JENIS-JENIS Nepenthes spp. PADA TANAH GAMBUT
RIZA LINDA, S.Si. M.Si.
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2009
Jenis-jenis Nepenthes pada tanah Gambut
Abstrak
Inventarisasi Jenis-jenis Nepenthes spp. Pada tanah Gambut di kawsan hutan gambut di Kecamatan Sungai Ambawang telah dilakukan dari bula Agustus – Desember 2008 dengan metode jelajah. Jenis-jenis tumbuhan yang ditemui di sekitar jalur yang ditemui selama eksplorasi dicatat dan diidentifikasi. Spesimen tumbuhan dan herbarium dikoleksi untuk identifikasi lebih lanjut. Karakteristik tumbuhan yang berpotensi hias adalah memiliki kantong yang menarik ataupun memiliki bentuk yang unik. Dari hasil penelitian telah ditemukan 5 jenis Nepenthes antara lain Nepenthes ampullaria, Nepenthes bicalcarata, Nepenthes gracilis, Nepenthes rafflesiana dan Nepenthes xhookeriana. Kata kunci: Inventarisasi, Nepenthes spp, tanah gambut
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan rawa gambut merupakan suatu tipe ekosistem hutan yang unik karena dapat tumbuh pada daerah yang selalu tergenang air tawar dan bersifat asam. Hutan rawa gambut memiliki fungsi penting sebagai kawasan pengawetan dan pelestarian alam, konservasi plasma nutfah, pelindung tanah dan menjaga tata guna air untuk menciptakan lingkungan hidup yang sehat dan dinamis. Hutan rawa gambut telah memberikan manfaat besar dalam pembangunan nasional. Sumber daya hutan digunakan untuk menunjang kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Selain memiliki nilai ekonomis, hutan rawa gambut juga memiliki nilai ekologis yang tinggi. Berbagai jenis tumbuhan dan hewan hidup dan berkembang dengan pola adaptasi khusus membentuk ekosistem hutan rawa gambut. Kalimantan Barat memiliki kawasan hutan rawa gambut seluas 1.012.566 ha atau sekitar 7,7 % luas hutan rawa gambut di Indonesia. Hutan rawa gambut Kalimantan Barat menyimpan kekayaan jenis tumbuhan yang tinggi. Vegetasi penyusun hutan rawa gambut terdiri atas berbagai jenis tumbuhan yang selalu hijau (evergreen) dan memiliki pola adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan di hutan rawa gambut. Salah satu jenis tumbuhan yang terdapat di kawasan hutan rawa gambut adalah kntong semar (Nepenthes spp) yang memiliki bentuk unik dan menarik. Nepenthes dapat dijadikan sebagai tanaman hias karena corak warna kantongnya yang menarik dan dapat pula digunakan sebagai tanaman obat. Menurut Mansur (2006) cairan dalam kantong muda yang masih menutup dapat digunakan sebagai obat mata, batuk dan mengobati kulit yang terbakar, sedangkan rebusan akarnya digunakan sebagai obat sakit perut, disentri, batuk dan demam. Kalimantan merupakan pusat penyebaran Nepenthes terbesar di dunia. Sebanyak 32 jenis Nepenthes telah ditemukan di Kalimantan (Borneo), 29 jenis di pulau Sumatera, 10 jenis di Sulawesi, 9 jenis di Papua New Guinea, 4 jenis di
Maluku dan di pulau Jawa hanya ditemukan 2 jenis. Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh beberapa orang peneliti, Kalimantan Barat merupakan salah satu daerah yang memiliki tingkat keanekaragaman Nepenthes yang tergolong tinggi. Clarke (1997) telah menemukan Nepenthes hirsuta di hutan kerangas dan Nepenthes bicalcarata di hutan rawa gambut Kalimantan Barat. Tubali (2006) telah melakukan penelitian di hutan wisata Baning dan menemukan tiga jenis Nepenthes di hutan rawa gambut yaitu Nepenthes ampullaria, Nepenthes bicalcarata, dan Nepenthes rafflesiana. Ismawan, dkk (2006) menemukan enam jenis Nepenthes di hutan rawa gambut Kabupaten Sanggau yaitu Nepenthes ampullaria, Nepenthes bicalcarata, Nepenthes rafflesiana, Nepenthes gracilis, Nepenthes mirabilis dan Nepenthes hookeriana.
Berdasarkan
informasi
masyarakat desa Teluk Bakung, Kecamatan Sungai Ambawang, Nepenthes banyak ditemukan sebagai tumbuhan liar di hutan. Salah satu jenis Nepenthes yang pernah ditemukan adalah Nepenthes ampullaria. Hutan rawa gambut desa Teluk Bakung Kecamatan Sungai Ambawang telah mengalami kerusakan yang sangat parah yang diakibatkan oleh kebakaran hutan, perladangan berpindah dan konversi hutan menjadi areal pemukiman, pertanian dan perkebunan. Kondisi ini menyebabkan jumlah Nepenthes di hutan rawa gambut semakin berkurang. Eksploitasi Nepenthes secara besar-besaran untuk kepentingan ekonomis juga memberikan sumbangan yang besar dalam penurunan populasi Nepenthes di alam. Jika kondisi tersebut tetap berlangsung tanpa adanya tindakan penyelamatan, maka dikhawatirkan akan mengakibatkan kepunahan Nepenthes di alam. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui keanekaragaman dan pola distribusi Nepenthes spp di hutan rawa gambut desa Teluk Bakung, Kecamatan Sungai Ambawang secara kuantitatif. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi dalam upaya pemanfaatan, pengembangan dan pelestarian Nepenthes dimasa mendatang.
1.2. Perumusan Masalah Ketergantungan manusia terhadap sumber daya hutan dapat berpengaruh terhadap kelestarian sumber daya alam di dalam kawasan hutan tersebut.
Pemanfaatan sumber daya hutan secara berlebihan menyebabkan terganggunya stabilitas hutan yang berpengaruh pada penurunan populasi tumbuhan dalam suatu kawasan hutan. Aktivitas manusia telah memicu kerusakan habitat berbagai organisme dalam hutan. Salah satu jenis tumbuhan yang terancam keberadaannya adalah kantong semar (Nepenthes spp). Selain disebabkan oleh perusakan habitat, keberadaan Nepenthes di alam juga terancam oleh eksploitasi berlebihan yang banyak dilakukan oleh masyarakat untuk tujuan komersil. Sehubungan dengan hal tersebut, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Jenis Nepenthes spp apa saja yang terdapat di kawasan hutan rawa gambut desa Teluk Bakung, Kecamatan Sungai Ambawang, Kalimantan Barat? b. Bagaimana keanekaragaman dan pola distribusi Nepenthes spp di kawasan hutan rawa gambut desa Teluk Bakung, Kecamatan Sungai Ambawang, Kalimantan Barat?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis, keanekaragaman dan pola distribusi Nepenthes spp yang terdapat di kawasan hutan rawa gambut desa Teluk Bakung, Kecamatan Sungai Ambawang, Kalimantan Barat.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Botani Nepenthes Menurut Mansur (2006), Sistematika Nepenthes adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Filum
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Sub Kelas
: Dilleniidae
Ordo
: Nepenthales
Famili
: Nepenthaceae
Genus
: Nepenthes
Nepenthes di Indonesia disebut kantong semar karena ujung daunnya yang membentuk kantong mirip perut buncit sehingga diberi nama seperti salah satu tokoh pewayangan yang memang berperut tambun yaitu Semar. Tumbuhan ini mempunyai ketinggian mencapai 15-20 m, tumbuh tegak atau menjalar dengan memanjat tanaman lainnya. Bentuk batang Nepenthes ramping dan panjang dari 30 cm sampai 2 m dengan diameter batang 3-30 mm berbentuk silindris atau tabung, kadang-kadang segitiga dengan dua sayap. Batang berwarna hijau kadangkadang ungu tua atau merah tua. Pada beberapa spesies muncul batang roset yang letaknya di pangkal batang tertua (Soeseno, 1998) Daun Nepenthes ada yang mempunyai tangkai daun (petiolus) dan ada pula yang tidak mempunyai tangkai daun (sessile). Bentuk daun lanset (lanceolatus) dengan panjang 10-45 cm, lebar 1-1,5 cm, tulang daun selalu tegap dan menonjol. Tangkai daun panjangnya 2-20 cm. Warna daun Nepenthes hijau atau hijau kekuningan, kadang-kadang berwarna merah tua sampai keunguan. Daun muncul di ruas-ruas batang dengan jarak tetap. Pada ujung daun terdapat sulur yang dapat termodifikasi membentuk kantong, yaitu alat perangkap yang digunakan untuk memakan mangsanya, misalnya serangga, kecoa, pacet atau anak kodok yang
5
masuk kedalamnya. Dalam kantong terdapat cairan yang sangat asam dan sifatnya mematikan yang berfungsi mencabik-cabik tubuh serangga atau hewan kecil lainnya
menjadi
molekul
besar
yakni
protein.
