Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN AIR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL UBI JALAR Effect Of Water Frequency On The Growth And Yield Of Sweet Potato Ratri Tri Hapsari1 dan I Made Jana Mejaya2 1 Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Jl. Raya Kendalpayak Km.8 Malang 65101 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Jl. Merdeka 147, Bogor 1 Email:
[email protected] Abstrak Ubi jalar termasuk tanaman yang toleran terhadap kekeringan, meskipun demikian kekeringan yang panjang dapat menggangu pertumbuhan dan hasil umbi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh frekuensi pemberian air terhadap pertumbuhan dan hasil ubijalar. Percobaan dilaksanakan di KP Jambegede bulan Juni-November 2009 menggunakan rancangan petak terbagi, tiga ulangan. Petak utama adalah dua tingkat pengairan, L0=pertanaman diairi sejak tanam hingga umur dua bulan (pengairan terbatas), L1=pertanaman diairi hingga panen (pengairan normal). Frekuensi pemberian air adalah 10 hari. Anak petak adalah delapan genotipe ubijalar. Pengamatan dilakukan pada karakter panjang sulur (60, 90, dan 135 hst), bobot tajuk, luas daun, kandungan klorofil, bobot umbi (sangat besar, besar, dan sedang), dan hasil umbi/plot. Hasil penelitian menunjukkan frekuensi pemberian air yang berbeda berpengaruh terhadap karakter panjang sulur 60 hst dan 90 hst, luas daun dan bobot umbi sangat besar. Genotipe yang diuji menunjukkan respon yang berbeda pada seluruh karakter yang diamati, kecuali pada ukuran umbi besar dan sedang. Pengairan terbatas pada ubijalar menyebabkan kehilangan hasil sebesar 530%. Kekeringan pada ubijalar dapat menyebabkan penurunan panjang sulur sebesar 25% (60 hst) dan 29% (90 hst). Deraan kekeringan juga menyebabkan luas daun berkurang 30% dan bobot umbi kategori sangat besar (>300g) berkurang 33%. Beta-2 mampu memberikan hasil umbi/plot 51,34 kg pada pengairan terbatas dan 61,93 kg pada pengairan normal. Kata kunci: Ipomoea batatas, Kekeringan, Beta 2 Abstract Sweet potato can be classified as drought tolerant crops, however long-term drought can disrupt the growth and tuber yield. This study aims to determine the effect of water frequency on the growth and yield of sweet potato. The experiment was conducted in Jambegede experimental station on June-November 2009 using a split plot design with three replications. The main plot are two levels of irrigation, L0 = crops irrigated after planting until the two months (limited irrigation), L1 = crop irrigated until harvest (normal irrigation). Frequency of water is 10 days. The subplots are eight genotypes of sweet potato. Observations were made on the characters of vine length (60, 90, and 135 dap), shoot weight, leaf area, chlorophyll content, tuber weight (very large, large, and medium), and tuber yield / plot. The results showed that the frequency of different water affects the characters of vine length of 60 DAP and 90 DAP, leaf area and tuber weight is very large. Genotypes tested showed different responses to all the characters were observed, except in large and medium sized tubers. Limited watering on sweetpotato cause yield losses 5-30%. Drought can decrease 25% vine length of sweet potato at 60 DAP and 29% vine length of sweet potato at 90 DAP. Droughts stress also reduced 30% leaf area and reduced 33% very large (> 300g) tuber weight of Beta-2. 748
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
