JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
ISSN 2087-5622
Pengantar Redaksi
J
urnal Bina Adhyaksa kembali terbit dengan menyajikan tulisan-tulisan yang menarik terkait hukum yang diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca setia. Jajaran Pusat Penelitan dan Pengembangan Kejaksaan Republik Indonesia tiada hentinya berusaha untuk selalu dapat memenuhi keinginan para pembaca setia yang selalu menantikan terbitnya jurnal ini guna menambah wawasan. Pada Edisi ini, Jurnal Bina Adhyaksa menyajikan 5 (lima) judul tulisan yang bervariasi topik dan pembahasan, sehingga diharapkan dapat menambah diversifikasi pengetahuan dan mengasah khasanah berfikir para pembaca. Penulis Raja Onggal Siahaan menulis judul “Mewujudkan Demokrasi Melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2015 – Masalah dan Solusi”, I Made Widnyana menulis Judul “Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia”, Kardisi menulis judul “Wacana Pembentukan Pembantu Jaksa”, Sri Wartini menulis judul “Peran Jaksa Sebagai Tim Asesmen Terpadu Dalam Penerapan Kebijakan Rehabilitasi Bagi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika”, dan Abik Afada menulis judul “Analisis Peran Auditor Internal Dalam Peningkatan Kinerja Kejaksaan (Studi Kasus Pada Auditor Internal Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara). Akhir kata, redaksi berharap edisi terbitan kali ini melalui tulisan-tulisan yang disajikan dapat bermanfaat dan menambah wawasan para pembaca.
Salam Adhyaksa Redaksi
i
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
ISSN 2087-5622
Daftar Isi Kata Pengantar ................................................................................................................................
i
Daftar Isi ............................................................................................................................................
iii
Mewujudkan Demokrasi Melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2015 - Masalah dan Solusi / The Implementation of Democracy through Regional Chief Election Concomitantly on 2015 – Problems and Solutions .....................................
Raja Onggal Siahaan Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia / Adat Criminal Law In Indonesian Legal System .............................................................................
I Made Widnyana Wacana Pembentukan Pembantu Jaksa / Asistant Attorney
Discourse Formation .......................................................................................................................
Kardisi
231 - 258
259 - 289
291 - 306
Peran Jaksa Sebagai Tim Asesmen Terpadu Dalam Penerapan Kebijakan Rehabilitasi Bagi Pecandu Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika / Attorney role as an integrated
assessment team in the implementation of policies for the rehabilitation of addicts and victims of drug abuse ...........................................................................................
Sri Wartini
307 - 318
Analisis Peran Auditor Internal Dalam Meningkatkan Kinerja Kejaksaan (Study Kasus pada Auditor IntErnal Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara) / Analysis Of Internal Auditor Role In Improving The Performance Of Attorney (Case Study In Internal Auditor For High Attorney North Sulawesi) ......................................................................
319 - 340
Abik Afada Lampiran : EXECUTIVE SUMMARY SEMINAR NASIONAL 2015 “PENYELESAIAN SECARA NON YUDISIAL PERKARA PELANGGARAN HAM BERAT MASA LALU DALAM UPAYA MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM DAN STABILITAS NASIONAL" ...............................................................................................
341- 348
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
ISSN 2087-5622
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. Raja Onggal Siahaan
Abstrak
Mewujudkan Demokrasi Melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2015 - Masalah dan Solusi
Hukum Pidana Adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang sudah ada sejak lama dan mendapat pengaruh berbagai agama, diikuti dan ditaati oleh masyarakat secara terus menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hukum Pidana Adat hingga saat ini tetap eksis dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat adat di daerah Bali berdasarkan peraturan lokal yaitu adanya 4 (empat) buku hukum (Agama, Adi Agama, Purwa Agama dan Kutara Agama) dan Awigawig Desa Adat di Bali, serta berbagai aspirasi yang bersumber dari kebijakan legislatif nasional setelah kemerdekaan, kesepakatan ilmiah dalam pelbagai seminar atau pertemuan ilmiah lain yang bersifat nasional, dan aspirasi yang bersifat sosiologis. Dengan diberikan dasar hukum bagi penerapan hukum pidana adat melalui Undang-Undang Nomor 1/Drt/1951 maka makna asas legalitas tidak lagi hanya bermakna formal (tertulis/berdasarkan undang-undang) saja, tetapi juga bermakna materiil (berdasarkan hukum tidak tertulis). Hukum Pidana Adat mempunyai pengaruh yang penting dalam rangka pembaharuan hukum pidana, karena keberadaan hukum pidana adat mempengaruhi pembentukan hukum pidana nasional khususnya dalam rangka pembentukan KUHP. Hal ini dapat diketahui dari dimasukkannya beberapa jenis tindak pidana adat yang berlaku di daerah Bali ke dalam RUU KUHP, seperti tindak pidana adat Lokika Sanggraha (Pasal 483 sub e), Kumpul Kebo (Pasal 485) dan Gamia Gamana/ Incest (Pasal 487), serta dirumuskannya tindak pidana pencurian benda-benda suci keagamaan atau benda yang dipakai untuk kepentingan keagamaan (Pasal 603) dan perusakan tempat ibadah atau benda yang dipakai untuk beribadah (Pasal 348) ke dalam RUU KUHP. Tindak pidana adat dan yang berhubungan dengan agama ini perlu dipertahankan dengan alasan: a). tindak pidana atau perbuatan pidana ini tidak hanya dikenal di daerah Bali, tetapi pengertian dan unsurunsurnya juga dikenal di daerah lain; b). untuk adanya keadilan dan kepastian hukum, sebab hingga saat ini masih banyak pelaku perbuatan pidana tersebut di daerah lain, tidak terjangkau oleh hukum pidana positif karena hukum adat daerah tersebut tidak mengenalnya lagi; c). mengingat masyarakat bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang mengenal adat istiadat serta pandangan keagamaan yang kuat, tentu akan mempunyai sudut pandang yang sama, bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum dan tercela yang patut diberi sanksi demi adanya keadilan dan kepastian hukum;
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - Juli 2015,
Hal. 231
Abstrak Demokrasi adalah wujud suatu negara hukum. Dengan pemilihan umum maka akan ditentukan siapa yang menjadi penguasa untuk mengatur kehidupan rakyat sehari-hari dan juga untuk menentukan siapa-siapa yang menjadi wakil rakyat dan menentukan apa yang menjadi kehendak rakyat. Berbicara tentang Pemilu, maka hal tersebut tidak dapat dilepaskan dengan partai politik. Sebab partai politiklah yang ditentukan UU untuk mengumpulkan kehendak rakyat menjadi volonte generale secara efektif dan mengusung calon untuk dipilih rakyat sebagai penguasa. Dengan pemilihan-pemilihan yang dilakukan secara teratur , jujur, terbuka dan berdasarkan ketentuan yang berlaku, maka akan terpilih pejabat-pejabat pemerintahan dalam suatu proses yang kompetitif dan terbuka. Pemilihan kepala daerah menunjukkan bahwa kekuasaan politik berasal dari rakyat dan dipercayakan untuk kepentingan rakyat; dan bahwa kepada rakyatlah para politisi harus mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan mereka. Dengan demikian tujuan Pemilu ditingkat nasional adalah: 1. Untuk memilih kepala pemerintahan atau kepala eksekutif dan untuk menetapkan kebijakan umum yang akan dilaksanakan oleh pemerintah terpilih; 2. Untuk memilih anggotaanggota lembaga perwakilan legislatif atau parlemen, yang akan menetapkan peraturan perundang-undangan dan ketentuan perpajakan serta mengawasi kegiatan pemerintah demi kepentingan rakyat. Dengan demikian pilkada selain sarana mewujudkan demokrasi dalam suatu negara hukum sekaligus memberikan legitimasi terhadap penguasa terpilih. Kata kunci : negara hukum, demokrasi, pilkada, legitimasi penguasa. I Made Widnyana Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - Juli 2015,
Hal. 259
d). untuk adanya kodifikasi dan unifikasi hukum pidana, sebagaimana diamanatkan oleh GBHN, dengan memperhatikan hukum dan kesadaran hukum yang hidup/berkembang dalam masyarakat; e). melindungi derajat kaum wanita agar tidak dihina dan dipermainkan oleh kaum pria; f). menghindari lahirnya anak dengan status anak bebinjat (anak luar kawin). Sanksi/kewajiban pemenuhan adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai pidana tambahan (Pasal 67 ayat (1 e) RUU KUHP, perlu tetap dipertahankan karena dipandang mempunyai pengaruh yang penting dalam rangka untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh perbuatan pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Kata kunci: hukum pidana adat, eksistensi, landasan hukum, sistim hukum Indonesia. Kardisi Wacana Pembentukan Pembantu Jaksa Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Juli 2015,
Hal. 291
Abstrak Jaksa merupakan satunya aparatur penegak hukum yang terlibat dalam penanganan suatu perkara mulai dari awal (penyidikan) sampai akhir (eksekusi). Selain itu, jaksa juga memiliki tugas-tugas lain di bidang Datun maupun di bidang ketertiban dan ketentraman umum. Beratnya beban tugas dan fungsi jaksa ternyata tidak diimbangi oleh dukungan jumlah personil jaksa yang memadahi dan tenaga pembantu jaksa, sehingga pelaksanaan tugas dan fungsi jaksa sering kali kurang maksimal. Oleh karena itu, ke depan perlu dibentuk pegawai fungsional pembantu jaksa yang bertugas membantu setiap satu orang jaksa dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, khususnya dalam bidang penegakan hukum agar pelaksanaan tugas dan fungsi tersebut dapat terlaksana secara baik. Kata kunci: jaksa, kejaksaan, pembantu jaksa Sri Wartini Peran Jaksa Sebagai Tim Asesmen Terpadu Dalam Penerapan Kebijakan Rehabilitasi Bagi Pecandu Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015,
Hal. 307
Abstrak Narkotika merupakan suatu zat yang bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Akan tetapi, penyalahgunaan narkotika mengakibatkan
kecanduan dan ketergantungan bagi pengguna, sehingga merugikan baik bagi pengguna maupun masyarakat khususnya generasi muda. Penjelasan Pasal 21 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa pecandu narkotika sejauh mungkin ditahan di tempat tertentu yang sekaligus merupakan tempat perawatan. Terhadap pengguna atau pecandu narkotika dapat dilakukan rehabilitasi berupa rehabilitasi medis, rehabilitasi pendidikan, rehabilitasi sosial, rehabilitasi berbasis masyarakat, rehabilitasi vokasional dan rehabilitasi dalam keluarga. Tim asesmen terpadu yang terdiri dari Tim Dokter meliputi dokter dan psikologi, tim hukum yang meliputi Polri, BNN, Kejaksaan dan Kemenkumham dibentuk oleh pemerintah dalam rangka melakukan asesmen terhadap pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika. Fungsi kejaksaan sebagai anggota tim asesmen adalah memberikan analisis terhadap penyalahguna narkotika dan melakukan asesmen dan analisis medis, psikososial, serta merekomendasi rencana terapi dan rehabilitasi seseorang. Kata kunci : kejaksaan, narkotika, tim asesment, rehabilitasi, kebijakan Abik Afada Analisis Peran Auditor Internal Dalam Meningkatkan Kinerja Kejaksaan (Study Kasus pada Auditor Internal Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara) Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Juli 2015,
Hal. 319
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memperkuat Tugas pokok dan fungsi Auditor Internal dalam rangka meningkatkan kualitas laporan keuangan sehingga mampu memperbaiki kinerja, melakukan komunikasi dengan auditor BPKP, Membantu Jaksa dalam perkara tindak pidana korupsi dan membantu jaksa dalam urusan penghitungan kerugian keuangan Negara. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan metode observasi lapangan dan wawancara. Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara senantiasa memperbaiki kinerja dalam upaya refomasi birokrasi sehingga dalam perkara tindak pidana korupsi mampu memaksimalkan peran auditor internal dalam proses penghitungan kerugian keuangan Negara. Kata kunci : peranan, kinerja, korupsi
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 5 No. 3 - 31 July 2015
ISSN 2087-5622
Keywords sourced from the article. This Abstract sheet may be copied without permission and fees.
Raja Onggal Siahaan The Implementation of Democracy through Regional Chief Election Concomitantly on 2015 – Problems and Solutions Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - July 2015,
Page. 231
Abstract Democracy is a form of State of law. We could determine who will be the Ruler to govern people’s daily life, who will be the representative, and what are the people wants through general election. Discussion about general election will authomatically discuss about political party as the people’s voice gather or to volonte generale effectively and to support the chosen candidate as a Ruler. We can derive government leaders from an open competitive process by doing elections orderly, honestly, and openly according to the regulations. The Regional Chief Election shows that the political power comes from people, entrusted to the people interest, and to whom politicians will be accountable for their actions. Furthermore, the purpose of national elections are to choose the Government Leaders or Executive Leaders and to establish general policies to be perform by the elected government, and to choose the representatives or parliament members, who will set the laws and tax provisions and to supervise the government activities for the people’s benefit. Therefore, the regional chief election is a way to implement democracy in a State of law and to legitimate the elected leaders. Keywords : state of law, democracy, regional chief election, the government legitimacy. I Made Widnyana Adat Criminal Law In Indonesian Legal System Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - July 2015,
Page. 259
Abstrack Adat criminal law is original unwritten Indonesian law contains religious values, followed and respected by the community over time and from generation to generation. Adat criminal law is still exist and applied in community life in Bali based on local regulations (four law books i.e. Agama, Adi Agama, Purwa Agama, Kutara Agama and Adat Village Regulations
or Awig-awig Desa Adat), national aspirations, i.e. legislation policy, the results of national seminars, and sociological aspiration. Based on Law Number 1/ Drt/1951, the principle of legality has two meanings i.e. not only in a formal sense (written law in legislations) but also in a material sense (unwritten law or living law). Adat criminal law has a significant influence in renewal criminal law, because the existence of adat criminal law recognized in accordance with the establishment of national criminal law especially in relation to the Draft of Criminal Code. It can be knowing, especially from some of the Balinese adat criminal acts which have been included into the draft of Indonesian Criminal Code, e.g. sex offence (Article 483 sub e), living together in one house like husband and wife under no marital status (Article 485), incest (Article 487), the stealing sacred paraphernalia or elements that are used for religious purposes (Article 603), the ruining of religious sacred paraphernalia or elements that are used for praying (Article 348). The reasons for including these articles are: a). these kinds of criminal acts are not only fount in Bali. Its meaning and elements are recognized in other areas also; b). to maintain justice and the certainty of law because there are many law breakers in regions outside Bali who have not been punished by positive criminal law and their acts have also not been punished under the local customary law in those regions when community morality says they should be; c). since Indonesian people recognize their customs and have a strong religious perceptions, they indeed, have the same point of view that this sort of immoral behavior should be punished in the name of justice and the certainly of law; d). for the codification and unification purposes of criminal law as stipulated in GBHN (Broad Outlines of Nation’s Direction) by including unwritten law and living law that exists in community; e). to protect the women; f). to avoid illegitimate born of child. Adat punishment or customary duty fulfillment as an additional penalty (Article 67 part 1 sub e), would continue in force because it has an important role in conflict resolution, restoring the balance because of criminal acts and cause to be brought in peaceful in the community. Keywords: adat criminal law, existency, legal basis, Indonesian legal system
Kardisi
Asistant Attorney Discourse Formation Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - July 2015,
Page. 291
Abstract Attorney is the only law enforcement officials involved in the handling of a case from the beginning (the investigation) to the end (execution). In addition, prosecutors also have other tasks in the field of Datun and in the field of public order and peace. Burden of duties and functions of the prosecutor was not matched by support personnel memadahi prosecutors and auxiliary personnel prosecutor, so that the tasks and functions of prosecutors are often less than the maximum. Therefore, in the future need to be established auxiliary functional employee prosecutor assigned to assist every single person in the execution prosecutor duties and functions, especially in the field of law enforcement so that the tasks and functions can be executed properly. Keywords: attorney, assistant attorney __________________________ Sri Wartini Attorney role as an integrated assessment team in the implementation of policies for the rehabilitation of addicts and victims of drug abuse. Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - July 2015,
Page. 307
Abstrack Narcotics is a substance that is beneficial and necessary for the treatment of certain diseases. However, drug abuse lead to addiction and dependency for the user, to the detriment of both the user and the community, especially the youth generation. Elucidation of Article 21 paragraph (4) letter b of Law No. 8 of 1981 on Criminal Procedure states that a suspect or defendant drug addict as far as possible be detained in a particular place which is also a place of care. To users or drug addicts can be rehabilitated in the form of medical rehabilitation, educational rehabilitation, social rehabilitation, community based rehabilitation, vocational rehabilitation and rehabilitation in the family. Integrated assessment team consisting of medical team include doctors and psychology and legal team that includes Police, The National Narcotics Agency, Prosecutor and Ministry of Law and Human Rights, formed by the government in order to assess the drug addicts and victims of drug abuse. Function of the Prosecutor as a member of the assessment team is
to provide an analysis of drug abusers and conduct an assessment and analysis of medical, psychosocial, and recommend a plan of therapy and rehabilitation of a person. Keywords: attorney, narcotics, team assessment, rehabilitation, policy. Abik Afada Analysis Of Internal Auditor Role In Improving The Performance Of Attorney (Case Study In Internal Auditor For High Attorney North Sulawesi) Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - July 2015,
Page. 319
This study aimed to strengthen the principal tasks and functions of the Internal Auditor in order to improve the quality of financial statements so as to improve performance, make communication with BPKP auditor, Helping prosecutor in criminal cases of corruption and assist prosecutors in the calculation of financial loss of State affairs. This study used qualitative research methods field observations and interviews. North Sulawesi High Court in an effort to continually improve the performance of bureaucratic reforms resulting in corruption cases is able to maximize the role of internal auditors in the process of calculating the financial losses of the State. Keywords: role, performance, corruption
MEWUJUDKAN DEMOKRASI MELALUI PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA) SERENTAK TAHUN 2015 MASALAH DAN SOLUSI 1 The Implementation of Democracy through Regional Chief Election Concomitantly on 2015 – Problems and Solutions Raja Onggal Siahaan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung Dosen Tidak Tetap, S.1, S.2 dan S.3 Pada Universitas Negeri Manado, Univ. Bhayangkara Jaya, Univ. Mpu Tantular Email :
[email protected] (Diterima tanggal 15 Juli 2015, direvisi tanggal 22 Juli 2015, disetujui tanggal 31 Juli 2015) Abstrak Demokrasi adalah wujud suatu negara hukum. Dengan pemilihan umum maka akan ditentukan siapa yang menjadi penguasa untuk mengatur kehidupan rakyat sehari-hari dan juga untuk menentukan siapa-siapa yang menjadi wakil rakyat dan menentukan apa yang menjadi kehendak rakyat. Berbicara tentang Pemilu, maka hal tersebut tidak dapat dilepaskan dengan partai politik. Sebab partai politiklah yang ditentukan UU untuk mengumpulkan kehendak rakyat menjadi volonte generale secara efektif dan mengusung calon untuk dipilih rakyat sebagai penguasa. Dengan pemilihan-pemilihan yang dilakukan secara teratur, jujur, terbuka dan berdasarkan ketentuan yang berlaku, maka akan terpilih pejabat-pejabat pemerintahan dalam suatu proses yang kompetitif dan terbuka. Pemilihan kepala daerah menunjukkan bahwa kekuasaan politik berasal dari rakyat dan dipercayakan untuk kepentingan rakyat; dan bahwa kepada rakyatlah para politisi harus mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan mereka. Dengan demikian tujuan Pemilu ditingkat nasional adalah: 1. Untuk memilih kepala pemerintahan atau kepala eksekutif dan untuk menetapkan kebijakan umum yang akan dilaksanakan oleh pemerintah terpilih; 2. Untuk memilih anggota-anggota lembaga perwakilan legislatif atau parlemen, yang akan menetapkan peraturan perundang-undangan dan ketentuan perpajakan serta mengawasi kegiatan pemerintah demi kepentingan rakyat. Dengan demikian pilkada selain sarana mewujudkan demokrasi dalam suatu negara hukum sekaligus memberikan legitimasi terhadap penguasa terpilih. Kata kunci : negara hukum, demokrasi, pilkada, legitimasi penguasa. Abstract Democracy is a form of State of law. We could determine who will be the Ruler to govern people’s daily life, who will be the representative, and what are the people wants through general election. Discussion about general election will authomatically discuss about political party as the people’s voice gather or to volonte generale effectively and to support the chosen candidate as a Ruler. We can derive government leaders from an open competitive process by doing elections orderly, honestly, and openly according to the regulations. The Regional Chief Election shows that the political power comes from people, entrusted to the people interest, and to whom politicians will be accountable for their actions. Furthermore, the purpose of national elections are to choose the Government Leaders or Executive Leaders and to establish general policies to be perform by the elected government, and to choose the representatives or parliament members, who will set the laws and tax provisions and to supervise the government activities for the people’s benefit. Therefore, the regional chief election is a way to implement democracy in a State of law and to legitimate the elected leaders. Key Words : State of Law, Democracy, Regional Chief Election, the Government Legitimacy.
I. Pendahuluan : Wilayah negara Republik Indonesia yang begitu luas dan sebagian dipisahkan oleh lautan dan atau sungai-sungai besar ditambah pemberian kewenangan untuk mengatur diri sendiri yang begitu luas (otonom) sudah tentu kondisi ini sebagai suatu keadaan yang rentan
untuk terurainya negara kesatuan menjadi negara federal atau bahkan berdiri menjadi negara-negara baru seperti yang terjadi pada negara Uni Sovyet. Karena itu pemberian dan penerapan kewenangan otonomi kepada pemerintah daerah/kota sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004
1 Sebagian materi dalam tulisan ini merupakan bahan kuliah yang diberikan kepada mahasiswa Program Pascasarjana ( S.2 dan S.3 ) Universitas Negeri Manado di Tondano.
Mewujudkan Demokrasi Melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2015. - Raja Onggal Siahaan
231
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana dirubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang berpotensi dapat memecah negara kesatuan R.I perlu selalu diwaspadai terutama dalam pengambilan kebijakan-kebijakan pilitik dan hukum diberbagai peraturan perundangundangan yang dapat digunakan sebagai dasar ketidakpuasan, diskriminasi, peluang terjadinya perpecahan oleh sebagian daerah otonom (UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan otonomi daerah yang begitu kuat sangat terkesan seperti menciptakan negara dalam negara). Kebijakan pembangunan politik, hukum, ekonomi, keamanan, keuangan, sosial budaya, agama, pertanian, pendidikan, sarana prasarana, infrastruktur pembangunan lainnya, oleh pemerintah pusat harus dapat menangkap aspirasi pembangunan yang perlu, dibutuhkan dan sedang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah, sebagai sinkronisasi kebutuhan rakyat di daerah yang perlu segera dipenuhi. Selain itu seluruh elemen negara dan masyarakat harus sepakat untuk mengawal dan menjaga keberlangsungan NKRI, dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, kapan dan dimanapun itu. Masalah SARA yang rawan menjadi pemicu perpecahan harus disadari untuk selalu dihindari agar NKRI tetap terjaga keberlangsungannya. Bahwa pengaturan mengenai NKRI secara tegas disebutkan dalam pasal 1 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan : Negara Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk Republik; yang kemudian dijabarkan dalam pasal 18 ayat (1) yang berbunyi : Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.2 Pengaturan otonomi 2 Lebih lanjut tentang otonomi daerah diperinci dalam pasal 18 ayat (2) : (2) Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (3) Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. (4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. (5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undangundang ditentukan sebagai urusan Pemerintah. (6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. (7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
232
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
daerah ini memang perlu dilakukan mengingat jumlah daerah otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI sehingga, dengan maksud untuk kecepatan dalam pemberian pelayanan dan penanganan pembangunan daerah dalam rangka mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara lebih merata maka konsep desentralisasi harus dilakukan secara lebih luas dan transparan. Pemilihan kepala daerah (pilkada) diatur dalam pasal 18 ayat (4) UUD tahun 1945 yang menyatakan bahwa, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Dari bunyi pasal ini sesungguhnya UUD tidak memberi perintah bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah. Jadi adanya pemilihan wakil kepala daerah secara langsung berpasangan dengan kepala daerah pada dasarnya hanya merupakan konsep persamaan atau persesuaian dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan, sekalipun dalam praktek perjalananan pemerintahan pasangan kepala daerah dengan wakil kepala daerah selalu tidak harmonis, bahkan terkesan selalu ingin menjatuhkan satu sama lain, selalu saja ingin adanya “matahari kembar.” Wakil kepala daerah yang diharapkan dapat membantu atau bersinergi dengan kepala daerah justru hubungan keduanya selalu ingin saling melemahkan. Bisa jadi hal ini terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang tidak sama dengan partai politik kepala daerah sehingga yang nampak adalah politik saling mewaspadai dan bukan tidak mungkin secara terselubung ingin saling melemahkan atau bahkan ingin saling menjatuhkan. Kondisi ini akan semakin kentara pada saat-saat masa jabtan kepala/wakil kepala daerah akan berakhir dan keduanya akan maju lagi namun sudah tidak berpasangan lagi baik karena sudah tidak cocok atau karena merasa lebih kuat, lebih berpotensi untuk memenangkan pilkada sekalipun tanpa pasangannya sebelumnya. Karena itu perlu dicarikan sistem pemilihan Sebelum perubahan kedua tanggal 18 Agustus 2000 pasal 18 UUD 1945 berbunyi : Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistim Pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa.
kepala daerah dengan atau tidak berpasangan dengan wakil kepala daerah agar wakil kepala daerah dapat secara nyata menjadi tenaga potensial membantu kesuksesan program kepala daerah dalam rangka mensejahterakan masyarakat. Untuk terciptanya demokrasi dan pilkada yang sungguh-sungguh sebagai perwujudan kedaupreferensilatan rakyat yang sejalan dengan tujuan hukum pembentukan peraturan perundang-undangan pilkada, maka sistem hukum yang dikemukakan Friedmann perlu secara terus menerus disosialisasikan3 baik kepada pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah dan juga kepada masyarakat untuk menjadikan demokrasi melalui pilkada dapat menjadi pesta rakyat yang terhindar dari politik uang dan politik saling mengancam atau dengan melakukan kekerasan untuk memenangkan calon kepala daerah yang dijagokan. Apabila kita flashback, salah satu ciri negara hukum4 adalah bahwa pemerintahannya bertindak berdasarkan ketentuan hukum dimana hak-hak rakyat dilindungi oleh hukum termasuk menyalurkan hak suaranya sebagai pelaksanaan kekuasaan tertinggi ditangan rakyat. Dengan amanat melaksanakan kedaulatan rakyat, maka sistem pemerintahan yang cocok dalam suatu negara hukum adalah sistem demokrasi. Penjabaran demokrasi dalam UUD 1945 disebut dengan “ kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”.5 Hal terpenting dalam demokrasi adalah dilakukannya pemilihan baik anggota legislatif dan pimpinan eksekutif di semua tingkatan (kabupaten/kota, provinsi dan pusat). Apabila rakyat dikatakan sebagai yang berdaulat maka rakyat ikut serta secara aktif untuk menentukan arah tujuan negara melalui penentuan kehendak rakyat secara langsung. Namun dengan jumlah penduduk yang begitu besar dan wilayah yang sangat luas, 3 Sistem hukum menurut Friedmann terdiri dari materi atau subtansi hukum, struktur hukum (legal structure) – instansi yang menjadi pelakupelaku atau yang menjalankan materi hukum secara kelembagaan dan budaya hukum (legal culture) yaitu ketaaatan untuk mematuhi hukum secara sukarela karena sadar bahwa hukum sejak awal dimaksudkan untuk kebaikan bersama. 4 Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan ketiga (9 Novenmber 2001), berbunyi : Negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam UUD tahun 1945 sebelum perubahan penyebutan Indonesia sebagai negara hukum hanya terdapat dalam penjelsan umum pada bagian Sistem pemerintahan Negara yang menyebut : Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaats) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaats). 5 Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (perubahan ketiga).
sungguh sangat tidak mungkin apabila seluruh keputusan-keputusan, kebijakan-kebijakan negara yang diambil oleh pemerintah sebagai perwujudan kedaulatan rakyat harus meminta secara langsung persetujuan rakyat setiap saat. Model yang dipakai untuk menyalurkan aspirasi rakyat dilakukan dengan pemilihan perwakilan khususnya perwakilan rakyat baik untuk lembaga legislatif maupun dewan perwakilan daerah (DPD) dan pemilihan kepala pemerintahan pusat (presiden), provinsi (gubernur) dan kabupaten kota (bupati/ walikota). Secara khusus dalam tahun 2015 untuk pemilihan gubernur dan bupati/walikota akan dilaksanakan pada 9 Desember 2015 secara serentak. Sesuai dengan UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656), sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, tanggal 18 Maret 2015, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, dalam pasal 201 ayat (1) dinyatakan bahwa : “Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dan bulan Januari sampai dengan bulan Juni tahun 2016 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Desember tahun 2015.” Penjelasan pasal 201 UU Nomor 8 Tahun 2015 menegaskan bahwa bunyi pasal 201 sudah cukup jelas. Karena itu menjadi sangat tidak masuk akal apabila ada pihak-pihak meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak sebagaimana diamanatkan pasal 201 ayat (1) hanya karena masalahmasalah yang sesungguhnya bukan menjadi hal yang luar biasa (keadaan memaksa atau darurat) yang dapat menyebabkan perlunya
Mewujudkan Demokrasi Melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2015. - Raja Onggal Siahaan
233
penundaan Pilkada serentak dilakukan dalam bulan Desember 2015. Adalah tepat seperti apa yang dikatakan Ketua Dewan Perwakilan Daerah R.I (DPD RI), Irman Gusman dalam Harian Kompas 22 Juni 2015, yang mengatakan bahwa mengaitkan hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan KPU dan pilkada itu tidak relevan dan mengada-ada. Hasil pemeriksaan BPK harus ditindaklanjuti KPU, aparat penegak hukum pun bisa menindak lanjuti jika ditemukan unsur pidana. Namun hal tersebut tidak dapat dikaitkan dengan pilkada serentak, terlebih menunda pilkada serentak.6 Hal serupa disampaikan oleh Ketua KPU, Husni Kamil Manik, yang mengatakan meski laporan keuangan KPU dipermasalahkan, namun hingga saat ini pilkada telah berjalan sesuai dengan jadwal yang dibuat oleh KPU dan akan terus berjalan sesuai jadwal. Bahkan menurutnya, setidaknya 75 % hasil temuan BPK telah ditindak lanjuti KPU. Sementara itu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) menolak wacana diundurnya pelaksanaan pilkada serentak. Menurut KIH, Pelaksanaan Pilkada tersebut merupakan perintah Undang-undang dan yang melaksanakan adalah KPU (Komisi Pemilihan Umum) sebagai penyelenggara. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan masalah pengelolaan keuangan di KPU, namun hal tersebut tidak menghalangi pelaksanaan pilkada serentak 9 Desember 2015.7 Dalam rapat dengar pendapat antara KPU dengan Komisi II DPR RI, terkesan cukup “aneh” karena dalam rapat di Komisi II itu terdapat dua anggota DPR RI yang berasal dari Fraksi Golkar namun dari komisi lain, yaitu M. Misbakhun (Komisi XI) dan John Kennedy Aziz (Komisi III) ikut nimbrung dalam rapat di Komisis II yang berarti bukan komisi yang sesungguhnya dari anggota Golkar tersebut ditugaskan. Anggota Komisi XI DPR RI, M. Misbakhun, justru yang paling galak bertanya seolah menyalahkan kinerja KPU dikaitkan dengan pelaksanaan Pilkada serentak bulan desember 2015.8 Pengamat politik Centre for Strategic 6 Ada Upaya Melemahkan KPU. Harian KOMPAS, Senin, tanggal 22 Juni 2015, hlm. 2. 7 Hasil Audit BPK Dianggap Bukan Halangan. Elite KIH Kompak Tolak Wacana Pilkada Serentak Diundur. Harian Rakyat Merdeka, Senin, tanggal 22 Juni 2015, hlm. 3. 8 Harian Rakyat Merdeka, selasa, 23 Juni 2015, hal .7, “Dead Line KPU 10 Hari Tindaklanjuti Temuan BPK”. M. Misbhakun, “ Temuan BPK menyebutkan ketidakpatuhan itu terstruktur, sistematis dan masih. Ketua KPU bilang kepada media massa, sudah 75 % mekenindaklanjuti temuan
234
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
and International Studies (CSIS), J. Kristiadi menilai, DPR hanya bekerja untuk kepentingan sendiri dari pada menjalankan mandat rakyat. Mereka memanipulasi mandat rakyat untuk kepentingan subyektif. J. Kristiadi menilai, upaya itu muncul karena nasib partai Golkar dan PPP untuk mengikuti pilkada serentak masih belum jelas akibat kepengurusan ganda. Demi solidaritas, anggota DPR dari partai politik lain ikut menekan KPU. Sepatutnya DPR sebagai wakil rakyat justru membantu KPU agar tahapan pilkada berjalan lancar sesuai jadwal. Apalagi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan walikota yang mengamanatkan pilkada serentak tahap pertama dimulai Desember 2015 juga merupakan produk legislasi DPR. Sedang Ketua DPR Setya Novanto (yang berasal dari partai Golkar) mengatakan, temuan BPK menyangkut penyimpangan yang mengarah pada kerugian negara. Hal ini sangat serius. Karena itu, kami berharap Komisi II dan KPU bisa berkoordinasi dan mencari jalan keluar.9 Jadi sungguh sangat ironis, apabila anggota DPR yang membahas produk legislasi (hanya dengan alasan untuk menunjukkan soliditas partai yang tergabung dalam satu kelompok..???) justru mau seenaknya saja mengabaikan bunyi pasal UU yang dihasilkannya dan sudah disepakati. Masalah penegakan hukum memang bisa saja ada kaitannya dengan hasil temuan BPK. Tetapi harus di pahami bahwa penyimpangan kebijakan harus dipertanggungjawabkan hanya kepada mereka yang melakukan penyimpangan sedang kewenangan lembaga (KPU) harus tetap berjalan siapapun yang menggerakkan atau menjalankan kewenangan itu dan tidak tergantung dengan pejabat tertentu karena pejabat yang tidak dapat menjalankan tugasnya dapat saja seketika diganti oleh pejabat lain untuk menggerakkan tugas dan fungsi lembaga tersebut sesuai kewenangan yang dimilikinya. BPK, tindaklanjut itu apa ? Karena ada ancaman pidana bila temuan BPK tidak ditindaklanjuti.” Dia mengatakan, simpang siur informasi tentang agenda rapat, jangan dimanfaatkan KPU untuk menghindari agenda pembahasan temuan BPK. 9 Harian Kompas, selasa, 23 Juni 2015, “Pilkada Tetap Sesuai Jadwal,” hal. 2. Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Saut Hamonagan Sirait mengatakan, pandangan sejumlah anggota DPR terlalu berlebihan. Beri kesempatan kepada KPU menyelesaikannya. Kalau ada yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, bisa diserahkan ke penegak hukum. Tak ada kaitannya dengan pilkada, apalagi berniat mengganti anggota KPU.
Jika diperhatikan, terlalu banyak lembaga atau instansi pemerintahan khususnya pemerintahan kabupaten dan kota dimana temuan BPK menyatakan tidak wajar, wajar dengan pengecualian atau bahkan dikategorikan sebagai disclaimer, tetapi kewenangan lembaga tersebut tetap berjalan normal dan dijalankan oleh pejabat yang berwenang dan dalam hal pejabat tersebut berurusan dengan hukum sehingga harus ditahan maka pejabat lain dapat menggantikannya dengan penunjukan pelaksana tugas (sebelum pejabat definitif ditetapkan), namun kewenangan yang dimiliki lembaga atau instansi tersebut terus berjalan sesuai jadwal kegiatan yang sudah terencana sebelumnya. Bahkan apabila kelak ada anggota komisioner yang oleh penegak hukum (KPK, Kejaksaan atau Polri) menjadi tersangka atau mungkin juga ditahan penegak hukum, tetapi kewenangan KPU untuk menyelenggarakan pilkada serentak tidak boleh berhenti. Pernyataan ini tegas dan keras tapi memang begitulah bunyi UU. Harus dipahami bahwa sesungguhnya kewenangan itu diberikan dan melekat pada lembaga yang pelaksanaannya dijalankan oleh pejabat publik yang diangkat oleh pimpinan eksekutif. Oleh karena itu, apabila ada pandangan yang mengaitkan temuan BPK dengan “permintaan” pengunduran pelaksanaan pilkada serentak hal ini sungguh diluar nalar, kecuali oleh mereka yang menjadi pihak-pihak egois dan suka memaksakan kehendak atau berjiwa arogan. Apapun hasil temuan BPK bukan ranah DPR untuk menekan KPU agar pilkada serentak bulan Desember 2015 ditunda. Gerak langkah KPU untuk melaksanakan pentahapan kegiatan pilkada serentak harus dijalankan sesuai jadwal. Kegiatan yang sudah diamanatkan UU tidak boleh berhenti hanya karena desakan-desakan yang bersifat menekan. Justru jika terjadi pengunduran pelaksanaan pilkada serentak maka hal ini akan mencoreng kepastian hukum di negara hukum Indonesia hanya karena desakan politik. Tahapan-tahapan yang sudah dilaksanakan yang cukup memakan biaya akan menjadi sia-sia. Disini akan terjadi kebijakan mengalahkan hukum, yaitu norma yang sudah dituangkan dalam pasal 201 UU Nomor 1 tahun 2015 jo UU Nomor 8 tahun 2015. Untuk menjadikan pilkada yang berkualitas, bahkan berbagai perubahan telah dilakukan dalam
pasal-pasal UU Nomor 8 Tahun 2015 sebagai koreksi/ perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015. Secara faktual memang terdapat beberapa kondisi yang menyebabkan banyak orang meragukan keberhasilan pilkada serentak yang akan diselenggarakan tanggal 9 desember 2015, karena ada beberapa kelemahan-kelemahan yang jika tidak segera diatasi akan berpotensi menggagalkan pelaksanaan pilkada serentak. Kelemahana-kelemahan tersebut diantaranya: 1. Kurangnya waktu untuk mempersiapkan tahapan-tahapan yang harus dilakukan sehingga terkesan terburu-buru, tergesa-gesa atau asal saja, seperti : a. Penyerahan syarat dukungan calon perseorangan; b. Waktu pendaftaran pasangan calon sangat singkat terlebih adanya partai politik yang mempeunyai kepengurusan ganda ( Golkar dan PPP ); c. Tema, waktu, tempat dan atribut melakukan kampanye; d. Laporan dan audit dana kampanye; e. Pemungutan dan penghitungan suara; f. Penetapan calon terpilih.10 2. Anggota penyelenggara pemilu tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh partai politik; 3. Ketersediaan dana pemilu yang masih belum seluruhnya tersedia/ kurang terutama dana untuk pengamanan pilkada; walaupun ketentuan Pasal 115 UU No. 22 Tahun 2007 secara logis yuridis meniadakan hal itu; 4. Rawan terjadi “pembelian” suara; 5. Pelaksanaan pemilu serentak berpotensi menjadi masalah jika berlangsung dua putaran. Selain masalah biaya juga dapat berdampak lanjutan terhadap munculnya koalisi di lembaga legislatif yang tidak bisa tidak akan menimbulkan blok-blokan dalam mengambil setiap keputusan dewan. Tetapi di balik kelemahan-kelemahan tersebut diatas terdapat keuntungan atau kemanfaatan jika pilkada serentak diselenggarakan tanggal 9 Desember 2015. Keuntungan pilkada serentak dimaksud adalah : a. Menciptakan konstruksi baru kelembagaan penyelenggaraan pemilu dengan memperhatikan aspek struktural dan aspek fungsional, serta untuk memberikan pendidikan politik bagi warga masyarakat; b. Memberikan 10 Pilkada serentak yang akan digelar tanggal 9 Desember 2015 ini meliputi 204 (8 propinsi, 170 kabupaten, dan 26 kota) daerah yang jabatan kepala daerahnya berakhir pada akhir tahun 2015. Serta 67 (1 propinsi dan 66 kabupaten/ kota) daerah yang jabatan kepala daerahnya berakhir pada semester pertama tahun 2016.
Mewujudkan Demokrasi Melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2015. - Raja Onggal Siahaan
235
kesadaran bahwa tujuan dari demokrasi adalah semata-mata untuk rakyat; c. Memberikan pelajaran bagaimana mekanisme rekrutmen untuk mengisi para pekerja demokrasi; d. Dalam sekali melaksanakan pilkada, masyarakat dapat langsung memilih pemimpinnya (kepala dan wakil) di beberapa daerah; e. Terdapat partisipasi politik masyarakat : sistem pemilu yang Jurdil, kebebasan pers sebagai media kontrol kekuasaan kebebasan, dan tersedianya sistem asosiasi yang bersifat otonom; f. Pilkada dapat mewujudkan negara demokrasi yang menempatkan rakyat sejajar dengan negara, karena rakyat adalah representasi negara itu sendiri; g. Keterwakilan rakyat harus dipimpin dalam suasana kebijaksanaan dan mengedepankan musyawarah; h. Menjadikan sistem presidensial efektif. Pasalnya dengan pemilu serentak, maka seorang presiden terpilih akan memperoleh dukungan yang besar di lembaga legislatif. “Pemilu serentak menguntungkan partai yang memiliki calon presiden.”; i. Mengurangi peluang besar bagi pelaku di daerah untuk melakukan politik dan politisasi anggaran. Permasalahan : Apakah Pilkada serentak sebagai wujud demokrasi sebagaimana diamanatkan UU dapat diundur pelaksanaannya dan apakah dalam hal disuatu daerah hanya diikuti calon tunggal apakah pilkada didaerah tersebut harus ditunda pelaksanaannya serta siapa saja yang dapat menjadi subyek tindak pidana pilkada serentak ?
II. Pembahasan : 1. Negara Hukum, Demokrasi dan Pilkada Serentak Negara Hukum Perbedaan mencolok antara UUD tahun 1945 (asli) dengan UUD tahun 1945 setelah 4 (empat) kali dilakukannya perubahan diantaranya adalah penyebutan Indonesia negara hukum. Apabila UUD tahun 1945 sebelum perubahan menyebut Indonesia sebagai negara hukum yaitu hanya dalam penjelasan umum, tetapi UUD tahun 1945 dalam perubahan ketiga dengan tegas mencantumkannya sebagai salah satu pasal yaitu pasal 1 ayat (3) yang menyatakan : Negara hukum mengandung pengertian seluruh kegiatan aparatur dan 236
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
warga negara berdasarkan hukum yang berlaku.11 Konsekuensi logisnya maka hukum yang menjadi landasan setiap tindakan yang dilakukan anggota masyarakat dan pemerintah haruslah tersedia terlebih dahulu dan setiap pelanggaran hukum yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan harus ditegakkan oleh institusi yang berkompeten dan wajib mendapat sanksi sesuai ketentuan hukum yang dilanggar.12 Awal abad ke-19 adalah permulaan dari terbentuknya negara-negara hukum, meskipun belum terbentuk negara hukum seperti sekarang ini.13 Tapi, pada abad 19 sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh Montesquieu dan John Locke terutama yang menyangkut soal Trias Politica atau tentang kekuasaan negara. Sebagai akibat keinginan menyelenggarakan hak-hak politik itu secara efektif timbullah gagasan bahwa cara terbaik membatasi kekuasaan pemerintah ialah dengan suatu konstitusi tidak tertulis (unwritten constitution) atau dalam bentuk konstitusi tertulis (written constitution).14 Gagasan Konstitusionalisme ialah undang-undang dasar yang menjamin hak-hak politik dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan negara sedemikian rupa, sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh keukasaan parlemen dan lembaga-lembaga hukum. sedangkan negara yang menganut gagasan atau pemikiran tersebut dinamakan Constitutional State atau “Rechtsstaat” atau negara hukum. Dalam konstitusi tersebut halhal yang menjamin hak-hak warga negaranya dan hak-hak politiknya harus diatur secara 11 Lihat juga Muchtar Pakpahan , Ilmu Negara Dan Politik, Jakarta : PT Bumi Intitama Sejahtera, Hal 147 12 Salah satu penjabaran dari pasal 1 ayat (3) UUD tahun 1945 adalah pasal 27 ayat (1) UUD 1945 : Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 13 Konsep Negara hukum tidak lepas dari pemikirian filsuf Yunani, Plato (lahir 29 Mei 429 SM di Athena), dalam buku karyanya berjudul Politeia (tentang negara), Politicos (tentang ahli Negara) dan Nomoi (tentang Undang-undang). Pemikiran Plato kemudian dikembangkan oleh muridnya yang tidak kalah populernya yaitu Aristoteles (384-322 SM) yang dibidang hukum mengeluarkan karya dengan judul, Ethica dan Politica. Menurut Aristoteles, suatu Negara yang layak dilaksanakan adalah apabila negara tersebut berdasarkan konstitusi yang berunsurkan : 1. Ditujukan untuk kepentingan rakyat; 2. Berdasarkan hukum yang dibuat seuai kepentingan umum dan bukan dibuat melanggar kebiasaan umum atau melanggar konvensi-konvensi yang berlaku diberbagai Negara; 3. Konstitusi yang didasarkan kehendak rakyat (bukan kehendak raja atau penguasa). Lihat, J.J. von Schmid, Pemikiran Tentang Negara dan Hukum, Penerbit Pembangunan, Jakarta, 1988, hal. 7. 14 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2006, hal. 56-58
tegas. Prinsipnya adalah konstitusi harus ada dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintah negara. Konstitusi menjadi hukum dasar dari seluruh masalah yang berkaitan dengan kenegaraan. Gagasan-gagasan mengenai konstitusi sebagai dasar negara ini disebut dengan konstituonalisme, sedangkan negara yang menganut gagasan atau pemikiran tersebut dinamakan Constitutional state atau ‘Rechstaat’ atau negara hukum.15 Sebagaimana disebutkan sebelumnya, dalam negara hukum maka seluruh kegiatan kenegaraan, alatalat kenegaraan dan kemasyarakatan harus berdasarkan hukum. Hukum juga yang mengatur siapa, tata cara untuk memilih siapa yang menjadi pemegang pemerintahan.16 Dalam negara hukum maka kedaulatan ada pada rakyat melalui perwakilannya untuk membentuk hokum yang memberi kekuasaan kepada penguasa atau kepada seluruh rakyat menyangkut hak dan kewajiban yang harus ditaati bersama.17 Ada empat teori yang membahas tentang teori kedaulatan ini, antara lain 1. Teori Kedaulatan Tuhan adalah keadaulatan Negara yang berasal berasal dari Tuhan. 2. Teori Kedaulatan Hukum yang berarti, hukumlah yang berdaulat dalam setiap negara. Kekuasaan yang tertinggi berada ditangan hukum, dengan kata lain disebut negara hukum. 3. Teori Kedaulatan Negara yang berarti, negaralah yang berdaulat terhadap masyarakat yang berdiam dalam wilayah negara tersebut. 4. Teori Kedaulatan Rakyat yang berarti, rakyatlah yang berdaulat dalam suatu negara termasuk menentukan kehendak negara dan siapa yang menjadi pemerintah negara. Dari teori ini, maka muncullah suatu mekanisme yang disebut demokrasi, yaitu pemerintahan dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat. Kehendak rakyat tersebut 15 Muchtar Pakpahan , Ilmu Negara dan Politik,Jakarta : PT Bumi Intitama Sejahtera, hal 147 16 ibid., hal 13 17 Kedaulatan (souveriniteit) berasal dari kata daulat. Berdaulat itu berarti memiliki suatu kekuasaan tertinggi untuk menentukan segala sesuatunya untuk dirinya. Dengan kata lain kedaulatan negara berarti kekuasaan yang ada dalam suatu negara, adalah kekuasaan yang tertinggi dalam hal mengambil keputusan apapun untuk kepentingan negara tersebut.
biasanya dikumpulkan melalui pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu). Dalam negara yang menganut paham Civil Law,18 suatu sistem hukum sipil didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang sudah terkodifikasi; artinya hukum memperoleh kekuatan mengikat karena diwujudkan dalam bentuk UU yang disusun secara sistematis dan lengkap dalam satu buku atau kitab. Hukum tidak bisa dipisahkan dari negara, karena negara yang membuat hukum dan negara pulalah yang menjalankan hukum, yakni dengan memberlakukan beberapa teori. Dilihat dari hubungan antara penguasa dan rakyat, terdapat tipe Negara yaitu : a. Tipe Negara Policie (Polizei Staat) : pada tipe ini, negara bertugas menjaga tata tertib saja atau dengan kata lain negara sebagai penjaga malam. Pemerintahan bersifat monarki absolut. Pengertian policie adalah welvaartzorg, yang mencakup dua arti, yakni : 1. penyelenggara negara positif (bestuur); 2. penyelenggara negara negatif (menolak bahaya yang mengancam negara/keamanan). b. Tipe Negara Hukum (Rechts staat). Di sini tindakan penguasa dan rakyat harus berdasarkan hukum . Ada tiga bentuk tipe negara hukum. 1. Tipe Negara Hukum Liberial: Negara Hukum Liberal menghendaki agar negara berstatus pasif artinya, warga negara harus tunduk pada peraturan negara. Penguasa dalam bertindak sesuai dengan hukum. Di sini kaum liberal menghendaki agar antara penguasa dan yang dikuasai ada suatu persetujuan salam bentuk hukum, serta persetujuan yang menguasai penguasa. 2. Tipe Negara Hukum Formil : Negara Hukum Formil, yaitu negara hukum yang mendapat pengesahan dari rakyat, segala tindakan penguasa memerlukan bentuk hukum tertentu, harus berdasarkan undang-undang. Negara Hukum Formil ini disebut pula dengan Negara Demokratis yang berlandaskan negara Hukum. Dalam hal ini menurut Stahl seorang sarjana Denmark Negara Hukum Formal itu harus memenuhi empat unsur, yaitu : a. harus adanya jaminan terhadap hak asasi; b. 18 Berbeda dengan Common Law, yang menjadikan custom atau kebiasaan berdasarkan preseden sehingga hakim membuat hukum sendiri melalui putusannya, judge made law, hakim membuat hukum sendiri dengan melihat kasus-kasus yang sebelumnya pernah terjadi. UU hanya mengatur pokok-pokoknya saja yang diutamakan adalah kebiasaan dan hukum adat masyarakat setempat yang dipraktekkan di negara-negara Anglo Saxon seperti Inggris dan Amerika Serikat, dikutip dari Muchsin, Ikhtisar Sejarah Hukum, Penerbit Iblam, Jakarta, 2004, hal. 7.
Mewujudkan Demokrasi Melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2015. - Raja Onggal Siahaan
237
adanya pemisahan kekuasaan; c. pemerintahan didasarkan pada undang-undang; d. harus ada peradilan administrasi. 3. Tipe Negara Hukum Materiil : Negara Hukum Materiil sebenarnya merupakan perkembanagn lebih lanjut dari negara hukum formil. Jadi, apabila pada negara hukum formil tindakan dari penguasa harus berdasarkan undang-undang atau harus berlaku asas legalitas, maka dalam negara hukum materiil tindakan dari penguasa dalam hal mendesak kepentingan warga negaranya dibenarkan bertindak menyimpang dari undangundang yang berlaku atau asas opportunitas.19 Istilah Rechtsstaat diberikan oleh para ahli hukum Eropa Kontinental. Sedangkan istilah Rule of Law diberikan oleh para ahli hukum Anglo Saxon. Menurut ahli hukum dari Eropa Kontinental Friedrich Julius Stahl, ciri-ciri Rechtsstaat sebagai berikut: 1. Hak asasi manusia (HAM). 2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin HAM yang biasa dikenal dengan sebutan Trias Politika. 3. Pemerintahan berdasarkan peraturanperaturan. 4. Peradilan administrasi dalam perselisihan20. Sedangkan A.V Dicey dari kalangan ahli Anglo Saxon memberikan ciri Rule of Law sebagai berikut : a. Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum. b. Kedudukan yang sama di depan hukum baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat. c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh Undang-undang dan keputusan-keputusan pengadilan21. “International Comission of Jurists” pada konferensinya di Bangkok pada tahun 1965 menekankan bahwa di samping hakhak politik bagi rakyat harus diakui pula 19 C.S.T. Kansil, dan Christine S.T. Kansil, Ilmu Negara Untuk Perguruan Tinggi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 46-47. 20 Oemar Seno Adji, “Prasaran” dalam Seminar Ketatanegaraan UUD 1945, Penerbit Seruling Masa, Jakarta, 1966, hal. 24. 21 E.C.S. Wade dan G. Gogfrey, Constitutional Law : An Outline of The Law and Practice of The Citizen and the Including Central and Local Government, the Citizen and the State and Administrative Law, 7th Edition, London : Longmans, 1965, p. 50-51.
