Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsa ) 1
Oleh: Mohammad Adib 2) Nasionalisme fasis di Uni Soviet dengan komunismenya telah terbukti bangkrut. Yugoslavia, dan Cekowlovakia terpecah-pecah. Sementara Jerman justru bersatu. Apa yang sesungguhnya terjadi ? Dalam the End of History and the Last Man (Fukuyama: 2002) fenomena tersebut dilihat sebagai isyarat bahwa dunia sedang bergerak ke dalam ’tatanan baru’ yang ia sebut sebagai new liberalisme. Tatanan baru ini ibarat ’angin buritan’ yang menghempaskan kekuasaan diktatorial yang selama ini memproduksi landasan kekerasan sebagai bahasa nasionalisme. Nilai kebangsaan dipaksakan dengan aksi polisional, propaganda kebangsaan, kampanye monolitik yang mutlak dimonopoli negara-negara besar dianggap tidak mampu lagi toleran terhadap pertumbuhan nilai yang mengedepankan kemanusiaan dan kebangsaan. Problem mendasar lainnya adalah betapa ruang kebangsaan kita sebagai bangsa yang berdaulat dan memiliki identitas khas ke-Indonesia-an sedikit demi sedikit mulai kendur dan dipertanyakan sejumlah kalangan. Arus globalisasi yang sedemikian kuat telah menjadikan dunia ini sebagai pasar ideologi yang saling bersinggungan. Konsekuensi logisnya maka apa yang selama ini dibanggakan sebagai identitas atau jatidiri kebangsaan terasa kian kehilangan ruhnya. Kendatipun banyak warga negara senang memakai pakaian putih-putih sebagai lambang kejernihan dan kesucian, namun di balik pakaian tersebut dapat bertengger kepribadian mosaik yang majemuk dan kompleks. ”Aku ini pejuang merah putih”, kata seseorang kepada penulis pada suatu saat. Orang ini ingin menunjukkan diri sebagai pembela bangsa dan negara. Namun di banyak kesempatan dia berkotbah dan sering menyampaikan peryataan bahwa segala jalan atau cara dapat dibenarkan dalam perjuangan untuk mencapai tujuan. Juga mengokohkan pandangan bahwa rakyat Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian nasional. Sesungguhnya, siapa saja yang menyatakan bahwa segala cara atau jalan dapat
) Makalah disampaikan dalam Seminar memperingati 100 tahun Kebangkitan Bangsa Indonesia diselenggarakan oleh LPPM UNAIR dengan tema ”Wawasan Kebangsaan bagi Pemuda” pada Jumat, 23 Mei 2008 di Gedung Perpustakaan Kampus C UNAIR. 1
2
Drs. H. Mohammad Adib, MA. adalah Dosen Pendidikan Pancasila, Ketua Laboratorium Humaniora TPB (Tingkat Persiapan Bersama), dan juga Dosen Departemen Antropologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya. Sekretaris Tim Penyusun buku Pembangunan Jatidiri Bangsa Indonesia (Surabaya: 2003).
[email protected]
dibenarkan dalam perjuangan untuk mencapai tujuan, sebenarnya orang tersebut adalah pendukung moralitas Neo-Komunis. Siapa saja yang mengokohkan pandangan bahwa rakyat Indonesia tidak harus semuanya masuk sekolah atau lulus Unas (Ujian Nasional) sebenarnya adalah pendukung moralitas Neo-Liberalis. Dalam realitas keseharian sering kita jumpai, orang mengaku sebagai pembela Pancasila, namun dalam moralitasnya sebagai pendukung aliran-aliran tersebut. Manusia yang berkepribadian tunggal itu adanya hanyalah di akhirat. Sebab manusia mengembangkan diri ke segala arah dan mengalami pembelajaran yang beragam. Umpamanya dia seorang guru, tetapi juga seorang pedagang, dan melakukan siar agama sehingga dikenal sebagai Ustadz. Manusia adalah makhluk yang berkepribadian majemuk (multi personality). Multifigurasi Bangsa Indonesia Dapatkah melukiskan figur (sosok tubuh) orang Indonesia? Dalam sejumlah perenungan, menurut hemat penulis bahwa orang Indonesia itu berkepala agama, bertulang Pancasila, berbadan liberalis, berkaki pragmatis, dan bertangan komunis. Figur ini tentu sifatnya fleksibel. Siapakah yang tidak mengetahui bahwa orang-orang Indonesia memang setia sebagai pemeluk agama dan percaya akan eksistensi Tuhan YME. Semua orang mengetahui bahwa Dasar Negara RI adalah Pancasila. Bahkan pada zamannya, Pancasila itu pernah menjadi sangat sakti yang diperingati setiap 1 Oktober. Tetapi orang Indonesia memang sangat unik, karena ingin cepat kaya tanpa bekerja, demikian pandangan Prof. Koentjaraningrat (1985). Senang makan enak agar tubuh menjadi tambun, namun tidak senang bekerja keras. Ingin cepat menjadi kaya, agar disebut sebagai Boss. Ingin pandai tanpa mau belajar. Ingin jadi sarjana tanpa kuliah. Pendeknya ingin masuk sorga tanpa mau ibadah dan berperilaku mulia lainnya. Akhirnya senang dan bangga disebut kapitalis liberal setelah memiliki rumah mewah di wilayah elit dengan pagar tinggi yang tertutup dan gambarkan hewan dengan tulisan “awas anjing galak”. Hidup seseorang menjadi sangat pragmatis, “tidak perlu pilih-pilih karena mencari nafkah yang haram saja sulit, apalagi mencari nafkah yang halal,” katanya. “Hidup jangan dibuat sukar dan idealis, melainkan harus dibuat praktis, yang penting dapat hidup enak dan hepi,” katanya pula. Kalau berbohong (praktek calo di Kantor Samsat atau terminal) dapat menghasilkan uang, maka dianggap syah adanya. ”Setiap rejeki itu merupakan rahmat dan ridho dari Tuhan YME”, katanya. Bertangan Komunis? Wah, yang ini agak mengerikan, yaitu bertangan komunis, sehubungan dengan ideologi pergerakannya. Apakah dapat terjadi? Salah satu moralitas komunis ialah menghalalkan segala cara atau jalan untuk mencapai tujuan (Bertens: 2005). Kini
banyak dijumpai orang bermoralitas demikian. Tidak perlu menilai dan memilih cara atau jalan berdasarkan pertimbangan agama dan Pancasila, yang penting suatu tujuan harus tercapai. Karena itu pula maka berkembanglah secara luas dalam masyarakat Indonesia moralitas komunis yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Tangan manusia tidak memiliki otak, karena itu tidak memiliki pilihan lain dan pertimbangan sendiri. Bukankah tangan-tangan orang Indonesia bermoralitas komunis yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Secara khusus moralitas menghalalkan segala cara itu terdapat dalam praktik perpolitikan dan perekonomian di Indonesia. Wakil-wakil rakyat telah bekerja keras untuk membangun budaya politik, namun moralitas segala cara dapat dihalalkan untuk mencapai tujuan, telah menjadi pedoman dan praktik penting dalam perjuangan. Gambaran manusia Indonesia yang mosaik ini sangat menggelikan dan bahkan menjijikkan, namun kepribadian orang-orang Indonesia menjadi seperti itu karena orang-orang Indonesia tidak memiliki sikap dan perilaku yang konsisten dan jujur untuk memegang budaya bangsa sendiri dan tidak begitu setia sepenuhnya dengan Pancasila sebagai Dasar Negara atau sebagai Kepribadian Bangsa. Selama itu dijumpai banyak warga negara Indonesia mengaku sebagai pejuang bangsa dan negara, tahu-tahu kemudian melakukan tindakan kejahatan KKN, dan setelah diperilaksa KPK, kemudian terbukti. Kini harus bertempat tinggal di Pulau Nusa Kambangan. Banyak oknum penegak hukum mengklaim diri sebagai penegak keadilan di bumi Indonesia, tahu-tahu mereka terlibat tindakan kejahatan KKN. Di samping memang belum terdapat reformasi yang sungguh-sungguh dalam lembaga peradilan di Indonesia, para elit bangsa ini telah menggunakan ilmu dan strategi untuk melakukan kejahatan sempurna (perfect crime). Reformasi di lembaga penegak hukum hanya sebatas