Volume 15, Nomor 2, Hal. 39-50 Juli – Desember 2013
ISSN:0852-8349
PENGARUH KARAKTERISTIK KEPALA KELUARGA TERHADAP TINDAKAN PENCEGAHAN PENYAKIT FILARIASIS DI DESA KEMINGKING DALAM KABUPATEN MUARO JAMBI PROPINSI JAMBI TAHUN 2012
Dwi Noerjoedianto, Fadliyana Ekawaty, Herwansyah Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas jambi Kampus Pinang Masak Mendalo Darat – Jambi 36361
Abstract Filariasis disease is still one of the main problems in public health sector. An increase in the number of Filariasis cases in Indonesia is generally caused by several factors : disablement, social stigmas, a remained stably of the psychology detention and an decrease of productivity in all community levels. Therefore, it stimulates a great deal of economics loss. The research has been conducted by team in order to illustrate the influence of the householders characteristics (age, sex, education levels, occupation, levels of knowledge and attitude) on Filariasis prevention in Kemingking Dalam district Muaro Jambi regency in 2012. This research was a survey explanatory research using quantitative approach. The population was 85 householders living in Kemingking Dalam district, and the sample has the same number as the population. The statistical analysis used by team was the multiple linear regression. The data collected by enumerators showed that the respondent characteristics had a significant influence onfilariasis prevention based on education (p=0,000), occupation (p=0,001) and levels of knowledge (p=0,014). However, other factors (age, sex and attitude) did not have a significant influence on these, at (p=0,642 ; p=0,617 ; p=0,092) per each.
Keywords : householders, characteristics, prevention, Filariasis disease PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan masyarakat merupakan bagian integral dari pembangunan nasional karena upaya memajukan bangsa Indonesia tidak akan efektif apabila tidak memiliki dasar yang kuat yaitu derajat kesehatan masyarakat yang tinggi. Untuk mempercepat keberhasilan pembangunan kesehatan tersebut diperlukan kebijakan kesehatan yang lebih dinamis dan proaktif dengan melibatkan semua sektor terkait baik
pemerintah, swasta maupun masyarakat itu sendiri. Upaya perbaikan dalam bidang kesehatan masyarakat salah satu diantaranya melalui pencegahan dan pemberantasan penyakit menular. Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan kematian sehingga tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Filariasis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, karena
39
Dwi Noerjoedianto., dkk: Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi Tahun 2012
merupakan penyebab utama kecacatan, stigma sosial, hambatan psikososial yang menetap dan penurunan produktivitas individu, keluarga dan masyarakat sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Dengan demikian penyakit kaki gajah merupakan beban bagi keluarga , masyarakat dan negara. Penyakit kaki gajah merupakan penyakit di daerah tropik, tetapi juga terdapat di daerah sub tropik. Penyakit ini tersebar di 100 negara dengan lebih dari seratus miliar penduduk hidup di wilayah yang rawan tertular filariasis. Filariasis diperkirakan menginfeksi sekitar 120 juta penduduk di 80 negara terutama di negara tropik dan beberapa negara sub tropik. Dari 120 juta orang yang telah terinfeksi, 40 juta diantaranya telah menjadi cacat dan disfungsi organ tubuh tertentu karena penyakit sudah berada pada tahap kronis lanjut. Data WHO menunjukkan bahwa di dunia terdapat 1,3 miliar penduduk yang berada di lebih dari 83 negara berisiko tertular filariasis, dan lebih dari 60% negara-negara tersebut berada di Asia Tenggara. Diperkirakan lebih dari 120 juta orang diantaranya sudah terinfeksi dengan 43 juta orang sudah menunjukkan gejala klinis berupa pembengkakan anggota tubuh di kaki atau lengan (Lymphoedema) atau anggota tubuh lainnya. Penyakit ini tersebar luas terutama di pedesaan, dapat menyerang semua golongan umur baik anak-anak maupun dewasa, laki-laki dan perempuan. WHO (2000) menetapkan kesepakatan Global untuk mengeliminasi Filariasis agar tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat yang dilakukan antara
