3 Jakarta, 11 Juni 2012
A
cara ulang tahun akan segera dimulai satu jam lagi. Para undangan sudah mulai mengerumuni rumah Renata yang megah bak istana raja di negeri dongeng. Sebagian undangan berkumpul di area kolam renang di rumah Renata. Musik yang mengalun lembut menemani para tamu undangan yang sedang mengobrol di area tersebut. Penata rias masih sibuk merias Renata di kamarnya. Lidya yang sudah selesai dirias terlebih dahulu sedang memilih gaun yang pas untuk Renata. Lidya memperhatikan isi lemari Renata yang berisikan koleksi gaun Renata. “Ren, yang warna kuning lucu nih.” Lidya mengambil satu gaun dari lemari Renata. “Nggak ah, itu kan udah gue pake pas ke ulang tahun lo.” Komentar Renata sambil melihat gaun yang ditunjukkan Lidya melalui refleksi cermin. Lidya mengembalikan gaun tersebut. Memilih gaun 24
L y k
yang lain. Ia menemukan gaun berwarna ungu. “Kalo ungu, Ren?” “Hmmm,” Renata berpikir setelah melihat gaun yang ditunjukkan oleh Lidya melalui refleksi cermin. Beberapa detik kemudian, penata rias telah selesai melakukan tugasnya, Renata langsung beranjak menuju lemarinya. “Bagus, sih. Tapi warnanya terlalu gelap. Gue lagi pengen yang cerah.” Lidya mengembalikan kembali gaun tersebut. Kemudian ia menarik sebuah gaun berwarna merah muda. “Kalo ini?” “Keren, nih!” seru Renata. Ia menggunakan gaun tersebut dibantu oleh Lidya. “Eh, direkam dulu, ntar masukin youtube.” Kata Lidya sambil mengambil handycam miliknya yang ia taruh dalam tas ransel yang dibawanya. “Haloooo…” Renata bergaya di depan kamera yang dibawa oleh Lidya. Lidya merekamnya. “Eh, ntar dulu,” Lidya bergegas menuju meja rias Renata. Ia mengambil sebuah mahkota yang akan menjadi aksesoris Renata di acara nanti. “Pake ini dulu.” Lidya memasang mahkota itu di kepala Renata. Namun Renata mengubah posisi mahkota di kepalanya tersebut menjadi sedikit miring. Lidya langsung berdiri di belakang Renata. Handycam di tangannya di bawa agak ke atas, sehingga Lidya dan Renata menatap agak ke atas. “Halo, gue Princess Renata!” kata Renata sambil melambaikan tangannya dan bergaya imut. “Kalo gue Lidya…” “Hari ini ulang tahun gue, sang Princess cantik.” “Gue Lidya.” “Malem ini pasti gue yang paling cantik.” 25
DANEN ARJANA
“Hmmm, gue Lidya.” Renata langsung terdiam sambil menatap Lidya. Lidya juga menatap Renata dengan tatapan polos. “Ah, lo ngomong gitu melulu,” Renata langsung menjauhkan kamera tersebut dari hadapannya. “Ren, udah siap?” Mama Renata langsung datang secara tiba-tiba ke kamar Renata. “Udah nih, Ma.” Jawab Renata berputar-putar memamerkan gaun yang dikenakannya. Mamanya tersenyum. “Nanti inget, Mama nggak mau ada acara mabukmabukan.” “Iya, Ma.” “Jangan sampe malem juga.” “Yaaaahh, kok gitu?” Renata tampak kecewa sampai tak kuat berdiri. Ia langsung merebahkan diri di kasur. “Kamu besok ada latihan dance buat manggung sebulan lagi, terus shooting iklan, terus ke acara talk show. Kamu itu harus fit biar besok nggak kecapean.” “Tapi kan udah jelas banget di undangan, selesai sampe jam duabelas malem. Gimana, dong? Masa iya ntar undangan langsung diusir gitu aja.” “Semua udah diurus sama EO. Mama udah konfirmasi tadi.” Tiba-tiba seorang tim dari EO mendatangi kamar Renata. Ia bertemu dengan Mamanya Renata “Permisi Bu, Renatanya ada?” “Itu dia di dalem.” Tim EO tersebut langsung masuk ke kamar Renata. “Renata, udah siap?” “Bang Andhika, masa kata Mama tadi, waktunya mau 26
L y k
dikurangi sih?” Cerocos Renata ketika tim EO yang ternyata bernama Andhika tersebut memasuki kamarnya. “Ya mau gimana lagi, coba? Dimintanya kayak gitu.” “Usahain, dong! Ini kan sweet seventeen, gitu.” “Maaf banget nih, Ren.” Renata menghela napas. Mahkota yang menghiasi kepalanya dilempar ke kasur. Ia duduk di tepi kasur, menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Ren, maaf ya.” Kata Andhika sambil berlutut di hadapan Renata. Ia memegang kedua pundak Renata untuk menenangkan Renata. “Iya, Ren. Jangan sedih…” kata Lidya menimpali. “Udah siap turun ke bawah? Tamu udah rame di bawah.” Andhika bangkit dari tempatnya berlutut. Ia membantu Renata untuk bangkit dari kasur. Lidya mengambil mahkota yang dilempar oleh Renata di kasur. Kemudian memakaikan mahkota tersebut pada Renata. “Lo udah cantik kayak princess.” Renata hanya menatap Lidya dengan mata berkaca-kaca. “Eh, jangan nangis. Ntar make-up lo luntur. Jadi nggak cantik kayak princess, malah kayak Mak Lampir.” “Iiiiih, apaan sih lo? Bercanda aja.” Renata hampir tertawa, bahkan tidak jadi menangis. Lidya hanya tertawa melihat reaksi Renata. “Oke, Renata. Inget kan briefing kita tadi?” Sela Andhika yang sudah menyadari Renata sudah pulih kembali perasaannya. Renata mengangguk. Andhika melanjutkan pengarahannya, “sekarang stand by di bawah, langsung cari si Susi.” Andhika keluar dari kamar terlebih dahulu setelah tahu 27
DANEN ARJANA
Renata sudah paham betul dengan konsep acaranya. Disusul oleh Lidya dan Renata. Renata turun dari lantai dua rumahnya, menyusuri anak tangga hingga ke lantai satu. Para tamu yang tadinya mengobrol dengan sesama tamu langsung menghentikan aktivitasnya dan terkesima melihat kecantikan Renata. Tepat di akhir anak tangga, Angga dan Marcus berdiri dengan kemeja yang sangat rapi dan sopan. Lidya terlihat sangat gugup. Ia hanya bisa menunduk saat berjalan menuju akhir anak tangga. Angga dan Marcus menatap Renata dengan perasaan kagum. Malam itu Renata memang lebih cantik dari biasanya. “Malem ini lo cantik banget…” puji Angga sambil menatap Renata. “Makasih, Angga!” seru Lidya. Ia mengira pujian Angga ditujukan padanya. “Tadi pas make-up dibantu Renata, kok.” “Hmmmm.” Marcus dan Angga hampir tidak bisa menahan tawa. “Ren, gue dipuji sama Angga. Katanya gue cantik.” Bisik Lidya pada Renata. “Ya udah, lo temenin dia gih. Gue mau stand by.” Balas Renata. “Oke, Princess.” “Angga, Marcus, gue kesana dulu ya. Oya, lo berdua langsung aja ke area kolam renang. Ambil minuman sama makanan.” Renata meminta izin untuk meninggalkan mereka. “Ooooh, iya deh.” Jawab Angga dengan mata yang masih terpaku pada kecantikan Renata. Renata langsung bergegas mencari tim EO yang bernama 28
L y k
Susi. Di antara kerumunan orang, ia tersenyum pada setiap orang yang menatapnya. Di tengah aktivitasnya mencari Susi, Cindy bersama seorang pria datang menghampiri Renata. “Heiiii, thanks ya udah dateng!” seru Renata sambil memeluk Cindy. “Iyaaaa. Happy Birthday, ya.” Cindy menyalami Renata. “Makasih, Cindy.” “Oya, kenalin. Ini temen gue. Namanya Bayu.” Cindy memperkenalkan temannya itu. “Hai, gue Renata.” Renata menjabat tangan Bayu. Tangannya hangat dan cengkramannya sepertinya kuat. Renata menatap Bayu sebagai sosok yang cukup menarik. “Bayu.” Jawab Bayu singkat, jelas, dan dingin dengan suara seraknya yang dalam. Bayu memiliki postur tubuh yang tinggi. Walaupun memakai kemeja, terlihat sedikit lekukan tubuhnya, menunjukkan tubuhnya atletis. Kulitnya kecoklatan, berhidung mancung, memiliki alis yang tebal, dan rambutnya bergaya faux hawk. “Oh, jadi ini gebetan lo, Cin?” Goda Renata sambil tertawa nakal. Cindy terlihat malu. Ia menatap Bayu, kemudian menatap Renata. “Nggak kok, Ren. Apaan sih lo.” “Renata,” Panggil seseorang dari tim EO, sepertinya dia adalah Susi. Ia menghampiri Renata. “Langsung stand by di sana, ya. Kita udah hampir mulai, nih.” Renata mengangguk. Kemudian meminta izin pada Cindy dan Bayu. “Gue ke sana dulu, ya. Lo berdua langsung aja ke area kolam renang. Ambil minuman sama makanan.” “Oke, Ren.” Jawab Cindy sambil tersenyum manis. Setelah Renata sudah tidak terlihat, Cindy langsung 29
DANEN ARJANA
berbalik menghadap Bayu. “Bayu, arah jam tiga. Kolam renang.” “Dinding tepi kolam renang.” Bayu menambahkan apa yang diucapkan Cindy. Mereka menatap Papanya Renata dengan tajam. Pria paruh baya itu sedang berdiri di dekat dinding tepi kolam renang, sedang berbincang dengan teman bisnisnya yang turut diundang dalam acara ulang tahun anaknya. “Dua menit lagi…” Bayu bergumam. Cindy langsung meninggalkan Bayu. Ia sengaja memisahkan diri dari Bayu untuk melakukan sesuatu yang lain. “Cindy,” Panggil Bayu. Cindy langsung menoleh. “Sejak kapan gue jadi gebetan lo?” “Sejak malem ini.” Jawab Cindy dengan tegas sambil tersenyum nakal. Cindy melanjutkan langkahnya menuju seseorang. Sepertinya ia hendak menemui Lidya. Lidya yang masih asyik mengobrol dengan Angga tanpa menghiraukan Marcus, langsung didatangi oleh Cindy. Angga dan Marcus yang belum mengenal Cindy, langsung tidak berkedip ketika pertama kali melihat Cindy. Cindy tidak kalah cantik dengan Renata. “Lidya…” panggil Cindy. “Eh, Cindy.” Lidya seperti setengah terkejut melihat Cindy di depan matanya. “Udah lama?” “Lumayan. Tadi bantuin Renata milih gaun juga.” “Wah, asyik dong.” “Oya, kenalin. Ini Angga. Ini Marcus.” “Hai, gue Cindy.” Cindy menjabat tangan Angga dan 30
L y k
Marcus. Cindy pun mengobrol dengan Angga dan Marcus. Sekarang giliran Lidya yang tidak dihiraukan. Beberapa menit kemudian, sang pembawa acara berseru dengan microphone yang dibawanya. Semua tamu undangan mendekat menuju panggung kecil yang akan menyambut Renata. Kegiatan mereka terhenti sejenak untuk mencari keberadaan Renata. “Selamat malam semuanyaaaaa!!!” seru pembawa acara pria dengan suaranya yang agak cempreng. “Kok pada diem? Selamat malam semuanyaaaaa!!!” tambah pembawa acara wanita karena tidak ada tanggapan dari para tamu undangan. “Malaaaamm…” jawab para tamu undangan. “Jadi malam ini kita bakal seneng-seneng. Karena malam ini tuh malam istimewanya Renata.” Kata pembawa acara pria dengan gayanya yang sedikit berlebihan. Tepuk tangan para tamu undangan terdengar sangat ramai. “Eiitsss,” pembawa acara wanita memperingatkan. “Princess Renata! Jangan lupa, dong. Ntar lo diprotes sama princess.” “Eh, iya. Princess Renata…” “Oke, selanjutnya, ini dia,” kata kedua pembawa acara itu bersamaan. “PRINCESS RENATA!!!” Seekor kuda putih datang dari garasi belakang yang langsung tembus menuju area kolam renang hingga sampai ke panggung. Kuda putih tersebut ditunggangi oleh dua orang. Di belakangnya terdapat seorang pria tampan dengan memamerkan tubuhnya yang atletis, ia tidak menggunakan baju, hanya celana panjang dan sepatu boots. Di depannya adalah Renata dengan mahkota dan gaun merah mudanya. 31
DANEN ARJANA
Renata melambai-lambaikan tangan pada para tamu undangan. Para tamu undangan terkesima dan bertepuk tangan melihat pertunjukan tersebut. Para wartawan yang ingin meliput acara ulang tahun Renata langsung membidik gambar tersebut tanpa ragu. Renata dan pria itu dibanjiri oleh cahaya kamera. Hingga dekat dengan panggung, pria itu turun terlebih dahulu kemudian menggendong Renata menuju panggung. Hal itu membuat mata para undangan tidak berkedip. Sebuah kue ulang tahun bertingkat dua disajikan di panggung tersebut. “Oooooh, so sweet banget, sih. Gue mau dong digendong sama cowok ganteng.” Kata pembawa acara wanita tersebut. “Yeeee, genit amat. Mending tuh cowok gendong gue. Mau, dong.” Kata pembawa acara pria. Dibalas oleh gelak tawa dan sorakan para tamu. “Apa kabar Renata?” Pembawa acara pria memulai interaksinya pada Renata ketika Renata sudah berdiri di panggung dan pria tampan tanpa baju itu turun dari panggung dan membawa kuda putih itu pergi. “Baik.” Jawab Renata dengan senyuman manisnya. “Ngomong-ngomong, cowok tadi itu siapa, sih? Cowok kamu, ya?” Tanya pembawa acara pria dengan gaya khasnya. Semua tamu kembali bersorak. “Bukan,” Renata tetap dengan senyumannya yang manis. “Jadi konsep kita malem ini Snow White gitu. Nah, cowok tadi itu jadi pangeran berkuda putihnya.” “Ooooh, ternyata pangeran berkuda putih. Ntar pulang ke rumah dia nganterin gue pulang bisa kan?” Canda pembawa acara wanita. Para undangan bersorak. “Jangan, lo naik bajaj aja udah bagus.” Jawab pembawa 32
L y k
acara pria. Para undangan kembali tertawa. Tiba-tiba seseorang dengan jubah serba hitam datang dari belakang panggung. Ia memakai kerudung hingga menutupi wajah, sehingga tidak ada yang tahu siapa dia sebenarnya. Orang itu mendekati Renata di atas panggung, kemudian memberikan sebuah kue yang berbentuk apel. Sangat mirip dengan cerita Snow White. “Waduuuuh, serem amat!” seru pembawa acara wanita. “Sekarang nenek jahatnya dateng ngasih apel. Jangan dimakan Ren, beracun.” Renata hanya tersenyum. Kemudian menggigit kue berbentuk apel tersebut. Beberapa detik kemudian, Renata merasakan sesuatu yang aneh. Renata merasa pusing. Lima detik kemudian, Renata tidak sadarkan diri. Sebelum tubuhnya runtuh ke lantai panggung, seseorang dengan jubah hitam tersebut langsung menggendong Renata di pundaknya seperti membawa karung beras. Orang itu membawa Renata turun dari panggung. Semua tamu undangan panik. Kedua pembawa acara turut panik dengan melihat Renata yang jatuh pingsan. Namun orang tua Renata justru tersenyum. Andhika di antara kerumunan tamu undangan mengisyaratkan pembawa acara kalau Renata hanya berakting. “Dan ternyata, tadi itu Renata cuma akting!” seru pembawa acara pria. Semua undangan langsung berseru dan tepuk tangan. “Aktingnya keren banget, ya. Wajarlah bintang film remaja masa kini.” Puji pembawa acara wanita. Susi yang datang dari arah yang berlawanan dari Andhika, langsung menghampiri Andhika. Wajah Susi terlihat panik. “Andhika, itu yang pake jubah hitam kok tiba-tiba 33
DANEN ARJANA
keluar? Siapa itu?” Tanya Susi sambil terengah-engah. “Emang iya, kan. Lo liat aja rundown,” jawab Andhika tanpa ada beban dengan pandangan masih menatap panggung. “Gila ya si Renata. Akting pingsannya keren banget.” “Dengerin gue dulu!” “Apaan, sih?” “Abis ini mestinya games dulu. Yang jubah hitam aja masih sama gue.” “Maksud lo?” “Itu yang kita tunjuk pake jubah hitam masih sama gue. Belum keluar, kok.” “Terus, yang di panggung tadi siapa?” “Nah itu dia, gue mau nanya lo.” Andhika dan Susi saling menatap selama beberapa detik. Mereka mulai berkeringat dan wajah mereka terlihat tegang. Sesuatu yang mengerikan sepertinya terjadi di ulang tahun ketujuhbelas Renata malam itu.
9 Renata masih tidak sadarkan diri di sebuah ruangan yang remang-remang dan penuh asap rokok. Ia terduduk di lantai dengan tangan terikat di belakang dan mulut ditutup kain yang diikat di belakang kepalanya. Di sekelilingnya ada beberapa orang yang berdiri membawa senjata, termasuk Bayu dan Cindy. Tepat di depan Renata ada sebuah meja besar. Di belakang meja itu terdapat seorang pria paruh baya. Pria itu terlihat duduk santai sambil merokok dengan cerutu Kuba yang dijepit oleh jari telunjuk dan tengahnya. Kedua lengan kursi pria tersebut menjadi singgasana dua wanita cantik dan 34
L y k
seksi yang menemani pria itu. Beberapa menit kemudian, Renata sadarkan diri dengan kepala yang masih sangat pusing. Entah kue apa yang dimakannya, atau skenario apa yang sudah menjadi perjanjian di acara ulang tahunnya yang ketujuhbelas, yang jelas kepala pusing hingga pingsan tidak ada dalam skenario. Terlebih lagi dengan tangan terikat dan mulut ditutup. “Kamu yakin ini anaknya?” Tanya pria paruh baya itu, ia beranjak dari kursi untuk melihat Renata di bawah lantai. “Hubungi Surya, bilang kalau anaknya sudah di tangan kita.” Surya adalah nama Papa Renata. Renata mendengar dengan samar-samar sebuah pembicaraan yang melibatkan nama Papanya. Namun kepalanya masih sakit. Masih susah untuk fokus mendengar sekelilingnya. “Nggak diangkat.” Jawab sebuah suara bariton di sebelah pria paruh baya itu. “Hubungi sekali lagi!” perintah pria paruh baya itu lagi. Beberapa menit kemudian, pria pemilik suara bariton tadi memberikan sebuah ponsel kepada pria paruh baya itu karena sudah ada sambungan pada Papa Renata. “Halo Surya, apa kabar? Ini aku Baron!” seru pria paruh baya itu yang ternyata bernama Baron. “Nggak usah terlalu panik begitu. Santai, aja. Anakmu baik-baik aja, ada di sini sama aku. Aku cuma minta utangmu sepuluh miliar.” Pendengaran Renata mulai membaik. Ia mendengar Baron menyebut nama Papanya dan meminta utang yang jumlahnya tidak sedikit. “Uangnya mana? Ada uang dulu, baru anakmu pulang,” lanjut Baron sambil mengelu-elus tangan wanita seksi di sebelah kirinya. “Batasnya besok, kalo besok nggak ada uang. 35
DANEN ARJANA
Jangan harap anakmu bisa balik lagi. Mungkin umurnya cuma sampe besok.” Renata terkejut mendengar apa yang dikatakan Baron. Renata langsung meronta-ronta dan berusaha berteriak. Orang-orang di sekelilingnya langsung mengacungkan sejata ke hadapan Renata. Renata semakin terkejut ketika menyadari semua orang di sekelilingnya menodongkan senjata ke hadapannya. Ia semakin terkejut ketika melihat Bayu dan Cindy juga berdiri di antara orang-orang bersenjata itu, walaupun mereka berdua tidak ikut menodongkan senjata. Renata semakin meronta-ronta. Tangisannya semakin keras, ia meraung-raung. “Tarik anak itu ke mejaku!” perintah Baron pada pria bersuara bariton tadi ketika selesai berbicara panjang lebar pada Papanya Renata lewat telepon. Pria bersuara bariton itu langsung bergegas menuju arah Renata yang sedang meronta-ronta dan menangis. Ia menarik tali pengikat tangan Renata yang ada di belakang. Renata diseret menuju meja Baron, kemudian diangkat dan disandarkan pada meja baron dengan kasar. Sisi kiri wajahnya merasakan sakit ketika mendarat di meja Baron. Kepala Baron melongok ke telinga kanan Renata. Ia membisikkan sesuatu, “Papa kamu nggak memperjuangkan kamu. Dia lebih milih harta daripada kamu. Terpaksa aku bunuh kamu malam ini. Maaf ya.” Renata hanya bisa menangis. Ia sudah kehabisan tenaga untuk meronta-ronta. Ia bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kehidupannya yang mewah, sejahtera, tenang dan baik-baik saja tiba-tiba harus berurusan dengan hal seperti ini. 36
L y k
“Bayu, bunuh dia sekarang!” perintah Baron. Matanya tertuju pada Bayu. Bayu langsung memisahkan diri dari kerumunan dan mendekati Renata. Renata terlihat sangat lemah, membuatnya ia berpikir sejenak. Pistolnya masih berada di tangan kirinya. Kemudian Bayu menatap Baron. “Ngapain kamu liatin aku?!” bentak Baron sambil mendobrak meja. Renata yang kepalanya masih mendarat di meja besar tersebut langsung terkejut. “Bunuh dia sekarang!” “Kenapa aku harus bunuh dia? Salah dia apa?” Bayu mencoba untuk memperlama keadaan. “Salah dia, dia jadi anaknya si Surya. Surya itu sudah bawa lari uang kita sepuluh miliar!” “Kenapa nggak kita bunuh aja Surya? Kenapa harus anaknya?” “Kamu kebanyakan protes, ya. Mau uang, nggak?” “Maaf, aku memang dibayar untuk membunuh. Tapi aku cuma bunuh orang-orang jahat. Renata nggak salah apaapa.” “Tembak kepalanya, atau kepalamu yang ditembak.” Kata Baron lirih memberikan pilihan, atau lebih tepatnya ancaman. Orang-orang sekitarnya yang bersenjata menodongkan senjata ke arah kepala Bayu. Cindy langsung datang di antara orang-orang bersenjata itu. Ia mencoba memberikan usul ketika Bayu terdesak. “Dia cantik. Sayang kalo dibunuh gitu aja. Gimana kalo kita jual aja ke pengusaha sebelah. Hitung-hitung buat ngambil utangnya Surya.” Baron langsung melotot matanya ketika mendengar usul Cindy. Mulutnya langsung melebar, tersenyum lima jari. 37
DANEN ARJANA
Ia mendekati Cindy. “Gimana, Bos?” Tanya Cindy meyakinkan idenya. “Ide bagus, Cindy! Kamu memang cerdas!” seru Baron. Ia mencubit nakal pipi Cindy yang mulus. “Hmmm, makasih.” “Sudah, semuanya!” Baron berseru memerintahkan semua anak buahnya. Kemudian matanya tertuju pada dua wanita seksi yang menemaninya. “Bawa anak ini ke bilik.” Renata langsung dituntun dengan lembut oleh kedua wanita itu. Orang-orang bersenjata tersebut langsung bubar. Bayu dan Cindy mengikuti Renata dan dua wanita itu. Baron kembali duduk di tempat duduknya. Selama menyusuri koridor, Bayu telah merencanakan sesuatu dengan Cindy. Bayu membawa dua pistol handgun HS2000. Ia memberikan satu pistolnya pada Cindy. Cindy membawanya sambil perlahan mempersiapkan pelatuknya. Mereka berdua mulai saling menatap. Sambil berjalan menyusuri koridor, beberapa detik kemudian Bayu mengangguk. Cindy melakukan aksinya. Cindy menembak kepala dua wanita yang membawa Renata. Renata yang terkejut dengan suara tembakan langsung berteriak dan berjongkok. Tangannya masih diikat, sehingga sulit untuk menutup telinganya. Suara tembakan Cindy terdengar oleh Baron dan para anak buahnya. Mereka langsung mencari sumber suara tembakan itu. Para anak buah Baron terlihat berkumpul dengan membawa pistol di masing-masing tangan. Mereka melihat Bayu menodongkan pistol ke kepala Cindy. Cindy yang pura-pura lugu menatap para anak buah itu, meminta pertolongan. 38
L y k
“Lo semua bunuh gue, cewek ini bakal mati.” Ancam Bayu. Para anak buah itu langsung kebingungan, namun tetap bersiaga dengan senjata mereka. Mereka lengah sedikit, kesempatan untuk Bayu menembaki mereka semua. Cindy yang tadi menyembunyikan pistolnya langsung memperlihatkan senjata itu dan ikut menembak para anak buah itu. Setelah semua dihabisi, Bayu langsung membawa Renata keluar dari tempat itu. Masih ada anak buah yang tersisa, namun Bayu dapat mengatasi mereka semua. Bayu memisahkan diri dari Cindy. Cindy langsung mencari Baron untuk menghalanginya. “Bos, Bayu bunuh mereka semua. Terus dia bawa kabur Renata.” Kata Cindy dengan terengah-engah di ruangan Baron yang remang-remang itu. “Ada apa ini sebenarnya?” Tanya Baron dengan wajah kesal. “Kenapa itu si Bayu?” “Nggak tau, Bayu tiba-tiba jadi berubah.” “Cindy, tutup semua pintu keluar! Aku bakal cari si Bayu.” Kata Baron. Ia langsung mengambil senapan di lemarinya. Kemudian keluar dari ruangan itu. Cindy dapat mengontrol semua pintu keluar di gedung itu. Dengan komputer yang ada di meja tersebut dan monitor CCTV. Ia melihat Bayu membawa Renata sambil menembak semua penghalang itu. Cindy sengaja menutup semua pintu secara lambat, agar Bayu memiliki kesempatan untuk keluar. Cindy juga sempat melihat rekaman CCTV tadi di koridor. Terlihat jelas ia ikut menembaki para anak buah itu. Ia langsung menghapus rekaman tersebut. Selesai sudah 39
DANEN ARJANA
dan kebohongan dapat dilanjutkan. Cindy kembali melihat Bayu yang membawa Renata. Kemudian matanya tertuju pada Baron dengan senapannya mengejar Bayu. Bayu sedang berada di lantai satu, sedangkan Baron sudah di lantai dua. Baron sudah di ambang lantai satu. Beberapa detik lagi Baron akan menemukan Bayu. Sementara itu, Bayu yang sudah melihat jalan keluar, masih berusaha untuk membawa Renata keluar. Renata masih menangis sepanjang perjalanan menuju pintu keluar. “BAYUUUUUU!!! MAU LARI KE MANA KAMU?” Suara Baron yang menggelegar langsung mengejutkan Bayu dan juga Renata. Bayu tidak lagi menggunakan pistolnya karena kehabisan peluru. Baron menembaki Bayu maupun Renata dengan senapannya. Namun Bayu terlalu gesit, sehingga tembakannya meleset. Cindy melihat pengejaran tersebut. Dengan cekatan Cindy langsung menekan tombol pintu keluar utama. Lagi sepuluh meter, Bayu dan Renata sudah sampai di pintu keluar. Mereka berlari sekuat tenaga. Pintu sudah setengah tertutup. Baron masih saja menembaki mereka, namun selalu meleset. Sudah seperempat pintu utama tertutup, Bayu dan Renata langsung menjatuhkan diri dan memanfaatkan licinnya lantai untuk melaju melewati pintu itu. Tepat sekali, mereka berdua dapat keluar. Justru Baron yang terhalang oleh pintu keluar tesebut. Baron terlihat kesal sehingga menggedor-gedor pintu keluar tersebut dengan gagang senapannya.
9
Bayu mengantarkan Renata dengan motornya. Ia hendak mengembalikan Renata pada keluarganya. Namun sepertinya 40
L y k
percuma, Renata juga dalam bahaya. Pikirannya melayang selama perjalanan menyusuri Kota Jakarta di malam yang dingin itu. Tebersit pikiran untuk membawa Renata ke tempat tinggalnya. Renata tidur nyenyak, bersandar pada punggung Bayu dan melingkarkan tangannya pada pinggang Bayu. Sepertinya ia kelelahan dengan malam yang panjang itu. Bayu pun masih bingung. Entah kenapa ia merasa harus melindunginya.
41