ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
JUDUL: WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
SKRIPSI
Disusun oleh NURISMA YUNITAMURTI NIM: 071115044
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI DEPARTEMEN: KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA Semester Gasal/Tahun 2014/2015
i Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
ii Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
SKRIPSI
Maksud: sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi S1 pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga.
Disusun oleh NURISMA YUNITAMURTI NIM: 071115044
PROGRAM STUDI: ILMU KOMUNIKASI DEPARTEMEN: KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA
Semester Gasal/Tahun 2014/2015
iii Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
HALAMAN PERSEMBAHAN Alhamdulillahhirrabbil’alamin, akhirnya saya bisa menyelesaikan skripsi ini. Selamat Nit, perjuanganmu terbayar :D Halaman ini saya persembahkan untuk mereka, pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung, membantu saya dalam penulisan skripsi ini. Syukur yang sebesar-besarnya saya haturkan kepada Allah SWT. Dengan pertolonganNya lah akhirnya saya bisa menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Dia lah yang telah menuliskan segala detail dalam kehidupan saya, dan memberi saya kekuatan untuk melaluinya. Sungguh tidak ada yang namanya kebetulan melainkan telah direncanakanNya. Terimakasih untuk nikmat sehat dan rezeki yang selalu dilimpahkan setiap hari. Thank you very much for Your unconditional love. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi suri tauladan saya. Semoga kita mendapat syafa’atnya di hari kelak. Terimakasih kepada almarhumah ibuku, Ibu Lestari Nurhayati, yang ku tahu akan selalu mendukungku. Salam rindu selalu kuucapkan dalam doaku. Engkau selalu di hatiku. Bapakku, Bapak Gunawan, yang selalu menjadi pahlawanku. Yang telah meberikan kepercayaan padaku untuk melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang menjadi tujuanku. Terimakasih untuk segala dukungannya. Semoga 3,5 tahun ini bisa menjadi sedikit kebahagiaan untukmu. Kakakku, Agnes, yang selalu menyemangati agar lulus 3,5 tahun. Akhirnya adekmu ini LULUS…. Terimakasih untuk selalu meyakinkan bahwa aku bisa. Makasih juga untuk Alia, keponakan yang belum kutemui secara tatap muka. Terimakasih untuk menjadi penyemangat. Teman-teman spesialku yang kenal sejak ospek, Permata, Andin, dan Mira, yang jadi teman main dan teman cerita hingga akhirnya saling menyemangati agar cepet lulus. Juga Bella, yang jadi temanku bercerita dan
iv Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
menggila. Akhirnya kita berlima lulus 3,5 tahun. Terimakasih atas 3,5tahun ini, semoga persahabatan kita langgeng. Love you…. Makasih juga Mandor, Ajeng, Jerry, Banez, Febri Pare, atas pertemanannya. Teman-teman sesama bimbingan Mbak Nisa, yang selalu support satu sama lain. Akhirnya kita lulus skripsi. Serta teman-teman Commers 11 semuanya, yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu per satu karena keterbatasan ruang. Terimakasih untuk semua kenangan yang kalian buat. Kalian luar biasa!!! Pembimbing skripsi yang memang namanya ku selipkan dalam harapanku, Mbak Nisa. Makasih banyak mbak pencerahannya. Terimakasih untuk menjadi pembimbing serta teman cerita. Terimakasih buku pinjamannya juga. Terimakasih untuk para penguji, Pak Yayan dan Bu Santi, untuk nilai dan masukannya. Serta seluruh dosen dan staff di Departemen Komunikasi: Mas Igak, Bu Moer, Mbak Dina, Mbak Kandi, Mbak Chus dan dosen-dosen lainnya. Terimakasih atas ilmunya. Teman-teman kos, yang sering menanyakan “wes sampe bab piro?” yang menjengkelkan tapi juga jadi penyemangat. Uzzy, Risma, Monic, semoga lekas selesai juga studinya. Makasih juga untuk (mantan) mbak kos yang turut peduli menanyakan skripsi dan memberikan saran, Mbak Andin, Mbak Yosi, Mbak Nia. Handa, Nenden dan Vita, teman-teman main selama di Lidah Wetan. Nenden dan Vita, makasih bantuan abstrak bahasa inggrisnya. Terimakasih juga untuk lelaki spesial, Ferdyan, atas pengertian dan dukungannya. Serta teman-temanku yang lain, yang namanya tidak bisa disebutkan satu per satu, terimakasih atas doa serta dukungannya. Thank you very much ☺
v Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
vi Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
vii Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji artikulasi wacana TKW dalam novel “Aku Bukan Budak” karya Astina Triutami dan “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang” karya Ummuki. Penelitian ini menarik karena perempuan seringkali digambarkan sebagai kaum yang marjinal di media massa. Novel memiliki karakteristik sebagai hot media yang bisa menimbulkan berbagai persepsi di benak pembaca. Novel yang menjadi objek penelitian unik karena merupakan kisah nyata yang ditulis sendiri oleh TKW. Dengan menggunakan metode analisis wacana Sara Mills, peneliti menganalisis bagaimana wacana TKW diartikulasikan melalui narasi kedua novel. Analisis dilakukan melalui struktur subjek-objek serta struktur penulis-pembaca dalam teks. Batasannya yaitu hanya menganalisis dari segi teks tanpa melakukan wawancara kepada penulis maupun pembaca. Peneliti menggunakan kajian mengenai representasi karena penelitian wacana tidak pernah lepas dari representasi. Kerangka pemikiran Foucault mengenai kekuasaan digunakan untuk mengungkap relasi kuasa antara TKW dengan lingkungannya serta untuk melihat keterkaitan antara bahasa dan kekuasaan. Peneliti juga menggunakan pemikiran feminis marxis untuk menganalisis penindasan terhadap perempuan berdasarkan kelas dan kapitalisme. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa melalui relasi yang terjadi antara TKW dan kapitalisme, majikan, dan sesamanya, TKW masih diposisikan sebagai kaum yang marjinal. TKW digambarkan sebagai pihak yang tidak memiliki kuasa. Mengenai struktur penulis-pembaca, penulis memposisikan pembaca dengan penyapaan langsung dan tidak langsung. Penyapaan tersebut berfungsi untuk menempatkan pembaca sebagai bagian dari teks sehingga mau ikut peduli terhadap permasalahan TKW yang terjadi. Dari penjelasan tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa kedua novel masih mengartikulasikan wacana TKW sejalan dengan wacana dominan.
Keywords: wacana, representasi, TKW, relasi kuasa
viii Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
ABSTRACT This research analyzes the articulation of women migrant workers discourse in the novel "Aku Bukan Budak" by Astina Triutami and "Dari Tanah Haram ke Ranah Minang" by Ummuki. This research is interesting since women migrant workers are inclined to be portrayed as the marginal in the media. The two novel chosen are unique since it is based on true story, written by the women migrant workers. Using Sara Mills' discourse analysis method, the researcher analyzes how the discourse is articulated through the narration in both novels. The analysis is conducted through describing subject-object structure and writer-reader structure. This research is limited in term of text analysis without interviewing to either writer or reader. The representation study is used to analyze the discourse in the novel since discourse cannot be separated from representation. Foucault's concept of power relations is used to reveal the power relations between women migrant workers to the society around them, and to find out the relation between language and power. The researcher also applies Marxist feminist thought to analyze women oppression by class and capitalism. The result shows that women migrant workers are still positioned as the marginal in their power relation with capitalism, their bosses and their fellows. Women migrant workers are described as those who have no power. Regarding to the writer-reader structure, the writer positions the reader through direct accost and indirect accost. Based on the recent analysis, it can be concluded that both of those novel still articulate the discourse of woman migrant workers which are in line to the dominant discourse.
Keywords: discourse, representation, women migrant workers, power relations
ix Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat limpahan taufik dan hidayahNya peneliti dapat menyelesaikan skrpsi dengan judul Wacana TKW dalam Novel “Aku Bukan Budak” dan “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang” ini. Sholawat serta salam juga selalu peneliti haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah menjadi insan panutan dalam bertindak dan bertutur kata. Secara umum, penelitian ini mendeskripsikan tentang bagaimana wacana TKW diartikulasikan melalui narasi novel oleh perempuan yang pernah menjadi TKW. Apakah penulis perempuan tersebut memberi gambaran wacana alternatif mengenai TKW, atau ternyata menggambarkan wacana TKW yang sejalan dengan wacana dominan. Melalui penelitian secara tekstual dan dengan menggunakan metode Analisis Wacana Sara Mills, penelitian ini mampu menggambarkan ketimpangan kuasa akibat adanya perbedaan kelas serta kapitalisme. Permasalahan ini memiliki signifikansi karena permasalahan mengenai TKW ini sering ditampilkan di media massa, dengan sudut pandang yang memarjinalkan mereka. Wacana yang beredar tersebut seolah mengukuhkan kedudukan TKW sebagai kaum marjinal. Terimakasih yang sebesar-besarnya peneliti sampaikan kepada seluruh dosen Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Airlangga yang telah membagikan ilmunya serta membimbing peneliti dalam penulisan skripsi ini. Terimakasih juga peneliti
x Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
sampaikan kepada seluruh pihak yang membantu peneliti dalam penyelesaian penulisan skripsi. Peneliti menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat beberapa kekurangan dan kesalahan. Karena itulah, saran serta kritik terhadap skripsi ini sangat peneliti nantikan untuk perbaikan di masa mendatang. Semoga skripsi ini mampu memberikan manfaat bagi para pembaca, khususnya yang berkecimpung dalam ilmu komunikasi. Surabaya, 25 Januari 2015
Nurisma Yunitamurti
xi Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL……………………………………….……...………… HALAMAN PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT…...…… HALAMAN PENGUNGKAPAN MAKSUD PENULISAN..……………… HALAMAN PERSEMBAHAN……..……………………………………… HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……………...……………… HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI………………………... ABSTRAK……………………….………………………………………….. KATA PENGANTAR……………………………………………………….. DAFTAR ISI…...…………………………………………………………… BAB I PENDAHULUAN……...…………………………………………….. I.1 LATAR BELAKANG MASALAH…………………...………….. I.2 RUMUSAN MASALAH……………………………………….. I.3 TUJUAN PENELITIAN…………………………………………. I.4 MANFAAT PENELITIAN………………………………………. I.5 TINJAUAN PUSTAKA………………………………………….. I.5.1 Representasi, Identitas, dan Budaya……………………….. I.5.2 Representasi Perempuan dalam Media…………………....... I.5.3 Bahasa, Kekuasaan, dan Relasi Kuasa…………………....... I.5.4 Teori Feminis Marxis………………………………………. I.5.5 Analisis Wacana Sara Mills………………………………... I.6 METODOLOGI…………………………………………………… I.6.1 Metode Penelitian………………………………………….. I.6.2 Unit Analisis……………………………………………….. I.6.3 Teknik Pengumpulan Data…………………………………. I.6.4 Teknik Analisis Data……………………………………….. BAB II GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN……………………. II.1 Wacana Tenaga Kerja Wanita di Indonesia………………………. II.2 Novel Sebagai Media Massa dan Teks …………………………... II.3 Wacana TKW dalam Novel Indonesia…………………………… II.3.1 Review Novel “Aku Bukan Budak”………………………. II.3.2 Review Novel “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”…… BAB III PEMBAHASAN…………………………………………………..... III.1 Struktur Subjek-Objek dalam novel “Aku Bukan Budak” dan “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”………………………… III.1.1 TKW dan Kapitalisme…………….……………………… III.1.2 Hubungan antara TKW dengan majikan……………….. III.1.3 Hubungan antara TKW dengan TKW…………………… III.2 Struktur Penulis-Pembaca dalam novel “Aku Bukan Budak” dan “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang…………………………...
I ii iii iv vi vii viii x Xii I-1 I-1 I-16 I-16 I-16 I-17 I-17 I-22 I-23 I-28 I-33 I-37 I-38 I-39 I-39 I-40 II-1 II-1 II-5 II-9 II-9 II-14 III-1 III-3 III-4 III-24 III-46 III-61
xii Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………….. IV-1 IV.1 Kesimpulan………………………………………………………. IV-1 IV.2 Saran……………………………………………………………... IV-7 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xiii Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH Penelitian ini mengenai wacana TKW dalam novel Indonesia yang berjudul “Aku Bukan Budak” karya Astina Triutami dan “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang” karya Ummuki. Analisis penelitian ini menggunakan metode Analisis Wacana milik Sara Mills. Wacana yang dimaksudkan di sini terkait dengan wacana mengenai perempuan yang menjadi TKW digambarkan sebagai kaum yang termarjinalkan melalui narasi-narasi oleh sang penulis novel. TKW yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah TKW yang bekerja pada sektor informal atau ranah privat, yaitu yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Peneliti menganalisis bagaimana wacana TKW diartikulasikan dalam kedua novel tersebut. Fokus penelitian lebih kepada bagaimana penulis mengartikulasikan wacana TKW melalui representasi tokoh utama dan juga beberapa tokoh pendukung yang bekerja sebagai TKW. Peneliti menganalisis dengan melihat hubungan yang terjadi antara TKW dengan sistem maupun lingkungan di sekitarnya, seperti hubungan TKW dan kapitalisme, hubungan TKW dengan majikan, serta hubungan antar sesama TKW. Peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai TKW sebab peneliti seringkali melihat adanya pemberitaan di media massa mengenai perlakuan terhadap para TKW yang terkesan memarjinalkan mereka. Pemberitaan yang berulang itu merupakan suatu diskursus atau wacana yang berkembang di
I-1 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
masyarakat dan diasumsikan akan berulang pada media massa populer sekalipun. Peneliti memilih novel sebagai teks sebab peneliti melihat karakteristik novel yang unik yaitu sebagai media massa populer dan juga sebagai hot media. Dalam bukunya yang berjudul Understanding Media: The Extentions of Man, McLuhan mendefinisikan hot media sebagai media yang hanya mengandalkan satu indera saja untuk menangkap pesannya (high definition). Audiens yang dalam hal ini adalah pembaca, harus fokus dengan media yang sedang dikonsumsinya karena proses komunikasi berjalan secara linear (dalam Bobbitt 2011). Dengan karakteristik novel tersebut, novel mampu menimbulkan berbagai persepsi yang berbeda-beda di benak pembaca. Hal ini dikarenakan ketika membaca sebuah novel seseorang akan berimajinasi sesuai kehendak pribadinya dengan berlandaskan frame of reference dan field of experience yang mereka miliki. Novel menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Melalui bahasa itulah pengarang menceritakan mengenai kisahnya, baik berupa fiksi maupun nonfiksi, ke dalam suatu karya. Novel dianggap mampu ‘merefleksikan realitas, nilai-nilai, serta norma di masyarakat’ (O’Saughnessy 2006, h.35). Bahasa dalam hal ini tidak dilihat sebagai sesuatu yang netral. Habermas menyebutkan bahwa ‘bahasa selalu menjadi medium dominasi dan sistem reproduksi material dan ideasional’ (Adiptoyo 2004, h.10). Pemilihan dan penggunaan bahasa juga merupakan wujud dari kekuasaan yang biasanya didominasi oleh kelompok dominan. Novel merupakan media massa yang unik karena novel juga merupakan sebuah karya sastra. Novel memiliki beberapa karakteristik yang menarik dibandingkan karya sastra yang lain. Salah satunya yaitu karakteristik novel yang I-2 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
dianggap sebagai karya fiksi namun sebenarnya juga merupakan suatu gambaran realitas. Hal ini dikarenakan dalam menyusun narasinya, seorang penulis novel tentu dipengaruhi oleh frame of reference maupun field of experience yang tidak lepas dari struktur ekonomi, politik, maupun sosial budaya yang ada di sekitarnya. Realitas yang ada dalam novel itu kemudian menjadi realitas kedua (secondhand reality). Realitas kedua ini bisa juga disebut sebagai representasi. Representasi merupakan ‘tindakan menghadirkan atau mempresentasikan sesuatu lewat sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol’ (Piliang 2003, h.21). Penulis berusaha mengartikulasikan wacana TKW dengan merepresentasikan sosok TKW melalui narasi-narasi novelnya. Menurut McQuail ‘representasi yang ditampilkan media massa dapat mempengaruhi persepsi dan definisi masyarakat mengenai realitas sosial, termasuk identitas sosok tertentu’ (dalam Fitranisa 2011, h.I-2). Hal ini bisa menimbulkan gambaran realitas sosial yang timpang, bias, dan tidak cermat yang kemudian disebut dengan stereotipe. Contoh stereotipe tersebut misalnya TKW yang ditampilkan sebagai perempuan yang bodoh/ berpendidikan rendah, dan lain sebagainya dalam media massa. Yang biasanya direpresentasikan dalam suatu media adalah identitas. Stuart Hall dalam bukunya The Question of Cultural Identity mengungkapkan bahwa identitas muncul sebagai salah satu upaya yang dilakukan oleh individu untuk mendefinisikan siapa dirinya (1996). Identitas bukanlah sesuatu yang sifatnya tunggal. Identitas dikonstruksi melalui beragam wacana, posisi, dan aturan. Identitas merupakan produk dari perkembangan sejarah, berproses terus menerus, serta dikarakteristikkan oleh perubahan. Sebagai sesuatu yang fluid dan I-3 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
berubah-ubah, identitas tidak pernah lepas dari permainan kekuasaan yang melingkupinya. Kedua novel yang menjadi objek dalam penelitian ini merupakan novelnovel Indonesia yang menceritakan mengenai kisah TKW yang dituliskan oleh perempuan. Kedua penulis memiliki pengalaman bekerja sebagai TKW. Mereka menggunakan referensi pengalamannya itu untuk menuliskan novelnya. Kedua penulis menempatkan dirinya sebagai tokoh utama. Mereka menggunakan sudut pandang orang pertama untuk mengisahkan ceritanya dengan tokoh sentral “aku”. Dalam sudut pandang tersebut, penulis bertindak sebagai narator yang terlibat dalam cerita, tokoh yang mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa dan tindakan yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca (Nurgiyantoro 2007). Seperti yang diketahui, perempuan dalam bingkai media seringkali digambarkan sebagai kaum marjinal. Dalam budaya Indonesia yang masih menganut budaya patriarki, perempuan dianggap sebagai kaum kedua yang kedudukannya berada di bawah laki-laki. Istilah patriarki merujuk pada: hubungan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan yang berfungsi sebagai penentu utama bagaimana laki-laki dan perempuan akan direpresentasikan dalam budaya populer serta bagaimana mereka akan merespon representasi tersebut (Strinati 2004, h.227).
Salah satu bentuk patriarki itu adalah perempuan dianggap lemah dan tenaganya dianggap hanya mampu mengurusi masalah domestik atau rumah tangga saja. Tenaga itu dianggap tidak memiliki nilai jual. Kalaupun bekerja, pekerjaan perempuan pun merupakan perpanjangan dari pekerjaan domestik,
I-4 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
misalnya seperti pekerjaan yang dilakukan para TKW yang mayoritas bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Upah yang didapat perempuan pun tidak setara dengan kaum laki-laki. Hal ini dikarenakan perempuan hanya dianggap sebagai penyokong suami karena fungsi produksi dalam keluarga selama ini dianggap melekat pada kaum laki-laki. Perempuan dalam media juga seringkali dianggap bodoh. Seperti perempuan yang menjadi TKW, mayoritas digambarkan tidak lulus SMA dan menjadi TKW akibat desakan keadaan ekonomi keluarga. Mereka dipaksa untuk menggantikan peran suami atau ayah sebagai pencari nafkah bagi keluarga dan bertanggungjawab untuk memperbaiki perekonomian keluarga serta membiayai sekolah anak-anaknya maupun adik-adiknya. Hal-hal tersebutlah yang seringkali ditampilkan dalam media massa Indonesia. Contohnya adalah pemberitaan mengenai kasus TKW Wilfrida yang digambarkan sebagai orang miskin, tidak berpendidikan dan berjiwa labil sehingga bisa membunuh majikannya (Ramadhiani 2014). Tidak hanya dominasi dari kaum laki-laki atau patriarki, para perempuan seringkali juga didominasi oleh sistem yang ada, misalnya kapitalisme dan juga negara yang dalam konteks heteronormativitas dianggap sebagai laki-laki. Dominasi dari kapitalisme misalnya seperti perempuan yang dieksploitasi untuk kepentingan materi. Contohnya ketika para perempuan dijadikan model iklan yang dieksploitasi tubuhnya. Sedangkan dominasi negara misalnya seperti tidak adanya perlindungan hukum yang kuat dan adil bagi para perempuan, khususnya TKW, baik pada masa pra-saat-dan setelah menjadi TKW; pemberian beban pajak I-5 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
yang tinggi; serta tidak adanya pemberian fasilitas memadai dari pemerintahan bagi para TKW yang akan berangkat ke luar negeri. Pemberian gelar sebagai “pahlawan devisa” seakan hanya menjadi hiburan semata. Akibat kedudukannya sebagai kaum kedua, perempuan atau yang dalam penelitian ini yaitu TKW, seringkali mengalami tindak kekerasan berbasis gender. Banyak kasus-kasus yang ditampilkan media Indonesia berkaitan dengan kekerasan yang dialami oleh para TKW. Misalnya saja kasus yang menimpa Nirmala Bonat, TKW asal NTT yang bekerja di Malaysia, yang ramai di pemberitaan media pada 2004; kasus pemerkosaan TKW oleh 3 oknum polisi Malaysia pada November 2012; kasus Erwiana, TKW asal Sragen yang disiksa majikannya di Hong Kong; dan yang terbaru mengenai kasus hukuman mati kepada Satinah yang akhirnya dibayarkan dendanya oleh pemerintahan Indonesia. Selain beberapa contoh kasus tersebut, masih banyak kasus-kasus lain mengenai kekerasan yang menimpa para TKW yang diberitakan oleh media Indonesia. Menurut UU No.39 Tahun 2004, TKI adalah setiap Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Sedangkan TKW sendiri lebih menspesifikkan pada TKI yang berjenis kelamin wanita. TKW umumnya bekerja pada sektor informal, seperti menjadi pembantu rumah tangga, pelayan restoran, dan atau pekerjaan-pekerjaan sejenis itu. Pengerahan buruh dalam konteks keterlibatan atau intervensi negara dan menjadi perkembangan dari pembagian tata kerja internasional, telah berlangsung
I-6 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
sejak masa kolonial (abad XIX), bersamaan dengan politik etik yang diterapkan di Hindia Belanda. Hal tersebut menjadi program andalan pada awal pemerintahan Orde Baru melalui strategi pembangunanisme, pengerahan buruh migran atau yang biasa dikenal dengan TKW (Farida 2007). Gelombang pertama pengiriman buruh migran terjadi ketika ada “oil boom” pada tahun 1970-an. Para buruh migran itu menuju negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah. Gelombang kedua terjadi pada tahun 1980an. Para buruh migran berangkat ke Asia Timur yang tengah memacu pertumbuhan ekonomi seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Hong Kong. Pada tahun 1985 telah mencapai 3,9juta orang yang menjadi buruh migran (Matsui 2002). Menurut International Organization for Migration (IOM) jumlah migran internasional telah meningkat dari 150 juta orang di tahun 2000 menjadi 214 juta orang di tahun 2010. Tingginya permintaan tenaga kerja di negara maju dan ketersediaan tenaga kerja di negara berkembang menjadi faktor yang meningkatkan kegiatan migrasi internasional. Kementrian Luar Negeri mencatat tidak kurang dari 3.091.284 Warga Negara Indonesia saat ini berada di luar negeri di
mana
58,9%
diantaranya
bekerja
sebagai
pekerja
rumah
tangga
(Hidayatunnismah, Anggraeni, & Pertiwi 2013). Beberapa faktor yang menyebabkan masih banyaknya masyarakat Indonesia yang ingin menjadi TKI/ TKW diantaranya adalah angka pengangguran yang tinggi, minimnya lapangan pekerjaan di negeri sendiri dan semakin naiknya
I-7 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
kebutuhan hidup di Indonesia. Pemerintah
Indonesia juga mendukung
pengirimanan TKI/TKW ke luar negeri sebab mereka memberikan pemasukan devisa yang cukup besar pada negara. Di sisi lain pemerintah juga tidak bisa melarang sesorang yang ingin bekerja di luar negeri karena itu merupakan hak mereka sebagai manusia merdeka. Karena bekerja pada sektor informal yang biasanya berada pada ranah privat, kekerasan terhadap TKW tersebut rentan terjadi. Publik tidak bisa ikut mengawasi dan ikut campur karena menganggap urusan rumah tangga adalah urusan privat. Kekerasan yang terjadi pada TKW itu juga tidak lepas dari ideologi yang selama ini dianggap menyebabkan ketimpangan gender yakni ideologi patriarki. Ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan pada umumnya mengambil bentuk dominasi oleh kaum laki-laki serta diskriminasi terhadap perempuan. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai ketimpangan gender. Perbuatan ini dikategorikan sebagai kejahatan terhadap seseorang karena ia berjenis kelamin perempuan. Kekerasan terhadap perempuan adalah perwujudan ketimpangan historis dari berbagai wujud relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Relasi yang timpang itu secara nyata mengakibatkan dominasi, diskriminasi, dan eksploitasi terhadap perempuan. Coral Smart dalam Farida (2007) menyatakan lemahnya posisi perempuan merupakan konsekuensi dari adanya nilai-nilai patriarki yang dilestarikan melalui proses sosialisasi dan reproduksi dalam berbagai bentuk oleh masyarakat maupun
I-8 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
negara. Dalam hal tersebut laki-laki dibenarkan untuk memiliki kekuasaan terhadap perempuan. Perbedaan gender bukanlah suatu masalah ketika dia tidak menimbulkan ketidakadilan gender. Namun pada praktik yang terjadi, perbedaan gender ini menimbulkan ketidakadilan gender, khususnya bagi perempuan. Ketidakadilan ini hadir dalam berbagai bentuk, di antaranya adalah ‘marjinalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, pembentukan stereotipe negatif, kekerasan, beban kerja lebih banyak, sosialisasi ideologi peran gender, serta subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik’ (Fakih 1996, h.13). Lebih lanjut Fakih menjelaskan, terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial dan kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan perempuan (1996). Dalam penjelasan tersebut bisa dilihat bahwa negara sebagai institusi legal, yang dalam konteks heteronormativitas dianggap sebagai laki-laki, turut andil dalam mengkonstruksi perbedaan gender yang akhirnya menyebabkan ketimpangan gender. Gender mengacu pada peran yang dikonstruksikan masyarakat dan perilaku-perilaku yang dipelajari, serta harapan-harapan yang dikaitkan pada
I-9 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
perempuan dan laki-laki. Murniati dalam bukunya Getar Gender (2004) menyatakan bahwa bentuk dari ketidak adilan gender ini dapat berupa: 1. Marginalisasi terhadap perempuan. Marginalisasi berarti menempatkan atau menggeser perempuan ke pinggiran. Perempuan dicitrakan lemah, tidak rasional, tidak berani sehingga tidak pantas memimpin. Akibatnya, perempuan selalu dinomorduakan apabila ada kesempatan untuk memimpin. 2. Stereotipe
masyarakat
terhadap
perempuan.
Pandangan
stereotipe
masyarakat, yakni pembakuan diskriminatif antara perempuan dan lakilaki. Perempuan dan laki-laki di kotak-kotakkan pada tindakan pantas dan tidak pantas, sehingga tidak dapat keluar dari kotak yang membakukan tersebut. 3. Subordinasi perempuan
terhadap dan
perempuan.
karya-karyanya
Pandangan lebih
yang memposisikan
rendah
daripada
laki-laki.
Perempuan dipandang kurang mampu, sehingga diberi tugas yang mudah. Mereka selalu khawatir apabila suatu pekerjaan yang berat atau hebat ditangani oleh perempuan. 4. Beban ganda. Perempuan yang bekerja di sektor publik nyatanya masih diberikan tugas rumah tangga dalam keluarga. 5. Kekerasan terhadap perempuan. Stereotipe laki-laki atas perempuan juga sampai pada ungkapan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan. Kekuasaan ini terungkap dalam wujud fisik, psikis, verbal maupun nonverbal.
I-10 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Dalam penjelasan tersebut disebutkan bahwa salah satu wujud dari ketidakadilan gender pada perempuan adalah kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan mencakup semua tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, dan psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, yang terjadi di ranah publik mapun di ranah domestik (Farida 2007). Para perempuan yang bekerja sebagai TKW bisa dikatakaan mengalami berbagai lapis bentuk kekerasan, yaitu kekerasan berbasis gender, berbasis ras, dan berbasis kelas. Kekerasan berbasis gender terjadi karena TKW berjenis kelamin perempuan, kekerasan berbasis ras terjadi karena mayoritas majikan yang berasal dari luar negeri menganggap orang dari ras Indonesia lebih rendah dan lebih bodoh, sedangakan kekerasan berbasis kelas terjadi karena majikan merasa lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan TKW yang bekerja sebagai pembantu. Menurut pemantauan Komnas Perempuan, pada tahun 1998 – 2010 ada 6.266 kasus kekerasan seksual yang dialami pekerja migran, belum termasuk 366 buruh wanita yang meninggal teraniaya. Kekerasan terhadap TKW sebenarnya sudah dimulai sejak pemberangkatan, misalnya seperti pelecehan dan penyiapan dokumen palsu, di tempat kerja seperti gaji tidak dibayar dan dokumen penting ditahan majikan, dan saat kepulangan ke kampung halaman ada pungutan liar yang dilakukan oleh petugas bandara dan oleh oknum-oknum di terminal Selapajang, hingga petugas travel yang disiapkan petugas terminal. Terjadi I-11 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
ketidakadilan yang menerpa TKW yang sudah bekerja keras, meninggalkan keluarga ribuan mil jaraknya, tetapi media, masyarakat, dan pemerintah cenderung merendahkan dan memarjinalkan TKW (Artini 2011). Penelitian mengenai wacana perempuan yang menjadi TKW dalam novel ini kemudian menjadi menarik karena tema ini jarang diangkat sebelumnya. Terlebih lagi objek dari penelitiannya adalah karya TKW itu sendiri. Namun telah banyak juga penelitian yang membahas mengenai wacana maupun representasi TKW dalam media. Karakteristik yang menarik lainnya adalah kedua penulis dari kedua novel itu adalah perempuan. Jika selama ini media cenderung menggunakan sudut pandang male gaze dalam menampilkan sosok perempuan (Noviani 2006), maka dalam penelitian ini secara tidak langsung juga melihat bagaimana penulis perempuan merepresentasikan kaumnya. Melalui narasinya bisa dilihat juga apakah para penulisnya merepresentasikan TKW tetap melanggengkan wacana dominan yang terjadi selama ini. Penelitian ini unik karena topik dalam penelitian ini jarang dilakaukan. Memang sebelumnya telah ada penelitian yang membahas mengenai representasi TKW dalam novel, namun peneliti melihat nilai lebih dari kedua objek penelitian ini karena dituliskan sendiri oleh TKW yang menjadi tokoh utama. Dengan menggunakan tipe deskriptif, penelitian ini berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi pada saat sekarang (Sudjana, Nana, & Ibrahim 2007). Salah satu contoh penelitian yang membahas mengenai representasi TKW dalam karya sastra adalah Representasi TKW di Hong Kong dalam Cerpen-cerpen I-12 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
pada Kumpulan Cerpen Majikanku Empu Sendok Karya Denok K. Rokhmatika. Dalam penelitian tersebut diperoleh gambaran atau representasi bahwa TKW yang bekerja di Hong Kong berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya namun tidak pernah melepaskan karakter Indonesianya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa para TKW mampu untuk mengkritik, melakukan protes sosial, dan melakukan sindiran sebagai akibat dari perlakuan diskriminasi majikan dan pihak penyelenggara (Mantoro 2014). Novel “Aku Bukan Budak” juga pernah diteliti sebelumnya. Penelitian tersebut berjudul Profil Tokoh Utama dalam Novel Aku Bukan Budak Karya Astina Triutami: Sebuah Telaah Dinamika Kepribadian. Sesuai judulnya, penelitian tersebut lebih berfokus pada kepribadian dan masuk dalam penelitian psikologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepribadian tokoh utama dalam novel termasuk ke dalam kepribadian bersifat umum, yaitu kepribadian yang menunjukkan kepada sifat umum seseorang, seperti pikiran, kegiatan dan perasaan yang berpengaruh secara sistemik terhadap keseluruhan tingkah lakunya (Simanjorang 2012). Penelitian lainnya yang juga membahas tokoh novel “Aku Bukan Budak” adalah Citra Tokoh Wanita dalam Novel Aku Bukan Budak Karya Astina Tiutami. Penelitian tersebut menggambarkan bahwa citra wanita yang coba dihadirkan dalam novel Aku Bukan Budak adalah citra wanita mandiri yang berjuang dari segala kemelut atau permasalahan pekerjaan sebagai bawahan. Citra yang ditampilkan meliputi wanita penyabar, wanita lemah lembut, penyayang, dan peduli terhadap lingkungan (Putri 2013).
