•
284
JUAL-BELI TANAH 01 BAWAH TANGAN OITINJAU OARI UUPA *1
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ OIeh: Karolus K. Medan ""I _ _ _ _ _ _ _ _.-1 Latar Belakang Tanah sebagai tempat kita berpijak dan menopang sebagian besar kehidupan kita. Bahkan sebahagian besar rakyat Indonesia, tanah merupakan sumber hidup satu-satunya. Mengingat pentingnya tanah di dalam kehidupan manusia, maka setiap orang berusaha memiliki dan memanfaatkan tanah itu semaksimal mungkin guna kelangsungan hidupnya. Untuk memiliki tanah dapat dilakukan dengan berbagai cara (tentunya cara yang tidak bertentangan dengan hukum), seperti mewaris , hibah , tukarmenukar, maupun dengan cara jual-beIi. Khusus mengenai cara jual-beli tanah, hukul11 adat menganut sistem tunai atau kontan, artinya pembayaran harga tanah oleh pembeli, dan penyerahan hak atas tanah oleh penjual dilakukan pada saat yang bersamaan dan pada saat itu pula jual-beli tanah sudah selesai. Sedangkan hukum barat menganut sistem konsensual , suatu sistem jual-beli di mana peralihan hal atas tanah sudah sah apabila sudah •
*) Makalah yang disampaikan dalam dis-
kusi seminar akademik Fakultas Hukum Un dana tanggal 28 Maret 198 7 (pembimbing: Donatus Patty , S.H .). **) Penyunting dan sekaJigus sebagai pemra- . saran bersama dua kawan lainnya: Rudipel Petrus Leo dan Rafael R. Tupen.
ada kata sepakat (konsensus) antara para pihak. Di dalam sistem hukum agraria nasional, tidak secara tegas menentukan sistem mana yang dipakai , hanyalah menlinjuk pejabat-pejabat tertentu yang memuat akte jual-beli tanah. Hal demikian ~eperti yang ditegaskan dalam Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961: "Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas·tanah, menggadaikan tanah memberikan sesuatu hak baru atastanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan sesuatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri". Pada halnya dalam ketentuan Pasal 5 UUP A, masih mengakui hukum adat yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara . Dengan demikian , dari kedua ketentuan itu menimbulkan berbagai permasalahan di dalam pelaksanaan UUPA. Oleh karena kedudukan hukum adat tanah di dalam UUP A tidak secara tegas diatur , dan di lain pihak tcrdapat lembaga-lembaga hukum baru yang tidak dikenal di dalam hukum adat. Persoalan ini menimbulkan berbagai penafsiran yang berbeda-beda baik pada penegak hukum maupun para pen-
285
Jual Beli TaMil
cari keadilan dalam menghadapi sengketa tanah, khususnya permasalahan di dalam pemilikan tanah dengan cara jual-beli tanah yang mana menurut hukum adat dengan sistem tunai atau kontan sedangkan sistem hukum agraria nasional tidak secara tegas menentukan sistem mana yang dipakai. Pokok Masalah Berdasarkan latar belakang permasalah an di atas, maka dapatlah dirumuskan permasalahan pokok di dalam transaksi jual-beli tanah menu rut UUP A adalah sebagai beriku t "Bagaimanakah kedud ukan jual-beli di bawah · tangan dan bagairnanakah akibat hukumnya dilihat dari hukum agraria nasional?" . Jual-Beli Tanah Setelah Berlakunya UUPA Sebagai realisasi daripada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menetapkan bahwa: "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan diperguna- · kan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat" ; maka pada tanggal 24 September 1960 dibentuklah hukum agraria nasional. Dengan berlakunya hukum agraria nasional, maka pada saat itu pula segal a peraturan yang berlaku sebelumnya disebut yaitu: a) Agrarisch wet, b) Semua pernyataan Domein dari pemerintah Hindia Belanda c) Buku ke-II KUH Perdata sepanjang mengenai bumi serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kecuali Hipotik. 1 ) 1) Donatus Patty, Himpunan Kuliah Agraria, (Kupang: Fakultas Hukurn Undana, 1983), hlrn. 8.
