mereka memutuskan untuk menetap di desa Sinambela. Walaupun dia seorang pendatang dia sangat diterima oleh masyarakat sekitar kerena keramahan dan sikapnya yang gampang bergaul. ia adalah seorang petani jala apung (keramba) yang sudah membuka usaha keramba sejak empat tahun yang lalu, dia mempunyai 20 kotak keramba, ia tertarik untuk membuka keramba karena rumahnya tidak jauh dari pingiran Danau Toba hanya kira-kira tiga puluh lima meter. Ia mengusahakan keramba ini juga dibantu oleh keluarga, karena dalam membuat satu kotak keramba membutuhkan kurang lebih tiga setengah juta rupiah, adalah biaya yang sangat mahal menurut keadaan daerah ini, dalam mengusahakan keramba ini dia membeli bibit dan pakan ikan dari Siantar, mereka memesan kepada salah seorang toke lalu diantar ke Baktiraja, ia memberikan ikannya makan dua sampai tiga kali sehari (tidak tentu), hampir sama seperti petani jala apung (keramba) yang lain, selain dari makanan pokok yaitu pellet, dia juga kadangkadang memberikan pora-pora yang sudah dimasak sebagai makanan tambahan. Menurut dia sebenarnya harga pellet yang sekarang mahal, karena harga satu karung berukuran lima puluh kilogram, harganya kira-kira tiga ratus lima ribu rupiah. Dalam membudidayakan ikan ini, dimana dalam ikan nila dan ikan mas, dia membuat satu kotak tiga ribu ekor ikan tetapi harus ikan yang sejenis, jumlah ini adalah jumlah yang standart dalam ukuran keramba yang berukuran tiga setengah meter persegi. Menurut dia penghasilan dari keramba ini sebenarnya cukup untuk kebutuhan sehari-hari jika tidak banyak yang mati dan harga ikan tidak turun, tetapi walaupun hasil dari keramba tersebut cukup, dia juga bertani menanam padi walaupun tidak begitu banyak, karena ikan-ikannya tidak setiap
Universitas Sumatera Utara
saat harus diperhatikan karena dalam mengelola kerambanya ini dia juga menggunakan tenaga orang lain satu orang yang bernama James S. Setiap harinya dialah yang memberi makan ikan-ikannya dan merawat kerambanya, jadi dia lebih baik dia bertani, dia menanam padi, bawang karena jika membeli beras mahal juga menurutnya, selain itu, penghasilan dari keramba tersebut ditambah lagi dari gaji istrinya yang adalah seorang guru SMP di Baktiraja, jadi dapat dikategorikan bahwa mereka dalam kondisi tercukupi dalam kebutuhan sehari-hari termasuk dalam kebutuhan sekolah anak-anaknya, itulah gambaran sosial ekonomi dan strategi pertahananan hidup mereka.
2. Henry Sinambela, SP Seperti marga yang dimilikinya, ia adalah putra asli desa Sinambela yang sudah berusia tiga puluh sembilan tahun, Ia sudah mempunyai dua orang anak, ia lahir di daerah Baktiraja dan bersekolah disana, dia menyelesaikan studi strata satunya dari Fakultas Pertanian Universitas Nomensen Medan, dia dulunya bekerja di Lintong Nihuta kurang lebih selama tujuh tahun setelah tamat sebelum menikah, tetapi pada akhirnya dia memutuskan untuk menetap di Kecamatan Baktiraja. Ia adalah seorang petani keramba, dia membuka usahanya kira-kira tiga tahun yang lalu, jika dilihat dari jumlah keramba yang ia miliki, ia dikategorikan sebagai petani keramba yang miskin karena hanya mempunyai 6 kotak keramba saja, tetapi dalam keadaan di masyarakat dia adalah seorang yang dapat dikategorikan memadai (kaya), dia membuka usaha ini juga adalah sebagai tambahan dari hasil usahanya, dia selama ini lebih banyak bertani, menanam bawang merah, padi,
Universitas Sumatera Utara
cabe, kentang, dan timun, dalam proses bertani ini dia dikategorikan sukses, karena ditengah-tengah kondisi masyarakat petani jarang yang mendapatkan seperti hasil pertanian yang seperti yang di dapatkannya, dapat di katakan hasil panennya jarang gagal. Dalam mengelola keramba ini, dia membuat tiga ribu ekor dalam satu kotak, dia juga hampir sama seperti petani keramba yang lain memberikan ikannya makan dua sampai tiga kali sehari, dia memberikan pellet sebagai makanan utama, tetapi dia juga sering memberikan makanan ikannya hanya pora-pora saja, sebelum diberikan pora-poranya di masak terlebih dulu, lalu dicampur dengan dedak. Menurut dia usahanya ini adalah sebagai sampingan, dia lebih fokus pada pertanian sawah/ladang, dapat diterima akal kalau dari hasil keramba yang hanya empat kotak tersebut tidaklah mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi ia dapat bertahan adalah dari hasil pertanian mereka juga. Pada saat dia panen dia menjual ikannya kepada paralong-along (tukang ecer ikan keliling) dia menjual ikannya sembilan belas ribu rupiah per kilogramnya.
