JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Volume 3, No. 1, Januari
2016
KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK DI DINAS KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL MELALUI KANTOR KECAMATAN TALIABU SELATAN KABUPATEN PULAU TALIABU
Oleh Iksan Lamadira Magister Ilmu Administrasi Pascasarjana UNISMA Abstrak Peningkatan kualitas pelayanan publik adalah salah satu isu yang sangat krusial dimana hal ini terjadi karena disatu sisi tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan dari tahun ketahun semakin besar, sementara itu praktek penyelenggara pelayanan tidak mengalami perubahan yang berarti. Dewasa ini masyarakat semakin moderen sehingga kebutuhannya semakin kompleks. Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota dalam memenuhi kebutuhan masyarakat telah malakukan berbagai usaha, seperti halnya di kabupaten Pulau Taliabu dalam rangka meningkatkan pelayanan dan percepatan pembangunan, Pemerintah daerah membentuk kecamatan-kecamatan baru. Hasil analisis membuktikan kualitas pelayanan pembuatan kartu tanda penduduk di dinas kependudukan dan catatan sipil melalui kantor kecamatan taliabu selatan kabupaten pulau taliabu belum memuaskan, masih terdapat beberapa masalah dalam proses pelayanan, diantaranya ialah kurangnya sarana dan prasarana kantor, rendahnya kualitas sumber daya pegawai, kurangnya kesadaran pegawai dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai abdi masyarakat, rendahnya disiplin pegawai, dan belum efisiennya waktu pembuatan KTP, serta belum adanya standar biaya pembuatan KTP oleh masyarakat. Kata kunci: Kualitas, Pelayanan, Publik, Bukti Nyata, Kehandalan, Daya Tanggap, Jaminan, dan Empati.
PENDAHULUAN Pemerintah merupakan suatu entitas yang memiliki fungsi dan tujuan memberikan layanan publik kepada kelompok masyarakat dengan menjalankan peran sebagai organisasi publik non profit. Pada dasarnya pelayanan publik merupakan tanggung jawab pemerintah daerah dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Banyak fenomena yang menggambarkan betapa buruknya kualitas pelayanan publik yang 1|Page
selama ini dinikmati oleh masyarakat. Sudah sejak lama masyarakat mengeluh terhadap penyelenggaraan pelayanan publik yang dirasakannya sangat jauh dari harapannya. Pelayanan yang diharapakan dan menjadi tuntutan pelayanan publik oleh organisasi publik yaitu pemerintah lebih mengarah pada pemberian layanan publik yang lebih professional, efektif, efisien, responsif, transparan, dan akuntabel. Dewasa ini masyarakat semakin moderen sehingga kebutuhannya semakin kompleks.
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota dalam memenuhi kebutuhan masyarakat telah malakukan berbagai usaha, seperti halnya di kabupaten Pulau Taliabu dalam rangka meningkatkan pelayanan dan percepatan pembangunan, Pemerintah daerah membentuk kecamatan-kecamatan baru. Sebelum dibentuknya Kecamatan Taliabu Selatan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan tidaklah mudah, memerlukan biaya dan waktu yang tidak sedikit karena letak kantor kecamatan terdahulu sebelum dimekarkan jaraknya cukup jauh. Maka tidaklah mengherankan jika pada waktu itu banyak masyarakat mangabaikan pentingnya kewajiban sebagai warga negara yang baik dengan tidak melengkapi diri dengan berbagai catatan sipil sebagai identitas diri sehingga pemerintah sulit memberikan akses pelayanan. Namun ironisnya walau sudah menjadi kecamatan yang berdiri sendiri dalam hal Kartu Tanda Penduduk saja menurut hasil observasi lapangan yang dilakukan peneliti, masyarakat yang memiliki KTP dengan masyarakat yang tidak memiliki KTP jumlahnya sangat memprihatinkan. Dimana jumlah wajib KTP di Kecamatan Taliabu Selatan berjumlah 4.526 jiwa, yang hanya memiliki KTP berjumlah 2.967 jiwa dan yang belum memiliki KTP berjumlah 1.559 jiwa. Hal tersebut rupanya masih menjadi momok yang masih belum terwujud. Kualitas pelayanan di Kecamatan Taliabu Selatan hasil pemekaran ini masih kurang maksimal, hal ini terlihat kecepatan pelayanan administrasi yang diberikan oleh penyelenggara pemerintahan kepada masyarakat masih terkesan lamban dan melebihi waktu yang ditetapkan, sarana dan prasarana Kantor belum memadai baik sarana oprasional, fasilitas fisik serta prasarana pendukung lainnya, kurangnya respon petugas pelayanan kepada masyarakat, kurangnya perhatian terhadap pengguna layanan secara individual yang diberikan oleh pihak penyelenggara pelayanan, kurangnya kedisiplinan 2|Page
Volume 3, No. 1, Januari
2016
pegawai dari waktu yang telah ditentukan, dan masih adanya perbedaan perlakuan pegawai kecamatan kepada masyarakat yang hendak melakukan pelayanan (Diskriminatif). Itulah sebabnya peneliti tertarik untuk meneropong sejauh mana Kualitas Pelayanan Pembuatan Kartu Tanda Penduduk di Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Melalui Kantor Kecamatan Taliabu Selatan Kabupaten Pulau Taliabu. Rumusan Masalah Bertolak dari latar belakang sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana Kualitas Pelayanan Pembuatan Kartu Tanda Penduduk di Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Melalui Kantor Kecamatan Taliabu Selatan Kabupaten Pulau Taliabu? 2. Apa permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Kecamatan dalam melakukan Pelayanan Pembuatan Kartu Tanda Penduduk? Tujuan Berdasarkan uraian rumusan masalah yang telah dikemukakan tersebut diatas, maka tujuan dari penulis melakukan penelitian di Kantor Kecamatan Taliabu Setalan Kabupaten Pulau Taliabu adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui Kualitas Pelayanan Pembuatan Kartu Tanda Penduduk di Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Melalui Kantor Kecamatan Taliabu Selatan Kabupaten Pulau Taliabu. 2. Untuk menggambarkan permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Kecamatan dalam melakukan pelayanan pembuatan Kartu Tanda Penduduk. Manfaat Penelitian Harapan peneliti dalam melakukan penelitian ini agar bisa bermanfaat: 1. Bagi pemerintah, memberikan sarasaran atau masukan sebagai alternatif
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
pertimbangan dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik dalam hal pembuatan kartu tanda penduduk. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan dalam keilmuan, khususnya tentang pelayanan pembuatan kartu tanda penduduk. 3. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini diharapakn dapat menjadi rujukan bagi penelitian yang lebih mendalam terkait kualitas pelayanan pembuatan kartu tanda penduduk. Kajian Pustaka Penelitian tentang pelayanan publik telah banyak dikaji, baik peneliti maupun praktisi. Diantara temuan penelitian terdahulu antara lain : Dalam tesis I Nyoman Adi Sudana (2003) yang berjudul : Analisis Kualitas Pelayanan Publik Pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Karangasem-Bali, dia mengatakan : Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya kualitas pelayanan publik dipengaruhi faktor kapabilitas kerja pegawai, prosedur/sistem tata kerja, dan budaya kerja juga terkait dengan faktor lainnya seperti faktor kepemimpinan (Leadership), motivasi kerja, pendapatan/penghasilan, pendidikan dan pelatihan, dukungan suasana atau lingkungan kerja, manajemen maupun faktor-faktor lainnya. Dalam tesis Erland Mouw (2013) yang berjudul : Kualitas Pelayanan Publik di Daerah (Pelayanan Publik Di Kabupaten Halmahera Selatan) dia mengatakan : Masyarakat selalu menginginkan kepuasan dalam pelayanan, tetapi kelemahan birokrat terlihat pada kelemahan atau terbatasnya sumber daya yang mupuni serta ditambah dengan peraturan-peraturan yang membuat birokrat daerah bekerja dengan kaku. Sehingga berbagai kritik dilontarkan kepada birokrasi publik seperti boros, kaku, berbeli-belit dan semacamnya, namun pada saat yang sama masih diperlukan kkkarena mampu melindungi 3|Page
Volume 3, No. 1, Januari
2016
melindungi kepentingan publik dan menciptakan keadilan. Dalam tesis Novirsari (2012) yang berjudul : Penilaian Kualitas Pelayanan Publik Pada Sistem Admiiistrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) Di Unit Pelayanan Teknis Dinas Pendapatann Daerah Provinsi Sumatera Utara Tebing Tinggi, dia mengatakan : Kualitas pelayanan terhadap masyarakat sering dijadikan tolak ukur didalam melihat keberhasilan suatu organisasi atau instasni pemerintah. Kemudian, pemerintah sebagai penyedia pelayanan dengan kualitas yang sesuai dengan harapan masyarakat. Dalam tesis Kuncoro (2006) yang berjudul : Studi Evaluasi Pelayanan Publik Dan Kualitas Pelayanan Di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo, dia mengatakan : Mengevaluasi Implementasi Perda Pelayanan Publik sangat mempengaruhi kualitas pelayanan publik. Paradigma baru pelayanan prima memposisikan pelanggan/pasien sebagai keutamaan dalam memperoleh pelayanan dapat dirasakan dmpaknya di kalangan pelanggan. Pelayanan Pengertian pelayanan menurut Sedarmayanti (2009) melayani suatu jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam segala bidang. Kegiatan pelayanan kepada masyarakat merupakan salah satu tugas dan fungsi administrasi negara. Pendapat lain mengenai pelayanan menurut Albrecht dalam Sedarmayanti (2009) pelayanan adalah suatu suatu pendekatan organisasi total yang menjadi kualitas pelayanan yang diterima pengguna jasa, sebagai kekuatan penggerak utama dalam pengoperasian bisnis. Pelayanan Publik Menurut Fitzimmons dalam Sedarmayanti (2009) terdapat lima indikator pelayanan publik, yaitu : 1. Reliablity: kemampuan untuk memberi secara tepat dan benar, jenis pelayanan yang telah diberikan kepada konsumen/pelanggan
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
2. Responsiviness: (pertanggungjawaban) kesadaran/keinginan membantu konsumen dalam memberikan pelayanan yang cepat. 3. Assurance: (jaminan), pengetahuan/ wawasan, kesopanan, kesantunan, kepercayaan diri dari pemberi layanan, perhatian, dan respek terhadap konsumen. 4. Empathy: (empati), kemauan pemberi layanan untuk melakukan pendekatan, memberi perlindungan, berusaha mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen/masyarakat. 5. Tangibless: (terjamah), penampilan pegawai dan fasilitas fisik lainnya, seperti : peralatan, meja, kursi, perlengkapan, kebersihan kantor, serta sarana lainnya yang menunjang pelayanan. Kualitas Pelayanan Pengertian kualitas menurut Goetsh dan Davis (1994) dalam Arief (2007) bahwa kualitas merupakan ―suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan‖. Ada beberapa indikator kualitas pelayanan menurut Sedarmayanti (2009), yaitu sebagai berikut : 1. Kesesuaian dengan persyaratan/tuntutan. 2. Kecocokan untuk pemakaian. 3. Perbaikan/penyempurnaan berkelanjutan./cacat. 4. Pemenuhan kebutuhan pelanggan awal dan setiap saat. 5. Melakukan sesuatu secara benar awal. 6. Sesuatu yang bisa membahagiakan pelanggan. 7. Bebas dari kerusakan Konsep kualitas menurut Tjiptono (2011) memiliki dua dimensi, yaitu: 1. Dimensi produk, memandang kualitas barang dan jasa dari perspektif derajat konformitas dengan spesifikasinya yakni dengan memandang kualitas dari sosok yang dapat dilihat, kasat mata dan dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan dan pengamatan. 4|Page
Volume 3, No. 1, Januari
2016
2. Dimensi lingkungan antara produk dan pemakai suatu karakteristik lingkungan dimana kualitas produk adalah dinamis, sehingga produk harus disesuaikan dengan perubahan dari pemakai produk. Persepsi Terhadap Pelayanan Menurut Tjipjono dalam Ginting (2012) kualitas pelayanan harus dimulai dari kebutuhan masyarakat dan berakhir dengan kepuasan masyarakat serta persepsi positif terhadap kualitas layanan. Masyarakat yang menilai tingkat kualitas pelayanan sebuah organisasi publik. Tantangannya, penilaian masyarakat terhadap hasil kerja pelayanan yang diterimanya bersifat subjektif, karena tergantung persepsi masing-masing masyarakat pengguna layanan. Ekspektasi Terhadap Pelayanan Menurut Santos dan Boot dalam Ginting (2012) terdapat setidaknya 56 definisi ekspektasi pelanggan yang dijumpai dalam literature kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan. Definisi-definisi tersebut dapat dikelompokkan menjadi delapan tipe, yaitu : 1. Ideal expectation, yaitu tingkat kinerja optimum atau terbaik yang diharapkan dapat diterima konsumen. 2. Normative (should) expectation (persuasion-based standard), yaitu tingkat kinerja yang dianggap konsumen seharusnya mereka dapatkan dari produk yang dikonsumsi. 3. Desired Expectation, yaitu tingkat kinerja yang diinginkan pelanggan dapat diberikan produk atau jasa tertentu. 4. Predicted (will) expectation (experience-based norms), yaitu tingkat kinerja yang diantisipasi atau diperkirakan konsumen akan diterimanya, berdasarkan semua informasi yang diketahuinya. 5. Deserved (want) expectation (equitable expectation), yaitu evaluasi
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
subyektif konsumen terhadap investasi produknya. 6. Adequated expectation atau minimum tolerable expectation, yakni tingkat kinerja terendah yang bisa diterima atau ditolerir konsumen. 7. Intolerable expectation, yakni serangkaian ekspektasi menyangkut tingkat kinerja yang tidak akan ditolerir atau diterima pelanggan. 8. Worst imaginable expectation, yaitu skenario terburuk mengenai kinerja produk yang diketahui dan/atau terbentuk melalui kontak dengan media, seperti TV, radio, koran atau internet. Hakikat Pelayanan Publik Menurut Surjadi (2009) hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aoaratur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Karena itu pengembangan kinerja pelayanan publik senantiasa menyangkut tiga unsur pokok pelayanan publik, yaitu 1) Unsur kelembagaan penyelenggara pelayanan; 2) Proses pelayanan; dan 3) Sumber daya manusia pemberi layanan. Standar Pelayanan Publik Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 15 Tahun 2014, harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut : 1. Sederhana. Standar Pelayanan yang mudah dimengerti, mudah diikuti, mudah dilaksanakan,mudah diukur, dengan prosedur yang jelas dan biaya terjangkau bagi masyarakat maupun penyelenggara. 2. Partisipatif. Penyusunan Standar Pelayanan dengan melibatkan masyarakat dan pihak terkait untuk membahas bersama dan mendapatkan keselarasan atas dasar komitmen atau hasil kesepakatan. 3. Akuntabel. Hal-hal yang diatur dalam Standar Pelayanan harus dapat dilaksanakan dan
5|Page
Volume 3, No. 1, Januari
2016
dipertanggungjawabkan kepada pihak yang berkepentingan. 4. Berkelanjutan. Standar Pelayanan harus terus-menerus dilakukan perbaikan sebagai upaya peningkatankualitas dan inovasi pelayanan. 5. Transparansi. Standar Pelayanan harus dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat. 6. Keadilan. Standar Pelayanan harus menjamin bahwa pelayanan yang diberikan dapat menjangkau semua masyarakat yang berbeda status ekonomi, jarak lokasi geografis. Beberapa Permasalahan Dalam Pelayanan Publik Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas pelayanan publik (di Indonesia) antara lain adanya: 1. Konteks monopolistik, Dalam hal ini karena tidak adanya kompetisi dari penyelenggara pelayanan publik non pemerintah, tidak ada dorongan yang kuat untuk meningkatkan jumlah, kualitas, maupun pemerataan pelayanan tersebut oleh pemerintah. 2. Tekanan dari lingkungan, Dimana faktor lingkungan amat mempengaruhi kinerja organisasi pelayanan dalam transaksi dan interaksinya antara lingkungan dengan organisasi publik 3. Budaya patrimonial, dimana budaya organisasi penyelenggara pelayanan publik di Indonesia masih banyak terikat oleh tradisi-tradisi politik dan budaya masyarakat setempat yang seringkali tidak kondusif dan melanggar peraturan-peraturan yang telah ditentukan (Yayan dalam Novandy, 2009) METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Adapun jenis penelitian dalam tesis ini yaitu menggunakan jenis penelitian kualitatif. Menurut Strauss dalam Ahmadi (2014), menyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah penelitian kualitatif adalah suatu jenis penelitian yang menghasilkan
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
temuan-temuan yang tidak diperoleh oleh alat-alat prosedur statistik atau alat-alat kuantifikasi lainnya. Fokus Penelitian Fokus penelitian adalah pusat perhatian penelitian dalam mengambil data sesuai dengan rumusan masalah yang ditentukan, hal ini dilakukan supaya tidak terjadi pembiasan kajian serta tidak menyimpang dalam pencarian data. Adapun fokus penelitaian diantaranya, Responsiviness, Tangibless, Assurance, Reliabilitas, dan Empathy Lokasi Penelitian Dan Situs Penelitian Dalam penelitian ini yang menjadi lokasi penelitian adalah Kecamatan Taliabu Selatan Kabupaten Pulau Taliabu. Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan data yang dibutuhkan mudah diperoleh dan relevan dengan pokok permasalahan yang akan menjadi objek penelitian. Adapun Situs penelitian adalah yang menjadi pokok pembicaraan dalam penelitian. Oleh karena itu, hal yang diteliti dalam penyusunan tesis ini adalah Kualitas Pelayanan pembuatan kartu tanda penduduk. Tenik Analisis data Dalam analisis data ini peneliti menggunakan analisis dengan model interaktif. Proses Analisis data model interaktif terdiri atas tahap-tahap kegiatan sebagai berikut : 1. Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dilapangan. 2. Penyajian data sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penaikan kesimpulan dan pengambilan tindakan baik penyajian dalam bentuk tabel maupun naratif guna menggabungkan informasi yang tersusun ke dalam yang padu. 3. Menarik kesimpulan/Verifikasi yaitu mencatat keteraturan, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang
6|Page
Volume 3, No. 1, Januari
mungkin, alur sebab proposisi peneliti.
2016
akibat
dan
Keabsahan Data Untuk melihat derajat kepercayaan atau kebenaran terhadap hasil penelitian diperlukan suatu standariasi dalam penelitian kualitatif, standar tersebut keabsahan data. Keabsahan data diperlukan pelaksanaan teknik pemeriksaan dengan didasarkan pada 4 (empat) macam kriteria : 1. Kredibilitas, Penerapan kriteria derajat kepercayaan (kredibilitas) dimaksud sebagai pengganti konsep validitas internal dari penelitian non kualitatif. 2. Keteralihan (Transferibility, Keteralihan merupakan upaya membangun persamaan persepsi antara Peneliti dengan pembaca atau pengguna. Namun, dalam penelitian kualitatif, keteralihan sangatlah bergantung pada pembaca atau pengguna, yakni: hingga manakah hasil penelitian ini dapat digunakan dalam konteks dan situasi tertentu (Moleong: 2005 3. Ketergantungan (Dependibility, Ketergantungan dalam istilah konvensional disebut dengan reliabilitas, yang merupakan syarat bagi valisitas. Oleh karena itu, untuk memenuhi kriteria ini seluruh langkahlangkah dalam membangun kerangka piker penelitian, rancangan penelitian, hasil temuan penelitian, 4. Kepastian, Kriteria kepastian dalam penelitian tidak bias atau menyimpang dari realita yang ada, rumusan masalah dan tujuan penelitian. PEMBAHASAN Berdasarkan temuan peneliti di lapangan melalui wawancara bersama Camat dan tokoh masyarakat sekitar Kecamatan Taliabu Selatan, bahwa untuk mencapai kualitas pelayanan yang baik harus dimulai dari manusia itu sendiri, baik dari pegawai maupun dari masyarakat pengguna layanan. Selain itu, hal yang terpenting adalah transparansi pelayanan terhadap masyarakat yang tepat sasaran.
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Menurut peneliti, untuk meningkatkan pelayanan yang berkualitas tentunya partisipasi dan peran aktif masyarakat sangat diperlukan. Karena dalam penyelenggaraan pelayanan publik tanpa didukung oleh peran serta masyarakat pelayanan tidak akan berjalan secara maksimal seperti yang diharapkan. Untuk itu, pemerintah Kecamatan harus konsisten dalam memberikan layanan yang berkualitas dengan langkah-langkah : Pertama, tangibles yaitu bukti fisik yang bisa dilihat secara langsung seperti, kelengkapan meja dan kursi, ketersediaan alat komputer, sarana parkir, ruang tunggu, jumlah pegawai, media informasi pengurusan, media informasi keluhan, dan jarak ke tempat layanan. Kedua, adalah Reability, yaitu kualitas pelayanan yang dilihat dari sisi kemampuan dan kehandalan dalam menyediakan layanan yang terpercaya, meliputi proses waktu penyelesaian layanan dan proses waktu pelayanan keluhan. Ketiga, Responsiviness yaitu kualitas pelayanan yang dilihat dari sisi kesanggupan untuk membantu dan menyediakan pelayanan secara cepat dan tepat, serta tanggap terhadap keinginan masyarakat. Keempat adalah Assurance, yaitu kualitas pelayanan yang dilihat dari sisi kemampuan petugas dalam meyakinkan kepercayaan masyarakat. Indikatornya adalah adanya kejelasan mengenai mekanisme layanan dan kejelasan mengenai tarif layanan. Kelima adalah Empathy, yaitu kualitas pelayanan yang yang diberikan berupa sikap tegas tetapi penuh perhatian terhadap masyarakat. Dalam konteks ini indikator yang dilihat adalah adanya sopan santun petugas selama pelayanan berlangsung dan bantuan khusus dari petugas selama proses pelayanan berlangsung. Pembahasan di atas pada intinya bahwa kualitas pelayanan di Kantor Kecamatan Taliabu Selatan Kabupaten Pulau Taliabu belum memuaskan karena harapan masyarakat akan pelayanan yang seharusnya diberikan jauh berbeda dengan pelayanan yang dirasakan oleh masyarakat. Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara 7|Page
Volume 3, No. 1, Januari
2016
semua dimensi kualitas pelayanan masih terdapat kelemahan, maka hal ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat belum merasa puas atas pelayanan yang diberikan oleh pihak penyelenggara layanan sehingga pelayanan dapat dikatakan belum maksimal. Berdasarkan uraian pembahasan diatas akan diuraikan lebih lanjut mengenai halhal yang kemudian menjadi penghambat atau pun pendukung jalannya pelayanan di Kantor Kecamatan Taliabu Selatan ; 1. Sumber Daya Aparatur Untuk memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat sangat dibutuhkan aparatur-aparatur pemerintah yang memiliki kualitas sumber daya manusia yang handal, untuk itulah kemudian dapat dikatakan keberhasilan suatu pelayanan salah satunya sangat ditentukan oleh kualitas aparat yang ditunjuk sebagai pelayan publik. 2. Kesadaran Masyarakat Salah satu faktor yang turut mempengaruhi pelaksanaan tugas pelayanan pemerintah di wilayah Kecamatan Taliabu Selatan adalah faktor kesadaran masyarakat. Kesadaran masyarakat dimaksudkan ialah kesadaran untuk mempersiapkan segala yang menjadi persyaratan untuk melakukan suatu urusan pelayanan di kantor desa/kelurahan, relasi antara aparat pemerintah dengan masyarakat memang harus saling mendukung agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan, baik itu dari pihak masyarakat maupun dari aparat pemerintah sendiri. 3. Kedisiplinan Pegawai Faktor lain dari tidak berhasilnya suatu pelayanan adalah tingkat kedisplinan dari pegawai yang masih rendah. Hal ini didasari tidak adanya kesdaran dalam diri masing-masing pegawai akan tanggung jawab yang mereka emban. Esensi pegawai publik adalah ―melayani‖ bukan ―dilayani. Di Kantor Kecamatan Taliabu Selatan pegawai masih mengadopsi paradigma
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
―dilayani bukan ―melayani‖ sehingga Hal ini menjadi salah satu indikator tidak maksimalnya pelayanan. Ini merupakan tantangan bagi setiap pimpinan khususnya camat Taliabu Selatan untuk memberikan pembinaan agar bisa merubah paradigma tersebut. 4. Sarana dan Prasarana Salah satu faktor pendukung atau bisa menjadi penghambat prosedur pelayanan yaitu saran dan prasarana. Dengan adanya sarana pelayanan beraneka ragam jenis dan fungsinya dapat membantu pelayanan pada masyarakat lebih efisien dan efektif. Dari temuan di lapangan dan didukung oleh teori dapat dismpulkan bahwa kualitas pelayanan sangat besar harapannya karena sama-sama menguntungkan antara pelayanan dan pengguna layanan karena jika pelaksanaan seirama atau besinergi maka pelayanan dan pengguna layanan sama-sama merasakan dampak dari pelayanan yang berkualitas itu, berkenaan dengan hal di atas, bahwa pelayanan pemberkasan pembuatan kartu tanda penduduk untuk mempermudah pendataan penduduk Indonesia.akan membantu Pembahasan di atas pada intinya bahwa kualitas pelayanan di Kantor Kecamatan Taliabu Selatan Kabupaten Pulau Taliabu belum memuaskan karena harapan masyarakat akan pelayanan yang seharusnya diberikan jauh berbeda dengan pelayanan yang dirasakan oleh masyarakat. Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara semua dimensi kualitas pelayanan masih terdapat kelemahan, maka hal ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat belum merasa puas atas pelayanan yang diberikan oleh pihak penyelenggara layanan sehingga pelayanan dapat dikatakan belum maksimal. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka peneliti dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
8|Page
Volume 3, No. 1, Januari
2016
1. Secara umum kualitas pelayanan pembuatan Kartu Tanda Penduduk di Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Melalui Kantor Kecamatan Taliabu Selatan Kabupaten Pulau Taliabu belum terlaksana secara maksimal. Hal ini dapat dilihat dari 5 (lima) dimensi kualitas pelayanan. a. Tangibles (bukti langsung), ruang tunggu yang tidak dilengkapi dengan kipas angin, fasilitas meja dan kursi yang belum memadai, dan kebersihan yang kurang diperhatikan. b. Reability (kehandalan), kecepatan pegawai dalam pengurusan administrasi tergolong masih lambat, kemahiran pegawai dalam mengaplikasikan komputer masih kurang, kurangnya jumlah pegawai dan kualitas dari pegawai yang ada masih kurang. c. Responsiviness (daya tanggap), ketekunan terhadap suatu pekerjaan masih cukup baik, pemberian informasi terhadap masyarakat tentang persyaratan pengurusan KTP sudah berjalan dengan bagus, dan perlu ditingkatkan lagi, namun yang harus lebih diperhatikan oleh pemerintah Kecamatan adalah kejelasan biaya/tarif administrasi. d. Assurance (jaminan), masih ditemukan perlakuan istimewa kepada masyarakat yang ada hubungan kekerabatan. e. Empathy (empati), sikap tegas tapi penuh perhatian terlihat jelas dengan sikap aparatur yang terbuka sehingga keakraban terjalin antara masyarakat dan aparat. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis dapat memberikan saran sebagai berikut : 1. Melihat persepsi aparatur pemerintah daerah dalam tugas pokok dan fungsi pelayanan ditinjau dari sikap dan norma-norma sopan santun dalam pelayanan terhadap masyarakat, pelaksanaan pelayanan di kantor Desa/
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Kecamatan dan penilaian masyarakat terhadap pelayanan tersebut, diharapkan pemerintah sebagai pelaku utama atau pengendali jalannya sistem pemerintahan agar bisa lebih meningkatkan pelayanan khususnya layanan di bidang administrasi kependudukan dan lebih dekat serta memperhatikan kebutuhan masyarakat. Memperhatikan dalam segi peningkatan kualitas, kemudahan, ketapatan waktu, ekonomis, serta keamanan dalam memberikan pelayanan. 2. Lebih meningkatkan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, karena pelayanan tidak akan berjalan dengan baik jika pelayanan yang diberikan tidak sepenuh hati. 3. Diperlukan paradigma pelayanan publik yaitu pelayan yang berorientasi sebagai penyedia menjadi pelayan menuju pelayanan yang berorientasi kebutuhan masyarakat. 4. Pemerintah lebih memperhatikan kelengkapan sarana dan prasarana kantor, perlu dilakukan pengadaan kursi, meja, alat kelengkapan elektronik dan ruang tunggu yang bersih. Karena kenyamanan pengguna layanan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh penyedia layanan. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Rulam. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: ArRuzz Media. Arief, Mts. 2007. Pemasaran Jasa Dan Kualitas Pelayanan. Malang: Banyumedia Ginting, Tamaseri, 2012. Jurnal Analisis Kualitas Pelayanan Rawat Jalan Puskesmas Berastagi Kabupaten Karo. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Kepmen PAN) Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Pedoman Umum Indeks Kepuasan Masyarakat.
