JELAJAH PEMBENTUKAN TEMPAT PADA RUMAH JAWA Ir. DWI LINDARTO HADINUGROHO Fakultas Teknik Program Studi Arsitektur Universitas Sumatera Utara
ABSTRAKSI Rumah adalah perwujudan budayamenghuni [to dwell] yang memberi arti hidup dan keletakan posisi pribadinya di lingkungan masyarakat yang membuat manusia mengenal dirinya sebagai makhluk sosial. Konsekuensinya adalah rumah mempunyai potensi sebagai sarana untuk mengaktualisasi diri secara pribadi-privat mapun secara sosial-publik. Rumah Jawa memiliki peran penting pada waktu diadakan perilaku perayaan model Jawa yang diselenggarakan dengan tatanan tempat yang khas. Perilaku dan tatanan tempat ini mempunyai keterkaitan sehubungan dengan penandaan yang ditujukan untuk pembentukan teritorial privat dan publik. Kajian ini menitik beratkan pada pembahasan mengenai privacy dan teritorial sebagai sesuatu yang mendasari interaksi manusia dengan tempatnya berperilaku. Diawali dengan pemahaman tentang privacy sebagai latar belakang dan dengan landasan teori yang disampaikan oleh David Stea tentang teritory maka diadakan kajian tentang apa dan bagaimana pembentukan tempat privat – publik oleh perilaku keseharian dan perayaan ritual yang terjadi pada setting rumah Jawa . Kajian ini diharapkan memberikan kontribusi positif terhadap proses perancangan lingkungan binaan yang tepat dan sesuai dengan menempatkan manusia sebagai sentral perancangan karena memang karya arsitektur keberhasilannya ditandai dengan kemampuan memberikan kesejahteraan pemakai ( manusia ) dan lingkungannya. Kata kunci : Privacy – Territory – Tempat Privat/Publik – Rumah Jawa I. Pendahuluan Bangunan, arsitektur dengan tatanan ruang dan olahan tempat mungkin dibuat demikian detailnya melalui pendekatan anthropometric tapi hasilnya terkadang masih juga dianggap ‘uncomfortable’ oleh pemakainya. (Edward T,Hall. 1963). Dalam kajiannya tentang siklus pemaknaan setting fisik Amiranti (2000) memaparkan berbagai kemungkinan tanggapan atas pembentukan suatu tempat atau seting fisik yang dalam eksperiensi berperilaku nyata oleh pengguna dimungkinkan terjadinya sikap terterima, adaptif, manipulatif atau bahkan menolak dan meninggalkan suatu setting fisik lingkung-bina. Pendekatan melalui pemahaman tentang faktor privacy, rasa keruangan, dan perilaku teritorial yang mempengaruhi persepsi tentang environmental comfort dan kualitas lingkungan binaan merupakan dasar pengetahuan yang ditawarkan dalam mengantisipasi kemungkinan kekurang berhasilan suatu desain arsitektural dalam penggunaannya. Kebutuhan privacy dan territory adalah universal dan mempunyai kontribusi dalam hubungannya dengan kebutuhan manusia seperti rasa aman, afiliasi, dan penghargaan (esteem). Ini disadari perlu mendapat perhatian karena bagaimanapun tentu ada perbedaan perilaku pada tiap masyarakat beserta karakternya dalam pengolahan bentuk yang mengekspresikan kebutuhan dan mekanisme penggunaan tempatnya berperilaku. 2002 digitzed by USU digital library
1
Beberapa sumber pengetahuan tentang berbagai faktor dengan pendekatan tersebut diatas mungkin telah ada dan tersedia pada desain arsitektur Nusantara meskipun disadari bahwa perilaku-perilaku tersebut tidak tampil secara nyata dan langsung. Selama ini pendekatan perilaku selalu merujuk pada kaidah yang notabene berasal dari ‘Barat’ sedangkan obyek kajian yang regional dan bersifat genius loci kurang cukup tertampilkan dalam wacana umum . Kajian berikut mencoba memberikan kontribusi pemahaman terhadap dinamika pembentukan tempat yang bersifat publik dan privat yang terjadi pada setting Rumah Jawa pada suatu tatanan waktu tertentu. Sebagai sarana kajian dirujuk pada beberapa teori yang disampaikan oleh David Stea. Tujuannya tiada lain adalah menggali kekayaan pengetahuan tentang dinamika pembentukan tempat