wacana-wacana kaum elit, dan tidak ada konsep reformasi tertulis, terencana dan sistematik hingga melampaui sepuluh tahun sekarang ini. Bertulang Lunak Pancasila Ada tulang keras, dan ada tulang lunak. Dalam buku Manusia Pancasila (Sujana:2006) telah memaparkan bahwa manusia Pancasila adalah manusia dengan kepribadian religius, humanistik, ontologis monistik (cinta persatuan kesatuan), demokratis dan adil (sebagai cerminan sila-sila Pancasila). Namun tulang orang-orang Indonesia masih sangat lunak. Sehingga kepribadiannya masih labil. Kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia yang demikian tidaklah lengkap, sebab secara normatif sila-sila Pancasila tidaklah static, melainkan dinamik. Terdapat interaksi antar sila-sila itu sendiri. Karena itulah muncul kepribadian baru seperti kepribadian naturalistik, cinta kebenaran dan kebaikan, kemampuan mandiri, moralitas dan akhlak, nasionalistik dan patriotik, menghargai Ipteks, berjiwa kemasyarakatan dan budaya, dan menghargai seni dan estetik. Kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia sebenarnya adalah lengkap. Namun
masyarakat dan bangsa Indonesia kurang mengamalkan dan menampilkan kepribadian itu dalam aktualitas kehidupan faktual dan tidak muncul menjadi pedoman dan rujukan kehidupan sehari-hari. Seperti orang yang omongannya besar, namun dalam pengamalannya sangat kecil dan kerdil. Dengan kata lain tulang-tulang orang Indonesia masih sangat lunak. Orang Indonesia dianggap tidak memiliki kepribadian kemandirian dan harga diri yang tinggi. Karena tidak mandiri itu, lalu senang meminjam ini dan itu, termasuk mencari hutang luar negeri. Yang sangat aneh tidak pernah hasil audit dari hutang luar negeri (mencapai Rp. 1.1425 trilyun) yang yang diumumkan ke publik. Kok tahu-tahu habis ludes. Rendahnya kepribadian kemandirian bangsa Indonesia telah membuat msyarakat dan bangsa tidak memandang penting nilai gengsi dan kedudukan harga diri. Termasuk menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia, Jatim Tahun 2004 adalah 25.801 orang) pun tidak perlu malu. Bahkan rasa malu dan rasa bersalah itu dianggap tidak pernah ada. Yang penting adalah mendapatkan banyak dollar. Karena bertulang lunak lalu menyukai pakaian asing tebal dan indah. Kalau keluar rumah juga senang menggunakan kendaraan motor-mobil buatan luar negeri. Itulah sebabnya warga masyarakat senang mempraktekkan faham-faham Kapitalisme liberal hasil diimpor di Barat. Tubuh orang Indonesia menjadi gemuk setelah darahnya memperoleh kucuran donor hutang luar negeri dari negara-negara maju. Paradoksal Tidak jarang kita mendengar dengan telinga kapala sendiri dalam suatu seminar dan lalu ditayangkan di media massa, sementara warga negara yang berbicara tanpa sadar bahwa tanpa Pancasila, negara Jepang atau Amerika dapat makmur dan sejahtera. Pernyataan ini dapat meragukan kemampuan Ideologi Pancasila sebagai landasan pembangunan bangsa dan negara. Pandangan itu mendorong warga masyarakat Indonesia tidak lagi begitu percaya dan yakin akan kemampuan Pancasila untuk membawa bangsa dan negara mencapai keadilan dan kesejahteraan rakyat. Orang-orang yang menyatakan bahwa tanpa Pancasila, Jepang dan Amerika dapat makmur sesungguhnya adalah polah tingkah orang-orang Indonesia yang munafik (hypocrite). Yang omongannya menghargai Pancasila namun pelaksanaan hidup berlandasakan Kapitalisme liberal. Orang-orang semacan ini dijumpai di kalangan elit bangsa dan senang menepuk dada sebagai pejuang bagi bangsa dan negara Indonesia. Yang perlu memperoleh kewaspadaan adalah bangsa Indonesia yang percaya akan eksistensi Tuhan YME, dan menyatakan sebagai masyarakat dan budaya yang spiritualis, namun aneh sekali bangsa Indonesia mendua dan hidup dalam realitas paradoksal. Realitas sosial dalam beragama tetap jalan, namun tindakan kejahatan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) juga tetap berjalan lancar. Rumah ibadat sangat banyak, namun lokalisasi pelacuran dan perjudian, diskotik terbuka di mana-mana.
Setelah bersembahyang lalu sejumlah orang juga dapat dijumpai berjalan berjamaah mendatangi lokalisasi (mendatangi kegiatan dakwah kali!!) yang dikemas sebagai tempat yang mewah. Dunia di depan kita menjadi dunia paradoksal. Moralitas Materialistik Komunis PKI (Partai Komunis Indonesaia) telah dilarang eksistensinya di bumi Indonesia berdasarkan Tap MPRS No.XX/MPRS/1966. Namun ideologi komunis sesungguhnya tidaklah pernah mati bahkan terdapat gejala untuk membangkitkan semangat baru. Salah satu ajaran moralitas komunis adalah materi atau uang menjadi indikator sosial dalam masyarakat serta menghalalkan segala cara atau jalan untuk mencapai tujuan. ”Pokoknya tujuan tercapai, habis dan beres perkara”. ”Pokoknya menang dalam Pemilu”, katanya. ”Moral dan akhlak tidak terlalu penting dan signifikan untuk sementara”, katanya lebih lanjut. Pernyataan ini adalah moralitas materialistik komunis. Lho kok popular di bumi Indonesia? Bagi penganut pandangan komunis dan Marxis, moral dan etika itu tidak pernah ada dan nyata dalam masyarakat. ”Moral dan etika itu adalah sesuatu yang signifikan hanya untuk orang-orang miskin dan tertindas. Orang kaya tidak perlu etika dan moral”, katanya. Moral dan etika itu diperlukan hanya bagi penguasa, dalam upaya menjalankan tugasnya mengatur dan menindas rakyat. Namun apa yang terjadi sangatlah aneh. Etika yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan telah menyatu dalam sikap dan perilaku yang populer di masyarakat Indonesia. Karena itu pula tindakan kaum birokrasi cendrung menghalalkan segala cara untuk memncapai tujuan. Para wakil rakyat bersama birokrat telah bekerja keras dan secara rapi untuk membobol uang negara. Hingga kini memang belum terjadi reformasi yang sungguh-sungguh dalam birokrasi di Indonesia. Perbaikan pelayanan publik hanyalah wacana, dan belum pernah dilaunching gagasan konseptual yang terencana dan sistematik. Oleh sebab itulah KKN terus tumbuh dengan suburnya. Orang Indonesia dapat saja di tengah otaknya dan dalam hatinya, dipenuhi dengan keyakinan keagamaan, namun tangan-tangannya telah mengamalkan ajaran materialistik komunis, yaitu penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan. KKN itu dianggap syah-syah saja untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Adakah oknum pejabat publik yang bersih? Telah sering kita saksikan pada masa akhir jabatannya selalu diperiksa polisi dan menjadi obyek kejaran oleh KPK. Buku yang berjudul bahwa KKN Itu Nikmat dan Berbohong itu Nikmat. Luar biasa isinya karena memandang tindakan KKN itu syah-syah saja. Konon terdapat fatwa yang menyatakan bahwa tindakan KKN itu harus dipisahkan agama. KKN itu urusan dunia, dan agama itu urusan akherat. Karena itu KKN harus dipandang netral dan wajar-wajar saja. Pernyataan ini memang ajaran yang dipraktikkan oleh kaum komunis. Sesungguhnya masyarakat dan bangsa Indonesia harus memiliki keyakinan bahwa masyarakat, bangsa dan negara Indonesia ada dalam pantauan dan naungan Tuhan
