22
IV. KONDISI UMUM KABUPATEN MAMUJU UTARA 4.1.Letak Geografis Kabupaten Mamuju Utara terletak di bagian utara Provinsi Sulawesi Barat atau pada bagian barat dari Pulau Sulawesi Ibu kota kabupaten ini terletak di Pasangkayu. Kabupaten Mamuju Utara merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Mamuju yang terletak 719 km dari Makassar. Secara geografis terletak pada posisi:
0° 40’ 10” – 10° 50’ 12” Lintang Selatan
119° 25’ 26” – 119° 50’ 20” Bujur Timur dari Jakarta, (0° 0’ 0” Jakarta = 160° 48’ 28” Bujur Timur Green Wich).
Kabupaten Mamuju Utara dibatasi oleh :
Utara
Timur :
Kabupaten Luwu Utara;
Selatan :
Kabupaten Mamuju;
Barat
Selat Makasar.
:
:
Kabupaten Donggala;
Gambar 8. Peta Batas Kecamatan Kabupaten Mamuju Utara.
23
Kabupaten Mamuju Utara dengan luas wilayah 304.375 Ha yang secara administrasi kepemerintahan pada tahun 2007 terbagi atas 11 kecamatan, terdiri dari 63 desa. Kecamatan Baras merupakan kecamatan terluas yaitu 53.631 Ha atau 17,62% dari seluruh luas wilayah Kabupaten Mamuju Utara, sedangkan kecamatan terkecil adalah Kecamatan Pedongga yaitu 3.011 Ha (0,69%). Jarak antara kecamatan dengan ibukota kabupaten yang paling jauh adalah Kecamatan Duripoku dengan ibukota Tammarunang yang berjarak sekitar 101 km dari Pasangkayu, sedangkan kecamatan yang terdekat adalah Kecamatan Pedongga yang beribukota di Malei yang berjarak sekitar 15 km dari Pasangkayu.
4.2.Penutupan Lahan Secara umum wilayah di Kabupaten Mamuju Utara di dominasi oleh penggunaan lahan untuk perkebunan yang terdiri dari perkebunan ke coklat, jeruk dan kelapa dalam. Selain untuk perkebunan seluas 133.197 ha atau 43,76% dari luas wilayah kabupaten Mamuju Utara, sebagian kecil lahan digunakan untuk persawahan seluas 1.211 ha atau 0.40%, pemukiman seluas 2.315 ha atau 0,76%, dan sebagai lahan tambak seluas 1.281 ha atau 0,42%. Meskipun demikian sampai saat ini masih terdapat wilayah hutan yang cukup luas, yang meliputi area seluas 165.187 wilayah Kabupaten Mamuju Utara.
4.3.Penduduk Kabupaten ini berpenduduk 100.227 jiwa dimana 53.153 adalah laki-laki dan sisanya 47.074 jiwa adalah wanita. Populasi tersebut tersebar di 4 kecamatan dengan total luas wilayah 304.375 Km². Jumlah penduduk Mamuju Utara pada pada Tahun 2006, 2007 dan 2008 berturut-turut adalah 110 446 jiwa, 130 991 jiwa dan 143 163 jiwa (Mamuju Utara dalam Angka, 2009). Jumlah penduduk mengalami peningkatan sejalan dengan waktu. Pada Tabel 7 nampak bahwa beberapa kecamatan baru dibentuk menjelang 2008 karena adanya pemekaran daerah, sehingga pada Tahun 2006 dan 2007 tidak ada penduduknya.
24
Tabel 7. Jumlah Penduduk pada Setiap Kecamatan Pada Tahun 2006. 2007 dan 2008 Kecamatan District Sarundu Dapurang Duripoku Baras Bulu Taba Lariang Pasangkayu Tikke Raya Pedongga Bambalamotu Bambaira Sarjo Jumlah/total
2006 22.208 28.924 32.163 27.251 110.546
Tahun - Year 2007 30.209 34.179 35.978 30.625 130.991
2008 13.307 15.522 7.274 16.335 13.886 7.136 18.394 12.452 6.580 16.507 8.987 6.783 143.163
Secara keseluruhan, jumlah penduduk paling besar berada pada kelompok umur 5-9 tahun yaitu sebesar 12.315 jiwa. Jenis kelamin dari penduduk Mamuju Utara lebih besar laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Hal ini dapat dilihat dari rasio jenis kelamin masing-masing kecamatan yang mempunyai nilai lebih dari 100. Pada Tahun 2008 penduduk Mamuju Utara tertinggi berada di Kecamatan Pasangkayu yaitu sebesar 18.394 jiwa, sedangkan kecamatan yang paling sedikit penduduknya adalah Kecamatan Pedongga yaitu 6 580 jiwa. Namun demikian, kecamatan kepadatan penduduk sebesar 25,27 jiwa per km2. Sementara kepadatan penduduk Kecamatan Pasangkayu sendiri sebesar 82,56 jiwa per km2.dengan kepadatan penduduk paling tinggi adalah Kecamatan Sarjo dengan kepadatan penduduk sebesar 25,27 jiwa per km². Sementara kepadatan penduduk Kecamatan Pasangkayu sendiri sebesar 82,56 jiwa per km².
25
PEMBAHASAN 5.1. Interpretasi penutupan lahan Mamuju Utara tahun 2010 Peta penutupan lahan bersumber dari (KLH, 2010), namun pada beberapa lokasi dijumpai ketidaktepatan koreksi geometri dan deleniasi penggunaan lahan sehingga dilakukan perbaikan interpretasi pada lokasi tersebut. Beberapa ketidaktepatan kenampakan objek di citra dapat dilihat pada Gambar 9.
(a)
(c)
(b)
(d)
Gambar 9. Contoh Batas Objek yang Belum Diperbaiki (merah) dan Sudah Diperbaiki (hitam) pada (a & d) Tubuh Air, (b) Kebun Campuran, (c) Hutan. Dalam interpretasi penutupan dari citra Landsat digunakan kombinasi band 543 (RGB). Kombinasi band tersebut dipilih karena memiliki kekontrasan yang tinggi sehingga memudahkan untuk membedakan penutupan lahan. karakteristik kenampakan kelas penutupan lahan pada citra Landsat yang terdapat di Kabupaten Mamuju Utara disajikan pada Gambar 10.
26
Kc
Kb
Hp
Kebun campuran (kc)
Hutan primer (hp)
Mgv
Perkebunan (kb)
Mangrove (mgv) Tmb
Ta Sb
Tg
Semak belukar (sb)
Tubuh air (Ta)
Tegalan (Tg)
Tnb
Tambak/empang (Tmb) Pmk
Rw
Sw
p
Tanah Terbuka (Tnb) Rawa (Rw) Sawah (Sw) Pemukiman (Pmk) Gambar 10. Kenampakan Penutupan Lahan pada Citra Landsat Kabupaten Mamuju Utara, 2010. Hutan primer (Hp) memiliki pola dengan bentuk bergerombol, ukurannya luas, berwarna hijau tua sampai gelap dengan tekstur relatif kasar. Hutan primer tersusun oleh vegetasi yang rapat sehingga kanopi antar vegetasi saling menutupi dan tersusun dari vegetasi dengan ketinggian yang lebih rendah (stara kedua) yang berupa tanaman berkayu, tanaman bawah yang berupa semak belukar dan didominasi oleh pohon Gmenia, Eukaliptus. Hutan Primer merupakan jenis penggunaan lahan yang mendominasi di Kabupaten Mamuju Utara yaitu ± 50%. (KLH, 2010). Kebun campuran (Kc), dibandingkan dengan hutan, kenampakan kebun campuran pada citra Landsat lebih berwarna terang dengan tekstur relatif kasar dan polanya bergerombol atau berdekatan dengan pemukiman atau mengikuti jalur aliran sungai. Pada Kabupaten Mamuju Utara kebun campuran didominasi oleh tanaman ketapang, pisang, angsana dan coklat. Dalam kawasan kebun campuran juga dijumpai tanaman bawah yang berupa rumput dan dibeberapa lokasi nampak adanya semak belukar (KLH, 2010).