238
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
adanya hak-hak sosial dan ekonomi sehingga perlu dibentuk standard-standard dasar sosial ekonomi. Komisi ini dalam konferensi tersebut juga merumuskan syarat-syarat (ciri-ciri) pemerintahan yang demokratis di bawah Rule of Law (yang dinamis, baru) sebagai berikut22: a. Perlindungan konstitusional, artinya, selain menjamin hak-hak individu konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hakhak yang dijamin. b. Badan Kehakiman yang bebas dan tidak memihak. c. Pemilihan Umum yang bebas. d. Kebebasan menyatakan pendapat. e. Kebebasan berserikat/ berorganisasi dan beroposisi. f. Pendidikan kewarganegaraan. Menurut Montesquieu, negara yang paling baik adalah negara hukum, sebab di dalam konstitusi di banyak negara terkandung tiga inti pokok yaitu : 1. Perlindungan HAM; 2. Ditetapkannya negara, dan
ketatanegaraan
suatu
3. Membatasi kekuasaan dan wewenang organ-organ negara.23 Prof. Dr. Sudargo Gautama mengemukakan tiga ciri negara hukum,24 yakni : 1. Terdapat pembatasan kekuasaan negara 22 South-East Asian and Pasific Conference of Jurists, The Dynamic Aspects of The Rule of Law in The Modern Age, (Bangkok : International Commission of Jurists, February 15-19, 1965) dalam Dr. Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Penerbit Liberty, Yogyakarta,1993, hal. 29-30 23 Lebih detail tentang negara hukum dari tulisan Montesquieu yang memiliki nama lengkap, Charles-Louis de Secondat di La Brede (16891755), dapat dibaca dibawah judul “ The Spirit of Law”- Dasar-|Dasar Ilmu Hukum dan Ilmu Politik, terbitan Nusamedia, Bandung, 2007, dengan pengantar David Wallace Carrirthers. Dalam Bahasa Perancis, disebut juga L’Esprit de Lois. 24 Ciri-Ciri Negara Hukum Menurut Para Ahli Hukum, http:// www.seputarpengetahuan.com/2014/09/ciri-ciri-negara-hukummenurut-para.html, diunduh pada tanggal 19 Juni 2015. Franz Magnis Suseno mengemukakan lima ciri negara hukum, yaitu : 1. Fungsi kenegaraan dijalankan oleh lembaga yang bersangkutan sesuai dengan ketetapan sebuah UUD; 2. UUD menjamin HAM yang paling penting. Karena tanpa jaminan tersebut, maka hukum akan menjadi sarana penindasan; 3.Badanbadan negara menjalankan kekuasaan masing-masing selalu dan hanya taat pada dasar hukum yang berlaku; 4. Terhadap tindakan badan negara, masyarakat dapat mengadu ke pengadilan; 5. Badan kehakiman bebas dan tidak memihak.Sedang menurut Mustafa Kamal Pasha (2003) ada tiga ciri khas negara hukum, yaitu : 1. Pengakuan dan perlindungan terhadap HAM; 2. Peradilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain dan tidak memihak; 3. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.
terhadap perorangan, maksudnya adalah negara tidak dapat bertindak sewenangwenang. 2. Asas legalitas. 3. Pemisahan kekuasaan. Sementara itu, Fuller mengatakan suatu sistem hukum,25 harus mencakup delapan prinsip legalitas, principles of legality, yaitu : 1. suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, tidak boleh mengandung sekedar keputusan ad hoc; 2. peraturan-peraturan yang telah harus diumumkan;
dibuat
3. peraturan-peraturan tidak boleh ada yang berlaku surut; 4. peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti; 5. suatu sistem hukum tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan antara satu dengan yang lain; 6. peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan; 7. tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah-ubah peraturan sehingga menyebabkan orang kehilangan orientasi, dan 8. harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari. 26 Pendapat Fuler27 memang ideal, namun dalam praktek pembuatan peraturan perundangundangan tidak sepenuhnya diikuti, misalnya prinsip pertama Fuler, pembuatan peraturan ad hoc seharusnya mempunyai tempat yang wajar karena tidak selamanya kondisi pemerintahan atau masyarakat berjalan seperti biasanya; selalu saja terjadi keadaan yang mendesak atau 25 Sistem dapat berarti seperangkat atau pengaturan unsur yang saling berhubungan sehingga membentuk satu kesatuan; seperangkat peraturan, prinsip, fakta dan sebagainya yang digolongkan atau disusun dalam bentuk yang teratur untuk menunjuk rencana logis yang berhubungan dengan berbagai bagian, Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Penerbit Modern English Press, Jakarta, 2002, hal. 1442. Sistem juga berarti suatu kumpulan asas-asas yang terpadu yang merupakan landasan, diatas mana dibangun tertib hukum, Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Penerbit Alumni, Bandung, 1983, hal. 7. 26 Muchsin, op.cit, hal. 6-7. 27 Lebih jauh lihat dalam R. O. Siahaan, Asas Retroaktif – Pemberlakuannya Dalam Perkara Pelanggaran HAM Berat di Indonesia, Penerbit ROA Press-CV. Miswar, 2008.
darurat yang memerlukan adanya keputusan ad hoc untuk mengatasi keadaan yang tidak terduga. Sebagai contoh, dalam hal terjadi bencana alam, pembuatan peraturan pemberian bantuan untuk korban bencana alam, dan rehabilitasi pembangunan sarana dan prasarana bagi kepentingan umum, dirasakan sangat mendesak untuk direalisasikan sehingga memerlukan pembuatan peraturan ad hoc; di asumsikan, suatu peristiwa bencana alam terjadi tanggal 1 Maret 2006, tetapi bantuan dan realisasi bantuan baru dapat dilakukan pada bulan Nopember 2006, maka peraturanperaturan yang berkaitan dengan pemberian bantuan serta jumlah bantuan yang akan diberikan kepada para korban sekalipun dibuat pada bulan Nopember 2006, akan diberlakukan surut terhitung sejak bulan Maret 2006. Mengenai prinsip ke dua, ke enam, ke tujuh dan ke delapan, memang seyogyanya demikian dan hal tersebut dalam praktek umumnya telah dilakukan. Hal krusial terdapat pada prinsip ke empat dan ke lima, mengingat semua peraturan harus dapat dimengerti dan tidak boleh saling bertentangan satu sama lain, maka pembuatan peraturan perundang-undangan mestinya di kerjakan oleh ahli-ahli hukum non partisan, dan dilakukan melalui satu pintu28 sebagai sarana untuk melakukan koreksi rumusan dan pengertian pasal, pemberian penjelasan yang jelas dan bukan hanya menyatakan cukup jelas serta menjadi filter tidak terjadinya tumpang tindih atau saling bertentangan diantara berbagai peraturan. Terhadap prinsip ke tiga Fuler, larangan pembuatan peraturan berlaku surut,29 perlu dikritisi secara komprehensif sebab tidak selamanya pemberlakuan surut suatu peraturan tidak bermanfaat. Sejak lama pembuatan suatu peraturan berlaku surut telah menjadi kebiasaan yang tidak dapat dielakkan. Umumnya, dalam pembuatan surat keputusan 28 Dalam hal ini, jika pembuatan suatu UU ditetapkan melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional, BPHN, maka haruslah pelaksanaannya konsisten tanpa kecuali termasuk apabila DPR RI menggunakan hak inisiatif-nya. Tidak adalagi suatu UU yang dapat diajukan ke DPR RI oleh suatu departemen atau lembaga negara lainnya , sebelum mendapat rekomendasi dari BPHN. 29 Larangan peraturan berlaku surut, dapat dilihat dari bunyi pasal 28i UUD 1945 perubahan kedua dan pasal 4 UU HAM : “ hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. “
Mewujudkan Demokrasi Melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2015. - Raja Onggal Siahaan
239
pengangkatan pegawai, pengangkatan dalam jabatan, kenaikan pangkat, pemberlakuan peraturan daerah atau peraturan pemerintah, di dalam salah satu pasalnya selalu mencantumkan rumusan yang menyatakan bahwa peraturan tersebut diberlakukan terhitung sejak tanggal, sebelum peraturan itu ditanda tangani, yang berarti memberlakukan surut peraturan tersebut dengan menyebutkan batas waktu mulai berlakunya peraturan dimaksud.30 Pendapat Fuler tentang larangan berlaku surut masih bersifat umum, tidak limitatif seperti yang diatur dalam Pasal 28i UUD 1945 perubahan ke dua. Jika pendapat tersebut diikuti secara konsekuen berarti semua peraturan-peraturan yang diberlakukan surut haruslah dibatalkan dan itu akan berdampak terhadap semua hak-hak, terutama hak-hak yang menyangkut uang, gaji atau sepadannya, yang timbul akibat pemberlakuan surut peraturan-peraturan tersebut, harus dikembalikan kepada negara dan hal ini sudah pasti akan mengacaukan pembukuan atau administrasi keuangan negara dan administrasi kepegawaian, mengingat dengan pemberlakuan surut peraturan-peraturan tersebut sangat banyak pegawai yang memperoleh hak-hak keuangan, baik karena kenaikan pangkat atau mendapat promosi jabatan, yang berarti menambah penghasilannya dan semua itu harus dikembalikan ke kas negara kembali, disisi lain pertanggung jawaban keuangan negara yang mencakup juga gaji, honor dan sepadannya yang sudah diterima dan dipakai para pegawai negeri dimaksud, telah di setujui dan disahkan DPR. Demokrasi Politik31 di negara-negara berkembang memang sangat diperngaruhi oleh kultur yang berbeda diantara negara-negara yang bersangkutan sehingga terkesankan sangat membingungkan karena hampir semuanya berbeda satu sama lain. Politics in developing states is frequently baffling and incomprehensible. The analysis of developing political system may usefully begin with a 30 Dalam konteks ini pemberlakuan surut peraturan tersebut tidak merugikan bagi stakeholder. Artinya boleh berlaku surut asal menguntungkan. 31 Political science, as one of the social sciences that deal with human relations, is a member of a rather quarrelsome family (Ilmu politik, salah satu ilmu sosial yang berhubungan dengan hubungan manusia ).
240
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
consideration of the political attitudes and values of the populace, which to a large extent determine the stability of political institutions and the efficiency and effectiveness of the decission-making process.32 Demokrasi sebagai bagian dari politik karena itu seyogyanya harus dapat mencerminkan aspirasi politik yang mencerminkan keinginan rakyat. Suatu pendapat mengatakan : A striking feature of life in a democracy is that so many people in it suspect their fellow citizens of undermining democrazy. There are four major moral positions of democracy that, although they are in some ways mutually antagonistic, do provide the basis for thought and action in democratic societis. These four view points or moral positions of democracy occur together, plague one another, support one another. 1. egalitarian democracy : Egalitarian democracy seeks to know what people want and to give it to them. It is called egalitarian because it does not pretend to judge the goodness or badness of individual wants; 2. conservative democracy : While the egalitarian democrats remain optimistic in the face of this condition, the conservative democrats assume a pessimistic role;3. elitist democracy;4. relativist democracy.33 Secara umum, Istilah demokrasi berasal dari Bahasa yunani, demos yang berarti rakyat, dan cratein yang berarti memerintah. Bila kedua kata tersebut digabungkan berarti, ‘rakyat yang memerintah’ atau ‘pemerintahan rakyat’. Kata ini menjadi populer setelah diucapkan oleh negarawan sekaligus mantan presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln yang mengatakan ‘government is from the people, by the people 32 Politik di negara-negara berkembang sering membingungkan dan sulit dimengerti. Analisis pengembangan sistem politik ini sangat berguna, karena menunjukkan pertimbangan-pertimbangan sikap politik dan nilainilai dari rakyat, yang sebagian besar menentukan stabilitas lembaga politik, baik efisiensi dan efektivitas untuk pembuat Keputusan, lihat Kebschull G Harvey, “Politics In Transitional Societies”, 1968, Printed In The United States Of America, New York: p. 149. 33 Grazia de Alfred, “Volume one of The Element of Political Science: Political Behavior”, 1965, The Free Press dan Collier- The Macmillan Limited, New York : p. 302. Secara umum dapat diartikan : Sistem demokrasi sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Tapi, begitu banyak orang justru diduga merusak sistem ini. Sistem demokrasi memiliki empat poin utama yang saling berhubungan , tapi dalam beberapa hal justru saling bertentangan. Diantaranya : 1. demokrasi egaliter : demokrasi yang berusaha untuk mengetahui apa yang diinginkan orang dan memberikan kepada mereka. Hal ini disebut egaliter karena tidak berpura-pura untuk menilai kebaikan atau keburukan keinginan individu; 2. demokrasi konservatif : Sementara demokrat egaliter tetap optimis dalam menghadapi setiap kondisi apapun, demokrat konservatif justru selalu pesimis; 3. demokrasi elitis; 4. demokrasi relativis.
and for the people’, sehingga dapat diartikan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Ciri-ciri negara demokrasi, diantaranya : 1. Adanya badan-badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (Independent and Impartial Tribunals); 2. Terselenggaranya pemilihan umum yang bebas; 3. Adanya kebebasan untuk menentukan pendapat; 4. Terjamin kebebasan untuk berserikat berorganisasi dan beroposisi; 5. Terselenggaranya pendidikan kewarganegaraan.34 Demokrasi adalah bagian dari khazanah pembuatan keputusan kolektif. Demokrasi mengejawantahkan keinginan bahwa keputusan-keputusan seperti itu, yang mempengaruhi perkumpulan secara keseluruhan harus diambil oleh semua anggotanya, dan bahwa masing-masing anggota harus mempunyai hak yang sama dalam proses pengambilan/ pembuatan keputusan-keputusan tersebut. Dengan kata lain, demokrasi mencakup prinsip kembar kontrol rakyat atas proses pembuatan keputusan kolektif dan kesamaan hak-hak dalam menjalankan kendali itu. Secara konvensional kita bisa menyebut suatu negara itu ‘demokratis’ jika pemerintahannya terbentuk atas kehendak rakyat yang diwujudkan lewat pemilihan umum yang kompetitif untuk memilih orang-orang yang akan menduduki jabatan publik, di mana semua orang dewasa mempunyai hak yang sama untuk memilih dan dipilih, dan di mana hak-hak politis dan sipil dijamin oleh hukum.35 Demokrasi adalah suatu prinsip yang menyatakan bahwa kekuasaan pemerintahan negara ditangan rakyat. Kehendak rakyatlah yang menentukan jalannya pemerintahan. Dengan kata lain, demokrasi memiliki pengertian pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sebagaimana yang telah dipopulerkan oleh Abraham Lincoln. Dalam demokrasi modern (setelah perang dunia II), demokrasi dilaksanakan melalui sistem perwakilan, Rakyat tidak lagi secara langsung turut serta menentukan jalannya pemerintahan tetapi cukup dengan menyerahkan kepada lembaga-lembaga negara yang mempertanggungjawabkan pelaksanaan kekuasaaanya kepada rakyat melalui perwakilannya. Sebagai bagian dari hak asasi manusia, rakyat diberi kebebasan untuk 34 35
Muchtar Pakpahan, op.cit. hal. 134-144. Ibid., hal. 19-21
mengeluarkan pendapat dalam rangka kontrol pelaksanaan pemerintah negara.36 Dengan kata lain, demokrasi adalah bentuk pemerintahan rakyat, karena itu kekuasaan pemerintahan itu melekat pada diri rakyat atau diri orang banyak dan merupakan hak bagi rakyat atau orang banyak untuk mengatur, mempertahankan dan melindungi dirinya dari paksaan dan pemerkosaan orang lain atau badan yang diserahi untuk memerintah.37 Dalam Black Law Dictionary, democracy, n. diartikan sebagai Government by the people, either directly or through representatives. Cf. Republic democratic, adj. De moderata misericordia capienda n. [Law Latin “for taking a moderate amercement”]..38 Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberi pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan hakhaknya dalam masalah-masalah pokok yang menyangkut kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan negara, oleh karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat.39 Jadi negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat, atau jika ditinjau dari sudut organisasi ia berarti suatu pengorganinasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat.40 Dalam kaitan ini patut pula dikemukakan bahwa Henry B. Mayo memberikan pengertian bahwa sistem politik demoratis adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihanpemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip Ibid. hal. 153. H. Haris Soche, Supremasi Hukum dan Prinsip Demokrasi di Indonesia, Penerbit Hanindita, Yogyakarta, 1985. Joseph Scumpeter mendefinisikan demokrasi atau metode demokratis sebagai sebuah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang didalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat. Lihat, Samuel P. Huntington, Gelombang Demokrasi Ketiga, Jakarta: Pustaka Grafiti, 1997, hal 5. 38 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, West Publishing co: Amerika, 2008, p. 464. Secara umum dapat diartikan : Pemerintah yang dijalankan oleh masyarakat, baik secara langsung maupun perwakilan….Demokrasi berasal dari bahasa latin de moderate misericoria capienda, yang berarti hukum moderat . 39 Haris Soche, op.cit. 40 Amirmachmud, Demokrasi. Undang-Undang dan Peran Rakyat, (Jakarta : PRISMA No.8 LP3ES, 1984), dalam Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1993, hal. 19 36 37
Mewujudkan Demokrasi Melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2015. - Raja Onggal Siahaan
241
kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.41 Sedang Robert Dahl menganggap bahwa sikap tanggap pemerintah secara terus menerus terhadap preferensi atau keinginan warga negaranya merupakan ciri khas dari demokrasi. Untuk menjamin hal itu maka rakyat harus di beri kesempatan untuk merumuskan preferensi atau kepentingan sendiri, memberitahukan preferensinya itu kepada sesama warga negara dan pemerintah baik melalui tindakan individual maupun kolektif dan mengusahakan agar kepentingan itu di pertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah, artinya tidak di diskriminasikan isi atau asal-usulnya. Selanjutnya kesempatan itu hanya mungkin tersedia jika lembaga-lembaga dalam masyarakat dapat menjamin adanya delapan kondisi, yaitu: 1. Kebebasan untuk membentuk bergabung dalam organisasi,
dan
2. Kebebasan mengungkapkan pendapat, 3. Hak untuk memilih dalam pemilu, 4. Hak untuk menduduki jabatan publik, 5. Hak para pemimpin untuk bersaing untruk memperoleh dukungan dan suara, 6. Tersedianya sumber-sumber informasi dean terselenggaranya sumber-sumber alternatif, 7. Terselenggaranya pemilu yang bebas dan jujur, 8. Adanya lembaga-lembaga yang menjamin agar kebijaksanaan publik tergantung pada cara-cara penyampaian preferensi yang lain.42 Patut disadari bersama baik oleh rakyat, anggota legislatif, pemerintah dan partai politik, bahwa dalam suatu Negara demokrasi perwakilan, maka setiap wakil rakyat (anggota DPR) haruslah dapat menjalankan fungsinya untuk menyuarakan sekaligus memperjuangkan kepentingan rakyat banyak khususnya konstituennya dan bukan lebih menyuarakan/ memperjuangkan kepentingan politiknya atau partai politiknya dengan tetap mengikuti aturan 41 Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, (New York : Oxford University Press, 1960), dalam Moh. Mahfud MD, ibid. 19. 42 Mohtar Mas’ Oed, Negara, Kapital Dan Demokrasi, Penerbit Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, hal 9-12
242
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
main (ketentuan hukum) yang berlaku sesuai mekanisme hukum yang berlaku dalam arti kata jangan memutarbalikkan aturan hukum yang ada hanya agar kepentingan politik atau partai politiknya segera terpenuhi. Pilkada Menurut teori demokrasi klasik, “pemilihan umum” dan “perwakilan” merupakan suatu “transmission belts of power” sehingga kekuasaan yang berasal dari rakyat dapat beralih menjadi kekuasaan negara yang kemudian menjelma dalam bentuk wewenang-wewenang Pemerintah untuk memerintah dan mengatur rakyat. Pemilihan umum dan perwakilan dengan demikian merupakan sarana penghubung antara infrastruktur politik atau kehidupan politik di lingkungan masyarakat dengan suprastruktur politik atau kehidupan politik di lingkungan pemerintahan. Melalui kedua lembaga itu rakyat dapat memasuki kehidupan politik di lingkungan pemerintahan sehingga dimungkinkan terciptanya “pemerintahan dari rakyat, pemerintahan oleh rakyat, dan pemerintahan untuk rakyat”.43 Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan sistem sebagai perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas44. Sistem terdiri dari beberapa unsur dimana satu sama lain saling berkaitan untuk membentuk sesuatu yang lebih besar yang disebut sistem. Sedangkan pemilihan umum diartikan sebagai proses, cara perbuatan memilih yang dilakukan serentak oleh seluruh rakyat suatu negara45. Berdasarkan itu, gabungan dari kata “sistem” dan “pemilihan umum” secara bahasa merupakan perangkat beberapa unsur yang saling berkaitan satu sama lain yang terdapat dalam proses pemilihan yang dilakukan oleh rakyat suatu Negara.46 Menurut Suryo Untoro: pemilu adalah suatu pemilihan yang dilakukan oleh warga negara indonesia yang mempunyai hak pilih,untuk memilih wakil-wakilnya yang duduk dalam badan perwakilan rakyat yakni 43 A.S.S Tambunan, Pemilihan Umum di Indonesia dan Susunan & Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, Penerbit Binacipta, Jakarta, 1986, hal. 3. 44 Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga), Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Penerbit Balai Pustaka, Jakafrta, 2005, hal. 1076. 45 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ibid, hal.874. 46 Chairul Fahmi , Pemilihan Umum & Kedaulatan Rakyat, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hal. 51.
DPR, DPRD I dan DPRD II.47 Ali Moertopo mengatakan, pemilu adalah sarana yang tersedia untuk rakyat untuk menjalankan kedaulatan sesuai dengan azas yang bermaktub dalam UUD 45. Pemilu itu sendiri pada dasarnya adalah suatu lembaga demokrasi yang memilih anggota perwakilan rakyat dalam MPR, DPR dan DPRD yang pada gilirannya bertugas untuk bersama sama dengan pemerintah menetapkan politik dan jalannya pemerintahan negara.48 Sedang menurut Ramlan 1992:181 : pemilu adalah mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai. Ben Reilly (1999) sebagaimana dikutip Joko J. Prihatmoko mengatakan, pada intinya sistem pemilihan dirancang untuk memenuhi tiga hal, dimana ketiga hal tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah satu sama lain. Ketiga hal dimaksud adalah : a. Menerjemahkan jumlah suara yang diperoleh dalam pemilihan umum menjadi kursi di badan-badan legislatif.49 b. Sistem pemilihan bertindak sebagai wahana penghubung yang memungkinkan rakyat dapat menagih tanggung jawab atau janji wakil-wakil yang telah mereka pilih50. c. Memberikan insentif kepada mereka yang memperebutkan kekuasaan untuk menyusun imbauan kepada para pemilih dengan cara berbeda-beda51. Ada tiga kata kunci tentang sistem pemilihan umum, yaitu : (1) menyangkut konvensi suara menjadi kursi lembaga perwakilan; (2) menyangkut masalah pemetaan kepentingan masyarakat; dan (3) menyangkut keberadaan partai politik. Pilihan-pilihan sistem pemilu akan selalu mempertimbangkan ketiga aspek tersebut. 52 The number of Nuffield-type studies of elections in developing countries is rapidly 47 Suryo Untoro, Pokok-Pokok Pengertian Pemilu, Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1976, hal. 34. 48 Ali Murtopo, Strategi Politik Nasional, CIS, Jakarta, 1974, hal. 61. 49 Joko J.Priharmoko, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, LP2I Press, Semarang, 2003, hal. 24. 50 Ibid 51 Seri Buku Panduan, Standar-standar Internasional untuk Pemilihan Umum Pedoman Peninjauan Kembali Kerangka Hukum Pemilu, (International IDEA : Internasional Institute for Democracy and Electoral Assistance, 2002), hal. 24. 52 Chairul Fahmi, Pemilihan Umum, op.cit., hal. 54.
growing,53 but there has been a corresponding lack of discusion of the assumptions underlying the use of elections in these countries.54 Sebagaimana dikemukakan oleh Profesor WJM Mackenzie, The reason usually put forward to justify the holding of free elections in Western societies may be summarized as: 1. To make possible peaceful changes of government; 2. To give the ruled a sense of commitment to the decisions made by the government and a sense of participation in their execution. In western societies a high proportion of the electors will feel a sense of commitment (2) to a government, only if they are convinced that the elections which brought it into power were relatively ‘free’. these generally recognised advantages of free elections in Western societies are similar to those (Penyelenggaraan Pemilu di negara berkembang sangat tumbuh pesat, meskipun masih ada beberapa kelemahan dalam penyelenggaraannya. Berikut beberapa alasan penyelenggaraan Pemilu di negara berkembang,1. Untuk membuat perubahan pemerintah menjadi lebih baik; 2. Untuk menciptakan rasa kepercayaan terhadap keputusan yang dibuat oleh pemerintah dengan berpartisipasi dalam pelaksanaannya. Untuk masyarakat, Jika diberikan proporsi yang tinggi, para pemilih akan merasakan rasa komitmen dan kepercayaan pada pemerintah (2) Untuk pemerintah, mereka meyakini bahwa pemilu akan membawanya ke dalam kekuasaan relatif ‘bebas’. Ini merupakan salah satu keuntungan yang didapat dari proses pemilihan umum secara bebas yang diakui secara umum dan sama). Menurut Black’s Law Dictionary, Election, n. 1. The exercise of a choice; esp., the act of choosing from several possible rights or remedies in a way that precludes the use of other rights or remedies. 2. The doctrine by which a person is compelled to choose between accepting a benefit under a legal instrument and retaining some property right to which the person is already entitled; an obligation imposed on a party to choose between alternative rights or claims, so that 53 Kebschull G Harvey, Politics In Transitional Societies, 1968, Printed In The United States Of America, New York, p. 217-220. 54 Grazia de Alfred, Volume one of The Element of Political Science: Political Behavior, 1965, The Free Press dan Collier- The Macmillan Limited, New York : p. 59
Mewujudkan Demokrasi Melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2015. - Raja Onggal Siahaan
243
the party is entitled to enjoy only one. 3. The Process of selecting a person to occupy an office), membership, award, or other title or status. By-election. An election specially held to fill a vacant post. General election. Election at large. An election in which a public official is selected from a major election district rather than from a subdivision of the larger unit –Also termed at-large election.55 Pemilu merupakan suatu pemilihan umum yang bisa menentukan siapa yang menjadi penguasa untuk mengatur kehidupan rakyat sehari-hari dan juga bisa menentukan siapasiapa yang menjadi yang menjadi wakil rakyat dan menentukan apa yang menjadi kehendak rakyat. Jika kita berbicara tentang Pemilu, maka tidak bisa dilepaskan dengan partai politik. Hal ini disebabkan karena partai politiklah yang mengumpulkan kehendak rakyat menjadi volonte generale secara efektif.56 Pemilihanpemilihan yang dilakukan secara teratur untuk memilih pejabat-pejabat pemerintahan dalam suatu proses yang kompetitif dan terbuka. Pemilihan umum menunjukkan bahwa kekasaan politik berasal dari rakyat dan dipercayakan dengan kepentingan rakyat; dan bahwa kepada rakyatlah para politisi harus mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan mereka. Tujuan Pemilu ditingkat nasional ada dua antara lain, : 1. Untuk memilih kepala pemerintahan atau kepala eksekutif dan untuk menggolkan kebijakan umum yang akan dilaksanakan oleh pemerintah terpilih; 2. Untuk memilih anggota-anggota lembaga perwakilan legislatif atau parlemen, yang akan menetapkan peraturan perundang-undanbeabureucraticgan dan ketentuan perpajakan serta mengawasi kegiatan pemerintah demi kepentingan rakyat.57 55 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, op.cit, p. 557. Pemilihan umum dapat diartikan : 1. Kegiatan pemilihan yang dilakukan oleh seluruh masyarakat, untuk memilih calon-calon berpotensi atau memperbaiki dengan cara untuk menghalangi penggunaan hak atau upaya hukum lainnya. 2. Doktrin dimana seseorang dipaksa untuk memilih antara menerima manfaat di bawah payung hukum dan mempertahankan beberapa properti untuk orang yang tepat; kewajiban partai untuk memilih antara hak alternatif atau tuntutan, agar partai dapat mengirim calon yang tepat; 3. Proses memilih seseorang untuk menduduki jabatan public, keanggotaan, penghargaan, atau suatu status tertentu lainnya. Dengan pemilihan : Pemilu diadakan khusus untuk mengisi pos kosong. Pemilu pada umumnya : Pemilihan di mana pejabat publik yang dipilih dari distrik pemilihan utama dan bukan dari pembagian unit yang lebih besar - Disebut juga pemilu yang lebih luas. 56 Muchtar Pakpahan, Ilmu Negara Dan Politik. Hal. 77 57 David Betham & Kevin Boyle, Demokrasi, op.cit, hal 63-63
244
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Menurut Grazia de Alfred, An election is like the morning roll-call in the army; it brings all public officers to attention, and though it must discipline the ‘good’ ones, it also forces the ‘bad’ ones into line. the administration of electiond in most jurisdictions of the world is a technical operation, publicly operated and directed with no relationship to the parties ( pemilihan umum bisa disebut seperti panggilan penting dalam tentara; yang dapat membuat semua pejabat publik mengerahkan semua perhatiannya pada pemilihan tersebut, tidak hanya mencuri perhatian bagi para calon yang baik untuk ikut dalam pemilihan tapi juga memaksa calon ‘buruk’ untuk ikut maju. Administrasi Pemilu dalam dunia hukum adalah operasi teknis, yang diselenggarakan secara terbuka dan diarahkan untuk netral dan tidak berhubungan dengan pihak manapun).58 Pada abad modern mekanisme demokrasi adalah dengan mengumpulkan pendapat rakyat menjadi satu pendapat, kehendak rakyat biasanya dikumpulkan melalui pelaksanaan pemilihan umum untuk menentukan siapa yang menjadi penguasa untuk mengatur rakyat dan menentukan siapa-siapa yang menjadi wakil rakyat untuk duduk dalam badan perwakilan rakyat dan menentukan apa yang menjadi kehendak rakyat. Jika kita berbicara tentang pemilihan umum, maka kita juga berbicara tentang partai politik. Hal ini disebabkan karena partai politiklah yang mengumpulkan kehendak rakyat menjadi efektif. Pada negara-negara modern dewasa ini, salah satu ciri negara yang mengaku dirinya adalah negara berkedaulatan rakyat adalah adanya partai politik. Partai politik inilah organisasi yang berperan mengatur alat-alat kenegaraan mewakili rakyat. Bagi negara yang menyelenggarakan pemilihan umum dengan adanya partai politik yang berhasil mengumpulkan suara lebih banyak yang dianggap sebagai organisasi pengumpul suara yang lebih berhak menjalankan roda pemerintahan. Ini juga berarti partai politik mendapat legtimasi dari rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan. Penyelenggaran pemilihan umum dalam negara demokrasi harus terjamin berlangsung secara umum, bebas dan rahasia. Semua 58 Grazia de Alfred, Volume one of The Element of Political Science: “ Political Behavior,” 1965, The Free Press dan Collier- The Macmillan Limited, New York : p. 172-173.
warga negara mempunyai hak suara, hak pilh dan dipilih. Semua pemilih bebas untuk menentukan pilihannya tanpa tekanan dan hanya bersangkutan yang mengetahui siapa yang dipilihnya. Pilkada Serentak : Masalah dan Solusinya Pada awal tulisan ini disebutkan bahwa Pilkada serentak dilakukan sebagai pelaksanaan dari pasal 201 ayat (1) UU Nomor 8 tahun 2015 yang menyatakan “ Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dan bulan Januari sampai dengan bulan Juni tahun 2016 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Desember tahun 2015. ” Mengingat waktu pelaksanaan pilkada serentak yang sangat mepet (9 desember 2015) tidak heran jika banyak pihak menyatakan terdapat kelemahan / permasalahan yang perlu ditangani secara hati-hati oleh pemerintah dan KPU agar pilkada nanti berhasil sesuai ketentuan yang berlaku dan harapan semua pihak. Memperhatikan tahapan-tahapan pilkada serentak yang telah disusun KPU (lihat lampiran) permasalahan-permasalahan yang perlu dicermati secara hati-hati diantaranya: 1. Persiapan yang kurang matang dari semua tahapan penting pilkada diantaranya : a. Penyerahan syarat dukungan calon perseorangan dengan jumlah dukungan yang ditentukan akan sulit didapatkan calon sekalipun calon tersebut mempunyai tim sukses yang banyak (terbukti sampai batas akhir pendaftaran calon pilkada serentak 29 juli 2015, tidak satupun daerah yang menerima calon perorangan; b. Pendaftaran pasangan calon masih sulit dipasangka/diduetkan terutama bila harus berpasangan dengan calon yang berasal dari partai lain; bahkan bukan tidak mungkin akan terjadi politik dagang sapi atau politik mahar tingkat tinggi/mahal; c. kesulitan lain dapat juga terjadi karena kuatnya kepercayaan masyarakat terhadap incumbent yang ikut mencalonkan diri kembali sehingga akan terjadi adanya calon tunggal yang dapat menggagalkan dilaksanakannya pilkada serentak karena tidak dimungkin oleh
ketentuan KPU;59 d. waktu kampanye yang begitu dekat akan sulit menyiapkan tim sukses untuk mempersiapkan pelaksanaan kampanye itu sendiri dan juga materi-materi kampanye yang akan ditawarkan kepada pemilih untuk menarik dukungan masyarakat; e. Sulit untuk melakukan pemeriksaan terhadap laporan dan audit dana kampanye; f. Kesiapan petugas yang melasanakan pemungutan dan penghitungan suara secara profesional/terlatih masih perlu terus ditingkatkan karena kualitasnya diragukan mengingat waktu untuk pelatihannya tidak cukup lama; g. Penetapan calon terpilih oleh petugas secara jujur dan tepat waktu sesuai jadwal dan tidak terpengaruh oleh tekanan kepentingankepentingan pihak-pihak yang menginginkan kemenangan secara illegal, masih diragukan. Permasalahan-permasalahan diatas apabila tidak diantisipasi secara baik dan profesional, dapat diperkirakan pilkada akan menimbulkan penyelenggaraan yang kurang efektif dan menimbulkan gugatan ketidakpuasan peserta /calon/parpol pengusung dan menyebabkan pilkada serentak yang digelar di 269 daerah pilkada (9 propinsi/gubernur, 260 kabupaten/ kota/bupati/walikota)60 dengan biaya yang sangat mahal akan menjadi hambar dan tidak sesuai harapan. 2. Sangat besar kemungkinan, anggota penyelenggara pemilu tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh partai politik yang menginginkan pilkada serentak tetap dilaksanakan karena akan lebih menguntungkan pihak parpol tersebut, menyebabkan pilkada 59 Ketua KPU Hisni Kamil Manik menjelaskan, pihaknya telah menghimpun data sebanyak 705 calon yang terdiri dari 650 calon kepala daerah laki-laki dan 55 kepala daerah perempuan. “Tetapi, ada sejumlah daerah ternyata hanya ada satu pasangan calon,” ujar Husni dalam konferensi pers di Media Center KPU, Jakarta Pusat, 29 Juli 2015. Sampai batas akhir pendaftaran Selasa (28/7), sebanyak 12 daerah hanya ada satu pasang calon kepala daerah. Sehingga, KPU akan menambahkan waktu pendaftaran bagi daerah yang tidak memiliki lebih dari satu pasang calon itu. Ke-12 daerah itu adalah Kabupaten Asahan, Kabupaten Serang, Banten, Kabupaten Tasikmalaya, dan Purbalingga. Selain itu, Kota Surabaya, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Pacitan, Kemudian, Kabupaten Timur Tengah Utara, Kota Mataram, Kota Samarinda dan Kabupaten Minahasa Selatan. Sedangkan satu-satunya daerah yang sama sekali belum memiliki pasangan calom terdapat di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara. Sesuai dengan aturan, KPU telah mendistribusikan surat edaran KPU Nomor 403 ke seluruh daerah. Bagi daerah dengan jumlah pasangan calon kurang dari dua, maka akan diberikan tambahan waktu 3 hari kedepan. Jika tidak ada calon lain, seluruh tahapan pilkada serentak di daerah itu akan diundur hingga waktu terdekat, yakni 2017. Aturan itu, sesuai dengan undang-undang tentang Partai Politik, yang tertuang di dalam Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015. Lihat Harian Rakyat Merdeka, dibawah judul “ KPU : Ada 12 Daerah Yang Tidak Memiliki Lebih Dari Satu Calon, “, kamis, 30 Juli 2015, hal.8. 60 Dalam Kompas.Com, Selasa, tanggal 28 Juli 2015, disebutkan Pilkada serentak rencananya berlangsung di sembilan daerah provinsi, 224 kabupaten dan 36 kota.
Mewujudkan Demokrasi Melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2015. - Raja Onggal Siahaan
245
menjadi kurang fair dan kurang jujur dan penuh tekanan . 3. Pemilu dapat terhambat karena faktor keuangan yang belum disetujui, terutama dana untuk petugas keamanan61 dan badan pengawas pilkada, walaupun ketentuan Pasal 115 UU No. 22 Tahun 2007 secara logis yuridis meniadakan hal itu.62 4. Rawan terjadi kongkalingkong diantara parpol untuk mengusung calon yang tidak terakomodir dipartainya baik karena tidak memenuhi syarat untuk mengajukan calon sendiri atau karena kurang populer dikalangan para pemilih;63 5. Masalah administratif seperti data mata pilih, sampai masalah tingginya angka golput dan kecurangan pemilu yang selalu terjadi harus segera diselesaikan. 6. Partisipasi politik warga masih rendah, bahkan terjadi semacam apatisme terhadap pemilu dan ketidakpercayaan pada orang-orang yang akan mengisi jabatanjabatan politik sehingga diperlukan waktu yang cukup untuk melakukan sosialisasi mengenai kebaikan/pentingnya pilkada serentak baik oleh KPU, Pemda, parpol maupun figur-figur calon-calon yang akan dipilih. Sejalan dengan solusi-solusi atas masalah-masalah yang disebutkan diatas, 61 Menurut Kapolri kekurangan dan kemanan mencapai rp. 545 milyar. Dana pengamanan dibutuhkan rp. 1,2 triliun. Tapi meskipun demikian Polri tetap akan melaksanakan kewajibannya mengamankan pelaksanaan pilkada serentak dengan penyesuaian-penyesuaian dana polri. 62 Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengaku tidak khawatir meski masih ada 21 daerah yang belum selesai mengalokasikan anggaran pengamanan untuk Pilkada serentak. Menurut Tjahjo, masalah ini akan segera selesai secara bertahap. Tjahjo mengungkapkan, salah satu daerah yang mengalami kendala biaya pengamanan adalah Kabupaten Lingga. Daerah tersebut hanya mampu menyediakan Rp 1 miliar dari Rp 2 miliar yang diminta Polri, dan hanya mampu menyediakan Rp 300 juta dari angka Rp 1 miliar yang diminta Bawaslu. “Secara prinsip semuanya sudah siap. Hanya masalah teknis pencairannya yang bertahap di beberapa daerah,” ujar Tjahjo. Tahun ini, Pilkada serentak akan digelar pada 9 Desember 2015 di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota. Pilkada serentak selanjutnya digelar pada Februari 2017 di 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Pada Juni 2018, akan digelar Pilkada di 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Secara nasional, Pilkada serentak akan digelar pada tahun 2027, di 541 daerah.- KOMPAS.com. 23 Juli 2015. 63 Dalam Kompas.Com, Selasa, 28 Juli 2015, diberitakan kasus Partai Golkar lebih unik sebagaimana diutarakan Bendahara Umum DPP Partai Golkar hasil Munas IX Bali, Bambang Soesatyo, mengungkapkan adanya dugaan pemerasan terhadap calon kepala daerah yang akan diusung oleh Partai Golkar. Pemerasan itu, kata dia, dilakukan oleh salah satu kubu pengurus Partai Golkar. Bambang menegaskan, dugaan pemerasan ini harus direspons oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena banyak calon kepala daerah dari Golkar terancam gagal didaftarkan lantaran tidak sanggup memenuhi “mahar” yang diminta oknum tersebut.Sekretaris Fraksi Golkar di DPR RI itu menyatakan bahwa mahar yang diminta merupakan uang dalam jumlah besar sehingga menjadi sulit dipenuhi. (baca: Golkar Kubu Agung dan Aburizal Baru Sepakat 219 Calon Kepala Daerah)” Banyak calon kepada daerah dari Partai Golkar yang tengah bersengketa terancam gagal didaftarkan. Mereka diduga tersandera oleh salah satu kubu yang menahan rekomendasi karena sang calon tidak sanggup memenuhi permintaan oknum Golkar tersebut dalam jumlah uang yang sangat besar,” kata Bambang Soesatyo, Selasa (28/7/2015).
246
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
penting pula disosialisasikan akan kebaikan diselenggarakannya pilkada serentak yang secara langsung dapat dirasakan yaitu 1. Mengurangi terjadinya politik uang dan pengerahan massa sebagai bagian untuk menunjukkan dukungan semu dari masyarakat. Mengingat seluruh daerah melaksanakan pilkada, dengan waktu pelaksanaan yang serentak diseluruh negeri, maka parpol tidak mungkin mengerahkan dukungan massanya ke daerah-daerah tertentu karena daerah itu sendiri membutuhkan dukungan massa didaerahnya untuk kepentingan pemenangan calon dari daerah yang bersangkutan. Dengan kata lain, dukungan semu massa terhadap calon-calon tertentu yang didatangkan dari daerah lain (jika daerah lain itu tidak melaksanakan pilkada) dapat dihilangkan. Jadi massa suatu daerah hanya akan terkonsentrasi untuk mendukung calon yang dijagokan di daerahnya saja; 2. Politik uang juga akan semakin berkurang karena parpol akan mengalami kesulitan untuk membiayai kesuksesan/pemenangan calon-calon yang diusung/jagokannya apabila pilkada dilakukan secara serentak. Ini artinya parpol pasti akan memerintahkan calon yang dijagokan itu membiayai dirinya sendiri kecuali untuk alasan-alasan tertentu; 3. Dengan dilaksanaknnya pilkada serentak yang menghasilkan gubernur, bupati dan walikota secara bersamaan diseluruh negeri / tanah air, maka selain pembiayaan pelaksanaan pilkada maupun biaya pengamanan serta biaya pengawasan pilkada yang dapat terjadi minimal 2 kali dapat ditekan menjadi hanya satu pembiayaan dan dapat memperkuat dukungan kepada presiden terpilih hasil pilpres yang akan dilakukan setelah itu, setidaktidaknya mengurangi peluang besar bagi pelaku di daerah untuk melakukan politik dan politisasi anggaran; 4. Pilkada menjadi sarana pembelajaran politik bagi masyarakat sekaligus menjadi pesta rakyat untuk memilih pemimpin yang mereka inginkan/ setujui/legitimasi untuk memimpin daerah mereka 5 tahun kedepan, setidak-tidaknya memberikan kesadaran bahwa tujuan dari demokrasi pilkada adalah semata-mata untuk rakyat; 5. Memberikan konstruksi yang nyata tentang bagaimana mekanisme rekrutmen untuk mengisi para pekerja / relawan demokrasi yang profesional, jujur dan terampil; 6. Akan terlihat gairah /
partisipasi politik masyarakat secara langsung/ nyata dalam suatu sistem pilkada yang Jurdil, adanya kebebasan pers sebagai media kontrol kekuasaan dan tersedianya sistem kontrol yang bersifat mandiri dan independen; 7. Secara tidak langsung akan tampak nyata bahwa dengan pilkada serentak dapat diwujudkan negara demokrasi yang menempatkan rakyat sejajar dengan negara, karena rakyat adalah representasi negara itu sendiri, kehadiran dan suara rakyat sangat dibutuhkan sekaligus dihargai untuk suksesnya pilkada itu sendiri; 8. Menjadikan sistem presidensial menjadi lebih efektif karena masa berkuasanya kepala daerah diseluruh Indonesia adalah sama sehingga program-program pemerintah dapat dipacu secara bersamaan dan untuk mencapai tujuan yang sama sekalipun pasti ada kekhususankekhususan prioritas pembangunan masingmasing daerah dan sudah tentu Presiden juga akan lebih mudah mengarahkan program pembangunannya secara lebih terarah dan seragam dan akan mendapat dukungan yang lebih luas dari para kepala daerah terpilih sekalipun antara presiden dengan para kepala daerah bukan dari satu partai politik. Dengan memperhatikan kebaikan/ kemanfaatan pilkada serentak tersebut maka layaklah apabila hari dimana pilkada serentak itu dilaksanakan dijadikan sebagai hari libur nasional, sebagaimana ditegaskan oleh Mendagri Tjahjo Kumolo, bahwa pelaksanaan pilkada serentak tanggal 9 desember 2015 akan menjadi hari libur nasional.64 Masalah Calon Tunggal dan Solusinya Setelah waktu pendaftaran pertama selesai dilakukan (26-28 Juli), ternyata terdapat 12 daerah dengan calon tunggal. Sesuai ketentuan 64 Ibid. Hal itu dimaksudkan agar para pemilih yang merantau di luar daerahnya dapat turut serta memberikan hak suaranya pada pemilihan gubernur, bupati dan wali kota di daerah asalnya. Mendagri juga menegaskan “Petahana tidak boleh menggunakan fasilitas negara milik pemda. Oleh karena itu nanti akan ada SE supaya mobil dinas tidak dipakai kampanye, begitu pula terkait netralitas para pegawai negeri sipil (PNS). Sementara itu kegiatan |KPU dilaporkan terkait persiapan pelaksanaan Pilkada serentak gelombang pertama, Komisi Pemilihan Umum di 269 daerah sejak Minggu (26/7) telah membuka pendaftaran calon kepala daerah baik melalui usungan partai politik maupun calon perseorangan. Di hari pertama pendaftaran pasangan calon kepala daerah, KPU telah menerima berkas syarat pencalonan dari 236 pasangan calon yang 178 pasangan di antaranya merupakan calon independen, sedangkan sisanya merupakan pasangan calon dukungan partai politik.
KPU apabila hanya ada calon tunggal maka pilkada serentak di daerah yang bersangkutan akan diundur hingga pilkada serentak berikutnya (2017). Maka pejabat kepala daerahnya akan ditunjuk oleh Mendagri dengan status pelaksana tugas yang kewenangannya jelas tidak seluas pejabat definitif. Tentu hal ini akan mengurangi bobot kepemerintahan yang dilaksanakan oleh seorang pelaksana tugas baik menyangkut pelaksanaan pembangunan, pengelolaan keuangan maupun mutasi kepegawaian atau upaya-upaya penguatan sumber daya manusia di daerah tersebut. Tentu sangat disayangkan apabila terjadi calon tunggal dalam pilkada serentak yang merupakan pilkada pertama sekaligus pilkada terbanyak diseluruh dunia. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya calon tunggal, diantaranya kemungkinan mahar yang besar yang diwajibkan partai pengusung untuk mencalonklan seorang calon kepala daerah. Kemungkinan kedua, partai pengusung merasa calon yang diusung kalah populer dengan calon yang sudah mendaftar (tunggal), yang pada umumnya calon incumbent/petahana, yang sedang memerintah. Kemungkinan lain adalah untuk menggagalkan pelaksanaan pilkada di daerah dimana terjadi calon tunggal. Kami melihat bahwa terjadinya calon tunggal bukti parpol gagal memiliki atau mencari calon yang mempunyai pamor, kewibawaan, kepercayaan masyarakat yang tinggi yang diharapkan dapat mengalahkan calon yang sudah mendaftar sebagai calon tunggal. Dalam hal ini jelas sekali bahwa parpol yang tidak mengusung/ mencalonkan figur yang berasal dari partainya sendiri atau berkoalaisi dengan beberapa parai gagal membentuk kader yang mumpuni, mengayomi dan dipercaya masyarakat. Apabila alasannya karena mahar yang dimintakan oleh partai berkoalisi sangat tinggi jelas hal tersebut menunjukkan bahwa perpolitikan di Indonesia memang sarat dengan persekongkolan yang hanya mementingkan keuntungan partainya. Ada baiknya, dalam hal terjadi calon tunggal disuatu daerah maka langkah hukum yang harus ditempuh pemerintah adalah mengeluarkan Perppu yang mengijinkan pilkada serentak dapat dilakukan sekalipun hanya ada calon tunggal atau terhadap calon tunggal tersebut dimintakan persetujuan anggota masyarakat/ pemilih untuk menjadikan calon tunggal tadi
Mewujudkan Demokrasi Melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2015. - Raja Onggal Siahaan
247
menjadi kepala daerah apabila lebih dari 50 persen pemilih yang memberikan suaranya menyetujui calon tunggal tersebut menjadi pemenang untuk ditetapkan menjadi kepala daerah (semacam referendum). Dalam hal ini terdapat 2 (dua) kotak pilkada yaitu satu kotak “setuju calon untuk ditetapkan sebagai kepala daerah” sedang kotak kedua, “tidak setuju calon ditetapkan jadi kepala daerah.” Atau kotak suara cukup satu saja tetapi dalam kertas suara yang disiapkan dan diberikan kepada pemilih hanya menyediakan 2(dua) gambar pilihan yang harus dijoblos yaitu 1. Gambar setuju calon ditetapkan menjadi kepala daerah dan 2. Gambar tidak setuju calon ditetapkan menjadi kepala daerah. Apabila persetujuan pemilih lebih dari 50 % dari jumlah suara yang masuk/memberikan suaranya maka calon tunggal tersebut dinyatakan menjadi pemenang dan harus ditetapkan sebagai kepala daerah untuk masa 5 tahun kedepan. Agar dapat menyelenggarakan pilkada serentak dengan calon tunggal, maka payung hukum yang paling memadai adalah dengan mengeluarkan Perppu. Namun demikian menurut saya, mengeluarkan Perppu bagaimanapun tetap mempunyai kelemahan sebab Perppu tersebut paling lambat 1 (satu) tahun setelah dikeluarkan harus mendapat persetujuan dari DPR. Timbul masalah apabila Perppu tersebut ditolak DPR sebelum pilkada serentak dilaksanakan tanggal 9 desember 2015, maka hal tersebut berarti pilkada serentak di daerah yang hanya ada calon tunggal tidak dapat dilaksanakan atau harus ditunda hingga tahun 2017. Dalam kondisi pilkada serentak tidak dilakukan di daerah yang hanya ada calon tunggal, maka Presiden melalui Mendagri harus mengeluarkan keputusan untuk mengangkat pelaksana tugas kepala daerah ditempat pilkada serentak ditunda hingga tahun 2017 dan jelas kewenangan kepala daerah dengan status pelaksana tugas tidak sama kedudukannya sebagaimana kepala daerah yang diangkat secara definitif. Sebaliknya apabila Perppu ditolak untuk disetujui setelah pilkada serentak dengan calon tunggal dilaksanakan, maka hasilnya juga seharusnya tidak dapat diterima/ tidak sah karena payung hukum pelaksanaan pilkada serentak dengan calon tunggal sudah tidak ada atau tidak sah dan bagtaimanapun 248
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Mendagri tetap harus mengeluarkan keputusan untuk menetapkan PLT kepala daerah. Sementara itu apabila payung hukum pelaksanaan pilkada serentak dengan calon tunggal dilakukan dalam bentuk PP, maka dasar pembentukan PP itu haruslah dengan mengacu kepada salah pasal yang terdapat dalam UU Nomor 8 tahun 2015 dan dikeluarkan sebelum proses / tahapan-tahapan pilkada serentak dilaksanakan oleh KPU. Karena itu, untuk suksesnya penyelenggaraan pilkada serentak 9 desember 2015 maka hal yang paling memungkinkan /paling tepat dan pas untuk diambil oleh pemerintah adalah dengan mengeluarkan Perppu. Dalam hal Perppu sudah dikeluarkan maka mau tidak mau KPU sebagai penyelenggara tunggal pilkada serentak harus menyesuaikan peraturan-peraturan yang sudah dikeluarkannya dengan materi Perppu yang baru dikeluarkan dan harus melaksanakan pilkada serentak sekalipun di daerah itu hanya ada satu calon (calon tunggal). Fenomena hanya ada calon tunggal ketika diadakan suatu pemilihan umum, khususnya untuk memilih penguasa yang akan memimpin suatu daerah selama 5 tahun kedepan sangatlah ganjil, aneh dan suatu kondisi yang sangat luar biasa bias terjadi tetapi sekaligus merusak sendisendi demokrasi dan merugikan masyarakat dan biaya yang sudah dikeluarkan KPU. Bukankah salah satu tujuan partai politik itu adalah untuk merebut/ mendapatkan kekuasaan ?? maka tidak heran jika keadaan dimana hanya ada calon tunggal dalam suatu pemilihan untuk merebut kekuasaan, semakin menguatkan dugaan bahwa politik uang atau politik uang mahar yang tinggi/ mahal (mencapai rp. 25 – rp. 50 milyar ???) semakin mendekati kebenaran. Parpol yang tidak mampu menyiapkan/ membentuk kader yang mumpuni yang bisa mendapatkan kepercayaan masyarakat, takut kalah dan takut pamor partainya menjadi merosot kalau ikut mencalonkan tetapi (sudah diprediksi) kemudian kalah, sehingga parpol tersebut tidak mau mencalonkan kadernya; sebab bagimanapun apabila parpol yang bersangkutan mengajukan calon maka mau tidak mau ada ikatan moral untuk memenangkan calonnya dan untuk itu diperlukan biaya/ dana yang tidak kecil dan sudah tentu parpol tersebut tidak mau rugi apabila calon yang diusungnya
sudah dapat diperkirakan akan kalah dan harus mengeluarkan dana/biaya yang tidak sedikit baik untuk persiapan kampanye, tim sukses dan biaya-biaya lainnya. Karena itu parpol tersebut lebih mencari “aman” saja dengan menunggu calon yang mau menggunakan kendaraan politiknya melalui parpolnya dengan syarat meminta uang mahar yang cukup tinggi/mahal untuk mengisi kas partainya. Ada juga kemungkinan, fenomena dengan calon tunggal adalah akal-akalan negatif parpol yang takut kalah agar pilkada serentak didaerah itu ditunda pelaksanaannya dan baru dilaksanakan manakala calon tunggal saat ini sudah tidak populer atau sudah tidak menjabat incumbent/petahana lagi sehingga akan lebih mudah mengalahkannya dibanding apabila ditantang saat calon tadi masih menjabat / incumbent atau masih sangat populer. Inilah wajah parpol kita saat ini terutatama parpol yang tidak berani mengajukan calon disaat parpol tersebut diharapkan ikut berpartisipasi memeriahkan pesta demokrasi yang selalu didengung-dengungkannya dalam suatu rapat, diskusi, dialog, kampanye, dsb, menjadi ciut /tak bernyali hanya karena takut kalah berkompetisi secara jujur, terbuka dan aplikatif, tetapi dengan tidak malu faktanya tetap saja dalam berbagai kesempatan selalu mencari-cari kesalahan pemerintah dan KPU dan dengan pintarnya parpol tersebut atau pengurusnya kemudian mengkambinghitamkan “belum ada mekanismenya.” Partai semacam ini sudah tentu dapat disebut atau dikategorikan sebagai partai pengecut atau partai pecundang yang sudah tentu didalamnya termasuk pengurus partai tersebut dan tidak perlu hidup dalam negara demokrasi atau setidaknya ada keberanian untuk menstigma parpol seperti ini dilarang ikut pilkada berikutnya. Tetapi bagi parpol yang tidak tahu malu yang demikian itu pasti tetap eksis karena berprinsip, biarlah anjing menggonggong karena bagaimanapun kafilah tetap lewat. Hanya perlu kita pahami bersama bahwa untuk melaksanakan tahapantahapan pilkada serentak tahun 2015, KPU telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dan akan menjadi sia-sia apabila pilkada tidak jadi dilaksanakan hanya karena ada calon tunggal. Salah satu opsi agar pilkada serentak dengan calon tunggal tetap dapat dilaksanakan
adalah dengan tetap mengacu ketentuan KPU dengan mencari pasangan calon lain untuk mendaftar yaitu dengan cara memberi kesempatan ketiga dilakukannya pendaftaran pasangan calon tetapi tidak melewati tenggang waktu penetapan calon yang ditentukan tanggal 24 agustus 2015. Ini artinya masih ada waktu antara tanggal 18 – 21 agustus 2015 untuk pendaftaran ulang dan setelah itu para pasangan calon agar melengkapi berkas dan pemeriksaan kesehatannya dan pada tanggal 24 Agustus 2015 KPU sudah dapat mengumumkan pasangan calon dalam pilkada serentak 9 demseber 2015. Pendaftaran ulang ini hanya berlaku bagi 12 daerah yang hanya memiliki pasangan calon tunggal. Apabila hingga pendaftaran ulang kedua ini juga tidak ada tambahan calon (masih tetap tetap hanya ada calon tunggal didaerah yang bersangkutan) maka mau tidak mau pilkada serentak di daerah yang hanya memilki calon tunggal harus ditunda sampai tahun 2017 atau pemerintah harus mengeluarkan Perppu untuk membolehkan pilkada serentak diseluruh daerah walaupun hanya memiliki calon tunggal. Uraian Perbuatan Tindak Pidana Pilkada Serentak Apabila pilkada serentak sangat rentan dengan permasalahan-permasalahan pada tahapan-tahapan pelaksanaannya, maka kita perlu juga mencermati tindak pidana apa saja yang mungkin terjadi sebagaimana yang diatur dalam pasal 177 – 198. Ketentuan pidana pilkada serentak dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 mencakup uraian perbuatan : 1. dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih; 2. dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya; 3. dengan sengaja memalsukan surat yang menurut suatu aturan dalam UndangUndang ini diperlukan untuk menjalankan suatu perbuatan dengan maksud untuk digunakan sendiri atau orang lain sebagai seolah-olah surat sah atau tidak dipalsukan;
Mewujudkan Demokrasi Melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2015. - Raja Onggal Siahaan
249
4. dengan sengaja secara melawan hukum menghilangkan hak seseorang menjadi Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota; 5. karena jabatannya dengan sengaja secara melawan hukum menghilangkan hak seseorang menjadi Gubernur, Bupati, dan Walikota; 6. dengan sengaja dan mengetahui bahwa suatu surat adalah tidak sah atau dipalsukan, menggunakannya, atau menyuruh orang lain menggunakannya sebagai surat sah; 7. dengan kekerasan atau dengan ancaman kekuasaan yang ada padanya saat pendaftaran pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan menurut Undang-Undang ini; 8. melakukan kekerasan terkait dengan penetapan hasil Pemilihan menurut Undang-Undang ini; 9. dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu seolah- olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota; 10. dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan identitas diri palsu untuk mendukung pasangan calon perseorangan menjadi calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur, calon Bupati dan calon Wakil Bupati, dan calon Walikota dan calon Wakil Walikota; 11. Anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU Kabupaten/Kota, dan anggota KPU Provinsi yang dengan sengaja memalsukan daftar dukungan terhadap calon perseorangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; 12. Anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU Kabupaten/Kota, dan anggota KPU Provinsi yang dengan sengaja tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi terhadap calon perseorangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; 13. dengan sengaja melakukan Kampanye di 250
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
luar jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/ Kota untuk masing-masing calon; 14. dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f; 15. dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan Kampanye Pemilihan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf g, huruf h, huruf i, atau huruf j; 16. dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya Kampanye; 17. memberi atau menerima dana Kampanye melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (5); 18. dengan sengaja menerima atau memberi dana Kampanye dari atau kepada pihak yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) dan/atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71; 19. dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam laporan dana Kampanye sebagaimana diwajibkan oleh Undang-Undang ini; 20. dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam laporan dana Kampanye sebagaimana diwajibkan oleh Undang-Undang ini; 21. Calon yang menerima sumbangan dana Kampanye dan tidak melaporkan kepada KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan/atau tidak menyetorkan ke kas negara; 22. dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam laporan dana Kampanye sebagaimana diwajibkan oleh Undang-Undang ini; 23. Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota yang dengan sengaja melibatkan pejabat badan usaha milik negara, pejabat badan usaha milik daerah,Aparatur Sipil Negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan
kepala desa atau sebutan lain/lurah serta perangkat desa atau sebutan lain/perangkat kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1); 24. Pejabat yang melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (2) atau Pasal 162 ayat (3); 25. Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah penetapan pasangan calon sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara; 26. Pimpinan Partai Politik atau gabungan pimpinan Partai Politik yang dengan sengaja menarik pasangan calonnya dan/atau pasangan calon perseorangan yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah ditetapkan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara; 27. Panwas Kecamatan yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara tersegel kepada KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b; 28. Dalam hal KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tidak menetapkan pemungutan suara ulang di TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 tanpa alasan yang dibenarkan berdasarkan Undang-Undang ini, anggota KPU Provinsi dan anggota KPU Kabupaten/Kota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah); 29. Ketua dan anggota KPPS yang dengan sengaja tidak membuat dan/atau menandatangani berita acara perolehan pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, dipidana; 30. Ketua dan anggota KPPS yang dengan sengaja tidak melaksanakan ketetapan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di TPS, dipidana; 31. Setiap KPPS yang dengan sengaja tidak memberikan salinan 1 (satu) eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan suara dan/atau sertifikat hasil penghitungan suara pada saksi calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur, calon Bupati dan calon Wakil Bupati, serta calon Walikota dan calon Wakil Walikota, PPL, PPS dan PPK melalui PPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (12) dipidana; 32. Setiap KPPS yang tidak menjaga, mengamankan keutuhan kotak suara, dan menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara pemungutan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada PPK pada hari yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf q, dipidana; 33. Setiap PPS yang tidak mengumumkan hasil penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99, dipidana; 34. Setiap orang yang dengan sengaja merusak, mengganggu, atau mendistorsi sistem informasi penghitungan suara hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, dipidana; 35. Ketua dan anggota KPPS yang dengan sengaja tidak membuat dan/atau menandatangani berita acara perolehan suara pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, dipidana; 36. KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/ Kota tidak menetapkan perolehan hasil Pemilihan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dipidana; 37. Ketua dan anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (2), dipidana;
Mewujudkan Demokrasi Melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2015. - Raja Onggal Siahaan
251
Apabila dicermati ketentuan pidana dalam UU Nomor 8 Tahun 2015, maka orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai subyek / pelaku dalam tindak pidana65 pilkada adalah : 1. Setiap orang (atau siapa saja yang menjadi subyek hukum namun tidak secara spesifik menentukan bahwa dalam hal ini badan hukum walaupun badan hukum dapat menjadi subyek hukum sebagai pelaku tindak pidana pilkada yang uraian perbuatannya disebutkan pada 1 – 37 diatas); 2. Pelaksana / penyelenggara pilkada dalam hal ini Ketua, anggota KPU ( provinsi, kabupaten, kota termasuk Ketua dan anggota PPK, PPS dan KPPS ); 3. Pengurus parpol atau gabungan partai politik; 4. Calon atau pasangan calo kepala daerah; 5. Pejabat yang berwenang memberikan akte resmi ( acte authentic ); Apabila diperhatikan uraian perbuatan tindak pidana sebagaimana ditentukan dalam pasal 177 – 198, maka dapat simpulkan bahwa kualifikasi kesalahan (schuld) dalam tindak pidana pilkada adalah perbuatan yang dilakukan “dengan sengaja” (dolus) dan bukan kelalaian atau bukan merupakan perbuatan pelanggaran. Mengingat ancaman pidana yang akan dijatuhkan dalam ketentuan pidana pilkada yang tidak begitu tinggi, tidak jelas apakah tindak pidana pidana pilkada sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran. Misalnya, ketentuan yang diatur dalam pasal 187 (ayat 1), sekalipun perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja tetapi ancaman Menurut R. O. Siahaan, dalam Hukum Pidana I, Penerbit ROA PressCV. Miswar, Cibubur-Jakarta, 2011, hal. 197, perlu ditegaskan kembali bahwa dalam setiap perbuatan maka unsur pokok dalam perbuatan yang dilarang oleh UU tersebut adalah manusia atau orangnya, karena orang itulah yang mempunyai kehendak, mengetahui, dapat mempertanggungjawabkan perbuatan itu dan sekaligus yang dapat melaksanakan kehendaknya, baik secara sendiri ataupun dengan penyertaan orang lain; tegasnya tiada suatu perbuatan tanpa adanya pembuat. Dengan memperhatikan pengertian strafbaar feit yang dikemukakan D. Simons, ( suatu perbuatan yang a. oleh hukum diancam dengan hukuman, b. bertentangan dengan hukum, c. dilakukan oleh seorang yang bersalah, dan d. orang itu boleh dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya ), maka perumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan pertama-tama diawali dengan kata “ barang siapa...(Hij die )..untuk menunjuk siapa yang menjadi pelaku atau menjadi pembuat perbuatan yang dilarang. Dalam hukum, yang menjadi subyek hukum, tidak hanya orang ( natuurlijk persoon ) tetapi juga badan hukum ( rechtspersoon ). Tetapi untuk perumusan pelaku perbuatan yang dilarang itu tetap memakai kata “ barang siapa atau hij die ). 65
252
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
hukumannya kurang dari 6 (enam) bulan, yang seharusnya perbuatan tersebut dikategorikan sebagai suatu pelanggaran, sekalipun disana dicantumkan kata-katan “paling singkat” namun ancaman paling singkatnya hanya 15 hari atau paling lama 3 bulan.
