Isu Teoretisasi di Ekonomi Behavioral∗ Rendra Suroso†
[email protected] 20051231
Abstract Ekonomi behavioral itu eklektik, bukan sebuah disiplin dengan metodologi dan interpretasi eksperimental yang mudah disatukan. Dengan berbekal sebuah model umum mesin mental, beberapa konsep yang lazim ditemukan di model standar ekonomi, dan temuan-temuan di lapangan yang menyanggah model standar di beberapa hal, tugas dari paper ini adalah mencari semacam kriteria atau paling tidak, batasan terluar yang masih bisa mengakuisi baik metodologi maupun hasil eksperimental yang sudah ada. Keywords: ekonomi behavioral, penalaran terhadap peluang, teori utilitas
1
Intro
Mengapa setelah kata ‘ekonomi’ ada kata ‘behavioral’ untuk sebuah sains atau bidang kajian bernama ekonomi behavioral (behavioral economics, seterusnya disingkat BE)? Behaviorisme telah lenyap dari jagad psikologi ketika ide tentang memperlakukan pikiran manusia sebagai kotak hitam yang hanya bisa diamati masukan dan keluarannya menjadi naif, bahkan untuk organisme yang bukan manusia, misalnya tikus. Artinya, satu masukan tidak harus selalu menghasilkan satu keluaran tertentu, proporsional terhadap latihan yang terus menerus untuk menghubungkan masukan dan keluaran itu; praktiknya, ada ganjaran bila kita mendekati keluaran yang diinginkan dan ada hukuman jika kita setelah dilatih malah menjauhinya. Alih-alih, manusia dan banyak spesies lain terbukti mempunyai semacam mesin mental yang kompleks dan bahkan mungkin otonom dari masukan atau stimulus. Ilustrasinya berikut ini. Seseorang yang piawai dan yang canggung ketika tawar menawar di pasar tradisional akan memperoleh harga beli bayam yang berbeda meskipun keduanya sama-sama dilahirkan keluarga yang pandai dagang atau dengan kata lain, mempunyai latihan yang serupa. Banyak faktor lain, misalnya ada perbedaan di latihan meski sedikit—ini argumen behavioris. Tapi ada penjelasan yang lebih gampang diterima akal, bahwa satu remaja bisa menghilangkan rasa malu ∗ Companion Paper, Bandung Fe Institute, Desember 2005. Sebagian dari paper ini terbit di Suroso, R. (dalam terbitan). ‘Ekonomi Behavioral untuk Pelancong.’ Buletin BFI, Paruh Pertama 2006. † Behav.Eco.Prog., Dept. Cog. Sci., Bandung Fe Institute.
1
ketika tawar menawar dan satunya tidak. Rasa malu tidak dikenal oleh behaviorisme, sebut saja, karena rasa malu adalah efek mental, tidak bisa diukur— behaviorisme adalah ilmu yang sangat eksperimental—dan rasa malu harus direduksi menjadi akibat dari latihan tertentu. Ada penjelasan yang lebih sederhana dan ringkas, bahwa setiap orang punya rasa malu ketika melakukan sesuatu, termasuk aktivitas ekonomi seperti tawar menawar. Sesuatu tadi bisa terhubung dengan yang lainnya, dan semuanya bersifat mentalistik, mungkin tidak terukur, paling tidak, secara langsung. Dengan demikian, kotak hitamnya dibuka, dan ada mesin di situ, yaitu mesin mental. Mesin ini sangat canggih, sehingga tawar menawar bayam bisa terhubung dengan rasa malu, takut, selera. Dalam sebuah mesin mental, masih tetap ada masukan dan keluaran seperti punya behavioris. Masukan melewati mekanisme sensorik seperti melihat dan mendengar; biasa disebut persepsi. Keluaran terwujud lewat mekanisme motorik seperti berbicara, berjalan, menggerakkan tangan; inilah yang disebut perilaku, behavior atau behaviour. Diantara keduanya ada mesin mental yang memproses persepsi dan akhirnya menghasilkan perilaku.
1.1
Mesin Mental
Mesin mental seperti layaknya mesin, ada komponen, ada hubungan antar komponen, semua bertanggungjawab terhadap pemrosesan data perseptual dan ekspresi behavioral. Komponennya terdiri dari slot-slot yang bisa berisi konsep seperti: menawar, harga, bayam, murah; maupun komponen-komponen yang terhubung lewat sekelompok aturan dasar (biasa disebut sintaks) sehingga terbentuk proposisi yang tersusun oleh konsepkonsep yang tergabung satu sama lain. Contoh proposisi adalah: 1. ‘Semua barang harus dibeli dengan harga semurah-murahnya.’ Setiap proposisi juga terhubung satu dengan lainnya dan membentuk formula (Selanjutnya, kita tidak akan membedakan antara proposisi dan formula.), misalnya: 2. ‘Jika aku menawar sesuatu dengan harga lebih rendah, maka aku mungkin akan mendapat harga yang lebih murah.’ Untuk mendekati efek mental, kita bisa menambahkan slot-besar yang berisi sikap proposisional yang berbentuk proposisi tidak lengkap seperti ‘Aku percaya bahwa . . . .’, atau ‘Aku ingin . . . .’. Di sini kita hanya akan menggunakan slot-besar ‘Aku percaya bahwa . . . .’ dan bila tidak ambigu, slot-besar ini tidak akan dituliskan. Ketika ada masukan berupa harga bayam tertentu, misalnya Rp 500/ikat, mesin mental akan memproses proposisi yang tersimpan di slot-slot dan proposisi yang diperoleh lewat persepsi sehingga menghasilkan slot akhir yang berisi proposisi: 3. ‘Jika aku menawar bayam dengan harga dibawah Rp 500/ikat, aku mungkin akan mendapat harga yang lebih murah.’; 2
dan dengan demikian, proposisi pertama bahwa semua yang dibeli harus semurah mungkin juga ikut terpenuhi. Keluarannya mungkin berupa perkataan dalam bahasa sehari-hari berupa: 4. “Boleh kurang, Bu?”. Selanjutnya perlu dirumuskan dua jenis proposisi: a) proposisi dasar pδ yang semuanya terhimpun dalam sebuah himpunan PD ; jenis proposisi ini cenderung persisten meski tidak harus permanen di tiap manusia; cara memperolehnya biasa disebut induksi ; pada sistem artifisial yang lengkap, PD punya nama lain aksioma; b) proposisi turunan pθ yang terhimpun dalam PT yang berbeda-beda di tiap individu dan tiap waktu; PT biasa disebut juga teorema; ditambah satu himpunan bagian dari PT , yaitu: c) data perseptual D, yaitu apapun yang kita cerap, kita persepsi dari lingkungan lewat bantuan alat indera atau kita bangkitkan dari memori ketika kita membayangkan mendengar atau melihat sesuatu sehingga kita membangkitkan citraan (imagery); pada akhirnya D berbentuk proposisi juga setelah diolah alat indera, dan karena berubah-ubah tiap waktu meski bukan hasil penalaran, di sini data persepsi kita anggap himpunan bagian dari proposisi turunan, D ⊂ PT ; proses pemunculan D ke mesin mental disebut juga instansiasi. Bagaimana kita menghasilkan PT dari PD ? Kita membutuhkan: d) aturan inferensi, sekelompok aturan baku yang membuat kita bisa menarik kesimpulan dari apa yang telah kita ketahui sesuai akal sehat; proses penerapan aturan-aturan ini disebut penalaran (reasoning), dan langkah demi langkahnya biasa disebut derivasi ; ada beberapa belas aturan yang dikenal, tetapi salah satu yang paling terlihat efeknya dalam menghubungkan proposisi-proposisi yang berbeda adalah modus ponens, yaitu ketika ada pδ berupa ‘jika p maka q’ dan ada instansiasi p, maka bisa kita simpulkan pθ berupa q. Terakhir, perlu juga dibuat konfigurasi mesin tertentu, yang disebut: e) keadaan (state) K, yaitu konfigurasi tertentu dari PD dan PT . Sampai di sini, jelas mengapa terminologi ‘behavioral’ dipertahankan di terminologi ‘ekonomi behavioral’ karena disiplin ini menyelidiki sebab musabab perilaku ekonomi tertentu. Meski yang teramati hanya input dan output, BE tetap berusaha mencari proses internal di mesin mental. Mesin mental ekonomi, untuk memisahkannya dari mesin mental yang secara utuh dimiliki manusia, berarti terdiri dari proposisi anggota himpunan PD yang lebih terbatas, misalnya ’Semua barang harus dibeli dengan harga semurah-murahnya.’, terpisah dari PD yang lebih umum, sebut saja PD sehingga PD ⊂ PD , seperti ‘Matahari terbit setiap hari karena bumi bulat dan berputar.’, atau ‘Tuhan Maha Esa sehingga percaya bahwa Tuhan lebih dari satu adalah dosa.’. 3
Konsep yang termasuk dalam mesin mental juga menjadi terbatas, seperti membeli, menjual, menawar, barang, uang, harga; yang bisa ditambah dengan konsepkonsep yang lebih tidak familiar seperti lelang, diskon, ritel atau hipotek. Sedikit petunjuk: pemilihan PD inilah yang nanti menjadi pangkal perdebatan dalam merumuskan mesin mental ekonomis yang cocok dengan perilaku manusia. Teori ekonomi lama biasanya membukukan PD dalam beberapa prinsip umum. Temuan-temuan eksperimentallah, termasuk temuan-temuan di BE, yang mengilhami teori ekonomi yang lebih baru yang cenderung bergeser ke pendekatan one model per phenomenon, eklektik, gara-gara prinsip umum tadi tidak cukup umum untuk mengatasi berbagai kejanggalan.
