Prosiding MUNAS Terumbu Karang 2007 Hal x, 216 ISBN : Pehdung : M. Syamsul Maad Penasehat : Yaya Mulyana E&tor : Jamaludh Jompa El6ta Nezon Baru Sadarun Eva Tri Lestari Layouflata Letak : Eva Tri Lestari
.
Diterbitkan Oleh : Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Tenunbu Karang COREMAP II Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Penkanan
Jl. Tebet Raya No. 91, JakartaSelatan ISBN 978-979-112b?-b4-9
Prosiding MMUlIlRF TerumbuKwng 2001
VIII. PROSPEK TERUMBU BUATAN BIOROCK DALAM PENINGKATAN SUMBERDAYA IKAN DI KEPULAUAN SERIBU Oleh: Hawis H.Madduppal*, Beginer Subhanln Ramadian Bachtiar* Meutia S. Ismetl, Yulie Budikartinis, Dolorosa Bria4 Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB Mahasiswa Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB 3 Perkumpulan Akresi Indonesia (AKRESI-club) 4 Sekolah Tinggi Ilmu & Teknologi Kelautan Nusantara, Kupang, N'IT * penulis korespondensi: Hawis H.M.; e-mail:
[email protected] 1 2
ABSTRAK Terumbu karang mempunyai peran vital sebagai tempat asuhan, mencari makizn dan berkembang biak oleh berbagai organisme. Degradasi terumbu karang di Kepulauan Seribu menyebabkan penurunan stok sumberdaya ikan. Tingginya kerusakan terumbu karang di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil disebabkan oleh aktivitas manusia, yang pada umumnya terkait dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Salah satu usaha untuk meningkatkan stok sumberdaya ikan adalah pembuatan terumbu buatan. Biorock merupakan salah satu teknik terumbu buatan yang dikembangkan untuk merestorasi dan merehabilitasi habitat karang yang rusak. Teknik ini masih akan terus di kaji dan dapat menjadi suatu pembelajaran dalam rehabilitasi terumbu karang di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan &nya peningkatan kelimpahan dan komposisi ikan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor struktur terumbu buatan dan karang yang ditransplantasikan pada modul yang berpotensi sebagaijsh aggregating devices (FAD). Kata kunci: Sumberdaya ikan, terumbu buatan, Biorock, Kepulauan Seribu, rehabilitasi PENDAHULUAN Kondisi terumbu karang Indonesia yang berada dalam kondisi baik sebesar 23% di bagian barat dan 45% di timur (WRI 2002). Hal ini berarti sekitar 70% terumbu karang dalam keadaan rusak. Termasuk di daerah Kepulauan Seribu yang terumbu karangnya sudah banyak mengalami tekanan antropogenis, misalnya limbah industri dan rumah tangga, penambangan karang, penangkapan dengan bom dan sianida (Cesar, 1996; Chou, 1998; Erdmann, 1996). Untuk itu perlu adanya langkah-langkah rehabilitasi habitat terumbu karang, khususnya di daerahdaerah yang sudah rusak parah dan tidak bisa pulih secara alami. Terdapat dua cara langkah rehabilitasi yaitu dengan kebijakan manajemen dan penggunaan teknologi (Seaman 2001). Penggunaan teknologi dapat berupa pengembangan terumbu buatan. Terumbu buatan adalah penenggelaman struktur ke dasar perairan yang menyerupai karakteristik terumbu alami. Terumbu buatan memiliki prinsip yang hampir sama dengan rumpon, narnun sifatnya lebih permanen. Modul terumbu buatan memiliki permukaan yang dapat ditempeli oleh berbagai macam biota yang biasa hidup di ekosistem terumbu karang alami. Terdapat 5 manfaat terumbu buatan yang terkait erat dengan perikanan menurut Seaman (1993) yaitu: (1) meningkatkan produksi perikanan, (2) meningkatkan stok sumberdaya ikan komersial, (3) lokasi produksi akuakultur, (4) lokasi rekreasi pancing, dan (5) mengontrol kematian stok ikan. Secara tradisional nelayan menggunakan rumpon (FAD, 3sh aggregation devices) sebagai alat yang bertujuan menjadi tempat perlindungan dan berkumpulnya ikan. Narnun daya guna rumpon umurnnya sementara, karena bahan yang digunakan untuk merakit modul rumpon