III. PENUTUP KESIMPULAN Dari uraian yang telah dipaparkan diatas maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah : 1. Pilkada serentak sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 bagaimanapun tidak dapat diundur hingga tahun 2016 selain harus dilaksanakan tanggal 9 desember 2015, kecuali oleh suatu ketentuan UU atau Perppu memerintahkan pilkada serentak diundur pelaksanaannya menjadi tahun 2016; 2. Dalam hal terdapat satu pasangan calon (calon tunggal) disuatu daerah maka pilkada serentak di daerah itu seharusnya ditunda pelaksanaannya tetapi setelah terlebih dahulu harus dilakukan beberapa kali pengunduran pendaftaran calon untuk mendapatkan setidaknya 2 (dua) pasangan calon pilkada. Apabila setelah dilakukan pengunduran pendaftaran, tetapi pasangan calon di daerah tersebut tetap hanya ada satu pasangan (calon tunggal) maka pilkada di daerah itu harus ditunda hingga tahun 2017 atau kecuali ada Perppu dikeluarkan yang memerintahkan pilkada serentak dapat dilakukan sekalipun calon pilkada hanya ada satu pasangan calon (calon). SARAN 1. KPU dan pemerintah setogyanya berkomitmen dan konsisten dalam satu kata untuk tetap menyelenggarakan pilkada serentak, 9 Desember 2015 sekalipun banyak pihak menginginkan pelaksanaannya diundur; 2. Agar lebih pasti dan memberi pelajaran yang mendidik bagi parpol-parpol yang berusaha bermain kucing-kucingan hingga terjadi calon tunggal di daerah yang hanya ada satu pasangan calon (calon tunggal),
pemerintah sebaiknya mengeluarkan Perppu dan memerintahkan agar pilkada serentak di daerah dengan calon tunggal tetap dilakukan, 9 Desember 2015 dan tidak ditunda sampai tahun 2017 LAMPIRAN 1 : TAHAPAN PILKADA 2015 YANG TERCANTUM DALAM PERATURAN KPU NO. 2 TAHUN 2015: A. Penyerahan Perseorangan
Syarat
Dukungan
Calon
• Penyerahan syarat dukungan calon gubernur dan wakil gubernur kepada KPU Provinsi: 8-12 Juni • Penyerahan syarat dukungan calon bupati atau wakil bupati, calon walikota atau wakil walikota kepada KPU Kabupaten/Kota: 11-15 Juni • Penelitian administratif dan faktual di tingkat desa/kelurahan: 23 Juni-6 Juli • Rekapitulasi di tingkat kecamatan: 7-13 Juli • Rekapitulasi di tingkat kabupaten/kota: 14-19 Juli • Rekapitulasi di tingkat provinsi: 22-24 Juli B. Pendaftaran Pasangan Calon • Pendaftaran pasangan calon: 26-28 Juli 2015 • Pemeriksaan kesehatan: 26 Juli-1 Agustus 2015 • Penyampaian hasil pemeriksaan kesehatan: 1-2 Agustus 2015 • Penelitian syarat pencalonan dan syarat calon: 28 Juli-3 Agustus 2015 • Pemberitahuan hasil penelitian syarat pencalonan/calon: 3-4 Agustus 2015 • Perbaikan syarat pencalonan/calon dari partai politik/gabungan partai politik/perseorangan: 4-7 Agustus 2015 • Penetapan pasangan calon: 24 Agustus 2015 • Pengundian dan pengumuman nomor urut pasangan calon: 25-26 Agustus 2015 C. Kampanye • Masa kampanye: 27 Agustus-5 Desember 2015 • Debat publik/terbuka antar pasangan calon: 27 Agustus-5 Desember 2015 • Masa tenang dan pembersihan alat peraga: 6-8 Desember 2015 D. Laporan dan Audit Dana Kampanye • Penyerahan laporan awal dana kampanye; 26 Agustus 2015 • Penyerahan laporan penerimaan sumbangan dana kampanye: 16 Otober 2015
• Penyerahan Laporan Penerimaan dan Penggunaan Dana Kampanye (LPPDK): 6 Desember 2015 • Audit LPPDK kepada Kantor Akuntan Publik: 7-22 Desember 2015 • Pengumuman hasil audit dana kampanye: 24-26 Desember 2015 E. Pemungutan dan Penghitungan Suara • Pemungutan dan penghitungan suara serentak di TPS: 9 Desember 2015 • Pengumuman hasil penghitungan suara di TPS: 9-15 Desember 2015 • Rekapitulasi hasil penghitungan suara tingkat kecamatan: 10-16 Desember 2015 • Rekapitulasi hasil penghitungan suara tingkat KPU Kab/kota: 16-18 Desember 2015 • Rekapitulasi hasil penghitungan suara tingkat KPU provinsi: 19-27 Desember 2015 F. Penetapan Calon Terpilih • Penetapan pasangan calon bupati/wakil bupati atau calon walikota/wakil walikota terpilih: 2122 Desember • Penetapan pasangan calon gubernur/wakil gubernur terpilih: 22-23 Desember LAMPIRAN 2 : Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Walikota Menjadi Undang-Undang. (Ditetapkan Dan Diundangkan Di Jakarta Tanggal 2 Oktober 2014) Pasal 177 Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). Pasal 178 Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). Pasal 179 Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan surat yang menurut suatu aturan dalam Undang-Undang ini
Mewujudkan Demokrasi Melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2015. - Raja Onggal Siahaan
253
diperlukan untuk menjalankan suatu perbuatan dengan maksud untuk digunakan sendiri atau orang lain sebagai seolah-olah surat sah atau tidak dipalsukan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Pasal 180 (1) Setiap orang yang dengan sengaja secara melawan hukum menghilangkan hak seseorang menjadi Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). (2) Setiap orang yang karena jabatannya dengan sengaja secara melawan hukum menghilangkan hak seseorang menjadi Gubernur, Bupati, dan Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 48 (empat puluh delapan) bulan dan paling lama 96 (sembilan puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah) dan paling banyak Rp96.000.000,00 (sembilan puluh enam juta rupiah). Pasal 181 Setiap orang yang dengan sengaja dan mengetahui bahwa suatu surat adalah tidak sah atau dipalsukan, menggunakannya, atau menyuruh orang lain menggunakannya sebagai surat sah, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Pasal 182 Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekuasaan yang ada padanya saat pendaftaran pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan menurut Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). Pasal 183 Setiap orang yang melakukan kekerasan terkait dengan penetapan hasil Pemilihan menurut Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
254
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Pasal 184 Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).66 Pasal 185 Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan identitas diri palsu untuk mendukung bakal Calon perseorangan Gubernur, bakal Calon perseorangan Bupati, dan bakal Calon perseorangan Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).67 Pasal 186 (1) Anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU Kabupaten/Kota, dan anggota KPU Provinsi yang dengan sengaja memalsukan daftar dukungan terhadap calon perseorangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). (2) Anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU Kabupaten/ Kota, dan anggota KPU Provinsi yang dengan sengaja tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi terhadap calon perseorangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana 66 Ketentuan Pasal 184 ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.(Disahkan Dan Diundangkan Di Jakarta Pada Tanggal 18 Maret 2015)sehingga berbunyi sebagai berikut: Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu seolah- olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). 67 Ketentuan Pasal 185 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan identitas diri palsu untuk mendukung pasangan calon perseorangan menjadi calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur, calon Bupati dan calon Wakil Bupati, dan calon Walikota dan calon Wakil Walikota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Pasal 187 (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Kampanye di luar jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/ Kota untuk masing-masing calon, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). (2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000.00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000.00 (enam juta rupiah). (3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan Kampanye Pemilihan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf g, huruf h, huruf i, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). (4) Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu ruplah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah). (5) Setiap orang yang memberi atau menerima dana Kampanye melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (6) Setiap orang yang dengan sengaja menerima atau memberi dana Kampanye dari atau kepada pihak yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) dan/atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(7) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam laporan dana Kampanye sebagaimana diwajibkan oleh UndangUndang ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (8) Calon yang menerima sumbangan dana Kampanye dan tidak melaporkan kepada KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan/atau tidak menyetorkan ke kas negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 48 (empat puluh delapan) bulan dan denda sebanyak 3 (tiga) kali dari jumlah sumbangan yang diterima. Pasal 188 Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam laporan dana Kampanye sebagaimana diwajibkan oleh UndangUndang ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Pasal 189 Calon yang menerima sumbangan dana Kampanye dan tidak melaporkan kepada KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan/atau tidak menyetorkan ke kas negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 48 (empat puluh delapan) bulan dan denda sebanyak 3 (tiga) kali dari jumlah sumbangan yang diterima.68 Pasal 190 Pejabat yang melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (2) atau Pasal 162 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah). Pasal 191 (1) Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah penetapan Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran pertama, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan 68 Ketentuan Pasal 189 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota yang dengan sengaja melibatkan pejabat badan usaha milik negara, pejabat badan usaha milik daerah, Aparatur Sipil Negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah serta perangkat desa atau sebutan lain/perangkat kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Mewujudkan Demokrasi Melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2015. - Raja Onggal Siahaan
255
paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (2) Pimpinan Partai Politik atau gabungan pimpinan Partai Politik yang dengan sengaja menarik calonnya dan/atau calon yang telah ditetapkan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran pertama, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).69 Pasal 192 (1) Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah pemungutan suara putaran pertama sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran kedua, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). (2) Pimpinan Partai Politik atau gabungan pimpinan Partai Politik yang dengan sengaja menarik calonnya dan/atau calon yang telah ditetapkan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran kedua, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).70 Pasal 193 (1) Dalam hal KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/ Kota tidak menetapkan pemungutan suara ulang di TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 tanpa alasan yang dibenarkan berdasarkan UndangUndang ini, anggota KPU Provinsi dan anggota 69 Ketentuan Pasal 191 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: (1) Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah penetapan pasangan calon sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (2) Pimpinan Partai Politik atau gabungan pimpinan Partai Politik yang dengan sengaja menarik pasangan calonnya dan/atau pasangan calon perseorangan yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah ditetapkan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). 70 Ketentuan Pasal 192 dihapus.
256
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
KPU Kabupaten/Kota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). (2) Ketua dan anggota KPPS yang dengan sengaja tidak membuat dan/atau menandatangani berita acara perolehan suara Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). (3) Ketua dan anggota KPPS yang dengan sengaja tidak melaksanakan ketetapan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di TPS, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). (4) Setiap KPPS yang dengan sengaja tidak memberikan salinan 1(satu) eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan suara dan/atau sertifikat hasil penghitungan suara pada saksi calon Gubernur, Bupati dan Walikota, PPL, PPS dan PPK melalui PPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (12) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). (5) Setiap KPPS yang tidak menjaga, mengamankan keutuhan kotak suara, dan menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara pemungutan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada PPK pada hari yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf q, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah). (6) Setiap PPS yang tidak mengumumkan hasil penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).71 71 Ketentuan ayat (2) Pasal 193 diubah, sehingga Pasal 193 berbunyi sebagai berikut: (1) Dalam hal KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tidak menetapkan pemungutan suara ulang di TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 tanpa alasan yang dibenarkan berdasarkan UndangUndang ini, anggota KPU Provinsi dan anggota KPU Kabupaten/Kota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling
Pasal 194 Panwas Kecamatan yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara tersegel kepada KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). Pasal 195 Setiap orang yang dengan sengaja merusak, mengganggu, atau mendistorsi sistem informasi penghitungan suara hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 60 (enam puluh) bulan dan paling lama 120 (seratus dua puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).72 Pasal 196 Ketua dan anggota KPPS yang dengan sengaja tidak membuat dan/atau menandatangani berita acara perolehan suara Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). (2) Ketua dan anggota KPPS yang dengan sengaja tidak membuat dan/atau menandatangani berita acara perolehan pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). (3) Ketua dan anggota KPPS yang dengan sengaja tidak melaksanakan ketetapan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di TPS, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (duabelas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). (4) Setiap KPPS yang dengan sengaja tidak memberikan salinan 1 (satu) eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan suara dan/atau sertifikat hasil penghitungan suara pada saksi calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur, calon Bupati dan calon Wakil Bupati, serta calon Walikota dan calon Wakil Walikota, PPL, PPS dan PPK melalui PPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (12) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)…. (5) Setiap KPPS yang tidak menjaga, mengamankan keutuhan kotak suara, dan menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara pemungutan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada PPK pada hari yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf q, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah)…. (6) Setiap PPS yang tidak mengumumkan hasil penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). 72 Ketentuan Pasal 195 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Setiap orang yang dengan sengaja merusak, mengganggu, atau mendistorsi sistem informasi penghitungan suara hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 60 (enam puluh) bulan dan paling lama 120 (seratus dua puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).73 Pasal 197 (1) Dalam hal KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/ Kota tidak menetapkan perolehan hasil Pemilihan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (2) Setiap orang atau lembaga yang mengumumkan hasil penghitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).74 Pasal 198 Ketua dan anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/ Kota yang tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
DAFTAR PUSTAKA Adji, Oemar Seno. “Prasaran” dalam Seminar Ketatanegaraan UUD 1945, Penerbit Seruling Masa, Jakarta, 1966. Amirmachmud. Demokrasi Undang-Undang dan Peran Rakyat, (Jakarta : PRISMA No.8 LP3ES, 1984), dalam Moh. Mahfud MD, Demokrasi 73 Ketentuan Pasal 196 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Ketua dan anggota KPPS yang dengan sengaja tidak membuat dan/atau menandatangani berita acara perolehan suara pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). 74 Ketentuan Pasal 197 ayat (2) dihapus, sehingga Pasal 197 berbunyi sebagai berikut: (1) Dalam hal KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tidak menetapkan perolehan hasil Pemilihan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). ….(2) Dihapus.
Mewujudkan Demokrasi Melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2015. - Raja Onggal Siahaan
257
dan Konstitusi di Indonesia, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1993.
Muchsin. Ikhtisar Sejarah Hukum, Penerbit Iblam, Jakarta, 2004.
Alfred, Grazia de. Volume one of The Element of Political Science: Political Behavior, 1965, The Free Press dan Collier- The Macmillan Limited, New York .
Murtopo, Ali. Strategi Politik Nasional, CIS, Jakarta, 1974.
Badrulzaman, Mariam Darus. Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Penerbit Alumni, Bandung, 1983.
Muchtar Pakpahan , Ilmu Negara dan Politik,Jakarta : PT Bumi Intitama Sejahtera.
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2006. Betham, David & Kevin Boyle. Demokrasi, Ciri-Ciri Negara Hukum Menurut Para Ahli Hukum, http://www.seputarpengetahuan.com/2014/09/ ciri-ciri-negara-hukum-menurut-para.html, diunduh pada tanggal 19 Juni 2015. Fahmi, Chairul. Pemilihan Umum & Kedaulatan Rakyat, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 2011. Garner, Bryan .A. Black’s Law Dictionary, Eight Edition, West Publishing co: Amerika, 2008. Harian Rakyat Merdeka, selasa, 23 Juni 2015, hal 7., “Dead Line KPU 10 Hari Tindaklanjuti Temuan BPK”. M. Misbhakun Harian Kompas, selasa, 23 Juni 2015, “Pilkada Tetap Sesuai Jadwal,” Harian Rakyat Merdeka, Senin, tanggal 22 Juni 2015,”Hasil Audit BPK Dianggap Bukan Halangan. Elite KIH Kompak Tolak Wacana Pilkada Serentak Diundur”. Harian Kompas, Senin, tanggal 22 Juni 2015, “Ada Upaya Melemahkan KPU”. Harvey, Kebschull G. Politics In Transitional Societies, 1968, Printed In The United States Of America, New York. Huntington, Samuel P. Gelombang Demokrasi Ketiga, Jakarta: Pustaka Grafiti, 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga), Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Penerbit Balai Pustaka, Jakafrta, 2005. Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil, Ilmu Negara Untuk Perguruan Tinggi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2007. Mayo, Henry B. An Introduction to Democratic Theory, (New York : Oxford University Press, 1960), dalam Moh. Mahfud MD. Montesquieu (Charles-Louis de Secondat di La Brede ( 1689-1755 ), dibawah judul “ The Spirit of Law”- Dasar-|Dasar Ilmu Hukum dan Ilmu Politik, dengan pengantar David Wallace Carrirthers Penerbit Nusamedia, Bandung, 2007. 258
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Oed, Mohtar Mas’. Negara, Kapital Dan Demokrasi, Penerbit Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.
Priharmoko, Joko J. Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, LP2I Press, Semarang, 2003, hal. 24. Siahaan, R.O, Asas Retroaktif – Pemberlakuannya Dalam Perkara Pelanggaran HAM Berat di Indonesia, Penerbit ROA Press-CV. Miswar, 2008. ----------, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit ROA Press-CV. Miswar, 2008. ----------, Hukum Pidana I, Penerbit ROA Press – CV. MIswar, Cibubur-Jakarta, 2011. Salim, Peter dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Penerbit Modern English Press, Jakarta, 2002. Schmid, J.J. Von. Pemikiran Tentang Negara dan Hukum, Penerbit Pembangunan, Jakarta, 1988, hal. 7. Soche, H. Haris. Supremasi Hukum dan Prinsip Demokrasi di Indonesia, Penerbit Hanindita, Yogyakarta, 1985. Seri Buku Panduan, Standar-standar Internasional untuk Pemilihan Umum Pedoman Peninjauan Kembali Kerangka Hukum Pemilu, (International IDEA : Internasional Institute for Democracy and Electoral Assistance, 2002). South-East Asian and Pasific Conference of Jurists, The Dynamic Aspects of The Rule of Law in The Modern Age, (Bangkok : International Commission of Jurists, February 15-19, 1965) dalam Dr. Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Penerbit Liberty, Yogyakarta,1993. Tambunan, A.S.S. Pemilihan Umum di Indonesia dan Susunan & Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, Penerbit Binacipta, Jakarta, 1986. Untoro, Suryo. Pokok-Pokok Pengertian Pemilu, Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1976. Wade, E.C.S. dan G. Gogfrey, Constitutional Law : An Outline of The Law and Practice of The Citizen and the Including Central and Local Government, the Citizen and the State and Administrative Law, 7th Edition, London : Longmans, 1965.
HUKUM PIDANA ADAT DALAM SISTIM HUKUM INDONESIA ADAT CRIMINAL LAW IN INDONESIAN LEGAL SYSTEM I Made Widnyana Guru Besar (Emeritus) Hukum Pidana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) & Arbitrase di Universitas Bhayangkara Jaya Jakarta, Universitas Mpu Tantular Jakarta, Universitas Panca Sila Jakarta, Universitas Warmadewa Denpasar Bali dan Ketua Program Magister Ilmu Hukum Iniversitas Bhayangkara Jaya (UBJ) Jakarta serta Arbiter BANI Arbitratin center Email :
[email protected] (Diterima tanggal 25 Juni 2015, direvisi tanggal 3 Juli 2015, disetujui tanggal 15 Juli 2015) Abstrak Hukum Pidana Adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang sudah ada sejak lama dan mendapat pengaruh berbagai agama, diikuti dan ditaati oleh masyarakat secara terus menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hukum Pidana Adat hingga saat ini tetap eksis dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat adat di daerah Bali berdasarkan peraturan lokal yaitu adanya 4 (empat) buku hukum (Agama, Adi Agama, Purwa Agama dan Kutara Agama) dan Awig-awig Desa Adat di Bali, serta berbagai aspirasi yang bersumber dari kebijakan legislatif nasional setelah kemerdekaan, kesepakatan ilmiah dalam pelbagai seminar atau pertemuan ilmiah lain yang bersifat nasional, dan aspirasi yang bersifat sosiologis. Dengan diberikan dasar hukum bagi penerapan hukum pidana adat melalui Undang-Undang Nomor 1/Drt/1951 maka makna asas legalitas tidak lagi hanya bermakna formal (tertulis/ berdasarkan undang-undang) saja, tetapi juga bermakna materiil (berdasarkan hukum tidak tertulis). Hukum Pidana Adat mempunyai pengaruh yang penting dalam rangka pembaharuan hukum pidana, karena keberadaan hukum pidana adat mempengaruhi pembentukan hukum pidana nasional khususnya dalam rangka pembentukan KUHP. Hal ini dapat diketahui dari dimasukkannya beberapa jenis tindak pidana adat yang berlaku di daerah Bali ke dalam RUU KUHP, seperti tindak pidana adat Lokika Sanggraha (Pasal 483 sub e), Kumpul Kebo (Pasal 485) dan Gamia Gamana/Incest (Pasal 487), serta dirumuskannya tindak pidana pencurian benda-benda suci keagamaan atau benda yang dipakai untuk kepentingan keagamaan (Pasal 603) dan perusakan tempat ibadah atau benda yang dipakai untuk beribadah (Pasal 348) ke dalam RUU KUHP. Tindak pidana adat dan yang berhubungan dengan agama ini perlu dipertahankan dengan alasan: a). tindak pidana atau perbuatan pidana ini tidak hanya dikenal di daerah Bali, tetapi pengertian dan unsur-unsurnya juga dikenal di daerah lain; b). untuk adanya keadilan dan kepastian hukum, sebab hingga saat ini masih banyak pelaku perbuatan pidana tersebut di daerah lain, tidak terjangkau oleh hukum pidana positif karena hukum adat daerah tersebut tidak mengenalnya lagi; c). mengingat masyarakat bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang mengenal adat istiadat serta pandangan keagamaan yang kuat, tentu akan mempunyai sudut pandang yang sama, bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum dan tercela yang patut diberi sanksi demi adanya keadilan dan kepastian hukum; d). untuk adanya kodifikasi dan unifikasi hukum pidana, sebagaimana diamanatkan oleh GBHN, dengan memperhatikan hukum dan kesadaran hukum yang hidup/ berkembang dalam masyarakat; e). melindungi derajat kaum wanita agar tidak dihina dan dipermainkan oleh kaum pria; f). menghindari lahirnya anak dengan status anak bebinjat (anak luar kawin). Sanksi/kewajiban pemenuhan adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai pidana tambahan (Pasal 67 ayat (1 e) RUU KUHP, perlu tetap dipertahankan karena dipandang mempunyai pengaruh yang penting dalam rangka untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh perbuatan pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Kata kunci: hukum pidana adat, eksistensi, landasan hukum, sistim hukum Indonesia. Abstract Adat criminal law is original unwritten Indonesian law contains religious values, followed and respected by the community over time and from generation to generation. Adat criminal law is still exist and applied in community life in Bali based on local regulations (four law books i.e. Agama, Adi Agama, Purwa Agama, Kutara Agama and Adat Village Regulations or Awig-awig Desa Adat), national aspirations, i.e. legislation policy, the results of national seminars, and sociological aspiration. Based on Law Number 1/Drt/1951, the principle of legality has two meanings i.e. not only in a formal sense (written law in legislations) but also in a material sense (unwritten law or living law). Adat criminal law has a significant influence in renewal criminal law, because the existence of adat criminal law recognized in accordance with the establishment of national criminal law especially in relation to the Draft of Criminal Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
259
Code. It can be knowing, especially from some of the Balinese adat criminal acts which have been included into the draft of Indonesian Criminal Code, e.g. sex offence (Article 483 sub e), living together in one house like husband and wife under no marital status (Article 485), incest (Article 487), the stealing sacred paraphernalia or elements that are used for religious purposes (Article 603), the ruining of religious sacred paraphernalia or elements that are used for praying (Article 348). The reasons for including these articles are: a). these kinds of criminal acts are not only fount in Bali. Its meaning and elements are recognized in other areas also; b). to maintain justice and the certainty of law because there are many law breakers in regions outside Bali who have not been punished by positive criminal law and their acts have also not been punished under the local customary law in those regions when community morality says they should be; c). since Indonesian people recognize their customs and have a strong religious perceptions, they indeed, have the same point of view that this sort of immoral behavior should be punished in the name of justice and the certainly of law; d). for the codification and unification purposes of criminal law as stipulated in GBHN (Broad Outlines of Nation’s Direction) by including unwritten law and living law that exists in community; e). to protect the women; f). to avoid illegitimate born of child. Adat punishment or customary duty fulfillment as an additional penalty (Article 67 part 1 sub e), would continue in force because it has an important role in conflict resolution, restoring the balance because of criminal acts and cause to be brought in peaceful in the community. Keywords: adat criminal law, existency, legal basis, Indonesian legal system
I. PENDAHULUAN.
A. Masa Sebelum Kemerdekan Apabila ditinjau sejarah perkembangan hukum di Indonesia, pada awalnya hanya berlaku Hukum Adat yang asli beserta segenap tatanan dan kelembagaannya. Orang Minangkabau memiliki Sistem Hukum Adatnya sendiri dengan asas-asas dan filsafah yang dianggap benar di daerah tersebut. Asasasas dan filsafah ini berbeda dengan asas dan filsafah di Jawa Timur (Maja Pahit), berbeda dengan asas-asas dan filsafah di Sulaweasi, atau di Bali, atau di Flores, atau di Mentawai, atau di Aceh, atau di Alor, atau di Papua. Pada saat itu hanya ada 2 (dua) unsur saja yang sama dari semua sistem Hukum Adat yang ada, yaitu sifat kekeluargaan (komunitas) dan sifat tidak tertulis (kecuali Hukum Majapahit, Hukum Adat Bali, Hukum Wajo, dan beberapa daerah lainnya). Van Vollenhoven menyatakan ada 3 (tiga) unsur yang sama, yaitu commun, contant dan concrete.4
Van Vollenhoven dalam penelitian pustakanya pernah menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat asli yang hidup di Indonesia, sejak ratusan tahun sebelum kedatangan bangsa Belanda, telah memiliki dan hidup dalam tata hukumnya sendiri. Tata hukum masyarakat asli tersebut dikenal dengan sebutan Hukum Adat.1 Selain itu, menurut Snouck Hurgronje, hukum adat pun dijalankan sebagaimana adanya (taken for granted) tanpa mengenal bentukbentuk pemisahan, seperti dikenal dalam wacana hukum barat bahwa individu merupakan entitas yang terpisah dari masyarakat. Dengan kata lain, hukum adat diliputi dengan semangat kekeluargaan, individu tunduk dan mengabdi pada dominasi aturan masyarakat secara keseluruhan. Corak demikian mengindikasikan bahwa kepentingan masyarakat lebih utama daripada kepentingan individu2. Van Vollenhoven has been called the ‘discoverer of adat law’. According to Van Ossenbruggen, ‘the most important fact is expressed in one allembracing word: Van Vollenhoven elevated adat law to a science. Though much that preceded his work was of value -- I need but mention Snouck Hurgronje, Wilken and Liefrinck – a science of adat law did not exist before Van Vollenhoven and without him would probably not yet have been created’3
Baru sekitar abad ke-7 Hukum Adat meresepsi unsur-unsur Agama Hindu. Karena itu keadaan hukum di kepulauan Nusantara sampai pada abad ke-14 banyak meresepsi hukum Hindu5. Dengan berjalannya waktu, kondisi tersebut mulai abad ke-14 berubah lagi dengan penambahan unsur-unsur Hukum Islam ke dalam Hukum Adat di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Aceh, Banten, Sulawesi Selatan, Lombok, dan lain-lain. Ada pula daerah yang lebih banyak mempertahankan sifat keasliannya, seperti Nias dan Mentawai, Toraja dan Asmat; dan ada daerah yang tetap
Selanjutnya perkembangan hukun adat di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut: 1 H.R. Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer: Telaah Kritis terhadap Hukum Adat sebagai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, PT. Alumni Bandung, 2001, hlm. 7. 2 Ibid, hlm. 8 3 J. F. Holleman, Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law, The Hague – Martinus Nijnhoff, Netherlands, 1981, hlm. L.
260
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
4 5
BPHN Departemen Kehakiman R.I., 1995/1996, op.cit., hlm. 12 Ibid.
mempertahankan Agama Hindu seperti Jawa Tengah dan Bali6. Dalam periode berikutnya sekitar abad ke-17 banga Portugis, Belanda serta bangsa asing lainnya mulai menginjakkan kakinya ke beberapa daerah di Indonesia, maka selain produk hasil industrinya mereka juga mempengaruhi masyarakat setempat dengan ajaran-ajaran agamanya, sehingga hukum adat setempat, seperti di Batak, di Sulawesi Utara, di Maluku, di Irian Jaya, di Flores, di Timor, yang pada waktu itu sebenarnya masih lebih asli daripada sistem-sistem Hukum Adat yang sudah terpengaruh oleh Agama Hindu dan Islam itu mulai meresepsi unsur-unsur Hukum Eropa dan Agama Kristen/Katolik dalam hukum adatnya7. Hukum asli yang sudah meresepsi unsur agama ini terus berkembang dan berlaku yang oleh Snouck Hurgronje pada tahun 1893 disebut sebagai hukum adat. Istilah hukum adat ini selanjutnya oleh van Vollenhoven dipandang sebagai hukum positip bagi masyarakat adat yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. The term adat-law (adatrecht) was used for the first time in 1893 by Snouck Hurgronje to describe Indonesian folk law; adat that has legal consequences. Carpentier Alting calls it ‘native rules of law formed through custom, resolutions of native organizations and the institutions connected with the religion, between all the natives or the Foreign Orientals, and sometimes by separate native or Foreign Oriental groups or parts of them. Cassuto understands adat law as ‘thelaw,that rooted in the old country law, has developed itself through time in the native community and is felt to be the law’. Van Vollenhoven, who is without a doubt one of the most authoritative sources in the matter, describes adat law as ‘a body of rules of behavior for natives and Foreign Orientals, which on the one hand are enforced by sanction (therefore “law”) and on the other hand uncodified (therefore “adat”). Initially by ‘sanction’ he meant a more or less ‘official sanction’ by some institution with authority to punish, later however Van Vollenhoven modified this definition to include ‘recommendation’ and ‘disapproval’ as sanctions.8 Ibid. Ibid 8 Roelof H. Haveman, The Legality of Adat Criminal Law In Modern 6 7
Eksistensi hukum pidana adat dapat diketahui dari masih dilaksanakan, diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu juga telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, Ketetapan MPR-RI Nomor II/ MPR/1999, Ketetapan MPR-RI Nomor III/ MPR/2000, yang pada intinya menentukan masih eksisnya hukum tidak tertulis. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo. Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, dalam beberapa pasalnya (Pasal 14 ayat 1, 23 ayat 1, 27 ayat 1) terdapat ketentuan yang dapat dijadikan dasar bagi hukum pidana adat. Dalam beberapa kali Seminar Hukum Nasional, telah pula menghasilkan berupa resolusi, kesimpulan dan laporan, yang tetap mengakui hukum tidak tertulis di samping hukum tertulis. Dari uraian di atas tampak jelas bahwa pengembangan dan pembangunan hukum nasional bersumber dan harus digali dari nilainilai hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law) agar hukum nasional di masa yang akan datang mampu mencerminkan nilainilai sosial, budaya, dan susunan masyarakat Indonesia Melalui proses sejarah, pada waktu peraturan Indische Staatsregeling (S 1855-2) dinyatakan berlaku, hukum dan segenap aspeknya di Indonesia berdasarkan pasal 163 jo 131 Indische Staatsregeling dibedakan ke dalam 3 (tiga) sub-sistem hukum (norma) beserta tatanan dan kelembagaannya yaitu yang berdasarkan: 1. Sistem Hukum Barat, 2. Sistem Hukum Adat dan 3. Sistem Hukum Islam. Tampaklah, bahwa bukan hanya seluruh hukum yang berlaku di Indonesia bersifat heterogen, tetapi akibat sejarah yang panjang tiap-tiap bagian hukum yang berlaku dengan masing-masing daerah di Indonesia juga bersifat heterogen. B. Masa setelah Proklamasi Kemerdekaan. Sampai pada saat Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, kondisi keanekaragaman hukum itu masih tetap berlaku melalui Indonesia, PT. Tatanusa Jakarta, 2001, hlm.5.
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
261
ketentuan Pasal II aturan Peralihan UUD 1945, ditambah dengan produk-produk Hukum Nasional (yang berlandaskan UUD 1945) yang sejak tahun 1945 hingga sekarang semakin bertambah jumlahnya. Keanekaragaman hukum ini masih terus berlangsung, karena masih banyaknya berbagai peraturan kolonial yang masih berlaku ataupun belum tercabut, meskipun sesungguhnya tidak seluruhnya masih diperlukan lagi. Karena itu perlu dilakukan: 1. Perubahan, pembaharuan, dan penyesuaian atau penggantian peraturan kolonial itu oleh peraturan Hukum Nasional, dan 2. Secara konseptual dan mendasar perlu dilaksanakan transformasi Hukum Barat, Hukum Islam maupun Hukum Adat ke dalam Sistem Hukum Nasional, sehingga menjadi bagian yang utuh dan tidak terpisah-pisahkan dari Sistem Hukum Nasional kita yang berfilsafatkan Pancasila dan berdasarkan UUD 1945.9 Pada saat ini Hukum Positif masih terdiri dari unsur-unsur: 1. Hukum Adat, 2. Hukum Islam, 3. Hukum Barat, dan 4. Hukum Nasional yang disusun setelah Proklamasi Kemerdekaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, karena itu Hukum Positif Indonesia belum sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 194510. Pada saat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia belum memiliki peraturan perundangundangan, jadi belum ada hukum yang berlaku di wilayah yang baru diproklamasikan. Sehari setelah proklamasi, tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang dan menetapkan UUD Negara Republik Indonesia (yang kini dikenal dengan nama UUD 1945). Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, menentukan bahwa : Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Ibid., hlm. 16. 10 Ibid 9
262
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Ini berarti, bahwa segala lembaga dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada zaman Hindia Belanda dinyatakan tetap berlaku di wilayah Republik Indonesia merdeka, sehingga dapat dihindari adanya kekosongan hukum, termasuk dengan sendirinya Stb. 1915 No. 732 tersebut di atas dinyatakan pula tetap berlaku. Di samping itu, Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, menentukan: Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut undang-undang dasar ini, segala kekuasaan dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional. Berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945 tersebut, selanjutnya Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 2 pada tanggal 10 Oktober 1945 yang antara lain menentukan sebagai berikut: Untuk ketertiban masyarakat, bersumber akan Peraturan Peralihan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Pasal II berhubung dengan Pasal IV, kami Presiden, menetapkan peraturan sebagai berikut: Pasal 1: Segala badan-badan Negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara RI pada tanggal 17 Agustus 1945, selama sebelum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan undang-undang dasar tersebut. Dalam perjalanan selanjutnya, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1946 pada tanggal 26 Pebruari 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal I Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, menentukan: Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2 menetapkan, bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku, ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka hukum pidana yang berlaku di Republik
Indonesia adalah peraturan hukum pidana yang berlaku pada zaman Hindia Belanda yaitu Wetboek van Strafrect voor Nederlandsch Indie. Sedangkan peraturan perundangundangan pidana lainnya yang diadakan pada masa pendudukan Jepang dinyatakan tidak berlaku. Pada saat berlakunya Konstitusi RIS ketentuan yang sama diatur dalam Pasal 192, demikian pula di era UUDS 1950 ketentuan serupa diatur dalam Pasal 142, sampai kembali lagi ke UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, sehingga Wetboek van Strafrecht voor Indonesia (Stb. 1915 No. 732) tetap berlaku sampai hari ini. Meskipun demikian, lagi-lagi masih tetap berlaku dualisme W.v.S., karena untuk Daerah Jakarta dan sekitarnya yang masih dikuasai dan diduduki oleh tentara Belanda berlaku W.v.S dengan versi perubahan Pemerintah Hindia Belanda melalui Stb. 1945 No. 135. Sebaliknya Pemerintah Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta kemudian dengan Undang Undang No. 1 tahun 1946 tetap memberlakukan W.v.S. Stb 1915 No. 732, antara lain dengan merobah namanya menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS) atau bisa disebut dengan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-Undang No. 1 tahun 1946 antara lain menentukan beberapa perubahan penting, seperti: 1. Pasal V menentukan bahwa Peraturan Hukum Pidana yang seluruhnya atau sebagian tidak dapat dijalankan atau bertentangan dengan kedudukan Indonesia sebagai negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap tidak berlaku (dekriminalisasi). 2. Pasal VI menentukan perubahan resmi nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie menjadi Wetboek van Strafrecht saja, yang dapat disebut sebagai Kitab Undang Undang Hukum Pidana disingkat KUHP. 3. Pasal VIII memuat ketentuan yang memuat perubahan kata-kata dan penghapusan beberapa pasal-pasal KUHP. 4. Adanya kriminalisasi yang dimuat dalam Pasal IX sampai dengan Pasal XVI.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia II Nomor 9), Wetboek van Strafrecht voor NederlandschIndie disebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan dinyatakan berlaku untuk Pulau Jawa dan Madura., sedangkan untuk daerah-daerah lain akan ditetapkan kemudian oleh Presiden. Usaha untuk mewujudkan adanya kesatuan hukum pidana untuk seluruh Indonesia ini, secara de facto belum dapat terwujud karena terdapat daerah-daerah pendudukan Belanda sebagai akibat aksi Militer Belanda I dan II di mana untuk daerahdaerah tersebut masih berlaku Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (Staatsblad 1915 No. 732) dengan segala perubahannya. Dengan demikian, dapat dikatakan setelah kemerdekaan tahun 1945 terdapat dualisme hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Guna menghilangkan dualisme dari KUHP tersebut, Pemerintah R.I. lalu mengundangkan Undang Undang No. 73 tahun 1958 (L.N. No. 127 tahun 1958), yang antara lain menentukan bahwa Undang-Undang No. 1 tahun 1946 dengan segala perubahan dan penambahannya berlaku untuk seluruh Indonesia. Dengan demikian, mulai tahun 1958 terjadi unifikasi dalam hukum pidana, artinya sudah tidak ada dualisme lagi dalam hukum pidana dan berlakulah hukum pidana materiil yang seragam untuk seluruh Indonesia yang bersumber pada hukum yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942 yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie, yang untuk selanjutnya disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam KUHP yang hingga kini masih berlaku, tidak ada ketentuan yang secara tegas memberikan landasan hukum bagi dapat dipidananya tindak pidana adat, karena untuk dapat dipidananya suatu perbuatan, berlaku suatu asas dalam hukum pidana yang namanya “asas l;egalitas” sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang menentukan: Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana, kecuali atas perundang-undangan pidana yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”. Ini berarti, bahwa hanya tindak pidana yang sudah ditentukan dalam perundang-undangan pidana yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana. Tindak pidana adat adalah tindak pidana yang tidak diatur dalam perundang-undangan hukum
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
263
pidana. The principle of legality became particularly important at the end of the 18th century, in the US through its constitution of 1783, and on the European continent after the French revolution through its Declaration des droits de l‘homme et du citoyen (1789), in which it was stated that11 Asas legalitas dalam hukum pidana merupakan asas yang fundamental. Pertama kali asas ini dituangkan dalam Konstitusi Amerika 1783, dan sesudah itu dalam Pasal 8 Declaration de droits de l’homme et du citoyen 1789. Asas legalitas ini kemudian tercantum dalam KUHP berbagai negara di dunia. Di Prancis asas ini pertama kali termuat dalam Pasal 4 Code Penal yang disusun oleh Napoleon Bonaparte (tidak ada pelanggaran, tidak ada delik tidak ada kejahatan yang dapat dipidana berdasarkan aturan hukum yang ada, sebelum aturan hukum itu dibuat terlebih dulu), di Belanda asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht yang dengan tegas menentukan “Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling”. Menurut Machteld Boot, asas legalitas mengandung beberapa syarat: Pertama, nullum crimen, noela poena sine lege praevia, yang berarti, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang sebelumnya. Konsekuensi dari makna ini adalah menentukan bahwa hukum pidana tidak boleh berlaku surut. Kedua, nullum crimen, nulla poena sine lege scripta, artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis. Konsekuensi dari makna ini, adalah bahwa semua ketentuan pidana harus tertulis. Ketiga, nullum crimen, nulla poena sine lege certa, artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas. Konsekuensi dari makna ini, adalah harus jelasnya rumusan perbuatan pidana sehingga tidak bersifat multitafsir yang dapat membahayakan kepastian hukum Keempat, nullum crimen, noela poena sine lege stricta, artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat. Konsekuensi dari makna ini secara implicit adalah tidak diperbolehkannya analogi. 11
264
Roelof H. Haveman, op.cit, hlm. 48.
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat sehingga tidak menimbulkan perbuatan pidana baru12. Rumusan dari Pasal 1 ayat (2) KUHP membuat pengecualian atas ketentuan tidak berlaku surut untuk kepentingan terdakwa, artinya bilamana terjadi perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya. Dalam asas legalitas tampak jaminan dasar kepastian hukum, merupakan tumpuan dari hukum pidana dan hukum acara pidana. Asas legalitas mempunyai 2 fungsi, yaitu fungsi instrumental: tidak ada perbuatan pidana yang tidak dituntut; dan fungsi melindungi: tidak ada pemidanaan kecuali atas dasar undang-undang. Atas dasar ke dua fungsi asas legalitas tersebut, seorang ahli hukum pidana Jerman Anzelm von Feuerbach (1775-1833) merumuskan asas legalitas secara mantap dalam bahasa Latin: 1. nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undangundang; 2. nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana; 3. nullum crimen sine poena legali: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang. Rumusan tersebut juga dirangkum dalam satu kalimat: nullum crimen, nulla poena sine praevia lege poenali: tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana, tanpa ketentuan undang-undang lebih dahulu. Jadi, asas legalitas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut dapat dikatakan sebagai “asas legalitas dalam arti formil” artinya hanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undangundang saja yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana (hukuman). Secara yuridis formal, tindak pidana adat baru mempunyai dasar hukum berlaku dengan dikeluarkan serta diundangkannya Undangundang No.1/Drt/tahun 1951 tentang “Tindakan 12 Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Penerbit Erlangga Jakarta, 2009, hlm. 29.
Sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara Pengadilanpengadilan Sipil”, sebagaimana ditentukan dalam pasal 5 ayat (3b) yang menentukan sebagai berikut: “Hukum Materil sipil dan untuk sementara waktupun hukum pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaulakaula dan orang-orang itu, dengan pengertian: a. bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh Hakim dengan besar kesalahan yang terhukum; b. bahwa bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran Hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan jaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan c. bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingannya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu”13. Dari ketentuan pasal 5 ayat (3b) Undang– Undang Darurat No. 1 tahun 1951 tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa mengenai hukum adat pidana berlakunya hanya untuk sementara waktu saja untuk kaula-kaula dan orang-orang yang dahulu diadili oleh pengadilan adat. Di dalam penjelasannya pembuat Undang-Undang menerangkan, bahwa masih 13 R. Tresna, Komentar HIR, Penerbit Tresco, Jakarta, 1976, hlm. 35. R.O. Siahaan, Hukum Acara Pidana, Penerbit RAO Press, Cibubur, 2009, hlm. 31-32.
dipertahankannya hukum adat pidana itu ialah oleh karena dalam tempo yang pendek Kitab Hukum Pidana Sipil akan diulang pengundangannya setelah Kitab ini disesuaikan dengan keadaan Pemerintahan yang baru ini, dan kini belum tentu apakah perbuatanperbuatan Pidana Adat dan hukuman-hukuman adat harus diakui terus; maka untuk sementara waktu perbuatan-perbuatan pidana adat itu dan hukuman-hukuman adat itu tidak dihapus. Sebagai tindakan peralihan, maka di dalam pasal 5 ayat (3b) tersebut di atas selanjutnya diadakan peraturan untuk menjabarkan hukuman-hukuman adat itu, di dalam hal mana diadakan perbedaan di antara perbuatanperbuatan pidana Sipil, dan perbuatanperbuatan pidana adat yang ada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil. Ketentuan pasal 5 ayat (3b) Undangundang Darurat Nomor 1 tahun 1951 bila dihubungkan dengan ketentuan pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana ditemukan adanya pergeseran prinsip yang dianut selama ini oleh Hukum Pidana kita. Pengertian materiil, artinya perbuatanperbuatan itu tidak saja dilarang oleh Undangundang (hukum yang tertulis) tapi juga oleh aturan-aturan hukum yang tidak tertulis. Untuk dapat dipidana suatu perbuatan seseorang tidaklah harus perbuatan itu diancam pidana dulu oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau perundang-undangan lainnya, tapi walaupun Undang-undang belum/ tidak mengancam pidana perbuatan itu, apabila ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis menganggap perbuatan itu sebagai perbuatan yang tercela, maka tidak ada alasan bagi Hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atas dilakukannya perbuatan tadi. Perluasan makna asas legalitas tersebut di atas sudah diadopsi ke dalam Pasal 2 RUU KUHP 2009/2010. Pasal 2 RUU KUHP menentukan sebagai berikut: Ayat (1)
(2009/2010),
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
265
walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Penjelasan: Hukum yang hidup maksudnya hukum yang hidup dalam kehidupan masyarakat hukum Indonesia. Bentuk hukum yang hidup dalam masyarakat hukum Indonesia antara lain dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana ini. Ketentuan pada ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu. Ayat (2)
Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui leh masyarakat bangsa-bangsa.
Penjelasan: Ayat ini mengandung pedoman atau kriteria atau rambu-rambu dalam menetapkan sumber hukum materiil (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas materiil). Pedoman pada ayat ini berorientasi pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila 266
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
sebagai sumber hukum nasional, hak asasi manusia, prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa14. Sesuai dengan bunyi pasal 23 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ditentukan bahwa : “Segala putusan pengadilan, selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Ini berarti, bahwa hukum yang tidak tertulis (hukum adat) haruslah dijadikan dasar oleh Hakim di dalam mengadili dan memutus perkara pidana adat. Ketentuan tersebut mengandung makna pula bahwa Hakim di dalam menangani perkara pidana adat diharapkan untuk lebih memahami lagi hukum yang tidak tertulis yang akan diambil sebagai dasar putusannya. Harapan ini kemudian dipertegas lagi oleh ketentuan pasal 27 ayat (1) Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut di atas yang menyatakan: “Hakim sebagai penegak Hukum dan Keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat” Di dalam sistem Hukum Adat, Hakim berwenang bahkan wajib apabila terhadap suatu persoalan belum diatur dalam peraturan perundangan (hukum positif), memberi keputusan yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat yang tumbuh pada saat itu Hakim wajib mewujudkan secara konkrit melalui putusannya itu, apa yang menurut anggapannya sesuai dengan perasaan hukum masyarakat. Atas dasar inilah, apabila Hakim memeriksa perkara pidana adat perlu memanggil pemukapemuka adat setempat selaku saksi ahli untuk diminta keterangannya (pendapatnya) atas perkara yang sedang diperiksa. Keterangan dari para pemuka adat ini sangat berguna bagi Hakim di dalam membuat pertimbangan dari putusannya. 14 Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I., RUU KUHP, 2009/2010, hlm. 2 dan penjelasan hlm. 10-11
Apa yang diputuskan oleh Hakim melalui putusannya itu haruslah sejalan dengan apa yang hidup dalam masyarakat, sehingga untuk pentaatannya tidak didasarkan kepada sesuatu yang dipaksakan, tetapi yang didasarkan kepada sesuatu yang memang sewajarnya harus diterima dan diikuti.
masyarakat, karena dianggap mengganggu keseimbangan kosmis masyarakat. Oleh sebab itu, bagi si pelanggar diberikan reaksi adat, koreksi adat atau sanksi/kewajiban adat oleh masyarakat melalui Pengurus adatnya. Pengertian Hukum Pidana Adat seperti tersebut di atas mengandung empat hal pokok yaitu:
Untuk memberikan dasar hukum yang kuat dalam memidana pelaku tindak pidana adat, Tim Penyusun RUU KUHP, kini telah memasukkan dua ayat ke dalam pasal 2 RUU KUHP yaitu ayat (1) dan ayat (2) yang mengakui eksistensi dari tindak pidana adat. Dari ketentuan ini tampak jelas bahwa yang dianut adalah ajaran sifat melawan hukum yang materiil yaitu sesuatu perbuatan melawan hukum tidak saja ditentukan oleh undangundang (asas legalitas formal) yang menjadi landasan utama, melainkan juga didasarkan pada asas-asas hukum yang tidak tertulis dan hidup dalam masyarakat (asas legalits material).
1. Hukum Indonesia asli yang merupakan rangkaian peraturan-peraturan tata tertib yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan yang di sana-sini mengandung unsur-unsur agama. 2. Peraturan tersebut dibuat, diikuti dan ditaati oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. 3. Pelanggaran terhadap peraturan tersebut dipandang sebagai perbuatan yang menimbulkan kegoncangan dan mengganggu keseimbangan kosmis. Perbuatan melanggar peraturan ini dapat disebut sebagai Tindak Pidana Adat.
Dengan demikian, sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana tidak hanya didasarkan pada asas legalitas formal (berdasarkan undang-undang), tetapi juga didasarkan pada asas legalitas materiel, yaitu dengan memberi tempat kepada ”hukum yang hidup/hukum tidak tertulis.”
4. Pelaku yang melakukan pelanggaran tersebut dapat dikenai sanksi/ kewajiban adat oleh masyarakat yang bersangkutan. Hukum Pidana Adat adalah hukum yang menunjukkan peristiwa dan perbuatan yang harus diselesaikan (dihukum) dikarenakan peristiwa dan perbuatan itu telah mengganggu keseimbangan masyarakat. Jadi berbeda dari hukum pidana barat yang menekankan peristiwa apa yang dapat diancam dengan hukuman serta macam apa hukumannya, dikarenakan peristiwa itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan16 Hukum Pidana Adat adalah hukum yang hidup (living law) dan akan terus hidup selama ada manusia budaya, ia tidak akan dapat dihapus dengan perundang-undangan. Andai kata diadakan juga undang-undang yang menghapuskannya, akan percuma juga, malahan hukum pidana perundangundangan akan kehilangan sumber kekayaannya, oleh karena hukum pidana
II. PEMBAHASAN 1.
EKSISTENSI HUKUM PIDANA ADAT a. Pengertian Hukum adat adalah Hukum Indonesia Asli, yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang disana-sini mengandung unsur agama15 Dari kesimpulan tersebut dapat pula dikatakan bahwa Hukum Pidana Adat adalah Hukum Indonesia Asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan yang disana-sini mengandung unsur agama, diikuti dan ditaati oleh masyarakat secara terus menerus, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut dipandang dapat menimbulkan kegoncangan dalam
15 Kesimpulan Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional tanggal 17 Januari 1975.
16
hlm. 18
Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Alumni Bandung, 1984,
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
267
adat itu lebih dekat hubungannya dengan antropologi dan sosiologi dari pada hukum perundang-undangan17 Adat Criminal Law is an uncodified body of rules of behaviour, enforces by sanctions, varying from time to time and from place to place. During the first part of the 20th century many of these ‘rules’ were ‘discovered”, and described by scholars such as Van Vollenhoven and Ter Haar. These descriptions however are nothing more than the descriptions of the law in that period in certain places. Since then the description of adat law has been neglected. In combination with the ever changing nature which adat (law) implies, nowadays, at the start of the 21st century, it is very difficult to know the adat law in a certain place, at least for an outsider, which means anyone who is not living in the community in which the adat is alive.18 2. Sumber Hukum Pidana Adat Sebagaimana halnya bidang hukum yang lain, Hukum Pidana Adat juga mempunyai sumber hukumnya, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Sumber hukum yang tidak tertulis adalah kebiasaankebiasaan yang timbul, diikuti dan ditaati secara terus menerus dan turun temurun oleh masyarakat adat yang bersangkutan. Sedang sumber tertulis dari Hukum Pidana Adat adalah semua peraturan-peraturan yang dituliskan baik di atas daun lontar, kulit atau bahan lainnya. Di daerah Bali, sumber tertulis dari hukum pidana adat dapat diketemukan pada beberapa sumber, seperti: a. Manawa Dharma Sastra (Manu Dharmacastra) atau Weda Smrti (Compendium Hukum Hindu). b. Buku hukum (Wetboek) Catur Agama yaitu Buku hukum Agama, Buku hukum Adi Agama, Buku hukum Purwa Agama dan Buku hukum Kutara Agama. c. Awig-awig (Desa Adat/Desa Pakraman atau Banjar) adalah aturan-aturan dan keinginan-keinginan masyarakat 17 18
268
Ibid, hlm. 20 Roelof H. Haveman, op.cit; hlm. 31-32
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
hukum adat setempat yang dibuat dan disahkan melalui suatu musyawarah dan dituliskan di atas daun lontar atau kertas. Di dalam awig-awig ini dimuat dan diatur larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh warga masyarakat adat yang bersangkutan atau kewajiban-kewajiban yang harus diikuti oleh masyarakat tersebut, yang apabila dilanggar mengakibatkan dikenakannya sanksi oleh masyarakat melalui pimpinan adatnya19. Di daerah lain, juga terdapat sumber hukum (pidana) adat tertulis, seperti Hukum Majapahit, Hukum Wajo (Sulawesi Selatan), beberapa daerah di Papua misalnya hukum adat Biak. 3. Adressat (Sasaran) dari Hukum Pidana Adat. Yang menjadi adressat dari norma hukum adalah warga masyarakat dan alatalat perlengkapan negara, misalnya Hakim, Jaksa, Polisi, Jurusita dan sebagainya. Kepada mereka inilah norma-norma itu tertuju. Dari mereka diharapkan untuk bertindak laku seperti apa yang dipandang patut oleh norma itu atau sebaliknya. Demikian pula alat alat perlengkapan negara harus menaati norma hukum20 Hukum Pidana Adat hanya berlaku terhadap warga mayarakat adat dan Prajuru (Pengurus) masyarakat adat yang bersangkutan, sesuai dengan lingkaran berlakunya hukum adat yang ada. Hukum Pidana Adat Bali misalnya hanya berlaku pada orang Bali (yang beragama Hindu), tidak berlaku bagi masyarakat Indonesia lainnya. Berlakunya Hukum Pidana Adat itu tidak hanya bagi yang tinggal di daerah berlakunya hukum adat tersebut, tetapi juga berlaku bagi warga masyarakat adat tersebut yang tinggal di luar daerah masyarakat hukum adat itu. Hukum Pidana Adat tersebut akan tetap berlaku, selama masyarakat hukum adat itu masih ada dan tetap mempertahankannya. 19 I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Alumni Bandung, 1992, hlm. 4 20 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, 1977, hlm 29-30.
