ISSN 2086-793X
EDISI KEEMPATBELAS- 2013
ENTERIAN KESEHATAN R.I.
Menyanyikan lagu Indonesia Raya pada acara Pembukaan Peringatan Hari Rabies Sedunia ke 3 di Maumere, NTT dari kiri ke kanan, Kasubdit Zoonosis (drh. Misriyah, M.Epid), Direktur Keswan (drh. Pudjiatmoko, Phd), Bupati Sikka (Drs. Sosimus Mitang), Wakil Bupati Sikka (dr. Wera Damiamus, MM) Perwakilan WHO Indonesia (Dr. Graham Tallis)
Peringatan Hari Rabies Sedunia 2012 di Maumere, NTT hal 3
Mewaspadai Munculnya Virus H7N9 dari China hal 23
Pengenalan Zoonosa Pada Kegiatan International Scout Peace Camp hal 27
2 SUSUNAN DEWAN REDAKSI BULETIN PENYAKIT ZOONOSA Diterbitkan oleh; Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Alamat Redaksi Sub Direktorat Pengendalian Zoonosis Gedung C Lantai IV, Direktorat Jenderal PP dan PL Jln Percetakan Negara No 29 Jakarta Pusat 10560 Telp/fax 021-4266270 Telp 021-4201255 Telp 021-4247608 ext 151 e-mail:
[email protected]
Pelindung Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Pengantar Redaksi Assallammualaikum Warahmathulahi Wabarhakatuh, Atas kehendak dan izin Allah jua lah kita bisa bersemangat untuk menghidupkan Buletin Zoonosis edisi ke 14 ini maka sepatutnyalah kita menghaturkan Segala Puji kita kehadirat Allah Subhanawataala karena pada edisi ini kita masih diberikan kesempatan untuk bercerita yang lain dari edisi sebelumnya dengan menyapa para pembaca Buletin Penyakit Zoonosa tercinta melalui nuansa yang baru. Pada edisi ke 14 ini, bulletin Penyakit Zoonosis akan bernuansakan “RABIES”. Disamping itu kita akan informasikan kegiatan “Peringatan Hari Rabies Sedunia pada tahun 2012 di Maumere”, Sosialisasi Rabies di Manado, 6 Kriteria Untuk Diagnosa Dini Rabies Pada Anjing Hidup, Pengembangan Virus Tantang Rabies dari Isolat Lokal Bali, Pengendalian Antraks di DKI Jakarta dalam Rangka Penyediaan Pangan Hewani yang Aman Sehat Utuh dan Halal, Mengenali Flu Burung Baru (H7N9) dari China, Pengenalan Zoonosa pada Peserta Pramuka Tingkat Dunia ‘International Scout Peace Camp 2013, Memidai Jejak Flu Burung ‘H5N1’ dari Parung Panjang Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dll. Besar harapan kami terus bersemangat berkarya dari pembaca setia, agar Buletin Penyakit Zoonosa ini tetap dapat terus berkiprah untuk menerbitkan artikel yang lebih menarik dan bermanfaat untuk masyarakat pembaca buletin ini. Selamat membaca Tim Pembahas Buletin Penyakit Zoonosa Edisi ke 14
Penasehat Sekretaris Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Penanggung Jawab Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang
Dewan Redaksi Ketua : Ka. Subdit Pengendalian Zoonosis Wakil Ketua : Kabag Hukum Organisasi dan Hubungan Masyarakat Anggota : Kasubdit ISPA, Kasubdit KLB, Kasubdit Penyehatan Kawasan dan Sanitasi Darurat, Kabag PI, Kabag Keuangan, Kabag Umum dan Kepegawaian
Editor dr. Sinurtina Sihombing, M.Kes dr. Regina T Sidjabat, M.Epid Eka Soni, SKM, MM Agus Sugiarto, SKM, M.Kes M Haris Subiyantoro, SKM dr. Tety Setyawati dr. Tri Setyanti Johanes Eko Kristiyadi, SKM, MKM dr. Romadona Triada drh. Ike Yuherlina dr. I Nyoman Kandun, MPH
Kesekretariatan Tengku Fakhrul Razy, SE Leny Marlina Novie Ariani, AMKL Hj. Sri Umiyati Sujadi
Informasi Redaksi menerima kiriman artikel yang relevan. Artikel diketik dengan format MS.Word, 12 point 1½, maksimal 5 halaman A4, artikel dapat dikirim ke alamat redaksi, dengan melampirkan foto kopi KTP yang masih berlaku, tim editor berhak menyeleksi, menyunting, mengedit dan menerbitkan artikel tanpa mengubah substansi
Dari kiri kekanan atas (drh. Gatot Mudiarto; drh. Ernawati; Ikha Purwandari, SKM; Eka Soni; Sri Sumartiningsih; Leny Marlina; Johanes E.K, SKM, MKes) bawah (Rosmaniar, SKp, MKes; dr. Sinurtina Sihombing, MKes; drh. Ima Nurisa Ibrahim; drh. Misriyah, M.Epid; Nurlina, SKM; drh. Dedeh Yulianti Rahayu)
Daftar Isi 3.
