Anak
i
Judul : Mari Memahami dan Melindungi Anak Melalui Inklusi Sosial copyright@ Samitra Abhaya dan Sanggar SIWI Jl. Gunung Anyar Jaya I Blok C1, Surabaya Website: samitraabhaya.co.id Tim Penyusun: Rosana Yuditia Yunita Dwi Liandarwati Pundi Palupi Editor: Rosana Yuditia Desain Cover & Ilustrasi: Dodo ds Layout dan Cetak: dinoSaturday
Diterbitkan Oleh: Samitra Abhaya KPPD untuk Program PEDULI Cetakan Pertama: Oktober 2015
ii
Pengantar
S
logan “anak (generasi muda) adalah generasi penerus bangsa” ; “generasi muda adalah penentu masa depan” dan kalimat-kalimat serupa lainnya, menunjukkan betapa penting peranan generasi muda Indonesia bagi keberlanjutan dan masa depan bangsa ini. Slogan ini dibuat untuk selalu mengingatkan kita bahwa generasi muda sekaranglah yang akan melanjutkan kerja kita nanti. Mereka adalah sumber daya manusia dari bangsa ini, yang nanti akan menjadi polisi, aktivis, PNS, dokter, pilot, gubernur, presiden, penyanyi, anggota DPR, menteri, perawat, guru dan berbagai peran lainnya. Bahwa di tangan mereka nanti, kita akan menggantungkan nasib. Namun, bagaimana kondisi nyata generasi muda kita saat ini? Sebelum memahami lebih dalam kondisi mereka, penting bagi kita untuk menyamakan persepsi dengan mengetahui sekilas bahwa ada banyak perundangan yang mengatur definisi anak. Sedangkan sebutan generasi muda, kita kenal dari Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993. Generasi muda adalah anak bangsa yang masih muda, semua warga negara Indonesia yang berusia 0 – 30 tahun (GBHN, 1993). Anak merupakan faktor utama dalam generasi muda, anak adalah generasi muda yang masih belum dewasa dan tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan atau memutuskan apa yang baik untuk diri mereka, anak juga tidak bisa disamakan secara hukum (pidana dan perdata) dengan manusia dewasa. Anak adalah istimewa. Anak, adalah “Setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.” (UU No.39 thn 1999 ttg HAM Pasal 1 angka 5); “”Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun ( termasuk anak dalam kandungan).” (UU Perlindungan Anak no. 23 tahun 2002)
Akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan berbagai berita di media mengenai kekerasan yang terjadi pada anak, bahkan yang menimbulkan korban jiwa. Pembunuhan seorang anak di Bali yang diduga kuat karena motif harta, empat orang anak yang diambil paksa oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia iii
karena ditelantarkan oleh orang tuanya yang pengguna narkoba, murid sekolah yang dianiaya guru dan teman sekolahnya, kasus kekerasan seksual anak (pedofilia) di sekolah ternama hingga di perkampungan, dan masih banyak lagi kasus kekerasan yang dialami oleh anak. Persoalan perlindungan anak mungkin masih terbatas pada anak yang mengalami kekerasan dan penyiksaan di rumah maupun di tempat umum, atau pada bagaimana cara melindungi anak dari pelaku kekerasan seksual ataupun eksploitasi pornografi pada anak. Itu semua tidak bisa dilepaskan atau dihapuskan apabila kita bicara mengenai keselamatan dan kepentingan anak. Perlindungan terhadap anak adalah mutlak karena anak tidak mampu melawan dan membuat keputusan atas dirinya sendiri. Posisi anak akan lebih inferior (lebih rendah kedudukannya) dibandingkan orang dewasa sehingga kecil kemungkinan mereka berani melawan ataupun membantah perintah dan keputusan orang dewasa. Tanpa kita sadari (atau mungkin sadar namun tidak paham) ada yang luput dari perhatian kita selama ini, yaitu anak-anak yang terpaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Keputusan mereka untuk bekerja dan tidak melanjutkan pendidikannya, bisa jadi adalah keputusan orang dewasa yang ada di sekitarnya (orang tua dan anggota keluarga lainnya), atau bisa juga karena “keinginan” anak itu sendiri. Namun, jika kembali ke definisi anak dan hak anak, maka siapapun yang berusia dibawah 18 tahun belum mempunyai kemampuan mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dan akan sangat bergantung kepada orang dewasa dalam menentukan langkah selanjutnya dalam hidup mereka. Anak-anak yang bekerja atau lazimnya disebut pekerja anak, adalah “Anak-anak baik laki-laki maupun perempuan yang terlibat dalam kegiatan ekonomi yang mengganggu dan menghambat proses tumbuh kembang dan membahayakan bagi kesehatan fisik dan mental anak. Definisi lain menyebutkan bahwa pekerja anak adalah sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil dengan gaji kecil dan dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka. (Undang- Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003) iv
Mempekerjakan anak, pada dasarnya bisa dikatakan melakukan eksploitasi atas tenaga anak untuk alasan nilai ekonomi. Tentu saja dengan upah yang kecil dan tanpa memperhatikan perkembangan kepribadian mereka, keamanannya, kesehatan, dan prospek masa depan. Anak tentu akan menuruti semua perkataan orang dewasa yang mempekerjakan mereka, karena adanya inferioritas dan superioritas. Orang dewasa sering kali menyalahgunakan kekuasaan dan kemampuan mereka untuk mengeksploitasi anak, mulai dari mempekerjakan anak, mengeksploitasi secara seksual, dijadikan tentara (lazim terjadi di negara Afghanistan, Kongo, Uganda, Myanmar, dan Somalia), diperlakukan sebagai hak milik (property) sehingga bisa diperdagangkan (human trafficking), dan masih banyak lagi penyalahgunaan kekuasaan orang dewasa terhadap anak. Akan selalu ada pro dan kontra ketika kita berbicara tentang anak dan perlindungan hak anak, karena pemikiran mengenai anak dan bagaimana cara memperlakukan mereka sangat beragam. Beberapa berkata bahwa wajar jika anak bekerja karena itu untuk melatih kemandirian anak, juga wajar jika memukul, memaki, atau menghukum secara fisik kepada anak untuk melatih disiplin dan rasa hormat anak pada orang dewasa. Namun, tidak sedikit pula yang berkata bahwa anak adalah masa depan orang tua, sehingga anak harus menuruti semua kemauan dan keinginan orang tua, mulai dari pendidikan tingkat lanjut (kuliah), hingga jenis pekerjaan yang harus diambil oleh anak. Orang tua atau dewasa seringkali lupa, ketika anak sudah berusia 18 tahun, dia sudah dianggap dewasa dan diharapkan mampu mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Tugas orang dewasa adalah mempersiapkan anak-anak selama usia mereka 0-18 tahun agar nantinya menjadi manusia dewasa yang berguna bagi dirinya sendiri dan orang lain. Oleh karena itu dibutuhkan pengetahuan dan pemahaman bagi orang dewasa untuk mampu mempersiapkan anak-anak selama kurun waktu 18 tahun sejak anak-anak tersebut dilahirkan, karena apapun yang dilakukan oleh orang dewasa akan sangat berpengaruh pada tumbuh kembang dan karakter anak-anak. Buku ini disusun berdasarkan hasil diskusi dan bahan pembelajaran yang selama ini ada di kalangan terbatas, diharapkan buku ini mampu menularkan pemahaman baru dan memunculkan pemikiran-pemikiran baru yang lebih v
progresif tentang permasalahan perlindungan anak dan mengutamakan kepentingan anak diatas segalanya. Harapan kami, buku ini membuka ruang diskusi, tanpa perlu saling ngotot untuk mempertahankan pendapatnya, karena sekali lagi yang diutamakan adalah kepentingan anak dan demi kebaikan anak. Mari membaca dan berdiskusi..tentu saja sambil ngopi atau ngeteh di ruang diskusi yang nyaman dan akrab. Kami tunggu di sanggar kami yaaaa …… Surabaya, September 2015 Penyusun
vi
Daftar Isi
1. kata pengantar
iii
2. daftar isi
vii
3. bab 1 Inklusi Sosial Anak
1
4. Bab 2 Anak, Hak Anak, dan Sistem Perlindungan Anak
9
5. Bab 3 Bentuk-bentuk Kekerasan Pada Anak
17
6. Bab 4 Pekerja Anak dan Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak
27
7. Bab 5 Dinamika Pekerja Rumah Tangga Anak
35
8. Peran Samitra Abhaya KPPD dalam Mewujudkan Perlindungan Anak dan Inklusi Sosial Anak 9. Harapan kami...
43 45
vii
BAB I
Inklusi Sosial Anak
“..setiap anak berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mendapatkan perlakuan yang setara....”
