BIOKOROSI PADA TANGKI BAHAN BAKAR Ir. INDRA, MT Fakultas Teknik Jurusan Teknik Mesin Universitas Sumatera Utara
I. PENDAHULUAN Bahan bakar minyak (BBM) dalam penimbunan dapat terkontaminasi oleh microba. Kontaminasi itu dapat merusak hidrokarbonnya (biodegradasi) ataupun logam dinding tankinya (biokorosi). Kontaminasi dapat dimulai dari adanya mikroba yang terbawa oleh alira BBM, aliran air, atau dari udara masuk melalui pernapasan tangki. Bila BBM mengandung air, mikroba dapat tumbuh dengan memanfaatkan hidrokarbon sebagai nutrisinya. Akibatnya hidrokarbon mengalami degradasi dan membentuk asam atau produk lain. Asam ini dapat bereaksi denagn logam dan membentuk karat. Struktur hidrokarbon yang paling mudah dis\rusak oleh mikroba ialah nparafin (Prnce, 1961). Bila ini terjadi pada BBM, maka mutu BBM akan turun dan bisa rusak sampai tidak memenuhi spesifikasi lagi. Korosi yang diakibatkan oleh mikroba tidak hanya tejadi pada logam saja namun juga pada bahan yang lain seperti kayu, jenis plastik tertentu, karet dan bahkan juga terjadi pada beton. Tidak semua kegiatan mikroba mengakibatkan korosi. Beberapa jenis mikroba merusak bahan tanpa mengurangi massa bahan tesebut, namun mengubah sifat fisik maupun kimianya. Kegiatan mikroba yang menimbulkan korosi tidak mudah unruk segera dapat dideteksi, karena memerlukan penelitian yang berkaitan dengan korosi lain. Korosi tersebut biasanya terjadi juga bersama-sama dengan proses korosi oleh kegiatan lain seperti korosi kimia, mekanik, atau yang lain. Meskipun tidak semua, namun banyak jenis bakteri, fungi, dan algae merupakan mikroba penyebab korosi. Dari berbagai jenis mikroba tersebut, bakteri merupakan penyebab korosi yang utama, sedang produk kegiatan algae dan protozoa dapat membentuk lingkaran yang justru menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri. Pugh(1982), mengatakan bahwa kerusakan bahan dapat disebabkan oleh agensia biotik atau abiotik tergantung dari keadaan lingkungannya. Kerusakan logam oleh bakteri belerang dapat terjadi dalam lingkungan aerob dan anaerob. Wakerley (1979) memperkirakan bahwa, sekitar 10% kerugian korosi logam di inggris langsung maupun tidak langsung disebabkan oleh mikroba. Di amerika serikat kerugian oleh korosi mikroba pada pipa di dalam tanah berkisar antara US$ 500-2000 juta setiap tahun (crombie at al, 1980). Melihat keadaan iklim dan kelembaban udara di indonesia lebih tinggi dibanding dengan di eropa maupun di amerika serikat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa microba dapat merusak hidrokarbon dan sarana, khususnya pada lapisan antarmuka air dan BBM.