9|Page
Volume 3, No. 1, Januari
2016
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 26 Tahun 2004 Tentang Petunjuk Teknis Transparansi Dan Akuntabililas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik; _____ 2011. Modul Manajemen Pelayanan Publik. Moleong, J. Lexy, 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Novandy, Riswan. 2009. Analisis Persepsi Masyarakat terhadap Kualitas Pelayanan Publik pada Bagian Administrasi Kemasyarakatan dan Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Kabupaten Simalungun, Medan. Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Pemekaran Kecamatan Taliabu Selatan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 13 Tahun 2009 Pedoman Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Dengan Partisipasi Masyarakat Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pedoman Standar Pelayanan Ratminto dan Aptik Septi Winarsih. 2006. Manajemen Pelayanan. Yogyakarta. Pustaka pelajar Sedarmayanti. 2009. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi dan Kepemimpinan Masa Depan. Bandung: Reflika Aditama. Sinambela, Lajian poltak dkk. 2006 Reformasi Pelayanan Publik. Jakarta: Bumi Aksara. Surjadi. 2009. Pengembangan Kinerja Pelayanan Publik. Bandung: Reflika Aditama. Tjipjono, fandi. 2008. Service Managemen, Mewujudkan Layanan Prima. Yogyakarta: Andi Office. Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pemerintahan Daerah
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Volume 3, No. 1, Januari
2016
CITA RASA ELIT PADA PERUMUSAN KEBIJAKAN PERTAMBANGAN MINERAL DI HUTAN LINDUNG GUNUNG TUMPANG PITU BANYUWANGI Muhamad Imron Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial, Universitas Islam Raden Rahmat Malang
[email protected] Abstraksi Kebijakan pertambangan seringkali ditandai dengan dominasi kelompok tertentu atas kelompok lainnya. Tahapan formulasi merupakan satu tahapan yang begitu krusial dan determinan bagi berlangsungnya suatu kebijakan. Terdapat ketidakseimbangan dari interaksi yang terbangun antara pemerintah, perusahaan tambang, dan masyarakat lokal. Perselingkuhan antara kuasa modal dan kuasa politik atas nama pembangunan terjadi begitu saja tanpa melibatkan masyarakat sebagai pihak yang juga berkepentingan atas berjalannya operasi pertambangan. Dominasi kelompok elit atas kelompok non elit menjadi akhir dari cerita formulasi kebijakan tersebut. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menganalisis tentang bagaimana proses formulasi kebijakan pertambangan di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP) Banyuwangi. Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Fokus penelitian (1) proses formulasi kebijakan pertambangan (2)Faktor-faktor yang mempengaruhi berlangsungnya kebijakan pertambangan. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Metode analisis data dengan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa proses pelibatan masyarakat dianggap masih semu karena pada kenyataannya meski masyarakat sepakat menolak akan adanya operasi pertambangan emas oleh PT IMN, kebijakan pemberian izin eksplorasi pertambangan tetap turun tanpa adanya izin sosial (social lisence). Kebijakan pertambangan emas di HLGTP cenderung merepresentasikan kepentingan (dominasi) elit, terbukti peran masyarakat yang sengaja di pinggirkan dan tidak terakomodasi dengan baik. Kata kunci: Formulasi kebijakan, kelompok elit, pertambangan
PENDAHULUAN Negara Indonesia begitu terkenal memiliki beragam sumber daya alam, mulai dari pertanian, perikanan, perkebunan, hingga pertambangan. Fakta sejarah telah membuktikan tentang bagaimana berhasratnya bangsa Belanda kala itu untuk datang ke Indonesia demi memperoleh rempah-rempah sampai hasil 10 | P a g e
bumi lainnya. Revolusi industri di Eropa saat itu, menjadi salah satu faktor pendorong bangsa-bangsa eropa untuk melakukan ekpansi ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Salah satu syarat untuk terus bergulirnya revolusi industri saat itu adalah tersedianya sumber daya alam yang siap untuk di produksi dalam jumlah besar, sedang sumber daya
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
alam yang dimiliki oleh bangsa-bangsa eropa tidak sebesar (jika di banding) dengan yang dimiliki oleh bangsa-bangsa di benua lainnya, termasuk asia. Dan bangsa Indonesia memang memiliki kekayaan alam yang (bagi bangsa barat) begitu menakjubkan jumlahnya. Hampir di seluruh penjuru negeri ini memiliki ragam kekayaan alam yang sesungguhnya berpotensi besar untuk mensejahterakan rakyat. Dan sektor pertambangan merupakan salah satu sektor saja yang (jika di kelola dengan baik) niscaya dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Indonesia merupakan penghasil utama beberapa mineral. Negara Indonesia adalah penghasil timah terbesar kedua di dunia, eksportir batu bara thermal terbesar ketiga di dunia, penghasil tembaga terbesar ketiga dan menduduki urutan kelima dan ketujuh untuk produsen nikel dan emas. Potensi tembaga terbesar Indonesia terdapat di Papua, potensi lain tersebar di jawa Barat, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Sedangkan potensi emas nyatanya hampir terdapat di seluruh wilayah Indonesia seperti di Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Nusa Tenggara, Kepulauan Riau, Maluku dan tentu saja Papua. Adapun potensi nikel terdapat di Sulawesi, Kalimantan Bagian Tenggara, Maluku dan Papua. Sementara timah berada di Pulau Bangka, Pulau Belitung, Pulau Singkep, Pulau Karimun. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah dari Sabang hingga Merauke, kekayaan alam yang tidak semua negara memilikinya. (Gali-Gali, 2009:13). Negara, di tuntut untuk mampu mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada serta merubahnya dalam bentuk distribusi kesejahteraan yang merata. Dan memang, sektor pertambangan saat ini cukup menjanjikan kesejahteraan bagi rakyat, namun dengan syarat, pemerintah harus memainkan peranannya dengan baik. Idealnya, ia harus mampu menjembatani kepentingan para pemilik modal dan kepentingan
11 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
masyarakat terutama yang tinggal disekitar area terdampak dari operasi pertambangan. Hingga kini, masih cukup menarik untuk mendiskusikan pola relasi dan interaksi yang terbangun antara negara (state),perusahaan/pasar (private sector) dan masyarakat (civil society) dalam konteks kebijakan pertambangan. Relasi ini seringkali menimbulkan kontroversi saat wajah kebijakan pertambangan menunjukkan suasana yang kurang menyenangkan dirasakan oleh pihak masyarakat. Tahapan perumusan kebijakan pertambangan merupakan satu tahapan yang begitu krusial dan determinan bagi berlangsungnya suatu kebijakan tersebut. Saat tahap perumusan terjadi, acapkali peran negara dan perusahaan nampak lebih dominan dalam menyusun suatu skenario kebijakan. Sedang keterlibatanmasyarakat menjadi kurang memperoleh perhatian bagi relasi ini. Sehingga, sikap penolakan pada suatu kebijakan pertambangan menjadi fenomena yang sering terlihat. Terlebih, aspek-aspek yang menyangkut kepentingan lingkungan tidak mendapat perhatian serius oleh para pembuat kebijakan. Bagaimanapun, masyarakat tidak menginginkan ekosistem lingkungan disekitarnya menjadi rusak dan pada akhirnya mengganggu kehidupan mereka dikemudian hari. Di Banyuwangi, eksplorasi pertambangan mineral menghampiri sebuah hutan lindung yang berada di ujung selatan kabupaten tersebut. Secara tibatiba, Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP) tersebut beralih status menjadi hutan produksi. Merasa tidak dilibatkan, masyarakat menyatakan menolak. Derasnya aksi penolakan terhadap alih fungsi kawasan hutan lindung, nampaknya tidak mengubah pendirian dan hasrat pemerintah untuk terus mengobral kekayaan sumber daya alamnya. Buktinya, Kabupaten Banyuwangi justru menjadi target kebijakan pertambangan. Adalah PT. IMN (Indo Multi Niaga) yang mula-mula telah mengantongi izin dari pemerintah untuk melakukan proses eksplorasi terhadap
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
kandungan emas yang ada di sekitar kawasan hutan lindung tersebut. Menteri Kehutanan Republik Indonesia melalui surat bernomor S. 406/MENHUTVII/PW/2007 perihal Persetujuan izin Kegiatan Eksplorasi Tambang Emas dmp di Kawasan Hutan Produksi Tetap (HP) dan Hutan Lindung (HL) A.n. PT IMN di Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa timur tertanggal 27 Juli 2007 telah memberikan izin eksplorasi kepada PT IMN. Luas areal hutan tersebut 11, 621, 45 ha. Adapun data ini dapat dilihat dari Berita Acara Pemeriksaan Lapangan (BPAL) terhadap kawasan hutan yang dimohon oleh PT. IMN, tertanggal 18 April 2007, yang ditandatangani bersama oleh Kepala Biro Hukamas Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, Kepala Sub Dinas (Kasubdin) PHKA Dinas Kehutanan (Dishut) Propinsi Jatim, Kepala Urusan Kawasan Biro Perencanaan SDH Perum Perhutani Unit II Jatim, Wakil KSPH V Jember Perum Perhutani Unit II Jatim, dan Administrasi Perhutani/KKPH Banyuwangi Selatan. Sedangkan lokasi kawasan hutan yang di mohon oleh PT. IMN berada dalam KPH Banyuwangi Selatan. Tepatnya berada pada petak 75, 76, 77, dan 78. Dimana ke semua petak tersebut masuk kawasan RPH Kesilir Baru dan BKPH Sukamade. Wajah kebijakan pertambangan mineral di Indonesia memang memiliki kemiripan, terutama pada tahap perumusan (pembuatan) kebijakan. Nyaris seluruhnya menggunakan model elit yang hanya mengakomodir suara pemodal besar, tanpa melibatkan aspirasi masyarakat lokal, hingga menghiraukan aspek keselamatan lingkungan. Kehendak pasar masih saja menjadi pertimbangan utama bagi para pembuat kebijakan, sehingga kebijakan pun seolah-olah bisa terbeli oleh para pemilik modal. Pun juga yang terjadi di Kabupaten Banyuwangi, izin pertambangan untuk tahap eksplorasi tibatiba saja di kantongi oleh PT. IMN. Persoalan ini menjadi penting untuk di teliti, sebuah perumusan kebijakan yang sarat kepentingan kelompok elit. Sampai 12 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
saat ini pemerintah yang harusnya mampu memposisikan diri sebagai penyusun dan pembuat skenario kebijakan (khususnya di bidang pertambangan) yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat, nyatanya malah menjadi fasilitator yang baik dan patuh atas kehendak pasar. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tentang bagaimana proses perumusan (formulasi) kebijakan pertambangan di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP) Banyuwangi terjadi.Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dengan memaparkan keadaan yang terjadi berdasarkan fakta-fakta yang tampak dan bagaimana adanya. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, dengan maksud untuk menemukan, memahami, menjelaskan dan memperoleh gambaran (deskripsi) tentang Formulasi Kebijakan Pertambangan di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu Banyuwangi. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif sehingga dititikberatkan pada upaya untuk memberikan deskripsi (gambaran) umum secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta terkait pertambangan mineral yang ada di sana. Dalam melakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif sesuai di kutip dalam Moleong (2007, h.8), seorang peneliti haruslah memperhatikan ciri-ciri yang mencakup: latar ilmiah, manusia sebagai alat atau instrumen, metode kualitatif, analisis deskriptif, lebih mementingkan proses dari pada hasil, kriteria khusus pada keabsahan data, desain bersifat sementara dan hasil penelitian yang dirundingkan bersama. Dalam penelitian ini, lokasi penelitian dilaksanakan di Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Sedangkan situs penelitian ini yaitu di Desa Sumberagung yang merupakan areal penambangan emas oleh PT IMN di HLGTP Banyuwangi. Selain itu situs penelitian juga di Dinas Pertambangan,
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Dinas Perhutani KPH Banyuwangi Selatan, serta Dinas Perijinan Kabupaten Banyuwangi. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh melalui dua sumber, yakni sumber data primer dan sumber data sekunder. Adapun teknik pengumpulan data menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, diantaranya wawancara, observasi, dan dokumentasi. Fokus dalam penelitian ini adalah (1) proses formulasi kebijakan pertambangan (2) Faktor-faktor yang mempengaruhi berlangsungnya kebijakan pertambangan di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP) Banyuwangi. Hasil Dan Pembahasan Kebijakan publik memang bisa jadi tidaklah bebas nilai, artinya bahwa setiap kebijakan yang di ambil oleh pemerintah sangat mungkin dapat memberikan efek dan dinamika di dalam masyarakat, karena sebuah kebijakan terkadang sarat dengan kepentingan lain yang seringkali meniadakan kepentingan masyarakat. Apalagi jika peran partisipatif masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dengan sengaja di singkirkan atau tidak di akomodasi, sehingga seringkali kebijakan hanya menjadi preferensi para elit saja. Kelompok elit dengan sengaja merumuskan sebuah kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu, misalnya para pemodal besar atau kelompok elit itu sendiri, sehingga berujung pada sifat top down dari kebijakan tersebut. Pada tahap implementasi kebijakan, tidak jarang para elit dengan sengaja bekerja sama dengan pihak Militer (seperti yang terjadi pada kasus penambangan emas oleh PT IMN di HLGTP) agar kebijakan tertentu dapat berjalan dengan skenario yang telah di rencanakan. Dalam kasus ini nampaknya elit-elit yang bermain adalah dari pihak birokrasi, teknokrat dan melibatkan pihak militer. Bagi Lasswell, jika elit-elit ini di padukan, maka elit-elit ini akan mengancam demokrasi. Kombinasi elit yang mempunyai kemampuan untuk 13 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
memanipulasi komunikasi dan simbol dengan elit yang terlatih dalam soal kekerasan, organisasi, dan pengetahuan teknis akan menimbulkan kemungkinan munculnya “Garrison-state” dimana yang berkuasa adalah elit militer, birokrat, dan teknokrat (Parsons, 2008:252). Suatu kebijakan idealnya merupakan cerminan dari kehendak publik, sehingga tidaklah layak ketika pandangan umum yang menyangkut masalah-masalah kebijakan hanya di warnai dan di pengaruhi oleh para elit saja. Idealnya rakyatlah yang mempengaruhi pendapat golongan elit. Teori elit misalnya beranggapan bahwa kebijakan publik seringkali tidak memihak publik (rakyat), dan bahkan tidak ada kebijakan publik yang sungguh-sungguh memihak pada rakyat (Wahab, 2008:88). Berangkat dari argumentasi teori elit tersebut, nampaknya berbagai kebijakan yang di terbitkan pemerintah, hanya merepresentasikan kepentingan para elit penguasa di negeri ini dan tentu saja kepentingan pengusahapengusaha besar. Sehingga benar ketika ada yang menyatakan bahwa suatu kebijakan identik dengan siapa yang di untungkan dan siapa yang di rugikan. Proses Formulasi (Perumusan) Kebijakan Pertambangan di HLGTP Banyuwangi Proses formulasi (perumusan) kebijakan pertambangan di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP) Banyuwangi Selatan terbilang cukup cepat. Bagaimana tidak, adalah PT. IMC (Indo Multi Cipta), yang kemudian berubah menjadi PT. IMN (Indo Multi Niaga), untuk pertama kali melayangkan surat permohonan pada tanggal 17 Januari 2006 bernomor 01/IMC/1/2006 dengan perihal permohonan ijin peninjauan bahan galian. Selang 3 hari kemudian, Bupati Banyuwangi saat itu (Ratna Ani Lestari) telah memberikan ijin pada perusahaan emas itu lewat Surat Keterangan Ijin Peninjauan (SKIP) nomor 545/095/429.022/2006 tertanggal 20 Januari 2006. Dua bulan kemudian,
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
tepatnya pada tanggal 23 Maret 2006 Bupati kembali menerbitkan Surat Keputusan bernomor 188/57/KP/429.012/ 2006 tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum yang ditujukan kepada PT. IMC. Surat ini memberikan Kuasa Pertambangan berdurasi paling lama 1 (satu) tahun bagi PT. IMC. Berselang delapan bulan kemudian, PT. Indo Multi Niaga (IMN) mengirimkan surat nomor 025/DM-IMN/XI/2006 tertanggal 7 Nopember 2006 tentang Permohonan Peningkatan Kuasa Pertambangan Ketahap Eksplorasi di Lokasi Kecamatan Pesanggaran. Dan permohonan itu pun dikabulkan melalui Keputusan Bupati nomor 188/57/KP/429.012/2006. Dalam keputusan tersebut, Bupati Banyuwangi menilai bahwa PT. IMN saat itu selaku pemegang Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum telah memenuhi syarat menjadi pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi. Dan akhirnya pada tanggal 16 Februari 2007, Bupati Banyuwangi menerbitkan Surat Keputusan Bupati bernomor 188/05/KP/429.012/2007 tentang Kuasa Pertambangan Eksplorasi. Sedangkan masa berlaku Kuasa Pertambangan Eksplorasi selama 3 (tiga) tahun terhitung sejak 16 Februari 2007. PT. IMN kemudian melayangkan surat bernomor 026/AD-IMN/III/2007 tertanggal 5 Maret 2007 perihal Permohonan untuk memperoleh rekomendasi penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan eksplorasi (penyelidikan) tambang emas dan mineral dan pengikutnya di Banyuwangi kepada Gubernur Jawa Timur. Selain itu mereka juga mengajukan surat bernomor 027/ADIMN/III/2007 bertanggal 5 Maret 2007 perihal Permohonan Ijin Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kegiatan Eksplorasi (penyelidikan) Tambang Emas dmp di tujukan kepada Menteri Kehutanan. Layaknya gayung bersambut, dengan begitu cepat Instansi Kehutanan Jawa Timur pun merespon surat yang dilayangkan oleh PT. IMN tadi melalui 14 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
Dinas Kehutanan Jatim, Perum Perhutani Unit II Jatim, Biro Perencanaan SDH Perum Perhutani Unit II Jatim, dan Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan membentuk Tim Pemeriksa Lapangan (TPL). Tim ini kemudian melakukan pemeriksaan lapangan terhadap kawasan hutan yang akan di eksplorasi. Tim ini kemudian menyarankan agar permohonan PT. IMN untuk menggunakan kawasan hutan lindung sebagai daerah eksplorasi untuk di proses lebih lanjut. Kemudian, hanya melalui lampiran selembar peta, lewat surat bernomor S.406/MENHUT-VII/PW/2007 perihal Persetujuan Ijin Kegiatan Eksplorasi Tambang Emas dmp di Kawasan Hutan Produksi Tetap (HP) dan Hutan Lindung (HL) seluas 1.987,80 ha A.n. PT IMN Kab. Banyuwangi, Propinsi Jatim tertanggal 27 Juli 2007 Menteri Kehutanan RI memberikan ijin eksplorasi kepada PT IMN. Surat ijin tersebut berlaku selama 2 tahun terhitung sejak 27 Juli 2007. Dalam poin 7 (tujuh) surat tersebut, menyatakan bahwa ijin tersebut dapat di perpanjang. Dan hanya berselang waktu 3 (tiga) bulan kemudian, PT IMN telah berhasil mempresentasikan hasil penelitiannya di depan para anggota DPRD Banyuwangi. Adapun keputusan yang kemudian muncul dari anggota dewan adalah berupa rekomendasi kepada PT IMN agar meneruskan aktivitas eksplorasinya dan mendukung sepenuhnya atas keberlangsungan operasi pertambangan yang ada. Disini mengandung pengertian bahwa para anggota dewan juga cenderung mendukung dan mengabaikan aspirasi masyarakat lokal dusun Pancer yang memang sejak awal menyatakan menolak adanya operasi industri tambang. Kaum elit lokal di Banyuwangi (Bupati, Pimpinan dan anggota dewan, Muspida, serta beberapa dinas terkait seperti Dinas Perhutani, Dinas Perijinan, dan Dinas Pertambangan) terkesan cenderung eksklusif dan menutup diri atas aspirasi dan harapan dari publik Banyuwangi. Kebijakan pertambangan yang mereka rumuskan bercirikan
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
preferensi kaum elit saja, dan menganulir suara-suara dan harapan dari masyarakat. Ini terbukti dari beberapa hasil wawancara peneliti dengan tokoh-tokoh lokal, LSMLSM di Banyuwangi, dan warga dusun Pancer tentunya yang merasa dijadikan korban kebijakan, yang sama sekali tidak dihiraukan aspirasinya. Untuk menganalisis kebijakan pertambangan di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP) Banyuwangi yang memiliki kecenderungan di dominasi oleh elit ini, begitu tepat jika menggunakan suatu pendekatan (teori) elit. Seperti yang kita ketahui, dalam teori elit (elite theory), suatu kebijakan di rumuskan atau dibuat hanya merepresentasikan kepentingan elit saja. Sedangkan kepentingan dan aspirasi dari akar rumput (grasrooth) tidaklah begitu di hiraukan. Dari sudut pandang teori elit (elite theory), kebijakan publik dapat dianggap sebagai nilai dan pilihan elit pemerintah semata. Penjelasan pokok dari teori ini adalah bahwa kebijakan publik tidak ditentukan oleh massa melalui permintaan dan tindakan mereka tetapi kebijakan publik diputuskan oleh suatu elit yang mengatur dan dipengaruhi oleh instansi pejabat publik. Model teori elit mengasumsikan bahwa didalam setiap masyarakat pasti terdapat dua kelompok yaitu pemegang kekuasaan (elite) dan yang tidak memiliki kekuasaan (massa). Teori ini mengembangkan diri pada kenyataan bahwa sedemokratis apapun selalu ada bias didalam formulasi kebijakan karena pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang dilahirkan merupakan preferensi politik dari kaum elit. Lebih jelasnya, Thomas Dye dan Harmer Zeigler (dalam Nawawi: 50) memberikan ringkasan mengenai teori elit, sebagai berikut: (1) Masyarakat dapat dibagi menjadi dua. Pertama, mereka-mereka yang sedikit mempunyai kekuasaan dan, kedua, mereka yang banyak tidak memiliki kekuasaan. Dan hanya beberapa orang yang memberikan nilai untuk masyarakat dan massa
15 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
tidak memutuskan suatu kebijakan publik. (2) Sedikit orang yang memerintah tidak sama dengan massa yang diperintah. Elite secara tidak proporsional diambil dari masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang lebih tinggi. (3) Pergerakan dari non-elit ke posisi elit harus kontinyu agar terpelihara stabilitas dan menghindari perubahan secara besar-besaran. Hanya non-elit yang telah diterima dalam kesepakatan elit dasar dapat diijinkan masuk dalam lingkaran pemerintah (4) Elit membuat kesepakatan berdasarkan sistem nilai sosial dan pemeliharaan sistem. (5) Kebijakan publik tidaklah mencerminkan kebutuhan massa tetapi lebih mencerminkan nilainilai dan kebutuhan elit. (6) Elit yang aktif lebih merupakan subyek pengaruh langsung dari massa yang apatis yang relatif kecil. Elit lebih banyak memengaruhi massa dari pada massa yang memengaruhi elit. Teori elit merupakan teori pembentukan kebijakan yang agak provokasi. Kebijakan merupakan hasil keluaran elit yang mencerminkan nilai mereka dengan tujuan melayani mereka, salah satu yang mungkin keinginan publik adalah visi kesejahteraan massa secara imaginer. Teori elit memusatkan perhatian pada tugas elit dalam perumusan kebijakan dan pada kenyataannya bahwa dalam sistem politik orang yang memerintah jauh lebih sedikit dari pada orang yang diperintah. Ada dua penilaian di dalam pendekatan ini, yakni negative dan positif. Pada pandangan negative dikemukakan bahwa pada akhirnya didalam sistem politik pemegang kekuasaan politiklah yang menyelenggarakan kekuasaan sesuai dengan selera dan keinginannya. Dalam
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
konteks ini rakyat dianggap sebagai kelompok yang dimanipulasi sedemikian rupa agar tidak masuk dalam proses formulasi kebijakan. Pemilihan umum pun bukan bermakna partisipasi melainkan mobilisasi. Pandangan positif melihat bahwa seseorang elit menduduki puncak kekuasaan karena berhasil memenangkan gagasan membawa negara-bangsa ke kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan pesaingnya. Pemimpin atau elit pasti mempunyai visi tentang kepemimpinannya dan kebijakan publik adalah bagian dari karyanya untuk mewujud-nyatakan visi tersebut menjadi kenyataan. Tidak ada yang secara mutlak keliru karena ini hanya masalah preferensi dari visi elit serta tentang bagaimana tujuan atau cita-cita bangsa yang sudah disepakati akan dijalani melalui jalur yang diyakininya (Nugroho: 2004). Berangkat dari fakta di lapangan, maka yang dimaksud dua kelompok dalam teori elit ini yaitu pemegang kekuasaan/elite(Bupati Banyuwangi saat itu, Muspida, dinas terkait, anggota DPRD Banyuwangi hingga pihak Perusahaan/PT. IMN) dan yang tidak memiliki kekuasaan/massa (warga dusun Pancer, masyarakat Banyuwangi, dan LSM-LSM setempat). Teori ini berargumentasi bahwa sedemokratis apapun sebuah kebijakan di rumuskan, maka tetap saja pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang dilahirkan merupakan preferensi politik dari para kaum elit. Sama halnya yang terjadi di Banyuwangi dalam kasus perumusan kebijakan pertambangan di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP), semula warga setempat pada tahun 2006 pernah di sodori lembaran angket oleh pemerintah desa melalui RT setempat yang berisi pertanyaan terkait apakah mereka setuju dengan akan adanya aktivitas industri pertambangan di dusun mereka, yang mana saat itu seluruh warga dusun Pancer menyatakan menolak dengan berbagai macam alasan, seperti khawatir akan tercemarnya laut yang selama ini menjadi tempat mata pencaharian mereka karena 16 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
kebanyakan warga pesisir Pancer berprofesi sebagai nelayan, sawah dan ladang yang takut tercemar limbah tailing hasil olah tambang yang mengalir dari sungai Gonggo yang ada di lereng gunung tumpang pitu, hingga kekhawatiran akan adanya konflik sosial seperti yang terjadi di berbagai tempat lain (Bima, Papua dan Kalimantan). Seluruh warga bersepakat untuk menolak keberadaan operasi pertambangan oleh PT. Indo Multi Niaga (IMN). Aksi penolakan warga dusun Pancer pun juga turut di amini oleh berbagai LSM yang ada di sekitar Banyuwangi, semacam Kurva Hijau, Komunitas Pecinta Alam Pemerhati Lingkungan (Kappala), dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengklaim bahwa cara-cara dalam mengambil keputusan (izin tambang) telah dilakukan dengan begitu demokratis, terbukti melalui adanya proses dilibatkannya masyarakat dusun Pancer dalam angket yang diselenggarakan oleh pemerintah desa Sumberagung. Namun, secara tiba-tiba izin penelitian (eksplorasi) pertambangan itu tetap diterbitkan kepada PT. IMN. Hasil dari angket yang telah disebarkan sebelumnya rupanya tidak begitu diperhatikan oleh para pengambil kebijakan, tetap saja para elit memiliki pandangan dan argumentasi tersendiri. Maka tetap saja pada akhirnya kebijakankebijakan yang dilahirkan merupakan preferensi politik dari para kaum elit. Pelibatan masyarakat lokal dusun Pancer sepertinya hanya sebatas mengisi angket saja, tidak lebih. Setelah itu izin eksplorasi tetap turun dan memberikan karpet merah bagi pihak perusahaan untuk segera melakukan penelitian (eksplorasi) atas kandungan emas dan biji mineral lainnya di HLGTP. Para elit penguasa terkesan menggunakan kekuasaannnya dengan cita rasa, selera dan keinginannya sendiri, ini terbukti dengan surat izin eksplorasi bernomor 188/57/KP/429.012/2007 yang dikeluarkan Bupati saat itu yang cenderung tidak prosedural karena begitu cepatnya
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
izin itu diterbitkan. Selain surat izin eksplorasi tersebut, pihak perusahaan juga telah mengantongi surat izin eksplorasi dari Kementrian Kehutanan bernomor S.406/MENHUT-VII/PW/2007, dan kedua surat inilah yang kemudian melancarkan jalannya operasi industri pertambangan di Banyuwangi. Sementara di sisi lain, warga yang tidak tahu apa-apa hanya menjadi obyek sebuah kebijakan yang tidak menghiraukan suara rakyat. Dalam konteks ini rakyat dianggap sebagai kelompok yang dimanipulasi sedemikian rupa agar tidak masuk dalam proses formulasi kebijakan. Pandangan Thomas Dye dan Harmer Zeigler yang teringkas dalam enam poin diatas nampaknya cukup relevan dengan fakta yang terjadi di lapangan, perihal non-elit dan sistem yang di bangun oleh kaum elit misalnya. Nonelit cenderung di pinggirkan dan tidak diberi ruang dalam skenario kebijakan pertambangan emas di HLGTP yang telah di rumuskan oleh elit pemerintah. Mereka yang tergolong non-elit tidak akan diterima untuk masuk dalam lingkaran kepentingan elit selagi mereka tidak mau menyepakati atas sistem nilai sosial dan aturan yang telah dirancang oleh kaum elit. Dan hanya non-elit yang bersedia menyepakati dan memelihara sistem yang telah dibangun yang diberikan izin untuk masuk ke dalam lingkaran kepentingan kekuasaan/elit. Seorang tokoh masyarakat di Banyuwangi menolak sistem dan skenario kebijakan pertambangan yang telah ada, maka dia tidak akan bisa masuk/di masukkan dalam lingkaran kepentingan elit, akan tetapi ketika dia menyepakati sistem yang telah ada, maka dia mendapat izin untuk masuk/bahkan sengaja dimasukkan dalam lingkaran tersebut, dan pasti juga akan turut menerima bagian dari hasil sikapnya yang menerima sistem tadi. Ini bisa terjadi karena kaum elit telah membangun dan membuat kesepakatan berdasarkan sistem nilai sosial dan upaya pemeliharaan atas sistem yang telah ada.
17 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
Gambar 1 MODEL ELIT
Elit Arah Kebijakan Pejabat Pemerintah dan Administrator
Pelaksanaan Kebijakan Massa
Sumber: Sholichin Abdul Wahab, 2008:94 Pada gambar di atas tampak bahwa kelompok elit secara top down membuat kebijakan publik untuk di implementasikan oleh administrator publik kepada rakyat banyak atau massa. Pendekatan ini dapat dikaitkan dengan paradigma pemisahan antara politik dengan administrasi publik yang di ikonkan dalam konstanta where politics end administrations begin.Jadi, model elit merupakan abstraksi dari proses formulasi kebijakan dimana kebijakan publik merupakan perspeksi elit politik. Prinsip dasarnya adalah karena setiap elit politik ingin mempertahankan status quo maka kebijakannya menjadi bersifat konservatif. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para elit politik tidaklah berarti selalu mementingkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu tidak ada kelompok masyarakat diluar mereka yang ikut menentukan kebijakan. Dan birokrasi adalah pelaksana yang patuh atas semua kebijakan tersebut (Wibawa, 2011:17). Corak kebijakan yang top-down seringkali menimbulkan beragam persoalan di tataran implementasi, semisal perlawanan oleh masyarakat sebagai bentuk ketidakpuasan atas partisipasi mereka yang merasa telah di pasung. Aksi perlawanan atas kebijakan yang bersifat top down ini juga terjadi dalam kasus di HLGTP Banyuwangi. Saat itu, ribuan massa dengan mengendarai puluhan truk melakukan unjuk rasa di depan gedung dewan, mereka merasa kecewa kepada
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
para anggota dewan yang bagi mereka sebenarnya merupakan harapan terakhir ketika pihak eksekutif tidak lagi mau mendengarkan aspirasi mereka. Namun yang terjadi, anggota dewan pun juga tak jauh berbeda sikapnya dengan para elit penguasa di atas, mereka malah memberi rekomendasi bagi PT IMN untuk meneruskan proses selanjutnya ke tahap eksploitasi, yang mana alasan mereka adalah pembangunan dan naiknya Pendapatan Asli Daerah (PAD) haruslah menjadi prioritas bagi Banyuwangi, yang terpenting bagi DPRD adalah upaya kontrol dari masyarakat Banyuwangi atas pelaksanaan operasi industri tersebut. Faktanya, kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para elit politik tidaklah berarti selalu mementingkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu tidak ada kelompok masyarakat diluar mereka yang ikut menentukan kebijakan. Dan birokrasi adalah pelaksana yang patuh atas semua kebijakan tersebut. Dinas-dinas terkait (Dinas Perijinan, Dinas Perhutani KPH Banyuwangi Selatan, Dinas Pertambangan) menjadi alat pemulus suatu kebijakan, ia hanya mengekor apa yang dikehendaki oleh kaum elit politik saja. Sehingga birokrasi-birokrasi terkait tak ubahnya seperti kepanjangan tangan para penguasa. Melalui teori elit (elite theory) ini, telah tergambar jelas bagaimana kebijakan pertambangan emas di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP) dapat dipastikan akan berwarna kepentingan elitelit yang berkuasa di bandingkan dengan kebutuhan dan tuntutan publik. Karena pada dasarnya ketika elit merumuskan kebijakan, maka kebijakan-kebijakan itu sebenarnya berusaha untuk mempertahankan kekuasaannya, kebijakan yang menguntungkan dirinya, hingga kebijakan yang berusaha meminggirkan partisipasi publik akan lebihbanyak muncul.
18 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Berlangsungnya Kebijakan Pertambangan di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP) Banyuwangi. Faktor Ekonomi Faktor ekonomi seringkali menjadi faktor determinan dalam menentukan sebuah arah kebijakan publik. Kepentingan ekonomi kaum elit seringkali terbungkus rapi dengan tema kepentingan publik (masyarakat). Faktor ekonomi pada suatu titik juga akan berfungsi untuk mengawal berlangsungnya suatu kebijakan di lapangan. Faktor ini tentu tidak menghendaki sebuah kebijakan yang telah dirumuskan oleh para elit politik akan kacau ketika berada pada tataran implementasi. Pemerintah Daerah melalui Dinas Pertambangan Kabupaten Banyuwangi mengemukakan bahwasannya dengan adanya penambangan di kawasan Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP) dapat menimbulkan dampak positif yaitu: (1) Meningkatnya Pendapatan Masyarakat (2) Meningkatkan iklim investasi (3) Meningkatkan mobilitas dan pemerataan pembangunan (4) Serta meningkatkan Pajak Daerah dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dari dampak positif tersebut para elit pembuat kebijakan mengasumsikan kesejahteraan masyarakat dapat terpenuhi dan pendapatan daerah akan meningkat. Padahal tanpa adanya sistem manajemen yang baik terkait pengelolaan pertambangan bisa jadi harapan itu akan nihil, pasalnya di beberapa tempat seperti di Kalimantan (sekitar permukiman suku Dayak Siang) ataupun di Papua (Tembagapura) juga masih terjadi ketimpangan soal kesejahteraan masyarakat sekitar tambang. Masyarakat yang tidak mendapat imbas positif dari hasil eksploitasi, bahkan dalam beberapa kasus mereka malah menjadi korban tailing yang mengalir melalui sungaisungai disekitar area tambang yang
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
kemudian mengakibatkan beragam penyakit dalam bagi warga sekitar. Asumsi para elit pembuat kebijakan di Banyuwangi cenderung bersifat normatif, ketika ada operasi industri pertambangan pasti akan membawa berkah berupa kesejahteraan bagi semua kalangan, padahal asumsi-asumsi yang kurang dilandasi pertimbangan matang dan tanpa ada studi komparatif dengan di lokasi tambang lain sangat berpotensi jauh dari dugaan awal para pembuat kebijakan. Kesejahteraan yang menjadi tujuan normatif tanpa adanya mekanisme pengaturan yang jelas soal tata kelola, bagi hasil, penanganan tailing yang baik, hingga pada tahap reklamasi yang harus di atur sedari awal, sangat memungkinkan akan terjadi kekacauan dikemudian hari. Bagaimana tidak, pertambangan adalah soal investasi (bisnis), dan tentu para investor akan menggunakan prinsip mengeluarkan modal sesedikit mungkin untuk kemudian memperoleh keuntungan sebesar mungkin, dengan jalan yang relatif tidak menyulitkan. Prinsip investasi semacam ini jika tidak di antisipasi sejak dini oleh para perumus kebijakan di khawatirkan akan merusak skenario kebijakan yang telah disusun dengan baik. Sehingga pada level tertentu alternatif kebijakan yang telah disiapkan tidak akan bisa menjadi jalan tengah untuk menyelesaikan suatu persoalan. Empat poin (dampak positif dari pertambangan) di atas (Meningkatnya pendapatan masyarakat, meningkatkan iklim investasi, meningkatkan mobilitas dan pemerataan pembangunan, serta meningkatkan pajak daerah dan pendapatan asli daerah), akan menjadi siasia belaka ketika kaum elit hanya memposisikan diri sebagai fasilitator bagi para investor. Kecenderungan kaum elit politik Banyuwangi yang memposisikan diri sebagai fasilitator ini terbukti melalui fakta prosedur perizinan yang relatif begitu cepat dan tanpa adanya pertimbanganpertimbangan yang matang. Selain prosedur perizinan yang begitu cepatnya, pertimbangan-pertimbangan lokasi 19 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
pertambangan yang berada di kawasan hutan lindung, resapan air hingga pesisir pantai Pancer penghasil ikan terbesar kedua di Banyuwangi setelah Muncar juga tidak begitu diperhatikan. Mereka cenderung hanya memfasilitasi keinginan pemodal. Harusnya, pemerintah kabupaten Banyuwangi belajar banyak dari pengalaman pemerintah pusat di era orde baru dengan corak dan posisi sebagai fasilitator bagi para investor asing. Hutan dan isi bumi yang diobral habis oleh pemerintah orde baru yang kemudian menimbulkan beragam problem dilapis bawah merupakan fakta yang tidaklah bisa dipungkiri. Suku dayak siang di Kalimantan yang terpinggirkan hingga terusir dari tanah kelahirannya, kasuskasus asusila di sekitar lokasi tambang, hingga kesejahteraan yang tak sampai ke tangan masyarakat lokal dan hanya tersedot ke pusat serta para investor saja harusnya menjadi perhatian serius bagi para elit perumus kebijakan pertambangan di HLGTP Banyuwangi. Daya tahan pemerintah kita atas lobi-lobi kuat dari kuasa modal memang seringkali luntur dan luluh lantak.Melalui iming-iming bagi hasil dibalik layar antara pihak kuasa modal tadi dengan para elit acapkali merusak nilai luhur dari suatu kebijakan. Dari pihak legislatif, anggota DPRD Kabupaten Banyuwangi yang awalnya menolak, kemudian cenderung menerima keberadaan operasi tambang. Alasan utama mereka adalah perihal kesejahteraan masyarakat Banyuwangi yang tergolong perlu untuk ditingkatkan. Selain itu meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga selalu menjadi prioritas bagi mereka, salah satunya dengan mengoptimalkan operasi pertambangan di HLGTP tersebut. Dengan PAD yang meningkat otomatis juga akan meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan, dan perbaikan infrastruktur. Namun, harapan dan tujuan yang sekaligus menjadi faktor ekonomi di atas bisa jadi akan menjadi semu ketika di wilayah perumusan kebijakannya sudah ditemukan berbagai
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
problem. Masyarakat yang tidak terakomodasi keikutsertaannya dalam merumuskan kebijakan pertambangan menjadi salah satu problem serius ketika kebijakan tersebut nantinya berada pada tahap implementasi. Perumusan kebijakan pertambangan yang hanya melibatkan kaum elit lokal (termasuk anggota DPRD Banyuwangi) tentu menimbulkan berbagai asumsi, mulai dari konspirasi hingga adanya bagi hasil atas keuntungan eksplorasi antara pihak perusahaan dengan para elit penguasa. Dari persoalan peningkatan PAD, selanjutnya kita akan membahas perihal tujuan pemerintah berikutnya, terciptanya iklim investasi yang kondusif. Iklim investasi yang kondusif selalu digemborgemborkan oleh pemerintah daerah, tentu dengan tujuan agar para investor semakin tertarik untuk menanamkan modal ataupun menggarap beragam potensi SDA yang ada di Banyuwangi. Namun, langkah yang ditempuh Pemerintah Banyuwangi dengan memberikan prosedur perijinan pertambangan yang begitu singkat dan tidak rumit, dengan harapan perusahaanperusahaan baik asing maupun lokal menjadi tidak ragu untuk menanamkan investasinya, bisa dianggap keliru dan salah kaprah. Harusnya, prosedur perijinan tetap berjalan sesuai aturan dan tidak dipermudah sedemikian rupa. Kesan yang kemudian timbul adalah di obral murahnya SDA yang ada di Banyuwangi. Jika pemerintah serius dalam upaya menciptakan nuansa investasi yang nyaman bagi investor, idealnya mereka mampu memposisikan diri berada di tengah-tengah masyarakat, atau sebagai mediator dan bukan sebagai penikmat atas iklim investasi yang nyaman tadi. Faktor ekonomi lain yang menyebabkan berlangsungnya kebijakan pertambangan ini adalah adanya dorongan dan loby yang kuat oleh pihak perusahaan PT. IMN. Dua faktor terakhir (iklim investasi yang kondusif dan adanya lobi), bagaimanapun kepentingan bisnis juga akan mengambil peran dalam proses-proses pembangunan di suatu negara. Pemerintah kita memang 20 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
seringkali takluk ketika berhadapan dengan lobi-lobi yang kuat dari pihak-pihak perusahaan yang ada. Persoalan mental bisa jadi menjadi faktor utama mengapa acapkali pemerintah kita bertekuk lutut di depan investor. PT. IMN melalui 4 pilar program pro masyarakatnya tentu dianggap juga akan mampu turut menopang pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat Banyuwangi. Adapun 4 pilar dari program kemaslahatan PT. IMN adalah sebagai berikut: (1) Di bidang ekonomi, melalui penguatan produktifitas nelayan Dusun Pancer. Ini karena sebagian besar matapencaharian masyarakat tersebut adalah berprofesi sebagai nelayan. PT. IMN siap membantu dalam hal apapun, seperti pengadaan peralatan untuk melaut bagi para nelayan. (2) Di bidang pendidikan, PT. IMN telah mengadakan olimpiade matematika untuk SMA sekecamatan Pesanggaran. (3) Di bidang kesehatan, melalui pengobatan gratis, dan penyuluhan bahaya virus HIV (karena di sekitar area pertambangan terdapat lokalisasi). Selain itu perusahaan ini juga memiliki program kader posyandu yang bertujuan agar taraf kesehatan anak-anak di sekitar Dusun Pancer terjaga kesehatannya. (4) Kualitas infrastruktur, terlihat dengan telah di perbaikinya beberapa akses jalan menuju area pertambangan. Jalan yang sebelumnya hanya tanah sekarang telah di rubah dengan paping sehingga mempermudah menuju area wisata pulau merah dan area pertambangan. (wawancara dengan Musmin Nuryadi Humas PT. IMN). Dorongan dan lobi yang kuat oleh pihak perusahaan seringkali membuat pihak birokrasi pemerintahan menjadi bertekuk lutut. Belum lagi ketika pihak perusahaan menyediakan beragam
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
program seperti 4 pilar diatas yang seolaholah sangat berpihak kepada masyarakat. Melalui program-program CSR (Corporate Social Responsibility) seringkali perusahaan-perusahaan pertambangan mengemas keberadaan mereka dengan wajah yang santun dan peduli akan masyarakat lokal, namun disisi lain masyarakat juga harus mampu berfikir kritis, karena bisa jadi program-program dari pihak perusahaan tersebut hanya upaya mengelabui ataupun membangun citra positif di muka publik. Faktor Politik Aksi penolakan warga Pancer dan sekitarnya terhadap keberedaan eksplorasi tambang emas oleh PT IMN terus berlangsung antara kurun waktu tahun 2006 sampai sekarang, hingga di beberapa media baik cetak maupun elektronik, warga yang tidak sepakat dengan keberadaan perusahaan tersebut terus mengecam kepemimpinan lokal. Fakta ini dapat dimaklumi mengingat keberpihakan proses politik lokal terhadap perusahaan emas semakin transparan saat itu. Sedangkan untuk mengukur adanya proses politik lokal yang berpihak pada perusahaan, lagi-lagi dapat kita lihat melalui fakta tentang begitu cepatnya proses dan prosedur perijinan yang di lalui oleh PT IMN. Dalam konteks rencana penambangan emas HLGTP, keinginan PT IMN dan para elit politik lokal seolah menjadi harga mati yang tidak bisa di tawar-tawar lagi. Pemimpin lokal dan pihak perusahaan mampu berjalan dengan begitu sinergi untuk mengawal lancarnya suatu ijin pertambangan. Baik eksekutif maupun legislatif terkesan berjalan sesuai dan seirama, eksekutif bertindak cepat dengan mengeluarkan ijin eksplorasi hingga hampir eksploitasi serta memposisikan diri layaknya bagai fasilitator pembangunan, sementara DPRD Banyuwangi (legislatif) juga mendukung keberlangsungan operasi pertambangan oleh PT. IMN. Beberapa anggota dewan dengan terang-terangan menyatakan mendukung proses ekplorasi 21 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
dengan alasan globalisasi yang tak bisa dibendung lagi, namun ketika mereka ditanya apakah proses reklamasi misalnya, telah terkonsep dengan baik? Rata-rata mereka hanya mampu menjawab bahwa setiap tahap pertambangan haruslah di monitor. Ini menunjukkan terdapat problem dalam tahap formulasi kebijakan, bahwa begitu kurang matangnya konsep perumusan kebijakan oleh elit lokal di Banyuwangi. Skenario kebijakan pertambangan di HLGTP yang dibangun oleh elit pemerintah hanya bermuara pada eksplorasi yang berujung eksploitasi tanpa menyertakan konsep yang jelas mengenai berbagai dampak yang akan muncul, proses reklamasi yang tidak jelas, sampai pada bagi hasil operasi tambang. Kondisi yang berjalan hingga saat ini, seolah-olah memang telah terskenario dengan rapi oleh para elit pemerintahan. Sehingga harapan dan janji para elit pemerintah terkait kesejahteraan bagi masyarakat atas hasil tambang hanya menjadi harapan yang imaginer, dan berujung pada politisasi sektor pertambangan. Faktor politik disini mengandung pengertian bahwa suatu kebijakan pasti akan bermuatan politik, entah itu untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan si pembuat kebijakan ataukah untuk kepentingan elit politik tertentu. Fenomena pemilihan kepala desa saja (pada tahun 2010), sudah bisa kita temukan bahwa faktor politik juga berperan dalam upaya mendukung berjalannya suatu kebijakan. Terdapat calon yang didukung pihak perusahaan dan calon yang tidak di dukung. Belum lagi kalau berbicara faktor politik ditingkat lebih atas, bisa jadi keluarnya izin eksplorasi pertambangan ini adalah sebagai simpanan modal bagi penguasa saat itu untuk melanggengkan kekuasaannya menjelang Pilkada akhir tahun 2010. Faktanya suatu kebijakan memang seringkali di rumuskan bukan untuk kepentingan publik, karena kebijakan telah menjadi preferensi kaum elit saja. Inilah yang kemudian disebut sebagai kebijakan yang tidak berpihak kepada publik,
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
kebijakan yang hanya merepresentasikan kebutuhan melanggengkan status quo dan kekuasaan, kebijakan yang berfungsi sebagai modal investasi untuk tujuantujuan politik di masa akan datang. Padahal seharusnya, kebijakan publik harus merepresentasikan kehendak dan keinginan serta kebutuhan publik. Bahkan sebelum Pilkada akhir tahun 2010, beberapa Partai pengusung calon bupati menyatakan bahwa proses ekplorasi tambang emas di HLGTP perlu untuk di lanjutkan dengan alasan agar Banyuwangi ke depan dapat lebih maju dalam hal pembangunan. Menurut mereka, saat ini kita sudah berada pada zaman globalisasi, dimana pembangunan dan investasi itu menjadi satu, dan kita tidak bisa mengelak dari itu semua. Mereka sepakat terhadap eksplorasi tambang emas di HLGTP asal nantinya bermanfaat bagi masyarakat Banyuwangi. Sebuah argumentasi yang terbilang begitu polos, menyerahkan pembangunan pada mekanisme pasar yang begitu liar tanpa ada upaya-upaya membentengi daerah dan masyarakat melalui paket-paket kebijakan yang lebih populis. Faktor politik disini mengandung pengertian bahwa suatu kebijakan pasti akan bermuatan politik, entah itu untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan si pembuat kebijakan atau kah untuk kepentingan elit politik tertentu. Yang jelas, momentum ketika itu menjelang Pemilihan Kepala Daerah, warga di hadapkan untuk memilih antara calon yang di dukung dan di danai oleh PT. IMN dan calon yang menolak pertambangan. Bisa jadi keluarnya izin pertambangan ini adalah sebagai simpanan modal bagi penguasa saat itu untuk melanggengkan kekuasaannya menjelang Pilkada akhir tahun 2010. Logika politik semacam ini secara faktual seringkali terjadi di berbagai daerah, investasi politik berupa jasa (pemberian ijin eksplorasi tambang) kepada pemilik modal menjadi barang yang berharga untuk suksesi dan melanggengkan status quo.