I-13 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Penelitian ini berfokus pada 2 novel Indonesia yaitu “Aku Bukan Budak” karya Astina Triutami dan “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang” karya Ummuki. Kedua novel tersebut ditulis oleh perempuan yang mengaku menuliskan novel tersebut berdasarkan kisah nyata yang mereka alami sendiri. Hal tersebut bisa dilihat dari halaman sampul yang menyatakan bahwa kisah dalam novel tersebut adalah kisah nyata. Misalnya dalam novel “Aku Bukan Budak” terdapat tulisan ‘True Story’ dan pada novel “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang” dituliskan ‘nonfiksi’ pada sampul belakangnya. Kedua novel ini dipilih karena merupakan 2 novel Indonesia yang mengisahkan mengenai perempuan yang menjadi TKW dan ditulis sendiri oleh TKW yang bersangkutan. Walaupun menggunakan bahasa yang terkesan seperti indepth report, yang mengungkapkan sesuatu yang aktual, namun kedua objek penelitian itu termasuk dalam karya novel. Hal ini dikarenakan keduanya memiliki syarat-syarat penulisan novel yang mencakup unsur intrinsik seperti tema, setting, penokohan alur/plot, serta sudut pandang, serta memiliki unsur ekstrinsik seperti latar belakang penulisan dan biografi penulis (Aziez & Hakim 2010). Novel berjudul “Aku Bukan Budak” menceritakan seorang gadis bernama Astina yang terpaksa menjadi TKW di usianya yang masih belia. Bermodalkan ijazah SMP dia memberanikan diri mendaftar di salah satu sponsor yang kemudian mendaftarkannya pada sebuah PJTKI. Novel ini menceritakan pengalaman Astina mulai dari kekerasan yang dialaminya selama menunggu keberangkatan di PJTKI, pemerasan yang dilakukan oknum pemerintah, hingga kekerasan ketika dia sudah bekerja di Hongkong. I-14 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Novel kedua berjudul “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang” yang ditulis oleh Ummuki. Berbeda dengan novel sebelumnya, dalam novel ini penulis menggunakan nama rekaan untuk menceritakan kisahnya. Novel ini menceritakan tokoh utama yang bernama Hanifa bekerja sebagai TKW di Arab Saudi. Hanifa terpaksa meninggalkan kedua putrinya untuk mencari uang. Diceritakan bahwa Hanifa adalah lulusan S1 dan pernah menjadi ustadzah di sebuah pesantren, namun karena himpitan situasi dan ekonomi dia akhirnya memilih menjadi TKW. Latar belakangnya tersebut memudahkan Hanifa dalam hal komunikasi dengan menggunakan bahasa Arab. Namun ternyata hal tersebut juga tidak terlalu banyak membantunya. Dia ternyata juga kerap kali menerima kekerasan yang diantaranya adalah pelecehan seksual, perampasan hak-hak untuk beribadah dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, serta perlakuan sewenang-wenang dari majikan. Peneliti tertarik menganalisis wacana TKW karena peneliti ingin mengeksplor bagaimana bahasa dijadikan alat representasi dan artikulasi wacana oleh penulis. Artikulasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses atau praktik produksi makna yang sifatnya aktif melalui simbol-simbol tertentu (Zuriati 2012). Dalam menuliskan novelnya, tentu penulis tidak terlepas dari ideologi yang dibawanya. Bahasa dalam teks juga cenderung merepresentasikan perempuan sebagai objek. Hal ini dikarenakan bahasa bukanlah sesuatu yang netral. Wangs dalam Badara (2012) mengungkapkan bahwa bahasa merupakan praktik sosial. Melalui bahasa tersebut seseorang atau suatu kelompok ditampilkan atau didefinisikan.
I-15 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis wacana. Analisis wacana yang digunakan adalah milik Sara Mills yang memang fokus pada masalah feminisme. Melalui metode tersebut peneliti berusaha mengungkapkan adanya ketimpangan kuasa antara laki-laki dan perempuan. Jadi penelitian ini berfokus pada wacana TKW dalam novel Indonesia. I. 2 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang bisa diajukan adalah: 1. Bagaimana wacana TKW diartikulasikan dalam novel berjudul “Aku Bukan Budak” dan “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”? I. 3 TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis wacana TKW yang diartikulasikan dalam novel Indonesia yaitu “Aku Bukan Budak” dan “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”. I. 4 MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan mampu menyediakan seperangkat analisis yang berbentuk deskriptif mengenai artikulasi wacana TKW dalam novel Indonesia. Selain itu diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai kerangka berpikir bagi penelitian yang akan datang. Penelitian ini diharapkan bisa dijadikan bahan analisa untuk penelitian dan laporan yang lebih lengkap bagi peneliti lainnya.
I-16 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
I.5 TINJAUAN PUSTAKA I. 5. 1 Representasi, Identitas, dan Budaya Menurut
Stuart
Hall
dalam
bukunya
Representation:
Cultural
Representations and Signifying Practices, representasi adalah ‘produksi makna melalui bahasa’ (2002, h.28). Representasi bisa dihadirkan oleh bahasa karena bahasa beroperasi sebagai sistem representasi (Hall 2002). Representasi adalah ‘tindakan menghadirkan atau mempresentasikan sesuatu lewat sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol’ (Piliang 2003, h.21). Representasi ini penting dalam dua hal, yakni: 1. Apakah seseorang, kelompok, atau gagasan itu ditampilkan sebagaimana mestinya. Kata semestinya ini mengacu pada apakah seseorang atau kelompok itu diberitakan apa adanya ataukah diburukkan. Penggambaran yang tampil bisa jadi adalah penggambaran buruk atau memarjinalkan seseorang atau kelompok tertentu. 2. Bagaimana representasi tersebut ditampilkan. Dengan kata, kalimat, aksentuasi dan bantuan foto macam apa yang seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan dalam pemberitaan terhadap khalayak. (Eriyanto 2001). Representasi yang tidak sesuai dengan keadaan sesungguhnya dikenal sebagai misrepresentasi. Dalam suatu teks misrepresentasi ini bisanya dilakukan dalam beberapa cara, yaitu Ekskomunikasi, Eksklusi, Marjinalisasi, dan Delegitimasi. Ekskomunikasi terjadi ketika suatu kelompok dikeluarkan dari
I-17 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
pembicaraan publik. Kelompok tersebut tidak diberi kesempatan untuk berbicara sehingga penggambaran yang terjadi hanya dilakukan oleh sudut pandang kelompok yang dominan. Eksklusi terjadi ketika seseorang atau suatu kelompok dikucilkan dalam pembicaraan. Dalam eksklusi, pihak subordinat masih diberikan ruang untuk berbicara walaupun sangat minim. Dalam ekskomunikasi dan eksklusi terjadi pemilahan antara “kami” dan “mereka” (the others). Marjinalisasi terjadi ketika ada penggambaran buruk pihak lain, namun tidak disertai pemilahan antara pihak kami dan pihak mereka. Sedangkan delegitimasi terjadi ketika seseorang atau suatu kelompok dianggap tidak absah karena tidak memiliki landasan hukum yang sah (Eriyanto 2001). Stuart Hall menjelaskan bahwa penelitian yang mempertanyakan tentang representasi dari praktik-praktik kehidupan sosial yang memproduksi budaya dan ‘peristiwa’ atau kejadian yang disebut dengan sirkuit atau pusaran budaya/ circuit of culture (Ida 2011). Representasi, identitas, dan budaya ini saling terikat satu sama lain. Hall membuat Sirkuit Budaya yang digunakan untuk ‘menggambarkan hubungan antara representasi dengan identitas, regulasi, konsumsi, dan produksi’ (dalam Ida 2011, h.30). Kesatuan tersebut berkaitan dengan bagaimana makna diproduksi melalui penggambaran identitas dan peristiwa yang berhubungan dengan regulasi, konsumsi, produksi, dan akhirnya representasi dalam media massa.
I-18 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Gambar 1.1 circuit of culture
Sirkuit budaya tersebut menggambarkan bagaimana makna diproduksi melalui representasi identitas dalam sebuah media dan peristiwa yang berhubungan dengan regulasi, konsumsi, dan produksi. Representasi tidak berdiri sendiri, ‘dalam representasi terdapat sistem representasi yang meliputi objek, orang, dan kejadian atau peristiwa yang berhubungan dengan seperangkat konsep-konsep atau mental representations yang kita bawa dalam benak kepala kita’ (Hall dalam Ida 2011, h.31). Hall menjelaskan bahwa entitas budaya mengacu pada ‘whatever is distinctive about the “way of life” of a people, community, nation, or social group’ (1997, h.2). Dalam tradisi Cultural Studies, budaya diartikan sebagai produksi dan pertukaran makna dalam suatu masyarakat. Inti dari budaya tersebut adalah mengenai shared meaning. Hal tersebutlah yang menyebabkan seorang anggota dari suatu kebudayaan yang sama bisa memiliki cara pandang yang kurang lebih sama terhadap suatu hal.
Sesorang itu kemudian bisa
I-19 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
mengekspresikan apa yang diketahui, apa yang dirasakan, dengan cara yang akan diketahui anggota kelompoknya. Sehingga budaya bergantung pada partisipannya dalam menginterpretasi yang sedang terjadi di sekitar mereka, dan memaknai dunia dengan cara yang sama. Partisipan dalam sebuah kelompok itulah yang meberikan makna pada orang, objek, dan suatu peristiwa. Seseorang itu memberikan makna melalui bagaimana dia merepresentasikannya melalui katakata yang digunakan. Sedangkan bahasa didefinisikan Hall sebagai ‘medium in which we make sense of things’ (Hall 1997, h.1). Atau dengan kata lain bahasa merupakan kendaraan yang digunakan untuk membuat budaya menjadi bermakna karena lewat bahasa makna itu diciptakan dan dipertukarkan. Bahasa lah yang mempunyai makna dan kemudian melanggengkan budaya yang ada dengan cara dipertukarkan dari satu agen ke agen yang lain dalam masyarakat. Bahasa beroperasi dalam system representasional sehingga dia mampu menghasilkan makna. Secara tidak langsung bahasa merupakan sentral dari arti (meaning) dan budaya. Bahasa merupakan media di mana seseorang bisa merepresentasikan pikiran, ide-ide, maupun ideologi dalam budaya. Menurut Ida, sistem representasi meliputi tanda dan simbol yaitu objek, orang, dan kejadian peristiwa (event) yang berhubungan dengan seperangkat konsep-konsep atau mental representations yang kita bawa dalam benak kepala kita (2011). Representasi pada akhirnya menghubungkan antara makna dan bahasa terhadap budaya. Representasi merupakan hal yang penting dari proses di
I-20 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
mana makna diproduksi dan dipertukarkan di antara anggota-anggota dari sebuah budaya, representasi melibatkan penggunaan bahasa, tanda-tanda dan gambargambar yang mewakili sesuatu. Yang biasanya direpresentasikan dalam suatu media adalah identitas. Stuart Hall dalam bukunya The Question of Cultural Identity mengungkapkan bahwa identitas muncul sebagai salah satu upaya yang dilakukan oleh individu untuk mendefinisikan siapa dirinya. Identitas bukanlah sesuatu yang sifatnya tunggal dan dikonstruksi melalui beragam wacana, posisi, dan aturan. Akan tetapi identitas merupakan produk dari perkembangan sejarah, berproses terus menerus, serta dikarakteristikkan oleh perubahan. Sebagai sesuatu yang fluid dan berubahubah, identitas tidak pernah lepas dari permainan kekuasaan yang melingkupinya (Fitranisa 2011). Identitas tersebut dibentuk melalui proses representasi, termasuk merefleksikan “siapa diri kita” atau “dimana kita berasal”, identitas dipandang sebagai suatu konsep bagaimana kita dibentuk, bagaimana kita direpresentasikan, dan bagaimana pandangan orang lain atas apa yang kita representasikan. Karena sifatnya yang fluid, identitas tidak pernah lepas dari permainan kekuasaan yang melingkupinya (Hoon dalam Fitranisa, 2011). Kekuasaan untuk mengkonstruksi identitas biasanya terletak pada pembuat kebijakan. Pembentukan identitas oleh pembuat kebijakan itu berdasarkan pada faktor biologis seperti ras, etnisitas, dan lain sebagainya.
I-21 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
I. 5. 2 Representasi Perempuan dalam Media Ketidakadilan terhadap perempuan ditampilkan dalam berbagai bentuk representasi di media massa. Strinati dalam bukunya Popular Culture mengatakan bahwa ‘representasi laki-laki dan perempuan dalam media selaras dengan stereotipe-stereotipe kultural yang berfungsi untuk merepoduksi peranan-peranan jenis kelamin secara tradisional’ (2004, h.211). Penggambaran yang diterima dan diyakini oleh masyarakat ini kemudian berkembang sebagai wacana dominan (Dominant Discourse). Misalnya saja seperti penggambaran laki-laki yang gagah, berani, logis, sedangkan perempuan digambarkan lemah lembut, sabar, penyayang, dan emosional. Lewat suatu teks, yaitu novel, seseorang atau suatu kelompok bisa menggunakannya sebagai sarana sekaligus media melalui mana satu kelompok mengunggulkan diri sendiri dan memarjinalkan kelompok lain (Eriyanto 2001). Istilah representasi menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan, penggambaran, atau suatu cerita (Piliang 2003). Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi (Hall 1997). Lewat bahasa media itu lah representasi-representasi diciptakan, baik dengan menggunakan medium kata-kata, gambar, suara, dan sebagainya. Bisa kita lihat contohnya pada iklan-iklan media yang menampilkan perempuan. Perempuan selalu dijadikan
I-22 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
objek eksploitasi, entah itu seksualitas tubuhnya, maupun menjadi objek sebagai kaum kedua di masyarakat. Pada pemberitaan-pemberitaan mengenai perkosaan misalnya, perempuan menjadi korban tidak hanya satu kali. Penggunaan-penggunaan bahasa dalam media seperti ‘dilakukan atas dasar suka sama suka’, ‘digagahi’, dan juga kalimat seperti ‘pemerkosaan dilakukan karena korban berpakaian seksi’, merupakan suatu bentuk-bentuk pengopresian dan pemarjinalan perempuan. Begitu pula ketika membahas mengenai TKW, maka pemberitaanpemberitaan yang muncul dalam media adalah berita mengenai kekerasan berupa penyiksaan, penganiayaan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan, serta beberapa pemberitaan
tragis
lainnya.
Representasi
demikianlah
yang
kemudian
menciptakan sekaligus melanggengkan wacana dominan mengenai TKW. I. 5. 3 Bahasa, Kekuasaan, dan Relasi Kuasa Menurut Weber kekuasaan merupakan ‘kesempatan yang ada pada seseorang atau sejumlah orang untuk melaksanakan kemauannya sendiri dalam suatu tindakan sosial, meskipun mendapat tantangan dari orang lain yang terlibat dalam tindakan itu’ (dalam Santoso 2002). Dengan pengertian tersebut, kekuasaan dianggap sebagai suatu bentuk kemampuan mewujudkan kemauan sendiri meskipun mengalami perlawanan, dengan apapun dasar kemampuan itu diperoleh dalam hubungan sosial. Pengertian tersebut menempatkan kekuasaan sebagai sesuatu yang negatif dan opresif.
I-23 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Kekuasaan dianggap sebagai wujud kemampuan sesorang memaksa orang lain yang resisten agar rela mematuhi perintahnya. Kerelaan atau kepatuhan menjalankan perintah orang lain semacam ini dapat saja muncul karena berbagai dorongan, misalnya karena tekanan kewajiban, rasa takut, kebodohan, keuntungan pribadi, kesamaan nilai yang dianut, emosi, atau motif ideal perasaan solidaritas. Karena hal itulah, suatu kelompok yang merasa kedudukannya lebih tinggi berusaha merasionalisasi aturannya sehingga otoritas sebenarnya adalah topeng kekuasaan. Elite pemerintahan menjustifikasi kekuasaannya secara de facto dan juga berusaha menemukan dasar moral dal legalnya (Santoso 2002). Definisi tersebut berbeda dengan definisi yang diajukan oleh Foucault. Foucault melihat kekuasaan bukanlah sebagai sesuatu yang dimiliki. Menurutnya kekuasaan merupakan sebuah strategi. Kekuasaan harusnya dilihat sebagai suatu kata kerja, bukan kata benda. Lebih lanjut Foucault mengungkapkan bahwa: Power must be analysed as something which circulates, or as something which only functions in the form of a chain . . . Power is employed and exercised through a netlike organisation . . . Individuals are the vehicles of power, not its points of application. (dalam Mills 2003, h.35)
Pengertian tersebut mengandung dua poin penting. Pertama, kekuasaan berfungsi dalam sebuah jalinan atau rantai, bukan hanya sebagai hubungan antara yang menindas dan yang ditindas. Dalam jalinan tersebut terjadi suatu relasi kuasa yang berlangsung terus menerus. Relasi kuasa itu bisa berupa hubungan keluarga, hubungan yang terjadi dalam sebuah institusi, dan lain sebagainya. Kedua, individu seharusnya dilihat bukan sebagai objek yang menerima praktek
I-24 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
kekuasaan, melainkan harus dilihat sebagai aktor yang ikut ‘bertarung’ atau dilihat sebagai ‘tempat’ di mana kekuasaan itu ditetapkan dan ditentang (Mills 2003). Kekuasaan menurut Foucault (dalam Adiptoyo 2004) dianggap sebagai sesuatu yang jamak, positif, produktif, dan relasional. Kekuasaan hadir di dalam semua relasi sosial dan hadir di mana-mana (omnipresent). Dengan penjelasan tersebut, kekuasaan dianggap tidak hanya terdapat dalam praktik kehidupan bernegara, tetapi juga hadir dalam praktik kehidupan sehari-hari dengan wujud yang halus dan tidak disadari. Menurut Foucault, kekuasaan bukanlah sesuatu yang negatif. Kekuasaan dianggap sebagai suatu keniscayaan yang selalu hadir dalam setiap interaksi manusia, termasuk dalam bahasa. Relasi kekuasaan tidak dilihat sebagai sesuatu yang linear atau vertikal, yang diopresi dari atas ke bawah yang digunakan untuk menindas. Karena itulah kekuasaan dilihat sebagai suatu potensi yang bersirkulasi terus-menerus yang membentuk kreativitas dan produktivitas budaya. Kekuasaan selalu hadir dalam susunan, aturan-aturan, sistem-sistem regulasi. Di mana saja manusia juga memiliki hubungan tertentu. Dalam hal itulah kuasa bekerja. Lewat masyarakat kekuasaan disirkulasikan. Kuasa tidak datang dari luar tetapi menentukan susunan, aturan-aturan, dan hubungan-hubungan itu dari dalam (Foucault dalam Eriyanto 2001). Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, kekuasaan sebenarnya tidak dimiliki oleh salah satu pihak saja. Kekuasaan ada di manapun, diperebutkan, dan bisa diakses semua orang. Walaupun pada kenyataannya, yang memiliki
I-25 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
kesempatan lebih besar lah yang akan memiliki kekuasaan itu. Negara misalnya, dengan memiliki landasan hukum yang abash mampu mendapatkan kekuasaan dibandingakan rakyat. Lebih lanjut Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang absolut, melainakan diperebutkan terus menerus dalam sebuah relasi kuasa. Foucault mengakui pelaksanaan kuasa laki-laki atas perempuan, tetapi menolak bahwa laki-laki memegang kuasa atas perempuan itu (Zuriati 2011). Perlawanan merupakan suatu hal yang integral dengan kekuasaan. Foucault dalam bukunya yang berjudul The History of Sexuality menyebutkan ‘where there is power there is resistance’ (dalam Mills 2003, h.40). Bahkan kekuasaan juga dianggap sebagai kemampuan utuk melawan resistensi itu. Bahasa juga memiliki kaitan dengan kekuasaan. Praktik sosial pemilihan dan penggunaan bahasa berkaitan dengan kekuasaan. Hal tersebutlah yang kemudian juga disebut sebagai relasi kuasa, di mana kuasa masuk dalam sebuah bahasa (teks) kemudian menjadi wacana (Zuriati 2011). Jurgen Habermas menyatakan bahwa bahasa selalu menjadi medium dominasi dan sistem reproduksi material dan ideasional (Adiptoyo 2004). Praktik kekuasaan dapat dikonstruksi dalam bahasa, sedangkan pilihan bahasa dan konstruksi wacana dimanipulasi oleh kekuasaan. Implikasinya, bahasa tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang netral, tetapi sebagai tempat dimana bertarungnya wacana dan kekuasaan.
I-26 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Bahasa sebagai sarana komunikasi memiliki makna ganda, bahkan bias. Bahasa bahkan juga dikaitkan dengan kekuasaan. Bahasa ini pula yang digunakan untuk menciptakan simbol-simbol atau wacana hegemonik (Murniati, 2004). Di sini penulis dalam suatu media massa merupakan pihak yang memiliki kuasa yang mana melalui bahasanya mampu merepresentasikan sesuatu sesuai dengan frame of reference dan field of experiencenya. Penulis juga akan dipengaruhi oleh ideologi maupun sistem-sistem yang berkembang di sekitarnya. Novel sebagai media masa yang notabene mediumnya berupa bahasa sangat memungkinkan adanya kekerasan simbolik melalui bahasanya. Penulis menggunakan medium bahasa bisa melakukan pemarjinalan salah satu gender. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, salah satu konsekuensi dari adanya representasi
adalah
membuat
seseorang
atau
suatu
kelompok
tertentu
digambarkan tidak sesuai aslinya, bahkan diperburuk. Bahasa-bahasa hasil reproduksi kuasa yang memarjinalkan perempuan adalah bahasa yang menurut Azis ‘cenderung dominatif, penuh ambisi-ambisi yang “terkurung” dalam berbagai ekstasi politik yang berbeda’ (Azis 2007, h.17). Sebenarnya, yang bisa dimarjinalkan oleh penggunaan bahasa adalah laki-laki dan perempuan. Namun dalam prakteknya, perempuan lah yang lebih sering dimarjinalkan. Menurut Spender dalam Kuntjara, bahasa telah dimanfaatkan oleh kelompok yang dominan (biasanya laki-laki) untuk menekan kaum perempuan (2004). Namun pada prakteknya, perempuan yang terhegemoni bisa pula
I-27 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
melakukan demikian. Mereka yang selama ini telah terhegemoni ideologi patriarki kemudian bisa berpikir menggunakan landasan patriarki sehingga pandangan maupun kata-kata yang mereka gunakan cenderung male gaze. I.5. 4 Teori Feminis Marxis Gerakan feminisme merupakan gerakan yang mencoba melakukan pembacaan ulang atas berbagai konstruksi ketidakadilan gender serta stereotipe yang merendahkan wanita di masyarakat. Ketidakadilan dan stereotipe itu menyebabkan perempuan tersubordinasi dan dianggap sebagai kaum kedua. Hal tersebutlah yang coba dikaji ulang oleh kaum feminis (Tong 2008). Feminis mengensipasi agar para perempuan berpikir dengan pemikirannya sendiri. Gerakan ini dilakukan oleh sekelompok perempuan yang menolak bahwa ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan merupakan kodrat manusia. Mereka menuntut bahwa ketidaksetaraan itu harus dipertanyakan. Feminis menganggap bahwa selama ini hierarkis yang terjadi dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya selalu androsentris atau berpusat pada laki-laki (Jackson & Jones 2009). Hal itulah yang kemudian disebut sebagai patriarki. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, patriarki adalah tata kekeluargaan yang mementingkan garis keturunan bapak. Bapak menguasai seluruh anggota keluarga, harta miliknya, serta sumber-sumber ekonomi. Patriarki muncul sebagai bentuk kepercayaan bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi dibandingan
dengan
perempuan. Perempuan harus rela dikuasai bahkan dianggap sebagai milik laki-
I-28 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
laki (Poedjiati 2011). Keberadaan patriarki dianggap sangat merugikan perempuan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Rosemarie Putnam Tong. Menurutnya feminis gelombang pertama (liberal, radikal, dan marxis/sosialis) dan feminis awal gelombang kedua (psikoanalisis) melihat diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan terutama disebabkan oleh budaya patriarki dan kapitalisme yang mengental. Secara harfiah arti patriarki adalah “aturan laki-laki” atau “prinsip dominasi pria atas perempuan” (Tong 2008). Lahirnya gerakan feminisme berusaha untuk menuntut persamaan hak perempuan dengan laki-laki. Tomy (dalam Santoso & Anggraini 2004) mengatakan bahwa feminisme bukanlah berarti sebuah paham yang bertujuan untuk mengunggulkan perempuan yang kemudian berbalik merepresi laki-laki. Feminisme didasari oleh persoalan dasar kehidupan bahwa ada hak-hak kemanusiaan yang perlu diperjuangkan ketika hak-hak tersebut terpinggirkan oleh ketimpangan gender. Semangat yang dijunjung dalam feminisme adalah kesetaraan. Simone de Beauvoir mengatakan bahwa perempuan masih diposisikan sebagai the second sex atau being for others (ada untuk orang lain). Hal tersebut dikuatkan dengan wacana yang mengatakan bahwa perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki. Hal ini kemudian menyebabkan adanya pemikiran yang wajar ketika laki-laki merasa superior dibandingkan dengan perempuan (dalam Santoso
I-29 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
& Anggraini 2004). Dengan pemikiran seperti itu, kaum perempuan menjadi semakin terpinggirkan. Teori feminis yang fokus menangani masalah buruh perempuan yang teropresi oleh kapitalisme dan laki-laki adalah feminis marxis/sosialis. Beberapa ahli membedakan antara feminis marxis dan feminis sosialis, sedangkan beberapa yang lain menganggapnya sama. Menurut Tong, pembedaan itu hanya masalah penekanan saja, bukan masalah substansi (2008). Feminis Marxis menganggap opresi terhadap perempuan diakibatkan oleh pembagian kelas, sedangkan Feminis Sosialis menganggap bahwa opresi itu akibat kapitalisme dan patriarki. Keduanya percaya bahwa ‘opresi terhadap perempuan bukanlah hasil tindakan sengaja dari satu individu, melainkan produk dari struktur politik, sosial, dan ekonomi tempat individu itu hidup’ (Tong 2008, h.139). Tong kemudian menyimpulkan bahwa perbedaan itu tidak terlalu penting. Teori Feminis Marxis melihat operasi patriarki tumbuh subur pada kapitalisme modern. Kapitalisme dianggap bernilai patriarki karena penekanan pada pembagian kerja seksual, peran reproduktif perempuan, atau distribusi ekonomi yang tidak merata. Teori feminis marxis berusaha untuk menguraikan kapitalisme dan patriarki yang berhubungan dengan penindasan kelas dan gender, serta
pembagian
kerja
berdasarkan
jenis
kelamin.
Feminis
Marxis
menggambarkan posisi rendah perempuan dalam ekonomi, sosial, dan politik dari sitem kapitalis (Jackson & Sorensen 2005).
I-30 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Letak ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam teori feminisme marxis yaitu ketika laki-laki melakukan suatu pekerjaan di ruang publik mendapatkan upah. Hal yang berbeda terjadi ketika perempuan yang melakukan pekerjaan di ranah domestik, mereka tidak mendapatkan upah. Kalaupun bekerja di ranah publik, upah itu tidak sebesar yang didapatkan laki-laki. Pekerjaan yang dilakukan di ranah publik itu pun biasanya merupakan perpanjangan dari pekerjaan domestik, seperti pembantu rumah tangga, pelayan toko, dan pengasuh bayi. Hal ini juga terjadi kepada perempuan yang menjadi pembantu rumah tangga, yang juga dialami oleh para TKW. Majikan dianggap sebagai kaum borjuis sedangkan pembantu dianggap sebagai kaum proletar. Perempuan dijadikan objek dan dieksploitasi oleh pemilik modal atau kaum borjuis (Azizah dalam Rahayu 2014). Feminis Marxis memandang perempuan dari sudut teori kelas. Dalam sudut pandang tersebut, perempuan dianggap sebagai kelas masyarakat yang tertindas. Selain mendasarkan pemikirannya kepada pemikiran Marx, teori Feminis Marxis juga menggunakan pemikiran Friedrich Engels yang menyatakan bahwa kaum perempuan ‘jatuh’ karena adanya konsep kekayaan pribadi (private property). Dulunya, kegiatan produksi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. hal tersebut didominasi oleh kaum perempuan karena mereka mampu untuk menyediakan keperluan seluruh keluarga atau suku. Hal itu menurut Engels bukan subordinasi perempuan atas laki-laki, melainkan disebut sebagai kekuatan ekonomi perempuan (dalam Tong 2008). Namun kemudian, kegiatan produksi itu berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol kegiatan I-31 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
pertukaran sehingga mengambil alih dominasi perempuan karena memang dasar dari kapitalisme merupakan ‘suatu sistem hubungan kekuasaan dan juga hubungan pertukaran’ (Tong 2008, h.141). Fokus dari teori marxis ini terletak pada permasalahan tentang pekerjaan perempuan. Pekerjaan perempuan dianggap sebagai pekerjaan yang tidak sulit dilakukan. Tidak dibutuhkan adanya tingkat intelegen dan keterampilan yang tinggi. Pada mulanya pekerjaan perempuan seperti memasak dan merawat adalah pekerjaan sentral. Namun dengan industrialisasi dan transfer produksi barangbarang dari rumah tangga ke tempat kerja publik, perempuan yang tidak bekerja di luar rumah mendapat cap sebagai orang yang nonproduktif (Tong 2008). Aliran feminis marxis memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Feminis marxis percaya bahwa kapitalisme hanya dapat membuat “sukses” sejumlah kecil perempuan. Kesetaraan penuh bagi perempuan dianggap tidak bisa terwujud di bawah kapitalisme. Kapitalisme berdasarkan pada peranan sedikit orang yang berkuasa. Orang berkuasa ini memiliki modal yang biasanya berupa sumber ekonomi. Modal tersebut digunakan untuk penimbunan keuntungan pemilik modal yang menyebabkan perampasan, eksploitasi, dan penindasan mayoritas yang tidak memiliki modal. Jika dikaitkan dengan wacana mengenai TKW, TKW yang menjadi pembantu dieksploitasi oleh majikan. Majikan mempunyai monopoli terhadap modal. Pekerja harus memilih antara dieksploitasi atau tidak mempunyai pekerjaan sama sekali. Dalam hal ini para pekerja perlahan meyakinkan diri
I-32 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
mereka bahwa meskipun sulit menjadi pembantu, namun itu yang harus dijalani. Mereka merasa tidak memiliki pilihan sehingga menukarkan tenaga mereka dengan gaji. I. 5. 5 Analisis Wacana Sara Mills Menurut Foucault, wacana selalu berkaitan dengan kepentingan, nilai, atau ideologi tertentu. Suatu teks atau diskurs tidak berdiri sendiri. Dalam produksi, distribusi, maupun konsumsinya selalu dipengaruhi oleh konteks, baik itu konteks sosial, politik, budaya, ekonomi, dan yang lainnya (dalam Mills 1997). Foucault dalam Ida mengartikan diskursus-diskursus (discourses) sebagai ‘seperangkat ideide yang disirkulasikan ke dalam masyarakat dan praktik-praktik social yang terlibat ketika orang berbicara dan di dalam cara-cara mereka menyampaikan pembicaraannya (misalnya birokrat, politisi, dokter, polisi, petugas imigrasi, dan sebagainya)’ (Ida 2011, h.61). Diskursus tidak hadir dalam suatu isolasi, melainkan menjadi objek dan ‘site of struggle’. Akibatnya diskursus bukanlah sesuatu yang tetap (fixed) (Mills 1997). Hal tersebut memberikan gambaran bahwa analisis teks tidak berhenti pada ranah produksi saja, melainkan mengaitkan diri pada jejaring wacana sosial lainnya yang juga harus dibaca untuk mengerti dengan jelas makna dibalik suatu teks. Wacana sosial disini didefinisikan sebagai sekumpulan kepentingan yang selalu menyertai isu-isu yang diperbincangkan melalui medium tertentu. Bagi Foucault, ‘kekuasaan selalu terartikulasikan lewat pengetahuan dan pengetahuan selalu punya efek kuasa’ (dalam Eriyanto 2001, h.66).
I-33 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Analisis wacana merupakan metode analisis yang bertujuan untuk mengungkap serta membongkar makna dibalik sebuah teks, melihat bagaimana suatu proses produksi teks dan konteks sosial turut mempengaruhi bagaimana teks tersebut dibentuk (Eriyanto 2001). Jadi analisis wacana tidak hanya melihat dari sisi produksi semata, tetapi lebih melihat ke dalam bagaimana teks diterima atau diresepsi oleh pembaca. Salah satu jenis analisis wacana adalah milik Sara Mills.
Analisis wacana milik Sara Mills fokus pada wacana tentang feminitas. Analisis ini membahas bagaimana perempuan ditampilkan dalam teks, baik dalam novel, gambar, foto, atau berita. Karena itu metode yang dilakukan Sara Mills sering disebut sebagai wacana berspektif feminis yang menunjukkan bagimana teks menempatkan perempuan (Mills dalam Fitrianisa, 2011, h.I-26). Perempuan cenderung
ditampilkan
dalam
teks
sebagai
sosok
yang
tersubordinat
dibandingakan pihak laki-laki. Ketidakadilan penggambaran perempuan inilah yang menjadi fokus dari tulisan Mills. Gagasan Mills ini agak berbeda dengan model critical linguistic yang ‘lebih terpusat pada struktur kebahasaan dan pengaruhnya dalam pemaknaan khalayak’ (Mills 1997, h.136). Sara Mills lebih melihat pada posisi-posisi aktor yang ditampilkan dalam suatu teks. Posisi-posisi ini menunjukkan siapa yang menjadi subjek penceritaan dan siapa yang menjadi objek penceritaan. Selain posisi aktor dalam teks, Sara Mills juga memusatkan perhatian pada bagaimana pembaca dan penulis ditampilkan dalam teks dan bagaimana pembaca mengidentifikasikan dirinya serta menemptakan diri dalam penceritaan teks.
I-34 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Posisi pembaca mempengaruhi bagaimana teks akan dipahami dan bagaimana pula aktor sosial ditempatkan. Pada akhirnya cara penceritaan dan posisi-posisi yang ditempatkan dan ditampilkan dalam teks membuat satu pihak menjadi legitimate dan yang lainnya menjadi illegitimate. Seperti analisis wacana lain, Sara Mills menempatkan representasi sebagai bagian terpenting dari analisisnya. Bagaimana satu pihak, kelompok, orang, gagasan, atau peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam suatu wacana akan mempengaruhi pemaknaan ketika diterima oleh khalayak (Mills dalam Eriyanto 2001, h.200). Dalam pemikiran Sara Mills, kita perlu mengkritisi bagaimana peristiwa ditampilkan dan bagaimana pihak-pihak yang terlibat diposisikan dalam teks. Eriyanto menjelaskan bahwa posisi-posisi yang dimaksud tersebut adalah: Siapakah aktor yang dijadikan subjek yang mendefinisikan dan melakukan penceritaan dan siapakah yang ditampilkan sebagai objek, pihak yang didefinisikan dan digambarkan kehadirannya oleh orang lain (2001, h.202).
Dalam suatu teks umumnya perempuan menjadi objek. Karena posisinya sebagai objek representasi, maka posisi perempuan selalu didefinisikan, dijadikan bahan penceritaan, dan tidak bisa menampilkan dirinya sendiri. Pembaca memiliki peran yang penting dalam analisis wacana Sara Mills. Menurut Mills teks adalah suatu hasil negosiasi antara penulis dan pembaca. Untuk itu Mills membuat suatu model yang menghubungkan antara teks dan penulis di satu sisi dengan teks dan pembaca di sisi lainnya. Dalam bukunya, Eriyanto menjelaskan bahwa pandangan tersebut memiliki beberapa kelebihan.
I-35 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Pertama model semacam ini akan secara komprehensif melihat teks bukan hanya berhubungan dengan faktor produksi tetapi juga resepsi.Kedua, posisi pembaca di sini ditempatkan dalam posisi yang penting (2001, h.204).