2002 digitized by USU digital library
1
II. TINJAUAN LITERATUR A. Mekanisme Reaksi Biodegradasi Bahan Meknisme reaksi korosi besi pada lingkunagan air yang mengandung oksigen dapat dijelaskan dengan model sel elektrokimia. Reaksi kimia tersebut dapat dibagi manjadi dua bagian (freedman, 1984): a. b. • •
Pada anode tejadi pelarutan logam besi menjadi ion. Fe → Fe2+ + 2 e ----------------------------------------------------------------------Pada katode terjadi reaksi : Jika larutan netral atau basa H2O + ½ O + 2 e --------------------------------------------------------------------Jika larutan bersifat asam 2H+ + 2 e → H2-----------------------------------------------------------------------2H+ + ½ O2 + 2 e → H2O -------------------------------------------------------------
(1) (2) (3) (4)
Ion ferro yang terbentuk pada anode akan teroksidasi oleh oksigen dan membentuk ferrioksida. Senyawa ini merupakan lapisan yang sangat tipis menempel pada permukaan logam dan mencegah larutannya besi lebih lanjut pada anode. 4Fe + 3O2 → 2Fe2O3 ------------------------------------------------------------- (5) Demikian juga pada katode, oksigen harus dapat mencapai permukaan logam agar dapat raksi (2) dan (4) dapat berjalan. Ion hidroksil yang terbentuk juga dapat terserap pada permukaan dam membentuk lapisan yang dapat menghalangi penyerapan oksigen kepermukaan. Dengan demikian, terjadi polarisasi katode dan proses korosi berjalan lambat. Pada kondisi korosi yang cepat, lapisan-lapisan pelindung tersebut tidak sempat terbentuk ion-ion Fe2+ bereaksi dengan ion hidroksil sebagai berikut : 2Fe2+ + ½ O2 + H2O + 4OH → 2Fe2(OH)3 -------------------------------------Ferrihidroksida akan terendapkan pada permukaan dan akan menutupi atau mencegah terbentuknya lapisan pelindung dan menjadikan lingkungan di bawahnya anaerob oleh karena itu, di dalam cairan yang mengandung oksigen juga akan terdapat bagian di permukaan logam yang bersifat anaerob meningkat. Adanya bahan-bahan lain di dalam media yang berhubungan dengan permukaan anode dan katode, tentu saja mempengaruhi reaksi redoks tersebut. B. Kegiatan Bakteri Berdasarkan keterlibatan oksigen dalam dibedakan atas bakteri aerob dan bakteri anaerob.
metabolisme,
bakteri
dapat
1. Bakteri aerob Berbagai jenis bakteri areob hidup dalam cairan yang mengandung oksigen. Beberapa di antaranya akan mempengaruhi reaksi-reaksi korosi besi seperti disebutkan di muka sehingga dapat mempercepat reaksi tersebut. Diantara beberapa jenis bakteri aerob, bakteri penitrat, dan bakteri pengoksidasi belerang (SOB). 2. Bakteri anaerob Dari berbagai jenis bakteri anaerob yang paling banyak menimbulkan korosi adalah Sulphate Reducing Bacteria (SRB), yaitu bakteri yang dapat memenfaatkan dan mengubah sulfat menjadi sulfida. Mengingat sifatnya yang anaerob, bakteri ini
2002 digitized by USU digital library
2
(6)
aktif terutama pada peralatan (seperti pipa-pipa) yang ditanam di dalam tanah. Meskipun demikian dalam lingkungan yang mengandung oksigen, dapat pula terbentuk kondisi anaerob yaitu pada bagian yang terletak di bawah endapanendapan yang terjadi. Oleh karenanya, korosi oleh SRB juga dapat tejadi pada alatalat yang berhubungan dengan udara, air ataupun cairan yang lain. Salah satu spesies SRB adalah Desulfovibrio desulfuricans yang memperoleh energi dengan mereduksi sulfat dan paada saat yang bersamaan mengoksidasi bahan organik. Persamaan reaksi adalah sebagai berikut (kenneth, 1969) : NC + MSO4 + H2O → M(Ac)2 +CO2 + H2S ---------------------------------------- (8) C adalah bahan organik dan M adalah logam. Reaksi berjalan melalui hidrogen sulfat oleh enzim hidrogenase. H2SO4 + 8H → H2S + 4H2O -------------------------------------------------------- (9) Pada suasana asam hidrogen yang diperlukan pada polarisasi katoda dapat digunakan untuk reaksi (9) sehingga terjadi proses dipolarisasi katode dan menyebabkan lebih banyak besi telarut. Kecuali itu gas hidrogen sulfida yang timbul juga korosif dan dapat menyerang baja lunak, baja putih, dan logam campuran. Cu dan Ni. Sifat korosif akan diperberat pada lingkungan pH yang rendah, akibatnya akan terjadi reaksi denga besi membentuk ferrosulfida. Dengan demikian reaksi keseluruhan menjadi. 