Jalan Panjang Penataan Kembali Kebijakan Kehutanan di Indonesia Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR SINGKATAN
viii
RINGKASAN EKSEKUTIF
xiii
BAB I PENDAHULUAN
1. 2. 3. 4.
Latar Belakang Tujuan buku ini Ruang Lingkup Kerangka buku
BAB II PERMASALAHAN DAN TANTANGAN
1. Mengapa Diperlukan Sejumlah Prinsip Dasar 2. Empat Prinsip Dasar dan Indikator Pemenuhan 2.1. Prinsip Inklusifitas 2.2. Prinsip Transparansi 2.3. Prinsip Kredibilitas 2.4. Prinsip Institutionalitas 3. Prasyarat Keberhasilan Implementasi Prinsip Dasar
1 1 3 3 4 7 7 8 8 9 10 11 13
BAB III TAHAPAN DAN HASIL PROSES PERUMUSAN STRATEGI NASIONAL REDD+
1.
Tahapan Pra Penyusunan Dokumen Stranas REDD+ 1.1. Proses dan Hasil 1.2. Analisis Terhadap Proses 2. Tahap Penyusunan Dokumen Stranas REDD+ 2.1. Penulisan Draf O dan Draf 1 2.2. Analisis terhadap proses 3. Tahap Konsultasi Publik
15 16 16 19 20 20 28 29
iii
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
3.1. Tahap Konsultasi Regional 3.2. Konsultasi Ahli Di Tingkat Nasional 3.3. Konsultasi Ahli Di Tingkat Internasional
30 53 54
BAB IV PEMBELAJARAN (LESSONS LEARNED)
7.
65 Pentingnya Mekanisme Preparedness 65 Proses yang inklusif membutuhkan waktu 65 Mekanisme pelibatan yang ramah terhadap pihak yang rentan 66 Partisipasi yang hakiki 66 Proses perumusan kebijakan yang berpijak pada data dan pengalaman 66 Proses perumusan kebijakan REDD+ yang comprehensive 67 Proses komunikasi yang efektif membutuhkan proses yang bersifat resiprokal 63
8.
Pentingnya sistem pendukung (support system) dalam proses perumusan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
kebijakan BAB V PENUTUP
iv
67 69
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
DAFTAR SINGKATAN
A AFP AFOLU AMDAL APBD APBN APL AusAid
: : : : : : :
ASEAN Forest Partnership Agriculture, Forestry, and Other Land Use Analisa Mengenai Dampak Lingkungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Area Penggunaan Lain Australian Government’s Overseas Aid Program
B BAP BAU Bappenas BIN BPKH
: : : : :
Bali Action Plan Business as Usual Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Badan Intelijen Negara Balai Pemantapan Kawasan Hutan
C COP CI CSR
: Conference of Parties : Conservation International : Corporate Social Responsibility
D DA DAS DKI DIY
: : : :
Demonstration Activities Daerah Aliran Sungai Daerah Khusus Ibu Kota Daerah Istimewa Yogyakarta
F FAO FCPF FLEGT FORCLIME
: : : :
Food and Agriculture Organization Forest Carbon Partnership Facility Forest Law Enforcement and Governance and Trade Forest and Climate Change Program
v
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
FPIC FRIS FSC
: Free Prior Informed Consent : Forest Resource Information System : Forest Stewardship Council
G Gerhan GIS GNRHL GRK
: : : :
Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Geographic Information System Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Gas Rumah Kaca
H HK HKm HL HP HTI HTR
: : : : : :
Hutan Konservasi Hutan Kemasyarakatan Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Rakyat
I ICRAF IFCA ILRC INCAS IPCC ITTO IUCN IUPHHK
: : : : : : : :
World Agro forestry Centre Indonesia Forest Climate Alliance Illegal Logging Response Centre Indonesia National Carbon Accounting Intergovernmental Panel on Climate Change International Tropical Timber Organization International Union for Conservation Nature Ijin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu
J JICA
: Japan International Cooperation Agency
K KMDM KLHS KPH KOICA
: : : :
vi
Kecil Menanam, Dewasa Memanen Kajian Lingkungan Hidup Strategis Kesatuan Pengelolaan Hutan Korean International Cooperation Agency
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
L LAPAN LEI LOI LSM LUCF LULUCF
: : : : : :
M Mabes TNI MRV
: Markas Besar Tentara Nasional Indonesia : Measurement, Reporting and Verification
N NAD
: Nangroe Aceh Darussalam
O ORES
: One Roof Enforcement System
P PAD PHLN PDB PMH POLRI Pokja PPATK PPP
: : : : : : : :
R RAN REDD+ REL/RL RKTN RPJMN
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Lembaga Ekolebel Indonesia Letter of Intent Lembaga Swadaya Masyarakat Land Use Change and Forestry Land Use , Land Use Change and Forestry
Pendapatan Asli Daerah Pinjaman Hibah Luar Negeri Produk Domestik Bruto Pemberantasan Mafia Hukum Kepolisian Republik Indonesia Kelompok Kerja Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Public Private Partnership
: Rencana Aksi Nasional : Reducing Emission from Deforestation and Degradation+ : Reference Emission Level : Rencana Kehutanan Tingkat Nasional : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
Forest
vii
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
RPJPN RPPLH RTRW
: Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional : Rencana Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup : Rencana Tata Ruang Wilayah
S Satgas SDM SFM Stranas SVLK
: : : : :
T TNC
: The Nature Conservancy
U UKP4 UNDP UNFCCC UN REDD UNODC USA UUPLH
W WWF
viii
Satuan Tugas Sumber Daya Manusia Sustainable Forest Management Strategi Nasional Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
: Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan : United Nations Development Program : United Nations Framework Convention on Climate Change : United Nations on Reducing Emission From Deforestation and Forest Degradation : United Nations Office on Drugs and Crime : United States of America : Undang-undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
: World Wildlife Fund
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
RINGKASAN EKSEKUTIF Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% dengan pembiayaan sendiri atau 41% dengan bantuan internasional pada 2020 dari tingkat emisi Business as Usual (BAU). Sektor kehutanan melalui implementasi REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation+) diperkirakan akan berkontribusi 14% dari total target pengurangan emisi GRK sebesar 26%. Komitmen politik ini kemudian dimanifestasikan dalam tindakan aksi antara lain berupa penyusunan Strategi Nasional (Stranas) REDD+ yang akan menjadi payung kebijakan nasional untuk implementasi REDD+ di Indonesia. Pemerintah Indonesia berharap agar proses pengembangan Stranas REDD+ diharapkan menjadi suatu proses yang dikelola berdasarkan prinsip inklusifitas, transparansi, kredibilitas dan institusionalitas. Dengan pendekatan seperti ini, maka proses penyusunan Stranas REDD+ diharapkan akan menghasilkan kebijakan yang tepat; berbasis pada partisipasi dan kepentingan semua pihak; efektif dan mudah diimplementasikan; mudah dikontrol dan dievaluasi; dan memberikan insentif ekonomi secara lebih adil.
I. PRINSIP PRINSIP PENYUSUNAN STRANAS REDD+ Penyusunan Stranas REDD+ dilakukan dengan menggunakan pendekatan prinsip: 1. Prinsip Inklusifitas: bahwa proses perumusan Stranas REDD+ ini telah melibatkan para pihak baik yang akan mengimplementasikannya maupun kepada para pihak yang akan terkena dampak secara langsung maupun tidak langsung. Proses pelibatan ini seringkali dilakukan melalui upayaupaya konsultasi publik. 2. Prinsip Transparansi: bahwa pengembangan Stranas REDD+, prinsip transparansi dimaknai sebagai prinsip keterbukaan, dimana terdapat akses publik untuk melihat tahapan dan memantau perkembangan proses pembuatan kebijakan (Issai, 2000). Prinsip transparansi ini dapat diwujudkan dengan penyediaan mekanisme pelaporan publik yang tepat waktu, relevan, informatif dan jelas.
ix
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
3. Prinsip Kredibilitas: bahwa proses pengembangan Stranas REDD+ merupakan proses yang dikelola oleh orang-orang dan dengan proses yang dapat dipercaya. Hal ini penting untuk menumbuhkan kepercayaan dan penerimaan dari publik terhadap proses penyusunan Stranas REDD+ sehingga Stranas REDD+ yang terbentuk mendapatkan legitimasi penuh dari para pihak. 4. Prinsip Kelembagaan: bahwa proses pengembangan Stranas REDD+ dilakukan dengan pendekatan yang mengarah pada proses pelembagaan ideide, pengetahuan, nilai-nilai, dasar hukum, serta struktur dan mekanisme yang menggambarkan lima aspek dasar yaitu keteraturan, otonomi, adaptabilitas, komprehensifitas, koherensi dan fungsionalitas. Keempat prinsip ini dianggap penting dengan asumsi bahwa dengan menggunakan keempat prinsip seperti itu maka proses pengembangan strategi diharapkan benar-benar memberikan jaminan terhadap kehandalan rumusan strategi dan kelembagaan yang dihasilkan. Juga bisa memberikan kejelasan dan kepastian terhadap hak-hak atau kepentingan-kepentingan para pihak dalam kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia. Walau demikian, dibutuhkan sejumlah prasyarat untuk bisa mengimplementasikan keempat prinsip tersebut dalam perumusan kebijakan REDD+. Prasyarat-prasyarat tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut: • Adanya konsultasi dengan para pihak yang bertanggung jawab, yang potensial terkena dampak, maupun pihak-pihak yang relevan atau terkait secara langsung dan tidak langsung dengan implementasi Stranas REDD+. • Adanya penyediaan informasi dasar yang jelas dan komprehensif serta mekanisme pelaporan publik yang tepat waktu, relevan, dan mudah diakses oleh siapapun. • Proses yang bersifat inklusif dan transparan • Mekanisme input dan output informasi atau komunikasi yang memungkinkan para pihak atau publik mengetahui dan memberikan tanggapan • Proses pelembagaan gagasan, nilai-nilai, pengetahuan dan kepentingankepentingan
x
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
II. TAHAPAN DAN HASIL PROSES PENYUSUNAN STRANAS REDD+ Secara umum tahapan proses penyusunan yang dilakukan sejak Juli hingga November 2010 dapat dibagi dalam empat bagian pokok, yaitu tahapan pra penyusunan dokumen Stranas REDD+; tahapan penyusunan dokumen Stranas REDD+; tahapan konsultasi public; dan tahapan keputusan tentang status hasil rumusan Stranas REDD+. Keseluruhan proses tahapan penyusunan Stranas REDD+ yang dilaksanakan ditampilkan pada Gambar 1. Gambar 1. Tahap Penyusunan Stranas REDD+ Pertemuan Tim Pelaksana: Pembentukan Tim Penyusun Bappenas, 16/7/ 2010 Kemenhut, 22/7/2010
Kunjungan A wal Konreg Ac eh, Papua, Palangka Raya, Jambi, 2630/9/2010 Konsultasi Region Jawa Yogyak arta, 30/9- 1/10/2010 Konsultasi Region Bali, Nusa Tenggara, Maluku Senggigi, 7-8/10/2010
Pertemuan Tim Penulis Bogor, 2/8/2010 Pertemuan Tingkat Eselon I Bappenas, 3/8/2010
Konsultasi Region Sumatera bagian utara dan selatan Banda Aceh, 11-12/10/2010
Konsinyering Tim Penulis (Workshop REL) Bogor, 11-13 dan 15- 16/8/2010
Konsultasi Region Sulaw esi Palu, 14- 15/10/2010
Draft 0 per 19/8/2010
Konsultasi Region Papua Jay apura, 18-19/10/2010
Pertemuan Tim Pelaksana Aryaduta, 19/8/2010
Konsultasi Region Sumatera bagian timur Jambi, 21- 22/10/2010
Peny empurnaan Draft 0 21-23/8/2010
Konsinyering Tim Penulis Bogor, 23- 26/10/2010 Aston M arina, 28-30/10/2010
Draft 0 per 24/8/2010 Pertemuan Tim Pelak sana Bappenas, 24/8/2010
Konsultasi Para Ahli Nasional dan Internasional Bali, 31/10- 3/11/2010
Pertemuan Tim Pelak sana Bogor, 1/9/2010
Konsinyering Tim Penulis Bali, 3-5/11/2010
Pertemuan Tim Pengarah Bappenas, 3/9/2010
Draft per 5/11/2010 Pertemuan Tim Pengarah Bappenas, 5/11/2010
Kunjungan Awal Konreg Palu, 7/9/2010 Peny empurnaan Draft O Draft 1 per 23/9/2010 Pertemuan Tim Pengarah Bappenas, 24/9/2010 Pertemuan Fasilitator Persiapan Konreg ( Konsultan Regional) B ogor, 24-26/9/2010
Konsultasi Region Kalimantan Palangk a Raya, 14- 15/10/2010
?
Penyempurnaan Draft 6-9/11/2010 Draf t per 10/11/2010 Konsultasi Nasional Bappenas, 10/11/2010 Ranc angan Stranas REDD+
Executive S ummary
Buku Proses Penyusunan
Seluruh tahapan proses penyusunan Stranas REDD+ dapat dibagi dalam tiga tahap utama yaitu:
xi
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
1. Tahapan Pra Penyusunan Stranas REDD+: Merupakan tahapan koordinasi persiapan penyusunan Stranas REDD+, dimana Bappenas mendapat mendat dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk mengkoordinasi proses penyusunan Stranas REDD+. Tahap ini diisi dengan pembentukan Tim Penyusun Stranas REDD+ yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Pelaksana. Pada tahapan proses ini, UN-REDD masuk sebagai fasilitator dan berfungsi sebagai sistem pendukung pelaksanaan penyusunan Stranas REDD+. UN-REDD dengan persetujuan Tim Pelaksana membentuk Tim Penulis dan Tim Sekretariat. 2. Tahapan Penulisan Draf Stranas REDD+ Diisi dengan proses penulisan dan proses konsultasi antara Tim Penulis dengan Tim Pelaksana. Selama tahap ini, dihasilkan draf 0 Stranas REDD+ pada tanggal 19 Agustus 2010. Draf ini kemudian diperbaiki menjadi draf 1 versi tanggal 26 Agustus yang kemudian diperbaiki lagi menjadi draf tanggal 23 September 2010, yang menjadi bahan dasar proses konsultasi publik. 3. Tahapan Konsultasi Publik: Draf Stranas REDD+ dikonsultasikan kepada berbagai pihak di tingkat regional, nasional, maupun para ahli ditingkat nasional dan internasional. Proses konsultasi publik di tingkat regional dilakukan di 7 wilayah regional sebagai berikut (table 1). Tabel 1. Wilayah Pelaksanaan Konsultasi Regional Regionall
Proviinsi yang terrcakup
Jawa Mataram m
DIY, DKI, D Banten,, Jawa Barat,, Jawa Timur, dan Jawa Tengah T Mataaram, Nusa Tenggara T Barat, Nusa Teenggara Timu ur, Bali, dan Malu uku Aceh, Lampung, Sumatera Baarat dan Sum matera Utara mantan Baratt, Kalimantan Selatan, K Kalimantan Timur, T dan Kalim Kalim mantan Tenggah Sulaw wesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Go orontalo, Sulawesi Utara, Sulaw wesi Barat Papua dan Papuaa Barat Kepu ulauan Riau, Riau, Jambi,, Sumatera SSelatan dan Bangka Belitu ung
Sumatera I Kalimanttan Sulawesii Papua Sumatera II
xii
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Secara garis besar unsur kepesertaan dalam konsultasi regional telah dihadiri oleh berbagai pihak (Gambar 2). Akan tetapi, sebagian besar peserta masih didominasi unsur laki-laki (Gambar 3). Gambar 2. Unsur Kepesertaan Dalam Konsultasi Regional
3% 9%
Pemerintah 46%
CSO Akademissi Swasta
42%
Grafik 3. Unsur Kepesertaan Laki-laki dan Perempuan dalam Konsultasi Regional
14%
1% Massyarakat Adat Sekttor Perempuan n LSM M
85%
Proses konsultasi regional dicatat telah berhasil meningkatkan pemahaman para peserta konsultasi yang ditunjukan dengan hasil jajak pendapat yang dilakukan terhadap para peserta konsultasi (Tabel 2).
xiii
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Tabel 4 Pendapat Peserta Konsultasi Regional Mengenai Perubahan Pengetahuan setelah Mengikuti Konsultasi Penyusunan Stranas REDD+ Region
Mengalami Peningkatan
Tidak Mengalami Peningkatan
Jawa
98%
2%
Bali, Nusa & Maluku
96%
4%
Sumatera Bagian Barat
97%
3%
Sulawesi
98%
2%
Kalimantan
84%
16%
Papua
71%
29%
Sumatera Bagian Timur
Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa catatan penting yang dapat menjadi sumber perbaikan proses konsultasi dimasa yang akan datang yaitu: • • • • •
Pentingnya akses dini peserta konsultasi terhadap materi konsultasi. Pentingnya mekanisme feedback untuk meningkatkan kepercayaan para peserta konsultasi terhadap proses konsultasi Proses pemilihan peserta konsultasi harus dilakukan dengan proses yang hati-hati, adil dan terbuka. Pentingnya memberikan akses kepada perempuan untuk terlibat dalam proses perumusan kebijakan mengenai REDD+. Pentingnya mekanisme persiapan (preparedness) untuk memberi pembekalan kepada para pihak yang rentan dan memiliki akses yang rendah terhadap informasi.
Proses konsultasi juga dilaksanakan di tingkat nasional dan dengan para ahli baik di tingkat nasional maupun nasional yang kemudian menjadi bahan dasar revisi dan penyempurnaan draf Stranas REDD+. Selain melalui proses konsultasi secara langsung, Tim Penyusun Stranas REDD+ juga melakukan konsultasi dan permintaan masukan secara tertulis kepada Kementrian terkait dan Civil Society Organisation (CSO).
xiv
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
4. Tahapan Penentuan Status Hasil Penyusunan Draf Stranas REDD+ Pada tanggal 18 November 2010, Bappenas akan menyerahkan dengan resmi draf Rancangan Stranas REDD+ ke Satgas REDD+ yang diketuai oleh Kuntoro Mangkusubroto dari UKP4. Proses lebih lanjut mengenai status draf akan ditentukan selanjutnya di tingkat Satgas/REDD+.