1.2
Rasionalitas
Salah satu contoh dari keadaan K adalah tingkat rasionalitas1 KR . dengan berbekal PD ceteris paribus 2 sebagai berikut: 1. p1δ ≡ ‘Semua barang harus dibeli dengan harga semurah-murahnya.’; 2. p2δ ≡ ‘Jika aku menawar sesuatu dengan harga lebih rendah, maka aku mungkin akan mendapat harga yang lebih murah.’; yang sedemikian rupa menghasilkan: 5. p5θ ≡ ‘Jika belanja sayuran, maka aku pasti menawar.’; 1 ≡ kita bisa menamai konfigurasi p1δ , p2δ dan p5θ di atas sebagai keadaan kR murni-rasional. Tapi bila alih-alih kita dapat:
6. p6θ ≡ ‘Ketika belanja sayuran, aku malu menawar sehingga aku hanya sesekali menawar.’; 2 ≡ rasional-terbatas. kita akan mendapatkan keadaan kR Berbagai diskusi tentang rasionalitas-terbatas biasanya terpaku pada dua hal: 1) keterbatasan yang berasal dari kurangnya data perseptual D, terjadi pada kasus pengambilan keputusan dengan informasi tak lengkap; 2) keterbatasan akibat gagalnya derivasi sehingga muncul inkonsistensi pada derivasi dari PD ke sebagian PT yang diharapkan; terjadi pada kemunculan banyak heuristik di berbagai kasus khusus ekonomis yang nanti kita bahas. Bila ternyata di PD ceteris paribus muncul proposisi yang tidak cocok dengan kriteria rasionalitas seorang eksperimenter sehingga dihasilkan misalnya, pβδ ≡ ‘Semua barang harus dibeli lebih tinggi dari harga yang ditawarkan.’ sehingga 3 pβδ ≡ ¬p1δ , maka kita mungkin akan mendapatkan keadaan kR ≡ non-rasional. 1 Definisi rasionalitas para filsuf adalah, ‘jika aku tahu untuk mencapai B aku harus melakukan A, maka untuk mencapai B aku akan melakukan A.’ 2 Apapun yang lain dianggap tak berubah atau normal, yaitu misalnya, orang yang punya PD adalah orang yang kenal konsep ekonomi dengan baik, sehat jasmani dan rohani, tidak sedang dalam pengaruh obat-obatan, tidak sedang beramal, etc. Di ekonomi sendiri, frase ini bahkan sudah ada sebelum era ekonomi modern, sudah muncul di karya John Stuart Mill, biasa dipakai untuk menandakan keberadaan simplifikasi atau idealisasi. Sayangnya, pemakaian di ekonomi menuai banyak kritik karena ketika model ekonomi ternyata terbukti tidak faktual, dia dijadikan kambing hitam, yaitu, non-faktualitas itu terjadi karena tidak ada kondisi ceteris paribus.
4
Pada praktiknya, seharusnya ada banyak sekali keadaan K yang bisa didefinisikan karena ada banyak sekali proposisi dan setting peristiwa yang mungkin muncul di lingkungan tempat seseorang berada. Perlu diingat, jika kita membahas rasionalitas dengan cara ini, maka apakah 1 seseorang itu rasional atau tidak, apakah dia termasuk dalam keadaan kR , 2 3 kR atau kR , ditentukan oleh bagaimana kita menentukan kriteria rasionalitas berdasarkan koleksi PD yang kita pilih dan kita anggap berlaku di semua individu. Berbeda dengan pemakaian kata ‘rasionalitas’ dalam keseharian, nonrasional tidak bisa secara langsung dipersamakan dengan ‘irasional’ atau ‘emosional’, apalagi ‘mistis’ atau ‘primordial’. Empat yang terakhir ini bukan konsep di psikologi kognitif sehingga mereka tidak secara eksplisit terdefinisikan di spesifikasi mesin mental.
1.3
Level
Ekonomi behavioral membahas ekonomi di level individual. Penekanan ini ditujukan untuk membedakannya dengan ekonomi sebagai aktivitas kolektif lebih dari satu manusia. Yang berbeda dari ekonomi individual dengan ekonomi di topik lain adalah bahwa ia terfokus ke PD dan PT , berikut keadaan K yang dihasilkan. Hal lain yang penting, keadaan di ekonomi individual sama sekali berbeda dengan keadaan di, misalnya, tingkat negara. Keadaan di tingkat negara seperti inflasi I dan suku bunga S tidak seperti keadaan individual, bisa langsung digambarkan dalam bilangan real, lebih khusus, persentase per satuan waktu. Akan tetapi, keadaan dari semua level bisa dimasukkan dalam proposisi di tingkat individual dan bisa menghasilkan misalnya: 7. p7θ ≡ ‘Jika inflasi menyentuh angka 1%, aku tidak akan membeli saham, tapi aku akan membeli junk bond.’; 1 . Artinya, sementara keadaan individual KR sendiri tidak berubah, yaitu kR meskipun si orang ini menggunakan keadaan tingkat negara sebagai proposisi, keadaan dia sendiri tetap tak berubah, yaitu murni-rasional menurut kriteria seorang eksperimenter. Sebaliknya, tidak semua keadaan individual lazim menjadi proposisi di tingkat negara. Walau tak mustahil dibuat, kita sejauh ini belum pernah melihat indeks rasionalitas yang berisi informasi yang teragregasi sedemikian rupa tentang tingkat rasionalitas segenap warganegara. Belum lagi jika kita ingat slot-besar di atas. Kalaupun misalnya ada agregat rasionalitas, bukan berarti negara menjadi rasional atau tidak, sama sekali bukan seperti pendapatan nasional yang diperoleh dari penjumlahan pendapatan semua agen ekonomi suatu negara. Akan aneh jika sebuah negara bisa berpikir, ‘Aku yakin bahwa . . .,’ karena slot-besar jenis ini unik untuk efek mental. Yang ada adalah, seorang ekonom berpikir dan menulis, ‘Aku percaya bahwa, “Tingkat inflasi sedang membubung tinggi sehingga menurunkan tingkat suku bunga justru akan memperburuk masalah.”.’, dan akhirnya tulisan si ekonom ini dicetak dan diterbitkan di sebuah koran harian yang dibaca, dipersepsi, lantas dinalar, dipahami oleh orang kebanyakan, sebelum sebuah perilaku dibangkitkan olehnya.
5
2
Metodologi
BE adalah sebuah ilmu yang seperti inspirasi behavioralnya, sangat eksperimental. Dari awal ditekankan, bahwa BE, tidak seperti sains-sains lain yang berangkat dari tradisi penempatan PD yang kemudian diikuti PT , maka BE lebih suka mengubah-ubah PD jika dikehendaki dan jika ada data di lapangan yang luput dari prediksi model standar. Karena ketakteraturan ini, akhirnya BE menjadi sains yang menurut beberapa tokohnya, eklektik, campur-campur. Istilah Colin Camerer dan Richard Loewenstein, BE seperti seorang buruh tambang yang punya berjenis-jenis bor untuk membuat liang di tanah yang sama. Tidak ada kriteria tegas yang memisahkan dia dari ekonomi maupun psikologi. Untunglah ada semacam batasan umum yang mencegah semua eksperimen dan interpresi eksperimental menjadi barbar. Berbekal batasan umum ini, nanti konsep mesin mental di model standar psikologi dicoba dipakai untuk kepentingan teorisasi konsep agensi ekonomis di berbagai kasus. Awalnya, periset BE harus punya sebuah model standar tentang agen ekonomi (biasanya model standar yang dipakai ekonomi neoklasik), gambaran paling umum tentang sisi homo œconomicus dari Homo sapiens, atau dengan kata lain, koleksi PD apa yang setiap manusia mungkin punya. Tatkala model standar ini bergerak menjauhi data eksperimental, maka agenda riset BE adalah merumuskan modifikasi model yang sesuai dengan data, yang dalam bahasan mesin mental berarti menambah, mengurangi, menegasikan proposisi tertentu pδ di PD . Tapi setiap modifikasi harus mematuhi tiga batasan, anggap saja semacam doktrin: realitas, generalitas, dan traktabilitas. a) Realitas mengharuskan bahwa semua model agen ekonomi harus dibangun dari asumsi yang realistik. Jika model umum neoklasik menyatakan bahwa setiap pelaku ekonomi memaksimalkan utilitas (untuk saat ini, berarti proposisi 1) di atas), maka model ini harus dibangun oleh variabel-variabel yang secara psikologis maupun ekonomis ada, dan bisa diukur. b) Generalitas menyatakan bahwa, bila kita sudah mempunyai model standar yang umum, diasumsikan berlaku untuk semua manusia, menambahkan sedikit variabel adalah sah-sah sahaja karena tambahan variabel ini tidak mengubah model awal, dan generalitas alias keberlakuannya secara umum di manusia manapun justru makin bertambah. Dengan ini, kita bisa menyatukan makna kata ‘keadaan’ di bagian 1 dengan ‘fenomena spesifik’ di bagian 3. c) Traktabilitas lebih menyangkut kapasitas kalkulasi atau komputasi. Artinya, setiap model termodifikasi harus tetap traktabel, pergerakan variabelnya bisa dihitung dengan tangan atau alat dan ternyata masih mempunyai solusi yang konklusif. Baru setelah itu, bor BE bisa diarahkan ke target tertentu. Target umum biasanya hanya dua: peluang dan pilihan, keduanya ditempatkan di berbagai kasus realistik dan biasanya terinspirasi oleh ‘data lapangan’ (ini istilah asli yang dipakai BE).