22 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
Berlangsungnya kebijakan pertambangan emas di Banyuwangi memang tidak bisa lepas dari dua faktor di atas (faktor ekonomi dan politik). Kedua faktor ini nampaknya berjalan seiring sejalan. Pihak penguasa atau kaum elit misalnya sengaja memperkaya diri dengan mengambil keuntungan secara ekonomi untuk menggapai tujuan politik di kemudian hari. Karena fakta bahwa politik memerlukan biaya (cost) yang tinggi telah menjadi pemahaman bagi masyarakat saat ini, sehingga mengakumulasi modal menjadi sebuah keniscayaan bagi para elit. Sedangkan pihak perusahaan yang notabene memiliki kepentingan bisnis juga akan bermain mata dengan elit pemegang kekuasaan politik guna menjaga kelangsungan operasi pertambangan. Adapunmasyarakat yang tidak mendapatkan bagian/tidak dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan hanya akan menjadi penonton yang tak berkutik dan hanya bisa berkomentar atas berbagai fenomena yang terjadi di atas mereka. Hal ini kemudian menyebabkan pro dan kontra masih berlangsung hingga kini. Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat atas janji-janji pemerataan kesejahteraan sebagai prinsip kebijakan pertambangan dirasa hanya imaginer belaka dan jauh dari kenyataan. Aksi pro dan kontra niscaya tidak akan terjadi ketika publik dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan. Mereka yang menolak atas operasi tambang dikarenakan aspirasi mereka seperti kekhawatiran akan rusaknya ekosistem dan mata pencaharian sebagai nelayan akan hilang dan musnah tidak pernah di akomodasi oleh pihak elit pemerintah selaku perumus kebijakan. Keberpihakan penguasa terhadap pengusaha menjadikan masyarakat yang kontra (menolak) tambang menjadi semakin jengkel, apalagi ketika melihat beberapa kelompok masyarakat yang pro (menerima) operasi tambang mendapatkan kompensasi ataupun memperoleh pekerjaan dari pihak perusahaan (PT. IMN).
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Kebijakan Pertambangan Mineral oleh Elit: Kesejahteraan Imaginer Berlangsungnya kebijakan pertambangan emas di Banyuwangi memang tidak bisa lepas dari dua faktor, ekonomi dan politik. Kedua faktor ini nampaknya berjalan seiring sejalan. Pihak penguasa atau kaum elit misalnya sengaja memperkaya diri dengan mengambil keuntungan secara ekonomi untuk menggapai tujuan politik di kemudian hari. Karena fakta bahwa politik memerlukan biaya (cost) yang tinggi telah menjadi pemahaman bagi masyarakat saat ini, sehingga mengakumulasi modal menjadi sebuah keniscayaan bagi para elit. Sedangkan pihak perusahaan yang notabene memiliki kepentingan bisnis juga akan bermain mata dengan elit pemegang kekuasaan politik guna menjaga kelangsungan operasi pertambangan. Sedangkan masyarakat yang tidak mendapatkan bagian/tidak dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan hanya akan menjadi penonton yang tak berkutik dan hanya bisa berkomentar atas berbagai fenomena yang terjadi di atas mereka. Hal ini kemudian menyebabkan pro dan kontra masih berlangsung hingga kini. Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat atas janji-janji pemerataan kesejahteraan sebagai prinsip kebijakan pertambangan dirasa hanya imaginer belaka dan jauh dari kenyataan. Bagaimana tidak, faktanya para elit dan pihak perusahaan melakukan kerjasama dengan cukup erat dan rapi, tentu mereka juga akan berbagi keuntungan dari hasil olah tambang. Kondisi semacam ini seringkali mengakibatkan kesejahteraan rakyat menjadi tidak begitu diperhatikan/di nomer sekiankan. Dalam teori elit (elite theory), inilah yang disebut kebijakan merupakan hasil keluaran elit yang mencerminkan nilai mereka dengan tujuan melayani mereka, dan yang ada hanyalah visi kesejahteraan massa secara imaginer (Nawawi: 50). Berkaitan dengan perihal kesejahteraan bagi masyarakat, Pemerintah 23 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
Daerah harusnya selalu belajar banyak dari pengalaman-pengalaman operasi pertambangan di daerah-daerah lain. Contoh paling mengemuka adalah kebijakan pertambangan di Papua Barat dengan PT. Freeport Indonesia-nya. PT. Freeport Indonesia merupakan potret nyata sektor pertambangan di Indonesia. Keuntungan ekonomi yang dibayangkan tidak seperti yang dijanjikan, sebaliknya kondisi lingkungan dan masyarakat disekitar lokasi pertambangan terus memburuk dan menuai protes akibat berbagai pelanggaran hukum dan HAM, dampak lingkungan serta pemiskinan terhadap rakyat sekitar tambang. kesejahteraan yang awalnya dijanjikan nyatanya hanya bersifat imaginer belaka. Riset yang dilakukan oleh Walhi yang dipublikasikan ulang pada tahun 2006 mendapatkan gambaran terkini mengenai dampak operasi dan kerusakan lingkungan disekitar lokasi pertambangan PT. Freeport Indonesia. Hingga saat ini sulit sekali bagi masyarakat lokal untuk mendapatkan informasi yang jelas dan menyeluruh mengenai dampak kegiatan pertambangan skala besar di Indonesia. Ketidakjelasan tersebut akhirnya berbuah konflik berkepanjangan yang tak kunjung usai. Negara telah gagal memberikan perlindungan dan menjamin hak atas lingkungan yang baik bagi masyarakat, namun dilain pihak memberikan dukungan penuh kepada perusahaan tersebut, yang dibuktikan dengan pengerahan personil militer dan membiarkan kerusakan lingkungan serta mengeliminasi rakyat dari daftar kesejahteraan. Dampak lingkungan yang terjadi disekitar area pertambangan PT. Freeport Indonesia bukanlah hal yang terbilang kecil, matinya sungai Aljkwa, Aghawagon dan Otomona, tumpukan batuan limbah tambang dan tailing yang menurut Walhi jika ditotal mencapai 840.000 ton dan matinya ekosistem disekitar lokasi pertambangan merupakan fakta kerusakan lingkungan yang nilainya tidak akan dapat tergantikan. Kerusakan lingkungan yang terjadi disana juga mencerminkan kondisi
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
pembiaran pelanggaran hukum atas nama kepentingan ekonomi dan desakan politis yang menggambarkan digdayanya kuasa korporasi. Dalam konteks pertambangan emas di Banyuwangi, andai pemerintah daerah mau belajar banyak dari kasus yang terjadi di Papua maka niscaya pemerintah akan mampu menggiring arus kepentingan ekonomi (bisnis) perusahaan ke arah meratanya bagi hasil keuntungan antara pihak perusahaan, pemerintah dan masyarakat tentunya. Sehingga kesejahteraan tidak menjadi harapan semu bagi rakyat. Fakta bahwa di sekitar dusun Pancer (area pertambangan) masih sering terjadi penambangan liar oleh warga setempat dan dari luar daerah serta kualitas infrastruktur yang relatif kurang baik menjadi bukti bahwa kesejahteraan yang telah dijanjikan oleh para elit penguasa adalah imaginer. Para nelayan yang kini kesulitan mencari buruh untuk melaut karena warga lokal lebih tertarik bekerja ditambang - juga sekaligus menambah daftar nihilnya kesejahteraan bagi warga sekitar, bahkan kecenderungan yang ada malah semakin menghimpit kesempatan dan peluang kerja bagi sektor lain, yakni nelayan dengan lautnya. Kesejahteraan yang tidak merata dan tidak berkeadilan ini tentunya telah menciderai amanat UUD 1945 terutama dari pasal 33. Pasal ini berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”.Pasal ini merupakan salah satu prinsip mendasar tentang bagaimana seharusnya sumberdaya alam kita dikelola. SIMPULAN Proses perumusan (formulasi) kebijakan pertambangan emas di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP) Banyuwangi memang sempat melibatkan peran serta masyarakat berupa penyebaran angket ke masyarakat lokal dusun Pancer, namun proses pelibatan masyarakat 24 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
tersebut bisa dianggap masih semu karena pada kenyataannya meski masyarakat sepakat menolak akan adanya operasi tambang emas oleh PT IMN, kebijakan pemberian izin eksplorasi tersebut tetap turun tanpa adanya izin sosial (social lisence). Kebijakan pertambangan emas di HLGTP cenderung merepresentasikan kepentingan (dominasi) elit, terbukti peran masyarakat yang sengaja di pinggirkan dan tidak terakomodasi dengan baik. Kebijakan hanya mencitrakan kepentingan elit lokal, yang tentunya bekerja sama dengan pihak perusahaan (private sector). Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam kebijakan pertambangan ini tidak dapat menemukan titik kesepakatan, hingga pro dan kontra tidak dapat terjembatani. Tidak terakomodasinya seluruh kelompok kepentingan dalam proses perumusan kebijakan pertambangan mengakibatkan kebijakan ini dianggap kurang begitu populis. Sedangkan posisi dan peran masyarakat dusun Pancer secara faktual memang tidak dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan, sehingga memunculkan kekesalan dan kemarahan yang berujung pada berbagai tindakan massa (demonstrasi, pembakaran kantor PT IMN).
DAFTAR PUSTAKA Moleong J. Lexy. 2007,Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Nawawi, Ismail. 2009, Public Policy (Analisis, Strategi Advokasi Teori dan Praktek), PMN, Surabaya. Nugroho, Riant D. 2004, kebijakan Publik (Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi), PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Parsons, Wayne. 2008, Public Policy (Pengantar Teori & Praktik Analisis Kebijakan),Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Wahab, Solichin Abdul. 2005,Analisis Kebijakan (Dari Formulasi ke
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Implementasi Kebijakan Negara), Edisi Kedua, Bumi Aksara, Jakarta. Wibawa, Samodra. 2011,Politik Perumusan Kebijakan Publik, Graha Ilmu, Yogyakarta. Salamudin, 2009,―Kebijakan Keruk Dari Presiden Ke Presiden‖. GALIGALIJaringan Advokasi Tambang (JATAM), Volume 3, Nomor 3, Jakarta. Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Andal) PT IMN.
25 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Volume 3, No. 1, Januari
2016
PENGEMBANGAN POTENSI WISATA UNGGULAN DI KABUPATEN BLITAR Oleh: M. Hassan Bisri Dosen Departemen Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Raden Rahmat Malang – Indonesia Abstrak Di era otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengelola potensi wilayah untuk mengembangkan perekonomian daerah yang berorentasi untuk menyejahterakan masyarakat sebagai stakeholders. Salah satu untuk pengembangan potensi wilayah yang memiliki keunggulan dan menarik bagi investasi adalah pengembangan potensi wisata. Dengan pengembangan potensi wisata akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal dan menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD). Penelitian potensi wisata unggulan di Kabupaten Blitar ini memfokuskan studi pada karakter wisata air darat yang meliputi wisata air terjun dan arung jeram, dengan menggunakan pendekatan studi eksploratif dengan subjek masyarakat. Pendekatan kualitatif eksploratif ini dilakukan untuk memberikan gambaran yang utuh tentang studi wisata dari perspektif pengembangan yang meniscayakan keikutsertaan peran serta masyarakat dan subjek-subjek lain, diantaranya Pemerintah daerah dan pelaku wisata. Permasalahan utama dalam pengembangan potensi wisata saat ini antara lain adanya keterbatasan dana/ anggaran. Hal ini memberikan pengaruh pada ketersediaan infrastruktur dan fasilitas pendukung lainnya. Di samping itu, adanya keterbatasan pengembangan konsep wisata dan kurangnya promosi mengenai tempat-tempat wisata yang memiliki keindahan alam dan kelestarian lingkungan yang menarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Berbagai strategi yang diperlukan untuk pengembangan potensi wisata unggulan di Kabupaten Blitar, antara lain melalui kebijakan yang lebih berpihak pada sektor pariwisata adalah pemberdayaan masyarakat. Keyword: Otonomi Daerah, Pengembangan potensi lokal, Sektor Pariwisata,
PENDAHULUAN Pada era otonomi daerah, pemerintah mendapatkan ruang yang luas untuk mendesain kebijakan pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat luas. Untuk mampu mengoptimalkan pemerataan kesejahteraan masyarakat maka pemerintah daerah harus mampu mendesain kebijakan-kebijakan yang bertumpu pada optimalisasi 26 | P a g e
sumberdaya lokal yang potensial. Pariwisata menjadi salah satu sektor yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan dan dikelola menjadi sumber pendapatan daerah. Disamping itu, sektor pariwisata dapat dioptimalkan untuk mendorong berjalannya kegiatan ekonomi masyarakat di sekitar objek wisata.Beberapa penelitian yang pernah dilakukan menyimpulkan bahwa secara
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
signifikan pariwisata dapat memberikan kontribusi kepada negara dalam tiga bentuk, yaitu: perluasan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan dan devisa, serta pemerataan pembangunan antar wilayah. Kabupaten Blitar adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang memiliki lokasi strategis yang terletak di jalur utama perekonomian yang menguntungkan Kabupaten Blitar sebagai salah satu tujuan investasi. Namun dari keseluruhan di Kabupaten Blitar masih banyak objek wisata alam potensial yang belum dikembangkan dan dikelola dengan optimal oleh pemerintah Kabupaten Blitar. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan potensi untuk memetakan kawasan potensi wisata alam secara efektif dan efisien, terutama untuk daerah Kabupaten Blitar yang masih menyimpan banyak kawasan wisata alam yang belum dieksplorasi dan dikembangkan untuk kepentingan pengembangan potensi pariwisata unggulan daerah. Pariwisata adalah sektor yang mengambil peranan penting di suatu wilayah daerah. Tingkat kunjungan seseorang ke suatu daerah sebagaian besar didasarkan oleh daya tarik pariwisata didaerah tersebut. Hal ini akan juga memicu berkembangnya sektor perekonomian masyarakat, baik dalam kegiatan jual beli maupun munculnya usaha pendukung, seperti pusat kerajinan dan sebagainya. Disamping itu juga hadirnya bisnis yang lain, seperti kuliner. Keterkaitan pariwisata dengan sektor lainnya tidak dapat dipisahkan. Salah satu cara untuk membangun potensi wisata unggulan adalah melakukan branding atau pengenalan nama tempat wisata kepada calon pengunjung. Dalam konteks pemerekan (branding) kegiatan memberikan kesadaran (awareness) ini merupakan langkah awal untuk menumbuhkan persepsi positif dan juga loyalitas para wisatawan. Branding merupakan alat strategi yang tergolong baru dan memiliki kemampuan yang besar dalam menguji, menjelaskan, serta menciptakan nilai dari sebuah tempat 27 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
tujuan wisata. Beberapa penelitian terbaru menjelaskan bahwa untuk mewujudkan tujuan wisata yang sukses terdapat dua langkah utama, yaitu: menciptakan suatu pengalaman yang menyenangkan bagi pengunjungnya (Snepenger, et. al.,2004); dan mengembangkan brand dari tempat wisata tersebut (Kotler, 2009). Dengan menciptakan suatu pengalaman akan menimbulkan keterikatan antara pengunjung dan tempat wisata itu sendiri. Bagi sebuah bisnis pariwisata modern harus mampu memahami dan menambahkan keinginan pelanggannya untuk meningkatkan nilai dari pariwisata itu sendiri. Membangun, menawarkan dan mengelola sebuah pengalaman wisata menjadi aspek utama untuk mencapai inovasi produk wisata (Voss, 2004). Jika pengalaman wisata tersebut dapat dikelola dengan baik, maka akan mendorong tempat wisata itu untuk meningkatkan pangsa pasar dan daya saing (Pine and Gilmore, 1998). untuk membangun suatu tujuan wisata adalah memperkuat brand yang dimiliki. Pada dasarnya membangun brand suatu produk, jasa ataupun tempat wisata adalah bukan hal yang mudah. Apalagi pencapaian keberhasilan suatu brand tidak dapat dilihat secara nyata. Brand itu dikatakan berhasil jika para pengunjung merasa puas setelah berkunjung ke suatu tempat wisata. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana akar permasalahan yang dihadapi oleh sektor pariwisata di Kabupaten blitar? dan strategi apa saja untuk membangun potensi wisata unggulan di Kabupaten blitar? Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah Untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh sektor pariwisata di Kabupaten Blitar dan Untuk mengetahui strategi membangun wisata unggulan di Kabupaten Blitar. Metodologi Penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian dan perumusan masalah maka jenis penelitian ini menggunakan pengukuran-pengukuran yang bersifat kualitatif eksploratif. Penelitian kualitatif dilakukan dengan
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
metode etnografi (ethnographic study), dengan wawancara mendalam untuk memperoleh thick description (deskripsi mendalam) atas pengalaman subjek yakni: tentang eksplorasi pengembangan potensi wisata dari perspektif pengalaman subyek. Metode kualitatif berkontribusi pada eksplorasi secara mendalam atas fenomena sosial di masyarakat, amat sesuai dengan kondisi dan karakter masyarakat yang diteliti berkaitan dengan pengembangan potensi wisata di Kabupaten Blitar. Jenis metode penelitian kualitatif eksploratif, yaitu: peneliti akan melaporkan dan menjelaskan data apa adanya berdasarkan temuan di lapangan melalui aktivitas penggalian data secara eksploratif dengan melibatkan beberapa informan penting terkait dengan pengembangan wisata di kabupaten Blitar. Oleh karenanya, peneliti akan meliputi jangkauan wilayah penelitian di sekitar lokasi tempat wisata di kabupaten Blitar, sehingga diperoleh temuan data yang akurat dan merepresentasikan keadaan masyarakat sebenarnya terkait objek wisata. Dalam metode kualitatif eksploratif, diperlukan beberapa informan yang tersebar secara proporsional di 4 (empat) lokasi tempat wisata di Kabupaten Blitar. Instrumen yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara kualitatif. Teknik pengumpulan data, menggunakan teknik wawancara mendalam (in-depth interview), dilakukan terhadap 20 narasumber utama yang berdekatan dengan lokasi tempat wisata yaitu dari unsur masyarakat di Kabupaten Blitar, pelaku wisata, tokoh masyarakat, pemerintah desa, pemerintah kecamatan dan pemerintah kabupaten.Analisa data dalam penelitian ini menggunakan variabel-variabel yang akan diukur dalam penelitian meliputi : a). Respons masyarakat pada sektor wisata daerah, b). Respons dan harapan masyarakat pada pengembangan potensi wisata daerah, c). Manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat, d). Strategi pengembangan potensi wisata daerah.
28 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
Variabel-variabel tersebut kemudian akan dianalisis dengan metode focussed synthesis untuk mengidentifikasikan dan mengetahui hubungan antar variabel. Dimana apabila terdapat hubungan antar keduanya, maka terdapat tingkat ketergantungan yang saling mempengaruhi yaitu perubahan variabel yang satu ikut mempengaruhi perubahan pada variabel lain. Teknik focus-synthesis ini juga sekaligus menyandingkan dan membandingkan datadata yang diperoleh dari tiap-tiap nara sumber terkait dengan indikator dan variabel yang sedang diukur. Simpulan dari tiap-tiap variabel dari akumulasi sejumlah narasumber kemudian dianalisis dengan cara direduksi, disandingkan dan dibandingkan dengan simpulan dari variabel lain yang juga diukur. Sehingga hasilnya dianalisis dan dideskripsikan. Analisis Data dan Pembahasan AnalisisPotensi dan Strategi Pengembangan Wisata Unggulan di Kabupaten Blitar a. Pemetaan Permasalahan Sektor Pariwisata di Kabupaten Blitar Permasalahan yang dihadapi oleh sektor pariwisata di Kabupaten Blitar relatif kompleks. Namun, menurut salah satu informan di lapangan menegaskan bahwa keterbatasan dana/anggaran dari Pemerintah Kabupaten Blitar merupakan salah satu permasalahan utama. Informan memberikan alasan bahwa dana/anggaran yang memadai dapat dialokasikan untuk perbaikan fasilitas sarana dan prasarana pariwisata. Bahkan menurut informan permasalahan juga dapat berkaitan dengan kebijakan Pemerintah Daerah sendiri yang kurang peduli mengenai potensi wisata yang ada. Jadi, dari hasil wawancara dari informan setidaknya dapat ditarik suatu permasalahan utama. Pertama, anggaran. Hal yang dimaksud adalah keterbatasan dana/anggaran dari Pemerintah Kabupaten Blitar untuk pengembangan sektor pariwisata. Hal ini dapat dikaitkan dengan kebijakan pemerintah daerah setempat. Permasalahan lain yang dapat
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
diidentifikasi adalah promosi, sebagian objek wisata di Kabupaten Blitar kurang begitu dikenal oleh wisatawan jika dibandingkan dengan daerah lain.Kedua, infrastruktur dan jalan akses ke lokasi wisata potensial. Analisis Optimalisasi dan Integrasi Sumberdaya Pariwisata a. Sumberdaya Wisata dan Alam Sumberdaya Wisata dan Alam merupakan salah satu faktor yang penting untuk mengembangkan potensi wisata unggulan di Kabupaten Blitar. Keindahan alam dan kelestarian lingkungan sebagai instrumen yang menjadi dasar utama dalam menciptakan tempat wisata alam yang mampu menarik para wisatawan. Selanjutnya keindahan lingkungan alam yang alami dan lokasi yang strategis tempat wisata juga akan menjadi pemikiran untuk mengoptimalkan tempat wisata alam. Bentuk dataran alam dan lingkungan yang masih alami akan menjadi keistimewaan tersendiri bagi objek wisata. Dari berbagai macam keindahan alam dan lingkungan disekitar tempat wisata seperti yang diungkapkan diatas perlu menjadi perhatian utama pemerintah setempat dalam upaya untuk mengoptimalkan pengembangan sektor wisata alam, sehingga potensi wisata yang ada akan tereksplorasi dengan maksimal untuk menciptakan tempat wisata unggulan yang menjadi perhatian masyarakat untuk berkunjung ke lokasi tempat wisata.Pemerintah juga harus memperhatikan dengan serius mengenai potensi keindahan alam yang masih alami dan seharusnya untuk ditindaklanjuti untuk pengembangannya. b. Sumberdaya Manusia dan Budaya Dalam upaya untuk optimalisasi pengembangan sektor pariwisata yang berbasis pada wisata alam, selain faktor sumberdaya alam yang harus diperhatikan kesiapan sumberdaya manusia dan budaya lokal masyarakat di sekitar lokasi tempat wisata. Kemajuan objek wisata tidak terlepas dari faktor kualitas sumberdaya manusia di masyarakat di sekitar tempat 29 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
objek wisata. Selain itu juga sumberdaya budaya masyarakat tentu akan menjadi penunjang perkembangan wisata alam. Sumberdaya budaya lokal menjadi karakteristik wilayah lokasi tempat wisata alam dan menjadi tujuan utama bagi para wisatawan untuk berkunjung ke tempat objek wisata, selain ke tempat lokasi wisata lainnya. Dari berbagai penjelasan yang diungkapkan diatas sumberdaya manusia dan budaya menjadi karateristik utama dalam perkembangan sector pariwisata. Budaya masyarakat merupakan warisan leluhur yang harus dipelihara untuk mengembangkan adat istiadat masyarakat lokal dan menjaga kelestarian tradisi masyarakat yang menunjang perkembangan sektor pariwisata lainnya untuk kemajuan suatu daerah dengan menjaga kearifan lokal yang telah melekat di masyarakat. Hal ini yang akan menjadi dasar utama untuk strategi perkembangan wisata unggulan yang menjadi harapan masyarakat dan pemerintah setempat. Analisis Sistem Pariwisata a. Strategi dan Pendekatan Pengembangan Wisata Pengembangan potensi wisata unggulan memang membutuhkan adanya strategi dan pendekatan yang tepat sehingga menambah daya tarik objek wisata yang ada, termasuk di Kabupaten Blitar. Hal ini akan meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Adanya pendapatan dari kunjungan wisatawan pada gilirannya dapat memajukan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, khususnya warga yang berdomisili di lingkungan sekitar objek wisata di Kabupaten Blitar. Berbicara strategi tentunya tidak dapat dilepaskan dari kebijakan yang telah dan akan ditempuh oleh Pemerintah Daerah, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Blitar, untuk mengembangkan sektor pariwisata di wilayahnya. Dari hasil wawancara dengan informan dilapangan dapat diidentifikasi bahwa selama ini pengembangan sektor pariwisata belum menjadi prioritas kebijakan atau fokus
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
utama dari Pemerintah Kabupaten Blitar. Selain itu, sebenarnya Kabupaten Blitar telah memiliki potensi untuk dapat dikembangkan dalam sektor wisata. Namun demikian, menurut informan hingga saat ini tampaknya masih belum dianggap menarik oleh pengunjung objek wisata.Selanjutnya, pengembangan sektor pariwisata sangat memerlukan kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Blitar dengan Sektor swasta (privat sector). Artinya bahwa pihak swasta memiliki dana berupa investasi yang dapat dialokasikan untuk pembangunan di sektor pariwisata. Di samping itu, perlu adanya promosi sebagai instrumen untuk memperkenalkan berbagai destinasi wisata di Kabupaten Blitar. Berbagai strategi yang telah diungkapkan tersebut sangat perlu untuk ditindaklanjuti. Hal ini diharapkan akan memberikan hasil positif pada pengembangan sektor pariwisata. Keberhasilan suatu strategi dapat memajukan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, khususnya warga yang berdomisili di lingkungan sekitar objek wisata di Kabupaten Blitar. Selanjutnya, sehubungan dengan keberhasilan suatu strategi, maka hal ini akan membawa dampak terhadap pembangunan sektor wisata pada peningkatan kesejahteraan dan perekonomian masyarakat.Intinya bahwa pengelolaan objek wisata yang dapat menarik wisatawan untuk berkunjung mampu membuka lapangan pekerjaan yang nantinya akan dapat memajukan perekonomian masyarakat setempat pada khususnya dan masyarakat Kabupaten Blitar pada umumnya. Peran Pemerintah Kabupaten Blitar dalam Pengembangan Sektor Pariwisata Untuk tingkat pengembangan sektor pariwisata dapat dilihat dari ada tidaknya peran dan upaya pemerintah. Secara umum, dalam konteks Kabupaten Blitar, pemerintah daerah telah berperan dan melakukan berbagai upaya untuk memajukan sektor pariwisata. Ada
30 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
beberapa upaya yang dilakukan Pemkab Blitar, yaitu: a) Melalui pemberdayaan masyarakat wisata meliputi: desa wisata, dan duta wisata. b) Mengusulkan tentang kualitas destinasi wisata. c) Sebagai kebutuhan teknis Dinas Pemuda dan Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata (DISPORBUDPAR) meningkatkan pembangunan pada bidang wisata dengan dirangkul untuk mengembangkan dan mempromosikan tempat wisata yang sudah dikelola oleh pemerintahan daerah. Di sisi lain, upaya pemerintah daerah perlu didukung oleh masyarakat setempat. Tanpa dukungan masyarakat, maka akan sulit untuk mengembangkan sektor pariwisata. Dalam konteks ini upaya Pemerintah Kabupaten Blitar masih belum cukup untuk meningkatkan dukungan dari masyarakat (setempat). Untuk itu, peran dan upaya dari berbagai pihak harus dilakukan secara berkelanjutan. Peran Masyarakat, Sektor Swasta, dan Pelaku Wisata Peran dan upaya Pemerintah Kabupaten Blitar untuk mengembangkan bidang pariwisata tentunya harus diimbangi dengan adanya kehadiran dan partisipasi pihak lain, dalam konteks ini masyarakat dan sektor swasta. Adanya antusiasme dari masyarakat meskipun tidak demikian halnya dengan pihak swasta. Berdasarkan hasil wawancara di lapangan dapat dinyatakan bahwa secara umum masyarakat telah berperan dan berupaya untuk ikut mengembangkan sektor pariwisata dengan cara memberikan dukungan, bahkan berpartisipasi dalam kegiatan tertentu. Sedangkan dari pihak swasta masih belum menunjukkan partisipasinya secara signifikan. Harapan terhadap Pengembangan Sektor Pariwisata Mengenai harapan terhadap pengembangan sektor Pariwisata di Kabupaten Blitar. Sehubungan dengan
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
meningkatnya jumlah wisatawan yang mengunjungi objek wisata di Kabupaten Blitar. Darilaporan hasil wawancara menunjukkan bahwa harapan dari pengembangan objek wisata Kabupaten Blitar adalah dapat menyejahterakan masyarakat, memberikan lapangan pekerjaan untuk masyarakat sekitar tempat wisata. Harapan utamanya adalah pariwisata di Kabupaten Blitar dapat dikenal oleh masyarakat luas, baik wisatawan domestik maupun mancanegara, serta dapat memberikan pendapatan (income) untuk Pemerintah Kabupaten Blitar. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dan pembahasan tentang potensi dan strategi pengembangan wisata unggulan di Kabupaten Blitar, maka dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulansebagai berikut: 1. Wisata alam air terjun di Kabupaten Blitar memiliki potensi untuk dikembangkan, namun masih terdapat beberapa permasalahan. Selama ini permasalahan yang dihadapi oleh sektor pariwisata di Kabupaten Blitar relatif kompleks. Permasalahan utama yang dapat diidentifikasi, yaitu: keterbatasan dana/anggaran dari Pemerintah Kabupaten Blitar. Hal ini memberikan pengaruh pada ketersediaan infrastruktur dan fasilitas pendukung lainnya. Di samping itu, keterbatasan pengembangan konsep wisata dan kurangnya promosi juga menjadi kendala dalam memperkenalkan dan mengembangkan sektor tersebut. 2. Pada skala tertentu Pemerintah Kabupaten Blitar telah memberikan dukungan terhadap pengembangan sektor pariwisata. Namun, tingkat partisipasi warga masyarakat juga membawa pengaruh pada bentuk dan jenis dukungan. Artinya, semakin tinggi tingkat partisipasi warga, maka Pemerintah Kabupaten Blitar juga akan mendukung pengembangan
31 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
sektor tersebut. Demikian pula sebaliknya. 3. Berbagai strategi yang diperlukan untuk pengembangan potensi wisata unggulan di Kabupaten Blitar, antara lain melalui kebijakan yang lebih berpihak lagi pada sektor pariwisata adalah community development atau pemberdayaan masyarakat sekitarsehingga dapat memajukan sektor tersebut, kerjasama dengan pihak swasta/investor untuk pembangunan sarana-prasarana dan pengelolaan objek wisata, serta meningkatkan daya promosi wisata Kabupaten Blitar yang dapat dilakukan melalui berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik. Saran 1. Perlu adanya perhatian dan komitmen yang lebih nyata dalam pengembangan sektor pariwisata di Kabupaten Blitar dengan menambah alokasi anggaran untuk memfasilitasi sektor tersebut, terutama menyediakan infrastruktur yang memadai (termasuk akses jalan). Dalam konteks ini, ketersediaan infrastruktur dapat menjadi salah satu faktor utama yang mampu meningkatkan (arus) mobilitas wisatawan ke suatu objek wisata. 2. Perlu adanya koordinasi yang lebih intensif antar instansi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Blitar bagi pengembangan sektor pariwisata. Selain itu dibutuhkan adanya sinergi yang dapat berupa kemitraan antara Pemerintah Kabupaten Blitar dengan sektor swasta dan masyarakat, khususnya warga yang berdomisili di daerah sekitar objek wisata. Khusus dengan warga masyarakat sekitar objek wisata, menggunakan strategi integrated community development.Dengan adanya pola kemitraan dan integrated community development ini, maka diharapkan juga akan dapat meringankan beban anggaran daerah sekaligus
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
memberdayakan masyarakat Kabupaten Blitar. 3. Perlu adanya penelitian lebih lanjut terkait dengan topik tentang sektor pariwisata, seperti pemetaan pariwisata secara spesial atau pengembangan potensi dan model desa wisata di Kabupaten Blitar dengan pendekatan ICD – IMC atau integrated community development – integrated marketing communication. DAFTAR PUSTAKA Fandeli, Chafid, 1997. Dasar-dasar Manajemen Kepariwisataan Alam. Yogyakarta: Liberty Fiatiano, Edwin. Tata Cara Mengemas Produk Pariwisata pada Daerah Tujuan Wisata, (Online), (http://journal.unair.ac.id/...diakses 4 Mei 2010. Ilyas, Muhammad. 2009. Strategi Pengembangan Pariwisata Kepulauan Togean di Kabupaten Tojo Una-Una. Tesis. Makassar: Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Kodhyat H, 1996. Sejarah Pariwisata dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Grasindo Kotler and Gertner, 2002. Conceptualizing, Measuring and Managing Customer Based-Brand Equity. Journal of Marketing. Pendit, Nyoman S, 1999. Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta: PT. Pradnya Paramita Pine and Gilmore, 1998. Building Contemporary Brands: A Sponsorship Based Strategy, Journal of Business Research, 58. Pitana, Gde, dan Diarta, I Ketut Surya. 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta: CV. Andi Offset
32 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
Radiawan, Hari, Hartati, dan Soepomo, Sri Sadah, 1997/1998. PengembanganJaringan Ekonomi di Kawasan Pariwisata. Jakarta: CV. Bupara Nugraha Snepenger, et. al.,2004. Marketing Management 13th edition, Prentice Hall, New Jersey. Soekadijo, R. G, 1997. Anatomi Pariwisata : Memahami Pariwisata SebagaiSistem Linkage. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Spillane, James, J, 1994. Pariwisata Indonesia : Siasat Ekonomi dan RekayasaKebudayaan. Yogyakarta: Kanisius Suwantoro, Gamal, 1997. Dasar-dasar Pariwisata.Yogyakarta: ANDY Voss, 2004. The New Strategic Brand Management: Creating and Sustaining Brand Equity Long Term 3rd, Londres, Kogan. Wahab, Salah dkk, 1997. Pemasaran Pariwisata. Jakarta: PT. Pradnya Paramita Yoeti, Oka A, 1990. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa ______, 1996. Pemasaran Pariwisata. Bandung: Angkasa ______, 1997. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta:PT. PradnyaParamita. Yudhiantari, Luh Putu Emi. 2002. Ekowisata sebagai Alternatif dalam Pengembangan Pariwisata yang Berkelanjutan di Desa Wongaya Gede, Kecamatan Penebel-Bali, (Online), (http://eprints.undip.ac.id_3jan11.pdf , diakses 6 Januari 2011). Sumber lain: Undang-Undang No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan Kompas, 19 Desember 2012.
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Volume 3, No. 1, Januari
2016
NKRI DI SIMPANG JALAN: SEBUAH TELAAH KRITIS IMPLEMENTASI 13 TAHUN PERJALANAN OTONOMI DAERAH PERSPEKTIF EKONOMI-POLITIK Mahathir Muhammad Iqbal Universitas Islam Raden Rahmat Malang
[email protected]
Abstrak Pelaksanaan otonomi daerah sebagai amanat UUD 1945 secara konstitusional maupun legal diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Sebagaimana digariskan dalam Penjelasan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, ditegaskan bahwa melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan keadilan, keistimewaaan dan kekhususan, serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah merupakan sarana untuk mencapai tujuan bernegara dalam mewujudkan kesatuan bangsayang demokratis. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi Negara selalu menekankan konsepsi Negara tersebut sebagai bentuk keseimbangan antara kebutuhan menerapkan otonomi daerah dan kebutuhan memperkuat persatuan nasional. Kata Kunci: otonomi daerah, pemerintahan daerah, demokrasi, pemerataan keadilan
PENDAHULUAN Perdebatan panjang mengenai persatuan dan kesatuan bangsa dan ancaman disintegrasi bangsa akhir-akhir ini muncul kembali seiring dengan adanya gerakan massif maupun yang bersifat psikologis ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tuntutan akan pemerataan hasil pembangunan dan pelayanan publik kadang-kadang menjadi alasan untuk melakukan pemisahan yang dapat berubah menjadi gerakan emosional. Di dalam sejarah pemerintahan, kehendak untuk memisahkan diri pada umumnya dikarenakan oleh ketidakpuasan masyarakat lokal terhadap pemerintahan nasional mereka. Hancurnya imperium Uni Soviet merupakan contoh yang sangat 33 | P a g e
jelas. Demikian juga dengan terkoyakkoyaknya Yugoslavia yang kemudian hanya meninggalkan sejarah negeri itu. Kita harus belajar dari Negara-negara tersebut. Oleh karena itu otonomi daerah di Indonesia diharapkan merupakan wahana yang efektif untuk menjaga terpeliharanya kesatuan. Integrasi nasional yang sudah berhasil diwujudkan setelah melalui proses yang sangat panjang dan kompleks menjadi sebuah masalah yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia sekarang ini. Tantangan terhadap integrasi nasional ini mewujudkan dirinya dengan munculnya konflik komunal dan gerakan separatisme di beberapa daerah yang merupakan bagian dari Negara Kesatuan.