Prosiding M
W TerumbuKarang 2007
bersifat habis pakai ( d a m kelapa, rotan, atau bambu). Sampai, saat ini, sudah banyak model terumbu buatan yang dikembangkan di Indonesia seperti ~cor&fs, Rockpile, Reef ball dan Biorock. Masing-masing model tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam implementasi di lapangan. Terumbu buatan Biorock sudah dikembangkan sejak tahun 1980 dan diperkenalkan di Indonesia di daerah Pemuteran, Bali oleh Tom Goreau dan Wolf Hilbertz pada awal tahun 2000 (GCRA 2004). Prinsip dari metode ini adalah membuat padatan kapur pada kerangka besi (HiIbertz, 1978; 1979; 1982; 1991). Mineral padatan yang terbentuk merupakan hasiI dari perubahan pH di daerah katoda selama proses elektrolisis air laut berlangsung (Lee, 2002). Terumbu buatan ini masih terus dalam taraf pengkajian secara ilmiah, termasuk peranannya dalam peningkatan sumberdaya ikan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji prospek terumbu buatan Biorock dalam meningkatkan sumberdaya ikan di Kepulauan Seribu.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di Pulau Gosong Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan posisi geografis 05O44'13Y LS dan 10696'532" BT (Gambar 8.1). Pulau ini terletak di dalam kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Penelitian dilaksanakan mulai April 2004 sampai dengan Maret 2005. PFTA K E L PULAU PANGOANO KEC. KEPULAUAN SERIBU VTARA KAE. AMI. KEPULAUAN SERlBU
Keteiangan:
% /V
Crris pantai
Bdro bang Jdan Darau Hmn H m nr a w Kebun
&@g
rn Permaiman m -tTamh kc6ong ;sZJi>< .f..*, 3.1.r:
04-
m Lau
kar-
- - . D I u - L L I
1.ClnSPOTTahmm 2 Peh DiQtal Rvpa Bud BAKWRTANU
Gambar 8.1. Pulau Gosong Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta (kotak merah menunjukkan lokasi penelitian)
Ala t dun Bahan Peralatan yang digunakan untuk pengamatan ikan terdiri dari perangkat alat selam SCUBA (Selfcontained Undermuter Breathing Apparatus). Untuk identifikasi ikan digunakan buku identifikasi oleh Allen (2000). Sedangkan kerangka Biorock terbuat dari besi yang dirangkai
Prosiding MUMS TerumbuKarang 2001 berbentuk prisma terbuka yang berfungsi sebagai katoda, titanium sebagai anoda, power supply (battery charger) dan kabel listrik. Teknologi Biorock Kerangka besi berfungsi sebagai katoda yang berfungsi sebagai penyuplai electron kepada ion-ion dalam larutan untuk mendorong terjadinya reaksi kimia. Elektroda ini adalah tempat padatan mineral terbentuk dan menempel (sea cement); Material anoda yang digunakan adalah titanium yang diletakkan tidak jauh dari kerangka besi. Anoda dan katoda ini dihubungkan dengan power supply sebagai komponen yang menyediakan aliran htrik. Arus yang digunakan adalah arus searah (DC) sebesar 7 - 15 Ampere. Kabel listrik digunakan sebagai penhubung antara katoda dan anoda ke aliran listrik.
Penelitian ini menggunakan empat kerangka dengan bentuk dan ukuran yang sama. Kerangka yang diakresikan dirancang sehingga dapat memiliki tingkat pengapuran yang sama. Keempat kerangka ditempatkan pada kedalaman yang sama yaitu 5 meter, sejajar dengan garis pantai. Lokasi penempatan kerangka diatas substrat pasir dan relative jauh dari terumbu karang alami. Dua kerangka dialiri listrik dan dua kerangka berikutnya tanpa menggunakan aliran listrik, sebagai kontrol. Setelah itu, dilakukan transplantasi karang di persilangan kerangka dengan menggunakan dua bentuk pertumbuhan karang yaitu karang bercabang (ACB) dan karang meja (ACT) dari kelompok Acropora. Setiap bentuk pertumbuhan karang menempati satu kerangka, dengan dan tanpa aliran listrik yaitu kerangka 1 dan 3 ditransplantasikan ACB sedangkan kerangka 2 dan 4 ditransplantasikan ACT.