Selanjutnya
Nepenthes
mengeluarkan enzim proteolase (nepenthesin) sebagai enzim yang menguraikan protein menjadi zat-zat sederhana seperti nitrogen, fosfor, kalium dan garamgaram mineral (Mansur, 2006). Kantong Nepenthes merupakan modifikasi dari daun. Kantong terbentuk dari urat daun bagian tengah yang membengkak. Nepenthes mempunyai daun yang khusus teradaptasi untuk menarik, menangkap, mempertahankan dan memangsa hewan invertebrata (Moran, 1996). Kebanyakan jenis Nepenthes menghasilkan dua tipe kantong yakni kantong atas dan kantong bawah. Kantong bawah yaitu kantong yang ke luar dari daun yang letaknya tidak jauh dari permukaan tanah, ukurannya pendek dan biasanya menempel pada tanah, sedangkan kantong atas yaitu kantong yang terdapat pada batang yang merambat, lebih dangkal, berbentuk corong, pinggang atau silinder dan tidak memiliki sayap. Perbedaan bentuk dan struktur antara kantong atas dan kantong bawah sangat mencolok. Kantong bawah Nepenthes ditutupi oleh bulu keras yang terdapat di bawah penutupnya. Kantong bawah Nepenthes sering menempel pada moss dan detritus di tanah atau pohon, sedangkan pada kantong atas Nepenthes tidak terdapat bulu yang keras dan terletak jauh dari permukaan tanah. Secara keseluruhan semua jenis Nepenthes memiliki lima bentuk kantong, yaitu kantong bentuk tempayan (pada Nepenthes ampullaria), bentuk bulat telur atau oval (pada kantong bawah Nepenthes rafflesiana), bentuk silinder (pada Nepenthes gracilis), bentuk corong (pada kantong atas Nepenthes rafflesiana) dan bentuk pinggang (pada Nepenthes reinwardtiana) (Mansur, 2006). Permukaan kantong Nepenthes mempunyai zona yang berbeda yang berfungsi untuk menarik, menyimpan, mencerna dan mengambil nutrisi yang dilepaskan oleh mangsa (Juniper et al., 1989; Gaume et al., 2002) dalam Gorb (2005). Kantong Nepenthes memiliki empat bagian utama yang berperan dalam menangkap mangsa yaitu penutup kantong, peristome, zona lilin bagian atas dan
zona kelenjar pencernaan di bagian bawah. Kedua zona tersebut terdapat di dalam kantong Nepenthes. Penutup kantong Nepenthes memiliki dua fungsi utama yakni untuk memikat serangga agar mengunjungi kantong Nepenthes dan untuk menutupi mulut kantong Nepenthes agar air hujan yang masuk tidak berlebihan sehingga tidak memenuhi bagian dalam kantong Nepenthes. Peristome terdapat di bagian bawah penutup dan terdapat bagian yang bergerigi menyerupai gigi. Pada selasala gerigi terdapat nektar sebagai makanan bagi serangga. Fungsi utama peristome adalah mencegah agar mangsa yang telah masuk ke dalam kantong tidak lepas dari kantong. Gigi pada peristom berfungsi untuk menghalangi mangsa merayap ke atas melalui dinding kantong, sehingga sulit untuk melarikan diri (Gorb, 2005). Permukaan dalam kantong di bawah peristome di bagi menjadi dua zona berbeda. Zona atas terdiri atas lapisan lilin yang akan rusak ketika serangga merayap di atas zona tersebut yang mengakibatkan serangga akan masuk ke dalam kantong berisi cairan di bagian bawahnya (Juniper et all, 1989) dalam Merbach, et all. (1999). Zona ini ditutupi oleh lapisan kristal jernih atau lapisan lilin yang menyebabkan serangga sulit untuk merayap. Lapisan lilin terdiri atas dua lapisan yang berbeda. Lapisan lilin bagian atas berfungsi sebagai bahan pelekat yang menyebabkan serangga akan lengket pada lapisan ini. Lapisan lilin bagian bawah berfungsi untuk mengurangi kontak antara kaki serangga dengan permukaan tanaman (Gorb, 2005). Zona bawah ditutupi dengan kelenjar dan biasanya terletak di bawah cairan. Kelenjar tersebut akan mensekresikan cairan asam dan enzim pencernaan yang membantu dalam proses penguraian mangsa (Kurata, 1976). . Tanaman Nepenthes berumah dua, yakni tanaman hanya memiliki bunga jantan atau bunga betina saja. Bunga biasanya baru muncul pada saat tanaman telah tumbuh menjalar atau merambat dan telah membentuk kantung atas. Pada tanaman muda, jenis kelamin tanaman tidak dapat dibedakan berdasarkan morfologi tanaman. Bunga Nepenthes bentuknya sangat sederhana, dengan empat kelopak tanpa mahkota dan terangkai dalam satu tandan (Jomlai, 2008). Bunga jantan dicirikan dengan bentuk bakal bunga bulat tanpa ada belimbingan
sedangkan bunga betina dicirikan dengan adanya belimbingan pada bakal bunganya. Ukuran diameter masing-masing bunga biasanya tidak lebih dari 1 cm. Penyerbukan terjadi melalui perantara serangga (Ismawan, 2006). Biji Nepenthes berasal dari indung telur yang mengalami proses penyerbukan dan mempunyai sayap yang panjangnya mencapai 30 mm, tetapi sangat tipis dan berisi sedikit endosperm. Biji berbentuk benang dan diselubungi kulit yang berbentuk kapsul. Buah yang telah masak akan terbelah dan terbagi menjadi empat ruang. Benih yang terlepas akan terbawa angin (Clarke, 2004) Nepenthes tersebar luas di kawasan tropis yang meliputi Borneo, Sumatra, Semenanjung Malaya, Filipina dan New Guinea. Habitat dengan spesies terbanyak terdapat pada pulau Kalimantan dan Sumatera (Adam dan Hafiza, 2006).
2.2. Aspek Ekologi Nepenthes Kantong Semar (Nepenthes sp) berasal dari Asia Timur. Nepenthes dapat hidup di berbagai tempat mulai dari pantai, gunung kapur sampai hutan lebat di pegunungan. Nepenthes hidup di tempat-tempat terbuka atau agak terlindung di habitat yang miskin unsur hara dan memiliki kelembaban udara yang cukup tinggi. Menurut Mansur (2006), terdapat beberapa tipe habitat Nepenthes antara lain: a. Hutan Hujan Tropik Dataran Rendah Tipe ekosistem hutan ini mempunyai jenis vegetasi lebih beragam dibandingkan dengan tipe lainnya. Tersebar luas mulai dari garis pantai hingga ketinggian 1.500 m di atas permukaan laut. Suhunya cukup tinggi antara 22340C dengan kelembapan udara 70-90%. Hutan ini didominasi oleh pepohonan yang berdiameter batang antara 10-20 cm dengan tinggi tajuk ratarata 20-30 cm. Jenis Nepenthes yang hidup di daerah ini adalah Nepenthes veitchii yang hidup epifit dan Nepenthes gymnamphora.
b. Hutan Pegunungan Tipe ekosistem ini mempunyai ketinggian 1.500 m di atas permukaan laut dengan suhu udara yang lebih dingin dan sering diselimuti kabut. Keragaman jenis pohonnya kurang bervariasi dibandingkan dengan hutan dataran rendah. Pohon-pohon penyusun hutan pegunungan umumnya memiliki tinggi tajuk kurang dari 20 m, batang pohon lebih ramping dan ukuran daun umumnya lebih kecil. Nepenthes yang hidup di hutan pegunungan antara lain Nepenthes tentaculata dan Nepenthes lowii. c. Hutan Rawa Gambut Keanekaragaman di hutan rawa gambut relatif rendah dibandingkan dengan tipe hutan lainnya di dataran rendah. Tumbuhan yang hanya toleran terhadap genangan air asam yang dapat hidup di lingkungan yang selalu memiliki kelembaban udara yang cukup tinggi. Jenis Nepenthes yang hidup di daerah ini diantaranya Nepenthes rafflesiana, Nepenthes ampullaria dan Nepenthes gracilis. d. Hutan Kerangas Ciri utama hutan kerangas adalah lantai hutannya ditutupi oleh pasir putih yang bersifat asam dan berasal dari batuan ultrabasic. Umumnya, pohon yang tumbuh di daerah ini memiliki tinggi tajuk yang rendah (tingginya kurang dari 10 m) dan seragam, ukuran batang dan daun kecil, serta cabang dan ranting tumbuh rapat pada setiap pohon. Hutan kerangas memiliki suhu udara cukup ekstrim di atas 30 0C pada siang hari. Kondisi lingkungan seperti ini menyebabkan tumbuhan yang hidup dan dapat beradaptasi umumnya memiliki batang dan daun berukuran kecil, berdaun tebal, memiliki banyak cabang dan ranting yang sulit ditembus. Nepenthes reinwardtiana, Nepenthes gracilis, Nepenthes rafflesiana dan Nepenthes stenophylla merupakan jenisjenis Nepenthes yang umumnya ditemukan di hutan kerangas. e. Gunung Kapur Tipe habitat ini lebih ekstrim daripada hutan kerangas. Jenis tumbuhan yang mampu beradaptasi di habitat yang tanahnya berbatu kapur ini jumlahnya sedikit. Jenis-jenis pionir seperti paku-pakuan, lumut, dan beberapa
jenis tumbuhan semak yang tumbuh pada habitat ini. Sangat jarang tumbuhan berbentuk pohon tumbuh di tempat ini. Tanah kapur berasal dari batuan sedimen yang memiliki sifat asam. Air permukaan yang mengalir di atas tanah kapur ini sangat cepat. Akibatnya, mudah terjadi longsor saat hujan deras. Meskipun daerah ini sangat miskin unsur hara, tetapi beberapa jenis Nepenthes yang penampilannya cukup menarik mampu hidup dan berkembang di tempat ini seperti Nepenthes northiana, Nepenthes mapuluensis, Nepenthes densiflora dan Nepenthes reinwardtiana. f. Padang Savana Daerah padang savana datar dan hanya ditumbuhi rumput-rumputan. Tipe habitat ini ditemukan di daerah yang memiliki ketinggian 1.100 m di atas permukaan laut. Di tempat inilah Nepenthes maxima hidup berkelompok dekat sumber-sumber air, seperti parit dan sungai kecil. Umumnya, Nepenthes yang hidup di daerah savana hidup terestrial, tumbuh tegak dan memiliki panjang batang kurang dari 2 m. g. Danau Danau juga merupakan salah satu habitat beberapa jenis Nepenthes, baik jenis dataran rendah seperti Nepenthes mirabilis yang ditemukan di Danau Dendam Tak Sudah-Bengkulu pada ketinggian 50 m di atas permukaan laut atau jenis dataran tinggi seperti Nepenthes gymnamphora yang ditemukan di Telaga Warna-Puncak-Bogor pada ketinggian 1.000 m di atas permukaan laut dan Situ Patenggang-Bandung pada ketinggian 1.600 m di atas permukaan laut. Danau Dendam Tak Sudah terdapat Nepenthes mirabilis yang hidup berdampingan dengan Vanda hookeriana dan bakung. Ketiga tumbuhan ini toleran terhadap genangan air.
