SEBARAN KERUANGAN DAN PERKEMBANGAN PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL (PMKS) LANGKAH ANTISIPATIF PEMECAHAN MASALAH LINGKUNGAN KULTURAL DI PROPINSI DKI JAKARTA Joko Christanto
Jurusan Sains Informasi Geograi dan Pengembangan Wilayah Fakultas Geograi UGM, Yogyakarta
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran keruangan dan perkembangan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) di Propinsi DKI Jakarta. Metode yang digunakan adalah metode dengan basis analisis data sekunder yang didukung oleh data hasil observasi lapangan serta perbandingan secara antar waktu (time series). Teknik analisis menggunakan statistik deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara keruangan PMKS tersebar diseluruh kota di wilayah Propinsi DKI Jakarta dengan konsentrasi tertinggi wilayah JakartaTimur, sedangkan konsentrasi terendah berada di wilayah Jakarta Selatan. Perkembangan selama kurun waktu 5 tahun (2001-2005) menunjukkan terjadinya luktuasi di masing-masing kota yaitu kenaikan dan penurunan jumlah PMKS di seluruh wilayah kota di Propinsi DKI Jakarta. Akan tetapi, jumlah total propinsi menunjukkan angka penurunan. Populasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Propinsi DKI Jakarta Tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 mengalami luktuasi perubahan jumlah PMKS. Dengan sebaran keruangan yang relatif tetap, yaitu untuk wilayah Kota Jakarta Timur memiliki jumlah dan prosentase tertinggi, sedangkan wilayah Kota Jakarta Selatan memiliki jumlah dan prosentase terendah. Satu-satunya wilayah kota yang memiliki kecenderungan jumlah PMKS meningkat adalah Kota Jakarta Utara Keywords: sebaran keruangan, penyandang masalah kesejahteraan sosial, pelayanan sosial perkotaan.
PENDAHULUAN Latar Belakang Pelayanan sosial perkotaan merupakan prasarana untuk memanusiakan manusia, sehingga mereka dapat berproduktif untuk turut andil dalam proses pembanguEmail:
[email protected]
nan, yang pada akhirnya menjadi modal sosial. Jelas, sasarannya adalah penduduk di DKI Jakarta, terutama PMKS yang lebih dekat pada kemiskinan. Aspek yang kuat untuk di analisis dari pelayanan sosial perkotaan adalah aspek sosial budaya (socio cultural). Ini penting karena persoalan aspek sosial budaya di DKI Jakarta san-
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
51
Sebaran Keruangan dan Perkembangan PMKS
Joko Christanto
gat multikultur, artinya penduduk sangat heterogen. Belum lagi kota Jakarta merupakan tumpuan yang menarik untuk didatangi oleh kaum urban. Yang pada akhirnya muncul permasalahan sosial yaitu PMKS, dan ini menuntut pemerintah daerah diharuskan memiliki kiat tersendiri untuk menjalankan manajemen kota.
jaan namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara umum kondisi PMKS lebih memprihatinkan ketimbang orang miskin. Selain memiliki kekurangan pangan, sandang dan papan, kelompok rentan (vulnerable group) ini mengalami pula ketelantaran psikologis, sosial dan politik. Dalam kaitan ini, maka seringkali orang mengklasiikasikan kemiskinan berdasarkan “status” atau “proil” yang melekat padanya yang kemudian disebut Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Gelandangan, pengemis, anak jalanan, suku terasing, jompo terlantar, penyandang cacat (tubuh, mental, sosial) dan lain-lain adalah beberapa contoh PMKS yang sering diidentikan dengan sasaran pekerjaan sosial di Indonesia. Belum ada hasil penelitian yang komprehensif apakah mereka ini tergolong pada kelompok destitute, poor atau vulnerable. Namun dapat diasumsikan bahwa PMKS bisa berada diantara ketiga kategori kemiskinan di atas.
Kondisi sosial dan budaya yang beragam dalam kehidupan bermasyarakat dan timbulnya permasalahan sosial tersebut memerlukan suatu kebijakan dan tindak lanjut untuk mendukung perbaikan infrastruktur sosial budaya yang dimiliiki Jakarta. Kebijakan pembangunan kesejahteraan sosial yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan bantuan dasar kesejahteraan sosial bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial; serta memberikan pelayanan yang memadai bagi masyarakat dalam permasalahan pemakaman, membutuhkan dukungan ketersediaan prasarana sarana perkotaan dan pengelolaan pelayanan publik yang baik.
METODE PENELITIAN TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran keruangan dan perkembangan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) di Propinsi DKI Jakarta. TINJAUAN PUSTAKA Salah satu permasalahan kesejahteraan sosial di perkotaan adalah adalah masalah kemiskinan. Masalah ini menjadi isu sentral terutama setelah Indonesia dilanda krisis multidimensional yang memuncak pada periode 1997-1999. Angka kemiskinan ini akan lebih besar lagi jika dalam kategori kemiskinan dimasukan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), yang meliputi gelandangan, pengemis, anak jalanan, yatim piatu, jompo terlantar, dan penyandang cacat yang tidak memiliki pekerjaan atau memiliki peker52
Metode yang digunakan adalah metode survei dengan basis analisis data sekunder yang didukung oleh data hasil observasi lapangan serta perbandingan secara antar waktu (time series). Teknik analisis menggunakan statistik deskriptif kualitatif dan kuantitatif dengan tahapan pelaksanaan kegiatan sebagai berikut: Melakukan kajian kepustakaan seputar pengertian urban sosial service, faktor-faktor penyebab kesenjangan terhadap pelayanan sosial perkotaan, dan konsep-konsep pengembangan pelayanan sosial perkotaan; Melakukan inventarisasi permasalahan yang terjadi di dalam perkembangan lingkungan sosial di Jakarta yang terkait dengan kebutuhan pelayanan sosial; Menginventarisir kebijakan pengembangan kesejahteraan sosial perkotaan di DKI Jakarta melalui Renstrada, RTRW dan peraturan daerah lain-
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
Sebaran Keruangan dan Perkembangan PMKS
Joko Christanto
nya; Menganalisis faktor-faktor penyebab permasalahan pengembangan pelayanan sosial perkotaan, hasil dari analisis ini akan digunakan sebagai masukan dalam analisis terhadap kebutuhan akan pelayanan sosial perkotaan.