6
2.1
Peluang
Probabilitas atau peluang3 P r(X) dari sebuah kejadian X menjadi alat yang serbaguna untuk menggambarkan ketidakpastian akibat ketidaklengkapan informasi (y.i.: rasionalitas-terbatas karena kurangnya data perseptual) atau karena ketiadaan heuristik yang tepat (y.i.: kegagalan derivasi untuk mencapai pθ tertentu). Model standar ekonomi banyak memakai probabilitas di tingkat individual. Sementara itu, di model standar psikologi di bagian 1, slot-slot adalah sesuatu yang diskrit, tidak diberi nilai dalam bilangan real dari 0 sampai 1, tetapi hanya himpunan {0,1} yang menggambarkan benar dan salah atau ada dan tiada. BE akhirnya menjadi sangat fasih dalam urusan mengonversi model standar ekonomi ke model standar psikologi, dan sebaliknya. Sekarang, bisakah manusia digambarkan sebagai mesin mental dengan peluang sebagai salah satu komponen yang hard-wired, yang sudah didesain dari sononya dan tak bisa hilang, dan mempunyai slot tersendiri atau menjadi ekstensi slot dan slot-besar? Dengan cara ini, peluang bukan lagi terhubung dengan terjadi atau tidaknya sesuatu yang dipersepsi, tetapi mejadi abstraksi yang tertanam di mesin mental, dan nilainya berwujud semacam derajat kepercayaan. Bayangkan kita berpikir dan bicara dengan cara: 8. “Setiap hariP r(B)=1 hujanP r(A∩B)=0,9 , loh!”; karena setelah 10 hari berturut-turut, P r(B) = 1, ada 9 hari hujan, P r(A∩B) = 0,9. Yang terjadi di manusia, keyakinan yang tidak 100% dinyatakan dalam operator modal seperti ‘mungkin’, ‘seharusnya’, ‘kadang-kadang’, ‘nyaris tak pernah’, ‘hampir’, dan bukannya sebuah angka antara 0 dan 1 yang terngiangngiang di kepala, sehingga alih-alih kita bilang: 8’. “Hampir setiap hari hujan, loh!”. Contoh yang lebih relevan dengan ekonomi: 9. ‘Jika aku menawar sesuatu dengan harga lebih rendahP r(B)=1 , maka aku akan mendapat harga yang lebih murahP r(A|B)=0,5 .’; dan: 3 Peluang P r bernilai bilangan real dari 0 sampai 1 yang selain didapat dari pembagian jumlah sebuah kejadian dengan seluruh kemungkinan kejadian yang ada, bisa juga secara induktif didapat dari eksperimen. Peluang kejadian pa δ yang menggambarkan munculnya 3 pada dadu sekali lempar adalah P r(pa δ ) ≡ P r(A) = P r({3}) = 1/6 dari seluruh kemungkinan {1,2,3,4,5,6}. Tetapi cara ini tidak berlaku untuk menentukan misalnya, peluang seseorang akan memperoleh harga lebih murah ketika berbelanja di pasar. b Untuk dua kejadian, misal pa δ ∧ pδ yang mewakili munculnya angka di dadu yang habis b terbagi 2 dan habis terbagi 3, peluangnya adalah P r(pa δ ∧ pδ ) ≡ P r(A ∩ B) = P r({2, 4, 6} ∩ {3, 6}) = P r({6}) = 1/6. Jika P r(A ∩ B) = P r(A) · P r(B), maka kedua kejadian ini disebut independen. Hasil apapun dari dua kali melempar dadu termasuk independen. Jika urutan kejadian berpengaruh, misal pbδ ⇒ pa δ yang menggambarkan munculnya angka yang habis terbagi 3 dari lemparan dadu yang menghasilkan angka yang habis terbagi 2, peluangnya adalah P r(pbδ ⇒ pa δ ) = P r(A|B) = P r(A ∩ B)/P r(B) = P r({2, 4, 6} ∩ {3, 6})/P r({2, 4, 6}) = P r{6}/P r({2, 4, 6}) = 1/6 : 1/2 = 1/3. b Masih untuk dua kejadian, misal pa δ ∨pδ yang mewakili munculnya angka di dadu yang habis b terbagi 2 atau 3, peluangnya adalah P r(pa δ ∨pδ ) ≡ P r(A∪B) = P r(A)+P r(B)−P r(A∩B) = P r({2, 4, 6}) + P r({3, 6}) − P r({6} = 1/3 + 1/2 − 1/6 = 2/3.
7
9’. ‘Jika aku menawar sesuatu dengan harga lebih rendahP r(B)=0,5 , maka aku akan mendapat harga yang lebih murahP r(A|B)=0,04 .’. Proposisi 9) dimiliki si penawar, dan proposisi 9’) dimiliki si pemalu. Si penawar yang telah 100 kali ke pasar selalu menawar dan 50 kali mendapat harga lebih murah. Tapi untuk si pemalu, setelah 100 kali ke pasar dan menawar 50 kali, hanya tercapai harga lebih murah 2 kali (Dasar pemalu! Sekali pedagang bilang, “Belum boleh kurang, Neng,” dia langsung menyerah.). Akhirnya, si penawar yakin bahwa dia harus menawar karena ada peluang harganya akan turun sebesar P r(A|B) = 0,5, dan si pemalu akan malas menawar karena toh harga hampir pasti tidak akan turun, P r(A|B) = 0,04. Hitung-hitungan probabilistik yang diandaikan ada di kepala orang-orang ini biasa disebut para filsuf ‘probabilitas subyektif’ yang terangkum dalam diktum sederhana: semakin sering sesuatu terbukti, semakin benarlah ia, atau semakin salahlah kebalikannya.
2.2
Inversi Bayesian
Setelah seseorang mendapat data E, dia bisa sampai ke hipotesis H dengan peluang P r(H|E); ada keyakinan berwujud, ‘Aku percaya bahwa HP r(H|E) .’ Bagaimana jika sebaliknya, ketika dia ingin menaksir seberapa jauh hipotesis bersesuaian dengan data yang dia punyai? Untuk ini, kita mengenal inversi Bayesian dari paper Thomas Bayes yang terbit anumerta tahun 1764, dituliskan sebagai P r(H|E) = [P r(H)/P r(E)] · P r(E|H). Inversi Bayesian terintegrasi menjadi model standar ekonomi karena inversi ini dengan elegan bisa menggambarkan penalaran induktif karena ada hubungan langsung antara perubahan isi mesin mental dan aliran data persepsi tanpa melalui derivasi, dan tentu saja model umum pembelajaran behavioral berdasarkan latihan yang menyangkut fiksasi4 PD di mesin mental. Dalam perspektif ini, P r(H|E) dianggap sebagai bagian dari PD , didapat dari hipotesis H atau posterior atau dugaan, dan dari hasil observasi E atau prior atau fakta. Dengan demikian, P r(H|E) berarti peluang sebuah hipotesis mengikuti hasil observasi yang ada. Sementara itu, hasil inversinya, P r(E|H) adalah peluang bagaimana setelah ada hipotesis, setiap observasi cenderung mengikuti hipotesis itu. Nama lainnya adalah likelihood. Biar gamblang, mari kita modifikasi proposisi 9’). Si pemalu telah pergi 100 kali ke pasar, dan dia 50 kali menawar sehingga P r(H) = 50/100 = 0,5. Dia menawar dan benar-benar mendapat potongan harga hanya sebanyak 2 kali sehingga didapat P r(E ∩ H) = 2/100 = 0,02. Padahal, dia punya cara lain untuk mendapat potongan harga, misalnya dengan nitip ke si penawar atau belanja ke pasar yang lebih jauh tetapi lebih murah. Dengan berbagai cara, total jenderal, dia mendapat 10 kali potongan harga atau P r(E) = 10/100 = 0,1. Maka, peluang dia mendapat potongan harga gara-gara menawar adalah P r(E|H) = P r(E ∩ H)/P r(H) = 0,02/0,5 = 0,04. Kebalikannya, P r(H|E) = [P r(H)/P r(E)] · P r(E|H) = (0,5/0,1) · 0,04 = 0,2. Jadi, dia yakin bahwa peluang harga terpotong gara-gara menawar cuma 20% dibanding dengan segala cara yang lain sehingga dia berpikir: 10a’. ‘Aku menawarP r(H)=0,5 hingga dapat potongan hargaP r(E|H)=0,04 .’; 4 Hadirnya
pθ tertentu di mesin mental seseorang yang lama-lama terintegrasi ke PD .