Semuanya itu sangat bergantung pada “desa”(tempat), “kala” (waktu) dan “patra” (keadaan), artinya apabila pada suatu waktu dan dalam keadaan tertentu oleh masyarakat adat setempat, suatu perbuatan yang semula tidak dilarang dapat merupakan delik, meskipun tadinya tidak ada peraturan yang melarangnya, bilamana pada saat itu ditetapkan oleh petugas hukum, bahwa perbuatan itu memperkosa perimbangan hukum, memperkosa keselamatan masyarakat dan dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat (kriminalisasi). Demikian pula sebaliknya apabila tidak ada anggapan masyarakat sesuai perasaan keadilannya bahwa perbuatan itu menentang hukum, menimbulkan kegoncangan dan ketidak seimbangan kosmis, maka perbuatan tersebut pada tempat, waktu dan keadaan tertentu itu tidak boleh dikenai sanksi lagi (dekriminalisasi).
Soepomo, mengemukakan bahwa di dalam sistem hukum adat segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan illegal dan hukum adat mengenal pula ikhtiarikhtiar untuk memperbaiki kembali hukum jika hukum itu diperkosa. Selanjutnya dikatakan, apabila terjadi suatu pelanggaran hukum, maka petugas hukum (kepala adat dan sebagainya) mengambil tindakan konkrit (adat reactie) guna membetulkan hukum yang dilanggar itu.22 Sementara itu, Hilman Hadikusuma mengatakan, yang dimaksud delik adat adalah peristiwa atau perbuatan yang mengganggu keseimbangan masyarakat dan dikarenakan adanya reaksi dari masyarakat maka keseimbangan itu harus dipulihkan kembali. Peristiwa atau perbuatan itu apakah berwujud atau tidak berwujud, apakah ditujukan terhadap manusia atau yang ghaib, yang telah menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat harus dipulihkan dengan hukuman denda atau dengan upacara adat.23
Hukum Pidana Adat berlaku terhadap anggota-anggota (warga) masyarakat adat dan orang-orang di luarnya yang terkait akibat hukumnya. Hukum Pidana Adat berlaku di lapangan hidup kemasyarakatan yang bertautan dengan keseimbangan duniawi dan rohani.
Menurut hukum adat segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan illegal sehingga hukum adat mengenal ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki hukum (Rechsherstel) jika hukum itu dilanggar. Perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat ini, sering disebut dengan “delik adat”. Terkait dengan masalah ini Ter Haar menulis bahwa yang dianggap suatu pelanggaran (delik) adalah setiap gangguan segi satu (eenzijdig) terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan segi satu pada barangbarang kehidupan material dan immaterial orang seorang, atau dari pada orang-orang banyak yang merupakan satu kesatuan (segerombolan), tindakan demikian itu menimbulkan suatu reaksi yang sifat dan besar kecilnya ditentukan oleh hukum adat ialah reaksi adat (adat reaksi) karena reaksi mana kesetimpangan dapat dan harus dipulihkan kembali (kebanyakan dengan cara pembayaran pelanggaran berupa barang-barang atau uang). 24
2. TINDAK PIDANA (DELIK) ADAT a. Pengertian Dalam masyarakat adat, tidak jarang terjadi ketegangan-ketegangan sosial, karena terjadi pelanggaran adat oleh seorang atau sekelompok warga masyarakat yang bersangkutan. Ketegangan-ketegangan itu akan pulih kembali bilamana reaksi masyarakat yang berupa pemberian sanksi adat telah dilakukan atau dipenuhi, oleh si pelanggar adat. Delik adat adalah suatu perbuatan sepihak dari seseorang atau kumpulan perseorangan, mangancam atau menyinggung atau mengganggu keseimbangan dan kehidupan persekutuan bersifat material atau immaterial, terhadap orang seorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan. Tindakan atau perbuatan yang demikian akan mengakibatkan suatu reaksi adat.21 21
Bushar Muhammad, op.cit., hlm. 67.
Soepomo, op.cit., hlm. 110. Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1992, hlm. 231. 24 Ter Haar, B. Bzn., op.cit., hal. 128. 22 23
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
269
Berdasarkan uraian Ter Haar di atas, terganggunya keseimbangan masyarakat dapat terjadi bukan saja terhadap suatu yang berwujud nyata, akan tetapi juga terhadap suatu yang tidak berwujud. Hal ini disebabkan masyarakat hukum adat memiliki alam pikiran yang komunalisme dan religius magis yang kuat. Alam pikiran masyarakat hukum yang demikian itu memandang kehidupan ini sebagai sesuatu yang homogen dalam hal mana kedudukan manusia adalah sentral. Manusia merupakan bagian dari alam semesta (makro kosmos), tidak terpisah dari pencipta-Nya yaitu Tuhan Yang Mahaesa, dan bersatu dengan lingkungan alam serta lingkungan sesamanya (di Bali dikenal dengan istilah “Tri Hita Karana” atau Tiga Penyebab Kebahagiaan). Semua itu saling berhubungan dan saling mempengaruhi dan berada dalam satu keseimbangan yang senantiasa harus dijaga. Jika suatu ketika keseimbangan dirasakan terganggu haruslah segera dipulihkan. Masyarakat Afrika juga mengenal model adanya tiga hubungan, seperti halnya Tri Hita Karana yang dikenal dan dilaksanakan di Bali. Rouland menjelaskan, di dalam kehidupan manusia terdapat tiga jenis hubungan yang fundamental antara manusia, benda, dan Tuhan (The three fundamental relationships: humanity, things, God). The first relationship is person to person. This will be determined by the place people occupy in society and the level at which their activities take place. Relationships may be group-to-group, group-to-individuals, or indiviadual-togroup. The person-to-person relationship is crucial in the prevention and settling of dispute. The second relationship is person-to-God, which attempts to control time, and through time, humankind. It concerns the domain of kinship, in which communities are articulated around the cult of ancestors and their tombs; it may also involve the political domain where power frequently contains a sacred dimension; it may even extend to the 270
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
domain of property, where certain rights may be legitimated or protected. The third relationship is person-to-things. This involves control over space and also control over time. It operates in the domain of property, where it is used to define control over space and land-use, but it is also as a part to play in other areas; kinship ties (involving recidence), marriage (dowries and compensetion), politics (the confiscation of goods, which is both an affirmation of power and a means through which power is exercised). These three relationships combine with the triple control over time, people and space previously referred to25. Dari beberapa pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa tindak pidana adat adalah semua perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan kerukunan, ketertiban, keamanan, rasa keadilan, dan kesadaran masyarakat yang bersangkutan, baik hal itu sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, sekelompok orang maupun perbuatan yang dilakukan oleh pengurus adat itu sendiri. Perbuatan yang demikian itu dipandang dapat menimbulkan kegoncangan karena mengganggu keseimbangan kosmos serta menimbulkan reaksi dari masyarakat berupa sanksi adat. Apabila diamati beberapa definisi tentang tindak pidana adat itu, pada pokoknya terdapat empat unsur penting yaitu: a. Ada perbuatan yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok atau pengurus adat sendiri. b. Perbuatan itu bertentangan dengan norma-norma hukum adat. c. Perbuatan itu dipandang dapat menimbulkan kegoncangan karena mengganggu keseimbangan dalam masyarakat, dan d. Atas perbuatan itu timbul reaksi dari masyarakat yang berupa sanksi/ kewajiban adat. Di dalam menentukan tindak pidana adat tidak dikenal adanya asas legalitas 25 Norbert Rouland, Legal Anthropology, Stanford University Press Stanford, California, 1994, hlm. 161-162.
sebagaimana diatur oleh sistem KUHP kita yaitu yang mengharuskan adanya suatu undang-undang terlebih dahulu yang mengatur perbuatan tersebut, sebagai perbuatan yang dilarang atau tidak boleh dilakukan. Tindak pidana adat itu terjadi apabila perbuatan tersebut dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut, dipandang akan dapat mengganggu keseimbangan kosmis dan menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat.
Artinya, susila itu adalah yang paling utama pada titisan sebagai manusia sehingga jika ada perilaku (tindakan) titisan sebagai manusia itu tidak susila, apakah maksud orang itu dengan hidupnya, dengan kekuasaan, dengan kebijaksanaan, sebab sia-sia itu semuanya (hidup, kekuasaan dan kebijaksanaan) jika tidak ada penterapan kesusilaan pada perbuatan.27 Walaupun demikian, kenyataannya dalam praktek (das sein) tidaklah selalu sesuai dengan apa yang diharapkan (das sollen), sehingga terjadilah pelanggaran terhadap kesusilaan itu sendiri dengan beraneka ragam bentuknya sehingga dalam pertumbuhannya jenis tindak pidana adat ini masih banyak terjadi dan diatur dalam peraturan (awig-awig) Desa Adat di Bali seperti: a. lokika sanggraha.. b. drati krama. c. gamia gemana. d. memitra ngalang. e. salah krama. f. kumpul kebo. g. Berzina..28
b. Jenis-jenis Tindak Pidana (Delik) Adat Lublink-Weddik, sebagaimana dikutip oleh Soepomo, memberitakan di dalam buku disertasinya: “Adat Delicttenrecht in de Rapat Marga Rechtspraak van Palembang” (1939), bahwa rapat-rapat marga di Palembang sering mangadili perkara tentang: a. bujang gadis bergubalan lantas bunting b. janda bergubalan lantas bunting c. laki-laki berzinah pada gadis atau janda tidak bunting a. bunting gelap.26 Di Bali masih dikenal empat jenis Tindak Pidana Adat, yaitu: Tindak Pidana Adat yang menyangkut kesusilaan; tindak pidana adat yang menyangkut harta benda; tindak pidana adat yang melanggar kepentingan pribadi; dan pelanggaran adat karena kelalaian atau tidak menjalankan kewajiban. 1) Tindak Pidana Adat menyangkut kesusilaan
Lokika Sanggraha sebagaimana dirumuskan di dalam Kitab Adi Agama pasal 359 serta perkembangan pandangan masyarakat dan praktek peradilan di daerah Bali adalah hubungan cinta antara seorang pria dengan seorang wanita yang sama-sama belum terikat perkawinan, dilanjutkan dengan hubungan seksual atas dasar suka sama suka karena adanya janji dari si pria untuk mengawini si wanita, namun setelah si wanita hamil si pria memungkiri janji untuk mengawininya dan memutuskan hubungan cintanya tanpa alasan yang sah29 .
yang
Berbicara tentang kesusilaan tidaklah dapat dipisahkan dari kelahiran manusia itu sendiri karena tujuan dari kesusilaan itu adalah untuk menciptakan keseimbangan atau keharmonisan hubungan antara makro kosmos (bhuana agung) dengan mikro kosmos (bhuana alit). Berkaitan dengan ini cloka 160 Sarasamuccaya menyatakan bahwa: Cilam pradhanam puruse tadyasyeha pranacyati, na tasya jivitenartho duhcilam kinprayojanam 26
Soepomo, 1982, op.cit., hlm. 126.
Tindak Pidana Adat ini, hingga kini masih sering terjadi dan diajukan ke Pengadilan, dibandingkan dengan jenis tindak pidana adat lainnya. Oleh Pengadilan Negeri di Bali terhadap I Nyoman Kajeng, dkk, op.cit., hal 114. I Made Widnyana, 1992, 0p.cit.,, hlm. 7-8. 29 Ibid 27 28
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
271
pelaku tindak pidana adat ini dijatuhi pidana penjara antara 1 – 9 bulan, dan pidana percobaan antara 5 bulan – 2 tahun (antara lain Putusan Pengadilan Negeri Denpasar, Nomor: 79/TOL/ PID/1983/PN.DPS dan Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 22/ PID/S/1988/PT.DPS, yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Klungkung tanggal 27 Januari 1988 No. 1/Pid/ S/1988/PN.KLK). Raad Kerta memutus pelaku Lokika Sanggraha dengan pidana denda (Putusan Raad Kerta Kloengkoeng tanggal 17 November 1928, Zaak No. 61 Register). Oleh masyarakat di beberapa desa diadakan upacara pemrayascita (bersih desa).
2. Mengadakan upacara pembersihan dengan biayanya sendiri. 3. Si pelaku diceraikan. Memitra ngalang ialah seorang lakilaki yang sudah beristri mempunyai hubungan dengan wanita lain yang diberinya nafkah lahir batin seperti layaknya suami istri, tetapi wanita ini belum dikawini secara sah. Hubungan mereka bersifat terus menerus (berkelanjutan) dan biasanya si wanita ditempatkan dalam rumah tersendiri32. Tindak Pidana Adat ini sangat mirip dengan Drati Krama, tetapi titik berat pelakunya adalah laki-laki yang sudah beristri, sedang pihak wanitanya tidak terikat perkawinan. Jadi, mungkin masih gadis atau sudah janda. Si wanita tidak (belum) dikawini secara sah. Unsur yang khusus di sini dan membedakannya dengan Drati Krama, adalah sifat hubungannya yang terus menerus dan biasanya si wanita ditempatkan dalam satu rumah serta diberi nafkah lahir batin. Dapat dikatakan bahwa si wanita merupakan wanita simpanan dari si laki-laki tersebut.
Drati krama yaitu delik adat yang merupakan hubungan seksual antara seorang wanita dengan seorang lakilaki sedangkan mereka masih dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, dengan singkat dikatakan drati krama ialah “berzina” dengan istri / suami orang lain30 Gamia gemana ialah hubungan seksual antara orang-orang yang masih ada hubungan keluarga dekat baik menurut garis lurus maupun ke samping31.
Salah krama ialah melakukan hubungan kelamin dengan mahluk yang tidak sejenis. Tegasnya hubungan kelamin tersebut terjadi antara manusia dengan hewan seperti seorang laki-laki melakukan hubungan kelamin dengan seekor sapi betina.
Terhadap kasus ini, Pengadilan Negeri pernah memutuskan dan si pelaku masing-masing di hukum 6 bulan penjara. Di samping itu oleh masyarakat diberikan sanksi adat yang berbeda-beda antara daerah satu dengan yang lain:
Terhadap kasus Salah Krama ini, Pengadilan Negeri tidak pernah memberikan putusan, karena kasus ini tidak pernah diajukan ke Pengadilan. Tetapi Raad Kerta pernah memutus kasus ini dengan mengenakan pidana penjara kepada si pelaku.
a. Ada yang sanksi adatnya berupa: 1. tidak boleh masuk anggota Banjar. 2. Dikenakan denda. 3. Di selong (dibuang ke luar wilayah Desa).
Sedang oleh masyarakat diberikan sanksi berupa:
b. Ada yang diberikan sanksi berupa: 1. Pelaku dimandikan ke laut (secara simbolik seperti ditenggelamkan ke laut).
adat
a. Si pelaku secara simbolik ditenggelamkan ke laut. b. Diadakan upacara pembersihan.
Ibid 31 Ibid 30
272
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
32
Ibid
Kumpul kebo ialah seorang lakilaki dengan seorang perempuan hidup bersama dalam satu rumah dan mengadakan hubungan seksual, seperti layaknya suami istri, tetapi mereka belum dalam ikatan perkawinan33. Istilah kumpul kebo ini, tidak hanya menjadi monopoli masyarakat Bali, karena istilah tersebut sudah dikenal di seluruh tanah air, yang merupakan perbuatan seperti diuraikan di atas. Bedanya, adalah kalau di Bali perbuatan ini di samping merupakan perbuatan yang asusila, juga dipandang dapat mengganggu keseimbangan kosmis, sehingga dipandang oleh masyarakat adat sebagai perbuatan yang patut dilarang dan pelakunya dapat dikenai sanksi/kewajiban adat. 2) Tindak Pidana Adat menyangkut harta benda
yang
Tindak Pidana Adat tentang harta benda yang diatur dalam Awig-Awig Desa Adat, yang secara garis besarnya dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu : 1. Pencurian.. 2. Tindak pidana adat pencurian benda suci keagamaan. 3. Tindak pidana adat merusak benda suci keagamaan Mengenai pencurian dan atau merusak benda suci keagamaan terlebih dahulu harus dibatasi apa yang dimaksud dengan benda suci kegamaan itu. Yang dimaksud dengan benda-benda suci keagamaan ialah “benda-benda yang telah disucikan dengan suatu upacara menurut agama Hindu, yang digunakan sebagai stana (pralingga) Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) atau dipergunakan sebagai alat-alat di dalam upacara keagamaan” Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa benda-benda suci adalah benda yang bersih menurut pengertian keagamaan. Artinya, setelah benda itu diupacarai barulah 33
Ibid
benda itu dapat dikatakan sebagai benda suci yang dipakai sebagai alat yang menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Sebelum adanya upacara terhadap benda tersebut maka benda itu tak akan mempunyai nilai kesucian, sebab upacara itu mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam proses penyucian benda tersebut. 3) Tindak Pidana Adat yang melanggar kepentingan pribadi Jenis pelanggaran ini antara lain meliputi: mengucapkan kata-kata kotor atau mencaci seseorang (mamisuh); memfitnah (mapisuna) orang lain ; menuduh orang lain tanpa bukti yang jelas bisa sesuatu atau melakukan sesuatu yang tidak baik (menuduh bisa “ngeleak”/menyakiti orang lain), dan sebagainya. Perbuatan ini disebut “wakparusya”. yang diatur dalam Buku “Kutara Agama” pasal 83 dan Buku “Agama” pasal 230-235. Pada umumnya wakparusya itu terbatas pada pemakaian kata yang kurang wajar terhadap seseorang, ringkasnya berupa hinaan atau caci maki.34 4) Pelanggaran adat karena kelalaian atau tidak menjalankan kewajiban Pelanggaran adat ini misalnya: lalai atau tidak melakukan kewajiban sebagai warga (“krama”) desa adat, seperti tidak melaksanakan kewajiban (“ayahan”) desa, tidak hadir dalam rapat (“paruman”) desa, tidak memenuhi kewajiban membayar iuran (“pepeson”) untuk kepentingan upacara atau pembangunan, dan lainlain. Delik adat ini sifatnya ringan, oleh karena itu biasanya dikenakan sanksi denda yang besarnya sesuai dengan awig-awig yang berlaku di desa adat bersangkutan dan tidak melalui proses peradilan.35 34 Slamet Muljana, Perundang-undangan Majapahit, Bhratara Jakarta, 1967, hlm. 57. 35 I Made Widnyana, “Eksistensi Tindak Pidana Adat dan Sanksi Adat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Baru)”, dalam I Made Widnyana, dkk; Editor, Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia,
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
273
3. SANKSI/KEWAJIBAN ADAT
diturunkan sebenarnya akan terpulang kembali kepada kebijakan yang diambil para pembentuk atau pembuat hukum. Apabila suatu perbuatan tertentu dipandang sebagai perbuatan jahat yang mengancam kelestarian hidup sesama warga sehingga dilarang agar sekali-kali tidak dikerjakan “maka setiap perbuatan yang nekad mengerjakannya akan dikualifikasi sebagai pelanggaran jahat sehingga harus dibalas dengan suatu nestapa yang retributif sifatnya. Sementara itu, apabila suatu perbuatan tertentu dipandang sebagai perbuatan yang dengan itikad baik wajib dikerjakan”, maka setiap penolakan untuk mengerjakannya akan dikualifikasi sebagai pengingkaran sehingga harus direspons dengan suatu sarana paksa untuk mengupayakan pemulihan38.
a. Pengertian Sanksi adalah padanan dari istilah asing yaitu sanctie (Belanda), atau sanction (Inggris). Istilah sanksi dalam hukum adat sering digunakan istilah “reaksi” atau “kewajiban” yang dikenakan pada seseorang yang telah melakukan pelanggaran atas ketentuan hukum adat (delik adat). Soetandyo Wignjosoebroto, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sanksi adalah seluruh akibat hukum yang harus ditanggung oleh subyek yang didakwa melakukan suatu perbuatan hukum atau menyebabkan terjadinya peristiwa hukum. Dalam hal ini ada dua macam sanksi yang dikenal dalam kajian-kajian sosiologi hukum. Pertama, sanksi restitutif yakni sanksi untuk mengupayakan pemulihan. Kedua, sanksi retributif yakni sanksi untuk melakukan pembalasan36.
Emile Durkheim, mengatakan bahwa reaksi sosial yang berupa penghukuman atau sanksi itu sangat perlu dilakukan, sebab mempunyai maksud untuk mengadakan perawatan agar tradisi-tradisi kepercayaan adat menjadi tidak goyah sehingga kestabilan masyarakat dapat terwujud.39
Sanksi restitutif umumnya dijatuhkan kepada para pengingkar kewajiban untuk melakukan suatu prestasi atau alpa dalam hal menghormati hak orang lain, sedangkan sanksi retributif umumnya dijatuhkan kepadsa para pelanggar larangan yang karena perbuatannya itu secara potensial atau aktual mengancam kelestarian hidup sesama manusia. Kewajiban membayar hutang, kewajiban menyerahkan kembali barang titipan, kewajiban mengerjakan tugas untuk orang yang telah mengupahnya adalah contoh-contoh pengingkaran kewajiban yang akan berakibatkan sanksi restitutif. Sementara itu, larangan mencuri, berzina, menipu, atau menghina adalah contoh-contoh pelanggaran larangan yang berdampak serius pada kelestarian hidup sesama sehingga akan direaksi dengan sanksi-sanksi yang lebih bersifat retributif37.
Lesquillier, di dalam disertasinya “Het Adat Delictenrecht in the Magische Wereldbeschouwing” sebagaimana dikutip oleh Soerojo Wignjodipoero, mengemukakan bahwa reaksi adat ini merupakan tindakan-tindakan yang bermaksud mengembalikan ketenteraman magis yang diganggu dan meniadakan atau menetralisir suatu keadaan sial yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran adat.40. Dalam alam pikiran tradisional Indonesia yang bersifat kosmis, yang penting ialah adanya pengutamaan terhadap terciptanya suatu keseimbangan (evenwicht, harmonie) antara dunia lahir dan dunia gaib, antara golongan manusia seluruhnya dan orang seorang, antara persekutuan dan teman masyarakatnya. Segala perbuatan yang mengganggu perimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan petugas hukum wajib mengambil tindakantindakan yang perlu guna memulihkan
Oleh karena sanksi pada hakikatnya adalah “reaksi hukum atas perbuatan warga masyarakat yang tidak seharusnya” maka pilihan akan jenis sanksi yang akan Eresco Bandung, 1995, hlm. 261-266. 36 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum dalam Masyarakat, Perkembangan dan Masalah, Sebuah Pengantar ke Arah Sosiologi Hukum, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang, 2008, hlm. 138. 37 Ibid.
274
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Ibid., hlm. 139. Emile Durkheim, op.cit., hal. 502. 40 Soerojo Wignjodipoero, op.cit.,, hlm. 229. 38 39
kembali perimbangan hukum. 41
selalu menjurus ke kebermaknaan yang restitutif44.
Otje Salman Soemadiningrat mengatakan setiap pelanggaran adat akan mengakibatkan ketakseimbangan pada masyarakat. Oleh karena itu, setiap pelanggaran harus diberi sanksi adat yang berfungsi sebagai sarana untuk mengembalikan rusaknya keseimbangan (obat adat)42.
Dicatat dari berbagai penelitian antropologis dalam kasus pembunuhan sekalipun, dalam suasana hukum lokal itu kematian seseorang warga masyarakat seringkali dapat dimaknai sebagai suatu pelanggaran yang menyebabkan hilangnya keseimbangan dan keselarasan dalam kehidupan yang menyebabkan kehidupan itu terguncang dan terganggu. Keguncangan seperti itu hanya dapat dipulihkan dengan cara memberikan kompensasi materiil ataupun imateriil kepada keluarga yang mengalami kematian anggota. Atau kalau tidak demikian, keselarasan dapat pula dipulihkan dengan cara “utang nyawa dibayar nyawa”. Di kalangan suku-suku Eskimo, pada waktu yang lalu, terbunuhnya seseorang laki-laki yang mengguncang keselarasan kehidupan keluarga si mati harus dikompensasi dengan cara mewajibkan sang pembunuh terkena hukuman mengawini si janda. Di kalangan suku-suku Papua, terbunuhnya seorang anggota suku karena ulah anggota suku lain akan mengobarkan perkelahian massal antar suku yang hanya akan berhenti apabila jumlah kematian di kedua belah pihak sudah berimbang (dalam jumlah sama banyaknya)45.
Salah satu contoh sanksi adat yang diberikan oleh hakim terlihat dalam putusan MA No. 772,K/Pdt/1992, tertanggal 17 Juni 1993 tentang perbuatan melawan hukum adat kefamenanu, Kupang yang menyatakan bahwa jika terbukti seorang laki-laki menghamili perempuan atas dasar suka sama suka, si laki-laki tersebut harus mengawini perempuan tersebut. Sedangkan jika si laki-laki yang bersangkutan tidak bertanggung jawab atas perbuatannya, hakim dapat mengenakan sanksi adat berupa: 1. Naek nafani nesu, matan koten (tutup pintu muka belakang) berupa seekor sapi yang berumur satu adik; dan/atau 2. Toeb tais hae manak (tutup malu, pemulihan nama baik perempuan) berupa tiga ekor sapi masing-masing berumur satu adik; dan/atau 3. Fani keut hau besi lol uki (jaminan terhadap perempuan dan bayi yang dikandungnya sementara diperapian) berupa dua ekor sapi masing-masing berumur satu adik; dan/atau 4. Mae ma putu (tutup malu terhadap orang tua perempuan) berupa tiga ekor sapi masing-masing berumur satu adik; dan/atau 5. Oe maputu ai malalan (pembayaran air susu ibu si perempuan) berupa delapan ekor sapi masing-masing berumur satu adik; dan/atau43
Sanksi adat mempunyai fungsi dan berperan sebagai stabilisator untuk mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir dengan dunia gaib. Apabila terjadi pelanggaran, maka si pelanggar diharuskan untuk melakukan suatu upayaupaya tertentu seperti upacara bersih desa (Pura/Tempat Suci), yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan dan kekuatan magis yang dirasakan terganggu. Sanksi adat mempunyai peranan penting di dalam kehidupan masyarakat di Bali. Tidak hanya pelanggaran adat saja yang oleh masyarakatnya dikenakan sanksi adat, bahkan terhadap delik biasapun seringkali oleh masyarakatnya dibebani sanksi adat meskipun si pelaku sudah di pidana oleh Peradilan Umum.
Dalam tata hukum tradisional, masyarakat lokal baik di Indonesia (yang lebih dikenal sebagai tata hukum adat) maupun ditempat-tampat lain di luar Indonesia, kecondongan sanksi hampir Soepomo, op.cit, hlm. 112. Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni Bandung, 2011, hlm. 16. 43 Ibid., hlm. 17. 41 42
44 45
Soetandyo Wignjosoebroto, op.cit., hlm. 140 Ibid., hlm. 140-141.
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
275
Di dalam hukum pidana adat meskipun tidak ditetapkan secara tegas, juga dikenal asas yang di dalam hukum pidana dinamakan “geen straf zonder schuld” atau tidak dipidana bila tidak ada kesalahan, karena hukum pidana adat selalu memandang pada patut tidaknya seseorang diberi sanksi. Bilamana seseorang tidak melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang telah disepakati bersama, tentu tidak pantas untuk dikenakan sanksi, sebab dia tidak melakukan kesalahan apa-apa. Hukum Pidana Adat memandang hanya orang yang melakukan kesalahan saja yang pantas diberikan sanksi sesuai berat ringan kesalahan yang diperbuatnya. b. Tujuan Tujuan sanksi (pidana) menurut konsepsi adat adalah untuk mengembalikan keseimbangan kosmis, keseimbangan antara dunia lahir dengan dunia gaib, untuk mendatangkan rasa damai antara sesama warga masyarakat atau antara anggota masyarakat atau antara anggota masyarakat dengan masyarakatnya. Di samping itu pemidanaan haruslah bersifat adil, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil baik oleh terhukum maupun oleh korban dan oleh masyarakat sehingga dengan demikian maka gangguan, ketidak seimbangan atau konflik tersebut akan menjadi sirna. Tujuan pemidanaan menurut RUU KUHP, diatur dalam Pasal 54 ayat (1) yang menentukan: Pemidanaan bertujuan untuk: a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. Memasyarakatkan terpidana dengan mangadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan e. Memaafkan terpidana. 276
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Kemudian di dalam ayat (2) nya ditentukan: pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa tujuan dari pemidanaan, yaitu sebagai sarana perlindungan masyarakat, rehabilitasi, dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hidup adat, serta aspek psikologis untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan. Di samping itu, meskipun pidana pada dasarnya merupakan suatu nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak merendahkan martabat manusia. Di samping itu, yang sangat menarik dari rumusan tujuan pemidanaan tersebut di atas adalah usaha memfungsionalisasikan nilai-nilai Hukum Pidana Adat di dalam tujuan dijatuhkannya sanksi (kewajiban) adat kepada pelaku, yaitu menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh perbuatan pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat (tujuan pemidanaan ke-3) dan memaafkan (tujuan pemidanan ke-5). Tujuan pemidanaan tersebut sesuai dengan jiwa dan filosofi dari dijatuhkannya sanksi/ kewajiban adat, yaitu untuk mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat, menghilangkan distorsi, konflik dan ketegangan sehingga tercipta suasana yang damai dan harmonis dalam kehidupan masyarakat serta untuk menghilangkan noda setelah timbul goncangan karena perbuatan pidana. Meminta maaf (di Bali disebut mengaksama) adalah suatu bentuk kewajiban adat yang dapat dibebankan pada seseorang yang melakukan kesalahan tertentu dengan tujuan agar terjadi perdamaian antara pelaku dan korban untuk dapat meredam/menghindari permusuhan yang berkepanjangan, sehingga menjamin kehidupan yang tenang dan harmonis dalam masyarakat. c. Jenis-jenis Sanksi Adat Soepomo, yang mengutip dari “Pandecten van het Adatrecht” bagian X yang mengumpulkan bahan-bahan mengenai hukum adat delik (adat strafrecht)
yang diterbitkan tahun 1936, memuat daftar nama-nama delik adat dan menyebut berjenis-jenis reaksi adat terhadap delik adat itu diberbagai-bagai lingkaran hukum adat di Indonesia. Tindakan-tindakan sebagai reaksi atau koreksi terhadap pelanggaran hukum adat berbagai lingkaran hukum tersebut, adalah misalnya: 1. Pengganti kerugian-kerugian immateriil dalam berbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan. 2. Bayaran uang adat kepada yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani. 3. Selamatan (korban), untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib. 4. Penutup malu, permintaan maaf. 5. Berbagai rupa hukuman badan hingga hukuman mati. 6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum.46
menggembalakn itik di sawah itu. Apabila ternyata ada itik berkeliaran disawah dan merusak tanaman padi, maka itik tersebut ditahan (kataban). Atau sudah ada ketentuan di banjar bahwa tidak boleh ada babi berkeliaran di jalan, maka kalau ternyata ada babi berkeliaran, maka babi tersebut ditahan (kataban). Maprayascitta ialah suatu upacara adat untuk membersihkan adat/ tempat tertentu apabila terjadi suatu peristiwa/perbuatan tertentu yang dianggap mengganggu keseimbangan magis dalam kehidupan masyarakat (dianggap mengotori desa). Matirtha gamana ialah hukuman bagi seoarang pendeta yang melakukan kesalahan yang disebut atataji yaitu meracun orang, merusak kehormatan orang, dan lain-lain. Selong ialah sejenis hukuman dimana seseorang dibuang ketempat lain untuk beberapa lama karena melanggar suatu ketentuan adat/agama47.
Di Bali pernah dikenal jenis-jenis sanksi adat sebagai berikut:
Di samping jenis-jenis sanksi adat tersebut, masih ada lagi jenis sanksi adat yang lain yaitu: - mangaksama atau ngalaku pelih ( = minta maaf), - mararung atau mapulang kepasih ( = ditenggelamkan ke laut), - Mablagbag ( = diikat), - Katundung ( = diusir)48.
Danda ialah sejumlah uang yang dikenakan kepada seseorang yang melanggar suatu ketentuan (awigawig) di banjar/desa; Dosa ialah sejumlah uang tertentu yang dikenakan kepada anggota (krama) desa/banjar apabila tidak melaksanakan kewajiban sebagai mana mestinya. Karampag ialah bila seseorang anggota (krama) desa/banjar yang mempunyai hutang kepada banjar/desa sampai berlipat ganda tidak dapat membayar, maka segala harta miliknya diambil/ dijual oleh banjar/desa untuk membayar hutang itu.
Di daerah Bali sanksi adat/kewajiban adat disebut “pamidanda” atau “danda”. Dari bermacam-macam sanksi adat yang pernah dikenal di daerah Bali seperti diuraikan di atas, maka dapat digolongkan ke dalam tiga jenis “pamidanda” (sanksi adat/kewajiban adat), yaitu:
Kesepekang ialah tidak diajak bicara oleh krama (warga) banjar/desa karena terlalu sering melakukan perbuatanperbuatan yang tidak baik/melanggar peraturan-peraturan di banjar/desa. Kataban misalnya adanya ketentuan kalau sawah sudah ditanami padi, dilarang 46
Soepomo, op.cit., hlm. 114-115.
1. Sangaskara Danda, yaitu sanksi adat/ kewajiban adat yang dilaksanakan atau diterapkan dengan melakukan suatu upacara keagamaan. Ada 2 bentuk Sangaskara Danda, TIP Astiti, Inventarisasi Istilah-istilah Adat/Agma dan Hukum Adat di Bali, Laporan Penelitian, Denpasar, 1982, hlm. 28-31. 48 Tjok. Raka Dherana dan I Made Widnyana, op.cit., hlm. 29. 47
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
277
yaitu:
berupa benda.
a. Maprayascita adalah suatu upacara untuk membersihkan wilayah atau tempat tertentu apabila telah terjadi suatu peristiwa/perbuatan tertentu yang dianggap mengganggu keseimbangan magis dalam kehidupan masyarakat (dianggap telah mengotori Desa).
Pengenaan Artha Danda dapat berupa:
b. Matirtha Gamana adalah kewajiban/sanksi adat bagi seorang pendeta yang telah melakukan kesalahan yang disebut atataji, yaitu seperti meracun orang, merusak kehormatan orang dan lain-lain. 2. Atma (Jiwa) Danda, yaitu sanksi adat/ kewajiban adat yang dibebankan pada badan/pisik dan/atau psikis. Bentuk-bentuk Atma (Jiwa) Danda, antara lain: a. Mablagbag (diikat dengan tali, biasanya dilakukan terhadap orang yang terganggu ingatannya agar tidak mengganggu warga). b. Katundung (diusir) c. Selong adalah kewajiban/sanksi adat yang dikenakan terhadap seseorang dengan membuangnya ke luar wilayah desa untuk beberapa waktu lamanya, karena telah melanggar ketentuan (awigawig) Banjar/Desa. d. Malarung/Mapulang ke Pasih (ditenggelamkan ke laut) e. Kanorayang (dipecat/diberhentikan sebagai anggota Banjar atau Desa). f. Kasepekang ialah tidak diajak berbicara atau diisolir dalam kehidupan bermasyarakat, karena sudah terlalu sering melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik dan melanggar ketentuan (awig-awig) Banjar/Desa g. Mangaksama atau ngalaku pelih (meminta maaf). 3. Artha Danda, yaitu sanksi adat/ kewajiban adat yang dibebankan dalam bentuk pembayaran sejumlah uang atau 278
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
a. Dedosan (denda), adalah pembayaran sejumlah uang yang dikenakan pada seseorang yang melanggar suatu ketentuan (awigawig) Banjar/Desa. b. Karampag (dirampas). Sebagai contoh, apabila seorang warga (krama) Banjar/Desa yang mempunyai hutang kepada Banjar/ Desa sampai berlipat ganda tidak bisa membayar, maka segala harta miliknya diambil dan dijual oleh Banjar/Desa untuk melunasi hutangnya itu. c. Kataban (ditahan), misalnya ada ketentuan dalam awig-awig Banjar/Desa bahwa kalau sawah sudah ditanami padi, dilarang menggembalakan itik di sawah itu. Apabila ternyata ada itik yang berkeliaran di sawah itu dan merusak tanaman padi, maka itik tersebut dapat kataban. Atau apabila sudah ada larangan dalam awig-awig Banjar/Desa bahwa tidak boleh ada babi berkeliaran di jalan, maka apabila ditemukan ada babi yang berkeliaran (tidak dikandangkan), maka babi tersebut dapat kataban. d. Nyanguin Banjar (memberi makan anggota Banjar). Hukum Adat adalah hukum yang dinamis, selalu berubah sesuai dengan perubahan masyarakat. Demikian pula halnya dengan sanksi adat/kewajiban adat yang timbul, berkembang dan lenyap sesuai dengan perubahan masyarakat. Berdasarkan atas kenyataan ini, maka jenis-jenis sanksi adat tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu : a. Sanksi adat yang sama sekali telah ditinggalkan oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena pertama, dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakat dan perkembangan jaman; kedua karena dilarang dengan tegas oleh pihak yang berwenang dengan
peraturan perundangan. Contoh: sanksi adat diselong, mablagbag, mapulang kepasih, dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman; sanksi adat yang biasa dikenakan pada seorang ibu yang melahirkan bayi kembar lakilaki dan perempuan (“manak salah”), dengan mengasingkannya keujung desanya selama 42 hari, penerapannya dilarang berdasarkan Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali tanggal 12 Juli 1951. b. Sanksi adat yang berlaku sepenuhnya, walaupun terhadap pelaku pelanggaran telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan berdasarkan undang-undang yang berlaku. Sanksi adat dimaksud adalah sanksi adat untuk mengadakan upacara keagamaan berupa pembersihan (pamarisuddhan/ maprayascitta; matirta gamana). Di samping itu masih dikenal sanksi adat yang hanya dikenakan pada seseorang yang melakukan pelanggaran, misalnya sanksi adat kanorayang (dipecat), kasepekang (tidak diajak berbicara/ diisolir), mangaksama (meminta maaf), dedosan (denda), karampag (dirampas), kataban 4. BEBERAPA TINDAK PIDANA ADAT (BALI) YANG DIADOPSI KE DALAM RUU KUHP. Dalam RUU KUHP ada beberapa tindak pidana (delik) adat Bali yang dirumuskan di dalam pasal-pasalnya, baik yang menyangkut delik susila (lokika sanggraha, kumpul kebo dan gamia gamana) maupun delik yang berhubungan dengan harta benda (perusakan tempat ibadah, pencurian benda-benda suci keagaan 1. Tindak pidana (delik) yang menyangkut kesusilaan. a. Lokika Sanggraha. Pengertian yuridis dari Lokika Sanggraha dapat ditemui pada Kitab Adi Agama yang di dalam pasal 359 dikatakan : “ Malih Lokika Sanggraha, loeir ipoen djanma mededemenan, sane moewani
tan neherrang demen ipoen, dening djrih patjang kasisipang, awanan ipoen ngererehang daje, saoebajan iloeh kasanggoepin, wastoe raoeh ring pepadoean tungkas paksane, sane loeh ngakoe kesenggama, sane moeani ngelisang mepaksang oetjapang dewek ipoen keparikosa antoek iloeh, jan asapoenika patoet tetes terangang pisan, jan djakti imoewani menemenin wenang ipoen kasisipang dande oetama sehasa 24.000, poenika mawasta Lokika Sanggraha, oetjapang sastra. Ketentuan Kitab Adi Agama tersebut di atas bila diterjemahkan akan didapat arti sebagai berikut : “Lagi Lokika Sanggraha misalnya orang bersenggama, si laki-laki tidak setia akan cintanya, karena takut akan dipersalahkan maka mencari daya upaya, syarat-syarat si wanita disanggupi, kemudian si wanita menyatakan dirinya dipaksa disetubuhi dan si laki-laki dengan cepat mengaku diperkosa oleh si wanita, kalau demikian halnya sepatutnyalah diusut kejelasannya, dan kalau benar si laki-laki yang berbuat patutlah dihukum denda sebesar 24.000 uang kepeng” Di samping pengertian tersebut, di dalam Kitab Adi Agama lebih lanjut mengenai Lokika Sanggraha juga dirumuskan sebagai berikut : - Malih “Lokika Sanggraha” djanma soewe madedemenan, tan wenten anak lian saoeninge,ring tingkahe madedeman, katakenan pada tan ngangken, djantos anak oeneng kakalih, tatiga, patpat, pamupoet madewagama, dening sakeng djerihnja raris pada ngangken ipoen madedemenan. - Malih “Lokika Sanggraha” djanma madedemenan masanggama toer soewe tan wenten saoeninga, wastoesane moewani manoetoerang anak olih demen, sarawoehe ring papadoewan sane loeh noengkas angas tan ngakoe, poepoeting baos
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
279
wenang madewa-gama. wastoe iloeh ngakoe kademenin. - Malih “Lokika Sanggraha” djanma kadalih madedemenan, tan j’wakti kadi pandalihe, kemaon mamanah ngarjanang iwang anak, sakandan sang mandalih sami kaatoer ring papadoean mapadoe tiga loeh moewani, djati ipoen pada tan wenten, wenang sang kadalih katjoran, jan pada poeroen, danda sang mandalih, kawalik sadia antoek djaman kakalih 20.000, andalame oetjaping sastra. Terjemahan bebasnya adalah: - Lagi Lokika Sanggraha, orang yang lama bersenggama tak seorangpun yang tahu, akhirnya ada orang lain yang mengetahui perbuatannya itu, tetapi kalau ditanya tidak mengakui, kemudian lalu diketahui 2, 3, 4 orang, akhirnya harus madewa-saksi (disumpah), namun karena takutnya lalu mengakui perbuatannya. - Lagi Lokika Sanggraha, orang bersenggama, dan lama tiada yang mengetahui, sampai si laki menceritakan perbuatannya, lalu sampai ke pengadilan tetapi si wanita, menolak dan tidak mengakui, akhirnya harus madewa saksi (disumpah), dalam pada itu si wanita mengaku dirinya disenggama. - Lagi Lokika Sanggraha, orang yang dituduh bersenggama, namun sesungguhnya tidak benar seperti yang dituduhkan itu, hanya bermaksud menjelek-jelekan nama orang. Semua yang menuduh sampai ke pengadilan berperkara segitiga laki perempuan. tertuduh tetap tidak mengakui sampai yang bersangkutan harus kenai “cor” (sumpah pemutus), si tertuduhpun berani. yang menuduh dikenai denda, “di balik untung” oleh orang yang tertuduh. Pengertian Lokika Sanggraha ini 280
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
dapatlah dipertegas lagi yaitu suatu delik adat yang berupa seorang lakilaki bersenggama dengan seorang perempuan di luar perkawinan dengan janji akan mengawini, tetapi ternyata tidak dikawini. Dari pengertian yang ada memberikan kesan satu dengan lainnya saling melengkapi dan bahkan menegaskan arti dari salah satu aspek Lokika Sanggraha tersebut. Syarat adanya kehamilan yang dikemukakan di atas adalah didasarkan atas praktek peradilan dewasa ini di dalam memeriksa kasus-kasus Lokika Sanggraha, syarat kehamilan ini dipakai salah satu unsur adanya Lokika Sanggraha. Hal ini tidak terlepas dari kasus itu sendiri dimana si wanita baru mengadukan pacarnya kepada yang berwajib apabila ia telah hamil. Dengan demikian telah terjadi perkembangan arti Lokika Sanggraha, yang mana ketentuan aslinya (Kitab Adi Agama) hanya menyebutkan adanya hubungan cinta (hubungan seksual), sedang dalam praktek peradilan mensyaratkan adanya hubungan cinta (seksual) ditambah dengan akibatnya yaitu adanya kehamilan. Penambahan syarat (unsur) kehamilan dalam praktek peradilan dapat dimengerti berdasarkan pertimbangan: 1. Kalau kita hanya mendasarkan atas adanya hubungan persetubuhan saja seperti yang diatur dalam pasal 359 Kitab Adi Agama maka akan mengalami kesulitan di dalam pembuktiannya. 2. Seorang perempuan baru akan mengadukan permasalahannya pada umumnya setelah adanya akibat yaitu kehamilan dan/atau bahkan setelah lahirnya anak. Hal ini perlu mendapat ketegasan dengan mengingat pertanggung jawaban pidana yang berkaitan erat dengan status dari delik adat Lokika Sanggraha, yaitu apakah merupakan
delik formil yang tidak merumuskan akibat dari perbuatan tersebut ataukah merupakan delik materiil yang mensyaratkan adanya akibat dari perbuatan itu. Atau dengan kata lain dapat dikatakan perlu adanya ketegasan apakah unsur kehamilan ini merupakan salah satu unsur dari delik adat Lokika Sanggraha atau tidak, sehingga akan didapat kesatuan pandang dari para penegak hukum di dalam menangani kasus-kasus Lokika Sanggraha. Hingga kini di dalam praktek peradilan di daerah Bali, Lokika Sanggraha dipandang sebagai delik materiil, yaitu delik yang baru dianggap “voltooid” (sepenuhnya terlaksana) dengan timbulnya akibat yang dilarang dalam hal ini adanya kehamilan. Di samping sebagai delik materiil, Lokika Sanggraha juga merupakan delik aduan (klacht delict) yaitu delik yang baru ada sejak adanya pengaduan baik dari korban dan/atau dari pihak keluarga korban. Lebih tegasnya adanya delik aduan yang relatif sebab pengaduan hanya dilakukan oleh orang tertentu yaitu orang yang mendapatkan kehamilan. Oleh karena itu para pembuat undang undang perlu memikirkan hal ini, apabila hendak mengangkat delik adat Lokika Sanggraha ke dalam kitab undang undang hukum pidana nasional yang akan datang. Adanya perhatian terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat, berarti hukum Adat tetap memiliki pengaruh penting di dalam rangka pembentukan hukum nasional yang akan datang. Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksud dengan “Lokika Sanggraha” sebagaimana dirumuskan di dalam Kitab Adi Agama serta perkembangan pandangan masyarakat dan praktek peradilan di Daerah Bali adalah hubungan cinta antara seorang pria dengan seorang wanita yang sama sama belum terikat perkawinan, dilanjutkan dengan hubungan seksual atas dasar suka sama suka karena
adanya janji si pria untuk mengawini si wanita, namun setelah si wanita hamil si pria memungkiri janji untuk mengawini si wanita dan memutuskan hubungan cintanya tanpa alasan yang sah. Dengan demikian, unsur-unsur dari Lokika Sanggraha adalah: 1. Adanya hubungan cinta (pacaran) antara seorang pria dengan seorang wanita yang sama-sama belum terikat perkawinan. 2. Antara pria dan wwanita yang sedang bercinta tersebut telah terjadi hubungan seksual yang didasarkan atas suka sama suka. 3. Si pria telah berjanji akan mengawini si aniti. 4. Hubungan seksual yang telah dilakukan menyebabkan si wanita menjadi hamil. 5. Si pria memungkiri janji untuk mengawini si wanita tanpa alasan. Kualifikasi delik adat lokika sanggraha, tidak kita jumpai dalam rumusan pasal RUU KUHP. Namun demikian, sebagian dari unsut-unsur delik adat lokika sanggraha yaitu hubungan seksual antara pria dan wanita yang sama-sama belum terikat perkawinan atas dasar suka sama suka, tetap dikualifikasi sebagai delik ‘’perzinahan antara pria dan wanita yang tidak terikat perkawinn’’, yang dirumuskan dalam Pasal 483 huruf e. Ancaman pidananya adalah paling lama 5 (lima) tahun penjara. Di dalam penjelasan pasal 483 dikatakan bahwa ketentuan ini mengatur mengenai tindak pidana permukahan, dengan tidak membedakan antara meraka yang telah kawin dan ang belum kawin. Begitu pula tidak dibedakan antara lakilaki dan perempuan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Penulis sendiri lebih cenderung apabila delik adat lokika sanggraha dengan segala unsur-unsurnya tersebut dirumuskan sebagai tindak pidana tersendiri sebagai delik materiil, tidak
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
281
sebagai tindak pidana zina (delik formil), dengan alasan, antara lain: b. Kumpul kebo. Kumpul Kebo ialah seorang laki-laki dengan seorang perempuan hidup bersama dalam satu rumah dan mengadakan hubungna seksual, seperti layaknya suami istri, tetapi mereka belum dalam ikatan perkawinan. Sebenarnya istilah populer yang disebut kumpul kebo ini, tidak hanya menjadi monopoli masyarakat Bali, tetapi sudah merupakan istilah yang sudah dikenal di seluruh tanah air, yang merupakan perbuatan seperti diuraikan di atas. Bedanya, mungkin kalau di daerah Bali perbuatan ini di samping merupakan perbuatan yang asusila, juga dipandang dapat mengganggu keseimbangan kosmis, sehingga dipandang oleh masyarakat adat sebagai perbuatan yang patut dilarang dan pelakunya dapat dikenai sanksi adat. Istilah kumpul kebo ini dapat dipadankan dengan istilah asing, seperti: ”samen leven”; ”living in nonmatrimonial union”; ”conjugal union”; atau ”cohabitation”. Walaupun kumpul kebo dipandang oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai perbuatan tercela, namun dalam KUHP yang berlaku saat ini, yang berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) zaman Hindia Belanda, kumpul kebo tidak dinyatakan sebagai perbuatan yang dapat dipidana49. Dalam perkembangan penyusunan Konsep KUHP Nasional, perbuatan kumpul kebo ini kemudian dijadikan tindak pidana, yaitu sejak Konsep Tahun 1977 yang disusun oleh Tim Basaruddin (dikenal dengan Konsep BAS) sampai konsep terakhir (2000). Dalam Konsep 2000 edisi 2002, tindak pidana kumpul kebo ini dirumuskan dalam Pasal 422 dan dalam Konsep 2004 dirumuskan dalam Pasal 48650. 49 Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Penerbit PT. Citra Adtya Bakti, 2005, hlm. 93. 50 Ibid.
282
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Selanjutnya dalam Konsep RUU KUHP Tahun 2009/2010, tindak pidana kumpul kebo ini dirumuskan dalam Pasal 485 yang menentukan ”Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II”. Penjelasan Pasal 485 mengatakan bahwa: ketentuan ini dalam masyarakat dikenal dengan istilah ”kumpul kebo”. c. Gamia Gemana. Gamia gemana ialah delik adat yang berupa larangan hubungan seksual antara orang-orang yang masih ada hubungan keluarga dekat baik menurut garis lurus maupun ke samping. Jadi, pengertian Gamia Gemana sama dengan incest. UndangUndang no. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, juga mengatur larangan perkawinan antara orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dekat, seperti ditentukan dalam Pasal 8, yaitu perkawinan dilarang antara dua orang: a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas; b. berhubungan darah dalam garis keturunan yang menyamping yaitu antara saudara, antara seo rang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saaudara neneknya; d. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibi/ bapak tiri; e. berhubungan susuan, yaitu orang susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan; f. berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang. g. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Kini, tindak pidana adat Gamia
Gemana tersebut sudah diatur dalam Pasal 487 RUU KUHP (2009/2010) yang menentukan sebagai berikut:
Benda-benda suci itu menurut besar kecil nilai kesuciannya dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
(1) Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang tersebut anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau ke samping sampai derajat ketiga, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
a. pralingga-pralingga yang dibuat khusus untuk melambangkan Sang Hyang Widhi yang wujudnya seperti pawayangan yang disesuaikan dengan manifestasinya;
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun Dalam penjelasannya dikatakan bahwa tindak pidana yang diatur dalam ketentuan ini dikenal dengan ”perbuatan sumbang (incest)” 2. Tindak Pidana Adat mengenai benda suci keagamaan Sebagaimana telah diuraikan, tindak pidana adat mengenai benda suci keagamaan dapat berupa merusak dan pencurian benda suci keagamaan. Yang dimaksud dengan bendabenda suci ialah ”benda-benda yang telah disucikan dengan suatu upacara menurut agama Hindu, yang digunakan sebagai stana (pralingga) Sang Hyang Widhi Waca atau dipergunakan sebagai alat-alat di dalam upacara keagamaan” Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa bendabenda suci adalah benda yang bersih menurut pengerian keagamaan. Artinya, setalah benda itu diupacarai barulah benda itu dapat dikatakan sebagai benda suci yang dipakai sebagai alat untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi. Sebelum ada upacara terhadap benda tersebut maka benda itu tak akan mempunyai nilai kesucian, sebab ucapara itu mempunyai fungsi yang sangat penting didalam proses penyucian benda tersebut.
b. tapakan-tapakan seperti misalnya barong, rangda dan lain sebagainya yang dibuat dengan tujuan supaya dijiwai oleh istadewata yang mempunyai kekuatan ghaib supaya jangan mengganggu di alam semesta; c. alat-alat upacara yaitu semua alat-alat yang khusus di pakai dalam upacara keagamaan saja, misalnya kain kelancingan, umbul-umbul dan lainlain. Terhadap benda-benda suci seperti yang tersebut dalam butir a. dan b. terdapat larangan-larangan yang harus ditaati dan bila dilanggar maka kesuciannya akan hilang dan untuk memulihkannya harus diadakan upacara kembali yang disebut dengan upacara panyapuhang. Putusan Pengadilan terhadap kedua jenis tindak pidana adat ini, hingga kini oleh masyarakat kurang dirasakan memberikan keadilan dan perlindungan, karena berdasarkan perundang-undangan pidana kita dewasa ini, terhadap perbuatanperbuatan pidana tersebut oleh Pengadilan hanya bisa dikualifisir sebagai delik biasa. Seperti halnya pencurian terhadap benda-benda suci keagamaan, Pengadilan hanya mempertimbangkan unsur-unsur pencuriannya saja dan nilai-nilai meteriil dari barang yang dicuri. Kalau ditinjau dari nilai yang bersifat materiil saja kadangkadang benda-benda keagamaan tersebut tidak seberapa besar harganya, tetapi apabila kita tinjau dari sifat magis religiusnya atau nilai immateriilnya, maka benda-benda suci keagamaan tersebut mempunyai nilai yang sangat tinggi bahkan mungkin tidak ternilai harganya. Di samping itu, apa yang telah menjadi harapan dari masyarakat agar kejahatan yang berhubungan dengan agama dan
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
283
kehidupan beragama kini telah menjadi kenyataan, karena telah dirumuskan dalam RUU KUHP (2009/2010), yaitu dalam Bab VII (Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama), Bagian Kedua (Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah), Paragraf 2 (Perusakan Tempat Ibadah), pasal 348 RUU KUHP yang menentukan bahwa: “Setiap orang yang menodai atau secara melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda yang dipakai untuk beribadah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”. Di dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa merusak, membakar atau menodai (mengotori) bangunan atau benda ibadah merupakan perbuatan yang tercela, karena sangat menyakiti hati umat yang bersangkutan, oleh karena itu patut dipidana. Untuk dapat dipidana berdasarkan ketentuan dalam pasal ini, perbuatan tersebut harus dilakukan dengan melawan hukum. Perusakan dan pembakaran harus dilakukan dengan melawan hukum. Sedangkan ketentuan mengenai “pencurian benda-benda suci keagamaan” diatur dalam Bab XXV (Tindak Pidana Pencurian), pasal 603 RUU KUHP (2009/2010) yang menentukan “Setiap orang yang mencuri benda suci keagamaan atau benda yang dipakai untuk kepentingan keagamaan atau benda purbakala, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”. Ini menunjukkan bahwa pemerintah melalui Tim Penyusun RUU KUHP, benar-banar telah memperhatikan aspirasi masyarakat, memperhatikan hukum tidak tertulis yang masih hidup (the living law) dan diikuti oleh masyarakat yang merupakan pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia, sebagaimana pula ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) RUU KUHP, yaitu sesuai dengan nilai-nilai 284
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakatbangsabangsa. Dengan demikian jelaslah bahwa delik-delik adat Lokika Sanggraha, Kumpul Kebo dan Gamia Gamana, demikian pula pencurian benda-benda suci keagamaan, perusakan tempat-tempat ibadah, tetap diakui eksistensinya baik oleh masyarakat maupun oleh pengadilan. Ini menunjukkan betapa besar pengaruh hukum pidana adat dalam rangka pembaharuan hukum pidana Indonesia. Tindak pidana adat baik yang menyangkut kesusilaan (Lokika Sanggraha, Kumpul Kebo, Gamia Gemana) dan tindak pidana adat yang berhubungan dengan agama dan kehidupan beragama (pencurian benda-benda suci keagamaan, pencurian dan/atau perusakan tempat-tempat suci keagamaan) telah mendapat tanggapan dan perhatian yang positip dari pemerintah (c.q. Pembentuk U.U.). Selanjutnya diharapkan dalam pembahasan lebih lanjut oleh wakilwakil rakyat di DPR akan mempunyai pandangan yang sama, dengan alasanalasan sebagai berikut: 1. Tindak pidana atau perbuatan pidana ini tidak hanya dikenal di daerah Bali, tetapi pengertian dan unsur-unsurnya juga dikenal di daerah lain. 2. Untuk adanya keadilan dan kepastian hukum, sebab hingga saat ini masih banyak pelaku perbuatan pidana tersebut di daerah lain, tidak terjangkau oleh hukum pidana positif kaerna hukum adat daerah tersebut tidak mengenalnya lagi. 3. Mengingat masyarakat bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang mengenal adat istiadat serta pandangan keagamaan yang kuat, tentu akan mempunyai sudut pandang yang sama, bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang tercela yang patut diberi sanksi demi adanya keadilan dan kepastian hukum. 4. Untuk adanya kodifikasi dan unifikasi hukum pidana, sebagaimana diamanatkan oleh GBHN, dengan
memperhatikan hukum dan kesadaran hukum yang hidup/berkembang dalam masyarakat. 5. Melindungi derajat kaum wanita agar tidak dihina dan dipermainkan oleh kaum pria. 6. Menghindari lahirnya anak dengan status anak bebinjat (anak haram). Dengan demikian jelaslah bahwa tindak pidana adat Lokika Sanggraha, Kumpul Kebo dan Gamia Gemana, serta tindak pidana adat yang berhubungan dengan agama dan kehidupan beragama tersebut mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia khususnya dalam pembentukan KUHP Nasional. Hal ini dapat diketahui dari telah dimasukkannya unsur-unsur dari delik adat tersebut dalam rumusan delik dalam RUU KUHP tahun 2009/2010 yang kini dalam proses pembahasan di DPR RI sebagaimana dirumuskan dalam pasalpasal tersebut di atas.
