Journal of Ethics and Character
i
ii
ISSN 2337-8271
Vol. I, No. 2, 2013
Pembina
: Rektor Universitas Mathla’ul Anwar Banten Prof. Dr. H. M. Bambang Pranowo, M.A.
Penanggung Jawab : Ketua LP3M Universitas Mathla’ul Anwar Drs. H. Syihabudin, M.M. Pemimpin Redaksi : Ade Hidayat, S.Fil., M.Pd. Penyunting Ahli
: Dr. Ukun Kurnia, M.Pd. Sanusi, S.E., M.M. Drs. Jihaduddin, M.Pd. Drs. Ali Nurdin, M.Si. Drs. Akhsan Sukroni, M.Si.
Redaktur Pelaksana : Agus Nurcholis Saleh, M.Ud. Enci Zarkasih, M.Pd. Drs. H. Hatami Kastura, S.Pd.I. Yasser Arafat, M.Pd. Tata Usaha
: Nasrullah, S.Ip.
Mitra Bestari
: Prof. Dr. H. Encep Syarifudin, M.A. (IAIN Serang) Ali Nurdin, Ph.D. (UIN Sunan Gunung Djati Bandung) Hilman Latif, Ph.D. (Univ. Muhammadiyah Yogyakarta) Penerbit : Lembaga Penelitian, Pengembangan, dan Pengabdian pada Masyarakat (LP3M) Universitas Mathla’ul Anwar Banten Alamat Redaksi: Jl. Raya Labuan KM. 23, Cikaliung, Saketi, Pandeglang 42273 Telp. (0253) 401307; Fax. (0253) 401308 Email:
[email protected] Website: www.unmabanten.ac.id
iii
SALAM REDAKSI Riak-riak pemikiran etika pada dekade sekarang kembali mendapat momennya. Hal ini disebabkan oleh semakin bisingnya persoalan kemanusiaan yang berkait kelindan dengan pemikiran etika, akhlak, perilaku, ataupun bahasa lain yang mewakilinya. Riak pemikiran ini memang sangat dirindukan, mengingat semakin akutnya persoalan kemanusiaan kita. Keterdesakan akan pentingnya pil pengetahuan tersebut sebagai obat mujarab semua persoalan yang diakibatkan oleh ulah manusia yang tanpa batas. Ngakunya memberdayakan Sumber Daya Alam dan Manusia, tapi nyatanya mengeksploitasi alam dan justru menindas manusia. Renungan pemikiran manusia ini mengingatkan kepada kita semua akan sisi lain kemanusiaan kita. Atau sekedar menertawakan atas ulah dan perilaku sadis kita, dibalik renungan segala bentuk niatan motivasi awal kita berkehendak. Sekaligus mengingatkan kepada dunia kampus yang janganlah hanya menjadi pencetak robot-robot sarjana pekerja pekerja, yang mengenyampingkan sisi-sisi akhlak kemanusiaan. Atau kalau tidak demikian, maka masyarakat ilmiah kita hanya akan menghasilkan para robot pekerja yang bertitel: Sarjana Ekonomi, hanya akan menjadi ekonom penindas masyarakat. Sarjana Fisipol, hanya menjadi politikus penipu masyarakat. Sarjana Kesehatan, hanya menjadi “pelayan” kesehatan yang berbasis untung dan rugi. Sarjana Agama, hanya menjadi pengusung kapitalisasi agama dan lembaga keagamaan. Na’udzubillah… Manusia seakan hadir dalam sesosok “robot” yang bengis, sadis, tanpa perasaan, dan mencabik-cabik setiap nurani dan budi pekerti. Kriminalitas dan Kekerasan sesama manusia adalah nadi yang setiap hari berdetak. Sedangkan, dunia semakin sesak dengan polusi dan bahan kimia yang membunuh. Lalu dimanakah peran pendidikan sebagai guru terbaik penuntun umat manusia? Berawal dari latar belakang di atas, jurnal ini mewujud untuk kedua kalinya. Sekedar berikhtiar dalam rangka merekonstruksi ulang dalam membentuk manusia yang paripurna. Manusia yang cerdas otaknya, lembut hatinya, dan terampil tangannya. Kami menyadari usaha praksis di lapangan berawal dari kesadaran pengetahuan di bangku ilmiah. Dalam jurnal ini kami mengawali pembaca dengan mengajak pembaca berselancar menafakuri tulisan pertama dari Ade Hidayat yang berjudul Persepsi dan Perilaku Mahasiswa dalam Pendidikan Karakter. Tulisan ini menjadi gerbang pembuka pembahasan mengenai riset implementasi perjalanan pendidikan karakter di Universitas Mathla’ul Anwar (UNMA) Banten. Sebuah usaha dalam renungan etika bersama mengenai pentingnya uswah hasanah, yang secara paripurna, perlu ada skenario pembiasaan yang dilakukan secara terstruktur dan sistemik dalam membangun kebiasaan positif, tidak hanya bagi mahasiswa namun juga bagi seluruh pimpinan, dosen dan karyawan. Sehingga, pembelajaran harus dimaknai tidak hanya sebagai aktivitas perkuliahan di kelas, namun seluruh proses dan interaksi yang terjadi di dalam maupun di luar kampus.
iv
Tulisan kedua, pembaca diajak untuk berselancar mengenai etika gender dalam local genius masyarakat Sunda. Kearifan Sunda memberikan pemahaman utuh mengenai pentingnya harmoni dalam relasi gender. Sejarah etika feminisme Barat hanyalah cukup memberikan gambaran yang menohok mata kepada kita, betapa konsepsi feminismenya hanyalah melahirkan sebuah gerakan dan pemberontakan dari perempuan kepada lawan jenisnya. Tulisan Heri Mohamad Tohari yang berjudul Feminisme Sunda Kuno, memberikan renungan menyentuh betapa relasi gender dalam masyarakat Sunda Kuno menempatkan perempuan pada ruang terhormat dalam balutan harmoni yang justru tidak menindas kaum laki-laki. Tulisan ketiga, dari Daris Tamin membawakan judul Guru dan Budaya Pendidikan Berbasis Bimbingan dan Konseling, memotret sistem budaya sekolah untuk menemukan sosok etika guru yang menampilkan budaya pendidikan berbasis bimbingan dan konseling dalam proses pembelajaran. Selanjutnya, tulisan keempat dari Eko Supriatno berjudul Proses Pembelajaran PKn Melalui Pemanfaatan Internet dalam Peningkatan Hasil Belajar Siswa. Bahwa untuk mencerdaskan siswa dalam Pendidikan Kewarganegaraan bisa memanfaat fasilitas apapun, tak terkecuali internet. Kemudian tulisan kelima dari Mardiah Hapsah berjudul Globalisasi Erotika Media, mengajak pembaca mengkritisi berbagai iklan di televisi yang ternyata banyak mengekploitasi seksualitas kaum hawa untuk menarik pelanggan. Para “penjaja” kapitalisme membuat iklan berwajah seks demikian masif melabrak batas norma dan etika untuk dipertontonkan khalayak, tak terkecuali anak-anak, maka tidak heran berbagai kasus pelanggaran moral marak terjadi di negeri ini. Tentu saja ini menjadi kekhawatiran kita bersama. Tulisan keenam tidak kalah menariknya, mengusung judul Profesionalisme Guru dan Kenangan Siswa Terhadap Guru, penulis Agus Nurcholis Saleh mengajak pembaca seakan mengenang kembali memori akan sosok guru ketika masa-masa di bangku sekolah. Sosok guru profesional dijabarkan luas dalam tulisan ini, dan tentunya seorang guru profesional akan menempati ruang khusus di relung hati terdalam “mantan” siswanya. Dilanjutkan dengan tulisan ketujuh yang menutup manis oleh tulisan dari Sri Mulyanah, Munir Satiar, dan Hadi Arifin berjudul Pengaruh Kepribadian Guru PAI Terhadap Akhlak Siswa. Tulisan ini kembali menegaskan pembaca akan pentingnya kepribadian guru dalam membentuk watak atau karakter (akhlak) siswa. Semoga dengan kehadiran jurnal kedua ini menjadi obat penawar akan dahaga kita semua yang merindukan sosok-sosok manusia baru yang memiliki Etika dan Budi Pekerti yang luar biasa. Kehadiran jurnal yang belia ini, menandai minimnya sebuah pengalaman. Serasa kepala ini bersimpuh memohon maklum atas segala noda dan kekurangan yang hadir dalam jurnal ini. Teriring doa semoga jurnal ini bermanfaat untuk sekalian pembaca. Salam hangat, Redaksi
v
DAFTAR ISI iv
Salam Redaksi
vi
Daftar Isi
1
Ade Hidayat Persepsi dan Perilaku Mahasiswa dalam Pendidikan Karakter: Studi Deskripsi di FKIP UNMA Banten Tahun 2013
13
Heri Mohamad Tohari Feminisme Sunda Kuno: Studi Interpretasi Kritis Akulturasi Nilai-Nilai Kesetaraan Gender Sunda-Islam dalam Carita Pantun Sri Sadana
27
Daris Tamin Guru dan Budaya Pendidikan Berbasis Bimbingan dan Konseling
51
Eko Supriatno Proses Pembelajaran PKn Melalui Pemanfaatan Internet dalam Peningkatan Hasil Belajar Siswa: Studi di Madrasah Aliyah An-Nizhomiyyah Labuan Kab. Pandeglang.
77
Mardiah Hapsah Globalisasi Erotika Media: Studi Kritis terhadap Etika Seksualitas Iklan Televisi
93
Agus Nurcholis Saleh Profesionalisme Guru dan Kenangan Siswa terhadap Guru: Studi di Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNMA Banten
103 Sri Mulyanah, Munir Satiar, Hadi Arifin Pengaruh Kepribadian Guru PAI Terhadap Akhlak Siswa: Studi Analisis di MDA Miftahul Hidayah Carita
vi
PERSEPSI DAN PERILAKU MAHASISWA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
(STUDI DESKRIPSI DI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MATHLA’UL ANWAR BANTEN TAHUN 2013) Ade Hidayat ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui persepsi mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mathla’ul Anwar Banten terhadap pendidikan karakter dalam pelaksanaan visi FKIP UNMA Banten, (2) mengetahui strategi penerapan visi FKIP UNMA Banten, (3) mengetahui perilaku mahasiswa sebagai proses dan hasil penerapan visi FKIP UNMA Banten tersebut. Penelitian ini dilaksanakan di FKIP UNMA Banten pada bulan Juli sampai September 2013. Penelitian menggunakan metode pendekatan deskriptif kualitatif. Sumber data berasal dari mahasiswa, dosen dan pimpinan FKIP UNMA Banten. Teknik pengambilan responden yang digunakan yaitu teknik purposive sampling. Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu observasi langsung, wawancara, dan analisis dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Pemahaman responden mengenai penjabaran visi unggul dan ber-akhlakul karimah sangat beragam. Namun hal ini disepakati sebagai kriteria ideal yang harus ada dalam kepribadian pendidik, yang diharapkan dimiliki oleh mahasiswa FKIP sebagai calon guru. Unggul dan ber-akhlakul karimah yang berarti berkarakter terpuji dan ideal dijabarkan sebagai keseimbangan antara IQ, SQ, dan EQ yang mampu diaplikasikan dalam pemikiran, sikap, maupun perilaku praksis dalam kehidupan sehari-hari, yang mengarah pada perubahan positif bagi dirinya dan orang lain atau masyarakat. (2) Untuk membentuk calon pendidik yang unggul dan ber-akhlakul karimah, pendidikan karakter dilaksanakan secara bertahap melalui kurikulum, program dan kebijakan, penciptaan lingkungan yang sehat dan kondusif, keteladanan serta pengawasan. Pendidikan karakter bukan merupakan mata kuliah khusus, melainkan terintegrasi dalam kurikulum dan pengajaran. Dosen berperan penting sebagai figur teladan bagi mahasiswa. (3) Pendidikan karakter islami (akhlakul karimah) dalam segi fisik sudah dijalankan, seperti diatur melalui kebijakan berbusana, tetapi pendidikan karakter juga terhambat karena budaya non-edukatif seperti kecurangan mahasiswa dalam ujian dan tugas yang dianggap wajar. FKIP belum menetapkan kriteria resmi evaluasi pendidikan karakter, sehingga penilaian keberhasilan hanya sampai pada pengamatan individual. Mahasiswa belum mengaplikasikan nilai-nilai akhlakul karimah secara optimal, karena kurang paham atas makna akhlakul karimah, belum terbentuknya kesadaran pribadi, belum ada contoh yang bisa diteladani, serta kurang ada sosialisasi lebih lanjut terkait dengan program dan kebijakan. Kata kunci: Persepsi, Perilaku, Pendidikan Karakter, Mahasiswa
PENDAHULUAN Krisis multi dimensi yang dialami bangsa Indonesia saat ini telah memberi dampak yang besar dalam berbagai tatanan kehidupan bangsa. Banyak yang mengatakan bahwa masalah terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia adalah terletak pada aspek moral. Aksi kekerasan, teror, korupsi, dan berbagai perilaku tidak jujur lainnya telah menjadi sebuah kelatahan kolektif. Melihat kondisi bangsa sema-
cam itu, pendidikan yang menjadi basis dan wadah pembentukan karakter, jelas menghadapi tantangan yang makin rumit dan kompleks. Pendidikan merupakan salah satu modal dasar pembangunan nasional di setiap negara, termasuk di Indonesia. Pembangunan nasional di Indonesia dipahami memiliki dua dimensi global. Pertama yang berdimensi fisik material, dan yang kedua berkaitan dengan aspek mental spiritual. Secara fisik maJURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
1
Ade Hidayat
terial, walau bagaimanapun pembangunan di Indonesia dapat dikatakan sudah mencapai tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Namun dalam hal mental spiritual, nampaknya masih harus terus ditingkatkan. Berbagai upaya untuk meningkatkan keberhasilan pembangunan nasional di bidang mental spiritual ini dilaksanakan melalui sektor pendidikan. Bahkan dalam UU RI No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab II Pasal 2 yang menegaskan, bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Isi ketentuan yuridis formal di atas mengandung indikasi tentang betapa pentingnya pola pembinaan yang tidak hanya mengandalkan kecerdasan saja, melainkan mengasah kemampuan kematangan di luar kecerdasan kognitif seperti: keagamaan, moralitas, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, dan sebagainya. Pada tahun 2010 Balitbang Kemendiknas, merespon pentingnya wacana tersebut dalam grand tema yang disebut, “Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa”. Budaya yang dimaksud memiliki pengertian sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai, moral, norma dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sedangkan karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakininya dan digunakannya sebagai landasan untuk cara pandang, bersikap, dan bertindak (Kemendiknas, 2010). Pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah usaha bersama di berbagai tingkatan
2 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
pendidikan yang dilakukan secara bersama oleh semua staf pengajar (guru dan dosen) dan pimpinan sekolah dan perguruan tinggi, melalui semua mata pelajaran dan mata kuliah, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah dan kampus. Program ini mencoba untuk mengkombinasikan: olah pikir, olah hati, olah rasa/karsa, dan olah raga. Semua kombinasi ”olah” ini bermuara terhadap nilai-nilai luhur dan perilaku berkarakter. Adapun yang menjadi sumber nilai-nilai tersebut menurut Balitbang Depdiknas adalah: Agama: nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilainilai dan kaidah yang berasal dari agama. Pancasila: Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara. Budaya: tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilainilai budaya yang diakui masyarakat tersebut. Nilai-nilai budaya tersebut dijadikan dasar dalam memberi makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat tersebut. Tujuan Pendidikan Nasional; tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa dibandingkan ketiga sumber yang disebutkan di atas. Sedangkan Nilai-nilai dalam Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang dikonsepsikan ke dalam delapan belas nilai oleh Balitbang Depdiknas. Kedelapan belas nilai tersebut adalah: (1) Religius; (2) Jujur; (3) Toleransi; (4) Disiplin; (5) Kerja Keras; (6) Kreatif; (7) Mandiri; (8) Demokratis; (9) Rasa Ingin Tahu; (10) Semangat Kebangsaan;
Persepsi dan Perilaku Mahasiswa
(11) Cinta Tanah Air; (12) Menghargai Prestasi; (13) Bersahabat/Komunikatif; (14) Cinta Damai; (15) Gemar Membaca; (16) Peduli Lingkungan; (17) Peduli Sosial; 18) Tanggung-jawab. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Mathla’ul Anwar (UNMA) Banten merupakan sebuah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), yang didirikan untuk mencetak tenaga-tenaga pendidik yang handal dan profesional. Untuk menghasilkan tenaga pendidik yang baik maka diperlukan lembaga pendidikan yang baik pula. Kualitas pendidikan ditandai oleh kualitas lulusan LPTK, sehingga kualitas LPTK harus senantiasa dibangun dan dikembangkan agar menghasilkan lulusan yang berkualitas pula. Dalam konteks membangun karakter calon generasi bangsa, penyiapan calon tenaga pendidik profesional yang berkarakter tentunya memiliki korelasi yang tinggi. Sebab setiap calon pendidik dewasa ini dituntut memiliki kemampuan dalam membina karakter peserta didiknya, sehingga pembinaan karakter mahasiswa calon tenaga pendidik harus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan profesional tenaga pendidik selama di lingkungan kampus. Oleh karena itu FKIP UNMA Banten mengusung visi menjadi LPTK yang unggul dan berakhlakul karimah dalam pengembangan sumberdaya manusia dan pengembangan masyarakat. Nilai akhlakul karimah bersumber dari agama (Islam). Akhlakul karimah atau atau disebut juga akhlak islamiyah adalah suatu sistem akhlak yang berpedoman kepada AlQur’an dan Hadits. Dengan demikian kriteria baik dan buruknya suatu perbuatan tidak lepas dari garis Al-Qur’an dan Hadits (Mulyadi, 1997: 9). Akhlak juga sering disebut dengan tingkah laku, perangai, budi pekerti. Menurut Yatimin Abdullah, akhlakul karimah merupakan tanda kesempurnaan iman seorang kepada Allah. Akhlakul karimah dilahirkan berdasarkan sifat-sifat terpuji. (Abdullah, 2007: 40).
Kriteria nilai-nilai akhlakul karimah menurut Said Agil Husin (2003: 42) terlihat pada kebiasaan: (1) untuk melaksanakan shalat berjamaah; (2) menegakkan sikap disiplin; (3) memelihara kebersihan; (4) menjaga ketertiban; (5) memelihara kejujuran; (6) bersikap saling tolong menolong. Grand design unggul dan ber-akhlakul karimah (berkarakter terpuji—kuat dan ideal) seperti dalam kriteria di atas ternyata belum dapat dilaksanakan dengan optimal. Realita di lapangan masih banyak ditemukan penyimpangan-penyimpangan perilaku sebagai bukti adanya kesenjangan antara indikator nilai berkarakter kuat dan ideal dengan pelaksanaan praktis di lapangan. Dengan demikian penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana jalannya proses pendidikan karakter dan hasil perilaku sebagai upaya mencapai visi akhlakul karimah di FKIP UNMA Banten. Dalam penelitian ini, yang menjadi rumusan masalah adalah (1) bagaimana persepsi mahasiswa terhadap pendidikan karakter dalam pencapaian visi FKIP UNMA Banten, (2) bagaimana strategi penerapan pendidikan karakter dalam upaya mencapai visi FKIP UNMA Banten (3) bagaimana perilaku mahasiswa di FKIP UNMA Banten sebagai proses dan hasil penerapan pendidikan karakter dalam upaya mencapai visi FKIP UNMA Banten tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui persepsi mahasiswa terhadap pendidikan karakter dalam pelaksanaan visi FKIP UNMA Banten; (2) mengetahui strategi penerapan atau implementasi pendidikan karakter dalam upaya mencapai visi FKIP UNMA Banten; (3) mengetahui perilaku mahasiswa FKIP UNMA Banten sebagai proses dan hasil penerapan pendidikan karakter dalam upaya mencapai visi FKIP UNMA Banten tersebut.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
3
Ade Hidayat
TINJAUAN PUSTAKA Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Winataputra, 2010: 8). Pembentukan dan pengembangan karakter sebagai upaya pendidikan diharapkan dapat memberikan dampak positif baik bagi individu secara personal maupun bagi lingkungannya. Hal ini sesuai pendapat Megawangi (2004) bahwa pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan. Menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2010: 3) karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Terminologi karakter sedikitnya memuat dua hal yaitu nilai-nilai (values) dan kepribadian. Sebagai suatu cerminan dari kepribadian yang utuh, karakter mendasarkan diri pada tata nilai yang dianut masyarakat. Tata nilai yang mendasari pemikiran serta perilaku individu ini ditanamkan dengan proses internalisasi nilai yang sesuai dengan budaya yang dianut oleh masyarakat. Proses internalisasi inilah yang kemudian membentuk karakter seorang individu. Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan
4 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: olah hati (spiritual and emotional development), olah pikir (intellectual development), olah raga dan kinestetik (physical and kinesthetic development), dan olah rasa dan karsa (affective and creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut (Muslich, 2011). Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari (Muslich, 2011). Akhlakul karimah atau akhlak mulia disebut juga akhlak islamiyah adalah suatu sistem akhlak yang berpedoman kepada AlQur’an dan Hadits. Dengan demikian kriteria baik dan buruknya suatu perbuatan tidak lepas dari garis Al-Qur’an dan Hadits (Mulyadi, 1997: 9). Kata akhlak merupakan bentuk dari kata khuluq dalam bahasa arab mempunyai asal kata yang sama dengan yang Khalik (Pencipta, Allah) dan makhluk, semuanya itu berasal dari kata khalaqa (menciptakan). Dengan demikian kata khuluq dan akhlak tidak hanya mengacu kepada penciptaan atau kejadian manusia melainkan mengacu juga pada konsep penciptaan alam semesta sebagai makhluk.
Persepsi dan Perilaku Mahasiswa
Dari pengertian etimologis (bahasa) akhlak bukan saja merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antar sesama manusia dengan tuhan dan alam semesta. Selain itu di dalam kata akhlak mencakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak Khalik dengan perilaku makhluk. Artinya tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya disebut mengandung nilai akhlak, manakala tindakan atau perilaku tersebut didasarkan kepada kehendak Allah SWT, karena itu sesuai tuntunan akhlak, segala motivasi tindakan (niat) harus mengacu kepada semangat takwa kepada Allah (taqwallah). Said Agil Husin (2003: 42) memberikan tips agar akhlakul karimah dapat terimplementasi dengan baik pada peserta didik, yaitu dengan menanamkan kebiasaan: (1) untuk melaksanakan shalat berjamaah; (2) menegakkan sikap disiplin; (3) memelihara kebersihan; (4) menjaga ketertiban; (5) memelihara kejujuran; (6) bersikap saling tolong menolong. Dalam konteks lembaga pendidikan, FKIP UNMA Banten merumuskan visi menjadi LPTK penghasil dan pengembang tenaga kependidikan “yang unggul dan berakhlakul karimah” dalam pengembangan sumberdaya manusia dan pengembangan masyarakat. Rumusan unggul dan berakhlakul karimah mengandung cita-cita dan nilai yang merupakan proses sekaligus usaha, yang digambarkan dengan serangkaian kegiatan dan sasaran lembaga, sehingga akan menghasilkan lulusan dalam bidang ilmu pendidikan dan keguruan berkualitas yang cerdas intelektual, emosional, spiritual, moral, dan sosial. Visi lembaga pendidikan akan menentukan sejauh mana program pendidikan karakter berhasil diterapkan di dalam lingkungan kampus. Visi FKIP UNMA Banten sebagai idealisme dan cita-cita yang secara konkret menjadi pedoman perilaku dan sumber motivasi, sehingga setiap civitas akademika di FKIP UNMA Banten semakin tumbuh dan berkembang secara utuh.
Untuk merealisasikan visi tersebut, maka FKIP UNMA Banten merumuskan misinya sebagai berikut: 1) Menyelenggarakan pendidikan tinggi berkualitas di bidang ilmu pendidikan dan keguruan dengan kompetensi utama tenaga pendidik dan kependidikan yang unggul 2) Mengembangkan iptek melalui penelitian mutakhir di bidang ilmu pendidikan dan keguruan. 3) Menerapkan dan mendayagunakan iptek pendidikan untuk mencapai kualitas pendidikan Banten unggul dan berkelanjutan. Keunggulan bersama profesionalisme dan etika (akhlak) menurut Mohamad Surya (2010) merupakan tiga pilar utama untuk mengembangkan profesionalitas pendidik. Keunggulan meliputi empat hal, yaitu: (1) berkomitmen untuk senantiasa berada dalam koridor tujuan; (2) memiliki kecakapan dalam bidangnya, baik kecakapan potensial maupun kecakapan aktual; (3) memiliki motivasi kuat untuk menjadi yang pertama dan terbaik dalam bidangnya; dan (4) senantiasa melakukan perbaikan secara terus menerus. Pilar utama yang kedua, yaitu profesionalisme terwujud dalam: (1) passion for knowledge, yaitu semangat untuk selalu menambah pengetahuan baik melalui cara formal maupun informal; (2) passion for business, yaitu semangat untuk melakukan kegiatan secara sempurna dalam tugas dan misinya; (3) passion for service, yaitu semangat memberikan pelayanan terbaik terhadap pihak yang menjadi tanggung jawabnya; dan (4) passion for people, yaitu semangat untuk mewujudkan pengabdian kepada orang lain atas dasar kemanusiaan. Pilar ketiga adalah etika yang terwujud dalam karakter atau watak sekurang-kurangnya ada enam unsur esensial,yakni: (1) truthworthiness, yaitu kejujuran atau dapat dipercaya dalam keseluruhan kepribadian dan perilakunya; (2) responsibility, tanggung jawab
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
5
Ade Hidayat
terhadap diri, profesi dan lingkungannya (keluarga, lembaga, bangsa, dan Tuhan); (3) respect, sikap menghormati siapapun yang terkait langsung ataupun tidak langsung dalam tugas profesi; (4) fairness, melaksanakan tugas secara konsekuen sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku; (5) care, yaitu penuh kepedulian terhadap berbagai hal yang terkait dengan tugas profesi; dan (6) citizenship, yaitu menjadi warga negara yang memahami seluruh hak dan kewajibannya serta mewujudkannya dalam perilaku profesi. Nursyam (2009) menggambarkan kepribadian dan akhlak mulia pada peserta didik meliputi kriteria: (1) Tanggung Jawab; (2) Kedisiplinan; (3) Percaya diri; (4) Kompetitif; (5) Sopan Santun; (6) Hubungan Sosial; (7) Kejujuran; (8) Kegiatan Ibadah. (9) Kesehatan; (10) Kebersihan. Kesepuluh kriteria tersebut digunakan sebagai pedoman penskoran sebagai berikut:
Visi FKIP UNMA Banten untuk menjadi LPTK penghasil dan pengembang tenaga kependidikan “yang unggul dan ber-akhlakul karimah”, dijelmakan menjadi misi, sebagai rumusan operasional akan tujuan (goal) yang ingin direalisasikan secara nyata. Visi dan misi tersebut kemudian menjadi dasar penetapan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh FKIP UNMA Banten. Visi dan misi juga menjadi dasar acuan bagi penyusunan kebijakan dengan pendekatan pendidikan karakter yang menjunjung nilai-nilai keunggulan dan akhlakul karimah. Lebih lanjut, disusun strategi/pendekatan untuk melaksanakan pendidikan karakter sesuai dengan program dan kebijakan yang telah ditetapkan. Dalam pelaksanaan inilah akan terlihat bagaimana perilaku mahasiswa dalam kehidupan kampus, sehingga dari keseluruhan pelaksanaan pendidikan karakter yang meliputi program maupun kurikulum dalam kehidupan kampus, akan menghasilkan output mahasiswa yang unggul dan ber-akhlakul karimah.
Tabel 1. Pedoman Penskoran Akhlak Mulia No.
Aspek
Indikator
1.
Tanggung Jawab
melaksanakan tugas dengan penuh kesadaran dan melakukan upaya maksimal untuk hasil terbaik.
2.
Kedisiplinan
Tertib dalam berpakaian, tepat waktu melaksanakan tugas, dan tidak pernah terlambat sesuai dengan tata tertib.
3.
Percaya Diri
bertanya dan menyampaikan pendapat, tidak mudah menyerah, dan bekerja mandiri dengan kemampuannya.
4.
Kompetitif
berusaha untuk maju dan menunjukan semangat yang tinggi, memiliki keingintahuan yang tinggi, serta berani bersaing.
5.
Sopan Santun
santun dalam bersikap dan berbicara, sopan dalam berpakaian, serta melaksanakan budaya senyum, sapa dan salam.
6.
Hubungan Sosial
menjaga hubungan baik dengan teman, pengajar/pegawai, selalu membantu/menolong temannya, serta selalu bekerjasama dalam kegiatan positif di sekolah atau kampus.
7.
Kejujuran
jujur dalam perkataan dan perbuatan, dan tidak mau menyontek pada waktu ulangan atau ujian dalam keadaan apa pun.
8.
Kegiatan Ibadah
melaksanakan ibadah keseharian baik yang diwajibkan maupun yang dianjurkan sesuai dengan tuntunan agama
9.
Kebersihan
menjaga kebersihan diri (dalam berpakaian, kebersihan rambut, kuku, gigi, alat tulis, tas, dll), dan lingkungan (tidak membuang sampah sembarangan, tidak mencoret meja dan kursi, dll)
10.
Kesehatan
menjaga kesehatan dan senang berolahraga, menghindari rokok dan narkoba demi kesehatan, dan berpenampilan sehat dan bugar.
(Sumber: Nursyam, 2009. Panduan Penilai Akhlak Mulia dan Kepribadian SMAN 78 Jakarta)
6 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Persepsi dan Perilaku Mahasiswa
Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir
METODE
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai September 2013 dilakukan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Sumber data berasal dari responden yakni (1) mahasiswa, dosen, pimpinan fakultas (dekan dan wakil dekan), pimpinan program studi (kaprodi), staf dan karyawan FKIP UNMA Banten; (2) perilaku atau aktivitas responden; (3) kondisi dan situasi lingkungan FKIP UNMA Banten; serta (4) dokumen dan gambar yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan karakter dalam pencapaian visi FKIP UNMA Banten. Responden diambil dengan teknik purposive sampling, yakni memilih responden yang dianggap mengetahui informasi dan masalah yang akan diteliti secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi, dan analisis dokumen. Validitas data menggunakan trianggulasi sumber. Analisis data menggunakan teknik analisis data interaktif yaitu dengan tahapan: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan, dan verifikasi.
FKIP UNMA Banten dilihat dari lulusan dan jumlah mahasiswa merupakan fakultas terbesar di UNMA Banten. FKIP sebagai salah satu fakultas di lingkungan kampus Universitas Mathla’ul Anwar Banten beralamatkan di Jl. Raya Labuan KM. 23 Cikaliung, Kecamatan Saketi Kabupaten Pandeglang, Banten di mana fakultas ini letaknya paling belakang atau di sebelah barat. Fakultas ini berbatasan selatan dengan gedung Fakultas Teknologi Pertanian, kemudian sebelah timurnya berturut-turut ada gedung perpustakaan, Fakultas Ekonomi, dan Fakultas Ilmu Komputer. Saat ini di FKIP terdapat 3 program studi, sebagai berikut: Program studi Pendidikan Matematika (S1) berdiri berdasarkan SK. Izin Penyelenggaraan dari Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan dengan nomor 4225/D/T/2004. yang telah dilakukan perpanjangan izin berdasarkan SK. Perpanjangan Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan Koordinasi Perguruan Tinggi JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
7
Ade Hidayat
Swasta Wilayah IV No. 3529/D/T/K-IV/2010 berlaku sampai 2014. Program studi Pendidikan Matematika telah berhasil terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) berdasarkan SK BAN-PT Nomor: 039/BAN-PT/Ak-XIV/S1/2011. Program studi Pendidikan Bahasa Inggris (S1) berdiri berdasarkan SK. Izin Penyelenggaraan dari Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan dengan nomor 1823/D/T/2005. Prodi Pendidikan Bahasa Inggris telah dua kali melakukan perpanjangan izin, berdasarkan SK. Perpanjangan yang terdiri dari: (1) SK. Depdiknas Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi No.1805/ D/T/2008 berlaku sampai 2011; (2) SK. Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah IV No. 10620/D/T/K-IV/2012 berlaku sampai 2015. Program studi Pendidikan Bahasa Inggris telah berhasil terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) berdasarkan SK BAN-PT Nomor: 041/BAN-PT/Ak-XIV/S1/2011. Program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (S1) berdiri berdasarkan SK. Izin Penyelenggaraan dari Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan dengan nomor 115/D/T/2001. Pada perjalanannya, Prodi Pendidikan Bahasa Inggris telah tiga kali melakukan perpanjangan ijin, berdasarkan SK perpanjangan yang terdiri dari: (1) SK Depdiknas Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi No.2509/D/T/2004 berlaku sampai 2008; (2) SK. Depdiknas Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah IV No. 2250/D/T/K-IV/2009 berlaku samapi 2013; dan (3) SK. Depdiknas Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah IV No. 14326/D/T/K-IV/2013 berlaku samapi 2017. Program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesiatelah berhasil terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) berdasarkan SK. BAN-PT Nomor: 039/BAN-PT/Ak-XIV/S1/2011.
8 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian ini, yang pertama yakni mengenai persepsi terhadap pendidikan karakter. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa pemahaman responden baik mahasiswa, dosen, pimpinan program studi, dan pimpinan fakultas atas makna unggul dan akhlakul karimah sangat beragam. Namun mereka sudah mengarah pada satu pemahaman, yakni bahwa sebagai sebuah LPTK, rumusan visi dipahami sebagai kriteria ideal yang harus melekat dalam kepribadian seorang pendidik, yang diharapkan dapat dimiliki oleh mahasiswa FKIP sebagai calon pendidik (guru), yang dapat memberikan kekhasan (keunggulan) pada dirinya, sehingga dapat dibedakan dengan mahasiswa dari fakultas lain. Namun warga kampus sebagai sasaran dari visi FKIP ini belum sepenuhnya mencerminkan sikap yang unggul dan ber-akhlakul karimah. Seperti pengakuan salah seorang responden yang mengaku sekedar mengetahui visi unggul dan berakhlakul karimah sebagai slogan teoritis saja, namun belum mengetahui praksis apa yang harus dilakukan sebagai konsekuensi aplikatifnya. Inti dari rumusan ber-akhlakul karimah menurut para responden yang kemudian dipahami sebagai kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pendidik, ialah keseimbangan antara IQ, SQ, dan EQ di mana mampu mengaplikasikannya dalam pemikiran, sikap, maupun perilaku praksis terkait dengan kebebasan yang bertanggungjawab dalam memberikan keputusan dalam kehidupan sehari-hari. Keseimbangan di antara ketiganya akan membentuk pribadi dengan mentalitas yang kuat dan perilaku yang mengarah pada perubahan positif baik bagi dirinya maupun bagi orang lain di sekitarnya. Selanjutnya, rumusan masalah yang kedua mengenai strategi penerapan pendidikan karakter, diintegrasikan melalui melalui kebijakan yang programatik, maupun dengan keteladanan interpersonal serta
Persepsi dan Perilaku Mahasiswa
penciptaan lingkungan yang sehat dan kondusif. Keteladanan merupakan hal yang sangat penting, di mana menjadi bentuk visual yang jelas sebagai praksis pendidikan karakter. Keteladanan merupakan bagian penting dalam rangka membangun dan mengembangkan karakter unggul dan ber-akhlakul karimah selain melalui proses pemberian pemahaman (understanding), penguatan (reinforcement), dan hukuman (punishment) (Santrock, 2007: 449). Keteladanan menurut responden, bukan hanya memberikan teladan, tetapi bagaimana bisa menjadikan dirinya sebagai teladan. Dalam hal ini, dosen mengambil peran penting, namun banyaknya tuntutan yang harus dipenuhi seorang dosen dalam pembelajaran di kelas maupun di luar kelas, terkadang membuatnya lalai dalam tugasnya menjadi teladan bagi mahasiswanya. Hal ini dikemukakan oleh responden, bahwa tidak semua dosen dapat dijadikan sebagai teladan. Artinya ada dosen, satu atau beberapa yang responden anggap belum bisa memenuhi kriteria sebagai sosok yang pantas untuk diteladani. Secara langsung, FKIP menciptakan sebuah pendekatan pendidikan karakter melalui kurikulum dan program yang disusun. Hal ini sesuai dengan pendapat responden bahwa visi unggul dan akhlakul karimah harus terintegrasi dalam kurikulum setiap program studi. Pendidikan karakter bukan berarti harus menjadi satu mata kuliah khusus. Melainkan kurikulum harus mencakup mata kuliah-mata kuliah yang di dalamnya berisi tentang pendidikan karakter dengan nilai-nilai karakter prioritas yang ingin ditanamkan kepada mahasiswa. Secara tidak langsung, FKIP melaksanakan pendidikan karakter dengan cara menciptakan lingkungan moral yang sehat. Hal ini, dilakukan dengan penerapan disiplin kuliah. Seperti wajib mengikuti perkuliahan minimum 75 persen dari jumlah minggu yang terjadwal dalam semester yang bersangkutan, khusus untuk kegiatan praktikum mahasiswa harus mengikuti 100 persen kegiatan, kecuali
ada kegiatan lain disertai keterangan yang sah. Kemudian, mahasiswa yang mengikuti kegiatan perkuliahan dan memasuki lingkungan kampus diwajibkan berpakaian rapi, sopan dan bersepatu, dilarang memakai kaos oblong, celana robek dan Sandal. Untuk mahasiswa putri yang beragama Islam wajib mengenakan jilbab/kerudung yang rapih (tata tertib mahasiswa FKIP UNMA Banten, 2013). Kedisiplinan pun tidak hanya diterapkan pada mahasiswa saja, dosen pun dituntut untuk melaksanakan perkuliahan sesuai jadwal, dan jika karena suatu hal dosen tidak dapat melaksanakan sesuai jadwal, dosen wajib memberitahukan kepada mahasiswa dan mengusahakan waktu lain sebagai pengganti dengan sepengetahuan ketua Program studi sehingga kehadiran dosen tetap 100 persen (Pedoman Akademik FKIP UNMA Banten, 2013). Pendidikan karakter di FKIP melibatkan kontrol dan pengawasan dari berbagai pihak, baik dari pembuat kebijakan sendiri, maupun dari dosen sebagai pendidik. Pengawasan ini berupaya mengantisipasi tindakan-tindakan di luar nilai karakter yang diharapkan, serta memberikan teguran awal bagi bentuk tindakan tersebut. Selanjutnya, berdasarkan rumusan masalah yang ketiga, terkait dengan nilai-nilai karakter apa saja yang ingin ditanamkan FKIP kepada para mahasiswanya, tidak dapat dilepaskan dari situasi dan konteks sosial di mana pendidikan karakter tersebut diterapkan. Mengingat bahwa FKIP sebagai LPTK, yaitu lembaga pendidikan yang mendidik dan membelajarkan mahasiswanya untuk menjadi guru atau pendidik, maka nilai-nilai yang dipilih berkaitan erat dengan kepribadian ideal yang diharapkan dapat dimiliki oleh seorang guru. Berikut ini adalah nilai-nilai karakter yang menjadi patokan di FKIP UNMA Banten, serta perilaku yang dilakukan oleh mahasiswa:
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
9
Ade Hidayat
Tabel 2. Indikator dan nilai karakter prioritas yang diterapkan di FKIP UNMA Banten Definisi Operasional
Komponen
Indikator
Indikator Operasional
Nilai Karakter Kompetitif
Kecakapan Keunggulan
Rasa ingin tahu Kekhasan Kesederhanaan
Visi FKIP UNMA Banten
Unggul dan Berakhlakul Karimah
Keteladanan
Gemar membaca
Kedekatan
Kreatif Inovatif Bersahaja Respek Bersahabat Komunikatif
Pelayanan Optimal Responsif Tanggung Jawab Kepribadian
Komitmen
Kejujuran Kerja keras Displin
Cerdas Spiritual
Religius
(Sumber: hasil wawancara, observasi dan analisis dokumen yang telah diolah)
Secara personal, mahasiswa belum mampu mengaplikasikan nilai-nilai karakter prioritas yang diharapkan FKIP untuk mencapai berkarakter unggul dan ber-akhlakul karimah secara optimal, sehingga masih perlu beberapa perbaikan. Hal ini terbukti dari munculnya beberapa penyimpangan, salah satunya adalah adanya budaya non-edukatif seperti anggapan bahwa kecurangan yang merupakan tindakan tidak jujur mahasiswa baik dalam ujian maupun tugas adalah hal yang wajar. Kurang optimalnya mahasiswa dalam mengaktualisasikan nilai-nilai karakter tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kekurangpahaman mahasiswa atas makna keunggulan dan akhlakul karimah, belum terbentuknya kesadaran pribadi, belum adanya contoh yang bisa dijadikan teladan, dan kurang adanya sosialisasi lebih lanjut terkait dengan program maupun kebijakan. Pendidikan karakter agar tetap berjalan memerlukan adanya proses evaluasi untuk memperbaiki kinerjanya selama ini. Penilaian
10 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
pendidikan karakter di FKIP yang diakui belum mempunyai parameter secara pasti, menunjukkan sulitnya menilai keseluruhan proses belajar mahasiswa yang indikasinya adalah perkembangan kepribadian. Penilaian terhadap pendidikan karakter di FKIP ialah melihat sejauh mana pengetahuan itu mengubah sikap, perilaku yang koheren dengan konsep sebuah lembaga yang mendidik. Pada hakihatnya, pendidikan karakter membutuhkan penilaian dari individu sebagai bentuk refleksi perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral yang diyakininya, serta dari komunitas yang menilai sejauh mana struktur lingkungan pendidikan mampu menumbuhkan karakter moral setiap individu dalam sistem tersebut. Penilaian pendidikan karakter diarahkan pada perilaku dan tindakan, bukan sekedar pengetahuan dan pemahaman yang dimengerti dan dikatakan saja. FKIP sebagai pelaksana pendidikan karakter belum menetapkan kriteria resmi penilaian pendidikan karakter, sehingga setelah perjalanan kurang lebih 5 tahun pendidikan karakter ini sejak
Persepsi dan Perilaku Mahasiswa
dicetuskan, evaluasi keberhasilan pendidikan karakter hanya sampai pada pengamatan individual dosen dan pembuat kebijakan serta beberapa riset. Dan sebagai hasil pengamatan tersebut diperoleh hasil bahwa telah ada perbaikan-perbaikan yang ditunjukkan melalui perubahan perilaku yang lebih positif, seperti kesantunan dalam berpenampilan, tindakan curang responden yang berkurang, serta peningkatan kedisiplinan. Indikator yang ditetapkan kemudian sebagai nilai-nilai karakter prioritas yang ingin ditanamkan FKIP dalam diri mahasiswanya menjadi satu-satunya pegangan bagi penilaian sejauh mana pendidikan karakter berhasil dilaksanakan. PENUTUP Sesuai temuan dari rumusan masalah yang pertama, ditemukan bahwa pemahaman responden mengenai penjabaran visi berakhlakul karimah sangat beragam. Namun visi ini disepakati sebagai kriteria ideal yang harus melekat dalam kepribadian seorang pendidik, yang diharapkan dapat dimiliki oleh mahasiswa FKIP sebagai calon guru. Berakhlakul karimah dijabarkan sebagai keseimbangan antara IQ, SQ, dan EQ yang mampu diaplikasikan dalam pemikiran, sikap, maupun perilaku praksis yang mengarah pada perubahan positif bagi dirinya dan orang lain di sekitarnya. Pada rumusan masalah yang kedua, untuk membentuk calon pendidik yang berakhlakul karimah, dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan dengan pendekatan pendidikan karakter melalui kurikulum, program dan kebijakan, penciptaan lingkungan yang sehat dan kondusif, serta keteladanan. Pendidikan karakter bukan merupakan satu mata kuliah khusus, melainkan terintegrasi dalam kurikulum. Dosen mengambil berperan penting dalam pelaksanaan pendidikan karakter, terutama sebagai teladan (role model) bagi mahasiswa, serta melakukan pengawasan.
Kemudian rumusan masalah ketiga yakni mahasiswa belum mampu mengaplikasikan nilai-nilai karakter prioritas yang diharapkan FKIP untuk mencapai visi unggul dan ber-akhlakul karimah secara optimal. Pendidikan karakter belum dilaksanakan secara optimal di FKIP UNMA Banten, karena terhambat oleh beberapa hal. Pelaksanaan pendidikan karakter masih terlalu menekankan pada segi fisik yang terlihat dari cara berpenampilan mahasiswa. Pendidikan karakter juga terhambat karena budaya non-edukatif seperti anggapan bahwa kecurangan mahasiswa dalam ujian maupun tugas adalah hal yang wajar. FKIP juga belum menetapkan kriteria resmi evaluasi pendidikan karakter, sehingga penilaian keberhasilan pendidikan karakter hanya sampai pada pengamatan individual. Setelah mengadakan penelitian dan pengkajian tentang pendidikan karakter di FKIP UNMA Banten, peneliti memberikan saran-saran: 1. Bagi mahasiswa Mahasiswa sebaiknya lebih memahami posisinya sebagai seorang calon pendidik, untuk memperbaiki diri dengan pembelajaran dan pembiasaan bersikap, bertindak dan berperilaku yang menunjukkan keunggulan dan karakter terpuji (akhlakul karimah), selama proses perkuliahan di FKIP. 2. Bagi dosen Dosen perlu lebih merefleksi, mengevaluasi, dan memperbaiki diri sehingga dapat menempatkan diri untuk menjadi figur teladan bagi mahasiswa. Dosen juga perlu mengadakan pendekatan dan pengawasan yang lebih personal, bersahaja dan bersahabat/ komunikatif, sehingga menjadi pribadi yang menyenangkan dan disukai mahasiswa. 3. Bagi fakultas Baik staf kependidikan maupun pimpinan fakultas dan program studi perlu melakukan evaluasi diri terkait dengan pelaksanaan pendidikan karakter yang masih berjalan.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
11
Ade Hidayat
Program dan kebijakan harus dilaksanakan dengan bentuk aturan yang jelas, agar dapat diterapkan secara efektif. Pelaksanaan pendidikan karakter perlu perbaikan sistem maupun lingkungan, sehingga pihak FKIP sebaiknya menyusun sistem evaluasi yang dapat menilai keberhasilan pendidikan karakter, agar selalu mengalami peningkatan dan kemajuan. Juga perlu diadakan sosialisasi lebih lanjut mengenai berbagai program dan kebijakan yang dilaksanakan FKIP dalam proses pendidikan karakter. Secara paripurna, perlu ada skenario pembiasaan yang dilakukan secara terstruktur dan sistemik dalam membangun kebiasaan positif, tidak hanya bagi mahasiswa namun juga bagi seluruh pimpinan, dosen dan karyawan. Pembelajaran harus dimaknai tidak hanya sebagai aktivitas perkuliahan di kelas, namun seluruh proses dan interaksi yang terjadi di dalam maupun di luar kampus. Karenanya, interaksi di luar kelas pun merupakan bagian inheren dari peran dan eksistensi mahasiswa yang tak boleh bertabrakan satu dengan yang lain sehingga kesatupaduan pribadi (bukan split personality) mahasiswa dalam berpikir dan bertindak di dalam dan di luar kelas dapat terbangun. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Yatimin. (2007). Studi Akhlak Dalam Perspektif Al Qur’an. Jakarta: Sinar. Grafika Offset Asmani, J.M. (2011). Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Diva Press. Badan Penelitian dan Pengembangan Kurikulum, Kementerian Pendidikan Nasional. (2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Pedoman Sekolah. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Kurikulum, Kementerian Pendidikan Nasional. (2011). Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Berdasarkan Pengalaman di Satuan Pendidikan Rintisan). Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.
12 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mathla’ul Anwar. (2013). Buku Pedoman Akademik Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan tahun 2013/2014. Husaini, Adian. (2007). Pendidikan Karakter: Penting Tapi Tidak Cukup! [online]. Tersedia: http://www.academia.edu/3779494/ PENDIDIKAN_KARAKTER_Penting_ Tapi_Tidak_Cukup [12 Mei 2013] Husin, Said Agil Husin. (2003). Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani, dalam system pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press. Johnson, D.P. (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia. Koesoema, Doni. (2007). Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Muslich, M. (2011). Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara. Nursyam. (2009). Panduan Penilaian Akhlak Mulia dan Kepribadian SMAN 78 Jakarta [online]. Tersedia: http://sman78-jkt. sch.id/sumberbelajar/dokumen/PANDUAN%20PENILAIAN%20AKHLAK%20 MULIA%20DAN%20KEPRIBADIAN.pdf [12 Mei 2013] Sunarto, K. (2004). Pengantar Sosiologi (edisi revisi). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Santrock, John. (2007). Lifespan Development (Perkembangan Masa Hidup). Jakarta: Erlangga. Surya, Mohammad (2010). “Profesionalitas Guru Berbasis Keunggulan dan Karakter”. Jurnal Wacana Pendidikan STKIP Garut, 5, (6), 1-4. Sutopo, H.B. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. (2009). Bandung: Focus Media. Penulis: Ade Hidayat, S.Fil., M.Pd. Alumnus Jurusan Ilmu Filsafat UGM (S1) dan Program Studi Bimbingan dan Konseling Sekolah Pascasarjana (S2) UPI Bandung. Sehari-hari sebagai dosen di FKIP Universitas Mathla’ul Anwar Banten.
FEMINISME SUNDA KUNO:
STUDI INTERPRETASI KRITIS AKULTURASI NILAI-NILAI KESETARAAN GENDER SUNDA-ISLAM DALAM CARITA PANTUN SRI SADANA Heri Mohamad Tohari Abstrak: Masyarakat Sunda belum memiliki basis epistemologis yang kuat dan khas mengenai diskursus feminisme, padahal alam pikiran Sunda menempatkan posisi perempuan dalam tempat yang agung, salah satunya dalam mitologi Sri Sadana.Hasil dari pengolahan data menunjukkan kesimpulan bahwa gejala feminisme dalam carita pantun Sri Sadana mewujud bukan dalam bentuk feminisme sebagai sebuah gerakan, tetapi feminisme sebagai sebuah nilai/ide.Carita Pantun Sri Sadana mengandung makna-makna (meaning) yang dominan berupa makna simbolik, estetik, dan etika (tatakrama).Mitologi Sri Sadana sebagai local wisdom Orang Sunda telah memberikan pendidikan nilai yang luar biasa, bahwasanya alam pikiran manusia Sunda telah menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat terhormat. Kata Kunci: Feminisme, Sunda, Akulturasi, Gender, Islam
PENDAHULUAN Dalam sejarah manusia, tidak ada ide yang lahir dalam ruang hampa. Pola-pola hubungan yang ada di masyarakat (termasuk pola hubungan gender) akan selalu dilihat sebagai konstruk historis yang tersusun dalam suatu ruang sosial dan waktu tertentu. Pada umumnya munculnya sebuah ide merupakan respon kritis terhadap kondisi sebuah masyarakat. Hal ini juga berlaku pada fakta sejarah bahwa faham kesetaraan gender (terutama sejarah feminisme generasi pertama) lahir akibat pandangan misogyny (sebelah mata atau membenci) perempuan di tempat kelahirannya itu sendiri, yakni Barat. Berdasarkan penelitian Syamsudin Arif, dari periode Klasik sampai Modern ternyata Barat memiliki masa kelam dalam hal memandang citra dan kedudukan perempuan yang tidak setara dengan laki-laki (Syarif, 2011: 15-16). Dan hal ini juga dipertegas oleh literatur feminis Angela Davis, yakni: Women, Race, andClass (1982), yang mendapati sebuah pemetaan bahwa perjuangan kaum perempuan tersebut dilatarbelakangi oleh perjuangan kelas: Mayoritas kaum putih yang menganggap rendah wanita kulit hitam.
