ISSN : 2252-911X
Vol.III, No.1, Agustus 2014
Identifikasi Teknologi yang Relevan untuk Mendukung Diversifikasi Usaha Pe(Tani) dan Diversifikasi Konsumsi Pangan di Indonesia Benyamin Lakitan Urgensi Pengarusutamaan Hak Kekayaan Intelektual dalam Pelaksanaan Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Sabartua Tampubolon Bentuk Badan Hukum Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kholil Vol.III, No.1, Agustus 2014
Redaksi : Asisten Deputi Budaya dan Etika Iptek Kementerian Riset dan Teknologi Gedung II Ristek lantai 8 Jl. M.H Thamrin 8 Jakarta Pusat 10340
Kelembagaan Inovasi Akar Rumput (Grassroots Innovation) untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Suyatno, Octa Nugroho dan Karlin Wahyudi Pengembangan Instrumen Kebijakan Peningkatan Produktivitas Teknologi Industri Samsuri, Erry Ricardo Nurzal, Santoso Yudho Warsono
TEKNOVASI INDONESIA
Vol. III, No. 1, Agustus 2014 ISSN : 2252-911X
Asdep Budaya dan Etika Deputi Bidang Kelembagaan Iptek
TEKNOVASI INDONESIA
Vol. III, No. 1, Agustus 2014 ISSN : 2252 – 911X
Pembina Menteri Riset dan Teknologi Pengarah Deputi Bidang Kelembagaan Iptek Reviewer/Editor Benyamin Lakitan (Ristek) Carunia M. Firdausy (LIPI) Syaikhu Usman (SMERU) Gusti Nurpansyah (Ristek) Mulyanto (Ristek)
Alamat Redaksi: Asdep Budaya dan Etika
Penaggungjawab Heri Widyawati
Gedung II Ristek Lt. 8 Jl. M.H.Thamrin 8 Jakpus 10340 Telp: 021-3169286/3169276 Fax: 021-3102014/3169276
Pimpinan Redaksi Suyatno Staf Redaksi Yety Suyeti, Rosmaniar Dini, Galuh E. Palupi, Octa Nugroho, Karlin Wahyudi Sekretariat Karlin Wahyudi, Sarmini, Duddy Hermawan Penerbit Asdep Budaya dan Etika Deputi Bidang Kelembagaan Iptek Kementerian Riset dan Teknologi
iii
Salam Redaksi
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SAW, Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Teknovasi Indonesia Vol. III, No. 1, Agustus 2014 yang diterbitkan oleh Asdep Budaya dan Etika Kementerian Riset dan Teknologi. Jurnal Teknovasi Indonesia merupakan media untuk menyampaikan hasil-hasil penelitian atau kajian dibidang ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi yang dilakukan para stakeholder dibidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Dalam upaya membudayakan dan memberdayakan Iptek bagi masyarakat Indonesia, penerbitan ini melibatkan penulis dari berbagai lembaga litbang pemerintah, LPK,LPNK dan Perguruan Tinggi. Dalam rangka mendukung cita-cita pembangunan nasional, Kementerian Riset dan Teknologi memfokuskan arah, kebijakan dan prioritas program dan kegiatan dalam penguatan sistem inovasi untuk mendukung pembagunan yang progresif dan berkelanjutan di Indonesia. Jurnal Teknovasi Indonesia yang terbit dalam edisi ini berisi 5 artikel ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), yaitu: Identifikasi Teknologi yang Relevan untuk Mendukung Diversifikasi Usaha Pe(Tani) dan Diversifikasi Konsumsi Pangan di Indonesia; Urgensi Pengarusutamaan Hak Kekayaan Intelektual dalam Pelaksanaan Kegiatan Penelitian dan Pengembangan; Bentuk Badan Hukum Lembaga Penelitian dan Pengembangan; Kelembagaan Inovasi Akar Rumput (Grassroots Innovation) Untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat; dan Pengembangan Instrumen Kebijakan Peningkatan Produktivitas Teknologi Industri. Jurnal Teknovasi Indonesia pada edisi ini mencoba untuk menguraikan dan memperjelas permasalahan terkait dengan tema pembangunan Iptek dari berbagai sudut pandang para penulis berdasarkan hasil penelitian atau kajian. Atas terbitnya Jurnal edisi ini, kami menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua anggota tim reviewer, penulis maupun penyusun yang telah mencurahkan segala perhatian. Semoga ide, pemikiran dan wawasan yang tertuang dalam Jurnal ini bermanfaat dan dapat memperkaya perbendaharaan keilmuan bagi para pembaca.
Jakarta, Agustus 2014 Redaksi
iv
Daftar Isi Salam Redaksi ............................................................................................................. iv Daftar Isi ..................................................................................................................... v Identifikasi Teknologi yang Relevan untuk Mendukung Diversifikasi Usaha Pe(Tani) dan Diversifikasi Konsumsi Pangan Di Indonesia Benyamin Lakitan ....................................................................................................... 1 - 25 Urgensi Pengarusutamaan Hak Kekayaan Intelektual dalam Pelaksanaan Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Sabartua Tampubolon ................................................................................................ 27 - 37 Bentuk Badan Hukum Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kholil ........................................................................................................................... 39 - 52 Kelembagaan Inovasi Akar Rumput (Grassroots Innovation) Untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Suyatno, Octa Nugroho dan Karlin Wahyudi .............................................................. 53 - 67 Pengembangan Instrumen Kebijakan Peningkatan Produktivitas Teknologi Industri Samsuri, Erry Ricardo Nurzal, Santoso Yudho Warsono.............................................. 69 - 87
v
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014
Identifikasi Teknologi yang Relevan untuk Mendukung Diversifikasi Usaha Pe(Tani) dan Diversifikasi Konsumsi Pangan Di Indonesia Benyamin Lakitana,b a Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta b Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Inderalaya, Sumatera Selatan Abstract The term of food diversification generally covers two main issues: diversification of farming activities and food consumption. In Indonesia, diversification of food consumption has been the major issue, associated with effort to reduce dependency on rice as main staple food. Continuous efforts have been performed since 1960’s to develop alternative foods, comparable to rice, based on local food resources. However, these efforts have not yielded satisfactory results. Unexpectedly, rice consumption has continuously increased and by 2010 almost all of the population prefers to consume rice than any other staple food. As economy grows, wheat becomes preferred alternative. Unfortunately, almost 100 percent of wheat is imported. Unsuccessful food diversification program in Indonesia has been related to failure in recognizing fundamental problem. Shifting in food consumption pattern is not driven by technical factors (availability, quality, and price); instead, it is driven by social status labeled to each food. Social status of local non-rice foods are perceived as lower compared to rice. In contrast, wheat is considered to have higher social status than rice. General trend of food consumption shifting is from low to high social status as consumer’s income increases. Instead of diversification of food consumption, Indonesia should encourage diversification of farming activities as a viable way to improve farmers’ prosperity. Actually, constitutional mandate is to improve prosperity of farmers, and not specifically to achieve self-sufficient status in rice. Agricultural technology development should be directed toward green technology with its triple objectives: increasing income, socially inclusive, and ecologicallysound. In addition, packaging technology should be developed for local food non-rice-based products, coupled with aesthetic design for the package, such that it will create classy image and social status of the local food products. In case there is gap between food industry and farmers as supplier of raw materials, solution efforts should lean more toward development of food processing technologies that will match with specification of raw materials produced by farmers.
Keywords: S&T policy, diversification, farming, business, food consumption, prosperity, self-sufficient. Abstrak Diversifikasi pangan mencakup dua isu yang berbeda, yakni divesifikasi usaha tani dan diversifikasi konsumsi pangan. Di Indonesia, diversifikasi pangan lebih dimaknai sebagai upaya mengurangi ketergantungan pada beras sebagai pangan pokok. Hal ini tercermin ISSN: 2252-911X
1
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 dari kebijakan, strategi, dan upaya yang dominan dilakukan untuk mengurangi konsumsi beras melalui penyediaan alternatif pangan yang berbasis pada sumberdaya lokal. Upaya mendorong diversifikasi konsumsi pangan telah dilakukan sejak tahun 1960-an, tetapi sampai sekarang tidak menunjukkan hasil yang memuaskan, bahkan sebaliknya pada tahun 2010 hampir seluruh rakyat Indonesia memilih beras sebagai pangan pokok yang utama. Pilihan selain beras, justeru adalah gandum yang hampir seluruhnya diimpor. Program diversifikasi konsumsi pangan yang tidak berhasil di Indonesia diyakini sebagai akibat penafsiran yang keliru tentang akar persoalan yang dihadapi. Pergeseran pola konsumsi pangan sesungguhnya bukan didorong oleh faktor teknis (ketersediaan, mutu, atau harga), tetapi lebih disebabkan oleh status sosial pangan. Status sosial pangan lokal non-beras dipersepsikan lebih rendah dibandingkan dengan beras; sebaliknya gandum dipersepsikan status sosialnya lebih tinggi. Pergeseran pola konsumsi adalah dari status sosial pangan yang lebih rendah ke yang lebih tinggi, seiring dengan peningkatan pendapatan/kesejahteraan konsumennya. Selain diversifikasi konsumsi pangan, selayaknya Indonesia lebih mendorong diversifikasi usaha tani (atau usaha lain yang dapat dilakukan petani) dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraannya. Perlu diingat bahwa amanah konstitusi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani, bukan mencapai status swasembasa beras. Teknologi yang perlu didorong adalah teknologi pertanian yang selaras dengan karakteristik teknologi hijau (green technology) untuk meningkatkan kesejahteraan petani, membuka peluang bagi seluruh aktor, dan menjamin pelestarian lingkungan. Selain itu, perlu juga dikembangkan teknologi kemasan produk pangan lokal yang tidak hanya secara fungsional efektif tetapi juga menarik bagi konsumen karena desainnya yang artistik, dengan tujuan utama meningkatkan status sosial pangan lokal non-beras. Pendekatan yang dipilih jika ada kesenjangan antara industri dengan petani adalah mengembangkan teknologi pengolahan pangan yang berbasis pada jenis dan spesifikasi bahan baku yang dihasilkan petani.
Kata kunci: kebijakan iptek, diversifikasi, usaha tani, konsumsi pangan, kesejahteraan, swasembada 1. Pendahuluan Pada awalnya, karena keragaman agroekosistem dan budaya berbagai suku yang memukimi wilayah kepulauan nusantara, jenis pangan pokok yang dikonsumsi rakyat Indonesia sangat beraneka ragam. Hanya sekitar separuh jumlah penduduk Indonesia yang mengkonsumsi beras sebagai pangan pokoknya, selebihnya mengkonsumsi singkong, jagung, sagu, ubi jalar, dan beberapa jenis pangan pokok lainny sebagai sumber karbohidrat. 2
Namun sejak era Revolusi Hijau (19401960), mulai terjadi ‘penyeragaman’ jenis pangan pokok yang dikonsumsi masyarakat seluruh Indonesia menjadi beras. Sejak tahun 1960, pemerintah Indonesia telah menyadari bahwa proses ‘berasisasi’ ini perlu dikendalikan, diawali dengan Program Perbaikan Menu Makanan Rakyat (BKP, 2012). Walaupun upaya menahan arus berasisasi ini telah dilakukan dengan berbagai gerakan, program, dan kegiatan; serta juga telah dilakukan melalui regulasi dan ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 kebijakan publik dengan menerbitkan antara lain instruksi presiden, peraturan presiden, bahkan diatur melalui undangundang; namun berbagai upaya ini tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Kulminasi kegagalan upaya diversifikasi pangan tersebut terlihat pada komposisi pangan pokok pada tahun 2010, dimana sangat dominan rakyat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok dan rakyat yang mengkonsumsi singkong dan jagung semakin terbatas. Akan tetapi, konsumsi gandum sebagai pesaing baru beras semakin meningkat. Tidak banyak yang mencermati bahwa sesungguhnya setiap jenis pangan pokok diasosiasikan dengan status sosial konsumennya. Pangan lokal selain beras, termasuk singkong, jagung, sagu, ubi jalar, dan lain-lain berasosiasi dengan masyarakat miskin dengan berbagai atribut yang mengikutinya; sedangkan beras dianggap sebagai pangan pokok yang memang sepatutnya dikonsumsi orang Indonesia. Berbeda dengan pangan lokal non-beras, status sosial gandum diposisikan lebih tinggi dari beras dan diasosiasikan dengan masyarakat maju atau modern, kaya, dan mungkin juga terpelajar. Pergeseran dari pangan lokal non-beras ke beras dan selanjutnya ke gandum diyakini bukan atas dasar pertimbangan mutu atau komposisi gizinya, tetapi lebih didorong oleh perbedaan status sosial bahan pangan tersebut. Namun sayangnya hampir semua upaya diversifikasi pangan dirancang dan dilaksanakan dengan perspektif teknis, mayoritas berfokus pada upaya menyediakan pangan lokal (baik dalam bentuk segar maupun berupa produk pangan olahan) sebagai alternatif untuk beras. Harapan bahwa konsumsi ISSN: 2252-911X
beras nasional dan ketergantungan rakyat pada beras akan menurun ternyata tidak terwujudkan. Selain diversifikasi konsumsi pangan, telah juga dilakukan upaya mendorong agar petani melakukan diversifikasi usahataninya dengan berbagai tujuan, termasuk untuk: [1] mengurangi resiko gagal total akibat serangan hama dan pathogen atau akibat kondisi iklim yang ekstrim; [2] meningkatkan pendapatan petani; [3] meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya lahan; dan [4] meningkatkan serapan tenaga kerja, terutama di kawasan perdesaan. Di Indonesia, upaya mendorong diversifikasi usahatani tidak segencar upaya mendorong diversifikasi konsumsi pangan. Teknologi tentu diharapkan untuk memberikan kontribusi nyata terhadap keberhasilan upaya diversifikasi usahatani atau usaha petani dan diversifikasi konsumsi pangan. Pilihan teknologi yang tepat untuk maksud ini akan sangat tergantung pada pilihan strategi yang digunakan dalam mendorong diversifikasi usaha maupun diversifikasi konsumsi pangan. Jika strategi yang dipilih didasari oleh penafsiran yang keliru tentang kebutuhan dan persoalan diversifikasi, maka teknologi yang dirancang relevan dengan strategi yang keliru akan menjadi sia-sia. Oleh sebab itu, sangat penting untuk betul-betul dipahami realita persoalan diversifikasi pangan ini.
2. Ragam dan Ruang Lingkup Diversifikasi Diversifikasi pangan merupakan istilah yang sudah dikenal sejak lama, tetapi belum ada yang melakukan upaya untuk mengklarifikasi bahwa sesungguhnya ada dua upaya diversifikasi yang berbeda, yakni diversifikasi usaha tani atau diversifikasi 3
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 konsumsi pangan. Diversifikasi usaha oleh petani dapat dilakukan masih dalam lingkup kegiatan usaha tani, umpamanya dengan meningkatkan keragaman jenis komoditas tanaman yang dikelola atau dapat juga dengan menggabungkan antara usaha budidaya tanaman dengan ternak atau ikan, atau ketiganya sekaligus. Kegiatan usaha tani ini dapat dilakukan pada satu hamparan lahan dan dapat pula dilakukan pada beberapa bidang lahan. Unit satuannya bukanlah bidang lahan, tapi berdasarkan kesatuan pengelolaannya oleh petani atau keluarga tani tertentu. Diversifikasi usaha oleh petani dapat pula merupakan kombinasi antara usaha di sektor pertanian dengan usaha lain di luar sektor pertanian. Walaupun dapat saja usaha di luar sektor pertanian ini sesungguhnya masih terkait erat dengan sektor pertanian. Misalnya, selain melakukan kegiatan budidaya tanaman, ternak, dan/atau ikan; petani atau keluarga tani juga melakukan usaha di sektor industri berbahan baku hasil pertanian atau perdagangan hasil pertanian segar maupun olahan. Selain itu, sudah barang tentu diversifikasi usaha oleh petani ini dapat dilakukan dengan melakukan usaha atau berkerja di sektor yang sama sekali tidak terkait dengan pertanian, misalnya selain bertani, juga menambah pekerjaannya sebagai buruh konstruksi, tukang ojek, pemandu wisata, guru honorer, pengrajin cindera mata, membuka warung kopi, dan lain-lain. Selain itu, sudah barang tentu diversifikasi usaha oleh petani ini dapat dilakukan dengan melakukan usaha atau berkerja di sektor yang sama sekali tidak terkait dengan pertanian, misalnya selain bertani, juga menambah pekerjaannya sebagai 4
buruh konstruksi, tukang ojek, pemandu wisata, guru honorer, pengrajin cindera mata, membuka warung kopi, dan lain-lain. Ruang lingkup diversifikasi yang diuraikan di atas lebih berkaitan atau dilakukan berbarengan dengan proses produksi komoditas pangan; sedangkan bentuk diversifikasi yang lainnya adalah terkait dengan pola konsumsi pangan oleh masyarakat. Jika aktor utama dari diversifikasi usaha tani adalah petani, peternak, atau pembudidaya ikan; maka aktor utama diversifikasi konsumsi pangan adalah para konsumen pangan, yakni kita semua. Indonesia dalam konteks mewujudkan atau mempertahankan status swasembada beras, menjadi lebih menaruh perhatian pada upaya-upaya untuk meningkatkan diversifikasi konsumsi pangan. Hal ini tercermin dari dominannya upaya untuk menyediakan bahan pangan pokok sumber karbohidrat alternatif selain beras. Bahan pangan sumber karbohidrat alternatif tersebut antara lain bersumber dari pengolahan hasil tanaman singkong, ubi jalar, jagung, dan sagu. Ada juga upaya untuk memanfaatkan buah sukun, sorgum, dan pisang sebagai sumber karbohidrat. Peningkatan ketersedian bahan pangan sumber karbohidrat alternatif ini diharapkan akan mengurangi konsumsi beras, sehingga lebih membuka peluang untuk terwujudnya atau dipertahankannya status swasembada beras bagi Indonesia. Upaya mengurangi ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras sebagai pangan pokok melalui upaya diversifikasi, terkesan belum secara nyata membuahkan hasil. Estimasi konsumsi beras per kapita per tahun masih sekitar 137 kilogram. ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 Dorongan untuk melakukan diversifikasi usaha oleh petani lebih disebabkan karena pendapatan langsung dari usaha tani tanaman pangan dengan kepemilikan atau penguasaan lahan yang sempit sudah sangat tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, sempitnya lahan yang dikelola menyisakan banyak waktu luang bagi petani untuk dimanfaatkan dalam pekerjaan lain yang produktif. Karena pengetahuan dan ketrampilan petani yang relatif rendah, maka pilihan tambahan pekerjaan bagi petani juga menjadi terbatas pilihannya.
2.1. Diversifikasi Usaha Petani Diversifikasi usaha oleh petani dilakukan baik pada negara berkembang maupun pada negara maju, walaupun mungkin alasannya berbeda. Demikian pula, diversifikasi usaha dilakukan oleh petani yang mengelola lahan yang sempit maupun oleh petani dengan lahan yang luas. Zorom et al. (2013) menjelaskan bahwa petani di wilayah transisi (Sahel) antara Gurun Sahara dengan wilayah di selatannya yang relatif subur, di bagian utara Burkina Faso, melakukan diversifikasi untuk mengurangi kerentanannya terhadap kemungkinan terjadi kemarau panjang, terutama bagi keluarga tani yang jumlah anggota keluarganya besar, tidak punyak akses ke jaringan irigasi, dan tidak memiliki stok ternak atau ternaknya hanya sedikit. Rahman (2009) meyakini bahwa diversifikasi jenis tanaman yang dibudidayakan merupakan strategi yang tepat untuk petani Bangladesh. Keyakinan ini disinyalir didasarkan pada satuan luas lahan yang dikelola keluarga tani tergolong sempit dan resiko gagal panen yang masih besar, terutama akibat bencana banjir. ISSN: 2252-911X
Dari sisi lain, upaya pemerintah untuk mendorong diversifkasi ragam jenis tanaman yang dibudidayakan petani tidak selalu berjalan lancar. Sebagai contoh, berdasarkan survei terhadap 245 keluarga tani, program diversifikasi tanaman di Provinsi Nakhon Pathom, Thailand disimpulkan kurang berhasil (Kasem and Thapa, 2011). Lebih dari 86 percent keluarga tani masih lebih memilih untuk hanya membudidayakan padi. Ada beberapa i setempat mengelola lahan yang relatif memadai, yakni sekitar sekitar 3,08 hektar (atau 19,26 rai berdasarkan satuan luas yang digunakan pada wilayah tersebut). Bandingkan dengan petani di Jawa yang hanya mengelola sawah dengan luas hanya sekitar 0,3 hektar. Dengan luas lahan tersebut, petani Thailand masih dapat memperoleh pendapatan yang memadai dengan hanya membudidayakan padi. Berdasarkan kasus yang dilaporkan pada tiga negara berkembang di Afrika (Bukrina Faso) dan Asia (Bangladesh dan Thailand) diperoleh indikasi bahwa diversifikasi usaha oleh petani akan terjadi dengan sendirinya sebagai upaya untuk dapat bertahan hidup, atau akan lebih mudah didorong jika ada ancaman finansial yang dihadapi keluarga tani; sebaliknya jika petani merasa sudah memiliki pendapatan yang memadai untuk menopang kebutuhan hidupnya, maka dorongan untuk melakukan diversifikasi tidak mendapat respon yang signifikan. Weinberger and Lumpkin (2007) menganjurkan untuk diversifikasi usaha tani yang mengarah pada meningkatkan budidaya tanaman hortikultura untuk mengurangi kemiskinan, karena tanaman ini berpotensi untuk meningkatkan pendapatan petani dan membuka 5
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 kesempatan kerja. Secara umum, budidaya tanaman hortikultura (buahan, sayuran, tanaman hias) mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi per satuan luas lahan per satuan waktu dibandingkan tanaman pangan pokok. Selain itu budidaya tanaman hortikultura membutuhkan pemeliharaan yang lebih intensif, sehingga membutuhkan lebih banyak curahan tenaga kerja. Petani skala kecil dan miskin perlu dilibatkan dalam usaha tani tanaman hortikultura ini. Di negara-negara maju, diversifikasi usaha juga dilakukan oleh petani. Hasil survey terhadap 147 keluarga tani di wilayah timur Jerman menunjukkan bahwa 39,5 persen melakukan diversifikasi usaha, terutama menjual langsung hasil pertaniannya, berkerja sebagai tenaga kontrakan, dan berusaha di sektor pariwisata. Selain itu, yang menarik adalah para petani cenderung fokus pada kegiatan usaha tani jika lokasi lahannya dekat perkotaan atau mempunyai akses yang lancar ke pasar (Lange et al., 2013). Berdasarkan laporan dari 309 petani Swedia, ternyata faktor keluarga dalam rumah tangga petani ikut menentukan dalam keputusan untuk membuat usaha baru di luar kegiatan usaha tani. Usaha di luar kegiatan usaha tani konvensional umumnya dilandasi oleh motif untuk mengurangi resiko usaha, mendayagunakan aset yang dimiliki, dan untuk alasan sosial dan gaya hidup (Hansson et al., 2013). Barbieri and Mahoney (2009) melaporkan bahwa bagi petani di Texas, Amerika Serikat, diversifikasi sumber pendapatan usaha tani merupakan upaya mempertahankan keberlanjutan bisnis pertanian yang telah dilakukan, menarik minat agar lebih banyak yang tertarik pada bisnis di sektor pertanian, dan memajukan pembangunan regional. 6
Di New Zealand, MacLeod and Moller (2006) mengamati bahwa selain meningkatnya intensifikasi pertanian juga terjadi diversifikasi kegiatan usaha pertanian. Diversifikasi ini mencakup perluasan usaha ke sektor kehutanan dan budidaya rusa. Upaya diversifikasi ini lebih bernuansa untuk menjaga keseimbangan antara peningkatan produktivitas melalui intensifikasi dengan upaya menjaga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan usaha tani melalui diversifikasi ke budidaya tanaman kehutanan. Meert et al. (2005) mengamati bahwa bagi petani Belgia, melakukan pekerjaan di luar usaha tani merupakan strategi yang paling mungkin untuk dilakukan, bukan hanya untuk kelangsungan hidup rumah tangga petani, tetapi juga untuk mendapatkan tambahan pendapatan yang dibutuhkan untuk melanjutkan kegiatan usaha tani itu sendiri. Niehof (2004) menyimpulkan bahwa diversifikasi dilakukan untuk berbagai alasan yang berbeda dan dengan cara yang juga berbeda, tergantung pada kondisi awal keluarga tani. Tidak ada kaitan yang sederhana antara diversifikasi dengan kemiskinan ataupun kekayaan. Diversifikasi sumber pendapatan bukan hanya hak prerogatif orang miskin tetapi juga banyak dilakukan oleh orang kaya. Lebih lanjut Niehof (2004) mendapatkan bahwa kelas menengah merupakan kelompok yang paling sedikit melakukan diversifikasi sumber pendapatan, sehingga ada pola yang bentuk huruf U (U-shaped pattern).
2.2. Diversifikasi Konsumsi Pangan Upaya dan ambisi untuk mewujudkan kembali dan bertahan pada status swasembada beras menyebabkan ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014
Indonesia melakukan upaya peningkatan produksi padi nasional dan sekaligus mengurangi konsumsi beras. Konsumsi beras per kapita yang masih sangat tinggi di Indonesia (ditaksir sekitar 137 kilogram per tahun) dan ketergantungan yang sangat tinggi bagi rakyat Indonesia terhadap beras sebagai pangan pokok, menyebabkan upaya diversifikasi konsumsi pangan pokok ini semakin sulit untuk didorong. Banyak riset yang sudah dilakukan dan teknologi juga sudah tersedia untuk menyiapkan bahan pangan sumber karbohidrat selain beras. Produksi pangan non-beras sudah juga mampu dilakukan, baik dalam bentuk tepung sebagai bahan dasar pangan olahan, maupun dalam bentuk pangan siap saji yang berbasis tepung non-beras. Rosmeri dan Monica (2013) melakukan pengujian penggunaan tepung singkong termodifikasi (modified cassava flour atau popular dikenal sebagai ‘mocaf’) dan tepung umbi gadung (Dioscorea hispida) sebagai bahan campuran tepung gandum dalam pembuatan mie basah, mie kering maupun mie instan. Hasil pengujian ini membuktikan bahwa 20 sampai 40 persen tepung mocaf atau gadung dalam dicampur dengan tepung gandum untuk pembuatan mie basah, kering, maupun instan. Ubi jalar dapat berperan sebagai substitusi beras sebagai bahan pangan pokok, misalnya pada saat paceklik. Ubi jalar dapat berperan sebagai alternatif sumber karbohidrat sehingga mempunyai peranan penting dalam upaya diversifikasi pangan dan dapat mengurangi konsumsi beras (Zuraida dan Supriati, 2001). Selain sebagai tanaman sumber karbohidrat ISSN: 2252-911X
yang produktif, ubi jalar juga butuh pasokan pupuk dan air yang lebih rendah, serta mempunyai daya adaptasi yang luas dibandingkan dengan padi, jagung, maupun kentang. Penggunaan tepung ubi jalar untuk pembuatan mie, kue basah, kue kering, donat, dan makanan olahan lainnya akan dapat meningkatkan penerimaan dan permintaan masyarakat terhadap ubi jalar. Apabila konsumsi per kapita dapat ditingkatkan menjadi 60 kg/tahun, permintaan terhadap beras akan menurun, sehingga dapat mengurangi impor beras secara signifikan (Zuraida, 2003). Saat ini Indonesia mengimpor kedelai dalam jumlah yang sangat besar. Oleh sebab itu, banyak peneliti yang telah melakukan evaluasi tentang kemungkinan memanfaatkan tanaman kacangan lokal sebagai substitusi kedelai, termasuk untuk pembuatan tahu dan tempe. Sebagai contoh, Haliza et al. (2010) menyimpulkan bahwa kacang tunggak mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai pengganti kedelai. Walaupun banyak upaya yang dilakukan untuk menyediakan bahan pangan alternatif untuk menggantikan beras sebagai sumber karbohidrat, namun upaya mendorong diversifikasi pangan ini belum memberikan hasil yang memuaskan (Rachman dan Ariani, 2008). Indikasi utama dari belum berhasilnya program diversifikasi pangan ditandai dengan konsumsi pangan pokok di Indonesia masih sangat terfokus pada beras, diversifikasi ke arah pangan lokal kurang berkembang, dan perbaikan pola konsumsi ke arah pola pangan harapan berlangsung lambat (Sumaryanto, 2009). Senada dengan ini, Ariani (2010) berdasarkan hasil analisis menggunakan data Survey Sosial Ekonomi 7
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 Nasional (SUSENAS) tahun 2002, 2005 dan 2008, juga menyimpulkan bahwa upaya diversifikasi pangan belum berhasil. Berpijak dari pengalaman empiris selama ini, Sumaryanto (2009) menyimpulkan bahwa kunci sukses pengembangan diversifikasi pangan terletak pada komitmen politik serta konsistensi dan ketuntasan dalam kebijakan dan program pemerintah. Ariani (2010) menyarankan diversifikasi pangan termasuk pangan pokok yang telah dicanangkan oleh pemerintah agar diimplementasikan secara konsisten dan berkelanjutan oleh semua elemen masyarakat. Pingali (2006) menduga dan juga mengamati bahwa diversifikasi pangan pokok di negara-negara Asia yang semula berbasis beras cenderung bergeser ke pangan yang dikonsumsi di negaranegara Barat yang bebasis gandum. Kecenderungan westernisasi pangan ini tidak hanya terjadi pada pangan pokok, tetapi juga seiring dengan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan, masyarakat Asia semakin tinggi tingkat konsumsinya terhadap buahan dan sayuran sub-tropis, daging ternak ruminansia, dan susu berikut beragam produk olahannya. Westernisasi pola konsumsi ini dipercepat oleh hadirnya jaringan supermarket dan restoran cepat saji yang berasal dari negara-negara Barat. Di Indonesia, fenomena yang sama juga terjadi. Pangan pokok kedua (Karena hampir tidak mungkin prilaku konsumen dapat didikte, maka pilihan yang lebih realistis adalah menyesuaikan jenis dan ragam komoditas pangan yang dibudidayakan oleh petani, peternak, atau pembudidaya ikan, serta yang diproduksi oleh industry pangan. setelah beras, yang semula adalah umbi-umbian dan jagung, telah bergeser 8
ke terigu dan produknya seperti mi instan (Ariani, 2010). Adanya indikasi bahwa proses westernisasi pangan ini sudah tidak mungkin untuk dibendung, maka Pingali (2006) menyarankan agar pertanian di negaranegara Asia segera beradaptasi, yakni dengan melakukan diversifikasi usaha tani agar dapat ikut memasok kebutuhan jenis-jenis pangan yang semakin diminati konsumen. Pingali (2006) menggunakan slogan “linking the consumers’ plate to the farmers’ plow” atau mensinkronisasikan antara pangan yang konsumen makan dengan tanaman, ternak, atau ikan yang dibudidayakan petani. Karena hampir tidak mungkin prilaku konsumen dapat didikte, maka pilihan yang lebih realistis adalah menyesuaikan jenis dan ragam komoditas pangan yang dibudidayakan oleh petani, peternak, atau pembudidaya ikan, serta yang diproduksi oleh industry pangan. Pada dimensi teknis dan ekonomi, strategi yang disarankan oleh Rachman dan Ariani (2008) terkait dengan upaya penganekaragaman konsumsi pangan patut untuk mendapat perhatian, yakni: (1) Diversifikasi usaha rumahtangga diarahkan untuk meningkatkan pendapatan produsen, terutama petani, peternak dan nelayan kecil melalui pengembangan usahatani terpadu; (2) Diversifikasi usaha atau produksi pangan dan diversifikasi konsumsi pangan dilakukan melalui pengembangan diversifikasi usahatani terpadu bidang pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan; (3) Pengembangan pangan lokal sesuai dengan kearifan dan kekhasan daerah untuk meningkatkan diversifikasi pangan lokal; dan (4) Pengembangan sumberdaya manusia di bidang pangan ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 dan gizi dilakukan melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan secara lebih komprehensif. Namun demikian, perlu selalu diingat bahwa persoalan pangan tidak dapat diselesaikan hanya berbasis pada kajian pada tataran teknis dan ekonomi semata. Upaya meningkatkan pendapatan memang merupakan dasar pertimbangan penting bagi petani dalam memutuskan untuk melakukan diversifikasi usaha tani atau mengembangan usaha tambahan di luar sektor pertanian (Barbieri and Mahoney, 2009; Rahman, 2009; Weinberger and Lumpkin, 2007; Meert et al., 2005). Namun, pertimbangan sosial (Hansson et al., 2013; Barbieri and Mahoney, 2009) dan ekologis atau lingkungan (Zorom et al., 2013; MacLeod and Moller, 2006) juga merupakan dasar pertimbangan dalam memutuskan untuk melakukan diversifikasi usaha bagi petani. Pernyataan Niehof (2004): ”Diversification – not only with regard to income sources – is done for different reasons and in different ways” ini mungkin dapat menjadi kesimpulan bahwa divesifikasi ditentukan oleh atau dilakukan dengan berbagai tujuan lain, disamping tujuan ekonomi.
