Isu Teoretisasi di Teori Folk§
RENDRA SUROSO Dept Cognitive Science Bandung Fe Institute
[email protected]
1. INTRODUKSI Seorang pemain bola atau master biliar tidak perlu tahu gerak peluru atau hukum kekekalan momentum untuk menjaringkan bola kulit ke gawang atau menyarangkan bola marmer ke lubang. Seorang peternak di Temanggung atau di Rochester tahu bahwa penyakit sapi gila tidak akan menyerang bebek atau ayam. Seorang anak kecil tahu bahwa orang lain juga punya hasrat, keinginan, tujuan, atau maksud-maksud tertentu yang cara kerjanya sama dengan yang dia punya tanpa pernah membaca Freud atau Jung atau Adler. Seorang anak kecil, tanpa perlu propaganda, dengan berbekal penampakan saja, bisa mengenal konsep ras diantara sesama manusia. Bahkan tanpa perlu diajari di sekolah, seorang anak kecil akan bisa melakukan operasi penambahan dan pengurangan dengan sendirinya. Kemampuan-kemampuan spesifik ini terkumpul menjadi teori-teori spesifik. Karena teori-teori ini mempunyai domain dan inferensi kausal yang unik dan cenderung berbeda dengan inferensi teori-teori saintifik (fisika, biologi, psikologi, sosiologi, bahkan matematika), maka teori-teori ini disebut teori folk. Teori folk adalah temuan eksperimental yang berdiri di balik hipotesis nativistik. Kita mendapatkannya sejak lahir dan keberlangsungannya mulai tampak sejak masamasa awal kanak-kanak dan bisa berlanjut sampai usia dewasa, kadang konvergen dengan teori saintifik, kadang bertentangan, tampak ketika keluarannya diekspresikan dalam perilaku. 2. TEORI FOLK DAN SPESIFISITAS DOMAIN Bagaimana hasil persepsi – ditambah sensasi bila mengikuti David Hume atau William James – diproses hingga menjadi pengetahuan? Apakah domain pengetahuan itu general, atau spesifik? Bicara tentang teori folk adalah bicara tentang domaindomain spesifik. §
Working Paper WPX2004 Bandung Fe Institute, Desember 2004.
Sebuah proses bisa dianggap berdomain general jika dan hanya jika seseorang bisa melakukan sebuah aktivitas kognitif dengan stimulus yang berasal dari domain apapun hanya dengan bantuan stimulus itu semata, dan mekanisme pemrosesan yang terjadi benar-benar seragam dan berfungsi mengarahkan asosiasi dan generalisasi stimulus yang bersangkutan. Temuan-temuan eksperimental dalam teori folk menyatakan, yang terjadi ternyata tidak, atau tidak selamanya seperti itu. Cara melakukan penalaran, struktur pengetahuan, dan mekanisme pemerolehan pengetahuan ditemukan berbeda-beda di berbagai aspek kognisi. Cara kita mengenali bunyi-bunyian menjadi kata-kata yang berarti berbeda dengan cara kita melihat konfigurasi warna-warna hingga menjadi gambar-gambar yang berarti. Cara kita menentukan posisi kita dalam koordinat spasial berbeda dengan cara kita mengenali wajah orang lain. Artinya, keberadaan teori folk tidak bisa dilepaskan sudut pandang yang menganggap bahwa kognisi manusia mempunyai domain yang spesifik. Perihal dimana spesifisitas domain itu terjadi dan bagaimana rupa mekanisme biologis yang bertanggungjawab di belakangnya, adalah salah satu butir perdebatan di sains kognitif yang belum selesai. Spesifisitas domain bisa terjadi di mekanisme persepsi, antarmuka antara data sensori dari persepsi dengan proses sentral (biasa diasosiasikan dengan sistem syaraf pusat), bahkan sampai di proses sentral itu sendiri. Bila kita berniat mencari biomekanisme yang bertanggungjawab terhadap spesifisitas domain-domain ini, maka akan muncul jurang antara morfologi yang disokong substrat genetis, dengan fenomena-fenomena kognisi tingkat tinggi yang disokong fakta-fakta behavioral. Perdebatan tentang biomekanisme ini masih akan berlanjut, sehingga posisi aman di titik ini adalah dengan bersandar pada hipotesis nativistik di banyak hal, meski secara tentatif belum disertai substrat genetis yang pasti di belakangnya. Secara saintifik – bukan berdasar perdebatan filosofis spekulatif antara rasionalisme dan empirisisme sejak 500 tahun lalu, nativisme dalam sains kognitif mungkin baru pertama kali ditegaskan secara meyakinkan oleh Noam Chomsky lewat studi tentang bahasa natural: bahwa banyak aspek pikiran kita sudah mempunyai cetak biru sejak lahir. Penyelidikan awal Chomsky di wilayah linguistik akhirnya merembet ke berbagai aspek kognisi lainnya, termasuk ke psikologi developmental. Kebanyakan eksperimen yang dilakukan memang berasal dari psikologi developmental. Eksperimen dilakukan pada anak-anak (biasanya 0–7 tahun). Psikolog berharap, eksperimen seperti ini akan memberi kita petunjuk untuk menentukan begaimana cara pikiran bekerja, dibanding bila subyek eksperimen adalah orang dewasa yang telah dilengkapi kemampuan untuk menyerap dan mengingat cara berpikir yang disediakan oleh lingkungan. Banyak temuan psikologi perkembangan yang akhirnya mengarahkan kita ke kesimpulan, bahwa pikiran kita mempunyai banyak ‘mesin’ yang berbeda cara kerjanya, mempunyai input yang berbeda, ada sejak lahir, bisa bekerja secara simultan tetapi tidak bisa saling mempengaruhi. Namun sebagai sebuah temuan yang diawali oleh klaim empiris, teori folk masih jauh dari sebuah teori yang terintegrasi satu sama lain. Teori folk selama ini masih berada dalam posisi antara, terjepit di tengah pendapat yang mengatakan bahwa kemampuan-kemampuan spesifik yang ada di proses sentral itu berdomain general atau spesifik. Konsekuensinya akan sangat berlainan. Jika dia berdomain general, maka akan sangat sedikit pengertian kita tentang cara pikiran bekerja karena untuk setiap input, akan mungkin dikeluarkan output yang tak bisa ditentukan. Jika berdomain spesifik, maka akan berapa banyak teori folk untuk domain-domain yang
2