privat-publik pada arsitektur Nusantara dalam konteks teritorial behaviour. Pemahaman ini diawali dengan pengenalan atas elemen dan totalitas obyek (dalam hal ini rumah Jawa) yang terlibat dalam tindakan yang terpola dan terbiasakan (habitual practices) para pengguna rumah. Kemudian kajian akan menjelajah keragaman kompetensi obyek sehingga tidak hanya berurusan dengan kehidupan rumah tangga tetapi juga dengan aktifitas publik yang lain ketika rumah dan figur penghuninya secara temporer menjadi fokus bagi masyarakat dalam perhelatan pernikahan dan pentas wayang Obyek garap kajian ini adalah Rumah Jawa format sederhana ( tatanan tempatnya ) dan Rumah Jawa yang lebih kompleks tatanan tempatnya. Sebagai latar belakang ditampilkan diagram dari Irwin Altman (1973) yang dapat memberikan gambaran letak pokok bahasan privacy dan teritorial dalam kaitan dengan proses desain dan bidang garapan tempat/place Unit of study Place An ‘entity’ or ‘system’ Geografikal Region Cities Communities Neighborhoods Hospital,School Homes Rooms
Cited from .I. Altman. 1973
Design Process Evaluation Use Construction Design Programming
Behavioral Process Privacy Personal Space Territory Other Processes
Cited from .I. Altman. 1973
I. 1. Teorisasi – Landasan Pemikiran Teritorial yang dimaksudkan disini adalah yang dinyatakan oleh Leon Pastalan ( dalam Lang 1987 ) dengan :
2002 digitzed by USU digital library
2
… a territory is a delimited space that a person or a group uses and defends as an exclusive preserve. It involves psychological identification with a place, symbolized by attitudes of possessiveness and arrangement of objects in the area…. Lebih lanjut Irwin Altman (1975) menyatakan bahwa : … Territorial behaviour is a self-other boundary regulation mechanism that involves personalization of or marking a place or object and communication that it is owned by a person or group. Definisi diatas menyatakan karakter dasar dari suatu teritori yaitu tentang (1) kepemilikan dan tatanan tempat (2) Personalisasi atau penandaan wilayah (3) Taturan atau tatanan untuk mempertahankan terhadap gangguan (4) Kemampuan berfungsi yang meliputi jangkauan kebutuhan fisik dasar sampai kepuasan kognitif dan kebutuhan aesthetic ( Lang ,1987) Berdasar teorisasi tersebut diletakkan dasar pengertian sekaligus batasan definisi tentang tempat privat dan tempat publik Place pada pernyataan di atas menunjuk pada ruang [-an] dalam konteks perilaku lingkungan binaan yang dinyatakan dengan adanya batas fisik yang dibangun melingkupi suatu ruang ( terkadang dengan tujuan untuk membatasi gerak, pandangan atau suara ). Ruang [an] juga ditandai (sebagai batasan) oleh perilaku organisme yang diwadahinya. Pertahanan atas serangan terhadap teritorial hendaknya tidak dibaca harfiah , dalam konteks ke-Jawa-an yang mencuat justru upaya harmonisasi kondisi stabil wilayah teritori tersebut dengan upaya yang bisa sangat beragam. Karakter perilaku keruangan dalam suatu ruangan bisa sangat beragam namun ada satu kesamaan mendasar yang disebut ‘teritoriality’ (ke-teritorial-an). Manusia berakal mendudukkan teritory sebagai wilayah kekuasaan dan pemilikan yang merupakan organisasi informasi yang berkaitan dengan identitas kelompok.