
S uku Rutaceae Rutaceae Santalaceae Santalaceae Sapindaceae Sapindaceae Sapindaceae Sapindaceae Sapotaceae Simaroubaceae Sonneratiaceae Sterculiaceae Sterculiaceae Sterculiaceae Sterculiaceae Sterculiaceae Tiliaceae Tiliaceae Tiliaceae Ulmaceae Ulmaceae Ulmaceae Urticaceae
S pesies Todalia sp. Zanthoxylum rhetsa (Roxb.) DC. Dendromyza sp. Santalum sp. Dodonaea viscosa Jacq. Guioa sp. Lepisanthes rubiginosum (Roxb.) Schleichera oleosa (Lour.) Oken Mimusops elengi L. Brucea javanica (L.) M err. Sonneratia alba J.E.Smith Guazuma ulmifolia Lmk Helicteres ixora L. Heritiera littoralis Dryand.ex Sterculia sp. Sterculia foetida L. Berrya cordifolia (Willd.)Burr. Grewia eriocarpa Juss. Schoutenia ovata Korth. Celtis philipensis Trema cannabina Lour. Trema orientale BI. Boehmeria sp
Lampiran 1. Lanjutan
Perawakan Perdu Pohon Perdu Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Perdu M angrove Pohon Perdu Pohon Perdu Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Perdu Pohon Perdu
Tempat tumbuh Hutan/belukar pangkal buaya Hutan/belukar Hutan/belukar Cendana Hutan/belukar Kayu wasem Hutan/belukar Hutan/belukar Kilayu Hutan/belukar kesambi Hutan/belukar Tanjung Hutan/belukar Kayu makasar Hutan/belukar Prapat/Pidada Hutan/belukar Gua suma (jati Belanda) Hutan/belukar Tapen-tapen (ulir-ulir) Hutan/belukar Dungun Hutan/belukar Hutan/belukar Kepuh Hutan/belukar Kapalan Hutan/belukar Trengayunan,Kantabibi/ Hutan/belukar Walikukun Hutan/belukar Kitejo Hutan/belukar Hutan/belukar anggerung Hutan/belukar Boehmeria Tanah terbuka
Nama Daerah
Noerdjito dkk.
S uku Verbenaceae Verbenaceae Verbenaceae Verbenaceae Verbenaceae Verbenaceae Verbenaceae Vitaceae
S pesies Avicennia marina (Forsk.)Vierh. Avicennia officinalis L. Clorodendrum inerme (L.)Gaertn. Lantana camara L. Tectona grandis Vitex pubescens Vahl Vitex trifoliata L. Cissus repens Lamk
Lampiran 1. Lanjutan
Perawakan M angrove M angrove Perdu Perdu Pohon Pohon Pohon M erambat
Nama Daerah Api-api Api-api Gambir laut Kerasi Jati Klipe/laban Laban, Liligundi Girang-girang
Tempat tumbuh Pantai Pantai Hutan/belukar Tanah terbuka Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Hutan/belukar Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi
Memasukkan Juli 2010 Diterima: Agustus 2011
359
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 361-374 (2011)
Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat Curik Bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) di Kawasan Labuan Lalang, Taman Nasional Bali Barat Roemantyo Pusat Penelitian Biologi – LIPI, Cibinong Science Centre, Jl Raya Jakarta – Bogor, Km 46. Cibinong, Bogor. E-mail:
[email protected] ABSTRACT Vegetation structure and composition of Bali Starling (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) Habitat at Labuan Lalang monsoon forest, Bali Barat National Park. Research was conducted in Labuan Lalang monsoon forest, Bali Barat National Park in May 2010 to identify their vegetation structure and composition of plant species communities in this area. This information was important as basic data for developing model for habitat reconstruction of endemic Bali starling birds (Leucopsar rothschildi Stresemann 1912). Several ecological parameters information such as name species, frequency, density and abundance of individual species were collected for qualitative an quantitative analyses. The result showed that 93 species belonging 84 genera and 37 families were found in this area. Some plant species were recorded as endangered such as Strycnos lingustrina, Helicteres ixora, Protium javanicum, Rauvolfia serpentina, Zanthoxylum rhetza, Ziziphus rotundifolia, Ceriops tagal, Flacourtia indica, and Santalum album. The important species that composed in this forest were dominated by Grewia ericocarpa , Schoutennia ovata (Tiliaceae) and followed by Vitex trifoliata and Abutilon indicum. The species diversity and evenness index of Shannon-Wiener indicated that species diversity in this forest were not too high and the populations on unstable condition. Principal Coordinat Analyses (PCO) on the tree height and altitude data of every tress showed that tree species associated to Bali starling were found on the 10 – 25 m tree hiehgt community and occupied in the area of 40 – 60 m asl. The problems and real condition of the area as the habitat of Bali starling were discussed in this paper. Key words: vegetation, species diversity, Bali starling, Bali Barat National Park
PENDAHULUAN Penelitian eksplorasi yang dilakukan oleh Arinasa dkk. (2010), menunjukkan tidak kurang 146 jenis tumbuhan yang digolongkan dalam 45 suku dan 119 marga telah dicatat terdapat di kawasan hutan semusim zona pemanfaatan Labuan lalang Taman Nasional Bali
Barat. Secara taksonomi karagaman daerah tersebut cukup tinggi, mengingat kawasan tersebut tergolong kering dengan curah hujan rendah dan bulan hujan yang pendek (Oldemann 1980). Disamping itu kawasan hutan zona pemanfaatan Labuan lalang yang luasnya hanya sekitar 600 hektar ini merupakan zona pemanfaatan yang dikelola sebagai
361
Roemantyo
tempat ekowisata bersama pihak swasta (Taman Nasional Bali Barat 2005). Dari catatan sebelumnya diperoleh informasi bahwa jenis-jenis tumbuhan yang berassosiasi dengan Curik bali (Leucopsar rothschildi Stresemann 1912) ditemukan di kawasan ini; seperti pohon Acacia leucophloea, Schoutenia ovata, Grewia eriocarpa, Albizia lebbeckoides, Azadirachta indica, Schleichera oleosa, Vitex pubescens, Ziziphus nummularia, Phyllanthus emblica, Manilkara kauki, Sterculia foetida, Erythrina variegata, Tamarindus indica (Helvoordt 1987, Balen et al. 2000, Arinasa dkk. 2011). Berdasarkan kajian Noerdjito (2005) kondisi lingkungan kawasan ini telah ditelaah sebelumnya menunjukkan bentuk “miniatur” habitat asli Curik bali salah satunya dapat dilihat di kawasan ini meskipun tidak lengkap. Hingga saat ini memang sudah sulit ditemukan habitat Curik bali di alam, mengingat kawasan habitat Curik bali umumnya telah beralih fungsi. Namun demikian gambaran struktur dan komposisi vegetasi habitat “miniatur” curik bali ini belum diungkapkan secara rinci sehingga layak untuk diteliti lebih lanjut. Hasil kajian struktur dan komposisi vegetasi ini diharapkan dapat dipakai sebagai dasar dalam pembuatan model konsep rekonstruksi habitat curik bali (Leucopsar rothschildi Stresemann 1912) di Taman Nasional Bali Barat. BAHAN DAN CARA KERJA Data kualitatif dan kuantitatif tentang keanekaragaman jenis, 362
komposisi dan struktur vegetasi dikumpulkan berdasarkan parameter yang mudah diukur. Parameter tersebut adalah nama dan jumlah jenis, jumlah individu tiap jenis, luas tajuk tiap jenis, serta tinggi dari tiap individu. Semua parameter yang dikumpulkan kemudian diperhitungkan dengan membandingkannya dengan satuan luas kawasan sebagai cuplikan yang diteliti. Untuk keperluan tersebut maka penelitian dilakukan dengan membuat petak pada kawasan hutan Labuan lalang (600 hektar). Ada enam transek yang dibuat sesuai dengan metode “point –centered Quarter Analyses” (Meuller-Dombois & Ellenberg 1974) sepanjang kira-kira 1 km di seluruh kawasan. Penempatan transek ditentukan secara acak dari batas pinggir kawasan ke bagian tengah kawasan hutan zone pemanfaatan Labuan lalang. Untuk memudahkan pembuatan transek digunakan peta kawasan hutan zona pemanfaatan Labuan lalang (Taman Nasional Bali Barat 2005) dan di tumpang susunkan pada citra Ikonos (Space Imaging 2000) dengan referensi geografi berdasarkan Peta Rupa Bumi Indonesia, Provinsi Bali, Digital (Bakosurtanal 2004). Posisi awal pembuatan cuplikan dilakukan pada lembar peta dengan menentukan koordinatnya. Ada 6 posisi koordinat yang kemudian dengan GPS koordinat tersebut dicari untuk dibuat petak pengamatan. Posisi cuplikan yang dibuat transeknya digambarkan seperti pada peta pada Gambar 1. Pada masing-masing transek kemudian dibuat sub petak yang berbentuk kuadran dengan ukuran 20 x 20 m2. Jarak antar kuadran adalah 50 m,
Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat
sehingga pada transek sepanjang kira-kira 1 km diharapkan dapat dibuat sekitar 8 – 10 kuadran yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Untuk menentukan jalur digunakan GPS yang mengacu pada peta dasar yang profilnya dapat dilihat pada Gambar 2.
Dari enam transek (A s/d F) telah dibuat sebanyak 46 kuadran dengan ukuran 20 x 20 m. Sebaran vertikal dan horisontal masing-masing transek dapat dilihat pada Gambar 2. Seluruh parameter yang akan diukur baik jumlah jenis, jumlah individu tiap jenis, luas tajuk
Gambar 1:.Peta Lokasi pembuatan transek petak pengamatan. (Sumber peta: Citra Ikonos 29 September 2008. Citra Ikonos telah di beri referensi geografi: WGS1984 UTM Zone 50S. Projection: Transverse Mercator, Datum: DWGS 1984)
Gambar 2. Profil vertikal dan horisontal dari masing-masing transek (A – F) yang dibuat pada lokasi pengamatan di zona pemanfaatan Labuan lalang Taman Nasional Bali Barat.
