Dual Role Conflict Relationship with Satisfaction Work on the Married Women Teachers Bunga Triwahyuni Undergraduate Program, Faculty of Psychology Gunadarma University http://www.gunadarma.ac.id
Keywords: Multiple role conflict, job satisfaction, woman teacher who have married
ABSTRACT
Nowadays, more and more women who have married choice to working. One of the Profession that interested is teacher. In working, certainly they wants a satisfaction, But they often find a difficulty to get a job satisfaction because they can’t enter on their multiple role that bring about conflict which can influence the job satisfaction. The aim of this research is to know the relationship between multiple role conflict and job satisfaction of woman teacher who have married. Subject in this research are 75 woman teachers, who have married, 22-55 years old, have child who are 0-12 Years old, and have worked over one year. Result shows that there is a significant Correlation between multiple role conflict and job satisfaction of woman teacher who Have married, where the higher of multiple role conflict, the lower of job satisfaction she get. On the contrary, the lower of multiple role conflict, the higher of job Satisfaction she get.
Judul
: Hubungan Konflik Peran Ganda dengan Kepuasan Kerja pada Guru Wanita yang Telah Menikah
Nama
: Bunga Triwahyuni
Nama Pembimbing
: Dra. Lieke
Jurusan
: Psikologi
Email
:
[email protected]
Waluyo, M. Eng, PhL
Dewasa ini semakin banyak wanita yang telah menikah memilih untuk berkarir. Salah satu profesi yang banyak diminati ialah guru. Di dalam bekerja, tentunya mereka menginginkan suatu kepuasan, namun seringkali mereka sulit menemukan kepuasan kerja karena tidak dapat menjalani peran ganda mereka sehingga menimbulkan konflik yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara konflik peran ganda dengan kepuasan kerja pada guru wanita yang telah menikah. Subjek dalam penelitian ini adalah 75 guru wanita telah menikah, berusia 22-55 tahun, memiliki anak usia 0-12 tahun, dan memiliki masa kerja minimal 1 tahun. Dari hasil penelitian diketahui bahwa terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara konflik peran ganda dengan kepuasan kerja pada guru wanita yang telah menikah, yang berarti semakin tinggi konflik peran ganda semakin rendah kepuasan kerja guru wanita yang telah menikah. Sebaliknya, semakin rendah konflik peran ganda semakin tinggi kepuasan kerja guru wanita yang telah menikah. Nowadays, more and more women who have married choice to working. One of the profession that interested is teacher. In working, certainly they wants a satisfaction, but they often find a difficulty to get a job satisfaction because they can’t enter on their multiple role that bring about conflict which can influence the job satisfaction. The aim of this research is to know the relationship between multiple role conflict and job satisfaction of woman teacher who have married. Subject in this research are 75 woman teachers who have married, 22-55 years old, have child who are 0-12 years old, and have worked over one year. Result shows that there is a significant correlation between multiple role conflict and job satisfaction of woman teacher who have married, where the higher of multiple role conflict, the lower of job satisfaction she get. On the contrary, the lower of multiple role conflict, the higher of job satisfaction she get. Keyword: Multiple role conflict, job satisfaction, woman teacher who have married. Saat ini kesempatan bekerja bagi wanita Indonesia sudah terbuka lebar, sehingga hampir tidak ada
lapangan pekerjaan dan kedudukan yang belum dimasuki oleh kaum wanita baik sebagai dokter, guru, 1
2
pedagang, buruh, dan sebagainya. Karena sifat ketelitian dan kesabaran yang dimiliki wanita, banyak jenis pekerjaan yang mengutamakan tenaga kerja wanita seperti sekretaris dan pekerja sosial. Sekarang ini tidak hanya wanita tunggal yang memilih untuk bekerja, tetapi banyak juga wanita yang telah menikah dan mempunyai anak yang bekerja dengan alasanalasan tertentu. Salah satu profesi yang banyak dipilih oleh para wanita yaitu guru. Guru dipandang sebagai profesi yang cocok dengan sifat alamiah dasar wanita terutama yang telah menikah dan memiliki anak yang cenderung mendidik, membimbing, dan mengarahkan. Guru dalam arti sempit adalah seseorang yang menamatkan pelajarannya pada suatu lembaga pendidikan guru, sedangkan dalam arti luas guru merupakan orang dewasa yang memiliki tanggung jawab mengarahkan tingkah laku anak didik ke tujuan yang baik ( Napitupulu, 1969). Sedangkan menurut Sardiman (2004), guru merupakan salah satu unsur di bidang kependidikan yang harus berperan aktif dan menempatkan kedudukannya secara professional sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin berkembang, seorang guru harus memiliki persepsi filosofis dan ketanggapan yang bijaksana yang lebih mantap dalam menyikapi dan melaksanakan pekerjaannya. Pekerjaan guru, seperti halnya pekerjaan lainnya melibatkan proses
yang kompleks antara beberapa aspekaspek dalam pekerjaan, hal ini berarti penilaian karyawan atas seberapa puas atau tidak puasnya ia dengan pekerjaannya merupakan hasil yang kompleks dari beberapa elemen pekerjaan (Robbins, dalam Arofani dan Seniati, 2007). Kepuasan kerja merupakan salah satu bentuk sikap yang paling sering diteliti oleh para ahli dalam penelitian mengenai perilaku keorganisasian (Spector dalam Arofani dan Seniati, 2007). Sedangkan Wexley & Yukl (dalam As’ad, 2003) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja, salah satunya adalah karakteristik peran seperti ambiguisitas peran, konflik peran, dan beban peran berlebih (James & Sells dalam Arofani dan Seniati, 2007). Peran merujuk pada perilaku yang diharapkan dari individu sesuai dengan posisi yang mereka tempati dalam masyarakat (Linton dalam Goldman & Milman, 1969) Dengan bekerja, seorang guru wanita yang telah menikah apalagi yang telah memiliki anak akan memiliki peran yang ganda. Peran tersebut diantaranya yaitu sebagai seorang istri, seorang ibu, dan seorang guru. Sebagai seorang istri, ia harus memperhatikan keadan fisik, emosi, dan menampung keluh kesah suami (Frieze dalam Rachminiwati, 1988).