3. Jubel Sinambela Dia adalah seorang muda yang masih lajang tamatan SMA yang menjadi tulang punggung dalam membantu keluarga, karena orangtua sudah lumayan tua, dia adalah anak paling kecil dan tinggal dia satu-satunya yang tinggal di kampung karena abang/kakanya sudah pergi merantau. Ia adalah seorang petani keramba
Universitas Sumatera Utara
yang mempunyai enam kotak keramba, kerambanya tepat berada di belakang rumahnya, dia memulai usahanya ini sejak tamat SMA pada lima tahun yang lalu, dalam kegiatan sehari-hari ia juga martoba (nelayan), ia martoba menangkap ikan setiap hari yaitu ikan pora-pora. Ia menjual ikan tangkapannya kepada piper (sebutan untuk toke penampung ikan pora-pora), hasil dari ikan ini memang tidak seberapa dibandingkan dengan tenaga yang di keluarkan dalam menangkap ikan tersebut, dimana harga ikan pora-pora saat ini berkisar seribu lima ratus sampai dua ribu rupiah. Menurutnya memang pekerjaan itu susah dan melelahkan, tetapi tidak ada lagi pilihan yang lain, karena pertanian yang selama ini dikelola hasilnya kurang menjanjikan, selain itu juga tantangan yang di hadapi dalam martoba yaitu pada saat ikan sudah ditangkap dan siap dijual toke kadang-kadang tidak menerima ikan dengan alasan tertentu. Dalam mengelola kerambanya ini dia juga di bantu oleh orangtuanya untuk memberi makan, sehingga diapun mengerjakan pekerjaan lain untuk bertahan hidup yaitu bertani bersama dengan ibunya menanam padi dan sayur-sayuran, ia sama seperti petani keramba yang lain yang tergolong miskin, dimana makanan tambahan untuk ikan-ikannya ia memberikan pora-pora hasil tangkapannya menjadi makanan ikan, walaupun pellet tetap menjadi makanan pokoknya.
4. M. Situmorang
Universitas Sumatera Utara
Ia adalah seorang petani keramba yang berusia 49 tahun yang memiliki 6 orang anak, ia adalah tamatan SMA, bapak ini sudah sangat lama membuka usaha keramba yaitu dari tahun 1997 dan dianggap sukses, dan sampai sekarang ia tetap mengusahakan keramba, sampai saat ini ia sudah mempunyai 46 kotak keramba yang berada di dua tempat yang berbeda tetapi masih di desa Tipang, di daerah Baktiraja ia dikenal sebagai seorang yang sukses dalam hal berusaha, di daerah Baktiraja dialah yang mempunyai paling besar keramba, dan dia di kenal sebagai seorang yang rendah hati dan juga baik, dalam mengelola kerambanya dia menggunakan tenaga orang lain sebanyak 4 orang, karena hampir setiap harinya dia menjala ikan ke luar Baktiraja, sehingga harus ada yang mengantar dan ada yang mengurus ikan-ikan secara bergantian. Selain dari keramba atas kesuksesannya dia sudah mempunyai café yang namanya cafe Tipang mas yang berada di desa Tipang, di Baktiraja hanya bapak inilah yang mempunyai café, sehingga setiap harinya lumayan ramai dikunjungi oleh masyarakat lokal maupun dari luar, apalagi saat hari minggu tempat ini ramai dikunjungi, baik orangtua, apalagilah yang muda yang paling banyak, di cafenya yang berada tepat dipingiran Danau Toba ini dia membuat sepeda air, memancing sendiri ikan, menu yang ada setiap hari lumayan lengkap dengan masakan khas Batak, yaitu ikannya sendiri yang di peliharanya, jenis makanan yang di sajikan adalah ikan nila/lele tinombur, ikan bakar, ikan mas/nila arsik, ikan mas naniura dan minuman lain yang menggoda selera pengunjung, dalam cafenya ini dia sudah mempunyai karyawan sebanyak delapan orang ditambah lagi dengan anggota keluarga yaitu istri dan anak-anaknya yang ikut membantu mengelola cafenya.