8
10b’. ‘Aku dapat potongan hargaP r(E)=0,1 gara-gara aku menawarP r(H|E)=0,2 .’. BE mendaratkan kritik ke ekonom Bayesianis (Yah! Inversi Bayes sudah seperti agama bagi beberapa.). Model standar Bayesian dianggap kurang realistik karena beberapa alasan: a) inversi Bayesian memerlukan nilai hipotesis awal P r(H); ketika tidak ada patokan awal, fakta-fakta psikologislah yang seharusnya menjadi acuan, contohnya ketika seseorang sama sekali belum pernah pergi ke pasar sehingga P r(H) = 0 yang akibatnya, keseluruhan probabilitas akhirnya tak bisa dihitung meskipun nyatanya orang ini sudah punya dugaan P r(E|H) tentang apa yang akan dilakukan jika dia ingin pergi ke pasar; b) inversi Bayesian memisahkan setiap kejadian satu sama lain secara independen, seperti urutan lemparan dadu di mana satu lemparan tidak mempengaruhi hasil lemparan lainnya; orang dianggap bisa pergi ke pasar dan setiap kepergian tidak berhubungan satu sama lain, padahal, jika sekali ke pasar, terjadi kegagalan menawar, bisa saja seseorang ngambek dan tidak pernah menawar lagi; c) probabilitas dalam aturan Bayesian terpisah dari utilitas atau nilai guna barang itu sendiri sehingga hal-hal yang tidak ada observasinya tidak bisa masuk, contohnya, orang tidak menawar karena merasa harga bayam di pasar terlalu murah dibanding di swalayan; orang ini justru ingin ‘mensejahterkan’ pedagang dengan tanpa menawar, dan utilitas barang jadi bertambah, yaitu ada unsur ‘amal’; d) aturan Bayesian sama sekali tidak mempedulikan urutan kejadian, padahal, meski kita sudah belanja di pasar seumur hidup kita sebanyak 10.432 kali, yang kita ingat dari seluruh transaksi hanya ketika ada peristiwa unik, misalnya ketika kita mendapat harga yang sangat murah, ketika di pasar ada copet yang dipukuli, atau ketika ada teror bom, atau yang teringat hanya kunjungan ke pasar belakangan ini, misalnya sampai dua hari, seminggu atau sebulan yang lalu. Dari serangkaian kritik inilah modifikasi model standar bermula. Jika dicermati lebih jauh, butir a) jadinya menggantungkan berbagai nilai awal ke PD yang disebut sebagai ‘fakta psikologis’ entah bagaimana bentuknya. Butir b) dan d) memang membuat asumsi model standar jadi lebih realistik, tetapi seandainya eksplikasi dibuat, traktabilitas bisa terancam karena kalau kejadian yang semula independen menjadi dianggap dependen, kalkulasi probabilistiknya jadi lebih panjang. Butir c) berusaha mencari sintesis dari dua besaran yang berbeda.
2.3
Pilihan
Di lain pihak, riset mengenai penilaian terhadap pilihan biasanya terkait erat dengan ketiadaan referensi di model-model standar. Untuk masalah pilihan ini, kita memerlukan konsep lain, yaitu utilitas yang sudah disinggung sedikit di atas. Utilitas yang kadang diterjemahkan sebagai nilai guna, secara formal sebenarnya berbentuk besaran abstrak yang tidak secara langsung terukur. Utilitas 9
bisa dianggap tingkat kepuasan dalam mengonsumsi atau tingkat keinginan kita terhadap suatu barang. Tidak berarti tingkat kepuasan ini bisa langsung diubah ke uang. Mengapa? Karena uang juga mempunyai utilitasnya sendiri. Kita mungkin ‘menikmati’ mempunyai uang banyak, tapi semakin banyak uang yang kita dapat, apakah ‘kenikmatan’-nya juga akan terus bertambah secara proporsional dengan tambahan uangnya? Sejaman dengan Bayes, Daniel Bernoulli berspekulasi bahwa utilitas uang memang meningkat, tetapi logaritmik, sehingga berapapun jumlah uang yang dimiliki, utilitasnya naik dengan lambat. Secara spekulatif, tidak ada yang namanya kenikmatan tiada tara. Meski mungkin utilitas uang buat saya dan Bill Gates terpaut jauh, utilitas uang bagi Gates dan bagi Rupert Murdoch ‘mungkin’ tak jauh berbeda. Selain itu, satu proposisi terhubung dengan proposisi lain sedemikian rupa. Misalkan kita punya PD = {‘Barang yang bagus itu mahal.’, ‘Barang mahal banyak dibuat di luar negeri.’, ‘Barang bagus ada yang penting dan tidak penting.’, ‘Barang bagus yang penting mencakup baju, kendaraan, komputer, dan parfum.’, ‘Aku hanya membeli barang bagus ketika perlu.’}. Kita mendapat data D = {‘Aku sedang perlu kendaraan.’, ‘Zamboni itu kendaraan yang mahal.’, ‘Zamboni dibuat di luar negeri.’}, sehingga saat itu pula kita punya PT = {‘Aku akan membeli Zamboni.’}. Bagaimana kita bisa mengukur utilitas Zamboni dari proposisi sebanyak itu, meskipun semua sukses ditransfer ke probabilitas? Belum lagi ketika kita tahu bahwa, meskipun Zamboni bisa dikendarai, Zamboni adalah mesin pengeruk salju. Dan goyahlah PD kita, goyah pula interpretasi kita terhadap data tentang Zamboni, dan akhirnya, makin sulitlah kita sendiri atau seorang eksperimenter dalam mengukur utilitas Zamboni bagi kita. Semua gara-gara tidak ada konteks yang lebih spesifik. Tapi menyempitkan konteks berarti membatasi masalah. Membatasi masalah berarti menambah asumsi, dan menambah asumsi akhirnya makin memperpanjang basis kalkulasi utilitas. Karena ketakmasukakalan mengukur langsung utilitas suatu barang, model standar harus menyulapnya menjadi skala ordinal. Jika kita lebih suka membeli bayam daripada kangkung, maka utilitas bayam melebihi utilitas kangkung. Kita bisa menulis utilitas U terhadap suatu sekelompok barang X = {bayam, kangkung, labu, buncis} menjadi U (bayam), U (kangkung), U (labu) dan U (buncis). Skala ordinal membuatnya menjadi U (bayam) > U (kangkung). Model standar akhirnya menawarkan: 11. p11 δ ≡ ‘Untuk semua jenis barang X, maka aku akan memilih utilitas U (x) maksimal dari barang-barang itu.’ yang dengan cara lain boleh ditulis: 5 11. p11 δ ≡ maxx∈X U (x) .
Ketika ada pilihan antara kangkung dan bayam, sedemikian rupa kita menalar hingga akhirnya kita mendapatkan: 12. p12 τ ≡ ‘Aku lebih memilih bayam daripada kangkung.’ 5 Variabel x yang dimaksud adalah sebuah nilai dari sebarang proposisi p yang disebut θ juga variabel acak. John von Neumann memulai tradisi penggabungan variabel acak dengan peluangnya yang menelorkan teori ekspektasi utilitas dan kemudian mengilhami teori prospek Daniel Kahneman dan Amos Tversky.