Pada tahun 1980 jumlah penduduk Kota Jakarta sebanyak 6,5 juta jiwa dan meningkat pada tahun 1990 sebanyak 8,22 juta jiwa atau mengalami kenaikan jumlah penduduk sebesar 172,5 ribu jiwa. Kenaikan ini nampaknya cukup besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun 1990 sampai dengan tahun 2000 yang meningkat hanya sebesar 133 ribu jiwa atau dengan jumlah keseluruhan sebesar 8,36 juta jiwa. Di tahun 2004 jumlah penduduk Kota Jakarta naik hingga mencapai 9,04 juta jiwa atau mengalami kenaikan dari tahun 2000 sebesar 681 ribu jiwa. Jumlah penduduk Kota Jakarta pada tahun 2005 sebesar 9,04 juta, dan ini artinya jumlah penduduk kota Jakarta dari tahun ke tahun terus bertambah. Dengan makin meningkatnya jumlah penduduk tersebut menimbulkan dampak sosial yang kompleks. Ini menjadikan pekerjaan rumah bagi aparat pemerintah daerah DKI Jakarta dalam menangani jumlah penduduk. Dampak yang jelas terjadi dengan jumlah penduduk tersebut adalah dari sisi aspek sosial, seperti pengangguran, penyandang masalah kesejahteraan sosial, perumahan, dan lain-lain. Pada gilirannya, bila fenomena kependudukan ini terabaikan, maka akan menurunkan kualitas manusia untuk ikut serta dalam pembangunan. Pertumbuhan Penduduk Jika dilihat laju pertumbuhan penduduk Tahun 2000-2005 berdasarkan wilayah kota, Kota Jakarta Pusat memiliki laju pertumbuhan negatif artinya terjadi perpindahan penduduk dari wilayah tersebut ke wilayah lain. Kota Jakarta Pusat
HASIL DAN PEMBAHASAN Pelayanan sosial perkotaan merupakan prasarana untuk memanusiakan manusia, sehingga mereka dapat berproduktif untuk turut andil dalam proses pembangunan, yang pada akhirnya menjadi modal sosial. Jelas, sasarannya adalah penduduk di DKI Jakarta, terutama PMKS yang lebih dekat pada kemiskinan. Aspek yang kuat untuk di analisis dari pelayanan sosial perkotaan adalah aspek sosial budaya (socio cultural). Ini penting karena persoalan aspek sosial budaya di DKI Jakarta sangat multikultur, artinya penduduk sangat heterogen. Belum lagi kota Jakarta merupakan tumpuan yang menarik untuk didatangi oleh kaum urban. Yang pada akhirnya muncul permasalahan sosial yaitu PMKS, dan ini menuntut pemerintah daerah diharuskan memiliki kiat tersendiri untuk menjalankan manajemen kota. Jumlah Penduduk Propinsi DKI Jakarta merupakan Propinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Makin derasnya laju urbanisasi ke kota Jakarta dikarenakan daya tarik kota Jakarta yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik dari tahun ke tahunnya semakin menambah jumlah penduduk kota Jakarta. Jumlah penduduk DKI Jakarta dari tahun ke tahunnya dapat dilihat pada Tabel berikut ini.
Tabel 1. Jumlah Penduduk DKI Jakarta Tahun1980, 1990, 2000, 2004, Dan 2005 Jumlah Penduduk Propinsi DKI Jakarta
1980
1990
2000
2005
6.503.000
8.228.000
8.361.000
9.041.605
Sumber: BPS, Sensus Penduduk 1980, 1990, 2000 dan SUPAS 2005 Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
53
Sebaran Keruangan dan Perkembangan PMKS
Joko Christanto
bahkan memperlihatkan penurunan jumlah penduduk yang cukup signiikan dalam 20 tahun terakhir. Hal tersebut disebabkan karena sebagian besar wilayahnya menjadi pusat perkantoran dan perdagangan sehingga penduduk daerah tersebut berpindah ke wilayah lain, seperti ke Depok, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Debotabek). Namun demikian, saat ini perubahan pertumbuhan penduduk di Kota Jakarta Selatan mengalami kenaikan yang pesat, ini terlihat dari pertumbuhan penduduk periode tahun 2000 – 2005. Pertumbuhan penduduk pada periode 1990 – 2005 terjadi di semua Kota di DKI Jakarta, tetapi dengan laju pertumbuhan penduduk yang berbeda-beda. Laju pertumbuhan penduduk tertinggi terjadi di Jakarta Barat (4,03 persen), diikuti oleh Jakarta Selatan (2,21 persen), Jakarta Timur (0,34 persen) dan Jakarta Utara (0,34 persen). Sementara itu Jakarta Pusat memiliki laju pertumbuhan penduduk yang negatif, masing masing sebesar -0,72 persen. Ini berarti bahwa pada kota ini mengalami penu-
runan jumlah penduduk. Pengembangan permukiman dalam kota di wilayah barat, dan selatan disertai dengan pengembangan sektor industri menjadi daya tarik pendatang untuk tinggal di wilayah tersebut, sehingga wajar jika pertumbuhan penduduk kedua Kota ini merupakan yang tertinggi. Penurunan jumlah penduduk yang terjadi di Kota Jakarta Pusat karena banyak penduduk yang akhirnya pindah ke wilayah lain karena lahan tempat tinggal mereka banyak yang dipindahtangankan dan dialihkan untuk kegiatan bisnis dan perkantoran. Ini mengindikasikan di masa mendatang terjadi pergeseran proporsi jumlah penduduk terbesar terdapat di wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Selatan. Seandainya hipotesa ini benar, maka fenomena pemberian jasa pelayanan sosial di kedua wilayah tersebut menuntut Pemda wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Selatan untuk menentukan program kebijakan yang eisien dan efektif.