Konteks
Konteks
Teks
Penulis
Pembaca
Gambar I.2: Model Konteks dalam Analisi Wacana (Eriyanto 2001, h.205)
Ada dua hal yang perlu dikaji lebih lanjut. Pertama, bagaimana pembacaan dominan (dominant reading) atas suatu teks. Apakah teks lebih ditujukan untuk pembaca perempuan atau laki-laki. Kedua, bagaimana teks itu ditafsirkan oleh pembaca. Aspek kedua ini melihat kepada siapa pembaca cenderung mengidentifikasikan dirinya dalam teks. Posisi yang dijelaskan di atas mempunyai kaitan erat dengan ideologi. Pemosisian satu kelompok pada dasarnya membuat suatu kelompok mempunyai posisi lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Jika dibuat tabel, maka kerangka analisis wacana Sara Mills adalah sebagai berikut: Tabel I.1: Aspek-aspek dalam Analisis Wacana Milik Sara Mills (Eriyanto 2001, h.211) Tingkat
Aspek yang ingin dilihat
Posisi Subjek-Objek Bagaimana
peristiwa
dilihat,
dari
kacamata
siapa
peristiwa itu dilihat. Siapa yang diposisikan sebagai
I-36 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
pencerita (subjek) dan siapa yang menjadi objek yang diceritakan. Apakah masing-masing aktor dan kelompok sosial
mempunyai
kesempatan untuk
menampilkan
dirinya sendiri, atau kehadirannya dimunculkan oleh pihak lain. Posisi Penulis-
Bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam teks.
Pembaca
Bagaimana pembaca memposisikan dirinya dalam teks yang ditampilkan. Kepada kelompok mana pembaca mengidentifikasikan dirinya.
I. 6 METODOLOGI Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, berfokus pada bagaimana novel Indonesia mengartikulasikan wacana TKW. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong 2012). Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh analisis yang lebih mendalam mengenai wacana TKW yang diartikulasikan dalam novel Indonesia. Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Dalam penelitian deskriptif, peneliti berusaha memotret peristiwa dan kejadian yang menjadi pusat perhatiannya, kemudian menggambarkan atau melukiskannya
I-37 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
sebagaimana
adanya
(Setyosari
2010).
Namun
peneliti
juga
berusaha
mengkaitkannya dengan peristiwa aktual guna mendukung intertekstualitas penelitian. I.6.1 Metode Penelitian Metode dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode analisis wacana milik Sara Mills. Metode tersebut digunakan untuk menganalisis posisi subjek dan objek serta posisi penulis dan pembaca dalam teks novel “Aku Bukan Budak” serta “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”. Analisis dikursif milik Sara mills dikenal sebagai wacana berperspektif feminis dimana fokusnya adalah bagaimana teks cenderung bias dalam merepresentasikan sosok perempuan. Dalam teks, terjadi kecenderungan ketimpangan kuasa anatara laki-laki dan perempuan, di mana perempuan lebih sering diposisikan sebagai kaum yang teropresi atau termarjinalkan. Penggunaan analisis wacana dalam penelitian ini memang dimaksudkan untuk membongkar maksud tersembunyi (hidden truth) dari teks yang disampaikan penulis novel. Cara pengungkapannya yaitu dengan menempatkan diri pada posisi sang pembicara dalam teks lalu melakukan penafsiran dengan mengikuti struktur makna dari sang pembicara (Eriyanto 2001, h.5-6). Analisis wacana juga biasanya digunakan untuk membongkar kuasa yang ada dalam proses bahasa, yaitu mengenai batasan-batasan yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang digunakan, dan topik apa yang dibicarakan. Bahasa dilihat sebagai ‘aspek yang selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan,
I-38 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
terutama pembentukan subjek dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat’ (Eriyanto 2001, h.6). Peneliti diharapkan bisa menghubungkan bahasa dengan konteks sosial yang melingkupinya, mengungkap praktik wacana bermuatan ideologi yang menggambarkan kekuasaan yang timpang antara kaum berkuasa dan kaum marjinal yang direpresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan. I.6.2 Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian ini adalah kata-kata, kalimat, atau narasi yang memuat wacana TKW dalam novel “Aku Bukan Budak” dan “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”. I.6.3 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data primer dalam penelitian ini adalah dengan membaca keseluruhan novel yang berjudul “Aku Bukan Budak” dan “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”. Data primer itu berupa kata-kata dan kalimat dalam kedua novel tersebut. Teknik yang dilakukan selanjutnya adalah memilih teks yang memuat wacana mengenai perempuan yang menjadi TKW. Selain menggunakan data primer, dalam penelitian ini juga menggunakan data sekunder berupa skripsi, jurnal, maupun karya literatur lain yang bisa dijadikan referensi.
I-39 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
I.6.4 Teknik Analisis Data Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah dengan beberapa tahapan. Tahapan teknik analisis data itu diantaranya adalah:
Menyeleksi mana kata, kalimat, atau teks-teks yang sesuai, atau dalam hal ini merepresentasikan dan mewacanakan perempuan yang menjadi TKW dan mana yang bukan.
Mengklasifikasikan teks mana yang relevan untuk menjawab rumusan masalah mengenai wacana TKW.
Menganalisis teks yang mewacanakan perempuan yang menjadi TKW dengan menggunakan analisis wacana milik Sara Mills dengan cara: 1. Peneliti menganalisis kata dan kalimat yang dianggap mampu menjawab artikulasi wacana perempuan yang menjadi TKW 2. Peneliti menganalisis kata ganti pada teks yang merujuk pada para aktor untuk mengungkap posisi subjek dan objek dalam teks sekaligus mengidentifikasi pemaknaan yang muncul dari pembaca sebagai bentuk negosiasi antara penulis dan pembaca dalam menentukan wacana perempuan yang menjadi TKW dalam novel “Aku Bukan Budak” dan “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”.
Menginterpretasi hasil analisis tersebut dan menurunkannya dalam laporan tertulis.
Membuat kesimpulan pada mengenai artikulasi wacana perempuan yang menjadi TKW dalam novel “Aku Bukan Budak” dan “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”.
I-40 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN II.1 Wacana Tenaga Kerja Wanita di Indonesia Menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) merupakan salah satu pekerjaan yang banyak diminati oleh masyarakat Indonesia. Terlebih bagi masyarakat dari keluarga kurang mampu. Iming-iming gaji yang besar dan sulitnya mencari lapangan pekerjaan di negeri sendiri seringkali menjadi alasan bagi mereka untuk bekerja sebagai TKI. Bekerja di luar negeri bagaikan harapan bagi para tenaga migran Indonesia untuk memperbaiki perekonomian keluarga. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya jumlah warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri. Menurut data yang ada, jumlah TKI yang bekerja di luar negeri sepanjang 2013 mencapai 512.168 orang. Tahun sebelumnya, jumlah TKI sebanyak 494.609 orang. Dari data tersebut sebanyak 276.998 orang berjenis kelamin perempuan yang mayoritas bekerja sebagai Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) atau yang lebih dikenal sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT). Sementara TKI laki-laki berjumlah 235.170 orang (Praditya 2014). Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat TKI-TKI tersebut tersebar di 160 negara. Beberapa negara yang menjadi tujuan favorit bagi para TKI diantaranya adalah Malaysia, Hongkong, Taiwan, dan Arab Saudi. Jumlah WNI yang menjadi TKI dan TKW sangatlah besar jika dibandingkan dengan jumlah WNI yang bekerja menjadi
II-1 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
tenaga profesional, Anak Buah Kapal (ABK), pelajar, dan juga permanent resident yang menikah dengan penduduk asli negara itu. Dari jumlah yang ada, TKI berasal dari 392 Kabupaten/Kota dari 500 kabupaten/kota yang ada di Indonesia (Nurhayat 2013). Tiga kota yang menjadi pemasok TKI terbanyak pada tahun 2013 yaitu Lombok Timur (33.287 orang), Indramayu (28.410 orang), dan Cirebon (18.675 orang) (Praditya 2014). Penghasilan yang diperoleh oleh para TKI ini jumlahnya cukup besar. Menurut data yang dihimpun oleh Bank Indonesia, jumlah uang yang dikirimkan para TKI ke keluarganya sangat besar yaitu mencapai US$ 7,4 miliar atau sekitar Rp 88 triliun. Angka ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar US$ 6,9 miliar. Bahkan pada tahun 2013 disebutkan bahwa jumlah pemasukan dari para tenaga migran mencapai Rp 100 triliun per tahun (Wahyuni 2013). Jumlah tersebut belum termasuk uang tunai yang dibawa langsung oleh TKI ketika pulang maupun yang dikirimkan melalui jasa pengiriman lain seperti wesel pos (Setiawanto 2014). Pemasukan devisa yang diberikan oleh para tenaga migran sangat besar kepada Indonesia. Karena itulah mereka dijuluki sebagai pahlawan devisa. Para TKI itu terbagi dalam 2 sektor pekerjaan, yaitu sektor formal dan sektor informal. Hingga November 2013, data penempatan TKI BNP2TKI mencatat sebanyak 55% TKI bekerja pada sektor formal sedangkan sisanya berada pada sektor informal. Para TKI sektor informal inilah yang seringkali mengalami penyiksaan karena pihak terkait tidak leluasa untuk mengawasi. Sektor
II-2 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
informal dianggap sebagai sektor privat yang bahkan tetangga sekitarnya saja tidak bisa terlelu mencampuri urusan itu. Menurut rumusan Pasal 1 angka 1 UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, TKI adalah setiap Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Sedangkan TKW mengacu pada TKI yang berjenis kelamin perempuan. Walaupun memberikan pemasukan devisa yang cukup besar bagi Indonesia, beberapa masyakat masih memandang rendah status TKI khususnya TKW hanya karena pekerjaannya sebagai pembantu rumah tangga atau buruh migran. Sebab itulah tidak sedikit yang menilai TKW itu 'rendahan'. Ketika demokrasi dan hak-hak mengenai kesetaraan digembar-gemborkan secara universal, TKW masih saja dipandang sebelah mata, bahkan kerapkali diperlakukan sebagai budak. Padahal yang mereka lakukan memiliki banyak sekali resiko. Namun masyarakat seakan menganggap bahwa hal itu adalah hal yang wajar untuk dipertaruhkan jika ingin bekerja sebagai TKI. Agusdin menjelaskan, secara umum permasalahan TKW berupa tingkat kaburan masih tinggi, gaji tidak dibayar karena majikan berpenghasilan rendah, keterampilan teknis dan bahasa serta pemahaman budaya adat istiadat belum memadai, pelecehan seksual dan penganiayaan, gaji sangat rendah dibandingkan dengan negara penempatan di Kawasan Asia Pasifik, sebagian besar Mitra Usaha/Agency cenderung mengingkari perjanjian kerjasama penempatan dan lemahnya manajemen PPTKIS (2013). II-3 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Pandangan orang mengenai pekerjaan sebagai TKW ini bagaikan 2 sisi mata uang. Di satu sisi, banyak orang menganggapnya sebagai pekerjaan rendah karena mayoritas TKW berasal dari keluarga kurang mampu dan rata-rata bekerja sebagai pembantu rumah tangga ataupun buruh pabrik ketika berada di luar negeri. Di sisi yang lain, pekerjaan ini membawa prestise tinggi di lingkungan sekitar tempat TKW itu tinggal karena beberapa di antara mereka menjadi orang sukses ketika kembali ke kampung halaman. Mereka biasanya mampu membeli tanah, membangun rumah, ataupun membeli perabotan pelengkap lainnya. Namun banyak juga yang kemudian pulang dengan tangan hampa, bahkan mereka di negara tempatnya bekerja mendapatkan berbagai siksaan atau diperkosa oleh majikannya. Stereotipe yang berkembang di masyarakat mengenai TKI/ TKW juga akibat dari adanya publikasi dari media massa. Media massa Indonesia lebih sering menyorot mengenai penyiksaan yang dialami oleh para pekerja migran. Namun kadang, kasus-kasus yang menyeruak di media cepat naik daun kemudian cepat hilang. Kasus-kasus itu sekanan dianggap angin lalu karena pemerintah tampak tidak serius menanganinya. Pada kenyataannya, kasus-kasus yang tampil di media itu juga tidak menyurutkan keinginan CTKW yang lain untuk menjadi TKI/TKW. Hal tersebut terbukti dari semakin meningkatnya jumlah TKI/TKW yang dikirimkan setiap tahunnya. Selain ditampilkan melalui media massa pada umumnya, diskursus mengenai TKI/TKW juga mulai ditampilkan pada media massa populer seperti film, cerpen, dan juga novel. Film yang menampilkan kisah mengenai TKW II-4 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
misalnya film Minggu Pagi di Victoria Park. Sedangkan buku-buku mengenai TKW misalnya Kumpulan Cerpen Majikanku Empu Sendok karya Denok K. Rokhmatika, Sumi: Jejak Cinta Perempuan Gila karya Maria Bo Niok, Novel Burung-Burung Migran karya Miranda Harlan dan Sutik AS, dan lain sebagainya. II. 2 Novel sebagai Media Massa dan Teks Novel di Indonesia seringkali masih dianggap sebagai karya sastra. Padahal selain sebagai karya sastra, novel juga merupakan media massa. Sebagai bagian dari komunikasi massa, novel turut berperan dalam suatu praktik distribusi pesan-pesan tertentu. Pesan dalam sebuah novel dikonstruksi oleh sang komunikator melalui sebuah setting, ruang waktu, dan penokohan yang ada dalam alur cerita yang disajikan. Novel dijadikan wadah bagi pengarang untuk mencurahkan pemikiran ataupun perasaannya. Walau novel kebanyakan merupakan kisah fiksi, namun kisah itu sebenarnya dipengaruhi oleh kejadian yang nyata. Dalam novel, pengarang menggunakan bahasa sebagai medium untuk menyampaikan luapan perasaan dari kehidupan yang telah pengarang lihat, dengar, alami, dan rasakan ke dalam suatu wadah yaitu novel. Meurut Damono, novel sering tidak bisa dipisahkan dari keadaan masyarakat yang melibatkan penulis dan juga pembacanya (Damono 1979). Kaitan antara novel sebagai sastra dan dunia sosial ditegaskan oleh Swingewood (dalam Damono 1979, h.3-4) bahwa “sastra berurusan dengan dunia sosial manusia, usaha untuk menyesuaikan diri dan keinginan untuk mengubahnya”. Maka tidak heran jika dulu pemerintah melarang peredaran buku-buku tertentu,
II-5 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
misalnya buku karangan Pramoedya Ananta Toer dan Rendra, karena sifat bukubuku itu dianggap sebagai “bacaan liar” yang bisa mempengaruhi pembacanya layaknya fungsi sebuah media massa. Menurut Marcel Danesi dalam bukunya yang berjudul Pengantar Memahami Semiotik Media, jenis buku pertama yang dirancang untuk menarik perhatian massa adalah novel fiksi. Novel merupakan artefak pengalihan pikiran massa dalam budaya pop yang baru muncul pada abad kedua puluh (Danesi 2010, h.75). Novel merupakan sebuah teks naratif. Novel menceritakan kisah yang merepresentasikan suatu situasi yang dianggap mencerminkan kehidupan nyata atau merangsang imajinasi. Sering dalam proses pengisahannya, novel merujuk secara langsung atau tidak ke teks-teks lain. Lebih lanjut Danesi menyatakan bahwa novel juga merupakan medium yang efektif untuk meneropong sifat manusia dan masyarakat (2010). Novel bersifat naratif, artinya ia lebih bersifat “bercerita” daripada “memperagakan”. Namun tentu saja novel bisa membuat penggambaran atau deskripsi yang detail sehingga seolah-olah peristiwa itu dihadirkan dihadapan pembaca. Bahasa yang digunakan dalam novel biasanya adalah bahasa sehari-hari. Dengan begitu novel memungkinkan pembaca untuk membaca tanpa kesulitan yang berarti jika dibandingan dengan pusisi. Hal tersebut semakin mendekatkan novel dengan “dunia yang sebenarnya”. Novel membawa tujuan dan maksud tertentu dalam pembuatannya. Sang penulis novel tentunya memiliki kuasa atas tema atau cerita yang akan dibuatnya.
II-6 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Secara otomatis, novel tersebut juga membawa ideologi dari sang penulis novel yang mempengaruhi isi cerita novel tersebut. Novel bukan sekedar imajinasi penulis, melainkan suatu fakta sosial. Sebagai fakta sosial, ‘novel tidak hanya mencerminkan berbagai realitas sosial, baik pandangan dunia, kepercayaan, sistem nilai, norma-norma, maupun adat istiadat
yang
melingkupi
penciptaan
novel
tersebut,
melainkan
juga
mencerminkan tanggapan penulis terhadap berbagai realitas sosial terebut’ (Chusniatun & Thoyibi 2005, h.70). Menurut Rampan dalam Sugiharti & Saptiawan (2007), realitas yang ada dalam novel dimodifikasi sedemikian rupa menjadi sebuah teks literer yang dimungkinkan menghadirkan pencitraan yang berbeda dengan realitas empiris. Dengan demikian realitas yang dihadirkan melalui teks kepada pembaca merupakan gambaran tentang berbagai fenomena sosial yang terjadi atau yang pernah terjadi di masyarakat yang dihadirkan kembali oleh pengarang dalam bentuk dan pencitraan yang berbeda. Penciptaan novel bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Dalam novel hal-hal yang digambarkan tentang masyarakat dapat berupa struktur sosial masyarakat, fungsi dan peran masing-masing anggota masyarakat, maupun interaksi yang terjalin di antara seluruh anggotanya. Kemiripan dengan kehidupan nyata ini menjadi ciri pembeda novel dari karya sasra lainnya, seperti roman atau hikayat.
II-7 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tidak semua novel bersifat fiksi. Novel yang berdasar pada kisah nyata biasanya disebut dengan novel faksi. Novel faksi merupakan novel yang keberadaannya antara fiksi dan fakta.Istilah ini diperkelnalkan oleh pengarang asal Amerika, Truman Capote. Dalam karya ini teknik-teknik novel digunakan untuk memunculkan kembali peristiwa-peristiwa sejarah bagi pembacanya. Peristiwa dan tokoh dalam jenis novel ini adalah fakta, namun menggunakan rincian rekaan untuk meningkatkan tingkat keterpercayaan dan keterbacaannya (Aziez & Hasim, 2010). Dengan rincian rekaan itu memudahkan pembaca untuk mengerti jalan cerita. Jika selama ini perempuan menjadi objek representasi penulis laki-laki dengan berbagai biasnya, maka saa ini para penulis perempuan mulai menulis tentang kaumnya, tentang bagaimana hubungan antara perempuan dengan lakilaki, dan tentang dunia dari perspektifnya sendiri. Lahirnya novel-novel dengan penulis wanita tersebut juga tidak lepas dari sitem politik demokrasi. Hal ini mendorong orang, yang dalam hal ini perempuan, untuk menyampaikan isi, pikiran, dan perasaannya melalui buku. Saat ini banyak bermunculan penulis-penulis baru yang ingin menunjukkan karyanya.
II-8 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
II.3 Wacana TKW dalam Novel Indonesia II.3.1 Review Novel “Aku Bukan Budak”
Gambar II.1 Halaman depan Novel Aku Bukan Budak
Astina adalah anak tertua dari 3 bersaudara yang berasal dari keluarga broken home. Astina lahir di Bandung. Namun karena ayahnya dipecat dari AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia), dia dan keluarganya kemudian pulang ke tanah kelahiran ibunya di Probolinggo. Pertengkaran yang kerap kali terjadi antara ayah dan ibunya menyebabkan mereka tidak begitu memperhatikan anak-anaknya. Akibatnya, Astina putus sekolah karena keadaan ekonomi keluarga yang tidak mendukung serta kegemarannya bermain musik mengganggu waktu belajarnya. Astina yang awalnya masuk kelas favorit dan selalu ranking 3 besar akhirnya lebih memilih untuk merantau ke Bandung. Dia menjadi seorang pengamen untuk mencari pemasukan sekaligus menyalurkan hobi bermusiknya. Orang tua yang awalnya bercerai kemudian rujuk kembali demi adik-adik Astina yang asih kecil.
II-9 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Hingga suatu hari ayahnya meminta untuk kembali ke Bandung setelah melakukan operasi colostomy walau sang ibu dan adik-adik Astina tetap tinggal di Probolinggo. Sesampainya di Bandung, ayahnya menceritakan keadaan rumah tangga mereka yang sebenarnya. Ayahnya bercerita bahwa ibu Astina telah menikah lagi dengan seorang bos tomat di pasar tempat ibunya bekerja. Betapa remuk hati Astina mengetahui rumah tangga orang tuanya akhirnya tetap hancur. Karena keadaan ayahnya semakin memburuk, Astina mengusahakan ayahnya untuk dirawat di Rumah Sakit dengan bantuan BPJS serta hutang dari teman-temannya. Namun karena organ pencernannya sudah rusak parah, beberapa hari kemudian ayahnya meninggal. Dari kejadian itulah Astina kemudian bertekad untuk bekerja di luar negeri untuk membayar hutang pengobatan ayahnya serta untuk biaya sekolah adik-adiknya. Astina tidak mempunyai alasan khusus kenapa memilih Hong Kong sebagai Negara tujuannya. Dia hanya menuruti apa kata hatinya. Pengalamannya sebagai calon TKW dimulai ketika Astina mendapatkan seorang sponsor yang tidak bertanggung jawab bernama Bu Rina. Bu Rina memasukkannya dalam sebuah Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia yang tidak kompeten. Ia dan dua orang temannya ditinggalkan begitu saja dengan hanya dibekali uang yang minim. Padahal selama berada di PT dia dan anak buahnya berada dalam tanggung jawabnya. Pihak PT juga terkesan tidak memanusiakan para calon TKW yang mendaftarkan diri di tempatnya. Pihak PT hanya menyediakan sebuah ruangan tempat tidur beralaskan tikar. Itupun sudah penuh
II-10 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
sesak. Bahkan banyak dari calon TKW itu tidur di bangku-bangku yang berada di lantai bawah. Kesengsaraan juga mulai menghampirinya ketika berada di BLK (Balai Latian Kerja). Tidur dalam satu ruangan bersama puluhan Calon TKW (CTKW), mendapat makanan yang tidak memadai, fasilitas BLK yang minim, merupakan beberapa kejadian tak menyenangkan yang menimpa dirinya. Para guru juga tidak menunjukkan sikapnya sebagai seorang pendidik. Tugas mereka seakan hanya menerima setoran hafalan bahasa para CTKW sesuai dengan negara tujuannya. Bahkan beberapa dari mereka sering memanfaatkan para CTKW untuk kepentingan pribadi. Karena pengalamannya sejak kecil, Astina menjadi sosok yang mudah bergaul dan berani terhadap apapun. Beberapa kali Astina menenjukkan sikap perlawanannya kepada guru BLKnya yang semena-mena. Dia juga yang paling berani memprotes ke sponsornya karena ditelantarkan begitu saja. Setelah menjadi TKW Astina masih harus menerima berbagai kenyataan pahit. Dia harus menerima potongan gaji untuk membayar pajak dan pelatihannya selama di BLK. Potongan itu sebesar HK$3000 yang harus dibayarkannya selama 7 bulan. Jika dirupiahkan kala itu jumlah potongan selama 7 bulan adalah sebesar 21juta rupiah. Astina hanya menerima uang sebesar HK$580 yang digunakannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Padahal menurut peraturan kebutuhan itu termasuk dalam kewajiban dari majikannya.
II-11 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Walaupun majikan Astina di Hong Kong tidak pernah menyakitinya secara fisik, namun majikannya kerap kali menyiksanya secara batin. Mulai dari tambahan kerja yang tidak sesuai kontrak, membersihkan 2 rumah sekaligus, tidak diberikannya hak untuk beribadah walaupun hanya sekali ketika natal, dan lain sebagainya. Astina pun diberikan hari libur yaitu hari Senin. Padahal umumnya TKW yang berada di Hong Kong libur pada hari Minggu yang digunakan untuk berkumpul di Victoria Park. Akibatnya, Astina tidak begitu banyak bersosialisasi dengan TKW yang lain kecuali dengan TKW yang seapartemen dengannya. Itu pun secara sembunyi-sembunyi. Hingga akhirnya dia di PHK karena majikannya yang pertama akan pindah ke Amerika. Majikannya yang kedua adalah seorang nenek yang cerewet. Dia sangat disiplin. Di majikannya yang kedua itu Astina memulai pekerjaannya dari pukul 6 pagi hingga 11 malam. Dalam kurun waktu itu Astina tidak diperbolehkan untuk istirahat. Tidak betah dengan keadaan seperti itu, dia akhirnya membuat suatu kesalahan yang memang disengaja sehingga akhirnya dipecat. Menunggu untuk memperoleh majikan selanjutnya serta pengurusan visa yang lama, Astina memilih untuk kembali ke Jakarta. Di situlah dia harus menghadapi kenyataan pahit lainnya. Dia mengalami pemerasan ketika berada di Terminal 4 Selapajang. Oknum-oknum yang menjadi pegawai di sana juga terkesan tidak serius dalam bekerja, padahal mereka dibayar negara untuk melakukan pekerjaannya.
II-12 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Majikannya yang ketiga juga tak kalah kejam dengan majikannya yang sebelumnya. Suatu hari dia memarahi Astina karena membaca koran. Menurutnya koran bukanlah hak seorang pembantu yang bodoh. Hingga suatu hari Astina dipecat karena nenek itu dan anak-anaknya menemukan buku-buku dan formulir pendaftaran sekolah kejar paket. Menurut mereka tugas Atina di Hong Kong adalah bekerja jadi pembantu, bukan untuk belajar. Padahal sebenarnya, seorang pembantu diperbolehkan untuk bersekolah pada hari liburnya. TKW lain banyak yang melakukan hal demikian. Setelah majikan ketiga memecatnya, Astina memilih untuk pulang kembali ke Indonesia walaupun sebenarnya masa kerjanya di luar negeri belum genap 2 tahun. Dia meyakini bahwa usianya masih muda dan dia bisa mencari pekerjaan lain di Indonesia. Dia tidak mau lagi menjadi budak, disuruh-suruh oleh majikannya yang tidak berperi kemanusiaan. Walaupun tidak mengalami kekerasan fisik secara pribadi, namun dalam novel ini Astina juga mengungkapkan penuturan dari teman-temannya sesama TKW yang dirampas hak-haknya. Dari yang dibayar underpaid, dilecehkan secara seksual, dan lain sebagainya. Astina juga kemudian mengetahui kehidupan teman sebangsanya sesama TKW ketika berda di luar negeri. Ada yang merubah penampilannya dengan cara mengecat rambut, berpakaian ‘semau gue’, ada yang kemudian terperosok dalam dunia prostitusi, dan ada juga yang kemudian menjadi seorang lesbian.
II-13 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
II.3.2 Review Novel “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”
Gambar II.2 Halaman sampul novel Dari Tanah Haram ke Ranah Minang
Dalam novel ini sang pengarang, Ummuki, menggunakan nama lain dalam menceritakan kisah hidupnya. Tokoh utama dalam novel ini bernama Hanifa. Hanifa adalah orang Minang, lulusan S1 yang menjadi ustadzah di sebuah pesantren. Suatu hari dia dihamili oleh lelaki kenalannya yang berdagang di pasar. Ketika meminta pertanggungjawaban, lelaki itu malah menyuruh Hanifa untuk menggugurkan kandungannya. Karena tidak ingin membuat dosa yang lebih banyak,
dia
enggan
melakukannya.
Sebisa
mungkin
Hanifa
berusaha
menyembunyikan kehamilannya. Namun akhirnya rahasia itu terkuak juga oleh keluarga dan para teteangganya. Hanifa merasa sangat bersalah karena telah mempermalukan keluarga dan juga pesantrennya.
II-14 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Keluarga langsung mendesak si lelaki untuk bertanggungjawab. Karena desakan tersebut, akhirnya mereka berdua menikah di bawah tangan. Pernikahan itu hanya dianggap sekedar pelepas tanda tanya dan kejelasan status saja. Selesai pernikahan, si lelaki kabur dan tidak bertanggung jawab. Setelah anaknya berusia 1 tahun, Hanifa memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Dia tidak ingin terus-menerus menjadi beban keluarga. Di Jakarta, awalnya Hanifa menumpang pada adik kelasnya di pesantren dulu. Hingga suatu hari dia akhirnya tinggal di sebuah panti sosial. Di sana dia mendapat tempat tinggal dan bekal berupa pelatihan-pelatihan gratis. Setelah tinggal selama 6 bulan, Hanifa ke luar panti dan menikah dengan Firman yang dulunya juga tinggal di panti sosial. Mereka tinggal di emperan sebuah WC umum karena mereka tidak memiliki tempat tinggal. Firman hanya bekerja serabutan. Setelah kelahiran anaknya yang kedua, Hanifa beserta keluarganya pindah ke Tegal. Mereka merasa bahwa keadaan mereka akan sama saja, atau mungkin lebih buruk jika masih menetap di Jakarta. Setelah tinggal di Tegal, keadaan ekonomi keluarganya ternyata tidak mengalami perubahan. Suatu hari suaminya menawari Hanifa untuk bekerja di Arab Saudi. Awalnya Hanifa ragu. Namun demi biaya sekolah anak-anaknya dan perbaikan ekonomi keluarga, Hanifa akhirnya pergi walaupun dengan berat hati meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil. Suaminya lah yang mengurus semua persyaratannya untuk menjadi TKW sementara anak-anaknya akan dititipkan pada kakak-kakak Hanifa yang ada di Bukittinggi.
II-15 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Setiba di Arab Saudi, Hanifa memperoleh majikan yang memiliki 9 anak. Dua anaknya yang masih sekolah, Saidi dan Nabil, tinggal bersama majikannya, Mama Humairah. Di rumah itu juga tinggal suami dari Mama Humairah yang menderita penyakit gula yang hanya bisa berbaring di kamarnya. Di rumah majikannya itu lah Hanifa dipekerjakan bagaikan mesin. Hanifa harus siap disuruh untuk melakukan apa pun dan kapan pun, bahkan untuk hal-hal sepele seperti mengambil remote TV yang ada di depan majikan. Di sebelah rumah majikannya tinggal anak laki-laki tertua dari Mama, yaitu Baba Mahmud, yang memiliki pembantu asal Indonesia bernama Nur. Hanifa dan Nur menjalin persahabatan dan kerap bertemu. Itupun dengan cara curi-curi kesempatan tanpa sepengetahuan para majikannya. Pertemuan itu juga tidak berlangsung lama, hanya sekedar pelukan hangat dan saling menanyakan kabar. Untuk menyiasati masalah komunikasi antara mereka berdua, Hanifa dan Nur berkomunikasi lewat surat yang diletakkan di pos rahasia yang hanya diketahui mereka berdua. Lewat surat-surat itu lah mereka saling menceritakan kejadian yang mereka alami dan saling memberikan nasihat. Suatu hari ketika Mama dan Nabil pergi, Hanifa hampir saja mengalami pemerkosaan oleh Saidi. Namun Hanifa berhasil lolos. Kejadian itu tidak hanya terjadi satu kali, untungnya Hanifa selalu bisa meloloskan diri. Kejadian pelecehan juga dialami oleh Nur. Kerabat majikannya, yang dijuluki si gondrong,
II-16 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
kerap kali melakukan pelecehan seksual kepadanya. Nur tidak berani melapor karena yakin bahwa majikannya akan lebih percaya kepada kerabatnya. Walaupun tidak bisa ke luar rumah dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, Hanifa tetap bisa menjalin pertemanan dengan beberapa TKW yang lain. TKW-TKW itu adalah pembantu dari anak-anak Mama Humairah. Anak-anak dan cucu Mama Humairah sering berkunjung ke rumah, yang tentu saja dengan membawa serta para pembantunya. Pada saat itu Hanifa akan repot membersihkan rumah dan menyiapkan makanan. Namun dia juga senang karena dengan begitu dia bisa bertemu dan saling bercerita dengan teman-temannya. Dalam pertemuan itu para TKW saling berbagi cerita mengenai kejadian yang menimpa mereka. Ada yang mengalami pelecehan seksual, disiksa secara fisik, tidak diberikan hak-haknya untuk makan dan berkomunikasi dengan keluarganya di Indonesia, dan lain sebagainya. Namun ada juga yang mendapat majikan baik. Mereka yang beruntung dihajikan atau diumrahkan oleh majikannya. Mereka juga tidak pernah dibentak-bentak, dan selalu diberikan hakhaknya. Suatu hari Hanifa meminta izin pulang Indonesia pada majikannya. Dia beralasan telah 5 tahun tidak bertemu ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan. Dulu ketika ayahnya meninggal, Hanifa tidak sempat menemani saat terakhirnya. Dia tidak ingin kejadian yang sama menimpa ibunya. Majikannya tidak langsung menyetujuinya. Majikannya akan meminta persetujuan dari Baba Mahmud terlebih dulu, karena dialah yang memutuskan segala keputusan di 2 rumah itu.
II-17 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Singkat cerita, karena kegigihannya untuk terus meminta pulang, akhirnya Hanifa dipulangkan oleh majikannya walaupun harus membeli tiket dengan uangnya sendiri. Namun dia termasuk salah satu TKW yang beruntung karena majikannya memberikan semua gaji yang sempat ditahan oleh sang majikan. Begitu pula dengan Nur yang memang masa kerjanya selama dua tahun telah berakhir. Nur akhirnya bisa pulang ke Indonesia dengan perasaan suka cita.
II-18 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB III PEMBAHASAN Pada bagian ini peneliti membahas mengenai wacana TKW yang ada di dalam objek penelitian. Seperti yang telah dijelaskan dalam Latar Belakang Masalah sebelumnya, untuk menganalisis wacana TKW dalam 2 novel yang menjadi objek penelitian, peneliti membaginya ke dalam dua subbab utama. Subbab pertama membahas mengenai struktur subjek-objek sedangkan subbab kedua membahas mengenai struktur penulis-pembaca. Penelitian ini dibatasi dengan hanya melakukan analisis dalam teks tanpa melakukan interview kepada penulis terkait proses produksi teks, maupun kepada pembaca terkait penerimaan mereka terhadap teks. Hal ini sejalan dengan metode yang digunakan oleh Sara Mills dalam menganalisis wacana. Sara Mills mengungkapkan bahwa untuk menguraikan suatu wacana diperlukan dua cara yaitu melihat struktur subjek-objek serta melihat struktur antara penulis-pembaca. Hal ini penting karena fokus metode Sara Mills melihat bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks. Yang dimaksud dalam pengertian tersebut adalah siapa yang menjadi subjek penceritaan dan siapa yang menjadi objek penceritaan. Hal tersebut akan berpengaruh pada bagaimana makna diperlakukan dalam teks secara menyeluruh. Sedangkan posisi penulis-pembaca digunakan untuk mengidentifikasikan bagaimana pembaca ditempatkan dalam teks. Hal tersebut mempengaruhi bagaimana teks akan dipersepsi oleh pembaca (Eriyanto 2001).
