JABATAN GEREJAWI DALAM PERSPEKTIF
HERMENEUTIK ALKITAB' RoBERT sETlo2E
Abstract: The need for a kind of socio-political analysis in order to incur basis principles from the Bible concerning church functionaty system is necessary. From the analysis we may come to light as to why there are dif' ferences in the interpretation of a function and also the changes of the form of the function in different time and location. It would be clear that the problem of function is inseparable from the interest of the group in which the function is practiced or supported. In the study of the process of production of the bible, it is recognizable that more than one group worked behind the text. This may explain the dynamic differences with regard to thefunction. The application offunctionary system in the church throughout history may tell the same stori. Yet, we should go further than recognizing the implication of the interest. The interest does not only result in pragmatic play but also lies on the more conceptual or ideological basis. This ideologt needs to be closely studied. In this article, there are 3 aspects related to ideologt identfud in the problem of church functionary system, i.e., the aspect of law going along with justice and truth; the aspect of equality and lastly, of communication. The fnal goal is the community in which each of its member enjoys an equals status. The status should not be understood as a static condition but as in communication it always involves two-way process. In order to guarantee the existence of the status, the aspect of law justice and truth should be implemented. Kata kanci: jabatan, sosio-politik, kelompok, kepentingan, setara, komunikasi.
Pendahuluan Sudah menjadi kebiasaan manakaia dalam gereja dibicarakan tentang jabatan gercjawi maka argumentasi yang dipakai adalah bahwa jabatan apapun itu berasal dari Alkitab. Tetapi argumentasi tersebut tidak selalu dapat dipertahankan dengan
mulus. Upaya untuk mengasalkan jabatan gerejawi kepada Alkitab mengandung beberapa persoalan. Persoalan-persoalan tersebut diantaranya adalah,
1.
Alkitab tidak memuat semua keterangan yang sebenamya dibutuhkan tentang suatu jabatan gerejawi. Akibatnya, landasan Alkitabiah bagi jal:r:.:n
DisamFikan pertama kali dalam studi tenEnS teologi jabatan gerejawi, Komisi Tata Gereja GKl, Jakarta, 27 licbruari 2007. Sejak itu telah dilakukan perbaikan dan penambahan hingga menjadi benni
138
Jabatan Gerejawi Dalan Perspektif... (Pdt. Robert Setio, ph.D)
gerejawi tidak dapat digantungkan sepenuhnya pada teks Alkitab dan ha_ rus diumbuhi dengan berbagai alasan di luar Alkitab. Jabatan memang dibicarakan dalam Alkitab dalam wujud pola-pola kepe_ mimpinan. Namun persoalan ini sifatnya multidimensi. Jenis jabatan pe_ mimpin yang ada dalam Alkitab sendiri bermacam-macam. Belum lagi pengertian yang ada di balik setiap sebutan jabatan. Kesemuanya tidak bertindih tepat dengan pengertian yang dikenakan pada jabatan-jabatan gerejawi seperti yang lazimnya dipraktekkan oleh gereja-gereja. 3. Jabatan dalam Alkitab tidak lepas dari kepentingan kelompok yang ada di balikjabatan tersebut. Pencitraan suatu jabatan tidak dapat dilepaskan dari kepentingan yang melandasinya. Masalahnya, kepentingan tersebut dapat berubah-ubah sesuai dengan zaman dan orang-orang yang memilikinya. 4. Pada akhimya persoalan jabatan tidak dapat dilepaskan dari politik yang bersumber dari kehendak untuk mengatur kehidupan (keluarga, komunitas, masyarakat, bangsa dan dunia). Dimensi ini seharusnya ikut dipertimbangkan ketika kita membicarakan jabatan gerejawi sehingga tidak terkesan persoalanjabatan gerejawi hanyalah persoalan kerohanian saja. politik yang dimaksud di sini tidak berarti sama dengan politik praktis. Tetapi lebih kepada bagaimana kita mengharapkan hidup ini dalam tingkatan yang ideal dan bagaimana kita ingin menata kehidupan ini agar sesuai dengan harapan tersebut. Memang dengan demikian, persoalan jabatan gerej awi menjadi luas. Tetapi sekaligus menjadi persoalan yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita pada umumnya. Dengan kata lain, penetapan pola kepemimpinan gereja yang diantaranya berbentuk penetapan jabatan gerejawi bersumber dari pemahaman tentang penataan kehidupan. Gereja tidak dipandang terpisah dari kehidupan secara umum namun menjadi bagian integral di dalamnya. Gap informasi dalam Alkitab Saya teringat akan sebuah peristiwa yang terjadi ketika GKI memutuskan untuk melikuidasi jabatan diaken. Seorang pendeta emeritus GKI di yogya tidak dapat menerima pelikuidasian tersebut. Beliau ini adalah seorang ahli Alkitab, pensiunan dosen teologi. Ketidaksetujuannya terhadap peniadaanjabatan diaken adalah karena jabatan tersebut menurut beliau jelas-jelas ada dalam Alkitab. Maka tidak mungkin untuk menghapuskannya begitu saja. Diaken ditetapkan sebagai jabatan gerejawi (oleh gereja perdana) yang melaluinya gereja dapat melaksanakan misi Kristus khususnya dalam bentuk pelayanan kepada yang miskin dan menderita. peniadaan diaken sama artinya dengan peniadaan misi Kristus tersebut. Makr: lah seharusnya gereja tidak melakukan hal tersebut. Perdebatan ini sendiri tidak khir dengan pencabutan keputusan untuk melikuidasi jabatan diaken. Itu kart-. :J memiliki alasan lain yang membuatnya bertahan pada keputusan untuk melikurdasi jabatan diaken. Meskipun bukan berarti pelayanan kepada yang miskin dan men-
JURNAI, KHI]SL]S
139
derita ditiadakan. Jadi sekalipun diaken tidak lagi ada tetapi tugas-tugasnya tetap dijalankan. Perdebatan di atas sebenamya memperlihatkan kesulitan untuk meyakinkan orang tentang pentingnya sebuah jabatan gerejawi jika dasamya hanyalah Alkitab. Alkitab memang menyebutkan adanya diaken (Kis.Ra. 6:2, Fil. l:1, I Tim. 3:12) tetapi dengan melihat teks saja masih tidak begitu jelas apakah konsep yang ada di balik sebuatan tersebut. Bahkan menimbang apa yang dikatakan oleh ayat-ayat dimana diaken disebut, kita masih sulit untuk memastikan apakah diaken layak untuk disebut sebagai jabatan. Jikalau mau disebut jabatan pun, tidak dapat dipastikan apa yang menj adi tugas-tugas khususnya dan apakah tugas-tugas tersebut harus diwujudkan lewat sebuah mekanisme jabatan. Dalam Kisah Para Rasul, diaken ditetapkan untuk menjawab kebutuhan riil jemaat yaitu melayani orang miskrn dan janda-janda. Tetapi perlu diingat bahwa yang dilayani diaken-diaken pertama tersebut adalah orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani. Orang-orang Yahudi berbahasa Yunani inilah yang mengajukan protes kepada para rasul karena merasa belum mendapatkan pelayanan seperti jemaat lainnya (Kis. Ra. 6:1). Rupanya ada tindakan pilih kasih berdasarkan kelompok yang dirasa tidak adil. Sedang yang lain dilayani, orang-orang Yahudi berbahasa Yunani yang miskin tidak dilayani. Komplain mereka ditanggapi serius oleh para rasul. Para rasul kemudian memilih Stefanus dan kawan-kawan sebagai diaken (ay. 5). Sebuah istilah yang artinya sama deagan waiter it:u, Jadi pengangkatan diaken tersebut bersifat praktis. Hanya untuk melayani orang-orang miskin, khususnya yang dari kelompok berbahasa Yunani. Tetapi berangkat dari yang praktis ini, gereja di kemudian hari membuat penetapan akan jabatan diaken. Fungsi yang diemban oleh mereka yang diberi jabatan ini masih sama dengan yang disebutkan dalam Kis. Ra. 6 yaitu mengums orang miskin. Tetapi sebenarnya sudah sejak di Kis. Ra. itu pula tugas mengurus orang miskin itu tidak dipandang sebagai satu-satunya tugas diaken. Di samping mengums orang miskin ada pula tugas berkotbah bagi diaken. Kalaupun kata tugas terlalu formal, setidaknya, diaken diberi kesempatan untuk berkotbah juga. Seperti yang terjadi pada diaken Stefanus (Kis. Ra. 7). Jadi tugas yang biasanya dilaksanakan oleh para rasul itu, juga dapat dijalankan oleh diaken seperti Stefanus. Malah kotbah Stefanus itu begitu meyakinkan sehingga orang yang mendengamya merasa terpukul. Kita memiliki kesan tentang Stefanus bukan sebagai perawat oraxg miskin tetapi sebagai pengkotbah yang ulung. Apakah dengan begitu, tugas diaken memang tidak dimaksudkan melulu sebagai perawat orang miskin? Kalau memang demikian, apa bedanya dengan jabatan rasul? Mungkin pembedaan tugas semacam itu tidak menj adi pemikiran dari jemaat mula-mula. Itu baru menjadi pemikiran dalam perkembangan geraja di zaman-zaman selanjutnya. Terutama ketika gereja sudah menjadi mapan. Selain pada kasus Stefanus, tugas berkotbah dari diaken itujuga diindikasikan oieh surat Timotius (I Tim. 3:12). Meskipun ada yang agak aneh dalam syarat menjadi diaken daiam surat Timotius tersebut. Di situ dikatakan diaken haruslah suami fiadi mesti laki-laki) dari seorang isteri. Mungkin maksudnya adalah agar siapapun
140
Jebatan Gerejavi Dalam Per.epekti/
..
(Pdt.
Robe
Setio, ph.D)
yang dijadikan diaken dapatmenjadi teladan. Tetapi bagaimana keteladanan tersebut
diharapkan datang dari lelaki yang tidak pernah kawin kecuali dengan seorang isteri sebenamya membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Bukan berarti menikah dengan seorang saja itu jelek tetapi jika aspek ini menjadi tekanan pastilah ada kebiasaan_ kebiasaan yang berlawanan dengannya. Entah yang menjadi kebiasaan itu adalah
pernikahan dengan lebih dari satu isteri pada waktu yang bersamaan (poligami) atau menikah lagi dengan perempuan lain ketika isteri yang pertama meninggal. Yang pasti keduanya tidak masuk dalam kategori orang yang layak menjadi diaken. Andaikata ada yang memenuhi syarat tersebut, masih ada syarat lainnya lagi yaitu mengurus anak-anak dan keluarganya dengan baik. Kemampuan mengurus keluarga ini mestinya tidak saja berkaitan dengan moralitas tetapijuga finansial. Jadi yang diharapkan adalah orang yang dapat mencukupi kebutuhan materiil keluarganya. Jika itu yang dimaksudkan maka kita bisa melihat kaitannya dengan tugas mengurus orang miskin seperti yang diembankan kepada diaken-diaken pertama (Kis. Ra. 6). Maksudnya, orang yang akan diminta mengurus orang miskin adalah orang yang tidak miskin, yang mampu memenuhi kebutuhan keluarganya. Mirip sekali dengan pengertian yang ada pada gereja-gereja sekarang. Orang yang diminta mengurus orang miskin adalah orang yang sudah berkecukupan. Ada kekhawatiran jika yang diminta mengurus orang miskin adalah bukan orang yang berada, jangarr-jangan akan terjadi korupsi. Tentu saja pandangan ini sudah mengandung prasangka terhadap orang miskin. Orang miskin dicurigai memiliki potensi besar untuk melakukan pencurian. Padahal dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Dan juga tidak selalu orang yang berada pasti tidak tergoda untuk mencuri. Bagaimanapun, surat Timotius telah membuat ketetapan-ketetapan semacam itu. Ketetapan-ketetapan tersebut agaknya mencerminkan suatu kehidupan jemaat yang sudah mapan. Ketidakjelasan kesaksian Alkitab tentang diaken telah melahirkan respon yang beragam sepanjang sejarah gereja. Gereja telah mengarlikan diaken dengan cara yang beragam dan berganti-ganti. Gereja Lutheran di Jeman dikenal mempunyai korps diaken yang luar biasa dalam menangani mereka yang membutuhkan. Mereka aktifsekali dalam pelayanan sosial dan sangat berperan dalam menangani korban-korban dari kedua perang dunia. Tetapi aktifitas diaken seperti ini baru dimulai sekitar akhir abad ke-19. Sebelum itu, pola pelayanan diaken yang khas tersebut tidak begitu menonjol. Sementara itu, pemahaman Gereja Katolik tentang diaken lain lagi dan mengalami perubahan besar sejak Konsili Vatikan ke-2. Sedang gerejagereja Calvinis juga memiliki pemahamannya sendiri tentang diaken. Dan seperti yang terjadi pada GKI, pemahaman tersebut juga tidak selalu tetap. Cara gereja menetapkan jabatan yang berbeda-beda ini sebenamya wajar-wajar saja. Dan tidak perlu harus dinilai apakah ketetapan tersebut Alkitabiah atau tidak. Persoaian jabtan tidak sepenuhnya bergantung pada Alkitab. Kondisi riil dimana gereja be Lda perlu dipertimbangkan. Gereja perdana yang diungkap kisahnya dalamAlkitab juga memberikan pertimbangan terhadap kondisi riil yang mereka alami. Konsekuensinya, jabatan gereja yang ada dalam gereja perdana tidak memiliki arti yang kaku.
JURNAL KHUSUS
141
Kepelbagaian pengertian tentang sebuah jabatan dalam Alkitab sebenamya tidak hanya terjadi dalam kasus diaken saja. Berbagai jabatan lainnya pun juga setali tiga uang. Misalnya saja jabatan raja, imam dan nabi yang kemudian dipakai sebagai dasar untuk menentukan pola kepemimpinan gereja. Berikut ini kita akan membahas kepelbagaian tersebut.
Kepelbagaian dalam jabatan Dalam Perjanjian Pertama (Lama) dikisahkan tentang pedalanan hidup umat Israel, mulai dari masa keluaran hingga kepulangan dari pembuangan Babel. Selama perjalanan hidup tersebut, Israel mengenal bermacam-macnm pola kepemimpinan. Ada nabi (Musa), hakim, raja, imam (Ezra) dan ada pula gubemur (Nehemia). Bersama dengan para pemimpin utama tersebut ada juga pejabat-pejabat lainnya. Di masa Perjanjian Baru keadaannya agak berbeda. Pada masa itu, kepemimpinan utama gereja cenderung tetap yakni rasul. Meskipun nampaknya tidak ada panduan yang tetap mengenai pelayanan rasul-rasul tersebut. Ada kecenderungan gaya kepemimpinan para rasul tergantung dari kepribadian masing-masing. Maklum pada masa itu, gereja masih menganut sistem kepemimpinan yang oleh Weber disebut kepemimpinan kharismatis. Kepemimpinan semacam ini sangat bergantung pada karakter seseorang. Seperti para pucuk pimpinan di zaman Perjanjian Pertama, para rasul juga didampingi oleh para pembantunya. Para pembantu tersebut lebih tepat untuk disebut sebagai sekretaris pribadi para rasul (bdk. I Tim. 4:13: Timotius disuruh membawakan pakaian dan buku-buku Paulus). Walaupun ketika mereka diutus untuk pergi ke sebuah tempat lain, mereka dapat bekerja secara lebih mandiri. Selain kepelbagaian dalam jenis jabatan, Aikitab juga memperlihatkan adanya kepelbagaian dalam pengertian tentangjabatan tertentu. Citra nabi yang ditunjukkan oleh Musa berbeda dengan citra nabi yang diperlihatkan oleh Natan. Musa bertindak sebagai pimpinan utama dari umat Israel. Sedang Natan berhrgas di istana sebagai penasehat raja. Meski ia dapat memberikan kritik terhadap raja tetapi ia tetap bukan pemimpin tertinggi seperti Musa. Jemaat Kristen mula-mula juga mengenal jabatan nabi (Kis. Ra. 21: l0; I Kor. 12:28). Tetapi mereka tidak semenonjol para rasul. Sementara itu, injil-injil menceritakan tentang Yohanes Pembaptis yang merepresentasikan citra nabi. Yohanes Pembaptis dikenal berani dalam melontarkan kritik pedas, juga kepada pemerintah. Sikapnya tersebut sangat berbeda dengan sikap Yesus. Meskipun juga berani melontarkan kritik tetapi Yesus nampaknya tidak sekeras Yohanes Pembaptis. Setidaknya, umur Yesus (di dunia) lebih panjang daripada Yohanes Pembaptis. Dan Yesus dikenal sebagai tokoh yang penuh welas asih. Berkenaan dengan pencitraan pemimpin, menarik untuk rnengamati tokoh Daud. Daud dikenal sebagai raja Israel yang paling besar. Ide tentang Sang Mesias mengikuti pencifaan Daud. Tradisi Yudaisme memegang kepercayaan bahwa Mesias yang dinantikan itu adalah keturunan Daud. Seperti juga Injil Matius yang menuliskan nama Daud dalam silsilah nenek moyang Yesus. Tidak diragukan lagi, Daud memiliki wibawa yang besar dalam tradisi Yudaisme dan Kristen. Tetapi Al-
142
Jabatan Gerejawi Dalam Perspehif ... (Pdt. Rohert Setio, Ph.D)
kitab mengisahkan Daud dari berbagai sisi. Ada sisi yang diwakili oleh kitab Samuel dimana Daud dilukiskan sebagai tokoh yang pemah melakukan perbuatan iahat (selingkuh dengan Batsyeba, merancang kematian Uria: II Sam. I l). Pemah membunuh banyak orang bahkan pada akhir hayatnya pun masih berniat untuk menghabisi lawan-lawannya (I Raj. 2:5, dst.). Kisah hidup Daud seperti inilah yang mendorong Baruch Halpern untuk menjuluki Daud sebagai pembunuh (murderer) dan pengkhianat (traitor) meskipun ia tetap seorang raja dan mesias (Halpem 2001). Halpem ingin memperlihatkan ambiguitas sifat Daud yang sangat dihormati oleh pengikut Yudaisme dan Kristen itu. Persoalannya adalah apakah memang kemesiasan Daud itu ditentukan juga oleh sifat-sifatnya yang kurang mulia tersebut? Tradisi Kristen tidak menjadikan Daud sebagai satu-satunya figur yang menyumberkan Sang Mesias. Para penulis Injil terinspirasi juga oleh nubuat Yesayanis tentang Hamba Yahweh yang menderita. Kombinasi antara figur Daud dan hamba yang menderita tersebut itulah yang dimunculkan dalam diri Yesus. Jadi citm Daud tetap diusung dalam hidup Yesus. Sekalipun yang nampak lebih menonjol adalah figur Sang Hamba Yahweh. Adalah penting di dalam rangka mendiskusikan soal jabatan raja yang berkait erat dengan mesias itu, kita mengangkat kembali citra Daud. Sebab kecenderungan untuk terlalu berfokus pada figur Hamba Yahweh akan membuat kita kehilangan makna dari jabatan raja. Padahal makna jabatan raja sangat vital bagi upaya membangun suatu teologi jabatan gerejawi.
Konteks sosial politik jabatan Masa-masa yang paling menentukan bagi Perjanjian Pertama sebenarnya adalah masa-masa Bait Allah ke-2 (pasca pembuangan). Oleh para ahli Yudaisme seperti Jacob Nuesner, masa-masa tersebut disebut dengan masa pembentukan Yudaisme. Tentu saja Yudaisme sudah ada sebelumnya dalam bentuk kehidupan dan kepercayaan Israel. Namun, Yudaisme pada zaman antar perjanjian tersebut mengalami kristalisasi yang pengaruhnya tidak saja besar pada zaman sesudahnya tetapi bahkan sebelumnya juga. Kisah-kisah Alkitab mulai dari zaman Abraham hingga pembuangan sangat diwarnai oleh kepentingan berbagai kelompok yang sedang berproses untuk mengkistalkan Yudaisme itu. Dan nanti, pada zaman Perjanjian Baru, pengaruh dari kelompok-kelompok tersebut masih sangat kuat. Kelahiran golongan-golongan seperti Farisi, Saduki, ahli Taurat, Zelot dan Eseni yang pengaruhnya besar bagi pembentukan gereja perdana, dimulai dari zaman ini. Mengenai golongan-golongan yang sangat berpengaruh beserta pandangan mereka dapat disebutkan sebagai berikut,
.
Golongan Cendekiawan (the scribe). Peranan mereka sangat besar dalam soal penulisan teks-teks penting seperti Alkitab. Mereka adalah kelompok yang sangat beruntung mengingat kemamn'r.rn menulis masih sangat jarang dimiliki orang pada zaman ifir. Kemampuan -ka tersebut dapat membawa mereka pada posisi yang sangat menentukan. Oleh pemerintah mereka ditugasi untuk mengurusi administrasi pemerintahan. Informasi
r'
JURN..\I. KHUSIJS
143
yang mereka berikan kepada pemerintah akan dipakai sebagai dasar pengambilan kebijakan. Layak jika mereka sangat dekat dengan lingkar kekuasaan. Meskipun tidak selalu mereka mendukung pemerintah. Seperti yang terjadi dengan golongan Farisi. Golongan ini muncul sebagai oposisi terhadap pemerintah sejak di zaman penguasaan Helenis sampai dengan ketika Roma menguasai Palestina. Meskipun mendukung kebangkitan dinasti Daud (harapan mesianis) tetapi dukungan tersebut tidak dapat dilepaskan dari cita-cita kemerdekaan Israel yang mereka perjuangkan. Karenanya, mereka tidak selalu sejalan dengan kelompok lain dalam Yudaisme. Salah satu kelompok yang bertentangan mereka adalah kelompok inram. Pertentangan golongan cendekiawan dengan imam dimulai dengan kekecewaan golongan cendekiawan terhadap kekuasaan golongan Hasmoni yang dari keturunan imam. Pada waktu orang-orang Hasmoni berkuasa (keluarga Makabe) sebenamya Palestina menikmati masa-masa merdeka (140-37 S.M.). Tetapi penguasa yahudi tersebut tidak menunjukkan perilaku yang positif. Mereka dikenal sebagai penguasa korup. Maka timbul gerakan kritis terhadap kekuasaan Hasmoni yang dimotori oleh golongan cendekiawan. Sangat mungkin berbagai penulisan tentang para imam di dalam Alkitab dipengaruhi oleh suasana perbedaan pendapat tersebut.
.
Golongan Imam Citra yang paling menonjol dari golongan ini diwakili oleh Ezra. Alkitab rnelukiskan bahwa kepulangan dari pembuangan adalah hasil dari upaya Ezra dan kawan-kawan. Mereka memperjuangkan kepulangan tersebut pada zaman Persia. Keberhasilan usaha mereka membawa kesan yang positif terhadap Persia. Tetapi di pihak lain mereka banyak rnengalami friksi dengan sesama orang Yahudi. Mereka berseberangan dengan orang-orang Yahudi yang tidak terpanggil untuk kembalike Palestina dan memilih menetap terus di diaspora. Mereka juga bertentangan dengan orang-orang Yahudi yang tidak perrrah mengalami deportasi dari Palestina. Golongan yang terakhir ini kemudian disebut sebagai orang Samaria. Orang Samaria sendiri juga memperjuangkan kemerdekaan Israel tetapi dengan cara yang berbeda dengan kelompok imam. Hubungan orang Samaria dengan bangsa-bangsa lain yang sudah lama tinggal bersama-sama mereka sangat baik. Maka dalam pandangan orang Samaria, perbaikan nasib Israel tidak harus terjadi dengan cara membentuk sebuah kehidupan yang eksklusif seperti ide kelompok imam. Akan tetapi dari para imam ini, kita dapat belajar tentang suatu keteraturan hidup. Karya-karyanya seperti yang kita lihat pada kisah Penciptaan di Kej. I dan berbagai macam peraturan dalam kitab Imamat memberikan kesan yang kuat tentang pentingnya keteraturan agar pada akhimya terjadi sebuah keadaan yang harmonis. Memang pementingan hidup tertib tersebut dapat membuat orang tidak kritis terhadap kekuasaan. Sebab kekuasaanjustru dihormati secara mutlak (sejauh kekuasaan tersebut tidak mengganggu pelaksanaan ritus-ritus agama). Meskipun begitrr -.rt imam tetap tidak menerima kekecauan hidup yang dimengerti oleh mereku r . gai keadaan yang tidak pada tempatnya. Penguasaan yang bersifat menghisi,l , 1 merusak tatanan hidup pasti akan ditentang oleh mereka. Walaupun bukan berarti mereka menentang adanya hirarkhi.
144
Jabatan Gereja\ti Dalam
Peqpehif ... (Pdl. Robett Setio, Ph.D)
PB nampaknya tidak terlalu memperlihatkan kepentingan imam. Kecuali surat Ibrani yang sangat kental warna imamnya. Meksipun terasa minoritas, keberadaan surat lbrani tersebut telah memberikan kepastian bahwa PB tidak sama sekali abai terhadap kepentingan imam.
.
Golongan Nabi
. Mungkin kita bisa merasakan suasana berpikiryang sangat kontras antara imam dan nabi. Nabi dikenal sebagai tukang kitik. Tidak jarang sikap mereka anarkhis. Mereka begitu karena yakin bahwa keadilan harus diutamakan. Hidup yang tenang dan harmonis tidak menjamin adanya keadilan. Dalam berita-berita kenabian kita banyak mendapati kritik terhadap penguasa meskipun nampakjelas keadaan masya-
rakat pada waktu itu cukup stabil. Sifat lain dari kenabian adalah tidak adanya standar ganda dalam melakukan kritik. Siapapun yang tidak benar harus dikritik. Orang Israel sendiri juga harus dikritik. Tidak peduli bahwa sebenamya mereka sedang berada dalam penguasaan asing. Seperti yang dilakukan oleh Yohanes Pembaptis, representasi nabi dalam masa PB. Juga seperti yang dilakukan oleh Samuel, Natan dan nabi-nabi lainnya yang banyak mengkritik raja Israel di masa Perjanjian Pertama.
Teopolitik jabatan Setelah melihat berbagai kepentingan yang ada di balik berbagai kisah tentang
jabatan dalam Alkitab, kita dapat menyimpulkan bahwa persoalan jabatan tidak lepas dari sebuah cita-cita tentang keadaan hidup yang ideal dan bagaimana tatanan yang dikehendaki agar cira-cira tersebut terwujud (politik). Cita-cita semacam ini jika belajar dari keseluruhan Alkitab akan terwujud apabila ada hal-hal sebagai berikut,
1.
Penegakan Hukum, Kebenaran dan Keadilan Dari pengamatan terhadap kehidupan para imam kita belajar tentang penting-
nya keteraturan yang dijamin lewat kepatuhan kepada hukum. Kita dapat membayangkan adanya sebuah kosmologi dari para imam yang di dalmnya kehidupan digambarkan dalam sebuah keadaan yang teratur. Segala sesuatu telah memiliki posisi dan fungsinya masing-masing. Kelancaran kehidupan terjamin apabila setiap bagian yang terlibat dalam kehidupan itu dapat bertahan pada posisi dan fungsi yang telah digariskan. Gambaran pola kehidupan yang demikian teratur ini dapat kita amati dalam kisah Penciptaan di Kej. 1. dalam kisah ini, alam semesta dilukiskan sebagai sesuatu yang berasal dari sebuah desain yang teratur. Segala sesuatu terjadi dengan cara yang sama yaitu firman Tuhan. Sesudah yang kemudian dikenali sebagai unsur alam semesta itu tercipta, ia ditempatkan dalam sebuah tatanan yang rapih bersama dengan unsur alam semesta lainnya. Semua unsur alam semesta tersebut diciptakan dalam sebuah urut-urutan yang bisa jadi mengandung makna' Meskipun kita tidak dapat menduga apa makna tersebut (apakah yang diciptakan pada urutan pertama akan berarti lebih bemilai dari yang diciptakan pada urutan setelahnya?) kecuali bahwa kesemuanya berada dalam sebuah keteraturan saja.
JURNAL KHUSUS
145
kisah Penciptaan ini dengan gamblang mentatakan bahwa begitulah kehidupan yang ideal. Di luar keteraturan tersebut, tidak lagi bisa didapati sebuah kehidupan yang ideal. Oleh karena itu, yang harus selalu diupayakan adalah agar hidup berjalan selaras dengan keteraturan tersebut. Berbagai kegiatan keimaman yang pada umumnya berkenaan dengan ritus dapat kita lihat sebagai bagian dari upaya untuk menjamin adanya keselarasan dengan keteraturan kosmologis tersebut. Dalam berbagar ritus yang dikelola para imam itu pula kita bisa mendapati adanya upaya untuk mengembalikan penyimpangan pada kcteraturan. Sehingga pada akhirnya kehidupan dapat secara total diselaraskan dengan keteraturan yang sudah digariskan sejak semula. Sedang para nabi memberikan sumbangan yang berarti bagi pentingnya perealisasian kebenaran dan keadilan. Tindakan kenabian seringkali dipandang bertentangan dengan tindakan para imam. Dalam pandangan yang mempertentangkan nabi dan imam kita memperoleh gambaran sekan-akan imam tidak mementingkan kebenaran sejauh keselarasan terjamin. Sebaliknya para nabi tidak mementingkan keselarasan jika akhimya kebenaran dan keadilan tidak mampu ditegakkan. Cara berpikir yang mendikotomikan keselarasan dengan kebenaran dan keadilan tersebut tidak harus diterima. Keselarasan dan kebenaran serta keadilan dapat berjalan dalam sebuah keutuhan yang mulus. Itu andaikata kebenaran dan keadilan yang dimaksud dipandang sebagai nilai-nilai yang ingin menjamin tata kehidupan yang telah diatur sedemikian rupa sejak semula. Tetapi sebaliknya, tata kehidupan yang sudah diatur sejak dini itujuga merupakan tata kehidupan yang berdiri atas dasar kebenaran dan keadilan. Maka kita bisa mengatakan bahwa keselarasan dunia seperti yang dibayangkan oleh kisah Penciptaan adalah keselarasan yang benar dan adil. Sedang upaya para nabi untuk rnenegakkan kebenaran dan keadilan adalah tidak lain daripada upaya untuk memastikan keberlangsungan keselarasan seperti yang dicetuskan oleh kisah Penciptaan. Dengan begitu, kita tidak perlu mempertentangkan hukum yang seringkali diidentikan dengan pikiran dan cara kerja para imam dan kebenaran serta keadilan yang dicitrakan secra kuat pada tradisi kenabian. Jika pengalaman imam dan nabi ini kita pakai sebagai pelajaran untuk menentukan jabatan gerejawi maka terlepas dari bentuk apa yang akan kita pilih tetapi 2 unsur pokok yang mestinya diberi tempat adalah keteraturan dan kebenaran / keadilan. Penetapan jabatan gerejawi perlu dipandang sebagai skategi untuk menjamin agar dalam gereja terjadi kehidupan yang teratur dalam arti segala sesuatu berada dalam posisi dan fungsinya. Agar keteraturan tersebut dapat dijaga maka perlu ada fungsi kontrol yang senantiasa mengingatkan apa yarlg seharusnya dilakukan. Dalam fungsi yang terakhir ini, prinsip kebenaran dan keadilan dijalankan. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, persoalan jabatan gerejawi bukanlah persoalan gereja semata-mata. Persoalan ini menyangkut juga cita-cita tentang kehiduapan secara luas. Maka dalam pertimbangan tentang konsep imam tentang keteraturan dan konsep nabi tentang kebenaran dan keadilan, kita tidak hanya memikirkan kejadian-kejadian di dalam gereja saja. Prinsip-prinsip yang kita kenal lewat imam dan nabi berlakujuga dalam hubungan gereja dengan masyarakat luas.
Jdbatan Gercjavi Dalam Petspehif... (Pdt Robert Setio, Ph.D)
t46
Apa yang diterapkan dalam gereja, juga diterapkan dalam masyarakat. Tidak ada standar berlainan yang diterapkan. Tidak juga perlu dilihat jika kita berbicara masalah kebenaran dan keadilan, perhatian kita hanya tertuju pada masyarakat atau pemerintah. Seakan-akan yang memiliki masalah kebenaran dan keadilan hanyalah masyarakat dan pemerintah. Sedang gereja sudah bebas dari persoalan semacam itu. Jelas sekali pemahaman ini tidak dapat dibenarkan. Dalam kenyataan, gereja juga dapat bermasalah dalam soal kebenaran dan keadilan. Maka sasaran suara kenabian bukan hanya mereka yang di luar gereja namun juga yang berada dalam gereja. Jika gereja telah mampu mempraktekkan sebuah kehidupan yang benar dan adil maka niscaya gerej a dapat bersuara dengan penuh wibawa kepada masyarakat tentang kebenaran dan keadilan. Itu sebabnya, tidak adajalan lain selain memberlakukan standar yang sama bagi gerej a dan masyarakat. Gereja bagaikan dunia kecil dalam dirinya sendiri. Keberhasilannya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan akan memberikan sinyal positifbagi dunia secara luas. Sinyal tersebut adalah sinyal pengharapan, bahwa di dunia ini kebenaran dan keadilan masih mungkin ditegakkan.
2.
Kesetaraan Para cendekiawan (termasuk Farisi) memberikan pelajaran lainnya yang tidak
kalah penting dibandingkan nabi dan imam yaitu pentingnya pola hidup yang egaliter. Citra hukum, kebenaran dan keadilan jika dilepaskan dari pola egaliter dapat memberikan peluang bagi terciptanya sebuah struktur kehidupan yang memberikan keistimewaan-keistimewaan kepada pihak tertentu secra khusus Dalam struktur semacarn itu, keteraturan (yakni keadaan tertib huL-um) dapat dimutlakan sedemikian rupa sehingga hubungan antara yang mendapat keistimewaan dan yang tidak, tidak lagi dianggap sebagai persoalan. Padahal sudahjelas manakala ada yang lebih diistimewakan daripada yang lain maka sebenarnya persoalan sudah ada. Oleh sebab itu, egaliterianisme harus dipakai sebagai tujuan yang memandu penerapan hukum, kebenaran dan keadilan. Egaliter dapat dipandang sebagai sebuah cita-cita akhir yang harus selalu diperjuangkan keberadaannya. Dalam kisah-kisah Alkitab, bila seorang pemimpin telah melakukan langkah-langkah yang terlalu mengistimewakan dirinya selalu akan ada tindakan perlawanan terhadapnya. Tuhan juga seringkali dilukiskan sebagai penentang terhadap pemimpin semacam itu. Meskipun memang benar bahwa dalam sistem kerajaanyang mendominasi kisah Alkitab, seorang raja akan diberi keistimewaan yang lebih daripada rakyat biasa. Tetapi bukan berarti raja tersebut diberi kesempatan untuk menggunakan keistimewaan tersebut demi memperjuangkan kepentingan pribadinya semata. Keistimewaan seorang raja adalah sarana yang diberikan demi kelangsungan sebuah kehidupan yang egaliter. Jadi kondisi egaliter itulah yang menjadi tujuan, bukan keistimewaan yang diberikan kepada raja. Dalam aplikasi modemnya, sering terjadi posisi kepemimpinan menjadi bahan perebutan berbagai kalangan. Perebutan jabatan atau kekuasaan semacam itu dimungkinkan oleh karena bukan kehidupan egaliter yang ditempatkan sebagai tujuan. Posisi kepemimpinan justru dianggap sebagai tujuan pada dirinya sendi-
JU RNAL KHUSUS
147
ri. Menjadi pemimpin
seakan-akan merupakan sebuah klimaks. Seperti prestasi puncak yang dititi oleh setiap orang sejak pertama kali ia berkarya. Pemahaman ini tidak dapat diterima jrka yang diperjuangkan adalah kehidupan egaliter. Meskipun
perjuangan menuju pada kehidupan egaliter tetap memerlukan penetapan jabatan namun jabatan di sini diberikan dalam rangka menjalankan fungsi yang membawa pada terwujudnya kehidupan egaliter. Jadi adanya jabatan tidak ditolak. Demikian pula dengan pemberian wewenang yang lebih kepada pemimpin. Asalkan tujuan aklimya tetap terciptanya kehidupan yang egaliter. Kehidupan egaliter tidak sama dengan kehidupan yang menyamakan saja setiap orang. Perbedaan yang ada pada diri setiap orang tetap diakui dan diberr tempat. Tetapi perbedaan tersebut tidak dipakai sebagai alasan untuk memberikan hak-hak istimewa. Masyarakat egaliter tidak menilai perbedaan sebagai alasan untuk menuntut hak namun sebagai dorongan untuk melaksanakan kewajiban. Jika saya berbeda dengan yang lain itu berarti saya dapat memberikan sebuah sumbangan yang tidak dapat diberikan oleh yang lain. Sumbangan yang saya berikan perlu dihargai oleh karena hanya saya sendiri yang dapat memberikannya. Tetapi sekalipun demikian saya tidak dapat menganggap bahwa sumbangan tersebut adalah satu-satunya yang ada. Sebab ada orang lain yang karena perbedaannya dengan sayajuga memberikan sumbangan yang hanya dia sendiri yang bisa memberikannya. Sumbangan orang lain ini tentu berbeda dengan sumbangan saya. Justru karena berbcda, ia menjadi berguna bagi saya. Sama seperti sumbangan saya yangjuga berguna bagi orang lain itu. Saling menyumbang berdasarkan perbedaan masing-masing merupakan bukti kehidupan yang egaliter. Dengan demikian egaliter bukanlah kondisi yang sengaja diciptakan di bawah sebuah tekanan yang mengharuskan orang untuk menyamakan dirinya dengan orang lain. Seperti yang dialami oleh negara-negara otoriter.
3.
Komunikasi Gambaran tentang kehidupan yang egaliter di atas menuntut adanya komunikasi antar dan dari semua yang mengambil bagian di dalamnya. Kesetaraan menjamin terbukanya kesempatan yang sama bagi semua. Namun, kesempatan tersebut perlu diisi dengan komunikasi dimana orang berjalan keluar dari dirinya untuk bertemu dengan orang lain dan mengajak orang lain masuk ke dalam dirinya. Komunikasi adalah jalan untuk memecah kebekuan hubungan. Kebekuan terpecah ketika orang menyadari akan keberadaan orang lain serta menyadari akan keberadaannya sendiri. Jadi komunikasi yang dimaksudkan di sini tidak sama dengan pengertian komunikasi sebagai alat untuk menghubungkan satu dan lain orang. Komunikasi di sini adalah sebuah jalinan hubungan yang dinamis dan terus menerus terjadi. Meskipun seseorang tidak sedang berhubungan dengan orang lain, di dalam dirinya sendiri kehadiran orang lain sudah ada. Maka dengan demikian, komunikasi sudah terjadi. Yang kemudian diharapkan adalah adanya kesadaran tentang kehr,liian orang lain dalam diri seseorang. Bukan saja bahwa orang lain itu ada dalam d jeseorang tetapi keberadaan orang lain itu juga menuntut adanya pengertian. Di I ri ,.rk lain orang yang menyadari keberadaan orang lain juga membutuhkan pengefiian orang lain tentang dirinya.
Jabatan Gerejawi Dalan Perspektif... (Pdt. Robert Setio, Ph.D)
148
jika dipandang dari segi komunikasi merupakan sebuah sarana dimana komunikasi antarmanusia terjalin. Tentu saja tidak hanya itu' KomuniJabatan gerejawi
kasi antar manusia dengan Tuhan juga terjalin. Yang jelas jabatan bukaniah sebuah keadaan yang mandeg. Jabatan adalah ruang untuk berkomunikasi antarmanusia dan antara manusia dengan Tuhan. Sehingga pada akhimya kondisi egaliter yang dicita-citakan dapat dijalan dengan keteraturan, di dalam kebenaran dan di atas azas keadilan serta diisi dengan komunikasi antar pihak yang terlibat.
Bacaan Blenkinsopp, Joseph, Sage Priest Prophet, Westminster John Knox Press, Louisville. Kentucky. 1995 Davies, Philip R., Scribes and Schools, Westminster John Knox Press, Louisville, Kentucky, 1998
Halpern, Baruch, Davidb Secret Demons, Messiah, Murderer, Traitor and King, William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan / Cambridge, U.K. 2001 O'Donovan, Olive\ The Ways ofJudgmenl, William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan / Cambridge, U.K., 2005 Osiek, Carolyn and David Balch, Families in the New Testament World, Westmin' ster John Knox Press, Louisville, Kentucky, 1997 Setio, Robert, "Manfaat Kritik Ideologi bagi Pelayanan Gereja" dalam Penuntun, Jurnal Teologi dan Gereja,Yol.5 No. 20, 2004.
Smith, Morton, Palestinian Parties and Politics that Shaped the OId Tbstament, SCM Press Ltd., London, 1987