105
ISTIHSAN DAN PEMBARUAN DALAM HUKUM ISLAM Ahmad Baharuddin Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) al-Azhar Gowa Sulsel Email:
[email protected]
Abstract: This paper examines the two principal discussion, which is the essence of the method of istihsan and the application form in renewal of Islamic law. Istihsan is one method that disputed the jurists because of epistemology base ascribed to human reason. Nevertheless, the application form has provided renewal in Islamic law. Islamic legal thought products such as Law, Jurisprudence, compilation of Islamic law (KHI), and the Fatwa has given new jurisprudence products. Islamic marriage must go through the recording weddings and civil liability for the biological parents of the child is an example that is close to epistimologi Istihsan. Abstrak: Tulisan ini mengkaji dua pokok pembahasan, yaitu esensi dari metode istihsan dan bentuk aplikasinya dalam pembaruan hukum Islam. Istihsan merupakan salah satu metode yang diperselisihkan para fuqaha karena basis epistemologinya dianggap berasal dari akal manusia. Meskipun demikian, bentuk aplikasinya telah memberikan banyak pembaruan dalam hukum Islam. Bentuk produk pemikiran hukum Islam seperti UndangUndang, Yurisprudensi, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan Fatwa telah memberikan produk fikih baru. Pernikahan Islam harus melalui pencatatan pernikahan dan kewajiban perdata bagi orang tua biologis terhadap anaknya merupakan contoh yang dekat dengan epistimologi Istihsan. Kata Kunci: Istihsan dan Pembaruan Hukum Islam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa awal Islam yaitu di masa ketika Rasulullah masih hidup, pengejawantahan hukum dalam ranah aplikatif berdialektika dengan realitas sosial tidak mengalami kendala apapun. Hal ini karena umat pada waktu itu bisa langsung bertanya kepada Rasulullah Saw. sebagai pemegang otoritas yang bisa menginterpretasikan wahyu Tuhan yang sakral. Namun setelah Rasulullah wafat, para sahabat menghadapi berbagai persoalan baru dan lebih kompleks. Hal ini disebabkan disamping semakin bertambahnya orang yang memeluk Islam juga ekspansi wilayah yang terlampau luas sehingga terkumpul realitas sosial budaya masyarakat yang heterogen.
Pada masa selanjutnya (seperti masa tabi’in dan masa tabi’ tabiin), pengambilan dasar hukum terhadap teks normatif yang bersifat sakral tersebut sebagai konsideran tidak lagi bersifat sederhana jika tidak dibilang begitu kompleks. Dialektika antara teks dan konteks tersebut berujung pada keberagaman kesimpulan premis yang dilontarkan oleh para ahli hukum disetiap masa dan tempat yang berbeda. Realitas historis ini pada tahap selanjutnya menciptakan berbagai paham dari para ahli hukum yang mengkristal menjadi berbagai kelompok aliran yang dikenal dengan istilah mazhab. Hukum Islam telah berkembang selama belasan abad lamanya dengan proses sosial yang terjadi, dan tidak mengesampingkan metode-metode yang
106
sangat memperhatikan kepentingan lokal (budaya lokal masyarakat Indoensia). Tidak mengherankan jika para cendekiawan (intelektual) muslim mulai dari zaman dulu sampai saat ini terus memperjuangkan hukum Islam yang selalu sesuai dengan sosio kultur. Oleh karenanya, hukum Islam merupakan salah satu bagian dari lembaga kemasyarakatan fungsional yang berhubungan dan saling mempengaruhi dengan lembaga kemasyarakatan lainnya. Hubungan antara struktur sosial dengan hukum memberikan pengertian yang lebih mendalam mengenai lingkungan sosio kultur dimana hukum berlaku di masyarakat. Dinamisasi hukum Islam akan berpengaruh terhadap proses perkembangan maupun interaksi sosial. Begitu juga dengan status sosial, dikarenakan norma yang terserap dari hasil dari interaksi antara agama dengan masyarakat tersebut memunculkan implikasi terhadap proses sosial yang terjadi. Oleh karena itu, penerapan hukum Islam sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat di mana hukum itu akan diterapkan. Dinamika pembaruan hukum Islam di Indonesia telah mewarnai sejarah umat Islam di Indonesia. Gagasan pembaruan dalam hukum Islam muncul diakibatkan terjadinya kesenjangan antara materi hukum, terutama hukum Islam yang berkaitan dengan fikih dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini. Upaya mewujudkan pembaruan tersebut dilakukan dalam bentuk modifikasi, kodifikasi, maupun kompilasi. Salah satu metodologi yang dikembangkan untuk menjawab segala perkembangan itu adalah istihsan. Istihsan dengan makna menganggap baik secara makna bahasa ini mendapat pertentangan pada beberapa ulama khususnya Syafi’i. Sementara hal ini oleh sebagian ulama dapat mencover realitas yang terus berkembang.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah esensi dari istihsan ? 2. Bagaimana keterkaitan istihsan dengan pembaruan hukum Islam? 3. Bagaimanakah bentuk aplikasi istihsan dengan pembaruan hukum Islam? II. PEMBAHASAN A. Konsep Dasar dan Kehujjahan Istihsan Istilah istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara`. Singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara` yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Contoh yang paling sering kita dengar adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong tangan bagi pencuri di zaman khalifah Umar bin AlKhattab ra. Padahal seharusnya pencuri harus dipotong tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun kemudian hukum ini ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa tidak memotong tangan pencuri. Ini adalah hukum berikutnya, dengan suatu dalil tertentu yang menguatkannya. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu pencuri harus dipotong tangannya. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain.
