Jujur Pada Pluralis – Ch. Daniel Saduk Manu
JUJUR PADA PLURALIS Ch. Daniel Saduk Manu Prawacana Perdebatan seputar paham pluralisme agama yang dilakukan oleh seorang pengajar teologi sistematis dan seorang mahasiswa teologi tak terasa telah menarik banyak perhatian warga. Wacana tentang paham ini menjadi diskusi-diskusi yang menarik bagi kalangan pemuda dan telah menjadi pengantar atau “tolakan” bagi perjamuan kudus ala kaum muda. Salah satu pokok diskusi ringan itu adalah konsep yang diperdebatkan oleh dosen Esra Alfred Soru dan mahasiswa teologi Daud Tari tentang salahkah pluralis filosofis itu ? Sebagai suatu wacana berteologi, maka perdebatan itu sah-sah saja. Ia menjadi tidak sah lagi apabila perdebatan itu telah menjadi suatu pertarungan intelektual akademistis yang telah melibatkan unsur sense (rasa). Sebab jika hal itu yang terjadi, maka sebagaimana yang dikatakan oleh Simone de Beauvoir bahwa bila orang bersengketa, maka penalaran tidak berfungsi lagi. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa perdebatan di atas tidak memakai nalar, tetapi ada baiknya suatu perdebatan ilmiah menghilangkan suatu pendekatan indoktriner dan memojokkan seperti katakata dalam tulisan perdebatan itu : “siapakah Soru yang telah mengklaim....” atau juga “sebaiknya anda berhenti sekolah teologi...” dan kata-kata yang lain. Bukankah kata-kata itu menunjukkan ketidakdewasaan dalam berpikir? Oke, jika dimungkinkan, saya berkeinginan untuk masuk dalam diskusi tentang pluralis. Keberanian saya sebagai orang awam teologi dalam memberikan komentar teologis tentang pluralis, didasarkan pada keyakinan bahwa trend teologi tidak menjadi milik para teolog saja tetapi telah menjadi teologi semua orang. Bukankah teologi dibagi dalam dua bentuk yakni teologi primer yaitu teologi kaum papalele yang tidak mengecam pendidikan teologi dan teologi sekunder yang merupakan produk ilmiah dengan memakai langkah-langkah pengkajian ilmiah? Selain itu pengalaman perjumpaan saya dengan sekolompok orang yang berbeda agama dalam suatu Forum Dialog Antar Kita di Makassar membuat saya tertarik untuk meramaikan wacana ini.
Pluralisme Agama suatu pendekatan filosofis Tulisan Soru dengan judul Pluralisme Agama : Sebuah Inkonsistensi Filosofis bagian kedua berupaya menolak pluralisme agama dengan memakai logika: apabila 1
Jujur Pada Pluralis – Ch. Daniel Saduk Manu kaum pluralis menganggap pandangannya sebagai yang mutlak, maka dengan sendirinya menggugurkan argumen yang dibangunnya. Logika yang dibangun Soru dapat diparalelkan pada pertanyaan Atheis tentang Allah. Jika Allah Maha Kuasa, maka dapatkah Allah menciptakan benda yang Ia sendiri tidak mampu mengangkatNya. Pertanyaan ini telah melahirkan suatu lingkaran setan yang tidak akan ditemukan jalan keluarnya... Bingung?? Atau mau memberikan argumen bahwa konteksnya beda? Oke saya pertegas. Apabila kaum pluralis mengatakan bahwa konsepnya adalah mutlak, maka dengan sendirinya ia menggugurkan pandangannya. Benar statement ini. Jika ia mengatakan bahwa konsepnya tidak mutlak, maka dengan sendirinya segala pandangan di bumi tidak mutlak. Hal ini berarti bahwa baik kaum pluralis, inklusif maupun eksklusif tidak mutlak. Bukankah dengan mengakui bahwa ia tidak mutlak, maka dengan sendirinya apa yang diungkapkan kaum pluralis menjadi benar. Tapi hal ini masih dapat diperdebatkan lagi, karena dengan mengakui statement ini, kaum pluralis menjadi mutlak. Hal ini sama dengan jawaban atas pertanyaan Atheis yakni jika Allah dapat menciptakan benda yang Ia sendiri tidak mampu mengangkat, maka Ia tidak Maha Kuasa. Jika Allah tidak dapat menciptakan benda itu, maka lebih-lebih Ia tidak Maha Kuasa. Bukankah ada lingkaran setan dalam perdebatan tersebut. Untuk itu, ada baiknya kita berhenti pada perdebatan seperti ini. setuju?? Oke kita lanjutkan diskusinya. Kaum eksklusif