363
Roemantyo
tiap jenis, serta tinggi dari tiap individu dilakukan di masing-masing kuadran yang dibuat. Pengukuran dilakukan pada semua tipe perawakan tumbuhan baik berupa pohon, perdu, semak dan herba. Tumbuhan yang memiliki perawakan pohon (diameter > 10 cm) termasuk anakan (diameter 2- 10 cm) dicatat masing 4 tegakannya yang memiliki jarak terdekat dengan titik awal kuadran, diukur dengan kriteria diameter setinggi dada dan ukuran tinggi pohonnya. Sedangkan untuk perdu dan semak dibuat sub petak ukuran 2 x 2 m2 di dalam kuadran 20 x 20 m 2 dihitung jenisnya dan luas penutupan terhadap sub petak dalam persen (%) luas. Sedangkan untuk herba dan semai (seedling) dibuat subpetak yang lebih kecil 1 x 1 m2 di dalam sub petak 2 x 2m2, dihitung jenisnya dan luas penutupannya terhadap sub petak dalam persen (%) luas. Berdasarkan parameter tersebut dihitung frekuensi keterdapatan, kerapatan dan dominasi dari masingmasing jenis dari setiap transek yang dibuat dihitung nilai penting (MeullerDombois & Ellenberg 1974), indek keragaman Shannon Wieners, dan kemerataan (Magurran 1998; Ludwig & Reynolds 1988). Data potensi kawasan ini dalam menjaga kemampuan untuk mempertahankan diri dari perubahan struktur dan komposisi secara alami dilakukan dengan menghitung keterdapatan semai dan anak pohon dari masingmasing jenis. Berdasarkan parameter rata-rata tinggi dan posisi masing-masing jenis pohon pada transek terhadap ketinggian dari muka laut (Gambar 2) dibuat analisis ordinasinya dengan metoda Principal Coodinate Analyses 364
(PCO) dengan perangkat lunak Multivariate Statistical Package-MVSP 3.2 (Kovack Computing Service 2010). Diharapkan dari analisis ini didapatkan gambaran struktur dan komposisi vegetasi yang terdapat di kawasan ini HASIL Keanekaragaman takson pada petak pengamatan Pengamatan terhadap pencacahan jenis-jenis tumbuhan (pohon, anak pohon, semak/perdu dan herba) yang ditemukan pada petak pengamatan ada sebanyak 93 jenis dengan keaneragaman taksonnya meliputi 37 suku, 84 marga. Jika dibandingkan dengan hasil eksplorasi (Arinase dkk. 2010), tampak bahwa secara taksonomi jenis-jenis yang ditemukan di petak pengamatan tidak berbeda jauh jumlah sukunya yaitu 37 suku di petak pengamatan dan 45 suku di kawasan yang dieksplorasi. Namun jika ditinjau dari jumlah marga dan jenisnya, terdapat perbedaan jumlah, yaitu 84 marga dan 93 jenis di petak pengamatan dan 119 marga dan 146 jenis di kawasan yang dieksplorasi. Hasil pecacahan dan eksplorasi (Arinase dkk. 2010) ini menunjukkan adanya indikasi secara takson keanekaragaman jenis tumbuhan yang mampu tumbuh di kawasan ini relatif cukup tinggi, namun tidak semua kelompok takson mampu beradaptasi dengan baik. Hanya kelompok takson tertentu saja dengan jumlah terbatas yang mampu hidup pada habitat kawasan hutan musim ini. Jenis tumbuhan yang terdapat di dalam petak pengamatan didominasi oleh
Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat
jenis-jenis yang berperawakan pohon termasuk mangrove (48,3 %), disusul oleh tumbuhan dengan perawakan herba (25,8%), perdu (19.3%), sisanya 6,6 % merupakan tumbuhan liana/climber yang tumbuh merambat pada pohon lain. Satu hal yang menarik di kawasan ini jarang ditemukan jenis tumbuhan efifit (pakupakuan, anggrek, dll.). Struktur dan komposisi vegetasi Analisis struktur dan komposisi vegetasi dilakukan dengan cara pencacahan jenis, jumlah serta ukuran atau luas penutupan masing-masing individu tumbuhan baik yang berperawakan pohon, perdu semak dan merambat maupun herba (tumbuhan yang tidak berkayu). Dalam perhitungan,
tumbuhan yang berperawakan pohon dipisahkan dengan tumbuhan perdu semak dan merambat. 1.Tumbuhan berperawakan pohon Dari hasil pengamatan pada 6 transek yang dibuat tercatat ada sekitar 41 jenis tumbuhan berperawakan pohon (termasuk jenis mangrove) yang terdapat di dalam petak pengamatan. Jika dibandingkan dengan jumlah pohon hasil eksplorasi (Arinase dkk. 2011), jumlah pohon yang ditemukan di dalam petak pengamatan ada sekitar 75 %. Artinya bahwa masih ada sekitar 25 % jenis tumbuhan pohon lagi yang jumlahnya terbatas sehingga tidak terhitung, karena terdapat di luar petak yang diamati. Berdasarkan kelas diameter tercatat ada
Gambar 3. Diagram sebaran Nilai Indek Penting masing-masing takson serta jumlah pohon dalam kelompok suku. Keterangan: 1. Tiliaceae. (G. eriocarpa, S. ovata); 2. Fabaceae (A. lebekkoides, T. indica, I. fagiferous); 3. Verbenaceae (V. trifoliata); 4. Euphorbiaceae (C. argytatus, M. paniculatus); 5. Rhamnaceae (Z. rotundifolia) 6. Moraceae (F. microcarpa, F. virens); 7. Malvaceae (A. indicum ); 8. Sonneratiaceae (S. alba); 9. Rhizophoraceae (R. apiculata); 10. Myrtaceae (M. leucadendron); 11. Meliaceae (A. indica); 12. Loganiaceae (S. lucida).
365
Roemantyo
18 jenis yang tergolong dalam 12 suku dan 17 marga yang memiliki diameter di atas 10 cm dengan nilai penting di atas 10 %. Sebarannya takson dan Nilai Indek Penting dari jenis-jenis dengan nilai diatas 10 % digambarkan pada diagram (Gambar 3.) Tampak bahwa komposisi tumbuhan pohon kawasan ini dikuasai oleh jenisjenis dari suku Tiliaceae dengan jenis G. ericocarpa dan S. ovata. Selain itu juga suku Verbenaceae dengan jenis V. trifoliata menduduki lapis kedua yang mendominasi di kawasan ini dan kemudian disusul oleh Abutilon indicum (kapasan) dan jenis-jenis dari suku Moraceae seperti Ficus microcarpa dan F. virens. Analisis terhadap keragaman jenis pohon di masing masing petak pengamatan (A – F) di Labuan lalang dengan kisaran nilai 1,7 – 2,51 mengindikasikan bahwa kawasan ini berdasarkan klasifikasi Shannon-Wiener termasuk dalam kelas sedang. Sedangkan Indek kemerataannya berkisar antara 0,48 – 0,68 yang mengindikasikan bahwa kawasan ini berdasarkan klasifikasi Shannon-Wiener termasuk dalam kategori populasi jenisnya tidak begitu seimbang (Gambar 4). 2. Profil tinggi pohon diameter > 10 cm Secara umum profil tinggi pohon dengan diameter >10 cm menunjukkan ada sekitar 16 jenis pohon yang memiliki tinggi antara 2 sampai sekitar 25 m. Jenisjenis pohon yang tinggi antara lain Acasia leucophloea, Ficus microcarpa, Abutilon indicum, Grewia eriocarpa, Schoutenia ovata, dan Tamarindus 366
indica. Jenis tersebut kanopinya cukup melebar dan tampak menonjol di antara jenis-jenis pohon yang lain dengan tinggi sekitar 20 – 25 m. Tercatat juga jenisjenis pohon dengan ukuran sedang dengan tinggi antara 10 – 19 m merupakan jenis pohon lapis kedua seperti Azadirachta indica, Croton argytatus, Inocarpus fagiferous, Melaleuca leucadendron, Strychnos lucida, Vitex trifoliata, Ziziphus rotundifolia dll. Sedangkan beberapa jenis merupakan pohon dengan ketinggian di bawah 10 m seperti Phyllanthus emblica, Schleichera oleosa dan Flacourtia indica. Secara umum ratarata tinggi pohon kawasan ini berkisar antara 7 – 14 m. 3. Rekruitmen jenis-jenis pohon Proses rekruitmen alami jenis-jenis pohon di kawasan ini dianalisis dengan menggunakan parameter seberapa banyak anak pohon dan semainya yang ditemukan di kawasan ini. Perhitungan terhadap jenis-jenis anak pohon (diameter 2 – 9 cm) menunjukkan bahwa ada 26 jenis tumbuhan yang tergolong dalam 16 suku dan 24 marga. Beberapa individu anak pohon (11 jenis) hanya tercatat ditemukan di dalam petak pengamatan seperti Alstonia angustifolia, Bauhinia hirsuta, Bruguiera gymnorrhiza, Ficus superba, Guazuma ulmifolia, Micromelum sp., Osbornea octodonta, Rhizophora stylosa, Syzygium sp., Thespesia populnea, Xylocarpus moluccensis. Sedangkan ada pula beberapa jenis pohon yang anak pohonnya tidak ditemukan dalam petak pengamatan seperti Tamarindus indica,
Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat
Azadirachta indica, Ficus microcarpa, dan Ficus virens. Sedangkan pengamatan terhadap semai pohon yang ditemukan di kawasan ini ada sekitar 32 jenis yang tergolong dalam 13 suku dan 30 marga. Ada sekitar 9 jenis semai pohon yang tidak ditemukan pohon induk maupun anak pohonnya di petak pengamatan yaitu Ceiba pentandra, Dalbergia latifolia, Flacourtia indica, Hibiscus tiliaceus, Litsea sp., Trema orientalis, Vitex trifoliata, Xylocarpus sp., dan Zanthoxylum rhetsa. Sebaliknya ada sekitar 20 jenis pohon dan anak pohon yang tidak ditemukan semainya pada petak pengamatan. Jenis tersebut diantaranya adalah Inocarpus fagife-rous, Alstonia angustifolia, Bruguiera gymnorrhiza, Cordia dichotoma, Excoecaria agallocha, Ficus micro-carpa, Ficus virens, Flacourtia indica, Guazuma ulmifolia, Melaleuca leucadendron, Mimusops elengi, Phyllanthus emblica, Sonneratia alba, Rhizophora apiculata, Thespe-sia populnea, Rhizophora stylosa, Protium javanicum, Vitex trifoliate, Xylocarpus moluccensis, Syzygium sp. PEMBAHASAN Keterbatasan keberadaan tumbuhan efifit mengindikasikan bahwa kelembaban kawasan di sini sangat rendah. Kawasan ini memiliki musim kering yang lebih panjang dibandingkan dengan musim basah. Kawasan ini tergolong dalam Klassifikasi “AgroClimatic” D4 (Oldemann dkk. (1980), dimana musim keringnya lebih dari 6
bulan. Sedangkan musim basahnya hanya 3-4 bulan. Rendahnya curah hujan dan pendeknya musim hujan di kawasan ini menjadikan kendala bagi pertumbuhan berbagai jenis tumbuhan. Karena itu hanya takson-takson tertentu saja yang bisa tumbuh di kawasan ini. Dengan keterbatasan ekologis, kawasan ini cenderung mendorong jenis-jenis yang tumbuh adalah yang mampu beradaptasi pada kondisi dengan spesifikasi kering. Dari catatan temuan di kawasan ini, beberapa jenis tergolong langka dan sulit ditemukan di tempat lain seperti Strycnos lingustrina, Helicteres ixora, Protium javanicum, Rauvolfia serpentina, Zanthoxylum rhetza, Ziziphus rotundifolia, Ceriops tagal, Flacourtia indica, Santalum album. Dari data yang diperoleh tampak bahwa jenis-jenis yang dahulu pernah dicatat sebagai tumbuhan yang banyak terdapat di kawasan ini, saat ini sudah tidak menjadi jenis tumbuhan yang utama, seperti Schoutennia ovata, Grewia eriocarpa, Phyllantus emblica, Albizia lebbekoides, Azidirachta indica, Schleicera oleosa, Vitex pubescens, Zizyphus nummularia, Acasia leucophloea, Corypha utan dan Borassus flabellifer (Paardt 1929 dan Voogd 1937). Perubahan komposisi tumbuhan di kawasan ini bisa diakibatkan oleh perubahan status lahan yang sering terjadi di kawasan ini (Roemantyo, dkk. 2010). Padahal kondisi alami kawasan ini sangat ekstrem, dimana musim keringnya sangat pendek (Oldeman dkk. 1980). Dari hasil penelitian beberapa jenis masih terlihat mampu bertahan mendominasi kawasan ini seperti Schoutennia ovata, 367
Roemantyo
Grewia eriocarpa, Azidirachta indica, Vitex trifoliata. Sedangkan jenis-jenis lain seperti Phyllantus emblica, Albizia lebbekoides, Schleicera oleosa, Zizyphus nummularia, Acasia leucophloea masih ditemukan terdapat di kawasan ini meskipun tidak mendominasi kawasan. Jenis-jenis seperti Corypha utan dan Borassus flabellifer sudah jarang tampak tumbuh di kawasan ini. Beberapa tegakan masih terlihat namun tergolong sangat jarang. Berdasarkan parameter jumlah jenis dan individunya, tampak bahwa keanekaragaman jenisnya tidak terlalu tinggi. Populasi dari masing-masing jenis yang tumbuh di kawasan ini berada pada posisi yang rentan terhadap keseimbangan dan mudah sekali untuk berubah. Artinya jika ada tekanan terhadap kawasan ini (perubahan iklim, pemanfaatan lahan, bencana alam dll) maka jenis maupun jumlah populasi akan mudah menurun. Jika dibandingkan diantara lokasi petak pengamatan berdasarkan nilai indeks keanekaragaman jenis dan kemerataan
populasinya (Gambar 4), petak D adalah petak yang paling rawan, dengan keragaman jenis yang terrendah dan tingkat tekanan yang paling tinggi. Sedangkan petak F adalah kawasan yang memiliki keragaman jenis yang tinggi dengan populasi yang paling stabil jika dibandingkan dengan lokasi lain. Observasi di lapangan menunjukkan bahwa petak D memiliki mikro-habitat yang berupa savanna yang didominasi oleh jenis-jenis dari suku Poaceae. Di beberapa tempat memiliki substrat yang berbatu karang dengan jenis-jenis semak belukar. Jarangnya tumbuhan pohon yang melindungi lantai dasar menyebabkan kawasan ini mudah mengering pada saat musim kemarau dan rawan terbakar. Sedang pada petak pengamatan F kondisi mikro-habitatnya lebih lembab karena terletak berdekatan dengan pantai yang landai dengan substrat tanah yang terpengaruh pasang surut air laut. Sebagian kawasan ini tertutupi oleh endapan lumpur. Banyak jenis pohon yang mendominasi di kawasan ini seperti
Gambar 4. Diagram sebar nilai indek keragaman dan kemerataan jenis pohon dengan diameter > 10 cm.