4Fe + SO4- + 4H2O → FeS + 3Fe(OH)2 +2OH--------------------------------------- (10) Ferrosulfida dapat dioksidasi menjadi ion ferri, dan belerang juga dapat dimanfaatkan oleh bakteri pengoksidasi belerang (SOB) sehingga korosi dapat lebih parah lagi. Oleh sebab itu korosi akan menjadi lebih besar apabila terjadi perubahan kondisi erob dan anaerob berganti-ganti pada suatu tempat. Secara umum dapat disumpulkan bahwa oleh SRB : - Terjadi pada lingkungan anaerob dan memerlukan air. - Tidak merat pada keseluruhan logam tetapi membentuk pitting (lubanglubang kecil) pada logam. - Pada besi cor akan membentuk endapan karbon. - Menghasilkan ferrosulfida (kadang-kadang terdapat juga belerang) sebagai produk metabolisme. C. Biosida Bahan atau senyawa biosida pada konsentrasi tertentu dapat menghambat atau membunuh mikroba. Bahan penghambat mikroba akan bekerja langsung terhadap sel mikroba yaitu mempengaruhi kerja sel. Berdasarkan bagian kerja sel yang dihambat, pengaruh bahan penghambat pertumbuhan mikroba dapat dikelompokkan menjadi empat (Davis, 1976) yaitu : - Penghambat sintesis dinding sel. - Penghambat pengankutan aktif melalui selaput sel atau perubahan permeabilitas selaput sel. - Penghambat sintesis protein. - Penghambat sintesis asam nuklet. Dengan melihat uraian di atas, mak untuk penghambat pertumbuhan mikroba telah ditemukan (Davis, 1976), bahan tersebut ada yang dapat digunakan secara 2002 digitized by USU digital library
3
luas, tetapi ada pula hanya dapat digunakan untuk mikroba tertentu. Contoh bahan penghambat pertumbuhan mikroba tersebut di antaranya : - Bahan penghambat sintesis dinding sel misalnya basitrasin, sefalosforin, sikloserin, penisilin, ristoserin, vankomisin. - Bahan penghambat fungsi selaput sel misalnya amfoteresin B, kolistin, nistatin, polimiksin. - Bahan penghambat sintesis protein misalnya kloramfenikol, eritromisin, linkomisin, tetrasiklin, aminoglikosida, amikasin, kanamisin, neomisin, streptomisin, tobramisin. Kekuatan bahan penghambat pertumbuhan mikroba hanya dapat diketahui setelah diuji, karena tidak semua bahan penhambat pertumbuhan mikroba dapat menghambat/membunuh semua jenis mikroba yang ada. Pengaruh bahan penghambat pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh resistensi mikroba terhadap bahan tersebut, konsentrasi bahn dan kondisi lingkungan tempat kerja bahan penghambat pertumbuhan mikroba tersebut. Perlawanan mikroba terhadap bahan penghambat dilakukan dengan berbagai aktivitas yang bersifat merusak atau mengganggu kerja bahan penghambat pertumbuhan mikroba tesebut. Aktivitas perlawanan mikroba terhadap bahan penhambat di antaranya (Sharpley, 19660 : - Menghasilkan suatu enzim yang dapat merusak bahan penhambat yang masih aktif. - Merusak permeabilitas bahan penghambat sehingga bahan tersebut tidak dapat berfungsi dengan sempurna. - Mengubah struktur yang akan diserang oleh bahan penghambat pertumbuhan mikroba sehingga bahan tersebut fungsinya terganggu. - Membuat suatu jalan metabolik yang lain yang melewati reaksi yang dihambat oleh bahan penghambatnya. Resistensi mikroba terhadap bahan pengahambat terjadi karena adanya daya dalam mikroba tersebut. Menurut Sharpley daya dalam mikroba berasal dari : - Bukan genetika, hal ini terjadi pada mikroba yang tidak aktif. Mikroba kelompok ini kemungkinan secara fenotip bersifat resisten terhadap bahan penghambat. - Genetika, hal ini terjadi pada mikroba yang resisten terhadap bahan penghambat yang disebabkan oleh adanya perubaha genetika. Selain itu dapat terjadi akibat adanya mutasi yang spontan dalam mikroba tersebut atau dalam mikroba mengandung unsur-unsur genetika ekstrakromosomal, sehingga mikroba tersebut dapat melawan bahan penghambatnya. - Resistensi silang, hal ini disebabkan karean dalam mikroba tersebut terdapat suatu bahan pengahambatnya dan dapat pula resisten terhadap bahan penghambat yang lain. Dalam pencarian suatu bahan penghambat pertumbuhan mikroba sebagai biosida di samping dilihat daya