3. Akar Persoalan dan Alternatif Solusi Diversifikasi pangan telah menjadi pro gram pemerintah sejak lama. Dalam imple mentasinya program ini dilakukan dengan memfasilitasi petani untuk me ningkatkan keragaman komoditas pangan yang dikelolanya. Selain itu, program ini diharapkan dapat mengurangi keter gantungan rakyat Indonesia terhadap beras sebagai pangan pokok. Jika dicermati anatomi pencirinya, maka diversifikasi usaha tani atau usaha petani berbeda ISSN: 2252-911X
dengan diversifikasi konsumsi pangan (Tabel 1). Pihak yang melakukan diversifikasi usaha tani adalah produsen pangan, yakni petani, peternak, dan pembudidaya ikan; sedangkan yang potensial untuk melakukan diversifikasi konsumsi pangan adalah setiap individu konsumen pangan, yang pada dasarnya adalah setiap individu manusia. Dengan demikian maka para produsen pangan juga otomatis adalah konsumen pangan. Oleh sebab itu, sebagian produsen pangan dapat saja melakukan diversifikasi komoditas pangan yang mereka usahakan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Untuk diversifikasi usaha tani yang bersifat subsisten ini tidak ada persoalan yang perlu dibahas lebih lanjut. Isunya menarik untuk dikaji jika produsen pangan yang melakukan diversifikasi usaha tani berbeda dengan konsumen pangan yang menjadi fokus perhatian, karena dapat saja usaha diversifikasi yang dilakukan produsen tidak sinkron dengan keragaman pangan yang dibutuhkan oleh konsumen. Jika kasus ini terjadi, Pingali (2006) menyarankan agar produsen pangan menyesuaikan komoditas yang diusahakannya dengan ragam pangan diminati konsumen. Upaya untuk penyocokkan komoditas pangan yang dibudidayakan dengan pangan yang dibutuhkan konsumen ini menjadi tidak sederhana, jika ada kendala agroklimat untuk membudidayakan komoditas yang menjadi kesukaan konsumen tersebut. Akibat westernisasi selera pangan maka gandum dan kentang merupakan alternatif sumber karbohidrat yang semakin diminati masyarakat. Walaupun memang betul 9
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 bahwa gandum dan kentang dapat dan telah dibudidayakan di Indonesia, tetapi zona agroklimat yang ideal untuk budidaya gandum dan kentang di Indonesia sangatlah terbatas, sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan penduduk Indonesia yang saat
ini telah mencapai sekitar 240 juta jiwa, jika preferensi pangan seperti ini terus berkembang. Saat ini Indonesia sangat tergantung pada impor untuk pemenuhan kebutuhan tepung gandum.
Tabel 1. Deskripsi Penciri Diversifikasi Usaha Tani dan Diversifikasi Konsumsi Pangan Penciri
Diversifikasi Usaha Pe(Tani)
Pelaku
• Produsen Pangan (petani, peternak, • Konsumen Pangan (setiap pembudidaya ikan) individu) • On Farm (usaha tani): menambah • Meningkatkan ragam jenis ragam jenis komoditas pangan yang dikonsumsi • Off Farm: tambahan usaha di luar usaha tani
Bentuk upaya
Tujuan / Alasan
Ekspektasi Pelaku
Dukungan yang diharapkan
Ekspektasi Pemerintah
• Memperkecil resiko gagal usaha tani • Meningkatkan pendapatan • Memanfaatkan waktu luang dan/ atau aset yang dimiliki • Menjaga kelestarian alam • Peningkatan kesejahteraan • Keberlanjutan usaha tani keluarga • Peningkatan status sosial
• Mencukupi kebutuhan gizi sesuai kemampuan daya beli • Menyeimbangkan komposisi gizi sesuai kebutuhan hidup sehat • Mengikuti trend gaya hidup • Dapat hidup sehat
• Regulasi dan kebijakan pemerintah yang kondusif • Dukungan teknis pemerintah berupa infrastruktur, modal usaha, pemasaran hasil • Peningkatan produksi pangan, pencapaian status ketahanan pangan dan swasembada pangan • Peningkatan kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian daerah dan nasional
• Kersediaan pangan alternatif dengan kandungan gizi yang baik dan/atau harga terjangkau
Ketergantungan pada impor gandum telah mendapat perhatian dan telah merisaukan banyak pihak, termasuk akademisi, peneliti, dan perekayasa di Indonesia. Oleh sebab itu sudah banyak upaya 10
Diversifikasi Konsumsi Pangan
• Pengurangan ketergantungan pada beras
untuk mencari bahan tanaman loka yang dapat diolah menjadi tepung yang dapat menjadi substitusi atau bahan pencampur tepung gandum. Riset dan pengembangan teknologi untuk menghasilkan tepung yang ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 potensial untuk menjadi substitusi tepung gandum merupakan topik yang popular di Indonesia. Dalam konteks ini, hampir semua organ tanaman lokal/domestik yang kaya pati telah diteliti kesesuaiannya sebagai sumber tepung alternatif dalam rangka mengurangi ketergantungan pada impor tepung gandum. Namun secara de facto, pada skala industri tepung gandum masih belum dapat tergantikan.
Jika upaya eksplorasi bahan tanaman lokal dan teknologi penepungannya terus menjadi topik riset yang dipilih, maka dampak ilmiah dan praktisnya akan kecil atau tidak akan berkontribusi nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan maupun dalam menyelesaikan persoalan pembangunan. Pertanyaan yang relevan untuk dijawab pada fase ini adalah:
ISU – 1 Pada skala industri, tepung gandum belum mampu digantikan atau dicampur dengan tepung berbahan baku lokal. Ini persoalan kesesuaian bahan baku atau justeru pilihan teknologinya? Walaupun tidak ada kendala teknis untuk melakukannya dan juga komposisi gizi tepung lokal tidak kalah dibandingkan dengan gandum, bahkan dalam beberapa komponen gizi tertentu tepung lokal terbukti lebih baik.
3.1. Diversifikasi Usaha Petani Bentuk upaya diversifikasi usaha yang dilakukan oleh petani dapat dibedakan menjadi: [1] diversifikasi usaha tani, yakni dengan menambah ragam komoditas yang dibudidayakan tetapi semua komoditas tersebut adalah komoditas pangan, termasuk tanaman, ternak, dan ikan. Komoditas-komoditas pangan ini dapat dikelola pada satu hamparan lahan, tetapi dapat pula pada lahan-lahan yang berbeda, selama masih dikelola oleh petani yang sama; dan [2] diversifikasi usaha dengan melakukan tambahan usaha di luar budidaya komoditas pangan, misalnya selain usaha tani, juga menjadi pejabat desa, pedagang, pekerja konstruksi ISSN: 2252-911X
bangunan, pemandu wisata, guru honorer, tukang ojek, dan lain-lain. Tujuan atau alasan bagi petani untuk melakukan diversifikasi usaha termasuk: [1] memperkecil resiko kegagalan usaha tani; [2] meningkatkan total pendapatan; [3] memanfaatkan waktu luang dan/atau aset yang belum dimanfaatkan secara produktif; [4] menjaga atau memperbaiki kondisi agro-ekosistem sumberdaya lahan agar tetap bisa dimanfaatkan untuk produksi komoditas pangan secara berkelanjutan; dan/atau [5] meningkatkan status sosial dalam persepsi publik. Petani tradisional di negara berkembang, termasuk Indonesia, banyak yang memilih diversifikasi jenis komoditas yang dibudidayakan terutama untuk alasan mengurangi resiko kegagalan atau kerugian usaha tani secara total, baik sebagai bentuk antisipasi terhadap ketidakpastian iklim/ musim; serangan wabah penyakit tanaman, ternak, maupun ikan; atau jika terjadi 11
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 gejolak harga. Petani yang lebih maju dan mulai bersifat komersial umumnya melakukan diversifikasi usaha selain untuk memperkecil resiko kegagalan, juga karena termotivasi untuk meningkatkan
pendapatan. Tambahan pendapatan yang diperoleh digunakan untuk melanjutkan atau mengembangkan usaha tani dan dapat pula dialokasikan untuk investasi non-usaha tani (Gambar 1).
Gambar 1. Diversifikasi usaha petani dalam rangka peningkatan kesejahteraan, status sosial dan bentuk kependulian terhadap lingkungan
Setelah menelusuri alasan dan tujuan petani di berbagai penjuru dunia melakukan diversifikasi usaha maka sangat meyakinkan bahwa secara kolektif ada tiga tujuan utama, yakni meningkatkan pendapatan, status sosial,
dan pelestarikan lingkungan (Gambar 1). Kombinasi tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan ini merupakan tiga pilar penopang ‘ekonomi hijau’ (green economy) yang menjadi arah dan tujuan pembangunan di masa yang akan datang.
ISU - 2 Diversifikasi usaha pe(tani) ternyata dapat dirancang sejalan dengan upaya mewujudkan pembangunan berbasis prinsip-prinsip ekonomi hijau. Bagaimana menyiapkan teknologi yang dapat menjadi ‘alat’ yang efektif merekat diversifikasi usaha dengan ekonomi hijau?
12
ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 Untuk keberhasilan diversifikasi usahanya, petani sangat mengharapkan dukungan dari pemerintah, antara lain untuk mewujudkan ekosistem usaha yang kondusif melalui regulasi dan kebijakan yang pro-petani. Selain itu, tentu juga dibutuhkan dukungan teknis terutama berupa infrastruktur, modal usaha, kemudahan pemasaran hasil. Selanjutnya, jika diversifikasi dan pengembangan usaha petani ini terus difasilitasi dan didorong oleh pemerintah, maka diyakini akan meningkatan produksi pangan secara nasional, status ketahanan pangan atau swasembada pangan akan tercapai, dan kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian daerah dan nasional akan meningkat.
3.2. Diversifikasi Konsumsi Pangan Upaya diversifikasi konsumsi pangan dilakukan dengan meningkatkan ragam jenis pangan yang dikonsumsi. Tujuan atau alasan diversifikasi konsumsi pangan antara lain: [1] mencukupi kebutuhan gizi sesuai kemampuan daya beli; [2] menyeimbangkan komposisi gizi sesuai kebutuhan hidup sehat; dan [3] mengikuti trend gaya hidup.
SAGU UBI JALAR SINGKONG JAGUNG
Diversifikasi konsumsi pangan di Indonesia bersifat bi-polar. Untuk kelompok masyarakat yang secara ekonomi kurang beruntung, diversifikasi konsumsi pangan sering merupakan akibat keterpaksaan, karena tidak mampu membeli pangan yang lebih diinginkan, misalnya terpaksa mengkonsumsi singkong, ubi jalar, sagu, atau jagung sebagai sumber karbohidrat karena tidak mampu membeli beras; sebaliknya bagi kelompok masyarakat yang secara ekonomi mampu, diversifikasi konsumsi pangan murni merupakan pilihan sendiri, sesuai dengan yang selera atau preferensi yang dikehendaki. Masyarakat yang mampu cenderung memilih mengkonsumsi pangan berbasis gandum atau kentang sebagai alternatif beras (Gambar 2). Diversifikasi pangan bagi kelompok kurang mampu lebih merupakan upaya memenuhi kebutuhan pangan sesuai kemampuan daya beli; sedangkan bagi masyarakat mampu, diversifikasi pangan merupakan upaya menyeimbangkan komposisi gizi sesuai kebutuhan hidup sehat atau untuk mengikuti trend gaya
BERAS
GANDUM KENTANG
DIVERSIFIKASI
Gambar 2. Antara Kecenderungan dan Harapan Dicersifikasi Konsumsi Pangan
ISSN: 2252-911X
13
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 hidup. Karena alasan yang berbeda ini, maka kecenderungan diversifikasi oleh masyarakat kurang mampu adalah dengan mengkonsumsi lebih banyak pangan lokal yang murah; sedangkan bagi masyarakat mampu, diversifikasi diimplementasikan dengan meningkatkan porsi atau frekuensi konsumsi pangan impor, baik karena keyakinan atas kualitas dan gizi pangan impor yang lebih baik atau karena alasan pencitraan status sosial. Masyarakat Indonesia dengan keragaman suku dan kondisi agroekosistemnya, pada awalnya mengkonsumsi pangan pokok yang beragam. Masyarakat di kawasan timur Indonesia yang bermukim di wilayah pesisir pada awalnya terbiasa mengkonsumsi sagu sebagai pangan pokok; sedangkan di pedalaman Papua lebih terbiasa mengkonsumsi ubi jalar. Kawasan timur dan tengah Indonesia yang beriklim kering terbiasa mengkonsumsi jagung dan sebagian juga mengkonsumsi sorgum. Masyarakat yang secara ekonomi kurang beruntung di Jawa terbiasa mengkonsumsi singkong. Pada wilayah Indonesia yang lainnya sejak awal terbiasa mengkonsumsi beras. Sebelum era Revolusi Hijau (1940-an sampai 1960-an), diversifikasi pangan pokok sudah terwujud di wilayah Indonesia. Pada tahun 1954, komposisi pangan pokok baru hanya 53.5 persen beras, selebihnya singkong sebesar 22,26 persen, jagung sebesar 18,9 persen, dan sisanya adalah berbagai pangan pokok lainnya (BKP, 2012). Namun, keberhasilan Indonesia meningkatkan produksi beras dan mencapai status swasembada beras telah mendorong pergeseran pola pangan masyarakat Indonesia dari yang tidak terbiasa mengkonsumsi beras menjadi 14
konsumen beras. Pada tahun 1987, proporsi konsumsi beras meningkan menjadi 81,1 persen, sedangkan konsumsi singkong turun sampai 10,02 persen dan demikian pula dengan jagung yang turun menjadi 7,82 persen. Selanjutnya, pada tahun 1999 konsumsi singkong dan jagung terus turun menjadi masing-masing 8,83 persen dan 3,1 persen (BKP, 2012). Pergeseran budaya makan ini berlangsung nyaris tanpa resistensi. Hal ini diyakini karena kondisi pada waktu itu ada dikotomi yang kentara antara masyarakat konsumen beras yang secara ekonomi dan sosial lebih maju; sedangkan masyarakat yang pangan pokoknya bukan beras umumnya adalah lapisan masyarakat yang status sosial ekonominya lebih rendah. Beras pada saat itu diasosiasikan dengan masyarakat yang lebih maju. Beras bukan hanya sebagai sumber karbohidrat tetapi juga sebagai simbol status sosial. Dengan demikian, maka faktor pendorong pergeseran pola konsumsi ini diyakini adalah keinginan untuk mendapat pengakuan atas status sosial yang lebih baik daripada keinginan untuk mengubah sumber karbohidrat. Setelah beban untuk memenuhi kebutuhan beras masyarakat Indonesia mulai dan semakin dirasakan berat. Lebih lanjut, Indonesia kehilangan pengakuan sebagai negara yang mampu mewujudkan swasembada beras. Kemudian pemerintah mulai mengkampanyekan upaya diversifikasi pangan pada awal tahun 1960 melalui gerakan ‘Operasi Makmur’. Secara resmi, Indonesia mulai mencanangkan program diversifikasi pangan pada tahun 1974 melalui Inpres Nomor 14 Tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat. Kemudian dilanjutkan dengan ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 Inpres Nomor 20 Tahun 1979 tentang Menganekaragamkan Jenis Pangan dan Meningkatkan Mutu Gizi Makanan Rakyat. Selain secara kontinyu melakukan berbagai kegiatan dengan payung program Diversifikasi Pangan dan Gizi maupun dengan penamaan program yang lain, upaya formal juga tetap dilakukan yakni
dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal. Secara komprehensif perkembangan kebijakan penganekaragaman konsumsi pangan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan kebijakan Penganekaragaman Konsumsi Pangan
Perkembangan Kebijakan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Tahun 1960 Tahun 1969
Program Perbaikan Menu Makanan Rakyat Pemerintah mempopulerkan slogan “Pangan Bukan Hanya Beras” dengan tujuan untuk memanfaatkan bahan pangan lokal, maka diperkenalkan Beras Tekad dari singkong untuk mengganti beras.
Tahun 1974
Pencanangan kebijakan diversifikasi pangan (INPRES Nomor 14 Tahun 1974) tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat disempurnakan dengan Inpres Nomor 20 Tahun 1979 tentang Menganekaragamkan Jenis Pangan dan Meningkatkan Mutu Gizi Makanan Rakyat.
Tahun 1993-1998
Program Diversifikasi Pangan dan Gizi dilaksanakan oleh Departemen Pertanian.
Tahun 1989
Dibentuk Kantor Menteri Negara Urusan Pangan dengan Program “Aku Cinta Makanan Indonesia.”
Tahun 1996
Undang-undang No. 7 Tentang Pangan
Tahun 2002
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tentang Ketahanan Pangan
Tahun 2009
Peraturan Presiden RI No. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasis Sumber daya Lokal.
Tahun 2009
Peraturan Menteri Pertanian No. 43/Permentan/OT. 140/10/2009, Tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP)
Tahun 2009
Undang-Undang No. 18 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
Tahun 2010
Peraturan Menteri Pertanian No.65/Permentan/OT.140/12/2010 tentang SPM Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Tahun 2010
Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2010 tentang Pembangunan yang berkeadilan • Kementerian PPN/Bappenas bertanggung jawab dalam Penyusunan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2011-2015 • Pemerintah Provinsi melalui Gubernur diinstruksikan untuk menyusun Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi (atau disingkat RAD-PG) pada Tahun 2011
Tahun 2010
Undang-Undang No. 13 tentang Hortikultura
Tahun 2012
Undang-Undang No. 18 tentang Pangan
Sumber: Badan Ketahanan Pangan (2012)
ISSN: 2252-911X
15
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 Namun berbagai upaya mendorong diversifikasi pangan tersebut tetap tidak mampu membendung arus ‘berasisasi’ pangan rakyat. Malahan, pada tahun 2010, konsumsi singkong dan jagung yang semakin menghilang. Beras sebagai pangan pokok mendapat pendamping baru, yakni gandum. Konsumsi gandum Indonesia pada tahun 2010 mencapai 10,92 kg/ kapita/tahun (BKP, 2012). Teknologi juga telah mengambil peran dalam mendorong diversifikasi pangan pokok. Upaya tersebut antara lain melalui pengembangan produk pangan yang menggunakan sumber karbohidrat lokal non-beras dan kemudian diberi nama ‘beras’. Upaya ini telah dilakukan pada
tahun memperkenalkan ‘beras tekad’ yang berbahan baku singkong pada tahun 1969. Selanjutnya pada beberapa tahun terakhir diperkenalkan pula ‘beras analog’ yang dicitrakan sebagai beras pintar. Bahan baku utama beras analog adalah singkong. Selain beras artifisial tersebut, setelah era mie instan berbahan bahu gandum menjadi makanan yang digemari konsumen Indonesia, telah pula banyak diperkenalkan jenis mie basah, mie kering, atau mie instan dengan bahan baku lokal non beras dan non gandum. Upaya-upaya teknologis inipun sampai saat ini belum memperlihatkan dampak yang nyata terhadap upaya mengurangi konsumsi beras.
ISU - 3 Teknologi yang dikembangkan untuk mendukung strategi yang dibangun berdasarkan asumsi persoalan fundamental yang keliru telah terbukti tidak efektif. Bagaimana solusinya?
4. Teknologi yang Dibutuhkan Penelusuran yang dilakukan untuk mengidentifikasi akar persoalan (fundamental problem) pada Bab 3 paling tidak telah menemukan tiga isu, yakni: [1] Kemungkinan salah pendekatan dalam menyelesaikan persoalan ketidaksesuaian spesifikasi bahan baku lokal dengan teknologi yang digunakan industri; [2] Mencermati tujuan dan alasan diversifikasi yang mengarah pada tiga sasaran yang sama dengan sasaran pembangunan ekonomi hijau, maka teknologi perlu dirancang sebagai ‘alat’ untuk mencapai tiga sasaran tersebut, 16
yakni pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan (economic growth), memberikan peluang bagi seluruh komponen masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan pembangunan (socially inclusive), dan memelihara lingkungan agar proses pembangunan dapat terjamin keberlanjutannya (environmentally friendly); dan [3] Pilihan strategi untuk mendorong divesifikasi sangat menentukan dan harus berbasis pada identifikasi persoalan fundamental yang benar; dan teknologi hanya dapat mengakselerasi proses diversifikasi jika strategi yang dipilih adalah tepat.
ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014
4.1. Teknologi yang Sesuai dengan Bahan Baku yang Dihasilkan Petani Industri pengolahan pangan agar selalu bisa kompetitif, tentu memerlukan teknologi yang relevan dan terus dikembangkan. Teknologi yang digunakan industri pangan saat ini adalah teknologi yang dikembangkan oleh negara-negara maju yang berorientasi pada pengolahan bahan baku hasil tanaman, ternak, dan ikan di daerah subtropics. Untuk sumber pangan pokok, bahan baku utamanya adalah gandum. Teknologi ini juga dirancang untuk menghasilkan pangan olahan yang sesuai selera konsumen di negara-negara asalnya. Oleh sebab itu, ada kemungkinan teknologi tersebut tidak sesuai untuk mengolah bahan baku yang dihasilkan petani di daerah tropis, atau tidak sesuai untuk digunakan dalam memproduksi pangan olahan yang diinginkan oleh konsumen Indonesia. Sejauh ini, jika terjadi ketidaksesuaian antara teknologi yang digunakan industri dengan bahan baku yang dihasilkan petani di Indonesia, maka ‘vonis’ bersalah selalu diarahkan pada spesifikasi bahan bakunya yang tidak memenuhi standar industri. Ini juga yang menjadi ‘doktrin’ yang diajarkan di perguruan tinggi di Indonesia. Akibatnya, hampir tidak pernah muncul cara pandang yang berbeda. Kesesuaian antara teknologi yang digunakan industri dengan bahan baku yang umumnya dihasilkan oleh petani sesungguhnya dapat pula diwujudkan bukan dengan cara menyesuaikan spesifikasi bahan bakunya, tetapi sebaliknya dengan menyesuaikan teknologinya, misalnya dengan merevisi desain atau mekanisme kerja alat dan mesin yang digunakan.
ISSN: 2252-911X
Jika pendekatan alternatif ini yang dipilih, maka tumpuan harapan untuk mendapatkan solusinya diletakkan pada pundak para pengembang teknologi untuk mampu menghasilkan teknologi yang sesuai untuk mengolah bahan baku yang dihasilkan petani Indonesia. Pilihan solusi ini terasa lebih rasional dibanding meletakkan tumpuan harapan tersebut di bahu petani untuk menghasilkan bahan baku yang sesuai spesifikasi yang dikehendaki industri. Di samping itu, dengan mempertimbangkan pasar domestik Indonesia yang besar (240 juta penduduk), maka pangan olahan yang diproduksi sudah selayaknya disesuaikan dengan kebutuhan dan selera konsumen domestik.
4.2. Teknologi untuk Mendukung Ekonomi Hijau Tuntutan yang semakin gencar agar pembangunan ekonomi setiap negara di dunia mengacu pada prinsip-prinsip ‘Ekonomi Hijau’ (green economy), yakni selain menggenjot pertumbuhan ekonomi, juga dalam prosesnya harus membuka peluang bagi semua aktor pembangunan yang potensial untuk ikut berperanan aktif dan dengan selalu memperhatikan dan mengantisipasi dampaknya terhadap kelestarian lingkungan. Untuk harmonisasi tiga tujuan pembangunan ini, dibutuhkan kebijakan dan regulasi yang tepat dalam pengawalan implementasinya dan butuh teknologi yang relevan dan handal sebagai alat eksekusinya. Teknologi-teknologi yang dibutuhkan adalah teknologi yang sesuai untuk: [1] mengelola sumberdaya lokal dan nasional secara lebih efisien dalam prosesnya, lebih efektif untuk meningkatkan nilai 17
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 tambah, serta selaras dengan permintaan pasar domestik dalam rangka mengurangi ketergantungan pada produk impor; [2] memberikan peluang bagi masyarakat dan industri dalam negeri untuk menggunakannya, karena disesuaikan dengan kapasitas absorpsi (absorptive capacity) pengguna potensialnya; dan [3] mengendalikan agar ekploitasi sumberdaya alam dilakukan secara bijak sehingga proses pembangunan dapat berkelanjutan. Indonesia memiliki sumberdaya alam yang beragam dan tersebar di seluruh wilayah nusantara, baik berupa keragaman agroekosistem lahan yang dapat dikelola untuk budidaya tanaman, ternak, maupun ikan; maupun berupa kandungan minyak, gas, atau bahan tambang lainnya. Keragaman sumberdaya alam ini tentu membutuhkan berbagai jenis teknologi yang relevan. Kebutuhan teknologi ini bisa dipenuhi dengan mengembangkan sendiri teknologi yang dibutuhkan tersebut atau mengadaptasi atau memodifikasi teknologi yang telah tersedia agar menjadi lebih efektif dan efisien. Pada kondisi saat ini, teknologi untuk pengelolaan lahan untuk pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan sudah relatif mampu dikuasai oleh para pengembang teknologi di Indonesia. Dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan dan mempertimbangkan besarnya potensi sumberdaya lahan serta besarnya kapasitas pasar domestik Indonesia, maka sudah sepatutnya dibangun secara sungguh-sungguh kapasitas nasional untuk mengembangkan teknologi pertanian yang sesuai dengan kebutuhan nasional, baik dari sisi pengelolaan sumberdaya maupun dari sisi untuk pemenuhan permintaan pasar domestik. 18
Pada akhirnya semua teknologi yang dikembangkan harus selalu mem per timbangkan dampaknya terhadap lingkungan. Teknologi yang digunakan untuk semata-mata mengeksploitasi sumberdaya dan mengabaikan dampak negatifnya terhadap lingkungan sudah seharusnya tidak digunakan lagi. Semua teknologi yang dikembangkan saat ini dan di masa depan haruslah berorientasi pada tujuan kelestarian fungsi lingkungan, selain untuk kepentingan ekonominya.