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Sementara itu, masyarakat Indonesia sudah sepakat bahwa Negara Kesatuan yang dibangun dan dijaga selama lebih dari setengah abad akan tetap dijaga terus sekalipun dengan menghadapi tantangan-tantangan yang sangat besar. Memang, setelah lepasnya Timor Timur dari Negara Kesatuan hal itu menjadi inspirasi dari sekelompok orang di beberapa wilayah Negara untuk mengikuti jejak wilayah tersebut untuk memilih berpisah setelah lebih dari dua dasawarsa terintegrasi dengan Indonesia. Pilihan otonomi daerah luas merupakan pilihan yang sangat strategis dalam rangka memelihara nation state (negara bangsa) yang sudah lama kita bangun dan kita pelihara. Dengan otonomi kita harus mengembalikan harkat, martabat, serta harga diri masyarakat di daerah, karena masyarakat di daerah selama puluhan tahun lebih, bahkan sejak masa kemerdekaan telah mengalami proses marginalisasi. Mereka bahkan mengalami alienasi dalam segala bentuk pembuatan kebijaksanaan publik. Jakarta, yang merupakan ibukota negara, tidak lebih dari ―Batavia‖ pada masa pemerintahan kolonial, yang selalu memandang rendah masyarakat di daerah, dan bahkan menjadikan daerah hanya sebagai obyek eksploitasi kepentingan orang-orang di Jakarta. Segala bentuk kebijaksanaan publik yang bersifat nasional ditentukan oleh sekelompok kecil orang di Jakarta, sementara masyarakat di daerah diwajibkan untuk mensukseskannya di dalam proses implementasi kebijaksanaan tersebut. Kalau dicermati, tuntutan daerahdaerah tertentu kepada pusat yang mengemuka sebenarnya bukan pada perubahan bentuk negara, tetapi lebih kepada menuntut keadilan dalam pembagian hasil kekayaan secara berimbang, kesenjangan pembangunan dan kesejahteraan antara pusat-daerah, antara kawasan timur-barat Indonesia, disamping masalah pengelolaan pemerintahan yang terlalu sentralistik selam orde baru, karena sepanjang orde baru, hampir seluruh 34 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
kekayaan daerah berupa uang, emas, perak, logam, minyak, rempah, dan buah semua digotong ke Jakarta. Pohon, lading, kebun boleh di daerah, tetapi ―buah‖ dan ―uang‖ ada di Jakarta. Singkat cerita, daerah menanam Jakarta memanen. (Lihat pada tulisan Ahmad Mujahid Darlan dalam buku “Memperkokoh Otonomi Daerah”). Kita tidak mungkin menafikan gejala kehendak untuk memisahkan diri dari dua kelompok masyarakat di Negara Republik Indonesia, yaitu masyarakat Aceh dan Irian Jaya yang sekarang menjadi Papua. Kehendak untuk memisahkan diri dari dua kelompok masyarakat tersebut dikarenakan pengalaman pemerintahan masa lampau yang tidak memberikan peluang yang sepantasnya bagi mereka untuk mengembangkan diri semaksimal mungkin sesuai potensi yang mereka miliki. Pada masa lampau otonomi bukan dianggap sebagai hak yang melekat bagi masyarakat daerah sebagai bagian dari sebuah pemerintahan demokrasi. Otonomi daerah pada masa pemerintahan orde baru merupakan kosa kata yang seringkali dipersepsikan secara negatif dengan menekankan pentingnya tanggung jawab daerah di dalam memelihara dan menjaga negara kesatuan. Apakah memang diharapkan kebijaksanaan otonomi daerah akan mampu memelihara integrasi nasional? Hal itu akan kita lihat kemudian. Hanya saja, kita memang harus menyadari bahwa integrasi nasional kata Reinhard Bendix (1976) sebenarnya merupakan sebuah proses untuk mengubah loyalitas yang bersifat sempit, yang bersumber dari nilainilai yang bersifat askriptif pada loyalitas yang lebih luas, yaitu Negara bangsa. Dan hal itu tidaklah mudah karena harus dilakukan secara perlahan yang dilakukan secara perlahan yang dimulai dengan pemberian hak-hak politik (politik
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
franchise) kepada segenap lapisan masyarakat ini dalam sebuah Negara.1 Dalam esai ini, saya akan mencoba mengeksplorasi bagaimana pentingnya sebuah kebijakan otonomi daerah dalam perspektif ekonomi-politik terhadap usaha untuk memelihara integrasi nasional. Sebuah kebijakan nasional yang baik belum tentu dapat diimplementasikan dengan baik pula jika begitu banyak kepentingan yang terlibat. Implementasi dari kebijaksanaan otonomi daerah akan ikut menentukan keberhasilan dari usaha memelihara Negara bangsa atau menjaga integrasi nasional. KONSEP IDEAL OTONOMI DAERAH Saya akan memulainya dengan tujuan ideal diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Isran Noor dalam buku Politik Otonomi Daerah Untuk Penguatan NKRI menegaskan bahwa pelaksanaan otonomi daerah sebagai amanat UUD 1945 secara konstitusional maupun legal diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Sebagaimana digariskan dalam Penjelasan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, ditegaskan bahwa melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan keadilan, keistimewaaan dan kekhususan, serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hari Sabarno dalam bukunya yang berjudul “Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa” menulis bahwa otonomi daerah merupakan sarana untuk mencapai tujuan bernegara dalam mewujudkan kesatuan bangsa (national unity) yang demokratis. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi Negara selalu 1
Lihat tulisan Drs. H. Syaukani, HR dkk dalam buku bertajuk ―Otonomi Daerah Dalam Negara kesatuan‖ pada BAB VIII.
35 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
menekankan konsepsi Negara tersebut sebagai bentuk keseimbangan antara kebutuhan menerapkan otonomi daerah dan kebutuhan memperkuat persatuan nasional. Dalam kerangka ini, maka ada ketentuan-ketentuan yang harus dijalankan sebagai konsekuensi logis, yakni: 1. Penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadlian serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. 2. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan memperhatikan keanekaragaman daerah. 3. Pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya nasional antara pusat dan daerah dilaksanakan secara adil untuk kemakmuran masyarakat daerah dan bangsa secara keseluruhan. 4. Pengelolaan sumberdaya alam dilakukan secara efektif dan efisien, bertanggung jawab, transparan, terbuka dan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang luas kepada usaha kecil, menengah, dan koperasi. 5. Perimbangan keuangan pusat dan daerah dilaksanakan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah. 6. Pemerintah daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan. 7. Penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan pembagian dana pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan, dan perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka mempertahankan dana, memperkokoh NKRI dilaksanakan berdasarkan asas kerakyatan dan
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
berkesinambungan yang diperkuat dengan pengawasan DPRD dan masyarakat. PEMBAHASAN Pertanyaannya sekarang ialah apakah pelaksanaan otonomi daerah selama ini sudah bermuara pada tujuantujuan ideal diatas? Dalam kurun waktu 10 tahun, yakni pada tahun 1999-2009, pertumbuhan otonom baru di Indonesia mencapai 64% atau bertambah 205 daerah baru. Rinciannya ada 7 provinsi baru, 164 Kabupaten baru, dan 34 Kota baru. Karena itu, pada saat itu Indonesia terdiri atas 524 daerah yang meliputi 33 Provinsi, 398 Kabupaten, dan 93 Kota. Berdasar catatan JPIP (The Jawa Post Institute of Pro Otonomi), pemekaran daerah banyak terjadi pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001) dan Presiden Megawati (2001-2004). Saat itu, pemerintah dan DPR mengesahkan 103 Undang-Undang tentang daerah otonom baru.2 Bagaimana hasilnya? Pada tahun 2008, United Nations Development Programme (UNDP) dan Bappenas melakukan studi di 72 kabupaten-Kota di 6 Provinsi. Di antara Kabupaten-Kota tersebut, dipilih 26 Kabupaten-Kota sebagai sampel. Yaitu, 10 Kabupaten sebagai daerah induk, 10 Kabupaten sebagai DOB, dan 6 Kabupaten sebagai daerah kontrol. Hasilnya, kondisi DOB masih jauh tertinggal dari daerah induk dan daerahkontrol atau rata-rata Kabupaten di Indonesia.3 Evaluasi tersebut melihat DOB dari 4 aspek. Yaitu, perekonomian daerah, keuangan daerah, pelayanan publik, dan aparatur pemerintahan daerah. Dari aspek perekonomian daerah, bisa dilihat dari pembagian sumberdaya ekonomi di DOB 2
Lihat dalam surat kabar Jawa Pos edisi 26 Januari 2010 pada rubrik PRO-OTONOMI, hal 3. 3 Lihat dalam surat kabar Jawa Pos edisi 16 februari 2010 pada rubrik PRO-OTONOMI, hal 8. 36 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
tidak merata dan beban jumlah penduduk miskin semakin meningkat. Itu terjadi karena keterbatasan SDA, SDM, dan belum maksimalnya dukungan pemerintah. SDA umumnya menjadi dominasi daerah induk. Dari segi pengelolaan keuangan daerah, DOB memiliki ketergantungan fiskal yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Di sisi lain, Pendapatan Asli Daerah (PAD) kurang bisa dioptimalkan. Dalam hal ini, PAD tidak identik dengan peningkatan pajak dan retribusi. Sebab, tatanan system, regulasi, kelembagaan ataupun individu belum optimal. Aspek pelayanan publik dilihat dari 3 hal. Yaitu: pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Diantara 3 aspek tersebut, kesehatan mengalami peningkatan dari segi sarana dan prasarana. Untuk pendidikan dan infrastruktur, daerah induk menunjukkan hasil yang lebih bagus, meski telah terjadi perbaikan di daerah otonom baru. Namun, perbaikan dalam tiga hal itu belum mampu mendorong peningkatan ekonomi daerah. Untuk aparatur pemerintah daerah, secara kualitas lebih rendah bila dibanding daerah induk dan daerah kontrol. Misalnya, aparatur yang dibutuhkan tidak sesuai yang tersedia, banyak aparatur yang bekerja tidak sesuai pembagian kerjanya, dan bekerja di bawah jam yang seharusnya. Dalam perspektif nasional, Dalam kurun waktu 1,5 tahun (antara Januari 2010 hingga Juni 2011), kenaikan kekayaan orang Indonesia ditaksir mencapai USD 420 miliar atau sekitar Rp 3.738 triliun. Hal itu menjadikan total kekayaan orang Indonesia pada pertengahan 2011 mencapai USD 1,8 triliun atau sekitar Rp 16.000 triliun.4 Pada konteks ini, ada beberapa fakta menarik untuk diungkapkan. Pertama, masih tingginya tingkat ketimpangan kemiskinan antardaerah. 4
http://feb.ub.ac.id/agus-suman-orang-kayakemiskinan.html
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Secara umum, kinerja pertumbuhan ekonomi nasional triwulan II memang mencapai 6,5 persen. Namun, sayang, penyumbang terbesar PDB masih saja didominasi Pulau Jawa dan Sumatera sebesar 81,2 persen, Kalimantan 9,5 persen, Sulawesi 4,7 persen, dan sisanya 4,6 persen tersebar merata di daerah yang lain. Dampak ketimpangan itu memperlebar jurang kemiskinan antardaerah. Tak salah, kontributor utama penduduk miskin di Indonesia berada di kawasan timur Indonesia (KTI) yang masih minim kontribusi PDB, khususnya daerah Papua dan Maluku, yang mencapai 25,95 persen. Masalah ketimpangan kesejahteraan ekonomi itulah yang menjadi salah satu penyebab utama pemicu terjadinya kerusuhan di Papua belakangan ini. Berbagai upaya pendekatan telah dilakukan pemerintah pusat untuk meredam konflik di Papua, baik dari sisi politik, hukum, budaya, maupun sosial ekonomi. Salah satu contoh, yaitu melalui pendekatan ekonomi yang diwujudkan dalam bentuk konsistensi desentralisasi fiskal Papua dan Papua Barat. Pembiayaan pusat ke Papua dan Papua Barat dalam tujuh tahun terakhir ini meningkat lebih dari 100 persen. Jika pada 2004–2005 alokasi dana otsus (otonomi khusus), dana sektoral, dan dana alokasi umum ke daerah berkisar sekitar Rp 13 triliun, tahun ini alokasinya meningkat drastis menjadi Rp 30 triliun. Meski demikian, hal itu kurang membuahkan hasil. Sebab, ditengarai triliunan rupiah dana tersebut diselewengkan banyak pihak, termasuk para pejabat di Papua dan Papua Barat itu sendiri. Kedua, semakin meningkatnya jumlah penduduk miskin. Laporan BPS menyebut kan, jumlah penduduk miskin di Indonesia selama dua tahun terakhir (2008–2010) turun sekitar 4 juta orang, dari 35 juta orang menjadi 31 juta orang. Selain itu, per Maret 2011 jumlah penduduk miskin Indonesia turun satu juta orang (0,84 persen) jika dibandingkan 37 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
dengan per Maret 2010. Hasilnya, jumlah penduduk miskin per Maret 2011 di Indonesia sebesar 30,02 juta orang (12,49 persen dari total penduduk Indonesia). Namun, sayangnya, moncernya pencapaian kinerja tersebut terbantahkan oleh fakta baru bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat sekitar 2,7 juta orang sejak 2008 hingga 2010.Pada 2008, jumlah penduduk miskin di Indonesia 40,4 juta orang dan pada 2010 menjadi 43,1 juta orang. Ketiga, semakin rendahnya tingkat distribusi pendapatan nasional. Realitas yang ada menunjukkan tingkat distribusi pendapatan nasional semakin memprihatinkan, khususnya bila ditinjau dari gini ratio (GR). Keempat, semakin lebarnya tingkat ketimpangan desa dan kota. Ketimpangan desa dan kota selama ini merupakan faktor utama penyebab kemiskinan di Indonesia tak kunjung selesai. Data menunjukkan, per Maret 2011 penduduk miskin di desa tercatat 18,97 juta orang, sedangkan di kota hanya 11,05 juta orang. Hal itu disebabkan semakin timpangnya pedesaan dan perkotaan. Indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan indeks keparahan kemiskinan (P2) di daerah pedesaan masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan perkotaan sampai saat ini. Pada Maret 2010, nilai indeks P1 perkotaan hanya hanya 1,57 sementara di daerah pedesaan mencapai 2,80. Nilai indeks P2 untuk perkotaan hanya 0,40, sementara di daerah pedesaan mencapai 0,75. Data terbaru menyebutkan, Maret 2011 menunjukkan bahwa indeks ‖P1‖ perkotaan hanya 1,51, sedangkan pedesaan malah mencapai 2,96. Sedangkan untuk ‖P2‖ di perkotaan sebesar 0,35 dan pedesaan mencapai 0,72. Kesimpulannya bahwa tingkat kemiskinan di daerah pedesaan jauh lebih buruk daripada daerah perkotaan. Pertumbuhan ekonomi yang eksklusif saat ini telah menjerumuskan sekian banyak penduduk Indonesia dalam jurang kemelaratan dan ketimpangan.
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Hanya sebagian kecil penduduk negeri ini yang menikmati tingginya pertumbuhan ekonomi. Selain itu, Hasil survei nasional Indo Barometer mengenai Evaluasi 13 Tahun Reformasi mengindikasikan buruknya kinerja pemerintahan, khususnya di bidang ekonomi. Kenyataan itu seakanakan menjadi alarm alias peringatan bagi SBY-Boediono dan jajaran menteri pembantunya. Betapa tidak, berdasar hasil survei tersebut, ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah yang paling menonjol adalah di bidang ekonomi. Sebanyak 55,8 persen publik menyatakan tidak puas dan sebaliknya, 41,2 persen, menyatakan puas. Terlepas dari metode dan siapa objek survei Indo Barometer tersebut, paling tidak hasil survei itu membuka mata hati rakyat Indonesia pada umumnya dan pemerintah khususnya. Yakni tentang kondisi ekonomi sebenarnya yang relatif masih jauh dari harapan. Hasil kinerja makroekonomi nasional triwulan I 2011 yang baru saja dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,5 persen (padahal, sebelumnya asumsi pemerintah hanya 6,3 persen). Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 6,8 persen dari total angkatan kerja atau menurun daripada Agustus 2010 sebesar 7,4 persen dan Februari 2010 sebesar 7,41 persen. Pencapaian kinerja ekonomi pemerintah yang menggembirakan di atas tak seharusnya membuat kita lupa diri. Setidaknya terdapat beberapa realitas yang cukup miris untuk diungkap. Pertama, ketimpangan pertumbuhan sektor ekonomi masih sangat mencolok. Pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6,5 persen tersebut kurang didukung oleh pertumbuhan di sektor riil (tradable sector). Sektor yang disebut terakhir itu hanya tumbuh 3,4 persen untuk pertanian dan 4,6 persen untuk industri. Hal tersebut sangat kontras dengan pertumbuhan sektor pengangkutan dan komunikasi yang 38 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
meningkat 13,8 persen serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran (PHR) yang meningkat 7,9 persen. Hal itu terjadi karena kebijakan ekonomi pemerintah mengutamakan sektor non-tradable (sektor keuangan, asuransi, pengangkutan, komunikasi, perdagangan, hotel, restoran, dan lain-lain). Akibatnya, sektor riil terjebak dalam pertumbuhan yang rendah sehingga masalah kemiskinan dan pengangguran menjadi semakin sulit untuk diatasi. BPS juga melaporkan bahwa sejak Februari 2010 hingga Februari 2011 hampir semua sektor mengalami kenaikan jumlah pekerja. Kecuali sektor pertanian dan sektor transportasi yang masingmasing mengalami penurunan jumlah pekerja sebesar 360 ribu orang (0,84 persen) dan 240 ribu orang (4,12 persen). Belum lagi ancaman deindustrialisasi yang mulai membayangi perekonomian Indonesia saat ini. Hal itu ditandai dengan ketergantungan terhadap asing dan perusahaan asing. Tak pelak, pertumbuhan impor terus melaju kencang hingga mencatatkan rekor baru. BPS mencatatkan, impor Maret 2011 mencapai USD 14,48 miliar atau tumbuh 23,23 persen daripada Februari sebesar USD 11,75 miliar. Itu capaian impor bulanan tertinggi sepanjang masa (Jawa Pos, 3/5/2011). Peningkatan impor didominasi kelompok bahan baku dengan porsi 73,93 persen dari sebelumnya 72 persen. Sementara itu, impor kelompok barang modal turun dari 19,8 persen menjadi 17 persen. Hal tersebut didukung hasil survei Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di lima provinsi pada 2010 yang menunjukkan bahwa mayoritas penjahit penghasil produk tekstil industri rumah tangga telah berganti profesi menjadi pedagang karena mengalami banyak hambatan selama menjadi produsen. Hal itu terjadi karena mereka sulit mendapatkan bahan baku, tidak mampu bersaing dengan produk impor, terutama dari Tiongkok yang harganya lebih murah,
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
dan lain-lain. Dengan begitu, mereka merasa lebih nyaman menjadi pedagang. Sejalan dengan itu, pada Desember 2010 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga mengungkapkan bahwa saat ini perekonomian nasional mulai bergerak ke arah deindustrialisasi. Apalagi Indonesia ikut serta dalam perjanjian kawasan perdagangan bebas ASEAN-Tiongkok (ACFTA) yang menegaskan kehancuran industri dalam negeri. Sebagai ilustrasi, industri manufaktur di Jatim yang merupakan salah satu kontributor terhadap pertumbuhan ekonomi nasional tumbuh rendah. Hal itu bisa dilihat dari pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang di provinsi tersebut pada triwulan I 2011 yang hanya 0,53 persen daripada triwulan IV 2010. Rendahnya pertumbuhan tersebut mengikuti kinerja produksi industri nasional yang minus 2,18 persen atau menurun daripada pertumbuhan triwulan IV 2010 yang tercatat 1,28 persen (Jawa Pos, 5/5/2011). Deskripsi di atas tak pelak mengingatkan kita akan bahaya involusi pertanian dan gejala deindustrialisasi. Karena itu, pemerintah diharapkan memberikan perhatian yang serius dan cepat untuk mengatasi persoalan tersebut. Kedua, terdapat ketimpangan dalam distribusi pembangunan ekonomi yang masih terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera. Berdasar laporan BPS, kontribusi Jawa dan Sumatera terhadap pembentukan PDB (produk domestik bruto) 81,4 persen, Kalimantan 9,2 persen, Sulawesi 4,6 persen, Bali dan Nusa Tenggara 2,5 persen, serta Maluku dan Papua 2,3 persen. Terlepas dari banyaknya persoalan dan masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia saat ini, dua aspek masalah di atas merupakan hal penting yang harus segera ditangani pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah dalam setiap kebijakannya diharapkan lebih pro kepada rakyat dengan cara mengembalikan dasar pembangunan ekonomi pada sektor pertanian dan 39 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
industri. Meletakkan sektor pertanian sebagai motor penggerak pembangunan adalah skenario yang harus segera dilakukan. Skenario itu hendaknya bukan sebatas wacana, tetapi diperlukan implementasi yang lebih nyata. Masalah izin pengelolaan terhadap sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti pertambangan, kehutanan, dan perkebunan, harus diatur sedemikian rupa sehingga lebih tampak berpihak kepada masyarakat dan tidak hanya berpihak kepada para pemilik modal kakap. Regulasi yang berkaitan dengan perdagangan juga perlu disempurnakan, khususnya yang berkaitan dengan upaya mengedepankan sektor kerakyatan agar tidak tergusur penetrasi besar-besaran dari para pelaku ekonomi besar. Penyehatan beberapa aspek di atas diharapkan dapat menyingkirkan patogen ketidakmerataan secara lebih berkualitas. KESIMPULAN Dari data yang sudah saya kemukakan diatas, jelas sudah bahwa otonomi daerah selama ini telah gagal mewujudkan tujuan idealnya. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi menilai, pemekaran wilayah yang sudah dilakukan hingga kini belum memberikan hasil yang memuaskan bagi kesejahteraan rakyat. Gamawan bahkan mengatakan dari hasil evaluasi yang dilakukan pemerintah 70 persen dari 205 daerah otonom baru (DOB) gagal.5 Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai bahwa 80% pemekaran wilayah telah gagal. "Dalam 10 tahun terakhir ada 205 daerah pemekaran. 80 Persen mengalamikegagalan," kata Presiden SBY saat jumpa pers bersama pimpinan DPR usai rapat konsultasi antara DPR dan presiden di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta, Rabu (14/7/2010).6
5
http://nasional.kompas.com/read/2012/12/15/ 06072741/Mendagri.70.Persen.Pemekaran.Dae rah.Gagal 6 http://news.detik.com/read/2010/07/14/15152 4/1399111/10/sby-80-persen-pemekaranwilayah-gagal
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Menurut saya, pangkal masalah terjadinya jor-joran pemekaran daerah itu itu bersumber dari inisiatif pembentukan daerah baru yang bisa melalui dua pintu. Yakni, lewat pemerintah dan DPR. Inisiatif lewat pintu DPR itulah yang diindikasikan sarat dengan kepentingan politik. Sebab pemekaran daerah berarti perluasan jabatan politik bagi elit-elit politik di tingkat lokal. Daerah baru akan membutuhkan kepala daerah dan DPRD baru yang menjadi jatah partai politik. Dalam istilah Prof. Dr. M. Ryaas rasyid, MA, pemekaran itu terdorong oleh adanya insentif dari pemerintah pusat, baik secara politik maupun ekonomi. Secara politik, semua daerah baru hasil pemekaran itu otomatis adalah daerah otonom. Sehingga perlu dipilih kepala daerah baru, ini menjadi peluang bagi parpol, elit politik, bahkan pegawai negeri untuk mendapatkan posisi dan jabatan. Itu sebabnya, soal pemekaran ini tidak ada yang menolak, baik dari elit daerah, partai politik birokrat daerah, karena mereka semua berkepentingan dan mengambil keuntungan di dalamna. Bayangkan, ada ratusan jabatan baru terbuka untuk itu. Di sisi ekonomi (keuangan), pemekaran membuat daerah membutuhkan banyak biaya, yang semua ini bisa didapatkan dari bantuan dekonsentrasi. Sehingga pemekaran ini memang sesuatu yang sangat menggiurkan, baik dari sisi politik maupun ekonomi (keuangan).7 Selain itu, janji memperjuangkan pemekaran daerah saat kampanye merupakan sarana bagi partai politik untuk memperbanyak suara di daerah (vote getter). Sebab, dengan pemekaran daerah, akan semakin banyak dana yang mengalir dari pusat dan daerah. Saran Lantas apa yang harus dilakukan? Menurut saya, pertama, pemerintah boleh memberikan bantuan bagi pembangunan daerah, tetapi pendekatannya jangan
Volume 3, No. 1, Januari
2016
dengan pemekaran (kecuali memang pada daerah yang mendesak dilakukan kebijakan itu), tetapi harus berorientasi pada tujuan. Jadi, berlakukan kebijakan moratorium pemekaran daerah dan jangan alokasikan bantuan berbasis pada wilayah aministrasi. Misalnya, dana bantuan itu diorientasikan untuk pembangunan daerah khusus yang potensial, daerah terisolir, dan daerah terbelakang. Sehingga dengan bantuan itu potensi daerah itu akan bangkit, yang kemudian akan memberikan kontribusi perbaikan ekonomi daerah dan Negara. Selain itu, menegakkan kembali dua prinsip yang lain (penggabungan dan penghapusan daerah) adalah pilihan yang realistis. Tiga prinsip inilah yang diistilahkan oleh Syarif Hidayat dengan terminologi ―kembar siam‖ pemekaran, penggabungan, dan penghapusan daerah.8 Kedua, tetap memperkuat Negara kesatuan dengan mengusahakan dilaksanakannya demokrasi yang sesungguhnya di Indonesia dan diberlakukannya otonomi daerah yang seluas-luasnya untuk secepatnya mengatasi kesenjangan pusat dan daerah. Ketiga, tugas yang paling utama bagi pemerintah nasional di Jakarta adalah memberikan supervisi agar daerah tidak melakukan tindakan yang menyimpang dari kepentingan nasional. Kalau daerah memperlihatkan gejala yang menyimpang maka sudah seharusnya pemerintah di Jakarta mengambil tindakan yang meluruskan penyimpangan tersebut. Dengan demikian tidak aka nada keraguan di daerah terhadap pemerintah nasional, sehingga tumbuh rasa nasionalisme baru, karena mereka yakin untuk maju bersama dengan segenap warga bangsa yang ada di tanah airnya, bukan sebalikna untuk dipinggirkan. Oleh karena itu, kalau daerah kuat dalam membangun masyarakatnya, maka mereka akan sendirinya akan mendukung negara kesatuan, dan tidak ada
7
Lihat dalam Tulisan Prof. Dr. M. Ryaas rasyid, MA pada majalah TEMPO edisi 24- 30 Desenber 2007, hal 24. 40 | P a g e
Hidayat, Syarif, ―Pemekaran Kepentingan Elit‖ Kompas, 30 November 2012. Hal 6. 8
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
alasan bagi mereka untuk mendukung gerakan separatisme. Keempat, pemekaran daerah otonom baru ke depan, harus dirancang relevan dengan Design Besar Penataan Daerah (Desartada), setelah dilakukan moratorium pemekaran daerah empat tahun terakhir ini. Daerah-daerah yang akan dimekarkan, misalnya, wajib menjadi daerah persiapan selama 3-5 tahun, sebelum menjadi daerah otonom penuh. Selama menjadi daerah persiapan, semua persyaratan administratif sebagai daerah otonom harus dipersiapkan secara matang, untuk menghindari maraknya konflikkonflik ketika ditetapkan sebagai daerah otonom baru. RUU Pemerintahan Daerah juga harus menata kembali kewenangan dan urusan pemerintahan daerah, kelembagaan sumberdaya aparatur dan pembiayaan daerah yang disesuaikan dengan besaran kewenangan untuk daerah provinsi dan Kabupaten/Kota. Kelima, otonomi daerah sebagai sarana pendidikan politik. Dengan dibentuknya pemerintahan daerah, maka sejumlah lembaga demokrasi akan terbentuk pula, terutama partai-partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, media massa lokal, dan lembaga perwakilan rakyat. Lembaga-lembaga tersebut akan memainkan peranan yang strategis dalam rangka pendidikan politik warga masyarakat yang, tetntu saja, menanamkan nilai-nilai dan norma-norma yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai tersebut mencakup nilai yang bersifat kognitif, afektif, ataupun evaluatif. Ketiga nilai tersebut menyangkut pemahaman, dan kecintaan serta penghormatan terhadap kehidupan bernegara, simbol, dan para pemimpin Negara, serta tentu saja rasa nasionalisme yang kemudian diikuti oleh kehendak untuk ikut mengambil bagian
41 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
dalam proses penyelenggaraan Negara atau prorses politik. Akhirnya, otonomi daerah ini ditujukan untuk mendekatkan rakyat kepada kesejahteraan, bukan sebaliknya. Yang terjadi, elit di daerah yang lebih dekat dengan kesejahteraan. Jadi, kembalilah ke tujuan semula bahwa otonomi dan pemekaran wilayah hendaknya membuat masyarakat daerah lebih cepat menikmati kesejahteraan. DAFTAR PUSTAKA Hamid, Edy Suandi, et. al. 2004. Memperkokoh Otonomi Daerah. UII Press: Yogyakarta. Hidayat, Syarif, ―Pemekaran Kepentingan Elit” Kompas, 30 November 2012. Hal 6. http://nasional.kompas.com/read/2012/12/1 5/06072741/Mendagri.70Persen.Peme karan.Daerah.Gagal http://news.detik.com/read/2010/07/14/151 524/1399111/10/sby-80-persenpemekaran-wilayah-gagal http://feb.ub.ac.id/agus-suman-orang-kayakemiskinan.html HR, Syaukani, dkk. 2012. Otonomi Daerah Dalam Negara kesatuan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Jawa Pos, 26 Januari 2010. “Usul Pemekaran di Tangan Eksekutif”. Halaman 3 Jawa Pos, 16 Februari 2010. “Inovasi di Tengah Impitan Moratorium”. Halaman 8 Noor, Isran. Politik Otonomi Daerah Untuk Penguatan NKRI. Rasyid, Ryaas, “Pusat dan Daerah Jangan Tumpang Tindih”, Tempo, edisi 34-30 Desember 2007. Hal 24. Sabarno, Hari. 2007. Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa. Sinar Grafika: Jakarta.
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Volume 3, No. 1, Januari
2016
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM-MP) MANDIRI DI DESA IMBODU KECAMATAN RANDANGAN KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO Oleh : Iskandar Ibrahim, S.IP.,M.Si Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Ichsan Gorontalo
Abstrak Penelitian ini dimaksudkan untuk menjadi masukan berarti dalam upaya mengembangkan partispasi masyarakat perdesaan dalam upaya mensukseskan program nasional pemberdayaan mandiri (PNPM-MP) khususnya di kecamatan randangan kabupaten pohuwato. Tujuan penelitian ini adalah untukmengetahui bagaimana Partisipasi Masyarakat Dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Di Desa Imbodu Kecamatan Randangan Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo. Hasil penelitian menunjukan Partisipasi masyarakat dalam perencanaan, dimana masyarakat masih kurang berpartispasi aktif, dimana seperti dalam proses musyawarah hanya diwakili oleh kepala-kepala dusun dan tokoh-tokoh masyarakat tertentu, dan hanya menerima setiap keputusan musyawarah tanpa mau terlibat secara aktif dalam proses tersebut, hal tersebut dikarenakan kurangnya sosialisasi dan ajakan dari aparat desa sehingga menimbulkan keengganan untuk mengikuti berbagai rapat yang dilakukan didesa imbodu kecamatan randangan. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program. Pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri di desa imbodu kecamatan randangan dilakukan masyarakat secara swakelola dan difasilitasi oleh perangkat pemerintahan yang dibantu oleh fasilitator atau konsultan serta oleh PJOK, tahap pelaksanaan dilakukan setelah tahap perencanaan selesai dan telah ada dana pengalokasian kegiatan. Kata Kunci: Partisipasi Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
PENDAHULUAN Desa Imbodu adalah sebuah desa yang terletak di kecamatan randangan kabupaten pohuwato, dengan mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah sebagai petani. Tingkat kemiskinan di desa Imbodu masih sangat tinggi dimana faktor-faktor utama yang menyebabkan kemiskinan di desa Imbodu yaitu kurangnya pendidikan dan lapangan kerja serta pola pikir masyarakatnya yang masih 41 | P a g e
tradisional, sehingga kurang paham dan kurang mengerti mengenai kemajuan desa tersebut dan juga fasilitas umum seperti jalan yang tidak memadai sebagai jalur transportasi untuk kegiatan sehari-hari sehingga menghambat laju kesejahteraan masyarakat. Dengan semangat dan kerja keras serta upaya-upaya yang telah dilakukan dari berbagai pihak yang terkait untuk memajukan desa Imbodu menuju
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
perubahan kearah yang lebih baik akhirnya membuahkan hasil, sehingga pada tahun 2013 desa Imbodu kecamatan randangan mendapatkan dana dari PNPM Mandiri perdesaan Rp. 57.254.000. Selain itu juga dalam rangka mencapai visi dan misi PNPM Mandiri Perdesaan, selain menjadikan rumat tangga miskin (RTM) sebagai kelompok sasarannya peran serta partisipasi masyarakat dalam hal ini sangat menentukan. Partisipasi masyarakat pada dasarnya merupakan suatu keharusan bagi setiap penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat nasional dan daerah. Partisipasi masyarakat khususnya pada tingkat daerah dianggap sangat penting manakala pemerintah daerah atau lokal dapat melibatkan masyarakat sebagai bagian yang sangat penting bagi terselenggaranya pemerintahan, dimana pemerintah memalui aspirasi dari masyarakat dapat menampung dan melaksanakan aspirasi tersebut sesuai dengan kebutuhan dari masyarakat khususnya dalam program pembangunan. Pembangunan di desa Imbodu kecamatan randangan kabupaten pohuwato melalui program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM Mandiri) dalam hal ini lebih memprioritaskan pembangunan dalam segi infrastruktur seperti pembangunan jalan, jembatan, dan pembangunan irigasi. Karena ketiga elemen tersebut terutama jalan, kondisi jalannya rusak parah sehingga hal tersebut dapat menyebabkan terganggunya perekonomian masyarakat. Selain itu melalui PNPM Mandiri perdesaan yaitu merupakan program nasional penanggulangan kemiskinan terutama yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat misalnya SPP (Simpan Pinjam Perempuan). Program SPP ini ditujukan untuk ibu-ibu rumah tangga yang memiliki suatu usaha kecil dan juga ibu-ibu rumah tangga yang sekiranya masuk kedalam golongan tidak mampu untuk pengembangan dan pendiptaan suatu usaha baru.
42 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
Untuk meningkatkan efektifitas penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja melalui PNPM Mandiri yang kemudian dirumuskan kembali mekanisme upaya penanggulangan kemiskinan yang melibatkan unsur masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga pemantauan dan evaluasi. Melalui proses pembangunan partisipatif, kesadaran kritis dan kemadirian masyarakat, terutama masyarakat miskin dapat tumbuh kembangkan sehingga mereka bukan sebagai objek melainkan sebagai subjek upaya penanggulangan kemiskinan. Dengan pengitegrasian berbagai program pemberdayaan masyarakat ke dalam kerangka kebijakan PNPM Mandiri, cakupan pembangunan diharapkan diperluas hingga ke daerah-daerah terpencil dan terisolir. Efektifitas dan efisiensi dari kegiatan yang selama ini sering diduflikasikan antar proyek diharapkan juga dapat diwujudkan mengingat proses pemberdayaan umumnya membutuhkan waktu 5-6 tahun, maka PNPM Mandiri sekurang-kurangnya akan dilaksanakan hingga tahun 2015. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimanakah Partisipasi Masyarakat Dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Di Desa Imbodu Kecamatan Randangan Kabupaten Pohuwato? Maksud dan Tujuan Penelitian Setiap penelitian apapun tentu akan memiliki suatu tujuan dari penelitian tersebut. Hal ini sangat perlu untuk bisa menjadikan acuan bagi setiap kegiatan penelitian yang akan dilakukan. Karena tujuan merupakan tolak ukur dan menjadi target dari kegiatan penelitian. Tanpa itu semua, maka apa yang akan dilakukan akan menjadi sia-sia. Dimana maksud dan tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui Partisipasi Masyarakat Dalam
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Di Desa Imbodu Kecamatan Randangan Kabupaten Pohuwato. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut : 1. Secara teoritis a. Menambah ilmu pengetahuan melalui penelitian yang dilaksanakan sehingga memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan ilmu pemerintahan khsususnya. b. Sebagai bahan pemahaman dan pembelajaran bagi peneliti yang lain untuk melakukukan penelitianpenelitian khususnya tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. 2. Secara praktis a. Bagi pemerintah daerah diharapkan nantinya dapat dijadikan acuan pengembangan kebijakan khususnya tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. b. Bagi masyarakat, diharapkan nantinya dapat membuka ruang kesadaran masyarakat untuk mulai berperan aktif untuk berpartisipasi dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. PEMBAHASAN Konsep Partisipasi Konsep yang luas mengenai partisipasi kadang menempatkan partisipasi sebagai sebuah kata yang tidak memiliki arti yang jelas bagi setiap orang. Akibatnya partisipasi menjadi konsep omnibus (apapun dapat disebut sebagai partisipasi). Untuk lebih memahaminya ada 3 (tiga) konsep partisipasi yang dikemukakan oleh Gaventa (Sastropoetro, 2005:28) yang berkaitan dengan praktek
43 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
pemerintahan dan pembangunan yang demokratis yaitu : a. Partisipasi politik Partisipasi politik diartikan sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin Negara secara langsung maupun tidak langsung dan partisipasi politik ini lebih mengedepankan pada program-pogram sesial dan ekonomi yang mempengaruhi pengambilan keputusan sehingga terdapat persetujuan antara pemerintah dan masyarakat (Nelson, 1994:21). b. Partisipasi sosial Disamping konsep partisipasi politik diatas, di kenal juga konsep partisipasi sosial yang orientasi partisipasinya pada perencanaan, implementasi dan pengawasan pembangunan. Oleh Spriatna (2000:29) mengartikan partisipasisebagai upaya terorganisir untuk meningkatkan pengawasan terhadap sumber daya dan lembaga pengatur dalam kegiatan-kegiatan tertentu oleh berbagai kelompok masyarakat yang selama ini tidak berada dalam tubuh pemerintahan yang memainkan fungsi pengawasan. Dalam pemahaman ini partisipasi ditempatkan diluar lembaga-lembaga formal pemerintahan, sebagai keterlibatan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan konsultasi atau pengambilan keputusan, pembangunan dari evaluasi kebutuhan yang kemudian dituangkan dalam bentuk perencanaan, hingga sampai pada penilaian evaluasi dari kegiatan pembangunan tersebut. Karena sifatnya yang berada diluar lembaga formal pemerintahan, konsep ini disebut sebagai partisipasi sosial. Beberapa asumsi yang dapat diterima untuk mendorong partisipasi sosial masyarakat dalam pembangunan. 1) Pembangunan membawa konsekusensi perubahan dalam tatanan kehidupan sosial budaya masyarakat, perubahan ini
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
membawa dampak yang langsung dirasakan oleh masyarakat, apakah itu positif atau negative, masyarakat dipandang sebagai ―beneficiary” pembangunan, oleh sebab itu keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan menjadi sebuah keniscayaan. 2) Rakyat dianggap yang paling tahu kebutuhannya, oleh karena itu keterlibatan rakyat untuk mengidentifikasi dan menentukan kebutuhan pembangunan daerahnya merupakan hak rakyat tersebut. 3) Anggapan selama ini, pembangunan dilaksanakan kadang mengabaikan kepentingan dan suara masyarakat luas, kecenderungan yang ada kebijakankebijakan pembangunan lebih mengakomodir kepentingan kekuasaan, dengan adanya partisipasi sosial diharapkan dapat menjamin kepentingan masyarakat, selama ini dimarjinalkan dalam pembangunan hukum, ekonomi, dan sosial budaya. Dalam pemahaman ini, partisipasi rakyat dilakukan secara insidentil artinya keikutsertaan rakyat dalam kegiatan pembangunan berjalan sering dengan proyek yang partisipasi yang selesai. c. Partisipasi warga Telah ditemukan sebelumnya partisipasi politik menekankan pada lembaga ―representasi‖ dalam hal ini orang-orang yang telah diberikan kepercayaan oleh rakyat untuk menyelenggaraakan kegiatan pemerintahan. Partisipasi rakyat sebatas keikutsertaan mereka dalam proses-proses pemilu hingga pemberian suaranya, selanjutnya wakilwakil rakyat yang duduk dilembaga perwakilan dan pemerintah yang menyelenggarakan pemerintahan karena mereka dianggap telah mewakili kepentingan rakyat.