3
Sebagai seorang ibu, wanita merupakan pemegang tanggung jawab yang utama untuk memberikan perhatian fisik dan emosional pada anak. Selain itu ia juga bertanggungjawab untuk membekali kekuatan rohani dan jasmani kepada anak-anaknya dalam menghadapi segala tantangan jaman (Suwondo, 1981). Sebagai seorang guru, ia berperan sebagai pegawai dalam hubungan dengan kedinasan, sebagai bawahan terhadap atasannya, sebagai kolega dalam hubungan dengan teman sejawatnya, sebagai mediator dalam hubungannya dengan anak didik, sebagai pengatur disiplin, evaluator dan pengganti orang tua (Havighurst dalam Sardiman, 2004) Tuntutan seorang guru wanita untuk berperan ganda bukanlah hal yang mudah. Pada saat guru wanita mengejar karir, mereka dituntut untuk mendahulukan keluarga sebagai tanggung jawab tradisionalnya. Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lestari (dalam Ihromi, 1990) bahwa sebagian besar responden yang bekerja maupun yang tidak bekerja menjawab bahwa mengurus dan membimbing anak adalah peran utama seorang ibu. Sangsi yang ada dari masyarakat maupun keluarga dapat menimbulkan konflik peran ganda. Konflik didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang berada dibawah tekanan untuk berespon secara simultan terhadap dua atau lebih dorongan yang bertentangan (Atwaeter dalam Rachminiwati, 1988).
Sedangkan peran ganda menurut Frieze (dalam Rachminiwati, 1988) adalah menempati sejumlah posisi yang berbeda dan merupakan ciri khas semua orang. Jadi konflik peran ganda adalah kesulitan-kesulitan yang dirasakan dalam menjalankan kewajiban atau tuntutan peran yang berbeda secara bersamaan (Goode dalam Kaltsum, 2006). Sedangkan Zanden (1993) mengartikan konflik peran ganda sebagai suatu situasi yang tidak menyenangkan yang dapat bersumber dari diri individu, pasangan perannya, lingkungan sosial sehingga cenderung dihindari atau berusaha dicari jalan keluarnya. Konflik peran ganda yang dialami guru wanita yang berkeluarga kemungkinan akan mempengaruhi kepuasan kerja karena ketidakmampuan mereka menjalani lebih dari satu peran di saat yang sama dan mereka memiliki rasa cemas terhadap keadaan keluarganya ketika mereka sedang bekerja. Hal ini membuat mereka menjadi kurang terfokus pada pekerjaannya dan hasilnya akan dirasa kurang maksimal. Seperti yang dikatakan oleh Andrisani & Shapiro (Nieva & Gutek, 1981) bahwa tuntutan yang bertentangan antara keluarga dan pekerjaan menyebabkan penurunan kepuasan kerja dan kehadiran anak yang masih kecil memperbesar masalah. Kepuasan Kerja (Job Satisfaction)
4
Menurut Davis (1997), kepuasan kerja adalah kesenangan atau ketidaksenangan karyawan melihat pekerjaanmya. Karyawan akan merasa puas jika terdapat suatu kecocokan antara karakteristik pekerjaan dengan harapan atau keinginannya. Pendapat lain dikemukakan oleh Miner (1992) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan derajat kesesuaian antara apa yang diharapkan individu dari pekerjaannya dengan apa yang sebenarnya diterima dari pekerjaannya. Howell dan Dipboye (dalam Munandar, 2001) memandang kepuasan kerja sebagai hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya tenaga kerja terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya. Aspek-aspek Kepuasan Kerja pada Wanita Bekerja Menurut Fraser (1985) ada beberapa aspek-aspek kepuasan kerja pada wanita bekerja, antara lain: a. Rekan kerja yang ramah Bagi kebanyakan karyawan, bekerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan bahwa karyawan mempunyai rekan kerja yang ramah dan mendukung akan menghasilkan suatu kepuasan kerja. b. Penyelia yang penuh perhatian Penyelia bagi karyawan dianggap sebagai figur ayah dan sekaligus atasannya. Seorang atasan yang baik adalah atasan yang mampu
memperhatikan dan mendengarkan apa yang menjadi masalah bagi karyawannya, sekaligus menjaga hubungan yang baik antara atasan dengan bawahan. Perlakuan dan pandangan yang adil dari atasan akan menambah tingkat kepuasan bagi seorang karyawan. c. Manajemen yang efisien Manajemen yang efisien mampu memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil. Situasi dan kondisi yang stabil dapat diwujudkan dengan hubungan yang terjalin dengan baik antara atasan dan bawahannya. Apabila hubungan antara atasan dan bawahan ini positif maka tingkat kepuasan kerja pun akan positif. d. Gaji yang tinggi Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil, dan sejalan dengan pengharapan mereka. Bila upah dilihat sebagai adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar pengupahan komunitas maka kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan. Konflik Peran Ganda Secara umum peran ganda perempuan diartikan sebagai dua atau lebih peran yang harus dimainkan oleh perempuan dalam waktu bersamaan. Adapun peran-peran tersebut umumnya mengenai peran domestik,
5
sebagai ibu rumah tangga, dan peran publik yang umumnya dalam pasar tenaga kerja (Rustiani dalam Supartiningsih, 2003). Peran ganda berhubungan dengan posisi ganda yang dipegang oleh individu, sering dalam berbagai seting lembaga, rumah, tempat ibadah, lembaga pelayanan, dan pekerjaan. Pada masing-masing organisasi dimana ia menjadi anggotanya, ia menempati suatu posisi khusus dan menjalankan aktivitas tertentu berhubungan dengan perannya tersebut (Katz &Rosenwigh, 1979). Kesulitan muncul dalam situasi dimana terdapat kebingungan dalam persepsi individu mengenai peranperan mereka. Hal ini yang disebut dengan konflik. Derlega & Janda (1981) menyatakan bahwa konflik digambarkan sebagai kebutuhankebutuhan dan tujuan-tujuan yang berlawanan yang cenderung menarik seorang individu dalam dua arah yang berbeda. Menurut Atwaeter (dalam Rachminiwati, 1988) konflik terjadi pada saat seseorang berada dibawah tekanan untuk berespon secara simultan terhadap dua atau lebih dorongan yang bertentangan. Konflik peran ganda dapat diartikan sebagai situasi dimana harapan-harapan peran seseorang datang pada saat yang bersamaan, baik dari individu sendiri maupun dari lingkungan, tetapi bersifat bertentangan (Goldman dan Millman, 1969).