III. PENUTUP Sebagai penutup dari uraian tulisan ini, disampaikan kesimpulan dan saran-saran, sebagai berikut: A. Kesimpulan 1. Hukum Pidana Adat termasuk di dalamnya Tindak Pidana Adat dan Sanksi Adat hingga saat ini tetap eksis dalam kehidupan masyarakat adat di daerah Bali, karena tetap hidup, ditaati, dipertahankan dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Hal ini dapat diketahui dari: a. Sebelum Indonesia dijajah oleh Belanda, van Vollenhoven dalam penelitian pustakanya pernah menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat asli yang hidup di Indonesia, sejak ratusan tahun sebelum kedatangan bangsa Belanda, telah memiliki dan hidup dalam tata hukumnya sendiri. Tata hukum masyarakat asli tersebut dikenal dengan sebutan hukum adat. Selain itu, menurut Snouck Hurgronje, hukum adat pun dijalankan sebagaimana adanya (taken for granted) tanpa mengenal bentuk-bentuk pemisahan,
seperti dikenal dalam wacana hukum barat bahwa individu merupakan entitas yang terpisah dari masyarakat. Dengan kata lain, hukum adat diliputi dengan semangat kekeluargaan, individu tunduk dan mengabdi pada dominasi aturan masyarakat secara keseluruhan. Corak demikian mengindikasikan bahwa kepentingan masyarakat lebih utama daripada kepentingan individu b. Semasa penjajahan Belanda, Hukum Pidana Adat tetap dipertahankan oleh masyarakat di daerah Bali. Hal ini dapat diketahui dari keberadaan empat buku hukum (Catur Agama), yaitu Wetboek Agama, Wetboek Adi Agama, Wetboek Purwa Agama dan Wetboek Kutara Agama yang dijadikan landasan hukum oleh lembaga peradilan pada saat itu dalam mengadili delik adat. Contoh: Kepoetoesan”Raad Kerta” Kloengkoeng pada hari Rabo tertanggal 17 October 1928 No. 61: Seorang laki-laki I Moerti tertoedoeh berboeat kesalahan bergendakan, jang perempoean Ni Koepelik jang digendaki itoe jadi boenting dan boenting tiada soeka diakoei oleh I Moerti. Terdakwa I Moerti oleh Raad Kerta Kloengkoeng telah dijatoehi hoekoeman denda. c. Setelah Indonesia merdeka, hukum pidana adat tetap eksis di daerah Bali, selain berlandaskan empat buku hukum tersebut, juga didasarkan pada Awigawig Desa Adat di Bali yang dapat dikatakan sebagai pelaksanaan dari empat buku hukum tersebut. Hal ini dapat diketahui, sebelum keluarnya Undang Undang Nomor 1/Drt/1951, tindak pidana adat dan sanksi adat berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat adat sendiri melalui kelembagaan adatnya. Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 1/Drt/1951, eksistensi hukum pidana adat dilaksanakan baik oleh masyarakat adat itu sendiri, maupun melalui pengadilan. Contoh putusan pengadilan, antara lain: Putusan Pengadilan Negeri Gianyar Nomor: 43/PTS.Pid/B/1985/ P.N.Gir, tertanggal 20 Januari 1986;
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
285
Putusan Pengadilan Negeri Klungkung Tertanggal 6 Agustus 1992 Nomor: 24/ Pid/S/PN.KLK; Putusan Pengadilan Negeri Klungkung Tertanggal 6 Agustus 1992 Nomor: 24/Pid/S/PN.KLK; yang dalam putusannya menjatuhkan pidana kurunangan antara 1-3 bulan. 2. a. Hukum Pidana Adat mempunyai pengaruh yang signifikan dalam rangka pembaharuan hukum pidana, karena keberadaan hukum pidana adat mempengaruhi pembentukan hukum pidana nasional khususnya dalam rangka pembentukan KUHP. Hal ini dapat diketahui dari: -- dimasukkannya beberapa jenis tindak pidana adat yang berlaku di daerah Bali, seperti tindak pidana adat Lokika Sanggraha, Kumpul Kebo dan Gamia Gamana (incest) ke dalam konsep KUHP;. -- dirumuskannya tindak pidana (delik) pencurian dan perusakan atas benda-benda suci keagamaan dan tempat beribadah; -- ditetapkannya sanksi/kewajiban adat sebagai pidana tambahan. b. Tujuan sanksi/kewajiban adat dan ditetapkannya sanksi adat/kewajiban adat dalam rumusan Pasal-pasal RUU KUHP mempunyai pengaruh yang penting dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia. B . Saran-Saran: 1. Untuk tetap menjamin langgengnya eksisttensi Hukum Pidana Adat, hendaknya ketentuan yang dirumuskan dalam Pasal 2 RUU KUHP tetap dipertahankan. 2. a. Beberapa tindak pidana adat yang dikenal di daerah Bali yang sudah dirumuskan dalam RUU KUHP seperti tindak pidana adat Lokika Sanggraha (Pasal 483 sub e), Kumpul Kebo (Pasal 485) dan Gamia Gemana/Incest (Pasal 487), serta tindak pidana pencurian benda-benda suci keagamaan atau benda yang dipakai untuk beribadah (Pasal 603) dan perusakan tempat ibadah atau benda yang dipakai untuk 286
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
beribadah (Pasal 348), hendaknya tetap dipertahankan dengan alasan-alasan sebagai berikut: 1) Tindak pidana atau perbuatan pidana ini tidak hanya dikenal di daerah Bali, tetapi pengertian dan unsur-unsurnya juga dikenal di daerah lain. 2) Untuk adanya keadilan dan kepastian hukum, sebab hingga saat ini masih banyak pelaku perbuatan pidana tersebut di daerah lain, tidak terjangkau oleh hukum pidana positif karena hukum adat daerah tersebut tidak mengenalnya lagi. 3) Mengingat masyarakat bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang mengenal adat istiadat serta pandangan keagamaan yang kuat, tentu akan mempunyai sudut pandang yang sama, bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum dan tercela yang patut diberi sanksi demi adanya keadilan dan kepastian hukum. 4) Untuk adanya kodifikasi dan unifikasi hukum pidana, sebagaimana diamanatkan oleh GBHN, dengan memperhatikan hukum dan kesadaran hukum yang hidup/berkembang dalam masyarakat. b. Tujuan sanksi/kewajiban adat yang sudah dimasukkan ke dalam Pasal 54 ayat (4) RUU KUHP hendaknya tetap dipertahankan karena sesuai dengan aspirasi sosiologis dan dipandang mempunyai pengaruh yang penting dalam rangka untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh perbuatan pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku. Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti Bandung, 2005. Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita Jakarta, 1983. Djojodigoeno, Azas-azas Hukum Adat, 1958 Durkheim, Emile, Causal and Functional Analysis. (Sociological Theory), Mac Milan Press, New York, 1976.. G. Pudja, Sarasamuccaya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Hindu Departemen Agama R.I., Cetakan III, Jakarta, 1981. Goesti Poetoe Djelantik, en Ida Bagoes Oka, Wetboek “Adi Agama” Oud Balisch Wetboek Op Last Van Den Resident Van Bali En Lombok In Het Hoog-Balisch Vertald, Batavia Landsdrukkerij, 1900. Goesti Poetoe Djelantik, Wetboek “Agama” In Het Hoog-Balisch En Maleisch Vertaald, Herzien en Verbeterd door H. J. E. F. Schwartz, Batavia Landsdrukkerij, 1918. , Wetboek “Poerwa – Agama” In Het Hoog – Balisch En Maleisch Vertaald, Herzien en Verbeterd door H. J. E. F. Schwartz, Batavia Landsdrukkerij, 1918. , Wetboek “Koetara Agama” In Het Hoog – Balisch En Maleisch Vertaald, Herzien en Verbeterd door H. J. E. F. Schwartz, Batavia Landsdrukkerij, 1918. Haveman, Roelof H., The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia, Pt. Tatanusa, Jakarta, 2002. Hermien Hadiati Koeswadji,, Beberapa Permasalahan, Hukum dan Pembangunan Hukum, dan Pendidikan dan Hukum dan Bantuan Hukum, Penerbit PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1980. Hiariej, Edsy O.S., Pengantar Hukum Pidana Internasional, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2009. Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung, 1984.. , Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Penerbit
Mandar Maju Bandung, 1992. H.R. Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer: Telaah Kritis terhadap Hukum Adat sebagai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, Penerbit PT. Alumni Bandung, 2011. Hoebel, E.A., Anthropology the Study of Man, Mc. Grow Hill Book Company, New York, 1966. I Gusti Ketut Kaler, Butir-butir Tercecer Tentang Adat Bali, Penerbit Bali Agung Denpasar, 1983. I Made Widnyana, Lokika Sanggraha Dalam Pembentukan KUHP Nasional, diterbitkan oleh Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar, 1989. , Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Eresco Bandung, 1993. , (Ed.), Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Eresco Bandung, 1995.. , Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Edisi Revisi Cetakan ke-2, Penerbit Fikahati Aneska Jakarta, 2009. , Asas-Asas Hukum Pidana, Buku Panduan Mahasiswa, Penerbit Fikahati Aneska Jakarta, 2010. , The Living Law as Found In Bali, Penerbit Ubhara Jaya Jakarta, 2011. , Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Ubhara Jaya Jakarta, 2011 I Nyoman Kajeng, dkk, Sarasmuccaya, (terjemahan dalam bahasa Indonesia), Jakarta, 1977. Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan, PT. Gramedia, Jakarta, 1974. K. Wancik Saleh, Seminar Hukum Nasional 19631979, Ghalia Indonesia Jakarta, 1980. Moh. Koesnoe, Hukum Adat (Dalam Alam Kemerdekaan Nasional dan Persoalannya Menghadapi Era Globalisasi), Ubhara Press Surabaya, 1996. R. Tresna, Komentar H.I.R., Penerbit Tresco Jakarta, 1976. Rouland, Norbert, Legal Anthropology, Stanford University Press, Standford, California, 1994. Slamet Muljana, Perundang-undangan Majapahit, Bhatara Jakarta, 1967.
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
287
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Penerbit Alumni Bandung, 1982.
Kepoetoesan”Raad Kerta” Kloengkoeng pada hari Rabo tertanggal 17 October 1928 No. 61
, Suatu Dilema Dalam Pembaruan Sistem Pidana Indonesia, Fakultas Hukum UNDIP Semarang, 1979.
Putusan Pengadilan Negeri Gianyar Nomor: 43/ PTS.Pid/B/1985/P.N.Gir, tertanggal 20 Januari 1986.
Soepomo, 1982, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Paramita Jakarta, 1982.
Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor: 153/ Pid/S/1997/PN.DPS Tertanggal 14 September 1987
Soerjono Soekanto, Kebudayaan dan Hukum, FH. Universitas Padjadjaran Bandung, 1974. Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Dalam Masyarakat, Perkembangan dan Masalah, Sebuah Pengantar ke Arah Kajian Sosiologi Hukum, Penerbit Bayumedia Publishing, Surabaya, 2008. Ter Haar, B. Bzn., Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan Kng. Soebekti Poesponoto, Pradnya Paramita, Jakarta, 1960. B. Peraturan Perundang-undangan. Rancangan Undang-undang Republik Indonesia tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Jakarta, 2009/2010 Undang-Undang No. 1/Drt/1951, tentang Tindakan Sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara Pengadilanpengadilan Sipil. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokokpokok Kekuasaan Kehakiman jo. UndangUndang No. 35 Tahun 1999 sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004. Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali tanggal 12 Juli 1951. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor: 06 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Daerah Provinsi Tingkat I Bali. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 03 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. C. Yurisprudensi/Putusan Pengadilan/ Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor: 1644 K/ Pid/1988 tertanggal 15 Mei 1991. 288
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Putusan Pengadilan Negeri Klungkung Tertanggal 23 September 1986 Nomor : 18/Pid/S/1986/ PN-KLK Putusan Pengadilan Negeri Klungkung Tertanggal 6 Agustus 1992 Nomor: 24/Pid/S/PN.KLK. D. Makalah, Disertasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Jurnal, Majalah Hukum, Bahan Kuliah, Hasil Penelitian. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, Simposium Pembaharuan Hukum Pidana, Penerbit Binacipta, Jakarta, 1986. , Hasil Seminar Hukum Nasional VI, 25-29 Juli 1994 di Jakarta, 1994 Fakultas Hukum Universitas Udayana, Jurusan Hukum Pidana, Laporan Penelitian Inventarisasi beberapa putusan Pengadilan Negeri Denpasar dan Pengadilan Negeri Gianyar tahun 1985, dan Pengadilan Negeri Amlapura, Klungkung, Bangli, Tabanan, Negara dan Singaraja tahun 1987. Fakultas Hukum UNUD bekerjasama dengan ASPEHUPIKI Pusat, Laporan Seminar Nasional Relevansi Hukum Pidana Adat dan Implementasinya dalam Hukum Pidana Nasional., Denpasar, 1994. Hermien Hadiati Koeswadji, Aspek Budaya Dalam pemidanaan Delik Adat, Kertas Kerja dalam Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agma terhadap Hukum Pidana, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama dengan Sub-Konsorsium Ilmu Hukum, Denpasar, Bali 1975. I Made Widnyana, Eksistensi Delik Adat Dalam Pembangunan, Orasi Pengukuhan disampaikan dihadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Udayana saat peresmian penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana
pada Fakultas Hukum Universitas Udayana di Denpasar, Selasa 21 Juli 1992. -
Introduction To Customary Criminal Law, Summer Law Program, University of San Francisco-Udayana University, Lecture, Denpasar Bali, 1995.
.
Comparative Criminal Justice, the Indonesian Perspective, Summer Law Program, University of San Francisco-Udayana University, Lecture, Denpasar, Bali, 1997. Institut Hindu Dharma, Pandangan Agama Hindu terhadap Delik Adat Lokika Sanggraha, Makalah diajukan dalam rangka Bulan Ilmiah Menyambut Dies Natalis Universitas Udayana Ke XXIII di Denpasar, 19 Oktober 1985 RUU KUHP Dalam Konteks Demokrasi dan HAM, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “RUU KUHP Dalam Konteks Demokrasi dan HAM” di Fakultas Hukum UNUD, Denpasar, 18 Maret 2006. Pusat Studi Kriminologi FH UII, Yogyakarta, Laporan Penelitian Hubungan Seksual Pra Nikah, Yogyakarta, 1984. Tjok. Raka Dherana dan I Made Widnyana, Agama Hindu dan Hukum Pidana Nasional, Prasaran dalam Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana, Diselenggarakan dalam rangka Kerjasama BPHN dengan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, pada tanggal 17-19 Maret 1975 E. Kamus Hukum. Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co., St Paul Minn, 1990.
.
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
289
WACANA PEMBENTUKAN PEMBANTU JAKSA ASISTANT ATTORNEY DISCOURSE FORMATION Kardisi Kejaksaan Negeri Cirebon Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo No. 30 Kodya Cirebon Email :
[email protected] (Diterima tanggal 22 Juni 2015, direvisi tanggal 24 Juli 2015, disetujui tanggal 31 Juli 2015) Abstrak Jaksa merupakan satunya aparatur penegak hukum yang terlibat dalam penanganan suatu perkara mulai dari awal (penyidikan) sampai akhir (eksekusi). Selain itu, jaksa juga memiliki tugas-tugas lain di bidang Datun maupun di bidang ketertiban dan ketentraman umum. Beratnya beban tugas dan fungsi jaksa ternyata tidak diimbangi oleh dukungan jumlah personil jaksa yang memadahi dan tenaga pembantu jaksa, sehingga pelaksanaan tugas dan fungsi jaksa sering kali kurang maksimal. Oleh karena itu, ke depan perlu dibentuk pegawai fungsional pembantu jaksa yang bertugas membantu setiap satu orang jaksa dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, khususnya dalam bidang penegakan hukum agar pelaksanaan tugas dan fungsi tersebut dapat terlaksana secara baik. Kata Kunci: Jaksa, Kejaksaan, Pembantu Jaksa Abstract Attorney is the only law enforcement officials involved in the handling of a case from the beginning (the investigation) to the end (execution). In addition, prosecutors also have other tasks in the field of Datun and in the field of public order and peace. Burden of duties and functions of the prosecutor was not matched by support personnel memadahi prosecutors and auxiliary personnel prosecutor, so that the tasks and functions of prosecutors are often less than the maximum. Therefore, in the future need to be established auxiliary functional employee prosecutor assigned to assist every single person in the execution prosecutor duties and functions, especially in the field of law enforcement so that the tasks and functions can be executed properly. Keywords: Attorney, Assistant Attorney
I. PENDAHULUAN Kejahatan di Indonesia semakin meningkat dengan berbagai macam modus dan cara melakukannya. Dengan berbagai modus kejahatan yang sudah demikian rupa dan kompleksnya, para penjahat melakukan caranya sesuai dengan latar pendidikan ia miliki untuk melakukan aksi kejahatannya. Berbagai macam kejahatan yang mereka lakukan seperti cyber crime, Narkorba, illegal fishing, traficking, illegal loging dan lain sebagainya. Mereka dengan lihainya dapat mengelabui aparat penegak hukum untuk menghindar dan berkelit dari resiko hukuman. Tidak mudah memang memberantas dunia kejahatan selagi ada kehidupan di dunia ini pasti disitu ada kejahatan. Semakin banyak populasi penduduk dunia ini semakin banyak pula para pelaku kejahatan itu, tinggal aparat hukum mau menyikapi seperti apa?. Dengan bertambah banyaknya para pelaku kejahatan tersebut tentu harus diimbangi
dengan sarana dan prasarana, piranti hukumnya maupun menambah personil aparat penegak hukum yang profesional dan proporsional. Dalam rangka menahan dan meredam angka kejahatan tersebut perlu diupayakan untuk menambah dan meningkatkan sumber daya manusia (SDM) aparatur penegak hukum yang benar-benar profesional dan fleksibel yang siap menghadapi tantangan atau kompetisi era globalisasi. Lembaga penegak hukum khususnya institusi Kejaksaan Republik Indonesi (kejaksaan) harus mempersiapkan aparat penegak hukum yang handal dan siap menghadapi kompetisi, tantangan dan harus sanggup menumpas dunia kejahatan. Dalam menghadapi berbagai kejahatan yang semakin kritis dan merajalela, negara tidak cukup hanya menerbitkan atau merevisi suatu peraturan perundang-undangan yang dapat menjerat para pelaku kriminal. Tetapi juga harus diimbangi dengan SDM aparatur penegak hukum yang Wacana Pembentukan Pembantu Jaksa - Kardisi
291
mampu melakasanakan dan menegakan peraturan dimaksud dengan baik. Menurut Undang-Undang Nomor16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI., Kejaksaan merupakan lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan. Selanjutnya Pasal 13 KUHAP menentukan bahwa penuntut umum dapat menuntut perkara pidana yang terjadi pada wilayah hukumnya menurut ketentuan undang-undang. Bagi aparat Kejaksaan yang merupakan bagian dari penegak hukum dalam melaksanakan berbagai tugas dan kewenangannya itu, kejaksaan harus bisa mencetak kader-kader aparat yang handal, yang siap menghadapi kompetisi dalam perkembangan era globalisai, yang serba teknologi canggih dan juga harus fleksibel mengikuti jaman. Untuk menghadapi era globalisai aparat kejaksaan khususnya jaksa harus bisa menyesuaikan diri dan mawas diri. Yang dimaksud mawas diri disini ialah jaksa harus tahu diri terhadap kemampuan maupun keahlian teknisnya dibidang hukum agar lebih ditingkatkan lagi. Sehingga mampu menelan produk-produk hukum yang baru secara mentah-mentah seperti: UU, peraturan, perpu, doktrin dan lain sebagainya. Mampu bersaing dengan kemajuan jaman, jangan sampai ketinggalan jaman atau gaptek. Untuk menciptakan kader-kader yang handal tersebut dengan cara melalui diklat atau memberi pendidikan dan pelatihan, seminar, workshop, meeting dan lain sebagainya. Apalagi sekarang Kejaksaan sudah membentuk tim satuan khusus personil seperti yang sudah ada yaitu; satgasus tipikor, satgas HAM, Team pemburu DPO, PPA (semacam petugas pemburu aset negara) personil agen, sandiman, dan lain sebagainya. Jabatan jaksa merupakan jabatan yang sangat mulia dan terhormat di mata masyarakat. Keberadaan jaksa tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia, namun dengan jumlah yang sangat terbatas. Dengan terbatasnya jumlah jaksa di seluruh Indonesia hal tersebut tidak berimbang dengan tugastugas dan kewenangannya. Menurut Laporan Tahunan Kejaksaan RI Tahun 2013 jumlah 292
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
jaksa sebanyak 9007 personil sedangkan jumlah pegawai tata usaha sebanyak 12.250 personil, sehingga jumlah total seluruh pegawai sebanyak 21.257 personil. Pada tingkat kabupaten, jaksa terdapat pada kantor Kejaksaan Negeri yang jumlahnya sekitar 13 personil dan itupun ada yang merangkap jabatan struktural Eselon IV setingkat Kasi/ Kasubag Bin (5 orang) serta seorang Eselon III (Kajari). Sementara itu, tugas jaksa cukup banya mulai dari penuntutan sampai tingkat eksekusi. Selain itu, Kejaksaan juga bisa melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang yaitu terdapat pada Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004, dan melaksanakan putusan hakim dan mengawasinya. Tidak sebatas itu saja jaksa juga disibukkan dengan upaya hukum yaitu banding, kasasi dan juga termasuk upaya hukum lainnya. Di bidang Intelijen jaksa berwenang mengawasi barang cetakan, bukubuku cetakan, aliran-aliran keagamaan dan kepercayaan. Dalam bidang intelijen jaksa juga masih disibukkan dengan mencari, mengejar dan menangkap buronan yang kabur bahkan sampai keluar negeri. Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, jaksa disibukan dengan menjadi kuasa hukum negara atau menjadi Jaksa Pengacara Negara sampai menggugat kepada pihak yang merugikan negara dengan Legal Opinion dan Legal Advice baik melalui ligitasi maupun non ligitasi atau memorandum of understanding melakukan perjanjian atau kerja sama dengan instansi lain. Dengan begitu ragam dan kompleksnya tugas-tugas seorang jaksa yang tidak sebanding dengan jumlah jaksa yang ada. Maka untuk mengurangi dan meringankan beban dalam melaksanakan tugas-tugasnya tersebut baik di lapangan maupun di dalam persidangan. Jaksa harus mempunyai partner atau helper atau tenaga pendukun yang bisa membantu dan memdampingi dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Tenaga pendukung disini ialah tenaga fungsional pembantu jaksa yang profesional, mempunyai skill, yang mumpuni berlatar belakang berpendidikan berbagai sarjana yaitu: Hukum, Kedokteran, Intelijen, Sandi negara, ekonomi, IT, forensik, Akuntansi, dll. yang nantinya bisa mengaudit,
memiliki keahlian khusus dan terlatih menangani suatu perkara khususnya dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Petugas Pembantu Jaksa disini semacam ”Asistennya Jaksa“ atau “Ajudan Jaksa” yang siap membantu dan mendampingi tugas-tugas jaksa dalam penanganan. Pada instansi lain seperti Pengadilan ada pembantu hakim yaitu pegawai fungsional yang membantu melaksanakan tugas-tugas seorang hakim diantaranya ada Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti, Juru Sita, Juru Sita Pengganti. Pegawai tersebut yang bersifat pegawai fungsional yang diberi tunjangan khusus (fungsional) sesuai dengan profesinya masing-masing. Dibagian kesehatan seorang Dokter ada pembantunya dokter yaitu Perawat dan Bidan yang siap membantu tugas-tugas seorang Dokter di rumah sakit ataupun di lapangan dalam menangani pasiennya. Pada pesawat terbang Pilot dibantu Copilot dan pramugari. Pengendara mobil (sopir) bisa dibantu oleh kernetnya. Begitu juga pada dunia pendidikan, Dosen bisa dibantu oleh Asisten Dosen. Peranan para “ pembantu profesional” tersebut sudah diakui dalam UU maupun PP dan dikenal keberadaannya oleh publik terhadap tugas dan peranannya maupun fungsinya. Dengan demikian, maka tidak ada salahnya bila jaksa juga diberi asisten agar pelaksanaan tugas dan fungsinya dapat terlaksana dengan baik.
II. PEMBAHASAN A. Gambaran Umum tentang Fungsional Pembantu Jaksa
Pegawai
1. Penamaannya Pada masa Herziene Inlandsch Reglement (HIR) ada istilah Magistraat Pembantu atau ajunct magistraat (Jaksa Pembantu) yang tugasnya membantu Jaksa, dalam menangani kasus kejahatan ataupun terhadap pelanggaran-pelanggaran umum. Magistraat Pembantu pada saat itu adalah terdiri dari: 1. Kepala distrik, 2. Kepala onderdistrik, 3. Pegawai-pegawai polisi umum yang sekurang-kurangnya berpangkat mantri polisi, dan 4. Pegawai polisi yang istimewa ditunjuk oleh pokerol
jendral. Menurut HIR jaksa itu sebagai penyidik dan penuntut umum sedangkan polisi itu sebagai jaksa pembantu atau pembantu jaksa. Pada saat itu, pegawai Pembantu Jaksa terdiri dari beberapa instansi lain yang terkait misalnya dari instansi polisi Pamong Praja Depdagri, Bea Cukai Depkeu, Metrologi, Departemen perdagangan, Imigrasi Departemen Kehakiman, dll. Pembentukan pembantu jaksa itu dalam perekrutan, pengangkatan dan pendidikannya atas keputusan Jaksa Agung. Adapun untuk Pendidikan pembentukan pembantu jaksa tersebut selama 3 bulan dilaksanakan oleh Badiklat Kejaksaan RI maupun pada kejaksaan Tinggi daerah. Pembantu jaksa tersebut ditempatkan pada instansi masing – masing dan tugasnya dibawah koordinasi kejaksaan. Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan Pembantu Jaksa bukan dalam pengertian seperti pada masa HIR tetapi dalam artian sempit hanya untuk institusi Kejaksaan secara interen. Mmaksudnya pegawai pembantu jaksa tersebut hanya sebatas pada instansi kejaksaan saja. Personilnya bukan dari berbagai unsur seperti pada masa HIR. Dalam pembentukan pertama untuk pegawai pembantu jaksa, sebaiknya direkrut dari personil kejaksaan yang sudah ada yaitu dari pegawai TU karena pegawai tersebut sudah berpengalaman di lapangan (praktik), untuk membantu jaksa dalam melaksanakan tugasnya itu dan untuk mendampingi melaksanakan tugas-tugas pembantuannya. Pegawai fungsional pembantu jaksa tersebut adalah pegawai yang mempunyai keahlian teknis yuridis yang merupakan bagian dari unsur pelaksana tugas pembantuan. Nama bagi petugas fungsional pembantu jaksa tersebut, penulis mengusulkan beberapa contoh sebagai gambaran yaitu: “Asisten Jaksa”, “Ajudan Jaksa”, “Opsir Jaksa”, “Pra Jaksa”, atau “Pembantu Jaksa”, “Pendamping Jaksa”. Agar didalam pemberian namanya, diusahakan ada kata jaksa yang melekat pada akhir kata karena Wacana Pembentukan Pembantu Jaksa - Kardisi
293
kehadiran pembentukan personil tersebut hanya untuk melayani dan mendampingi jaksa dan didalam pelaksanaan tugasnya hanya mengikat pada penanganan kasus perkaranya. a. Asisten Jaksa Kata “Asisten “ dapat dilihat pada istilah “Asisten Pribadi, Asisten Pelatih, Asisten Sutradara, Asisten Dosen, Asisten Residen, dan Asisten Daerah”. Asistensi menurut kamus besar bahasa Indonesia yaitu kegiatan mengasisteni (membantu seseorang ditugas profesionalnya). Jadi “Asisten” itu adalah orang yang bertugas membantu orang lain dalam melaksanakan tugas profesional. Di institusi Kejaksaan sendiri sudah tidak asing lagi dengan nama Asisten, karena jabatan struktural di kejaksaan juga terdapat nama Asisten, seperti: Asbin, Aspidsus, Aspidum, Asintel, Aswas; dan Asdatun. Dalam penamaan “Asisten Jaksa” apakah tidak akan bersinggungan atau ada kesamaan nama dengan nama yang lainnya yang sudah ada pada Kejaksaan ?. Penulis katakan tidak !, karena Asisten Jaksa disini pengertiannya itu pegawai fungsional yang bertugas melaksanakan pembantuan jaksa. “Asisten Jaksa” Sesuai dengan pengertian kata sempitnya atau secara harfiah yaitu berarti pembantu jaksa. Sedangkan nama Asbin, Aspidum, Aspidsus, Asintel, Aswas dan Asdatun menurut arti kata secara harfiahnya yaitu pejabat Struktural pada bidang tertentu yang sesuai dengan nama yang disandangnya itu. Dari segi penamaan maupun penyebutan juga jelas berbeda, publikpun bisa memahami dan membedakan atau mengartikannya secara harfiah karena orang awam pun tahu bahwa nama “Asisten Jaksa” itu pasti mengacu pada pembantunya jaksa. Dalam institusi kepolisian juga ada nama-nama dalam jenjang kepangkatan yang berhubungan satu sama yang 294
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
lainnya pangkat yang lebih rendah dengan berkesinggungan dengan pangkat yang lebih tinggi. Contoh Pangkat AKP yaitu Ajun Komisaris Polisi dengan bersinggungan atau ada kesamaan penyebutan nama pangkat AKBP yaitu Ajun komisaris besar Polisi karena pangkat AKP pangkat perwira pertama gol III dengan pangkat AKBP perwira menengah gol IV, ada kesamaan nama yaitu sama-sama Ajun Komisaris. Pangkat Kompol yaitu komisaris polisi dengan pangkat Komjen yaitu komisaris jendral yang sama-sama komisaris. Pangkat Briptu yaitu Brigadir polisi satu adalah pangkat Bintara polisi yang bersinggungan atau kesamaan nama dengan nama pangkat Brigjen yaitu Brigadir Jendral yaitu sama-sama Brigadirnya padahal antara pangkat bintara dengan pangkat perwira tinggi itu jangkauannya sangat jauh sekali. Dengan semua kesamaan nama itu tidak ada masalah, tidak diributkan dan diterima oleh semua pihak dalam kepolisian. Apa pendapat kata orang bijak apalah arti sebuah nama. Begitu juga di institusi Kejaksaan karena masih asing ditelinga maupun dimata publik ada perasaan yang agak mengganjal dan janggal dalam penyebutan kata “Asisten Jaksa”. Apalagi ada kesamaan didalam penamaannya itu pada awal nama tetapi diakhir kata namanya jelas berbeda, memang awalnya masih asing tetapi lama-kelamaan akan terbiasa, nantinya akan bisa membedakan dan lagi tidak ada yang aneh dan juga akan diterima oleh semua pihak. Kalau jadi diterapkan, digulirkan atau dipakai nama Asisten Jaksa tersebut akan terjadi pro dan kontra terhadap warga korp Adhyaksa. Padahal menurut penulis sendiri keberadaan pegawai fungsional pembantu Jaksa tersebut akan membawa perubahan dan kemajuan perkembangan khususnya bagi jaksa dan pada umumnya bagi institusi Kejaksaan. Dengan adanya wacana pembentukan Asisten Jaksa
itu tentunya akan membuat PR dan perdebatan diantara para ahli hukum, staf ahli di kejaksaan, pendekar hukum kejaksaan dan senior-senior di Kejaksaan. b. Ajudan Jaksa Kata “ajudan“ dapat dilihat dalam acara seremonial kepresidenan, dalam kedinasan militer, polisi atau kepala daerah. Arti kata Ajudan menurut buku kamus besar bahasa Indonesia yaitu perwira yang diperbantukan kepada raja, presiden, perwira tinggi, gubernur, bupati, dll. Di kejaksaan juga dikenal kata ajudan, seperti Ajudan Jaksa Agung, ajudan jaksa tinggi dan lain sbagainya. Pasti ajudan itu sebuah nama buat orang-orang yang bertugas menjadi pendamping yaitu mendampingi penjabat tinggi, atau orang yang dianggap penting demi pengamanan dan kenyamanan didalam melaksanakan tugas. Pengertian kata ajudan secara harfiah ialah orang yang mendampingi atau membantu seseorang yang dianggap penting untuk keselamatan dan kenyamanan dalam melaksanakan tugas. Penulis akan memberi penamaan pegawai fungsional Pembantu Jaksa dengan nama “Ajudan Jaksa”, dalam artian kata maknanya seolah-olah sebagai bodyguard-nya jaksa, bukan sebagai pengamanan atau pengawal pribadi atau pengawal jaksa. Tetapi ajudan jaksa yang maksud penulis yaitu petugas fungsional pembantu Jaksa yang membantu tugas-tugas jaksa dalam melaksanakan tugas baik dilapangan maupun didalam persidangan. c. Opsir jaksa Opsir disini bukan bagian dari laskar atau perwira militer tetapi maksud penulis Opsirnya Jaksa yang diambil dari zaman HIR yaitu ada sebutan kata Opsir Justisi yaitu pegawai penuntut umum di dalam reglemen yaitu: 1). Magistraat Pembantu, 2). Ajunct
Magistrat, 3). Substituut, dan 4). Opsir Justisi. Opsir menurut buku kamus buku besar yang artinya perwira dalam pangkat kemiliteran. “Opsir jaksa” dalam artian sempit yaitu anak buahnya jaksa yang melaksanakan tugas-tugas pembantuan, melayani dan mendampingi jaksa, dimana ada jaksa bertugas disitu harus ada opsir jaksanya. Tugasnya sama seperti yang telah diuraikan tersebut diatas dengan petugas fungsional pembantu jaksa. Penulis tidak usah menerangkan secara rinci dan mendetail karena sudah jelas pada prinsipnya sama hanya beda dari segi penamaannnya saja. d. Pra Jaksa Dalam penamaan “Pra Jaksa” pernah dipakai oleh Institusi Kejaksaan kalau tidak salah jaman HIR, penulispun pernah melihat diberkas atau arsip dulu ada klasifikasi nama kepangkatan yaitu, Yuana wira TU, “Yuana Wira Pra Jaksa “ dan Yuana wira Jaksa, dstnya. Berdasarkan Keputusan Jaksa agung RI No. Kep-072/JA/1967 tanggal 9 agustus 1967 tentang kedudukan dan wewenang Pra jaksa. Penulis sempat berpikiran kho dulu ada pegawai pembantu Jaksa atau apa ? khok ada nama kepangkatan Pra Jaksa di kejaksaan mungkin pada waktu itu sudah ada tiga golongan klasifikasi kepegawaian. Berarti penggolongan pegawai yang bukan sebagai jaksa dan bukan sebagai pegawai TU, tetapi mungkin penulis berandai-andai ada semacam pegawai fungsional pembantu jaksa pada saat itu. Tetapi keberadaannya sudah dihapus sejak dikeluarkan Keputusan Jaksa Agung No. Kep-012/JA/1983 tanggal 13 Januari 1983 tentang penghapusan Kedudukan dan wewenag Pra Jaksa. Jadi sejak itu sudah tidak ada lagi pegawai Pra Jaksa entah mengapa tidak diteruskan lagi padahal itu bagus buat mengekfektifkan kinerja aparatur kejaksaan RI. Wacana Pembentukan Pembantu Jaksa - Kardisi
295
e. Pembantu Jaksa Penamaan “Pembantu Jaksa” atau “pembantu JPU “ bisa digunakan untuk penamaan pegawai fungsional pembantu jaksa. Atau bila berkenan mungkin bagi para peneliti atau pimpinan masih ada istilah nama lain lagi yang lebih pantas. Pada kepolisian juga ada penamaan “Penyidik Pembantu” yang bertugas membantu penyelidikan dan penyidikan dikepolisian. Didalam HIR ada istilah magistraat Pembantu (jaksa pembantu) yaitu aparat polisi, ketika waktu itu sebagai pembantu jaksa dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan. f. Pendamping Jaksa Arti Pendamping yang dimaksud penulis disini ialah petugas yang siap jadi pendamping jaksa dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai hamba hukum untuk melaksanakan undangundang, bukan berarti mendampingi jaksa untuk kepentingan pribadi. Dalam penamaan pegawai pembantu jaksa penulis mengusulkan ada tiga nama diantara pilihan nama yang tepat dan cocok yaitu Ajudan jaksa, Asisten jaksa, dan atau Opsir jaksa, atau Mantri Jaksa atau Pembantu jaksa atau jaksa pembantu. 2. Maksud dan Tujuannya Maksud dan tujuan dibentuknya pegawai pembantu jaksa yaitu untuk membenahi institusi kejaksaan sehubungan dengan tugas-tugas pokok jaksa dalam melaksanakan fungsi maupun dalam kewenangannya sebagai aparatur Kejaksaan RI. Khususnya mengenai pembantuan jaksa dalam melaksanakan tugas baik dalam penangan perkara maupun dalam dinas luar. Selama ini jaksa dalam menjalankan tugas-tugas hanya sendirian tanpa dibantu atau didampingi oleh stafnya. Padahal Jaksa itu adalah pejabat fungsional sebagai penuntut umum yang bertindak atas nama negara dalam jajaran aparatur hukum. Pejabat yang mempunyai keahlian teknis 296
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
yuridis, berfikir kritis, bertanggung jawab dan berintegritas tinggi. Pembentukan pegawai fungsional pembantu jaksa tidak akan menimbulkan permasalahan baru dalam tubuh kejaksaan. Jangan berpikiran negatif dulu akan terjadi penumpukan pegawai, atau akan ada penggemukan pegawai dan juga akan menjadi pengangguran terselubung yang siap akan menggerogoti atau menghabiskan anggaran negara di tubuh korp adhyaksa. Jangan terlalu kawatir dan cemas akan terjadi penumpukan pegawai, dan akan terjadi tumpang tindihnya penanganan tugas-tugas kejaksaan dengan adanya personil pembantu jaksa tersebut. Jangan berpikiran yang bukan-bukan, harus berpikir positif thingking, jangan berpola pikir lama atau ortodoks, pesimis dan apastis. Justru dengan terbentuknya personil tersebut akan bermanfaat bagi jaksa karena kedudukannya akan naik satu tingkat lebih tinggi dan lebih mulia lagi. Manfaat dan dampak positifnya akan terasa setelah beberapa tahun yang akan datang atas terbentuknya personilpersonil pembantu jaksa tersebut. Apalagi khususnya bagi jaksa itu sendiri akan membawa dampak angin segar yang mengembirakan karena tugas dan kinerjanya akan ada yang meringankan dan juga membantu tugas-tugas yang sangat berat itu. Dan umumnya bagi insttiusi Kejaksaan akan terback up dengan adanya personil tersebut. Akan menjadi power atau suatu kekuatan pendukung yang siap menghadapi perkembangan jaman dalam penangan hukum yang secara maksimal. Disamping itu, dengan adanya jaksa zona dalam RUU KUHAP, nantinya jaksa bertugas sesuai dengan zona kerjanya masing-masing, sehingga akan menghapus P-21 atau P-19 untuk menghindari bolakbaliknya berkas perkara dari kepolisian ke kejaksaan yang mengakibatkan tidak jelasnya suatu perkara yang daat merugikan bagi pencari keadilan. Untuk menghindari hal-hal seperti itu penyidikan yang akan datang antara kepolisian dengan kejaksaan akan bekerja sama secara langsung di
lapangan. Begitu menerima pemberitahuan dari kepolisian tidak melalui surat lagi bisa melalui lisan, telepon, SMS dan e-mail. Jadi Jaksa zona bekerja sesuai dengan wilayah kerjanya masing-masing dan langsung memberikan petunjuk kepada penyidik di lapangan. Dengan begitu kerja jaksa zona harus bekerja di lapangan dan akan sibuk bolak-balik ke kantor untuk melaporkan tugasnya. Untuk membantu, mengawal, mendampingi dan meringankan jaksa memerlukan tenaga pembantuan jaksa yaitu petugas pembantu jaksa. 3. Tugas dan Fungsinya Sesuai dengan namanya, tugas bagi pegawai fungsional pembantu jaksa yaitu bersifat pembantuan dalam penanganan suatu kasus perkara untuk, mengawal, mendampingi jaksa dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dalam artian pegawai tersebut harus patuh dan taat kepada jaksa tersebut untuk siap melaksanakan perintah dan petunjuknya dalam menjalankan tugas. Yang dimaksud penulis patuh dan taat kepada jaksa yaitu: a. Jaksa itu sebagai atasannya pembantu jaksa/pembantu JPU dalam menangani suatu perkara yang sama. b. Pembantu jaksa harus taat melayani, mendampingi dan membantu tugas jaksa. Pembantu jaksa merupakan anak buahnya jaksa dalam melaksanakan tugas yang sesuai dengan surat perintah dari Kajari atau pimpinan kejaksaan RI. c. Pembantu jaksa harus siap melayani jaksa dan bekerja sama dengan jaksa karena kerjanya team work (sistem paket) atau satu team dalam menangani suatu kasus. Bukankah selama ini jaksa itu sudah dibantu oleh pegawai staf yaitu pegawai TU di didalam tugas-tugasnya?. jawabnya tidak !, karena pegawai TU itu kerjanya hanya membantu secara administrasinya saja tidak terikat atau mengikat dengan kasus perkara yang ditangani jaksa. Seperti mencatat register, arsip, mengurus pangkat,
karir, mengurusi peralatan, perlengkapan, penggajian dan lain sebagainya. Seharusnya pegawai TU itu tidak turut serta dalam penanganan suatu kasus perkara atau terlibat langsung mendampingi tugas-tugas jaksa. Kenyataannya khan pegawai itu banyak dilibatkan dalam penanganan perkara tugas seorang pembantu jaksa nanti seperti; ikut membantu membuat Dakwaan, Rentut, Tuntutan, upaya hukum, memori kasasi, sampai tahap eksekusi dan eksaminasi. Dan juga pembantu jaksa tersebut nantinya dapat dimintai pertanggungjawaban dalam penanganan suatu kasus perkara yang ditanganinya. Dalam arti luas Ajudan Jaksa yaitu pegawai fungsional pembantu jaksa yang bertugas ikut pembantuan dalam menangani suatuperkara. Begitu ada SPDP masuk dari kepolisian/penyidik lainnya ke kejaksaan, kepala kejaksaan segera memerintahkan atau penunjukan SP atau Sprint P-16 dan atau P-16 A yaitu penunjukan jaksa peneliti dan jaksa penuntut umum akan disertai Ajudan Jaksanya untuk bersama-sama ikut serta melakukan penelitian, mempelajari kasusnya, tentang kekurang-kekurangannya baik materiil maupun lainnya, sampai berkas itu benar-benar lengkap P 21. Sampai tahap II berkas dan tersangkanya diserahkan ke Kejaksaan oleh penyidik, segera jaksa dan ajudan jaksanya membuat rencana dakwaan ataupun dakwaan, untuk segera dilimpahkan ke Pengadilan untuk segera disidangkan. Pembantu jaksa juga ikut membantu rencana tuntutan maupun tuntutan, melasanakan putusan hakim, mengeksekusi, upaya hukum atau upaya hukum lainnya dan sampai eksaminasi. “Ajudan Jaksa” disini nantinya tidak mengikat pada jaksanya tetapi mengikat pada penanganan kasus perkaranya. Bisa juga Ajudan Jaksa ini bertugas untuk mendampingi jaksa dalam rangka dinas luar. Jadi intinya pembantu jaksa itu tugasnya dalam pembantuan jaksa untuk mengawal, mendampingi dan membantu perjalanan suatu kasus perkara dari kepolisian sampai ke persidangan di pengadilan. Dan juga turut serta dalam membantu upaya hukum, baik Wacana Pembentukan Pembantu Jaksa - Kardisi
297
banding maupun kasasi, PK, pelaksanaan eksekusi, pengawasan pelepasan bersyarat dan lain sebagainya. 4. Rekruitmennya Untuk pengangkatan perdana formasi pembantu jaksa tersebut diutamakan dari pegawai TU yang sudah berpengalaman dilapangan (praktisi) melalui permohonan usulan dari para pegawai TU yang berminat mau menjadi pegawai pembantu jaksa kepada Jaksa Agung Cq. Jaksa Agung Muda Pembinaan. Dalam pengangkatan pegawai tersebut yang diutamakan punya dasar pendidikan S1 yaitu : hukum, Akuntansi, IT, forensik, ekonomi, sandi negara, perbankan, dll. Kecuali khusus untuk bagian pengawal tahanan boleh dari SMA maupun D3. Nanti kedepannya lagi pegawai pembantu jaksa tersebut benarbenar frofesional sesuai dengan bidangnya (bak seperti staf ahlinya jaksa). 5. Pendidikan dan Pelatihan. Untuk meningkatkan kemampuan atau keahlian teknis yuridis SDM petugas pembantu jaksa nantinya akan diikutkan dalam pendidikan maupun pelatihanpelatihan khusus, workshop, dan juga diikutkan dalam seminar tentang hukum maupun kasus penanganan perkara berat seperti, pelanggaran berat HAM, trafficking, ilegal logging, Ilegal Fishing, pelanggaran pemilu dll. Setelah selesai mengikuti pendidikan diberikan sertifikat keahlian atau tanda piagam penghargaan seminar atau pelatihan lainnya. Untuk pendidikan pembentukan pembantu jaksa angkatan I cukup diserahkan pada wilayah Kejati masing – masing saja karena perekrutan atau pengangkatan perdana meliputi semua wilayah Kejaksaan RI dengan jumlah banyak. Tempat pendidikannya tidak mungkin memuat peserta Diklat diadakan pada Diklat Kejaksaan Agung RI. Setelah beberapa tahun kemudian secara periodik pendiddikannya dilaksanakan oleh Badiklat Kejaksaan Agung RI. Kalau kita mau mengacu pada instansi lain yaitu 298
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
pada institusi MA dalam pengangkataan panitra, panitra pengganti maupun jurusita atau jurusita pengganti tidak harus masuk diklat cukup ada formasi pengangkatan kemudian mendapat SK karena formasinya hanya bagi yang sudah menjadi pegawai MA atau pengadilan kecuali dari umum. Begitu juga kejaksaan dalam pengadaan formasi pembentukan pembantu jaksa yang perdana cukup direkrut dari pegawai TU kejaksaan yang sudah ada dan yang sudah berpengalaman dan memenuhi syarat yaitu S1 kecuali formasi untuk pengawal tahanan boleh dari SMA atau diploma. 6. Sistem Penggajian Fungsional
Tunjangan
Sistem penggajiannya tinggal ditambah tunjangan fungsional pembantu jaksanya dimasukan pada gaji pokok seperti penggajian jaksa pada umumnya. Gaji tunjangan fungsionalnya disesuaikan dengan pangkat atau golongan yang dimilikinya. Tetapi kalau kita melihat pada gaji tunjangan Panitra Pengganti instansi MA berdasarkan pada type klas pengadilannya bukan pada dasar pangkat atau golongan. Jadi penggajian tunjangan Panitra Pengganti itu pada dasarnya sama yang membedakan hanya type klas pengadilan. Atau bisa saja tunjangannya setengahnya dari gaji tunjangan fungsional jaksa. 7. Nama dan Tanda Pangkat Mengenai nama kepangkatan tinggal menambahkan nama pangkat yang sudah ada dibelakangnya itu. Beberapa Contoh alternatif nama kepangkatan, tinggal ambil mana yang cocok atau yang pantas yaitu: Yuana Wira Ajudan Jaksa, Muda Wira Ajudan Jaksa, dan seterusnya; atau Yuana Wira Asisten Jaksa, dan seterusnya; atau Yuana Wira Pra Jaksa seterusnya; atau Yuana Wira Opsir Jaksa seterusnya; atau Yuana Wira Pembantu Jaksa seterusnya; atau Yuana Wira Pendamping Jaksa seterusnya. Untuk tanda kepangkatan bagi pegawai pembantu jaksa diusahakan sama yaitu diberikan lambang timbangan mirip tanda
pangkat jaksa, yang membedakannya yaitu jaksa mempunyai lencana jaksa sedangkan pembantu jaksa tidak mempunyai lencana jaksa. Karena pembantu jaksa juga teknisnya sama-sama menangani kasus perkara maka cukup diberi tanda pengenal berupa pin atau wing brefet ataupun tanda profesi pembantu jaksa sebagai identitas kesatuan atau bagian. 8. Penempatan dan mekanisme kerja Untuk penempatan fungsional pegawai pembantu jaksa bisa ditempatkan pada berbagai bidang kecuali pada bidang Pembinaan, baik pada bidang Pidum, Intelijen, Pidsus maupun Datun tergantung posisi yang membutuhkan. Pada bidang Tindak Pidana Umum (Pidum) petugas pembantu jaksa tersebut merupakan anak buahnya Kasi Pidum, yang bisa membantu dan mendampingi Kasi Pidum atau bisa juga difungsikan untuk menggantikan posisi kasubsi Pratut dan Penuntutan maupun Uheksi yang telah dihapus. Menggantikan posisi disini maksud penulis bukan jabatan struktural tetapi sebagai jabatan fungsional atau fungsinya sebagai ikut mengontrol dalam mekanisme kerja. Ada yang ditempatkan pada; bagian tahap I, tahap II ( bagian penghadapan tersangka), ditempatkan pada bagian pengawalan, pada bagian tilang, bagian barang bukti, bagian eksekusi dan upaya dan eksaminasi. Pada bidang Tindak Pidana Khusus (Pidsus) ditempatkan beberapa pegawai pembantu jaksa untuk membantu penangan kasus korupsi dan membantu Kasi Pidsus. Pada bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) ditempatkan beberapa pegawai pembantu jaksa yang membantu dan mendampingi tugas-tugas jaksa pengacara negara maupun membantu kasi Datun. Pada bidang Intelijen akan ditempatkan beberapa petugas pembantu jaksa untuk membantu tugas –tugas opersional intelijen dan mendampingi Kasi Intelijen. Nanti dibidang intelijen petugas pembantu jaksa juga akan membantu Sandiman dan
membackup tugas-tugas Agen baik dalam penggalangan, pengamanan, pengawalan maupun dalam upaya paksa terhadap tersangka ataupun terdakwa dan dan juga dapat dimultifungsikan untuk mengejar DPO. Sedangkan bagi para pembantu jaksa yang tugasnya ikut penanganan suatu perkara langsung (satu paket/ team work dengan jaksanya atau sistem paket) tugasnya berdasarkan surat perintah dari Kajari/pimpinan. Bisa ditempatkan pada ruang terpisah tersendiri yaitu pada “ruang khusus petugas pembantu jaksa”. Semacam ruangan khusus buat jaksa fungsional. Nanti tugasnya mendampingi, melayani dan ikut serta dalam tugas-tugas pembantuan jaksa. Baik menangani perkara Pidum, perkara Pidsus, perkara Datun, maupun dalam penanganan operasional intelijen yustisial. Nanti dalam susunan struktural organisasi pembantu jaksa terletak pada posisi dibawah Kasi atau dibawa Kajari langsung sama persis seperti jaksa fungsional. Pembantu jaksa juga nantinya bisa difungsikan menjadi ajudan kajari / Kajati dalam melaksanakan dinas luar. Sangat ironis sekali bila pimpinan kejaksaan negeri dengan seragam semi militer / uniform yang berwibawa untuk menghadiri undangan muspida, seminar atau kedinasan lainnya tanpa didampingi ajudan. B. Analisa tentang Urgensi Pembentukan Pegawai Fungsional Pembantu Jaksa 1. Kondisi pada Kantor Kejaksaan Negeri Cirebon Kejaksaan Negeri (Kejari) Cirebon itu yang merupakan type Kejari klas I bagian dari wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Barat menempati kantor dua lantai seluas 1.200 M2 dan luas tanah sekitar 4.450 M2. Jumlah pegawainya ada 37 personil yang terdiri dari : a. Jaksa 13 orang terdiri dari : • Kajari / esselon III ada 1 orang • Kasi dan Kasub Bag Esselon IV ada 5 orang
Wacana Pembentukan Pembantu Jaksa - Kardisi
299
b. Jaksa Fungsional ada 7 orang yang terdiri dari : • Jaksa wanita jumlah 2 orang. • Jaksa Pria berjumlah 5 orang. c. Pegawai TU 24 orang terdiri dari : d. Yang menduduki jabatan struktural ada 5 orang e. Staff ada 19 orang a) Bidang Pembinaan : • Kaur Keuangan dengan staff 3 orang • Kaur Perlengkapan tanpa staff • Kaur Kepegawaian staffnya ada 2 orang • Kaur Daskrimti staffnya ada 1 orang • Kaur TU staffnya ada 1 orang b) Bidang Pidum terdiri dari pegawai: • Petugas pengawalan plus sopir tahanan ada 3 orang • Petugas Tahap I ada 1 orang • Petugas Tahap II ada 2 orang (itupun ada yang lulus tes PPJ 1 orang tinggal 1 orang) • Petugas barang bukti, merangkap petugas eksekusi, plus petugas pelimpahan perkara cuma ada 1 orang. • Petugas tilang hanya 1 orang. c) Bidang Pidsus staffnya hanya 2 orang d) Bidang Datun staffnya 1 orang. e) Bidang Intelijen stafnya 2 orang (itupun 1 orang sudah lulus tes PPJ jadi tinggal 1 orang) f) Tenaga honor atau outsourching • Securiti ada 3 orang • Honorer 5 orang • Cleaning servis 3 orang Kantor memang megah dan besar tetapi jumlah personil yang sangat minim sekali baik jaksa maupun tenaga staffnya. Dengan keadaan jumlah 300
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
pegawai yang sangat memprihatinkan dan minim sekali maka banyak kekurangan pegawai. Karena keadaan pegawai yang kurang memadai ini akibatnya ada bagian Urusan Perlengkapan bidang pembinaan tidak mempunyai staff sama sekali. Ada staf pegawai yang mempunyai jabatan 3 rangkap pada bidang Pidum yaitu petugas Eksekusi merangkap petugas barang bukti plus merangkap melimpahkan berkas perkara. Dengan kondisi pegawai yang sangat terbatas ini Kejari Cirebon masih bisa melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai aparatur penegakan hukum di wilayah Cirebon. 2. Rutinitas Jaksa. Dengan jumlah jaksa sebanyak 13 orang dengan kompisisi: Kajari / Esselon III ada 1 orang; Kasi dan Kasub Bag Esselon IV ada 5 orang; dan Jaksa Fungsional ada 7 orang (Jaksa Wanita jumlah 2 orang dan Jaksa Pria berjumlah 5 orang), Kejari Cirebon memang masih bisa beraktifitas itupun jaksa yang merangkap jabatan struktural ada 6 jaksa dan yang aktif beracara sidang hanya 7 orang jaksa fungsional. Dengan sebatas jumlah jaksa ada pada Kantor Kejari Cirebon. Menurut Data Laporan tahun 2013 Kejari Cirebon menerima SPDP perkara Pidana umum dari penyidik kepolisian sebanyak 254 perkara, jadi perbulannya masuk perkara rata-rata ada sekitar 20-an perkara. Untuk jaksa yang aktif menyidangkan perkara ada 7 jaksa, jadi perbulannya jaksa menangani perkara pidum sekitar 3 perkara itu pun baru sebatas perkara pidana umum belum lagi menangani kasus korupsi. maka sangat terbantu dengan memanfaatkan pegawai TU dan tenaga honorer untuk membantu tugastugas pembantuan jaksa, diantaranya: • Petugas tilang; • Pengawal tahanan; • Petugas BB sampai pemusnahannya; • Petugas tahap I; • Petugas bagian eksekusi,
tahap
sampai
• • • • •
•
•
Pengawasan PB, CB; Petugas bagian penghadapan tahap II; Membuat dan mengantar surat panggilan saksi; Melimpahkan berkas perkara ke pengadilan; Pengamanan, Pengawalan dilapangan / persidangan jika keadaan darurat; Diikutkan dalam upaya paksa terhadap penangkapan tersangka, DPO maupun terdakwa dan atau terhadap saksi. Kadang disuruh membuat rendak, dakwaan, Rentut dan Tuntutan dan lain sebagainya. Dan masih banyak lagi yang peranan dan fungsinya yang berkaitan dengan pelibatan penanganan perkara baik pada Pidum, Pidsus, Datun, Intelijen.