1
A
pakah eksklusi sosial itu? Apa bedanya eksklusi dengan inklusi? Apa penyebab terjadinya eksklusi? Kondisi manakah yang lebih baik, eksklusi atau inklusi? Pada bab ini kita akan membahas lebih detail tentang apa itu eksklusi dan inklusi, prenyebabnya, serta bagaimana mencapai kondisi yang lebih baik. Eksklusi sosial merupakan sebuah terminologi yang diperkenalkan pertamakali oleh Rene Lenoir, seorang sosiolog Perancis, pada tahun 1974. Menurut Lenoir, eksklusi sosial terjadi ketika orang-orang tidak memiliki akses terhadap pertumbuhan ekonomi. Definisi lain eksklusi sosial menurut John Pierson (2002), ialah proses yang menghalangi atau menghambat individu dan keluarga, kelompok dan kampung dari sumber daya yang dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan politik di dalam masyarakat dengan utuh. Terdapat lima kekuatan dasar yang mendorong terjadinya proses eksklusi sosial individu maupun kelompok orang, yaitu: 1. Kemiskinan dan penghasilan rendah 2. Tidak ada akses ke pasar kerja 3. Lemahnya atau tidak ada dukungan sosial dan jaringan social 4. Efek dari kawasan dan lingkungan sekitar (neighbourhood) 5. Terputus dari layanan. Inklusi sosial merupakan proses membangun hubungan sosial dan menghormati individu serta komunitas, sehingga mereka dapat berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan, kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya, serta memiliki akses dan kontrol yang sama atas sumber daya (untuk memenuhi kebutuhan dasar) dalam rangka menikmati standar kesejahteraan yang dianggap layak di dalam kelompok masyarakat yang bersangkutan (sumber : Program Peduli, 2014). Inklusi sosial menjadi sebuah proses membukakan kembali kesempatan, baik individu maupun kelompok untuk dapat memperoleh hak-hak dasar mereka sebagai manusia dan warga negara, seperti menjangkau kembali layanan, jaringan, dan peluang untuk berkembang yang sempat terputus akibat dari ekslusi yang dialami. 3
Kondisi Inklusi Sosial Anak yang Ingin Diwujudkan Sebuah kondisi yang inklusif untuk anak dan remaja rentan bisa terwujud jika terdapat setidaknya 3 hal yang terpenuhi, yaitu :
4
1.
Pengakuan dan penerimaan terhadap keberadaan mereka Tolak ukur utama dari inklusi sosial anak dan remaja marjinal ialah berupa pengakuan terhadap keberadaan mereka. Setelah itu, penerimaan terhadap apa yang melekat pada diri mereka, seperti identitas mereka, adat-istiadat, dan kebiasaan mereka. Pengakuan dan penerimaan akan secara perlahan namun pasti menghapuskan stigma buruk terhadap anak dan remaja marjinal yang selama ini dipikirkan masyarakat. Sehingga masyarakat dan negara mau mengakui keberadaan mereka, mengakui hak mereka atas perlindungan, pengasuhan, berinteraksi, kesempatan untuk mengembangkan diri, kesempatan untuk berekspresi dan mengemukakan pendapatnya, dan hak-hak lain.
2.
Terbukanya akses layanan Tahap berikutnya setelah pengakuan dan penerimaan ialah terbukanya akses layanan. Jika keberadaan anak dan remaja marjinal sudah diakui oleh masyarakat dan negara, mereka akan diakui sebagai seorang anak yang mempunyai hak. Termasuk hak dalam mengakses layanan, setidaknya layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan dokumen identitas. Kondisi yang ada saat ini, misalnya pada PRTA, layanan pendidikan masih sulit diakses karena mereka bekerja menjadi PRTA atau pendidikan memang bukan lagi prioritas bagi keluarga mereka, sebab bekerja menjadi PRT tidak membutuhkan pendidikan formal terlalu tinggi. Layanan kesehatan juga sulit diakses mayoritas PRTA yang berasal dari luar daerah, sehingga mereka tidak bisa mengakses layanan kesehatan di mana dia bekerja atau karena pengguna jasanya tidak menyediakan atau membantu mereka untuk mengakses. Layanan untuk dokumen kependudukan tidak bisa diakses karena mereka masih di bawah umur untuk mendapatkan KTP saat dikirim bekerja
di luar daerah tempat tinggal mereka, kalaupun ada itu adalah dokumen kependudukan dari daerah asal mereka, bukan di tempat mereka bekerja, lalu juga mayoritas pengguna jasa tidak melaporkan keberadaan PRTA pada pemerintah lokal, sehingga dokumen keterangan tinggal sementara untuk bekerja tidak ada. Sehingga bisa dikatakan keberadaan mereka tidak terdokumentasikan. 3.
Adanya kebijakan yang melindungi Tolak ukur kondisi yang lain ialah adanya kebijakan dan aturan yang melindungi anak dan remaja marjinal. Sehingga hak-hak mereka sebagai seorang anak tetap terpenuhi, jika orang tua tidak dapat menjalankan tugasnya untuk memberikan hak mereka sebagai anak, maka negara wajib untuk mengambil alih tugas tersebut. Dalam konteks PRTA, setidaknya ada aturan yang mengikat baik kepada orang tua, pengguna jasa, masyarakat sekitar, dan penyedia layanan untuk melindungi anak yang bekerja sebagai PRT.
Mengapa harus terwujud inklusi sosial anak? UUD 45 menyampaikan bahwa negara berkomitmen untuk melindungi warga negaranya. Dalam Pembukaan UUD 45, terdapat tujuan dari bangsa ini, yaitu “membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,” Termasuk anak dan remaja, hal ini dituangkan dalam UUD 1945 pasal 28B ayat 2. “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” (UUD 1945 pasal 28B ayat 2).
Bahkan dalam usaha untuk mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hakhak anak telah dibuat sebuah peraturan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sehingga setiap anak di Indonesia memiliki perlindungan akan pemenuhan haknya.
5
Pada kenyataanya, ada beberapa kelompok anak dan remaja yang kehilangan haknya. Seperti anak dan remaja marjinal, karena mereka terdiskriminasi, tidak bisa mengakses layanan dan peluang untuk berkembang. Padahal sebagai seorang anak mereka memiliki hak-hak dasar antara lain hak untuk memperoleh identitas, hak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang, hak untuk berekspresi dan didengar pendapatnya. Pemenuhan hak-hak dasar tersebut adalah tanggungjawab orang tua, keluarga, masyarakat, dan juga negara. Terputusnya akses untuk mendapatkan perlindungan dan layanan yang diberikan negara merupakan akibat dari kondisi ekslusi. Kondisi tersebut disebabkan oleh 3 faktor, yaitu: 1. Kondisi geografis wilayah mereka di wilayah terpencil sehingga kesempatan untuk mengakses layanan dan pemenuhan haknya terhambat. 2. Adanya stigma buruk yang melekat pada diri mereka sehingga, mereka tidak layak untuk mendapatkan layanan dan pemenuhan haknya. Padahal sebagai anak mereka punya hak untuk dilindungi dari diskriminasi. Jika masyarakat dan negara tidak mau memenuhi hak mereka sebagai anak karena stigma buruk yang disematkan pada anak dan remaja marjinal, maka bangsa Indonesia gagal dalam mewujudkan tujuannya untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darahnya. 3. Keberadaan dan kondisi mereka tidak diakui atau tidak menjadi prioritas negara sehingga belum ada kebijakan yang dapat melindungi. Inklusi Sosial dapat menjadi jawaban untuk kesenjangan di atas, sebab Inklusi Sosial dapat menjadi jembatan yang menghubungkan kembali anak dan remaja marjinal dengan akses-akses yang sebelumnya terbatasi, seperti perlindungan dan layanan yang dibuat negara untuk anak. Hal ini dapat mendorong mereka untuk memiliki kesempatan yang sama dengan anakanak lainnya sehingga mereka bisa tumbuh dan berkembang dengan segala potensi yang dimiliki tanpa harus terbatasi. Jika kesempatan yang sama 6
sudah diberikan, maka seluruh anak dapat ikut berpartisipasi mewujudkan Indonesia menjadi negara dan bangsa yang kuat, besar dan bermartabat tanpa terhalang kondisi. Pada dasarnya, inklusi sosial bukanlah lawan kata dari eksklusi sosial, namun lebih merujuk pada sebuah jembatan bagi mereka yang tereksklusi agar keluar dari kondisi tersebut.
7
BAB II
Anak, Hak Anak, dan Sistem Perlindungan Anak KLINIK AKTA
AKTA
KASIH SAYANG
DISKUSI
“...melindungi semua anak tanpa terkecuali berarti melindungi masa depan kita semua, karena anak adalah generasi penerus kita..”