ada dan apakah satu sama lain saling terenkapsulasi? Dan bukankah teori folk sendiri berubah, karena pertumbuhan maupun pendidikan? Tapi sebagai sebuah temuan eksperimental, teori folk terlalu sayang untuk dibiarkan jauh dari integrasi dengan arsitektur kognitif secara umum. Karena karakternya yang bisa berubah, selama ini, teori folk susah diintegrasikan dengan modularitas klasik, yang berarti sama dengan mengatakan bahwa teori folk berada di daerah periferal dan dengan demikian tasit, terenkapsulasi secara informasional, padahal tidak atau tidak selalu demikian. Bila dimasukkan ke modularitas masif, maka salah satu karakter pikiran yang berdomain general harus dikorbankan yang dengan demikian sama artinya dengan menghilangkan kemampuan manusia untuk melakukan komposisi terhadap simbol-simbol yang dikenal secara tak terbatas. Hal ini akan konter-intuitif dengan fakta bahwa manusia bisa mengembangkan pengetahuan yang terus bertambah dari generasi ke generasi. 2.1. matematika naif Teori folk ini sangat sederhana struktur dan efeknya, karena hanya melibatkan ketrampilan berhitung, konsep angka dan operasi-operasi sederhana, atau secara umum, aritmetika. Karena spesifisitas domainnyalah maka performa dan akurasinya tinggi, tapi karena itu pula, kemampuannya tidak bisa diekstensi atau digeneralisasi ke konsep yang lebih abstrak, misalnya bilangan rasional atau real. Saya jadi ingat tetangga saya di kampung yang buta huruf dan angka, tidak pernah mempunyai kemampuan baca-tulis apalagi matematika sekolah lanjutan, dan mengenali mata uang berdasarkan gambar. Tapi dia selama bertahun-tahun telah menjadi pedagang di sebuah pasar tradisional, menjalani rutinitas setiap hari. Tidak pernah terdengar kasus salah hitung – kecuali ketika muncul pecahan mata uang baru. Di sini matematika naif berlaku. Saya juga ingat satu episode Candid Camera, ketika seorang anak buah Peter Funt berjalan-jalan di satu jalan di New York yang sibuk, dipenuhi orang-orang dengan penampakan mirip eksekutif muda sampai mirip artis. Si anak buah menanyakan pertanyaan sederhana ke orang-orang, “What is 1/7:6/11?” Seorang pejalan kaki dengan penampilan perlente terbingung-bingung, tertegun beberapa lama, sebelum akhirnya bilang bahwa dia tidak tahu. Tapi seorang tukang sampah dengan yakin dan gampangnya menjelaskan dan menghitung solusi yang tepat. Ketika si anak buah bertanya, darimana si tukang sampah tahu, maka si tukang sampah dengan enteng menjawab, “I went to school.” Di sini matematika naif tidak lagi berlaku. Karena teori folk yang satu ini cukup sederhana, maka laporan tentang eksperimen tidak disertakan. 2.2. pemetaan domain dan antar domain; fisika naif Ingatkah kita pada cerita Galileo Galilei dan menara Pisa? Galilei-lah yang pertama kali menentang mekanika Aristotelian atau teori impetus, bahwa benda yang lebih berat akan lebih cepat jatuh ke tanah, atau bahwa pergerakan benda dikendalikan oleh disipasi gaya tertentu, bertolak belakang dengan medan gravitasi konservatif yang diajukan mekanika klasik. Mekanika Aristotelian sebagai salah satu bentuk fisika naif – keyakinan awam tentang cara benda-benda bekerja, terkait erat dengan mekanika klasik, sering membuahkan kesimpulan yang salah secara sistematis – tentu berbeda dengan konsep
3
abstrak seperti geosentrisme Ptolemaeus yang dijungkalkan heliosentrisme Nicolaus Copernicus dan Johannes Kepler. Fisika naif lebih menyangkut pergerakan bendabenda yang tampak, konkret, dan praktis, persis seperti karakter teori folk lainnya. Kemampuan memecahkan permasalahan-permasalahan fisika yang rumit lebih sering menjadi wilayah kajian spesifisitas domain yang lain, yaitu kepakaran. Kesalahan-kesalahan di fisika naif muncul secara beragam, bisa tampak sejak masa kakan-kanak dan menghilang ketika dewasa, tapi ada juga yang tetap bertahan meskipun seseorang sudah dipengaruhi pendidikan. eksperimen 1: Gail Heyman, Ann Phillips dan Susan Gelman (2003), mengawali eksperimen dengan pertanyaan seputar apakah ada mekanisme paling dasar yang ditemukan di anak kecil sehingga mereka bisa menetapkan batasan antar domain dan bagaimana prinsip-prinsip tertentu bisa berlaku di dalam satu atau di berbagai domain sekaligus. Eksperimen dilakukan ke dua grup, 5 tahun (N = 111) dan 7 tahun (N = 77). Setiap anak diwajibkan untuk menjawab pertanyaan tentang tujuh prinsip fisika, yang masing-masing harus berlaku ke benda hidup maupun tak hidup, bisa dijelaskan dengan mudah ke anak-anak, dan bisa dikemas dalam pilihan ganda dengan jumlah pilihan terbatas. Prinsip-prinsip tersebut adalah: prinsip 1 tentang konsep berat di tempat dengan konstanta gravitasi berbeda, prinsip 2 tentang trayektori benda jatuh dari pesawat terbang yang sedang bergerak, prinsip 3 tentang trayektori benda yang jatuh dari perosotan, prinsip 4 tentang airyang meluap dari sebuah cekungan jika sebuah benda ditambahkan ke cekungan, prinsip 5 tentang bertambah beratnya seorang anak jika air dimasukkan ke mulutnya, prinsip 6 tentang berkurangnya energi yang dibutuhkan untuk mengangkat seorang anak di kolam dibanding di tanah, dan prinsip 7 tentang tetapnya berat seorang anak, berdiri atau menelungkup. Selanjutnya, secara acak, setiap anak diajari salah satu dari tiga kondisi: tentang anak, tentang batu, dan tidak diajar sama sekali. Jika seorang anak diajari tentang batu, maka salah satu ajaran bisa berbunyi, “Batu coklat di bulan beratnya lebih sedikit dibanding batu coklat di bumi.” Dalam eksperimen ini, batu dan anak perempuan disebut entitas, dan ajaran di atas disebut fakta. Ketika si anak ditanya, “Seberapa berat batu coklat di bulan?” maka jawabannya berbentuk pilihan ganda, “Lebih ringan dibanding di bumi”, “Sama dengan di bumi,” dan “Lebih berat dibanding di bumi.” Pengajuan pertanyaan ini disebut uji komprehensi. Jika uji komprehensi gagal, si anak diajari sekali lagi dan dihadapkan pada uji komprehensi yang sama. Jika masih gagal, maka percobaan tidak diteruskan. Dengan demikian, prinsip-prinsip fisika dianggap bisa dimengerti oleh anak, dan percobaan berlanjut ke klasifikasi domain. Untuk anak yang dalam kondisi tidak diajar, tidak diberikan ajaran apapun sehingga tidak ada uji komprehensi. Khusus untuk prinsip 7, entitas anak diganti dengan tanah liat yang bisa dibentuk lurus atau melingkar. Jika anak lolos uji komprehensi, maka si anak disodori dua pertanyaan tes dengan mengubah entitas. Pertanyaan bisa berubah menjadi misalnya, “Seberapa berat batu biru di bulan?” atau “Seberapa berat seorang anak perempuan di bulan?”. Untuk prinsip 2, pertanyaan bisa berupa “Kemana arah anak yang terjun dari pesawat sambil memakai parasut?”, dan ketika pertanyaan diajukan, periset menunjukkan gambar tiga trayektori, dua trayektori parabolik dan satu garis lurus. Ketika domain diubah, pertanyaan menjadi “Kemana arah batu yang terjun dari pesawat sambil memakai parasut?”. Bisa dilihat, prinsip 3 adalah prinsip 2 yang dimodifikasi.