hambat/bunuhnya terhadap mikroba, juga perlu dilihat pengaruhnya terhadap lingkungan, di mana mikroba tersebut tumbuh. Di lingkungan minyak bumi seperti avtur, misalnya, pengaruh penggunaan biosida terhadap mikroba harus diikuti dengan melihat pengaruhnya terhadap spesifikasi avtur itu sendiri. Biosida yang baik adalah bahan yang dapat menghambat/membunuh mikroba dengan baik dan tidak merusak spesifikasi avtur tesebut. Dalam penelitian sebelumnya, telah dijelaskan oleh Harris dan Strawinski (1968), bahwa penambahan borat kedalam air di dasr tangki penimbun produk minyak, ternyata dapat menhambat aktivitas mikroba terhadap perusakan produk 2002 digitized by USU digital library
4
minyak. Borat dalam aplikasinya dapat digunakan untuk proteksi bebrapa produk minyak dan penghambat pertumbuhan beberapamikroba. Berdasarkan penelitian dari Bakanaukas (1963) yang telah meneliti air di dasar bebrapa tangki pesawat JP-4, ternyata semua tangki yang diuji mengandung sebagian basar bakteri yang didominasi oleh pseudomonas dan aerobacter. Tidak ditemukan jamur dan bakteri anaerob. Dari 71 mikroba yang diisolasi, diambil 17 bakteri untuk diuji kemampuannya menggunakan minyak JP-4 unutk hidup dan kemempuan melawan bahan aditif organik tertentu untuk minyak. Dari percobaan tersebut telah diketahui bahwa terdapt 11 bakteri yang dapat menggunakan minyak JP-4 untuk hidup, dan ke 17 bakteri tersebut ada yang terhambat oleh sebagiaan atau seluruh dari sembilan aditif organik tersebut Tenemene 60, 2,6-di-tersier-butil fenol, Paranox 441, Santolena C, Gulf agent 178, Unicor, Alxo L-1846, Nasul EDC dan Natrium tetrabonat. Dalam media nutrient broth yang mengandung 1,5% natrium tetrabonat ternyata ke 17 bakteri tidak dapat tumbuh dalam media tersebut. Menurut Prince (1972) penggunaan borat dengan konsentrasi 2% tidak efektif sebagai penghambat aktivitas mikroba dalam tangki minyak. Dari penelitiannya Churchill dan Leather (1973) melihat potensi inhibitor terhadap dua spesies jamur, ternyata sampai 6% natrium tetrabonat, mikroba diuji masih dapat tumbuh. Sedangkan dengan inhibitor lain seperti asam bromoasetat, alkil kuaterner amonium asetat, hidroklorida, dimetilamina boran, campuran natrium etil merkuri tiosaalisilat dan natrium o-fenil fenat, C12-C18 n-akil dimetil benzil amonium klorida, etiliden diasetat tri-n-butil borat dengan konsentrasi lebih rendah sudah dapat menghambat mikroba uji. De Gray dan Killian (1960) menjelaskan bahwa 0,05% boran yang mengandung aditif bensin akan lebih efektif sebagai penahan pertumbuhan mikroba bila dibandingkan dengan boraks dan asam bort pada persentasi boron yang sama. III. METODOLOGI PENELITIAN Metode penelitian permaslahan ini adalah dengan mempelajari keadaan lingkungan penyebab degradasi bahan, dengan melakukan pengambilan percontoh. Percontoh tersebut kemudian dianalisis di laboratorium secara kimiawi dan mikrobiologi. Hasil analisis laboratorium dikembangkan dalam bentuk penelitian guna mendapatkan data mekanisme korosi/biokorosi, jenis-jenis mikroba yang aktif dan tumbuh dalam bahan tersebut. A. Mempelajari Keadaan Lapangan Evaluasi lapangan dilakukan pada instalasi minyak yang mempunyai permasalahan terhadap korosi/biokorosi. Survei lapangan dimaksudkan untuk mempelajari keadaan lingkungan, meliputi Rh (kelembababn), suhu udara, arah angin, proses yanga terjadi, curah hujan dan lain-lain. Pada waktu mempelajari keadaan lapangan juga diambil percontoh mikroba yang ada di sekitar peralatan-peralatan yang terkena korosi berat. Pengambilan percontoh mikroba ini dilakukan secara spesifik dengan menggunakan alkohol 70%. Percontoh-percontoh yang diambil dianalisis secara kimiawi, fisik, dan mikrobiologi. Mikroba yang ditemukan dikembangkan untuk digunakan dalam penelitian biokorosi. Kerapatan mikroba di udara diamati dengan cara menangkap mikroba tersebut dalam medianya. Bakteri anaerob, seperti bakteri pereduksi sulfat ditangkap dengan media khusus yang disiapkan dalam anaerobic jar. Pengamatan peralatan meliputi keadaan tangki timbun, pipa penyalur, pompa, dan peralatan-peralatan lain yang terbuat dari logam.