2.3. Karakteristik Hutan Rawa Gambut Hutan rawa gambut didefinisikan sebagai suatu bentuk hutan yang spesial. Hutan digenangi dengan air permanen yang bersifat asam. Air yang bersifat asam ini menyebabkan bakteri pengurai tidak dapat hidup. Akibatnya
serasah daun dan batang yang jatuh dipermukaan tanah sulit mengalami pembusukan dan tidak dapat diuraikan menjadi kompos dan tanah. Akibatnya serasah daun menumpuk dan terus menebal yang disebut sebagai gambut. Hutan rawa gambut hanya terdapat di daerah-daerah yang iklimnya selalu basah khususnya di Sumatra, Kalimantan dan Irian Jaya yang mencakup luas 13 Juta ha atau 10 % dari luas seluruh hutan di Indonesia (Anshari, 2008). Menurut Soerianegara (1977) dalam Suprawardani (2000) hutan rawa gambut adalah sejenis hutan rawa tetapi tumbuh di atas lapisan gambut yang tebalnya 1-20 meter dan digenangi air gambut yang berasal dari hujan dan tanah organosol. Menurut Simon (1988), hutan rawa gambut adalah hutan yang tumbuh di atas kawasan air menggenang dalam keadaan asam dengan pH rata-rata 3,0-4,0, miskin unsur hara, udara selalu lembab dan curah hujan tinggi tanpa musim kering atau musim kemarau yang panjang. Menurut Resosoedarmo (1989), ciri-ciri ekosistem hutan rawa gambut meliputi curah hujan per tahun 1.300-7.100 mm, suhu rata-rata 260C, ketinggian dari permukaan laut kurang dari 100 m dan tanahnya termasuk jenis organosol. Menurut Baehaqie (1993), hutan rawa gambut merupakan lingkungan yang unik karena mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a. Selalu digenangi air b. Dihuni oleh jenis tumbuhan dan hewan yang biasanya hidup pada hutan tropika humida dataran rendah c. Komposisi pohon yang beranekaragam d. Terdapat lapisan gambut pada lantai hutan e. Vegetasi hutan rawa gambut pada umumnya mempunyai perakaran yang khas f. Vegetasi dapat hidup pada tanah yang bersifat masam
Menurut Anwar (1984) dalam Suprawardani (2000), air yang keluar dari hutan rawa gambut umumnya berwarna seperti teh yang jernih pada tempat yang agak dangkal dan berwarna hitam jika airnya cukup dalam. Poerwowidodo (1990) menjelaskan bahwa komposisi khas hutan rawa gambut
di Kalimantan terdiri dari asosiasi kayu Ramin (Gonystylus spp). Spesies penting yang hidup di hutan rawa gambut adalah Gonystylus bancanus di Kalimantan dan Camnospermae macrophylum di Sumatra. Pertumbuhan pohon-pohon di hutan rawa gambut sangat terhambat. Pepohonan tumbuh tidak lebih dari ketinggian 10 sampai dengan 15 meter. Tumbuh-tumbuhan berkembang dengan sejumlah cara untuk mengatasi ketersediaan unsur hara yang sedikit. Mekanisme adaptasi tumbuhan untuk menghindari pemangsaan oleh hewan-hewan herbivora, kebanyakan spesies tumbuhan di hutan rawa gambut menghasilkan senyawa beracun dan mempunyai jaringan pelindung yang kuat dalam buah dan biji. Tumbuh-tumbuhan karnivora juga berkembang dengan baik, misalnya spesies Nepenthes yang merupakan tumbuhan teko. Nepenthes dalam usaha untuk memperoleh nutrisi menggunakan daunnya yang berbentuk teko yang berfungsi menangkap serangga. Cara-cara adaptasi yang dikembangkan tumbuhan untuk menghadapi periode banjir yang berlebihan juga merupakan salah satu keunikan tersendiri dari hutan rawa gambut (Mansur, 2006).
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Agustus-Desember 2008. Penelitian dilaksanakan di Desa Teluk Bakung, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu, Kalimantan Barat. Lokasi penelitian terletak di dusun Benuah yang ditetapkan sebagai lokasi penelitian I, dusun Enggang Raya ditetapkan sebagai lokasi penelitian II dan dusun Lintang Batang ditetapkan sebagai lokasi penelitian III. Proses identifikasi Nepenthes dilaksanakan di Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tanjungpura Pontianak.
3.2 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Sungai Ambawang secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Kubu Raya. Kecamatan Sungai Ambawang memiliki 13 desa, antara lain Desa Sungai Ambawang Kuala, desa Jawa Tengah, desa Korek, desa Lingga, desa Pancaroba, desa Mega Timur, desa Durian, desa Simpang Kanan, desa Pungguk, desa Bengkarek, desa Pasak, desa Pasak Pinang dan desa Teluk Bakung. Desa Teluk Bakung memiliki topografi berupa dataran rendah yang landai dan hanya sebagian kecil wilayahnya berupa dataran tinggi. Sebagian besar daerahnya didominasi oleh jenis tanah organosol dan sebagian kecil merupakan jenis tanah aluvial dan podsolik merah kuning. 3.3 Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS, parang, gunting tanaman, meteran, kamera, tali rafia, pancang, plastik, sprayer, kardus, kertas koran, alat tulis, termometer air raksa, pH meter, lux meter, altimeter dan hygrometer. Bahan yang digunakan adalah alkohol 70%.
3.4 Cara Kerja 3.4.1. Pelaksanaan di Lapangan a. Penentuan Lokasi Penelitian Penentuan lokasi penelitian dilakukan berdasarkan pada pendekatan konseptual dengan melihat rona biologis dan interaksinya dengan komunitas Nepenthes spp menggunakan metode Purposive Sampling. Berdasarkan kondisi tersebut ditetapkan 3 lokasi pengamatan Nepenthes spp. Lokasi pengamatan tersebut adalah hutan rawa gambut di dusun Benuah (lokasi I), Dusun Enggang Raya (II) dan Dusun Lintang Batang (Lokasi III), Desa Teluk Bakung, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. b. Pengambilan Sampel Pengambilan sampel Nepenthes spp dilakukan menggunakan bingkai kuadrat ukuran 2 x 2 m2 yang diletakkan pada setiap lokasi pengamatan secara Sistematik Sampling (Suin, 2002). Masing-masing lokasi di bagi menjadi 5 stasiun dari tepi hutan ke dalam hutan. Pada masing-masing stasiun dilakukan
lima kali ulangan yang diambil secara acak. Nepenthes spp yang diperoleh pada setiap lokasi dicatat jenis dan jumlahnya. Nepenthes spp yang belum diketahui jenisnya ditempatkan pada wadah terpisah yang sudah berlabel, dengan catatan waktu pengambilan dan lokasi pengambilan. Sampel tumbuhan yang berasosiasi dengan Nepenthes spp diambil menggunakan petak ukuran 5 x 5 m2. Setiap jenis di koleksi dan dihitung jumlah pada masing-masing plot. Sampel jenis hewan dalam kantong Nepenthes diambil sebanyak 3 kantong pada setiap jenis Nepenthes di setiap lokasi penelitian.
c. Pengukuran Faktor Lingkungan Pengukuran
kondisi
lingkungan
dilakukan
bersamaan
dengan
pengambilan sampel Nepenthes spp yang diulang sebanyak 3 kali. Faktor lingkungan yang diukur meliputi suhu tanah dan suhu udara dengan menggunakan termometer air raksa, kelembaban tanah menggunakan Hygrometer, intensitas cahaya dengan lux meter, ketinggian tempat dengan menggunakan Altimeter dan pH tanah dianalisis di Laboratorium Balai Riset dan Standarisasi Industri Pontianak (hasil analisis terlampir).
3.4.2. Pengamatan di Laboratorium a. Pembuatan Herbarium Nepenthes yang telah dikoleksi dari lapangan selanjutnya dibuat herbarium dengan langkah-langkah sebagai berikut. a. Proses Pengeringan Bahan tumbuhan berupa akar, batang, daun, bunga, buah dan biji Nepenthes yang telah dikoleksi dari lapangan diletakkan di atas kertas kasar dan kering serta tidak mengkilat. Selanjutnya dilakukan pengeringan dengan menggunakan sinar matahari langsung (penjemuran) atau dengan menggunakan oven. Proses pengeringan memerlukan waktu 3-4 hari. b. Proses Penempelan
Bahan tumbuhan yang telah dikeringkan kemudian disusun dan ditempelkan pada kertas herbarium dengan cara menjahit bagian tumbuhan pada kertas herbarium tersebut. Kertas herbarium yang digunakan adalah kertas tebal berwarna putih dengan ukuran 30 cm x 40 cm. c. Proses Pelabelan Label yang ditempelkan pada kertas herbarium berisi tulisan nomor koleksi, nama kolektor, nama spesies, tanggal dan tempat koleksi. Label tersebut diletakkan pada sudut kiri bawah atau sudut kanan bawah. d. Proses Penyimpanan Herbarium yang telah jadi kemudian disimpan dalam almari koleksi di Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan alam Universitas Tanjungpura. b. Identifikasi Tumbuhan Sampel Nepenthes spp di laboratorium diidentifikasi dan di determinasi dengan menggunakan buku identifikasi Mansur (2006), Ismawan (2006) dan Clarke (1997). Komponen-komponen yang diidentifikasi meliputi bentuk batang, daun, kantong dan bunga.