Beta-2 is able to produce 51.34 kg tubers / plot on limited irrigation and 61.93 kg in normal irrigation. PENDAHULUAN Ubi jalar merupakan salah satu tanaman umbi yang memiliki daya adaptasi baik pada lahan kering dan marginal. Ubijalar dapat tumbuh optimum pada suhu 240C atau lebih, dengan curah hujan 750-1250 mm, dengan cahaya matahari, dan kelembaban malam yang cukup (CARDI, 2010). Menurut Flach dan Rumawas (1996) kelembaban tanah yang dibutuhkan ubijalar pada awal pertumbuhan berkisar antara 60-70 %, pada pertengahan pertumbuhan 70-80%, dan akhir pertumbuhan memerlukan kelembaban 60%. Namun demikian, durasi kekeringan yang panjang dapat menghambat pertumbuhan umbi sehingga berpengaruh terhadap hasil. Lizhen (1995) melaporkan fase kritis ubi jalar pada kondisi defisit air adalah pada awal pertumbuhan (1-60 HST). Penurunan bobot tajuk, luas daun dan hasil umbi dapat terjadi pada kondisi tersebut. Kehilangan hasil umbi segar akibat cekaman kekeringan dilaporkan berkisar 2,5363,52% (Trustinah 1994; Rahayuningsih et al. 2000). Besarnya kehilangan hasil umbi sangat bergantung dari intensitas cekaman yang diberikan, jenis tanah dan varietas/klon yang digunakan. Prabawardani et al. (2008) melaporkan pada kondisi stres air, biomass tanaman, luas dan berat daun serta bobot umbi menurun dan terdapat korelasi yang erat antara bagian vegetatif tanaman dan hasil umbi. Varietas ubijalar toleran kekeringan merupakan salah satu cara mengurangi kehilangan hasil. Rahayuningsih (2010) melaporkan pada varietas yang peka, kehilangan hasil umbi segar mencapai >50%, sedangkan pada varietas yang toleran <20%. Menurut Blum (1998) toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan ditunjukkan oleh kemampuannya berproduksi pada kondisi kekeringan, yang dapat diukur dengan penurunan hasil relatif pada kondisi normal. Chunsheng et al. (1993) dalam Rahayuningsih (2010) membagi kriteria toleransi ubijalar terhadap kekeringan dalam empat kategori, yaitu: (1) toleran: jika penurunan hasil umbi kurang dari 10% terhadap pengairan normal, (2) moderat toleran: jika penurunan hasil umbi berkisar antara 11–20% terhadap pengairan normal, (3) peka: jika penurunan hasil umbi berkisar antara 21–40%, dan (4) sangat peka: jika penurunan hasil >40% terhadap pengairan normal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh frekuensi pemberian air terhadap pertumbuhan dan hasil ubijalar. METODE PENELITIAN Percobaan dilaksanakan di KP Jambegede Malang pada bulan Juni-November 2009 menggunakan rancangan petak terbagi, tiga ulangan. Petak utama adalah dua tingkat pengairan, L0=pertanaman diairi sejak tanam hingga umur dua bulan (pengairan terbatas), L1=pertanaman diairi hingga panen (pengairan optimum). Frekuensi selang pemberian air setiap 10 hari. Anak petak adalah delapan genotipe ubijalar. Setiap klon ditanam pada petak yang berupa tiga guludan (5 m x 3 m). Jarak tanam dalam gulud/baris 20 cm. Bibit yang digunakan adalah stek pucuk sepanjang 25 cm. Tanaman dipupuk dengan 100 kg Urea + 75 kg SP-36 + 100 kg KCl/ha. Pupuk diberikan dua kali, yang pertama pada saat tanam dengan dosis 1/3 bagian Urea + KCl dan seluruh 749
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
