makalah seminar 4 juli 2012
BUDAYA BANGSA - PERAN UNTUK JATIDIRI DAN INTEGRASI -
Heddy Shri AhimsaAhimsa-Putra Antropologi Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Makalah disampaikan dalam seminar nasional ”Peran Sejarah dan Budaya dalam Pembinaan Jatidiri Bangsa” diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial - Universitas Negeri Yogyakarta di Yogyakarta, 4 Juli 2012
BUDAYA BANGSA - PERAN UNTUK JATIDIRI DAN INTEGRASI Heddy Shri AhimsaAhimsa-Putra Antropologi Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada ( mengutip isi makalah ini harus dengan menyebutkan sumbernya, yaitu makalah ini )
1. Pengantar Sudah sangat banyak pembicaraan mengenai budaya dan kebudayaan, bahkan di kalangan ahli antropologi Barat definisi kebudayaan yang dihasilkan telah mencapai 150 definisi lebih pada tahun 1950an (Kroeber and Kluckhohn, 19.. ). Jumlah ini tentu telah meningkat semenjak itu, karena para ahli antropologi tidak berhenti mengemukakan pandangan masing-masing mengenai kebudayaan. Tidak ada larangan memang untuk membuat definisi-definisi kebudayaan yang baru, dan juga tidak ada definisi yang dapat dikatakan paling benar. Setiap definisi memiliki kelebihan dan kekurangannya, sehingga kebenaran sebuah definisi bersifat relatif. Oleh karena itu, penilaian mengenai definisi tidak berdasarkan atas benar dan salah, tetapi berdasarkan atas implikasi-implikasi yang dihasilkan oleh definisi tersebut. Semakin luas dan banyak implikasi yang ditimbulkan oleh sebuah definisi, semakin baik atau positif penilaian orang mengenai definisi tersebut. Dalam hubungannya dengan pembicaraan mengenai budaya dan jatidiri di sini, definisi kebudayaan yang dipandang relevan adalah yang sesuai dengan hakekat manusia sebagai mahluk yang berbudaya. Hakekat manusia ternyata juga dapat didefinisikan dari berbagai macam sudut pandang, sehingga ada berbagai istilah untuk menyebut manusia. Ada yang menyebut manusia sebagai homo ludens, mahluk yang selalu bermain. Ada juga yang mengatakan manusia sebagai homo economicus, yang dalam hidupnya lebih bayak dikendalikan oleh keinginan untuk mengorbankan sesedikit mungkin, namun mendapat hasil yang sebanyak mungkin. Pandangan tentang hakekat manusia yang cocok di sini adalah pandangan dari Ernst Cassirer (1945), yang mengatakan bahwa manusia adalah animal symbolicum. Di mata Cassirer manusia adalah salah satu mahluk dalam animal kingdom (dunia hewan/binatang), karena secara biologis manusia memang termasuk kategori binatang menyusui, berdarah panas, bertulang belakang, dan pemakan segala (omnivore). Meskipun demikian manusia berbeda dengan binatang yang manapun karena manusia memiliki kemampuan untuk melakukan simbolisasi. Oleh karena itu, manusia disebutnya sebagai animal symbolicum. Pertanyaannya kemudian adalah: apa yang dimaksud dengan simbol atau lambang? 2. Kebudayaan, Kebudayaan, Wujud Kebudayaan dan Unsur Kebudayaan Apa yang dimaksud dengan ‘simbol’? Seperti halnya konsep kebudayaan, istilah simbol juga telah didefinisikan dengan berbagai macam cara dan dari berbagai sudut pandang. Namun demikian, sebagaimana dikatakan para ahli antropologi (White, 1949) se-
1
cara sederhana kita dapat mengatakan bahwa simbol adalah segala sesuatu yang dimaknai; sesuatu yang -pada tataran pemikiran- mengacu, mengingatkan, menunjuk pada sesuatu yang lain lagi. Oleh karena itu, kurang tepat jika dikatakan bahwa simbol adalah sesuatu yang bermakna. Kata ‘bermakna’ mempunyai arti bahwa makna tersebut terdapat atau melekat pada ‘sesuatu’ tersebut, padahal tidak. Makna tidak terdapat pada atau dalam sesuatu yang disebut simbol. Makna ini terdapat dalam pikiran manusia. Makna berasal dari manusia. Jadi makna ini diberikan, ‘ditempelkan’, oleh manusia pada sesuatu, yang kemudian membuat sesuatu tersebut menjadi ‘simbol’. Berdasarkan konsepsi bahwa manusia adalah mahluk yang mampu melakukan pemaknaan, mampu memberikan, ‘menempelkan’ makna pada segala sesuatu dalam kehidupannya; dan tanda serta simbol merupakan wahana komunikasi, wahana untuk menyampaikan pemaknaan-pemaknaan tersebut; dan komunikasi adalah dasar bagi terbentuknya masyarakat dan kebudayaan dalam kehidupan manusia, maka kebudayaan pada dasarnya adalah keseluruhan tanda dan simbol yang digunakan oleh manusia dalam hidupnya untuk mempertahankan keberadaannya sebagai mahluk hidup, yang diperolehnya dalam kehidupannya sebagai warga suatu masyarakat atau komunitas. Perlu ditekankan di sini, bahwa jika kita berbicara tentang tanda dan simbol maka kita berbicara mengenai tanda atau simbol dan maknanya, karena pengertian tanda dan simbol mencakup dua aspek tersebut. Simbol atau tanda ini dapat berupa (1) hal-hal yang abstrak seperti ide, pengetahuan, nilai-nilai, norma, dan aturan, yang tidak dapat dilihat, karena tersimpan sebagai pengetahuan yang ada dalam pikiran manusia; dapat pula berupa (2) hal-hal yang agak abstrak, atau tidak sepenuhnya abstrak, seperti misalnya perilaku dan tindakan manusia; atau berupa (3) hal-hal yang sangat kongkrit dan empiris seperti misalnya meja, kursi, buku, gelas, cangkir, dan seterusnya, yang