49
IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA 4.1
Produk Domestik Bruto (PDB) PDB
atas
dasar
harga
konstan
merupakan
salah
satu
indikator
makroekonomi yang menunjukkan aktivitas perekonomian agregat suatu negara secara riil untuk periode waktu tertentu. Penurunan pertumbuhan PDB menunjukkan perlambatan perekonomian bahkan kontraksi perekonomian, sedangkan pertumbuhan PDB yang cepat menunjukkan perekonomian dalam masa ekspansi. Berbagai perubahan PDB tersebut bisa dijadikan indikasi membaik atau memburuknya perekonomian suatu negara. Oleh karena itu, fluktuasi PDB penting dan menarik untuk dikaji. Perkembangan PDB riil Indonesia selama periode 1990 hingga 2011 serta pertumbuhannya dapat dilihat
15.00
2,500
10.00
2,000
5.00
1,500
0.00
1,000
-5.00
persen
3,000
500
-10.00
0
-15.00 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
triliun rupiah
pada Gambar 10.
PDB riil
Pertumbuhan riil (sumbu kanan)
Sumber: BPS 2012 (diolah) Gambar 10 Perkembangan PDB riil dan pertumbuhan riil tahunan 1990-2011 Selama kurun waktu 1990-1996, perekonomian Indonesia tumbuh pesat ditunjukkan oleh meningkatnya PDB secara riil dari hanya sekitar 918,73 triliun rupiah pada tahun 1990 menjadi 1.444,07 triliun rupiah pada tahun 1996. Dalam kurun waktu yang sama rata-rata pertumbuhan hampir mencapai 8% per tahun. Kondisi ini didukung oleh berhasilnya program industrialisasi yang dibangun pemerintah saat itu. Sektor industri pengolahan menjadi tumpuan transformasi dari sektor primer ke sektor sekunder. Sektor tersebut tumbuh cepat namun
50
dengan basis foot loose industry. Bahan baku yang melimpah dari dalam negeri seperti produk-produk pertanian tidak dimanfaatkan dengan baik. Justru industri yang dikembangkan lebih banyak menggunakan bahan baku impor, sehingga industrialisasi seperti ini sangat rentan terhadap gejolak eksternal. Kerentanan industri yang dibangun pemerintah tersebut mulai terbukti ketika perekonomian Indonesia melambat menuju resesi setelah tahun 1996. Pada akhir tahun 1997 perekonomian domestik terkena contagion effect dari krisis Baht yang melanda Thailand, negara satu kawasan dengan Indonesia. Peristiwa eksternal ini menyeret perekonomian domestik yang sedang booming memasuki masa kontraksi. Mata uang Rupiah terdepresiasi tajam, memukul sektor industri yang sedang ekspansif. Dampak dari krisis mata uang Rupiah yang terjadi pada penghujung tahun 1997 dan berlangsung sepanjang tahun 1998 tersebut ternyata sangat buruk bagi Indonesia. Tajamnya depresiasi Rupiah mempersulit dunia usaha khususnya industri dalam rangka membiayai pembelian bahan baku dan barang modal yang berasal dari impor yang berdenominasi US$. Bagi penciptaan nilai tambah nasional, kontribusi industri merupakan yang terbesar, diatas sektor pertanian. Oleh karena itu, ketika sektor industri ini kolaps maka akan sangat memukul perekonomian domestik. Perekonomian di tahun 1998 terkontraksi sangat dalam bahkan hingga minus 13%. Disisi lain, sektor pertanian terbukti mampu bertahan dari krisis hebat tersebut. Bukti empiris ini memperkuat argumentasi bahwa agroindustri lebih tepat untuk menjadi jembatan kuat dalam proses transformasi struktur perekonomian dari primer ke sekunder. Pada tahun 1999 perekonomian mulai pulih dimana pertumbuhan mampu positif meski sangat rendah yaitu hanya sekitar 0,79%. Pada tahun 2000, perekonomian sudah mampu tumbuh hampir mencapai tingkat 5%. Selanjutnya perekonomian terus tumbuh positif meski belum mampu mencapai tingkat pertumbuhan seperti sebelum krisis ekonomi terjadi. Pada tahun 2000 hingga 2005, pertumbuhan ekonomi berkisar antara 3,64% - 5,69%. Membaiknya performa ekonomi setelah krisis hebat pada tahun 1998 tersebut tidak menjamin kondisi perekonomian selanjutnya terus membaik. Berbagai peristiwa dapat mengganggu perjalanan ekonomi Indonesia pada masa
51