3.5 Analisis Data Analisis data yang dilakukan meliputi identifikasi, deskripsi dan pembuatan kunci identifikasi. Kunci identifikasi yang dipakai adalah kunci analisis. Kunci ini disebut juga kunci dikotom dan merupakan kunci yang paling umum dipakai dalam taksonomi. Kunci ini terdiri dari sederetan bait atau couplet yang memuat pernyataan mengenai tumbuhan dari yang bersifat umum hingga menunjukkan ciri yang bersifat khusus. Setiap bait terdiri atas dua baris yang disebut penuntun dan berisi ciri yang bertentangan satu sama lain. Setiap bait diberi nomor untuk memudahkan pemakaian dan pengacuan, sedangkan penuntunnya ditandai dengan huruf. Pemakainan kunci analisis harus mengikuti bait-bait secara bertahap sesuai dengan aturan yang ditentukan oleh penuntun.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Jenis Kantong Semar (Nepenthes spp) Pada Lokasi Penelitian Jenis-jenis Nepenthes yang tumbuh di sekitar Kecamatan Sungai Ambawang ada 6 macam, yaitu: Nepenthes ampullaria, Nepenthes bicalcarata, Nepenthes gracilis dan Nepenthes x hookeriana 4.2. Kunci Identifikasi Tumbuhan Nepenthes Kunci identifikasi yang dibuat dibagi menjadi 2 yaitu kunci identifikasi yang mengarah ke famili dan kunci identifikasi yang mengarah ke spesies.
4.2.1 Kunci Identifikasi ke Famili Berikut ini dikemukakan kunci identifikasi berdasarkan karakter pembeda ke-6 jenis Nepenthes tersebut yang dijumpai di Gunung Talang: 1a. Tutup kantong panjang dan sempit, panjang kurang lebih 3 kali lebarnya ....................................... Nepenthes x hookeriana 1b. Tutup kantong tidak panjang menyempit, agak melebar .................................................................................... 2 2a. Gigi peristom kantong bawah jelas, panjang >2 mm, mudah terlihat tanpa membelah kantong ................... 3 2b. Gigi peristom kantong bawah tidak ada, panjang <2 mm, dan biasanya hanya tampak jika kantong dibelah ...................................................................... Nepenthes. gracilis 3a. Kantong atas seluruhnya bentuk corong ..................... 4 3b. Kantong atas silindris atau tidak ada .......................... 5 4a. Kantong bawah bentuk corong, bagian atas melebar; ............................................................... Nepenthes ampullaria 4b. Kantong bawah bentuk silindris-tabung ........ Nepenthes bicalcarata,
5 Kantong bawah berkelompok dekat permukaan tanah, biasanya dalam bentuk roset pada tangkai daun yang tereduksi ..................................................... Nepenthes rafflesiana
Klassifikai dan Deskripsi Nepenthes Klassifikasi tumbuhan Nepenthes adalah : Kingdom
:Plantae
Phylum
: Tracheophyta
Class
: Magnoliopsida
Order
: Nepenthales
Family
: Nepenthaceae
1. Nepenthes ampullaria Nepenthes ampullaria meiliki kantong berbentuk oval, dengan peristome lebar dan tutup sempit berbalik ke belakang dan tidak pernah mencakup mulut kantong Sedangkan bentuk menunjukkan hampir tidak ada variasi warna sangat variabel. Kebanyakan kantong hijau tapi ada juga ungu bercak cokelat, bentukbentuk merah sangat langka.
Kantong
bawah biasanya ditemukan dalam
kelompok setengah dibebankan ke tanah hutan dimana mereka terlihat seperti sarang
Kantong ini muncul dari tunas roset dan memiliki lamina dikurangi.
pitchers Tinggi dan orang-orang dari tanaman roset muda dapat ditemukan pada daun normal, memanjat batang menunjukkan lagi-seperti kelompok sarang pitchers pada tembakan pendek roset. Semua ini adalah kantong morfologi rendah. Tipe batang yang memanjat bisa naik sampai 15 m tingginya, biasanya tidak membawa kantong. Kantong N. ampullaria berbeda dibandingkan dengan spesies lain dari genus Nepenthes itu. mangsa ditemukan di pitchers terdiri tidak hanya dari serangga (yang merupakan bagian yang lebih kecil dibandingkan lainnya di) tetapi juga pada bahan tanaman. Kantong tampaknya tidak sangat menarik bagi serangga.
Kantong tersebut
mengumpulkan apa pun yang jatuh dari kanopi hutan, hewan, kotoran dan bagianbagian tanaman.
Gambar 1. Nepenthes ampularia Korth Jenis ini paling menarik dan mudah dibedakan. Kantongnya berbentuk tempayan dan bergerombol, berwarna hijau dengan lurik cokelat kemerahmerahan, atau terkadang berwarna merah dengan lurik cokelat, mulut berbentuk oval dan horizontal, penutup kecil berbentuk pasak atau elip, kantong muncul dari roset daun diatas permukaan tanah. Terkadang kantong dari roset daun tumbuh menggantung pada batang yang tumbuh tegak 2. Nepenthes gracilis Korth. Batang: memanjat, diameter 5 mm, silindris-bersegi, Daun: tebal-kaku, duduk tanpa tangkai, lansetspatula, sudip, panjang 15 cm, lebar 3 cm, ujung lancip,ke arah pangkal menyempit, sulur panjang 7-15 cm. Kantong bawah dan roset: bentuk bulat telur di 1/4-1/3, bagian bawah, dan 2/3 bagian atas bentuk silindris-tabung, tinggi 10 cm, lebar 3 cm. Sayap dua, lebar 3 mm, tepi berumbairumbai atau berambut getar, memanjang dari atas ke bawah secara penuh. Mulut melingkar bundar telur, panjang 2,5 cm, lebar 1,8 cm. Peristom (bibir) sangat sempit, lebar 0,2-0,3 cm, gigi peristom tidak jelas. Tutup bundar dan bagian pangkal menjantung, panjang ±2 cm, lebar ±2 cm. Taji biasanya tak bercabang, panjang 3-5 mm. Kantong atas: bentuk bulat telur di 1/4-1/3 bagian bawah, kemudian menyempit bentuk seperti silindris-tabung dan melebar lagi ke arah mulut, sayap tereduksi, bentuk seperti rusuk Mulut melingkar bundar telur, peristom sempit, gigi peristom tidak jelas, tutup bundar dan bagian pangkal
menjantung. Warna kantong hijau, kadang-kadang merah maron atau merah kecoklat-coklatan. Perbungaan: bentuk tandan, warna coklat tua, panjang 25 cm, perhiasan bunga bentuk bundar telur-lonjong, panjang 5 mm, perbungaan betina terkadang lebih panjang daripada jantan.
Gambar 2. Nepenthes gracilis Korth. 3. N.bicalcarata Kantong bawah dan roset: bentuk bulat telur di 1/3, bagian bawah, dan bagian atas bentuk silindris-tabung, tinggi 7 cm, lebar 2 cm. Sayap dua, lebar 3 mm, tepi berumbai-rumbai atau berambut getar, memanjang dari atas ke bawah secara penuh. Mulut
melingkar bundar telur, panjang 1 cm, lebar 1,8 cm.
Peristom (bibir) sangat sempit, lebar 0,2-0,3 cm, gigi peristom tidak jelas. Tutup bundar dan bagian pangkal menjantung, panjang ±2 cm, lebar ±2 cm. Taji biasanya tak bercabang, panjang 3-5 mm. Kantong atas: bentuk bulat telur di 1/41/3 bagian bawah, kemudian menyempit bentuk seperti silindris-tabung dan melebar lagi ke arah mulut, sayap tereduksi, bentuk seperti rusuk Mulut melingkar bundar telur, peristom sempit, gigi peristom tidak jelas, tutup bundar dan bagian pangkal menjantung.. Salah satu yang paling mencolok dari semua Nepenthes adalah tanaman pitcher bertaring, dan mengesankan spesies besar yang terkenal selama dua duri fang-seperti mengancam proyeksi ke bawah dari tutupnya, yang membedakannya dari spesies Nepenthes yang lain. Warna kantong spesies ini biasanya kuning hijau atau oranye, dan kadang-kadang merah
Gambar 3. N.bicalcarata 4. Nepenthes rafflesiana Sinonim: N. hemsleyana Macfarl N..; hookeriana Rendah ex Becc. Nepenthes rafflesiana adalah variabel tanaman yang luar biasa. Walaupun hanya beberapa bentuk secara formal digambarkan bentuk pitcher dan warna bisa bervariasi sangat luas yang ekstrem terlihat seperti benar-benar spesies yang berbeda. Bawah dan atas pitchers sangat berbeda tutup. Konstan dalam segala bentuk adalah bentuk tutup dan dari peristome yang berakhir dengan panjang leher di belakang dan terbesar hanya di bawah ini. Dalam pitchers atas itu bersifat dibesarkan di bagian depan Distribusi:
Peninsular
Malaysia,
Singapura,
Kalimantan,
Sumatra
Ketinggian distribusi: 0-1200 m Khas habitat:, berpasir, basah daerah terbuka, kerangas dan hutan rawa gambut Pitcher ukuran: sampai 15 cm tinggi, lebar 5 cm (Raksasa bentuk sampai 40 cm!)
Gasmbar 4. Nepenthes rafflesiana
Nepenthes x hookeriana
Tinggi kantong adalah kira-kira. 10-12 cm tinggi. Batang hampir satu meter. hibrid alami antara N. rafflesiana . dan N. ampullaria. Mulut melingkar bundar telur, panjang 1 cm, lebar 1,8 cm. Peristom (bibir) sangat sempit, lebar 0,2-0,3 cm, gigi peristom tidak jelas. Tutup bundar dan bagian pangkal menjantung, panjang ±2 cm, lebar ±2 cm. Taji biasanya tak bercabang, panjang 3-5 mm. Habitat : dataran rendah Kantong berwarna hijau dan ungu dengan bintik-bintik merah, tanaman ini memiliki luas hijau peristome dan memacu kecil sangat mirip tutup, ini adalah spesies tumbuh hangat perlu temp min dari 15cm, sangat mudah tumbuh di sebuah terarium.
