JAMINAN KEPASTIAN HUKUM PEMEGANG SERTIFIKAT TANAH TERHADAP TERBITNYA SERTIFIKAT GANDA DAN PENYELESAIAN SENGKETA NON LITIGASI DIKABUPATEN GRESIK
SKRIPSI
OLEH : SALTON SULAIMAN NPM : 28120111
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2012
Telah diterima dan disetujui oleh Tim Penguji Skripsi serta dinyatakan LULUS. Dengan demikian skripsi ini dinyatakan sah untuk melengkapi syarat – syarat mencapai gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.
Surabaya, 11 Agustus 2012
Tim Penguji Skripsi
:
1. Ketua
: Tri Wahyu Andayani, S.H.,CN,.M.H
(……………………)
Dekan
2. Sekretaris
: Andy Usmina Wijaya.S.H.,M.H
(……………………)
Pembimbing
3. Anggota
: 1.
H. Musa. S.H.,M.H
(……………………)
Dosen Penguji I
2. H. Arief Syahrul Alam. S.H.,M.H Dosen Penguji II
(……………………)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………………
i
LEMBAR PERSETUJUAN ……………………………………………………………….
ii
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………………………
iii
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….
iv
LEMBAR PERSEMBAHAN………................................................................................
v
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………
vi
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang……………………………………………………………………
1
2. Rumusan Masalah………………………………………………………………
9
3. Penjelasan Judul…………………………………………………………………
9
4. Alasan Pemilihan Judul…………………………………………………………..
10
5. Tujuan Penelitian………………………………………………………………… .
10
6. Manfaat Penelitian……....................................................................................
11
7. Metode Penelitian………………………………………………………………...
12
1. Tipe Penelitian ……………………………………………………………… ..
12
2. Pendekatan Penelitian……………………………………………………… ..
13
3. Bahan Hukum…………………………………………………………………
14
4. Langkah Penelitian……………………………………………………………
15
a. Tahap Pertama……………………………………………………………
15
b. Tahap Pelaksanaan………………………………………………………
15
2. System Pertanggung Jawaban…………………………………………………..
16
BAB II PENGATURAN TERJADINYA SERTIFIKAT GANDA DI INDONESIA 2.1. Pengertian Sertifikat Ganda………………………………………………………
18
2.2. Sejarah Terjadinya Sertifikat Ganda……………………………………………...
23
2.3. Terjadinya Sertifikat Ganda………………………………………………………..
26
2.4. Pengaturan Hukum Sertifikat Ganda……………………………………………..
28
a. Pembatalan Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah…………………….
30
b. Tata Cara dan Persyaratan Pembatalan Hak Atas Tanah……………………...
32
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA TANAH DENGAN CARA NON LITIGASI PADA SERTIFIKAT TANAH DI INDONESIA 3.1. Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Sertifikat…………………………
35
3.2. Penyelesaian Sengketa Dengan Cara Non Litigasi……………………….……
39
3.2.1. Arbitrase……………………………………………………………………
40
3.2.2. Negosiasi…………………………………………………………………..
41
3.2.3. Mediasi…………………………………………………………………….
43
3.2.4. Konsiliasi…………………………………………………………………..
45
3.2.5. Konsultasi…………………………………………………………………
45
3.2.6. Evaluasi Netral Dini………………………………………………………
45
3.3. Non Litigasi Di Indonesia………………………………………………………..
45
3.4. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Sertifikat Ganda Dengan Cara
Non Litigasi…………………………………………………………………….
48
3.4.1. Kekuatan Pembuktian Non Litigasi Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah…………………………………………………………
48
3.4.2. Upaya Penanganan Sertifikat Ganda Saat ini……………………….....
49
3.5. Penyelesaian Sengketa Sertifikat Ganda Dengan Cara Non Litigasi………..
50
3.6. Beberapa Peraturan dan Pasal Yang Berkaitan Dengan Kepastian Hukum Sebagai Bukti Hak Kepemilikan Atas Tanah………...........................
52
BAB IV PENUTUP 4.1.Kesimpulan…………………………………………………………………………
59
4.2. Saran……………………………………………………………………………….
61
DAFTAR BACAAN………………………………………………………………………...
62
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah Swt atas segala rahmat dan berkah’nya yang tiada henti, penulis dapat menyelesaikan tugas akhir kuli yaitu skripsi ini. Penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat dalam mencapai gelar Sarjana Hukum pada Universitas Wijaya Putra Surabaya. Dalam skripsi ini penulis mencoba menguraikan dan meneliti, penulis meneliti tentang kepastian hukum pemegang sertifikat hak milik atas bidang tanah berdasarkan Undang – Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang tujuan pendaftaran tanah sebagai jaminan hukum. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masi banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis memohon maaf dan untuk itu pula penulis bersedia menerima kritik maupun saran dari semua kalangan. Terselesaikannya tulisan skripsi ini tidak terlepas atas keikutsertaan pihak – pihak yang dengan ikhlas membantu penulis dengan dorongan dan bimbingan dalam proses penyusunan, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada : 1. Bapak H. Budi Endarto, SH.,M.Hum selaku Rektor Universitas wijaya putra; 2. Ibu Tri Wahyu Andayani . SH.,CN.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra; 3. Bapak Andy Usmina Wijaya.SH.,MH selaku Kepala Jurusan (KAJUR) Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra sekaligus Dosen pembimbing yang atas kesabaranya untuk meluangkan waktu dan pikiran dalam proses bimbingan hingga terselesaikannya tulisan skripsi ini; 4. Seluruh Dosen, Staf pengajar dan pegawai dilingkungan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya; Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bukan hanya dalam dunia pendidikan saja melainkan juga masyarakat luas Surabaya, 11 Agustus 2011
Penulis
iv
LEMBAR PERSEMBAHAN karya ini adalah bingkisan terindah dari Allah yang penulis persembahkan untuk : “ Ibu dan Bapak ku tercinta “ atas semua kebahagiaan dan dukungan yang sudah diberikan kepada’ku selama ini hingga aku bisa menempuh gelar Sarjana Hukum;
Untuk yang tersayang Istriku dan anak’ku “ Sandy Mahesa Putra “ yang selalu memberikan semangat motifasi yang positif kepadaku;
Teman – teman termanis’ku fakultas hukum Rangga Setiyobudi, Hetty widiawati, Sahrin, obet, Rendy, semuanya sahabatku arek – arek hukum 2008 khususnya;
Buat dosen faforit’ku pak Sahrul Alam dan Pak Andy Usmina saya mohon maaf jika selama bimbingan skripsi dan menguji saya sering membantah, berdebat serta membuat beliau marah – marah;
Untuk pihak – pihak yang tidak bisa aku sebutkan satu persatu disini thanks a lot. …..;
“thank’s for being my eyes when I couldn’t see…. For being my heart when I couldn’t feel….. AND For being SOMEONE SPECIAL for the rest of my life
Penulis
“Jaminan Kepastian Hukum Pemegang Sertifikat Tanah Terhadap Terbitnya Serifikat Ganda dan Penyelesaian Sengketa Non Litigasi Di Kabupaten Gresik”
SKRIPSI
NAMA
: SALTON SULAIMAN
FAKULTAS
: HUKUM
JURUSAN
: ILMU HUKUM
NPM
: 28120111
DISETUJUI dan DITERIMAH Oleh : PEMBIMBING
ANDY USMINA WIJAYA,S.H.,M.H
ii
1
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah Sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk di indonesia yang semakin meningkat kebutuhan akan tanah juga sangat berpengaruh penting, tanah tidak hanya sebagai tempat bermukim tetapi juga tempat untuk bertani dan juga dapat dipakai sebagai jaminan bank, untuk keperluan jual beli dan sewa menyewa. Begitu pentingnya kegunaan tanah bagi orang atau badan
hukum menuntut adanya jaminan kepastian hukum atas tanah
tersebut, banyaknya kasus sengketa tanah yang terjadi di Indonesia dewasa ini menyangkut berbagai surat tanah baik yang belum terdaftar secara hukum dan belum memiliki sertifikat, tetapi juga tanah yang sudah didaftar dan mempunyai seritifikat, kenyataan ini menimbulkan kesan di masyarakat betapa alat bukti berupa sertifikat atau Surat Hak Milik belum menjamin kekuatan Hak seseorang atau badan hukum atas tanah, untuk itu selain memiliki surat yang berupa sertifikat, pemegang hak juga harus mengetahu tata cara serta hak dan kewajiban pemegang Sertifikat atau hak atas tanah. Sengketa atau konflik atas tanah terjadi akhir – akhir ini mendorong masyarakat harus mengetahui jenis - jenis surat tanah apa saja yang dapat dijadikan peganggan serta Bisa menjamin hak seseorang atau badan hukum jika terjadi sengketa dikemudian hari, untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum atas bidang tanah tersebut masyarakat memerlukan perangkat hukum yang tertulis , lengkap, jelas dan dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan – ketentuan yang berlaku serta Dokumen –
2
dokumen tertulis yang memuat data fisik dan data yuridis tanah bersangkutan, dokumen pertanahan tersebut dapat dipakai sebagai salah satu alat bukti dan sebagai pegangan hak bagi seseorang atau badan hukum terhadap suatu bidang tanah, seseorang ingin membeli atau menjual sebidang tanah jika terjadi transaksi baik jual - beli, hiba maupun waris. Jaminan kepastian hukum atas tanah sebenarnya sudah diatur dalam Undang – undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok – pokok Agraria atau yang sering disingkat (UUPA) Undang – undang ini memerintahkan diselengaranya pendaftaran atas tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum dengan tujuan menghasilkan surat – surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat berupa sertifikat dan didalam sertifikat tanah tersebut dicantumkan data fisik dan data yuridis yang harus diterima sebagai data yang benar, didalam sertifikat juga dijelaskan pemilik hak atas tanah baik yang dimiliki secara perseorangan atau badan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 UUPA yaitu Hak milik, hak pakai, hak sewa, hak guna bangunan, hak memungut hasil hutan dan hak – hak lain Perlindungan bagi pemegang hak atas tanah juga diatur Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah menyebutkan tujuan dari pendaftaran tanah adalah untuk memberi kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah dan untuk menyediakan informasi kepada pihak – pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum
3
mengenai bidang – bidang tanah yang sudah terdaftar serta untuk menyelengarakan tertip administrasi pertanahan. Begitu banyaknya konflik dan sengketa tanah yang terjadi dan adanya sistem pendaftaran tanah Masal yang di lakukan oleh pemerintah jawa timur melalui panitia Ajudikasi dalam hal ini anggota Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan satuan tugas (Satgas) pada tahun 1964 dan tahun 1999 khususnya di Kabupaten Gresik membuat masyarakat tidak yakin akan adanya jaminan hukum dan perlindungan hukum terhadap seseorang atau badan hukum yang memiliki hak atas tanah, adanya kesalahan prosedur pendaftaran atas tanah dan munculnya dua surat tanah atau sertifikat atas satu bidang tanah membuat masyarakat kurang percaya dan merasa kebinggungan, kasus yang paling rumit muncul di Desa Banyu urip Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik, seorang warga melaporkan adanya surat tanah hak milik ganda dengan kondisi satu bidang tanah yang sama, surat hak milik tersebut berupa Sertifikat tahun 1999 dan Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria tahun 1964 hal ini membuktikan bahwa kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah tidak bisa member jaminan dan kenyamanan kepada seseorang atau badan hukum untuk menikmati dan mengunakan haknya dalam mengelola serta memungut hasil hutan. Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Keppres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, pada dasarnya memberi kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah untuk menuntaskan
4
masalah-masalah agrarian Padahal dalam Undang – undang Nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan pokok agrarian pasal 19 : pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum bagi seseorang atau badan hukum, dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 khususnya pasal 3 : memberikan perlindungan kepada pemegang hak dan kepastian hukum atas suatu bidang tanah yang telah di daftarkan di Badan Pertanahan Nasional, dalam hal ini siapa yang mau dipersalahkan.