sebagaimana Soru memiliki konsep bahwa Allah bukan satusatunya yang mutlak. Landasan argumentasinya yakni Allah yang mutlak akan menghasilkan sesuatu yang mutlak. Argumentasi logis lain yang dikemukakan yakni dengan memakai pendekatan matematis yang dianggap sebagai kebenaran mutlak. Yach sah-sah saja apa yang dikatakan oleh Soru, karena saya tidak mau memutlakkan pandangan saya. Tapi ada baiknya kita uji argumen di atas. Setuju? Terima kasih atas pengertiannya. Pertama, saya berpikir bahwa kita memiliki landasan pijak yang sama yakni Allah itu mutlak (entah satu-satunya, atau juga salah satu dari sekian yang mutlak). Pertanyaan yang muncul yakni apakah yang keluar dari Allah yang mutlak itu tetap mutlak? Maaf kita berbeda. Perbedaan ini terletak pada asumsi dasar yang saya yakini. Bagi saya, manusia yang diciptakan Allah memiliki keterbatasan. Untuk itu ia tidak mutlak. Mau bukti? Oke. Kita coba pembuktiannya. Jika manusia mutlak, maka tidak mungkin ia bisa berdosa. Kalau ia mutlak maka paling tidak ia tidak membutuhkan orang lain. Kenyataan membuktikan bahwa keterbatasannya telah membuat manusia hanya bisa hidup apabila ia berinteraksi dengan sesama maupun makluk yang lain. Hal ini membuktikan bahwa manusia tidak mutlak, khan? Bukankah ini juga menandakan bahwa apa yang keluar dari Allah tidak mutlak? Ingat manusia diciptakan oleh Allah (statement awal anda menyatakan bahwa segala yang 2
Jujur Pada Pluralis – Ch. Daniel Saduk Manu keluar dari Allah bersifat mutlak)... Beda argumen? Wajar saja karena sudut pandang kita berbeda. Saya lanjutkan. Pertanyaan kedua berhubungan dengan statement bahwa Firman dan wahyu Allah bersifat mutlak. Apa yang kita pahami tentang Firman. Apabila Firman yang kita pahami seperti para ilmuan Perbandingan Agama sebagaimana Joachim wach, maka yang dimaksud adalah Yesus Kristus. Bukankah Allah yang mutlak dan tak terhampiri itu harus menjadi manusia yang terbatas, agar dapat meresapi segala yang dirasakan manusia. Dengan demikian rencana penyelamatan menjadi nyata? Dan untuk itu Allah harus menjadi terbatas. Tidakkah Yesus telah menjadi manusia yang memiliki keterbatasan ruang dan waktu? Dan bukankah setelah kebangkitanNya baru Ia menjadi tidak terbatas, dengan demikian setelah melepaskan kemanusiaanNya baru Ia menjadi mutlak, khan? Apabila Firman yang kita pahami adalah Alkitab, maka tidakkah diketahui bahwa Alkitab memiliki keterbatasannya? Mau bukti ? gambaran Matius dan Lukas tentang kisah kelahiran Yesus sangat bertentangan. Matius menggambarkan bahwa Yesus berasal dari Betlehem dan baru menuju Nazareth setelah pelariannya di Mesir, sedangkan Lukas menyatakan bahwa keluarga Yesus sebelumnya sudah bertempat tinggal di Nazareth. Begitu juga kisah pelayanan Yesus setelah dibaptis antara Markus dan Yohanes sangat bertentangan, di mana Yohanes tidak mengakui adanya pencobaan di padang gurun. Mudah-mudahan saya tidak salah membaca Alkitab. Hal ini membuktikan bahwa Alkitab tidak mutlak. Kedua, logika mutlak secara matematis. Apakah 1+1= 2 merupakan kebenaran mutlak? Ah masa.. kalau ia merupakan kebenaran mutlak, maka dapatkah 1 sendok gula pasir ditambah 1 gelas air menjadi 2. belum tentu, khan? Dengan demikian membuktikan bahwa kebenaran matematis ini bersifat parsial (sebagian). Ia dipengaruhi oleh kondisi tertentu. Masih belum puas dengan argumen ini? baik saya akan coba tambahkan. Bagaimana jika di suatu tempat ada kesepakatan bersama yang mengungkapkan bahwa 1+1=3. Apakah kita berani mengatakan bahwa hal itu mutlak. Belum tentu dong.. Bukankah kebenaran yang selama ini kita anut hanya merupakan kesepakatan bersama (untuk lebih jelasnya kita perlu mempelajari aliranaliran filsafat, terutama filsafat bahasa)..Lantas bagaimana selanjutnya? Bagi saya (maaf ini menurut saya dan belum tentu benar), Allah sebagai causa prima (penyebab utama) bersifat mutlak. FirmanNya bersifat mutlak dan universal. Firmannya ditujukan pada seluruh manusia. Sayangnya manusia sebagai penerima memiliki keterbatasan, sehingga wahyu menjadi tidak sempurna. Keterbatasan manusia dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di mana ia berada. Untuk itu, Firman yang semula mutlak menjadi parsial sebagai akibat keterbatasan manusia. Dengan memakai asumsi bahwa manusia itu terbatas dalam menerima wahyu Allah maka jika diperhadapkan pada konsep agama Kristen yang mengakui bahwa Yesus adalah satu3