44 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
Konsep Partisipasi Masyarakat Dalam rangka pembangunan bangsa yang meliputi segala aspek kehidupan, partisipasi masyarakat memainkan peranan penting, bahkan Bintoro Tjokroamijojo (1982:38) menegaskan pembangunan yang meliputi segala segi kehidupan, politik, ekonomi dan sosial budaya itu baru akan berhasil apabila merupakan kegiatan melibatkan partisipasi dari seluruh rakyat didalam suatu Negara. Sementara itu Katz dalam Tjokroamijojo (1982:38) menempatkan partisipasi sebagai salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan, disamping faktor-faktor tenaga terlatih, biaya, informasi, peralatan dan kewenangan yang sah. Sedangkan arbi sanit dalam Tjokroamijojo (1982:38) menandaskan apabila kita berbicara mengenai pembanguna, sesungguhnya yang diperbicarakan adalah keterlibatan sekeluruhan masyarakat sebagai system terhadap masalah yang dihadapinya dan pencarian bagi masalah tersebut. Masyarakat sendiri dapat berpartisipasi pada beberapa tahap, terutama dalam pembangunan, yakni : pata tahap inisiasi, legitimasi, dan eksekusi atau dengan kata lain, pada tahap decision making, implementation, benefit, dan tahap evaluation. Atau yang dirumuskan Bintoro Tjokroamoto. Pertama keterlibatan aktif atau partisipasi masyarakat tersebut dapat berarti keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi dan kebijaksaan. Kedua, adalah keterlibatan dalam memikul hasil dan manfaat pembangunan secara berkeadilan. Dari pendapat yang ada tersebut dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat dapat terjadi pada empat jenjang : 1. Partisipasi dalam proses pembuatan keputusan Setiap prose penyelenggaraan, tertutama dalam kehidupan bersama masyarakat, pasti melewati tahap
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
penentuan kebijaksanaan. Dalam rumusan yang lain adalah menyangkut nasib mereka secara keseluruhan. Dalam keadaan yang paling ideal keikutsertaan masyarakat untuk membuat putusan politik yang menyangkut nasib mereka, adalah ukuran tingkat partisipasi rakyat. Semakin besar kemampuan untuk menentukan nasib sendiri, semakin besar partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Demikian pula secara sederhana dapat diketahui bahwa masyarakat hanya akan terlibat dalam aktivitas selanjutnya apabila mereka merasa ikut andil dalam menentukan apa yang akan dilaksanakan. 2. Partisipasi dalam pelaksanaan, Partisipasi ini merupakan tidak lanjut dari tahap pertama diatas, bahwa partisipasi dalam pembangunan ini dapat dilakukan melalui keikutsertaan masyarakat dalam memberikan kontribusi guna menunjang pelaksanaan pembangunan yang berwujud tenaga, uang, barang material, ataupun informasi yang berguna bagi pelaksanaan pembangunan. Hal penting yang perlu diperhatikan disini, kesediaan untuk membantu keberhasilan setiap program sesuai kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri sudah terkategorikan ke dalam pengertian partisipasi. 3. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil, Setiap usaha bersama manusia pembangunan, misalnya bagaimana pun ditujukan untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama anggota masyarakatnya. Oleh sebab itu, anggota masyarakat berhak untuk berpartisipasi dalam menikmati setiap usaha bersama yang ada. Demikian pula halnya dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah, rakyat/masyarakat daerah harus pula dapat menikmati hasilnya secara adil. 45 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
Adil dalam pengertian disini adalah setiap orang mendapatkan bagiannya sesuai dengan pengorbanannya dan menurut normanorma yang umum diterima. Sedangkan norma-norma yang dapat dijadikan ukuran dapat berupa norma hukum (peraturan-perundangan), ataupun berupa nilai-nilai etika dan moral keagamaan. 4. Partisipasi dalam evaluasi Sudah umum disepakati bahwa setiap penyelenggaraan apapun dalam kehidupan bersama, hanya dapat dinilai berhasil apabila dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Untuk mengetahui hal ini, sudah sepantasnya masyarakat diberi kesempatan menilai hasil yang telah dicapai. Demikian pula dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, masyarakat dapat dijadikan sebagai hakim yang adil dan jujur dalam menilai hasil yang ada. Partisipasi bukanlah proses yang instan tapi perlu memiliki basis yang kuat yakni modal sosial. Modal sosial merupakan kemampuan orang bekerja sama, pengetahuan bersama, pemahaman bersama, pranata bersama, dan pola-pola interaksi untuk mencapai tujuan bersama dalam organisasi kecil sampai besar seperti Negara, modal sosial juga dapat mengandalkan hubungan kontraktual dan aturan formal, maupun dalam ikatan-ikatan primordial yang sempit, melainkan bersandar pada nilai-nilai dari normanorma yang menjadi panduan utama bagia setiap orang untuk berpikir dan bertindak. Pengertian dan Tujuan PNPM Mandiri PNPM Mandiri adalah program nasional penanggulangan kemiskinan terutama yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Pengertian yang terkandung mengenai PNPM Mandiri adalah ; 1. PNPM Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acual pelaksanaan program-program penanggulangann kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Mandiri dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendamping dan pendanaan simultan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan. 2. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk menciptakan/meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun secara berkelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan terkait upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraan. Pemberdayaan masyarakat memerlukan keterlibatan yang besar dari perangkat pemerintah daerah serta berbagai pihak untuk memberikan kesempatan dan menjamin keberlanjutan berbagai hasil yang dicapai. Sedangkan tujuan yang diingi dicapai dalam pelaksanaan PNPM Mandiri, yang tujuan umumnya yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri, sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai dalam PNPM Mandiri yaitu sebagai berikut : 1. Meningkatkan partisipasi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas kelompok adat terpencil dan kelompok masyarakat lainnya yang rentan dan sering terpinggirkan kedalam proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan pembangunan. 2. Meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat yang mengakar, refresentatif dan akuntabel. 3. Meningkatkan kapasitas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat tertutama masyarakat miskin melalui kebijakan, program da pengangguran yan berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor). 4. Meningkatkan sinergi masyarakat, pemerintah daerah, swasta, asosiasi, 46 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat dan kelompok peduli lainnya untuk mengefektifkan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan. 5. Meningkatkan keberadaan dan kemandirian masyarakat, serta kapasitas pemerintah daerah dan kelompok perduli setempat dalam menanggulangi kemiskinan diwilayahnya. 6. Meningkatkan modal sosial masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi sosial dan budaya serta untuk melestarikan kearifan lokal. Meningkatkan inovasi dan pemanfaatan teknologi tepat guna, informasi dan komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat. Pendekatan dan Komponen PNPM Mandiri Pendekatan atau upaya-upaya rasional dalam mencapai tujuan program dalam pedoman umum PNPM Mandiri (2007:13) dengan memperhatikan prinsipprinsip pengelolaan program adalah pembangunan yang berbasi masyarakat dengan : 1. Menggunakan kecamatan sebagai lokus program untuk mengharmonisasikan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian program. 2. Mempromosikan masyarakat sebagai penentu/pengambil kebijakan dan pelaku utama pembangunan pada tingkat lokal. 3. Mengutamakan nilai-nilai universal dan budaya lokal dalam proses pembangunan partisipasi. Sedangkan untuk rangkaian proses pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui komponen program sebagai berikut : 1. Pengembangan masyarakat. Merupakan komponen pengembangan masyarakat mencakup serangkaian kegiatan untuk membangun kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat yang terdiri dari pemetaan potensi,
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
masalah dan kebutuhan masyarakat, perencanaan partisipatif, pengorganisasian, pemanfaatan sumber daya, pemamtauan dan pemeliharaan hasil-hasil yang telah dicapai. Untuk mendukung rangkaian tersebut, disediakan dana pendukung kegiatan pembelajaran masyarakat, pengembangan relawan dan operasional. Pendampingan masyarakat : dan fasilitator, pengembangan kapasitas, media dan advokasi. Peran fasilitator terutama pada saat awal pemberdayaan, sedangkan relawan masyarakat adalah yang utama sebagai motor penggerak masyarakat diwilayahnya 2. Bantuan langsung masyarakat Komponen bantuan langsung masyarakat (BLM) adalah dana stimulan keswadayaan yang diberikan kepada kelompok masyarakat untuk membiayai sebagian kegiatan yang direncanakan oleh masyarakat dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan terutama masyarakat miskin. 3. Peningkatan kapasistas pemerintahan dan pelaku lokal Komponen peningkatan kapasitas pemerintah dan pelaku lokal/kelompok perduli lainnya agar mampu menciptakan kondisi yang kondusif dan sinergi yang positif bagi masyarakat terutama kelompok miskin dalam menyelenggarakan hidupnya secara layak kegiatan terkait dalam komponen ini diantaranya seminar, pelatihan, lokakarya, kunjungan lapangan yang dilakukan secara selektif dan sebagainya. 4. Bantuan pengelolaan dan pengembangan program Komponen ini meliputi kegiatankegiatan untuk mendukung pemerintah dan berbagai kelompok peduli lainnya dalam pengelolaan kegiatan seperti penyediaan konsultan manajemen, pengendalian mutu, evaluasi dan pengembangan program.
47 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
5. Menggunakan pendekatan pemberdayaan yang sesuai, yang terdiri dari atas pembelajaran karakterisitik sosial, budaya dan geografis. 6. Melalui proses pemberdayaan yang terdiri dari atas pembelajaran, kemandirian dan keberlanjutan. (Pedoman Umum PNPM Mandiri, 2007:16). HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Desa Imbodu Kecamatan Randangan Desa Imbodu adalah sebuah desa yang dulu dinamakan kampong imbondu berdiri sejak tahun 1920 silam. Dahulu desa imbodu adalah dataran yang ditumbuhi semak belukar yang ditempati oleh binatang-binatang buas. Asal mula penduduk imbodu yaitu merupakan pemukiman lingkungan yang terdiri dari kelompok masyarakat yang dating dari berbagai macam kampung saat itu untuk mencari nafkah kehidupan mereka dan dikepalai oleh seorang pemuka masyarakat yang digelar Bantalo atau pemimpin lingkungan. Mata pencaharian masyarakat pada saat itu adalah pergi ke hulu mencari rotan dan damar untuk menafkahi keluarga. Setelah lingkungan ini berkembang penduduknya, maka pada tahun itu juga masyarakat bermusyawarah membentuk kampung imbodu yang dikepalai oleh seorang tokoh masyarakat dari gorontalo bernama LAGANI BUMULO tahun 1920 dan nama kampung imbodu berasal dari kata Himbunga atau Ibode yang artinya (Bantu membantu dalam melaksanakan segala kegiatan yang ada dilingkungan itu). Pada masa pemerintahan kepala kampung Bapak LAGANI BUMULO masyarakat diatur dan diarahkan untuk bercocok tanam padi, jagung dan lain-lain. Dengan hasil produksi cocok tanam padi dan jangung dapat mencukupi kebutuhan masing-masing keluarga tersebut, sehingga mata pencaharaian masyarakat pergi ke hulu untuk mencari damar dan rotan mulai hilang. Sampai dengan saat ini secara
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
geografis desa imbodu adalah lading pertanian dan perkebunan. Adapun visi desa imbodu kecamatan randangan adalah ―Terwujudnya Masyarakat Imbodu Yang Beriman, Bertaqwa Dalam Masyarakat Kemandirian dan Kesejahteraan‖. Sedangkan dalam rangka menunjang visi maka dibuatlah misi desa imbodu sebagai berikut : 1. Meningkatkan persatuan serta mengamalkan ajaran agama dan meningkatkan aktivitas organisasi masyarakat 2. Meningkatkan sumber daya manusia 3. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam aktifitas pemerintah pembangunan dan masyarakat 4. Mewujudkan pemerintah amanah, yang bersih dan berwibawa 5. Peningkatan ekonomi masyarakat desa dan produktifitas Partispasi Masyarakat Dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan Di Desa Imbodu Kecamatan Randangan Partisipasi Dalam Perencanaan Dalam perencanaan tentunya ada perencanaan partisipatif dimana dalam pengambilan keputusan melibatkan unsur masyarakat serta pemerintah sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dalam mekanisme perencanaan PNPM Mandiri didesa imbodu kecamatan randangan dimulai dari dusun yaitu memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada masyarakat baik perempuan maupun lakilaki, terutama sekali yang diutamakan untuk masyarakat yang tidak mampu untuk dilibatkan secara aktif dalam pengambilan keputusan perencanaan pembangunan. Dan kualitasnya itu sendiri dapat dilihat dari jumlah masyarakat yang hadir, kualitas pendapat/gagasan/usulan, serta dokumen perencanaan yang diusulkan. Indikatorindikator yang dapat digunakan untuk melihat partisipasi masyarakat dalam perencanaan PNPM Mandiri sendiri agar berjalan baik yaitu :
48 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
Pertama, dapat dilihat dari partispasi masyarakat itu sendiri dalam melaksanakan program tersebut. Partsipasi masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di desa imbodu dimana masyarakat dilibatkan secara aktif dimulai dengan cara meningkatkan kesadaran masyarakat melalui sosialisasi, pertemuan masyarakat refleksi kemiskinan pemetaan swadaya untuk identifikasi masalah, potensi dan kebutuhan masyarakat yang dituangkan dalam rencana pembangunan jangka menengah dan rencana kerja pembangunan desa (RPJM-Des & RKPDesa). Kedua, partisipasi masyarakat dapat dilihat dari kebutuhan masyarakat akan program tersebut. Apakah hal itu selalu disesuikan atau tidaknya dengan kebutuhan masyarakat. Ketika penulis melakukan penelitian maka partispasi ini selalu disesuaikan dengan kebutuhan dari masyarakat, alasanya agar pembangunan itu tepat sasaran dan masyarakat dapat merasakan manfaatnya secara langsung. Karena dalam proses musyawarah pun masyarakat dilibatkan. Jadi tidak mungkin pembangunan yang dilakukan tanpa ada perhitungan yang matang dari masyarakat. Ketiga, partisipasi masyarakat dalam perencanaan juga dapat dikaitkan dengan tujuan dimana masyarakat dilibatkan dalam penentuan tujuan dari serangkaian kegiatan PNPM Mandiri, pada perencanaan ini didesa imbodu khususnya masyarakat selalu dilibatkan dalam penentuan tujuan karena masyarakat merupakan bagian terpenting dalam melakukan program tersebut, agar tercipta masyarakat yang mandiri dan berdaya dan dapat memecahkan permasalahan yann menjadi keinginan masyarakat tersebut. Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan oleh penulis dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat dalam perencanaan PNPM Mandiri di desa imbodu kecamatan randangan, dalam hal ini masyarakat selalu dilibatkan dalam melakukan program khususnya pada tahap awal perencanaan. Kemudian hasil
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
perencanaan ini menjadi prioritas perencanaan pembangunan partisipatif PNPM Mandiri. Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Pelaksanaan kegiatannya meliputi : 1) persiapan pelaksanaan (Rapat Koordinasi Awal di kecamatan, dan rapat persiapan pelaksanaan di desa). 2) pelaksanaan (penyaluran dana, pengadaan tenaga kerja, pengadaan bahan dan alat, rapat evaluasi TPK), 3) Musdes pertanggungjawaban, 4) sertifikasi, 5) revisi kegiatan, 6). Dokumentasi kegiatan, dan 7) penyelesaian kegiatan (pembuatan laporan penyelesaian pelaksanaan kegiatan, pembuatan dokumen penyelesaian, berita acara status pelaksanaan kegiatan). Pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri di desa imbodu kecamatan randangan dilakukan oleh masyarakat secara swakelola dan difasilitasi oleh pemerintah yang dibantu oleh fasilitator atau konsultan, tahap pelaksanaan dilakukan setelah tahap perencanaan selesai dan telah ada dana pengalokasian kegiatan. Sedangkan dalam proses partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PNPM Mandiri di desa imbodu dapat dilihat dari keaktifan masyarakat untuk melaksanakan pekerjaan dengan memberikan kontribusi (uang, tenaga dan pikiran) untuk menunjang setiap program pembangunan. Masyarakat desa imbodu dari dulu sampai sekarang mereka selalu menginginkan adanya pembangunan fisik terutama pembangunan jalan, karena jalan utama yang ada di desa sepanjang 2000 M, kondisi jalanya sudah rusak parah. Pada saat pelaksanaan pembangunan jalan tidak mengalami kendala yang berarti, karena masyarakat sangat aktif didalamnya. Dari hasil pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa peran serta masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan sangat tinggi, dalam hal ini tenaga yang melakukan pembangunannya sendiri dilakukan oleh masyarakat setempat, karena sebagian masyarakat desa imbodu 49 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
sedikit banyaknya mengerti mengenai pembangunan. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengawasan Jenis kegiatan pemantauan didalam PNPM Mandiri meliputi pemamtauan internal, dan pemantauan eksternal. Pemantauan internal merupakan yang dilakukan oleh para pelaku program, yaitu mereka yang terlibat secara langsung dalam program. Mereka adalah pelaksana program, aparat pemerintah, lembaga pemberi dana ataupun manfaat. (a) pemantauan partisisipatif oleh masyarakat, (b) pemantauan oleh konsultan dan fasilitator, (c) pemantauan oleh pemerintah yang berwenang, (d) pemantauan penanganan pengaduan (complain) dan proses penyelesaian masalah, (e) studi kasus dan dokumentasi tentang beberapa pelajaran yang bisa dipetik. Sedangkan untuk pemantauan ekternal dilakukan oleh pihak luar yang independen. Pemantauan eksternal diharapkan dapat memberi pandangan yang lebih objektif dan badan yang independen yang tidak secara langsung terlibat dalam pelaksanaan program. Pertama, dilihat dari keterlibatan masyarakat dalam program PNPM Mandiri khususnya mengenai pengawasan, mereka dilibatkan langsung dalam pengawasan agar tidak terjadi penyimpangan dalam program tersebut, pengawasan ini dilakukan oleh masyarakat guna untuk menjaga agar proses pembangunan dapat berjalan dengan baik dan diharapkan jauh dari penyelewengan-penyelewengan. Kedua, partisipasi masyarakat juga terkait dengan prosedur yang dijalankan, untuk partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pengawasan dapat dilihat dari itngkat desa sendiri yaitu pihak desa menilai pada saat mereka datang pada masyarakat untuk memantau pelaksanaan program, dimana PJOK datang setiap satu minggu sekali untuk mengawasi program. Dengan melihat pembangunan jalan telah selesai yang dibiayai dari PNPM Mandiri di desa imbodu, penulis telah melakukan
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
wawancara kepada sebagian masyarakat guna mendapatkan penilaian terkait dari hasil pembangunan jalan tersebut. Dari beberapa pemaparan hasil wawancara diatas dapat penulis simpulkan bahwa partispasi masyarakat dalam pengawasan sangat baik sekali, selain pengawasan yang dilakukan oleh PJOK dan konsultan sendiri. Dalam hal ini hasil pembangunan jalan di desa imbodu yang di biayai dari PNPM Mandiri kurang sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat, setelah peneliti melakukan wawancara terhadap beberapa tokoh masyarakat desa imbodu, banyak masyarakat yang menggerutu dan sedikit kecewa hasil dari pembangunan tersebut, namun dalam hal ini masyarakat tidak bisa bicara banyak, mereka berasumsi daripada tidak dibangun sama sekali meskipun kondisinya tidak memuaskan masyarakat tetap bersyukur karena sudah lebih baik daripada sebelumnya. Partisipasi Masyarakat Dalam Pemanfaatan dan Pemeliharaan Pemanfaatan dan pemeliharaan didalamnya meliputi menerima hasil pembangunan seolah-olah milik sendiri, menggunakan atau memanfaatkan setiap hasil pembangunan, menjadikan atau mengusahakan suatu lapangan usaha, merawat secara rutin, mengatur kegunaan atau memanfaatkannya, mengusahakan dan mengamankannya serta mengembangkannya. Partisipasi dalam pemeliharaan dan pemanfaatan berarti mendukung kearah pembangunan yang serasi dengan martabat manusia keadilan social dan memelihara alam sebagai lingkungan manusia untuk generasi yang akan datang. Pertama, penerimaan masyarakat terhadap hasil pembangunan yaitu diharapkan masyarakat dapat menerima hasil pembangunan seolah-olah milik sendiri, sehingga pada akhirnya masyarakat akan menjaga dan memelihara serta memanfaatkan hasil pembangunannya demi kelancaran dan kemajuan bersama. 50 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
Kedua, partisipasi masyarakat dapat dilihat dari manfaat yang dapat diambil dari pembangunan, manfaat yang dapat dirasakan masyarakat dari hasil pembangunan jalan banyak sekali, dalam hal ini masyarakat mendapatkan kemudahan dari akses jalan, transportasi menjadi lancar, dan perekonomian masyarakat meningkat. Ketiga, partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan dan pemeiliharaan dapat dilihat dari masyarakat yang mengatur program dan maupun mengamankan setiap program yang sudah dijalankan. Dimana dalam hal ini masyarakat diberikan kebebasan untuk mengatur setiap program yang sudah dijalankan, diantaranya memanfaatkan pembangunan yang sudah dilaksanakan dengan cara memanfaatkannya sebaik mungkin, dalam hal ini memang sudah sepatutnya masyarakat menggunakan pembangunan sebaik mungkin agar pembangunan jalan bisa awet dan tidak cepat rusak. Berdasarkan pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan dan pemeliharaan hasil pembangunan berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan, dalam hal ini tingkat kesadaran masyarakat untuk menjaga hasil pembangunan seolah-olah milik sendiri sudah nampak adanya, sehingga kalau sekiranya adanya kerusakan-kerusakan kecil yang dapat diperbaiki dengan tenaga mereka, dalam hal ini masyarakat akan insiatif untuk memperbaikinya dan memiliki kesadaran untuk hal itu. Hasil penelitian dan temuan lapangan sangat berkaitan dengan teori yang menjadi rujukan dalam penelitian ini yakni teori yang bersumber dari Coben dan Uphoff disadur Maskun (1994:23) mengatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan teribat dalam 4 (empat) hal yaitu : pertama, Partisipasi dalam perencanaan merupakan sautu rencana atau keputusan yang telah disiapkan oleh pemerintah dalam masyatakat hanya dapat menyatakan untuk
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
setuju tidak akan membawa hasil yang diharapkan. Kedua, Partisipasi dalam pelaksanaan merupakan hubungan antara pelaksanaan dan pelaksanaannya cukup erat, masalah pelaksanaannya sudah cukup dipertimbangkan dalam menyusun rencana. Ketiga, Partisipasi dan pengawasan merupakan aktivitas untuk menemukan, mengoreksi penyimpanganpenyimpangan terhadap aktivitas yang telah direncanakan. Dan Keempat, Partisipasi dalam pemeliharaan dan pemanfaatan meliputi ; menerima hasil pembangunan seolah-olah miliki sendiri, menggunakan atau memanfaatkan setiap hasil pembangunan, menjadikan atau mengusahakan suatu lapangan usaha, merawat secara rutin dan sistematis, mengatur kegunaan dan memanfaatkannya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai partispasi masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan di Desa Imbodu Kecamatan randangan Kabupaten Pohuwato. Adapun kesimpulan dari penelitian ini yaitu : Partisipasi masyarakat dalam perencanaan, dimana masyarakat masih kurang berpartispasi aktif, dimana seperti dalam proses musyawarah hanya diwakili oleh kepala-kepala dusun dan tokoh-tokoh masyarakat tertentu, dan hanya menerima setiap keputusan musyawarah tanpa mau terlibat secara aktif dalam proses tersebut, hal tersebut dikarenakan kurangnya sosialisasi dan ajakan dari aparat desa sehingga menimbulkan keengganan untuk mengikuti berbagai rapat yang dilakukan didesa imbodu kecamatan randangan. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program. Pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri di desa imbodu kecamatan randangan dilakukan masyarakat secara swakelola dan difasilitasi oleh perangkat pemerintahan yang dibantu oleh fasilitator atau konsultan serta oleh PJOK, tahap pelaksanaan dilakukan setelah tahap 51 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
perencanaan selesai dan telah ada dana pengalokasian kegiatan. Di desa imbodu dapat dilihat dari proses pelaksanaan PNPM Mandiri itu sendiri, keaktifan masyarakat untuk melaksanakan pekerjaan dengan hanya memberikan kontribusi berupa tenaga dan pikiran saja untuk menunjang proses pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam pengawasan PNPM Mandiri dilakukan oleh masyarakat secara umum yang dibantu oleh fasilitator desa, konsultan, PJOK, LSM, BPD serta wartawan guna menjamin pelaksanaan pembangunan yang direncanakan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ditetapkan dan memastikan bahwa dana yang digunakan tepat sasaran, dan untuk pengawasan di desa imbodu, sebagian masyarakat telah memberikan partispasi masyarakat dalam pengawasan kegiatan tersebut meskipun banyak juga masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam pengawasan.Partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan dan pemeliharaan hasil pembangunan dari PNPM Mandiri di desa imbodu, dapat dilihat dari manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dalam pembangunan seperti pembangunan jalan desa sepanjang 2000 M yang sudah dilakukan antara lain dapat membantu meningkatkan perekonomian masyarakat, kemudian alat transportasi menjadi lancar dan mudah untuk dilalui baik roda dua maupun roda empat. Saran Berangkat dari hasil penelitian dan kesimpulan yang telah diuraikan maka peneliti mencoba untuk memberikan saransaran sebagai berikut : 1. Partisipasi masyarakat dalam PNPM Mandiri di desa imbodu masih kurang, oleh karena itu diharapkan bagi aparat desa untuk melakukan pendekatan persuasif dan sosialisasi kepada seluruh masyarakat terkait dengan manfaat PNPM Mandiri yang akan berjalana maupun yang akan datang. 2. Masyarakat desa imbodu kecamatan randangan diharapkan meningkatkan peran sertanya dalam program PNPM Mandiri mulai dari perencanaan
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
pelaksanaan, pengawasan dan pemeliharaan dan pemanfaatan karena semua itu akan menentukan keberhasilan dan kelancaran berjalannya program PNPM Mandiri di desa imbodu sendiri. DAFTAR PUSTAKA Joe, Fernandes, 2002, Otonomi Daerah Di Indonesia Masa Reformasi, Jakarta Institute For Policy and Community Development Studies (IPCOS) Kaho, Riwo, Joseph, 2005, Prosfek Otonomo Daerah Di Negara Republik Indonesia, Jakarta, Radja Grafindo Persada. Kartasasmita Ginanjar, 1996, Pembangunan Untuk Rakyat, Jakarta, Cides Kuromotomo, Wahyudi, 2002, Etika Administrasi Negara, Jakarta Radja Grafindo Persada. Maskun, Soemitro. 1994, Pembangunan Masyarakat Desa : Asas, Kebijakandan Manajemen, PT Media Widya Mandala, Yogyakarta Milles, Mathew, B dan Huberman AM, 1992, Analisis Data Kualitatif, Jakarta Universitas Indonesia Moleong, L, J, 2007 Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, Remadja Rosdakarya. Sastropoetro, Santoso R.A. 1988. Partisipasi, Komunilasi, Persuasi, dan Disiplin Dalam Pembangunan Nasional. Bandung: Alumni Siagian Sondang, P, 2008, Administrasi Pembangunan Konsep, Dimensi, dan Strateginya, Jakarta, Bumi Aksara.
52 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
Sjafari, Agus dan Sumaryo, 2007, Pembangunan Masyarakat, Bogor, CDI Pres Sugiyono, 2008, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif dan R&D, Bandung, Alfabeta. Sjamsudin, Haris, 2005, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Jakarta, LIPI Press. Supriatna, Tjahya. 2000. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. Jakarta: Rineka Cipta Tjokroamijoyo, Bintoro, dkk, 1982, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Jakarta, Gunung Agung. Tjokroamijoyo, Bintoro, dkk, 1990, Pengantar Administrasi Pembangunan, Jakarta, LP3ES. Sumber Lain : Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RPJM-DS dan RPK-Desa) Desa Imbodu Kecamatan Randangan, Kabupaten Pohuwato, 2011-2015. Modul Tim Pemantau Desa Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pedoman Penyusunan dan Pendayagunaan Data Desa dan Kelurahan. Pedoman Umum PNPM Mandiri Tahun 2007 PTO (Petunjuk Teknis Operasional) Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan.
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Volume 3, No. 1, Januari
2016
MENINGKATKAN PROFESIONALISME PELAYAN PUBLIK MELALUI PENDEKATAN PENDIDIKAN NON-FORMAL DALAM RANGKA MEMENUHI KEPUASAN PUBLIK
Oleh Dr. Rulam Ahmadi, M.Pd. (Dosen Universitas Islam Malang - UNISMA)
[email protected] www.infodiknas.com Abstrak Perubahan sosial terus berlangsung. Setiap perubahan memunculkan persoalan dan kebutuhan baru. Perubahan sosial terjadi antara lain karena perkembangan ilmu dan teknologi (IPTEK), khususnya teknologi informasi dan komunikasi terus berlangsung dan membawa dampak para perubahan dan perkembangan dalam semua sektor pembangunan, khususnya dalam pelayanan publik. Waktu dan jarak semakin sempit dan tanpa batas sehingga memungkinkan arus informasi dan komunikasi dalam waktu singkat dapat beredar ke seluruh penjuru dunia. Semua orang, masyarakat, atau organisi (institusi) tidak mempunyai alasan untuk tidak beradaptasi dengan perkembangan yang sedang terjadi, atau mereka menjadi korban perubahan dan perkembangan yang sedang dan akan terjadi. Semua orang dan institusi harus belajar untuk meningatkan profesionalismenya sehingga memungkinkan untuk mampu ikut ambil bagian dalam perkembangan yang terjadi. Begitu pula bagi pelayan publik bahwa menjadi kebutuhan dan tuntutan untuk terus meningkatkan profesionalismenya sehingga proses pelayanan publik dapat berjalan secara efisien dan efektif. Kata Kunci: profesionalisme, pelayanan publik, pendidikan non-formal
1. Pendahuluan Dari waktu ke waktu pelayan publik (pemerintah non-pemerintah) dituntut untuk terus meningkatkan berkemampuan menyesuaika diri terhadap setiap perubahan dan tuntutan baru yang terjadi terkait dengan tugas dan tanggung jawab kerjanya. Pengetahuan, keterampilan, atau sikap yang beberapa waktu lalu efektif untuk melaksanakan tugas layanan publik, maka untuk masa mendatang semua itu akan mengalami penurunan daya guna. Setiap perubahan akan membawa dampak dan tuntutan baru yang akan berimbas pada
53 | P a g e
prasyarat dimilikinya kemampuan baru pula. Modal kemampuan yang diperoleh di perguruan tinggi beberapa saat yang silam dan masih bisa diterapkan dalam lapngan kerja saat ini, maka kemampuan itu bisa tidak memiliki daya suai terhadap tuntuan baru di masa mendatang. Pelayan publik dituntut untuk belajar kemampuan baru, tetapi untuk memperoleh kemampuan baru itu tidak mungkin atau tidak harus diperoleh dari jalur studi di lembaga pendidikan formal karena sistem yang dikembangkan di pendidikan formal sangat ketat dan memakan waktu yang relatif
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
lama. Adapun dunia lapangan (tugas) pelayan publik memiliki kebutuhan untuk memiliki kemampuan baru yang bisa dikuasai secara singkat karena tuntutan kerja yang mendesak. Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang mendesak itu tidak mungkin melalui jalur formal, melainkan melalui jalur pendidikan nonformal atau informal. Dalam kupasan ini fokus pada lingkup pendidikan non-formal. Pendidikan non-formal cocok bagi masyarakat yang sudah bekerja untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap baru yang berkenaan dengan lapangan kerjanya masing-masing. 2. Mengapa Perlu Peningkatan Profesionalisme? Ada beberapa alasan yang mendorong pentingnya usaha meningkatan profesionalis pelayan publik (aparatur), yang diantaranya adalah: 1) Perubahan sosial yang sangat cepat dan kompleks yang disertai dengan munculnya tuntutan-tuntutan baru yang berkembang di masyarakat, dan persoalan-persoalan dalam semua sektor kehidupan masyarakat (pembangunan).. 2) Masih rendahnya kualitas pelayanan publik dalam hal penyalahgunaan wewenang, praktik korupsi, kolusi dan nepotisme serta pungutan liar. 3) Masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur pemerintah, dan tidak pedulinya teman sejawat atas penyimpangan yang dilakukan oleh koleganya. 4) Konsekuensi peranan aparatur (pelayan publik) yang jenis pekerjaannya adalah termasuk pekerjaan profesional. Pekerjaan seperti ini menuntut adanya pengembangan diri secara berkelanjutan untuk terus beradaptasi dengan pengetahuan baru, keterampilan baru, dan sikap baru. 5) Azaz pendidikan seumur hidup. Azaz pendidikan seumur hidup 54 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
mendorong setiap manusia, khususnya aparatur pemerintah untuk terus belajar sepanjang masa jabatannya. 6) Gejala lemahnya pelayanan aparatur pada publik, termasuk berbagai kasus penyimpangan dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. 7) Lemahnya kemampuan aparatur pemerintah dalam hal pemanfaatan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Paling tidak ada tujuah faktor yang mendorong perlunya dilakukan peningkatan profesionalisme aparatur pemerintahebagai pelayan publik sehingga publik betul-betul memperoleh pelayanan yang perima dan pada gilirannya untuk mengakselerasi pencapaian tujuan pembangunan nasional. Peningkatan profesionalisme aparatur pemerintah hendaknya dilakukan secara terprogram, serempak, dan berkelanjutan. Hanya dengan cara demikian maka program peningkatan profesionalisme aparatur pemerintah dapat membawa hasil sesuai harapan dan tuntutan yang tak pernah berhenti. 3. Konsep Profesionalisme Kata profesionalisme merujuk pada suatu pekerjaan yang mensyaratkan dimiliknya keahlian spesifik berdasarkan pendidikan yang spesifik yang ditunjukkan dengan adanya ijasah, dan dalam melaksanakan pekerjaan profesional diperoleh imbalan yang layak sesuai dengan standar yang ditetapkan sebelumnya. Banyak ahli memberikan definisi profesionalisme dengan beragam, diantaranya sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ahli berikut. Badudu dan Zaini dalam Sedarmayanti (2004:76) mengemukakan bahwa profesionalisme adalah: 1. Berasal dari kata ―profesi‖ yang artinya: a. Pekerjaan daripadanya didapatkan pendapatan nafkah untuk hidup.