27
Perkebunan (Kb) sawit memiliki karakter bentuk dan pola bergerombol hingga menyebar dengan tekstur halus dan berwarna hijau muda. Perkebunan sawit
terletak diantara hutan dan lahan-lahan terbuka, terkadang bercampur
dengan kawasan permukiman (KLH, 2010). Umur kelapa sawit memberikan warna serta ukuran kanopi yang berbeda. Pada umumnya, kelapa sawit dengan umur muda memiliki kanopi lebih kecil dan berwarna hijau muda dibandingkan dengan kelapa sawit yang tua. Fenomena tersebut akan berpengaruh terhadap nilai reflektan pada citra Landsat. Tegalan/Ladang (Tg) memiliki warna terang dan tekstur kasar, pola yang menyebar, bentuk tidak beraturan. Tegalan/ladang didominasi oleh tanaman pangan seperti singkong dan jagung. Tanaman bawah pada kawasan tegalan/ladang relatif lebih jarang dan di beberapa lokasi dijumpai tanah tanpa vegetasi (KLH, 2010). Rawa (Rw) memiliki pola yang tidak teratur, warna bercak gelap kebiruan. Di Kabupaten Mamuju Utara rawa berupa lahan yang sedikit tergenang dan dijumpai tanaman rawa yang berupa tanaman liar serta dijumpai tanaman lain seperti kelapa dengan jarak yang lebar (KLH, 2010). Mangrove (Mgv) memiliki pola yang tidak teratur dan bergerombol, warna yang gelap kebiruan dan berada dekat pantai. Mangrove merupakan hutan bakau, nipah dan nibung yang berada disekitar pantai didominasi oleh jenis vegetasi bakau (Rhizophora sp) dan api-api (Avecinia sp). Mangrove merupakan vegetasi hutan yang tumbuh diatas garis pasang dan surut, tetapi juga dapat tumbuh pada pantai karang, dataran koral mati yang diatasnya ditimbuni selapis tipis pasir atau ditimbuni lumpur (Darsidi, 1986). Kondisi mangrove bervariasi antara mangrove yang masih kecil (baru ditanam), mangrove yang tua dengan kanopi yang cukup lebar dan mangrove yang telah ditebang. Pada beberapa lokasi, hutan mangrove berada lebih ke pedalaman (KLH, 2010). Tambak/empang (Tmb), Kenampakan tambak/empang pada citra Landsat memiliki pola berpetak-petak berwarna biru kehitaman gelap. Tambak/empang berupa petakan yang berisi air payau sebagai tempat pemeliharaan ikan, udang. Tambak/empang terletak didekat pantai karena kebutuhan suplay air laut dengan pembatasnya berupa galengan (KLH, 2010).
28
Tubuh air (A) berwarna biru dan memiliki pola yang berkelok-kelok (meander) pada sungai. Tubuh air dominan berupa genangan kecil yang menyebar dibeberapa lokasi. Semak belukar (Sb) bentuk tidak teratur, berwarna hijau agak terang, pola teratur, terdapat diantara perkebunan dan hutan ada juga yang berbentuk spot. Semak belukar merupakan kawasan bekas hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali atau kawasan dengn liputan pohon jarang atau kawasan dengan dominasi vegetasi rendah (KLH, 2010). Tanah terbuka (Tnb) mempunyai bentuk dan pola yang menyebar di antara hutan, semak belukar dan perkebunan dan memiliki warna merah jambu. Tanah terbuka merupakan kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi. Pemukiman (Pmk) memiliki pola yang rapat, tekstur halus sampai kasar, warna magenta, ungu kemerahan dan dekat dengan areal perkebunan. Pemukiman meliputi perkotaan, pedesaan dan industri. Sawah (Sw) memiliki pola yang berpetak-petak yang umumnya berada pada daerah yang datar dan rona yang gelap/tergenang. Sawah merupakan lahan pertanian yang secara fisik berpermukaan rata, dibatasi oleh pematang, serta dapat ditanami padi, palawija atau tanaman budidaya lainnya.
29
5.2. Penutupan Lahan Mamuju Utara Tahun 2010 Kelas penutupan lahan setelah dilakukan revisi mengalami penambahan dari 9 kelas menjadi 12. Penambahan kelas penutupan lahan dan luas dari masingmasing tipe penutupan lahan sebelum dan sesudah revisi disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Luas Penutupan Lahan Kabupaten Mamuju, 2010 Penutupan Lahan KLH (sebelum revisi) Nama Kode Luas (ha) Hutan Primer Hp 149229,1 Kebun Campuran Kc 60315,7 Perkebunan Kb 56997,8 Mangrove Mgv 289,5 Rawa Rw 1208,3 Tambak/Empang Tmb 6579,8 Tanah Terbuka Ta 21,1 Tegalan/Ladang Tg 21098,6 Tubuh Air A 2244,8
Jumlah
9
297984,7
Penutupan Lahan (setelah revisi) Nama Kode Luas (ha) 50 Hutan Primer Hp 151318 20 Kebun Campuran Kc 41055 19 Perkebunan Kb 40386 1 Mangrove Mgv 1240 1 Rawa Rw 1641 2 Tambak/Empang Tmb 5082 1 Tanah Terbuka Ta 399,5 7 Tegalan/Ladang Tg 21598 0 Tubuh Air A 5167 Semak Belukar Sb 27681,2 Sawah Sw 182 Pemukiman Pmk 2235 100 12 297984,7 %
Penutupan lahan setelah revisi dikelompokan menjadi 12 kelas yaitu hutan primer (hp), kebun campuran (kc), mangrove (mgv), perkebunan (kb), rawa (rw), tambak/empang (tmb), tanah terbuka (ta), tegalan (tg), dan tubuh air (ta). Sedangkan penambahannya adalah semak belukar (sb), sawah (sw) dan pemukiman (pmk). Hutan primer, kebun campuran dan perkebunan memiliki urutan persentase luas penutupan lahan dalam kelompok tiga besar baik pada peta penutupan lahan sebelum revisi maupun sesudah revisi. Namun pada peta penutupan lahan sebelum revisi, dimana tegalan berada diurutan ke empat dengan persentase 7%, sedangkan penutupan lahan yang lain relatif kecil yaitu ≤ 2%. Sementara setelah revisi, semak belukar dan tegalan berada pada urutan empat dan lima yang masing-masing sebesar 8% dan 7% sedang penutupan lahan lain relatif kecil yaitu ≤ 3%.
% 49 16 13 0 1 2 0 7 3 8 0 1 100
30
Gambar 11. Peta Penutupan Lahan Kabupaten Mamuju Utara Tahun 2010 Pada peta penutupan lahan nampak bahwa penutupan lahan hutan primer mendominasi di Kabupaten Mamuju Utara, tepatnya dibagian timur Kecamatan Dapurang, Duri Poku, Baras, Bulu Taba dan Kecamatan Bambalamotu. Penutupan lahan dominan kedua ditempati oleh perkebunan sawit yang hampir menyebar merata dari bagian utara sampai bagian selatan di Kecamatan Pasangkayu, Pedongga dan Baras. Kebun campuran tersebar pada bagian utara dan selatan tepatnya pada Kecamatan Sarudu
dan Kecamatan Bambaira.
Pemukiman mendominasi pada kawasan dekat perkebunan. Namun penyebaran
31
mangrove hanya terdapat pada kawasan yang berapa dekat laut atau pantai. Sedangkan semak belukar dan tegalan menyebar secara acak.