BERMAIN
9
M
enurut Konvensi Hak Anak (KHA), anak merupakan individu yang usianya belum mencapai 18 tahun. Hal yang sama juga dijelaskan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002, bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. KHA Perserikatan BangsaBangsa 1989 merupakan perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis di antara berbagai negara, yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan hak anak. Hak anak yang dimaksud ialah hak asasi manusia untuk anak. Gagasan mengenai hak anak tersebut, mulanya muncul sebagai reaksi atas penderitaan yang dialami kaum perempuan dan anak-anak pasca berakhirnya Perang Dunia I. Pada tahun 1923, Eglantye Jebb, seorang aktivis perempuan yang menggagasnya, mengembangkan 10 butir pernyataan tentang hak anak. Tahun 1924, untuk pertama kalinya Deklarasi Hak Anak diadopsi secara internasional oleh Liga Bangsa-Bangsa, yang kemudian dikenal juga sebagai “Deklarasi Jenewa”. Sementara naskah akhir KHA yang diselesaikan dan disahkan tahun 1989, mulai diberlakukan pada tahun 1990 dan diratifikasi oleh 193 negara. Indonesia meratifikasi hasil Konvensi Hak Anak melalui KEPPRES 36/1990. KHA memuat prinsip-prinsip dasar hak anak yang diadopsi menjadi UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002. Empat prinsip tersebut di antaranya ialah sebagai berikut: 1. Non-diskriminasi dan kesempatan yang sama. Setiap anak memiliki hak yang sama. Konvensi ini berlaku untuk semua anak, apapun latar belakang etnis, agama, bahasa, budaya, atau jenis kelamin. Tidak peduli dari mana mereka datang, di mana mereka tinggal, apa pekerjaan orang tua mereka, apakah mereka memiliki keterbatasan fisik, atau mereka kaya atau miskin. Semua anak harus memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai potensi mereka sepenuhnya. 2. Kepentingan terbaik bagi anak Kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama ketika membuat keputusan yang mungkin berdampak pada anak. Ketika orang dewasa membuat keputusan, mereka harus 11
3.
4.
mempertimbangkan apakah ada dampak buruk yang mungkin dialami anak. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan Anak mempunyai hak untuk hidup. Anak juga harus memperoleh perawatan yang diperlukan untuk menjamin kesehatan fisik, mental, dan emosi mereka. Selain itu mereka berhak atas perkembangan intelektual, sosial, dan kultural. Hak Partisipasi Anak memiliki hak untuk mengekspresikan diri dan didengar. Mereka harus memiliki kesempatan untuk menyatakan pendapat tentang keputusan yang berdampak pada mereka dan pandangan mereka harus dipertimbangkan. Berkaitan dengan ini, usia anak, tingkat kematangan, dan kepentingan terbaik mereka harus selalu diingat dalam mempertimbangan ide atau gagasan anak.
Perlindungan anak merupakan upaya untuk mencegah dan merespon kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran terhadap anak. Selain itu, perlindungan anak juga salah satu bentuk usaha agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya, demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar, baik fisik, mental, maupun sosial. Hal tersebut adalah sebagai perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Perlindungan anak tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan harus memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun diri anak itu sendiri, sehingga usaha perlindungan yang dilakukan tidak menimbulkan akibat negatif. Perlindungan anak harus dilaksanakan secara rasional, bertanggungjawab dan bermanfaat yang mencerminkan suatu usaha yang efektif dan efisien terhadap perkembangan pribadi anak yang bersangkutan. Usaha perlindungan hendaknya tidak mematikan inisiatif, kreativitas dan halhal lain yang menyebabkan ketergantungan kepada orang lain dan berperilaku tak terkendali. Sehingga anak menjadi tidak memiliki kemampuan dan kemauan dalam menggunakan hak-haknya dan melaksanakan kewajibankewajibannya. 12
Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dijelaskan bahwa “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” (UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 pasal 1 angka 2)
Hal tersebut didukung dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang mengatur tentang “Tujuan perlindungan anak yaitu untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.” (UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 pasal 3)
Perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Perlindungan secara langsung, maksudnya kegiatan tersebut langsung ditujukan kepada anak yang menjadi sasaran penanganan langsung. Seperti melindungi anak dari berbagai ancaman baik dari luar maupun dari dalam dirinya, mendidik, membina, mendampingi anak dengan berbagai cara, mencegah kelaparan dan mengusahakan kesehatannya dengan berbagai cara, serta dengan cara menyediakan pengembangan diri bagi anak. Sedangkan yang dimaksud dengan perlindungan anak secara tidak langsung ditujukan kepada orang lain yang terlibat atau melakukan kegiatan dalam usaha perlindungan terhadap anak tersebut. Dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, telah diatur bahwa yang berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. Jadi yang mengusahakan perlindungan bagi anak adalah setiap anggota masyarakat sesuai dengan kemampuannya dengan berbagai macam usaha dalam situasi dan kondisi tertentu. 13
Bidang prioritas perlindungan anak Ada beberapa bidang prioritas di dalam aturan perlindungan anak, yang diperuntukkan bagi anak-anak yang berada dalam kondisi tertentu, yaitu : 1.
2.
3.
4.
14
Anak anak yang tidak diasuh oleh pengasuh utama. Pengasuh utama yang dimaksud adalah orangtua kandung dan keluarga terdekat, seperti kakek, nenek, saudara kandung, saudara kandung orangtua, anak dari saudara kandung orang tua. Kondisi yang menyebabkan anak tidak memiliki pengasuh utama antara lain karena seluruh pengasuh utamanya meninggal dunia, dalam kondisi peperangan, anak yang berkonflik dengan hukum sehingga dia harus berada di lembaga pemasyarakatan anak maupun rehabilitasi. Anak-anak yang terjebak dalam kerja paksa. Adalah anak yang dipekerjakan di bawah ancaman maupun hukuman, termasuk anak-anak yang diharuskan bekerja dalam kondisi kerja ijon, yaitu anak diharuskan bekerja untuk melunasi hutang orangtuanya. Perdagangan anak (children trafficking). Sesuai UU no 21 tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, dan penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan korban, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari pihak yang memegang kendali atas orang tersebut. Eksploitasi seksual anak-anak. Tindakan eksploitasi seksual anak dapat berupa pelacuran anak, pornografi anak, transaksionaal seksual anak untuk mendapatkan pemenuhan akan makanan, tempat tinggal, akses pendidikan baik yang diterima langsung oleh anak maupun keluarganya, perjodohan yang melibatkan anak juga termasuk eksploitasi seksual anak karena
5.
anak belum bebas menyetujui pernikahan dan pernikahan anak merupakan kondisi dimana anak akan mengalami pelecehan seksual. Anak dalam konflik bersenjata. Kondisi konflik bersenjata atau peperangan sendiri dibagi menjadi empat jenis antara lain yaitu perang antar dua negara, perang antara negara dengan suatu entitas, perang antara negara dengan pemberontak di negaranya, dan perang antar dua kelompok etnis dalam suatu negara. sebab anak yang berada dalam konflik bersenjata ataupun peperangan rawan dijadikan sandera maupun dilibatkan untuk peperangan, seperti dipersenjatai.
15
BAB III
Bentuk-bentuk Kekerasan Pada Anak
STOP KEKERASAN TERHADAP ANAK
“..rumah dan lingkungan sekitar kita, bukanlah tempat terjadinya eksploitasi dan tindak kekerasan terhadap anak...”