dosis P, dan kedua pada umur lima minggu setelah tanam yaitu 2/3 bagian pupuk Urea + KCl dengan cara tugal. Pengamatan dilakukan terhadap karakter panjang sulur (60, 90, 135 HST), bobot tajuk, luas daun, klorofil, bobot umbi sangat besar (>300 g), bobot umbi besar (200-300g), bobot umbi sedang (100-200g) dan hasil umbi/plot. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis ragam pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara perlakuan dengan klon yang ditanam. Perlakuan frekuensi pemberian air yang berbeda berpengaruh terhadap karakter panjang sulur 60 HST dan 90 HST, luas daun serta bobot umbi sangat besar (>300 g). Seluruh klon yang diuji, nyata menunjukkan respon yang berbeda terhadap seluruh karakter yang diamati, kecuali pada karakter bobot umbi besar dan sedang. Hal ini menunjukkan keragaan klon yang diuji sangat beragam pada seluruh karakter yang diamati kecuali pada bobot umbi besar dan sedang, masing-masing klon menunjukkan respon yang cenderung seragam. Tabel 1. Analisis ragam karakter klon ubijalar di KP. Jambegede, Malang Variabel Panjang sulur 60 hst (cm) Panjang sulur 90 hst (cm) Panjang sulur 135 hst (cm) Bobot tajuk (kg) Luas daun (cm) Klorofil Bobot umbi SB (>300 g) Bobot umbi B (200-300 g) Bobot umbi S (100-200 g) Hasil umbi/plot (kg)
Perlakuan 6824.2006 * 20043.4654 ** 44107.1125 tn 1093.2843 tn 41741.9154 * 2.9008 tn 311253602.1 * 5761602.083 tn 23604075 tn 697.6494 tn
Klon 6413.8406 7488.1784 7581.6753 108.8492 13399.0045 43.0418 355233356.8 15954644.94 10184785.71 449.7335
** ** ** ** ** ** ** tn tn **
PxK 284.2223 251.5161 1038.279 8.0803 193.0573 10.6189 19614878 7083416 2937013 31.6784
tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
Selisih karakter tanaman yang diamati pada pemberian air secara terbatas dan normal dapat dilihat pada Tabel 2. Kekeringan pada ubijalar dapat menyebabkan penurunan panjang sulur sebesar 25% (23,84 cm) pada umur 2 bulan, sedangkan pada umur 3 bulan dapat menyebabkan penurunan sebesar 29% (40,87 cm). Rahayu et al. (2007) melaporkan pada kondisi tercekam kekeringan panjang sulur dapat menurun 6,68-22,66%. Deraan kekeringan juga menyebabkan luas daun berkurang 30% dan bobot umbi kategori sangat besar (>300g) berkurang 33%. Hal serupa juga dilaporkan Prabawardani et al. (2008) bahwa defisit air menyebabkan penurunan luas daun klon lokal ubijalar Papua mencapai 60%.
750
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
Tabel 2. Pengaruh frekuensi pemberian air terhadap karakter pengamatan vegetatif dan produksi Karakter Panjang sulur 60 hst (cm) Panjang sulur 90 hst (cm) Luas daun (cm) Bobot umbi SB (>300 g) (g)
Pengairan Terbatas 72.44 b 100.83 b 133.73 b 10351.25 b
Pengairan Normal 96.28 a 141.7 a 192.71 a 15444.17 a
Selisih 23.84 40.87 58.98 5092.92
Klon MSU 0328-10 konsisten memiliki rata-rata sulur terpanjang pada umur 60, 90 dan 135 hst, sedangkan Antin-1 dan Beta-2 memiliki sulur yang pendek dibandingkan dengan klon lainnya (Tabel 3). Seluruh klon yang diamati, tampak mengalami penurunan panjang sulur pada kondisi pengairan terbatas umur 60, 90 dan 135 hst. Sulur yang panjang diharapkan memiliki bobot tajuk segar yang tinggi. Menurut Rahayuningsih et al. (2007) bobot tajuk dapat mencerminkan kesuburan pertumbuhan tanaman dan besar kecilnya tajuk sehingga diharapkan perkembangan umbi menjadi maksimal. Tabel 3. Keragaan agronomik beberapa klon ubijalar pada karakter panjang sulur 60, 90, 135 hst Klon Antin-1 MSU 0328-10 MSU 0328771 Beta-1 Beta-2 MSU 03017-8 Kidal Boko
Panjang sulur 60 hst (cm) L0 L1 Rerata 60.31 71.07 65.69 bc
Panjang sulur 90 hst (cm) L0 L1 Rerata 76.82 104.37 90.60 d
Panjang sulur 135 hst (cm) L0 L1 Rerata 94.91 134.27 114.59 de
141.40
179.30
160.35 a
175.08
221.29
198.18 a
193.87
244.69
219.28 a