semuanya merupakan hasil perilaku dan tindakan manusia. Pemaknaan tanda dan simbol bisa berbeda antara individu satu dengan yang lain. Hal yang sama juga terjadi pada tingkat keluarga, kelompok, komunitas, masyarakat dan seterusnya. Inilah sebenarnya yang dimaksud dengan keaneka-ragaman budaya. Keanekaragaman ini bukan hanya pada tanda dan simbolnya saja, tetapi juga pada makna dan proses memberikannya (Lounsbury, 1966). Keanekaragaman terjadi paling tidak oleh dua hal, yakni: proses sosialisasi dan pengalaman pribadi. Proses sosialisasi di sini adalah proses pembelajaran nilai-nilai, pandangan hidup dari kelompok, komunitas atau masyarakat tempat seseorang dibesarkan, sedang pengalaman pribadi adalah hal-hal yang dialami seseorang sebagai individu. Sosialisasi maupun pengalaman selalu bersifat pribadi. Tidak pernah ada proses sosialisasi dan pengalaman yang persis sama antara individu satu dengan yang lain. Melalui keduanya inilah terbentuk kerangka pemikiran tertentu, -kerangka yang berfungsi untuk melakukan pemaknaan, kerangka pemikiran untuk memahami-, yang berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Berbeda dengan Koentjaraningrat dan ahli antropologi lainnya, saya berpendapat bahwa kebudayaan memiliki empat aspek atau wujud, bukan tiga. Berturut-turut dari yang kongkrit ke yang abstrak, empat aspek tersebut adalah: (a) aspek fisik atau budaya material; (b) aspek perilaku atau budaya perilaku; (c) aspek kebahasaan atau bahasa, dan (d) aspek gagasan atau budaya pengetahuan. Wujud atau aspek material kebudayaan berupa misalnya benda-benda dari yang kecil-kecil hingga, bangunan yang besarbesar, atau bahkan berupa kawasan. Aspek perilaku kebudayaan berupa misalnya peri-
2
laku-perilaku, aktivitas bersama, berbagai interaksi sosial. Aspek kebahasaan kebudayaan berupa bahasa, atau lebih kongkrit lagi berupa istilah-istilah, ungkapan-ungkapan, peribahasa, nyanyian rakyat, mitos, legenda, dan sebagainya. Aspek gagasan berupa pengetahuan, gagasan-gagasan kolektif, seperti pandangan hidup, nilai-nilai, normanorma, dan aturan-aturan. Selain memiliki empat aspek, suatu kebudayaan juga terdiri dari berbagai unsur yang berhubungan satu sama lain memebentuk suatu kesatuan. Hubungan antarunsur ini ada yang sangat erat, ada yang relatif longgar. Kebudayaan sebagai suatu gugusan unsur inilah yang perlu diingat dalam wacana kebudayaan, yang salah satu kesalahan pokoknya antara lain adalah memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang tunggal dan tidak terdiri dari berbagai unsur. Dengan memandang kebudayaan sebagai suatu gugusan unsur kita dapat memahami hubungan antara kebudayaan dengan identitas atau jatidiri, baik indiviidual maupun kolektif. Sebagian ahli antropologi berpendapat bahwa unsur kebudayaan universal ada tujuh (lihat Koentjaraningrat, 1977). Namun, analisis saya atas berbagai gejala kebudayaan saat ini sampai pada kesimpulan bahwa unsur kebudayaan yang bersifat universal ini ada sepuluh, dengan fungsinya masing-masing sebagai berikut : (1) Unsur Komunikasi (2) Unsur Klasifikasi (3) Unsur Organisasi (4) Unsur Ekonomi (5) Unsur Kesehatan (6) Unsur Kepercayaan (7) Unsur Pelestarian (8) Unsur Permainan (9) Unsur Transportasi (10) Unsur Kesenian
: mengatasi masalah hubungan antarindividu : mengatasi masalah ketertataan (orderlyness) : mengatasi masalah kerjasama dan reproduksi sosial : mengatasi masalah kelangkaan pangan dan sandang : mengatasi masalah reproduksi biologis : mengatasi masalah ketidak-berdayaan : mengatasi masalah kehilangan/kepunahan : mengatasi masalah kebosanan : mengatasi masalah pemindahan tempat : mengatasi masalah ekspresi perasaan/kejiwaan
Masing-masing perangkat ini didefinisikan berkenaan dengan fungsinya, karena definisi secara fungsional ini tidak hanya paling mudah dilakukan tetapi juga sesuai dengan salah satu hakekat keberadaan kebudayaan dalam kehidupan manusia, yakni memenuhi kebutuhan tertentu. Masing-masing unsur ini memiliki empat aspek, yakni: (a) material (materiil); (b) lingual (kebahasaan); (c) behavioral (perilaku) dan (d) ideational (gagasan, pengetahuan). Masing-masing perangkat simbol atau unsur kebudayaan tersebut perlu diuraikan lebih rinci agar tidak menimbulkan kebingungan di kalangan mereka yang berminat mempelajari kebudayaan. Penempatan unsur-unsur kebudayaan dalam urutan seperti di atas juga didasarkan pada tingkat kebutuhan dan keberadaannya dalam masyarakat, terutama pandangan mengenai kebutuhan yang sangat awal pada manusia untuk dapat bertahan hidup. Kebutuhan tersebut adalah kebutuhan akan kehidupan bersama, dan untuk ini sangat diperlukan adanya komunikasi. Perangkat komunikasi yang paling penting adalah bahasa lisan, yakni bahasa yang berupa bunyi-bunyi yang diproduksi oleh rongga mulut. Tanpa adanya bahasa, tidak akan ada komunikasi, dan tanpa komunikasi tidak akan terbentuk kehidupan manusia yang tenang dan harmonis, atau bersesuaian antara unsur kebudayaan yang satu dengan unsur kebudayaan yang lain. Tanpa komunikasi seseorang tidak akan memiliki hubungan dengan orang lain, dan tidak akan muncul kehidupan bersama.