10
Sayangnya, pengandaian yang begitu mulus ini sering dilanggar oleh data lapangan. Misalnya, ketika barang seperti bayam atau kangkung di atas diubah menjadi pasangan sejumlah uang dan peluang mendapatkannya. Contohnya, orang disuruh memilih yang mana, pa ≡ ‘Aku mendapat uang Rp 100.000 secara pasti.’, dan pb ≡ ‘Aku mendapat uang Rp 300.000 dengan peluang 1/3, sementara ada peluang 2/3 bahwa aku tidak akan mendapatkan apa-apa.’. Menurut teori probabilitas, nilai ekspektasi6 dari pa dan pb tentu saja sama sementara model standar mengatakan bahwa utilitas adalah nilai ekspektasi. Orang cenderung memilih pa , atau U (pa ) > U (pb ). Sekarang ubahlah proposisinya menjadi, p0a ≡ ‘Aku kehilangan Rp 200.000 secara pasti.’, dan p0b ≡ ‘Aku kehilangan semua dengan peluang 2/3 dan mendapat Rp 300.000 dengan peluang 1/3.’. Orang cenderung memilih p0b atau U (p0a ) < U (p0b ). Bisa kita lihat, kasus pertama dan kedua menjadi terbalik, meskipun proposisinya sebenarnya sesuai teori ekspektasi utilitas berarti sama saja. Efek ini disebut efek acuan (framing effect), yang hanya salah satu titik menuju kritik terhadap model standar yang lebih bervariasi. Ada banyak fenomena ganjil yang didapat para peneliti BE, menarik, kadang lucu bila diamati satu demi satu.
3
Temuan
Hasil eksperimen BE bertumpuk-tumpuk, tetapi interpretasinya bukan sesuatu yang selalu gamblang. Akan ada banyak fenomena spesifik, dan tiap efek biasanya diberi nama tertentu. Untuk tiap nama, saya memakai huruf kapital kecil untuk penyebutan pertama.
3.1
Kritik ke Model Probabilistik
Berikut pergeseran penilaian terhadap peluang dari yang seharusnya diramalkan model standar. Alih-alih benar-benar memakai model standar, orang banyak menggunakan heuristik sendiri. 3.1.1
heuristik ketersediaan (availability heuristic)
Kita ingat bahwa aturan Bayesian tidak peduli terhadap urutan ketersediaan data hasil observasi. Kasus khususnya, orang cenderung menilai peluang tentang terjadinya sesuatu di masa depan berdasarkan mudah tidaknya kejadian itu dibayangkan atau diingat. 6 Dalam hal ini, nilai ekspektasi—di tempat lain disebut juga rata-rata, mean, nilai terekspektasi, utilitas terekspektasi, etc.—cukup didefinisikan sebagai keseluruhan perkalian variP abel acak dengan peluangnya yang bisa ditulis i xi · P r(xi ). Di sebuah permainan dadu A, jika Anda harus bayar Rp 10.000 setiap kali dadu memunculkan angka {1,2}, mendapat Rp 15.000 untuk {3,4}, dan dibayar Rp 45.000 untuk {5,6}, maka nilai ekspektasi Anda adalah Rp 10.000. Pasangan nilai kejadian dan peluangnya ini oleh Kahneman dan Tversky disebut ‘prospek’ yang di permainan tadi adalah (−30000, 1/3; 15000, 1/3; 45000, 1/3). Tentu tidak ada bayaran tepat Rp 10.000, tetapi paling tidak, Anda bisa menilai bahwa permainan dadu tadi ‘lebih menguntungkan’ buat Anda dibanding permainan B dengan prospek (−15000, 1/3; −30000, 1/3; 60000, 1/3), atau dengan kata lain, U (A) > U (B). Inilah salah satu daya tarik teori ekspektasi utilitas.
11
Akibatnya, muncul beragam keanehan. Yang paling menonjol adalah hindsight bias. Orang lebih mudah membayangkan yang biasanya terjadi, dan bukannya hal-hal yang tidak biasa atau luar biasa. Ketika berdasarkan hal yang biasa, orang menitipkan harapan ke masa depan, berharap akan ada utilitas lebih, tapi yang terjadi di masa depan ternyata hal yang tidak biasa, akhirnya, muncul ketidaktercapaian utilitas, dan ekspresi behavioralnya dramatis. Yang lazim, seorang investor akan menuntut brokernya gara-gara biasanya si investor untung hingga suatu ketika, di luar kebiasaan, si broker jadi salah portofolio, dan investor jadi rugi besar. Padahal broker juga manusia. Yang lebih aneh adalah versi Tversky dan Kahneman yang menyatakan bahwa di sebuah rumah sakit jiwa, pasien depresif yang bunuh diri lebih diingat oleh psikiater daripada yang tidak. Akibatnya, psikiater menjadi terlalu berlebihan dalam menangani pasien depresif karena takut dia bunuh diri. Kasus lain disebut kutukan pengetahuan (dari psikolog developmental, Jean Piaget), yaitu orang yang lebih pintar cenderung sukar membayangkan mengapa orang lain yang kurang pintar kok susah berpikir dengan cara dia. Programer Microsoft pernah disuruh melihat bagaimana pengguna yang dikurung di kotak kaca-satu-arah, bersusah-payah menggunakan program penuh bug yang mereka buat hanya untuk menunjukkan bahwa tidak semua orang bisa menggunakan komputer sebagaimana seorang programer handal bisa. 3.1.2
heuristik representativitas
Kita ingat bahwa dari inversi Bayesian, kita dapat likelihood P r(E|H) yang dalam hal ini berarti peluang sebuah anggota himpunan memiliki sifat yang dimiliki oleh semua anggota himpunan itu. Representativitas dengan demikian berarti cara mesin mental dalam menaruh atribut, sifat, atau fitur dari sebuah himpunan ke tiap anggota himpunan. Ketika kita bertemu satu anggota himpunan, kita dibimbing oleh heuristik ini untuk melekatkan sifat ke satu anggota himpunan itu. Penggunaan heuristik ini memang efektif dan handy dalam keseharian, tapi kadang melanggar batasan lain yang jelas berlaku. Di eksperimen Tversky dan Kahneman, partisipan disodori 100 profil deskriptif, diberi tahu bahwa ada 30 insinyur dan 70 pengacara. Berdasarkan profil dan perbandingan ini, setiap partisipan lantas disuruh memutuskan, sebuah profil lebih cocok ke profesi apa, insinyur ataukah pengacara. Kemudian, dengan 100 profil yang sama, partisipan yang sama diberi tahu bahwa ada 70 insinyur dan 30 pengacara dan pertanyaan diulang. Komposisi yang sebenarnya antara insinyur dan pengacara tidak diketahui. Untuk kasus pertama, seharusnya, pemakaian profil yang menunjuk ke pengacara, tulis saja H1 , lebih banyak bila dibandingkan dengan yang menunjuk ke insinyur, tulis saja H2 . Perbandingan ini tepatnya, H1 : H2 = 7/3. Sementara, di kasus kedua, perbandingannya adalah H1 : H2 = 3/7. Pada kenyataannya, ternyata kedua perbandingan ini cenderung sama saja untuk kedua kasus. Base rate atau perbandingan antara jumlah insinyur dan pengacara di kedua kasus dikesampingkan oleh partisipan. Bayangkan, kita punya 100 karyawan yang ada di divisi marketing. Dari laporan penjualan dari manajer, ada 25% yang jauh melampaui target meski kita tidak tahu yang mana orangnya. Ketika akan memberikan bonus, kita hanya mengandalkan intuisi, yaitu karyawan yang mencapai target adalah karyawan 12
yang komunikatif, karena komunikatif berarti mempunyai banyak relasi, dan banyak relasi berarti banyak penjualan. Karena intuisi inilah, kita mendatangi setiap karyawan satu per satu, lalu bila dia kita nilai komunikatif, kita berikan bonus ke dia, tapi tanpa mengindahkan fakta bahwa karyawan yang berhasil melejit melampaui target hanya 25%. Efek sampingnya, kita mungkin dianggap bos yang pemurah. 3.1.3
hukum jumlah kecil
Kita tahu bahwa semakin besar sampel, semakin bagus probabilitas mewakili setiap kejadian. Lemparan koin Rp 500 yang adil tentu menghasilkan 50% melati, dan 50% garuda. Jika kita melemparnya 200 kali dan 4 kali, tentu kemunculan peluang 50% lebih didekati lemparan 200 kali daripada 4 kali. Nyatanya, orang tetap menganggap bahwa keduanya sama saja. Dalam bahasa psikolog yang sekaligus statistikawan, fakta bahwa variansi sampel akan berkurang seiring dengan bertambahnya sample tidak diyakini oleh manusia. Eksperimen Kahneman dan Tversky melibatkan mahasiswa S-1 yang diberi tahu bahwa ada dua rumah sakit, besar dan kecil, masing-masing mencatat berturut-turut kelahiran bayi laki-laki tiap hari adalah 45 dan 15 orang. Mahasiswa juga diberitahu bahwa keseluruhan bayi laki-laki yang lahir adalah 50%, meskipun kadang bertambah atau berkurang tiap hari. Dalam setahun, tiap rumah sakit mencatat kelahiran per hari bayi laki-laki sebesar 60%. Mahasiswa ditanya, rumah sakit mana yang berpeluang lebih banyak mencatat hari-hari ini? Hanya 22% mahasiswa yang menjawab benar (semakin kecil sampel, semakin bertambah variansinya), yaitu rumah sakit yang kecil. 3.1.4