Gasmbar 4. Nepenthes x hookeriana Penyebaran dan ekologi Kalimantan merupakan pusat penyebaran Nepenthes. Tipe habitat yang ditemukan yaitu hutan hujan tropis dataran rendah, hutan pegunungan, hutan gambut, hutan kerangas, gunung kapur, padang savanna dan danau Jenis Nepenthes yang ditemukan yaitu Nepenthes ampularia, Nepenthes bicalcarata, Nepenthes gracilis dan Nepenthes safflrsiana
sedangkan yang lain masih
Nepenthes sp. Habitat jenis ini berada pada tempat yang ternaungi dan lembab, tanah berpasir dan sedikit berair (freshwater wetland), dijumpai pula jenis yang tumbuh disemak-semak pada daerah terbuka dan panas. Oleh masyarakat setempat jenis tanaman ini kantongnya dibuat tempat mengolah makanan, dan airnya/cairan dari dalam kantong nepenthes yang belum terbuka dipercaya sebagai obat batuk dan obat pencuci mata. Pada kegiatan ini dilakukan pengamatan jenis-
25
jenis tumbuhan lain yang berasosiasi dengan Nepenthes, tercatat 16 jenis dari 14 suku seperti Acmena acuminatissima, Ardisia sp., Acmena sp., Callicarpa sp., Calophyllum sp.,Canthium sp., Cyperus sp., Dillenia subfriticosa, Garcinia sp., Glochidion sp., Melastoma malabattricum, Mussaenda sp., Platycerium conorarium, Schima wallichii, Smilax sp. dan Taccapalmata. Jenis yang telah diketahui spesiesnya dipertelakan secara singkat dibawah ini. Hutan rawa gambut pada lokasi I dan II telah mengalami pembukaan lahan sehingga vegetasi hutan kurang rapat (Gambar 3.1 dan Gambar 3.2). Intensitas cahaya pada kedua lokasi sangat besar yang menyebabkan Nepenthes gracilis dapat hidup pada lokasi ini. Menurut Mansur (2006) kantong semar yang umum ditemukan pada tempat terbuka adalah Nepenthes gracilis dan Nepenthes mirabilis. Nepenthes gracilis lebih menyukai daerah dengan intensitas cahaya tinggi dan banyak mengandung air, sehingga sangat cocok tumbuh pada lokasi I dan II. Menurut Kurata (1976) spesies Nepenthes bukan merupakan tumbuhan hutan yang menyukai tempat teduh, melainkan tumbuhan yang lebih menyukai tempat-tempat
terbuka.
Berbeda
dengan
Nepenthes
gracilis,
Nepenthes
rafflesiana, Nepenthes ampullaria dan Nepenthes bicalcarata lebih menyukai hidup di bawah naungan pohon yang tidak terkena cahaya langsung dengan kelembaban tanah yang tinggi. Hal ini menyebabkan jenis Nepenthes tersebut dapat ditemukan pada semua lokasi penelitian. Pola distribusi menyebar pada Nepenthes ampullaria terjadi karena kondisi lingkungan yang ditempati oleh spesies tersebut hampir mendekati seragam di seluruh area. Kondisi habitat pada lokasi penelitian relatif hampir sama sehingga tumbuhan dapat hidup di semua wilayah. Selain adanya kesamaan kondisi lingkungan, distribusi Nepenthes secara teratur dipengaruhi oleh adanya kompetisi yang kuat antarindividu dalam populasi sehingga timbul kompetisi yang positif yang mendorong pembagian ruang hidup yang sama antarindividu. Hal ini sesuai dengan pendapat Odum (1993) dalam Indriyanto (2006) bahwa kompetisi yang kuat antarindividu dalam suatu populasi akan mendorong terjadinya pembagian ruang yang sama.
Distribusi Nepenthes secara mengelompok disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak seragam meskipun pada daerah yang sempit. Selain itu, persebaran Nepenthes yang mengelompok disebabkan karena sekelompok spesies memiliki kebutuhan hara yang sama sehingga dimungkinkan hanya dapat hidup pada daerah tertentu. Perbedaan kondisi tanah dan iklim pada suatu daerah akan menghasilkan perbedaan dalam habitat yang penting untuk setiap organisme yang ada di dalamnya. Suatu organisme akan ada pada suatu daerah yang memiliki faktor-faktor ekologi yang sesuai untuk menunjang kehidupannya. Namun demikian, pada spesies Nepenthes tidak terjadi kompetisi negatif dalam memperebutkan sumber daya makanan (unsur hara). Setiap jenis Nepenthes memiliki kemampuan yang sama dalam menjebak mangsa untuk memperoleh nutrisi yang sangat diperlukan oleh tumbuhan. Sebagian besar unsur hara yang penting untuk kehidupannya dapat diperoleh dari organisme yang mati dalam kantong Nepenthes. Selain disebabkan oleh kesamaan habitat, pola distribusi yang luas dari jenis-jenis Nepenthes juga dipengaruhi oleh pola reproduksi Nepenthes. Nepenthes dapat bereproduksi secara generatif dengan menggunakan biji dan dapat pula bereproduksi secara vegetatif dengan menggunakan tunas. Biji Nepenthes berbentuk benang dan diselubungi kulit yang berbentuk kapsul serta mempunyai sayap yang panjangnya mencapai 30 mm tetapi sangat tipis. Buah yang telah masak akan terbelah dan terbagi menjadi empat ruang. Benih yang terlepas akan terbawa oleh angin. Hal ini menyebabkan pemencaran biji Nepenthes relatif jauh dan akan tumbuh menjadi individu baru pada daerah yang cocok untuk menunjang kehidupannya. Pertumbuhan dan perkembangan biji Nepenthes dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang meliputi temperatur, kelembaban, intensitas cahaya dan curah hujan serta dipengaruhi oleh ketersediaan makanan (unsur hara) yang terdapat pada suatu daerah. Biji Nepenthes akan tumbuh pada daerah tertentu sehingga memungkinkan Nepenthes akan hidup mengelompok pada daerah tersebut. Nepenthes dapat bereproduksi secara vegetatif dengan cara pembentukan tunas. Batang Nepenthes akan tumbuh menjalar di bawah tanah dan pada bagian
buku (nodus) akan tumbuh akar sehingga akan membentuk individu baru. Kondisi ini akan menyebabkan Nepenthes akan hidup secara berkelompok pada suatu daerah tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Indriyanto (2006) bahwa suatu jenis tumbuhan yang bereproduksi secara vegetatif akan hidup secara bergerombol pada suatu daerah tertentu. Dengan demikian, pola distribusi Nepenthes secara berkelompok terjadi karena adanya perbedaan kondisi habitat setempat dan sebagai akibat dari proses reproduksi Nepenthes tersebut. Nepenthes dapat bereproduksi secara vegetatif dengan cara pembentukan tunas. Batang Nepenthes akan tumbuh menjalar di bawah tanah dan pada bagian buku (nodus) akan tumbuh akar sehingga akan membentuk individu baru. Kondisi ini akan menyebabkan Nepenthes akan hidup secara berkelompok pada suatu daerah tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Indriyanto (2006) bahwa suatu jenis tumbuhan yang bereproduksi secara vegetatif akan hidup secara bergerombol pada suatu daerah tertentu. Dengan demikian, pola distribusi Nepenthes secara berkelompok terjadi karena adanya perbedaan kondisi habitat setempat dan sebagai akibat dari proses reproduksi Nepenthes tersebut. Heriyanto (2005) bahwa persebaran individu secara menyebar diakibatkan oleh kondisi habitat yang seragam. Lokasi penelitian I merupakan kawasan yang hampir terbuka dan didominasi oleh pepohonan yang berdiameter kecil sehingga cahaya matahari yang sampai ke lantai hutan relatif besar. Hal ini berpengaruh pada kelembaban dan suhu tanah.