Sementara
itu,
gagasan
untuk
membentuk
kelembagaan
dan
mekanisme khusus untuk menyelesaikan sengketa tanah semacam Komisi Nasional Penyelesaian Sengketa Agraria dan juga pembentukan lembaga sejenis di daerah sebagaimana yang pernah diusulkan oleh berbagai kalangan, kiranya menjadi relevan pula untuk semakin didesakkan, terlebih jika pemerintah memang benar-benar berkehendak untuk menjalankan reformasi agraria dan menangani permasalahan agraria secara serius. Belajar dari tragedi Pasuruan, jika Badan Pertanahan Nasional mencatat ada 2.810 kasus sengketa tanah yang berskala nasional, maka boleh dibayangkan bagaimana hebatnya bom waktu yang akan meledak jika kasus-kasus tersebut tidak segera mendapatkan penanganan dan penyelesaian yang layak dan yang berpihak pada kepentingan rakyat. Banyaknya permasalahan pertanahan yang melibatkan masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan perusahaan maupun masyarakat dengan pemerintah yang kerap berujung pada dirugikannya salah satu pihak dirasakan perlu dilakukan penyelesaian sengketa alternatif (PSA). Saat ini di Indonesia belum ada langkah PSA, selama ini permasalahan sengketa pertanahan selalu di selesaikan di pengadilan dimana biasanya dalam proses pengadilan tersebut
5
membutuhkan waktu yang cukup lama, biaya cukup mahal dan tidak bisa langsung di eksekusi. Sehingga sebelum berkas perkara masuk ke pengadilan perlu dibuat mekanisme PSA. Diantaranya membuat lembaga mediasi dan membuat arbitrase pertanahan, dimana lembaga mediasi bertugas mempertemukan pihak-pihak bersengketa, sedangkan arbitrase mempunyai tugas untuk melakukan penyelesaian di luar pengadilan tetapi berkas berada di pengadilan.
Sesuai dengan pasal 33 (3) UUD 1945 “(Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasaai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat)” Berkaitan dengan perubahan sosial tersebut, bidang hukum juga mengalami perubahan dalam aplikasinya. Hal ini terlihat dalam persoalan tanah di berbagai daerah menunjukkan peningkatan sengketa yang semakin tidak bisa dihindarkan karena mengiringi perubahan sosial yang muncul secara bersamaan di berbagai daerah. Antara perubahan sosial dan hukum khususnya hukum tentang kepemilikan hak atas tanah menjadi masalah mendasar yang harus segera mendapatkan solusi, Dalam masalah yang mendasar tersebut paling tidak ada beberapa persoalan yaitu; Pertama, tentang keadilan sosial, yang kedua, tentang hubungan antara tanah, negara dan Individu, ketiga, kedudukan petani dan buruh tani karena pengaruh dari luar, keempat yakni hubungan hukum pertanahan dalam kaitannya dengan persatuan dan kesatuan nasional. Dalam sejarah perkembangan kepemilikan hak atas tanah paling tidak Indonesia telah mengalami lima kali perubahan antara lain :
6
1. Pada masa Belanda meninggalkan Indonesia dan Jepang menjadi penjajah baru, dalam masa ini penataan kepemilikan hak atas tanah mengalami fase awal penataan karena aturan - aturan dan pengusaan tanah masih atas nama penjajah Belanda sementara Indonesia dikuasai penjajah Jepang. Dalam masa ini sebagaian besar tanah bekas perkebunan Belanda dikuasai Jepang dan belum dilakukan penataan secara teratur, karena hanya kurun waktu 3,5 tahun Jepang sudah meninggalkan Indonesia 2. Pada masa kemerdekaan, pada masa ini penataan tanah perkebunan Belanda banyak dikuasai oleh darurat militer yang bekerja sama dengan penduduk setempat untuk menggarap lahan bekas perkebunan tersebut, sehingga belum ada penataan secara pasti tentang kepemilikan hak atas. 3. Pada masa diundangkan UUPA 1960: Pada masa ini penataan kepemilikan hak atas tanah mulai dilakukan dengan dasar-dasar hukum yang sudah ditentukan oleh pemerintah Republik Indonesia, termasuk di dalamnya adalah tanah-tanah yang menjadi obyek land reform tahun ‘64 SK/49/KA/64 tentang redistribusi tanah perkebunan untuk kepentingan penduduk dan desa yang ada di sekitar perkebunan. Belum tuntas mengenai penataan tanah sudah muncul gejolak tahun 1965 tentang G/30.S/PKI yang menyisakan persoalan tentang penataan tanah tersebut. 4. Pada masa perubahan dari rezim Orla ke rezim Orba, dalam masa ini persoalan tanah bermunculan karena kepemilikan tanah secara legal dilakukan dengan cara-cara paksa oleh mereka yang berkuasa secara politik pada waktu itu terhadap mereka yang dianggap terlibat G/30 S/PKI.
7
Sehingga penataan tanah pada masa Orde Baru tersebut tidak bisa memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat pada masa itu. Meskipun demikian masyarakat tidak mengalami gejolak karena ditekan oleh pihak aparat keamanan dengan dasar stabilitas nasional. 5. Masa reformasi; pergantian dari rezim Orde Baru ke reformasi menyisakan problem pertanahan yang mengakibatkan tuntutan warga yang merasa dirampas haknya pada masa Orde Baru muncul di permukaan, sehingga hampir mencapai 50% lebih tanah perkebunan di wilayah
Indonesia
umumnya
dan
khususnya
Kabupaten
Gresik
mengalami sengketa dengan landasan menuntut dikembalikan hak mereka yang pernah dirampas oleh rezim Orde Baru ketika itu. Di Era reformasi yang sedang berkembang di masyarakat, serta konsep desentralisasi otonomi daerah) yang dicanangkan semenjak tumbangnya Orde Baru, menjadi dimungkinkan penyelesaian sengketa hukum dilakukan dengan cara non litigasi, sebab penyelesaian ini sebetulnya adalah alternatif penyelesaian yang lebih cepat, singkat dan dengan biaya yang murah, serta menjamin jalan kompromi terhadap pihak - pihak yang bersengketa, Sengketa hak atas tanah banyak terjadi di berbagai tempat hampir di seluruh Indonesia, baik di pelosok–pelosok desa maupun di perkotaan, sebab tanah tidak akan bertambah luasannya sementara itu jumlah komunitas manusia setiap waktu selalu bertambah seperti deret hitung. Dengan demikian persoalan sengketa hak atas tanah tidak akan pernah berakhir, bahkan akan terus mengalami peningkatan seiring pertambahan jumlah manusia itu sendiri.
8
Berbagai ragam sengketa hak atas tanah, akan terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, baik yang menyangkut sengketa perebutan hak, sengketa status tanah maupun bentuk-bentuk sengketa yang lainnya. Sengketa tersebut akan melibatkan banyak kesatuan masyarakat, antara lain sengketa antar kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan institusi lain non pemerintah, antar masyarakat itu sendiri, yang akan terus mengalami peningkatan, sehingga terhadap
berbagai
sengketa
tersebut
harus
ditemukan
format
penyelesaiannya. Sengketa hak atas tanah adalah perebutan hak bukan perebutan tanah, sehingga yang diperebutkan adalah status hak yang melekat pada obyek yang disebut tanah. Hak yang melekat pada tanah bisa saja berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak-hak yang lainnya. Di Kabupaten Gresik (obyek penelitian) terdapat 22 wilayah perkebunan (baik yang dikuasai oleh pemerintah maupun swasta) sebanyak 16 wilayah perkebunan dikategorikan bermasalah (mengalami sengketa). Masyarakat menuntut dilakukan pengembalian hak garap dan kepemilikan serta diredistribusi tanahnya. Tuntutan tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, antara lain faktor hukum, politik, sosial ekonomi, sejarah kepemilikan dan sebagainya. Dipilihnya obyek penelitian di Kabupaten Gresik karena karakter sengketa yang terjadi pada obyek penelitian bisa mewakili karakter sengketa yang terjadi di berbagai wilayah seluruh Indonesia, sehingga hasil penelitian ini
9
nantinya bisa dipakai sebagai pedoman penyelesaian sengketa tanah perkebunan secara universal di berbagai wilayah.1
2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas mengenai Jaminan kepastian hukum atas tanah dalam Undang – undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok – pokok Agraria atau yang sering disingkat (UUPA) menimbulkan permasalahan sebagai berikut : 1) Bagaimana terbitnya sertifikat ganda dan jaminan hukum pemegang sertifikat di Kabupaten Gresik ? 2)
Bagaimanakah penyelesaian sengketa tanah melalui jalan non litigasi di Kabupaten Gresik ?
3. Penjelasan Judul Jaminan kepastian hukum bagi pemegang surat tanah adalah perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah yang telah di daftarkan di Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang berupah sertifikat Hak Milik. Sertifikat ganda adalah dua buah sertipikat atau lebih dimana obyek tanahnya sebagian atau seluruhnya sama, tetapi data subyeknya bisa sama atau bisa juga berlainan. Penyelesaian sengketa non litigasi sebuah
1
Wawancara dengan sekertaris BPN Gresik, 17 Mei 2012.
10
penyelesaian diluar pengadilan yang mekanismenya membuat lembaga mediasi
dan
membuat
arbitrase
pertanahan
dengan
harapan
bisa
mempercepat penyelesaian sengketa dengan adil, mudah dan tidak mengunakan biaya yang terlalu tinggi. Agar bisa menghindari konflik anarkis yang terjadi selama ini dalam penyelesaian sengketa tanah di pengadilan.
4. Alasan Pemilihan Judul Jaminan akan kepastian hukum dan penyelesaian sengketa tanah yang di atur dalam Undang – undang Nomor 5 tahun 1960 belum memberikan keadilan bagi masyarakat dengan banyaknya kejadian – kejadian anarkis sampai hilangnya nyawa seseorang demi mempertahankan hak miliknya. Dari sinilah penulis mengangkat judul
“Jaminan Kepastian Hukum Pemegang
Sertifikat Tanah Terhadap Terbitnya Serifikat Ganda dan Penyelesaian Sengketa Non Litigasi Di Kabupaten Gresik”.
5. Tujuan Penelitian 1) Tujuan akademik adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan pada study tahap akhir guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra. 2) Sedangkan tujuan praktisi yakni penulis berupaya untuk mengali dan meneliti serta menjelaskan mengenai kepastian hukum bagi pemegang
11
surat tanah yang berupa sertifikat atau Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria dan penyelesaian sengketa tanah dengan cara non litigasi.
6. Manfaat Penelitian Studi
yang
dilakukan
oleh
penulis
ini
diharapkan
dapat
memberikan banyak manfaat diantaranya : 1) Member pemahaman pada para pemerhati hukum, pelaku hukum, dan pembelajar hukum tentang penyelesaian masalah berkaitan dengan sengketa hak bisa diselesaikan secara efektif melalui cara non litigasi. 2) Sebagai bahan rujukan atau pertimbangan penelitian yang akan datang. 3) Sebagai sumbangan informasi pemikiran serta bahan masukan dan wacana yang bersifat ilmiah dan bermanfaat bagi masyarakat secara umum. 4) Menunjukan adanya transisi yang terus menerus dari waktu kewaktu dalam
kaitanya
dengan
penyelesaian
sengketa
masalah
hukum
pertanahan khususnya tanah di Kabupaten Gresik. 5) Memaparkan adanya hubungan yang erat dan saling terkait antara masalah politik khususnya masalah politik pertanahan dengan masalah hukum pertanahan. 6) Memaparkan penyelesaian non litigasi sebagai alternative penyelesaian sengketa tanah di Kabupaten Gresik pada obyek penelitian.