Universitas Sumatera Utara
Hal lain juga yang membuat dia bertahan dan bahkan terus meningkat sebagai petani keramba, dia mengatakan apapun yang dikerjakan harus dinikmati, pekerjaan itu adalah sebagai profesi, dia mengaku dalam berusaha pernah juga gagal, apalagi pada saat datangnya virus ikan beberpa tahun yang lalu yang membuat dia rugi besar, tetapi dia tidak menyerah dan sampai sekarang berkembang, ketika saya tanya apakah mau beralih dari keramba ini dia mengatakan mungkin tidak akan beralih lagi karena sudah banyak keramba ini mengangkat status sosialnya. Di samping itu istrinya juga adalah seorang guru di SMP Baktiraja ibu D. Lumban Toruan, sehingga pendapatan mereka semakin bertambah-tambah dari penghasilan mereka berdua. Menurut pengakuan dari peserta FGD yang berasal dari desa Tipang, bapak inilah yang sering memberikan pakan ternak kepada para petani keramba dengan status masih mengutang, setelah panen baru pakan ternaknya dibayar oleh mereka yang kurang mampu membeli secara kontan. Menurut pegawai kantor camat bagian peternakan, M. Simanullang dan D. Sihite, ikan dialah yang menjadi contoh yang diberikan ke Kabupaten Humbang Hasudutan jika ada permintaan.
5. V. Banjarnahor (Oppu Cici B) Ia adalah seorang petani jala apung (keramba), yang sudah berusia lima puluh enam tahun, dia berpendidikan SMP dan tergolong sukses dalam berusaha, ia mempunyai sembilan orang anak, bapak ini sudah lama membuka usaha keramba,
Universitas Sumatera Utara
yaitu sejak tahun 1998, sampai saat ini dia masih tetap mengusahakan keramba, diawal membuat keramba ini dulunya mereka hanya mempunyai sepuluh kotak saja, tetapi sekarang sudah berkembang menjadi 22 kotak, dalam mengurus kerambanya dia dibantu oleh anak-anaknya setiap harinya, selain berusaha keramba mereka juga membuka usaha yang lain yaitu bagan sebanyak dua buah, dimana dalam membuat satu bagan menurut pengakuan anaknya, membutuhkan biaya dua belas juta rupiah setiap bagan. Bagan yang mereka buat adalah untuk menagkap ikan pora-pora pada malam hari, dalam prosesnya mereka membuat lampu listrik yang dibuat dari rumah pada malam hari dan di angkat pada jam empat atau jam setengah lima subuh, awalnya mereka menggunakan genset, tetapi setelah diperhitungkan memakai genset biayanya sangat mahal terutama dalam membeli bensin (satu tumba Rp 15.000), akhirnya mereka memutuskan untuk menambah daya listrik mereka dirumah menjadi seribu tiga ratus watt, dengan biaya penambahan sebesar satu juta rupiah, dan bebannya menjadi dua puluh dua ribu rupiah perbulannya, kendala yang dihadapi dalam membuat bagan ini adalah, jika lampu mati menjelang subuh hanya beberapa menit sajapun, maka ikan yang sudah berada dalam bagan akan lari, dan tidak ada lagi yang mau diangkat pada pagi harinya, sebelum mereka membuat bagan ini mereka juga sama seperti masyarakat lainnya martoba (nelayan) menangkap pora-pora dan ikan lainnya menggunakan doton dan solu (jaring dan sampan), mereka membuat bagan ini dengan alasan lebih efisien dan lebih banyak haasilnya, karena sudah ada yang membuat usaha seperti ini sebelum mereka, dan hasilnya lebih banyak dan lebih besar-besar ikannya. Dalam proses pengelolaan keramba ini lebih banyak di
Universitas Sumatera Utara
serahkan kepada anaknya yang bernama Pirgo, termasuk juga dalam hal menjual ikan tersebut jika ada yang hendak membeli, dalam setiap kotaknya mereka membuat sekitar tiga ribu ekor masing-masing ikan mas dan ikan nila, dapat di bayangkan berapa juta ekor ikan yang mereka pelihara, dalam proses pemeliharaan mereka memberikan makanan ikannya yaitu pellet, dan agak jarang memberikan makanan yang lain seperti pora-pora, jagung, karena menurut mereka agak repot (tidak sempat), karena setiap harinya sibuk mengurusi ikan yang mereka tangkap, setelah diambil dari bagan lalu di buat ke kotak, namanya piper, lalu diantar ke Dolok Sanggul dan ada yang dijual kepada paralong-along, (tukang jual ikan keliling), lalu membersikan peralatan mereka, pekerjaan mereka baru siap kirakira jam dua belas siang setiap harinya, menurut pengalaman mereka dalam mengelola ikan mas dan ikan nila ini sampai dengan masa panen ikan-ikan tersebut menghabiskan sembilan sampai sebelas karung ukuran lima puluh kilogram setiap kotaknya, ikan yang mereka pelihara dijual ke Dolok Sanggul, diecer ke Onanlobu (nama pajak di Baktiraja) dan kadang-kadang juga ke Siborong-Borong, dan dijual sehari-hari kepada masyarakat yang datang ke tempat kerambanya, demikianlah gambaran ekonomi dan strategi mereka bertahan hidup dan sampai meningkat sampai sekarang.