quasi-Bayesian
Heuristik ini adalah masalah kesalahan pengkodean, yaitu ketika hasil persepsi tidak diterjemahkan sebagaimana mestinya ke proposisi yang tepat. Hasilnya tetap mengikuti inversi Bayesian P r(E|H), hanya saja, E yang dimaksud tidak sebagaimana yang seharusnya dipersepsi. Anggap saja seperti ketika mata rabun kita tidak dilengkapi kaca mata, dan kita melihat pria tampan malah menjadi buruk rupa. Hanya saja, dalam kasus ini, bukan mekanisme persepsi yang salah, bukan mata kita yang rabun, tetapi karena ada pδ yang telanjur kita punyai tetapi tidak ingin kita ubah meskipun ada observasi baru yang bertentangan. Mata kita waras, tapi kita tak tahu kalau sang pria tampan baru saja mengalami bedah kosmetik. Kita hanya tak mau percaya kalau sang pria tampan telah menjelma menjadi jejaka jelita. Bayangkan ketika di sebuah pertandingan bulu tangkis, Taufik Hidayat yang sedang menuju kakalahan memprotes wasit karena penjaga garis dituduh curang. Taufik ngambek, dan suporter fanatik Indonesia menghujat wasit. Lalu ada tayangan ulang. Meskipun tayangan ulang menunjukkan bahwa sebenarnya penjaga garis tidak keliru, suporter fanatik masih bersikukuh bahwa pertandingan telah menjadi tidak sportif. Mereka memblok observasi baru yang seharusnya mengubah penilaian mereka tentang curangnya wasit. Suporter dari negeri asing menganggap pertandingan tetap adil karena mereka memakai penilaian yang berbeda. Jadinya, kedua jenis suporter seakan melihat dua jenis pertandingan yang berbeda. Dalam kejadian sebenarnya, kasus ini diuji oleh Matthew Rabin dan Joel Schrag untuk sebuah pertandingan betulan dan suporter betulan
13
yang menonton tayang ulang. Mereka menyebutnya bias konfirmasi. Kasus lainnya adalah efek fitur positif, misalnya seorang kawan kita yang mengidolakan Bill Gates baru saja tahu kalau Gates naik Altiz. Tahutahu, kawan ini langsung ngomong, ‘Eh, ada Altiz lewat,’ setiap kali di jalan dia melihat mobil merek ini, meskipun sebelumnya, dia tidak peduli dengan merek mobil yang lalu lalang di jalan kecuali mobil patroli polisi. 3.1.5
efek konjungsi
Lewat teori probabilitas, kita tahu bahwa untuk proposisi paθ ∧ pbθ dan pbθ dengan derajat keyakinan terhadapnya berupa probabilitas P r(A ∩ B) dan P r(B), kita mendapat hubungan P r(A ∩ B) ≤ P r(B), yaitu peluang untuk mendapatkan pbθ paling tidak sebesar peluang untuk mendapatkan paθ dan pbθ sekaligus. Peluang untuk mendapati mahasiswa yang pintar di satu kelas pasti lebih besar dengan peluang untuk mendapati mahasiswa yang pintar sekaligus ganteng, dan peluangnya sama jika mahasiswa yang pintar ternyata ganteng semua. Di eksperimen Tversky dan Kahneman, sekelompok partisipan dihadapkan pada uraian berikut: Linda, 31 tahun, adalah seorang gadis yang masih lajang, terbuka, dan sangat cerdas. Dia jebolan fakultas filsafat. Dulu, ketika masih mahasiswa, dia sangat perhatian terhadap isu-isu diskriminasi dan keadilan sosial, dan aktif berpartisipasi di demonstrasi-demonstrasi anti-nuklir. Partisipan lalu disodori dua pilihan yang menggambarkan Linda saat ini, yaitu 1) pb ≡ ‘Linda adalah seorang kasir bank.’, dan; 2) pa ∧ pb ≡ ‘Linda adalah seorang kasir bank yang aktif dalam pergerakan feminisme.’. Pilihan 1) lebih tinggi kemungkinan benarnya dibanding pilihan 2). Tapi ternyata, lebih dari 85% partisipan memilih pilihan 2). Yang lebih unik adalah eksperimen yang tidak memakai figur fiktif seperti Linda, tetapi bintang lapangan tenis betulan, Bjorn Borg. Partisipan disuruh berandai-andai, Borg sedang di final Wimbledon. Daripada memilih pb ≡ ‘Borg mungkin akan kalah di set pertama.’, partisipan lebih memilih pa ∧ pb ≡ ‘Borg mungkin akan kalah di set pertama tapi akan memenangkan pertandingan.’.
3.2
Kritik ke Model Preferensial
Model preferensial juga mengandung banyak fenomena spesifik yang tidak bisa diwadahi model standar, terutama yang berasal dari kerja awal teori pilihan rasional von Neumann dan Oskar Morgenstern. 3.2.1
efek acuan
Efek ini dirangkum dengan nama teori prospek7 dan terkenal dengan eksperimen ‘penyakit Asia’ ciptaan Kahneman dan Tversky. 7 Berbagai eksperimen BE biasanya hanya memakai dua jumlah uang, x dan y di satu prospek dengan peluang masing-masing s dan t, s + t ≤ 1. Sesuai model standar versi teori ekspektasi utilitas, U (x, s; y, t) = xs + yt. Jika ada dua prospek pa ≡ (xa , sa ; ya , ta ) dan pb ≡ (xb , sb ; yb , tb ), kita bisa bilang bahwa pa lebih disukai dibanding pb jika U (pa ) > U (pb ). Kahneman dan Tversky mengusulkan bahwa tiap manusia mempunyai penilaian subyektif untuk tiap x dan y berupa fungsi nilai ν(x) dan ν(y) dengan disertai pembobotan terhadap
14
Bayangkan ada 600 penderita penyakit imajiner ini, dan Anda punya peluang untuk menyelamatkan penderitanya dengan dua cara. Cara pertama pa mengandung kepastian, yaitu 200 orang pasti selamat. Cara kedua pb sedikit tidak pasti, ada peluang 1/3 bahwa semua selamat, tetapi ada peluang 2/3 semuanya mati. Pilih mana? Orang cenderung mencari jalan aman, pa yang tidak mengandung resiko kehilangan semua. Ini untuk acuan positif. Sekarang, untuk penyakit yang sama, kita ubah sedikit cara penyelamatan. Cara pertama p0a membuat 400 orang pasti mati. Cara kedua p0b masih sama, yaitu ada peluang 2/3 bahwa semua bakal tewas, dan peluang 1/3 semua akan selamat. Di acuan negatif ini, orang lebih memilih cara kedua. Menakjubkan! Nilai ekspektasi di kedua eksperimen sebenarnya sama. Tetapi dengan mengubah sedikit proposisi yang sebenarnya artinya sama saja, pilihan orang bisa berubah menjadi berlawanan, yaitu U (pa ) > U (pb ) dan U (p0a ) < U (p0b ), meskipun ada kondisi identik, pa ≡ p0a dan pb ≡ p0b . Ditemukan sifat unik manusia yang kalau sudah telanjur mendapat sesuatu, dia akan menghindari resiko kehilangan (risk-averse) meski ada iming-iming dia bakal dapat lebih. Di sisi lain, kalau dia telah kehilangan sesuatu, dia tak takut ambil resiko (risk-seeking) meski ini berarti dia bisa kehilangan semuanya. 3.2.2
efek jangkar (anchoring effect)
Fenomena ini menyangkut kehadiran informasi yang seharusnya tidak relevan, tetapi ternyata masuk hitungan dalam menentukan sebuah pilihan. Misalkan Anda dihadapkan pada sebuah papan rolet yang menerakan angka 0 sampai 100. Ada jarum di papan rolet yang setelah papan diputar, akan menunjuk satu angka. Rolet diputar. Sebelum rolet berhenti, Anda disuruh menebak, apakah angka yang keluar akan lebih besar atau kecil dengan jumlah negara Afrika di PBB. Eksperimen Tversky dan Kahneman menunjukkan bahwa dari sekelompok orang yang menjalani tes ini, ketika rolet menghasilkan angka 10, nilai tengah jumlah negara yang dipilih adalah 25. Ketika rolet menghasilkan 65, jumlah negaranya menjadi 45. Hasil putaran rolet bisa kita anggap acak, sementara jumlah negara di Afrika yang masuk PBB adalah angka yang bisa diperkirakan dari pengetahuan latar belakang manapun. Jelas tidak ada hubungan antara putaran rolet dan jumlah negara di PBB. Nyatanya, orang terpengaruh oleh informasi yang tidak relevan. Bahkan, ketika partisipan dibayar (ini biasa di eksperimen BE dan ekonomi eksperimental), efek jangkar tetap ada. peluangnya berupa fungsi bobot π(s) dan π(t). π sendiri bukan peluang, tetapi dinormalisasi sehingga nilainya antara 0 dan 1. Utilitas menjadi U (x, s; y, t) = ν(y) + π(s)[ν(x) − ν(y)] jika s + t = 1, dan akan sama dengan model standar jika π(s) = 1 − π(t). Untuk 0 < y < x atau x < y < 0, maka y adalah bagian yang ‘tanpa resiko’ dan x adalah bagian yang ‘beresiko’. Sesuai eksperimen, fungsi nilai untuk yang tanpa resiko lebih tinggi dibanding yang beresiko. Akibatnya, fungsi nilai menjadi konkaf di atas acuan, ν 00 (x) < 0, x > 0; dan konveks di bawah acuan, ν 00 (x) > 0, x < 0. Selain itu, fungsi nilai lebih curam ketika orang kehilangan uang dibanding ketika mendapatkannya, sehingga ν 0 (−x) > ν 0 (x). Kehilangan sejumlah uang jadi lebih penting dibanding mendapatkan sejumlah uang yang sama.