17
Fakta Global Kekerasan pada Anak
D
ata UNICEF tahun 2009 mencatat, antara 500 juta hingga 1,5 miliar anak di seluruh dunia mengalami kekerasan fisik setiap tahunnya. Sementara itu, kondisi yang lebih buruk dialami oleh sekitar 2 juta anak yang dieksploitasi secara seksual dan 1,2 juta anak korban perdagangan yang seringkali berakhir di industri seks dan sektor pekerjaan berbahaya. Berdasarkan data ILO tahun 2010, diperkirakan 115 juta anak terlibat dalam bentuk pekerjaan anak yang terburuk dan 5,5 juta anak dipaksa menjadi buruh. Angka tersebut terus bertambah tiap tahun. Di Indonesia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat peningkatan kekerasan pada anak naik secara signifikan setiap tahunnya. Tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan pada anak, tahun 2012 sejumlah 3512, tahun 2013 naik menjadi 4311 kasus, dan hasil pantauan terakhir pada tahun 2014 terdapat 5066 kasus. (Data KPAI : 2011-2014). Untuk lima kasus tertinggi pada tiap bidang dalam kurun waktu 2011 hingga 2015, anak-anak yang berhadapan dengan hukum mengalami kekerasan dengan angka yang paling tinggi, terhitung hingga april 2015 yaitu 6006 kasus. Sedangkan kekerasan anak yang terjadi dalam pengasuhan sebanyak 3016 kasus. Di lingkungan pendidikan, tercatat 1764 kasus, sementara untuk kasus kekerasan anak akibat kesehatan dan napza sebanyak 1366 kasus. Kekerasan anak yang terkait dengan pornografi dan cybercrime tercatat 1032 kasus. Angka yang tercatat dari hasil pemantauan maupun riset tersebut tentu tidak mewakili kuantitas kasus yang sebenarnya terjadi di lapangan. Sebab, kekerasan kepada anak merupakan fenomena gunung es. Kasus yang terlihat, terlapor dan diketahui hanya sebagian kecil di ujung gunung. Sementara tumpukan kasus yang tersembunyi dan tidak terlihat, jauh lebih banyak lagi. Anak-anak sangat rentan pada masalah-masalah yang bisa mengarah pada kekerasan di manapun, kapanpun, dan oleh siapapun. Sebab, anak dianggap inferior di mana mereka dianggap memiliki kedudukan yang lebih rendah. 19
Anak juga dianggap memiliki kekuatan yang terbatas dan lebih lemah dibanding orang dewasa. Selain itu, berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi, menjunjukkan bahwa terdapat 3 area lokus kekerasan pada anak, yaitu : 1. Sejumlah 91% anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 2. 87,6% di lingkungan sekolah, dan 3. 17,9% mengalami kekerasan di lingkungan masyarakat. (Sumber : KPAI-2012) Hal ini sangat kontradiktif karena masyarakat seringkali menganggap bahwa ketiga wilayah tersebut merupakan wilayah aman bagi anak-anak. Menurut KPAI, pelaku di lingkungan rumah biasanya adalah orangtua, keluarga, atau orang yang dekat dengan lingkungan rumah. Sedangkan di lingkungan sekolah, pelaku kekerasan anak-anak di sekolah ialah tenaga pendidik yaitu guru dan orang-orang yang ada di lingkungan sekolah seperti cleaning service, teman sekolah, tukang kantin, satpam, dan sopir antar jemput yang disediakan sekolah. Di masyarakat, angka kekerasan anak paling rendah di antara yang lain. Artinya, anak rentan menjadi korban kekerasan justru di lingkungan rumah dan sekolah; lingkungan yang mengenal anak-anak tersebut cukup dekat. Sehingga, seringkali pelaku kekerasan pada anak justru lebih banyak berasal dari kalangan yang dekat dengan anak. Data UNICEF tahun 2014 mencatat, pembunuhan telah merenggut kehidupan 95,000 anak dan remaja di bawah usia 20 tahun – hampir 1 dari 5 total pembunuhan di tahun itu. Sekitar 6 dari 10 anak antara usia 2 dan 14 tahun di seluruh dunia (hampir 1 miliar) menjadi sasaran hukuman fisik oleh pengasuh mereka secara regular. Di lingkungan sekolah, lebih dari 1 dari 3 murid antara usia 13 dan 15 di seluruh dunia pernah mendapatkan pengalaman menjadi korban bullying secara regular. Sekitar 1 dari 3 remaja 20
usia 11 sampai 15 di Eropa dan Amerika Utara mengakui pernah menjadi pelaku bullying temannya di sekolah setidaknya sekali dalam beberapa bulan ke belakang. Fakta lainnya, hampir seperempat anak perempuan berusia 15 sampai 19 tahun di seluruh dunia (hampir 70 juta) dilaporkan menjadi korban dari beberapa bentuk kekerasan fisik sejak usia 15 tahun. Sekitar 120 juta anak perempuan di bawah usia 20 tahun (sekitar 1 dari 10) telah menjadi sasaran untuk dipaksa melakukan hubungan intim atau dipaksa melakukan kegiatan seksual lainnya dalam derajat tertentu dalam kehidupan mereka. Anak lakilaki juga berisiko, walaupun estimasi global tidak tersedia karena keterbatasan data yang bisa dibandingkan di sebagian besar negara. Di lingkungan rumah, 1 dari 3 remaja perempuan berusia 15 sampai 19 tahun di seluruh dunia (84 juta) pernah menjadi korban kekerasan emosional, fisik atau seksual yang dilakukan oleh suami atau pasangannya dalam derajat tertentu dalam kehidupan mereka Hampir setengah anak perempuan berusia 15 sampai 19 di seluruh dunia (sekitar 126 juta) terkadang memberikan pembenaran terhadap perilaku seorang suami yang memukul istrinya. (Sumber : UNICEF 2014) Macam-macam Bentuk Kekerasan pada Anak 1.
Abuse (Kekerasan) Segala tindakan atau kegagalan melakukan tindakan yang secara langsung atau tidak langsung menyebabkan bahaya kepada anak atau merugikan potensi perkembangan yang aman dan sehat sampai menuju kedewasaan, baik dilakukan oleh individu, institusi, atau proses.
2.
Neglect (Pengabaian/Penelantaran) Merupakan kesengajaan, atau karena kecerobohan atau kelalaian 21
menyebabkan kegagalan untuk memberikan keamaan untuk anak, hak anak terhadap keamanan fisik dan perkembangan.
22
3.
Eksploitasi Merujuk kepada mempergunakan anak untuk keuntungan pihak lain. Dapat berupa gratifikasi atau keuntungan yang menyebabkan ketidakadilan, kekejaman dan perlakuan membahayakan bagi anak. Eksploitasi membahayakan perkembangan fisik dan mental anak, pendidikan, moral, dan perkembangan sosialnya.
4.
Violence (Kejahatan) Kesengajaan penggunaan kekuatan fisik atau kekuasaan untuk mengancam atau langsung menyakiti anak, baik oleh perseorangan atau grup, baik berpotensi ataupun telah memberikan akibat berupa bahaya kepada kesehatan, keselamatan, perkembangan, dan kehormatan anak. Kejahatan dapat dilakukan oleh individu atau oleh negara, sekelompok orang, atau organisasi melalui kebijakan atau oleh staff-nya. Hal ini menyebabkan tidak hanya rasa takut atau luka nyata tetapi juga pengaruh kepada kebebasan pribadi dengan munculnya rasa trauma yang membatasi geraknya di kemudian hari.
Jenis Kekerasan pada Anak Ada beberapa jenis dan sifat kekerasan pada anak. Berdasarkan bentuk tindakan yang dilakukan, maka kekerasan pada anak dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu : 1.
Kekerasan Fisik Merupakan kekerasan yang mencakup penggunaan kekuatan fisik yang menyebabkan luka nyata atau potensi luka atau penderitaan fisik. Contohnya adalah memukul, mengguncang, membakar, menyiksa, memotong, menendang, mencubit, dan bentuk-bentuk tindakan fisik yang menimbulkan luka dan rasa sakit lainnya.
2.
Kekerasan Psikologis atau Emosional Merupakan kekerasan yang berdampak atau memengaruhi kondisi psikologis atau emosional. Bentuk tindak kekerasan psikologi termasuk mempermalukan dan merendahkan seperti memberikan julukan, terus-menerus mengkritik, mencemooh, mengolok, membentak dengan kata-kata menyakitkan, mempermalukan secara terus menerus, mengucilkan, mengisolasi, dan tindakan sejenisnya.
3.
Kekerasan Seksual. Merupakan segala jenis kejahatan seksual. Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan dari tahun 1998-2011, bentukbentuk tindakan ini seperti perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, intimidasi seksual, prostitusi paksa, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, kontrol seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, dan praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan. 23
Resiko yang Timbul dari Kekerasan terhadap Anak. Dari kondisi yang penuh kekerasan terhadap anak, ada beberapa resiko yang mungkin timbul dikarenakan adanya bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh anak, seperti :
24
1.
Menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Seperti cedera pada bagian tubuh tertentu sehingga menyebabkan pertumbuhan fisik anak tidak seperti seharusnya. Trauma juga akan membuat kondisi psikis anak cedera yang mencetak kondisi emosional anak sulit untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Sehingga anak tidak dapat berkembang sesuai dengan tahapan tumbuh-kembang anak yang seharusnya.
2.
Mempengaruhi kesehatan anak. Anak yang mendapatkan tindak kekerasan dapat mengalami cedera baik fisik maupun psikis, hal ini berpeluang memperburuk kondisi kesehatan anak, seperti daya tahan tubuh anak menjadi rendah, ataupun kelainan psikologis maupun seksual pada anak dalam tahap tumbuh-kembangnya nanti.
3.
Mempengaruhi kemampuan untuk belajar dan kemauannya untuk bersekolah. Kekerasan yang dimaksud dapat berupa bullying di sekolah. Tindakan kekerasan dapat memicu rasa tidak nyaman pada anak, akhirnya anak akan merasa tidak ada yang menerimanya, sehingga memengaruhi semangat anak untuk belajar maupun bersekolah.
4.
Mengakibatkan anak lari dari rumah. Hal tersebut menjadikan anak lebih rentan terhadap pada rIsikorIsiko lain seperti trafficking, eksploitasi, maupun tindak kekerasan lain di luar rumah yang bahkan tidak bisa dijangkau oleh keluarga maupun negara.
5.