( sebagai contoh adalah pernyataan ‘apa yang kita punya’ dan ‘apa yang mereka punya’). Irwin Altman (1975) membagi teritori menjadi tiga kategori dikaitkan dengan keterlibatan personal, involvement, kedekatan dengan kehidupan sehari hari individu atau kelompok dan frekuensi penggunaan. Tiga kategori tersebut adalah primary,secondary dan public territory. Primary territory adalah suatu area yang dimiliki, digunakan secara eksklusif, disadari oleh orang lain, dikendalikan secara permanen, serta menjadi bagian utama dalam kegiatan sehari-hari penghuninya. Secondary territory adalah suatu area yang tidak terlalu digunakan secara eksklusif oleh seseorang atau sdekelompok orang, mempunyai cakupan area yang relatif luas, dikendalikan secara berkala. Public territory adalah suatu area yang digunakan dan dapat diamsuki oleh siapapun akan tetapi ia harus mematuhi norma-norma serta aturan yang berlaku di area tersebut. Ketiga kategori tersebut sangat spesifik dikaitkan dengan kekhasan aspek kultur masyarakatnya. Kalau merujuk pada batasan diatas maka yang disebut dengan tempat privat adalah setara dengan primary teritory sedangkan tempat publik setara dengan public territory. Dalam terminologi perilaku , hal diatas berkaitan dengan apa yang disebut sebagai privacy manusia. Seperti yang dinyatakan oleh Edney (1976). Type dan derajat privacy tergantung pola perilaku dalam konteks budaya, dalam kepribadiannya serta aspirasi individu tersebut. Penggunaan dinding, screen, pembatas simbolik dan pembatas teritory nyata, juga jarak merupakan mekanisme untuk menunjukkan privacy. Model dinamis privacy tergambar dalam diagram sbb
2002 digitzed by USU digital library
3
Social isolation ( Achieved privacy greater than desired privacy )
Standing Pattern Of Behavior privacy)
Desired Privacy (ideal)
Interpersonal Control Mechanism
Achieved Privacy
Optimum (Achieved privacy (outcomes) = desired
Crowding (achieved privacy less than desired privacy) Source : Adapted from Altman 1973
Konsep privacy dan teritorial memang terkait erat. Namun definisi privacy lebih ditekankan pada kemampuan individu atau kelompok untuk mengkontrol daya visual, auditory, dan olfactory dalam berinteraksi dengan sesamanya. Dalam arti konsep privacy menempatkan manusia sebagai subyeknya [ bukan tempat /place yang menjadi subyek ] Westin (1970) mengidentifikasikan privacy menjadi empat type yaitu solitude, the state of being free from the observation of others intimacy, the state of being with another person but free from the outside world. Anonymity,the state of being unknown even in crowd Reverse, the state in which a person employs psychological barriers to control unwanted intrusion. Westin selanjutnya juga menyatakan empat kegunaan privacy yaitu menampilkan personal otonomy, mengandung the release of emotions, menolong adanya selfevaluation dan membatasi serta memproteksi communications. Tiap individu mempunyai perbedaan perilaku keruangannya. Perbedaan ini merefleksikan perbedaan pengalaman yang dialami dalam pengelolaan perilaku keruangan sehubungan dengan fungsinya sebagai daya proteksi dan daya komunikasi. Yang menyebabkan perbedaan tanggapan ini antara lain jenis kelamin, daya juang, budaya, ego state, status sosial, lingkungan, dan derajat kekerabatan (affinity) sebagai sub system perilaku. Lebih jauh hal ini akan menentukan kualitas dan keluasan personal space yang dimiliki tiap individu ( disamping tentu saja adanya pengaruh schemata, afeksi, perilaku nyata, pilihan tiap individu). II. Jelajah Kasus II.1. KONSEP DASAR TENTANG BUDAYA MENGHUNI RUMAH [ JAWA ] Kemapanan dalam bertempat tinggal memungkinkan seseorang memiliki kontrol atas teritori yang dalam tradisi Jawa menjadi penting untuk mendefinisikan keberadaannya dan menyimbolkan status seseorang ( Saya Shiraishi,1998) Christian Norberg schulz (1985) mengistilahkan pengidentifikasian diri secara spatial ini sebagai menghuni (to dwell) yang seakan memungkinkan seseorang untuk menjadi bagian suatu tempat dan memaknai sekelilingnya. Ketika tuan rumah duduk di pendhapa dan mempergunakan sebagai tempat untuk menerima tamu ( yang berarti orang disekitarnya ) maka ruang ini berperan dan bermakna sebagai sumbu ‘semesta’ sekitarnya .Jika konfigurasi ruang dikonsepkan sebagai pengejawantahan dari kekuasaan yang mengaturnya maka 2002 digitzed by USU digital library
4