III-1 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Struktur penulis-pembaca secara tidak langsung akan tersirat secara tekstual dalam gaya penulisan dan gaya penulis melakukan penyapaan terhadap pembacanya (Eriyanto 2001). Sehingga untuk menganalisis struktur tersebut tidak harus melakukan wawancara kepada penulis maupun pembaca novel. Dalam subbab pertama, peneliti memilah analisisnya lagi ke dalam beberapa bagian. Bagian-bagian tersebut digunakan untuk melihat kaitan TKW dan kapitalisme, hubungan TKW dengan majikan, serta hubungan TKW dengan sesama TKW. Peneliti melihat bahwa dalam hubungan yang terjadi pada ketiga relasi tersebut terjadi artikulasi wacana TKW yang unik dan berbeda. Dalam relasi yang terjadi antara TKW dengan sistem maupun pihak tersebut, peneliti melihat adanya ketimpangan kuasa karena didominasi salah satu pihak saja. Inti dari metode analisis wacana kritis dalam sebuah wacana adalah menguraikan relasi kuasa, dominasi, dan ketimpangan yang diproduksi, yaitu mendeteksi masalah sosial, terutama diskriminasi. Peneliti mengasumsikan bahwa kapitalisme, majikan, dan bahkan sesama TKW sendiri pun secara tidak langsung memproduksi maupun mereproduksi diskriminasi terhadap kelompok TKW. Novel bukan sekedar hasil imajinasi penulis, mengingat bahwa novel yang dijadikan objek analisis dalam penelitian ini berangkat dari kisah nyata para penulisnya. Novel di sini juga merupakan suatu fakta sosial. Sebagai fakta sosial novel berperan ‘mencerminkan berbagai realitas sosial, pandangan dunia, kepercayaan, sistem nilai, norma-norma, maupun adat istiadat yang tidak hanya melingkupi penciptaan novel tersebut, melainkan juga mencerminkan tanggapan
III-2 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
penulis terhadap berbagai realitas sosial’ (Chusniyatun & Thoyibi 2005, h.70). Hal tersebut tidak terelakkan karena seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa novel merupakan wadah bagi penulis untuk menyampaikan gagasannya. III.1 Struktur Subjek-Objek dalam Novel “Aku Bukan Budak” dan “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang” Dalam subbab pertama ini peneliti menganalisis struktur subjek-objek yang ada di dalam novel. Subbab ini terbagi lagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama membahas mengenai kaitan TKW dan kapitalisme. Dalam kaitan tersebut, terdapat institusi-institusi seperti negara, PJTKI, dan pihak sponsor. Peneliti mengasumsikan bahwa institusi dan pihak-pihak tersebut dipengaruhi oleh kapitalisme sehingga hanya berorientasi pada keuntungan dan memarjinalkan TKW. Hal ini juga sejalan dengan pemikiran feminis marxis yang menganggap bahwa opresi terhadap perempuan diakibatkan oleh kapitalisme dan perbedaan kelas (Tong 2008). Bagian kedua membahas mengenai hubungan antara TKW dan majikan, yang mana ketika disajikan di media majikan inilah yang paling sering ditampilkan menyiksa dan melakukan kekerasan kepada TKW. Bagian ketiga membahas mengenai hubungan antara sesama TKW. Dalam hubungan antar personal ini terkadang juga terjadi pemarjinalan terhadap sesamanya karena sebagai seorang pribadi mereka tentu memiliki pandangan berbeda antara satu individu dengan yang lain.
III-3 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Sara Mills menekankan pada bagaimana posisi dari berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa itu ditempatkan dalam teks. Posisi tersebut berakibat
pada
bagaimana
teks
akan
disampaikan.
Lebih
lanjut
dia
mengungkapkan bahwa penguraian struktur subjek-objek dalam sebuah wacana adalah sesuatu yang penting. Setiap aktor pada dasarnya mempunyai kemungkinan menjadi subjek atas dirinya sendiri dan mempunyai kemungkinan atas penggambaran dunia menurut persepsi dan pendapatnya. Aktor berperan untuk mendefinisikan, melakukan penceritaan, sesuai dengan perspektif dan kepentingannya (Eriyanto 2001). III.1.1 TKW dan Kapitalisme Menurut rumusan Pasal 1 angka 1 UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, TKI adalah setiap Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Sedangkan TKW sendiri lebih menspesifikkan pada TKI yang berjenis kelamin wanita atau perempuan. Dari awal, identitas dari seorang TKI/ TKW telah ditentukan oleh negara. Para TKW tidak diperkenankan untuk menentukan identitasnya sendiri. Mereka dianggap tidak memiliki kuasa sehingga identitasnya perlu didefinisikan bahkan dengan landasan hukum. Seharusnya konsekuensi dari hal tersebut adalah harus ada tanggungjawab perlindungan dari suatu negara terhadap warga negaranya yang bekerja sebagai TKW. Negara yang dimaksudkan di sini didefinisikan
III-4 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
sebagai suatu badan atau organisasi tertinggi yang mempunyai wewenang untuk mengatur hal-hal yang berkaitan untuk kepentingan orang banyak serta mempunyai
kewajiban-kewajiban
untuk
melindungi,
mensejahterakan
masyarakatnya (Dimas 2011). Cerita dalam novel “Aku Bukan Budak” diawali dengan penceritaan masa kecil Astina yang sudah megalami kegetiran hidup yaitu ketidak-harmonisan keluarga. Dia secara tidak langsung dituntut untuk bisa hidup mandiri. Astina bahkan sempat mencoba bunuh diri karena melihat orang tuanya hampir setiap hari cek-cok tanpa memperhatikan anak-anaknya. Titik tolak kehidupan Astina dimulai ketika ayahnya meninggal dan ibunya memilih untuk menikah lagi. Melihat kondisi ekonomi keluarga dan saudara-saudaranya tidak membaik, Astina akhirnya memilih untuk mendaftar menjadi TKW pada seorang sponsor bernama Bu Rina, yang kontaknya dia temukan di sebuah surat kabar. Dari proses paling awal untuk menjadi TKW, yaitu sponsor, Astina telah mengalami berbagai bentuk ketidakadilan. Dari awal, umur Astina telah diubah menjadi satu tahun lebih tua dari umur yang sebenarnya. Hal tersebut karena umur minimal untuk menjadi TKW adalah 21 tahun, sedangakan Astina masih berumur 20 tahun. Astina sendiri merasa hal tersebut melanggar hukum. Namun dia hanya menurut karena jika tidak dilakukan, dia tidak bisa menjadi TKW. Kecurangan sponsor lainnya dialami Astina ketika dia dan beberapa temannya yang satu sponsor masih dalam proses pemeriksaan kesehatan di PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) bernama PT Rajawali. Dia dan teman-
III-5 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
temannya langsung ditinggal begitu saja oleh Bu Rina dengan uang insentif yang minim. Padahal pihak sponsor yang lain rela menemani CTKWnya hingga proses penerimaan selesai. Dia juga tidak dibelikan koper layaknya teman-temannya yang mendaftar pada sponsor berbeda. Hal ini menyebabkan Astina kesulitan membawa baju dan perlengkapannya karena tas miliknya hampir putus. Sesuai dengan Undang-Undang No.39 Tahun 2004, setiap orang yang ingin bekerja di luar negeri harus mendaftarkan diri ke kantor Dinas Kabupaten/Kota setempat yang membidangi ketenagakerjaan dan PPTKIS (Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta) atau yang biasa dikenal dengan PJTKI (Iskandar 2014). Dalam prakteknya, sesorang yang mau menjadi TKI, khususnya yang menjadi pekerja domestik, selalu melalui perantara yang biasa disebut dengan sponsor kampung atau sponsor luar yang berafiliasi dengan PJTKI. Sponsor akan mendapat imbalan dari setiap CTKW yang dia bawa yang lolos tes administrasi dan kesehatan. Minimnya sosialisasi dari negara mengenai sponsor atau PJTKI mana yang kredibel membuat para CTKW menanggung akibatnya. Banyak dari mereka yang minim informasi akhirnya mendaftar pada sponsor yang tidak kredibel hingga berujung pada masuknya mereka ke PJTKI illegal. Ketika berada di PT Rajawali, lagi-lagi Astina dan para CTKW lainnya harus menerima berbagai kenyataan pahit. Kantor PT itu sangat sempit sedangkan setiap hari ada saja CTKW baru yang diantarkan sponsor. Padahal ketika sudah masuk di PT, para CTKW tidak boleh ke luar lagi karena dikhawatirkan akan kabur sehingga membuat PT rugi. Ketika malam tiba, mereka harus tidur III-6 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
berimpitan. Tidak jarang, ada yang tidur di bangku-bangku panjang lantai bawah karena ruangan tidur sudah tidak cukup lagi. Begitu pula ketika hendak menggunakan kamar mandi, mereka harus berebut karena jumlah kamar mandi minim dan tidak terawat. Di PJTKI itu pula Astina mulai meyadari adanya diskriminasi awal bagi dia dan para CTKW lainnya. Rupanya, di situ ada sebuah peraturan begini: sebelum masuk, khusus untuk calon TKW harus melepas alas kakinya. Tapi tidak untuk para sponsor dan orang kantor. Sebuah diskriminasi awal yang kutemui (Triutami 2012, h.93). Selain peraturan mengenai alas kaki itu, para CTKW juga harus memanggil para guru dan pegawai kantor dengan sapaan yang mengindikasikan adanya penghormatan. Sejak siang itu, kami diberi tahu bahwa kami wajib untuk memanggil Mam kepada para pegawai kami di kantor (Triutami 2012, h.102). Keharusan penggunaan kata “Mam” pada sapaan CTKW terhadap para guru dan pegawai kantor menunjukkan bahwa kelompok guru dan pegawai dari awal dikonstruksikan lebih tinggi dibandingkan para CTKW. CTKW yang lolos tes admisnistrasi dan tes kesehatan akan diantar pihak PT ke BLK (Balai Latihan Kerja). Kondisi BLK ternyata sama saja dengan kondisi kantor PT. Bahkan karena lokasinya yang terletak di perkampungan pinggiran Jakarta dan dekat kebun bambu membuat keadaan semakin tidak kondusif. Sama seperti ketika di kantor PT, ketika sudah masuk BLK, CTKW tidak diperkenankan ke luar dengan alasan apapun. BLK ini bagaikan penjara bagi para CTKW karena fasilitas-fasilitas yang ada di dalam balai tidak memadai.
III-7 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Mulai dari jumlah dan kualitas ruang kelas yang tidak memadai, tempat tidur seadanya, kamar mandi dan dapur yang jorok, dan lain sebagainya. Ketidakadilan bagi para CTKW berlanjut ketika berada di BLK ini. Di dalam BLK itu, sama halnya ketika masih berada di kantor PT, ada berbagai peraturan yang harus dipatuhi oleh para CTKW. Bahkan para guru juga semakin menunjukkan sikap diskriminatifnya. Mereka duduk di kursi dengan cara menumpangkan kaki satu ke atas kakinya yang satu lagi. Sementara kami-para muridduduk di lantai tanpa alas. Mendongakkan kepala ke arah para guru yang duduk manis di kursinya (Triutami 2012, h.131). Keadaan tersebut terulang pada halaman 160, ketika CTKW akhirnya pindah menempati kelas baru yang lebih nyaman karena mereka tidak lagi duduk di lantai ketika mengikuti pelajaran, tapi duduk di kasur busa tipis. Namun tetap saja para guru duduk di kursi yang menandakan bahwa kedudukan guru ada di atas jika dibandingkan para CTKW yang menjadi murid. Beberapa kali Astina menggambarkan kedudukan antara guru dan CTKW (murid). Para guru dan pegawai memiliki hak istimewa seperti boleh mengenakan alas kaki di dalam ruangan maupun duduk di kursi, sedangkan para CTKW duduk di bawah. Makna konotasi dari kursi sendiri adalah kedudukan atau jabatan. Dengan gambaran perlakuan demikian, kedudukan guru disosialisasikan lebih tinggi dibandingkan para murid. Kisah di dalam BLK berlanjut dengan penceritaan kehidupan sehari-hari yang dialami oleh para CTKW dan para guru. Para guru yang memiliki posisi
III-8 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
superior dan memiliki akses pada kekuasaan mengopresi CTKW dalam berbagai cara. Misalnya saja dengan memberikan hukuman, cacian, dan lain sebagainya. Sikap para guru yang ada di BLK kadang tak mencerminkan bahwa dirinya adalah seorang pendidik di sana. Mereka tak segan untuk memaki atau bahkan mencubit hingga kulit para murid atau calon TKW membiru (Triutami 2012, h.161). Karena memiliki kedudukan yang tinggi, guru memiliki hak kepada muridnya. Sehingga di sini guru bebas memanggil muridnya bodoh, memanggil dengan sebutan tertentu, memarahinya, hingga melakukan kekerasan fisik misalnya mencubit. Sedangkan CTKW tentu saja harus memanggil guru dengan sebutan Mam dan harus bersikap sopan kepada mereka. Seperti itulah perbuatan para guru di BLK yang membuat posisi TKW semakin termarjinalkan. Padahal banyak dari guru-guru di BLK itu yang berjenis kelamin perempuan. Namun apa yang dilakukannya seperti mencerminkan ideologi patriarki. Di dalam novel (halaman 61) juga diceritakan bahwa tugas para guru PJTKI di kelas hanya menerima setoran hafalan bahasa dari para murid. Mereka tidak menjelaskan tata cara penggunaan bahasa, maupun konteks-konteks di mana bahasa tersebut bisa digunakan. Mereka merasa hanya digaji untuk menerima hafalan dan melakukan beberapa kegiatan teknis lain, sehingga tidak mau repot untuk menjelaskan penggunaan bahasa itu. Dalam hal ini lagi-lagi sektor modal atau ekonomi lah yang membuat TKW semakin teropresi. Padahal permasalahan bahasa ini lah yang juga kerap kali menyebabkan para TKW mendapatkan penyiksaan dari majikan. Banyak dari para TKW yang ternyata tidak lancar bahasa negara tempatnya bekerja sehingga
III-9 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
membuat majikan kesal atau membuat kesalahpahaman anatara TKW dan majikan (Insani & Raihan 2011). Begitu pula ketika sudah terjadi masalah, mereka tidak bisa meminta bantuan pihak berwenang karena keterbatasan bahasa. Di PJTKI ini para CTKW juga harus mulai belajar menerima tentang adanya kelas-kelas tersebut tanpa bisa melawan. Sebenarnya para CTKW juga memiliki kuasa untuk melawan, namun tentu hal itu tidak dilakukan karena bisa mengancam keberadaannya untuk bisa terus di BLK. Keadaan yang demikian yang membuat wacana kekuasaan dianggap hanya dimiliki oleh kaum dominan saja, padahal sebenarnya kekuasaan itu tersebar dan dimiliki siapa saja (Foucault dalam Mills 2003). Pada suatu kejadian diceritakan ada seorang CTKW Hongkong yang dipaksa untuk pindah ke kelas tujuan Malaysia karena Lause Antimi merasa anak itu tidak cukup pintar. Ketika diminta Lause Antimi untuk berhitung dari 1-100 dia tidak bisa, begitu pula ketika diminta menyebutkan nama-nama hari dia melewatkan hari Jumat. Hal itu membuat Lause Antimi marah. Lause menjadi geregetan dan menanyai sekali lagi dengan rahang yang mengeras dan gigi yang gemeretak: “heh tuyul,…” (Triutami 2012, h.206). “Guoblok! Jumatnya kamu kemanain!” (Triutami 2012, h.208). Lause Antimi bahkan memaki CTKW itu karena menurutnya, CTKW itu tidak akan sanggup bekerja di Hongkong dengan budaya yang serba cepat dan dengan watak orang Hongkong yang keras dan disiplin.
III-10 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
“Mending kamu dimaki-maki saya di sini daripada kamu dimaki bangsa lain. Dimaki aku, karuan aja, lhawong aku gurumu. Masuk ke kelas ini!” (Triutami 2012, h.209). Karena kedudukannya sebagai kelas yang memiliki akses lebih pada kekuasaan, para guru merasa memiliki hak untuk bersikap demikian. Sebaliknya, para CTKW tidak bisa melakukan hal serupa karena akan dianggap membangkang atau tidak sopan. Para CTKW itu mau tidak mau harus belajar menerima hal tersebut. Dalam salah satu kutipan dialog tersebut, seorang guru sangat marah kepada salah satu CTKW. Dia mengatakan bahwa dia sebagai guru merasa berhak untuk memarahi CTKW yang menjadi muridnya. Para CTKW yang merasa tidak memiliki kuasa memilih menerima apapun yang dilakukan para guru. Para CTKW menerima dengan sadar bahwa apa yang terjadi tersebut adalah suatu kewajaran. Perlakuan PT terhadap para CTKW menimbulkan pertanyaan bernada protes di benak Astina. Namun tentu saja dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia menyadari posisinya sebagai murid yang nantinya bekerja sebagai TKW atau pembantu memiliki posisi subordinat. Bahkan ia merasa bahwa posisi kaum TKW berada pada posisi kedua di masyarakat. Aku tidak suka dengan perlakuan PT terhadap kami, para calon TKW. Sangat diskriminatif sekali. Atau karena pekerjaan TKW itu pembantu sehingga tak perlu diperlakukan sopan. Toh, TKW adalah kasta terendah. (Triutami 2012, h.131). Begitu pula ketika menindak lanjuti peraturan mengenai pemotongan gaji oleh PT, walau dirasa tidak adil, para CTKW diajarkan untuk menyadari posisinya yang harus menerimanya tanpa bisa melakukan apapun. Mereka diajarkan untuk
III-11 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
menerima bahwa pemotongan itu adalah hal yang wajar karena digunakan untuk biaya CTKW selama berada di BLK dan juga untuk biaya administrasi. “Yowis ngono Mbak’e. Susah mau ngomong apa lagi. Kita rakyat kecil, yawis ngikut aja aturan yang ada…… Memang PT itu membantu sekaligus memeras kita” (Triutami 2012, h.99). Bentuk pemerasan yang dilakukan oleh PT ini adalah berupa potongan gaji selama 7 bulan. Jadi bisa dibilang, para TKW bekerja selama 7 bulan penuh di luar negeri tanpa menerima gaji sepeser pun. Gaji tersebut digunakan untuk menanggulangi biaya selama TKW menjalani poses administrasi (pembuatan paspor, pengurusan visa) maupun pelatihan selama di BLK. PJTKI ini merupakan institusi layaknya sekolah berfungsi sebagai tempat pendidikan dan pelatihan. Di dalam institusi inilah diajarkan ideologi dominan, salah satunya mengenai struktur kelas yang berkuasa. Menurut Althusser institusi demikian adalah apa yang disebut dengan Ideological State Aparatus (ISA) yang mampu menghegemonikan suatu nilai dominan. Di PJTKI atau di BLK ini, para CTKW telah dikenalkan pada adanya struktur kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai. Kelas berkuasa di sini tentu saja adalah para guru dan para pegawai PJTKI. Sedangkan para TKW berada pada kelas yang dikuasai. PJTKI merupakan suatu institusi atau usaha yang pendiriannya harus mendapatkan surat izin dari pemerintah. Keberadaan PJTKI ini berfungsi untuk memberikan pendidikan dan pelatihan kepada para CTKW agar menguasai keterampilan yang dibutuhkan ketika bekerja. Sayangnya sebagian besar PJTKI di Indonesia kurang memadai dan hanya terkesan ingin mengeruk keuntungan dari
III-12 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
para CTKW yang mendaftar padanya melalui sponsor. Mereka mengurus keberangkatan para CTKW dari berbagai daerah yang hampir tidak terurus oleh negara (Iskandar 2014). Secara tidak langsung, PJTKI ini mendukung kapitalisme karena orientasinya adalah profit. PJTKI ini umumnya berlokasi di kota-kota besar, misalnya Jakarta. Hal ini sejalan dengan wacana sentralisasi yang disosialisasikan oleh pemerintahan pada masa Orde Baru (Kurnia 2009). Ketika semua hal berada di pusat kota, terjadi ketidakadilan bagi yang berada di daerah pinggiran karena tidak memiliki akses. Terjadi persebaran informasi yang tidak merata. Hal ini merugikan bagi mereka yang tidak memiliki informasi karena bisa terjerumus dalam penipuan bahkan perdagangan manusia (human trafficking). Wahyu Susilo dari Migrant Care mengungkapkan PJTKI merupakan akar dari permasalahan eksploitasi TKI. Keharusan proses kerja melalui PJTKI ini merupakan salah satu bentuk tindakan monopoli pihak swasta. Hal tersebut diskriminatif karena CTKW tidak mempunyai pilihan atau mencari cara lain yang lebih efisien dan murah (dalam Wijaya 2013). CTKW yang berangkat melalui PJTKI dianggap legal sedangkan yang tidak, dianggap ilegal. Penetapan legal dan ilegalnya itu tentu berada di tangan pemerintah. Hal tersebut bahkan dijadikan lahan bisnis oleh pihak PJTKI. Mereka seringkali menampung CTKW melebihi kapasitas BLK. Beberapa pejabat publik juga diketahui memiliki bisnis berupa PJTKI dan travel pemulangan TKI (Trianita 2014). Padahal hal tersebut tidak diperbolehkan, karena pejabat publik tersebut bisa mempengaruhi kebijakan yang
III-13 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
ada. Mereka bisa saja mempengaruhi kebijakan yang berujung pada keuntungan bisnis pribadi sedangkan permasalahan mengenai TKI/TKW terus berlanjut. Saat berada di luar negeri pun, para TKW ini juga terkesan ditelantarkan oleh negara. Seperti yang digambarkan dalam novel “Aku Bukan Budak”, ketika mereka mengalami permasalahan dengan majikan atau dengan mitra kerja PT, mereka harus mengurusnya sendiri. Pihak KJRI yang seharusnya bertanggung jawab seakan tidak peduli dan bahkan menyalahkan para TKW karena tidak membaca perjanjian kerja dengan benar. Hal tersebut juga dirasakan oleh Astina ketika mengadu pada Bu Sri, salah satu pegawai di KJRI Hongkong. Astina malah disuruh untuk mengurus permasalahannya sendiri, karena itu adalah masalah antara TKW dengan agen (halaman 90). Padahal di sini TKW seringkali merasa tidak berdaya jika berhadapan dengan agen, untuk itulah diperlukan institusi yang berlandaskan hukum, yaitu Negara, untuk melindungi mereka. Tidak hanya pra dan saat masih menjadi TKW, paska menjadi TKW atau sepulangnya mereka dari negara tempat bekerja, Astina dan para TKW lainnya masih mengalami berbagai diskriminasi dan pemerasan oleh petugas negara. Salah satu bentuk diskriminasi yang diterima para TKW adalah adanya suatu peraturan yang mengharuskan para TKW melewati gate berbeda dengan penumpang umum dengan alasan akan dilakukan pendataan terlebih dahulu. Sedangkan pemerasan yang diterima para TKW misalnya terjadi di Terminal Selapajang di Bandara Soekarno-Hatta maupun di beberapa bandara yang lain.
III-14 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Bentuk dari pemerasan tersebut beragam, mulai dari pemaksaan pulang ke daerah asal menggunakan travel dari terminal yang harga tiketnya lebih mahal dari travel umumnya, adanya penipuan jasa penukaran uang dengan harga tukar yang murah, penjualan barang kebutuhan (pulsa, makanan, dll) dengan harga sangat mahal, jasa pengambilan troli dan pengangkatan barang, dan lain sebagainya. Kedua tokoh utama dari kedua novel mengalami hal tersebut. Kasus pemerasan di bandara tersebut baru mulai dikuak akhir-akhir ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai pemerasan tenaga kerja Indonesia (TKI) bersifat terstruktur, sistematis, dan masif. Adnan Pandu Praja, Wakil Ketua KPK, mengatakan pemerasan itu terstruktur karena pegawai yang seharusnya pensiun dipekerjakan lagi oleh BNP2TKI, berlangsung secara sistemik karena prosesnya bermasalah dan ada pembiaran dari pemerintah, serta masif karena pemerasan terjadi di banyak tempat Bandara Juanda, Surabaya, Lombok, dan bandara besar lainnya (dalam Trianita, 2014). Dalam peristiwa ini, negara dengan segala bentuk landasan hukumnya merasa
legitimate.
Sedangkan
para
TKW
didelegitimasi.
Delegitimasi
berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok dianggap tidak absah. Apakah ada dasar pembenar tertentu ketika melakukan suatu tindakan. Delegitimasi ini merupakan salah satu bentuk dari misrepresentasi atau pemarjinalan terhadap suatu kelompok (Eriyanto 2001). Kelompok yang mengalami delegitimasi dilabeli predikat bersalah jika tidak tunduk pada aturan hukum yang ada.
III-15 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Motivasi sesorang untuk menjadi TKW biasanya disebabkan dorongan keluarga. Keluarga ini umumnya bersifat patriarkal dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan ayah, suami, atau anak laki-laki tertua.
Dalam novel juga
ditunjukkan bahwa ayah dan suami memiliki kuasa terhadap perempuan yang mau mencalonkan diri sebagai TKW. Hal tersebut juga disahkan oleh peraturan PJTKI dan negara. Diceritakan bahwa Astina harus mempunyai surat izin yang ditandatangani suami atau orang tua ketika menanyakan perihal persyaratan untuk menjadi TKW pada sponsor. “Kalau sudah menikah harus ada izin dari suami. Kalau belum, surat izin dari orang tua dan RT/RW setempat” (Triutami 2012, h.39). Kejadian yang sama juga dialami Hanifa dalam novel “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”. Dia harus memiliki surat izin yang ditandatangani oleh suaminya. Keluarga
merupakan
kelompok
terkecil
dan
pertama
yang
mensosialisasikan serta melanggenggengkan nilai-nilai patriarki. Sedari kecil seorang anak telah diajarkan mengenai posisi-posisinya berdasarkan jenis kelamin/gender yang dia miliki. Keluarga ini pulalah yang kadang melakukan penindasan terhadap perempuan yang menjadi TKW. Seperti contoh kasus yang dialami oleh Tauriyah, salah satu CTKW kenalan Astina. “Saya ndak bisa senyum Mbak, karena suami saya itu kawin lagi dengan tetangga saya. Uang saya dihabiskan. Capekcapek saya bekerja di Arab, Mbak. Saya ndak bisa senyum,” ujar Tauriyah serius (Triutami 2012, h.119).
III-16 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Hal tersebut pula yang menjadi ketakutan Hanifa dalam novel “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”. Aku takut bernasib sama dengan teman-temanku di sini. Ketika mereka kembali ke tanah air ternyata suami mereka telah menikah dengan perempuan lain. (Ummuki 2013, h.100). Di sini terlihat bahwa perempuan seakan tidak memiliki kuasa. Bahkan ketika seorang perempuan itu telah bekerja keras demi memperbaiki perekonomian keluarga, sang suami dengan seenaknya saja menikah lagi. Uang hasil jerih payahnya dihabiskan oleh suaminya. Di sisi lain, beberapa TKW justru menerima jika suaminya melakukan kawin kontrak karena merasa hal tersebut adalah wajar. Mereka bisa menerima karena merasa sang suami pastilah membutuhkan seorang perempuan untuk melayaninya ketika mereka, yang memiliki peran sebagai istri, sedang tidak berada di rumah. Biasanya kawin kontrak ini berakhir saat seorang TKW telah menyelesaikan kontrak kerjanya selama 2 tahun (Sibaweh 2010). Padahal hal-hal semacam itu merupakan suatu bentuk penjajahan laki-laki terhadap perempuan. Fenomena hancurnya hubungan rumah tangga yang tidak jarang berujung pada perceraian ini juga menjadi salah satu permasalahan TKI/ TKW. Menurut data yang ada di lapangan, lebih dari 80% TKI telah berkeluarga pada saat berangkat ke luar negeri. Sekitar 9% dari mereka akhirnya mengalami masalah dalam perkawinannya, atau yang kemudian berubah statusnya dari kawin ke cerai (Iskandar, 2014). Bahkan di daerah Jember pada 2008, sebanyak 50 keluarga TKI bercerai tiap bulan (Djunaidy 2008). Di Tulungagung juga terjadi hal demikian.
III-17 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Sepanjang 2009 terdapat kasus perceraian tidak tanggungjawab sebanyak 1117 kasus yang didominasi perselingkuhan suami TKW (Tim 2010). Penjabaran hal-hal diatas sesuai dengan pendapat Kate Millet. Millet (2000) dalam bukunya yang berjudul Sexual Politics mengungkapkan adanya tiga institusi patriarkal yang saling berhubungan erat, yaitu keluarga, masyarakat, dan negara. Karena bersifat patriarkal, negara dalam pembuatan kebijakannya cenderung menguntungkan pihak laki-laki. Pengiriman TKI maupun TKW ke luar negeri juga merupakan suatu potret ketidakmampuan negara Indonesia untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Sehingga sebenarnya apa yang menimpa para warga negaranya yang menjadi TKW di luar negeri harusnya juga menjadi tanggung jawab negara. Negara seakan hanya ingin mendapat keuntungan dengan masuknya devisa para TKW, sedangkan perlindungan terhadap mereka seakan diabaikan. Hal ini menunjukkan betapa negara masih berorientasi pada kapitalisme dalam menyikapi wacana mengenai TKW. Diskursus mengenai TKW yang penuh dengan penderitaan tampaknya juga disetujui oleh kedua penulis. Kedua penulis novel dan juga beberapa tokoh yang ada dalam novel beberapa kali menyampaikan pemikiran mengenai kelamnya dunia TKW. Tergambar jelas dalam lamunanku dalam setiap malam sepiku, potret suram para pahlawan devisa yang terjebak penyalur tenaga kerja illegal, yang terombang-ambing dalam liciknya ambisi agen penempatan di negara-negara asing, yang terperas oleh peraturan pemotongan gaji yang mencekik, serta dijajah bangsanya sendiri bernama tukang palak ataupun petugas money changer di Terminal 4 Selapajang (Triutami 2012, h.3).
III-18 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Air mata bahagia itu harus terkontaminasi air mata darah saat kembali teringat kesaksian para TKW yang diperkosa hakhaknya, di mana aku menjadi salah seorang dari potret suramnya dunia TKW Indonesia (Triutami 2012, h.3). Pada halaman awal novel “Aku Bukan Budak” tersebut penulis sudah menyajikan gambaran mengenai potret suram serta permasalahan yang kerap kali menimpa pahlawan devisa Indonesia, seperti majikan yang galak, pemerkosaan, serta pemerasan. Dalam sampul depan novel “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang” juga dituliskan suatu frasa di bawah judulnya yaitu ‘Kisah Pilu TKW di Dua Negeri’. Penggambaran ini seolah-olah menunjukkan bahwa fenomena tersebut nyata adanya. Gambaran negatif tersebut disajikan oleh media di Indonesia, sehingga gambaran tersebut lah yang juga tertanam pada benak khalayak. Seperti juga yang ditampilkan dalam narasi berikut: Di tengah jalan, pikiranku melayang ke berita-berita mengenai TKW yang sering kulihat di TV. Aku bergidik dan merinding, membayangkan kalau sampai aku benar-benar berangkat ke luar negeri sebagai TKW dan kurang beruntung mendapatkan majikan yang jahat, atau memperoleh majikan yang suka meniduri pembantunya (Triutami 2012, h.38). Ya Allah! Mengapa begitu berat tantangan dari rintangan yang kami hadapi di sini? Ternyata apa yang ada di TV bukanlah cerita bohong belaka. Sekarang aku benar-benar mengalaminya sendiri. (Ummuki 2013, h.52). Dalam salah satu kutipan, Ummuki lewat tokoh Aku-Hanifa, bahkan menegaskan bahwa kekejaman majikan dan berbagai penyiksaan yang diterima TKW bukanlah hal bohong belaka, karena dia secara pribadi mengalaminya. Representasi tersebut sejalan dengan penggambaran berita-berita TKW yang ada di media mainstream Indonesia. Penggambaran tentang TKW di media massa dalam novel juga digambarkan pada halaman 41 novel “Aku Bukan Budak”, serta
III-19 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
pada halaman 57, 58, dan 89 novel “Dari Ranah Haram ke Ranah Minang”. Cara penyampainnya diutarakan oleh tokoh lain, yaitu Uwa Astina yang keberatan kalau dia berangkat ke luar negeri karena takut disiksa majikan, serta anak dari Bu Karni yang takut emaknya pulang hanya mayatnya saja seperti yang ada di TV. Pemberitaan mengenai nasib TKW juga disampaikan dalam bentuk kekhawatiran yang dirasakan tokoh utama. Kesan yang timbul pada beberapa tokoh akibat pemberitaan mengenai TKW tersebut diulang beberapa kali di dalam kedua novel. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemberitaan tentang penyiksaan TKW tersebut sudah menjadi hal yang umum atau menjadi wacana dominan di kalangan masyarakat dan diterima sebagai suatu kenyataan. Realitas tersebutlah yang diyakini banyak orang, yaitu jika ingin menjadi TKW harus siap dengan resiko-resiko seperti yang ditampilkan dalam media massa. Media memang memiliki peran yang sangat kuat dalam menanamkan sutu realita kepada para khalayaknya. Gambaran mengenai dunia TKW yang penuh dengan penyiksaan dan pemerkosaan itu juga dipercayai oleh masyarakat. Bahkan seorang anak kecil pun juga mengetahui dan mempercayai hal tersebut. Hal ini tidak mengherankan, sebab media di Indonesia memang cenderung menampilkan para TKW dari sisi negatifnya saja. Berita mengenai prestasi yang diraih para TKW seakan dihilangkan. Kalaupun ada pemberitaan mengenai hal itu, jumlahnya sangat minim (Insani & Raihan 2011).