Menghancurkan rasa percaya diri pada anak. Jika sering mendapatkan tindak kekerasan baik fisik, psikis, maupun seksual seorang anak akan merasa selalu ada yang salah pada dirinya, merasa tidak diinginkan, merasa tidak berharga, merasa ragu dengan kemampuannya, trauma dan takut jika dirinya akan membuat kesalahan maka ia akan mengalami tindak kekerasan.
6.
Dapat mengganggu kemampuannya untuk menjadi orang tua yang baik di kemudian hari. Anak adalah imitator yang baik, seorang peniru yang handal, jika ia sejak kecil mengalami tindak kekerasan orangtuanya, maka saat dewasa ia akan merasa melakukan tindak kekerasan pada anaknya adalah sebuah hal yang wajar, karena dulu dia juga mengalaminya.
7.
Kematian. Kekerasan yang ekstrim dapat menyebabkan kematian, baik secara cepat maupun bertahap, seperti kematian karena cedera fisik yang parah, kematian karena pengabaikan pengobatan untuk cedera akibat tindak kekerasan, termasuk juga kematian karena bunuh diri.
25
BAB IV Pekerja Anak dan Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak
“..seharusnya anak mengenyam pendidikan dan bermain, bukan mencari uang dan membiayai diri sendiri atau keluarganya...”
27
Pekerja Anak dan Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak Pekerjaan didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang mencakup semua pekerjaan yang dibayar dan beberapa tipe pekerjaan yang tidak dibayar, termasuk produksi barang-barang untuk dipakai sendiri. Kegiatan ini dapat dapat dikerjakan baik di sektor formal ataupun informal di manapun. Misalnya, mengerjakan pekerjaan rumah tangga di rumah orang lain dan mendapatkan upah. Namun, jika pekerjaan tersebut dikerjakan di rumah sendiri dan tidak ada nilai ekonomi, maka kegiatan itu tidak disebut sebagai bagian dari kegiatan pekerja. Di Indonesia, berdasarkan UU No. 20 Tahun 1999 tentang 'Pengesahan Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia Minimum yang Diperbolehkan untuk Bekerja,' usia minimum anak untuk menjadi pekerja adalah 15 tahun. Namun, berdasarkan Pasal 69 tentang Ketenagakerjaan, anak-anak yang berusia 13 sampai 14 tahun diperbolehkan melakukan pekerjaan ringan dengan beberapa syarat. Di antaranya: ijin dari wali anak, perjanjian kerja antara pengusaha dengan wali, waktu kerja maksimum 3 jam, dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah, kesehatan dan keselamatan kerja, hubungan kerja yang jelas, dan menerima upah sesuai ketentuan yang berlaku. Dengan beberapa peraturan tersebut, maka yang disebut pekerja anak bisa diartikan sebagai setiap individu di bawah usia 18 tahun yang melakukan pekerjaan dengan tujuan menambah nilai ekonomi. Meskipun dalam dalam pasal 74 UU No.13 Tahun 2003, anak-anak tidak diperbolehkan direkrut untuk melakukan pekerjaan berbahaya dan bentuk pekerjaan terburuk anak, namun pada kenyataannya, pekerja anak masih sangat rentan menghadapi berbagai dampak buruk akibat pekerjaan yang dilakukan. Kehadiran pekerja anak di berbagai daerah merupakan salah satu permasalahan sosial yang belum tuntas diselesaikan. Tekanan ekonomi menjadi salah satu penyebab utama mengapa jumlah pekerja anak di Indonesia terus bertambah.
29
Berdasarkan data yang dirilis Kompas pada 31 Desember 2014, Indonesia memiliki 1,7 juta pekerja anak yang mayoritas bekerja di sektor informal. Dari jumlah tersebut, baru 63.055 anak yang ditarik dari pekerjaannya untuk dikembalikan ke sekolah sepanjang tahun 2008-2014. Situasi ekonomi yang lemah membuat posisi anak menjadi semakin dilematis. Di satu sisi, anakanak seharusnya memiliki waktu luang yang cukup untuk mengakses pendidikan, bermain, dan menikmati proses tumbuh kembang sebagai anakanak, secara wajar. Namun, di saat yang bersamaan, mereka juga dituntut untuk menunjukkan bentuk pengabdian dan membantu meringankan beban kemiskinan yang dihadapi keluarga dengan ikut bekerja. Tak hanya kehilangan waktu belajar, bermain, dan tumbuh kembang, anak-anak yang terpaksa bekerja juga rentan dihadapkan pada pilihan pekerjaan-pekerjaan yang merugikan, eksploitatif, berbahaya, dan berpotensi besar meninggalkan dampak buruk baik pada fisik maupun psikis mereka. Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak (BPTA) Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (BPTA) melalui UU No.1 Tahun 2000. Konvensi yang ditetapkan secara aklamasi pada tahun 1999 ini memberikan rincian tentang BPTA di mana anak di bawah 18 tahun tidak boleh terlibat di dalamnya. Konvensi ini menuntut negara agar mengambil langkah-langkah segera dan efektif untuk memastikan ditetapkannya pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Dalam konvensi dan undang-undang tersebut, istilah “Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak-anak” mengandung pengertian: 1. Segala bentuk perbudakan atau praktek-praktek yang mirip dengan perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, perbudakan akibat hutang dan penghambaan dan kerja paksa atau kerja wajib, termasuk rekrutmen wajib atau rekrutmen paksa, terhadap anak-anak untuk digunakan dalam konflik bersenjata.
30
2. 3.
4.
Pemanfaatan, penyediaan, penawaran anak untuk pelacuran, produksi pornografi, dan pertunjukan-pertunjukan porno. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam pernjanjian internasional yang relevan. Pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak.
Sebagai pelaksanaan Ratifikasi ILO No.182 tersebut di atas, Pemerintah telah menyusun Rencana Aksi Nasional Penghapusan BPTA melalui Keputusan Presiden No.59 Tahun 2002 yang secara khusus memunculkan beberapa contoh Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, seperti: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Anak-anak yang dilacurkan; Anak-anak yang bekerja di pertambangan; Anak-anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara; Anak-anak yang bekerja di sektor konstruksi; Anak-anak yang bekerja di jermal; Anak-anak yang bekerja sebagai pemulung sampah; Anak-anak yang dilibatkan dalam produksi dan kegiatan yang menggunakan bahan-bahan peledak; 8. Anak-anak yang bekerja di jalan; 9. Anak-anak yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga; 10. Anak-anak yang bekerja di industri rumah tangga; 11. Anak-anak yang bekerja di sektor perkebunan; 12. Anak-anak yang bekerja pada penebangan, pengolahan dan pengangkutan kayu; 13. Anak-anak yang bekerja pada industri dan kegiatan yang menggunakan bahan kimia berbahaya Dari ketigabelas 'Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk terhadap Anak' (BPTA) tersebut, maka pemerintah Indonesia menaruh perhatian pada empat sektor khusus yang paling diprioritaskan untuk Rencana Aksi Nasional Pengapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk terhadap Anak (RAN 31
PBPTA) tahap II yaitu: 1. Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) 2.Perdagangan Anak untuk Eksploitasi Seksual Komersial 3. Pekerjaan di sektor Pertanian/Perkebunan 4. Anak jalanan yang beresiko diperdagangkan dan terlibat dalam peredaran narkoba Berikut berbagai kerangka hukum yang dikembangakan Indonesia untuk memerangi pekerja anak. 1. UU No. 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Usia Minimum yang diperbolehkan untuk bekerja. Dalam lampiran UU ini, Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa usia minimum yang diperbolehkan untuk bekerja di Indonesia adalah 15 tahun 2. UU No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (BPTA) 3. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 4. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 5. UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU Pekerja Migran). 6. UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasaan Tindak Pidana Perdagangan Orang. 7. UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
32
Selain itu, terdapat beberapa peraturan terkait lain di antaranya: 1. Keputusan presiden No. 12 Tahun 2001 tentang Susunan Keanggotaan Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. 2. Keputusan Presiden No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. 3. Keputusan Presiden No. 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak. 4. Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Ekploitasi Seksual Komersial Anak. 5. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 235 Tahun 2003 tentang Jenis-jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak. 6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 115 Tahun 2004 tentang Perlindungan bagi Anak yang Melakukan Pekerjaan untuk Mengembangkan Bakat dan Minat.
33
BAB V
Dinamika Pekerja Rumah Tangga Anak “....cita-citaku menjadi dokter, pengusaha, atau hakim, bukan menjadi pekerja rumah tangga...bantu aku mewujudkan cita-citaku...”