Jujur Pada Pluralis – Ch. Daniel Saduk Manu satunya jalan kesalamatan adalah benar, karena hanya itulah yang dapat ditangkap oleh manusia yang beragama Kristen. Ia khan? Apa... belum dapat menerima? Baik saya akan coba sederhanakan. Saya tinggal di Naikoten. Karena keterbatasan saya, maka saya hanya mengenal jalan ke Oeba melalui Kuanino. Oleh karena itu saya menyebutnya bahwa jalan satu-satunya adalah lewat Kuanino. Ini benar, karena jalan tersebut menuju Oeba. Tapi ada teman saya yang tinggal di Walikota, dan ia mengatakan bahwa jalan satu-satunya adalah melalui pasir panjang. Apakah saya dan teman saya salah atas pernyataan kami? Tidak bukan? Perbedaan di antara kami adalah keterbatasan yang kami miliki. Ketidak-mutlakan kami. Dengan demikian, jika dihubungkan dengan Penolakan Soru pada konsep Pdt. Dr. Budyanto yang dianggap inkonsisten, bagi saya kurang tepat, karena Budyanto berbicara dalam konteks Sebagai Orang Kristen dan bukan pada Hanya Yesus (obyek pandang berbeda). Budyanto coba meneropong dalam keadaan sebagai atheis (bukan Im- theis) atau tanpa tendensi. Ia berkaca dalam kapasitas sebagai orang dalam Ilmu Perbandingan Agama dan bukan orang dalam Teologi Agama-Agama. Ada perbedaan besar antara Ilmu Perbandingan Agama (IPA) dan Teologi AgamaAgama (TAA). IPA memberikan penilaian sebagai orang yang “tidak beragama” (netral) sedangkan TAA memakai suatu agama sebagai tolok ukur dalam menilai agama lain. Gimana hayooo.. ? Masih banyak hal yang ingin didiskusikan, tetapi keterbatasan halaman, maka saya berupaya menambahkan satu point diskusi dengan harapan di lain waktu, ada kesempatan untuk mendiskusikan topik menarik ini yang masih tersisa. Point yang sedikit menggangu dan menarik adalah bagaimana cara Yesus bekerja dalam agama lain? Uhh... jawaban yang sulit dari pertanyaan yang sederhana. Dan terus terang saya tidak dapat menjawab karena saya tidak mutlak. Saya terbatas. Yang dapat menjawab mungkin yang mutlak itu. Baiknya saya bertanya balik? Mengapa Maria dan dua murid yang berjalan ke Emaus tidak dapat mengenal wajah Yesus? Padahal wajah itu senantiasa menghampiri mereka dalam kesehariannya. Hanya berselang beberapa hari mereka tidak melihat wajah Yesus, kok langsung tidak mengenal Yesus? Aneh khan.. Yesus baru dikenal ketika ia telah melakukan perbuatan yang biasa ia lakukan. Dengan demikian kemisteriusan wajah Yesus hanya dapat dikenal melalui perbuatannya. Hal ini berimplikasi pada kehadiran Yesus di agama lain dengan cara dan nama yang lebih mereka kenal? Bukankah Yesus bagi kaum eksklusif dianggap sebagai Maha Kuasa? Jika Ia Maha Kuasa, maka suatu dogma sempit tidak dapat membatasi karya Allah di luar orang Kristen. Hal yang paling penting bahwa saya bersama teman-teman di FORLOG Antar Kita adalah penganut Pluralis Agama tetapi kami masih tetap pada identitas kami masing-masing sebagai orang Kristen dan Islam. Bukankah P. Borong, Olaf 4
Jujur Pada Pluralis – Ch. Daniel Saduk Manu Schumann, Knitter adalah kelompok pluralis tapi masih mengakui sebagai orang Kristen? Apakah kami ini Murtad? Terserah anda menilainya. Salam sejahtera. * (penulis adalah Pemuda GMIT Jemaat Silo Naikoten I)
Pengutipan dari artikel ini harus mencantumkan: Dikutip dari http://www.geocities.com/thisisreformedfaith/artikel/timex-pluralisme04.html
5