III-20 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Di sini, media bukan hanya menjadi bagian dari kelompok dominan, melainkan turut andil dalam memproduksi dan mendistribusikan ideologi dominan. Eriyanto menyatakan ‘media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksikan realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakkannya’ (2001, h.36). Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Tony Bennet yang memandang media sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas sesuai dengan kepentingannya. Hall bahkan menyatakan bahwa sebenarnya peran media bukan hanya memproduksi dan mendistribusikan realitas, melainkan menentukan (to define) realitas melalui kata-kata yang dipilih. Makna berada dalam pertentangan sosial (social struggle) untuk memenangkan wacana. Perjuangan antarkelompok ini melahirkan pemaknaan untuk mengunggulkan satu kelompok dan merendahkan kelompok lain (Eriyanto 2001). Mereka memantapkan posisi mereka, sekaligus memarjinalkan kelompok tidak dominan. Seperti konsep yang diperkenalkan oleh Althusser, media berperan sebagai ISA (Ideological State Aparatus) fungsinya melanggengkan penindasan namun dengan cara yang halus sehingga khalayak atau masyarakat menerimanya sebagai common sense dan taken for granted. Calon TKW pun sebenarnya juga tahu mengenai isu-isu yang kerap kali menimpa TKW melalui media yang ada. Namun nyatanya hal tersebut tidak menghalangi para calon TKW tersebut untuk bekerja ke luar negeri. Hal ini tentu saja dikarenakan desakan kebutuhan sehari-hari. Dalam novelnya, Astina menggambarkan bahwa orang-orang yang menjadi TKW adalah orang-orang yang
III-21 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
termarjinalkan, sesuai dengan apa yang ada di benak masyarakat dan menjadi wacana dominan. Siang itu aku merasa beruntung, bisa duduk manis di mobil mewah. Jadi ratu sesaat sebelum memasuki duniaku yang sebenarnya. Dunia yang oleh sebagian besar orang dianggap dunia orang-orang kasta terendah alias warga negara kelas sekian (Triutami 2012, h.61). Hal tersebut bukan berarti bahwa penulis menyetujui adanya pemarjinalan itu. Penulis mencoba menghadirkan sudut pandangnya sesuai dengan apa yang ada di masyarakat. Hal tersebut juga bisa merupakan sebuah ungkapan hati dari seorang TKW yng merasa dirinya dianggap rendah oleh masyarakat. Dia merasa berada pada posisi paling bawah dalam suatu kasta, dan bahkan dalam sutau sistem negara pun dia merasa menjadi warga negara kelas kesekian. Walaupun tidak melakukan perlawanan langsung terhadap kapitalisme maupun negara atau pemerintah, wacana alternatif tetap berusaha ditampilkan dalam novel, khususnya pada novel “Aku Bukan Budak”. Misalnya seperti kutipan-kutipan berikut ini: “Sabar ya Las. Seandainya pemerintah kita punya pemantauan yang baik terhadap para tenaga kerjanya, setiap TKW yang bermasalah mungkin akan terlindungi dengan baik. Kita ini seperti orang nggak bernegara saja, ya Las…” (Triutami 2012, h.173). “Aku mulai memprotes keadaan dalam hatiku. Bukankah seharusnya negara bertanggung jawab atas kesejahteraan kami? Bukankah dengan kerelaan kami untuk pergi jauh dari keluarga dan meninggalkan tanah air telah membantu beban negara, mengurangi jumlah pengangguran yang membludak serta mencegah peningkatan angka buta huruf di antara generasi penerus bangsa di antara anak-anak TKW? Lalu kenapa dikenakan biaya setinggi itu untuk bekerja sebagai pembantu?” (Triutami 2012, h.286).
III-22 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Begitu pula dengan protes pada halaman 174 dan 308 dalam novel yang sama. Hal tersebut menunjukkan bahwa TKW memiliki kuasa untuk menyuarakan protesnya. Protes tersebut juga menunjukkan wacana alternatif yang menunjukkan bahwa TKW juga mampu melawan dan tidak selamanya bungkam terhadap apa yang menimpa mereka. Bahkan di akhir cerita Astina memilih untuk tidak melanjutkan kontrak kerjanya walaupun belum genap dua tahun dia menjadi TKW. Dia lebih memilih untuk pulang ke Indonesia dan berwirausaha. Dia memutuskan untuk tidak menjadi “budak” kapitalisme di negeri orang. Hal ini juga merupakan suatu bentuk perlawanan dan perwujudan wacana alternatif. Secara keseluruhan, wacana TKW yang coba diartikulasikan dalam novel menggambarkan bahwa TKW serasa tidak berdaya dalam pengaruh kapitalisme. Hal ini sejalan dengan wacana dominan, di mana kelompok atau institusi yang ada hanya berorientasi pada keuntungan dalam menyikapi masalah TKW. Misalnya saja negara yang dianggap kurang serius dalam menangani masalah penempatan dan perlindungan para TKW. Negara seakan hanya ingin memperoleh pemasukan devisa mereka saja, sedangkan faktor keselamatan mereka diabaikan. Begitu pula dengan PJTKI dan pihak sponsor yang menganggap pemberangkatan TKI/TKW sebagai lahan bisnis. Kebanyakan dari para TKW dalam novel digambarkan menerima begitu saja dengan apa yang dilakukan oleh negara maupun institusi PJTKI kepada
III-23 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
mereka. Mereka dibentuk untuk menerima dengan kesadaran bahwa posisi mereka sebagai kelompok yang minim kuasa harus menerima tanpa bisa melawan. Namun wacana alternatif juga dihadirkan dalam novel, khususnya dalam novel “Aku Bukan Budak”. Wacana alternatif itu berupa protes maupun kritisi yang ditujukan kepada pemerintah atau negara terkait perbaikan proses pemberangkatan, penempatan, dan kepulangan para TKW. Hal tersebut termasuk dalam suatu bentuk perlawanan karena penulis perempuan berani untuk menyuarakan aspirasinya. Perlawanan itu menunjukkan bahwa TKW tidak selamanya diam atas penindasan yang dilakukan kepadanya. III.1.2 Hubungan antara TKW dengan Majikan Pada bagian ini peneliti menganalisis struktur subjek-objek antara majikan dengan pembantunya (TKW). Yang memiliki posisi sebagai subjek adalah majikan, sedangkan TKW sebagai objek. Pada UU No. 13 Tahun 2003 tidak terdapat definisi kata majikan. Yang ada adalah definisi pemberi kerja, yaitu orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Begitu pula pada UU No.39 Tahun 2004 tidak terdapat definisi kata majikan, melainkan definisi Pengguna Jasa TKI yang selanjutnya disebut dengan Pengguna, adalah instansi Pemerintah, Badan Hukum Pemerintah, Badan Hukum Swasta, dan/atau Perseorangan di negara tujuan yang mempekerjakan TKI. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), majikan adalah
III-24 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
orang atau organisasi yang menyediakan pekerjaan untuk orang lain berdasarkan ikatan kontrak; orang yg menjadi atasan (yang kuasa memerintah bawahan). Majikan dalam prakteknya bukan hanya seseorang yang memberikan upah atau gaji pada pembantunya, melainkan juga anak-anak atau keluarga dari orang yang menggajinya tersebut juga dianggap sebagai majikan. Dalam definisi tersebut dituliskan dengan jelas bahwa pihak majikan inilah yang berkuasa untuk memerintah bawahan. Sedangkan definisi pekerja/buruh menurut Pasal 1 Angka 3 UU No.13 Tahun 2003 yaitu setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dalam definisi tersebut, majikan memiliki kekuasaan lebih jika dibandingkan dengan TKW yang notabene menjadi pembantunya. TKW memiliki posisi sebagai objek, yakni yang didefinisikan. Di mana majikan memiliki kuasa untuk menentukan tugas-tugas apa saja yang harus dilakukan oleh seorang TKW. Majikan juga menentukan apa yang boleh maupun yang tidak boleh dilakukan oleh seorang pembantu. TKW tentu saja seolah diposisikan tidak memiliki kuasa untuk membantah karena majikan lah yang membayarnya. Hal ini sejalan dengan pemikiran teori marxis dimana perempuan sebagai pekerja tidak memiliki kuasa terhadap pemilik modal. Hal tersebut juga yang dirasakan oleh Hanifa dan Astina dalam beberapa kejadian. Uh, memangnya mereka peduli pada kami? Mau sakit kek atau sakit pikiran, selama masih bisa bergerak tidak akan pernah dibiarkan bersantai-santai. Badan ini bekerja bagaikan mesin, nonstop siang malam (Ummuki 2013, h.7).
III-25 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Peristiwa tersebut terjadi ketika dia mengalami sakit kaki dan sulit digerakkan. Namun para majikannya tanpa perasaan tetap saja masih menyuruh Hanifa untuk membuatkan teh atau kopi, membersihkan ruangan, atau hanya sekedar mengambil sesuatu yang ada di depan mata mereka. Tenaganya benar-benar dikuras untuk bekerja kepada majikannya. Kejadian yang hampir sama terjadi pada novel “Aku Bukan Budak”, Astina yang kakinya terkilir tetap dipaksa bekerja untuk membersihkan rumah walaupun sebenarnya hari itu adalah hari liburnya. Karena posisinya yang minim kuasa inilah, para TKW seringkali mengalami penyiksaan oleh para majikan. Penyiksaan itu tidak hanya dilakukan secara fisik, melainkan juga psikis dan bahkan seksual. Bahkan majikan tidak mau peduli kepada kondisi pembantunya saat itu. Yang terpenting adalah memanfaatkan keberadaan pembantunya semaksimal mungkin, walaupun hanya untuk melakukan hal-hal sepele sekalipun. Ummuki beberapa kali juga menggambaran paradoks yang sering terjadi antara TKW dan majikannya. Misalnya saja saat Mama Humairah tiba-tiba memerintahkan Hanifa untuk membersihkan seluruh ruangan dan menyiapkan kopi serta teh karena akan ada tamu yang datang. Tentu saja Hanifa langsung kerepotan untuk membersihkan rumah majikannya yang besar itu. Di sisi lain, majikannya tentu juga langsung repot, repot untuk berhias diri, mulai dari memakai henna di tangan, menata rambut, memilih baju, hingga memakai makeup. Dalam narasi tersebut penulis berusaha menggambarkan adanya paradoks yang terjadi pada kelas majikan dibandingkan dengan kelas para TKW. III-26 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Contoh yang lainnya yaitu ketika Hanifa dan keluarga majikannya pulang dari berbelanja. Begitu tiba, Hanifa sendiri langsung mengangkat semua barang belanjaan dari bak belakang mobil. Padahal tidak jarang barang-barang yang dibeli itu berukuran besar dan berbobot berat. Sedangkan para majikan, tentu saja langsung berlenggak-lenggok masuk rumah tanpa beban sedikitpun. Begitu pula ketika Hanifa beberapa kali menanyakan perihal gajinya yang tidak kunjung diberikan oleh majikannya. Padahal gaji tersebut sudah beberapa bulan tidak diberikan. Rencananya uang itu akan segera dia kirimkan kepada saudaranya di Indonesia. Namun jawaban yang diberikan oleh majikannya selalu ‘nanti saja’. Hal tersebut sangat berbanding terbalik seperti saat majikan memberikan perintah. Jika majikan sudah memberikan perintah, maka saat itu juga tugas harus segera dilaksanakan tanpa kekurangan sedikit pun. Majikan hanya berpikir bagaimana bersenang-senang dan dilayani setiap hari, setiap saat. Mereka tanpa pernah sedikit pun mau membantu pekerjaan pembantu mereka. Masih banyak juga bentuk perlakuan buruk majikan kepada para TKW. Misalnya seperti kutipan-kutipan berikut. Majikan seperti tidak menganggap pembantunya sebagai manusia yang memiliki kebutuhan. Bahkan seringkali mereka, para majikan, menyamakan TKW dengan suatu barang. Beberapa bulan yang lalu kami juga ke sana. Enam hari aku hampir mati kelaparan di rumah orang kaya itu. Boleh dibilang aku tidak diberi makan. Aku makan dari sisa-sisa sinniyah bekas makan laki-laki dan perempuan yang dikumpulkan menjadi satu. Ah… (Ummuki 2013, h.11). Aku dan Ketrin duduk di bak belakang berimpitan bersama barang-barang bawaan. Ya Allah, benar-benar “sempurna”. Tak sepantasnya kami duduk di bak belakang seperti ini.
III-27 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Bukankah ini sebuah aib jika ada yang melihatnya? Sudah tak terhitung berapa kali aku dipaksa duduk di bak belakang, disamakan dengan barang-barang bawaan (Ummuki 2013, h.183). Tindakan tidak manusiawi mengeksploitasi pembantu lainnya juga terulang pada halaman 43 pada novel “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang” serta pada halaman 361 pada novel “Aku Bukan Budak”. Bahkan pada halaman 362 Astina menceritakan bahwa dia diperlakukan layaknya orang penyakitan karena majikannya membedakan peralatan makan antara pembantu dan majikan. Kalau sayur dan ikan sudah matang, ia akan menyisihkan sedikit untukku ke piring khusus pembantu. Di rumah itu, gelas, piring, mangkuk, sendok, sumpit untuk pembantu dibedakan. Sekikir-kikir majikanku di Ma On Shan, mereka tidak pernah membeda-bedakan mangkuk dan sumpit untukku. Aku seperti orang penyakitan saja. Aku tersinggung dengan perlakuan nenek itu. (Triutami 2012, h.362). Dari semua majikan yang pernah memperkerjakannya, Astina merasa majikan yang terakhirnya itulah yang super pelit dan paling sering membuatnya sakit hati. Tidak hanya masalah pembedaan alat makan majikan dan pembantu itu, beberapa kali majikannya berlaku sewenang-wenang. Seperti saat ketika majikannya itu hendak pergi, dia akan memeriksa semua isi kulkas dan lemari makanan. Hal tersebut untuk memeriksa bahwa Astina tidak mengambil barang sedikitpun dari tempat penyimpanannya. Selain itu, permasalahan menanak nasi juga kerap kali dijadikan alasan untuk memarahi Astina. Karena terlalu pelitnya, majikannya itu akan menakar beras yang akan dimasak dengan porsi yang sedikit. Namun karena sedikit, nasi yang matang itu kemudian lengket di penanak nasi listrik. Majikannya itu akan menyalahkan Astina karena tidak bisa memasak. Dan masih banyak tindakan tak berperi kemanusiaan lainnya.
III-28 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Di sisi lain, pembantu merasa tidak berdaya dengan segala bentuk perlakuan dari majikannya itu. Hal tersebut berkaitan dengan apa yang disebut dengan interpelasi, yaitu suatu ajaran melalui mana seseorang akan ditempatkan posisinya di dalam suatu masyarakat. Seperti kata Althusser yang dikutip oleh Mills, individu ditempatkan sebagai subjek yang disadarkan mengenai posisinya dalam masyarakat. Manusia sendiri disebutkan menjadi subjek dalam dua dunia, yaitu subjek sebagai individu dan subjek dari suatu negara atau kekuasaan (Eriyanto 2001). Althusser dalam Eriyanto (2001, h.207) mengungkapkan: ‘Interpelasi di sini mengkonstruksi seseorang, membentuk subjek dalam posisinya dengan masyarakat dan bagaimana seharusnya bertindak’. Konsep interpelasi ini berhubungan dengan gagasan Althusser yang kedua yaitu mengenai kesadaran. Jika interpelasi merujuk pada bagaimana individu di posisikan dalam masyarakat, kesadaran berhubungan dengan penerimaan individu tentang posisi-posisi itu sebagai suatu kesadaran yang diterima sebagai suatu kenyataan dan kewajaran (Eriyanto 2001). Aku tidak banyak tanya pada majikan. Aku sadar bahwa aku hanyalah seorang pembantu yang tidak boleh banyak tahu urusan mereka (Ummuki 2013, h.16). Yang repot tentu pembantu satu-satunya ini yang dituntut bekerja secara cepat dan sempurna, tanpa boleh berkomentar atau membantah sedikit pun (Ummuki 2013, h.19). Namun pada kenyataannya aku hanya bisa diam. Aku mengalah karena risiko-risiko yang akan kuterima pasti merugikanku kalau aku sampai memutuskan kontrak kerjaku (Triutami 2012, h.309). Dalam kutipan-kutipan tersebut, tokoh-tokoh dalam cerita tersebut telah mengalami proses interpelasi dan menerima kesadaran. Mereka menyadari III-29 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
posisinya yang ‘hanya’ sebagai pembantu sehingga harus menurut kepada majikan. Dalam salah satu kutipan disebutkan bahwa Astina merasa sungkan untuk membangunkan majikannya padahal bisa dibilang apa yang dihadapinya adalah masalah pelik. Akhirnya dia memaksakan diri untuk bergerak dan akhirnya malah jatuh dan kakinya terkilir cukup parah. Masih banyak juga bentuk pelanggaran-pelanggaran hak yang dilakukan oleh para majikan. Beberapa TKW sebenarnya sadar akan pelanggaran yang dilakukan majikannya tersebut, namun sayangnya enggan untuk melawan. Misalnya hak-hak untuk berkomunikasi dengan saudara yang ada di Indonesia, menjadi tanggungjawab yang harus dipenuhi oleh majikan. Di dalam novel diceritakan bahwa Hanifa harus membeli voucher sendiri untuk bisa menghubungi keluaranya di tanah air. Bahkan majikannya dengan sengaja tidak menyampaikan jika ada SMS yang ditunjukkan padanya. Hanifa hingga tidak habis pikir apa yang mendasari majikannya berbuat seperti itu. Padahal bisa saja ada berita penting dari keluarganya di Indonesia. Hak sebagai manusia untuk mencari ilmu pun dirampas oleh para majikan. Hal tersebut seperti yang dialami oleh Astina. Salah satu niatnya pergi menjadi TKW di Hongkong selain untuk memperbaiki perekonomian keluarga adalah agar dia bisa melanjutkan sekolahnya. Di Hongkong sendiri dikenal banyak TKW yang melanjutkan pendidikannya pada hari libur kerja mereka. Bahkan sebenarnya banyak juga majikan yang mendukung hal tersebut, asalkan tidak mengganggu tugas mereka di rumah. Mereka suka jika pembantunya menjadi pintar. Ada juga yang sampai memberikan bantuan biaya untuk pembantunya yang sekolah. III-30 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Namun lain halnya dengan majikan Astina. Majikannya terus saja sinis ketika Astina rajin membaca buku ataupun koran. Yang paling tidak kusukai adalah bahwa mereka selalu mencurigai buku-buku yang kubaca. Mereka mempertanyakan kenapa aku membaca koran. Mereka juga mencibir keyakinan beragamaku (Triutami 2012, h.333). Ia menegurku sambil membanting pintu kulkas. “Pembantu aja pake baca koran segala. Koran itu bukan untuk kamu!” (Triutami 2012, h.395) Begitu pula ketika suatu hari majikan dan anak-anaknya menggeledah kamar Astina ketika dia sedang tidak berada di rumah. Mereka begitu murka ketika menemukan buku-buku serta formulir pendaftaran sekolah di Hongkong. Padahal tidak ada hukum yang melarangnya selama pembantu tersebut bisa menyesuaikan waktu antara bekerja dan bersekolah. Namun majikanku rupanya sangat tidak suka kalau pembantunya pintar. Mereka tiba-tiba memutus kontrak kerjaku saat aku sudah bekerja hampir dua setengah bulan. Ketika kutanya mengapa mereka memutus kontrak kerja padahal aku tidak memiliki kesalahan apa pun. Mereka menjawab begini: “You are domestic helper! You come to Hongkong just looking for job, not for study!” (Triutami 2012, h.396). Nenek bahkan masih sempat kembali memaki, saat aku mengemasi pakaianku. “Baru sekarang aku lihat ada pembantu Indonesia belajar bahasa Inggris. Baca koran segala!” katanya sambil terus menggerutu (Triutami 2012, h.396-397). Foucault menyebutkan bahwa suatu diskursus berhubungan erat dengan kebenaran (truth), pengetahuan (knowledge), dan kekuatan/kekuasaan (power). Diskursus mengenai pembantu ini juga demikian. Seorang majikan biasanya enggan jika pembantunya menjadi pintar dengan banyak membaca. Karena
III-31 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
dengan membaca pembantu akan mengetahui tentang suatu kebenaran dan memiliki pengetahuan. Dengan begitu, mereka memiliki kekuatan untuk melawan majikannya. Larangan yang diberlakukan majikan ini juga merupakan suatu usaha untuk melanggengkan status quo mereka. Dalam novel “Aku Bukan Budak” juga ditunjukkan adanya wacana yang menggambarkan posisi TKW dari Indonesia dibandingkan TKW dari negara lain. Beberapa majikan menganggap bahwa TKW dari Indonesia lebih bodoh jika dibandingan dengan TKW dari Negara lain. “Sorry Sir, washing a car is not my job.” “Are you Fillipino?” “No, I’m Indonesian, jawabku mantap” “Ouh, it okay. Sorry.” Ia pikir yang bisa kritis hanyalah domestic helper dari Filipina saja? Aku, orang Indonesia, juga bisa. Tugasku di sana adalah bekerja, bukan menjadi budak perintah dalam durasi waktu kerja yang melebihi batas (Triutami 2012, h.363). Dalam cerita tersebut juga terlihat adanya perlawanan atau resistensi yang dilakukan oleh Astina.hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya seorang pembantu memiliki kuasa. Perbuatannya ini cukup beresiko karena seorang pembantu di mata majikan merupakan seseorang yang harusnya menurut dengan apa saja yang diperintahkan majikan. Menurut Soeryo, memang terdapat perbedaan gaji antara TKW dari Indonesia dibandingkan dengan TKW asal Filipina. Gaji TKW asal Filipina lebih tinggi karena mereka lebih terampil serta memiliki kemampuan berkomunikasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan TKW asal Indonesia (2010). Hal ini dikarenakan pelatihan dasar bagi TKW Filipina lebih serius dibandingkan di
III-32 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Indonesia. Selain itu majikan juga lebih berhati-hati dalam memperlakukan TKW asal Filipina karena pemerintah Filipina memiliki Magna Carta Domestic Workers, yaitu aturan hukum yang jelas mengenai perburuhan warga negaranya di luar negeri (Wijaksana 2005). Perlawanan terhadap majikan tidak hanya dilakukan secara terangterangan. Bentuk tindakan perlawanan itu seperti yang tergambar dalam kutipan berikut: Kalau malam aku terpaksa mencuri mie di lantai 33. Namun itu bukan pencurian, karena semua itu sudah sepatutmya menjadi tanggungjawab mereka seperti yang tertulis di kontrak kerja No.5b (Triutami 2012, h.289). Kegiatan pencurian barang majikan itu juga terdapat pada novel “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”. Karena melihat Nur yang terlihat semakin kurus setiap harinya, Hanifa nekat mencuri 2 butir telur di kandang ayam belakang rumah dan kemudian dia berikan pada Nur. Menurut Farida, kegiatan pencurian itu termasuk ke dalam upaya perlawanan atau resistensi. Kelly mendefinisikan resistensi sebagai tindakan untuk menentang secara aktif, berkelahi, menolak untuk bekerjasama. Sedangkan Scott mendefinisikannya sebagai usaha sekuat tenaga untuk menahan atau membalas kekuatan (dalam Farida, 2007). Karena bentuk perlawanan secara terang-terangan tentu saja tidak mungkin dilakukan oleh para TKW yang notabene tidak memiliki kekuasaan, karena kemungkinan akibat perlawanan itu berupa pemecatan. Scott dalam Farida menyebutkan: Kebanyakan bentuk perlawanan sehari-hari tidak sampai ke taraf pembangkangan terang-terangan secara kolektif. Di sini apa yang saya pikirkan adalah senjata biasa dari kelompok-kelompok yang
III-33 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
relative tidak berdaya: mengambil makanan, menipu, berpura-pura patuh, mencuri kecil-kecilan, pura-pura tidak tahu, mengumpat di belakang, membakar, melakukan sabotase, dan seterusnya (2007, h.35).
Eksploitasi terhadap perempuan seakan tidak ada habisnya. Media massa, yang dalam penelitian ini adalah novel, juga menggambarkan perempuan dari segi biologisnya, yaitu sebagai obyek seks. Dalam novel digambarkan bahwa para perempuan yang menjadi TKW ini mengalami pelecehan seksual, misalnya diperkosa oleh majikannya. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa kutipan dalam novel berikut ini: Sampai suatu hari ia mengalami pelecehan seksual dari tuannya yang ia sapa Abi. Karena pikirnya sedang tak ada orang di rumah, ia bernyanyi sambil sedikit berjoget, menggoyangkan pinggulnya. Tapi ia tiba-tiba menjerit ketika seseorang memeluknya dari belakang. …Abi sudah telanjang bulat saat memeluk Lastri. Lastri bilang “Ada benda keras menususk di pantat saya Teh”. Terang saja Lastri gemetar melihat Abi, tuan yang selama ini ia hormati itu, sedang menggenggam kemaluannya dan meminta Lastri untuk “mengerjainya” (Triutami 2012, h.170-171). Dalam penulisan kejadian tersebut, penulis seakan menggiring pembaca untuk berpersepsi bahwa hasrat dari majikan laki-laki timbul setelah mendengar Sulastri bernyanyi dan menggoyangkan pinggulnya. Seolah, kejadian itu terjadi karena kesalahan TKW yang menggoyangkan pinggulnya yang akhirnya menimbulkan syahwat dari majikannya. Lebih lanjut lagi penulis menggambarkan peristiwa pelecehan seksual terhadap Sulastri sebagai berikut: Ketika Lastri sedang membersihkan keyboard itulah, Fais memeluknya dari belakang. Tangannya langsung menggenggam buah dada Lastri…. Lastri mencoba berontak tetapi telapak kakinya diinjak, pipinya ditampar. Lalu Fais meraba-raba tubuh Lastri” (Triutami 2012, h.172).
III-34 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Selain pantat dan pinggul, buah dada atau payudara juga kerap diidentikkan dengan sisi sensualitas dari seorang perempuan. Maka tidak jarang ditemui bagian dari tubuh perempuan ini dieksploitasi dan dijadikan sarana pemuas nafsu para lelaki. Misalnya saja pada iklan-iklan, perempuan dijadikan objek visual penarik perhatian dengan menonjolkan bagian-bagian tubuh tersebut. Menurut Betty Freidan dalam Surya dan Ida (2003), tubuh biologis perempuan yang terbagi-bagi seperti rambut, pinggul, dada, dan wajah adalah artefak-artefak yang selalu dikonstruksi untuk tujuan-tujuan menjadikan perempuan sebagai obyek seksual. Bagian-bagian tubuh tersebut dieksploitasi oleh media demi keuntungan produsen semata. Tentu saja hal ini akan merugikan perempuan. Menurut Yuliani tubuh perempuan memang penuh dengan polemik. Tubuh perempuan sarat akan muatan politis karena seringkali dijadikan symbol moralitas masyarakat (dalam Jurnal Dilema 2011). Masyarakat dianggap beradab jika mampu mendisiplinkan tubuh perempuan yang menjadi sumber godaan seksual. Tubuh perempuan seharusnya dikontrol dan didisiplinkan agar tidak memancing gairah seksual yang bertentangan dengan aturan masyarakat. Walaupun dalam novel tersebut hanya mendeskripsikannya melalui katakata, namun kata-kata tersebut memicu imajinasi pembaca untuk membayangkan dan menghadirkan peristiwa terebut di depan mata mereka. Secara tidak langsung, hal ini juga termasuk dalam pengeksploitasian perempuan, khususnya tubuh perempuan. Di sini, TKW dijadikan objek seksualitas oleh majikan prianya
III-35 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
sekaligus dijadikan objek bagi pembaca. Hal ini juga sejalan dengan beberapa pemberitaan mengenai kasus pemerkosaan yang ada di media Indonesia. Perempuan digambarkan lemah, tidak sanggup melawan, dan sebagainya. Tidak hanya penyiksaan secara seksual, Sulastri juga mendapat penyiksaan psikologis berupa ancaman dari majikannya. Abi mengancam akan membunuh Sulastri jika dia melaporkan kejadian tersebut pada istrinya. Setiap hari hatinya tidak tenang karena teror ancaman itu. Harusnya, melakukan suatu pekerjaan dengan kondisi yang tenang, nyaman, tanpa terror adalah hak dari pekerja. Bahkan pada akhirnya, Sulastri lah yang dituduh bersalah dan dipulangkan secara paksa karena Fais lebih dulu menghasut ibunya bahwa Sulastri bertindak genit padanya. Hal tersebut membuat Sulastri shock berat karena menanggung trauma pelecehan seksual serta tidak mendapat gaji. Dia yang menjadi korban, dia pula yang menanggung akibatnya. Beberapa hari berlalu, ketegangan hati Lastri belum juga hilang. Kekecewaannya diperlakukan semena-mena telah menusuk hati terdalamnya sebagai perempuan sekaligus seorang warga Negara. Ia selalu gundah melewati hari-hari di rumah itu. Ia ketakutan kalau-kalau akan mengalami hal yang sama lagi (Triutami 2012, h.171). Penceritaan mengenai pelecehan seksual terhadap TKW juga terdapat pada novel “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”. Pelecehan tersebut dirasakan sendiri oleh tokoh utama serta teman sesama TKWnya yang lain. Kejadian itu bermula ketika Saidi, anak laki-laki Mama Humairah memanggilnya untuk mengambilkan baju ganti. Hanifa sudah merasa ada yang tidak beres dengan permintaan anak majikannya itu karena dia tahu Saidi baru
III-36 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
saja ganti baju. Ternyata benar saja, sebelum sampai kamar, Saidi menyusul dan menyeret tangan Hanifa dengan kencang. Saidi mengiming-imingi Hanifa dengan hadiah uang sepuluh riyal atau Indomie. Tentu saja Hanifa menolak. “Ih, setan. Aku sedang berpuasa. Aku kesini bukan untuk menjual diri dengan harga murah. Seratus ribu riyal kamu bayar pun, aku tetap tidak mau!” (Ummuki 2013, h.46). Setelah melakukan perlawanan, akhirnya Hanifa bisa melarikan diri dari cengkraman Saidi. Di dalam novel beberapa kali diceritakan bahwa Hanifa hampir dilecehkan secara seksual oleh anak majikannya itu, namun dia berhasil lolos. Pelecehan juga terjadi pada sahabatnya, Nur. Hal itu dia utarakan melalui surat yang dia berikan pada Hanifa. Nur bercerita bahwa dia selalu merasa tidak aman karena gangguan setan, setan berkepala hitam. Tiap sebentar, ada saja yang memegang pantatku dari belakang. Mereka sangat pintar mencari-cari kesempatan. Pokoknya ini betul-betul sebuah pelecehan…… dia menarik tangan dan memeluk tubuhku erat-erat. Pipiku ini sudah habis babak-belur sama dia” (Ummuki 2013). Pelecehan terhadap Nur ini juga terjadi beberapa kali. Untung saja hal tersebut tidak berujung pada perkosaan. Pada suatu kejadian, ketika Nur pergi ke bawah untuk mengambil daging di freezer, dia dibuntuti oleh’si gondrong’. ‘Setan’ itu langsung mendekapnya ketika sampai di anak tangga terakhir. Karena kaget Nur sampai jatuh terjungkal. Penggambaran yang berulang mengenai pelecehan seksual oleh majikan pada kedua novel tersebut secara tidak langsung menegaskan bahwa perempuan seringkali dijadikan objek pemuas seksual oleh laki-laki.
III-37 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Selain mengalami ketertindasan, novel ini juga menggambarkan berbagai bentuk perlawanan dari para TKW yang tertindas oleh majikan maupun keadaan. Hal inilah yang jarang ditampilkan oleh media massa pada umumnya. Perlawanan terhadap penindasan majikan lebih sering dilakukan oleh tokoh Hanifa dan beberapa tokoh lainpada novel “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”. Hal tersebut misalnya digambarkan ketika Mama Humairah mengomel karena dia menganggap Hanifa tidak cepat dan tanggap dalam melakukan pekerjaan. Hanifa memilih langsung meninggalkannya masuk ke kamar mandi, padahal Mama Humairah belum selesai berbicara. Padahal menurut adab kesopanan, dia harusnya berhenti dan mendengarkan hingga majikannya selesai berbicara. Namun Hanifa malah pergi meninggalkannya begitu saja. Apa yang dilakukan oleh Hanifa tersebut merupakan sebuah bentuk pembangkangan dan merupakan wujud dari suatu perlawanan. Pada hari yang lain, Hanifa dengan berani menjawab pertanyaan majikannya itu dengan ketus. “Ngapain kamu di kamar mandi seharian? Dari tadi dipanggil-panggil tidak nyahut!” semprot perempuan bertubuh kecil itu dengan volume full. “memangnya ngapain orang di kamar mandi? Semua juga tahu…nggak perlu kujawab,” balasku ketus. “apa?” kini giliran matanya yang terbelalak (Ummuki 2013, h.26). Dari kutipan dialog antara Hanifa dan Mama Humaira tersebut, tergambar begitu beraninya Hanifa bersikap ‘tidak sopan’ kepada majikannya. Bahkan hingga majikannya itu membelalakkan matanya karena kaget Hanifa bisa menjawab dengan kata-kata demikian. Untung saja majikannya tidak lantas emosi dan melakukan tindakan agresif kepadanya. Tidak hanya kepada Mama
III-38 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Humairah, perlawanan Hanifa itu juga dilakukan kepada anak-anak dari majikannya, yaitu Saidi dan Nabil. Perlawanan terhadap Nabil terjadi ketika Nabil tiba-tiba menghampiri dan memarahi Hanifa yang baru saja selesai shalat. Dia marah karena Hanifa tak kunjung mendatanginya ketika dipanggil. Karena sudah keterlaluan, Hanifa menjawab pertanyaan gadis itu dengan emosi. Bahkan Hanifa berani menyuruh anak majikannya itu untuk naik ke kamar Hanifa jika dia tak percaya bahwa Hanifa memang sedang shalat. Baru kali ini aku membantah omongannya. Menurutku ini benar-benar keterlaluan. Sebelumnya aku hanya diam bila disemprot seperti itu. Kali ini aku kehilangan kesabaran. Sudah terlalu sering shalatku diganggu oleh suara panggilan yang meneriakkan namaku. Kadang mereka memberi perintah di tengah shalatku. Layakkah? Etiskah? (Ummuki 2013, h.77). Sedangkan perlawanannya pada Saidi terjadi ketika keluarga majikannya melakukan perjalanan pulang setelah mengunjungi rumah anaknya. Seperti biasanya, dia sebagai pembantu bersama dengan Ketrin duduk di bak belakang pick-up bersama barang-barang bawaan yang lain. Karena kencangnya angin, jilbab yang dipakai Hanifa terlepas dan terbang tertiup angin. Bertepatan saat itu Saidi, sebagai sopir, membelokkan mobilnya ke sebuah POM bensin. Melihat keadaan Hanifa tanpa tutup kepala, dia langsung turun menghampiri dan memukul kepala Hanifa. “Nunduk! Kenapa tidak menundukkan kepala? Aib! Haram ‘alaik!” Terang saja aku emosi dengan perlakuan dan kata-katanya. Aku langsung menjawabnya dengan nada emosi. “Apa? Haram? Tahu juga kamu yang haram” (Ummuki 2013, h.184).