4
Untuk sampel orang dewasa, tidak diberikan ajaran maupun uji komprehensi. Selain itu, pertanyaan tidak diajukan secara oral atau memakai representasi grafis seperti pada anak-anak, tetapi secara tertulis. kondisi 5 tahun diajar tentang anak pertanyaan tentang anak pertanyaan tentang batu diajar tentang batu pertanyaan tentang anak pertanyaan tentang batu tidak diajar pertanyaan tentang anak pertanyaan tentang batu 7 tahun diajar tentang anak pertanyaan tentang anak pertanyaan tentang batu diajar tentang batu pertanyaan tentang anak pertanyaan tentang batu tidak diajar pertanyaan tentang anak pertanyaan tentang batu dewasa diajar tentang anak pertanyaan tentang anak pertanyaan tentang batu diajar tentang batu pertanyaan tentang anak pertanyaan tentang batu tidak diajar pertanyaan tentang anak pertanyaan tentang batu
1
2
3
0,67 0,39
0,58 0,30
0,76 0,36
0,33 0,38
0,21 0,33
0,36 0,17
prinsip 4
5
6
7
0,79 0,64
0,67 0,48
0,61 0,33
0,76 0,70
0,21 0,43
0,43 0,81
0,24 0,67
0,14 0,31
0,83 0,81
0,14 0,11
0,50 0,22
0,61 0,69
0,47 0,44
0,25 0,19
0,56 0,53
0,89 0,75
0,61 0,36
0,71 0,36
0,89 0,79
0,82 0,75
0,82 0,57
0,89 0,86
0,90 0,76
0,41 0,62
0,48 0,59
0,86 0,86
0,66 0,93
0,72 0,76
0,97 0,97
0,95 0,50
0,15 0,15
0,65 0,35
0,90 0,85
0,50 0,70
0,45 0,35
0,60 0,50
1,00 1,00
1,00 0,95
1,00 0,95
1,00 0,95
1,00 0,95
0,95 0,95
1,00 1,00
1,00 1,00
0,89 0,95
0,95 1,00
1,00 1,00
0,95 0,95
1,00 0,95
1,00 1,00
0,90 0,90
0,38 0,33
0,90 0,81
1,00 0,95
0,76 0,86
0,86 0,81
1,00 1,00
Tabel 1 Rata-rata Skor Skor dihitung dengan cara membagi jawaban benar dengan jumlah prinsip yang telah dilalui anak dalam uji komprehensi, misal: anak yang berhasil lolos di enam dari tujuh uji komprehensi mendapat skor jumlah jawaban yang benar dibagi enam. Data dari anak yang gagal melewati uji komprehensi dibuang, demikian pula dengan data dari anak yang gagal di minimal empat prinsip.
Dengan eksperimen ini, disimpulkan bahwa, sesuai dengan berbagai eksperimen sebelumnya, anak-anak usia 5 tahun bisa memproyeksikan prinsip-prinsip fisika dari domain benda hidup ke benda tak hidup, tetapi lemah untuk benda tak hidup ke benda hidup. Pada anak usia 7 tahun, performa proyeksi dua arah tampak lebih baik. Artinya, seorang anak pra-sekolah lebih dulu mempunyai pengetahuan yang lebih lengkap tentang makhluk hidup dibanding makhluk tak hidup. Hasil eksperimen ini diperkuat dengan eksperimen lain yang mengganti manusia dengan hewan. Bila ada domain general, seharusnya performa yang dihasilkan untuk memecahkan masalahmasalah fisika cenderung sama, tetapi ternyata tidak demikian. Sebagai tambahan, perhatikan pula prinsip 2 dan 3 yang telah terkenal sejak dekade 1980an karena hasilnya pada orang dewasa cukup mengejutkan. Hal ini bisa kembali diamati di hasil eksperimen di Tabel 1 di kondisi tanpa ajaran – berhubung diajar atau
5
tidak, orang dewasa tidak menghasilkan perubahan yang signifikan di eksperimen ini – ketika bahkan orang dewasa susah menentukan trayektori yang mungkin untuk sebuah gerak peluru dengan kecepatan awal yang tegak lurus terhadap medan gravitasi. 2.3. biologi folk Dulu sewaktu di SD, saya diajari guru IPA bahwa hewan diciptakan dengan penampakan sama atau hampir sama, sedangkan manusia diciptakan satu sama lain saling berbeda secara mencolok. Kita bisa mengenali mengapa manusia bisa mempunyai lesung pipit, rambut ikal, tahi lalat, atau bahkan senyum manis dan mata tajam. Tapi bila kita melihat monyet atau anjing, kita tidak bisa mengenali mereka dengan penggambaran sedetail sesama kita. Setelah SMA, saya tahu bahwa manusia tidak lebih kompleks dalam penampakan dibanding primata lainnya. Bedanya, kita membuat klasifikasi atau kategorisasi tentang manusia dengan cara berbeda dengan cara kita mengklasifikasikan hewan. Pada manusia, kita mengenali sesama berdasarkan warna kulit, bahasa atau dialek, bentuk wajah, sampai warna suara. Pada hewan, kita mempunyai sistem kategorisasi yang jauh berbeda, hanya berdasar pada berbagai spesies generik dan mengatribusikan sifat-sifatnya berdasarkan esensi konseptual yang ada di kepala kita, kadang akurat, kadang meleset. Cara kita mengenali flora dan fauna tanpa bantuan biologi saintifik inilah yang disebut biologi folk. Salah satu ciri biologi folk adalah cara orang mengklasifikasikan organisme menjadi grup-grup mirip spesies seperti ‘buaya’ atau ‘pisang’. Grup-grup ini disebut ‘spesies-generik’. eksperimen 2: Scott Atran (1998) lebih menitik-beratkan pendekatan etnobiologi daripada psikologi developmental pada eksperimennya. Atran secara langsung melakukan perbandingan di dua masyarakat yang berbeda: yang satu suku Itzaj, salah satu suku Maya di Pegunungan Andes yang masih mempunyai banyak pilihan kosakata terhadap entitas hidup mereka; yang satu di Michigan tempat orang cenderung menyebut 75% tumbuhan yang mereka lihat di jalan hanya dengan satu kata, ‘pohon’. Berdasarkan temuan etnobiologi sebelumnya, sebagaimana biologi, folk-biologi juga mengenal klasifikasi dengan peringkat yang secara hierarkis dari atas ke bawah berawal dari kingdom-folk (K; hewan, tumbuhan), bentuk-hidup (L; ikan, burung), spesies-generik (G; hiu, anjing, pohon eik), spesifik-folk (S; pudel, eik putih), dan varietal-folk (V; toy poodle, eik putih berbintik). Dari tiap peringkat, dinyatakan sifatsifat tertentu, misalnya untuk hewan: jantung, darah, hati; tumbuhan: akar, getah, daun. Untuk tiap pasangan peringkat dan sifat, dikemukakan sebuah penyakit buatan, sehingga ketika nanti dalam eksperimen, disodorkan 50 pertanyaan tentang hubungan antara peringkat dan sifat, akan muncul pertanyaan seperti, “Jika semua gagak hitam bisa kena penyakit darah bernama ‘eta’, apakah semua burung juga bisa kena?” Bila jawabannya tidak, maka pertanyaan berlanjut dengan mengganti kata ‘semua’ dengan ‘sedikit’ atau ‘tidak ada’.