Tabel 2. Jumlah, Proporsi Dan Pertumbuhan Penduduk Menurut Kota Di DKI Jakarta 1990, 2000, 2005
Sumber : 1. Sensus Penduduk 1990; 2. Sensus Penduduk 2000 3. Survei Penduduk Antar Sensus 2005 54
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
Sebaran Keruangan dan Perkembangan PMKS
Joko Christanto
Kepadatan Penduduk Salah satu indikator sederhana yang dapat menggambarkan persebaran penduduk adalah kepadatan penduduk. Berdasarkan Tabel 3 berikut ini dapat dilihat bahwa tingkat kepadatan penduduk di Propinsi DKI Jakarta semakin meningkat. Dengan tingginya tingkat kepadatan penduduk tersebut maka muncul berbagai isu tentang penduduk dan lingkungan. Di satu pihak berkelanjutan atau kelestarian sumberdaya alam harus terus dipertahankan, namun di pihak lain pada saat yang sama jumlah penduduk semakin bertambah. Kegagalan dalam menyelaraskan kondisi penduduk dan sumberdaya alam akan memunculkan berbagai masalah seperti kerusakan lingkungan dan masalah sosial
tersebut terjadi di hampir seluruh Kota kecuali Kota Jakarta Pusat. Meskipun mengalami penurunan, tingkat kepadatan penduduk di Jakarta Pusat tetap menjadi yang tertinggi di DKI Jakarta, yaitu seluas 17.874 jiwa per km2 pada tahun 2005. Tingginya kepadatan penduduk di Kota ini dikarenakan luas wilayahnya merupakan yang terkecil dibanding dengan 4 (empat) Kota lainnya yaitu hanya seluas 48,20 km2 atau 7,29 persen dari luas propinsi DKI Jakarta. Kota yang memiliki tingkat kepadatan penduduk terendah adalah Jakarta Utara dengan luas wilayah 141,88 km2, kepadatan penduduknya hanya sekitar 10.197 per km2 pada tahun 2005.
Tabel 3 Kepadatan Penduduk Menurut Kota Di DKI Jakarta Tahun 1990, 2000 Dan 2005
Sumber : 1. Sensus Penduduk, 1990 2. Sensus Penduduk, 2000 3. Survei Penduduk Antar sensus 2005 seperti makin banyaknya Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan penduduk miskin. Dengan luas wilayah yang tetap yaitu hanya sebesar 661,62 km2, sementara jumlah penduduk DKI Jakarta terus mengalami peningkatan maka dapat dipastikan bahwa kepadatan penduduk di DKI Jakarta akan terus meningkat. Pada tahun 1990 kepadatan penduduk DKI Jakarta mencapai 12.484 jiwa per km2, pada tahun 2005 meningkat menjadi 13.688 jiwa per km2. Peningkatan kepadatan penduduk
Arus Migrasi Masuk Ke DKI Jakarta Pertumbuhan yang begitu pesat melalui industrialisasi di wilayah Jabotabek berdasarkan strategi yang telah ditempuh oleh Indonesia pada masa lampau justru telah mengakibatkan kesenjangan sosial ekonomi. Dampak negatif ikutannya jelas, yaitu telah mendorong terjadinya arus migrasi masuk penduduk miskin dari pedesaan, khususnya dari wilayah belakangnya, untuk berbondong-bondong pergi mengadu nasib bermigrasi ke wilayah DKI Jakarta. Kota Jakarta sebagai wilayah tujuan mi-
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
55
Sebaran Keruangan dan Perkembangan PMKS
Joko Christanto
grasi memiliki keterbatasan daya dukung dan daya tampung terutama untuk menyerap tambahan jumlah penduduk yang terus semakin membesar. Terus meningkatnya jumlah penduduk tersebut telah menyebabkan terjadinya persoalan urbanisasi berlebih dan tentu saja dengan segala dampak negatif dan permasalahan strategis ikutannya yang masih saja berlangsung sampai saat ini. Dimana sebagian besar dari mereka yang bermigrasi dari wilayah belakang ke wilayah DKI Jakarta adalah mereka yang mempunyai kualiikasi seperti keahlian, modal dan pendidikan yang sangat rendah. Akibat selanjutnya adalah sebagian besar dari mereka kaum migran tadi tidak mudah untuk terserap oleh lapangan kerja yang tersedia di wilayah DKI Jakarta, yang ratarata telah mensyaratkan kualiikasi tenaga kerja yang berkarakter modern. Proses perubahan sosial tersebut diatas adalah semakin menggelembungnya aktivitas kegiatan sosial ekonomi di sektor informal serta membengkaknya jumlah pengangguran terbuka di wilayah DKI Jakarta. Dampak lainnya antara lain menjamurnya penyandang masalah sosial (tuna wisma, anak jalanan, penyandang narkoba, prostitusi dan perjudian) serta tentu saja terjadinya peningkatan kriminalitas dan degradasi fungsi lingkungan serta menjamurnya wilayah kumuh yang masih saja tetap semarak di wilayah metropolitan ini. Permasalahan peningkatan kembali arus migrasi masuk ke wilayah DKI Jakarta tersebut didasarkan pula pada jumlah arus balik khususnya setelah lebaran ke wilayah DKI Jakarta selalu lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah arus mudik sebelum lebaran dari Jakarta pada periode waktu tahun yang sama. Fenomena membanjirnya arus migrasi masuk penduduk tersebut terjadi karena Kota Jakarta menjadi pusat dan tujuan bagi para migran potensial dari wilayah sekitarnya untuk memperbaiki taraf kehidupannya ataupun sekedar untuk