lain dengan pengobatan massal. Indonesia,sepakat melaksanakan program eliminasi filariasis melalui pengobatan massal mulai tahun 2002. Program ini ditetapkan sebagai salahsatu program prioritas pemberantasan penyakit menular. Di Indonesia kurang lebih 10 juta penduduk telah terinfeksi penyakit ini, dengan jumlah penderita kronik kaki gajah kurang lebih 6.500 orang. enyakit menular ini tersebar di 26 propinsi, 231 kabupaten, 451 kecamatan dan 1.553 desa endemik filaria, yaitu desa dengan angka mikrofilaria diantara penduduk lebih dari 1% Diperkirakan sekitar 3 % dari jumlah penduduk telah terinfeksi penyakit filariasis dengan jumlah kasus kronis yang tercatat sampai dengan tahun 2000 sebanyak 1.444 orang. Filariasis banyak diderita oleh penduduk yang berusia produktif (15-44 tahun), laki-laki lebih banyak terinfeksi daripada perempuan. Cacat fisik sifatnya permanen juga lebih sering dijumpai lebih banyak pada penduduk berjenis kelamin laki-laki karena kontak dengan nyamuk lebih besar kaitan dengan pekerjaannya. Di Propinsi Jambi, filariasis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, terutama di Kabupaten Batanghari, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Muaro Jambi. Data dari Dinas Kesehatan Propinsi Jambi (2010) jumlah kasus filariasis paling tinggi terjadi di Kabupaten Muaro Jambi dengan 126 kasus, diikuti oleh Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur dengan masingmasing jumlah kasus adalah 58 kasus dan 57 kasus. Kabupaten Muaro Jambi merupakan daerah yang terletak di 49
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains
dataran rendah dan berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari, sehingga sangat dipengaruhi oleh keadaan musim. Berdasarkan laporan dari Puskesmas Kemingking Dalam ditemukan jumlah kasus filariasis sebanyak 27 penderita tersebar di tiga desa dan merupakan jumlah terbanyak di Kabupaten Muaro Jambi. (Data Dinas Kesehatan Kabupaten Muaro Jambi 2009). Hal yang sangat penting dalam pengkajian penelitian ini adalah karakteristik kepala keluaraga terhadap tindakan pencegahan Penyakit Filariasis Di Desa Kemingking Dalam Kabupaten Muaro Jambi. Filariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit berupa cacing filaria, yang terdiri dari Wuchereria bancroofti, Brugia malayi dan timori. Penyakit ini menginfeksi jaringan limfe (getah bening). Filariasis menular melalui gigitan nyamuk yang mengandung cacing filaria dalam tubuhnya. Dalam tubuh manusia, cacing tersebut tumbuh menjadi cacing dewasa dan menetap di jaringan limfe sehingga menyebabkan kelamin wanita. Selain itu, mereka menjadi sumber penularan bagi 125 juta penduduk yang tinggal di daerah sekitarnya. Hampir seluruh wilayah Indonesia adalah daerah endemis filariasis, terutama wilayah Indonesia Timur yang memiliki prevalensi lebih tinggi. Sejak tahun 2000 hingga 2009 di laporkan kasus kronis filariasis sebanyak 11.914 kasus yang tersebar di 401 Kabupaten/kota. Hasil laporan kasus klinis kronis filariasis dari kabupaten/kota yang ditindaklanjuti dengan survey endemisitas filariasis, sampai dengan tahun 2009 terdapat 337 50