2002 digitized by USU digital library
5
Pengukuran kelembaban nisbi dan suhu udara dilakukan disekitas titik pengambilan percontoh. Pengukuran kerapatan mikroba di udara dilakukan degan cara menangkap mikroba tersebut dengan media Czapek Dox Agar (CDA) dan Nutrient Broth Agar (NBA), kemudian ditumbuhkan selama 4-5 hari pada suhu 30OC dan dihitung populasinya. Populasi yang tumbuh pada media CDA menunjukkan jumlah jamur di udara, sedangkan yang tumbuh dimedia NBA menunjukkan jumlah bakteri total di udara. Pemeriksaan populasi bakteri pereduksi sulfat (SRB) dapat ditentukan dan dihitung populasinya dengan cara sebagai berikut. Percontah dari lokal diambil dengan pipet steril, kemudian dimasukkan dalam media SRB baik cair maupun padat. Inkubasikan pada suhu 30oC dalam keadaan anaerob dengan menggunakan anaerob jar. Pengamatan untuk melihat ada atau tidaknya pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat dilakukan pada media cair selama beberapa minggu. Perhitungan banyaknya populasi bakteri pereduksi sulfat dilakukan pada media SRB padat. Bakteri pengoksidasi belerang (SOB) yang ada dalam percontoh dapat dilihat dengan menggunakan media cair. Namun untuk menilai secara kuantitatif digunakan media padat. B. Penelitian Di Laboratorium Mikroba yang didapat di lapangan diperiksi jenisnya. Pemeriksaan identifikasi determinasi mikroba dilakukan dengan mengisolasi bakteri dari media NBA dan jamur dari media CDA. Mikroba yang didapat diidentifikasi dan ditentukan jenisnya. Bakteri belerang diisolasi dengan menggunakan media khusus yaitu SRB untuk bakteri pereduksi sulfat dan media SOB untuk bakteri pengoksidasi belerang. Pengamatan secara mikroskopis kultur murni dan masing-masing mikroba. Hal ini dimaksudkan untuk mempelajari morfologi dari mikroba tersebut. Khusus untuk bakteri perlu dilakukan uji biokimia dan pewarnaan untuk dapat mengetahui karakteristik dari masing-masing bakteri. Bila telah diketahui jenis-jenis mikroba yang tumbuh dalam percontohan, maka dapat ditentukan jenis mikroba yang dominan. Jenis mikroba yang dominan digunakan dalam penelitian lebih lanjut. C. Penelitian Kerusakan Logam oleh Mikroba (Biokorosi) Mikroba yang hidup dan tumbuh dalam BBM, selain dapat menyebabkan kerusakan mutu BBM, juga dapat merusak logam (sarana) dan epicoat-nya. Hal ini dapat terjadi karena mikroba dalam pertumbuhannya menghasilkan senyawa kimia yang kondusif. Penentuan kerusakan akibat pertumbuhan mikroba tehadap logam tang diberi epicoat maupun tidak, dilakukan dengan cara mengukur laju biokorosi dan kerusakan epicoat secara mikroskopis. Sebagai objek penelitian digunakan coupon logam dari bahan baja karbon dengan ukuran 1”x 1” x 1/8”. 1. Pengukuran laju biokorosi Pengukuran laju biokorosi dilakukan dengan metode gravimetris yaitu mengukur penurunan berat coupon percontoh ber-epicoat mauoun tanpa epicoat dalam satuan berat per luas permuakaan. Pengamatan dilakukan dalam lingkukangan steril dan nonsteril. Pengamatan dan pengukuran dengan cara ini, diharapkan akan mendapatkan data laju biokorosi dari coupon ber-epicoat dalam lingkungan steril dan nonsteril.