akan ada kewenangan atas setia ruang yang memiliki aturan. Ide tentang ruang identik dengan ide tentang teritori sebagai ruang yang terkontrol, sehingga secara konseptual setiap ruang ada pemiliknya sebagaimana bapak menguasai rumah dan raja menguasai negara. Pemahaman penghuni terhadap makna yang terbentuk dalam rumahnya akan terwujud sebagai susunan ruang dan tercermin dalam perilaku kesehariannya. Dengan perilaku keseharian, penghuni akan mengekspresikan pemahamannya tentang tempat melalui penyusunan obyek maupun penempatan tubuh dalam tempat tersebut. Dalam hal hubungan antar susunan ruang dan tindakan ragawi terdapat dua cara untuk menyatakan suatu seting ruang : secara positif dengan mangartikulasikan pusatnya dan secara negatif dengan mendefiniskan batasnya. Berkait dengan tindakan ragawi di dalam suatu tempat maka pusat cenderung menjadi orientasi penggunanya sementara suatu pembatas akan mengisyaratkan partisipan-nya akan siapa yang boleh dan terlarang memasuki tempat tersebut Pusat yang dimaksud diatas lebih dari semata-mata tentang konsep geometri namun merupakan juga sesuatu yang memiliki daya tarik, mengorientasikan dan memberi rasa ‘berada di dalam’.Berkait dengan perilaku pengguna, kepusatan dan sentralitas juga bersifat relatif.misalnya senthong yang biasanya berlaku sebagai gudang dapat menjadi fokus ritual pada hari yang lain.Disisi lain batas atau tepian dapat berwujud elemen fisik dapat pula berupa sesuatu yang non fisik dalam berbagai tampilannya. Didominasi oleh kewenangan personal dalam membentuk teritori , tradisi Jawa boleh dikatakan tidak memiliki tempat publik yang dapat dikontrol secara setara oleh semua warga masyarakat. Semua tempat [juga tempat publik] mempunyai personal yang punya kewenangan atas tempat tersebut. Bahkan makhluk halus dianggap sebagai penguasa asali atas teritori sebelum manusia mendudukinya. II.2. TEMPAT DAN PERILAKU KESEHARIAN RUMAH JAWA TYPE PERTAMA. Rumah Jawa yang menjadi obyek kajian pertama ini adalah rumah sederhana jumlah dan susunan ruangnya – (lihat lampiran gambar 1). Ruang dalam dibagi menjadi dua bagian yang dibedakan dengan ketinggian lantai dan dipisahkna oleh dinding. Ruang depan yang menerus dan merupakan dua pertiga bagian rumah berlantai lebih rendah. Dua amben atau tempat tidur kayu – besar dan serbagunamemenuhi kedua ujung ruang ini. Dibelakangnya terdapat bagian rumah yang berlevel lebih tinggi. Bagian ini dibagi menjadi tiga kamar tertutup biasa disebut senthong artinya ruang yang disekat. Bagian tengah ruang depan disebut jogan dari kata jujugan yang berarti tempat tujuan karena terletak persis setelah pintu masuk utama. Meja kursi yang terletak dibagian depan (jogan) menjadikan posisi sentral ruang tersebut. Pengkondisian definisi tempat dengan perabot sebagai marking atau penanda teritori siempunya rumah dalam menerima tamu. Berbagai perabot yang ada pada jogan seperti kursi utama dan lemari berisi pecah belah lebih sebagai penanda status kepemilikan penghuninya. Amben dalam hal ini selain penanda teritorial juga menegaskan sebagai tempat tersendiri akibat perilaku khas dan beragam yang dilakukan pada amben tersebut. Perilaku mulai dari kelahiran, keseharian bahkan kematian silih berganti dilakukan di amben ini. Sifatnya yang portable, gampang dipindahkan makin membuat kemungkinan beragamnya fungsi amben sebagai suatu tempat berperilaku. Waktu dan peran menjadi penentu pergantian fungsi tempat bagi amben tersebut. Senthong tengah praktis kosong dan tidak dipergunakan kecuali menyimpan barang berharga. Tempat ini menciptakan interupsi spatial , suatu keheningan ditengah keriuhan perilaku pada tempat lainnya. Secara reguler senthong tengah ini akan akan ditransformasikan sebagai tempat suci temporer bagi keluarga. Perilaku ritual mengubah fungsi tempat 2002 digitzed by USU digital library