107
Dalam hal ini, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu. Kehujjahan istihsan dalam penetapan hukum sangat diperselisihkan. Imam Syafi’i dan pengikutnya menolak dan mengkritik habis orang-orang yang menggunakan istihsansebagai dalil pokok dalam pengambilan hukum setelah empat dalil pokok yang telah disepakati yaitu alQur’an, hadits, ijma’, dan qiyas. Imam Syafi’i berpendapat bahwa berhujjah dengan istihsan, berarti ia telah mengikuti hawa nafsunya, karena telah menentukan syariat baru Sedangkan yang berhak membuat syariat itu hanyalah Allah Swt. Tampaknya Imam Syafi’i dan pengikutnya cukup keras dalam menolak masalah istihsan.1 Sedangkan ulama yang menyetujui dan menggunakan istihsan sebagai dasar dalam pengambilan hukum adalah Imam Hanafi, Imam Malik dan sebagian pengikut Imam Ahmad bin Hanbal. Alasan-alasan yang dikemukakan adalah penelitian terhadap beberapa peristiwa hukum dan ketentuan hukumnya membuktikan bahwa terus menerusnya berlaku ketetapan qiyas, berkelanjutannya ketetapan umum dan menyeluruhnya ketetapan kulli, kadangkadang menapikan aspek maslahat yang kemudian membawa pada mafsadat.2 Oleh karenanya merupakan suatu rahmat Allah, karena telah dibuka peluang bagi mujtahid untuk memindahkan peristiwa hukum dari ketentuan qiyas kepada ketentuan hukum lain yang dapat mewujudkan maslahat dan menolak mafsadat. B. Istihsan antara Dalil Naqli dan Aqli
Wacana tentang istihsan, menganggap sesuatu itu baik, diawali dengan mempertanyakan tentang siapa mustahsin (subjek yang menganggap baik). Al-Syatibi memamaparkan dua opsi dari mustahsin; dalil naqli dan akal. Jika mustahsin dimaknai dengan syara, maka tidak tepat dianggap sebagai istihsan dengan menganggap baik. Karena dalam hal ini, penentu baik buruk itu adalah dalil syara’. Saat mustahsin dipahami sebagai akal, maka istihsan bermakna sesuatu yang dianggap baik oleh seorang mujtahid berdasarkan akalnya dan cenderung dengan pendapatnya. Hal ini dikuatkan oleh alSyairazi,3 yang dengan tegas menyatakan Istihsan adalah menetapkan hukum berdasarkan anggapan atau perkiraaan ada kebaikan, tanpa ada dalil, yang berarti hanya berdasarkan akal semata-mata. Berbeda dengan pendapat al-Syirazi, mayoritas ulama seperti Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah tetap menganggap mustahsin itu adalah syara’, bukan akal semata-mata. Al-Syatibi menyatakan bahwa sesungguhnya istihsan itu dipegangi Imam Malik dan Abu Hanifah. Sementara al-Syafi’iy mengingkarinya, bahkan mengatakan siapa yang beristihsan maka telah membuat hukum baru. Hanya saja dari penelitian yang dilakukan oleh Ibn al-Arabi, istihsan yang dikemukakan oleh Hanafi dan Maliki mengamalkan dalil yang terkuat dari dua dalil yang bertentangan.4 Imam al-Syatibi mencoba mengelaborasi seluruh terminologi yang diutarakan oleh kalangan ulama. Imam Malik memandang bahwa mentakhsis lafal yang umum dengan dalil apapun baik teks maupun kontekstul dikatakan istihsan. Abu Hanifah juga memberikan pengertian lain tentang istihsan ini, bahwa takhsis pada lafal yang umum dengan salah satu pendapat yang menyalahi kias. Al-Karkhi
108
mendefiniskan istihsan, berpaling dari hukum suatu masalah dengan hukum serupa yang tidak sama karena ada dalil yang lebih kuat. Sebagian mazhab Hanafiyah memandang bahwa istihsan adalah kias yang wajib diamalkan dalam konteks keefektifitas illat kias khafi yang lebih utama ketimbang illat kias jali.5 Jadi mengambil efek yang lebih kuat tersebut atau mengamalkan kias yang lebih kuat efeknya dari dua qiyas yang ada dikatakan dengan istihsan. Al-Syatibi mengemukakan bahwa istihsan bagi Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah tidak keluar dari dalil yang validitasnya diakui Islam, dan penolakan alSyafi’i terhadap istihsan bukan pengertian semacam ini, sehingga baginya tidak menjadikan istihsan sebagai hujah dan menganggap pembuat istihsan sama dengan pembuat bidah. Al-Syatibi sendiri, sebagai penganut mazhab Maliki, telah menawarkan dua rumusan.6 Pertama, istihsan adalah memegangi kemaslahatan partikular ketika bertentangan dengan dalil universal. Kedua, istihsan adalah mengamalkan dalil yang terkuat dari dua dalil hukum. Dengan demikian, dalam analisis al-Syatibi, terjadi silang pendapat tentang keberadaan istihsan sebagai dasar penetapan hukum yang berawal dari perbedaan dalam menentukan mustahsin. Manakalah starting point dalam merumuskan kebaikan adalah syara sebagai mustahsin, maka perbedaan tersebut tidak perlu terjadi. C. Ragam Istihsan 1. Istihsan dengan Urf Meninggalkan dalil umum karena ada urf (kebiasaan regional). Misalnya, sumpah tidak memakan daging. Sumpah ini tidak termasuk makan ikan, walaupun menurut dalil umum ikan juga termasuk daging.