2002 digitized by USU digital library
6
2. Pengukuran laju pertumbuhan mikroba Selain laju biokorosi juga dilakukan pengukuran laju pertumbuhan mikroba. Laju pertumbuhan mikroba digambarkan dari hubungna antara waktu dan populasi mikroba. Keadaan lingkungan, pengamatan pertumbuhan mikroba serta waktunya disesuaikan dengan pengamatan laju biokorosi. Kerusakan epicoat dapat dilihat scara mikroskopis dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). IV. HASIL PENGAMATAN DAN EVALUASI A. Pengambilan Percontoh Dan Pengamatan Lapangan Dalam usaha untuk melihat proses biokorosi pada sarana, perlu juga dipelajari keadaan lapangan dan teknik pengambilan percontoh. Percontoh ini sangat menetukan dalam melakukan studi selanjutnya. Pemeriksaan kandungan air dama BBM dilakukan dengan test kit yaitu Shell Water Detector. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa BBM (premium, kerosin, solar, PKS) di tangki timbun banyak yang mengandung air. Avtur biasanya kandungan airnya kecil sekali, mengingat penanganannya dilakukan dengan cukup ketat. Air ini dapat menjadi pemicu pertumbuhan mikroba dan menyebabkan biokorosi pada dinding tangki. B. Hasil Analisis Laboratorium Populasi mikroba yang tumbuh dalam BBM diamati dengan maksud untuk mengetahui kecepatan pertumbuhan dari jenis-jenis mikroba yang ada. Kecepatan pertumbuhan mikroba dalam BBM akan sejalan dengan proses biokorosi pada dinding tangki penimbunnya. Selain untuk melihat kecepatan korosi juga dapat untuk mempelajari proses degradasi BBM itu sendiri. Mikroba yang diamati petumbuhannya adalah jamur, bakteri total, bakteri pereduksi sulfat (SRB) dan bakteri pengoksidasi belerang (SOB). Metode yang digunakan untuk menentukan populasi bakteri total, jamur, dan SOB adalah plate count, sedangkan khusus untuk SRB selain metode plate count juga digunkan metode test kit. Dengan metode plate count, unuk populasi > 30 sel/ml menunjukkan adanya pertumbuhan mikroba secara nyata. Sedangkan dengan metode test kit, untuk populasi >10 sel/ml sudah dapat menunjukkan adanya aktivitas SRB secara nyata. Mikroba yang tumbuh dalam percontoh BBM diisolasi, ditanam dan dimurnikan sampai diperoleh suatu biakan yang hanya terdiri atas satu jenis mikroba. Hasil isolasi ini kemudian diidentifikasi dan determinasi. Hasil pengukuran laju biokorosi dapat disimpulkan bahwa laju biokorosi pada lingkungan avtur untuk coupon ber-epicoat lebih rendah jika dibandingkan dengan laju untuk coupon tanpa epicoat. Apabila membandingkan laju biokorosi di lingkungan PKS (premium, kerosin, dan solar), maka laju biokorasi di lingkungan kerosin, adalah paling tinggi. Kemudian diikuti denga premium dan terakhir solar. Hal ini sesuai denga laju perrtumbuhan mikroba, kecuali premium, karena premium mengandung TEL yang sifatnya korosisf dan meracuni microba, walaupun laju pertumbuhan mikrobanya kecil jila dibandingkan denga solar. Selain tiu bila biokorosi dibandingkan untuk coupon yang berada di antarmuka BBM-air, maka terlihat bahwa pada antarmuka BBM-air laju biokorosinya lebih tinggi. Hal ini disebabkan pada antarmuka BBM-air pertumbuhan mikroba lebih besar jika dibandingkan dengan pertumbuhannya dalam BBM. Kerusakan pelapis epicoat diamati secra mikroskopis denga menggunakan Sem. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kerusakan epicoat dimulai dari
2002 digitized by USU digital library
7