III-39 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Hanifa tentu saja merasa kesal. Dia bahkan mengatakan bahwa bagaimana mungkin Saidi dengan seenaknya mengatakan bahwa apa yang dilakukan Hanifa adalah perbuatan haram, padahal Saidi sendiri sering melakukan perbuatan haram dengan beberapa kali melecehkan Hanifa. Dalam budaya Arab yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam, menutup seluruh aurat ketika berada di luar rumah adalah suatu keharusan bagi perempuan, khususnya bagi para pembantu. Seperti diungkapkan sebelumnya, dalam budaya muslim tubuh perempuan juga dikenal sebagai pembangkit hasrat laki-laki, sehingga harus didisiplinkan. Kejadian tersebut sempat disaksikan oleh dua laki-laki penjaga pom bensin. Pandangan mereka ditafsirkan oleh Hanifa sebagai tatapan kasihan. Namun kedua orang itu tidak bisa melakukan apa-apa. Hal tersebut berkaitan dengan pemahaman bahwa urusan dengan para pembantu adalah masalah domestik. Apalagi pembantu itu ‘dibeli’ oleh para majikan sehingga ada anggapan bahwa majikan bisa melakukan apa saja kepada pembantunya. Pemahaman yang demikian berkaitan dengan sejarah di masa lalu masyarakat Arab yang mengenal adanya perbudakan. Walaupun system tersebut kini sudah dihapuskan, namun nampaknya pemahaman tersebut masih tersisa pada sebagaian masyarakat Arab. Dalam novel, tokoh Hanifa tidak segan melakukan perlawanan kepada majikannya jika dirasa apa yang dilakukan oleh majikan itu sudah melewati batas. Hal ini dipengaruhi oleh latar belakang penulis sebagai orang Minang. Orang Minang diketahui sebagai salah satu suku yang menganut sistem matrilineal, di mana garis keturunan dan garis hak waris berada pada pihak ibu. Selain menganut
III-40 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
matrilineal, orang Minang juga dikenal menganut sistem matriarkal di mana perempuan mempunyai kekuatan ekonomi, sosial, dan politik (Tong 2008). Amir mengungkapkan bahwa “pada dasarnya jiwa orang Minang pada umumnya anti penindasan, anti kemiskinan, dan juga anti kemapanan” (1999, h.76). Karena hal tersebutlah orang Minang selalu melakukan perlawanan terhadap keadaan demikian. Sikap tersebut bisa dilihat dari sejarah leluhur orang Minang menentang penjajahan dan penindasan seperti pembangkangan terhadap system Tanam Paksa, Perang Paderi. Bahkan disebutkan bahwa pelopor kemerdekaan nasional, kebanyakan adalah putera Minang (Amir, 1999). Alasan lainnya kenapa Hanifa begitu berani melawan juga dilandasi oleh salah satu ajaran Orang Minang yaitu bersikap berani jika memang benar. Adat Minang dengan tegas menyatakan bahwa orang Minang harus punya keberanian untuk menegakkan kebenaran. Berani karena benar (Amir, 1999). Walaupun demikian, bukan berarti Ummuki, melalui tokoh Hanifa, selalu melawan majikannya. Tokoh Hanifa merupakan penganut agama Islam yang kuat. Sedangkan dalam agama Islam, ideologi patriarki kuat. Sehingga ideologi patriarki yang dicerminkan oleh sikap kepatuhan ini begitu melekat pada tokoh utama. Hal ini menunjuggan bahwa ideologi patriarki merupakan ideologi dominan. Dijelaskan juga bahwa Nur yang selama ini pendiam dan penakut, akhirnya mempunyai keberanian untuk melakukan perlawanan. Dia terus gigih menanyakan kepulangannya kepada majikannya. Hal ini dikarenakan waktu
III-41 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
kontraknya akan segera habis. Sedangkan majikannya tidak pernah membahas tentang kepulangannya. Begitu pula dengan Cici, orang yang dianggap kakak sendiri oleh Astina. Cici akhirnya menyerah terhadap penjajahan majikan biadabnya. Cici dengan berani menolak diajak bersetubuh oleh majikan laki-lakinya. Akibat sikapnya itu, jatah makannya dikurangi dan ia mendapat perlakuan kasar yang meremukkan hatinya. Yani juga demikian. Kesabarannya akhirnya habis setelah diperlakukan sewenang-wenang oleh majikannya. Dengan dibantu oleh saudaranya yang juga bekerja di Hongkong, ia kabur pada hari Minggu pagi dan pergi ke kantor agen. Melabrak sang agen dan meminta Notice untuk memutus kontrak kerja. Aku bahagia mendengar ia melakukan perlawanan. Dengan begitu ia menunjukkan sebuah sikap anti-penjajahan. Merdeka atau mati. Aku justru gemas pada TKW yang dengan senang hati mau digaji underpaid. Tolol sekali. Pergi jauh-jauh dari keluarganya dan menghabiskan waktu selama dua tahun untuk bekerja, tetapi dengan tangan terbuka ia turut mendukung aksi melanggar hukum majikannya, yaitu menggaji TKW di bawah standar upah minimum. Aku membayangkan si majikan akan tertawa lebar di atas kasurnya yang terbuat dari bulu angsa sambil memaki TKW kita: “Hahaha, orang Indonesia itu…sudah miskin bodoh pula! Bahagianya aku bisa menghemat uangku. Dasar pembantu bodoh!” (Triutami 2012, h.331). Langkah hukum memang jarang diambil oleh para TKW Indonesia. Beberapa alasan yang melatar belakanginya adalah lamanya proses pengurusan persidangan. Selama proses tersebut, TKW dalam status bermasalah sehingga tidak bisa bekerja. Biaya yang dikeluarkan pun tidak sedikit. Pihak KBRI pun terkesan tidak tanggap dengan permasalahan hukum yang menimpa TKW.
III-42 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Misalnya saja dalam kasus Satinah, selama 5 kali persidangan dia tidak didampingi pengacara maupun orang dari KBRI (Pratama 2014). Latar belakang negara tempat Hanifa bekerja, yaitu Arab Saudi juga dikenal sebagai Negara Islam yang menganut system patriarki. Sehingga keputusan-keputusan penting akan diserahkan kepada kaum laki-laki. Termasuk ketika Hanifa memberanikan diri mengungkapkan bahwa dia ingin pulang demi ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan. Namun mama mengatakan bahwa hal tersebut nanti akan dia sampaikan kepada Baba Mahmud, anak tertuanya. Mama Humaira yang sebenarnya sebagai pemilik rumah dan majikan Hanifa tidak berani untuk memutuskan hal tersebut. Dia melimpahkan permasalahan itu pada anak laki-laki tertuanya yang tinggal di sebelah rumahnya. Mama Humaira tidak menyerahkan keputusan itu pada suaminya dikarenakan suaminya sudah tua dan mengalami sakit gula sehingga hanya bisa tidur di kamar. Suaminya ini juga tidak terlalu sering ditampilkan dalam penceritaan. Adanya perlawanan yang dilakukan oleh tokoh utama dan beberapa TKW lainnya ini menunjukkan adanya sebuah kekuatan perempuan dibalik siksaansiksaan yang diterimanya. Hal ini juga suatu bentuk harapan agar TKW yang lainnya juga mau melawan jika memang apa yang dilakukan majikannya sudah keterlaluan. Hal tersebut juga sekaligus suatu bentuk himbauan secara tidak langsung agar pembaca maupun TKW yang lain mau melawan jika ada yang berbuat sewenang-wenang pada kita, sekaligus tidak selalu tunduk kepada relasi kuasa yang ada. Melalui penggambaran perlawanan-perlawanan itu, penulis berusaha menghadirkan wacana alternatif yang jarang ditampilkan di media.
III-43 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Seperti yang telah diuraikan di atas, hubungan yang terjalin antara majikan dengan TKW seringkali digambarkan tidak harmonis. Hal ini berhubungan dengan teori kelas, di mana majikan merasa berada di kelas yang lebih atas dari TKW. Tidak hanya kelas atau kedudukan itu saja, majikan di sini merasa superior dalam beberapa hal. Pertama, jika majikan itu adalah laki-laki. Kedua, majikan merasa ras bangsanya lebih unggul jika dibandingkan dari ras para TKW, yaitu Indonesia. Namun terlepas dari semua itu, juga terdapat majikan yang baik hati, disamping pemberitaan yang kebanyakan menceritakan majikan yang kejam, suka menyiksa, maupun suka memperkosa pembantunya. Hal-hal tersebut nampaknya juga jarang ditampilkan di media. Misalnya saja seperti kisah seorang TKW yang pulangnya bersamaan dengan Hanifa, dia mengaku mendapatkan majikan yang baik. Dia sudah dihajikan dan diumrohkan oleh majikannya tersebut. Bahkan semua barang yang dibawanya oleh-oleh sebagian besar adalah hadiah dari majikannya. Begitu pula dengan Ketrin yang bekerja pada Mama Khadijah, anak dari Mama Humairah. Baru bekerja selama delapan bulan, dia sudah diajak untuk umrah dan jalan-jalan. Hanifa pun pada akhirnya dibelikan tiket pulang oleh Mama Hummaira, walaupun kontrak kerjanya selama 2 tahun belum terpenuhi. Majikan laki-laki pertama Astina juga beberapa kali membantunya untuk membereskan pekerjaan, misalnya memotong buah untuk dibawa ke toko. Dia juga beberapa kali membela Astina ketika diperlakukan sewenang-wenang oleh menantunya. Majikannya juga sempat menyampaikan kata maaf ketika
III-44 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
memberikan gaji pada Astina, karena dia tahu uang itu harus dipotong untuk disetorkan pada agen. Sedangkan dia sendiri tidak bisa melakukan apa-apa. Melalui penggambaran hal-hal tersebut, penulis berusaha menyampaikan wacana alternatif. Penulis berusaha mengungkapkan bahwa di samping wacana dominan yang berkembang, mengenai penyiksaan yang dilakukan majikan kepada pembantunya, masih ada majikan-majikan yang baik hati. Namun wacana alternatif ini seolah tenggelam karena kalah dengan wacana dominan yang ada. Secara keseluruhan, penggambaran relasi yang terjadi antara TKW dan majikan sejalan dengan wacana dominan yang berkembang di Indonesia. Hal ini berarti kedua novel masih mereproduksi wacana dominan. Majikan yang memiliki posisi
superior digambarkan sering berlaku
sewenang-wenang terhadap
pembantunya. Mereka digambarkan melakukan kekerasan fisik, kekerasan bathin, dan bahkan kekerasan seksual kepada pembantunya. Hanya saja, kedua penulis dalam novelnya juga menyertakan fakta lain yang jarang ditampilkan oleh media, yaitu mengenai kebaikan beberapa orang majikan. Di sini
penulis juga menggambarkan adanya perlawanan
yang
dilakukannya sendiri dan juga dilakukan oleh teman-temannya. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan, dengan posisinya sebagai pembantu, tidak selamanya tidak berdaya. Penulis ingin menunjukkan bahwa pembantu juga memiliki hak-hak yang harus dipenuhi majikan. Perlawanan ini menunjukkan bahwa sebenarnya pembantu/TKW juga memiliki kuasa (power). Hanya saja majikan memiliki aset sehingga memenangkan ‘pertarungan’ yang terjadi.
III-45 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Penggambaran mengenai kebaikan majikan dan perlawanan yang dilakukan oleh TKW menunjukkan bahwa kedua penulis berusaha menghadirkan wacana alternatif. Wacana tersebut bisa digunakan untuk melawan wacana dominan, atau setidaknya bisa memberikan perspektif lain mengenai kehidupan yang dijalani TKW. Usaha tersebut juga merupakan suatu langkah emansipasi terhadap penindasan yang dilakukan majikan kepada pembantunya. III.1.3 Hubungan antara TKW dengan TKW Hubungan antara sesama TKW sudah terjalin ketika mereka memulai proses pendaftaran ke sponsor. Bisa dibilang mereka adalah CTKW yang sedang dalam masa pra keberangkatan ke luar negeri. Misalnya seperti Astina yang kemudian berkenalan dengan Bu Ida dan Bu Karmi karena mendaftar pada sponsor yang sama. Astina kemudian juga berkenalan dengan Ana dan Titin. Dari proses awal ini sudah terjadi pemisahan penggambaran mengenai diri ”aku” dan juga “mereka”. Contohnya ketika melihat Astina yang masih muda, Bu Karni berujar: “Menurut Ibu, Eneng nggak pantes pergi ke luar negeri jadi pembantu. Abis cakep sih” protes bu Karmi (Triutami 2012, h.50). Kutipan tersebut merupakan salah satu contoh representasi terhadap diri aku yang dinarasikan oleh tokoh lain. Pujian tokoh lain terhadap penampilan Astina juga terulang pada halaman 90 sebanyak dua kali. Penggambaran tersebut kurang lebih mengenai paras Astina yang terlalu cantik jika hanya bekerja sebagai pembantu.
III-46 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Begitu pula penggambaran Astina sebagai orang yang berani dan vokal yang diartikulasikan melalui penokohannya sendiri maupun melalui tokoh lain. Tapi mulutku yang terbiasa protes di depan Gedung DPRD Bandung membela para pedagang kaki lima di Dago ini tak bisa kuatur. Mulutku tiba-tiba nyelonong. “Kalau kami orang kampung, Mam sendiri orang mana?” (Triutami 2012, h.103). Penggambaran itu juga terjadi pada halaman 111 di mana Astina yang dianggap paling vokal dan berani diminta oleh Ana dan Titin untuk menelepon Bu Rina guna meminta uang. Astina juga berani untuk meminta pihak PT mencoret namanya dari daftar murid kelas Bahasa Inggris karena menurutnya dia sudah bisa. Dia ingin menggunakan waktunya untuk belajar Bahasa Kanton saja. Astina juga beberapa kali menunjukkan bahwa dirinya adalah orang yang rajin belajar sehingga disayang oleh gurunya, terutama Lause Antimi. Karena belajar dan setoran hafalanku lancar, aku disayang oleh Lause Antimi (Triutami 2012, h.163). “Ayo yang lainnya! Mana, kok nggak ada yang bilang hafal. Masak kalah sama Astina, baru datang dia udah hafal.” (Triutami 2012, h.155). Namun justru hal tersebut yang membuat Astina tidak disukai oleh temantemannya. Mereka merasa iri karena Astina yang selalu mendapat pujian dan tidak pernah mendapat hukuman. Astina juga tidak disukai oleh beberapa orang guru karena beberapa kali memprotes untuk membela hak-hak dirinya dan temantemannya. Setelah sampai di Hongkong, Astina juga mendapat pujian dari Kimmy, seseorang yang diminta kantor mitra kerja di luar negeri untuk menjemputnya di bandara. Kimmy mengatakan bahwa kebanyakan TKW yang baru dia jemput
III-47 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
tidak selancar Astina ketika berbicara Bahasa Kanton dengan artikulasi yang jelas. Apalagi Astina juga bisa berbahasa Inggris. Dia mengatakan bahwa Astina memiliki sense of language yang bagus. Melalui narasi-narasi tersebut, beberapa kali penulis seolah berusaha mengunggulkan dirinya diantara teman-temannya sesama TKW. Seperti yang juga tergambar pada kutipan-kutipan dalam novel berikut ini: “Baiklah, kamu kerja baik-baik di Hongkong, ya? Kamu anak cantik, pintar, dan baik” (Triutami 2012, h.241). Pujian mengenai kecantikan diri tokoh utama ini juga terjadi pada beberapa halaman lainnya. Pengunggulan itu juga tidak terbatas pada penampilan fisik semata, tapi juga tentang sifat dan kepintarannya. “Iya. Kalo aku, Tan, biasa hidup di jalan, gaul sama preman. Jadi, berani jawab calo-calo itu. Nah kalo mbak-mbak yang dari kampung, digertak sama kernet tadi, kan pasti ngasih. Kasihan mereka”. Jawabku lagi (Triutami 2012, h.357). Aku merasa kesal dan muak sekali, karena TKW dijadikan barang mainan oleh agen-agen di Hongkong oleh agen-agen di Hongkong tanpa ada pemantauan dari negerinya. Untung saja aku memiliki kemampuan untuk melawan. Lalu, bagaimana dengan nasib para TKW yang begitu polosnya menuruti kemauan agen? (Triutami 2012, h.338). Walaupun pada kutipan tersebut seolah mengasihani beberapa orang temannya jika mengalami kejadian serupa, namun tetap terjadi pengunggulan atas dirinya sendiri. Dalam kutipan-kutipan tersebut bisa dilihat bahwa subjek atau aktor leluasa untuk mendeskripsikan siapa dirinya. Peneliti melihat bahwa kerap kali penulis berusaha mengunggulkan dirinya dalam hal penampilan, keberanian
III-48 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
berbicara, dan kemampuan berbahasa Inggris dan Kanton. Bahkan dia juga menyebutkan bahwa dia disayang oleh salah satu guru di PT karena dia pintar. Pengunggulan diri sendiri ini bisa jadi dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai perempuan Bandung (Sunda). Walaupun ibunya berdarah Madura, namun Astina lebih bangga jika dikatakan bahwa dia perempuan Bandung. Dia merasa menjadi orang Bandung karena Ayahnya orang Bandung. Dia juga lahir dan besar di sana. Stereotipe yang ada di masyarakat, perempuan Bandung atau Sunda memiliki wajah yang cantik dan memiliki kulit putih. Orang Bandung juga dikenal sangat memperhatikan penampilannya (Nawalapatra 2008). Hal inilah yang mungkin menjadikan Astina mengunggulkan segi kecantikannya sebagai seorang perempuan. Sedangkan keberanian yang Astina punya dipengaruhi oleh latar belakangnya yang pernah menjadi seorang pengamen dan bergaul dengan para pengamen dan juga preman selama dia mengamen di Bandung. Mengenai
kepintarannya
berbahasa
Inggris,
hal
ini
nampaknya
dipengaruhi dari kegemarannya menyanyikan lagu-lagu berbahasa inggris. Salah satu band favoritnya adalah Rolling Stones. Sedangkan untuk kemampuannya berbahasa Kanton dia dapat dari belajar selama di BLK. Pendeskripsian mengenai tokoh “aku” atau penulis yang berujung pada pengunggulan diri ini selain dilakukan melalui tokoh “aku” sendiri juga dilakukan melalui tokoh lain. Selain mendeskripsikan mengenai dirinya sendiri, penulis juga banyak merepresentasikan TKW lain melalui narasinya. Dalam novel “Aku Bukan Budak”, pendeskripsian yang dilakukan lebih terkesan negatif.
III-49 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Pendeskripsian itu dilakukan dirinya sendiri, orang lain, maupun peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Mereka, teman-teman yang terlihat tak senang pada kesiapanku syuting, banyak yang tidak sungguh-sungguh saat belajar dan menghafal…..mereka memilih ngerumpi…..Dasar orang kampung! (Triutami 2012, h.156). Mereka tidak suka belajar. Belajar adalah hal yang sangat membosankan bagi sebagian besar temanku di BLK. Bila aku mencoba memberikan solusi atas kesulitan mereka menghafal, aku malah dibenci. Mereka iri kalau aku dipuji oleh Lause Antimi. Mereka iri kalau aku, hanya aku, di kelas itu yang tak pernah dimarahi. Namun mereka tetap saja malas menghafal dan lebih semangat kalau disuruh ngerumpi daripada belajar. Kasihan sekali mereka. Betapa sulitnya memberikan pencerahan kepada mereka (Triutami 2012, h 163-164). Dalam kutipan tersebut diceritakan bahwa tokoh Aku-Astina, adalah orang yang rajin belajar sedangkan teman-temannya pemalas. Seperti kata pepatah ‘rajin pangkal pandai’, karena rajin Astina akhirnya menjadi pintar dan disayang oleh guru. Beberapa kali Astina menyebutkan teman-temannya sebagai orang yang kampungan. Kampungan memiliki arti yang negative. Artinya berbeda dengan orang kampung. Orang kampung memiliki arti orang yang berasal dari kampung, sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia, “kampungan” berarti: berkaitan dengan kebiasaan orang kampung; terbelakang (belum modern), kolot, tidak tahu sopan santun, tidak terdidik, dan kurang ajar. Kata kampungan ini sering dipakai penulis untuk merepresentasikan para TKW. Pendeskripsian tentang teman-teman sesama TKW yang terkesan memarjinalkan tersebut tidak hanya terjadi sebelum keberangkatan ke negara tujuan. Pada saat setelah sampai pun Astina beberapa kali mendeskripsikan TKW.
III-50 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tidak hanya sifatnya saja, kali ini Astina merepresentasikan penampilan para TKW. Tak lama kemudian, aku melihat beberapa orang dari negaraku datang. Sikap mereka berbeda dengan kebanyakan orang yang kulihat sedang mengantre di sepanjang jalan antrean. Mereka terlihat norak, kampungan. Ada yang memakai stoking hitam dipadukan dengan rok jeans pendek, padahal ia gendutnya minta ampun. Rambutnya pun dicat merah. Begitu kontras dengan warna kulitnya yang berwarna hitam pekat. Seorang lagi berpakaian seperti laki-laki. Celananya terlihat kebesaran, melorot hingga ke bawah pantatnya. Ia mengenakan kaos lengan pendek yang juga terihat seperti kebesaran. Hidungnya ditindik. Sepatunya berwarna putih. Tali sepatunya berlainan warna. Yang satu berwarna oranye, yang satu lagi berwarna hijau muda. Norak sekali. Ia berambut pendek tapi dengan poni panjang dibelah ke samping sehingga menutupi sebagian matanya (Triutami 2012, h.219). Begitu pula ketika Astina baru tiba di bandara, seseorang mengajaknya berbicara dengan bahasa jawa. Astina menjawab mbak itu dengan setengah hati, karena penampilan perempuan itu menurut Astina norak dan tidak sopan. Astina bahkan mencoba meluruskan pandangannya karena enggan diajak mengobrol lagi. Pada halaman 272 lagi-lagi menjelaskan mengenai penampilan fisik TKW dengan nuansa negatif. Digambarkan ketika Astina dan Sin Sang (majikan lakilaki) sedang berada di plaza. Agak jauh di depan mereka ada seorang wanita yang sedang menelepon tertawa terbahak-bahak dan berpenampilan seperti wanita Hongkong asli. Namun ketika jarak semakin dekat, semakin terdengar logat Jawa yang medok dengan penampilan yang tidak pantas. Di halaman 300, Astina menyebutkan bahwa dandanan mereka layaknya artis yang hendak mentas atau orang kaya baru. Astina merasa sungkan. Dia juga menyebutkan dandanan TKW yang dilihatnya menor layaknya ratu dangdut. III-51 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Ada juga yang memakai rok pendek, yang memamerkan kulit bersisik dan dihiasi oleh bekas gigitan nyamuk atau mungkin bekas cacar waktu kecil. Beberapa memakai topi country, yang membuat mereka mendongakkan kepala saat berbicara dengan teman-teman yang lebih tinggi. Kuku-kuku tangan yang berwarna-warni dan kontras sekali dengan kulitnya yang hitam (Triutami 2012, h.300). Representasi mengenai penampilan fisik para TKW lain juga terjadi pada halaman 301 yang menggambarkan TKW mengenakan pakaian dengan ukuran serba besar serta telinga dan hidungnya ditindik. Mereka memiliki potongan rambut nge-punk dengan buntut memanjang atau polos saja seperti potongan rambut laki-laki pada umumnya. Begitu pula pada halaman 379, terjadi penggambaran penampilan fisik TKW lain hingga membuat Astina enggan berbincang dengannya. Salah seorang dikatakan berpenampilan bak pemandu karaoke yang merujuk pada penampilan yang negatif. Salah seorang diantaranya mencoba mengajak Astina mengobrol. “Weh, sampeyan arep mlebu Hongkong yo Mbak?” “Ya”, jawabku singkat “Melu aku ae yok kerjo ndek Macau yuk. Enak Mbak, akeh duwe’e”. katanya mendekatiku. Ia berbicara sambil tak henti mengunyah permen karet. Ingin sekali kugetok kepalanya supaya ia diam dan tak bicara kurang ajar. Tak tahukah ia kalau di situ banyak orang dari berbagai Negara yang memandangnya bukan sebagai individu tetapi sebagai orang Indonesia (Triutami 2012, h.379). Dengan mendasarkan sikapnya pada wacana mengenai kedudukan TKW sebagai wakil orang Indonesia, tokoh “aku” atau penulis seakan membenarkan apa yang dilakukannya. Tokoh aku sebagai aktor bebas untuk mendefinisikan Selain melakukan penggambaran fisik, Astina juga menggambarkan sifatsifat para TKW yang menurutnya malas dan tidak berguna.
III-52 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Aku sedikit iri pada mbak itu. Ia diberi pekerjaan untuk merawat nenek yang ia temani setiap hari ke taman. Kenapa ia tak memenfaatkan waktu untuk berolahraga? Kenapa hanya duduk-duduk malas? Atau kalau ia tak suka olahraga, kenapa tak bawa buku atau koran, atau apa saja yang bisa dibaca? Daripada duduk bengong sia-sia seperti itu. Belakangan hari, ketika aku sudah berbulan-bulan di Hongkong, aku begitu kecewa melihat kebanyakan teman senegaraku tidak suka membaca. Mereka lebih suka mengobrol ngalor ngidul alias ngerumpi di Taman Victoria (Triutami 2012, h.279). Pada halaman 292 digambarkan bahwa teman-temannya mencibirnya karena melakukan jogging di boulevard. Padahal menurut Astina hal tersebutlah yang harusnya dilakukan di waktu senggang daripada hanya duduk dan ngerumpi seperti teman-temannya itu. Astina lebih memilih untuk berolahraga dan membaca koran atau buku dibandingkan berkumpul dengan para TKW yang lain. Karena sikap Astina itu, para TKW yang tinggal di lingkungan rumah majikannya tidak begitu akrab dengannya. Penggunaan kata ngerumpi dalam teks memiliki pemaknaan negatif jika dibandingkan dengan penggunaan kata mengobrol misalnya. Ngerumpi biasanya berkaitan dengan tindakan bergosip atau mengorek atau membicarakan keburukan orang lain. Sedangkan kata mengobrol merupakan tindakan percakapan, saling bercerita atau bertukar pikiran mengenai apa saja. Menurut Heilburn dalam Kurnia (2009) kekuatan utama perempuan untuk melawan dominasi patriarkal terletak pada kekuatan naratif yang timbul pada saat perempuan menceritakan pengalamannya kepada perempuan lainnya, sehingga menghasilkan narasi pengalaman sosial dari sudut pandang perempuan. Sehingga kegiatan semacam itu
III-53 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
harusnya dipandang sebagai tindakan yang positif sebagai ajang saling curhat di antara sesama TKW. Yang paling banyak mulut, pasti teman-temanku sendiri. “Walah mbak’e. ora prei to? Dodolan buah yo? Ha ha ha ha” (Triutami 2012, h.302). Aku sendiri juga melihat bahwa tidak semua majikan bersikap tak manusiawi. Kadang memang TKW-nya sendiri yang keterlaluan bodoh dan nakal senakal-nakalnya (Triutami 2012, h.322). Mengingat TKW kebanyakan datang dari kampung antah berantah yang kadang saking katroknya ada juga yang tidak bisa membedakan mana baju untuk dipakai ke pesta dan mana baju untuk dipakai ke pasar (Triutami 2012, h.322). Astina juga beberapa kali mengungkapkan kekesalannya terhadap temantemannya sesama TKW. Dia merasa bahwa para TKW selama ini terlalu menurut terhadap majikan padahal majikan tersebut membayarnya underpaid. Dia juga kesal karena beberapa temannya tidak menjaga kebersihan Victoria Park hingga pemerintah membuat papan larangan dalam bahasa Indonesia. Ada yang pasrah dan dengan lapang hati dibayar underpaid, ada yang memilih mencari kesalahan supaya diterminit (diputus kontrak kerja), tetapi ada pula yang memilih menuntut majikannya melalui pengadilan dengan risiko proses hukum sangat lamban dan selama si TKW menjalani proses hukum itu, ia tidaklah diperbolehkan bekerja. Untuk tempat tinggal sementara, ia tinggal di shelter (Triutami 2012, h.331). Selain karena suasananya yang hiruk-pikuk, aku juga merasa malu dengan adanya sebuah papan peringatan di sana….namun karena teman-teman selalu membuang sampah sembarangan di sana, khusus di Victoria Park, sampai ada sebuah papan peringatan yang menggunakan bahasa Indonesia, yang mengimbau para TKW supaya jangan buang sampah sembarangan (Triutami 2012, h.332-333).
III-54 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Fenomena TKW yang memiliki pacar bule juga ditampilkan dalam novel “Aku Bukan Budak”. Seorang TKW datang lagi dari Hongkong diantar oleh Miss Kiren. Namanya Anggi. Ia sedang menunggu visa juga, sama seperti kami bertiga. Tapi ada yang special darinya, ia sedang menjalin cinta dengan seorang bule asal Kanada. Nama bule itu Josh. Anggi mengenal Josh di sebuah pub malam di Wan Chai. Josh sering memberi uang pada Anggi sehingga ia tak pernah kekurangan suatu apa pun (Triutami 2012, h.376). Peristiwa mengenai TKW yang memiliki pacar bule ini beberapa kali digambarkan di media Indonesia. Namun penggambaran yang terjadi dalam novel “Aku Bukan Budak” ini cukup berbeda dengan penggambaran yang ada di media lainnya. Misalnya pada film Minggu Pagi di Victoria Park juga ditampilkan adanya peristiwa semacam itu. Penggambaran yang terjadi biasanya bule itu akan memanfaatkan uang TKW untuk memenuhi gaya hidupnya yang mewah. Bule itu biasanya digambarkan memiliki pacar TKW lebih dari satu karena memang niat awalnya hanya untuk mengeruk hasil kerja TKW. Dalam beberapa kasus, TKW bahkan menjadi korban pembunuhan pacar bulenya, seperti kasus yang dialami TKW Suryani (Sudarmawan 2013). Astina juga menggambarkan rupa-rupa TKW yang ditemuinya selama bekerja di Hongkong. Astaga. Di boarding house inilah, satu demi satu pengetahuanku tentang TKW di Hongkong terbuka. Aku berdialog dengan TKW yang lesbian, yang pelacur, maupun yang diusir majikannya setelah nekat mendorong si nenek dari kursi roda. Aku menjadi sedikit terhibur karenanya. Aku tak lagi pusing memikirkan nasibku. Aku terpana dengan kisah demi kisah teman-temanku yang menceritakan pengalamannya dengan tawa berderai. Padahal, aku meringis mendengarnya. Namun, lama-kelamaan, aku mulai dapat mendengar cerita mereka bukan hanya dengan telingaku III-55 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
melainkan hatiku. Di balik tawa mereka kulihat ada sebuah kepalsuan. Mereka sakit. Mereka dendam (Triutami 2012, h.349-341). Walaupun memiliki posisi yang sama sebagai TKW, dalam kutipan novel “Aku Bukan Budak” tersebut penulis berusaha memisahkan antara “aku” dengan “mereka”. Penampilan pihak “mereka” direpresentasikan secara negatif. Walaupun hal tersebut merupakan pandangan pribadi penulis, penulis bisa mempengaruhi pembaca untuk berpikir sejalan dengan penulis. Dalam beberapa kutipan-kutipan novel di atas, terlihat bahwa si penulis berusaha menonjolkan siapa dirinya dan terkesan memarjinalkan TKW yang lain. Ada pemisahan antara “aku” dan “mereka”. Kesan yang ditimbulkan adalah timbul penggambaran yang lebih buruk terhadap kelompok “mereka”.
Hal
tersebut sesuai dengan apa yang telah dijelaskan sebelumnya. Salah satu konsekuensi dari adanya representasi adalah adanya kelompok yang digambarkan tidak semestinya, yaitu diperburuk (Eriyanto, 2001). Sedangkan dalam novel “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”, tokoh Aku dideskripsikan sebagai tokoh yang peduli dengan temannya, juga religius. Diceritakan bahwa Hanifa memberanikan diri mengambil telur ayam yang kemudian diberikannya kepada Nur, sahabatnya, yang dari hari ke hari dia lihat semakin kurus. Beberapa kali tokoh Aku juga mengungkapkan bahwa yang paling penting adalah nasib sahabatnya itu. Namanya juga sama-sama jauh di perantauan dan jauh dari keluarga. Sebagai teman sebangsa dan setanah air, kita harus saling membantu dan mengingatkan (Ummuki 2013, h.29).
III-56 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Novel “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang” lebih menonjolkan wacana normatif (normative discourse), bahwa sebagai orang yang senasib dan sedang berada di ‘negeri orang’ mereka harus saling membantu. Hubungan antar sesama TKW dalam novel ini digambarkan harmonis dan tanpa konflik. Melalui
tokoh
Nur,
Hanifa
dideskripsikan
sebagai
orang
yang
berpendidikan tinggi dan memiliki kesempatan yang lebih baik jika dibandingkan dengan dirinya. Hal itu bisa dilihat dari kutipan berikut: “Dan menurutku, jangan pernah berpikir untuk kembali lagi ke sini. Kamu seorang sarjana dan punya bakat. Kamu sangat tidak pantas menjadi pembantu di negeri orang. Carilah pekerjaan di kampung halaman. Aku yakin masih banyak yang membutuhkan dirimu. Seperti ceritamu, kamu pernah mengajar di pesantren. Jangan sia-siakan bakat dan ilmu yag kamu miliki” (Ummuki 2013, h.34). Posisi tokoh “aku” dalam hal ini adalah sebagai aktor. Sebagai seorang aktor, tokoh Aku atau penulis memiliki kuasa dalam mendeskripsikan hubungan yang terjadi diantara dia dan rekan-rekannya. Pendeskripsian itu tentu saja bersifat subjektif karena menggunakan sudut pandang dari penulis. Sebagai orang yang berkewarganegaraan sama dan menetap pada tempat baru, maka tidak mengherankan jika timbul solidaritas diantara para TKW. Orang sebangsa inilah yang seringkali dijadikan teman curhat dan berkeluh kesah. Jauh dari sanak keluarga juga mempererat hubungan mereka di tanah perantauan. Jika ada temannya yang kesusahan, mereka tidak ragu untuk membantu dan mensupport. Hal tersebut menunjukkan adanya wacana normatif, bahwa sebagai perantau mereka harus saling membantu.