368
Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat
Sonneratia alba, Abutilon indicum, Grewia eriocarpa, Tamarindus indica, Schoutenia ovata, Rhizophora apiculata, Croton argytatus, Vitex trifoliata yang memiliki tajuk yang luas besar menaungi lantai dasar hutan. Bahkan jenis-jenis pohon mangrove di kawasan ini selain kedua jenis (Sonneratia alba dan Rhizophora apiculata ) masih banyak dijumpai. Secara umum memang tidak banyak jenis pohon yang berukuran tinggi, dan juga jenis-jenis tersebut sebagian bukan merupakan jenis yang dominan, seperti Acasia leucophloea, Ficus microcarpa, Abutilon indicum, Grewia eriocarpa, Schoutenia ovata, dan Tamarindus indica. Namun kemungkinan jenis-jenis tersebut merupakan pohon “kunci” untuk kawasan ini sebagai habitat curik bali “miniatur” seperti yang dinyatakan oleh Noerdjito (2000). Jenis tersebut tercatat sebagai pohon yang cukup kuat relatif masih hijau tajuknya meskipun musim kemarau melanda kawasan ini. Acasia leucophloea merupakan tempat persarangan, sedangkan jenis lain merupakan tempat sumber pakan curik bali Ditemukannya semai dari jenis-jenis pohon yang terdapat di dalam petak pengamatan memberikan indikasi bahwa proses permudaan alam jenis-jenis tumbuhan di kawasan hutan ini dapat berjalan secara alami. Masalahnya adalah apakah semua jenis yang ditemukan mampu bertahan sehingga sampai menjadi pohon yang besar. Dari catatan anak pohon yang ditemukan tampak bahwa tidak semua semai mampu tumbuh menjadi anak pohon.
Kondisi ini dapat dipahami, karena kondisi alam yang sangat berat dimana musim hujan sangat pendek dan musim kemarau lebih dari 6 bulan (Oldeman dkk. 1980.) Kondisi ini juga diperparah oleh tipisnya lapisan tanah yang subur, terbatasnya unsur hara tanah dimana kawasan ini memiliki struktur berbatu lepas dan berkapur (RePPProt 1989). Berdasarkan analisis ordinasi dengan menggunakan parameter ratarata tinggi pohon didapatkan gambaran bahwa dari sekitar 41 jenis pohon yang terdapat diseluruh petak pengamatan umumnya (33 jenis) merupakan komunitas pohon dengan profil rata-rata ketinggian yang hampir seragam (Gambar 5). Hanya sekitar 8 jenis yang memiliki profil yang berbeda. Jenis-jenis tersebut sebagain besar merupakan kelompok komunitas mangrove seperti Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, dan Sonneratia alba, dengan tinggi pohonnya kurang dari 3 m. Terdapat 2 jenis mangrove yaitu Rhizophora mucronata dan Bruguiera gymnorhiza yang memisah jauh dari jenis mangrove lain. Dari catatan lapangan kedua jenis mangrove tersebut memiliki tinggi pohon 3 – 4 m, meskipun terdapat di antara jenis-jenis mangrove lain. Tercatat 3 jenis yang merupakan komunitas jenis pohon yang tergolong memiliki ketinggian sedang (3 – 5 m) seperti Phyllanthus emblica, Schleichera oleosa dan Flacourtia indica. Jenis pohon Acacia leucophloea (pilang) yang biasa dipakai sebagai tempat bersarang curik bali tampak berada dalam satu komunitas dengan 369
Roemantyo
Gambar 5. Pengelompokan jenis pohon pada kawasan Labuan lalang menggunakan parameter rata-rata tinggi pohon dengan analisis ordinasi Principal Coodinate Analyses (PCO). Keterangan: 1 A.indicum; 2 A.leucophloea; 3 A.nilotica; 4 A.lebekkoides; 5 A angustifolia; 6 A. indica; 7 B. gymnorrhiza; 8 Caesalpinia sp.; 9 C. alata; 10 C. dichotoma; 11 C. argytatus; 12 E. agallocha; 13 F. virens; 14 F. superba; 15 F. indica; 16 G. eriocarpa; 17 Grewia sp.; 18 G. ulmifolia; 19 Leea sp. 20 Mallotus paniculatus; 21 M. leucadendron; 22 Micromelum sp.; 23 M. elengi; 24 O.octodonta; 25 P. emblica; 26 P. javanicum; 27 R. apiculata; 28 R. mucronata; 29 R. stylosa; 30 S. oleosa; 31 S. ovata; 32 S. alba; 33 S. asper; 34 S. lucida; 35 S. pycnanthum; 36 T. indica; 37 T. populnea; 38 V. trifoliata; 39 X. moluccensis; 40 Z. rhetsa; 41 Z. rotundifolia.
struktur dan komposisi pohon seperti jenis-jenis Ficus spp. (kresek dan apak), Tamarindus indica (asem), Abutilon indicum (kapasan), Grewia eriocarpa (talok), Schoutenia ovata (walikukun) yang diketahui menghasilkan buah pakan burung serta bunga dan daunnya disukai serangga. Peran dari kehadiran serangga perlu diteliti lebih mendalam, mengingat pada saat musim hujan datang populasi serangga ini cukup melimpah (Noerdjito 2000). Dari data profil pohon jenis-jenis tersebut tergolong dalam kelompok pohon yang tingginya di atas 10 m. Adanya jenis mangrove yang tumbuh mengelompok sebagai komunitas mangrove berada
370
kurang dari 2 km dari komunitas ini (lihat Gambar 2) merupakan kombinasi yang baik, mengingat jenis ini akan selalu hijau sepanjang tahun dan juga merupakan sumber pakan bagi satwa burung termasuk curik bali. Analisis ordinasi dengan menggunakan parameter rata-rata ketinggian tempat tumbuh dari permukaan laut (altitut) menunjukkan adanya pengelompokan yang lebih rinci. Ada 5 kelompok lokasi ketinggian pada masing-masing komunitas pohon yang menunjukkan adanya komposisi jenis pohon yang berbeda (Gambar 6). Komunitas yang terdapat pada 0 – 10 m dpl umumnya
Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat
Gambar 6. Pengelompokan jenis pohon pada kawasan Labuan lalang menggunakan parameter rata-rata ketinggian dari muka laut dengan analisis ordinasi Principal Coordinate Analyses (PCO). Keterangan: Lihat Gambar 5
merupakan jenis-jenis mangrove dan jenis-jenis yang mampu beradaptasi tumbuh di pinggir pantai seperti Excoecaria agallocha (buta-buta), Streblus asper (serut), yang umumnya terdapat pada petak transek F (Gambar 2). Komunitas selanjutnya merupakan jenis pohon yang tumbuh pada 10 – 20 m dpl. seperti Osbornea octodonta, Guazuma ulmifolia, Cordia dichotoma (kendal), Leea sp. dan Strychnos lucida (kayu pahit). Pada ketinggian 20 – 30 m dpl terdapat struktur dan komposisi dari Protium javanicum (trengulun), Cassia alata, Mimusops elengi (tanjung), Grewia sp. dan Thespesia populnea (waru laut). Pada ketinggian 30 – 40 m terdapat komposisi pohon Melaleuca leucadendron, Caesalpinia sp. dan Micromelum. Pada ketinggian di atas 40
– 60 m merupakan kawasan dengan struktur dan komposisi pohonnya sangat beragam. Ada sekitar 13 jenis pohon yang menyusun komunitas pada kawasan ini, diantaranya adalah jenis-jenis pohon tinggi dan bertajuk lebar seperti Acasia leucophloea, Albizia lebeckoides, beberapa jenis Ficus spp., Abutilon indicum, Grewia eriocarpa, Schoutenia ovata, dan Tamarindus indica. Hampir semua jenis pohon yang terdapat di dalam kelompok ini memiliki asosiasi dengan curik bali seperti yang disebutkan oleh Helvoordt, 1987 dan Balen et al. 2000 terdapat pada komunitas ini. Pada kawasan petak pengamatan di atas 40 m dpl ini juga ditemukan jenis pohon Acacia nilotica yang tumbuh bersama-sama dengan jenis-jenis memiliki asosiasi dengan curik bali.