5.3. Karakteristik Biomassa Atas Permukaan Hasil Pengukuran Lapang Pada Masing-Masing Penutupan Lahan di Lokasi Sampel Biomassa atas permukaan hasil pengukuran lapang pada Kabupaten Flores Timur, Mamuju Utara, Paser dan Tabalong yang bersumber dari (KLH, 2010) disajikan pada tabel 9: Tabel 9. Karakteristik Biomassa Atas Permukaan Hasil Pengukuran Lapang pada Kabupaten Flores Timur, Mamuju Utara, Paser dan Tabalong No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Koordinat X
Y
103,9 119,51 122,99 119,58 115,57 103,91 122,89 122,68 104,10 119,38 115,56 103,72 115,66 123,23 119,47 122,71 119,39 104,21 123 122,79 119,29 122,78 119,36 104,25 103,82 115,44 115,44 123,06 104,39 115,62 123,01 104,11 115,56 115,57
-2,25 -1,72 -8,3 -1,12 -1,8 -1,80 -8,3 -8,5 -2,14 -1,3 -2,1 -1,67 -1,79 -8,3 -1,06 -8,6 -1,16 -1,80 -8,3 -8,4 -1,45 -8,4 -1,19 -1,81 -1,79 -2,14 -2,15 -8,4 -1,54 -2,07 -8,3 -2,26 -2,01 -2
Sampel
Kabupaten
Biomassa (kg)/ha
Biomassa (ton)/ha
Hp Hp 01 Hp 02 Hp 02 Hs Hs 01 Hs 02 Hs 03 Kb Kb 01 Kb I Kc Kc Kc 01 Kc 01 Kc 02 Kc 02 Mgv Mgv 01 Mgv 02 Mgv 02 Rw Rw Rw Sb Sb I Sb II Svn Sw Sw I Tg Tg Tg I Tg II
Paser Mamuju Utara Flores Timur Mamuju Utara Tabalong Paser Flores Timur Flores Timur Paser Mamuju Utara Tabalong Paser Tabalong Flores Timur Mamuju Utara Flores Timur Mamuju Utara Paser Flores Timur Flores Timur Mamuju Utara Flores Timur Mamuju Utara Paser Paser Tabalong Tabalong Flores Timur Paser Tabalong Flores Timur Paser Tabalong Tabalong
85.761,30 302.273,80 84.391,00 251.565,70 92.047,60 39.371,20 66.644,50 144.080,30 134.306,30 584.047,00 132.329,10 9.196,20 125.237,00 506.444,40 37.783,30 107.856,60 83.424,00 5.598,20 44.122,40 135.014,50 105.882,90 21.265,60 11.079,60 4.174,00 2.840,80 10.418,30 2.247,50 9.730,20 4.500,00 151,4 68.029,10 2.136,80 18.505,50 11.623,40
85,76 302,27 84,39 251,57 92,05 39,37 66,64 144,08 134,31 584,05 132,33 9,20 125,24 506,44 37,78 107,86 83,42 5,60 44,12 135,01 105,88 21,27 11,08 4,17 2,84 10,42 2,25 9,73 4,50 0,15 68,03 2,14 18,51 11,62
Rataan Biomassa (ton)/ha 181,0
85,5
283,6
145,0
72,7
12,2
5,2 9,7 2,3
25,1
32
Berdasarkan Tabel 9, dapat diketahui bahwa biomassa atas permukaan hasil pengukuran lapang pada Kabupaten Flores Timur, Mamuju Utara, Paser dan Tabalong diperoleh berdasarkan kelas penutupan lahan hutan primer, hutan sekunder, perkebunan, kebun campuran, mangrove, tegalan, rawa, savana, semak belukar, dan sawah. Urutan rataan biomassa atas permukaan pada berbagai penutupan lahan dari yang terbesar sampai yang terkecil adalah perkebunan dengan total rata-rata biomassa sebesar 283,6 ton/ha, hutan primer memiliki total rata-rata biomassa terbesar kedua yaitu sebesar 181,0 ton/ha, sedangkan kebun campuran dengan jumlah rata-rata sebesar 145,0 ton/ha, hutan sekunder memiliki total biomassa terbesar ke empat sebesar 85,5 ton/ha, sedangkan mangrove, tegalan, rawa, savana, semak belukar dan sawah berturut-turut adalah 72,7 ton/ha, 25,1 ton/ha, 12,2 ton/ha, 9,7 ton/ha, 5,2 ton/ha, 2,3 ton/ha. Urutan rata-rata biomassa hasil pengukuran lapang hutan primer, hutan sekunder, perkebunan dan kebun campuran memiliki jumlah estimasi biomassa dalam kelompok 4 besar dibandingkan penutupan lahan lainnya. Hal ini berkaitan dengan umur tanaman yang mempengaruhi tempat penyimpanan biomassa. Lebih Lanjut Hairiah dan Rahayu (2007) mengatakan, tumbuhan atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun kebun campuran (agroforestri) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan biomassa yang jauh lebih besar dari pada tanaman semusim. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan serasah yang banyak merupakan gudang penyimpanan biomassa tertinggi (baik diatas maupun di dalam tanah). Pada hutan, perolehan rataan biomassa di hutan primer jauh lebih besar 181 ton/ha, dibandingkan hutan sekunder 85,5 ton/ha. Hal ini serupa dengan pernyataan Kementerian Kehutanan pada laporan cadangan karbon berbagai tipe hutan, bahwa hutan primer mampu menyimpan biomassa dalam jumlah lebih besar dibandingkan dengan hutan sekunder karena pada hutan sekunder telah terjadi gangguan terhadap tegakannya sehingga memiliki kerapatan kayu yang rendah dibandingkan hutan primer. Jumlah biomassa tersimpan pada setiap penutupan lahan berbeda-beda, tergantung pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanah serta
33
cara pengelolaannya. Misalnya pada kawasan perkebunan dimana areal tersebut merupakan suatu kawasan yang intensif dalam pengelolaannya sehingga biomassa pada perkebunan relatif lebih besar dibandingkan dengan kebun campuran, tegalan, dan semak belukar. Penyimpanan karbon suatu lahan menjadi lebih besar bila kondisi kesuburan tanahnya baik, atau dengan kata lain jumlah karbon tersimpan di atas tanah (biomassa tanaman) ditentukan oleh besarnya jumlah karbon tersimpan di dalam tanah (bahan organik tanah, BOT) (Hairiah dan Rahayu, 2007). (Rahayu, S et al., 2007) menyatakan bahwa perbedaan perolehan biomassa dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi dan keragaman ukuran diameternya, dimana penggunaan lahan yang terdiri dari pohon dengan spesies yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi, biomasanya akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan lahan yang mempunyai spesies dengan nilai kerapatan kayu rendah. Hasil perolehan nilai kerapatan kayu untuk spesies yang ditemukan pada berbagai sistem penggunaan lahan di Kabupaten Nunukan, hutan primer mempunyai presentase spesies dengan kerapatan kayu berat hingga sangat berat sekitar 42%, hutan bekas tebangan 32%, agroforestri 11% dan jakaw 19%. Sedangkan pada keragaman ukuran diameter, keberadaan pohon dengan diameter > 30 cm pada suatu sistem penggunaan lahan, memberikan sumbangan yang cukup berarti terhadap total cadangan karbon. Pada hutan primer 70% dari total biomasa berasal dari pohon yang berdiameter > 30 cm, sedangkan pohon yang berdiameter antara 5-30 cm hanya sekitar 30%.
5.4. Simpanan Biomassa Berbagai Penutupan Lahan Simpanan biomassa di pohon berbeda-beda. Biomasa terbesar sekitar (68,08-82,28) % terdapat di batang, di daun terdapat (4,17-14,44) %, di ranting terdapat (6,16-10,32) % serta (7,15-7,45) % terdapat di cabang (Widyasari 2010). Simpanan Biomassa Berbagai Penutupan Lahan dalam hal ini dikelompokan menjadi 4 yaitu simpanan biomassa di kawasan hutan alam, hutan tanaman, agroforestri, dan kawasan non hutan. Pola jumlah biomassa masing-masing penutupan lahan dapat dilihat pada Gambar 12.
34
600
Biomassa (ton/ha)
500 400 300 200 100 0
N o n H u t a n
a g r o f o r e s t r y
H u t a n t a n a m a n
H u t a n A l a m
Biomassa
Gambar 12. Grafik Simpanan Biomassa Atas Permukaan Pada Berbagai Penutupan Lahan yang Diperoleh dari Berbagai Sumber, seperti yang di sajikan pada Lampiran 2 s/d 5.