setelah krisis moneter 1998. Harga minyak dunia mengalami beberapa kenaikan tajam setelah tahun 2000 yaitu yang terjadi pada tahun 2005, 2008 serta 2011 dan masih terus berlangsung hingga triwulan pertama 2012. Fenomena kenaikan harga minyak dunia tersebut bisa berakibat positif atau negatif. Ketika Indonesia masih menjadi negara net eksportir minyak dan tergabung dalam OPEC, kenaikan harga minyak dunia akan memberi keuntungan bagi Indonesia. Namun, sejak tahun 2004, Indonesia menjadi negara net importir minyak sehingga fluktuasi harga minyak dunia akan berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia. Subsidi minyak membengkak dan mempersulit keuangan negara serta mengurangi alokasi pengeluaran pemerintah bagi sektor produktif. Fluktuasi harga minyak dunia dapat memengaruhi perekonomian Indonesia karena sumber energi utama Indonesia masih bergantung pada minyak. Kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2005 dan 2008 direspon pemerintah dengan menaikkan harga BBM meski tidak sampai pada harga keekonomiannya dan ternyata berdampak buruk bagi perekonomian domestik. Inflasi pada tahun 2005 mencapai 17,11% sedangkan inflasi pada tahun 2008 mencapai 11,06%. Setelah inflasi tinggi di tahun 2005 dan 2008, pertumbuhan PDB pada tahun 2006 dan 2009 melambat. Pada tahun 2006 pertumbuhan ekonomi tercatat mengalami sedikit penurunan dari 5,69% di tahun 2005 menjadi 5,60% di tahun 2006. Sedangkan penurunan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 lebih dalam yaitu turun menjadi 4,63% dari sekitar 6,01% pada tahun 2008. Mulai tahun 2007, perekonomian Indonesia mampu tumbuh antara 5% hingga 6%
kecuali pada tahun 2009. Sebagai negara dengan perekonomian
terbuka, berbagai gejolak eksternal dapat memengaruhi perekonomian domestik. Meski secara riil, PDB tahun 2009 tetap meningkat dibandingkan tahun 2008 yaitu dari 2.082,46 triliun rupiah menjadi 2.178,85 triliun rupiah, namun pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 dibanding tahun 2008 tercatat melambat. Selain disebabkan oleh dampak kenaikan harga BBM domestik yang memicu inflasi, perlambatan di tahun 2009 kemungkinan juga disebabkan oleh imbas krisis keuangan global tahun 2008. Krisis ini bermula dari krisis sub prime mortgage di Amerika Serikat dan membangkrutkan lembaga keuangan dunia seperti Goldman Sachs dan Lehmann Brothers, yang kemudian menjalar ke
52
berbagai negara di dunia. Selain itu, Uni Eropa juga mengalami krisis hutang. Transmisi krisis yang terjadi di Amerika Serikat dan Uni Eropa tersebut ke Indonesia dapat melalui jalur ekspor. Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat dan Eropa pada tahun 2009 mengalami. Pada tahun 2008, ekspor Indonesia ke Amerika Serikat tercatat 12,87 miliar US$ kemudian turun menjadi 10,80 miliar US$ pada tahun 2009. Sedangkan ekspor Indonesia ke Uni Eropa pada tahun 2008 sekitar 15,28 miliar US$ turun menjadi 13,60 miliar US$ (BI 2012). Meski terimbas krisis keuangan global, dampak bagi makroekonomi Indonesia tidak seperti krisis moneter 1998. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 tetap positif meski lebih rendah dibanding tahun sebelumnya. Pada tahun 2010 perekonomian kembali mampu tumbuh positif sebesar 6,20% dan 6,46% pada tahun 2011. PDB riil di tahun 2010 dan 2011 masingmasing sekitar 2.313,84 triliun rupiah dan 2.463,24 triliun rupiah. Selain itu, Indonesia juga termasuk salah satu anggota G-20 dengan posisi 17 besar perekonomian dunia (Menko Perekonomian 2011). Hal ini merupakan indikasi
10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 (2.00) (4.00) (6.00) (8.00) (10.00)
700 600
triliun rupiah
500 400 300 200 100 1990:1 1991:1 1992:1 1993:1 1994:1 1995:1 1996:1 1997:1 1998:1 1999:1 2000:1 2001:1 2002:1 2003:1 2004:1 2005:1 2006:1 2007:1 2008:1 2009:1 2010:1 2011:1 2012:1
-
persen
makin besarnya peran Indonesia dalam perekonomian global.