48.19
82.45
65.32 bc
75.18
129.83
102.51 cd
120.84
229.99
175.42 b
71.38 44.68
76.49 64.49
73.93 bc 54.58 c
94.05 73.35
113.81 106.45
103.93 cd 89.90 d
110.89 88.93
152.78 132.90
131.84 cde 110.92 e
78.72
91.05
84.89 b
107.87
149.33
128.60 bc
116.08
155.31
135.69 cde
70.14 64.66
98.90 106.52
84.52 b 85.59 b
96.87 107.45
145.95 162.61
121.41 bc 135.03 b
106.13 122.24
192.81 196.17
149.47 bcd 159.20 bc
Keterangan: L0=pengairan terbatas, L1=pengairan normal Keragaan luas daun, kandungan klorofil dan bobot tajuk dapat dilihat pada Tabel 4. Secara umum, seluruh klon yang diuji mengalami penurunan luas daun dan bobot tajuk pada kondisi pengairan terbatas. Pada kandungan klorofil, tidak semua klon mengalami penurunan pada pengairan terbatas. Klon Antin-1 dan MSU 03017-8 klorofilnya lebih besar pada pengairan terbatas dibandingkan dengan pengairan normal. Pada karakter bobot tajuk, klon Boko memiliki bobot tajuk terberat dibandingkan yang lainnya. Jika dikaji lebih dalam, ternyata klon yang memiliki sulur yang panjang belum tentu memiliki bobot yang lebih berat. Klon MSU 0328-10 pada Tabel 3 memiliki sulur yang panjang, namun pada Tabel 4 Boko memiliki bobot tajuk segar tertinggi baik pada pengairan terbatas maupun normal. Namun demikian, sulur yang pendek pada Antin-1 dan Beta-2 selaras dengan bobot tajuk yang lebih rendah dibandingkan dengan klon lainnya. 751
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
Tabel 4. Keragaan agronomik beberapa klon ubijalar pada karakter luas daun, klorofil, dan bobot tajuk Klon Antin-1 MSU 0328-10 MSU 03287-71 Beta-1 Beta-2 MSU 03017-8 Kidal Boko
Luas daun (cm) L0 L1 Rerata 116.67 174.60 145.63 bc
L0 35.40
Klorofil L1 Rerata 31.87 33.63 b
Bobot tajuk (kg) L0 L1 Rerata 16.33 26.25 21.29 c
146.83 218.65 182.74 ab
33.47
35.33 34.40 ab
20.70
32.77 26.73 bc
86.90
137.30 112.10 cd
37.97
38.40 38.18 a
20.03
27.91 23.97 bc
102.38 165.48 133.93 cd 75.00 121.03 98.02 d
32.97 32.07
32.20 32.58 bc 37.43 34.75 ab
21.67 16.73
29.76 25.71 bc 27.00 21.87 c
186.11 254.76 220.44 a
30.06
28.33 29.20 c
25.13
31.96 28.55 b
181.35 251.98 216.66 a 174.60 217.86 196.23 a
33.40 35.87
34.16 33.78 b 37.40 36.63 ab
22.43 30.33
35.91 29.17 b 38.16 34.25 a
Keterangan: L0=pengairan terbatas, L1=pengairan normal Ukuran umbi terbagi menjadi beberapa golongan, setiap negara memiliki standar penggolongan masing-masing. Di Karibia (Amerika Selatan), ubijalar tergolong kedalam kelompok besar (>800 g), sedang (450 – 800 g), dan kecil (200 – 450 g) (CARDI, 2010). Di Indonesia, berat umbi dibagi menjadi kelas A (>200 g), B (100-200 g), dan C (<100g) (BSN, 1998). Klon Beta-2 memiliki ukuran umbi yang tergolong sangat besar, dan besar yang lebih unggul dibandingkan dengan klon lainnya (Tabel 5). Pada kategori ukuran umbi sedang, Beta-1 lebih unggul dari Beta-2, namun selisihnya tidak signifikan (1,48 kg). Unggul dalam kategori ukuran umbi, berdampak kepada hasil umbi/plot yang tinggi. Beta2 terbukti memiliki hasil umbi/plot yang nyata lebih tinggi dibandingkan klon lainnya, yaitu 56,64 kg. Tabel 5. Keragaan agronomik beberapa klon ubijalar pada karakter bobot umbi sangat besar, besar dan sedang Bobot umbi SB (kg) Klon
L0
L1
Antin-1 MSU 032810 MSU 0328771
8.31
14.76
6.29
Rerata
Bobot umbi B (kg)
Bobot umbi S (kg)
Hasil umbi/plot (kg)
L0
L1
Rerata
L0
L1
Rerata
L0
L1
Rerata
11,54 c
7.61
7.99
7.8
7.37
8.09
7.73
26.68
33.8
30.24 c
8.18
7,2 de
7.45
9.3
8.37
10.19
10.27
10.23
29.96
31.71
30.83 c
9.36
13.3
11,33 cd
9.85
10.79