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
b. Pekerjaan yang dikuasai karena pendidikan keahlian. 2. Profesionalisme artinya: a. Bersifat profesi. b. Memiliki keahlian dan keterampilan karena pendidikan dan latihan. c. Memperoleh bayaran karena pekerjaan itu. Menurut Thomas H. Pattern Jr., profesionalisme dalam Sedarmayanti (2004:76-77) bahwa disebut profesionalisme apabila pekerjaan itu mencerminkan adanya dukungan berupa: 1. Ciri pengetahuan. 2. Diabdikan untuk kepentingan orang lain. 3. Keberhasilan pekerjan tersebut bukan didasarkan pada keuntungan finansial. 4. Didukung oleh adanya organisasi (asosiasi), profesi tersebut antara lain menentukan berbagai ketentuan yang merupakan kode etik dan tanggung jawab dalam memajukan dan penyebarannya profesi yang bersangkutan. 5. Ditentukan adanya standar kualifikasi profesi Sedangkan menurut Legge dan Exley dalam Sedarmayanti (2004:77) bahwa profesionalisme adalah: 1. Keterampilan yang didasarkan atas pengetahuan teoritis. 2. Diperoleh dengan pendidikan tinggi dan latihan kemampuannya diakui oleh rekan sejawatnya. 3. Punya organisasiprofesi yang menjamin berlangsungnya budaya profesi melalui persyaratan untuk memasuki organisasi tersebut, yaitu ketaatan pada kemanusiaan. Semana (1995) dalam dalam Sedarmayanti (2004:77) bahwa profesionalisme adalah: 1. Seorang pekerja yang terampil atau cakap dalam bekerja. 2. Seseorang yang dituntut menguasai visi yang mendasari keterampilannya yang menyangkut wawasan filosofis, pertimbangan nasonal, dan memiliki
55 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
sikap yang positif dalam melaksanakan serta mengembangkan mutu karyanya. 3. Mempunyai ciri: a. Memerlukan persiapan atau pendidikan khusus. b. Memenuhi persyaratan yang telah dibebankan oleh pihak yang berwewenang. c. Mendapat pengakuan masyarakat atau negara. d. Berkecakapan kerja (berkeahlian) sesuai dengan tugas khusus serta tuntutan dari jenis jabatannya. e. Menurut pendidikan yang terprogram secara relevan, sehingga terselenggara secara efektif dan efisien dan tolok ukur yang berstandar. f. Berwawasan sosial, bersikap positif terhadap jabatannya dan perannya serta bermotivasi untukl bekerja dengan sebaikbaiknya. g. Memiliki kode etik yang harus dipenuhi. h. Mencintai profesinya dan memiliki etos kerja yang tinggi serta selalu meningkatkan diri serta karyanya. Jadi profesionalisme itu adakah suatu jenis pekerjaan tertentu yang menuntut dimilikinya disiplin ilmu atau keahlian tertentu yang dikembangkan secara terusmenerus dan ditunjukkan dengan tanda keprofesionalan, yakni ijasah atau sertifikat, dan pekerja profesional dalam melaksanakan tugas profesinya menperoleh upah. Pelayan publik sebagai pekerja profesional menuntut bahwa yang bersangkutan harus memiliki ilmu sesuai denga bidang kerjanya, dan mereka secara terus-menerus harus melakukan kegiatankegiatan pengembangan profesinya. 4. Definisi Pendidikan Nonformal Pendidikan nonformal telah didefiniskan oleh Kleis (1973:6) sebagai usaha pendidikan yang melembaga dan sistematis (biasanya di luar sekolah tradisional) di mana isi diadaptasikan pada
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
kebutuhan-kebutuhan peserta didik yang spesifik (atau situasi yang spesifik) untuk memaksimalkan belajar dan meminimalkan unsur-unsur lain yang sering dilakukan oleh para guru sekolah formal. Pendidikan nonformal lebih berpusat pada peserta didik daripada pendidikan yang paling formal. Para peserta didik dapat meninggalkan waktu yang tidak mereka sukai. Pendidikan nonformal cenderung menekankan sebuah kurikulum kafetaria (pilihan-pilihan) daripada ditentukan sebelumnya, yaitu kuirkulum sebagaimana dijumpai di sekolah-sekolah. Dalam pendidikan nonformal hubungan-hubungan manusia lebih informal (peranan-peranan guru dan peserta didik lebih tidak kaku dan sering bergantian) daripada di sekolah-sekolah di mana guru-murid dan peranan administrator guru bersifat hirarkis dan jarang berubah dalam jangka waktu pendek. Pendidikan nonformal fokus pada pengetahuan dan keterampilan praktis sementara sekolah sering fokus pada informasi yang menunda aplikasi. Seluruh pendidikan nonformal memiliki tingkat struktur yang lebih rendah (oleh karena itu lebih fleksibel) daripada sekolah. Menurut Tight (1983:6) bahwa pendidikan nonformal merupakan usaha pendidikan yang disengaja yang dilaksanakan di luar sistem persekolahan. Paulston (dalam La Belle, 1976:12) mengemukakan bahwa pendidikan nonformal itu adalah aktivitas-aktivitas pendidikan dan pelatihan di luar sekolah yang terstruktur dan sistematis dalam durasi yang relatif pendek yang disponsori oleh para agen untuk terjadinya perubahan perilaku yang konkret dalam penduduk sasaran tertentu.. Ahli lain, Brembeck (dalam La Belle, 1976:12) memberikan definisi bahwa pendidikan nonformal itu berkaitan dengan kegiatan-kegiatan belajar yang terjadi di luar sistem pendidikan yang diorganisir secara formal ... untuk mendidik ke arah tujuan-tujuan khusus di bawah sponsorsip baik orang (individu), kelompok, maupun organisasi.. Pengertian di luar sistem pendidikan formal adalah di 56 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
luar aturan-aturan sebagaimana berlaku di formal (sekolah). Pendidikan informal, termasuk pendidikan non-formal, keduanya berlangsung di luar sistem pendidikan formal, tetapi pelaksanaannya bisa berlangsung di sekolah (menggunakan fasilitas atau media yang ada di sekolah). UNESCO (1997:41) memberikan definisi bahwa pendidikan nonformal adalah setiap kegiatan pendidikan yang diorganisir dan berkelanjutan yang tidak berkaitan secara tepat pada definisi pendidikan formal. Pendidikan nonformal bisa terjadi baik di dalam maupun di luar lembaga-lembaga pendidikan, dan melayani orang-orang semua usia. Tergantung pada konteks negara, bisa mencakup program-program pendidikan termasuk melek hurup orang dewasa, pendidikan dasar untuk anak-anak di luar sekolah, keterampilan kehidupan (lifeskills), keterampilan kerja (work-skills), dan kebudayaan umum. Program pendidikan nonformal tidak perlu mengikuti sistem ―tangga‖, dan bisa memiliki durasi yang berbeda, dan bisa atau tidak bisa memperoleh sertifikat dari belajar yang dicapai. Pendidikan nonformal yang inovatif memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) Program pendidikan nonformal muncul sebagai inovasi untuk memecahkan masalah yang menekan dalam masyarakat tertentu. 2) Tujuan pendidikan nonformal diorientasikan bukan untuk memperoleh sertifikat. 3) Pendidikan nonformal menekankan pada pemecahan masalah-masalah khusus daripada belajar mata pelajaran yang abstrak. 4) Pendidikan nonformal membantu memprakarsai sebuah program atau proyek setelah fase eksperimental. 5) Pendidikan nonformal fleksibel, berpusat pada peserta didik, dan partisipatori. 6) Pendidikan nonformal lebih praktis daripada teoritis.
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
7) Otonom pada tingkat program dan kesempatan yang kurang dari kontrol luar. 8) Lebih bersifat ekonomis karena menggunakan fasilitas yang ada. 9) Pendidikan nonformal berlangsung sepanjang proses kehidupan. Combs & Ahmed (1973:233-234) mengetengahkan ada beberapa sifat atau karakteristik pendidikan nonformal, yakni sebagai berikut: 1) Keluwesan (fleksibilitas) untuk disesuaikan dengan kebutuhan khusus setempat, serta dalam mengubah-menyesuaikan kondisi dan kesempatan dalam memilih mata-pelajaran serta memilih cara mengajarnya dan dalam mengadakan kombinasi pelajaran teori dan latihan praktis. 2) Keleluasan untuk disesuaikan dengan keperluan anak-didik, misalnya dengan mengatur pengajaran sambilan yang disesuaikan dengan tugas pada tempat bekerja atau dalam kalangan keluarga, dan dengan menyusun satuan-satuan pelajaran yang tertentu yang boleh dipelajari dan diselesaikan oleh masing-masing siswa dalam jangka masa dan pada waktu yang lebih cocok – memungkinkan mereka masukkeluar berganti-ganti ke dalam proses pengajaran, sesuai dengan kehendak dan kesempatan masingmasing. 3) Kemampuan untuk memanfaatkan tenaga ahli, fasilitas dan dukungan masyarakat setempat – sementara memupuk rasa turut-memiliki dan turut-mengurus di kalangan masyarakat bersangkutan – sehingga antara lain diperoleh kesempatan pendidikan yang lebih mampu bertahan dalam segi ekonominya (Combs & Ahmed, 1973:233-234). Callaway dalam La Belle (1973:18) mengemukakan sifat umum pendidikan nonformal dengan memberikan garis besar 57 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
karakteristik pendidikan nonformal sebagai berikut: Program-program pendidikan nonformal pada umumnya: 1) Merupakan pelengkap pendidikan formal. 2) Beragam dalam hal organisasi, sponsor, dan metode-metode pembelajaran. 3) Suka rela dan mencakup rentangan usia, latar belakang, dan kepetingan kepentingan yang luas. 4) Tidak mengarah pada perolehan kredensial atau diploma. 5) Ada di mana para peserta didik tinggal dan bekerja, dan (6) lentur (fleksibel) dan dapat disesuaikan (adaptable) dalam hal waktu, lama, dan tujuan. Menurut O.P. Dahama dan O.P. Bhatnagar (1981:6) bahwa pendidikan nonformal itu memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) Fleksibel. 2) Berorientasi pada kehidupan, lingkungan, dan peserta didik. 3) Beragam dalam isi dan metode. 4) Tidak otoriter. 5) Dibangun berdasarkan partisipasi peserta didik. 6) Memobilisir sumber-sumber lokal. 7) Memperkaya potensi manusia dan lingkungan. Berdasarkan karakteristik pendidikan non-formal sebagaimana diuraikan di atas maka peningkata profesionalisme aparatur pemerintah lebih efisien dan efektif dilakukan melalui jalur pendidikan nonformal karena memungkinkan untuk memilih jenis kegiatan sebagaimana yang dibutuhkan oleh para pelayan publik berbasis latar belakang tugas dan wilayah yang karakteristik persoalan dan kulturalnya beragam. Melalui jalur pendidikan non-formal maka program kegiatan (pendidikan atau pelatihan) dapat dilaksanakan secara singkat sehingga hasilnya dapat langsung diterapkan dalam melaksanakan tugas pelayanan publik. Selain itu umumnya biaya pendidikan/pelatihan relatif murah sehingga tidak menuntut anggaran yang
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
besar jika dilaksanakan nasional maupun regional.
dalam
Volume 3, No. 1, Januari
skala
5. Pelayanan Publik Prima dan Memuaskan Kepuasan pelayanan publik hingga sekarang masih jauh dari harapan. Walaupun pada sebagian layanan publik berjalan dengan baik, tetapi layanan pada bidang-bidang lainnya masih sangat mengecewakan. Perlakuan oknum aparatur negara pada masyarakat yang membutuhkan layanan publik masih terus menggejalan dengan mengecewakan, bahkan menyakitkan. Pelayanan publik yang tidak baik merupakan faktor kendala bagi upaya mewujudkan kepemerintahan baik baik (good governance). Sebenarnya para aparutur harus menunjukkan pelayanan yang baik atau pelayanan prima sebagai perwujudan keteladanan yang baik. Pelayanan publik merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Sebagaimana dikemukakan oleh Sinambela (2006:5) bahwa Pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara Negara. Negara didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada hakikatnya Negara dalam hal ini pemerintah (birokrat) haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan dalam hal ini bukanlah kebutuhan secara individual akan tetapi berbagai kebutuhan sesungguhnya diharapkan masyarakat, misalnya kebutuhan akan kesehatan, pendidikan dan lain-lain (Sinambela, 2006:5). Pelayanan publik yang memuaskan adalah pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dilaksanakan dengan penuh nilai kemanusiaan. Dilihat dari sudut pandang teori kualitas pelayanan jasa, bahwa terdapat lima faktor utama yang menentukan kualitas pelayanan jasa sekaligus sebagai ukuran di dalam melihat kualitas jasa yang dipersepsikan konsumen yaitu: 1) Wujud atau bukti langsung (tangibility), yaitu dimensi yang mengukur aspek fisik dari suatu layanan, antara lain 58 | P a g e
2016
kelengkapan fasilitas fisik, peralatan, dan tampilan para karyawan. 2) Keandalan (reliability), yaitu dimensi yang mengukur kehandalan suatu layanan, berupa seberapa besar keakuratan perusahaan dalam memberi layanan, pemenuhan janji karyawan. 3) Koresponsifan atau daya tanggap (responsiveness), yaitu dimensi yang mengukur kecepatan layanan kepada pelanggan. 4) Keyakinan atau jaminan (assurance), yaitu dimensi yang mengukur kemampuan perusahaan (khususnya para staf) untuk menanamkan rasa percaya dan keyakinan kepada para pelanggannya. 5) Empati (empathy), yaitu dimensi yang mengukur kemampuan produsen (khususnya para staf) dalam mengetahui kebutuhan para pelanggan secara pribadi (Parasuraman, Zeithaml, dan Bary dalam Tjiptono, 2000:72). Kemudian secara spesifik tentang pelayanan publik yang berorientasi pada kualitas pelayanan tercermin dari: a Tranparansi, pelanggan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti; b Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat dipertanggungjawaban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c Kondisional, yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayaan dengan tetap perpegang pada prinsip efisiensi dan efektifitas; d Partisipatif, yakni pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat; e Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apa pun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial, dan lain-lain; f Keseimbangan hak dan kewajiban, yakni pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik (Sinambela, 2006:6). Kepuasan pelanggan dalam konteks pelayanan publik yang prima antara lain meliputi: 1) Selalu meningkatkan kualitas
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
pelayanan kepada masyarakat dengan memperhatikan aspek-aspek : komunikasi yang baik, suasana psikologis dan perilaku melayani. 2) Selalu berupaya menciptakan citra positif dimata masyarakat yang dilayani. 3) Membuat pihak yang dilayani merasa diperhatikan. 4) Menyeleraskan antara apa yang dikatakan dengan cara mengatakanya dan dengan perbuatan yang nyata. 5) Mengenal dengan baik pihakpihak yang dilayani (Ibrahim, 2008:71). Singkatnya bahwa kepuasan publik terhadap layanan yang diterima apabila kebutuhan dan harga diri mereka diperhatikan. Pelayan publik harus mengenal publik yang dilayani dengan baik dan memperlakukan mereka dengan baik pula. Apa yang dikatakan harus sesuai dengan tindakannya sehingga citra pelayan publik menjadi baik. Kepercayaan publik terhadap pelayan publik sangat penting untuk memberikan kepuasan pada publik. Mewujudkan pelayanan publik yang prima dan memuaskan memerlukan suatu proses, yakni apa yang disebutkan pembelajaran atau pendidikan dan pelatihan, khususnya bagi para aparatur pemerintah sebagai pelayan publik. Pendidikan dan pelatihan yang diperlukan dalam konteks in servive training adalah jenis pendidikan yang relatif fleksibel dalam konten dan sistemnya serta berlangsung singkat karena ingin segera diterapkan dalam prores pelaksanaan pelayanan publik. Jenis pendidikan yang lebih cocok untuk kepentingan peningkatan profesionalisme para aparatur tersebut adalah pendidikan non-formal. 6. Peningkatan Profesionalisme Pelayan Publik melalui Pendidikan Non-formal Para pelayan publik (aparatur pemerintah) posisinya adalah bekerja di mana mereka melaksanakan tugas sesuai dengan jam kerja sebagai pegawai (aparatur) pemerintah. Mereka setiap hari telah disibukkan dengan kebawajiban melayani publik setiap hari secara rutin dan sepanjang hari kerja. Artinya bahwa para aparatur itu waktu yang dimiliki untuk belajar sangat terbatas. Padahal setiap saat 59 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
atau dalam saat-saat tertentu yang tidak diprediksi sebelumnya terjadi perubahanperubahan atau perbaikan atau peningkatan kinerja. Peningkatan kinerja pelayan publik ini menjadi sebuah keharusan dan tidak bisa ditawar lagi. Karena konsekuansinya sangat besar terutama dalam hal pemenuhan tuntutan publik yang semakin kompleks dan maju. Mereka tidak mungkin harus berhenti bekerja lalu ke sekolah untuk memperoleh pengetahuan baru dan pengalaman baru yang menjadi tuntutan lapangan kerjanya dalam memberikan pelayanan publik. Mereka sangat mungkin untuk belajar atau berlatih tetapi tidak meninggalkan pekerjannya. Dengan demikian bahwa pelayanan pendidikan yang bisa memenuhi kebutuhan pendidikan bagi para pelayan publik adalah pendidikan non-formal. Ada beberapa langkah dalam melaksanakan program peningkatan profesionalisme pelayan publik melalui pendidikan non-formal. Pertama, identifikasi persoalan atau kebutuhan yang sedang terjadi di masyarakat, termasuk keterbatasanketerbatasan kemampuan yang terdapat pada pra pelayan publik. Termasuk dalam langkah pertama ini adalah identifikasi sumber-sumber potensi baik potensi manusia dan non-manusia yang dapat dimanfaatkan dalam proses pelaksanaan program. Kedua, mengidentifikasi alternatifalternatif jenis program yang memungkinkan untuk dilaksanakan dalam rangka peningkatan kualitas profesionalisme pelayan publik. Ketiga, menetapkan prioritas program yang lebih mungkin untuk dilaksanaka berdasarkan pertimbangapertimbangan tertentu, seperti sumber potensi manusia sebagai pelatihnya, fasilitas dan sarana/prasarana yang diperlukan selama pelatihan, biaya yang tersedia untuk kepentingan pendidikan/pelatihan. Dalam sistem pendidikan non-formap bahwa tempat kegiatan adalah di mana saja asal program dapat berjalan dengan efisien dan efektif,
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
dan tidak harus mahal dan mewah. Selain itu bahwa pelaksanaan pelatihan bisa memanfaatkan sumber lokal yang tersedia di masyarakat. Tentang pelatih sebaiknya diambil dari diantara kolega yang lebih berpengalaman dan berkemampuan lebih diantara mereka. Sehingga pada satu sisi dapat lebih mengefektifkan pelaksanaan kegiatan karena yang melatih teman sejawat di mana dimungkinkan untuk terjadinya interaksi dan kounikasi yang lebih lancar. Dan pada sisi lain bahwa pelatih dari kolega sendiri akan lebih meningkatkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas karena pada dasarnya melatih berarti juga belajar kembali. Pertimbangan-pertimbangan tersebut adalah penting untuk pelaksanaan pelatihan berbasis pendidikan non-formal. Keempat, adalah pelaksanaan program kegiatan (pendidikan/pelatihan). Selama proses pelaksanaan (implementasi) program ini perlu dilakukan pengawasan secara terprogram sehingga pelaksaan kegiatan berjalan sebagaimana diharapkan. Dengan pengawasan akan dapat diminimalkan penyimpangan dalam pelaksanaan program. Seperti, dalam rencana pelatihan adalah dua hari, tetapi dalam pelaksanaannya hanya satu hari diukur dari jam pelatihan, tetapi dua hari dilihat dari harinya. Misalnya, program pelatihan dengan lama waktu dua hari sabtu dan minggu, program dimulai hari sabtu pukul 13.00 wib kemudian ditutup minggu pukul 12.00 wib. Dengan demikian ada pemangkasan penggunaan dana secara illegal dengan hanya membayar hotel tempat pelaksanaan kegiatan satu hari, namum dalam laporannya dua hari. Yang dirugikan adalah publik sebagai penerima layanan pelatihan. Negara pun termasuk dirugikan. Kelima, evaluasi. Yakni setiap akhir pelaksanaan kegiatan peningkatan profesionalisme pelayan publik berupa pendidikan atau pelatihan hendaknya dilakukan evaluasi secara menyeluruh. Ini penting untuk melihat efisiensi dan efektifitas pelaksanaan program kegiatan. Lebih dari itu adalah untuk mengetahui 60 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
peyimpangan-penyimpangan secara menyeluruh dalam pelaksanaan kegiatan. Program pendidikan dan pelatihan (diklat) ini merupakan salah satu peluang terjadinya penyimpangan perilaku pelayan publik, yakni terjadinya korupsi. Keenam, tindak lanjut (follow-up). Berakhirnya pelaksanaan pelatihan bukan berarti berakhirlah program peningkatan profesionalisme pelayan publik. Program ini bukan hanya yang penting adalah proyek selesai dilakukan, tetapi hasil pelatihan itu harus betul-betul dicermati dan dilakukan langkah-langkah lanjutan sehingga mereka yag sudah mengikuti pelatihan betul-betul mengmplementasikan hasil pelatihannya dalam melaksanakan tugas pelayanan publik dengan tujuan untuk memberikan pelayanan publik yang memuaskan masyarakat penerima pelayanan. Program pendidikan dan pelatihan pelayan publik dengan prosedur di atas tidak mungkin dilaksanakan melalui jalur pendidikan formal (sekolah). Namun ini tidak berarti bahwa jalur pendidikan formal tidak perlu dipertimbangka. Bagi mereka yang ingin belajar lebih profesional lagi dan siap mengikuti program dalam waktu yang relatif lama, maka pendidikan formal seperti studi lanjut di perguruan tinggi bisa menjadi alternmatif pilihan dengan segala konsekuensinya. Namun kalau persoalan yang dihadapi di masyarakat ada memerlukan pemecahan secara cepat dengan kemampuan baru yang harus dimiliki oleh para pelayan publik, maka pendidikan non-formal menjadi alternatif terbaik. 7. Simpulan Profesionalisme pelayan publik semakin lama semakin menuntut adanya peningkatan kualitas sejalan dengan semakin berkembangnya demokrasi dan tuntutan publik yang terus berkembang. Secara konseptual bahwa pekerjaan profesional itu salah satu karakteristiknya adalah adanya pengembangan atau peningkatan profesi secara terus menerus seirama dengan perkembangan ilmu dan
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
teknologi. Secara faktual juga bahwa publik semakin sadar akan hak sebagai warga negara (publik) untuk memperoleh pelayanan yang prima (smart). Pelayanan publik yang baik atau berkualitas adalah pelayanan yang betulbetul memuaskan bagi masyarakat yang berhak mendapatkan pelayanan. Kemampuan untuk memberikan pelayanan publik yang baik menuntut pelayan publik (paratur pemerintah) untuk secara terus menerus meningkatkan kualitas profesinya dengan cara terus belajar baik melalui pendidikan maupun pelatihan. Oleh karena kemampuan pelayan publik adalah diharapkan dengan segera untuk diimplementasikan maka kemampuan itu hanya bisa didapat khususnya melalui jalur pendidikan non-formal karena pendidikan non-formal lebih fleksibel dan berjangka pendek masa yang dibutuhkan untuk menguasai pengetahuan baru maupun keterampilan baru. DAFTAR PUSTAKA Combs & Ahmed. 1973. Memerangi Kemiskinan di Pedesaan Melalui Pendidikan Non-formal. Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial.
61 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
Dahama, O.P. & O.P. Bhatnagar. 1980. Education and Communication for Development. New Delhi: Oxford & IBH Publishing Co. Ibrahim, Amin. 2008. Teori Dan Konsep Pelayanan Publik Serta Implementasinya. Bandung: Mandar Maju. Kleis, J., Lang, L., Mietus, J.R. & Tiapula, F.T.S. 1973. ‖Toward a Contextual Detinition of Nonformal Education.‖ Nonformal Education Discussion Papers. East Lansing, MI: Michigan State University. La Belle, Thomas J. 1976. Nonformal Education and Social Change in Latin America. Los Angeles: UCLA Latin America Center Publications, University of California. Sedarmayanti. 2004. Good Governance (Kepemerintahan yang Baik). Bagian Kedua. Bandung: Mandar Maju. Sinambela, Lijan Poltak dkk. 2006. Reformasi Pelayanan Publik (Teori Kebijakan Dan Implementasi). Jakarta : Bumi Aksara. Tjiptono, Fandy. 2000. Total Quality Mananagement. Yogyakarta: Andi Offset.
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Volume 3, No. 1, Januari
2016
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN TERHADAP KEPUASAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MALANG (Study di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu kabupaten Malang ) Oleh Bambang Suryanto
Program Pascasarjana Magister Ilmu Administrasi Universitas Islam Malang Abstrak
Dalam pemerintahan yang mempunyai otonomi bahwa pelayanan publik juga menjadi isu strategis yang bermakna politis, karena menyangkut, bagaimana pola hubungan kekuasaan dijalankan dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakatnya. Artinya bahwa kualitas pelayanan publik juga dapat menggambarkan bagaimana political will penguasa (pemerintah) dalam memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat. Pada dasarnya penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih dalam tentang tingkat kualitas pelayanan yang telah di jalankan oleh Unit Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten Malang dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa layanan perizinan. Dalam penelitian ini rumusan masalah yang disampaikan adalah: 1) Bagaimanakah kualitas layanan UPT Perizinan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa layanan; 2) Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kinerja pelayanan UPT Perizinan; serta 3) Langkah-langkah apa yang diambil oleh UPT Perizinan dalam rangka meningkatkan kinerja pelayanan.Tujuan Penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui seberapa jauh kualitas layanan Unit Pelayanan Terpadu Perijinan Kabupaten Malang dalam memberikan pelayanan perijinan kepada masyarakat; 2) Untuk mengetahui faktorfaktor yang berpengaruh terhadap kinerja pelayanan UPT Perizinan Kabupaten Malang; dan 3) Untuk mengetahui langkah-langkah yang dilakukan oleh Unit Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten Malang dalam meningkatkan kinerja pelayanan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang didesain dengan model studi kasus. Sumber data (subyek penelitian) dalah informan kunci yang ditentukan berdasarkan tujuan-tujuan tertentu sesuai dengan kebutuhan, dengan memilih sampel yang menguasai permasalahan, memiliki data dan bersedia untuk memberikan data. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan analisa terhadap dokumen. Untuk analisa data menggunakan prosedur reduksi data, penyajian data, menarik kesimpulan/verifikasi. Sedangkan untuk melihat keabsahan data, digunakan teknik derajat kepercayaan, keteralihan dan uji obyektivitas.Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, Kualitas pelayanan perizinan yang dijalankan oleh UPT Perizinan Kabupaten Malang dari dimensi Responsibilitas penyelenggaraan pelayanan, responsiveness aparat penyedia layanan dan akuntabilitas terhadap proses keseluruhan penyelengaraan perijinan sudah mengalami peningkatan yang significant dibanding tahun-tahun sebelumnya, meskipun masih terdapat kekurangan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kedua: Faktorfaktor yang berpengaruh terhadap kinerja pelayanan dari UPT Perizinan antara lain meliputi: 1) kualitas sumber daya manusia; 2) sarana dan prasarana yang 62 | P a g e
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Volume 3, No. 1, Januari
2016
tersedia guna penunjang operasional; 3) bentuk kelembagaan dari UPT Perizinan; 4) wilayah Kabupaten Malang yang luas sehingga menyebabkan daya jangkau UPT Perizinan relatif besar; dan Data subyek dan obyek perizinan yang belum terpetakan sebagai potensi perizinan daerah. Ketiga: Langkah-langkah yang dilakukan oleh UPT Perizinan dalam rangka meningkatkan kinerja pelayanan, dimana terdapat beberapa langkah prioritas yang bisa dilakukan oleh UPT Perizinan guna peningkatan pelayanan perizinan dengan menciptakan pola kegiatan pelayanan perizinan yang memberikan kemudahan dan biaya murah kepada masyarakat; 1) Melakukan penyesuaian dan penyempurnaan sistem dan prosedur pelayanan perizinan yang berlaku sesuai dengan tuntutan kondisi saat ini; 2) Menambah jumlah kendaraan operasional; 3) Memanfaatkan jaringan elektronik/media untuk publikasi layanan; 3) Perlu adanya penataan arsip yang memadai; 4) Meningkatkan koordinasi aparat desa/kelurahan dan kecamatan; 5) Melakukan pendataan subyek dan obyek perizinan; 6) Melaksanakan sosialisasi dan penyuluhan kepada aparatur kecamatan, desa/kelurahan baik secara langsung maupun tidak; 7) Melakukan pemilihan dan penetapan terhadap wilayah tertentu (kecamatan/desa/kelurahan) sebagai uji coba wilayah sadar perizinan; 8) Merencanakan program pekan pelayanan izin di wilayah tertentu berdasar periode tertentu; dan 9) Perlu diajukan payung hukum terkait pemberian pelayanan perizinan di Kabupaten Malang dalam bentuk Peraturan Daerah. Dari hasil obeservasi di lapangan, maka peneliti juga memberikan saran kepada Pemerintah Kabupaten Malang bersama dengan DPRD Kabupaten Malang, diharapkan segera membuat: 1) Peraturan Daerah tentang Pelayanan Publik, agar masalah pelayanan publik di Kabupaten Malang lebih optimal dan mempunyai landasan hukum; 2) Peraturan Daerah tentang Investasi secara umum, agar iklim investasi di Kabupaten Malang meningkat. Kata Kunci: Kualitas Pelayanan
PENDAHULUAN
Dalam otonomi daerah ini, menghadapi masyarakat ekonomi asean pada tahun ini, Masalah kelemahan layanan pemerintah kepada masyarakat merupakan salah satu konsekwensi sifat pertumbuhan pembangunan kota yang cepat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang pesat. Kenyataan ketidakefektifan model layanan yang disediakan pemerintah telah mendorong berbagai upaya pembaharuan dan percobaan untuk memobilisasi sumbersumber daya yang ada di masyarakat menuju perubahan yang lebih baik. Pelayanan publik tetap menjadi topik menarik untuk dikaji oleh para ahli dan pemerhati masalah administrasi publik. Besarnya perhatian terhadap administrasi publik ini disebabkan dua hal, yaitu: Pertama, pada tataran teoritis, menguatnya 63 | P a g e
pendekatan ekologis sebagai pengganti pendekatan non ekologis yang memandang administrasi publik sebagai sosok yang tidak bisa dipisahkan dan bahkan berimpitan dengan persoalan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Kedua, pada tatanan empiris yaitu menguatnya tuntutan masyarakat akan pelayanan publik dan merebaknya keinginan masyarakat untuk melakukan reformasi pelayanan publik sebagai akibat berbelit-belitnya pelayanan publik (Zauhar, 2001:45). Tujuan Penelitian Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan pelayanan perizinan yang berorientasi dan fokus pada kepuasan pengguna layanan (masyarakat) yang dilakukan pada kantor badan Perizinan Kabupaten Malang .
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Sedangkan tujuan utama dari penelitian ini sesuai dengan perumusan masalah yang ditetapkan adalah sebagai berikut: (1) Untuk mengetahui seberapa jauh kualitas layanan badan Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten Malang (2) Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja pelayanan (3) Untuk mengetahui langkah-langkah yang dilakukan oleh badan Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten Malang dalam meningkatkan kinerja pelayanan. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai hasil yang dicapai setelah dilakukan penelitian secara sempurna di lapangan, sehingga mampu memberikan sumbangan secara ilmiah baik bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya pada kualitas pelayanan publik di bidang perizinan sektor publik maupun kebutuhan praktis bagi Pemerintah Daerah (Kabupaten Malang) dalam menangani permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan pelayanan publik di bidang perizinan. METODE Metode penelitian adalah merupakan cara ilmiah yang digunakan untukl mendapatkan data dengan tujuan tertentu. Menurut Suriasumantri dalam Sugiyono (1999:1) bahwa ―metode penelitian adalah merupakan gabungan antara pendekatan rasional dan empiris. Pendekatan rasional memberikan kerangka berpikir yang koheren dan logis. Sedangkan pendekatan empiris memberikan kerangka pengujian dalam memastikan suatu kebenaran‖ Fokus Penelitian Mengacu perumusan permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, maka fokus penelitian dapat ditetapkan pada beberapa hal pokok, 64 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
Pertama, Kualitas pelayanan yang dijalankan oleh badan Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten Malang, baik dari sisi responsibilitas dalam proses penyelenggaraan pelayanan, responsivitas aparatur penyedia layanan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa layanan, serta akuntabilitas dalam proses penyelenggaraan pelayanan perizinan. Kedua, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja pelayanan perizinan di badan Pelayanan Terpadu Perizinan. Hasil penelitian yang dilakukan ada beberapa faktor yang berpengaruh yang antara lain adalah keadaan Sumber Daya Manusia/aparatur penyelenggara layanan, keadaan sarana dan prasarana operasional dalam menjalankan aktivitas pelayanan, kelembagaan Unit Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten Malang, daya jangkau pelayanan yang dilakukan oleh UPT-P serta data subyek dan obyek perizinan di Kabupaten Malang. Ketiga, langkah-langkah yang sekiranya dapat dilakukan oleh badan Pelayanan Terpadu Perizinan dalam rangka meningkatkan kinerja pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa di seluruh wilayah Kabupaten Malang. Hal ini dilakukan dengan analisa SWOT sederhana terhadap kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang dihadapi oleh Unit Pelayanan Terpadu Perizinan Kemudian fokus penelitian tersebut kemudian dijabarkan ke dalam beberapa sub fokus penelitian sebagai berikut: Pertama, Kualitas layanan perizinan badan Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten Malang, meliputi: (1) Responsibility/Responsibilitas badan Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten Malang dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan dimana dapat dilihat pada keberadaan Standar Pelayanan Publik UPT-P yang merupakan Standar Operating Procedure (SOP) sebagai standar baku yang harus dilakukan oleh petugas/aparat dalam memberikan pelayanan perizinan
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
kepada masyarakat pengguna jasa layanan. Di dalam SPP ini sendiri juga telah dilengkapi dengan alur pelayanan dan mekanisme pelayanan secara jelas mengenai berlangsungnya proses pelayanan perizinan yang dijalankan. (2) Responsiveness/daya tanggap/responsivitas aparatur/petugas pemberi layanan di badan Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten Malang sehingga dari sini dapat dilihat seberapa jauh responsivitas petugas layanan dalam membantu masyarakat pengguna jasa layanan yang membutuhkan informasi, ataupun solusi terhadap permasalahan yang dihadapi, serta sejauh mana perilaku aparatur pemberi layanan dalam melayani pelanggan baik dari tingkat kesopanan, keramahan dan sebagainya. (3) Accountability/Akuntabilitas badan Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten Malang dalam proses penyelenggaraan pelayanan perizinan, dimana hasil penelitian dapat diketahui terhadap seberapa jauh Unit Pelayanan Terpadu Perizinan mendapatkan pengaduan dari masyarakat pengguna jasa pelayanan dikarenakan ketidakpuasan masyarakat terhadap layanan yang diberikan. Juga dapat dilihat pada sejauh mana efektivitas dan efisiensi Unit Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten Malang menyelenggarakan kinerja organisasinya mengelola kebijakan dan program sebagaimana yang tertuan di dalam Renstra dan visimisi UPT Perizinan serta pencapaian target kegiatan terkait UPT Perizinan sendiri adalah salah satu SKPD penggali Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kedua, Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja pelayanan Unit Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten Malang dalam memberikan pelayanan kepada 65 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
masyarakat pengguna jasa layanan, meliputi: (1) Sumber daya manusia pada Unit Pelayanan Terpadu Perizinan. Hal ini meliputi kualitas SDM apakah telah sesuai dengan kompetensi dan basis keilmuan yang dimiliki, kuantitas atau jumlah personil yang ada dalam mendukung kinerja pelayanan Upt Perizinan serta kompetensi penempatan pegawai yang dilaksanakan oleh Badan Kepegawaian Daerah di masingmasing SKPD sebagaimana juga Unit Pelayanan Terpadu Perizinan. (2) Sarana dan Prasarana Kerja yang dimiliki oleh Unit Pelayanan Terpadu perizinan dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa layanan. Hal ini dapat dilihat pada kondisi gedung, ruang tunggu, sarana operasional termasuk komputer dan lain-lain serta kendaraan operasional sebagai sarana penunjang dalam kegiatan yang dilakukan oleh Unit Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten Malang. (3) Kelembagaan Unit Pelayanan Terpadu Perizinan, dalam hal ini kelembagaan yang ada berbentuk Unit layanan Terpadu yang dipimpin oleh Sekretaris UPT-P sebagaimana Permendagri nomor 20 Tahun 2008 sangat inkonsistensi mengingat dipersyaratkan di Permendagri di atas berbentuk Badan/Dinas. (4) Daya jangkau pelayanan yang diberikan oleh Unit Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten Malang sangat luas dikarenakan harus menjangkau seluruh wilayah Kabupaten Malang yang terdiri atas 33 (tiga puluh tiga) Kecamatan dan 390 (tiga ratus sembilan puluh) Desa/Kelurahan yang menjadi obyek dan cakupan kerja Unit Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten Malang. (5) Subyek dan Obyek data perizinan adalah prasyarat mutlak Unit
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Pelayanan Terpadu Perizinan agar dapat memetakan seluruh potensi perizinan yang ada di wilayah Kabupaten Malang sehingga akan diketahui kebijakan dan program kerja yang akan dilaksanakan di tahun-tahun berikutnya. Ketiga, Langkah-langkah yang dilakukan oleh Unit Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten Malang dalam rangka meningkatkan kinerja dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam hal ini langkah-langkah yang sekiranya dapat dilakukan oleh Unit Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten Malang dapat diketahui dengan melakukan analisa SWOT Lokasi penelitian Adapun lokasi penelitian yang dipilih adalah badan Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten Malang. Sumber Data Pada dasarnya penelitian dilakukan adalah ingin mendapatkan data yang obyektif, valid dan reliable (Sugiyono, 1999:7). Sebagaimana halnya menurut Arikunto (1998:99) ―data adalah obyek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian‖. Sebagaimana juga pengertian data menurut SK Menteri Pendidikan dan Keudayaan RI Nomor: 0259/U/1977 bahwa data adalah segala fakta dan angka yang dapat dijadikan bahan untuk menyusun suatu informasi, dan sedangkan informasi adalah hasil pengolahan data yang dipakai sesuai keperluan. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang aktual dan akurat serta sesuai dengan permasalahan dan fokus penelitian, maka ada 3 (tiga) teknik pengumpulan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : (1) Teknik observasi/pengamatan langsung Menurut Kerlinger dalam Arikunto (1998:225) mengemukakan bahwa ―observasi adalah suatu istilah umum 66 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
yang mempunyai arti semua bentuk penerimaan data yang dilakukan dengan cara merekam kejadian, menghitungnya, mengukurnya dan mencatatnya‖. (2) Teknik wawancara Menurut pendapat Arikunto (1998:145), “Interview yang sering juga disebut kuesioner lisan adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara (interviewer). Teknik dokumentasi Keabsahan Data Teknik yang digunakan dalam melihat keabsahan data pada penelitian ini adalah menguji kredibilitas data, caranya dengan melakukan perpanjangan waktu di lapangan, melakukan kecermatan/ ketekunan pengamatan. Pengecekan data atau informasi diperoleh melalui wawancara yang dilakukan kepada Sekretaris UPT-P, Kabag TU UPT-P, Administrator UPT-P dan masyarakat pengguna jasa layanan. Dimane kemudian hasil wawancara tersebut di cross check melalui observasi/pengamatan bahkan kepada masyarakat atau personil lainnya yang dianggap relevan. Teknik Analisis Data Dalam penelitian deskriptif, analisa data dilakukan sejak awal dan sepanjang proses penelitian berlangsung. Dalam penelitian ini, digunakan analisis data dari Miles dan Huberman sebagaimana dikutip Dhamayanti (2010:68) dengan proses ―reduksi data, penyajian data, menarik kesimpulan/verifikasi‖ sebagai berikut: (1) Reduksi Data Data yang diperoleh di lokasi penelitian (data lapangan) dituangkan dalam uraian yang lengkap dan terperinci. Laporan lapangan oleh peneliti direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, kemudian dicari tema atau polanya, sehingga tersusun secara
JI_MILD
(2)
ISSN : 2337-697X
sistematis dan lebih mudah pengendaliannya. Reduksi data berlangsung terus menerus selama proses penelitian berlangsung. Dalam mereduksi data, peneliti menulis semua data di lapangan sekaligus menganalisanya. Penyajian Data Penyajian data atau display data dimaksudkan agar dapat memudahkan bagi peneliti untuk melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari penelitian. Display data dilakukan peneliti agar data yang diperoleh yang banyak jumlahnya tetap dapat dikuasai dengan dipilah-pilah secara fisik dan dapat dibuat dalam bagan. Membuat display ini juga merupakan bagian dari analisis data.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Kabupaten Malang terletak antara 112° 17° - 122° 57' bujur timur dan 7° 44° 8° 26° lintang selatan. Dengan luas wilayah 3.534,86 km2 atau 353.486 ha, Kabupaten Malang adalah salah satu, Kabupaten di Indonesia yang teletak di Propinsi Jawa Timur (untuk Propinsi Jawa Timur Kabupaten Malang mempunyai wilayah terluas kedua setelah Kabupaten Banyuwangi), Fokus Data Penelitian Kualitas Layanan Badan Perizinan Kabupaten Malang (a) Responsibilitas Proses Penyelenggaraan Layanan Perizinan Untuk mendukung operasionalisasi Badan Perizinan yang telah dibentuk ini, maka hal pertama yang dilakukan adalah menempatkan petugas dari tiap-tiap UPTD (SKPD terkait), yang memiliki kewenangan terhadap perizinan. 67 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
Sehingga, meski secara administrasi dan prosesnya telah dilakukan oleh UPT Perizinan, tetapi masing-masing UPTD SKPD terkait masih tetap berkewajiban mengawasi secara teknis terkait 5 (lima) perizinan tersebut. (b) Persyaratan Pelayanan 1) Mengisi Blanko Permohonan. 2) Syarat Administrasi (1) Foto Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) (2) Nomor Pokok Wajib Pajak (NMP)l Daerah (NPWPD); (3) Surat Pernyataan Para Tetangga (diketahui Lurah 1 Camat) (4) Bukti Penguasaan Lahan Atau Sertipikat Tanah ; (5) Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) Terakhir 1 Tanda Lunas PBB. 3) Syarat Teknis (1) Proposal Rencana Usaha yang dimohonkan (kegiatan usaha); (2) Lay Out Bangunan (3) Peta Lokasi Catatan: - Apabila diurus orang lain (bukan pemohon), dilampiri Surat Kuasa pengurusan IPPT; (c) Besarnya tarif 1 biaya pelayanan dan cara pembayarannya Besamya retribusi IPPT ditetapkan sebagai berikut: 1) Lokasi Industri : Rp. 50,- per meter persegi 2) Lokasi Perumahan : Rp. 25,per meter persegi (d) Waktu penyelesaian pelayanan - 12 (duabelas) hari kerja, maksimal 14 (empat belas) hari kerja (e) Spesifikasi Produk 1 hasif pelayanan - Surat Izin Peruntukkan Penggunaan Tanah
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
(f) Kompetensi petugas yang terlibat dalam proses pemberian / penyelesaian pelayanan - Badan Perencanaan Pembangunan Daerah - Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (g) Pemberian Kompensasi kepada penerima pelayanan publik atas adanya ketidaksesualan pelayanan (nihil) KESIMPULAN
Hasil akhir dari penelitian tentang Kualitas Pelayanan Perizinan di Kabupaten Malang, dapat disimpulkan sebagai berikut : (1) Pelayan Perijinan yang djalankan oleh Unit Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten Malang telah memenuhi standar kualitas pelayanan yang baik, baik dari sisi: 1) Responsibilitas terkait kesederhanaan pelayanan, standar prosedur serta kepastian akan waktu dan biaya, 2) responsiveness/daya tanggap dan perilaku aparat yang santun dan ramah serta keinginan membantu masyarakat pengguna jasa layanan; dan 3) akuntabilitas dari seluruh proses penyelenggaraan pelayanan perizinan. Hal ini dibuktikan dengan telah adanya instrumen-instrumen yang menunjukkan telah berjalannya (2) Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja pelayanan Unit Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten Malang antara lain adalah: (a) Kualitas Sumber Daya Manusia penyedia layanan. Dalam hal ini kualitas SDM yang sesuai dengen kompetensi, keterampilan serta basis keilmuan yang sesuai, akan sangat menentukan keberhasilan UPT Perizinan. Selain itu juga penempatan SDM yang dilakukan oleh Badan Kepegawaian Daerah masih dirasakan jauh dari analisa kebutuhan pegawai yang sesuai dengan standar kompetensinya 68 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
sehingga keberadaan pegawai aparatur pemberi layanan masih dirasakan jauh dari harapan, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. (b) Sarana dan prasarana yang terdapat di UPT perizinan masih dirasakan belum memadai dalam mendukung operasionalisasi kegiatan yang dilakukan dalam pemberian pelayanan perizinan kepada seluruh masyarakat pengguna jasa di Kabupaten Malang, mengingat jangkauan wilayah kerja UPT Perizinan yang luas. Sehingga berpengaruh terhadap kinerja dari UPT Perizinan Kabupaten. (c) Terjadinya inkonsistensi Kelembagaan UPT Perizinan berdasarkan Perda nomor 1 Tahun 2008 dan Permendagri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah, sehingga hal ini juga sangat berpengaruh terhadap gerak langkah UPT Perizinan Kabupaten Malang dalam meningkatkan kinerja pelayanan. (d) Belum terpetakannya potensi obyek dan subyek perizinan di wilayah Kabupaten Malang menyebabkan kebijakan yang nantinya akan di ambil oleh Pemerintah kabupaten Malang menyebabkan kecenderungan tidak akan tepat sasaran dan berimplikasi luas terhadap peningkatan kinerja pelayanan perizinan kepada masyarakat pengguna jasa layanan dan iklim investasi di Kabupaten Malang. (3) Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh Unit Pelayanan Terpadu Perizinan dalam rangka meningkatkan kinerja pelayanannya setelah dilakukan analisa terhadap kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang ada melalui analisa SWOTR sederhana antara lain sebagai berikut:
JI_MILD
(a)
(b)
(c) (d)
(e) (f) (g) (h)
(i)
(j)
(k)
ISSN : 2337-697X
Menciptakan pola kegiatan pelayanan perizinan yang memberikan kemudahan dan biaya murah kepada masyarakat; Melakukan penyesuaian dan penyempurnaan sistem dan prosedur pelayanan perizinan yang berlaku sesuai dengan tuntutan kondisi saat ini; Menambah jumlah kendaraan operasional; Memanfaatkan jaringan elektronik/media untuk publikasi layanan; Perlu adanya penataan arsip yang memadai; Meningkatkan koordinasi aparat desa/kelurahan dan kecamatan; Melakukan pendataan subyek dan obyek perizinan; Melaksanakan sosialisasi dan penyuluhan kepada aparatur kecamatan, desa/kelurahan baik secara langsung maupun tidak; Melakukan pemilihan dan penetapan terhadap wilayah tertentu (kecamatan/desa/kelurahan) sebagai uji coba wilayah sadar perizinan; Merencanakan program pekan pelayanan izin di wilayah tertentu berdasar periode tertentu; dan Perlu diajukan payung hukum terkait pemberian pelayanan perizinan di Kabupaten Malang dalam bentuk Peraturan Daerah..