371
Roemantyo
Pohon Acacia nilotica termasuk dalam kelompok invasif yang dapat tumbuh mendominasi suatu kawasan. Pertumbuhannya sangat cepat, mudah berkembang biak dan memiliki kemampuan tumbuh bersaing dengan jenis-jenis lokal. Indikasi pertumbuhannya sudah tampak dari cukup banyaknya semai dan anakan jenis ini tumbuh di kawasan ini. Pengendalian jenis ini perlu segera dilakukan mengingat pertumbuhannya terdapat di komunitas di mana masih ditemukannya struktur dan komposisi pohon yang berasosiasi dengan Curik bali. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Balgooy, Dr. Welzen, Dr. de Wilde, Dr. Adema, dan Dr. Berg dari Herbarium Leyden Belanda yang telah membantu dalam mengidentifikasi beberapa jenis koleksi yang telah dikumpulkan. Penelitian ini dibeayai dari Proyek DIKTI – LIPI di Pusat Penelitian Biologi tahun 2010. KESIMPULAN Jenis-jenis tumbuhan yang hidup sewaktu curik bali masih ditemukan hidup liar di habitat aslinya, tampak masih ditemukan hidup dikawasan ini seperti Schoutennia ovata, Grewia eriocarpa, Phyllantus emblica, Albizia lebbekoides, Azidirachta indica, Schleicera oleosa, Vitex pubescens, Zizyphus nummularia, Acasia leucophloea, Corypha utan dan Borassus flabellifer. Namun dari hasil penelitian di kawasan ini menunjukkan 372
struktur dan komposisinya sudah berbeda, dimana beberapa jenis sudah menjadi sulit menjadi jarang ditemukan di kawasan ini seperti Strycnos lingustrina, Helicteres ixora, Protium javanicum, Rauvolfia serpentina, Zanthoxylum rhetza, Ziziphus rotundifolia, Ceriops tagal, Flacourtia indica, dan Santalum album. Berdasarkan pada analisis ordinasi Principal Coordinate Analyses (PCO), di dapatkan gambaran bahwa jenis-jenis yang berasosiasi dengan jurik bali umumnya merupakan komunitas pohon memiliki profil dengan tinggi di atas 10 m. Selain itu berdasarkan pada tempat hidupnya komunitas ini terletak pada ketinggian di atas 40 – 60 m dpl. Adanya komunitas mangrove yang selalu hijau di kawasan ini yang terletak tidak jauh dari komunitas pohon yang berasosiasi dengan curik bali akan memberikan nilai ekologis yang tinggi dalam daya dukungnya terutama pada saat musim kemarau terhadap habitat curik bali yang hidup liar maupun dilepasliarkan di kawasan ini. Tampak jenis-jenis pendatang “baru” muncul di kawasan ini seperti Acacia nilotica, Mimusops elengi, Ceiba pentandra, Dalbergia latifolia dan Pterocarpus indicus yang tampak berkembang di antara jenis-jenis asli. Jenis-jenis tersebut perlu diperhatikan keberadaan dan perkembangbiakannya, mengingat termasuk jenis yang mudah tumbuh dan memiliki potensi untuk mendominasi suatu kawasan, terutama Acacia nilotica. Keterbatasan akan kondisi dan lingkungan yang kurang menguntungkan
Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat
bagi pertumbuhan jenis-jenis tumbuhan mengakibatkan tidak terlalu tinggi keanekaragaman jenis. Jenis-jenis tumbuhan yang tumbuh di kawasan ini cenderung rawan terhadap perubahan lingkungan dan alih fungsi lahan. Dengan demikian struktur dan komposisi vegetasinya juga mudah berubah. Ada beberapa jenis (11 jenis) yang tidak ditemukan pohon besarnya, namun semainya ditemukan di dalam petak pengamatan memberikan indikasikan pula bahwa terdapat jenis pohon yang tidak melimpah namun kemampuan regenerasinya cukup baik. Jenis-jenis asli kawasan ini yang perlu diperhatikan karena semakin sulit ditemukan seperti Strycnos lingustrina,
Helicteres ixora, Protium javanicum, Rauvolfia serpentina, Zanthoxylum rhetza, Ziziphus rotundifolia, Ceriops tagal, Flacourtia indica, Santalum album perlu dipantau pertumbuhannya di alam. Selain memiliki potensi ekonomi (obat, tanaman hias, adat) peran ekologi di kawasan yang kering ini sangat berarti dalam menyususun system habitat hutan semusim yang merupakan habitat curik bali. DAFTAR PUSTAKA Arinasa, IBK., Roemantyo & M. Ridwan. 2010. Eksplorasi Flora Taman Nasional Bali Barat: Keanekeragaman Flora Kawasan Hutan Zona Pemanfaatan Labuan Lalang. Laporan Perjalanan Eksplorasi Flora di Taman Nasionla Bali Barat. Proyek Dikti
2010 Laporan perjalanan internal, tidak dipublikasikan. Balen, van S., IWA. Dirgayusa, IMWA. Putra & HT. Prins Herbert. 2000. Status and distribution of the endemic Bali Starling Leucopsar rothschildi. Oryx 34 (3): 188-197. Helvoort, van BE., MN. Soetawidjaya & P. Hartojo, 1985. The Rothschild’s Mynah (Leucopsar rothschildi): a Case for Captive or Wild Breeding ? ICBP, Cambridge. Kovack Computing Service. 2010. MultiVariate Statistic Package. Copyright 1985 - 2010. http:// www.kovcomp.com Ludwig, JA. & JF. Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A Primer Methods and Computing. John Willey & Sons, New York 337 p. Magguran, AE.1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Chapman and Hall London. Meuller-Dombois and Ellenberg, 1974. Aim and Methods of Vegetation Ecology. John Wiley and Sons, Inc. Canada. Noerdjito, M. 2005. Pola Persarangan Curik Bali Leucopsar rothschildi Stresemann 1912 dan Kerabatnya di Taman Nasional Bali Barat. Berita Biologi 7(4): 215-222. Oldemann, LR. L. Irsal & Muladi. 1980. Agro-Climatic Map of Bali Nusa Tenggara Barat and Nusatenggara Timur. Scale 1 : 2.250.000. Central Research Institute for Agriculture. Bogor. Paardt, 1929. Manoek putih: Leucopsar rothschildi. Tropisce Natuur 15: 169 -173. 373
Roemantyo
Roemantyo, HIP. Utaminingrum & M. Ridwan. 2010. Peta keragaman ekosistem serta tataguna lahan semenanjung Prapat Agung dan sekitar Bali barat sebelum 1950. Laporan Perjalanan Eksplorasi Flora di Taman Nasionla Bali Barat. Proyek Dikti 2010 Laporan perjalanan internal, tidak dipublikasikan. Space Imaging. 2000. IKONOS, Level Standard Geometrically Corrected,
GeoEye, Dulles, Virginia, 29 September 2008 Taman Nasional Bali Barat 2005. Peta batas dan sarana prasarana Taman Nasional Bali Barat (digital). Taman Nasional Bali Barat, Departemen Kehutanan. Voogd, C.N.A. 1937. Botanische aantekeningen van de Kleine Soenda. Eilanden III. Bali Zoals een toerist het niet ziet. Trop. Natuur 26: 1-9, 37-40.
Memasukkan: Mei 2011 Diterima: Agustus 2011
374
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 375-391 (2011)
Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan Manusia dengan Tumbuhan dan Lingkungannya Eko Baroto Walujo Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi – LIPI Ethnobotany Contributes to The Understanding Human Relationship with Plant and Their Environment. The scope of ethnobotanical research has been developed to a broader scope from the originated word of ethnobotany was coined.. This discipline attempts to explain reciprocal relationships which occur between local societies and its natural world, in extant, between local societies and their cultures that reflected in the archeological records. Ethnobotany is also very closely related to the domestication of plants such as the species domesticated, where these species domesticated, the purpose of domestication, the manner, and the status of the domesticated plants today. Etnobothany also concerns to the role of plants in ecology, environment and phytogeography as conceived by tradition or by the local communities. In addition to its traditional role in economic botany and the exploration of human cognition, ethnobotanical research has been applied to the practical areas such as biodiversity prospecting and vegetation management. Thus ideally, ethnobotany should includes rules and categorization acknowledged by local communities. Rules and categorization are use to appropriately facing daily social situations in recognizing, interpreting and utilizing plant resources in their environment. In summary, the scope of research in ethnobotany is interdisciplinary and ethnoscience as mentioned earlier and these scopes will be the main focus of discussion in this article. In particular, in its relation to the strategic position of Indonesia based on wealth, diversity of plants, species and ecosystems and socio-cultural life. Key Words: Ethnobotany, Localknowledge, Wisdom
PENDAHULUAN Studi tentang hubungan manusia dan tumbuhan atau tanaman adalah domain ethnobotani yang mempelajari peranan manusia dalam memahami hubungannya dengan lingkungan-tempat mereka tinggal, baik di lingkungan masyarakat tradisional maupun masyarakat industri. Dalam konteks hubungan manusia dan alam, lingkungan alam pada dasarnya menyediakan sumber daya agar dapat dimanfaatkan oleh penghuninya untuk kelangsungan hidup. Manusia sebagai
bagian dari penghuni alam itu diketahui paling mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana ia tinggal dibandingkan dengan makluk lainnya. Tanpa disadari bahwa manusia, baik sebagai individu atau dalam berkelompok secara bertahap tumbuh dan saling bergantung dengan perkembangan sosial dan budayanya. Ini semua disebabkan karena manusia memiliki daya cipta, rasa dan karsa. Berkat daya tersebut, manusia mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana mereka tinggal. Melalui daya itu pula maka 375
Eko Baroto Walujo
manusia berupaya memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya. Pada gilirannya pengetahuan mereka lambat laun juga mengalami perkembangan sesuai dengan perubahan pola berfikir, perubahan lingkungan sosial, ekonomi dan ekologinya. Perubahan semacam ini melahirkan berbagai tuntutan yang acapkali mendorong eksploitasi sumber daya alam meningkat secara signifikan. Artikel ini mengulas hubungan antara manusia dan tumbuhan, yang menjadi “domain penelitian etnobotani”. Peranan etno botani disini menjadi sangat penting. Karena, melalui penelitian etnobotani, diperoleh pemahaman tentang keberhasilan maupun kekeliruan masyarakat tradisional dalam memahami lingkungannya, dan dapat menghindari kesalahan yang sama pada masa kini atau yang akan datang. Etnobotani dan Sejarah Domestikasi Tumbuhan Disiplin ilmu etnobotani berasosiasi sangat erat dengan ketergantungan manusia pada tumbuh-tumbuhan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Bukti-bukti arkeologi sering dimanfaatkan untuk menunjukkan bahwa pada awal peradaban dan ketergantungan manusia pada tumbuh-tumbuhan terbatas pada pemanfaatan untuk mempertahankan hidup, yaitu dengan mengambil dari sumber alam untuk pangan, sandang dan sekedar penginapan (Walujo 2009). Semakin tinggi peradaban manusia, 376
ketergantungan manusia pada tumbuhan untuk pangan, papan, pemeliharaan kesehatan maupun keperluan lainnya semakin meningkat. Terjadinya peningkatan kebutuhan inilah yang mendorong dilakukan usaha untuk memudahkan pemanfaatan dan peningkatan produk hasil dari tumbuhtumbuhan. Konsekuensinya adalah semakin tinggi tingkat pengetahuan dan pemahaman terhadap lingkungan alam yang kemudian didukung oleh teknologi dikuasahi, semakin nyata pengaruhnya terhadap pengetahuan pemanfaatan tumbuhan. Dalam kaitannya dengan sejarah pemanfaatan tumbuhan, proses domestikasi dan bercocok tanam, disinilah disiplin ilmu etnobotani itu menjadi sangat penting untuk dikembangkan. Memahami ilmu etnobotani, berarti juga memahami tentang sejarah pemanfaatan dan domestikasi tumbuhan. Untuk menelusuri sejarah pemanfaatan, budidaya dan domestikasi tumbuhan, para ahli etnobotani sering menggunakan bukti kultural tidak langsung (non-kultural) dengan mengungkapkan melalui penelitian paleoetnobotani. Penelitian ini menggunakan sisa kultigen tumbuhan yang terawetkan dalam proses karbonisasi, cetakan pada batu, kerangka silikat, tulang gigi, tanduk hewan dll. Melalui material paleoetnobotani itu juga kekerabatan suatu jenis tumbuhan yang didomestikasi dapat ditelusuri, yaitu dengan cara mengiden-tifikasi sifat atau karakter morfologi (Renfrew 1976; Smith 1986). Contoh temuan hasil penelitian palaeo-etnobotani tentang pendataan radiokarbon Phaseolus vulgaris yang
Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan
dideteksi berangka tahun 7000 SM., Phaseolus acutifolius (5000 SM), Phaseolus coccineus (2200 SM) yang kesemuanya ditemukan di TehuachanMexico, dan Phaseolus lunatus berangka tahun 5300 SM di Chili, Peru. Pendataan ini membawa pada suatu kesimpulan tentang awal waktu pertanian di Amerika. Dalam penelitian tersebut juga diketengahkan bahwa karakter morfologi material biji dan polong P.vulgaris yang ditemukan pada dasarnya sama dengan buncis-buncis modern yang ada pada saat ini. Ini memperlihatkan bahwa perkembangan buncis yang dibudidayakan dan dimanfaatkan sekarang ini masih mirip dengan tipe-tipe pada awal budidaya. Di Indonesia, hasil temuan di Gua Ulu Leang1 (Maros-Sulawesi Selatan) yang dilaporkan oleh Poesponegoro & Notosusanto (2008) membuktikan tentang domestikasi tanaman padi (Oryza sativa) melalui temuan sisa-sisa butiran padi dan sekam padi yang berasosiasi dengan gerabah. Temuan ini berangka tahun 2160 – 1700 SM. Diperkirakan bahwa domestikasi tanaman padi telah dimulai di kawasan beriklim muson, yang memanjang dari India bagian timur laut, sebelah utara Vietnam hingga mencapai sebelah selatan China. Bukti awal domestikasi tanaman padi ditemukan di situs Kiangsu dan Chekiang di China, berangka tahun 3300 – 4000 SM. Bukti lain berupa sekam padi yang digunakan sebagai temper gerabah yang ditemukan di Thailand tahun 3500 SM turut memperkuat dugaan tentang domestikasi tanaman padi.