Zanden (1993) mengatakan konflik peran ganda adalah suatu situasi yang tidak menyenangkan yang dapat bersumber dari diri individu, pasangan perannya, lingkungan sosial sehingga cenderung dihindari atau berusaha dicari jalan keluarnya. Sedangkan menurut Bardwick (1971) mengatakan bahwa konflik peran ganda yang dihadapi wanita timbul bila ada keinginan untuk melibatkan diri baik peran pekerjaan maupun peran keluarga. Berdasarkan berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik peran ganda merupakan suatu kondisi dimana individu tidak mampu melaksanakan dua atau lebih peran yang berbeda, baik dari individu sendiri maupun dari lingkungan, yang sifatnya bertentangan. Bentuk-bentuk Ganda.
Konflik
Peran
Menurut Greenhaus dan Beutell (dalam Goldsmith, 1998) ada tiga bentuk konflik peran ganda, yaitu: a. Time-Based conflict Konflik yang terjadi karena tuntutan waktu dari peran yang satu mempengaruhi partisipasi dalam peran lain. Konsep-konsep yang termasuk dalam konflik ini diantaranya: waktu bekerja yang berlebihan, kurangnya waktu untuk pasangan atau anak, dan jadwal yang tidak fleksibel. b. Strains-Based conflict
6
Konflik yang disebabkan oleh gejala-gejala stress seperti kelelahan dan mudah marah, yang diakibatkan oleh satu peran mengganggu peran yang lain. Konflik ini melibatkan stress dalam keluarga dan pekerjaan, meluapnya emosi yang negatif dan dukungan dari pasangan. c. Behavior-Based conflict Konflik yang terjadi jika tingkah laku tertentu yang dituntut oleh satu peran mempersulit individu dalam memenuhi tuntutan peran yang lain, misalnya tuntutan peran keluarga dengan tuntutan pekerjaan. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik Peran Ganda Menurut Hewlett (2003) ada beberapa faktor yang mempengaruhi konflik peran ganda pada ibu yang bekerja, yaitu: a. Usia anak. Keterlibatan ibu dalam pengasuhan anak usia bayi dan prasekolah cenderung tinggi dibandingkan dengan anak di atas usia sekolah (Barnett & Baruch, 1985). Mereka mengidap kekhawatiran dan rasa bersalah karena dipenuhi bayangan bahwa anak kehilangan ibu atau sesuatu mungkin akan terjadi pada anak. Ibu bekerja mengalami konflik batin berkaitan dengan peran mereka sebagai ibu. b. Kualitas pengganti peran ibu
Ibu ini mengalami konflik batin berkaitan dengan peran mereka sebagai ibu, agar terbebas dari rasa bersalah tentang keadaan anak terutama ibu yang mempunyai anak balita maka dibutuhkan pengganti peran ibu. Pengganti peran ibu seperti baby sitter, nenek, atau pembantu rumah tangga yang merawat anak sangat dibutuhkan anak sebagai objek lekat pengganti selama ibu sebagai objek lekat terutama tidak ada di rumah atau ada di rumah tetapi sedang mengerjakan tugas kantor. c. Orang yang membantu pekerjaan rumah tangga. Ibu bekerja yang mempunyai anak di bawah usia delapan belas tahun tetap melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan belanja (Schaie & Willis, 1991). Ibu bekerja ini tidak pernah lepas dari perasaan bersalah karena tidak bisa menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Menurut Deutsh (1993), konflik antara peran wanita sebagai ibu rumah tangga dengan peran sebagai pekerja dapat berkurang apabila mereka mendapatkan bantuan tenaga keluarga atau pembantu rumah tangga. d. Usia ibu bekerja. Usia juga mempengaruhi konflik peran ganda pada ibu bekerja, terutama pada masa dewasa awal, dimana seorang wanita yang memiliki usia dewasa awal sekitar
7
21-35 tahun diharapkan memainkan peran ganda baru yaitu sebagai istri, ibu dan pekerja. Wanita pada masa ini dihadapkan pada kesulitan untuk menyeimbangkan antara tuntutan peran tugas kodrat dan tugas pekerjaan (Hurlock, 1992). Ibu pada masa dewasa awal mempunyai anak pada masa bayi, anak-anak, dan prasekolah yang menyita waktu dan energi ibu untuk mengasuh dan merawatnya. Guru Wanita Guru adalah salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar mengajar, yang berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan (Sardiman, 2004). Menurut Napitupulu (1969) guru dalam arti sempit adalah seseorang yang menamatkan pelajarannya pada suatu lembaga pendidikan guru, sedangkan dalam arti luas guru merupakan orang dewasa yang memiliki tanggung jawab mengarahkan tingkah laku anak didik ke tujuan yang baik Sedangkan Depdiknas (2004) mengatakan bahwa guru adalah salah satu tenaga pendidik yang memiliki tugas utama menjadi agen pembelajaran yang memotivasi, memfasilitasi, mendidik, membimbing dan melatih peserta didik sehingga menjadi manusia berkualitas yang mengaktualisasikan potensi