Barat sadar akan kekeliruannya tersebut, hal ini mengakibatkan perjuangan feminisme seakan mendapatkan momennya dalam dekade kontemporer ini, dimana sejarah feminisme memasuki gerbang feminisme generasi kedua. Feminisme lanjutan ini mempertanyakan lebih daripada ketidaksetaraan sosial yang dialami wanita, tetapi juga mengamati struktur ideologis (Lechte, 2001: 201). Sehingga, peneliti berkeyakinan bahwa perjuangan feminisme di Barat, adalah sebuah kewajaran sebagai bentuk perjuangan yang sangat mendesak untuk segera dilakukan.Mengingat perempuan dalam lokus kebudayaan Barat pada waktu itu memang berada pada posisi yang termarginalkan. Argumentasi di atas, cukup menyentak dan membuat peneliti mulai bertanya tentang makna perempuan. Apakah makna (meaning) perempuan di setiap tempat itu sama atau berbeda. Lantas, kalaupun berbeda, mengapa “barang dagangan” feminisme begitu laku dalam sebuah kultur yang berbeda dari tempat feminisme itu lahir dan berkembang. Alhasil, mengapa sekarang feminisme begitu dipuja di Indonesia dan tempat dimana perempuan sudah begitu dimulyakan dalam relasi gender
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
13
Heri Mohamad Tohari
di masyarakatnya (baca: Indonesia). Berbeda dengan lahirnya feminisme di Barat yang berangkat dari alasan ketertindasan kaum perempuan, ada berbagai argumentasi faktual yang merujuk mengapa posisi perempuan secara culture di Indonesia mendapatkan proporsi yang begitu terhormat dalam relasi gender. Jadi, kalau begitu perjuangan feminisme dari Barat, dalam konteks kebudayaan Indonesia, menurut peneliti tiada lain bagai mengajari itik berenang. Di Indonesia gerakan feminisme lebih dikenal dengan istilah emansipasi. Frekuensi pembahasannya akan mengalami peningkatan cukup drastis manakala tanggal 21 April tiba. Bangsa Indonesia mengenang hari itu dengan istilah Hari Kartini, sebab pada bulan tersebut lahir puteri Indonesia bernama Kartini yang kemudian dianggap menjadi pengusung “emansipasi perempuan”. Berbagai pihak menyemarakan bulan ini dengan tema-tema seputar perempuan, baik dalam bentuk perayaan-perayaan yang menampilkan atau menonjolkan sisi-sisi keperempuanan, maupun tulisan-tulisan di media cetak, diskusi-diskusi dan seminar. Klaim keberatan terhadap pengkultusan cerita Kartini, peneliti mengajukan argumentasi bahwa dari sisi relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat cacah Jawa ketimpangan seperti yang diceritakan Kartini terasa berlebihan. Lihat saja saat menggarap sawah atau kebun yang sejak berabad-abad menjadi pencaharian rakyat Jawa. Selalu sawah akan digarap bersama antara laki-laki dan perempuan. Selalu ada pembagian peran. Misalnya, laki-laki mencangkul, perempuan menyiangi rumput, tandur (menanam benih padi), dsb. Berziarah ke alam sejarah perempuan di Indonesia sebelum Kartini adalah sesuatu yang mengasyikan untuk terus ditelusuri. Kemunculan tokoh Cut Nyak Dien bagi peneliti sebetulnya cukup mengherankan.Bagaimana bisa dalam masyarakat yang didominasi laki-laki (patriarki) dapat muncul seorang panglima perang perempuan. Jelas membutuhkan suatu
14 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
revolusi sosial untuk munculnya seorang seperti Cut Nyak Dien dalam masyarakat patriarki. Nyatanya Cut Nyak Dien bukan tokoh rekayasa ataupun tokoh ciptaan Belanda. Lebih menarik lagi, tradisi perempuan berkiprah di ruang publik bahkan menjadi pemimpin Negara, bukan barang baru di Aceh.Pemimpin kerajaan Aceh antara 1641-1699 adalah perempuan. Mereka masing-masing Sri Ratu Tajul Alam Safiatudin Johan Berdaulat (1641-1675), Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1675-1678), Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1678-1688), dan Sri Ratu Kamalat Syah (1688-1699) (Hasyim, 1977: 35). Begitulah akar tradisi bangsa kita yang menempatkan perempuan dalam posisi yang luhur.Misalnya, dalam kasus masyarakat Padang yang menganut sistem matrilineal. Filosofi adat Minang yang menguntungkan bagi perempuan seperti filosofi adat basanding syara (Arivia, 2007:12). Dalam konteks kesundaan, perempuan Sunda atau perempuan Pasundan, memiliki posisi penting dan terhormat dalam perikehidupan Sunda. Dia bersifat mandiri dan mampu melindungi diri dalam eksistensinya bersama laki-laki. Bahkan dalam mitos asal usul hari atau Dongéng Poé, laki-laki dianggap pelengkap. Karena awal hari adalah perempuan bernama Robayah atau Rebo, lalu hari menjadi sempurna sebagai hasil perkawinan primordialnya dengan Jumantawal dari Ujung Lautan, Salasa dari Baratang Geni dan Kemis dari Nagara Atas Angin. Lalu lahirlah Senen, Ahad dan Saptu (Ziaulhaq, 2012: 1). Ladang dalam masyarakat Sunda, disebut huma. Dalam masyarakat Jawa (sawah), ada omah yang berarti “rumah”. Tetapi di pulau Mentawai, huma berarti “kampung”. Padanan antara “ladang”, “rumah” dan “kampung”, menunjukkan pentingnya ladang dalam masyarakat Sunda. Karena rumah itu perempuan, maka bagian terpenting rumah juga bersifat perempuan. (Sumardjo, 2003: 281-283).
Feminisme Sunda Kuno
Begitulah awal kesejarahan perempuan yang terdapat dalam pantun-pantun Sunda dalam masyarakat Sunda Kuno. Persoalannya, kalau kemudian masyarakat Sunda juga bersawah, apakah nilai-nilai sawah akan memasuki sistem nilai Sunda? Kalau Islam kemudian menjadi agama orang Sunda, apakah nilai-nilai Islam akan mengganti nilai-nilai ladang dan sawahnya? Akulturasi nilai-nilai Sunda dan keislaman sebenarnya telah berurat akar pada zaman Sunda Lama yang terdapat dalam pantun-pantun Sunda. Pantun yang memuat soal keislaman terdapat di Sri Sadana atau yang terkenal juga dengan sebutan Sulandjana. Berbeda dengan pantun-pantun yang ada, pantun ini menyebutkan Allah SWT sebagai Pencipta segala-galanya. Sebelum segala sesuatu ada, yang ada adalah uwung-uwung awing-awang. Lalu muncullah Nur Muhammad. Dari Nur Muhammad terciptalah para malaikat, jin, setan, serta bumi dan langit. Kemudian Allah SWT memerintahkan empat malaikat untuk membentuk jasad manusia dari unsur api, angin, tanah, dan air. Maka terciptalah wujud Rama Adam dan kemudian terciptalah Ibu Hama dari rusuk kiri Rama Adam yang dicampur keempat unsur tersebut. Setelah menciptakan alam semesta dan manusia, maka Allah SWT menitikkan Tiga Air Mata, yang kemudian menjelma menjadi tiga manusia yang diberi nama: Jaka Sadana, Sri Sadana, dan Rambut Sadana (Rosidi, 1970:4). Dari menstruasi Sri Sadana yang jatuh ke tanah muncullah segala jenis tanaman non padi di tanah Sunda. Analisis peneliti terhadap cerita pantun ini, tiga tetes Air Mata Allah SWT tentulah bukan ajaran Islam.Namun, dalam konteks konteks filsafat ketuhanan dikenal dengan istilah emanasi yang nantinya menjurus ke arah pantheisme.Segala yang ada merupakan bagian dari Yang Esa. Adapun padi dalam cerita tersebut diceritakan dari anak aseksual Rama Adam dan Ibu Hawa yakni Nyi Pohaci yang meneteskan darah mentrsuasinya ke tanah.
Padi adalah kehidupan atau makanan pokok orang Sunda.Adanya padi justru berasal dari “sesuatunya” perempuan. Peneliti bisa membuktikan bahwa dalam penelusuran literatur klasik manapun, dalam konteks menstrual taboo, perempuan selalu saja mengalami proses isolasi dan pengucilan dalam struktur kebudayaan. Namun justru dari kisah menstrual taboo Sunda Kuno, justru perempuan mendapat tempat yang terhormat. Kisah Sri Sadana yang justru memberikan penjelasan yang luar biasa dimana perempuan cukup dihormati. Kisah Sri Sadana menunjukkan sebuah fakta sejarah baru mengenai pola pikir manusia Sunda Kuno. Tidak terjadi gejala menyundakan Islam sama sekali. Yang terjadi adalah “mengislamkan Sunda”, namun Sunda tidak mau kehilangan esensi kesundaannya. Ini menunjukkan betapa kuatnya faham “dalam” di masyarakat Sunda. Kebudayaan dalam bentuk “luar” diterima, namun esensi kesundaannya dipertahankan. Walaupun sebagai sebuah gejala akulturasi, niscaya akan terjadi paradok, yakni patrilineal vs matrilineal, atau dalam konteks cerita Sri Sadana ada dinamika pergulatan creation ex nihilo vs emanasi. Namun, peneliti berkeyakinan penamaan sinkretisme adalah sebuah gejala yang kurang tepat karena substansi keduanya (Sunda dan Islam) tidak berubah. Berangkat dari cerita pantun Sunda Kuno ini, peneliti bisa mengambil benang merah berupa nilai-nilai kesetaraan gender. Terang pula prinsip kesetaraan yang dipegang masyarakat Sunda sama sekali berbeda dengan kesetaraan gender yang diajarkan Barat-Sekuler. Kesetaraan gender yang digadang-gadang para aktivis perempuan yang melabrak norma-norma budaya dan agama. Sementara yang tumbuh di kalangan perempuan Sunda adalah kesadaran yang berporos pada budaya. Budaya yang tumbuh berdampingan dengan prinsip-prinsip Islam. Oleh karena itu, berangkat dari uraian di atas peneliti memberanikan diri melakukan pembahasan
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
15
Heri Mohamad Tohari
dengan judul: Feminisme Sunda Kuno (Studi Interpretasi Kritis Akulturasi Nilai-Nilai Kesetaraan Gender Sunda-Islam dalam Carita Pantun Sri Sadana). METODE Metode penelitian tesis ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, dengan model analisis kritis data melalui pengumpulan data tipe studi literer, yakni cara-cara yang digunakan oleh peneliti dengan menghimpun kemudian menginterpretasikan semua data dan referensi teks/pustaka. Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan penelitian yang berbunyi: pertama seperti apakah proses, bentuk akulturasi budaya Sunda Islam dalam carita pantun Sunda Sri Sadana. Kedua, nilai-nilai kesundaan apa yang terdapat pada carita pantun Sunda Sri Sadana dikaitkan dengan kesetaraan gender. Ketiga, nilai-nilai Islami apakah yang melekat pada carita pantun Sri Sadana. Dan keempat, sikap perempuan Sunda seperti apakah yang mencerminkan nilai Sunda Islami berbasis kesetaraan gender. HASIL DAN PEMBAHASAN Peneliti menghadapi sebuah persoalan kebahasaan, untuk sekedar mencari padanan kata yang pas untuk mewakili sepak terjang perjuangan perempuan di Sunda. Padanan kata yang mendekati perjuangan perempuan tersebut adalah dengan menggunakan istilah “feminisme”. Namun ada kelemahan dalam penggunaan istilah ini yakni, feminisme yang lahir dan berkembang dari istilah Barat, di mana feminisme lahir dari kesadaran konstruksi masyarakat yang menindas dan memeras perempuan (Bhasin dan Khan, 1995:4). Perjuangan perempuan di Barat lahir justru dari misogyny atau penyebelahan mata terhadap perempuan (Syarif, 2011:14).
16 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Peneliti keukeuh untuk terus menggunakan istilah feminisme dalam mengupas persoalan pergerakan perempuan di Sunda karena salah satunya, ada sudut definisi feminisme yang mengartikulasi sebagai pola relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, serta bagaimana hak, status, dan kedudukan perempuan di sektor domestik dan publik (Muslikhati, 2004:17). Sehingga peneliti berkeyakinan istilah ini tepat digunakan hanya untuk memotret pola relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Sunda, yang sejarah kebudayaannya pun tidak pernah memperbincangkan ada kasus penindasan dalam relasi gendernya. Feminisme Sunda adalah feminisme yang berangkat dari definisi dan konstruksi masyarakat yang setara tanpa membenturkan relasi gender yang berbeda dengan Barat. Temuan makna yang digunakan oleh peneliti dalam membedah pantun Sri Sadana antara lain pantun ini didominasi oleh makna-makna simbolik, estetik, dan etika. Ketiga makna ini terdapat dan menjawab semua pertanyaan penelitian ini. Proses dan bentuk akulturasi budaya Sunda Islam dalam pantun Sunda Sri Sadana dalam konteks kesusastraan mengandung makna simbolik dan estetik. Adapun nilai-nilai kesundaan apa yang terdapat pada pantun Sunda Sri Sadana dikaitkan dengan kesetaraan gender adalah kajian makna etika. Begitupun nilai-nilai Islami yang melekat pada pantun Sri Sadana menggunakan bedah analisis temuan makna etika. Sikap perempuan Sunda yang mencerminkan nilai Sunda Islami berbasis kesetaraan gender tersebut memunculkan pesona dan citra unggul perempuan Sunda. sosok mojang priangan merupakan sosok perempuan Sunda terkenal dengan kecantikan fisik, fashionable, menempati pos penting jabatan, dll. Hal ini merupakan temuan makna estetik dan etik. Lebih lanjut mengenai petualangan makna apa yang akan dibedah dalam penelitian ini akan dijelaskan dalam bentuk tabel, antara lain:
Feminisme Sunda Kuno
Gambar 1. Skema Rencana Kajian Makna
Akulturasi Budaya Sunda-Islam dalam Tafsir Pantun Sunda Sri Sadana Pantun dalam konstruksi masyarakat Sunda memiliki sifat sakral yang selalu dikaitkan dengan upacara penghormatan pada leluhur.Sehingga, bentuk pertunjukan Pantun biasanya masih diikat dengan struktur pertunjukan yang baku dengan lakon yang selalu berkisar tentang raja-raja Sunda atau legenda masyarakat Sunda. Secara umum pola pertunjukan Pantun dapat diurutkan sebagai berikut: penyediaan sesajen; ngukus (membakar kemenyan); mengumandangkan rajah pamunah; babak cerita dari pembukaan hingga penutupan; ditutup dengan mengumandangkan rajah pamungkas. Tafsir Pantun Sri Sadana lakon pantun Ki Atjeng ini, terdapat pula berbagai dongeng terkenal lain yang biasanya dikisahkan secara terpisah. Rosidi (1970:3) menafsirkan bahwasanya Sri Sadana juga mengisahkan tentang: “Djaka Sabeulah, tentang Anggana beserta kedua saudaranya Anggani dan Angganiah, tentang ular santja yang
tertipu oleh gagak putih dan sebagainya. Maka keseluruhan lakon pantun Sri Sadana Ki Atjeng ini merupakan cerita berbingkai yang penuh variasi dan menurut hemat saya telah di jalin secara pandai pula, sehingga cerita-cerita itu isi mengisi” (hal.ii). Peneliti mengkaji Sri Sadana dan tafsirnya seolah menggambarkan cerita yang sepotong-potong. Namun, apabila hal tersebut diteliti secara utuh ternyata alur cerita potongan tersebut menggambarkan sebuah kesatuan tema yang dilontarkan oleh sang pembuat. Hal ini pun diakui oleh penafsir Sri Sadana ini yang mengatakan: Sepintas lalu memang seperti campur aduk dari berbagai cerita dengan berbagai latar belakang (dan asalnya juga), tapi hal itu menundjukkan pula betapa mudahnja bangsa kita menjerap segala sesuatu jang berasal dari luar: Hindu, Sjiwa, Buda Islam, bertemu dengan damai mendjadi ornament dari satu tjipta sastra (hal. ii).
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
17
Heri Mohamad Tohari
Sebagai kesenian yang hidup sejak zaman Hindu, Syiwa, Budha, sampai Islam, yang jadi anutan masyarakat, tak heran jika ungkapan dan ajaran (petuah) ki juru pantun merupakan pembauran kedua zaman itu. Selain isthigfar (Islam) terdengar pula ungkapan kepada dewata, Pohaci, para karuhun (leluhur), buyut, dll. Sri Sadana memang menjadi salah satu hasil sastra orang Sunda baheula yang melukiskan alam pikirannya yang plural. Disebut plural karena karya sastra ini dibangun oleh berbagai batu-bata yang tersusun oleh budaya pembentuk yang berbeda. Namun tetap saja tidak merubah substansi dasara kebudayaan Sunda. Adanya pengaruh budaya Hindu, Syiwa, Budha, dan Islam dalam kebudayaan Sunda menjadi ciri bahwa masyarakat ini sangatlah terbuka. Hal ini disebabkan oleh alam pikiran manusia Sunda yang terbuka oleh kebudayaan baru yang datang. Demi kepentingan pemfokusan penelitian ini, maka peneliti hanya akan menjelaskan secara mendetail konsep akulturasi Sunda dan Islam dalam Sri Sadana saja. Bukti kasat mata besarnya pengaruh Islam dalam Pantun Sri Sadana terdapat dalam sesi bubuka pembacaan pantun, yang biasa juga dibarengi dengan ritual berupa penyediaan sesajen atau ngukus (membakar kemenyan). Nuansa Islam tersebut jelas terlihat dalam bubuka pantun, walaupun sebenarnya tidak hanya nuansa Islam saja yang hadir tetapi menyatu dengan keyakinan masyarakat Sunda sebelumnya. Salah satu indikator sejauh mana keberpengaruhan tersebut, peneliti melakukan inventarisasi istilah keislaman yang terdapat dalam teks Sri Sadana. Sejauh penelusuran peneliti langsung terhadap isi teks pantun Sri Sadana secara utuh yang dipantunkan oleh Ki Atjeng Tamadipura, antara lain didapati beberapa
18 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
istilah keislaman yang tampak terlihat, antara lain: Laa ilaaha ilêloh Muhammadurasululoh, allohumma nawir kulubana binuri hidajatika kama nawartal ardo binuri sjamsika abadan abada birohmatika ja arhamar rohimin, kangdjeng gusti rosululloh, kangdjeng nabi adam, Babu hawa, Nabi sulaeman, Abu Bakar, Umar, Usman, Sajidina ali, Djabrail, Minkail, Isropil, Adjroil, astag pirulah al adim, Subhanahu wata’ala, narun, hawaun, turobun, ma’un, alhamdulillah, salat, ruku, sudjud, holdi, dan Setaniradjim. Peneliti juga melakukan inventarisasi mengenai beberapa istilah atau konsep yang telah mengalami bentuk akulturasi antara Sunda-Islam yang terdapat dalam Tjarita Sri Sadana antara lain: penciptaan manusia pertama yang terdiri dari Narun njatana seuneu, Hawaun: angina, Turobun: taneuh, ma’un: tjai (hal.9). Kemudian istilah akulturasi muncul juga dalam: Ngadeg salat to’at ka pangeran (hal. 10), Konsep doa berupa Allohumma radjah pamunah (hal. 5 dan 154) dan allohumma puter bumi (hal. 6 dan 155), istilah Nabi Isis, konsep surga dan sawarga, dan kisah buah kuldi. Indikator penting yang tidak boleh dilewatkan oleh peneliti dalam mengkaji sejauh mana akulturasi Islam dengan Sunda, adalah dengan mengukur pilar-pilar utama yang terdapat dalam Islam dengan pilar-pilar yang terdapat dalam teks Sunda, yang dalam hal ini adalah pantun Sri Sadana. Pilar utama dalam konsepsi doktrin Islam dikenal dengan apa yang disebut sebagai Rukun Islam. Rukun Islam ini nyata-nyata telah merasuk ke dalam pantun Sri Sadana. Walaupun dengan kemasan dan inovasi lain sebagai sebuah gejala akulturasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Feminisme Sunda Kuno
Gambar 2. Konsep Rukun Islam yang terdapat dalam Carita Pantun Sri Sadana
Mitos Penciptaan Manusia Pertama dalam Alam Pikiran Sunda. Kisah Sri Sadana dimulai dengan mitologi penciptaan jagad raya oleh dewa tertinggi Sang Hyang Kersa, dengan kaitan yang sedikit agak aneh karena dihubungkan antara dewa ini dengan tokoh nabi Adam yang disebutkan sebagai leluhur dewa-dewi Sunda. Bagian ini sangat mungkin ditambahkan kemudian, terhadap mitologi asli Sunda, untuk memasukkan gagasan, mitologi dan kepercayaan Islam ke dalam sistem kepercayaan Sunda. Dewa tertinggi dalam kepercayaan Sunda Wiwitan, Sang Hyang Kersa (“Yang Berkehendak”) disebutkan menciptakan dunia serta dewa-dewi lainnya, seperti Batari Sunan Ambu, dan Batara Guru (disamakan dengan dewa Siwa dalam agama Hindu). Banyak dewa-dewi lainnya merupakan adaptasi dari dewa-dewi Hindu, seperti Indra dan Wisnu. Namun, tetap saja kisah penciptaan jagat raya dan manusia pertama dalam Sri Sadana dimulai dari pernyataan bahwa pencipta alam raya ini oleh Allah SWT. Setelah Allah SWT.
menciptakan bumi, langit, dan malaikat, untuk mengisi alam dunia yang masih kosong, maka Allah berkehendak untuk menciptakan makhluk lain yang nantinya akan dipercaya menghuni, mengisi, serta memelihara alam tempat tinggalnya. Sebab diyakini bumi belum ada penghuninya. Senada dengan konsep Islam, Sri Sadana mengisahkan juga mengenai motivasi Allah SWT untuk membuat manusia dalam rangka untuk mengisi bumi-langit ini. Namun, perbedaan mendasar terletak dari bahan apa Adam itu diciptakan. Islam mengatakan bahwa Adam oleh Allah dari segumpal tanah liat yang kering dan lumpur hitam yang dibentuk sedemikian rupa. Setelah disempurnakan bentuknya, maka ditiupkanlah roh ke dalamnya sehingga ia dapat bergerak dan menjadi manusia yang sempurna. Berbeda dengan Sri Sadana yang mengatakan bahwa manusia diciptakan dari empat unsur.Sri Sadana memandang bahwa Adam justru diciptakan dari empat unsur, yakni:
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
19
Heri Mohamad Tohari
Narun njatana seuneu Hawaun: angina Turobun: taneuh Ma’un: tjai (hal. 9) Membongkar Mitos-Mitos Perempuan dalam Spiritualitas Padi: Intrepretasi atas Feminisme Sunda. Sri Sadana sebenarnya adalah teks karya sastra yang menceritakan tentang asal usul padi. Masyarakat Sunda percaya terhadap mitologi dewi Sri. Hal ini terlihat dari tradisi lisan Pantun Sri Sadana. Begitu pun simbol-simbol ritual yang berkaitan dengan panen dan rasa syukur setelah panen, serta dari keberadaannya cerita Sri Sadana atau Wawacan Sulanjana. Cerita mengenai mitos padi dan berbagai tanaman dalam Sri Sadana tidak pernah terlepas dari sosok yang bernama Nyi Pohaci. Nyi Pohaci Sanghyang Sri dianggap sebagai dewi tertinggi dan terpenting bagi masyarakat agraris. Sebagai tokoh agung yang sangat dimuliakan, ia memiliki berbagai versi cerita, kebanyakan melibatkan Dewi Sri (Dewi Asri, Nyi Pohaci). Dewi Sri tetap dihormati dan dimuliakan oleh masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali .Meskipun demikian banyak versi mitos serupa mengenai dewi kesuburan juga dikenal oleh suku bangsa lainnya di Indonesia. Meskipun kini orang Indonesia kebanyakan adalah muslim dan sebagian beragama Hindu, sifat dasarnya tetap bernuansa animisme dan dinamisme. Kepercayaan lokal seperti Kejawen dan Sunda Wiwitan tetap berakar kuat dan pemuliaan terhadap Dewi Sri terus berlangsung bersamaan dengan pengaruh Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen. Beberapa kraton di Indonesia, seperti kraton di Cirebon, Ubud, Surakarta, dan Yogyakarta tetap membudayakan tradisi ini. Sebagai contoh upacara selamatan atau syukuran panen di Jawa disebut Sekaten atau Grebeg Mulud yang juga berbarengan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad.
20 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Penyebutan Pohaci dalam Teks Sri Sadana memang sering dan dominan berulang kali disebut-sebut, dalam bagian pembuka pantun saja Pohaci disebut sebagai bagian yang diminta ijin dan penghormatan agar dikabulkan semua maksud selama pembacaan pantun. Jelaslah di sini bahwa permohonan ijin untuk pembacaan pantun Sri Sadana saja banyak ditujukan kepada para Pohaci, Dewi, dan Sunan Ambu, yang semuanya itu justru bertalian erat dengan identitas dewa perempuan, yang mengurusi semua tatanan vital, salah satunya mengurusi makanan pokok Orang Sunda yakni, padi. Menurut pendapat Adimihardja (1984: 175-176) bahwa cerita ini memunculkan penafsiran terhadap kepercayaan masyarakat Sunda terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Sri. Tanaman padi dipercaya sebagai titisan Dewi Sri (Dewi Padi). Diceritakan dalam wawacan tersebut lambat laun tanah kuburan Pohaci ada pohon yang tumbuh. Dari bagian kepalanya tumbuh pohon nyiur yang buahnya berwarna hijau dan kuning. Dari bagian telinganya tumbuh berbagai jenis jamur, dari bagian matanya tumbuh tanaman padi yang berbuah lima butir berlainan warnanya ada yang merah, kuning, hitam, putih, dan hijau. Ada pagi yang berbulu dan ada yang tidak berbulu. Padi yang putih keluar dari bagian putih matanya. Padi yang berwarna hitam keluar dari rambut, sedangkan dari bagian jantungnya keluar padi ketan dalam berbagai warna pula, banyaknya lima butir. Dari jari-jarinya tumbuh beragam bambu-bambuan dan beragam jenis kacang-kacangan, sedangkan dari buah dadanya tumbuh berbagai macam-buah-buahan (Supendi, 2011:3). Posisi penting perempuan dalam relasi gender dengan kaum laki-laki, dapat terlihat dari struktur kedewaan dan kedewian yang selalu saja menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat penting. Salah satunya dapat terlihat dari konsepsi Pohaci dan
Feminisme Sunda Kuno
susunan hierarki di Tatar Sawarga Loka Manggung atau Langit. Padi di alam pikiran manusia Sunda bisa bermakna religiusitas dan feminisme. Religiusitas yang terdapat pada padi salah satunya dimaknai sebagai rasa syukur terhadap rezeki yang diberikan Tuhan kepada manusia, sebab padi adalah simbol kehidupan, karena padi merupakan makanan pokok manusia di Tatar Sunda Sunda. Dari sekilas tulisan mantra di atas ada beberapa fungsi budaya mantra mengambil beras tersebut, antara lain: Tabel 1. Fungsi Budaya Mantra Mengambil Beras Teks Mantra
Fungsi Budaya
Rek baktos ka Pangeran
Sebutan orang Sunda pada Tuhan
Dicindung cindelarang
Kain alat ritual orang tua dulu
Ret sakati ret sakeupeul
Hitungan Sunda pada beras
Beranjak dari isi mantra yang berisi dicindung cindelarang tersebut, lebih lanjut peneliti akan memberikan ciri feminisme yang terdapat dalam spiritualitas padi tersebut, antara lain dalam sebuah diagram di bawah ini:
Spiritualitas Sunda melalui teks Sri Sadana adalah spiritualitas ibu. Spiritualitas yang menjunjung tinggi perempuan. Sebab perempuan mendapatkan proporsi yang seimbang atau bahkan lebih dari kaum laki-laki. Namun, posisi penting perempuan tidak mensubordinasi laki-laki. Keberadaan perempuan dalam teks Sri Sadana menjadi bukti penting bahwasanya alam pikiran orang Sunda menempatkan perempuan pada posisi sentral. Padi adalah makanan pokok orang Sunda. keberadaan Nyi Pohaci sebagai tokoh sentral lahirnya segala jenis tumbuhan penting di Sunda, termasuk beras, menjadi penanda pemosisian perempuan dalam spiritualitas padi. Menstrual Creation Perempuan Sunda: Bukti Penegasan Posisi Penting Perempuan Sunda. Dalam lintasan sejarah, menstruasi dianggap simbol yang sarat dengan makna dan mitos. Darahnya sendiri dianggap tabu. Hampir setiap suku bangsa, agama, dan kepercayaan mempunyai konsep perlakuan khusus terhadapnya. Begitupun dalam tradisi bangsa Indonesia, menstruasi sering diistilahkan dengan “datang bulan”, “sedang kotor”, ”kedatangan tamu”, “bendera berkibar” dan sebagainya. Istilah-istilah seperti ini juga dikenal di belahan bumi lain. Bahkan masyarakat
Gambar 3. Ciri Feminisme yang terdapat dalam Spiritualitas Padi
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
21
Heri Mohamad Tohari
Amerika, Kanada, dan Eropa pada umumnya, masih menggunakan istilah yang berbau mistik, seperti: ”a crescen moon” (bulan sabit), “gold en blod” (darah emas), “earth” (tanah),”snake” (ular), dan sebagainya istilah-istilah tersebut masing-masing mempunyai filosofi tersendiri yang berujung pada kesimpulan bahwa menstruasi bukanlah peristiwa fisik-biologis semata, melainkan mengandung makna teologis. Mengapa “darah” menstruasi yang dijadikan objek? Dalam banyak masyarakat telah terpatri secara emosional serangkaian ide yang menganggap darah berhubungan dengan kematian, pembunuhan, kekerabatan, dan sebagainya, selain berhubungan dengan periode haid yang misterius (Kessler, 1976). Begitu banyak pantangan yang disebabkan oleh konseptualisasi menstruasi dalam berbagai masyarakat, namun yang menarik bahwa menstruasi bukan peristiwa biologis semata (Umar, 1995), tetapi sarat dengan beban sejarah dan kutural. Secara historis menstruasi terkait dengan perkembangan peradaban yang dipengaruhi oleh teks dan doktrin yang telah diinterpretasikan dan reinterpretasi dari generasi satu ke generasi yang lain yang tampak begitu sulit untuk berubah. Secara kutural menstruasi mengalami proses pemaknaan yang kontekstual dengan seting sosial tertentu yang bersifat fungsional bagi penataan sosial. Dasar konstruksi pemikiran menstrual taboo ini, menurut peneliti adalah dasar yang berlandaskan kepada hampir semua sejarah gerakan feminisme Barat pada awalnya dilandasi oleh penindasan terhadap perempuan. Ada banyak mitos menstrual taboo dalam alam pikiran masyarakat Sunda, namun hebatnya mitos-mitos tersebut sesungguhnya tidak menjadikannya ruang yang kondusif bagi terjadinya penindasan terhadap perempuan secara simbolik.
22 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Mitos menstrual taboo yang terdapat dalam Sri Sadana sejauh penelusuran peneliti menempatkan ruang yang sangat terhormat bagi perempuan. Perempuan yang sedang menstruasi tidak lagi diisolasi. Tidak lagi dicap sebagai kaum pembawa sial atau pembawa malapetaka. Lebih dari itu keberadaan perempuan yang sedang menstruasi justru menjadi seorang yang penting dalam kehidupan manusia Sunda. Mitologi menstruasi dalam teks Sri Sadana tersebut salah satunya berbunyi sebagai berikut: jen sri sadana parantos sêdêng rumadja putri kinten juswa lima welas taun datang tangara ti nu kawasa karêsêban bidjil tjitjiri bidjil kotoran tlak murag kana djagat hotoran Sri Sadana… katjataan kadjadian kabuktian kotoran Sri Sadana teh ngadjadi gadung, gandrung, djagong djagong-tjêtik, hanjere, handjêli sêkul, kunjit sarêng tarigu njumponan tina kasanggupan waktu tadi ngabantu umat nabi ngadjêmbarkeun makhluk Allah njatana buktos rupi kitu (hal. 22) Pantun ini memberikan jawaban mengenai mitologi menstruasi orang Sunda, yakni ketika Sri Sadana sudah sampai akil baligh, ia pun menstruasi. Darahnya jatuh ke bumi dan kemudian tumbuhlah berbagai pohon-pohonan seperti gadung, gandum, jagung, jagung cetik, terigu, dll. inilah bukti menstrual taboo dalam sistem kebudayaan Sunda menghasilkan menstrual creation penghormatan kepada Sang Pencipta dan pemelihara makanan pokok tersebut. Makanya menstrual creation
Feminisme Sunda Kuno
atas mitos menstruasi di masyarakat Sunda salah satunya melahirkan tradisi mengolah sawah, penghormatan kepada Nyi Pohaci sanghyang Sri, Ritual Tarawangsa, Ritual Ngaraksa, Tradisi Mubur Suro, dll., yang semuanya itu berlandaskan kepada filosofi penghormatan terhadap perempuan. Pesona Cawokah Sri Sadana: Seksualisme Jenaka Khusus dalam tindak komunikasi interpersonal, Ki sunda biasanya sangat cenderung untuk menyembunyikan perasaan ketimbang terus terang, membungkus ungkapannya dengan aneka basa-basi dan sebagainya (Aziz, 2001:1).Namun, basa-basinya orang Sunda tidak berlaku dalam cerita pantun Sri Sadana. Humorisnya Sri Sadana adalah gejala humoris pok sang, atau terus terang langsung. Selera dan pesona humor ini tumbuh subur dalam carita pantun Sri Sadana, salah satunya adalah munculnya sosok dewa yang lupa. Padahal, carita pantun Sri Sadana, adalah pantun yang bergenre serius. Namun, dibalik keseriusannya menyimpan potensi humor. Selera humor dalam carita pantun Sri Sadana muncul dalam guyonannya mengenai asal mula kenapa orang Cina bermata sipit. Dalam kisah tersebut diceritakan bahwa bermata sipit akibat dari aktivitas orang Cina yang menangis terus menerus karena tidak punya pegangan agama. Khusus untuk urusan humor kategori vulgar, dalam masyarakat Sunda dikenal dengan istilah cawokah, bukan jorang (vulgar/porno). Jadi salah besar, jika menyebut humor Sunda identik dengan jorang.Jorang adalah bahasa terkasar, tidak santun, dan tidak pantas. Sedangkan cawokah adalah bentuk lain penafsiran bahasa rarangan (organ-organ terlarang manusia) dengan bahasa
yang penuh ragam makna dan terselubung (tidak secara langsung). Ini biasanya hanya dimengerti oleh segmen orang dewasa. Karena bahasa humor cawokah ini bisa multitafsir, anak kecil pun biasanya tidak akan faham. Melalui sebuah temuan awal yang secara tidak sengaja peneliti dapati, ada salah satu contoh isi carita pantun Sri Sadana yang menjadikan latar belakang penulisan penelitian ini begitu menarik. Isi carita pantun Sri Sadana tersebut peneliti dapati redaksinya sebagai berikut: Ketika Sri Sadana sudah sampai akil balig, ia pun datang bulan (menstruasi). Darahnja djatuh ke bumi kemudian tumbuhlah berbagai pohon-pohonan seperti gadung, gandum, djagung, djagung tjetik, trigu, dll.setelah berbuah, buahnja dipetik dan disimpan baik-baik oleh Nini untuk kemudian ditanam lagi kalau musimnja tiba. Lama-lama benihnja kian banjak (hal. iv). Sekilas isi carita pantun Sri Sadana ini agak vulgar, namun kalau diselidiki ada banyak argumentasi yang bisa disodorkan dari adanya carita pantun ini. Gaya penuturan yang disampaikan pantun ini cukup menarik untuk dikaji. Faktor-faktor sosiolinguistik seperti jarak sosial antara penutur dan mitra tutur menjadi tidak ada sekat. Perbedaanusia penutur dari mitra tutur pun seakan menjadi lebur. Semua orang boleh mendengar isi carita pantun ini dari usia muda hingga tua. Perbedaan jenis kelamin tidak menentukan dalam jenis kesantunan ini. Banyolan berbasis gender pun kelihatan memiliki aroma yang sangat kuat dalam jenis banyolan pantun ini. Dalam teori emanasi manapun, makanan pokok selalu saja dihasilkan dari sesuatu yang “terhormat”, seperti nur Ilahi,
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
23
Heri Mohamad Tohari
nur Muhammad, air mata malaikat, air mata dewa-dewi, dll. Namun, dalam konteks Sri Sadana justru makanan pokok muncul dihasilkan dari darah yang keluar dari selangkangan perempuan. Konstruksi masyarakat di luar Sunda menempatkan darah menstruasi perempuan sebagai sosok dan image darah yang sangat kotor dan malapetaka. Namun ternyata dalam mainstream alam pikiran Ki Sunda, darah menstruasi adalah lebih terhormat dan suci, sebagai penghasil makanan pokok yang dimakan sehari-hari. Sehingga, konstruksi seksualisme menstruasi menjadi terkesan sangat terhormat, untuk tidak dikatakan narsis. Narsisme carita pantun Sri Sadana memang kasat mata terlihat. Konsep emanasi dari menstruasi ini kalau ditilik lebih jauh telah menyingkirkan kuasa Tuhan dalam meng-kunkan penciptaan sesuatu versi doktrin Islam. Namun, konsep emanasi ini apabila dirunut, maka semakin menegaskan kuatnya pengaruh Hindu dalam kebudayaan Sunda. Tetapi emanasi ini dalam kreasi dan inovasi baru, kalau dalam budaya Hindu dengan sesuatu yang lebih halus dan sopan seperti halnya doktrin agama lain, tetapi konsep emanasinya carita pantun Sri Sadana mendobrak itu semua, dengan menjadikan darah menstruasi sebagai sesuatu yang penting dan terhormat. Sekaligus menjadi bukti akan hilangnya sekat kesantunan berdasarkan jenis kelamin. Sehingga narsisme yang melekat pada carita pantun seakan menjadi social constructionism baru karena merujuk kepada adanya construct yang seolah disepakati secara kolektif (Alwasilah, 2010:123) oleh alam pikiran orang Sunda.Bentuk lain cawokah yang terdapat dalam carita pantun Sri Sadana yang mendobrak tradisi ketabuan. Istilah kencing dan bunting pun yang sebelumnya dianggap teu ilahar, muncul dalam cerita pantun ini. Seorang dewa bahkan diceritakan bisa bunting hanya gara-gara meminum air kencing yang terdapat dalam sebuah batu.
24 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Cerita pantun ini memperkuat sebuah alibi peneliti mengenai kuatnya seksualisme jenaka dalam carita pantun Sri Sadana. Semua orangpun mafhum bahwa meminum air kencing tidak akan pernah membuat seseorang menjadi hamil. Sekalipun meminum sperma itu juga tidak akan pernah hamil. Proses seseorang menjadi hamil tentunya diperoleh dengan aktivitas seksual yang pada akhirnya mempertemukan sperma dan sel telur. Namun, inilah pesona Sri Sadana yang penuh makna. Pesan Pendidikan Nilai Kesetaraan bagi Perempuan Sunda dari Sri Sadana: Sebuah Interpretasi untuk Aksi Ada banyak pesan moral yang dihadirkan oleh pesona feminisme yang hadir dalam pantun Sri Sadana. Salah satunya adalah pendidikan nilai kesetaraan dalam konteks relasi gender. Sejarah telah melukiskan bahwa gerakan feminisme Barat lahir dari proses sub-ordinasi dan penindasan terhadap perempuan, sehingga memunculkan gerakan kesetaraan gender yang berakhir justru dengan gerakan “balas dendam” terhadap kaum maskulin. Pesona Sri Sadana memang terasa lain. Gerakan feminisme yang dilahirkan justru melahirkan nilai kesetaraan yang sinergis antara kaum feminism dan maskulin. Salah satu yang muncul dari pesan Sri Sadana adalah terdapatnya proses dialog dan ruang demokratis ketika ada persoalan antara Adam dan Hawa. Adam yang justru telah menginisiasi adanya hawa dari tulang rusuknya dalam mitologi Sri Sadana, justru tidak berbuat semena-mena atau superior. Sebaliknya Hawa muncul sebagai sosok yang saling melengkapi. Harmonisasi ini justru lahir dalam kerangka relasi gender yang sinergis dalam mitos Sri Sadana.
Feminisme Sunda Kuno
Peneliti mendapati salah satu ruang kesetaraan tersebut dalam percakapan Adam dan Hawa ketika menemukan sebuah keinginan dan harapan keduanya yang berbeda, namun pada akhirnya menemukan titik temu yang harmonis. Adam tidak menggunakan ego superioritasnya terhadap Hawa, walaupun dalam kondisi Hawa yang sedang emosi. Tetapi Hawa tampil menjadi perempuan yang mampu melakukan dialog dalam cerita mitos kesetaraan ini. Pendidikan nilai kesetaraan ini lahir dari resolusi konflik terhadap sebuah perbedaan pendapat Adam dan Hawa. Kejadiannya Rama Adam berniat hendak menikahkan putra-puterinya itu. Menurut keinginan Rama adam setiap putra yang tampan haruslah menikah dengan putri yang buruk rupa. Sebaliknya setiap putri yang cantik harus kawin dengan putra yang buruk. Keinginan Rama Adam itu ditolak mentah-mentah oleh Ibu Hawa, karena keduanya tak mau saling mengalah, maka diputuskan bahwa masing-masing akan menyimpan air
mani dalam cupumanik. Setelah 35 hari akan dilihat lagi: Barang siapa jang lebih dahulu menjadi manusia, dialah yang kehendaknya harus diikuti. Begitulah pesan nilai kesetaraan dari Pantun Sri Sadana, bagaimanapun juga dalam kondisi beda pendapat ketika ada ruang dialog maka akan tercipta sebuah harmonisasi. Sebuah pesan yang sederhana berangkat dari sebuah mitos namun sarat dengan pendidikan nilai untuk perempuan postmodern sekalipun. Pesan kontekstual feminisme Sri Sadana terhadap perempuan post-modern adalah perjuangan feminisme harmonisasi atau saling melengkapi. Bukan sebuah langkah yang sangat frontal dalam memperjuangkan kelas.Perjuangan feminisme Sri Sadana adalah perjuangan yang luwes, tanpa ekses.
Bukti rasa kefeminisannya terlihat dengan karya dan kerja yang menempatkan mitos perempuan Sunda dalam posisi yang penting. Keberadaannya memang menjadi pelengkap, namun saling melengkapi itu adalah dasar dari sebuah harmonisasi dan kesetaraan. Mitologi Sri Sadana (pernyataan ini juga sama persis dengan anggapan agama samawi) yang mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam menegasikan akan hal itu. Tulang rusuk tidak pernah menjadi simbol penginjakan dan penindasan (baca: laki-laki), namun menjadi pelengkap dan pendamping setia. Teranglah di sini bahwasanya feminisme sebagai sebuah gerakan tidak tampak dalam kebudayaan sunda. namun, feminisme Sunda menampakkan dirinya dalam wujud kesadaran atau nilai sinergitas dalam relasi gender yang justru menempatkan perempuan dalam posisi terhormat. Posisi terhormat inilah menjadi nilai perjuangan kaum perempuan Sunda dari dulu hingga sekarang.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’anulKarim. Adimihardja, Kusnaka (1999). Kebudayaan Sunda dalam Cakrawala Politik Kebudayaan Indonesia. Jurnal Budaya Dangiang. edisi I/Mei-juli 1999. Bandung. Alwasilah. A. Chaedar. (2011). Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya. Arivia, Gadis. (2007). “Pijakan Keberagaman: Sexual Difference”. vol 54 tahun 2007. Jurnal Perempuan. Jakarta.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
25
Heri Mohamad Tohari
Aziz, Aminuddin. 2001. Ki Sunda Menyatakan “Tidak”: Sebuah Telaah Sosiolinguistik terhadap Variabel Sosial yang Mempengaruhi Realisasi Kesantunan Pertuturan Menolak oleh Orang Sunda. Makalah International Congress of Sundanese Culture, Bandung 22-25 Agustus 2001. Bachtiar, Tiar Anwar. (2011). Kartini dan Ilusi Partriarkhi di Indonesia. vol. 1. Th 49 JU 1432. Majalah Risalah. Bandung. Bhasin, Kamla & Khan. (1995). Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lechte, John 2001. 50 Filsuf Kontemporer dari Strukturalisme sampai Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius. Muslikhati, Siti. (2004). Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
26 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Rosidi, Ajip.(1970). Tjarita Sri Sadana atau Sulandjana. Bandung: Projek Penelitian Pantun. Sumardjo, Jacob. (2003). Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-Tafsir Pantun Sunda. Bandung: Kelir. Syarief, Nasruddin . (2011). “Islam Menolak Kesetaraan Gender”. vol. 1.Th 49 JU 1432. Majalah Risalah. Bandung. Ziaulhaq, Moch. (2012). Perempuan Pasundan. [Online] Tersedia: http://pustakasunda.com. [6 Januari 2012]. Penulis: Heri Mohamad Tohari, S.Fil., M.Pd. S1 ditempuh di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, sedangkan S2-nya diselesaikan di UPI Bandung. Aktivitas sekarang sebagai dosen Muda, trainer Living Value Education (LVE), dan konsultan riset di beberapa lembaga/perusahaan seperti PT. Chevron Geothermal Energy, The Creative Institute, dll.
GURU DAN BUDAYA PENDIDIKAN BERBASIS BIMBINGAN DAN KONSELING Daris Tamin Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menemukan sosok guru yang menampilkan budaya pendidikan berbasis bimbingan dan konseling dalam proses pembelajaran. Penelitian ini menggunakan metode penelitian survey dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data pokok lalu ditindaklanjuti dan didalami secara eksplanatori melalui teknik wawancara mendalam dan observasi. Untuk menemukan sosok guru yang menampilkan budaya pendidikan berbasis bimbingan dan konseling, dilakukan penelusuran berdasarkan persepsi 404 siswa di empat sekolah di empat kota di Jawa Barat dengan basis ideologi dan kultur pendidikan yang berbeda melalui angket tertutup.Berdasarkan pilihan siswa ditemukan lima orang guru yang dinilai sudah menampilkan budaya pendidikan berbasis bimbingan dan konseling dalam proses pembelajaran. Kelima guru tersebut mewakili empat sekolah masing-masing. Berdasarkan pendalaman secara naturalistik ditemukan bahwa keempat guru tersebut memiliki lima komponen perilaku dan sikap yang sama, yaitu; (1) filosofi hidup untuk mengabdi kepada Tuhan (Allah); (2) kebahagiaan hidup adalah ketika bisa taat pada Tuhan dan bisa berbuat baik pada orang lain; (3) hakikat mendidik adalah mengenalkan Tuhan kepada anak didik dan membimbing mereka untuk bermanfaat bagi diri, keluarga, dan masyarakatnya; (4) pendekatan dalam proses pembelajaran dilakukan dengan penuh kesabaran, tidak mudah marah, menunjukkan keteladan, jujur, ramah, merenungi realitas, dan mengingatkan tentang kematian; (5) sikap terhadap isu pendidikan dan profesi: anti ketidakjujuran; ujian nasional adalah bagian kecil dari ujian hidup; lebih baik tidak lulus di hadapan manusia daripada tidak lulus dihadapan Tuhan; ikut sertifikasi seperti air mengalir saja; guru jangan takut miskin; dan budaya pendidikan harus dimulai dengan kepemimpinan dari diri sendiri. Kata Kunci: Budaya Pendidikan, Bimbingan dan Konseling
PENDAHULUAN Masih terjadinya berbagai kasus yang terkait perilaku antagonis terhadap hakikat pendidikan, seperti kasus korupsi pejabat yang notabene berpendidikan tinggi, plagiasi karya ilmiah oleh akademisi, menyontek massal yang dilakukan siswa dengan arahan guru dan kepala sekolah, perjokian oleh mahasiswa senior, jual beli ijazah tanpa kuliah oleh oknum pengelola PTS, dan tindakan tidak terpuji lainnya memunculkan pertanyaan besar tentang budaya apa yang sebenarnya mendominasi pendidikan nasional selama ini? Dikatakan “budaya” dan “selama ini” merujuk pada rentang waktu yang relatif tetapi mencakup kurun waktu yang dapat dikatakan panjang. Maksudnya, ketika seorang pejabat melakukan korupsi atau seorang akademisi melakukan plagiasi, maka hakikat tindakannya tersebut tidak dapat dipisahkan
dengan pengetahuan, kebiasaan dan suasana pendidikan yang telah dialaminya, baik dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Meminjam istilah Jerome Bruner (1996) suasana seperti ini disebut dengan “folk psychology” atau “folk pedagogy”, yaitu kondisi psikologis masyarakat yang berimplikasi terbentuknya kultur pendidikan dalam masyarakat tersebut. Ketidakmampuan seseorang untuk mengendalikan diri dan tahan (sustain) atas segala bentuk godaan untuk melakukan korupsi, plagiasi, perjokian, jual-beli ijazah, dan perilaku-perilaku antagonis terhadap hakikat dan tujuan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kultur pendidikan yang pernah dilaluinya. Sebagian kalangan ada yang berdalih bahwa kasus korupsi pejabat atau plagiasi akademisi merupakan kasus yang bersifat individual dan bukan produk kultur pendidikan. Sebagai manusia, siapapun bisa saja terjerembab dalam kekhilafan dan kesalahan. JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
27
Daris Tamin
Alasan tersebut logis dan dapat diterima akal sehat, tetapi kasus “nyontek massal” dalam Ujian Nasional (UN) yang berulang kali terjadi dan secara massive melibatkan guru, kepala sekolah serta pejabat Dinas Pendidikan merupakan fakta bahwa kultur antagonisme terhadap hakikat pendidikan memang benar-benar telah dan sedang terjadi. Program nasional sertifikasi guru dan dosen menjadi fenomena yang semakin menguatkan dugaan berlangsungnya budaya yang dalam istilah Sunaryo Kartadinata (2012) disebut kultur pendidikan yang sedang tidak sehat atau perilaku “sakit” yang tidak menguntungkan kehidupan bangsa. Istilah perilaku “sakit” sungguh tepat untuk menggambarkan perilaku oknum guru yang lebih memilih mengikuti berbagai seminar demi mendapatkan sertifikat ketimbang melaksanakan amanah mengajar di kelas. Bahkan, jika tidak sempat mengikuti seminarnya, sertifikat bisa didapatkan dengan cara membeli dari panitia seminar yang lazimnya melebihkan jumlah cetakan sertifikat untuk melayani permintaan dari partisipan-partisipan “gaib” tersebut. Fenomena perilaku antagonisme pendidikan dalam program sertifikasi guru juga bisa dilihat dari ditemukannya sejumlah dokumen portofolio berupa ijazah, surat-surat keputusan dan sertifikat janggal adalah beberapa contohnya. Intinya, sertifikasi yang dirancang untuk merangsang peningkatan kinerja guru justru yang terjadi adalah sebaliknya. Pasca lulus sertifikasi, kinerja guru malah menurun. Selanjutnya, kasus perjokian. Berita tentang tertangkapnya joki dalam ujian masuk perguruan tinggi terkemuka selalu muncul setiap tahunnya. Perjokian SNMPTN biasanya dilakukan oleh mahasiswa yang tentunya memiliki kemampuan unggul dan bukan mahasiswa “biasa-biasa”. Kadang-kadang perjokian dilakukan oleh non-mahasiswa, tetapi joki tersebut biasanya telah mengantongi jawaban soal yang dibocorkan oleh oknum
28 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
panitia. Fenomena ini kian menguatkan terjadinya budaya pendidikan yang antagonis dengan hakikat pendidikan itu sendiri. Gambaran mengenai perilaku tidak sehat dalam pendidikan tidak hanya muncul melalui indikator korupsi, plagiasi, perjokian, jual beli ijazah, dan menyontek massal saja. Tetapi, konsep CIBI (Ke-Cerdasan Istimewa dan Ke-Berbakatan Istimewa) dan RSBI yang tengah dikembangkan Kementerian Pendidikan dianggap akan menimbulkan ketidakseimbangan dan tidak memiliki dampak pembimbingan dan pengasuhan. Sunaryo Kartadinata (2012: 8) secara kritis menjelaskan bahwa program pendidikan akselerasi dalam kelas-kelas ekslusi telah semakin menjauhkan praktik pendidikan dari esensi ilmu dan hakikat pendidikan, tak terkecuali landasan-landasan normatif dalam UU No. 20/2003, dan bahkan mengingkari hakikat manusia itu sendiri. Kaitannya dengan CIBI, Sunaryo Kartadinata (2012: 10) menjelaskan bahwa harus dihindari, terutama dalam usia muda, terjadinya gejala “Cartesian Split” yang menimbulkan ketidakseimbangan antara perkembangan fisik dengan intelektual. Sedangkan kaitannya dengan RSBI, Sunaryo Kartadinata (2012: 12) menjelaskan bahwa secara filosofis mengingkari hakikat pendidikan dan manusia karena internasionalisasi pendidikan menjadi bersifat diskriminatif dan ekslusif. Selain kasus-kasus di atas, sebenarnya ada beberapa fenomena lain yang layak dipertimbangankan sebagai perilaku antagonisme terhadap hakikat pendidikan. Fenomena pertama adalah acara istighotsah menjelang UN. Seluruh stakeholder sekolah dan siswa biasanya dilibatkan dalam acara ini. Memanjatkan doa untuk keselamatan dan kesuksesan adalah perbuatan yang dibolehkan bahkan memang semestinya demikian. Tetapi, jika istilah dan acaranya menjadi istighotsah, maka antagonisme mulai dirasakan. Aromanya bisa tercium dari makna istighotsah itu sendiri. Istilah ini merujuk pada suatu
Guru dan Budaya Pendidikan
kondisi yang sangat luar biasa (extraordinary) akibat musibah sehingga seluruh anggota komunitas menjadi tidak berdaya sehingga perlu memohon pertolongan yang luar biasa kepada Yang Mahakuasa. Pertanyaannya kemudian, apakah UN sudah menjadi kondisi darurat dan dianggap musibah yang harus disikapi dengan istighotsah? Sungguh sebuah ironi ketika UN yang bertujuan mulia untuk mendapatkan feedback dari proses pendidikan demi kondisi yang lebih baik dianggap sebagai musibah atau wabah yang membahayakan. Barangkali karena dipersepsi sebagai sesuatu yang membahayakan maka cara-cara curang dalam UN menjadi boleh dilakukan. Fenomena kedua adalah program-program pendidikan yang disponsori oleh perusahaan rokok, seperti program beasiswa pendidikan, seminar, dan lain-lain. Jika dianalisa dari sudut pandang bantuannya semua akan sepakat atas kemanfaatannya. Tetapi jika direnungi secara mendalam, sebenarnya di dalamnya terdapat ironisme karena yang digunakan dari komoditi bisnis rokok sama sekali tidak memberi manfaat bahkan bahayanya sangat besar bagi segala aspek kehidupan terutama masa depan generasi masa depan bangsa. Sumbangan rokok bagi pendapatan negara melalui cukainya diakui sangat yang tinggi. Setiap tahunnya, Kementerian Kesehatan mendapat dana bagi hasil cukai tembakau (DBH-CHT) sebesar 2% dari total penerimaan cukai tembakau. Faktanya, setiap tahun dana bagi hasil tersebut tidak sebanding dengan dampak negatif dari merokok. Pada tahun 2011, Kementerian Kesehatan mendapatkan bagi hasil sebesar 1,2 Triliyun Rupiah. Sebuah angka yang sangat besar. Tetapi, pada tahun yang sama, Kementerian Kesehatan harus mengeluarkan dana medis sebesar 18,5 Triliyun Rupiah untuk penyakit yang diakibatkan oleh rokok (www.indonesia.kontan. co.id, [Kamis, 28 Juli 2011]). Jadi, sebenarnya Pemerintah dan rakyat tidak mendapatkan keuntungan dari rokok tersebut.