35
M
enurut data International Labour Organization (ILO) dan Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2009 serta Survey Angkatan Kerja Tahun Nasional 2012, diperkirakan terdapat 237.000 Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) berusia 5-14 Tahun dan 110.000 anak berusia 15-17 tahun. Kedua kategori tersebut didominasi oleh anak-anak perempuan. Jumlahnya terus bertambah seiring meningkatnya permintaan atas pekerja rumah tangga. Kondisi-kondisi yang Rentan Dialami PRTA Jam Kerja Jam kerja yang panjang merupakan kondisi bahaya serius yang dialami oleh PRTA. Kebutuhan mendasar dalam bekerja yaitu waktu untuk beristirahat dan mengambil jatah libur sering kali terabaikan. Hasil studi di beberapa negara menunjukkan, anak-anak yang menjadi pekerja anak melapor bahwa mereka bekerja lebih dari 12-14 jam per hari (pada kasus tertentu, mereka bekerja sampai 16 jam per hari), tujuh hari per minggu. PRTA yang tinggal di rumah pengguna jasanya sering kali bekerja sehari penuh dari pagi hingga malam dengan sedikir waktu atau bahkan tidak ada waktu atau tidak ada pemisahan waktu antara waktu bekerja dan waktu pribadi. Hal ini bisa berpengaruh langsung pada kondisi kesehatan dan perkembangan anak. Pada beberapa kasus, jam kerja yang berlebihan dan waktu tidur yang kurang dapat menyebabkan gejala kelelahan yang kronis. Pelecehan, Kekerasan dan Pengasingan Anak-anak yang bekerja di sektor rumah tangga orang lain, seringkali tidak punya hak atas bersuara, tidak mempunyai kontrol atas persyaratan kerja, tidak mendapat upah, tidak memiliki privasi, tidak ada kesempatan untuk pergi ke sekolah, tidak memiliki kesempatan berinteraksi dengan teman sebayanya, dan bahkan beberapa anak yang tinggal di rumah pengguna jasanya, terkadang hanya mempunyai sedikit atau sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk bertemu keluarga. Beberapa di antara mereka tidak pernah keluar dari rumah dan tidur di atas lantai dapur, tidak punya hari libur atau waktu istirahat dengan upah yang sangat sedikit bahkan tidak diupah sama sekali. 37
PRTA mengalami diskriminasi di dalam rumah tangga, bahkan oleh anak pengguna jasa, dan mereka sering diajak berbicara dengan nada yang berbeda dari yang digunakan kepada anggota keluarga lainnya. Pengasingan tersebut sangat berbahaya untuk anak-anak dan dapat mengakibatkan stress dan gangguan psikologis meskipun tidak ada kekerasan fisik Anak perempuan pekerja rumah tangga, khususnya yang tinggal di rumah pengguna jasanya berada dalam kondisi rentan untuk mendapatkan pelecehan seksual dan kekerasan. Pelecehan seksual dan kekerasan lebih berbahaya dari gangguan mental dan berdampak buruk bagi kehidupan anak. Selain itu juga terdapat dampak yang berbahaya bagi anak seperti kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular melalui hubunga seksual, dan infeksi HIV. (Sumber : Buku Panduan Program EXCEED-Save The Children) Dinamika PRTA yang pernah didampingi oleh Samitra Abhaya – SIWI Sejak tahun 2010, Samitra Abhaya sudah melakukan pendampingan dan pendidikan kepada anak-anak perempuan yang menjadi pekerja rumah tangga di daerah Kecamatan Gunung Anyar, Kecamatan Pakal, dan Kecamatan Tandes. Dalam kurun waktu 2010-2013, Samitra Abhaya (didukung Save The Children) dari 236 PRTA yang didata dan menjadi penerima manfaat dalam program ini, terdapat 233 anak perempuan dan 3 anak laki-laki, dengan rentang usia 14-16 tahun. Pendidikan akhir mereka kebanyakan adalah lulusan SD atau belum lulus SMP. Keterbatasan orang tua dalam membiayai seringkali menjadi alasan mereka putus sekolah. Berdasarkan data yang didapat oleh Samitra Abhaya selama melakukan pemetaan kepada PRTA, ditemukan beberapa alasan mereka menjadi PRTA, yaitu: · Untuk mencari tambahan pendapatan keluarga. · Membantu orang tua. · Mempunyai penghasilan sendiri, baik untuk kepentingan pribadi maupun membantu orang tua. · Ayah atau ibu sudah meninggal sehingga harus bertanggungjawab membiayai diri sendiri atau membantu anggota keluarga. 38
· · · · · · · · ·
Membutuhkan tambahan biaya hidup (untuk sekolah) tapi tidak ingin merepotkan orang tua. Ingin mempunyai tambahan uang jajan. Menjadi PRTA tidak susah karena tidak dibutuhkan kemampuan khusus apapun. Belajar hidup mandiri, tidak terlalu bergantung pada orang tua. Mencari pengalaman dengan bekerja menjadi PRTA atau penjaga toko. Mencari tambahan penghasilan untuk ditabung. Mencari kesibukan yang menghasilkan uang, daripada menganggur di rumah. Ingin tinggal di Surabaya (keluar dari daerah asalnya dan pindah ke kota besar). Tidak memiliki ijazah sehingga tidak bisa mencari pekerjaan lainnya, menjadi PRTA tidak membutuhkan ijazah.
Berdasarkan hasil kerja Samitra Abhaya selama ini (sejak tahun 2010), ada catatan mengenai kondisi kerja yang dialami oleh para PRTA berdasarkan jenisnya adalah : 1.
PRTA fulltimer (bekerja penuh waktu) atau live in. PRTA fulltimer (bekerja penuh waktu) adalah mereka bekerja lebih dari 8 jam tiap harinya, tinggal di rumah pengguna jasa dan hanya pulang kampung di saat-saat tertentu, sesuai dengan kesepakatan atau ijin yang diberikan pengguna jasa. PRTA fulltimer ini biasanya berasal dari daerah-daerah di luar Surabaya, seperti Madura, Ngawi, Bojonegoro, Pacitan, Jember, Kediri, Tulungagung, dan daerahdaerah lainnya di luar Surabaya. Karena tinggal di rumah pengguna jasa, terkadang jam kerja mereka tidak terbatas, ketika malam hari di saat waktu istirahat, para pengguna jasa masih meminta mereka mengerjakan sesuatu. PRTA fulltimer, bekerja lebih dari 8 jam tiap harinya, terkadang mereka juga masih membantu menjaga warung/toko/tempat usaha lainnya 39
milik pengguna jasa. Jadi selain melakukan semua pekerjaan rumah tangga, mereka juga masih diharuskan bekerja membantu usaha pengguna jasa, terkadang di dalam rumah ataupun juga di luar rumah (toko/warung/stand). Pekerjaan mereka dimulai sejak pagi hari, di mana mereka harus mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah, membantu pengguna jasa mempersiapkan keperluan usaha. Mereka bisa istirahat sebentar di siang hari, sore sampai malamnya mereka akan berada di tempat usaha pengguna jasa, sepulang dari warung/toko pengguna jasa mereka masih harus mengerjakan pekerjaan rumah yang tadi belum selesai dikerjakan. Bila mereka tidak membantu usaha pengguna jasa, maka mereka akan diam saja di rumah dan terkadang masih harus menyelesaikan pekerjaan rumah tangga sampai pukul 10 malam. Meskipun melakukan 2 pekerjaan yang berbeda, mereka akan menerima bayaran atau upah yang sama, yaitu berupa uang sekitar Rp. 400.000–600.000 setiap bulannya dan kebutuhan hidup sehari-hari ditanggung oleh pengguna jasa. 2.
PRTA part-timer (bekerja paruh waktu) atau pocokan . PRTA part-timer (bekerja paruh waktu) adalah mereka yang bekerja sekitar 4-6 jam tiap harinya di rumah pengguna jasa dan setelah semua pekerjaan selesai mereka akan pulang ke rumah orang tuanya yang tidak jauh dari wilayah komplek tersebut. Para PRTA ini adalah anak-anak asli daerah tersebut, yang berasal dari pemukiman miskin sekitar komplek perumahan tersebut. PRTA part-timer, bekerja antara 4-6 jam setiap harinya, kadang di beberapa pengguna jasa atau hanya di satu pengguna jasa saja. Setelah mereka menyelesaikan semua pekerjaannya, mereka akan
40
pulang ke rumah orang tuanya yang berada tidak jauh dari komplek perumahan tersebut. PRTA part-timer pada umumnya masih bersekolah, namun ada dari mereka yang sudah tidak melanjutkan sekolahnya karena orang tuanya tidak mampu membiayai. Pekerjaan mereka akan dimulai di siang hari sepulang sekolah (atau di pagi hari bila sekolah mereka masuk siang), dan akan berakhir sekitar pukul 7 malam. Mulai dari mengasuh anak, membersihkan rumah, mencuci dan mensetrika baju, menjaga rumah sampai pengguna jasa pulang, bahkan ada yang setelah selesai bekerja di rumah pengguna jasa masih harus membantu orang tua bekerja di rumah. Upah yang mereka terima berkisar antara Rp. 250.000 – 400.000 /bulannya. Kondisi lingkungan kerja yang dialami para PRTA ini sangat beragam, seperti: 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Terpapar perlengkapan rumah tangga dari bahan kimia yang berbahaya secara terus menerus (pembersih lantai kamar mandi, sabun krim pencuci piring, sabun deterjen pencuci baju, bahan bakar kompor seperti minyak tanah dan LPG, dll) Ruang bekerja yang sesak dan pengap (warung nasi milik pengguna jasa, ruang setrika baju, gudang, atau kamar tidur) Jam kerja dan beban kerja yang berlebihan tidak disesuaikan dengan kemampuan tubuh mereka yang masih anak-anak Tidak ada hari libur Melayani konsumen yang sering kali melecehkan Dibentak pengguna jasa, pengguna jasa yang agak tua biasanya lebih banyak tuntutan Peralatan rumah tangga yang pemakaiannya membutuhkan kemampuan khusus (alat vacuum cleaner, mesin cuci,dll). Semua ini harus bisa dipelajari PRTA dengan cepat agar bisa bekerja dengan baik dan tidak dimarahi pengguna jasa.