12
7. Metode Penelitian Metode pengkajian atau penelitian hukum adalah cara untuk mencari jawaban yang benar mengenai permasalahan tentang hukum, maka konsep hukum yang jelas akan amat menentukan metode yang tepat dan layak dipakai, selanjutnya dikatakan bahwa konsep hukum itu sangat variatif karena hukum adalah suatu realitas sosial budaya yang konstruktif, konsepsionalnya tergantung pada paradigmanya.2 oleh karna itu realitas sosial yang dikaji adalah realitas yang dipandang sebagai hasil konstruksi individu dan sosial, maka metode pendekatan dalam kajian inipun harus disesuaikan dengan paradigmanya yang menggunakan sosiologis hukum yaitu paradigma rekayasa sosial yang menekankan pada efektifitas hukum. 1) Tipe Penelitian Normatif Studi ini melihat hukum dari perspektif Undang – undang pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 tentang kepastian jaminan hukum bagi pemegang sertifikat terhadap hak atas bidang tanah serta Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, dengan demikian studi ini memadukan dua bidang yakni jaminan hukum dan masalah social, studi ini merupakan studi hukum karena secara ontologis substansi yang dikaji dalam studi ini merupakan bagian dari system hukum yakni komponen prosedural hukum (dalam hal ini penyelesaian sengketa hak atas tanah perkebunan yang merupakan sengketa hukum di kabupaten Gresik) studi inipun termasuk dalam rana studi sosiologi hukum karena fokus studi ini berhubungan dengan Kebiasaan masyarakat dan prilaku masyarakat kota gresik yang 2
Soetandyo Wignyosoebroto
13
menuntut jaminan hukum hak atas tanah serta penyelesaian sengketa secara cepat praktis dan tidak memerlukan biaya yang tinggi sekaligus rana politik pertanahan yang berlangsung terus – menerus dalam masa transisional Penelitian ini dilakukan pertama untuk mencari kepastian hukum, jaminan hukum serta keadilan dan mendeskrepsikan tentang aturan – aturan dasar yang dipakai sebagai pijakan lebih jauh untuk mengkaji sengketa hak atas tanah di kabupaten Gresik tersebut, sekaligus merupakan dasar penelitian untuk mengungkap lebih dalam lagi tentang terjadinya sengketa hak atas tanah tersebut, sekaligus merupakan dasar penelitian untuk mengungkap lebih dalam lagi tentang terjadinya sengketa hak atas tanah di Kabupaten Gresik. Kedua: hal – hal yang berkaitan dengan kajian empiris dari persoalan – persoalan yang melatarbelakangi sengketa tanah beserta penyelesaianya oleh mediator DPRD dalam hubunganya dengan masalah social, ekonomi dan politik yang merupakan faktor – faktor munculnya sengketa dalam wilaya tanah tersebut. Dalam kajian tersebut diatas, hukum positif tetap sebagai dasar pijakan untuk mengungkap hal – hal yang berkaitan dengan sengketa tanah, sehingga hukum positif “ in abstracto “ (yang berhubungan dengan tanah) dapat memberikan kemungkinan rakyat menuntut haknya yang perna dimiliki dengan bukti yang ada yaitu dokumen – dokumen atau Sertifikat. 2) Pendekatan penelitian
14
Dalam penelitian ini, penulis mengunakan pendekatan dengan cara menelaah Perundang – undangan ( statute approach ) dan studi kasus di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Gresik dan kajian terhadap peraturan perundang – undangan yang berlaku serta peraturan lain yang terkait dengan pokok masalah yang dibahas. Penulis juga mengunakan pendekatan kasus, pendekatan historis, makalah – makalah dalam seminar dan sebagainya serta internet. 3) Bahan Hukum dan Jenis Data Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan dan penelitian studi kasus ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan – peraturan yang berhubungan dengan penulisan dan penelitian setudi kasus ini, sehingga peraturan – peraturan tersebut merupakan pijakan dalam menganalisis penulisan dan penelitian ini. Sedangkan bahan hukum sekunder terdiri dari bahan – bahan yang didapatkan dari buku-buku bacaan. Bahan hukum sekunder merupakan bahan penunjang yang terdiri dari pendapat – pendapat ahli hukum yang digunakan sebagai bahan untuk menganalisa perundang-undangan. Pendapat – pendapat ahli hukum dalam buku tersebut terdiri dari pandangan-pandangan para ahli yang kemudian dikompilasi untuk menjadi rujukan dalam menganalisis sebuah permasalahan yang berkaitan dengan sengketa hak atas tanah di Kabupaten Gresik. Jenis data dalam penelitian ini ada dua yaitu, pertama data dokumen atau studi kepustakaan. Data ini diambil dari buku – buku kepustakaan, dokumen
15
resmi milik pemerintah atau swasta yang berada pada instansi maupun lembaga yang berhubungan dengan perkebunan. Data ini berupa buku – buku atau dokumen – dokumen resmi yang menjadi rujukan dalam penulisan sekripsi ini. Kedua, data lapangan yaitu data yang berada dimasyarakat dengan mengamati serta meninjau lapangan secara langsung dan melihat langsung lokasi tempat penelitian dilakukan. Data lapangan merupakan data yang masi mentah karna berupa catatan – catatan yaitu catatan fakta yang ada dilapangan serta hasil wawancara yang kemudian diolah menjadi rujukan dalam penulisan dan studi kasus ini. Fakta lapangan adalah data yang masi mentah sehingga data tersebut perlu penyaringan dalam menindak lanjuti apakah data tersebut bisa dimasukan dalam penulisan atau tidak. 4) Langkah Penelitian Langkah penilitian yang dilakukan oleh penulis melalui beberapa tahap, yaitu : a) Tahap Pertama Pada tahap pertama ini penulis melakukan penelitian dengan cara mengumpulkan bahan – bahan hukum dan menginventarisasi bahan hukum yang terkait dengan mengunakan studi kepustakaan dan media lainya seperti internet dan lain – lain. Kemudian bahan hukum diklasifikasikan dengan cara memilah – milah bahan hukum, dan disusun secara sistematis agar mudah dibaca dan di pahami b) Tahap Pelaksanaan
16
Dalam tahap pelaksanaan ini dilakukan penelitian kepustakaan dan penyesuaian terhadap data primer dan bahan hukum sekunder. Selain itu dilakukan pengumpulan data sekunder melalui studi dokumen serta studi lapangan secara langsung dan wawancara kepada pihak – pihak terkait dalam pemilihan judul ini serta dari bahan internet dan lain – lain.
8. Sistematika Pertanggung Jawaban Agar bisa memberikan gambaran secara garis besar serta memahami permasalahan dalam penelitian, memudahkan pembahasan. Maka skripsi ini disusun secara sisitematis yakni dibagi menjadi 4 ( empat ) Bab dan sub – sub bab sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN. penulis skripsi ini mulai dari bab I yang berisi tentang pendahuluan pada intinya mengemukakan berbagai alasan dan latar belakang munculnya penulisan skripsi ini, dalam bagian ini juga dikemukakan rumusan masalah kemudian akan dijawab pada bab – bab berikutnya serta kegunaan penulisan dan penelitian , baik bagi kalangan umum maupun akademisi. BAB II PENGATURAN TERJADINYA SERTIFIKAT GANDA Di INDONESIA Dalam bab ini membahas tentang pengertian secara umum tentang surat tanah, sejarah sertifikat ganda, dan sebab - sebab munculnya dua sertifikat dalam satu bidang tanah atau yang sering di sebut sertifikat ganda serta cara pencegahan, hal ini yang memicu munculya sengketa pertanahan di Kabupaten Gresik
17
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA TANAH DENGAN CARA NON LITIGASI DI INDONESIA. Pada bab ini membahas tentang kepastian hukum serta perlindungan hukum atas hak milik berupa sertifikat dan cara penyelesaian sengketa tanah diluar pengadilan atau non litigasi yang mudah, cepat, adil dan tidak mengunakan biaya yang terlalu tinggi. BAB IV PENUTUP. Merupakan bagian akhir dari penelitian yang terdiri atas bagian kesimpulan dan saran sebagai jawaban singkat atas rumusan masalah dan bagian saran sebagai sumbangan pemikiran masukan dalam khasana hukum sehingga melalui ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan kedepan atau wacana yang positif terhadap penjelasan tentang masalah sengketa tanah.
18
BAB II PENGATURAN TERJADINYA SERTIFIKAT GANDA DI INDONESIA
2.1.Pengertian Sertifikat Ganda Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana yang dimaksut dalam pasal 19 Ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satu rumah susun dan hak tanggungan yang masing – masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Sertipikat ganda adalah dua buah sertipikat atau lebih dimana obyek tanahnya sebagian atau seluruhnya sama, tetapi data subyeknya bisa sama atau bisa juga berlainan3. Ada beberapa kemungkinan terjadinya sertipikat ganda yaitu : 1)
Kedua atau lebih sertipikatnya asli tapi salah satunya asli tapi palsu. Artinya keduanya mempunyai salinan/arsip di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Hal ini Terjadi karena suatu bidang tanah sudah bersertipikat akan tetapi di daftarkan lagi pada Kantor Pertanahan, jadi keduanya memang asli produk BPN akan tetapi obyek/bidang tanahnya sama baik letak, posisi maupun luasnya.
2)
Kedua sertipikat palsu artinya kedua sertipikat tersebut tidak terdapat salinannya di Kantor Pertanahan/BPN atau tidak ada arsipnya.
3
Srikuntjoro “ Sertifikat Ganda “ Jakarta 2010 / 10 / 04
19
3)
Salah satu atau lebih sertipikat tersebut merupakan bagian dari sertipikat yang lain. Hal ini terjadi karena bidang tanah yang didaftarkan seharusnya didaftarkan melalui proses pemecahan sertipikat induknya, atau sebaliknya penerbitan sertipikat yang satu harusnya merupakan penggabungan dari beberapa sertipikat yang lain.