pembengkakan di lengan dan organ genital. Filariasis di Indonesia disebabkan oleh 3 spesies cacing filaria, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Secara epidemiologi penyebaran filariasis hampir di seluruh wilayah Indonesia, di beberapa daerah dengan tingkat endemisitas yang cukup tinggi dan jumlah kasus filariasis juga banyak. Berdasarkan hasil survei cepat tahun 2000, jumlah penderita kronis yang dilaporkan sebanyak 6.500 orang tersebar di 1.533 Desa, di 231 Kabupaten dan 26 Propinsi. Berdasarkan data Departemen Kesehatan, sampai Oktober 2009 penderita kronis filariasis tersebar di 386 kabupaten/kota di Indonesia. Sedangkan hasil pemetaan nasional diketahui prevalensi mikrofilaria sebesar 19%, artinya kurang lebih 40 juta orang di dalam tubuhnya mengandung mikrofilaria (cacing filaria) yang mudah ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Bila tidak dilakukan pengobatan, mereka akan menjadi cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, kantong buah zakar, payudara dan kabupaten/kota endemis dan 135 kabupaten/kota non endemis. Filariasis bersifat menahun (kronis) dan apabila tidak memperoleh pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki (kaki gajah), lengan, payudara serta alat kelamin, baik pada wanita maupun laki-laki. Upaya Penanggulangan, sejak tahun 1997, World Health Assembly menetapkan resolusi “Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem”, yang kemudian pada tahun 2000 diperkuat dengan keputusan WHO dengan mendeklarasikan “The Global Goal
Dwi Noerjoedianto., dkk: Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi Tahun 2012
of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020”. Indonesia sepakat untuk ikut serta dalam eliminasi filariasis global yang ditandai dengan pencanangan dimulainya eliminasi filariasis di Indonesia oleh Menteri Kesehatan pada tanggal 8 April 2002 di Desa Mainan, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Hasil estimasi Kementerian Kesehatan (2009) menyebutkan bahwa kerugian ekonomi akibat filariasis setahun mencapai 43 trilyun rupiah jika tidak dilakukan program pengendalian filariasis seperti dapat dilihat pada lampiran. Intervensi yang efektif dan penggunaan sumber daya yang efisien melalui upaya yang sistematis dan strategis akan menghasilkan penghematan bagi negara. Untuk itu dibutuhkan suatu rencana yang sistematis di tingkat Nasional untuk menanggulangi hal tersebut yaitu dengan menetapkan dua pilar kegiatan yang akan ditempuh, yaitu a. Memutuskan mata rantai penularan dengan Pemberian Obat Massal Pencegahan Filariasis binatang yang harus terus diupayakan secara lebih sistematis dan berkelanjutan. Untuk itulah Kementerian Kesehatan membuat program kerja lima tahunan (2010 – 2014) dan estimasi kebutuhan biaya agar tujuan dan sasaran bisa tercapai sesuai harapan dan mampu memberikan kontribusi mencapai eliminasi filariasis di dunia. Ditinjau dari aspek Lingkungan Sosial dan Budaya, faktor lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antar manusia, termasuk antara lain sosial ekonomi, perilaku penduduk, adat istiadat, tingkah laku, budaya
(POMP filariasis) di daerah endemis dengan menggunakan DEC 6 mg/kg berat badan yang dikombinasikan dengan albendazole 400 mg sekali setahun dan dilakukan minimal 5 tahun. b. Perawatan kasus klinis filariasis baik kasus klinis akut maupun kasus klinis kronis. Pelaksanaan POMP filariaris dilakukan dengan berbasis kabupaten/kota. Walau sudah berbasis kabupaten, upaya program tersebut belum dapat menjangkau seluruh penduduk di wilayah kabupaten/kota tersebut. Pola program semacam ini tidaklah efisien dan tidak efektif karena tetap terdapat risiko penularan (re-infeksi) karena belum seluruh penduduk terlindungi. Untuk itu, pelaksanaan POMP filariasis perlu direncanakan secara komprehensif dan mencakup seluruh wilayah endemis di Indonesia. Penanggulangan dan eliminasi penyakit kaki gajah saat ini telah