Selain kerugian dari bagi hasil cukai rokok tersebut, Pemerintah dan rakyat dihadapkan pada kerugiaan yang lebih besar lagi, baik secara fisik maupun psikologis. Kerugian yang dimaksud adalah bahwa melalui rokok ternyata menjadi gerbang masuk untuk datangnya bahaya-bahaya yang lebih besar dan dahsyat. Hasil penelitian membuktikan bahwa merokok adalah langkah pertama untuk langkah-langkah penggunaan Napza berikutnya. Setelah rokok, biasanya diikuti dengan minum alkohol, lalu meningkat lagi dengan shabu, seks bebas dan pada akhirnya narkoba suntik (www.fkm.ui.ac.id, [12 November 2009]). Jika sudah bersentuhan dengan penyakit akibat penyalahgunaan narkotika dan HIV AIDS, maka biaya yang akan dikeluarkan Pemerintah akan sangat besar lagi, baik untuk pengobatan maupun untuk pencegahan. Pemanfaatan dana dari Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan rokok untuk program-program pendidikan seperti seminar, beasiswa pendidikan, dan olahraga dan kesenian sebenarnya hanya kamuplase belaka. Pemanfaatan dana dari perusahaan rokok dapat dianggap sebagai perilaku mengambil manfaat yang sedikit tetapi mengabaikan bahaya besar yang sedang mengancam di depan mata. Mengingat bahaya yang mengancam akibat konsumsi rokok, dunia pendidikan seharusnya memberikan edukasi kepada masyarakat untuk menjauhi rokok dan mendorong Pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan untuk menekan produksi rokok pada tingkat yang serendah-rendahnya. Kultur yang sedang “sakit” dan tidak menguntungkan kehidupan bangsa karena antagonismenya terhadap hakikat pendidikan terbentuk dalam jangka waktu yang relatif panjang. Arusnya yang mengalir panjang telah membangun budaya yang di dalamnya melibatkan aspek-aspek utama dalam peradaban manusia, baik keyakinan, pola pikir, sikap dan kepribadian, dan tingkah lakunya.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
29
Daris Tamin
Sunaryo Kartadinata (2012: 17) menjelaskan bahwa untuk menyehatkan kondisi kultur yang sedang sakit ini harus dimulai dari pemulihan kembali mindset dan worldview yang utuh tentang pendidikan serta pemahaman yang mendalam tentang praktik penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik, sehingga mampu membina kinerja guru dan sekolah secara utuh. Pemulihan kondisi yang kultur yang sakit tidak dapat dilakukan dengan hanya memberikan pembinaan secara birokratikadministratif semata, tetapi perlu terapi dan pemulihan mindset bahwa pembinaan kerja guru dan sekolah bukanlah pemenuhan prosedur dan standar bukti fisik belaka, melainkan aktualisasi pembelajaran yang mendidik yang terwujud dalam transaksi guru dalam keragaman peserta didik. Inilah titik awal penyehatan kondisi kultur pendidikan yang sedang tidak sehat tersebut. Upaya tersebut tidak dapat dilakukan secara parsial tetapi harus melibatkan semua unsur pendidikan mulai dari hulu sampai hilir. Intinya, menurut Sunaryo Kartadinata (2012: 13-14) upaya pendidikan harus mampu mewujudkan masyarakat yang waras (sane society) sebagai masyarakat yang bertakwa, berdaya saing, dan berdaya tahan hidup. Kecerdasan, karakter, dan keimanan adalah kekuatan utuh yang harus dibangun melalui pendidikan untuk membawa bangsa memiliki masa depan dalam kemandirian, berdaya saing, dan berdaya tahan hidup. Dalam prosesnya kekuatan utuh tersebut dapat dikembangkan untuk mengubah pola-pola perilaku yang sudah mengakar dan dianggap tidak baik dan tidak menguntungkan melalui terapi kultural dalam upaya-upaya pendidikan. Ruang-ruang yang dapat dimasuki sebagai upaya terapi kultural, atau dalam istilah Sunaryo Kartadinata (2012: 19) disebut dengan “rongga resureksi” atau rongga kebangkitan pendidikan mencakup semua aspek mulai dari penegasan ilmu pendidikan sebagai disiplin ilmu, riset dan pengembangan, diagnosa
30 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
kebijakan dan regulasi pendidikan, pengakajian sistem manajemen, pengembangan jejaring pendidikan sampai peningkatan kapasitas LPTK. Berpijak pada semangat dan ide-ide cemerlang untuk memulihkan kultur pendidikan yang sedang sakit demi menuju kebangkitan pendidikan di Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh Sunaryo Kartadinata (2012) maka perlu kiranya diterjemahkan dan ditindaklanjuti dengan risetriset dan tindakan-tindakan nyata. Salah satu riset dan pengembangan yang dapat dilakukan adalah pengembangan kultur pendidikan berbasis bimbingan dan konseling untuk mengembangkan manusia berkarakter dan beradab. Pemaduan konsep kultur pendidikan dengan bimbingan dan konseling menuju peradaban manusia yang berkarakter dalam suatu riset dan pengembangan dianggap tepat karena di dalamnya terdapat inti (essence/central/most important) dari idealisme pendidikan dan peradaban manusia. Integrasi semua terminologi tersebut akan dimulai dari hakikat manusia. Sedangkan secara fenomenologis, sebagaimana dijelaskan Sunaryo Kartadinata (2011: 47), pendidikan merupakan proses interaksi yang selalu berhadapan dengan kepribadian manusia yang sedang berada dalam proses menjadi untuk menemukan keberadaan dirinya. Sebagai makhluk yang diciptakan sebagai entitas yang penuh potensi sekaligus juga memiliki kelemahan dan keterbatasan, secara alamiah manusia memerlukan bantuan untuk menavigasi hidupnya menuju perkembangan optimum dan mencapai kemandirian dalam hidupnya. Bentuk bantuan dan navigasi tersebut dilakukan dalam upaya pedagogis yang dilakukan oleh pengampu layanan pendidikan yang memiliki pemahaman yang komprehensif tentang hakikat manusia, baik dari aspek organobiologis, sosio-kultural, psiko-edukatif, maupun spiritual. Selain itu, pengampu layanan pendidikan tersebut memiliki kecakapan atau keterampilan dalam berkomunikasi secara interpersonal dengan manusia lainnya.
Guru dan Budaya Pendidikan
Maka layanan pendidikan yang dimaksud adalah bimbingan dan konseling. Di sinilah letak esensi bimbingan dan konseling dalam membangun kultur pendidikan yang sehat menuju manusia yang berkarakter dan beradab sebagai tujuan akhir. Penelitian ini dirancang untuk mengembangkan budaya pendidikan melalui proses pembelajaran, di mana guru atau pendidik menggunakan pendekatan, model, strategi, dan teknik komunikasi interpersonal yang berbasis pada prinsip-prinsip bimbingan dan konseling. Sebagai elemen yang paling berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan peserta didik, guru berpotensi membangun kultur pendidikan yang sehat kemudian menularkannya kepada siswa, baik yang secara langsung (instructional) menyentuh perilaku personal dan sosial siswa maupun yang hanya memberikan dampak pengiring (nurturant effects) saja. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Budaya Pendidikan Pendidikan pada hakikatnya adalah proses kebudayaan. Young Pai (1990: 37) menyatakan bahwa setiap kebudayaan selalu berusaha untuk mengabadikan dirinya sampai menyebarkan pemikiran (deliberate transmission) tentang apa saja yang dianggap bermanfaat, seperti pengetahuan (knowledge), keyakinan/ kepercayaan (beliefs), kecakapan/keterampilan (skills), perilaku (behaviors), dan sikap (attitudes). Pernyataan yang sama juga disampaikan sejak lama oleh Edward B. Tylor (1929) dalam karyanya “Primitive Culture” bahwa kebudayaan mempunyai tiga komponen strategis, yaitu sebagai tata kehidupan (order), suatu proses (process), dan visi tertentu (goals), maka pendidikan merupakan proses pembudayaan. Tidak ada proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa adanya masyarakat; sebaliknya tidak ada kebudayaan dalam pengertian
proses tanpa adanya pendidikan. Theodore Brameld (1957) menyatakan bahwa keterkaitan antara pendidikan dengan kebudayaan berkenaan dengan satu urusan yang sama, yaitu pengembangan nilai. (Ki Supriyoko, 2003: 1). Keterkaitan yang erat antara kultur dengan pendidikan sebenarnya dapat lebih tergambar jika analisa dilakukan pada proses pembelajaran di sekolah. Sebab, persekolahan pada hakikatnya adalah wahana bagi setiap individu untuk belajar dengan kekhasan kultur masing-masing, baik dalam merespon dan mengekspresikan perasaan kepada teman dan guru serta dalam membangkitkan semangat atau membesarkan hati ketika mendapatkan kondisi yang tidak menyenangkan (unhappy). Proses inilah yang disebut dengan enculturative dalam proses pendidikan (Young Pai, 1990: 39). Namun, ketika proses enculturative itu terjadi, pada saat yang sama juga terjadi proses acculturative yang disebabkan karena proses interaksi di sekolah telah mendorong terjadinya kontak antar individu. Young Pai (1990: 39) menjelaskan bahwa dalam proses acculturative di sekolah akan mendorong suatu kultur untuk memodifikasi kulturnya ketika kontak dengan kultur yang dominan. Sebagai contoh, ketika perilaku antagonisme menjadi sangat dominan dalam interaksi di sekolah maka kultur minoritas akan terkikis (deficits) sehingga munculnya suasana yang tidak menyenangkan dan kecenderungan adanya tindak kejahatan akan lebih cepat terjadi. Selanjutnya Young Pai (1990: 39) menjelaskan bahwa fakta pada persekolahan di Amerika membuktikan bahwa para siswa cenderung lebih mudah menerima dan belajar pada kultur yang dominan daripada pada kultur yang tidak dominan atau alien culture. Jerome Bruner (1996) menjelaskan bahwa kultur pendidikan berkembang bersama tema-tema yang berkaitan dengan psikologi budaya yang berimplikasi langsung pada pendidikan. Psikologi budaya berhubungan
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
31
Daris Tamin
dengan: (1) bagaimana individu menggunakan perasaan dan kesadaran terhadap dunia (lingkungan) di sekitarnya; dan (2) bagaimana individu mengikatkan diri dengan peran makna-makna (meaning) dalam sistem yang sudah berlaku tetap (establishment), dengan keyakinan-keyakinan (beliefs), nilai-nilai (values), dan simbol-simbol (symbols) budaya pada umumnya. Keterkaitan antara psikologi, kultur, dan pendidikan memang sangat erat karena subjek kajian ketiga terminologi tersebut sama, yaitu manusia. Menurut Matsumoto & Juang (2008: 3), esensi dari psikologi memiliki dua tujuan, yaitu membangun tubuh pengetahuan (body of knowledge) melalui pemahaman perilaku manusia dan membangun tubuh pengetahuan dan cara menerapkan pengetahuan tersebut serta tentang bagaimana cara mengintervensi manusia dalam kehidupannya. Sedangkan kultur, Matsumoto & Juang (2008: 13) menjelaskan bahwa kultur adalah makna-makna dan informasi yang muncul dalam hubungan manusia dengan jaringan sosialnya. Jadi, berdasarkan pandangan Matsumoto & Juang (2008) tersebut, ilmu psikologi tidak mungkin ada jika manusia tidak berbudaya. Adapun kaitannya dengan pendidikan, Jerome Bruner (1996) memandang bahwa segala upaya guru dalam pembelajaran selalu direfleksikan kepada asumsi-asumsi umum tentang perilaku manusia berdasarkan teori-teori tentang belajar dan berpikir. Merujuk pada pendangan Bruner tersebut, bahwa proses pendidikan akan berlangsung melalui pemanfaatan teori-teori tentang manusia dan perilakunya. Pandangan guru tentang anak didiknya akan berimplikasi pada proses pembelajaran dan tujuan yang akan dicapai dari proses tersebut. Bruner (1996) menjelaskan bahwa jika siswa dipandang sebagai pembelajar imitasi (peniru) maka kelulusan dan kecakapan akan difokuskan pada pemberian contoh dan cara demonstartif. Jika siswa dipandang
32 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
sebagai pembelajar ekspose didaktis maka siswa akan dibelajarkan untuk memperesentasikan fakta-fakta, prinsip-prinsip, mengingat, dan menerapkan. Kemudian jika anak didik dipandang sebagai pembelajar pemikir, maka proses pembelajaran akan difokuskan pada pengembangan pertukaran pemahaman secara intersubjektif. Adapun jika anak didik dipandang sebagai orang yang memiliki pengetahuan banyak maka penekanan proses pembelajarn akan diarahkan pada pengelolaan suatu objek berdasarkan pengetahuannya. Berangkat dari pandangan Bruner (1996) bahwa sudut pandang tentang anak didik saja ternyata akan sangat berpengaruh pada proses dan hasil dari proses tersebut maka bagaimana pula dengan kultur yang jauh lebih luas dari paradigma, tentu pengaruhnya akan lebih besar lagi. Pembelajaran Berbasis Bimbingan dan Konseling Selain memandu proses pembelajaran di kelas, guru juga berfungsi fungsi dan berperan sebagai pembimbing. Guru bukan hanya sebagai transformer ilmu dan pengetahuan saja tetapi lebih dari sekadar itu bahwa guru adalah transformer bagi segala tindak-tanduknya sendiri kepada siswa. Apa yang diyakininya akan diyakini juga oleh siswanya. Segala pernyataannya akan dikutip oleh siswa. Intinya, siswa akan menyerap apa saja yang ada dan ditampailkan oleh gurunya. Dalam proses pembelajaran, guru akan bertemu dengan keunikan perilaku siswa dan segala kebutuhannya, baik fisik maupun psikologis. Siswa tidak hanya menuntut ilmu dan pengetahuan dari gurunya tetapi lebih dari sekadar itu bahwa siswa butuh perhatian dan perlakuan sebagai manusia. Pembelajaran yang berbasis bimbingan dan konseling adalah proses pendidikan yang diselenggarakan atas dasar pemahaman tentang hakikat manusia yang memiliki keunikan dan membutuhkan perhatian dan perlakuan sebagaimana seharusnya manusia diperlakukan.
Guru dan Budaya Pendidikan
Cara pandang pembelajaran yang berbasis bimbingan dan konseling akan berimplikasi pada penegasan guru sebagai elemen penting dalam proses pendidikan. Muro & Kottman (1995: 53) menegaskan bahwa guru merupakan elemen penting dalam implementasi program bimbingan secara komprehensif. Posisi guru di kelas sangat signifikan untuk: (1) mendorong siswa agar belajar dan mengembangkan diri secara positif; (2) membuka kebutuhan siswa terhadap pencapaian nilai individu yang lebih tinggi (3) melihat pentingnya self-image siswa secara positif, mengembangkan sikap respek, dan memahami perbedaan; (4) mengidentifikasi siswa berkebutuhan khusus; (5) menjadi penasihat kunci untuk membangkitkan harapan siswa; (6) memonitor prestasi akademik secara terbuka dengan orang tua; (7) melakukan referal kepada konselor jika masalah siswa berada di luar jangkauannya; dan (7) menemukan jalan bersama konselor untuk membantu siswa tanpa harus mengeluarkannya dari kelas. Rochman Natawidjaja (dalam Ahman, 1998: 24) mengidentifikasi peran guru sebagai pembimbing dalam interaksi pembelajaran di sekolah, antara lain: (1) perlakuan terhadap siswa sebagai individu yang memiliki potensi untuk berkembang dan maju serta mampu mengarahkan dirinya sendiri untuk mandiri, (2) Sikap yang positif dan wajar terhadap siswa, (3) Perlakuan terhadap siswa secara hangat, ramah, rendah hati, dan menyenangkan, (4) Pemahaman siswa secara empirik, (5) Penghargaan terhadap siswa sebagai individu, (6) Penampilan diri secara asli (genuine) di depan siswa, (7) Kekongkritan dalam menyatakan diri, (8) Penerimaan siswa secara apa adanya, (9) Perlakuan terhadap siswa secara terbuka, (10) Kepekaan terhadap perasaan yang dinyatakan siswa untuk menyadari perasaannya itu, (11) Kesadaran bahwa tujuan mengajar bukan terbatas pada penguasaan siswa terhadap bahan pengajaran saja, melainkan menyangkut pengembangan siswa menjadi individu yang lebih dewasa, (12) Penyesuaian diri terhadap keadaan yang khusus.
Sebagai elemen yang paling berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan siswa, baik guru mata pelajaran maupun guru kelas hendaknya memiliki kompetensi dalam mengimplementasikan model-model pembelajaran, baik yang secara langsung (instructional) menyentuh perilaku personal dan sosial siswa maupun yang hanya memberikan dampak pengiring (nurturant effects) saja. Joyce & Weil (1980: 9-20) mengelompokkan model-model tersebut ke dalam empat kategori, antara lain: a. Model-model Pemrosesan Informasi (Information Processing Models) yang berkaitan dengan upaya mengembangkan cara berpikir kognitif, mengembangkan konsep dan menajamkan memori. b. Model-model Personal (Personal Models) yang bersentuhan dengan upaya membangun kesadaran, pemahaman, otonomi, konsep diri, kreativitas, pemecahan masalah, dan tanggung jawab. c. Model-model Interaksi Sosial (Social Interaction Models) yang berhubungan dengan upaya mengembangkan kemampuan partisipasi sosial, pemecahan masalah sosial, keterampilan interpersonal dan kelompok, menemukan nilainilai pribadi dalam nilai-nilai sosial, dan keterampilan membuat keputusan dalam interaksi sosial. d. Model-model Perilaku (Behavioral Models) yang menyangkut upaya mengembangkan keterampilan: mengelola fakta dan konsep; kontrol diri; relaksasi personal; reduksi stress dalam situasi sosial; bersikap asertif, desentisasi, dan mempola perilaku. e. Melalui penguasaan terhadap model-model pembelajaran tersebut, guru dan wali kelas diharapkan dapat mengembangkan suasana pembelajaran yang membantu, mengarahkan, dan memandu siswa sekolah dasar dalam mencapai optimalisasi tugas-tugas perkembangannya. Guru dan wali kelas jangan hanya menunggu siswa bermasalah
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
33
Daris Tamin
untuk mendapatkan layanan bimbingan dan konseling. Tetapi, guru atau wali kelas harus secara proaktif mengidentifikasi kemampuan (achievement) siswanya dan memberikan pelayanan pembelajaran yang bernuansa bimbingan melalui model-model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan perkembangannya. Myrick (Muro & Kottman, 1995: 53) menegaskan bahwa tindakan demikian lebih menguntungkan bagi siswa. Isu-isu Budaya Pendidikan Kultur yang sedang “sakit” dan tidak menguntungkan kehidupan bangsa karena antagonismenya terhadap hakikat pendidikan terbentuk dalam jangka waktu yang relatif panjang. Arusnya yang mengalir panjang telah membangun budaya yang di dalamnya melibatkan aspek-aspek utama dalam peradaban manusia, baik keyakinan, pola pikir, sikap dan kepribadian, dan tingkah lakunya. Sunaryo Kartadinata (2012: 17) menjelaskan bahwa untuk menyehatkan kondisi kultur yang sedang sakit ini harus dimulai dari pemulihan kembali mindset dan worldview yang utuh tentang pendidikan serta pemahaman yang mendalam tentang praktik penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik, sehingga mampu membina kinerja guru dan sekolah secara utuh. Pemulihan kondisi yang kultur yang sakit tidak dapat dilakukan dengan hanya memberikan pembinaan secara birokratik-administratif semata, tetapi perlu terapi dan pemulihan mindset bahwa pembinaan kerja guru dan sekolah bukanlah pemenuhan prosedur dan standar bukti fisik belaka, melainkan aktualisasi pembelajaran yang mendidik yang terwujud dalam transaksi guru dalam keragaman peserta didik. Inilah titik awal penyehatan kondisi kultur pendidikan yang sedang tidak sehat tersebut. Upaya tersebut tidak dapat dilakukan secara parsial tetapi harus melibatkan semua unsur pendidikan mulai dari hulu sampai hilir. Intinya, menurut Sunaryo Kartadinata (2012: 13-14) upaya pendidikan harus mampu
34 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
mewujudkan masyarakat yang waras (sane society) sebagai masyarakat yang bertakwa, berdaya saing, dan berdaya tahan hidup. Kecerdasan, karakter, dan keimanan adalah kekuatan utuh yang harus dibangun melalui pendidikan untuk membawa bangsa memiliki masa depan dalam kemandirian, berdaya saing, dan berdaya tahan hidup. Dalam prosesnya kekuatan utuh tersebut dapat dikembangkan untuk mengubah pola-pola perilaku yang sudah mengakar dan dianggap tidak baik dan tidak menguntungkan melalui terapi kultural dalam upaya-upaya pendidikan. Ruang-ruang yang dapat dimasuki sebagai upaya terapi kultural, atau dalam istilah Sunaryo Kartadinata (2012: 19) disebut dengan “rongga resureksi” atau rongga kebangkitan pendidikan mencakup semua aspek mulai dari penegasan ilmu pendidikan sebagai disiplin ilmu, riset dan pengembangan, diagnosa kebijakan dan regulasi pendidikan, pengakajian sistem manajemen, pengembangan jejaring pendidikan sampai peningkatan kapasitas LPTK. Berpijak pada semangat dan ide-ide cemerlang untuk memulihkan kultur pendidikan yang sedang sakit demi menuju kebangkitan pendidikan di Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh Sunaryo Kartadinata (2012) maka perlu kiranya diterjemahkan dan ditindaklanjuti dengan riset-riset dan tindakan-tindakan nyata. Salah satu riset dan pengembangan yang dapat dilakukan adalah pengembangan kultur pendidikan berbasis bimbingan dan konseling untuk mengembangkan manusia berkarakter dan beradab. Pemaduan konsep kultur pendidikan dengan bimbingan dan konseling menuju peradaban manusia yang berkarakter dalam suatu riset dan pengembangan dianggap tepat karena di dalamnya terdapat inti (essence/central/most important) dari idealisme pendidikan dan peradaban manusia. Integrasi semua terminologi tersebut akan dimulai dari hakikat manusia. Sedangkan secara fenomenologis, sebagaimana dijelaskan
Guru dan Budaya Pendidikan
Sunaryo Kartadinata (2011: 47), pendidikan merupakan proses interaksi yang selalu berhadapan dengan kepribadian manusia yang sedang berada dalam proses menjadi untuk menemukan keberadaan dirinya. Sebagai makhluk yang diciptakan sebagai entitas yang penuh potensi sekaligus juga memiliki kelemahan dan keterbatasan, secara alamiah manusia memerlukan bantuan untuk menavigasi hidupnya menuju perkembangan optimum dan mencapai kemandirian dalam hidupnya. Bentuk bantuan dan navigasi tersebut dilakukan dalam upaya pedagogis yang dilakukan oleh pengampu layanan pendidikan yang memiliki pemahaman yang komprehensif tentang hakikat manusia, baik dari aspek organo-biologis, sosio-kultural, psiko-edukatif, maupun spiritual. Selain itu, pengampu layanan pendidikan tersebut memiliki kecakapan atau keterampilan dalam berkomunikasi secara interpersonal dengan manusia lainnya. Maka layanan pendidikan yang dimaksud adalah bimbingan dan konseling. Di sinilah letak esensi bimbingan dan konseling dalam membangun kultur pendidikan yang sehat menuju manusia yang berkarakter dan beradab sebagai tujuan akhir. METODE Pendekatan Penelitian Penelitian ini berusaha menemukan sosok guru yang mampu menampilkan budaya pendidikan yang berbasis bimbingan dan konseling. Untuk kepentingan tersebut, penelitian dilakukan secara induktif dengan menggunakan pendekatan kualitatif namun menyisipkan sedikit pendekatan kuantitatif. Melalui pendekatan ini, penelitian ini secara sengaja membentuk tahapan -tahapan yang membentuk piramida terbalik, mulai dari: (1) memilih situasi sosial, (2) melaksanakan observasi partisipan, (3) mencatat hasil observasi dan wawancara, (4) melakukan observasi deskriptif, (5) melalukan analisis domain,
(6) melakukan analisis terfokus, (7) melaksanakan analisis taksonomi, (8) melakukan observasi terseleksi, (9) melakukan analisis komponensial, (10) melalukan analisis tema (11) temuan budaya, dan (12) menulis laporan penelitian kualitatif. Berdasarkan dua belas tahap tersebut, empat di antaranya merupakan tahap kegiatan analisis data, yaitu analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial, dan analisis tema. Penyisipan pendekatan kuantitatif dilakukan pada tahap memilih situasi sosial dan observasi partisipan. Tujuannya selain untuk menemukan situasi sosial yang tepat, penyisipan ini juga bertujuan untuk yang dapat menggambarkan perbandingan budaya pendidikan yang terjadi dalam situasi sosial tersebut. Cara ini dilandasi oleh pertanyan penelitian, apakah terdapat perbedaan budaya pendidikan antara sekolah yang menjadi target pencarian guru yang mampu menampilkan budaya pendidikan yang berbasis bimbingan dan konseling? Subjek Penelitian Dalam penelitian ini, subjek penelitian didapatkan dari situasi sosial yang dipilih. Subjek penelitian adalah sosok guru mata pelajaran yang mampu menampilkan budaya pendidikan yang berbasis bimbingan dan konseling. Sosok guru yang dimaksud adalah guru yang dianggap memberikan pengaruh besar terhadap tumbuh kembangnya budaya pendidikan berdasarkan hasil pilihan siswa. Subjek penelitian ditemukan berdasarkan apresiasi dan pilihan siswa pada empat Sekolah Menengah Atas di empat kota di Jawa Barat, yaitu satu SMA Negeri di Kabupaten Bandung Barat, satu SMA Swasta di Kabupaten Garut, satu SMA Swasta di Kota Bandung, dan satu Madrasah Aliyah Swasta di Kabupeten Sukabumi. Sebenarnya, dalam rencana awal, penelitian ini juga memasukkan beberapa sekolah yang berbasis kultur lokal tetapi memiliki keeratan kuat dengan budaya “non lokal”.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
35
Daris Tamin
Sekolah-sekolah yang ditargetkan tersebut, antara sekolah yang didirikan oleh etnis China dan India. Tetapi karena keterbatasan dalam beberapa hal, akhirnya sekolah-sekolah tersebut tidak dapat diteliti. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dalam beberapa tahapan, antara lain: (1) mengumpulkan data tentang apreasi siswa terhadap indikator-indikator perilaku guru yang berbasis bimbingan dan konseling melalui angket yang terdiri dari 20 butir pernyataan yang mewakili indikator berdasarkan teori Muro & Kottman dan Rochman Natawidjaja; (2) mengumpulkan data tentang gradasi cita-cita siswa sejak SD, SMP, dan SMA; (3) mengumpulkan data tentang makna hidup dan kabahagian hidup; (4) mengumpulkan data tentang orang yang paling berpengaruh dalam pencapai cita-cita dan pemakanaan hidup dan kebahagian; (5) mengumpulkan data tentang guru yang dianggap mendekati ciri-ciri yang sebagaimana tergambar dalam setiap pernyataan dalam angket; dan (6) mengumpulkan data kepada guru yang dipilih siswa berdasarkan tradisi penelitian kualitatif, baik wawancara, observasi, telaah dokumen, dan triangulasi. Teknik Analisis Data Teknik analisis data untuk kuantitatif dilakukan secara deskriptif dengan menganalisa pemusatan data, penyebaran data, serta kecenderungan gugus data. Lebih lanjut, untuk menganalisa adanya interaksi bersama dari semua indikator yang mencerminkan kecenderungan budaya pendidikan dalam perilaku guru dilakukan penghitungan melalui analisis faktorial melalui bantuan SPSS 16. Adapun teknik analisis data kualitatif disesuaikan dengan tradisi penelitian kualitatif berdasarkan teori Miles dan Huberman (1984), antara lain: data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification. Dalam praktiknya, analisis data dalam
36 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
penelitian ini tidak hanya dilakukan melalui pendekatan Miles dan Huberman, namun dikombinasikan dengan pendekatan atau model Spradley selain memilih situasi sosial dan observasi partisipan, yaitu (1) mencatat hasil observasi dan wawancara, (2) melakukan observasi deskriptif, (3) melalukan analisis domain, (4) melakukan analisis terfokus, (5) melaksanakan analisis taksonomi, (6) melakukan observasi terseleksi, (7) melakukan analisis komponensial, (8) melakukan analisis tema (9) temuan budaya, dan (10) menulis laporan penelitian kualitatif. Berdasarkan dua belas tahap tersebut, empat di antaranya merupakan tahap kegiatan analisis data utama, yaitu analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial, dan analisis tema.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Data Kualitatif dalam Tahap Memilih Situasi Sosial dan Observasi Responden Memilih situasi sosial dalam penelitian kualitatif ibarat mencari sampel dalam penelitian kuantitatif. Fenomena mengumpulkan ikan dalam satu kolam untuk dipilih ikanikan yang sesuai dengan yang dicari adalah analogi dari proses memilih situasi sosial tersebut. Dalam penelitian ini, pemilihan situasi sosial dilakukan berdasarkan hasil analisis profil sekolah melalui observasi, telaah dokumen (hardcopy maupun electronic document di internet), timbangan pakar, dan intuisi peneliti. Berdasarkan penelusuran dengan analisa-analisa tersebut, diperoleh situasi sosial di empat sekolah, antara lain: di SMA Negeri 1 Lembang Kabupaten Bandung Barat; di SMA Muhammadiyah Kabupaten Garut; di SMA Plus Muthahhari Kota Bandung; dan di Madrasah Aliyah Al-Matuq Kabupeten Sukabumi.
Guru dan Budaya Pendidikan
Dipilihnya SMA Negeri 1 Lembang Kabupaten Bandung Barat adalah untuk mewakili sekolah milik pemerintah yang berada di pusat kota Kecamatan Lembang yang dapat diakses, baik oleh siswa dari Kota Bandung maupun Kabupaten Bandung Barat. Status kota kecamatan tersebut adalah sebagai kota kecamatan berbasis pertanian, peternakan, wisata dan pusat pelatihan sipil dan militer. Dengan status tersebut memungkinkan Kecamatan ini dihuni oleh penduduk dari beragam macam latar belakang, baik ekonomi maupun sosial. Selain itu, sebagai sekolah milik pemerintah, tentunya sekolah ini pasti diampu oleh guru-guru yang mayoritas berstatus PNS yang sudah mapan. Kondisi ini memungkinkan terjadi budaya pendidikan yang khas. Kemudian, dipilihnya SMA Muhammadiyah Kabupaten Garut adalah untuk mewakili sekolah swasta yang dikembangkan sejak puluhan tahun oleh organisasi masyarakat (ormas) Islam Muhammadiyah yang dikenal memiliki idealisme dalam pendidikan dan dakwah Islam sejak zaman penjajahan. Sebagai salah satu ormas Islam tertua dengan jumlah anggota sudah mencapai angka jutaan di Indonesia, tentunya ormas tersebut telah mengembangkan pendekatan-pendekatan kultural dalam program-program pendidikannya sehingga berpotensi untuk memiliki budaya pendidikan yang khas. Di Kabupaten Garut sendiri, komunitas ormas Muhammadiyah telah dianggap sebagai basis yang paling kuat dibandingkan kota/kabupaten lainnya di Jawa Barat. Selanjutnya, dipilihnya SMA Plus Muthahhari Kota Bandung adalah untuk mewakili sekolah swasta yang berbasis agama dan memiliki afiliasi budaya antara Timur dan Barat. Maksudnya, walaupun sekolah ini berbasis lokal tetapi memiliki hubungan dengan kultur Timur yang diwakili oleh Iran dan kultur Barat yang diwakili Jerman. Selain diarahkan ke PT lokal, para lulusan SMA ini juga diarahkan untuk melanjutkan ke beberapa PT di Iran dan
Jerman. Oleh sebab itu, pelajaran bahasa Inggris plus bahasa Jerman dan bahasa Persi diberikan secara ekstra di sekolah ini. Orientasi ini tentu memunculkan kekhasan budaya pendidikan apalagi para siswa yang sekolah di SMA ini berasal dari daerah yang berbeda dan hampir dapat dikatakan mewakili seluruh suku yang ada di Nusantara ini. Adapun, pemilihan salah satu Madrasah Aliyah Al-Matuq Kabupaten Sukabumi adalah untuk mewakili sekolah swasta lokal berbasis pesantren yang memiliki afiliasi budaya dengan Timur Tengah, yaitu Arab Saudi dan Kuwait. Hal ini dapat dianalisa dari penampilan fisik mayoritas guru dan karyawan laki-laki yang berjanggut serta berjubah dan mayoritas guru perempuan yang mengenakan jilbab lebar, panjang, dan bercadar. Afiliasi kultural ke Timur Tengah tersebut dapat diidentifikasi dari penguatan bahasa keseharian, yaitu bahasa Arab yang digunakan secara aktif. Lebih dari itu, beberapa bukti peresmian beberapa bangunan/gedung yang menyebut nama dari lembaga/yayasan yang memberikan bantuan dana atas pembangunan bangunan/gedung tersebut. Afiliasi budaya tersebut, tentunya akan memunculnya warna yang khas dalam kultur pendidikan yang dikembangkan di Madrasah Aliyah ini. Untuk mengukur kuatnya atau tidaknya budaya pendidikan berbasis bimbingan dan konseling yang dalam situasi sosial yang telah ditentukan, peneliti meminta siswa untuk menuliskan gradasi cita-cita sejak SD, SMP, dan SMA serta menuliskan siapa yang berpengaruh dalam mewujudkan cita-citanya pada saat sekarang ini. Cara ini dilakukan untuk menakar sejauhmana para siswa mengapresiasi pengaruh guru dalam pencapaian cita-citanya. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh hasil berdasarkan prosentasi 75% dari jenis cita-cita yang paling banyak disebutkan dan 75% dari orang yang berpengaruh sehingga disebut sebagai mayoritas. Analisis data tersebut adalah sebagai berikut:
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
37
Daris Tamin
Tabel 1. Analisa Cita-cita dan Orang yang Berpengaruh GRADASI CITA-CITA
SEKOLAH
SD
SMAN 1 Lembang Kab. Bandung Barat SMA Muhammadiyah Kab. Garut SMA Plus Muthahhari Kota Bandung
MA Al-Matuq Kab. Sukabumi
SMP Sebagian berubah,
Mayoritas siswa bercitacita untuk menjadi orang seperti yang dikenal dalam aktivitas orang yang menghasilkan banyak uang dan terkenal, seperti: pilot, presiden, dokter, dll
sebagian tidak berubah. Perubahan bukan pada makna cita-cita tetapi berubah jenis. Cita-cita setengah dari mayoritas berubah ke arah yang berbau transendental
Berdasarkan Tabel 1 di atas, dapat dipahami bahwa cita-cita siswa dalam perkembangannya mengalami gradasi, terutama dari SMP ke SMA. Berdasarkan analisis cita-cita saat ini di bangku SMA, terlihat tidak ada perbedaan mencolok antara siswa di tiga sekolah, yaitu SMAN 1 Lembang KBB, SMA Muhammadiyah Kabupaten Garut, dan SMA Plus Muthahhari Kota Bandung, baik dalam gradasi citacita maupun orang yang berpengaruh dalam cita-cita, yaitu menempatkan orang tua sebagai orang yang paling berpengaruh, selanjutnya teman (bisa berarti teman biasa atau bisa juga teman spesial alias pacar), dan pada peringkat ketiga adalah guru.
ORANG BERPENGARUH
SMA Mayoritas berubah ke arah pekerjaan sesuai jurusan yang diambil namun dalam makna bekerja mendapatkan uang dan kedudukan di masyarakat
1. Orang Tua 2. Teman (bisa teman dekat/pacar) 3. Guru
1. Guru Mayoritas siswa menegaskan cita-cita untuk 2. Orang Tua jadi guru atau dai
Fenomena ini berbeda secara kontras dengan di MA Al-Matuq Kabupaten Sukabumi. Para siswa di sekolah ini, mayoritas ingin menjadi guru atau dai, dan menempatkan guru sebagai orang yang paling berpengaruh dalam gradasi cita-cita. Selain menganalisis gradasi cita-cita dengan orang yang paling berpengaruh dalam gradasi cita-cita, dalam tahap penguatan pemilihan situasi sosial dan observasi partisipan, peneliti juga menganalisa pandangan/ persepsi siswa tentang makna hidup dan kebahagiaan dengan orang yang berpengaruh dalam makna hidup dan kebahagiaan. Berdasarkan hasil analisis data tersebut, diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 2. Analisis Makna Hidup dan Kebahagiaan dan Orang yang Berpengaruh SEKOLAH
SMAN 1 Lembang Kab. Bandung Barat
SMA Muhammadiyah Kab. Garut
MAKNA HIDUP
MAKNA KEBAHAGIAAN
ORANG YANG BERPENGARUH
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Hidup anugerah 1. Bahagia bisa membuat orang Hidup perjuangan lain bahagia, terutama orang Hidup pilihan tua Hidup sandiwara 2. Keinginan tercapai dengan Hidup mengejar keinginan sukses Hidup Ibadah (penga3. Ketika bersama orang yang bidan pada Tuhan disayangi 4. Ketika bebas 5. Dapat menjalankan perintah Tuhan
1. 2. 3. 4.
Orang tua Teman Guru Publik Figur (Artis, Ketua Geng, Atlet)
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Hidup anugerah 1. Bahagia bisa membuat orang Hidup perjuangan lain bahagia, terutama orang Hidup pilihan tua Hidup sandiwara 2. Ketika bersama orang yang Hidup mengejar keinginan disayangi Hidup Ibadah (penga3. Dapat menjalankan perintah bidan pada Tuhan) Tuhan
1. 2. 3. 4.
Orang tua Teman Guru Publik Figur (Artis)
38 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Guru dan Budaya Pendidikan
lanjutan Tabel 2. Analisis... SEKOLAH
SMA Plus Muthahhari Kota Bandung
MA Al-Matuq Kab. Sukabumi
MAKNA HIDUP
MAKNA KEBAHAGIAAN
ORANG YANG BERPENGARUH
1. 2. 3. 4. 5.
Hidup anugerah Hidup perjuangan Hidup pilihan Hidup sandiwara Hidup mengejar keinginan 6. Hidup Ibadah (pengabdian pada Tuhan)
1. Bahagia bisa membuat orang lain bahagia, terutama orang tua 2. Dapat menjalankan perintah Tuhan
1. 2. 3. 4.
1. Hidup Ibadah (pengabidan pada Tuhan) 2. Hidup anugerah 3. Hidup perjuangan
1. Dapat menjalankan perintah (Tuhan) Allah dan Rasul-Nya 2. Membuat orang lain bahagia
1. Guru 2. Orang tua
Berdasarkan Tabel 2 di atas, makna hidup dan kebahagiaan dalam pandangan siswa menunjukkan keberagaman. Penyebutan makna seperti tercantum dalam Tabel 2 adalah hasil kategorisasi, walaupun sebenarnya tidak sesederhana yang ditampilkan dalam Tabel 2 tersebut. Namun demikian, terdapat hal penting yang dapat diambil sebagai bagian tak terpisahkan dari tumbuhnya budaya pendidikan dan peran guru dalam pengembangannya, yaitu urutan makna hidup dan kebahagiaan. Para siswa di SMAN 1 Lembang KBB, SMA Muhammadiyah Kab. Garut, SMA Plus Muthahhari Kota Bandung memandang makna hidup dan kebahagiaan lebih beragam, mulai yang bersifat humanistik sampai transcendental-spiritual-religius. Hal ini berbeda dengan MA di Kabupaten Sukabumi. Makna hidup dan kebahagiaan tidak beragam dan cenderung homogen dalam satu makna, yaitu kebahagiaan sebagai bentuk pengabdian pada Tuhan danhidup adalah perjuangan. Perbedaan yang mencolok pada pemaknaan hidup dan kebahagiaan adalah pada gradasi maknanya. Jika para siswa di SMAN 1 Lembang, SMA Muhammadiyah Garut, dan SMA Plus Muthahhari menempatkan pengabdian pada Tuhan para peringkat terakhir maka di MA Al-Matuq, pengabdian itu ditempatkan pada urutan pertama. Fenomena ini memang perlu ditindaklanjuti dengan penelaahan mendalam karena boleh jadi siswa
Orang tua Teman Guru Publik Figur (Ilmuwan, Filsuf)
tidak menyebutkan keterlibatkan Tuhan bukan berarti tidak ada tetapi bisa jadi tersembunyi. Hal menarik yang lain dari Tabel ini adalah bahwa di SMAN 1 Lembang, SMA Muhammadiyah 1 Garut, dan SMA Plus Muthahhari Bandung, para siswa berpandangan bahwa orang yang paling berpengaruh dalam pemaknaan hidup dan kebahagiaan adalah orang tua, lalu teman, guru, dan publik figur. Untuk di SMAN 1 Lembang, publik figur yang dimaksud adalah artis, ketua geng, dan atlet. Sedangkan di SMA Muhammadiyah 1 Garut, publik figur yang dimaksud adalah artis. Adapun di SMA Plus Muthahhari, publik figur yang dimaksud adalah ilmuwan atau filsuf. Fenomena yang lebih menarik terjadi di MA Al-Matuq. Di sekolah ini, para siswa berpandangan bahwa ustadz atau guru adalah orang yang paling berpengaruh dalam pemaknaan hidup dan kebahagaiaan. Sedangkan orang tua ditempatkan pada urutan kedua. Hal ini menimbulkan pertanyaan baru, apakah karena para siswa ini lebih banyak berinteraksi dengan gurunya di pesantren dan setengah dari mereka adalah anak-anak yatim sehingga lebih menganggap guru sebagai orang yang berpengaruh? Apapun jawaban dari pertanyaan ini, yang jelas semua fenomena ini mencerminkan budaya pendidikan yang berkembang di sekolah selama para belajar di sekolah tersebut.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
39
Daris Tamin
Sisipan Data Kuantitatif dalam Tahap Memilih Situasi Sosial dan Observasi Responden Analisis data kuantitatif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sisipan dalam tahap pemilihan situasi sosial. Tujuannya hanya ingin mendapatkan penguatan tentang perbandingan budaya berdasarkan analisa data kualitatif. Dalam sisipan pendekatan kuantitatiif ini, peneliti memberikan angket yang berisi 20 item pernyataan yang merupakan indikator guru (bukan konselor) yang memiliki basis bimbingan dan konseling. Indikator-indikator yang berjumlah 20 pernyataan tersebut diadaptasi dari teori Muro & Kottman (1995: 53) dan Rochman Natawidjaja (Ahman, 1998: 24). Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 3. Apresiasi Siswa Terhadap Indikator Guru Berbasis Bimbingan dan Konseling KUMULATIF % DALAM TOTAL VARIANSI
EKSTRAKSI KOMPONEN
SMAN 1 Lembang Program IPA
57,84
4 dari 20
SMAN 1 Lembang Program IPS
58,03
4 dari 20
SMA Muhammadiyah Garut
73,26
6 dari 20
SMA Plus Muthahhari Kota Bandung
63,80
4 dari 80
MA Al-Matuq Kab. Sukabumi
77,49
7 dari 20
SEKOLAH
Berdasarkan data kuantitatif pada Tabel 3 dapat dijelaskan bahwa apresiasi siswa terhadap guru yang berbasis bimbingan dan konseling di sekolahnya berbeda pada setiap situasi sosial pada sekolah masing-masing. Pada SMAN 1 Lembang, para siswa Program IPA memberikan apresiasi sebesar 57,84 %
40 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
dan Program IPS sebesar 58,03% terhadap guru yang telah menampilkan diri dan berbasis pendekatan bimbingan dan konseling dalam proses pembelajaran di sekolah. Selanjutnya berdasarkan analisa faktorial, dari 20 indikator guru yang berbasis bimbingan dan konseling, ternyata hanya 4 indikator yang sebenarnya diapreasiasi oleh siswa dalam satu tema yang harus dianalisa lebih lanjut. Jika dikaitkan dengan analisa terhadap skor-skor tertinggi dari setiap pernyataan, maka dapat dianggap bahwa budaya pendidikan di SMAN 1 Lembang lebih dikembangkan pada peran guru sebagai pendorong siswa, bahwa siswa punya potensi dan dapat mengembangkan potensinya secara positif. Jadi dapat dikatakan bahwa guru di SMAN 1 lembang cenderung mengembangkan budaya sebagai pendorong bagi pengembangan potensi siswa. Selanjutnya, di SMA Muhammdiyah 1 Garut, para siswa memberikan apresiasi sebesar 73,26 % guru yang telah menampilkan diri dan berbasis pendekatan bimbingan dan konseling dalam proses pembelajaran di sekolah. Selanjutnya berdasarkan analisa faktorial, dari 20 indikator guru yang berbasis bimbingan dan konseling, ternyata hanya 6 indikator yang sebenarnya diapreasiasi oleh siswa dalam satu tema yang harus dianalisa lebih lanjut. Jika dikaitkan dengan analisa terhadap skor-skor tertinggi dari setiap pernyataan, maka dapat dianggap bahwa budaya pendidikan di SMA Muhammadiyah 1 Lembang tidak jauh berbeda dengan SMAN 1 Lembang, yaitu lebih dikembangkan pada peran guru sebagai pendorong siswa, bahwa siswa punya potensi dan dapat mengembangkan potensinya secara positif. Jadi dapat dikatakan bahwa guru di SMA Muhammadiyah 1 Garut cenderung mengembangkan budaya sebagai pendorong bagi pengembangan potensi siswa.
Guru dan Budaya Pendidikan
Selanjutnya, di SMA Plus Muthahhari Bandung, para siswa memberikan apresiasi sebesar 63,80 % terhadap guru yang telah menampilkan diri dan berbasis pendekatan bimbingan dan konseling dalam proses pembelajaran di sekolah. Selanjutnya berdasarkan analisa faktorial, dari 20 indikator guru yang berbasis bimbingan dan konseling, ternyata hanya 4 indikator yang sebenarnya diapreasiasi oleh siswa dalam satu tema yang harus dianalisa lebih lanjut. Jika dikaitkan dengan analisa terhadap skor-skor tertinggi dari setiap pernyataan, maka dapat dianggap bahwa budaya pendidikan di SMA Plus Muthahhari Bandung Lembang tidak jauh berbeda dengan dua sekolah sebelumnya, yaitu lebih dikembangkan pada peran guru sebagai pendorong siswa, bahwa siswa punya potensi dan dapat mengembangkan potensinya secara positif. Jadi dapat dikatakan bahwa guru di SMA Plus Muthahhari Bandung cenderung mengembangkan budaya sebagai pendorong bagi pengembangan potensi siswa. Adapun di MA Al-Matuq Sukabumi, para siswa memberikan apresiasi sebesar 77,49 % terhadap guru yang telah menampilkan diri dan berbasis pendekatan bimbingan dan konseling dalam proses
pembelajaran di sekolah. Skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan tiga sekolah lainnya. Selanjutnya berdasarkan analisa faktorial, dari 20 indikator guru yang berbasis bimbingan dan konseling, ternyata hanya 7 indikator yang sebenarnya diapreasiasi oleh siswa dalam satu tema yang harus dianalisa lebih lanjut. Jika dikaitkan dengan analisa terhadap skor-skor tertinggi dari setiap pernyataan, maka dapat dianggap bahwa budaya pendidikan di MA Al-Matuq tidak jauh berbeda dengan dua sekolah sebelumnya, yaitu lebih dikembangkan pada peran guru sebagai pendorong siswa, bahwa siswa punya potensi dan dapat mengembangkan potensinya secara positif. Jadi dapat dikatakan bahwa guru di MA Al-Matuq Sukabumi cenderung mengembangkan budaya sebagai pendorong bagi pengembangan potensi siswa. Analisis Data Kualitatif Terhadap Subjek Penelitian Berdasarkan apresiasi dan pilihan siswa sebagai responden yang berjumlah total 404 orang diperoleh lima orang guru mata pelajaran yang dijadikan subjek penelitian. Secara terperinci subjek penelitian tersebut diperoleh berdasarkan pilihan siswa seperti tergambar pada matriks berikut ini:
Tabel 4. Subjek Penelitian Terpilih SEKOLAH
RESPONDEN
SUBJEK
MATA PELAJARAN
SMAN 1 Lembang
146 Siswa Kelas XI IPA
1 Guru Laki-laki
Geografi
SMAN 1 Lembang
134 Siswa Kelas XI IPS
1 Guru Perempuan
Biologi
SMA Muhammadiyah Garut
34 Siswa Kelas XI IPA 1 Guru Perempuan dan IPS
Matematika
SMA Plus Muthahhari Bandung
63 Siswa Kelas XI IPA 1 Guru Laki-laki dan IPS
Bahasa Indonesia
MA Al-Matuq Kab. Sukabumi
34 Siswa Kelas XI dan 1 Guru Laki-laki XII Keagamaan
Akhlak
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
41
Daris Tamin
Keputusan untuk menentukan subjek penelitian, yaitu guru yang dianggap telah menampilkan diri dalam basis prinsip-prinsip bimbingan dan konseling tidak begitu saja diambil. Tetapi, setalah mendapatkan data guru terpilih, peneliti melakukan triangulasi kepada beberapa pihak, antara lain: kepala sekolah atau wakil kepala sekolah, guru-guru, karyawan sekolah, dan tentunya siswa. Tujuan triangulasi adalah untuk memperoleh kebenaran data secara mendalam kepada sumber data dan atau informan. Tujuannya sama, yaitu untuk memperolah kebenaran data secara mendalam. Melalui penggunaan triangulasi, peneliti mendapatkan data sekaligus menguji kredibilitas data tersebut. Berdasarkan hasil triangulasi tersebut, diperoleh kekukuhan untuk menetapkan subjek penelitian yang berjumlah 5 orang guru tersebut. Setelah memutuskan mengambil subjek penelitian, langkah berikutnya adalah melakukan penelitian terhadap subjek penelitian melalui tradisi penelitian kualitatif. Keterbatasan waktu yang ada serta subjek penelitian yang berjumlah 5 orang tentu membutuhkan waktu yang tidak sedikit terlebih jika kebenaran ingin diperoleh sampai redundant (mentok) sehingga tidak ada keraguan lagi di dalamnya. Penjelasan selanjutnya merupakan hasil analisis data dari wawancara, observasi, analisis data, dan triangulasi terhadap 5 subjek penelitian yang tentang pandangan subjek penelitian tentang: filosofi hidup dan kebahagiaan; filosofi dan hakikat mendidik dan anak didik; pendekatan dalam proses pembelajaran; serta sikap dan pengalaman dalam yang berkaitan dengan isu-isu budaya pendidikan. a. Hasil Analisis Data Kualitatif Terhadap Guru “AH” 1) Riwayat Singkat AH dilahirkan di Sukabumi 40 tahun yang lalu. Beliau berasal dari keluarga ulama yang mendirikan pergerakan PUI di Sukabumi. Selepas belajar dari pesantren As-Salam
42 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Sukabumi, AH mendapatkan kesempatan belajar di Jurusan Syariah Universitas Madinah Saudi Arabia. Setamatnya dari Universitas Madinah dengan mengantongi gelas Lc, AH aktif di Yayasan (Laznah) Khairiyyah Al-Musytarokah dan diamanahi untuk memimpin Pesantren Al-Matuq. Di sela-sela, aktivitasnya mengajar akhlaq, AH juga ditunjuk sebagai Mudir ‘Am (pimpinan umum/tertinggi) di pesantren yang membawahi Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Tentunya AH sangat sibuk. Walaupun demikian, AH juga aktif berdakwah kepada masyarakat umum dengan memberikan ceramah, khutbah Jumat, dan kajian-kajian ilmu lainnya. Untuk meningkatkan kapasitas ilmu dan kualifikasi pendidikan, AH melanjutkan pendidikan dengan mengambil program Magister Pendidikan Islam di Universitas Ibnu Khaldun Bogor. Tidak lama berselang, AH melanjutkan lagi pendidikannya ke jenjang S3 di Universitas yang sama pada program yang sama pula, yaitu program Doktor Pendidikan Islam. 2) Filosofi Hidup dan Kebahagiaan Bagi AH, hidup adalah ibadah. Hidup adalah pengabdian kepada Allah. Semua yang dilakukan harus bernilai ibadah. Kebahagian dalam hidup adalah ketika mampu menjalankan perintah Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah lalu mengamalkan dan mengajarkannya kepada yang lain, keluarga dan masyarakat. 3) Filosofi dan Hakikat Mendidik dan Anak Didik Mendidik bukan sekadar bekarja untuk mencari dunia. Mendidik adalah mengenalkan anak didik kepada Tuhannya, yaitu Allah. Apapun pelajarannya, proses mendidik adalah proses menuntun anak didik untuk semakin yakin kepada Allah, Tuhannya lalu istiqomah dalam menjalan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya dengan mengikuti jejak sunnah Rasul-Nya dan jejak para salafush-shalih. Karena hakikat pendidikan
Guru dan Budaya Pendidikan
demikian, maka hakikat anak didik adalah mad’u (subjek dakwah). Oleh karena tujuan pendidikan adalah dakwah maka para pendidik tidak perlu takut miskin. Allah akan mencukupkan rezeki bagi para pendidik. Merasa takut miskin biasanya akan membuat pendidik mengabaikan prinsip-prinsip penting dalam pengabdian kepada Allah. 4) Pendekatan dalam Proses Pembelajaran AH berpandangan bahwa pendekatan yang paling utama dalam proses pembelajaran adalah keteladanan dalam amal shalih. Seorang guru harus menjadi orang yang lebih dahulu melakukan amal shalih. Keteladanan adalah faktor harus didahulukan oleh guru ketimbang faktor-faktor lainnya. Jika seorang guru tidak menjadi teladan bagi siswanya maka apa yang diajarkannya tidak akan membawa manfaat bagi siswanya. Sebagai seorang guru, AH selalu berusaha untuk menjadi orang pertama dalam melakukan kebaikan. Dalam proses pembelajarn AH, selalu berusaha untuk menghidupkan kelas dengan berbagai pendekatan yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. AH banyak memperkaya wawasan anak didiknya dengan mengaitkan materi pembelajaran dengan kasus-kasus aktual. Menurut pengakuan beberapa orang anak didiknya, kalau belajar dengan AH, tidak pernah mangantuk dan rasanya waktu begitu cepat berlalu. Untuk mendekatkan diri pada dunia intrapersonal anak didiknya, AH seringkali membawa kejutan-kejutan yang tidak diduga oleh anak didiknya. Tak jarang AH, membawa makanan ke kelas dan menikmatinya bersama siswa, baik pada saat proses pembelajaran maupun sebelum atau sesudah proses pembelajaran. Dalam hal kedisiplinan, AH menjadikan salat berjamaah sebagai tolak ukurnya. Sebagai pimpinan, AH seringkali memimpin salat berjamaah. Ada perilaku yang unik sebelum salat berjamaah didirikan. AH selalu memeriksa lurus dan rapatnya shaf dari ujung depan
sampai akhir shaf. Dengan penuh kesabaran, AH selalu memberikan arahan langsung kepada anak didiknya untuk melurusakan shaf tak terkecuali jika pada saat itu ada orang tua siswa atau tamu dari luar. 5) Sikap dan Pengalaman Terkait Isu-isu Budaya Pendidikan Beberapa sikap dan pengalaman AH terkait dengan isu-isu budaya pendidikan, antara lain: (1) menolak menyebarkan jawaban soal UN yang diberikan oleh oknum atas kesepakatan kepala madrasah, padahal hal tersebut memungkinkan dilakukan karena AH sebagai pimpinan di sekolah, (2) menolak dana bantuan untuk kesejahteraan guru dari kantor kementarian agama dengan alasan khawatir mengikat sehingga jadi sungkan menolak hal-hal yang bertentangan dengan idealism, (3) lebih baik tidak lulus UN daripada nyontek dan tidak lulus ujian dari Allah, (4) sekali saja guru memberikan bantuan jawaban soal UN, maka apa yang ditanamkan selama 3 tahun tentang kejujuran akan dihancurkan dalam sekejap selama tiga hari UN, (5) budaya pendidikan yang sehat akan tumbuh berkembang ketika setiap orang memiliki mental kepemimpinan yang bertanggung jawab kepada Allah, dalam arti takut hanya kepada Allah bukan takut kepada atasan lagi, (6) amanah dalam menjalankan tugas dan mengelola keuangan sesuai dengan peruntukannya adalah modal besar untuk dihargai oleh orang lain sehingga apa yang ditanamkan kepada anak didik menjadi berpengaruh sepanjang hayatnya, (7) guru tidak boleh takut miskin, (8) anakanak harus dikontrol, jangan pernah membiarkan kesalahan sekecil apapun termasuk dalam UN, guru dapat mengontrol untuk mencegah siswa berbuat curang. b. Hasil Analisis Data Kualitatif Terhadap Guru “BD” 1) Riwayat Singkat Pria ini sehari-hari mengajar bahasa Indonesia dan seni teater di SMA Plus Muthahhari Bandung. DB baru empat tahun
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
43
Daris Tamin
mengajar di sekolah tersebut. Sebelumnya, hampir lebih dari 10 tahun, DB mengajar di sebuah sekolah swasta lain di Ujung Berung Bandung. BD lahir di Garut tetapi besar di Bengkulu. BD menyelsaikan S1 di Universitas Bengkulu dan S2 di salah satu Universitas di Inggris. BD sangat menyukai dunia teater sehingga masa mudanya dihabsikan untuk manggung dari satu tempat ke satu tempat yang lain. Demi mengajar di Muthahhari, BD meninggalkan semua aktivitas mengajarnya di tempat lain dengan alasan bahwa di Muthahhari ia mendapatkan sesuatu yang boleh jadi orang lain tidak memikirkannya. BD mengakui bahwa pemikiran Ustadz Jalal (Jalaluddin Rakhmat) sangat mengubah jalan hidupnya untuk lebih memaknai hidup bukan sekadar urusan dunia. 2) Filosofi Hidup dan Kebahagiaan Bagi BD, hidup adalah bukan sekadar dunia tetapi harus tembus menuju Tuhan. Semua hal yang tidak menembus Tuhan tidak berarti apa-apa jika hanya sekedar berhenti di dunia saja. Kebahagian bagai BD adalah kita mampu membuat orang lain bahagia, siapapun terutama anak didik. 3) Filosofi dan Hakikat Mendidik dan Anak Didik Mendidik hakikatnya adalah membuka ruang berpikir kepada anak didik untuk dapat hidup saling menghargai di atas perbedaan dan mampu menembus Tuhan dalam segala ruang. Mendidik adalah menjadi guru kehidupan bagi anak didik. Anak didik adalah anak sendiri sekaligus teman diskusi dan teman bermain serta guru kehidupan. 4) Pendekatan dalam Proses Pembelajaran Dalam pembelajaran, BD tidak mau terikat dengan apa yang sudah digariskan oleh dinas karena jika hanya mengacu kepada apa yang digariskan dinas semuanya akan kering tidak ada apa-apanya. DB selalu membawakan materi dan mengaitkannya dengan kehendak Tuhan. Terkadang untuk menembus Tuhan, anakanak dibawa dalam suasana seolah-olah Tuhan diabaikan.