4)
Overlapping (tumpang tindih) yaitu ada dua atau lebih sertipikat yang tumpang tindih satu dengan lainnya sehingga bagian yang tumpang tindih tersebut merupakan sertipikat ganda. Karena sebagian tanahnya termasuk dalam sertipikat yang lain. Sengketa tanah adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih karena
perbedaan nilai, kepentingan, maupun persepsi mengenai status kepemilikan hak atas tanah tertentu yang dapat diselesaian melalui musyawarah maupun melalui peradilan. Tipologi masalah pertanahan menurut Petunjuk Teknis tentang pemetaan masalah dan akar masalah pertanahan adalah jenis sengketa, konflik dan atau perkara pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani, terdiri dari masalah yang berkaitan dengan Penguasaan dan pemilikan tanah, Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, Batas atau letak bidang tanah, Pengadaan Tanah,Tanah Ulayat, dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan.4 Sifat permasalahan suatu sengketa tanah secara umum ada beberapa macam, yaitu :
4
Harsono Boedi, Hukum Agraria Indonesia Jakarta 1988
20
1) Masalah yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak; atau atas tanah yang belum ada haknya. 2) Bantahan terhadap suatu alas hak / bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak, 3) Kekeliruan / kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang tidak benar dan Sengketa lain yang mengandung aspekaspek sosial praktis5 Banyaknya kejadian anarkis hingga menimbulkan korban jiwa adalah salah satu bentuk cara mereka mempertahankan hak atas tanah tersebut, salah satu faktor adalah adanya serifikat hak milik ganda yang di terbitkan oleh Badan pertanahan Nasional. Hukum agrarian yang berlaku sebelum adanya UUPA pada 24 September 1960 bersumber pada hukum adat ( hukum agrarian adat ) dan kitab Undang – undang perdata Indonesia ( hukum Agraria barat ). Berlakunya hukum agraria adat bersama – sama dengan hukum agraria barat menyebabkan dualism berlakunya hukum pertanahan di Indonesia BPN gresik menjelaskan dampak – dampak dari sertifikat ganda yaitu : Terjadi sengketa hak atas tanah. Sengketa pertanahan yang diakibatkan karena sertipikat ganda sangat banyak dari tahap musyawarah di tingkat desa sampai pada tahap proses di Pengadilan bahkan ada yang sampai mahkamah Agung. Sering kali Pihak Badan pertanahan nasional 5
Rusmadi Murad, Tipologi Sengketa Jakarta 1991
21
menutup mata terhadap kasus tersebut dan mengembalikan / menumpahkan kesalahan kepada pihak pemilik tanah karena pada saat :
1. mengajukan permohonan sudah membuat pernyataan tanhnya belum bersertipikat. Mestinya Pihak BPN yang seharusnya tahu tanah tersebut sudah atau belum bersertipikat, dan fungsi identifikasi bidang tanah yang dilakukan oleh petugas pengumpul data yuridis dan data fisik serta panitia A pada Pantor Pertanahan yang harusnya ikut bertanggung jawab terhadap fenomena sertipikat ganda tersebut. 2. Menimbulkan bersengketa
keresahan seringkali
kepada berbuat
masyarakat. anarkhis
Masyarakat
sehingga
yang
menimbulkan
kerusuhan massa dan permusuhan yang berlarut-larut. 3. Menimbulkan image tidak baik terhadap lembaga BPN sebagai lembaga dengan administrasi yang buruk. Badan pertanahan nasional seharusnya menjadi
penjaga
gawang
mengenai
permasalahan
pertanahan
di
Indonesia akan tetapi malah menimbulkan permasalahan baru dengan menerbitkan
sertipikat
ganda
akibat
adanya
ketidakberesan
tata
administrasi pertanahan. 4. Menimbulkan ketidak percayaan masyarakat terhadap kepastian hukum hak atas tanah. Seharusnya sertipikat hak atas tanah merupakan tanda bukti pemilikan hak atas tanah yang kuat, akan tetapi bagaimana mungkin disebut kuat apabila ada dua sertipikat yang obyek tanahnya sama, manakah yang dianggap kuat yang dapat menjamin kepastian hukum hak atas tanah6.
6
Wawancara dengan sekertaris BPN Gresik, 17 Mei 2012
22
Dengan terbitnya sertifikat ganda ini masyarakat kurang percaya dan menimbulkan kesan betapa alat bukti berupa sertifikat belum menjamin kuatnya hak seseorang atas tanah. Undang – undang Nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan pokok agraria, khususnya pasal 19 : untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilaya republik Indonesia menurut ketentuan – ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Perlindungan bagi pemegang hak atas tanah juga telah diatur dalam Peraturan Pemerinta Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah menyebutkan Tujuan dari pendaftaran tanah adalah untuk memberi kepastian hukum dan memberi perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah7.
Hal ini membuktikan bahwa surat hak milik yang berupa sertifikat dan pendaftaran tanah belum bisa memberikan suatu solusi terhadap sengketa tanah yang ada saat ini serta tidak menjamin akan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak baik itu berupa sertifikat atau Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria. Sengketa tanah banyak terjadi diberbagai tempat hampir diseluruh Indonesia, sebab tanah tidak akan bertambah luasannya sementara itu jumlah komunitas manusia setiap waktu selalu bertambah. Dengan demikian persoalan sengketa hak atas tanah tidak akan perna berakhir, bahkan akan terus mengalami peningkatan seiring jumlah pertambahan manusia.
7
Florianus SP Sangsun, Tata Cara Pengurusan Sertifikat, Jakarta 2007
23
2.2.Sejarah Terjadinya Sertifikat Ganda
Terbitnya sertifikat ganda mempunyai sejarah yang panjang, dalam sejarah perkembangan kepemilikan hak atas tanah paling tidak di Indonesia mengalami lima kali perubahan yaitu :
1. Pada masa Belanda meninggalkan Indonesia 2. Pada masa kemerdekaan 3. Pada masa diundangkan UUPA 1960 4. Pada masa perubahan dari rezim Orla ke rezim Orba 5. Masa reformasi8
Selama masa Pemerintahan Pendudukan Jepang, tidak banyak aturan yang dibuat berkaitan dengan pertanahan. Namun demikian, tidak berarti bahwa pada saat itu tidak ada perhatian sama sekali mengenai masalah hukum yang berkaitan dengan tanah. Yang terjadi justru sebaliknya karena masalah tanah dianggap sebagai masalah yang penting maka diperlukan perhatian dan pengkajian yang serius. Hal tersebut dinyatakan dan diakui oleh Pemerintahan Pendudukan Jepang, yaitu Pemerintahan Balatentara Dai Nippon yang diatur dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2602 (1942) tentang Tanah Partikelir, yang pada dasarnya dapat dijelaskan sebagai berikut : bahwa karena oeroesan tanah penting sekali dalam kehidoepan masjarakat, tetapi di Indonesia ini tanah-tanah sering sekali bertoekar-toekar orang yang mempoenjainya. Teroetama di tanah DJawa ini oeroesan tanah soedah mendjadi banjak sekali seloekbeloeknja, sehingga kesoekarannja
8
Ibid.
24
boekan boeatan dan tidak sedikit mendatangkan pengaroeh jang boeroek. Oleh karena itoe perloe dipeladjari dengan teristimewa untuk mengoebah keadaannja9. Satu-satunya yang mengatur secara langsung terhadap tanah adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun (1942) yang bertaku mulai tanggal 1 Juni 1942 tentang perubahan tanah partikelir menjadi tanah negeri. Kondisi ini menyisakan transisi bidang pertanahan yang terus menerus dari mulai penjajahan Belanda hingga penjajahan Jepang. Hal tersebut menimbulkan embrio awal munculnya sengketa pertanahan baik yang terjadi secara horisontal (rakyat dengan rakyat) atau (vertikal) rakyat dengan penguasa perkebunan (pemerintah atau swasta) Tidak ada kepastian kepemilikan hak terhadap tanah-tanah yang dikuasi oleh penduduk setempat berlanjut hingga negara Indonesia merdeka tahun 1945. Hampir selama dua setengah abad, feodalisme dan kolonialisme menciptakan rakyat hidup dalam kemiskinan dan ketertindasan. Kemiskinan dan ketertindasan itu kemudian menjadi semangat yang melahirkan suatu gagasan dan gerakan nasionalisme kemerdekaan di ndonesia untuk menyingkirkan unsur-unsur kolonial Hindia Belanda yang terdiri dari gabungan kepentingan kaum feodal dan kaum kapitalis asing, berikut tatanan masyarakat yang diciptakannya. Dalam rangka ini, kata kuncinya adalah "revolusi"10 yakni suatu perubahan yang cepat dan radikal untuk merubah secara menyeluruh tatanan masyarakat lama menuju suatu tatanan
9
Lihat Kan Po No. 2, 2602 (1942), hal. 27.
10
Lihat Noer Fauzi, Petani & Penguasa (Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia), Pustaka Pelajar Yogyakarta, 1999, h. 53
25
masyarakat baru yang lebih memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Untuk itu dengan mengatasnamakan seluruh rakyat Indonesia Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dengan bentuk negara republik. Dalam perjalanan Negara yang baru merdeka maka hukum yang dipakai pada tanggal 18 Agustus tahun 1945 adalah Undang-undang Dasar RI tahun 1945, dengan demikian perjalanan untuk membebaskan rakyat dari belenggu penjajah diharapkan segera terwujud dan membuahkan hasil keadilan dan kesejahteraan sosial yang dicita - citakan bersama pada saat proklamasi kemerdekaan RI. Dalam mengisi kekosongan hukum negara RI, maka dikeluarkan aturan pada pasal 2 aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945 bahwa: “sepanjang badan kekuasaan dan peraturan-peraturan belum diganti dengan yang baru maka masih tetap berlaku”. Karenanya, sistem hukum kolonial masih tetap berlaku sepanjang belum ada aturan baru Yang mengatur ketentuan yang sama dalam mengatur perilaku masyarakat, termasuk dalam hal ini tentang ketentuan hukum agraria di Indonesia pada saat itu. Kondisi yang demikian mendorong para ahli hukum untuk segera mengakhiri keberadaan hukum kolonial tersebut, sebab harus segera dilakukan perubahan dan perombakan tatanan hukum di Indonesia dengan tatanan hukum yang baru.
26
2.3.Terjadinya Sertifikat Ganda Didalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) sebenarnya termasuk satu ketentuan akan adanya jaminan bagi setiap warga negara untuk memiliki tanah serta mendapat manfaat dari hasilnya (pasal 9 ayat 2). Jika mengacu pada ketentuan itu dan juga merujuk pada PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah (terutama pasal 2) Badan Pertanahan Nasional (BPN) semestinya dapat menerbitkan dokumen legal (sertifikat) yang dibutuhkan oleh setiap warga negara dengan mekanisme yang mudah, terlebih lagi jika warga negara yang bersangkutan sebelumnya telah memiliki bukti lama atas hak tanah mereka. Namun sangat disayangkan pembuktian dokumen legal melalui sertifikasi pun ternyata bukan solusi jitu dalam kasus sengketa tanah. Hal – hal yang menyebabkan permasalahan yang serius akibat terbitnya sertifikat ganda yaitu : a. Keteledoran
aparat
Badan
Pertanahan
Nasional
(BPN)
dalam
pelaksanaan bywerken Peta Pendaftaran. Dimana setiap pelaksanakan pengukuran bidang tanah harus diikatkan dengan titik dasar teknik yang ada dan penempatan gambar bidang tanah harus digambar pada posisi yang tepat pada peta pendaftaran tanah Seringkali karena kurang teliti terjadi salah penempatan gambar ataupun lupa tidak digambar pada Peta Pendaftaran. b.
Tidak cukup tersedianya peta pendaftaran tanah yang meliputi seluruh wilayah kabupaten, sehingga banyak gambar bidang tanah yang tidak dipetakan dan informasi yang disajikan masih kurang mendukung.