Itulah peranan pegawai TU yang dilibatkan dalam tupoksi jaksa yang selama ini keberadaannya kurang diperhatikan atas fungsinya dan kedudukannya maupun tunjangannya (yaitu tidak ada tunjangan fungsional karena bukan pegawai fungsional). Dengan ini Penulis menitikberatkan dan memohon dengan hormat sekali lagi seandainya pimpinan atau pembesar institusi sedikit mau mengerti dan memahami akan keberadaannya, sehingga akan mau memperjuangkan menjadi tenaga fungsional pembantu jaksa. Dengan begitu mungkin pimpinan tanpa disadari dan dirasakan dapat mengangkat derajat dan kedudukan mereka, yang lebih besar lagi nilainya adalah masalah kesejateraan pegawai sekaligus untuk keluarga terutama anak isterinya. Buat pimpinan sendiri nanti dihari kemudian mendapat barokah dan berkah dunia dan akhirat amin..!! 3. Urgensi Pembentukan Fungsional Pembantu Jaksa
Pegawai
Dengan adanya jabatan fungsional Pembantu Jaksa, hal tersebut tidak akan mengambil atau mengurangi kewenangan jaksa, tetapi sesuai dengan tupoksinya masing-masing. Justru dengan adanya pembantu jaksa tersebut tugas jaksa jadi terkatrol dan terkontrol oleh anak
buahnya. Jadi selama ini jaksa bekerja sendirian dalam melaksanakan tugas-tugas dilapangan maupun didalam persidangan tanpa didampingi rekan kerjanya. Apalagi didalam persidangan sering jaksa duduk sendirian tanpa didampingi atau dibantu oleh Pembantu jaksa atau ajudan jaksa. Sedangkan majelis hakim selalu terdiri ada 3 orang hakim kecuali dalam kasus-kasus pidana acara cepat atau ringan yang hanya 1 orang hakim yang mengadili. Disamping itu hakim juga didampingi/ dibantu oleh petugas panitra Pengganti, begitu juga penasehat hukum kadang lebih dari 1 orang. Jaksa itu melakukan pembuktian didalam persidangan kadang harus berdebat dengan penasehat hukum. Dan Jaksa itu juga harus bisa membuktikan perbuatan terdakwa tentang tindak pidana apa dan pasal berapa yang harus diterapkan itu yang sesuai dalam surat dakwaannya agar bisa menjerat terdakwa didepan hadapan majelis hakim. Kadang jaksa juga bisa dibuat kewalahan dalam menghadapi pembelaan penasehat hukum karena jaksa sidang hanya sendirian tanpa dikawal/ dibantu oleh petugas lain. Seharusnya jaksa itu menpunyai petugas pembantu di persidangan untuk menyiapakan berkas JPU atau untuk mencatat laporan persidangan P-39 ketika mau sidang. Mari perhatikan uraian tugas pada admisnistrasi perkara pidana khususnya Perkara Pidum yang tertuang dalam Keputusan Jaksa Agung RI No.518/ J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang perubahan keputusan Jaksa Agung RI No.132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana, ada berapa banyak urain tugas yang harus kerjakan dalam menangani 1 (satu) perkara dari adanya SPDP (surat perintah dimulai penyidikan ) dari penyidik kemudian P-16 dan P-16 A sampai selesai putusan inchra yaitu: a. Membuat Matrik Perkara P-7 b. Surat perintah penyerahan perkara P-15; c. Permintaan Perkembangan Hasil Penyidikan P-17; Wacana Pembentukan Pembantu Jaksa - Kardisi
301
d. Hasil Penyidikan belum Lengkap P-18; e. Pengembalian Berkas Perkara Untuk Dilengkapi P-19; f. Pemberitahuan bahwa waktu Penyidikan Telah habis P-20 g. Pemebritahuan bahwa Hasil Penyidikan sudah Lengkap P-21; h. Pemebritahuan Susulan Hasil Penyidikan Sudah Lengkap P-21A; i. Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti P-22; j. Surat Susulan Penyerahan Tersangka Dan Barang Bukti P-23; k. Berita acra Pendapat P-24; l. Surat Perintah Melengkapi Berkas Perkara P-25; m. Riwayat perkara P-28; n. Surat dakwaan P-29; o. Catatan Penuntut Umum P-30; p. Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Biasa APB P-31; atau q. Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Singkat APS P-32 r. Tanda Terima Surat Pelimpahan Perkara APB/APS P-33; s. Tanda Terima Barang Bukti P-34; t. Laporan Pelimpahan Perkara Pengamanan Persidangan P-35; u. Permintaan bantuan Pengawaalan/ Pengamanan Persidangan P-36; v. Surat Panggilan saksi Ahli/Terdakwa/ Terpidana P-37; w. Bantuan Panggilan saksi Saksi / Tersangka / Terdakwa P-38; x. Laporan Hasil Sidang P-39; y. Perlawanan JPU terhadap Penetapan Ketua PN / Penetapan Hakim P-40; z. Rencana Tuntutan Jaksa P-41; aa. Surat Tuntutan P-42; ab. Laporan Tuntutan Pidana P-43; ac. Laporan JPU Segera Setelah Putusan P-44; ad. Laporan Putusan Pengadilan P-45; ae. Memori Banding P-46; af. Memori Kasasi P-47; 302
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
ag. Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan P-48; ah. Surat Ketetapan Gugurnya / Hapusnya Wewenang Mengeksekusi P-49; ai. Usul Permohonan Kasasi Demi Kepentingan Hukum P-50; aj. Pemebritahuan Pemidanaan Bersyarat P-51; ak. Pemberitahuan Pelaksanaan Pelepsan bersyarat P-52; al. Kartu Perkara Tindak Pidana P-53 Dengan begitu banyaknya uraian tugas yang harus dikerjakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam menyelesaikan satu perkara. Belum juga masalah waktu yang lama dalam menyelesaikan satu perkara dari tahap SPDP sampai putusan inchra kurang lebih ada 3 (tiga) bulan bahkan kadang lebih dari itu. Maka dari itu jaksa harus mempunyai tenaga pembantu yang profesional untuk membantu, mendampingi dan mengawal suatu perkara dari tahap penyidikan (pra penuntutan) sampai putusan inchra. Kalau boleh coba bandingkan dengan suatu pekerjaan dikerjakan sendiri dengan dikerjakan bersama (ada pembantunya) pertanyaannya cepatan mana ? jawabannya secara logika pasti yang ada pembantunya karena pekerjaan tersebut dengan mudah terselesaikan. Seandainya Jaksa Penunutut Umum ketika sidang di pengadilan ada rekan pembantunnya atau rekan kerjanya, ia bisa tukar pendapat, sharing, atau sekedar masukan didalam persidangan itu. Setidaktidaknya jaksa akan merasa tenang dalam persidangan karena ditemani/didampingi dan dikawal oleh pembantu jaksa itu. Karena didalam berdebat dipersidangan atau didalam tugas dilapangan jaksa akan selalu didampingi oleh pembantu jaksa. Bahkan akhir-akhir ini jaksa sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan oleh pengunjung sidang baik oleh keluarga korban maupun keluarga terdakwa akibat tidak puasnya terhadap tuntutan yang dibacakannya. Apalagi ada kabar berita dari media massa sering terdengar ada jaksa diteror, diancam,
dilempar sepatu, dianiaya, dibacok, ditusuk sampai ada yang ditembak mati sehabis melaksakan tugas sidang di pengadilan. Massa sekarang itu temperamennya keras sudah pada berani berbuat brutal, anarkis dan sangat membahayakan keselamatan aparatur penegak hukum itu sendiri, seharusnya aparat penegak hukum juga butuh perlindungan biar terasa nyaman. Karena kondisi dan situasi sekarang sangat berbeda dengan jaman dulu rakyatnya masih jujur, lugu, polos dan bersahaja. Maka dari itu jaksa juga manusia butuh teman atau partner kerja agar merasa nyaman. Disamping itu juga dengan adanya dibentuk pegawai pembantu jaksa akan menyerap dan menampung pegawai yang berpendidikan S1 hukum yang tidak lulus tes PPJ. Dan juga akan mengurangi pengangguran terselubung di Institusi kejaksaan bagi pegawai yang berlatar belakang berpendidikan S1 hukum. Kenapa banyak pengangguran terselubung di Kejaksaan ?, a. Karena banyak pegawai S1 hukum yang tidak lulus atau gagal tes PPJ; b. Banyak korban UU yaitu dari UU No. 16 Tahun 2004 Pasal 9 ayat 1 huruf (e) tentang batasan usia maksimal jaksa. c. Kadang ada yang kurang berminat jadi jaksa dengan alasan lainnya. Akibat dari semua itu pegawai kejaksaan yang berpendidikan dasar S1 hukum itu sia-sia tidak bekerja sesuai dengan pendidikannnya. Sehingga ilmu yang diambil dari bangku kuliah dipergunakan sebagai mestinya. Belajar Ilmu hukum diperguruan tinggi yang selama 4 tahun lebih tidak bisa diterapkan ilmunya dan ilmunya akan menjadi sia-sia begitu saja. Percuma dan mubajirnya ilmu hukum tidak bisa dipraktekan dilapangan pekerjaan walaupun mereka bekerja tetapi mereka bekerja tidak sesuai dengan pendidikannya. Banyak pegawai kejaksaan yang menjadi korban UU No. 16 tahun 2004 tentang batasan usia maksimal yang ikut PPJ yaitu 35 tahun. Apalagi yang akan
datang ada aturan baru bagi pegawai S1 hukum dari penyesuaian ijazah tidak bisa lagi mengikuti PPJ. Berapa banyak lagi S1 hukum yang bekerja tidak sesuai dengan pendidikannya mungkin jumlahnya ratusan orang mungkin ribuan kalau dalam skala seluruh indonesia. Ini akan menambah banyak lagi angka pengangguran terselubung terhadap lulusan S1 hukum di institusi kejaksaan. Untuk memanfaatkan ribuan SDM dan ilmunya ini alangkah baiknya institusi kejaksaan untuk menyerapnya sebagai tenaga pembantu yang profesional bagi jaksa khususnya dan umumnya bagi institusi kejaksaan sendiri. Kenapa tidak dipergunakan saja ilmu dasarnya dan dipakai untuk perkembangan dan kemajuan kejaksaan RI. Idealnya untuk pengadaan petugas pembantuan jaksa itu untuk ditempatkan pada unit kejaksaan negeri itu minimal ada 35 personil dengan rincian sebagai berikut: a. Bidang Pidum : 1) Dibagian Tahap I ditempatkan 1 personil 2) Dibagian Tahap II ditempatkan 2 personil. 3) Dibagian Eksekusi dan eksaminasi ditempatkan 1 personil. 4) Dibagian Tilang ditempatkan 2 personil. 5) Dibagian barang bukti ditempatkan 1 personil. 6) Dibagian Pengawalan plus sopir ditempatkan 3 personil. b. Bidang Pidsus : 1) Bagian Penyidikan ditempatkan 2 personil. 2) Bagian Penuntutan ditempatkan 2 personil. 3) Barang Bukti ditempatkan 1 personil. c. Bidang Intelijen : 1) Bagian opersional intelijen yustisi ditempatkan 2 orang. Wacana Pembentukan Pembantu Jaksa - Kardisi
303
2) Pendamping Kasi ditempatkan 1 personil.
Intelijen
d. Bidang Datun : Ditempatkan 2 personil plus sebagai sebagai pembantu dan pendamping Kasi Datun. e. Ajudan Kajari 1 personil Sedangkan untuk opersional pendampingan perkara Pidum untuk mendampingi jaksa penuntut umum dibutuhkan personil pembantu jaksa yang disesuaikan dengan jumlah jaksa yang ada maupun jumlah rata-rata perkara masuk perbulan, kuarng lebihnya berjumlah sekitar 9 personil. Mereka tugasnya sistem paket (work team) yaitu 1 perkara ditangani oleh 1 jaksa atau lebih didampingi oleh 1 atau lebih petugas pembantu jaksa sesuai dengan bobot perkaranya. Dan penunjukan team kerjanya berdasarkan sprint Kajari P16 A. Tugasnya mengawal perkara, ikut meneliti, mendampingi, dan membantu tugas-tugas jaksa dengan tugas-tugasnya sebagai berikut dari mulai SPDP masuk dari penyidik (tahap Pratut), mengantarkan surat panggilan saksi ataupun ahli, melimpahkan berkas ke pengadilan, penuntutan sampai putusan incraht dari pengadilan. Belum lagi kalau ada yang banding, kasasi ataupun PK dan juga eksaminasi. Misalnya ikut membantu membuat Rendak, Dakwaan, Rentut, Tuntutan, ikut rekontruksi ulang tersangka di TKP sampai ikut mendampingi jaksa bersidang dipengadilan dalam agenda sidang acara ringan, acara cepat, acara singklat ataupun acara biasa maupun ikut mendampingi jaksa ekspos atau gelar perkara, pertemuan dinas, upaya hukum, memori kasasi, sampai tahap eksekusi dan eksaminasi, dan lain sebagainya. 4. Hambatan Pembentukan Fungsional Pembantu Jaksa
Pegawai
Pembentukan pembantu jaksa masih banyak yang pesimis dan dipandang sebelah mata oleh segenap lapisan pegawai kejaksaan RI karena masih awam dan dianggap mengada-ngada. Padahal keberadaannya banyak membantu bagi para 304
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
jaksa atau jaksa penuntut umum, sehingga tanpa disadari oleh para jaksa mereka juga ikut berjasa langsung dalam tugastugas pembantuan jaksa disamping sebagai pegawai tata usaha atau administrasi perkara. Mereka dilibatkan untuk penangan perkara dari awal perkara masuk sampai tahap eksekusi istilah kasarnya hanya mereka tidak bisa menyidangkan perkara di pengadilan saja itupun karena tidak ada kewenangan dan tidak boleh. Kita masih belum sepenuhnya atau sama sekali belum tersentuh hatinya untuk memperjuangkan mereka untuk menempatkan fungsinya yaitu sebagai pembantu jaksa. Disamping itu juga mungkin dalam perekrutan atau pengangkatan perdana itu akan memerlukan anggaran tersendiri apalagi nanti dalam pendidikan dan pelatihannya.
III. PENUTUP A. Kesimpulan Selama ini jaksa bekerja sendirian dalam melaksanakan tugas-tugas dilapangan maupun didalam persidangan tanpa didampingi dan dibantu rekan kerjanya. Sedangkan jaksa di daerah itu hanya sedikit jumlahnya tidak sesuai dengan tugas-tugasnya yang begitu berat dan berisiko. Perlu diingat dan dipertimbangkan bahwa begitu banyak dan sibuknya jaksa dalam menangani suatu kasus perkara dari tahap awal sampai akhir memakan waktu berbulanbulan untuk dapat menyelesaikan satu kasus perkara. Disamping itu jaksa juga manusia biasa bukan malaikat, dengan kemampuan dan keahlian terbatas perlu tenaga pembantuan maupun pendamping dalam melaksanakan tugas-tugas dan kewenangannya. Profesi jaksa itu sangat rawan dan berisiko tinggi baik dari segi keamanan maupun keselamatan jiwanya. Apalagi jaksa itu tidak diperlengkapi senjata buat bela diri padahal aparat kejaksaan itu mempunyai nomor NRP yang nota bene merupakan aparat angkatan entah angkatan ke berapa? Dulu jaksa itu pernah memakai senjata api yaitu dengan adanya Surat Edaran No. P/4 tanggal 21 Januari 1952 tentang senjata api untuk hakim dan jaksa. Seharusnya jaksa itu dilengkapi dengan senjata api untuk keamanan dan bela diri Karena jaksa itu kaitannya dengan
para penjahat yang dapat membahayakan keamanan maupun keselamatan jiwanya sendiri. Ibarat mata uang ada dua sisi yang selalu berdampingan. Disatu sisi merupakan suatu kejahatan disisi lainnya yang menumpas kejahatan untuk membela kebenaran dan menegakan suatu keadilan. Jadi berhadapan langsung dengan dunia kejahatan yang perlu banyak tantangan, rintangan sangat rentan membahayakan jiwa dan raganya. Dengan adanya personil pembantu jaksa tersebut tidak akan mengambil atau mengurangi kewenangan jaksa, tetapi sesuai dengan tupoksinya masingmasing. Justru dengan adanya pembantu jaksa tersebut tugas jaksa jadi terkatrol dan terkontrol oleh anak buahnya. Di sisi lain juga terdapat perbedaan yang jelas dan tegas antara tugas pegawai TU dan tugas Pegawai Pembantu Jaksa, yaitu: • Pegawai Pembantu Jaksa, tugasnya meliputi: ikut dalam penangan perkara baik langsung maupun tidak langsung; pengawal tahanan; melimpahkan perkara ke pengadilan; mengantar surat panggilan saksi; petugas tilang sampai menghadiri sidang tilang sendiri (tanpa dihadiri jaksa); petugas barang bukti; petugas tahap I; petugas tahap II; petugas Eksekusi; petugas yang menghadiri sidang tipiring sendiri (tanpa dihadiri jaksa); petugas yang menghadiri acara singkat (tanpa dihadiri jaksa); petugas yang ikut membantu/ mendampingi jaksa menangani sidang Tipikor, bidang Datun dengan MOU; petugas yang biasa ikut mendampingi para Kasi-kasi dalam dinas luar; petugas intelijen dilapangan; mendampingi Kajari pada dinas luar; dandan lain sebagainya masih banyak lagi yang tidak sempat diuraikan disini. • Pegawai TU, tugasnya mengenai intern yaitu mengurusi Administrasi kepegawaian, penggajian, kepangkatan, karir, perlengkapan kantor, Iventaris, keuangan, arsip, surat keluar masuk, dan lain-lain. B. Saran Sekali lagi penulis menyarankan dan mengusulkan kepada pimpinan kejaksaan untuk
merekrut dan mengangkat pegawai pembantu jaksa dari tenaga pegawai TU yang sudah ada (praktisi) berlatar pendidikan S1 hukum maupun berbagai sarjana yang ada kaitannya dengan penangan perkara/hukum. Bila perlu dan memungkinkan rekrut secara besar-besaran dari formasi penerimaan pegawai baru. Dengan adanya merekrut pegawai pembantu jaksa jangan berpikiran negatif akan menambah beban anggaran, tetapi harus memandang dari segi positifnya yang akan dihasilkannya lebih baik dari dampaknya, efek sampingnya tidak seberapa tetapi inputnya yang dihasilkan membawa kebaikan, kebesaran dan kemajuan terhadap kejaksaan. Jangan takut akan kelebihan pegawai, instansi kejaksaan itu pegawainya tidak seberapa dibandingkan dengan instansi lain. Pada instansi pengadilan personilnya lebih banyak, instansi polisi apalagi. Tapi pada instansi lain yang pegawainya banyak juga tidak merasa dibebani pada anggaran dan tidak ada masalah. Demi nama kebesaran dan kemajuan bagi institusi kejaksaan pada umumya. Demi perkembangan dan kemajuan institusi kejaksaan RI agar aparatur Kejaksaan kedepannya supaya lebih handal lagi, agar siap menghadapi perubahan jaman era gloibalisasi. Jangan kalah dengan instansi lain, apalagi MA mewacanakan mau membentuk polisi peradilan yang akan ditempatkan pada ruang sidang. Padahal dilihat dari segi komposisi pegawai, pegawai kejaksaan di setiap daerah itu masih banyak kekurangan pegawai baik jaksa maupun tenaga Tata Usahanya. Pimpinan jangan segan-segan mengajukan formasi pengangkatan pegawai yang banyak terhadap mentri menPAN RB. Dengan jumlah pegawai yang begitu banyak akan mendukung kinerja dan memperkuat institusi kejaksaan. Jangan pernah ada perasaan takut akan terjadi penggemukan pegawai akan menimbulkan masalah justru di kejaksaan itu disana sini masih banyak kekurangan pegawai. Supaya ada kejelasan status pegawai mengenai pembantuan jaksa yang sekarang abstrak itu, harus ada penegasan langkah nyata dari pimpinan untuk merekrut dan membentuk pegawai fungsional pembantu jaksa. Dan juga para pimpinan institusi harus mau memperjuangkan keberadaan dan nasib mereka untuk menempatkan fungsinya yaitu sebagai Wacana Pembentukan Pembantu Jaksa - Kardisi
305
pembantu jaksa. Merenovasi, merombak dan mereformasi pegawai kejaksaan yang akan bisa membawa paradigma baru. Sehingga kedepannya nanti pegawai pembantu jaksa disini bisa sebagai power suplay atau kekuatan pendukung bagi aparatur kejaksaan RI. Yang bisa membawa kejaksaan sebagai intitusi penegak hukum yang benar-benar mumpuni nantinya menjadi besar dan diperhitungkan. Makanya manfaatkan dan fungsikan tenaga yang sudah ada itu untuk dibentuk dan digodok menjadi pegawai yang mempunya keahlian teknis yuridis, tenaga hukum yang dibutuhkan dan mahir dalam penanganan perkara, yang sangat dibutuhkan untuk menopang tugas-tugas jaksa dalam penanganan perkara. Disuatau saat nanti entah lima tahun atau sepuluh tahun kemudian pembantu jaksa tersebut sudah mahir dan berpengalaman berpraktisi, keberadaannya bisa menjadi pembimbing atau untuk bertukar pendapat/pikir, sharing untuk menimba ilmu bagi para jaksa pemula dilapangan. Amin...!!
DAFTAR PUSTAKA Himpunan Petunjuk-petunjuk, Instruksi-instruksi, Surat-surat, Edaran dan lain lain, 1977-1978, Penerbit Kejaksaan agung RI, Jakarta, 1978. Kamus Besar Indonesian Edisi ketiga, Pusat Bahasa. Departemen Pendidikan Nasional,
306
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Balai Pustaka,Jakarta, 2005 Keputusan Jaksa Agung RI No.518/A/J.A/11/2001 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana. kumpulan Surat Keputusan Surat Edaran Jaksa Agung RI, tahun 1983/1985 yang bersifat peraturan, Penerbit Kejaksa Agung RI, Jakarta, 1985 Kumpulan Perja Pembaharuan Kejaksaan 2007, Kejaksaan agung RI, Jakarta, Lima windu sejarah Kejaksaan Republik Indonesia, 1945-1985, Kejaksaan agung RI, Jakarta, 1985. Laporan Tahunan Kejaksaan Republik Indonesia tahun 2013, Kejaksaan Agung RI, Jakarta, 2014. Media Hukum vol.2 No.7, Sistem Peradilan Pidana terpadu, Persatuan Jaksa republik Indonesia, Jakrta,2003. Perja No.009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Perpres RI No.38 tahun 2010 tentang Organisasi dan tata Kerja Kejaksaan RI. Tresna, MR. R Komentar HIR , MR. R. Tresna, Pt. Pradnya Paramita, Jakarta,2000. Undang-Undang RI tentang Kejaksaan RI dan Advokat, Karina, Surabaya, 2004 UU No 26 tahun 2000 tentang Pelanggaran HAM
Peran Jaksa Sebagai Tim Asesmen Terpadu Dalam Penerapan Kebijakan Rehabilitasi Bagi Pecandu Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Attorney role as an integrated assessment team in the implementation of policies for the rehabilitation of addicts and victims of drug abuse Sri Wartini Kepala Urusan Daskrimti dan Perpustakaan pada Sub Bagian Pembinaan Kejaksaan Negeri Bogor Email :
[email protected] (diterima tanggal 26 Mei 2015, direvisi tanggal 3 Juni 2015, disetujui tanggal 8 Juni 2015) Abstrak Narkotika merupakan suatu zat yang bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Akan tetapi, penyalahgunaan narkotika mengakibatkan kecanduan dan ketergantungan bagi pengguna, sehingga merugikan baik bagi pengguna maupun masyarakat khususnya generasi muda. Penjelasan Pasal 21 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa pecandu narkotika sejauh mungkin ditahan di tempat tertentu yang sekaligus merupakan tempat perawatan. Terhadap pengguna atau pecandu narkotika dapat dilakukan rehabilitasi berupa rehabilitasi medis, rehabilitasi pendidikan, rehabilitasi sosial, rehabilitasi berbasis masyarakat, rehabilitasi vokasional dan rehabilitasi dalam keluarga. Tim asesmen terpadu yang terdiri dari Tim Dokter meliputi dokter dan psikologi, tim hukum yang meliputi Polri, BNN, Kejaksaan dan Kemenkumham dibentuk oleh pemerintah dalam rangka melakukan asesmen terhadap pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika. Fungsi kejaksaan sebagai anggota tim asesmen adalah memberikan analisis terhadap penyalahguna narkotika dan melakukan asesmen dan analisis medis, psikososial, serta merekomendasi rencana terapi dan rehabilitasi seseorang. Kata kunci : Kejaksaan, Narkotika, Tim Asesment, Rehabilitasi, Kebijakan abstract Narcotics is a substance that is beneficial and necessary for the treatment of certain diseases. However, drug abuse lead to addiction and dependency for the user, to the detriment of both the user and the community, especially the youth generation. Elucidation of Article 21 paragraph (4) letter b of Law No. 8 of 1981 on Criminal Procedure states that a suspect or defendant drug addict as far as possible be detained in a particular place which is also a place of care. To users or drug addicts can be rehabilitated in the form of medical rehabilitation, educational rehabilitation, social rehabilitation, community based rehabilitation, vocational rehabilitation and rehabilitation in the family. Integrated assessment team consisting of medical team include doctors and psychology and legal team that includes Police, The National Narcotics Agency, Prosecutor and Ministry of Law and Human Rights, formed by the government in order to assess the drug addicts and victims of drug abuse. Function of the Prosecutor as a member of the assessment team is to provide an analysis of drug abusers and conduct an assessment and analysis of medical, psychosocial, and recommend a plan of therapy and rehabilitation of a person. Keywords: Attorney, Narcotics, Team Assessment, Rehabilitation, Policy.
I. PENDAHULUAN Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menyebabkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
tertentu.1 Narkotika merupakan suatu zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai 1 Indonesia (1)., Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika., Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika., Bandung: Fokusindo Mandiri, 2013.
Peran Jaksa Sebagai Tim Asesmen Terpadu Dalam Penerapan Kebijakan Rehabilitasi Bagi Pecandu..... - Sri Wartini
307
dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya bagi generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional. Kejahatan narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara sedangkan peraturan perundang-undangan yangada sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas kejahatan tersebut. Kemajuan teknologi dan informasi menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya perkembangan meluasnya jaringan mafia narkotika di dunia hingga merambah ke Indonesia. Hal ini sungguh sangat mengkhawatirkan masa depan bangsa dimana generasi muda menjadi sasaran empuk jaringan tersebut karena generasi muda yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa yang bermoral, terdidik, bermental kuat, sehat jasmani dan rohani menjadi generasi yang rusak mental, tidak bermoral dan tidak sehat karena pengaruh ketergantungan obat-obatan terlarang yang dikonsumsi tersebut. Pada awalnya, jaringan pengedar narkotika memasarkan obat-obatan tersebut dengan memberikannya secara gratis kepada calon korbannya kemudian disuplay terus menerus hingga akhirnya si korban penyalahgunaan narkotika tersebut menjadi ketagihan (sakau) dan apabila menginginkan obat-obatan tersebut harus membayar sejumlah uang yang tentunya tidak sedikit, sehingga mau tidak mau si korban penyalahgunaan narkotika tersebut harus membelinya dengan cara apapun. Namun, yang lebih memprihatinkan lagi yakni terjadinya penyalahgunaan narkoba di kalangan penegak hukum yang seharusnya 308
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
memberantas peredaran narkoba di kalangan masyarakat. Misalnya saja yang pernah terjadi pada salah satu petinggi kepolisian di Sumatera Utara yakni Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Apriyanto Basuki Rahmat, S.Ik., M.H. (ABR) pada tahun 2012 lalu yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Direktur Narkoba pada POLDA Sumatera Utara yang ditengarai terkontaminasi narkotika dan obatobatan terlarang akibat rutinitas pekerjaannya yang melakukan penyelidikan atas suatu kasus peredaran dan penyalahgunaan narkoba.2 Namun ketika dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, hasil pemeriksaan urine AKBP ABR dengan nomor dokumen 864/NMF/2012 tanggal 23 Februari 2012 positif mengandung zat psikotropika Golongan III3 yakni flunitrazepam4. Dalam hal ini, tentunya hukum harus memenuhi rasa keadilan pada masyarakat sebab meskipun pelaku penyalahgunaan narkoba adalah salah satu oknum petinggi penegak hukum sudah seharusnya oknum tersebut mendapatkan hukuman (punishment) atas perbuatan pelanggaran yang dilakukannya baik secara kode etik maupun secara pidana. Contoh lainnya yakni kasus Raffi Ahmad yang mana ditengarai juga mengkonsumsi narkoba yang mengandung zat methylon yang merupakan turunan jenis Psikotropika Golongan I yakni Cathynona (katinona). Namun, Raffi Ahmad berdalih bahwa pada saat malam penggerebekan terjadi di rumahnya ia mengaku dijebak oleh orang lain pada saat terjadi penggeledahan di kamar tidurnya oleh pihak Badan Narkotika Nasional (BNN) dimana telah ditemukan narkoba jenis katinona tersebut. Pada proses selanjutnya, setelah dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus tersebut Raffi Ahmad akhirnya dibawa ke tempat rehabilitasi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Dari kedua kasus tersebut, timbul pertanyaan dalam benak Penulis bagaimana jika seseorang yang pada awalnya bukanlah seorang pecandu narkoba namun pada saat 2 Majalah (1)., Polisi dan Narkoba., Forum Keadilan No. 43, 04 Maret 2012., hlm. 11. 3 Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, penggolongan psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan digolongkan menjadi 4 yakni Psikotropika Golongan I, Psikotropika Golongan II, Psikotropika Golongan III, dan Psikotropika Golongan IV. 4 Majalah (1)., Op. Cit., hlm. 15.
penggeledahan pada suatu razia orang tersebut tertangkap tangan membawa narkoba akan tetapi orang tersebut hanyalah korban dari penyalahgunaan narkotika dan bukanlah seorang pengedar. Apakah hukumannya itu sama dengan seorang pengedar yang seharusnya mendapatkan hukuman yang lebih berat dibandingkan dengan seorang pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika saja. Tentu tidak adil jika seorang pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika dijatuhi hukuman yang sama dengan pengedar. Penjelasan Pasal 21 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa pecandu narkotika sejauh mungkin ditahan di tempat tertentu yang sekaligus merupakan tempat perawatan. Hal ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial tersangka, terdakwa atau nara pidana dalam tindak pidana narkotika sehingga perlu dilakukan program pengobatan, perawatan, dan pemulihan secara terpadu dan terkoordinasi agar nantinya pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika tersebut dapat kembali ke masyarakat dan kembali menjalani kehidupannya dengan lebih baik dari sebelumnya.
II. PEMBAHASAN A. Tugas dan Kewenangan Kejaksaan Tugas dan wewenang Kejaksaan diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 35.5 Pasal 30 Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. Melakukan penuntutan; b. Melakukan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; 5 Indonesia (2)., Undang-Undang tentang Kejaksaan., UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I., Surabaya: Karina, 2004., hlm. 3
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang; e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Pasal 31 Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seseorang terdakwa di rumah sakit, tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungannya, dan dirinya sendiri. Pasal 32 Disamping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undangundang Pasal 35 Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang antara lain: 1. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegak hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan; 2. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang; 3. Mengesampingkan kepentingan umum;
perkara
demi
4. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha Negara; 5. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana; 6. Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah NKRI karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Peran Jaksa Sebagai Tim Asesmen Terpadu Dalam Penerapan Kebijakan Rehabilitasi Bagi Pecandu..... - Sri Wartini
309
B. Pengertian dan Penggolongan Narkotika Sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya, Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dijelaskan mengenai pengertian narkotika yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Kemudian untuk penggolongan, narkotika dibagi dalam 3 golongan, yaitu:6 a. Golongan I, merupakan narkotika yang hanya ditujukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan untuk terapi, karena berpotensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Untuk Golongan I dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, ditambah jenisnya dari kelompok Psikotropika Golongan I dan Golongan II dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; b. Golongan II, adalah narkotika yang berkhasiat untuk obat, namun merupakan pilihan terakhir serta dapat digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Narkotika golongan II ini berpotensi tinggi mengakibatkan ketergantungan; dan c. Golongan III, merupakan narkotika yang berkhasiat untuk obat dan banyak dipergunakan untuk terapi dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Golongan III ini berpotensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Terhadap penyalahguna narkotika dari beberapa golongan diatas, masing-masing pelaku akan mendapatkan ancaman pidana yang berbeda. Untuk penyalahguna narkotika bagi diri sendiri, golongan I ancaman pidananya paling lama 4 tahun penjara, sedangkan bagi penyalahguna golongan II diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan untuk penyalahguna golongan III ancaman hukumannya paling lama pidana penjara 1 tahun. Mardani., Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional., Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008., hlm. 133, 137. 6
310
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
C. Pengertian Rehabilitasi, Pecandu Narkotika, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Rehabilitasi merupakan salah satu upaya pemerintah dalam menanggulangi penyalahgunaan narkotika. Upaya ini merupakan upaya atau tindakan alternatif, karena pelaku penyalahgunaan narkotika juga merupakan korban kecanduan narkotika yang memerlukan pengobatan atau perawatan. Pengobatan atau perawatan ini dilakukan melalui fasilitas rehabilitasi. Penetapan rehabilitasi bagi pecandu narkotika merupakan tindakan alternatif yang dijatuhkan oleh hakim dan diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Pemerintah telah menetapkan peraturan tentang narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang dalam Pasal 5 ditentukan bahwa pengaturan narkotika dalam undang-undang ini meliputi segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan narkotika dan prekursor narkotika. Menurut Soedjono Dirdjosisworo, narkotika atau yang sering diistilahkan dengan drug adalah sejenis zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan memasukkannya ke dalam tubuh. Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan.7 Rehabilitasi merupakan salah satu upaya pemerintah dalam rangka memulihkan kesadaran seseorang akan dampak narkotikadan mencegah penggunaannya serta memberantas peredaran gelap narkotika. Penyalahgunaan narkotika diartikan sebagai pemakaian narkotika secara tetap yang bukan tujuan untuk pengobatan, atau yang digunakan tanpa mengikuti aturan takaran pemakaian, sedangkan peredaran gelap narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika.8 7 Dirdjosisworo, Soedjono., Hukum Narkotika Indonesia., Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990., hlm. 1. 8 Yatim, Danny., Keluarga dan Narkotika (Tinjauan SosialPsikologis)., Jakarta: Arcan, 1991., hlm. 5.
Rehabilitasi diatur dalam Bab XII Bagian Kedua, sebagai lanjutan ketentuan tuntutan ganti kerugian. Pengertian rehabilitasi merujuk pada Pasal 1 butir 23 KUHAP yakni hak seseorang yang mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena alasan kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.9 Sehingga apabila memperhatikan pengertian tersebut, rehabilitasi mengandung unsur:10 a. Hak seseorang atau tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan pemulihan antara lain hak kemampuan dan hak kedudukan serta harkat martabatnya; b. Hak pemulihan tersebut dapat diberikan dalam semua tingkat pemeriksaan, mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan atau pengadilan. Pengertian lainnya tentang rehabilitasi yakni merupakan rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk melakukan aksi pencegahan, peningkatan, penyembuhan, pemakaian, serta pemulihan kemampuan bagi individu yang membutuhkan penanganan khusus. Kaitannya dengan pelaksanaan pepenanganan pendidikan terhadap individu tersebut. Peranan rehabilitasi secara paripurna sangat diperlukan yang didasarkan atas masalah yang dihadapi masingmasing individu.11 Menurut ketentuan Pasal 1 Peraturan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, KAPOLRI, dan Kepala BNN Nomor:01/PB/MA/III/2014, Nomor 03/2014, Nomor 11/2014, Nomor 03/2014, Nomor: Per-005/A/JA/03/2014, Nomor 01/2014, dan Nomor: PERBER/01/ III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu 9 Solahuddin., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana, dan Perdata (KUHP, KUHAP, dan KUH Perdata)., Jakarta: Visi Media Pustaka, 2008., hlm. 149. 10 Harahap, M. Yahya., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali)., Jakarta: Sinar Grafika, Jilid 2, 2003., hlm. 69. 11 Puspa, Rizki., Seputar Pendidikan Luar Biasa., diunduh dari http:// www.rizkipuspa-plbuns2012.blogspot.compada hari Rabu tanggal 17 Juni 2015 jam 15.10 Wib.
Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi bahwa yang dimaksud dengan pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika baik secara fisik maupun psikis, sedangkan penyalah guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Kemudian pengertian dari korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika, sedangkan ketergantungan narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi da/ atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.12 D. Fungsi Rehabilitasi Fungsi rehabilitasi antara lain:13 a. Kuratif Berfungsi sebagai penyembuhan dari gangguan yang dialami oleh individu yang membutuhkan penanganan khusus dalam bidang koordinasi, gerak motoric, komunikasi, psikososial, dan pendidikan. b. Rehabilitatif Berfungsi sebagai pemulihan atau memberi kemampuan pada individu yang mengalami gangguan koordinasi, gerak motorik, komunikasi, psikososial, dan pendidikan. c. Promotif Berfungsi sebagai upaya peningkatan kemampuan individu menuju kondisi normal secara optimal. d. Preventif Memberikan penanganan pencegahan dari kondisi kecacatan, agar tidak terjadi kondisi yang lebih parah atau lebih berat. Dengan adanya fungsi pencegahan itu diharapkan individu yang membutuhkan penanganan 12 Indonesia (3)., Peraturan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, KAPOLRI, dan Kepala BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi. 13 Ibid.
Peran Jaksa Sebagai Tim Asesmen Terpadu Dalam Penerapan Kebijakan Rehabilitasi Bagi Pecandu..... - Sri Wartini
311
khusus dapat terhindar dari kecacatan yang lebih berat. E. Jenis-jenis Rehabilitasi Menurut ketentuan pada Peraturan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, KAPOLRI, dan Kepala BNN Nomor:01/PB/MA/III/2014, Nomor 03/2014, Nomor 11/2014, Nomor 03/2014, Nomor: Per-005/A/JA/03/2014, Nomor 01/2014, dan Nomor: PERBER/01/ III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi yakni sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1, jenis-jenis rehabilitasi antara lain:14 a. Rehabilitasi medis Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. b. Rehabilitasi sosial Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Rehabilitasi merupakan upaya memulihkan hak seseorang dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena alasan kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, untuk itu terdapat beberapa jenis rehabilitasi antara lain:15 a. Rehabilitasi medis Rehabilitasi medis merupakan penanganan yang diberikan kepada individu yang mengalami gangguan-gangguan dalam koordinasi gerak, komunikasi, sensorik motor, dan penyesuaian sosial. Rehabilitasi medis meliputi bidang penanganan fisioterapi, speech therapy, occupational 14 15
312
Indonesia (3)., Op. Cit. Puspa, Rizki., Op. Cit.
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
therapy, ortotik protestik. Tenaga-tenaga ahli yang menangani bidang tersebut merupakan tenaga ahli pada Kementerian Kesehatan yang dapat berperan sebagai administrator, konsultan dan manajemen bidang rehabilitasi. b. Rehabilitasi pendidikan Rehabilitasi pendidikan merupakan penanganan yang diberikan kepada individu yang membutuhkan penanganan khusus dalam bidang pendidikan (pra akademik) yaitu baca, tulis, dan hitung (calistung). Lembaga pendidikan yang mengelola penanganan pendidikan untuk individu yang membutuhkan penanganan khusus sudah termasuk rehabilitasi pendidikan yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta di bawah pembinaan Kementerian Pendidikan. c. Rehabilitasi sosial Rehabilitasi sosial merupakan rehabilitasi yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan bersosialisasi, mencegah penurunan kemampuan bersosialisasi atau kondisi lebih parah dari kondisi sosial sebelumnya. d. Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) Rehabilitasi berbasis masyarakat merupakan rehabilitasi yang memanfaatkan potensi sumber daya masyarakat yang dilaksanakan dengan tujuan agar penanganan rehabilitasi dapat dilakukan sedini mungkin dan merata bagi seluruh masyarakat yang memerlukannya. e. Rehabilitasi vokasional Rehabilitasi vokasional dimaksudkan untuk memberikan penanganan khusus dalam bidang vokasional atau keterampilan yang sifatnya individu sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitar individu tersebut. f. Rehabilitasi dalam keluarga Rehabilitasi dalam keluarga merupakan model penanganan rehabilitasi yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya yang mengalami gangguan. Orang tua dimaksud terlebih dahulu diberikan
pelatihan tentang cara memberikan penanganan kepada anaknya atau keluarga yang membutuhkan penanganan khusus yang secara berkala diadakan evaluasi bersama dan tindak lanjut penanganan yang harus diberikan. F. Dasar Hukum Pelaksanaan Kebijakan Rehabilitasi 1. Dasar Hukum dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), rehabilitasi dicantumkan pada Pasal 97 antara lain:16
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; b. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidik dari penyidik c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik
Ayat (2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan
Kemudian di dalam Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 KUHAP diatur tentang Penuntut Umum, antara lain: Pasal 13 Penuntut umum adalah Jaksa yang Solahuddin., Op. Cit., hlm. 166, 172. Pasal 95 ayat (1) berbunyi: tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undangundang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. 18 Pasal 77 berbunyi: Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan; b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. 17
Pasal 14 Penuntut umum mempunyai wewenang:
Ayat (1) Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap
Ayat (3) Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1)17 yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim pra peradilan yang dimaksud dalam Pasal 77.18
16
diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
d. Membuat surat dakwaan f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa, maupun kepada saksi, untuk dating pada siding yang telah ditentukan g. Melakukan penuntutan h. Menutup perkara demi kepentingan hukum i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini j. Melaksanakan penetapan hakim Pasal 15 Penuntut umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah hukumnya menurut ketentuan undangundang. 2. Dasar Hukum dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Mengenai rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika, diatur
Peran Jaksa Sebagai Tim Asesmen Terpadu Dalam Penerapan Kebijakan Rehabilitasi Bagi Pecandu..... - Sri Wartini
313
dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yakni antara lain: Pasal 54 Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal 55 (1) Orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umum wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial; (2) Pecandu narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial Pasal 56 (1) Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri (2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis pecandu narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri Pasal 57 Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional
314
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Pasal 58 Rehabilitasi sosial mantan pecandu narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat 3. Dasar Hukum dalam Peraturan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, KAPOLRI, dan Kepala BNN Nomor:01/ PB/MA/III/2014, Nomor 03/2014, Nomor 11/2014, Nomor 03/2014, Nomor: Per005/A/JA/03/2014, Nomor 01/2014, dan Nomor: PERBER/01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Peraturan Bersama yang ditandatangani oleh 7 (tujuh) lembaga negara ini bertujuan untuk: a. Mewujudkan koordinasi dan kerjasama secara optimal penyelesaian permasalahan narkotika dalam rangka menurunkan jumlah pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika melalui program pengobatan, perawatan, dan pemulihan dalam penanganan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka, terdakwa, atau nara pidana dengan tetap melaksanakan pemberantasan peredaran gelap narkotika; b. Menjadi pedoman teknis dalam penanganan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka, terdakwa, atau narapidana untuk menjalani rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial; c. Terlaksananya proses rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial di tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan dan pemidanaan secara sinergis dan terpadu. Dalam rangka mencapai tujuantujuan sebagaimana tersebut di atas, maka Pemerintah berupaya mengurangi jumlah pecandu narkotika dan korban
penyalahgunaan narkotika yang menjadi penyakit di dalam masyarakat dengan upaya pengobatan dan perawatan bagi pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika secara optimal dan terpadu yakni dengan melakukan rehabilitasi baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial yang pelaksanaannya dilakukan oleh Tim Asesmen Terpadu yang terdiri dari: a. Tim dokter yang meliputi dokter dan psikolog; b. Tim hukum terdiri dari unsur POLRI, BNN, Kejaksaan, dan KEMENKUMHAM. Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka dan/atau terdakwa dalam penyalahgunaan narkotika yang sedang menjalani proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan dapat diberikan pengobatan, perawatan, dan pemulihan pada lembaga rehabilitasi medis dan/atau lembaga rehabilitasi sosial. Apabila pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika tersebut menderita komplikasi medis atau komplikasi psikiatris dapat ditempatkan di rumah sakit pemerintah yang biayanya ditanggung oleh keluarga atau bagi yang tidak mampu ditanggung pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku, namun apabila pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika memilih ditempatkan di rumah sakit swasta yang ditunjuk pemerintah, maka biaya menjadi tanggungan sendiri. Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka dan/atau terdakwa dalam penyalahgunaan narkotika yang ditangkap tetapi tanpa barang bukti narkotika dan positif menggunakan narkotika sesuai dengan hasil tes urine, darah, atau rambut dapat ditempatkan di lembaga rehabilitasi medis dan/atau lembaga rehabilitasi sosial yang dikelola oleh pemerintah setelah dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan Hasil Laboratorium dan Berita Acara Pemeriksaan oleh Penyidik dan telah dilengkapi dengan surat hasil asesmen Tim Asesmen Terpadu. Sedangkan pecandu
narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka dan/atau terdakwa dalam penyalahgunaan narkotika yang ditangkap dan terdapat barang bukti dengan jumlah tertentu dengan atau tidak memakai narkotika sesuai hasil tes urine, darah, rambut atau DNA selama proses peradilannya berlangsung dalam jangka waktu tertentu dapat ditempatkan di lembaga rehabilitasi medis dan rumah sakit yang dikelola pemerintah setelah dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan Hasil Laboratorium dan BeritaAcara Pemeriksaan oleh Penyidik POLRI dan/atau Penyidik BNN dan telah dilengkapi dengan surat hasil asesmen Tim Asesmen Terpadu. Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka dan/atau terdakwa penyalahgunaan narkotika yang ditangkap dengan barang bukti melebihi dari jumlah tertentu dan positif memakai narkotika memakai narkotika sesuai hasil tes urine, darah, rambut atau DNA selama proses peradilannya berlangsung dalam jangka waktu tertentu dapat ditempatkan di lembaga rehabilitasi medis dan rumah sakit yang dikelola pemerintah setelah dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan Hasil Laboratorium dan BeritaAcara Pemeriksaan oleh Penyidik dan telah dinyatakan dengan hasil asesmen dari Tim Asesmen Terpadu tetap ditahan di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) atau cabang RUTAN dibawah naungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KEMENKUMHAM) serta dapat diberikan pengobatan dan perawatan dalam rangka rehabilitasi. Terdakwa atau terpidana pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika yang telah mendapatkan penetapan atau putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi diserahkan oleh pihak kejaksaan ke lembaga rehabilitasi medis dan/atau lembaga rehabilitasi sosial. Bagi narapidana yang termasuk dalam kategori pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika dan bukan pengedar atau bandar atau kurir atau produsen dapat dilakukan rehabilitasi
Peran Jaksa Sebagai Tim Asesmen Terpadu Dalam Penerapan Kebijakan Rehabilitasi Bagi Pecandu..... - Sri Wartini
315
medis dan/atau rehabilitasi sosial yang dilaksanakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) atau RUTAN dan/atau lembaga rehabilitasi yang telah ditunjuk pemerintah. Bagi narapidana yang termasuk kategori pecandu yang mempunyai fungsi ganda sebagai pengedar dapat dilakukan rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial di dalam LAPAS atau RUTAN. G. Peran Jaksa sebagai Tim Asesmen Terpadu Dalam Penerapan Kebijakan Rehabilitasi Bagi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Menurut Mudzakir, pergeseran bentuk pemidanaan dari hukuman badan menjadi hukuman tindakan merupakan proses depenalisasi. Depenalisasi terjadi karena adanya perkembangan atau pergeseran nilai hukum dalam kehidupan masyarakat yang mempengaruhi perkembangan nilai hukum pada norma hukum pidana. Perbuatan tersebut tetap merupakan perbuatan yang tercela, tetapi tidak pantas dikenai sanksi pidana yang berat, lebih tepat dikenai sanksi pidana ringan atau tindakan. Adapun alasan untuk menentukan depenalisasi terhadap pecandu dan korban narkotika, karena mereka dianggap sebagai orang yang sakit sehingga perlu mendapat perawatan dengan memberikan terapi maupun obat agar sembuh. Untuk korban penyalahgunaan narkotika, sesungguhnya mereka tidak menyadari dengan apa yang telah diperbuat disebabkan mereka melakukan perbuatan tersebut karena bujuk rayu orang lain sehingga perlu diselamatkan dengan direhabilitasi, supaya tidak semakin terjerumus dalam keparahan dampak narkotika.19 Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib lapor bagi Pecandu Narkotika, pada Pasal 13 ayat (3) disebutkan bahwa pecandu yang sedang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial. Lebih lanjut dalam ayat (4) ditentukan bahwa penentuan rehabilitasi pecandu menjadi kewenangan penyidik, penuntut umum dan hakim setelah mendapat 19 Krisnawati, Dani dan Niken Subekti Budi Utami., Laporan Hasil Penelitian., Yogyakarta: Fakultas Hukum Gadjah Mada, 2014., hlm. 26.
316
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
rekomendasi dari tim dokter. Berdasar ketentuan dalam peraturan pemerintah tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dapat direhabilitasi medis maupun sosial tidak hanya terbatas bagi pecandu yang melaporkan diri, namun pecandu, korban penyalahguna yang perkaranya diperiksa oleh penegak hukum, yaitu mereka yang ditangkap, tertangkap tangan, dapat direhabilitasi oleh petugas yang sedang menangani perkaranya.20 Jaksa Penuntut Umum sebagai salah satu unsur penegak hukum merupakan salah satu anggota Tim Asesmen Terpadu yang terdiri dari tim dokter meliputi dokter dan psikolog serta tim hukum yakni meliputi POLRI, BNN, Kejaksaan dan KEMENKUMHAM yang dibentuk oleh pemerintah dalam rangka melakukan asesmen terhadap pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka dan/atau narapidana sebagai penyalahguna narkotika. Jaksa Penuntut Umum yang bertugas sebagai Tim Asesmen Terpadu ini diusulkan masing-masing instansi Kejaksaan sesuai wilayah hukumnya dalam hal ini Kepala Kejaksaan Negeri/Kepala Kejaksaan Tinggi baik di tingkat nasional, propinsi, dan kabupaten/kota dan ditetapkan oleh Kepala Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Nasional Propinsi, Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota. Jaksa Penuntut Umum yang menjadi anggota Tim Asesmen Terpadu mempunyai tugas untuk melakukan: a. Analisis terhadap seseorang yang ditangkap dan/atau tertangkap tangan dalam kaitan peredaran gelap narkotika dan penyalahgunaan narkotika; b. Asesmen dan analisis medis, psikososial, serta merekomendasi rencana terapi dan rehabilitasi seseorang. Tim Asesmen Terpadu mempunyai kewenangan antara lain: a. Atas permintaan penyidik untuk melakukan analisis peran seseorang yang ditangkap atau tertangkap tangan sebagai korban penyalahgunaan narkotika, pecandu narkotika atau pengedar narkotika; 20
Ibid.
b. Menentukan kriteria tingkat keparahan penggunaan narkotika sesuai dengan jenis kandungan yang dikonsumsi, situasi, dan kondisi ketika ditangkap pada tempat kejadian perkara; c. Merekomendasi rencana terapi dan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika. Pelaksanaan asesmen dan analisis dilakukan oleh tim hukum bertugas melakukan analisis dalam kaitan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika dan penyalahgunaan narkotika berkoordinasi dengan penyidik yang menangani perkara tersebut dan tim dokter yang bertugas melakukan asesmen dan analisis medis, psikososial serta merekomendasi rencana terapi dan rehabilitasi penyalahguna narkotika, yang hasilnya digunakan sebagai bahan pertimbangan terhadap permohonan rehabilitasi seseorang dan bersifat rahasia. Dalam pelaksanaan tugasnya sebagai anggota Tim Asesmen Terpadu seorang Jaksa dapat memberikan rekomendasi berdasarkan hasil asesmen dan analisisnya apakah seseorang itu dapat direhabilitasi medis maupun sosial atau tidak bukan hanya terbatas bagi pecandu yang melaporkan diri, namun pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika yang perkaranya diperiksa oleh penegak hukum, yaitu mereka yang ditangkap, tertangkap tangan, tersangka, terdakwa, terpidana maupun narapidana.
III. PENUTUP Berdasarkan uraian-uraian yang telah ditulis, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Bahwa dasar hukum pelaksanaan rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika tercantum dalam KUHAP yang kemudian diatur lebih khusus lagi di dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Kemudian dalam rangka mengoptimalkan upaya pengobatan, perawatan, dan pemulihan bagi pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika secara terpadu dan terkoordinasi guna memulihkan dan mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial tersangka, terdakwa, atau narapidana dalam tindak pidana narkotika;
2. Bahwa peran jaksa sebagai Tim Asesmen Terpadu dalam penerapan kebijakan rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika memberikan rekomendasi berdasarkan hasil asesmen dan analisisnya apakah seseorang itu dapat direhabilitasi medis maupun sosial atau tidak bukan hanya terbatas bagi pecandu yang melaporkan diri, namun pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika yang perkaranya diperiksa oleh penegak hukum, yaitu mereka yang ditangkap, tertangkap tangan, tersangka, terdakwa, terpidana maupun narapidana. Selanjutnya, berpedoman pada uraian dan kesimpulan yang ditulis, maka dikemukanan saran sebagai berikut: 1. Hendaknya pemerintah melakukan sosialisasi mengenai Peraturan Bersama tentang penanganan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi kepada masyarakat melalui program penyuluhan hukum oleh instansi terkait; 2. Perlu adanya koordinasi dalam penanganan perkara tindak pidana narkotika antara Jaksa Penyidik dengan Tim Asesmen Terpadu agar dapat diketahui apakah tersangka/terdakwa perkara tindak pidana narkotika yang sedang ditanganinya dapat direhabilitasi baik secara medis maupun sosial; 3. Perlu adanya sosialisasitentang penunjukan lembaga rehabilitasi medis dan lembaga rehabilitasi sosial.
DAFTAR PUSTAKA Buku: Dirdjosisworo, Soedjono., Hukum Narkotika Indonesia., Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990. Fuady, Munir., Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat)., Bandung: Refika Aditama, 2009. H.S, Salim dan Erlies Septiana Nurbani., Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi., Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Peran Jaksa Sebagai Tim Asesmen Terpadu Dalam Penerapan Kebijakan Rehabilitasi Bagi Pecandu..... - Sri Wartini
317
2013. Harahap, M. Yahya., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali)., Jakarta: Sinar Grafika, Jilid 2, 2003. Hermansyah, Nanang., Metodologi Penelitian dan Penulisan Hukum., Banjarmasin: Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam, 2010
Undang-Undang: Indonesia., Undang-Undang tentang Kejaksaan., Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I., Surabaya: Karina, 2004 ., Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika., Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika., Bandung: Fokusindo Mandiri, 2013.
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil., Hukum Tata Negara Republik Indonesia., Jakarta: P.T. Rineka Cipta, 2000. Kelsen, Hans., Teori Umum tentang Hukum dan Negara., Bandung: Nusa Media, 2006. Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim., Hukum Tata Negara Indonesia., Jakarta: Sinar Bakti, 1988.
., Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi, 2014.
Makalah: Krisnawati, Dani dan Niken Subekti Budi Utami., Laporan Hasil Penelitian., Yogyakarta: Fakultas Hukum Gadjah Mada, 2014
Lipuwung, Felix Thadeus., Eksistensi dan Efektivitas Fungsi Du’a Mo’ang (Lembaga Peradilan Adat) dalam Penyelesaian Sengketa Adat Bersama Hakim Perdamaian Desa di Sikkan Flores, NTT., tanpa tahun.
Lain-lain:
Mardani., Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional., Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Anonim., Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Cybercrime di Bidang Perjudian., diunduh dari http://www. lessprivatiptek.blogspot.com pada hari Selasa tanggal 16 Juni 2015 jam 15.00 Wib.
Mas, Marwan., Pengantar Ilmu Hukum., Jakarta: Ghalia Indonesia, Anggota IKAPI, 2003. Rawls, John., A Theory of Justice., London: Oxford University Press, 1971. Soekanto, Soerjono., Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum., Jakarta: Raja Grafindo, 2008. , Soerjono dan Sri Mamuji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat., Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010. Solahuddin., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana, dan Perdata (KUHP, KUHAP, dan KUH Perdata)., Jakarta: Visi Media Pustaka, 2008. Syamsah, H. T. N.,. Kedudukan Pengadilan Pajak Dihubungkan dengan Sistem Peradilan di Indonesia., Bogor: Unida Press, 2010. Yatim, Danny., Keluarga dan Narkotika (Tinjauan Sosial-Psikologis)., Jakarta: Arcan, 1991
318
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Al Faruq, Habibullah., Teori Keadilan Menurut Aristoteles., diunduh dari http://www. habibullahurl.compada hari Selasa tanggal 16 Juni 2015 jam 14.00 Wib.
.,Sejarah Kejaksaan R.I., diunduh dari http:// www.kejaksaan-ri.go.id pada hari Jum’at tanggal 19 Juni 2015 jam 11.26 Wib.
Hasanuddin, Iqbal., Teori Keadilan: Telaah atas Pemikiran John Rawls., diunduh dari http:// www.iqbalhasanuddin.wordpress.com pada hari Selasa tanggal 16 Juni 2015 jam 14.21 Wib. Majalah., Polisi dan Narkoba., Forum Keadilan No. 43, 04 Maret 2012. Puspa, Rizki., Seputar Pendidikan Luar Biasa., diunduh dari http://www.rizkipuspaplbuns2012.blogspot.compada hari Rabu tanggal 17 Juni 2015 jam 15.10 Wib. Sejarah Persatuan Jaksa Indonesia (PJI), dalam rangka HUT PJI ke-22 pada hari Senin tanggal 15 Juni 2015.