YME (cerminan sila I Pancasila). Oleh sebab itu tidak ada satu perbuatanpun yang dapat dipisahkan dengan agama. KKN itu suatu kejahatan kemanusiaan, karena KKN telah membuat sebagian besar bangsa ini menjadi miskin dan sengsara. Sering kita dapati sejumlah elit bangsa Indonesia mengklaim diri sebagai pejuang dan pahlawan yang berjasa bagi bangsa dan negara ini. Namun mereka merasa perlu memperoleh balas jasa yaitu dengan membobol kekayaan dan uang negara. Pejuangpejuang elit bangsa yang munafik dan penghianat seperti ini sering muncul dengan sangat marak, karena mereka ingin kaya secara instan. Faham kebangsaan Indonesia telah menjadi gamang dan semu, karena faham kebangsaan telah dikotori oleh oknum elit bangsa sekarang yang munafik. Mereka telah menjadi preman-preman kenegaraan dengan baju dan lencana pahlawan. Masyarakat, bangsa Indonesia yang menjadi pendukung Pancasila hendaknya lebih bersikap rasional dan kritis dalam melihat perkembangan dan perubahan. Manusia Pancasila Jika anda Warga Negara Indonesia hendaknya bertubuh Manusia Pancasila yang sejati, dan jangan memiliki tubuh dengan kepribadian yang mosaik. Jadilah manusia dengan Tubuh Merah Putih. Jadilah manusia Indonesia yang kepribadian religius, humanistik, ontologis-monistik, demokraris, dan adil. Masyarakat, bangsa dan negara RI adalah berada dalam naungan Tuhan YME (cerminan Sila Pancasila). Siapa saja yang menyatakan bahwa masyarakat, bangsa dan negara Republik Indonesia ini di luar dari naungan Tuhan YME, maka dia akan mendorong kehidupan komunis ke dalam masyarakat Indonesia, dan mendorong kehidupan sekuler sesuai dengan faham kapitalisme liberal. Pembangunan bangsa dan negara akan tidak menghasilkan apa-apa dan perubahanperubahan yang terjadi tidak memberikan makna dan nilai guna bagi penegakaan keadilan dan kesejahteraan rakyat, kalau pembangun bangsa dan negara mengabaikan gagasan eksistensi moralitas manusia Pancasila yang sejati. Bangsa dan negara telah sangat sulit dan bahkan gagal membangun pejuang-pejuang bangsa yang sejati. Bangsa dan negara ini telah dikuasai kaum manipulatif yang bermuka bebal (tebal). Dunia Pendidikan Apakah masyarakat dan bangsa Indonesia membutuhkan pembudayaan atau penyemaian kejujuran dan jatidiri di hati peserta didik ataukah dibiarkan kepribadian kejujuran dan jatidiri itu dibiarkan hilang. Di balik fenomena menangisnya para orang tua murid karena anak-anaknya tidak lulus ujian dan banyak peserta didik yang stress sehingga mau bunuh diri, sebenarnya terdapat fenomena “sick minded learning” (belajar dengan kondisi jiwa yang sakit). Istilah yang tepat untuk menyatakan masyarakat Indonesia sekarang ini, yang serba mengalami “sick mind”. Kita semestinya
mendorong masyarakat mencapai kondisi “healty minded learning” (pembelajaran dengan jwa yang sehat). Istilah ini sebenarya datang dari pemikir Amerika bernama William James, bahwa masyarakat transisi dan sedang sangat rentang terjatuh ke dalam kondisi masyarakat yang sakit. Pernah diberitakan bahwa Mabes POLRI menginstrukskan kepada Polda-Polda untuk mengusut kecurangan Ujian Nasional yang lalu. Mengapakah dunia pendidikan di Indonesia menalami krisis dan menjadi dunia proses belajar mengajar yang sangat kotor? Apakah kita sebagai bangsa tidak menjadi malu? Budaya curang telah lama melekat dalam dunia pendidikan di Indonesia. Perilaku nyontek dan ngerepek telah menjadi perilaku biasa di lembaga pendidikan. Alangkah bahagianya masyarakat Jepang dan masyarakat Malaysia, di mana dunia pendidikan telah menjadi dunia yang jernih dan bersih. Tradisi menjaga ujian telah usai, sudah tidak relevan dan signifikan. Tidak lagi ditemui para guru yang menaga saat ujian berlangsung. Setelah soal ujian dibagikan, para guru meninggalkan ruangan tempat ujian untuk melanjutkan pekerjaan yang lain. Peserta didik tidak ada yang berbuat curang dan nakal. Lalu bagaimana kondisi ujian di Indonesia? Kalau para guru dan pengawas ujian tidak bekerja keras, maka peserta ujian akan berbuat curang dan kerja sama dalam mengerjakan soa-soal ujian. Telah dibuat selebaran bahwa dilarang bekerja sama dalam mengerjakan soal ujian, bahkan sanksi ujian dibacakan dimuka kelas. Toh tidak menpan. Peserta didik telah kebal dan tidak peduli. Sikap kejujuran telah lama mati, demikian pernyataan seorang guru. Bahkan ada guru yang membuat pernyataan bahwa jatidiri warga bangsa ini telah lama mati. ”Siapa yang jujur, akan menjadi kujur (hancur),” katanya. Membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang melekat berkepribadian jujur ini tidak mudah, karena struktur sosial telah sakit sejak lama. Budaya curang itu terjadi di berbagai tempat, mulai dari lapis atas sampai lapis bawah ”tukang parkir”. Matinya udaya jujur ini sejalan dengan matinya moralitas masyarakat dan bangsa Indonesia. Karena itu marilah merenung bagaimana kita sebagai masyarakat dan banga dapat kembali menjadi masyarakat dan bangsa yang berbudaya jujur, sopan, terbuka, dan bersahabat. Dalam renungan, penulis mencari sebab dalam proses belajar mengajar (PBM) dalam dunia pendidikan. Marilah sejenak melihat pandagan Kroeber dan Kluckhon tentang kebudayaan. Menurutnya inti budaya (cultre core) adalah learning process. Hanya manusia dapat melakukan proses belajar, dan hewan tidak mampu melakukan. Dengan learning process itu manusia dapat mengembangkan potensi dan kemampuan dirinya, terutama dalam mengembangkan IPTEKS. Mengapakah perilaku curang berkembang dalam diri peserta anak didik kita dewasa ini? Menurut hemat penulis bahwa telah terjadi kekeliruan yang amat besar dalam learning process dalam dunia pendidikan. Hubungan antara peserta didik dengan guru, antara dosen dengan mahasiswa telah menjadi kosong, dalam arti semakin tidak menyentuh emotional values dan spiritual values (nilai-nilai emotional dan nilai-nilai spiritual). Hubungan siswa/mahasiswa
dengan guru/dosen dewasa ini telah menjadi hubungan formal dan mencerminkan hubungan transaksional, seperti dalam dunia dagang. Kami yang menjual, kamu yang membeli. Tidak ada lagi kesempatan guru/dosen untuk memberikan sentuhan emosi dan spiritual. Matakuliah Pendidikan Kepribadian (MPK) seperti Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan menjadi gamang dan semu. Learning process hanya menyentuh akal semata, tidak menyentuh emosi dan hati. Di sanalah masyarakat dan dunia pendidikan memberikan pujaan kepada orang yang lulus dengan nilai IP yang tinggi, dan tidak memuja mereka yang memiliki moralitas dan spriritualitas yang tinggi. Dunia pendidikan semakin kering dengan transformasi nilai-nilai luhur budaya bangsa, karena hubungan manusia dalam lembaga pendidikan hanya mengajarkan ilmu tanpa mengajarkan moral dan karakter. Tidak ada lagi sentuhan emosi, spiritualitas, dan kearifan. Kondisi yang demikian ini telah membuat budaya curang itu tumbuh terus secara subur. Budaya curang tumbuh dan berkembang ibaratnya rumput disiram dengan air dan rabuk. Ketidakjujuran dan kecurangan muncul di mana-mana dan anak-anak muda sangat mudah menemui dan mengalaminya. Mencari SIM harus bayar. Ditilang oknum juga haus bayar. Menaikkan nilai ujian harus bayar. Mencari ijazah juga dapat membayarnya. Anak-anak dengan mata terbuka dapat melhat dan mencermati tindakan kecurangan dan kejahatan itu. Peserta didik akan mengalami dunia pengalaman yang penuh paradoksal