44 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Dalam setiap proses pembelajaran, BD sangat menekankan arti penting keteladanan tetapi tidak dalam arti keberagamaan karena ia merasa belum layak diteladani dalam hal tersebut. Ia lebih senang disebut teladan dalam kebebasan berpikir, kerja keras, dan toleransi. 5) Sikap dan Pengalaman Terkait Isu-isu Budaya Pendidikan Berkaitan dengan isu-isu penyehatan budaya pendidikan BD memiliki beberapa sikap dan pengalaman, antara lain: (1) merasa sudah cukup menerima honor dari sekolah saja tidak perlu pontang-panting mengejar sertifikasi sehingga menjadi pengganggu konsentrasi mengajar. Walaupun ada kesempatan tetapi ia tidak ingin tergesa-gesa. Mengalir saja seperti air dalam masalah seperti ini, (2) budaya pendidikan akan tumbuh berkembang secara sehat melalui kepemimpinan yang memiliki spiritualitas yang mampu menembus Tuhan, (3) sekolah swasta memiliki potensi untuk mengembangkan budaya pendidikan yang sehat karena tidak secara langsung diarahkan oleh pemerintah, jika sudah diarahkan maka kebebasan untuk berkreasi menjadi lebih sempit. c. Hasil Analisis Data Kualitatif Terhadap Guru “MM” 1) Riwayat Singkat MM terlahir dari keluarga guru di Subang. MM mengajar Matematika di SMA Muhammadiyah 1 Garut. Awalnya MM bukan guru Matematika karena ia lulusan D3 Pendidikan Keterampilan dari IKIP (UPI) Bandung. Sejak diangkat jadi PNS, lalu di sekolah tempat bekerja pertama kali kekurangan guru Matematika, maka ia diberi tambahan ngajar Matematika. Sejak itu MM menggeluti Matematika hingga melanjutkan S1 pada Program Pendidikan Matematika. Sejak menikah dengan suaminya yang orang Garut dan dibawa pindah ke Garut, MM di-DPK-kan ke SMA Muhammadiyah 1 Garut. Sebagai anggota Aisiyah (Otonom Kewanitaan Muhammadiyah), MM merasa aktivitasnya adalah bagian dari ibadah.
Guru dan Budaya Pendidikan
2) Filosofi Hidup dan Kebahagiaan Bagi MM, hidup adalah sebuah ibadah. Makna kebahagiaan adalah ketika mampu membimbinga anak didik dari asalnya tidak bisa menjadi bisa. 3) Filosofi dan Hakikat Mendidik dan Anak Didik Anak didik harus diperlakukan seperti anak sendiri. Mendidik adalah membimbing anak didik dari tidak bisa menjadi bisa. 4) Pendekatan dalam Proses Pembelajaran MM melakukan pendekatan kepada anak didik dalam peran sebagai ibu. Ia sering memotivasi bahwa tidak ada soal yang sulit jika kita mau mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan yakin bahwa itu bisa diselesaikan. Dengan penuh kesabaran dan memegang prinsip untuk tidak marah sedikit pun, MM menjadi bagian terpenting dalam kehidupan anak didiknya untuk menjadi bisa dari asalnya tidak bisa. 5) Sikap dan Pengalaman Terkait Isu-isu Budaya Pendidikan Terkait isu-isu budaya pendidikan, MM memiliki beberapa pandangan, antara lain: (1) tidak setuju kalau kepala sekolah dan guru membantu UN tetapi tidak bisa mencegah, (2) tugasnya sebagai guru adalah mengajar dan mendidik di sekolah, yang terpenting bisa membantu anak untuk bisa. d. Hasil Analisis Data Kualitatif Terhadap Guru “MS” 1) Riwayat Singkat Pria ini sehari-hari mengajar Geografi di SMAN 1 Lembang. MS sudah bekerja hampir 10 tahun di SMA tersebut. Sebelumnya MS mengajar di salah satu SMP di Kota Pandeglang Banten. Usianya saat ini kurang lebih 45 tahun. MS lahir di Lembang tetapi kedua orang tuanya bukan dari suku Sunda tetapi dari suku Jawa, persisnya Jawa Tengah. Selepas SMA, MS melakutkan sekolah ke IKIP (UPI) Bandung pada Jurusan Geografi. Selain bekerja sebagai fungsional guru, secara struktural, saat ini MS dipercaya sebagai Wakasek Bidang
Kurikulum. Dalam keseharain di rumah, MS mengaku tidak terlalu terlibat dalam aktivitas masyarakat. Katanya, MS ingin menjadi orang biasa saja. Untuk meningkatkan kemampuan dan kualifikasi akademik, MS menempuh pendidikan S2 pada Program Pendidikan IPS di SPs UPI Bandung dan menyelesaikannya pada 2009 yang lalu. 2) Filosofi Hidup dan Kebahagiaan Bagi MS, hidup adalah sebuah kenyataan yang harus dihadapi dan dijalani sebagai bagian dari kehendak-Nya. MS meyakini bahwa kenyataan hidup yang sedang dijalani bersifat sementara karena hakikat kehidupan yang sebenarnya adalah di akhirat. Jadi hidup di dunia adalah untuk hidup di akhirat. Sedangkan hakikat kebahagian adalah saat bisa bermanfaat bagi orang lain dan bisa memberdayakan orang lain, terutama anak didik. 3) Filosofi dan Hakikat Mendidik dan Anak Didik Anak didik harus diperlakukan seperti anak sendiri. Mereka adalah manusia yang memiliki potensi untuk menjadi manusia yang lebih baik. Sebagai guru IPS, MS sering berhadapan dengan kenyataan siswa yang merasa rendah diri sebagai orang sosial jika dibandingkan dengan orang eksak (IPA). MS selalu memberikan dorongan bahwa orang IPA dan IPS memiliki fungsi yang sama-sama penting untuk kehidupan. Orang IPA adalah peneliti dan penemu solusi untuk masalah kehidupan, tetapi tanpa orang sosial, solusi tersebut tidak mungkin berpengaruh kepada msayarakat banyak jika tidak dikuatkan oleh kebijakan yang biasanya diambil oleh orangorang sosial. 4) Pendekatan dalam Proses Pembelajaran Dalam proses pembelajaran, MS lebih banyak membawa anak didik untuk memotret realitas kehidupan. Dalam wahana itulah anak didik akan belajar tidak hanya materi pelajaran tetapi juga makna hidup. Sebagai guru Geografi, MS merasa berkesempatan untuk membelajarkan anak anak didik pada
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
45
Daris Tamin
realita kehidupan dan menanamkan keberadaan Tuhan kepada anak didik melalui alam dan sekitarnya. Menurutnya realita kehidupan akan menjadi wahana untuk menanamkan kejujuran kepada anak didik. MS selalu menanamkan sikap hidup untuk mengejar makna lebih dari sekadar nilai. Jika nilai yang dikejar maka segala cara untuk mendapatkannya akan ditempuh termasuk bertindak tidak jujur. Oleh sebab itu, MS selalu menanamkan kepada anak didiknya agar tidak mengejar nilai, tetapi berbuatlah yang terbaik maka nilai itu akan datang dengan sendirinya. 5) Sikap dan Pengalaman Terkait Isu-isu Budaya Pendidikan Terkait dengan isu-isu budaya pendidikan, MS memiliki beberapa pandangan, antara lain: (1) sebagai PNS, peran kita hanya pada apa yang bisa dilakukan di sekolah, sulit untuk mengintervensi kebijakan pimpinan atau pejabat pendidikan walaupun itu bertentangan dengan hati nurani, (2) yang terpenting adalah apa yang bisa dilakukan untuk anak didik di sekolah dalam rangka mencapai makna hidup bukan sekadar mengejar nilai. e. Hasil Analisis Data Kualitatif Terhadap Guru “NN” 1) Riwayat Singkat Guru wanita kelahiran Sumatera Barat ini sehari-hari mengajar mata pelajaran Biologi di SMAN 1 Lembang. MM sebenarnya bukan lulusan pendidikan Biologi tetapi guru pendidikan keterampilan. Pada saat diangkat PNS di Aceh, MM diberi beban mengajar Biologi bukan pendidikan keterampilan. Bidang barunya itu terus ia jalani sehingga telah menjadi bagian dari pekerjaannya. MM menamatkan S1 di UNJ. Sebagai guru, MM merasa harus terus mengasah wawasan keagaaman karena hal tersebut sangat penting untuk mengontrol diri dari perbuatan yang keliru. Setiap pecan, MM rajin mengikuti pengajian di MPI (Majelis Percikan Iman) yang dipimpin oleh Ustadz Aam Amirudin.
46 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
2) Filosofi Hidup dan Kebahagiaan Bagi NN, hidup adalah ibadah. Kebahagiaan adalah ketika mampu membantu anak didik lepas dari masalahnya. NN mengaku sering didatangi, di-SMS, dan ditelpon oleh anak didiknya walaupun sudah tidak lagi sekolah di SMAN 1 Lembang untuk sekadar curhat atau minta pendapat. Layaknya guru BK, ia sering diminta pandangan untuk membantu menyelesaikan masalah pribadi anak didiknya. Jadi, kebahagiaan adalah ketika bisa membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh anak-anak didik tersebut. 3) Filosofi dan Hakikat Mendidik dan Anak Didik Mendidik adalah bukan sekadar bekerja dan menyampaikan materi pelajaran. Mendidik adalah membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berguna bagi dirinya sendiri, keluarga dan juga masyarakatnya. Anak didik adalah anak sendiri yang harus diperlakukan dengan penuh kasih sayang. Layaknya seorang ibu kepada anaknya sendiri, tanggung jawab guru tidak hanya di sekolah saja tetapi juga di luar sekolah. 4) Pendekatan dalam Proses Pembelajaran Proses pembelajaran adalah wahana untuk lebih dekat dan berbagi dengan anak didik. MM selalu mengawali pembelajaran dengan slogan “info sayang anak”. Maksudnya, karena sayang kepada anak didik, MM mengajak anak didiknya untuk mematikan HP atau men-silent-kannya pada saat belajar, mengajak anak didik untuk tetap fokus selalu berbuat baik karena kematian tidak ada yang tahu. MM selalu mengingatkan anak didik tentang kematian akan menjemput kapan saja dan di mana saja. Oleh sebab itu, sebagai orang yang akan mati, kita tidak boleh lengah untuk berbuat kebaikan. Hal tersebut dilakukannya hanya untuk menanamkan kepada anak didik agar mereka mampu mengontrol
Guru dan Budaya Pendidikan
diri ketika hendak berbuat hal-hal yang melanggar aturan agama, etika dan moral masyarakat. Awalnya anak didik merasa tidak nyaman ketika diingatkan tentang kematian, tetapi lama kelamaan mereka mengerti maksud dari pernyataan MM tersebut. Sebagai guru yang bukan di bidangnya, MM sering mengatakan bahwa mari kita sama-sama belajar. Ibu boleh jadi tidak lebih tahu dari kalian. Kata-kata tersebut biasanya menjadi bagian dalam proses pembelajaran di kelas maupun di luar kelas. 5) Sikap dan Pengalaman Terkait Isu-isu Budaya Pendidikan Beberapa sikap dan pengalaman yang terkait dengan isu-isu budaya pendidikan, antara lain: (1) sebagai guru biasa, kita hanya bisa berbuat yang terbaik untuk anak didik di sekolah dan di luar sekolah, (2) tidak setuju dengan upayaupaya untuk berbuat curang dalam ujian, jika didorong untuk berbuat demikian maka guru wajib untuk menolaknya, (3) selama pengalaman mengajar, MM mengaku tidak pernah mau diajak untuk membantu anak didik dalam ujian.
PENUTUP Hasil analisa data kuantitaif dan terutama data kualitatif sebenarnya belum mencapai titik jenuh sehingga belum mencapai keyakinan yang dapat ditetapkan sebagai kebenaran. Hasil satu kali wawancara dan satu kali observasi sangat tidak cukup untuk dijadikan acuan untuk mengambil kesimpulan akhir. Tetapi untuk kepentingan laporan sementara, hasil analisis data tersebut dapat dianggap mengarah pada kebenaran yang dicari. Oleh sebab itu, berdasarkan analsis data yang telah didapatkan, maka terdapat beberapa implikasi yang dapat dirumuskan, antara lain:
Implikasi dalam Pengembangan Kerangka Konseptual tentang Budaya Pendidikan Berbasis Bimbingan dan Konseling Ada satu hal utama yang menarik berdasarkan temuan penelitian ini bahwa kualitas guru merupakan faktor yang paling sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan. Subjek-subjek penelitian yang dipilih oleh siswanya sendiri adalah guru-guru yang memiliki prinsip-prinsip dan pandangan filosofis tentang hidup, kebahagiaan hidup, hakikat mendidik, dan hakikat anak didik yang sangat kuat dan mengakar pada spiritualitas keagamaan dan moral kemanusiaan. Jika dikatakan bahwa titik awal penyehatan kultur pendidikan harus dimulai dari pemulihan mindset dan pemaknaan pendidikan (Sunaryo Kartadinata, 2012: 13), maka adalah benar adannya. Guru-guru yang dianggap oleh siswa memiliki kemampuan komunikasi interpersonal dan mampu mengembangkan proses interaksi berbasis bimbingan dan konseling adalah guru-guru yang memiliki paradigma atau worldview yang berpijak pada hakikat manusia dan pendidikan di atas landasan keimanan, karakter, dan kecerdasan sebagai kekuatan utuh. Berdasarkan hasil temuan, pemulihan atau terapi mindset, paradigm, atau worldview yang utuh tentang hakikat hidup, hakikat kebahagiaan, dan hakikat pendidikan yang efektif memerlukan intervensi kekuatan kepemimpinan. Transformasi menuju budaya pendidikan yang sehat dan menguntungkan kehidupan bangsa, memerlukan pemimpin yang memiliki kekuatan untuk berubah ke arah yang lebih baik. Meminjam istilah Tony Wagner, et.al (2006), transformasi sekolah (pendidikan dalam arti luas, pen) membutuhkan kepemimpinan untuk suatu perubahan (change leadership). Tanpa itu, niscaya transformasi yang diharapkan tidak akan memiliki kekuatan yang massive dan hanya aka nada dalam bentuk parsial, terpecah, dan lemah.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
47
Daris Tamin
dan hanya aka nada dalam bentuk parsial, terpecah, dan lemah. Kekuatan change leadership setidaknya dapat dimulai dari setiap pribadi guru. Sebab, pada hakikatnya setiap orang adalah pemimpin dan dia bertanggug jawab atas yang dipimpinnnya. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Kullukum raa’in wa kullukum mas-uulun ‘an ra’iyyatihi [setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan diminta pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya].” Pertanggung jawaban yang dimaksud tidak sekadar tanggung jawab di dunia saja, tetapi tanggung jawab terbesar adalah nanti pada kehidupan abadi, yaitu di akhirat. Guru adalah pemimpin bagi murid-muridnya. Ia bertanggung jawab atas murid-murid yang dipimpinnya. Dan, tanggung jawab itu tidak hanya di dunia saja tetapi juga di akhirat. Persoalan paling berat dalam menyehatkan budaya pendidikan ternyata berakar pada persoalan akidah (keimanan dan keyakinan) kepada kehendak dan hukum-hukum Tuhan, Allah Yang Mahakuasa. Lemahnya keyakinan terhadap kehendak dan hukum-hukum Tuhan untuk kehidupan manusia menjadi sentra kelemahan untuk merasa bahwa tanggung jawab itu tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Oleh sebab itu, demi transformasi menuju budaya pendidikan yang sehat perlu dikampanyekan dan mulai dengan tindakan nyata dalam bentuk-bentuk tindakan guru yang bertanggung jawab kepada siswanya, amanah, berani membela kebenaran, berani berkorban, dan tidak takut miskin. Sebab, ketakutan menjadi miskin akan mendorong seorang manusia, termasuk guru untuk mengabaikan idealisme yang dianutnya dalam kehidupan termasuk dalam mendidik.
48 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Implikasi dalam Pengembangan Kompetensi Konselor Pendidik Temuan hasil penelitian berimplikasi pada pentingnya pengembangan kompetensi konselor secara khusus dan kaitannya dengan penyehatan budaya pendidikan. Sebagai pengampu salah satu inti pendidikan, yaitu bimbingan dan konseling, konselor jangan sekadar merasa cukup memenuhi standar kompetensi dalam angka-angka atau konsep-konsep. Tetapi, harus mulai menjadi model bagi guru-guru mata pelajaran dan tenaga kependidikan sebagai pengusung utama penyehatan budaya pendidikan. Hasil temuan membuktikan bahwa guru-guru yang diapresiasi memiliki kemampuan komunikasi interpersonal dan berbasis bimbingan dan konseling dalam proses pembalajaran adalah guru-guru yang memiliki cara pandang yang utuh tentang hakikat hidup, hakikat kebahagiaan, hakikat mendidik di atas landasan kekuatan spiritual keagamaan. Oleh sebab itu, konselor yang hakikatnya berada pada basis bimbingan dan konseling yang sebanarnya, seharusnya menjadi pihak yang pertama berada barisan terdepan dalam penyehatan budaya pendidikan. Implikasi dalam Pendekatan dan Teknik Konseling Temuan hasil penelitian sebenarnya me- nguatkan sesuatu melebihi berbagai pendekatan dan teknik konseling, yaitu perilaku konselor. ASCA (2003: 27) menegaskan bahwa pernyataan terpenting (an important point) bahwa, “What we believe about students, families, teachers and the educational process is crucial, in supporting success for every student. Our beliefs are derived from our own background and experiences, and our beliefs drive our behavior.” Jadi, hal terpenting dalam masalah pendidikan adalah keyakinan yang muncul dari pengalaman dan perilaku konselor.
Guru dan Budaya Pendidikan
Oleh sebab itu, kontrol perilaku dalam arti keteladanan dalam proses pendidikan menjadi bagian yang harus selalu ada dan menjadi ruh setiap dari pendekatan dan teknik konseling. Perilaku konselor akan selalu dikaitkan dengan interaksi sosial di lingkungannya. Setiap perilaku berpotensi untuk ditransformasi menjadi budaya jika hal itu berlaku secara masif. Dalam kaitannya dengan budaya pendidikan, keteladanan konselor menjadi sangat penting sebagai ruh dari pendekatan dan teknik konseling.
DAFTAR PUSTAKA Ahman (1998). Bimbingan Perkembangan: Model Bimbingan dan Konseling di Sekolah (Studi Ke Arah Penemuan Model Bimbingan pada Beberapa Sekolah Dasar di Jawa Barat). Disertasi, Universitas Pendidikan Indonesia. Beckermen & Kopelowitz – Ed. (2008). Cultural Education – Cultural Sustainability: Minority, Diaspora, Indigenous and Ethno-Religious Group in Multicultural Societies. New York: Routledge. Bruner, Jerome. (1996). [online]. Tersedia: (http://www.scottlondon.com/reviews/ bruner.html [29 Februari 2012]. Constantine & Sue. (2005). Strategies for Building Multicultural Competence in Mental Health and Educational Seettings. Daud, Wan Mohd Nor (1998). The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas: An Exposition of The Original Concept of Islamization. Kuala Lumpur: ISTAC. Dunn & Griggs (1995). Multiculturalism and Learning Style: Teaching and Counseling Adolescents. London: Greenwood Publishing Group.
El Hariri, Ridwan. Dampak Sertifikasi Terhadap Kinerja Guru Di Jawa Barat [online]. Tersedia: http://penelitian.lppm. upi.edu/detil/1229/dampak-sertifikasiterhadap kinerja-guru-di-jawa-barat. [1 April 2012]. Faizal, Elly Burhaini. (2011), Gelar Akademik Palsu. [online]. Tersedia: http://kliping. kemenag.go.id/downloads/b3c748ea8497b76100296295b439c6d8.pdf. [1 April 2012]. Husaini, Adian. (2010). Pendidikan: Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab. Makalah pada Seminar Pendidikan Karakter di UPI, 28 Juli 2010. Kartadinata, S (2012). Penyehatan Kultur Pendidikan. Bandung: UPI Press. Kartadinata, S. (2011). Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling sebagai Upaya Pedagogis: Kiat Mendidik sebagai Landasan Profesional Tindakan Konselor. Bandung: UPI Press. London, Scott. (2012). Review of Bruner Book. [online]. Tersedia: http://www. scottlondon.com/reviews/bruner.html [29 Februari 2012). Matsumoto & Juang (2008). Culture and Psychology. Belmont CA: Thomson Wadsworth. Natawidjaja, Rochman (1984). Tingkat Penerapan Bimbingan dalam Proses BelajarMengajar Dihubungkan dengan Kepedulian Guru dan Sikap Siswa terhadap Bimbingan. Disertasi: Universitas Pendidikan Indonesia. Noor, Mauliana. (2011), Polisi Usut Jual Beli Ijazah. [online]. Tersedia: http://medan.tribunnews.com/2011/11/04/polisiusut-jual-beli-ijazah-s1. [1 April 2012]. Rotenberg, K.J (2010). Interpersonal Trust During Childhood and Adolescence. Cambridge: Cambridge Press.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
49
Daris Tamin
Solikin, Ikin (2010). Pengaruh Sertifikasi Guru Terhadap Kinerja Guru dan Implikasinya Terhadap Prestasi Belajar Siswa Pada SMK Negeri di Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. [online]. Tersedia: Http://Penelitian.Lppm.Upi. Edu/Detil/1229/Dampak-Sertifikasi-TerhadapKinerja-Guru-di-jawa-barat. [1 April 2012]. Spradley, J.P. (1980). Partisipant Observation. Chicago: Reinhart and Winston. Supriyoko, Ki. (2003). Sistem Pendidikan Nasional dan Peran Budaya dalam Pembangunan Berkelanjutan. Makalah pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII di Denpasar Bali, 14-18 Juli 2003. Sue & Sue. (2003). Counseling the Culturally Diverse. New York: John Wiley & Sons. Zajda, et.al – Ed. (2008). Education and Social Inequality in the Global Culture. [online]. Tersedia: www.springer.com. [1 April 2012]. Wagner, Tony. Et.al (2006). Change Leadership: A Practical Guide to Transforming Our Schools. San Fransisco: Jossey-Bass. Berita Tanpa Nama Penulis: Jawa Pos (2011). SBY Kritik Guru Lulus Sertifikasi. [online]. Tersedia: http://www. jpnn.com/read/2011/12/01/109706/ SBY-Kritik-Guru-LulusSertifikasi-. [1 Desember 2011].
50 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
SCTV (2011). Joki SNMPTN Aceh Diringkus. [online]. Tersedia: http://berita.liputan6. com/read/337245/joki-snmptn-aceh-diringkus. [1 April 2012]. Okezone (2011). Joki SNMPTN Ketangkap Basah Pengawas Unhas. [online]. Tersedia: http://kampus.okezone.com/ read/2011/06/01/373/463520/joki-snmptnketangkap-basah-pengawas-unhas. [1 April 2012]. Suara Merdeka (2011). Terungkap Dua Terduga Joki SNMPTN UNS. [online]. Tersedia: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/05/01/84439. [1 April 2012]. Nasional Kontan (2011). Cukai Tembakau Tidak Sebanding dengan Kerugian Akibat Rokok. [online]. Tersedia: http:// nasional.kontan.co.id/news/cukai -tembakau-tidaksebanding-dengan-kerugian-akibat-rokok Penulis: Daris Tamin, S.Pd., M.Pd. Dosen STAIPI Garut, lulusan S1 dan S2 pada Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Saat ini sedang menyelesaikan S3 di Sekolah Pascasarjana UPI Bandung pada program studi yang sama.
PROSES PEMBELAJARAN PKN MELALUI PEMANFAATAN INTERNET DALAM PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA: STUDI DI MADRASAH ALIYAH AN-NIZHOMIYYAH LABUAN KAB. PANDEGLANG Eko Supriatno Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui tentang formulasi pembelajaran (perencanaan pembelajaran PKn yang optimal) dalam meningkatkan hasil belajar siswa melalui pemanfaatan internet.; (2) Untuk mengetahui implementasi pembelajaran (pelaksanakan pembelajaran PKn yang optimal) dalam meningkatkan hasil belajar siswa melalui pemanfaatan internet; (3) Untuk mengetahui evaluasi (kemajuan hasil belajar siswa) melalui pemanfaatan internet. Hal ini dapat dipahami dengan memperhatikan beberapa prinsip formulasi, implementasi dan evaluasi dalam proses pembelajaran, menurut Suyatno (2009) yaitu: (a) pembelajaran, bukan pengajaran; (b) guru sebagai fasilitator, bukan instruktur; (c) siswa sebagai subjek, bukan objek; (d) multimedia, bukan monomedia; (e) sentuhan manusiawi, bukan hewani; (f) pembelajaran induktif, bukan deduktif; (g) materi bermakna bagi siswa, bukan sekadar dihafal; (h) keterlibatan siswa partisipasif, bukan pasif. Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan kondisi secara apa adanya dan tidak melakukan hipotesis. Tidak ada perlakuan yang diberikan atau dikendalikan. Dalam penelitian ini secara garis besar peneliti mengenal adanya empat komponen penting yaitu pengembangan plan, act, observe, dan reflect (PAOR) yang dilakukan secara intensif dan sistematis dari seseorang yang mengerjakan pekerjaan sehari-hari. Berdasarkan hasil penelitian bahwa hasil belajar siswa mengalami peningkatan, setelah guru memakai proses pembelajaran melalui pemanfaatan internet. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi dan analisis isi dokumen. Peningkatan hasil belajar siswa tersebut dapat terlihat dari nilai rata-rata tes yang diperoleh siswa dari mulai tindakan pertama (siklus ke 1) sampai dengan tindakan ketiga (siklus 3) yang selalu mengalami peningkatan. Diharapkan pemanfaatan internet memperkaya ilmu pengetahuan siswa karena ilmu pengetahuan bukan saja didapatkan dari guru disekolah dan juga buku pelajaran tetapi juga internet sebagai bagian dari proses pembelajaran. Kata kunci: Proses Pembelajaran PKn, Pemanfaatan Internet, Hasil Belajar
PENDAHULUAN Pelaksanaan pendidikan pada umumnya bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi yang ada pada diri peserta didik, baik potensi dalam aspek kognitif aspek afektif, maupun aspek psikomotor. Perubahan paradigma pendidikan dari sentralisasi ke desentralisasi tidak serta merta membawa dampak yang signifikan terhadap peningkatan mutu pendidikan di negara tercinta ini. Untuk mengangkat citra bangsa mengenai mutu pendidikan, diperlukan peran dan tanggung jawab guru dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran yang terjadi di kelas. Peningkatan kualitas pembelajaran merupakan
tugas pokok bagi para pengelola pendidikan ditingkat satuan pendidikan, dengan kata lain, kualitas proses belajar mengajar adalah determinasi dari peningkatan mutu pendidikan. Bila terjadi penurunan mutu pendidikan, yang pertama diamati dan dianalisis adalah proses belajar mengajar yang terjadi di dalam kelas yang dilaksanakan oleh guru. Berdasarkan fakta yang peneliti lihat di lapangan bahwa, pembelajaran PKn yang selama ini dilaksanakan masih menggunakan pola lama, yaitu guru memberikan catatan kemudian, anak menulis, dan guru menjelaskan. Pola-pola seperti ini sesungguhnya tidak sesuai lagi dengan tuntutan kurikulum yang harus membelajarkan siswa.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
51
Eko Supriatno
Dari analisis terhadap perkembangan pembelajaran pendidikan kewarganegaraan di Indonesia sampai dengan saat ini, dapat dikatakan bahwa baik dalam tataran konseptual maupun dalam tataran praksis terdapat kelemahan paradigmatik yang sangat mendasar. Paling menonjol adalah kelemahan dalam konseptualisasi pendidikan kewarganegaraan, penekanan yang sangat berlebihan terhadap proses pendidikan moral yang behavoristik, ketakkonsistenan penjabaran dimensi tujuan pendidikan nasional kedalam kurikulum pendidikan kewarganegaraan, dan keterisolasian proses pembelajaran nilai Pancasila dengan konteks disiplin keilmuan dan sosial-budaya. Keadaan ini tampaknya disadari oleh para pakar dan pengambil keputusan pendidikan sebagai suatu tantangan yang perlu segera dijawab. Lebih-lebih lagi karena pada saat ini berbagai perubahan dalam koridor pendemokratisasian pendidikan, termasuk gagasan untuk mengembangkan paradigma baru pendidikan demokrasi mulai mengkristal, seperti yang dipikirkan oleh Tim Peduli Reformasi Pendidikan (1999 : 90) yang melihat betapa pentingnya upaya pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa, alih generasi, dan pemberdayaan generasi muda untuk masa depan. Keadaan itu menuntut upaya pengembangan paradigma baru pembelajaran pendidikan kewarganegaraan. Sebagai seorang yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan proses pembelajaran, sudah barang tentu guru harus senantiasa meningkatkan kompetensinya, baik yang berkaitan dengan subtansi materi yang diajarkan maupun pada berbagai hal yang berkenaan dengan cara mengajarkan materi tersebut. Sejalan dengan telah terjadinya perubahan paradigma konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan beraegara Indonesia sesuai dengan UUD 1945, telah diundangkan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menggantikan Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas. Khusus berkenaan dengan pendidikan kewarganegaraan, di dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tersebut ditegaskan bahwa materi kajian pendidikan kewarganegaraan wajib termuat baik dalam
52 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
kurikulum pendidikan dasar dan menengah maupun kurikulum pendidikan tinggi (Pasal 37). Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. (BSNP, 2006) Keberhasilan memilih pendekatan, strategi, dan metode pembelajaran merupakan suatu altematif bagi guru untuk meningkatkan kemampuannya dalam menyelenggarakan pembelajaran. Pada akhimya kualitas penyelenggaraan pembelajaran di kelas akan diukur dari perolehan hasil belajar yang didapat oleh siswa. Salah satu upaya untuk mengoptimalkan hasil belajar siswa, dimungkinkan dengan cara memaksimalkan siswa dalam kegiatan pembelajaran dengan menempatkan mereka sebagai subjek belajar. Pembelajaran yang optimal adalah pembelajaran yang mampu melibatkan semua komponen pembelajar untuk terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Supaya pembelajaran PKn menarik dan menantang perlu diterapkan proses pembelajaran dan penilaian yang menantang dalam rangka mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Untuk mendukung pembelajaran yang menarik dan menantang, maka hendaknya guru menggunakan berbagai metoda, media, dan sumber serta penilaian yang menjadikan guru dan siswa dapat memiliki kemampuan berpikir kritis yang akhirnya melahirkan proses membelajarkan dan memberdayakan seluruh potensi diri siswa dan kehidupannya. Dari gambaran di atas sangat jelas bahwa dalam pembelajaran PKn guru hendaknya mengetahui dan memahami struktur potensi diri siswa agar pola pengajaran yang kita rencanakan tepat arah dan sasarannya (substansil maupun prosedural serta target potensial dirinya). Pembelajaran PKn yang secara paradigmatik sarat dengan muatan afektif namun dilaksanakan secara keliru, karena kenyataannya PKn lebih berorientasi pada tataran kognitif.
Proses Pembelajaran PKn
Berdasarkan hal itu, maka perlu dilakukan pengkajian secara menyeluruh terhadap masalah-masalah mendasar sehingga pembelajaran PKn dapat diberdayakan menjadi “subjek pembelajaran yang kuat: (powerful learning area). yang secara kurikuler ditandai oleh pengalaman belajar secara kontekstual dengan ciri-ciri bermakna (meaningful), terintegrasi (integrated), berbasis nilai (value-based) ,menantang (chalenging),dan mengaktifkan (activating). Melalui pengalaman belajar semacam itulah para siswa difasilitasi untuk dapat membangun pengetahuan, sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang demokratis dalam koridor psikopedagogis-konstruktif. Khusus mengenai Guru PKn sebagai salah satu komponen pembelajaran, akan turut memberikan kontribusi terhadap hasil belajar siswa. Sebagai sebuah pelajaran yang wajib diikuti oleh setiap siswa SMA/ MA. PKn menempati posisi penting dalam pembentukan sikap dan keperibadian siswa, baik dalam kehidupan di rumah, maupun dalam kehidupan nyata di masyarakat. Fungsi lainnya adalah memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa, kesadaran berbangsa dan bemegara, taat azas, taat hukum dan kompetsasi normatif lainnya. Untuk mencapai hal tersebut, seorang guru PKn dituntut untuk memiliki formulasi, implementasi dan evaluasi dalam proses pembelajaran. Tugas guru bukan hanya mengajar dan menstransfer pengetahuan yang dimilikinya, tetapi juga sebagai pembimbing hendaknya dapat mengarahkan siswa untuk mengakses informasi bersifat mendidik dan berguna tentunya, bukan akses informasi yang dapat menyesatkan seperti halnya pornografi, game online dan Iain-lain. Realitas empirik selama ini di tingkat persekolahan memperlihatkan, dalam proses pembelajaran PKn, guru PKn kurang optimal baik di dalam memanfaatkan maupun memberdayakan sumber pembelajaran, karena dalam proses pembelajaran PKn cenderung masih berpusat pada guru (teacher centered), textbook centered, dan monomedia. Oleh sebab itu, tidak dapat dipersalahkan apabila
banvak siswa mengganggap proses pembelajaran PKn sebagai sesuatu yang membosankan, monoton, kurang menyenangkan, terlalu banvak hafalan, kurang variatif, dan berbagai keluhan lainnya. Padahal pendidikan PKn merupakan bagian dari ilmu sosial yang sifatnya dinamis, karena konsep, generalisasi, dan temuantemuan penelitian ditentukan atau diobservasi setelah fakta terjadi. Informasi faktual tentang kehidupan sosial atau masalah-masalah kontemporer yang terjadi di masyarakat dapat ditemukan dalam liputan media massa, karena media massa diyakini dapat menggambarkan realitas sosial dalam berbagai aspek kehidupan. Meskipun untuk itu. informasi atau pesan yang ditampilkannya sebagaimana dapat dibaca di surat kabar atau majalah. didengarkan di radio, dilihat di televisi atau internet telah melalui suatu saringan dan seleksi dari pengelola media itu untuk berbagai kepentingannya, misalnya : untuk kepentingan bisnis atau ekonomi, kekuasaan atau politik, pembentukan opini publik, hiburan hingga pendidikan. Sementara itu, seiring dengan pesatnya perkembangan media informasi dan komunikasi, baik perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software) akan membawa perubahan bergesernya peranan guru. Termasuk guru PKn sebagai penyampai pesan atau informasi. la tidak bisa lagi berperan sebagai satu-satunya sumber informasi bagi kegiatan pembelajaran para siswanya. Siswa dapat memperoleh informasi dari berbagai sumber terutama dari media massa, siaran televisi dan radio (media elektronik), surat kabar dan majalah (media cetak), komputer pribadi, atau bahkan dari internet. Kenyataan di lapangan, guru dalam melaksanakan kegiatan proses pembelajaran kurang memperhatikan pemanfaatan – pemanfatan sumber belajar dalam hal ini pemanfaatan internet, dan juga sehingga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa khususnya pada pembelajaran bidang studi PKn.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
53
Eko Supriatno
Karena “ranah” Proses Pembelajaran PKn melalui Pemanfaatan Internet dalam Peningkatan Hasil Belajar Siswa terdiri dari beberapa hal, maka penelitian ini akan dibatasi kepada formulasi, implementasi dan aplikasi proses pembelajaran melalui pemanfaatan internet dan juga yang berkenaan dengan pengelolaan pembelajaran berupa strategi pembelajaran dan hasil belajar siswa. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian penting dilakukan untuk mengetahui: (1) formulasi (Perencanaan Pembelajaran) yang mampu dibuat oleh guru PKn melalui pemanfaatan internet sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas X-1 MA ; (2) implementasi (Pelaksanaan Pembelajaran) pada pembelajaran PKn yang mampu dilaksanakan oleh guru melalui pemanfaatan internet sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas X-1 MA ; dan (3) evaluasi (Hasil Belajar Siswa) pada pembelajaran PKn setelah guru melakukan Formulasi dan Implementasi melalui pemanfaatan internet sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas X-1 MA. Tujuan Penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut: (2) Untuk mengetahui tentang formulasi pembelajaran (perencanaan pembelajaran PKn yang optimal) dalam meningkatkan hasil belajar siswa melalui pemanfaatan internet. (2) Untuk mengetahui implementasi pembelajaran (pelaksanakan pembelajaran PKn yang optimal) dalam meningkatkan hasil belajar siswa melalui pemanfaatan internet ; (3) Untuk mengetahui evaluasi (kemajuan hasil belajar siswa) melalui pemanfaatan internet. Penelitian ini diharapkan memberi manfaat : (1) secara dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan pemanfaatan internet yang dilakukan guru pendidikan kewarganegaraan (PKn), baik bagi guru PKn yang ada di tempat Penulis mengadakan penelitian, maupun seluruh guru PKn pada umumnya; (2) Secara praktis dapat menemukan satu kesamaan pandangan, kesamaan tindakan dan kesamaan pelayanan dari guru PKn, dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa melalui pemanfaatan internet.
54 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
KAJIAN PUSTAKA Proses Pembelajaran PKn Proses Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan proses pembelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio kultural, bahasa. usia dan suku bangsa untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas. terampil dan berkarakter, yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 (Depdiknas 2003:7). Dalam Undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 dinyatakan bahwa : “Pendidikan Kewarganegaraan wajib dimuat dalam kurikulum pedidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi”. Hal ini berarti bahwa pendidikan kewarganegaran diberbagai jenjang pendidikan harus tetap ditingkatkan dan dikembangkan untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan mewujudkan warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.” Dengan demikian melalui pembelajaran PKn atau Civic Education diharapkan mampu melahirkan warga negara yang baik. Dari makna yang universal tersebut, maka kita akan mudah memaknai PKn yang khas Indonesia, yang sekarang diberi label dengan nama Pendidikan Kewarganegaraan, dimana jati diri masyarakat adalah Pancasila sebagai landasan nilai normanya. Menurut Somantri (2000:159) memberikan batasan terhadap pembelajaran pendidikan kewarganegaraan, yang menyatakan bahwa : “Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah seleksi dan adaptasi dari lintas disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu Kewarganegaraan, humaniora dan kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk mencapai salah satu tujuan IPS.
Proses Pembelajaran PKn
Dalam mengembangkan konsep-konsep pembelajaran pendidikan kewarganegaraan yang baru tersebut didasari oleh adanya pengaruh dari dalam dan luar sistem politik sebuah negara seperti juga halnya dengan Indonesia akan berpengaruh terhadap penyiapan individu warga negara,secara singkat diuraikan oleh Wahab (2009:63), adalah hal-hal yang dianggap berpengaruh itu diantaranya: (1) Gagalnya penerapan konsep pembelajaran pendidikan kewarganegaraan yang lalu, sebagai akibat dari penekanan pada kebenaran yang bersifat monovision atau jika itu dilakukan hanya bersifat semu; (2) Terjadinya perubahan sistem politik yang lebih mengarah pada upaya reformasi diberbegai bidang kehidupan baik sosial dan budaya, politik itu sendiri, ekonomi dan hukum yang meliputi sistem pendidikan umumnya dan pendidikan kewarganegaraan khususnya; (3) Perubahan pada atribut warga negara yang oleh Cogan (1998:2-3) dikelompokan kedalam lima kategori seperti berikut; (a) a sense of identity. (b) the enjoyment of certain right. (c) the fulfillment of corresponding obligation. (d) a degree of interest and involvement infublicaffairs.and. (e) an acceptance of basic societal values. Cogan (1998;2-3); (4) Pengaruh kecenderungan global yang bersifat umum; (5) Kecenderungan global pendidikan kewarganegaraan untuk demokrasi. Manfaat Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Secara umum pembelajaran pendidikan kewarganegaraan bertujuan untuk mengembangkan potensi individu warga negara Indonesia, yang memiliki wawasan, disposisi, serta keterampilan intelektual dan sosial kewarganegaraan yang memadai, yang memungkinkan untuk berpartisipasi secara cerdas dan bertanggung jawab dalam berbagai dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan dunia. Selain memiliki tujuan, pembelajaran PKn memiliki fungsi sebagai wahana
untuk membentuk warga negara yang cerdas terampil dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara dengan mereflesikan dirinya dalam kebiasaan berfikir dan bertindak sesuai dengan amanat pancasila dan UUD 45. Depdiknas (2003:5) Dengan demikian pembelajaran PKn diharapkan dapat mewujudkan warga negara yang baik (good citizenship) yang salah satu perwujudannya adalah membentuk karakter bangsa yang sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan visi dan misi pembelajaran PKn adalah perwujudan suatu pembelajaran yang berasumsi sebagai sarana pembinaan watak bangsa. Sedangkan misinya adalah warga negara yang baik, yakni warga negara yang memiliki kesadaran politik, kesadaran hukum dan kesadaran moral. Untuk mencapai visi dan misi tersebut, pembelajaran PKn di sekolah menengah pertama (SMP), berdasarkan kurikulum 2004 , Depdiknas (2003: 5) bahwa : “secara garis besar mata pelajaran kewarganegaraan di SMA/MA harus memuat beberapa dimensi, antara lain: (1) Dimensi pengetahuan kewarganegaraan (civics knowledge), yang mencakup bidang politik. hukum dan moral, secara terperinsi. Materi pengetahuan kewarganegaraan meliputi pengetahuan tentang prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintahan dan non pemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasarkan hukum (rule of law), dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi. sejarah nasional, hak dan kewajiban warga negara, hak asasi manusia, hak sipil dan hak politik. (2) Dimensi keterampilan kewarganegaraan (civics skills), mencakup antara lain keterampilan partisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara misalnya: berperan secara aktif mewujudkan masyarakat madani (civil society), keterampilan mempengaruhi jamnya pemerintahan, dan proses pengambilan
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
55
Eko Supriatno
keputusan politik, keterampilan memecahkan masalah, kerjasama, dan keterampilan mengolah konflik. (3) Dimensi nilai-nilai kewarganegaraan (civics values), mencakup antara Iain percaya diri, keadilan, demokratis, toleransi, kebebasan individu, kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, dan pelindungan terhadap minoritas. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia. Kesadaran dan wawasan termasuk wawasan kebangsaan, jiwa dan patriotisme bela negara, penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak, dan sikap serta perilaku anti korupsi, kolusi dan nepotisme. Secara umum, sebagaimana pelajaran lainnya, mata pelajaran lainnya, mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan ditunjukan agar peserta didik menjadi warga negara yang baik. Serta senantiasa komitmen menjaga keutuhan negara Indonesia ini dalam kerangka negara Republik Indonesia. Tujuan Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: (1) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan; (2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti korupsi; (3) Berkembang secara positif dan demokrasi
56 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya; (4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Karakteristik Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Kelompok pembelajaran kewarganegaraan dan kepribadian pada satuan pendidikan dasar dan menengah merupakan kelompok pembelajaran yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia. Pembelajaran PPKn di SD bertujuan untuk menanamkan sikap pada pErilaku alam kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada nilai-nilai pancasila baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat, dan memberikan bekal kemampuan untuk mengikuti pendidikan di SLTP. Depdiknas (2003 : 11). Sementara itu di SLTP, pembelajaran PPKn bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan memahami dan menghayati nilai-nilai pancasila dalam rangka pembentukan sikap dan prilaku sebagai pribadi, anggota masyarakat dan warga negara yang bertanggung jawab serta memberi bekal kemampuan untuk mengikuti pendidikan di jenjang pendidikan menengah. Depdiknas (2003 :12). Sedangkan di SMU, pembelajaran PPKn bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan kemampuan memahami menghayati, dan meyakini nilai-nilai pancasila sebagai pedoman berprilaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan dapat diandalkan, dan memberi bekal kemampuan untuk belajar lebih lanjut. Depdiknas (2003 :12).
Proses Pembelajaran PKn
Standar Kompetensi Pembelajaran PKn Implementasi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu : standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidik. Dalam dokumen ini dibahas standar isi sebagaimana dimaksud oleh Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005. yang secara keseluruhan mencakup: (1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum yang merupakan pedoman dalam penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan; (2) Beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan dasar dan menengah;(3) Kurikulum tingkat satuan pendidikan yang akan dikembangkan oleh satuan pendidikan berdasarkan panduan penyusunan kurikulum sebagai bagian tidak terpisahkan dari standar isi, dan (4) Kalender pendidikan untuk penyelengggaraan pendidikan pada satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah. Kerangka Psiko-pedagogik Pembelajaran Civic Education di Sekolah Jika dianalisis lebih cermat dan mendalam, pendidikan nilai memiliki dimensi pedagogis praktis yang jauh lebih kompleks daripada dimensi teoritisnya karena terkait pada konteks sosial-kultural, dimana pendidikan nilai itu dilaksanakan. Seperti yang dikemukakan oleh Lickona (1992, 12-22) di Amerika dirasakan telah terjadinya penurunan kualitas moralitas di kalangan pernuda termasuk yang juga kaum terdidik. Dari hasil berbagai survey dilaporkan sebagai berikut: (1) 41% Mengendarai
mobil dalam keadaan mabuk atau dalam pengaruh narkoba; (2) 33% menipu teman baiknya mengenai hal yang penting; (3) 38% berbohong dalam melaporkan pajak pendapatan; (4) 45% termasuk di dalamnya 49% suami dan 44% istri berselingkuh; (5) Data tersebut melukiskan bahwa dalam masyarakat barat, yang secara ekonomi termasuk masyarakat modern berbasis industri, terdapat berbagai persoalan moral yang dirasakan perlu mendapat perhatian pendidikan nilai. Dilihat dari substansi dan prosesnya, menurut Lickona (1992 : 53-63) yang perlu dikembangkan dalam rangka pendidikan nilai tersebut adalah nilai karakter yang baik (good character) yang didalamnya mengandung tiga dimensi nilai moral sebagai berikut: (1) Wawasan moral (Moral Knowing) yang mencakup: (a)Kesadaran moral (Moral awarencess). (b) Wawasan nilai moral (Knowing moral values). (c) Kemampuan mengambil pandangan orang lain (Perspective taking). (d) Penalaran moral (Moral reasoning). (e) Mengambil keputusan (Decision-making). dan (f) Pemahaman diri sendiri (Self-knowledge); (2) Perasaan Moral (Moral Feeling) yang mencakup: (a) Kata hati atau nurani (Conscience). (b) Harapan diri sendiri (Self-esteem). (b) Merasakan diri orang lain (Loving the good). (c) Cinta keindahan (Loving the good). (d) Kontrol Semesta (Self control). (e) Toleransi (Competence). (f) Cinta kebaikan (Loving the good). (g) Kontrol diri (Self control). (h) Merasakan diri sendiri (Competence); (3) Perilaku Moral (Moral action) yang mencakup: (a) Kompetensi (Competence). (b) Kemauan (Will). (c) Kebiasaan (Habit). Ketiga domain moralitas tersebut satu dengan yang lainnya memiliki keterkaitan substantif dan fungsional. Artinya adalah bahwa wawasan, perasaan atau sikap, dan prilaku moral merupakan tiga hal yang secara psikologis bersinergi. Contohnya, seseorang yang mengambil keputusan untuk mengeluarkan zakat atau memberi sumbangan seyogyanya dilandasi oleh perasaan keikhlasan yang diwujudkan dalam kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
57
Eko Supriatno
Kerangka Operasional Metodologik Secara diagramatik kerangka operasional-metodologik pendidikan nilai yang berpijak pada kerangka teori perkembangan nilai-moral dan merujuk pada upaya pencapaian semua aspek yang terkandung dalam merujuk pada upaya pencapaian semua aspek yang terkandung dalam tujuan pendidikan nasional. Merujuk pada tujuan pendidikan nasional yang sangat sarana dengan nilai. yakni “...beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak muiia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab,” (UU Sisdiknas No.20 tahun 2003), perlu dikembangkan berbagai model pembelajaran nilai yang berpijak dan merujuk pada semua nilai sentral tersebut. Dalam rumusan tersebut ada delapan konsep nilai yang merupakan bagian integral dari sejumlah central values yakni beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai bentuk nilai aqidah keberagamaan, berakhlak mulia sebagai bentuk nilai sosial-kultural keberagamaan sehat. Sebagai bentuk nilai fisikal dan rohaniah, berilmu sebagai bentuk nilai kecerdasan substantif, cakap sebagai bentuk nilai kecerdasan. operasional, kreatif sebagai bentuk nilai kecerdasan inovatif, mandiri sebagai bentuk nilai personal-sosial, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab sebagai nilai personal sosial-politik. Modal operasional pembelajaran nilai yang perlu dikuasai oleh guru adalah yang terkait pada central values yang terkandung dalam atau menopang konsep nilai yang menjadi elemen dari tujuan pendidikan nasional tersebut. Ke delepan model operasional pembelajaran nilai sebagai berikut: (1) Model Pembelajaran Nilai Akidah keberagamaan beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (2) Model Pembelajaran Nilai sosial-kultural keberagamaan berakhlak mulia; (3) Model Pembelajaran Nilai Fiskal dan Rohani sehat; (4) Model Pembelajaran Nilai Kecerdasan substantif berilmu; (5) Model Pembelajaran Nilai Kecerdasan Operasional Cakap; (6) Model Pembelajaran
58 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Nilai Inovatif kreatif; (7) Model Pembelajaran Nilai Personal-sosial mandiri; dan (8) Model Pembelajaran Nilai sosial-politik menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Khusus mengenai Model Pembelajaran Nilai Personal Sosial politik menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, yang merupakan model utama dalam kehidupan yang berjiwakan nilai-nilai pancasila. Sumber Belajar Pembelajaran Civic Education Apabila bertitik tolak dari arti Civics yang merupakan cabang ilmu politik, maka unsur utama yang menjadi fokus pelajaran Civics pertama-pertama adalah demokrasi politiknya (Barnson, 1998 : 214) seperti (a) teori-teori tentang demokrasi politik, (b) konstitusi negara, (c) sistem politik, (d) partai politik, (e) pemilihan umum, (f) lembaga-lembaga pengambil keputusan, (g) presiden, lembaga yudikatif dan legislatif, (h) out put dari sistem demokrasi politik, (i) kemakmuran umum dan pertahanan negara, dan (j) perubahan sosial. Untuk program di sekolah, yakni pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), bahan-bahan tersebut masih terus disesuaikan atau diorganisasikan dengan tingkat kebutuhan siswa atau sering disebut dengan “basic human activities”, seperti: (a) membina rumah tangga, (b) keselamatan dan melindungi jiwa dan harta, (c) kesehatan, (d) cara-cara memperoleh pekerjaan, (e) menyatakan impuls estetika dan keagamaan, (f) komunikasi, (g) produksi dan distribusi, (h) rekreasi dan kegiatan sosial, (i) menciptakan alat-alat untuk kebutuhan hidup. Di kutip Wahab (2009:68). Apabila bahan untuk pembelajaran PKn memperhatikan “basic human activities” di samping demokrasi politik, maka hal itu kiranya akan memungkinkan para pendidik untuk menyusun kerangka acuan PKn yang terdiri atas: (a) formal content, (b) informal content, (c) respons siswa terhadap formal content dan informal content, dan (d) sintesis dari kebutuhan pribadi, masyarakat, dan kebutuhan negara (Wahab, 2009: 62).