3
Oleh karena itu, perangkat komunikasi ditempatkan sebagai unsur kebudayaan yang pertama. Dari adanya komunikasi tersebut terbentuklah kemudian kehidupan bersama. Kehidupan bersama ini bukan hanya sekedar kehidupan sebagai sebuah kelompok, tetapi merupakan kehidupan yang tertata. Ketertataan hanya dapat muncul karena adanya perangkat klasifikasi, yang juga terkandung dalam perangkat komunikasi. Perangkat klasifikasi atau unsur budaya klasifikasi merupakan unsur budaya yang hadir bersamaan dengan perangkat komunikasi, yaitu bahasa, dan berfungsi menciptakan ketertataan, keteraturan. Oleh karena itu unsur budaya klasifikasi merupakan unsur budaya yang sebenarnya hadir bersamaan dengan unsur budaya komunikasi. Dengan adanya ketertataan ini manusia dapat memenuhi kebutuhan akan suatu kehidupan yang teratur, terorganisasi. Organisasi merupakan unsur budaya yang dibutuhkan oleh manusia untuk mencapai tujuan-tujuan yang lain, terutama memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang hanya dapat dipenuhi melalui kehidupan sebagai kelompok. Setiap kehidupan berkelompok memerlukan organisasi atau pengaturan tertentu agar individundividu di dalamnya dapat berinteraksi dan bekerjasama dengan baik dan benar. Kebutuhan lain yang juga harus dipenuhi adalah kebutuhan pangan, dan kemudian sandang, yang umumnya hanya akan dapat dipenuhi dengan menjalani kehidupan bersama. Tanpa adanya pangan manusia normal tidak akan dapat bertahan hidup lebih dari dua bulan, sedang kebutuhan sandang bukan merupakan kebutuhan yang sangat mendesak, karena manusia dapat hidup tanpa seluruh kebutuhannya harus dipenuhi. Untuk mendapatkan pangan ini orang melakukan kegiatan yang disebut ”kegiatan ekonomi” atau kegiatan memanfaatkan sumber daya yang ada dalam lingkungannya. Perangkat atau unsur budaya ekonomi ditempatkan sebagai unsur budaya keempat, karena kebutuhan ini baru akan dapat dipenuhi setelah unsur budaya organisasi. Dengan dipenuhinya kebutuhan pangan melalui kegiatan ekonomi, manusia dapat menjaga kesehatan tubuhnya. Kesehatan ini diperlukan untuk bertahannya kehidupan manusia sebagai salah satu spesies mahluk di muka bumi. Unsur budaya kesehatan merupakan unsur budaya yang diperlukan setelah manusia dapat hidup membentuk kelompok-kelompok sosial yang terpenuhi kebutuhan pangannya. Tubuh yang sehat memungkinkan manusia beraktivitas dan melakukan proses reproduksi. Melalui reproduksi biologis, manusia dapat melestarikan kelompoknya secara fisik dan secara sosial. Lima kebutuhan awal manusia, yaitu kebutuhan akan kehidupan bersama, kebutuhan akan sebuah perangkat untuk menata, kebutuhan akan kehidupan bersama yang tertata, kebutuhan akan pangan, dan kebutuhan akan kesehatan, dapat dikatakan sebagai kebutuhan dasar manusia sebagai mahluk biologis dan sosial. Lima kebutuhan tersebut dipenuhi melalui lima unsur kebudayaan, yaitu unsur komunikasi, unsur klasifikasi, unsur organisasi, unsur ekonomi dan unsur kesehatan. Kita tidak perlu memperdebatkan unsur budaya mana yang paling awal di situ, karena selain hal itu memang sulit dilakukan, jawaban atas pertanyaan itu menurut hemat saya juga tidak sangat penting. Selain lima kebutuhan dasar tersebut, manusia juga masih memiliki kebutuhan-kebutuhan lain, yang keberadaanya dapat dikatakan muncul setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Meskipun demikian, pendapat ini lebih merupakan sebuah hipotesa daripada sebuah teori yang sudah terbukti kebenarannya. Jika kita menerima hipotesa ini sebagai kebenaran, maka unsur-unsur budaya lain yang diperlukan kehadirannya adalah unsur-
4