Fakta lain yang dipelajari Harlan & de Wet (1965) mengenai kelompok tertentu tumbuhan liar yang telah mengalami proses domestikasi sebagian besar adalah jenis dari suku Gramineae dan Leguminosae, dan merupakan tanaman budidaya utama. Sedangkan suku Cyperaceae, Ranunculaceae, Cactaceae, Caryophyllaceae, Portulacaceae, Berberidaceae, Papaveraceae, Saxifagraceae, Geraniaceae, Onagraceae, Apocynaceae, Asclepiadaceae, Plantaginaceae dll, merupakan suku-suku yang dimanfaatkan sebagai tanaman budidaya sampingan. Domestikasi tumbuhan tidak terlepas dari sejarah dan asal usul tanaman budidaya. De Candolle (1855) mempertegas bahwa sejarah pertanian juga terkait erat dengan sejarah domestikasi tumbuhan menjadi tanaman. Menurutnya, pertanian diawali dengan domestikasi jenis-jenis utama, yang tersebar di tiga daerah utama, yaitu Cina, Asia Barat Daya (termasuk Mesir), Inter-Tropikal Amerika. Masing-masing daerah utama membudidayakan jenisjenis tertentu, dan bahwa penyebaran tanaman budidaya tidak merata seperti yang diperkirakan banyak orang. Ada beberapa kawasan yang kaya dengan keragaman tanaman budidaya, namun demikian tidak sedikit pula yang miskin dengan keanekaragaman jenisnya. Sebagai contoh diketengahkan ketidak merataan kultivar gandum yang tersebar di seluruh dunia. Di benua Eropa dan Siberia, gandum yang ditanam umumnya hanya beberapa kultivar saja. Berbeda dengan di Timur Tengah, terutama di Anatoli, Palestina dan Syria, diketemukan 377
Eko Baroto Walujo
sejumlah kultivar gandum mulai yang berkromosom diploid, tetraploid sampai dengan heksaploid. Kemudian di Afghanistan hanya ditemukan kultivar gandum yang heksaploid saja, di Mediterania hanya yang tetraploid saja. Sebaliknya di Ethiopia ditemukan ratusan kultivar gandum. Pada akhir studinya Vavilov (1926), mempertimbangkan pandangan ini dengan menggambarkan bahwa awal tanaman budidaya utama adalah daerah tropik dan sub-tropik, yang terdiri atas 11 atau 12 pusat awal, yang didasarkan pada konsep bahwa pusat keanekaragaman ditetapkan sebagai pusat awal/ asal-usul. Pusat-pusat awal atau asal-usul tanaman budidaya tersebut berada di Cina, India, Indo-Malaya, Asia Tengah, Timur Tengah, Mediteran, Abesinia, Meksiko-Amerika Tengah, Amerika Selatan, Chili dan BrasilParaguay. Semua fakta yang terkait dengan pusat-pusat awal tanaman budidaya tadi senantiasa bersentuhan dengan aktifitas manusia. Sehingga dengan berkembangnya tingkat sosial dan moral manusia purba, mereka mulai memilih jenis-jenis yang mereka sukai. Tumbuhan tersebut kemudian akan berubah dari status liar akan mengalami penjinakan dan karena adanya seleksi alam, akan menurunkan variasi yang ada tetapi akan meningkatkan variasi baru karena hibridisasi dan mutasi. Hipotesa “rubbish-heap hypothese” yang diperkenalkan oleh Engelbrecht (1916) menganggap bahwa domestikasi tidak diciptakan manusia pertama, tetapi terjadi secara kebetulan yang berawal dari berkembangnya 378
kemampuan tumbuhan itu sendiri dalam mempertahankan dirinya. Tumbuhan telah dikumpulkan dari berbagai tempat untuk bahan pangan yang mula-mula sebagai tumbuhan liar, akan tumbuh meliar ditempat-tempat pembuangan atau disekitar tempat pemukiman manusia purba di dekat dapur dan tumpukan sampah. Jenis itu kemudian tumbuh dan beradaptasi terhadap lingkungan yang baru dan dipanen kembali. Terkait dengan hipotesa ini, menguatkan pandangan Kaplan et.al (2003) bahwa didalam disiplin etnobotani terdapat seperangkat asumsi hubungan antara pola perilaku dengan penataan sosio-kultural yang terintegrasi dalam bahasa, sistem kognitif, kaidah dan kode etik budaya tempatan. Dengan demikian maka didalam disiplin etnobotani, harus ada keterpaduan antara ranah etnologi dan botani untuk saling mengisi dan menguatkan. Menurutnya, kajian etnobotani dapat melakukan evaluasi terhadap tingkat pengetahuan dan fase-fase kehidupan masyarakat dalam kaitan dengan pemaknaan dan penggunaan tetumbuhan di dalam lingkup kehidupan sehari-hari. Filosofi yang mendasari pemikiran ahli etnobotani tentu bagaimana cara pandang seorang ahli tumbuh-tumbuhan (botanis) berlaku sebagai seorang etnograf dan sebaliknya seorang etnolog mampu memahami tumbuhan, bagaikan seorang ahli botani. Oleh karena itu bidang etnobotani sangat berkepentingan mengikuti dari dekat perkembangan yang berlangsung baik di seputar persoalan etnik maupun dalam ranah botani (Putra, 1985). Seterusnya Rifai & Walujo (1992), lebih merinci tentang pengertian disiplin
Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan
etnobotani harus mampu mengungkapkan keterkaitan hubungan budaya masyarakat, terutama tentang persepsi dan konsepsi masyarakat dalam memahami sumber daya nabati di lingkungan dimana mereka bermukim. Dengan demikian maka data etnobotani adalah data tentang pengetahuan botani masyarakat dan organisasi sosialnya, bukan data botani taksonomi, dan bukan pula data botani ekonomi atau cabang botani lainnya. Sasarannya adalah membuat hasil-hasil penelitian etnobotani menjadi lebih akurat dan lebih replikabel dalam kerangka mereproduksi realitas budaya seturut pandangan, penataan, dan penghayatan warga budaya dalam mengenali, memaknai dan memanfaatkan sumber daya nabati di lingkungan budayanya. Ini berarti bahwa pemaparan etnobotani harus diungkapkan sehubungan kaidah konseptual, kategori, kode, dan aturan kognitif “tempatan” (emik) untuk kemudian secara taat asas dibuktikan sehubungan dengan kategori konseptual yang diperoleh dari latar belakang ilmiah (etik). Sekalipun emik dan etik itu dibedakan atas dasar epistemologi, namun keduanya tidak ada kaitan dengan metode penelitian, melainkan dengan struktur penelitian. Dengan demikian maka pengujian emik dan etik bukanlah bagaimana pengetahuan itu diperoleh, melainkan bagaimana pengetahuan itu divalidasi (Walujo 2009). Itulah sebabnya penelitian etnobotani merupakan studi multidisiplin yang tidak hanya menyangkut disiplin Botani murni, seperti taksonomi, ekologi, sitologi, biokimia, fisiologi, tetapi juga ilmu sosial terutama antropologi budaya dan ilmu-ilmu lain dari Pertanian,
Kehutanan maupun Hortikultura yang banyak memperhatikan persoalan perbanyakan, budidaya, pemanenan, pengolahan, ekonomi produksi, dan pasar. Dengan demikian maka etnobotani yang ideal harus mencakup semua aturan dan kategori yang pasti dikenali oleh masyarakat warga tempatan guna bertindak tepat dalam berbagai situasi sosial yang dihadapi sehari-hari dalam memahami, mengenali, memaknai dan memanfaatkan sumber daya nabati di lingkungannya. Ekspresi dan pemaknaan pengetahuan masyarakat tentang sumber daya botani tadi dilakukan guna menggambarkan suatu kebudayaan yang berimplikasi kepada definisi kebudayaan sebagai suatu sistem pengetahuan atau sistem ide. Sejalan dengan pandangan Sturtevant (1961), kecenderungan pengetahuan masyarakat tersebut banyak berkaitan dengan struktur bahasa, aturan kognitif, kaidah dan kode di satu pihak, dengan pola perilaku serta penataan sosio-kultural di lain pihak. Disadari atau tidak pengetahuan tadi pada hakikatnya merupakan pusaka leluhur hasil uji coba ratusan tahun yang tidak ternilai harganya, karena memiliki banyak keunggulan sifat. Sayangnya pengeta-huan yang didasari kearifan masyarakat seringkali dianggap sebagai “ilmu tua” yang disakralkan sehingga tidak boleh diubah, diperbaiki, dikembangkankan, apalagi diinovasi. Kekonservatifan demikian membentuk opini bahwa masyarakat tradisional seolah-olah berjiwa statis, dan menolak dibawa maju apalagi berindustri yang sarat dengan pengetahuan, ilmu, dan teknologi (Rifai 2006). 379
Eko Baroto Walujo
Kerancuan Pengertian: etnobotani, Botani Ekonomi dan Etnoekologi Pada dasarnya etnobotani, botani ekonomi dan etnoekologi memiliki satu bagian tinjauan yang sama yaitu manusia dengan lingkungan dalam sebuah kehidupan. Akan tetapi masing-masing memiliki cakupan, tujuan dan sudut pandang yang berbeda. Etnobotani lebih memfokuskan penelitian pada perspektif manusia, alam dan tumbuh-tumbuhan dalam konteks budayanya. Sedangkan sudut pandang Botani Ekonomi, adalah mempelajari bagaimana tumbuhan atau tanaman memiliki sifat dan kegunaan secara ekonomi bagi kehidupan masyarakat (Wickent 1990). Melalui penelitian ini masing-masing jenis tumbuhan atau tanaman dikembangkan sesuai dengan potensinya hingga mencapai hasil sesuai dengan yang diinginkan. Dari sinilah pendekatan ekonomi botani dijalankan. Keinginan manusia kadang-kadang berlebihan, lebih sering tidak puas dengan apa yang dihasilkan oleh tumbuhan atau tanaman. Sifat seperti ini mendorong manusia untuk mengeksploitasi tumbuhan dan tanaman secara berlebihan. Semakin meningkat peradaban manusia, semakin meningkat pula kebutuhan dan tuntutannya. Tanpa disadari manusia mengeksploitasi sumber dayanya secara berlebihan. Dampak negatif karena ulah manusia ini akhirnya menimbulkan krisis lingkungan yang pada beberapa dekade belakangan menawarkan sebuah pendekatan, yaitu etnoekologi. Tujuannya adalah membuktikan keabsahan secara ekologi tentang pengelolaan alam lingkungan oleh masyarakat. 380
Erat kaitan dengan kehidupan masyarakat, terutama di pedesaan, upaya penggunaan lahan, baik yang diolah secara langsung ataupun tidak langsung pada dasarnya berhubungan dengan pemanfaatan dan pelestarian keanekaragaman hayati tumbuhan. Dari pengertian ini, ketiga penelitian itu dapat dijalankan (penelitian enobotani, penelitian botani ekonomi dan peneltian etnoekologi). Hasil penelitian etnobotani di berbagai kebun, pekarangan dan tegalan dapat dipergunakan untuk membuktikan kekerabatan berbagai kultivar primitif pohon buah-buahan. Misalnya jenis-jenis kultivar lokal yang dijumpai pada sistem huma di pedalaman Sumatera dan Kalimantan. Beberapa jenis diantaranya selain memiliki kekerabatan yang cukup banyak, ternyata juga memiliki nilai ekonomi penting yang berguna untuk penelitian botani ekonomi. Jenis-jenis itu adalah durian (Durio zibethinus), rambutan (Nephelium lappaceum), duku (Lansium domesticum), mundu (Garcinia dulcis), sentul (Sandoricum koetjapi), perdu-perduan seperti rukam (Flacourtia rukam), pisang (Musa x paradisiaca), buni (Antidesma bunius), tumbuhan liana, misalnya ubi-ubian (Dioscorea alata, D. penthaphylla, D. hispida) dan kacang-kacangan, misalnya kecipir (Psopocarpus tetragonolobus), kacang panjang (Vigna sinensis) serta paria (Momordica charantia) dan terna rerumputan seperti jahe-jahean, jahe (Zingiber officinale), kunyit (Curcuma domestica), dan serai (Cymbopogon nardus).
Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan
Dalam berbagai penelitian etnoekologi, pola-pola adaptasi bercocok tanam masyarakat tempatan di berbagai tipologi lingkungan alam atau lansekap adalah contoh yang mudah dipahami. Lansekap hutan bagi masyarakat yang tinggal sekitarnya merupakan lingkungan yang sangat penting bagi kehidupan. Oleh karena itu secara ekologi budaya, hutan merupakan lingkungan fisik yang keberadaannya perlu dikelola dengan baik karena dipercaya merupakan tumpuan hidup dan wadah berkembangnya sistem ekonomi, sosial dan budaya. Sesuai dengan prinsip yang ditetapkan secara bersama, tidak hanya pada pengelolaan hutan, akan tetapi seluruh lansekap yang mereka kenali akan dikelola berdasarkan ketetapan bersama pula. Pengetahuan tentang “sabulungan” bagi masyarakat Siberut adalah salahsatu contoh kearifan lokal yang mewakli sebuah gambaran menyatunya kehidupan manusia dengan alam. Kebersamaan dalam menetapkan tata aturan tentang pengelolaan lingkungan tidak sekedar membagi-bagi kawasan untuk berbagai kepentingan, semisal kawasan untuk pertanian, peternakan, perburuan, dan pemukiman, akan tetapi juga bermakna religius. Menurut orang Siberut, ada tiga dewa yang dihormati dalam ajaran sabulungan. Pertama “Tai Kaleleu”, yakni dewa hutan dan gunung. Pesta adat atau punen mulia yang dilakukan sebelum berburu dipersembahkan kepada dewa ini. Kedua adalah “Tai Leubagat Koat”, yang merupakan dewa laut atau dewa air. Air dihormati karena memberikan kehidupan, tetapi kadangkadang juga menimbulkan badai. Tai
Leubagat Koat layaknya Dewa Syiwa dalam agama Hindu. Ketiga, “Tai Kamanua”, dewa langit, sang pemberi hujan dan kehidupan. Ketiga dewa itulah yang dipercaya oleh masyarakat Siberut dalam menjaga keseimbangan alam (Romana 2006). Jika orang Siberut lebih mengutamakan pengelolaan berdasarkan atas asas kepercayaan (religius), maka orang Dawan di Pulau Timor, orang Dayak Iban di pedalaman Kalimantan, dan orang Melayu Belitung dalam merepresentasikan keseimbangan dengan cara mengenali dan membagi-bagi lingkungan dalam satuan-satuan lansekap berdasarkan atas asas kepentingan, yaitu untuk kegiatan bertani, berburu, dan meramu. Oleh karena itu pengenalan dan pembagian satuan-satuan lingkungan itu mereka lakukan dengan sangat rinci. Masyarakat Atoni yang berbahasa Dawan di pulau Timor, mengenali lingkungannya dengan membagi ke dalam satuan-satuan lansekap yang diciri oleh wanda (fisiognomi) vegetasi penutupnya (Walujo 1990). Etnik Dawan mengenal perlindungan hutan alami secara adat, yang dalam bahasa Dawan disebut nasi. Kawasan hutan yang menyatu dan dikeramatkan disebut kiuk tokok). Kedua lansekap tadi memberi cerminan tipe vegetasi asli di daerah itu. Di antara pola sebaran vegetasi asli ini terdapat mosaik lansekap lain yang berupa lahan pertanian (lele dan po’an), padang sabana (hu sona), dan pemukiman (kintal dan kuan). Setiap mosaik lansekap memiliki karakter vegetasi penutup yang berbedabeda. Pada lansekap yang asli, yang 381
Eko Baroto Walujo
dilindungi oleh kekuatan adat, vegetasi asli di dominansi oleh keluarga jerukjerukan (Rutaceae) terutama Micromellum pubescens dan keluarga jarakjarakan (Euphorbiaceae) terutama Mallotus philippensis dan jenis penunjang lain Ervatamia orientalis, Allophyllus cobbe, Paveta indica, Ehretia accuminata, Wrightia calycina dan Schleichera oleosa. Diantara ratusan jenis yang dikenali oleh masyarakat Dawan beberapa jenis kayu memiliki nilai kultural dan ekonomi penting. Jenis itu adalah matani (Ptrerocarpus indicus), haumeni (Santalum album), usapi (Schleicera oleosa), nunuh tili (Ficus benjamina), kabesak (Acacia leucophloea), kiu (Tamarindus indica) dan nek fui (Bombac ceiba). Bagian ini merupakan kajian yang sangat baik dalam perspektif penelitian botani ekonomi. Dalam pengelolaan satuan lansekap, masyarakat Dayak juga mengenali istilah-istilah yang menggambarkan satuan-stauan lansekap, misalnya empaq yang berarti hutan primer dan jekau berarti hutan sekunder (Soepardiyono 1998). Di dalam kategori jekau ini terdapat beberapa sub-kategori, yaitu jekau jue (hutan sekunder tua), jekau buet (hutan sekunder muda ), jekau metan (belukar), kelimeng (ladang kecil), bekan (ladang yang baru ditinggalkan). Sedikit berbeda sistem yang dipraktekkan masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan. Etnik ini membagi wilayah hutan kedalam satuan-satuan lansekap berdasarkan fungsinya, yakni: (1) pariyun, adalah hutan tempat hewan dan tumbuhan yang dilindungi, tidak boleh 382
di manfaatkan kecuali hanya untuk kepentingan upacara adat. (2) Katuan atau hutan alas yang memang disediakan untuk tempat berburu, mencari gaharu, damar dan kayu. (3) Lasi atau pelasian adalah hutan yang khusus diperuntukkan untuk berladang, berkebun dan beternak. (4) Hutan milik, adalah merupakan kebun tanaman buah, pohon kayu, bambu, rotan milik pribadi. Praktik pengelolaan dan pengorganisasian satuan-satuan lansekap dari berbagai kelompok etnik yang diuraikan di atas adalah menjadi bagian norma kehidupan masyarakat lokal yang terbentuk dari pengalaman empirik yang diulang-ulang kemudian berkembang menjadi sistem religi dan pranata sosial masyarakat. Pemaknaan terhadap satuan-satuan lansekap tadi dilandasi atas keyakinan bahwa alam semesta dengan segala isinya adalah ciptaan Yang Maha Agung. Berdasarkan keyakinan terhadap alam semesta yang dihayati, maka mengembangkan pola-pola sikap perilaku memelihara, memanfaatkan dan mengelola alam yang berkelanjutan dan lestari. Di kalangan komunitas etnik yang masih harmonis ini, manusia merupakan bagian integral dari alam, serta perilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat dan peduli terhadap kelangsungan kehidupan di alam semesta. Berdasarkan pengertian dan contoh diatas maka ditinjau dari obyek yang dipelajari oleh tiga disiplin keilmuan tadi adalah sama yaitu manusia, alam, lingkungan dan tumbuh-tumbuhan. Ketiga tiganya memiliki keterkaitan satu sama lain dan keterkaitan itu tidak menunjuk pada hubungan satu cabang
Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan
ilmu merupakan bagian cabang ilmu lainnya. Botani ekonomi bukan merupakan bagian dari etnobotani. Begitu pula bukan merupakan bagian dari etnoekologi atau sebaliknya. Dalam konteks ke Indonesiaan, prinsip dasar semacam ini hendaknya menjadi pegangan cara pandang para peneliti etnobotani, botani ekonomi dan etnoekologi untuk melihat keanekaragaman etnik di Indonesia. Cara pandang seperti ini tidak hanya memberikan pemahaman kita terhadap flora yang khas Indonesia yang semakin banyak dikenali, tetapi yang lebih penting adalah bahwa perlu adanya kesadaran bahwa pluralitas masyarakat Indonesia justru merupakan potensi tumbuhnya ketahanan sosial dan budaya bangsa Indonesia. Memahami Keanekaragaman Pengetahuan dan Pemaknaan Tumbuhan. Disiplin ilmu etnobotani dan botani ekonomi memberi wawasan bahwa sumber daya tumbuhan memegang peranan penting dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia, baik untuk mencukupi kebutuhan sandang, pangan, kesehatan maupun papan. Dalam hal pangan, misalnya tercatat tidak kurang dari 3000 jenis dari 200.000 jenis tumbuhan berbunga dilaporkan ternyata sangat bermanfaat untuk pangan. Dari jumlah tersebut baru kira-kira 200 jenis yang telah didomestikasi menjadi tanaman budidaya. Sayangnya, penduduk dunia saat ini hanya mengandalkan gandum, padi, jagung dan kentang sebagai pangan utama (Swaminathan 1981; Hawkes 1983; Sastrapradja 2006).
Indonesia adalah sebuah Negara yang memiliki karakteristik yang sangat unik. Selain kaya sumber daya alam, Indonesia juga memiliki keanekaragaman kelompok etnis yang memiliki kehidupan sosial yang unik dan budaya yang berbeda. Kebhinekaan suku-suku bangsa jika dipadukan dengan keanekaragaman hayati yang terdapat di berbagai kepulauan Indonesia, maka tidak mengherankan jika tumbuh berkembang berbagai sistem pengetahuan tentang alam dan lingkungan. Keragaman sistem pengatahuan lokal ini bergantung pada tipe ekosistem alam dan ekologi budaya masyarakat, iklim terutama curah hujan, dan adat-istiadat yang dipercaya oleh berbagai kelompok suku di Indonesia (Walujo et.al 1991). Meskipun bangsa Indonesia sejak dahulu kala hidup ditengah-tengah kekayaan sumber daya alam, akan tetapi sejarah juga mencatat bahwa kebanyakan tanaman pangan dan tanaman perdagangan berasal dari negara lain. Kekayaan dan keanekaragaman jenis yang dimiliki bangsa Indonesia ini belum memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Jumlah tumbuhan, hewan maupun mikroba yang sudah diketahui potensi, kegunaan dan dimanfaatkan oleh masyarakat masih sedikit. Baru sekitar 10% dari jumlah spesies tumbuhan di Indonesia yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan pangan, tanaman hias, obat-obatan, bahan bangunan, bahan industri, dan lain-lainnya. Berbicara mengena jenis tumbuhan berguna, Indonesia dan Indo-China dicatat sebagai pusat-pusat dunia tempat 383
Eko Baroto Walujo
asal tanaman budidaya. Vavilov, menurut catatan Zeven & Zhukovsky (1967) Indonesia merupakan kawasan yang banyak ditemukan kerabat jenis-jenis liar yang berpotensi ekonomi. Jauh sebelum penelitian Vavilov mengenai pusat asal tanaman budidaya, de Candolle telah menunjukkan bahwa terdapat tiga kawasan pertanian utama yaitu, Asia Selatan Barat, China, dan Amerika Tropika. Setelah itu Vavilov melanjutkan penelitiannya mengenai pusat-pusat dunia tentang tempat asal tanaman budidaya yaitu, Asia Selatan-Barat, Asia Tenggara (termasuk Indonesia), Mediteranian, Abisinia, dan Amerika. Indonesia, sebagai salahsatu pusat Asia Tenggara, versi Vavilov, atau pusat Indochina-Indonesia, versi Zeven dan Zhukovsky, atau lingkar pulau-pulau selatan, versi Li Hui-Lin (1970). Menurut Vavilov, kawasan yang disebut di atas kaya akan jenis jahejahean, pisang, padi tebu, kacangkacangan (kara pedang, Canavalia gladiata; benguk, Mucuna pruriens; kecipir, Psophocarpus tetragonolobus; petai, Parkia speciosa; jengkol, Pithecellobium jiringa), bambu, kelapa, ubi-gembili, mangga dll. Li juga sepakat dengan Vavilov bahwa di pulau-pulau nusantara merupakan pusat buah-buahan seperi manggis (Garcinia mangostana), rambutan (Nephelium lappaceum), dan durian (Durio zibethinus), jeruk nipis (Citrus aurantica). Li juga menambahkan bahwa, karena pada umumnya di kawasan pulau-pulau di lingkar selatan selalu menghijau sepanjang tahun maka, masyarakat tidak ada dorongan untuk membudidayakan sayur-sayuran, karena 384
selalu tersedia sepanjang tahun dan dapat langsung dipanen dari jenis liarnya. Dalam hal pangan, masyarakat Indonesia, mengenal padi sebagai sumber pangan utama, selain jagung dan ubi kayu. Namun di berbagai tempat masih ada yang mengandalkan sagu, ubi jalar, talas dan pisang sebagai sumber pangan penting. Terkait dengan keanekaragaman dalam pembudidayaan, ternyata beberapa jenis tanaman pangan telah mengalami evolusi, sejalan dengan perkembangan budayanya. Dari sini terungkap bahwa perbaikan mutu tanaman tadi nampaknya disesuaikan dengan kehendak dan kebutuhan masyarakat. Pada kasus masyarakat tradisional, para “pembudidaya tradisional” secara tidak sengaja telah memilah-milah kultivar-kultivar unggul untuk dibudidayakan secara turun temurun. Contohnya, bermacam-macam varietas padi lokal telah berkembang di berbagai lahan di seluruh Indonesia sejak ratusan tahun lalu. Tiap daerah memiliki varietas andalan, misalnya masyarakat Dayak paling tidak mengenal varietas lokal pare bentian, pare kenyah, masyarakat Jawa Barat mengenal padi varietas cianjur, Jawa Tengah dengan rojo lele dan Jawa Timur dengan beras mentiknya (Sastrapraja 1998). Sementara itu hasil penelitian Walujo (1994) menyebutkan bahwa di WamenaPegunungan tinggi Jayawijaya, Papua, para pembudidaya tradisional, suku Dani, sejak ratusan tahun melakukan kegiatan budidaya tanaman pangan. Dengan segala aktivitas bertaninya, secara tidak sengaja mereka telah melahirkan berbagai kultivar lokal tanaman budidaya,
Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan
diantaranya 10 kultivar lokal pisang (Musa sp.), 4 kultivar lokal ubi yang terdiri atas 3 jenis (Dioscorea alata, Dioscorea aculeata, Dioscorea bulbifera), 3 kultivar lokal keladi yang dibedakan berdasarkan warna umbinya (Colocasia esculenta), 2 kultivar lokal buah merah (Pandanus conoideus), kelapa hutan (Pandanus juliatinus, Pandanus brosimos), dan paling tidak ada 5 kultivar lokal kecipir (Psophocarpus tetragonolobus). Variasi kultivar ini merupakan sumber plasma nutfah yang tidak ternilai harganya untuk kepentingan pengembangan sumber daya pangan lokal dan untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang pertanian. Sejalan dengan penggunaan tumbuhan pangan, tumbuhan untuk kesehatan juga telah berlangsung sejak munculnya peradaban manusia dimuka bumi. Tradisi pengobatan ini dapat ditelusuri kembali lebih dari lima milenia yang silam dengan munculnya dokumen tertulis dari peradaban kuno Cina, India dan di Timur Tengah. Dengan kata lain penggunaan tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia dalam bidang pengobatan adalah budaya yang sama tuanya dengan sejarah peradaban umat manusia. Penggunaan ramuan tumbuhan secara empirik, berlangsung selama beberapa abad diiukuti oleh penemuan beberapa senyawa bioaktif. Penemuan alkaloid morfin, striknin dan kuinin pada awal abad ke 19 merupakan era baru dalam penggunaan tumbuh-tumbuhan sebagai bahan obat dan hal ini merupakan titik awal penelitian tumbuh-tumbuhan obat secara modern. Dunia kefarmasian
kemudian maju dengan pesat berkat ditemukannya teknik-teknik kromatografi dan penentuan struktur molekul secara spektroskopi. Di Indonesia, penggunaan tumbuhan untuk obat tradisional merupakan salah satu mata rantai penting dalam membantu meningkatkan kesehatan masyarakat. Menyadari hal itu perlu diadakan penelitian secara ilmiah dan sistematis. Data yang dicatat oleh Eisei Indonesia (1986) dalam bukunya Medicinal Herb Index in Indonesia, disebutkan ada 7000 jenis tanaman dan tumbuhan memiliki kasiat obat dan aromatik. Catatan Koorders yang disitasi oleh Alrasyid (1991), juga menyebutkan bahwa hutan Indonesia memiliki tidak kurang dari 9606 jenis tumbuhan yang dikelompokkan ke dalam tanaman obat. Dari jumlah tersebut ternyata baru 3-4% yang telah berhasil dibudidayakan dan dimanfaatkan secara komersial. Selanjutnya menurut dokumen yang dimiliki Direktorat POMDepartemen Kesehatan RI (1991), baru sekitar 283 jenis tanaman obat yang terdaftar dan digunakan oleh Industri Obat Tradisional di Indonesia (Pranoto 1999). Seiring dengan kemajuan zaman dan toleransi masyarakat terhadap masuknya kebudayaan luar menyebabkan secara perlahan jenis-jenis tanaman asing melebur dalam kehidupan sehari-hari pelbagai suku bangsa kita. Masuknya kebudayaan Hindu dan Budha membuat leluhur bangsa Indonesia mulai menyadari gatra estetika tetumbuhan. Mereka mencoba memperkenalkan makna dan arti tanaman seroja (Nelumbium nuciferae) dan pohon bodi 385
Eko Baroto Walujo
(Ficus religiosa) sebagai pohon suci. Bagi orang Hindu, tumbuh-tumbuhan hampir selalu hadir dalam dunia ritualnya. Tiga komponen bagian tumbuhan yang digunakan sebagai sarana upacara ritual pemujaan. Segala bunga yang dipersembahkan saat uacara merupakan simbol kesucian dan ketulusan saat melakukan yajna, segala dedaunan yang dirangkai dalam bentuk banten merupakan simbol tumbuh dan berkembangnya pikiran yang suci, dan berbagai buah dan makanan yang disajikan di dalam banten merupakan simbol para ilmuwan surga (Miartha, 2004). Tidak hanya Hindu, kebudayaan Islampun memperkenalkan delima (Punica granatum), kurma (Phoenix dactylifera), salam koja (Clausena sp.) dan kemudian orang China membawa shio (Michelia figo), lobak (Raphanus sativus), dan teh (Camelia sinensis). Sedangkan kedatangan bangsa Eropa membawa tidak kurang dari 2000 jenis seperti jagung, buncis, kentang, cabai, ubi kayu, kelapa sawit, karet, kopi dan tanaman hias (Rifai 1988, 1988a, 1989). Akhir-akhir ini, penggunaan tumbuhan dan tanaman untuk tanaman hias meningkat secara drastis, sejalan dengan tumbuhnya kesadaran akan lingkungan hidup yang sehat. Upaya untuk mempopulerkan dan mengembang-kan tanaman hias disadari bahwa komodite ini mendatangkan nilai ekonomi yang cukup menggembirakan. Kehadiran dan perkembangan keanekaragaman tanaman hias tidak luput dari perkembangan lingkungan hijau di perkotaan dan pekarangan. Faktor estetika, kenikmatan, kebahagiaan, kenyamanan yang 386
terangkum dalam ekosistem pekarangan dan taman-taman kota, turut andil dalam pengembangan tanaman hias. Karena factor-faktor itu maka elemen pendukung tanaman menjadi pertimbangan yang penting. Menurut Hasim (2009), keindahan visual tanaman dapat dilihat berdasarkan bentuk percabangan, bentuk keseluruhan, tekstur, warna, dan aroma. Misalnya ketapang (Terminalia catappa), yangliu (Salix babylonica), kecubung (Datura sp.) adalah contoh tanaman dengan system percabangan yang menarik. Tanaman dengan aroma daun yang segar, misalnya daun dilem (Pogostemon cablin), pandan wangi (Pandanus amarillifolius). Tanaman dengan bunga harum, misalnya mawar (Rosa hybrida), melati (Jasminum sambac), cempaka (Michelia champaca). Belum lagi dengan pohon-pohon pinggir jalan seperti kiara payung (Filicium decipiens), tanjung (Mimusops elingi), mahoni (Switenia mahagoni), angsana (Pterocarpus indicus), kenari (Canarium spp.), asam jawa (Tamarindus indica) dan banyak lagi jenis lainnya. Tidak terkecuali tanaman hias di pekarangan yang jenisjenis tanaman hias yang dikembangkan erat kaitannya dengan individu pemiliknya. Akhirnya, praktik pengorganisasian satuan-satuan lansekap dan pemanfaatan tetumbuhan merupakan pengetahuan yang telah teruji secara empirik dan menjadi bagian norma kehidupan masyarakat lokal. Pemaknaan terhadap satuan-satuan lansekap beserta keanekaragaman sumber daya hayati tadi dilandasi atas keyakinan bahwa alam
Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan
semesta dengan segala isinya adalah ciptaan Yang Maha Agung. Berdasarkan keyakinan terhadap alam semesta yang dihayati, menumbuhkan pola-pola sikap perilaku memelihara, memanfaatkan dan mengelola alam yang berkelanjutan dan lestari. Di kalangan komunitas etnik yang masih harmonis ini, manusia merupakan bagian integral dari alam, serta perilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat dan peduli terhadap kelangsungan kehidupan di alam semesta. Dalam konteks inilah maka keseluruhan satuan-satuan lansekap beserta keanekaragaman unsurnya akan mampu menjaga kestabilan ekosistemnya. Ini semua akan menghasilkan ketahanan lingkungan yang menjamin terjelmanya pertumbuhan kesejahteraan mayarakat serta dalam jangka panjang memapankan kemajuan kebudayaan bangsanya. Prinsip seperti ini sebaiknya menjadi cara pandang melihat keanekaragaman etnik di Indonesia yang tidak hanya memberikan pemahaman terhadap flora yang khas Indonesia yang semakin banyak dikenali, tetapi yang lebih penting adalah bahwa perlu adanya kesadaran bahwa pluralitas masyarakat Indonesia justru merupakan potensi tumbuhnya ketahanan sosial dan budaya bangsa Indonesia. KESIMPULAN Prinsip dasar ekologi dalam penelitian etnobotani menjadi bagian penting dalam konteks pengungkapan keanekaragaman hayati tumbuhan bagi kelangsungan hidup manu-sia dan
kemanusiaan, terutama bagi pembangunan bangsa. Jenis-jenis tumbuhan baik liar maupun budidaya, merupakan sumber seluruh sumber daya biologi, tempat manusia mendapatkan seluruh kebutuhan hidup, baik untuk kebutuhan makan, kesehatan maupun produk industri. Oleh karena itu penelitian etnobotani dilakukan dalam kaitan dengan konservasi (pemanfaatan berkelanjutan) yang menjadi bagian prinsip hidup hakiki karena mampu menghasilkan manfaat ekonomi dan pembangunan bangsa (national building). Opini masyarakat yang mempertentangkan kekhasan dan keunikan pengetahuan masyarakat lokal dengan kemajuan spektakuler ilmu pengetahuan dan teknologi perlu disikapi penuh kearifan. Logika berfikir yang mendasari penelitian etnobotani, etnoekologi dan botani ekonomi diharapkan mampu mempersandingkan dan bahkan menguak pengetahuan masyarakat untuk dijadikan sebagai dasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu bidang keilmuan etnobotani, etnoekologi dan botani ekonomi harus dikembangkan menjadi sebuah bidang kajian interdisiplin yang menggambarkan gabungan etnoscience dan ilmu pengetahuan alam untuk meninjau hubungan antara manusia dan lingkungannya terutama yang menyangkut sumber daya tumbuhan. Oleh sebab itu, dalam mensikapi hal ini perlu ada kesepakatan bahwa memahami budaya pengetahuan, ilmu, dan teknologi merupakan sebuah prasarat untuk pengembangan inovasi teknologi dan pembangunan ekonomi. Dengan 387
Eko Baroto Walujo
demikian kekhasan masing-masing kelompok etnis dengan keunikan pengetahuannya tidak perlu dipertentangkan dengan kemajuan spektakuler pengetahuan, ilmu dan teknologi yang dewasa ini sedang mengemuka. Kearifan lokal yang tumbuh dalam interaksi manusia dengan manusia, atau manusia dengan lingkungan dan sebaliknya, pada hakekatnya adalah demi mencari solusi konstruktif jangka panjang. Keseluruhan proses ini sejalan dengan para ilmuwan dalam meniliti melakukan kegiatan mengamati, menirukan, dan memberikan nilai tambah terhadap persoalan lingkungan beserta fenomena yang ada di dalamnya. Bila kesadaran/kognitif seperti ini dipertajam dengan hasil kerja Iptek “modern”, sangat diyakini bahwa pola relasi dan rekayasa manusia Indonesia dengan lingkungan bisa berlangsung secara lebih mantap dan langgeng. Bumi tidak akan melupakan keramahan bila kita tidak lupa untuk mengembangkan kearifan leluhur saat hidup menumpang di dalamnya. Oleh karena itu terdapat beberapa sumber pokok intelektual yang diketahui memiliki andil dalam penelitian etnobotani, yaitu etnoscience, etnoekologi, ekologi manusia dan geografi lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA Achmad, SA, EH. Hakim, L. Makmur, D. Mujahidin, YM Syah &LD. Yuliawati. 2002. Strategi Untuk Obat-obatan yang Berasal dari Tumbuh-tumbuhan. Prosiding Simposium Nasional II Tumbu388
han Obat dan Aromatik. Kehati, LIPI, APINMAP, UNESCO, JICA. Cuff, EC. & GCF. Payne. 1980. Perspective in Sociology. London: George Allen and Unwin. Bab I dan V. Castetter, EF.1944. The domain of Etnobiology. American Naturalist: 1 – 78. Engelbrecht, T. 1916. Über die Entstehung eineger feldmässig angebauter Kulturpflanzen, Geogr. Z, pp. 328-334; quoted by Darlington, C.D. (1963). Chromosome Botany and the Origins of Cultifated Plants. (2nd ed). London. Harlan, JR. & de Wet. 1965. Some thoughts about weeds, Econ. Bot. 19. Pp. 16-24. Hawkes, J.1983. The Diversity of Crop Plants. Harvard University Press, Cambridge Mass. 184 pp. Harshberger, JW.,1895. Some ideas. Philadelphia Evening Telegram. December 5 Harshberger, JW. 1896. The purpose of Ethnobotany. Amer. Antiquarian . 17:2. Hasim, Iin (2009). Tanaman Hias Indonesia. Penerbit Penebar Swadaya. Cimanggis, Depok. IBSAP.2003. Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plant. BAPPENAS. Kaplan, D & RA. Manners 2003. Teori Budaya (terjemahan) Landung Simatupang. Pustaka Pelajar. Edisi III. 294 hal.
Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan
Li, Hui-Lin. 1970. The Origin of Cultivated Plants in Southeast Asia. Econ. Bot. 24: 3-19. Miartha, IW. 2004. Dunia Flora dalam Perspektif Ajaran Hindu. Prosiding Seminar Konservasi Tumbuhan Upacara Agama Hindu. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali. 7 Oktober 2004. Plotkin, MJ. 1991. Traditional knowledge of medicinal plants the search for new jungle medicines. In Akerele, O.Heywood, H.& Synge, H. (Eds). The conservation of medicinal plants. Cambride University. Press, Cambride. Poesponegoro, MD & N.Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia I. Edisi Pemutakhiran. Cetakan ke 2. Jakarta: Balai Pustaka. Pranoto, G. 1999. Potensi dan strategi industrialisasi obat tradisional Indonesia. Makalah dalam Seminar Nasional Pendayagunaan potensi Obat Tradisional Indonesia sebagai Unsur dalam Sistem Pelayanan Kesehatan. BPPT, 9 Maret 1999. Putra, HSA. 1985. Etnosians dan etnometodologi: sebuah perbandingan. Masyarakat Indonesia. Majalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia. 12 (2): 103-134. Renfrew, JW 1976. Palaeoethnobotany. The prehistoric food plants of the near East and Europe. Columbia Univ. Press, New-York. Rifai, MA. 1988. Landasan Citra dan Jatidiri Kebun Indonesia:Akar Sejarah Pertamanan Kita. ASRI,
Majalah Interior, Taman & Lingkungan. 66: 57-59. Rifai, MA. 1988. Landasan Citra dan Jatidiri Kebun Indonesia: Modal Sumber Daya yang Tersedia. ASRI, Majalah Interior, Taman & Lingkungan. 66: 87-90. Rifai, MA. 1989. Landasan Citra dan Jatidiri Kebun Indonesia: Pengaruh Dari Tamadun Timur. ASRI, Majalah Interior, Taman & Lingkungan. 76: 34-35. Rifai, MA. 2006. Pengembangan Praktik Iptek dalam Kehidupan Tradisional: Kasus Manusia Madura. Doc. Rifai. Herbarium Bogoriense. Romana, F. 2006. “Sabulungan”, Kearifan Mentawai Menjaga Hutan. www.kompas.com/kompas-cetak/ 0605/22/tanahair. Sastrapradja, D, S. Adisoemarto, K. Kartawinata., S. Sastrapradja, & MA. Rifai. 1989. Keanakeragaman Hayati untuk Kelangsungan Hidup Bangsa. Puslitbang BioteknologiLIPI. Setijati, S. 1998. Sumber Daya Hayati untuk Ketahanan Pangan Indonesia, dalam Sumber Daya Alam sebagai Modal dalam Pembangunan Berkelanjutan. LIPI. Setijati, S. 2006. Mengelola Sumber Daya Tumbuhan di Indonesia, Mampukah Kita?. Enam Dasawarsa Ilmu dan Ilmuwan di Indonesia. Naturindo. 209 – 232. Soepardiyono. 1998. Pengetahuan Keanekaragaman Tumbuhan dan Pemanfaatan Satuan Lansekap Masyarakat Etnis Dayak di Taman Nasional Bentuan Karimun dan 389
Eko Baroto Walujo
Sekitarnya. [Thesis]. Program Studi Biologi, Program Pasca Sarjana. Universitas Indonesia Smith, C.E.Jr. 1986. Import of palaeo ethnobotanical facts. Econ. Bot. 40 : 267-278. Sturtevant, WC. 1961. Taino agriculture in J. Wilbert (ed) The evolution of horticultural systems in native South America, Antropologica Supplement Public, 2, Caracas: Soc. De Ciencias Naturales La Salla, 69-82. Swaminathan, MS. 1981. Building a National Food Security System. Indian Environment Society, New Delhi. 138 pp. Vavilov, NI. 1926. Studies on the Origin of Cultivated Plants. Bull. Appl.Bot. 16 (2): 139 – 248. Walujo, EB. 1989. Sili, Rumah Tinggal Suku Dani di Lembah Baliem. ASRI, Majalah Interior, Taman & Lingkungan. 76: 36-39. Walujo, EB. 1990. The Spatial Environmental Organization and the Life of Dawan People in Timor, Indonesia. Makalah dalam Second International Conggress of Ethnobiology. Kunming (China), 22-26 Oktober 1990. Walujo, EB., H.Soedjito, EA. Widjaja & MA. Rifai. 1991. Penguasaan Etnoekologi Secuplikan Masyarakat Etnis di Indonesia. Makalah Utama pada KIPNAS V. LIPI 1991. Walujo, EB.1992. Keterintegrasian Ilmu Sosial dengan Ilmu-ilmu Lain di Indonesia. Bunga Rampai Metodologi Penelitian. Departemen 390
Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Pendidikan Tinggi, Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. 173 – 176 Walujo, EB. 1994. Masyarakat Mukoko di Lembah Balim Irian Jaya: Suatu Tinjauan Etnobotani. Dalam Pembangunan Masyarakat pedesaan: Suatu Telaah Analitis Masyarakat Wamena, Irian Jaya. Pustaka Sinar Harapan 119 – 130 p. Walujo, EB. 2004. Pengumpulan Data Etnobotani. Pedoman Pengumpulan Data Keanekaragaman Flora. Pusat Penelitian Biologi – LIPI. Bogor. Walujo, EB. 2007. Penggalian Kearifan Budaya Lokal dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Paper dipresentasikan dalam Seminar Bahasa dan Sastera, Sidang ke 46 MABBIM dan Sidang ke 12 MASTERA. Kuala LumpurMalaysia, 13-14 Maret 2007. Walujo, EB., AP. Keim & MJ. Satsuitoeboen. 2007. Kajian Etnotaksonomi Pandanus conoideus Lamarck untuk Menjembatani Pengetahuan Lokal dan Ilmiah. Berita Biologi 8 (5): 391404. Walujo, EB. 2009. Etnobotani: Memfasilitasi penghayatan, pemutakiran pengetahuan dan kearifan lokal dengan mengguna-kan prinsipprinsip dasar ilmu pengetahuan. Prosiding Seminar Enobotani IV. Cibinong Science Center-LIPI, 18 Mei 2009.
Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan
Wikens, GE. 1990. What is economic botany. Econ. Bot. 44 (1): 12-28 Zeven, AC. & PM. Zhukovsky. 1967. Dictionary of the Cultivated Plants and Their Centre of Diversity. Centre for Agricultural Publishing and Documentation. Wageningen 219 pp. Memasukkan: Juni 2011 Diterima: Agustus 2011
391
J. Biol. Indon. Vol 7, No.2 (2011) PANDUAN PENULIS
Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah disusun dengan urutan: JUDUL (bahasa Indonesia dan Inggris), NAMA PENULIS (yang disertai dengan alamat Lembaga/ Instansi), ABSTRAK (bahasa Inggris, maksimal 250 kata), KATA KUNCI (maksimal 6 kata), PENDAHULUAN, BAHAN DAN CARA KERJA, HASIL, PEMBAHASAN, UCAPAN TERIMA KASIH (jika diperlukan) dan DAFTAR PUSTAKA. Naskah diketik dengan spasi ganda pada kertas HVS A4 maksimum 15 halaman termasuk gambar, foto, dan tabel disertai CD. Batas dari tepi kiri 3 cm, kanan, atas, dan bawah masingmasing 2,5 cm dengan program pengolah kata Microsoft Word dan tipe huruf Times New Roman berukuran 12 point. Setiap halaman diberi nomor halaman secara berurutan. Gambar dalam bentuk grafik/diagram harus asli (bukan fotokopi) dan foto (dicetak di kertas licin atau di scan). Gambar dan Tabel di tulis dan ditempatkan di halam terpisah di akhir naskah. Penulisan simbol α, β, χ, dan lain-lain dimasukkan melalui fasilitas insert, tanpa mengubah jenis huruf. Kata dalam bahasa asing dicetak miring. Naskah dikirimkan ke alamat Redaksi sebanyak 3 eksemplar (2 eksemplar tanpa nama dan lembaga penulis). Penggunaan nama suatu tumbuhan atau hewan dalam bahasa Indonesia/Daerah harus diikuti nama ilmiahnya (cetak miring) beserta Authornya pada pengungkapan pertama kali. Daftar pustaka ditulis secara abjad menggunakan sistem nama-tahun. Contoh penulisan pustaka acuan sebagai berikut : Jurnal : Hara, T., JR. Zhang, & S. Ueda. 1983. Identification of plasmids linked with polyglutamate production in B. subtilis. J. Gen. Apll. Microbiol. 29: 345-354. Buku : Chaplin, MF. & C. Bucke. 1990. Enzyme Technology. Cambridge University Press. Cambridge. Bab dalam Buku : Gerhart, P. & SW. Drew. 1994. Liquid culture. Dalam : Gerhart, P., R.G.E. Murray, W.A. Wood, & N.R. Krieg (eds.). Methods for General and Molecular Bacteriology. ASM., Washington. 248-277. Abstrak : Suryajaya, D. 1982. Perkembangan tanaman polong-polongan utama di Indonesia. Abstrak Pertemuan Ilmiah Mikrobiologi. Jakarta . 15 –18 Oktober 1982. 42. Prosiding : Mubarik, NR., A. Suwanto, & MT. Suhartono. 2000. Isolasi dan karakterisasi protease ekstrasellular dari bakteri isolat termofilik ekstrim. Prosiding Seminar nasional Industri Enzim dan Bioteknologi II. Jakarta, 15-16 Februari 2000. 151-158. Skripsi, Tesis, Disertasi : Kemala, S. 1987. Pola Pertanian, Industri Perdagangan Kelapa dan Kelapa Sawit di Indonesia.[Disertasi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Informasi dari Internet : Schulze, H. 1999. Detection and Identification of Lories and Pottos in The Wild; Information for surveys/Estimated of population density. http//www.species.net/primates/loris/ lorCp.1.html.
J. Biol. Indon. Vol 7, No. 2 (2011)
Kajian Pendahuluan: Perpindahan Gen dari Tanaman Kentang Transgenik Katahdin RB ke Tanaman Kentang Non Transgenik A. Dinar Ambarwati, M. Herman, Agus Purwito , Eri Sofiari,& Hajrial Aswidinoor
277
Virus Influenza Novel H1N1 Babi di Indonesia NLP Indi Dharmayanti, Atik Ratnawati, & Dyah Ayu Hewajuli
289
Karakterisasi Produk Biosolubilisasi Lignit oleh Kapang Indigenus dari Tanah Pertambangan Batubara di Sumatera Selatan Irawan Sugoro, Sandra Hermanto,D. Sasongko,D. Indriani & P. Aditiawati
299
Potensi Virus Avian Influenza H5NI Isolat A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 Sebagai Vaksin R. Indriani, NLP I Dharmayanti, R.M.A Adjid, & Darminto
309
Variasi dan kekerabatan genetik pada dua jenis baru belimbing (Averrhoa leucopetala Rugayah et Sunarti sp nov dan A. dolichorpa Rugayah et Sunarti sp nov., Oxalidaceae) berdasarkan profil Random Amplified Polymorphic DNA Kusumadewi Sri Yulita
321
Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran Horisontal dan Vertikal Katak Hellen Kurniati
331
Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912 di Bali Bagian Barat Mas Noerdjito, Roemantyo &Tony Sumampau
341
Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat Curik Bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) di Kawasan Labuan Lalang, Taman Nasional Bali Barat Roemantyo
361
Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan Manusia dengan Tumbuhan dan Lingkungannya Eko Baroto Walujo
375