mengadu nasib. Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Kota Jakarta adalah kota metropolitan yang merupakan pusat pemerintahan, pusat industri, perdagangan dan perkonomian. Daya tarik kota yang sangat menjanjikan akan kehidupan lebih baik mengundang banyaknya urbanisasi dari luar daerah untuk turut serta berkompetisi dalam kehidupannya. Bagi mereka yang mempunyai pendidikan dan kemampuan yang memadai dapat bertahan hidup dan menggapai sukses mencapai kehidupan yang lebih baik pada sektor formal, informal dan normative di pemukiman. Namun sebagian lagi dari mereka tidak memiliki kemampuan bersaing yang akhirnya terpuruk menjadi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Jalanan. Keberadaan PMKS jalanan yang menanggap jalanan sebagai tempat mata pencarian sehari-hari menjadikan Kota Jakarta rentan dan kumuh serta rawan kriminalitas. Berbaurnya para PMKS antara lain Pengamen, Pengasongan, Gelandangan, Pengemis, Pemulung, Waria, WTS, Anak Jalanan, Pencopet, Pencongkel Spion, Penodong dan sebagainya di tengah-tengah kemacetan jalanan merupakan sebuah fakta yang harus disikapi dengan tindakan yang bijaksana dan persuasive. Populasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Propinsi DKI Jakarta Tahun 2005 berjumlah 69.629 orang. Jumlah tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2004 sebanyak 72.309 orang dan tahun 2003 sebanyak 71.955 orang. Penurunan angka tersebut nampaknya masih kurang signiikan karena hanya turun sekitar 4,8 persen dari tahun sebelumnya. Namun penurunan jumlah PMKS secara keseluruhan tersebut nampaknya tidak terjadi secara merata di tiap Kota DKI Jakarta. Masih terdapat beberapa Kota
56
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
Sebaran Keruangan dan Perkembangan PMKS
Joko Christanto
Tabel 4 Data Populasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Tahun 2005
Sumber: Data Populasi PMKS, Propinsi DKI Jakarta Tahun 2005
dengan jumlah PMKS yang semakin bertambah antara lain di Jakarta Timur dengan jumlah sebanyak 25.111 orang pada tahun 2004 menjadi 25.426 orang di tahun 2005. Dengan jumlah PMKS sebanyak itu maka menjadikan Jakarta Timur sebagai wilayah dengan populasi PMKS terbesar di wilayah DKI Jakarta. Selain Jakarta Timur, wilayah yang jumlah populasi PMKS makin bertambah yaitu Jakarta Barat dengan jumlah PMKS 9.613 orang pada tahun 2004 menjadi 9.698 orang pada tahun 2005, dan Jakarta Utara dari jumlah PMKS sebanyak 11.342 orang di tahun 2004 meningkat menjadi 12.533 orang di tahun 2005. Jenis PMKS dengan populasi terbanyak
adalah Anak Terlantar sebesar 15.464 orang atau 22,21 persen, Lansia Terlantar sebesar 14.416 orang atau 20,70 persen dan Penyandang Cacat sebesar 12.704 orang atau sebesar 18,24 persen. Wilayah yang dari ketiga jenis PMKS tersebut paling banyak populasinya nampaknya berada di wilayah Kota Jakarta Timur. Kontribusi jumlah PMKS terbesar terhadap jumlah penduduk terjadi di Kota Jakarta Pusat sebesar 1,7 persen. Selanjutnya diikuti oleh Kota Jakarta Timur (1,1 persen); Kota Jakarta Utara (0,9 persen); Kota Jakarta Barat (0,4 persen) dan yang terendah berada di Kota Jakarta Selatan sebesar 0,3 persen.
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
57
Sebaran Keruangan dan Perkembangan PMKS
Joko Christanto
Gambar 3 Persebaran Populasi Dan Rumah Singgah PMKS Di Propinsi DKI Jakarta
Sumber : Dinas Bintal dan Kesos DKI Jakarta
58
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
Sebaran Keruangan dan Perkembangan PMKS
Joko Christanto
Gerak Mapan merupakan akronim dari “Gerakan Tidak Membeli atau Memberi
Apapun Kepada Siapapun di Jalanan" merupakan program Pemerintah Propinsi DKI
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
59
Sebaran Keruangan dan Perkembangan PMKS
Joko Christanto
Jakarta dalam pencegahan dan penanggulangan masalah keamanan dan ketertiban umum, gerakan ini dilaksanakan secara berkesinambungan dan terpadu, serta disinergikan dengan penegakan peraturan tentang ketertiban umum dan operasi penjemputan PMKS. Diyakini apabila Gerak Mapan ini dilaksanakan oleh seluruh pengguna jalanan di seluruh kawasan DKI Jakarta dengan tertib dan disiplin, serta dilaksanakannya kegiatan penertiban oleh aparat terkait secara terus menerus maka secara perlahan PMKS jalanan di kota Jakarta akan mulai berkurang. Namun demikian Pemerintah Daerah juga tidak menutup mata bahwa para PMKS jalanan adalah kaum marjinal dan dhuafa yang perlu diberikan perhatian dan bantuan serta pendidikan yang memadai agar mereka dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik dan manusiawi. Kegiatan tersebut dilaksanakan oleh pemerintah bersama masyarakat melalui pelayanan umat di panti-panti sosial milik pemerintah maupun masyarakat. Oleh karena itu peran aktif masyarakat disini sangat diharapkan dalam mendukung gerakan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Pada Tabel dibawah terlihat bahwa terda-
pat 42 unit dengan kapasitas daya tampung sebanyak 4.585 orang di panti-panti sosial yang di bina oleh Pemerintah DKI Jakarta diantaranya yang terbanyak adalah PS. Rehabsos. Penyandang Cacat yang terdiri dari 25 unit dengan kapasitas daya tampung sebanyak 1.720 orang. Selanjutnya yang terbanyak adalah Panti Asuhan yang meskipun hanya terdiri dari 9 unit namun memiliki kapasitas daya tampung yang cukup besar yaitu 920. Dengan kondisi tersebut rasanya sangat disayangkan karena kedua panti sosial tersebut masih memiliki kelebihan daya tampung sedangkan di tempat lain daya tampungnya sudah lebih dari kapasitas yang ada. Keberadaan panti sosial dan Loka Bina Karya (LBK) memang sangat dibutuhkan terutama untuk menangani permasalahan PMKS. Terdapat 42 unit panti sosial dan LBK untuk berbagai jenis PMKS dengan daya tampung sebesar 4.585 orang. Jumlah tersebut nampaknya masih jauh dari kebutuhan kota Jakarta untuk menangani PMKS yang bermasalah dimana masih banyak kelompok PMKS yang belum mendapatkan penampungan/ pembinaan sama sekali.