unsur budaya yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok manusia yang kedua (secondary needs), atau kebutuhan-kebutuhan turunan (derived needs). Ketika manusia telah hidup dalam kelompok-kelompok, tidak semua masalah yang mereka hadapi selalu dapat diselesaikan bersama. Satu masalah yang sangat mendasar yang selalu dihadapi dan bagi banyak manusia terasa menakutkan adalah kematian. Kematian merupakan salah satu tahap yang ada dalam setiap kehidupan. Meskipun demikian perenungan dan gagasan tentang kematian ini sendiri, beserta dengan gagasan lain tentang roh dan dunia roh, bisa dibayangkan atau diduga sebagai perangkat pengetahuan yang muncul setelah adanya kehidupan bersama itu sendiri. Jika kita sependapat bahwa kehidupan manusia merupakan sebuah kelanjutan dari kehidupan binatang, yang sudah mengenal kehidupan bersama walaupun tidak menjadi “manusia”, maka kehidupan sosial manusia tentunya sudah lebih dulu hadir sebelum adanya gagasan mengenai kematian dengan segala seluk-beluknya, seperti roh, dunia roh, penciptaan manusia, penguasa alam, dan sebagainya. Oleh karena itu, perangkat kepercayaan atau unsur budaya kepercayaan merupakan perangkat simbolik yang hadir setelah adanya lima perangkat dasar kehidupan manusia di atas. Unsur budaya ini muncul untuk mengatasi masalah ketidak-berdayaan. Dalam unsur budaya ini tercakup halhal seperti magi dan ”agama”. Unsur-unsur budaya berikutnya yang penting bagi kehidupan manusia, dan karena itu selalu ditemukan dalam setiap kebudayaan adalah unsur budaya pelestarian, unsur budaya permainan, unsur budaya transportasi, dan unsur budaya kesenian. Setiap unsur kebudayaan tersebut memiliki empat aspek atau wujud, yaitu wujud fisik atau material, wujud perilaku, wujud kebahasaan dan wujud gagasan. Sebagai contoh unsur budaya atau perangkat simbolik komunikasi. Perangkat simbolik ini secara fisik hadir dalam bentuk benda-benda, peralatan atau teknologi yang digunakan untuk melakukan komunikasi, mulai dari yang tradisiobal, seperti kul-kul atau kentongan, hingga yang sangat canggih seperti handphone dan laptop. Dalam wujud perilaku, perangkat simbolik ini hadir dalam bentuk berbagai perilaku, tindakan melakukan komunikasi seperti memukul kentongan, bercakap-cakap lewat tatap-muka, bercakap-cakap lewat telepon, menulis dan mengirim sms, dan seterusnya. Wujud kebahasaan unsur kebudayaan ini antara lain adalah berbagai istilah, percakapan dan wacana mengenai perangkat budaya ini seperti misalnya istilah kentongan, handphone, hape, sms, ngetwit, hacker, mengunggah, mengunduh, dan sebagainya. Wujud gagasan dari unsur budaya ini misalnya adalah: pengetahuan dan makna tentang kentongan, handphone, televisi, radio, internet, website, dan sebagainya. Unsur budaya kedua, yaitu perangkat klasifikasi, juga memiliki empat wujud. Wujud material perangkat ini antara lain adalah jari-jemari tangan yang digunakan untuk menghitung, sempoa, kalkulator, dan peralatan-peralatan untuk mengklasifikasi atau memilahmilah. Wujud perilaku perangkat simbolik ini adalah berbagai perilaku atau tindakan menghitung, memilah, menggolong-golongkan, muali dari penggolongan menjadi dua hingga penggolongan menjadi jutaan, milyaran, trilyunan, dan seterusnya. Wujud kebahasaan unsur budaya ini adalah berbagai istilah atau kosakata yang digunakan untuk menggolongkan, memilah, menghitung, dan seterusnya, seperti misalnya sanak-sedulur, anak, bapak, isteri, suami, kerabat, teman, milimeter, sentimeter, miligram, kilogram, hektar, celcius, fahrenheit, kwadrat, dan sebagainya. Wujud gagasan atau pengetahuan dari unsur budaya ini adalah berbagai pengetahuan dan makna dari istilah-istilah seperti suami, isteri, ayah, ibu, sentimeter, kilogram, hektar, kwadrat, dan seterusnya.