6. H. Simanullang
Universitas Sumatera Utara
Bapak ini adalah seorang petani keramba yang berusia lima puluh dua tahun, Simanullang adalah tamatan D dua, ia mempunyai lima orang anak. Dulu ia adalah seorang guru SD di desa Simanullang, tetapi pada akhirnya menjadi pegawai kantor camat, sampai sekarang ia sudah mempunyai 30 kotak keramba dan sudah memulai usaha ini sejak enam tahun yang lalu, selain bertani keramba, ia adalah seorang pegawai di kantor camat Baktiraja, H. Simanullang ini dalam bekerja setiap harinya dibantu oleh anaknya karena semua anaknya laki-laki, dalam proses pemberian makan, penjualan lebih banyak dikerjakan oleh anaknya, karena ia bekerja dari hari senin sampai hari jum’at dari jam delapan sampai jam empat sore. Bapak ini paling datang melihat sambil memperhatikan kerambanya pada sore hari kira-kira pukul enam, itu juga tidak setiap hari, ia sudah yakin sama anaknya untuk mengurusi keramba tersebut, dalam proses pengembangan ikan, mereka membeli bibit dari Siantar termasuk pakannya juga, dimana pakannya sudah ada yang mengantarkan setiap minggunya ke pondok yang mereka buat dekat dengan kerambanya, walaupun mereka sudah tergolong kaya, mereka sering juga mengolah makanan tambahan ikannya, seperti jagung direbus dulu lalau dicampur dengan abu pellet supaya lengket dan abu pellet tersebut tidak terbuang, selain itu juga mereka memberikan ikan pora-pora pada sore hari, mereka kadang-kadang sengaja membelinya dari partoba (nelayan) hanya untuk makanan ikan mereka. Hasil dari panen ikannya mereka jual ke Lintong Nihuta, dan lebih sering ada orang yang datang membeli dalam porsi yang besar, misalnya tukang ecer dari Dolok Sanggul sering datang membeli ke tempat mereka,
Universitas Sumatera Utara
dengan harga yang relatif sama dengan petani keramba lainnya yaitu sembilan belas ribu sampai dua puluh ribu rupiah per kilogramnya. Pengahsilan lain yang dapat membuat mereka bertahan dan berkembang, mereka juga bertani, walaupun seperti pengakuan bapak ini, itu seperti hanya ikutikutan, belum sepenuh hati. Dia mengatakan bahwa pekerjaan itu adalah profesi, apapun yang kita kerjakan harus dengan sepenuh hati, sabar, dan jangan gampang menyerah, sebenarnya ada niat untuk mengolah pertanian lebih luas, tetapi melihat keadaan alam sekarang yang kurang mendukung, dia mengurung niatnya, mungkin nanti setelah menurutnya alam mendukung akan kami mencoba lagi, tutur Simanullang.