Dengan demikian hukum agrada yang baru itu dipakai sebagai dasar hukum bagi negara untuk mengatur pemilikan dan memirnpin penggunaannya, sehingga semua tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hukum Agraria yang baru ini bersifat nasional baik dari segi materiil maupun dari segi formal. Mengenai segi formal, hukum agraria nasional dibuat oleh pembentuk undang-undang nasional, dibuat di Indonesia dan disusun ·pula dengan bahasa Indonesia. Sedangkan 'dari segi materiilnya, hukum agraria yang baru itu bersifat nasional yakni berkenaan dengan tujuan, asas-asasnya dan isinya. Hukum agraria baru itu, sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan sesuai dengan tingkat pengetahuan bangsa Indonesia. Oleh karena hukum agraria yang baru itu bersumber pada hukum adat. Hukum adat yang dirnaksudkan di sini bukan hukum adat yang murni, melainkan hukum adat yang telah disaneer atau hukum adat yang telah dibersihkan dari cacadnya. Dalam arti, hukum adat yang sudah disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional. Mengenai transaksi jual-beli tanah, UUPA tidak menegaskan secara terinci mengenai sistem mana yang dipakai. Apakah menganut sistem konkret atau tunai seperti y.ang diterapkan dalam hukum adat, ataukah sistem konsensual seperti yang diterapkan dalam hukum barat, tidak dijelaskan secara pasti. Ketidaktegasan itu dapat dilillat dari ketentuan Pasal 5 UUP A yang masill mengakui hukum adat dalam kaitannya dengan bumi,air dan ruang •
•
Juni 1987
•
286 angkasa; sedangkan di pihak lain UUP A menentukan , bahwa setiap perjanjian jual-beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri, pada halnya pejabat yang dimaksudkan itu adalah pejabat yang tidak dikenal dalam hukum adat. Jika ketentuan Pasal 5 UUPA dihu. bungkan dengan Pasal 26 UUP A yo Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961 maka akan menimbulkan berbagai penafsiran yang berbeda-beda . . • Menurut Boedi Harsono, S.H., bahwa peralihan hak atas tanah kepada pembeli didasarkan pada Pasal 5 UUP A adalah hukum adat. Sehingga ditafsirkan sebagai hukum adat yang sistemnya masih konkret atau tunai (kontan). Berpatokan pada tunai maka peralihan hak atas tanah di Kantor pendaftaran tanah merupakan persyaratan administratif belaka. 2 ) Don. Patty, S.H. berpendapat lain daripada pendapat Boedi Harsono, S.H., bahwa bilamana peralihan hak atas tanah merupakan perbuatan administrasi belaka: dan tidak bersifat memaksa , maka pihak pembeli akan mengalami kesulitan bila digugat oleh ahli warisnya karena sertifikat tanah yang dibelinya tetap tercantum atas nama penjual. Sehingga menyulitkan pembeli bila ia mau mengalihkan (menjualnya kembali) at au menghipotekan, dan lain-Iain. 3 ) 2) Boedi Harsono , UUPA, Sejarah Peny usunan dan Pelaksanaan Hukum A graria, bagian pertama, jilid kedua, (Jakarta : Jambatan : 1971 ), him. 198. 3) Donatus Patty, Macam·macam Hak A tas Tanah di dalam Undang-undang Pokok Agraria, bagian II, (Kupang: CV. Kasih Indah, 1984), him. 21.