4.4 Interaksi Kantong Semar (Nepenthes Spp) dengan Faktor-Faktor Ekologi 4.4.1 Interaksi Nepenthes dengan tumbuhan lainnya Organisme hidup di alam tidak dapat hidup sendiri melainkan menjadi satu kumpulan
individu
yang
menempati
suatu
tempat
tertentu
sehingga
antarorganisme akan terjadi interaksi. Interaksi yang terjadi dapat merupakan interaksi antarindividu dari spesies yang sama atau dapat juga merupakan interaksi antarindividu dari spesies yang berbeda. Asosiasi digunakan untuk mengetahui hubungan antara Nepenthes dengan vegetasi lain di sekitarnya. Berdasarkan hasil penelitian dari tiga lokasi yang berbeda di kawasan hutan rawa
gambut desa Teluk Bakung, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya telah ditemukan 99 jenis tumbuhan yang berasosiasi dengan Nepenthes. Tabel 4.1 Asosiasi antara Nepenthes dengan vegetasi di Lokasi Penelitian Jenis Tumbuhan
No 1
Alangium kurzii
2
Alstonia pneumatophora
3
Anisoptera marginata
4
Artocarpus glaucus
5
Asplenium nidus
6
Blechnum indicum
7
Buchanania arborescens
8
Bulbophyllum sp
9
Calamus scrabiulus
10
Calophyllum ferrugenium
11
Calophyllum soulatri
12
Chionanthus cuspidatus
13
Cinnamomum mollissum
14
Combretocarpus rotundatus
15
Copaifera palustris
16
Cotylelobium melanoxylon
17
Cratoxylon arborescens
18
Cratoxylon glaucum
19
Cryptocoryne spp
20
Dacryodes rostrata
21 22
Dactylocladus stenostachys Daemonorops sp
23
Dillenia suffruticosa
24
Diospyros bantamensis
25
Durio carinatus
26
Durio sp
27
Dyera lowii
28
Elaeocarpus petiolatus
29
Eleocharis dulcis
30
Eugenia kunstleri
31
Eugenia polyantha
32
Eugenia sexangulata
33
Eugenia spicata
34
Fagraea crenulata
35
Ficus sp
36
Fimbristylis umbellaris
37
Flacourtia rucam
38
Ganua motleyana
39
Garcinia celebica
40
Gluta renghas
41
Gonystylus bancanus
42
Gonystylus macrophyllus
43
Herpulia arborea
44
Horsfieldia crassifolia
45
Kingiodendron sp
46 47
Koompassia malaccensis Lepironia articulate
48
Litsea gracilipes
49
Litsea odorifera
50
Loranthus sp
51
Lygodium microphyllum
52
Macaranga tanarius
53
Macaranga pruinosa
54
Macaranga triloba
55
Macaranga winkleri
56
Madhuca motleyana
57
Mallotus muticus
58
Mangifera caesia
59
Mangifera longipetiolata
60
Mangifera macrocarpa
61
Medinilla crassifolia
62
Melaleuca cajuputi
63
Melanochyla caesia
64
Melastoma malabraticum
65
Mezzettia parviflora
66
Neolamarckia cadamba
67 68
Nephelium sp1 Nephelium sp2
69
Nicolaia speciosa
70
Palaquium gutta
71
Palaquium spp
72
Pandanus graminifolius
73
Pandanus sp
74
Pangium edule
75
Pentaspadon motleyi
76
Peronema canescens
77
Piper sp
78
Plocoglottis lowii
79
Polyalthia glauca
80
Polyalthia stenopetala
81
Shorea pauciflora
82
Shorea platycarpa
83
Shorea sp
84
Stemonurus secundiflorus
85
Stenochlaena palustris
86
Streblus elongates
87
Syzygium cerina
88
Syzygium grandis
89
Syzygium muelleri
90
Syzygium obatum
91
Syzygium ochneocarpa
92
Syzygium pyrifolium
93
Syzygium sp
94
Tetramerista gabra
95
Thorachostachyum bancanum
96
Trema orientalis
97
Tristania mainganyi
98
Tristaniopsis spp
99
Vatica rassac
Glutha rengas (rengas) dan Shorea sp (meranti) merupakan tumbuhan yang berasosiasi kuat dengan Nepenthes di lokasi penelitian karena memiliki indeks asosiasi Jaccad terbesar (Tabel 4.4). Namun demikian, bentuk asosiasi antara Nepenthes dan tumbuhan lainnya termasuk Glutha rengas dan Shorea sp di lokasi penelitian tidak mutlak terjadi karena bentuk interaksinya berupa simbiosis protokooperasi yang berarti bahwa terjadi interakasi antara Nepenthes dengan tumbuhan lainnya yang masing-masing spesies saling memperoleh keuntungan, tetapi asosiasi yang terjadi tidak merupakan suatu keharusan. Nepenthes dapat juga berasosiasi dengan tumbuhan lainnya misalnya Macaranga triloba di suatu tempat pada lokasi yang sama. Nepenthes memiliki kecenderungan untuk berinteraksi dengan tumbuhan lainnya dalam menunjang proses kehidupannya. Tumbuhan yang hidup di sekitar Nepenthes memiliki peran yang sangat besar dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan Nepenthes. Tumbuhan memiliki kemampuan untuk mengatur iklim mikro dilingkungan tempat tumbuh Nepenthes seperti suhu, kelembaban dan intensitas cahaya yang sampai ke lantai hutan. Hal ini sesuai dengan pendapat Heriyanto (2006) bahwa tumbuhan yang hidup dalam kawasan hutan dapat mengendalikan kelembaban udara dan mampu mengendalikan sendiri iklim mikro setempatnya. Tajuk pohon akan mengurangi cahaya matahari yang sampai ke lantai hutan sehingga menurunkan suhu udara dan mempertahankan kelembaban suhu tanah akan tetap terjaga. Nepenthes tumbuh berkelompok di bawah naungan kanopi pohon karena kondisi di daerah tersebut cocok dalam mendukung pertumbuhannya. Nepenthes akan tumbuh dan berkembang dengan optimum pada kondisi habitat yang sesuai. Nepenthes ampullaria, Nepenthes rafflesiana, Nepenthes bicalcarata dan Nepenthes x hookeriana lebih menyukai daerah yang tidak terkena cahaya
matahari langsung sehingga Nepenthes ampullaria, Nepenthes rafflesiana, Nepenthes bicalcarata dan Nepenthes x hookeriana banyak ditemukan hidup berkelompok di bawah pohon. Nepenthes gracilis tumbuh pada daerah yang memiliki intensitas cahaya yang relatif tinggi. Namun demikian, Nepenthes gracilis hanya dapat hidup pada daerah yang berair dan lembab. Kondisi habitat yang sesuai untuk Nepenthes karena adanya pengaruh tumbuhan dalam kawasan hutan menyebabkan Nepenthes yang hidup di daerah tersebut ditemukan cukup berlimpah. Dengan demikian, tumbuhan yang terdapat di sekitar Nepenthes memiliki peran yang cukup besar dalam mempengaruhi keanekaragaman dan pola distribusi Nepenthes.
4.4.3 Interaksi Nepentes spp dengan kondisi habitat Pengukuran faktor fisika-kimia lingkungan pada hutan rawa gambut desa Teluk Bakung Kecamatan Sungai Ambawang tertera dalam tabel 4.6 berikut. Tabel 4.6 Faktor Fisika-Kimia Lingkungan Lokasi Penelitian Faktor lingkungan Intensitas Cahaya (Klux) pH Kelembaban tanah (%) Suhu tanah (0C) Suhu udara (0C)
Lokasi I 463,33 3,98 78,25 25,5 27,5
Lokasi II 840 3,23 70,5 25,83 28,5
Lokasi III 386,33 3,26 82,67 24 27
Cahaya merupakan faktor yang sanagat diperlukan oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis. Besarnya intensitas cahaya di suatu tempat tergantung pada lamanya penyinaran. Jika cahaya matahari rendah, maka proses fotosintesis berkurang yang menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat, daun tumbuhan berwarna hijau tua dan proses pembentukan bunga menjadi terhambat. Berdasarkan hasil pengukuran intensitas cahaya pada lokasi penelitian (tabel 4.6) diperoleh data bahwa nilai intensitas cahaya terbesar terdapat pada lokasi II yakni sebesar 840 klux, sedangkan terendah terdapat pada lokasi III yakni sebesar 386,33 klux. Intensitas cahaya yang tinggi pada lokasi II dipengaruhi oleh kondisi vegetasi hutan yang kurang rapat sehingga cahaya matahari yang sampai pada lantai hutan sangat banyak.
Pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan memiliki pengaruh yang lebih besar jika dibandingkan dengan faktor genetik. Keanekaragaman Nepenthes pada lokasi penelitian dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia lingkungan. Cahaya memiliki peranan yang besar terhadap pertumbuhan karena cahaya matahari digunakan oleh tumbuhan dalam proses fotosintesis. Beberapa jenis Nepenthes memerlukan intensitas cahaya yang tinggi untuk menunjang proses fotosintesis, akan tetapi beberapa spesies tumbuhan hanya memerlukan intensitas cahaya matahari yang rendah untuk fotosintesis. Nepenthes gracilis lebih menyukai cahaya dengan intensitas yang cukup tinggi sehingga pada lokasi I dan II keberadaan jenis Nepenthes ini cukup berlimpah. Hal ini diduga karena Nepenthes gracilis memerlukan intensitas cahaya tinggi untuk menunjang proses fotosintesis. Sebaliknya, Nepenthes ampullaria, Nepenthes bicalcarata, Nepenthes rafflesiana memerlukan intensitas cahaya yang lebih rendah sehingga jenis Nepenthes tersebut banyak ditemukan hidup berkelompok di bawah naungan kanopi pohon. Jika Nepenthes ampullaria, Nepenthes bicalcarata dan Nepenthes rafflesiana hidup pada daerah yang terbuka dengan intensitas cahaya matahari tinggi, maka Nepenthes tersebut akan mengalami gangguan pertumbuhan seperti tidak akan membentuk kantong, walaupun memiliki kantong, tetapi ukurannya kecil dan terdapat bercak-bercak pada kantong tersebut. Selain itu, intensitas cahaya yang terlalu tinggi menyebabkan pertumbuhan Nepenthes menjadi terhambat sehingga batang tanaman menjadi kerdil dan bahkan dapat menyebabkan kematian pada Nepenthes akibat banyak kehilangan air dari dalam tubuh tanaman (dehidrasi). Besarnya intensitas cahaya yang sampai pada lantai hutan dipengaruhi oleh lamanya waktu penyinaran. Lokasi penelitian mendapatkan cahaya matahari selama 10-12 jam setiap hari sepanjang tahun. Kondisi ini sangat cocok untuk pertumbuhan Nepenthes. Menurut Mansur (2006) Nepenthes dataran rendah memerlukan cahaya matahari intensif dengan panjang siang hari antara 10-12 jam setiap hari. Ketersediaan cahaya matahari yang berlimpah dapat memacu proses
fotosintesis pada Nepenthes sehingga proses metabolisme dapat berjalan dengan baik yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan dapat berjalan secara
optimal.