Peringatan Hari Rabies Sedunia 2012 Di Maumere
6.
Enam Kriteria Untuk Diagnosa Dini Rabies Pada Anjing Hidup
8.
Jalan Berliku Menuju Bebas Rabies.
11. Pengembangan Virus Tantang Rabies Dari Isolat Lokal Bali. 16. Sosialisasi Pengendalian Rabies Bagi Tenaga Kesehatan Di Provinsi Sulut. 19. Pengendalian Antraks di DKI Jakarta Dalam Rangka Penyediaan Pangan Hewani yang Aman Sehat Utuh Dan Halal (ASUH). 22. Mewaspadai Munculnya Virus H7N9 Dari China. 24. Memindai Jejak FB H5N1 Dari Parung Bogor Jawa Barat. 27. Pengenalan Zoonosa Pada Kegiatan International Scout Peace Camp 2013 29. Penguatan Sistem Kewaspadaan Dini Dan Respon Di Indonesia.
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
3
Peringatan Hari Rabies Sedunia 2012 Di MAUMERE, SIKKA, NTT Drh. Misriyah. M.Epid, dr. Sinurtina Sihombing. M.Kes, dr. Regina T Sidjabat. M.Epid, Eka Soni, dkk Subdit Pengendalian Zoonosis Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Dirjen Pengendalian Penyakit dan penyehatan Lingkungan, Kemenkes RI
[email protected]
B
erawal dari laporan kasus gigitan hewan penular rabies yang tidak pernah berhenti dan Dinas Kesehatan di wilayah Indonesia Timur diantaranya Sikka, yang sudah kewalahan melakukan penantalaksanaan kasus rabies dengan keterbatasan vaksin anti rabies untuk manusia ini, akhirnya perjuangan untuk bebas dari kasus anjing gila ini, mulai menjadi pemikiran para tokoh
agama dan tokoh masyarakat di Maumere. Seperti dilaporkan petugas surveilans Kabupaten Sikka, ada temuan kasus rabies atas nama D. 2 th/L, alamat Desa Nitakloang, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur, akhirnya meninggal di Rumah Sakit Umum Daerah TC Hillers, Maumere, 13 Agustus 2011, hal serupa terjadi terus setiap saat pada setiap penduduk di Maumere itulah yang membuat ramai
Komitmen Tokoh Agama Peduli Rabies, untuk menciptakan Flores-Lembata menuju bebas Rabies tahun 2017, yang di canangkan pada hari rabies sedunia di Maumere tanggal 8 Oktober 2012 di Gereja Nele, Sikka.