kemanusiaannya secara optimum, pada jalur pendidikan formal jenjang pendidikan dasar dan menengah, termasuk pendidikan anak usia dini formal. Pernyataan tersebut didukung oleh Syah (2001) bahwa guru merupakan tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar, dalam arti mengembangkan ranah cipta, rasa, dan karsa siswa sebagai implementasi konsep ideal mendidik. Peran-peran Guru Wanita yang Telah Menikah a. Peran di dalam keluarga 1) Istri Menurut Frieze (dalam Rachminiwati, 1988) peran sebagai istri timbul pada saat seorang wanita secara hukum meresmikan hubungannya dengan seorang pria melalui pernikahan. Sebagai seorang istri, ia memperhatikan keadaan fisik, emosi, menampung keluh kesah suami. Secara tradisional, peran wanita sebagai istri mendahului peran wanita yang lain. 2) Ibu Peran sebagai ibu adalah unik karena hanya wanita yang memiliki fungsi biologis yang memberikan kehidupan pada anak (mengandung dan melahirkan). Sebagai seorang ibu, wanita adalah pemegang tanggung jawab yang utama untuk memberikan perhatian fisik dan
8
emosional pada anak. Selain itu, ia juga bertanggungjawab untuk membekali kekuatan rohani dan jasmani kepada anak-anaknya dalam menghadapi segala tantangan jaman (Suwondo, 1981). Tanggung jawab terhadap pengasuhan dan sosialisasi anak balita serta perasaan pada pentingnya tanggung jawab tersebut adalah sumber kepuasan dan harga diri pada wanita terutama pada saat anak masih balita. b. Peran dalam pekerjaan sebagai guru Sehubungan dengan fungsinya sebagai pengajar, pendidik, dan pembimbing, maka diperlukan adanya berbagai peranan pada diri guru. Peranan guru ini menggambarkan pola tingkah laku yang diharapkan dalam berbagai interaksinya, baik dengan siswa, sesama guru, maupun dengan staf yang lain. Secara rinci peranan guru dalam kegiatan belajar mengajar, secara singkat dapat disebutkan sebagai berikut (Sardiman, 2004): 1) Informator Sebagai pelaksana cara mengajar informatif, laboratorium, studi lapangan dan sumber informasi kegiatan akademik maupun umum. 2) Organisator Guru sebagai organisator, pengelola kegiatan akademik, silabus, workshop, jadwal pelajaran dan lain-lain. 3) Motivator Guru harus dapat merangsang dan memberikan dorongan serta
reinforcement untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan aktivitas dan kreativitas, sehingga akan terjadi dinamika di dalam proses belajar mengajar. 4) Pengarah atau Director Dalam hal ini guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan. 5) Inisiator Dalam hal ini guru sebagai pencetus ide-ide dalam proses belajar. Tentunya ide-ide itu merupakan ide-ide kreatif yang dapat dicontoh oleh anak didiknya. 6) Transmitter Dalam kegiatan belajar guru juga akan bertindak selaku penyebar kebijaksanaan pendidikan dan pengetahuan. 7) Fasilitator Guru memberikan fasilitas dan kemudahan dalam proses belajar mengajar, misalnya dengan menciptakan suasana kegiatan belajar yang sedemikian rupa, serasi dengan perkembangan siswa, sehingga interaksi belajar mengajar akan berlangsung secara efektif. 8) Mediator Guru sebagai penengah dalam kegiatan belajar siswa serta sebagai penyedia media. Bagaimana cara memakai dan mengorganisasi. 9) Evaluator Guru memiliki otoritas memberikan penilaian terhadap anak didik. Evaluasi yang dimaksud adalah
9
evaluasi dalam menjatuhkan nilai atau kriteria keberhasilan. Wanita yang Telah Menikah Wanita adalah salah satu dari dua jenis manusia yang diciptakan. Sebagai manusia, wanita juga diharapkan mampu menjalankan semua hak-hak dan kwajiban yang terlimpah kepadanya (Shaqr, 2006). Murad (dalam Ibrahim, 2005), wanita adalah seorang manusia yang memiliki dorongan keibuan yang merupakan dorongan instinktif yang berhubungan erat dengan sejumlah kebutuhan organik dan fisiologis. Ia sangat melindungi dan menyayangi anak-anaknya terutama yang masih kecil. Sedangkan menurut Junaidi (2003) wanita adalah seorang ibu yang mengatur rumah tangga serta kehormatan yang wajib dijaga. Pernikahan merupakan suatu hubungan sosial antara seorang pria dan seorang wanita yang meliputi hubungan yang bersifat seksual, mengabsahkan kemampuan berproduksi dan tanggung jawab terhadap anak-anak secara legal dan menentukan peran antara masingmasing suami istri (Duval dan Miller, 1985) Menurut Undang-undang Pernikahan nomor 1 tahun 1974 pasal 1 (dalam Retnowati, 2003) menyatakan bahwa pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan menurut pendapat Kartono (1989), pernikahan merupakan suatu peristiwa dimana mempelai atau sepasang calon suamiisteri dipertemukan secara formal di hadapan penghulu atau kepala agama tertentu, para saksi, dan sejumlah hadirin, untuk kemudian disyahkan secara resmi sebagai suami-isteri dengan upacara dan ritual tertentu.. Pernikahan merupakan komitmen atau janiji suci antara dua orang yang berikrar untuk bersama selamanya sampai kematian yang memisahkan (Benokraitis, 1996). Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian wanita yang telah menikah yaitu seorang yang memiliki sifat feminim dan keibuan yang merupakan dorongan instinktif yang berhubungan erat dengan sejumlah kebutuhan organik dan fisiologis yang telah berikrar untuk bersama selamanya dengan seorang pria dihadapan penghulu, atau kepala agama tertentu, para saksi, dan sejumlah hadirin serta disyahkan secara resmi sebagai suamiisteri dengan upacara dan ritual tertentu. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: ”Terdapat hubungan negatif antara konflik peran ganda dengan kepuasan kerja pada guru wanita yang telah menikah.