35
5.4.1. Simpanan Biomassa pada Kawasan Hutan Alam Kawasan hutan alam terdiri dari: hutan dipterokarpa, hutan lindung, hutan sekunder bekas kebakaran hutan, hutan mangrove sekunder, hutan bekas tebangan, hutan alam primer dataran tinggi dan rendah, hutan sekunder dataran tinggi dan rendah, hutan gambut dan hutan gambut bekas tebangan. Hutan alam memiliki pola yang relatif seragam dibandingkan yang lainnya. Simpanan biomassa pada berbagai kelas penutupan lahan di hutan alam berkisar antara (78,96-528,4) ton/ha. Simpanan biomassa terendah terdapat pada hutan sekunder dataran tinggi sedangkan simpanan biomassa tertinggi terdapat pada hutan alam dipterokarpa, seperti tercantum pada Lampiran 2. Secara umum pada hutan lahan kering primer mampu menyimpan karbon dalam jumlah lebih besar dibandingkan dengan hutan lahan kering sekunder karena pada hutan sekunder telah terjadi gangguan terhadap tegakannya. Kebakaran, ekstraksi kayu, pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam dan kejadian atau aktivitas lainnya di kawasan hutan yang menyebabkan berkurangnya potensi biomassa yang berindikasi langsung terhadap kemampuannya menyimpan karbon. Pola tersebut juga terjadi pada hutan rawa primer dan hutan rawa sekunder. Selanjutnya pada hutan lahan kering relatif memiliki kemampuan menyimpan biomassa dalam jumlah lebih besar daripada hutan rawa dan mangrove karena kemampuannya dalam membangun tegakan yang tinggi dan berdiameter besar sebagai tempat menyimpan karbon.
5.4.2. Simpanan Biomassa pada Kawasan Hutan Tanaman Simpanan biomassa untuk berbagai jenis pohon dan umur di hutan tanaman tercantum pada Lampiran 3 yang berkisar antara 71,4–561,78 ton/ha. Dimana pola terendah terdapat pada Hutan tanaman Peronema canescensdan dan pola tertinggi terdapat pada Hutan tanaman Acacia mangium. Kemampuan hutan tanaman dalam menyimpan biomassa lebih rendah dibandingkan hutan alam. Pada hutan tanaman didominasi oleh tanaman yang cenderung monokultur dan tanaman berumur muda. Apabila dilihat dari produktivitasnya menyimpan biomassa (persatuan luas dan per satuan waktu) maka ada kemungkinan hutan tanaman akan memiliki kemampuan menyimpan
36
karbon pada tegakannya dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan di hutan alam karena daurnya lebih pendek. Pada Gambar 12 terlihat bahwa pola simpanan biomassa bervariasi, hal ini disebabkan karena perbedaan umur yang bervariasi pada masing-masing jenis tanaman. Simpanan biomassa cenderung semakin besar dengan meningkatnya umur tanaman. Hutan tanaman yang memiliki simpanan biomassa yang relatif besar, umumnya terdapat pada hutan tanaman cepat tumbuh yaitu jenis tanaman Acacia dan hutan tanaman lambat tumbuh yang memiliki simpanan biomassa tinggi adalah jenis tanaman Shorea. Kemampuan hutan tanaman dalam menyimpan biomassa tersebut akan dipengaruhi oleh jenis vegetasi yang ditanam, kondisi tempat tumbuh dan teknik silvikultur atau intensitas pemeliharannya. Hutan tanaman untuk jenis-jenis pohon berdaur panjang seperti kemiri, agathis, shorea rasamala dan pinus memiliki kemampuan menyimpan karbon dalam jumlah relatif sama dengan tegakan yang hidup di hutan alam. Jenis pohon daur pendek dihutan tanaman yang memiliki prospek menyimpan karbon dalam jumlah besar diantaranya adalah sengon dan Acacia crassicarpa, pohon tersebut termasuk ke dalam jenis pionir dan cepat tumbuh.
5.4.3. Simpanan Biomassa pada Hutan Rakyat dan Tegakan agroforestri Simpanan biomassa pada hutan rakyat terdiri dari pohon jati, pohon Afrika (Maesopsis eminii), tanaman buah-buahan: rambutan (Nephelium lappaceum) dan non pohon (kopi (Coffea app)). Adapun beberapa tipe tegakan agroforestri adalah: agroforestri pola tegakan murni, pola kebun campuran, tipe agroforestri tanaman kopi agroforestri tegakan murni
dan agroforestri kebun campuran. Kisaran
biomassa pada hutan rakyat dan tegakan agroforestri sebesar (4-384,66) ton/ha. Sedangkan simpanan biomassa dominan berkisar antara (30-140) ton/ha. Nilai terendah terdapat pada tanaman kopi agroforestri kebun campuran dan nilai tertinggi terdapat pada tegakan pohon Afrika (Maesopsis eminii). Hal tersebut dipengaruhi karena tegakan pada pohon yang terbentuk. Pohon afrika memiliki tegakan yang mampu menyimpan biomassa dalam jumlah yang banyak dibandingkan pada tanaman kopi agroforestri kebun campuran.
37
5.4.4. Simpanan Biomassa pada Kawasan Non Hutan Simpanan biomassa kawasan non hutan pada berbagai jenis tanaman dan umur berkisar antara (12–533,28) ton/ha seperti tercantum pada Lampiran 5. Sedangkan simpanan biomassa dominan berkisar antara (20-200) ton/ha. Adapun tipe kawasan non hutan diantaranya: savana/padang rumput, semak belukar, agroforestry, hutan kota, dan ruang terbuka hijau. Kemampuan penyimpan biomassa dapat juga terjadi diluar kawasan hutan pada beberapa pemanfaatan lahan yang terdapat berbagai tumbuhan. Savana atau padang rumput dan semak belukar memiliki keterbatasan dalam menyimpan karbon terendah yaitu sebesar 12 ton/ha, sementara untuk hutan kota dan ruang terbuka hijau yang didominasi oleh tumbuhan berupa pepohonan kemampuan menyimpan karbonnya lebih tinggi bahkan hampir sama dengan kawasan hutan lahan yaitu sebesar 533,28 ton/ha.