III. PEMBELAJARAN (LESSONS LEARNED) Berikut ini beberapa pembelajaran yang dapat ditarik dari proses-proses yang telah terjadi: a) Pentingnya Mekanisme Preparedness Mekanisme preparedness yang berisi peningkatan kapasitas dan pemahaman para pemangku kepentingan mengenai REDD+ sangat penting untuk menjamin inklusifitas proses perumusan kebijakan. Mekanisme preparedness ini terutama dibutuhkan untuk membantu para pihak yang memiliki akses dan kontrol yang rendah terhadap informasi dan proses-proses pengambilan keputusan seperti masyarakat adat dan perempuan. b Proses yang inklusif membutuhkan waktu dan Informasi Proses yang inklusif mensyaratkan partisipasi para pihak, dimana para pihak ini memiliki kedudukan yang setara. Untuk mencapai tahapan ini memang dibutuhkan waktu yang tidak singkat, disamping diperlukan informasi yang dini, jelas dan komprehensif agar semua pihak bisa berada pada kedudukan dan kapasitas yang sama dalam proses pengambilan keputusan. Dilain pihak, pemerintah seringkali menghadapi situasi dimana keputusankeputusan penting harus dibuat dalam waktu yang relatif singkat untuk menunjukkan progres dari sebuah proses politik. Keterbatasan waktu ini menciptakan situasi ketidakadilan bagi pihak-pihak yang relatif memiliki akses rendah terhadap informasi seperti masyarakat adat dan perempuan. c) Mekanisme pelibatan yang ramah terhadap pihak yang rentan REDD+ adalah sebuah mekanisme yang cukup rumit, gabungan dari proses politik dan ilmu pengetahuan sains yang kompleks. Hal ini menyebabkan perumusan strategi nasional mengenai REDD+ juga mau tidak mau harus berdasarkan istilah-istilah dan definisi yang cukup sulit dimengerti. Hal ini
xv
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
jika tidak diantisipasi dengan bantuan penjelasan dan tambahan informasi yang mudah dimengerti oleh orang awam akan menimbulkan “intimidasi”. “Intimidasi” semacam ini secara tidak langsung akan mengeluarkan pihak-pihak yang tidak memiliki pemahaman terhadap sains dibalik REDD+ dari proses konsultasi yang terjadi. d) Partisipasi yang hakiki Agar para pihak mau berpartisipasi secara berkelanjutan dalam proses-proses perumusan kebijakan selanjutnya, maka para pihak yang telah mengikuti proses harus percaya bahwa kepesertaan mereka membawa dampak dan perubahan dalam proses perumusan kebijakan. Oleh karena itu mekanisme feedback dan tindak lanjut menjadi sangat penting. Mekanisme feedback mencakup penjelasan bagaimana pengambilan keputusan diambil dan peran masukan serta tanggapan mereka didalamnya. Ketiadaan mekanisme feedback dapat menyebabkan peserta konsultasi merasa bahwa mereka dan pandangan-pandangan mereka tidak dipertimbangkan. e) Proses perumusan kebijakan yang berpijak pada data dan pengalaman REDD+ merupakan mekanisme mitigasi perubahan iklim yang mensyaratkan ketersediaan data yang akurat, lengkap dan dapat diverivikasi. Terkait dengan hal ini, proses penyusunan kebijakan mengenai REDD+ harus ditopang dengan ketersediaan data yang akurat dan relevan baik ditingkat nasional maupun lokal. Penggunaan data yang relevan dan akurat dapat meningkatkan kredibilitas proses penyusunan Stranas REDD+. Selain berpijak pada data, agar relevan sebuah kebijakan pembangunan harus mempertimbangkan pengalaman pengalaman para pihak, terutama para pihak yang diperkirakan akan terkena dampak dari implementasi kebijakan ini. Dalam konteks Stranas REDD+ para pihak tersebut bisa berupa masyarakat adat dan masyarakat lokal yang tinggal di dan sekitar hutan. f) Proses perumusan kebijakan REDD+ yang komprehensif Sebuah kebijakan REDD+ yang efektif harus mengandung muatan substansi strategi maupun kelembagaan yang komplit dalam artian mengetengahkan gambaran tentang kondisi hutan dan lahan, faktor-faktor yang mempengaruhi deforestasi dan degradasi, baik itu menyangkut ketidakseimbangan penggunaan ruang, problem kelembagaan, governance, dan ekonomi.
xvi
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
g) Proses komunikasi yang efektif membutuhkan proses yang bersifat resiprokal Yang diwujudkan dalam bentuk ketersediaan informasi dini, kebersediaan pemerintah dan para pihak lain untuk berdialog, adanya mekanisme feedback yang efektif dan dilakukan dengan saluran media yang mudah diakses terutama oleh pihak pihak yang memiliki posisi yang rentan. h) Pentingnya sistem pendukung (support system) dalam proses perumusan kebijakan Hadirnya UN-REDD sebagai lembaga yang bertugas memfasilitasi proses perumusan Stranas REDD+, dan Kemitraan yang membantu proses konsultasi regional merupakan salah satu kunci suksesnya perumusan draf Stranas REDD+. Lembaga seperti UN-REDD dipersepsikan sebagai lembaga yang netral, dan seringkali berhasil membuka sumbat-sumbat koordinasi dan komunikasi antar sektor ditubuh pemerintah. Dalam proses perumusan Stranas REDD+, UNREDD sebagai fasilitator berhasil membantu Bappenas untuk mengkoordinasi proses perumusan Stranas REDD+. Secara keseluruhan, UN-REDD dapat memainkan peran sebagai sistem pendukung yang baik dalam memfasilitasi proses-proses penyusunan Stranas REDD+.
V. PENUTUP Buku catatan proses ini mencoba mendokumentasikan dinamika proses yang terjadi serta perubahan-perubahan konsensus yang dihasilkan dalam mengisi substansi isi draft Stranas REDD+. Seluruh temuan yang dihasilkan merupakan penilaian yang bersifat independen dan diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran untuk proses-proses perumusan kebijakan lain yang ingin mengarusutamakan prinsip inklusif, transparan, handal dan terinstitusionalisasi.
xvii
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia sejak beberapa tahun terakhir sudah mengembangkan berbagai strategi pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari deforestasi dan degradasi hutan. Beberapa kebijakan telah dilakukan terutama sejak ditetapkannya Bali Action Plan yang memandatkan pengembangan proses penyiapan implementasi REDD+ yang mencakup pelaksanaan demonstration activities dan pengembangan perangkat kebijakan (readineness phase). Sebagai negara dengan tutupan hutan terluas ketiga di dunia setelah Brazil dan Kongo dan laju deforestasi kedua tertinggi setelah Brazil, Indonesia dianggap memiliki peran strategis baik dalam negosiasi REDD+ ditingkat internasional maupun tahap penyiapan implementasi REDD+ di level nasional. Posisi strategis Indonesia ini dikukuhkan dengan komitmen politik Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% dengan pembiayaan sendiri atau 41% dengan bantuan internasional pada 2020 dari tingkat emisi Business as Usual (BAU). Sektor kehutanan melalui implementasi REDD+ diperkirakan akan berkontribusi 14% dari total target pengurangan emisi GRK sebesar 26%. Komitmen politik ini kemudian dimanifestasikan dalam tindakan aksi antara lain berupa penyusunan strategi nasional (Stranas) REDD+ yang akan menjadi payung kebijakan nasional untuk implementasi REDD+ di Indonesia. Proses perumusan Stranas REDD+ ini kemudian mendapatkan percepatan setelah adanya kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia yang tertuang dalam surat niat (Letter of Intent) mengenai kerjasama penurunan emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan yang ditandatangani pada 26 Mei 2010. Proses ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan pembenahan terhadap berbagai aspek yang terkait dengan pengelolaan hutan dan berbagai sektor lainnya yang terkait dengan deforestasi dan degradasi hutan.
1
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Ditingkat nasional, Pemerintah Indonesia berharap agar proses pengembangan Stranas REDD+ diharapkan menjadi suatu proses yang dikelola berdasarkan prinsip inklusif, transparan, kredibel dan terinstitusionalisasi. Dengan kata lain, proses pengembangan Stranas REDD+ dapat melalui proses yang berjenjang ditingkat nasional maupun sub-nasional dengan melibatkan para pihak yang berkepentingan dan terkait dengan REDD+ di Indonesia. Dengan pendekatan seperti ini, maka proses penyusunan Stranas REDD+ diharapkan akan menghasilkan kebijakan yang tepat; berbasis pada partisipasi dan kepentingan semua pihak; efektif dan mudah diimplementasikan; mudah dikontrol dan dievaluasi; dan memberikan insentif ekonomi secara lebih adil. Melihat kebutuhan ini, Bappenas selaku koordinator yang diberi mandat untuk menyusun Stranas REDD+ memformulasikan empat prinsip dasar yang diarusutamakan selama proses pengembangan Stranas REDD+ yaitu: 1. Prinsip Inklusif Inklusif memiliki makna bahwa proses perumusan Stranas REDD+ ini telah melibatkan para pihak baik yang akan mengimplementasikannya maupun kepada para pihak yang akan terkena dampak secara langsung maupun tidak langsung. Proses pelibatan ini seringkali dilakukan melalui upaya-upaya konsultasi publik. 2. Prinsip Transparansi Dalam konteks pengembangan Stranas REDD+, prinsip transparansi dimaknai sebagai prinsip keterbukaan, dimana terdapat akses publik untuk melihat tahapan dan memantau perkembangan proses pembuatan kebijakan (Issai, 2000). Prinsip transparansi ini dapat diwujudkan dengan penyediaan mekanisme pelaporan publik yang tepat waktu, relevan, informatif dan jelas. 3. Prinsip Kredibilitas Prinsip kredibilitas adalah prinsip yang mengandung pemahaman bahwa proses pengembangan Stranas merupakan proses yang dikelola oleh orang-orang dan dengan proses yang dapat dipercaya. Hal ini penting untuk menumbuhkan kepercayaan dan penerimaan dari publik terhadap proses penyusunan Stranas sehingga Stranas REDD+ yang terbentuk mendapatkan legitimasi penuh dari para pihak.
2
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
4. Prinsip Institusionalisasi Prinsip institusionalitas mengacu pada pemahaman bahwa proses pengembangan Stranas REDD+ dilakukan dengan pendekatan yang mengarah pada proses pelembagaan ide-ide, pengetahuan, nilai-nilai, dasar hukum, serta struktur dan mekanisme yang menggambarkan lima aspek dasar yaitu keteraturan, otonomi, adaptabilitas, komprehensifitas, koherensi dan fungsionalitas. Dalam konteks seperti ini, pencatatan atau dokumentasi tentang proses penyusunan Stranas REDD+ menjadi penting untuk dilakukan. Buku ini diharapkan akan memberikan pembelajaran kepada para pihak bagaimana membangun kebijakan berskala nasional yang melibatkan banyak pihak melalui proses yang transparan dan kredibel. Selain itu buku ini juga berisi pembelajaran tentang bagaimana seharusnya pemerintah berkomunikasi kepada masyarakat, civil society organisation (CSO), kalangan pengusaha, dan juga sebaliknya. Buku ini diharapkan juga dapat memberikan pembelajaran tentang sebuah proses perumusan kebijakan yang mempertemukan berbagai kepentingan atau aspirasi yang bersumber pada keragaman karakteristik sosio-ekologi bahkan ekonomi politik yang melatarbelakangi masing-masing pihak.
2. Tujuan buku ini Buku ini bertujuan untuk menggambarkan tahapan proses penyusunan Stranas REDD+ dan mereview implementasi empat prinsip penyusunan kebijakan (inklusif, transparan, kredibel, dan institusionalisasi) yang diarusutamakan oleh Bappenas dalam proses penyusunan Stranas REDD+. Buku ini juga bertujuan untuk mendokumentasikan pembelajaran-pembelajaran positif maupun negatif yang dapat diambil selama proses penyusunan Stranas REDD+ untuk memberikan gambaran dan informasi kepada para pihak mengenai proses perumusan kebijakan yang partisipatif, transparan, kredibel dan terinstitusionalisasi. Pemahaman mengenai pembelajaran-pembelajaran yang didapat dari proses perumusan sebuah kebijakan akan membantu para pengambil keputusan dan perancang kebijakan untuk menghindari kesalahan dan memperbesar faktor keberhasilan dari sebuah proses perumusan kebijakan Secara garis besar pendokumentasian proses penyusunan Stranas REDD+ bertujuan untuk:
3
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
1.
Mendokumentasikan pengetahuan dan pengalaman dalam proses penyusunan sebuah kebijakan dengan cara yang efektif dan mudah ditangkap sehingga dapat meningkatkan kualitas dan dampak positif dari sebuah proses penyusunan kebijakan. 2. Mempercepat adopsi proses-proses perumusan kebijakan yang mengarusutamakan prinsip inklusif, transparan, kredibel dan terinstitusionalisasi sehingga dapat direplikasi dan diadaptasi pada konteks dan lokasi yang berbeda. 3. Mendokumentasikan pembelajaran dari proses komunikasi yang efektif dalam mengelola keragaman karakteristik sosio-ekologi bahkan ekonomi politik yang melatarbelakangi para pihak yang terlibat dalam proses penyusunan sebuah kebijakan.
3. Ruang Lingkup Pendokumentasian proses penyusunan Stranas REDD+ merupakan sebuah mekanisme yang sistematis untuk menangkap perubahan-perubahan dari konsensus yang disepakati dalam proses pengambilan keputusan. Mekanisme ini juga mencatat dinamika proses dan memahami bagaimana hal itu bisa terjadi. Temuan yang diperoleh kemudian diolah dan didiseminasikan sebagai dokumen publik yang dapat diakses oleh siapapun. Ruang lingkup pendokumentasian proses ini mencakup fase dimana Bappenas pertamakali diberikan mandat oleh Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian untuk menyusun Stranas REDD+ hingga serah terima draft Stranas dari Bappenas kepada Satuan Tugas (Satgas) REDD+ yang dikoordinatori oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
4. Outline buku Buku ini terdiri dari ringkasan eksekutif, lima bab utama dan appendix. Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan penulisan buku proses, ruang lingkup dan outline buku. Bab II mendeskripsikan ke empat prinsip utama yang dipakai sebagai dasar dalam proses penyusunan Stranas REDD+. Bab ini juga menjelaskan kenapa keempat prinsip ini vital sebagai wujud perumusan kebijakan yang berdasarkan pada aplikasi konsep good governance dan kontekstualitas keempat prinsip ini dalam lingkup REDD+.
4
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Bab III menggambarkan tahapan proses dan hasil dari penyusunan Stranas REDD+. Bab ini juga akan memberikan informasi mengenai siapa saja stakeholder yang terlibat, bagaimana proses pembentukan konsensus dijalankan, dan isuisu krusial yang muncul dalam proses. Bab IV mendokumentasikan dan mensarikan pembelajaran (lessons learned) yang diperoleh dari proses penyusunan Stranas REDD+. Bab V merupakan penutup dan rekomendasi. Appendix berisi lampiran-lampiran dokumen
5
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
6
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
BAB II PRINSIP DASAR PENYUSUNAN STRANAS REDD+ 1. Mengapa Diperlukan Sejumlah Prinsip Dasar Dalam berbagai diskusi mengenai REDD+, banyak pihak berharap bahwa REDD+ dapat mempercepat upaya menekan laju deforestasi dan degradasi hutan dan memberi kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Selain itu, REDD+ juga diharapkan dapat memberikan jaminan yang lebih tegas terhadap upaya pelestarian hutan dan keanekaragaman hayati. Walau demikian, tidak sedikit pihak menyatakan kekhawatiran bahwa REDD+ akan menyebabkan ketidakadilan dan kemiskinan bagi masyarakat adat dan lokal yang menggantungkan hidup mereka pada hutan. Kekhawatiran ini berbasis pada situasi dimana pengelolaan hutan seringkali menegasikan hakhak sosial ekonomi dan ekologi masyarakat adat atau masyarakat yang tinggal di dalam maupun di luar kawasan hutan. Bahkan seringkali kebijakan pengelolaan hutan dinilai masih menegasikan hak para pihak untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan mereka terhadap sumberdaya hutan. Lebih lanjut, terdapat pula pandangan bahwa program-program di sektor kehutanan acapkali menjadi sasaran praktik korupsi dimana para elite politik dan pengusaha memonopoli keuntungan (benefits) dan penguasa dengan sengaja mempertahankan relasi kuasa yang asimetris diantara para pihak. Dengan latar belakang kekhawatiran bahwa implementasi REDD+ dapat menciptakan resiko baru dan menyebabkan situasi ketidakadilan, berbagai pihak mengajukan agar penyusunan kebijakan dan implementasi proyek-proyek REDD+ didasarkan pada sejumlah prinsip yang bisa memberikan jaminan terhadap kepentingan para pihak. Ada keinginan untuk menjadikan penyusunan REDD+ menjadi suatu proses yang dilandasi oleh kepentingan tidak hanya untuk menyelaraskan kepentingan ekologi dan ekonomi saja. Tetapi juga menjadi suatu proses yang benar-benar melibatkan banyak pihak sejak dini, sehingga pada
7
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
gilirannya akan untuk menghasilkan kebijakan dan sistem kelembagaan yang memiliki legitimasi kuat, berfungsi efektif, dan mudah diimplementasikan. Untuk memastikan hal ini, Bappenas selaku koordinator penyusunan Stranas REDD+ mengajukan empat prinsip dasar penyusunan Stranas REDD+ sebagai berikut: (1) prinsip inklusif, (2) prinsip transparansi, (3) prinsip kredibilitas, dan (4) prinsip institusionalisasi. Sub bab berikutnya akan menjelaskan secara lebih mendetail mengenai pengertian dan ukuran-ukuran yang bisa dipakai untuk menunjukkan masing-masing prinsip.
2. Empat Prinsip Dasar dan Indikator Pemenuhan 2.1. Prinsip Inklusifitas 2.1.1. Pengertian Prinsip Inklusifitas Dalam konteks penyusunan Stranas REDD+, inklusif memiliki makna bahwa proses perumusan Stranas REDD+ telah melibatkan para pihak baik yang akan mengimplementasikan kebijakan ini maupun kepada pihak yang akan terkena dampak secara langsung maupun tidak langsung dari implementasi Stranas REDD+. Proses pelibatan ini seringkali dilakukan melalui upaya-upaya konsultasi publik. Dalam konteks konsultasi publik, inklusif berarti terjadi proses penyepakatan atau pengambilan konsensus yang benar-benar dilakukan bersama. Semua pemangku kepentingan merasa memiliki keputusan tersebut, termasuk pihak yang sebenarnya berbeda pendapat dengan keputusan yang dibuat (LGSP, 2009). 2.1.2. Indikator Prinsip Inklusifitas Prinsip inklusifitas dapat ditunjukkan dengan indikator atau ukuran-ukuran sebagai berikut: ; Keterwakilan dan keterlibatan para pihak dalam proses-proses pengambilan keputusan dan perumusan draf stranas REDD+ • Keterlibatan para pihak yang memiliki kepentingan langsung dengan Stranas REDD+ (antara lain: masyarakat, pemda, dan Bappenas, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, dan investor) • Keterlibatan para pihak yang tidak memiliki keterkaitan langsung tapi memiliki kepentingan dan perhatian terhadap Stranas REDD+ (antara lain; organisasi masyarakat sipil, para akademisi dan para pewarta)
8
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
; Keterwakilan dan keterlibatan kelompok rentan/minoritas dalam prosesproses pengambilan keputusan dan perumusan draf Stranas REDD+ • Keterwakilan dan keterlibatan kelompok perempuan • Keterwakilan dan keterlibatan masyarakat adat • Keterlibatan kelompok masyarakat lainnya yang tinggal di dalam hutan atau di sekitar hutan atau kelompok yang sangat tergantung pada ekosistem hutan. ; Proses pemilihan/penentuan wakil dari para pihak yang adil dan inklusif • Tersedianya informasi dasar yang memberikan gambaran kepada para pihak mengenai apa yang akan dibahas dan diputuskan • Keterlibatan representasi dari para pihak dalam memilih perwakilan mereka • Teridentifikasinya seluruh pihak yang potensial ; Terdapat langkah-langkah penyiapan untuk memudahkan pelibatan para pihak dalam proses pengambilan keputusan maupun penyusunan draf Stranas REDD+ (preparedness mechanism) • Terdapat proses pertemuan awal yang dilakukan oleh CSO ataupun Pemerintah daerah untuk mempersiapkan para pihak di daerah untuk mengikuti proses-proses konsultasi publik ; Proses-proses konsultasi dilakukan dengan metode dan mekanisme yang tidak memarjinalkan pihak tertentu • Tersedianya informasi dasar yang dini dan mudah didapat atau dijangkau oleh pihak-pihak yang rentan/posisi minoritas • Proses konsultasi menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh pihak-pihak tertentu • Terdapat penjelasan jika menggunakan istilah-istilah atau pengertianpengertian teknis yang berasal dari kata asing
2.2.