Pertumbuhan Nepenthes
secara optimal akan
meningkatkan proses perkembangbiakan Nepenthes sehingga jumlah populasi Nepenthes di alam akan meningkat. Dengan demikian, cahaya sangat memiliki peranan dalam menentukan tingkat keanekaragaman dan pola distribusi Nepenthes di alam. Berdasarkan hasil pengukuran faktor lingkungan khususnya suhu udara dan suhu tanah diketahui bahwa suhu udara pada lokasi penelitian bervariasi. Suhu udara tertinggi terdapat pada lokasi I yakni sebesar 28,5 0C dan terendah pada lokasi III yakni sebesar 27 0C (Tabel 4.6). Kondisi ini menyebabkan perbedaan pula pada suhu tanah di ketiga lokasi penelitian. Suhu tanah pada lokasi II lebih tinggi jika dibandingkan dengan suhu tanah pada lokasi I dan lokasi III yakni sebesar 25,83 0C sedangkan suhu tanah terendah terdapat pada lokasi III yakni sebesar 240C. Dengan demikian, peningkatan suhu udara pada suatu kawasan berbanding lurus dengan peningkatan suhu tanah pada kawasan tersebut. Perbedaan suhu udara dan suhu tanah pada ketiga lokasi penelitian disebabkan oleh kondisi kawasan hutan. Lokasi II yang memiliki suhu udara dan suhu tanah yang tinggi merupakan kawasan hutan yang telah mengalami kerusakan akibat penebangan yang dilakukan oleh masyarakat. Intensitas cahaya matahari yang sampai ke lantai hutan cukup besar sehingga memacu peningkatan suhu udara dan suhu tanah. Sedangkan pada lokasi III suhu udara dan suhu tanah relatif rendah karena daerah tersebut merupakan hutan primer sehingga intensitas cahaya matahari yang sampai ke lantai hutan lebih kecil karena terhalang oleh pepohonan. Tumbuhan yang berbeda teradaptasi secara berbeda-beda terhadap keadaan suhu untuk proses hidupnya. Suhu udara pada ketiga lokasi penelitian cukup mendukung bagi kehidupan Nepenthes. Menurut Ismawan (2006) Nepenthes dataran rendah biasanya hidup pada suhu 200C-350C, sedangkan pada Nepenthes dataran tinggi suhu optimum yang diperlukan untuk menunjang pertumbuhannya berkisar antara 100C-300C. Selanjutnya Mansur (2006)
menyatakan bahwa Nepenthes yang hidup pada ketinggian 0-1500 m dpl memerlukan suhu sebesar 220C-340C. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa suhu udara di lokasi penelitian berkisar antara 27 0C-28,5 0C dan memiliki ketinggiaan tempat berkisar antara 15-24 m dpl. Suhu udara dan suhu tanah sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Suhu yang rendah dapat menurunkan aktivitas respirasi dan fotosintesis yang menyebabkan daun menjadi rapuh dan pertumbuhan tanaman sangat lamban. Sedangkan suhu tinggi menyebabkan dehidrasi pada tanaman yang menghambat perkembangan tanaman karena tumbuhan akan layu dan batangnya berkerut. Kelembaban tanah berbanding terbalik dengan suhu tanah. Hasil pengukuran kelembaban tanah pada lokasi penelitian menunjukkan bahwa kelembaban tertinggi terdapat pada lokasi III yakni sebesar 82,67% dan terendah terdapat pada lokasi II sebesar 70,5% (Tabel 4.6). Kelembaban tanah yang tinggi pada lokasi III disebabkan oleh intensitas cahaya matahari yang sampai ke dasar hutan sedikit yang disebabkan oleh adanya kanopi pohon yang menghalangi masuknya cahaya matahari ke lantai hutan. Kelembaban tanah pada seluruh lokasi penelitian masih sesuai untuk pertumbuhan Nepenthes. Menurut Mansur (2006) Nepenthes yang hidup pada ketinggian 0-1500 m dpl memerlukan kelembaban udara antara 70-95%. Kelembaban memiliki peranan yang penting dalam proses pertumbuhan Nepenthes. Berdasarkan hasil analisis korelasi Rank Sperman menunjukkan bahwa kelembaban tanah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keanekaragaman jenis Nepenthes. Nepenthes akan tumbuh berkelompok dalam jumlah yang banyak pada daerah yang memiliki kelembaban tanah yang relatif tinggi. Akan tetapi, kelembaban tanah yang terlalu tinggi juga berakibat kurang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan Nepenthes. Kelembaban tanah sangat berhubungan erat dengan intensitas cahaya yang sampai pada lantai hutan. Jika intensitas cahaya matahari yang mencapai lantai hutan sedikit maka kelembaban udara menjadi tinggi, tetapi proses fotosintesis tidak dapat berjalan secara optimal. Akibatnya dapat mengganggu proses metabolisme dalam tubuh tumbuhan.
Dengan demikian, ada batas maksimum kelembaban tanah untuk proses pertumbuhan Nepenthes. Pertumbuhan, perkembangan dan produksi suatu tanaman ditentukan oleh faktor lingkungan. Salah satu faktor lingkungan yang sangat menentukan lajunya pertumbuhan, perkembangan dan produksi suatu tanaman adalah ketersediaan unsur-unsur hara yang cukup di dalam tanah. Ketersediaan unsur-unsur esensial di dalam tanah sangat ditentukan oleh pH tanah. Jika pH tanah mendekati netral maka banyak tersedia unsur hara, namun jika pH tanah terlalu tinggi atau terlalu rendah maka kandungan unsur hara sedikit. Berdasarkan hasil pengukuran terhadap pH tanah di hutan rawa gambut desa Teluk Bakung diperoleh bahwa pH pada lokasi tersebut berkisar antara 3,23-3,98 (Tabel 4.6). Hal ini menunjukkan bahwa lokasi penelitian memiliki pH rendah (asam). Menurut Soepraptohardjo dan Dreissen (1976) dalam Muslihat (2003) pH tanah yang optimal bagi pertumbuhan kebanyakan tanaman berkisar antara 5,6-6,0. Dengan demikian, tumbuhan yang terdapat di hutan rawa gambut tidak dapat tumbuh optimal sehingga pada daerah tersebut hanya dapat ditemukan tumbuhan yang memiliki diameter batang relatif kecil. Hutan rawa gambut umumnya mengandung pirit (Fe2S), kekurangan hara makro seperti nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K) dan memiliki kadar aluminium (Al) dan besi (Fe) yang tinggi. Menurut Greenland dan De Datta (1984) dalam Sudadi (2007) menyatakan bahwa unsur Nitrogen banyak tersedia pada tanah dengan pH 5,5 – 8,5, unsur fosfor banyak tersedia pada pH 5,5 – 7,5 dan unsur kalium banyak tersedia pada pH 5,5-10, sedangkan unsur mikro relatif tersedia pada pH rendah. Nepenthes pada lokasi penelitian dapat tumbuh dan berkembang karena memiliki kemampuan untuk beradaptasi terhadap kondisi pH rendah dan miskin unsur hara. pH tanah pada lokasi penelitian di bawah 5,5 mengindikasikan bahwa ketersediaan unsur N, P, dan K sangat rendah serta kandungan Al dab Fe tinggi. Akan tetapi, Nepenthes memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan unsur hara N, P dan K serta memiliki mekanisme adaptasi fisiologis terhadap tingginya kandungan unsur Al di alam. Nepenthes mengeluarkan enzim proteolase (nepenthesin) sebagai enzim yang menguraikan protein hasil perombakan sel-sel
hewan menjadi zat-zat sederhana seperti nitrogen, fosfor, kalium dan garamgaram mineral yang selanjutnya diserap oleh tanaman. Nitrogen (N), forfor (P) dan kalium (K) akan di angkut ke bagian tanaman melalui pembuluh angkut yang terdapat pada kantong Nepenthes (Schulze, 1999). Sedangkan unsur-unsur mikro relatif tersedia pada tanah dengan pH rendah sehingga ketersediaannya cukup banyak di lokasi penelitian. Menurut Taylor (1991) dalam Kasim et al (2001) mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman Al terbagi menjadi 2 (dua) kelompok yaitu mekanisme eksternal (pengusiran Al) dengan cara immobilisasi Al di dalam dinding sel, selektivitas membran plasma terhadap Al dan sekresi senyawa-senyawa pengkelat Al. Mekanisme toleransi kedua adalah mekanisme internal (penetralan Al) mencakup pengkelatan Al di sitosol, pengurungan Al dalam vakuola dan sintesis protein pengikat. Berdasarkan hasil analisis korelasi Rank Spearman terhadap pengaruh pH pada keanekaragaman Nepenthes tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Hal ini terjadi karena pH pada setiap lokasi hampir sama. Kondisi ini menyebabkan Nepenthes dapat tumbuh dan berkembang dengan tidak dipengaruhi oleh kondisi pH di lokasi penelitian. Dengan demikian, kondisi lingkungan yang miskin unsur hara karena memiliki pH tanah rendah tidak berpengruh secara signifikan terhadap keanekaragaman Nepenthes di lokasi penelitian. Nepenthes dapat memperoleh unsur hara yang ketersediaannya terbatas di alam dengan cara menjebak serangga untuk masuk ke dalam kantongnya yang selanjutnya akan dicerna
dan
nutrisi
pertumbuhannya.
yang
dihasilkan
akan
diserap
untuk
menunjang
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di kawasan hutan rawa gambut desa Teluk Bakung Kecamatan Sungai Ambawang dapat disimpulkan halhal sebagai berikut. a. Telah ditemukan 5 spesies Nepenthes antara lain Nepenthes ampullaria, Nepenthes bicalcarata, Nepenthes rafflesiana, Nepenthes gracilis dan Nepenthes x hookeriana b. Nepenthes memiliki hubungan interaksi yang kuat dengan komponenkomponen ekosistem yang meliputi komponen biotik yakni hewan dan tumbuhan dan lingkungan abiotik berupa suhu, kelembaban, intensitas cahaya dan pH tanah yang dapat menunjang keanekaragaman dan pola distribusi Nepenthes.