5.5. Indeks Vegetasi Pada Berbagai Penutupan Lahan di Lokasi sampel Penyebaran titik sampel lapang pada berbagai penutupan lahan di Kabupaten Flores Timur, Mamuju Utara, Paser, dan Tabalong disajikan pada Gambar 14, sedangkan perolehan nilai indeks vegetasi pada lokasi sampel di setiap penutupan lahan masing-masing indeks vegetasi dapat dilihat pada Tabel 10, dan Grafik kisaran nilai indeks vegetasi pada masing-masing penutupan lahan
Nilai Indeks Vegetasi
dapat dilihat pada Gambar 13. 20,00 18,00 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00
Hp
Hs
Kb
Kc
Mgv
Rw
Sb
Svn
Sw
Tg
TRVI median
2,29
2,05
1,94
2,11
2,05
1,78
1,53
1,92
1,52
1,67
TRVI rata-rata
2,31
2,06
1,96
2,14
2,07
1,82
1,53
1,96
1,54
1,70
RVI median
5,28
4,38
3,91
4,64
4,47
3,33
2,34
3,75
2,34
2,88
RVI rata-rata
5,39
4,42
3,96
4,74
4,55
3,44
2,35
3,92
2,39
2,94
TNDVI median
1,08
1,04
1,03
1,05
1,03
0,98
0,95
1,04
0,95
0,98
TNDVI rata-rata
1,08
1,04
1,03
1,05
1,03
0,98
0,95
1,04
0,95
0,98
NDVI median
0,66
0,59
0,56
0,61
0,52
0,49
0,40
0,57
0,40
0,45
NDVI rata-rata
0,67
0,58
0,56
0,62
0,53
0,54
0,40
0,57
0,42
0,46
Penutupan Lahan
Gambar 12. Grafik Kisaran Nilai Indeks Vegetasi Masing-Masing Penutupan Lahan Pada Indeks Vegetasi NDVI, TNDVI, RVI dan TRVI
38
Pada masing-masing indeks vegetasi diperoleh dua parameter statistik dengan menghitung nilai rata-rata dan median, dimana nilai rata-rata tersebut diperoleh dari pembagian jumlah nilai digital number pada citra dengan banyaknya nilai digital number pada citra. Sementara median diperoleh dari nilai tengah digital number setelah nilai tersebut diurutkan. Peroleh nilai rata-rata dan median pada 10 penutupan lahan dari masingmasing indeks vegetasi bervariasi. Pada umumnya nilai rata-rata dan median dari masing-masing indeks vegetasi berbeda, fenomena tersebut dapat dilihat dari NDVI, RVI dan TRVI. Namun pada TNDVI perolehan nilai baik pada rata-rata maupun median relatif sama. Perbedaan perolehan antara rata-rata dan median pada perhitungan disebabkan karena nilai spektral masing-masing transformasi indeks vegetasi yang bervariatif. Kisaran nilai indeks vegetasi berbagai penutupan lahan masing-masing indeks vegetasi bervariasi, dimana kisaran masing-masing nilai indeks vegetasi pada rata-rata dan median yaitu NDVI (0,40-0,67), TNDVI (0,95-1,08), RVI (2,34-5,39), dan TRVI (1,52-2,31). Pada masing-masing indeks vegetasi perolehan nilai terbesar ditempati oleh penutupan lahan hutan primer, sedangkan perolehan nilai terendah terdapat pada penutupan lahan sawah, yang artinya semakin besar nilai indeks vegetasi yang diperoleh mengindikasikan adanya vegetasi yang berumur tua dengan vegetasi yang lebat dan kondisi tanaman yang sehat, sehingga perolehan nilai reflektannya besar karena tingginya kandungan klorofil pada tanaman tersebut. Sedangkan perolehan nilai yang relatif kecil mengindikasikan bahwa vegetasi tersebut berumur relatif muda dengan vegetasi yang jarang serta kenampakan objek tersebut didominasi adanya genangan air dengan kerapatan tanaman yang relatif jarang, sehingga nilai reflektan yang dihasilkan rendah karena kandungan klorofil yang sedikit. Menurut (Howard dan Lillesand & Kiefer dalam Sobirin dkk, 2007) perbedaan nilai reflektan yang bervariasi selain dipengaruhi karakteristik vegetasi, seperti umur dan jenis pohon, struktur daun dan tutupan kanopi, juga dipengaruhi oleh karakter tanah dan kondisi atmosfer.
39 Kabupaten
NDVI
TNDVI
RVI
TRVI
Flores Timur
Mamuju Utara
Paser
Tabalong
Gambar 13. Kenampakan Citra Indeks Vegetasi dan Penyebaran Titik Sampel Lapang pada Kabupaten Flores Timur, Mamuju Utara, Paser dan Tabalong.
40
Tabel 10. Hasil Perhitungan Indeks Vegetasi Berdasrkan Biomassa Atas Permukaan Hasil Pengukuran Lapang pada Kabupaten Flores Timur, Mamuju Utara, Paser dan Tabalong. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Koordinat X Y 103,95 -2,25 119,51 -1,72 122,99 -8,3 119,58 -1,12 115,57 -1,8 103,91 -1,80 122,89 -8,3 122,68 -8,5 104,10 -2,14 119,38 -1,3 115,56 -2,1 103,72 1,67 115,66 -1,79 123,23 -8,3 119,47 -1,06 122,71 -8,6 119,39 -1,16 104,21 -1,80 123 -8,3 122,79 -8,4 119,29 -1,45 122,78 -8,4 119,36 -1,19 104,25 -1,81 103,82 -1,79 115,44 -2,14 115,44 -2,15 123,06 -8,4 104,39 -1,54 115,62 -2,07 123,01 -8,3 104,11 -2,26 115,56 -2,01 115,57 -2
Penutupan Lahan Hp Hp 01 Hp 02 Hp 02 Hs Hs 01 Hs 02 Hs 03 Kb Kb 01 Kb I Kc Kc Kc 01 Kc 01 Kc 02 Kc 02 Mgv Mgv 01 Mgv 02 Mgv 02 Rw Rw Rw Sb Sb I Sb II Svn Sw Sw I Tg Tg Tg I Tg II
Kabupaten Paser Mamuju Utara Flores Timur Mamuju Utara Tabalong Paser Flores Timur Flores Timur Paser Mamuju Utara Tabalong Paser Tabalong Flores Timur Mamuju Utara Flores Timur Mamuju Utara Paser Flores Timur Flores Timur Mamuju Utara Flores Timur Mamuju Utara Paser Paser Tabalong Tabalong Flores Timur Paser Tabalong Flores Timur Paser Tabalong Tabalong
NDVI R M 0,51 0,50 0,70 0,70 0,73 0,73 0,72 0,72 0,47 0,47 0,42 0,43 0,73 0,73 0,71 0,71 0,50 0,49 0,71 0,71 0,48 0,47 0,44 0,43 0,47 0,46 0,64 0,63 0,70 0,69 0,72 0,72 0,72 0,71 0,24 0,21 0,53 0,54 0,63 0,63 0,71 0,70 0,51 0,49 0,61 0,59 0,49 0,38 0,39 0,38 0,43 0,43 0,39 0,39 0,57 0,56 0,40 0,39 0,44 0,43 0,62 0,61 0,35 0,34 0,44 0,43 0,44 0,43
Rata-rata R M 0,67
0,66
0,58
0,59
0,56
0,56
0,62
0,61
0,53
0,52
0,54
0,49
0,40
0,40
0,57
0,57
0,42
0,40
0,46
0,45
TNDVI R M 1,00 1,00 1,10 1,09 1,11 1,11 1,10 1,10 0,99 0,98 0,96 0,96 1,11 1,11 1,10 1,10 1,00 1,00 1,10 1,10 0,99 0,98 0,97 0,97 0,98 0,98 1,07 1,06 1,09 1,09 1,10 1,10 1,10 1,10 0,85 0,84 1,10 1,10 1,06 1,06 1,10 1,10 0,94 0,94 1,05 1,05 0,94 0,94 0,94 0,94 0,96 0,96 0,94 0,94 1,04 1,03 0,94 0,95 0,95 0,95 1,06 1,06 0,92 0,92 0,97 0,97 0,97 0,97
Rata-rata R M 1,08
1,08
1,04
1,04
1,03
1,03
1,05
1,05
1,03
1,03
0,98
0,98
0,95
0,95
1,04
1,04
0,95
0,95
0,98
0,98
RVI R M 3,10 3,06 5,94 5,78 6,53 6,43 5,98 5,85 2,81 2,77 2,51 2,48 6,53 6,43 5,84 5,83 2,99 2,97 6,01 5,93 2,87 2,82 2,60 2,56 2,76 2,73 4,64 4,55 5,87 5,73 6,20 6,13 6,37 6,14 1,79 1,71 5,80 5,73 4,64 4,58 5,98 5,85 3,64 3,48 4,41 4,26 2,28 2,25 2,27 2,25 2,49 2,48 2,29 2,28 3,92 3,75 2,41 2,34 2,36 2,33 4,41 4,29 2,14 2,09 2,62 2,57 2,60 2,55
Rata-rata R M 5,39
5,28
4,42
4,38
3,96
3,91
4,74
4,64
4,55
4,47
3,44
3,33
2,35
2,34
3,92
3,75
2,39
2,34
2,94
2,88
TRVI R M 1,76 1,75 2,42 2,39 2,56 2,54 2,50 2,48 1,67 1,66 1,58 1,57 2,56 2,54 2,42 2,41 1,73 1,72 2,45 2,43 1,69 1,67 1,61 1,60 1,66 1,65 2,15 2,12 2,41 2,38 2,49 2,47 2,50 2,46 1,31 1,28 2,40 2,39 2,14 2,13 2,44 2,41 1,86 1,81 2,08 2,04 1,51 1,50 1,51 1,50 1,58 1,58 1,51 1,51 1,96 1,92 1,54 1,52 1,53 1,52 2,09 2,06 1,46 1,44 1,62 1,60 1,61 1,59
Rata-rata R M 2,31
2,29
2,06
2,05
1,96
1,94
2,14
2,11
2,07
2,05
1,82
1,78
1,53
1,53
1,96
1,92
1,54
1,52
1,70
1,67
41
5.6.Hubungan Biomassa Atas Permukaan dengan Indeks vegetasi pada Vegetasi Alami dan Non Alami Tipe penutupan lahan yang digunakan untuk membangun model hubungan antara biomassa atas permukaan dengan indeks vegetasi dibedakan menjadi dua kelompok yaitu vegetasi alami dan non alami. Tipe penutupan lahan vegetasi alami merupakan tipe penutupan lahan yang terbentuk secara alamiah dan sedikit akan campur tangan manusia serta proses ekologi tersebut tidak terganggu secara signifikan. Tipe penutupan lahan di Kabupaten Mamuju Utara yang termasuk vegetasi alami dibagi menjadi 3 kelas, yaitu hutan primer, mangrove, dan semak belukar. Tipe penutupan lahan non alami merupakan tipe penutupan yang terbentuk karena adanya campur tangan manusia. Tipe penutupan lahan pada vegetasi non alami di Kabupaten Mamuju Utara adalah perkebunan, kebun campuran, tegalan dan sawah. Berdasarkan pengukuran biomassa lapang dan nilai spektral dari indeks vegetasi (Tabel 10), diturunkan persamaan regresi yang menggambarkan hubungan antara parameter-parameter tersebut. Hasil penelitian menunjukan korelasi positif antara keempat indeks vegetasi dengan pengukuran biomassa lapang. Pada masing-masing Gambar menunjukan peningkatan biomassa tanaman yang di gambarkan dalam persamaan polinomial dan logaritmik. Hubungan biomassa atas permukaan hasil pengukuran lapang dengan indeks vegetasi pada vegetasi alami disajikan pada Gambar 15 dan 16, sedangkan pada vegetasi non alami disajikan pada Gambar 17 dan 18.