Tabel 5 Rekapitulasi Data Panti Sosial Loka Bina Karya Tahun 2005 No. 1. 2. 3. 4.
Jenis Lembaga Sosial Panti Asuhan Panti Wer dha Pembinaan Penyandang Cacat Lainnya Jumlah
Unit 9 5 25 8
Jum lah Kapasitas 920 780 1.720 1.165
42
4.585
Sumber : Dinas Bintal Spiritual dan Kesos DKI Jakarta
60
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
Sebaran Keruangan dan Perkembangan PMKS
Joko Christanto
Tabel 6 Rekapitulasi Data Jumlah Lembaga Pelayanan Kesejahteraan Sosial Milik Masyarakat/Swasta Dan Binaan Menurut Jenis Lembaga Tahun 2005 No. 1.
2. 3. 4. 5.
Jenis Lem baga Sosial Panti Sosial • PS Asuhan Anak • PS. Tresna Werdha • PS. Penyandang Cacat Non Panti Sosial Pusat Santunan dalam Keluarga ( Pusaka) Rumah Singgah Panti Pijat Tuna Netra (PAPITUN) J umlah Tahun 2004 Tahun 2003 Tahun 2002 Tahun 2001
Jumlah Lembaga Kapasitas (unit ) 159 16.325 133 14.338 7 260 19 1.727 173 25.715 102 6.363 90 6.750 190 927 714 594 586 600 612
56.080 35.608 44.091 42.083 38.853
Sumber : Dinas Bintal Spiritual dan Kesos DKI Jakarta Keberadaan panti sosial milik swasta/ masyarakat amat membantu pemerintah dalam menangani permasalahan PMKS di DKI Jakarta. Dilihat dari jumlah unitnya yang mencapai 159 panti sosial yang tersebar di hampir seluruh kota Jakarta dan jumlah warga binaan mencapai 16.325 orang. Keberadaan panti sosial milik swasta/
masyarakat ini perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Selain bantuan secara isik dan pembinaan/pelatihan khusus, perlu pula bantuan penanganan terhadap PMKS yang akan dilepas/ diterjunkan ke tengah-tengah lingkungan masyarakat dengan cara pemantauan atau monitoring sehingga tidak menjadi PMKS kembali.
Tabel 7 Jumlah Warga Binaan Sosial (WBS) Pada Panti Sosial Masyarakat Swasta Menurut Jenis Panti Sosial Dan Kota, Tahun 2005
Sumber : Dinas Bintal Spiritual dan Kesos DKI Jakarta Tabel diatas terlihat di Kota Jakarta Barat, jumlah WBS relatif paling sedikit (1.265 orang) dengan jumlah Panti Sosial sebagai
bentuk pelayanan sosial perkotaan sebanyak 16 buah. Sehingga secara rata-rata, daya tampung satu panti sosial di Jakarta
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
61
Sebaran Keruangan dan Perkembangan PMKS
Joko Christanto
Barat sebanyak 79 orang WBS lebih luas banyak dari wilayah lainnya. Kondisi tersedibandingkan dengan daya tampung satu but terjadi pula di wilayah lainnya dimana panti sosial di Jakarta yaitu sebanyak 102 jumlah antara PMKS dan WBS masih berorang. Tampaknya fasilitas pelayanan so- banding jauh. sial perkotaan di Jakarta relatif dapat diJenis Potensi dan Sumber Keshandalkan karena masih memungkinkan ejahteraan Sosial (PSKS) pada tahun 2005 untuk menambah kapasitas WBS. mengalami peningkatan dibanding dengan Jika dibandingkan komposisi tahun sebelumnya. Jika pada tahun 2004 antara jumlah PMKS dengan Warga Binaan jumlah PSKS sebesar 16.421 orang maka Sosial (WBS) maka Kota Jakarta Selatan pada tahun 2005 jumlahnya meningkat memiliki jumlah yang hampir merata di- menjadi 19.405 orang. Namun peningmana jumlah PMKS dengan WBS hampir katan PSKS tersebut hanya terjadi pada sama banyaknya. Meskipun jumlah PMKS Pekerja Sosial Masyarakat dimana pada tamasih lebih banyak daripada jumlah WBS. hun 2004 jumlahnya sebesar 1.802 orang, Kota Jakarta Timur merupakan wilayah dan mengalami peningkatan pada tahun yang memiliki jumlah perbandingan 2005 sebesar 4.786 orang pekerja. SedanPMKS dan WBS yang paling mencolok. gkan untuk jenis PSKS lainnya seperti Jika jumlah PMKS di wilayah ini sebanyak Pengurus Karang Taruna, Pengurus Pokja lebih dari 25.000 orang maka WBS yang Kesuma dan Pengurus Orsos/Badan Sosial ditampung oleh panti-panti sosial hanya nampaknya tidak mengalami peningkatan. sebanyak kurang dari 5.000 orang. Padahal Meskipun demikian dapat dikatakan bahjumlah PMKS di wilayah ini merupakan wa telah terjadi peningkatan peranserta soyang terbesar di banding dengan Kota lain- sial masyarakat baik itu secara jumlah dan nya di DKI Jakarta. Kondisi tersebut cukup kualitas Tenaga Kerja Sosial Masyarakat memprihatinkan karena seharusnya fasili- (TKSM) dan Orsos/LSM yang berperan tas pelayanan sosial khususnya keberadaan aktif dalam memberikan pelayanan social panti-panti sosial di wilayah ini harus lebih di Propinsi DKI Jakarta. Gambar 4 Komposisi Jumlah PMKS Terhadap Jumlah Warga Binaan Sosial (WBS) Menurut Kota Tahun 2005