27
Sedangkan cara memperoleh koordinat nasional dengan alat GPS Hand Out kurang akurat karena akurasinya bisa mencapai kesalahan radius 100 m. Sehingga penempatan posisi bidang tanah pada Base Map masih dalam taraf ragu-ragu. c. Adanya kesengajaan dari pemilik tanah untuk mendaftarkan kembali sertipikat yang sebenarnya sudah ada dengan memanfaatkan kelemahan lembaga BPN. Hal ini terjadi karena pembuatan sertipikat baru lebih mudah dan lebih murah dari pada melakukan peralihan hak atas tanah. Seperti diketahui peralihan hak atas tanah harus dibuatkan Akta PPAT, PPAT sebelum menandatangani akta harus sudah dibayarkan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta Pajak Penghasilan. Selain itu pada saat pembuatan Akta PPAT para pihak harus menghadap. Selain itu juga bisa terjadi karena adanya keinginan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari perbankan atau lembaga keuangan lainnya. Hal ini karena sertipikat yang satu sudah menjadi agunan pada Bank yang satu, sedangkan untuk mendapatkan kredit dari bank yang lain dibuatkan sertipikat baru. Sehingga satu bidang tanah diagunkan kepada beberapa bank dengan bukti sertipikat yang berbeda tetapi bidang tanahnya sama. d. Terjadi karena tidak adanya basis data mengenai bidang-bidang tanah baik yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar. Seharusnya tanah-tanah yang didaftarkan pada Kantor Pertanahan dibywerken atau dilakukan pencatatan dan pencoretan pada peta-peta pendaftaran. Sehingga apabila tanah tersebut didaftarkan lagi maka dapat diketahui tanah tersebut sudah bersertipikat.
28
e. Karena kesalahan penunjukkan batas bidang tanah pada saat terjadi pengukuran bidang tanah. Kesalahan tersebut menimbulkan overlapping (tumpang tindih) sertipikat, yaitu keadaan dimana sebagian sertipikat yang satu menjadi bagian dari sertipikat yang lain11
2.4 Pengaturan Hukum Sertifikat Ganda
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 disebutkan bahwa sertifikat hak milik yang telah berumur lima tahun tidak bisa diganggu gugat lagi. Sertifikat ganda terjadi pada hak milik yang belum memiliki peta dasar pendaftaran tanah dan tanah-tanah yang tidak diberdayakan. Badan Pertanahan Nasional selaku instansi pendaftaran tanah yang menerbitkan sertifikat menyikapi permasalahan ini dengan menerapkan prinsip kehatihatian dan mengupayakan untuk melengkapi peta dasar pendaftaran tanah.
Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 tahun 1988 yang bertugas membantu presiden dalam mengelola dan mengembangkan administrasi
pertanahan,
baik
berdasarkan
UUPA
maupun
peraturan
perundang-undangan lain yang meliputi pengaturan penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah, pengurusan hak-hak tanah, pengukuran dan pendaftaran tanah dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah pertanahan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Presiden.
11
Srikuntjoro, Sertifikat Ganda, jakarta 10 april 2004
29
Dalam Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 tahun 1988 juga Mengatur tugas dari BPN yaitu :
1) Menelaah dan mengolah data untuk menyelesaikan perkara di bidang pertanahan. 2) Menampung gugatan-gugatan, menyiapkan bahan memori jawaban, memori/kontrak
memori
banding,
memori/kontrak
memori
kasasi,
memori/kontrak memori peninjauan kembali atas perkara yang diajukan melalui peradilan terhadap perorangan dan badan hukum yang merugikan Negara. 3) Mengumpulkan data masalah dan sengketa pertanahan 4) Menelaah dan menyiapkan konsep keputusan mengenai penyelesaian sengketa hak atas tanah.
5) Menelaah dan menyiapkan konsep keputusan pembatalan hak atas tanah kerena cacat administrasi dan berdasarkan kekuatan putusan peradilan.
6) Melaksanakan dokumentasi.
Peraturan pemerintah Nomor 37 tahun 1998 yang pada dasarnya mempunyai peranan yang sangat penting dalam pemeliharaan data pendaftaran tanah, yaitu dengan membuat alat bukti mengenai telah telah terjadinya perbuatan hukum menyangkut sebidang tanah tertentu yang kemudian dijadikan dasar untuk mendaftar perubahan data yuridis yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu, dengan ditetapkan peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997, maka korelasi lembaga jabatan pejabat pembuat akta tanah dengan pelaksanaan administrasi pertanahan semakin jelas. hal ini terlihat adanya kewajiban bagi PPAT untuk dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal penandatanganan akta tentang adanya
30
peralihan atau pembebanan hak atas tanah mendaftarkan akta tersebut pada kantor pertanahan setempat. dalam pasal 1 angka 25 peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997, pejabat pembuat akta tanah diartikan sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu serta melakukan tindakan membantu kepala kantor pertanahan dalam melasanakan tukas pendaftaran tanah dengan membuat akta mengenai perbuatan hukum mengenai hak atas tanah atau hak milik yang akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data yuridis.12
a)
Pembatalan Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah.
Pembatalan surat keputusan pemberian Hak Atas Tanah merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa Hak Atas Tanah yang disebabkan surat keputusan pemberian hak dan atau sertifikat Hak Atas Tanah yang merupakan “Beschiking” atau keputusan pejabat Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh Kepala BPN atau Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota mengandung cacat dan merugikan salah satu pihak tertentu.
Pembatalan hak atas tanah sebagaimana dimaksud yakni, suatu bentuk penyelesaian sengketa lewat putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (disingkat PTUN), yaitu majelis hakim mengeluarkan surat putusan kepada kepala BPN setempat untuk mencabut sertifikat hak atas tanah. dalam proses penyelesaian sengketa sebagaimana pada tingkatan PTUN maka dalam sengketa itu para pihak harus membuktikan bahwa ada keterkaitan pihak
12
Syarifah, Zackya ” Sertifikat Ganda Dalam Status Hak Milik “ Padang 2008
31
pejabat atau lembaga Tata Usaha Negara atau pejabat badan pertanahan yang mengeluarkan suatu surat bukti otentik, yang membuktikan bahwa lembaga tata usaha tersebut dapat dituntut.
Dalam proses pembatan pemberian hak atas tanah terdapat antinomi norma hukum antara BPN dan PTUN, sehingga terkadang proses pembatalan hak atas tanah oleh kedua lembaga ini dirasakan saling bertindih antara keputusan BPN yang dalam pasal 1 Permeneg Agraria/ Kepala BPN Nomor 1 tahun 1999 tentang tata cara penangan sengketa pertanahan, yang salah satu proses penyelesaiannya itu melalui pembatalan pemberian hak atas tanah. kemudian dengan kewenangan PTUN yang merupakan kompetensi Absolut peradilan tata usaha negara. yang berlandaskan pada keputusan pejabat tata usaha negara (KTUN). Adanya pertentangan atau konflik norma hukum dalam pembatalan pemberian hak atas tanah tersebut diatas, terlihat semakin tidak adanya kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa dibidang pertanahan. disatu sisi sengketa pertanahan dapat diselesaikan oleh PTUN, namun disisi lain sengketa hukum dibidang pertanahan dapat diselesaikan oleh BPN. Dilihat dari prosedurnya, penyelesaian sengketa pertanahan oleh badan pertanahan nampaknya lebih praktis dibanding penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Dibalik itu secara objektif dapat dipahami mengingat badan
pertanahan
merupakan
satu-satunya
badan
yang
berwenang
menerbitkan sertifikat hak atas tanah. dengan demikian ia lebih memahami bagaimana tata cara menerbitkan sertifikat dan bagaimana memahami sertifikat yang cacat hukum administratif, meskipun akhir penyelesaian masih dapat diajukan gugatan melalui pengadilan.
32
b)
Tata Cara dan Persyaratan Pembatalan Hak Atas Tanah
Dalam proses pembatalan hak atas tanah sebagai bagian dari bentuk penyelesaian sengketa pada pengadilan sebagaimana kasus sengketa yang sering di tangani pada PTUN, biasanya apabila pada kasus sengketa sertifikat ganda yang sudah sampai pada penentuan putusan mengenai status hukum tetap, maka majelis hakim dengan berdasarkan putusan yang telah inkra akan memerintahkan pembatalan hak atas tanah melalui kepala badan pertanahan setempat.
Ada Dua macam pembatalan Hak Atas Tanah sebagimana yang biasanya diterapkan oleh mejelis hakim pada PTUN ialah :
1. Dilakukan sebagai pelaksanaan keputusan pengadilan, pada prinsipnya merupakan bentuk dari eksekusi administrasi berkenaan dengan status subyek dan obyek tanah sengketa, sedangkan eksekusi fisik dilakukan oleh aparat pada pengadilan Negeri. 2. Dilakukan
kerena
terdapat
cacat
administrasi
dalam
proses
penerbitannya, misalnya terdapat kesalahan dalam penerapan peraturan perundang-undangan. kesalahan subyek hak, kesalahan obyek hak, kesalahan jenis hak, kesalahan perhitungan luas, tumpang tindih hak, kesalahan data fisik dan data yuridis, dan kesalahan administrasi lainnya.
Beberapa cara pencegahan Terjadinya Sertifikat Ganda diindonesia adalah :
1.
Menyiapkan basis data bidang tanah di seluruh wilayah. Sangat Urgennya basis Data Bidang tanah untuk menghindari timbulnya sertipikat ganda. Seluruh bidang tanah dipetakan dalam suatu sistem koordinat
33
nasional yang tetap dan terhubung dengan data subyek dan data yuridis bidang tanah dalam sistem komputerisasi data pertanahan yang selalu up to date dan mudah dalam pencariannya. Mau tidak mau penggunaan teknologi informatika mutlak diperlukan dengan sumber daya manusianya yang memadai yang selalu siap melaksanakan administrasi pertanahan dengan baik. Penggunaan data-data dari instansi terkait mengenai bidang tanah seperti Kantor PBB, Direktorat Topografi Angkatan Darat dan Bakosurtanal juga diperlukan untuk melengkapi kekurangan basis data yang ada. 2. Fokus Pada Obyek Bidang Tanah. Tanah tidak akan berubah apabila tidak terjadi bencana alam, tetapi subyek atau pemilik tanahlah yang selalu mengalami perubahan. Mau diapakan saja bidang tanah tetap lokasi dan posisinya perubahan terjadi karena ada pembangunan diatasnya. Oleh karena itu basis data bidang tanah dibuat sedemikian rupa sehingga sampai kapanpun seseorang dapat dengan mudah mencari dan mengetahui bidang tanah hanya dengan mengetahui Nomor Identifikasi Bidang atau nomor PIN Bidang Tanah dalam istilah umum. Bagaimana memagari bidang tanah secara maya tetapi pagar yang dibuat lebih kuat dari pada pagar fisik yang dibuat secara nyata. 3. Membuat blanko Sertipikat yang tidak dapat dipalsu. Blanko Sertipikat dicetak oleh Perum Peruri. Seperti pada Mata uang ada perlu ditingkatkan pengamanan yang membuat para pemalsu tidak dapat meniru dengan detail blanko sertipikat tanah. 4. Mengawasi penggunaan Blanko Sertipikat. Ibarat ”One Bullet for One Enemy" satu blanko sertipikat untuk satu bidang tanah. Pengawasan
34
melekat terhadap pengeluaran sertipikat agar tidak terjadi pencurian blanko sertipikat baik oleh oknum BPN atau pihak luar. Apabila terjadi kerusakan atau kesalahan dalam pengisian blanko sertipikat, maka dibuatkan Berita Acara Penghancuran dan dilaporkan kepada Badan Pertanahan Nasional Pusat. 5. Meningkatkan disiplin aparat Badan Pertanahan nasional. Aparat badan pertanahan nasional harus disiplin terhadap pengumpulan data yuridis dan pengumpulan data fisik bidang tanah, melakukan bywerken Petapeta Pendaftaran dan daftar isian serta identifikasi bidang tanah yang akurat. 6. Penanaman kesadaran Tertib hukum pertanahan kepada masyarakat. Sosialisasi tentang kesadaran hukum pertanahan harus dilakukan agar masyarakat tidak melakukan permohonan sertipikat yang sebenarnya sudah bersertipikat. Ibaratnya bisa terbit sertipikat tetapi produk sertipikat tersebut cacat hukum dan menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Selain itu perlu ditanamkan dan disosialisasikan bagaimana mengurus sertipikat dengan prosedur yang benar seperti peralihan hak, pemecahan, penggabungan, penggantian sertipikat dan lain-lain.