5
dari fungsi menyimpan menjadi fungsi tempat bagi arwah nenek moyang sebagai kuil kemakmuran Dewi Sri pembawa berkah. Dengan demikian dapat ditengarai terjadinya pemalihan seturut waktu penggunaan tempat yang sifatnya dapat berkisar antara sifat yang publik dan privat berganti-ganti. Meninjau kembali pembagian tempat pada rumah ini, terlihat ada dua jenis tempat yang terletak sepanjang aksis rumah dan terartikulasikan dengan tegas. Bagian depan adalah tempat ‘lelaki’ yang lebih terang,luas lebih gampang diakses. Bagian belakang adalah tempat ‘perempuan’ yang lebih sempit , terlingkup, sakral, lebih sulit diakses. Hubungan keduanya menunjukkan dualitas melalui kontras antara jogan yang lebih bersifat sosial publik dan senthong tengah yang sakral,privat. Kontras diperkuat dengan perbedaan ketinggian lantai menegaskan wilayah teritorialnya dan menunjukkan adanya spatial differentiation. Faktor budaya memainkan peranan penting dalam penandaan teritory manusia. Manusia melayani pendatang di wilayah teritorynya dengan beberapa pengecualian (karena adanya norma budaya yang mengatur).Hal ini terlihat sekali saat si ibu rumah menerima tamu yang bukannya di jogan namun lebih memilih amben samping tempat mereka mengobrol santai. Tetamu perempuan seakan ‘terpinggirkan’ namun justru dengan itu mereka akan terbebas dari beban formalitas dan tata krama yang kaku. Tetamu perempuan mendapa perlakuan yang lebih privat dengan didudukkan pada amben dibanding bila bertamu-tamuan pada kursi tamu yang bersifat formal-publik. Hampir tidak ada pembatas yang tegas pada living platform penggunaan tempat keluarga Jawa. Dalam hal ini baik gender maupun usia bukanlah faktor signifikan yang menentukan penggunaan tempat secara permanen. Tak ada tempat yang dikhususkan bagi anak lelaki ataupun perempuan. Hanya ada satu pembatas di sebelah timur pintu, itupun tidak terlalu besar, menabiri tempat yang empunya rumah suami-istri tidur. Pada saat suami-istri ini memerlukan privacy yang lebih tinggi maka mereka akan berpindah dan tidur di senthong barat. Sifat non fisik penanda teritorial rumah Jawa misalnya adalah dengan pemanfaatan kegelapan untuk mencapai suasana tempat privasi visual , kebebasan dan keakraban , tempat para penghuninya beristirahat dengan nyaman dengan menarik diri dari keriuhan masyarakat. Dalam masalah mempertahankan teritorial ini ternyata bahwa semakin intensif ditunjukkan penandaan kepemilikan teritorial ini (misalnya dengan simbol, tanda) akan dapat mengurangi rangsangan vandalism atau serangan terhadap teritory tersebut artinya timbul rasa hormat terhadap teritory tersebut. Misalnya dalam kasus Rumah Jawa ini pintu masuk utama terletak ditengah dinding muka bangunan yang simetris . Melalui pintu utama tersebut tamu lelaki secara resmi akan dipersilakn masuk. Pintu sebagai titik pengundang sekaligus titik penerima yang mengubah status pendatang dari ‘orang lain’ menjadi ‘tamu’. Namun tindak masuk tersebut dinterupsi oleh tlundhak berupa sebatang kayu melintang ambang bawah pintu. Sepanjang tamu tak ingin tersandung , ia harus berhenti sejenak, melangkah dengan hati-hati sembari menerima sambutan sang tuan rumah. Dengan tindakan ini tamu mengakui otoritas si empunya rumah. Jogan (bagian paruh depan rumah) menjadi penentu pendefinisian teritori privat-publik. Posisi sentral didapat dari simetri soko guru dan tatanan perabotnya. II.3. TEMPAT DAN PERILAKU KESEHARIAN RUMAH JAWA TYPE KEDUA Rumah Jawa type kedua ini terdiri atas tiga masa bangunan dengan bentuk atap dan ukuran yang nyaris sama. – (lihat lampiran gambar 2) .Yang paling depan biasa disebut pendhapa. Dibelakangnya adalah omah dan kemudian pawon. Pada sisi timur berdiri gandhok, semacam paviliun panjang persis sejajar dengan pendhapa dan omah. Dalam hal tatanan spatial rumah type kedua ini dapat disetarakan dengan 2002 digitzed by USU digital library