4.3. Teknologi untuk Menuntaskan Akar Persoalan Upaya penyelesaian persoalan hanya berdasarkan gejala simptomatikal tidak akan pernah mampu menuntaskan persoalan tersebut. Oleh sebab itu, asumsi bahwa dengan menyediakan sumber pangan pokok alternatif maka ketergantungan pada beras akan dapat dikurangi ternyata salah besar. Sejak pendekatan ini diterapkan pada tahun 1960-an sampai sekarang, bukannya jumlah masyarakat yang mengkonsumsi beras berkurang malah pada saat ini hampir semua masyarakat mengkonsumsi beras dan dengan tingkat konsumsi yang juga tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan ratarata konsumsi beras masyarakat ASEAN. Telah terbukti secara meyakinkan bahwa prilaku konsumsi masyarakat tidak dapat dipengaruhi oleh regulasi, kebijakan publik, gerakan, kampanye, himbauan, maupun insentif. Sekarang babak baru telah dimulai. Masyarakat telah semakin meningkat yang mengurangi beras untuk beralih mengkonsumsi gandum seiring dengan peningkatan pendapat/ kesejahteraan. Akan menjadi kesalahan fatal baru jika pemerintah berpikir akan ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 bisa mengendalikan atau mencegah peningkatan konsumsi gandum, selama jenis pangan pokok ini tersedia di pasar domestik Indonesia. Ratifikasi pasar bebas yang telah dilakukan oleh Indonesia sangat tidak memungkinkan hal tersebut bisa terjadi. Keberadaan restoran yang menyajikan makanan asing, baik western food maupun Asian food, dengan bahan baku tepung gandum; menu makanan Indonesia juga semakin banyak yang menggunakan tepung gandum; dan semakin meluasnya jaringan supermarket yang menjual tepung gandum akan menjadikan upaya mengurangi konsumsi gandum sebagai misi yang takkan mampu diwujudkan. Langkah yang dilakukan oleh beberapa pihak untuk membudidayakan gandum di Indonesia dengan tujuan untuk mengurangi impor gandum secara logika sederhana terkesan sebagai langkah yang tepat. Tapi, sekali lagi persoalannya tidak sederhana dan straight forwad sebagaimana yang mungkin dipersepsikan. Ini bukanlah persoalan yang bisa diselesaikan dengan aritmatika sederhana. Jika belajar dari kasus kedelai, maka Indonesia secara agronomi harusnya mampu mengurangi atau bahkan mewujudkan swasembada kedelai, tetapi nyatanya Indonesia sampai saat ini masih mengimpor kedelai, walaupun tahu dan tempe sebagai produk olahan dari kedelai telah menjadi ‘penciri’ menu makanan Indonesia sejak sangat lama. Karena manusia bukan robot atau mesin, maka selamanya prilaku konsumsi masyarakat Indonesia tidak mungkin dapat diubah melalui regulasi, kebijakan, atau cara-cara legal maupun teknis lainnya. Faktor pendorong perubahan pola ISSN: 2252-911X
konsumsi pangan jelas bukan faktor teknis. Bukan karena pangan yang ditinggalkan lebih buruk komposisi dan kandungan gizinya, tetapi lebih didorong oleh perbedaan status sosial yang berasosiasi dengan masing-masing jenis pangan pokok tersebut. Pangan-pangan lokal selain beras diasosiasikan sebagai pangan orang miskin atau status sosialnya lebih rendah; sedangkan beras dianggap sebagai pangan yang seharusnya dikonsumsi setiap rakyat Indonesia. Pergeseran pola pangan dari beras ke gandum juga didorong oleh status sosial pangan, bukan karena pertimbangan gizi atau faktor teknis lainnya. Gandum diasosiasikan dengan pangan dari negara maju dan/atau pangan masyarakat kelas atas. Dengan demikian, proses peralihan dari beras ke gandum akan berlangsung atas inisiatif sendiri. Bisa saja dalam rangka mendapat pengakuan dari komunitas sekitarnya bahwa yang bersangkutan patut ditingkatkan status sosialnya. Berdasarkan observasi tersebut, maka pemicu (trigger) dan pemacu (driver) peralihan pola konsumsi adalah status sosial yang diasosiasikan dengan setiap pangan pokok, maka jika ada upaya untuk mendorong atau menghambat proses perubahan tersebut haruslan menyentuh langsung isu sosial ini. Status sosial terkait dengan persepsi terhadap suatu objek atau individu manusia. Status sosial pangan tidak terkait dengan kandungan atau komposisi gizi, tetapi sangat dipengaruhi oleh status sosial konsumen pangan tersebut, atau dengan apa pangan tersebut diasosiasikan. Berdasarkan keyakinan di atas, maka untuk mendorong konsumen untuk beralih dari beras ke pangan lokal, maka yang harus 19
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 dilakukan adalah meningkatkan citra pangan lokal tersebut. Peningkatan citra ini bisa dilakukan melalui penamaan produk atau kemasannya. Auttarapong (2012) mengemukakan bahwa desain kemasan dapat memberikan nilai tambah dan secara nyata dapat mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli suatu produk. Namun demikian, belum banyak produsen produk pangan olahan di Indonesia yang sepenuhnya memahami pengaruh kemasan tersebut. Banyak produk olahan pangan tradisional yang hanya dikemas dengan kantong plastik transparan yang cuma diberi label dengan cara disablon. Label tersebut hanya difungsikan sebagai pengenal merk produk dan tidak dirancang secara estetis. Ada juga yang labelnya dicetak atau difotokopi pada selembar kertas dan kemudian dimasukkan dalam kantong plastik kemasan. Bandingkan dengan kemasan produk pangan di Jepang yang telah mempertimbangkan aspek teknis fungsional dan estetika keindahan kemasannya. Selain kemasan, peningkatan citra suatu produk kadang juga dilakukan dengan pilihan penamaan produk tersebut yang diasosiasikan dengan negara, bahasa, atau masyarakat yang lebih maju. Penggunaan nama untuk pencitraan sudah sangat umum digunakan pada komplek perumahan yang dibangun oleh perusahaan pengembang, misalnya dengan cara penggunaan nama dalam bahasa Inggris, mengadopsi nama tempat yang terkenal di negara maju, menggunakan kata yang berasosiasi dengan kenyamanan hidup, kemewahan, bersahabat dengan lingkungan, dan lainlain. Kata yang paling sering digunakan untuk kawasan pemukiman yang di bangun perusahaan real estate antara lain: garden, 20
taman, green, hijau, nirwana, bukit, hill, valley, indah, golf, beach, pantai, dan lainlain. Untuk produk pangan, penggunaan pilihan nama sebagai upaya peningkatan citra juga sudah dilakukan, misalnya penggunaan nama ‘jus guava’ untuk jus jambu biji, ‘pepaya California’ yang sebetulnya dikembangkan dan dibudidayakan di Indonesia, lebih sering disebut ‘orange juice’ daripada jus jeruk, dan lain-lain. Sekarang tengah diperkenalkan ‘beras pintar’ atau ‘beras analog’ untuk beras buatan berbahan baku singkong. Belum dapat disimpulkan apakah beras pintar dan beras analog akan sukses seperti jus guava, papaya California, dan orange juice. Berdasarkan pemahaman bahwa pergeseran pola konsumsi pangan pokok lebih dipicu dan dipacu oleh asosiasi setiap pangan pokok dengan status sosial konsumennya dan di sisi lain juga karena ketidakberhasilan berbagai upaya penyediaan pangan alternatif untuk pengganti beras, maka teknologi yang seharusnya didorong pengembangannya untuk meningkatkan diversifikasi konsumsi pangan adalah teknologi-teknologi yang dapat mendukung upaya peningkatan citra atau persepsi konsumen terhadap panganpangan lokal. Teknologi tersebut antara lain adalah teknologi dan desain kemasan pangan olahan. Kemasan pangan tidak boleh hanya baik secara fungsional, tetapi juga harus estetis sehingga menarik bagi pembeli.
5. Rangkuman dan Rekomendasi Kebijakan 5.1. Rangkuman Walaupun umumnya diposisi di bawah payung yang sama, yakni diversifikasi ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 pangan; namun ruang lingkup, aktor utama yang berperan, dan sifat kegiatannya sangat berbeda antara diversifikasi usaha tani atau usaha petani dengan diversifikasi konsumsi pangan. Dengan demikian persoalan yang dihadapi juga akan berbeda. Konsekuensinya, kebutuhan teknologi untuk mendorong dua jenis diversifikasi ini juga berbeda. Walaupun pada ranah makronya mungkin sama, namun secara spesifik jenis teknologi yang dibutuhkan tersebut akan berbeda. Teknologi yang dibutuhkan untuk mendukung diversifikasi usaha tani merupakan teknologi-teknologi yang dapat memperbesar peluang bagi petani untuk mencapai tiga sasarannya, yakni meningkatkan pendapatan dan status sosial, serta menjamin keberlanjutan usaha tani yang dikelola tersebut. Kelompok teknologi ini pada dasarnya adalah teknologi yang menjadi pilar pembangunan ekonomi hijau (green economy), sehingga sering juga dikategorikan sebagai teknologi hijau (green technology). Pengembangan teknologi hijau yang dapat memenuhi tiga kriteria ini tentunya tidak mudah, tetapi paling tidak teknologi yang dikembangkan tersebut dapat secara nyata membantu petani untuk mencapai salah satu sasaran dan tidak bertentangan dengan dua tujuan lainnya atau tidak kontraproduktif terhadap upaya pencapaian dua sasaran lainnya. Spektrum atau rentang teknologi hijau tidak hanya dalam lingkup kegiatan budidaya atau on-farm, tetapi juga mencakup teknologi yang dibutuhkan pada kegiatan penyiapan lahan dan infrastruktur pendukung, pada kegiatan off-farm hulu (produksi benih, pupuk, pestisida, zat pengatur tumbuh, rancang bangun alsintan), dan pada ISSN: 2252-911X
kegiatan off-farm hilir (penanganan pasca panen dan pengolahan hasil panen). Salah satu isu yang krusial saat ini adalah ketidaksesuaian antara alat dan mesin pengolahan hasil pertanian, peternakan, dan perikanan dengan spesifikasi teknis hasil panen petani untuk dijadikan bahan baku industri. Oleh sebab itu, sangat penting untuk segera dikembangkan teknologi-teknologi untuk mendukung industri pangan yang disesuaikan dengan karakteristik bahan baku yang dihasilkan petani untuk menghasilkan produk pangan olahan yang sesuai dengan permintaan pasar domestik. Pemaknaan diversifikasi pangan di Indonesia terlalu condong ke diversifikasi konsumsi pangan dan terfokus pada upaya mengurangi ketergantungan pada beras sebagai pangan pokok. Upaya pengurangan konsumsi beras ini lebih diniatkan agar Indonesia mampu kembali mewujudkan statusnya sebagai negara yang mampu swasembada beras. Kemampuan swasembada beras kadang klaimnya diperluas menjadi swasembada pangan. Selanjutnya, upaya mendorong diversifikasi usaha tani dan/atau usaha yang dilakukan petani dan masyarakat perdesaan perlu diintensifkan agar kesejahteraan petani dan masyarakat desa dapat ditingkatkan. Setelah hampir 70 tahun merdeka, petani tidak akan sejahtera jika hanya mengandalkan pendapatan dari kegiatan usahataninya, apalagi hanya dari tanaman pangan. Perlu diingat bahwa yang diamanahkan konstitusi adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan mencapai swasembada beras. Upaya meningkatkan produktivitas padi semakin sulit dilakukan, karena 21
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 produktivitas padi Indonesia sudah tergolong tinggi untuk kawasan ASEAN. Peluasan lahan budidaya juga tidak mudah untuk direalisasikan, baik karena investasi untuk pembangunan infrastrukturnya yang mahal juga karena lahan yang masih tersedia adalah lahan-lahan suboptimal. Dihadapkan pada kondisi yang sulit dan/ atau mahal untuk melakukan intensifikasi maupun ekstensifikasi ini, maka opsi berikutnya adalah dengan mengurangi konsumsi beras penduduk Indonesia melalui upaya diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan yang dimaksud adalah mendorong masyarakat untuk mengkonsumsi pangan pokok lokal selain beras, yakni termasuk singkong, jagung, sagu, ubi jalar, atau bahan pangan sumber karbohidrat lokal lainnya. Upaya mendorong diversifikasi pangan dengan pendekatan ini sudah mulai dikampanyekan sejak awal tahun 1960-an, yang kemudian diikuti dengan berbagai program dan juga diperkuat dengan regulasi dan kebijakan. Namun upaya ini tidak membuahkan hasil, karena pada tahun 2010 hampir seluruh penduduk Indonesia sangat bergantung pada beras sebagai pangan pokoknya. Sekarang justeru pergeseran pola konsumsi cenderung mengarah pada gandum yang hampir sepenuhnya diimpor. Upaya teknis dan regulasi kelihatannya tidak mampu membendung perubahan pola konsumsi pangan, baik pada fase dari beragam pangan lokal menuju beras dan pada saat sekarang dari beras menuju gandum. Alasan utama upaya-upaya yang telah dilakukan tersebut tidak berhasil adalah karena tidak menyentuh akar persoalannya (fundamental problem). Perubahan pola konsumsi pangan bukan
22
karena keterbatasan atau kelimpahan jenis pangan tertentu, karena walaupun pangan lokal non-beras banyak tersedia, masyarakat tetap saya lebih memilih beras. Selanjutnya walaupun gandum nyaris sepenuhnya diimpor namun masyarakat tetapi memilih gandum. Perubahan pola konsumsi pangan masyarakat lebih terkait dengan status sosial pangan, yang diasosiasikan dengan status sosial masyarakat yang mengkonsumsi pangan yang bersangkutan. Secara umum pangan-pangan lokal nonberas statusnya lebih rendah dibanding beras, tetapi gandum statusnya lebih tinggi dibanding beras. Individu manusia cenderung mendambakan pengakuan sebagai bagian dari masyarakat dengan status sosial lebih tinggi. Oleh sebab itu, perubahan pola konsumsi pangan mengalir dari pangan lokal non-beras menjadi beras dan selanjutnya menuju gandum. Upaya-upaya yang selama ini dilakukan dengan cara mengolah pangan lokal untuk alternatif beras tidak membuahkan hasil yang sesuai harapan. Jika masih berharap agar masyarakat mau melakukan diversifikasi pangan dengan mengkonsumsi lebih banyak pangan lokal, maka yang harus dilakukan adalah meningkatkan status sosial pangan lokal. Teknologi yang perlu dikembangkan adalah teknologi yang menyentuh langsung dan diharapkan dapat menuntaskan akar persoalan. Pemilihan penamaan produk pangan olahan berbasis lokal yang diasosiasikan dengan negara, bahasa, atau masyarakat maju dalam beberapa contoh kasus mujarap dalam meningkatkan citra dan status sosialnya. Kemasan pangan yang efektif secara fungsional dan juga dengan ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 desain estetis akan menarik bagi konsumen. Kemasan produk pangan lokal butuh tidak hanya sentuhan teknologi tetapi juga seni agar dapat meningkatkan citranya dan meningkatkan status sosialnya.
5.2. Rekomendasi Berdasarkan hasil kajian yang sudah dilakukan, maka ada beberapa butir penting yang dapat direkomendasikan untuk ditindaklanjuti atau dijadikan referensi dalam memformulasikan kebijakan diversifikasi pangan maupun kebijakan pengembangan teknologi untuk mendukungnya. Butir-butir rekomendasi dimaksud dirinci sebagai berikut: [1] Kebijakan diversifikasi pangan harus berbasis pada potensi sumberdaya nasional atau lokal, diprioritaskan untuk memenuhi permintaan pasar domestik, meningkatkan kesejahteraan petani, dan menjamin kelestarian alam agar kegiatan usaha tani dapat produktif berkelanjutan; [2] Kebijakan diversifikasi pangan hendaknya lebih diutamakan untuk meningkatkan kesejahteraan petani sebagaimana yang diamanahkan konstitusi melalui diversifikasi usaha tani, walaupun demikian upaya diversifikasi konsumsi pangan tetap perlu dilanjutkan tetapi dengan perspektif baru, yakni untuk meningkatkan status sosial dan pendayagunaan sumber pangan lokal; [3] Kebijakan pengembangan teknologi untuk mendukung diversifikasi pangan, baik untuk diversifikasi usaha tani maupun untuk diversifikasi konsumsi
ISSN: 2252-911X
pangan, perlu disinkronisasikan dengan kebijakan dan strategi diversifikasinya sendiri; [3] Teknologi yang perlu didorong pengembangannya dalam rangka diversifikasi usaha tani adalah teknologi pertanian yang selaras dengan karakteristik teknologi hijau (green technology) dengan tiga sasarannya, yakni meningkatkan kesejahteraan petani, membuka peluang bagi seluruh aktor untuk berpartisipasi, dan memperhatikan prinsip pelestarian lingkungan; [4] Teknologi yang perlu didorong pengembangannya dalam rangka diversifikasi konsumsi pangan adalah teknologi kemasan produk pangan lokal yang tidak hanya secara fungsional efektif tetapi juga menarik bagi konsumen karena desainnya yang artistik, dengan tujuan utama meningkatkan status sosial pangan lokal non-beras; dan [5] Pendekatan yang dipilih untuk mendekatkan kesenjangan antara spesifikasi industri dengan bahan baku yang dihasilkan petani adalah dengan mengembangkan teknologi pengolahan pangan yang berbasis pada jenis dan spesifikasi bahan baku yang dihasilkan petani, tidak sebaliknya dengan meminta petani untuk memperbaiki spesifikasi bahan baku yang dihasilkannya, namun upaya pembinaan kepada petani untuk meningkatkan kualitas dan keamanan bahan baku yang dihasilkannya perlu dilakukan.
23
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014
Ucapan Terima Kasih Saya mengucapkan terima kasih kepada para narasumber dari Universitas Sriwijaya, yakni: Prof.Dr. Hasbi Sidik, Prof.Dr. Siti Herlinda, Prof.Dr. Nuni Gofar, Dr.Ir. Andi Wijaya, dan Siti Nurul Aidilfitri, M.Si. Selain itu, ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Dina Muthmainnah, M.Si. (Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum, Mariana); Dr. Herfiani Rizkia (Balitbangnovda Provinsi Sumsel); dan Budi Raharjo, STP., M.Si. (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumsel). Daftar Pustaka Ariani, M. 2010. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Mendukung Swasembada Beras. Prosiding Pekan Serealia Nasional. Halaman 65-73 Auttarapong, A. 2012. Package Design Expert System Based on Relation between Packaging and Perception of Customer. Procedia Engineering 32:307-314 Badan Ketahanan Pangan. 2012. Roadmap Diversifikasi Pangan 2011-2015 (Edisi 2). Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Jakarta. Barbieri, C., Mahoney, E. 2009. Why is diversification an attractive farm adjustment strategy? Insights from Texas farmers and ranchers. Journal of Rural Studies 25:58–66 Haliza, W., Purwani, EY., Thahir, R. 2010. Pemanfaatan kacang-kacangan lokal mendukung diversifikasi pangan. Pengembangan Inovasi Pertanian 3(3),: 238-245 Hansson, H., Ferguson, R., Olofsson, C., Rantamäki-Lahtinen, L. 2013. Farmers’ motives for diversifying their farm business - The influence 24
of family. Journal of Rural Studies 32:240-250 Kasem, S., Thapa, GB. 2011. Crop diversification in Thailand: Status, determinants, and effects on income and use of inputs. Land Use Policy 28:618–628 Lange, A., Piorr, A., Siebert, R., Zasada, I. 2013. Spatial differentiation of farm diversification: How rural attractiveness and vicinity to cities determine farm households’ response to the CAP. Land Use Policy 31:136– 144 MacLeod, CJ., Moller, H. 2006. Intensification and diversification of New Zealand agriculture since 1960: An evaluation of current indicators of land use change. Agriculture, Ecosystems and Environment 115:201–218 Meert, H., Van Huylenbroeck, G., Vernimmen, T., Bourgeois, M., van Hecke, E. 2005. Farm household survival strategies and diversification on marginal farms. Journal of Rural Studies 21:81–97 Niehof, A. 2004. The significance of diversification for rural livelihood systems. Food Policy 29:321–338 Pingali, P. 2006. Westernization of Asian diets and the transformation of food systems: Implications for research and policy. Food Policy 32:281–298 Rachman, HPS., Ariani, M. 2008. Penganekaragaman Konsumsi Pangan di Indonesia: Permasalahan dan Implikasi untuk Kebijakan dan Program. Analisis Kebijakan Pertanian 6(2):140-154 Rahman, S. 2009. Whether crop diversification is a desired ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 strategy for agricultural growth in Bangladesh? Food Policy 34:340– 349 Rosmeri, VI., Monica, BN. 2013. Pemanfaatan Tepung Umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst) dan Tepung MOCAF (Modified Cassava Flour) Sebagai Bahan Substitusi dalam Pembuatan Mie Basah, Mie Kering, dan Mie Instan. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri 2(2):246-256 Sumaryanto. 2009. Diversifikasi Sebagai Salah Satu Pilar Ketahanan Pangan. Forum Penelitian Agro Ekonomi 27(2):93-108 Weinberger, K., Lumpkin, TA. 2007. Diversification into Horticulture
ISSN: 2252-911X
and Poverty Reduction: A Research Agenda. World Development 35(8):1464–1480 Zorom, M., Barbier, B., Mertz, O., Servat, E. 2013. Diversification and adaptation strategies to climate variability: A farm typology for the Sahel. Agricultural Systems 116:7– 15 Zuraida, N. 2003. Sweet Potato as an Alternative Food Supplement during Rice Shortage. Jurnal Litbang Pertanian 22(4):150-155 Zuraida, N., Supriati, Y. 2001. Usahatani Ubi Jalar sebagai Bahan Pangan Alternatif dan Diversifikasi Sumber Karbohidrat. Buletin AgroBio 4(1):13-23
25
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014
Urgensi Pengarusutamaan Hak Kekayaan Intelektual dalam Pelaksanaan Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Sabartua Tampubolon Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta Abstract Development of innovation systems requires the support of the national IPR system and science and technology system. Therefore, R & D activities should be oriented towards an increase in the number of IPRs whichis expected to reach the stage of commercialization. At this stage, science and technology will provide a significant impact to the national economy. This research aims to elaborate the importance and urgency of mainstreaming of IPRs in the implementation of research and development (R & D). The approach used in this study is anormative legal research that aimed to identify the nature, values, teachings and meaning of data, facts, documents which become the source of research. In addition to literature studying, analysis of secondary data is also conducted, particularly regardingthe management of IPRs in universities and R & D institutions. The results of research showed that the research and development activities carried out in universities and R & D institutions, are not completely IPR mainstream and IPR oriented yet. Therefore, R & D policy in Indonesia in cluding the National Development Strategic Policy for Science and Technology (Jakstranas Iptek) 2015-2019, needs to accommodate this matter, so that R & D activities could encourage the development of knowledge-based society in Indonesia. Keywords: research and development, intellectual property rights (IPR) dan royalties
Abstrak Pengembangan sistem inovasi membutuhkan dukungan dari sistem HKI dan Iptek nasional. Oleh karenanya, kegiatan penelitian dan pengembangan harus diorientasikan pada perolehan HKI yang diharapkan sampai pada tahap komersialisasi. Pada tahap inilah, iptek akan dapat memberikan dampak signifikan bagi perekonomian nasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengelaborasi penting dan mendesaknya pengarusutamaan HKI dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bertujuan untuk mengidentifikasi hakikat, nilai, ajaran dan makna dari data-data, fakta, dokumen yang menjadi sumber penelitian. Selain melakukan studi kepustakaan, dilakukan juga analisis terhadap berbagai data sekunder, khususnya mengenai pengelolaan HKI di perguruan tinggi dan lembaga litbang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilaksanakan di perguruan tinggi dan lembaga litbang, belum sepenuhnya mengarusutamakan dan berorientasi HKI. Oleh karena itu, kebijakan litbang di Indonesia termasuk Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Jakstranas Iptek) 2015-2019, perlu mengakomodasi hal tersebut, sehingga ISSN: 2252-911X
27
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 kegiatan litbang mampu mendorong pembangunan masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based society) di Indonesia. Kata Kunci: penelitian dan pengembangan (Litbang), Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan royalti
1. Pendahuluan Pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan suatu bangsa. Bukan saja sebagai sumber terbentuknya iklim inovasi dan menjadi landasan bagi tumbuhnya kreativitas Sumber Daya Manusia (SDM), tetapi juga sumber pertumbuhan dan daya saing ekonomi.
Kekuatan ekonomi Indonesia saat ini merupakan salah satu yang diperhitungkan di dunia. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang saat ini berkisar di atas enam persen dengan pendapatan per kapita berkisar tiga ribu dolar Amerika dan Gross Domestic Product (GDP) tujuh ribu trilyun rupiah. Kekuatan ekonomi Indonesia termasuk dalam 16 besar masih banyak bergantung pada eksploitasi sumber daya alam, trade, dan konsumsi, tetapi belum didukung oleh kapasitas ilmu pengetahuan dan inovasi yang memadai sehingga akan sulit untuk bisa berkelanjutan. Persoalan yang kita hadapi saat ini adalah masih rendahnya daya saing dan kemampuan iptek yang kita miliki, dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang signifikan. Dalam Laporan yang dirilis World Economic Forum (WEF) tahun 2013-2014, indeks daya saing global (Global Competitiveness Index) yang mencantumkan inovasi sebagai salah satu parameter, menempatkan 28
Indonesia diperingkat ke-38 (2013)1 naik dari peringkat ke-50 (2012).2 Kendatipun peringkat meningkat, tetapi harus dicatat bahwa Indonesia masih kalah dibandingkan dengan negara tetangga, bahkan di level Asia Tenggara. Bandingkan misalnya dengan Singapura (2), Malaysia (24), Brunai (26) dan Thailand (37).3 Perkembangan sistem inovasi yang lamban di negara kita memang telah membuat upaya peningkatan daya saing kita di tingkat internasional tidak berlangsung seperti diharapkan. Oleh karena itu, tugas yang paling mendesak saat ini adalah menumbuhkembangkan sistem inovasi, agar tumbuh secara dinamis dan siap berproses dan beradaptasi terhadap pelbagai perubahan. Hal ini sangat berkaitan dengan Agreement on Relates Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPS). Sebagai anggota World Treaty Organization (WTO), Indonesia telah dan akan melaksanakan berbagai program dan kegiatan, agar tidak menjadi kendala yang dapat menghambat perekonomian nasional. Salah satu fakta yang dapat dipetik, bahwa di era globalisasi ini terjadi peningkatan apresiasi kedudukan iptek dalam sektor produksi. Artinya, bagi negara yang memiliki kemampuan iptek yang lebih mumpuni, dengan sendirinya akan memiliki daya saing yang lebih tinggi di kancah internasional. 1 2 3
WEF, 2013-2014 WEF 2012-2013 WEF, Op.cit
ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 Kendatipun apresiasi terhadap iptek di Indonesia sudah mulai meningkat, tetapi perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) terhadap invensi yang dihasilkan oleh PT dan Lembaga Litbang masih sangat rendah, sehingga berpengaruh pada alih teknologi kekayaan intelektual yang diharapkan dapat memberikan manfaat positif bagi masyarakat. Fakta rendahnya perolehan HKI khususnya paten, bukan saja ditemukan di perguruan tinggi, tetapi juga di lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) kementerian (LPK) maupun non kementerian (LPNK).
HKI serta penerapan royalti HKI di perguruan tinggi dan lembaga litbang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengelaborasi penting dan mendesaknya pengarusutamaan HKI dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bertujuan untuk mengidentifikasi hakikat, nilai, ajaran dan makna dari data-data, fakta, dokumen yang menjadi sumber penelitian. Selain melakukan studi kepustakaan, dilakukan juga analisis terhadap berbagai data sekunder, khususnya mengenai pengelolaan HKI di perguruan tinggi dan lembaga litbang.
2. Sinkronisasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan HKI dan Iptek Nasional
Penelitian ini penting dilakukan untuk melihat orientasi kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilaksanakan di lembaga litbang dan perguruan tinggi, karena pada akhirnya keluaran (output) dan dampak (outcome) pada hakikatnya adalah HKI yang siap dan berhasil dikomersialisasikan, sehingga memberikan kontribusi pada perekonomian nasional. Beberapa variabel yang akan dianalisis antara lain sinkronisasi kebijakan di bidang HKI dan iptek nasional, potret pengelolaan ISSN: 2252-911X
Upaya melakukan analisis terhadap orientasi kegiatan litbang,khususnya oleh perguruan tinggi dan lembaga litbangjuga penting terkait dengan penyusunan Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Jakstranas Iptek) 2015-2019. Momentum ini menjadi sangat penting, guna menyongsong pemerintahan lima tahun ke depan, yang diharapkan akan memberikan pembaruan dan kemajuan pembangunan iptek di Indonesia.
Hak Kekayaan Intelektual untuk selanjutnya akan disingkat dengan HKI. Istilah HKI merupakan terjemahan langsung dari Intellectual Property Rights (IPR). Selain istilah intellectual property juga dikenal istilah “intangible property” atau “creative property. HKI merupakan hak yang timbul bagi hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia4. Pada intinya, HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Penggunaan terminologi kekayaan intelektual (KI) dengan HKI, dalam penggunaannya sehari-hari sering disandingkan dan memang tidak perlu dikotomi antara keduanya. Namun untuk memahaminya, dapat dilihat persandingan antara keduanya, seperti KI berupa
4 Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual bekerjasama dengan EC-ASEAN Intelllectual Property Rights Co-operation Programme (ECAP II), Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual dilengkapi dengan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta, tt., hlm. 7.
29
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 invensi di bidang teknologi (alat, metode), merupakan HKI dalam Obyek yang diatur dalam HKI berupa paten ataupun paten sederhana. KI berupa seni, sastra dan ilmu pengetahuan, dapat berupa Hak cipta dan hak-hak terkait. Rancangan produk yang punya nilai estetika dapat menjadi hak atas desain industri. Tanda dagang/jasa dapat menjadi hak atas merek. Informasi bisnis/
teknologi bersifat rahasia dapat berupa hak atas rahasia dagang, dan sebagainya. KI merupakan karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. Dalam perkembangannya, karak teristik kepemilikan KI, tidak saja bersifat personal, tetapi juga komunal. Obyek KI dalam perkembangannya, dapat dilihat dalam gambar 1.