PDB Riil
Pertumbuhan Riil (sumbu kanan)
Sumber: BPS 2012 (diolah) Gambar 11 Perkembangan PDB riil dan pertumbuhan riil Indonesia triwulanan Selama periode krisis, ekonomi tumbuh dengan angka minus selama tiga triwulan berturut-turut yaitu pada 1997:4, 1998:1 dan 1998:2, masing-masing tercatat sekitar minus 2,06%, minus 8,52% dan minus 8,75%. Mulai 1998:3,
53
perekonomian mampu tumbuh positif sebesar 2,74%. Jika dilihat secara triwulanan, pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek ini menunjukkan pola yang sama mulai tahun 2001 dimana pada tiga triwulan pertama pertumbuhannya positif kemudian negatif pada triwulan keempat. Gambar 11 menunjukkan perkembangan PDB jika dilihat dalam jangka pendek yaitu dalam periode triwulanan. Dalam jangka panjang, PDB cenderung meningkat secara riil meski dalam jangka pendek terlihat fluktuasi naik dan turun. Dapat diamati bahwa fluktuasi pertumbuhan secara triwulanan sebelum periode krisis 1998 ternyata sangat tajam, terjadi dalam range yang besar yaitu plus minus 10%. Setelah periode krisis 1998, fluktuasi pertumbuhan cenderung lebih stabil berkisar antara plus minus 4%. Meski guncangan eksternal makin sering terjadi pada era 2000an dan berpotensi
memperburuk
perekonomian
domestik,
ternyata
fluktuasi
perekonomian Indonesia dalam periode triwulanan terlihat lebih stabil. Hal ini mengindikasikan bahwa fundamental makroekonomi Indonesia sudah lebih kuat sehingga berbagai guncangan
yang terjadi tidak sampai menyebabkan
perekonomian terkontraksi. 4.2
Kurs Riil Sebelum krisis moneter tahun 1998 terjadi, Indonesia menganut rezim fixed
exchange rate dimana kurs Rupiah terhadap US$ dijaga fixed oleh pemerintah.