10
Dimana semakin tinggi konflik peran ganda semakin rendah kepuasan kerja pada guru wanita yang telah menikah, dan sebaliknya, semakin rendah konflik peran ganda semakin tinggi tingkat kepuasan kerja pada guru wanita yang telah menikah. Metode Partisipan Subjek penelitian ini adalah guru wanita yang telah menikah, berusia 22-55 tahun, memiliki anak usia 0 - 12 tahun karena wanita pada usia 22 – 55 tahun, dan memiliki masa kerja minimal satu tahun. Jumlah sampel penelitian dalam penelitian ini adalah 75 responden guru dari 26 guru wanita SMA N 6 Bogor dan 24 guru wanita dari SMPN 9 Bogor, dan 25 guru wanita di lingkungan RW 12 dan RW 13 keluruhan Padasuka, Ciomas kota Bogor kepada 25 guru wanita. Pengukuran Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah alat ukur konflik peran ganda yang dikembangkan berdasarkan variabel bentuk konflik peran ganda Greenhaus dan Beutell (dalam Goldsmith, 1998) yang kemudian diadaptasi dan disesuaikan untuk kondisi guru wanita. Alat ukur konflik peran ganda ini terdiri dari 30 pernyataan yang mengukur 3 bentuk konflik peran
ganda, yaitu time-based conflict, strains-based conflict, dan behaviorbased conflict. Bagian kedua adalah alat ukur kepuasan kerja yang dikembangkan berdasarkan aspek-aspek kepuasan kerja pada wanita bekerja dari Fraser (1985). Alat ukur ini berbentuk kuesioner dengan 30 pernyataan yang mengukur 4 aspek kepuasan kerja pada wanita bekerja, yaitu rekan kerja yang ramah, penyelia yang penuh pengertian, manajemen yang efisien, dan gaji yang tinggi. Pada kedua alat ukur tersebut digunakan skala dengan rentang mulai dari (4) sangat sesuai hingga sangat tidak sesuai (1). Responden diminta untuk memilih salah satu angka dari 1 hingga 4 tersebut. Untuk item yang tidak menyenangkan, skala yang digunakan tetap sama, tetapi penilaian skornya dibalik, dimana (1) sangat setuju hingga (4) sangat tidak setuju. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan untuk mengetahui hubungan konflik peran ganda dengan kepuasan kerja guru wanita yang telah menikah dalam penelitian ini adalah perhitungan korelasi dengan teknik Pearson’s Product Moment. Hasil Deskripsi Subjek Penelitian Deskripsi subjek dilakukan dengan membagi subjek yang berjumlah 75 orang wanita yang
11
bekerja sebagai guru dan telah menikah menjadi beberapa kelompok berdasarkan usia, usia anak terkecil, masa kerja, dan ada/tidak adanya pembantu rumah tangga. Pada kelompok ini dibagi-bagi lagi berdasarkan sub-sub bagiannya. Pada deskripsi subjek berdasarkan usia, subjek dibagi menjadi subjek yang berusia 22 sampai 35 tahun, usia 36 sampai 45 tahun, dan usia 46 sampai 55 tahun. Deskripsi subjek
berdasarkan usia anak terkecil 0-12 tahun dibagi menjadi usia bayi (0 sampai 2 tahun), usia prasekolah (2 sampai 5 tahun) dan usia sekolah (6 sampai 12 tahun). Kemudian deskripsi subjek berdasarkan masa kerja terdiri dari 1 sampai 4 tahun, 5 sampai 8 tahun, serta 9 sampai 11 tahun dan deskripsi berdasarkan ada/tidaknya pembantu rumah tangga dibagi menjadi ada dan tidak.
Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan perhitungan statistik non parametrik yaitu dengan teknik Product Moment Spearman, diperoleh koefisien korelasi berarah negatif sebesar -0,864 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p≤0,01). Hal ini berarti terdapat hubungan negatif yang sangat
signifikan antara konflik peran ganda dengan kepuasan kerja pada guru wanita yang telah menikah, yang berarti semakin tinggi konflik peran ganda semakin rendah kepuasan kerja guru wanita yang telah menikah. Sebaliknya, semakin rendah konflik peran ganda semakin tinggi kepuasan kerja guru wanita yang telah menikah.
Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa terdapat hubungan berarah negatif antara konflik peran ganda dengan kepuasan kerja yang sangat signifikan pada guru wanita yang telah menikah, yang berarti semakin tinggi konflik peran ganda semakin rendah kepuasan kerja pada guru wanita yang telah menikah, demikian sebaliknya, semakin rendah konflik peran ganda semakin tinggi kepuasan kerja pada guru wanita yang telah menikah. Hal tersebut sesuai pendapat Kossek dan Ozeki (1998)
bahwa konflik peran ganda berpengaruh negatif terhadap pekerja, dimana pekerja menjadi sering absen, motivasi untuk melakukan pekerjaan rendah, prestasi kerja menurun dan kepuasan kerja rendah. Hewlett (2003) juga mengatakan bahwa konflik peran ganda bersifat psikologis, misalnya timbul gejala rasa bersalah, gelisah, cemas dan frustrasi yang menurunkan kesehatan fisik dan mental ibu bekerja. Hal ini akan merugikan tempat wanita bekerja karena akan menurunkan kualitas sumber daya manusia,
12
kepuasan kerja menurun, dan sering tidak masuk kerja. Berdasarkan perbandingan mean hipotetik dan mean empirik konflik peran ganda subjek penelitian berada dalam kategori rendah. Hal ini dikarenakan sebagian besar subjek penelitian berusia 36-45 tahun, dimana guru wanita pada usia ini dapat menyesuaikan diri dalam menghadapai peran gandanya. Sesuai dengan hasil penelitian Helson dan Wink (1992) bahwa wanita di awal usia 40 tahun bertambah stabil dan mudah menyesuaikan diri. Kemampuan penyesuaian diri ini juga berlaku di dalam pekerjaan. Pendapat lain juga dikemukakan oleh Stevens-Long (1984) bahwa wanita pada usia 35-55 tahun memiliki tugas perkembangan untuk mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karir dan tetap bertanggung jawab terhadap keluarga. Pada variabel kepuasan kerja mean empirik diperoleh 90,11 berada diantara MH+1 SD dan MH+2 SD, hal ini menunjukkan subjek penelitian berada pada kategori tinggi. Hal ini