Ekspresi BudayaTradisional (folklore)
Kepemilikan Komunal
PengetahuanTradisional (Traditional knowledge) Indikasi Geografis (Geographical Indication) /Indikasi asal (Indication of Origin)
KEKAYAAN INTELEKTUAL INTELLECTUAL
Hak Cipta (Copyright) Hak Milik Industri (Industrial Property)
Kepemilikan Personal
Paten Rahasia Dagang
Merek Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
Desain Industri Varietas Tanaman
Sumber: Dikembangkan dari Presentasi Dirjen HKI, Prof. Dr. Ahmad M. Ramli, SH, MH, FCB.Arb, Kebijakan HKI Nasional, Bali, 17 Sept 2013
Gambar 1. Obyek KI dalam Perkembangannya
Dalam perkembangannya, pengaturan kekayaan intelektual yang bersifat personal jauh lebih maju dibandingkan dengan yang bersifat komunal, baik secara nasional maupun internasional. Pengaturan kekayaan intelektual secara personal hampir dimiliki setiap negara saat ini. Secara internasional, beberapa konvensi dan/atau regulasi laintelah ditetapkan, dan menjadi dasar bagi pegaturan kekayaan inteletektual secara nasional. Berbeda 30
halnya, dengan pengaturan kekayaan intelektual yang bersifat komunal, sampai sekarang belum terdapat kemajuan yang berarti secara internasional yang kemudian berdampak pada terlambatnya pengaturan secara nasional, meskipun telah berbagai upaya dilakukan, terutama oleh negaranegara berkembang yang memiliki tingkat kepentingan yang tinggi atas hal ini. Secara sederhana, kepemilikan personal dan komunal dapat dibedakan dari ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 karakteristiknya. Kekayaan intelektual yang bersifat personal, jelas penciptanya dan bersifat kontemporer. Sedangkan kekayaan intelektual yang bersifat komunal, penciptanya turun-temurun dan bisa jadi tidak diketahui, serta bersifat tradisional. Selaras dengan karakteristik tersebut, tulisan ini akan difokuskan untuk mengelaborasi kekayaan intelektual yang bersifat personal, meskipun tidak berarti bahwa kekayaan intelektual yang bersifat komunal, tidak penting dan berkaitan dengan Jakstranas Iptek 2015-2019. Sampai sekarang, Pemerintah Indonesia telah menetapkan 7 (tujuh) Undangundang di bidang HKI, antara lain Undangundang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman5, Undangundang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata letak Sirkuit Terpadu, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan Undangundang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.6 Sistem HKI Indonesia memang belumlah semapan negara-negara di dunia yang sekarang cukup maju berkat dukungan sistem HKI.Namun dari segi kelengkapan regulasi dan peraturan perundangundangan di bidang HKI, Indonesia sudah memiliki perangkat yang relatif cukup untuk mendorong perkembangan iptek. Untuk melengkapi, peraturan perundang5
Administrasi pendaftarannya ditangani oleh Kantor Perlindungan Varietas Tanaman (PVT)- Kementerian Pertanian 6 Pendaftaran Paten, Merek, Hak Cipta, Desain Industri dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu di tangani oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
ISSN: 2252-911X
undangan di bidang HKI, Pemerintah Indonesia pada tahun 2002, pemerintah juga menetapkan Undang-undang No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas P3 Iptek). Sesuai dengan amanah UU Sisnas P3 Iptek, telah dikeluarkan 4 (empat) Peraturan Pemerintah, salah satu di antaranya berkaitan dengan hak kekayaan intelektual, yaitu Peraturan Pemerintah 20 tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan. Dalam rangka mengefektifkan ketentuan UU Sisnas P3 Iptek juncto PP 20/2005, Menteri Negara Riset dan Teknologi telah menetapkan Peraturan Menteri Nomor: 04/M/PER/III/2007 tentang Tata Cara Pelaporan Kekayaan Intelektual, Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan, dan Hasil Pengelolaannya. Terdapat sejumlah pasal dan klausul dalam UU Sisnas P3 Iptek yang secara eksplisit mengatur soal HKI. Dalam Ketentuan Umum, hak kekayaan intelektual yang selanjutnya disebut HKI adalah hak untuk memperoleh perlindungan secara hukum atas hak kekayaan intelektual sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas P3 Iptek) tidak secara lengkap mengatur tentang sistem pengelolaan hak kekayaan intelektual di Indonesia. Tetapi, mengisyaratkan adanya kewajiban perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) untuk wajib mengupayakan pembetukan sentra hak kekayaan intelektual (sentra HKI) yang 31
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 diharapkan dapat menyelenggarakan pengelolaan hak kekayaan intelektual.7 Selanjutnya ditetapkan pula bahwa setiap kekayaan intelektual dan hasil kegiatan penelitian, pengembangan, perekayasaan, dan inovasi yang dibiayai pemerintah dan/ atau pemerintah daerah wajib dikelola dan dimanfaatkan dengan baik oleh perguruan tinggi, lembaga litbang, dan badan usaha yang melaksanakannya. Dengan demikian pemerintah sebenarnya telah membuka peluang bagi pertumbuhan sistem pengelolaan hak kekayaan intelektual di masyarakat. Artinya tidak hanya bagi kalangan institusi publik. Swasta pun diberi keleluasaan untuk mengembangkan sistem pengelolaan hak kekayaan intelektual sesuai kemampuan anggaran yang dimilikinya. Dalam konteks alih teknologi di lingkungan perguruan tinggi dan lembaga litbang, ketidakharmonisan ini terlihat jelas dalam hal pengaturan mengenai anggaran untuk mendukung alih teknologi. Salah satu roh paling penting yang diatur dalam UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sisnas P3 Iptek adalah terobosan untuk melakukan penganggaran yang bersifat jangka panjang. Hal ini kemudian direspons pembuat undangundang dengan menetapkan bahwa perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah berhak menggunakan pendapatan yang diperolehnya dari hasil alih teknologi dan/atau pelayanan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengembangkan diri. Pengaturan paling penting dalam hal ini adalah penggunaan pendapatan secara langsung oleh lembaga litbang dan
perguruan tinggi yang diperolehnya dari hasil alih teknologi dan/atau pelayanan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengembangkan diri.Untuk 8 menghindari multi-tafsir , ditegaskan bahwa agar perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah dapat secara bertahap menjadi mandiri dan tidak tergantung pada dukungan pembiayaan pemerintah. Ketentuan ini merupakan pengecualian dan kekhususan (lex specialis) terhadap kewajiban perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah untuk menyetorkan pendapatan yang diperoleh dari alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan tersebut kepada pemerintah.Inilah salah satu roh paling penting dalam UU Sisnas P3 Iptek sebagai terobosan untuk melakukan penganggaran iptek yang bersifat jangka panjang.9 Sedikitnya jumlah lembaga yang mendaftarkan paten di Ditjen HKI dan rendahnya kontribusi iptek bagi sektor pengembangan industri menjadi indikator rendahnya pemahaman masyarakat terhadap perlindungan HKI dan pemanfaatanya. Perguruan Tinggi dan Lembaga Litbang yang diharapkan dapat menjadi acuan bagi masyarakat, belum dapat berkiprah secara maksimal. Hal ini terbukti sangat sedikitnya hasil penelitian yang dihasilkan serta sedikitnya sentra HKI yang berdiri dan berperan. Proses alih teknologi yang dipercayai sebagai key word bagi negara-negara maju untuk meningkatkan kemakmuran
8
7
Lihat pasal 13 ayat (3) UU 18 Tahun 2002 tentang Sisnas P3 Iptek
32
Lihat Penjelasan pasal 38 ayat (1) PP 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi KI dan Hasil Litbang oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Litbang. 9 Sabartua Tampubolon, Politik Hukum Iptek di Indonesia, Kepel Press, Yogyakarta, 2013, hlm. 276-277.
ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 masyarakatnya, belum dapat dicapai oleh Bangsa Indonesia. Padahal upaya meningkatkan alih teknologi sebenarnya sudah lama menjadi perhatian para pengambil keputusan di bidang iptek, dengan diaturnya hal tersebut melalui Undang-undang UU Sisnas P3 Iptek
3. Potret Pengelolaan HKI di Perguruan Tinggi dan Lembaga Litbang Perlindungan HKI pada dasarnya mempunyai urgensi (keunikan) tersendiri yang memiliki korelasi dengan 3 (tiga) hukum, yakni: Pertama, kepastian hukum, artinya dengan dilindunginya HKI akan sangat jelas siapa sesungguhnya pemilik atas hasil karya intelektual; Kedua, kemanfaatan, mengandung arti bahwa dengan HKI dilindungi maka akan ada manfaat yang akan diperoleh terutama bagi pihak yang melakukan perlindungan itu sendiri, misalnya dapat memberikan lisensi bagi pihak yang memegang hak atas HKI dengan manfaat berupa pembayaran royalti (royalty payment); dan Ketiga, kesejahteraan bagi pihak pemegang paten (patent holder) khususnya dalam wujud peningkatan pendapatan dan bagi negara dapat menaikkan devisa negara. Berdasarkan hasil kajian Kementerian Riset dan Teknologi Tahun 2010,10 ditemukan faktaadanya kebuntuan pergerakan sentra HKI yang mengarah pada komersialisasi kekayaan intelektual. Hanya beberapa sentra HKI yang produktif dalam pendaftaran HKI dan mampu berkiprah dalam kegiatan komersialisasi HKI. Salah satu kendala yang dihadapi oleh sentra HKI adalah lemahnya kemampuan di bidang 10 Kementerian Riset dan Teknologi, Laporan Akhir Kajian Perumusan Kebijakan Manajemen Kekayaan Inelektual di Lembaga Litbang dan Perguruan Tinggi, KRT, 2010, hlm 54.
ISSN: 2252-911X
manajemen HKI, termasuk didalamnya kemampuan menyelenggarakan kegiatan komersialisasi secara profesional. Padahal tujuan dari pembentukan sentra HKI salah satunya adalah menjalankan fungsi komersialisasi HKI. Sentra HKI harus mampu menjadi marketer atau paling tidak sebagai intermediator antara pemilik dan pengguna HKI. Meski harus diakui bahwa tingkat kepercayaan dan pengakuan industri terhadap hasil-hasil penelitian domestik pun masih belum kondusif, sehingga selalu hadir sebagai kendala dalam pencapaian kesepakatan bisnis. Cukup memprihatinkan ketika dijumpai kenyataan bahwa pembentukan sentra HKI umumnya dilatabelakangi oleh peminatan pada kegiatan sosialisasi HKI semata. Memang benar bahwa sosialisasi HKI juga merupakan hal yang sangat penting. Namun tentu saja tidak boleh berhenti pada kegiatan sosialisasi saja. Sebab Sentra HKI harus lebih menyiapkan diri sebagai intermediator dalam kegiatan komersialisasi hasil-hasil litbang, atau lebih dikenal dengan istilah Technology Licensing Office (TLO), sebagaimana yang berkembang di Jepang atau di negara industri lainnya. Berdasarkan tipologi sentra HKI, pada dasarnya terdapat 2 (dua) jenis sentra HKI, yaitu yang bersifat organik (masuk dalam struktur) dan ad hoc (di luar struktur). Sentra-sentra HKI yang bersifat organik cenderung memiliki arah dan aktivitas yang lebih konkrit dibanding dengan Sentra HKI yang bersifat adhoc. Dari tiga tugas utama Sentra HKI yang diajukan dalam kuesioner, yaitu fungsi pendaftaran, sosialisasi dan komersialisasi, diperoleh indikasi bahwa mayoritas responden belum menjalankan
33
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 kegiatan komersialisasi sebagai bagian dari tugas dan fungsinya. Berbagai kendala selama ini ditengarai, antara lain dukungan kelembagaan yang belum memadai berpengaruh pada intensitas SDM yang mengelola, ketidaksinkronan tata kerja, dan ketidakjelasan biaya operasional sehingga menghambat keberlangsungan sentra HKI yang telah ada, kendatipun proses pembentukannya telah difasilitasi oleh pemerintah. Hasil penelitian11 menunjukkan mayoritas sentra HKI mengarahkan Unit pengelola HKI-nya ke arah komersialisasi hasil litbang. Namun, secara umum belum memiliki pengalaman komersialisasi. Keberhasilan Unit pengelola HKI dalam menjalankan fungsi komersialisasi HKI menjadi kunci penting dalam siklus Sistem Inovasi Nasional (SINas). Dalam praktik di berbagai negara di dunia, fungsi komersialisasi yang diistilahkan dengan alih teknologi (technology licensing) selalu ditandai dengan perintisan dan interaksi yang intensif dengan masyarakat pengguna teknologi.12 Indikasi yang terjadi pada sebagian besar sentra HKI adalah kurangnya kapasitas dan kemampuan untuk melaksanakan fungsi alih teknologi yang menjadi prasyarat bagi SDMSentra HKI. Komitmen organisasi induk Sentra HKI untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana diamanatkan oleh UU Sisnas P3 Iptek dapat dilihat dari sikap dan tindakan-tindakan administratif lainnya dengan tujuan agar aktivitas Sentra HKI dapat terselenggara.
Selain sebagai implementasi kewajiban konstitutif dari undang-undang, komitmen organisasi induk juga akan berpengaruh terhadap kinerja Sentra HKI secara keseluruhan, terutama SDM, pendanaan, dan sarana-prasarana.
4. Penerapan Sistem Royalti HKI Pengelolaan HKI yang rendah di Perguruan Tinggi dan lembaga Litbang sering dihubungkan dengan rendahnya sistem penghargaan dan pengakuan terhadap inventor, berupa royalti. Secara terminologi,13 royalti berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) didefinisikan sebagai uang jasa yang dibayar oleh penerbit kepada pengarang untuk setiap buku yang diterbitkan; atau uang jasa yg dibayarkan oleh orang (perusahaan) atas barang yg diproduksinya kepada orang (perusahaan) yg mempunyai hak paten atas barang tersebut. Definisi ini hampir sama dengan yang disebut dalam Black’s Law Dictionary,14 sebagai “signifies sums paid to owner of a patent for its use or for right to operate under it, and may also refer to obligation giving rise to the right to such sums”. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (UUP),15 konsep sistem royalti, diatur secara eksplisit dengan menetapkan bahwa inventor berhak mendapat imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari invensi tersebut.
13 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online http://www.kbbi. web.id/ 14
11 Ibid, hlm 54. 12 Alison F. Campbell, How to Set Up Technology Transfer Office: Experience from Erope, Intellectual Property Management in Healt and Agriculture Innnovation: a handbook of best practices, Oxford, 2007, hlm. 561-562. Dapat diakses di www.iphandbook.org
34
Bryan A. Garner (Ed.), Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, St Paul, Minnesota: West Publishing Co, 2004.
15 Pasal 12 ayat (3) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.
ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 Mekanisme pembayaran royalti diberikan dalam jumlah tertentu dan sekaligus, persentase, gabungan antara jumlah tertentu dan sekaligus dengan hadiah atau bonus, gabungan antara persentase dan hadiah atau bonus, atau bentuk lain yang disepakati oleh para pihak, yang besarnya ditetapkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Ketentuan ini kemudian diperkuat dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian dan Pengembangan Ilmu pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas P3 Iptek) yang menegaskan bahwa perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah berhak menggunakan pendapatan yang diperolehnya dari hasil alih teknologi dan/atau pelayanan jasa iptek untuk mengembangkan diri. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil kegiatan Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan pengembangan, sebagai delegasian dari UU Sisnas P3 Iptek, pendapatan tersebut dapat langsung digunakan salah satunya untukmemberikan insentif yang diperlukan untuk meningkatkan motivasi dan kemampuan invensi di lingkungannya. Dari definisi dan dasar hukum tersebut, terlihat jelas bahwa royalti merupakan hak yang dimiliki oleh pencipta (hukum hak cipta) atau inventor (hukum paten) --dua rezim dalam sistem hukum HKI. Sebagai hak, royalti dijamin oleh sistem hukum yang berlaku, baik secara nasional maupun internasional. Sistem hukum tersebut memberikan pengakuan dan perlindungan atas kontribusi pencipta atau inventor
ISSN: 2252-911X
sebagai aktor penting dalam sebuah proses kegiatan riset.16 Kurangnya penghargaan dan pengakuan ini patut diduga menjadi salah satu penyebab rendahnya perolehan dan komersialisasi HKI di perguruan tinggi dan lembaga litbang. Oleh karena itu, dibutuhkan terobosan hukum terhadap peraturan perundangundangan, terutama menyangkut keuangan negara agar pemberian royalti kepada inventor dapat dilihat, bukan untuk mengurangi pendapatan negara bukan pajak (PNBP), tetapi justru meningkatkan PNBP itu sendiri. Memang sudah ada perkembangan yang agak menggembirakan dalam hal ini, yaitu dengan dimulainya pembahasan Draft Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) tentang royalti ini. Diharapkan Permenkeu ini nantinya, bukan saja untuk meningkatkan PNBP saja, tetapi juga untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi iptek yang menjadi faktor penting dalam menuju pembangunan masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based society) di Indonesia.
5. Kesimpulan dan Saran Secara umum, kebijakan dan peraturan perundang-undangan di bidang HKI dan Iptek nasional, tidak terlalu sinkron dan beberapa di antaranya masih menimbulkan multi tafsir, sehingga belum efektif untuk mendorong perguruan tinggi dan lembaga litbang mengarusutamakan HKI dalam pelaksanaan kegiatan litbang. Fungsi pengelolaan HKI belum diimplementasikan dalam bentuk program
16 Sabartua Tampubolon, Problematik Pembagian Royalti HKI bagi Inventor yang Menggunakan Anggaran Publik di Indonesia, Media HKI Vol. X/N0. 4/Juli 2013.
35
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 dan kegiatan yang berorientasi pada perolehan dan pemanfaatan HKI untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, karena mayoritas sentra HKI tidak memiliki wawasan dan kapasitas yang memadai untuk melaksanakan fungsi tersebut. Sistem royalti HKI belum diterapkan di perguruan tinggi dan lembaga litbang, sehingga tidak memacu dan mendorong peneliti di lembaga litbang dan perguruan tinggi untuk mengarusutamakan kegiatan litbang yang dilakukannya pada perolehan, terlebih sampai pada komersialisasi HKI. Hal ini terutama disebabkan belum adanya regulasi dari pemerintah sebagai dasar hukum untuk menerapkan sistem royalti HKI di perguruan tinggi dan lembaga litbang yang notabene lebih mengandalkan anggaran publik dalam pembiayaannya. Oleh karena itu, dalam rangka pengarusutamaan HKI dalam kegiatan litbang di perguruan tinggi dan lembaga litbang, perlu dilakukan sinkronisasi kebijakan dan peraturan perundangundangan HKI dan iptek nasional, termasuk dengan mengakomodasinya dalam Jakstranas Iptek 2015-2019, sebagai dokumen kebijakan yang menjadi rujukan dalam pelaksanaan kegiatan litbang pada kabinet pemerintahan mendatang. Selain itu, untuk mendukung orientasi dan pengarusutamaan HKI dalam kegiatan litbang di perguruan tinggi dan lembaga litbang, penting dilakukan revitalisasi sentra HKI dengan dukungan regulasi dan kebijakan yang operasional, sehingga berfungsi secara optimal dalam meningkatkan perolehan HKI dan komersialisasinya.
36
Sistem royalti, sudah sangat mendesak diterapkan di perguruan tinggi dan lembaga litbang. Oleh karenanya, peraturan perundang-undangan keuangan negara harus segera mengakomodasi penerapan system royalti, bukan sematamata untuk meningkatkan remunerasi dan minat peneliti untuk melakukan penelitian yang berorientasi pada HKI dan komersialisasinya, tetapi juga untuk meningkatkan penerimaan negara dari hasil kegiatan litbang iptek nasional.
Daftar Pustaka A. Buku Alison F. Campbell, How to Set Up Technology Transfer Office: Experience from Erope, Intellectual Property Management in Healt and Agriculture Innnovation: a handbook of best practices, Oxford, 2007, hlm. 561-562. Dapat diakses di www.iphandbook.orgBryan A. Garner (Ed.), Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, St Paul, Minnesota: West Publishing Co, 2004.
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual bekerjasama dengan EC-ASEAN Intelllectual Property Rights Co-operation Programme (ECAP II), Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual dilengkapi dengan Peraturan Perundangundangan di Bidang Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta, tt. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Onlinehttp://www.kbbi.web.id/
ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 Kementerian Riset dan Teknologi, Laporan Akhir Kajian Perumusan Kebijakan Manajemen Kekayaan Inelektual di Lembaga Litbang dan Perguruan Tinggi, KRT, 2010 Sabartua Tampubolon, Politik Hukum Iptek di Indonesia, Kepel Press, Yogyakarta, 2013. --------------Problematik Pembagian Royalti HKI bagi Inventor yang Menggunakan Anggaran Publik di Indonesia, Media HKI Vol. X/N0.4/ Juli 2013. World Economic Forum, The Global Competitiveness Report 2013-2014
B. Peraturan Perundang-Undangan Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 241, Undang-undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 242, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 243, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.
ISSN: 2252-911X
Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 244, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 109, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 110, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 85, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 84, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan IPTEK. Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 43, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual Serta Hasil Penelitian dan Pengembangan Oleh Perguruan Tinggi dan Penelitian dan Pengembangan.
37
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014
Bentuk Badan Hukum Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kholil Kepala Lembaga Penelitian Universitas Sahid Jakarta Abstract R & D institutions have major rol in supporting the development and competitiveness of the national industry, through the products are produced. However,until now there is still agap between R & D institutions as producers of technology and innovation (supply side) and its users (demand side). The purpose of this paper is to determine the most appropriate legal entity of a unit manager of R & D products based on multi criteria using AHP (Analytical Hierarchy Proccess), to make the institution more flexible to produce technology and innovation, which suitable to the user needs. The analysis showed that R & D institutions should have a unit manager to manage technology and innovation are produced. There are seven criteria that need to be considered in determining the legal entity of a unit manager: ownership of R & D, networking, human resources capabilities, products and types of services, financial independence, organizational management and management flexibility. Based on these criteria the most suitable legal entity of R & D product management institutions is BLU. Keywords: R & D institutions, public service, legal entity, AHP, multicriteria
Abstrak Lembaga litbang memiliki peran yang sangat besar dalam mendukung pembangunan dan daya saing industri nasional, melalui produk-produk teknologi dan inovasi yang dihasilkannya. Akan tetapi sampai saat ini masih ada kesenjangan antara lembaga litbang sebagai penghasil teknologi dan inovasi (supply side) dengan penggunanya (demand side). Paper ini bertujuan untuk mencari bentuk badan hukum yang paling tepat dari suatu unit pengelola produk litbang, dengan menggunakan metode AHP (Analytical Hierarchy Proccess), agar lembaga litbang dapat lebih fleksibel mengembangkan produk litbangnya dan lebih selaras dengan kebutuhan pengguna (useful). Hasil analisis menunjukkan lembaga litbang perlu memiliki unit pengelola hasil litbangnya (teknologi dan inovasi). Ada 7 kriteria yang secara berurut perlu diperhatikan dalam menentukan bentuk badan hukum litbang adalah kepemilikan, networking, kemampuan SDM, produk dan jenis layanan, kemandirian keuangan, manajemen organisasi dan fleksibilitas pengelolaan. Berdasarkan 7 kriteria tersebut bentuk badan hukum yang paling cocok untuk lembaga pengelola produk litbang adalah BLU. Kata kunci : lembaga litbang, pelayanan publik, badan hukum, AHP, multi kriteria
ISSN: 2252-911X
39
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014
1. Pendahuluan Peran lembaga litbang dalam meningkatkan daya saing bangsa sangat besar, untuk mendukung Pembangunan Nasional, maka pembangunan Lembaga Litbang diarahkan untuk dapat berkontribusi mendukung pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dengan melakukan peningkatan nilai tambah atau inovasi. Oleh karena itu dengan dukungan SDM dan infrastruktur laboratorium yang dimiliki lembaga litbang diharapkan bisa produktif mampu menghasilkan produk inovasi dan teknologi, dan sekaligus responsive terhadap kebutuhan pengguna. Berdasarkan data yang ada dari berbagai indikator yang terkait dengan kemampuan inovasi menunjukkan bahwa indeks daya serap teknologi di tingkat perusahaan di Indonesia masih 4,5 hal ini lebih rendah dari pada beberapa negara tetangga seperti Thailand (5,3), Malaysia (5,8), dan Singapura (6). Begitu juga kerja sama litbang dan industri, kolaborasi litbang universitas, dan perusahaan pada tahun 2006 di Indonesia (dengan indeks 2,8) lebih rendah jika dibandingkan dengan China (3,9), Thailand (4,2), dan Malaysia (4,9) (sumber World Bank 2009). Permasalahan umum yang dihadapi lembaga litbang nasional saat ini antara lain sebagian besar produk dari lembaga litbang seperti prototype, model, disain, paten dan lainnya masih banyak yang tersimpan di lembaga litbang yang bersangkutan, belum dikomersialisasikan untuk dimanfaatkan lembaga pengguna (industri, pemerintah maupun masyarakat). Pada sisi lain lembaga litbang juga belum dapat mengetahui secara pasti apa kebutuhan penggunanya. Sehingga lembaga litbang lebih diidentikkan sebagai institusi 40
yang tidak efisien, cost center, sebagai menara gading, karena produknya tidak memberikan solusi terhadap kebutuhan pembangunan nasional. Keberadaan lembaga litbang masih terikat dengan UU PNBP yang mewajibkan semua penerimaan harus masuk ke kas Negara disamping itu juga terikat dengan kewajibannya sebagai public services, sehingga lembaga litbang tersebut tidak dapat secara leluasa melakukan komersialisasi hasil-hasil risetnya kepada pengguna (dunia industri). Padahal sangat banyak potensi ekonomi yang dapat dihasilkan dari lembaga litbang tersebut, yang bukan hanya dapat mendorong kreatifitas dan inovasi bagi para penelitinya, namun juga dapat memaksimalkan pemanfaatan sarana dan sekaligus dapat menjadi sumber dana untuk pemeliharaan dan kelengkapan sarana lainnya. Oleh karena itu diperlukan terobosan regulasi kelembagaan litbang yang lebih fleksibel, yang memungkinkan lembaga litbang dapat melakukan komersialisasi hasil-hasil risetnya untuk meningkatkan tatanan dan suasana yang lebih kondusif agar secara kelembagaan mandiri, efektif dan efisien dan sekaligus dapat memotivasi peneliti untuk berinovasi. Permasalahannya adalah bentuk badan hukum lembaga litbang yang bagaimana agar dapat mendorong dan mempercepat sistem inovasi nasional. Kriteria apa atau persyaratan apaagar badan usaha litbang berbadan hukum dapat mendukung tujuan Sistem Inovasi Nasional (SIN) dan apa bentuk badan hukumnya, selain itu juga strategi apa yang harus dilakukan agar lembaga litbang saat ini dapat menjadi badan usaha litbang berbadan hukum mendukung tujuan SIN. ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 Paper ini merupakan bagian hasil kajian tentang bentuk badan hukum lembaga litbang yang memungkinkan lembaga litbang melakukan komersialisasi hasil litbangnya tanpa menghilangkan kewajibannya sebagai public service. Tujuan dari paper ini adalah menerapkan metode AHP (Analytical Hierarchy Proccess) untuk pemilihan bentuk badan hukum lembaga litbang yang paling tepat berdasarkan beberapa kriteria.
2. Studi Literatur 2.1. Lembaga Litbang Definisi lembaga litbang menurut OECD (2002) “Research and axperimental development (R&D) comprise creative work undertaken on a systematic basis in order to increase the stock of knowledge, including knowledge of man, culture and society and the use of this stock of knowledge to device new application“, jadi intinya kegiatan lembaga litbang tidak hanya meningkat stok ilmu pengetahuan semata, tetapi juga harus dapat diimplementasikan untuk kepentingan masyarakat. Organisasi dan lingkup kegiatan lembaga litbang (Pranata Litbang) menurut KNAPPP (Komisi Nasional Akreditasi Pranata Penelitian dan Pengembangan) (2007) meliputi beberapa aspek antara lain: (a) organisasi yang kegiatan intinya adalah penelitian dan pengembangan, baik yang memiliki landasan hukum sendiri maupun yang merupakan unit kerja dari organisasi yang memiliki landasan hukum yang telah ditetapkan. (b) Organisasi induk Pranata Litbang tidak harus merupakan organisasi litbang. Jika Pranata Litbang merupakan bagian dari organisasi induk, maka kedudukannya dalam struktur organisasi induk harus jelas dan dapat ISSN: 2252-911X
dibuktikan dengan dokumen tertulis. (c) Jika Pranata Litbang merupakan bagian dari organisasi induk dan hanya berfungsi sebagai koordinator sejumlah unit litbang atau sejumlah kegiatan litbang, maka Pranata Litbang harus memiliki kewenangan untuk mengoptimasikan kinerja dan mensinergikan unit atau kegiatan litbang yang berada dalam lingkup kewenangannya dan (d) Pranata Litbang harus memiliki sistem manajemen mutu untuk mengendalikan pelaksanaan kebijakan dan sasaran mutu litbang yang ditetapkan oleh Manajemen Puncak. Manajemen Puncak harus menunjuk Manajer Mutu (apapun namanya) yang di samping tugas dan tanggung jawab yang lain harus bertanggung jawab dan memiliki kewenangan yang cukup untuk memastikan sistem manajemen mutu tersebut dapat diterapkan secara efektif dan diperbaiki secara berkelanjutan.