15
3.2.3
pembalikan preferensi
Efek ini mirip teori prospek satu kasus, tetapi tiap pilihan dalam satu kasus diisolasi, hanya satu kejadian spesifik untuk satu eksperimen. Misalkan Anda bisa menang lotere F dengan peluang 9/10 untuk mendapatkan Rp 100.000, dan hanya ada peluang 1/10 di lotere G untuk mendapatkan Rp 1.000.000. Nilai ekpektasinya hampir sama. Pilih mana? Di lain kesempatan, Anda yang jadi bandar, Anda yang harus bayar, dengan peluang dan nilai lotere yang sama, F dan G, sehingga nilai ekspektasi keduanya juga tetap berdekatan. Sekarang Anda pilih mana? Di kasus pertama, sesuai hasil eksperimen Tversky dan Richard Thaler, orang yang jadi pembeli lotere cenderung memilih yang peluang menangnya besar, F . Di kasus kedua, ketika orang jadi bandar, mereka lebih suka lotere G. Model standar mungkin akan mengusulkan bahwa sebenarnya, tidak ada preferensi yang diubah atau dibalik, karena perubahan peran dari pembeli ke bandar, meski implisit, seharusnya juga mengakibatkan perubahan preferensi. Periset BE akhirnya hanya menyatakan bahwa efek seperti ini harus diwaspadai jika ingin diintegrasikan ke sebuah model. 3.2.4
efek konteks
Kita ingat bahwa utilitas adalah sesuatu yang tak bisa terukur langsung, dan cara mengukurnya yang paling masuk akal mungkin lewat preferensi. Kita biasa bilang, sebuah barang mahal sekali, sementara yang lain murah, tetapi kita tidak punya batasan harga, mana yang mahal dan mana yang murah. Di efek konteks, sebuah oven bisa dianggap mahal. Tetapi ketika ada oven merek lain masuk pasar, tiba-tiba oven jenis lama tadi berubah menjadi murah. Ini bisa menjadi peringatan terhadap produsen barang tertentu ketika ingin melempar produk barunya ke pasar. Kita mungkin bisa bilang bahwa anggapan ini spekulatif semata, karena orang bisa tertarik ke barang baru karena meskipun mahal, lebih kuat, lebih canggih, fiturnya lebih lengkap, apapun. Hanya saja, karena ini temuan eksperimental Simonson dan Tversky, efek ini harusnya bisa menjadi tambahan pertimbangan di sebuah strategi marketing mix. Di kesempatan berbeda, Simonson dan Tversky melakukan eksperimen efek konteks untuk kasus yang lebih umum. Sekelompok orang diberi pengumuman bahwa akan ada undian dan pemenangnya akan menerima $6. Pemenang diberi pilihan untuk menukar $6 ini dengan satu pulpen yang telah dipajang. 10% orang dinyatakan sebagai pemenang, baik yang memilih uang maupun pulpen. Di eksperimen lain, jenis pulpen ditambah. Ada jenis baru yang kurang menarik dibanding pulpen pertama. Memang cuma 2% dari pemenang yang memilih menukar uang dengan pulpen jelek ini. Tetapi mendadak permintaan pulpen pertama jadi naik, dari 36% di eksperimen pertama menjadi 46% di eksperimen kedua.
4
Tinjauan
Sekarang waktunya merekapitulasi apa yang sudah kita lalui. Dari bagian 3.1 dan 3.2 kita dapatkan berbagai macam fenomena spesifik, yaitu heuristik ketersediaan, hindsight bias, kutukan pengetahuan, heuristik representativitas, efek konjungsi, hukum jumlah kecil, quasi-Bayesian, 16
bias konfirmasi, efek fitur positif, teori prospek, efek acuan positif, efek acuan negatif, efek jangkar, pembalikan preferensi, efek konteks. Lumayan banyak dan berantakan, atau istilah yang lebih bersahabat, eklektik. Bila ditambah reviu dari Matthew Rabin, kita bisa menambahkan efek spesifik preferensi tak-berubah-terhadap-waktu, perspektif jangka-panjang, efek hibah, dan diskon terhadap waktu. Di bagian ini saya hanya ingin menegaskan beberapa ide yang patut dicatat; mungkin mendeskripsikan cakupan yang terlampau luas. Tapi saya tak hendak menebar pukat ke tebat yang sempit, karena hanya lewat deskripsi yang luas inilah teoretisasi tercapai, bahkan mungkin bisa sampai tingkat prosedural, dan beberapa metode dan kritik bisa dianalisis.
4.1
Generatif dan Holistik
Mesin mental itu generatif. Menyambung penjelasan di bagian 1, kita bukan menghafal semua proposisi di kepala kita berdasarkan semua data perseptual tertentu. Kita hanya dibekali beberapa aturan sintaktik untuk menyusun proposisi dan aturan inferensi. Cukup dengan itu, kita bisa membangkitkan proposisi secara tak terbatas, infinit. Maka seorang periset atau eksperimenter seharusnya bisa mengisolasi berbagai proposisi yang mungkin dibangkitkan seseorang, tetapi masih relevan dengan suatu deskripsi masalah. Harus ada pemenuhan perseptual, harus ditemukan daerah irisan antara semua proposisi mesin mental dan proposisi yang cocok menggambarkan sebuah lingkungan. Orang cenderung tidak akan berbicara tentang mobil di toko pakaian ceteris paribus, sebagaimana orang cenderung menghindari pembicaraan tentang pencarian tenaga kerja semurah-murahnya di sebuah konvensi tentang perlindungan hak anak ceteris paribus. Selain itu, mesin mental bersifat deduktif, yaitu bisa menentukan kebenaran suatu proposisi dari aksioma yang ada. Aksiomatisasi atau penyusunan sekelompok proposisi dasar PD juga bukan hal yang mudah bila memang mungkin sama sekali. Jika ada aksiomatisasi yang benar-benar lengkap, ada model yang benarbenar umum, maka tak perlu lagi kita bubuhkan embel-embel frase ceteris paribus. Sulitnya aksiomatisasi menyeluruh disebabkan oleh karakter pikiran manusia yang cenderung holistik. Holisme di sini diartikan sebagai kemampuan kita dalam menghubungkan satu proposisi dengan proposisi lain semau kita tanpa kita bisa menahannya. Misal kita tahu bahwa sebuah produk itu bagus karena misalnya, kita dapat informasi bahwa klaim garansi akibat rusaknya barang sangat kecil jumlahnya, probabilitasnya menjadi barang tahan lama sangat tinggi, dan akhirnya utilitasnya relatif lebih tinggi dari produk dengan merek lain. Tapi begitu seseorang yang kita percayai membisiki kita bahwa produk itu dibuat di India dengan mengeksploitasi tenaga kerja anak-anak, secara tak tertahankan, utilitasnya langsung turun di mata kita. Artinya, pemenuhan aksiomatis, yaitu mengisolasi beberapa proposisi dasar saja masih menyisakan ruang kemungkinan yang masih sangat lebar dan inkonklusif. Walau demikian, model ekonomi standar (neoklasik) tentang agensi rasional individual, misalnya yang memakai inversi Bayesian untuk fiksasi hipotesis pada aliran data, serta maksimisasi untuk utilitas berdasarkan nilai ekspektasi, menurut BE, memang tidak perlu diubah. Model ekonomi ini masih bisa dianggap benar jika masih berimpitan dengan karakter generatif dan holistik 17
mesin mental di model psikologi dan tepat untuk menggambarkan kasus-kasus khusus. Yang perlu dilakukan adalah dengan menambah variabel di model standar agar bisa bersesuaian dengan data lapangan, dan modelnya makin umum. Maka, semua fenomena spesifik temuan BE bisa dirupakan ke generalisasi model yang akarnya masih model standar. Jika ada fenomena khusus yang melanggar model standar, maka carilah heuristiknya dan kita akan mendapat model yang lebih umum. Jika tidak ada upaya generalisasi model, maka kita dapat arti lain dari frase ‘one model per phenomenon’.