42
200
Polinomial y = -199,4x2 + 450,3x - 115,1 R² = 0,609
150
Biomassa (ton/ha)
Biomassa (ton/ha)
200
100 50 0 -50
0
0,2
0,4
0,6
Polinomial y = -649,7x2 + 1724,x - 1015 R² = 0,513
150 100 50 0 0
-50
0,8
0,5
Indeks vegetasi
2
Biomassa (ton/ha)
Biomassa (ton/ha)
Logaritmik y = 71,75ln(x) - 29,99 R² = 0,477
0
4
1,5
Indeks vegetasi (b)
(a) 160 140 120 100 80 60 40 20 0
1
6
0
8
Indeks vegetasi
Logaritmik y = 142,4ln(x) - 28,85 R² = 0,476
160 140 120 100 80 60 40 20 0
1
2
3
Indeks vegetasi
(c)
(d)
Gambar 14.Hubungan Biomassa Atas Permukaan dengan Rata-Rata Indeks Vegetasi (a) NDVI, (b) TNDVI, (c) RVI, (d) TRVI pada Vegetasi Alami.
100
120
80 60 40 20 0 -20 0 -40
0,2
0,4
0,6
Indeks vegetasi
(c)
Logaritmik y = 313,5ln(x) + 31,00 R² = 0,580
80 60 40 20 0 -40
Indeks vegetasi
0,5
1
1,5
Indeks vegetasi
(b)
6
8
Biomassa (ton/ha)
700 Logaritmik 600 y = 371,4ln(x) - 265,2 500 R² = 0,492 400 300 200 100 0 -100 0 2 4 -200
100
-20 0
0,8
(a) Biomassa (ton/ha)
(a)
Logaritmik y = 95,13ln(x) + 97,09 R² = 0,638
Biomassa (ton/ha)
Biomassa (ton/ha)
120
700 Logaritmik 600 y = 759,1ln(x) - 270,5 500 R² = 0,507 400 300 200 100 0 -100 0 1 -200
2
3
Indeks vegetasi (d)
Gambar 15. Hubungan Biomassa Atas Permukaan dengan Rata-Rata Indeks Vegetasi (a) NDVI, (b) TNDVI, (c) RVI, (d) TRVI pada Vegetasi Non Alami.
43
150
200
Polinomial y = -90,65x2 + 328,2x - 82,30 R² = 0,594
Biomassa (ton/ha)
Biomassa (ton/ha)
200
100 50 0 -50
0
0,2
0,4
0,6
150 100 50 0
0,8 -50
Indeks vegetasi
0
0,5
Logaritmik y = 71,56ln(x) - 28,74 R² = 0,478
0
2
1,5
(b)
4
Indeka vegetasi
160 140 120 100 80 60 40 20 0
Biomassa (ton/ha)
160 140 120 100 80 60 40 20 0
1
Indeks vegetasi
(a) Biomassa (ton/ha)
(a)
Polinomial y = -268,4x2 + 943,3x - 616 R² = 0,502
6
Logaritmik y = 141,8ln(x) - 27,45 R² = 0,477
0
8
1
2
3
Indeks vegetasi
(c)
(d)
Gambar 16. Hubungan Biomassa Atas Permukaan dengan Median Indeks Vegetasi (a) NDVI, (b) TNDVI, (c) RVI, (d) TRVI pada Vegetasi Alami.
100 80
120
Logaritmik y = 93,03ln(x) + 97,71 R² = 0,644
Biomassa (ton/ha)
Biomassa (ton/ha)
120
60 40 20
100
0,2
-40
0,4
0,6
60 40 20 -20 0
0,8
-40
Indeks vegetasi
(a) 700 Logaritmik 600 y = 378,7ln(x) - 265,6 500 R² = 0,507 400 300 200 100 0 -100 0 2 4 -200
Indeks vegetasi
(c)
0,5
1
1,5
Indeks vegetasi
(b) Biomassa (ton/ha)
(a) Biomassa (ton/ha)
80
0
0 -20 0
Logaritmik y = 313,4ln(x) + 32,65 R² = 0,590
6
8
700 Logaritmik 600 y = 775,8ln(x) - 271,2 500 R² = 0,524 400 300 200 100 0 -100 0 1 -200
2
3
Indeks vegetasi
(d)
Gambar 18. Hubungan Biomassa Atas Permukaan dengan Median Indeks Vegetasi (a) NDVI, (b) TNDVI, (c) RVI, (d) TRVI pada Vegetasi Non Alami.