10.32
9.38
11.62
10.5
34.04
40.63
37.33 bc
Beta-1
3.63
8.55
6 e
6.63
8.82
7.72
9.92
13.3
11.61
27.96
37.52
32.74 bc
Beta-2 MSU 030178
28.4
32.33
30,36 a
9.89
14.87
12.38
8.97
11.29
10.13
51.34
61.93
56.64 a
8.16
9.2
8,7 cde
8.63
7.03
7.83
7.83
10.13
8.98
29.78
34.72
32.25 bc
Kidal
9.37
22.21
15,79 b
9.88
9.87
9.88
10.79
9.94
10.36
34.71
46.07
40.39 b
Boko 9.29 15.01 12,15 bc 9.17 9.69 9.43 7.68 8.69 8.19 28.95 41.56 35.26 bc Keterangan: L0=pengairan terbatas, L1=pengairan normal, Bobot umbi SB (>300 g), Bobot umbi B (200-300 g), Bobot umbi S (100-200 g)
752
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
Pengairan terbatas menyebabkan kehilangan hasil sebesar 5-30% (Tabel 5). Berdasarkan kriteria Chunsheng et al. (1993) dalam Rahayuningsih (2010) maka dapat diketahui bahwa klon yang tergolong toleran adalah MSU 0328-10, moderat toleran yaitu (MSU 03287-71, Beta-2, MSU 03017-8) dan peka (Antin-1, Beta-1, Kidal, Boko). Meskipun klon MSU 0328-10 tergolong toleran, namun hasil umbi/plot klon tersebut pada pengairan normal (31,71 kg) masih jauh dibawah Beta-2 pada pengairan terbatas (51.34 kg). Pada kondisi pengairan normal Beta-2 mampu menghasilkan umbi/plot sebesar 61,93 kg. PENUTUP Kesimpulan 1. Pengairan terbatas pada ubijalar menyebabkan kehilangan hasil sebesar 5-30%. 2. Kekeringan pada ubijalar dapat menyebabkan penurunan panjang sulur sebesar 25% (60 hst) dan 29% (90 hst). Deraan kekeringan juga menyebabkan luas daun berkurang 30% dan bobot umbi kategori sangat besar (>300g) berkurang 33%. 3. Beta-2 mampu memberikan hasil umbi/plot 51,34 kg pada pengairan terbatas dan 61,93 kg pada pengairan normal. DAFTAR PUSTAKA [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1998. Ubijalar. SNI 01-4493-1998. Pp. 1-8 [CARDI] Carribien Agricultural Research and Development Institute. 2010. Sweetpotato Technical Manual. http://www.cardi.org/wpcontent/uploads/2011/07/SweetPotato_TechnicalManual.pdf. Diakses 3 Nopember 2014 Blum, A. 1988. Plant Breeding for stress environments. CRD Press, Florida, 223 p. Flach M, Rumawas F. 1996. Plants Yielding Non-Seed Carbohydrates. p 102-107 In Prosea (Plant resources of South-East Asia) No 9 Bogor. pp. 85–97. Lizhen, X. 1995. Influence of Soil Aridity on the Growth, Development and Yield of Sweet Potato (Ipomea batatas L.). Acta Agric Boreall-Sinica. Prabawardani S, A Sarungallo, Y Mustamu, F Luhulima. 2008. Tanggap klon lokal ubi jalar papua terhadap cekaman kekeringan. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 27 (2) :113-119. Rahayuningsih. S.A.. Y. Widodo dan T.S. Wahyuni. 2000. Evaluasi daya hasil klon harapan ubijalar dalam kondisi terdera kekeringan di Muneng. Dalam Proc. Seminar Komponen Teknologi untuk Meningkatkan Produktivitas Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. hlm. 169–181. Balitkabi-Malang. Rahayuningsih SA, M Jusuf, TS Wahyuni, A Krisnawati. 2007. Kehilangan hasil dan toleransi klon-klon harapan ubi jalar kaya antosianin dan β-karoten pada kondisi terdera kekeringan. Pp 246-256 Dalam Inovasi teknologi kacang-kacangan dan umbi-umbian mendukung kemandirian pangan & kecukupan energi, Puslitbangtan, Bogor. Rahayuningsih SA. 2010. Deraan kekeringan pada tanaman ubijalar. Buletin Palawija 20: 84-95. 753
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
Trustinah. 1994. Toleransi klon ubi jalar (Ipomoea batatas L) terhadap cekaman kekeringan dan hama boleng (Cylas formicarius sp). Tesis tidak diterbitkan. Malang: Univ Brawijaya.
754