Prosidhg M
U .TemmbuKarang 2007
Metode Pengamatan dan Analisis data Sumberdaya Ikan Pengamatan jenis dan kelimpahan ikan karang digunakan metode visual sensus stasioner. Metode visual sensus stasioner diadopsi dari the Long-Term Monitoring Program (LTMP) untuk survey populasi ikan karang. Teknik Sensus Visual telah digunakan bertahun-tahun yang lalu untuk mengestimasi populasi ikan karang dan hasilnya relatif akurat dan dengan biaya yang efisien (Sale, 1983; Halford & Thompson, 1994, English el al., 1997). Pengamatan dilakukan pada setiap kerangka dengan durasi waktu selama 10 menit per kerangka. Data berupa kelimpahan dan jenis ikan dianalisa dengan indeks komunitas yaitu kekayaan jenis (species i-ichness) dan indeks keanekaragaman (In basis). Uji taraf nyata struktur komunitas ikan yang diindikasikan dengan nilai Indeks Keanekaragaman (H') dan kekayaan jenis pada seluruh kerangka Biorock dilakukan dengan software Minitab v13. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sumberhya Ikan Komunitas ikan sangat dipengaruhi oleh perkembangan dari karang yang ditransplantasikan serta biota-biota dan tumbuhan yang menempel pada kerangka Biorock. Biota seperti tunikata banyak terdapat di kerangka dan perkembangan relatif cepat yang menjadi sumber makanan ikan. Komunitas bentik ini merupakan mata rantai makanan di kerangka Biorock dan sekitarnya. Dapat dikatakan bahwa telah terjadi suksesi primer di seluruh kerangka Biorock yang ditandai dengan banyaknya biota-biota pioner tingkat rendah seperti tunikata, alga, lumut dan lain-lainnya. Komposisi jenis ikan karang dibatasi oleh berbagai parameter lingkungan seperti suhu, kedalaman, habitat, predator dan ketersediaan makanan (Nybakken, 1993). Setiap jenis ikan akan mempunyai wilayah kekuasaan sendiri dan mereka tidak akan keluar dari batas wilayahnya (Krebs, 1972; Reese, 1981). a Blenniidae Caesionidae Chaebdontidae Ephippidae Gobiidae Labndae Lethnnidae Q Monacanthidae
Nemiptendae Pomacentridae B Scandae Scorpaenidae Serranidae Siganidae Sphyaenidae
I
Synodontidae
I I
I
Gambar 8.3 Komposisi ikan berdasarkan famili yang terdata selama penelitian di kerangka terumbu buatan Biorock
Sebanyak 1057 individu ikan dari 31 jenis ikan yang tergolong dalam 16 famili yang terdata pada terumbu buatan Biorock selama periode penelilian. Dengan komposisi terbesar dari famili Pomacentridae (Gambar 8.3). Jenis-jenis ikan ini ditemukan dalam bentuk berkelompok, berpasangan dan soliter dengan ukuran kecil sampai besar. Kekayaan jenis ikan tertinggi dapat ditemui pada kerangka # l . Jenis ikan yang paling sering ditemui adalah Chaetodon octofasciatus
Pros~VingMMUhtAS Terumbu Karang 20Ol. dan Acreichtlzys rahiahs. Ikan-ikan yang ditemukan pada kerangka adalah jenis ikan penetap (resident species), yang kemungkinan besar mengikuti ACB dan ACT yang ditransplansikan pada kerangka. Selain itu, ditemukan pula beberapa jenis ikan pelintas (mobile species) seperti dari f a d Caesionidae dan Sphyraenidae. Kondisi sebelum kerangka diturunkan (April 2004) hanya teridentifikasi sebanyak 6 jenis ikan, sedangkan dalam periode Mei 2004-Maret 2005 teridentifikasi 31 jenis ikan. Dengan demikian, telah diperoleh suatu pertambahan jenis pada komunitas ikan pada daerah kerangka Biorock. Dari hasil pendataan terlihat bahwa jumlah dan jenis ikan dari tiaptiap kerangka cukup bervariasi. Jumlah pada kerangka # I sebanyak 28 jenis, kerangka #2 sebanyak 21 jenis, sedangkan kerangka #3 dan kerangka #4 masing-masing sebanyak 22 jenis. Secara umum komposisi jenis ikan berkaitan dengan: (1) bahan dan model kerangka; (2) dasar perairan; (3) biota-biota penempel; (4) karang yang ditransplantasikan; dan (5) kedalaman terumbu buatan. Menurut Bohnsack (1989), terumbu buatan menyediakan tempat berlindung yang lebih baik dari terumbu karang alami, tetapi tidak untuk semua jenis dan ukuran ikan melainkan hanya beberapa jenis ikan saja, terutama ikan-ikan kecil yang masih muda. Selain itu, ketertarikan ikan terhadap terumbu buatan karena untuk mencari makanan yang berupa algae, krustase, dan atau ikan kecil lainnya.