1990:1 1991:1 1992:1 1993:1 1994:1 1995:1 1996:1 1997:1 1998:1 1999:1 2000:1 2001:1 2002:1 2003:1 2004:1 2005:1 2006:1 2007:1 2008:1 2009:1 2010:1 2011:1 2012:1
20,000 18,000 16,000 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 0
kurs nominal
kurs riil
Sumber: BI, BPS, US Bereau of Labor Statistics 2012 (diolah) Gambar 12 Perkembangan kurs nominal Rp/US$ dan kurs riil
54
Pada periode 1990:1 hingga periode 1997:2, kurs nominal Rupiah Indonesia terhadap Dollar Amerika Serikat terlihat stabil pada kisaran 1.823 Rp/US$ - 2.450 Rp/US$. Gambar 12 menunjukkan perkembangan kurs nominal dan kurs riil. Sebelum tahun 2000, kurs nominal masih dibawah kurs riil namun setelah tahun 2000 terlihat kurs nominal melampaui kurs riil. Krisis mata uang yang terjadi di Thailand ternyata meluas menjadi krisis finansial Asia. Indonesia merupakan salah satu negara Asia yang terkena dampaknya. Kurs Rupiah terhadap US$ yang stabil dengan rata-rata sekitar Rp 2.126,93/US$ selama periode 1990:1 hingga 1997:2 langsung melemah bahkan mencapai Rp 14.900/US$ pada 1998:2, Rupiah terdepresiasi tajam secara nominal. Sejak terjadinya krisis Rupiah ini, pemerintah tidak lagi mampu menjaga Rupiah fixed sehingga terjadi perubahan rezim kurs dari fixed exchange rate menjadi floating exchange rate dengan band tertentu. Sejak Indonesia menganut rezim kurs mengambang, kurs menjadi fluktuatif menyesuaikan berbagai perubahan kondisi perekonomian. Gambar 13 menunjukkan persentase perubahan kurs riil. Kurs riil menunjukkan daya saing barang domestik. Ketika krisis moneter 1998 menerpa Indonesia dan mendepresiasikan kurs nominal, maka daya saing barang domestik meningkat tajam hingga hampir mencapai 60%. Namun kenaikan daya saing akibat terdepresiasinya kurs nominal ternyata tidak meningkatkan PDB dari jalur ekspor. Justru PDB terkontraksi dalam dan perekonomian Indonesia mengalami resesi. Depresiasi riil ini menurunkan daya beli Rupiah relatif terhadap daya beli asing. Kenaikan ekspor akibat kenaikan daya saing produk domestik ini di offset oleh tingginya biaya impor bahan baku dan barang modal yang dibutuhkan sektor produksi khususnya industri pengolahan. Akibatnya harga bahan input meningkat dan memicu kenaikan harga output. Dengan segera kenaikan daya saing tersebut langsung diikuti oleh penurunan tajam yang hampir mencapai minus 40% pada 1998:3. Setelah krisis moneter terjadi, kurs riil berfluktuasi naik dan turun mengindikasikan kenaikan dan penurunan daya saing produk domestik.
55
80.00 60.00 40.00 20.00
(20.00)
1990:2 1991:2 1992:2 1993:2 1994:2 1995:2 1996:2 1997:2 1998:2 1999:2 2000:2 2001:2 2002:2 2003:2 2004:2 2005:2 2006:2 2007:2 2008:2 2009:2 2010:2 2011:2 2012:2
-
(40.00) (60.00)
Sumber: BI, BPS, US Bereau of Labor Statistics 2012 (diolah) Gambar 13 Persentase perubahan kurs riil 4.3
Permintaan Uang Riil Pada tahun 1990 hingga 1997, jumlah uang yang beredar (M1) masih
dibawah 100 triliun rupiah. Pada periode yang sama IHK bergerak meningkat dengan slope yang relatif sama dengan slope jumlah uang beredar. Seiring dengan jatuhnya kurs Rupiah terhadap US$ pada tahun 1998, terjadi lonjakan Indeks Harga Konsumen (Gambar 14) dimana slopenya berubah menjadi lebih curam dibanding sebelum ada depresiasi tajam dari kurs riil. 300
800,000
miliar rupiah
700,000
250
600,000 200
500,000
150
400,000 300,000
100
200,000 50
100,000 0 1990:1 1991:2 1992:3 1993:4 1995:1 1996:2 1997:3 1998:4 2000:1 2001:2 2002:3 2003:4 2005:1 2006:2 2007:3 2008:4 2010:1 2011:2
0
M1
IHK (sumbu kanan)
Sumber: BI dan BPS 2012 Gambar 14 Perkembangan permintaan uang M1 dan IHK
56