Tabel 8 Rekapitulasi Potensi Dan Sumber Kesejahteraan Sosial Menurut Jenis PSKS Tahun 2004-2005
Sumber : Dinas Bintal dan Kesos DKI Jakarta 62
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
Sebaran Keruangan dan Perkembangan PMKS
Joko Christanto
Panti Sosial milik Swasta/ tahun 2005 jumlahnya meningkat menjadi Masyarakat sangat membantu pemerintah menjadi 6.363 warga binaan dengan 102 di dalam penanganan PMKS. Kondisi Panti unit panti social. Sosial milik Masyarakat/swasta pada tahun Berbeda halnya dengan kondisi 2005 nampaknya mengalami peningkatan Panti social Tresna Werdha yang mengayang cukup besar jika dibandingkan den- lami penurunan jumlah. Jika pada tahun gan kondisi jumlah Panti Sosial pada tahun 2004 jumlahnya sebesar 12 unit dengan sebelumnya. Jika pada tahun 2004 warga jumlah warga binaan sebanyak 965 orang binaan yang ada di DKI Jakarta sebesar maka pada tahun 2005 mengalami penu12.616 orang dengan 181 unit maka pada runan sebesar 7 unit dan dengan warga tahun 2005 mengalami peningkatan yang binaan sebanyak 260 orang. Nampaknya cukup besar atau hampir mencapai dua kali lembaga social yang jumlahnya tidak menlipat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar galami perubahan adalah jenis Panti Sosial 22.688 warga binaan dengan 261 unit. Penyandang Cacat dengan keseluruhan Panti Sosial Asuhan Anak merupakan lem- warga binaan sebesar 1.727 orang dan denbaga social yang paling besar mengalami gan jumlah unit sebesar 19 panti social. peningkatan. Jika pada tahun 2004 jumlah Berdasarkan data-data tersebut warga binaannya sebesar 5.263 orang dan maka secara umum dapat dikatakan bahwa dengan 77 unit maka pada tahun 2005 jum- telah terjadi peningkatan pelayanan dan lahnya meningkat menjadi 14.338 orang rehabilitasi social di Propinsi DKI Jakarta. warga binaan dengan 261 unit panti sosial. Peningkatan tersebut terjadi baik melalui Begitu pula halnya dengan jumah panti So- perlindungan dan pelayanan social terhsial Pusat Santunan Dalam Keluarga (Pu- adap penduduk usia lanjut, penyandang saka) yang juga mengalami peningkatan. cacat dan anak terlantar serta peningkaJika pada tahun 2004 jumlah warga binaan tan jumlah penyandang cacat yang dapat sebesar 4.661 dengan 73 unit maka pada terserap dalam dunia usaha. Tabel 9 Rekapitulasi Data Panti Sosial Milik Swasta/Masyarakat Tahun 2004-2005 NO 1 2 3 4
JENI S LEMBAG A SO SIAL Panti Sosial Asuhan Anak Panti Sosial Tr esna Werdha Panti Sosial Penyandang Cacat Pusat Santunan Dlm Keluarga Jumlah
TAH UN 2004 Unit Binaan 77 5.263 12 965 19 1.727 73 4.661 181 12.616
TAHUN 2005 Unit Binaan 133 14.338 7 260 19 1.727 102 6.363 261 22.688
Sumber : Dinas Bintal dan Kesos DKI Jakarta Gambar 5 Proporsi Jumlah Fasiltas Sosial Milik Dinas Sosial Dan Masyarakat Tahun 2005
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
63
Sebaran Keruangan dan Perkembangan PMKS
Joko Christanto
Jika dilihat berdasarkan proporsi fasilitas sosial yang dimiliki oleh dinas sosial dan masyarakat dapat dilihat pada gambar di atas. Fasilitas sosial berupa Panti Asuhan milik masyarakat jumlahnya jauh lebih banyak dibanding dengan yang Panti Asuhan milik Dinas Sosial. Untuk panti sosial Tresna lebih banyak yang dimiliki oleh Dinas Sosial dibandingkan dengan yang milik masyarakat. Seperti halnya Panti Asuhan Anak, Panti Sosial Penyandang Cacat milik Masyarakat pun jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang milik Dinas Sosial. Kondisi tersebut menjelaskan bahwa telah terjadi peningkatan peranserta sosial masyarakat dalam hal berkurangnya proporsi peran pemerintah dibanding masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan sosial.