Ind
Sp
Fam
Gambar 8.4 Perkembangan komunitas ikan berdasarkan jumlah individu, spesies dan famili di masing-masing kerangka Peletakan terumbu buatan Biorock berdekatan dengan terumbu karang alami. Menurut Kakimoto (1979) bahwa ada pengaruh kehadiran jenis ikan pada terumbu buatan yang diletakkan dekat dengan terumbu karang alami. Sehingga jenis-jenis ikan yang terdata pada terumbu buatan Biorock hampir sama dengan habitat sekitarnya seperti ikan dari famili Pomacentridae dan Chaetodontidae. Dasar perairan berupa substrat pasir putih dimana tempat terumbu buatan Biorock diletakkan adalah juga menjadi faktor penentu dari komposisi jenis ikan pada terumbu buatan. Pengaruh ini dapat bersifat positif, yakni keberadaan kerangka Biorock tidak mengganggu ekosistem tenunbu karang alami serta membuat suatu ekosistem terumbu karang yang baru. Sehingga dapat memperlihatkan pengaruh positif keberadaan Biorock terhadap komunitas ikan di daerah ini.
Prosidng MUMIS Terumbu Ksrdng 2001
Gambar 8.5 Jenis ikan yang dapat ditemukan pada terumbu buatan Biorock di Kepulauan Seribu, ikan ekonomis (A: Sphyraena sp.) dan ikan hias @: Acreichthys radiatus).
Dari hasil sensus visual stasioner yang dilakukan terhadap ikan-ikan yang hadir pada temmbu buatan Biorock pada penelitian ini, didapatkan nilai indeks keanekaragamannya berkisar pada nilai 1,876 - 2,303 (Tabel 8.1). Kisaran ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan nilai indeks keanekaragaman yang ditemukan pada temmbu karang alami, misalnya nilai indeks keanekaragaman ikan di Nusa Penida Bali berkisar antara 1,170 - 2,773 (Syakur, 2000) dan di Pulau Pari Kepulauan Seribu sebesar 2,040 - 3,070 (Madduppa, 2004). Namun, nilai indeks keanekaragaman ini lebih tinggi daripada terumbu buatan beton fish shelter) di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta (DPPK, 2006), dan di Perairan Dusun Jemeluk, Kabupaten Amlapura, Bali (Edrus et al., 1996). Tabel 8.1.Struktur komunitas ikan yang diindikasikan dengan nilai Indeks Keanekaragaman (H'), Indeks Keragaman (E), dan Indeks Dominansi (C) pada seluruh kerangka Biorock (rerata f SE) Kerangka
Parameter
H'
E
C
Prospek terumbu buatan Biorock Terumbu buatan diciptakan dari material alami dan struktur buatan manusia yang dapat memberikan kesempatan dalam pengembangan habitat, meningkatkan sumberdaya dan memanipulasi kelirnpahan organisme untuk memberi keuntungan bagi manusia (Seaman & Sprague 1991). Sampai saat ini, material yang menjadi bahan utama dari pembuatan terumbu buatan di Indonesia khususnya di Kepulauan Seribu adalah beton, karet, besi, dan berbagai bahan lain yang ditenggelamkan ke laut yang akan memberi kesempatan bagi biota penempel untuk hidup. Namun, pada akhirnya terumbu buatan mengalami banyak perubahan dari segi teknologi, misalnya teknologi Biorock. Selain itu, kehadiran teknologi Biorock memberikan harapan baru dalam rangka pemulihan area temmbu karang rusak dengan penenggelaman
Prosiding MUAIM Temmbu Karang 2#7
struktur besi yang artisti. seperti yang dilakukan di Pemuteran yang meningkatkan daya tarik wisata (GCRA, 2004). Sebagaimana tujuan pembuatan terumbu buatan yaitu untuk meningkatkan sumberdaya perikanan (Hutomo, 1991; Razak & Fauzi, 1991; Munro & Balgos, 1995), berdasarkan hasil sensus sudah terlihat adanya jenis ikan konsumsi misalnya Caesio cuning, Epinephelus sp., Cephalopolis sp., dan Siganusfurcescens. Struktur komunitas ikan karang pada empat kerangka Biorock baik yang diberi perlakuan listrik dan yang tidak diberi perlakuan listrik sebagai kontrol memperlihatkan hasil yang relatif sama dan tidak ada perbedaan yang