6
Yang dicari adalah pola inferensi induktif dalam klasifikasi biologi folk, yaitu bila di satu peringkat terdapat satu penyakit yang terhubung ke satu organ, apakah di peringkat yang lebih tinggi atau rendah, akan dijumpai penyakit yang sama. Secara induktif, peringkat yang lebih tinggi mungkin kena jika yang lebih rendah juga kena, y.i.: V → S, V → G, V → L, V → K, S → G, S → L, S → K, G → L, G → K, L → K; ada 10 kemungkinan. Hasilnya, sesuai Gambar 1, tidak ada kemiripan mencolok antara Itzaj dan Michigan, kecuali di beberapa titik induksi. Perbedaan latar belakang budaya mungkin menjadi sebab dari perbedaan tingkat inferensi ini. Kesamaan sendiri jelas terlihat adalah ketika ternyata untuk kedua kebudayaan, yaitu masyarakat subsisten Itzaj dan masyarakat industrial Michigan, induksi berdasarkan klasifikasi folk biologi tidak menghasilkan generalisasi sifat dari peringkat rendah ke yang lebih tinggi, kecuali untuk S → G, V → S dan V → G. Dengan ini, Atran menyimpulkan bahwa baik Itzaj maupun Michigan sama-sama memakai spesies-generik G sebagai kesimpulan induktif. Menurut Atran, proses kategorisasi fundamental di biologi folk berakar di asumsi konseptual yang berdomain spesifik di spesies-generik, dan bukan menggunakan proses perseptual berdomain general, misalnya berdasarkan kemiripan perseptual. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa orang mengharapkan bahwa dunia biologis bisa dipartisi menjadi jenis-jenis yang tidak tumpang tindih, dan partisi ini terjadi di tingkat spesies-generik, baik untuk masyarakat Itzaj maupun Michigan. Untuk tiap spesies-generik, terdapat esensi, baik yang langsung maupun yang tidak secara langsung bisa tampak.
b) Michigan
a) Itzaj Gambar 1 Peringkat dan Inferensi
Cara membaca diagram adalah: sumbu vertikal adalah premis dan sumbu horizontal adalah kesimpulan. Untuk pertanyaan, “Jika semua gagak hitam (G) bisa kena penyakit darah bernama ‘eta’, apakah semua burung (L) juga bisa kena?”, bila dijawab ya, maka jawaban akan ditambahkan ke G → L untuk jawaban ‘semua’ yang ditandai dengan warna hitam, demikian seterusnya, sehingga akan muncul inferensi induktif, bila ada satu sifat di peringkat yang lebih bawah, maka akan ditemui juga di peringkat yang lebih atas. Diagonal luar menunjukkan inferensi V → S, S → G, G → L, dan L → K, yaitu generalisasi ke tepat satu peringkat di atas. Untuk keseluruhan dari 50 pertanyaan, jawaban ‘semua’ ditandai dengan warna hitam, jawaban ‘sedikit’ dengan arsiran, dan jawaban ‘tidak ada’ dengan warna putih. (Itzaj, N = 12; Michigan, N = 21).
7
Esensi (biologis) sendiri disini adalah agen teleologis intrinsik yang secara fisis bisa menyebabkan bagian-bagian dan sifat-sifat yang relevan dari spesies-generik menjadi berfungsi dan koheren demi spesies-generik itu sendiri. Sebagai contoh, anak pra-sekolah dimanapun akan menganggap bahwa tunas mawar bertanggungjawab terhadap munculnya kuntum mawar baru, sementara tonjolan di kawat berduri tidak akan memunculkan duri baru. Konsep sendiri – yang menjadi tumpuan kategorisasi fundamental di biologi folk dan terhubung dengan esensi biologis – nanti akan dibahas lebih lanjut. Saat ini, mengikuti Atran, kita bisa menyimpulkan bahwa manusia seperti dibekali konsep tentang berbagai macam makhluk hidup lengkap dengan sifat-sifatnya di tingkat spesies-generik yang hanya beda nama di berbagai penjuru dunia (asalkan organisme yang dibicarakan adalah monospesies, misalnya pohon-pohon yang sama-sama dikenal di masyarakat Itzaj dan Michigan), dan sifat-sifat konseptual inilah yang menjadi basis klasifikasi. Selanjutnya, salah satu anggota dari spesies generik di dunia biologis, yaitu manusia, akan dihubungkan dengan teori folk yang lain: psikologi folk dan sosiologi naif. 2.4. psikologi folk Diantara entitas hidup, ada obyek yang sama dengan seorang anak pra-sekolah atau sama dengan seseorang di sebuah etnis di pedalaman rimba Kalimantan, yaitu orang lain, sesama manusia. Teori folk yang berlaku di sini bukan mengenai atau kurang menekankan klasifikasi, tetapi lebih berupa cara untuk memahami bahwa konspesifik juga mempunyai dunia-dalam sendiri yang kurang lebih, sama dengan yang dimiliki oleh seorang pengamat, anak kecil maupun orang dewasa. Dengan kata lain, psikologi folk lebih menekankan persamaan dibanding perbedaan dalam populasi. Karena lebih menekankan persamaan, maka salah satu cara untuk menarik informasi dari psikologi folk adalah dengan mempelajari kelainan, dalam hal ini psikopatologi developmental, dengan mengambil sampel dari anak-anak yang menderita autisme, sindrom Down, dan anak-anak pra-sekolah normal. eksperimen 3: Simon Baron-Cohen, Alan Leslie, dan Uta Frith (1985) berangkat dari penyelidikan tentang autisme sebelum kemudian menyimpulkan keberadaan teori pikiran yang menjadi kata kunci di psikologi folk. Autisme bisa didiagnosis secara behavioral dengan reliabilitas yang tinggi, berwujud cacat pada komunikasi verbal dan nonverbal. Dengan kata lain, kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis diabaikan. Baron-Cohen et. al. mengumpulkan 20 anak pra-sekolah autistik, 14 penderita sindrom Down dan 22 anak yang secara klinis normal. Eksperimen yang dilakukan sangat sederhana, pretend play, tapi sekarang menjadi populer karena sangat sering disebut di berbagai karya fiksi. Prosedur secara berurutan terlihat di Gambar 2. Jika si anak menunjuk keranjang, maka si anak lolos melewati Pertanyaan Keyakinan dengan memakai keyakinan Sally yang salah. Jika si anak menunjuk kotak, maka dia gagal melewati Pertanyaan Keyakinan karena tidak bisa mengenali keyakinan yang seharusnya dipunyai Sally meskipun salah. Sebagai jaminan, disodorkan dua pertanyaan lagi, Pertanyaan Realitas: ‘Dimana gundu sebenarnya?’, dan; Pertanyaan Memory: ‘Dimana gundu
8
sebelumnya?’. Keseluruhan prosedur lalu diulang dengan mengganti kotak dengan saku peneliti sehingga secara keseluruhan, percobaan dilakukan dua kali. Baron-Cohen et. al. menekankan bahwa jawaban pertanyaan-pertanyaan ini tidak berhubungan dengan faktor psikolinguistik, atau tidak ditentukan oleh cara penyampaian dengan bahasa tertentu yang dipakai, tetapi lebih ditentukan, sebagaimana kasus bilogi folk, secara konseptual. Hasilnya, semua anak bisa menjawab Pertanyaan Penamaan, Pertanyaan Realitas dan Pertanyaan Memori. Pada Pertanyaan Keyakinan, 86% anak penderita sindrom Down dan 85% anak normal berhasil menjawab dengan tepat. Sebaliknya, 80% penderita autisme gagal menjawab Pertanyaan Keyakinan. Temuan ini diinterpretasikan bahwa anak autistik tidak mempunyai teori pikiran yang secara singkat didefinisikan sebagai kemampuan untuk melekatkan atau mengatribusikan atau mengaskripsikan keadaan mental ke diri sendiri maupun orang lain. Kerja awal ini baru mengatakan bahwa anak autistik mengalami defisit spesifik yang tidak bisa diatribusikan ke keseluruhan efek keterbelakangan mental.
Gambar 2 Tes Standar Pertanyaan Keyakinan Pada tiap anak disodorkan, pertama, Pertanyaan Penamaan, apakah mereka dengan tepat bisa menunjuk yang mana Sally, yang mana Anne, terlihat di Gambar 2.1. Selanjutnya, Sally tampak menaruh gundu di keranjang di depannya, lalu keluar, seperti terlihat di Gambar 2.2. Di Gambar 2.3., Anne memindahkan kelereng di keranjang Sally ke kotak di depannya, lalu Anne pergi. Ketika Sally masuk lagi, periset bertanya ke tiap anak, Pertanyaan Keyakinan, ‘Dimanakah Sally akan mencari gundunya?’