6
rumah type pertama. Deretan tiga senthong ditarik ke belakang hingga membentuk ruang yang relatif luas di depan. Pendhapa yang berupa denah terbuka memiliki aksesibilitas yang lebih besar ketimbang inner omah itu sendiri. Akan tetapi meskipun kedua masa bangunan itu jelas terhubung hampir dalam segala kesempatan pendhapa ini tidak pernah benarbenar berfungsi sebagai ‘ ruang penerima ‘ yang mengantar tamu sebelum memasuki rumah dalam. Pendhapa menjadi bagian yang bersifat publik dari seluruh rumah karena beragamnya kegiatan dan pemakainya. Dari seluruh bagian rumah, gandhok menjadi bagian paling sibuk oleh kegiatan sehari-hari. Gandhok juga merupakan tempat yang paling sering berganti fungsi. Amben menjadikan gandhok berfungsi juga sebagai tempat beristirahat tidur. Ada saatnya gandhok menjadi tempat makan . Belakangan gandhok sering jadi tempat menonton TV atau bersantai keluarga. Dengan fleksibilitas semacam ini gandhok memainkan peran sebagai buffer zone guna mengakomodasikan perubahan kebutuhan yang brlangsung pada perjalanan kehidupan keluarga. Berseberangan dengan gandhok adalah jogan. Para tamu sering malah duduk dan ditemui disini beralaskan tikar yang kasual. Rupanya pendhapa lebih sebagai tempat menerima tamu formal dan jogan sebagai penerima tamu yang privat-tamu dari keluarga dekat misalnya. Paling belakang dari tiga bangunan sebaris tadi adalah pawon atau dapur. Pawon merupakan fasilitas bersama bagi seluruh anggota keluarga untuk berbagi tungku dan makanan. Pada saat perhelatan pesta bagian ini mutlak menjadi teritori kaum perempuan dengan segala pantangannya bagi kaum lelaki. Dalam perbandingan kedua type rumah terdapat dua gagasan dasar yaitu elaborasi dan replikasi tata bentukannya. Susunan aksial tempat berinteraksi sosialpublik yang relatif terbuka dan ruang suci keluarga (yang terlingkup) dalam apitan area serbaguna muncul pada keduanya.. Pendhapa dapat disetarakan dengan jogan pada rumah type pertama.Keduanya merupakan tempat menerima tamu, publik, terbuka. Keduanya menjadi tempat merepresentasikan keluarganya dalam berbagai interaksi dengan masyarakat yang lebih luas. II.4. TEMPAT DAN PERILAKU SAAT PERAYAAN PERNIKAHAN PADA RUMAH JAWA Ritual terbentuk karena adanya kesepakatan-kesepakatan sosial yang diwujudkan dalam tindakan-tindakan simbolis. Karena tindakan ini berlangsung pada tempat tertentu, David Parkin (1992) seorang antropolog ritual, mendefinisikan ritual berdasarkan kapasitas primer untuk mengatur orang dalam suatu tempat, dengan menyatakan bahwa “ritual merupakan spatial formulaic (aspek spatial yang terumuskan). Para partisipan terikat pada spatial formulaic itu yang mengatur keikut sertaan mereka dalam kebiasaan ritual yang menerus. Dalam pengembangannya spatialitas ini mencakup gerakan bertahap, pengarahan, pengorientasian dan pemosisian ragawi. Bagi budaya Jawa ritual ini bukan sekedar peristiwa ‘di luar’ (keseharian) yang meminjam wilayah rumah sebagai tempatnya namun lebih sebagai perilaku yang merupakan bagian inheren dari kehidupan keseharian itu sendiri. Perhelatan pernikahan manusia Jawa merupakan perilaku ritual yang paling menarik sebagai klimaks dari trilogi ritus kehidupan mereka metu-manten-mati. Penerapan spatialitas formulaic suatu ritual memerlukan pengaturan dua obyek yang saling berhubungan : susunan tempat itu sendiri dan disposisi atas perilaku dari orang yang terlibat. Seting ruang tempat upacara diselenggarakan, dimanipulasi untuk mengakomodasi dan mengarahkan tindakan ritual. Elemen semi-tetap ditambahkan atau dipindahkan dari rumah untuk memanipulasi tempat sehingga memiliki kelengkpan ritual simbolis maupun fungsional.