ANALISIS PERAN AUDITOR INTERNAL DALAM MENINGKATKAN KINERJA KEJAKSAAN (Study Kasus pada Auditor Internal Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara)
Analysis Of Internal Auditor Role In Improving The Performance Of Attorney (Case Study In Internal Auditor For High Attorney North Sulawesi) Abik Afada Staf Tata Usaha Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara Email :
[email protected] (diterima tanggal 25 Juni 2015, direvisi tanggal 3 Juli 2015, disetujui 15 Juli 2015) Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memperkuat Tugas pokok dan fungsi Auditor Internal dalam rangka meningkatkan kualitas laporan keuangan sehingga mampu memperbaiki kinerja, melakukan komunikasi dengan auditor BPKP, Membantu Jaksa dalam perkara tindak pidana korupsi dan membantu jaksa dalam urusan penghitungan kerugian keuangan Negara. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan metode observasi lapangan dan wawancara. Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara senantiasa memperbaiki kinerja dalam upaya refomasi birokrasi sehingga dalam perkara tindak pidana korupsi mampu memaksimalkan peran auditor internal dalam proses penghitungan kerugian keuangan Negara. Kata Kunci : Peranan, Kinerja, Korupsi Abstract This study aimed to strengthen the principal tasks and functions of the Internal Auditor in order to improve the quality of financial statements so as to improve performance, make communication with BPKP auditor, Helping prosecutor in criminal cases of corruption and assist prosecutors in the calculation of financial loss of State affairs. This study used qualitative research methods field observations and interviews. North Sulawesi High Court in an effort to continually improve the performance of bureaucratic reforms resulting in corruption cases is able to maximize the role of internal auditors in the process of calculating the financial losses of the State. Keywords: Role, Performance, Corruption
I. PENDAHULUAN Sebagaimana diamanatkan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 9, Menteri/ Pimpinan Lembaga Negara sebagai Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang mempunyai tugas antara lain menyusun dan menyampaikan Laporan Keuangan Kementrian/Lembaga yang dipimpinnya. Laporan Keuangan Kementerian/ Lembaga tersebut disampaiakan kepada Menteri Keuangan dan selanjutnya diteruskan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk dilakukan pemeriksaan dalam rangka pemberian pendapat (opini) sebagaimana ditetapkan oleh Undang-Undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Keuangan yang dihasilkan melalui system akuntansi sebagaimana diamanatkan dalam pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dengan Demikian bentuk dan isi Laporan Keuangan tersebut harus disusun dan disajikan sesuai dengan standar yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2004 yang telah diubah dengan PP Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah. Sedangkan system Akuntansi dan pelaporannya diatur sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor : 59/pmk.06/2005 tahun 2005 tentang system akuntansi dan pelaporan pemerintah yang telah dirubah dengan PMK 171/PMK.06/2007 tahun 2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat.
Setiap Kementerian/Lembaga wajib menyampaikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran yang berupa Laporan
Untuk Mencapai Predikat Laporan Keuangan Menjadi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) memerlukan Komitmen Pimpinan, dan
Analisis Peran Auditor Internal Dalam Meningkatkan Kinerja Kejaksaan (Study Kasus pada Auditor.... - Abik Afada
319
tertib administrasi dalam pengelolaan keuangan dan segala aspeknya. Syarat minimal yang harus dipenuhi untuk mendapatkan Laporan Keuangan Keuangan Kejaksaan RI yang berkualitas baik dengan opini WTP didasarkan pada kriteria yaitu kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP), Kecukupan Pengungkapan, Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan serta efektivitas system pengendalian intern. Untuk mewujudkan negara yang maju di perlukan komitmen yang kuat oleh pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat secara umum agar perekonomian bangsa bisa tumbuh tanpa ada kecurangan atau fraud. Jenis fraud (kecurangan) yang terjadi di setiap negara ada kemungkinan berbeda, hal ini karena praktek fraud antara lain sangat dipengaruhi oleh kondisi hukum di negara yang bersangkutan. Di negara maju dimana penegakan hukum sudah berjalan dengan baik dan kondisi ekonomi masyarakat secara umum sudah cukup mantap maka praktek fraud lebih sedikit modus operasinya. Terjadinya fraud tidak melihat negara maju atau berkembang ini merupakan fenomena yang terjadi dibanyak negara. Di Indonesia sendiri, sejak bergulirnya reformasi, tuntutan akan trasparansi dan akuntabilitas terhadap pengelolaan keuangan publik semakin kuat. Hal ini disebabkan karena sebelum adanya reformasi pemerintahan Indonesia cenderung bersifat sentralisasi. Untuk itu pemerintah pusat menyiapkan berbagai macam perangkat aturan (regulasi), memperkuat struktur kelembagaan dibidang pengawasan keuangan, penanganan korupsi dan langkah-langkah lainnya. Ada berbagai macam bentuk fraud yang terjadi pada organisasi sektor publik di Indonesia. Salah satunya adalah korupsi. Kasus korupsi merupakan kasus yang sedang menjadi trend topik di republik tercinta ini. Berbagai kasus korupsi sudah menjadi konsumsi kita sehari-hari di berbagai media massa. Kasus korupsi di Indonesia seakan tidak ada habisnya. Begitu juga dalam upaya pemberantasannya yang belum optimal serta pemberian efek jera yang diharapkanjuga tidak terjadi. Sudah sama-sama kita ketahui penegakan hukum di Indonesia selalu saja melibatkan permainan uang dan pengaruh kekuasaan. Hal inilah yang 320
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
membuat bangsa ini sulit untuk maju. Perilaku korupsi menjalar ke berbagai sendi dalam pemerintahan dan menjadi berbagai konspirasi dari berbagai instansi. Penyelesaian kasus tindak pidana korupsi di tingkat Kejaksaan juga meminta bantuan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dalam proses penghitungan kerugian keuangan negara agar proses penanganan tindak pidana korupsi bisa cepat terselesaikan. Tetapi kendala dilapangan proses penghitungan keuangan negara oleh BPKP terkadang membutuhkan waktu lama sehingga menghambat penanganan kasus tindak pidana korupsi. Kejaksaan sudah mulai memberdayakan audit internal dalam melakukan investigasi dalam menghitung kerugian negara yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi. Perkembangan dunia akuntansi yang semakin pesat pada saat ini tidak hanya memberikan manfaat bagi masyarakat tapi juga menjadi sumber masalah kecurangan (fraud) yang sangat kompleks seperti: korupsi, penyalahgunaan asset dan manipulasi laporan keuangan yang sulit atau bahkan tidak bisa di deteksi oleh proses audit keuangan biasa. Oleh karena itu disiplin ilmu akuntansi dituntut untuk dapat berubah mengikuti trend permasalahan terkini terutama yang terkait dengan isu kecurangan (fraud). Berkembangnya ilmu akuntansi forensik merupakan jawaban atas tantangan tersebut. Akuntansi forensik adalah penerapan disiplin ilmu akuntansi dalam arti luas, termasuk bidang auditing, pada masalah hukum untuk penyelesaian masalah hukum didalam dan luar pengadilan untuk penyelesaian masalah hukum didalam atau diluar pengadilan, disektor publik maupun privat (Tuanakotta, 2010). Di Indonesia penggunaan akuntansi forensik disektor publik lebih menonjol dibandingkan sektor privat, karena banyaknya jumlah perkara disektor publik yang menjadi perhatian oleh media massa. Maraknya kecurangankecurangan yang dilakukan oleh organisasi sektor publik di Indonesia menjadikan profesi akuntan forensik sebagai profesi yang patut diperhitungkan dalam mencegah, mendeteksi dan mengungkapkan kecurangan yang terjadi.
Audit Investigatif berperan penting dalam mendukung proses pengadilan. Kasus korupsi akuntansi forensik pertama kali di Indonesia ditetapkan oleh Price Waterhouse Coopers (PWC) sebagai akuntan forensik dan auditor pada Bank Bali. Teknik akuntansi forensik dan audit investigatif memang telah lama berkembang. Ini merupakan prestasi dari akuntan forensik dimana Price Waterhouse Cooper dalam melakukan audit investigatif berhasil menunjukkan arus dana yang begitu rumit. Dan tahun 2005 merupakan tahun suksesnya audit investigatif dan sekaligus sistem peradilan di Indonesia. Disiplin ilmu akuntansi forensik ini memfokuskan diri dalam menyelidiki kasus-kasus kejahatan yang melibatkan aspek finansial yang kompleks. Disinilah peran auditor yang dianggap masyarakat dan penyidik sebagai orang yang memiliki keahlian di bidang keuangan dan akuntansi untuk mengindikasi ada atau tidaknya tindak pidana korupsi yang terjadi dan audit tujuan khusus yaitu untuk mengitung kerugian keuangan negara yang merupakan indikasi awal adanya tindak pidana korupsi. KejaksaanAgung beberapa kali menyatakan bahwa penyidikan dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi banyak terganjal penghitungan kerugian keuangan negara dari BPKP. Misalnya dalam penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi penggunaan jaringan frekuensi 2,1 GHz/generasi ketiga (3G) yang melibatkan anak perusahaan PT Indosat, Indosat Mega Media (IM2), yang diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp3,8 triliun. Kejagung tidak selalu harus menggunakan jasa BPKP dalam mengaudit kerugian negara, terkait penanganan kasus tindak pidana korupsi. Pasalnya, institusinya bisa juga menggunakan tenaga audit dari internal kejaksaan. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membuat karya ilmiah mengenai “Analisis Peran Auditor Internal Dalam Meningkatkan Kinerja Kejaksaan (Studi Kasus Pada Auditor Internal Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara)”. PERMASALAHAN Berdasarkan uraian latar belakang di atas, yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah:
1. Bagaimanakah kemampuan yang dimiliki auditor Internal dalam melakukan audit untuk membantu jaksa dalam perkara tindak pidana korupsi di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara. 2. Bagaimana peran Auditor Internal dalam membantu bagian pengawasan dalam meningkatkan kinerja institusi terutama di bidang keuangan.
II. PEMBAHASAN 1. Peranan dan Tujuan Pelaporan Keuangan Kementrian/Lembaga Laporan Keuangan merupakan laporan yang terstruktur mengenai posisi keuangan dan transaksi-transaksi yang dilakukan oleh Kementrian/Lembaga. Laporan Keuangan digunakan untuk membandingkan realisasi pendapatan dan belanja dengan anggaran yang telah ditetapkan, menilai kondisi keuangan, menilai efisiensi dan efektivitas keuangan, dan membantu menentukan ketaatan terhadap peratuan perundang-undangan. Kementerian/Lembaga mempunyai kewajiban untuk melaporkan upaya yang telah dilakukan serta hasil yang dicapai dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan negara secara sistematis dan terstruktur pada satu periode pelaporan. Pelaporan keuangan tersebut adalah untuk kepentingan antara lain : a. Akuntabilitas Mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada entitas pelaporan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara periodik. b. Manajemen Membantu para pengguna untuk mengevaluasi pelaksanaan kegiatan suatu entitas pelaporan dalam periode pelaporan sehingga memudahkan fungsi perencanaan, pengelolaan dan pengendalian atas seluruh aset, kewajiban, dan ekuitas pemerintah untuk kepentingan masyarakat. c. Transparansi Memberikan informasi keuangan yang
Analisis Peran Auditor Internal Dalam Meningkatkan Kinerja Kejaksaan (Study Kasus pada Auditor.... - Abik Afada
321
terbuka dan jujur kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban pemerintah dalam pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada peraturan perundang undangan. d. Keseimbangan Antargenerasi (intergenerational equity) Membantu para pengguna dalam mengetahui kecukupan penerimaan pemerintah pada periode pelaporan untuk membiayai seluruh pengeluaran yang dialokasikan dan apakah generasi yang akan datang diasumsikan akan ikut menanggung beban pengeluaran tersebut. e. Evaluasi Kinerja Mengevaluasi kinerja entitas pelaporan, terutama dalam penggunaan sumber daya ekonomi yang dikelola pemerintah untuk mencapai kinerja yang direncanakan. Pelaporan keuangan pemerintah seharusnya menyajikan informasi yang bermanfaat bagi para pengguna dalam menilai akuntabilitas dan membuat keputusan baik keputusan ekonomi, sosial, maupun politik dengan: a. menyediakan informasi tentang sumber, alokasi dan penggunaan sumber daya keuangan; b. Menyediakan informasi mengenai kecukupan penerimaan periode berjalan untuk membiayai seluruh pengeluaran; c. Menyediakan informasi mengenai jumlah sumber daya ekonomi yang digunakan dalam kegiatan entitas pelaporan serta hasil-hasil yang telah dicapai; d. Menyediakan informasi mengenai bagaimana entitas pelaporan mendanai seluruh kegiatannya dan mencukupi kebutuhan kasnya; e. Menyediakan informasi mengenai posisi keuangan dan kondisi entitas pelaporan berkaitan dengan sumber-sumber penerimaannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang, termasuk yang berasal dari pungutan pajak dan pinjaman; f. Menyediakan 322
informasi
mengenai
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
perubahan posisi keuangan entitas pelaporan, apakah mengalami kenaikan atau penurunan, sebagai akibat kegiatan yang dilakukan selama periode pelaporan. 2. Audit Investigatif Berkembangnya kompleksitas bisnis dan semakin terbukanya peluang usaha dan investasi menyebabkan risiko terjadinya fraud semakin tinggi. Dalam pemerintahan kasus korupsi juga semakin meningkat. Mengacu ke berbagai kasus baik di dalam maupun di luar negeri menunjukkan bahwa fraud dapat terjadi di mana saja. Dalam rangka memperkecil kerugian akibat frauddan memperbaiki sistem pengendalian maka jika ada indikasi kuat terjadi suatu fraud, perusahaan diharapkan mengambil langkah yang tepat dengan melakukan audit investigasi. Pelaksanaan audit investigasi lebih mendasarkan kepada pola pikir bahwa untuk mengungkapkan suatu kecurangan auditor harus berpikir seperti pelaku fraud itu sendiri, dengan mendasarkan pelaksanaan prosedur yang ditetapkan baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pelaporan hingga tindak lanjut pemeriksaan. Auditor harus memiliki kemampuan untuk membuktikan adanya fraud yang terjadi dan sebelumnya telah diindikasikan oleh berbagai pihak. Auditor harus peka terhadap semua hal yang tidak wajar baik hal itu dirasakan terlalu besar, terlalu kecil, terlalu sering, terlalu rendah, terlalu banyak, terlalu sedikit, maupun kesan yang janggal. Auditor harus mampu berkomunikasi dalam “bahasa” mereka. Auditor juga harus mempunyai kemampuan teknis untuk mengerti konsep-konsep keuangan, dan kemampuan untuk menarik kesimpulan. Dan juga sangat penting bagi auditor untuk menyederhanakan konsep-konsep keuangan sehingga orang-orang pada umumnya dapat memahami apa yang dimaksudkannya. Menurut Tuanakotta (2010) auditor investigasi adalah “gabungan antara pengacara, akuntan, kriminolog, dan detektif (atau investigatif) Menurut Herlambang (2011) audit investigasi yaitu suatu bentuk audit atau pemeriksaan yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengungkap kecurangan atau kejahatan dengan menggunakan pendekatan, prosedur atau teknik-teknik yang
umumnya digunakan dalam suatu penyelidikan atau penyidikan terhadap suatu kejahatan. Jack Bologna dan Paul Shaw yang dikutip dalam Amin Widjaja (2005 : 36) mengatakan : “forensic accounting, sometimes called fraud auditing or investigative accounting, is a skill that goes beyond the realm of corporate and management fraud, embezzlement or commercial bribery. Indeed, forensic accounting skill go beyond the general realm of collar crime” Yang diterjemahkan sebagai berikut, akuntansi forensik kadang-kadang disebut audit penipuan, adalah keterampilan yang melampaui alam penggelapan dan penipuan manajemen perusahaan, atau penyuapan komersial. Memang, keterampilan akuntansi forensik melampaui wilayah umum kejahatan berkerah. Association of Certified Fraud Examiner seperti yang dikutip oleh Widjaja (2005), mendefenisikan audit investigasi sebagai berikut : “fraud auditing is an initial approach (proactive) to detecting financial fraud, using accounting records and information, analytical relationship, and an awareness of fraud perpetration and concealment efforts”. Dengan terjemahan sebagai berikut audit kecurangan merupakan suatu pendekatan awal (proaktif) untuk mendeteksi penipuan keuangan, dengan menggunakan catatan akuntansi dan informasi, hubungan analitis dan kesadaran perbuatan penipuan dan upaya penyembunyian. Secara garis besar audit investigasi mirip dengan istilah Fraud Examination sebagaimana yang dimaksud dalam Fraud Examination Manual yang diterbitkan oleh Association of Certified Fraud Examiners (ACFE). Menurut panduan/manual para fraud examiners tersebut, yang dimaksud audit investigasi yaitu : “Methodology for resolving fraud allegations from inception to disposition. More specifically, fraud examination involves obtaining evidence and taking statements, writing reports, testifying findings and assisting in the detection and prevention of fraud”
Yang artinya adalah metodologi untuk menyelesaikan tuduhan-tuduhan penipuan dari awal sampai disposisi. Lebih khusus, pemeriksaan penipuan melibatkan memperoleh bukti dan mengambil laporan, menulis laporan, kesaksian temuan dan membantu dalam mendeteksi dan pencegahan penipuan. Dari ketiga definisi audit investigasi di atas, dapat disimpulkan bahwa audit investigasi merupakan suatu cara yang dapat dilakukan untuk mendeteksi dan memeriksa fraud terutama dalam laporan keuangan yang kemungkinan sedang atau sudah terjadi menggunakan keahlian tertentu dari seorang auditor (teknik audit). Sampai saat ini audit investigasi di Indonesia belum dibakukan prosedurnya oleh IAI. Selain itu, istilah yang resmi dari IAI juga belum turun. Sebagian ada yang menyebutnya audit kecurangan, audit forensik, audit khusus dan audit investigasi. Untuk memudahkan pembahasan, penulis akan menggunakan istilah audit investigasi dan mengasumsikan bahwa investigasi berkaitan dengan pengadilan atau hukum dan dilakukan mulai dari tahap pendeteksian sampai dengan persidangan. Dalam majalah Akuntansi No. 10 Tahun 1988 yang dikutip dalam Karni (2000) dijelaskan tentang akuntan investigasi sebagai berikut : sesungguhnya akuntan investigasi tidak berbeda dengan akuntan publik yang ada, hanya pada akuntan publik, mereka bertujuan memberikan pendapat atas laporan keuangan yang diperiksa dan kadang juga menemukan adanya kecurangan, sedangkan akuntan investigasi memang bertujuan untuk menyelidiki kemungkinan adanya kecurangan, terutama terhadap perusahaan-perusahaan yang mati misterius (tidak wajar) Dari penjelasan di atas, terdapat beberapa perbedaan antara financial audit dengan audit investigasi yaitu : 1. Dasar Pelaksanaan Audit Pada financial audit, audit dilaksanakan berdasarkan permintaan perusahaan yang menginginkan laporan keuangannya diaudit. Dasar pelaksanaan audit investigasi adalah permintaan dari penyidik untuk mendeteksi fraud yang mungkin terjadi. Selain itu, audit investigasi juga dapat dilakukan atas
Analisis Peran Auditor Internal Dalam Meningkatkan Kinerja Kejaksaan (Study Kasus pada Auditor.... - Abik Afada
323
dasar pengaduan dari masyarakat tentang kecurigaan adanya fraud dan dari temuan audit yang mengarah pada kemungkinan adanya fraud yang didapat dari financial audit sebelumnya.
menguasai masalah akuntansi dan auditing, sedangkan pada audit investigasi, auditor harus mengetahui juga ketentuan hukum yang berlaku disamping menguasai masalah akuntansi dan auditing.
2. Tanggung Jawab Auditor Pada financial audit, audit bertanggung jawab atas nama lembaga audit atau KAP (Kantor Akuntan Publik) tempat auditor bekerja. Pada audit investigasi, auditor bertanggung jawab atas nama pribadi yang ditunjuk, karena apabila keterangan di sidang pengadilan merupakan keterangan palsu auditor yang bersangkutan akan terkena sanksi.
8. Laporan Hasil Audit Dalam financial audit, menyatakan pendapat auditor tentang kesesuaian laporan keuangan dengan prinsip akuntansi berlaku umum. Dalam audit investigasi, menyatakan siapa yang bertanggung jawab dan terlibat dalam kasus fraud yang ditangani, tetapi tetap menerapkan azas praduga tak bersalah.
3. Tujuan Audit Tujuan financial audit adalah untuk mengetahui laporan keuangan perusahaan klien telah sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Audit investigasi bertujuan untuk membantu penyidik untuk membuat terang perkara denganmencari bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mendukung dakwaan jaksa. 4. Teknik dan Prosedur Audit Dalam financial audit, prosedur dan teknik audit yang digunakan mengacu hanya pada standar auditing, sedangkan audit investigasi mengacu pada standar auditing juga kewenangan penyidik sehingga dapat digunakan teknik audit yang lebih luas. 5. Penerapan Azas Perencanaan dan Pelaksanaan Audit Pada financial audit menggunakan skeptis profesionalisme, sedangkan audit investigasi selain menggunakan skeptis profesionalisme juga menggunakan azas praduga tak bersalah. 6. Tim Audit Dalam financial audit, tim audit bisa siapa saja yang ada di KAP tersebut. Dalam audit investigasi, tim audit dipilih auditor yang sudah pernah melaksanakan bantuan tenaga ahli untuk kasus yang serupa atau hampir sama dan salah satu dari tim audit harus bersedia menjadi saksi ahli di persidangan. 7. Persyaratan Tim Audit Pada financial audit, 324
auditor
harus
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Dalam Pusat Pendidikan dan Pengawsasan BPKP (2003) tentang audit investigasi adalah audit ketaatan bertujuan untuk mengetahui apakah seorang klien telah melaksanakan prosedur atau aturan yang telah ditetapkan oleh pihak yang memiliki otorisasi lebih tinggi. Dalam audit investigasi, ketentuan yang harus ditaati sangat luas, tidak hanya kebijakan manajemen, auditor investigasi sampai dengan hukum formal, hukum material dan lain-lain. Untuk itu, audit investigasi tidak hanya cukup untuk menguasai bidang ekonomi, tetapi juga mengerti tentang hukum yang berlaku. Dan tujuan investigasi yang di ambil dari K.H. Spencer Pickett and Jennifer Picket, Financial Crime Investigation and Control dalam Tuanakotta (2010) beberapa diantaranya yaitu: 1. Memberhentikan manajemen. Tujuannya adalah sebagai teguran keras bahwa manajemen tidak mampu mempertanggungjawabkan kewajiban fidusiernya. 2. Memeriksa, mengumpulkan dan menilai cukup dan relevannya bukti. Tujuannya akan menekankan bisa diterimanya buktibukti sebagai alat bukti untuk meyakinkan hakim di pengadilan. 3. Melindungi reputasi dari karyawan yang tidak bersalah. 4. Menemukan dan mengamankan dokumen yang relevan untuk investigasi. 5. Menemukan asset yang digelapkan dan mengupayakan pemulihan dari kerugian yang terjadi.
6. Memastikan bahwa semua orang, terutama mereka yang diduga menjadi pelaku kejahatan, mengerti kerangka acuan dari invetigasi tersebut; harapannya adalah bahwa mereka bersedia bersikap kooperatif dalam investigasi itu. 7. Memastikan bahwa pelaku kejahatan tidak bisa lolos dari perbuatannya. 8. Menyapu bersih semua karyawan pelaku kejahatan. 9. Memastikan bahwa perusahaan tidak lagi menjadi sasaran penjarahan. 10. Menentukan bagaimana investigasi akan dilanjutkan. Syafi’i dalam Yuhertiana (2005 : 2) juga mengungkapkan bahwa tujuan audit investigasi yaitu “mengadakan audit lebih lanjut atas temuan audit sebelumnya serta melaksanakan audit untuk membuktikan kebenaran berdasarkan pengaduan atau informasi dari masyarakat”. Berdasarkan pernyataan tersebut, pemilihan di antara berbagai alternatif tujuan investigasi tergantung dari organisasi atau permintaan penyidik untuk membantu penyidik mengungkapkan fraud yang terjadi dan menjebloskan oknum-oknum ke penjara. Tujuan ini juga untuk mengetahui apakah kecurigaan fraud tersebut terbukti atau tidak. 3. Prinsip-prinsip Audit Investigasi Prinsip-prinsip berikut berdasarkan pengalaman dan praktek dapat dijadikan pedoman bagi investigator dalam setiap situasi sebagai berikut : 1. Investigasi adalah tindakan mencari kebenaran dengan memperhatikan keadilan dan berdasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 2. Kegiatan investigasi mencakup pemanfaatan sumber-sumber bukti yang dapat mendukung fakta yang dipermasalahkan. 3. Investigator mengumpulkan fakta-fakta sedemikian rupa sehingga bukti-bukti yang diperolehnya dapat memberikan kesimpulan sendiri (bahwa telah terjadi tindak kejahatan dan pelakunya teridentifikasi). 4. Informasi merupakan napas dan darahnya investigasi sehingga investigator harus mempertimbangkan segala kemungkinan
untuk dapat memperoleh informasi. 5. Pengamatan, informasi dan wawancara merupakan bagian yang penting dalam investigasi. 6. Pelaku kejahatan adalah manusia, oleh karena itu jika ia diperlakukan sebagaimana layaknya manusia maka mereka juga akan merespon sebagaimana manusia. 4. Aksioma Audit Investigasi Ada tiga aksioma dalam melakukan audit investigasi. Aksioma menurut Tuanakotta (2010) adalah “asumsi dasar yang begitu gamblangnya sehingga tidak memerlukan pembuktian mengenai kebenarannya”. 1. Fraud selalu tersembunyi. Fraud dalam hal ini menyembunyikan seluruh aspek yang mungkin dapat mengarahkan pihak lain dalam menemukan terjadinya fraud tersebut. Pihak-pihak yang terlibat menutup rapat-rapat kebusukan mereka. Metode dalam menyembunyikan fraud tersebut begitu rapi sehingga pemeriksa fraud atau investigator yang berpengalaman sekalipun dapat terkecoh. 2. Melakukan pembuktian timbal balik. Seorang auditor harus mempertimbangkan apakah terdapat bukti yang dapat memberatkan seorang tersangka yang tidak pernah melakukan fraud. Dan sebaliknya, auditor juga harus dapat mempertimbangkan apakah bukti yang tidak memberatkan seseorang telah melakukan fraud. 3. Fraud terjadi merupakan kewenangan pengadilan untuk memutuskannya. Dalam menyelidiki fraud, investigator hanya membuat dugaan mengenai apakah seseorang bersalah atau tidak berdasarkan bukti-bukti yang telah dikumpulkannya. Tetapi adanya suatu fraud yang terjadi dapat dipastikan jika telah diputuskan oleh majelis hakim dan para jury di pengadilan. Menurut metodologi internal audit, seorang fraud auditor dapat melakukan pengujian atau pemeriksaan beberapa hal yang berkaitan dengan subjek auditnya atau prosedur kerja dan organisasi dimana fraud diduga terjadi dan orang yang bersangkutan. Untuk mencari jawaban suatu fraud tanpa bukti yang lengkap,
Analisis Peran Auditor Internal Dalam Meningkatkan Kinerja Kejaksaan (Study Kasus pada Auditor.... - Abik Afada
325
auditor perlu membuat asumsi tertentu. Menurut Assosiation of Certified Fraud Examiners yang menjadi rujukan internasional dalam melaksanakan Fraud Examination. Metodologi tersebut menekankan kepada kapan dan bagaimana melaksanakan suatu pemeriksaan investigasi atas kasus yang memiliki indikasi tindak fraud dan berimplikasi kepada aspek hukum, serta bagaimana tindak lanjutnya. Pemeriksaan investigasi yang dilakukan untuk mengungkapkan adanya tindak fraud terdiri atas banyak langkah. Karena pelaksanaan pemeriksaan investigasi atas fraud berhubungan dengan hak-hak individual pihakpihak lainnya, maka pemeriksaan investigasi harus dilakukan setelah diperoleh alasan yang sangat memadai dan kuat, yang diistilahkan sebagai predikasi. Predikasi adalah suatu keseluruhan kondisi yang mengarahkan atau menunjukkan adanya keyakinan kuat yang didasari oleh profesionalisme dan sikap kehati-hatian dari auditor yang telah dibekali dengan pelatihan dan pemahaman tentang fraud, bahwafraudtelah terjadi, sedang terjadi, atau akan terjadi. Tanpa predikasi, pemeriksaan investigasi tidak boleh dilakukan. Hal ini menyebabkan adanya ketidakpuasan dari berbagai kalangan yang menyangka bahwa jika suatu institusi audit menemukan satu indikasi penyimpangan dalam pelaksanakan financial audit-nya, maka institusi tersebut dapat melakukan pemeriksaan investigasi. Pemeriksaan investigasi belum tentu langsung dilaksanakan karena indikasi yang ditemukan umumnya masih sangat prematur sehingga memerlukan sedikit pendalaman agar diperoleh bukti yang cukup kuat untuk dilakukan pemeriksaan investigasi. Garis besar proses audit investigasi secara keseluruhan, dari awal sampai dengan akhir, dipilah-pilah sebagai berikut : 1. Penelaahan Informasi Awal Pada proses ini pemeriksa melakukan: pengumpulan informasi tambahan, penyusunan fakta dan proses kejadian, penetapan dan penghitungan tentatif kerugian keuangan, penetapan tentatif penyimpangan, dan penyusunan hipotesis awal.
326
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
2. Perencanaan Pemeriksaan Investigasi Pada tahapan perencanaan dilakukan : pengujian hipotesis awal, identifikasi buktibukti, menentukan tempat atau sumber bukti, analisa hubungan bukti dengan pihak terkait, dan penyusunan program pemeriksaan investigasi. 3. Pelaksanaan Pada tahap pelaksanaan dilakukan : pengumpulan bukti-bukti, pengujian fisik, konfirmasi, observasi, analisa dan pengujian dokumen, interview, penyempurnaan hipotesa dan review kertas kerja. 4. Pelaporan Isi laporan hasil pemeriksaan audit investigasi memuat : unsur-unsur melawan hukum, fakta dan proses kejadian, dampak kerugian keuangan akibat penyimpangan/ tindak melawan hukum, sebab-sebab terjadinya tindakan melawan hukum, pihakpihak yang terkait dalam penyimpangan/ tindakan melawan hukum yang terjadi, dan bentuk kerja sama pihak-pihak yang terkait dalam penyimpangan/tindakan melawan hukum. 5. Tindak Lanjut Pada tahap tindak lanjut ini : proses sudah diserahkan dari tim audit kepada pimpinan organisasi dan secara formal selanjutnya diserahkan kepada penegak hukum. Penyampaian laporan hasil audit investigasi kepada pengguna laporan diharapkan sudah memasuki pula tahap penyidikan. Berkaitan dengan kesaksian dalam proses lanjutan dalam peradilan, tim audit investigasi dapat ditunjuk oleh organisasi untuk memberikan keterangan ahli jika diperlukan. Dalam pelaksanaan audit investigative, ada dilakukan tahapan-tahapan yang termasuk dalam teknik audit, yang mana tehnik audit adalah cara-cara yang dipakai dalam mengaudit kewajaran penyajian laporan keuangan. Teknik audit yang biasa diterapkan dalam audit umum seperti : 1. Pemeriksaan Fisik Dalam pemeriksaan fisik yang biasa dilakukan yaitu penghitungan uang tunai, kertas berharga, persediaan barang, aktiva
tetap, dan barang berwujud. Untuk teknik ini, investigator menggunakan inderanya untuk mengetahui atau memahami sesuatu. 2. Konfirmasi Meminta konfirmasi adalah meminta pihak lain (dari yang diinvestigasi) untuk menegaskan kebenaran atau ketidakbenaran suatu informasi. Dalam investigasi, investigator harus memperhatikan apakah pihak ketiga mempunyai kepentingan dalam investigasi. 3. Memeriksa Dokumen Pemeriksaan dokumen selalu dilakukan dalam setiap investigasi. Dengan kemajuan teknologi dapat dipastikan dokumen menjadi lebih luas, termasuk informasi yang diolah, disimpan, dan dipindahkan. 4. Review Analitikal Review analitikal menekankan pada penalaran, proses berpikirnya. Dengan penalaran yang baik akan membawa pada seorang auditor investigator pada gambaran mengenai wajar, layak atau pantasnya suatu data individual disimpulkan dari gambaran yang diperoleh secara global, menyeluruh. Review analitikal didasarkan atas perbandingan antara apa yang dihadapi dengan apa yang layaknya harus terjadi. 5. Meminta Penjelasan Lisan atau Tertulis dari Auditan Permintaan informasi harus diperkuat atau dikolaborasi dengan informasi dari sumber lain atau diperkuat dengan cara lain.
atau probing maupunpendalaman. Dari ketujuh teknik audit tersebut, dalam audit investigasi lebih ditekankan kepada review analitikal. Untuk mendapatkan hasil investigasi yang maksimal, menurut Karyono (2013) seorang fraud auditor harus juga menguasai beberapa teknik investigasi, antara lain : 1. Teknik penyamaran atau penyadapan 2. Teknik wawancara 3. Teknik merayu untuk mendapatkan informasi 4. Mengerti bahasa tubuh 5. Dengan bantuan software 5. Tugas Pokok Auditor Kejaksaan 1. Membuat Laporan Keuangan Secara Berkala Satker Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara a. Mengumpulkan Dokumen Sumber (DS) dan Dokumen akuntansi berupa SP2D baik dari Bendahara Pengeluaran atau Bendahara Penerima. b. Membukukan/ Menginput dokumen sumber (DS) kedalam Aplikasi Sistem Akuntansi Instansi Berbasis Akrual( SAIBA). c. Menerima data BMN dari Petugas Akuntansi Barang. d. Melaksanakan rekonsiliasi Internal antara laporan keuangan dengan laporan barang yang disusun serta melakukan koreksi apabila ditemukan kesalahan.
6. Menghitung Kembali Menghitung kembali yaitu memeriksa kebenaran perhitungan. Dalam investigasi, perhitungan yang dihadapi sangat kompleks, didasarkan atas kontrak atau perjanjian yang rumit, mungkin sudah terjadi perubahan dan renegoisasi berkalikali dengan pejabat yang berbeda.
e. Melakukan Rekonsiliasi dengan KPPN setiap bulan serta melakukan koreksi apabila ditemukan kesalahan.
7. Mengamati Teknik ini juga tidak berbeda jauh dengan pemeriksaan fisik. Investigator juga menggunakan inderanya untuk melakukan pengamatan. Hanya dalam audit investigasi, teknik-teknik audit tersebut bersifat eksploratif, mencari “wilayah garapan”,
Dalam membuat laporan keuangan secara berkala satker Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara mengandung nilai-nilai dasar profesi aparatur sipil negara yaitu:
f. Menyiapkan Konsep Pernyataan Tanggung Jawab dari BAR (Berita Acara Rekonsiliasi) untuk di paraf oleh Kasubbag Keuangan dan tanda tangan dari Asisten Pembinaan.
1. Akuntabilitas Saya bekerja secara transparan dan
Analisis Peran Auditor Internal Dalam Meningkatkan Kinerja Kejaksaan (Study Kasus pada Auditor.... - Abik Afada
327
akurat mengenai pencatatan tanggal dan waktu transaksi keuangan berdasarkan SPM, SPP dan SP2D data yang berasal dari Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara sehingga menghasilkan laporan yang dapat dipertanggungjawabkan yang dapat digunakan sebagai dasar monitoring bidang terkait. 2. Nasionalisme Saya bekerja sama dengan seluruh operator SAIBA dan Bendahara Pengeluaran/Penerimaan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara untuk kelancaran dalam pengumpulan ADK SAIBA dan dengan operator laporam keuangan dari KPPN Kota Manado. 3. Etika Publik Saya berkomunikasi dengan baik dan sopan kepada masing-masing operator SAIBA dan Bendahara Pengeluaran/ Penerimaan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara mengenai pengiriman data back up aplikasi SAIBA yang harus segera mereka kirimkan untuk melakukan rekonsiliasi rutin perbulan dengan operator laporan keuangan KPPN. 4. Komitmen Mutu Laporan Keuangan dari Aplikasi SAIBA yang saya kerjakan menghasilkan laporan yang berdaya guna, dapat dipertanggungjawabkan, dapat dimengerti dan tepat waktu untuk digunakan oleh petugas terkait yang membutuhkan data tersebut. 5. Anti Korupsi Dalam Pembuatan Laporan Keuangan berdasarfkan dengan data SPP, SPM Sesuai dengan kuitansi, cek sehingga setiap transaksi dapat di pertanggungjawabkan Kontribusi terhadap visi dan misi organisasi dari kegiatan membuat Laporan Keuangan Berkala Satker Kejaksan Tinggi Sulawesi Utara adalah : 1. Visi Kejaksaan Dalam melaksanakan kegiatan membuat laporan keuangan secara berkala satker Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara, telah dilaksanakan dan 328
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
dilaporkan tepat waktu, berdaya guna dan dapat dipertanggungjawabkan agar terwujud Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang bersih, efektif, efisien, transparan, akuntabel dan dapat memberikan pelayanan prima. 2. Misi Kejaksaan Pelaksanakan kegiatan membuat laporan keuangan secara berkala satker Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara telah mengoptimalkan peranan bidang Pembinaan dan Pengawasan dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas bidang-bidang lainnya. Kegiatan Membuat Laporan Keuangan Secara Berkala Satker Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara mengandung nilai penguatan organisasi yaitu : 1. SATYA Kejujuran dalam membuat Laporan Keuangan sesuai dengan kecepatan pengiriman data back up aplikasi SAIBA. 2. ADHI Tanggung jawab terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas mengenai pembuatan dan pelaporan Laporan Keuangan Satker Kejati Sulut Secara Berkala sesuai dengan Aplikasi SAIBA 3. WICAKSANA Bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku terhadap seluruh operator SAIBA, Bendahara Pengeluaran/Penerimaan dan juga operator laporan keungan dari KPPN dan para pegawai yang terkait dalam pembuatan dan pelaporan Keuangan Satker sesuai dengan Aplikasi SAIBA Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara. 2. Membuat Laporan Realisasi Anggaran per Program Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara. Dalam melaksanakan tugas tersebut dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu sebagai berikut : a. Tahap pertama adalah mengumpulkan ADK berupa back up dari aplikasi
SAIBA Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri Se-Sulawesi Utara yang dikirim melalui email. b. Kemudian membuka aplikasi SAIBA untuk merestore back up tiap satker Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri Se-Sulawesi Utara untuk mengupdate Laporan Realisasi Anggaran tiap satker Kejaksaan Negeri Se-Sulawesi Utara di dalam aplikasi SAIBA. c. Setelah merestore back up SAIBA Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri Se-Sulawesi Utara, kemudian mengirim hasil back up tersebut ke aplikasi SAPPA-W untuk menggabungkan Laporan Realisasi Anggaran pada tingkat wilayah Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara. d. Setelah semua back up SAIBA Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri Se-Sulawesi Utara selesai dikirim ke aplikasi Laporan Realisasi Anggaran Per Program, kemudian aplikasi dibuka untuk menerima back up dari aplikasi SAIBA tiap satker Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri Se-Sulawesi Utara, kemudian di klik proses untuk menggabungkan keseluruhan jumlah Laporan Realisasi Anggaran pada tingkat wilayah Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara. e. Selanjutnya menginput data Laporan Realisasi Anggaran per Program yang dilihat dari aplikasi SAIBA sesuai dengan format yang telah ada.
ke Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung RI, Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejaksaan Agung RI dan Asisten Pengawasan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara serta di email ke Biro Keuangan Kejaksaan Agung RI. Pembuatan laporan realisasi anggaran per program kejaksaan tinggi Sulawesi Utara mengandung nilai-nilai dasar profesi ASN, yaitu : 1. Akuntabilitas Saya bekerja secara transparan dan akurat mengenai penginputan nilai LRA per program yang diambil dari aplikasi SAIBA sehingga menghasilkan laporan yang dapat dipertanggungjawabkan dan dapat diperbandingkan untuk dijadikan dasar monitoring penyerapan anggaran. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi nilai dasar akuntabilitas, maka berdampak pada terlambatnya Laporan Realisasi Anggaran per Program yang harus dilaporkan kepada Biro Keuangan Kejaksaan Agung RI. 2. Nasionalisme Saya bekerja sama dengan seluruh operator SAIBA Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara untuk kelancaran dalam pengumpulan ADK SAIBA.
f. Kemudian membuat surat pengantar Laporan Realisasi Anggaran per Program Kejaksaan Se-Sulawesi Utara sesuai dengan format yang telah ada.
Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi dengan nilai Nasionalisme dalam bentuk kerjasama, maka berdampak pada tidak terkumpulnya data ADK SAIBA Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara.
g. Setelah menginput data LRA per Program, kemudian data dicetak beserta surat pengantarnya dan dilaporkan kepada Kasubag Keuangan kemudian dilanjutkan ke Asisten Pembinaan kemudian dilanjutkan ke Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara untuk dilakukan otorisasi.
3. Etika Publik Saya berkomunikasi dengan baik dan sopan kepada masing-masing operator SAIBA Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri Se-Sulawesi Utara mengenai pengiriman data back up SAIBA yang harus segera mereka kirimkan.
h. Terakhir data LRA per Program dan surat pengantar yang telah selesai dikirimkan ke Biro Keuangan Kejaksaan Agung RI dan ditembuskan
Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi nilai dasar etika publik maka tidak terjalin
Analisis Peran Auditor Internal Dalam Meningkatkan Kinerja Kejaksaan (Study Kasus pada Auditor.... - Abik Afada
329
komunikasi yang baik antara saya dengan bidang terkait. 4. Komitmen Mutu Laporan Realisasi Anggaran per Program yang saya kerjakan telah menghasilkan laporan yang berdaya guna, dapat dipertanggungjawabkan, dapat dimengerti dan tepat waktu untuk digunakan oleh petugas terkait yang membutuhkan data tersebut. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi nilai dasar komitmen mutu, maka berdampak pada menumpuknya Laporan Realisasi Anggaran per Program yang belum dilaporkan dan ketidaktercapaian target kerja. 5. Anti Korupsi Dalam pengiriman berkas surat pengantar dan laporan realisasi anggaran per program Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara, petugas pengiriman/bendahara pengeluaran tidak menaikkan harga biaya pengiriman. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi nilai dasar Anti Korupsi, maka berdampak pada kerugian keuangan Negara akibat dari mark up biaya pengiriman suratsurat. Kontribusi terhadap visi dan misi organisasi dari kegiatan membuat Laporan Realisasi Anggaran per Program Kejaksaan Tinggi Sulawesi utara adalah : 1. Visi Kejaksaan Dalam melaksanakan kegiatan membuat Laporan Realisasi Anggaran per Program Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara, telah dilaksanakan dan dilaporkan tepat waktu, berdaya guna dan dapat dipertanggungjawabkan agar terwujud Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang bersih, efektif, efisien, transparan, akuntabel dan dapat memberikan pelayanan prima. 2. Misi Kejaksaan Pelaksanakan 330
kegiatan
membuat
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Laporan Realisasi Anggaran per Program Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara telah mengoptimalkan peranan bidang Pembinaan dan Pengawasan dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas bidang-bidang lainnya. Kegiatan membuat Laporan Realisasi Anggaran per Program Kejaksaan Tinggi Tinggi Sulawesi Utara mengandung nilai penguatan organisasi yaitu : 1. S ATYA Kejujuran dalam menginput Laporan Realisasi Anggaran per Program yang nilainya dilihat dari aplikasi SAIBA per satker. 2. A DHI Tanggung jawab terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas mengenai pembuatan dan pelaporan Laporan Realisasi Anggaran per Program Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara 3. WICAKSANA Bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku terhadap seluruh operator SAIBA Kejaksaa Tinggi Sulawesi Utara dan para pegawai yang terkait dalam pembuatan dan pelaporan Laporan Realisasi Anggaran per Program Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara. 3. Membantu Bendahara Pengeluaran dalam membuat Laporan Pertanggung Jawaban Bulanan Tahapan Kegiatan : a. Mengumpulkan dan merekap SPP atau SPM yang telah dikeluarkan dalam periode satu bulan. b. Melakukan Rekapitulasi transaksi dari Kuitansi, Pajak dan transaksi rutin selama satu bulan yang telah berjalan berasal dari semua transaksi SP2D, Pengambilan uang, Penyetoran Pajak dan Pungutan pajak c. Melakukan posting dalam aplikasi SAS d. Melakukan pencetakan BKU (Buku Kas Umum)
e. Membuat dan Merekam Berita Acara Rekonsiliasi f. Sehingga menghasilkan Laporan Pertanggung Jawaban Bendahara Pengeluaran Membantu Bendahara Pengeluaran dalam membuat Laporan mengandung nilai-nilai dasar profesi ASN, yaitu : 1. Akuntabilitas Saya merekapitulasi Laporan Pertanggung Jawaban yang berisi Data Transaksi Operasional dalam sebulan Sehingga menghasilkan LPJ yang sesuai dengan transaksi yang ada dan didukung dengan data pendukung yang memadai. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi nilai dasar akuntabilitas, maka berdampak pada keterlambatan atas laporan yang tidak transparan dan akan menghambat kegiatan operasional Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara. 2. Nasionalisme Saya bekerja sama dengan seluruh petugas administrasi dan Operator SAIBAsehingga mampu menyelesaikan LPJ dengan baik dan benar. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi dengan nilai Nasionalisme dalam bentuk kerjasama, maka berdampak pada tidak terkumpulnya data LPJ Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara 3. Etika Publik Dalam hal ini, saya berkomunikasi dengan baik dan sopan kepada masingmasing staff bendahara dan operator SAIBA Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara sesuai dengan tanggal yang telah ditentukan. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi nilai dasar etika publik, maka tidak terjalin komunikasi yang baik antara saya dengan bidang terkait.
4. Komitmen Mutu Rekapitulasi data laporan bulanan Pertanggung Jawaban Bendahara yang saya kerjakan telah menghasilkan laporan yang berdaya guna, dapat dipertanggungjawabkan, dapat dimengerti, tepat waktu dan dapat digunakan oleh petugas terkait yang membutuhkan data tersebut. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi nilai dasar komitmen mutu, maka berdampak pada menurun kinerja instansi dan ketidaktercapaian target kerja. 5. Anti Korupsi Pencatatan dan pelaporan nilai yangb terkandung dalam LPJ Bendahara sesuai dengan SPP, SPM dan SP2D yang dikeluarkan dan dokumendokumen pendukung lainnya. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi nilai dasar Anti Korupsi, maka berdampak pada kerugian Negara atas kesalahan pencatatan atau manipulasi data terkait dalam mengeluarkan SPP, SPM dan SP2D. Kontribusi terhadap visi dan misi organisasi dari kegiatan membantu Bendahara dalam membuat LPJ Bendahara Pengeluaran adalah : 1. Visi Kejaksaan Dalam melaksanakan kegiatan membuat LPJ rutin Bendahara Pengeluaran Kejaksaan Tinggi Sulawesi utara, telah dilaksanakan dan dilaporkan tepat waktu, berdaya guna dan dapat dipertanggungjawabkan agar terwujud Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang bersih, efektif, efisien, transparan, akuntabel dan dapat memberikan pelayanan prima. 2. Misi Kejaksaan Pelaksanakan kegiatan membuat LPJ rutin Bendahara Pengeluaran Kejaksaan Tinggi Sulawesi utara telah mengoptimalkan peranan bidang
Analisis Peran Auditor Internal Dalam Meningkatkan Kinerja Kejaksaan (Study Kasus pada Auditor.... - Abik Afada
331
Pembinaan dan Pengawasan dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas bidang-bidang lainnya. Kegiatan membantu membuat LPJ Bendahara Pengeluaran Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara mengandung nilai penguatan organisasi yaitu : 1. SATYA Kejujuran dalam membantu membuat LPJ Rutin Bendahara Pengeluaran Kejaksaan Tinggi Sulawesi utara sesuai dengan data pendukung yang ada seperti SPP, SPM, SP2D dan data pendukung lainnya. 2. ADHI Tanggung jawab terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas mengenai membantu membuat LPJ Rutin Bendahara Pengeluaran Kejaksaan Tinggi Sulawesi utara. 3. WICAKSANA Bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku terhadap seluruh Operator SAIBA Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara dan para pegawai yang terkait dalam perekapan dan pelaporan data laporan bulanan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara. 4. Mendistribusikan Surat-surat ke Kejaksaan Negeri Se-Sulawesi Utara Tahapan Kegiatan : a. Menerima fax/email/surat masuk dari Kejaksaan Agung RI atau surat yang dibuat dari bagian keuangan yang selanjutnya harus didistribusikan ke setiap Kejaksaan Negeri Se-Sulawesi Utara b. Membuat Konsep Surat tentang revisi anggaran tentang aplikasi baru, atau informasi penting lainnya c. Meminta Paraf Kasubbag Keuangan dan tanda tangan Asisten Pembinaan sebelum distribusi Surat d. Memintakan nomor surat pada bidang Tata Usaha. e. Memperbanyak dan membubuhkan stempel pada surat yang akan dikirim. 332
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
f. Membuat Amplop Kebutuhan
Sesuai
dengan
g. Menulis/mengetik nomor dan tujuan surat pada amplop surat serta memasukkan surat tersebut ke dalam amplopnya. h. Surat yang sudah siap untuk dikirim diserahkan ke bagian Tata Usaha untuk dikirimkan ke setiap Kejaksaan Negeri Se-Sulawesi Utara. Mendistribusikan Surat-surat ke Kejaksaan Negeri Se-Sulawesi Utara mengandung nilai-nilai dasar profesi ASN, yaitu : 1. Akuntabilitas Saya bertanggung jawab terhadap suratsurat yang didistribusikan sehingga sampai tepat waktu dan diterima oleh pihak yang berkepentingan. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi nilai dasar Akuntabilitas, maka berdampak pada terlambatnya pengiriman suratsurat ke Kejaksaan Negeri Se-Sulawesi utara 2. Nasionalisme Saya bekerja sama dengan staf di Tata Usaha untuk kelancaran dalam pengiriman surat-surat. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi dengan nilai Nasionalisme dalam bentuk kerjasama, maka berdampak pada keterlambatan dalam pengiriman suratsurat. 3. Etika Publik Dalam hal ini saya berkomunikasi dengan baik dan sopan kepada staf di bagian Tata Usaha untuk kelancaran pengiriman surat-surat. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi nilai dasar etika publik, maka tidak terjalin komunikasi yang baik antara saya dengan bidang terkait. 4. Komitmen Mutu Pengiriman surat-surat tepat waktu
sehingga dapat diterima dengan tepat waktu pula oleh pihak yang berkepentingan. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi nilai dasar Komitmen Mutu, maka berdampak pada keterlambatan surat sampai pada pihak yang berkepentingan. 5. Anti Korupsi Penggunaan kertas dan tinta printer secara efisien, sehingga tidak merugikan Negara dalam hal ini adalah menghemat stok barang habis pakai yang digunakan dalam keperluan kantor. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi nilai dasar Anti Korupsi, maka berdampak pada cepat habisnya stok barang habis pakai yang ada di kantor. Kontribusi terhadap visi dan misi organisasi dari kegiatan mendistribusikan surat-surat ke Kejaksaan Negeri Se-Sulawesi Utara adalah : 1. Visi Kejaksaan Dalam melaksanakan kegiatan mendistribusikan surat-surat ke Kejaksaan Negeri Se-Sulawesi Utara, telah dilaksanakan tepat waktu, berdaya guna dan dapat dipertanggungjawabkan agar terwujud Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang bersih, efektif, efisien, transparan, akuntabel dan dapat memberikan pelayanan prima. 2. Misi Kejaksaan Pelaksanakan kegiatan mendistribusikan surat-surat ke Kejaksaan Negeri SeSulawesi Utara telah mengoptimalkan peranan bidang Pembinaan dan Pengawasan dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas bidang-bidang lainnya. Kegiatan mendistribusikan suratsurat ke Kejaksaan Negeri Se-Sulawesi Utara mengandung nilai penguatan organisasi yaitu :
1. SATYA Kejujuran dalam mendistribusikan surat-surat ke Kejaksaan Negeri SeSulawesi Utara adalah dengan tidak menyelipkan surat atau dengan sengaja tidak mengirimkan satu atau beberapa surat yang seharusnya segera dikirim juga. 2. ADHI Tanggung jawab terhadap pendistribusian surat-surat ke Kejaksaan Negeri Se-Sulawesi Utara agar dikirim tepat waktu dan diterima tepat waktu oleh pihak-pihak yang berkepentingan. 3. WICAKSANA Bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku terhadap staf di bagian Tata Usaha guna kelancaran permintaan nomor surat dan pengiriman surat. 5. Mengarsip Surat Masuk dan Surat Keluar Tahapan Kegiatan : 1. Menerima fax/email/surat masuk dari Kejaksaan Agung RI, Kejaksaan Negeri Se-Sulawesi Utara maupun dari Instansi Lain yang telah didisposisi oleh Bagian Umum 2. Mengambil arsip surat keluar yang telah selesai pengadministrasiannya sampai ke pengiriman. 3. Mengcopy surat masuk tersebut dan diberikan kepada Kasubag Keuangan atau yang berwenang dalam perihal tujuan surat masuk. 4. Mengarsip surat masuk yang asli ke dalam outner surat masuk. 5. Mengarsip surat keluar yang asli ke dalam outner surat keluar. 6. Mengetik/menulis daftar surat pada form surat masuk yang terdiri dari no urut, nomor dan tanggal surat, pejabat/ yang mengeluarkan dan tentang/ perihal. 7. Membuat dan menempelkan no urut (lidah surat) pada bagian kanan atas surat masuk untuk mempermudah pencarian surat jika diperlukan.
Analisis Peran Auditor Internal Dalam Meningkatkan Kinerja Kejaksaan (Study Kasus pada Auditor.... - Abik Afada
333
Mengarsip Surat Masuk dan Surat Keluar mengandung nilai-nilai dasar profesi ASN, yaitu : 1. Akuntabilitas Saya bertanggung jawab terhadap pengarsipan surat-surat masuk yang diarsipkan ke dalam outner surat masuk dan surat keluar. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi nilai dasar Akuntabilitas, maka berdampak pada hilangnya arsip surat masuk dan surat keluar. 2. Nasionalisme Penggunaan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam pengetikan/ penulisan pada form daftar list surat masuk dan surat keluar. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi dengan nilai Nasionalisme, maka berdampak pada form daftar list surat masuk dan surat keluar akan sulit dipahami oleh staf yang ingin mencari arsip surat masuk dan surat keluar untuk keperluannya. 3. Etika Publik Dalam hal ini, saya berkomunikasi dengan baik dan sopan kepada staf yang memerlukan arsip surat masuk dan surat keluar untuk keperluannya. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi nilai dasar etika publik, maka tidak terjalin komunikasi yang baik antara saya dengan staf yang memerlukan arsip surat masuk dan surat keluar tersebut. 4. Komitmen Mutu Dalam pengarsipan surat masuk atau surat keluar, didasarkan atas nilai efektifitas dan efisiensi maksudnya adalah pengarsipan surat masuk atau surat keluar yang tepat waktu dan pendayagunaan outner surat masuk atau surat keluar agar mempermudah dalam pencarian arsip surat masuk atau surat keluar. 334
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi nilai dasar Komitmen Mutu, maka berdampak pada sulitnya mencari arsip surat masuk atau surat keluar apabila diperlukan. 5. Anti Korupsi Pendayagunaan outner secara efisien yaitu jika masih ada outner lama yang sudah tidak terpakai tetapi masih dapat digunakan, sebaiknya didayagunakan kembali untuk keperluan sekarang sehingga tidak merugikan Negara dalam hal ini adalah menghemat stok barang habis pakai yang digunakan dalam keperluan kantor. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi nilai dasar Anti Korupsi, maka berdampak pada cepat habisnya stok barang habis pakai yang ada di kantor. Kontribusi terhadap visi dan misi organisasi dari kegiatan mengarsip surat masuk dan Surat Keluar adalah : 1. Visi Kejaksaan Dalam melaksanakan kegiatan mengarsip surat masuk dan surat keluar, telah dilaksanakan pengarsipan tepat waktu, berdaya guna dan dapat dipertanggungjawabkan agar terwujud Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang bersih, efektif, efisien, transparan, akuntabel dan dapat memberikan pelayanan prima. 2. Misi Kejaksaan Pelaksanakan kegiatan mengarsip surat masuk dan surat keluar telah mengoptimalkan peranan bidang Pembinaan dan Pengawasan dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas bidang-bidang lainnya. Kegiatan mengarsip surat masuk dan surat keluar mengandung nilai penguatan organisasi yaitu : 1. SATYA Kejujuran dalam mengarsip surat masuk atau surat keluar adalah dengan
tidak menyelipkan surat masuk atau surat keluar atau dengan sengaja tidak mengarsipkan surat masuk atau surat keluar atau dengan sengaja menghilangkannya. 2. ADHI Tanggung jawab terhadap pengarsipan surat masuk atau surat keluar agar diarsip tepat waktu dan diarsipkan di outner surat masuk sehingga mempermudah dalam pencarian arsip surat masuk atau surat keluar apabila diperlukan. 3. WICAKSANA Bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku terhadap staf yang memerlukan arsip surat masuk atau surat keluar untuk keperluannya. 6. Melaksanakan Piket Kantor Tahapan Kegiatan : a. M elaporkan keadaan kantor kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara. b. M encatat keadaan kantor di buku harian laporan piket yang meliputi : hari, tanggal, nama petugas piket, kegiatan selama piket dan keadaan kantor. c. M enerima tamu dan mengantarkannya ke tujuan. d. M embuat Berita Acara Serah Terima dengan satpam kantor atau dengan petugas piket yang baru Melaksanakan piket kantor mengandung nilai-nilai dasar profesi ASN, yaitu : 1. Akuntabilitas Saya melaksanakan tugas piket dengan penuh tanggung jawab mengenai situasi dan kondisi kantor. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi nilai dasar Akuntabilitas, maka berdampak pada teguran dari pegawai bahkan Kajati karena banyak tamu yang keluar masuk tanpa memperhatikan peraturan yang ada.