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
4 di berbagi media massa, dan membuat gerah pemerintah setempat dan pemerintah pusat, hal ini membuat seorang dokter yang ingin bersama-sama bergandengan tangan mengendalikan rabies di Maumere dengan tokoh agama, tokoh masyarakat dan semua unsur masyarakat yang peduli rabies. Maumere menggelegar dengan dilaksanakannya Peringatan Hari Rabies Sedunia yang dilaksanakan secara Nasional di Kabupaten Sikka tanggal 8-9 Oktober 2012, dalam hal ini Direktur PPBB (dr. Rita Kusriastuti, M.Sc) memberikan ucapan selamat kepada para tokoh agama diantaranya Majelis Ulama Islam Maumere, Keuskupan Maumere dan Lembaga Swadaya Masyarakat serta pejuang yang peduli rabies di Flores dengan bantuan dan dorongan dari berbagai pihak yang terlibat selama proses persiapan penyelenggaraan ini. Dasar pemilihan Provinsi Nusa Tenggara Timur dijadikan tuan rumah hari rabies se-dunia adalah pada tingkat keseriusan kejadian kasus yang mencapai 92 orang meninggal dunia (Lyssa) sampai tahun 2012 sedangkan data terakhir kematian akibat rabies secara nasional mencapai 846 (dari tahun 20082012, sumber data Subdit Pengendalian Zoonosis), pada acara peringatan Hari Rabies Sedunia 2012 ini dihadiri oleh hampir seribu undangan/peserta dan masyarakat yang antusias ikut memeriahkan pencanangan rabies se-dunia yang diramaikan di Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Peserta acara ini diantaranya dihadiri oleh, perwakilan WHO Indonesia (Dr. Graham Tallis), FAO (Eric Blum), Bupati Sikka (Drs Sosimus Mitang) , Wakil Bupati Sikka (dr. Wera Damiamus. MM, Pastor Paroki Sikka (Romo Wilfrid), Majelis Ulama Sikka, Direktur Keswan (drh. Pujiatmoko, PhD), Direktur PPBB (dr. Rita Kusriastuti, M.Sc), Kasubdit Pengendaliaan Zoonosis (drh. Misriyah.M.Epid), DPRD dan jajaran MUSPIDA Sikka serta seluruh masyarakat Sikka. WHO dan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties/OIE) berkomitmen mendukung upaya masyarakat internasional
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
memberantas penyakit anjing gila (rabies) di seluruh dunia. Penyakit virus yang menular dari hewan ke manusia tersebut telah menyebabkan kematian hampir 55.000 orang per tahun di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, sehingga dirasakan pentingnya untuk mensosialisasikan pentingnya mengetahui bahaya penyakit rabies serta pentingnya cuci luka pada gigitan hewan penular rabies dengan sabun/deterjen pada air yang mengalir selama 10-15 menit dan pemberian vaksin anti rabies pada kasus gigitan HPR sesuai indikasi. Para korban, kebanyakan anak-anak, meninggal setelah periode penderitaan yang mengerikan. “Setiap sepuluh menit satu orang meninggal akibat rabies di suatu tempat di dunia termasuk di Indonesia. Sembilan puluh sembilan persen kasus manusia akibat gigitan oleh anjing yang terinfeksi. Perwakilan WHO Indonesia (Dr. Graham Talis) menyampaikan selamat atas terselenggaranya peringatan hari rabies sedunia 2012 di Maumere ini karena dimotori oleh pemuka agama setempat dan tokoh masyarakat yang memberikan warna baru dalam pengendalian dan penanggulangan rabies di Maumere. Rabies menyebabkan kematian lebih banyak di dunia dibandingkan penyakit menular lainnya dan terutama memengaruhi anak-anak di negara berkembang,” kata Direktur Jenderal OIE Bernard Vallat dalam editorialnya di situs OIE, menyambut Konferensi Global Penanganan Rabies 7-9 September 2011, di Seoul, Korea Selatan. Keterpaduan dalam melaksanakan pengendalian rabies di Indonesia yang sudah lebih dahulu melakukan integrasi oleh Kemenkes dan Kementan serta pihak lain yang terkait mendapatkan ucapan selamat oleh perwakilan FAO Indonesia dimana hal tersebut juga disampaikan OIE sendiri yang berkantor di Paris, Perancis. Konferensi Global Penanganan Rabies tersebut diselenggarakan OIE bekerja sama dengan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agricultural Organization/FAO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO)
5 dan Pemerintah Korea Selatan. Konferensi tersebut diperlukan untuk mempertemukan semua pihak yang terlibat dalam mengendalikan rabies pada sumber hewani dan membantu untuk menciptakan sinergi antara usaha-usaha individual mereka.
kesempatan untuk menyoroti kisah sukses terbaru di bidang diagnosis, vaksinasi, kontrol populasi hewan, dan sistem pemerintahan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, dari sektor publik dan swasta.