menjadi perhatian Pemerintah dan merupakan salah satu program pengendalian penyakit bersumber penduduk, kebiasaan hidup penduduk, tradisi penduduk dan sebagainya. Sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat yang perlu diperhatikan antara lain adalah kebiasaan penduduk bertani dan kebiasaan penduduk bekerja malam hari atau keluar malam hari, serta kebiasaan penduduk pada malam hari sebelum dan sewaktu tidur. Kebiasaan-kebiasaan tersebut berkaitan dengan terjadinya kontak antara manusia dengan vektor. Umumnya laki-laki menunjukkan angka infeksi microfilaria rate lebih tinggi dari perempuan karena umurnya laki-laki lebih sering
49
Dwi Noerjoedianto., dkk: Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi Tahun 2012
terpapar akibat pekerjaan dan kebiasaan, sehingga kemungkinan terjadinya infeksi lebih sering dari perempuan. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah perilaku penduduk, menurut Notoatmodjo (2002), definisi perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan dari pandangan biologi. Perilaku manusia pada hakekatnya suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Untuk kepentingan analisa perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. Perilaku dapat tumbuh dibedakan menjadi dua yaitu perilaku yang tidak bersyarat atau pembawaan, dan perilaku yang bersyarat yang diperoleh berdasarkan pengalaman atau didapat, atau karena adanya proses belajar. Pengetahuan merupakan proses mengerti sesudah melihat atau sesudah menyaksikan, mengalami atau setelah diajari. Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan merupakan dominan yang paling Menurut Neowcomb yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003) bahwa sikap merupakan kesiapan seseorang untuk bertindak sebagai objek di lingkungan tertentu, sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Sikap mempunya 3 komponen pokok yaitu: a. Kepercayaan, ide dan konsep terhadap suatu objek b. Kehidupan emosional untuk evaluasi terhadap suatu objek c. Kecenderungan untuk bertindak Pengukuran sikap dapat dilakukan langsung atau tidak langsung. Secara langsung dapat dinyatakan melalui pendapat atau pertanyaan responden terhadap suatu objek, secara tidak langsung dapat
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang dan pengetahuan dapat diukur dengan melakukan wawancara, perilaku yang didasari dengan pengetahuan dan kesadaran akan lebih bertahan lama dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran. Pengetahuan yang di dalamnya mencakup 6 (enam) tingkatan yang dimulai dari tahu (know, memahami ( comprehention, aplikasi (Application), analisis (Analysis), sintesis ( synthesis), evaluasi ( evaluation ).Pengukuran dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menyatakan tentang isi materi yang diukur dari objek penelitian. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan tersebut. Sedangkan faktor sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak langsung dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. dilakukan dengan pertanyaanpertanyaan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah survey explanatory research dengan pendekatan kuantitatif yaitu untuk menjelaskan pengaruh antara variabel karakteristik kepala keluarga terhadap tindakan pencegahan penyakit filariasis di Desa Kemingking Dalam Kabupaten Muaro Jambi. Populasinya adalah seluruh kepala keluarga di Desa Kemingking Dalam berjumlah 685 KK yang terdiri dari 11 RT, dengan jumlah sampel sebanyak 85 KK,
49
Dwi Noerjoedianto., dkk: Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi Tahun 2012