Proses Pembelajaran PKn
Berdasarkan perkembangan mutakhir, dimana tujuan pembelajaran PKn (civic education) adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dari warga negara dalam kehidupan politik dan masyarakat baik pada tingkat lokal maupun nasional, maka partisipasi semacam itu memerlukan penguasaan sejumlah kompetensi kewarganegaraan. Dari sejumlah kompetensi yang diperlukan, yang tepenting adalah (1) terhadap pengetahuan dan pemahaman tertentu; (2) pengembangan kemampuan intelektual dan partisipatoris; (3) pengembangan karakter dan sikap mental tertentu; dan (4) komitmen yang benar terhadap nilai dan prinsip dasar demokrasi konstitusional. Sistem Penilaian pada Pembelajaran PKn di SMA/MA Penilaian untuk kelompok pembelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilaksanakan oleh pendidik dalam bentuk penilaian kelas (classroom assessment) dan oleh satuan pendidik untuk penentuan nilai akhir pada satuan pendidikan melalui ujian sekolah dan rapat dewan pendidik. Untuk mengetahui tingkat ketercapaian kompetensi lulusan, penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan melalui: (a) pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afektif dan kepribadian peserta didik; dan (b) ujian, ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik. (Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 64 ayat (3). Kajian tentang Internet Berbagai definisi dikemukakan oleh para ahli dan teknisi yang terlibat di dalam dunia internet, diantaranya Oetomo (2002:52), menyatakan bahwa internet adalah sebuah jaringan komputer yang sangat besar yang terdiri dari jaringan-jaringan kecil yang saling terhubung yang menjangkau seluruh dunia. Pengertian yang sama juga dikemukakan oleh Ramadhan (2005:1), mengatakan bahwa. “internet
merupakan sistem komunikasi yang mampu menghubungkan jaringan-jaringan komputer di seluruh dunia”. Sementara itu pengertian Internet menurut Heywood (1999:8) adalah sistem komputer umum. yang terhubung secara global dan menggunakan TCP/IP sebagai protokol pertukaran paket (packet: switching communication protocol). Internet merupakan jaringan global yang menghubungkan beribu bahkan berjuta jaringan komputer (local/wide area network) dan komputer pribadi (stand alone), yang memungkinkan setiap komputer yang terhubung kepadanya bisa melakukan komunikasi satu sama lain. Jaringan ini bukan merupakan suatu organisasi atau institusi, karena tak satu pihak pun yang mengatur dan memilikinya. Secara teknis internet sebagai suatu protokol (aturan/kesepakatan). karena untuk bisa saling berhubungan dan berkomunikasi setiap komputer harus menggunakan protokol standar yaitu TCP/IP (Transmission Control Protocol Internet Protocol) sebagai standar protokol yang disepakati bersama. Dengan kata lain meskipun suatu komputer terhubung ke dalam jaringan internet. Tetapi kalau tidak menggunakan standar komunikasi pengiriman dan penerimaan yang telah disepakati tersebut, tetap saja komputer tersebut tidak bisa melakukan komunikasi. Internet Untuk Pendidikan Dunia pendidikan pada saat ini bukan lagi berkonotasi pada memperoleh pengetahuan berasal dari satu sumber yaitu guru di sekolah tetapi lebih menekankan pada kemampuan siswa untuk aktif mencari informasi dan pengetahuan dari berbagai sumber seiring dengan pembahan kurikulum dalam pembelajaran di sekolah. Dunia internet memungkinkan perombakan total konsep-konsep pendidikan yang selama ini berlaku. Internet adalah teknologi yang memberikan landasan kuat bagi penciptaan lingkungan belajar yang kaya karena dapat menunjang pembelajaran suatu bidang studi dengan informasi-informasi yang terdapat diinternet. Keberadaan informasi yang up-todate merupakan esensi keberhasilan dunia pendidikan.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
59
Eko Supriatno
Diantara situs-situs yang mengkhususkan diri dalam bidang pendidikan tersebut ialah situs Sekolah 2000 yang merupakan suatu situs pendidikan yang terbesar yang tumbuh dari inisiatif APJII (Asosiasi Pengusaha Jaringan Internet Indonesia) yang kemudian mendapatkan dukungan dari Depdiknas dan pihak swasta lain seperti produsen komputer. Dengan dukungan Depdiknas tersebut kini Sekolah 2000 berhasil membentuk komunitas pendidikan yang memihki anggota 404 sekolah SLTP, SMU dan SMK negeri maupun swasta yang tersebar di 20 propinsi. Perkembangan teknologi komputer dan telekomunikasi telah memungkinkan pembangunan jaringan komputer internet yang murah dan terjangkau bagi dunia pendidikan. Di internet banyak sekali situs-situs yang dapat dikunjungi, sebagian bahkan dirancang secara seksama untuk memuaskan rasa ingin tahu siswa tentang berbagai hal didunia ini. Berbagai topik telah dipersiapkan dalam server tersebut untuk-dipilih oleh siswa-siswa yang tertarik akan berbagai hal di internet. Namun dalam pelaksanaannya masih ditemukan kesulitan-kesulitan dalam memperoleh informasi yang tepat, hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan siswa mengenai internet, tidak mengetahui website yang pas untuk mendapatkan informasi yang diinginkan, serta perbedaan perekonomian dari masing-masing siswa yang menyebabkan siswa kurang dalam mengakses internet. Pada awalnya internet beredar dari kalangan akademisi yang gemar mengirim e-mail/File. Sejumlah sarana pendidikan berbasis internet telah diciptakan, seperti e-book, e-magazine, e-library, dan sebagainya. Internet menawarkan berbagai manfaat dalam bidang pendidikan, antara lain: (1) Kemauan dan kecepatan dalam komunikasi, bahkan sekarang telah dimungkinkan menggunaikan peralatan berbasis multimedia dengan biaya yang relatif murah, sehingga dimungkinkan melangsungkan pendidikan atau komunikasi jarak jauh, baik antara peserta didik dan para pendidik maupun pada orang tua dimanapun berada. (2) Ketersediaan informasi yang up to date
60 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
telah mendorong motivasi untuk membaca dan mengikuti perkembangon ilmu pcngetahuan dan teknologi IPTEK yang terjadi di berbagai belahan dunia. (3) Adanya fasilitas untuk membentuk dan melangsungkan diskusi kelompok (newsgroup) sehungga mendorong peningkatan intensitas kajian IPTEK. (4) Melalui web pendidikan proses belajar dapat dilakukan secara dinamis, tidak tergantung waktu dan ruang pertemuan. Semua materi belajar dapat diperoleh dengan mudah pada situs-situs pendidikan yang tersedia. (5) Melalui email, konsultasi dapat dilakukan secara pribadi antara siswa dan guru ataupun rekan lainnya. Pemanfaatan Internet dan Sumber Belajar Pada umumnya sumber belajar diartikan secara sempit, yaitu berupa bahan tertulis berupa buku teks yang dipegang oleh guru, dosen, siswa dan mahasiswa. Pengertian tersebut menurut pcndapat penulis masih sangat sempit, karena sumber belajar bukan hanya terbatas pada bahan cetak ataupun sarana audiovisual yang membawa pesan, tetapi masih banyak jenis-jenis sumber lain yang belum tercakup. Menurut Slameto, dalam arti luas, sumber belajar (learning resources) adalah segala macam sumber yang ada diluar diri seseorang (peserta didik) dan yang memungkinkan (memudahkan) terjadinya proses belajar. Kalau kita ingat kembali pengalaman kita sejak SD hingga sekarang begitu banyak sumber sekarang ini, berbagai pengetahuan, keterampilan, sikap atau norma-norma tertentu dari lingkungan sekitar kita dari guru, dosen, teman sekelas, buku, laboratorium, perpustakaan, dan Iainlain. Di luar kelas (sekolah) kita banyak belajar pula dari orang tua saudara. teman, tetangga, tokoh masyarakat, buku, majalah. koran, radio, televisi, film atau dari pengalaman. peristiwa dan kejadian-kejadian tertentu. Menurut Slameto sumber belajar memiliki empat ciri pokok, yaitu: (1) Sumber belajar memiliki daya atau kekuatan yang dapat memberikan sesuatu yang kita perlukan dalam proses pembelajaran; (2) Sumber belajar dapat merubah tingkah laku
Proses Pembelajaran PKn
yang lebih sempurna, sesuai dengan tujuan; (3) Sumber belajar dapat dipergunakan secara sendiri-sendiri (terpisah), tetapi dapat juga dipergunakan secara kombinasi (gabungan); dan (4) Sumber belajar dapat dibedakan, menjadi dua, yaitu sumber belajar yang dirancang (by designed), dan sumber belajar yang tinggal pakai (by utilization). Menurut AECT (Association For Education Communication and Technology) dikemukakan bahwa sumber belajar adalah meliputi; pesan, manusia, material (media-software), peralatan (hardware), teknik (metode), dan lingkungan yang dipergunakan secara sendiri-sendiri maupun dikombinasikan untuk memfasilitasi terjadinya tindak belajar. Menurut Subagio, sumber belajar (resources) atau (resources learning) adalah satu set bahan atau situasi belajar yang dengan sengaja diciptakan agar siswa secara individual dapat belajar. Belajar dengan mengutamakan sumber belajar adalah sistem yang berorientasi pada siswa yang diatur untuk belajar individual sehingga memungkinkan keseluruhan kegiatan belajar dilakukan dengan menggunakan sumber belajar baik manusia maupun non-manusia dalam belajar yang diatur secara efektif. Sumber-sumber belajar dapat berasal dari berbagai bentuk. Misalnya orang juga dapat menjadi sumber belajar, yakni staf pengajar tersebut menyediakan diri mereka sebagai manusia sumber yang dapat tersedia setiap saat sehing
dalam cara-cara bertingkah laku berkat pengalaman dan latihan. Selanjutnya Sudjana (1990:22) mengemukakan bahwa “hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya”, kemudian Gagne dan Bloom (Nana Sudjana,1990:22), menyatakan bahwa hasil belajar dapat bersifat kognitif, afektif dan psikomotorik. Setelah memiliki kemampuan, diharapkan para lulusan atau output memiliki keahlian atau keterampilan tertentu yang dapat dipergunakan untuk memasuli dunia kerja/ dunia usaha. Secara rinci Bloom (Sudjana, 1990:22) menjalankan klasifikasi hasil belajar sebagai berikut: (1). Ranah kognitif yang berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yaitu: (a) pengetahuan atau ingatan; (b) Pemahaman;(c) aplikasi;(d) analisis; (e) sintesis; (f)evaluasi; (2). Ranah afektif yang berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yaitu : (a) penerimaan; (b) jawaban atau reaksi; (c) penilaian; (d) interaksi; (3). Ranah psikomotor yang berkenaan dengan: (a) hasil belajar keterampilan; (b) kemampuan bertindak.ga dapat memecabkan berbagai kesulitan siswa secara individual. Begitu juga tempat tertentu dapat dijadikan sumber belajar contohnya adalah laboratorium dan berbagai media instruksional yang dapat diartikan sebagai sumber belajar, misalnya buku, catatan berstruktur, kaset video, komputer dan Iainlain.
Pengertian Hasil belajar Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor dari dalam siswa itu sendiri dan faktor eksternal adalah yang datang dari luar diri siswa atau faktor lingkungan. Setelah melaksanakan proses belajar mengajar diharapkan terjadinya suatu perubahan tingkah laku pada diri siswa sebagai hasil dari kegiatan tersebut (Sudjana:2008:29). Hal tersebut sesuai dengan penyataan Hamalik (2008:36) yang mengemukakan bahwa belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan diri seseorang yang dinyatakan
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Siswa Hasil belajar dipengaruhi oleh banyak faktor. Namun secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar dikelompokan menjadi dua bagian besar yaitu faktor internal (dalam diri siswa) dan eksternal (diluar siswa), hal ini didukung oleh para pakar seperti (Sudjana, 2008:39) dan (Slameto, 2003:54) Secara lebih dijabarkan sebagai berikut: 1. Faktor Internal Faktor ini merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu sendiri. Faktor internal terdiri dari faktor biologis dan faktor psikologis.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
61
Eko Supriatno
(a). Faktor Biologis (Jasmaniah). Faktor biologis meliputi segala hal yang berhubungan dengan keadaan fisik atau jasmani individu yang bersangkutan; (b). Faktor Psikologis (Rohaniah). Faktor psikologis yang mempengaruhi hasil belajar ini meliputi segala hal yang berkaitan dengan kondisi mental seseorang. Kondisi mental yang dapat menunjang hasil belajar adalah kondisi mental yang mantap dan stabil. Kondisi mental yang mantap dan stabil ini tampak dalam bentuk sikap mental yang positif dalam menghadapi segala hal, terutama hal-hal yang berkaitan dalam proses belajar. 2. Faktor Eksternal Faktor eksternal merupakan faktor yang bersumber dari luar individu itu sendiri. Faktor eksternal meliputi faktor lingkungan keluarga, faktor lingkungan sekolah, faktor lingkungan masyarakat, dan faktor waktu. Faktor lingkungan rumah atau keluarga ini merupakan lingkungan pertama dan utama dalam menentukan pekembangan pendidikan seseorang, dan tentu saja merupakan faktor pertama dan utama pula dalam menentukan hasil belajar seseorang. Kondisi lingkungan keluarga yang sangat menentukan hasil belajar seseorang diantaranya ialah adanya hubungan yang harmonis diantara sesama anggota keluarga, tersedianya tempat dan peralatan belajar yang cukup memadai, keadaan ekonomi keluarga yang cukup, suasana lingkungan rumah yang cukup tenang, adanya perhatian yang besar dari orang tua terhadap perkembangan proses belajar dan pendidikan anak-anaknya. Lingkungan atau tempat tertentu dapat menunjang keberhasilan hasil belajar diantaranya adalah lembaga-lembaga pendidikan nonformal yang melaksanakan kursus-kursus tertentu, seperti kursus bahasa asing, keterampilan tertentu, bimbingan tes, kursus pelajaran tambahan yang menunjang keberhasilan belajar disekolah, sanggar majelis taklim, sanggar organisasi keagamaan seperti remaja masjid dan gereja, dan karang taruna. Waktu (kesempatan) memang berpengaruh terhadap keberhasilan belajar seseorang, yang sering menjadi masalah bagi siswa bukan ada atau tidak adanya waktu, melainkan bisa atau tidaknya mengatur waktu yang tersedianya untuk belajar.
62 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Selain itu masalah yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mencari dan menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya agar di satu sisi siswa dapat menggunakan waktunya untuk belajar dengan baik dan disisi lain mereka juga dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat hiburan atau rekreasi yang sangat bermanfaat untuk menyegarkan pikiran (refreshing). Keseimbangan antara kegiatan belajar dan kegiatan yang bersifat hiburan atau rekreasi itu sangat diperlukan. Selain itu, faktor yang sangat menentukan hasil belajar siswa adalah motivasi siswa itu sendiri (Sudjana, 2008:39). Sering dijumpainya siswa yang memiliki intelegensi yang tinggi tetapi prestasi belajar yang dicapainya rendah akibat kemampuan intelektual yang dimilikinya tidak/kurang berfungsi secara optimal. Salah satu faktor pendukung agar kemampuan intelektual yang dimiliki siswa dapat berfungsi adalah adanya motivasi untuk berprestasi yang tinggi didalam dirinya. Motivasi merupakan perubahan tenaga didalam diri seseorang yang ditandai oleh dorongan afektif dan reaksi-reaksi untuk mencapai tujuan. Motivasi merupakan bagian dari belajar. Dari pengertian motivasi tersebut tampak tiga hal, yaitu: (1) motivasi dimulai dengan suatu perubahan dalam diri seseorang, (2) motivasi itu ditandai oleh dorongan afektif yang terkadang tampak dan sulit diamati, (3) motivasi ditandai oleh reaksi-reaksi untuk mencapai tujuan. Siswa akan berusaha sekuat tenaga apabila dia memiliki motivasi yang besar untuk mencapai tujuan belajar. Siswa kan belajar sungguh-sungguh tanpa dipaksa, bila memiliki motivasi yang besaar, sehingga diharapkan akan mencapai prestasi yang tinggi. Adanya motivasi berprestasi yang tinggi dalamdiri siswa merupakan syarat agar siswa terdorong oleh kemauannya sendiri untuk mengatasi berbagai kesulitan belajar yang dihadapinya, dan lebih lanjut siswa akan sanggup untuk belajar mandiri. Demikian kiranya faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar. sangat perlu untuk diketahui atau dipahami apabila pada suatu waktu mengalami kesulitan atau hambatan dalam proses belajar, kita akan lebih mudah mengetahui sumber kesulitan dalam proses belajar tersebut.
Proses Pembelajaran PKn
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan kondisi secara apa adanya dan tidak melakukan hipotesis. Tidak ada perlakuan yang diberikan atau dikendalikan. Subjek dalam penelitian ini adalah Guru PKn, kepala sekolah, , wali kelas, siswa sebanyak 6 orang sebagai informan kunci, beserta seluruh anggota kelas X-1 MA An-Nizhomiyyah Jaha Labuan Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten. Penelitian ini dilaksanakan di Kelas X-1 MA An-Nizhomiyyah Jaha Labuan Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten.
Analisis Data Teknik analisis data, adalah proses data menyusun data agar dapat ditafsirkan (Sudjana, 2005 : 126) sedangkan menurut Sugiyono (2008 : 89) analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam, catatan lapangan, dokumentasi, observasi dan analisis isi dokumen dengan cara mengorganisasikan dalam kedalam kategori, menjabarkan ke unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat simpulan sehingga mudah dipahami. Dalam penelitian ini menggunakan cara yang dipakai oleh Miles dan Hyberman (1992 : 16-18) terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu : reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan/verifikasi.
Prosedur Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan prosedur yang berbentuk siklus yang mengacu kepada Model Kemmis & Mc Taggrat. Adapun alasan dipilihnya model Kemmis dan Taggrat tersebut karena model ini akan mendaur ulang empat kegiatan pokok yang berupa; (1) perencanaan (plan), (2) pelaksanaan (action); (3) pengamatan (observe); (4) refleksi (reflection). Dengan mendaur ulang empat kegiatan tersebut dapat menemukan suatu masalah dan dicarikan solusi yang berupa perencanaan perbaikan, pelaksanaan tindakan yang telah direncanakan dengan disertai kegiatan observasi, lalu direflesikan melalui diskusi balikan bersama peneliti sehingga menghasilkan tindakan berikutnya. Sebelum tahap-tahap siklus dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan studi pendahuluan (orientasi). Hal ini dilakukan untuk menemukan informasi-informasi aktual dan akan dijadikan indikator dalam menyusun rencana tindakan untuk menerapkan pemanfaatan perpustakaan. Selanjutnya pada siklus kedua dan seterusnya jenis kegiatan yang dilaksanakan peneliti bersama guru mitra adalah memperbaiki rencana (refised) plan), pelaksanaan (action), pengamatan (observation) dan refleksi (reflection), dan tahaptahap ini akan diulangi pada siklus berikutnya, dan seterusnya hingga siklus terakhir.
Pengecekan Keabsahan Instrumen Pengecekan Keabsahan Instrumen/Validasi data adalah suatu kegiatan pengujian terhadap keobjektifan dan keabsahan data. Teknik validasi data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Triangulasi, yaitu pengecekan kebenaran data atau informasi tentang pelaksanaan dengan cara mengkonfirmasikan kebenaran data, yaitu upaya mendapatkan informasi dari sumber-sumber lain mengenal kebenaran data penelitian (Huberman dan Miles, 1992:404); (2) Member check, yaitu pengecekan kebenaran dan kesahihan data temuan penelitian dengan cara mengkomfirmasikannya dengan sumber data atau kepada pemberi informasi data agar informasi yang diperoleh dapat digunakan dalam penulisan laporan tersebut sesuai dengan apa yang dimaksud oleh informan (Sugiyono, 2008: 129). Apabila data yang ditemukan disepakati oleh para pemberi data, berarti datanya valid, sehingga semakin kredibel/dipercaya. Kegiatan ini peneliti lakukan dengan cara menanyakan kembali informasi yang disampaikan oleh sekolah, guru, pustakawan, maupun siswa pada waktu yang berbeda; (3) Expert Opinion, merupakan kegiatan untuk mengkonsultasikan hasil temuan penelitian dan meminta nasihat kepada para
METODE
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
63
Eko Supriatno
Analisis Data Teknik analisis data, adalah proses data menyusun data agar dapat ditafsirkan (Sudjana, 2005 : 126) sedangkan menurut Sugiyono (2008 : 89) analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam, catatan lapangan, dokumentasi, observasi dan analisis isi dokumen dengan cara mengorganisasikan dalam kedalam kategori, menjabarkan ke unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat simpulan sehingga mudah dipahami. Dalam penelitian ini menggunakan cara yang dipakai oleh Miles dan Hyberman (1992 : 16-18) terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu : reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan/verifikasi. Pengecekan Keabsahan Instrumen Pengecekan Keabsahan Instrumen/Validasi data adalah suatu kegiatan pengujian terhadap keobjektifan dan keabsahan data. Teknik validasi data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Triangulasi, yaitu pengecekan kebenaran data atau informasi tentang pelaksanaan dengan cara mengkonfirmasikan kebenaran data, yaitu upaya mendapatkan informasi dari sumber-sumber lain mengenal kebenaran data penelitian (Huberman dan Miles, 1992:404); (2) Member check, yaitu pengecekan kebenaran dan kesahihan data temuan penelitian dengan cara mengkomfirmasikannya dengan sumber data atau kepada pemberi informasi data agar informasi yang diperoleh dapat digunakan dalam penulisan laporan tersebut sesuai dengan apa yang dimaksud oleh informan (Sugiyono, 2008: 129). Apabila data yang ditemukan disepakati oleh para pemberi data, berarti datanya valid, sehingga semakin kredibel/dipercaya. Kegiatan ini peneliti lakukan dengan cara menanyakan kembali informasi yang disampaikan oleh sekolah, guru, pustakawan, maupun siswa pada waktu yang berbeda; (3) Expert Opinion, merupakan kegiatan untuk mengkonsultasikan hasil temuan penelitian dan meminta nasihat kepada para ahli (Sugiyono, 1994: 171).
64 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Lokasi dan Sejarah singkat MA An-Nizhomiyyah Jaha Labuan Madrasah aliyah An-Nizhomiyyah adalah suatu lembaga pendidikan Islam swasta tingkat menengah atas yang didirikan pada tahun 1975 oleh KH Tb A Rafe’i Ali di bawah naungan Yayasan Perguruan Islam Syech Yusuf Samaun. Cikal bakal berdirinya Madrasah ini berawal dari didirikannya Madrasah Ibtidaiyah (MI) 6 tahun yang dikenal dengan Madrasah Wajib Belajar (MWB) dan Madrasah Diniyah 4 tahun yang didirikan oleh KH Achmad Asnawi Shodiq pada tahun 1963. Madrasah ini merupakan satu–satunya Madrasah di Labuan yang memberikan pendidikan Islam dengan menggunakan sistem Madrasy (Pendidikan Formal) dimana umumnya Madrasah melakukan pemisahan antara pendidikan agama dengan pengetahuan umum. Madrasah ini berdasarkan atas komitmen bahwa pendidikan agama merupakan faktor mendasar yang harus dimiliki oleh setiap siswa. Dalam rangka terus mengembangkan pendidikan agama bagi masyarakat, juga sebagai respon atas semakin tingginya minat dan kesadaran masyarakat terhadap pendidikan agama maka pada tahun 1965 maka didirikanlah lembaga pendidikan yang lebih tinggi yaitu Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan pada tahun 1975 didirikanlah Madrasah Aliyah (MA). Sejalan dengan semakin meningkatnya Pendidikan di Perguruan Islam An-Nizhomiyyah maka banyak siswa Madrasah Aliyah dan Madrasah Tsanawiyah yang datang dari berbagai daerah bahkan banyak pula yang datang dari luar pulau Jawa, maka didirikanlah Pondok Pesantren An-Nizhomiyyah. Madrasah Aliyah (MA) An Nizhomiyah Jaha Labuan terletak di Jalan Raya Labuan Pandeglang - Provinsi Banten. Sekolah ini menempati tanah berukuran 14.000 m2, yang berbatasan sebagai berikut: Sebelah Utara : Jalan Raya Labuan Pandeglang Sebelah Timur : Perkampungan penduduk Sebelah Selatan : PLTU 2 Labuan Sebelah Barat : Perkampungan penduduk
Proses Pembelajaran PKn
Profil Pembelajaran PKn di MA An-Nizhomiyyah Jaha Labuan Orientasi pertama peneliti lakukan di MA An-Nizhomiyyah Jaha Labuan ini pada tanggal 10 Oktober 2010, dengan melakukan wawancara dengan Kepala Sekolah, berkisar pada pembelajaran PKn, Selain itu Kepala Sekolah juga menyampaikan bahwa mulai tahun 2007/2008 tersebut di MA An-Nizhomiyyah Jaha Labuan tidak lagi menggunakan Kurikulum 2004 yang berlandaskan KBK, tetapi menggunakan sepenuhnya kurikulum 2006 yang dikenal dengan KTSP yang berbasis Kompetensi, selain itu Kepala Sekolah juga menjelaskan bahwa sebagian besar status sosial ekonomi orang tua siswa MA An-Nizhomiyyah Jaha Labuan adalah kelompok menengah, dan sebagian kecil kelompok atas, dan sebagian kecil kelompok bawah atau petani dan paruh/pekerja serabutan. Selanjutnya peneliti langsung melakukan wawancara dan studi dokumentasi terhadap beberapa perangkat administrasi pembelajaran yang memiliki guru mitra, diantaranya buku absensi, program tahunan, program semester, satuan pembelajaran (kelas X 1 yang saat itu baru sebagian ia telah menyelesaikannya). Rencana Pembelajaran (baru diselesaikan sebagian), daftar nilai, buku paket pegangan guru mitra dan siswa serta LKS yang digunakan Keesokan harinya direncanakan peneliti akan melakukan orientasi. Pada hari Selasa tanggal 12 Oktober 2010 tepatnya pukul 09.00 WIB saya diizinkan Kepala Sekolah bersama mitra peneliti untuk masuk ke kelas X 1 yang saat itu adalah jam pelajaran PKn. Kegiatan orientasi ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran awal tentang kegiatan pembelajaran PKn di MA An-Nizhomiyyah Jaha labuan dan untuk mengamati bagaimana pembelajaran PKn di MA An-Nizhomiyyah Jaha Labuan dan untuk mengamati bagaimana kegiatan belajar mengajar PKn yang dilakukan di kelas tersebut, terutama pada aspek bagaimana guru mitra menata pembelajaran, kegiatan inti, metode belajar mengajar, pemanfaatan perpustakaan, pemanfaatan internet, pola interaksi guru mitra dengan siswa, siswa dengan siswa di dalam kelas, pengelolaan kelas serta menutup pembelajaran dan pemberian tugas berikutnya untuk para siswa.
Pembelajaran PKn dalam Kurikulum (KTSP) 2006, sebagaimana kita ketahui dalam pembelajaran PKn SMA/MA yang terpadu tersebut, untuk semester ganjil ternyata jika dilihat dari Kompetensi Dasarnya terdapat tiga topik yang berunsurkan Kewarganegaraan yakni mendiskripsikan hakikat bangsa dan unsur-unsur. Keterampilan guru mitra menjelaskan materi tanpa menggunakan alat peraga dirasakan tidak sempurna. Padahal alat peraga tentang materi tersebut sebenarnya mudah didapat, sampai akhirnya pak Matin, 62 tahun guru PKn MA An-Nizhomiyyah Jaha Labuan mengakhiri pembelajaran dengan mengucap “ sekian sampai disini dulu dan sekarang keluarkan kertas satu lembar, kita akan ulangan. Siswa agak ribut karena guru mitra tidak pernah menyampaikan sebelumnya akan ada ulangan, ada siswa yang bertanya (Aninda),” Pak, minggu lalu bapak tidak bilang akan ada ulangan hari ini”. Guru mitra menjawab;” Ya memang tidak bapak sampaikan, agar kalian siap setiap saat”. Ada lagi siswa yang bertanya (Fazar);” Pak soalnya essay atau objektif” Guru mitra menjawab Essay” Guru mitra berkata tidak ada buku yang diatas meja kecuali kertas satu lembar. Siswa hening seketika siap mendengarkan soal-soal yang akan dibacakan guru mitra. Lalu guru mitra membacakan soal essay sebanyak tiga soal dan siswa langsung menjawabnya. Cara guru mengajar seperti itu membuat siswa tidak tertarik untuk mengikuti pembelajaran yang diberikan oleh guru mitra, terutama pada separuh akhir jam pelajaran, hal ini terlihat dari indikasi adanya beberapa orang siswa yang tidak serius waktu mendengarkan penjelasan guru mitra, seperti membalik balik buku, berbisik bisik dengan termannya dan lain lainnya. Kurangnya ketertarikan siswa dalam mengikuti pembelajaran menurut observasi peneliti antara lain disebabkan oleh beberapa faktor yaitu penggunaan metode yang tidak bervariatif, guru mitra kurang memotivasi siswa untuk ingin lebih tahu tentang materi pelajaran, tidak menggunakan media pembelajaran, serta kurangnya guru mitra dalam mengembangkan bahan pelajaran terutama yang menyangkut dengan kehidupan keseharian siswa.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
65
Eko Supriatno
Dalam hal metode mengajar, guru mitra hanya menggunakan metode ceramah tanpa adanya selingan dengan menggunakan metode mengajar yang lain. Seperti metode Tanya jawab, penemuan, diskusi, dan lain lain. Seperti pertanyaan-pertanyaan sepenggal-sepenggal yang meminta jawaban koor dari siswa sebagaimana yang diuraikan diatas. Karena kurangnya ketertiban siswa menyebabkan siswa cepat bosan dalam kegiatan pembelajaran. Kurangnya melibatkan siswa dalam pembelajaran jelas akan menimbulkan kesan bahwa guru mitra sangat dominan dalam kegiatan pembelajaran tersebut. Disamping itu pola interaksi tampak satu arah, guru mitra berperan aktif sedangkan siswa hanya menerima apa yang disampaikan oleh guru mitra, dan tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan dan mengembangkan selama pembelajaran. Jadi tidak ada hubungan timbal balik antara guru mitra dan siswa, akibatnya pengetahuan dan keterampilan siswa dalam belajar tidak berkembang. Dalam hal media, guru mitra tidak menggunakan media pembelajaran atau alat peraga, padahal media pembelajaran sangat membantu guru mitra dalam kegiatan pembelajaran agar tercapainya hasil belajar yang optimal. Guru mitra hanya menyebutkan contoh - contoh tanpa memperlihatkan medianya secara jelas. Dalam pembelajaran PKn, media pembelajaran sangat membantu dalam membangun pengetahuan siswa agar siswa lebih memahami dan mengerti apa yang menjadi topik bahasan dalam pembelajaran. Guru mitra mengajar tanpa menggunakan media pembelajaran dapat mengakibatkan kurangnya ketertarikan siswa untuk mengikuti pembelajaran dan siswa akan cepat bosan dalam belajar. Dalam hal mengakhiri atau menutup pelajaran, guru mitra langsung saja menutupnya dengan mengucapkan “sekian cukup sampai disini keluarkan kertas satu lembar kita ulangan”. Sebaiknya guru mitra dalam menutup kegiatan pembelajaran hendaknya diakhiri dengan sebuah atau beberapa simpulan. Selain itu ulangan yang akan diberikan guru mitra hendaknya dijelaskan kepada siswa pokok bahasan atau sub pokok bahasan mana yang akan diujikan. Di sini kelihatan guru mitra masih bersifat
66 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
otoriter dalam proses belajar mengajar. Sebaiknya guru mitra juga memahami guna evaluasi tersebut yaitu untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan siswa dalam memahami pembelajaran yang telah diberikan dan dijelaskan oleh guru mitra dan juga dapat dijadikan sebagai intropeksi dan tolak ukur bagi guru mitra apakah berhasil atau tidak dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Deskripsi Hasil Tindakan Pertama Deskripsi hasil analisis diuraikan berdasarkan empat rangkaian kegiatan yang terdiri dari perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Formulasi/Perencanaan. Dalam proses pembelajaran, guru mitra dituntut untuk memiliki formulasi/perencanaan dalam menjalankan tugas mengajarnya, salah satunya adalah menyusun rencana pembelajaran. Formulasi pembelajaran atau rencana pembelajaran yang baik adalah formulasi yang dapat dilaksanakan oleh guru mitra dan menghasilkan output yang optimal. Sebuah pembelajaran akan menghasilkan output yang baik bila diformulasikankan dengan baik pula, oleh karena itu guru mitra berkolaborasi bersama-sama dengan peneliti memformulasikan/merencanakan proses pembelajaran yang dituangkan ke dalam bentuk rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Agar lebih mudah dalam memahami dan mengemas formulasi/rencana Pembelajaran, maka RPP disusun dalam bentuk matriks, yang terdiri dari 7 komponen pokok yaitu: 1) standar kompetensi, 2) kompetensi dasar, 3) indikator pencapaian hasil belajar, 4) materi pelajaran, 5) kegiatan belajar mengajar, 6) alat dan sumber belajar, dan 7) evaluasi. Tindakan. Dalam proses pembelajaran guru mitra melaksanakan pembelajaran di dalam kelas dengan mengambil salah satu kompetensi dasar dalam pelajaran PKn di kelas X-1 “ kemampuan menganalisis dan menerapkan nilai dan norma (agama, kesusilaan, kesopanan, dan hukum)”. Dalam RPP disebutkan bahwa metode yang digunakan adalah ceramah dan tanya jawab. Akan tetapi pada kenyataannya guru mitra lebih dominan dengan metode ceramahnya sementara metode tanya jawab hampir
Proses Pembelajaran PKn
sama sekali tidak dipergunakan dalam proses pembelajaran, akibatnya hanya terjalin interaksi satu arah antara guru mitra dan siswa. Pengamatan. Ada tiga hal penting yang peneliti cermati pada bagian pengamatan ini. Pertama peneliti mengamati tindakan guru mitra dalam mengimplementasikan rencana pembelajaran. Kedua mengamati tingkat partisipasi siswa dalam mengikuti pembelajaran, dan ketiga hasil yang diperoleh siswa. Berdasarkan pengamatan selama proses pembelajaran, yang rata-rata kurang memenuhi syarat sebagai guru mitra dalam proses pembelajaran, maka peneliti memprediksikan hasil belajar siswapun masih jauh dari harapan yang diinginkan. Refleksi. Sebagai pengamat sekaligus sebagai peneliti berkewajiban mengevaluasi kegiatan yang telah dilaksanakan oleh guru mitra. Diawal kegiatan, peneliti dan guru mitra telah sepakat untuk bersama-sama melakukan koreksi demi perbaikan pembelajaran yang berkualitas tanpa membesar-besarkan kesalahan, maka peneliti menemukan beberapa kejanggalan dalam pelaksanaan tindakan pertama, antara lain: (1) Dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran guru mitra masih terpaku pada pola dan contoh-contoh yang ada, dokumen RPP tidak disajikan secara utuh artinya “proses pembelajaran” guru mitra belum nampak dalam pembuatan RPP, salah satu contohnya guru mitra tidak membuat LKS dan memanfaatkan multimedia/pemanfaatan internet; (2) Dalam melaksanakan proses pembelajaran (mengajar), guru mitra tidak melaksanakan hal-hal sebagai berikut: (a) Menginformasikan tujuan pembelajaran sehingga siswa tidak mengetahui arah dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai; (b) Memotivasi siswa sehingga tidak terjadi lagi siswa yang malas-malasan untuk belajar; (c) Mengungkapkan konsep awal siswa; (d) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan ide atau gagasan; (e) Mendorong siswa mencari sumber belajar; (f) Mengembangkan dialog dengan siswa sehingga pembelajaran berjalan begitu monoton; (g) Mengelola interaksi kelas sehingga tidak terjalin komunikasi yang multi arah; (h) Mendorong siswa untuk membuat analisis; (i) Bersikap terbuka, luas dan fleksibel sehingga guru mitra tidak; (j) menganggap dirinya serba
tahu; (k) Membentuk kelompok-kelompok kecil; (l) Memberikan tugas kepada siswa untuk mengembangkan dan menganalisis terhadap materi pembelajaran PKn yang dipelajari; (m) Meluruskan konsep dan aktivitas siswa; (n) Menutup Pembelajaran. Deskripsi Tindakan kedua Deskripsi hasil analisis diuraikan berdasarkan 4 rangkaian kegiatan yang terdiri dari perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Formulasi/Perencanaan. Pelaksanaan kegiatan tindakan kedua dilaksanakan pada hari selasa tanggal 16 November 2010. Pada tahap ini guru mitra seperti biasa merencanakan proses pembelajaran dengan memperhatikan dan mempelajari kekurangan-kekurangan yang terdapat pada rencana tindakan pertama (siklus1), sehingga diharapkan pada penyusunan rencana pembelajaran siklus kedua ini akan lebih baik daripada siklus pertama, begitu pula pada proses pembelajaran diharapkan peran guru mitra lebih menguasai pembelajaran sehingga siswa dapat menerima pelajaran sesuai dengan materi yang disajikan, dan siswa dapat ikut serta berperan aktif dan menumbuhkan sikap kerja sama, siswa diarahkan supaya lebih maksimal dalam menerima pelajaran. Dalam mengembangkan materi pelajaran hendaknya guru mitra tidak terpaku pada suatu sumber belajar saja, seperti halnya selalu berpatokan pada buku sumber yang dimiliki oleh siswa. Pada penggunaan media pembelajaran guru mitra disarankan untuk menggali dan mencari dari buku sumber lainnya misalnya: majalah, Koran yang relevan dengan pelajaran tersebut. Untuk menumbuhkan minat belajar yang tinggi dalam rencana tindakan kedua ini akan diarahkan pada perubahan metode yaitu metode diskusi dengan tujuan mengarahkan siswa untuk bekerja kelompok dan diharapkan siswa lebih aktif untuk ikut terlibat dalam proses pembelajaran yang pada akhirnya dapat meningkatkan minat belajar siswa, sikap kerjasama dalam kelompoknya, hal ini mengingat pada tindakan petama dengan pendekatan metode ceramah dan tanya jawab dirasakan siswa menjadi jenuh dan pasif. Peran guru mitra diarahkan agar memberi kesempatan pada
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
67
Eko Supriatno
siswa untuk terlibat secara aktif dalam diskusi kelompok kemudian diatur pula sistem pengelompokannya agar terjadi harmonisasi dalam kelompok untuk berkompetisi dan bersaing secara sehat antar kelompok agar suasana belajar lebih hidup dan kondusif. Tindakan. Pada kegiatan tindakan yang kedua, guru mitra memulai pengajaran dengan melakukan tanya jawab seputar materi pelajaran yang pada pertemuan pertama sudah disampaikan. Dengan suara lantang guru mitra bertanya kepada siswa “ apa itu nilai?”. Secara variatif siswa menjawab dengan jawaban yang beragam. Fajar menjawab bahwa nilai adalah norma. Berbeda dengan Galang, ia menjawab bahwa nilai adalah kebenaran. Tetapi yang patut dijadikan perhatian adalah Ayu. Ia tergolong anak yang pandai, tetapi ketika ditanya secara spontan tentang nilai, maka ia hanya mengerutkan dahinya seolah-olah ia sedang berfikir keras tetapi dia tidak bias mengeluarkan kata-kata yang dimaksud. Kalau boleh peneliti simpulkan bahwa dipikirannya ada jawaban yang akan di sampaikan, tetapi tidak bisa mengucapkannya. Selanjutnya guru mitra membagi-bagikan lembar LKS kepada masing-masing kelompok, pada tahap ini guru mitra tidak mengalami kesulitan karena sehari sebelumnya guru mitra sudah membagi kelompok kedalam delapan kelompok kecil. Pengamatan. Ada 3 hal penting yang peneliti cermati pada bagian pengamatan ini. Pertama peneliti mengamati tindakan guru mitra dalam mengimplementasikan rencana pembelajaran. Kedua mengamati tingkat partisipasi siswa dalam mengikuti pembelajaran, dan ketiga hasil yang diperoleh siswa. Tidak semua kegiatan guru mitra dianalisis, tetapi peneliti hanya menganalisis hal-hal yang dianggap masih perlu penyempurnaan sebagaimana yang direkomendasikan dalam tindakan siklus pertama. Refleksi. Diakhir kegiatan tindakan kedua ini, peneliti dan guru mitra kembali berdiskusi untuk membahas kelemahan-kelemahan yang masih dilakukan oleh guru mitra selama proses tindakan ke dua. Berdasarkan pengamatan peneliti bahwa pada tindakan kedua ini sudah mengalami perbaikan-perbaikan, baik dalam menyusun dokumen Rencana Pembelajaran
68 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
maupun tindakan guru selama proses belajar mengajar tindakan (siklus 2). Pada penyusunan Perencanaan Pembelajaran pada umumnya sudah bagus dan akan dipertahankan sampai pada rencana tindakan ketiga hanya indikatornya saja yang dirubah karena terlalu banyak sehingga perlu penyederhanaan sesuai dengan keluasan materi dan waktu yang tersedia. Pada kegiatan tindakan guru, ada beberapa hal yang belum dilaksanakn oleh guru diantaranya: (1) Guru tidak mendorong siswa untuk membuat analisis. Semua itu disebabkan karena guru terlalu asyik memperhatikan aktifitas siswa dalam berdiskusi; (2) Guru mitra tidak meluruskan konsep dan aktivitas siswa. Salah satu kelemahan dari metode diskusi adalah sulit mengontrol alur pembicaraan kalau sang moderator kurang pandai membaca situasi. Pada saat salah satu kelompok menanyakan soal norma dan nilai maka kelompok yang menjawab sampai kepada aliran-aliran agama. Semestinya pada saat guru mitra yang bertindak sebagai moderator meluruskan permasalahan bahwa topik diskusi adalah norma dan nilai bukan topik aliran agama; (3) Menutup Pembelajaran. Dalam refleksi tindakan pertama dijelaskan bahwa seterlah guru mitra menutup pelajaran tetapi tidak ada penguatan dan mengulas ulang tentang materi yang telah disampaikan dan kepada siswa tidak disampaikan simpulan akhir dan guru mitra hanya mengucapkan salam pelajaran cukup sampai disini. Pada akhir tindakan kedua ini juga mengulangi kesalahan yang sama, seterlah pelajaran selesai guru mitra hanya menutup dengan salam dan memerintahkan seluruh siswa untuk istirahat diluar kelas. Tingkat partisipasi siswa pada tindakan kedua ini sudah lebih baik, siswa sudah aktif bertanya, siswa mencari dan mengelola informasi, siswa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan, dan siswa juga menganalisis permasalahan dan pemecahannya. Akan tetapi siswa membuat simpulan dalam pembelajaran. Deskripsi Tindakan ketiga Deskripsi hasil analisis diuraikan berdasarkan 4 rangkaian kegiatan yang terdiri dari perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Perencanaan. Pada tahap ketiga ini Rencana Pelaksanaan Pembelajaran sudah sesuai dengan karakteristik pembelajaran yang optimal. Berdasarkan pengamatan dengan menggunakan
Proses Pembelajaran PKn
panduan observasi, ternyata memang benar secara keseluruhan sudah mulai ada perbaikan, baik dalam penyusunan maupun dalam menentukan strategi/metode dan media pembelajaran yaitu melalui internet dalam peningkatan. Tindakan. Secara umum kegiatan berjalan dengan baik, guru sudah menampilkan model pembelajaran sesuai dengan rencana yang telah dibuat, respon siswapun terhadap pembelajaran begitu baik, alhasil dengan menggunakan format observasi, peneliti mengamati dari mulai menampilkan dokumen sampai menutup pelajaran semuanya berjalan dengan baik. Pengamatan. Berdasarkan rekomendasi yang dituangkan pada refleksi tindakan kedua, ada beberapa hal yang masih perlu penyempurnaan dalam mengimplementasikan rencana pembelajaran, menyusun indikator pembelajaran belum disesuaikan dengan waktu. Kemampuan guru dalam membuka pelajaran sudah betul-betul mencerminkan kegiataan penggalian kemampuan awal siswa. Guru memulai pelajaran dengan menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan nilai dan norma. Sikap guru dalam proses pembelajaran yang kurang memperhatikan aspek psikologis, tetapi pada siklus yang ke 3 ini semuanya sudah berjalan sebagaimana mestinya. Kegiatan menutup pelajaran, pada kegiatan ini guru sudah menyadari kekeliruannya pada kegiatan tindakan (siklus 1) dan 2, setelah proses pembelajaran selesai, guru member tugas ko-kurikuler (PR), tetapi pada siklus yang ke 3 ini guru mengkonfirmasikan kembali simpulan dari proses pembelajaran dari awal hingga akhir, setelah itu baru guru memberikan tugas berupa aplikasi dalam kehidupan sehari-hari tentang apa yang telah dipelajari. Pada kegiatan tindakan pertama, tingkat partisipasi siswa masih tergolong rendah, pada siklus tindakan kedua ada peningkatan partisipasi siswa, sedangkan pada kegiatan tindakan ketiga peningkatannya sudah terlihat nyata. Semua itu dapat dilihat pada saat proses belajar mengajar berlangsung, dimana hampir seluruh siswa asyik bekerja dengan kelompoknya masing-masing sambil sesekali mereka bertanya kepada guru mitra tentang hal-hal yang kurang dipahami, dan yang terakhir dapat dilihat dari
hasil siswa berupa hasil tes yang dilakukan diakhir pelajaran. Semuanya menunjukkan grafik yang meningkat, baik dari segi kualitas maupun dari segi kuantitas pembelajaran. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti bahwa komponen yang dijadikan sebagai indikator untuk menjadi guru yang optimal hampir semuanya dilaksanakan oleh guru dan siswa, mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaannya. Refleksi. Diakhir kegiatan tindakan yang ketiga ini, guru mitra dan peneliti merefleksikan seluruh kegiatan yang telah dilakukan dan mencoba memberikan rekomendasi serta penfsiran-penafsiran dari apa-apa yang menjadikan hambatan dan apa-apa yang menjadikan kekuatan. 1) bahwa secara umum pembelajaran sudah berjalan dengan baik, semua itu dapat dibuktikan oleh hasil pengamatan yang tertuang dalam lampiran lembar observasi. 2) respon siswapun sudah baik, dimana hamper selueuh siswa terlibat dalam pembelajaran baik secara individu maupun secara kelompok . 3) hasil tes yang diperoleh siswa juga mengalami peningkatan yang cukup baik. 4) hambatannya adalah, tidak semua siswa serius mengikuti proses pembelajaran. Ini dibuktikan dengan masih adanya siswa yang memperoleh nilai 40. 5) peneliti mencari sebab, mengapa siswa tersebut mendapat nilai 40 ?. berdasarkan penjelasan gurunya ternyata memang kemampuan siswa tersebut untuk mencerna proses pembelajaran tergolong kategori rendah. Formulasi/Perencanaan Pembelajaran PKn Melalui Pemanfaatan Internet Formulasi/Perencanaan pembelajaran adalah catatan-catatan hasil pemikiran awal seorang guru sebelum mengelola proses pembelajaran. Formulasi/Perencanaan pembelajaran berisi hal-hal yang perlu atau harus dilakukan oleh guru dan peserta didik dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI). Ketentuan ini berpedoman pada panduan yang ditetapkan oleh
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
69
Eko Supriatno
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang ditujukan kepada setiap sekolah/madrasah dalam mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Formulasi/Perencanaan pembelajaran merupakan faktor yang sangat mendukung dan memegang peranan penting untuk dapat melaksanakan suatu pembelajaran dengan lebih terarah dan berjalan efisien dan efektif. Selain itu, dapat menciptakan sebuah kondisi yang kondusif dalam kegiatan pembelajaran sehingga mendorong peserta didik untuk dapat lebih mudah mencapai tujuan sebagaimana telah ditetapkan dalam kurikulum. Berkenaan dengan hal ini, maka setiap guru dituntut untuk dapat mempersiapkan sebaik mungkin segala sesuatu yang sekiranya perlu dalam sebuah proses pembelajaran. Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan studi dokumentasi yang dilakukan peneliti, dapat diketahui perencanaan pembelajaran PKn yang dilakukan oleh guru PKn MA An-Nizhomiyyah Jaha Labuan. Formulasi/Perencanaan pembelajaran tersebut terangkum dalam sebuah dokumen Perangkat Pembelajaran Guru PKn. Pembuatan perangkat pembelajaran dilakukan sebagai langkah awal guru agar kegiatan pembelajaran dapat berjalan dengan lancar. Di dalamnya meliputi Program Tahunan, Program Semester, Perhitungan Minggu Efektif, Pengembangan Silabus dan Sistem Penilaian serta Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Langkah awal perencanaan pembelajaran yang dilakukan oleh Bapak Matin Suryapermana, 62 tahun, guru PKn MA An-Nizhomiyyah Jaha Labuan, adalah membuat perhitungan minggu efektif. Perhitungan minggu efektif diperoleh dari jumlah minggu keseluruhan Adapun perhitungan minggu efektif tersebut kemudian dibuat distribusi waktu untuk masing-masing Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Setelah menghitung minggu efektif, disusunlah Program Tahunan. Program Tahunan merupakan program umum setiap mata pelajaran untuk jangka waktu satu tahun dalam rangka mengefektifkan program pembelajaran.