III-57 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Namun sebagai manusia, konflik tetap saja muncul diantara sesama TKW. Interaksi sebagai sesama perantau di boarding house itu tidak harmonis. Setiap hari, bahkan setiap waktu, ada saja yang akan menjadi pemicu pertengkaran. Faktor utama yang paling sering menjadi pemicu pertengkaran adalah soal makanan (Triutami 2012, h.383). Hubungan yang tidak harmonis juga ditunjukkan ketika Astina dijauhi temen-temannya sesama TKW karena tidak pernah ikut berkumpul mengobrol dengan mereka. Bahkan hubungan yang terjalin antara para TKW di Hongkong ini juga merambah pada ranah seksualitas. Hal ini bisa dilihat dari adanya beberapa orang TKW yang kemudian menjadi seorang lesbian. Isu mengenai lesbianisme ini santer terdengar terjadi pada TKW Hongkong. sedangkan pada Negara lain, isuisu mengenai hal ini jarang terdengar. Tidak ada kain pembatas, tidak ada privasi di situ. Jadi, tidak heran bila kemudian banyak benih-benih ketertarikan sesama jenis muncul di BLK, di tengah kesepian dan kelemahan iman para calon TKW (Triutami 2012, h.107). Selain itu, ada teman-teman yang sibuk dan heboh ngerumpi tentang bermunculannya para lesbian yang selalu “kikukkikuk”-istilah teman-teman BLK untuk para lesbian yang sedang bercumbu dengan pasangannya di dalam selimut (Triutami 2012, h.175). Ketika masih menunggu visa kerjanya di Macau, Astina bertemu dengan seorang TKW bernama Lulu. Pada suatu hari Lulu, dengan beruaraian air mata, membuat suatu pengakuan bahwa dia adalah seorang lesbian. Dia berbuat demikian karena pernah dikhianati pacar laki-lakinya. Karena statusnya yatim piatu dan tidak memiliki siapapun, akhirnya Lulu
III-58 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
memilih untuk berangkat ke Hongkong dan menjadi lesbian (halaman 372). Di Hongkong Astina juga beberapa kali membaca artikel di Koran mengenai pernikahan TKW sesame jenis yang berasal dari Indonesia. Pernikahan atau pertunangan sesame jenis di kalangan TKW Hongkong sudah dianggap sebagai hal yang lumrah (halaman 333-334). Ketika Astina bertemu dengan Cici di sebuah restoran, mereka berpelukan. Beberapa orang melihat mereka dengan tatapan menyelidik. Belakangan kami baru mengetahui bahwa persahabatan di antara dua wanita pendatang (khusunya pendatang dari Indonesia) selalu dianggap aneh oleh orang kebanyakan karena sebuah kenyataan yang telah tersebar luas di Hongkong bahwa pasangan lesbian yang menampakkan hubungan mereka di muka umum selalu berasal dari Indonesia (Triutami 2012, h.314). Menurut salah satu artikel yang ditulis oleh KP2TKI (Komite Pengawas & Pelindung Tenaga Kerja Indonesia), tren lesbian para TKW Hongkong ini sudah menjadi rahasia umum. Ketertarikan sesama jenis ini diduga dimulai dari penampungan di PJTKI saat mereka akan bekerja keluar negeri. Kebersamaan mereka berlanjut hingga mereka bekerja di Hongkong. Namun ada juga yang diduga hanya ikut-ikutan saja tapi lantas terjerumus (2013).
Pengikatan janji pernikahan antara TKW yang lesbian ini merupakan sesuatu yang lumrah. Alasan mereka memilih menjadi lesbian biasanya karena pernah disakiti oleh kekasih laki-lakinya, minimnya jumlah TKI (laki-laki) di Hongkong, dan butuh kasih sayang dari orang terdekat yang mengerti keadaan
III-59 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
mereka. Disebutkan pula bahwa TKW lesbian ini mayoritas tidak sungkan untuk mempertontonkan kemesraannya di depan umum (Nova 2005).
Sebenarnya fenomena lesbian ini juga terjadi pada buruh migran dari Negara Filipina, Thailand, dan Nepal (Insani & Raihan 2011). Namun yang paling tampak di muka umum adalah yang berasal dari Indonesia. Para TKW lesbian ini tidak segan mengesahkan hubungan mereka dengan pernikahan di muka umum dan bahkan hingga dimuat di media massa.
Orang-orang yang memiliki orientasi seksual gay maupun lesbian seringkali dianggap sebagai the others atau liyan oleh mayoritas yang lain. Mereka dianggap aneh dan berbeda oleh mayoritas. Maka ketika posisi TKW sendiri sudah dianggap sebagai liyan, dengan ditempeli label sebagai lesbian, maka posisi mereka semakin terpuruk. Padahal lesbian sendiri kerap kali dianggap sebagai kaum yang paling marjinal diantara gender yang ada. Alasannya, pertama karena dia perempuan, kedua karena dia dianggap tidak normal. Namun justru penilaian negatif ini datang dari sesama TKW, karena umumnya para majikan tidak terlalu memikirkan hal tersebut asalkan kewajiban terhadap majikan terpenuhi.
Secara keseluruhan, hubungan yang terjadi antara sesama TKW dalam kedua novel berbeda. Dalam novel “Aku Bukan Budak” lebih mengartikulasikan wacana CTKW yang terlihat harmonis ketika masih berada di BLK PT. Namun ketika tokoh utama sudah berada di Hongkong, hubungan itu menjadi tidak harmonis. Hal ini dikarenakan kesempatan Astina untuk bersosialisasi dengan
III-60 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
pembantu di sekitar tempat tinggal majikannya minim. Astina mendapat hari libur Senin, padahal umumnya para TKW mendapat libur pada hari Minggu. Astina juga kerap kali merepresentasikan teman-temannya sesama TKW dengan prasangka terkait dengan penampilan mereka yang dia anggap norak dan kampungan. Wacana yang dihadirkan oleh penulis beberapa kali menggambarkan TKW lainnya menggunakan bahasa daerah ketika berdialog dengannya. Begitu pula dengan sikap malas yang dilabelkan pada teman-temannya hanya karena memiliki kegemaran yang berbeda. Sedangkan dalam novel “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang” lebih menonjolkan wacana hubungan antar sesama TKW yang harmonis dan saling membantu. Walaupun sebenarnya para TKW tidak diperkenankan pergi ke luar rumah, namun hubungan itu bisa terjalin ketika anak-anak Mama Humairah melakukan kunjungan ke rumah orang tuanya ataupun sebaliknya. Pada kesempatan itu pembantu selalu diajak dan mereka menyempatkan diri untuk berkumpul untuk saling berbagi kisah dengan temannya. Dalam mengisahkan hubungan yang terjadi antar sesama TKW, Ummuki lebih menonjolkan wacana normatif dalam novelnya. Wacana normatif itu berupa TKW yang saling membantu satu sama lainnya. III.2 Struktur Penulis-Pembaca dalam Novel “Aku Bukan Budak” dan “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”
Sebagai suatu media komunikasi, novel ditulis dengan tujuan untuk menyampaikan pesan kepada pembacanya. Maka posisi pembaca tentunya
III-61 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
diperhatikan oleh penulis. Sara Mills percaya bahwa suatu teks atau wacana tidak hanya bergantung pada proses produksinya saja, namun juga bagaimana teks tersebut dipersepsi oleh khalayak atau pembaca. Sara Mills berpandangan, dalam suatu teks posisi pembaca sangatlah penting dan haruslah diperhitungkan. Eriyanto menyatakan ‘teks adalah suatu hasil negosiasi antara penulis dan pembaca’ (2001, h.203). Pembaca tidak hanya menerima teks tetapi juga ikut melakukan transaksi sebagaimana akan terlihat di dalam teks. Kelebihan dari model analisis seperti ini adalah: pertama, model secara ini komprehensif melihat teks bukan hanya berhubungan dengan faktor produksi saja tetapi juga resepsi. Kedua, posisi pembaca dianggap sebagai posisi yang penting, karena mau diakui atau tidak, pembuatan teks itu adalah untuk disampaikan atau dikomunikasikan kepada khalayak. Ketika penulis menulis sebuah teks, dia memperhitungkan keberadaan pembaca. Kehadiran yang diperhitungkan itu bisa untuk menarik dukungan, menekankan, atau untuk menarik simpati dari pembaca, dan bahkan meyakinkan pembaca. Di sini terjadi negosiasi antara penulis dengan khalayaknya (Eriyanto 2001). Pemikiran tersebut didasarkan pada gagasan Althusser mengenai teori ideologi. Gagasan Althusser yang diambil adalah mengenai interpelasi dengan menggunakan unit yang disebut sebagai ISA (Ideological State Aparatus) dan juga gagasan mengenai kesadaran. Melalui interpelasi, seseorang ditempatkan posisinya dalam masyarakat, siapa yang memiliki kekuasaan dan siapa yang tidak. Sedangkan kesadaran merupakan tindak lanjut adanya interpelasi. Sesorang akan menerima perannya dalam masyarakat sebagai suatu kesadaran yang wajar. III-62 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Cara analisis Sara Mills yang memperhatikan posisi pembaca ini sejalan dengan sirkuit budaya yang diungkapkan oleh Hall, bahwa representasi juga berkaitan dengan proses konsumsi dan produksi makna, serta identitas dan juga regulasi. Jadi posisi pembaca yang melakukan proses resepsi sebenarnya juga harus diperhatikan. Dalam
keseluruhan
penulisan
novel,
penulis
sebenarnya
telah
memperhitungkan posisi pembaca dan melakukan penyapaan terhadap pembaca. Penulis melakukan penyapaan atau berusaha berinteraksi dengan pembaca baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya seperti potongan novel berikut: Coba perhatikan! Setiap hari duta bangsa banyak datang dan pergi. Banyak pemerasan yang dialami para TKI. Mulai turun dari pesawat, pemerasan sudah dimulai: dari jasa pengambilan troli sampai jasa pembawa barang bawaan ke bus. TKI juga harus menunggu lama, bahkan sampai berharihari baru diberangkatkan. Harga makanan dan barang-barang kebutuhan lainnya yang ditawarkan jauh di atas harga standar. Belum lagi pemerasan yang dilakukan oleh travel yang mengantarkan TKI ke alamat masing-masing dan masih banyak lagi. (Triutami 2012, h.199-200). Melalui kata “coba perhatikan”, penulis berusaha menyapa pembacanya, atau lebih tepatnya mensugesti pembaca agar mau untuk ikut memperhatikan tentang permasalahan yang selama ini menimpa para TKI. Penulis berusaha masuk dalam pemikiran atau bahakan perasaan pembaca agar turut berempati dengan peristiwa yang disajikan dalam novel. Penyapaan tersebut dilakukan secara langsung kepada pembaca. Begitu pula pada potongan tulisan berikut: Bayangkan, majikan prianya melecehkannya secara seksual! ....aku teringat Sulastri, yang juga pernah mendapat perlakuan III-63 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
serupa ketika ia bekerja di Timur Tengah (Triutami 2012, h.308). Anda bisa mengerti perasaanku bukan? Tujuh bulan itu bukan waktu yang singkat. Benar apa yang pernah kudengar soal TKW selama ini. Sapi perah. (Triutami 2011, h.321). Melalui kata-kata tersebut, penulis memerintahkan dan bertanya kepada pembaca. Walaupun dalam hal ini pembaca tidak memberikan respon atau umpan balik langsung kepada penulis, namun penulis berhasil menanamkan suatu diskurs kepada pembaca. Dalam cerita keseluruhan, penulis sebenarnya melakukan penetrasi nilainilai yang diyakininya kepada pembaca. Penulis berusaha menunjukkan bahwa peristiwa yang terjadi adalah sesuatu yang salah dan harus dikoreksi. Penulis berusaha menyisipkan nilai-nilai Pelibatan pembaca itu dilakukan secara tidak langsung sehingga pembaca tidak menyadarinya dan seakan hanya membaca cerita biasa. Dari awal hingga akhir novel, penulis menyajikan rangkaian cerita yang membuat pembaca ikut marah, ikut sedih, dan juga bahagia
dengan
peristiwa yang menimpa para TKW. Lewat penceritaan pula, penulis berusaha menyampaikan gagasannya terkait protes terhadap sistem perekrutan dan penempatan TKW yang selama ini terjadi. Misalnya seperti yang terjadi pada dialog antara Astina dan Sulastri. “Iya, Las. Seharusnya pemerintah kita mempunyai system pemantauan dan kerja sama yang baik dengan agen penempatan di negara-negara yang menerima pasokan TKW. Jadi, ada di mana dan bekerja di majikan mana si TKW itu bisa terlacak dan ada bukti-bukti” (Triutami 2012, h.174). Protes itu juga ditunjukkan melalui ungkapan pribadi penulis.
III-64 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Aku mulai memprotes keadaan dalam hatiku. Bukankah seharusnya negara bertanggung jawab atas kesejahteraan kami? Bukankah dengan kerelaan kami untuk pergi jauh dari keluarga dan meninggalkan tanah air telah membantu beban Negara, mengurangi jumlah pengangguran yang membludak serta mencegah peningkatan angka buta huruf di antara generasi penerus bangsa di antara anak-anak TKW? Lalu kenapa dikenakan biaya setinggi itu untuk bekerja sebagai pembantu? (Triutami 2012, h.286). Pengorbanan para TKW begitu besar untuk negara ini, selain untuk memperjuangkan nasib keluarganya sendiri. Mereka berjuang untuk menyekolahkan anak-anaknya, yang merupakan generasi penerus bangsa. Namun, di manakah perhatian dan janji pemerintah untuk meningkatkan pelayanan terhadap TKW? (Triutami 2012, h.131). Lewat protes-protes inilah penulis mencoba melakukan pencerahan, atau setidaknya menunjukkan suatu bentuk perlawanan terhadap keadaan. Penulis berusaha mencerahkan pembacanya sehingga tidak berkutat dengan diskurs yang selama ini berkembang. Penulis tidak selalu mengikuti arus yang ada, yang hanya menceritakan TKW dari sisi negatifnya saja. Hal ini merupakan suatu bentuk protes terhadap negara yang selama ini kurang memperhatikan nasib TKW selama berada di luar negeri. Secara tidak langsung penulis juga mengajak agar pembaca agar turut untuk ikut memperhatikan mengenai kebijakan pemerintah mengenai penempatan dan perlindungan TKI/TKW.
Secara kesuluruhan, dalam struktur penulis-pembaca peneliti melihat bahwa tujuan penulisan kedua novel tersebut adalah untuk mensugesti pembaca, mencoba membuat pembaca simpati, atau empati dan seolah-oleh menempatkan dirinya pada posisi tokoh yang mengalami kisah menyedihkan. Pembaca coba di ditempatkan pada posisi integral atau tidak terpisah dari teks.
III-65 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Dalam hal penyapaan kepada pembaca, Astina melakukannya dalam dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung. Sedangkan penyapaan yang dilakukan Hanifa secara tidak langsung.
Melalui struktur penulis-pembaca ini, penulis juga menanamkan pemikirannya tentang protes-protes kepada pemerintah. Astina lebih sering memprotes secara langsung maupun melalui dialognya dengan tokoh lain. Protes secara langsung misalnya dia tunjukkan ketika dengan tegas dia memprotes para pegawai di terminal Selapajang. Sedangkan protes secara tidak langsung misalnya melalui gambaran mengenai betapa memprihatinkannya nasib TKW akibat kebijakan-kebijakan yang kurang tegas dari pemerintah.
Saat ini Astina aktif dalam perkumpulan yang mengadvokasi TKW agar mengetahui hak serta kewajibannya. Dia juga aktif dalam perkumpulan penulis. Sedangkan Ummuki sulit untuk diketahui eksistensinya saat ini. Sangat sulit untuk menemukan keberadaannya melalui online.
Namun dua novel ini menunjukkan bahwa TKW pun bisa berkarya. Ini merupakan suatu bentuk pematahan spekulasi yang berkembang di masyarakat selama ini yang mengira bahwa TKW adalah kaum kesekian yang eksistensinya hanya diperhatikan ketika mengalami penyiksaan saja.
III-66 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN IV. 1 Kesimpulan Penelitian ini mengenai wacana TKW yang ada dalam novel “Aku Bukan Budak” dan “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”. Batasan dalam penelitian ini hanya meneliti struktur subjek-objek serta struktur penulis-pembaca dalam teks tanpa melakukan interview kepada pihak penulis novel dan pembaca. Berdasarkan rumusan masalah mengenai bagaimana wacana TKW diartikulasikan dalam novel “Aku Bukan Budak” dan “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”, dapat ditarik kesimpulan bahwa TKW masih diposisikan sebagai kaum marjinal. Wacana mengenai TKW yang ada dalam kedua novel tersebut masih sejalan dengan wacana dominan yang ada. Pada kaitan TKW dan kapitalisme, TKW digambarkan tersubordinasi oleh kapitalisme dan juga institusi atau kelompok yang seakan berorientasi pada kapitalisme semata, misalnya seperti negara, PJTKI, serta pihak sponsor. TKW diposisikan sebagai objek, sedangkan negara, PJTKI dan pihak sponsor yang berorientasi pada kapitalisme dianggap sebagai subjek. Dalam hubungannya dengan negara, negara dianggap kurang serius dalam menangani masalah penempatan dan perlindungan para TKW. Negara sekan hanya ingin memperoleh pemasukan devisa mereka saja, sedangkan faktor keselamatan mereka diabaikan. Kebijakan-kebijakan yang dibuat seolah tidak pro TKW. Begitu pula dengan PJTKI dan pihak sponsor yang menganggap pemberangkatan TKI/TKW sebagai lahan bisnis.
IV-1 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Pemarjinalan terhadap TKW terjadi bukan hanya saat TKW telah berada di luar negeri, ketika masa pra keberangkatan dan paska kembali ke Indonesia pun mereka kerap mengalami kekerasan dan ketidakadilan. Bentuk dari ketidakadilan itu berupa pemberlakuan beban pajak yang tinggi, pemerasan, tidak meratanya pembagian informasi, dan lain sebagainya. TKW diwacanakan sebgai pihak yang minim kuasa sehingga tidk mampu melawan Dalam kaitan antara TKW dan kapitalisme, terdapat wacana alternatif berupa protes yang dituangkan dalam novel, khususnya pada novel “Aku Bukan Budak”. Wacana alternatif itu berupa protes maupun kritisi yang ditujukan kepada pemerintah atau negara terkait perbaikan proses pemberangkatan, penempatan, dan kepulangan para TKW. Hal tersebut termasuk dalam suatu bentuk perlawanan karena penulis perempuan berani untuk menyuarakan aspirasinya. Perlawanan itu menunjukkan bahwa TKW tidak selamanya diam atas penindasan yang dilakukan kepadanya. Terkait dengan relasi yang terjalin antara TKW dengan majikan, wacana yang diartikulasikan juga masih menonjolkan wacana dominan. TKW digambarkan sering menerima siksaan dari majikannya. Majikannya memiliki posisi sebagai subjek dan pembantu/TKW sebagai objek. Melalui relasi tersebut, TKW mengalami kekerasan multilapis, yaitu kekerasan berbasis gender, kekerasan berbasis ras, dan kekerasan berbasis kelas. Kekerasan berbasis gender terjadi karena TKW berjenis kelamin perempuan,
IV-2 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Kekerasan berbasis ras terjadi karena TKW dianggap berasal dari ras yang berbeda dengan mereka, Ras Indonesia seringkali dianggap lebih rendah dibandingkan dengan ras majikan. Bahkan diantara domestic helper yang ditampilkan dalam novel “Aku Bukan Budak”, TKW dari Indonesia digambarkan lebih marjinal diantara yang lain. Majikan nampak merendahkan ketika TKW asal Indonesia mampu berpikir kritis dan memiliki kemauan untuk mengakses informasi di media massa. Sedangkan kekerasan berbasis kelas terjadi karena TKW sebagai pembantu dianggap rendah kedudukannya jika dibandingkan dengan majikan. Pembantu diwacanakan harus siap diperintah dan menurut dengan semua yang dikatakan majikan. Mereka juga harus siap menerima cacian dan hukuman berupa siksaan jika apa yang dilakukannya tidak sesuai dengan kehendak majikan. Wacana demikian tampil dalam kedua novel yang menjadi objek penelitian. Mengenai relasi yang terjadi antara TKW dengan majikan, novel “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang” mengartikulasikan adanya wacana alternatif. TKW direpresentasikan bisa hidup harmonis dengan majikannya. Beberapa majikan digambarkan sebagai majikan yang baik. Bahkan dalam novel tersebut juga ditampilkan adanya wacana lain yang berupa perlawanan langsung yang dilakukan oleh tokoh utama kepada majikannya. Sedangkan dalam novel “Aku Bukan Budak”, perlawanan TKW terhadap majikan ditampilkan secara diam-diam yaitu berupa pegambilan bahan makanan majikan yang sebenarnya adalah hak dari sang pembantu.
IV-3 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Sedangkan dalam relasi yang terjadi antar sesama TKW, wacana yang ditampilkan berbeda dalam dua novel tersebut. Dalam novel “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang” lebih ditonjolkan wacana normatif (normative discourse). TKW direpresentasikan sebagai individu yang saling membantu sesama TKW yang lain, baik itu berupa bantuan moril dan materi. Bantuan moril berupa hadirnya TKW sebagai tempat curhat oleh temannya yang lain disertai dengan pemberian saran dan kata-kata penyemangat untuk saling menguatkan. Sedangkan bantuan materi berupa peminjaman, bahkan pemberian, uang kepada temannya sesama TKW yang membutuhkan. Wacana demikian sejalan dengan normative discourse bahwa sebagai perantau di ‘negeri orang’ mereka hendaknya saling membantu. Wacana demikian tampil dalam kedua novel namun lebih menonjol pada novel “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”. Wacana lain yang ditampilkan pada relasi antar sesama TKW terkesan mensubordinatkan TKW yang lain. Penulis novel “Aku Bukan Budak” beberapa kali masih melakukan misrepresentasi temannya sesama TKW. Penulis membuat dikotomi antara “aku” dan “mereka” dengan penempatan “aku” lebih unggul dibandingkan yang lain. Keunggulan itu diartikulasikan penulis lewat narasi mengenai kecantikan fisiknya, sifatnya, serta kepandaiannya yang diungkapkan oleh tokoh “aku” maupun tokoh yang lain. Sedangkan tokoh “mereka” direpresentasikan sebagai orang yang bodoh karena mau dibayar underpaid, direpresentasikan sebagai penyebab majikan ingin memperkosanya, dianggap ‘kampungan’ karena mengenakan pakaian yang menurutnya tidak cocok dikenakan mereka, serta dianggap malas karena hanya IV-4 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
menggunakan waktu liburnya untuk bersantai-santai saja. Hal-hal seperti itulah yang
kemudian
menjadikan
TKW
masih
memiliki
stereotipe
negatif.
Penggembaran negatif tersebut bertentangan dengan normative discourse yang seharusnya terjadi. Dalam relasi antar sesama TKW ini nampak bahwa tokoh utama memiliki posisi sebagai subjek, yang memiliki akses untuk mendefinisikan tokoh lain. Sedangkan TKW lain yang didefinisikan sebagai objek. Kedua novel yang menjadi objek penelitian ini menunjukkan bahwa walaupun novel-novel tersebut ditulis oleh perempuan yang juga memiliki pengalaman menjadi TKW, nyatanya mereka beberapa kali masih mereproduksi wacana dominan bahkan saat merepresentasikan kaumnya. Hal ini menunjukkan bahwa wacana dominan telah menghegemoni penulis untuk mereproduksi atau melanggengkan wacana tersebut. Walaupun sering kali ditampilkan adanya wacana dominan berupa penindasan terhadap TKW, kedua novel juga menampilkan wacana lain berupa perlawanan yang dilakukan TKW terhadap individu maupun kelompok yang menindasnya. TKW digambarkan tidak lagi powerless melainkan bisa berpikir kritis dan melawan. Dalam kedua novel juga disisipkan pesan-pesan agar para TKW maupun perempuan pada umumnya agar berani. Hal ini merupakan sebuah enlightment
kepada
yang lain
bahwa
perempuan
harus
berani
untuk
memperjuangkan harga diri dan hak-haknya. Kedua novel ini berusah menunjukkan bahwa tidak selamanya perempuan tidak berdaya.
IV-5 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Secara keseluruhan, wacana TKW yang ditampilkan dalam kedua novel masih mereproduksi dan melanggengkan
wacana dominan yang ada, bahwa
TKW masih memiliki posisi marjinal yang seringkali mengalami kekerasan dari berbagai pihak. Walaupun memang diakui kedua penulis juga berusaha menyertakan wacana alternatif berupa perlawanan para TKW. Terkait dengan struktur penulis-pembaca, penulis berusaha mensugesti pembaca agar turut peduli dengan permasalahan yang menimpa TKW. Untuk melakukan hal tersebut, penulis menggunakan penyapaan secara langsung maupun tidak langsung terhadap pembaca. Dengan begitu pembaca akan merasa menjadi bagian dari teks dan menumbuhkan kepedulian dalam diri mereka.
IV-6 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
IV.2 Saran Dalam mengeksplorasi wacana TKW yang ada dalam novel, penelitian ini hanya berfokus pada wacana yang terjadi dalam relasi TKW dengan negara, TKW dengan majikan, dan TKW dengan TKW. Diharapkan penelitian selanjutnya bisa meneliti dengan sudut pandang lain, karena wacana mengenai TKW ini bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Untuk hasil yang lebih sempurna, penelitian mengenai wacana juga bisa dilakukan dengan menggunakan metode analisis semiotik-diskursif. Dengan menggunakan metode tersebut, penelitian akan lebih rinci. Peneliti bisa meneliti mengenai representasi dari struktur semiotik yang ada dalam novel kemudian menghubungkannya dengan diskurs mengenai TKW yang ada di masyarakat. Semiotik akan membantu peneliti menganalisis dalam hal simbol dan penandaan sedangkan analisis diskurs untuk menganalisis dalam level teks dan konteks.
IV-7 Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR PUSTAKA Buku Arivia, G 2006, Feminisme: sebuah kata hati, Kompas, Jakarta. Aziez, F & Hasim, A 2010, Menganalisis fiksi sebuah pengantar, Ghalia Indonesia, Bogor. Azis, A 2007, Feminisme profetik, Kreasi Wacana, Yogyakarta. Damono, S 1979, Sosiologi sastra: sebuah pengantar ringkas, Depdikbud, Jakarta. Eriyanto, 2001, Analisis wacana: pengantar analisis teks media, LKis, Jogjakarta. Fakih, M 1996, Analisis gender dan transformasi sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Farida, A 2007, Islam menolak kekerasan survival perempuan buruh migran menyikapi kekerasan, Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, Jakarta. Hall, S 1997, Representation: cultural representations and signifying practices, SAGE Publications, London. Hall, S & Gay, P 1996, Questions of cultural identity, SAGE Publications, London. Harlan, M & Sutik, AS 2011, Burung-burung migran, Qanita, Jakarta. Ida, R 2011, Metode penelitian kajian media dan budaya, Airlangga University Press, Surabaya. Insani, B & Raihan, I 2011, TKW menulis, Leutika, Yogyakarta. Iskandar, M 2014, Pisau bermata dua menuju cita tki yang bermartabat dan bermanfaat, RMBooks, Jakarta. Jackson, S & Jones, J 2009, Pengantar teori-teori feminis kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta. Kellner, D 2010, Budaya media: cultural studies, identitas, dan politik antara modern dan postmodern, Jalasutra, Jogjakarta.
Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Kuntjara, E 2004, Gender, bahasa dan kekuasaan, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta. Matsui, Y 2002, Perempuan asia dari penderitaan menjadi kekuatan, Obor Indonesia, Jakarta. McQuail, D 2000, McQuail’s mass communication theory, SAGE Publications, London. Millet, K 2000, Sexual politics, Virago Press Limited, London. Mills, S 1997, Discourse, Routledge, London. Mills, S 2003, Michel foucault, Routledge, London. Moleong, L 2012, Metodologi penelitian kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Murniati, N 2004, Getar gender buku pertama, perempuan indonesia dalam perspektif sosial, politik, ekonomi, hukum dan HAM, Indonesia Tera, Magelang. Nurgiyantoro, B 2007, Teori pengkajian fiksi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. O’shaughnessy, M 2006, Media and society: an introduction third edition, Oxford University Press, London. Piliang, Y 2003, Hipersemiotika tafsir cultural studies atas matinya makna, Jalasutra, Yogyakarta. Prabasmoro, A 2003, Becoming white: representasi ras, kelas, femininitas dan globalitas dalam iklan sabun, Jalasutra, Bandung. Santoso, T 2002, Teori-teori kekerasan, Ghalia Indonesia, Jakarta. Setyosari, P 2010, Metode penelitianpendidikan dan pengembangan, Kencana, Jakarta. Sudjana, Nana, Ibrahim 2007, Penelitian dan penilaian pendidikan, Sinar Baru Algensindo, Bandung. Sugihastuti, & Saptiawan, I 2007, Gender & inferioritas perempuan praktik kritik sastra feminis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Tong, R 2008, Feminist thought pengantar paling komprehensif kepada arus utama pemikiran feminis, Jalasutra, Yogyakarta.
Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Triutami, A 2012, Aku bukan budak, Libri, Jakarta. Ummuki, 2013,Dari tanah haram ke ranah minang, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Skripsi Adiptoyo, S 2004, Bahasa dan kekuasaan analisis wacana praktik sosial pemilihan bahasa untuk mata pelajaran muatan lokal bagi siswa etnis cina dalam pertarungan antara bahasa jawa dan bahasa mandarin, Tesis, Universitas Airlangga. Firianisa, I 2011, Wacana perempuan tionghoa dalam novel indonesia paska reformasi (discourse analysis identitas perempuan beretnis tionghoa dalam teks novel dimsum terakhir karya clara ng), Skripsi, Universitas Airlangga. Mantoro 2014, Representasi tkw di hong kong dalam cerpen-cerpen pada kumpulan cerpen majikanku empu sendok karya denok k. rokhmatika, Skripsi, Universitas Airlangga. Putri 2013, Citra tokoh utama wanita dalam novel aku bukan budak karya astina triutami, Skripsi, Universitas Negeri Padang diakses di http://download.portalgaruda.org/article.php?article=75332&val=1518 Rahayu, A 2014, Identitas sinden dalam novel indonesia (analisis wacana kritis terhadap identitas sinden dalam diri perempuan), Universitas Airlangga. Simanjorang, R 2012, Profil tokoh utama dalam novel aku bukan budak karya astina triutami: sebuah telaah dinamika kepribadian, Universitas Negeri Padang diakses di http://download.portalgaruda.org/article.php?article=24769&val=1518 Soeryo, 2010, Perlindungan hukum tenaga kerja wanita Indonesia di luar negeri, Disertasi, Universitas Airlangga. Laporan Penelitian Santoso, L & Anggraini, B 2004, Ketidakadilan gender dan pandangan feminisme dalam novel perempuan berkalung sorban karya abidah el khaliqy, Lembaga Penelitian Universitas Airlangga. Surya, Y & Ida, R 2003, Politik tubuh dan sensualitas perempuan: diskursus media terhadap fenomena goyang penyanyi dangdut perempuan, Lembaga Penelitian Universitas Airlangga. Jurnal
Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Kurnia, N 2009, ‘Identitas istri yang menjadi bidan dalam “Cerita Pulau”’, Insight: Journal of Communication and Media Studies: Membaca Sinema, Membaca Wacana, Ed.3, h47-58. Wijaksana, M 2005, ‘Perlindungan hukum pembantu rumah tangga beda antara indonesia dan filipina’, Jurnal Perempuan: Pekerja Rumah Tangga, Ed.39, h.6780. Yuliani, S 2011, ‘Wacana tubuh perempuan di dunia media: tinjauan perspektif gender’, Jurnal Sosiologi Dilema Dialektika Masyarakat, Vol.27, no.2, h.70-86. Artikel Internet Artini, 2011, Komunikasi semu masalah TKW. Diakses tanggal 20 April 2014, dari http://www.antaranews.com/berita/257946/komunikasi-semu-masalah-tkw Bobbitt, D 2011, Teaching mcluhan: understanding understanding media. Diakses tanggal 5 Mei 2014, dari http://www.enculturation.net/teaching-mcluhan Dimas, S 2011, Definisi negara. Diakses tanggal 11 Januari 2015 dari http://definisimu.blogspot.com/2012/09/definisi-negara.html Hakim, R 2010, Kasus TKW akar masalah yang jarang terungkap, diakses tanggal 20 April 2014, dari http://muslimahkeadilan.blogspot.com/2010/12/kasustkw-akar-masalah-yang-jarang.html Hidayatunnismah, Anggraeni, Pertiwi, 2013, Migrasi internasional: tenaga kerja perempuan dan human trafficking. Diakses tanggal 17 April 2014, dari http://demografi.bps.go.id/phpfiletree/bahan/kumpulan_tugas_mobilitas_pak_chot ib/Kelompok_7/PAPER_dan_PRESENTASI/Migrasi_Internasional_Tenaga_Kerj a_Wanita_And_Human_Trafficking.pdf Musnandar, A 2014, Problematika TKW kita di luar negeri. Diakses tanggal 16 April 2014, dari http://rektor.uinmalang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=4484:problemati ka-tkw-kita-di-luar-negeri&catid=35:artikel&Itemid=210
Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Noviani, R 2006, Menyoal agensi perempuan. Diakses tanggal 10 Januari 2015, dari http://ratnanov.blogspot.com/2006/05/menyoal-agensi-perempuan.html Ramadhiani, A 2014, Gerindra: wilfrida layak bebas karena mentalnya labil. Diakses tanggal 5 Mei 2014, dari http://regional.kompas.com/read/2014/04/07/1724200/Gerindra.Wilfrida.Layak.B ebas.karena.Mentalnya.Labil Zuriati, 2011, Kaitan antara teks dan relasi kuasa. Diakses tanggal 12 Desember 2014, dari http://www.harianhaluan.com/index.php/kultur/3450-kaitan-antarateks-dan-relasi-kuasa Trianita, L 2014, KPK nilai pemerasan TKI terstruktur dan sistematis. Diakses tanggal 5 November 2014, dari http://www.tempo.co/read/news/2014/08/06/063597762/KPK-Nilai-PemerasanTKI-Terstruktur-dan-Sistematis Wijaya, L 2013, PJTKI adalah masalah, bukan solusi. Diakses tanggal 5 November 2014, dari http://nasional.kompas.com/read/2013/04/13/15343711/PJTKI.adalah.Masalah..B ukan.Solusi Trianita, L 2014, Migrant care laporkan enam anggota DPR pemilik PJTKI. Diakses tanggal 5 November 2014, dari http://www.tempo.co/read/news/2014/08/06/173597736/Migrant-Care-LaporkanEnam-Anggota-DPR-Pemilik-PJTKI Djunaidy, M 2008, Tiap bulan, 50 keluarga TKI di jember bercerai, Diakses tanggal 3 November 2014, dari http://www.tempo.co/read/news/2008/07/22/058128706/Tiap-Bulan-50-KeluargaTKI-di-Jember-Bercerai Tim 2010, 200 Warga cerai setiap bulan, didominasi perselingkuhan TKI. Diakses tanggal 3 November 2014, dari http://www.surabayapagi.com/index.php?read=200-Warga-Cerai-Setiap-Bulan,Didominasi-PerselingkuhanTKI;3b1ca0a43b79bdfd9f9305b8129829625a34afbb425317d14e2c187ba202f496 http://kbbi.web.id/majikan
Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Nurhayat, W 2013, Jumlah TKI capai 6,5 juta, tersebar di 142 negara. Diakses tanggal 21 September 2014, dari http://finance.detik.com/read/2013/03/14/174040/2194313/4/jumlah-tki-capai-65juta-tersebar-di-142-negara Praditya, I 2004, 15 Kota Pemasok TKI Terbanyak ke Luar Negeri, diakses tanggal 21 September 2014 pada http://bisnis.liputan6.com/read/797517/15-kotapemasok-tki-terbanyak-ke-luar-negeri Wahyuni, N 2013, 4 Juta TKI Sumbang Devisa Rp 100 Triliun ke Negara, http://bisnis.liputan6.com/read/756717/4-juta-tki-sumbang-devisa-rp-100-triliunke-negara ____, 2013, BNP2TKI Tetapkan 2014 Tahun Pelayanan Penempatan Berkualitas, diakses tanggal 23 September 2014 pada http://www.bnp2tki.go.id/beritamainmenu-231/9180-bnp2tki-tetapkan-2014-tahun-pelayanan-penempatanberkualitas.html Setiawanto, B 2014 Remitansi TKI Rp. 88,67 triliun selama 2013 Pratama, R 2014, Menunggu Detik- Detik Terakhir Perjuangan Penyumbang Devisa Negara, Satinah, diakses tanggal 8 Desember 2014 pada http://rayhanpratama93.blogspot.com/2014/04/menunggu-detik-detikterakhir.html Sudarmawan, S 2014, TKW Ponorogo Dikabarkan Hilang Diduga Tewas Dibunuh Kekasih 'Bulenya' diakses tanggal 28 November 2014 pada https://id.berita.yahoo.com/tkw-ponorogo-dikabarkan-hilang-diduga-tewasdibunuh-kekasih-163141842.html ‘Fenomena Lesbian TKW Indonesia di Hongkong ketika sri berganti benny dan siswati jadi aziz’ 2005 diakses tanggal 25 Oktober 2014 dari http://nostalgia.tabloidnova.com/articles.asp?id=13807
Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Sibaweh, 2010, Kawin Kontrak Para Suami TKW diakses tanggal 2 desember 2014 pada http://id.netlog.com/ImamSibaweh/blog/blogid=32503 ‘TKW banyak menjadi lesbi di Hongkong’, KP2TKI 2013, diakses tanggal 25 Oktober 2014 dari http://www.kp2tkinews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1 17:tkw-banyak-menjadi-lesbi-di-hongkong&catid=37:tki-dan-buruh&Itemid=96 Nawalapatra, A 2008, Carilah Perempuan ke Negeri Pasundan diakses tanggal 23 November 2014 pada http://anton.nawalapatra.com/2008/04/21/perjalanan/carilah-perempuan-kenegeri-pasundan.html/comment-page
Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BERITA ACARA REVISI Nama Nim Judul Pembimbing
: Nurisma Yunitamurti : 071115044 : Wacana Tkw Dalam Novel “Aku Bukan Budak Dan Dari Tanah Haram Ke Ranah Minang” : Nisa Kurnia Illahiati S.Sos., M.Med-Kom.