9
2.5. sosiologi naif Untuk klasifikasi konspesifik, psikologi developmental kembali menunjukkan adanya mekanisme klasifikasi tersendiri, diikuti atribusi sifat yang bisa didapat dari informasi eksternal yang diperoleh. Sebagaimana diharapkan, sosiologi naif, berlawanan dengan psikologi naif, lebih menekankan perbedaan dibanding kesamaan. eksperimen 4: Lawrence Hirschfeld (1996:84-119) menunjukkan bahwa anak pra-sekolah telah memiliki teori tentang ras sebagai penetu identitas. Fokus dari eksperimen Hirschfeld berpusat seputar berubah atau tetapnya seseorang berdasarkan pertumbuhan dan keturunan. Eksperimen sebelumnya menunjukkan bahwa menurut anak-anak, jika warna kulit berubah, maka ras juga akan berubah. A1 p1 | p2 | p3 C1 p1 | ¬p2 | p3
A2 q1 | q2 | q3
C2 p1 | p2 | ¬p3
C1 q1 | ¬q2 | q3
A1 p1 | p2 | p3 C2 p1 | p2 | ¬p3
A2 q1 | q2 | q3
C3 ¬p1 | p2 | p3
C2 q1 | q2 | ¬q3
A1 p1 | p2 | p3 C3 ¬p1 | p2 | p3
C2 q1 | q2 | ¬q3
C3 ¬q1 | q2 | q3
A2 q1 | q2 | q3
C1 p1 | ¬p2 | p3
C3 ¬q1 | q2 | q3
C1 q1 | ¬q2 | q3
Gambar 3 Triad-triad Dewasa – Anak-anak Dalam skema ini, A mewakili gambar orang dewasa dengan sifat p atau q, sehingga ada dua set gambar yang sama-sama memakai A1 dan A2. Untuk tiap A, dihadirkan sepasang gambar anakanak C1 dan C2, C2 dan C3, atau C3 dan C1. Untuk satu triad, tiap C punya kesamaan dua sifat dengan A, dan hanya punya kesamaan satu sifat diantara kedua C. Sifat yang disimbolkan dengan p1, p2, dan p3 adalah berturut-turut: postur, ras, dan pekerjaan. Postur ditandai dengan gambar yang kekar atau kerempeng, ras ditandai warna kulit putih atau hitam, dan pekerjaan ditandai dengan memakai kostum atau tidak. Setiap anak ditanya, manakah pasangan A dan C yang mewakili bahwa: a) C adalah A ketika masih kecil untuk anak di Grup Pertumbuhan, b) C adalah anak dari A untuk anak di Grup Keluarga, dan c) C kelihatan seperti A untuk anak di Grup Kemiripan.
Hirschfeld beranjak lebih jauh dengan mengumpulkan 109 partisipan yang terdiri dari kelompok umur 3 tahun, 4 tahun dan 7 tahun. Kepada tiap anak, ditunjukkan gambar yang secara skematis bisa disingkat seperti Gambar 3. 10
Dari eksperimen yang sedikit lebih rumit ini, ditemukan bahwa pertimbangan rasial lebih menentukan dibanding pertimbangan postur, pertimbangan rasial lebih menentukan dibanding pertimbangan profesi, dan pertimbangan profesi lebih menentukan dibanding pertimbangan postur. Hasil eksperimen ditunjukkan oleh grafik di Gambar 4. Dengan hasil ini, Hirschfeld menyimpulkan bahwa ras yang diindikasikan warna kulit paling berpengaruh dalam menentukan identitas seseorang, dibanding postur atau profesi. Lebih detil, Gambar 5 menunjukkan proporsi rata-rata untuk tiap grup, yaitu Grup Identitas (gabungan Grup Keluarga dan Grup Pertumbuhan yang digabung karena hasilnya cenderung sama, yaitu setiap anak menyamakan pertumbuhan dan keturunan) dan Grup Kemiripan. Banyak sekali follow-up dari eksperimen Hirschfeld ini. Tetapi yang bisa disimpulkan untuk sementara, ternyata anak-anak lebih memakai pertimbangan ras yang diindikasikan warna gambar untuk mementukan hubungan dua gambar manusia yang berarti bahwa dengan sendirinya mereka tahu bahwa ras seseorang bersifat tetap selama hidupnya dan ras bisa diturunkan.
Gambar 4 Proporsi Rata-rata Semua Grup Kotak melambangkan ras diatas postur, segitiga melambangkan ras di atas profesi, dan lingkaran melambangkan postur diatas profesi.
a b c Gambar 5 Proporsi Rata-rata Grup Identitas dan Grup Kemiripan Segitiga melambangkan Grup Identitas, dan kotak melambangkan Grup Kemiripan. a) adalah ras di atas postur, b) ras di atas profesi, dan c) profesi di atas postur. Tampak, pada Grup Kemiripan, pola yang didapat lebih berimbang, yaitu seakan anak menerka keberadaan pasangan A dan C dengan cara yang cenderung acak.
Skeptisisme yang muncul karena mungkin anak mengacaukan konsep warna dengan konsep ras diatasi dengan percobaan lain, yaitu dengan menghadirkan dua triad baru yang mengganti gambar anak dengan gambar mobil besar dan kecil (pengganti konsep postur), berwarna hitam dan putih (pengganti konsep ras),
11
sementara gambar orang dewasa dibuat tetap. Pertanyaan riset berubah menjadi lebih sederhana: hubungan antara orang dewasa dengan mobil apakah berdasarkan warna atau ukuran mobil. Jawaban anak-anak secara tegas menyatakan bahwa tidak ada bias karena warna, meskipun Hirschfeld tidak menyebutkan, apakah ketiadaan bias warna ini berarti anak-anak lebih memakai ukuran mobil atau sama-sama memakai warna dan ukuran secara berimbang. 3. ISU TEORETISASI Tentu klaim empiris dari semua eksperimen teori folk, bila benar, berguna untuk berbagai masalah yang lebih berimplikasi langsung, misalnya: penyusunan kurikulum di sekolah, wawasan ekologis yang lebih sesuai dengan isu higiene atau sanitasi, terapi untuk anak dengan psikopatologi, atau pencegahan konflik atau agresivitas masif dan eksesif antar grup sosial. Untuk kepentingan edukasi, sebuah rancangan kerangka edukasi baru berdasarkan temuan-temuan psikologi developmental bisa ditemukan di Suroso (2004b). Namun yang dikejar oleh paper ini lebih ke upaya membuka jalan menuju sebuah teori yang lebih integratif tentang arsitektur kognitif. Teori yang ada saat ini masih sangat miskin dengan temuan empiris, terutama pada kasus akuisisi data-data dari eksperimen psikologis. Pendekatan lebih ditekankan ke pemodelan dengan bantuan komputer tapi tanpa jaminan bahwa tidak akan ada kesalahan ‘peluru ajaib’, atau kalaupun tidak, data empiris diperoleh dengan cara reduktif, misalnya dengan cara menghubungkannya dengan fakta-fakta non-psikologis (biasa disebut sebagai analisis fungsional) seperti hasil pencitraan fMRI ke sistem syaraf pusat (biasa disebut reduksi), dengan atau tanpa konsep brojolan. 