Jumlah lembaga pelayanan kesejahteraan sosial milik masyarakat/swasta tahun 2005 sebesar 56.080 orang yang mana mengalami peningkatan yang cukup signiikan dari tahun 2004 yang mana berjumlah 35.608 orang. Namun jika dibandingkan antara jumlah tahun 2004 dengan tahun 2003 nampaknya mengalami penurunan jumlah Keberadaan Sasana Krida Karang Taruna (SKKT) sebagai lembaga organisasi kepemudaan yang pembinaannya sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintah sangatlah penting. Jumlah SKKT yang asetnya merupakan milik Dinas Sosial dan Kota hampir sama besar banyaknya. Jika aset Kota sebanyak 150 buah maka aset Dinas Sosial sebanyak 138 buah dan secara keseluruhan SKKT di DKI Jakarta berjumlah 288 buah. Dilihat dari perkembangan SKKT pada tahun sebelumnya maka mengalami pening-
Tabel 10 Jumlah Lembaga Pelayanan Kesejahteraan Sosial Milik Masyarakat/Swasta Dan Binaan Menurut Jenis Lembaga, 2005
Sumber : Dinas Bintal dan Kesos DKI Jakarta Jenis lembaga pelayanan kesejahteraan sosial dengan jumlah warga binaan terbanyak adalah dari jenis Non Panti Sosial sebanyak 25.715 orang. Sedangkan jumlah lembaga pelayanan yang terbanyak unitnya adalah Panti Pijat Tuna Netra (Papitun) sebesar 190 unit. 64
katan jumlah. Namun sangat disayangkan bahwa ternyata jumlah SKKT sejak dari tahun 2001 sampai 2003 mengalami penurunan dan kembali meningkat mulai tahun 2004 yang jumlahnya pun sama besar dengan tahun 2005 yaitu sebanyak 288 buah.
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
Sebaran Keruangan dan Perkembangan PMKS
Joko Christanto
Tabel 11 Jumlah Sasana Krida Karang Taruna (SKKT) Menurut Binaan Menurut Kota/Kabupaten, 2005
Sumber : Dinas Bintal dan Kesos DKI Jakarta Catatan : * Gedung SKKT terpisah dengan bangunan Kantor Kelurahan ** Gedung SKKT menyatu dengan bangunan Kantor Kelurahan (standar) Keberadaan Sasana Krida Karang Taruna (SKKT) sebagai lembaga organisasi kepemudaan yang pembinaannya sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintah sangatlah penting. Jumlah SKKT yang asetnya merupakan milik Dinas Sosial dan Kota hampir sama besar banyaknya. Jika aset Kota sebanyak 150 buah maka aset Dinas Sosial sebanyak 138 buah dan secara keseluruhan SKKT di DKI Jakarta berjumlah 288 buah. Dilihat dari perkembangan SKKT pada tahun sebelumnya maka mengalami peningkatan jumlah. Namun sangat disayangkan bahwa ternyata jumlah SKKT sejak dari tahun 2001 sampai 2003 mengalami penu-
runan dan kembali meningkat mulai tahun 2004 yang jumlahnya pun sama besar dengan tahun 2005 yaitu sebanyak 288 buah. Penduduk Miskin Angka kemiskinan di Propinsi DKI Jakarta dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada Tahun 2004, jumlah penduduk miskin berjumlah 370.898 jiwa atau sebesar 4 persen dari total penduduk DKI Jakarta yang berjumlah sekitar 9 juta orang. Pada tahun 2005 jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 633.212 jiwa atau sebesar 7 persen dari total penduduk dan dengan jumlah rumah tangga miskin yang mencapai 150.492 rumah tangga.
Tabel 12 Jumlah Rumahtangga Miskin Dan Banyaknya Anggota Rumahtangga Menurut Kota, Tahun 2005
Sumber : Dinas Bintal Spiritual dan Kesos DKI Jakarta Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
65
Sebaran Keruangan dan Perkembangan PMKS
Joko Christanto
Rumah tangga miskin terbanyak terdapat di Kota Jakarta Utara, yakni sebanyak 48.254 rumah tangga (32,5%), diikuti Jakarta Timur sebanyak 38.738 rumah tangga (25,7%), Jakarta Barat 29.328 rumah tangga (19,4%), Jakarta Pusat 21.968 rumah tangga (14,1%), dan Jakarta Selatan 11.162
dengan kontribusi penduduk miskin terbesar terhadap jumlah penduduknya yaitu sebesar 14,0 persen. Untuk selanjutnya ditempati oleh Kota Jakarta Pusat (10,4%); Kota Jakarta Timur (6,8%); Kota Jakarta Barat (5,3%) dan yang terendah adalah Kota Jakarta Selatan sebesar 2,4 persen.
Gambar 6 Persentase Rumah Tangga Miskin Menurut Kota, Tahun 2005
rumah tangga (7,6%). Sedangkan untuk wilayah Kepulauan Seribu jumlah rumah tangga miskin hanya sebesar 1.042 rumah tangga (0,6%). Jumlah penduduk miskin yang cukup besar ini tentu saja menimbulkan berbagai permasalahan antara lain dari segi pendidikan dan kriminalitas. Kota Jakarta Utara merupakan wilayah
Upaya penanganan kemisikinan tidak mudah, karena penduduk miskin justru kian meningkat seiring dengan melemahnya daya beli, banyaknya pemutusan hubungan kerja, berkurangnya kesempatan kerja, dan urbanisasi. Salah satu indikator miskin yaitu bila penghasilan satu rumah tangga hanya sebesar Rp600 ribu/bulan, dan un-
Gambar 7 Kontribusi Jumlah Penduduk Miskin Terhadap Jumlah Penduduk Menurut Kota Tahun 2005
Sumber : Hasil Olahan, 2006 66
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
Sebaran Keruangan dan Perkembangan PMKS
Joko Christanto
tuk kriteria hampir miskin penghasilannya sebesar Rp900 ribu/bulan. Dalam rangka memerangi kemiskinan tersebut, Pemprov DKI Jakarta telah membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan pada tahun 2002, yang tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur Propinsi DKI Jakarta No 1582/2002. Komite tersebut berkewajiban menggerakkan pemberdayaan masyarakat berupa peningkatan sumber daya manusia, ataupun peningkatan organisasi dan kelembagaan sosial, peningkatan kemampuan melalui perbaikan kesehatan dan pendidikan, keterampilan berusaha, permodalan, serta informasi pasar. Dalam bidang pangan, Pemprov DKI menggulirkan program beras miskin (raskin) dan melalui subsidi bantuan langsung tunai (BLT). Di bidang pendidikan, terdapat bantuan operasional sekolah (BOS) yang pada tahun 2006 untuk SD/ MI dan SLTP/MTs di wilayah DKI Jakarta menerima bantuan sebesar Rp1,03 triliun. Selain itu terdapat pula bantuan operasional pendidikan (BOP) untuk siswa SD/ MI, SLTP/MTs, dan SLTA/MA sebesar Rp1,124 triliun. Pemberian beasiswa yang disalurkan melalui Yayasan Beasiswa Jakarta sebesar Rp13,15 miliar dan Badan Amil Zakat Infak dan Sedekah (Bazis) Rp11,34 miliar. Sedangkan dana sekolah gratis bagi siswa gakin untuk SD, SLTP, dan SLTA sebesar Rp550 juta. Pemprov DKI juga telah menganggarkan kartu Jaring Pengaman Kesehatan (JPK) Gakin sebesar Rp200 miliar untuk 565.982 jiwa penduduk, 116 buah panti sosial dan 35 buah rumah singgah. Selain itu disediakan pula fasilitas berobat gratis di 80 rumah sakit.