sigrufikan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada pengaruh negatif dari perlakuan listrik terhadap keberadaan komunitas ikan pada kerangka dan sekitarnya. Bahkan, keberadaan kerangka Biorock lebih banyak menarik ikan-ikan yang ada di sekitar lokasi penelitian. Hal ini terlihat dari perkembangan komunitas ikan yang semakin meningkat. Peningkatan ini disebabkan oleh struktur kerangka Biorock yang dapat berfungsi sebagai tempat tinggal (Fish Aggregating Devices-FAD) dan juga perlakuan transplantasi karang, serta keberadaan organisme pionir yang menempel pada kerangka Biorock. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan adanya peningkatan kelimpahan dan komposisi ikan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor struktur terumbu buatan dan karang yang ditransplantasikan pada modul yang berpotensi sebagai fish aggregating darices. Hal ini menunjukkan bahwa terumbu buatan Biorock mempunyai prospek sebagai metode alternatif rehabilitasi dan restorasi terumbu karang di Indonesia. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tom Goreau (Global Coral Reef Alliance), Wolf Hilbertz (Sun & Sea NV), PT Nuansa Ayu Karamba, Bpk. Sumarto (Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu), TELAPAK, Fisheries Diving Club-Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Biologi Laut Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB, dan semua pihak yang telah membantu selama proses penelitian ini. DAITAR PUSTAKA Adrim, M. 1993. Komunitas ikan di ekosistem terumbu karang. Modul pelatihan pengamatan ekosistem terumbu karang. P30-LIPI. Jakarta. Adrim, M., M. Hutomo, dan S.R. Suharti. 1991. Chaetodontid fish community structure and its relation to reef degradation at the Seribu Islands reefs, Indonesia. Proceeding of the regional symposium on living resources in coastal areas: 163-174. Allen, G.R. 2000. Marine Fishes of South-East Asia. Periplus Editions (HK) Ltd. Singapore. 292 pp. Bachtiar, R. 2003. Pengamtan pembentukan terumbu buatan dengan metode mineral accretion di Desa Pemuteran, Bali Barat. Skripsi. Program Studi Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bohnsack, J.A. 1989. Are high density of fishes at artificial reefs the result of habitat limitation or behavioral preference. Bulletin of Marine Science 44(2): 631. Bryant, D., L.Burke, J. Mc Manus, and M. Spalding. 1998. Reefs at risk. ICLARM and United Nations Environmental Program. Pp.56. Cesar, H. 1996. The economic value of Indonesian coral reefs. The World Bank. July 1996. pp:1-9. Chou, L.M. 2000. Southeast Asian Reefs - Status Update: Cambodia, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore, Thailand and Vietnam. In: C. Wilkinson (ed). 2000. Status of Coral
Prupi k%76ihi* dm Pqchkm
T d u kkmy - C O E M P
a DKiP
Prosidmg M U M S Terumbu Ksrang 2007 Reefs of the World: 2000. AIMS Cape Ferguson, Queensland, and Dampier, Western Australia. pp.117- 129. [DPPK] Dinas Petemakan, Perikanan dan Kelautan Propinsi DKI Jakarta. 2006. Laporan Monitoring dan Analisa Perkembangan ikan dan biota bentik pada Fish Shelter di Kepulauan Seribu, Jakarta. DPPK DKI Jakarta. Edrus, I.N., A.R.Syam, dan Suprapto. 1996. Penelitian Komunitas Ikan pada Terumbu Buatan di Perairan Dusun Jemeluk, Kabupaten Amlapura, Bali. Jumal Penelitian Perikanan Indonesia 2 (1): 1-14. English S, C. Wilkinson, and V.J. Baker. 1997.2nd ed. Suroey Manual for Tropical Marine Resources. Australia: ASEAN-Australia Marine Science Project. 368+xii pp. Erdmann, M.V. 1996. Destructive fishing practices in the Pulau Seribu Archipelago. Report on the coral reef management workshop for Pulau Seribu. No.10 [GCRA] Global of Coral Reef Alliance. 