2. Istihsan dengan Maslahah Tidak memberlakukan dalil umum dengan menggunakan yang lainnya berdasar pertimbangan maslahat 3. Istihsan dengan Ijmak Atas alasan ijma’ maka dapat menggunakan dalil yang lain dalam sebuah kasus (biasanya dengan dalil umum) 4. Istihsan dengan Kaidah Raf’ al-Haraj wa al-Masyaqqah Demi untuk menghilangkan kesulitan/ kesukaran, boleh tidak memberlakukan hukum yang umum karena sebab yang dimaklumi. Misalnya penggunaan kamar mandi sewa tanpa mengetahui detail jumlah penggunaan air, lama pemakaian, dan harga sewa kamar mandi yang kesemuanya merupakan garar (ketimpangan) yang diharamkan. Hal tersebut selanjutnya dibolehkan dengan alasan 7 menghilangkan kesulitan. D. Relevansi Istihsan dalam Pembaruan Hukum Islam 1. Konsep dasar Pembaruan hukum Islam Istilah pembaruan sering dipadankan dengan kata modern. Kata ini banyak digunakan dalam arti perubahanperubahan yang disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Banyak pengkaji Islam menggunakan istilah modern.8 Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah pahampaham, adat istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern.9
109
Menurut Harun Nasution, sejak para orientalis mengadakan studi tentang Islam dan umat Islam serta mempelajari perkembangan modern dalam Islam, para intelektual Islam di dunia Islam mulai pula memusatkan perhatian pada studi ini dan kata modernisme pun mulai diterjemahkan ke dalam bahasa yang dipakai dalam Islam seperti al-tajdi>d dalam istilah Arab dan pembaruan dalam bahasa Indonesia. Kata modernisme dianggap mengandung arti negatif di samping positif, sehingga digunakan istilah pembaruan.10 2. Wilayah Pembaruan Hukum Islam Dalam tradisi ilmu ushul fiqh, konsep pembaruan banyak dikaitkan pada persolan hukum yang bersifat qat}‘i> dan z}anni>.11 Keqat}‘i>an sebuah nas dapat dilihat dari 2 aspek; Pertama,qat}‘i> als |ubu>t at au al -w uru>d . As pek i ni berkaitan dengan otentisitas, validitas, dan otoritas sumber datangnya. Jika nas datang dari sumber yang valid, otentik, dan otoritatif maka nas itu disebut qat}‘i> alwuru>d. Jika tidak memenuhi persyaratan tersebut, nas itu disebut z}anni> alwuru>d.12 Menurut Quraisy Shihab, semua ulama mengakui al-Qur’an qat} ‘ i> als\ubu>t. Artinya, bahwa seluruh ayat-ayat yang terhimpun di dalam nya bersumber secara pasti dari Allah swt. atau Rasulullah saw. yang dapat dibuktikan dari segi penyampaian atau periwayatan. Umat Islam menyakini sepenuhnya bahwa al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah swt. Adapun hadis-hadis Rasulullah yang bersifat qat}‘i> al-s\ubu>t ini adalah hadis-hadis mutawatir (yang diriwayatkan oleh, dari, dan kepada orang banyak yang patut diduga kuat bahwa tidak mungkin mereka sepakat berdusta terhadap apa yang mereka riwayatkan). 13 Kedua, qat}‘i> al-dala>lah. Aspek i n i b e r k a i t a n d e n g a n d a l a > l a h n ya
(meaning-nya) atau penunjukkan suatu lafaz terhadap maknanya. Jika penunjukkan maknanya jelas, tegas, dan definitif, maka nas itu disebut qat} ‘ i> al-dala>lah. Sedangkan nas yang masih memerlukan takwil atau memiliki beberapa kemungkinan makna lain maka nas itu disebut z}anni> al-dala>lah. Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan qat}‘i> al-dala>lah adalah nas-nas yang menunjukkan adanya makna tertentu yang harus dipahami dari teks (ayat atau hadis); tidak mengandung kemungkinan takwil (pengalihan dari makna asal kepada makna lain) serta tidak ada tempat atau peluang untuk memahami makna lain selain makna yang ditunjukkan teks. 14 Abu al-Ainain (Guru Besar Usul Fikih dari Mesir) mengatakan bahwa qat} ‘ i> adalah sesuatu yang menunjuk kepada hukum tertentu dan tidak mengandung kemungkinan makna lain. 15 Wahbah al-Zuhailiy mengemukakan bahwa qat}‘i> al-dala>lah adalah lafaz yang dapat dipahami maknanya secara jelas dan hanya mengandung pengertian tunggal. 16 Dalam karya Syuhudi Ismail disebutkan bahwa term qat}’i> terkadang disinonimkan dengan daru>ri>, yaqi>n, absolut, dan mutlak. Sedangkan term z}anni> disinonimkan dengan naz}ari>, relatif, dan nisbi. Adapun al-dala>lah berasal dari kata dalla-yadullu-dala>lah berarti petunjuk.17 Berdasarkan pengertian dan konsep atau definisi yang telah dikemukakan di atas maka dapat disederhanakan bahwa qat}‘i> al-dala>lah adalah petunjuk yang pasti dan jelas, sedangkan z}anni al-dala>lah adalah petunjuk yang masih berupa dugaan, asumsi, hipotesis, atau masih samar sehingga sangat memungkinkan timbulnya pengertian dan makna lain. Dengan demikian, pembaruan hukum Islam hanya dapat dilakukan pada wilayah ayat-ayat yang bersifat z}anni>. Wilayah nas/ayat yang bersifat zanniah menjadi sasaran