dengan teknik pengambilan sampel Simple Random Sampling. Waktu dan Lokasi Penelitian, selama 3 bulan sejak bulan Oktober sampai Desember tahun 2012 di Desa Kemingking Dalam Kabupaten Muaro Jambi. Variabel penelitian terdiri dari variabel bebas adalah karakteristik kepala keluarga ( umur, jenis kelamin,tingkat pendidikan, pekerjaan, pengetahuan dan sikap ), sedangkan variabel terikat ( tindakan pencegahan filariasis ). Instrumen Penelitian yang digunakan adalah kuesioner dengan pertanyaan tertutup yang terdiri dari identitas responden, pertanyaan pengetahuan dan pernyataan sikap. Analisa data menggunakan uji statistik regresi linier berganda untuk menguji variabel karakteristik kepala keluarga terhadap tindakan pencegahan penyakit filariasis dengan tingkat kepercayaan (α=0,05) atau 95 %.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah Kepala Keluarga yang berjumlah 85 KK. Karakteristik responden yang diteliti meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat pengetahuan dan sikap Kepala Keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit filariasis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok umur yang paling banyak adalah antara 3039 tahun yaitu sebanyak 31 responden (36,5%). Responden terbanyak adalah berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 67 responden (78,8%). Tingkat pendidikan responden yang paling banyak adalah tamat SD yaitu sebanyak 39 responden (45,9%) dan pekerjaan responden terbanyak adalah petani yaitu 40 responden (47.1%). Secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Kepala Keluarga (Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan) di Desa Kemingking Dalam Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2012 Karakteristik Responden Frekuensi (%) Umur 1. 20-29 tahun 15 17,6 2. 30-39 tahun 31 36,5 3. 40-49 tahun 17 20,0 4. 50-59 tahun 10 11,8 5. > 59 tahun 12 14,1 Jumlah 85 100 Jenis Kelamin 1. Laki-laki 67 78,8 2. Wanita 18 21,2 Jumlah 85 100 Tingkat Pendidikan 1. Tidak sekolah/Tidak tamat SD 19 22,4 2. SD/Sederajat 39 45,9 3. SLTP/Sederajat 20 23,5 4. SLTA/Sederajat 4 4,7 5. Perguruan Tinggi 3 3,5
49
Dwi Noerjoedianto., dkk: Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi Tahun 2012
Jumlah
85
100
Pekerjaan 1. Petani 2. Wiraswasta 3. Pedagang 4. Lain-lain (PNS, nelayan) Jumlah
40 22 19 4 85
47,1 25,9 22,4 4,7 100
Pengetahuan Responden Distribusi pengetahuan mengenai filariasis, 46 responden (54,1%) tidak mengetahui penyakit filariasis, 40 responden (47,1%) menjelaskan penyakit filariasis menular, 54 responden (63,5%) gejala penderita filariasis adalah sering demam, tumbuh benjolan, kaki tangan bengkak, 42 responden (49,4%) menjelaskan nyamuk menularkan filariasis, 38 responden (44,7%) menjelaskan bahwa yang dibawa oleh vektor nyamuk adalah virus, 39 responden (45,9%) menjelaskan upaya pencegahan penyakit filariasis
dengan memakai kelambu, 34 responden (40,0%) menjelaskan penderita filariasis dapat disembuhkan, 45 responden (52,9%) menjelaskan penyakit filariasis dapat disembuhkan melalui pengobatan medis, 31 responden (36,5%) memperoleh informasi filariasis dari tenaga kesehatan dan 40 responden (47,1%) menjelaskan cara pemberantasan penyakit filariasis yaitu dengan melakukan pemberantasan sarang nyamuk dirumah dan lingkungan sekitar. Jika dikategorikan tingkat pengetahuan responden sbb :
Gambar 1. Distribusi pengetahuan responden terhadap tindakan pencegahan penyakit filariasis Sikap Responden Distribusi sikap terhadap penyakit filariasis, sebanyak 71 responden (83,5%) setuju diberikan penyuluhan tentang pencegahan penyakit filariasis, 66 responden (77,6%) setuju melakukan praktik pencegahan penyebaran penyakit filariasis, 76 responden (89,4%) setuju melakukan penyemprotan di
rumah dan lingkungan, 69 responden (81,2%) kurang setuju kebersihan lingkungan hanya tanggung jawab kepala keluarga, 66 responden (77,6%) setuju melakukan pemeriksaan darah, 73 responden (85,9%) setuju pengobatan secara medis. Jika dikategorikan sikap responden sbb:
49
Dwi Noerjoedianto., dkk: Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi Tahun 2012
Gambar 2. Distribusi sikap responden terhadap tindakan pencegahan penyakit filariasis
Tindakan Responden Pencegahan Filariasis
Dalam
Distribusi tindakan penyakit filariasis, sebanyak 41 (48,2%) sering melakukan kegiatan di luar rumah, 66 responden (77,6%) menggunakan kelambu dab obat anti nyamuk waktu malam, 57 responden (67,1%) tidak menggunakan kasa nyamuk pada jendela dan ventilasi rumah, 40 responden (47,1%) tidak
pernah mengusir nyamuk secara tradisional, 70 responden (82,3%) menerima obat yang diberikan petugas kesehatan sekali dalam setahun, 61 responden (71,8%) memakan obat 2-3 kali yang diberikan oleh petugas kesehatan dan 50 responden (58,8%) kadangkadang menguras dan membersihkan penampungan air yang ada di sekitar dan di dalam rumah. Jika dikategorikan tindakan responden sbb :
Gambar 3. Distribusi tindakan responden terhadap Upaya pencegahan penyakit filariasis Analisa Statistik Untuk mengetahui adanya pengaruh karakteristik kepala keluarga (umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan), pengetahuan dan sikap terhadap tindakan pencegahan penyakit filariasis,
49
Dwi Noerjoedianto., dkk: Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi Tahun 2012
digunakan analisa statistik uji regresi ketiga variabel tersebut, variabel linier berganda. Berdasarkan hasil yang paling berpengaruh besar analisis regresi linier berganda dapat terhadap tindakan pencegahan diketahui bahwa hanya tiga variabel penyakit filariasis adalah tingkat bebas yang berpengaruh terhadap pendidikan (B=0,200). variabel terikat yaitu pendidikan (p=0,000), pekerjaan (p=0,001) dan pengetahuan (p=0,014). Dan dari Tabel 2. Hasil Uji Regresi Linier Berganda Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Pencegahan Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2012 Variabel Bebas Constant Umur Jenis Kelamin Tingkat Pendidikan Pekerjaan Pengetahuan Sikap
B 2,678 -0,015 0,050 -0,200 0,155 0,176 -0,240
Hasil uji statistik dengan menggunakan regresi linier berganda menunjukkan bahwa variabel pendidikan (p=0,000), pekerjaan (p=0,001) dan pengetahuan (p=0,014) mempunyai pengaruh terhadap tindakan pencegahan penyakit filariasis, karena memiliki nilai signifikan < 0,05. sedangkan variabel umur (p=0,642), jenis kelamin (p=0,617), sikap (p=0,093) mempunyai nilai signifikan > 0,05 sehingga tidak mempunyai pengaruh terhadap tindakan pencegahan penyakit filariasis. Pengaruh Pendidikan Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis Hasil uji regresi linier berganda menunjukkan bahwa variabel pendidikan mempunyai pengaruh (B=-0,200) terhadap tindakan pencegahan penyakit filariasis dengan taraf signifikan 0,000. artinya jika pendidikan meningkat belum tentu tindakan pencegahan penyakit
T 5,846 -0,467 0,502 -4,068 3,309 2,510 -1,698
Sig (p) 0,000 0,642 0,617 0,000 0,001 0,014 0,093
filariasis menjadi lebih baik karena biasanya orang yang sudah berpendidikan tinggi merasa bahwa dirinya sudah tahu tetapi dalam kenyataannya tidak tahu, begitu pula sebaliknya. Pendidikan seseorang akan berperan dalam perilaku kesehatannya. Menurut Kasnodihardjo (2000), seseorang yang mempunyai latar belakang pendidikan rendah, pada umumnya akan mengalami kesulitan untuk menerapkan ide-ide baru dan membuat mereka bersifat konservatif, karena mereka tidak mengenal alternatif yang lebih baik yang tersedia baginya. Hasil penelitian di lapangan ditemukan perbedaan tindakan pencegahan penyakit filariasis, dimana responden dengan tingkat pendidikan rendah cenderung berperan dalam tindakan pencegahan penyakit filariasis.