3.1. konsep Di berbagai bagian di semua eksperimen di atas, sering muncul kata ‘konsep’ atau ‘konseptual’ yang kadang diperlawankan dengan ‘perseptual’ atau ‘psikolinguistik’. Terang, konsep di sini lebih menunjuk ke sebuah mekanisme internal yang independen terhadap persepsi atau konstruksi linguistik. Apakah konsep menentukan performa teori folk dan bisa didata dan diklasifikasikan dengan basis empiris lain seperti pemakaian kamus atau tesaurus, atau sebaliknya, teori folk ditentukan oleh konsep sebagaimana dijumpai di spesies-generik pada biologi folk? Konsep masih merupakan sesuatu yang sulit untuk didefinisikan, menjadi obyek filosofis yang tak habis-habisnya jadi bulan-bulanan spekulasi, tetapi tidak bisa begitu saja dikesampingkan. Definisi yang mungkin paling sederhana adalah dari Jerry Fodor (2000:15), bahwa konsep adalah yang menyusun sikap proposisional. Sikap proposisional sendiri adalah, bila didefinisikan secara kasar, keyakinan, keinginan, hasrat, tujuan, dan halhal sejenis yang dijumpai di manusia, misalnya, bukannya kita tahu bahwa ‘bumi itu bulat’, tetapi kita sebenarnya “yakin bahwa bumi itu bulat”. Dalam contoh ini, maka kita berurusan dengan konsep ‘bumi’ dan ‘bulat’. Sikap proposisional ini, dalam sebuah hipotesis tentang cara arsitektur kognitif bekerja yang disebut Teori Pikiran yang Komputasional (Computational Theory of Mind, CTM), bisa disimbolkan dalam bentuk logis, seperti yang biasa dijumpai dalam logika klasik, misalnya dengan memakai simbol (∀xy)(∀Fx→∃Fy), v(x|‘gagak 12
hitam’), v(F|‘sakit’), v(y|‘burung’) untuk menyatakan, “Jika gagak hitam sakit, maka beberapa burung sakit.” Kita bisa menerka sendiri, ada berapa konsep dalam bentuk logis ini, dan kita bisa membayangkan betapa sangat memudahkan, pemakaian simbolisasi seperti ini dalam program komputer yang selama ini biasa dijumpai di program-program kecerdasan artifisial. Variabel seperti x atau y yang mungkin mewakili sebuah konsep biasa disebut atom, dan variabel seperti F disebut predikat, yang bila digabung dengan bantuan tanda kurung, quantifier ∀, ∃, dan konektif logis →, akan menghasilkan bentuk logis yang telah kita kenal. Namun, sejak awal, darimana kita ‘yakin’ bahwa dari konsep tentang ‘gagak hitam’, ‘burung’ dan ‘sakit’, kita bisa mengatakan bahwa “Jika gagak hitam sakit, maka beberapa burung sakit”? Ini berbeda dengan cara kita menghasilkan informasi baru secara deduktif, misalnya keyakinan kita bahwa “Beberapa burung sakit.” Untuk ini, disediakan pembahasan tentang acuan dan derivabilitas di bagian 3.2. Maka, Douglas Medin, Elizabeth Lynch dan Karen Solomon (2000) mencoba membuat tiga cara klasifikasi konsep: berdasarkan perbedaan struktural, perbedaan pemrosesan, dan berdasarkan prinsip-prinsip yang ada di belakangnya (content-laden principles). Perbedaan struktural banyak didasarkan sifat-sifat yang melekat ke satu konsep. Misalnya, pada kosakata yang ada di kamus, konsep bisa diklasifikasikan lewat perbedaan antara kata kerja dan kata benda berhubung perbedaan ini ditemukan universal di bahasa manapun. Perbedaan pemrosesan lebih ke keterlibatan sebuah konsep dalam sebuah proses, misalnya dengan cara menghubungkan konsep ke tujuan dari suatu proses. Contohnya, ‘makanan yang dikonsumsi ketika sedang diet’ atau ‘benda yang dikeluarkan dari rumah ketika terjadi kebakaran’. Dua cara pembedaan berdasarkan studi literatur ekstensif ini tentu saja memungkinkan terjadinya kondisi tumpang tindih, coarse-grained, dan dengan demikian, tidak reliable. Pada pembedaan ketiga, pemakaian prinsip-prinsip yang ada di balik suatu konsep sama halnya dengan menggunakan ide tentang teori folk untuk mengklasifikasikan konsep. 3.2. acuan dan derivabilitas Setelah masalah tentang konsep terselesaikan, masalah selanjutnya adalah bagaimana setiap bentuk logis terhubung satu sama lain. Dari maksimal 60.000 konsep yang kita kenal sepanjang hayat, tanpa komposisi antar konsep menjadi bentuk-bentuk logis, kita akan kesulitan untuk menamai semua obyek yang kita persepsi secara berarti. Sebagai perbandingan, di mekanisme yang lebih modular (untuk review tentang modularitas klasik, terutama bila dihubungkan dengan ekonomi, cf. Suroso, 2004a), yaitu modul bahasa natural, terdapat mekanisme parsing, yaitu memecah tiap kalimat menjadi urutan-urutan label fonem, morfem, atau kata sehingga akan muncul kalimat yang gramatikal. Mekanisme seperti ini memungkinkan kita untuk mengomposisikan kata atau unit linguistik yang lebih elementer dengan teratur dan sama-sama dimengerti oleh sekelompok orang sehingga obyek apapun yang dipersepsi bisa dinamai dalam sebuah komitmen ontologis (kurang lebih semacam kesepakatan diantara dua orang atau lebih yang mengatakan bahwa sebuah obyek x bisa dinamai X oleh tiap-tiap orang).