7. Kordis Nainggolan Penduduk desa Simangulampe ini adalah seorang petani keramba, ia sudah berumur empat puluh tahun. Ia mempunyai tiga orang anak dan masih kecil-kecil yang paling besar duduk di kelas 5 SD, ia adalah tamatan SMP, ia sudah lama membuka usaha keramba, yaitu dari tahun dua ribu satu sampai sekarang, jumlah kerambanya sampai sekarang 20 kotak. Menurut ukuran masyarakat Baktiraja keluarga mereka tergolong sudah mencukupi, mereka tinggal bertetangga dengan orangtuanya, setiap harinya ia mengurus ikannya karena anaknya masih belum bisa memberi ikannya makan, setiap hari dia memberikan ikannya makan tiga kali sehari, makanannya pellet, dan sekali-sekali ia memberikan bunga-bunga (daun-
Universitas Sumatera Utara
daunan berwarna hijau berbentuk panjang), untuk memenuhi bibit ikannya dia juga memesan dari Siantar dan kadang-kadang mereka beli dari Dolok Sanggul, karena istrinya berjualan ke Dolok Sanggul setiap hari jum’atnya. Ketika istrinya berjualan sering juga mereka menjual langsung ikan mereka disana, karena harganya lebih mahal kalau jika dijual sendiri, harganya kira-kira dua puluh dua ribu per kilogramnya. Di belakang rumah mereka ada terbentang lahan berukuran kira-kira 20 x 20 meter milik mereka sendiri dan di tanami dengan tanaman kopi dan juga ada tanaman terong, dibawah kopi dan terong inilah itik dan ayam mereka sering seperti berteduh, dibagian paling belakang ada kandang babi yang berjumlah 4 kotak dimana setiap kotak berisi 2 ternak babi, itulah pekerjaan istrinya setiap harinya untuk mengurusi ternaknya, yaitu memberi makan dan membersihkan, kandangnya. Selain berkeramba dan beternak dan berjualan, bapak ini juga punya usaha yaitu usaha kapal, yang beroperasi setiap hari kamis dan Jumat membawa pedagang, hari kamis ia membawa pedang ke Muara, dan juga para peteran dan pensiunan yang akan menerima honor mereka, dan Jum’at ke Balige untuk membawa orang yang akan berbelanja seperti pedagang kelontong, bahan bangunan, perlengkapan bengkel kereta, dan mereka pulang pada sore harinya. Kegiatan lainnya yaitu pada hari Sabtu ia menjemput anak sekolah SMA yang sekolah di Muara kabupaten Tapanuli Utara untuk pulang ke Baktiraja, lalu pada hari senin paginya ia megantarkan mereka kembali sekolah ke Muara kirakira pukul lima tiga puluh pagi, demikian setiap minggunya, menurut dia pendapatan dari hasil kapalnya ini lumayan untuk kehidupan sehari-hari, itulah
Universitas Sumatera Utara
kegiatan keluarganya setiap minggunya yang penuh dengan kesibukan untuk dapat bertahan dan mengangkat status sosial hidup keluarga mereka di masyarakat.
8. Jimmy Purba Jimmy purba adalah penduduk desa Tipang yang berusia dua puluh delapan tahun, dia sudah mempunyai dua orang anak dan masih sangat kecil-kecil, satu sudah bisa jalan dan satu lagi masih harus di gendong-gendong, dia menikah pada usia dua puluh lima tahun. Ia adalah seorang yang berpendidikan SMA, sebenarnya dia ingin melanjutkan sekolahnya dulu keperguruan tinggi, tetapi olah karena beberapa faktor dia tidak jadi masuk ke perguruan tinggi, dan dapat dikatakan dia menikah di usia yang masih muda, dalam mengusahakan kerambanya ini sebenarnya dia meneruskan usaha orangtuanya yang dulunya memang berkeramba sampai sekarang, tetapi setelah mau menikah dia sudah mengusahakan sendiri keramba untuk dia dan itulah yang dilanjutakan sampai sekarang, ia mempunyai jala apung (keramba) sebanyak enam belas kotak, dia memelihara ikan mas dan ikan nila, tetapi lebih banyak ikan nila, hampir dua pertiga dari isi kerambanya adalah ikan nila, alasan dia lebih banyak memelihara ikan nila, karena menurut dia setiap hari bisa dijual dan ada yang datang untuk membeli untuk makanan seharihari, sedangkan ikan mas tidak demikian, ikan mas laku hanya pada bula-bulan enam dan bulan dua belas, karena banyak yang berpesta.
Universitas Sumatera Utara
Dari segi harga memang ikan mas lebih mahal dibandingkan dengan ikan nila, di daerah ini harga ikan mas tiga dua puluh tujuh sampai dua puluh delapan ribu rupiah per kilogramnya, menurut dia hasil dari kerambanya sebenarnya mencukupi untuk kebutuhan sekarang karena belum ada anaknya yang sekolah, hanya untuk kebutuhan sehari-hari saja, walaupun demikian dia dan istrinya bertani sawah/ladang
juga, mereka menanam kopi, padi dan sedikit-sedikit bawang
merah, dia berharap masa depan anaknya nantinya tidak seperti dia, dia mengatakan kalau sekarang ada tenaga kami, ya kami gunakanlah kalau bisa menabung untuk masa depan, karena dia sama seperti prinsip orang Batak yang mengatakan anakkon hido hamoraon di au (anakkulah menjadi kekayaan bagiku), itupun kalau Tuhan mengijinkan, kita hanya berharap saja, kalau yang menentukan tetapnya Tuhan (dangi)! sahut pak Jimmy dengan tertawa.