hun 2005 mengalami luktuasi perubahan jumlah PMKS. Dengan sebaran keruangan yang relatif tetap, yaitu untuk wilayah Kota Jakarta Timur memiliki jumlah dan prosentase tertinggi, sedangkan wilayah Kota Jakarta Selatan memiliki jumlah dan prosentase terendah. Satu-satunya wilayah kota yang memiliki kecenderungan jumlah PMKS meningkat adalah Kota Jakarta Utara. • Penurunan jumlah PMKS secara keseluruhan tersebut tidak terjadi secara merata di tiap kota di wilayah Propinsi DKI Jakarta. Masih terdapat beberapa Kota dengan jumlah PMKS yang semakin bertambah antara lain di Jakarta Timur di tahun 2005. Dengan jumlah PMKS sebanyak itu maka menjadikan Jakarta Timur sebagai wilayah dengan populasi PMKS terbesar di wilayah DKI Jakarta. Selain Jakarta Timur, wilayah yang jumlah populasi PMKS makin bertambah yaitu Jakarta Barat dan Jakarta Utara • Jenis PMKS dengan populasi terbanyak adalah Anak Terlantar sebesar 22,21 persen, Lansia Terlantar sebesar 20,70 persen dan Penyandang Cacat sebesar 18,24 persen. Jumlah ketiga jenis PMKS tersebut paling banyak populasinya berada di wilayah Kota Jakarta Timur. Sedangkan jumlah terkecil untuk ketiga jenis PMKS tersebut adalah Kota Jakarta Selatan. • Secara keruangan PMKS tersebar diseluruh kota di wilayah Propinsi DKI Jakarta dengan konsentrasi tertinggi wilayah JakartaTimur, sedangkan konsentrasi terendah berada di wilayah Jakarta Selatan. Perkembangan selama kurun waktu 5 tahun (2001-2005) menunjukkan terjadinya luktuasi di masing-masing kota yaitu kenaikan dan penurunan jumlah PMKS di seluruh wilayah kota di Propinsi DKI Jakarta. Akan tetapi, jumlah total propinsi menunjukkan angka penurunan. Populasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Propinsi DKI Jakarta Tahun
KESIMPULAN • Populasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Propinsi DKI Jakarta Tahun 2001 sampai dengan ta-
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
67
Sebaran Keruangan dan Perkembangan PMKS
Joko Christanto
2001 sampai dengan tahun 2005 mengalami luktuasi perubahan jumlah PMKS. Dengan sebaran keruangan yang relatif tetap, yaitu untuk wilayah Kota Jakarta Timur memiliki jumlah dan prosentase tertinggi, sedangkan wilayah Kota Jakarta Selatan memiliki jumlah dan prosentase terendah. Satu-satunya wilayah kota yang memiliki kecenderungan jumlah PMKS meningkat adalah Kota Jakarta Utara.
DKI Jakarta Dalam Angka. 2005, Bappeda Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jakarta. DKI Jakarta Dalam Angka. 2006, Bappeda Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jakarta. Fainstein, Susan S. 2001. Competitive ness, Cohession, and Gov ernance: Their Implication for Social Justice. Interna tional Journal of Urban and Regional Research. Vol 25 (4). Fishman, Robert. 1996. Urban Utopias: Ebenezer Howard and Le Cor busier. Chapter 2 in Campbell, Scott and Susan Fainstein, eds. Reading in Planning Theory. Cambridge, Massachusetts: Blackwell Publisher. Galloway. Thomas D. And Riad G. Mahayni. Planning Theory in Ret rospect: The Process of Paradigm Change. The Journal of the Amer ican Planning Association. Janu ary 1997, 62-71. Hall, Peter. 1988. Cities of Tommorow. Cambridge, Massachusetts: Blackwell Publisher. Rencana Pembangunan Jangka Menengah DKI Jakarta, Bappeda Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jakarta Whyte, William H. 1980. The Social Life of Small Urban Spaces. Washing ton D.C: The Conservation Foun dation
DAFTAR PUSTAKA Burchell, Robert W. And George Stern lieb.1979. Planning theory in the 1980’s: A Search for Future Di rections. New Brunswick, NJ: Rutgers University Press. Campbell, Scott and Susan Fainstein, eds. 1996. Reading in Planning Theory. Cambridge, Massachu setts: Blackwell Publishers. Day, Kristen. 2003. New Urbanism and The Challanges of Designing for Diversity. Journal of Education Planning Education and Re search. Vol. 23. DKI Jakarta Dalam Angka. 2001, Bappeda Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jakarta DKI Jakarta Dalam Angka. 2002, Bappeda Propinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta, Jakarta DKI Jakarta Dalam Angka. 2003, Bappeda Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jakarta DKI Jakarta Dalam Angka. 2004, Bappeda Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jakarta
68
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010