kemungkinan terjadi karena sebagian besar subjek penelitian memiliki pembantu rumah tangga. Tugas guru wanita sebagai ibu rumah tangga yang bertugas merawat serta mengasuh anak mulai berkurang karena digantikan dengan adanya peran pembantu rumah tangga sehingga membuat guru wanita dapat berkonsentrasi melakukan tugasnya di sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat Grace (1998) bahwa adanya peran pengganti ibu rumah tangga (pembantu rumah tangga) akan membantu ibu dalam melaksanakan dan lebih fokus terhadap pekerjaannya. Pendapat lain dikemukakan Deutsh (1993) bahwa konflik antara peran wanita sebagai ibu rumah tangga dengan peran sebagai pekerja dapat berkurang apabila mereka mendapatkan bantuan tenaga keluarga atau pembantu rumah tangga. Selain perbandingan mean empirik dan mean hipotetik di atas, di bawah ini akan dijelaskan konflik peran ganda dan kepuasan kerja berdasarkan usia. Deskripsi subjek berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1: Deskripsi Subjek Berdasarkan Usia Penggolongan
Jumlah
Mean Konflik Peran Ganda
Mean Kepuasan Kerja
22-35 tahun
16
79,1
66,5
36-45 tahun
44
56,14
91,3
46-55 tahun
15
47,73
98,93
13
Dalam penelitian ini terdapat pula penggolongan berdasarkan usia subjek penelitian. Subjek yang berada pada usia 22-35 tahun memiliki konflik peran ganda yang lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lainnya. Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena wanita pada usia tersebut berada dalam masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Dimana wanita harus menyesuaikan perannya sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pekerja. Di sisi lain, wanita pada usia tersebut belum memiliki pengalaman untuk mengatasi konflik peran ganda yang dialami. Hal ini diungkapkan oleh Hurlock (1992) bahwa wanita di awal usia 22 tahun dihadapkan pada kesulitan untuk menyeimbangkan antara tuntutan peran tugas kodrat sebagai ibu, istri dan sebagai pekerja. Sedangkan Wiessma (1990) menyatakan ibu bekerja yang mempunyai anak pada masa-masa usia dewasa awal (21-35 tahun) berada dalam posisi yang sulit dalam hal pengaturan waktu karena anak membutuhkan perawatan serta pengasuhan yang menyita waktu dan energi ibu. Di sisi lain, perannya
sebagai pekerja dituntut untuk dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Sedangkan pada variabel kepuasan kerja subjek usia 36-45 tahun cenderung memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi dari kelompok usia 22-35 tahun. Hal ini kemungkinan karena wanita pada usia ini dapat menyesuaikan diri dalam menghadapi peran gandanya. Sesuai dengan hasil penelitian Helson dan Wink (1992) bahwa wanita di awal usia 40 tahun bertambah stabil dan mudah menyesuaikan diri. Kemampuan penyesuaian diri ini juga berlaku di dalam pekerjaan. Pendapat lain juga dikemukakan oleh Stevens-Long (1984) bahwa wanita pada usia 35-55 tahun memiliki tugas perkembangan untuk mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karir dan tetap bertanggung jawab terhadap keluarga. Konflik peran ganda dan kepuasan kerja berdasarkan usia anak terkecil dapat dijelaskan pada tabel 2 berikut ini:
Tabel 2: Deskripsi Subjek Berdasarkan Usia Anak Terkecil Penggolongan
Jumlah
Mean Konflik Peran Ganda
Mean Kepuasan Kerja
Usia bayi (0-2 tahun)
26
50
74,3
Usia prasekolah (2-5 tahun)
29
69,10
71,4
Usia sekolah (6-12 tahun)
20
48,55
95,03
14
Usia anak terkecil juga dapat mempengaruhi konflik peran ganda pada guru wanita. Hal ini dapat dilihat pada guru wanita yang mengalami konflik peran ganda tinggi terjadi saat guru wanita yang memiliki anak pada usia prasekolah (2-5 tahun). Hal ini terjadi karena guru wanita yang memiliki anak pada usia prasekolah sedang berada dalam posisi sulit. Dimana, ibu sebelum berangkat kerja harus menyiapkan keperluan sekolah untuk anak, karena anak pada usia prasekolah belum bisa mandiri sehingga anak masih membutuhkan bantuan ibu. Menurut Barnett dan Baruch (1985) bahwa keterlibatan ibu dalam pengasuhan anak usia prasekolah cenderung tinggi dibandingkan anak di atas usia sekolah. Wiessma (1990) mengatakan bahwa anak pada usia prasekolah membutuhkan ibu sebagai objek lekat, ibu akan merasa bersalah karena merasa telah mengabaikan kebutuhan emosional anak, merasa cemas tentang keadaan anak di rumah dan menyesal telah kehilangan moment penting dalam perkembangan anak. Selain itu, pada variabel kepuasan kerja guru wanita yang memiliki anak usia sekolah (6-12 tahun) cenderung memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia anak terkecil lainnya. Hal ini kemungkinan dikarenakan anak mulai beranjak besar sehingga ibu dapat berkonsentrasi penuh terhadap pelaksanaan kerjanya
sehingga tercapai kepuasan dalam bekerja. Dengan anak yang berusia sekolah dibandingkan dengan anak yang usianya lebih kecil perannya sebagai ibu rumah tangga menjadi berkurang, karena anak-anak pada usia sekolah sudah dapat diserahi tanggung jawab untuk mengerjakan tugas rumah tangga misalnya membersihkan rumah, dengan demikian ibu lebih dapat berperan penuh terhadap pekerjaannya. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Hewlett (2003) bahwa anak pada usia sekolah memberikan pengaruh negatif yang sedikit dibandingkan anak-anak usia balita karena anak usia sekolah tidak terlalu membutuhkan pengawasan dan pengasuhan ibu. Berdasarkan deskripsi subjek penelitian menurut masa kerja, dapat dilihat pada tabel 3. Dilihat dari deskripsi berdasarkan masa kerja subjek penelitian, guru wanita yang memiliki masa kerja 1 sampai 4 tahun cenderung memiliki konflik peran ganda yang tinggi. Hal ini kemungkinan terjadi karena guru wanita baru memasuki dunia kerja yang berarti mulai peran baru dan bertanggung jawab sebagai guru, dimana mereka harus dapat menyesuaikan dan berkompetensi ketika memasuki dunia kerja. Di sisi lain, peran wanita sebagai ibu dan istri menuntut perhatian dan membutuhkan waktu serta energi. Hal ini menyebabkan wanita menjadi bingung untuk menentukan prioritas dan
15
merasakan ketegangan dalam menjalankan kedua peran antara peran sebagai ibu dan peran sebagai guru. Hal ini sejalan dengan pendapat Nainggolan (1996) bahwa peran ganda yang dijalankan oleh seorang ibu akan
sarat dengan situasi konflik, ibu yang bekerja menjadi tidak dapat lepas dari rasa bersalah karena tidak dapat menjadi ibu rumah tangga yang seutuhnya.