9. Oppu Naomi Simamora Oppung (kakek) ini ketika berbicara adalah orang yang suka bercanda dan tidak terlalu serius bawaanya, walaupun sudah tua sudah berumur 70 tahun dia masih energik dan kelihatan segar, dimana setiap hari dia masih sanggup ke kedai dan café Situmorang dengan berjalan kaki walaupun agak jauh dari rumahnya, dia adalah seorang petani keramba yang sudah lama, ia pernah juga berhenti mengusahakan keramba ketika musim virus ikan (virus cika mereka namai)
Universitas Sumatera Utara
kira-kira pada tahun 2001, tetapi mereka kembali membuka usahanya pada lima tahun yang lalu, walaupun hanya enam kotak saja, itulah menjadi kegiatannya sehari-hari, dia memberikan makan ikannya adalah pellet saja, karena sudah agak malas mengelola yang lain, kalu rajin kadang-kadang mau memberikan pora-pora yang dimasak, ia mengaku kalau kerambanya agak bermasalah ia minta tolong sama cucunya untuk memperbaiki kalau kurang baik, ia menjual ikannya kepada masyarakat sekitar dan kadang-kadang kepada paralong-along.
10. Zuanda Sihombing Ia adalah seorang penduduk desa Tipang yang berusia tiga puluh tiga tahun berpendidikan SMA, ia sudah mempunyai 4 orang anak, ia mempunyai keramba sebanyak tiga puluh kotak, iapun termasuk di kampungnya yang dapat dikatakan berkecukupan (sedang), ia memulai usaha keramba ini pada tahun dua ribu dua, setelah menurut dia penyakit ikan sudah mulai hilang, awalnya dia mengusahakan keramba ini hanya sepuluh kotak saja, tetapi seiring berjalannya waktu dan ada hasil yang menjanjikan dari keramba tersebut dia menambahi usahanya, dalam pembuatan keramba ini istrinya bekerja di Puskesmas yang ada di desa Sinambela, dalam mengelola kerambnya ini dia tidak menggunakan jasa orang lain, tetapi jika butuh paling-paling dia minta tolong kepada adeknya yang tinggal di kampung, karena menurut dia, masih sanggup mengelola sendiri, kalau menggunakan tenaga
Universitas Sumatera Utara
orang lain bagaimana lagi nanti memberikan gajinya setiap bulan, lebih baiklah saya sendiri yang berjuang, dan anaknya yang paling besarpun sudah mulai mau membantu bapaknya untuk memberi ikan makan termasuk juga menjaganya, di desa ini, termasuk di Baktiraja harga ikan relatif sama, ikan nila berkisar antara sembilan belas ribu sampai paling mahal dua puluh satu ribu rupiah per kilogramnya, netralnya sembilan belas ribu rupiah.
11. G. Sitanggang (A. Sandiego) Ia adalah penduduk desa Marbun Toruan yang berusia 39 tahun dan terlihat tegap dan masih muda, ia mempunyai enam orang anak, ia adalah seorang tamatan STM, ia mempunyai 12 kotak keramba, kerambanya agak jauh sedikit dari rumahnya kira-kira dua puluh lima meter, selain berkeramba ia adalah juga seorang partoba (nelayan) yang menagkap ikan nila, pora-pora setiap harinya, ia memberikan makanan ikannya pellet dan sebagai makanan utama, tetapi diapun sering memberikan pora-pora hasil tangkapannya, kalau menurut dia terlalu murah lebih baik dia masak lalu diberikan sama ikan peliharannya yaitu ikan mas dan ikan nila. Di samping rumahnya ada lahan kosong di bawah pohon hariara (pohon ara) dia juga memnafaatkan lahan tersebut untuk memelihara ternak babi, kandangnya ada 3 kotak terbuat dari semen, setiap kotaknya ada yang dua dan ada juga yang tiga ekor satu kotak, babi yang mereka pelihara adalah babi kampung yang berwarna hitam, pada umumnya masyarakat Baktiraja memelihara babi kampung, karena
Universitas Sumatera Utara
kalau babi nias yang putih, menurut warga kurang enak, dan harus selalu dimandikan, menurut mereka memandikan anak sama diri sendiri aja malas apalagi memandikan babi. Untuk dapat bertahan hidup Istirnya juga ikut membantu yaitu menjadi petani sawah/ladang dan di bantu juga oleh suami dan anak-anak mereka, mereka menanam padi dan juga kacang dan juga sayur.