dan kemunaikan. Katanya harus bersikap jujur dan mulya, kok banyak warga yang beruat curang dan jahat. Katanya warga harus tertib, kok banyak warga yang melanggar aturan lalu lintas. Demikian juga, katanya anak-anak tidak boleh merokok, namun bapak-bapak kok senang “mengepul” (merokk berat). Katanya kita harus menjadi masyarakat dan bangsa yang berbudaya, namun tindakan kekerasan terjadi di mana-mana. Slogannya memang masyarakat Indonesia berbudaya, namun mental dan jiwanya berkualitas barbar (istilah dar J. Frazer). Telah n terjadi pendidikan penerus bangsa yang buruk dan tercela, sebab generasi sekarang sama sekali tidak bertanggungjawab akan pendidikan moral dan kepribadian generasi penerus. Moral dan jiwa dari generasi penerus telah diracuni dengan nilai budaya yang buruk. Tidak ada contoh yang murni dan baik. Menyongsong Kecerahan Kehidupan Berbangsa Masyarakat, bangsa dan Negara memiliki moral kejujuran dan jatidiri bangsa nampaknya masih jauh dan akan sulit berkembang. Faham kebebasan atau liberalis daam masyarakat semakin kuat, dan kehidupan religius atau spiritualis tidak menadi hal yang penting. Manusia adalah mahluk individual yang tidak membutuhkan tatanan moral sebagai koridor perlaku dalam masyarakat. Yang membutuhkan moral kejujuran dan jatidiri itu adalah-adalah orang miskin dan bodoh, kalau telah kaya dan bebas maka
tidak perlu moral kejujuran dan jatidiri, kata para pendukung faham kapitalisme liberal. Pelaksanaan kurikulum dengan basis KBK tida ada artinya karena pelaksanaan kurikulum KBK haruslah berlandaskan filsafat pendidikan konstruktivisme, bukan pada landasan filsafat subyektivisme atau liberalisme. Dalam filsafat konstruktivisme, kedudukan pengembangan moral dan jatidiri dari peserta didik menjadi sangat penting. Orang dapat saja menjadi cerdas dalam arti kemampuan IQ, namun belum tentu akan memiliki kemampuan kepribadian EQ dan SQ. Kini memang banyak orang pandai, namun mereka telah menjadi manusia-manusia yang serakah (greedy) akan harta dan kekuasaan. Pendidikan di kelas telah menjadi hubungan antar manusia seperti di pasar, ada uang ada proses belajar. Tidak ada uang, proses belajar tidak ada. Hubungan emosional dan karakter sudah hilang, karena antar siswa dan guru tidak saling menyapa satu ama lainnya. Lingkungan sekolah telah berubah menjadi lingkunan pasar. Kalau ada kepentingan barulah ada interaksi yang mendalam. Kalau tidak penting, kalau perlu saling tidak menapa satu sama lainnya. Perubahan system pendidikan, modernisasi, dan glbalisasi hendaknya jangan sampai menimbulkan korban terhadap moral dan jatidiri bangsa. Masyarakat, bangsa dan Negara harus memberikan respon yang cermat terhadap perubahan-perubahan dalam sistem pendidikan. Pengembangan pendidikan nasional semesinya memperhatikan landasan cultural, bukan landasan materi dan uang. Akhirnya pendidikan Indonesia akan gagal membawa masyarakat dan bangsa Indonesia menjadi masyarakat dan bangsa yang beradab, karena learning process semakin tidak memliki “sof humanity” dalam interaksi antara peserta didik dengan pendidik. Pendidik sendiri telah berkembang sebagai pebisnis, yang tidak membutuhkan landasan sentuhan emosi dan spiritualitas. Apakah kita akan membiarkan situasi dan lingkungan pendidikan bangsa seperti sekarang, yang tidak memperhatikan soft humanities. Semua kurikulum sebenarnya membicvarakan aspek kemanusaan, sebab ilmu harus memiliki nilai-nilai kemanusiaan. Guru harus menyatakan bahwa ilmu matematika atau fisika adalah ilmu yang memiliki aksiologi kejujuran yang sangat tnggi. Menurut matematika 4 kali 4 pasti 16. Tidak dapat ditafsirkan yang lain seperti dalam ilmu hukum dan ilmun sosial. Anehnya anakanak kita tidak lulus dalam mata ajaran ilmu matematika. Mungkin sekali anak-anak yang bermoral tidak jujur itu memang tidak senang matematika. Marilah kita menyemaikan nilai-nilai kejujuran ada peserta didik dengan memperbaiki hubungan dan interkasi antara siswa/mahasiswaq dengan guru/dosen dengan menjaukan hubuangan dan interaksi model formal dan transaksional. Kesiapan Solusi Barbara Ward (1960) lebih banyak disebabkan oleh pemikiran dari pada gerakan demontrasi. Pemikiran manusia yang terus mengalir dan disertai dengan inovasi telah
mampu merubah dunia dan peradaban manusia, seperti yang kita saksikan sekarang. Menurut Barbara Ward, ada lima pokok pikiran yang merubah dunia yaitu: Industrialisme, Kolonialisme, Komunisme, Nasionalisme, dan Internasionalisme. Oleh karena itu, kelahiran suatu negara, terutama setelah perang dunia II bersamaan dengan kalahiran suatu bangsa (Arnason, 1990:212). Kesamaan sejarah, teruma pengalaman sebagai masyarakat yang terjajah ini menjadi faktor utama lahirnya suatu bangsa. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ernest Renan bahwa sejarah menjadi faktor utama dalam nasionalisme /paham kebangsaan (Delanty, 2001:474). Paham kebangsaan sebagai ideologi untuk melawan penjajahan inilah yang kemudian melahirkan Negara-bangsa (nation state). Paham kebangsaan yang ada di Indonesia juga didasarkan oleh cerita-cerita masa lalu, baik sebagai bangsa yang terjajah, maupun oleh sejarah kjayaan masa lalu, terutama kejayaan Majapahit dan Sriwijaya. Ideologi nasionalisme sebagai pengikat dari suku-suku yang terjajah menurut Sartono (1993:43) di dalamnya meliputi lima prinsip, yaitu kesatuan (unity), kemerdekaan (liberty), kesamaan (equality), kepribadian (personality), dan prestasi (performance). Kesatuan, kemerdekaan, dan kesamaan merupakan prinsip utama dalam pembangunan bangsa, terutama bangsa yang terdiri dari berbagai suku, seperti Indonesia. Perubahan Konsep Bangsa Konsep bangsa (nation) yang semula bersifat ideologis untuk mempersatukan sukusuku yang terjajah telah berubah mencadi wacana kekuasaan, bahkan sekarang sudah menjadi cognisi (Delanty, 2001:474). Paham negara bangsa (nation state) sebagaimana yang dirumuskan oleh Ernest Renan. pada era global ini telah berakhir (Kinchi Ohmae:1995). Kebangsaan seseorang tidak lagi ditentukan oleh tempat kelahiran dan tempat tinggalnya, tetapi lebih ditentukan oleh cognisinya. Sebagaimana yang katakan oleh Benedict Anderson: Imagined communities, bahwa kebangsaan seseorang lebih ditentukan oleh bagaimana ia mengkonstruksi dirinya, bukan ditentukan oleh tempat tinggal dan kelahirannya. Hal ini dimungkinkan dengan semakin mudahnya mobilitas seseorang dalam era global. Persoalan nasionalisme bukan lagi berkaitan dengan kesamaan diantara bangsa-bangsa, tetapi lebih menekankan pada kesamaan diantara semua warga Negara, terutama kesamaan dalam bidang politik, hukum, ekonomi. Persoalan kebangsaan bukan lagi diikat oleh ikatan kenegaraan, tetapi lebih merupakan cognisi setiap individu. Setiap individu dapat mengkonstruksi kebangsaannya sendiri. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kinichi Omae, (1995:4) dalam konteks ekonomi, bahwa setiap individu dalam memilih barang-barang konsumsi, bukan lagi ditentukan fanatisme kepada produk dalam negeri, tetapi lebih ditentukan oleh pilihan atas kualitas dan harga yang murah, tanpa peduli darimana produk tersebut. Isu-isu hak azasi manusia lebih mengedepan daripada rasa nasionalisme.