Nama Penguji Yayan Sakti Suryandaru
Santi Isnaini
Skripsi
Saran Revisi Gunakan riset sebelumnya yang lebih Penggunaan penelitian terdahulu relevan yang juga membahas mengenai TKW dalam novel/cerpen (h.I-13) Perkuat lagi alasan pemilihan kedua Penjelasan bahwa kedua objek novel sebagai objek penelitian. penelitian memang sebuah novel (h. Jangan-jangan itu bukan novel tapi I-14) indepth report. Tulis kelebihannya karena penulis Penjelasan kelebihan novel yang novel perempuan, bagaimana kalau dituliskan perempuan sebagai laki-laki, pasti beda kesempatan merepresentasikan kaumnya (h.I-12) Tuliskan maksud dari ‘artikulasi’ Penambahan maksud ‘artikulasi’ dalam penelitian ini dalam penelitian ini (h.I-16) Tulis alasan kenapa membandingkan Penambahan alasan bisa yang ada di media massa mainstream membandingkan diskurs di media dengan novel massa mainstream dengan di novel (h.I-2) Hindari kata penelitian yang “baru”, Penggunaan frasa menjadi gunakan kata “jarang dilakukan” topik/tema penelitian jarang dilakukan (h.I-12) Dari awal pertegas kalau TKW yang Pada awal penelitian dijelaskan
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
TTD Penguji
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
dimaksud adalah yang bekerja di sektor informal Ubah tipe penelitian menjadi deskriptif Beri definisi dari negara yang dimaksud dalam penelitian ini Tulis yang memiliki posisi sebagai subjek siapa? Objek siapa? Nisa Kurnia Illahiati S.Sos., M.Med-Kom.
Pembahasan mengenai hubungan TKW dengan negara sebaiknya diubah menjadi hubungan TKW dengan kapitalisme Wacana alternatif itu wacana perlawanan. Tidak harus dengan perlawanan fisik. Perbaiki kesimpulan. Kesimpulan berdasarkan pada hasil temuan data. Hindari kata “penulis” (novel)
bahwa TKW yang dimaksud adalah yang bekerja di sektor informal/(h. I1) Tipe penelitian menjadi deskriptif disertai alasannya (h.I-12 & h.I-37) Penambahan definisi negara (h.III-5) Penulisan siapa saja yang memiliki posisi subjek dan objek (h. IV-1, IV2, IV-5) Subbab Hubungan TKW dengan Negara menjadi Hubungan antara TKW dan Kapitalisme (h.III-2 & h.III-4) Menambahkan wacana perlawanan TKW terhadap kapitalisme atau negara (h.III-22, III-23) Memperbaiki kesimpulan (h.IV-1)
Surabaya, 12 Januari 2015
(Nurisma Yunitamurti)
Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG” Nurisma Yuitamurti (071115044) - AB
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini mengkaji artikulasi wacana TKW dalam novel “Aku Bukan Budak” karya Astina Triutami dan “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang” karya Ummuki. Penelitian ini menarik karena perempuan seringkali digambarkan sebagai kaum yang marjinal. Novel yang menjadi objek penelitian merupakan kisah nyata yang ditulis sendiri oleh TKW.Dengan menggunakan metode analisis wacana Sara Mills, peneliti menganalisis bagaimana wacana TKW diartikulasikan melalui narasi kedua novel. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa melalui relasi yang terjadi antara TKW dan kapitalisme, majikan, dan sesamanya, TKW masih diposisikan sebagai kaum yang marjinal. TKW digambarkan sebagai pihak yang tidak memiliki kuasa. Kedua novel masih mengartikulasikan wacana TKW sejalan dengan wacana dominan.Mengenai struktur penulis-pembaca, penulis memposisikan pembaca dengan penyapaan langsung dan tidak langsung. Kata Kunci: Wacana, Representasi, TKW, Relasi Kuasa
PENDAHULUAN Penelitian ini mengenai wacana TKW dalam novel Indonesia yang berjudul “Aku Bukan Budak” karya Astina Triutami dan “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang” karya Ummuki. Wacana yang dimaksudkan di sini terkait dengan wacana mengenai perempuan yang menjadi TKW digambarkan sebagai kaum yang termarjinalkan melalui narasi-narasi oleh sang penulis novel. TKW yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah TKW yang bekerja pada sektor informal, yaitu yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Peneliti menganalisis dengan metode analisis wacana Sara Mills dan melihat hubungan yang terjadi antara TKW dengan sistem maupun lingkungan di sekitarnya, seperti TKW dan kapitalisme, hubungan TKW dengan majikan, serta hubungan antar sesama TKW. Novel memiliki karakteristik yang unik sebagai hot media. Dalam bukunya yang berjudul Understanding Media: The Extentions of Man, McLuhan
Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
mendefinisikan hot media sebagai media yang hanya mengandalkan satu indera saja untuk menangkap pesannya (high definition). Audiens yang dalam hal ini adalah pembaca, harus fokus dengan media yang sedang dikonsumsinya karena proses komunikasi berjalan secara linear (dalam Bobbitt 2011). Dengan karakteristik novel tersebut, novel mampu menimbulkan berbagai persepsi yang berbeda-beda di benak pembaca. Novel menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Melalui bahasa itulah pengarang menceritakan mengenai kisahnya, baik berupa fiksi maupun nonfiksi, ke dalam suatu karya. Novel dianggap mampu ‘merefleksikan realitas, nilai-nilai, serta norma di masyarakat’ (O’Saughnessy 2006, h.35). Bahasa dalam hal ini tidak dilihat sebagai sesuatu yang netral. Habermas menyebutkan bahwa ‘bahasa selalu menjadi medium dominasi dan sistem reproduksi material dan ideasional’ (Adiptoyo 2004, h.10). Pemilihan dan penggunaan bahasa juga merupakan wujud dari kekuasaan yang biasanya didominasi oleh kelompok dominan. Penyususnan narasi sebuah novel tentu dipengaruhi oleh frame of reference maupun field of experience penulisnya yang tidak lepas dari struktur ekonomi, politik, maupun sosial budaya yang ada di sekitarnya. Realitas yang ada dalam novel itu kemudian menjadi realitas kedua (secondhand reality). Realitas kedua ini bisa juga disebut sebagai representasi. Representasi merupakan ‘tindakan menghadirkan atau mempresentasikan sesuatu lewat sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol’ (Piliang 2003, h.21). Penulis berusaha mengartikulasikan wacana TKW dengan merepresentasikan sosok TKW melalui narasi-narasi novelnya. Menurut McQuail ‘representasi yang ditampilkan media massa dapat mempengaruhi persepsi dan definisi masyarakat mengenai realitas sosial, termasuk identitas sosok tertentu’ (dalam Fitranisa 2011, h.I-2). Hal ini bisa menimbulkan gambaran realitas sosial yang timpang, bias, dan tidak cermat yang kemudian disebut dengan stereotipe. Contoh
Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
stereotipe tersebut misalnya TKW yang ditampilkan sebagai perempuan yang bodoh/ berpendidikan rendah, dan lain sebagainya dalam media massa. Seperti yang diketahui, perempuan dalam bingkai media seringkali digambarkan sebagai kaum marjinal. Dalam budaya Indonesia yang masih menganut budaya patriarki, perempuan dianggap sebagai kaum kedua yang kedudukannya berada di bawah laki-laki. Istilah patriarki merujuk pada: hubungan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan yang berfungsi sebagai penentu utama bagaimana laki-laki dan perempuan akan direpresentasikan dalam budaya populer serta bagaimana mereka akan merespon representasi tersebut (Strinati 2004, h.227).
Salah satu bentuk patriarki itu adalah perempuan dianggap lemah dan tenaganya dianggap hanya mampu mengurusi masalah domestik atau rumah tangga saja. Tenaga itu dianggap tidak memiliki nilai jual. Kalaupun bekerja, pekerjaan perempuan pun merupakan perpanjangan dari pekerjaan domestik, misalnya seperti pekerjaan yang dilakukan para TKW yang mayoritas bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Upah yang didapat perempuan pun tidak setara dengan kaum laki-laki. Hal ini dikarenakan perempuan hanya dianggap sebagai penyokong suami karena fungsi produksi dalam keluarga selama ini dianggap melekat pada kaum laki-laki. Coral Smart dalam Farida (2007) menyatakan lemahnya posisi perempuan merupakan konsekuensi dari adanya nilai-nilai patriarki yang dilestarikan melalui proses sosialisasi dan reproduksi dalam berbagai bentuk oleh masyarakat maupun negara. Terkait hal tersebut laki-laki dibenarkan untuk memiliki kekuasaan terhadap perempuan. Walaupun menggunakan bahasa yang terkesan seperti indepth report, yang mengungkapkan sesuatu yang aktual, namun kedua objek penelitian itu termasuk dalam karya novel. Hal ini dikarenakan keduanya memiliki syarat-syarat penulisan novel yang mencakup unsur intrinsik seperti tema, setting, penokohan alur/plot, serta sudut pandang, serta memiliki unsur ekstrinsik seperti latar belakang penulisan dan biografi penulis (Aziez & Hasim 2010).
Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Novel berjudul “Aku Bukan Budak” menceritakan seorang gadis bernama Astina yang terpaksa menjadi TKW di usianya yang masih belia. Bermodalkan ijazah SMP dia memberanikan diri mendaftar di salah satu sponsor yang kemudian mendaftarkannya pada sebuah PJTKI. Novel ini menceritakan pengalaman Astina mulai dari kekerasan yang dialaminya selama menunggu keberangkatan di PJTKI, pemerasan yang dilakukan oknum pemerintah, hingga kekerasan ketika dia sudah bekerja di Hongkong. Novel kedua berjudul “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang” yang ditulis oleh Ummuki. Berbeda dengan novel sebelumnya, dalam novel ini penulis menggunakan nama rekaan untuk menceritakan kisahnya. Novel ini menceritakan tokoh utama yang bernama Hanifa bekerja sebagai TKW di Arab Saudi. Hanifa terpaksa meninggalkan kedua putrinya untuk mencari uang. Diceritakan bahwa Hanifa adalah lulusan S1 dan pernah menjadi ustadzah di sebuah pesantren, namun karena himpitan situasi dan ekonomi dia akhirnya memilih menjadi TKW. Latar belakangnya tersebut
memudahkan Hanifa dalam hal komunikasi dengan
menggunakan bahasa Arab. Namun ternyata hal tersebut juga tidak terlalu banyak membantunya. Dia ternyata juga kerap kali menerima kekerasan yang diantaranya adalah pelecehan seksual, perampasan hak-hak untuk beribadah dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, serta perlakuan sewenang-wenang dari majikan.
PEMBAHASAN Fokus metode Sara Mills melihat bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks. Yang dimaksud dalam pengertian tersebut adalah siapa yang menjadi subjek penceritaan dan siapa yang menjadi objek penceritaan. Hal tersebut akan berpengaruh pada bagaimana makna diperlakukan dalam teks secara menyeluruh. Sedangkan posisi penulis-pembaca digunakan untuk mengidentifikasikan bagaimana pembaca ditempatkan dalam teks. Hal tersebut mempengaruhi bagaimana teks akan dipersepsi oleh pembaca (Eriyanto 2001).
Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Peneliti melihat bahwa dalam hubungan yang terjadi pada ketiga relasi tersebut terjadi artikulasi wacana TKW yang unik dan berbeda. Dalam relasi yang terjadi antara TKW dengan sistem maupun pihak tersebut, peneliti melihat adanya ketimpangan kuasa karena didominasi salah satu pihak saja. TKW dan Kapitalisme Proses yang harus ditempuh seseorang sebelum menjadi TKW harus menjalani serangkaian prosedur sebelum akhirnya bisa diberangkatatkan ke negara tujuan mereka. Mereka harus mendaftarkan diri pada sebuah PJTKI atau PPTKIS, yang sebelumnya harus melalui seorang sponsor. Di PJTKI ini, mereka akan dilatih oleh para guru di sebuah BLK milik PT. Namun sayangnya para guru yang dianggap memiliki kedudukan lebih tinggi ini sering berlaku sewenang-wenang terhadap para calon TKW. Seperti yang dikutip berikut ini: Sikap para guru yang ada di BLK kadang tak mencerminkan bahwa dirinya adalah seorang pendidik di sana. Mereka tak segan untuk memaki atau bahkan mencubit hingga kulit para murid atau calon TKW membiru (Triutami 2012, h.161).
Karena memiliki kedudukan yang tinggi, guru memiliki hak kepada muridnya. Sehingga di sini guru bebas memanggil muridnya bodoh, memanggil dengan sebutan tertentu, memarahinya, hingga melakukan kekerasan fisik misalnya mencubit. Sedangkan CTKW tentu saja harus memanggil guru dengan sebutan Mam dan harus bersikap sopan kepada mereka. Novel “Aku Bukan Budak” diceritakan bahwa kondisi PJTKI ini tidak layak karena dihuni oleh ratusan orang, sedangkan fasilitasnya tidak memadai. Walaupun sudah penuh, terkadang pihak PT terus saja menerima CTKW baru. Kedaan ini seolah mengindikasikan bahwa pihak PT hanya ingin menjadikan permasalahan TKW ini menjadi lahan bisnis. TKW diwajibkan untuk menerima pemotongan gaji selama 7 bulan kerja. Gaji tersebut digunakan untuk menanggulangi biaya selama TKW menjalani poses administrasi (pembuatan paspor, pengurusan visa) maupun pelatihan selama di BLK.
Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
PJTKI ini merupakan institusi layaknya sekolah berfungsi sebagai tempat pendidikan dan pelatihan. Di dalam institusi inilah diajarkan ideologi dominan, salah satunya mengenai struktur kelas yang berkuasa. Menurut Althusser institusi demikian adalah apa yang disebut dengan Ideological State Aparatus (ISA) yang mampu menghegemonikan suatu nilai dominan. Di PJTKI atau di BLK ini, para CTKW telah dikenalkan pada adanya struktur kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai. Kelas berkuasa di sini tentu saja adalah para guru dan para pegawai PJTKI. Sedangkan para TKW berada pada kelas yang dikuasai. Saat berada di luar negeri pun, para TKW ini juga terkesan ditelantarkan oleh negara. Seperti yang digambarkan dalam novel “Aku Bukan Budak”, ketika mereka mengalami permasalahan dengan majikan atau dengan mitra kerja PT, mereka harus mengurusnya sendiri. Seperti kutipan berikut: Suatu sore, aku nekat menelepon Ibu Sri di KJRI. Setelah kuadukan masalahku, ia malah membuatku kesaldengan balik bertanya: “Lho, waktu itu kenapa Mbak nggak tanya yang jelas dulu tentang majikan Mbak. Sekarang kalau sudah begini, ya repot. Coba bicara dulu dengan agen kamu sebelum ngadu ke KJRI, ya?” (Triutami 2012, h.309)
Pihak KJRI, sebagai perwakilan Negara, yang seharusnya bertanggung jawab seakan tidak peduli dan bahkan menyalahkan para TKW karena tidak membaca perjanjian kerja dengan benar. Padahal di sini TKW seringkali merasa tidak berdaya jika berhadapan dengan agen, untuk itulah diperlukan institusi yang berlandaskan hukum, yaitu negara, untuk melindungi mereka. Hal tersebut menunjukkan bahwa seolah pemerintah tidak serius menangani permasalahan para TKW dan hanya ingin menerima pemasukan devisa mereka saja. Tidak hanya pra dan saat masih menjadi TKW, paska menjadi TKW atau sepulangnya mereka dari negara tempat bekerja. Banyak pemerasan yang dialami para TKI. Mulai turun dari pesawat, pemerasan sudah dimulai: dari jasa pengambilan troli sampai jasa pembawa barang bawaan ke bus. TKI juga harus menunggu lama, bahkan sampai berhari-hari baru diberangkatkan. Harga makanan dan barang-barang kebutuhan lainnya yang ditawarkan jauh di atas harga standar. Belum lagi pemerasan yang dilakukan oleh travel yang
Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
mengantarkan TKI ke alamat masing-masing dan masih banyak lagi (Ummuki 2013, h.199-200).
Hal serupa juga dialami Astina dan TKW lainnya dalam novel “Aku Bukan Budak”.Para TKW juga diharuskan melewati gate berbeda dengan penumpang umum dengan alasan akan dilakukan pendataan terlebih dahulu. Lewat gate itulah akhirnya mereka harus singgah di Terminal Selapajang dan menjalani serangkaian proses pemerasan. Walaupun tidak melakukan perlawanan langsung terhadap kapitalisme maupun negara atau pemerintah, wacana alternatif tetap berusaha ditampilkan dalam novel, khususnya pada novel “Aku Bukan Budak”. Misalnya seperti kutipan-kutipan berikut ini: “Sabar ya Las. Seandainya pemerintah kita punya pemantauan yang baik terhadap para tenaga kerjanya, setiap TKW yang bermasalah mungkin akan terlindungi dengan baik. Kita ini seperti orang nggak bernegara saja, ya Las…” (Triutami 2012, h.173).
Melalui narasi tersebut, penulis menyampaikan gagasannya kepada para pembaca. Hal tersebut juga merupakan sebuah wacana alternatif berupa protes terhadap Negara. Hal tersebut juga merupakan suatu perlawanan yang menunjukkan bahwa tidak selamanya para TKW itu tidak berdaya. Hubungan antara TKW dengan Majikan Hubungan yang terjalin antara TKW dan majikan umumnya digambarkan sebagai hubungan yang tidak harmonis. Dalam wacana dominan yang berkembang, para majikan seringkali mengeksploitasi para TKW yang menjadi pembantunya. Begitu pula yang terdapat dalam kedua novel. Uh, memangnya mereka peduli pada kami? Mau sakit kek atau sakit pikiran, selama masih bisa bergerak tidak akan pernah dibiarkan bersantai-santai. Badan ini bekerja bagaikan mesin, nonstop siang malam (Ummuki 2013, h.7).
Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Kejadian yang hampir sama terjadi pada novel “Aku Bukan Budak”, Astina yang kakinya terkilir tetap dipaksa bekerja untuk membersihkan rumah walaupun sebenarnya hari itu adalah hari liburnya. Karena posisinya yang minim kuasa inilah, para TKW seringkali mengalami penyiksaan oleh para majikan. Penyiksaan itu tidak hanya dilakukan secara fisik, melainkan juga psikis dan bahkan seksual. Bahkan majikan tidak mau peduli kepada kondisi pembantunya saat itu. Yang terpenting adalah memanfaatkan keberadaan pembantunya semaksimal mungkin, walaupun hanya untuk melakukan hal-hal sepele sekalipun. Aku dan Ketrin duduk di bak belakang berimpitan bersama barangbarang bawaan. Ya Allah, benar-benar “sempurna”. Tak sepantasnya kami duduk di bak belakang seperti ini. Bukankah ini sebuah aib jika ada yang melihatnya? Sudah tak terhitung berapa kali aku dipaksa duduk di bak belakang, disamakan dengan barang-barang bawaan (Ummuki 2013, h.183).
Pada narasi tersebut bahkan digambarkan bahwa para TKW disamakan dengan barang. Pembantu merasa tidak berdaya dengan segala bentuk perlakuan dari majikannya itu. Hal tersebut berkaitan dengan apa yang disebut dengan interpelasi, yaitu suatu ajaran melalui mana seseorang akan ditempatkan posisinya di dalam suatu masyarakat. Seperti kata Althusser yang dikutip oleh Mills, individu ditempatkan sebagai subjek yang disadarkan mengenai posisinya dalam masyarakat. Manusia sendiri disebutkan menjadi subjek dalam dua dunia, yaitu subjek sebagai individu dan subjek dari suatu negara atau kekuasaan (Eriyanto 2001). Althusser dalam Eriyanto (2001, h.207) mengungkapkan: ‘Interpelasi di sini mengkonstruksi seseorang, membentuk subjek dalam posisinya dengan masyarakat dan bagaimana seharusnya bertindak’. Konsep interpelasi ini berhubungan dengan gagasan Althusser yang kedua yaitu mengenai kesadaran. Jika interpelasi merujuk pada bagaimana individu di posisikan dalam masyarakat, kesadaran berhubungan dengan penerimaan individu
Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
tentang posisi-posisi itu sebagai suatu kesadaran yang diterima sebagai suatu kenyataan dan kewajaran (Eriyanto 2001). Aku tidak banyak tanya pada majikan. Aku sadar bahwa aku hanyalah seorang pembantu yang tidak boleh banyak tahu urusan mereka (Ummuki 2013, h.16).
Hak sebagai manusia untuk mencari ilmu pun dirampas oleh para majikan. Hal tersebut dirasakan oleh Astina yang sebenarnya ingin melanjutkan jenjang pendidikan. Tapi majikannya menentang keras keinginannya tersebut. Namun majikanku rupanya sangat tidak suka kalau pembantunya pintar. Mereka tiba-tiba memutus kontrak kerjaku saat aku sudah bekerja hampir dua setengah bulan. Ketika kutanya mengapa mereka memutus kontrak kerja padahal aku tidak memiliki kesalahan apa pun. Mereka menjawab begini: “You are domestic helper! You come to Hongkong just looking for job, not for study!” (Triutami 2012, h.396).
Foucault menyebutkan bahwa suatu diskursus berhubungan erat dengan kebenaran (truth), pengetahuan (knowledge), dan kekuatan/kekuasaan (power). Diskursus mengenai pembantu ini juga demikian. Seorang majikan biasanya enggan jika pembantunya menjadi pintar dengan banyak membaca. Karena dengan membaca pembantu akan mengetahui tentang suatu kebenaran dan memiliki pengetahuan. Dengan begitu, mereka memiliki kekuatan untuk melawan majikannya. Larangan yang diberlakukan majikan ini juga merupakan suatu usaha untuk melanggengkan status quo mereka. Novel “Aku Bukan Budak” juga menunjukkan adanya wacana yang menggambarkan posisi TKW dari Indonesia dibandingkan TKW dari negara lain. Beberapa majikan menganggap bahwa TKW dari Indonesia lebih bodoh jika dibandingan dengan TKW dari Negara lain. “Sorry Sir, washing a car is not my job.” “Are you Fillipino?” “No, I’m Indonesian, jawabku mantap” “Ouh, it okay. Sorry.” Ia pikir yang bisa kritis hanyalah domestic helper dari Filipina saja? Aku, orang Indonesia, juga bisa. Tugasku di sana adalah bekerja, bukan menjadi budak perintah dalam durasi waktu kerja yang melebihi batas (Triutami 2012, h.363).
Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Cerita tersebut sekaligus juga terlihat adanya perlawanan atau resistensi yang dilakukan oleh Astina kepada majikannya. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya seorang pembantu memiliki kuasa. Novel juga digambarkan adanya pelecehan seksual yang dilakukan majikan terhadap pembantunya. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa kutipan dalam novel berikut ini: Sampai suatu hari ia mengalami pelecehan seksual dari tuannya yang ia sapa Abi. Karena pikirnya sedang tak ada orang di rumah, ia bernyanyi sambil sedikit berjoget, menggoyangkan pinggulnya. Tapi ia tiba-tiba menjerit ketika seseorang memeluknya dari belakang. …Abi sudah telanjang bulat saat memeluk Lastri. Lastri bilang “Ada benda keras menususk di pantat saya Teh”. Terang saja Lastri gemetar melihat Abi, tuan yang selama ini ia hormati itu, sedang menggenggam kemaluannya dan meminta Lastri untuk “mengerjainya” (Triutami 2012, h.170-171).
Penulisan kejadian tersebut, penulis seakan menggiring pembaca untuk berpersepsi bahwa hasrat dari majikan laki-laki timbul setelah mendengar Sulastri bernyanyi dan menggoyangkan pinggulnya. Seolah, kejadian itu terjadi karena kesalahan TKW yang menggoyangkan pinggulnya yang akhirnya menimbulkan syahwat dari majikannya. Wacana pemerkosaan tersebut juga sejalan dengan wacana yang ada di media massa, bahwa majikan digambarkan sering memperkosa para TKW. Wacana alternatif berupa perlawanan terhadap majikan juga ditampilkan oleh kedua penulis. Misalnya saja perlwanan yang dilakukan oleh Ummuki karena merasa kesal terhadap anak majikannya. Baru kali ini aku membantah omongannya. Menurutku ini benar-benar keterlaluan. Sebelumnya aku hanya diam bila disemprot seperti itu. Kali ini aku kehilangan kesabaran. Sudah terlalu sering shalatku diganggu oleh suara panggilan yang meneriakkan namaku. Kadang mereka memberi perintah di tengah shalatku. Layakkah? Etiskah? (Ummuki 2013, h.77).
Adanya perlawanan yang dilakukan oleh tokoh utama dalam novel menunjukkan adanya sebuah kekuatan perempuan dibalik siksaan-siksaan yang
Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
diterimanya. Hal ini juga suatu bentuk harapan agar TKW yang lainnya juga mau melawan jika memang apa yang dilakukan majikannya sudah keterlaluan. Hal tersebut juga sekaligus suatu bentuk himbauan secara tidak langsung agar pembaca maupun TKW yang lain mau melawan jika ada yang berbuat sewenang-wenang pada kita, sekaligus tidak selalu tunduk kepada relasi kuasa yang ada. Melalui penggambaran perlawanan-perlawanan itu, penulis berusaha menghadirkan wacana alternatif yang jarang ditampilkan di media. Hubungan antara TKW dengan TKW Hubungan yang terjadi antar sesama TKW, penulis novel “Aku Bukan Budak” beberapa kali melakukan pemisahan antara ‘aku’ dan ‘mereka’. Seperti yang ada pada kutipan novel berikut: Karena belajar dan setoran hafalanku lancar, aku disayang oleh Lause Antimi (Triutami 2012, h.163). Mereka, teman-teman yang terlihat tak senang pada kesiapanku syuting, banyak yang tidak sungguh-sungguh saat belajar dan menghafal…..mereka memilih ngerumpi…..Dasar orang kampung! (Triutami 2012, h.156).
Kutipan tersebut seolah menunjukkan bahwa tokoh ‘aku’ lebih unggul dibandingan ‘mereka’, para TKW yang lain. Tidak hanya pendeskripsian sifat, penulis juga mendeskripsikan masalah penampilan para TKW yang lain. Tak lama kemudian, aku melihat beberapa orang dari negaraku datang. Sikap mereka berbeda dengan kebanyakan orang yang kulihat sedang mengantre di sepanjang jalan antrean. Mereka terlihat norak, kampungan. Ada yang memakai stoking hitam dipadukan dengan rok jeans pendek, padahal ia gendutnya minta ampun. Rambutnya pun dicat merah. Begitu kontras dengan warna kulitnya yang berwarna hitam pekat. Seorang lagi berpakaian seperti laki-laki. (Triutami 2012, h.219).
Pendeskripsian dengan kesan negatif juga dituliskan penulis dalam halaman lainnya. Penulis berusaha menonjolkan siapa dirinya dan terkesan memarjinalkan TKW yang lain. Ada pemisahan antara “aku” dan “mereka”. Kesan yang ditimbulkan adalah timbul penggambaran yang lebih buruk terhadap kelompok “mereka”. Hal tersebut sesuai dengan apa yang telah dijelaskan sebelumnya. Salah satu konsekuensi
Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
dari adanya representasi adalah adanya kelompok yang digambarkan tidak semestinya, yaitu diperburuk (Eriyanto, 2001). Sedangkan dalam novel “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang”, tokoh Aku dideskripsikan sebagai tokoh yang peduli dengan temannya. Diceritakan bahwa Hanifa memberanikan diri mengambil telur ayam yang kemudian diberikannya kepada Nur, sahabatnya, yang dari hari ke hari dia lihat semakin kurus. Beberapa kali tokoh Aku juga mengungkapkan bahwa yang paling penting adalah nasib sahabatnya itu. Namanya juga sama-sama jauh di perantauan dan jauh dari keluarga. Sebagai teman sebangsa dan setanah air, kita harus saling membantu dan mengingatkan (Ummuki 2013, h.29).
Novel “Dari Tanah Haram ke Ranah Minang” lebih menonjolkan wacana normatif (normative discourse), bahwa sebagai orang yang senasib dan sedang berada di ‘negeri orang’ mereka harus saling membantu. Hubungan antar sesama TKW dalam novel ini digambarkan harmonis dan tanpa konflik.
Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
KESIMPULAN Kesimpulan yang bisa ditarik dalam penelitian ini adalah TKW masih diposisikan sebagai kaum marjinal. Wacana mengenai TKW yang ada dalam kedua novel tersebut masih sejalan dengan wacana dominan yang ada. TKW masih tersubordinasi oleh kapitalisme, majikan, dan bahkan sesamanya. Walaupun sering kali ditampilkan adanya wacana dominan berupa penindasan terhadap TKW, kedua novel juga menampilkan wacana lain berupa perlawanan yang dilakukan TKW terhadap individu maupun kelompok yang menindasnya. TKW digambarkan tidak lagi powerlessmelainkan bisa berpikir kritis dan melawan. Dalam kedua novel juga disisipkan pesan-pesan agar para TKW maupun perempuan pada umumnya agar berani. Hal ini merupakan sebuah enlightment kepada yang lain bahwa perempuan harus berani untuk memperjuangkan harga diri dan hak-haknya. Kedua novel ini berusah menunjukkan bahwa tidak selamanya perempuan tidak berdaya. DAFTAR PUSTAKA Adiptoyo, S 2004, Bahasa dan kekuasaan analisis wacana praktik sosial pemilihan bahasa untuk mata pelajaran muatan lokal bagi siswa etnis cina dalam pertarungan antara bahasa jawa dan bahasa mandarin, Tesis, Universitas Airlangga. Aziez, F & Hasim, A 2010, Menganalisis fiksi sebuah pengantar, Ghalia Indonesia, Bogor. Bobbitt, D 2011, Teaching mcluhan: understanding understanding media. Diakses tanggal 5 Mei 2014, dari http://www.enculturation.net/teaching-mcluhan Eriyanto, 2001, Analisis wacana: pengantar analisis teks media, LKis, Jogjakarta. Farida, A 2007, Islam menolak kekerasan survival perempuan buruh migran menyikapi kekerasan, Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, Jakarta. Firianisa, I 2011, Wacana perempuan tionghoa dalam novel indonesia paska reformasi (discourse analysis identitas perempuan beretnis tionghoa dalam teks novel dimsum terakhir karya clara ng), Skripsi, Universitas Airlangga O’shaughnessy, M 2006, Media and society: an introduction third edition, Oxford University Press, London.
Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Piliang, Y 2003, Hipersemiotika tafsir cultural studies atas matinya makna, Jalasutra, Yogyakarta. Strinati, D 2004, Popular culture. Jejak, Yogyakarta. Triutami, A 2012, Aku bukan budak, Libri, Jakarta. Ummuki, 2013,Dari tanah haram ke ranah minang, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Skripsi
WACANA TKW DALAM NOVEL “AKU BUKAN BUDAK” DAN “DARI TANAH HARAM KE RANAH MINANG”
NURISMA YUNITAMURTI