44
Hasil estimasi biomassa dengan persamaan empirik yang dihasilkan cukup menunjukan keadaan sesungguhnya di lapang. Hal ini dibuktikan dengan nilai korelasi pada masing-masing persamaan yang terbentuk. Hubungan antara indeks vegetasi dengan biomassa umumnya linear, dan berdasarkan nilai koefisien determinasinya model polinomial dan logaritmik adalah yang terbaik dengan nilai R²=0,6. Nilai R² merupakan nilai yang menunjukan tingkat korelasi antara variabel yang dihubungkan, dalam hal ini indeks vegetasi dan biomassa. Dengan demikian, semakin besar nilai R² menunjukan bahwa korelasi antara indeks veggetasi dengan biomassa semakin baik. (Young, 1982 dalam Sulaiman, 2002) menyatakan bahwa jika nilai koefisien R² ≥ 0,4 menunjukkan hubungan yang kuat. Adapun nilai R² diperoleh dari hubungan antara indeks vegetasi rata-rata, median dengan biomassa pada penutupan lahan alami dan rata-rata, median pada penutupan lahan non alami. Nilai R² masing-masing dinyatakan dalam Tabel 11 Tabel 11. Persamaan Regresi dan Koefisien Determinasi Masing-Masing Indeks Vegetasi pada Penutupan Lahan Alami dan Non Alami. Tipe
Hubungan Biomassa-NDVI(rata-rata) Biomassa-NDVI(median) Biomassa-TNDVI(rata-rata) Biomassa-TNDVI(median) Alami Biomassa-RVI(rata-rata) Biomassa-RVI(median) Biomassa-TRVI(rata-rata) Biomassa-TRVI(median) Biomassa-NDVI(rata-rata) Biomassa-NDVI(median) Biomassa-TNDVI(rata-rata) Biomassa-TNDVI(median) Non alami Biomassa-RVI(rata-rata) Biomassa-RVI(median) Biomassa-TRVI(rata-rata) Biomassa-TRVI(median)
Persamaan y = -199,4x2 + 450,3x - 115,1 y = -90,65x2 + 328,2x - 82,30 y = -649,7x2 + 1724,x – 1015 y = -268,4x2 + 943,3x – 616 y = 71,75ln(x) - 29,99 y = 71,56ln(x) - 28,74 y = 142,4ln(x) - 28,85 y = 141,8ln(x) - 27,45 y = 95,13ln(x) + 97,09 y = 93,03ln(x) + 97,71 y = 313,5ln(x) + 31,00 y = 313,4ln(x) + 32,65 y = 371,4ln(x) - 265,2 y = 378,7ln(x) - 265,6 y = 759,1ln(x) - 270,5 y = 775,8ln(x) - 271,2
R² 0,609 0,594 0,513 0,502 0,477 0,478 0,476 0,477 0,638 0,644 0,580 0,590 0,492 0,507 0,507 0,524
Pada Gambar 15, 16, 17, 18, dan Tabel 11 terlihat jelas bahwa indeks vegetasi NDVI pada penutupan lahan alami dan non alami merupakan indeks vegetasi yang paling baik untuk mengestimasi biomassa. Nilai R² sebesar 0,6 menunjukan bahwa persamaan tersebut dapat menggambarkan 60% hubungan antara nilai spektral indeks vegetasi dengan biomassa. Dari 16 model regresi yang
45
diperoleh, dipilih 2 model regresi dengan perincian 1 model yang mewakili vegetasi alami dan 1 model vegetasi non alami untuk masing-masing indeks vegetasi. Masing-masing persamaan regresi yang terpilih dari penutupan lahan alami R²=0,609 dan y = -199,4x2 + 450,3x - 115,1, dan pada penutupan lahan non alami R²=0,644 dan y = 93,03ln(x) + 97,71. Masing-masing model yang terpilih tersebut digunakan untuk mengestimasi biomassa atas permukaan di Kabupaten Mamuju Utara berdasarkan penutupan lahannya. Dimana rentang nilai indeks vegetasi pada persamaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 19. Polinomial y = -199,4x2 + 450,3x - 115,1 R² = 0,609
Biomassa (ton/ha)
140
Logaritmik y = 95,13ln(x) + 97,09 R² = 0,638
120
Biomassa (ton/ha)
160 120 100 80 60 40 20
100 80 60 40 20 0
0 -20 0
0,2
0,4
0,6
0,8
-20 0
0,2
0,4
0,6
0,8
-40
-40
Indeks vegetasi
(a)
Indeks vegetasi
(b)
Gambar 19. Kurva Biomassa dengan Indeks Vegetasi NDVI (a) Penutupan Lahan Alami, (b) Penutupan Lahan Non Alami. Pada umumnya hubungan antara biomassa dan indeks vegetasi membentuk kurva seperti yang dilihat pada Gambar 21, dengan data lapang berupa satu jenis tanaman yang sama dan berbagai umur. Seperti yang telah dilakukan penelitian sebelumnya, dimana (Ardiansyah et al., 2005) memperoleh hubungan antara indeks NDVI dengan biomassa tegakan bersifat non-linear dan berdasarkan nilai koefisien determinasinya model power dan eksponensial adalah yang terbaik untuk kedua tegakan Acacia mangium dan crassicarpa. Pada penelitian ini model logaritmik dan polinomial adalah yang terbaik untuk memperoleh bentuk kurva tersebut, namun kurva yang diperoleh belum terbentuk secara sempurna. Hal ini kemungkinan dikarenakan sampel data lapang yang diperoleh tidak satu jenis tanaman dan data yang digunakan kurang kompleks dan bervariasi. Oleh karena itu kurva yang diperoleh hanya berlaku untuk kisaran nilai antara 0,24-0,73. Bila diperoleh NDVI < 0,24 akan diasumsikan dengan nilai 0,24. Demikian juga untuk
46
nilai > 0,73 akan diasumsikan dengan nilai 0,73. Hal ini digunakan untuk menghindari estimasi yang under atau over estimate.
NDVI
NDVI
Umur
Biomassa
Gambar 20. Kurva Hubungan NDVI dengan Umur Tanaman
5.7. Implementasi Penggunaan Model Terpilih Untuk Estimasi Biomassa Atas Permukaan Pada Kabupaten Mamuju Utara Penggunaan model regresi yang terpilih untuk estimasi biomassa atas permukaan di Kabupaten Mamuju Utara diawali dengan pemilihan sampel nilai indeks vegetasi berdasarkan warna dan pola (Lampiran 1) pada masing-masing penutupan lahan. Adapun pengambilan sampel unit indeks vegetasi pada citra dengan ukuran (10x10) pixel, sehingga diperoleh satu nilai yang digunakan untuk menghitung mengestimasi biomassa. Nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12.
Perhitungan Indeks Vegetasi Berdasarkan Penutupan Lahan di Kabupaten Mamuju Utara. NDVI Tipe Penutupan Penutupan Lahan RataMedian Lahan rata Hutan primer 0,71 Alami Mangrove 0,58 Semak belukar 0,41 Perkebunan 0,71 Kebun campuran 0,70 Non alami Tegalan 0,61 Sawah 0,34
47
Perolehan nilai pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa pada penutupan lahan alami nilai terbesar berturut-turut pada masing-masing indeks vegetasi adalah hutan primer, mangrove dan semak belukar. Semak belukar memiliki nilai terendah dibandingkan hutan dan mangrove, hal ini disebabkan karena nilai reflektan pada citra mengindikasikan vegetasi lahan tersebut relatif jarang atau tidak selebat hutan primer dan mangrove. Perhitungan estimasi biomassa atas permukaan di Kabupaten Mamuju Utara pada penutupan lahan alami dan non alami dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Perhitungan Estimasi Biomassa pada Penutupan Lahan Alami dan Non Alami di Kabupaten Mamuju Utara. Indeks vegetasi NDVI
NDVI
Penggunaan Lahan Hutan primer Mangrove Semak belukar
Perkebunan Kebun campuran Tegalan Sawah
RataRata 0,71 0,58 0,41
R²
Persamaan Regresi
ALAMI y = -199,4x2 + 450,3x - 115,1 0,609
NON ALAMI Median R² 0,71 0,70 0,644 y = 93,03ln(x) + 97,71 0,61 0,37
Total biomassa (ton/ha) 104,1 79,0 36,0
66,1 65,1 52,1 5,60
48
5.8. Estimasi Biomassa Atas Permukaan Berdasarkan Tipe Penutupan Lahan Pada Vegetasi Alami dan Non Alami Pada sub bab ini menjelaskan jumlah estimasi biomassa atas permukaan di Kabupaten Mamuju Utara berdasarkan tipe penutupan lahan pada vegetasi alami dan non alami. Jumlah estimasi biomassa atas permukaan pada vegetasi alami disajikan pada Gambar 19 dan pada vegetasi non alami disajikan pada Gambar 20. 120,0