4.2
Desain Eksperimen
Perangai eklektik dari BE memang sewaktu-waktu bisa terlihat kontradiktif atau minimal ambigu, misalnya kutukan pengetahuan dan hukum jumlah kecil sama-sama berlaku. Akibatnya, keduanya bisa saja sebenarnya efek yang sama atau salah satunya salah. Ini disebabkan karena eksperimenter mendesain eksperimennya dari pilihan PD tak terbatas sementara tiap pδ potensial terhubung dengan proposisi lain. Generalisasi bisa jadi memang bukan target. Maka, desain eksperimen tidak boleh arbitrer, tidak semata-mata manasuka tatkala aliran data juga diperhitungkan. Artinya, sebuah desain eksperimen sangat disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan pemenuhan perseptual dan pemenuhan aksiomatis di atas. Bila ada keanehan di hasil eksperimen, barulah kita cari heuristik yang kemungkinan menjadi penyebabnya. Yang sering terjadi di sains behavioral adalah kebalikannya, yaitu ditemukan heuristiknya dulu, baru digelar eksperimen yang menguatkan keberadaannya. Jika tidak hati-hati, eklektisisme bisa mengorbankan generalitas, dan ‘one model per phenomenon’ berubah menjadi ‘one model per phenomenon per period of time per collection of participants per geographical area per etc.’ sehingga heuristik yang ditemukan tak berguna untuk menjelaskan fenomena di kesempatan lain. Teoretisasinya gagal karena temuan eksperimental tidak diarahkan ke generalisasi model. Kegagalan dalam menerapkan pemenuhan perseptual untuk menyempitkan kemungkinan proposisi yang potensial tergenerasi secara infinit bisa dilihat di contoh berikut: “Varey and Kahneman (1992) told subjects that A must carry a 30pound suitcase for 200 years, B must carry it for 550 years, and C must carry it for 900 years. When subjects were asked whether B’s “overall physical discomfort for the task as a whole” is closer to A’s or C’s, most subjects thought it was closer to A’s.” Kasus penyakit Asia sudah cukup aneh. Lebih aneh lagi makhluk di eksperimen di atas. Makhluk apakah yang bisa menggotong kopor sampai ratusan tahun? Parahnya, dia bisa merasa tidak nyaman, lagih.
4.3
Traktabilitas dan Brojolan
Menentukan sebuah desain eksperimen tentu juga dihadapkan pada isu traktabilitas. Semakin sederhana sebuah model, semakin sedikit pδ -nya, mungkin semakin banyak kondisi ceteris paribus-nya, maka semakin berkurang detil yang diperlukan, tetapi juga semakin potensial untuk menjadi tidak akurat. Sebaliknya, jika untuk semua agen dalam populasi yang besar disusun model yang
18
makin rumit atau semakin banyak pδ -nya, maka semakin jauh dari traktabilitaslah ia, semakin susah dikalkulasi apalagi diprediksi dan diverifikasi dengan data. Dari model yang rumit, bisa kita jelaskan misalnya agensi ekonomis dari berbagai macam sisi untuk sekelompok kecil pialang di sebuah perusahaan sekuritas. Model seperti ini mungkin berhasil menggambarkan bagaimana mereka memilih strategi dalam berbagai keadaan, jual atau beli ketika ada tren berdasarkan metode prediksi yang satu ternyata berlawanan dengan metode yang lain, ketika ada kebijakan moneter yang baru diumumkan pemerintah, ketika analisis mereka bertentangan dengan analisis investor, sampai ketika masing-masing dari mereka mengalami masalah keluarga. Lain halnya jika yang digambarkan adalah semua pialang di sebuah bursa ceteris paribus, dan yang ingin diamati adalah efek global, misalnya naik turunnya indeks komposit. Model yang terlalu spesifik, pδ yang dihasilkan hanya dijumpai berlaku di segelintir orang, sering juga tak terhindarkan, contohnya teori ekspektasi utilitas itu sendiri yang menjadi kriteria standar ekonomi neoklasik. Jangan-jangan, satu-satunya jenis manusia yang rasional sesuai teori ini adalah para teoretisinya sendiri. Bisa juga muncul model yang terlalu general, ada koleksi pδ yang sangat lengkap dan bahkan melibatkan pertimbangan yang sangat jauh dari ekonomi. Ada strategi lain di BE yang bergerak semakin mengecil (dan dengan demikian seharusnya makin memerlukan detail, makin mengesampingkan traktabilitasnya), misalnya menjelaskan agensi ekonomi bahkan ke tingkat neuronal. Contohnya adalah neuroekonomi dan neuromarketing Colin Camerer yang memakai bantuan alat pencitraan otak seperti fMRI. Kalaupun ada perumusan yang akurat lewat strategi ini, maka seharusnya kita beranjak dulu dari mekanisme neuronal ke mekanisme pengenalan pola dan penyimpanan memori yang diintegrasikan dengan mekanisme alat indera, baru kemudian dibuat perumusan bagaimana pengenalan pola, penyimpanan memori dan hasil persepsi bisa menjelaskan mesin mental, lalu dari mesin mental baru dijalankan prosedur di bagian 4.1. Hanya di atas kertas saya bisa membayangkan super-komputer yang bisa menghitung pergerakan variabel di semua level ini. Belum lagi, sepanjang pengetahuan saya, pergerakan seperti ini memby-pass problem-problem yang tak kunjung terselesaikan di psikologi kognitif, sains kognitif, dan kecerdasan artifisial. Resiko tinggi yang diambil strategi ini adalah dengan menghilangkan brojolan: munculnya kejadian x di level A karena ada perubahan kejadian di level B, x tak terdefinisikan di level B, dan tidak ada hubungan kausal antara x dan sebuah kejadian di B. Aktivitas semua pialang di bursa misalnya membrojolkan sifat multifraktalitas di harga-harga saham sebagaimana aktivitas neuron-neuron di retina dan lobus frontal misalnya menghasilkan brojolan berupa kemampuan mengenali abjad. Akhirnya, pergerakan yang semakin mikroskopis di neuroekonomi melangkahi beberapa potensi bahaya, misalnya hipotesis keterealisasian berlipat (multiple realizability) efek mental yang mengatakan bahwa efek mental dibrojolkan oleh efek neuronal, dan bukan dihasilkan oleh pemetaan satu-satu antara kedua level. Resikonya, neuroekonomi seakan membangun istana pasir, menyusun teori di atas asumsi yang penuh keraguan. Strategi ini terdengar seperti kritik fenomenolog terhadap mesin mental, dan akhirnya agensi ekonomis. Bukan berarti aspek fenomenologis (intensionalitas, 19
kesadaran, no¯ ema, no¯ esis, Dasein) bisa dikesampingkan—aspek ini berguna untuk kepentingan lain seperti apresiasi sebuah karya seni visual—, tetapi memperhitungkan ini akan membuat psikologi kognitif dan akhirnya ekonomi jadi makin jauh dan jauh dari capaian konklusif, apalagi preskriptif.
5
Bacan Lebih Lanjut
Camerer, C., G. Loewenstein, & M. Rabin, (ed.)., (2002)., Advances in Behavioral Economics. Princeton: Princeton University Press. buku teks tebal yang berisi kumpulan paper dari semua bidang di BE; paper-paper seminal tidak diikutkan; metode bervariasi, dari eksperimen partisipan, simulasi komputer, sampai pencitraan otak Kahneman, D., & A. Tversky. (1979). ‘Prospect Theory: An Analysis of Decision under Risk.’ Econometrica, 47(2): 263-92. paper seminal yang membuatnya paling sering dikutip diantara jurnal lain di Econometrica; berisi formulasi awal teori prospek yang dikembangkan dari kecenderungan loss-aversion versi Maurice Allais Rabin, M. (1998). ‘Psychology and Economics.’ Journal of Economics Literature, 36(1): 11-46. sebuah reviu pendek tentang berbagai macam fenomena spesifik BE dan memberi porsi penjelasan lebih tentang efek dari pembelajaran Tversky, A. & D. Kahneman. (1986). ‘Rational Choice and the Framing Decisions.’ The Journal of Business, 59(4): 251-78. tentang efek acuan; paper yang melaporkan hasil eksperimen ‘penyakit Asia’ Tversky, A., P. Slovic, D. Kahneman. (1990). ‘The Causes of Preference Reversal.’ The American Economic Review, 80(1): 204-17. interpretasi dari efek pembalikan preferensi; spekulasi bahwa efek ini lebih dipengaruhi utilitas terhadap harga daripada terhadap pilihan
20