110
mujtahid dalam mengembangkan hukum I s l a m . Dalam konteks hukum Islam, pembaruan merupakan proses ijtihad untuk menetapkan ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi modern, apakah menetapkan hukum pada masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya atau menetapkan hukum baru untuk menggantikan ketentuan hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa kini. Ketentuan hukum di sini adalah ketentuan hukum Islam kategori fikih yang merupakan hasil ijtihad para ulama, bukan ketentuan hukum Islam kategori syariat.18 Dengan demikian, pembaruan hukum Islam berarti gerakan ijtihad menetapkan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, baik menetapkan hukum terhadap masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya atau menetapkan hukum baru untuk menggantikan ketentuan hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang. Menurut Abdul Mannan, pembaruan hukum Islam dapat diartikan sebagai upaya dan perbuatan melalui proses tertentu dengan penuh kesungguhan oleh pihakpihak yang memiliki kompetensi dan otoritas dalam pengembangan hukum Islam (mujtahid), melalui cara-cara yang telah ditentukan berdasarkan kaidah-kaidah istinbat hukum, agar hukum Islam dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.19
Pentingnya melakukan pembaruan hukum dikarenakan perubahan sosialbudaya yang disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Kemajuan tersebut telah melahirkan permasalahan-permasalahan baru dalam hukum. Menurut Yusuf al-Qardhawi, setiap zaman memiliki problematika, konteks realitas dan berbagai kebutuhan yang memunculkan permasalahan-permaslahan baru. Ada juga peristiwa atau persoalan lama yang terjadi dalam kondisi dan sifat yang dapat mengubah tabiat, bentuk dan pengaruhnya. Kadang-kadang hukum atau fatwa yang ditetapkan oleh ulama-ulama terdahulu tidak relevan lagi sehingga fatwa tersebut harus direvisi karena berubahnya masa, tempat, adat istiadat, dan kondisi. Jika ulama-ulama duhulu saja telah menetapkan bahwa fatwa dapat berubah karena berubahnya zaman.20 Gerakan mendobrak taklid dan menghidupkan kembali ijtihad untuk mengembangkan hukum Islam disebut pembaruan hukum Islam, sebab ia berusaha menetapkan ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru itu mengandung dua unsur, yaitu: a. Menetapkan hukum terhadap masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya, seperti masalah bayi tabung. b. Menetapkan atau mencari ketentuan hukum baru bagi suatu masalah yang sudah ada ketentuan hukumnya tetapi tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa kini.21 Untuk itu perlu ditetapkan ketentuan hukum baru yang lebih mampu merealisasikan kemaslahatan umat yang merupakan tujuan syariat dengan mempertimbangkan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
111
pengetahuan dan tekhnologi modern.22 Contohnya ketentuan hukum Islam mengenai pemimpin wanita. Ijtihad ulama sekarang telah membolehkan wanita menjadi pemimpin atau kepala negara, padahal ijtihad lama menetapkan bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin atau kepala negara.23 Pembaruan dapat terjadi dalam 3 bentuk/ keadaan: a. Apabila ijtihad lama itu adalah salah satu dari sekian kejadian yang dikandung oleh suatu teks al-Qur’an dan hadis. Dalam keadaan demikian, pembaruan dilakukan dengan mengangkat pula kejadian yang lain yang terkandung dalam ayat atau hadis tersebut. Contoh, dalam masalah zakat yang ketentuannya telah ditetapkan oleh jumhur ulama bahwa ada 7 macam kekayaan yang wajib dizakati, yaitu; emas dan perak, tanam-tanaman, buahbuahan, barang dagangan, binatang ternak, barang tambang, dan barang peninggalan kuno (barang 24 terpendam). Dan pendapat yang menetapkan penghasilan yang datang dari jasa dikenakan zakat merupakan pengembangan makna dari teks/nas yang dijadikan dasar oleh jumhur ulama.25 b. Apabila hasil ijtihad lama didasarkan atas‘urf setempat, dan bila‘urf itu sudah berubah maka untuk ijtihad lama itupun dapat diubah dengan menetapkan hasil ijtihad baru yang didasarkan kepada‘urf setempat yang telah berubah itu. Contohnya hasil ijtihad mengenai kepala negara wanita. Hasil ijtihad ulama terdahulu menetapkan wanita tidak boleh menjadi kepala negara sesuai dengan‘urf masyarakat Islam masa itu yang tidak bisa menerima wanita sebagai kepala negara. Dengan berkembangnya paham emansipasi wanita,‘urf masyarakat