Biomassa (ton/ha)
100,0 80,0 60,0 40,0 20,0 0,0
NDVI
Hutan primer
Mangrove
Semak belukar
104,1
79,0
36,0
Penutupan Lahan Alami
Gambar 21. Grafik Jumlah Estimasi Biomassa Atas Permukaan Berdasarkan Penutupan Lahan Pada Vegetasi Alami. Estimasi biomassa atas permukaan pada penutupan lahan alami secara keseluruhan, nampak bahwa hutan primer memiliki kisaran total etimasi biomassa terbesar yaitu 104,1 ton/ha, lalu disusul oleh penutupan lahan mangrove 79,0 ton/ha dan jumlah estimasi biomassa terendah terdapat pada penutupan lahan semak belukar 36,0 ton/ha. Jumlah estimasi biomassa terbesar pada hutan primer disebabkan karena hutan primer memiliki kerapatan kayu yang lebih besar dibandingkan mangrove dan semak belukar. Jenis vegetasi hutan primer di Kabupaten Mamuju Utara terdiri dari tanaman Gmelina, Eukaliptus, coklat, durian, gamal dan meranti. Perolehan biomassa pada hutan primer pada beberapa penelitian bervariasi, antara lain: Dharmawan (2010) memperoleh biomassa hutan primer dataran tinggi di wilayah Gunung Gede Pangrango Seksi Wilayah Nagrak, Sukabumi, Jawa Barat dengan metode persamaan allometrik biomasa di atas permukaan tanah dengan Y = 0.1728 (DBH)2,2234 dan nilai DBH 5,6 – 119,0 cm sebesar 206,32 ton/ha. Hendrayana (2011) memperoleh biomassa hutan alam di kawasan wisata alam
49
Ciwidey sebesar 726,64 ton/ha. Siahaan (2009) memperoleh biomassa jenis tanaman Eukaliptus pada umur 1-5 tahun melalui model penduga simpanan karbon teruji B = 288,40315 x D1,94 sebesar 120,57 ton/ha. Estimasi biomassa yang diperoleh pada penelitian ini memiliki jumlah biomassa yang mendekati biomassa tanaman Eukaliptus pada umur 1-5 tahun. Vegetasi mangrove di Kabupaten Mamuju Utara dominasi oleh jenis vegetasi bakau (Rhizopora) dan api-api (Avecinia). Dharmawan dan Siregar (2009), memperoleh biomassa pada hutan mangrove sekunder melalui metode Metode destructive sampling pada tegakan Avicennia marina dan Rhizophora mucronata di BKPH Ciasem, KPH Purwakarta, Jawa Barat dengan nilai DBH 5,5–35,5 cm, persamaan allometrik biomasa di atas permukaan tanah Y = 0.2064 (𝐷𝐵𝐻)2,34 sebesar (108,2–365,0) ton/ha. Dalam Dharmawan dan Chairil (2008) menyebutkan bahwa hutan mangrove memiliki potensial kandungan biomassa total sebesar 364,9 ton/ha. Penelitian yang dilakukan oleh Bismarket et al., (2008) yang dilakukan di hutan mangrove Cagar Biosfer Pulau Siberut, Sumatera Barat, biomassa atas permukaan yang terdiri dari R. Apiculata, dan jenis B. Gymnorrhiza cukup rendah yaitu sebesar 49,13 ton/ha. Hasil penelitian Wulansari (2008) menunjukan bahwa nilai biomassa pada hutan mangrove sebesar 261,74 ton/ha. Perolehan biomassa mangrove dari beberapa peneliti relatif besar dari hasil estimasi pada penelitian ini, adapun peolehan nilai yang mendekati hasil penelitian ini yaitu pada mangrove dengan jenis R. Apiculata, dan jenis B. Gymnorrhiza. Pada citra Landsat semak belukar mengindikasikan tanaman yang relatif memiliki kerapatan yang jarang yang umumnya berupa kawasan bekas lahan kering yang telah tumbuh kembali dengan dominasi vegetasi rendah sehingga perolehan biomassanya pun relatif lebih kecil 36,0 ton/ha, dibandingkan hutan primer dan mangrove. Dalam penelitian yang dihasilkan oleh Sofiyuddin (2007) diketahui bahwa biomassa untuk semak belukar berkisar antara (4,58-59,80) ton/ha. Prasetyo (2000) dalam Muzahid (2008) memperoleh biomassa semak belukar yang berada di Jambi yaitu sebesar 30 ton/ha. Sementara Lusiana (2005) dalam Muzahid (2008) memperoleh biomassa semak belukar yang berada di Kabupaten
50
Nunukan sebesar 35 ton/ha. Sehingga perolehan estimasi biomassa pada semak belukar mendekati perolehan biomassa pada hasil penelitian Muzahid (2008). 70,0 Biomassa (ton/ha)
60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0
NDVI
Perkebunan
Kebun campuran
Tegalan
Sawah
66,1
65,1
52,1
5,6
Penutupan Lahan Non Alami
Gambar 22. Grafik Jumlah Estimasi Biomassa Atas Permukaan Berdasarkan Penutupan Lahan Pada Vegetasi Non Alami. Kisaran estimasi biomassa atas permukaan pada penutupan lahan non alami secara keseluruhan, nampak bahwa perkebunan memiliki jumlah estimasi biomassa terbesar yaitu 66,1 ton/ha, lalu disusul oleh penutupan lahan kebun campuran 65,1 ton/ha, tegalan 52,1 kg/ha dan kisaran total estimasi biomassa terendah terdapat pada penutupan lahan sawah yaitu 5,6 ton/ha. Perolehan nilai estimasi terbesar pada perkebunan dan kebun campuran relatif lebih besar dibandingkan tegalan dan sawah dan tidak jauh berbeda. Dalam hal ini perkebunan dan kebun campuran merupakan jenis tanaman tahunan yang pada umumnya memiliki kerapatan pohon yang lebih besar dibandingkan tegalan dan sawah
yang merupakan jenis tanaman semusim. Hairiah dan Rahayu (2007)
mengatakan, tanaman atau pohon berumur panjang merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan biomassa yang jauh lebih besar daripada tanaman semusim. Perkebunan di Kabupaten Mamuju Utara didominasi oleh tanaman sawit. Tomich et al (1998) dalam Asyisanti (2004) memperoleh biomassa sawit dengan umur 20 tahun di Kabupaten Nunukan, Kaltim sebesar 182 ton/ha. Hasil estimasi dengan menggunakan NDVI relatif lebih rendah dari hasil penelitian Asyisanti (2004), dimana perbedaan tersebut dapat disebabkan karena adanya perbedaan
51
umur. Dalam hal ini biomassa sawit yang lebih rendah mengindikasikan umur yang masih muda. Kebun campuran di Kabupaten Mamuju Utara dominasi tanaman (ketapang, pisang, sasuar, angsana, pinang, dan kelapa). Perolehan biomassa melalui NDVI memiliki nilai biomassa pada kisaran nilai yang relatif tidak jauh berbeda pada beberapa penelitian lain. Yuli (2003) memperoleh biomassa kebun campuran pada umur 15, 20, 25, 30, 35, 38, 40, 50 dan 55 yang masing-masing memperoleh biomassa (40,66; 64,86; 67,54; 66,08; 179,32; 199,82; 185,56; 445,16; 140,30) ton/ha. Sorel (2007) memperoleh biomassa kebun campuran pada tanaman (kemiri, durian, cengkeh, kayu manis dan alpukat) di Kabupaten Limapuluh Kota, Sulawesi Barat sebesar 198 ton/ha. Tegalan di Kabupaten Mamuju Utara dominasi tanaman palawija, seperti (jagung, singkong, ubi). Sitompul (2003) memperoleh biomassa total tanaman jagung dan kedelai pada 45 hst sebesar 35,3 ton/ha dan 32 ton/ha. Sehingga perolehan estimasi biomassa pada tanaman palawija masih terdapat pada rentang nilai biomassa yang relatif tidak jauh. Sedangkan penutupan lahan sawah didominasi oleh tanaman padi, dimana perolehan estimasi biomassa pada padi relatif lebih rendah dibandingkan penutupan lahan non alami lainnya. Hal ini disebabkan karena padi memiliki tegakan yang relatif kecil. Rahayu et al (2005) memperoleh biomassa pada sistem rotasi padi dataran tinggi sebesar 4,8 ton/ha.