5
Unsur-unsur kebudayaan yang sepuluh tersebut -yang menurut perkiraan saya bersifat universal- memiliki empat aspek atau wujud, yang dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut. Tabel 1. Aspek dan Unsur Kebudayaan Unsur
Aspek gagasan
Aspek bahasa
Aspek perilaku
Aspek material
1. Komunikasi
tatabahasa, semantik
kosa kata
berbicara, berbincang
telepon, televisi, radio, internet
2. Klasifikasi
ilmu hitung, matematik
istilah-istilah penghitungan
Kegiatan penghitungan
sempoa, komputer kalkulator
3. Organisasi
nilai, norma, hak dan kewajiban
istilah, wacana organisasi
kekerabatan, perkumpulan
balai desa, rumah, pemukiman
4. Ekonomi
pengetahuan flora, fauna, tanah, air
istilah, wacana ttg flora, fauna, alam
berburu, meramu, bertani, beternak
Peralatan berburu, bertani, beternak
5. Kesehatan
Pengetahuan sehat,sakit, obat
istilah, wacana kesehatan
pengobatan, penyembuhan
obat, peralatan kedokteran
6. Kepercayaan Kepercayaan
kepercayaan ttg dunia ghaib
istilah-istilah kepercayaan
rituil-rituil, upacaraupacara
Peralatan ibadah, rumah ibadah
7. Pelestarian
pengetahuan, nilai, norma, aturan
istilah, wacana pelestarian
mengajar, kegiatan pelestarian, belajar
buku, pensil, sekolah, musium
8. Permainan
filsafat permainan, nilai, aturan
istilah, wacana permainan
olah-raga, permainan
alat olah-raga, alat permainan
9. Transportasi
pengetahuan ttg alat transportasi
istilah, wacana, transportasi
Kegiatan transportasi
sepeda, kereta api, mobil, pesawat
10. Kesenian Kesenian
pengetahuan ttg indah, bagus
Istilah, wacana ttg Keindahan
menari, menyanyi, melukis, mengukir
Peralatan tari, lukis ukir, musik
Sumber : Ahimsa-Putra, 2011.
4. Simbol, Kebudayaan dan Jatidiri Bangsa Dalam kehidupan sehari-hari, sebagian unsur kebudayaan ini dimanfaatkan betul-beteul sebagai sarana untuk menyatakan jatidiri. Apa yang dimaksud dengan jatidiri atau identitas (identity)? Identitas atau jatidiri, dari sudut pandang tertentu dapat didefinisikan sebagai sekumpulan simbol atau tanda, baik fisik, material maupun perilaku yang membuat seorang individu atau sekumpulan individu terlihat berbeda dengan individu atau kumpulan individu yang lain (cf. Goodenough, 1976). Oleh karena itu jatidiri atau identitas bisa ada pada tingkat individu atau kolektif (kumpulan individu). Kumpulan individu ini ada berbagai macam skala dan bentuknya. Skala yang paling kecil berupa sebuah keluarga inti (keluarga batih; nuclear family), yang terdiri dari bapak, ibu dan anak-anaknya. Skala berikutnya adalah rumah tangga, yang terdiri dari sejumlah individu yang memiliki dapur yang sama (Koentjaraningrat, 1977). Berikutnya adalah keluarga luas (extended family), yang terdiri dari sejumlah keluarga batih yang masih
6
memiliki hubungan kekerabatan satu dengan yang lain. Lebih luas lagi adalah kelompok kekerabatan (kingroup) yang lebih luas daripada keluarga luas karena berasal dari nenek-moyang yang sama, seperti misalnya marga di kalangan orang Batak. Kemudian berturut-turut kumpulan individu yang disebut komunitas, masyarakat, golongan, lapisan sosial, sukubangsa dan akhirnya bangsa (Ahimsa-Putra, 2006). Kumpulan individu ini bisa mempunyai simbol-simbol atau tanda-tanda -bisa fisik, material, perilaku atau kebahasaan-, yang membedakan mereka dengan kumpulan individu yang lain. Simbol atau tanda-tanda seperti inilah yang biasa disebut sebagai “identitas” (jatidiri, identity). Pada kumpulan individu yang tidak begitu besar, identitas ini tidak mudah terlihat, tetapi pada kumpulan individu yang besar, identitas ini seringkali segera terlihat. Misalnya suatu komunitas atau kelompok sosial yang memiliki ciri-ciri fisik tertentu, atau menunjukkan perilaku tertentu, atau menggunakan jenis bahasa atau dialek bahasa tertentu, dengan segera dapat dikenali sebagai suatu komunitas atau kelompok yang berbeda dengan yang lain. Misalnya, di Papua orang dapat segera mengenali bahwa mereka yang rambutnya lurus dan kulit lebih terang bukanlah orang Papua asli. Di Jawa orang juga sege-ra dapat mengenali bahwa mereka yang matanya lebih sipit, kulit lebih kuning adalah orang Tionghoa. Identitas ini juga dapat segera terlihat melalui pakaian, logat bahasa, atau perilaku tertentu seperti ketika berbicara, ketika makan, dan sebagainya (Ahimsa-Putra, 2011). Begitu juga halnya dengan suatu bangsa. Apabila kita telah mengunjungi berbagai negara dari bangsa yang berbeda-beda, misalnya Cina, India, Arab Saudi, Belanda, Jepang, dan sebagainya, tentu kita akan segera melihat adanya perbedaan-perbedaan yang cukup jelas di antara bangsa-bangsa ini. Dari segi fisik masing-masing bangsa memperlihatkan ciri-ciri yang berbeda. Demikian pula halnya dalam berperilaku, seperti misalnya dalam berpakaian, dalam berbicara, dalam berinteraksi satu dengan yang lain dan sebagainya. Berbagai ciri yang membedakan bangsa satu dengan yang lain inilah yang biasa disebut identitas atau jatidiri bangsa. Simbol-simbol atau tanda-tanda tertentu yang menjadi ”jatidiri” itu ada yang dipilih dengan sangat sadar, ada pula yang tidak. Ada yang memilih dengan seksama, entah itu berupa sesuatu yang material -misalnya pakaian, makanan, peralatan-, berupa polapola perilaku -misalnya menghormat, menyapa, atau yang lain-, atau berupa bahasa; ada pula yang memilihnya tidak dengan sangat seksama. Di lain pihak, jatidiri bisa juga merupakan ciri-ciri yang tidak disadari adanya oleh pemiliknya, tetapi ada dan diketahui oleh orang lain. Inilah yang seringkali disebut sebagai stereotype. Oleh karena ciri-ciri ini merupakan hasil persepsi orang lain, maka ciri-ciri ini seringkali bersifat negatif, dan karena itu pula seringkali tidak diakui oleh pemiliknya. Salah satu unsur yang biasa membentuk jatidiri suatu sukubangsa ini adalah kearifan-kearifan lokal yang dimiliki oleh sukubangsa tersebut. Manakala kearifan-kearifan lokal ini kemudian dianggap penting, bagus dan berharga oleh suatu sukubangsa, maka kearifan lokal ini dapat diangkat dan diakui sebagai kearifan sukubangsa. Selanjutnya, ketika kearifan sukubangsa ini dipandang penting, bagus dan berharga oleh bangsa, maka kearifan sukubangsa ini kemudian dapat diangkat dan diakui sebagai kearifan bangsa. Proses pengangkatan dan pengakuan dari tingkat lokal, sukubangsa ke tingkat bangsa ini bisa berjalan secara formal maupun informal. Demikian pula pengakuannya. Pengakuan itu bisa bersifat formal maupun informal.