Konflik antar sesama warga bangsa yang disebabkan oleh kepentingan pribadi semakin mengedepan, daripada kesadaran sebagai satu bangsa. Bahkan di kalangan elit sendiri, rasa kebangsaan tersebut sudah semakin luntur. Mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya daripada kepentingan bangsa secara bersama. Untuk membangun kesadaran berbangsa dalam era global ini tidak cukup hanya dengan kesamaan nasib sebagai bangsa yang terjajah, tetapi dibutuhkan suatu prestasi yang membanggakan seluruh warga bangsa, serta kepribadian yang menjujung nilainilai universal. Masalah Utama Masyarakat, bangsa dan negara Indonesia masih memiliki sejumlah masalah nasional yang sangat kompleks, dan Indonesia masih berada dalam kondisi krisis multidimensional, yang dampaknya telah menurunkan kualitas kehidupan rakyat Indonesia, serta semakin sulitnya mencapai Tujuan Nasional yang telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945. Masalah nasional yang berat itu terletak dalam bidang kehidupan ekonomi, pendidikan, hukum, sosial budaya, kehidupan keagamaan, politik dan pemerintahan, lingkungan hidup dan SDA, serta ketertiban dan keamanan. Pembangunan tidaklah dibiarkan sunyi dan pasif, karena itu perlu diberikan evaluasi kritis dan konstruktif, untuk menyongsong hari esok rakyat, bangsa dan negara, tahun 2004. Evaluasi kritis dan konstruktif tersebut telah dirumuskan oleh Lembaga Pembudayaan Pancasila dan Pembangunan Jawa Timur (LP3 JATIM) pada akhir tahun 2003, yang pokok-pokok ringkasan uraiannya sebagai berikut: Pertama, National recovery, termasuk economical recovery belum menunjukkan hasil yang berarti serta pertumbuhan ekonomi masih tetap rendah, karena itu kondisi kesejahteraan rakyat masih jauh dari harapan; Kedua, telah terjadi salah urus terhadap kehidupan bermasyarakat, bangsa, dan negara, sehingga Indonesia sebagai negara yang kaya SDA dan SDM, tetapi tidak mampu mengantarkan rakyat Indonesia mencapai keadilan dan kesejahteraan hingga saat ini; Ketiga, rakyat Indonesia menghadapi kesulitan besar dalam memilih peminpin bangsa yang berkualitas, sehingga pemimpin bangsa lebih komit mengabdi pada kepentingan golongan dibandingkan kepentingan rakyat Indonesia; Keempat, konflik kekuasaan dalam negeri terus berlanjut, dan kekuatan politik telah kehilangan dasar moral dan akhlaknya, sehingga etika materialistik yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, semakin menjadi bagian budaya kehidupan berbangsa dan bernegara; Kelima, kedaulatan dalam kehidupan ekonomi sangat rendah sehingga masyarakat, bangsa dan negara Indonesia tidak memiliki kemampuan mandiri dan jatidiri yang kokoh; Keenam, rakyat Indonesia belum memiliki komitmen tinggi untuk menegakkan supremasi hukum dan HAM, sehingga ketidaktertiban dan pelanggaran hukum tetap
menjadi fakta sosial; Ketujuh, transisi kehidupan demokrasi terus berlanjut, dan semangat hidup berdemokrasi masih rendah, sehingga tindak kekerasan dan otoriter masih terjadi di berbagai tempat di tanah air; Kedelapan, solidaritas, perdamaian dan bebas dari gerakan terorisme masih berada dalam tataran wacana, belum menjadi fakta sosial, dan konflik sosial dengan kekerasan masih terjadi di berbagai tempat. Karena itu diperlukan tanggungjawab nasional yang kuat; Kesembilan, hendaknya penyelenggaraan Pemilu 2004, menjamin kelangsungan Pembangunan Nasional, memilih pemimpin berkualitas serta terkondisikannya tatanan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Evaluasi Kritis dan Konstruktif Pembangunan nasional yang terkait dengan pembangunan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia tidak dibiarkan sunyi dan pasif, melainkan harus dievaluasi dan dikritisi secara jujur, ikhlas, dan terbuka. Apakah pembangunan nasional telah berjalan sebagaimana yang direncanakan dan diharapkan. Tanpa suatu evaluasi kritis dari rakyat Indonesia berarti akan membiarkan jalannya pembangunan nasional tanpa suatu kendali dan arah. Pembangunan bukan suatu aktivitas atau kegiatan yang berjalan begitu saja, melainkan suatu aktivitas atau kegiatan yang direncanakan secara sistematik dan penuh tanggungjawab, sehingga hasil atau produk pembangunan benar-benar dapat memberikan faedah dan manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena itu diperlukan suatu evaluasi kritis dan konstruktif, sehingga jalannya pembangunan nasional dapat sesuai dengan harapan seluruh rakyat Indonesia. Evaluasi kritis ini bukan suatu evaluasi yang mengada-ada, namun suatu evaluasi yang diberikan atas dasar suatu pemikiran kolektif yang mendasar, untuk dapat memahami masalah-masalah mendasar dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara selama ini. Pemikiran kolektif ini adalah suatu pemikiran yang konstruktif dan progresif untuk menyongsong kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia tahun 2004 nanti. Semua pihak atau seluruh rakyat Indonesia haruslah meningkatkan sikap, perilaku, dan tanggungjawab yang konstruktif untuk menjadikan masa depan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia lebih baik dan lebih cemerlang dibandingkan tahun sekarang dan tahun lampau. Masyarakat, bangsa dan negara Indonesia harus mampu mencapai dan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan dan kesejahteraan hendaknya tidak hanya berupa wacana, melainkan harus menjadi kenyataan hidup seluruh rakyat Indonesia dalam tatanan praksis. Delapan Bidang Kehidupan
Dalam kehidupan ekonomi, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia masih menghadapi masalah yakni angka pertumbuhannya yang trgolong rendah (di bawah 5 % setahun) sebagai dampak krisis ekonomi nasional dan global. Kenyataan ini berimbas pada sisi kehidupan lainnya yang sangat kompleks dalam masyarakat, bangsa dan negara seperti masih besarnya jumlah kemiskinan, pengangguran, sempitnya lapangan kerja, serta rendahnya pendapatan rakyat Indonesia. Dalam bidang pedidikan, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia masih menghadapi masalah pada tingkat nasional, regional dan lokal seperti masih rendahnya Angka Partisipasi Pendidikan (APP) warga masyarakat di semua jenjang pendidikan sebagai akibat kelemahan-kelemahan faktor lainnya terutama rendahnya pendapatan rakyat, sehingga mutu hasil pendidikan masih tetap memperihatinkan dan makin tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Di bidang Hukum, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia masih menghadapi masalah penegakkan hukum di semua bidang kehidupan. Penegakan hukum masih terasakan sifat rasial dan diskriminatif (cenderung menguntungkan yang kuat dan kaya). Penegakan supremasi hukum dan HAM masih belum berjalan seperti yang diharapkan, sehingga kepastian hukum dan nilai keadilan buat rakyat Indonesia belum teraplikasikan dan dirasakan oleh masyarakat. Bidang Sosial budaya, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia masih