Saran
Dengan demikian, dikaitkan dengan kesimpulan di atas sebagaimana manfaat yang diinginkan dari diadakannya penelitian ini, maka perlu dibentuk saran yang bersifat rekomendasi baik dari sisi akademis maupun praktis agar dapat diterapkan oleh UPT Perizinan dalam hal peningkatan kualitas pelayanan perizinan. Saran-saran tersebut yaitu : (1) UPT Perizinan melalui SDM yang dimiliki, perlu membuat inovasi 69 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
dengan penemuan-penemuan baru, salah satu peluang yang dapat dikembangkan adalah penyediaan jasa-jasa pelayanan ke dalam beberapa alternatif kegiatan. Sebagai contoh sederhana pelayanan yang bersifat kompleks dikenakan biaya agak mahal, sementara jasa pelayanan standar dikenakan biaya atau tarif yang standar pula. (2) Dari hasil obeservasi di lapangan, maka peneliti juga memberikan saran kepada Pemerintah Kabupaten Malang bersama dengan DPRD Kabupaten Malang, diharapkan segera membuat : (a) Peraturan Daerah tentang Pelayanan Publik yang didalamnya mengikat seluruh bentuk pelayanan perizinan yang ada, agar masalah pelayanan publik di Kabupaten Malang lebih optimal dan mempunyai landasan hukum yang jelas dikarenakan tidak diatur dalam berbagai macam Peraturan Daerah; (b) Peraturan Daerah tentang Investasi secara umum, agar iklim investasi di Kabupaten Malang dapat segera untuk ditingkatkan. (3) Berdasarkan pasal Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah, Permendagri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah, setelah dilakukan pengamatan secara mendalam, maka penulis juga memberikan saran yang bersifat rekomendasi yaitu mengevaluasi kembali bentuk kelembagaan UPT Perizinan menjadi Dinas Perizinan ataupun Lembaga Teknis Daerah berbentuk Badan yang khusus mengelola berbagai macam perizinan yang tersebar di seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah. DAFTAR PUSTAKA
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Albrow, Martin, 2007, Birokrasi, Cetakan keempat, Tiara Wacana,Yogyakarta. Arikunto, Suharsini, 1998, Prosedur Penelitian (Suatu pendekatan praktek), Cetakan kesebelas, PT Rineka Cipta, Jakarta. Dirjen Pemerintahan Umum, 2004, Modul Pengembangan Kelembagaan Pelayanan Terpadu satu Atap, Jakarta Dwiyanto, Agus, dkk, 2008, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Cetakan kedua, Gadjah mada University Press, Yogyakarta. Dhamayanti, Fajar, 2010, Upaya dan pengembangan SDM di Lembaga Unit Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten Malang dalam Rangka Meningkatkan Pelayanan Publik. Malang, h:189-191. Frederickson H. George, 1988, Administrasi Negara Baru, Cetakan ketiga, LP3ES, Jakarta. Indradi, Sjamsiar Sjamsudin, 2007, Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Sektor Publik, CV. Sofa Mandiri, Malang. Islamy, Irfan, 1992, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Bina Aksara, Jakarta Lindawati, Rita Dwi. 2011. Modul Pengembangan Karakter Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Pusdiklat Bea dan Cukai. Muluk, M.R. Khairul, 2005, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Cetakan kedua, Bayu Media, Malang. Moleong, J Lexy, 2008, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Rosdakarya, Bandung. Nasution, 2004, Manajemen Jasa Terpadu (Total Service Manajemen), Ghalia Indonesia, Bogor.
70 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
Nasucha, Chaizi, 2004, Reformasi Administrasi Publik, Teori dan Praktik, PT Grasindo, Jakarta. Osborne David & Gaebler Ted, 1995, Mewirausahakan Birokrasi, Edisi 1, PPM & Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta Putra, Fadillah dkk, 2001, Kapitalisme Birokrasi, Kritik Reinventing Government Osborne-Gaebler, LkiS & PusPeK Averroes, Malang. Pasolong, Harbani, 2008, Teori Administrasi Publik, Alfabeta, bandung. Riant D. Nugroho, 2002, Analisis Kebijakan, PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta. Sedarmayanti, 2009, Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan pelayanan prima dan kepemerintahan yang baik), Refika Aditama, Bandung. Sinambela, Lijan Poltak dkk, 2008, Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan & Implementasi, Cetakan Ketiga, Bumi Aksara, Jakarta. Suryabrata, Sumadi, 2010, Metodologi Penelitian, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sugiyono, 1998, Metode Penelitian Administrasi, Cetakan kelima, Alfabeta, Bandung. Wasistiono, Sadu, 2001, Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah, Alqaprint Jatinangor, Sumedang. Zauhar, Susilo, 2001. Reformasi Administrasi: Konsep, Dimensi, Strategi, Bumi Aksara, Jakarta
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Volume 3, No. 1, Januari
2016
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NO 4 TAHUN 2011 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA DI KAB. PASURUAN (STUDI KASUS DI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KAB. PASURUAN) Oleh Abdul Karim, Maskuri,Slamet Muchsin Program Studi Magister Ilmu Administrasi,Program Pascasarjana, Universitas Islam Malang Abstrak Penanggulangan bencana di Indonesia mendapatkan perhatian khusus oleh pemerintah dengan menerbitkan Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang diikuti beberapa aturan pelaksana terkait, yaitu Peraturan Presiden No. 08 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, PP No. 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, dan PP No. 23 tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing non Pemerintah Dalam Penanggulangan Bencana. Undang-undang tersebut telah ditindaklanjuti dengan pendirian Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan masih akan dilengkapi dengan berbagai peraturan pelaksanaannya sesuai dengan daerah masing masing. Upaya penanggulangan bencana di daerah perlu dimulai dengan adanya kebijakan daerah yang bertujuan menanggulangi bencana sesuai dengan peraturan yang ada. Strategi yang ditetapkan daerah dalam menanggulangi bencana perlu disesuaikan dengan kondisi daerah. Operasi penanggulangan bencana perlu dipastikan efektif, efisien dan berkelanjutan. Tujuan penulisan ilmiah ini adalah untuk mengkaji Implementasi Peraturan daerah No 4 tahun 2011 tentang penanggulangan bencana di Kabupaten Pasuruan yang mana Perda tersebut merupakan peraturan yang dibuat dalam melaksanakan undang undang No. 24 tahun 2007 tentang peanggulangan bencana. Penelitian ini juga ingin mengetahui tentang kendala dan hambatan yang dihadapi dalam implementasi peraturan daerah tersebut. Metode yang digunakan dalam tulisan ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitafif. Sedangkan teknik pengumpulan datanya menggunakan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi, dan model analisis interaktif sebagai metode analisa data dengan prosedur, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa 1) implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan no 4 tahun 2011 bersifat top-down dan community participation yang melibatkan banyak lembaga non pemerintahan dalam tindakan penanggulangan bencana dan menjadi acuan bagi terbentuknya BPBD Kabupaten Pasuruan sebagai lembaga yang bertanggungjawab terhadap penanggulangan bencana serta menjadi acuan dalam melaksanakan kegiatan kegiatan penanggulangan bencana di kabupaten Pasuruan. Dengan perda tersebut BPBD sebagai peanggungjawab penanggulangan bencana telah melakukan aktivitas dan program peanggulangan bencana baik dari sisi mitigasi bencana (pra-bencana), tanggap darurat (saat bencana) maupun rekonstruksi dan rehabilitasi paska bencana, 2) kendala-kendala yang dihadapi di 71 | P a g e
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Volume 3, No. 1, Januari
2016
lapangan antara lain a) Pra Bencana (mitigasi bencana), b) saat terjadi bencana, c) pasca-bencana yang masing-masing meliputi kendala internal dan eksternal seperti masalah sumberdaya manusia, sarana prasarana, pendanaan, komunikasi lintas sektoral, partisipasi masyarakat, dan perundang-undangan. Dari hasil penelitian ini menyarankan kepada BPBD Kabupaten pasuruan melakukan beberapa hal sebagai berikut: 1) Meningkatkan koordinasi dan konsolidasi yang lebih intensif dengan dinas terkait seperti Dinas PU, Disnakersostrans, dinas Pengairan, Dinas Pendidikan dan Dinas terkait lain agar program dan kegiatan penanggulangan bencana di kabupaten pasuruan menjadi lebih teratur dan sistematis, 2) Meningkatkan kegiatan yang terkait dengan mitigasi dan pencegahan bencana secara intensif, 3) Meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat khusunya masyarakat yang berada di sekitar daerah rawan bencana tentang pentingnya partisipasi masyarakat dalam pencegahan bencana di kabupaten pasuruan. Kata Kunci: Implemetasi, Peraturan Daerah, Penanggulangan Bencana.
PENDAHULUAN Sebagaimana kita ketahui bersama Indonesia merupakan wilayah yang rawan bencana. wilayah Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim yaitu panas dan hujan dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah angin yang cukup ekstrim. Kondisi iklim seperti ini digabungkan dengan kondisi topografi permukaan dan batuan yang relatif beragam, baik secara fisik maupun kimiawi, menghasilkan kondisi tanah yang subur. Sebaliknya, kondisi itu dapat menimbulkan beberapa akibat buruk bagi manusia seperti terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan. Seiring dengan berkembangnya waktu dan meningkatnya aktivitas manusia, kerusakan lingkungan hidup cenderung semakin parah dan memicu meningkatnya jumlah kejadian dan intensitas bencana hidrometeorologi (banjir, tanah longsor dan kekeringan) yang terjadi secara silih berganti di banyak daerah di Indonesia. Meskipun pembangunan di Indonesia telah dirancang dan didesain sedemikian rupa dengan dampak lingkungan yang minimal, proses pembangunan tetap menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan ekosistem. Pembangunan yang selama ini bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam 72 | P a g e
(terutama dalam skala besar) menyebabkan hilangnya daya dukung sumber daya ini terhadap kehidupan mayarakat. Dari tahun ke tahun sumber daya hutan di Indonesia semakin berkurang, sementara itu pengusahaan sumber daya mineral juga mengakibatkan kerusakan ekosistem yang secara fisik sering menyebabkan peningkatan risiko bencana. Pada sisi lain laju pembangunan mengakibatkan peningkatan akses masyarakat terhadap ilmu dan teknologi. Namun, karena kurang tepatnya kebijakan penerapan teknologi, sering terjadi kegagalan teknologi yang berakibat fatal seperti kecelakaan transportasi, industri dan terjadinya wabah penyakit akibat mobilisasi manusia yang semakin tinggi. Potensi bencana lain yang tidak kalah seriusnya adalah faktor keragaman demografi di Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2004 mencapai 220 juta jiwa yang terdiri dari beragam etnis, kelompok, agama dan adat-istiadat. Keragaman tersebut merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang tidak dimiliki bangsa lain. Namun karena pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak diimbangi dengan kebijakan dan pembangunan ekonomi, sosial dan infrastruktur yang merata dan memadai, terjadi kesenjangan pada beberapa aspek dan terkadang muncul kecemburuan sosial. Kondisi ini potensial
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
menyebabkan terjadinya konflik dalam masyarakat yang dapat berkembang menjadi bencana nasional. Satu hal yang perlu digaris bawahi, bahwa bencana itu bukanlah takdir semata. Ada sebab akibat yang jelas antara alam dengan prilaku manusia yang berakibat pada terjadinya bencana. Allah telah berfirman di dalam Al-Qur’an surat An Nisa; 79 sebagaimana dikutip oleh fahmi dalam Mardiyono (2008; 871) bahwa “apa saja nikmat yang kamu peroleh itu adalah dari Allah semata, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka itu adalah dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Dengan kata lain, bencana itu timbul karena manusia lalai sehingga menuntun mereka berada pada kondisi lingkungan yang berbahaya pada suatu tempat dan waktu tertentu yang dapat mengancam jiwa dan hartanya. Tetapi tidak semua kondisi lingkungan yang berbahaya itu akan menyebabkan bencana. Satu gempa bumi tertentu pada suatu daerah tertentu yang tidak berpenghuni, sebagai contoh, adalah satu fenomena alam, bukan sesuatu yang berbahaya. Demikian juga banjir tahunan di sepanjang sungai Nil, satu elemen penting bagi kesejahteraan dari orang-orang yang tinggal di sekitar sungai (UNDP, 1992; 12). Indonesia telah mengalami kerugian jiwa dan materi yang besar akibat berbagai bencana yang silih berganti. Bencana banjir di Jakarta tahun 2002 menunjukan betapa besarnya kerugian yang ditimbulkan. Untuk pemulihan kondisi perkotaan setalah kejadian banjir, diperkirakan menghabiskan dana lebih dari 15 trilyun rupiah. Hal ini diperparah karena penangan bencana di Indonesia selama ini hanya berorientasi pada tanggap darurat saja. Oleh karnanya diperlukan sebuah upaya penangan yang sistematis dan sinergis dari berbagai pihak sehingga penanganannya bias secara menyeluruh dan tidak parsial (Hasniati, 2008; 831). Untuk menghindari kerugian besar akibat bencana perlu adanya kesadaran seluruh komponen bangsa terutama 73 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
pemerintah agar suatu kejadian bahaya tidak menyebabkan bencana. Seperti yang diungkapkan Priambodo (2009;15): Timbulnya kerugian baik fisik maupun non fisik—terutama korban jiwa—seringkali disebabkan oleh ketidaktanggapan dalam menghadapi bencana, baik secara individu maupun kelompok. Untuk meminimalkan hal tersebut, diperlukan sebuah system yang efektif, efisien, terukur, dan tepat sasaran. Sistem tersebut adalah sistem tanggap bencana yang berfungsi sebagai panduan tindakan dalam menghadapi bencana bagi setiap individu, kelompok, maupun bangsa secara keseluruhan. Sistem tanggap bencana atau manajemen bencana (disaster management) adalah sebuah pendekatan yang sistematis dan sinergis dari berbagai pihak dalam mengantisipasi dan atau menangani suatu bencana (Hasniati, 2008; 831). Sistem ini merupakan penangan bencana secara menyeluruh mulai tahap pra bencana, pada saat bencana, hingga pasca bencana. Selama ini, penanganan bencana pada tahap pra bencana terutama terkait kebijakan mitigasi bencana terkesan tidak tersentuh. Adanya mitigasi bencana merupakan langkah preventif untuk meminimalisir dampak bencana yang ditimbulkan. Mitigasi bencana merupakan bagian dari tanggap bencana yang dilakukan dalam rangka mengurangi kerugian akibat kemungkinan terjadinya bencana, baik itu berupa korban jiwa atau harta benda yang berpengaruh pada kehidupan dan kegiatan manusia. Kebijakan mitigasi dalam manajemen bencana ini adalah sebuah kebijakan yang bersifat jangka panjang, yang dapat bersifat structural maupun non-struktural (Susanto, 2008; 909). Pola penanggulangan bencana mendapatkan dimensi baru dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang diikuti beberapa aturan
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
pelaksana terkait, yaitu Peraturan Presiden No. 08 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, PP No. 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, dan PP No. 23 tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing non Pemerintah Dalam Penanggulangan Bencana. Berbagai kebijakan tersebut telah ditindaklanjuti dengan pendirian Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan masih akan dilengkapi dengan berbagai peraturan pelaksanaan. Sementara proses pengembangan kebijakan sedang berlangsung, proses lain yang tidak kalah penting adalah memastikan bahwa provinsi dan kabupaten/kota mulai mengembangkan kebijakan, strategi, dan operasi penanggulangan bencana sesuai dengan arah pengembangan kebijakan di tingkat nasional. Upaya penanggulangan bencana di daerah perlu dimulai dengan adanya kebijakan daerah yang bertujuan menanggulangi bencana sesuai dengan peraturan yang ada. Strategi yang ditetapkan daerah dalam menanggulangi bencana perlu disesuaikan dengan kondisi daerah. Operasi penanggulangan bencana perlu dipastikan efektif, efisien dan berkelanjutan. Pemerintah Kabupaten Pasuruan pada tahun 2011 telah mengeluarkan peraturan daerah No 4 yang berkaitan dengan penanggulangan bencana dengan mengacu pada arah kebijakan Nasional tentang penanggulangan bencana. Sebenarnya dalam hal ini, upaya ini merupakan sebuah langkah yang maju dalam usaha mitigasi bencana yeng mendapatkan payung hukum secara legal dalam menjalankan upaya penanggulangan bencana secara tekhnis di lapangan khususnya di daerah Kab. Pasuruan. Namun demikian, sejauh mana efektivitas dan efisiensi implementasi kebijakan tersebut masih jauh dari harapan.
74 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian tesis ini sebagai berikut: Bagaimana mekanisme implementasi penanggulangan bencana pada saat pra, saat dan pasca mitigasi bencana di Kab. Pasuruan pada tahun 2014? Bagaimana implementasi kebijakan perda No 4 tahun 2011 tentang penanggulangan bencana di Kab. Pasuruan pada tahun 2014? Apa kekhususan atau keunikan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat di Kab. Pasuruan pada tahun 2014? Kendala dan permasalahan apa yang dihadapi di lapangan dalam implementasi kebijakan perda No 4 tahun 2011 tentang penanggulangan bencana di Kab. Pasuruan pada tahun 2014? TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: Untuk mengetahui dan menggambarkan mekanisme implementasi penanggulangan bencana pada saat pra, saat dan pasca mitigasi bencana di Kab. Pasuruan pada tahun 2014 Untuk mengetahui, mendiskripsikan, dan menganalisis implementasi kebijakan perda No 4 tahun 2011 tentang penanggulangan bencana di Kab. Pasuruan pada tahun 2014 Untuk mengetahui dan menggambarkan kekhususan atau keunikan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat di Kab. Pasuruan pada tahun 2014 Untuk mengetahui, mendiskripsikan, dan mengalisis kendala dan permasalahan yang dihadapi di lapangan dalam implementasi kebijakan perda No 4 tahun 2011 tentang
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
penanggulangan bencana di Kab. Pasuruan pada tahun 2014. BATASAN MASALAH Dalam rangka memberikan arah pada penelitian ini, penulis membatasi masalah dalam penelitian ini pada implementasi kebijakan perda No 4 tahun 2011 tentang penanggulangan bencana di Kab. Pasuruan pada tahun 2014 yang dilakukan oleh badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) Kab. Pasuruan. Hal ini dilakukan karena Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kab. Pasuruan sebagai pelaksana teknis dalam implementasi kebijakan penanggulangan bencana yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kab. Pasuruan. MANFAAT PENELITIAN a. Manfaat Praktis Sebagai input bagi pemerintah dalam mengevaluasi kebijakan penanggulangan bencana yang sudah ada untuk penyempurnaan di masa yang akan datang Memberikan sumbangsih pemikiran terhadap instansi terkait di dalam menyusun agenda kerja penanggulangan bencana b. Manfaat Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konsep dan pengayaan studi administrasi negara khususnya dalam hal penanggulangan bencana Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi ilmiah yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu baik dikalangan akademisi maupun masyarakat secara umum Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi 75 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
dasar bagi peneliti selanjutnya yang lebih mendalam berkenaan dengan penanggulangan bencana KERANGKA TEORISTIS Kebijakan Publik Konsep dan Prinsip Kebijakan Publik Kebijakan memiliki banyak pengertian, Suharto (2005:7) mengemukakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsipprinsip untuk mengerahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana, dan konsistensi dalam mencapai tujuan tertentu. Sedangkan Wahab (2008:32) mengemukakan beberapa bentuk kebijakan publik yang secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi tiga: a) Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum/mendasar. Sesuai dengan UU No.10/2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan pasal 7, hirarkinya yaitu; (1) UUD Negara RI Thn 1945; (2) UUD/Peraturan Pemerintah Pengganti UU; (3) Peraturan Pemerintah; (4) Peraturan Presiden; dan (5) Peraturan Daerah. b) Kebijakan publik yang bersifat meso (menengah) atau penjelas pelaksana, dimana kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati. Kebijakannya dapat pula berbentuk surat keputusan bersama antar Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota. c) Kebijakan publik yang bersifat mikro, adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementai dari kebijakan diatasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota.
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Abidin (2002:193) menyatakan bahwa secara umum, suatu kebijakan dianggap berkualitas dan mampu dilaksanakan bila mengandung beberapa elemen, yaitu: a) Tujuan yang ingin dicapai atau alasan yang dipakai untuk mengadakan kebijakan itu, dimana tujuan suatu kebijakan dianggap baik apabila tujuannya: Rasional, yaitu tujuan dapat dipahami atau diterima oleh akal yang sehat. Hal ini terutama dilihat dari faktorfaktor pendukung yang tersedia, dimana suatu kebijakan yang tidak mempertimbangkan faktor pendukung tidak dapat dianggap kebijakan yang rasional. Diinginkan (desirable), yaitu tujuan dari kebijakan menyangkut kepentingan orang banyak, sehingga mendapat dukungan dari banyak pihak. b) Asumsi yang dipakai dalam proses perumusan kebijakan itu realistis, asumsi tidak mengada-ada. Asumsi juga menentukan tingkat validitas suatu kebijakan. c) Informasi yang digunakan cukup lengkap dan benar, dimana suatu kebijakan menjadi tidak tepat jika didasarkan pada informasi yang tidak benar atau sudah kadarluarsa. Karakteristik utama dari suatu definisi kebijakan publik, yaitu : Pada umumnya kebijakan publik perhatiannya ditujukan pada tindakan yang mempunyai maksud atas tujuan tertentu dari pada perilaku yang berubah atau acak. Kebijakan publik pada dasarnya mengandung bagian atau pola kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah daripada keputusan yang terpisah-pisah. Kebijakan publik merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan 76 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
oleh pemerintah dalam mengatur perdagangan, mengotrol inflasi, atau menawarkan perumahan rakyat, bukan apa maksud yang dikerjakan atau yang akan dikerjakan. Kebijakan publik dapat berbentuk positif maupun negatif. Secara positif, kebijakan melibatkan beberapa tindakan pemerintah yang jelas dalam menangani suatu permasalahan; secara negatif, kebijakan publik dapat melibatkan suatu keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan suatu tindakan atau tidak mengerjakan apapun padahal dalam konteks tersebut keterlibatan pemerintah amat diperlukan. Kebijakan publik, paling tidak secara positif, didasarkan pada hukum dan merupakan tindakan yang bersifat memerintah. Dwijowijoto (2003; 158) mengungkapkan bahwa implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Studi implementasi merupakan suatu kajian mengenai studi kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan dari suatu kebijakan. Dalam praktiknya implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi berbagai kepentingan. Untuk melukiskan kerumitan dalam proses implementasi tersebut dapat dilihat pada pernyataan yang kemukakan oleh seorang ahli studi kebijakan Ugene Bardach, yaitu : ―Adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus diatas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakan bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
melaksanakanannya dalam bentuk cara yang memuaskan semua orang termasuk meraka anggap klien.‖ (Agustino, 2008; 138) Dari penjelasan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktifitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Implementasi Kebijakan Konsep Implementasi Implementasi sebagaimana digambarkan oleh Edward (1980) adalah bagian dari proses pembuatan kebijakan, dimana setelah salah satu kebijakan ditetapkan dan diperoleh legitimasi secara hukum maka sebagai konsekuensinya kebijakan akan diaplikasikan dengan maksud untuk mempengaruhi masyarakat. Pandangan tersebut dikemukakan oleh Presman dan Wildawsky (1970) yang mengemukakan bahwa : implementasi dapat dipandang sebagai proses interaksi antara penentuan tujuan yang disesuaikan untuk mencapai tujuan atau kemampuan membuat kaitan-kaitan tindakan dalam suatu mata rantai sebab akibat guna hasil yang diinginkan. Berdasarkan atas kedua pendapat tersebut dapat diindikasikan bahwa implementasi dapat berjalan dengan baik jika didukung oleh sarana dan prasarana baik dalam konteks organisasi maupun dalam konteks manajemen. Wildawsky dalam Abdullah (1987; 132) implementasi dimaksudkan sebagai proses interaksi antara rencana dengan tujuan dan tindakan pencapaiannya. Oleh karena itu dalam implementasi dibutuhkan kemampuan untuk menetapkan susunan kegiatan yang saling berhubungan antara satu unit kegiatan dengan unit kegiatan lainnya untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan 77 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
perlu diperhatikan dua faktor utama yaitu pendukung pada kondisi tertentu yang terdiri : 1. Keutuhan pimpinan politik. 2. Kemampuan organisasi kebijakan dan dukungan kelompok kepentingan Sedangkan yang dapat menghambat terdiri dari : 1. Banyaknya faktor yang terlibat. 2. Komitmen yang melekat. 3. Terdapat komitmen atau loyalitas ganda. 4. Jenjang pengambilan keputusan yang terlalu banyak. 5. Adanya perubahan waktu kepemimpinan. Dengan demikian maka implementasi dipandang sebagai tahapan yang kritis dan penting artinya dalam suatu kebijakan, dikatakan demikian karena secara kumulatif implementasi merupakan tahap yang menentukan dari suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan mulai dari proses perencanaan dengan melibatkan berbagai komponen. Model pendekatan top-down yang dirumuskan oleh Donald Van Metter dan Carl Van Horn dalam Islam Nawawi (2009: 139) disebut dengan A Model of policy implementation. Proses implementasi ini merupakan abstraksi atau performansi suatu implementasi kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan publik yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Ada enam variable yang menurut Van Metter dan Van Horn, yang mempengaruhi implementasi adalah : 1. Ukuran dan tujuan kebijakan Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio kultur yang mengada dilevel pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal untuk dilaksanakan dilevel warga, maka agak sulit memang merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil.
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
2. Sumber daya Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan dari sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Tetapi ketika kompetensi dan kapabilitas dari sumbersumber daya itu nihil, maka kinerja kebijakan publik sangat sulit untuk diharapkan 3. Karakteristik agen pelaksana Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting karena kinerja Implementasi kebijakan akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksanannya. 4. Sikap/ kecenderungan ( disposition ) para pelaksana Sikap penerima atau penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang akan implementor laksanakan adalah kebijakan ―dari atas‖ (top down) yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak pernah mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan. 5. Komunikasi antarorganisasi dan aktivitas pelaksana Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihakpihak yang terlibat dalam suatu proses 78 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
implementasi, maka asumsinya kesalahankesalahan akan sangat kecil untuk terjadi. Dan, begitu pula sebaliknya. 6. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu upaya mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eskternal. Selanjutnya menurut teori Mazmanian & Sabatier (Dalam Nawawi, 2009; 145), mengungkapakan bahwa: keberhasilan implementasi kebijakan publik dipengaruhi oleh tiga kelompok variabel, yaitu: (1) karakteristik masalah (tractabilty of the problems), (2) Karakteristik kebijakan / undang-undang (ability of statue to structure implementation), dan (3) Variabel lingkungan (nonstatory variabel affecting implementation). a. Karakteristik masalah 1. Kesulitan permasalahan yang dihadapi. Dalam implementasi kebijakan terdapat beberapa masalah sosial secara teknis mudah dipecahkan. Di sisi lain terdapat berbagai permasalahan sosial yang sering terjadi di tengah masyarakat yang sulit diatasi, yaitu masalah kemiskinan, pengangguran, dan sebagainya. 2. Kemajemukan dari kelompok sasaran. Variabel ini berarti bahwa suatu program akan relatif mudah diimplementasikan apabila kelompok sasarannya adalah homogen atau kesetaraan. Sebaliknya, apabila kelompok sasaran kebijakan heterogen atau bervariasi, maka implementasi program kebijakan akan relatif lebih sulit, karena tingkat pemahaman setiap anggota kelompok sasaran terhadap
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
program relatif berbeda antara satu dengan yang lain. 3. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi. Program kebijakan akan menghadapi berbagai kesulitan dalam mengimplementasikan kebijakan apabila sasaranya mencakup semua populasi secar global. Sebaliknya sebuah program akan mudah diimplementasikan apabila cakupannya tidak terlalu luas dan kompleks. 4. Lingkup dan cakupan perubahan perilaku kelompok sasaran yang dikehendaki dan diharapkan. Dalam mengimplementasikan sebuah program yang bertujuan memberikan pengetahuan atau bersifat kognitif akan relatif mudah daripada program yang bertujuan untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakat. b. Karakteristik kebijakan 1. Kejelasan isi kebijakan. Sebuah kebijakan yang jelas dan terperinci isinya akan mudah diimplementasikan karena implementor mudah memahami dan menerjemahkan dalam tindakan nyata. Sebaliknya ketidakjelasan isi kebijakan merupakan potensi lahirnya distorsi dalam implementasi kebijakan. 2. Dukungan teoritis. Suatu kebijakan yang berorientasi pada teoritis memiliki sifat lebih kemapanan karena sudah teruji, walaupun untuk beberapa lingkungan sosial tertentu diperlukan modifikasi teori yang bersangkutan sesuai dengan tuntutan / harapan lingkungannya. 3. Alokasi sumber daya finansial, sumber daya manusia, material, dan metoda adalah faktor krusial untuk setiap program 79 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
sosial. Setiap program juga memerlukan dukungan sumber daya manusia untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat administrasi dan teknis, serta memonitor dan mengevaluasi program, yang semua memerlukan pembiayaan, dan metoda untuk mencapai program tersebut. 4. Keterikatan dan dukungan berbagai instansi. Program sering mengalami kegagalan disebabkan kurangnya koordinasi antar instansi yang terlibat dalam implementasi program kebijakan. 5. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana sebuah kebijakan yang telah ditetapkan. 6. Adanya komitmen aparat. Dalam implementasi kebijakan yang tinggi dan rendahnya komitmen merupakan salah satu variabel yang menetukan tingkat tercapainya program kebijakan. 7. Akses kelompok-kelompok kepentingan suatu program kebijakan yang memberikan peluang kelompok kepentingan yang ada pada masyarakat untuk terlibat akan relatif mendapat dukungan dari program yang tidak melibatkan masyarakat. Masyarakat akan merasa terasing dan teralienasi apabila hanya menjadi penonton terhadap program kebijakan yang dilaksanakan di daerahnya. c. Lingkungan kebijakan 1. Sosial ekonomi dan kemajuan teknologi masyarakat. Kemajuan masyarakat membuka dan memudahkan penerimaan program-program pembaruan di banding dengan masyarakat masih terbelakang. Di sisi lain kemajuan teknologi
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
akan membantu dalam proses keberhasilan sebuah implementasi program, karena program-program tersebut dapat disosialisasikan dan diimplementasikan dengan bantuan media yang ditunjang dengan teknologi canggih. 2. Dukungan publik. Implementasi program kebijakan yang memberikan motivasi dan intensif biasanya mudah mendapatkan dukungan publik. Sebaliknya kebijakan yang bernuansa menghilangkan motivasi dan intensif, akan kurang mendapat dukungan publik, seperti kenaikan pajak. 3. Sikap dari kelompok-kelompok pemilih (constituency groups). Dalam kehidupan masyarakat kelompok pemilih dapat mempengaruhi implementasi kebijakan melalui berbagai macam yaitu: (1) Dapat melakukan intervensi terhadap berbagai macam keputusan yang dibuat oleh badan-badan pelaksana melalui berbagai komentar dengan maksud untuk mengubah keputusan. (2) kelompok pemilih dalam segala upaya mempengaruhi badanbadan pelaksana secara tidak langsung melalui kritik yang dipublikasikan terhadap kinerja yang badan-badan pelaksana, dan membuat pernyataan dan ungkapan kritis yang disampaikan kepada legislatif. 4. Komitemen dan keterampilan aparat dan implementor. Komitmen aparat pelaksana dalam mewujudkan proram kebijakan merupakan variabel yang paling krusial. Aparat badan pelaksana harus memiliki kompetensi dalam menentukan skala prioritas tujuan dan selanjutnya merealisasikan skala prioritas tujuan program 80 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
kebijakan yang telah ditentukan tersebut. Dalam teori yang sama mengenai proses pembuatan serta implementasi kebijakan publik disebutkan bahwa ia merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. HASIL PENELITIAN Kebijakan Penanggulangan Bencana Kabupaten Pasuruan merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di Wilayah Propinsi Jawa Timur, dengan memiliki permasalahan kebencanaan yang komplek. Kabupaten Pasuruan terletak antara 112,300 s/d 113,300 bujur timur dan antara 7,300 s/d 8,300 lintang selatan dengan luas 147.401,50 ha (3,3 % luas Propinsi Jawa Timur) terdiri dari 24 Kecamatan, 24 Kelurahan, 341 Desa dan 1694 Pedukuhan. Kabupaten Pasuruan terbagi menjadi 5 bagian yaitu kerucut gunung api, pegunungan, perbukitan, dataran pasir dan dataran rendah Secara alamiah, kondisi ini memposisikan wilayah Kabupaten Pasuruan memiliki kerawanan yang tinggi terhadap berbagai macam bencana mulai dari bencana banjir, puting beliung, longsor, kekeringan dan gunung meletus. Implementasi Kebijakan Dalam pembahasan ini, penulis ingin menitikberatkan pada proses pelaksanaan program atau implementasi nyata dari peraturan daerah no 4 tahun 2011 tentang penanggulangan bencana di Kab. Pasuruan pada tahun 2014 dengan melihat variabelvariabel penentu dalam proses tersebut, berdasarkan teori Van Meter Van Horn bahwa ada 6 variabel yang mempengaruhi implementasi, yaitu (1) Ukuran dan Tujuan kebijakan, (2) sumber daya, (3) komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana, (4) karakteristik agen pelaksana, (5) Kecenderungan Pelaksana, (6) Lingkungan kondisi sosial, ekonomi, dan politik.