Hukum dan Pem bangu nan
Menurut pendapat Dr. Sunarjati Hartono , S.H., bahwa sudah tiba saat nya kita berpegang pada sistem positif, menjadikan sertifIkat tanah satu-satunya alat untuk membuktikan hak milik atas tanah .4 ) Perbedaan penafsiran itu terjadi pula pada lembaga pencari keadilan, serta terlihat dalam beberapa keputusan Mahkamah agung di bawah ini. Keputusan Mahkamah Agung tanggal 12 Mei 1972 No . 1363 K/Sip/1972 , memutuskan bahwa mensahkan jual-beli tanah tanpa akta pejabat pembuat akta tanah seperti yang disyaratkan Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961, Peraturan Pemerintah itu tidak bersifat memaksa. 5 ) Selanjutnya pada tanggal 14 Maret 1973, Mahkamah Agung dengan keputusannya No. 601 K/Sip/1973 mensah- . kan jual-beli tanah di hadapan Kepala Desa dan diketahui oleh Camat dengan pertirnbangan bahwa akta yang telah dibuatnya sudah cukup membuktikan adanya jual-beli yang sah (syarat untuk sahnya sudah dipenuhi) dan syarat-syarat menurut Pasal 19 PP No . 10 Tahun 1961 bukan menentukan syarat sah tidaknya perjanjian jual-beli, tetapi hanyalah suatu syarat pembuktian yang harus diikuti setelah suatu perjanjian yang sah. 6 ) Berlainan dengan keputusan-keputusan di atas, pada tanggal 18 Desember 1971 , Mahkamah Agung dengan keputusannya No. 598/Sip/1971, memutuskan, bahwa jual-beli tanah yang tidak dilakukan di hadapan pejabat 4) Sunarjati Hartono , Beberapa Pemikiran
ke Arah Pembaharuan Hukum Tanah . (Bandung: Alumni, 1978), him . 107. 5) Donatus Patty, op. cit .• him . 20. 6) Ibid., him. 21.
Jllal Beli Tanah
287 •
yang berwenang yang dimaksudkan Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961 yakni Notaris atau Camat merupakan jualbeli yang tidak sah menurut hukum, sehingga pembelinya tidak perlu mendapatkan perlindungan hukum. 7 ) Dengan adanya keputusan-keputusan Mahkamah Agung di atas, belum menunjukan satu pendapat mengenai cara jual-beli tanah sesudah berlakunya UUP A atau dengan perkataan lain Mahkamah Agung masih berpendirian dualistis, yaitu di satu pihak masih mengesahkan cara jual-beli menurut hukum adat murni dan bahkan juga menganut ketentuan-ketentuan jual-beli menurut KUH Perdata, serta menegaskan bahwa syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961 hanya bersifat administrasi belaka dan tidak bersifat memaksa; sedangkan di lain pihak berpendapat, agar transaksi jual- beli tanah itu sah apabila dilakukan di depan PPAT. Apabila peralihan hak atas tanah merupakan perbuatan administrasi belaka dan tidak bersifat memaksa , maka akan menimbulkan kesulitan terhadap pihak pembeli atau pihak ketiga apabila di kemudian hari si penjual menyangkal telah melakukan jualbeli tanah. Selain itu, pembeli sukar membuktikan hak atas tanah yang dibelinya, dan tanpa adanya akta PPAT sukar suntuk memperoleh izin pemindahan hak dari instansi yang berwenang. UUP A menghendaki agar setiap transaksi jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian dengan hukum adat dan perbuatan lain yang benllaksud memin•
7) Ibid., hlm. 22.