Melihat pelaksanaan pengendaliaan rabies di NTT khususnya di Maumere sama dengan dibelahan negara lainnya, yang menurut OIE, mayoritas sumber daya yang tersedia di negara-negara endemik rabies saat ini diarahkan untuk mengobati manusia yang telah digigit (dalam banyak kasus oleh anjing). Kebanyakan anjing-anjing tersebut tanpa pemilik atau pemilik telah gagal bertanggung jawab atas kesehatan hewan dan untuk menjaga hewan di bawah kontrol yang masih lemah dalam hal ini dinas terkait.
Penyakit anjing gila disebabkan oleh virus rabies dari genus Lyssavirus. Virus rabies berada di air liur anjing atau karnivora lain. Penularan ke manusia terjadi karena penularan melalui air liur dari anjing terinfeksi rabies yang menggigit manusia. Anjing yang tertular virus rabies biasanya menunjukkan gejala terlihat buas hendak menggigit, air liur keluar berlebihan, dan takut air.
Seperti halnya di Indonesia pengendalian Hewan Penular Rabies oleh Dinas Peternakan setempat seperti depopulasi selektif dan pemberian vaksin pada anjing telah dilakukan dan OIE juga mencatat bahwa mengalokasikan bagian dari sumber daya ini untuk pencegahan rabies pada hewan dan pengendalian populasi anjing liar akan membantu pengurangan jumlah kasus rabies pada manusia dan hewan di seluruh dunia. Kegiatan Pengendalian rabies di Indonesia pada manusia bertumpu di Subdit Pengendalian Zoonosis Kementerian Kesehatan dimana secara nasional dikoordinasikan oleh Komnas Pengendalian Zoonosis sebagai koordinator pengendaliaan penyakit zoonosa tinggkat nasional yang mencoba menjembatani semua unsur yang ada di Republik Indonesia ini untuk berkontribusi membantu dan mengendalikan rabies, hal ini seperti yang menginspirasi Konferensi di Seoul tersebut yang memberi prioritas untuk keputusan pemerintahan, baik pada distribusi sumber daya publik atau swasta, lokal, nasional dan internasional terhadap tindakan prioritas pada hewan yang sejalan dengan konsep baru “Satu Kesehatan (One Health)”, yaitu konsep sinergi penanganan penyakit hewan dan manusia. Konferensi tersebut juga akan memberi
Di Indonesia, ratusan orang telah meninggal setelah digigit anjing yang terinfeksi virus rabies. Kasus anjing gila, misalnya, bahkan telah menyerang Pulau Bali, yang sejak zaman Belanda dianggap pulau bebas anjing gila. Kematian terbanyak pasien akibat anjing gila terjadi di Pulau Nias, Sumatera Utara, pada Februari 2011. Untuk meningkatkan kesadaran dunia atas pentingnya penanganan rabies, OIE (World Organization for Animal Health) dan WHO menyelenggarakan Hari Rabies Sedunia yang jatuh pada 28 September setiap tahunya.