2.2. Badan Hukum Usaha Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, pada Pasal 6 ayat (1) menegaskan bahwa kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri dari perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha, dan lembaga penunjang.. Hasil studi Direktorat Kebudayaan dan Teknologi Bappenas (2003) menunjukkan bahwa Faktor utama lainnya yang memiliki kontribusi cukup kuat terhadap terbangunnya kompetensi unit Litbang adalah faktor manajemen. Faktor manajemen ini mencakup: (1) visi pemimpin; (2) keterbukaan; (3) otonomi/ kebebasan; (4) orientasi prestasi; (5) proaktif; (6) kepercayaan/saling percaya; (7) orientasi nilai dasar manusia; (8) 41
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 kebenaran/objektif; (9) brainstorming/ bertukar pikiran; (10) kerjasama. Tetapi jika dilihat secara obyektif factor yang menyebabkan Lembaga Litbang tidak bisa produktif menghasilkan inovasi yang diperlukan adalah dari sisi bentuk badan hukumnya. Lembaga Litbang sebagian besar yang berada di bawah LPNK (Lembaga Pemerintah Non Kementerian) sepeti Bakosurtanal, Batan, LIPI dll, menyatu dengan lembaga yang menaunginya, demikian juga Litbang yang berada pada lembaga kementerian (LPK), seperti Litbang kementerian Pertanian, Litbang Kementeria Perindustrian dan lainnya, satusnya juga menyatu dengan lembaga tersebut. Lembaga litbang yang bernaung di bawah lembaga pemerintah terikat dengan undang-undang bahwa lembaga pemerintah tidak diperbolehkan memungut dana dari masyarakat. Pendapatan lembaga litbang atas komersialisasi hasil risetnya termasuk PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang atur dalam UU no 20 tahun 1997. Secara legal formal badan hukum suatu badan usaha terdiri dari (1) Perseroan Terbatas, (2) Yayasan, (3) Koperasi, (4) CV. Perseroan terbatas adalah suatu badan hukum usaha yang dibentuk dengan modal minimal Rp 50 juta, dan terdiri dari dua atau lebih pendiri, sebagaimana diatur dalam Undang-undang No 40 tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas, khususnya BAB II, pasal 7 sampai 14. Secara jelas disebutkan bahwa tujuan utama pendirian PT adalah untuk mendapatkan keuntungan. Tanggungjawab social diatur dalam pasal 74 bab V, yang intinya perusahaan harus memberikan sebagian keuntungannya untuk membina masyarakat sekitarnya. Yayasan adalah suatu badan usaha yang diberikan untuk lembaga social, dan 42
keagamaan dengan tujuan utamanya tidak mencari untung (non profit), sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2008. Koperasi adalah suatu badan usaha yang dimiliki oleh kelompok minimal 20 orang, sebagaimana diatur oleh Undang-undang koperasi No 17 tahun 2012. Sementara CV atau Commanditaire Vennontschap yang biasa disebut Persekutuan Komanditer adalah suatu Perusahaan yang didirikan oleh satu atau beberapa orang secara tanggung menanggung, bertanggung jawab secara seluruhnya atau secara solider, dengan satu orang atau lebih sebagai pelepas uang. Disamping ke 4 bentuk badan hukum, masih ada lagi seperti Persekutuan Perdata, Firma perjanjian kerja. Badan litbang memiliki peran yang sangat strategis dalam membangun inovasi, karena litbang berfungsi sebagai lembaga yang dapat menghasilkan berbagai temuan hasil penelitiannya. Namun menurut Lakitan (2011) citra lembaga penelitian dan pengembangan di Indonesia masih belum positif, karena belum dapat memberikan kontribusi yang nyata dan signifikan terhadap upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Lebih jauh dikatakan bahwa lembaga litbang di Indonesia jauh di bawah Thailand, Singapura dan Malaysia. Laporan World bank (2009) menunjukkan Knowledge Index (KI) dan Knowledge Economy Index (KEI) Indonesia saat ini berada di bawah Vietnam dan Filipina. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga litbang belum dapat secara maksimal menghasilkan produk yang dibutuhkan oleh masyarakat dan dunia industry. Penyebab kurang berhasilnya lembaga litbang dalam memecahkan masalahmasalah aktual ekonomi daerah antara lain ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 kesalahpahaman tentang proses inovasi, tentang apa peran lembaga litbang dalam sistem inovasi. Lembaga litbang sebagai penghasil ristek kurang melakukan riset yang berorientasi aplikasi, riset cenderung dalam tingkat yang rendah daripada yang diperlukan dan pengguna lembaga litbang di daerah, seringkali tidak memiliki tingkat infrastruktur teknologi yang menuntut riset, sehingga yang mereka butuhkan bukanlah riset.
2.3. Metode AHP Metode AHP (Analytical Hierarchy Process) merupakan Soft System Methodology (SSM), yang berbasis pakar, artinya metode AHP ini didasarkan pada pendapat para pakar dibidangnya. Persoalan yang sering muncul berkaitan dengan metode ini adalah sulitnya menentukan pakar itu sendiri yang tidak mudah. Mc Leod (1989) menyatakan bahwa kriteria pakar yang utama adalah knowledge, bukan skill, dan pakar itu terbentuk melalui proses waktu yang panjang. Pakar juga bukan dilihat dari latar belakang pendidikan misalnya S2 atau S3, tetapi orang yang benarbenar mengetahui permasalahannya (Eriyatno,2004), dan orang yang menjadi narasumber di bidangnnya (Turban; 1992 dan Giarratano;1989) Penggunaan metode AHP untuk memilih beberapa alternative pilihan pertama dilakukan penemunya yakni Thomas. L. Saaty , pada tahun 1986 dengan penelitian yang berjudul “ Absolute and Relative Measurement With the AHP, The Most Livable Cities in the United States. Melalui AHP Saaty dapat memilih kota yang paling layak huni di Amerika berdasarkan beberapa kriteria. Sejak itu metode ini digunakan hampir disemua bidang pada penelitian untuk pemilihan alternative ISSN: 2252-911X
dengan kriteria majemuk (multi criteria). Kelebihan dari metode AHP antara lain; fleksibel, dalam arti mampu mencakup seluruh permasalahan dengan tujuan dan kriteria yang beragam (Saaty, 1977). Sedang menurut Marimin (2004) adalah konsistensi, kesatuan dan kompleksitas. Melalui metode “pairwise comparison” AHP mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah yang diteliti multi obyek dan multi kriteria yang berdasar pada perbandingan preferensi dari tiap elemen dalam hierarki. Kelemahan metode ini adalah subyektifitas dari pakar yang dijadikan narasumber (Eriyatno, 2003). Prinsip Metode AHP adalah memecahkan persoalan yang kompleks kedalam bagianbagiannya secara terstruktur menjadi (a) tujuananya apa, (b) kriterianya bagaimana dan (c) alternatifnya siapa saja/apa saja yang memenuhi kriteria tersebut. Hal yang paling penting dalam melakukan analisis AHP menurut (Saaty,1993) adalah menata bagian atau variabel kedalam suatu susunan hirarki, member nilai numerik pada pertimbangan subjektif tentang pentingnya tiap variabel dan mensintesis berbagai pertimbangan untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas paling tinggi. Ada 4 tahapan yang harus dilakukan bahwa dalam memecahkan persoalan dengan AHP, yaitu prinsip menyusun hirarki (Decomposition), prinsip menentukan prioritas (Comparative Judgement), Synthesis of Priority dan Logical Consistensy. 1. Decomposition yaitu pemecahan suatu permasalah yang utuh menjadi unsurunsurnya, Decomposition juga dapat diartikan sebagai penjabaran tujuan menjadi hirarki yang lebih rendah untuk mendapatkan kriteria yang dapat diukur. 43
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 2. Comparative Judgement, yaitu membuat penilaian tentang kepentingan relative dua elemen dalam tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat (level) diatasnya (yang lebih tinggi). Penilaian berpasangan harus dalam bentuk penilaian kuantitaif dalam bentuk angka seperti pada tabel 1. Bila ada C1,C2,C3,............, Cn adalah kumpulan dari n kegiatan, maka dapat dibentuk n x n matrik penilaian berpasangan :
A = (aij), (i,j = 1,2,3,............n), matrik ini adalah matrik reciprocal yang berdiagonal 1 dengan ketentuan sebagai berikut : a. Jika aij= α , maka aji = 1/α , untuk α≠0 b. Untuk aijdimana i = j , maka aij = 1, dengan demikian A (aij) menjadi:
A=
1a 1/a 12 ... ... ... 1/a 1n
12
1 ... ... ... 1/a 2n
... ... ... ... ... ...
a1n a2n a3n ... ... 1
wi/wj = a(ij); dimana i,j = 1,2,3,...........n Dengan demikian matrik A (aij) di atas dipat ditulis menjadi :
Jika matrik A (wi/wj) ini dikalikan dengan vektor W = (W1.W2.W3,.............,Wn) akan diperoleh : AW = n W ....................................(1) Jika matrik A diketahui, maka nilai W dapat di peroleh dengan persamaan berikut : A-nI W = 0 ...........................(2) Persamaan 2 akan menghasilkan solusi yang tidak nol jika n merupakan eigenvalue dari A dan W adalah eigen vektornya. Setelah nilai eigenvalue seluruh dari matrik A di peroleh misalnya α1, α2, α2......, αn dan berdasarkan matrik A untuk a (ii) = 1 ,maka akan berlaku :
=n
(3)
Dalam melakukan penilaian terhadap elemen-elemen yang diperbandingkan terdapat tahapan-tahapan, yakni:
Nilai w dapat diperoleh dengan mensubstitusikan nilai eigen value maksimum sebagai berikut :
a. Elemen mana yang lebih (penting/ disukai/berpengaruh/ lainnya)
AW = α maks W
b. Berapa kali sering (penting/disukai/ berpengaruh/ lainnya)
A- α maks I W = 0 harga nol maka
(5), untuk mendapatkan
Jika ada w1,w2,...wn yang dinilai secara berbandingan,naka nilai perbandingan berpasangan antara w1 dan w2 ditulis:
A- α maks I = 0
(6),
44
(4)
Dari persamaan 6 tersebut, maka akan diperoleh nilai α maks. Dengan memasukkan ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 nilai pada persamaan 5, maka akan diperoleh nilai wi (i=1,2,3,....,n) yang merupakan eigen vektor yang berseuaian dengan eigenvalue maksimum.
Penilaian perbandingan berpasangan untuk Ai dengan Aj pada matrik A (aij) menggunakan skala 1,3,5,7, dan 9 sebagaimana tabel berikut (Saaty, 1993) : Tabel 1. relatif Skala Nilai 1 3 5 7
9
2,4,6
Skala penilaian
kepentingan
Penjelasan Jika elemen yang satu sama pentingnya dengan elemen lainnya Jika elemen yang satu sedikit lebih penting dengan elemen lainnya Jika elemen yang satu sangat penting dibanding dengan elemen lainnya Jika elemen yang satu jelas lebih penting dibanding dengan elemen lainnya Jika elemen yang satu mutlak lebih penting dibanding dengan elemen lainnya Diantara dua pertimbangan yang berdekatan
pada setiaptingkat, maka untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesis antara local priority. Pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesis dinamakan priority setting. 4. Logical consistency, adalah menguji konsistensi dari setiap matrik bobot berpasangan. Konsistensi penilaian berpasangan dapat di lihat dari dua aspek : a. Dengan melihat preferensi multiplikatif; misalnya bila A duakali lebih berat dari B dan B dua kali lebih berat dari C, maka seharusnya A 4 kali lebih berat dari C. b. Dengan melihat preferensi transitif, misal jika A lebih kecil dari B dan B lebih kecil dari C maka A harus lebih kecil dari C. Pengujian konsistensi menggunakan rumus rasio konsistensi (Saaty, 1988): CR = CI/RI dimana CI = (α maks – n)/(n-1), dan RI adalah Random Indeks inkonsistensi. CR dianggap konsisten jika nilainya dibawah 0.1.
3. Synthesis of Priority adalah pemilihan prioritas berdasarkan pembandingan berpasangan. Pilihan prioritas didasarkan pada nilai prioritas terbesar.
Konsistensi memiliki dua makna, pertama adalah objek-objek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi dan kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antara objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu.
Dari setiap matriks pairwise comparison kemudian dicari nilai eigen vectornya untuk mendapatkan local priority. Karena matriks-matriks pairwise comparison terdapat
Metode kajian yang dilakukan meliputi 3 tahapan, yakni: (1) penetapan tujuan, penetapan kriteria dan pemilihan alternative, kesemuanya berdasarkan
ISSN: 2252-911X
3. Metodologi
45
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 diskusi pakar, dan hasil telaah literature. Hasil telaah dan diskusi ini dibuat kuesioner untuk didiskusikan kembali dengan pakar responden. Pakar yang dijadikan nara sumber pada kegiatan ini meliputi beberapa pakar dari Lembaga Litbang pemerintah
(Kepala BIC BPPT), Kepala Lembaga Eijkman, Kepala Solo Technopark, Kepala Balitbangda Sumsel, Blitbangda Jateng. Beberapa pakar dai lembaga litbang swasta (PPKS Medan,pakar akademisi (P3K IPB, PPKWU LPPM UNS, LPPM UNHAS).
Tujuan
Kriteria
Alternatif Gambar 1. Struktur hirarki penentuan prioritas Badan Hukum Litbang dengan menggunakan metode AHP
Keterangan
E = Kuasi Pemerintah
Kriteria:
F = Koperasi
A. Networking B. Kepemilikan
Analisis AHP menggunakan software toll CD (Creterion Decesion Plus) V3.04.
C. Kemampuan SDM
4. Hasil dan Pembahasan
D. Kemandirian Keuangan
Data hasil diskusi dengan pakar sebagai berikut :
E. Produk Jenis layanan F. Fleksibilitas Pengelolaan G. Manajemen dan Organisasi Alternatif Bentuk badan Hukum: A = Yayasan B = Perseroan Terbatas (PT) C = BUMN/BUMD D = BLU/BLUD 46
(a) Penetapan kriteria utama Penilaian dari 9 pakar responden dengan sistem pairwise comparison menggunakan skala Saaty (1993) dicari nilai rata-ratanya dengan memggunakan pendekatan rata-rata geometrik, hasilnya sebagaimana berikut.
ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014
• Fleksibilitas Pengelolaan
• Manajemen dan Organisasi
• Produk Jenis Layanan
• Fleksibilitas Pengelolaan
• Kemandirian Keuangan
• Produk Jenis Layanan
• Kemampuan SDM
• Kemandirian Keuangan
• Kepemilikan
• Kemampuan SDM
• Networking
• Kepemilikian
KRITERIA (A)
• Networking
KRITERIA (B)
1/3
3
2
5
3
1
3
5
2
5
5
3
4
3
2
1
1/2
3
3
1 1
• Manajemen dan organisasi
Dengan menggunakan dukungan Software tool, CD V3.04, hasil analisis AHP terhadap prioritas kriteria dalam penetapan bentuk
Badan Hukum Lembaga Litbang seperti pada gambar berikut:
Gambar 2. Prioritas kriteria badan hukum litbang berdasarkan hasil diskusi pakar
ISSN: 2252-911X
47
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 Hasil analisis terhadap criteria (Gambar 2) di atas menunjukkan bahwa secara hirarki prioritas kriteria Badan Hukum Litbang adalah : (1) kepemilikan (0.186), (2) networking (0.182), (3) kemampuan SDm (0.164); (4) produk jenis layanan (0.135); (5) kemandirian keuangan (0.123); (6) manajemen dan organisasi (0.115) dan (7) fleksibilitas pengelolaan (0.94).
dibawah pemerintah memiliki tugas pokok yang terikat sebagai public services, sebaliknya pada Lembaga Litbang di yang bernaung dibawah lembaga swasta/ bisnis tugas utamanya adalah mendukung pengembangan bisnisnya. Dua bentuk kepemilikan yang berbeda secara diametral tersebut akan berdampak pada fleksiblitas indikator kinerjanya.
Keriteria kepemilikan merupakan hal yang paling penting mengingat status kepemilikan Lembaga Litbang (pemerintah atau swasta) akan menetukan status badan hukum dan tugas pokok dan fungsinya. Lembaga Litbang yang bernaung
a. Prioritas Bentuk Badan Hukum Litbang berdasarkan kriteria Kepemilikan Demenggunakan cara yang sama seperti di atas, data penilaian pakar rata-rata geometric sebagai berikut :
BUMN
•
BLU
•
KUASI PEMERINTAH
•
KOPERASI
Hasil analisis terhadap penilaian pakar terhadap bentuk badan hukum litbang yang cocok berdasarkan kriteria kepemilikan menun jukkan bahwa dari 5 bentuk badan hukum yang mungkn, secara urut sebagai berikut: (1) BLU 48
• KOPERASI
•
• KUASI PEMERINTAH
• PT
• BLU
YAYASAN
• BUMN
•
• PT
ALTERNATIF BADAN HUKUM (A)
• YAYASAN
ALTERNATIF BADAN HUKUM (B)
1/3
1/3
1/5
1/2
1/2
1/3
1/3
3
3
1/2
3
3
5
5 1
(0.235); (2) BUMN (0.195), (3) Kuasi pemerintah (0.135); (4) koperasi (0.135); (5) yayasan (0.133) dan (6) yayasan (0.131); sebagai mana tertera pada gambar 3 berikut: ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014
Gambar 3. Struktur hirarki badan hukum lembaga litbang berdasarkan kriteria kepemilikan
Kepemilikan yang dimaksud disini adalah kepemilikan pemerintah, artinya lembaga litbang yang bernaung di bawah pemerintah.Lembaga litbang dibawah naungan pemerintah selalu terikat dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Tidak dapat membentuk badan hukum secara bebas sebagaimana lembaga litbang swasta. Bentuk BLU merupakan prioritas yang paling cocok; karena bentuk badan hukum ini memungkinkan lembaga litbang dapat mengkomersialkan produk yang dihasilkan (inovasi dan teknologi) kepada pengguna, tanpa menghilangkan kewajibannya sebagai public service. Akan tetapi perubahan bentuk badan hukum litbang ini tidak mudah karena harus didukung oleh payung hukumnya. Bentuk Badan Hukum BLU relative lebih
ISSN: 2252-911X
fleksibel dari pada menginduk pada lembaga yang menaunginya, karena BLU berdasarkan UU No 1 tahun 2004 dapat memungut dana dari masyarakat, dan tidak terikat dengan skema dana APBN/ APBD. Dengan demikian dapat melakukan komersialisasi hasil riset atau inovasinya kepada lembaga pengguna. Bentuk Badan Hukum BLU ini berarti perlu ada perubahan mendasar tentang struktur organisasi dan kewenangan, terutama dalam penggunaan anggaran b. Bentuk badan hukum berdasarkan seluruh kriteria Dengan menggunakan 7 kriteria secara keseluruhan, hasil penilaian berpasangan oleh pakar setelah dilakukan perata-rataan secara geometris, datanya sebagai berikut:
49
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014
• KUASI PEMERINTAH
• KOPERASI
KUASI PEMERINTAH •
• BLU
• BLU
• BUMN
• BUMN
• PT
• PT
ALTERNATIF BADAN HUKUM (A) • YAYASAN
• YAYASAN
ALTERNATIF BADAN HUKUM (B)
1/2
1/5
1/7
1/3
1/3
1/4
1/5
2
3
1/5
4
3
7
4 1/2
• KOPERASI
Berdasarkan 7 kriteria yang diberikan, hasil analisis terhadap penilaian pakar menunjukkan bahwa bentuk badan hukum litbang untuk lembaga litbang pemerintah secara berurut adalah: (1) BLU (0.283); (2)
BUMN (0.204); (3) PT (0.203); (4) Kuasi Pemerintah (0.127); (5) yayasan (0.104) dan (6) Koperasi (0.073). Urutan prioritas ini berbeda dengan kriteria yang hanya berdasarkan kepemilikan.
Gambar 4. Struktur hirarki badan hukum lembaga litbang berdasarkan seluruh kriteria
50
ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014
5. Diskusi Fleksbilitas Lembaga Litbang sangat ditentukan oleh badan hukum dari lembaga litbang tersebut. Lembaga litbang pemerintah khusunya LPNK merupakan lembaga pemerintah yang dibentuk berdasarkan undang-undang, dan terikat sebagai ”public service”, sehingga tidak dimungkinkan untuk mengkomersialisasikan produk produk yang dihasilkan (teknologi dan inovasi), akibatnya tidak sedikit hasil inovasi, teknologi atau paten yang belum dimanfaatkan oleh pengguna. Hal ini justru akan mengurangi peran yang seharusnya diberikan oleh lembaga litbang dalam mendukung pembangunan dan daya saing nasional. Pada .sisi lain kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap fleksibilitas pengelolaan lembaga dan kemandirian keuangan. Dari 6 alternatif bentuk badan hukum usaha yang ada, hasil analisis AHP dengan 7 kriteria, yaitu: (1) Networking, (2) Kepemilikan, (3) Kemampuan SDM, (4) Kemandirian Keuangan, (5) Produk Jenis layanan, (6) Fleksibilitas Pengelolaan, dan (7) Manajemen dan Organisasi, menunjukkan bahwa bentuk BLU merupakan yang paling cocok bagi lembaga litbang LPNK. Bentuk badan hukum ini pada hakekatnya tidak merubah bentuk lembaga LPNK, tetapi menghendaki adanya satu unit pengelola hasil produk litbang yang terpisah dari lembaga induknya dan berbentuk BLU. Tentu ini tidak mudah, karena harus ada payung hukumnya, tetapi juga bukan tidak mungkin untuk membentuknya. Dengan pembentukan unit pengelola hasil litbang berbentuk BLU ini maka produkproduk inovasi dan teknologi hasil lembaga litbang LPNK dapat dikomersialkan ISSN: 2252-911X
khususnya bagi pengguna swasta/industri untuk mendukung pengembangan usahanya. Disamping itu unit ini juga bisa melakukan pemetaan terhadap kebutuhan teknologi atau inovasi yang dibutuhkan industri/swasta. Sehingga unit ini secara tidak langsung bisa berfungsi sebagai unit “intermediasi” yang akan menjembatani kebutuhan pengguna, dan sekaligus menginformasikan potensi teknologi dan inovasi yang dapat di hasilkan oleh lembaga litbang LPNK.
6. Kesimpulan Lembaga litbang pemerintah khususnya LPNKperlu membentuk unit pengelola produk litbangnya yang terpisah dari lembaga induknya, agar dapat melakukan komersialisasi hasil litbang. Bentuk BLU (Badan Layanan Umum) merupakan yang paling cocok bagi unit pengelola hasil produk litbang, berdasarkan 7 kriteria: (Networking, Kepemilikan, Kemampuan SDM, Kemandirian Keuangan, Produk Jenis layanan, Fleksibilitas Pengelolaan, dan Manajemen dan Organisasi).
Daftar Pustaka Bradley, S.P., J.A. Hausman, and R.L. Nolan., Globalization, Technology, and Competiton. Harvard Busienss School Press, Boston Bertolini, Bragila dan Carmignan (2006). Application of the AHP methodology in making a proposal for a public work contractInternational Journal of Project Management.Volume 24, Issue 5, July 2006, Pages 422–430 Brocklesby, J. and S. Cummings, dalam Eriyatno, Ilmu Sistem Meningkatkan 51
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 Mutu dan Efektifitas Manajemen. IPB Press, Bogor, 1996 Christiansen, James. A., Building The Innovative Organization, MacMillan Bussines, New York, 2000 Dario, A., et al. (2011). A new approach for dopant distribution and morphological stability in crystals grown by the axial heat processing (AHP) technique. Journal of Crystal Growth, Volume 337, Issue 1, 15 December 2011, Pages 65-71. David F. R. Strategic Management, Prentice Hall International Inc., New Jersey. Fitriliyanti,T., A.V.S.Hubies; dan A. Munandar. 2011. Strategi Pengembangan Usaha Mikro dan Kecil Sektor Wisata Bahari di Pulau Kecil (studi Kasus di Pulau Bunaken manado Sulawesi Utara). Journal Manajemen IKM, Februari, 2011 (55-63). Gibson J. L., Ivancevich J. M. and J. H. Donnelly, Organisasi: Perilaku, Struktur dan Proses.Terjemahan. Erlangga, Jakarta, 1996
of Research and Development Organizations,managing The Unmanageable, Wiley Interscience Pub, Canada, 1990 Kemenristek. 2007. Komisi nasional Akreditasi Pranata Penelitian dan Pengembangan. Kementerian Riset dan Teknologi. Jakarta. Lakitan,B. 2010. Indikator kinerja lembaga litbang era informasi terbuka. Kemeristek. Jakarta. Marimin, 2001.Teori dan Aplikasi Sistem Pakar Dalam Teknologi Manajerial, TIP-IPB, Marimin. 2002. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Saaty.T.L. 1990. The Analytic Hierarchy Process.RWS Publication, Pitsburg. Sato.R and Y. Fukunaga. 2008. Managing Innovation for Service Through System Concepts. Journal System Research and Behavioral science (25) 627 :637.
Jain, R.K., H.C. Triandis, Management
52
ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014
Kelembagaan Inovasi Akar Rumput (Grassroots Innovation) Untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Suyatno, Octa Nugroho dan Karlin Wahyudi Asdep Budaya dan Etika, Deputi Bidang Kelembagaan Iptek Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta Abstract Developing and utilizing grassroots innovation product efficiently need a system of institutionalization that able to develop and improve management of innovation product to enhance community welfare. The study is carried out to provide an input of policy alternative in solving the problem of developing grassroots innovation and supporting the people to be innovative and creative. The program involves communities, government, academicians, and businessmen. Grassroots innovation will develop if the community get advantages and involve the program. Government has important roles in building, regulating and facilitating the program. Academicians and researchers have an important role in improving the quality of innovation products and functions. Business institutions take important role in enhancing economic value through the improvement of utility of grassroots innovation products. Recently business sectors start to involve in commercializing grassroots product in an effort to enhance communities’ welfare. In an effort to develop and support the program of grassroots innovation, the institution should consider the characteristic of grassroot innovation. Keywords: Institution, innovation, grassroots, communities’ welfares.
Abstrak Dalam pengembangan dan pendayagunaan produk inovasi akar rumput secara efisien diperlukan sistem kelembagaan yang mampu meningkatkan pengelolaan hasil inovasi untuk kesejahteraan masyarakat. Kajian ini dilakukan untuk memberi masukan alternatif kebijakan dalam mengatasi hambatan program serta mendorong masyarakat berinovasi dan berkreatifitas. Kelembagaan inovasi akar rumput melibatkan beberapa stakeholder yaitu masyarakat kreatif, pemerintah, akademisi, dan bisnis. Inovasi akar rumput akan berkembang bila masyarakat berperan aktif dan sekaligus mendapatkan manfaatnya. Pemerintah mempunyai peranan yang sangat besar dalam aspek pembinaan, fasilitasi, dan regulasi. Keterlibatan akademisi, maupun peneliti sangat diperlukan, dalam memberikan sentuhan agar inovasi yang dihasilkan masyarakat lebih handal secara teknis dan efisien dalam pengoperasiannya. Kemudian lembaga-lembaga bisnis terlibat dalam pemanfaatan produk hasil inovasi akar rumput yang akan memberikan peningkatan nilai secara ekonomi dan pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan kehidupan masyarakat. Kelembagaan akar rumput harus memperhatikan karakter yang dimiliki inovasi akar rumput. Kata kunci: kelembagaan, inovasi, akar rumput, kesejahteraan masyarakat ISSN: 2252-911X
53
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014
1. Pendahuluan Pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya lokal perlu terus dikembangkan. Indonesia yang mempunyai sumber daya yang sangat luar biasa dapat secara madiri memenuhi kebutuhannya. Sumber daya itu diantaranya adalah sumber daya alam, sumber daya manusia dan teknologi lokal dalam bentuk kearifan lokal yang telah berkembang berabad-abad. Berbagai macam kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sendiri yang tidak dapat dengan serta merta diciptakan, seperti pangan, moda transportasi tradisional, alat bertani, alat pengolah hasil pertanian, pembangkit listrik tenaga air, bahan obatobatan tradisional dan lain-lain. Hasil inovasi masyarakat pada dasarnya dikreasi tanpa harus melalui penelitian. Semua hasil kreasi dan ciptaan inilah yang sering disebut dengan hasil inovasi akar rumput (grassroots innovation). Dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan mempermudah suatu pekerjaan, masyarakat telah berusaha dan berkreasi melakukan inovasi dengan memanfaatkan seluruh potensi dan sumber daya yang tersedia. Masyarakat tingkat akar rumput yang mempunyai keterbatasan pengetahuan, sumber daya, dan sarana prasarana, pada umumnya berusaha untuk memenuhi kebutuhannya dan menciptakan peralatan untuk mempermudah cara kerja dengan menggunakan kreatifitas dan pengetahuan yang telah diturunkan oleh nenek moyangnya yang telah berkembang secara turun temurun. Pada umumnya hasil ciptaan dan inovasi masyarakat di tingkat akar rumput hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan dan mempermudah cara kerja di lingkungannya sendiri 54
dengan memanfaatkan sumber daya dan pengetahuan yang ada di komunitas atau masyarakat itu. Akan tetapi akhir-akhir ini, hasil-hasil ciptaan atau inovasi masyarakat lokal tersebut mulai dikembangkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat lain yang memerlukan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan. Untuk mengembangkan dan men daya gunakan produk inovasi akar rumput di perlukan sistem kelembagaan yang mampu mengembangkan dan meningkatkan serta mengelola hasil inovasi akar rumput untuk kesejahteraan masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan kajian sebagai dasar untuk memberi masukan alternatif kebijakan dalam mengatasi hambatan pengembangan inovasi akar rumput serta mendorong masyarakat dalam berinovasi dan berkreatifitas sehingga mampu peningkatan daya saing inovasi akar rumput nasional. Siapa yang harus bertanggung jawab dalam pengembangan inovasi akar rumput?, seperti apa kelembagaan yang tepat, yang dapat mengembangkan, membina dan meningkatkan pengembangan inovasi akar rumput?. Untuk itu perlu dilakukan kajian inovasi akar rumput dari dimensi kelembagaan.