13
Serupa dengan bahasa natural, bentuk logis juga seharusnya mengenal mekanisme parsing yang serupa, atau kalau tidak, gramatikalitas bentuk logis dalam bahasa formal menjadi tidak dikenali, dan bentuk logis itu menjadi tidak berarti. Selain itu, setiap bentuk logis akan terhubung satu sama lain, juga secara logis. Masih dalam logika simbolik, keterhubungan ini bisa dianggap diikat oleh sebuah sistem deduktif, yaitu, dari setiap aksioma yang berisi bentuk-bentuk logis, bisa diturunkan teorema-teorema darinya. Di titik ini, beberapa masalah bisa muncul. Masalah pertama terletak di bahasa formal – sebut saja Bahasa Pemikiran, Language of Thought, LoT, yang berisi sikap-sikap proposisional seperti disebutkan di 3.1. – yang menyusun obyek-obyek dalam pikiran itu sendiri. Apakah setiap teorema bisa dibuktikan meskipun kita sebelumnya tahu bahwa teorema itu benar? Atau, apakah bila terbukti maka pasti benar? Masalah ini tidak terlalu signifikan, terhubung dengan sebuah ide abstrak bernama ‘Teorema Gödel’ (Cf. Suroso, 2004c) yang banyak berhubungan dengan paradoks. Trik yang cepat dan kotor untuk masalah ini: konstruksi logis memang mengandung banyak paradoks, tetapi semua konstruksi logis yang mungkin dibuat akan lebih berguna bagi kita dalam merumuskan atau menyelesaikan sesuatu, baik ketika kita sedang mempersoalkan paradoks atau tidak. Masalah yang kedua terletak di kemampuan deduksi dari pikiran. Dari berbagai eksperimen, ide bahwa pikiran itu semata-mata deduktif ternyata tidak atau tidak selamanya benar. Contohnya tentu saja di kasus fisika naif, yang di prinsip 2 eksperimen Heyman et. al. (2003), meskipun sudah ada pengajaran, anak-anak maupun dewasa susah untuk mendeduksikan terjadinya gerak peluru. Salah satu yang menyebabkannya adalah bahwa dalam pikiran, seberapapun komputasional, tidak ada jaminan bahwa dia bertindak sebagaimana komputer bertindak: mencari bukti dari teorema. Manusia tidak bisa dianggap sebagai mesin logika yang berfungsi sebagai pencari bukti teorema. Masalah ini sebut saja masalah derivabilitas dimana teori folk nantinya akan memainkan peranan. Masalah yang ketiga adalah apakah semua aksioma yang berisi bentuk-bentuk logis (biasa disebut basis pengetahuan, knowledge base) mencukupi untuk membuktikan sebuah teorema yang dengan cara lain telah diketahui bahwa teorema itu benar, pada manusia mungkin lewat intuisi atau sejenisnya? Masalah ini biasa disebut masalah acuan (frame problem; McCarthy, Hayes, 1969). Contoh klasik masalah acuan adalah, bila kita memindahkan meja berwarna merah, maka kita bisa menentukan letak akhir meja tetapi kita tidak punya pengetahuan bahwa warna meja tetap merah setelah dipindah karena tidak ada bentuk logis yang mengatakan bahwa warna meja tidak berubah setelah dipindah. Orang awam bisa mengetahui fakta ini dengan mudah, tetap mesin tidak. Padahal, tujuan dari penyelidikan tentang arsitektur kognitif adalah bagaimana arsitektur kognitif bisa digambarkan sepenuhnya. Masalah acuan pertama kali muncul dalam robotika, ketika mesin didesain agar bisa ‘menalar’ sifat-sifat dari pergerakan fisis. Manusia dengan gampangnya – mungkin karena dilengkapi fisika naif – bisa memutuskan bahwa warna meja tetap merah, meskipun robot tidak. Pertanyaan berlanjut menjadi: apakah yang memungkinkan manusia begitu gampang melewati masalah acuan; apakah masalah acuan ini diatasi dengan oleh pengetahuan yang dihasilkan sebuah mekanisme spesifik yang telah ada tanpa dinyatakan; dan terakhir, apakah mekanisme spesifik ini tidak membahayakan reliabilitas sistem deduktif yang ada? Di sini, teori folk kembali memainkan peranan karena masalah acuan banyak terhubung dengan pengetahuan tasit, misalnya, penalaran tentang obyek-obek fisis di
14
fisika naif. Atau kalau tidak, teori folk ambil peran di masalah acuan karena teori folk menyediakan inferensi induktif tertentu, misalnya, mesin tidak bisa mengatakan bahwa burung bisa kena sakit ‘eta’ bila gagak hitam juga kena karena mesin hanya bekerja secara deduktif, yaitu, bila semua burung kena penyakit ‘eta’, maka bisa dipastikan, gagak hitam pasti kena juga. Biologi folk dengan spesies generiknya bisa memastikan induksi seperti ini, meskipun tidak ada jaminan hasilnya akan valid. Dari awal memang perlu ditekankan bahwa teori folk tidak selamanya berimpit atau konvergen dengan pengetahuan saintifik. Lucunya, untuk membuat sebuah mesin arsitektur kognitif yang memodelkan pemikiran folk atau awam, mau tak mau, mesin ini harus berperilaku seperti orang awam. 3.3. Modularitas Masif Moderat (3M) Dengan memakai modifikasi dari modularitas klasik dan modularitas masif, maka modularitas masif moderat (3M; Cf. Carruthers, 2003) diharapkan akan menjadi arsitektur yang lebih berimpit dengan CTM tapi tanpa mengesampingkan bukti-bukti empiris. Selama ini, 3M masih berakhir sebagai spekulasi filosofis dengan dukungan berbagai pertimbangan evolusioner. Untuk itu, dengan mengintegrasikan sebanyak mungkin temuan empiris, 3M diharapkan bisa menemukan minimal formalisasi yang lebih terintegrasi. Mengikuti penjelasan di bagian 2., prosedur (tidak sekuensial tetapi simultan) yang ditawarkan untuk mengkonstruksi sebuah arsitektur 3M adalah: i. klasifikasi konsep ke dalam domain Dengan pemetaan dalam dan antar domain, maka setiap konsep bisa dikelompokkan dalam domain yang sangat besar, benda hidup dan benda mati, dimana keduanya tunduk dalam hukum-hukum fisika naif. Diantara benda hidup, akan diidentifikasi, apakah konsep itu manusia atau bukan. Bila bukan, maka biologi folk akan mengambil peranan. Bila manusia, maka jika ingin mengetahui bagaimana cara manusia ini berpikir, digunakan psikologi folk, dan bila ingin mengatribusikan sifat ke manusia ini dengan mempertimbangkan di grup sosial mana manusia ini berada, maka digunakanlah sosiologi naif. ii. kedekatan antar konsep Setiap konsep lebih dekat dengan satu konsep dibanding ke konsep lain. Dalam bahasa natural, pendekatan ini biasa dipakai dalam parsing berbagai korpora dengan metode probabilistik. Untuk LoT, psikolog cenderung memakai beberapa teknik tertentu seperti yang dirinci Medin et. al. (2000). Kedekatan konsep dengan konsep lain ini bisa menghasilkan properti statistik tertentu. iii. komposisionalitas antar konsep Dari dua atau lebih konsep, mungkinkah akan muncul satu komposisi sehingga bisa dihasilkan sebuah bentuk logis? Pada kasus bahasa natural, prosedur ini dikenali sebagai pembatas semantik, yaitu, dari sekian banyak kalimat yang bisa dihasilkan dengan mengkomposisikan elemen-elemen linguistik, tidak semuanya ‘masuk akal’. Contoh legendaris Noam Chomsky untuk ini adalah: “Colorless green ideas sleep furiously”. Selain ketiga prosedur utama di atas, untuk menyusun sebuah arsitektur yang lebih lengkap, maka diperlukan mekanisme pembelajaran. Dalam hipotesis LoT, pembelajaran ini bisa didefinisikan sebagai formasi dan konfirmasi hipotesis yang
15