12. Tumbur Op Sungguh Ia adalah penduduk desa Simangulampe, ia berpendidikan SMP ia adalah seorang duda, sudah 2 kali di tinggalkan oleh istrinya, tidak tahu alasannya, tetapi sampai sekarang dia sangat merindukan kehadiran seorang anak, dalam usianya yang sudah menginjak 46 tahun dan sudah dua kali menikah belum mendapatkan keturunan, menurut dia tidak tahu dimana letak masalahnya dan sudah melakukan berbagi usaha tetapi belum ada hasil, dia seolah kurang terpandang di daerahnya oleh karena keadaan itu, dimana daerah Baktiraja adalah kental dengan adat Batak hamoraon (kekayaan), hagabeon (punya keturunan), hasangapon (kehormatan), poin hagabeon belum ia dapatkan dan berpengaruh pada hasangapon, walaupun dalam kategori hamoraon ia memang sudah lumayan, tetapi dengan kondisi yang tidak di inginkan itu belum ada keturunan seperti kurang lengkap rasanya, karena di daerah batak demikianlah adatnya. Dalam kehidupan sehari-hari ia tinggal dekat dengan orangtuanya, jadi dalam mengelola keramba inipun mereka dapat dikatakan sama-sama mengelola,
Universitas Sumatera Utara
keramba yang mereka miliki 14 kotak dan hampir sama seperti masyarakat yang lain pola pengelolaanya dan juga penjualannya, mereka sudah tujuh tahun mereka mengusahakannya sampai sekarang masih dinikmati, keramba mereka berada didepan rumahnya seberang jalan raya, jadi kalau mau pergi harus melalui sawah dulu ketika hendak ke kerambanya, jarak antara rumah dan kerambanya kira-kira 60 meter. Di belakang rumahnya, mereka juga memelihara ternak babi tujuh ekor, yang dibuat di dalam kandang tetapi kandangnya masih terbuat dari kayu pohon kelapa yang tebal-tebal, di daerah Baktiraja memang babi tidak dibolehi lagi berkeliaran, semuanya sudah harus di kandang, karena selain kurang enak dipandang, babi ini sangat jorok karena kotorannya dimana-mana bertebaran. Pekerjaan lain yang mereka tekuni adalah juga bertani, dalam bertani ini mereka datang dari desa Simangulampe menyebrang ke desa Simanullang, dimana mereka harus melewati desa Sinambela dulu lalu ke Simanullang, adalah jarak yang begitu jauh dan lama, tetapi menurut pengakuannya sudah dari dulu-dulu mereka bersawah disitu, jadi sudah hal biasa masalah jauhnya.
Universitas Sumatera Utara
Lampiran II. Interview Guide dan Fokus Group Discussion (FGD)
INTERVIEW GUIDE dan Fokus Group Discussion (FGD) Gambaran Kehidupan Sosial Ekonomi dan Strategi Pertahananan Hidup Masyarakat Petani Jala Apung (Keramba) (Study Deskriptif di Kecamatan Baktiraja Kabupaten Humbang Hasundutan) I. Profil Informan A. Identitas Pribadi Informan 1. Nama
:
2. Jenis kelamin
:
3. Usia
:
4. Agama
:
5. Tingkat pendidikan
:
6. Jumlah anak
:
7. Alamat
:
II. Interview Guide 1. Sejak kapan masyarakat membuka usaha keramba di daerah ini? 2. Bagaimana proses pembukaan keramba ini? 3. Bagaimana proses pembudidayaan ikan di daerah ini? 4. Kemana saja hasil panen disalurkan? 5. Bagaimana sistem penggajian tenaga kerja upahan yang saudara lakukan? 6. Adakah peran pemerintah dalam pembudidayaan ikan di daerah ini? 7. Adakah pajak/retribusi yang dilakukan oleh pemerintah setempat?
Universitas Sumatera Utara
8. Dapatkah pendapatan yang saudara peroleh dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga? 9. Adakah saudara mempunyai penghasilan tambahan selain bertani jaala apung (keramba)? Pertanyaan Fokus Group Discussion (FGD) Sumber Daya Manusia 1. Apa persepsi saudara tentang miskin, sedang, kaya? (Klasifikasi miskin, sedang, kaya petani jala apung (keramba) dan masyarakat Baktiraja) - Apakah karena kurang mau bekerja keras? - Apakah pekerja dari luar cukup tertarik tinggal di daerah kita ini? 2. Apa peneyebab Sumber Daya Manusia rendah? 3. Apa persepsi saudara mengenai kaya? 4. Bagaimana persepsi saudara mengenai fasilitas pendidikan (gedung sekolah, tenaga pengajar, staf) apakah sudah memadai? 5. Bagaimana persepesi saudara mengenai kondisi pendidikan? 6. Bagaimana persepsi saudara mengenai fasilitas kesehatan? 7. Bagaimana persepsi saudara tentang pelayanan kesehatan?