Prinsip Transparansi
2.2.1. Pengertian Prinsip Transparansi Dalam konteks pembuatan kebijakan, prinsip transparansi dimaknai sebagai prinsip keterbukaan, kejujuran dan kejelasan, dimana seluruh aspek kebijakan publik mulai dari tingkat perencanaan hingga pelaksanaan dan evaluasi disampaikan kepada publik dengan terbuka, jujur, sangat jelas tanpa ada yang ditutup-tutupi atau disamarkan secara sengaja. Juga bermakna bahwa memiliki akses untuk melihat tahapan atau memantau perkembangan proses pembuatan kebijakan (Issai, 2000). Disamping bermakna bahwa pembuat kebijakan
9
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
menyediakan mekanisme atau saluran bagi publik untuk tidak hanya mengakses tetapi juga memberikan respon atau tanggapan terhadap kebijakan publik. 2.2.2. Indikator Prinsip Transparansi Prinsip transparansi dapat ditunjukkan dengan ukuran-ukuran sebagai berikut: ; Penyediaan laporan publik yang bisa diakses oleh publik, tepat waktu, dan jelas yang menjelaskan progres dan hasil dari tahapan pembuatan Stranas: • Penyediaan informasi dasar atau laporan dan materi yang bisa diakses oleh publik, baik melalui media massa, website, mailing list, atau di tempattempat khusus yang mudah dijangkau. • Peserta konsultasi mendapatkan draf Stranas secara dini dan dengan waktu yang mencukupi untuk mempelajarinya sebelum mengikuti konsultasi ; Ketersediaan/kelengkapan informasi dasar tentang isu REDD+: • Terdapat penjelasan lengkap mengenai aspek teknis/scientific issues terkait dengan REDD+ yang dapat dimengerti oleh peserta konsultasi • Konsultasi dilakukan dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh seluruh peserta konsultasi terutama masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya. ; Terdapat mekanisme umpan balik (feedback) yang jelas dan terukur terhadap masukan hasil konsultasi publik: • Terdapat tanggapan resmi dari penyelenggara terhadap masukan dan tanggapan yang diperoleh dari hasil konsultasi publik • Terdapat saluran informasi yang bisa digunakan publik untuk sewaktuwaktu mengecek status perkembangan pembahasan draf Stranas atau status masukan yang telah mereka sampaikan sebelumnya
2.3.
Prinsip Kredibilitas
2.3.1. Pengertian prinsip kredibilitas Kredibilitas adalah prinsip yang mengandung pemahaman bahwa proses pengembangan Stranas REDD+ merupakan proses yang dikelola oleh kelembagaan atau orang-orang yang memiliki reputasi, dan dengan proses yang iklusif dan transparan atau dapat dipercaya. Dalam konteks seperti ini, perumusan kebijakan REDD+ juga mengadung pengertian bahwa baik substansi maupun proses perumusannya didasarkan pada mandat atau legalitas yang
10
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
jelas serta didukung dengan informasi, data atau fakta yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan atau dapat diverifikasi kebenarannya. 2.3.2. Indikator prinsip kredibilitas ; Prinsip ini ditunjukkan dengan ukuran-ukuran sebagai berikut: ; Menggunakan data dan informasi yang akurat atau reliable, dapat dipercaya (trustworthiness), dapat diakses dan dicek kembali serta terbuka untuk masukan semua pihak pada semua tataran. ; Proses pengembangan Stranas melibatkan para ahli, akademisi dan pemangku kepentingan yang mengalami dan memahami konsep maupun realitas masalah dan kepentingan-kepentingan yang terkait dengan REDD+. ; Tanggapan dan masukan atau aspirasi para pemangku kepentingan dibahas secara mendalam serta dicatat dan dipertimbangkan didalam perumusan Stranas REDD+. ; Ada mekanisme umpan balik (feedback) yang memungkinkan partisipan atau pemangku kepentingan dapat mengecek atau bisa mendapatkan penjelasan mengenai status masukannya.
2.4. Prinsip Institutionalitas 2.4.1. Pengertian prinsip institusionalitas Prinsip institusionalisasi mengacu pada pemahaman bahwa proses pengembangan Stranas REDD+ dilakukan dengan pendekatan yang mengarah pada proses pelembagaan ide-ide, pengetahuan, nilai-nilai, dasar hukum, sumberdaya, serta struktur dan mekanisme yang menggambarkan enam aspek dasar yaitu keteraturan, otonomi, adaptabilitas, kekomprehensifan, koherensi dan fungsionalitas. Dalam konteks ini, proses pelembagaan kebijakan REDD+ dipandang sebagai bagian yang kontinum dari berbagai gagasan atau proses penataan pengelolaan kebijakan kehutanan yang sudah berjalan sebelum adanya LoI (Letter of Intent) antara pemerintah RI dan Norwegia beberapa waktu lalu. Selain itu, pelembagaan ini juga merupakan upaya mengintegrasikan dan membangun kesesuaian antar berbagai gagasan, kepentingan dan kelembagaan yang berbeda-beda untuk mengefektifkan pelaksanaan kebijakan REDD+ di Indonesia.
11
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
2.4.2. Indikator prinsip institusionalisasi Prinsip kelembagaan dapat ditunjukan dengan ukuran-ukuran sebagai berikut: ; Keteraturan : mengacu pada pemahaman bahwa pelembagaan REDD+ dilakukan dengan proses yang teratur, sistemik, mudah dikontrol, dan melalui pentahapan yang jelas. ; Fungsional : mengacu pada pemahaman bahwa pelembagaan REED+ bersifat fungsional, dalam arti mewadahi berbagai kepentingan yang terkait dengan pengembangan strategi REDD+ ; Otonomi : mengacu pada pemahaman bahwa pelembagaan REDD+: • sangat menghargai dan mengakui otonomi berbagai kelompok masyarakat adat atas model atau pendekatan kearifan dalam pengelolaan hutan dan sumberdaya alam setempat • mengakui otonomi dan kewenangan berbagai lembaga lainnya yang sudah diatur atau ditetapkan undang-undang • mengintegrasikan model atau pendekatan dan kewenangan tersebut kedalam sistem kelembagaan REDD+ • menghargai berbagai keberagaman kepentingan dalam proses pengambilan keputusan tentang Stranas, kelembagaan, dan pembiayaan REDD+. ; Adaptasi : mengacu pada pemahaman bahwa proses maupun hasil REDD+ mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan lingkungan dan terbuka untuk penyempurnaan baik secara inkremental maupun perubahan mendasar sesuai kebutuhan dan kapasitas sumberdaya. ; Komprehensif : mengacu pada pemahaman bahwa muatan substansi strategi maupun kelembagaan REDD+ haruslah komplit dalam artian mengetengahkan gambaran tentang kondisi hutan dan lahan, faktorfaktor yang mempengaruhi deforestasi dan degradasi, baik itu menyangkut ketidakseimbangan penggunaan ruang, problem kelembagaan, governance, dan ekonomi. Juga menggambarkan apa dan bagaimana strategi yang harus dikembangkan untuk menjawab masalah yang ada serta bagaimana keterkaitan antar keduanya. ; Koherensi : mengacu pada pemahaman bahwa masing-masing pihak dan masing-masing sub sistem di dalam keseluruhan sistem dan proses pengembangan REDD+ memiliki koherensi satu dengan lainnya.
12
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
3. Prasyarat Keberhasilan Implementasi Prinsip Dasar Keempat prinsip ini dianggap penting dengan asumsi bahwa dengan menggunakan keempat prinsip seperti itu maka proses pengembangan strategi diharapkan benar-benar memberikan jaminan terhadap kehandalan rumusan strategi dan kelembagaan yang dihasilkan. Juga bisa memberikan kejelasan dan kepastian terhadap hak-hak atau kepentingan-kepentingan para pihak dalam kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia. Walau demikian, dibutuhkan sejumlah prasyarat untuk bisa mengimplementasikan keempat prinsip tersebut dalam perumusan kebijakan REDD+. Prasyarat-prasyarat tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut: 3.1. Prinsip inklusifitas mempersyarakatkan adanya: • Adanya konsultasi dengan para pihak yang bertanggung jawab dalam implementasi Stranas REDD+, antara lain adalah sektor-sektor terkait seperti Kementrian Kehutanan, Kementrian Pertanian, Kementrian Pertambangan, Kementrian Pekerjaan Umum, Kementrian Lingkungan Hidup, pemda, dan dinas-dinas terkait di level sub-nasional baik propinsi maupun kabupaten. • Adanya konsultasi dengan para pihak yang akan terkena dampak dari kebijakan REDD+, antara lain adalah masyarakat adat atau masyarakat yang tinggal di dalam maupun di sekitar hutan, dan para pemegang konsesi penggunaan hutan. • Adanya konsultasi dengan para pihak yang relevan dan terkait secara tidak langsung dengan kebijakan ini, antara lain organisasi masyarakat sipil, para akademisi dan para pewarta. 3.2. Prinsip transparansi mempersyaratkan adanya penyediaan informasi dasar yang jelas dan komprehensif serta mekanisme pelaporan publik yang tepat waktu, relevan, dan mudah diakses oleh siapapun. 3.3. Prisip kredibel mempersyaratkan adanya: • Keterlibatan kelembagaan atau orang-orang yang memiliki reputasi terpercaya dalam artian pengalaman maupun kemampuan akademik • Proses yang bersifat inklusif dan transparan
13
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
• Mekanisme input dan output informasi atau komunikasi yang memungkinkan para pihak atau publik mengetahui dan memberikan tanggapan terhadap substansi maupun seluruh tahapan perumusan Stranas. 3.4. Prinsip institusionalitas mempersyaratkan: • Keterlibatan secara intensif pihak-pihak yang mewakili keragaman gagasan, kepentingan dan pengalaman yang terkait dengan proses pengelolaan sektor kehutanan. • Kesediaan semua pihak untuk membuka dan menganalisis secara transparan dan komprehensif mengenai berbagai masalah dan kepentingan-kepentingan dalam pengelolaan sektor kehutanan. • Adanya mediasi yang baik untuk mempertemukan berbagai aspirasi kepentingan maupun model pengelolaan yang berbeda. • Terpenuhinya prasyarat-prasyarat yang berkaitan dengan prinsip inklusifitas, prinsip transparansi dan prinsip kredibilitas.
14
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
BAB III TAHAPAN DAN HASIL PROSES PERUMUSAN STRATEGI NASIONAL REDD+ Proses penyusunan draf Stranas REDD+ dilakukan melalui proses yang cukup panjang dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang telah dijelaskan pada Bab II. Dengan mengacu kepada keempat prinsip tersebut, penyusunan Stranas REDD+ dimulai dengan pembentukan Tim Penyusun, dilanjutkan dengan sejumlah pertemuan awal, penulisan draf, serta konsultasi di tingkat pusat dan daerah. Keseluruhan proses yang dilaksanakan ditampilkan pada Gambar 1. Gambar 1: Tahapan Proses Pertemuan Tim Pelaksana: Pembentukan Tim Penyusun Bappenas, 16/7/ 2010 Kemenhut, 22/7/2010
Kunjungan A wal Konreg Ac eh, Papua, Palangka Raya, Jambi, 2630/9/2010 Konsultasi Region Jawa Yogyak arta, 30/9- 1/10/2010 Konsultasi Region Bali, Nusa Tenggara, Maluku Senggigi, 7-8/10/2010
Pertemuan Tim Penulis Bogor, 2/8/2010 Pertemuan Tingkat Eselon I Bappenas, 3/8/2010
Konsultasi Region Sumatera bagian utara dan selatan Banda Aceh, 11-12/10/2010
Konsinyering Tim Penulis (Workshop REL) Bogor, 11-13 dan 15- 16/8/2010
Konsultasi Region Sulaw esi Palu, 14- 15/10/2010
Draft 0 per 19/8/2010
Konsultasi Region Papua Jay apura, 18-19/10/2010
Pertemuan Tim Pelaksana Aryaduta, 19/8/2010
Konsultasi Region Sumatera bagian timur Jambi, 21- 22/10/2010
Peny empurnaan Draft 0 21-23/8/2010
Konsinyering Tim Penulis Bogor, 23- 26/10/2010 Aston M arina, 28-30/10/2010
Draft 0 per 24/8/2010 Pertemuan Tim Pelak sana Bappenas, 24/8/2010
Konsultasi Para Ahli Nasional dan Internasional Bali, 31/10- 3/11/2010
Pertemuan Tim Pelak sana Bogor, 1/9/2010
Konsinyering Tim Penulis Bali, 3-5/11/2010
Pertemuan Tim Pengarah Bappenas, 3/9/2010
Draft per 5/11/2010 Pertemuan Tim Pengarah Bappenas, 5/11/2010
Kunjungan Awal Konreg Palu, 7/9/2010 Peny empurnaan Draft O Draft 1 per 23/9/2010 Pertemuan Tim Pengarah Bappenas, 24/9/2010 Pertemuan Fasilitator Persiapan Konreg ( Konsultan Regional) B ogor, 24-26/9/2010
Konsultasi Region Kalimantan Palangk a Raya, 14- 15/10/2010
?
Penyempurnaan Draft 6-9/11/2010 Draf t per 10/11/2010 Konsultasi Nasional Bappenas, 10/11/2010 Ranc angan Stranas REDD+
Executive S ummary
Buku Proses Penyusunan
15
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Secara umum tahapan proses penyusunan yang dilakukan sejak Juli hingga November 2010 dapat dibagi dalam empat bagian pokok, yaitu tahapan pra penyusunan dokumen Stranas REDD+; tahapan penyusunan dokumen Stranas REDD+; tahapan konsultasi publik; dan tahapan keputusan tentang status hasil rumusan Stranas REDD+. Proses ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Tahapan Pra Penyusunan Dokumen Stranas REDD+ 1.1. Proses dan Hasil Tahap pra penyusunan dokumen Stranas REDD+ dimulai semenjak Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memberikan tugas dan kewenangan kepada Bappenas untuk mengkoordinasi penyusunan stranas REDD+. Sejalan dengan pemberian mandat kepada Bappenas, Kemenkoperek juga memberikan mandat kepada Kemenhut untuk melakukan proses pemilihan wilayah prioritas pelaksanaan REDD+ dan mandat kepada UKP4 untuk merumuskan kelembagaan REDD+. Menindaklanjuti mandat dari Kemenko, Bappenas, dengan dukungan, Kemenhut, Kementrian Pertanian dan UN-REDD melakukan rapat konsultasi dengan para pihak. Salah satu rapat ini adalah pembentukan Tim Penyusun Stranas REDD+ pada tanggal 22 Juli 2010 yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Pelaksana. Tim Pengarah bertugas untuk memantau proses penyusunan Stranas REDD+ dan memberikan arahan kepada Tim Pelaksana terkait dengan proses pengintegrasian Stranas REDD+ dengan kebijakan pemerintah di sektor yang lain. Tim Pengarah diketuai oleh Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Wakil Kepala Bappenas dan beranggotakan sejumlah pejabat Eselon 1 di sektor terkait (lihat Tabel 1). Tabel 1. Susunan Tim Pengarah Penyusunan Stranas REDD+
Wakil Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Wakil Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Sekretaris Kementerian PPN/Bappenas Anggota: Direktur Jenderal Planologi, Kementerian Kehutanan; Ketua
Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Kementerian Kehutanan; Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan; Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perlindungan Hutan, Kementerian Kehutanan;
16
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Kehutanan Kementerian Pertanian; Staf Ahli Bidang Kemitraan, Kementerian Kehutanan; Staf Ahli Bidang Lingkungan, Kementerian Kehutanan; Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pertanian; Deputi Bidang Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional; Deputi Bidang Survei Dasar Sumber Daya Alam, Badan Koordinasi Pemetaan dan Survei Nasional; Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum; Deputi Bidang Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup; Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; Direktur Jenderal Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri; Deputi I, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan; Penasehat Presiden Bidang Perubahan Iklim/Kepala Sekretariat, Dewan Nasional Perubahan Iklim.
Selain Tim Pengarah, struktur Tim Penyusun Stranas REDD+ juga dilengkapi dengan Tim Pelaksana. Tim Pelaksana bertugas menyusun konsep awal Stranas REDD+ dan melakukan konsultasi dengan para pemangku kepentingan untuk menghimpun masukan dan tanggapan lalu mengintegrasikan masukan dan tanggapan tersebut ke dalam konsep draf Stranas REDD+ yang disusun. Draf ini kemudian dikonsultasikan secara intensif dengan tim Pengarah untuk mendapatkan masukan. Tim Pelaksana terdiri dari pejabat Eselon II dari kementerian terkait dan perwakilan organisasi masyarakat sipil Civil Society Organisation (CSO) yang terdiri dari Organisasi non pemerintah ditingkat internasional (INGOs) dan Organisasi non-pemerintah ditingkat nasional (NGOs) (lihat Tabel 2).
17
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Tabel 2. Susunan Tim Pelaksana Ketua Sekretaris Anggota
Direktur Konservasi dan Sumber Daya Air Kementrian PPN/Bappenas Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Kementrian Kehutanan. Direktur Bina Rencana dan Pemanfaatan Hutan Produksi, Kementerian Kehutanan; Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Kementerian Kehutanan; Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian, Kementerian Pertanian; Direktur Budidaya Tanaman Tahunan, Kementerian Pertanian; Kepala Pusat Data Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional; Kepala Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi dan Tata Ruang, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional; Direktur Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/Bappenas; Direktur Pangan dan Pertanian, Kementerian PPN/Bappenas; Hariadi Kartodihardjo, Institut Pertanian Bogor; Rizaldi Boer, Institut Pertanian Bogor; Mas Achmad Santosa, UNDP Indonesia; Daniel Murdiyarso, CIFOR; Sonya Dewi, ICRAF; Wahjudi Wardojo, TNC; Iwan Wibisono, WWF; Iwan Wijayanto, CI; Rino Subagio, ICEL; Abdon Nababan, AMAN; Emmy Hafield, Kemitraan
18
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Untuk mendukung pelaksanaan tugasnya, Tim Pelaksana dan Tim Pengarah dibantu oleh UN-REDD telah membentuk sekretariat bersama penyusunan Stranas REDD+. UN-REDD mendukung secara financial seluruh proses penyusunan Stranas REDD+. Selain itu, UN-REDD dengan persetujuan Tim Pelaksana membentuk Tim Penulis Stranas REDD+ yang bertugas untuk menerjemahkan outline yang telah disusun oleh Tim Pelaksana kedalam bentuk draf narasi strategi nasional. Keanggotaan Tim Penulis disusun dari berbagai unsur yang mewakili sektor kehutanan, pertanian, serta aspek hukum dan terdiri dari perwakilan dari Bappenas, Kemenhut, Kementan, UNDP, ICEL, dan tenaga ahli yang dikontrak untuk membantu menuliskan draf Stranas REDD+. Selain itu, dibentuk juga Tim Penulis proses, yang bertugas menulis seluruh proses dan pembelajaran yang dapat diambil dari penyusunan Stranas REDD+, mulai dari tahapan awal hingga Stranas REDD+ diserahkan oleh Bappenas kepada Satgas REDD+ (lihat Tabel 3). Tabel 3. Susunan Tim Penulis Dokumen Stranas REDD+ dan Tim Penulis Proses
TIM PENULIS DOKUMEN STRANAS
TIM PENULIS PROSES PENYUSUNAN STRANAS
Lukita Dinarsyah Tuwo
Rio Ismail
Endah Murningtyas
Rini Astuti
Sri Yanti Basah Hernowo Wahyudi Wardojo Nur Masripatin Ruandha Sugardiman Nur Masripatin Nur H. Rahayu Hariadi Kartodihardjo Ngaloken Ginting Mahyuddin Syam Pungky Widiaryanto Abdul Wahib Situmorang Robi Rohana Josi Katharina
19
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
1.2. Analisis Terhadap Proses Dari hasil analisis dokumen dan proses yang terjadi, proses pembentukan Tim Pengarah merupakan proses internal yang terjadi dalam lembaga pemerintah. Susunan Tim Pengarah secara keseluruhan berasal dari unsur pemerintah yang bertujuan agar masing-masing sektor kementrian dapat mensinergikan arah Stranas REDD+ dengan kebijakan di sektor terkait. Secara ide, susunan Tim Pengarah yang hanya berasal dari satu unsur pihak memang akan memudahkan sistem koordinasi, akan tetapi hal ini mengurangi semangat multipihak prinsip inklusif yang diarusutamakan oleh Bappenas. Dilain pihak struktur Tim Pelaksana lebih beragam dan mengakomodir unsur CSO, masyarakat adat dan akademisi didalamnya. Orang-orang yang masuk dalam struktur Tim Pelaksana diseleksi berdasarkan pertimbangan keahlian dan komitmen. Dimasukkannya unsur masyarakat adat, CSO dan akademisi dalam struktur Tim Pelaksana dapat menjamin proses-proses pengambilan keputusan yang tidak hanya mempertimbangkan satu sudut pandang, akan tetapi lebih beragam dan multipihak. Meskipun demikian, komposisi Tim Pelaksana belum menyertakan unsur keterwakilan kelompok yang rentan posisinya dalam pengelolaan kehutanan, yaitu kelompok perempuan. Aspek lain yang sempat memunculkan pertanyaan dari beberapa pihak adalah soal legitimasi atau mandat kerja Tim Pengarah dan Tim Pelaksana. Pembentukan kedua tim ini memang tidak didukung dengan dasar hukum semacam Surat Keputusan pembentukan tim. Namun pada saat melaksanakan tugasnya, kedua tim telah menunjukkan komitmen yang tinggi dalam proses penyusunan Strannas REDD+. Dari berbagai diskusi yang dilakukan pada tingkat internal Tim Pengarah dan Tim Pelaksana, nampak bahwa kehadiran strategi nasional REDD+ memang sangat diperlukan sebagai acuan Nasional. Meskipun demikian, tahapan proses pra penyusunan draf Stranas REDD+ belum banyak dipublikasikan. Hanya dilaporkan secara singkat dan tidak intensif didalam website UN (United Nation) Indonesia, dan belum disinggung sama sekali didalam website Bappenas. Karena itu tidak banyak pihak yang mengetahui hal ini sejak pada tingkatan pra perumusan Stranas REDD+. Keterbatasan ini kemudian diatasi dengan cara meningkatkan intensitas komunikasi dengan pihak-pihak yang dinilai penting untuk dimintai pendapat.
20
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Jika dilihat dari aspek-aspek prinsip kredibilitas proses pra penyusunan draf Stranas REDD+ dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keahlian di sektor-sektor yang sangat relevan dengan REDD+. Orang-orang yang berada dalam struktur Tim Pengarah, Tim Pelaksana dan Tim Penulis adalah orangorang yang memahami realitas dan konteks masalah kehutanan di Indonesia. Selain itu, proses ini dikoordinasi oleh Bappenas yang bekerjasama dengan Kementrian Kehutanan dan difasilitasi oleh UN-REDD. Ketiga lembaga ini merupakan lembaga yang memiliki kredibilitas, struktur, akses terhadap data dan informasi serta memiliki keahlian dan pengalaman untuk melaksanakan mandat penyusunan Stranas REDD+. Pada tahapan ini proses penyusunan stranas telah menghadirkan berbagai kelembagaan yang memiliki kredibilitas dan kapasitas memadai. Namun demikian, ada beberapa aspek mendasar yang belum dilakukan berdasarkan dengan prinsip institusionalitas. Pertama, ketidaklengkapan unsur para pihak di dalam struktur Tim Pengarah justru dapat menghambat proses integrasi nilai, pemahaman dan kepentingan dalam pelembagaan REDD+. Hal ini dapat berakibat pada tidak terakomodasi prespektif dan beberapa isu mendasar dari kepentingan para pihak yang tidak terwakili, sehingga menurunkan tingkat kepercayaan para pihak terhadap proses yang terjadi. Kedua, integrasi dan kohesi antar elemen penting dalam proses pelembagaan tidak terbangun sejak dini karena adanya proses yang terpisah antara perumusan dokumen Stranas REDD+ yang dijalankan oleh Bappenas dengan perumusan sistem kelembagaan dan pendanaan yang dijalankan oleh UKP4.
2. Tahap Penyusunan Dokumen Stranas REDD+ 2.1. Penulisan Draf O dan Draf 1 Tahap penulisan rancangan Stranas REDD+ dimulai ketika Tim Penulis mulai menerjemahkan arahan dari Tim Pengarah dan Tim Pelaksana kedalam draf Stranas REDD+ pada tanggal 2 Agustus 2010. Draf 0 memiliki 9 bagian utama yang dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut (Box 1).
21
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Box 1: Kerangka utama Draf 0 Stranas REDD+ Per 19 Agustus 2010 1) Pendahuluan yang berisi latar belakang penyusunan Stranas REDD+ antara lain adalah komitmen politik Presiden Indonesia untuk menurunkan emisi sebesar 26% pada 2020, penandatanganan surat niat antara Indonesia dengan Norwegia yang menjadi salah satu momentum perumusan Stranas REDD+ dan keinginan Indonesia untuk memperbaiki tata kelola hutan menjadi lebih berkelanjutan. 2) Pengertian. Pada bab ini dibahas beberapa definisi utama yang akan dipakai secara terus menerus dalam Stranas misalnya definisi hutan, deforestasi, degradasi dll. 3) Visi dan tujuan yaitu tercapainya penurunan emisi GRK dan peningkatan simpanan karbon yang berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kualitas sumber daya alam hayati 4) Dasar hukum yang terkait dan relevan dengan isu REDD+ 5) Prasyarat REDD+ yang menjelaskan mengenai ruang lingkup dan time frame Stranas REDD+ 6) Analisa kondisi dan permasalahan yang mengidentifikasi 6 hal utama penyebab deforestasi di Indonesia yaitu: persoalan tata ruang, lemahnya tata kelola hutan, lemahnya kapasitas unit manajemen hutan, governance dan persoalan kemiskinan. 7) Strategi utama yang terdiri dari penguatan kondisi pemungkin dan strategi penyempurnaan pembangunan sektor pengelolaan hutan 8) Program utama untuk implementasi REDD+ 9) Monitoring dan Evaluasi yang menjelaskan kerangka monitoring dan evaluasi implementasi Stranas REDD+
22
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Pada tanggal 19 Agustus 2010 di Hotel Arya Duta, Tim Penulis mempresentasikan draf 0 Stranas REDD+ didepan Tim Pelaksana untuk mendapat masukan dan tanggapan. Beberapa isu krusial yang muncul pada sesi diskusi antara lain mengenai: a) Struktur dan substansi dokumen Sebagai sebuah dokumen strategi, Stranas REDD+ diharapkan memiliki tujuan, ruang lingkup,dan jangka waktu (time frame) yang jelas. Sebuah strategi biasanya memiliki kerangka logis (Logframe) yang dilengkapi dengan output, indikator capaian, aktor pelaksana, dan analisa resiko yang jelas. Selain itu, dalam pertemuan ini muncul harapan bahwa secara substansi, Stranas REDD+ harus komprehensif dan memiliki keterkaitan dengan rancangan kelembagaan REDD+ dan rancangan mekanisme pembiayaan REDD+. b) Posisi Stranas REDD + terhadap RAN GRK Dalam proses pertemuan muncul pertanyaan dari peserta, apakah Stranas REDD+ merupakan bagian dari Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK). Jika implementasi REDD+ di Indonesia merupakan bagian dari skema upaya pengurangan emisi sebesar 26% dengan sukarela atau 41% dengan bantuan luar negeri pada 2020, maka sebaiknya Stranas REDD+ merupakan bagian tak terpisahkan dari RAN GRK. Sehingga secara substansi Stranas REDD+ harus terkait dengan RAN GRK. Di lain pihak, terdapat anggapan bahwa memasukan Stranas REDD+ sebagai bagian dari RAN GRK justru akan memperberat beban mitigasi yang harus ditanggung oleh Indonesia. Hal ini terjadi karena jika REDD+ merupakan bagian dari RAN GRK, maka Indonesia harus membiayai pelaksanaan REDD+ sebagian dari dana APBN. Sebaiknya REDD+ didesain sebagai aktifitas pengurangan emisi GRK yang khusus didanai dari bantuan luar negeri (termasuk dalam 41% target pengurangan emisi GRK dengan bantuan luar negeri) bukan dari pembiayaan sukarela Indonesia.
23
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
c) Penggunaan Reference Emissions Level (REL) atau Reference Level (RL) dalam Stranas REDD+ Sesuai kesepakatan ditingkat negosiasi REDD+ ditingkat internasional, REDD+ menggunakan RL sebagai baseline penentuan tingkat emisi referensi. RL terkait tidak hanya dengan aktifitas yang berkaitan dengan karbon (carbon related activities) akan tetapi juga termasuk aktifitas non karbon seperti pengelolaan keanekaragaman hayati dan penyediaan jasa lingkungan. d) Keterbukaan informasi mengenai angka deforestasi nasional Masih ditemuinya keengganan secara politik ditingkat nasional untuk mengakui angka deforestasi Indonesia yang cukup tinggi. Hal ini akan menyebabkan proses penentuan tingkat emisi referensi menjadi tidak transparan. Keterbukaan dan transparansi diperlukan terutama ketika tingkat emisi referensi ini didiskusikan dengan para pihak di tingkat subnasional (provinsi, kabupaten, kota). e) Konsultasi yang melibatkan multipihak Sebuah proses konsultasi penyusunan kebijakan yang multipihak membutuhkan waktu. Hal ini terjadi karena waktu sangat dibutuhkan terutama ketika mendistribusikan informasi kepada para pihak. Waktu juga dibutuhkan oleh peserta konsultasi untuk membaca dan kemudian memberikan respon atau umpan balik. Jika waktu yang tersedia sempit, maka proses penyediaan informasi ini harus intensif. f) Persoalan yang terkait dengan aspek hukum Sebagai syarat sebuah kebijakan yang memenuhi aspek hukum, di dalam Stranas REDD+ perlu adanya proses identifikasi peraturan perundangan yang telah memberi kontribusi percepatan degradasi dan deforestasi. Selain itu, perlu adanya identifikasi kebutuhan-kebutuhan peraturan perundangan yang belum ada. Misalnya peraturan perundangan untuk memperkuat KPH-KPH
(Kesatuan Pengelolaan Hutan) yang akan dibentuk dalam
rangka mengiplementasikan REDD+. Yang lebih mendasar adalah perlunya harmonisasi peraturan perundangan yang berdasarkan pada Sustainable Forest Management friendly legislation framework. Aspek lainnya yang
24
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
dianggap penting adalah menjadikan REDD+ sebagai momentum untuk membenahi penegakan hukum pada sektor kehutanan. g) Tenurial dan hak masyarakat adat Pentingnya pengakuan hak masyarakat adat sebagai salah satu syarat sukses implementasi Stranas REDD+. Selain itu, Stranas REDD+ diharapkan dapat mengakomodasi prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) dalam strateginya sebagai jaminan akan akses dan kontrol masyarakat adat terhadap proses-proses pengambilan keputusan. Pada tanggal 24 Agustus 2010, diadakan pertemuan kedua Tim Pelaksana di Bappenas untuk memberikan masukan secara lebih lanjut kepada draf Stranas REDD+. Pertemuan ini dihadiri oleh Tim Penulis dan Tim Pelaksana. Beberapa isu krusial yang muncul pada proses diskusi adalah: a) Perlunya review dari para ahli terhadap draf Stranas REDD+ Agar proses penyusunan Stranas REDD+ lebih sempurna, diusulkan agar dalam salah satu tahapan prosesnya melibatkan para ahli REDD+ ditingkat nasional dan internasional. Para ahli REDD+ yang memiliki pengetahuan yang relevan terkait dengan REDD+ tersebut dianggap penting untuk dilibatkan dalam memberikan tanggapan dan review terhadap draf yang ada. b) Benefit Sharing Mekanisme benefit sharing yang fair dan adil merupakan salah satu prasyarat terlaksananya REDD+ dengan baik. Untuk itu, Stranas REDD+ perlu membahas dan memberikan usulan petunjuk teknis mengenai mekanisme benefit sharing yang baik. c) Posisi Stranas REDD + dengan kebijakan pembangunan yang lain Dalam proses pertemuan, salah satu usulan yang kuat adalah perlunya penjelasan hubungan antara Stranas REDD+ dengan aturan kebijakan yang lain misalnya RPJM, renstranas Kehutanan dan pertanian.
25
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Berdasarkan masukan yang diperoleh dari pertemuan pada tanggal 19 dan 24 Agustus 2010, Tim Penulis memperbaiki draf 0 Stranas REDD+ menjadi draf 1 Stranas REDD+ yang dikeluarkan pada tanggal 26 Agustus 2010 (Lampiran 2) dengan kerangka utama ditampilkan dalam box 2. Beberapa perbedaan utama draf Stranas REDD+ versi 19 Agustus 2010 dengan versi 26 Agustus 2010 antara lain adalah: • Pada Stranas REDD+ versi 26 Agustus 2010 terdapat penjelasan yang lebih terstruktur pada bab tersendiri mengenai sistem MRV (Measurement, Reporting and Verification) REDD+ di Indonesia. • Pada Stranas REDD+ versi 26 Agustus terdapat penjelasan mengenai mekanisme pengarusutamaan Stranas REDD+ dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) dan RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) dan kebijakan pembangunan yang lain.
Box 2: Kerangka utama Draf 1 Stranas REDD+ Per 26 Agustus 2010 1) Kata Pengantar dari Wakil Menteri PPN 2) Ringkasan Eksekutif 3) Bab I Pendahuluan yang berisi latar belakang, visi dan tujuan Stranas REDD+, dasar hukum, ruang lingkup Stranas, dan pengertian atau definisi 4) Bab II Analisis kondisi dan permasalahan yang mendeskripsikan emisi dari sector penggunaan lahan dan kehutanan di Indonesia. Selain itu, bab ini juga menggambarkan kondisi deforestasi dan degradasi hutan serta penyebab utamanya. Bab II ditutup dengan penjelasan mengenai kondisi kesiapan implementasi REDD+ di Indonesia. 5) Bab III Strategi nasional REDD+ yang menjabarkan tiga strategi utama pelaksanaan REDD+ di Indonesia yaitu: strategi pemenuhan prasyarat, strategi pemenuhan kondisi pemungkin, dan strategi reformasi pembangunan sector. 6) Bab IV berisi penjelasan mengenai pembangunan sistem MRV 7) Bab V merupakan penjelasan sistem pengadministrasian dan pengarusutamaan Stranas dan RAN REDD+ pada kebijakan pembangunan
26
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Terdapat dua pertemuan lain yang diselenggarakan oleh Bappenas bekerjasama dengan UN-REDD dalam rangka mengkonsultasikan draf 1 Stranas REDD+ versi 26 Agustus 2010 kepada para pihak. Pertemuan pertama adalah pertemuan dengan Civil Society Forum for Climate Justice (CSF) yang diselenggarakan pada tanggal 27 Agustus 2010 (notulen terdapat pada lampiran 19). Pertemuan kedua adalah pertemuan dengan Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian dan DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) yang dilaksanakan pada tanggal 7 September 2010. Beberapa isu krusial yang muncul pada kedua pertemuan ini adalah isu safeguard mechanism; complaint mechanism; penjabaran FPIC dalam Stranas REDD+; definisi hutan; dan faktor-faktor penyebab utama deforestasi dan degradasi. Selain melalui proses konsultasi, Bappenas selaku koordinator penyusunan Stranas REDD+ juga meminta masukan secara tertulis kepada sektor-sektor kementrian yang lain seperti Kementrian Kehutanan, Kementrian Pertanian, Pertambangan, Pekerjaan Umum dan Kementrian Keuangan serta organisasi riset yang fokus pada isu kehutanan seperti ICRAF, CIFOR, dll. Berdasarkan masukan dan tanggapan yang diperoleh baik dari proses konsultasi maupun masukan secara tertulis, Tim Penulis merevisi draf 1 Stranas REDD+ versi 26 Agustus 2010 dan menyusun draf 1 Stranas REDD+ versi 23 September 2010 (Lampiran 3) yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut (box 3). Perbedaan utama antara Draf 1 Stranas REDD+ versi 23 September 2010 dengan versi sebelumnya terletak pada Bab V yang sebelumnya berisi pengarusutamaan REDD+ dalam kebijakan pembangunan diganti dengan penjelasan mengenai tahapan pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Draf Stranas REDD+ versi 23 September 2010 merupakan bahan dasar untuk proses konsultasi publik yang lebih luas.
27
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Box 3: Kerangka utama Draf 1 Stranas REDD+ PPN: Perencanaan Pembangunan Nasional Per 23 September 2010 1) Kata Pengantar dari Wakil Menteri PPN 2) Ringkasan Eksekutif 3) Bab I Pendahuluan yang berisi latar belakang, visi dan tujuan Stranas REDD+, dasar hukum, ruang lingkup Stranas, dan pengertian atau definisi 4) Bab II Analisis kondisi dan permasalahan yang mendeskripsikan emisi dari sector penggunaan lahan dan kehutanan di Indonesia. Selain itu, bab ini juga menggambarkan kondisi deforestasi dan degradasi hutan serta penyebab utamanya. Bab II ditutup dengan penjelasan mengenai kondisi kesiapan implementasi REDD+ di Indonesia. 5) Bab III Strategi nasional REDD+ yang menjabarkan tiga strategi utama pelaksanaan REDD+ di Indonesia yaitu: strategi pemenuhan prasyarat, strategi pemenuhan kondisi pemungkin, dan strategi reformasi pembangunan sector. 6) Bab IV berisi penjelasan mengenai pembangunan sistem MRV 7) Bab V merupakan penjelasan tahapan pelaksanaan REDD+ di Indonesia yang berisi penyusunan Stranas dan RAN REDD+ serta bagaimana menumbuhkan kesiapan dan pelaksanaan tindakan awal
2.2. Analisis terhadap proses Jika dilihat dari catatan proses, proses penyusunan draf 0 dan draf 1 Stranas REDD+ telah melibatkan perwakilan para pihak dengan cara melakukan pertemuan-pertemuan konsultasi dan permintaan masukan secara tertulis. Upaya ini menunjukkan bahwa proses ini telah menerapkan prinsip inklusif. Satu catatan krusial adalah proses penyusunan draf 0 dan draf 1 belum melibatkan para pihak ditingkat sub-nasional (provinsi, kabupaten, kota). Hal ini ternyata menumbuhkan rasa resistensi dari pihak-pihak yang berada di tingkat subnasional ketika draf 1 Stranas REDD+ versi 23 September dipresentasikan dalam konsultasi regional.
28
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
UN-REDD Indonesia dalam situsnya http://www.un.or.id/redd telah mempublikasikan secara berkala kemajuan penyusunan draf Stranas REDD+ dan publik dapat mengunduh draf Stranas REDD+ yang disediakan dalam bahasa inggris dan bahasa Indonesia. Pelaporan secara berkala ini menunjukkan bahwa prinsip transparansi telah diimplementasikan dalam proses penyusunan draf Stranas REDD+. Proses penyusunan draf stranas dilakukan oleh Tim Penulis yang memiliki kemampuan analisis dan pemahaman terhadap konteks kehutanan di Indonesia. Data-data yang dipakai dalam proses penyusunan Stranas REDD+ merupakan data yang dimiliki oleh lembaga negara sehingga dapat dipercaya. Selain itu, datadata yang dipakai dalam penyusunan Stranas REDD+ dapat dikritisi dan terbuka pada tanggapan dan masukan publik. Catatan krusial yang perlu diperhatikan adalah tidak semua data yang dipakai dalam penyusunan draf Stranas REDD+ dicantumkan referensi asal datanya, sehingga sulit melacak keberadaan data tersebut. Selain itu, draf Stranas REDD+belum melampirkan daftar pustaka. Dari sudut pandang proses kredibilitas, hal ini dapat mempengaruhi kepercayaan publik terhadap proses penyusunan draf Stranas REDD+, bahkan terhadap substansi draf Stranas REDD+ itu sendiri. Sampai pada tahap ini, proses pembahasan draf stranas sudah mendapatkan banyak masukan ke arah pelembagaan ide-ide, pengetahuan, nilai-nilai, dasar hukum, serta struktur dan mekanisme yang menggambarkan aspek keteraturan, otonomi, adaptabilitas, komprehensifitas, koherensi dan fungsionalitas. Namun demikian, proses pembahasan dan formulasinya didalam draf stranas maupun draf struktur dan mekanisme kelembagaan, pendanaan dan MRV belum menampaknya wujud yang memenuhi kaedah hukum administrasi maupun hukum tatanegara.