lebih bersifat general. Pembelajaran ini tidak hanya berguna untuk menambah informasi baru ke basis pengetahuan, tetapi juga untuk mengganti mekanisme yang disediakan oleh semua prosedur utama. 3.4. masalah implementasi Bisa dibayangkan, bergerak di level fungsional sebagaimana di 3.3. berarti berisiko akan berhadapan dengan model yang tidak rapi. Segalanya akan lebih mudah bila kognisi berdomain general dan hanya diperlukan sebuah mekanisme umum untuk membuatnya berfungsi dengan baik. Namun sayangnya, temuan empiris tidak mendukung keberadaan mekanisme umum seperti ini setelah ternyata, spesifisitas domain ditemukan di berbagai level. Spekulasi evolusioner – yang tidak akan dibahas lebih jauh di paper ini‡ – mengatakan bahwa asal usul evolusioner dari spesifisitas domain yang sedemikian berantakan adalah dari kebutuhan adaptif spesies H. sapiens awal. Dengan demikian, pertanyaan-pertanyaan sederhana tapi populer seperti ‘bagaimana cara pikiran bekerja?’ tidak akan mungkin dijawab dengan sebegitu gampang. Yang paling mungkin dilakukan adalah beranjak ke masalah implementasi yang dengan kata lain berarti melakukan reduksi. Bagian 3.3. adalah analisis fungsional, artinya yang dianalisis adalah bagaimana arsitektur berfungsi tanpa peduli dia berlaku dimana atau di entitas fisis apa. Analisis fungsional seperti ini akhirnya tidak membedakan, apakah pikiran ada di otak, di komputer, atau di kaleng rombeng yang dirangkai sedemikian rupa, asalkan fungsi yang dihasilkan sama, yaitu fungsi yang dinyatakan oleh CTM. Pandangan seperti ini, biasa disebut fungsionalisme, diadopsi oleh AI kuat (strong AI) yang menganggap bahwa pikiran bisa secara penuh dibuat di komputer atau media apapun. Bila seandainya CTM benar, tetap saja, fungsionalisme akan berhadapan dengan risiko pemodelan yang sangat berantakan karena ada tiga prosedur utama dan satu prosedur tambahan di atas. Bila seandainya CTM benar, cara yang tepat untuk menanggulangi pemodelan yang berantakan ini adalah dengan mempertimbangkan di mana model ini dijalankan: apakah komputer digital dengan proses serial yang berisi manipulasi bentuk logis, apakah komputer digital dengan proses paralel yang memakai mekanisme pengenalan pola yang lebih elementer, atau apakah di otak yang juga dilengkapi proses paralel. Kesulitan dari masalah implementasi adalah tentu saja tuduhan emergentisme yang nantinya muncul karena mempertimbangkan media dan fungsi yang ada di media itu – dan bukan di pikiran – berarti menghilangkan analisis fungsional dan mereduksi. Bila ada korespondensi satu-satu (biasa disebut hukum jembatan, bridge law dalam perdebatan tentang brojolan atau emergence) dari level implementasi ke level fungsional, maka tuduhan emergentisme seharusnya hilang. Sayangnya, sampai sekarang tidak atau belum ada model implementatif yang akurat bila reduksi sampai ke tingkat neuronal. Studi-studi neurosains yang lebih terfokus ke lokasionalisme serebral mungkin akan menjadi jawaban di masa depan. Tetapi yang bisa dijanjikan oleh keberhasilan penyelesaian masalah implementasi adalah, bahwa kita tidak perlu bersusah payah lagi dalam menyusun arsitektur ‡
Perdebatan paling sengit tentang arsitektur kognitif, terhubung dengan sejarah evolusioner H. sapiens, paling tidak, bisa dilihat sebagai perdebatan antara yang menganggap kognisi adalah hasil evolusi (Cf. Dennett, 1995:76) atau kognisi semata hanyalah by-product dari evolusi biologis (Cf. Fodor, 2000:80).
16
kognitif yang tepat karena, alih-alih sistem deduktif konvensional, yang dipakai adalah bangunan dasar yang lebih homogen meskipun lebih banyak, meskipun untuk ini, diperlukan kapasitas komputasional yang lebih besar dan hukum jembatan yang lebih lengkap. Dengan kata lain, lepas dari segala kesulitan yang mungkin muncul, bukanlah optimisme positivistik yang naif jika kita berkata bahwa penyelesaian masalah implementasi adalah agenda sains kognitif di masa depan. 4. CATATAN PENUTUP Paper singkat ini berusaha mengungkapkan kembali berbagai hasil eksperimen psikologi developmental dan satu eksperimen etnobiologi untuk mendukung ide spesifisitas domain. Hasil yang ditemukan adalah teori folk yang, meskipun telah dites berulang-kali dengan cara yang berbeda-beda dan domain yang beragam, belum diintegrasikan sepenuhnya secara lebih rapi dengan teori tentang arsitektur kognitif. Dengan analisis fungsional untuk arsitektur kognitif pada bagian 3, maka teori modularitas yang selama ini menjadi tulang punggung CTM menjadi lebih berpeluang untuk diintegrasikan secara lebih menyeluruh dengan data empiris, terutama yang disediakan oleh berbagai eksperimen di wilayah teori folk. Pendekatan ini, paling tidak, lebih realistik dibandingkan dengan pendekatan fungsional lain yang juga berhasrat membuat sebuah program integrasi, misalnya dengan platform ACT-R (Anderson, et. al., 1997) yang secara sederhana, di level pemikiran, hanya memakai unit elementer chunk dan prosedur yang kurang lebih berarti sama dengan konsep atau atom dan komposisi. Dengan demikian, platform seperti ACT-R dibuat menjadi sebuah mesin yang memakai sistem deduktif natural yang telah populer di program-program automated reasoning, berdomain general. ACT-R tidak menyatakan secara eksplisit berbagai batasan basis pengetahuan yang mungkin dimasukkan, yang menurut paper ini, bisa diperoleh dari data empiris dan bukan semata dari introspeksi peneliti. Kelebihan ACT-R adalah bahwa dia sudah dilengkapi modul-modul persepsi, memori eksplisit, dan mekanisme reduktif yang tidak memakai data-data psikologis, tetapi data-data neurosaintifik, misalnya hasil pencitraan fMRI. Model-model ACT-R mungkin akan efektif untuk kognisi tingkat rendah seperti mekanisme perseptual, tetapi akan menjadi tidak mencukupi untuk kognisi tingkat tinggi yang mempunyai berbagai domain spesifik. Ada begitu banyak domain spesifik, sampai-sampai orang suka menyebutnya ‘berantakan’, ‘kludgy’. 5. PENGAKUAN Penulis mengucapkan terima kasih kepada Yohanes Surya dan Surya Research International, Deni Khanafiah, dan semua kolega di Bandung Fe Institute. 6. REFERENSI Anderson, J.R., M. Matessa, & C. Lebiere. (1997). ‘ACT-R: A Theory of Higher Level Cognition and Its Relation to Visual Attention’. Human-Computer Interaction, 12:439-62.
17
Atran, Scott. (1998). ‘Folkbiology and the anthropology of science: Cognitive universals and cultural particulars’. Behavioral and Brain Sciences, 21:547-609. Baron-Cohen, S., A.M. Leslie, & U. Frith. (1985). ‘Does the autistic child have a ‘theory of mind’?’. Cognition, 21:37-46. Carruthers, P. (2003). ‘Moderately massive modularity’. Dalam A. O’Hear. (ed.)., Mind and Persons. Cambridge: Cambridge University Press. Dennett, D. (1995). Darwin’s Dangerous Idea: Evolution and the Meanings of Life. London: Penguin. Fodor, J. (2000). The Mind Doesn’t Work That Way: The Scope and Limits of Computational Psychology. Cambridge, MA: MIT Press. Heyman, G.D., A. T. Phillips, S. A. Gelman. (2003). ‘Children’s reasoning about physics within and across ontological kinds’. Cognition, 89:43-61. Hirschfeld, L. (1996). Race in the Making: Cognition, culture, and the child's construction of human kinds. Cambridge, MA: MIT Press. McCarthy, J., & P. Hayes. (1969). ‘Some philosophical problems from the standpoint of Artificial Intelligence’. Dalam B. Meltzer & D. Michie. (ed.)., Machine Intelligence 4. Amsterdam: Elsevier. Medin, D.L., E.L. Lynch, & K. O. Solomon. (2000). ‘Are There Kinds of Concepts?’. Annual Review of Psychology, 51:121-47. Suroso, R. (2004). ‘Economic Agency Through Modularity Theory’. Working Paper WPC2004 Bandung Fe Institute, January 2004. Suroso, R. (2004). ‘Edukasi Natural dan Arsitektur Kognitif: Metode dan material edukasi dari perspektif sains kognitif ’. Working Paper WPR Bandung Fe Institute, July 2004. Suroso, R. (2004). ‘Emergent Undecidability is Decidable*’. Journal of Social Complexity, 2(1):65-76.
18