dahkan hak milik serta pengawasannya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 26 ayat (1) UUPA) . Peraturan Pemerintah yang dirnksud adalah PP No. 10 Tahun 1961 yang menetapkan bahwa tiap-tiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan suatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah , dan lainlain harus dilakukan di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agrana. Yang dimaksudkan dengan pejabat dalam hal ini adalah para pejabat yang ditunjuk secara lirnitatif di dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) peraturan Menteri Agraria No . 10 Tahun 1961 , yaitu •
1. Notaris. 2. Pegawai-pegawai dan bekas pegawai dalam lingkungan Departemen Agraria yang dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang peraturan-peraturan lainnya yang bersangkutan dengan peralihan hak atas tanah . 3 Para Pegawai Pamong Praja ya ng pernah melakukan tugas seorang pejabat. . 4 . Orang yang lain yang telah lulus dalam ujian yang diadakan oleh Menteri Agraria (DiIjen Agraria Departemen Dalam Negeri) . Berdasarkan peraturan tersebut maka Camat secara ex officio dapat . menjadi PPAT bagi setiap perbuatan yang bermaksud untuk mengalihkan hak yang teIjadi di dalam lingkungan wilayah keljanya. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa walaupun secara materiil proses jua1beli tanah itu sah, tetapi secara formalnya , proses j ual-beli secara adat (tunai) •
JWl i 198 7
288 belum dikatakan sah. Oleh karena itu suatu transaksi jual-beli tanah dikatakan sah menurut UUPA harus memenuhi syarat materiil dan syarat formal. Jadi , bila kedua belah pihak yang terliba t dalam transaksi jualbeli tanah telah memenuhi hak dan kewajibannya (syarat materiil) dan perbuatan itu harus dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang dan dibuatkan akte jual-beli oleh pejabat tersebut yaitu PPAT (syarat formaln ya). Sehingga apabila transaksi jual-beli tanah flanya dilakukan di hadapan orang atau pejabat yang bukan PPAT ataupun hanya diketahui oleh kedua belah pihak adalah tidak sah. Dan transaksi jual-beli inilah yang disebut "jual-beli tanah di bawah tangan". Perbuatan mana tidak mempunyai akibat hukum bila disengketakan , karena tidak memenuhi syarat formal. Praktek luaI-Beli Tanah di Kalangan Masyarakat Tanggal 24 September 1987 mendatang, UUP A akan mencapai usia d ua puluh tujuh tahun, suatu umur yang menunjukkan kedewasaan; namun materi UUPA belum memasyarakat ke seluruh pelosok tanah air. Kenyataan rnenunjukkan suatu penyimpangan yang sangat prinsipil, di mana masyarakat tetap berpegang pada cara berpikir yang konkret. Dalam praktek jual-beli tanah di masyarakat lebih banyak dilakukan "bukan" di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (PPAT) , tetapi dilakukan di hadapan Kepala Desa , Kepala Suku (fungsionaris adat), ataupun dilakukan oleh para pihak tanpa saksi atau disaksikan oleh keluarganya masing-masing .
Hullum, dan Pembangunan
Beberapa faktor yang menghambat penerapan UUP A dalam menangani transaksi jual-beli tanah yaitu cara berpikir masyarakat yang konkret karena dipengaruhi oleh tingkat pendidikan (khusus masyarakat yang tinggal di pedesaan). Sehingga menyebabkan sebagian besar masyarakat belum, bahkan tidak tahu sama sekali tentang proses · formal yang seharusnya dibuat pada setiap perjanjian jual-beli tanah. Sering pula masyarakat dibayangi oIeh biaya yang harus dikeluarkan dalam melakukan transaksi jual-beli tanah dengan mengikuti cara formal. Padahalnya kalau dihitung-hitung biaya yang sebenarnya dikeluarkan adalah relatif kecil, seperti: a) Uang jasa atau honorarium untuk Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebesar 72% dari harga tafsiran tanah. b) U ang para saksi (Ke pala Desa dan seorang angg01a pemerintahan desa) sebesar 1% dari tafsiran harga tanah. c) Biaya pendaftaran tanah di Kantor pendaftaran tanah sebesar ~ % dari tafsiran harga tanah d) Pembelian formulir , materai , dan sebagainya sebelum jual-beli dilakukan antara pemilik dan calon pembelinya. Faktor lain yang juga ikut berpengaruh dalam hal ini ialah faktor "awh tak acuh" dari para pihak yang terlibat dalam transaksi jual-beli tanah. Mereka sebenarnya sullah tahu tentang cara jual-beli tanah menurut hukum Agraria Nasional , namun acuh tak acuh untuk menghindari diri dari ongkos atau biaya yang telah ditetapkan di dalam ketentuan UUPA . Praktekpraktek seperti ini kelihatannya mu-