3. Tahap Konsultasi Publik Proses konsultasi publik dalam rangka penyusunan Stranas REDD+ dilakukan dalam tiga tingkatan, yaitu konsultasi ditingkat regional, nasional dan internasional. Ada banyak usulan yang menginginkan agar konsultasi publik ditingkat regional diperluas ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Namun usulan ini tidak memungkinkan untuk dilaksanakan dengan pertimbangan keterbatasan waktu dan pembiayaan. Akhirnya, konsultasi publik dilaksanakan
29
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
dengan cara membagi wilayah Indonesia kedalam tujuh wilayah regional yang didasarkan pada pertimbangan adanya kesamaan ciri-ciri ekosistem hutan. 3.1. Tahap Konsultasi Regional 3.1.1. Tahap Pra Konsultasi Tahap pra konsultasi dapat ditinjau dari beberapa aspek yaitu: penentuan wilayah dan proses pendekatan; pembagian peran antar pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan; penyiapan tim fasilitator regional; penyiapan kepesertaan; penyediaan materi dan informasi kepada para peserta konsultasi; penyiapan hal-hal teknis terkait pelaksanaan konsultasi; dan proses pertemuan persiapan pra konsultasi (preparedness). 3.1.1.1. Penentuan Wilayah dan Metode Pendekatan Konsultasi Proses konsultasi publik untuk membahas draf 1 Stranas REDD+ dilakukan di 7 wilayah regional (lihat Tabel 1) Tabel 1. Wilayah Konsultasi Regional Regionall
Proviinsi yang terrcakup
Jawa Mataram m
DIY, DKI, D Banten,, Jawa Barat,, Jawa Timur, dan Jawa Tengah T Mataaram, Nusa Tenggara T Barat, Nusa Teenggara Timu ur, Bali, dan Malu uku Aceh, Lampung, Sumatera Baarat dan Sum matera Utara mantan Baratt, Kalimantan Selatan, K Kalimantan Timur, T dan Kalim Kalim mantan Tenggah Sulaw wesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Go orontalo, Sulawesi Utara, Sulaw wesi Barat Papua dan Papuaa Barat Kepu ulauan Riau, Riau, Jambi,, Sumatera SSelatan dan Bangka Belitu ung
Sumatera I Kalimanttan Sulawesii Papua Sumatera II
Penyelenggaraan konsultasi publik di regional Jawa, regional Mataram, regional Sumatera 1, regional Sulawesi dan regional Papua difasilitasi langsung oleh UN REDD. Sedangkan konsultasi publik regional Kalimantan dan regional Sumatra II difasilitasi langsung oleh Kemitraan Indonesia. Konsultasi regional bertujuan untuk mendapat masukan dari para pihak ditingkat sub-nasional mengenai 3 hal yaitu: penyebab deforestasi dan degradasi
30
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
di masing-masing provinsi, Tingkat Emisi Referensi di masing-masing provinsi, dan strategi pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Proses konsultasi regional ini didahului dengan rapat persiapan yang dilaksanakan di Bogor pada tanggal 24 September 2010. Di masing-masing regional dipilih koordinator fasilitator yang kemudian diundang untuk menghadiri rapat koordinasi yang membahas mengenai persiapan konsultasi regional di wilayahnya masing-masing. Rapat ini antara lain membahas hal-hal sebagai berikut: • Jadual acara konsultasi dan materi-materi yang harus disiapkan. • Kerangka Stranas REDD+ (dipresentasikan oleh Tim Penulis) • Metodologi fish bone yang akan dipakai dalam proses fasilitasi pada saat konsultasi. • Kerangka laporan yang akan dipakai oleh fasilitator untuk menyusun laporan hasil konsultasi regional. • Mekanisme untuk mengontak dan membentuk panitia pelaksana di daerah. • Peran Bappenas dan UNREDD untuk berkomunikasi dengan Bappeda di wilayah tempat pelaksanaan konsultasi akan dilakukan. 3.1.1.2. Penyiapan Kepesertaan Proses konsultasi publik adalah proses yang dimaksudkan sebagai mekanisme yang melibatkan para pihak dan bertujuan untuk menjaring aspirasi, masukan dan tanggapan terhadap sebuah program atau produk kebijakan. Berdasarkan pada konteks multipihak ini proses pemilihan peserta yang akan menghadiri proses konsultasi publik menjadi sangat penting untuk dapat menjamin keterwakilan seluruh pihak yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan REDD+. Untuk dapat menjamin efektivitas proses pemilihan peserta konsultasi, Bappenas dengan dibantu oleh UN-REDD menyusun kriteria pemilihan peserta konsultasi publik sebagai berikut: 1. Memiliki wewenang dalam menentukan pelaksanaan kebijakan dalam salah satu bidang topik yang terkait dengan kehutanan, pertanian, tata ruang, perubahan iklim, REDD+, tata kelola, konservasi, investasi daerah, perempuan dan lingkungan hidup/pengelolaan sumber daya alam dan keterlibatan masyarakat; 2. Memiliki pengetahuan khusus mengenai isu-isu yang berkaitan dengan kehutanan, pertanian, tata ruang, perubahan iklim, REDD+, tata kelola, konservasi, investasi daerah, perempuan dan lingkungan hidup/pengelolaan sumber daya alam dan keterlibatan masyarakat;
31
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
3. Memiliki pengetahuan terbaru mengenai kebijakan, perspektif dan trend yang berhubungan dengan topik yang dimaksud diatas. 4. Dikenal secara luas mempunyai pengalaman bekerja (track record) di bidang kehutanan, pertanian, REDD+, perubahan iklim dan tata kelola, konservasi, investasi daerah, perempuan dan lingkungan hidup/pengelolaan sumber daya alam penguatan masyarakat; 5. Pernah terlibat sebelumnya dalam kegiatan-kegiatan tersebut di atas. Penyelenggara di tingkat nasional sudah membangun proses komunikasi dengan tim penyelenggara di tingkat regional. Pihak Bappenas dan UN-REDD sendiri sudah mengupayakan agar panitia setempat memastikan ada keterwakilan para pihak. Namun demikian, waktu persiapan yang sangat sempit mengakibatkan kriteria peserta tersebut tidak dapat diterapkan secara ketat dan konsisten. Di beberapa wilayah penentuan calon peserta justru berlangsung kurang fair dan inklusif, bahkan tidak ada perwakilan para pihak yang duduk bersama fasilitator dan tim penyelenggara untuk menentukan peserta. 3.1.1.3. Penyediaan materi dan informasi kepada peserta konsultasi Ketersediaan informasi secara dini, cepat dan komprehensif sangat mempengaruhi kesiapan peserta konsultasi untuk mengikuti proses dengan baik. Dengan informasi yang cukup dan mendalam maka para peserta konsultasi dapat berdiskusi secara tajam dan mendetail. Tim Sekretariat penyusunan Stranas REDD+ telah menyiapkan dokumen Stranas REDD+ yang sudah dicetak rapi, serta menyiapkan bahan presentasi dan informasi pendukung lainnya. Sebagian peserta yang memiliki akses terhadap internet sudah dikirimi dokumen via email beberapa hari sebelum konsultasi publik. Akan tetapi, sebagian peserta konsultasi baru menerima dokumen pada hari pertama pelaksanaan konsultasi. Akibatnya banyak peserta tidak memiliki waktu yang cukup untuk memahami dokumen secara tajam dan mendetail. Karena itu ada diantara peserta yang secara gencar mengajukan pertanyaan dan usulan, yang sebetulnya sudah terjawab atau tertera di dalam dokumen Stranas REDD+. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, penyelenggara pada akhirnya memberikan kesempatan kepada peserta untuk mengajukan masukan secara tertulis atau melalui email mengenai berbagai kelemahan atau keterbatasan dokumen Stranas REDD+. Namun demikian, tidak banyak peserta yang menggunakan peluang ini hingga dokumen Stranas REDD+ diserahkan ke UKP4 pada tanggal 17 November 2010.
32
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
3.1.1.4. Penyiapan hal teknis menuju proses konsultasi Salah satu hal teknis yang disiapkan oleh penyelenggara konsultasi adalah pembentukan panitia lokal (tim penyelenggara) pelaksanaan konsultasi publik. Juga proses lobi dan komunikasi antara Bappenas dan UN-REDD dengan para pejabat pemerintah setempat untuk memastikan terselenggaranya konsultasi publik. Bappenas menunjuk Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Dareah) provinsi di wilayah pelaksanaan konsultasi sebagai panitia lokal di masing-masing wilayah. Keputusan ini didasari pertimbangan pragmatis bahwa Bappeda adalah instansi yang akan bekerja di wilayah provinsi yang belum memiliki kelompok kerja REDD+ atau kelompok kerja perubahan iklim. Namun demikian, pendekatan ini justru menjadi kurang tepat ketika diterapkan di wilayah Aceh, yang sudah memiliki kelompok kerja yang khusus menangani kebijakan REDD+ ataupun perubahan iklim. Hal ini kemudian memunculkan resistensi pada hari pertama konsultasi publik Regional Sumatra I di Banda Aceh. 3.1.1.5. Perekrutan Fasilitator Regional Perekrutan fasilitator merupakan tahapan yang rumit dalam proses persiapan konsultasi publik. Semula ada keinginan penyelenggara di tingkat nasional untuk merekrut peserta dengan menggunakan sejumlah kriteria seperti kompetensi, akseptabilitas, dan keterwakilan para pihak. Namun pada perkembangan berikutnya, tidak ada para pihak dari jajaran pemerintah maupun akademisi yang bersedia menjadi fasilitator. Karena itu pilihan satu-satunya adalah merekrut fasilitator dari kalangan CSO yang dikenal luas, termasuk oleh pemerintah. Dari proses ini berhasil direkrut tujuh fasilitator regional dan 35 orang co-fasilitator regional. Diantaranya terdapat dua fasilitator perempuan, sisanya adalah fasilitator laki-laki. 3.1.1.6. Pertemuan Persiapan Pra Konsultasi (Preparedness Meeting) Persiapan pra-konsultasi (preparedness meeting) merupakan pertemuan yang bertujuan untuk memberikan informasi mengenai REDD+. REDD+ adalah sebuah mekanisme mitigasi yang penuh dengan isu teknis, politik, dan keuangan. Bagi masyarakat, REDD+ adalah mekanisme yang kompleks dan bisa jadi sulit untuk dimengerti. Sebuah proses konsultasi yang seimbang dan setara mensyaratkan para pesertanya memiliki pemahaman yang setidaknya setara. Proses preparedness ini bertujuan untuk menguatkan dan memberikan kapasitas bagi masyarakat dan stakeholder yang lain sehingga mereka siap
33
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
dalam melakukan proses konsultasi dan siap untuk menentukan sikap dan pilihan terhadap pelaksanaan REDD+ di wilayahnya. Dari tujuh regional pelaksanaan konsultasi, tiga regional yaitu Kalimantan, Papua, dan wilayah Sumatera 2 melaksanakan proses preparedness dengan dibantu oleh CSO lokal dan internasional yang bekerja diwilayah tersebut. Implikasi dari proses preparedness ini sangat positif dilihat dari proses konsultasi yang lebih mendalam dan detail karena peserta konsultasi telah terlebih dahulu memahami isu dan permasalahan yang terkait dengan REDD+. 3.1.2. Proses Konsultasi Regional Tahap proses konsultasi dapat dilihat dari 2 aspek yaitu: unsur kepesertaan yang hadir dalam proses konsultasi dan dinamika proses konsultasi. 3.1.2.1. Unsur Kepesertaan Konsultasi Secara keseluruhan unsur kepesertaan konsultasi publik dapat dikatakan seimbang antara unsur pemerintah (46%) dengan unsur CSO (42%) (Grafik 2). Jika dilihat pada grafik dibawah, unsur yang tidak cukup banyak terwakili adalah sektor swasta, dimana mereka hanya 3% dari total seluruh peserta yang mengikuti konsultasi di 7 regional. Grafik 2. Unsur Kepesertaan Dalam Konsultasi Regional
3% 9%
Pemerintah 46%
CSO Akademissi
42%
34
Swasta
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Dari 42% total peserta konsultasi yang hadir dan mengatasnamakan dirinya sebagai bagian dari CSO, 14% merupakan wakil dari masyarakat adat, dan 1% berasal dari lembaga/sektor yang fokus pada persoalan perempuan dan lingkungan (Grafik 3). Jika dilihat dari turunan unsur CSO, keterwakilan sektor perempuan dalam proses konsultasi masih sangat sedikit. Grafik 3. Keterwakilan Masyarakat Adat dan Perempuan
14%
1% Massyarakat Adat Sekttor Perempuan n LSM M
85%
Dalam analisis yang lebih lanjut, unsur kepesertaan dalam proses konsultasi didominasi oleh unsur laki-laki dibanding perempuan (Grafik 4). Hal ini menunjukkan bahwa perempuan masih belum memiliki akses yang sama besarnya dengan laki-laki dalam proses-proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan. Selain itu masih banyak anggapan dikalangan stakeholder bahwa REDD+ merupakan isu yang tidak berkaitan dengan kehidupan perempuan. Bahkan sebagian stakeholder dari kalangan pemerintah menganggap upaya memasukkan isu perempuan atau menghadirkan perempuan dalam konsultasi publik merupakan sesuatu yang tidak relevan dan menjadikan REDD+ makin meluas dan kehilangan fokus.
35
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Grafik 4. Unsur Keterwakilan Berdasarkan Jenis Kelamin.
12%
Laki-laki Perempuan
8 88%
3.1.2.2. Proses dan Hasil Konsultasi di Masing-masing Regional Regional Jawa Konsultasi dilaksanakan pada tanggal 30 September – 1 Oktober 2010 di Provinsi DI Yogyakarta. Grafik 5 menggambarkan unsur kepesertaan yang menghadiri proses konsultasi di regional Jawa. Grafik 5. Unsur Kepesertaan Regional Jawa
5% 17% Pemerintah CSO Akademissi 20%
58%
Swasta
Grafik di atas menunjukkan bahwa unsur kepesertaan proses konsultasi didominasi oleh sektor pemerintah yang mencapai lebih dari 50% total peserta konsultasi. Peserta konsultasi berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Grafik 6.
36
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Grafik 6. Unsur Peserta Konsultasi di Regional Jawa Berdasarkan Jenis Kelamin
8%
Perempuan Laki-laki
92%
Dari grafik ini dapat disimpulkan bahwa keterlibatan perempuan dalam proses konsultasi Stranas REDD+ di regional Jawa masih sangat minim karena hanya mencapai angka 10% dari total peserta konsultasi. Walaupun kecilnya jumlah peserta perempuan bukan merupakan penentu ada tidaknya pembahasan isu keadilan gender, namun proses konsultasi menunjukkan bahwa terbatasnya jumlah perempuan perpengaruh terhadap pemaparan hubungan antara masalah kehutanan dengan ketidak-adilan gender. Satu-satunya wakil perempuan yang berbicara tentang hal ini, justru tidak mendapat respon apapun dari fasilitator maupun peserta lainnya. Isu-isu krusial yang muncul dalam pelaksanaan konsultasi di Regional Jawa adalah: a. Pembahasan mengenai trend reforestasi di regional Jawa b. Minimnya upaya pelibatan para pihak ditingkat sub-nasional dalam menentukan REL masing-masing provinsi c. Belum dicantumkannya metode perhitungan REL dalam Stranas REDD+ d. Perlunya bentuk hukum yang kuat untuk mewadahi Stranas REDD+ sehingga Stranas REDD+ memiliki kekuatan hukum bukan saja kekuatan politik. Masukan secara detail terhadap strategi pelaksanaan REDD+, REL, dan analisa persoalan deforestasi dan degradasi akan dilampirkan dalam Bab Lampiran. Regional Mataram dan sekitarnya Konsultasi dilaksanakan pada tanggal 7 – 8 Oktober di Provinsi Mataram. Unsur kepesertaan di regional Mataram dapat dilihat pada Grafik 7 berikut ini.
37
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Grafik 7. Unsur Kepesertaan dalam Konsultasi Regional Mataram
43%
P Pemerintah C CSO 57%
Dari grafik dapat dilihat bahwa konsultasi regional Mataram hanya dihadiri oleh 2 unsur pihak yaitu CSO dan sektor pemerintah, minus unsur akademisi dan swasta. Unsur CSO yang hadir mewakili tiga unsur yaitu, masyarakat adat (12%), perempuan (6%), dan NGO secara umum (82%). Grafik 8 menunjukkan unsur kepesertaan berdasarkan jenis kelamin. Jika dibandingkan dengan konsultasi regional di wilayah Jawa, unsur keterwakilan perempuan di Mataram lebih tinggi, yang mencapai 15% dari total peserta konsultasi. Grafik 8. Unsur Kepesertaan Berdasarkan Jenis Kelamin dalam Konsultasi di Mataram
15%
Perempuan Laki-laki
85%
Beberapa isu krusial yang muncul dalam proses konsultasi di Mataram antara lain adalah persoalan masyarakat adat dan tenurial dan perlunya prosesproses peningkatan kapasitas bagi pihak-pihak dilevel sub-nasional untuk mengimplementasikan REDD+. Masukan yang diperoleh dari proses konsultasi
38
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
di regional Mataram dan sekitarnya akan dilampirkan dalam laporan ini (lihat lampiran). Regional Sumatera I Konsultasi regional di wilayah Sumatera I dilaksanakan di Aceh pada tanggal 11 – 12 Oktober 2010. Unsur kepesertaan yang hadir dalam proses konsultasi digambarkan dalam grafik 9. Grafik 9. Unsur kepesertaan Konsultasi Regional Sumatera I
7%
Pemerintah CSO
36% 57%
Akademissi
Dari grafik dapat dilihat bahwa unsur kepesertaan didominasi oleh sektor pemerintah yang mencapai 57% dari total peserta konsultasi. Salah satu pihak yang tidak memiliki keterwakilan dalam proses konsultasi adalah sektor swasta. Jika ditelusuri lebih lanjut, Grafik 10 menunjukkan bahwa peserta perempuan hanya mencapai 7% dari total peserta konsultasi. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan mengenai REDD+ di regional Sumatera I masih identik dengan fungsi dan peran laki-laki. Beberapa isu krusial yang muncul dalam konsultasi antara lain mekanisme feedback pasca konsultasi, perbedaan antara REL dengan RL, dan penyusunan draf stranas yang tidak melibatkan para pihak di level sub-nasional. Juga soal strategi REDD+ yang dinilai mengabaikan status keistimewaan daerah Aceh Naggroe Darussalam maupun inistiatif pengembangan REDD+ yang sudah berjalan di Aceh. Detail masukan dan laporan konsultasi regional Sumatera I akan dilampirkan dalam Bab Lampiran.