Tabel 3: Deskripsi Subjek Berdasarkan Masa Kerja Penggolongan
Jumlah
Mean Konflik Peran Ganda
Mean Kepuasan Kerja
1-4 tahun
27
75,5
78,7
5-8 tahun
37
48,54
97,2
9-12 tahun
11
46,9
101,7
Pada variabel kepuasan kerja, guru wanita memiliki masa kerja 9 sampai 12 tahun memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi. Hal ini dapat terjadi karena guru wanita mempunyai semangat kerja dengan kepuasan kerja yang relatif tinggi pada puncak karirnya sebab pada masa itu guru wanita mempunyai pertimbanganpertimbangan untuk hari tuanya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ornstein (dalam Olivia, 2004) yang menunjukkan hubungan yang positif antara masa kerja dengan kepuasan kerja, dengan kata lain seorang guru wanita dengan masa
kerja yang lebih lama maka kepuasan kerjanya lebih tinggi dibandingkan guru wanita dengan masa kerja yang relatif masih baru. Pernyataan tersebut juga didukung oleh hasil penelitian skala besar mengenai guru di Amerika oleh National Center for Education Statistic (Bogler dalam Arofani & Seniati, 2007) bahwa guru yang telah mengajar lebih lama lebih puas dibandingkan guru yang baru mengajar karena mereka lebih berpengalaman. Berdasarkan deskripsi subjek penelitian menurut ada/tidaknya pembantu rumah tangga dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini:
Tabel 4: Deskripsi Subjek Berdasarkan Ada/Tidaknya Pembantu Rumah Tangga Penggolongan
Jumlah
Mean Konflik Peran Ganda
Mean Kepuasan Kerja
Ada
46
48,72
98,1
Tidak
29
82,5
67,4
16
Data di atas menunjukkan bahwa tidak adanya pembantu rumah tangga menyebabkan subjek cenderung memiliki konflik peran ganda yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang memiliki pembantu rumah tangga. Hal ini terjadi karena guru wanita mengalami kesulitan untuk memenuhi tuntutannya baik sebagai ibu, istri, maupun guru. Di rumah ibu dituntut untuk memenuhi tugas sebagai ibu yang harus mengasuh dan merawat anak yang menyita waktu dan energi. Sedangkan di sekolah dituntut untuk dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik, seperti mengajar dan mendidik murid-muridnya. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Nainggolan (1996) yang mengatakan bahwa ibu akan merasa bimbang ketika harus mengerjakan pekerjaannya di kantor sementara tidak ada orang yang membantunya terutama dalam hal pengasuhan anak. Pendapat lain dikemukakan Hoffman & Nye (1974) yang menyatakan bahwa ibu bekerja akan mengalami konflik batin dan merasa bersalah berkaitan dengan perannya sebagai ibu apabila tidak adanya pengganti peran ibu, seperti baby sitter, atau pembantu rumah tangga. Pada variabel kepuasan kerja, adanya peran pembantu rumah tangga menyebabkan subjek memiliki kepuasan kerja lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang tidak memiliki pembantu rumah
tangga. Hal ini kemungkinan terjadi karena tugas wanita sebagai ibu rumah tangga yang bertugas merawat serta mengasuh anak mulai berkurang karena digantikan dengan adanya peran pembantu rumah tangga sehingga membuat guru wanita dapat berkonsentrasi melakukan tugasnya di sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat Grace (1998) bahwa adanya peran pengganti ibu rumah tangga (pembantu rumah tangga) akan membantu ibu dalam melaksanakan dan lebih fokus terhadap pekerjaannya. Sedangkan Burley (1995) mengatakan bahwa adanya bantuan tenaga dari orang lain untuk melakukan pekerjaan rumah tangga menyebabkan wanita bekerja dapat mengelola konflik peran gandanya sehingga dapat menjalankan perannya sebagai pekerja seutuhnya. Kesimpulan 1. Ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara konflik peran ganda dengan kepuasan kerja guru wanita yang telah menikah. Hal ini berarti jika konflik peran ganda tinggi maka kepuasan kerja pada guru wanita yang telah menikah rendah. Sebaliknya, jika konflik peran ganda rendah maka kepuasan kerja pada guru wanita tinggi. 2. Konflik peran ganda subjek penelitian berada dalam kategori rendah sedangkan kepuasan kerja subjek penelitian berada dalam kategori tinggi.
17
3. Subjek yang berada pada usia 22 sampai 35 tahun memiliki konflik peran ganda yang tinggi, sebaliknya subjek yang berada pada usia 36 sampai 45 tahun memiliki kepuasan kerja yang tinggi. 4. Berdasarkan usia anak terkecil, subjek memiliki konflik peran ganda tinggi saat anak berada pada usia pra sekolah (2 sampai 5 tahun) dan subjek memiliki kepuasan kerja tinggi saat anak memasuki usia sekolah (6 sampai 12 tahun). 5. Berdasarkan masa kerja, subjek yang memiliki masa kerja 1 sampai 4 tahun memiliki konflik peran ganda tinggi. Sebaliknya subjek memiliki kepuasan kerja tinggi pada masa kerja 9 sampai 12 tahun. 6. Subjek yang memiliki pembantu rumah tangga menunjukkan konflik peran ganda yang lebih rendah serta kepuasan kerja yang tinggi dibandingkan dengan subjek yang tidak memiliki pembantu rumah tangga.
Saran Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang diberikan adalah sebagai berikut: 1. Bagi subjek penelitian Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa adanya peran pembantu rumah tangga dapat mengurangi konflik peran ganda
yang dialami. Oleh karena itu, disarankan kepada subjek penelitian dalam hal ini adalah guru wanita yang telah menikah untuk dapat menjaga keberadaan pembantu rumah tangga, diantaranya dengan cara menghargai kerja mereka dan memperhatikan kebutuhan mereka. Selain itu, agar konflik yang dialami dapat berkurang, hendaknya guru wanita yang telah menikah dapat menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan peran yang dimiliki seperti dengan mengatur waktu antara mengajar dan mengurus anak atau menyempatkan waktu untuk beristirahat karena kelelahan juga dapat menimbulkan konflik peran ganda. 2. Bagi instansi pendidikan Bagi instansi pendidikan, hendaknya dapat memperhatikan apa yang dibutuhkan bawahannya agar mereka dapat merasakan kepuasan dalam bekerja sehingga mereka dapat mengajar dengan baik, serta memberi dukungan kepada guru wanita yang telah menikah agar dapat mengelola konflik peran gandanya dengan baik. 3. Bagi masyarakat luas Untuk masyarakat luas, disarankan untuk dapat memberikan dukungan terhadap wanita bekerja yang telah menikah, khususnya dalam hal ini ialah wanita yang bekerja sebagai guru karena peran ganda mereka
18
dapat menimbulkan konflik apabila tidak dapat dijalankan dengan baik sehingga kepuasan kerja mereka pun menjadi rendah. Dukungan yang dapat diberikan diantaranya seperti membantu sesuai kemampuan jika mereka mengalami kesulitan dalam menjalankan peran-peran mereka atau menghargai dan tidak merendahkan profesi mereka sebagai guru. 4. Bagi penelitian selanjutnya Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa ada faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi konflik peran ganda dan kepuasan kerja pada wanita yang telah menikah seperti dukungan suami dan kualitas pengganti peran ibu. Oleh karena itu, disarankan bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti faktorfaktor tersebut. Daftar Pustaka Arofani, R. A., & Seniati, A. N. L. (2007). Iklim psikologis dan kepuasan kerja (Studi pada guru SD Islam Al-Azhar Bekasi). Phronesis Jurnal Ilmiah Psikologi Industri dan Organisasi, 9 (1), 13-28. As’ad, M. (2003). Seri ilmu sumber daya manusia: Psikologi industri. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta Bardwick, J. (1971). Psychology at women: a study of biocultural conflict. New York: Harpen & Row.