Universitas Sumatera Utara
8. Bagaimana persepsi saudara tentang pelayanan publik (Camat, K.desa dan lainlain). Sumber Daya Alam 1. Bagaimana persepsi saudara kondisi air, tanah, udara, cuaca pada saat ini? 2. Bagaimana persepsi saudara mengenai pengelolaan lahan (apakah sudah cukup arif)? 3. Bagaimana tanggapan saudara dengan penggunaan bahan kimia pada tanaman saat ini? 4. Adakah pengaruh bahan kimia terhadap ikan-ikan? 5. Mengapa ikan yang dipelihara hanya ikan nila dan ikan mas ? 6. Apakah daerah ini pernah mengalami bencana alam? Ekonomi/Keuangan 1.Apakah krisis ekonomi berpengaruh terhadap perekonomian saudara? 2.Adakah
pengaruh
kenaikan
bahan
bakar
mainyak
(BBM)
terhadap
perekonomian? 3. Adakah kondisi alam berpengaruh pada ekonomi, seperti kegagalan tanaman bawang, cabe, dan lain-lain? 4.Adakah kesulitan dalam memasarkan hasil panen, ikan,dan hasil tanaman (karena ada monopoli harga? 5. Adakah lemabaga keuangan yang membantu petani keramba, atau petani sawah?
Universitas Sumatera Utara
Fisik/Infrastruktur 1. Bagaimana persepsi saudara mengenai prasarana transportasi? 2. Apakah menurut saudara fisik/infrastruktur yang ada saat ini seperti sekolah, puskesmas, rumah penduduk, gedung pemerintahan sudah cukup memadai? 3. Adakah masyarkat yang mau merusak bangunan/faslititas yang disediakan pemerintah? (jalan jembatan, bangunan) 4. Apakah penduduk di Kecamatan Baktiraja sudah tahu dan taat pada hukum? Modal Sosial 1. Bagaimana
hubungan
diantara
sesama
masyarakat
sudahkah
saling
mempercayai? 2. Apakah masih relevan istilah (Dalihan natolu) somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu pada saat ini? 3. Bagaiamana jaringan sosial yang terbentuk antara masyarakat petani jala apung (keramba) dan juga dengan masyarakat sekitar dan juga dengan masyarakat lainnya? 4. Apakah rasa kekeluargaan masih tinggi? 5. Apakah pihak pemerintahan sudah mengutamakan kepentingan rakyat umum? 6. Dapatkah dikatakan bahwa masyarakat kita disini sudah tahu dan taat pada hukum yang ada?
Universitas Sumatera Utara
Pembuatan Point Asset Pentagonal III.
Strategi Pertahananan Hidup
1. Strategi apa yang saudara lakukan sehingga dapat bertahan hidup dalam memenuhi kebutuhan
saudara dan keluarga
sehari-hari? (klasifikasi
pertahananan hidup, kaya, sedang/berkecukupan, miskin) 2. Apakah anggota keluarga berpartisipasi dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga? 3. Apakah saudara masih tetap bertani sawah setelah bertani keramba? 4. Bagaiamana alokasi waktu dalam pengelolaan sawah dan jalaa apung (keramba) saudara secara bersamaan? 5. Apakah saudara mengikuti arisan atau kegiatan sejenisnya yang ada di daerah saudara? 6. Jika saudara mengalami tekanan/kesulitan dalam ekonomi apa yang saudara lakukan/kemana saudara pergi? 7. Apakah saudara pernah mendapat bantuan dari pemerintah? 8. Bagaimana kodisi perekonomian saudara setelah membuka keramba ini? 9. Apakah saudara berniat mencari usaha yang lain selain bertani sawah dan jala apung (keramba) ini? 10. Apa penyebab yang membuat saudara tetap bertahan menekuni pekerjaan saudara ini?
Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN III. Lampiran Gambar
Gambar 1. Gambar Kecamatan Baktiraja tampak dari daerah Dolok Sanggul
Gambar 2. Saat hendak wawancara dengan salah seorang petani jala apung (keramba) di desa Sinambela
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3. Peneliti melakukan wawancara dalam pondok, tepat diatas kerambanya, di desa Marbun Toruan
Gambar 4. Gambaran pertanyaan tentang aset yang dimiliki petani jala apung (keramba) di Kecamatan Baktiraja
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5. Peserta FGD yang sedang menandatangani absen pada saat diskusi tentang asset pentagonal
Gambar 6. Peneliti melakukan wawancara dengan T. Op Sungguh di desa Simangulampe
Universitas Sumatera Utara
Gambar 7. Gambaran jala apung (keramba) di desa Tipang yang saling berdekatan
Gambar 8. Peserta FGD melakukan diskusi di Tipang mas, desa Tipang,
Universitas Sumatera Utara
Gambar 9. Seorang informan (kordis N) yang sedang memberi makan ikannya
Gambar 10. Aek Sipangolu, yang berada di desa Simangulampe
Universitas Sumatera Utara