Kurs riil yang terdepresiasi tajam menyebabkan biaya produksi barangbarang tersebut meningkat tajam. Jatuhnya kurs Rupiah menyebabkan lebih banyak Rupiah yang digunakan untuk membeli barang impor yang harganya dalam US$ atau terjadi penurunan daya beli Rupiah atas barang asing. Terdepresiasinya Rupiah menyebabkan harga barang menjadi sangat mahal. Padahal industrialisasi yang dikembangkan pemerintah pada era 1990-1996 adalah foot loose industry yang banyak menggunakan bahan baku impor dan sedikit kandungan lokal. Kenaikan harga ini direspon masyarakat dengan meningkatkan permintaan uang lebih banyak untuk membiayai transaksi sehari-hari. Sehingga slope jumlah uang beredar juga menjadi lebih curam dibanding sebelum krisis. Namun peningkatan permintaan uang tersebut tidak sebanding dengan lonjakan harga yang terjadi sehingga terjadi penurunan drastis dalam permintaan uang riil seperti yang ditunjukkan pada Gambar 15. Setelah krisis 1998 berlalu, permintaan uang riil cenderung fluktuatif di jangka pendek namun dengan trend yang meningkat. Seiring dengan terus meningkatnya PDB maka kebutuhan uang untuk transaksi sehari-hari ikut meningkat. Selain itu inflasi lebih terkendali di era 2000-an sehingga permintaan uang riil pada periode 2012:2 mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat bila dibandingkan dengan periode 2000:1. 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 1990:1 1991:1 1992:1 1993:1 1994:1 1995:1 1996:1 1997:1 1998:1 1999:1 2000:1 2001:1 2002:1 2003:1 2004:1 2005:1 2006:1 2007:1 2008:1 2009:1 2010:1 2011:1 2012:1
0
Sumber: BI dan BPS 2012 (diolah) Gambar 15 Perkembangan permintaan uang riil
57
4.4
Suku Bunga Domestik Sepanjang tahun 1990-1997, suku bunga domestik yang diwakili oleh suku
bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 bulan berada dalam kisaran 10% hingga 25%. 60 50
persen
40 30 20 10 1990:1 1991:1 1992:1 1993:1 1994:1 1995:1 1996:1 1997:1 1998:1 1999:1 2000:1 2001:1 2002:1 2003:1 2004:1 2005:1 2006:1 2007:1 2008:1 2009:1 2010:1 2011:1 2012:1
0
Sumber: BI 2012 (diolah) Gambar 16 Perkembangan Suku Bunga SBI 3 Bulan Pada tahun 1998 Indonesia terkena krisis mata uang yang mengakibatkan buruknya berbagai indikator makroekonomi. Kondisi ini menyebabkan suku bunga SBI yang tinggi sepanjang tahun 1998. Pada periode 1998:4, suku bunga SBI 3 bulan mencapai 49,04%. Gambar 16 menunjukkan perkembangan suku bunga SBI. Akhir tahun 1999, suku bunga domestik kembali normal pada level sekitar 10%. Selanjutnya suku bunga domestik berfluktuasi hingga 2012 menuju tingkat dibawah 10%. Pola yang berbeda ditunjukkan oleh suku bunga AS yang diwakili oleh Treasury Bill Rate 3 months. Pergerakan suku bunga AS tersebut ditunjukkan oleh Gambar 17. Dalam kurun waktu 1990 hingga 2012, suku bunga AS tertinggi terjadi pada periode 1990 yang mencapai tingkat sekitar 8%. Hingga tahun 1992, suku bunga AS mengalami penurunan hingga mencapai tingkat 3%. Selanjutnya suku bunga AS kembali meningkat hingga tahun 2000. Pada 2003:4, suku bunga AS hanya sekitar 1% namun diikuti oleh peingkatan hingga mencapai 5% akibat dari krisis sub prime mortgage yang menimpa Amerika Serikat dan membangkrutkan
58
lembaga keuangan dunia seperti Goldman Sachs dan Lehmann Brothers. Setelah tahun 2008, suku bunga AS mendekati nol persen. 9.00 8.00 7.00
persen
6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 1990:1 1991:1 1992:1 1993:1 1994:1 1995:1 1996:1 1997:1 1998:1 1999:1 2000:1 2001:1 2002:1 2003:1 2004:1 2005:1 2006:1 2007:1 2008:1 2009:1 2010:1 2011:1 2012:1
-
Sumber: The Federal Reserve 2012 Gambar 17 Perkembangan suku bunga AS Treasury Bill Rate 3 Months