70 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Program Tahunan yang disusun diantaranya memuat Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang harus dikuasai peserta didik. Program Tahunan disusun oleh guru dengan acuan kalender pendidikan yang telah ditetapkan oleh sekolah. Proses Pelaksanaan Pembelajaran PKn melalui Pemanfaatan Internet Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mempunyai karakteristik yaitu memberi keleluasaan penuh pada setiap sekolah untuk mengembangkan potensi sekolah dan potensi daerah, sehingga akan mendorong sekolah untuk lebih kreatif dan inovatif. Sejalan dengan perubahan kurikulum, otonomi pendidikan dan manajemen berbasis sekolah atau berbasis kompetensi, saat ini pendekatan pembelajaran tidak lagi berpusat pada guru (Teacher Centered), tetapi berpusat pada peserta didik (Student Centered). Oleh karena itu, dengan konsep ini pada proses implementasi/pelaksanaan pembelajaran guru tidak lagi menjadi orang yang paling tahu di kelas, namun guru harus mampu menjadi fasilitator dalam belajar. Meskipun demikian, di satu sisi guru harus menjunjung profesionalisme. Dengan berdasar pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran setiap guru dituntut untuk dapat mengembangkan bahan ajar bagi peserta didik dalam suatu proses implementasi/ pelaksanaan pembelajaran yang berkesinambungan. Guru dituntut untuk mengembangkan kemampuan dan kompetensi murid, bukan sekedar pengetahuan tetapi murid/peserta didik hendaknya mampu berpikir (kognitif), mampu menentukan sikap (afektif) dan mampu bertindak (psikomotor), sehingga nantinya menjadi manusia yang bermartabat. Pembelajaran dirancang dengan mengikuti prinsip-prinsip khas yang edukatif, yaitu kegiatan yang berfokus pada kegiatan aktif peserta didik dalam membangun makna atau pemahaman. Dalam pembelajaran guru perlu memberikan dorongan kepada peserta didik untuk menggunakan otoritas atau haknya dalam membangun gagasan. Tanggung jawab belajar tetap berada pada diri peserta didik, dan guru hanya bertanggung jawab untuk menciptakan
Proses Pembelajaran PKn
situasi yang mendorong prakarsa, motivasi, dan tanggung jawab peserta didik untuk belajar secara berkelanjutan atau sapanjang hayat (Slameto, 2003:48) Memperjelas apa yang telah ditulis dalam formulasi/perencanaan pembelajaran,imlementasi/pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari RPP. Implementasi/ Pelaksanaan pembelajaran menurut Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses, meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup. Strategi Pembelajaran PKn melalui Pemanfaatan Internet Pembelajaran melalui pemanfaatan internet dicirikan oleh peran aktif peserta didik dalam menemukan apa yang harus dipelajari dan bagaimana mempelajarinya. Iklim demokratis dikembangkan oleh guru dalam mengambil keputusan terhadap pemecahan masalah yang timbul dalam pembelajaran. Dalam mengexplorasi suatu materi, guru menerapkan suatu struktur dengan memperhatikan heterogenitas kemampuan, jenis kelamin, suku, kelas sosial, agama, kepribadian, usia, bahasa dan lain sebagainya. Semua prosedur didefinisikan secara baik sehingga semua peserta didik memahaminya. Namun, peserta didik diberi kebebasan dalam mengendalikan aktivitas mereka di dalam mengexplore suatu materi lalu di diskusikan dengan teman-temannya/kelompoknya untuk mencapai tujuan yang ditargetkan bersama. Dalam proses implementasi/pelaksanaan strategi pembelajaran melalui pemanfaatan internet, langkah utama adalah dengan membatasi waktu guru dalam melakukan presentasi atau ceramah (20%) dan limpahkan waktu terbanyak (80%) untuk aktivitas peserta didik. Dengan aktivitas tersebut, secara otomatis peserta didik akan belajar. Kompetensi yang telah disusun baru akan terbentuk bila ada sarana peserta didik untuk memperolehnya yakni pengalaman belajar. Dengan 80% peserta didik berarti terlibat aktif dan penuh dalam meraih kegiatan belajar untuk memperoleh pengalaman belajarnya. Sebagaimana banyak diketahui otak manusia lebih cepat menangkap informasi yang berasal dari modalitas visual yang bergerak dengan melihat, mengucapkan, dan melakukan yang mencapai 90%.
Berdasarkan wawancara dapat digambarkan bahwa prosentase keaktifan dalam proses pembelajaran melalui pemanfaatan internet di MA An-Nizhomiyyah Jaha Labuan lebih banyak dilakukan peserta didik dibandingkan guru; dengan perbandingan kurang lebih 80:20. Hal ini ditujukan agar peserta didik lebih banyak berusaha untuk memperoleh pengetahuannya sendiri kemudian mengkonstruksi dalam alam pikirannya. Langkah kedua dalam strategi pembelajaran melalui pemanfaatan internet adalah menggunakan modalitas belajar yang tinggi, yaitu dengan modalitas kinestetis dan visual dengan akses informasi melihat, mengucapkan, dan melakukan. Langkah ketiga, mengaitkan materi yang diajarkan dengan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari yang mengandung keselamatan hidup. Pengalaman belajar peserta didik akan mendukung muatan emosi yang kuat pada diri peserta didik. Langkah keempat, guru menyampaikan materi kepada peserta didik dengan melibatkan emosinya dengan mengindari pemberian materi secara hambar dan membosankan; dan suasana yang menyenangkan membuat peserta didik berhasil dalam pembelajarannya. Langkah kelima, pembelajaran dengan melibatkan partisipasi peserta didik untuk menghasilkan manfaat yang nyata dan dapat langsung dirasakan oleh orang lain. Peserta didik merasa mempunyai kemampuan untuk menunjukkan eksistensi dirinya dan mejelajahi khazanah keilmuaannya dengan menggunakan teknologi tercanggih abad ini yaitu internet. Pemilihan dan penggunaan strategi pembelajaran melalui internet dalam pembelajaran PKn di MA An-Nizhomiyyah Jaha Labuan disesuaikan dengan kompetensi atau materi yang harus dikuasai peserta didik dan waktu yang tersedia. Dalam hal ini, Bapak Matin, 62 tahun sebagai guru PKn MA An-Nizhomiyyah Jaha Labuan berusaha untuk menciptakan kondisi kelas yang menyenangkan, menantang, dan konstekstual. Untuk itu ia mengurangi metode ceramah dalam pembelajaran. Metode ceramah tidak sertamerta ditinggalkan, karena bagaimanapun metode ceramah harus tetap dilakukan, meskipun hanya sekedar untuk mengantarkan peserta didik dalam memahami materi.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
71
Eko Supriatno
Berdasarkan wawancara dapat digambarkan bahwa dalam pembelajaran melalui pemanfaatan internet ini, guru PKn MA An-Nizhomiyyah Jaha Labuan menempatkan dirinya sebagai fasilitator. Ia hanya akan membantu menjelaskan apabila ada peserta didik yang kurang memahami materi atau menambahkan apa yang telah dipahami peserta didik. Selain itu, guru juga mengusahakan penyediaan sumber belajar tambahan selain yang dimiliki oleh peserta didik. Dalam The Culture of education (1996), Bruner mengingatkan, ditengah dominannya penggunaan teknologi berbasis komputer dunia pendidikan akan mengahadapi budaya baru yaitu: kultur komputasi. Menurut dia, komputerisme adalah semacam nalar dan sikap pendidikan yang menjejali anak didik dengan hutan informasi. Laku belajar direduksi menjadi kegiatan menumpuk informasi, tetapi alpa memaknainya, merefleksikan, dan mengaplikasikannya pada hidup berbudaya. Dalam formulasi/proses pelaksanaan pembelajarannya keaktivan peserta didik memang sangat diprioritaskan. Dalam proses pembelajaran peserta didik merupakan pusat kegiatan, pelaku utama dan guru hanya fasilitator yang berperan menciptakan suasana yang dapat mendorong timbulnya motivasi belajar pada peserta didik. Reorientasi pembelajaran tidak hanya sebatas istilah “teaching” menjadi “learning”, namun sampai pada operasional pelaksanaan pembelajaran. Oleh karenanya, tujuan pembelajaran pemanfaatan internet berbeda dengan kelompok konvensional yang menerapkan sistem kompetisi, di mana keberhasilan individu diorientasikan pada kegagalan orang lain. Tujuan dari pembelajaran melalui pemanfaatan internet adalah meng exlore “rasa ingin tahu “ , contohnya : melalui web pendidikan proses belajar dapat dilakukan secara dinamis, tidak tergantung waktu dan ruang pertemuan. Semua materi belajar dapat diperoleh dengan mudah pada situs-situs pendidikan yang tersedia. Optimalisasi Pembelajaran PKn melalui Pemanfaatan Internet dalam Peningkatan Belajar Siswa Kehadiran Internet sebagai media dalam pendidikan dapat membantu terlaksananya proses pembelajaran yang efektif, karena internet dapat melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada pada proses pembelajaran konvensional. Sebagai media yang diharapkan akan menjadi bagian dari suatu proses komunikasi
72 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
interakif antara guru dengan siswa sebagaimana yang dipersyaratkan dalam suatu kegiatan pembelajaran. Kondisi yang harus mampu didukung oleh internet tersebut terutama berkaitan dengan strategi pembelajaran yang akan dikembangkan, yang kalau dijabarkan secara sederhana, bisa diartikan sebagai kegiatan komunikasi yang dilakukan untuk mengajak siswa mengerjakan tugas-tugas dan membantu siswa dalam memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan dalam rangka mengerjakan tugas-tugas tersebut (Boettcher 1999:16). Berdasarkan hasil pengamatan kelas X1 yang peneliti lakukan pada 23 Oktober 2010 di MA An-Nizhomiyyah Jaha Labuan, dapat diuraikan suasana kelas saat proses pelaksanaan pembelajaran PKn. Pembelajaran dilakukan di aula MA An-Nizhomiyyah, mengingat ruangan kelas kurang kondusif untuk pemasangan peralatan multimedia. Pada saat itu, dari jumlah peserta didik seluruhnya 40 orang, yang hadir pada jam pelajaran PKn berjumlah 38 orang, yang tidak hadir dua orang karena alasan sakit dan izin. Kompetensi dasar yang didiskusikan dalam pelaksanaan pembelajaran adalah pebedaan tentang norma dan nilai. Kegiatan awal pembelajaran yang dilakukan guru yaitu memberikan motivasi kepada peserta didik dengan cara menggali pengetahuan peserta didik tentang topik yang telah diberikan (a persepsi) maupun tentang topik yang akan diberikan. Seperti yang peneliti amati pada saat guru memberikan materi pokok bahasan norma dan nilai. Awal pertemuan, guru sedikit mengulang materi yang telah diberikan pada pertemuan sebelumnya dengan pertanyaan-pertanyaan singkat, dimana pertanyaan yang diberikan guru hampir semua dapat dijawab oleh peserta didik dengan benar meskipun peserta didik tidak menjawab jika tidak ditunjuk oleh guru. Memasuki topik mengenai norma dan nilai ini, guru memberikan ilustrasi atau gambaran nyata mengenai bagaimana norma dan nilai dengan pendekatan-pendekatan kontekstual (dengan menyisipkan selebritis, misalnya Luna maya, Irfan Bachdim dsb) agar suasana mereka gembira, dengan gembira pembelajaran akan mudah pahami. Guru masih harus mengendalikan dan menunjuk peserta didik untuk menjawab.
Proses Pembelajaran PKn
Pada tahap pendahuluan biasanya metode pembelajaran yang diterapkan di MA An-Nizhomiyyah Jaha Labuan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab. Pada tahapan pertama penerapan teknik pemanfaatan internet, guru PKn MA An-Nizhomiyyah Jaha Labuan, membagi materi pembelajaran dengan dua pokok permasalahan, yaitu: 1) norma; dan 2) nilai; Persoalan muncul saat akan dibagi kelompok asal. Bila saja jumlah peserta didik minimal 30 maka akan lebih mudah membaginya, kelas terdiri dari enam kelompok dengan masing-masing anggota kelompok berjumlah lima orang. Kenyataannya jumlah peserta didik 28 orang mengakibatkan akan ada dua kelompok yang tidak memiliki tim ahli yang lengkap. Akhirnya responden (guru PKn) memutuskan untuk membagi kelas menjadi lima kelompok asal dengan konsekuensi ada tiga kelompok asal yang berjumlah enam orang sehingga ada dua orang yang mendapatkan materi yang sama. Berdasarkan wawancara dapat digambarkan bahwa langkah pertama yang dilakukan dalam pembelajaran melalui pemanfaatan internet adalah pengelompokkan. Satu kelompok berjumlah 4-5 orang. Kemudian setiap kelompok ini akan diberi materi/topik bahasan yang akan dibagi setiap anggota kelompok yang kemudian masing-masing anggota yang memiliki materi yang sama bergabung untuk berdiskusi. Setelah mereka terhadap materi yang mereka harus kuasai, mereka kembali ke kelompok asalnya, kemudian menyampaikan apa yang mereka ketahui. Secara stimultan, setiap anggota kelompok akan menerima atau mendengar informasi dari temannya yang lain, yang menguasai materi yang berbeda. Relevansi dengan kebutuhan belajar Proses Pembelajaran PKn Melalui Pemanfaatan Internet dalam Peningkatan Hasil Belajar Siswa Dalam proses pembelajaran PKn saat ini tidak hanya terbatas pada teori yang didapat dari buku tetapi juga dari media/sumber belajar lainnya. Pendidikan kewarganegaraan diharapkan relevan dengan era globalisasi saat ini. Untuk itu diperlukan suatu sumber belajar yang faktual. Tentunya media/sumber belajar yang dapat
menginformasikan tentang kehidupan sosial atau masalah-masalah kontemporer yang terjadi di masyarakat yang menggambarkan realitas sosial dalam berbagai aspek kehidupan. Sementara itu, seiring dengan pesatnya perkembangan media informasi dan teknologi akan membawa perubahan bergesernya peranan guru. Termasuk guru PKn sebagai penyampai pesan informasi. la tidak bisa lagi berperan sebagai satu-satunya sumber informasi bagi kegiatan pembelajaran para siswanya. Siswa dapat memperoleh informasi dari berbagai sumber. Terutama dari media massa, apakah dari siaran televisi dan radio ( m e d i a elektronik), sural kabar dan majalah (media cetak). komputer pribadi, atau bahkan dari internet. “adakalanya saya mencari informasi materi tambahan di internet bila materi yang akan diajarkan dari buku itu tidak ada. Dalam pembelajaran misalnya saya menyuruh siswa untuk mencari informasi mengenai bentuk-bentuk pemerintahan disetiap negara dan membandingkannya. Informasi tersebut mereka dapat cari di internet.” (Wawancara dengan guru PKn MA An Nizhomiyyah Jaha Labuan, 12 Desember 2010). Efektifitas belajar dengan mempergunakan internet disebabkan mudahnya mencari suatu informasi yang ada diinternet dan bila materi yang ada dibuku tidak lengkap maka mereka dapat mencarinya lewat internet. Hasil belajar siswa dalam Proses Pembelajaran PKn melalui Pemanfaatan Internet Selama penelitian berlangsung, guru melaksanakan 3 kali tes yang hasilnya sebagai berikut: Tes ke 1 dilaksanakan pada tindakan pertama (siklus 1) dan memperoleh nilai rata-rata kelas 57, tes ke 2 dilaksanakan pada tindakan kedua (siklus 2) dan memperoleh nilai rata-rata kelas 69.13, sedangkan tes yang ke 3 dilaksanakan pada tindakan ketiga (siklus ke 3) dan memperoleh nilai rata-rata kelas 84.5, dari hasil data tersebut diatas, peneliti menyatakan bahwa terjadi peningkatan hasil belajar yang signifikan. Evaluasi Proses Pembelajaran PKn melalui Pemanfaatan Internet dalam Peningkatan Belajar Siswa Bagaimana evaluasi (Hasil Belajar Siswa) pada pembelajaran PKn setelah guru melakukan Formulasi dan Implementasi melalui pemanfaatan internet sebagai upaya untuk meningkatkan
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
73
Eko Supriatno
hasil belajar siswa. Aset terpenting dalam dunia pendikan adalah guru yang mempunyai kualitas dan kompetensi yang dapat bersaing dengan dunia global saat ini. Berkaitan dengan hal tersebut guru dituntut untuk maju dan berwawasan luas. Seorang guru berkewajiban untuk selalu memperkaya pengetahuannya. Oleh karena itu, agar guru dapat selalu menambah pengetahuannya diperlukan suatu sumber belajar yang dapat meningkatkan kualitas dan profesionalitasnya dalam mendidik. Berkaitan dengan internet yang dimanfaatkan oleh guru PKn MA An Nizhomiyyah Jaha Labuan, sebagai media/sumber belajar dalam proses pembelajaran PKn. Guru PKn MA An Nizhomiyyah Jaha Labuan pernah mengikuti pelatihan ICT (information comunication technology) dalam rangka meningkatkan kemampuan guru dalam menggunakan internet. Pelatihan tersebut diadakan agar guru mampu menggunakan sarana internet dan dapat menggunakan sarana tersebut untuk pembelajaran. Agar hasil belajar siswa-siswa dapat diketahui oleh siswa dan orang tua siswa, sekolah MA An Nizhomiyyah Jaha Labuan telah menerapkan pengumuman hasil belajar siswa secara online di internet. Dengan adanya fasilitas tersebut guru menjadi terbiasa menggunakan internet dikarenakan guru diberikan kewajiban oleh sekolah untuk melaporkan data hasil belajar siswa secara online lewat internet. Kemampuan guru mata pelajaran PKn dalam menggunakan internet cukup memadai karena mereka mendapat bekal dari pelatihan information comunication technology (ICT) yang pemah diadakan sekolah. Selain itu sekolah telah menerapkan sistem penilaian hasil belajar siswa melalui internet secara online, sehingga guru sering menggunakan fasilitas tersebut. Dengan kemampuan yang dimiliki oleh guru PKn dalam menggunakan internet, guru tersebut memanfaatkan internet untuk mencari informasi sebagai materi tambahan mereka dalam mengajar. PENUTUP Bagian akhir dari penelitian ini, akan peneliti paparkan beberapa simpulan yang diperoleh dari hasil penelitian tentang Proses Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan melalui Pemanfaatan Internet dalam Peningkatan Hasil Belajar Siswa di MA An Nizhomiyyah Jaha Labuan Kabupaten Pandeglang.
74 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Hasil penelitian dan pembahasan yang mungkin dapat menjadi input atau informasi untuk dijadikan bahan pertimbangan berbagai pihak yang memiliki kepentingan dalam pembinaan dan pengembangan proses pembelajaran terutama pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang peneliti lakukan selama proses penelitian, terdapat beberapa temuan yang dapat dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan sebagai berikut: Formulasi Perencanaan Pembelajaran PKn melalui Pemanfaatan Internet untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Formulasi/perencanaan yang dibuat oleh guru PKn masih terdapat beberapa kelemahan, diantaranya guru belum mampu menciptakan model rencana pembelajaran yang baik, guru masih terpaku dengan contoh-contoh yang ada, disamping itu juga guru tidak mencantumkan formulasi pemanfaatan melalui internet dalam rencana pembelajaran sehingga sulit untuk menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa. Implementasi Pembelajaran PKn melalui Pemanfaatan Internet untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Dalam pelaksanaan pembelajaran PKn melalui pemanfaatan internet, masih terdapat beberapa kelemahan diantaranya: guru tidak menginformasikan tujuan pembelajaran sehingga siswa tidak mengetahui arah dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, disamping itu juga guru kurang memberikan motivasi kepada siswa sehingga pada awal pembelajaran tindakan guru masih banyak siswa yang malas-malasan untuk belajar, bukan pembelajaran masih pengajaran; guru sebagai instruktur, bukan fasilitator; siswa sebagai objek, bukan subjek; monomedia, bukan multimedia; sentuhan hewani, bukan manusiawi; materi sekadar dihafal, bukan bermakna bagi siswa ; keterlibatan siswa pasif, bukan partisipatif. Evaluasi, Formulasi dan Implementasi melalui pemanfaatan internet sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa Berdasarkan hasil penelitian bahwa evaluasi dalam formulasi dan implementasi. Dalam formulasi guru harus mampu menciptakan model
Proses Pembelajaran PKn
rencana pembelajaran yang baik sesuai dengan aturan yang ada, dan juga harus sesuai dengan MGMP yang ada. Dalam implementasi guru harus menggunakan media dalam proses pembelajaran yaitu multimedia (pemanfaatan Internet), bukan monomedia. menguasai materi bahan ajar, memiliki kemampuan untuk memilih strategi/metode mengajar, serta mampu mengelola kelas dengan baik/memanfaatkan internet sebagai bagian dari “proses pembelajaran”. Terkait dengan permasalahan yang ada, dari hasil penelitian dan penjabaran sebagai mana telah dibahas dibab-bab sebelumnya, Proses Pembelajaran PKn melalui Pemanfaatan Internet dalam Peningkatan Hasil Belajar Siswa, dilihat dari beberapa hal. Pertama, pentingnya pemanfaatan internet sebagai salah satu media motivasi bagi setiap guru untuk lebih berani dalam melakukan pola dan strategi pembelajaran yang “ berproses”. Guru PKn telah memanfaatkan internet sebagai “ proses pembelajaran”. Hal ini disebabkan guru terbiasa memanfaatkan internet untuk mencari materi tambahan bila sumber belajar lainnya kurang lengkap dan yang paling penting adalah memotivasi siswa untuk memanfaatkan sumber belajar yang tersedia. Maka formulasi, implementasi dan evaluasi pada kemampuan seorang guru, seolah menjadi hal yang logis untuk dilakukan pertama kali dalam memecahkan persoalan dalam proses pembelajaran. Hal ini dapat dipahami dengan memerhatikan beberapa prinsip formulasi, implementasi dan evaluasi dalam proses pembelajaran, yaitu: (a) pembelajaran, bukan pengajaran; (b) guru sebagai fasilitator, bukan instruktur; (c) siswa sebagai subjek, bukan objek; (d) multimedia, bukan monomedia; (e) sentuhan manusiawi, bukan hewani; (f) pembelajaran induktif, bukan deduktif; (g) materi bermakna bagi siswa, bukan sekadar dihafal; (h) keterlibatan siswa partisipasif, bukan pasif. Saran 1) Dalam proses pembelajaran PKn, sebaiknya guru harus “memformulasikan pembelajaran”. Formulasi menyangkut penetapan tujuan, dan kompetensi, serta memperkirakan fungsi sentral dari manajemen pembelajaran yang beroreantasi kemasa depan. Guru sebagai manajer pembelajaran harus mampu mengambil keputusan yang tepat untuk mengelola berbagai sumber. Formulasi itu diantaranya: rencana
pembelajaran dikembangkan ke dalam bentuk RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang sesuai aturan yang ada dan sebaiknya RPP itu disajikan ke dalam bentuk narasi. 2) Dalam proses pembelajaran PKn, sebaiknya guru harus “mengimplementasikan formulasi pembelajaran”. Implementasi adalah proses yang memberikan kepastian bahwa proses belajar mengajar telah memiliki sumber daya manusia dan sarana prasarana yang diperlukan, sehingga dapat membentuk kompetensi dan mencapai tujuan yang diinginkan. Implementasi itu diantaranya memiliki kemampuan untuk memilih dan menerapkan strategi/metode pembelajaran, mampu mengelola kelas dengan baik serta menggunakan media pembelajaran yaitu memanfaatkan internet sebagai bagian dari “proses pembelajaran”. Implementasi adalah menu mujarab dalam proses pembelajaran agar pembelajaran berjalan secara sistematis dan terorganisir. 3) Dalam proses pembelajaran PKn, sebaiknya guru harus “mengevaluasi pembelajaran” , Evaluasi bertujuan untuk menjamin kinerja yang dicapai sesuai dengan formulasi atau tujuan yang telah ditetapkan. Guru diharapkan membimbing dan mengarahkan pengembangan kurikulum dan pembelajaran secara efektif, serta memerlukan pengawasan dalam pelaksanaannya guru merupakan seorang manajer dalam pembelajaran, yang bertanggung jawab terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan menjamin efektifitas pengembangan kurikulum dan sistem pembelajaran, guru sebagai pengelola pembelajaran bersama tenaga pendidik lainnya harus menjabarkan isi kurikulum secara lebih rinci dan operasional dalam program pembelajaran. Dalam pada itu, perlu dilakukan pembagian tugas tenaga kependidikan, penyusunan kalender pendidikan dan jadwal pembelajaran, pembagian waktu yang digunakan, penetapan pelaksanaan evaluasi belajar, penetapan penilaian, penetapan norma kenaikan kelas, pencatatan kemajuan belajar peserta didik, serta peningkatan perbaikan pembelajaran dan pengisian waktu jam kosong. Sehubungan dengan itu, kemampuan pengelola pembelajaran sebagaimana telah dikemukaan diatas, dapat dianalisis dalam beberapa kompetensi yang mencakup pemahaman terhadap peserta didik, perancang dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi dan hasil belajar.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
75
Eko Supriatno
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. (1995). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Bakhtiar, Amsal. (2007). Filsafat ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Boettcher, J.V. (1999). Faculty Guide for Moving and Learning Web, Leage for information in the Community College, USA. Branson, M.S. (1998). The Role of Civic Education. Calabassas: CCE Bruner, Jerome. (1996). The Culture of education. Leage for information in the Community College, USA. Cogan. (1998). A New Paradigm of Civic Education. New Jersey: Prentice Hall. Djahiri, A. Kosasih. (1995). Landasan Operasional Kurikulum PPKn 1994. Bandung: Lab. PPMP IKIP Bandung. Enrico, (2006). Innovation, Fifth Edition. New York, London, Toronto, Sidney: Free Press. Fajar, En Zul dan Ratu Aprilia Senja. (1998). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Difa Pulisher. Gafur, Abdul. (2002). Perencanaan Pembelajaran Berbasis Kompetensi (Bahan PTBK). Jakarta: Ditjen PLP, Dikdasmen Depdiknas. Hamalik, Oemar . (1989). Media Pendidikan, Bandung: PT Citra Aditya Bhakti. Hamid, P. (2005). Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabet. Heywood, D. (1999). Networking with Microsoft TCP/IP. Andi and Simon Scuster (Asia) Pte. Ltd. Imron, Ali. (1996). Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Pustaka Jaya. Jogianto. (2000). Sistem Informasi Berbasis Komputer. Yoyakarta: BPFE. Kemmis and Mc Taggart. (1982). Classroom Action Research. Chicago and London: The University of Chicago. Kemp. E Jerrold. (2000). Proses Perancangan Pengajaran. Bandung: ITB Bandung. Lickona. (1992). Educating For Character. Chicago and London: The University of Chicago. Longstreet, William.S.Shane, Harold G. (1993). Curriculum for New Millenium. Boston Allyn and Bacon. Miarso, Yusufhadi, dkk., (1986). Teknologi Komunikasi Pendidikan: Pengertian dan Penerapannya di Indonesia. Jakarta: Rajawali. Mudaffir . (1986). Prinsip-prinsip Pengelolaan Pusat Sumber Belajar. Bandung: Rosda Karya.
76 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Mulyasa, E. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Miles, Huberman. (1992). Analisys Data. Boston Allyn and Bacon. Oetomo, Budi Sutedjo Dharma. (2002). E-ducation: Konsep Teknologi dan Aplikasi Internet Pendidikan, Yogyakarta: Penerbit Audi. Oetomo, Budi Sutedjo Dharma. (2002). E-ducation-Konsep, Teknologi dan Aplikasi Internet Pendidikan. Yogyakarta: Menara Kudus. Ramadhan, A. (2005). Internet dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Slameto. (2003). Belajar dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Soeharto, Karti. (1995). Teknologi Pembelajaran (Pendekatan, sistem, konsepsi dan model SAP, Evaluasi, Sumber Belajar dan Media). Surabaya: Penerbit SIC. Somantri, Numan. (2000). Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Erlangga. Subagio, Ernalia A. dan Lies Suliesyowati. (1996). Pemanfaatan Jaringan Internet di Bidang Perpustakaan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi . Jakarta: Perpustakaan Nasional Rl. Sugiyono. (1994). Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabetha. Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Administratif (Edisi 12) . Bandung: Alfabeta. Udin S. Winataputra. (2003). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. Wahab, Hamid. (2009). Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Kewargaan. Bandung: Alfabetha Wina, Senjaya. (2008). Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Penulis: Eko Supriatno, S.IP., M.Pd. Dosen FISIP Universitas Mathla’ul Anwar Banten ini sarat akan kegiatan akademik dan profesi. Lulusan Magister Pendidikan dari Prodi Teknologi Pembelajaran Untirta Serang sekarang menjabat direktur Banten Religion and Culture Center (BRCC) dan ketua ICMI Orsat Labuan.
GLOBALISASI EROTIKA MEDIA:
STUDI KRITIS TERHADAP ETIKA SEKSUALITAS IKLAN TELEVISI Mardiah Hapsah Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap fenomena mengenai transformasi budaya seksual melalui eksploitasi seksual dalam iklan-iklan televisi diantara pergelutan kapitalisme yang menekan kearifan dan keluhuran budaya Indonesia. Juga, untuk menelisik proses globalisasi erotika media yang telah merusak tatanan kemasyarakatan hingga menimbulkan kritis etika yang dialami masyarakat Indonesia dalam mereflesikan makna dan fungsi seksualitas dalam konteks yang semestinya sesuai tatanan budaya bangsanya. Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, dengan model analisis interpretatif. Dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah sampel purposif, dengan pertimbangan adanya muatan kritik atas fenomena sosial. Diharapkan dengan menuntaskan penelitian ini kita dapat memiliki pertimbangan komprehensif yang jernih dari akar permasalahan tersebut sehingga dapat menjadi bahan kajian dalam menggali solusi pemecahannya. Kata Kunci: Globalisasi, Erotika Media, Etika, Seksualitas
PENDAHULUAN Pada tahun 2001 silam muncul sebuah kasus asusila yang dilakukan oleh sepasang mahasiswa Universitas swasta di Bandung yang lekat di ingatan masyarakat Indonesia dengan kasus Bandung Lautan Asmara. Kasus tersebut benar-benar mengejutkan dan menohok masyarakat umum Indonesia yang pada waktu itu masih sangat tak terbiasa dengan hal-hal yang berbau seksualitas tidak senonoh yang menyeruak ke muka publik. Masyarakat kita terhitung masih kuat memegang norma dan agama hingga sekali tersiar kabar asusila hal itu kemudian menjadi momok aib publik dan cemoohan dalam lingkup budaya masyarakat yang luhur budi. Kendati ada segelintir kasus dan sekelompok golongan yang lazim dengan hal asusila, berbagai tempat publik sampai lingkup keluarga secara keumuman masyarakat Indonesia waktu itu masih menabukan hal seksualitas mengemuka ke publik, cenderung menyimpan ihwal seksualitas dalam kerahasiaan norma agama dan menempatkannya dalam jalur pernikahan yang sakral.
Tidak lama setelah itu, selang beberapa tahun, wajah negeri kita dalam gerak lamban namun menjadi-jadi, menghitam dan bopeng oleh berbagai coretan perilaku asusila dan hantaman budaya luar yang menggerayangi dan merangsang sisi sensualitas naluri liar masyarakat Indonesia. Tahun 2006 muncul kembali kasus yang jauh lebih memalukan. Kali ini pelakunya adalah anggota DPR yang sengaja mendokumentasikan adegan panas dengan pasangan diluar nikahnya yang kebetulan seorang penyanyi dangdut. Setelah itu bergiliran kasus demi kasus bermunculan dan terus membantai keseharian kita dan menjadi lumrahlah hal penyimpangan seksual di telinga masyarakat Indonesia. Mahasiswa, pelajar SMP, SMA hingga SD, guru, dan lebih banyak lagi dari kalangan selebritis yang latah ikut-ikutan memasifkan pertanda kerusakan sosial tersebut. Seks bebas menjadi dosa yang manis dan candu yang tidak pernah berujung sepah. Perilaku seks bebas remaja/pelajar meningkat seperti data survei yang ditunjukkan oleh Chandi Salmon Conrad pada 117 remaja sekolah diketahui 42% menyatakan pernah berhubungan
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
77
Mardiah Hapsah
seks, dari angka tersebut 52% masih aktif menjalani seks bebas. Fakta mengejutkan dilansir dalam berita di Trans TV tanggal 29 November 2008 yang menyebutkan sekitar 2 juta lebih orang di Indonesia melakukan aborsi per tahun. Kemudian, data hasil survei Annisa Fondation yang dilansir BKKBN (2007) menunjukkan bahwa di Cianjur lebih dari 40% pelajar telah melakukan hubungan seks pra nikah. Lenggak-lenggok gaya hidup figur publik yang senantiasa menjadi pelaku utama dan tontonan dominan dalam pentas keseharian layar kaca serta tren-tren, tema-tema dan doktrin-doktrin terselubung yang dibawa oleh berbagai program dan iklan yang ada dalam siaran televisi terus menggempur ruang-ruang keluarga di hampir setiap rumah warga negeri ini ditengarai menjadi awal penyebab merebaknya permisifisme masyarakat merespon hal seksualitas di luar koridornya . hal itu begitu sempurna bertemu dengan kondisi objek sosial yang memiliki banyak kelemahan dan kelengahan dari berbagai sisi dan berbagai pihak mulai dari pemerintah, lingkungan sosial masyarakat, lingkup pendidikan sekolah hingga keluarga, sehingga secara tidak sadar ataupun sengaja seakan mempersilahkan budaya ketimuran kita luntur diganti dengan budaya barat yang penuh dengan kebebasan dan kebablasan. Sebagai wakil pemerintah, Lembaga Komisi Penyiaran Indonesia yang berdiri sebagai tiang pengawas dan pengayom penyiaran memang memiliki aturan yang harus ditaati perusahaan media dan memang telah melakukan tugas-tugasnya, akan tetapi hal itu kita lihat tidak bisa meredam gejolak-gejolak kerusakan struktur sosial yang dipelopori media cetak ataupun elektronik. Derasnya gempuran budaya kebebasan diperkuat dengan kelincahan perangkat-perangkat media tanpa batas tak mampu dibendung oleh policy pemerintah yang tak berdaya menyaingi gerak pesatnya teknologi sebagai tunggangan kapitalisme yang
78 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
melahirkan kerusakan moral asusila. Berbagai kondisi tersebut akhirnya menggiring kita pada perubahan memburuk sosial seksualitas masyarakat kita. Remaja merupakan dominan populasi yang paling banyak menampilkan kerusakan tersebut. Gaya hidup remaja dipenuhi dengan kenakalan dan berita-berita memalukan dan menghawatirkan. Dimulai dari cara tren berpakaian yang serba mini, hubungan seks pra nikah, pencabulan, pemerkosaan, aborsi hingga edaran video seksual yang dilakukan siswa. Semua itu berpangkal dari cara berpikir dan gaya hidup keliru yang dibangun dalam masa pubertas yang labil. Dan hal tersebut disinyalir dari lingkungan yang menjadi pengaruh besar dalam pembentukan karakter remaja diantaranya lingkungan pertemanan, tontonan media elektronik dan bacaan media cetak yang populer bagi mereka. METODE Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, dengan model analisis interpretatif melalui pengumpulan data tipe studi literer, yakni cara-cara yang digunakan oleh peneliti dengan menghimpun kemudian menginterpretasikan semua data dan referensi teks/pustaka. Dalam penelitian ini sampel diambil berdasarkan pertimbangan peneliti atau disebut dengan sampel purposif, dengan pertimbangan adanya muatan kritik atas fenomena sosial dalam sejumlah iklan di televisi beserta fenomena faktual yang ada di masyarakat berkaitan tentang etika seksualitas, Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan penelitian yang berbunyi: pertama bagaimana eksploitasi seksual dalam iklan diantara pergelutan kapitalisme yang menekan kearifan dan keluhuran budaya Indonesia. Dan yang kedua yaitu bagaimana proses globalisasi erotika media merusak tatanan kemasyarakatan hingga menimbulkan kritis etika
Globalisasi Erotika Media
yang dialami masyarakat Indonesia dalam merefleksikan makna dan fungsi seksualitas dalam konteks yang semestinya sesuai tatanan budaya bangsa. PEMBAHASAN Iklan dalam Pusaran Kapitalisme versus Budaya Indonesia Dibandingkan berbagai media yang ada, televisi memiliki efektifitas dan keterjangkauan lebih unggul. Media elektronik televisi memiliki daya jangkau leluasa dengan rentang waktu yang lebih luas di dalam memasuki dan merasuki sisi kehidupan keluarga. Televisi menggabungkan suara, teks, dan gambar bergerak. Ketiganya hadir di dalam ingatan, tetapi yang paling banyak melekat dalam ingatan adalah suara dan gambar. Di antara semua bentuk media cetak maupun elektronik hampir bisa dipastikan televisi yang paling umum dimiliki setiap rumah. Televisi memang menjadi sarana penting bagi iklan. Hal ini tidak lepas dari jangkauan TV ke masyarakat. Di AS, menurut survei AC Nielsen, 99% rumah tangga punya Televisi dan 95% diantaranya yang menonton tayangan TV setiap hari. Dua pertiga rumah di AS punya lebih 3 TV di rumahnya. Rata-rata rumah di AS menyalakan TV selama 7 jam sehari. Rata-rata orang dewasa menghabiskan 5 jam sehari di depan TV, sementara anak-anak (2-7 tahun) menghabiskan 4 jam sehari. Namun, situasi ini sudah mulai berubah dengan perkembangan ponsel, komputer, iPad, Twitter, dan media sosial. Banyak masyarakat beralih ke teknologi baru ini. Meski demikian, komputer dan internet belum menggantikan dominasi TV. Pengaruh internet hanya menambah waktu orang untuk mengakses internet guna menambah imajinasi dan ide mereka. Dekade terakhir, televisi menjadi anutan baru (new religion) buat masyarakat. Maka tidak berlebihan bila Gerbner (dalam
Kasali, 2013) berkata bahwa media massa (khususnya media televisi) telah menjadi agama resmi masyarakat Industri Secara sederhana iklan didefinisikan sebagai pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu media. Sementara kita paham dunia iklan selalu mengekspos kemudahan dan kemewahan yang memang mempunyai tujuan untuk menginformasikan suatu hasil produk kepada masyarakat. Hanya saja, penampilan adegan iklan yang ditayangkan lewat media televisi seolah-olah tidak mempunyai batasan yang jelas dalam menampilkan sosok tokoh yang sebenarnya atau dapat ditiru dengan segenap kebaikan-kebaikannya. Menurut Akbar S. Ahmad, bagi wanita, zaman media adalah perangkap keindahan yang menyakitkan dan sekaligus perangkap tiranik yang menggiurkan. Bahkan suatu penelitian yang dilakukan Ki Supriyoko disampaikan bahwa 22,98% penyebab kenakalan remaja disebabkan karena adanya “miss-education” dari media massa, khususnya televisi. Dalam tayangan televisi sehari-hari, berbagai program ditampilkan dengan kategori beragam dengan nilai-nilai yang beragam pula mulai dari program hiburan serial drama, infotainment, show, kuis hingga berita serta tayangan yang bersifat informatif. Akan tetapi iklanlah yang sebenarnya yang menjadi bagian dominan dalam mewarnai tampilan layar kaca kendati hanya bagian penyela program-program televisi. Iklan menyerbu semua ruang dalam kehidupan kita.(Hardiman:2009). Dalam fungsi tradisionalnya iklan berarti mempromosikan suatu barang atau jasa. lengkapnya, menurut Terence A. Shimp (2003), iklan berperan sebagai: (1) Informing (memberi informasi), iklan membuat konsumen sadar (aware) akan merek-merek baru, serta memfasilitasi penciptaan citra merek yang positif; (2) Persuading (mempersuasi), iklan yang efektif akan mampu mempersuasi (membujuk) pelanggan untuk mencoba produk atau jasa
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
79
Mardiah Hapsah
yang diiklankan; (3) Reminding (mengingatkan), iklan menjaga agar merek perusahaan tetap segar dalam ingatan para konsumen. Periklanan yang efektif juga meningkatkan minat konsumen terhadap merek yang sudah ada dan pembelian sebuah merek yang mungkin tidak akan dipilihnya; (4) Adding Value (memberikan nilai tambah), iklan dapat memberikan nilai tambah pada merek dengan mempengaruhi persepsi konsumen. Periklanan yang efektif menyebabkan merek dipandang lebih elegan, bergaya, bergengsi dan lebih unggul dari tawaran pesaing; dan (5) Assisting (mendampingi), peran utama periklanan adalah sebagai pendamping yang memfasilitasi upaya-upaya lain dari perusahaan dalam proses komunikasi pemasaran. Sebagai contoh, periklanan mungkin digunakan sebagai alat komunikasi untuk meluncurkan promosi-promosi penjualan seperti kupon-kupon dan undian. Peran penting lain dari periklanan adalah membantu perwakilan dari perusahaan. Iklan memegang kendali denyut perekonomian masyarakat industrial. Dalam sejarah kapitalisme, iklan menjadi salah satu sarana yang digunakan oleh industri-idustri kapitalis untuk menjamin distribusi komoditi kepada masyarakat secara luas. Kepentingan kapitalisme industrial ketika terjadi booming barang-barang produksi adalah menciptakan konsumen sehingga sejak era tahun 1780-an, iklan iklan betul-betul ditujukan untuk menciptakan konsumen secara serius. Pada abad ke-20 iklan pada umumnya muncul dengan citra-citra dan menggunakan tipe-tipe sueralisme, yang membuat orang membeli produk. Iklan juga diposisikan sebagai sebuah sales entertainment, dimana disatu sisi ia berusaha mempengaruhi khalayak dengan pesan penjualan, dan di sisi lain menyediakan hiburan bagi khalayak melalui citra-citra yang fiktif dan fantastis (Mambat: 2006). Seiring canggihnya impuls keserakahan gurita kapitalisme mencipta mesin-mesin uang melaluit
80 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
periklanan, semakin kuat cengkramannya mensetir naluri primitif masyarakat untuk menjadi budak konsumerisme. Iklan direkayasa sedemikian rupa hingga memuat kekuatan hipnosis alam bawah sadar manusia hingga tanpa sungkan melewati tapal batas etika dan norma. Demi meraih omzet penjualan, iklan dalam berbagai nuansa imaji dan ide surealis yang menggiurkan direka supaya tercipta gelombang konsumen yang tidak sekedar butuh akan tetapi tertarik, tertantang meraih prestise dari pencitraan yang dibentuk iklan pada produk tersebut. Kreatifitas produsen iklan tertuntut menjelajahi segala ide dan imajinasi. Iklan yang bersifat unik, lucu, imajinatif, dan yang paling laris iklan yang berbau seksual. Pemangku industri kapitalis seolah mendapatkan angin segar ketika menemukan ide seksualitas sebagai ruh iklan. Hampir tidak ada yang tidak laku dan tak menjadi perbincangan khalayak atas semua produk yang bernuansa seksualitas. Dan lagi-lagi perempuan lah yang lebih dominan yang menjadi representasi seksual. Menurut Courtney dan Whipple (dalam Pohan, 2004:30) baik pria maupun wanita ternyata lebih suka melihat tubuh wanita, karena banyak wanita yang mendefinisikan seksualitas lewat terminologi pria secara objektif. Perempuan dipercaya memiliki aura kuat untuk menjaring konsumen. Lihatlah, misalnya, iklan untuk produksi-produksi hasil rekayasa teknologi mutakhir seperti mobil, komputer, handphone, sampai produk yang remeh temeh, seperti permen karet, hampir semuanya menggunakan perempuan. Tema-tema seksualitas senantiasa laris dan kemudian kapitalis terpikir menjadikannya mesin uang baginya dan menjadikannya katekisme baru, kebutuhan sehari-hari, dan gaya hidup terpopuler khususnya bagi kalangan remaja. Sehingga, menurut Piliang (1998) ekonomi tidak lagi sekedar berkaitan dengan kegiatan pendistribusian barang-barang (hasil produksi) dalam suatu arena pertukaran ekonomi,
Globalisasi Erotika Media
akan tetapi sudah dikuasai oleh semacam libidonomics (nemein = mendistribusikan + libido = energi nafsu), yaitu pendistribusian rangsangan, rayuan, godaan, kesenangan, kegairahan, atau hawa nafsu dalam satu arena pertukaran ekonomi. Transaksi yang dilakukan tidak hanya transaksi saham tetapi juga transaksi seksual, sampai kepada deregulasi tubuh, erotika ekonomi, produksi ekstasi, serta konsumsi ilusi dan halusinasi. Pengaruh iklan akhirnya bersifat multidimensi. Iklan kemudian melahirkan memiliki banyak sisi dan peranan yang lebih digdaya daripada sekedar alat promosi. Realitas dalam iklan lebih bersifat simulasional daripada representasional, simulasi ini menggambarkan sebuah visi tentang dunia yang ditransformasikan melalui imajinasi-imajinasi (Mambat, 2006). Kekuatan retensi iklan ke dalam benak penonton sangat besar membangun doktrin alam bawah sadar. Nilai apapun yang dibawa iklan ke hadapan penonton baik itu positif ataupun negatif, sekalipun disadari bermuatan negatif pun, pengulangan dapat menciptakan dampak yang drastic pada diri penonton. Mengutip Dedy Djamaludin Malik dan Yosal Iriantara (2012), diperkirakan rata-rata remaja menonton 250.000 iklan televisi setiap hari sepulang sekolah. Hitler pun berdalil, siarkan sesering mungkin kata-kata bohongmu, niscaya orang akan percaya dengan kebohonganmu. Sekuat itulah daya rasuk iklan yang tidak terdeteksi radiasi bahayanya oleh para orang tua yang hanya mewaspadai program sinetron dan program berdurasi panjang lainnya. Program pendek penyela tapi bersifat kontinuitas dan retensi, di titik itu kekuatan hipnosis iklan. Dalam teori efek dikatakan pengaruh media masa, pada komunikasi massa cukup efektif dalam mengubah sikap pada bidang-bidang di mana pendapat orang lemah, misalnya pada iklan komersial. Jadi disini bahwa iklan dalam unsur seksual bisa mempengaruhi khalayak umum, apalagi
bagi anak-anak yang mengkonsumsi iklan tersebut maka ini akan sangat tidak mendidik, dan mempercepat pendewasaan dini pada anak. Adapun dampak atau efek yang timbul bagi khalayak umum yaitu rangsangan seksual atau erotik. Rangsangan seksual ini akan timbul akibat adegan-adegan merangsang dalam media massa. Misalnya saja pada iklan-iklan yang dengan terang-terangan mengumbar unsur seks di dalam nya, ini akan mengakibatkan merangsang gairah seksual, meruntuhkan nilai-nilai moral, dan sampai mendorong orang gila seks, atau sampai menggalakan perkosaan (Rahmat, 1986:237). Bila ditinjau kurun beberapa tahun lalu terdapat pergeseran standar berbusana yang dianut masyarakat kita. Beberapa tahun lalu rok mini atau jeans super pendek begitu tidak lazim kita temukan dikenakan para wanita di tempat-tempat umum. Sekalipun ada itu lantas menjadi bulan-bulanan publik serta sasaran empuk mata-mata lelaki liar. Tapi kini kita bisa lihat atmosfer yang sangat berbeda. Pakaian minim begitu menyemarak di kota ataupun pelosok desa. Ide ketelanjangan ini berbalut rapi oleh minset masyarakat akan kekinian, update gaya hidup dan semangat kebebasan individu. Sehingga masyarakat kita kini seksual minded dan sensual oriented. Segala sisi yang terpublikasi dalam media selalu berimbuh seksi, sedikit atau banyak. Dalam porsi kecil kita bisa tengok cara berpakaian news caster kini lebih sedikit terbuka dibanding beberapa tahun lalu. Dulu, pembawa berita senantiasa terbiasa kita lihat berbalut jas tertutup, bertangan panjang, atau setengah lengan dan tipe kerah leher yang tertutup. Tapi kini, kesan tampilan lingkungan metropolis cenderung ingin lepas dari konvensional. Konteks tersebut akhirnya lari ke dalam jebakan kebebasan dan penghindaran pola-pola baku dalam memegang gaya hidup. Dalam porsi besar; tema iklan, tema majalah, karakter dominan pelaku sinetron dan iklan remaja
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
81
Mardiah Hapsah
acapkali berpenampilan seksi. Pakaian seksi bukan lagi perkara sensasional, akan tapi lumrah. Alhasil, kapitalisme industri membunuh keajegan budaya luhur kita dengan menjegal sedini mungkin perkembangan moral manusia Indonesia dengan maraknya perkara seksualitas yang terpublikasikan tanpa well-educated bahkan amoral. Eksploitasi Seksualitas dalam Iklan Televisi Istilah “seks” secara etimologis, berasal dari bahasa Latin “sexus” kemudian diturunkan menjadi bahasa Perancis Kuno “sexe”. Istilah ini merupakan teks bahasa Inggris pertengahan yang bisa dilacak pada periode 1150-1500 M. “Seks” secara leksikal bisa berkedudukan sebagai kata benda (noun), kata sifat (adjective), maupun kata kerja transitif (verb of transitive). Secara terminologis seks adalah nafsu syahwat, yaitu suatu kekuatan pendorong hidup yang biasanya disebut dengan insting/ naluri yang dimiliki oleh setiap manusia, baik dimiliki laki-laki maupun perempuan yang mempertemukan mereka guna meneruskan kelanjutan keturunan manusia. Seksualitas merupakan suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan seks. Dalam pengertian ini, ada dua aspek (segi) dari seksualitas, yaitu seks dalam arti sempit dan seks dalam arti luas. Seks dalam arti yang sempit berarti kelamin, yang mana dalam pengertian kelamin ini, antara lain: (1) Alat kelamin itu sendiri; (2) Anggota tubuh dan ciri badaniyah lainnya yang membedakan antara laki-laki dan perempuan; (3) Kelenjar-kelenjar dan hormon-hormon dalam tubuh yang mempengaruhi bekerjanya lat-alat kelamin; (4) Hubungan kelamin (sengggama, percumbuan). Segi lain dari seksualitas adalah seks dalam arti yang luas, yaitu segala hal yang terjadi sebagai akibat (konsekwensi) dari adanya perbedaan jenis kelamin, antara
82 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
lain: (1) Pembedaan tingkah laku; kasar, genit, lembut dan lain-lain; (2) Perbedaan atribut; pakaian, nama. (3) Perbedaan peran dan pekerjaan; (4) Hubungan antara pria dan wanita; tata krama pergaulan, percintaan, pacaran, perkawinan dan sebagainya. Adapun makna eksploitasi menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) memiliki arti pengusahaan, pendayagunaan; pemanfaatan untuk keuntungan sendiri; pengisapan; pemerasan (tt tenaga orang) atas diri orang lain merupakan tindakan yg tidak terpuji. Kata “mengeksploitasi berarti mengusahakan; mendayagunakan; mengeruk kekayaan; memeras tenaga orang lain. Apabila dipadankan menjadi “eksploitasi seksualitas” kita dapat menerjemahkan secara bebas dan menemukan maknanya sebagai berikut: segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan. Eksploitasi seksualitas yang dilakukan pihak produsen iklan suatu barang atau jasa merupakan suatu proses mengambil manfaat dari organ tubuh seksual dari korban eksploitasi baik secara visual, audio ataupun gambar gerak dalam frame sebuah iklan sebagai sarana mengambil keuntungan industrialnya. Kategori eksploitasi seksual mencakup: (1) Visual; (2) Audio; (3) Narasi; (4) Kontekstual/implisit. Aturan KPI Tentang Iklan Layak Tayang Pemerintah dalam ruang kekuatannya telah berusaha membendung budaya yang masuk melalui media salah satunya iklan yang diproduksi sedemikan rupa demi keterjualan produk. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan perwakilan pemerintah sebagai badan pemantau dan sensor penyiaran media.
Globalisasi Erotika Media
Bagi penayangan sebuah program siaran termasuk segmen iklan yang dilakukan stasiun televisi, KPI mewajibkan kepada pihak stasiun televise untuk mengacu pada Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Berikut pasal-pasal dalam SPS tentang aturan penayangan yang berkaitan dengan seksualitas: Bagian Pertama tentang Pelarangan Adegan Seksual, dalam Pasal 18, program siaran yang memuat adegan seksual dilarang: a. menayangkan ketelanjangan dan/atau penampakan alat kelamin; b. menampilkan adegan yang menggambarkan aktivitas seks dan/atau persenggamaan; c. menayangkan kekerasan seksual; d. menampilkan suara yang menggambarkan berlangsungnya aktivitas seks dan/ atau persenggamaan; e. menampilkan percakapan tentang rangkaian aktivitas seks dan/atau persenggamaan; f. menayangkan adegan dan/atau suara yang menggambarkan hubungan seks antarbinatang secara vulgar; g. menampilkan adegan ciuman bibir; h. mengeksploitasi dan/atau menampilkan bagian-bagian tubuh tertentu, seperti: paha, bokong, payudara, secara close up dan/atau medium shot; i. menampilkan gerakan tubuh dan/atau tarian erotis; j. mengesankan ketelanjangan; k. mengesankan ciuman bibir; dan/atau l. menampilkan kata-kata cabul Bagian Kedua tentang Seks di Luar Nikah, Praktek Aborsi, dan Pemerkosaan, Pasal 19: (1) Program siaran dilarang memuat pembenaran hubungan seks di luar nikah. (2) Program siaran dilarang memuat praktek aborsi akibat hubungan seks di luar nikah sebagai hal yang lumrah dan dapat diterima dalam kehidupan bermasyarakat. (3) Program siaran dilarang memuat pembenaran bagi terjadinya pemerkosaan dan/atau menggambarkan pemerkosaan sebagai bukan kejahatan serius.
Bagian Ketiga tentang Muatan Seks dalam Lagu dan Klip Video, dalam Pasal 20: (1) Program siaran dilarang berisi lagu dan/ atau video klip yang menampilkan judul dan/atau lirik bermuatan seks, cabul, dan/ atau mengesankan aktivitas seks. (2) Program siaran yang menampilkan musik dilarang bermuatan adegan dan/atau lirik yang dapat dipandang menjadikan perempuan sebagai objek seks. (3) Program siaran dilarang menggunakan anak-anak dan remaja sebagai model video klip dengan berpakaian tidak sopan, bergaya dengan menonjolkan bagian tubuh tertentu, dan/atau melakukan gerakan yang lazim diasosiasikan sebagai daya tarik seksual. Bagian Keempat tentang Perilaku Seks, Pasal 21 memuat: Program siaran yang menampilkan muatan mengenai pekerja seks komersial serta orientasi seks dan identitas gender tertentu dilarang memberikan stigma dan wajib memperhatikan nilai-nilai kepatutan yang berlaku di masyarakat. Bagian Kelima mengenai Program Bincang-bincang Seks, Pasal 22 mengatur: (1) Program siaran yang berisikan pembicaraan atau pembahasan mengenai masalah seks wajib disajikan secara santun, berhati-hati, dan ilmiah didampingi oleh praktisi kesehatan atau psikolog, dan hanya dapat disiarkan pada klasifikasi D, pukul 22.00-03.00 waktu setempat. (2) Program siaran tentang pendidikan seks untuk remaja disampaikan sebagai pendidikan tentang kesehatan reproduksi dan disajikan dengan cara yang sesuai dengan perkembangan usia remaja, secara santun, berhati-hati, dan ilmiah didampingi oleh praktisi kesehatan atau psikolog. (3) Program siaran yang berisikan perbincangan atau pembahasan mengenai orientasi seks dan identitas gender yang berbeda wajib disajikan secara santun, berhati-hati, dengan melibatkan pihak yang berkompeten dalam bidangnya.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
83
Mardiah Hapsah
Terkhusus dalam kategori iklan, dari data terakhir KPI, lembaga ini telah melakukan peneguhan dan sanksi bagi beberapa produk yang beriklankan unsur-unsur yang tidak dilegalkan dalam P3 dan SPS KPI. Data iklan yang mendapatkan sanksi KPI pada awal tahun 2013 dapat dilihat dalam tabel:
Kekuatan KPI dalam menghambat gerak dekstruksi budaya via iklan bernuansa seksual memiliki beberapa celah kekurangan. Yang pertama, seperti kita saksikan, beberapa merk iklan yang mendapatkan teguran diatas, sebelumnya sempat dahulu muncul beberapa pekan atau bulan lalu kemudian menghilang. Dengan regulasi dan
Tabel 1. Iklan yang Mendapat Sanksi dari KPI pada Semester Pertama 2013 No.