49
Dwi Noerjoedianto., dkk: Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi Tahun 2012
Pengaruh Pekerjaan Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis Hasil uji regresi linier berganda menunjukkan bahwa variabel pekerjaan mempunyai pengaruh (B=0,155) terhadap tindakan pencegahan penyakit filariasis dengan taraf signifikan 0,001. Artinya terjadi peningkatan tindakan pencegahan terhadap penyakit filariasis jika pekerjaan responden bukan petani dan sebaliknya. Pengaruh Pengetahuan Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis Telah dijelaskan sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan pengetahuan responden disini adalah segala sesuati yang diketahui oleh responden tentang penyakit filariasis yang terdiri dari pengertian, gejalagejala, penyebab, cara penularan, cara pencegahan dan cara penyembuhannya. Pada umumnya pengetahuan merukan modal yang sangat penting untuk memperoleh suatu perilaku yang baik dimana diharapkan dari pengetahuan yang baik akan timbul perilaku yang baik pula. Dilihat dari aspek pengetahuan responden yang paling banyak dalam kategori sedang yaitu sebesar 54,1%, sedangkan responden dengan kategori baik sebesar 24,7%, dan responden dengan kategori kurang sebesar 21,2%. Hasil uji regresi linier berganda menunjukkan bahwa pengetahuan mempunyai pengaruh (B=0,176) terhadap tindakan pencegahan penyakit filariasis dengan taraf signifikan 0,014. artinya terjadi peningkatan tindakan pencegahan terhadap penyakit filariasis dengan
Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap responden diketahui bahwa kebanyakan responden merupakan petani yang sering berladang. Kegiatan berladang berisiko terpapar gigitan nyamuk, dilain sisi petani tidak memakai anti nyamuk untuk mencegah gigitan. Apabila menginap di ladang, responden mengaku tidak menggunakan kelambu, mereka hanya memasang api untuk mengusir nyamuk sekaligus mengusir binatang yang menggangu ladang mereka. semakin baiknya pengetahuan responden. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa kepala keluarga lebih banyak memiliki tingkat pengetahuan sedang sehingga tindakan yang dilakukan terhadap pencegahan penyakit filariasis masih kurang baik. Diketahui juga bahwa responden kurang familiar dengan istilah penyakit filariasis. Akan tetapi penyakit ”UNTUT” lebih populer di masyarakat desa Kemingking Dalam. Responden beranggapan mereka yang terkena penyakit tersebut masih dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat setempat. KESIMPULAN 1. Karakteristik responden terbanyak adalah berumur 30-39 tahun (36,5%), jenis kelamin laki-laki (78,8%), tingkat pendidikan SD (45,9%), dan pekerjaan (47,1%) adalah petani. 2. Sebagian besar tingkat pengetahuan responden adalah pengetahuan dengan kategori sedang ( 54,1% ), pengetahuan baik( 21,2%), dan pengetahuan kurang ( 24,7%) terhadap upaya pencegahan penyakit filariasis.
49
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains
DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan RI, 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit Menular di Indonesia. Ditjen PPM & PL Depkes RI, Jakarta. 2002. Pedoman Program Eliminasi Penyakit Kaki Gajah (Filariasis) di Indonesia. Ditjen PPM & PL Depkes RI, Jakarta. Dinas Kesehatan Propinsi Jambi, 2010. Profil Kesehatan Propinsi Jambi, Jambi Ganda Husada S,W, 2003. Parasitologi Kedokteran, Edisi III. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Hastono, S, 2006. Analisis Univariat, Analisis Bivariat dan Analisis Multivariat. Modul II. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta Kasnodiharjo, 2000. Aspek Sosial Budaya Penanggulangan Filariasis, Jakarta Kementerian Kesehatan RI, 2010. Rencana Nasional : Program Akselerasi Eliminasi Filariasis di Indonesia. Subdit Filariasis dan Schistomiasis, Direktorat P2B2, Ditjen PP & PL. Jakarta
50
Lasbudi, P, 2005. Peran Serta Masyarakat (Psm) Dalam Penemuan Kasus Filariasis Di Desa Endemis Di Puskesmas Betung Kabupaten Banyuasin. Media Litbang Kesehatan XV (1) Ditjen PPM & PL, 2004, Pedoman Program Eliminasi Penyakit Kaki Gajah (Filariasis) di Indonesia, Depkes RI, Jakarta Notoatmodjo, S. 2007. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. PT. Rineka Cipta, Jakarta Sastroasmoro, S, dkk, 2004. Dasardasar Metodologi Penelitian Klinis. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Jakarta Soeyoko, 2002. Penyakit Kaki Gajah (Filariasis) : Permasalahan dan Alternatif Penanggulanggannya. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Wawolumaya, dkk, 2003. Studi Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Mengenai Lingkungan di Daerah Kumuh Bantaran Ciliwung Jakarta. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia