IV. SAPARUA : AJANG KONFLIK SEJAK MASA PENJAJAHAN
4.1. Masa Penjajahan : Pusat Pengaturan Aktivitas Sejak masa kompeni, Saparua menjadi pusat pengaturan aktivitas ekonomi, terutama untuk pengumpulan hasil-hasil perkebunan cengkeh milik rakyat di Saparua, Nusalaut dan sebagian Pulau Seram. Letaknya yang strategis menyebabkan Saparua dipilih kompeni sebagai pusat pengontrolan dan pengaturan kegiatan perdagangan. Hal tersebut menyebabkan aktivitas kompeni di Saparua didukung oleh pertahanan yang kuat melalui pembangunan Benteng Duursteede. Oleh karena itu, segala kegiatan pihak Kompeni diatur dulu dari Saparua kemudian dilaksanakan oleh pihak-pihak yang telah ditentukan.
Termasuk aktivitas penyebaran agama Sarani, berbagai aktivitas
politik pecah belah sebagai upaya meredam pemberontakan oleh masyarakat Saparua tahun 1817 di bawah pimpinan Thomas Matulessy (Kapitan Pattimura). Saparua pula menjadi salah satu pusat pergerakan masyarakat melawan kepentingan pihak penjajah. Menurut catatan van der Kemp yang merujuk pada catatan harian Van Middelkoop yang kemudian disarikan oleh Idema (1917), terdapat delapan penyebab pemberontakan Saparua, yaitu : 1. Beredarnya uang kertas sebagai alat resmi perdagangan, sementara masyarakat sendiri tidak diberikan kesempatan untuk memperoleh uang kertas dimaksud meskipun dalam proses tukar menukar. 2. Perintah dan paksaan kompeni untuk membuat garam, padahal masyarakat belum memiliki pengetahuan tentang cara membuat garam. 3. Pembukaan perkebunan pala, dimana rakyat dikerahkan tanpa dibayar tetapi hanya sebagai pekerja paksa. 4. Perintah untuk memotong kayu dan membuat atap serta gaba-gaba untuk dinding bangunan secara paksa. 5. Keharusan wajib belajar bagi anak-anak di Saparua terutama di kota Saparua, sementara di negeri-negeri lain tidak diharuskan. 6. Merekrut para pemuda secara paksa dalam dinas militer di Jakarta. 7. Memperdagangkan ikan kering dan dendeng secara paksa. 8. Memperdagangkan kopi secara paksa. Pembentukan formasi negeri yang dilakukan Belanda sebenarnya tidak bermaksud untuk menunjukkan organisasi sosial yang didasarkan atas garis keturunan
(genealogis).
Setiap negeri memiliki sejumlah suku/marga eksogami (perkawinan
campuran) yang bersifat patrilineal.
Suku/marga itulah yang disebut sebagai
matarumah. Matarumah merupakan sebutan dari bahasa Melayu yang bahasa aslinya tau, dan istilah fam sebenarnya berasal dari bahasa Belanda (Cooley, 1962 : 36). Matarumah menjadi penting bagi negeri karena selain refleksi garis keturunan, juga untuk penetapan status kelompok utama dalam famili yaitu hubungan antara dua mata rumah yang menjadi ikatan darah karena suatu pernikahan. Hubungan turun temurun matarumah memberikan dampak terhadap pengorganisasian atas kontrol dan penggunaan tanah dati yang dianggap sebagai warisan yang tidak bisa diserahkan kepada pihak luar.
Selain itu, status matarumah tertentu sangat berperan dalam
administrasi negeri dan administrasi masjid (kasisi) di negeri Salam. Soa merupakan bagian penting dalam administrasi negeri di Saparua.
Soa
terdiri dari sejumlah matarumah yang hubungannya tidak memerlukan ikatan kekeluargaan. Kata soa berasal dari bahasa asli ternate yang berarti bagian geografis dari suatu kota atau desa. Tiap-tiap soa dipimpin oleh kepala soa yang kedudukannya di bawah Raja. Kepala Soa dan Raja pada awalnya ditunjuk pihak Belanda. Beberapa kedudukan lain yang penting dalam administrasi negeri adalah tuan tanah, Mauweng, Kapitan dan Kewang. Tuan tanah adalah representatif dari pendiri keluarga, mauweng yang mengurusi kegiatan kepercayaan (ritualisme), kapitan merupakan pemimpin perang, dan kewang yang dipercaya untuk memelihara keamanan negeri (Cooley, 1962). Kedudukan Raja saat masa kolonial mengalami perubahan fungsi yang mengarah tanggungjawab yang dilematis. Raja harus mengayomi negeri dari ancaman pihak luar, sementara Raja harus tunduk kepada keinginan Belanda. Menurut catatan Van der Kemp yang merujuk pada catatan harian Van Middelkoop yang dikutip oleh Idema (1917) dalam terminologi kolonial Belanda, Raja dianggap memiliki kekuatan sentral yang bisa dipakai untuk mengkooptasi berbagai elemen penting dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, sebagai representasi kewenangan tertinggi Negara Belanda dengan asumsi penunjukkan langsung oleh House of Orange, Raja memiliki kewajiban sebagai berikut : a.
Menyediakan dan mengkoordinir tenaga kerja yang dipakai dalam pengolahan cengkeh.
b.
Sebagai agen untuk mendapatkan permintaan pasar atas hasil monopoli cengkeh.
Peran Raja kembali memgalami perubahan setelah monopoli cengkeh dihapuskan pada tahun 1863. Pada masa ini peran raja berfungsi sebagai penjaga hukum dan peraturan, mengumpulkan pajak dan mengurus dan mengorganisir penebangan pohon cengkeh.
Perubahan monopoli dan perubahan administratif
mempengaruhi pula hubungan kekuatan dalam negeri secara signifikan. Pitisgeld dan hasil geld (persentase hasil panenan cengkeh yang dibayarkan untuk Raja) dihapuskan bersamaan dengan penghapusan monopoli tersebut.
Sebagai gantinya, Raja diberi
kompensasi secara finansial yang didasarkan pada rata-rata cengkeh per tahun pada suatu negeri di awal tahun. Raja juga menerima 8% dari pajak per kepala (5 guilders per rumahtangga per tahun), dan sepertiganya
didistribusikan kepada kepala soa.
Dalam hal ini Raja Sarani lebih diuntungkan karena dari tahun 1875 – 1932 mereka mendapatkan 50 guilders untuk setiap warganya yang bergabung menjadi tentara colonial (Menurut catatan van der Kemp yang merujuk pada catatan harian Van Middelkoop yang dikutip oleh Idema, 1917). Hal terpenting dalam masa itu yaitu dihapuskannya tenaga kerja pelayanan seperti kardja trop dan kwartodienst (pekerja pribadi untuk raja).
Pemuka negeri
sengaja diatur untuk menyediakan tenaga kerja dalam pengolahan cengkeh.
Hal
tersebut bergantung dari ukuran dan luas negeri. Tenaga kerja biasanya dibagi menjadi empat kelompok, di mana laki-laki dewasa menjai alternatif dalam penyediaan tenaga kerja yang dibutuhkan. Beberapa Raja memang sengaja mengambil keuntungan dari tenaga kerjanya sendiri secara langsung saat pengolahan cengkeh ke pemerintah. Raja-raja di Saparua umumnya memiliki 70 orang (kwartodienst) yang bekerja padanya setiap hari secara sah dan legal. Beberapa Raja bahkan menyewakan pekerja trop mereka ke orang-orang Eropa dan Arab di Ambon.
Mereka juga dipakai dan tidak
dibayar sebagai manusia perahu untuk mengantarkan para pejabat keliling pulau. Penghapusan kewajiban pengelolaan dan pemesanan membuat keuntungan besar bagi Raja tetapi sangat merugikan bagi warganya.
Kenyataan tersebut
berlangsung hingga tahun 1881, ketika Resident J.G.F. Riedel mengeluarkan suatu nota instruksi baru bagi Raja untuk menghentikan permintaan pelayanan kerja trop dari rakyatnya.
Nota tersebut juga secara mendetail menjelaskan batasan kekuasaan
judicial seorang Raja. Hal ini memunculkan protes dari para Raja. Banyak Raja yang tetap menginginkan kompensasi peningkatan pelayanan pribadinya (kwartodienst). Namun, kenyataan membuktikan bahwa reformasi yang dicetuskan Riedel tersebut
ternyata efektif dalam meredam kekuasaan Raja atas rakyatnya, dan juga kontrol atas sumberdaya ekonomi negerinya. Tahun 1920 pelayanan kwarto dan hakikil dihapuskan karena menyebarnya penyalahgunaan kekuasaan oleh Raja terhadap mereka. Selanjutnya diganti dengan kontribusi pemerintah (toelage) yang berupa pemberian secara adil lima guilders setiap orang dewasa per tahun. Penghapusan ini kemudian menimbulkan protes para Raja. Para Raja beranggapan bahwa pelayanan tersebut merupakan bagian integral dari sistem penggunaan tanah dati.
Hak untuk menggunakan dati (makan dati) juga
termasuk kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada Raja dan rumahtangganya. Jika kwarto ditarik maka sistem dati juga akan punah.
Hal tersebut dilakukan oleh
orang-orang Eropa untuk mengurangi pengaruh Raja terhadap lingkungannya sebagai patron. Akibatnya, secara ekonomi Raja menjadi terpuruk jika dibandingkan dengan pegawai pemerintah dalam negeri, para guru, dan pendeta. Sistem ini juga menurunkan pamor Raja dan mengarah pada rendahnya legitimasi rakyat kepada Raja-nya. Menurut catatan van der Kemp yang merujuk pada catatan harian Van Middelkoop yang dikutip oleh Idema (1917), sisa sejarah kolonial di Saparua dapat diklasifikasikan atas empat permasalahan, yaitu : 1. Masalah kekuasaan dan perdagangan, 2. Masalah penyebaran agama Katolik dan Protestan, 3. Masalah penganakemaskan kelompok Sarani, yang mana di satu sisi terkait dengan misi penyebaran agama tetapi di sisi lain terkait dengan upaya pengukuhan kekuasaan dan monopoli perdagangan. 4. Politik pecah belah, sesuatu yang mirip dengan politik menganakemaskan, tetapi dalam cakupan yang lebih luas dan cara-cara yang lebih kompleks. Masalah kekuasaan dan perdagangan sangat terkait dengan sistem penjajahan yang diterapkan bangsa Belanda.
Lewat usaha dagangnya VOC, Belanda
menyebarkan kekuasaannya ke seluruh kepulauan Nusantara termasuk Maluku. Dalam mengukuhkan kekuasaannya ini Belanda menerapkan sistem monopoli dan tanam paksa yang dilindungi dengan kekuatan militer yang besar.
Orientasi kekuasaan
menimbulkan perseturuan dengan para penguasa dan pedagang lokal. Misi Agama juga dijalankan oleh orang-orang Portugis yang sambil berdagang menyebarkan
agama
Katolik.
Orang-orang
Portugis
ini
cukup
luwes
dalam
perdagangan, tetapi misi penyebaran agamanya menimbulkan banyak reaksi. Tetapi
ketika orang Belanda juga mulai memasukkan unsur penyebaran agama, dengan segala kaitan masalah kekuasaan dan perdagangan di dalamnya, maka keberadaan bangsa Portugis terasa lebih lunak. Penganakemaskan penduduk yang mau memeluk agama Sarani dan melakukan politik pecah belah, ditambah dengan dukungan kekuatan militer yang besar menyebabkan Belanda menguasai Maluku termasuk Pulau Saparua. Oleh karena itu dapat disimpulkan, Belanda menjadikan agama sebagai salah satu komoditas politik sehingga menjadi bagian penting yaitu sebagai sumber konflik yang bersifat laten. Sebagai alat politik maka Belanda menganakemaskan kelompok Sarani dalam hal pendidikan, birokrasi, militer, dan polisi.
Kesempatan dalam pendidikan hanya
diberikan pada kelompok Sarani dan raja-raja negeri Salam. Sehingga kesempatan kelompok Sarani untuk memperoleh pendidikan, dan seterusnya memasuki birokrasi, militer dan Polisi lebih terbuka dibandingkan kelompok Salam yang hanya diwakili para Raja.
Sementara pemberian kesempatan kepada Raja negeri Salam, sebenarnya
menimbulkan kecemburuan bagi rakyatnya sendiri, sehingga menjadi sumber konflik terpendam. Inilah salah satu bentuk politik pecahbelah antar kerajaan atau antar negeri, internal kerajaan atau pun negeri, maupun bentuk-bentuk perpecahan lain yang didorong dengan iming-iming harta dan kekuasaan.
4.1.1. Konflik Agraria di Pedesaan Saparua Proses perubahan di pedesaan tidak terjadi secara otomatis, melainkan lebih diakibatkan oleh berlakunya berbagai faktor yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Interaksi antara faktor internal dan eksternal demikian kompleks sehingga memungkinkan berbagai interpretasi terhadap proses perubahan di pedesaan. Sebagian cendekiawan menekankan pada peranan faktor internal yang dipandang sebagai faktor yang dapat menentukan sekaligus menghambat proses perubahan di pedesaan.
Sedangkan cendekiawan lain
menekankan pada hubungan penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh pelapisan atas di kota-kota sehingga menimbulkan perubahan di desa, yang kadang-kadang perubahan tersebut bias menimbulkan hubungan yang bersifat eksploitatif. Menurut pendekatan neoklasik, di antara faktor-faktor internal yang penting yang mendorong pertumbuhan di desa itu adalah pertumbuhan pendudukan yang cepat yang kemudian mengakibatkan man/women-land ratio yang semakin menyempit dan menyempitnya pemilikan tanah, dan mulai tidak mampunya sumber-sumber di
pedesaan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat desa.
Sementara faktor-faktor
eksternal yang dianggap memiliki kontribusi cukup berarti dalam mendorong perubahan di pedesaan pada dasarnya mencakup aspek teknologis dan perluasan kapitalisme. Penganut pendekatan neo-populis percaya bahwa penyebaran teknologi merupakan faktor penting yang menjadikan daerah pedesaan berubah dari kondisi semula. Sedangkan penganut neomarxis cenderung lebih menekankan ekspansi kapitalisme sebagai penyebab terjadinya perubahan di pedesaan. Selain itu, dewasa ini banyak cendekiawan yang menaruh perhatian pada peran negara (state centered) yang diwujudkan dalam ekspansi birokrasi sebagai faktor eksternal penting yang menyebabkan perubahan di pedesaan. Hart (1986) misalnya, mengatakan bahwa perubahan program-program pembangunan pemerintah dan perubahan posisi pemerintah desa dari lembaga kepemimpinan masyarakat otonom menjadi ujung tombak struktur birokrasi.
Hal itu tergambar dari perubahan pranata
pedesaan lainnya sebagai akibat berlangsungnya modernisasi pertanian dalam hubungannya dengan pertananahan adalah adanya dinamika penguasaan tanah. Modernisasi pertanian yang berkembang pesat dalam sepuluh tahun terakhir ini kemudian memacu sekurang-kurangnya tiga jenis aktivitas yang ada hubungan dengan pertanahan di pedesaan, yaitu jual beli tanah, gadai menggadai tanah dan sewa tanah secara kontan (Sediono Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, 1984). Membahas masalah pertanahan menurut Gunawan Wiradi (1984) lebih baik menggunakan pendekatan lintas disiplin karena hubungan penguasaan tanah bukan saja menyangkut hubungan antara manusia dengan tanahnya, yang di negara-negara agraris dipandang bersifat “religio-magis”, melainkan juga menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia. Hubungan manusia dengan tanah ialah aktivitas manusia dalam menggarap/menguasahakan tanah, sehingga orang lain tidak boleh memakainya, atau boleh tetapi dengan syarat-syarat tertentu. Kemudian terlihat adanya hubungan antara pemilik tanah dengan buruhnya, antara sesama buruh tani atau antara orang yang langsung maupun tidak langsung terlibat dalam proses produksi di atas tanah tersebut.
Dari sinilah aspek utama sengketa-sengketa tanah harus dilihat, karena
masalah tanah sebenarnya merupakan masalah pembagian dan penyebaran sekaligus menyangkut hubungan kerja dalam proses produksi. Secara makro, hubungan tanah dan manusia tidak dapat dipisakan. Antara satu kebudayaan ke kebudayaan yang lain semuanya menunjukkan adanya hubungan
antara tanah manusia walau pun, di tingkat mikro erat tidaknya hubungan tersebut menjadi relatif tidak sama.
Namun, secara makro tidak dapat dilepaskan pula dari
pengertian identitas suatu bangsa atau kelompok manusia sekaligus merepesentasikan totalitasnya. Dalam tingkat ini, manusia dengan segala kekuatan dan kemampuannya sanggup berkorban untuk mempertahankan tanahnya dari penguasaan orang lain walau pun luas tanah yang dimilikinya hanya sejengkal saja. Kenyataan demikian semakin memperjelas bahwasannya, tanah memilki nilai-nilai yang penting dalam kehidupan manusia. Konflik atau peperangan yang terjadi antara negeri serta antara manusia bukan saja memperebutkan tanah-tanah yang subur semata, tetapi ada nilai lain yang melekat dalam hubungan antara tanah dan manusia. Di Maluku Tengah terutama di Saparua perbedaan-perbedaan interpretasi manusia terhadap tanah ditentukan oleh kebudayaan yang dianut oleh pendukungnya (manusia sendiri).
Pandangan terhadap tanah dan
relasi antara manusia dan tanah untuk orang-orang Maluku Utara akan berbeda dengan orang di Maluku Tengah, demikian pula keduanya akan berbeda dengan orang di Maluku Tenggara.
Masing-masing daerah mempunyai konsep tanah yang berbeda,
akibat perbedaan pemahaman atau pun interpretasi terhadap lingkungan yang berbeda sehingga melahirkan adat-istiadat tanah yang berbeda pula.
4.1.2. Merujuk Konflik Agraria di Masa Lampau Memang secara faktual dan berdasarkan penelusuran data-data, dapat dilihat bahwa konflik yang berkembang di Saparua selalu didasari oleh dua hal yaitu permasalahan batas tanah (batas dusun antar sesama anak negeri maupun berbeda negeri).
Bahkan bukan saja pertikaian biasa yang terjadi, tetapi sudah merembes
menjadi pertikaian antar negeri dan memakan korban baik harta benda maupun korban jiwa. Bukti yang dapat disebutkan yaitu, pertikaian antara Noloth dan Iha yang dibantu gandongnya Ihamahu akibat permasalahan batas tanah. Konflik dimaksud tidak terjadi sekali saja, tetapi dapat muncul kapan saja dengan pokok persoalan yang sama yaitu batas tanah antara kedua negeri. Kelemahan yang paling besar dari terbengkalainya penyelesaian konflik tersebut disebabkan oleh tidak adanya dasar hukum yang dapat dipakai untuk membuktikan kebenaran argumen masing-masing pihak. Negeri Iha misalnya, menganggap bahwa seluruh wilayah Hatawano sebagai tanah milik mereka yang merupakan warisan dari nenek moyang mereka pendiri
Kerajaan Iha.
Hal mana juga diakui oleh negeri Ihamahu sebagai gandongnya.
Memang antara Iha dan Ihamahu sama-sama merupakan generasi selanjutnya dari pendiri Kerajaan Iha, namun kemudian terpecah akibat perbedaan agama. Negeri Iha penduduknya tetap memeluk agama Salam yang dibawa dari Kerajaan Iha, sementara negeri Ihamahu mengikuti agama Sarani yang dianjurkan oleh penjajah Belanda. Hal ini juga meneyebabkan negeri Ihamahu memiliki tanah warisan yang jauh lebih besar, dibandingkan dengan negeri Iha.
Bahkan jika ditelusuri lagi, pada dasarnya tanah
negeri Iha harus meliputi sepanjang jalur jazirah Hatawano sejak dari negeri Itawaka sampai negeri Tuhaha.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa, negeri Itawaka juga
terbentuk karena adanya tugas oleh pemerintahan Kerajaan Iha untuk menjaga keamanan di ujung jazirah Hatawano.
Hal tersebut dibuktikan dari keberadaan air
potang-potang sebagai sumber air penting, yang digunakan oleh keturunan Kerajaan Iha (Iha dan Ihamahu) saat berperang melawan musuh. Demikian pula dengan Ihamahu, yang memiliki tanah warisan yang cukup luas dari Kerajaan Iha karena mengikuti keinginan Belanda untuk menetap di pesisir dan memeluk agama Sarani.
Keadaan ini terjadi setelah Kerajaan Iha diserang dan
dihancurkan oleh armada laut Belanda. Saat Belanda menginjakkan kakinya di bumi Saparua, mereka mulai berupaya untuk menghancurkan kerajaa Iha yang dianggap sebagai musuh karena tidak mau mengikuti peraturan dagang yang dibuat Belanda.
Selain itu, perbedaan agama
menyebabkan Belanda sulit untuk menyebarkan agama Sarani yang menjadi strategi politik saat itu. Mengingat setelah memeluk Sarani maka, pemimpin negeri-negeri di Saparua dapat dibujuk untuk melakukan apa saja bagi kepentingan Belanda dengan iming-iming kedudukan dan hadiah termasuk pemberian tanah warisan. 4.2. Struktur Sosial Masyarakat Saparua 4.2.1. Latar Belakang Sejarah Masyarakat Saparua umumnya berasal dari daerah pedalaman Pulau Seram (yang sering disebut sebagai Nusa Ina atau Pulau Ibu). Karena sifatnya nomaden, menyebabkan mereka berpindah-pindah sampai pada akhirnya mendiami suatu daerah tertentu sampai akhirnya menetap di Pulau Saparua.
Sebelum sampai di Saparua
nenek moyang sebagai pendahulu Pulau Saparua harua melalui berbagai tahapan waktu yang berbeda antara satu negeri dengan negeri yang lain. Sebagai gambaran, masih dipertentangkan antara negeri mana yang pertama mendiami Saparua. Namun
beberapa catatan sejarah menunjukkan bahwa, jauh sebelum kedatangan Portugis dan Belanda ternyata di Saparua sudah berdiri Kerajaan Iha sebagai pusat agama Salam (sebelumnya masyarakat Saparua memeluk agama suku atau sering disebut agama Nunusaku yang dibawa oleh mereka dari negeri asal mereka di Pulau Seram, dimana agama Nunusaku tersebut cenderung dekat dengan agama Hindu jika dilihat dari namanama atau marga pemimpin negeri waktu dulu). Pada mulanya, tempat asal usul masyarakat Saparua di Pulau Seram yang sering disebut Nunusaku aman dan damai. Sampai suatu saat terjadilah peperangan antara orang-orang di daerah Nunusaku (antara Patasiwa dan Patalima). Peperangan menyebabkan masyarakat yang berdiam di daerah Nunusaku berpindah tempat, dan membentuk kelompoknya sendiri.
Adapula yang langsung menyebar ke berbagai
tempat lain, sebagian ke utara dan sebagian lagi menuju ke selatan. Mereka yang menuju ke selatan inilah yang kemudian menamakan diri sebagai orang Noaulu atau suku Noaulu. Setelah suasana aman, sebagian orang asli Pulau Seram yang kemudian disebut orang Noaulu yang tadinya berpencar kembali besatu di suatu tempat yang bernama Aipura (daerah pedalaman). Di Aipura inilah mereka membentuk kesatuan sosial yang tetap mempertahankan identitas dirinya, sebagai orang Noaulu atau suku Noaulu. Sementara sebagian yang lain kemudian mencari daerah baru di sekitar Pulau Seram seperti Pulau Haruku, Nusalaut dan termasuk pula Saparua.
Bahkan ada
dugaan pula bahwasannya penyebaran ini sampai ke Pulau Ambon. 4.2.2. Sistem Pemerintahan Adat Badan Saniri Negeri atau Dewan Desa merupakan lembaga pemerintahan negeri yang utama di Saparua. Namanya sendiri merujuk pada sejarah pembentukannya. Kata “Badan berarti sekumpulan orang yang merupakan kesatuan untuk mengerjakan sesuatu”; Saniri merupakan istilah bahasa Seram untuk Dewan yang dulu memerintah deerah tiga batang air (tiga sungai Eti, Tala dan Sapalewa); sedangkan Negeri adalah bentuk melayu dari bahasa sansekerta nagara yang berarti daerah, kota atau kerajaan (menunjuk pada suatu wilayah pemerintahan). Badan Saniri Negeri di waktu lampau sedikitnya mengandung empat jenis jabatan.
Kekuasaan politik masing-masing jabatan berkurang menurut urutannya.
Golongan pertama mencakup jabatan-jabatan tradisional yang masih berfungsi penuh, seperti Raja (kepala desa) dan kepala soa (sekumpulan matarumah). Golongan kedua
terdiri dari petugas-petugas tradisional yang memangku hanya sebagian dari tugas-tugas sejenis seperti tuan tanah.
Golongan ketiga ialah petugas-petugas tradisional yang
fungsi aslinya hampir hilang, seperti malesi dan kapitan (panglima perang). Golongan keempat ialah jabatan-jabatan tertentu yang tidak diisi lagi, seperti mauweng (pendeta adat). Satuan politik yang paling pertama adalah persekutuan-persekutuan hidup yang agak sederhana, terdiri dari kelompok-kelompok kecil keluarga yang berpindah-pindah kemudian menetap di suatu tempat (mungkin terjadi sebelum tahun 1450).
Setiap
pemukiman dikepalai oleh seorang upu yang bertanggungjawab atas semua urusan keduniaan. Dalam urusan perang, ia dibantu oleh malessi. Sementara untuk urusan agama dan hubungan dengan dunia seberang dilakukan oleh mauweng dan pembantunya malimu dan maitele.
Upu merupakan keturunan pemimpin suatu soa
sebagai kelompok matarumah pendatang yang pertama.
Kemudian dua atau lebih
kelompok semacam itu bergabung untuk membentuk pemukiman kecil yang disebut aman. Soa saat dahulu juga lebih kecil dari soa sekarang ini karena hanya mencakup matarumah asli, keluarga patrilineal yang datang pada perpindahan pertama. Pendatang berikutnya kemudian dimasukkan pula ke dalam soa. Kemudian muncul seorang pemimpin tunggal yang bergelar latu dari antara pemimpin (upu) soa-soa itu.
Pemimpin-pemimpin yang lain menjadi pembantunya,
namun tetap bertanggungjawab atas kelompok asalnya.
Matarumah yang datang
pertama, tetap diistimewakan dengan berbagai cara yang khas dan pemimpinnya kemudian dikenal dengan gelar tuantanah, walau pun kemudian digantikan oleh matarumah yang lain dalam kedudukan sebagai pemimpin utama.
Selagi penduduk
terus bertambah dan negeri-negeri meluas, aman mulai bergabung ke dalam federasifederasi yang disebut uli. kilometer dari pantai.
Aman-aman ini bertempat di pegunungan, dua atau tiga
Aman yang berpengaruh dalam masing-masing uli akhirnya
sampai saat ini disebut sebagai “negeri lama”. Negeri-negeri lama adalah Negeri di mana matarumah raja (kepala Negeri) dan matarumah tuan tanah bermukim. Biasanya uli itu terdiri dari lima atau sembilan aman. Penguasa dan aman yang terkuat menduduki tempat utama dan menyediakan pemimpin federasi sebaga raja (kepala desa). Negerinegeri anggota uli lainnya dipimpin oleh penguasa bawahan yang disebut “patih” atau “orangkaya”. Sangat mungkin penggabungan ke dalam federasi dilakukan jauh sebelum kedatangan Portugis, serta dilakukan untuk melawan serangan dari kelompok-kelompok
yang kuat persenjataan dan keterampilannya yang berasal dari Jawa, Sulawesi dan Maluku Utara (Cooley, 1962). Sistem Kekerabatan Masyarakat. Pada
umumnya
di
Maluku
sistem
kekerabatan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat ialah sistem kekerabatan yang berdasarkan hubungan patrilineal diiringi dengan pola menetap matrilokal.
Sistem
kekerabatan yang berdasarkan hubungan patrilineal ini menyangkut kelangsungan hidup suatu matarumah.
Oleh karena itu, matarumah memegang peranan utama
dalam kehidupan keluarga. Matarumah ialah suatu kesatuan hidup dari laki-laki dan perempuan yang belum kawin dan para istri yang sudah kawin dengan anak laki-laki suatu keluarga. Sesuai dengan garis keturunan patrilineal ini, maka perkawinan antara satu fam (marga) dilarang dan menghendaki suatu perkawinan ke luar yaitu dengan keluarga lain (exogami).
Seorang wanita yang telah menikah akan keluar dari garis keturunan
ayahnya, kemudian ia berpindah fam (marga) mengikuti garis nama keluarga suaminya. Dengan demikian sekaligus dia akan kehilangan hak-haknya selaku seorang anak di dalam keluarga ayahnya. Sebagaimana dijelaskan Blood (1972 : 167) bahwa, sistem kekerabatan merupakan suatu perluasan sistem keluarga dan memiliki pengaruh yang kuat terhadap keluarga.
Sistem kekerabatan cenderung untuk mempertahankan
keberadaan keluarga melalui pola teladan interaksi informal. Sistem kekerabatan ini meliputi pula keluarga inti (nuclear family) dan keluarga diperluas (extended family). Keluarga Inti. Unit terkecil di dalam sistem kekerabatan ialah keluarga batih (nuclear family).
Keluarga batih terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang dikenal
dengan sebutan rumahtangga. Mula-mula terbentuk suatu keluarga. Dari keluarga, meningkat menjadi matarumah yang merupakan gabungan dari beberapa rumahtangga. Beberapa matarumah kemudian membentuk soa dan kumpulan soa membentuk negeri atau desa. Bentuk-bentuk ini merupakan bentuk keluarga dari suatu masyarakat yang memiliki hubungan genealogis. Sebutan keluarga batih (ayah, ibu, anak), menunjuk pada ayah yang mempunyai peranan utama. Ayah selaku kepala keluarga sekaligus bertanggungjawab kepada seluruh anggota keluarga. Anak-anak yang dilahirkan akan dikelompokkan pada kelompok ayah. Demikian juga pemeliharaan hak, wewenang dan kewajiban kerabat adalah menurut garis ayah. Keluarga Luas. Keluarga luas biasanya dijumpai di daerah Maluku. Adapun fungsi dari keluarga luas ini ialah untuk mewujudkan suatu tanggungjawab sang anak dalam memelihara orangtuanya. Di samping itu pula, untuk membiasakan anak menjaga
hubungan dengan pihak orangtua. Namun, belum dapat dipastikan bahwa matarumah ialah istilah yang tepat untuk keluarga luas (extended family). Apabila seorang anak perempuan menikah, ia akan tinggal dengan keluarga suaminya sehingga kelihatannya merupakan sebuah keluarga batih besar. Mereka akan tetap menetap dalam rumah, tidur bersama-sama demikian pula dalam hal memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ayah dan suami akan bersama-sama bekerja (mencari makan), untuk seluruh anggota keluarga. Apabila mereka ingin membangun rumah, maka akan diusahakan agar rumah baru tersebut letaknya tidak jauh dari rumah batihnya (viriolokal).
Meskipun sudah
pindah rumah, namun biasanya tanggungjawab untuk mencari makan tetap diusahakan secara bersama-sama, walaupun tidak merupakan suatu kewajiban sehingga ada juga keluarga yang mengurus dirinya sendiri.
Itulah sebabnya tidaklah pasti, ungkapan
matarumah dipakai untuk penyebutan keluarga luas, sebab masalah tempat tinggal dan se-dapur bukan merupakan ukuran untuk penyebutan keluarga luas. Menurut Blood (1972 : 177), peraturan kekerabatan dalam masyarakat tradisional masih sangat kuat, dimana keluarga baru sangat jarang untuk diijinkan tinggal sesuai dengan pilihan mereka. Sistem kekerabatanlah (extended family) yang menentukan dimana keluarga baru itu akan menetap. Biasanya tempat tinggal mereka terpisah, namun masih dekat dengan keluarga salah satu pihak, apakah dari pihak suami ataukah dari pihak isteri. Keturunan dan Status. Kehidupan orang-orang Saparua menunjukkan bahwa,, ukuran tinggi rendahnya status seseorang tergantung dari matarumah tempat ia berasal. Biasanya yang menjadi warga utama yang dihormati oleh warga lainnya ialah keturunan atau matarumah yang menghasilkan Raja (pemimpin negeri/desa), kapitan atau panglima perang, kepala adat atau keluarga lain yang duduk di badan pemerintahan. Penghormatan ini terlihat dari cara warga desa lainnya berbicara dengan mereka, seperti disapa dengan panggilan-panggilan khas dan diikuti dengan membungkukkan badan sebagai ciri kedudukan status sosial yang lebih rendah. Atau pun saat bertemu, maka yang berstatus rendah akan menyapa sambil membungkuk terlebih dahulu. Demikian pula saat pertemuan dengan Raja, maka masyarakat akan bersila di atas tanah sedangkan Raja duduk di tempat yang lebih tinggi. Sistem Patrilineal. Struktur masyarakat Saparua didasarkan pada ikatan genealogis territorial yang tersusun menurut garis bapak atau patrilineal. Masyarakat demikian berarti masyarakat hukum adat yang anggotanya merasa terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan kepercayaan berasal dari satu keturunan menurut garis laki-laki dan terikat pada tanah atau daerah tertentu.
Unsur genealogis merupakan unsur
pengikat yang lebih kuat dibandingkan dengan unsur territorial (tanah). Hal ini bukan berarti bahwa, ikatan antara kelompok dengan tanah tidak mempunyai pengaruh yang kuat dalam perpaduannya dengan ikatan genealogis. Dalam hal pemilikan, pewarisan, dapat dilihat adanya saling pengaruh antara ikatan genealogis dan ikatan territorial. Faktor struktural masyarakat saparua memiliki fungsi laten yang merupakan akar dari perkelahian antarnegeri, yang ditandai oleh sikap-sikap mereka yang keras. Selain itu, ikatan genealogis dan tanah memegang peranan penting dalam memelihara nilai kebersamaan serta nilai kesetiaan antara anggota. Rasa kebersamaan karena saling percaya memperkuat mentalitas riligiomagis, yang menguasai seluruh kehidupan individu dan kelompok untuk mewujudkan satu bentuk perkelahian massal. 4.3. Penduduk Saparua 4.3.1. Pertumbuhan Penduduk dan Migrasi Jumlah penduduk Pulau Saparua tahun 2005 sebesar 33.221 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebesar 16.654 jiwa dan Perempuan 16.567 jiwa. Selain itu terdapat 8 warga negara asing yang bertempat tinggal di Negeri Saparua.
Bila
dibandingkan per negeri maka jumlah penduduk dan kepadatan Negeri Haria lebih besar dibandingkan negeri-negeri lainnya di Pulau Saparua (Tabel 5). Tabel 5. Luas, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Negeri di Pulau Saparua JUMLAH PENDUDUK (JIWA) 1 OUW 9,50 1.721 2 ULATH 6,80 1.612 3 SIRISORI SALAM 8,20 2.059 4 SIRISORI AMALATU 18,00 2.005 5 SAPARUA 8,00 2,694 6 TIOUW 7,90 1,466 7 PAPERU 9,10 1.343 8 BOOI 8,20 1.024 9 HARIA 16,70 6.464 10 PORTO 23,50 2.513 11 KULUR 6,50 837 12 TUHAHA 13,30 2.350 13 MAHU 6,55 654 14 IHAMAHU 12,10 1.505 15 IHA 0,75 16 NOLLOTH 11,20 3.070 17 ITAWAKA 10,20 1.904 Sumber : Kecamatan Saparua Dalam Angka Tahun 2006 NO
NEGERI
LUAS (KM2)
KEPADATAN (ORANG / KM) 181,16 237,06 251,10 111,39 336,75 185,57 147,58 124,88 387,07 106,94 128,77 176,69 99,85 124,83 247,11 186,67
4.3.2. Keragaman Etnik dan Religi Secara rinci komposisi penduduk di Saparua terdiri dari beberapa etnis antara lain etnis Maluku keturunan Arab, penduduk asli blasteran Negroid-Melayu, dan etnis pendatang dari Bugis, Buton, Makasar, Sumatera, Jawa, Madura, Bali, Toraja dan Cina. Di antara etnis pendatang tersebut yang paling dominan adalah Buton, Bugis dan Makasar (BBM). Etnis Buton merupakan etnis yang paling banyak dan lama menetap di Saparua. Pendatang Buton pertama kali datang ke Saparua sekitar tahun 1800-an. Awal kedatangannya waktu itu, untuk membantu kerajaan Salam Iha mengahadapi Belanda. Kemudian mereka memilih menetap di Saparua karena daerah asal mereka (Pulau Binungku – Tukangbesi di Sulawesi Tenggara), merupakan daerah tandus yang tidak berpotensi untuk usaha pertanian. Namun kemudian, ada juga pendatang Buton yang kemudian melakukan kawin campuran dengan penduduk asli dan memeluk agama Sarani. Tidak sedikit juga penduduk asli Sarani yang kawin dengan pendatang Buton kemudian berpindah mengikuti keyakinan agama Salam. Etnik Buton sejak awal kedatangannya mendiami lahan-lahan perkebunan di daerah perbukitan di belakang negeri (kawasan Saru dan gunung Panjang di negeri Saparua). Sebagian lain menetap di kawasan pesisir yang belum didiami (kawasan Waisisil di negeri Paperu dan kawasan Lawena di negeri Sirisori Sarani).