Bersama-sama menyanyikan lagu Gulok (inovatif)
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
6
Enam Kriteria Untuk Diagnosa Dini Rabies Pada
Anjing Hidup drh. Gatot Mudiarto (Tenaga Fungsional Dokter Hewan) Direktorat Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian
Gambar 2
K
asus gigitan hewan (anjing) di wilayah endemis rabies atau wilayah baru memerlukan tindakan cepat dalam memutuskan langkah-langkah apa saja yang sebaiknya dilaksanakan sesuai dengan standar prosedur operasional pada penanggulangan wabah penyakit zoonosis rabies. Kriteria-kriteria yang dikembangkan tersebut sangat membantu petugas lapangan sebelum dilakukan diagnose pada hewan/ anjing, secara laboratorium. Dugaan dini apakah anjing menderita rabies atau tidak terserang rabies telah dipelajari oleh beberapa peneliti di Thailand dari Quen Saovabha Memorial Institute, Thai red Cross Society. Identifikasi dan uji retrosfektif dengan enam kriteria yang ditentukan telah dilakukan pada 1.170 ekor hewan selama periode 1988-1996, selama masa observasi 10 hari setelah menggigit korban. Pada studi prosfektif dengan enam kriteria yang dilakukan pada sejumlah 450 ekor anjing hidup yang diamati selama tahun 1997-2002. Hasil gabungan dua penelitian dan pengamatan menghasilkan tingkat sensitivitas 90,2%, sfesifitas 96,2% dan akurasi 84,6%, keenam kriteria kklinis yang dipelajari adalah : 1) Umur anjing? a) Kurang dari 1 bulan anjing tidak rabies b) Satu bulan atau lebih atau tidak diketahui
maka lanjut ke poin 2)
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
2) Keadaan kesehatan anjing? a) normal (tidak sakit) atau sakit lebih dari 10 hari artinya tidak rabies b) Sakit kurang dari 10 hari atau tidak diketahui maka lanjut ke poin 3)
3) Bagaimana perkembangan penyakit? a) jika onset/gejala penampakkan akut dari kesehatan maka anjing normal atau tidak rabies b) onset gejala penampakkan secara bertahap atau tidak jelas diketahui maka lanjut ke poin 4)
7 5. Menjilati air secara abnormal. 6. Regurgitasi/muntah. 7. Perilaku berubah. 8. Menggigit dan makan benda-benda secara abnormal. 9. Agresif. 10. Menggigit dengan tanpa provokasi. 4) Bagaimana kondisi klinis selama 3-5 hari terakhir?
12. Kekakuan saat berlari atau berjalan.
a. stabil atau ada perbaikan (dengan tanpa perlakuan) maka tidak rabies
13. Gelisah.
b. Gejala dan tanda-tanda progresif atau tidak jelas diketahui maka lanjut ke poin 5)
15. Penampakan mengantuk.
5) Apakah anjing “Circling”?
11. Berlari tanpa alasan yang jelas.
menunjukkan
tanda
14. Gigit selama masa karantina (Gambar 2).
16. Ketidakseimbangan langkah. 17. Sering mempertunjukkan posisi “Anjing duduk.
(tersandung/terhuyung atau berjalan berputar dalam lingkaran dan membentur kepalanya ke dinding seolah-olah buta.) a) Jika tidak rabies (kemungkinan distemper, paramixovirus yang menyebabkan ensefalitis) b) Tidak atau tidak jelas diketahui maka lanjut ke poin 6)
6) Apakah anjing menunjukkan tanda-tanda atau gejala minimal 2 dari 17 gejala berikut selama minggu terakhir kehidupannya? a) Ya rabies b) Tidak atau hanya menampilkan 1 tanda bukan rabies Gejala klinis sebagai berikut :
Referensi : – Six criteria for Rabies Diagnosis in Living Dogs. Veera Tepsumethanon, DVM, Henry Wilde, MD, FACP , Francois X Meslin, DVM. J Med Assoc Thai Vol. 88 No.3 2005.
1. Rahang terkulai. 2. Suara menggonggong secara abnormal. 3. Lidah menjulur dan kering. 4. Menjilati air kencing sendiri.
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
8
JALAN BERLIKU
MENUJU BEBAS
RABIES
Oleh: drh. Ernawati Medik Veteriner Pertama Sub Direktorat Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan Direktorat Kesehatan Hewan - Kementerian Pertanian
S
alah satu penyakit zoonosis di Indonesia yang begitu menyita perhatian dan dana dari banyak pihak adalah Rabies atau Anjing Gila . Dikenal dengan nama anjing gila karena sekitar 98% kasus ditularkan melalui gigitan anjing dengan salah satu gejala klinis anjing yang terinfeksi bisa bertingkah sangat tidak biasa, menggigit apa saja yang ada didekatnya. Penyakit yang disebabkan oleh virus ini tersebar di sebagian besar wilayah di seluruh penjuru dunia, memiliki sifat akut, zoonosis, dan termasuk penyakit yang sulit diberantas. Hal ini bisa dibuktikan dengan masih adanya kasus baik pada hewan maupun pada manusia.
korban lyssa di Indonesia pada 3 tahun terakhir ratarata 168 kasus/tahun.