2. Konsep Inovasi Akar Rumput dan Kelembagaan Zhang (2012) mengemukakan inovasi akar rumput adalah inovasi yang dibuat oleh orangorang di level masyarakat akar rumput. Proses dan aktivitas kreatif ini masih belum mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah. Inovasi akar rumput tumbuh dan berkembang pada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan dilakukan sendiri oleh masyarakat setempat dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 Pengertian tentang inovasi akar rumput telah dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya Said (2009) mendefinisikan manajemen inovasi akar rumput (grassroots innovation management) adalah penemuan yang dihasilkan oleh masyarakat luas secara individual atau berkelompok, bahkan juga komunal, sifatnya asli, spontan serta tidak tergantung perencanaan formal dalam kegiatan yang diorganisasikan. Inovasi akar rumput berbeda dengan invensi atau inovasi yang dihasilkan suatu skema organisasi penelitian dan pengembangan yang formal yang sifatnya terstruktur dan memiliki tata cara kerja operasional yang baku, memiliki tim yang mapan dan dibiayai oleh dana pemerintah, swasta atau organisiasi nirlaba dan lembaga swadaya masyarakat (Andriana, 2013). Seyfang dan Smith (2007) mendefinisikan grassroots innovation for sustainable development: is networks of activitist and generating novel bottom-up solutions for sustainable development; solutions that respond to the local situation and Innovation Made by National Institutions
Innovation Made by Enterprises
Innovation Made by Individuals
the interest and values of the grassroots iniatives operate in civil society arenas and involve commited activist experimenting with social innovations as well as using greener technologies. Artinya bahwa inovasi akar rumput untuk keberlangsungan pembangunan merupakan suatu jaringan antar pelaku inovasi yang menghasilkan solusi baru yang bersifat bottom-up guna pembangunan berkelanjutan, dimana solusi tersebut merupakan respon terhadap permasaahan dan kepentingan lokal dan mengangkat nilai-nilai luhur dari masyarakat di tingkat masyarakat akar rumput dimana inisiatif tersebut dilaksanakan secara serius, berjalan ditengah-tengah masyarakat, inovasi yang dihasilkan menggunakan teknologi yang ramah terhadap lingkungan. Hua et al (2010) menginterpretasikan inovasi masyarakat akar rumput adalah inovasi yang didasarkan kepada kebutuhan dan dilakukan oleh kepentingan masyarakat itu sendiri. Definisi inovasi akar rumput digambarkan berikut ini:
Innovation Made by Scientific Research Institutes and Universities Innovation Made by State-owned Enterprises Innovation Made by Private Enterprises Innovation Made by Individual Folks
Governmental Innovation
Grassroots Innovation
Innovation Made by Private Research Institutes
Gambar 1: Definisi Inovasi Akar Rumput (Hua et al., 2010)
ISSN: 2252-911X
55
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 Selanjutnya, Gupta (2008) menjelaskan bahwa inovasi akar rumput adalah pengetahuan tradisional, nilai dan kelembagaan, pada dasarnya terfokus pada etno-botani, misalnya pengetahuan mengenai tanaman dan manfaatnya bagi masyarakat untuk bertahan hidup, pengetahuan tradisional mengenai mineral, logam, kayu, konstruksi, pabrikasi, peralatan, dan mesin yang kecil dan sederhana, energi, pengolahan pangan dan lain-lain, yang pada dasarnya sangat diandalkan untuk bertahan hidup (Andriana, 2013). Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat dipahami bahwa inovasi akar rumput menekankan pada konsep “pengetahuan tradisional dan sumber daya lokal”, dimana kedua hal tersebut merupakan potensi yang dapat dikembangkan dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal. Penemuan-penemuan lembaga penelitian dan universitas tidak termasuk dalam kategori inovasi akar rumput. Beberapa faktor lainnya yang berhubungan dengan pengembangan inovasi akar rumput, yaitu harus berada dalam konteks pembangunan berkesinambungan, bersumber pada sumber daya lokal untuk pemenuhan kebutuhan lokal, dan berorientasi pada sosiotekno. Selain itu inovasi akar rumput harus mempertimbangkan untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dan meningkatkan kualitas kehidupan yang lebih baik tanpa merugikan generasi yang akan datang melalui pembangunan ekonomi berkelanjutan, inovatif dan produktif. Inovasi akar rumput mendasarkan pada proses pengenalan, sosial, ekonomi, kelembagaan dan teknologi. Dalam rangka mendorong pengembangan inovasi akar rumput, salah satu upaya 56
yang dapat dilakukan adalah dengan memperkuat aspek kelembagaan dari inovasi akar rumput tersebut. Christensen et al (2007) mengemukakan bahwa dalam perspektif kelembagaan, organisasi mempunyai aturan-aturan, nilai dan norma-norma kelembagaan yang dapat menggunakan pengaruh bebas dalam perilaku membuat keputusan, oleh karena itu organisasi tidak dengan mudah merubah karakteristik manajerial dari pimpinan. Jones (2010) mengatakan bahwa lingkungan kelembagaan merupakan seperangkat nilai-nilai dan norma-norma yang mengelola perilaku populasi dalam organisasi. Kelembagaan dalam arti organisasi, Syahyuti (2006) menyebutkan 4 komponen kelembagaan, yaitu: (1) orang orang yang terlibat dalam satu kelembagaan; (2) kepentingan, yang mengikat dalam suatu tujuan sehingga terjadi saling berinteraksi, (3) aturan, seperangkat kesepakatan yang dipegang secara bersama; dan (4) struktur, posisi dan peran orang orang dalam suatu lembaga yang harus dijalankan secara benar. Bentuk kelembagaan dalam inovasi akar rumput sangat komplek. Terdapat berbagai macam bentuk lembaga inovasi akar rumput di masyarakat: koperasi, asosiasi secara sukarela, saling menguntungkan, kelompok komunitas informal, perusahaan sosial. Kajian inovasi akar rumput dalam dimensi kelembagaan berkaitan dengan karakteristiknya. Seyfang dan Smith (2007) secara ringkas mengemukakan empat (4) kata kunci dalam deskripsi inovasi akar rumput, yaitu: (1) Solusi yang bersifat bottom-up, maksudnya berasal dari masyarakat akar rumput terhadap ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 permasalahan dan kebutuhan individu/ komunitas masyarakat tersebut, bukan hasil perencanaan litbang, mempunyai keunggulan, kemudahan pemakaian dan keterjangkauan masyarakat terhadap hasil kreasi inovasi; (2) Bersifat inovasi lokal, original dan spontan; (3) Adanya kepentingan dan nilai masyarakat, keterlibatan masyarakat dan local wisdom; (4) Dalam konteks pembangunan berkelanjutan dibidang ekonomi, ekologi (lingkungan), sosial, budaya dan politik. Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang berprinsip ”memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan” (Brundtland, 1987). Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
3. Metodologi Kajian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif berdasar pada data sekunder dan data primer yang didapatkan dilapangan melalui observasi dan deep interview. Dalam kajian ini yang menjadi objek adalah kelembagaan program inovasi akar rumput. Dalam kajian ini dilakukan eksplorasi terhadap fenomena tentang kelembagaan inovasi akar rumput yang berkembang di lokasi kajian. Pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk mengembangkan konsep pemikiran, pemahaman atas objek penelitian.
Dalam kajian ini telah dilakukan pengamatan, observasi dan wawancara ISSN: 2252-911X
langsung ke objek kajian untuk mendapatkan data yang objektif, faktual dan mendalam, dilanjutkan diskusi dengan berbagai narasumber dari pelaku litbang dan perguruan tinggi Data Kajian ini dilaksanakan di Provinsi D.I Yogjakarta dan Provinsi Jawa Timur. Lokasi penelitian di Provinsi D.I Yogjakarta, meliputi Kabupaten Sleman, Kabupaten Gunung Kidul dan Kota Yogjakarta. Sedangkan di Provinsi Jawa Timur, penelitian dilaksanakan di Kabupaten Trenggalek dan Tulung Agung. Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder, yang selanjutnya akan dianalisis dan di interpretasikan. Data primer adalah data yang terkait dengan kegiatan dan kelembagaan inovasi akar rumput yang di peroleh melalui observasi lapangan dan wawancara mendalam terhadap informan yang terlibat, yang merupakan stakeholder kegiatan inovasi akar rumput. Sedangkan data sekunder adalah data yang berupa dokumen-dokumen tertulis terkait kegiatan dan kelembagaan inovasi akar rumput yang dikumpulkan dari jurnal, media cetak, media online, website dan dokumendokumen resmi. Untuk mendapatkan validitas data dan keabsahan data maka dilakukan trianggulasi data.
Analisis Data Data yang telah terkumpul dianalisis, secara kualitatif. Proses analisis sangat erat kaitannya dengan proses pengumpulan data. Pada saat pengumpulan data sekaligus dilakukan analisis data sehingga apabila terjadi kekurangan informasi bisa dilengkapi. Miles (1992) menggambarkan 57
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 bahwa proses analisis kualitatif terdiri dari tiga jalur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi, pengujian informasi dan penarikan kesimpulan. Kemudian dari hasil analisis disusunlah diskripsi kualitatif sebagai jawaban dalam memberikan masukan strategi penguatan kelembagaan inovasi akar rumput.
4. Hasil Pembahasan 4.1. Stakeholder Inovasi Akar Rumput Inovasi akar rumput di daerah pada awalnya dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat itu sendiri. Di berbagai daerah terdapat banyak hasil inovasi akar rumput yang dihasilkan dan dikembangkan oleh masyarakat kreatif. Dari hasil kunjungan ke berbagai daerah ditemukan beberapa sentra masyarakat kreatif yang mengembangkan berbagai hasil inovasi yang berakar pada sumber daya lokal dan pengetahuan lokal. Dalam diskusi dan wawancara mendalam yang dilakukan di berbagai daerah, dikemukakan adanya keterlibatan berbagai stakeholder dalam pengembangan inovasi akar rumput, yang terdiri dari masyarakat, pemerintah, akademisi, dan bisnis. Berbagai jenis inovasi akar rumput telah berkembang dengan memanfaatkan berbagai sumber daya dan kearifan lokal. Inovasi akar rumput pada awalnya dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal sendiri, bukan untuk pengembangan ekonomi. Namun melihat adanya potensi dalam meningkatkan perekonomian masyarakat, maka diperlukan program pengembangan dan pemanfaatan inovasi akar rumput melalui pembinaan dan pengembangan kelembagaan dengan melibatkan peran 58
pemerintah, akademisi, dan bisnis.
a) Masyarakat Secara umum berdasarkan tinjauan teoritis yang dikemukakan sebelumnya, inovasi akar rumput dapat dipahami sebagai hasil-hasil inovasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, dilakukan sendiri oleh masyarakat dan dalam rangka memenuhi kebutuhan setempat dengan memanfaatkan pengetahuan dan sumber daya lokal yang ada. Sebagaimana Zhang (2012) yang mengemukakan inovasi akar rumput adalah inovasi yang dibuat oleh orang-orang di level masyarakat akar rumput. Kemudian, Hua et al (2010) mengatakan inovasi masyarakat akar rumput adalah inovasi yang didasarkan kepada kebutuhan masyarakat dan dilakukan untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Berbagai pengertian tersebut menggambarkan bahwa masyarakat adalah pelaku kunci yang sangat berperan dalam upaya melakukan pengembangan terhadap inovasi akar rumput. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan di lokasi penelitian, diketahui bahwa terdapat banyak hasil inovasi akar rumput yang telah dihasilkan dan dikembangkan oleh masyarakat di berbagai daerah yang menjadi lokasi dalam penelitian ini. Di Kabupaten Sleman, terdapat beberapa sentra inovasi akar rumput yang telah dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat setempat, diantaranya adalah usaha pembuatan mesin-mesin industri rumah tangga. Salah satu pelaku/inovator dalam pembuatan mesin untuk keperluan industri rumah tangga tersebut adalah Bapak Jarot1 yang pada tahun 2005 telah memulai usahanya 1
Inovator anggota masyarakat dari Kabupaten Sleman
ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 dengan membuat mesin pemeras jarak secara manual. Seiring perkembangan permintaan terhadap kebutuhan mesinmesin industri rumah tangga, kemudian didirikan CV. Otoda yang terus berusaha untuk mendesain dan membuat mesinmesin sederhana dengan mengadopsi desain Teknologi Tepat Guna (TTG) dengan biaya perawatan yang rendah. Dengan penerapan TTG tersebut, diharapkan mampu memenuhi kebutuhan para pengusaha yang bergerak di berbagai bidang industri. Tujuan utama CV. Otoda adalah ingin menjadi mitra sejati pelaku usaha IKM maupun UMKM di seluruh Indonesia dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat luas. CV. Otoda selain menerima pesanan pembuatan mesin di wilayah Provinsi D.I Yogyakarta, juga menerima pesanan dari berbagai daerah lainnya, antara lain, Aceh, Jawa Timur dan Kupang. Beberapa mesin unggulan buatan CV. Otoda yang banyak diperlukan masyarakat setempat, antara lain adalah Medical Incinerator Non BBM, Modifikasi Pencetak Pelet, Pompa Hydram, Mesin Pemecah Batu, Mesin Pengupas Kedelai Sistem Kering, dan Mesin Pengurai Sabut Kelapa. Kemudian di Kabupaten Gunung Kidul terdapat berbagai inovasi akar rumput, misalnya cairan pengusir lalat yang terbuat dari bahan campuran buncis, air dan gula jawa. Inovasi ini dikembangkan oleh Ibu Siti Badriyah2 yang melakukan fermentasi dari campuran ketiga bahan tersebut. Cairan hasil fermentasi inilah yang kemudian digunakan sebagai cairan pengusir lalat. Selain itu, Ibu Siti Badriyah juga mengembangkan suplemen organik 2
cair dari tetes tebu dan starter mikroba lactosa bacillus. Suplemen organik cair tersebut ditujukan untuk menimbulkan nafsu makan hewan piaraan dan membuat kotoran hewan tidak berbau. Hal ini telah diuji coba pada hewan seperti: lele, ayam serta kambing, dimana hasilnya hewan piaraan menjadi memiliki bobot yang lebih berat. Selain itu, terdapat beberapa inovasi akar rumput lainnya, seperti pakan ikan lele alternatif yang berbentuk pelet dengan bahan baku lokal, yaitu campuran antara tepung tela dan tepung ikan. Saat ini pemanfaatan pakan ikan ini masih terbatas hanya untuk kebutuhan kelompok saja sebagai pakan alternatif pengganti. Terdapat pula pewarna alami buatan batik yang dikembangkan di Desa Tancep merupakan sentra batik tradisional yang menggunakan pewarna alami bahan alam. Adapun hasil inovasi masyarakat lainnya adalah silase pakan ternak isi ulang, yang dimanfaatkan pada musim kemarau, dimana pakan ternak terbatas dan sulit didapat. Di Kabupaten Gunung Kidul terdapat pula Pusat Pendidikan dan Pelatihan Petani Swadaya (P4S) Putri 21 yang memiliki usaha kegiatan pengolahan hasil pertanian. Terbentuk 11 November 2006 yang diketuai ibu Suti Rahayu dengan anggota berjumlah 20 orang wanita yang beralamat di Dusun Sumberjo, Ngawu, Playen. Dari berbagai bentuk olahan hasil pertanian yang selama ini dikelola sebagian besar berbahan baku lokal seperti pisang, umbi-umbian, sukun dan lain-lain, yang diolah menjadi aneka bentuk jajanan. P4S Putri 21 juga mengembangkan mocaf (modified casava flour) yang berbahan baku ubi kayu untuk diolah menjadi mie Produk mie P4S Putri 21 dengan brand Mie SEHAT AYO.
Inovator anggota masyarakat dari Kabupaten Gunung Kidul
ISSN: 2252-911X
59
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 Di Kabupaten Trenggalek, terdapat inovator dari Desa Ngadisuko, Kecamatan Durenan yakni Bapak Muharor3 yang membuat alat pemecah bambu untuk stick dupa atau sumpit, parut kelapa dengan teknologi tepat guna, alat pemanen dan perontok padi yang juga dimanfaatkan untuk handy tractor dengan harga yang sangat murah. Di Kecamatan Gandusari terdapat pula bengkel inovasi kelompok asosiasi masyarakat yakni “Warung Teknologi” yang membuat mesin press hidrolis untuk pembuatan batako. Kemudian di Desa Ngentrong, Kecamatan Kranggan terdapat sentra Kerajinan Batik Trenggalek yang merupakan hasil inovasi masyarakat lokal yang keahliannya diwariskan secara turun menurun.
konsumen dari kota-kota di Jawa Timur, Jakarta, Bali dan Sulawesi.
Teknologi tepat guna hasil inovasi masyarakat lokal juga banyak dihasilkan di Kabupaten Tulung Agung antara lain: alat penghemat listrik, mesin pemisah bijih emas, mesin molen mini, mesin pemecah batu, mesin tenun mini, parut elektronik serbaguna, alat penghemat listrik/kompensator, mozaik hasil daur ulang limbah marmer dan lain–lain. Di Desa Gondang, Kabupaten Tulung Agung terdapat masyarakat perajin pisau, sabut gerigi, sabut biasa, pacul ataupun pecok. Masyarakat pada awalnya menciptakan kreasi inovasi itu untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat. Masyarakat telah mengembangkan keunggulannya dari kemampuan lokal yang tidak berdasarkan pada inovasi dari luar. Rata-rata inovasi yang berkembang di Desa Gondang adalah kerajinan pande besi. Pisau dari Desa Gondang mempunyai ke khasan dalam ketajaman dan keawetannya. Produk ini telah diakui kualitasnya oleh
Upaya pengembangan inovasi akar rumput akan turut dipengaruhi oleh lingkungan yang kondusif, dimana diantaranya adalah terkait keberadaan akademisi yang ada di lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan (perguruan tinggi dan lembaga litbang) yang akan menunjang upaya pengembangan inovasi akar rumput tersebut. Artinya dengan menerapkan ilmu pengetahuan yang merupakan hasil dari kegiatan penelitian yang telah dilakukannya, peran akademisi akan sangat menunjang dalam mengembangkan hasilhasil inovasi yang ada di masyarakat lokal.
3
Berdasarkan pemaparan diatas dapat dilihat bahwa masyarakat dengan pengetahuan dan sumber daya lokalnya mampu menghasilkan produk-produk inovasi untuk memenuhi kebutuhannya dan mengembangkannya menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan kehidupan masyarakat. Hal tersebut menunjukan bahwa masyarakat adalah pelaku kunci yang sangat berperan dalam upaya mengembangkan berbagai inovasi akar rumput.
b) Akademisi
Berbagai hasil inovasi akar rumput yang ada di masyarakat memerlukan sentuhan ilmu pengetahuan dan teknologi agar memiliki kualitas yang lebih baik sehingga berpotensi untuk memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan di lokasi penelitian, diketahui bahwa inovasi akar rumput yang telah dihasilkan masyarakat juga didukung oleh peran akademisi/ peneliti dalam pengembangannya.
Inovator anggota masyarakat dari Kabupaten Trenggalek
60
ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 Di Kabupaten Sleman, keberadaan berbagai perguruan tinggi di Yogjakarta telah berkontribusi terhadap tumbuh dan berkembangnya berbagai jenis inovasi akar rumput di masyarakat. Beberapa sentra inovasi akar rumput, yang telah dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat setempat, diantaranya adalah pembuatan mesin-mesin industri rumah tangga yang mengadopsi desain Teknologi Tepat Guna (TTG). Kemudian, di Kabupaten Gunung Kidul, melalui kegiatan Iptekda, UPT Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia (BPPTK) LIPI – Gunung Kidul memberikan pembinaan terhadap hasil kreatifitas dan inovasi masyarakat dengan memberikan dukungan untuk meningkatkan kualitas inovasi masyarakat yang suda ada. Misalnya untuk batik tradisional yang dikembangkan di Desa Tancep, LIPI memberikan bantuan berupa alat pewarna alami serta pelatihan penggunaan pewarna alami tersebut kepada masyarakat. Kemudian terhadap inovasi masyarakat yang berupa silase pakan ternak isi ulang, LIPI melakukan pembinaan melalui pelatihan dan pendanaan dalam rangka membantu kelompok peternak untuk memenuhi kebutuhan akan teknologi yang dapat menyediakan pakan secara berkelanjutan. Terkait pembentukan kelembagaan inovasi akar rumput, salah satu permasalahan yang di hadapi adalah pada tahap implementasi dan penyebarluasan produk-produk inovasi akar rumput. Dimana teknologi yang diterapkan pada suatu masyarakat belum mampu diterapkan pada masyarakat lainya. Hal ini disebabkan karena transfer teknologi antar wilayah masih menjadi hambatan.
c) Pemerintah Dalam kegiatan pengembangan inovasi ISSN: 2252-911X
akar rumput pemerintah mempunyai peranan yang cukup penting terutama dalam aspek pembinaan, fasilitasi, dan regulasi. Pemerintah perlu melakukan intervensi yang mampu mendorong inovasi akar rumput agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat setempat dan meningkatkan nilai ekonomi sehingga diharapkan berdampak pada peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan di lokasi penelitian, diketahui bahwa pemerintah telah melaksanakan berbagai peran dalam upaya mengembangkan inovasi akar rumput yang dihasilkan masyarakat. Di Kabupaten Sleman, pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) telah melakukan berbagai kegiatan dalam rangka mendorong pengembangan inovasi akar rumput, yaitu: 1) Melakukan human assessment untuk menggali keinginan masyarakat dalam kaitan dengan pengembangan inovasi akar rumput, 2) Membantu pemasaran produkproduk yang telah dihasilkan masyarakat dengan menyediakan showroom atau ruang pamer untuk memperkenalkan produkproduk yang dihasilkan oleh masyarakat, mengikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan pameran, 3) Memberikan berbagai pelatihan dalam rangka meningkatkan kemampuan yang dibutuhkan masyarakat dalam rangka mengembangkan usaha atau inovasi yang dilakukannya. Di Kabupaten Gunung Kidul, pemerintah daerah memberikan dukungan terhadap upaya pengembangan hasil kreativitas dan inovasi masyarakat dengan membuat aturan yang mewajibkan kepada PNS untuk menggunakan seragam batik tradisional yang dikembangkan masyarakat dengan 61
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 pewarna alami buatan. Pemerintah telah melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan peran yang dimilikinya dalam keterkaitannya dengan pengembangan inovasi akar rumput, diantaranya 1) Menginventarisasi inovator-inovator yang ada di masyarakat, 2) Melakukan fasilitas dalam bentuk pelatihan dan pendampingan terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan masyarakat dalam rangka pengembangan inovasinya. Selain itu di Provinsi Jawa Timur, pemerintah Kabupaten Trenggalek telah melakukan pembinaan dalam rangka mendorong inovasi akar rumput dari hulu ke hilir sebagai program dari penanggulangan kemiskinan. Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan (Koperindag) dan Badan Pemberdayaan Masyarakat mendorong para perajin batik untuk terus berinovasi dan berkreasi, melakukan pembinaan untuk meningkatkan kemampuan SDM melalui pelatihan batik cap di Banyuwangi dan Jember. Pemerintah juga melaksanakan program revitalisasi pasar dengan tujuan untuk meningkatkan pemasaran, dan mendorong pengembangan teknologi tepat guna untuk mendukung home industri. Kemudian di Kabupaten Tulung Agung, dalam rangka pembinaan dan fasilitasi terhadap inovasi–inovasi yang ada di masyarakat, pemerintah terus melakukan pendampingan kepada para inovatorinovator di tingkat akar rumput. Selain itu, setiap tahunnya pemerintah selalu mengadakan gelar teknologi dengan tujuan untuk mengenalkan hasil-hasil inovasi teknologi masyarakat dari setiap kecamatan. Berdasarkan gambaran hasil kajian di atas dapat dilihat bahwa berbagai hasil inovasi akar rumput merupakan wahana bagi 62
pemecahan permasalahan dan sekaligus sebagai upaya pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks tersebut, maka peran pemerintah menjadi sangat penting untuk melakukan pembinaan, fasilitasi, dan juga pada aspek regulasi dalam pengembangan inovasi akar rumput sehingga diharapkan berdampak pada peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat.
d). Bisnis Program pengembangan inovasi akar rumput telah melibatkan masyarakat, pemerintah, akademisi dan bisnis dengan memanfaatkan sumber daya lokal untuk meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian masyarakat. Sejalan dengan Denhardt et al (2007) yang mengatakan bahwa dalam paradigma New Public Services, pencapaian tujuan diperlukan dengan melibatkan organisasi publik (pemerintah), dan non profit dan swasta (bisnis). Di berbagai daerah di Indonesia telah banyak lembaga-lembaga bisnis yang ikut serta dalam meningkatkan pemanfaatan produk hasil inovasi akar rumput untuk meningkatkan nilai ekonomi dari produkproduk inovasi tersebut. Sebelumnya inovasi akar rumput berkembang dalam konteks untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia di masyarakat tersebut. Zhang (2012) mengemukakan bahwa sebagian besar inovasi akar rumput adalah domain publik, sebagian besar inovasi akar rumput tidak berorientasi bisnis, dibuat oleh orang miskin untuk orang miskin di pedesaan. Namun pada akhir-akhir ini, karena telah terpenuhinya kebutuhan masyarakat lokal dari inovasi-inovasi akar rumput yang ada, maka para inovator berusaha untuk lebih ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 meningkatkan nilai ekonomis dari hasilhasil inovasi akar rumput tersebut. Kondisi ini kemudian menarik sektor bisnis untuk ikut terlibat dengan cara mengkomersilkan berbagai hasil inovasi tersebut.
mengembagkan usahanya kemudian didirikan Bengkel Rekayasa CV. Otoda yang telah menerima pesanan pembuatan mesin dari wilayah Provinsi D.I Yogyakarta dan dari berbagai daerah lainnya, antara lain, Aceh, Jawa Timur dan Kupang.
Di Kabupaten Gunung Kidul, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Petani Swadaya (P4S) Putri 21 yang bergerak di bidang usaha pengolahan hasil pertanian, dimana salah satunya pengembangan mocaf (modified casava flour) yang berbahan baku ubi kayu untuk diolah menjadi mie Produk ”mie P4S Putri 21” dengan brand Mie SEHAT AYO. Dalam mengembangkan produk tersebut P4S Putri 21 telah menjalin kemitraan dengan lembaga bisnis lokal, yakni CV. Makmur Lestari sebagai produsen mocaf.
Di Kab. Trenggalek, masyarakat pada awalnya membuat berbagai inovasi untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, seperti alat pemecah bambu, parut kelapa, alat pemanen dan perontok padi dan lain lain, saat ini terus dikembangkan ke arah bisnis dengan harapan dapat meningkatkan nilai ekonomis dari produk-produk inovasi tersebut. Demikian halnya dengan berbagai hasil inovasi yang dihasilkan oleh masyarakat di Kabupaten Tulung Agung, seperti penghemat listrik, alat pemisah biji emas, mesin pemecah batu, mesin tenun mini, kerajinan pandai besi, dan lain sebagainya.
Kemudian salah satu inovator di Kabupaten Sleman, yakni Bapak Jarot, telah membuat berbagai mesin-mesin sederhana dengan mengadopsi desain Teknologi Tepat Guna (TTG) untuk memenuhi kebutuhan industri rumah tangga. Pak Jarot terus mengembangkan, mendesain dan membuat mesin yang sederhana dengan biaya perawatan yang rendah. Untuk
Material
Kebutuhan Masyarakat
Sumber Daya
Masyarakat Kreatif
Berdasarkan gambaran hasil kajian di atas menunjukkan bahwa keterlibatan sektor bisnis sangat berperan dalam meningkatkan nilai ekonomi dari inovasi akar rumput yang dihasilkan masyarakat.