35
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA TANAH DENGAN CARA NON LITIGASI PADA SERTIFIKAT TANAH DI INDONESIA
3.1.Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Sertifikat
Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa :“ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum “. Dalam pasal ini setiap orang berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam hal ini jaminan hukum bisa dikatagorikan perlindungan hukum bagi pemegang Sertifikat hak milik sebagai pemilik tanah yang sah secara hukum.
Selanjutnya
Pasal
33
ayat
(3)
Undang-Undang
Dasar
1945
menyebutkan bahwa :“ Bumi , air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat “ Pasal diatas bermakna bahwa segala sesuatu mengenai sumber daya alam termasuk di dalamnya air beserta kekayaan alam lainnya milik atau berada dalam wilayah teritori NKRI berarti dikuasai, diatur, dikelola, dan didistribusikan oleh negara atau pemerintah dengan segenap lembaga pengelolanya untuk dipergunakan bagi memakmurkan atau mensejahterakan rakyat Indonesia seluruhnya. Sejauh ini pemerintah Indonesia sendiri berusaha untuk menjalankan kewajibannya sehubungan dengan isi ayat pasal
36
tersebut. Sehingga dibentuklah lembaga-lembaga yang ditugasi untuk mengurusi dan mengelola elemen-elemen alam milik bumi Indonesia.
Dengan berlakunya Undang – undang Pokok Agraria, hal itu diatur dalam Pasal 19 UUPA yaitu: “Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur degan Peraturan Pemerintah “
Dalam pasal ini menjelaskan jaminan hukum bagi seseorang yang mendaftarkan tanah hak miliknya di kantor Badan Pertanahan Nasional yang nantinya dalam pendaftaran tanah tersebut dikeluarkan surat berupa sertifikat yang diakui sebagai bukti otentik. Lebih lanjut diatur secara lebih detail dengan PP Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Produk hukum tersebut mewajibkan kepada pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran tanah demi kepastian hukum hak atas tanah. Produk akhir dari pendaftaran tanah adalah sertifikat hak atas tanah. Di dalam literatur dinyatakan bahwa sertifikat hak atas dalam sistem hukum Indonesia adalah mempunyai kekuatan yang kuat dengan pengertian bahwa dalam kasus riel hakim yang memeriksa perkara wajib mempercayai sertifikat itu sebagai bukti.
Sebelum PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah diterbikan, sebetulnya sudah ada aturan serupa yaitu PP Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 19 UUPA Ayat (1) disebutkan; untuk menjamin kepastian hukum, oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan PP. Sementara
37
dalam Ayat (2) dikatakan; pendaftaran tanah tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi:
1. Pengukuran,pemetaan dan pembukuan tanah.
2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
3. Pemberian surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Untuk
memberikan
kepastian
hukum
dan
juga
memberikan
perlindungan hukum bagi pemegang sertipikat hak atas tanah belum dapat diwujudkan sepenuhnya. Hal ini didasari atas data yang diberikan oleh BPN sendiri yang menyatakan belum sepenuhnya bidang tanah di seluruh wilayah Indonesia
dijangkau
oleh
sistem
pendaftaran
tanah,
demikian
juga
perlindungan hukum atas pemegang sertipikat hak atas tanah belum dapat diwujudkan, dengan melihat fakta empiris seperti yang terjadi di wilayah Gresik13
Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, maka dualisme hak-hak atas tanah dihapuskan, dalam memori penjelasan dari UUPA dinyatakan bahwa untuk pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud Pasal 19 UUPA, yang ditujukan kepada pemerintah agar melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan untuk menuju kearah pemberian kepastian hak atas tanah telah diatur di dalam Pasal 19 UUPA yang menyebutkan :
13
Andi Erfan Nurba . MAGISTER KENOTARIATAN, Jakarta Kompas, 2005
38
1.
Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi : a) Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah b) Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut c) Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
3. Pendaftaran tanah indonesia diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat pada masa depan, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria.
4. Dalam Peraturan Pemerintah diatas biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termasuk dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu akan dibebaskan dari pembayaran biayabiaya tersebut.Kalau di atas ditujukan kepada pemerintah, sebaliknya pendaftaran yang dimaksud Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA ditujukan kepada para pemegang hak, agar menjadikan kepastian hukum bagi mereka dalam arti untuk kepentingan hukum bagi mereka sendiri,14
Di dalam Pasal tersebut dijelaskan :
14
Ibid
39
Pasal 23 UUPA Ayat 1 : Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuanketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 2 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
Pasal 38 UUPA : Ayat 2 : Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhirnya. Dari ketentuan pasal-pasal di atas dapatlah disimpulkan bahwa pendaftaran yang dilakukan oleh pemegang hak milik adalah merupakan alat pembuktian yang kuat serta untuk sahnya setiap peralihan, pembebanan dan hapusnya hak-hak tersebut.
3.2.Penyelesaian Sengketa Dengan Cara Non Litigasi
Non Litigasi adalah mekanisme serta cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebelum sengketa tersebut diperoses diperadilan, mekanisme penyelesaian sengketa non litigasi yaitu dengan cara :
40
3.2.1.Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti
“kekuasaan
untuk
menyelesaikan
sesuatu
perkara
menurut
kebijaksanaan” Suatu bentuk alternati penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan, diselengarakan dan diputuskan oleh arbiter atau majelis arbitrase, yang merupakan ”hakim swasta”
Keuntungan Arbitrase : 1) Proses penyelesaian lebih cepat dan hemat biaya 2) Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak 3) Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administrative 4) Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil 5) Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase 6) Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanaka
Kelemahan Arbitrase 1) Hanya untuk para pihak bona fide 2) Ketergantungan mutlak pada arbiter 3) Tidak ada preseden putusan terdahulu
41
3.2.2. Negosiasi Adalah komunikasi dua arah dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama atau berbeda dan merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan diluar pengadilan. Sesuai rumusan pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.
Keuntungan Negoisasi : 1) Mengetahui pandanga pihak lawan 2) Kesempatan mengutarakan isi hati untuk didengar pihak lawan 3) kemungkinkan sengketa secara bersama-sama 4) Mengupayakan solusi terbaik yang dapat diterima oleh kedua belah pihak 5) Tidak terikat kepada kebenaran fakta atau masalah hukum 6) Dapat diadakan dan diakhiri sewaktu-waktu.
Kelemahan Negoisasi : 1)
Tidak dapat berjalan tanpa adanya kesepakatan dari keduabelah pihak
2)
Tidak efektif jika dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang mengambil kesepakatan.
3)
Sulit berjalan apabila posisi para pihak tidak seimbang.
4)
Memungkinkan diadakan untuk menunda penyelesaian untuk mengetahui informasi yang dirahasiakan lawan.
5)
Dapat membuka kekuatan dan kelemahan salah satu pihak.
6)
Dapat membuat kesepakan yang kurang menguntungkan.
42
Prasyarat Negoisasi yang efektifa yaitu : 1)
Kemauan (Willingness) untuk menyelesaikan masalah dan bernegoisasi secara sukarela.
2)
Kesiapan (Preparedness) melakukan negoisasi.
3)
Kewenangan (authoritative) mengambil keputusan.
4)
Keseimbangan kekuatan (equal bergaining power) ada sebagai saling ketergantungan.
5)
Keterlibatan seluruh pihak (steaholdereship) dukungan seluruh pihak terkait.
6)
Holistic (compehenship) pembahasan secara menyeluruh
7)
Masih ada komunikasi antara para pihak.
8)
Masih ada rasa percaya dari para pihaki. Sengketa tidak terlalu pelik.
9)
Tanpa prasangka dan segala komunikasiatau diskusi yang terjadi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti.
Tahapan Persiapan negoisasi : 1) Persiapan sebagai kunci keberhasialan. 2) Mengenal lawan, pelajari sebanyak mungkin pihak lawan dan lakukan penelitian. 3) Usahakan berfikir dengan cara berfikir lawan dan seolah-olah kepentingan lawan sama dengan kepentingan anda. 4) Sebaiknya persiapkan pertanyaan-pertanyaan sebelum pertemuan dan ajukan dalam bahasa yang jelas dan jangan sekali-kali memojokkan atau menyerang pihak lawan. 5) Memahami kepentingan kita dan kepentingan lawan.
43
6) Identifikasi masalahnya, apakah masalah tersebut menjadi masalah bersama. 7) Menyiapkan agenda, logistik, ruangan dan konsumsi. 8) Menyiapkan tim dan strategi. 9) Menentukan BTNA (Best Alternative to A Negitieted Agreement) alternative lain.15
3.2.3. Mediasi Adalah cara penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga, yaitu pihak ketiga yang dapat diterima (accertable) Artinya para pihak yang bersengketa mengizinkan pihak ketiga untuk membantu para rihak yang bersengketa dan membantu
para
pihak
untuk
mencapai
penyenyelesaian.
Meskipun
demikianak septabilitas tidak berarti- para pihak selalu berkehendak untuk melakukan atau menerima sepenuhnya apa yang dikemukakan pihak ketiga. Mediasi menurut P.1.6 PerMa No.2 Tahun 2003 : Yaitu suatu penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dibantu oleh mediator.
Karakteristik Mediasi 1) Intervesi mediator dapat diterima kedua belah pihak 2) Mediator tidak berwenang membuat keputusan, hanya mendegarkan membujuk dan memberikan inspirasi kepada para pihak.
15
Gary Goodpaster, Panduan Negoisasi dan Mediasi, ELIPS jakarta 1999
44
Hak memilih mediator oleh para pihak : 1) Mediator ditunjuk (disepakati) oleh para pihak, dapat dari dalam peradilan (hakim) yang sudah mendapat sertifikat sebagai mediator, atau pihak dari luar pengadilan yang sudah bersetrifikat 2) Jika para pihak dapat sepakat dalam memilih mediator maka ketua majelis hakim dapat menetapkan menunjuk mediator yang terdaftar dalam PN tersebut 3) Waktu paling lama satu hari kerja setelah sidang pertama 4) Ketua atau anggota majelis hakim di larang sebagai media
Kewajiban Mediator 1) Mediator wajib menyusin jadwal mediasi 2) Mediator wajib mendorong dan menelurusi serta mengali kepentingan para pihak 3) Mediator wajib mencari berbagi pilihan penyelesain 4) Mediator wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis 5) Mediator wajib memuat klausa pencabutan perkara 6) Mediator wajib memeriksa kesepakan untuk menghindari jika ada klausa yang bertentangam dengan hukum 7) Setelah 22 hari melalui mediasi tidak berhasil, maka mediator wajib menyatakan secara tertulis bagwa mediasi telah gagal dan memberikan pemberitahuan kepada majelis hakim
45
8) Jika mediasi gagal, maka semua fotokopi, notulen, catatan mediator wajib dimusnahkan.16
3.2.4. Konsiliasi Adalah cara untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berbeda
untuk
merundingkanpenyelesaian
dengan
mengidentifikasi
permasalahan dan memahami fakta dan keadaan mendiskusikan masalah memahami kebutuhan para pihak mencapai kesepakatan yang dapat diterima satu sama lain berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama
3.2.5. Konsultasi Adalah cara penyelesain dengan mengunakan penengah (konsiliator) yang sifatnya aktif serta bersifat ”personal”
3.2.6. Evaluasi netral dini (early neutral evaluation) Evaluasi dini secara netral memberikan para pihak yang bersengketa untuk secara dini dan jujur dalam mengevaluasi mengenai persoalan dalam sengketa tersebut secara objektif oleh evaluator netral. Seperti halnya mediasi, evaluasi dini secara netral dilakukan secara rahasia, sukarela, dan tidak menghilangkan pilihan penyelesaian sengketa. Evaluator bukan merupakan pihak yang membuat keputusan.