39
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Grafik 10. Unsur kepesertaan berdasarkan jenis kelamin di Regional Sumatera I
7%
Laki-laki Perempuan
93% %
Regional Kalimantan Konsultasi regional Kalimantan dilaksanakan pada tanggal 14 – 15 Oktober 2010 di Provinsi Kalimantan Tengah. Panitia pelaksana pada regional Kalimantan adalah Kemitraan yang bekerjasama dengan Bappeda Kalteng. Unsur kepesertaan konsultasi dapat dilihat pada grafik 11. Grafik 11. Unsur kepesertaan Konsultasi Regional Kalimantan 1% 5%
Pemerintah CSO 40%
54%
Akademissi Swasta
40
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Pelaksanaan konsultasi regional Kalimantan, adalah salah satu regional yang unsur kepesertaannya cukup lengkap dengan rasio perbandingan CSO dan sektor pemerintah yang tidak terlalu timpang. Selain itu, keterlibatan perempuan dalam proses konsultasi cukup tinggi jika dibandingkan dengan regional yang lain, walaupun masih tetap jauh dari standar minimum keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan (Grafik 12). Grafik 12. Unsur Kepesertaan Jika Dilihat Dari Jenis Kelamin
17% %
Laki laki Perempuan
83%
Beberapa isu krusial yang muncul dalam proses konsultasi antara lain adalah mekanisme feedback paska konsultasi. Lebih lanjut, peserta menanyakan mekanisme yang akan dilakukan oleh penyelenggara konsultasi dalam mempertimbangkan dan mengolah masukan dan tanggapan yang diperoleh dari proses konsultasi. Masukan secara detail dari regional Kalimantan akan dilampirkan dalam Bab Lampiran. Regional Sulawesi Konsultasi di regional Sulawesi dilaksanakan pada tanggal 14 – 15 Oktober 2010 dalam waktu yang bersamaan dengan konsultasi di regional Kalimantan. Beberapa isu krusial yang muncul dalam pelaksanaan konsultasi adalah pengarusutamaan gender dalam Stranas REDD+; proses pengakuan dan jaminan terhadap hak-hak masyarakat adat; dan kekhawatiran bahwa REDD+ adalah kebijakan kompromi pemerintah terhadap kepentingan negara-negara industri. Unsur kepesertaan di regional Sulawesi cukup unik jika dibandingkan dengan regional lain karena unsur dominan kepesertaan berasal dari sektor CSO yang mencapai 45% dibandingkan sektor pemerintah yang hanya mencapai 33% (Grafik 13).
41
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Grafik 13. Unsur Kepesertaan Konsultasi di Regional Sulawesi
22% 33% Pemerintah CSO Akademissi
45%
Keterlibatan perempuan di konsultasi regional Sulawesi merupakan angka yang tertinggi sebesar 19% dari total peserta jika dibandingkan dengan regional yang lain (Grafik 14). Dengan demikian dalam lingkup pelaksanaan konsultasi regional di Sulawesi dapat ditarik korelasi antara keterlibatan perempuan dengan kesadaran untuk mengarusutamakan gender dalam sebuah produk kebijakan. Tentu saja, kesimpulan ini tidak bisa diaplikasikan secara makro. Masukan yang diperoleh dari proses konsultasi secara detail dilampirkan dalam Bab Lampiran. Grafik 14. Unsur Kepesertaan Regional Sulawesi Berdasarkan Jenis Kelamin
19% %
Laki-laki Perempuan
81%
42
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Regional Papua Konsultasi regional di Papua dilaksanakan pada tanggal 18 – 19 Oktober 2010 di Provinsi Papua. Unsur kepesertaan dalam konsultasi regional di Papua sama seperti di regional Sulawesi didominasi oleh sektor CSO (Grafik 15). Bahkan dominasi ini mencapai lebih dari 50% total seluruh peserta. Dari 58% peserta yang berasal dari CSO, 31% nya merupakan perwakilan dari masyarakat adat. Grafik 15. Unsur Kepesertaan Konsultasi Regional p g pPapua
8% 24%
10%
Pemerintah CSO Akademissi Swasta
58%
Grafikk 16yang Unsurmuncul n Konsultasi i Regional Su umateraadalah II Kepesertaan Beberapa isu krusial dalam proses konsultasi mengenai strategi pelaksanaan REDD+ di Papua yang dinilai tidak memperhitungkan status otonomi khusus dan keberagaman sosio-kultural di Provinsi Papua. Selain itu persoalan tenurial dan hak masyarakat adat maupun pandangan kosmologis masyarakat adat Papua mengemuka dengan tajam dalam proses konsultasi. Isu ini telah memunculkan pernyataan tegas wakil masyarakat adat mengenai mengenai pentingnya menyelesaikan persoalan tenurial dan pengakuan hak masyarakat adat sebagai syarat suksesnya implementasi REDD+ di Papua.
Regional Sumatera II Konsultasi regional Sumatera II dilakukan di Provinsi Jambi pada tanggal 21 – 22 Oktober 2010. Beberapa isu krusial yang muncul dalam proses konsultasi antara lain adalah pentingnya melibatkan pemerintah provinsi dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penghitungan Reference Emissions Level di masing-masing provinsi. Selain itu tema lain yang mengemuka adalah strategi pelaksanaan REDD+ di provinsi kepulauan. Unsur kepesertaan di regional Sumatera II juga didominasi oleh sektor CSO sebesar 61% dari total peserta konsultasi.
43
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Grafik 16. Unsur Kepesertaan Konsultasi Regional Sumatera II 3% 5% 31% Pemerintah CSO Akademissi Swasta 61%
3.1.3. Tahap Paska Pelaksanaan Konsultasi Paska pelaksanaan rangkaian konsultasi regional, tim fasilitator di masingmasing regional menyusun laporan lengkap hasil pelaksanaan konsultasi dan dipresentasikan oleh Koordinator Fasilitator dalam pertemuan konsinyasi di Bogor pada tanggal 25 Oktober 2010. Laporan ini kemudian diolah oleh Tim Penulis sebagai bahan masukan revisi draf Stranas REDD+. Selain presentasi dari Koordinator Fasilitator, pertemuan konsinyasi di Bogor juga mengundang Kementerian Kehutanan dan beberapa ahli untuk memberikan masukan mengenai bentuk kelembagaan REDD+ dan implementasi FPIC dalam Stranas REDD+. Pada awalnya direncanakan untuk mengundang beberapa jurnalis untuk memberikan masukan mengenai pendekatan publikasi Stranas REDD+. Namun para jurnalis yang diundang tidak ada yang bisa hadir untuk memberi masukan. Tim Penulis bertugas memformulasikan masukan yang diperoleh dari konsultasi regional dan konsultasi dengan para ahli dan mengelompokkan masukan tersebut dalam 3 isu besar yaitu: (1) analisis penyebab deforestasi dan degradasi di Indonesia, (2) proses penentuan Reference Emissions Level, dan (3) masukan terhadap strategi implementasi Stranas REDD+. Revisi draf Stranas REDD+ kemudian dipresentasikan dihadapan Tim Pengarah Stranas REDD+ yaitu Wakil Menteri PPN/Waka Bappenas dan Sekjen Kementerian Kehutanan dan mendapatkan masukan berupa perubahan mendasar outline draf Stranas
44
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
REDD+ (Box 4). Tim Penulis kemudian bertemu dalam rapat konsinyasi untuk menulis ulang draf Stranas REDD+ berdasarkan outline terbaru yang diberikan oleh Tim Pengarah.
Box 4: Kerangka Stranas REDD+ Berdasarkan Masukan Tim Pengarah Ucapan Terima Kasih Kata Pengantar Ringkasan Eksekutif BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang REDD+ 1.2. Visi, Misi dan Tujuan REDD+ 1.3. Ruang Lingkup (note: komponen REDD+ di kawasan hutan dan non kawasan hutan) 1.4. Target dan sasaran (pengurangan emisi, sustainable management of forest, kesejahteraan masyarakat) 1.5. Kerangka waktu) Pelaksanaan REDD+ (note: disesuaikan dengan RAN GRK 2020 dan SPPN (Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional)) BAB II PERMASALAHAN DAN TANTANGAN 2.1. Kondisi hutan dan penggunaan lahan lainnya 2.1.1. Gambaran hutan dan penggunaan lahan saat ini 2.1.2. Kebijakan yang sudah dilakukan 2.1.3. Dampak (note: deforestasi dan degradasi yang menimbulkan emisi) 2.2. Hal-hal yang sudah dilakukan terkait implementasi REDD+ (note: penyiapan infrastruktur metodologi: penyusunan REL, pembentukan system MRV, penyusunan distribusi, mekanisme REDD+) 2.3. Tantangan dan Peluang (isu dan komitmen: global, nasional dan lokal dari aspek ekonomis, social dan budaya, ekologis) BAB III STRATEGI PELAKSANAAN REDD+ 3.1. Kerangka Pikir 3.2. Strategi Pelaksanaan REDD+ (note: untuk mencapai target dan sasaran pada BAB I) Strategi Pemenuhan Prasyarat Strategi Pemenuhan Kondisi Pemungkin Strategi Pembangunan Sektor 3.3. Strategi pendukung mekanisme REDD+ 3.2.1 Kelembagaan REDD+ (note: Kerangka lembaga REDD+) 3.2.2 Pembiayaan Sumber Pembiayaan Mekanisme Penyaluran Pembentukan Lembaga Pendanaan REDD+ (note: dapat melalui trust fund atau perbankan) 3.2.3 Sistem Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi (MRV) Prasyarat MRV Ruang Lingkup MRV Kerangka Kelembagaan MRV 3.2.4 Kriteria penetapan provinsi percontohan BAB IV PENUTUP
45
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
3.1.4. Analisis Terhadap Proses Konsultasi Regional 3.1.4.1. Aspek Persiapan Peserta dan Dukungan Informasi Konsultasi regional merupakan proses yang menarik perhatian banyak pihak. Sebagian peserta memang mengakui bahwa proses ini telah menandai munculnya kesediaan para pihak untuk bertemu dan membahas strategi secara bersama. Dibandingkan dengan konsultasi publik lainnya, beberapa peserta mengakui proses pembahasan rumusan REDD+ makin membuka harapan baru untuk pendekatan multi pihak. Dari sisi penyiapan peserta, konsultasi regional dinilai bisa menghadirkan para pelaku kebijakan maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan, termasuk kelompok yang posisinya rentan, yaitu masyarakat adat; masyarakat yang ada di hutan maupun di sekitar hutan dan kelompok perempuan. Upaya ke arah ini memang telah dilakukan sejak dini oleh Bappenas dan UN-REDD. Di tiga wilayah regional yaitu Papua, Kalimantan dan Sumatera II, sudah dilakukan pertemuan pra konsultasi untuk membahas kebutuhan penyiapan peserta, termasuk penyediaan informasi untuk membantu para pihak yang memiliki keterbatasan pemahaman mengenai isu-isu REDD+. Namun harus diakui bahwa upaya yang sangat baik ini menjadi tidak banyak membantu karena jarak waktu antara proses pemilihan peserta dengan pelaksanaan konsultasi regional terlalu singkat. Beberapa tahapan penting tentang hal ini terpaksa dilewati. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung telah mengurangi makna pelaksanaan keempat prinsip dasar pengembangan Stranas REDD+. Kekurangan lainnya adalah tidak tersedianya informasi dasar yang bisa membantu peserta untuk memahami isu-isu REDD+ yang sarat dengan istilahistilah ilmu pengetahuan (sains) yang kompleks dan tidak dengan mudah dimengerti oleh beberapa pihak. Berdasarkan hasil interview dengan beberapa peserta konsultasi regional, banyak peserta yang mengaku tidak memahami sisi teknis REDD+, dan oleh karena itu mereka tidak bisa mengikuti perdebatan dengan baik. Beberapa peserta perempuan banyak yang memilih diam karena malu atau enggan bertanya. Situasi seperti ini tentu saja dapat memarjinalkan pihak-pihak tertentu dalam proses diskusi dan konsultasi publik.
46
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Dalam hubungannya dengan implementasi prinsip transparansi, hal ini menunjukkan bahwa kualitas akses dini peserta konsultasi terhadap draf Stranas REDD+ sangat rendah. Draf stranas REDD+ baru dibagikan ketika pelaksanaan konsultasi sehingga makin mengurangi kemampuan sebagian peserta dalam mengikuti konsultasi. Kelemahan ini kemudian diperbaiki oleh Tim Penyelenggara dengan memberikan kesempatan kepada peserta konsultasi untuk memberi masukan secara tertulis melalui email kepada Bappenas atau Tim Penulis. Pihak UN-REDD sendiri kemudian berinisiatif memperkuat implementasi prinsip transparansi dengan meng-up-date setiap perkembangan proses penyusunan Stranas REDD+ dalam website mereka. Tema lain yang penting dibahas paska pelaksanaan konsultasi adalah mekanisme feedback terhadap seluruh masukan yang diperoleh dari proses konsultasi regional maupun masukan tertulis dari lembaga-lembaga CSO dan sektor-sektor pemerintahan. Dalam pertemuan konsultasi di tujuh wilayah regional telah disampaikan bahwa seluruh hasil masukan lisan maupun tertulis akan diolah lebih lanjut dan hasilnya disampaikan kembali kepada semua pihak. Dalam pertemuan konsinyasi Tim Penulis pada paska konsultasi regional, telah disepakati bahwa seluruh masukan akan dikelompokkan dan diberi tanggapan secara professional dan tanggapan tersebut akan dikonsultasikan kepada para ahli ditingkat nasional pada pertemuan di Bali yang melibatkan ahli-ahli REDD+ di Indonesia. Status masukan tersebut maupun hasil konsultasi dengan para ahli akan disampaikan kembali kepada para pihak. Namun demikian, adanya proses perubahan mendasar mengenai outline maupun susunan substansi dokumen stranas REDD+ yang sangat dinamis dari waktu ke waktu, mengakibatkan proses atau mekanisme feedback hingga saat ini tidak dilakukan. Selain itu, belum jelas pula siapa yang harus menindak-lanjuti proses feedback tersebut, apakah Bappenas atau UN-REDD atau Tim Penulis Stranas REDD+. Proses pelembagaan masih tetap menjadi salah satu titik lemah dalam implementasi prinsip dasar perumusan strategi nasional REDD+. Ini dapat dilihat dari adanya perubahan-perubahan dalam struktur dasar penulisan
47
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
stranas maupun dalam substansi yang mengatur kelembagaan REDD+ ke depan. Salah satu kerumitan yang ditemui dalam proses ini adalah kuatnya perbedaan pendapat di lingkungan elit birokrasi dalam menentukan seperti apa proses pelembagaan REDD+ ke depan. 3.1.4.2. Persepsi Peserta terhadap Isi dan Proses Konsultasi Pelaksanaan konsultasi regional merupakan salah satu mekanisme pelibatan para pihak dilevel sub-nasional dalam proses-proses perumusan kebijakan mengenai REDD+ di Indonesia. Selain itu, proses konsultasi regional juga merupakan mekanisme untuk meningkatkan pengetahuan para pihak mengenai REDD+. Dari pelaksanaan 7 konsultasi regional, 6 regional yang dilakukan jajak pendapat oleh UN-REDD rata-rata 90% peserta konsultasi mengaku bahwa pemahaman mereka mengenai REDD+ mengalami peningkatan setelah mengikuti konsultasi publik tentang REDD (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa proses konsultasi regional telah berhasil meningkatkan pemahaman para pihak mengenai REDD+. Tabel 4 Pendapat Peserta Konsultasi Regional Mengenai Perubahan Pengetahuan setelah Mengikuti Konsultasi Penyusunan Stranas REDD+ Region
Mengalami Peningkatan
Tidak Mengalami Peningkatan
Jawa
98%
2%
Bali, Nusa & Maluku
96%
4%
Sumatera Bagian Barat
97%
3%
Sulawesi
98%
2%
Kalimantan
84%
16%
Papua
71%
29%
Sumatera Bagian Timur
Grafik 17
Sebagai proses konsultasi publik yang membahas berbagai masalah dan menentukan keputusan, hasil jajak pendapat menunjukkan sebagian peserta di tujuh wilayah regional menilai bahwa hasilnya sudah sudah cukup baik. Meskipun demikian, banyak juga peserta yang memiliki pendapat beragam beragam, mulai dari sangat baik hingga sangat kurang baik (lihat Grafik 17).
48
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Grafik 17 Pendapat Peserta Konsultasi Regional Mengenai Efektivitas Proses Konsultasi Regional Penyusunan Strategi Nasional REDD+ 80% 70% 60% 50%
Sangat Baik
40%
Baik
30%
Biasa Saja
20%
Kurang Baik Sangat Kurang Baik
10% 0% Jawa
Bali, Nusa & Sulawesi Maluku
Sumatera Kalimantan Bagian Timur
Papua
Salah satu aspek penting yang dibahas dalam pelaksanaan konsultasi regional adalah pembahasan mengenai strategi pelaksanaan REDD+ dan relevansinya dengan kebutuhan di wilayah provinsi masing-masing. Sebagai besar peserta berpendapat, sebuah draf strategi, dokumen Stranas REDD+ sangat relevan dengan kebutuhan mereka di daerah masing-masing. Hanya sedikit yang mengatakan kurang baik atau sangat tidak baik (Grafik 18). Pendapat ini pada umumnya disampaikan oleh kalangan NGO. Hal ini merupakan perkembangan yang sangat baik dan menunjukkan bahwa Stranas REDD+ telah dibangun berdasarkan konteks persoalan yang terjadi di berbagai wilayah.
49
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Grafik 18 Pendapat Peserta Konsultasi Regional Mengenai Relevansi Isi Draft 1 Strategi Nasional REDD+ dengan Kondisi dan Kebutuhan Dearah 90% 80% 70% 60% Sangat Baik
50%
Baik
40%
Biasa Saja
30%
Kurang Baik
20%
Sangat Kurang Baik
10% 0% Jawa
Bali, Nusa & Sumatera Maluku Bagian Timur
Sulawesi Kalimantan
Papua
3.1.5. Isu-Isu Penting dalam Proses Konsultasi Regional 3.1.5.1. Posisi Stranas REDD+ Dalam Skema RAN GRK dan LoI Indonesia - Norway Dalam pertemuan ini, posisi REDD+ dan keterkaitannya dengan RAN GRK menjadi salah satu poin penting diskusi. RAN GRK disusun untuk mewujudkan komitmen politik Indonesia untuk mengurangi emisi GRK hingga sebesar 26% pada 2020 dengan pembiayaan dalam negeri yang bersumber dari APBN dan 41% dengan dukungan dari luar. Penurunan sebesar 14% dari total 26% target penurunan emisi GRK Indonesia diharapkan berasal dari sektor hutan terutama dari lahan gambut. Dalam berbagai kesempatan Bappenas menyatakan bahwa RAN GRK menjadi payung hukum bagi Stranas REDD+. Dalam konteks GRK, Stranas REDD+ tidak disusun untuk sekedar memenuhi prasyarat dalam rangka LoI RI-Norway. Melainkan sebagai upaya percepatan terhadap implementasi kepentingan Indonesia untuk melakukan penataan kembali terhadap pengelolaan sektor kehutanan dan memberikan sumbangsih terhadap dunia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan.