2. Nasionalisme Dalam menerima tamu saya tidak mendiskriminasi atau membedabedakan suku dan agama tamu dan saya menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi dengan nilai Nasionalisme, maka terjadi konflik antar suku atau agama dan juga masyarakat dapat merasakan kekecewaan akibat dari tidak digunakannya Bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam pelayanan publik. 3. Etika Publik Melaksanakan sesuai perintah dengan kedisiplinan dan melayani tamu dengan sikap hormat, sopan dan tanpa tekanan. Di samping itu saya memberikan informasi secara benar dan tidak menyesatkan kepada tamu. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi dengan nilai Etika Publik, maka menyebabkan tamu/masyarakat merasa kecewa dan sakit hati apabila saya menggunakan tata bahasa yang kurang sopan dan kasar. 4. Komitmen Mutu Memberikan pelayanan publik yang efektif yaitu dengan hadir di pos piket tepat waktu dari mulai hingga berakhirnya jam piket kantor. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi dengan nilai Komitmen Mutu, maka menyebabkan tamu/masyarakat merasa kecewa karena pelayanan publik yang tidak tepat waktu. 5. Anti korupsi Bebas dari gratifikasi dalam bentuk apapun dan bebas dari tekanan dari pihak manapun dalam hal penerimaan tamu. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi
Analisis Peran Auditor Internal Dalam Meningkatkan Kinerja Kejaksaan (Study Kasus pada Auditor.... - Abik Afada
335
dengan nilai Anti Korupsi, maka berdampak pada pembentukan pola pikir masyarakat bahwa semua dapat berjalan lancar dengan uang ataupun pemberian hadiah. Kontribusi terhadap visi dan misi organisasi dari kegiatan melaksanakan piket kantor adalah : 1. Visi Kejaksaan Dalam melaksanakan kegiatan piket kantor telah dilaksanakan dengan tepat waktu, bertanggung jawab, bebas dari tekanan dari pihak manapun dan terbuka dalam pemberian informasi kepada masyarakat agar terwujud Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang bersih, efektif, efisien, transparan, akuntabel dan dapat memberikan pelayanan prima. 2. Misi Kejaksaan Pelaksanakan kegiatan piket kantor telah mengoptimalkan tugas pelayanan publik di bidang hukum dengan penuh tanggung jawab, taat azas, efektif dan efisien serta penghargaan terhadap hakhak publik. Kegiatan melaksanakan piket kantor mengandung nilai penguatan organisasi yaitu : 1. SATYA Kejujuran untuk menolak gratifikasi dalam bentuk apapun dan dari manapun. 2. ADHI Tanggung jawab terhadap situasi dan keadaan kantor dari dimulainya piket hingga berakhirnya jam piket kantor. 3. WICAKSANA Kebijaksanaan dalam tutur kata dan tingkah laku dalam menerima tamu. 7. Melakukan Komunikasi dengan BPKP Perwakilan Sulut. Tahapan Kegiatan : a. Mengumpulkan permasalahan dalam melakukan pembuatan laporan 336
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
keuangan baik dari kejati maupun dari kejari se-sulawesi utara. b. Melakukan komunikasi aktif dengan auditor BPKP dalam pembuatan Laporan keuangan yang Andal dan Akuntabel Menerima masukan dan saran dari Auditor BPKP dalam pembuatan laporan yang lebih baik c. Memperbaiki secara aktif hal-hal yang perlu dilakukan revisi secara penulisan maupun secara substansi nilai material dalam laporan keuangan. Melakukan Komunikasi dengan BPKP Perwakilan Sulut mengandung nilai-nilai dasar profesi ASN, yaitu : 1. Akuntabilitas Saya bertanggung jawab terhadap saat melakukan komunikasi dapat menjalankan tugas dengan baik sehingga mampu menciptakan laporan keuangan yang lebih baik. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi nilai dasar akuntabilitas maka akan berdampak pada proses komunikasi dengan BPKP terkait pembuatan laporan yang tidak akurat dan kurang mendapat opini yang baik dalam pembuatan laporan keuangan dalam proses audit 2. Nasionalisme Saya akan bekerja sama dengan Auditor BPKP dan Melakukan komunikasi aktif dalam proses pembuatan laporan keuangan yang andal, akurat dan akuntabel. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi dengan nilai Nasionalisme dalam kerjasama, maka akan berdampak pada Proses pembuatan laporan Laporan Keuangan Kejaksaan Tinggi Sulut maupun Kejaksaan negeri se-Sulawesi Utara menjadi kurang transparan 3. Etika Publik Dalam hal ini, Saya akan berkomunikasi
dengan baik dan sopan kepada auditor BPKP dalam proses kuinikasi aktif dalam melakukan proses pembuatan laporan keuangan yang baik Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi nilai dasar etika publik maka tidak akan terjalin komunikasi yang baik antara saya dan Auditor BPKP Perwakilan Sulut. 4. Komitmen Mutu Laporan Keuangan Bulanan Keuangan yang saya kerjakan dan saya buat dengan komunikasi BPKP harus menghasilkan laporan yang berdaya guna, dapat dipertanggungjawabkan, dapat dimengerti dan tepat waktu untuk digunakan oleh petugas terkait yang membutuhkan data tersebut. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi nilai dasar komitmen mutu, maka akan berdampak pada ketidaktahuan mengenai peringkat kerja pelaksanaan Transparansi dan pembuatan Laporan Keuangan yang andal Kejaksaan Sulawesi Utara dan ketidaktercapain target kerja. 5. Anti Korupsi Dalam proses komunikasi dengan BPKP dan dalam proses pembuatan laporan keuangan berdasarakan data factual transaksi keuangan yang dilakukan oleh Kejati sulut atau Kejati se-Sulawesi Utara tidak ada data yang di tambah atau menaikan nilai material. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi nilai Anti Korupsi, maka akan berdampak pada kerugian keuangan Negara akibat dari kegiatan yang di mark up anggaran. Kontribusi terhadap visi dan misi organisasi dari kegiatan Melakukan Komunikasi dengan BPKP Perwakilan Sulut adalah : 1. Visi Kejaksaan
Dalam melaksanakan kegiatan melakukan komunikasi dengan BPKP Perwakilan Sulut, telah dilaksanakan pengarsipan tepat waktu, berdaya guna dan dapat dipertanggungjawabkan agar terwujud Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang bersih, efektif, efisien, transparan, akuntabel dan dapat memberikan pelayanan prima. 2. Misi Kejaksaan Pelaksanakan kegiatan melakukan komunikasi dengan BPKP Perwakilan Sulut telah mengoptimalkan peranan bidang Pembinaan dan Pengawasan dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas bidang-bidang lainnya. Kegiatan melakukan komunikasi dengan BPKP Perwakilan Sulut mengandung nilai penguatan organisasi yaitu : 1. SATYA Kejujuran dalam Komunikasi dengan BPKP adalah berupa kejujuran, tanggung jawab dan trasnparansi Laporan Keuangan dalam Membuat Laporan Keuangan 2. ADHI Tanggung jawab terhadap pola komunikasi adalah langkah awal dalam pembuatan laporan keuangan yang transparan dan kredibel sehingga menunjukan anggran basis kinerja dalam pembuatan laporan keuangan. 3. WICAKSANA Bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku terhadap para auditor BPKP sehingga menjadi laporan keuangan sesuai dengan regulasi dan peraturan yang telah di tetapkan. 7. Membantu Jaksa dalam perkara Tindak Pidana Korupsi Tahapan Kegiatan : 1. Mengidentifikasi Penyimpangan yang terjadi yaitu adanya mark-up/kemahalan harga, kualitas barang lebih rendah, kontrak / pembayaran fiktif harga barang terlalu rendah dan sebagainya,
Analisis Peran Auditor Internal Dalam Meningkatkan Kinerja Kejaksaan (Study Kasus pada Auditor.... - Abik Afada
337
menelaah dasar hukum yang diaudit standar akuntansi keuangan, keputusan presiden, peraturan pemerintah dan peraturan perundang-undangan lainnya, meneliti kasus yang terjadi apakah termasuk kategori merugikan keuangan Negara 2. Mengidentifikasi Transaksi missal Pengadaan barang/ jasa, atau penyaluran kredit dsb, Menentukan jenis kerugian (misalnya hilang/ kurang diterimanya suatu hak, penerimaan diterima lebih kecil/ tidak diterima dan sebagainya. 3. Mengidentifikasi, Mengumpulkan, Verifikasi dan Analisis Bukti yang berhubungan dengan perhitungan kerugian keuangan Negara. 4. Menghitung Jumlah Kerugian Keuangan Negara berdasarkan bukti bukti yang telah di identifikasi, dikumpulkan, di verifikasi, dan di analisis, kemudian dihitung jumlah kerugian Negara yang terjadi. Membantu Jaksa dalam perkara Tindak Pidana Korupsi mengandung nilai-nilai dasar profesi ASN, yaitu : 1. Akuntabilitas Saya bertanggung jawab terhadap Membuat Laporan/ Matriks Kerugian keuangan Negara menghasilkan laporan yang dapat dipertanggungjawabkan yang dapat di gunakan sebagai dasar dalam langkah pemeriksaan dan keterbutuhan pemberian keterangan Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi nilai dasar akuntabilitas maka akan berdampak pada proses pembuatan laporan yang tidak akurat dalam memberikan keterangan terkait nilai material kerugian negara. 2. Nasionalisme Saya akan bekerja sama dan membantu Jaksa pemeriksa maupun Auditor BPKP dan Melakukan proses pengumpulan data untuk keperluan penghitungan kerugian keuangan Negara sehingga menghasilkan data laporan yang andal, akurat dan akuntabel. 338
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi dengan nilai Nasionalisme dalam kerjasama, maka akan berdampak pada proses penghitungan kerugian keuangan Negara dan kurang akurat dalam melukan proses penyelidikan maupun proses penyidikan. 3. Etika Publik Dalam hal ini saya dapat berkomunikasi dengan baik dan sopan dengan Tim penyelidik/Penyidik dalam membantu proses penghitungan kerugian keuangan Negara. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi nilai dasar etika publik maka tidak akan terjalin komunikasi yang baik antara saya dan Auditor BPKP Perwakilan Sulut. 4. Komitmen Mutu Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara yang saya kerjakan harus menghasilkan laporan yang berdaya guna, dapat dipertanggungjawabkan, dapat dimengerti dan tepat waktu untuk digunakan oleh petugas terkait atau Jaksa yang membutuhkan data tersebut. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi nilai dasar komitmen mutu, maka akan berdampak pada proses penghitungan Negara yang tidak segera selesai. 5. Anti Korupsi Dalam proses penghitungan kerugian keuangan negara berdasarakan data faktual transaksi keuangan yang dilakukan oleh subyek yang sedang diperiksa tidak ada data yang di tambah atau menaikan nilai material. Analisa Dampak : Jika kegiatan ini tidak dilandasi nilai Anti Korupsi, maka akan berdampak pada kerugian keuangan Negara akibat tidak melakukan penghitungan sesuai dengan data yang di miliki.
Kontribusi terhadap visi dan misi organisasi dari kegiatan Membantu Jaksa dalam perkara Tindak Pidana Korupsi adalah : 1. Visi Kejaksaan Dalam melaksanakan kegiatan membantu Jaksa dalam perkara tindak pidana korupsi telah dilaksanakan dengan tepat waktu, berdaya guna dan tepat sasaran agar terwujud Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang bersih, efektif, efisien, transparan, akuntabel dan dapat memberikan pelayanan prima. 2. Misi Kejaksaan Pelaksanakan kegiatan membantu Jaksa dalam perkara tindak pidana korupsi telah mengoptimalkan peranan bidang Pembinaan dan Pengawasan dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas bidang-bidang lainnya. Kegiatan membantu jaksa dalam perkara tindak pidana korupsi mengandung nilai penguatan organisasi yaitu : 1. SATYA Kejujuran dalam membantu jaksa dalam perkara tindak pidana korupsi adalah dengan menghitung atau membuat matrik kerugian keuangan Negara berdasakan dari data pendukungnya. 2. ADHI Tanggung jawab terhadap membantu jaksa dalam perkara tindak pidana korupsi adalah dengan melakukan administrasi yang tertib dan perhitungan yang dapat di pertanggungjawabkan. 3. WICAKSANA Bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku terhadap tim penyidik dan auditor dari BPKP serta terhadap pihak-pihak yang terlibat.
III. PENUTUP a. Kesimpulan 1. Peran Auditor dalam meningkatkan kinerja
Kejaksaan RI adalah awal untuk melakukan Reformasi Birokrasi dalam mewujudkan Kejaksaan yang mampu membuat Laporan Keuangan yang transparan dan akuntabel secara un audit, secara khusus di lingkungan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara, dengan menerapkan nilai-nilai dasar profesi ASN, yaitu : Akuntabilitas, Nasionalisme, Etika Publik, Komitmen Mutu dan Anti Korupsi (ANEKA). 2. Auditor internal juga sangat dibutuhkan oleh satuan pengawasan internal dalam rangka penguatan dan peningkatan kinerja kejaksaan secara khusus dalam melakukan penelitian awal atas laporan keuangan un audit dari lembaga kejaksaan sebelum diaudit oleh BPK RI, serta berperan dalam melakukan perhitungan kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi yang ditangani oleh kejaksaan secara khusus perkara korupsi yang disidik oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara. b. Saran 1. Pola baru dalam melakukan peran auditor secara maksimal ini harus tetap diselenggarakan dan ditingkatkan mutunya guna menciptakan ASN Kejaksaan RI yang bersih, efektif, efisien, transparan dan akuntabel untuk dapat memberikan pelayanan yang prima dalam mewujudkan supermasi hukum secara professional, proporsional dan bermartabat yang berlandaskan keadilan, kebenaran serta nilai-nilai kepautan. 2. Perlu dilakukan pelatihan secara berkala bagi para auditor internal kejaksaan baik di lingkungan badiklat kejaksaan maupun bekerjasama dengan badiklat BPK RI atau BPKP.
Daftar Pustaka American Institute of Certified Public Accountants (AICPA).2004, July. Forensic services, audits, and corporate governance: Bridging the gap (Discussion memorandum). New York: Author. A.A., Arens, Elder, dan Beasley, Auditing dan jasa
Analisis Peran Auditor Internal Dalam Meningkatkan Kinerja Kejaksaan (Study Kasus pada Auditor.... - Abik Afada
339
Assurance Pendekatan terintegrasi Jilid 1 Edisi kedua belas, Erlangga, Jakarta, 2008 Agoes, Sukrisno, Auditing (Pemeriksaan Akuntan) oleh Kantor Akuntan Publik Jilid Dua, Edisi Ketiga, Penerbit FEUI, Jakarta, 2004 Association of Certified Fraud Examiners. (2006). Report to the nation on occupational fraud and abuse. Austin, TX: Author. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (2006). Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (2006). Audit Investigatif. Baheram, L.1992. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jakarta: Aksara Baru. Bakker, Anton dan Achmad Chairis Zubair. (1994). Pustaka Filsafat : Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Kanisius. Bolgna, J. G., dan Linquist, R. J. 1995. Fraudauditing and forensic accounting. New York: Wiley. Boynton, Johnson, dan Kell, Modern Auditing Jilid 1 Edisi Ketujuh (Alih Bahasa Rajoe, P.A., Gania, G., Budi, I. S.), Erlangga, Jakarta, 2003 Crumbley, D. Larry, Journal of Forensic Accounting, dari home page-nya Chandri, Hudri, Modul Internal Audit, Pamulang, 2009 Danim, Sudarwan.2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia Djarwanto, Pokok-pokok Analisa Laporan keuangan, BPFE, Yogyakarta, 2001 Guy, Dan. M., Wayne Alderman, dan Alan J. Winters, Auditing, Jilid 2, Edisi 5 (Alih Bahasa Sugiyarto), Erlangga, Jakarta, 2002 . Fitriyani, Rika.2012.Pengaruh Kemampuan Auditor Investigatif Terhadap Efektivitas Pelaksanaan Prosedur Audit Dalam Pembuktian Kecurangan. Universitas Pasundan. Harahap, Sofyan Syafri, Analisa Kritis Atas Laporan Keuangan, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002 Kasmir, Manajemen Perbankan, PT Rajagrafindo Persada Jakarta, 2003 Karyono Ak, 340
MM.
2013.
Forensic
Fraud.
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Yogyakarta: Penerbit Andi. Iskamto.2012.Pedoman Penyusunan Laporan Keuangan Kejaksaan RI.Jakarta : Biro Keuangan Kejaksaan Agung RI. Sawitri, Sari . 2009. Analisi Faktor-faktor Penentu Kualitas Audit yang dirasakan dan Kepuasan Auditee di Pemerintahan Daerah. Universitas Diponegoro Sawyer. Edisi Kelima. Terjemahan Desi Adhariani, Salemba Empat, Jakarta, 2005 Sukarno, Edy, Sistem Pengendalian Manajemen. Suatu Pendekatan Praktis, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000 Tuanakota, Theodorus M. 2007. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Tugiman, Hiro, Standar Profesional Audit Internal, Edisi Kelima, Kanisius, Yogyakarta, 2006 Warren, Reeve, dan Fess, Accounting (Pengantar Akuntansi) Buku Satu Edisi 2, Salemba Empat, Jakarta, 2008 Wahyudi, Darngiyanto.2010.Efektivitas Peran Audit Internal Dalam Peran Operasional Manajemen Risiko Pada Perbankan Syariah.Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Lampiran :
EXECUTIVE SUMMARY SEMINAR NASIONAL 2015 “PENYELESAIAN SECARA NON YUDISIAL PERKARA PELANGGARAN HAM BERAT MASA LALU DALAM UPAYA MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM DAN STABILITAS NASIONAL” I. PENDAHULUAN Isu penegakan hukum terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat masa lalu kembali mencuat kepermukaan, dengan tuntutan agar penyelesaiannya dilakukan melalui penegakan hukum (law enforcement). Berkaitan dengan hal salah satu agenda politik yang dicanangkan pemerintahan Joko Widodo dalam “Nawacita”, adalah berhubungan dengan penegakan hukum, yang berkeadilan dan adanya kepastian maka permasalahan mengenai penyelesaian perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat di masa lalu perlu dicarikan jalan keluarnya sejalan dengan perkembangan kesadaran hukum dalam masyarakat, dengan format penyelesaian yang dapat diterima semua pihak. Melalui suatu kajian ilmiah yang transparan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Republik Indonesia, bekerjasama dengan Panitia Pusat Hari Bhakti Adyaksa Tahun 2015 dan Persatuan Jaksa Indonesia (PJI), telah mengadakan seminar nasional di Mawar Confrence Room Balai Kartini Jakarta Selatan dengan topik “PENYELESAIAN SECARA NON YUDISIAL PERKARA PELANGGARAN HAM BERAT MASA LALU DALAM UPAYA MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM DAN STABILITAS NASIONAL”.Seminar yang diikuti sekitar 200 (dua ratus) orang peserta baik dari kalangan birokrat, politisi, militer, akademisi dari kalangan PTN dan PTS dari wilayah pulau Jawa, Sumatera , Sulawesi, Maluku, dan Papua berikut para mahasiswanya, kamar peradilan Mahkamah Agung, Advokad, Wartawan dan perwakilan lintas generasi baik dari Jaksa-Jaksa senior yang tergabung dalam KPBA, dan generasi muda kejaksaan yang diwakili para calon jaksa serta dari Komisi Kejaksaan Republik Indonesia. Pembahasan topik seminar tersebut diatas dilakukan dengan menghadirkan para narasumber yang mumpuni dalam keilmuannya dan kompeten sesuai bidang hak asasi manusia, narasumber dimaksud adalah : 1. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. (Dewan Penasehat KOMNAS HAM), dengan makalah berjudul “Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM Berat Secara Non Yudisial Sebagai Bagian Dari Rekonsiliasi Nasional” 2. Prof. Dr. Muladi, SH., dengan makalah berjudul “ Tujuan Peneggakan Hukum Pidana Dalam Perkara Pelanggaran HAM Berat Di Masa Lalu Dihubungkan Dengan Eksistensi Penyelesaiannya Secara Yudisial” 3. Ahmad Zacky Siradj, (Anggota Komisi III DPR RI dari GOLKAR), dengan makalah berjudul “Politik Hukum Dan Program Legislasi Nasional Terkait Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu” 4. Nur Kholis, SH., MA. (Ketua KOMNAS HAM), dengan makalah berjudul “Mekanisme Ideal Penyelesaian Perkara Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM Berat Untuk Mewujudkan Kepastian Hukum dan Keadilan” 5. Prof. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M., Ph.D (Guru Besar Hukum Internasional FH Universitas Indonesia), dengan makalah berjudul “Ketidakefektifan Perjanjian Internasional Bidang HAM” II. POKOK-POKOK PEMIKIRAN YANG BERKEMBANG SELAMA BERLANGSUNG-NYA SEMINAR 1. Pandangan Jaksa Agung R.I :H.M. Prasetyo. Bapak H.M. Prasetyo, sebagai Jaksa Agung R.I, yang membuka secara resmi pelaksanaan seminar nasional tersebut, dalam sambutannya selaku keynote speech yang dibacakan oleh Bapak Dr. H.M. Andhi Nirwanto, SH., MH (Wakil Jaksa Agung R.I), menyampaikan hal-hal antara lain sebagai berikut : 1) Dewasa ini penyelesaian kasus pelanggaran HAM bukan hanya menjadi perhatian dari dalam negeri, namun telah menjadi perhatian dari dunia internasional dengan ditandai semakin berkembangnya berbagai bentuk konvenan maupun perjanjian internasional mengenai HAM yang diselenggarakan oleh PBB maupun organisasi internasional lainnya.Maka sebagai bangsa yang berdaulat, Indonesia juga berupaya menjadikan Seminar Nasional Penyelesaian Secara Non Kejaksaan Yudisial perkara - Executive Summary Analisis Peran Auditor Internal2015 Dalam Meningkatkan Kinerja (StudyPelanggaran... Kasus pada Auditor.... - Abik Afada
341
penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM sebagai prioritas penanganannya, untuk mewujudkan eksistensi Indonesia sebagai Negara Hukum yang bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang mana komitmen tersebut sejalan dengan Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yang dalam salah satu poinnya menempatkan konsensus nasional untuk melakukan penyelesaian secara berkeadilan atas kasus Pelanggaran HAMMasa Lalu. 2) Bahwa penyelesaian pelanggaran HAM yang BeratMasa Lalu merupakan pekerjaan yang tidak mudah, selain diperlukan kecermatan dalam pembuktian substansi perkara tersebut, namun juga diperlukan komitmen yang kuat dari pemangku kebijakan terkait pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc melalui mekanisme politik di DPR sebagaimana diamanatkan pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, sehinggaupaya yudisial yang telah ditempuh sejak diberlakukannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memberikan pengalaman berharga bagi bangsa dalam menangani kasus pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu. 3) Kejaksaan telah menindaklanjuti 3 (tiga) penyelidikan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan mengajukannya ke Pengadilan yaitu : Peristiwa Timor-Timur, Peristiwa Tanjung Priok dan Peristiwa Abepura, sedangkan sebanyak 7 dugaan tindak pidana pelanggaran HAM yang berat yang belum terselesaikan hingga saat ini yaitu: 1. Kasus Peristiwa tahun 1965-1966; 2. Kasus Penembakan Misterius tahun 1982-1985; 3. Kasus Talangsaritahun 1989 ; 4. Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa (PPOSP)tahun 1997 – 1998 ; 5. Kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (TSS)Tahun 1998 ; 6. Kasus Kerusuhan Mei 1998; dan 7. Kasus Wasior tahun 2001 dan Wamena tahun 2003 4) Sesungguhnya, dalam penanganan 7 kasus Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu yang belum terselesaikan tersebut, sudah berbagai upaya telah dilakukan oleh Penyelidik maupun Penyidik, namun nampaknya upaya tersebut masih belum menemui titik terang. Dilain pihak, berdasarkan pasal 46 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM terdapat ketentuan khusus yang menyimpang dari ketentuan hukum pidana yaitu penanganan kasus pelanggaran HAM yang berat tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa. 5) Tantangan sekaligus kesempatan tersebut, menjadikan jajaran Pemerintah di era Presiden Joko Widodo berkomitmen untuk melakukan langkah-langkah strategis, salah satunya terwujud dalam Rapat Koordinasi Khusus Tingkat Menteri dengan melibatkan Komnas HAM, Jaksa Agung, Menkopolhukam, Menkumham, Kapolri, Kepala BIN dan Perwakilan TNI yang dilaksanakan pada tanggal 21 April 2015 dan 21 Mei 2015, yang dari kedua pertemuan tersebut menghasilkan komitmen penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu dengan cara non judicial. Hal tersebut mengacu dari pasal 47 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang menyatakan bahwa Pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. 6) Dalam perkembangan hukum modern, beberapa ahli hukum mengkonsepsikan keadilan dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah Justitia Restorativa, yang merupakan bentuk keadilan yang komprehensif, karena tidak hanya terkait dengan proses persidangan, namun terdapat bagian dari hak korban yang berupa restitusi/ganti rugi dalam arti luas. Dengan demikian keadilan bertujuan untuk melindungi dan meningkatkan martabat manusia (human dignity), baik korban kejahatan, pelaku maupun masyarakat secara keseluruhan, maka upaya rekonsiliasi sejatinya telah sesuai dengan makna yang terkandung dalam sila kelima Pancasila yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. 2. Pandangan Para Narasumber a Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., pada pokoknya menyatakan : 1) Kasus-kasus yang masih memerlukan tindak lanjut ada 6 kasus, yaitu (i) Peristiwa Tahun 1965-1966, (ii) Peristiwa Penembakan Misterius Tahun 1982-1984; (iii) Peristiwa Talangsari Tahun 1989; (iv) Peristiwa Penghilangan Paksa Tahun 1997-1998; (v) Peristiwa Kerusuhan Mei Tahun 1998; dan (vi)
342
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Peristiwa penembakan kasus Trisakti, serta Semanggi I, dan II Tahun 1998. Dari keenam kasus tersebut, khusus untuk peristiwa Talangsari, sudah dilakukan upaya rekonsiliasi dan pemulihan korban, tetapi belum melalui prosedur resmi, sehingga tidak dilakukan pengungkapan kebenaran lebih dulu, sehingga masih dinilai kurang sempurna. 2) Ke-enam kasus tersebut oleh Komnas HAM masih dianggap belum terselesaikan dengan tuntas dan masih memerlukan langkah-langkah tindak lanjut sebagaimana mestinya. Semua berkas mengenai keenam kasus itu sudah disampaikan sesuai dengan prosedur yang berlaku kepada Kejaksaan Agung. Ke-enam kasus tersebut perlu mendapatkan kepastian penyelesaian sebagaimana mestinya, karena sudah terkatung-katung tanpa penyelesaian dalam waktu yang terlalu lama. Pelanggaran HAM berat tidak mengenal kadaluarsa, dan karena itu, tidak ada jalan lain kecuali menyelesaikan kasus-kasus HAM berat di masa lalu itu demi untuk kepentingan bangsa dan negara. 3) Ada beberapa prinsip yang dipandang realistis untuk dijadikan pegangan yang meskipun tidak memuaskan semua pihak, dinilai paling realistis sebagai solusi. Prinsip-prinsip penyelesaian dimaksud adalah: a) Prinsip penyelesaian dilakukan dengan tidak berdasarkan kasus per kasus, tetapi melihat akar masalahnya; b) Motif pengungkapan kebenaran sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya penyelesaian tidak dimaksudkan sebagai eksepresi balas dendam yang dapat memicu sikap defensif dari pihakpihak terkait sebagai pribadi. c) Proses penyelesaian dilakukan melalui pengungkapan kebenaran secara transparan dan akuntabel dengan diikuti upaya rekonsiliasi dan pemulihan sesuai dengan prinsip ‘restorative justice’. d) Perlu dipertimbangkan adanya tahapan dan langkah-langkah sebagai berikut: (a) Tahap I Diperlukan respons dari Kejaksaan Agung R.I terkait ke-enam kasus yang sudah disampaikan secara resmi oleh Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung, apakah hasil penyelidikan oleh Komnas HAMakan dilanjutkan ke tahap penyidikan oleh Kejaksaan Agung atau tidak. Untuk itu diusulkan: • Kejaksaan Agung R.I dan Komnas HAM dapat membentuk Tim Bersama untuk mengadakan gelar kasus bersama secara terbuka, guna memilah kasus mana yang dapat diselesaikan melalui jalur yudisial dan mana yang melalui alur non-yudisial. • Merancang mekanisme penyelesaian untuk dilaporkan kepada Presiden untuk dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi berdasarkan UU dan Keppres atau Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi berdasarkan Perpres dan Keppres. • Mengusulkan kepada Presiden jadwal kerja KKR yang akan diawali pleh Pidato Presiden pada tanggal 15 Agustus 2015 dan diakhiri dengan Pidato Presiden pada tanggal 10 Desember 2015. (b) Tahap II • Terbentuknya KKR yang bersifat independen yang bertanggungjawab kepada Presiden diumumkan oleh Presiden pada tanggal 15 Agustus 2015, dengan menyatakan kesediaan untuk menyampaikan permohonan maaf pada tanggal 10 Desember 2015 dan mulai bekerja sampai dengan tanggal 10 Desember 2015 tersebut. • Dengan terbentuknya KKR, tugas dan tanggungjawab Kejaksaan Agung R.I dan Komnas HAM berakhir dan selanjutnya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu diselesaikan melalui mekanisme KKR tersebut. • KKR mengadakan upaya pencarian kebenaran dengan mengadakan pertemuan dengan semua pihak yang terkait dengan pelaku dugaan pelanggaran HAM maupun dengan pihak korban dan saksi-saksi. • KKR menyusun laporan dan rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh Presiden yang diawali dengan statemen permohonan maaf oleh Presiden atas nama Negara pada tanggal 10 Desember 2015, dan dilanjutkan dengan langkah-langkah pemulihan dan rehabilitasi bagi korban atau keluarganya. Seminar Nasional Penyelesaian Secara Non Kejaksaan Yudisial perkara - Executive Summary Analisis Peran Auditor Internal2015 Dalam Meningkatkan Kinerja (StudyPelanggaran... Kasus pada Auditor.... - Abik Afada
343
(c) Tahap III • •
Tindakan pemulihan dan rehabilitasi, termasuk upaya penyaluran santunan dan kebiijakan kesejahteraan bagi para korban atau keluarganya. Semua tindakan tersebut dilaporkan oleh Presiden dalam Pidato Kenegaraan di hadapan Sidang Paripurna DPR pada tanggal 16 Agustus 2016 yang sekaligus menyatakan bahwa seluruh masalah kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu sudah diselesaikan dengan sebaik-baiknya dan karena itu semua kasus telah berakhir dan tutup buku.
b. Prof. Dr. Muladi, SH., pada pokoknya menyatakan : 1) Penyelesaian perkara pelanggaran HAM Berat dapat dilakukan melalui dua upaya, yaitu yudisial dan non yudisial. Upaya yudisial dilakukan melalui sarana penyelidikan, penyidikan penuntutan dan pemeriksaan pada Pengadilan HAM/AD Hoc. Sedangkan upaya non yudisial dilakukan melalui lembaga KKR (dibentuk dengan UU) maupun melalui Komite atau Badan atau Tim (yang dibentuk berdasarkan kebijakan politik), makadengan adanya Keputusan MK yang membatalkan UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan menyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat karena bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, maka penyelesaian pelanggaran HAM yang berat masa lalu memerlukan langkah-langkah yang bersifat simplifikasi. 2) Langkah-langkah simplifikasi tersebut juga dilakukan dengan memperhitungkan berbagai kendala dan masalah yang dialami berbagai negara dalam melaksanakan keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam masyarakat transisional yang berkaitan dengan kompleksitas pemaknaan dari : Persoalan Keadilan (justice), Kebenaran (truth), Rekonsiliasi (reconciliation), Demokratisasi (democratization) dan Persoalan Budaya (culture). 3) Langkah-langkah Simplifikasi tersebut adalah sebagai berikut : a) Harus dilakukan langkah judisial sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM secara professional, transparan dan akuntabel, mulai dari penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM; b) Kejaksaan Agung juga secara transparan, professional dan akuntabel harus membantu Komnas HAM untuk menemukan bukti-bukti permulaan yang cukup, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan penyidikan dan penuntutan. c) Komnas HAM sewaktu-waktu dapat meminta keterangan secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran HAM yang berat. d) Presiden jangan ragu-ragu untuk mengeluarkan Keppres tentang pembentukan Pengadilan HAM ad hoc atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu . e) Pembuktian harus fokus diarahkan dan berkaitan dengan unsur-unsur utama kejahatan terhadap kemanusian (crimes against humanity) sebagaimana tersebut dalam Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000. f) Apabila dari hasil penyidikan tidak diperoleh bukti yang cukup, maka Jaksa Agung dapat mengeluarkan SP3, yang dapat dibuka kembali dan dilanjutkan apabila terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penydikan untuk dilakukan penuntutan. g) Penyelidik, penyidik, penuntut umum dan hakim di segala tingkatan baik yang bersifat karir maupun ad hoc harus memiliki integritas baik mental maupun intelektual, serta memiliki rekam jejak yang positif. h) Dengan pendekatan keadilan restoratif nasib korban dan atau ahli waris pelanggaran HAM yang berat harus diperhatikan dalam bentuk pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Hal ini harus dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM. Apabila proses Pengadilan HAM tidak terjadi karena kurangnya alat bukti, nasib korban dan ahli warisnya yang jelas-jelas menderita dan pelakunya tidak diketemukan juga harus diperhatikan. i) Terpidana yang melakukan perbuatannya semata-mata atas dasar motif politis (associated with political objectives) yang proporsional dimungkinkan untuk memperoleh amnesti atau grasi. j) Agar rekonsiliasi dilakukan dalam bentuk Kebijakan Hukum (undang-undang) yang serasi dengan UUD NRI Tahun 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal atau melalui Kebijakan Politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum sesuai saran dari MK.
344
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
k) Rekonsiliasi dilakukan dengan melibatkan tokoh-tokoh yang berasal dari pemerintahan baik sipil maupun militer, masyarakat madani, kalangan agama, budayawan dan akademisi yang diseleksi secara ketat. l) Apabila dalam menerapkan KKR di Afrika Selatan digunakan basis budaya Afrika yaitu Ubuntu (human kindness, human toward others, the belief in a universal bond of sharing that connects all humanity), maka bagi Indonesia Ideologi Pancasila sangat memadai untuk dijadikan basis kultural rekonsiliasi dan berperan sebagai batas-batas pembenaran dalam berbuat atau tidak berbuat (margin of appreciation). m) DPR dan seluruh anggota masyarakat diharapkan dapat memantau dan mengawasi segala langkah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, baik yang bersifat judisial maupun non judisial. c. Ahmad Zacky Siradj, pada pokoknya menyatakan : 1) Peranan hukum menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan politik, HAM, dan demokrasi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Fungsi legislasi di Indonesia salah satunya dijalankan oleh lembaga DPR, sebagai mekanisme check and balance yang sebelumnya hanya ditangan eksekutif. 2) Dalam rangka memperkuat upaya penegakan hukum dan melindungi hak asasi warga negara, politik hukum dalam Prolegnas 2014-2019 akan fokus pada pembahasan RUU KUHP dan RUU KUHAP sebagai undang-undang payung, yang kemudian diikuti dengan perubahan UU HAM dan UU terkait lainnya, seperti UU Kejaksaan, UU MA, dan UU Kepolisian dalam rangka menyelaraskan dengan KUHP dan KUHAP yang baru. 3) Penyelarasan pembahasan ini diharapkan sebagai salah satu upaya untuk menciptakan penegakan hukum yang terintegrasi (integrated criminal justice system). Upaya penyelarasan ini juga dilakukan sebagai upaya untuk sinkronisasi dan optimalisasi pembahasan rancangan undang-undang sebagai perwujudan pelaksanaan fungsi legislasi DPR RI dalam mewujudkan upaya perbaikan penegakan hukum ke depan. 4) Dalam rangka penyelesaian pelanggaran HAM Berat masa lalu, Prolegnas 2015-2019 telah memasukkan RUU KKR, draf usulan pemerintah. Dalam pembahasan RUU ini Diharapkan ada kesesuaan visi dari Pemerintah dan masing-masing penegak hukum serta DPR agar tercipta UU KKR yang tidak meninggalkan celah dalam implementasinya dalam rangka mewujudkan kepastian hukum dan ketertiban umum serta stabilitas nasional dengan tetap memperhatikan aspek keadilan. d. Nur Kholis, SH., MA., pada pokoknya menyatakan : 1) Penegakan hukum di bidang HAM secara internasional didasarkan pada filosofi, tidak ada hak asasi manusia, tanpa pemulihan untuk setiap pelanggarannya. Pendekatan ini menjadi dasar untuk menghukum mereka yang bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan [Piagam Nuremberg Pasal 6(c)]. 2) Dalam rangka melindungi HAM dibentuklah International Criminal Court (ICC). Yurisdiksi ICC terbatas pada kejahatan yang paling serius, yaitu Kejahatan Genosida (The Crime Of Genocide); Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity); Kejahatan Perang (War Crimes); dan Kejahatan Agresi (Crime Of Agression). 3) Negara memiliki kewajiban untuk menghormati, menegakkan dan memajukan HAM (Pasal 71 UU No. 39/1999). Dalam rangka melaksanakan kewajiban tersebut, salah satu upaya yang dilakukan negara ialah dengan membentuk komisi yang disebut dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang salah satu tugasnya ialah melakukan penyelidikan terhadap pelangggaran HAM Berat. 4) Penyelesaian perkara pelanggaran HAM Berat dapat dilakukan melalui dua upaya, yaitu yudisial dan non yudisial. Upaya yudisial dilakukan melalui sarana penyelidikan, penyidikan penuntutan dan pemeriksaan pada Pengadilan HAM/AD Hoc. Sedangkan upaya non yudisial dilakukan melalui lembaga KKR (dibentuk dengan UU) maupun melalui Komite atau Badan atau Tim (yang dibentuk berdasarkan kebijakan politik).
Seminar Nasional Penyelesaian Secara Non Kejaksaan Yudisial perkara - Executive Summary Analisis Peran Auditor Internal2015 Dalam Meningkatkan Kinerja (StudyPelanggaran... Kasus pada Auditor.... - Abik Afada
345
e. Prof. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M., Ph.D, pada pokoknya menyatakan : 1) Hak asasi manusia dipercaya memiliki nilai-nilai universal yang tidak mengenal batas ruang dan waktu. Namun dalam kenyataannya, penerapannya di berbagai negara tidak ada kesamaan dan keseragaman. Di Indonesia, berbagi perjanjian internasional yang memuat prinsip-prinsip universal hak asasi manusia, seolah tidak berakibat pada perubahan signifikan bagi kemajuan HAM pada tataran masyarakat. 2) Perjanjian internasional tentang HAM ternyata tidak cukup efektif untuk memperbaiki kondisi upaya memajukan dan menghormati HAM. Ikut tidaknya Indonesia dalam perjanjan internasinal di bidang HAM, HAM harus tetap dihormati, dijunjung tinggi dan dimajukan oleh siapapun. 3) Ada beberapa penyebab tidak efektifnya perjanjian internasional tentang HAM di Indonesia dan negara-negara berkembang pada umumnya. Pertama, terjadinya bias dalam pembuatan dan perancangan perjanjian internasional di bidang HAM, karena lebih dominannya kepentingan negara maju dibandingkan kepentingan negara berkembang. Kedua, keikutsertaan negara-negara berkembang dalam perjanjian internasional di bidang HAM, lebih dikarenakan keterpaksaan bukan kesadaran untuk mengikatkan diri. 4) Oleh karenanya penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia harus disesuaikan dengan iklim budaya yang berkembang dalam kehidupan masyarakat dengan tanpa mengenyampingkan penyelesaian melalui penegakan hukum, namun demikian untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu yang belum terselesaikan saat ini, maka harus dicari format penyelesaian yang dapat diterima semua pihak baik pelaku dan korban/ahli warisnya. 5) Format penyelesaian tersebut dapat dilakukan melalui jalur non yudisial, yang mana pihak Komnas HAM harus beriringan dan bekerjasama serta duduk bersama membicarakan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, yang bermuara kepada pembentukan suatu komite kebenaran dan rekonsialisasi, sehingga penyelesaiannya diselesaikan dengan asas kekeluargaan sebagaimana dianut dalam Pancasila. III. KESIMPULAN : Berdasarkan paparan para narasumber dan pembahasan makalah dalam bentuk diskusi interaktif antara narasumber dengan peserta seminar, maka hasil seminar tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Negara harus hadir dalam menyelesaikan setiap pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang terjadi sebagai pelaksanaan dari State Responsibility, dan tidak bisa berdiam diri, membicarakan pelanggara pelanggaran hak asasi manusia berat yang berlarut-larut, sehingga negara harus berkomitmen dalam bentuk willingness (kemauan) dan ability (kemampuan) dengan membuat satu kebijakan publikuntuk tataran aplikasi, secara khusus terhadap penyelesaian pelanggaran hak asasi manusiaberat di masa lalu. 2. Dalam mengemban kewajiban pertanggungjawaban negara dalam menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu, pemerintahan Joko Widodo telah mengeluarkanPeraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yang dalam salah satu poinnya menempatkan konsensus nasional untuk melakukan penyelesaian secara berkeadilan atas kasus Pelanggaran HAM berat masa lalu. 3. Produk legislasi dari DPR RI untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia berat melalui Undang Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang mempunyai landasan filosofis dan yuridis yang kuat, namun dengan keputusan Mahkamah Konstisusi Nomor : 006/ PUU-IV/2006 tanggal 7 Desember 2006, telah dibatalkan dan dinyatakan tidak lagi memiliki kekuatan mengikat dengan pertimbangan bertentangan dengan konstitusi Mahkamah Konstitusi dalam putusannya antara lain berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR sebagaimana termaktub dalam pasal 2 dan pasal 3 tersebut tidak mungkin dapat diwujudkan karena tidak ada jaminan kepastian hukum (rechtsonzekerheid), namun dicatat, sekalipun “dinyatakannya UU tentang KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, tidak berarti Mahkamah Konstitusi menutup upaya penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu melalui upaya rekonsiliasi, karena banyak cara yang boleh ditempuh untuk itu antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (dalam bentuk undangundang) yang serasi dengan UUD 1945 dan dengan instrument HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum”
346
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
4. Penyelesaian secara rekonsiliasi dengan melakukan rehabilitasi kepada para korban atau ahli warisnya, merupakan suatu cara penyelesaian yang didasarkan pada asas kekeluargaan yang dianut dalam kehidupan budaya masyarakat Indonesia dan sesuai pula dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, sekaligus bahwa bentuk penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu dengan cara rekonsiliasi adalah merupakan perwujudan penyelesaian yuridis secara restoratif justicemelalui pemulihan hak-hak korban dengan cara merehabilitir dan mengganti kerugian secara materiil. 5. Bahwa Jaksa Agung sebagai sentral penegakan hukum harus mengambil langkah-langkah kongkrit untuk menindaklanjuti kebijakan presiden Joko Widodo, sebagaimana tertuang dalam Perpres Nomor 2 Tahun 2015 tersebut, dengan cara melakukan koordinasi dan duduk bersama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), untuk membicarakan penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia berat masa lalu (7 (tujuh) kasus HAM Berat yang telah ada hasil penyelidikannya oleh Komnas HAM), yang mana apabila memang tidak cukup bukti untuk dilimpahkan ke pengadilan HAM, maka dapat disepakati bahwa penyelesaiannya harus dengan cara rekonsiliasi melalui pembentukan Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dengan payung hukum dalam bentuk kepres atau Peraturan Presiden (Perpres), guna menghindari pembentukan Undang Undang tentang rekonsiliasi yang memakan waktu berlarut-larut di badan legislasi DPR RI. IV. REKOMENDASI : A. 1. Bahwa terdapat 6 (enam) peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum ada penyelesaiannya terdiri dari 6 (enam) peristiwa, yaitu: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Peristiwa Tahun 1965-1966; Peristiwa Penembakan Misterius Tahun 1982-1984; Peristiwa Talangsari Tahun 1989; Peristiwa Penghilangan Paksa Tahun 1997-1998; Peristiwa Trisakti, serta Semanggi I, dan II Tahun 1998; Peristiwa Mei Tahun 1998;
Yang kerap disebut sebagai “Peristiwa politik atau Peristiwa kebijakan yang bernuansa pidana“, agar permasalahannya tidak berlarut-larut dan dapat membuktikan adanya ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan instabilitas nasional, maka diperlukan satu komitmen dari negara/pemerintah sebagai bentuk pertanggungjawaban (State Responsibility) untuk menyelesaikannya secara yuridis dalam bentuk out of court settlement, melalui proses rekonsiliasi dengan membentuk satu Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi ((KKR) yang dibentuk dengan Perppu atau Peraturan Presiden, agar tidak terikat dengan kepentingan politik apabila didasarkan pada Undang Undang. 2. Secara teknis yuridis terhadap penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut, Jaksa Agung harus mengambil langkah inisiatif awal untuk membentuk Tim Penyelesaian Perkara HAM berat masa lalu yang bertugas melakukan koordinasi dengan Komnas HAM, melalui pertemuan-pertemuan resmi dalam rangka membicarakan seluruh hasil penyelidikan Komnas HAM yang sudah diserahkan kepada Kejaksaan R.I sehingga dapat mencari solusi penyelesaiannya yang bermuara kepada penyelesaian yuridis dalam bentuk non yudisial (out of court settlement), dan hasil pembicaraan tersebut menjadi dasar bagi Presiden selaku Kepala Negara untuk dilaporkan Jaksa Agung kepada Presiden dan mengambil satu kebijakan publik dalam membentuk Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dengan payung hukum Perppu atau Peraturan Presiden. 3. Bahwa proses penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara khusus terhadap (6 (enam) peristiwa), dapat dilakukan secara komprenhensif dan integral dengan tahapan - tahapan sbb : Tahap I (1) Langkah yang pasti dari pihak Kejaksaan Agung untuk respons secara resmi terhadap laporan dan rekomendasi resmi Komnas HAM, apakah hasil penyelidikan oleh Komnas HAM akan dilanjutkan ke tahap penyidikan oleh Kejaksaan Agung atau tidak. (2) Kejaksaan Agung dan Komnas HAM Republik Indonesia dapat (i) membentuk Tim Bersama yang melibatkan pihak Kejaksaan Agung dan pihak Komnas HAM untuk (ii) mengadakan Gelar Kasus Bersama secara terbuka guna: (iii) memilah kasus mana yang dapat diselesaikan melalui jalur yudisial, Seminar Nasional Penyelesaian Secara Non Kejaksaan Yudisial perkara - Executive Summary Analisis Peran Auditor Internal2015 Dalam Meningkatkan Kinerja (StudyPelanggaran... Kasus pada Auditor.... - Abik Afada
347
dan mana yang melalui jalur non-yudisial, (iv) merancang mekanisme penyelesaian untuk dilaporkan kepada Presiden untuk dibentuknya (a) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi berdasarkan UU dan Keppres, atau Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi berdasarkan Perppu atau Perpres dan Keppres, (b) mengusulkan kepada Presiden jadwal kerja KKR yang akan diawali dalam Pidato Presiden pada tanggal 15 Agustus 2015 dan pada Pidato Presiden pada tanggal 10 Desember 2015 (Peringatan Hari HAM Sedunia). Tahap II (1) Terbentuknya KKR yang bersifat independen yang bertanggungjawab kepada Presiden yang diumumkan oleh Presiden pada tanggal 15 Agustus 2015, dengan menyatakan kesediaan untuk menyampaikan permohonan maaf pada tanggal 10 Desember 2015 dan mulai bekerja sejak tanggal 10 Desember 2015 tersebut. (2) Dengan terbentuknya KKR, tugas dan tanggungjawab Kejaksaan Agung dan Komnas HAM berakhir dan selanjutnya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu diselesaikan melalui mekanisme KKR tersebut. (3) KKR kerap berupaya melakukan pencarian kebenaran dengan mengadakan pertemuan-pertemuan dengan semua pihak yang terkait dengan pelaku dugaan pelanggaran HAM maupun dengan pihak korban dan saksi-saksi. (4) KKR menyusun laporan dan rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh Presiden yang diawali dengan statemen permohonan maaf oleh Presiden atas nama negara pada tanggal 10 Desember 2015, dan dilanjutkan dengan langkah-langkah pemulihan dan rehabilitasi bagi korban atau keluarganya. Tahap III (1) Setelah pernyataan maaf oleh Presiden, proses selanjutnya adalah tindakan pemulihan dan rehabilitasi, termasuk upaya penyaluran santunan dan kebiijakan kesejahteraan bagi para korban atau keluarganya. (2) Semua tindakan tersebut dilaporkan oleh Presiden dalam Pidato Kenegaraan di hadapan Sidang Paripurna DPR pada tanggal 16 Agustus 2016 yang sekaligus menyatakan bahwa seluruh masalah kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu sudah diselesaikan dengan sebaik-baiknya dan karena itu semua kasus melanggar HAM berat masa lalu telah berakhir dan tutup buku. B. Bahwa apabila penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu (khususnya 6 (enam) peristiwa yang telah diselidiki Komnas HAM) tidak dapat diselesaikan melalui jalur KKR, maka penyelesaian harus dilakukan secara yudisial tetapi melalui jalur perdata (bukan pidana) yaitu yang terkait dengan konvensasi. Dikarenakan apabila melalui jalur pidana akan menimbulkan instabilitas nasional. Jakarta, 15 Juni 2015 KEPALA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Dr. Onggal Siahaan, SH., S.Sos., MH.
348
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
INDEX KATA KUNCI adat criminal law vii, 259, 260 [5;3] assistant attorney viii [5;3] attorney viii [5;3] bankruptcy applicant viii, 215 [5;2] certainty vii, 117, 142 [5;2] child protection x, 59 [5;1] corporate criminal liability vii, 153, 159 [5;2] corruption viii, 319 [5;3] criminal law amendment x, 40, [5;1] democracy vii, 231, 240, 241 [5;3] demokrasi v, 231, 233, 236, 237, 240, 241, 242, 243, 244, 246, 247, 248, 249 [5;3] diversi vi, vii, 59, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, [5;1] diversion x, 59 [5;1] double standards ix, 1 [5;1] eksistensi vi, 259, 267, 285 [5;3] ethics bureaucracy viii, 191 [5;2] etika birokrasi vi, 191, 192, 193, 203, 204, 205, 213 [5;2] existency vii, 260 [5;3] field intelligence unit xi, 73 [5;1] formulation ix, x, 11, 12 [5;1] hukum acara pidana vi, 39, 65, 66 [5;1] hukum pidana adat v, vi, 259, 261, 266, 267, 268, 276, 284, 285, vi, 286, 259–344, 259, 261, 266, 267, 268, 276, 284, 285, 286 [5;3] human rights ix, x, 11, 12 [5;1] Indonesian legal system vii, 260 [5;3] international convention x, 12 [5;1] jaksa vi, 291, 292, 293, 294, 295, 296, 303, 297, 298, 299, 300, 301, 302, 303, 304, 319, 291, 296, 304, 321, 339, 317, 305, 305, 306, 324, 339 [5;3] jaksa penuntut umum vi, 39, 44, 48, 66, 67, 68, 69 [5;1] kebenaran v, 117, 118, 126, 128, 132, 134, 135, 137, 197 [5;2] kebijakan v, vi, 309, 317, 321, 324, 231, 232, 233, 234, 235, 241, 244, 259, 274 [5;3] kejahatan terorganisir vi, 153 [5;2] kejaksaan 1, 39, 59 [5;1] vi, 129, 141, 153, 156, 173, 188, 189, 207, 208, 209, 212, 215, 217, 218, 222, 226, 228, 229, 230 [5;2] kejaksaan vi, 295, 296, 299, 298, 297, 295, 297,296, 259, 291, 292, 294, 293, 303, 295, 303, 293, 259, 304, 296, 303, 304, 305, 306, 307, 309, 315, 318, 319, 321, 329, 339 [5;3] kekayaan negara v, 141, 142, 143, 144, 151 [5;2] kepastian v, 117, 119, 124, 135, 136, 145, 146, 151, 165, 226 [5;2] kerugian negara v, vi, 135, 141, 142, 143, 144, 146, 148, 191, 210 [5;2]
kewajiban direksi v, 141 [5;2] kinerja vi, 234, 295, 305, 319, 321, 322, 331, 337, 339 [5;3] kolektif vi, 124, 153, 154, 167 [5;2] korupsi i, vi, 299, 300, 319, 320, 321, 322, 335, 339 [5;3] konvensi internasional vi, 11, 14, 24 [5;1] landasan hukum vi, 259, 263, 285 [5;3] law enforcement ix, x, 1, 40, 54 [5;1] legitimasi penguasa v, 231 [5;3] liability vii, viii, 141, 144, 153, 159, 160, 163, 165, 167, 173, 218 [5;2] limited liability company viii, 173 [5;2] narcotics viii [5;3] narkotika vi, 307, 308, 309, 310, 311, 312, 313, 314, 315, 316, 317 [5;3] negara hukum v, 231, 233, 235, 236, 237, 238 [5;3] organized crime vii, 153 [5;2] pelanggaran HAM berat v, vi, 11, 12, 24, 25, 30, 31, 32, 35, 36 [5;1] pembantu jaksa vi, 291, 292, 293, 294, 295, 296, 297, 298, 299, 301, 302, 303, 304, 305, 306 [5;3] pemeriksaan perpajakan v, 1 [5;1] pemohon pailit vi, 215, 218, 228, 229 [5;2] penegakan hukum i, v, vi, 1, 2, 3, 9, 10, 12, 36, 39, 40, 41, 45, 46, 50, 53, 54, 55, 56, 60, 63, 75, 77 [5;1] penguatan fungsi vi, 39 [5;1] penuntut umum vi, vii, 39, 42, 43, 44, 45, 47, 48, 51, 52, 59, 65, 66, 67, 68, 69 [5;1] peranan vi, 275, 301, 328, 330, 331, 333, 334, 337, 339 [5;3] performance viii–344, 319–344 [5;3] perlindungan anak vii, 59, 60, 62 [5;1] pergeseran konsep vi, 153 [5;2] permohonan pembubaran vi, 173, 174, 179, 180, 186, 188, 189 [5;2] perseroan terbatas vi, 144, 173 [5;2] pertanggungjawaban vi, 123, 124, 125, 148, 150, 151, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 165, 167, 168, 169, 171, 203, 221 [5;2] pidana korporasi vi, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 161, 167, 168 [5;2] pilkada v, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 245, 246, 247, 248, 249, 252 [5;3] policy vii, viii, 259 [5;3] prosecutors viii, 215 [5;2] prosecutor general iii, x, 39, 40 [5;1] public prosecutor x, 59 [5;1] reconciliation vii, 117 [5;2] regional chief election vii, 231 [5;3] rehabilitasi vi, 239, 276, 307, 308, 310, 311, 312, 313, 314, 315, 316, 317 [5;3] rehabilitation iii, viii, 307 [5;3] rekonsiliasi v, 117, 126, 128, 134, 135, 136 [5;2] request dissolution viii, 173 [5;2] research paper critical x, 12 [5;1]
Analisis Peran Auditor Internal Dalam Meningkatkan Kinerja Kejaksaan (Study Kasus pada Auditor.... - Abik Afada
349
role iii, vii, viii, 240, 260, 307, 319 [5;3] rumusan vi, 4, 11, 15–118, 16, 24, 30, 32, 35 [5;1] serious violations x, 12, x, 12 [5;1] shifting concept vii, 153 [5;2] simultaneous viii, 191 [5;2] sinergi dan simultan vi, 191 [5;2] sistim hukum Indonesia vi, 259 [5;3] standar ganda v, 1, 8 [5;1] state loss vii, 141 [5;2] state of law vii [5;3] strengthening x, 40 [5;1] survey IKM vii, 73 [5;1] synergies viii, 191 [5;2] tax debt viii, 215 [5;2] tax examination ix, 1 [5;1] team assessment viii [5;3] telahaan kritis vi, 11 [5;1] the government legitimacy vii [5;3] tim asesment vi [5;3] truth vii, 117 [5;2] unit kerja bidang pengawasan vii, 73 [5;1] unit kerja intelijen vii, 73 [5;1] unit of work for supervision xi, 73 [5;1] utang pajak vi, 215, 216, 218, 219, 220, 221, 227, 228, 229 [5;2] wealth of the country vii, 141 [5;2]
350
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
INDEX PENULIS Abik Afada Amelya Gustina Erni Mustikasari I Made Widnyana
iii, vi, viii, 319 [5;3] i, iii, vi, viii, 215–234 [5;2] i, iii, v, vii, 153, 163, 171 [5;2] iii, v, vii, 259, 268, 271, 273, 277, 287, 288, 289 [5;3] Kardisi iii, vi, viii, 291 [5;3] Niniek Suparni iii, vii, x, 7 [5;1] Soeryaniati Koesoemo iii, vii, x, 7 [5;1] Amelya Gustina iii, vii, x, 7 [5;1] Noor Rochmad i, iii, v, vii, 141 [5;2] Raja Onggal Siahaan i, v, 11, ix, iii [5;1] i, iii, v, vi, vii, viii, 117, 191 [5;2] i, iii, v, vii, 231 [5;3] Sri Wartini iii, vi, viii, 307 [5;3] Teuku Rahman i, vi, 59, iii, x [5;1] Trisnaulan Arisanti i, vi, x, 39, iii [5;1] Triyono Yulianto iii, vi, viii, 173 [5;2] Widyopramono i, iii, v, ix, 1 [5;1]