Jual Beli Tanah
289
dah prosesnya, dan ringan biayanya, terlibat dalam transaksi jual-beli tanah tapi di balik itu menimbulkan keresah- itu dapat dijamin hak dan kewajibanan-keresahan kepada masyarakat kare- nya. Dan lebih dari itu akan tercipta na tidak adanya kepastian hak dan ke- kepastian hak dan kepastian hukum. past ian hukum atas transaksi jual-beli Jadi jelaslah, peranan PPAT bukan sekedar bersifat administrasi belaka, yang dilakukan. Apabila transaksi jual-beli tanah di tapi yang paling pokok ialah menjabawah tangan (tidak di hadapan peja- lankan fungsi pengawasan terhadap bat yang berwenang), maka akan me- transaksi jual-beli tanah Sehingga nimbulkan berbagai konsekuensi nega- tidak salah kalau dikatakan, proses peralihan hak atas tanah yang dilakutif se pe rti : a) Pembatasan luas tanah maksimum kan di hadapan PPAT merupakan syaseperti yang diharapkan UUP A ti- rat sahnya jual-beli tanah (syarat fordak akan terwujud, karena luas malnya). areal tanah yang telah dimiliki oleh pembeli tidak diketahui secara Kesimpulan pasti. Sehingga bisa menimbulkan Sebagai rangkuman dari hal-hal penguasaan tanah yang luasnya ledisimyang diuraikan di atas, dapat bih dari yang ditentukan. pUlkan beberapa point pokok sebab) Tanah-tanah di wilayah Indonesia gai beriku t : bisa jatuh ke tangan orang-orang a. Kedudukan jual-beli tanah di bawah yang sebenarnya tidak berhak metangan adalah bertentangan dengan miliki tanah. Misalnya tanah dijual . UUPA. kepada orang-orang asing. b. Jual-beli tanah yang dilakukan di c) Orang yang tidak berhak atas sebibawah tangan tidak memberikan dang tanah dapat menjualnya kepakepastian hak dan kepastian huda orang lain tanpa diketahui oleh kum. orang yang sebenarnya berhak. Beberapa saran yang kiranya pantas d) Dapat pula menimbulkan , sebidang untuk dikemukakan dalam mengakhiri tanah dapat diperjualbelikan sam- tulisan sederhana ini. pai beberapa kali oleh penjual yang a. Perlu penyuluhan hukum kepada sama. masyarakat ten tang proses peralihan hak atas tanah , khususnya mee) Pihak penjual dapat mengingkari nyangkut transaksi jual-beli tanah transaksi jual-beli tanah yang telah dengan kehendak UUyang sesuai dilakukan di kemudian hari. P A, sehingga dengan demikian prakMelihat konsekuensi negatif yang tek-praktek yang keliru dapat diditimbulkan oleh transaksi jual-beli tinggalkan. tanah di bawah tangan, schingga sebe- b. Perlu adanya ketegasan dari pihak narnya tidak ada alasan lagi untuk Mahkamah Agung sebagai lem bamengesahkan sistem jual-beli semacam ga peradilan tertinggi, mengenai itu. Dengan melakukan transaksi jualkedudukan jual-beli tanah di bawah tangan dalam sistem hukum agraria beli tanah di hadapan pejabat yang berwenang (PPAT), maka pihak yang nasional. JUlli 1987 •
•
•
. 290
HullUm dan Pembaniunan
Daftar Pustaka Departemen Kehakiman Ditjen Kunbang Direktorat Penyuluhan Hukum, Undang-undang Agraria dan Peraturan Pelaksanaannya, 1984. Harsono, Boedi, UUPA, Sejarah Penyusunan, lsi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Jambatan, 1962). Hartono, Sunarjati, Beberapa Pemikiran ke Arah Pembaharuan Hukum Tanah, (Bandung: Alumni, 1978). Patty, Donatus, Peralihan Hak-hak Atas Tanah, (Kupang: Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana, 1984). ---------, Macam-macam Hak Atas Tanah di dalam UUPA (bagian II), (Kupang: Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana, 1984). ---------, Himpunan Kuliah Hukum Agraria, (Kupang: Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana, 1983). Perangin, Effendi, Mencegah Sengketa Tanah, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986). Wignyodipuro, Soerojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1982) . •
• •
•
'.
•
, •
•
•
•
-
••
•
-