Akademisi dan Pemerintah
Produk Inovasi Akar Rumput
Bisnis
Produk Pengembangan Inovasi Akar Rumput
Nilai Ekonomi, Kesejahteraan Masyarakat
Indigenous knowledge
Pemenuhan
Gambar 2: Alur dan Stakeholder Inovasi Akar Rumput
ISSN: 2252-911X
63
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014
4.2 Kelembagaan dalam Inovasi Akar Rumput Kelembagaan inovasi akar rumput memiliki karakteristik konvensional yang cukup komplek. Beraneka ragam jenis organisasi/ kelembagaan pada masyarakat akar rumput, biasanya bersifat sukarela, seperti perkumpulan, koperasi, dan kelompok informal masyarakat. Kelembagaan inovasi akar rumput mempunyai karakteristik sejalan dengan kata kunci yang dimiliki deskripsi inovasi akar rumput, yaitu: menjadi solusi yang bersifat bottom-up, bersifat lokal sesuai dengan karakteristik produknya, dibentuk karena adanya kepentingan dan nilai masyarakat, dan dalam konteks pembangunan berkelanjutan (Seyfang et al., 2007). Syahyuti (2006) menyebutkan 4 komponen kelembagaan dalam arti organisasi, yaitu: (1) orang orang yang terlibat dalam satu kelembagaan; (2) kepentingan, yang mengikat dalam suatu tujuan sehingga terjadi saling berinteraksi, (3) aturan, seperangkat kesepakatan yang dipegang secara bersama; dan (4) struktur, posisi dan peran orang orang dalam suatu lembaga yang harus dijalankan secara benar. Dalam pengembangan inovasi akar rumput, pemerintah berperan sebagai pembina, fasilitator, dan regulator. Untuk mendorong pengembangan inovasi akar rumput maka keterlibatan masyarakat, pemerintah, akademisi, dan bisnis sangat diperlukan dalam kelembagaan inovasi akar rumput. Pemerintah sebagai pembina, fasilitator, dan pelaku intervensi dalam pendampingan harus menjalankan pula peran sebagai pembuat kebijakan. Di beberapa daerah, program pengembangan inovasi akar rumput lebih menjadi tanggung jawab dan pembinaan Bappeda dan Badan 64
Pemberdayaan Masyarakat. Bappeda berperan memberikan fasilitasi, sedangkan Badan Pemberdayaan Masyarakat berperan dalam pembinaan, pelatihan dan pendampingan terhadap masyarakat. Untuk memberikan fasilitasi dalam penyempurnaan teknologi maka keterlibatan akademisi, maupun peneliti sangat diperlukan, sehingga hasil inovasi yang mereka ciptakan bisa semakin disempurnakan. Selain itu akademisi bisa berperan dalam memberikan pendampingan atau fasilitasi. Akademisi dalam konteks ini bisa dari perguruan tinggi maupun lembaga penelitian dan pengembangan. Masyarakat, dalam kelembagaan inovasi akar rumput baik sebagai inovator maupun sebagai pengembang terbentuk berdasarkan atas keinginan dari bawah yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Selain itu juga karena adanya kepentingan dan nilai masyarakat sesuai dengan karakteristiknya. Lembaga bisnis berperan dalam pengembangan ekonomi, pemasaran, penyediaan bahan baku dan bantuan dalam pendanaan yang didasari atas saling menguntungkan. Dalam program inovasi akar rumput bentuk kelembagaan yang paling tepat untuk diterapkan adalah koperasi. Peran lembaga bisnis dalam inovasi akar rumput sangat diperlukan untuk meningkatkan nilai ekonomi produk inovasi akar rumput sehingga meningkatkan kesejahteraan pelaku inovasi akar rumput. Dalam pengembangan inovasi akar rumput perlu adanya suatu kelembagaan yang melibatkan beberapa stakeholder, yakni masyarakat selaku inovator, pemerintah, ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 akademisi dan bisnis, yang secara berkesinambungan saling berinteraksi. Dalam kelembagaan inovasi akar rumput, masyarakat kreatif diberikan pembinaan dan fasilitasi oleh akademisi dan pemerintah sehingga hasil inovasi dapat bermanfaat dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Masing masing stakeholder mengambil peran sesuai dengan kompetensinya untuk kepentingan
pemenuhan kebutuhan berdasarkan aturan yang dibuat dengan memanfaatkan sumber daya dan pengetahuan lokal. Untuk meningkatkan nilai ekonomi produk inovasi akar rumput, maka sangat ditentukan oleh peran dari lembaga-lembaga bisnis. Dari hasil kajian ini dapat digambarkan skema kelembagaan inovasi akar rumput dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat Lokal Kebutuhan
Komunitas Kreatif
SDA, Indigenous Knowledge
Pemerintah
Akademisi/ Litbang
Kelembagaan Kelompok Masyarakat
Pengembangan Inovasi Akar Rumput Lembaga Bisnis Peningkatan Nilai Ekonomi
Kesejahteraan Masyarakat
Gambar 3: Skema Dimensi Kelembagaan dalam Inovasi Akar Rumput
5. Kesimpulan dan Rekomendasi 5.1. Kesimpulan Program pengembangan inovasi akar rumput didasarkan kepada kebutuhan masyarakat dan dilakukan untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Masyarakat mengembangkan inovasi dengan memanfaatkan sumber daya lokal dalam rangka memenuhi kebutuhannya, ISSN: 2252-911X
dengan memanfaatkan kemampuan yang ada sehingga tidak harus mengeluarkan biaya yang mahal. Produk-produk inovasi yang dikembangkan masyarakat akar rumput pada umumnya merupakan produk yang sangat diperlukan komunitas itu sendiri. Perkembangan inovasi akar rumput sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang sangat kondusif. Kreasi masyarakat terus berkembang sesuai 65
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 dengan dinamika masyarakat lokal, baik proses pembuatan, maupun bahan dasar sesuai jamannya. Inovasi akar rumput akan berkembang bila masyarakat berperan aktif dan sekaligus mendapatkan manfaatnya. Dalam pengembangan inovasi akar rumput sangat diperlukan pula peran pemerintah, akademisi, dan bisnis.
pemerintah dan akademisi sehingga hasil inovasi masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya dan memiliki kualitas yang lebih baik. Kemudian diperlukan peran lembaga bisnis dalam meningkatkan nilai ekonomi inovasi akar rumput sehingga diharapkan berdampak pada peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat.
Pemerintah mempunyai peran yang sangat besar pada aspek pembinaan, fasilitasi, dan regulasi. Pemerintah perlu melakukan intervensi dalam pengembangan inovasi akar rumput. Dalam pengembangan inovasi akar rumput, pemerintah dapat melibatkan secara intensif peran dari satuan kerja teknis terkait, seperti Badan Perencanaan Daerah, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah, dan Badan Pemberdayaan Masyarakat.
Beraneka ragam jenis organisasi/ kelembagaan inovasi pada masyarakat akar rumput, bersifat sukarela, seperti perkumpulan, koperasi, dan kelompok informal masyarakat. Dalam pengembangan inovasi akar rumput bentuk kelembagaan yang paling tepat untuk diterapkan adalah koperasi.
Keterlibatan akademisi, maupun peneliti sangat diperlukan, dalam memberikan sentuhan agar inovasi yang dihasilkan masyarakat lebih handal secara teknis dan efisien dalam pengoperasiannya. Akademisi juga sangat berperan dalam memberikan pendampingan atau fasilitasi. Di berbagai daerah di Indonesia telah ditemukan lembaga-lembaga bisnis yang berperan dalam meningkatkan nilai ekonomi produk-produk hasil inovasi akar rumput. Keterlibatan sektor bisnis telah menjadikan hasil inovasi akar rumput yang awalnya hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sendiri menjadi lebih memiliki nilai ekonomi. Untuk mengembangkan inovasi akar rumput maka diperlukan kelembagaan yang dibentuk dan ditumbuh kembangkan dengan melibatkan beberapa stakeholder yaitu masyarakat kreatif yang diberikan pembinaan dan fasilitasi oleh 66
5.2. Rekomendasi Untuk mengembangkan inovasi akar rumput melalui upaya penguatan kelembagaan, diperlukan peran serta dan tanggung jawab pemerintah dalam memberikan pembinaan, fasilitasi, dan regulasi terhadap inovator dan pengembang pada level akar rumput. Pemerintah harus menjalin kerjasama dalam memfasilitasi masyarakat dalam pengembangan inovasi akar rumput dengan akademisi dan lembaga-lembaga bisnis sehingga hasil inovasi akar rumput dapat mempunyai nilai ekonomi dan teknologi yang lebih berdaya saing. Pemerintah harus membentuk dan memfasilitasi suatu lembaga bidang inovasi akar rumput yang tumbuh dari masyarakat untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dengan memanfaatkan sumber daya lokal dengan mempertahankan kesinambungan. Perlu dibentuk dan dikembangan kelembagaan inovasi akar rumput dengan melibatkan seluruh stakeholder yang meliputi masyarakat, ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 pemerintah, akademisi, dan bisnis untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Daftar Pustaka Lakitan, Benyamin, 2012, Role of Government in Energizing Grassroots Innovations, Keynote paper at the International Seminar on Enhancing Grassroots Innovation Competitiveness for Poverty Alleviation (EGICPA 2012), Yogyakarta, 16-18 October 2012.
Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi, UI Press. Jakarta. Neuman, W. Lawrence, 1997. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach”, USA: Allyn and Bacon, Incorparated. Jones,
Gareth, 2010. Organizational Theory, Design and Change, New Jersey: Pearson Education, Inc.
Brundtland, Gro Harlem, 1987. Report of the World Commission on Environment and Development, Our Common Future, United Nation
Syahyuti, 2004. Model Kelembagaan Penunjang Pengembangan Pertanian di Lahan lebak, makalah disampaikan pada Workshop National Pengembangan Lahan Rawa Lebak, Balitra tanggal 11 -12 Oktober 2004 di Banjar Baru dan Kandangan, Kalimaantan Selatan.
Christensen, Tom, Per Laegreid, Paul G, Roness and Kjell Arne Rovik, 2007. Organization Theory and the Public Sector: Instrument Culture and Myth. London:Routledge Taylor & Francis Group.
Seyfang, G and Adrian Smith, 2007. Grassroots Innovations for Sustainable Development: Towards a New Reasearch and Policy Agenda, UK: Environmental Politics, Vol 16, No 4, 584 – 603
Denhardt, Janet V and Robert B. Denhardt, 2007. The New Public Services, expanded edition, New York: M.E Sharpe, Inc.
Yusuf Andriana, 2013. Inovasi Akar Rumput melalui http://yusufandriana. teknologitepatguna.org/inovasiakar-rumput
Hua, Li, Yu Jiang and Ye Lin, 2010. Grassroots Innovation, Characteristics, Status Quo and Suggestion, Proceedings of the 7th International Conference on Innovation & Management; Resource and Environment Research, China
Zhang, Liyan. 2012. Institutional Framework for Promoting Grassroots innovation: the Case of China, paper presented at International Conference of Enhancing Grassroots Innovation for Poverty Alleviation, Yogjakarta, Indonesia, October 16th -18 th, 2012
Miles, Matthew B and A Michael Huberman, 2009. Analisa Data Kualitatif,
ISSN: 2252-911X
67
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014
Pengembangan Instrumen Kebijakan Peningkatan Produktivitas Teknologi Industri Muhammad Samsuri, Erry Ricardo Nurzal, Santoso Yudho Warsono Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta Abstracts This study presents the information and results of analysis incase the urgency of industrial technology development programs, analysis of policy and existing policy instruments and provide the presents policy instrument for industrial technology development. Analysis method by conducting interviews and discussions then conducted in-depth synthesis and analysis through focus group discussion and thinking analisys. After various analyzes it can be concluded in the effort to overcome the technology industry in the country by placing reverse engineering as a starting point stratagy then necessary policy instruments can be a vehicle for government intervention. The instrument pack in a new initiative “Industrial Technology Development Program (PPTI)”. Government through its policy instruments can affect the condition of the various functions and variables associated with the development and performance of innovation systems. Policy instruments “Industrial Technology Development Program “ is one of the direct policy instruments that are critical to the empowering of science and technology productivity in industriy. The new policy instruments geared to address the national strategic issues that are mission driven and encourage the increasing output in the industry an than transformed into outcomes that can improve the productivity of research, science and technology in industry which will ultimately boost the competitiveness of the national industry .
Keywords: policy Instruments, development of industrial technology, pre-commercial government procurement. Abstrak Penelitian ini menyajikan informasi dan hasil analisis terkait dengan urgensi program pengembangan teknologi industri, analisis kebijakan dan instrumen kebijakan yang ada dan menyajikan instrument yang diharapkan untuk pengembangan teknologi industri. Metode analisisnya dengan melakukan wawancara dan diskusi kemudian dilakukan sintesis dan analisis mendalam melalui focus group discussion dan thinking analisys. Setelah dilakukan berbagai analisis maka dapat diambil satu kesimpulan dalam upaya penguasaan teknologi industri di dalam negeri dengan menempatkan reverse engineering sebagai starting point strategy maka diperlukan Instrumen kebijakan yang dapat menjadi wahana intervensi pemerintah. Instrumen tersebut di kemas dalam sebuah new initiative “Program Pengembangan Teknologi Industri (PPTI)”. Pemerintah melalui instrumen kebijakannya dapat mempengaruhi kondisi dari berbagai fungsi dan variabel yang berkaitan dengan perkembangan dan kinerja sistem inovasi. Instrumen kebijakan “Program Pengembangan Teknologi Industri” merupakan salah satu instrumen kebijakan langsung yang sangat penting untuk mendorong peningkatan produktivitas iptek di industri. Instrumen kebijakan yang baru ini diarahkan untuk ISSN: 2252-911X
69
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 mengatasi isu-isu strategis nasional yang bersifat mission driven dan mendorong semakin meningkatnya output litbang di industri yang tertransformasi menjadi outcome sehingga dapat meningkatkan produktivitas riptek industri yang pada akhirnya akan meingkatkan daya saing industri nasional.
kata kunci: instrument kebijakan, pengembangan teknologi industri, pengadaan pemerintah pra komersil
1. Pendahuluan
based competitiveness.
Di era persaingan global, peningkatan daya saing merupakan tumpuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, membangun kemandirian, dan memajukan peradaban bangsa. Daya saing menjadi tolok ukur kemampuan suatu negara untuk menyediakan kemakmuran bagi warga negaranya, tergantung dari seberapa produktif sebuah negara menggunakan sumber daya yang tersedia.
Dalam menghadapi dinamika perubahan yang semakin cepat dan kompleks, upaya peningkatan daya saing akan semakin bertumpu pada kemampuan berinovasi dalam menciptakan dan meningkatkan nilai tambah industri melalui optimalisasi pemanfaatan teknologi. Penggunaan teknologi sangat penting dalam mendorong daya saing industri. Sebagaimana diperlihatkan dari hasil survei Kementerian Riset dan Teknologi–BPPT (2011) terhadap industri manufaktur dalam gambar 1, 61% responden menyatakan teknologi sangat penting bagi industri untuk meningkatkan daya saingnya dan 32% responden menyebutkan teknologi penting untuk meningkatkan daya saing industri.
Namun, saat ini kekuatan sumber daya alam, sebagai sektor primer, tidak lagi menjadi faktor dominan untuk mempengaruhi daya saing. Justru yang menjadi faktor dominan adalah sektor sekunder yaitu industri manufaktur, dengan melibatkan sumber daya pengetahuan yang dikembangkan, dimanfaatkan dan disebarluaskan untuk mendorong berkembangnya inovasi dan difusinya secara terus– menerus. Dengan kata lain, telah terjadi perubahan paradigma dari yang semula mengandalkan pada keunggulan berdasarkan sumber daya alam menjadi keunggulan berbasiskan pengetahuan yang diolah untuk memberikan nilai tambah. Artinya, untuk mampu berkompetisi di pasar dunia, negara membutuhkan tingkat pengetahuan yang semakin luas dengan peningkatan pemanfaatan teknologi sebagai main engine di era knowledge– 70
Gambar 1. Urgensi Peran Teknologi dalam Industri Manufaktur
Namun, kesadaran akan pentingnya teknologi untuk meningkatkan daya saing industri khususnya industri manufaktur belum dibarengi dengan upaya untuk meningkatkan produktivitas litbang ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014
industri melalui kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi yang memadai oleh industri di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan data hasil survei Kementerian Riset dan Teknologi–BPPT (2011) terhadap industri manufaktur seperti yang ditunjukkan pada gambar 2,
yang menyatakan bahwa 58% teknologi di industri diperoleh dari luar negeri dan hanya sekitar 31% yang menyatakan diperoleh dari dalam negeri. Jepang, Cina, Jerman dan Taiwan menjadi negara yang paling besar teknologinya digunakan oleh industri di dalam negeri.
Gambar 2. Sumber Teknologi di Industri Manufaktur
Di sisi lain, peningkatan daya saing sektor industri manufaktur menjadi sangat penting karena sektor industri manufaktur memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Berdasarkan data dari Indikator Iptek LIPI
(2011) seperti yang ditunjukkan pada gambar 3, pada kurun waktu 1990 sampai dengan 2009 sektor industri manufaktur di Indonesia memberikan peningkatan kontribusi pada PDB dari 20,33% menjadi 26,38%.
Gambar 3. Sumbangan Sektor Industri Manufaktur terhadap PDB di Beberapa Negara, 1990–2009
ISSN: 2252-911X
71
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 Oleh karena itu industri dituntut untuk mengembangkan teknologi dan infrastruktur teknologi, meliputi pengembangan material–material baru, pengembangan desain, pengembangan produk dan proses produksi sebagai upaya meningkatkan daya saing industri. Iklim persaingan yang semakin ketat mengharuskan pelaku industri memikirkan bagaimana produknya dapat dibedakan, tidak hanya dari segi harga tetapi juga pada nilai tambah produk yang dapat diberikan kepada konsumen. Sehingga diperlukan upaya secara berkelanjutan dalam melakukan inovasi teknologi, dalam rangka meningkatkan kemampuan teknologi untuk menghasilkan produk yang bernilai tambah. Pemerintah dalam hal ini telah melakukan fasilitasi melalui instrumen kebijakan langsung dalam mendorong industri untuk melakukan kegiatan pengembangan produk. Salah satunya dalam bentuk kebijakan dukungan program dan pendanaan, melalui Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, yang dituangkan dalam Pasal 21 Ayat (3) yang menyatakan bahwa instrumen kebijakan dapat berupa dukungan sumber daya, dukungan dana, pemberian insentif, penyelenggaraan program ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pembentukan lembaga. Selain itu Pemerintah perlu memperhatikan pentingnya upaya penguatan industri berbasis teknologi, untuk meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi serta memperkuat tarikan pasar bagi hasil kegiatan penelitian dan pengembangan. Pemerintah juga perlu memperhatikan pentingnya upaya 72
penguatan kemampuan audit teknologi impor yang dikaitkan dengan penguatan Standarisasi Nasional Indonesia untuk melindungi konsumen dan memfasilitasi pertumbuhan industri dalam negeri. Namun demikian hasil litbang industri masih belum banyak dimanfaatkan. Masih sedikit output hasil litbang yang dimanfaatkan menjadi outcome. Hal ini terlihat dari hasil survei inovasi di sektor industri manufaktur di Indonesia yang dilakukan oleh LIPI pada tahun 2011, dimana sebagian besar (61%) industri manufaktur telah melakukan inovasi, tetapi didominasi inovasi di bidang pemasaran, yaitu pengenalan produk (85,79%) dan purna jual (78,07%). Sedangkan untuk kegiatan inovasi intramural lebih banyak dilakukan di industri dengan intensitas teknologi tinggi. Sementara industri manufaktur di Indonesia masih didominasi oleh industri dengan intensitas teknologi rendah (79%). Oleh karena itu, untuk menjawab permasalahan pemanfaatan hasil litbang di industri tersebut, kajian ini dilakukan untuk mencari instrumen kebijakan yang tepat yang diperlukan untuk mendorong industri dalam melakukan kegiatan penelitian & pengembangan teknologi melalui pemanfaatan hasil litbang sehingga produktivitas iptek di Industri diharapkan semakin meningkat. Dengan meningkatknya produktivitas riset di Industri tentu akan mendorong peningkatan daya saing industri dan pada akhirnya dapat menunjang pertumbuhan ekonomi suatu negara. Tujuan dari kajian ini adalah merumuskan instrumen kebijakan program pengembangan teknologi industri untuk meningkatkan produktivitas R & D di industri. ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 Ruang lingkup kajian ini dibatasi pada instrumen kebijakan dalam bentuk dukungan program peningkatan R & D untuk industri termasuk dukungan pendanaannya. Sementara itu, instrumen kebijakan dalam bentuk dukungan sumber daya dan pembentukan lembaga tidak termasuk dalam kajian ini.
2. Metode Penelitian Metode penelitian dalam kajian ini dilakukan melalui proses pengumpulan data primer dan data skunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara,
diskusi dan survey ke beberapa industri seperti PT. Dahana, PT. LEN, PT. PAL, PT. INKA, PT. KS, dan lain-lain terkait pandangan industri serta kebutuhan program R & D untuk industri. Sementara itu, data sekunder diperoleh dengan melakukan studi literatur dari buku–buku/laporan hasil survei dan informasi online. Kemudian, data–data yang terkumpul dianalisis dan disintesis melalui focus group discussion dan thinking analysis untuk mendapatkan hasil yang optimal. Secara diagram tahapan pelaksanaan kajian dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 4. Tahapan Pelaksanaan Kajian
ISSN: 2252-911X
73
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 Secara lebih detail penelitian di awali dengan identifikasi fokus penelitian & desain penelitian melalui diskusi internal, kemudian dilakukan pemetaan mengenai pentingnya membangun R&D di Industri dengan pengumpulan data primer (melalui FGD) dan studi literatur, kemudian melakukan review instrumen kebijakan R&D industri kemudian disusun rekomendasi mengenai instrument kebijakan untuk mendorong produktivitas R&D di industri.
3. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil wawancara, diskusi dan analisis maka ditemukan bahwa dalam upaya penguasaan teknologi industri di dalam negeri dengan menempatkan reverse engineering sebagai starting point strategy maka diperlukan Instrumen kebijakan yang dapat menjadi wahana intervensi pemerintah. Instrumen tersebut di kemas dalam sebuah new initiative “Program Pengembangan Teknologi Industri (PPTI)”. Prorgram tersebut dirancang sebagai suatu instrumen Kebijakan Kementerian Riset dan Teknologi dengan tujuan untuk 1) Mendorong lahirnya produk-produk teknologi industri nasional (Original Equipment Manufacturer (OEM), Original Design Manufacturer (ODM) dan Oringinal Brand Manufacturer (OBM)); 2) Mendorong terbangunnya jaringan kerja sama antara sejumlah industri dengan lembaga penelitian dan perguruan tinggi agar dapat secara bersama-sama membentuk kemampuan mengembangkan produk teknologi yang diperlukan, serta menumbuhkan kapasitas inovasi sejalan dengan kemajuan teknologi (state of the art of technologies). Ouput 74
instrumen
kebijakan
tersebut
diarahkan untuk menghasilkan: 1) Industrial prototype yang sudah mengalami pengujian dalam lingkungan yang sesungguhnya; 2) Design dari industrial prototype yang dibuat; 3) Paten. Sedangkan outcome yang diharapkan adalah: 1) Adanya economic benefit dengan indikasi termanfaatkannya produk hasil pengembangan industri tersebut; 2) Sosial impact produk target yang dimanfaatkan tersebut memberikan manfaat kepada penggunanya. Instrumen program pengembangan teknologi industri tersebut harus dipahami sebagai program yang bersifat multiyears dengan waktu ideal 3 tahun. Multiyears dimaksudkan untuk memastikan bahwa pengembangan dan penguasaan teknologi di industri dengan reverse engineering sebagai starting point dapat benar-benar menghasilkan output dan sampai pada outcome (terkomersialisasikan).
4. Pembahasan 4.1. Analisis Kebijakan dan Instrumen Kebijakan Yang Ada Kebijakan yang Ada Pemerintah mempunyai kebijakan dalam bentuk legal formal untuk mendorong kegiatan R & D di industri. Sebagaimana tertuang dalam Undang-undang No. 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ipek dijelaskan tentang perlunya keterlibatan badan usaha termasuk di dalamnya industri dalam menumbuh kembangkan kemampuan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi. Hal ini tertuang jelas dalam pasal 9 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Badan usaha sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam sistem nasional penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi berfungsi ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 menumbuhkembangkan kemampuan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi untuk menghasilkan barang dan jasa yang memiliki nilai ekonomis. Selain itu, jika dilihat dari fungsi dan peran pemerintah sesuai amanah Undangundang No. 18 tahun 2002 pasal 18 ayat 1 dan pasal 21 ayat 1 dan 2. Pasal 18 tersebut menyatakan bahwa “pemerintah berfungsi menumbuh-kembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Indonesia”. Sementara itu, pasal 21 ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa “Pemerintah berperan mengembangkan instrumen kebijakan untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 sebagai bentuk kemudahan dan dukungan yang dapat mendorong pertumbuhan dan sinergi semua unsur Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Instrumen kebijakan tersebut antara lain dapat berbentuk dukungan dana. Hal tersebut menunjukkan bahwa Kementerian Riset dan Teknologi telah memiliki landasan legal formal dalam upaya mendorong tumbuh kembangnya inovasi di industri atau dunia usaha.
Instrumen Kebijakan yang Ada Untuk mengatasi kendala yang terkait dengan kurangnya dana internal dari pihak industri untuk melakukan kegiatan R & D, maka Kementerian Riset dan Teknologi memiliki skema pendanaan riset yang merupakan salah satu instrumen kebijakan untuk mendorong perkembangan litbang industri di Indonesia. Saat ini, skema ISSN: 2252-911X
pendanaan riset yang dikeluarkan oleh Kementerian Riset dan Teknologi dengan melibatkan pihak industri adalah Skema Pendanaan Riset Peningkatan Kapasitas Iptek Sistem Produksi (Skema Pendanaan Riset KP).
Skema Insentif Riset Peningkatan Kapasitas Iptek Sistem Produksi (KP) Skema insentif riset KP didasari adanya upaya untuk mengembangkan kapasitas iptek sistem produksi nasional. Untuk mendukung hal tersebut, perlu adanya interaksi dan sinergi melalui jaringan komunikasi dan kerjasama antara penyedia teknologi dan pengguna teknologi melalui suatu kegiatan penelitian, pengembangan dan rekayasa untuk kebutuhan dunia industri. Tujuan skema pendanaan KP adalah untuk meningkatkan kemampuan teknologi di sektor produksi melalui kemitraan riset lembaga litbang dengan industri. Sedangkan, keluaran dari skema pendanaan tersebut adalah publikasi ilmiah, paten, hak cipta, merek, desain industri. Karakteristik skema pendanaan riset KP dalam Insentif SINas adalah kemitraan dalam pelaksanaan riset (work sharing) dan pembiayaan riset (cost sharing) antara lembaga litbangrap dan industri. Sifat utama penelitian/aktivitas riset adalah riset hilir yang bermuara pada perbaikan atau penciptaan proses produksi baru yang diterapkan dalam sistem produksi dengan mengacu produk target dan topik yang ditawarkan. Aktivitas riset diusulkan oleh peneliti yang bermitra dengan industri. Persyaratan bagi industri sebagai calon mitra riset antara lain industri yang bergerak pada bidang yang berkaitan langsung 75
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 dengan topik penelitian yang diusulkan, industri yang akan memanfaatkan langsung hasil aktivitas riset Peningkatan Kapasitas Iptek Sistem Produksi, dan industri ikut berpartisipasi dengan memberikan kontribusi pembiayaan (dapat berupa incash atau in-kind, ataupun keduanya). Skema pendanaan riset KP ini diperuntukkan bagi semua peneliti Indonesia baik dari lembaga pemerintah, perguruan tinggi negeri/swasta, maupun industri. Latar belakang pendidikan dan track record peneliti utama harus sesuai dengan bidang yang akan diteliti. Track record adalah indikator utama kualitas peneliti. Gelar formal pendidikan dalam salah satu cabang ilmu tertentu yang sesuai dengan bidang penelitian akan menjadi bahan pertimbangan dalam menilai kualifikasi peneliti.
Analisis Instrumen Kebijakan Skema Insentif Riset KP Untuk menganalisis skema insentif pendanaan riset KP, maka analisisnya dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu tujuan, jenis kegiatan, sifat instrumen dan luaran yang dapat diuraikan sebagai berikut :
a) Tujuan Dijelaskan bahwa skema insentif pendanaan riset KP ditujukan untuk meningkatkan kemampuan teknologi di sektor produksi melalui kemitraan riset lembaga litbang dengan industri. Tampaknya bahwa skema insentif pendanaan riset KP baru mendorong kemampuan teknologi di industri melalui sinergi dengan lembaga litbang/perguruan tinggi. Sementara itu, industri tidak hanya memerlukan kemampuan teknologi, tetapi juga membutuhkan ruang bagaimana prototipe yang dikembangkan bisa masuk kepada 76
tahap produksi agar dapat diproduksi secara masal. Proses prototyping tersebut mencakup aspek concept design, basic design, dan detail design. Sedangkan, sebelum diproduksi secara masal, prototipe tersebut membutuhkan proof of concept melalui sebuah proses pengujian. Setelah itu, mengkaji kelayakan produksi ditinjau dari faktor biaya dan standar kualitas merupakan hal yang juga perlu dilakukan.
b) Jenis kegiatan Jenis kegiatan dari skema pendanaan riset KP terkait dengan kegiatan penelitian dan pengembangan. Kegiatan yang murni menekankan kepada kegiatan penelitian, saat ini belum banyak dibutuhkan oleh industri yang ada di Indonesia. Hal ini karena pada dasarnya kegiatan penelitian ditujukan untuk menghasilkan pengetahuan baru. Sementara itu, industri di Indonesia lebih banyak membutuhkan technical problem solving untuk menghasilkan suatu integrasi teknologi atau rancangan produk baru. Hal tersebut diperkuat oleh data dari Pappiptek LIPI (2011) yang menyatakan bahwa belanja litbang di industri sebagian besar (58 %) untuk riset exsperimental dan sekitar (37 %) untuk riset terapan yang bersifat technical problem solving untuk menghasilkan integrasi teknologi atau rancangan produk baru.
c) Sifat instrumen Diuraikan bahwa skema pendanaan riset KP lebih bersifat bottom up dimana usulannya dapat berasal dari peneliti/ perekayasa lembaga litbang, perguruan tinggi atau industri. Suatu proposal dengan inisiatornya dari lembaga litbang atau perguruan tinggi, maka usulannya kebanyakan adalah keinginan dari peneliti/ perekayasanya itu sendiri. Dengan kata lain, ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 tidak benar-benar datang dari kebutuhan industri. Fakta menunjukkan bahwa inisiator skema pendanaan riset KP kebanyakan berasal dari lembaga litbang atau perguruan tinggi dan usulan proposalnya sebagian besar adalah keinginan dari peneliti/ perekayasanya, sehingga timbul perbedaan dengan kebutuhan industri. Inisiatif usulan dari industri sangat terbatas. Hal ini berdasarkan data tahun 2012 dimana hanya sekitar 0,5 % proposal berasal dari industri (10 proposal dari 2147 proposal yang masuk). Agar saluran transaksi teknologi dapat terbangun, maka inisiator seharusnya berasal dari pihak industri yang didukung oleh lembaga litbang dan perguruan tinggi.