Merk Produk Iklan
Tanggal
Kategori Produk
Item Pelanggaran
1.
Sutra Biliar
9 Juli 2013
Alat kontrasepsi
Kamera menyorot secara medium bagian dada dari tubuh para talent wanita
2.
Ovutest Scope
6 Mei 2013
Alat tes kesuburan
Jam siar pukul 21.33 WIB, sedangkan iklan dewasa ketentuannya pada pukul 22.00-03.00
3.
On Clinic
23 April 2013
Jasa konsultasi vitalitas seks
Jam siar pukul 12.45 WIB, sedangkan iklan dewasa ketentuannya pada pukul 22.00-03.00
4.
Johnson’s baby Milk Bath
20 Juni
Sabun bayi
Menampilkan mandi bersama antara anak perempuan dan wanita dewasa dengan mengesankan ketelanjangan
5.
Avian Cat Kayu dan Besi
20 Juni
Alat
Kamera secara close up menyorot bagian paha dari tubuh talent wanita
6.
Durex Fetherlite
11 Maret 2013
Kondom
Menampilkan rentetan adegan pra hubungan badan serta menshoot bagian paha talent wanita
7.
Tri ndie+ (semua 24 Juli 2013 versi; versi Anak Laki-laki dan Anak Perempuan)”
Seluler
Menampilkan adegan dan narasi yang tidak layak diperankan dan diucapkan anak-anak dengan kapasitas berpikir dan berperilaku orang dewasa
8.
Softener So Klin Twilight Sensation
24 Mei 2013
Pelembut pakaian
kamera menyorot secara close up tubuh bagian paha dan beberapa kali kamera menyorot secara medium shot tubuh bagian dada talent wanita.
9.
Tri Always On versi perempuan
21 Mei 2013
Seluler
Menampilkan narasi kebebasan: “Katanya aku bebas berekspresi, tapi selama rok masih di bawah lutut.” dan “Hidup ini singkat, mumpung masih muda, nikmati sepuasnya, asal jangan lewat dari jam 10 malam.” Dan adegan berpelukan dengan kesan tanpa busana
10.
Citra-Spotless white UV
6 Mei 2013
Alat kecantikan
beberapa kali kamera menyorot tubuh bagian paha talent wanita secara close up.
11
Bask
19 Maret 2013 Kosmetik pria
kamera menyorot tubuh bagian paha salah satu talen wanita yang sedang beradegan duduk secara close up
(Sumber: www.kpi.go.id)
84 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Globalisasi Erotika Media
Kekuatan KPI dalam menghambat gerak dekstruksi budaya via iklan bernuansa seksual memiliki beberapa celah kekurangan. Yang pertama, seperti kita saksikan, beberapa merk iklan yang mendapatkan teguran diatas, sebelumnya sempat dahulu muncul beberapa pekan atau bulan lalu kemudian menghilang. Dengan regulasi dan mekanisme yang dijalankannya, tentu saja pesan iklan lolos terjun ke publik dan telah tertancap kuat di benak masyarakat kendati dalam beberapa kurun waktu saja. Yang kedua, disamping itu juga unsur seksualitas yang ditampilkan, di tangan daya kreatif tinggi produsen iklan dan canggihnya teknologi, tidak hanya termuat dalam bentuk visual, audio, dan gambar hidup (petanda). Akan tetapi terdapat juga muatan yang berbentuk konteksual (budaya/penanda) yang berhasil menyelundupkan pesan seksualitas meremang di beberapa iklan nakal. Ketiga, kesamaran dan tipis, dan implisitnya muatan seksual yang terkandung dalam beberapa iklan, yang digenapkan akumulasinya dengan permisifme masyarakat yang telah terbangun pondasinya oleh faktor desktruktor budaya lainnya. Contohnya si iklan memang tidak menampilkan adegan ciuman, akan tetapi gerakannya menghampiri adegan tersebut, tapi kesan itu diteruskan oleh imajinasi individual penonton. Dan mungkin ini yang kita kategorikan iklan yang
sexual minded. Diperkeruh lagi, Klasifikasi jam 22.00-03.00 tampaknya hanya berlaku untuk kategori program selain iklan, karena pada faktanya iklan yang sexual minded masih berhamburan pada jam siang hari dimana semua lapisan usia penonton hadir termasuk anak-anak dan remaja yang masih labil dengan filterisasi diri yang lemah. Bayangan hitam di balik iklan-iklan sexual minded tersebut sedikit memunculkan kemiripan dari apa yang diisyaratkan Foucault (1997) dimana mendefinisikan seksualitas dalam hubungannya dengan sejarah: Seksualitas (sexualist) adalah nama yang dapat diberikan pada suatu sistem historis, bukan realitas bawahan yang sulit ditangkap, melainkan jaringan luas di permukaan tempat rangsangan badaniah, intensifikasi kenikmatan, dorongan terbentuknya wacana, pembentukan pengetahuan, pengokohan pengawasan dan tentangan, saling berkait sesuai dengan strategi besar pengetahuan dan kekuasaan”. KPI dengan sumber daya yang dimilikinya tentu sudah berupaya membendung alur karakter iklan yang mengekploitasi seksualitas di luar kepatutan, tetapi menurut kajian penulis, banyak konten iklan di televisi yang memuat unsur tersebut yang acapkali berkelit dari filter regulasi KPI, seperti iklan-iklan pada tabel 2 berikut:
Tabel 2. Iklan yang Mengandung Konten Pornografi No 1.
2
3.
Merk Axe versi kencan bidadari
Jenis Produk Eksploitasi Unsur Seksual K o s m e t i k / p a r f u m Visual: adegan beberapa talent pria wanita menghampiri talent pria yang tengah berada di ranjang dengan sederet gerak sensual Sensitive Com- Alat tes kehamilan Visual: talent wanita menirukan pact cara menggunakan tes kehamilan diatas kloset dengan setengah berpakaian Regazza Parfum Visual: terdapat adegan berpelukan antara talent wanita berbusana sensual dengan talent pria
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
85
Mardiah Hapsah
Lanjutan Tabel 2. Iklan...
No 4.
Merk Bellaghio
Jenis Produk Parfum pria
5.
Coca Cola ver- Minuman si nonton bola bareng
Visual dan kontekstual: terdapat talent wanita memakai pakaian casual yang minim menunggu pintu terbuka dengan fose sensual. Kontekstual: narator “..dan kamu menangin dia” diiringi adegan saring menatap antara talent pria dan wanita
6.
Garuda kacang
Makanan
Narasi: “ini kacangku” selalu dituturkan oleh talent wanita cantik nan seksi
7.
Giv
Sabun
Visual: dengan beberapa talent selebritis wanita terkenal hampir semua versi iklan produk ini menampilkan visual sensual dengan busana minim atau telanjang yang samar yang tetap memunculkan imaji erotis
8.
Torabika Duo
Minuman
Narasi: “pas susunya” dengan intonasi tertentu menimbulkan ambigu makna objek.
9.
Frestea versi Minuman Aura Kasih
Visual: talent wanita berjalan dengan pakaian yeng menonjolkan ukuran dada dan rok mini. Terdapat adegan talent pria menatap tubuh talent perempuan
10.
XL Rp. 1/dtk
Visual: menampilkan talent wanita yang memakai t-shirt ketat dengan front Rp.1/dtk tepat di dadanya. Hal ini menimbulkan persepsi ganda mengenai objek yang bernilai Rp.1/dtk.
Seluler
Eksploitasi Unsur Seksual Visual: di penghujung iklan talent pria bertemu dengan talent wanita bergaun sensual berpelukan disertai adegan sensual
(Sumber: hasil observasi, wawancara dan analisis dokumen yang telah diolah)
86 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Globalisasi Erotika Media
Bila kita amati secara seksama masih banyak iklan-iklan produk yang bertebaran hingga kini yang menyiratkan daya sensualitas dimulai dari obat diet, alat pelangsing, coklat, tempat tidur, mobil, permen, balsem, sampai pompa air. Begitu banyak lorong kecil dalam media yang dengan mudah diisi muatan sensualitas yang tak terdeteksi regulasi dan policy pemerintah. Akhirnya kapitalisme buta melansir iklan berbahasa dan berkonteks seksual dan sensual, ditonton masyarakat polos dan naïf yang naluri primitinya rentan tersulut stimulus-stimulus birahi. Menurut Tom Reichert, seorang professor komunikasi dan periklanan dari amerika serikat mengatakan bahwa upaya para pemasar di barat untuk menjual produk dengan memanfaatkan imaji – imaji seksual sudah di laksanakan sejak tahun 1850an. Memang benar seperti penelitian yang dilakukan oleh The Commission on Obscenity and Pornography di Amerika Serikat dengan penelitiannya yang cukup luas, menyatakan bahwa terpaan erotica atau tayangan erotis walaupun singkat itu semisal dalam iklan tetap saja akan membangkitkan gairah seksual pada kebanyakan pria dan wanita, dan disamping itu juga dapat menimbulkan reaksi-reaksi emosional lainnya seperti; resah, impulsif, agresif, dan gelisah. Pertikaian yang tidak seimbang antara seksualitas industri yang canggih akhirnya mengalahkan rambu-rambu dan norma-norma tradisional yang tidak sigap mengimbangi diri. Inilah yang ditengarai Djamaludin Ancok sebagai praktek seksual eksperimental yang tidak bertanggung jawab akibat objektifikasi model seksual Barat yang mudah didapat (Media Indonesia, edisi 19 Desember 1996). Pangsa pasar yang paling empuk dari gempuran budaya seksual ini tentunya adalah anak-anak, remaja dan kaum muda. Deretan kelas usia tersebut sangatlah rentan dengan hal yang berbau sensual karena berdampak kritis pada aspek perkembangan pskilogis dan biologisnya. Dalam acara ‘Seminar Eksekutif Penanggulangan Adiksi Pornografi’ di Hotel Grand Kemang, Jakarta, Dr. Mark B. kastlemaan, pakar adiksi pornografi dari USA memaparkan bahwa gambar visual seksual dapat memberi dampak langsung
pada perkembangan otak anak dan remaja serta berpotensi menyebabkan kerusakan otak permanen bila tidak segera diatasi. Menurut Dr Mark, ada dua bagian otak yang masing-masing berfungsi untuk berpikir logika (Pre Frontal Corteks atau bagian otak depan) dan emosi reaktif (sistem limbik atau bagian tengah otak). Pada bagian Pre Frontal Corteks (PFC), otak bertanggung jawab untuk mengontrol konsekuensi, tujuan masa depan, kecerdasan dan rasa peduli dengan orang lain. Sedangkan pada bagian limbik, otak bertanggung jawab untuk melindungi dari bahaya, keinginan untuk bersenang-senang, tidak peduli dengan konsekuensi dan hanya peduli pada diri sendiri (ego). Pornografi sangat rentan pada anak dan remaja karena bagian logika otak belum berkembang dengan baik. Mark B. Kastlemaan (2010), pakar adiksi pornografi dari Amerika dalam Seminar Eksekutif Penanggulangan Adiksi Pornografi’ di Hotel Grand Kemang, Jakarta, Senin (27 September 2010) menjelaskan, ada tiga tahapan perkembangan otak, yaitu koneksi, pemangkasan dan myelinasi. Koneksi adalah ketika anak-anak membawa informasi dari lingkungan sekitar dan menyimpannya di neuron (sel-sel otak). Terdapat triliunan sel-sel otak yang saling terkait. Pada tahapan ini bagian limbik otak berkembang sangat awal dan mencapai puncak pada usia 3 bulan, sedangkan bagian logika (PFC) baru mencapai puncak pada usia 3 tahun. Pada tahap pemangkasan, otak melakukan pemilihan informasi mana yang bisa digunakan dan mana yang dibuang. Sambungan-sambungan saraf yang digunakan akan tetap dan menjadi kuat, sedangkan yang tidak digunakan akan “hilang”. Pada tahapan ini, limbik akan hilang atau terpangkas di usia 5 tahun, sedangkan PFC belum lengkap sampai usia 16 tahun. Tahap selanjutnya adalah Myelinasi yaitu proses neuron dilapisi oleh zat yang berlemak, licin seperti lilin yang disebut myelin. Bagian limbik akan mengalami proses myelinasi pada usia 7-8 tahun (otak kelihatan seperti “orang dewasa”), sedangkan PFC belum lengkap sampai usia 25 tahun.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
87
Mardiah Hapsah
Dari tiga tahapan otak tersebut sangat jelas bahwa bagian otak limbik yang tidak peduli dengan konsekuensi berkembang lebih dulu. Pada anak dan remaja yang bagian otak logikanya belum berkembang, pornografi akan sangat berpengaruh dan rentan menyebabkan adiksi (kecanduan) serta bisa merusak tumbuh kembang otak anak. Pada pecandu pornografi, lebih lanjut Mark B. Kastlemaan (2010) menjelaskan, otak akan merangsang produksi dopamin dan endorfin, yaitu suatu bahan kimia otak yang membuat rasa senang dan merasa lebih baik.Dalam kondisi normal, zat-zat ini akan sangat bermanfaat untuk membuat orang sehat dan menjalankan hidup dengan lebih baik. Tapi dengan pornografi, otak akan mengalami hyper stimulating (rangsangan yang berlebihan), sehingga otak tidak bekerja dengan normal bahkan sangat ekstrem, yang kemudian bisa membuatnya mengecil dan rusak. Jika bagian otak limbik selalu digunakan untuk pornografi pada anak dan remaja, maka bagian otak yang bertanggung jawab untuk logika akan mengalami cacat, karena otak hanya mencari kesenangan tanpa adanya konsekuensi. Dengan rusaknya otak, maka anak dan remaja akan mudah mengalami bosan, merasa sendiri, marah, tertekan dan lelah. Selain itu, dampak yang paling mengkhawatirkan adalah penurunan prestasi akademik dan kemampuan belajar, serta berkurangnya kemampuan pengambilan keputusan. (Mark, 2010). Krisis Etika Sebagai Dampak Globalisasi Erotika Media Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia etika berarti ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Sedangkan etika menurut filsafat dapat disebut sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Pada dasarnya,etika membahasa tentang tingkah laku manusia.
88 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia disetiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran (kriteria) yang berlainan. Adapun globalisasi bermakna proses masuknya ke ruang lingkup dunia. (KBBI: 2013). Artinya terjadi perluasan lingkup secara lintas negara dalam suatu proses tertentu dimana sebelumnya lingkup gerak suatu proses tersebut lebih kecil misalnya berskala nasional ataupun regional. Sedangkan makna “Erotika” berasal dari “Erotis” yang memiliki arti berkenaan dengan sensasi seks yg menimbulkan rangsangan; bersifat merangsang nafsu berahi; berkenaan dng nafsu berahi. Erotika memberi imbuhan makna kebendaan, atau kata benda yang bermakna abstrak, yang artinya suatu kondisi atau suatu hal yang sifatnya berkenaan dengan nafsu kelamin dan keberahian. (KBBI:2013) Penulis mengangkat istilah globalisasi erotika ke tengah ruang penelitian ini berdasarkan pengamatan akan mengemukanya fenomena eksploitasi seksual yang merebak dalam iklan-iklan televisi dimana yang kita tahu periklanan merupakan salah satu sub agen vital dari gerak kerja proses globalisasi itu sendiri. Tak berlebihan kiranya kondisi general yang diwakili dengan istilah “globalisasi erotika” menjadi grand tema yang faktual adanya dalam realitas kehidupan masyarakat kini. Globalisasi erotika memiliki makna proses penyeragaman yang terjadi dalam tatanan kemasyarakatan kita yang penulis angkat sebagai istilah yang mewakili era yang begitu kental dengan segala fasilitas yang melesatkan sosial kemasyarakatan dan mengantarkannya pada
Globalisasi Erotika Media
transformasi budaya seksual sebagai bentuk benturan yang tak seimbang dan bahkan bisa jadi sebagai pergeseran dari paradigma seksualitas timur ke dalam konstruk seksualitas Barat yang liberal (Hidayat: 2003). Pergeseran dua budaya ini mirip dengan apa yang diistilahkan Foucault sebagai ars erotica dan scientia sexualis (Foucault: 1997). Ars erotica mewakili preferensi agama dan budaya timur Indonesia dimana seks dipahami sebagai seni dan keindahan misterius yang mesti dijaga kerahasiaannya. Norma-norma, batasanbatasan, dan larangan-larangan tertentu diciptakan tidak untuk mencegah tindakan seksual, tetapi membimbing pengalaman seksual demi menghampiri misteri padanya. Sedangkan scientia sexualis tereprentasikan dalam budaya liberalisme Barat dimana secara berlawanan, menempatkan seks positivistik dengan membongkar, mengeksplisitkan, merasionalisasi, dan menalarkannya melulu sebagai aspek kosong. (Foucault: 1997). Globalisasi artinya penyeragaman kesadaran. Masyarakat dunia diformat dengan sikap, perspektif, dan perilaku yang seragam lewat berbagai media. Media digunakan sebagai setrika pasar bebas untuk meratakan identitas manusia dan kultur kedaerahan. Akhirnya dunia yang awalnya dihuni oleh berbagai manusia dengan perspektif dan kultur yang beragam, diubah menjadi sebuah dunia yang satu. Satu dunia untuk beberapa orang. Satu dunia untuk mereka yang memiliki modal besar dan para pengusaha kelas dunia. Menurut pengamatan penulis telah jelas dalam tatanan kemasyarakatan kita kini telah muncul pertanda dan penanda penyeragaman ide seksualitas yang digawangi media-media, dan salah satu agennya adalah iklan televisi, di hampir seluruh wilayah negara ini melalui tayangan televisi baik eksplisit maupun implisit. Sehingga dampaknya yang paling terasa adalah banyak terjadi pergeseran nilai budaya, pemikiran, gaya
hidup dari tradisi ketimuran yang memelihara kesopanan dimana ihwal seksualitas hanya ada dalam ranah pribadi keluarga dan pasca pernikahan, menuju budaya barat yang menempatan seksualitas sebagai konsumsi massal publik. Meminjam analisis Emha Ainun Najib, dimana seksualitas tidak hanya ditenteng-tenteng, tetapi direproduksi, dikonstruksi, dan dikembangkan daya fantasinya. Konstruk budaya barat yang bermitra dengan kapitalisme industri lebih kritis lagi, seksualitas menjadi komoditi dan sumber daya ekonomi yang tidak pernah memiliki batas kepunahan seabadi misterius dan dahaga birahi manusia yang tidak pernah tuntas dijelajahi. Globalisasi erotika menuntun masyarakat terutama remaja dan anak muda tidak hanya mengenali sentimen-sentimen seksual yang inheren dalam dirinya, tetapi juga mendorongnya, menggoda, dan memberikan penghargaan yang tinggi bagi perilaku seks bebas serta menciptakan keberanian dan kelugasan dalam diri remaja dan anak muda untuk tidak percaya, meremehkan, meminggirkan norma-norma yang diyakini orang tuanya sebagai pengalaman seksualitas mereka. Remaja dan kaum muda di era globalisasi erotika ini kini berani untuk menyimpang dan menerobos batas-batas dosa dan larangan. Disamping agama yang norma yang mengekang kebebasan naluriah erotisnya, mereka lebih memilih budaya popular barat yang menggairahkan. Agama dan moralitas tergantikan validitas baru seksualitas yang lebih bisa diterima mindset liberalisme-nya dengan artikulasi hasrat seksual dalam bentuk budaya popular objektif (Hidayat: 2003). Ada sebuah ilustrasi sederhana dari Anthony Giddens (2001) mengenai globalisasi yang lugas dan terang: “Teman saya mempelajari kehidupan desa di Afrika Tengah. Beberapa tahun yang lalu, ia menghabiskan kunjungan pertamanya ke sebuah daerah pelosok
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
89
Mardiah Hapsah
di mana ia akan melakukan studi lapangan. Pada hari kedatangannya, ia diundang ke sebuah rumah warga setempat untuk menyaksikan hiburan malam. Ia berharap akan dapat menyaksikan pertunjukkan tradisional komunitas yang terisolir itu. Ternyata yang terjadi justru sebaliknya, acaranya adalah menonton film video Basic Instinct. Padahal film tersebut bahkan pada saat itu belum diputar di bioskop-bioskop di London” Kondisi yang mengejutkan si pelaku dalam cerita ini persis terjadi yang ada di masyarakat kita. Globalisasi membuat banyak kejutan kecut ketika kita tengok bagaimana tidak hanya di mall besar saja yang kini menggandrungi rok mini, tapi juga di daerah terpelosok dalam jarak puluhan mil pun gadis desa melenggok di pinggir pematang sawah penuh percaya diri berbusana persis dengan gadis di mall tadi. Bagaimana kita tidak dibuat cengang ketika iklan alat kontrasepsi yang menjanjikan jaminan bebas kehamilan, tidak hanya menginspirasi banyak kaum muda megapolitan untuk mencoba pengalaman birahi kelam, bujangan di dusun kecil pun tergoda mencoba apa yang dipertontonkan layar kaca di rumahnya. Dan sedahsyat itu globalisasi beserta perangkat-perangkat canggih nanpintanya menjamah dengan magis apapun yang ia sentuh. Bila nilai yang disentuh globalisasi adalah nilai kebaikan, maka seantero nusantara tersirami rata oleh kesejukannya. Dan bila yang disentuh globalisasi bernilai desktruktif, maka negeri ini hanya tinggal menunggu dentang kehancurannya. tonggak kesuksesan gelombang era erotika adalah titik nadir peradaban manusia sebagai makhluk beretika. Keberhasilan manusia menggapai segala kebebasannya menjadi keterpurukan moralitasnya sebagai makhluk termulia di alam semesta. Dan globalisasi erotika menjadi boomerang keluhuran suatu bangsa.
90 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Dan bila kita melihat ke belakang, sepanjang rentang peradaban manusia, tiap zaman memiliki titik nadirnya. Masa kelam suatu masyarakat lazim ditengarai adanya pengingkaran suatu masyarakat pada Tuhan serta pengabaian akan perintah dan larangan-Nya yang kemudian diikuti berbagai penyimpangan agama dan norma. Ketika manusia memutuskan hubungannya dengan Tuhan demi kebebasan nalar dari kekangan norma dan agama, aturan-aturanpun dirubah sesuai kehendak bebasnya. Neraca kebaikan dan keburukan begitu labil dan tidak paten karena tolok ukurnya adalah hawa nafsu yang tidak memiliki pijakan pasti. Di dalam hampir seluruh sejarah dari berbagai negara dan di titik usia semesta manapun, penguburan Tuhan selalu melahirkan kerusakan peradaban dan anomali sosial, selain memang usaha pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami banyak kemajuan pesat, akan tetapi tetap saja memiliki efek samping yang lebih vital. Contoh terdekat adalah apa yang kita sebut dengan zaman Auflarung atau Pencerahan yang bermula pada akhir abad 19 berpangkal dari berbondong-bondongnya manusia meninggalkan gereja dengan segala kekecewaan akan keyakinannya. Adalah friedrich Nietzsche pengumandang lantang bahwa “Tuhan telah mati” ditemani riuhnya ruang-ruang labolatorium penemuan ilmiah karya Newton Copernicus serta gagasan Mesin Uap menjadi gerbang fajar baru yang menyinari sebuah dunia baru dengan segala pencapaiannya yang luar biasa dan menandai lahirnya sebuah millennium baru dengan pegangan ilmu pengetahuan,kemajuan, teknologi, modernisasi, industrialisasi dan sekulerisme sebagai katekisme baru, beriring dengan terusirnya bayang tuhan yang mengganjal segala denyut kemajuan lahiriah manusia. (Ahmad, 2004). Dan tidak lama setelah itu kerusakan mengecambah, perang dunia I dan II membantai 70 juta jiwa, kejahatan merebak, penyalahgunaan narkoba menjalar, dan penyimpangan serta pelecehan seksual menyeruak.
Globalisasi Erotika Media
Perilaku seksual amoral dan penyimpangan seksualitas menjadi efek ikutan (collateral damage) dari marginalisasi agama dan norma dalam berbagai riwayat umat manusia. Jalan kisah umat nabi Nuh yang terperosok ke dalam hitamnya perilaku homoseksual bermula dari telah jauhnya arah kehidupan mereka dari ajaran nabi Adam. Penghinaan tradisi masyarakat Arab terhadap kedudukan perempuan sedemikian sadisnya, hingga bayi perempuan harus dikubur hidup-hidup serta kaum perempuannya senantiasa dilabeli makhluk najis karena kodrat haidnya, merupakan pertanda kejahiliahannya yang telah terputus sekian lama dari kemurnian risalah Nabi Isa. Globalisasi erotika yang menganga di abad kini mungkin de javu dari kisah-kisah faktual di atas. Terkikisnya pondasi keyakinan kita pada agama dan Tuhan dan digantikan katekisme material dan kesenangan lahiriah sementara merupakan simbolik kejahiliah yang tengah kita hadapi. Penyimpangan dan eksploitasi seksual keniscayaan dekadensi moral manusia yang harus segera kita pahami akar problematikanya dan segera dilerai benang kusut polemiknya. Aturan yang diturunkan Tuhan dalam kerangka agama untuk senantiasa mengkonservasi seksualitas dalam koridornya yang aman dan luhur dalam lingkaran pernikahan yang sakral. Pengangkatan tema-tema seksualitas semestinya ada dalam tataran pendidikan yang berbasis bimbingan agama dan ketertundukkan di bawah ketaatan Ilahiah. Perilaku moral diantaranya dalam seksualitas juga merupakan suatu tanggung jawab dan amanah dari Tuhan, yang telah melimpahi manusia dengan anugerah kehidupan, kesadaran dan kehendak bebas. PENUTUP Manakala penguatan kognitif dan karakter remaja telah dibangun, pendidikan dan bimbingan mengenai seks secara benar dan tepat diberikan di dalam lembaga keluarga
sebelum masuk ke lingkungan luar, seyogyanya pemahaman yang keliru tentang seksualitas dan perilaku seks menyimpang akan dapat dihindari. Kesalahan masyarakat tradisional dalam menginterpretasikan agama mengenai seks secara rigid dengan menabukan perihal seksualitas semestinya direformasi ulang sehingga dapat menggagalkan remaja dan kaum muda untuk mendapatkannya cemilan haram dari dunia luar yang liar. Yang menjadi faktor terbesar dari problematika ini sebenarnya muncul dari ketidaksepakatan semua belahan masyarakat sosial kita di dalam menyetir ke arah mana armada kemajuan bangsa ini berhaluan. Utamanya yang menjadi pemegang kendali adalah pihak yang menahkodai perindustrian dan media massa. Pihak ini seharusnya memiliki kesadaran bahwa melulu menuruti kehendak kapitalisme dunia hanya akan mengorbankan bangsa ini. Keberlangsungan hidup perindustrian akan lebih bertahan lama dan seimbang apabila sejalan simetris dengan kemajuan moral bangsa Kesadaran masyarakat khalayak pun harus dipupuk sehingga mampu menjadi masyarakat bijak dan memiliki ketahanan karakter di dalam mementahkan gempuran budaya industri populer yang berviruskan erotisme. Ketahanan keluarga di tengah era globalisasi akan lebih kuat dengan menggalakkan budaya selektif dalam menerima segala bentuk transformasi informasi dari luar. Budaya industri popular jangan sampai mengambil alih peran orang tua dan agama dalam mengantarkan remaja memasuki kehidupan seksualnya (Hidayat; 2003). Pemerintah pun patutnya beraksi lebih sigap mengerahkan segala sisi kekuatannya karena hal ini merupakan bentuk penjajahan modern atas masyarakat dalam matriks yang lebih canggih tetapi lebih brutal dan massif dampak eksesnya.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
91
Mardiah Hapsah
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Saiyad Fareed dan Ahmad, Saiyad Salahuddin. (2008). Lima Tantangan Abadi terhadap Agama dan Jaaban Islam terhadapnya. Bandung: Mizan Bachtiar, Ferry. (2012). Figur wanita sebagai penarik pandang dalam iklan. [Online]. Tersedia: http://illaundaitti. blogspot.com/2013/08/figur-wanita-sebagai-penarik-pandang.html [12 Juli 2013] Evans, Andre. (2012). Cabut diri Anda: Bagaimana iklan dan hiburan bentuk bawah sadar Anda. [Online]. Tersedia: http://id.muslimvillage. com/2012/01/13/18308/unplug-yourself-how-advertising-and-entertainment-shapes-your-subconscious/. [12 Juli 2013] Foucalt, Michael (1997). The History of Sexuality. Gramedia, Jakarta. Giddens, Anthony. (2001). Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita. Jakarta: Gramedia. Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang. (2013). Pengertian Ekploitasi Seksual. [Online]. Tersedia: http:// gugustugastrafficking.org/index. php?option=com_contentdanview=articledanid=58:eksploitasi-seksual-dancatid=117:pengertiandanItemid=142. [12 Juli 2013] Hardiman, Francisco Budi. (2009). Melampaui Positivisme dan Modernitas, Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta: Kanisius. Hidayat, Rachmad. (2003). Seksualitas Anak Muda dan Birahi Kebudayaan. Jurnal Mahasiswa Balairung UGM Edisi 36/XVII/2003. Kasali, Rhenald. (2013). Televisi, Kita, dan Perubahan: Cameragenic VS Auragenic. Jakarta: Gramedia. KPI (2013), Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). [Online].Tersedia: http://www.kpi.go.id. [12 Juli 2013].
92 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Mambat, Dede Yuliandra. (2006) Jalan Tengah Memahami Iklan. [Online]. Tersedia: http://ramakertamukti.files.wordpress. com/2008/08/dinamika-periklanan. doc. [12 Juli 2013]. NN (2008). Iklan Yang Menghipnosis. [Online]. Tersedia: http://bettermind.wordpress.com/2008/09/12/ iklan-yang-menghipnosis/[12 Juli 2013]. NN, (2012). Masyarakat Konsumsi. [Online]. Tersedia: http://paradigmabebas.blogspot.com/2012/04/masyarakat-konsumsi-dalam-pandangan.html. [12 Juli 2013] Nurhadi. (2006). Realitas dalam Dunia Virtual. Jurnal Atma Nan Jaya, Edisi Januari-Juni 2006. Ombrill, (2013). Tiga Iklan di 11 Stasiun Televisi Ditegur KPI. [Online]. Tersedia: http://hiburan.kompasiana.com/televisi/2013/06/26/tiga-iklan-di-11-stasiuntelevisi-ditegur-kpi-572197.html. [12 Juli 2013] Rahmat, Jalaludin. (1986). Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosda Karya Shrimp A. Terence. (2003) Periklanan Promosi. Jakarta: Erlangga. Supriyoko, Ki. (2003). Sistem Pendidikan Nasional dan Peran Budaya dalam Pembangunan Berkelanjutan. Makalah pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII di Denpasar Bali, 14-18 Juli 2003. Wenats, Eka (2006). Iklan! Sihir Industri Kapitalisme. [Online]. Tersedia: http:// ekawenats.blogspot.com/2006/04/ iklan-sihir-industri-kapitalisme.html [12 Juli 2013]. Penulis: Mardiah Hapsah, S.Pd. Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris yang lahir di Garut, 28 September 1984 ini semasa mahasiswa aktif mengikuti dan menjuarai ajang lomba menulis salah satunya adalah sayembara Menulis dan Mengkaji isi Kandungan Al-Qur’an (M2KQ). Minatnya terutama pada pendidikan anak dan remaja.
PROFESIONALISME GURU DAN KENANGAN SISWA TERHADAP GURU: STUDI DI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA FKIP UNMA BANTEN Agus Nurcholis Saleh
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengkaji apa yang membuat guru begitu dimuliakan, dan (2) apakah saat ini posisi guru masih demikian dikenang, ataukah profesional itu hanya ada dalam aturan. Penelitian ini dilakukan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mathla’ul Anwar Banten, sejak bulan Januari 2013 sampai bulan September 2013. Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Adapun pendekatan yang digunakan adalah sociological approach, dimana peneliti akan mengajak responden untuk mengingat kembali ingatan mereka saat di kelas-kelas sekolah, dan hubungannya secara sosial dengan para gurunya. Hasil penelitian menunjukkan ada beragam pendapat responden tentang sosok guru yang masih dikenangnya sampai sekarang. Dari beragam pendapat tersebut, dapat penulis deskripsikan pada tiga kelompok, yaitu guru dikenang karena: (1) menjadi sosok “protagonis”; (2) menjadi sosok “antagonis”; (3) berkesan antagonis, tetapi menjadi baik karena ketegasan. Kata Kunci: Profesionalisme Guru, Kenangan Siswa
PENDAHULUAN Saat dahulu, posisi guru demikian terhormat di masyarakat. Meskipun terlihat hidup sederhana dan “melarat”, guru sama terhormatnya dengan kiai yang menjadi sesepuh di masyarakat. Kemanapun guru itu pergi, masyarakat dengan senang hati mengundang guru itu untuk sekadar singgah sebentar di rumahnya. Kemuliaan yang diberikan oleh masyarakat dijawab oleh guru dengan sikap dan perilaku yang baik serta terhormat. Sekali profesi guru telah ditekuni, tak ada lagi peluang untuk berpindah profesi, meskipun dituntut oleh penambahan materi. Penghormatan masyarakat terhadap guru tidak muncul dengan tiba-tiba. Disamping karena profesinya yang begitu mulia, melawan guru adalah dosa, apalagi anak-anaknya telah diberikan wawasan pendidikan serta dibimbing untuk berpendidikan. Bahkan, orang tua demikian
percaya dengan menyerahkan anak-anaknya ke sekolah, untuk dididik oleh guru, tanpa syarat apapun. Guru mendapatkan tempat yang terhormat karena guru telah menunaikan kewajibannya dalam memenuhi harapan masyarakat. Banyak orang tua yang tidak sempat lagi mendidik anak-anaknya secara optimal, dan sangat mempercayakan pendidikan anaknya kepada sekolah (guru). Pengasuhan yang baik dari guru direspon baik dengan peninggian posisi guru di masyarakat. Secara profesi, guru adalah pekerjaan yang memuliakan. Namun secara ekonomi, guru tak bisa dijadikan tumpuan mata pencaharian. Hal ini menjadi dilema yang seringkali “merusak” subjek pendidikan, dimana peserta didik seringkali menjadi korban dari ketiadaan komitmen profesional seorang guru dalam mengemban tugasnya. Serbuan globalisasi dan modernism yang melanda dunia ini semakin memperparah dilema tersebut.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
93
Agus Nurcholis Saleh
Saat ini, terbukti sudah bahwa banyaknya sekolah, tingginya tingkat pendidikan, dan alokasi anggaran pendidikan yang maksimal, tidak membuat output sekolah terjamin kompetensinya. Bahkan, petinggi negeri ini pernah menyampaikan pernyataan bahwa pelaku korupsi adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi, dan alumni dari kampus ternama di Indonesia. Artinya, pendidikan yang tidak menyentuh manusia sampai ke jati dirinya, hanya akan memberikan peluang manusia untuk melakukan kejahatan dengan bantuan ilmu pengetahuan. Jika ditelusur menuju akar permasalahannya, maka pihak yang mendapatkan tuduhan dari paradoks kekacauan itu adalah guru yang tidak profesional. Indonesia pernah mempunyai sejarah ketika pengangkatan guru bantu sekolah, yang syarat-syaratnya begitu longgar. Dengan alasan terdesak oleh kebutuhan, kata profesionalisme menjadi terabaikan. Konsekuensinya, tidak pernah ada peningkatan output menjadi outcome dari banyak sekolah di Indonesia. Apalagi, sekolah tidak pernah menerapkan aturan kenaikan kelas secara ketat tanpa sedikitpun ruang untuk “kasihan”. Kita harus ingat, jika guru disejajarkan dengan profesi lain yang profesional, maka tak ada cerita seorang dokter diangkat dari pendidikan non-dokter. Seseorang akan terpilih menjadi pengemudi karena ia teruji dan kompeten untuk melaksanakan tugas mengemudi. Pesawat akan mengalami gagal terbang jika pilotnya bukan ahli menerbangkan pesawat. Namun demikian, cerita itu tidak berlaku untuk guru. Rekruitmen guru tidaklah seketat dokter, pengemudi, dan pilot. Siapapun boleh menjadi guru, meski tidak ada keteladanan sama sekali. Memang, Indonesia sudah memfasilitiasi pendidikan guru, supaya mereka ahli dan kompeten dalam mengelola system pendidikan. Tapi kenyataannya, aturan ketat yang
94 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
diberlakukan pemerintah mendapatkan “perlawanan” dari guru itu sendiri. Akhirnya, pemerintah dan para guru lebih senang memupuk konflik dibandingkan duduk bersama mencari solusi. Lantas, bagaimana dengan kualitas produk yang dikreasinya jika fasilitator dan aparat, yang diberikan kewenangan mengelola pendidikan, masih bermasalah. Ujian Nasional dan sertifikasi adalah bagian dari konflik di atas. Negara mengharapkan peningkatan kualitas guru dari adanya sertifikasi. Namun demikian, guru menjadi lebih sibuk mengurusi hal-hal yang administratif dibandingkan dengan tugas yang substantive. Ada guru yang jujur menyatakan bahwa tugas administratif lebih besar porsinya dibandingkan dengan tugas mendidik. Setali tiga uang dengan ujian nasional. Guru-guru merasakan betapa berat beban yang harus ditanggung dari adanya ujian nasional. Tuntutan dan harapan di satuan tingkat pendidikan begitu lebar perbedaannya. Kebaikan dan idealita malah dibalas dengan ketidakmampuan pengelolaan di tingkat satuan pendidikan, bahkan dalam mengelola dirinya sendiri. Dengan demikian, istilah profesionalisme menjadi jauh panggang dari api. Profession yang mengandung arti yang sama pekerjaan yang memerlukan keahlian, tidak menjadi actual dalam kenyataannya. Empat kompetensi yang diamanatkan oleh undang-undang menjadi kitab suci yang terlalu ideal untuk dilaksanakan. Di sisi guru, mereka tidak menyadari bahwa itulah konsekuensi yang harus dijalankan ketika memilih profesi sebagai guru. Pendidikan kita dewasa ini menunjukkan kecenderungan-kecenderungan sebagai berikut: pertama, memperlakukan peserta didik sebagai objek. Guru adalah otoritas tertinggi keilmuan dan indoktrinator. Kedua, materi ajar bersifat subject oriented. Ketiga, manajemen pendidikan masih baru dalam transisi sentralistik menuju desentralistik.
Profesionalisme Guru dan Kenangan Siswa
Akibatnya, pendidikan kita mengisolasi diri dari kehidupan riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara yang diajarkan dengan kebutuhan dalam pekerjaan, terlalu konsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak sejalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkpribadian. Keempat, proses pembelajaran didominasi oleh tuntutan untuk menghapalkan dan menguasai pelajaran sebanyak mungkin guna menghadapi ujian, dan pada kesempatan tersebut peserta didik harus mengeluarkan apa yang telah dihapalkan (Kunandar, 2011: 20). Oleh karena itu, wajar jika masih banyak pihak yang mempertanyakan profesionalisme guru. Bukan karena ia sarjana Biologi yang kemudian mengajar Kimia atau Fisika, ataupun guru IPS yang mengajar Bahasa Indonesia. Lebih dari itu, mari kita selidiki apakah subjek pendidikan kita telah merasa puas ataukah belum dengan guru-guru yang tersedia saat ini. Penelitian ini ingin menyelidiki, apa yang membuat guru begitu dimuliakan, dan apakah saat ini posisi guru masih demikian dikenang, ataukah profesional itu hanya ada dalam aturan. Penelitian sederhana ini ingin membuktikan: “Apa yang membuat guru masih ada dalam kenangan”. LANDASAN TEORI Guru adalah sosok manusia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan, memiliki pandangan yang luas, memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik baik formal maupun non-formal (Djamarah, 2000: 31). Guru adalah seorang pengajar, yang bekerja di dalam kelas untuk memberikan pengetahuan kepada murid di dalam sebuah lembaga pendidikan. Guru adalah seseorang yang kaya dengan pengalaman pendidikan atau dalam memberikan dasar untuk menambah kemampuan
dan mengembangkan yang lainnya seseorang yang hadir dan membuat perjanjian dengan mereka (Syarifudin, 2003: 8). Menurut Undang-undang Repulik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, guru merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan hasil bimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik di perguruan tinggi. Guru dalam peranannya, dapat ditinjau dalam arti yang luas dan dalam arti yang sempit. Dalam arti yang luas, guru mengemban peranan sebagai ukuran kognitif, sebagai agen moral, sebagai inovator, dan kooperatif (Hamalik, 2003: 44). Dalam tugas kognitifnya, guru bertugas menyampaikan pengetahuan dan berbagai keterampilan kepada generasi muda. Guru harus mendidik masyarkat untuk melek huruf, cerdas menulis, dan pandai berhitung. Sebagai agen moral, guru harus menjadi teladan dan mengajak peserta didiknya untuk membiasakan diri dengan sikap dan perilaku yang positif. Selain itu, harus menjadi motor penggerak dalam menghindarkan dari perbuatan-perbuatan kriminal dan menyimpang dari ukuran masyarkat. Sebelum siswanya mengikuti, gurunya harus menjadi model yang baik dalam sikap keseharian. Guru sebagai inovator, memiliki tugas untuk melakukan perubahan dan pengembangan dalam pendidikan sehingga terjadi perubahan baru yang mengarah pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dijawab oleh guru dengan kreativitas ide dan ide itu mudah diterapkan di masyarakat. Paling tidak, guru harus menyebarluaskan gagasan-gagasan baru, dan terus mengajak siswa untuk mengembangkan inovasinya.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
95
Agus Nurcholis Saleh
Untuk mendapatkan keberhasilan dalam menjalankan peran, ketiga tugas tersebut di atas, harus dilaksanakan oleh guru dengan kooperatif. Guru bukan hanya sebagai penarik dari gerbong yang tidak mau bergerak. Tapi bagaimana caranya supaya guru mudah menstimulasi subjek didik karena kemauan yang timbul sendiri dari subjek didik. Keberhasilan itulah yang memberikan status guru sebagai profesional. Guru yang profesional dituntut untuk mampu mengelola lingkungan belajar. Artinya, guru harus membawakan tugasnya secara rasional dan humanis. Guru harus mampu merangsang kreasi dan imajinasi dari setiap subjek didik, dan itu berlangsung dalam suasana yang nyaman dan tentram. Tidak ada salahnya jika guru berperan sebagai pembantu dalam mengungkap pengalaman belajar setiap siswa. Guru juga membantu setiap siswa untuk mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan, serta membantu terjadinya proses belajar yang serasi dengan kebutuhan dan keinginan. Guru tidak cukup hanya memiliki pengetahuan tentang media pendidikan, tetapi juga harus memiliki keterampilan memilih dan menggunakan serta mengusahakan media itu dengan baik. Untuk itu guru perlu mengalami latihan-latihan secara kontinyu dan sistematis, baik melalui pre-service maupun melalui in-service training. Sebagai fasilitator, guru hendaknya mampu mengusahakan sumber belajar yang berguna serta dapat menunjang pencapaian tujuan dan proses belajar mengajar, baik yang berupa narasumber, buku teks, majalah, ataupun surat kabar (Usman, 2002: 11). Guru berkewajiban untuk menciptakan iklim kelas, membuka wawasan siswa, dan mempermudah siswa memahami dirinya kenapa harus belajar. Guru harus berani mendobrak siswa untuk tidak terkurung dalam sifat malu dan tidak berani mengemukakan gagasan. Guru harus ingat bahwa indikator
96 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
keberhasilan dalam mendidik bukan dalam nilai siswa yang maksimal, melainkan dalam aktualisasi intelektual dan sikap siswa dalam bergaul dan bermasyarakat. Sebagai profesi, guru harus memenuhi tiga kriteria profesional: memenuhi kode etik sebagai acuan dalam melaksanakan tugas, memiliki objek layanan yang tetap, dan diakui oleh masyarakat karena memang diperlukan jasanya oleh masyarakat (Usman, 2002: 15). Istilah profesionalisme berasal dari kata profesi, yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Profesi juga dapat diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif (Rusman, 2012: 15-16). Profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian tertentu. Artinya, suatu pekerjaan atau jabatan yang disebut profesi tidak dapat dipegang oleh sembarang orang, tetapi memerlukan persiapan melalui pendidikan dan pelatihan secara khusus (Kunandar, 2011: 45). Seiring dengan tanggung jawab profesional pengajar dalam proses pembelajaran, maka dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran setiap guru dituntut untuk selalu menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan program pembelajaran yang akan berlangsung. Tujuannya adalah agar kegiatan pembelajaran berjalan efektif dan efisien, yaitu tujuan akhir yang diharapkan dapat dikuasai oleh semua peserta didik (Uno dan Mohamad, 2011: 1). Profesionalisme menuntut guru untuk memiliki berbagai kemampuan berikut ini: 1. Mengenal secara mendalam peserta didik yang hendak dilayani; 2. Menguasai bidang ilmu sumber bahan ajaran, baik dari segi substansi dan metodologi, maupun pengemasan bidang ilmu dalam bentuk bahan ajar;
Profesionalisme Guru dan Kenangan Siswa
3. Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, mencakup (a) perancangan program pembelajaran berdasarkan serangkaian keputusan situasional, dan (b) implementasi program pembelajaran termasuk penyesuaian jalan berdasarkan on going transactional decisions; 4. Mengembangkan kemampuan profesional secara berkelanjutan (Muslich, 2009: 7-8). 5. Guru sebagai pendidik profesional mempunyai citra yang baik di masyarakat. Citra itu diperoleh guru karena ia berhasil menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan bagi masyarakat. Masyarakat akan melihat bagaimana sikap dan perbuatan guru itu sehari-hari, apakah memang ada yang patut diteladani atau tidak. Bagaimana guru meningkatkan pelayanannya, meningkatkan pengetahuannya, memberi arahan dan dorongan kepada anak didiknya. Masyarakat akan memperhatikan bagaimana cara guru berpakaian, berbicara serta bergaul dengan siswa, dengan teman-temannya serta anggota masyarakat lainnya (Soejipto dan Kosasi, 2007: 42-43). Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan (Muslich, 2009: 11). Dengan demikian, pekerjaan itu membutuhkan keahlian, kemahiran, atau kecakapan tertentu yang memenuhi standar mutu, bahkan lulus pendidikan profesi. Menurut Oemar Hamalik, profesionalisme guru berarti jabatan ini memerlukan suatu keahlian khusus. Pekerjaan ini tidak dapat dikerjakan oleh sembarang orang tanpa memiliki keahlian sebagai guru (Hamalik, 2003: 118). Menurut Wina Sanjaya, syarat pokok pekerjaan profesional adalah sebagai berikut: 1. Pekerjaan profesional ditunjang oleh suatu ilmu tertentu secara mendalam yang hanya mungkin didapatkan dari lembaga pendidikan yang sesuai, sehingga kinerjanya didasarkan kepada keilmuan yang dimilikinya,
dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 2. Suatu profesi menekankan kepada suatu keahlian dalam bidang tertentu yang spesifik sesuai dengan jenis profesinya sehingga antara profesi yang satu dengan yang lainnya dapat dipisahkan secara tegas. 3. Tingkat kemampuan dan keahlian suatu profesi didasarkan kepada latar belakang pendidikan yang dialaminya dan diakui oleh masyarakat, sehingga semakin tinggi latar belakang pendidikan akademiknya semakin tinggi pula tingkat keahliannya, dan semakin tinggi pula tingkat penghargaan yang diterimanya. 4. Suatu profesi, selain dibutuhkan oleh masyarakat, memiliki dampak sosial kemasyarakatan, sehingga masyarakat memiliki tingkat kepekaan yang tinggi terhadap efek yang ditimbulkan dari pekerjaan profesi tersebut (Sanjaya, 2005: 142-143). Seorang guru harus menguasai bahan sebagai landasan pokok untuk keterampilan mengajar (Satori, dkk., 2008: 2.24). Seorang guru harus mengetahui, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, membuat sintesis, dan melaksanakan evaluasi dari sejumlah pengetahuan yang telah diajarkannya. Menurut Oemar Hamalik (1989: 15), Guru yang profesional yaitu (1). Mampu mengembangkan tanggung jawab jabatan guru; (2). Mampu melaksanakan fungsi dan peranan guru; (3). Mampu bekerja dalam usaha mencapai tujuan pendidikan sekolah; dan (4). Mampu melaksanakan peranannya dalam proses belajar mengajar. Guru dapat dikatakan bertanggungjawab jika ia mampu membuat pilihan dan keputusan atas dasar nilai dan norma-norma tertentu yang bersumber dari lingkungan sosialnya. Setiap guru yang profesional memiliki tanggungjawab dalam bidang pendidikan yang menyangkut proses konservasi nilai, menciptakan, modifikasi dan mengkonstruksikan nilai-nilai baru. Menurut Soekarwati guru yang memiliki kompetensi profesional adalah guru yang:
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
97
Agus Nurcholis Saleh
1. Mempunyai keahlian terhadap ilmu pengetahuan (bahan ajar); 2. Mempunyai keahlian dalam memberikan pengajaran; 3. Mampu memberikan motivasi pada siswa; 4. Mampu menjadi manajer di kelas; 5. Mampu bertindak sebagai pemimpin; 6. Mempunyai keahlian dalam memberikan bimbingan; 7. Mempunyai keahlian dalam memberdayakan lingkungan yang kondusif; 8. Mampu menjadi figur yang berwatak ing-ngarso-sung-tulodo, ing-madyo-mangun-karso, dan tut wuri handayani; 9. Mampu membuat suasana kelas yang terkontrol; 10. Mampu menerapkan umpan balik; 11. Mampu memberikan rasa humor agar pengajaran tidak membosankan; 12. Mampu menerapkan hasil-hasil penelitian, terutama berkaitan dengan bahan ajar, dan 13. Mampu melaksanakan instructional design (Soekawati, 1995: 20). Akhirnya, peningkatan profesionalisme guru ditentukan oleh guru itu sendiri. Untuk meningkatkan profesionalismenya, guru harus selalu berusaha untuk melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Memahami tuntutan standar profesi yang ada; 2. Mencapai kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan; 3. Membangun hubungan kesejawatan yang baik dan luas termasuk lewat organisasi profesi; 4. Mengembangkan etos kerja atau budaya kerja yang mengutamakan pelayanan bermutu tinggi kepada konstituen; 5. Mengadopsi inovasi atau mengembangkan kreatifitas dalam pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi mutakhir agar senantiasa tidak ketinggalan dalam kemampuannya mengelola pembelajaran (Mustofa, 2007: 85). 6. Upaya memahami tuntutan standar profesi yang ada harus ditempatkan sebagai prioritas utama jika guru kita ingin meningkatkan profesionalismenya. Berikut beberapa paradigma baru yang
98 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
harus diperhatikan oleh para guru: (a) Tidak terjebak pada rutinitas belaka, tetapi selalu mengembangkan dan memberdayakan diri secara terus-menerus untuk meningkatkan kualifikasi dan kompetensinya, baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan, seminar, lokakarya, dan kegiatan sejenisnya. Guru jangan terjebak pada aktivitas dating, mengajar, pulang, begitu berulang-ulang sehingga lupa mengembangan potensi diri secara maksimal; (b) Guru mampu menyusun dan melaksanakan strategi dan model pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM) yang dapat menggairahkan motivasi belajar peserta didik. Guru harus menguasai berbagai macam strategi dan pendekatan serta model pembelajaran sehingga proses belajar-mengajar berlangsung dalam suasana kondusif dan menyenangkan. 7. Dominasi guru dalam pembelajaran dikurangi sehingga memberikan kesempata kepada peserta didik untuk lebih berani, mandiri, dan kreatif dalam proses belajar mengajar. 8. Guru mampu memodifikasi dan memperkaya bahan pembelajaran sehingga peserta didik menddapatkan sumber belajar yang lebih bervariasi. 9. Guru menyukai apa yang diajarkannya dan menyukai mengajar sebagai suatu profesi yang menyenangkan. 10. Guru mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mutakhir sehingga memiliki wawasan yang luas dan tidak tertinggal dengan informasi terkini. 11. Guru mampu menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat luas dengan selalu menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji dan mempunyai integritas yang tinggi. 12. Guru mempunyai visi ke depan dan mampu membaca tantangan zaman sehingga siap menghadapi perubahan dunia yang tak menentu yang membutuhkan kecakapan dan kesiapan yang baik (Kunandar, 2011: 42-43).