40
DAFTAR PUSTAKA
Adam J. H. 1997. Prey Spectra of Bornean Nepenthes Species (Nepenthaceae) in Relation to Their Habitat. Pertanika Journal of Tropical Agricultural Science.20: 21-134. Adam, J. H dan R. Omar. 2002. Digestive Glands of Seven Species of Pitcher Plants (Nepenthes). Proceedings of the Regional Symposium on Environment and Natural Resources. 459-463 Adam J. H dan Hafiza, A. H. 2006. Pitcher Plant of Lambir Hill in Miri, Sarawak State of Malaysia. International Journal of Botany. 2 (4): 340-352 Alikodra, H. 1990. Erosi Keragaman Jenis. Rineka Cipta. Jakarta. hal 2 Anshari, G.Z. 2008. Seminar Lahan Basah 2008. Pengelolaan Lahan Basah Secara Bijaksana Menuju Masyarakat Sehat. Pontianak. (23 Februari 2008) Ariffia, F. D. 2007. Struktur Komunitas Fitoplankton di Perairan Sakatiga Sintang. Skripsi Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tanjungpura Pontianak. Tidak dipublikasikan. hal 12. Baehaqie, A. 1993. Hutan rawa Gambut Lahan Basah yang Unik. dalam majalah Warta Konservasi Lahan Basah. Kerjasama Direktorat Jenderal perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) dan Asia Wetland Bereau (AWB). Bogor. hal 7. Boughey, A. S. 1973. Ecology of Population. Second Edition. Mac Mallian Publishing Co. Inc. New York. hal 19-21 Clarke, C. M. 1993. The Possible Function of the Thorns of Nepenthes bicalcarata Hook f. Pitcher Carnivor Plant. Newsl. 22: 27-28 Clarke, C. M. 1997. The Effects of Pitcher Dimorphism on the Metazoan Community of the Carnivorous Plant Nepenthes bicalcarata hook f. Malayan Nature Journal. 50:149-157 Clarke C. 1998. Initial Colonisation and Prey Capture In Nepenthes bicalcarata (Nepenthaceae) Pitchers In Brunei. Sandakania. 12: 27-36 Clarke, C. 2004. Pitchers Plant of Sarawak. Natural History Publication. Kota Kinabalu. hal 13. 57 Cresswell, J. E. 1998. Morphological Correlates of Necromass Accumulation in the Traps of an Eastern Tropical Pitcher Plant, Nepenthes ampullaria
Jack and Observations on the Pitcher Infauna and Its Reconstitution Following Experimental Removal. Oecologia. 113: 383-390 Dharmono. 2007. Dampak Tumbuhan Gelam (Melaleuca cajuputi Powell) Terhadap Struktur dan Komposisi Vegetasi Lahan Gambut (Studi Kasus Terhadap 4 Lahan Gambut di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan). BIOSCIENTIAE. 4(1): 19-28 Digiusto, B; Vladimir G; Elodie F; David J. M; Laurence G. 2008. Contribution of Pitcher Fragrance and Fluid Viscosity to High Prey Diversity in a Nepenthes Carnivorous Plant From Borneo. Journal Biosci. 33(1):1-14 Ewusie, J. Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Fachrul, M. F. 2006. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. hal 46-51 Gorb; K. H; A. Henrich; S. Enders; N. Barbakaze. 2005. Composite Structure of the Crystalline Epicuticular Wax Layer of the Slippery Zone in the Pitchers of the Carnivorous Plant Nepenthes alata and Its Effect on Insect Attachment. Journal of Experimental Biology. 208: 4651-4662 Heriyanto, N. M dan Garsetiasih. 2006. Ekologi dan Potensi Ramin (Gonystylus bancanus Kurz) di Kelompok Hutan Sungai Tuan-Sungai Suruk, Kalimantan Barat. Buletin Plasma Nutfah.12 (1): 24-29 Heriyanto, N. M; Reny S dan Endro S. 2006. Kajian Ekologi dan Potensi Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack.) di Kelompok Hutan Sungai MannaSungai Nasal, Bengkulu. Buletin Plasma Nutfah.12 (2): 69-75 Heriyanto, N. M dan Endro S. 2007. Studi Ekologi dan Potensi Geronggang (Cratoxylon arborescens Bl.) di Kelompok Hutan Sungai BepasirSungai Siduung, Kabupaten Tanjung Redeb, Kalimantan Timur. Buletin Plasma Nutfah.13 (2): 1-6 Hua, Y dan Hongqi L. 2005. Food Web and Fluid in Pitchers of Nepenthes mirabilis in Zhuhai, China. Acta Bot. Gallica. 152 (2): 165-175 Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Edisi 1.PT. Bumi Aksara. Jakarta. hal 82-108 Ismawan, B; Apriza s; Indra K. D; Agus U. S. 2006. Nepenthes. dalam Majalah Trubus. 5 (02) : 44-48. Jebb, M dan Cheek. 1997. A Skeletal Revision of Nepenthes (Nepenthaceae). Blumea. 42:1-106
Joomlai. 2008. Nepenthes (Kantong Semar). http://rawabelong.com/nepenthes (22 Juni 2008) Kasim, N., D. Sopandie, S. Harran, dan M. Jusuf. 2001. Pola Akumulasi dan Sekresi Asam Sitrat dan Asam Malat pada Beberapa Genotipe Kedelai Toleran dan Peka Aluminium. Hayati. 8(3):58-61. Kato M, Hotta M, Tamin R, Itino T. 1993. Inter and Intra-Specific Variation In Prey Assemblages and Inhabitant Communities In Nepenthes Pitchers In Sumatra. Tropical Zoology. 6: 11-25 Khodijah, N. S., Cik O., Maera Z. 2007. Upaya Perbaikan Kesuburan Media Tanam Bekas Penambangan Timah pada Pertumbuhan Awal Jarak Pagar. Mandiri. 9(3): 224-237 Kurata, S. 1976. Nepenthes of Mount Kinabalu. Sabah National Park Trusters. Sabah, Malaysia. Hal 25-28 Ludwig, J. A dan James F. Reynolds. 1998. Statistical Ecology a Primer on Methods and Computing. John Wiley & Sons. New York. hal 43-49. Mackinon K; Hatta H; Halim A; Mangalik. 2000. Ekologi Kalimantan. Prenhallindo. Jakarta. Mansur, M. 2006. Nepenthes Kantong Semar yang Unik. Edisi kedua. Penebar Swadaya. Jakarta. hal 6-25. Mansur, M. 2007. Keanekaragaman Jenis Nepenthes (Kantong Semar) Dataran Rendah di Kalimantan Tengah. Berita Biologi. 8(5): 335 – 341 Merbach, M. A; Georg Z; Brigitte F; Dennis M; Ulrich M. 1999. Giant Nectaries in the Peristome Thors of the Pitcher Plant Nepenthes bicalcarata Hook f. (Nepenthaceae): Anatomy and Functional Aspect. Ecotropica. 5: 4550 Merbach M.A; G. Zizka; B. Fiala; U. Maschwitz; W.E. Booth. 2001. Patterns of Nectar Secretion in Five Nepenthes Species from Brunei Darussalam, Northwest Borneo and Implications for Ant-Plant Relationships. Flora. 196: 153-160 Merbach M.A, D.J. Merbach, U. Maschwitz, W.E. Booth, B Fiala & G Zizka, 2002. Mass March Into the Deadly Tra: How the Pitcher Plant Nepenthes albomarginata Lures Its Termite Prey. Nature. 415, 36-37
Moran JA. 1996. Pitcher Dimorphism, Prey Composition And The Mechanisms of Prey Attraction In The Pitcher Plant Nepenthes rafflesiana in Borneo. Journal of Ecology. 84: 515-525 Moran JA, Booth WE, Charles JK. 1999. Aspects of Pitcher Morphology and Spectral Characteristics of Six Bornean Nepenthes Pitcher Plant Species: Implications For Prey Capture. Annals of Botany. 83: 521-528 Moran, J.A. Marlis AM, Nigel J.L: Charles M. C; Webber E.B. 2001. Termite Prey Specialization in the Pitcher Plant Nepenthes albomarginata devidence from Stable Isotope Analysis. Annals of Botany. 88: 307-311 Muslihat, L. 2003. Teknik Pengukuran Bobot Isi Tanah Di Lapangan dan Di Laboratorium. Buletin Teknik Pertanian. 8(2): 69-71 Odum, Eugene P. 1971. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan T. Samingan. Edisi Ketiga. CV. Remaja Karya. Bandung. hal 144. Onrizal; Cecep K; Bambang H; Handayani; Tsuyoshi K. 2005. Analisis Vegetasi Hutan Hujan Tropika Dataranrendah Sekunder di Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat. Biologi, 4(6): 359-371 Poerwowidodo. 1990. Gatra Tanah dalam Pembangunan Hutan Tanaman di Indonesia. Rajawali Pers. Jakarta. hal 125. Resosoedarmo; Soedjiran; Kuswata Kartawinata; Aprilini Soegiarto. 1989. Pengantar Ekologi. CV. Remaja Karya. Bandung. hal 76. Schmidt, F.H and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall Types Based on Wet and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Verhand. No. 42 Kementerian Perhubungan Djawatan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta Schulze, W; Wolf B. F; John M. W. 1999. Transporters for Ammonium, Amino Acids and Peptides are Expressed In Pitchers of the Carnivorous Plant Nepenthes. The Plant Journal. 17(6): 637-646 Simon, H. 1988. Pengantar Ilmu Kehutanan. UGM. Yogyakarta. hal 13. Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Usaha Nasional. Surabaya. hal 13-26 Soerianegara, I. 1977. Pengelolaan Sumber Daya Alam. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. hal 88. Soerianegara, I dan Indrawan A. 1978. Ekologi Hutan. Pusat Pendididikan Lembaga Kerjasama Fakultas Kehutanan Cepu. Direksi Perum Perhutani. Bogor. hal 19-50.
Soeseno, S. 1998. Periuk Hantu Menjebak Lalat. www.indomedia.com/intisari /1998/Mei/Periuk_Hantu.Htm (29 Oktober 2008) Sudadi. 2007. Aspek Mikrobiologis Pengelolaan Nitrogen di Lahan Basah. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 7(1): 68-73 Suin, N. M. 2002. Metoda Ekologi. Universitas Andalas. Padang. hal 146-147. Suprawardani, E. 2000. Studi Tentang Keberadaan Cendawan Mikorhiza Arbuskula di Bawah Tegakan Gonystylus bacanus Kurtz, Dyera costulata Hook. F, Dan Shorea leprosula Miq pada Kelompok Hutan Rawa Gambut Pulau Maya Karimata, kabupaten Ketapang. Skripsi Mahasiswa Fakultas Pertanian Untan. Tidak dipublikasikan. hal 6-9. Sutisna, U. 1981. Komposisi Jenis Hutan Bekas Tebangan di Batulicin, Kalimantan Selatan. Deskripsi dan Analisis. Laporan Pemelitian. Balai Penelitian Hutan. Bogor. hal 7-13 Toshihiro, W dan Osaki M. 2002. Mechanisms of Adaptation to High Aluminum Condition in Native Plant Species Growing in Acid Soils. Communications in soil science and plant. 33 (7): 1247-1260 Tubali.
2006. Eksplorasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat. http://www.krpurwodadi.lipi.go.id/eksplorasi.php (29 Januari 2008)
Walhi, G. T. S. 1995. Strategi Keanekaragaman Hayati Global. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal 3 Walter, H. 1971. Ecological of Tropical and Subtropical Vegetation. Van Nostrand Reinhold Co. New York. Hal 35-40 Welly, L. 2005. Studi Keragaman Buah-buahan Liar Edibel Di Kecamatan Sekadau Hilir Kabupaten Sekadau. Skripsi Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura Pontianak. Tidak dipublikasikan. hal 7.