41
Peran Samitra Abhaya KPPD dalam Mewujudkan Perlindungan Anak dan Inklusi Sosial Anak
S
amitra Abhaya Kemandirian Perempuan Pro Demokrasi (SA-KPPD) merupakan sebuah organisasi non profit yang bergerak di bidang pemberdayaan dan pengorganisasian perempuan dan anak. Bergerak sejak tahun 2004, Samitra Abhaya konsisten untuk terus fokus pada isu perempuan dan anak. Sebab sejauh ini, perempuan dan anak masih banyak yang terpinggirkan secara ekonomi, budaya, sosial, maupun politik. Kerja-kerja pendampingan, pengorganisasian, dan pemberdayaan perempuan dan anak dilakukan secara berkala di lokasi-lokasi yang menjadi basis gerakan Samitra Abhaya KPPD. Beberapa wilayah dampingan Samitra Abhaya di antaranya daerah Nambangan, Cumpat, Kedungcowek, dan Stren Kali Jagir yang terhimpun dalam Kelompok-kelompok Ibu Mandiri. Di dalamnya, terdapat berbagai kegiatan dengan muatan-muatan penting untuk meningkatkan kualitas, potensi, dan kekuatan perempuan dan anak dalam menghadapi berbagai permasalahan di sekitar. Salah satunya juga muatan tentang perlindungan anak. Sejak tahun 2009, Samitra Abhaya KPPD juga telah memulai pendampingan, pengorganisasian dan pemberdayaan kepada kelompok sasaran yang lebih spesifik yaitu Pekerja Rumah Tangga (PRT). Hal ini dikarenakan, mayoritas dari PRT merupakan anak-anak perempuan dan perempuan dewasa, yang mana, mereka adalah bagian dari kepedulian kami. Anak-anak yang bekerja di sektor domestik atau yang disebut dengan istilah Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) menjadi perhatian utama saat ini karena rentan akan kekerasan, eksploitasi, pelanggaran hak anak, dan berbagai resiko yang menimbulkan dampak buruk bagi mereka. Oleh karena itu, pada 43
Oktober tahun 2013, Samitra Abhaya mendirikan Sanggar SIWI yang didedikasikan untuk perempuan dan anak perempuan dari berbagai usia dan kalangan. Sanggar SIWI mengadakan berbagai kegiatan edukatif dan kreatif yang dapat menunjang kemandirian perempuan dan anak, terutama PRTA. Di sanggar ini, Samitra Abhaya juga berupaya untuk menjangkau PRTA di wilayah Gunung Anyar, Surabaya, sehingga akan mudah dalam mengidentifikasi kondisi kerja mereka dan memungkinkan untuk membantu mereka mendapatkan akses pelayanan publik. Selain itu, dengan membuat anak-anak dari berbagai kalangan berkumpul melalui kegiatan sanggar, diharapkan stigma buruk yang selama ini melekat pada profesi PRTA akan berangsur hilang dan digantikan dengan semangat untuk saling mendukung. Karena kami percaya setiap anak berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mendapatkan perlakuan yang setara.
44
Harapan kami…
Rosana Yuditia Selama ini saya selalu memahami bahwa perempuan (dewasa) selalu mengalami ketimpangan perlakuan diakibatkan budaya patriarkhi yang lebih mengutamakan lakilaki, setelah menekuni permasalahan dan terlibat dalam penanganan pekerja anak khususnya pekerja rumah tangga anak, pemikiran dan pemahaman saya menjadi sedikit berubah. Selain perempuan yang memerlukan perlindungan, ada anak-anak yang juga butuh dilindungi. Bahkan ketika kita berhadapan dengan anak, mereka bukanlah subyek hukum sehingga mereka tidak bisa diperlakukan layaknya orang dewasa. Coba deh, sesekali browsing tentang Konvensi Hak Anak, Konvensi ILO 182, UU no. 1 tahun 2000 tentang Perlindungan Anak, di situ kita akan menemukan bahwa sesungguhnya anak adalah yang paling membutuhkan perlindungan dan bantuan kita. Coba lihat di sekelilingmu, anak-anak berjualan koran, anak-anak menjadi pengamen, anak perempuan membersihkan rumah orang lain, menjaga rumah orang lain dan mengasuh bayi yang tidak ada hubungan keluarga dengannya… Pernahkah terpikirkan di benak kita, apa yang kita lakukan dan nikmati saat kita seusia mereka? Pernahkan terpikirkan bahwa kita ini beruntung dilahirkan di keluarga yang cukup mampu untuk menyekolahkan dan memenuhi segala kebutuhan hidup kita semasa kita anak-anak? Iya.. Kita memang beruntung… Maka marilah berbagi keberuntungan kita dengan menjadi lebih Peduli, berbagi kebahagiaan dan melindungi anak-anak yang tidak beruntung itu. Mari bersama-sama kita membuka telinga dan mata, ulurkan tangan dan melindungi anak-anak Indonesia yang tidak seberuntung kita. Saya Peduli, saya bergerak untuk kehidupan anak-anak Indonesia yang lebih baik, bagaimana dengan kalian? Pundi Palupi Harapan untuk kondisi pekerja anak di Indonesia, ya? Sebenarnya aku pribadi berharap tidak ada pekerja anak, sebab kondisi anak sebagai pekerja rentan eksploitasi dan mengalami tindak kekerasan. Jika memang tidak bisa menghilangkan pekerja anak, harapanku agar hak-hak mereka sebagai anak tetap terpenuhi. Sebagai pekerja anak, mereka tetaplah anak, dan setiap anak berhak untuk mendapatkan hak nya. Setidaknya hak dasar mereka sebagai anak, yaitu hak untuk mendapatkan identitas, hak untuk tumbuh kembang, hak untuk didengar, hak untuk dilindungi, dan hak untuk tidak dibedabedakan. Walaupun mereka seorang pekerja anak, mereka berhak untuk mendapatkan itu semua. Tanggungjawab untuk memenuhi hak anak merupakan tanggungjawab bersama, yaitu Keluarga, Masyarakat, dan Negara, tentu saja dengan peran masing-masing sesuai kapasitasnya. Keluarga lebih berperan pada tanggungjawab untuk pengasuhan, negara 45
Yunita Dwi Liandarwati Pernah menyadari banyak pekerja anak di sekitarmu? Dulu, ketika belum tahu tentang hak-hak anak dan perlindungan anak, pengamatan saya terhadap mereka sekedar berhenti pada rasa iba. “Kasihan, ya. Masih kecil sudah bekerja jadi pekerja rumah tangga. Duh, anak kecil itu berjualan koran di perhentian lampu lalu lintas memakai seragam sekolah dan tanpa alas kaki. Duh, ibu itu mengajak anaknya berjualan di warung di daerah wisata hingga malam.” Tapi, ketika saya mulai memahami tentang konvensi hak anak dan peraturan-peraturan yang mengatur perlindungan anak, saya semakin terbayang kondisikondisi rentan bahaya yang mengancam dan hak-hak mereka yang tidak terpenuhi. Tumbuh kembang mereka terhambat, tidak punya waktu bermain dan belajar, eksploitasi fisik, rentan kekerasan seksual, stigma negatif dalam penerimaan sosial, kehilangan hak partisipatif di mana mereka sulit mengakses ruang untuk berpendapat, berekspresi, dan mengutarakan apa yang mereka inginkan, serta berbagai masalah yang menghambat mereka untuk menjadi generasi bangsa yang terlindungi. Selama ini, keberadaan pekerja anak masih belum menjadi perhatian serius baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Padahal, setiap hari mereka hidup dalam bayangbayang bahaya. Apalagi, anak-anak yang bekerja di 12 sektor pekerjaan terburuk bagi anak. Harapan saya, kita semua bisa bergerak bersama untuk menyebarkan informasi, ikut mengawasi dan melaporkan jika terjadi kekerasan terhadap anak dan pekerja anak, dan menerapkan gaya hidup yang sadar akan perlindungan dan hak-hak anak. Semoga dalam hidup yang singkat ini, kita tidak menjadi pelaku kekerasan dan pelanggaran hak anak, yaa. :) Dian Noeswantari Tentang pekerja anak, terutama pekerja rumah tangga anak (PRTA) yang sekarang sedang menjadi fokus dampingan Samitra Abhaya KPPD, semoga mereka tidak lagi menjadi PRTA. Dengan berbagai kegiatan pemberdayaan, pembangunan karakter, dan dukungan dari masyarakat, saya berharap pekerja anak nantinya bisa mendapat kehidupan yang lebih baik lagi. Jika semua pihak mau peduli dan memulai langkahlangkah kecil untuk mendukung mereka, saya rasa, kita bisa mengurangi jumlah pekerja anak dan membawa mereka pada kondisi yang lebih baik. 46
Harapan kami…
lebih berperan untuk membuat kebijakan dan peraturan yang melindungi anak dari tahap membuat kebijakan dan peraturan sampai proses pelaksanaannya, dan masyarakat lebih berperan pada bagaimana menciptakan kondisi lingkungan yang ramah terhadap anak, serta melakukan proses kontrol terhadap peran keluarga dan negara terhadap pemenuhan hak anak. Dengan terpenuhinya hak sebagai anak, harapanku berikutnya adalah terbentuknya generasi baru yang bisa membentuk dunia ke arah yang lebih baik.