Profesionalisme Guru dan Kenangan Siswa
Dari beberapa point tersebut di atas, guru harus beradaptasi dengan cepat dengan dinamika global. Guru juga harus mengikuti tuntutan perkembangan profesi dan tuntutan masyarakat yang menghendaki pelayanan yang lebih baik. Cara satu-satunya untuk memenuhi standar profesi ini adalah dengan belajar secara terus menerus sepanjang hayat, dengan membuka diri yakni mau mendengar dan melihat perkembangan baru di bidangnya. Kemudian upaya mencapai kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan juga tidak kalah pentingnya bagi guru. Dengan dipenuhinya kualifikasi dan kompetensi yang memadai maka guru memiliki posisi tawar yang kuat dan memenuhi syarat yang dibutuhkan. Peningkatan kualitas dan kompetensi ini dapat ditempuh melalui in-service training dan berbagai upaya lain untuk memperoleh sertifikasi. Upaya membangun hubungan kesejawatan yang baik dan luas dapat dilakukan guru dengan membina jaringan kerja. Guru harus berusaha mengetahui apa yang telah dilakukan oleh sejawatnya yang sukses. Sehingga bisa belajar untuk mencapai sukses yang sama atau bahkan bisa lebih baik lagi. Melalui networking inilah guru memperoleh akses terhadap inovasi-inovasi di bidang profesinya. Jaringan kerja guru bisa dimulai dengan skala sempit, misalnya mengadakan pertemuan informal kekeluargaan dengan sesama teman, sambil berolahraga, silaturahmi atau melakukan kegiatan sosial lainnya. Pada kesempatan seperti itu, guru bisa membincangkan secara leluasa kisah suksesnya atau sukses rekannya sehingga mereka dapat mengambil pelajaran lewat obrolan yang santai. Selanjutnya upaya membangun etos kerja atau budaya kerja yang mengutamakan pelavanan bermutu tinggi kepada konstituen merupakan suatu keharusan di zaman sekarang. Semua bidang dituntut untuk memberikan pelayanan prima. Guru pun harus memberikan pelayanan prima kepada konstituennya yaitu siswa, orangtua dan sekolah sebagai stakeholder. Terlebih lagi pelayanan pendidikan adalah termasuk pelayanan publik yang didanai, diadakan, dikontrol oleh dan untuk kepentingan publik. Oleh karena itu guru harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada publik (Mustofa, 2007: 86).
Dengan demikian, yang dimaksud dengan profesionalisme guru dalam penelitian ini adalah bagaimana upaya guru dalam memenuhi tuntutan subjek belajar. Kenangan yang tersisa dari setiap responden terhadap pergaulannya dengan guru kami asumsikan bahwa itulah profesionalisme yang diharapkan dari masyarakat. METODE Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dimana prosedur yang diterapkan akan menghasilkan data deskriptif, dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Kahmad, 2000: 153). Adapun pendekatan yang digunakan adalah sociological approach, dimana peneliti akan mengajak responden untuk mengingat kembali ingatan mereka saat di kelas-kelas sekolah, dan hubungannya secara sosial dengan para gurunya. Penelitian ini dilakukan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mathla’ul Anwar Banten, sejak bulan Januari 2013 sampai bulan September 2013. Populasi penelitian ini adalah seluruh mahasiswa program studi Matematika FKIP UNMA Banten sebanyak 294 orang. Sedangkan sampel penelitian ini kami putuskan 20% karena keterbatasan waktu penelitian. Dengan demikian, responden dalam penelitian ini sebanyak 59 orang (20% x 294 = 58,8). Data penelitian ini dikumpulkan menggunakan angket terbuka secara terbimbing. Selain itu, digunakan pula sumber-sumber bibliografis dan dokumentasi, berupa buku, majalah, surat kabar dan hasil-hasil penelitian, serta karya ilmiah lainnya. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini melewati tiga tahapan: display, klasifikasi, verifikasi, dan simpulan. Data yang diperoleh di-input dalam bentuk uraian yang sangat lengkap dan banyak. Setelah itu, penulis memilih hal-hal pokok yang berkaitan dengan tema penelitian. Peneliti memilih data-data mana saja yang betul-betul diperlukan
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
99
Agus Nurcholis Saleh
untuk pengambilan kesimpulan. Data yang berhasil diperoleh akan dirinci seluruhnya baik dalam bentuk matriks, grafik, gambar, atau model lainnya yang sesuai dengan data yang ada. Dari data yang sudah focus, dan dibantu dengan data-data yang telah di-display, penulis kemudian mengambil kesimpulan sehingga makna data dapat ditemukan. (Kahmad, 2000: 158-159). HASIL DAN PEMBAHASAN Secara kuantitatif, guru yang terkenang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 31 orang, dan 28 orang perempuan. Guru-guru itu mengajar di tingkat SD sebanyak 9 orang, di tingkat SMP/MTs sebanyak 16 orang, dan di tingkat SMA/SMK/MA sebanyak 34 orang. Variasi usia tersebar dari termuda 27 tahun sampai tertua 65 tahun, dan rentang usia guru terbanyak adalah usia 35-40 tahun. Berdasarkan data penelitian, ada beragam pendapat responden tentang sosok guru yang masih dikenang sampai sekarang. Dari beragam pendapat tersebut, dapat penulis deskripsikan pada tiga kelompok, yaitu guru dikenang karena: (1) menjadi sosok “protagonis”; (2) menjadi sosok “antagonis”; (3) berkesan antagonis, tetapi menjadi baik karena ketegasan. Kenangan terhadap Sosok Guru yang “Protagonis” Hasil wawancara pada responden pertama, bahwa seorang guru menjadi terkenang karena kebaikan yang melekat dalam sikap dan perilakunya. Responden semakin terkesan dengan sikap guru yang selalu memperhatikan dan mendengarkan keluhan para muridnya. Jika anak didiknya ingin menyampaikan sesuatu, selalu ada waktu yang dialokasin oleh guru itu untuk mendengarkan. Selain itu, bersedia tanpa pamrih untuk memberikan private learning tanpa dibayar. Pada saat momen tertentu, guru itu tak segan-segan untuk memberikan penghargaan, meskipun hanya berupa kado. Oleh karena guru itu mengampu mata pelajaran kesenian, maka selalu ada waktu bersama untuk bernyanyi dan melakukan permainan.
100 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Guru yang dikenang oleh responden kedua adalah guru sejarah yang berhasil membawa hati anak-anak ke materi yang diajarkannya. Para siswa seperti terhipnotis, asyik belajar karena pendekatan, dan pandangannya luas. Guru itu merupakan guru favorit bagi banyak siswa. Responden ketiga menyatakan bahwa guru menjadi terkenang karena ia menjadi terbaik. Ia sosok yang begitu bijaksana, tegas, dan sangat bertalenta, berjiwa pemimpin, dan sangat memotivasi responden untuk belajar. Dedikasinya begitu tinggi terhadap tugas yang harus ia emban, penuh percaya diri. Seorang responden menyatakan bahwa ia sangat senang dengan gurunya yang mengajar dengan sabar dan baik. Penampilannya sederhana namun enak dipandang. Setiap mengajar di kelas, ia selalu tersenyum. Namun ketika ujian, sikap guru itu begitu tegas dan serius. Semua anak didiknya harus focus (konsentrasi) dengan pelajarannya. Ketika mengajar, ia datang tepat waktu, ia begitu sungguh-sungguh dalam mengajar. Ia orang sederhana dan apa adanya. Ia tidak pernah marah-marah dalam mengajar dan selalu ceria. Ketika berpapasan di luar jam pelajaran, ia selalu ceria dan tersenyum. Ada juga guru dikenang karena mudah dimengerti pengajarannya, dan tidak terlalu focus pada LKS. Setiap materi selalu dijelaskan dengan eksperimen (praktek), dan tidak pernah membebani siswa dengan hafalan. Guru itu dikenang pula karena logatnya jawa totok, dan logatnya itulah yang selalu menimbulkan senyuman para siswa. Guru juga menjadi terkenang karena sering menasehati dan cara mengajarnya mudah dipahami dan orangnya menyenangkan. Ada juga guru terkenang karena ia mengerti bagaimana keadaan muridnya ketika belajar. Ia memperhatikan dengan seksama setiap murid yang ada di kelasnya. Ia ramah dan tidak sombong, merangkul seluruh anak didiknya tanpa diskriminasi. Ia bertanggung jawab terhadap tugasnya, tidak seperti guru yang mengajar kemudian pergi ke luar kelas tanpa kembali. Guru juga menjadi terkenang karena menjelaskan dengan suara yang lantang dan menyeramkan, selain itu apabila sudah tiba
Profesionalisme Guru dan Kenangan Siswa
jam istirahat beliau selalu keliling kelas untuk berjualan. Selain itu, selalu ada motivasi dibalik materi atau pun pengalaman yang beliau ceritakan dan itu membekas. Responden terkesan dengan guru yang selain sifatnya baik, bagus dalam mengajar, sabar dan yang lainnya. Cara mengajarnya pun lebih menggunakan pendekatan-pendekatan yang aktif sehingga responden mampu menyerap materi lebih mudah. Responden berikutnya menyatakan bahwa guru yang dikenangnya mampu membangun kepercayaan dirinya untuk mau belajar dan selalu memberi motivasi, “jika kita bisa jangan pernah merasa takut salah atas jawaban kita sendiri” Karena ucapan dan nasehat guru selalu teringat, maka sering dimimpikan oleh responden. Dalam mimpi, sang guru selalu memberikan kata-kata yang membuat responden teringat akan hal baik dan buruk yang telah dilakukan. Kata-kata guru yang selalu diingat responden adalah: “jika mempunyai niatan yang baik, segeralah dilaksanakan, sebelum akhirnya terlambat dan menyesal”. Guru yang paling dikenang adalah yang paling baik dan mengerti terhadap responden, dan mau membimbing ketika responden tidak paham dengan pelajaran. Selain itu juga guru mau membimbing soal kehidupan. Jika guru itu bertutur kata, terdengar tegas dan meluncur deras masuk pikiran. Kenangan terhadap Sosok Guru yang “Antagonis” Respoden yang negatif terhadap guru karena kenangannya tidak begitu baik. Seorang guru diingat responden karena cara mengajarnya selalu menegangkan dan cara bicaranya kasar. Ada juga guru yang diingat karena guru itu begitu jahat pada murid. Bahkan mendapatkan julukan sebagai guru yang sadis. Ada juga guru yang diingat karena guru itu tidak mampu menahan emosinya. Guru itu tak segan-segan untuk memukul siswanya dengan tongkat dari bamboo di pundak para siswa.
Responden kedua menyatakan, guru yang teringat dalam pikirannya adalah guru yang menerapkan banyak aturan dalam pelajaran yang diampunya. Konsekuensi dari ketidaktaatan terhadap aturan itu adalah hukuman. Setiap Tanya yang tidak bisa dijawab, maka diberi hukuman. Namun, ia berlaku diskriminatif karena hanya siswa perempuan yang diberi pertanyaan. Kenangan terhadap Sosok Guru Tegas Ada responden yang menyatakan bahwa sosok guru yang paling dikenangnya adalah karena sosok “galak”nya. Tapi, itu membuat ia termotivasi untuk belajar; disiplin dalam belajar. Responden kedua mengenang gurunya yang killer dan galak. Namun karena ia suka dengan mata pelajarannya (Bahasa Inggris), ia mencoba untuk tidak tegang dalam mengikuti pelajaran. Lambat laun, biarpun galak, ia merasa enjoy mengikuti pelajarannya. Akhirnya ia tahu, bahwa guru itu hanya galak bagi peserta didik yang nakal atau tidak memperhatikan pelajaran. Sedangkan pada peserta didik yang aktif mengikuti pelajaran, guru itu sangat baik. Responden menyatakan bahwa guru tersebut apabila memberikan pengajaran serem, galak, judes tapi bikin semangat. Guru itu tidak pilih kasih terhadap murid. Beliau adalah guru yang tegas, tapi cara mengajarnya menarik dan kadang bisa bercanda. Lebih banyak menggunakan media yang ada di sekitar. Salah satu pelajaran yang responden ingat adalah bahwa sudut segitiga berjumlah 180 derajat sama dengan besar garis lurus. Kenangan Siswa Terhadap Guru Guru itu memberikan inspirasi, dan membuat siswa dapat menjadikan guru itu sebagai model (teladan) ketika responden “berjodoh” dengan guru. Seorang guru bisa dikenang oleh siswanya karena dianggap “aneh” dengan perubahan yang terjadi padanya. Ada seorang guru yang begitu pintar, bahkan IQ-nya di atas rata-rata, multitalenta, pandai menyampaikan materi, dan menjadi guru favorit. Tiba-tiba, guru itu menikah, dan setelah menikah kualitas mengajarnya menjadi turun drastis.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
101
Guru juga bisa dikenang karena keunikannya. Seorang responden menganggap seorang guru menjadi unik karena sikapnya yang galak dan tegas, kemudian berubah menjadi penuh senyum dan lucu. Pada awalnya, ia ditakuti karena sikapnya yang galak. Namun berubah menjadi sosok yang berusaha untuk menghibur peserta didiknya dalam setiap kesempatan. Ketika meninggal dunia, semua siswa dan keluarga merasa kehilangan atas kepergiannya. PENUTUP Untuk menjadi profesional, guru harus mengembangkan dirinya secara maksimal berdasarkan kebutuhan subjek didik. Dengan demikian, guru dipersilahkan untuk menyiapkan dirinya menjadi kompeten dan profesional berdasarkan sikap dan perilaku yang diharapkan oleh peserta didik. Profesional berarti sifat yang dikenakan kepada guru yang diharapkan keberadaannya oleh anak didik. Sedangkan kompeten berarti dapat keberadaan guru dapat memenuhi harapan seluruh stakeholders pendidikan di semua tingkatan. Berdasarkan penelitian ini, keempat kompetensi guru yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan (PP No. 19 Tahun 2005 tentang SNP) harus diarahkan untuk terpenuhinya harapan subjek didik untuk dididik dengan cara-cara yang baik. Bukan ditekankan pada materi pelajaran, tapi pada sisi afektif yang menyentuh perasaan. DAFTAR PUSTAKA Arifin. (2000). Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Djamarah, Syaiful Bahri. (2000). Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta. Hamalik, Oemar. (2003). Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. _____, Perencanaan Pengajaran sebagai Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara.
102 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Kahmad, Dadang. (2000). Metode Penelitian Agama: Perspektif Ilmu Perbandingan Agama. Bandung: Pustaka Setia. Kunandar. (2011). Guru Profesional: Implementasi KTSP dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Rajawali Press. Moleong, Lexy J. (2011). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Muslich, Masnur. (2009). Sertifikasi Guru menuju Profesionalisme Pendidik. Jakarta: Bumi Aksara, 2009. Mustofa, “Upaya Pengembangan Profesionalisme Guru Di Indonesia”, Jurnal Ekonomi & Pendidikan, Volume 4 Nomor 1, April 2007 Nazir, Moh. (2011). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Patilima, Hamid. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Rusman. (2012). Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Press. Sanjaya, Wina. (2005). Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana. Satori, Djam’an, dkk. (2008). Profesi Keguruan, edisi 1. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka. Soejipto dan Raflis Kosasi (2007). Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta. Soekawati. (1995). Meningkatkan Efektifitas Belajar. Jakarta: Pustaka Jaya. Syarifudin. (2003). Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum. Jakarta: Ciputat Press. Uno, Hamzah B. dan Nurdin Mohamad. (2011). Belajar dengan Pendekatan PAILKEM. Jakarta: Bumi Aksara. Usman, M. Uzer. (2002). Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya. Penulis: Agus Nurcholis Saleh, S.H.I., M.Ud. Magister Ushuluddin dari Program Studi Perbandingan Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung, sehari-hari sebagai Dosen Fakultas Agama Universitas Math’laul Anwar (UNMA) Banten, juga bertugas sebagai Kepala Divisi Penelitian LP3M UNMA Banten.
PENGARUH KEPRIBADIAN GURU PAI TERHADAP AKHLAK SISWA:
STUDI ANALISIS DI MDA MIFTAHUL HIDAYAH CARITA KABUPATEN PANDEGLANG Sri Mulyanah, Munir Satiar, Hadi Arifin Dosen Fakultas Agama UNMA Banten
Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah: (1) untuk mengetahui kepribadian guru Pendidikan Agama Islam (PAI) terhadap akhlak siswa Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) Miftahul Hidayah Carita Pandeglang; (2) untuk mengetahui upaya guru PAI dalam membentuk akhlak siswa Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) Miftahul Hidayah Carita Pandeglang; untuk mengetahui pengaruh kompetensi guru PAI terhadap prestasi belajar siswa Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) Miftahul Hidayah Carita Pandeglang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dilaksanakan sejak tanggal 2 Maret 2013 sampai dengan 27 Mei 2013. Waktu tersebut penulis gunakan untuk survei pendahuluan, mengambil data, melakukan analisis, dan menyusun laporan. Penulis menguji kedua variabel penelitian dengan uji statistik, kemudian hasil dari analisis statistik tersebut dideskripsikan dengan menggunakan deskriptif korelasional. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengukur kadar pengaruh kepribadian guru (variabel x) terhadap akhlak siswa MDA Miftahul Hidayah Carita (variabel y). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata realitas akhlak siswa Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) Miftahul Hidayah Carita Pandeglang berada pada kategori sedang. Hasil perhitungan korelasional ada pengaruh signifikan antara kepribadian guru terhadap kepribadian siswa MDA Miftahul Hidayah Carita. Dan berdasarkan perhitungan diperoleh angka koefisien determinasi (cd) sebesar 94.09. Dari angka tersebut dapat diketahui bahwa terdapat 94.09% korelasi antara pengaruh kepribadian guru terhadap kepribadian siswa MDA Miftahul Hidayah Carita, dan siswanya sebesar 5.91% ditentukan oleh faktor lain. Kata Kunci: Kepribadian Guru PAI, Akhlak Siswa
PENDAHULUAN Guru merupakan faktor pendidikan yang menempati posisi utama dalam dalam keseluruhan Proses Pembelajaran di Sekolah. Hal itu berdasarkan dari tugas dan tanggung jawab guru dalam membina potensi anak didik. Idealnya, seorang guru harus memiliki integritas, ilmu, berbudi pekerti, beriman dan bertakwa serta kompetensi untuk menjalankan tugasnya. Dengan kepribadian seperti itu, maka tidak sulit untuk menjadikan anak didiknya mencapai kompetensi yang paripurna dalam menjalankan kehidupannya di masyarakat. Tugas guru yang utama adalah mendidik akhlak para peserta didiknya. Jika dihubungkan dengan mata pelajaran Pendidikan
Agama Islam, maka tugas guru itu adalah menanamkan akhlak mulia di dalam jiwa anak sehingga akhlak itu menjadi jiwa (inti) dari kompetensi yang dimiliki anak. Guru mendapatkan tugas berat untuk membentuk anak didiknya menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berbudi luhur, ber-akhlakul karimah. Pendidikan di Indonesia, dimediasi oleh banyak institusi/lembaga. Salah satu lembaga endidikan yang mempunyai tujuan seperti di atas, adalah Madrasah Diniyah, yaitu lembaga pendidikan Islam yang membina dan membangun insan manusia yang sempurna, sesuai dengan ajaran dan tujuan Agama Islam untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
103
Sri Mulyanah, Munir Satiar, Hadi Arifin
Madrasah Diniyah Awaliyah adalah satuan pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang menyelenggarakan pendidikan Agama Islam tingkat dasar dengan masa belajar empat tahun, dan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran/minggu. Madrasah Diniyah Awaliyah berada di dalam pembinaan dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota, dalam hal ini Kepala Seksi Perguruan Agama Islam, atau tata kerja organisasi yang sejenis. Pendidikan Madrasah Diniyah Awaliyah dimaksudkan untuk membantu orang tua mengenalkan pendidikan dan pembelajaran Agama Islam. Ada banyak orang tua yang “tidak sempat” mendidik anak-anaknya secara optimal karena harus berkubang dengan urusan dunia. MDA memberikan kesempatan kepada anak-anak yang tidak sempat mendapatkan pengetahuan dan didikan di keluarganya, untuk tetap mendapatkan bimbingan ilmu pengetahuan, termasuk pengetahuan agama. Pendidikan di MDA adalah bagian dari pendidikan dalam keluarga yang sekaligus merupakan lanjutan dari pendidikan keluarga. Dengan masuknya anak ke sekolah, maka terbentuklah hubungan antara rumah dan sekolah karena antara kedua lingkungan itu terdapat objek dan tujuan yang sama, yakni mendidik anak-anak. Ada pesan yang tidak boleh dilanggar, bahwa orang tua harus takut jika anak-anaknya menjadi generasi yang tidak terdidik. Pendidikan di MDA sangat dijiwai oleh tugas kekhalifahan manusia dalam mengisi kehidupan. Artinya, agama menjadi pijakan utama seluruh manusia dalam menjalani proses kesempurnaan. Bahkan, agama telah memberikan panduan bagi manusia untuk mengelola hidup sesuai dengan arah dan pola yang telah diberikan, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dalam berinteraksi dengan sesamanya.
104 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Agama adalah benteng pertahanan diri anak didik dalam menghadapi berbagai tantangan. Demikian pentingnya agama, kiranya orang tua sadar untuk menanamkan pendidikan agama secara serius sejak dini. Melalui pendidikan agama, pola hidup anak akan terkontrol oleh rambu-rambu yang telah digariskan agama dan dapat menyelematkan anak agar tidak terjerumus dalam jurang keterbelakangan mental. Pendidikan agama merupakan suatu sistem pendidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh umat manusia dalam rangka meningkatkan penghayatan dan pengalaman agama dalam kehidupan bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara. Menurut Ahmad D Marimba, Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertianyang lain seringkali beliau mengatakan kepribadian utama tersebut dengan istilah kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang memiliki nilainilai agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam,danbertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pendidikan Islam sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia dari aspek-aspek kerohanian dan jasmaninya juga harus berlangsung secara bertahap. Oleh karena suatu pematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan atau pertumbuhan, baru dapat tercapai bila mana berlangsung melalui proses demi proses ke arah tujuan akhir perkembangan atau pertumbuhannya. Dari beberapa pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pendidikan agama Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan Al-Qur’an terhadap anakanak agar terbentuk kepribadian muslim yang sempurna.
Pengaruh Kepribadian Guru
Agar anak mempunyai akhlak yang mulia, anak didik diharapkan dapat memperhatikan pelajaran berbasis agama sebagai kontrol dalam kehidupan anak didik. Dalam sejarah perkembangan Islam, pada periode permulaan dakwah Nabi Muhammad saw. tidak langsung menuntut sahabat-sahabatnya mengamalkan syariat Islam secara sempurna sebagai yang dijabarkan dalam lima rukun Islam, akan tetapi selama 10 tahun di Makkah beliau mengajarkan Islam lebih dahulu menitikberatkan pada pembinaan landasan fundamental yang berupa keimanan dankeyakinan kepada Allah SWT. Karena dari landasan inilah manusia akan berakhlak baik. Hal ini merupakan implementasi dari akidah. Seorang guru yang berhasil dalam melaksanakan tugasnya adalah yang bukan sekedar menumpahkan semua ilmu pengetahuan tetapi juga dapat menanamkan nilai-nilai yang luhur dalam diri siswanya, sehingga akan menjadi Warga Negara yang baik, berkepribadian yang mulia, berilmu dan bermoral, yang hal ini akan dapat terealisasi manakala seorang guru terlebih dahulu memiliki kepribadian yang mulia yang nantinya dapat digugu dan ditiru yang diharapkan dapat menjadi sugesti bagi siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar yang dilaksanakannya. Tugas dan kewajiban guru bukan hanya sebagai pengajar yang transfer of knowledge, tetapi juga pendidik yang transfer of values, dan sekaligus sebagai pembimbing yang memberikan pengarahan dan menuntun siswa dalam belajar untuk mengaplikasikan tugas-tugas pokok tersebut, sehingga tujuan atau sasaran yang diharapkan dalam proses belajar dapat tercapai dengan baik, maka seorang guru terlebih dahulu harus dapat menempatkan kedudukannya sebagai tenaga Profesional. Guru merupakan figur sentral terhadap anak didiknya, Semua tingkah laku guru di dalam maupun di luar sekolah akan menjadi sorotan anak didik dan masyarakat secara umum,
hal ini yang harus diperhatikan seorang guru dalam melangkah dan melaksanakan aktifitas sehari-hari. Sebagai seorang pendidik guru harus senantiasa menjadi suri tauladan (uswatun hasanah) terhadap dirinya, anak didik dan masyarakat. Sangat beratmemang menjadi seorang guru tetapi begitu amat mulia di mata anak didik, masyarakat secara luas, jika dapat menjadikan Suri tauladan terhapat mereka. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, guru menghadapi anak didik (siswa) yang masih labil dalam kondisi Psikologisnya, dengan kondisi yang Labil tersebut, Maka anak didik akan meniru Sedikit demi sedikit Kepribadian yang ditimbulkan guru. Kedudukan guru di mata Anak didik merupakan “tokoh tunggal” bagi penerimaan Pendidikan kearah yang lebih baik, Terutama dengan Kepribadian mereka, oleh sebab itu Kepribadian yang ditimbulkan oleh guru akan diikuti oleh Siswa. Berdasarkan permasalahan di atas, penulis merumuskan: “Bagaimana Kepribadian Guru MDA Carita, Akhlak Siswa, dan Bagaimana kedua variable itu saling mempengaruhi”.
KERANGKA PEMIKIRAN Manusia yang beriman dan bertakwa merupakan tujuan dari pendidikan Nasional sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Sedangkan manusia bertakwa dan beriman kepada Allah SWT hanya akan terwujud melalui Pendidikan Agama, sebab kualitas Iman dan Takwa seseorang dapat dapat terwujud atas dasar atau fondasi Agama yang kuat. Kepribadian manusia sangat ditentukan oleh interaksi komponen-komponen nafsik. Dalam interaksi itu, qalbu memiliki posisi dominan dalam mengendalikan suatu kepribadian. Posisi dominan disebabkan oleh daya dan
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
105
Sri Mulyanah, Munir Satiar, Hadi Arifin
nature-nya yang luas yang mencakup semua daya dan nature komponen Nafsani lainnya. Prinsip kerjanya selalu cenderung pada fitrah asal Manusia, yaitu rindu akan kehadiran Tuhan (hanifiyah) dan kesucian jiwa. Prinsip kerja seperti ini disebabkan oleh kedudukannya sebagai pengendali, dari semua sistem kepribadian. Sebagai pengendali, qalbu di akhirat kelak yang di minta pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. Kepribadian dalam Psikologis islam adalah integrasi sistem qalbu, akal, dan nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku. Dengan konsep di atas memang cukup sederhana tetapi memiliki konsep yang sangat mendalam. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, kepribadian merupakan cerminan dari dalam jiwa seseorang yang ditimbulkan lewat perbuatan, perbuatan tersebut sejalan dengan tuntutan agama dan norma-norma yang berlaku. Terkait dengan kepribadian guru, maka gerak langkah dan tingkah laku yang ditimbulkan merupakan tingkah laku yang mencerminkan kesucian dan kesalehan dari manusia (guru) tersebut tingkah laku setiap guru akan dilihat melalui cara berbicara, bertindak, melakukan pekerjaan yang didasari oleh aturan serta norma-norma agama. LANDASAN TEORI Kepribadian Guru Agama Mempelajari tentang kepribadian seseorang dalam hal ini siswa, berarti kita mempelajari tentang kejiwaan. Kepribadian yang ditimbulkan siswa di sekolah merupakan hasil dari belajar, hal ini sejalan dengan pendapat Muhibbin Syah mengatakan bahwa perilaku mengandung pengertian sebagai prinsip-prinsip belajar yang ditimbulkan akibat dari hasil belajar, dengan ciri-ciri yang terpenting adalah perubahan tingkah laku, perubahan itu positip dan aktif, serta perubahan itu efektif fungsional (Syah, 2006).
106 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Bertolak dari pendapat diatas tersebut diatas, penulis berkesimpulan bahwa perilaku yang ditimbulkan oleh siswa berkat adanya perubahan-perubahan yang terjadi dalam dirinya yang bersifat keseluruhan sikap. Artinya, perubahan yang ditimbulkan merupakan perubahan yang disadari dan disengaja (Purwanto, 2007: 154). Menurut kata asalnya, kepribadian (personality) berasal dari bahasa Latin Peronare, yang berarti mengeluarkan, suara (to sound through). Manusia adalah makhluk memiliki potensi kognitif dan potensi akhlak. Akhlak merupakan perilaku yang dapat menjadikan citra dan nama baik seseorang menjadi terjaga,tumbuh dan berkembangnya perilaku manusia disebabkan karena faktor; belajar, lingkungan, pendidikan, dan mengarahkan manusia tersebut kepada perbuatan positif. Muhibbin Syah (2006: 23) mengatakan bahwa perilaku mengandung pengertian sebagai prinsip-prinsip belajar yang ditimbulkan akibat dari hasil belajar, dengan ciri-ciri yang terpenting adalah perubahan tingkah laku, perubahan itu positif dan aktif, serta perubahan itu efektif fungsional. Bertolak dari pendapat tersebut di atas, Penulis berkesimpulan bahwa perilaku yang ditimbulkan oleh siswa merupakan bentuk manifestasi hasil belajar yang dilakukan oleh siswa, berkat adanya perubahan-perubahan yang terjadi dalam dirinya yang bersifat keseluruhan sikap. Artinya, perubahan yang ditimbulkan merupakan perubahan yang disadari dan disengaja. Kepribadian atau perbuatan yang dilakukan siswa merupakan perilaku, etika dan moral yang dihasilkan berkat interaksinya antara individu dan lingkungannya, baik perilaku yang bersifat positif maupun perilaku yang bersifat negatif. berkenaan dengan etika kata ini penting digunakan, etika yang terbesar yang dapat dipelajari seseorang dalam hidup adalah keramah-tamahan, yang berujung pada kedermawanan (Khan, 2002: 11).
Pengaruh Kepribadian Guru
Dalam psikologi Islam sendiri telah dibuat dua pendekatan, yaitu pendekatan konten dan pendekatan rentang kehidupan. Dua buah pendekatan yang berupaya memberikan solusi pada setiap orang yang mengalami gangguan kepribadian (personality disorder) dan juga berupaya mengembangkan setiap pribadi yang normal (sehat fisik dan psikis) agar menjadi manusia yang lebih tangguh dan sesuai dengan tuntunan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist. Al-Qur’an menyatakan dengan tegas bahwa manusia yang unggul adalah manusia yang mampu mengembangkan potensi fisik dan psikis, serta mencegahnya dari hal-hal yang merusak dan mampu menyembuhkannya jika sudah terlanjur sakit. Untuk menjadi sehat, syariat Islam memberikan tuntunan melalui tahapan mujâhadah. Seseorang yang bersih dari sifat tercela dan maksiat, dalam dirinya menyatu sifat-sifat mukmin, muslim dan muhsin. Berikut adalah metode yang harus ditempuh untuk menjadi seorang mujahid: 1. Musyârathah, yaitu menetapkan syaratsyarat atau kontrak pada jiwa agar ia dapat melaksanakan tugas dengan baik dan menjauhi larangan. 2. Murâqabah, yaitu mawas diri dan penuh waspada dengan segenap kekuatan jiwa dan pikiran dari perilaku maksiat, agar ia selalu dekat kepada Allah. 3. Muhâsabah, yaitu introspeksi, membuat perhitungan atau melihat kembali tingkah laku yang diperbuat, apakah sesuai dengan apa yang disyaratkan sebelumnya atau tidak. 4. Mu’âqabah, yaitu menghukum diri karena dalam perniagaan rabbani selalu mengalami kerugian. Dalam aktifitasnya, perilaku buruk individu lebih dominan daripada yang baik. 5. Mujâhadah, yaitu berusaha menjadi baik dengan sungguh-sungguh, sehingga tidak ada waktu, tempat dan keadaan untuk main-main, apalagi melakukan perilaku yang buruk.
6. Mu’âtabah, yaitu menyesali dan mencela diri atas perbuatan dosanya dengan cara: berjanji untuk tidak melakukan perbuatan itu lagi, dan (b) melakukan perilaku positif untuk menutup perilaku negatif. 7. Mukâsyafah,yaitu membuka penghalang (hijab) atau tabir agar tersingkap ayat-ayat dan rahasia-rahasia Allah. Mukâsyafah juga diartikan jalinan dua jiwa yang jatuh cinta dan penuh kasih sayang, sehingga masing- masing rahasia diketahui satu dengan yang lain (Sapuri, 2009: 116). Secara sederhana, kepribadian dapat diartikan sebagai sifat hakiki individu yang tercermin pada sikap dan perbuatannya yangmembedakan dirinya dari yang lain. Menurut Gordon W. Allport (dalam Hurlock, 1953: 524), kepribadian adalah: “the dynamic organization within the individual of those psycophisical sistem that determine the individual’s unique adjusments to his environment” Kepribadian adalah susunan yang dinamis dari individu yang terdiri dari sistem psiko-pisis yang menentukan penyesuaian individu tersebut secara unik dengan dunia lingkungannya. Maksud pengertian kepribadian tersebut adalah sesuatu yang terdapat dalam diri individu yang terdiri dari fisik dan psikis dalam bentuk sistem, membimbing dan memberi arah kepada seluruh tingkah laku individu menurut caranya sendiri. Sedangkan M. Utsman Najati “kepribadian” adalah organisasi dinamis dari peralatan fisik dan psikis dalam diri individu yang membentuk karakternya yang unik dalam penyesuaiannya dengan lingkungannya. Berdasarkan beberapa pengertian tentang kepribadian sebagaimana dikemukakan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan tentang pengertian kepribadian adalah suatu kesatuan fungsional antara fisik dan psikis atau jiwa raga dalam diri individu yang membentuk karakter atau ciri khas unik
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
107
Sri Mulyanah, Munir Satiar, Hadi Arifin
yang terwujud dalam tingkah laku secara lahiriah maupun sikap batinnya sebagai bentuk terhadap penyesuaian dengan lingkungannya (Najati, 2000: 240). Bentuk Kepribadian Guru PAI Setiap guru mempunyai pribadi masing-masing sesuai ciri-ciri pribadi yang mereka miliki ciri-ciri inilah yang membedakan seorang guru dengan guru lainnya. Kepribadian sebenarnya adalah suatu masalah yang abstrak, hanya dapat dilihat lewat penampilan, tindakan, ucapan, cara berpakaian dan dalam menghadapi setiap persoalan. (Darajat, 1976: 16). Kepribadian merupakan keseluruhan dari individu yang terdiri unsur fisik dan psikis. Dalam makna demikian seluruh sikap dan perbuatan seseorang merupakan gambaran dari kepribadian orang itu. Untuk itu bentuk-bentuk kepribadian seorang guru dapat dilihat dari segi penampilan guru, sifat guru (Darajat, 1976: 18) dan interaksi guru agama Islam dengan sesama guru dan Kepala Sekolah. (Shaleh, 1976: 134). Pengertian Akhlak Islami Pengertian Akhlak Secara Etimologi, Menurut pendekatan etimologi, perkataan “akhlak” berasal dari bahasa Arab jama’ dari bentuk mufradnya “Khuluqun” yang menurut logat diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan “khalkun” yang berarti kejadian, serta erat hubungan “Khaliq” yang berarti Pencipta dan “Makhluk” yang berarti yang diciptakan. Baik kata akhlaq atau khuluq kedua-duanya dapat dijumpai di dalam Al-Qur’an, sebagai berikut: Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung... (Q.S. Al-Qalam, 68:4).
108 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Sedangkan menurut pendekatan secara terminologi, berikut ini beberapa pakar mengemukakan pengertian akhlak sebagai berikut: Ibn Miskawaih (dalam Zahruddin, , 2004: 4) mengatakan bahwa akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran lebih dahulu. Kemudian, Imam Al-Ghazali (dalam Ardani, 2005: 29) berpendapat bahwa akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal dan syara’, maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika lahirdarinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk. Sementara Ahmad Amin (dalam Zahruddin,2004: 4-5) menyebut bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Menurutnya kehendak ialah ketentuan dari beberapa keinginan manusia setelah imbang, sedang kebiasaan merupakan perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah melakukannya. Masing-masing dari kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan, dan gabungan dari kekuatan itu menimbulkan kekuatan yang lebih besar. Kekuatan besar inilah yang bernama akhlak (Nata, 2003: 147). Jika diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa seluruh definisi akhlak sebagaimana tersebut diatas tidak ada yang saling bertentangan, melainkan saling melengkapi, yaitu sifat yang tertanam kuat dalam jiwa yang nampak dalam perbuatan lahiriah yang dilakukan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran lagi dan sudah menjadi kebiasaan. Jika dikaitkan dengan kata islami, maka akan berbentuk akhlak islami, secara sederhana akhlak Islami diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran Islam atau akhlak yang bersifat islami. Kata Islam yang berada di belakang kata akhlak dalam menempati posisi sifat. Dengan demikian akhlak islami
Pengaruh Kepribadian Guru
adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah daging dan sumbernya berdasarkan pada ajaran Islam. Dilihat dari segi sifatnya yang universal, maka akhlak Islami juga bersifat universal. Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam menjabarkan akhlak universal diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan sosial. yang terkandung dalam ajaran etika dan moral. Menghormati kedua orang tua misalnya adalah akhlak yang bersifat mutlak dan universal. Jadi, akhlak islam bersifat mengarahkan, membimbing, mendorong, membangun peradaban manusia dan mengobati bagi penyakit sosial dari jiwa dan mental, serta tujuan berakhlak yang baik untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dengan demikian akhlak islami itu jauh lebih sempurna dibandingkan dengan akhlak lainnya. Jika akhlak lainnya hanya berbicara tentang hubungan dengan manusia, maka akhlak Islami berbicara pula tentang cara berhubungan dengan binatang, tumbuh-tumbuhan, air, udara dan lain sebagainya. Dengan cara demikian, masing-masing makhluk merasakan fungsi dan eksistensinya di dunia ini. Macam-macam Akhlak a. Akhlak Al-Karimah Al-Akhlak Al-karimah atau akhlak yang mulia sangat amat jumlahnya, namun dilihat dari segi hubungan manusia dengan Tuhan dan manuisa dengan manusia, Akhlak yang mulia itu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1) Akhlak Terhadap Allah. Akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada tuhan selain Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji demikian Agung sifat itu, yang jangankan manusia malaikat pun tidak akan menjangkau Hakikatnya; 2) Akhlak terhadap diri sendiri. Akhlak yang baik terhadap diri sendiri dapat diartikan menghargai, menghormati, menyayangi dan menjaga diri sendiri dengan
sebaik-baiknya, karena sadar bahwa dirinya itu sebagai ciptaan dan amanah Allah yang harus dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya. Contohnya menghindari minuman yang beralkohol, menjaga kesucian jiwa, hidup sederhana, serta jujur dan hindarkan perbuatan yang tercela. Kita telah mengetahui bahwa akhlak Islam adalah merupakan sistem moral atau akhlak yang berdasarkan Islam, yakni bertitik tolak dari Akidah yang di wahyukan Allah kepada Nabi atau Rasul-nya yang kemudian agar di sampaikan kepada umatnya. Akhlak Islam, karena merupakan sistem Akhlak yang berdasarkan kepada kepercayaan kepada Tuhan, maka tentunya sesuai pula dengan dasar dari pada agamaitu sendiri. Dengan demikian, dasar atau sumber pokok dari pada Akhlak adalah Al-Qur’an dan Hadist yang merupakan sumber utama dari agama itu sendiri (Mustofa, 1997: 149). Pribadi Nabi Muhammad adalah contoh yang paling tepat untuk dijadikan teladan dalam membentuk kepribadian. Begitu juga sahabat-sahabat Nabi yang selalu berpedoman kepada Al-Qur’an dan as-Sunah dalam kesehariannya. Seperti dalam hadist: Dari Anas bin Malik r.a. berkata, bahwa Nabi saw bersabda, “telah kutinggalkan atas kamu sekalian dua perkara, yang apabila kamu berpegangkepada keduanya, maka tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya (Nata, 2003: 149-150). 3) Akhlak terhadap sesama manusia Manusia adalah makhluk sosial yang kelanjutan eksistensinya secara fungsional dan optimal banyak bergantung pada orang lain, untuk itu ia perlu bekerjasama dan saling tolong-menolong dengan orang lain. Islam menganjurkan berakhlak yang baik kepada saudara, Karena ia berjasa dalam ikut serta mendewasakan kita dan merupakan orang yang paling dekat dengan kita (Arfani, 2005: 49).
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
109
Sri Mulyanah, Munir Satiar, Hadi Arifin
Jadi, manusia menyaksikan dan menyadari bahwa Allah telah Mengaruniakan kepadanya keutamaan yang tidak dapat terbilang dan karunia kenikmatan yang tidak bisa dihitung banyaknya, semua itu perlu disyukurinya dengan berupa Berzikir dengan hatinya. Sebaiknya dalam kehidupan senantiasa berlaku hidup sopan dan santun menjaga jiwanya agar selalu bersih, dapat terhindar dari perbuatan dosa, Maksiat, sebab jiwa adalah yang terpenting dan pertama yang harus di jaga dan dipelihara dari hal-hal yang dapat mengotori dan merusaknya. Karena manusia adalah makhluk sosial maka ia perlu menciptakan suasana yang baik, satu dengan yang lainnya saling berakhlak yang baik. b. Akhlak Al-Mazmumah Akhlak Al-Mazmumah (akhlak yang tercela) adalah sebagai lawan atau kebaikan dari akhlak yang baik sebagaiman tersebut di atas. Dalam ajaran islam tetap membicarakan secara terperinci dengan tujuan agar dapat di pahami dengan benar, dan dapat di ketahui cara-cara menjauhinya. Berdasarkan petunjuk ajaran Islam dijumpai berbagai macam Akhlak yang tercela, di antaranya: (1) Berbohong ialah memberikan atau menyampaikan informasi yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya; (2) Takabur (sombong) ialah merasa atau mengaku dirinya besar, tinggi, mulia, melebihi orang lain. Pendek kata merasa dirinya lebih hebat; (3) Dengki ialah rasa atau sikap tidak senang atas kenikmatan yang diperoleh orang lain; (4) Bakhil atau kikir ialah sukar baginya mengurangi sebagian dari apa yang di milikinya itu untuk orang lain. Sebagai mana diuraikan di atas maka Akhlak dalam wujud pengamalannya di bedakan menjadi dua : Akhlak terpuji dan akhlak yang tercela. Jika sesuai dengan perintah Allah dan Rasulnya yang kemudian melahirkan perbuatan yang baik, maka itulah yang di namakan Akhlak yang terpuji, sedangkan jika ia sesuai dengan apa yang di larang oleh Allah dan Rasul-nya dan melahirkan perbuatan-perbuatan yang buruk, maka itulah yang di namakan Akhlak yang tercela.
110 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Tujuan Akhlak Tujuan dari pendidikan akhlak dalam Islam adalah untuk membentuk manusia yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam berbicara, dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci. Dengan kata lain Pendidikan Akhlak bertujuan untuk melahirkan manusia yang memiliki keutamaan (al-fadillah). Berdasarkan tujuan ini, maka setiap saat, keadaan, pelajaran, aktifitas, merupakan sarana Pendidikan Akhlak. Dan setiap pendidik harus memelihara Akhlak dan memperhatikan Akhlak di atas segala-galanya (Ramayulis, 2004: 115). Barmawie Umary (1988) dalam buku Materi Akhlak menyebutkan bahwa tujuan berakhlak adalah hubungan umat Islam dengan Allah Swt dan sesama Makhluk selalu terpelihara dengan baik dan harmonis. Sedangkan Omar M. Al-Toumy Al-Syaibany (1979: 346), tujuan Akhlak adalah menciptakan kebahagiaan, kemajuan, kekuatan, dan keteguhan bagi Masyarakat. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan akhlak pada prinsipnya adalah untuk mencapai kebahagiaan dan keharmonisan dalam berhubungan dengan Allah Swt, di samping berhubungan dengan sesama Makhluk dan juga alam sekitar, hendak menciptakan manusia sebagai Makhluk dan juga alam sekitar, hendak menciptakan manusia sebagai makhluk yang tinggi dan sempurna serta lebih dari makhluk lainnya. METODE Penelitian ini dilakukan di Madrasah Diniyah Awaiyah (MDA) Miftahul Hidayah Carita, Desa Carita, Kecamatan Carita Kabupaten Pandeglang. Penelitian ini dilaksanakan sejak tanggal 2 Maret 2013 sampai dengan 27 Mei 2013. Waktu tersebut penulis gunakan untuk survei pendahuluan, mengambil data, melakukan analisis, dan menyusun laporan.
Pengaruh Kepribadian Guru
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Penulis menguji kedua variabel penelitian dengan uji statistik, kemudian hasil dari analisis statistik tersebut dideskripsikan dengan menggunakan deskriptif korelasional. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengukur kadar pengaruh kepribadian guru (variabel x) terhadap akhlak siswa MDA Miftahul Hidayah Carita (variabel y). Untuk memperoleh data-data lapangan ini penulis menggunakan angket, Wawancara, observasi, dan Dokumentasi. Angket penelitian ini adalah angket tertutup tentang kepribadian guru dan akhlak siswa. Adapun observasi dilakukan untuk mengamati objek penelitian. Sedangkan wawancara dilakukan dengan kepala Madrasah, dewan guru, dan siswa MDA Miftahul Hidayah. Selain itu, penulis meneliti beberapa dokumen MDA, mulai sejarah didirikannya MDA, keadaan sarana dan prasarana dan juga data-data Guru MDA Miftahul Hidayah Carita. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa MDA Miftahul Hidayah yang berjumlah 45 orang siswa. Oleh karena jumlah populasinya kurang dari 100, maka seluruh siswa dijadikan responden; tidak dilakukan sampling. Setelah data terkumpul, penulis melakukan analisis kuantitatif, dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) Mentabulasikan data hasil persebaran angket; (2) Membuat tabel distribusi frekuensi; (3) Menganalisis tendensi sentral dari masing-masing variabel, dengan menghitung mean, median, modus; (4) Menghitung standar deviasi (SD); (5) Menghitung chi kuadrat. HASIL DAN PEMBAHASAN Menentukan Angka Koefisien Korelasi Penelitian ini dimaksudkan untuk mengukur kadar pengaruh kepribadian guru (variabel x) terhadap hasil siswa di mata pelajaran akidah akhlak (variabel y). Dari perhitungan
diketahui bahwa variabel x dan y berdistribusi normal, selanjutnya maka dapat dilakukan analisis korelasi dengan menggunakan rumus korelasi product moment. Hasil perhitungan dapat diketahui indeks koefisien korelasi sebesar 0.97, setelah dilihat pada tabel koefisien korelasi antara (0.81 - 1.00) termasuk korelasi yang sangat kuat, berarti terdapat pengaruh yang sangat kuat antara kepribadian guru dengan hasil siswa di mata pelajaran akidah akhlak. Menentukan Uji Signifikansi Korelasi Untuk menentukan uji signifikansi korelasi maka ditempuh langkah-langkah sebagai berikut: Langkah pertama, menentukan thitung. Berdasarkan perhitungan didapatkan nilai thitung sebesar 25.96. Langkah kedua, menentukan derajat kebebasan (db). Dari perhitungan didapatkan db sebesar 43. Langkah ketiga, menentukan ttabel dengan taraf signifikansi 5% dan db = 43. Berdasarkan perhitungan diperoleh ttabel sebesar 1.681. Ternyata thitung lebih besar dari ttabel, atau 25.96 > 1.681, maka H0 ditolak, artinya ada pengaruh signifikan antara kepribadian guru terhadap kepribadian siswa MDA Miftahul Hidayah Carita. Terakhir, langkah keempat yaitu menentukan koefisien determinasi (cd). Berdasarkan perhitungan diperoleh angka cd sebesar 94.09. Dari angka tersebut dapat diketahui bahwa terdapat 94.09% korelasi antara pengaruh kepribadian guru terhadap kepribadian siswa MDA Miftahul Hidayah Carita, dan siswanya sebesar 5.91% ditentukan oleh faktor lain yang sedang berkembang dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Dengan demikian berdasarkan hasil perhitungan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa kepribadian guru menentukan terhadap kepribadian atau akhlak siswa, artinya guru yang memiliki kepribadian baik akan memberikan kepribadian baik pula terhadap siswanya.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
111
Sri Mulyanah, Munir Satiar, Hadi Arifin
PENUTUP Sebagai bagian akhir penelitian ini, penulis memberikan saran dan rekomendasi sebagai berikut: 1. Bagi Kepala Madrasah, diharapkan harus lebih sering memantau dan memonitor tentang perilaku (akhlak) guru dan siswa. Kemudian membimbing guru dalam mengelola kelas sesuai dengan situasi dan kondisi siswa. 2. Bagi guru, diharapkan untuk selalu menanamkan sifat dan kepribadian yang baik dalam dirinya, karena guru sebagai suri tauladan bagi siswa, maka dengan kepribadian yang baik dari guru akan mendukung siswa untuk berkepribadian yang baik. Sadar maupun tidak,sikap dan tingkah laku guru menjadi perhatian khusus bagi para siswanya di sekolah. 3. Bagi siswa, diharapkan agar lebih meningkatkan kesadaran pada dirinya masing-masing untuk dapat belajar dengan giat dan sungguh-sungguh sesuai dengan cara atau metode yang diberikan guru atau pihak sekolah. DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama RI. Ardani, Moh. (2005). Akhlak Tasawuf. Jakarta: Citra Cahaya Utama. Arifin (1987). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara. Darajat, Zakiah, dkk. (1992). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Djamarah, Bahri Syaeful. (1996). Guru dan Anak Didik Dalam Proses Interaksi Edukatif. Jakarta: Bumi Aksara. Hasbullah. (2005). Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
112 || JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013
Hartati, Netty. (2004). Islam dan Psikologis. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hurlock, Elizabeth B. (1953). Child Development. Tokyo: Mc. Graw Hill. Khan, Inayat. (2002). Metode Mendidik Anak Secara Sufi. Bandung: Nuansa Cendikia. Mudiyaharjo Redja. (2002). Pengantar pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Muhibbin. (2006). Psikologi Pendidikan dan Pendidikan Praktis. Bandung: Remaja Rosda Karya. Mustofa. (1997). Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. Najati, Usman. (2000). Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa. Bandung: Pustaka Nata, Abuddin. (2003). Akhlak Tasauf. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Purwanto, Ngalim. (2007). Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya. Ramayulis. (2004). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Mulia Kalam. Resito, Herman. (1992). Penghantar Metodologi Penelitian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Saebani, Ahmad Beni.(2008). Metode Penelitian, Bandung: Pustaka Setia. Saleh, Abdur Rahman. (1979). Didaktik Pendidikan Agama. Jakarta: Bulan Bintang. Sapuri, Rafy. (2009). Psikologi Islam, Tuntunan Jiwa Manusia Modern. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009). Sardiman. (1988). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Pedoman Bagi Guru dan Calon Guru. Jakarta: Rajawali. Uhbiyati, Nur. (1998). Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia. Zuhairini. (1983). Metodik Khusus Pendidikan Agama. Surabaya: Usaha Nasional.
PETUNJUK PENGIRIMAN NASKAH JURNAL ETIKA DAN PEKERTI UNIVERSITAS MATHLA’UL ANWAR BANTEN 1. Naskah yang diterima belum pernah dipublikasikan, dibuktikan dengan surat pernyataan. 2. Naskah yang dikirim adalah hasil penelitian atau kajian analisiskritis (artikel konseptual) terhadap persoalan di masyarakat, dan ada keterkaitannya dengan etika dan pekerti. 3. Topik-topik meliputi bidang-bidang (namun tidak terbatas pada): • Pendidikan karakter • Psikologi kepribadian • Pendidikan nilai Nilai keagamaan (akhlak) Nilai pendidikan moral • Etika Filsafat moral Etika profesi Etika politik Etika hukum Etika sosial Etika bisnis-ekonomi Etika budaya • Bimbingan dan Konseling Bimbingan Kepribadian Konseling Kepribadian 4. Naskah diketik 1,5 spasi menggunakan huruf Times New Roman, ukuran huruf 12 pt, menggunakan kertas A4 sebanyak 15 – 20 halaman. 5. Abstrak naskah dibuat dalam dua bahasa: Inggris-Indonesia. 6. Rujukan dan kutipan ditulis dalam tubuh naskah (bodynote) disertai nomor halaman kutipan. Penulisan pustaka menggunakan gaya Harvard, dan diurut berdasarkan abjad. 7. Setiap tabel harus diketik dengan spasi 1, font 10 atau disesuaikan. Nomor tabel diurutkan sesuai dengan urutan penyebutan dalam teks. Tabel diberi judul dan subjudul secara singkat. 8. Judul tabel dan tabel diberi jarak 1 spasi. Bila terdapat keterangan tabel, ditulis dengan font 10, spasi 1, dengan jarak antara tabel dan keterangan tabel 1 spasi. Gambar sebaiknya dibuat secara professional, dan sebaiknya dalam bentuk foto. File gambar dikirimkan beserta naskah. Setiap gambar harus diberi label dan berisi nomor urut gambar sesuai dengan pemunculan dalam teks. Judul gambar diletakkan di bawah gambar. Grafik maupun diagram dianggap sebagai gambar. Grafik ditampilkan dalam bentuk 2 dimensi. 9. Redaksi berhak menyunting naskah yang dikirimkan berdasarkan catatan Penyunting Ahli dan gaya selingkung yang dipergunakan. 10. Naskah dikirim ke redaksi di LP3M UNMA Banten, dan softcopy dikirim melalui email:
[email protected] 11. Naskah yang tidak dimuat akan dikembalikan dalam waktu 1 (satu) bulan.
JURNAL ETIKA DAN PEKERTI – Volume I, no. 2, 2013 ||
113