16
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005
46
Dari sini kita dapat mencermati dan mengamati bahwa di Kabupaten Gresik, Menerapkan serta mengunakan cara penyelesaian sengketa non litigasi yang digunakan adalah bentuk Mediasi dan Negosiasi karna banyak permasalahan yang hasilny lebih optimal dan tidak menimbulkan kejadian – kejadian anarkis karna semua pihak yang bersengketa mendapatkan kepuasan dengan hasil negoisasi dan mediasi, hal ini juga bersinergi dengan kultur budaya masyarakat Gresik yang mengutamakan musyawara serta kekeluargaan untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa tanah.
3.3.Non Litigasi Di Indonesia
Proses penyelesaian sengketa lahan di daerah tak jarang menimbulkan konflik berkepanjangan. Untuk menyelesaikannya diperlukan solusi yang inovatif. Salah satunya dengan mediasi para pihak yang bersengketa
Untuk itulah, Indonesia Mediator Centre (IMC) didirikan pada 8 Maret 2010 silam. "IMC merupakan lembaga indenpenden yang didirikan pada 8 Maret 2010 dan juga telah memperoleh akreditas dari MA berdasarkan Keputusan Ketua MA No 159 A/KMA/SK/VIII/2010," kata Direktur IMC, Humphrey R Djemat dalam sambutannya saat melantik 39 mediator di Hotel Nikko, Jakarta Pusat, Selasa (20/12) malam.17 Dijelaskan, IMC memiliki tekad untuk menciptakan mediator sebanyak-banyaknya. IMC juga sudah merangkul
17
Oscar Ferri, PT. Media Nusa Pradana – Jurnalis.com
47
beberapa pemerintah daerah di Indonesia. "Karena pejabat daerah juga harus memiliki kelebihan dalam mediasi, sehingga bisa menyelesaikan kasus-kasus, seperti sengketa tan ah, di daerahnya masing-masing," Selain mengadakan pelatihan untuk mediator, IMC juga memberikan jasa penyelesaian sengketa di luar pengadilan, khususnya melalu mediasi. "IMC itu sendiri beranggotakan alumni-alumni mediator yang berpengalaman dalam bidang, pertanahan, lingkungan hidup, keluarga, dan waris," Menurut Humphrey, dengan mediasi di luar pengadilan ini akan banyak keuntungan bagi pihak yang bersengketa. "Dari segi waktu lebih cepat, dari segi biaya juga jadi lebih efisien. Dengan mediasi di luar pengadilan ini kan juga bisa menghindarkan praktik-praktik curang atau KKN yang biasa terjadi," Ada beberapa alasan mengapa penyelesaian alternatif sengketa atau yang dikenal dengan penyelesaian Non Litigasi tanah perlu dikedepankan, yaitu: 1. Ketidak puasan terhadap peran pengadilan dalam menyelesaikan sengketa tanah yang terlalu formal, lama, mahal dan tidak berkeadilan 2. perlu tersedianya mekanisme penyelesaian sengketa tanah yang lebih fleksibel dan responsif bagi para pihak yang sedang bersengketa 3. mendorong masyarakat untuk ikut menyelesaikan sengketa tanah secara partisipatif 4. memperluas akses untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat.
48
3.4. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Sertifikat Ganda Dengan Cara
Non
Litigasi Diberbagai Negara penyelesaian dengan cara Non Litigasi suda banyak diterapkan di Amerika dan Australia mereka mengunakan sistem Non Litigasi dengan cara membentuk pengadilan minitrial/pengadilan mini, penyelesaian sengketa non litigasi merupakan penyelesaian sengketa secara alternatif yaitu hybride/kombinasi dimana dalam menyelesaian ini di pakai atau memakai hakim tunggal yang diambil dari ahli hukum, seperti hakim yang sudah pensiun, seolah-olah disini ia menjadi hakim benaran, dan tempat pengadilannya bukan dipengadilan khusus, tetapi terserah kesepakatan yang bersengketa, tempat mana yang akan dipakai, disini seolah-olah berada di ruang pengadilan dimana masing-masing yang bersengketa dihadapkan dan masing-masing membawa penasehat hukumnya/ pengacara, keputusannya tidak mengikat kedua belah pihak, tergantung kesepakatan, keputusannya disini hanya sebagai pedoman untuk bahan negosiasi, dan hasil Kesepakatan akan dituangkan dalam akta perdamaian
3.4.1. Kekuatan Pembuktian Non litigasi dalam Penyelesaian Sengketa Tanah
Pembuktian, menurut Prof. R. subekti, yang dimaksud dengan membuktikan adalah Meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Kekuatan Pembuktian, Secara umum kekuatan pembuktian alat bukti tertulis, terutama akta otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu:
49
1. Kekuatan pembuktian formil. Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut. 2. Kekuatan pembuktian materiil. Membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi. 3. Kekuatan mengikat. Membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
Oleh karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan bahwa kata otentik mempunyai kekuatan pembuktian keluar.
3.4.2. Upaya Penanganan Sertipikat Ganda Saat ini : Kantor Pertanahan saat ini dalam menangani sengketa sertipikat ganda adalah dengan cara mediasi. Apabila tidak dicapai kata sepakat maka diupayakan melalui proses pengadilan. Selain itu apabila terdapat unsur kesengajaan yang mengarah ke bentuk tindak pidana maka dilakukan penuntutan tersangka ke pengadilan. Tidak dapat dipungkiri sebagaimana instansi-instansi lain tindakan penyelamatan cenderung menyalahkan pihak lain bahwa kantor pertanahan hanya sebagai administrator yang mencatat dan melegalisasi kejadian atau perubahan terhadap bidang tanah berdasarkan permohonan dan adanya pernyataan dari pemilik tanah bahwa bidang tanah yang dimohon belum bersertipikat dan permohonan dan pernyataan tersebut telah diketahui oleh instansi lain seperti Pemerintah Desa/Kelurahan dan Kecamatan. Padahal sebagai lembaga kontrol kantor pertanahan harusnya
50
menjaga gawangnya agar kewenangannya menerbitkan sertipikat tidak dimanfaatkan oleh pihak pihak yang beriktikad tidak baik. Alibi lain untuk mengelak dari tuntutan adalah : Pada saat penerbitan sertipikat sebelumnya telah melalui lembaga pengumuman selama 2 bulan di Desa maupun
di
Kecamatan
semestinya
pihak-pihak
yang
berkeberatan
menggunakan waktu tersebut untuk segera mengajukan keberatan atas penerbitan
sertipikat,
padahal
tidak
semua
orang
membaca
dan
memperhatikan pengumuman yang tidak diumukan secara umum.
Selain itu setelah terbit sertipikat pemilik tanah dan pemerintah desa diberi surat untuk mengambil sertipikat yang sudah jadi di Kantor Pertanahan. Hal itu juga
digunakan
untuk
mengelak
dari
kesalahan
bahwa
semestinya
Pemerintah Desa mencatat bidang tanah tersebut telah bersertipikat, padahal undangan seringkali tidak dikirim ataupun tidak sampai pada pemohon. Kesemuanya hanya untuk menutupi administrasi pertanahan yang amburadul dan tidak baik
3.5.Penyelesaian Sengketa Sertifikat Ganda Dengan Cara Non Litigasi
Diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternaif Penyelesaian Sengketa. Salah satu alternatif penyelesaian sengketa (tanah) adalah melalui upaya mediasi. Mediasi sebagai penyelesaian sengketa alternatif menawarkan cara penyelesaian sengketa yang khas. Karena prosesnya relatif sederhana, maka waktunya singkat dan biaya dapat ditekan.
51
Menurut Tipologi kasus-kasus di bidang pertanahan secara garis besar dapat dipilah menjadi lima, yaitu
1)
Kasus-kasus berkenaan dengan penggarapan rakyat atas tanah-tanah perkebunan, kehutanan, dan lain-lain,
2)
Kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform
3)
Kasus-kasus berkenaan dengan ekses-ekses penyediaan tanah untuk pembangunan,
4)
Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah
5)
Sengketa berkenaan dengan tanah ulayat.18
sifat permasalahan dari suatu sengketa tanah secara umum ada beberapa macam, yaitu :
1)
Masalah yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak; atau atas tanah yang belum ada haknya.
2)
Bantahan terhadap suatu alas hak / bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak,
3)
Kekeliruan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang tidak benar,
4)
Sengketa lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis.19
Dalam konteks tipologi, BPN membagi sengketa pertanahan dibagi menjadi sengketa penguasaan dan pemilikan, sengketa prosedur penetapan 18
Coser, seperti dikutip Maria SW. Sumardjono (2008)
19
Menurut Rusmadi Murad, jakarta (1991)
52
dan pendaftaran tanah, sengketa batas/letak bidang tanah, sengketa tanah ulayat, sengketa pengadaan tanah, dan sengketa pelaksanaan putusan.
Mediasi
memberikan
kepada
para
pihak
perasaan
kesamaan
kedudukan dan upaya penentuan hasil akhir perundingan dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan atau paksaan.20
Dengan demikian, solusi yang dihasilkan mengarah kepada win-win solution. Upaya untuk mencapai win-win solution ditentukan oleh beberapa faktor di antaranya proses pendekatan yang obyektif terhadap sumber sengketa lebih dapat diterima oleh pihak-pihak dan memberikan hasil yang saling menguntungkan dengan catatan bahwa pendekatan itu harus menitikberatkan pada kepentingan yang menjadi sumber konflik.
Pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi mempunyai kelebihan dari segi biaya, waktu, dan pikiran bila dibandingkan dengan berperkara di muka pengadilan, di samping itu kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan kendala administratif yang melingkupinya.
3.6.Beberapa Peraturan dan Pasal Yang Berkaitan Dengan Kepastian Hukum sebagai Bukti Hak Kepemilikan Atas Tanah
Sertifikat tanah sebagai produk pendaftaran yang memenuhi aturan hukum normatif , belum menjamin kepastian hukum dari sudut pandang sosiologi hukum. Yang dimaksud oleh beliau kepastian hukum dari sudut 20
Aria S. Hutagalung, jakarta (2005)
53
pandang sosiologi hukum itu adalah realitas sosial yang terjadi di masyarakat.21
Pengamat Hukum mengutarakan , bahwa Hukum menghendaki kepastian. Hukum Pertanahan Indonesia menginginkan kepastian siapa pemegang hak milik atau hak-hak lain atas sebidang tanah. Di dalam realitasnya, pemegang sertifikat atas tanah belum merasa aman akan kepastian haknya, bahkan sikap keragu-raguan yang seringkali muncul dengan banyaknya gugatan yang menuntut pembatalan sertifikat tanah melalui pengadilan.22
Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.
Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 sebagai hasil dari amandemen kedua, dinyatakan sebagai berikut :
Pasal 28 g
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak
21
22
Musakkir, catatan kulia, Jakarta 8 februari 2008 Maria S.W Sumarjono, Mediasi, Jakarta 2005
54
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
(2) pasal 28 h
Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapa pun.