menghadapi masalah pembangunan kesejahteraan nasional, terutama terjadinya pertarungan sosial budaya yang semakin terbuka dan tak terkendali sebagai akibat era keterbukaan dan globalisasi. Budaya sekuler yang materialistik, individualistik, liberalistik, hedonistik dan vulgar terus berkembang dan cenderung menggeser serta mendesak budaya Indonesia yang spiritualis dan religius. Dalam kehidupan beragama, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia masih menghadapi masalah, di mana kerukunan hidup beragama masih belum sepenuhnya terwujud. Di masyarakat justru muncul gejala kehidupan beragama sebatas faham formalisme, dan penghayatan agama yang paradoks, serta masuknya budaya sekuler ke dalam lingkungan budaya keagamaan. Bidang politik pemerintahan, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia masih menghadapi masalah sampai sekarang, di mana masa transisi kehidupan berdemokrasi tetap berlanjut, dan pembangunan kualitas kehidupan demokrasi yang belum memadai, serta belum tercapainya clean and good corperate governance. Pertarungan elit politik dan parpol tidak memberikan banyak manfaat bagi terpilihnya pemimpin-pemimpin bangsa yang berkualitas dan negarawan-negarawan baru yang unggul. Bidang lingkungan hidup dan SDA, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia masih menghadapi masalah sebagai dampak pembangunan nasional yang kurang terkendali serta perilaku warga negara yang tak bertanggungjawab. Kerusakan lingkungan dan kondisi SDA serta terjadi polusi yang membahayakan dan cenderung tidak terkendali terasakan terus berlanjut. Bidang ketertiban dan keamanan, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia masih
menghadapi masalah ketertiban dan keamanan nasional dan regional yang cukup berat, karena di beberapa wilayah nusantara ini terjadi konflik sosial dengan kekerasan dan pembunuhan, termasuk masih adanya ancaman terorisme global dan lokal yang dapat mengganggu jalannya pembangunan nasional dan regional. Menuju national dan economic recovery Masyarakat, bangsa dan negara Indonesia menghadapi masalah-masalah nasional yang semakin kompleks sebagai akibat interaksi masalah nasional dan global, dan dampak pertarungan kekuatan global dan nasional di satu pihak. Masih lemahnya kemampuan masyarakat, bangsa dan negara dalam memberikan respon dan solusi terhadap perkembangan masalah nasional dan internasional di lain pihak, dapat menghambat jalannya pembangunan nasional dalam semua bidang kehidupan. Dengan didorong oleh kehendak yang baik dan jujur, ikhlas, serta tanggungjawab yang tinggi, maka dengan ini LP3-Jatim mengeluarkan pernyataan sebagai evaluasi kritis akhir tahun 2003 terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang telah berlangsung mulai Januari hingga Desember 2003 dalam rangka penataan kehidupan yang lebih baik tahun 2004. Evaluasi akhir tahun yang berjumlah sebelas pokok pikiran ini diharapkan sebagai sumber perenungan reflektif konstruktif terhadap segala masalah nasional yang dihadapi masyarakat, bangsa dan Negara. Ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pembangunan nasional yang berkelanjutan (sustainable development of Indonesia), dan meningkatkan upaya kesadaran kritis untuk mencari solusi terhadap masalah nasional yang dihadapai masyarakat, bangsa dan negara, sehingga Tujuan Nasional yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 dapat tercapai, terutama untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kesebelas pokok pikiran itu adalah: Sebelas Pokok Pikiran Pertama, fenomena besar krisis multidimensional yang menimpa masyarakat, bangsa dan negara Indonesia adalah suatu fakta yang signifikan hingga sampai saat ini. Memang telah dilakukan upaya dan pendekatan untuk menyelesaikan krisis multidimensional yang mengenai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun hasil dari upaya national recovery, terutama economic recovery belum cukup memadai dan masih jauh dari harapan seluruh rakyat Indonesia. Sangat diperlukan pembangunan ekonomi nasional yang lebih terencana dan komprehensif. Kedua, terdapat fenomena pengelolaan masyarakat, bangsa dan negara yang keliru atau salah, sehingga bangsa dan negara Indonesia yang memiliki sumber daya alam (SDA) dan sumber dalam manusia (SDM) yang besar, yang pada akhirnya kurang berhasil membawa masyarakat, bangsa dan negara mencapai tingkat keadilan, kesejahteraan
dan kemakmuran yang memadai, dan bahkan cenderung membawa sebagian rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan dan serba kekurangan. Oleh sebab itu itu diperlukan moral dan akhlak yang baik berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 untuk mengelola masyarakat, bangsa dan negara Indonesia secara lebih sungguh-sungguh. Ketiga, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia sedang menghadapi masalah mendasar dalam memilih peminpin-peminpin bangsa dan negara yang memiliki komitmen kebangsaan yang kuat dan memiliki kualitas diri yang tinggi, sehingga peminpin bangsa dan negara tidak mampu memperlihatkan kualitas diri sebagai “negarawan yang sejati” atau “tidak mampu memiliki jati diri yang berjiwa Pancasilais yang kokoh. Akibatnya banyak pemimpin bangsa dan negara memiliki moral dan ahlak yang buruk atau busuk. Karena itu sangat perlu dilakukan pengkajian ulang terus menerus terhadap rencana pembangunan sehingga pembangunan dapat menghasilkan negarawan yang berjiwa Pancasilais dan religius. Keempat, persaingan dan perseteruan kekuasan (power) telah kehilangan dasar-dasar moral dan akhlak, sehingga dalam kehidupan politik muncul etika materialisme dan vulger yaitu menghalalkan segala cara atau jalan untuk mencapai tujuan (kemenangan), bahkan kondisi tersebut telah memperluas iklim KKN dan praktek money politics, yang dapat merugikan semua pihak termasuk bangsa dan negara. Karena itu diserukan kepada seluruh rakyat Indonesia kembali mengembangkan dan memperkokoh kualitas jatidiri masyarakat, bangsa dan negara. Kelima, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia cenderung kehilangan semangat kemandirian dan harga dirinya sebagai dampak ketergantungan dengan bangsa dan negara asing, yang pada akhirnya melahirkan Imperialisme gaya baru. Karena itu sangat perlu menggelorakan kembali semangat kemandirian dan kedaulatan dalam ekonomi, pembangunan jatidiri bangsa, serta mengokohkan integritas nasional. Keenam, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia cenderung terjebak ke dalam pertarungan luas antara budaya modern-materialistik yang datang dari luar (Barat) dengan budaya tradisional dan konservatif yang hidup di masyarakat Indonesia, sehingga melahirkan kehidupan bangsa dan negara yang paradoks dan permisif terhadap gaya hidup materialistik, individualistik, liberalistik, hedonistik, dan vulgeristik. Karena itu perlu dikembangkamn suatu strategi budaya nasional baru yang mengatasi konflik sosial-budaya yang dapat menurunkan martabat masyarakat dan bangsa. Ketujuh, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia cenderung tidak bersikap tegas, lugas, dan tidak memiliki komitmen kuat dalam penegakan hukum, sehingga telah terjadi kerusakan lingkungan hidup dan kondisi sda, serta munculnya kerugiankerugian lain yang lebih parah. Kedelapan, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia belum siap melakukan transformasi sosial sehingga belum mampu membangun masyarakat Indonesia modern yang lebih rasional, terbuka, dan menghargai nilai Ipteks, yang pada akhirnya sulit untuk melaksanakan rule of law. Seluruh rakyat Indonesia harus memiliki komitmen