Barnett, R.C., & Baruch, G.K. (1985). Women’s involment in multiple roles and psychological distress. Florida: Academic Press, Inc. Benokraitis, N. N. (1996). Merriages and families: change, choices and constraints 2nd ed. New jersey: Prentice Hall, Inc. Burley, K.A. (1995). Family variables as mediators of the relationship between work-familiy conflict and marital adjustment among dual career men and women. USA: Harper and Row Publishers, Inc. Dariyo, A. (2003). Psikologi perkembangan dewasa muda. Jakarta: Grasindo Davis, K. (1997). Human behavior at work: organizational behavior. New York: Mc. Graw Hill, Inc. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. (2004). Program pembangunan nasional tahun 2004-2005: Pembangunan pendidikan. Diakses tanggal 3 Mei 2010. http://www.depdiknas.go.id Derlega & Janda. (1981). Personal adjustment: the psychology of everyday life. Glenview, Illinois: Scott, Foresman and Company. Deutsch, F.M. (1993). Husband at home: predictor of paternal participation in children and housework. New York: John Wiley & Sons, Inc. Duvall, E.M., & Miller, B.C. (1985). Marriage & family development
19
6th ed. New York: Harper & Row Publisher. Fraser, T.M. (1985). Stress dan kepuasan kerja. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo, LPPM. Goldman, G.D., & Milman, D.S. (1969). Modern women: her psyche and sexuality. Springfield, Illinois: Charles C. Thomas Publisher. Goldsmith, E. B. (1998). Work and family: theory, research, and application. London: Sage Publication, Inc. Grace, M. (1998). The work of caring for young children: priceless or workless. New York: John Wiley & Sons, Inc. Helson, R., & Wink, P. (1992). Personality change in women from early 40s to the early 50s. London: Sage Publication. Hewlett, S.A. (2003). Wanita, karir dan keluarga. Yogyakarta: Dolphin Books. Hoffman, L.W., & Nye, F.L. (1974). Working mother an evaluation review of the consequences for wife, husband, and child. San Fransisco: Jossey Bats Publisher. Hurlock, E. (1992). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga. Ibrahim, S.A. (1992). Menopause “apakah anda sudah di sana?”. Jakarta: IND-HILLCO
Ihromi, T.O. (1990). Para ibu yang berperan tunggal dan yang berperan ganda. Laporan penelitian. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI. Junaidi. (2003). Tata kehidupan wanita dalam syariat Islam. Jakarta: Wahyu Press. Kartono, K. (1989). Psikologi wanita jilid 1. Bandung: CV. Munandar Maju. Kossek, E.E., & Ozeki, C. (1998). Work-familiy conflict, policies an the job-life satisfaction relationship: A review and direction for organizational behavior-human resources research. London: Sage Publication. Lindzey, G., & Aronson. (1969). The handbook of social psychology (Second edition). Massachussetts: Addision Wesley Publishing Company. Miner, J. B. (1997). Industrial organization psychology. Singapore: Mc Graw Hill Munandar, A.S. (2001). Psikologi industri dan organisasi. Jakarta: Universitas Indonesia. Nainggolan, L.M. (1996). Studi kasus tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan untuk berhenti bekerja pada wanita setelah kelahiran anak pertama. Jurnal psikologi dan masyarakat. Jakarta: Universitas Indonesia. Napitupulu, W. P. (1969). Dimensidimensi pendidikan. Bandung: Grafika.
20
Nieva, V.F., & Gutek, B. A. (1981). Women and work: a psychological perspective. New York: Praeger Publisher. Olivia, P. (2004). Hubungan diantara kepuasan kerja, kepuasan imbalan, kepuasan keadilan, imbalan dan kepuasan hidup pada karyawan. Skripsi (tidak diterbitkan). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Parker, S. R., Brown, R. K., Child, I., & Smith, M. A. (1990). Sosiologi industri. Disadur oleh Kartasapoetra, G. Jakarta: Rineka Cipta. Rachminiwati. (1988). Efek peran jenis kelamin wanita bekerja pada konflik peran: Studi deskriptif terhadap wanita bekerja yang berperan ganda. Skripsi (tidak diterbitkan). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Retnowati, D. (2003). Gambaran gaya cinta pada individu dewasa menengah dalam usia pernikahan 20-35 tahun. Tesis. (tidak diterbitkan). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Sardiman, M. A. (2004). Interaksi dan motivasi belajar mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Schaie, K.W., & Willis, S.L. (1991). Adult development and aging
(third edition). USA: Harpes Collins Publisher. Shaqr. (2006). Wanita-wanita pilihan. Jakarta: Qisthi Press. Steven-Long, J. (1984). Adult-life development processes. California: Mayfield Publishing Company. Supartiningsih. (2003). Peran ganda perempuan, sebuah analisis filosofis kritis. Jurnal Filsafat, 33(1), 42-54. Suwondo, N. (1981). Kedudukan wanita Indonesia dalam hokum dan masyarakat. Indonesia: Ghalia. Syah, M. (2001). Psikologi pendidikan dengan pendekatan baru (edisi revisi). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Wiessma, V.J. (1990). Gender differences in job attribute preferences: Work-home role conflict and job level as mediating variables. San Fransisco: Jossey Bats Publisher. Zanden, J.W.V. (1993). Human development (fifth edition). New York: Mc. Graw hill, Inc.
21