d) Luaran Disebutkan bahwa luaran yang diharapkan dari skema pendanaan riset KP adalah publikasi ilmiah, paten, hak cipta, merek, desain industri. Sesungguhnya, karakteristik industri dalam melakukan kegiatan pengembangan ditujukan untuk menghasilkan produk yang lebih baik agar memiliki daya saing yang tinggi. Produk yang dihasilkan dari pengembangan itulah yang nantinya dapat menjadi sumber pendapatan bagi industri untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, luaran yang perlu diarahkan dari instrumen pendanaan R&D untuk industri adalah industrial prototipe yang telah menjalani uji lapangan dengan by product nya adalah desain dan paten industri. Desain merupakan hal kunci bagi industri di Indonesia untuk menghasilkan produkproduk baru yang bernilai tambah tinggi. Sementara itu, paten merupakan kunci bagi industri di Indonesia untuk melindungi produk-produk inovatifnya. ISSN: 2252-911X
Skema Pendanaan Riset RAPID Sementara itu Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DP2M) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi terus berupaya menumbuhkembangkan budaya penelitian dan pengembangan di perguruan tinggi, memperkokoh sinergi diantara tridarma perguruan tinggi, dan meningkatkan manfaat dan dampak dari hasil penelitian dan pengembangan. Dalam hal tersebut, DP2M terus berupaya mengembangkan program penelitian unggulan stratejik dalam pengembangan iptek yang menjadi kepentingan nasional. Program penelitian yang dikembangkan DP2M Dikti selama ini telah menunjukkan hasil-hasil penelitian yang dapat dikembangkan menjadi produk industri yang strategis bagi kepentingan bangsa. Untuk itu diperlukan pengembangan program penelitian sebagai wahana peningkatan hasil penelitian menjadi produk industrial yang prospektif dalam pemasarannya, baik sebagai peningkatan daya saing bangsa maupun memutus ketergantungan dengan produk luar negeri. Program yang telah di mulai tahun 2004 adalah program Riset Andalan Perguruan Tinggi dan Industri (Rapid). Program Rapid merupakan wahana yang memberikan kesempatan bagi terwujudnya hubungan kerja sinergis antara lembaga penghasil konsep dan teknologi dengan lembaga manufaktur/industri. Selanjutnya produkproduk industrial mutakhir dengan fiturfitur baru, atau yang mampu memutus rantai ketergantungan dengan pihak luar negeri, dimungkinkan beredar di pasaran sebagai hasil penelitian-penelitian perguruan tinggi di dalam negeri. Dengan demikian, budaya penelitian (yang bernuansa penciptaan produk secara berkelanjutan) akan tumbuh 77
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 di dunia industri Indonesia, dan budaya industri (yang bernuansa time to market) akan tumbuh pula di perguruan tinggi di Indonesia. Tujuan program penelitian ini adalah untuk (1) menumbuhkembangkan budaya penelitian yang menghasilkan temuan prospektif di pasaran dan baik dikembangkan menjadi produk industrial yang dapat diproduksi berbudaya penelitian dan memberikan manfaat bagi masyarakat, (2) mewujudkan kerjasama sinerji berkelanjutan antara perguruan tinggi sebagai lembaga penelitian dan industri sebagai lembaga manufaktur melalui penyeimbangan tarikan pasar dan dorongan teknologi, dan (3) mendorong berkembangnya sektor riil berbasiskan produk-produk hasil penelitian dan pengembangan dalam negeri sendiri untuk menumbuhkan kemandirian perekonomian bangsa. Ruang lingkup bidang Rapid ditentukan secara top down. Bidang yang dipilih merupakan bidang yang dinilai sangat stratejik bagi peningkatan daya saing dan kemandirian bangsa adalah (1) Pertanian dan Pangan, (2) Kesehatan, (3) Teknologi informasi, (4) Energi, (5) Teknologi Manufaktur, dan (6) Kelautan dan Perikanan. Luaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah (1) temuan teknologi dan atau produk yang siap dikomersialkan dan dipasarkan sebagai hasil kegiatan kerjasama antara dunia industri dan perguruan tinggi, (2) terbentuknya kerjasama sinerji antara perguruan tinggi dengan industri sebagai lembaga manufaktur dalam keberlanjutan hasil penelitian dan pengembangan menjadi produk industri, (3) terwujudnya industri-industri nasional yang mandiri dan berbasis penelitian dan pengembangan, 78
yang mampu menghasilkan produk-produk berkualitas tinggi dalam persaingan pasar global, dan (4) kerjasama antara industri dan perguruan tinggi menjadi tempat pembelajaran bagi mahasiswa dan pihak lain yang berkepentingan. Dalam program Rapid pihak mitra industri menjadi entry point dalam penyusunan proposal yang diusulkan oleh kelompok dosen, dimana pihak kelompok dosen mendukung atau mensuplai teknologi apa yang diinginkan oleh mitra industri. Kelompok dosen yang dapat mengusulkan: (1) jurusan/ departemen dan fakultas atau lembaga/ pusat penelitian dalam satu perguruan tinggi atau kerjasama antar perguruan tinggi dan (2) kerjasama perguruan tinggi dengan lembaga litbang departemen atau LPND. Pengusul harus mempunyai track record dan road map riset /teknologi yang jelas terkait dengan bidang yang diajukan sesuai dengan Kerangka Acuan (kerangka acuan ada pada dokumen terpisah). Pengusul tersebut harus mengusulkan proposal Rapid melalui kelembagaan penelitian di perguruan tinggi. Mitra industri harus mampu menunjukkan kebutuhan teknologi yang memerlukan kerjasama penelitian dan harus mampu menunjukkan prospek komersial penggunaan teknologi. Kesanggupan mitra industri dalam memberikan kontribusi pendanaan tunai dalam Rapid akan merupakan keharusan pengusul. Industri yang dijadikan mitra, haruslah industri yang sehat dan memproduksi produk yang terkait dengan bidang Rapid yang diusulkan, dengan track record yang baik dalam produksi, pemasaran, dan manajemen, serta memiliki potensi efek ganda baik kepada industri sejenis maupun industri lain.
ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014
Analisis Skema Pendanaan RAPID
penggunaan teknologi.
Untuk menganalisis skema pendanaan riset RAPID, dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu tujuan, jenis kegiatan, sifat instrumen dan luaran yang dapat diuraikan sebagai berikut:
c) Sifat instrumen
a) Tujuan Tujuan program ini adalah untuk (1) menumbuhkembangkan budaya penelitian yang menghasilkan temuan prospektif di pasaran dan baik dikembangkan menjadi produk industrial yang dapat diproduksi berbudaya penelitian dan memberikan manfaat bagi masyarakat, (2) mewujudkan kerjasama sinergi berkelanjutan antara perguruan tinggi sebagai lembaga penelitian dan industri sebagai lembaga manufaktur melalui penyeimbangan tarikan pasar dan dorongan teknologi, dan (3) mendorong berkembangnya sektor riil berbasiskan produk-produk hasil penelitian dan pengembangan dalam negeri sendiri untuk menumbuhkan kemandirian perekonomian bangsa. Dapat dilihat bahwa skema pendanaan RAPID juga menitikberatkan peningkatan peran sektor industri dalam penelitian dan pengembangan, terutama dalam pendanaan riset. Program ini juga bertujuan agar hasil litbang dapat dimanfaatkan untuk industri dan sudah mencakup proses Hak Kekayaan Intelektual.
b) Jenis kegiatan Jenis kegiatan dari skema pendanaan riset RAPID terkait dengan kegiatan penelitian dan pengembangan. Penelitian yang diusulkan dari industri harus menunjukkan kebutuhan teknologi yang memerlukan kerjasama penelitian dan harus mampu menunjukkan prospek komersial ISSN: 2252-911X
Dalam program Rapid pihak mitra industri menjadi entry point dalam penyusunan proposal yang diusulkan oleh kelompok dosen, dimana pihak kelompok dosen mendukung atau mensuplai teknologi apa yang diinginkan oleh mitra industri. Kelompok dosen yang dapat mengusulkan: (1) jurusan/departemen dan fakultas atau lembaga/pusat penelitian dalam satu perguruan tinggi atau kerjasama antar perguruan tinggi dan (2) kerjasama perguruan tinggi dengan lembaga litbang departemen atau LPNK. Pengusul harus mempunyai track record dan road map riset /teknologi yang jelas terkait dengan bidang yang diajukan sesuai dengan Kerangka Acuan (kerangka acuan ada pada dokumen terpisah). Pengusul tersebut harus mengusulkan proposal Rapid melalui kelembagaan penelitian di perguruan tinggi Inisiator penelitian dalam skema pendanaan riset RAPID adalah lembaga litbang atau perguruan tinggi dengan tema penelitian harus mensuplai kebutuhan industri.
d) Luaran Output yang diharapkan dari penelitian ini meliputi Model Proses & Produk Teknologi, Prototipe, Rancangan Sistem, Pilot Plan dari produk serta Bisnis Plan, Publikasi dan/ atau HKI; Prototipe Produk, Publikasi dan/ atau HKI, Prospek Pemasaran; Produk yang dihasilkan proses produksi, Publikasi dan/ atau HKI. Penelitian merupakan usulan dari peneliti sebagai suplai kebutuhan industri sehingga hasil riset diharapkan telah memiliki HaKi dan prospek komersialisasi.
79
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014
e) Kinerja Pemasaran Skema pendanaan RAPID meliputi perencanaan pemasaran, publikasi dan HaKi. Hasil riset diharapkan mampu segera dimanfaatkan oleh industri. Oleh karena itu RAPID mensyaratkan setiap termin dalam penelitian tersebut memiliki output yang berkelenjutan, yaitu: Model Proses & Produk Teknologi, Prototipe, Rancangan Sistem, Pilot Plan dari produk serta Bisnis Plan, Publikasi dan/ atau HKI. Kemudian pada termin 2 dihasilkan Prototipe Produk, Publikasi dan/ atau HKI, Prospek Pemasaran. Dan terakhir pada termin atau tahun 3, produk yang dihasilkan dalam proses produksi, Publikasi dan/ atau HKI, serta Kinerja Pemasaran
4.2. Rumusan Instrumen Kebijakan Nama Instrumen Kebijakan Instrumen kebijakan untuk peningkatan produktivitas R & D industri yang diperlukan sebagai new initiative adalah skema “Program Pengembangan Teknologi Industri (PPTI)”.
Target Industri Target industri dari Program Pengembangan Teknologi Industri (PPTI) adalah : Industri yang mempunyai visi & misi untuk melakukan kegiatan inovasi teknologi. Industri yang sudah, sedang dan akan melakukan kegiatan R & D. Industri yang mempunyai divisi litbang. Industri yang bersedia mengalokasikan dananya untuk kegiatan R & D. Industri yang bersedia melakukan kerjasama dengan lembaga litbang pemerintah dan perguruan tinggi. 80
Industri yang bergerak pada 7 bidang fokus iptek yaitu industri bidang ICT, Transportasi, Hankam, Energi, Pangan, Kesehatan & Obat dan Material Maju.
Reverse Engineering sebagai Salah Satu Strategi Kunci untuk Penguasaan Teknologi di Industri Mengacu laporan yang di tulis oleh World Bank “Innovation Policy for Developing Countries” pada tahun 2010 menyarankan bahwa strategi yang paling tepat untuk negaranegara berkembang dalam pengembangan teknologi khususnya teknologi industri tidak harus memulai dari awal. Negara-negara berkembang dapat memulai dari existing technology kemudian dilakukan improvement untuk mengejar ketertinggalan. Proses improvement dari existing technology dapat diartikan bahwa reverse engineering menjadi starting point dalam proses pengembangan teknologi industri terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Pembelajaran Korea dalam Pengembangan Teknologi Elektronika dan Baja Dalam rangka melakukan cuting edge teknologi di Industri, Pemerintah Korea menerapkan strategi pengembangan teknologi industri dengan melakukan reverse engineering sebagai starting point. Strategi tersebut cukup sukses untuk pengembangan produk-produk elektronika dan steel technology. Industri seperti Sumsung dan Gold Star (sekarang LG) berhasil mengadopsi melalui reverse engineering teknologiteknologi dari Eropa dan Jepang. Sedangkan Industri seperti Pohang Steel Industry berhasil mengadopsi steel technology dari Jepang dengan melakukan reverse engineering termasuk mengirimkan tenaga-tenaga ahli ke Industri baja di Jepang. Dalam strategi tersebut, Pemerintah Korea memberikan dukungan dalam bentuk program-program
ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 pendanaan untuk penguasaan teknologi di Industri khususnya untuk substitusi produkproduk import. Hasilnya dapat dirasakan pada awal tahun 2000-an sampai sekarang dimana Korea menjadi negara yang memiliki market share yang cukup besar di bidang elektronika.
Pembelajaran Kebijakan Pengembangan Teknologi Persinyalan di PT. LEN
Selain itu berdasarkan pembelajaran kebijakan penguasaan teknologi persinyalan di dalam negeri dapat di tarik kesimpulan bahwa model reverse engineering merupakan starting point dalam penguasaan teknologi di industri dalam negeri. Ilustrasi dalam bentuk diagram berikut bisa menjadi gambaran bagaimana reverse engineering menjadi starting point dalam penguasaan teknologi computer based interlocking (CBI).
Gambar 5. Tahapan proses pengembangan computer based interlocking di PT. LEN
Fokus Pengembangan Teknologi di Industri melalui Reverse Engineering Dalam rangka mempercepat proses penguasaan teknologi di industri khususnya melalui proses reverse ISSN: 2252-911X
engineering maka industri tidak harus memulai inovasi dari awal. Istilah yang dipopulerkan oleh BJ Habibie “berawal dari akhir dan berakhir di awal”. Artinya untuk kondisi industri di indonesia 81
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014
fokus yang harus dilakukan adalah mengembangkan prototipe skala lab dan prototipe skala industri kemudian dituntaskan dengan testing atau uji
pada lingkungan sesungguhnya. Ilustrasi berikut dapat memberikan gambaran fokus pengembangan teknologi di industri.
Gambar 6. Fokus pengembangan teknologi di industri dalam keseluruhan proses tahapan pengembangan litbang (sumber: patrick et all, 2005)
Industri membutuhkan dukungan peme rintah dalam penguasaan teknologi Dalam mempercepat proses penguasaan teknologi di industri dimana reverse engineering menjadi starting point untuk melakukan prototipe development dari teknologi luar negeri maka pemerintah. Pertanyaanya apa dukungan pemerintah
82
yang dibutuhkan oleh industri?. Hal terkait dengan kendala yang dihadapi oleh industri dalam melakukan inovasi. Berdasarkan data dari LIPI (2011) bahwa secara kuantitatif kendala-kendala industri dalam melakukan kegiatan inovasi tersebut dipaparkan dalam gambar gambar 7 berikut.
ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014
Gambar 7. Kendala-kendala industri dalam melakukan inovasi (sumber: LIPI, 2011)
Berdasarkan data yang dijelaskan dalam gambar 7, maka aspek pembiayaan (kurangnya dana internal dan biaya inovasi yang tinggi) dan resiko litbang yang tinggi menjadi kendala utama industri untuk melakukan kegiatan inovasi. Oleh karena itu campur tangan atau dukungan pemerintah adalah untuk membantu mengatasi kendala utama yang dihadapi oleh industri dalam melakukan inovasi tersebut.
Berkaitan dengan kebutuhan industri tersebut, maka Pemerintah dapat berperan dalam membantu industri melalui instrumen kebijakan yang dimilikinya, salah satunya dalam bentuk dukungan pendanaan. Dukungan pemberian dana tersebut disebutkan dalam kebijakan yang tertuang dalam Pasal 21 ayat (3) Undang– Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, yang menyatakan bahwa
ISSN: 2252-911X
instrumen kebijakan yang dapat diberikan oleh pemerintah antara lain dukungan dana. Oleh karena itu, instrumen kebijakan pendanaan R & D untuk industri perlu dikembangkan dan dikeluarkan oleh Kementerian Riset dan Teknologi yang ditujukan untuk mendorong kegiatan R & D di industri. Untuk itu, kajian untuk menghasilkan instrumen kebijakan yang tepat sesuai dengan kebutuhan industri sangatlah diperlukan.
Tahapan Penguasaan Teknologi di Industri & Model Dukungan Pemerintah Tahapan kegiatan pegembangan produk target serta tahapan pemanfaatan produk hasil pengembangannya adalah sebagai berikut: Pada tahun pertama target pengembangannya adalah melakukan reverse engineering (starting point)
83
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 untuk menghasilkan prototype skala laboratorium
maka melalui pengadaan langsung oleh pihak swasta/private tersebut.
Pada tahun kedua target peng em bangannya adalah menghasilkan prototype skala industri
Pada tahap pengembangan produk tek nologi, Pemerintah melalui Kementerian Ristek memberikan sharing anggaran untuk melakukan pengembangan produk teknologi industri. Di sisi lain, industri juga harus menyediakan sebagian anggaran untuk melakukan pengembangan pro duknya. Ilustrasi skematis tahapan pelak sanaan kegiatan pengembangan dan tahap pemanfaatan produk hasil litbang industri tergambar dalam diagram/gambar 8.
Pada tahun ketiga target pengem bangannya adalah menghasilkan prototype skala industri yang telah teruji pada lingkungan sesungguhnya Pada tahun keempat adalah fase pemanfaatan produk hasil litbang melalui pengadaan pemerintah atau jika usernya adalah private/swasta
Gambar 8. Tahapan pelaksanaan kegiatan pengembangan dan tahap pemanfaatan produk hasil litbang industri dan model dukungan pemerintah
Konsorsium sebagai wahana untuk penguasaan teknologi di industri Konsorsium riset menjadi salah satu wahana yang telah banyak digunakan oleh banyak negara untuk mewujudkan strategi penguasaan teknologi di insutri. Jepang untuk menguasai teknologi elektronika 84
dan semikonduktor membangun wahan konsorsium dalam program VLSI (Very Large System Integration), Korea untuk menguasai teknologi D-RAM dan semikondutor juga menggunakan wahana konsorsium dalam program HAN Project. Kanada juga melakukan hal yang sama untuk penguasaan teknologi ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014
microelektronikanya dengan wahana konsorsium yang dikenal SMC (Strategic Microelektronic Consortium). Ada berbagai definisi model konsorsium riset diantaranya: 1) R&D konsortium adalah Aliansi R&D antara pihak bisnis/ perusahaan, universitas/lembaga riset dan pemerintah untuk share cost dan resiko pelaksanaan pre-competitive R&D untuk mencapai tujuan bersama (Vinot Kumar, 1995); 2) Konsorsium R&D adalah dikonotasikan sebagai Kerjasama R&D antara Perusahaan/Industri,Universitas/ Reseach Institute yang ditujukan untuk mendorong partisipannya khususnya Industri menjadi “Leadership” atau mampu bersaing dengan kompetitor internasional (Lee and Lee (1992)
Dari berbagai definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Konsorsium R&D selalu melibatkan Industri (Kanter, 1990; Smilor dan Gibson (1991)
Secara pilot project, Kementerian Riset dan Teknologi dalam upaya mendorong penguasaan teknologi persinyalan berbasis komputer atau yang lebih dikenal dengan program pengembangan computer based interlocking (CBI) juga melalui konsorsium riset yang melibatkan industri sebagai leader (PT. LEN) bersama BPPT, PENS-ITS dan ITB serta keterlibatan user pemerintah (Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan). Model konsorsium sebagai wahana untuk mewujudkan strategi penguasaan teknologi di industri dengan reverse engineering sebagai starting point telah terbukti dapat menghasilkan produk industri yang digunakan oleh user.
Oleh karena itu konsorsium riset bisa menjadi model yang dapat dipilih sebagai wahana untuk penguasaan teknologi di industri dalam negeri. Gambar 9 berikut memberikan gambaran bagaimana pola konsorsium riset digunakan sebagai wahana untuk penguasaan teknologi di industri dalam negeri
Gambar 9. Konsorsium riset sebagai wahana untuk mewujudkan strategi penguasaan
teknologi di industri
ISSN: 2252-911X
85
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014
5. Kesimpulan Pemerintah melalui instrumen kebijakannya dapat mempengaruhi kondisi dari berbagai fungsi dan variabel yang berkaitan dengan perkembangan dan kinerja sistem inovasi. Instrumen kebijakan “Program Pengembangan Teknologi Industri” merupakan salah satu instrumen kebijakan langsung yang sangat penting untuk hal tersebut. Instrumen kebijakan yang baru ini diarahkan untuk mengatasi isu-isu strategis nasional yang bersifat mission driven dan mendorong semakin meningkatnya output litband di industri yang tertransformasi menjadi outcome sehingga dapat meningkatkan produktivitas riptek industri yang pada akhirnya akan meingkatkan daya saing industri nasional. Manfaat utama instrumen kebijakan ini adalah memungkinkan untuk dihasilkan produk-produk teknologi industri nasional dengan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) yang tinggi. Dengan dihasilkannya produk-produk tersebut, maka industri akan memperoleh pendapatan untuk menjamin kelangsungan hidupnya yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi pajak bagi pemerintah. Namun demikian, perlu dipahami bahwa instrumen kebijakan baru ini tidak dapat berdiri sendiri untuk memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan daya saing industri. Instrumen program pengembangan teknologi industri ini harus didukung oleh instrumeninstrumen kebijakan yang lain baik di internal Kementerian Riset dan Teknologi maupun Kementerian lain yang terkait. Instrumen-instrumen kebijakan yang ada di dalam Kementerian Riset dan Teknologi harus berjalan secara sinergi diantaranya instrumen riset SINas, peningkatan 86
kapasitas SDM iptek, pusat unggulan, HaKI dan lain-lain. Sementara itu, instrumen kebijakan baru ini juga perlu berjalan secara sinergi dengan instrumen kebijakan dari Kementerian lain seperti kemudahan bea masuk komponen dan insentif pajak atas sumbangan dalam kegiatan R & D dari Kementerian Keuangan, dukungan peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dari Kementerian Perindustrian, dan sebagainya. Selain itu, instrumen kebijakan baru ini juga perlu mendapat dukungan dari Bappenas untuk mendapatkan alokasi anggaran. Dukungan Bappenas ini sangat penting, agar usulan instrumen kebijakan baru ini dapat diimplementasikan.
Daftar Pustaka Boakholt, Patries. (2010). The Evolution of innovation Paradigms and their Influence on Research, Technological Development and Innovation Policy Instruments. Edler. J, Georghiou. L. (2007). Public Procurement and InnovationResurrecting The Demand Side. Research Policy 36 (949-963). European Commission. (2009). Policy Mixes in Europe. European Commission. (2006). PreCommercial Procurement of Innovation-a Missing Link in The European Innovation Cycle. Evangelista, R., Vezzani, A. (2010). The Economic Impact Of Technological And Organizational Innovations : A firm-level analysis. Research Policy 39 (1253-1263).
Fan P., Watanabe C., (2006). Promoting ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014
Industrial Development Through Technology Policy: Lessons From Japan And China. Technology in Society 28 (303-320). Firmansyah. (2010) – “Analisis Kebijakan Pemberian Insentif Pajak Atas Sumbangan dalam Kegiatan Penelitian dan Pengembangan. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi. Kementerian Riset dan Teknologi. (2011). Laporan Akhir Evaluasi Program Insentif Sinas. Jakarta. Kementerian Riset dan Teknologi-BPPT. (2011). Kajian Analisis Deskriptif Industri Manufaktur. Jakarta. Kementerian Riset dan Teknologi. (2009). Laporan Akhir Analisis Kebijakan Lingkungan Sistem Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (2012). Indikator Iptek 2011. Jakarta, Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, (2010). Indikator Iptek : Survei
ISSN: 2252-911X
Industri Manufaktur 2009. Jakarta. Mani S. (2004). Government, Innovation And Technology Policy: An International Comparative Analysis. Int. J. Technology and Globalisation, Vol. 1, No. 1. OECD. (2010). Main Science & Technology Indicators. OECD. (2004). The Impact of Public R&D Expenditure on Business R & D. Peneder, M. (2008). The Problem Of Private Under-Investment In Innovation: A Policy Mind Map. Technovation 28 (518-530). Shafiq D. (2000). Indonesia : Strategy for Manufacturing Competitiveness. Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2002. (2002). Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Wessner, CW. (2012). Rethinking Small Business Innovation Research Program. Georgia Institute of Technology Atlanta, Georgia.
87
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014
PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL TEKNOVASI Jurnal Teknovasi Indonesia merupakan jurnal ilmiah yang menerbitkan artikel hasil penelitian dan atau ulasan (literature review) 5 (lima) tahun terakhir tentang teknovasi Indonesia.
Keputusan penerbitan setiap naskah oleh Redaksi Teknovasi Indonesia berdasarkan hasil penelaahan reviewer/editor.
Jurnal Teknovasi Indonesia diterbitkan dua kali setahun, yaitu pada bulan Juli dan Oktober. Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah yang diterima adalah naskah yang belum pernah dipublikasikan atau tidak sedang dalam proses publikasi pada berkala ilmiah nasional maupun internasional lainnya. Setiap naskah yang masuk dalam jurnal Teknovasi Indonesia akan ditelaah oleh redaksi dan sekurang-kurangnya dua orang reviewer/editor. Redaksi berhak meminta penulis untuk memperbaikinya sebelum naskah dikirimkan kepada reviewer/editor.
Naskah diketik dengan tipe huruf Arial font 12, spasi ganda di kertas berukuran A4, satu kolom, dan dicetak satu muka pada kertas ukuran A4. Batas tepi pada semua sisi masing-masing 3 cm.
Pengiriman Naskah Naskah dapat dikirimkan kepada Redaksi Teknovasi Indonesia melalui surat elektronik (surel) ke alamat: suyatno@ ristek.go.id atau
[email protected] . Pengiriman naskah dapat juga dilakukan dengan cara konvensional, yaitu tiga eksemplar naskah asli dan satu soft copy dikirimkan ke alamat:
Redaksi Teknovasi Indonesia Asdep Budaya dan Etika Deputi Bidang Kelembagaan Iptek Kementerian Riset dan Teknologi Jl. M.H.Thamrim No. 8, Jakarta 10340 Telpon: 3169286, Faksimili: 3102014 Email:
[email protected] atau karlin@ ristek.go.id ISSN: 2252-911X
Format Naskah
Nomor halaman ditempatkan pada bagian kanan bawah Gambar dan tabel harus jelas. Teks dan angka dalam gambar dan tabel menggunakan huruf Arial font 11. Artikel yang pernah disajikan dalam pertemuan ilmiah, tetapi belum pernah diterbitkan dalam bentuk prosiding, perlu disertai keterangan mengenai pertemuan ilmiah tersebut. Naskah artikel hasil penelitian memiliki struktur terdiri dari Judul, Abstrak, Pendahuluan, Bahan dan Metode, Hasil, Pembahasan, Kesimpulan dan Daftar Pustaka (lihat Format Naskah dalam rincian). Naskah berkisar antara 15-20 halaman ketikan spasi ganda (termasuk gambar dan tabel). Naskah ulasan ditulis mengikuti format khusus tanpa pembagian menjadi Bahan dan Metode, Hasil dan Pembahasan. Struktur ulasan terdiri dari Judul, Abstrak, Pendahuluan, Topik-topik yang dibahas, Kesimpulan dan Daftar Pustaka. Panjang naskah berkisar 12-14 halaman ketikan spasi ganda (termasuk gambar dan tabel). 89
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014
Struktur Penulisan Naskah 1. Judul 2. Alamat penulis (ditulis lengkap) 3. Data penulis korespondensi: 4. Faksimili, dan email 5. Abstrak (abstrak berbahasa Inggris dan Indonesia) 6. Kata Kunci (Key Words) 7. Pendahuluan 8. Bahan dan Metode 9. Hasil 10. Pembahasan 11. Kesimpulan 12. Daftar Pustaka Uraian Struktur Penulisan Naskah Judul. Judul singkat dan jelas (≤ 14 kata), diketik dengan huruf besar pada setiap awal kata dengan pengecualian sesuai kaidah bahasa yang digunakan. Nama latin dan istilah asing lainnya diketik dengan huruf miring. Data penulis. Nama lengkap semua penulis dan alamat semua penulis (lengkap dengan nama lembaga, kota dan kode pos). Penulis korespondensi diberi tanda* dan dilengkapi dengan alamat surat lengkap, nomor telepon dan faksimil, dan alamat surat elektronik sebagai catatan kaki. Abstrak. Ditulis dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata yang dituangkan dalam satu paragraf yang mengandung ringkasan dari (a) latar belakang masalah dan tujuan penelitian, (b) metodologi, (c) hasil atau dampak (ulasan) dan (d) kesimpulan.
90
Kata Kunci (Key Words). Kata kunci terdiri dari atas 3-5 kata atau gugus kata. Pendahuluan. Bagian pendahuluan berisi latar belakang pengacuan pada pustakapustaka primer penting terkait dan diakhiri dengan paragraf tujuan penelitian. Bahan dan Metode. Spesifikasi dan sumber bahan-bahan yang digunakan dituliskan dengan jelas. Metode yang digunakan dituliskan dengan jelas. Metode yang digunakan, termasuk cara penggunaan alat, dituliskan secara terperinci bila belum pernah diterbitkan. Metode yang sudah diterbitkan cukup dijelaskan prinsipnya disertai pustakanya. Metode yang dimodifikasi dijelaskan modifikasinya disertai pustaka sebelumnya. Hasil. Hasil penelitian ditullis secara terpisah dari pembahasan. Pemaparan hasil harus jelas dan akurat, tidak disertai pustaka atau pembahasan, dan tidak mengulang cara kerja yang sudah dijelaskan di bagian bahan dan metode. Data yang sama tidak dapat disajikan dalam bentuk tabel dan gambar (grafik) sekaligus, harus dipilih salah satu. Format tabel dan grafik dibuat dalam bentuk terbuka (tampa garis batas atas dan kanan). Judul tabel (di atas tabel) dan judul gambar (dibawah gambar) diberi nomor sesuai urutan pengacuannya didalam teks dan diawali dengan huruf besar, selanjutnya huruf kecil dengan pengecualian sesuai kaidah bahasa yang berlaku. Contoh tabel dan gambar dapat dilihat pada Jurnal Teknovasi Indonesia volume terakhir.
ISSN: 2252-911X
TEKNOVASI INDONESIA Vol. III, No. 1, Agustus 2014 Pembahasan. Hasi-hasil penting dibahas dan diinterpetasikan data yang ditemukan. Persamaan, perbedaan, dan keunikan hasilnya penelitian yang diperoleh dibandingkan dengan informasi terkini dari penelitian sebelumnya. Jika ada temuan baru, hendaknya tegas dikemukakan dalam pembahasan. Pada bagian akhir pembahasan dikemukakan implikasi bagi bidang terkait. Kesimpulan. Penarikan kesimpulan didasari hasil yang diperoleh, dengan memperhatikan perumusan masalah dan tujuan penelitian.
ISSN: 2252-911X
Daftar Pustaka. Daftar pustaka terdiri dari daftar referensi materi yang diterbitkan atau diterima untuk dipublikasi, disarankan minimal 90% pustaka primer (artikel jurnal), setidaknya ada beberapa pustaka terbitan 3 tahun terakhir. Daftar pustaka disusun berdasarkan urutan abjad nama akhir penulis pertama. Nama penulis pertama dan nama penulis berikutnya di dahului nama akhir yang diikuti singkatan nama tengah tanpa dipisahkan tanda koma atau titik.
91