untuk menegakkan supremasi hukum dan HAM, sehingga mampu mewujudkan ketertiban sosial dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kesembilan, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia dapat dinyatakan belum memiliki komitmen yang kuat untuk membangun kehidupan berdemokrasi yang berkualitas melalui Pemilu dan belum memiliki komitment dalam membangun polapola kehidupan masyarakat sipil (civil society) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sehingga pembangunan demokrasi masih diwarnai dengan tindak kekerasan dan konflik sosial yang berkepanjangan. Hendaknya penyelenggaraan Pemilu 2004 dapat menghasilkan pemimpin nasional berkualitas dan berkomitmen terhadap keadilan dan kemakmuran bangsa dan negara Indonesia. Karena itu diperlukan sikap dan perilaku yang lebih serius untuk membangunan kehidupan demokrasi yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kesepuluh, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia dapat dinyatakan belum memiliki tanggungjawab bersama yang kuat dalam menciptakan ketertiban dan keamanan nasional, regional dan lokal, sehingga tindak kekerasan dan bahkan tindak kriminalitas menjadi fenomena yang luas dan signifikan. Karena itu perlu dikembangkan pendekatan baru untuk menjamin ketertiban dan keamanan nasional dan untuk mengantisipasi segala bentuk ancaman yang terjadi. Kesebelas, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia dapat dinyatakan mengalami krisis jatidiri yang cukup parah, sehingga menimbulkan krisis moral dan akhlak yang sangat luas, sehingga memberi peluang berkembangnya perilaku KKN yang tercela. KKN tidak akan dapat diberantas bilamana kualitas moral dan akhlak itu rendah. Karena itu sangat perlu adanya gerakan pembangunan jatidiri masyarakat, bangsa dan negara dan pemberantasan KKN di semua lini kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Pernyataan evaluasi kritis dan konstruktif terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara selama kurun waktu tahun 2003, semoga dapat dijadikan sebagai sumber dan bahan refleksi konstrukrtif yang mendalam untuk mencari jalan keluar atau solusi terhadap masalah-masalah nasional yang menimpa masyarakat, bangsa dan negara. Sesungguhnya, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia haruslah senantiasa bertekad kuat untuk menjadikan kondisi kehidupan di tahun 2004 lebih baik dan lebih terang, lebih cerah dari kehidupan tahun 2003. Pembangunan nasional adalah menjadi tanggungjawab kita semua atau seluruh rakyat Indonesia. Kita berkeyakinan bahwa masyarakat, bangsa dan negara Indonesia akan menjadi masyarakat, bangsa dan negara yang besar, sukses, dan berperadaban tinggi, karena seluruh rakyat Indonesia bersedia untuk bekerja lebih keras dan sungguh-sungguh. Wallahu a’lamu bi ash Showaab. *** Mengembangkan Jatidiri Bangsa
Memasuki tahun 2006, Rektor Universitas Airlangga Prof. Puruhito, menyiapkan pengembangan jatidiri bangsa bagi mahasiswanya. Penyiapan itu dimaksudkan agar lebih mampu mengaplikasikan matakuliah Pendidikan Pancasila, Agama, dan Kewarganegaraan sesuai dengan kondisi saat ini. Agar lebih mendapat respons dan memberi makna bagi mahasiswa. Pernyataan tersebut dikemukakannya saat jumpa pers dengan topik “evaluasi Jatidiri Bangsa 2005 dan Prospek 2006, di kantornya Kampus C Jl. Mulyorejo Surabaya (Surya, 31 Desember 2005). Puruhito adalah juga seorang penanggungjawab Tim Pengkajian dan Pembudayaan/Sosialisasi Pembangunan Jatidiri Bangsa Indonesia (PPJB) Wilayah Jawa Timur. Tim ini dibentuk pada bulan tahun 2005 sebagai kelanjutan kerja dari tim perumus dan penyusun buku yang diterbitkan dengan judul Pembangunan Jatidiri Bangsa Indonesia (2003). Kegiatan tersebut dilaksanakan atas kerjasama antara Pemerintah Propinsi Jawa Timur, DHD (Dewan Harian Daerah) 45 Propinsi Jawa Timur, dan 15 Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta se-Surabaya serta dimaksudkan untuk melancarkan kegiatannya secara profesional dan berkelanjutan kepada seluruh masyarakat. Telah dua kali tim ini menyelenggarakan pertemuan. Pada pertemuan 21 April April 2005 yang diselenggarakan di Unair. Pengarahan yang disampaikan Puruhito antara lain menegaskan tentang visi Pendidikan Nasional yang telah mengalami pembaruan antara lain: “menjadi agen pencerdasan, pembudayaan, dan pemberadaban bangsa yang efektif, efisien, dan akuntabel, dalam proses transformasi budaya Indonesia menuju peradaban bangsa yang modern, canggih, dan unggul”. Sedangkan pada pertemuan bulan Desember 2005 yang diselenggarakan di Untag Surabaya, ditindaklanjutinya penegasan tersebut dengan melaksanakan pengintegrasian matakuliah pengembangan jatidiri bangsa ke dalam kurikulum wajib Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK). Matakuliah ini wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa. Program ini dimulai di perguruan tinggi yang dipimpin Puruhito yakni di Universitas Airlangga. Penutup: Signifikansi dan Urgensi Mengapa pengembangan jatidiri bangsa terasa signifikan untuk diselenggarakan di lembaga pendidikan? Ketika Reformasi Nasional 1998 di tanah air Indonesia merupakan keniscayaan pilihan sebagai tuntutan perubahan alam demokrasi pada penghujung millennium kedua, orang menaruh pengharapan yang besar bahwa reformasi merupakan pintu masuk yang tepat dalam mengatasi keterpurukan. Sejumlah agenda telah ditetapkan, namun dalam perjalanannya melakukan pengawalan untuk melaksanakan agenda di tengah lebih dari 200 juta penduduk di nusantara ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Pada lima tahun pertama sejak reformasi itu, tidak terhindarkan hadirnya tamu yang tidak diundang yakni social anomaly. Seakan menjadi bola liar yang nyaris tidak seorangpun yang mempunyai kemampuan untuk mengendalikannya. Pada kondisi