2002 digitzed by USU digital library
7
Upacara perhelatan ini secara temporer mengubah rumah menjadi tempat yang dimuliakan dan bersifat publik. Sebagai tempat yang disucikan, rumah mengartikulasikan makna yang tersimpan dalam elemen-elemennya. Tempat ini dihias bukan supaya berbeda tapi lebih mengaskan makna yang dikandungnya. Untuk memenuhi kebutuhan luasnya tempat maka pada rumah ini diperlukan tenda yang dipasang di pelataran depan. Pada saat itu terbentuk ‘pasangan tempat baru’ dengan tempat yang ada di rumah induk menjadi seperti rumah belakang dan tenda menjadi rumah depan. Pembentukan ‘pasangan’ ini diperkuat dengan membuka pintu yang memisahkan rumah dengan tenda. Dua ruang yang biasanya sehari-hari jarang berinteraksi, sekarang terhubung langsung sehingga bisa dimaknai hubungan komplementer antra kedua ruang tersebut. Pada rumah yang lebih kompleks maka tenda atau tarub itu bisa sedemikian berartinya sebagai wilayah yang ditetapkan menjadi domain pubik. Bahkan rangkaian hiasan yang terpajang merupakan simbolis pernyataan perhelatan undangan bagi publik. Pada kajian sebelumnya telah disampaikan bagaimana tempat dalam rumah dikonstruksikan sebagai wadah perilaku keseharian dengan bagian privat di bagian belakang dan bagian publik di bagian depan. Namun demikian pembagian dual (dual division) tempat dalam rumah tidak selalu berfungsi dalam kerangka publik-privat. Pada saat perhelatan nikah kita dapat menyaksikan sepasang ruang yang membentuk bagian utama rumah itu secara keseluruhan menjadi area publik, sementara sang rumah tetap mempertahankan pambagian dual-nya. Dualitas publikprivat itu diartikulasikan secara mendalam dengan bermacam cara sehingga dapat menyatakan interrelasi antara kedua belah ruang rumah yang memiliki makna berlawanan tersebut. Perlawanan makna ini dipertegas dengan dekorasi yang kontras dengan mengalokasikan tahap ritual. II.5. TEMPAT DAN PERILAKU SAAT PERAYAAN PENTAS WAYANG PADA RUMAH JAWA Dalam memahami fenomena pementasan wayang maka panggung dimana pertunjukan itu diselenggarakan bukanlah tempat yang berdiri sendiri terpisah dari tatanan spatial sekelilingnya. Secara totalitas tempat dan panggung adalah kesatuan spatial. Suasana seting teatrikal bisa menegaskan , mereproduksi dan memanipulasi organisasi tempat yang ada. Pertunjukan wayang adalah pentas dua sisi dengan cara membentangkan kain layar yang ditimpa bayangan wayang menghasilkan dualitas yang memisahkan domain pelaku , penonton dan domain pemilik rumah. Pemasangan kelir wayang pada rumah Jawa type pertama adalah mengambil posisi yang memungkinkan adanya sela antara jogan dan dinding senthong - (lihat lampiran gambar 3) . Ditempat yang terbatas tersebut jika layar ditempelkan pada dinding senthong maka akan didapat tempat yang lebih lapang dan luas untuk tamu dan penonton. Namun ternyata siempunya pentas tetap memilih dilakukan dengan dua arah (walaupun harus dengan berdesakan) yang menghasilkan pentas dua sisi seperti lazimnya pentas wayang. Pemilik menempati ranah privat disisi bayangan sedangkan para penonton publik menempati sisi sebaliknya menonton boneka wayang yang berkilau. Pada rumah type kedua penyelenggaraan wayang menempatkan kelir layar pada wilayah yang cukup longgar dibagian pendhapa persis di batas antara pendhapa dan omah jero. Lagi-lagi penempatannya tidaklah menempel pada dinding namun membentuk tempat yang memungkinkan pergelaran tetap sebagai pentas dalam dua sisi. Sisi bayangan dan sisi wayang yang sekaligus mendefinisikan pembagian dualitas privat-publik penonton dan empunya pentas. Pendhapa praktis terbagi dari ranah publik sepenuhya menjadi separuh privat dan separuh publik dengan modifikasi yang dicapai oleh penataan kelir wayang tersebut.
2002 digitzed by USU digital library
8
Dalam kasus Rumah Jawa diatas maka bila dijajarkan dengan hubungan personalisasi teritory dan kehendak untuk mempertahankan teritory yang disampaikan oleh Irwin Altman (1975) menempati posisi sebagai berikut. TERRITORIAL BEHAVIOR ASSOCIATED WITH THREE CATEGORIES OF TERRITORY Extent to which Territory Is occupied/likelihood of Defense if territory is Violated High. Owner has complete control intrusion is a serious matter
Extent to Perceived Ownership and personalization perception by others ‘Owned’ and personalized in relatively permanent manner by occupant; perceived by others as belonging to occupant on a longterm basis.