7
Ambil sebagai contoh jamu. Ketika kita mendengar kata ”jamu”, maka yang terbayang dalam pikiran kita biasanya adalah suatu jenis minuman yang dibuat dari berbagai jenis tumbuhan tertentu dengan cara yang tertentu, dan dapat menyembuhkan penyakit atau sakit tertentu. ”Jamu” adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Jawa, sehingga jamu kemudian selalu dihubungkan dengan orang Jawa atau budaya Jawa. Dalam konteks tertentu, ”jamu” merupakan suatu bentuk kearifan lokal yang telah menjadi salah satu jatidiri orang Jawa atau budaya Jawa. Lain halnya ketika kita mendengar kata ”pasak bumi”. Meskipun istilah ini juga mengacu pada suatu jenis tumbuhan yang mempunyai khasiat atau daya sembuh tertentu, tetapi ”pasak bumi” tidak akan dihubungkan dengan budaya Jawa. ”Pasak bumi” sebagai salah satu wujud kearifan lokal di bidang kesehatan biasa dihubungkan dengan daerah Kalimantan, khususnya etnis Dayak, karena mereka inilah yang memperkenalkan khasiat jenis tumbuhan yang diebut ”pasak bumi”. Dari sudut pandang keidentitasan, ”pasak bumi” telah menjadi salah satu simbol yang menjadi jatidiri orang Kalimantan, khususnya orang Dayak. Pengakuan atas jamu dan pasak bumi sebagai salah satu unsur budaya milik suatu etnis tertentu di situ berlangsung secara tidak disadari dan bersifat informal. Pengakuannya tidak dilakukan melalui ”peresmian” tertentu secara formal, tetapi merupakan hasil pengakuan warga masyarakat, yang berlangsung melalui proses komunikasi dan interaksi yang terus-menerus di kalangan mereka yang melibatkan gugusan simbol-simbol jamu dan pasak bumi. Ketika sejumlah simbol-simbol diangkat dan diakui sebagai ekspresi jatidiri suatu sukubangsa atau bangsa maka simbol-simbol ini secara langsung ataupun tidak kemudian menyatukan individu-individu warga suku atau bangsa tersebut. Setiap warga sukubangsa atau anak bangsa kemudian merasa memiliki sejumlah sarana ekspresi jatidiri yang sama. Pemakaian simbol-simbol yang sama ini sebagai ekspresi jatidiri membangkitkan solidaritas yang bersifat mekanis, yaitu solidaritas yang didasarkan pada kesamaan (homogenitas) nilai-nilai dan perilaku, kesetiaan pada tradisi dan relasi kekerabatan (Durkheim, 1947). Di sinilah unsur-unsur kebudayaan berupa simbol-simbol tertentu berfungsi tidak hanya sebagai ekspresi jatidiri tetapi sekaligus juga sebagai sarana integrasi sosial bagi suatu bangsa. 5. Budaya Indonesia, Indonesia, Jatidiri Bangsa dan Integrasi Bangsa Atas dasar paparan di atas, pertanyaan yang muncul kemudian adalah: dalam hubungannya dengan Indonesia, apa yang dimaksud dengan “kebudayaan Indonesia”? Adakah “kebudayaan Indonesia”? Kalau ada seperti apa wujudnya? Kata kebudayaan sudah cukup jelas definisinya, bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sebagai suatu gagasan hadir secara formal dan diakui dalam kehidupan bangsa Indonesia adalah dalam Sumpah Pemuda. Dalam Sumpah Pemuda inilah pertama kali secara formal dinyatakan adanya “bangsa Indonesia” yang memiliki “tanah air Indonesia” dengan bahasa persatuan, “bahasa Indonesia”. Jika saat dinyatakannya Sumpah Pemuda dikatakan sebagai saat lahirnya bangsa Indonesia, dan kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan bangsa Indonesia, maka dengan sendirinya, kebudayaan Indonesia mulai ada pada tanggal 28 Oktober 1928, dan Sumpah Pemuda dapat dikatakan unsur kebudayaan Indonesia yang pertama kali dihadirkan. Sumpah Pemuda adalah kebudayaan Indonesia, dengan aspek gagasan dan aspek kebahasaan sebagai dua aspek yang paling jelas dari budaya tersebut. Dari perspektif yang lain, Indonesia dapat didefinisikan sebagai sebuah kawasan geografis di muka bumi dengan batas-batas yang bervariasi –ada yang jelas, cukup jelas,
8