2004. www.globalcoral.org. [Diakses tanggal 5 Juli 20041 Halford, A. R. and A. A. Thompson. 1994. Visual Census surveys of reef fishes: Long Term monitoring of the Great Barrier Reef (Standard Operational Procedure). Australian Institute of marine Science. Townsville. Hilbertz, W.H. 1978. Electrodeposition of minerals in sea water. Oceans 78 Proceedings, Marine Technology Society, pp.699-706 Hilbertz, W.H. 1979. Electrodeposition of minerals in sea water:Experiments and applications. IEEE Journal on Oceanic Engineering. Vole OE-4, No.3 : 94-ll3 Hilbertz, W.H.1982. Accretion:Growing architecture in the ocean. Hawai Architect, June 1982, pp.20-21. Hilbertz, W.H. 1991. Solar generated construction material from sea water to mitigate global warming. Building research and information 19 (4): 242-255 Hixon, M.A. 1991. Predation as a process structuring coral reef fish communities. In: Sale, P.F. (Ed.). The Ecology of Fishes on Coral Reefs. Academic Press. San Diego. pp 475-508 Hutomo, M. 1991. Teknologi Terumbu Buatan: Suatu Upaya untuk meningkatkan sumberdaya Hayati Laut. Oseana (16): 23-33. Kakimoto, H. 1979. Artificial reefs in Japan Sea Coastal Region. Proceeding 7th Japan-Soviet Joint Symposium Aquaculture, September 1978, Tokyo, 103pp. Krebs, C. J. 1972. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Harper & Row Publisher. New York. vii+l78pp Lee, E.R. 2002. Physics of seament electroaccretion. http://www.stanford.edu [diakses tanggal 5 Juli 20041 Mackay, K.T. 1994. Butterflyfishes of the family Chaetodontidae at Hilla reef, Ambon, Maluku, Indonesia. Fakultas Perikanan Universitas Pattimura 24 pp (unpublished). Madduppa, H. 2004. Community Structure of Reef Fish on Three different coral life form (ACB, CM, dan CF) in Pari Island, Jakarta. Report Fellowship Marine Science Special Training Course 2003.IPB and DAAD Germany. 64pp. Madduppa, H. 2006. Kajian ekobiologi ikan kepe-kepe (Chaetodon octofasciatus, Bloch 1787) dalam mendeteksi kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Petondan Timur, Kepulauan Seribu, Jakarta. Thesis Program Studi Ilmu Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Prosiding M U .TentmbuKarang 2007 Moosa, M.K. 2001. Terumbu Karang Indonesia dan permasalahqn yang dihadapi. Makalah Seminar Nasional Terumbu Karang Indonesia. Universitas Negeri Jakarta. Munro, J.L. and M.C. Balgos. 1995. Artificial reef in the Philippines. International center for living aquatic resources management. 56p. Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology: An HarperCollinsCollegePublishers.x+462pp
Ecological Approach. Third Edition. USA:
Razak, A. and M. Pauzi. 1991. Artificial reef in Malaysia. In: Food and Agriculture Organization of The United Nation. Bangkok. 229 - 243pp. Reese, E.S. 1981. Predation of corals by fishes of the family Chaetodontidae: Implication for conservation and management of coral reef ecosystem. Bulletin Marine Science (31), 594604. Sale, P.F. and Sharp B.J. 1983. Correction for Bias in visual Transect censuses of coral reef fishes. Coral Reefs (2): 37-42 Seaman, W. 2000. Artificial Reef Evaluation with Application to Natural Marine Habitats. New York: CRC Press Seaman, W and Sprague L.M. 1991. Artificial habitats for marine and freshwater fisheries. San Diego: Academic Press. Syakur, A. 2000. Komunitas Ikan Karang pada Ekosistem Terumbu Karang Ponton Bodong dan Toyapakeh, Nusa Penida, Bali. Skripsi. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Lnstitut Pertanian Bogor. Wootton, R. J. 1992. Fish Ecology (Tertiary Level Biology). Blackie and Son Limited. New York. x+212pp.