Anjing merupakan tersangka utama penyebab penularan penyakit ini di sebagian besar wilayah Asia dan Afrika, dengan rata-rata korban berumur dibawah 15 tahun. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat biasanya anak-anak suka berinteraksi dengan hewan, dan anjing merupakan salah satu hewan peliharaan favorit.
2. Daerah Tertular
Menurut catatan sejarah rabies di Indonesia, kasus pertama kali dilaporkan terjadi pada tahun 1884 oleh Esser, dimana menginfeksi seekor kerbau. Lalu Eilerts de Haan melaporkan kasus pada anjing di tahun 1889 dan pada manusia di tahun 1894. Kasus-kasus tersebut semuanya terjadi di daerah Jawa Barat. Setelah itu rabies menyebar ke berbagai wilayah Indonesia. Hingga kini, sebagian besar wilayah Indonesia merupakan daerah endemis rabies. Dari 34 provinsi yang ada, hanya 9 provinsi yang berstatus bebas dari rabies (Kepulauan Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, NTB, Papua, Papua Barat). Ini artinya bahwa di mayoritas wilayah negara Indonesia, rabies merupakan ancaman bagi kita semua. Berdasarkan data dari Subdit Zoonosis Direktorat P2B2 Kementerian Kesehatan, rata-rata
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
Berdasarkan status rabies, dibedakan menjadi 3 yaitu:
wilayah
dapat
1. Daerah Bebas • •
•
Secara historis belum ada laporan kejadian kasus rabies Untuk daerah yang dibebaskan, sudah tidak ada kasus rabies baik di wilayah tersebut selama 2 tahun terakhir dan didukung oleh hasil surveilans
Wilayah yang masih memiliki kasus rabies secara klinis dan laboratoris
3. Daerah Tersangka • •
Wilayah dengan kasus rabies secara klinis, namun belum dibuktikan secara laboratoris Wilayah yang berbatasan langsung dengan daerah tertular tanpa ada barrier alam
Penyakit rabies ditularkan melalui gigitan atau jilatan hewan penderita rabies karena virus yang terkandung di dalam air liur hewan masuk melalui luka gigitan/kulit yang terluka atau dapat juga melalui mukosa. Apabila virus berhasil menginfeksi dan menimbulkan gejala klinis pada korban hewan ataupun manusia, dapat dipastikan bahwa penderita akan mengalami kesakitan yang luar biasa dan diakhiri dengan kematian. Masa inkubasi (waktu yang diperlukan terhitung sejak masuknya virus ke dalam tubuh sampai menimbulkan gejala penyakit) pada anjing dan kucing antara 10 hari sampai 6 bulan, namun pada banyak kasus yang terjadi inkubasi antara 2 minggu hingga 3 bulan. Sedangkan untuk kasus rabies
9 pada sapi, masa inkubasinya antara 25 hari - 5 bulan (sumber: OIE). Hal ini dipengaruhi oleh parah tidaknya luka gigitan, jauh dekatnya luka dengan susunan syaraf pusat, banyaknya syaraf pada luka gigitan, serta jumlah virus yang masuk ke dalam luka gigitan dan jumlah luka gigitan. Virus rabies yang masuk ke dalam tubuh hewan melalui gigitan hewan akan tetap tinggal di tempat masuk dan atau di dekat tempat gigitan selama sekitar 2 minggu. Selanjutnya virus akan bergerak mencapai ujung-ujung serabut syaraf posterior tanpa menunjukkan perubahan fungsinya. Sepanjang perjalanan ke otak, virus rabies akan berkembang biak hingga sampai di otak dengan jumlah virus maksimal. S e t e l a h menyebar luas ke semua bagian neuron, virus ini akan masuk ke selsel limbic, hipotalamus, dan batang otak. Kemudian virus akan memperbanyak diri pada neuron-neuron sentral dan selanjutnya bergerak ke seluruh organ dan jaringan tubuh untuk berkembang biak seperti pada adrenal, ginjal, paru-paru, hati dan jaringan tubuh lainnya. Gejala dan tanda rabies pada hewan ada 2 (dua) tipe yaitu : 1. Tipe ganas (tambahkan gambar anjingnya) • • • • •
Tidak mau menuruti perintah pemilik Hipersalivasi (air liur berlebihan) Hewan menjadi ganas, menyerang atau menggigit apapun yang ditemui Kejang yang diikuti paralisa Setelah 4-7 hari sejak timbul gejala biasanya mengalami kematian, atau paling lama 2 minggu.