demikian, yang terjadi adalah saling berbaku hujat dan penyalahan (falsifikasi). Bahkan beradu kuat dalam beralibi. Baik lembaga di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Terdapat kecenderungan, siapa yang lebih vokal gaya bicaranya, merekalah yang berhak untuk mengklaim kemenangan dan merasa berwenang pula untuk mengatur Negara. Hal tersebut menjadikan tambahan investasi bagi tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang senyatanya belum terdapat tanda-tanda keluar dari kubangan keterpurukan. Kondisi tersebut terus berkembang, meskipun rejim di republik tercinta ini telah diganti lebih dari tiga orang presiden. Keterpurukan bangsa ini telah terjatuh empat kali lipat untuk parameter nilai tukar rupiah atas dollar AS. Pada puncaknya, bahkan pernah enam kali lipat keterpurukan itu terjadi, ketika nilai tukar per dollar AS itu tembus Rp. 15.000,- Indikator ekonomi tersebut juga tampak semakin lengkap pada tatanan ranah kehidupan beragama, sosial-budaya, pendidikan, politik-pemerintahan, hukum, lingkungan hidup dan sumber daya alam, gender, serta pertahanan-keamanan. Biang keterpurukan dalam berbagai ranah kehidupan itu tiada lain adalah hadirnya mahluk yang menamakan dirinya sebagai pembangunan, modernisasi dan globalisasi yang dalam prakteknya berjalan dan berkembang secara leluasa dan nyaris tanpa kendali melalui liberalisasi, privatisasi, dan investasi di ranah ekonomi serta domokratisasi dan HAM (Hak Asasi manusia)isasi pada ranah politiknya. Kehadiran mahkluk baru ini dalam sejumlah kenyataan telah membawa konsekwensi kepada tatanan masyarakat yang tercerabut dari akar budayanya (Giddens, 1992) dunia yang sarat paradoks dan bahkan patologis (George Simmel, 1978). Tragisnya telah diagungkan para aktornya melebihihi keagungan yang Maha Agung sekalipun, bahkan tidak tanggung-tanggung kemudian ditetapkan sebagai landasan praktektual dalam mengaplikan visi dan misi kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatannya. Dunia telah dipimpin oleh kekuasaan dan materi (Marx). Secara kelakar, orang bilang dihadapan uang, semua orang sama saja. Artinya siapapun akan tunduk kecuali orang yang senantiasa sadar dan waspada (Ronggowarsito). Sesungguhnya, sumber masalah keterpurukan itu bukanlah terletak pada diri (it self) mahluk “pembangunan”, “modernisasi” dan “globalisasi” itu sendiri, namun berpulang kepada para aktornya yang telah mendegradasikan dirinya tidak lagi sebagai subyek dalam mengendalikan mahluk tersebut. Inilah yang kemudian menjadi malapetaka besar—meminjam istilah Fukuyama (1997) sebagai terjemahan dari the great disruption. Sang actor kemudian telah terbawa, terlena, lalu terjatuh menjadi obyek dari makhluk tersebut. Tidak sedikit, dari jumlah ratusan juta penduduk negeri ini yang justru tertipu dengan buaian nikmat sesaat oleh makhluk tersebut. Enjoy aja dalam konteks sebagai hamba dan budak makhluk itu. Mengembalikan sang aktor pada posisi yang asasiah sebagai the real subyek dalam kebidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, inilah yang menjadi visi, misi, dan program utama dari tim PPJB Jawa Timur ini. Berburu dan melasanakan tugas-
pembangunan, modernisasi, dan globalisasi, adalah seuatu kewajaran yang normal. Hal yang tidak boleh dilupakan adalah membangun manusianya. Keterpurukan masyarakat, bangsa, dan Negara, yang secara terus menerus terjerat dan belum dapat keluar dari kemelut itu, tidak boleh dibiarkan berlarut. Haruslah dicarikan solusinya. Dalam konteks ini tim PPJB hadir dengan solusi membangun jatidiri manusia, bangsa, dan Negara Indonesia. Kami meyakini, dengan upaya yang sungguh-sungguh, dan dilaksanakan secara kontinyu dan konsisten, dalam kurun waktu tertentu akan terwujud jatidiri masyarakat, bangsa, dan Negara Indonesia yang cerdas, berbudaya, dan beradab serta efektif, efisien, dan akuntabel, dalam metransformasikan budaya Indonesia menuju peradaban bangsa yang modern, canggih, dan unggul. Adalah Puruhito, rektor perguruan tinggi negeri pertama di nusantara ini yang menyandang status BHMN (Badan Hukum Milik Negara) berdasarkan SK Mendiknas, yang menaruh kepedulian luar biasa kepada pengembangan kwalitas manusianya. Universitas yang dipimpinnya ini, memberikan pembekalan kepada mahasiswanya untuk mengembangkan kejatidirian dalam kurikulum wajib Pengembangan Jatidiri Bangsa. Materinya diintegrasikan dalam Pendidikan Pancasila, Agama, dan Kewarganegaraan masing-masing berbobot 2 SKS dengan jumlah total 6 SKS. Sedangkan yang non-SKS, diintegrasikan dalam kegiatan Pengembangan Fresh Student dilengkapi dengan Out Bound selama tiga hari yang dilaksanakan di asrama mahasiswa dan lingkungan kampus. Sejumlah kalangan telah memberikan dukungan dan respons positif atas prakarsa tersebut, sementara lainnya menyarankan agar juga melibatkan lembaga kemahasiswaan. Bahkan dukungan itu juga berupa kewaspadaan jangan sampai terperangkap dengan model penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), yang pernah dipergunakan sebagai alat oleh suatu rejim untuk mempertahankan kekuasaan. Adalah suatu keniscayaan pula apabila Pengembangan Jatidiri Manusia, Bangsa, dan Negara Indonesia itu disajikan tidak hanya di lembaga pendidikan pendidikan tinggi, namun juga pada pendidikan dasar dan menengah, dalam paket yang menarik dan aplikatif dengan mengoptimalkan teknologi informasi dan metode pembelajaran partisipatif yang efektif dan efisien. Daftar Bacaan Adib, Mohammad 2006 ”Mengimplementasikan Jatidiri Bangsa pada MPK di Perguruan Tinggi” dalam Karakter Bangsa: Jurnal Ilmiah Kebangsaan dan Keindonesiaan. TPB UNAIR: Surabaya _________ 2006 “Polri dan Keberadaban Bangsa. Dalam Surya: 1 Juli: Surabaya
_________ 2004 “Menyongsong Kecerahan Kehidupan Berbangsa Tahun 2004 (2): Menuju National Recovery dan Economic Recovery. Surya: 8 Januari: Surabaya _________ 2003 ”Jatidiri Manusia, Bangsa, dan Negara Indonesia: Jatidiri di Tengah Perubahan”. Dalam Surya (26 Februari): Surabaya. _________ 2003 ”Perjuangan Mencari Jatidiri Bangsa Indonesia”. Dalam Surabaya News: Surabaya. _________ 2003 Religius: Jatidiri Khas Bangsa Indonesia Surabaya News: 5 Maret. : Surabaya. _________ 2003 “Masyarakat Madani: Kajian Konsep Menuju Bangsa yang Berjatidiri Egaliter”. Jurnal Ilmiah Karakter Bangsa (Vol 1. Nomor 1 April 2003 (94-102) MKU Unair. (ISSN: 1412-3827) : Surabaya. Bertens, Kees 2005 Etika. Gramedia: Jakarta. Fukuyama, Francis 1992 Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. (Terjemahan: Mohammad Hussein Amrullah) The End of History and the Last Men. Kalam: Yogyakarta. Sujana, Naya (et.all) 2003 Nation and Character Building: Pembangunan Jatidiri Bangsa Indonesia. (DHD 1945 Jatim) http://www.jatim.go.id/news.php?id=2044 2005 “Wawasan Kebangsaan Penting Untuk Membangun Bangsa Majemuk”. 22 Februari 2005. Warta OnLine Airlangga University 2005 ”Rektor : Unair Adalah Tempat Pencerahan.” Warta OnLine Airlangga University. 30-12-2005. Suara Karya 2005 ”Penilaian Unair : Indonesia Kehilangan Jatidiri Selama 2005” dalam Suara Karya, 31 Desember 2005 (http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=131331).
Kompas 2006 Pergeseran Behaviorisme Menuju Konsrtuktivime. (www.warta. unair.ac.id/news/index.php.id-494. _________