50
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
3.1.5.2. Definisi Hutan Definisi hutan dalam Stranas REDD+ saat ini (draf 0) mengikuti UU No 41 mengenai kehutanan sedangkan definisi mengenai deforestasi mengikuti definisi yang diciptakan oleh FAO. Menurut beberapa pihak, Indonesia sebaiknya merumuskan sendiri apa yang dimaksud dengan deforestasi, sehingga definisinya menjadi lebih tepat dengan konteks nasional. 3.1.5.3. Kelembagaan REDD+ Dalam rangkaian diskusi dan konsultasi yang diadakan dalam rangka menyusun Stranas REDD+ tema kelembagaan REDD+ selalu muncul sebagai salah satu bahan dialog. Pada tahap pra Stranas belum ada kejelasan mengenai seperti apa bentuk kelembagaan REDD+ di Indonesia. Pengertian kelembagaan sendiri masih belum jelas, apakah berarti hal ini melahirkan kebutuhan sebuah lembaga baru atau kelembagaan bersifat ad-hoc atau hanya berupa fungsi dan tugas baru yang kemudian diletakkan didalam tugas dan kewenangan lembaga-lembaga yang sudah ada, seperti halnya Kementerian kehutanan. Sebagian peserta juga mempertanyakan mengapa saat ini perumusan Stranas REDD+ dikoordinasikan oleh UKP4, sebuah unit kerja Presiden yang memiliki tugas dan kewenangan yang terbatas. Sementara substansi tugas dan kewenangan yang hendak diatur melalui pendekatan REDD+ menyentuh banyak aspek yang terkait dengan mandat peraturan perundangan. Perntanyaan ini mengedepan karena banyak peserta konsultasi publik yang tidak melihat keterlibatan aktif Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Bahkan ada pendapat sejumlah narasumber yang menilai proses seperti ini bertentangan dengan prinsip inklusifitas dan kelembagaan. 3.1.5.4. Gender Justice/Keadilan Gender Komposisi peserta masih dominasi peserta laki-laki, sehingga peran perempuan dalam proses konsultasipun menjadi sangat terbatas. Hal ini terlihat tidak hanya dari komposisi peserta perempuan dibandingkan peserta laki-laki, akan tetapi juga dalam proses penyampaian pendapat, peserta perempuan cenderung pasif dan kurang mendapatkan kesempatan berbicara dibandingkan peserta laki-laki. Dari sisi substansi Stranas REDD+ sejumlah peserta menyampaikan kritik keras karena pada tataran analisis masalah (fishbond), tidak nampak sama sekali
51
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
analisis gender. Terutama dalam melihat ketimpangan relasi antara degradasi dan deforestasi dengan hak-hak, kepentingan, dan eksistensi kehidupan perempuan di lingkungan masyarakat adat maupun masyarakat lainnya yang tinggal di dalam dan di luar kawasan hutan. Akibatnya, ketimpangan gender dalam pola penguasaan sumberdaya hutan atau sumber-sumber kehidupan bersama yang terkait dengan hutan, tidak nampak dalam kerangka strategi. Bagi sejumlah perempuan, stranas REDD+ dengan format dan substansi seperti itu hanya akan memperpanjangan ketidakadilan gender dalam pengelolaan kehutanan di berbagai wilayah di Indonesia. 3.1.5.5. Hak Masyarakat Adat Bagi sebagian peserta, substansi draf stranas maupun proses pembahasannya masih jauh dari upaya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat. Bahkan isu-isu tenurial yang diadopsi di dalam dokumen stranas dinilai masih menyederhanakan hak masyarakat adat semata-mata sebagai hak atas lahan saja. Padahal isu ini dinilai beberapa peserta dan narasumber sebagai sesuatu yang berkaitan dengan pengakuan dan jaminan terhadap hak atas lahan atau wilayah kelola; hak atas perlindungan ekosistem dimana aspek sosiobudaya-antropologis mereka bertumbuh dan berkelanjutan; serta hak atas kedaulatan untuk mengembangkan model kearifan pengelolaan lingkungan/ sumberdaya alam yang beragam. 3.1.5.6. Perdagangan Karbon Sebagian kalangan NGO ada yang sangat skeptis melihat REDD+ dengan alasan bahwa pendekatan ini merupakan pendekatan yang secara global sangat tidak adil. Dalam artian bahwa dibalik langkah-langkah yang sedang disiapkan pemerintah, terselip kepentingan negara-negara industri untuk: (1) mengalihkan beban tanggungjawab penurunan emisi karbon secara global ke negara-negara tropis, (2) kepentingan perdagangan karbon yang identik dengan insentif atas kemampuan memelihara hutan, dan (3) ada upaya mempertahankan kebijakan konversi lahan untuk perkebunan sawit dan hutan tanaman industri lainnya dengan alasan bahwa sawit dan HTI (Hutan Tanaman Industri) juga bisa menurunkan emisi karbon.
52
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
3.2. Konsultasi Ahli Di Tingkat Nasional 3.2.1. Proses dan hasil Proses konsultasi nasional dengan para ahli merupakan tahapan yang bersifat mengkonfirmasi dan mengumpulkan tamabahan/masukan terhadap draf dokumen yang sudah dibahas pada konsultasi regional. Konsultasi ahli diikuti oleh Tim Pengarah, Tim Pelaksana, Tim Penulis, dan sejumlah ahli seperti Daniel Murdiyarso (CIFOR), Rizaldi Boer dan Hariadi Kartodihardjo (IPB). Kapan dimana? Pada proses ini muncul beberapa kritikan terhadap draf I stranas, terutama menyangkut soal struktur penulisan yang tidak menunjukkan koherensi yang jelas antara analisis masalah (hasil fishbone analysis) dengan kerangka strategi yang ditawarkan. Juga asumsi-asumsi teroritik maupun data yang digunakan dalam menetapkan REL. Selain itu, ada beberapa isu penting yang dinilai perlu mendapatkan perhatian lebih serius baik dalam rumusan strategi nasional maupun dalam dokumen RAN-nya nanti, yaitu: •
•
•
•
•
Draf I yang dinilai kurang sistematis, kurang komprehensif dan koheren serta tidak menggambarkan: (1) sense of urgensi dan prioritas, (2) definisi deforestasi dan degradasi yang berbasis pada situasi dan pengalaman Indonesia, (3) kesinambungan dengan desain kelembagaan dan pendanaan yang sedang dirumuskan oleh Satgas lainnya, dan (4) keterkaitan antara aspek ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Bagaimana mengaitkan REDD+ dengan kebijakan nasional mengenai mitigasi perubahan iklim (RAN-GRK), termasuk perlunya kejelasan payung hukum REDD+ untuk tidak menimbulkan kerancuan dan kegamangan pada tingkat implementasi di daerah. Tidak jelas bagaimana kelembagaan REDD+ ke depan: (1) apakah akan dicantolkan pada kelembagaan yang sudah berjalan, (2) apakah akan ada kelembagaan yang bersifat transisional ke arah kelembagaan independen, (3) bagaimana hubungannya dengan keberadaan Satgas yang dikordinasikan oleh UKP4. Posisi hasil konsultasi regional yang dikuatirkan tidak bersesuaian dengan hasil dan proses pengembangan stranas di tingkat nasional maupun dengan skema yang disepakati pemerintah di tingkat internasional. Isu governance yang diwarnai oleh: (1) penetapan peruntukan kawasan yang belum tertata dengan baik, (2) politik perijinan yang masih diwarnai
53
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
•
• •
•
dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan pertimbangan yang mengabaikan pertimbangan ekologis, (3) kapasitas dan distribusi sumber daya kementerian kehutanan tidak sesuai dengan penanganan masalah kehutanan. Kuatnya kecenderungan kebijakan yang bertentangan dengan misi dan tujuan REDD+, antara lain soal adanya 18 usulan RT (Rukun Tetangga) RW (Rukun Warga) dari 18 provinsi yang menuntut perubahan tataruang dalam bentuk konversi 15,87 juta hektar kawasan hutan untuk berbagai kepentingan non kehutanan. Tidak jelasnya apa yang disebut sebagai “independent agencies monitoring” dalam LoI (Letter of Intent) pemerintah RI-Norway. Perlu keputusan politik tingkat nasional mengenai historical deforestation/ degradation dan historical emission, termasuk soal penetuan REL di tingkat sub nasional yang sulit dilakukan dengan pendekatan historical emission. Ada kesulitan untuk mendorong masyarakat adat untuk mengembangkan demonstration activity karena banyak entitas hutan adat yang tidak direkognisi 0leh pemerintah (potensinya besar namun sulit di-MRV-kan).
3.2.2. Analisis terhadap proses Konsultasi para ahli di tingkat nasional menunjukkan dengan jelas bagaimana sesungguhnya tantangan yang dihadapi dalam kaitannya dengan degradasi dan deforestasi di Indonesia. Dalam konteks seperti ini, sejumlah ahli melihat bahwa REDD+ sebetulnya adalah proses kontinum dari berbagai upaya penataan kebijakan yang sudah dibahas sejak era reformasi. Pandangan radikal yang muncul adalah pentingnya melihat kembali apa bagaimana aspek historical degradasi dan deforestasi sebagai pijakan untuk menentukan REL. Selain itu, penanganan soal penurunan emisi justru memerlukan langkah-langkah politik, terutama menghentikan konversi hutan untuk berbagai kepentingan. 3.3. Konsultasi Ahli Di Tingkat Internasional 3.3.1. Proses dan hasil Salah satu tahapan proses konsultasi para pihak adalah konsultasi dengan para ahli internasional yang memiliki pemahaman dan pengetahuan mengenai REDD+. Para ahli yang terlibat terdiri dari perwakilan International NGO, perwakilan dari lembaga donor, perwakilan dari kedutaan negara-negara yang berkepentingan dengan implementasi REDD+ di Indonesia, dan perwakilan dari badan intergovernmental seperti UNEP (United Nations Environment
54
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Programe), UNDP(United Nations Development Programme), UNODC, dan UNREDD. Pelaksanaan di Bali tanggal 3 Oktober 2010. Proses konsultasi dengan para ahli diawali dengan sambutan yang disampaikan oleh Deputi Bidang Sumber Daya Alam Bappenas. Sambutan kedua berasal dari UKP4 yang membahas mengenai tugas dan mandat Satuan Tugas (Satgas) REDD+. Selain itu UKP4 juga membahas mengenai posisi LoI dalam proses penyusunan Stranas REDD+ dan menegaskan bahwa LoI hanyalah akselerator yang mempercepat proses penyusunan stranas. Setelah kedua sambutan selesai, proses dilanjutkan dengan presentasi mengenai draf Stranas REDD+ dengan masih memakai draf versi tgl 23 September. Proses konsultasi dilanjutkan dengan mendengarkan masukan dan tanggapan dari 6 lembaga yang telah diminta secara resmi untuk memberi tanggapan terhadap draf Stranas REDD+. Berikut ini review terhadap masukan dari enam lembaga internasional. The Nature Conservation (TNC) TNC menggarisbawahi mengenai pentingnya kejelasan mengenai siapa yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengalokasikan ijin penggunaan lahan. Hal ini sangat penting untuk pelaksanaan REDD+ karena REDD+ baru bisa dilakukan ketika ada kejelasan pengalokasian lahan dan rencana tata ruang wilayah. Selain itu TNC juga menganjurkan kepada Indonesia untuk mencontoh proses yang telah ditempuh oleh Australia dalam pengelolaan hutannya di tingkat subnasional. Selain itu, TNC juga menekankan pentingnya kejelasan rencana dan strategi Indonesia dalam mencapai target 26% dan 41% penurunan emisi GRK. Lebih lanjut, TNC menjelaskan bahwa harus ada strategi yang jelas dari Indonesia untuk mengelola demonstration activities dan prioritas pelaksanaan REDD+ dengan menitikberatkan peran penting stakeholder di wilayah provinsi maupun kabupaten. Sebagai penutup, TNC menjelaskan bahwa keberhasilan pelaksanaan REDD+ di Indonesia sangat tergantung pada manajemen proses dan koordinasi yang baik antar sektor kementrian dan pentingnya investasi untuk membangun proses belajar yang lebih baik.
55
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
GTZ (Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit), AFD-CIRAD (Agence Francaise de development)-(Centre de Cooperation Internationale de Recherche Agronomique pour le Development), UNDP GTZ, AFD-CIRAD dan UNDP bekerjasama membentuk tim gabungan dan mempresentasikan sebuah masukan bagi penyusunan Stranas REDD+ yang isinya antara lain mengenai ruang lingkup REDD+ dan keterkaitannya dengan RAN GRK. Kejelasan posisi REDD+ dengan keterkaitannya terhadap RAN GRK akan menentukan strategi pendanaan RAN GRK yang saat ini dikelola oleh ICCTF. Selain menekankan pentingnya kejelasan posisi REDD+ dalam RAN GRK, tim gabungan juga mempertanyakan mengenai definisi hutan dan definisidefinisi kerja yang lain yang dipakai dalam Stranas REDD+. Persoalan definisi hutan sangat strategis dalam Stranas REDD+ karena hal ini akan menunjukkan ruang lingkup implementasi REDD+ apakah hanya berada dalam lingkup hutan atau juga mencakup hutan tanaman industry. Senada dengan TNC, tim gabungan juga menggarisbawahi pentingnya pembuatan prioritas wilayah percontohan dan prioritasi target Stranas REDd+ jangka pendek, menengah dan panjang. Memperkaya gap analysis dengan menganalisa kesenjangan antara Renstra (Rencana Strategis) Dephut (Departemen Kehutanan) dengan Stranas REDD+ dan mengidentifikasi insentif untuk pembangunan ekonomi yang berbasis lahan dan dampak dari pelaksanaan Stranas REDD+ untuk sektor sektor lain. Hal terakhir yang disampaikan oleh tim gabungan adalah perlunya upaya harmonisasi Stranas REDD+ dengan RAN GRK dengan cara pengisian wilayah-wilayah kerja yang tidak disentuh oleh REDD+ melalui RAN GRK. ICRAF Tanggapan yang ketiga datang dari ICRAF yang mengawali tanggapan terhadap Stranas REDD+ dengan mengkritisi rumusan tujuan Stranas REDD+. ICRAF juga menganjurkan agar pembahasan mengenai deforestasi dibedakan menjadi deforestasi yang terencana dan tidak terencana serta pengkategorian dalam deforestasi legal, semi legal, dan illegal. Pengkategorian ini penting karena masing-masing kategori mensyaratkan strategi sendiri dan memiliki implikasi biaya dan resiko masing-masing. Selain itu ICRAF juga mengingatkan pentingnya mempertimbangkan jasa lingkungan (environmental services) dan
56
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
pembangunan sumber-sumber mata pencaharian dan membangun indikatorindikator untuk pencapaian kedua hal ini selain pencapaian target penurunan emisi GRK. Dengan kata lain, monitoring pelaksanaan REDD+ harus mencakup monitoring terhadap pembangunan sumber mata pencaharian dan jasa lingkungan. 3.3.2. Analisis terhadap proses Tidak banyak aspek strategis yang muncul dalam konsultasi dengan ahli internasional. Terkecuali berbagai pertanyaan kritis terhadap kesiapan dan kesungguhan pemerintah, dan selebihnya adalah pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya klarifikasi. Masukan-masukan yang diperoleh dari proses konsultasi dengan para ahli ditingkat internasional ini kemudian diolah sebagai bahan penyempurnaan draf Stranas REDD+. 3.4. Pertemuan Konsultasi Nasional Stranas REDD+ Pertemuan konsultasi nasional dilaksanakan pada tanggal 10 November 2010 di ruang pertemuan kantor Bappenas. Proses konsultasi berlangsung selama setengah hari dan dihadiri perwakilan dari CSO, organisasi yang fokus pada masyarakat adat, akademisi, pemerintah, dan stakeholder daerah yang terdiri dari perwakilan Bappeda, koordinator fasilitator yang terlibat pada acara konsultasi regional, dan CSO di daerah. Secara garis besar proses pelaksanaan konsultasi nasional dapat ditinjau dari dua aspek yaitu dinamika proses dan isu krusial yang muncul pada saat pelaksanaan konsultasi. 3.4.1. Proses dan Hasil Proses pra konsultasi diisi dengan persiapan teknis dan pemilihan peserta konsultasi. Proses pemilihan peserta konsultasi dilakukan dengan mempertimbangkan keterwakilan daerah dan unsur para pihak. Untuk menjaga kesinambungan proses penyampaian informasi mengenai progress penyusunan Stranas REDD+, wakil dari daerah yang diundang dalam proses konsultasi nasional adalah koordinator fasilitator yang terlibat dalam mengkoordiniri proses fasilitasi FGD (Focus Group Discussion) pada konsultasi regional. Selain koordinator fasilitator, pihak lain yang diundang adalah perwakilan Bappeda dan CSO. Proses konsultasi dibuka dengan sambutan yang disampaikan oleh Wakil Menteri Bappenas yang menyampaikan beberapa pokok pemikiran yaitu:
57
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
• •
•
•
•
•
•
58
Pentingnya REDD+ bagi tujuan pembangunan ekonomi hijau Indonesia dan strategi Indonesia dalam mengurangi emisi GRK. Pelaksanaan REDD+ membuka peluang pembenahan aspek pengelolaan SDA (Sumber Daya Alam) dan lingkungan hidup sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan. Selain itu REDD+ juka membuka peluang terealisasinya penerapan proses produksi yang rendah emisi karbon dan berkelanjutan. REDD+ membawa manfaat berupa peningkatan kesiapan Indonesia dalam implementasi komitmen untuk mengurangi emisi GRK melalui REDD+. REDD+ juga mendukung komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi GRK sebesar 26% dan 41% pada 2020. Serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Posisi Stranas REDD+ merupakan bagian dari RAN GRK dan sebagai bagian dari Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) 2011 - 2030. Stranas REDD+ juga merupakan bagian dari RPJMN 2010 – 2014 dan RPJPN 2005 – 2025. Fungsi Stranas REDD+ dalam jangka pendek merupakan landasan pembentukan infrastruktur REDD+ dan penyusunan RAN REDD+ dan RAD (Rencana Aksi Daerah) REDD+. Stranas REDD+ juga berfungsi untuk menjawab prasyarat yang tertuang dalam LoI. Dalam jangka menengah Stranas REDD+ merupakan perubahan menyeluruh terhadap tata kelola sektor pembangunan berbasis lahan (land base sectors) seperti sektor kehutanan, pertanian dan pertambangan. Untuk jangka panjang Stranas REDD+ dapat menjadi salah satu landasan untuk terwujudnya ekonomi hijau (green economics) di Indonesia. Proses penyusunan Stranas REDD+ telah melalui proses konsultasi yang berjenjang ditingkat regional (sub-nasional) dan nasional. Proses ini juga melibatkan para pelaku dan para pemangku kepentingan dari berbagai sektor terkait. Partisipasi dari para ahli di berbagai bidang ditingkat nasional dan internasional. Terdapat 5 strategi utama yang terkandung dalam Stranas REDD+ yaitu: 1) Penyempurnaan perencanaan dan pemanfaatan ruang yang seimbang, 2) Peningkatan pengawasan dan pemantauan REDD+, 3) Peningkatan efektivitas manajemen hutan, 4) Pelibatan dan partisipasi para pihak dalam penurunan emisi GRK, 5) Peningkatan dan penguatan dasar hukum pengelolaan hutan.