Dari kedua pasal tersebut menjelaskan tentang Hak seseorang untuk mendapatkan perlindungan hukum baik dari segi harta benda, pribadi, kehormatan, martabat dan yang paling berkaitan dengan hak milik dalam hal ini hak milik yaitu kepemilikan sebidang tanah dan hak milik tersebut mendapatkan jaminan hukum serta perlindungan hukum sehinga tidak dapat semenah – menah mengambil dan merampas hak milik tersebut.
Dalam Undang – Undang Nomor 5 tahun 1960 atau yang disingkat UUPA, dinyatakan antara lain sebagai berikut :
Pasal 4 ayat (2)
Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
55
Berdasarkan pengertian pada pasal 4 ayat (2) tersebut, hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, tepatnya hanya meliputi sebagian tertentu permukaan bumi yang terbatas, yang disebut bidang tanah. Hak atas tanah tidak meliputi tubuh bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Asas yang hanya mengakui hak atas tanah adalah terbatas pada hak atas permukaan bumi saja disebut dengan asas pemisahan horisontal. Asas pemisahan horisontal adalah asas dimana pemilikan atas tanah dan benda atau segala sesuatu yang berada di atas tanah itu adalah terpisah. Asas pemisahan horisontal memisahkan tanah dan benda lain yang melekat pada tanah itu. Asas pemisahan horisontal adalah asas yang didasarkan pada hukum adat, dan merupakan asas yang dianut oleh UUPA. 23
Berbeda dengan asas yang dianut oleh UUPA, KUHPerdata menganut asas perlekatan, baik yang sifatnya perlekatan horisontal maupun perlekatan vertikal, yang menyatakan bahwa benda bergerak yang tertancap atau terpaku pada benda tidak bergerak, berdasarkan asas asesi maka bendabenda yang melekat pada benda pokok, secara yuridis harus dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari benda pokoknya.
KUHPerdata pasal 571 “Hak milik atas sebidang tanah mengandung di
dalamnya kepemilikan atas segala apa yang ada di atasnya dan di dalam tanah”
Mengenai hak kepemilikan atas tanah, sifatnya tidak mutlak, artinya apabila kepentingan Negara atau kepentingan umum menghendaki, hak
23
Bachtiar dalam bukunya “ Consultant Property”
56
kepemilikan perorangan atau badan usaha atas sebidang tanah dapat dicabut dengan pemberian ganti rugi. Prinsip ini dianut baik dalam KUHPerdata maupun dalam UUPA.
Pasal 570 KUHPerdata
Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya asalkan tidak bertentanga dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan.
Penjelasan secara rinci tentang pasal 570 KUH Perdata :
1. Hak untuk Menggunakan Benda dengan Leluasa, Asal Tidak Menyalahi Peraturan
Pasal 570 BW mengisyaratkan bahwa semua yang memegang hak milik berhak melakukan apapun di atas alas hak tersebut, kecuali ditentukan lain oleh peraturan yang sah. Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria termasuk kategori peraturan yang dalam hal ini, disahkan dan diundangkan pada tanggal 24 September 1960.
Klausa “leluasa, asal tidak melanggar aturan” juga ditemukan di Pasal 20 UUPA. Hal ini tidak tercantum secara eksplisit, karena bunyi pasal tersebut mengharuskan kita melihat lagi aturan Pasal 6 yang mengatur mengenai
57
fungsi sosial tanah. Telah disebutkan di atas bahwa memori penjelasan rancangan UUPA secara panjang lebar menguraikan mengenai fungsi sosial tanah agar pemegang hak milik tetap menghormati hak orang lain, dan tetap memperhatikan
kondisi
sosial
masyarakat
agar
terjadi
pemerataan
kesejahteraan.
Pengelolaan bumi, air dan ruang angkasa sebagai pengertian agraria dalam arti luas, harus mengutamakan kepentingan bersama. Bagaimanapun juga, kemerdekaan, sumber daya alam dan potensi yang ada di Indonesia adalah milik seluruh bangsa Indonesia pula. Seluruh elemen akan saling bersinergi dengan baik jika fungsi sosial tanah ini ditaati dengan sepenuhnya.
2. Tidak Mengganggu Hak Orang Lain
Klausa ini hampir mirip dengan klausa pertama dan merupakan kelanjutan dari klausa pertama yang isinya “….. asal tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku”. Substansinya juga menyiratkan bahwa di atas hak kita terdapat hak orang lain. Mirip dengan fungsi sosial dari tanah yang tersirat dalam Pasal 20.
Tetapi,
tetap saja
terdapat
perbedaan.
Penulis menganalogikan
kepentingan umum yang diganggu oleh suatu hak milik. Misalnya saja, jalan akses menuju masjid sebagai fasilitas sosial terganggu karena pagar seorang pemilik lahan menghalangi jalur masuk ke masjid, terutama jika dilaksanakan ibadah solat jumat dan ibadah di hari raya yang membuat kepadatan di jalur masuk masjid tersebut.
3. Pencabutan Hak Dapat Dilakukan Jika Melanggar Peraturan, Dan Melanggar Ketentuan Umum
58
Persoalan pencabutan hak milik yang disebut di UUPA tidak ditemukan di Pasal 20. Ayat (2) Pasal 20 UUPA hanya menyebutkan “hak milik dapat beralih dan dapat dialihkan…”. Pencabutan hak tercantum di UUPA, tetapi bukan di pasal 20, melainkan di pasal 18.
4. Dapat Dilakukan Ganti Rugi
Ganti rugi yang dimaksud adalah ketika suatu hak milik beralih ke pihak lain dengan kondisi bukan karena warisan. Karena, jika suatu tanah hak milik diwariskan, maka tidak ada ganti kerugian. Kematian adalah syarat mutlak pengalihak hak milik secara waris, dan pemegang waris tidak diberi ganti rugi. Ganti rugi dapat diberikan dalam hal peralihan hak karena suatu tanah digunakan untuk pelebaran jalan, pembangunan fasilitas negara berupa gedung, dan lain sebagainya.
59
BAB IV
PENUTUP
4.1.
KESIMPULAN
1. Jaminan hukum dan kepastian hukum hak kepemilikan atas tanah yang berupa sertifikat belum bisa memberi rasa aman bagi masyarakat pada umumnya di indonesia, sengketa kepemilikan hak milik terjadi karna terbitnya sertifikat ganda dan dengan terbitnya sertifikat ganda ini masyarakat kurang percaya dan menimbulkan kesan betapa alat bukti berupa sertifikat belum menjamin kuatnya hak seorang atas tanah, hal ini juga membuktikan bahwa surat hak milik berupa sertifikat dan pendaftaran tanah belum bisa memberikan solusi terhadap sengketa tanah yang ada saat ini. Di dalam Undang – undang Nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan pokok - pokok agraria (UUPA) mengatur akan adanya jaminan kepastian hukum dengan tujuan menghasilkan surat – surat tanda bukti hak yang berupa serifikat khususnya pasal 19 UUPA, hal ini juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberi kepastian hukum dan memberi perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah. Pendaftaran tanah yang dilakukan oleh Badan Pertanahan
nasional
(BPN)
banyak
mengalami
kesalahan
prosedur
pendaftaran atas tanah, sehingga terbitnya dua surat tanah atau sertifikat ganda dan hal inilah yang mengakibatkan sengketa hak milik terjadi saat ini di indonesia dan sampai saat ini kasus sengketa tanah dengan terbitnya
60
sertifikat ganda belum bisa terselesaikan hingga permasalahan ini sering menimbulkan dampak yang anarkis dan terjadi korban jiwa hilangnya nyawa seseorang sampai perang saudarah demi mempertahankan Hak miliknya. 2. Konflik sengketa sertifikat ganda atau dua sertifikat tanah sampai saat ini belum bisa terselesaikan dengan jalan litigasi atau pengadilan, dampak dari litigasi atau putusan dipengadilan dianggap belum memberikan keadilan bagi masyarakat dengan biaya yang mahal serta proses yang lama. Hal ini dibuktikan dengan begitu banyaknya putusan pengadilan yang menimbulkan kejadiaan anarkis sampai hilangnya nyawa seseorang demi mempertahankan hak miliknya karna mereka merasa sama - sama mempunyai bukti berupa sertifikat yang diterbitkan oleh pemerintah pertanahan dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dalam hal ini sering masyarakat lebih memilih jalan non litigasi yaitu dengan cara Mediasi dan Negosiasi karna biaya yang tidak terlalu banyak prosesnya mudah dan cepat serta yang paling penting bisa memberikan keadilan bagi kedua belah pihak yang bersengketa sehingga tidak akan menimbulkan kejadian – kejadian anarkis hingga hilangnya nyawa seseorang dan supaya dapat menciptakan kehidupan yang harmonis dan rukun di masyarakat. Dalam hal ini pemerintah belum membentuk lembaga independen yang khusus menangani sengketa sertifikat ganda akan tetapi saat ini pemerintah berupaya membentuk lembaga yang bernama “Indonesia Mediator Centre” atau (IMC) yang didirikan pada tanggal 8 Maret 2010 dan juga telah menerima akreditasi dari MA berdasarkan Keputusan MA No 159 A/KMA/SK/VIII/2010 dalam lembaga ini mengedepankan penyelesaaian dengan cara madiasi dan negosiasi, dengan adanya lembaga seperti ini diharapkan penyelesaian sengketa khususnya masalah sertifikat ganda atau
61
masalah pertanahan dapat terselesaikan dengan cepat dan adil sehingga tidak terjadi hal – hal yang merugikan orang lain karna pada dasarnya masyarakat
hanya
menginginkan
suatu
penyelesaian
dengan
jalan
musyawara serta kekeluargan yaitu dengan jalan Negosiasi dan mediasi dengan harapan semua pihak tidak ada yang merasa dirugikan.
4.2. SARAN
Melalui tulisan yang coba penulis uraikan diatas, diharapkan agar Undang – undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 yang sifatnya Lex spesialis (khusus) ini bisa dilakukan pembaharuan karna harus mengikuti perkembangan jaman, selama dengan berjalanya waktu dan bertambahnya jumlah penduduk di indonesia yang semakin meningkat kebutuhan akan tanah sangat berpengaruh penting, dengan pembaharuan UUPA No 5 tahun 1960 bisa mensinergikan dan mengadaptasi semua permasalahan yang terjadi dimasyarakat saat ini dengan harapan bisa menciptakan masyarakat yang aman, tentram dan damai khususnya masyarakat indonesia.
1. Diharapkan Undang – Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok agraria dilakukan perubahan secara menyeluruh dengan mengikuti perkembangan jaman.
2. Segera dibentuk suatu Lembaga Penyelesaian Sengketa alternatife atau non litigasi khusus masalah sengketa pertanahan, dengan harapan bisa mempercepat penyelesaian konflik saat ini karna semua kasus sengketa tanah yang diselesaikan dipengadilan pasti menimbulkan dampak yang merugikan bagi kedua belah pihak.
62
DAFTAR BACAAN
Florianus SP Sanggsun, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah dan Jenis – jenis Sertifikat Tanah, Transmedia Pustaka, Jakarta, 2009.
Abdulkadir Muhamad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008. Harsono Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta, 2005. Himpunan Peraturan Perundang Undangan Pertanahan dan Petunjuk PPAT di Indonesia 1951 – 2003, Jakarta, CV Citra Mandiri, 2003 Srikuntjoro, Sertifikat ganda, Jakarta 2010 Rusmadi Murad, Tipologi Sengketa, Jakarta 1991 Noer Fauji, Petani dan Pengusaha, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 1999 Syarifa, Zackya, Sertifikat Ganda Dalam Status Hak Milik, Padang 2008 Rachmadi Usman, PIlihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2005 Undang – Undang Nomor 5 tahun 1960 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tanhun 1997