dan tidak jelas- yang oleh orang Indonesia dianggap sebagai wilayah tanah-airnya, atau oleh bangsa lain dipandang sebagai wilayah Indonesia. Dari perspektif kewilayahan ini kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan yang ada di wilayah tersebut, mulai dari zaman purbakala sampai masa kini. Melalui perspektif inilah kita sebetulnya kita mengakui dan menyatakan candi Borobudur dan Prambanan, peninggalan manusia purba di Sangiran, budaya megalithik di Bengkulu, Jawa Barat, sisa-sisa budaya purba di gua-gua Sulawesi Selatan, sebagai budaya Indonesia atau warisan budaya Indonesia. Perspektif yang lain lagi mendefinisikan Indonesia sebagai orang Indonesia, sehingga kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan yang dihasilkan oleh orang Indonesia, dimanapun dia berada, kapanpun di hidup. Dari perspektif ini kita kemudian dapat mengatakan bahwa segala sesuatu yang dihasilkan oleh orang Indonesia -yang didefinisikan berdasarkan kewarganegaraannya- di manapun di berada -entah itu di Eropa, di Amerika atau tempat yang lain- dan kapanpun dia hidup -dulu, sekarang atau yang akan datang-, sebagai kebudayaan Indonesia. a. Budaya Indonesia dan Jatidiri Bangsa Berdasarkan atas uraian di atas kini kita dapat memahami mengapa orang Indonesia atau sukubangsa tertentu di Indonesia marah, jengkel atau geram ketika ada bangsa lain mengaku unsur-unsur budaya tertentu di Indonesia sebagai unsur budaya mereka. Hal ini menunjukkan bahwa unsur-unsur budaya tertentu dianggap telah menjadi bagian dari identitas sukubangsa dan juga bangsa Indonesia. Anggapan ini tidak dapat disepelekan oleh pihak yang lain. Akan tetapi tidak semua pihak lain mengetahui tentang anggapan tersebut, bahwa suatu unsur budaya telah dianggap sebagai simbol jatidiri suatu sukubangsa atau bangsa tertentu. Oleh karena itu pengakuan ini tidak dapat datang hanya dari diri-sendiri atau bangsa sendiri. Pengakuan juga harus datang dari pihak lain. Untuk unsur-unsur budaya Indonesia tertentu yang bersifat nasional ada yang sudah mendapat pengakuan pihak sendiri, dan tidak akan diabaikan oleh pihak atau bangsa yang lain, malah didukung. Sudah cukup banyak unsur budaya Indonesia yang berada dalam posisi seperti ini seperti misalnya Bahasa Indonesia, Sumpah Pemuda, Pancasila, Undang-Undang Dasar ’45. Ini semua merupakan simbol-simbol budaya Indonesia yang membuat bangsa Indonesia berbeda dengan bangsa yang lain. Unsur-unsur budaya ini sudah menjadi identitas bangsa Indonesia. Unsur budaya Indonesia yang lain ada yang sudah bersifat nasional namun masih belum dianggap sebagai budaya Indonesia. Tidak sedikit unsur budaya yang seperti ini, seperti misalnya seni lukis Indonesia, seni tari Indonesia, musik pop Indonesia, sistem politik Indonesia, sinetron, film Indonesia, seni foto Indonesia, suratkabar Indonesia, majalah Indonesia, dan sebagainya. Oleh karena unsur-unsur budaya Indonesia ini sudah sangat umum dalam kehidupan seharí-hari, kebanyakan orang Indonesia tidak menganggapnya sebagai unsur budaya Indonesia yang penting dan layak diperhatikan. Meskipun demikian, unsur-unsur budaya ini sudah menjadi bagian dari jatidiri bangsa Indonesia. Selain itu masih banyak lagi unsur budaya local Indonesia yang dianggap indah, bagus dan penting, yang kemudian juga dianggap sebagai bagian dari budaya Indonesia, seperti misalnya gamelan Jawa, subak Bali, tari tradisional Bali, tari tradisional Batak, rumah tradisional Toraja, rumah tradisional Minang, kain tenun Mandar, batik, keris, reog Ponorogo dan sebagainya. Unsur-unsur budaya lokal, regional, nasional yang sudah
9
dianggap sebagai bagian dari budaya nasional Indonesia tersebut juga merupakan ciri pembeda (distinctive features) bangsa Indonesia dengan bangsa yang lain. Pengakuan sebagian distinctive features ini sebagai budaya milik bangsa lain akan membuat orang Indonesia tersinggung. Di sini budaya atau unsur budaya Indonesia telah berperan menjadi jatidiri bangsa Indonesia itu sendiri. Yang perlu diingat adalah bahwa kebudayaan Indonesia di sini hadir dalam rupa unsur-unsur kebudayaan, bukan satu kebudayaan yang tunggal, utuh dan tidak terkandung unsur-unsur di dalamnya. Kesalahan dari pandangan yang mengatakan bahwa kebudayaan Indonesia belum ada adalah karena adanya pandangan yang salah mengenai kebudayaan itu sendiri. b. Budaya Indonesia dan Integrasi Bangsa Fungsi kebudayaan atau unsur-unsur kebudayaan sebagai jatidiri membawa implikasi penting terhadap integrasi nasional atau integrasi bangsa. Perlu diingat di sini