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Sambutan kedua disampaikan oleh Sekjen Departemen Kehutanan, yang menyampaikan strategi yang akan diambil oleh Dephut untuk mengimplementasikan REDD+ di Indonesia. Beberapa pokok pemikiran yang tertuang dalam presentasinya adalah: • Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26% dengan pembiayaan sendiri dan 41% dengan pembiayaan LN pada tahun 2020. Dilain pihak, Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7%. Kedua hal ini merupakan paradox yang harus dikelola dengan cara: 1. Demokrasi yang semakin membaik 2. Reformasi politik, ekonomi yang telah berjalan dengan baik 3. Kesadaran kolektif atas perubahan iklim yang meningkat 4. Reformasi birokrasi yang sedang dilakukan • Sektor kehutanan merupakan pilihan termurah untuk mengurangi emisi GRK. Dilain pihak sumbangan sektor kehutanan terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) mengalami peningkatan semenjak tahun 2001. • Strategi nasional REDD+ pada intinya adalah mengelola paradoks antara pengurangan emisi melalui REDD+ dan pertumbuhan ekonomi dalam rangka menciptakan lapangan kerja dan mengentaskan kemiskinan sebagai jabaran RPJM 2010-2014. Bahan presentasi sebagaimana Lampiran... Sambutan ketiga adalah sambutan dari Deputi IV UKP4 yang menyampaikan beberapa pembelajaran dari Brazil yang bisa diikuti oleh Indonesia. Beberapa pembelajaran dari Brazil yang disampaikan adalah berhasilnya Brazil membuktikan bahwa penurunan laju deforestasi tidak linear dengan turunnya angka pertumbuhan ekonomi. Hal ini bisa mendorong Indonesia menargetkan pencapaian yang sama. Selain cerita sukses mengenai keberhasilan Brazil dalam mempertahankan pertumbuhan ekonominya dan dalam waktu bersamaan menurunkan laju deforestasi, Deputi IV UKP4 menyampaikan perkembangan teknologi monitoring deforestasi terbaru yang dimiliki oleh Brazil. Poin penting lain yang ditekankan oleh Deputi IV UKP4 adalah bagaimana mengelola dan mensinergiskan strategi REDD+ yang disampaikan oleh Bappenas dan strategi yang disampaikan oleh Dephut. Acara sambutan dilanjutkan dengan penyampaian strategi nasional versi terbaru yang telah diperbaiki berdasarkan masukan dari konsultasi regional, para
59
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
ahli ditingkat nasional dan konsultasi para ahli internasional, serta masukanmasukan yang diperoleh secara tertulis. Sesi terakhir adalah tanya jawab. 3.4.2. Analisis terhadap proses Salah satu isu krusial yang muncul dalam proses konsultasi adalah kritik dari peserta konsultasi mengenai tidak dibagikannya draf Stranas REDD+ sehingga peserta konsultasi tidak memiliki informasi yang memadai sebagai bahan untuk melakukan konsultasi. 4. Masukan Tertulis Para Pihak Selain tahapan proses yang berada dalam bagan tahapan proses penyusunan Stranas REDD+, terdapat masukan-masukan yang diberikan oleh para pihak secara tertulis. Berikut ini penjelasan ringkas masukan-masukan tersebut. 4.1. Masukan UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime) UNODC melihat bahwa penanganan Illegal logging merupakan kepentingan utama dalam upaya mitigasi perubahan iklim melalui REDD. Proses ini bisa dicapai apabila Stranas REDD+ mengadopsi pendekatan yang holistik untuk kejahatan hutan dengan berfokus pada lima solusi bervariasi yaitu (1) antikorupsi dan upaya anti pencucian uang, (2) penguatan lingkungan hukum melalui reformasi hokum, (3) pelatihan petugas kehutanan, polisi, jaksa dan petugas pengadilan, (4) inisiatif untuk mengamankan keterlibatan masyarakat, dan (5) pengembangan kerjasama internasional. 4.2. Masukan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) AMAN melihat bahwa pengembangan REDD+ sangat ditentukan oleh adanya proses reformasi hukum. Dalam konteks seperti ini AMAN mengusulkan agar Stranas REDD+ turut meng-agendakan dan mendorong PROLEGNAS (Program Legislasi Nasional)2010-2014 terkait dengan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat dan RUU tentang revisi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan untuk diprioritaskan pembahasannya di DPR RI untuk masa persidangan tahun 2011 yang akan datang. Dalam konteks REDD+, AMAN mengusulkan agar proses reformasi hukum diharapkan akan mengarah pada: • Pengembangan mekanisme nasional untuk mengidentifikasi dan melakukan pendataan terhadap keberadaan Masyarakat Adat. • Pembentukan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).
60
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
•
Stranas REDD+ dapat mendorong: (1) kerjasama dengan masyarakat adat untuk melaksanakan skema REDD secara mandiri, (2) penyediaan instrument perlindungan dan pemberdayaan bagi masyarakat adat, (3) penerapan prinsip FPIC pada semua tingkatan, dan (4) penyediaan sumberdaya bagi masyarakat adat untuk berpartisipasi.
4.3. Masukan CIFOR Secara umum dokumen Draf I Stranas REDD+ tidak mununjukkan posisi yang jelas dengan: Indonesia Responses to Climate Change, yang menyebutkan enam proyek prioritas dalam sektor kehutanan. Juga tidak menjelaskan sumbersumber dana pemerintah Indonesia dalam mendisain dan melaksanakan Rencana Aksi Nasional REDD+ bahkan tidak menunjukkan dengan jelas bagaimana dokumen ini bisa berperan sebagai pedoman bagi pemerintah propinsi dan kabupaten. Secara umum CIFOR memberikan kritik dan masukan secara konseptual, elementer dan komprehensif terhadap substansi dan struktur draf Stranas REDD+ (bisa dilihat lebih jelas dalam appendiks). 4.4. Masukan Burung Indonesia Burung Indonesia sepakat bahwa restorasi ekosistem perlu menjadi bagian strategi reformasi pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia dalam konteks REDD+. Restorasi ini dinilai penting mengingat hingga saat ini masih banyak ketimpangan dalam pengelolaan ekosistem, sebagaimana yang bisa dilihat di berbagai kawasan Sumatra. Restorasi Eksosistem adalah upaya penting untuk mencapai tiga hal sekaligus, yaitu: (1) membuktikan bahwa pengelolaan hutan alam produksi dapat membawa manfaat ekonomi yang berkelanjutan, (2) untuk penyelamatan keragaman hayati penting di Indonesia sebagaimana menjadi sorotan dunia saat ini dan juga berkontribusi untuk (3) adaptasi/mitigasi perubahan iklim. 4.5. Masukan Jaringan Masyarakat Sipil (Huma/Jakarta, Lembaga Bela Banua Talino/ Pontianak, Community Alliance for Pulp and Paper Advocacy/ Jambi, Down To Earth/ Bogor, Bank Information Center/Jakarta). Jaringan Masyarakat Sipil mengapresiasi pemetaan terhadap empat penyebab deforestasi, yakni: (1) perencanaan tata ruang yang lemah, (2) tenurial, (3) unit manajemen hutan tidak efektif, (4) dasar dan penegakan hukum lemah. Namun demikian keempat masalah ini belum menggambarkan relasi langsung antara
61
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
masalah tenure dengan deforestasi dan degradasi hutan. Dalam strategi reformasi pembangunan sektor penggunaan lahan dibeberkan mengenai langkah untuk reformasi di tingkat land use. Namun tidak ada strategi mengenai bagaimana memecahkan persoalan perbedaan klaim antara masyarakat dengan hukum lokalnya dan pemerintah/pengusaha dengan hukum negara. Dengan kondisi seperti itu, maka dinilai penting mencantumkan mekanisme komplain sebagai upaya kelembagaan untuk menjawab dan menyelesaikan komplain atau keberatan pihak lain atau pihak yang terkena dampak proyek atau kebijakan REDD+ 4.6. Masukan Kementerian Kehutanan Kementerian Kehutanan menempatkan strategi nasional REDD+ sebagai upaya mengelola paradoks antara pengurangan emisi melalui REDD+ dan pertumbuhan ekonomi dalam rangka menciptakan lapangan kerja dan mengentaskan kemiskinan (sebagai jabaran RPJM 2010-2014). Oleh karena itu Kemenhut mengusulkan agar strategi mengurangi emisi GRK dilakukan dengan pendekatan: • Strategi mengurangi laju deforestasi dari perubahan hutan ke non hutan secara permanen, yang dilakukan dalam bentuk penyediaan areal perkebunan kelapa sawit di areal penggunaan lain dan HPK (Hutan Produksi Konservasi) yang telah rusak dan tidak berada di lahan gambut. Dengan menyediakan areal kelapa sawit rata-rata 300-500 ribu ha pertahun misalnya, akan memberikan kontribusi penurunan emisi sebesar 28,8 juta Mt CO2e/tahun atau 288 juta Mt pada tahun 2020 dengan biaya rata-rata US $0,40/ton. • Strategi mengurangi degradasi hutan melalui penerapan prinsip sustainable forest management (SFM). Dengan memberlakukan pembalakan ramah lingkungan oleh pemegang IUPHHK-HA (HPH), IUPHHK-HTI, HTR, HR, akan mengurangi emisi CO2 sekitar 16,5 Mt CO2e pada 2020. • Strategi menjaga stok karbon melalui: (1) konservasi hutan, (2) penanaman dan reboisasi, dan (3) melalui relahibilitasi lahan gambut. • Strategi pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan memperhitungkan bahwa selama 10 tahun terakhir 30% pembiayaan pembangunan didominasi oleh sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan (dalam konteks ini pengurangan emisi dalam kerangka stranas REDD+ juga harus memperhatikan keseimbangan ekonomi)
62
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
5. Tahap Keputusan Tentang Hasil Perumusan Stranas REDD+ Melalui Kepres no 19 tahun 2010, Presiden Indonesia membentuk Satgas REDD+ Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+. Dibentuknya Satgas REDD+ yang diketuai oleh Kuntoro Mangkusubroto dari UKP4 ini bertujuan untuk mempercepat proses-proses penyiapan implementasi REDD+ di Indonesia. Untuk melaksanakan fungsi dan tugasnya, Satgas REDD+ membentuk 6 satuan kerja (task force) yang bersifat multipihak. Salah satu dari satuan kerja yang dibentuk adalah satuan kerja penyusunan Stranas REDD+. Dengan dibentuknya Satgas REDD+ mandat penyusunan Stranas REDD+ yang diberikan kepada Bappenas secara otomatis akan dilanjutkan oleh Satgas REDD+. Akan tetapi, mengingat bahwa proses penyusunan Stranas REDD+ yang dikoordinasi oleh Bappenas telah melewati tahapan proses yang panjang dan melibatkan berbagai pihak, oleh karena itu karena Bappenas masuk dalam keanggotaan Satgas REDD+ maka dengan dipimpin oleh Satgas REDD + Bappenas meneruskan proses yang telah dilalui hingga akhir hingga Satgas REDD+ menyerahkan kepada Presiden untuk diberi kepastian hukum. Pada tanggal 18 November, Bappenas akan menyerahkan dengan resmi draf Rancangan Stranas REDD+ yang telah melewati tahapan konsultasi ditingkat nasional (box 5).
63
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Box 5: Kerangka Rancangan Stranas REDD+ Yang Diserahkan Kepada Satgas REDD+ Bab I Pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan, ruang lingkup, dan posisi stranas REDD+ Bab II Kondisi Pengelolaan Hutan Nasional -
Kondisi hutan dan penggunaan lahan lainnya Kebijakan yang sudah dilakukan Peningkatan kebijakan pengelolaan hutan dalam rangka REDD+ Tantangan dan peluang
Bab III Strategi Nasional Pelaksanaan REDD+ -
Visi misi Strategi Nasional o Strategi 1: Penyempurnaan perencanaan dan pemanfaatan ruang yang terpadu dan seimbang o Strategi 2: Peningkatan pengawasan dan pemantauan REDD+ o Strategi 3: Peningkatan efektifitas manajemen hutan o Strategi 4: Pelibatan dan partisipasi para pihak dalam penurunan emisi GRK o Strategi 5: Peningkatan dan penguatan dasar hukum pengelolaan hutan
Bab IV Sistem pendukung pelaksanaan strategi nasional REDD+ -
Kelembagaan REDD+ Kelembagaan pendanaan pelaksanaan REDD+ Pembentukan/pengembangan instrument pengukuran, monitoring dan verifikasi REDD+ Penetapan provinsi, kabupaten/kota prioritas pelaksanaan REDD+ Pengembangan kapasitas (SDM) dan kapabilitas (institusi) pelaku REDD+ dan komunikasi stakeholder
Bab V Penutup Pengertian (Glosary)
64
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
BAB IV PEMBELAJARAN (LESSONS LEARNED) Proses penyusunan draf Stranas REDD+ merupakan proses yang cukup panjang dan intensif dengan jangka waktu pelaksanaan yang relatif singkat. Sebagai sebuah proses perumusan kebijakan, tentu terdapat hal-hal yang dapat kita jadikan pembelajaran bersama. Berikut ini beberapa pembelajaran yang dapat ditarik dari proses-proses yang telah terjadi: 1) Pentingnya Mekanisme Preparedness Mekanisme preparedness yang berisi peningkatan kapasitas dan pemahaman stakeholder mengenai REDD+ sangat penting untuk menjamin keinklusifan proses perumusan kebijakan. Mekanisme preparedness ini terutama dibutuhkan untuk membantu para pihak yang memiliki akses dan kontrol yang rendah terhadap informasi dan proses-proses pengambilan keputusan seperti masyarakat adat dan perempuan. Mekanisme preparedness juga mengantisipasi persoalan personal dan praktis yang menghalangi pihak tertentu untuk tidak terlibat dalam proses-proses pengambilan keputusan. Persoalan personal ini antara lain adalah rasa percaya diri yang kurang karena tidak terbiasa mengungkapkan pendapat dimuka umum. Persoalan praktis misalnya adalah ketiadaan sumber daya untuk datang dan mengikuti proses-proses pengambilan keputusan. 2) Proses yang inklusif membutuhkan waktu Proses yang inklusif mensyaratkan partisipasi para pihak, dimana para pihak ini memiliki kedudukan yang setara. Kedudukan yang setara menghindari dominasi salah satu pihak dalam proses pengambilan keputusan. Akses terhadap informasi merupakan salah satu hal yang menentukan kesetaraan kedudukan para pihak dalam proses perumusan kebijakan. Penyediaan informasi terhadap para pihak membutuhkan waktu yang cukup lama. Dilain pihak, pemerintah seringkali menghadapi situasi dimana keputusan-keputusan penting harus dibuat dalam waktu yang relative singkat untuk menunjukkan progress dari sebuah proses politik. Keterbatasan waktu ini menciptakan situasi ketidakadilan bagi pihakpihak yang relative memiliki akses rendah terhadap informasi seperti masyarakat adat dan perempuan.
65
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
3) Mekanisme pelibatan yang ramah terhadap pihak yang rentan REDD+ adalah sebuah mekanisme yang cukup rumit, gabungan dari proses politik dan ilmu pengetahuan sains yang kompleks. Hal ini menyebabkan perumusan strategi nasional mengenai REDD+ juga mau tidak mau harus berdasarkan istilah-istilah dan definisi yang cukup sulit dimengerti. Hal ini jika tidak diantisipasi dengan bantuan penjelasan dan tambahan informasi yang mudah dimengerti oleh orang awam akan menimbulkan “intimidasi”. “Intimidasi” semacam ini secara tidak langsung akan mengeluarkan pihak-pihak yang tidak memiliki pemahaman terhadap sains dibalik REDD+ dari proses konsultasi yang terjadi. 4) Partisipasi yang hakiki Agar para pihak mau berpartisipasi secara berkelanjutan dalam proses-proses perumusan kebijakan selanjutnya, maka para pihak yang telah mengikuti proses harus percaya bahwa kepesertaan mereka membawa dampak dan perubahan dalam proses perumusan kebijakan. Oleh karena itu mekanisme feedback dan tindak lanjut menjadi sangat penting . Mekanisme feedback mencakup penjelasan bagaimana pengambilan keputusan diambil dan peran masukan serta tanggapan mereka didalamnya. Ketiadaan mekanisme feedback dapat menyebabkan peserta konsultasi merasa bahwa mereka dan pandangan-pandangan mereka tidak dipertimbangkan. Sebuah studi menunjukkan bahwa salah satu hal yang menyebabkan para pihak enggan untuk mengikuti kembali proses konsultasi atau pengambilan keputusan adalah karena pengalaman-pengalaman mereka dengan proses konsultasi terdahulu dimana pandangan mereka tidak diperhitungkan. Agar orang mau berpartisipasi, mereka harus percaya bahwa masukan dan pandangan mereka akan didengarkan, atau setidaknya diyakinkan bahwa masukan dan pandangan tersebut telah diperhitungkan. Mekanisme feedback dapat meyakinkan para peserta bahwa proses pengambilan keputusan telah menerapkan prinsip inklusifitas dan transparansi dan bahwa suara mereka telah didengar. 5) Proses perumusan kebijakan yang berpijak pada data dan pengalaman REDD+ merupakan mekanisme mitigasi perubahan iklim yang mensyaratkan ketersediaan data yang akurat, lengkap dan dapat diverivikasi. Terkait dengan hal ini, proses penyusunan kebijakan mengenai REDD+ harus ditopang dengan
66
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
ketersediaan data yang akurat dan relevan baik ditingkat nasional maupun lokal. Penggunaan data yang relevan dan akurat dapat meningkatkan kredibilitas proses penyusunan Stranas REDD+. Selain berpijak pada data, agar relevan sebuah kebijakan pembangunan harus mempertimbangkan pengalaman pengalaman para pihak, terutama para pihak yang diperkirakan akan terkena dampak dari implementasi kebijakan ini. Dalam konteks Stranas REDD+ para pihak tersebut bisa berupa masyarakat adat dan masyarakat lokal yang tinggal di dan sekitar hutan. 6) Proses perumusan kebijakan REDD+ yang komprehensif Sebuah kebijakan REDD+ yang efektif harus mengandung muatan substansi strategi maupun kelembagaan yang komplit dalam artian mengetengahkan gambaran tentang kondisi hutan dan lahan, faktor-faktor yang mempengaruhi deforestasi dan degradasi, baik itu menyangkut ketidakseimbangan penggunaan ruang, problem kelembagaan, governance, dan ekonomi. Selain itu, kebijakan tersebut menggambarkan apa dan bagaimana strategi yang harus dikembangkan untuk menjawab masalah yang ada serta bagaimana keterkaitan antar keduanya 7) Proses komunikasi yang efektif membutuhkan proses yang bersifat resiprokal Yang diwujudkan dalam bentuk ketersediaan informasi dini, kebersediaan pemerintah dan para pihak lain untuk berdialog, adanya mekanisme feedback yang efektif dan dilakukan dengan saluran media yang mudah diakses terutama oleh pihak pihak yang memiliki posisi yang rentan. 8) Pentingnya sistem pendukung (support system) dalam proses perumusan kebijakan Hadirnya UN-REDD sebagai lembaga yang bertugas memfasilitasi proses perumusan Stranas REDD+, dan Kemitraan yang membantu proses konsultasi regional merupakan salah satu kunci suksesnya perumusan draf Stranas REDD+. Lembaga seperti UN-REDD dipersepsikan sebagai lembaga yang netral, dan seringkali berhasil membuka sumbat-sumbat koordinasi dan komunikasi antar sektor ditubuh pemerintah. Dalam proses perumusan Stranas REDD+, UNREDD sebagai fasilitator berhasil membantu Pemerintah Indonesia dalam hal ini Bappenas untuk berlaku sebagai koordinator Tim Penyusun yang efektif dan memiliki kepemimpinan yang kuat. Selain itu, dengan dibantu oleh susunan
67
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
Tim Penulis dan Tim Sekretariat yang baik, proses-proses konsultasi dapat dilakukan dengan baik walaupun dengan beberapa catatan. Secara keseluruhan, UN REDD dapat memainkan peran sebagai sistem pendukung yang baik dalam memfasilitasi proses-proses penyusunan Stranas REDD+.
68
Catatan Proses Penyusunan Rancangan Stranas REDD+ Indonesia
BAB V PENUTUP Proses penyusunan Stranas REDD+ di Indonesia yang dikoordinasi oleh Bappenas dan bekerjasama dengan Kementrian Kehutanan, Kementrian Pertanian, UNREDD, dan Kemitraan adalah proses yang bersifat multipihak, berjenjang dari tingkat lokal hingga internasional, dan melibatkan data serta pelaku yang bisa dipercaya. Walaupun dalam dinamika proses penyusunan Stranas REDD+ banyak ditemui catatan kritis terhadap implementasi ke empat prinsip-prinsip penyusunan Stranas, secara institusi proses pengarusutamaan prinsip-prinsip ini telah dilakukan. Dari hasil analisis, hal utama yang menghalangi implementasi empat prinsip ini adalah keterbatasan waktu yang dimiliki oleh tim penyusun Stranas untuk menyelesaikan draft Stranas REDD+. Sebuah proses yang inklusif, transparan, kredibel dan terinstitusionalisasi membutuhkan waktu yang tidak singkat. Sedangkan dilain pihak pemerintah menginginkan proses-proses percepatan penyiapan kelembagaan REDD+ sebagai implementasi komitmen politik mereka untuk mengurangi emisi GRK. Buku catatan proses ini mencoba mendokumentasikan dinamika proses yang terjadi serta perubahan-perubahan consensus yang dihasilkan dalam mengisi substansi isi draft Stranas REDD+. Seluruh temuan yang dihasilkan merupakan penilaian yang bersifat independen dan diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran untuk proses-proses perumusan kebijakan lain yang ingin mengarusutamakan prinsip inklusif, transparan, handal dan terinstitusionalisasi.
69