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Ukuran dan Tujuan Kebijakan Dalam menentukan sasaran kebijakan dibutuhkan suatu standar atau indikator yang kuat agar selama proses implementasi berjalan, tidak terjadi konflik antar aparat pelaksana. Dalam hal ini Badan pelaksana di lapangan khususnya BPBD Kab. Pasuruan seharusnya mempunyai standar operasi yang jelas dalam menjalankan setiap kegiatan operasionalnya. Sehingga kelompokkelompok lainnya, seperti dinas-dinas terkait serta relawan-relawan yang kemungkinan ikut terlibat dalam kerja sosial tersebut mempunyai acuan dalam membantu menjalankan program baik sebelum, pada saat atau bahkan pasca terjadinya bencana. Sumber Daya Selanjutnya yang tidak kalah penting yang menjadi tolak ukur keberhasilan implementasi kebijakan adalah sumber daya. Sumber daya disini bisa terdiri dari sumber daya manusia, alam, dan materil yang merupakan suatu perangkat penting dalam menjalankan suatu program atau kebijakan. Keberhasilan suatu program dilihat sejauh mana kualitas serta kemampuan sumber daya yang dimliki. Ini semua diperoleh melalui rangkaian perencanaan yang matang dari para pelaksana kebijakan serta kerjasama dalam membangun sumber daya yang mendukung dalam proses pelaksanaan. Jika dilihat dari data yang penulis peroleh dari BPBD dan dinas terkait ada banyak pekerjaan rumah yang harus segera dibenahi oleh pemerintah dalam poin ini. Dimana pada saat ini BPBD Kab. Pasuruan dinilai mempunyai tenaga atau personil yang kurang memadai yaitu hanya berjumlah 12 orang. Hal ini belum menyinggung masalah kapasitas serta kapabilitas personal yang ada, dimana hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kelancaran implementasi kebijakan baik disaat melakukan koordinasi dengan instansi lain maupun dalam melakukan fungsi-fungsi kerja komunikasi dengan masyarakat luas, bagaimana mereka harus lihai berdiplomasi dengan masyarakat, 81 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
menyampaikan sosialisasi pengenalan lembaga yang selama ini kurang dikenal secara luas. Komunikasi antar Organisasi dan Aktifitas Pelaksana Keberhasilan suatu program dinilai dari sejauh mana kerjasama dalam hal ini komunikasi serta penguatan aktivitas daripada aparat pelaksana yang terlibat dalam proses pelaksanaan suatu program. Dengan komunikasi yang harmonis, maka seluruh mekanisme pelaksanaan akan terkoordinir dengan baik. Begitupun dengan adanya penguatan aktifitas, apabila semua elemen yang terlibat memiliki kesatuan yang kuat dan juga memiliki profesionalitas serta kooperasi yang tinggi, maka dengan ini akan memudahkan jalannya suatu program sehingga tercapai suatu tujuan yang efektif. Apa yang terjadi pada BPBD Kab. Pasuruan perlu adanya usaha yang lebih keras dalam membangun komunikasi dan koordinasi yang baik, efektif dan efisien dengan berbagai elemen, seperti yang diterangkan oleh salah satu anggota BPBD Kab. Pasuruan, Hari Santosa (16 Juli 2014): ―Kami sudah berusaha bekerja secara maksimal, namun memang hasilnya belum seperti yang diharapkan. Kendala yang sangat terasa adalah lemahnya sistem koordinasi antar dinas, karena masalah bencana melibatkan beberapa dinas terkait‖ Lemahnya system komunikasi lintas sektoral seperti yang diakui oleh BPBD Kab. Pasuruan merupakan persoalan yang serius mengingat tugas dan wewenang BPBD selalu intens berinteraksi dengan berbagai dinas terkait, seperti dinas sosial, Pekerjaan Umum, serta SKPD-SKPD terkait yang menyokong kerja BPBD. Dampak yang paling nampak pada persoalan ini adalah adanya program sektoral yang seolah berjalan sendirisendiri antar dinas, sehingga tidak ada program jangka panjang dalam masalah penanggulangan bencana. Jika demikian, maka sewajarnya apabila pengurangan dampak bencana atau penanganan
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
penanggulangan bencana tidak berjalan secara komprehensif dari hulu ke hilir seperti yang diharapkan. Dalam hal pelaksa kebijakan yang disahkan oleh Pemerintah Kabupaten Pasuruan yaitu Peraturan Daerah No 4 tahun 2011 tentang penanggulangan bencana di Kabupaten Pasuruan. Perda tersebut dimaksudkan untuk memperkuat koordinasi dan pelaksanaan penanggulangan bencana lintas sektoral dan SKPD terkait, yang mana secara teknis di lapangan semua sektor berkoordinasi secara simultan dan saling dukung mendukung dalam program pelaksanaanya. Seperti penyiapan prasarana sarana pendukung pencegahan dan kesiapsiagaan penanggulangan bencana, EWS bencana, peralatan evakuasi dan pertolongan korban bencana menjadi serta yang bertanggungjawab dalam mengkoordinasi penanggulangan bencana yang terjadi di Kabupaten Pasuruan semuanya merupakan tanggung jawab BPBD Kab. Pasuruan. Sedangkan badan yang mengurus Persiapan logistik untuk mencukupi kebutuhan penduduk yang mengungsi dalam situasi darurat bencana menjadi tugas dan tanggung jawab Dinas Tenaga Kerja Sosial dan Transmigrasi. Berikutnya mengenai persiapan pelayanan kesehatan dengan penyediaan obat-obatan dan tenaga medis/ paramedis serta prasarana sarana pendukung kesehatan lainnya bagi warga yang terdampak bencana menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan dan untuk program pembangunan daerah Kabupaten Pasuruan yang berhubungan dengan penanggulangan atau pencegahan bencana non struktural, masuk pada ―urusan pemerintahan wajib‖ SKPD (Bab V/46-34), yaitu pada urusan Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri dengan Program Pencegahan Dini dan Penanggulangan Korban Bencana Alam (khususnya kebakaran pemukiman) yang dilaksanakan oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbang. dan Linmas).
82 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
Kecenderungan Para Pelaksana Disposisi implementor atau kecenderungan para pelaksana yang meliputi salah satunya mengenai respon para implementor terhadap kebijakan, respon implementor berkaitan dengan kemauan atau inisiatif daripada para implementor untuk turut andil adalam menjalankan suatu program berdasarkan tupoksi yang ada. Sebenarnya, berkaitan dengan respon instansi terhadap program yang dicanangkan oleh BPBD dinilai cukup bagus, hal ini terbukti dengan terlaksananya beberapa kali kerjasama tim di lapangan untuk penanggulangan bencana yang terjadi di Kab. Pasuruan. Semua instansi terlibat aktif pada saat terjadi bencana dari membantu menyiapkan sarana prasarana yang dibutuhkan masing-masing instansi misalkan tenaga medis, dapur umum, tempat evakuasi korban dan lain-lain. Namun, demikian yang masih dirasa kurang saat ini adalah penguatan aktifitas pra bencana atau siaga bencana. Seharusnya, kesiapsiagaan dilakukan tidak hanya pada saat terjadi bencana dan menelan korban serta semacamnya, melainkan sebelum terjadinya bencana. Sehingga, apa yang dimaksud pengurangan dampak bencana hingga 0% bisa dicapai dengan nyata, tidak hanya sebagai isapan jempol yang hanya ditulis dan dijadikan target. Lingkungan Sosial, Ekonomi, dan Politik Berkaitan dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik yang ada di Kab. Pasuruan, keterdukungan implementasi perda No.4 tahun 2011 pemerintah Kab. Pasuruan, cukup tinggi yang mana jika dilihat dari kondisi pendidikan masyarakat Pasuruan cukup tinggi jika dibandingkan antara masyarakt terdidik dan tidak. Hal ini sebenarnya menjadi poin penguat untuk kesuksesan implementasi program turunan dari perda diatas. Rata-rata pendidikan masyarakat Pasuruan lulus SMA, sehingga tingkat
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
literasi bisa dikatakan tinggi dan dirasa cukup untuk mencerna dan memahami tujuan dalam implementasi segala program yang dijalankan BPBD dan instansi penduklungnya. Begitu juga dengan tingkat ekonomi masyarakat yang jika diprosentase keluarga dibawah sejahtera lebih sedikit daripada keluarga sejahtera. Dari sini, potensi kesadaran akan dampak buruk bencana terhadap segala aset yang dimiliki oleh masyarakat menjadi penting untuk menumbuhkan kesiapsiagaan masyarakat dalam mengatasi persoalan bencana yang terjadi. PENUTUP Kesimpulan Dari urain dan analisis pada bab V dapat disimpulkan bahwa pada saat sebelum dibentuknya BPBD, program/kegiatan pemerintah daerah yang berhubungan dengan penanganan atau penanggulangan bencana khususnya pada saat tidak terjadi bencana (mitigasi struktural dan nonstruktural), sudah ada dan melekat pada masing-masing dinas/instansi terkait sesuai tugas dan fungsi masing-masing dinas serta sebagai isu strategis pembangunan daerah dan visi, misi dan program kepala daerah terpilih periode tahun 2008-2013. Walaupun pada waktu itu masalah yang berhubungan dengan penanggulangan bencana masih belum berpola pada paradigma baru yang meletakkan manajemen penanggulangan bencana pada semua tahapan dengan penanganan yang dilakukan secara utuh, terkoordinasi, menyeluruh dan terpadu, mulai pada tahap prabencana, tahap tanggap darurat, sampai dengan tahap pascabencana (rehabilitasi dan rekonstruksi), tetapi upaya untuk penanganan kebencanaan sudah ada, meskipun belum terpadu, belum komprehensif dan belum menyeluruh. Implemantasi peraturan daerah No 4 tahun 2011 dilakukan dengan membentuk BPBD Kabupaten Pasuruan sebagai badan yang bertanggungjawab terhadap penanggulangan bencana dikabupaten 83 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
Pasuruan. Tugas BPBD selanjutkanya adalah melaksanakan program dan kegiatan yang terkait dengan penanggulangan bencana mulai dari mitigasi bencana, tanggap bencana saat terjadi bencana serta rekontruksi dan rehabilitasi paska bencana. Dalam kaitan dengan dinas dinas terkait dengan penanganan bencana, BPBD Kabupaten Pasuruan melakukan koordinasi dan fasilitasi berbagai kegiatan yang terkait dengan penanggulangan bencana di Kabupaten Pasuruan. Dalam konteks implementasi kebijakan penanggulangan bencana yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kab. Pasuruan beberapa model implementasi dikolaborasikan untuk memenuhi target dan tujuan yang ingin dicapai. Dari sekian model yang berkembang, setidaknya ada dua model yang sampai saat ini digunakan di dalam implementasi penanggulangan bencana baik pra, saat dan pasca-bencana yaitu, model Top-Down dan Model Bottom-Up. Sedangkan dalam hal yang menjadi pembeda atau unik dari pola penanggulangan bencana di Kab. Pasuruan adalah diantaranya aplikasi pola interaksi antara pelaksana Perda No 4 tahun 2011 yaitu BPBD Kab. Pasuruan dengan lembaga-lembaga non-pemerintah yang sudah atau sedang berjalan saat ini, dan pelibatan dan pemberdayaan masyarakat di dalam penanggulangan bencana serta soliditas dan kekompakannya yang luar biasa dan adanya desa tangguh bencana yang sudang terbentuk beberapa tahun yang lalu. Adapun secara geografis, daerah Kab. Pasuruan sebenarnya cukup strategis dan potensial dari segi bisnis karena daerah ini masih cukup dekat dengan daerah industri dan pusat pemerintahan propinsi yaitu Surabaya. Dari sini seharunya proses administrasi terkait dengan perijinan, konsultasi dan hal lainnya yang berkaitan dengan kooordinasi dan konsolidasi antara instansi pemerintah yang terlibat di dalam penanganan bencana menjadi lebih mudah dan soliditas serta kesadaran kolekti
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
masyarakat Kab. Pasuruan menjadi faktor pendukung yang dapat menjadi pendorong kesuksesan program-program yang akan dijalankan oleh BPBD Kab. Pasuruan. Dari hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa masih banyak persoalan atau kendala terkait dengan implementasi penanggulangan bencana di kapupaten pasuruan pada tahun 2014 baik itu yang erat kaitannya dengan implementasi pra bencana, pada saat terjadi bencana, maupun setelah terjadinya bencana. Sederet permasalah baik internal maupun eksternal memiliki pengaruh yang besar dalam pelaksanaan program dan kegiatan BPBD Kabupaten Pasuruan dalam menangani bencana. Saran Sebagai Penanggungjawab Penanggulangan bencana di Kabupaten Pasuruan, BPBD Kabupaten pasuruan perlu melakukan koordinasi yang lebih inntensif dengan dinas terkait seperti Dinas PU, DISNAKERSOSTRANS, dinas pengairan, Dinas Pendidikan dan Dinas terkait lain agar program dan kegiatan penanggulangan bencana di kabupaten pasuruan menjadi lebih teratur dan sistematis. Selama ini, kegiata penanggulangan bencana di Kabupaten pasuruan sering tidak terintegrasi dan tersinergi dengan baik antar dinas terkait pelaksanaan program atau kegiatan yang berkaitan dengan penanggulangan bencana. Selain itu, peningkatan kegiatan yang terkait dengan mitigasi dan pencegahan bencana perlu dilakukan lebih intensif. Banyaknya sungai di kabupaten pasuruan misalnya, seringkali menyebabkan luberan air yang mengakibatkan banjir dan longsor dibeberapa titik rawan bencana, misalnya di rejoso, lekok dan bangil. Pencegahan bencana dapat dilakukan misalnya dengan memperbaiki sistem drainase dan pengerukan pendangkalan sungai yang terjadi akibat material banjir yang terjadi di setiap musim hujan. Selain itu, kegiatan yang perlu mendapat perhatian lebih dari BPBD kabupaten Pasuruan adalah peningkatan 84 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
pemahaman dan kesadaran masyarakat khusunya masyarakat yang berada di sekitar daerah rawan bencana tentang pentingnya partisipasi masyarakat dalam pencegahan bencana di kabupaten pasuruan, sehingga terjadinya bencana bisa diatasi dan dihindari sedini mungkin. DAFTAR PUSTAKA Abarquez, Imelda and Murshed, Zubair. 2004. Community-Based Disaster Risk Management field practitioners’ handbook. APDC. Pathumthani, Thailand Abdullah, S. 1987. “Kumpulan Naskah “Study Implementasi Latar Belakang Konsep Pendekatan dan Relevansinya dalam Pembangunan.” Persadi,Ujung Pandang. Abidin, S.Z. 2002. Kebijakan Publik. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah. Agustino, Leo. 2008.Dasar-dasar kebijakan Publik. cet.ke-2, Alfabeta, Bandung. Boediono, B. 2003. Pelayanan Prima Perpajakan. Jakarta: Rineka Cipta Dunn, William N. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi Kedua. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Dwijowijoto, R. N. 2003.Kebijakan publik formulasi, implementasi dan evaluasi. PT.elex media komputindo, Jakarta. Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Dye, Thomas R. 1978. Understanding Public Policy. N.J Englewood Cliffs : Prentice Hall, Inc Edwards, George C. 1980. Implementing Public Policy. Washington D.C : Congressional Quarterly Press. Fonna, Febrina.2012.Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Tentang Pembinaan Anak Jalanan Di Kota Makassar. UNHAS. Hadari, Nawawi. 2007.Metode Penelitian Bidang Sosial. Gajahmada University Press : Yogyakarta.
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Handmer, John and Dovers, Stephen. 2007. Handbook of Disaster and Emergency Policies and Institution. Earthscan. New York. Isani, Fitria. 2012. Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan Pendidikan Gratis Di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi barat. UNHAS Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta. DIA FISIP UI. Haryati. 2012. Implementasi PNPM Mandiri Perdesaan Simpan Pinjam Bagi Kelompok Perempuan di Kabupaten Luwu. Makassar: Unhas. Hasniati. 2008. Manajemen Bencana: Sebuah Upaya Untuk Meminimalisasi Dampak Bencana. Jurnal Administrasi Negara Vol.X No.2 Malang: Fakultas Ilmu Administrasi UNBRAW. Kurniawan, Agung. 2005. Transformasi Pelayanan Publik. Yogyakarta: Pembaharuan Mardiyono. 2008. Peran Pemerintah dalam Kebijakan Mitigasi Bencana Alam. JurnalAdministrasi Negara Vol.X No.2 Malang: Fakultas Ilmu Administrasi UNBRAW. Miles, M.B. danHuberman, M.A. 1992. Analisa data kualitatif, Jakarta: UI press. Moleong, Lexy J. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya. Muchsin, Slamet, Dr. 1999. Dampak Sosial Ekonomi Pelaksanaan Kebijakan Pengembangan Wilayah Kota Administratif Batu (Studi Kasus di Wilayah Kota Administratif batu Kabupaten Daerah Tingkat II Malang). Unibraw. Napitupulu, Paimin. 2007. Pelayanan Publik dan Costemer Satisfiction. Bandung: PT. Alumni Nugroho, D Riant. 2006. Public Policy, Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. 85 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
_____ 2007. Analisis Kebijakan. Jakarta. PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. _____ 2007. Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. ____ 2010. Implementasi Kebijakan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Blitar (Studi Tentang Mitigasi Bencana Di Kawasan Rawan Bencana (KRB) Letusan Gunung Kelud).UNIBRAW. _____ 2003. Kebijakan Publik: Formulasi, implementasi dan evaluasi. Jakarta: PT Alex Media Komputindo. Parson, Wayne. 2006. Public Policy, Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan.Jakarta :Kencana Prenada Media Group. Petunjuk Teknis Operasional PNPM MP Tahun 2008. Departemen Dalam Negeri Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. Priambodo, S Arie. 2009. Panduan Praktis Menghadapi Bencana. Yogyakarta: Kanisius. Ratminto, Atik Septiwinarsi.2005. Manajemen Pelayanan. Yogyakarta: PustakaPelajar Santosa, P. 2008. Administrasi Publik, Teori dan Aplikasi Good Governance. Bandung: PT. RefikaAditama Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Administrasi, Bandung :Alfabeta Suharto, Edi. 2008. Kebijakan sosial sebagai Kebijakan publik. Bandung:Alfabeta UNDP, 1992. Tinjauan Umum Manajemen Bencana. PBB: Pusat Manajemen Bencana Universitas Wisconsin. Wahab, S.A. 2008. Analisis Kebijaksanaan, dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Jakarta: PT Umi Aksara. Wahab, S.A. 2008. Analisis Kebijaksanaan, dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Jakarta: PT Umi Aksara.
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Diakses dari http://kompas.go.id/upload/dokumen _perundangan/UU_32_2004. pdf Pada tanggal 23 Oktober 2012 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Diakses dari
86 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
http://kerjasama.jogja.go.id/upload/d okumen_perundangan/UU_32_2004. pdf Pada tanggal 23 Oktober 2012 Draft perda Kab. Pasuruan No 4 tahun 2011 dan 8 tahun 2010 tentang Penanggulangan Bencana daerah. Draft Peraturan kepala BNBP No 4 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Volume 3, No. 1, Januari
2016
REFORMASI ORGANISASI PEMERINTAH KABUPATEN BANYUWANGI (Studi pada Bagian Organisasi) Sunariyanto Dosen Fakultas Ilmu Administrasi, dan Magister Ilmu Administrasi Universitas Islam Malang
Reformasi Organisasi Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengacu pada Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Banyuwangi, yang dilakukan mengingat Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi tentang Organisasi Perangkat Daerah sebelumnya, dinilai sudah tidak mampu menjawab kemajuan daerah, sehingga untuk efektifitas kinerja kelembagaan perangkat daerah, maka dilakukan penataan kembali Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Banyuwangi yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah. Adapun perubahan organisasi dalam lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi diantaranya adalah perubahan pada Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi yang didalamnya terdapat Bagian Organisasi yang berada dibawah Asisten Administrasi Pemerintahan. Perubahan tersebut meliputi Susunan Organisasi, Kedudukan, Tugas Dan Fungsi Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi juga termasuk Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi. Rumusan masalah kajian ini yaitu: Bagaimanakah perubahan organisasi dalam lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi khususnya dilingkup Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi?. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis perubahan organisasi dalam lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi khususnya dilingkup Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi. Hasil kajian penulisan ini bahwa Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi mempunyai tugas pokok melaksanakan penyusunan pedoman dan petunjuk teknis pembinaan dan penataan kelembagaan, ketatalaksanaan, pembinaan Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN), pelayanan publik, budaya kerja, pengawasan melekat, analisis jabatan, LAKIP dan AKIP. Perubahan pada Bagian organisasi ini dilakukan secara bertahap, yaitu awalnya berdasarkan Perda Kabupaten Banyuwangi nomor 17 tahun 2000 yaitu Bagian Organisasi bernama Bagian Aparatur, yang berada dibawa Asisten Administrasi yang membawahi: a. Sub Bagian Kelembagaan; b. Sub Bagian Tata Laksana; c. Sub Bagian Analisis Jabatan dan AKIP; d. Sub Bagian Kepegawaian; Kemudian tahap kedua berdasarkan Perda Kabupaten Banyuwangi nomor 1 tahun 2003 bahwa Bagian Aparatur dirubah menjadi Bagian Organisasi, yang berada dibawah Asisten Pemeritahan. Bagian Organisasi ini, membawahi : a. Sub Bagian Anjab dan AKIP; b. Sub Bagian Tata Laksana; c. Sub Bagian Kelembagaan; d. Sub Bagian Kepegawaian. Dan pada saat ini Bagian Organisasi didasarkan
87 | P a g e
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Volume 3, No. 1, Januari
2016
pada Perda Nomor 6 Tahun 2011, dengan susunan organisasi adalah sebagai berikut: Bagian Organisasi, membawahi: a. Sub Bagian Kelembagaan dan Kinerja; b. Sub Bagian Ketatalaksanaan. Kata Kunci Reformasi
Organisasi
LATAR BELAKANG MASALAH Reformasi Organisasi Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengacu pada Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Banyuwangi, yang dilakukan mengingat Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi tentang Organisasi Perangkat Daerah sebelumnya, dinilai sudah tidak mampu menjawab kemajuan daerah, sehingga untuk efektifitas kinerja kelembagaan perangkat daerah, maka dilakukan penataan kembali Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Banyuwangi yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah. Adapun perubahan organisasi dalam lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi diantaranya adalah perubahan pada Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi yang didalamnya terdapat Bagian Organisasi yang berada dibawah Asisten Administrasi Pemerintahan. Perubahan tersebut meliputi Susunan Organisasi, Kedudukan, Tugas Dan Fungsi Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi juga termasuk Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi. Mengenai Bagian Organisasi Sekretariat Daerah dapat dijelaskan sebagai berikut: Bagian Organisasi mempunyai tugas pokok melaksanakan penyusunan pedoman dan petunjuk teknis pembinaan dan penataan kelembagaan, ketatalaksanaan, pembinaan Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN), pelayanan publik, budaya kerja, pengawasan melekat, analisis jabatan, LAKIP dan AKIP. Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, maka Bagian Organisasi 88 | P a g e
Pemerintah
Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi mempunyai fungsi: a. pengumpulan bahan penyusunan pedoman dan petunjuk teknis pelaksanaan analis dan formasi jabatan serta pendayagunaan aparatur; b. pengumpulan dan pengolahan data serta menyiapkan bahan pembinaan dan penataan kelembagaan di lingkup Pemerintah Kabupaten; c. pengumpulan bahan penyusunan pedoman dan petunjuk teknis pembinaan ketata laksanaan yang meliputi tata kerja, metode kerja dan prosedur kerja; d. pengumpulan bahan penyusunan pedoman dan petunjuk teknis pelaksanaan pelayanan publik, budaya kerja dan pengawasan melekat; e. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Asisten Administrasi Pemerintahan. Sedangkan susunan organisasi Bagian Organisasi Sekretariat Daerah berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 6 Tahun 2011 adalah sebagai berikut: Bagian Organisasi, membawahi: a. Sub Bagian Kelembagaan dan Kinerja; b. Sub Bagian Ketatalaksanaan. Susunan Organisasi, Kedudukan, Tugas Dan Fungsi Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi termasuk Bagian Organisasi yang dibentuk dengan Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 6 Tahun 2011 ini, mengalami perubahan jika dibandingkan dengan Susunan Organisasi, Kedudukan, Tugas Dan Fungsi Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi termasuk Bagian Organisasi sebelumnya yang dibentuk berdasarkan pada perda-perda sebelumnya mengenai
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Banyuwangi. Berdasarkan permasalahan seperti yang telah dikemukakan di atas, maka perlu dikaji mengenai perubahan organisasi dalam lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi khususnya dilingkup Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi. RUMUSAN MASALAH Dari uraian latar belakang masalah kajian di atas, dapat dirumuskan masalah kajian ini yaitu: Bagaimanakah perubahan organisasi dalam lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi khususnya dilingkup Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi?. TUJUAN PENULISAN Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis perubahan organisasi dalam lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi khususnya dilingkup Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi. TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Organisasi ―Pengembangan organisasi adalah suatu pendekatan yang sistematik, terpadu dan terencana untuk meningkatkan efektivitas organisasi. Ia dirancang untuk memecahkan masalah – masalah yang merintangi efisiensi pengoperasian organisasi pada semua tingkatan. Berbagai masalah tersebut mencakup kurangnya kerjasama, desentralisasi yang berlebihan, dan kurang cepatnya komunikasi. Dari segi istilah pengembangan orgasisasi dapat juga disebut sebagai ―Organizational Development‖, ―Organizational Improvement‖ atau ―Planned Change‖. Dimana organisasi melakukan beberapa perubahan terencana untuk mengembangkan diri dari orgasnisasi XA yang tidak mampu melakukan perubahan– 89 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
perubahan positif sendiri menjadi YB yang mampu memperbaharui diri sendiri‖ (Warren Bennis, dalam Adam 1986 : 12). Sedangkan James Champy di dalam bukunya Manajemen rekayasa ulang mengemukakan: ―Suatu organisasi pemimpin, yang seluruhnya memiliki visi dan tujuan yang sama, dapat merupakan pasukan yang tangguh. Tetapi agar organisasi baru itu dapat berjalan, setiap anggota harus mendapat tugas yang nyata, tugas yang menitik beratkan terwujudnya visi dan tujuan itu, singkatnya yang difokuskan pada rekayasa ulang‖(James Champy, 1996). Kemudian lebih lengkap James Champy juga mengemukakan: ―Seorang pemimpin tidak cukup hanya memiliki visi. Seorang pemimpin harus menarik pengikut – pengikut (atau, saya lebih suka menyebutnya, ―rekan kerja‖), orang – orang yang dapat memberikan komitmen terhadap pemikiran ideal yang baru dan terfokus pada pelanggan. Tetapi juga proses mobilisasi diinginkan berhasil, para pengikut itu pun harus menjadi pemimpin, yang mengemukakan kesadaran sendiri akan tujuan dalam tantangan bersama, dan menyebarluaskan tuntutan dan visi perubahan‖(James Champy, 1996 : 60). Tetapi De Michele dalam James Champy secara sempurna mengilustrasikan persyaratan bahwa visi inspiratif perubahan suatu perusahaan harus selalu dibiarkan terbuka untuk revisi, revisi dan revisi. Seperti apa yang secara lengkap dikemukakan : ―Garis batas antara surga (peluang– peluang yang diberikan oleh rekayasa ulang) dan neraka (ketegangan dan ketakutan yang ditimbulkan oleh perusahaan) sangat tipis. Para pemimpin harus mampu mengatur secara emosional itu, baik secara psikologis maupun dalam perasaan yang nyata, untuk mendapatkan hasil yang positif. Restrukturisasi terus– menerus, menurut saya, akan menjadi cara dalam hidup bisnis sejak sekarang ke depan dan tantangan bagi kepemimpinan
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
selama rekayasa ulang adalah mengakui adanya ketegangan, mendukung (orang– orang yang tetap bertahan) dan menjaga agar mereka tetap memusatkan perhatian pada hal–hal yang positif, memusatkan perhatian mereka pada masa depan‖ (De Michele dalam James Champy, 1996:54). DATA DAN PEMBAHASAN Berdasarkan Perda nomor 17 tahun 2000 tentang Struktur Organisasi Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten Banyuwangi bahwa Bagian Organisasi yang dibentuk berdasarkan Perda tersebut bernama Bagian Aparatur, yang berada dibawa Asisten Administrasi. Bagian Aparatur, mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Sekretariat Daerah dibidang aparatur antara lain mengolah bahan dan mempersiapkan penyusunan program dan pelaksanaan pembinaan di bidang Kelembagaan, Tata Laksana, Analisis Jabatan dan AKIP serta Kepegawaian. Bagian Aparatur ini membawahi : a. Sub Bagian Kelembagaan b. Sub Bagian Tata Laksana c. Sub Bagian Analisis Jabatan dan AKIP d. Sub Bagian Kepegawaian Sub Bagian Kelembagaan, mempunyai tugas mengumpulkan bahan penyusunan pedoman dan petunjuk pembinaan dan penataan sistem, metode, dan prosedur kerja. Sub Bagian Tata Laksana, mempunyai tugas mengumpulkan bahan penyusunan pedoman dan petunjuk pembinaan dan penataan sistim, metode dan prosedur kerja. Sub Bagian Analisis jabatan dan AKIP, mempunyai tugas menyiapkan dan mengolah bahan untuk melaksanakan analisis dan formasi jabatan. Sub Bagian Kepegawaian, mempunyai tugas mengumpulkan bahan penyusunan Pedoman Teknis Pembinaan PNS serta menyelenggarakan Tata Usaha Kepegawaian, meliputi pengumpulan data kepegawaian, buku induk Pegawai, Usulan Mutasi, Kenaikan Gaji Berkala, Kenaikan Pangkat, Pembinaan Karier dan pensiunan Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Sekretariat Daerah. 90 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
Selanjutnya tahun 2003 diadakan evaluasi, dengan demikian berdasarkan Perda nomor 1 tahun 2003 tentang Struktur Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi (hasil evaluasi), bahwa Bagian Aparatur dirubah menjadi Bagian Organisasi, yang berada dibawah Asisten Pemeritahan. Bagian Organisasi, membawahi : a. Sub Bagian Anjab dan AKIP; b. Sub Bagian Tata Laksana; c Sub Bagian Kelembagaan; d. Sub Bagian Kepegawaian. Dan pada saat ini Struktur Organisasi dan Tata Kerja Bagian Organisasi yang diberlakukan pada Pemerintah Kabupaten Banyuwangi adalah berdasarkan Perda Nomor 6 Tahun 2011 tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Banyuwangi. Yang mana dalam rangka melaksanakan Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 6 Tahun 2011 tersebut, maka ditetapkan mengenai rincian tugas, fungsi dan tata kerja Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi dengan menerbitkan Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Rincian Tugas, Fungsi Dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi yang didalamnya termasuk Bagian Organisasi. Adapun rinciannya adalah sbb: Bagian Organisasi mempunyai tugas pokok melaksanakan penyusunan pedoman dan petunjuk teknis pembinaan dan penataan kelembagaan, ketatalaksanaan, pembinaan Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN), pelayanan publik, budaya kerja, pengawasan melekat, analisis jabatan, LAKIP dan AKIP. Selain itu Kepala Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi mempunyai tugas: a. menyusun rencana Bagian Organisasi sesuai dengan rencana kerja Sekretariat Daerah; b. mengumpulkan bahan penyusunan pedoman dan petunjuk teknis pelaksanaan analis dan formasi jabatan serta pendayagunaan aparatur;
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
c. mengumpulkan dan mengolah data serta menyiapkan bahan pembinaan dan penataan kelembagaan di lingkup pemerintah kabupaten; d. mengumpulkan bahan penyusunan pedoman dan petunjuk teknis pembinaan ketata laksanaan yang meliputi tatakerja, metode kerja dan prosedur kerja; e. mengumpulkan bahan penyusunan pedoman dan petunjuk teknis pelaksanaan pelayanan publik, budaya kerja dan pengawasan melekat; f. mengkoordinasikan penyelesaian permasalahan-permasalahan pemerintahan di daerah secara terpadu; g. mengkoordinasikan bawahan agar terjalin kerjasama yang baik dan saling mendukung; h. menilai hasil kerja bawahan untuk bahan pengembangan karier; i. melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh atasan sesuai tugas pokok dan fungsinya; j. melaporkan hasil pelaksanaan tugas/kegiatan kepada atasan. Kepala Sub Bagian Kelembagaan dan Kinerja Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi mempunyai tugas: a. menyusun rencana Sub Bagian Kelembagaan dan Kinerja sesuai dengan rencana kerja Sekretariat Daerah; b. menyelenggarakan pengaturan dan penyusunan organisasi dan formasi perangkat daerah; c. mengumpulkan dan mengolah data yang diperlukan untuk penyempurnaan pemantapan dan pengembangan organisasi satuan kerja di lingkungan pemerintah daerah; d. melakukan pengkajian dan penganalisaan tugas dan fungsi serta susunan organisasi satuan kerja di lingkungan pemerintah daerah; e. melaksanakan penelitian, penyusunan evaluasi dan pembuatan konsep rencana pengembangan serta pemantapan kelembagaan di lingkungan pemerintah daerah; 91 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
f. mengumpulkan dan mengolah bahan pelaksanaan analisis dan formasi jabatan serta pemanfaatannya; g. melaksanakan evaluasi hasil analisis dan formasi jabatan di lingkungan pemerintah daerah; h. mengumpulkan dan mengolah bahan untuk penyusunan formasi jabatan; i. mengumpulkan dan mengolah bahan penyusunan LAKIP; j. mengkoordinasikan bawahan agar terjalin kerjasama yang baik dan saling mendukung; k. menilai hasil kerja bawahan untuk bahan pengembangan karier; l. melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh atasan sesuai tugas pokok dan fungsinya; m. melaporkan hasil pelaksanaan tugas/kegiatan kepada atasan. Kepala Sub Bagian Ketatalaksanaan Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi mempunyai tugas: a. menyusun rencana Sub Bagian Ketatalaksanaan sesuai dengan rencana kerja Sekretariat Daerah; b. memberikan bantuan ketatalaksanaan kepada seluruh perangkat daerah untuk kelancaran penyelenggaraan tugas pokok; c. membuat pedoman kerja dan pelaksanaan pembinaan tata naskah dinas bagi satuan kerja perangkat daerah; d. membuat sistem dan prosedur kerja agar tercapai efisiensi dan efektivitas kerja bagi satuan kerja perangkat daerah; e. membuat pedoman dan koordinasi pelaksanaan pelayanan publik oleh instansi pemerintah; f. membuat pedoman dan koordinasi pelaksanaan budaya kerja; g. membuat pedoman dan koordinasi pelaksanaan pengawasan melekat; h. mengkoordinasikan bawahan agar terjalin kerjasama yang baik dan saling mendukung; i. menilai hasil kerja bawahan untuk bahan pengembangan karier;
JI_MILD
ISSN : 2337-697X
j. melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh atasan sesuai tugas pokok dan fungsinya; k. melaporkan hasil pelaksanaan tugas/kegiatan kepada atasan. Berdasarkan data diatas dapat dianalisis bahwa Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi, merupakan salah satu bentuk perubahan dari organisasi yang mana didalamnya termasuk pengembangan organisasi. Hal itu dapat dikatakan termasuk sebuah perubahan organisasi dikarenakan menggunakan suatu pendekatan yang sistematik, terpadu dan terencana dalam menyusun struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi serta dalam menyusun tata kerja demi untuk meningkatkan efektivitas pada Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi. Bagian Organisasi ini dirancang untuk memecahkan masalah – masalah yang merintangi efisiensi dalam pelaksanaan tugasnya pada semua tingkatan, baik pada level staf, level Kasubbag maupun level Kepala Bagian. Berbagai masalah tersebut mencakup kurangnya kerjasama, desentralisasi yang berlebihan, dan kurang cepatnya komunikasi (Warren Bennis, dalam Adam 1986 : 12). Selanjutnya tujuan perubahan dari Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi, adalah untuk memperbaiki efisiensi dan efektivitas dari Bagian Organisasi secara menyeluruh yang artinya tidak hanya memperbaiki prestasi dari Sub Bagian Kelembagaan dan Kinerja atau hanya memperbaiki prestasi Sub Bagian Ketatalaksanaan saja. KESIMPULAN Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi, merupakan suatu proses perubahan organisasi yang beralih dari keadaan sekarang menuju ke keadaan yang diinginkan pada masa mendatang, dengan tujuan meningkatkan efektivitas pada Bagian Organisasi. Selain itu 92 | P a g e
Volume 3, No. 1, Januari
2016
perubahan pada bagian organisasi ini dilakukan secara bertahap, yaitu awalnya berdasarkan Perda Kabupaten Banyuwangi nomor 17 tahun 2000 yaitu Bagian Organisasi bernama Bagian Aparatur, yang berada dibawa Asisten Administrasi yang membawahi: a. Sub Bagian Kelembagaan; b. Sub Bagian Tata Laksana; c. Sub Bagian Analisis Jabatan dan AKIP; d. Sub Bagian Kepegawaian; Kemudian tahap kedua berdasarkan Perda Kabupaten Banyuwangi nomor 1 tahun 2003 bahwa Bagian Aparatur dirubah menjadi Bagian Organisasi, yang berada dibawah Asisten Pemeritahan. Bagian Organisasi ini, membawahi : a.Sub Bagian Anjab dan AKIP; b.Sub Bagian Tata Laksana; c.Sub Bagian Kelembagaan; d.Sub Bagian Kepegawaian. Dan pada saat ini Bagian Organisasi didasarkan pada Perda Nomor 6 Tahun 2011. DAFTAR PUSTAKA Adam
molekun, Ladipo dan Coralie Bryant, 1986, Governance Progress Report The Africa Region Ecxperience, Capacity Building and Implementation Division Study Paper, Africa Technical Paper, Washington DC : World Bank. Champy, James, A., 1996, Preparing for Organization of the Future, Jossey Bass, Inc. San Francisco, CA. Perda Kabupaten Banyuwangi nomor 17 tahun 2000 tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Banyuwangi. Perda Kabupaten Banyuwangi nomor 1 tahun 2003 tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Banyuwangi. Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 6 Tahun 2011 tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Banyuwangi.
JI_MILD
93 | P a g e
ISSN : 2337-697X
Volume 3, No. 1, Januari
2016