Harapan kami…
Natalia Pratikasari Sebagai staff lapangan yang sehari-hari berinteraksi dengan anak-anak yang bekerja di sektor domestik, saya miris dengan kondisi di mana masih banyak orang-orang dewasa yang belum sadar akan hak-hak anak yang perlu dipenuhi dan dilindungi. Masih banyak cerita di mana anak-anak terpaksa tidak melanjutkan pendidikan, atau kehilangan waktu bermain karena harus bekerja paruh waktu sebagai PRTA. Mereka juga masih banyak yang mendapat perlakuan kurang menyenangkan dengan dibeda-bedakan karena status sosial mereka sebagai PRTA. Lebih parahnya lagi, masih ada yang melakukan ekspolitasi jam kerja, kekerasan fisik dan psikis, dan ada kecenderungan mengarah ke pelecehan seksual. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk memahami pola perlindungan anak sehingga bisa diterapkan pada kehidupan sehari-hari. Harapan saya, semoga dengan tumbuhnya kepedulian dari berbagai pihak, akan semakin banyak anak yang berkesempatan mendapat ruang hidup dan tumbuh kembang yang layak dan aman. Novik Ahmad Anak-anak tidak seharusnya bekerja, apalagi dieksploitasi untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan ekonomi orang dewasa. Mereka adalah tanggungjawab kita, orang dewasa yang sudah siap baik fisik maupun pikiran. Jika anak-anak dibiarkan bekerja, kecil kemungkinan mereka bisa tumbuh dengan baik. Perlu adanya dukungan dari berbagai pihak, terutama kesadaran masyarakat dan payung hukum yang jelas dan tidak tumpang tindih terkait posisi anak, perlindungan, dan masalah pekerja anak. Dodo dS Anak, seyogyanya bermain dan belajar, supaya bisa mendapatkan apa yang diimpikannya. Suatu keputusan yang kurang bijak jiika orang dewasa atau orangtua mempekerjakan anak atau membiarkan anak bekerja sehingga menghambat proses tumbuh kembang.Tentu saja, negeri yang gemah ripah loh jinawe kertatata raharja ini sangat membutuhkan sentuhan anak –anak dalam setiap perkembangannya. Sebab, anak mempunyai tanggungjawab sebagai penerus yang bisa menjaga dan melestarikan segala aspek baik yang dimiliki bangsa dan negara ini. Dengan memerdekakan anak untuk bermain dan belajar, maka akan memperluas lingkungan yang jenaka dan menciptakan warna pada lingkungan masyarakat. Tidak ada beban yang dipikul anak yang semestinya adalah tanggungjawab orangtuanya, Selain itu, membebaskan anak dalam konteks hal-hal positif, akan menciptakan ruang gerak dan pola hidup yang tidak menghambat tumbuh kembang anak, terutama pada produktifitas dan kreatifitasnya. Nusrotul Aminah dan Eny Putri Surya Dewi 47
Harapan kami…
Saat SMA dulu, kami bekerja paruh sebagai PRTA di rumah-rumah sekitar lingkungan tempat tinggal kami. Pagi bekerja, siang sekolah. Kadang di sekolah kami mencuri waktu untuk tidur saat jam pelajaran. Pulang sekolah, karena sudah kelelahan, kami enggak pernah ikut main kalau teman-teman yang lain main. Jangankan main, mengerjakan PR saja kami kadang sudah kecapekan. Siapa yang kami menyuruh jadi PRTA? Ya kondisi, sih. Kami harus bantu memenuhi kebutuhan rumah, bantu ibu. Pekerjaan yang kami bisa saat itu yang bekerja jadi PRT. Ibu bekerja PRT, dan tugas PRT itu ya sudah biasa kami kerjakan di rumah. Tapi, sekarang, kami ingin bekerja di tempat yang lebih layak. Enggak ada keinginan untuk bekerja seperti itu lagi. Makanya, kami berusaha untuk belajar dan ikut pelatihan-pelatihan mengembangkan skill, membuat kerajinan, dan belajar untuk lebih percaya diri supaya orang percaya kalau kita punya kemampuan yang lebih dari sekedar bantu-bantu pekerjaan rumah. Harapan kami, semoga teman-teman di kampung saya dan di seluruh Indonesia tidak perlu bekerja jadi PRTA atau pekerjaan lain yang tidak seharusnya dikerjakan anak-anak seusia kami. Ayo teman-teman kita semua harus mengembangkan bakat kita supaya bisa membantu orangtua dengan hobi kita dan tidak perlu mencuci, mengepel, setrika, dan mengurus rumah orang lain.
48
K
ita sering melihat ada banyak anak-anak yang bekerja, baik itu bekerja di jalanan, di toko, di pasar dan bahkan di rumah-rumah pemukiman menengah ke atas. Mereka menjadi pengamen, penjual koran, menjaga toko atau counter pulsa telephon selular, dan yang sering kita jumpai di perumahan adalah menjadi pekerja rumah tangga (PRTA). Anak-anak itu berada dalam kondisi yang sangat rentan, rentan terhadap kondisi yang eksploitatif dan mengalami kekerasan. Apakah anak-anak itu berani melawan dan mempertahankan diri mereka? Kebanyakan tidak, tahu kenapa? Karena mereka adalah anak-anak yang belum mampu menyuarakan dan mengambil keputusan untuk diri mereka sendiri. Mereka akan sangat bergantung pada orang dewasa. Siapa sih orang dewasa itu? Orang dewasa yang berada di sekitar mereka adalah orang tua, keluarga, dan masyarakat. Lalu siapa yang berkewajiban melindungi anak-anak itu? Kita semualah yang bertanggungjawab terhadap kondisi anak-anak itu. Mereka lah penerus kita, mereka lah yang nantinya akan menjadi seperti kita 10 tahun..20 tahun lagi, di tangan mereka lah masa depan kita, masa depan bangsa ini. Buku ini mengajak semua yang membacanya untuk memahami mengenai hak-hak anak dan kondisi eksklusi yang mereka alami sehingga tidak terjadi pemenuhan hak mereka. Buku ini juga menjelaskan mengenai inklusi sosial, sebuah cara atau proses agar anak-anak itu bisa keluar dari kondisi mereka yang ter-eksklusi. Apa yang dimaksud dengan eksklusi dan inklusi? Siapa saja yang mengalami eksklusi? Bagaimana bisa tercapai kondisi inklusi? Apa saja sih hak anak? Mengapa harus dilindungi? Apakah ada dasar hukumnya? Mari membaca buku ini, memahami dan membuka ruang diskusi bersama-sama untuk mencapai situasi anak Indonesia yang adil sosial dan berperikemanusiaan.
Sanggar SIWI adalah sebuah wadah yang diperuntukkan untuk anak perempuan dan perempuan yang terpinggirkan. Sanggar SIWI mengajarkan tentang kesadaran gender, kesehatan reproduksi, keterampilan menulis, menggunakan media sosial dengan baik dan benar, serta membuat berbagai jenis kerajinan tangan juga produk lainnya yang layak jual. Sanggar SIWI bertujuan untuk memutus mata rantai pekerja anak dan meningkatkan kepercayaan diri mereka bahwa mereka mampu mempunyai keterampilan yang lebih, mendapatkan penghasilan yang layak dan melatih berwirausaha.