terjadinya perengkhan dan kemudian bakteri masuk dan tumbuh untuk merusak dinding tangki. Epicoat-nya sendiri akan mengelupas. Penelitian menunjukkan bahwa kerusakan epicoat pada cou[on dalam lingkungan antarmuka avtur-aair libih tinggi jika dibandingkan dalam lingkungan avtur. Hal ini memberi gambaran bahwa petumbuhan mikroba dapat mempengaruhi ketahanan epicoat. Untuk mendapatkan data yang lebih jelas tentang pengaruh petumbuhan mikroba terhadap ketahanan epicoat pelu dilakukan studi lanjut. V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Mempelajari hasil pengamatan dan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Dari percontoh-percontoh yang diambil di lapangan, baik dari tangki, pipa maupun dermaga terlihat bahwa pertumbuhan mikroba (bakteri dan jamur0 dalam PKS rata-rata sekitar 100-1000 sel/ml yang terbanyak pada produk solar, kemudian kerosin premium dan yang terakhir adalah avtur yaitu <100 sel/ml. Pada kondisi yang sesuai, pertumbuhan mikroba tersebut dapat merusak hidrokarbon, epicoat dan bila dibiarkan akan menimbulkan korosi. 2. Pertumbuhan mikroba dalam BBM selain akan merusak hidrokarbon juga dapat merusak epicoat dinding tangki dan juga dinding tangkinya. Kerusakan dinding tangki karena korosi terjadi pada dasar, dimana terjadi lapisan antarmuka antara air dan minyak. Pada daerah ini mikroba tumbuh dan mengeluarkan asam yang dapat menyebabkan korosi. 3. Biokorosi dapat terjadi juga pelapis dinding tangki kurang baik, sehingga pecahpecah. Pecahan-pecahan tersebut akan merupakan lingkungan yang baik bagi bakteri belerang. Pertumbuhan ini akan menghasilkan asam H2S atau H2SO4 yang sanagt korosif. 4. Dari pengamatan lapangan diketahui ada bahwa maslah korosi dalam pipa. Korosi tersebut diperkirakan disebabkan oleh bikorosi karena mikroba SRB 5. Kelembaban dan arah angin dapat mempengaruhi kontaminasi mikroba, sehingga dapat menimbulakan gangguan terhadap sarana yang lain. B. Saran 1. Hasil pengamatan selama dilapangan dan melihat hasil-hasil studi di laboratorium menyimpulkan bahwa masalah korosi dan biokorosi telah mempengaruhi dan menggangu jalannya operasi. Oleh karena itu perlu dilakukan studi khusu untuk mempelajari secara mendalam penyebab korosi/biokorosi, akibat korosi tesebut terhadap operasi dan cara pencegahannya. 2. Kerusakan pada tangki epicoat pada tangki avtur terutama disebabkan oleh pengaruh pertumbuhan mikroba. Petumbuahn mikroba akan selalu berusaha menyesuaikan lingkungannya. Oleh karena itu, pelru dilakukan studi scara periodik untuk dapat mencari/menemukan suatu inhibitor yang cocok untuk menghambat degradasi oleh mikroba pada saat itu. 3. Ddewasa ini penengana premium, kerosin, dan solar kurang ketat terhadap kemungkinan adanya kontaminasi oleh mikroba. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi ekonomi terhadap kerugia akibat perusakan tangki ataupun pipa dan bagaimana cara pencegahan atau penghematan biaya perawatannya.
2002 digitized by USU digital library
8
KEPUSTAKAAN 1.
Aiba, S., Humprey, A.W., dan Millis, N.E., 1965, “Biochemical Engineering”, Academic Press, new York.
2.
Brock, T.D., 1979, “Biology of Microorganisms”, Prentice Hall International Editions, New jersey.
3.
Berger, D.M., 1979, “Corrosion Control”, J. Metal Finishing.
4.
Cadmus, E.L., 1977, “Microbiological Deterioration of Cable Coating”, Wire journal.
5.
davis, J.B., 1976, “Petroluem Microbiology”, Elsevier publishing Company Amsterdam.
6.
Sharpley, J.M., 1956. “Elementary petroluem Microbiology”, Gulf Publishing Coy., Houston.
7.
Smith, C.A., 1981, “The microbiology of Corrsion”, anti Corrotion journal.
8.
warkerley, D.S., 1979, “Microbiological Corrsion in UK industry, premilinary survey of petroluem”, Chem. and Ind. Journal.
2002 digitized by USU digital library
9