Mereka
berjumlah puluhan kepala keluarga, dan hampir seluruhnya menetap di kawasan yang cukup luas di sekitar negeri Sirisori Sarani. Kehadirannya dapat diterima oleh anak negeri Salam maupun Sarani, namun dianggap sebagai kelas rendah, yaitu petani penggarap lahan baik lahan berupa tanah Dati maupun tanah Negeri.
Sejak
kedatangan etnik ini sampai tahun 1970-an, mereka membentuk komunal yang terpisah dari anak negeri dan hidup dengan tradisi maupun agama yang dianutnya secara bebas. Perkembangan selanjutnya mengarah pada proses interaksi dan perkawinan antara etnik Buton dengan kelompok Salam maupun Sarani, setelah lama tinggal dalam beberapa generasi dan mampu berinteraksi serta menyesuaikan dengan adat setempat. Meskipun demikian, etnik Buton tidak ikut andil dan berpengaruh dalam persoalan politik, namun cukup berperan ketika kita memasuki sektor ekonomi karena mereka umumnya bekerja sebagai buruh kasar di pasar dan pelabuhan, serta pengelola lahan yang kurang subur. Secara berturut-turut kemudian masuk pendatang Bugis, Makasar, Muna, Padang, Toraja, Cina dan kemudian Jawa. Etnis Bugis, Makasar, Muna, Padang dan Toraja datang ke Saparua sekitar tahun 1900-an dengan berdagang sebagai tujuan
utama.
Sementara ada juga etnis Jawa masuk setelah berlangsungnya program
transmigrasi sekitar tahun 1960-an, yang kemudian beberapa kepala keluarga yang tidak tahan di lokasi transmigrasi (Desa Waimital dan Waihatu Kecamatan Kairatu), kemudian mulai mencari hidup ke tempat lain termasuk pula ke Saparua sebagai pedagang di sektor informal. 4.4. Perekonomian Rakyat Komoditas utama pertanian rakyat didominasi tanaman pangan seperti Umbi-umbian dan kacang-kacangan, kemudian jagung.
Tanaman sayuran mulai diusahakan secara
kontinu setelah konflik merebak di Pulau Saparua dan sekitarnya, sehingga masyarakat mengalami kesulitan untuk memperoleh sayuran yang akan dikonsumsi. Jenis sayuran yang diusahakan yaitu, bayam, kubis, kacang panjang, terong, ketimun, kangkung. Sementara itu, sejak masa penjajahan Belanda penduduk Saparua sudah mengusahakan tanaman perkebunan sebagai komoditas utama sumber pendapatan. Tanaman perkebunan yang diusahakan terutama kelapa, cengkih, pala dan cokelat. Selain menggantungkan diri dari sektor pertanian, sektor perikanan juga menjadi andalan masyarakat mengingat semua negeri di Saparua berkedudukan di pesisir pantai. Namun faktor iklim menjadi kendala utama sehingga tidak sepanjang tahun masyarakat menggantungkan dirinya kepada usaha di sektor perikanan. Menurut Statistik Kecamatan Saparua dalam Angka (2006), rumahtangga perikanan tangkap berjumlah 1.304, sementara jumlah nelayan tangkap berjumlah 2.380 jiwa.
Bahkan telah dibentuk kelompok usaha
sebanyak 60 kelompok untuk menunjang Pogram Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir. Jumlah alat tangkap serta kapal penangkap yang digunakan sangatlah bervariasi antara negeri, serta bergantung dari potensi ikan yang dimiliki oleh wilayah tangkapan masing-masing negeri.
Nilai produksi sektor perikanan di tahun 2006 sebesar Rp.
6.216.175.000 dengan biaya eksploitasi Rp. 934.426.300, sehingga sisa nilai produksi mencapai Rp. 5.283.748.000. Sementara pendapatan per kapita per tahun mencapai Rp. 2.220.062 yang tergolong sangat rendah, karena per harinya setiap keluarga nelayan hanya memiliki pendapatan sebesar Rp. 6.167. Sagu sebagai makanan pokok tidak termasuk dalam jenis tanaman utama karena sagu tumbuh secara alami. Sagu kemudian diolah menjadi sagu mentah yang diikuti dengan teknologi pasca panen, yang menghasil berbagai jenis produk turunan seperti bagea, sagu lempeng, sarut, sagu gula, dan lain sebagainya. Produk-produk olahan inilah yang menjadi produk andalan industri rumahtangga (home industry) yang dikelola kaum perempuan.
Produk olahan tersebut kemudian ada yang diperdagangkan sampai ke propinsi lain di kawasan timur Indonesia. Misalnya ke Papua, Maluku Utara dan Sulawesi Utara. Proses perdagangan ini biasanya mengikuti jalur transportasi laut yang menjadi saluran penghubung utama dari Maluku ke propinsi lain di kawasan Timur. Berkembangnya sistem perdagangan yang dilakoni kaum perempuan kemudian memunculkan istilah papalele atau kemudian lebih disebut dengan perempuan papalele.