SECONDARY TERRITORY JOGAN,GANDHOK
Moderate. Some regulatory power during periods when individual is the legitimate occupant
PUBLIC TERRITORY PENDHAPA
Low. Control is very difficult to assert
Not ‘owned’ may be personalized to some extent during period of legitimate occupancy ; occupant perceived by others as one of a number of qualified users. Not ‘owned’ sometimes personalized in a temporary way ; occupant perceived by others as one of a large number of possible users
PRIMARY TERRITORY SENTHONG,OMAH JERO
Based on Altman.1975
Hubungan perilaku dan pemebntukan tempat peran publik dan privat pada rumah Jawa dapat dilihat dalam tabel berikut : Hubungan Perilaku dan Pembentukan tempat
UMAH
TEMPAT
PERAN PRIVAT
PERAN PUBLIK
OMAH
Jogan Senthong Amben
Senthong : Ruang tidur & Kuil kemakmuran Amben : Perilaku sehari-hari Jogan : Pentas wayang sisi bayangan
Amben : Tempat kegiatan sosial & multi guna Jogan : Tempat menerima tamu Jogan : Pentas wayang sisi wayang
OMAH +
Pendhapa Omah jero Senthong Gandhok Longkang Pawon
Omah jero : tempat tidur Senthong : tempat tidur & Kuil kemakmuran Longkang: tempat peralihan Pawon : dapur
Pendhapa:tempat menerima tamu Gandhok:tempat keluarga Tratag:penanda teritori
2002 digitzed by USU digital library
9
Kesimpulan Pembentukan tempat publik-privat pada rumah Jawa mempunyai dinamika sehubungan dengan perubahan perilaku yang dilangsungkan pada wilayah tempat tersebut. Hal ini tentu saja berkaitan dengan pembentukan teritori yang menegaskan keberadaan tempat tersebut. Hal ini diperkuat oleh Alton Becker (1995) yang menyatakan bahwa dalam sistem pemikiran Jawa tatanan tempat (spatial order) lebih diutamakan dalam mengorganisasikan fenomena dibanding tatanan waktu (temporal order). Dengan kajian terhadap pembentukan tempat publik-privat ini dapat diketahui pentingnya peran teritori privat penghuni rumah sebagai simbolis keberadaan dan kepemilikan serta kewenangannya atas rumah. Disisi lain peran publik tempat dalam rumahnya juga diakomodir sebagai perwujudan sikap sosial kemasyarakatan . Proses pembentukan tempat tersebut secara signifikan berarti juga penandaan teritori yang visible, stationary yang berupa suatu delimited space. Teritori tempat itu dimiliki, dikuasai dan terkendali. Tempat yang terbentuk itu sendiri setidaknya memuaskan beberapa kebutuhan atau dorongan pemenuhan kebutuhan dasar manusia sampai kepada simbol status dan aktualisasi diri. Kajian ini masih berupa penjelajahan awal yang membuka peluang adanya penelitian lebih lanjut sehubungan dengan kaitannya dengan privacy yang menjadi latar belakang penandaan teritorial dalam upaya pembentukan tempat. Bagaimanapun peran publik-privat rumah Jawa setidaknya memberikan sumbangan pemikiran adanya dinamika pembentukan tempat yang berakar dari arsitektur Nusantara yang kemungkinan menjadi lebih berarti dan memberikan keragaman terhadap pengembangan perancangan arsitektur kontemporer. Kiranya tidak berlebihan jika kajian ini ditutup dengan menyitir uraian dibawah ini …Recent efforts to identify types of human territories are of interest to environmental designers because they deal with people’s desire to control and personalized space and behaviour. J.Douglas Porteous (1977)
2002 digitzed by USU digital library
10
Daftar Pustaka Altman, Irwin [1980] ; Culture and Environment. Monterey.Ca.Brooks / Cole Amiranti, Ir.Sri. MS [2000]; Catatan Kuliah Arsitektur dan Perilaku Pascasarjana ITS 2000. Surabaya. Bell. Paula A (et al) [1978]; Environmental Psychology , W.B.Saunders Company. Philadelphia. London.Toronto. Budi Santosa, Revianto [[2000]; OMAH, Membaca Makna Rumah Jawa. Yayasan Bentang Budaya.Yogyakarta. Lang , Jon [1987] ; Creating Architectural Theory . The Role of the Behavioral Sciences in Environmental Design. Van Nostrand Reinhold Company.New York.. Moore T.Gary [1979] ; ‘Pengkajian Lingkungan Perilaku’ dalam Introduction to Architecture ; Mc.Graw Hill.Inc. England. Stea, David. [ -- ], Space, Territory and Human Movements. Article. Wilson, Forrest [1984]
; A Graphic Survey of Perception and Behaviour for The
Design Professions. Van Nostrand Reinhold Company.USA. Muhadjir, Noeng [2000] ; Metodologi Penelitian Kualitatif. Rake Sarasin. Jakarta
2002 digitzed by USU digital library
11