bahwa integrasi bangsa atau kesatuan bangsa merupakan gejala sosial-budaya yang tidak stabil, yang juga mengalami perubahan-perubahan. Kadang-kadang integrasi tersebut kuat kadang-kadang lemah. Dalam keadaan yang tidak stabil ini budaya Indonesia sebagai simbol-simbol yang menjadi jatidiri bangsa dapat berfungsi meningkatkan integrasi bangsa. Salah satu unsur budaya penting yang sangat berkaitan dengan integrasi bangsa adalah sejarah, baik sejarah nasional maupun sejarah lokal. Dalam sejarah inilah berbagai peristiwa dan pengalaman masa lalu yang dialami bersama dilestarikan, dan bahkan juga dikembangkan. Berbagai hal yang masih belum begitu jelas kisahnya di masa lampau berusaha diketahui lebih pasti dan jelas lagi melalui berbagai penelitian sejarah. Berbagai pengalaman bersama yang diungkap kembali membangkitkan pengetahuan bahwa warga bangsa tersebut merupakan suatu kolektivitas dengan ikatan-ikatan sosial dan budaya tertentu. Kesadaran semacam ini akan memperkuat integrasi sosial suatu bangsa. Unsur-unsur budaya tertentu juga dipandang sebagai representasi dari bangsa tersebut, seperti misalnya lagu kebangsaan, bendera kebangsaan. Simbol-simbol seperti ini sangat jelas dapat memperkuat integrasi. Pelecehan terhadap lagu kebangsaan atau bendera kebangsaan pasti akan menimbulkan kemarahan pada warga bangsa pemilik lagu dan bendera tersebut. Kemarahan yang terjadi merupakan kemarahan kolektif, kemarahan suatu bangsa karena pelecehan simbol yang merepresentasikan mereka. 6. Penutup Dalam makalah ini saya mencoba menunjukkan peran kebudayaan dalam hubungannya dengan jatidiri dan integrasi bangsa. Untuk dapat menghubungkan kebudayaan dengan persoalan jatidiri dan integrasi, kebudayaan perlu dimaknai sebagai perangkat simbol yang dimiliki oleh suatu kolektivitas melalui proses belajar dan interkaksinya dengan lingkungannya, yang terdiri dari lingkungan sosial, budaya, dan lingkungan alam. Dengan demikian, dalam suatu kebudayaan selalu terdapat dimensi makna. Perangkat simbol-simbol ini memiliki terdiri dari sepuluh unsur, dan masing-masing unsur memiliki empat aspek, empat dimensi. Dengan memandang kebudayaan sebagai perangkat simbol maka kebudayaan dapat kita hubungkan dengan jatidiri dan integrasi social, karena di
10
dalamnya terlibat fenomena pemaknaan, yang sangat penting kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan manusia. Dengan adanya unsur pemaknaan maka simbol-simbol dalam kehidupan manusia dapat dimaknai sebagai bagian dari jatidiri manusia itu sendiri, baik individual maupun kolektif. Pada saat yang sama, dengan menjadikan suatu simbol berupa unsur kebudayaan sebagai bagian dari jatidiri, maka simbol tersebut kemudian dapat menjadi simbol yang membangkitkan solidaritas mekanis, yang berujung pada integrasi social yang menguat. Di sinilah kebudayaan terlihat mempunyai peran yang sangat penting sebagai sarana untuk ekspresi diri yang membangkitkan jatidiri dan memperkuat integrasi.
Daftar Pustaka Ahimsa-Putra, H.S. 2006. Peran dan Fungsi Nilai Budaya dalam Kehidupan Manusia. Makalah Dialog Budaya. _________. 2007a. ”Wacana Pembuka: Mencari Jatidiri Melayu” dalam H.S. Ahimsa-Putra, Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. _________. 2007b. ”Wacana Penutup: Kemelayuan Sebagai Tanda, Batas Sosial, Imajinasi dan Citra Budaya” dalam H.S. Ahimsa-Putra, Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. _________. 2011. Hakekat Kebudayaan: Pandangan Antropologi. Draft buku. Cassirer, E. 1945. An Essay on Man. Yale: Yale University Press. Durkheim, E. 1947. The Division of Labour in Society. Glencoe, Ill.: Free Press. Goodenough, W.H. 1976. Cooperation and Change. Sage. Koentjaraningrat. 1977. Pokok-pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat _________. 1982. Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Kroeber, A.L. dan C. Kluckhohn.19 . Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions. Lounsbury, F. 1966. “Varieties of Meaning” dalam Culture and Communication. New York: Holt, Rinehart and Winston. White, L. 1949. The Science of Culture. Farrar, Strauss and Giroux. ooooo
11