Islam sekarang sudah berubah, mereka sudah dapat menerima wanita sebagai kepala negara. Hasil ijtihad ulamapun sudah berubah dan sudah menetapkan bahwa wanita boleh menjadi kepala negara. c. Apabila hasil ijtihad lama ditetapkan dengan qiyas maka pembaruan dapat dilakukan dengan meninjau kembali hasil-hasil ijtihad atau ketentuan hukum yang ditetapkan oleh qiyas dan metode istinbat hukum yang lain. Contohnya hasil ijtihad tentang larangan masuk mesjid bagi orang haid yang diqiyaskan kepada orang junub (orang yang mandi besar) karena samasama hadas besar. Ada ulama yang merasa qiyas di atas kurang tepat karena ada unsur lain yang membedakan haid dengan junub meskipun keduanya sama-sama hadas besar.26 Dari konsep tersebut di atas maka dapat dipastikan bahwa hukum dapat diperbarui selama pintu ijtihad selalu terbuka. 3. Keterkaitan Istihsan dalam Pembaruan Hukum Islam Penetapan hukum yang mampu menjawab permaslahan dan perkembangan baru itu berarti mengembangkan hukum Islam dengan memberikan penafsiran baru. Penafsiran baru yang memasukkan perkembangan-perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai salah satu bahan pertimbangan, dalam usaha yang sungguh-sungguh mendekatkan diri dengan kebenaran dengan tetap berpedoman kepada prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar Islam agar dapat terwujud kemaslahatan manusia. Tujuan hukum Islam atau tujuan syariat adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat, menolak kemelaratan dan kerusakan, serta mewujudkan keadilan.
112
Hukum Islam jika tidak dikembangkan dan juga tidak diperbaharui, maka akan ketinggalan zaman, tidak sesuai dengan masyarakat modern. Bahkan, bisa jadi hukum Islam akan ditinggalkan oleh masyarakat karena hukum tersebut tidak mampu menjawab permasalahan yang dihadapi masyarakat. Hal itu berarti hukum Islam tidak akan lagi mampu menjamin kemaslahatan hidup manusia dan tidak mampu memberikan kebahagaiaan bagi mereka. Dengan demikian, pembaruan hukum Islam sebenarnya adalah tuntutan dari hukum Islam itu sendiri, yang menyebut dirinya sebagai rahmat bagi sekalian alam di setiap waktu dan tempat, karena hukum Islam memang diciptakan untuk merealisasikan kemaslahatan umat dan untuk menjamin kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat. Pembaruan hukum Islam itu bukan bermakna usaha menetapkan hukum Islam yang mampu menjawab semua permasalahan dan perkembangan baru dengan cara sembarangan tanpa pedoman dan batasan. Akan tetapi, pembaruan hukum Islam itu merupakan usaha menetapkan suatu ketentuan hukum yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar ajaran Islam yang di dalam pemahamannya dibantu oleh perkembangan baru sebagai suatu pertimbangan dalam menjabarkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar itu. Salah satu metode penetapan hukum Islam dengan istihsan yaitu metode hukum dengan aspek kontekstualitas teks dengan mempertimbangkan realitas yang ada. Oleh karena itu, asas istihsan itu adalah penetapan hukum yang berbeda dengan kaidah umum, karena keluar dari kaidah umum guna menghasilkan ketentuan hukum yang lebih sesuai dengan tujuan syariat (maqasid al-syari‘ah), ketimbang tetap berpegang pada kaidah lama. Oleh karena itu, berpegang pada istihsan
merupakan cara berdalil yang lebih kuat selain kias. Istihsan dengan bentuk dan ragamnya secara relatif merupakan masalah juz’iyat dalam berhadapan dengan kulliyat. Seorang pakar fikih menempuh cara istihsan dalam masalah juz’iyat ini supaya tidak tenggelam dalam ketentuan kias yang di satu sisi bisa jadi menghasilkan ketentuan hukum yang kurang sesuai dengan jiwa dan tujuan syariat dalam situasi tertentu. Tegasnya istilah istihsan itu merupakan suatu metode istinbat hukum yang mementingkan pemeliharaan maqasid al-syari‘ah, yaitu merealisasikan kemaslahatan manusia. Berpalingnya mujtahid dari suatu hukum pada suatu masalah kepada hukum yang lain adalah semata-mata untuk memelihara maqasid alsyari‘ah. Berdasarkan hal demikian, istihsan sangat relevan dengan pembaruan hukum Islam. Pembaruan hukum Islam bertujuan untuk memelihara tujuan syari’at (maqasid al-syari‘ah) dengan menghasilkan ketentuan-ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Sedangkan istihsan adalah suatu metode istinbat hukum yang sangat mementingkan pemeliharaan tujuan syari’at (maqasid alsyari’ah). Oleh karena itu, berpegang pada istihsan merupakan cara berdalil yang lebih kuat dari pada berpegang pada qiyas.27 Istihsan sangat relevan dengan pembaruan hukum Islam. Pembaruan hukum Islam bertujuan untuk memelihara tujuan syariat dengan menghasilkan ketentuan-ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang telah ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
113
E. Bentuk Aplikasi Istihsan dalam Pengambilan Hukum Perhatian pada maqashid syari’ah memberikan peluang yang besar dalam mengkontekstualisasikan nilai-nilai ajaran Islam. Upaya kontekstualisasi ini tampak pada penetapan hukum melalui metode istihsan. Pembaruan hukum Islam yang bertujuan untuk merealisasi dan memelihara kemaslahatan umat manusia dapat diwujudkan melalui metode istihsan. Beberapa contoh yang mengindikasikan hal tersebut dapat dilihat beberapa contoh yang dikemukakan oleh mazhab Hanafi adalah:28 Pertama, bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka dengan menggunakan istihsan, yang termasuk diwaqafkan adalah hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Sebab kalau menurut qiyas (jali), hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena tidak boleh mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewamenyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli
yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari asalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan `illat-nya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan. Kedua, sisa minuman burung buas, seperti elang, burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Padahal seharusnya kalau menurut qiyas (jali), sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Sedangkan menurut qiyas khafi, burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang buas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab di antara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
114
Contoh lain yang banyak ditemukan dalam masyarakat saat ini adalah kebolehan dokter laki-laki melihat aurat pasien perempuan ketika melakukan tindakan medis. Hal ini dibolehkan karena pertimbangan kemaslahatan dari segi kesehatan. Artinya berpaling dari aturan umum yang mengharamkan karena pertimbangan kemaslahatan. Berdasarkan beberapa contoh di atas, dapat dipahami bahwa penggunaan istihsan merupakan upaya mewujudkan kemaslahatan sebagai dasar epistemologis dari maqashid asy-syariah. Upaya ini dilakukan sebagai jawaban dalam menyelesaikan permasalahan hukum dalam masyarakat yang tidak dapat diselesaikan melalui jalan qiyas . di sinilah keterkaitan pembaruan hukum dengan istihsan dimana perubahan hukum senantiasa terjadi karena disesuaikan konteksnya. III PENUTUP Tawaran metode hukum Islam dengan Istihsan tidak serta merta membawa pemahaman yang serupa. Syafi’i menjadi rival serius untuk metode istihsan. Mempertanyakan mengenai subjek mustahsin akan memperjelas sisi perbedaan di kalangan ulama. Fuqaha sepakat jika pelaku penganggap baik itu adalah murni akal-akalan manusia saja. Tetapi sepakat, kalau penganggap baik tetap berbasis wahyu. Pembaruan hukum Islam dicapai salah satunya dengan beberapa produk hukum berdasar Istihsan. Dari definisi Hukum Islam di Indonesia seperti UndangUndang, Yurisprudensi, Kompilasi Hukum Indonesia (KHI), dan Fatwa ditemukan produk fikih baru, misalnya pernikahan Islam harus melalui pencatatan pernikahan
dan kewajiban perdata bagi orang tua biologis terhadap anaknya. Contoh tersebut dekat dengan epistimologi istihsan. Catatan Akhir : 1
Muhammad Abu Zahrah,, Ushul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’sum, (Cet. VI; Jakarta: Pustak Firdaus, 2000), h. 415 2
Ahmad Hassan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. Aqah Garnadi, (Cet. I; Bandung: Pustaka, 1984), h. 141. 1
http//Dinamika-hukum-IslamIndonesia.com. diakses pada tanggal 15April 2015 2
Al-Syirazi, Al-Luma’ fi Usul al-Fiqh juz I, (Cet. ke-1; Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1985), h. 67. 3
Al-Syatibi, al-I’tihsam, jil II (Riyad: Dar Ibn al-Jauzi, 2008), h. 137. 4
Al-Syatibi, al-I’tisam, jil II, h. 138
5
Duski Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam: Membongkar Konsep al-Istiqra’ al-Ma’nawi Asy-Syatibi (Cet. ke-1; Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h.145. 6
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Cet. ke-1; Jakarta: Amzah, 2011), h. 111-113. 7
Menurut Abdul Manan, pembaruan hukum Islam adalah upaya dan perbuatan melalui proses tertentu dengan penuh kesungguhan yang dilakukan oleh mereka yang mempunyai kompetensi dan otoritas dalam pengembangan hukum Islam (mujathid) dengan cara-cara yang telah ditentukan berdasarkan kaidah-kaidah istinbath} hukum yang dibenarkan sehingga menjadikan hukum Islam dapat tampil lebih segar dan modern, tidak ketinggalan zaman, inilah yang dalam istilah ushul fikih dikenal dengan “ijtihad” Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h. 152.
8
Lihat misalnya, Modern Trend in Islam yang disusun oleh HAR Gibb pada tahun 1946, Modern Islam in India, ditulis W.C. Smith pada
115
tahun 1933, Islam and Modernism in Egypt, dikarang oleh C.C. Adams pada tahun 1943. Selain kata modern, sering juga digunakan dalam bahasa Indonesia dengan istilah modernisasi, dan modernisme.lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah pemikiran dan Gerakan (Cet. XIII; Jakarta: PT Bulan Bintang, 2001), h. 4 9
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 3 10
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah pemikiran dan Gerakan, h. 4 11
Qat}‘i> dan Z}anni> berasal dari bahasa Arab: ﻗﻄﻊyang berarti putus, pasti, diam; ظﻦyang berarti perkiraan, sangkaan (antara benar dan salah). Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, h. 947 dan 1219. 12
Badri Khaeruman, , Hukum Islam dan Perubahan Sosial , h. 55. 13
Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an., h. 137, juga Alimin Mesra, Ulu>mul Qur’a>n (Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2005), h. 123. Juga Qat}‘i> dan Z}anni>, dalam Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1454. 14
Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Masdar Helmy (Cet. I; Bandung: Gema Risalah Press, 1996), h. 62. 15
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h 1454. 16
Lihat Badri Khaeruman, Hukum Islam dan Perubahan Sosial , h. 57. 17
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), h. 93. 18
Dalam beberapa literatur, istilah syariat dan fikih memiliki makna atau pengertian yang berbeda. Syamsul Anwar menyebutkan makna syariah mengandung dua pengertian, yaitu dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas berarti keseluruhan norma agama Islam yang meliputi baik aspek doktrinal maupun aspek praktis. Dalam arti sempit syariah merujuk kepada aspek praktis dari ajaran Islam, yakni norma-norma yang mengatur tingkah laku konkret manusia seperti ibadah, nikah, berjual beli, berperkara di pengadilan, menyelenggarakan negara dan seterusnya. Sedangkan fikih mengandung arti ilmu hukum dan hukum itu sendiri. Dalam arti sebagai ilmu hukum, fikih didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji hukum-hukum (norma-norma) syariah menyangkut
tingkah laku manusia yang bersumber dari dalil-dalil partikular. Dan dalam arti hukum itu sendiri diartikan sebagai kumpulan hukum-hukum syar’i mengenai tingkah laku manusia yang ditetapkan melalui al-Qur’an, penjelasan Nabi saw. ijmak umat Islam dan ijtihad para ahli hukum. Sedangkan makna secara terminologis, Abdul Wahhab Khalaf mendefinisikan fikih dengan pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dalil terperinci. Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam dalam alMustas}fa>’ Min ‘Ilm al-Us}u>l Karya alGazza>li> (450-505 H/1058-1111 M), Disertasi (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2000), h. 121122. Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Usul al-Fiqh, h. 11. Lihat Jasser Audah, Maqa>s}id al-Shariah As Philosophy of Islamic Law: a Systems Approach (United Kingdom: The International Institute of Islamic Thought, 2007), h. 56-57. 19
Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum (Cet. III; Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005), h. 225. Lihat juga Asni, Pembaruan Hukum Islam, h. 42. 20
M. Yusuf al-Qardhawi, al-Ijtiha>d alMu‘a<>s}ir bain al-idhibat wa al-Infira>t (Ttp:Da>r al-Tauzi wa al-Nasyr al-Isla>miyyah, 1994), h. 5. 21
Yang dimaksud dengan tidak sesuai dengan keadaan dan kemaslahatan manusia saat ini adalah ketentuan hukum lama yang merupakan hasil ijtihad para ulama terdahulu sudah tidak mampu lagi direalisasikan karena kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat masa kini. 22
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 113. Lihat Prof. Dr. H. Mustofa, SH, M. Si, dkk, Hukum Islam Kontemporer (Cet. I: Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 55. 23
Hasil ijtihad ulama dulu tentang ini dapat dipahami dari pandangan mayoritas ulama yang mensyaratkan pemimpin negara itu harus laki-laki dengan berdasar pada QS al-Nisa>’/4: 34 dan HR. Bukhari dari Abu Bakrah. Imam al-T{abari> berpendapat perempuan hanya boleh memimpin dalam masalah peradilan. Demikian pula Imam Abu Hanifah membolehkan perempuan menjadi hakim dalam masalah peradilan yang berkenaan dengan finansial. Lihat Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, terj. Faturrahman A. Hamid, Lc, Fi> al-Fiqh al-Siya>siy> al-Isla>miy> Maba>di’ Dustu>riyyah asy-Syu>ra>’ al-‘Adl al-Musa>wa> (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2005), h. 122. Abul A‘la al-Maudu>di>,
116
Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj. Drs. Asep Hikmat, The Islamic Law and Constitution (Cet. IV; Bandung : Mizan, 1995), h. 267. 24
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 2, h. 64.
Lihat QS al-Baqarah /2: 266 : ﻣﻦ طﯿﺒﺎت ﻣﺎ ( ﻛﺴﺒﺘﻢ وﻣﻤﺎأﺧﺮﺟﻨﺎﻟﻜﻢ ﻣﻦ اﻷرضnafkahkanlah di 25
jalan Allah sebagian dari hasil usahamu yang baikbaik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu). 26
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaruan Hukum Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), h. 114-115. Prof. Dr.H. Mustofa, SH, M. Si. Hukum Islam Kontemporer (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 56-57 27
Darmawati. H, Istihsan dan Pembaruan Hukum islam, Jurnal al-fikr Volume 15 Nomor 1 2011, h. 166. Diakses http://www.uinalauddin.ac.id/download-11Darmawati.pdf. 28 http://barnur.blogspot.co.id/2011/08/ pengertian-ihtihsan-dan-contohnya.html.
DAFTAR PUSTAKA Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh. Cet. ke-1; Jakarta: Amzah, 2011. Asni,
Pembaruan Hukum Islam di Indonesia: Telaah Epistemologis Kedudukan Perempuan dalam Hukum Keluarga. Jakarta: Kementerian Agama RI, 2012.
Anwar, Syamsul. Epitemologi Hukum Islam dalam al-Mus}tasyfa>’ Min ‘Ilm al-Us}u>l Karya al-Gazza>li> (450-505 H/1058-1111 M), Disertasi. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2000. Audah, Jasser, Maqa>s}id al-Shariah As Philosophy of Islamic Law: a Systems Approach. United Kingdom: The International Institute of Islamic Thought, 2007. Darmawati. H, Istihsan dan Pembaruan Hukum Islam, Jurnal al-Fikr
Volume 15 Nomor 1 2011. Diakses http://www.uinalauddin.ac.id/download11Darmawati.pdf. Hassan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. Aqah Garnadi. Cet. I; Bandung: Pustaka, 1984. http//Dinamika-hukum-Islam-Indonesia. com. diakses pada tanggal 15April 2015. http://barnur.blogspot.co.id/2011/08/penger tian-ihtihsan-dan-contohnya.html. Ibrahim, Duski, Metode Penetapan Hukum Islam: Membongkar Konsep alIstiqra’ al-Ma’nawi Asy-Syatibi.Cet. ke-1; Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008. Khalaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh, terj. Masdar Helmy. Cet. 1; Bandung: Gema Risalah Press, 1996. Khaliq, Farid Abdul, Fikih Politik Islam, terj. Faturrahman A. Hamid, Lc, Fi> al-Fiqh al-Siya>siy> al-Isla>miy> Maba>di’ Dustu>riyyah asySyu>ra>’ al-‘Adl al-Musa>wa>. Cet. I; Jakarta: Amzah, 2005 Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia Manan, Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Cet. III; Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005 Mustofa, Prof. Dr. H. SH, M. Si, dkk, Hukum Islam Kontemporer. Cet. I: Jakarta: Sinar Grafika, 2009. al-Maudu>di>, Abul A‘la, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj. Drs. Asep Hikmat, The Islamic Law and Constitution. Cet. IV; Bandung : Mizan, 1995.
117
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam; Sejarah pemikiran dan Gerakan. Cet. 13; Jakarta: PT Bulan Bintang, 2001 al-Qardhawi, M. Yusuf, al-Ijtiha>d alMu‘a<>s}ir bain al-idhibat wa alInfira>t. Ttp:Da>r al-Tauzi wa alNasyr al-Isla>miyyah, 1994 Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah. Terj. Moh. Abidun, dkk., 5 jilid. Cet. IV; Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2012. al-Syatibi. Al-I’tisam, jil II. Riyad: Dar Ibn al-Jauzi, 2008. al-Syirazi, Al-Luma’ fi Usul al-Fiqh juz I. Cet. ke-1; Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyyah, 1985. Usman, Iskandar Istihsan dan Pembaruan Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994. Zahrah, Muhammad Abu, Ushul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’sum. Cet. VI; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.