2. Tipe Jinak •
Bersembunyi di tempat yang gelap dan sejuk
• •
Terkadang mengalami kejang-kejang Paralisa dan kematian dalam waktu singkat
Rabies memang belum dapat diberantas. Indonesia mempunyai target untuk dapat bebas pada tahun 2020, seiring d e n g a n p r o g r a m pembebasan w i l a y a h ASEAN (sesuai kesepakatan yang telah dicapai Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) bersama-sama dengan negara China, Jepang dan Korea pada tanggal 23-25 April 2008 di Hanoi, Vietnam untuk memberantas rabies dan membebaskan wilayah Asia Tenggara pada tahun 2020). Cara-cara yang telah dilaksanakan melakukan pengendaliannya antara lain:
dalam
1. Sosialisasi kepada masyarakat Dilakukan oleh petugas kesehatan hewan, pemuka agama, guru menggunakan media berupa poster, leaflet, komik, siaran radio 2. Melakukan vaksinasi rutin pada HPR baik yang dipelihara maupun yang liar dan pemberian tanda pasca vaksinasi (pemasangan colar). Vaksinasi dapat dilaksanakan baik di wilayah endemis maupun wilayah bebas yang terancam sesuai rekomendasi Tim Komisi Ahli Kesehatan Hewan pada tahun 2011. 3. Melakukan kontrol populasi HPR (eliminasi selektif, sterilisasi)
Hal ini dilakukan untuk meningkatkan coverage vaksinasi mengingat jumlah populasi yang terus meningkat dan terbatasnya vaksin dan tenaga vaksinator yang tersedia.
4. Memperbaiki pola pemeliharaan dengan cara mengikat atau mengandangkan HPR
yang diperkuat dengan keputusan dari masingmasing pimpinan dengan penetapan sanksi bagi yang melanggar agar dilaksanakan masyarakat.
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
10 5. Melakukan pengawasan lalu lintas HPR antar wilayah 6. Adanya koordinasi dan kerjasama yang baik antara masyarakat dan semua instansi terkait 7. Surveilans 8. Meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan hal yang berkaitan dengan kesehatan hewan. Contohnya dengan penempatan tenaga harian lepas diberbagai wilayah, pelatihan penanganan rantai dingin untuk mempertahankan kualitas vaksin, penambahan puskeswan maupun sarana laboratorium.
b. Belum adanya unsur kesehatan hewan pada semua sebagian besar dinas di tingkat provinsi, kabupaten/kota atau kecamatan sehingga kegiatan penanggulangan belum merata pelaksanaannya. c. Pemeliharaan HPR yang diliarkan d. Sebagian pemilik HPR tidak mau melakukan vaksinasi pada HPR meraka e. Kurangnya vaksin yang tersedia dengan populasi yang semakin meningkat f.
Kurangnya pendanaan yang dialokasikan untuk program penanggulangan rabies
g. Kurangnya SDM baik dari kualitas maupun kuantitas Hal-hal yang harus dilakukan apabila terjadi kasus gigitan HPR antara lain sebagai berikut: 1. Pada korban gigitan • •
Dilakukan pencucian luka menggunakan air mengalir dan sabun selama 10 - 15 menit Segera melakukan konsultasi ke pelayanan kesehatan (puskesmas/rumah sakit/rabies centre) untuk mendapatkan pengobatan selanjutnya.
2. Pada HPR yang menggigit •
•
HPR yang menggigit harus ditangkap kemudian diikat atau dikandangkan, tetapi tidak dibunuh Dilakukan observasi selama 14 hari dibawah pengawasan dokter hewan/petugas terkait. Apabila anjing mati pada masa observasi tersebut, dilakukan pengambilan sampel berupa organ otak (hippocampus) yang disimpan dalam larutan NaCl fisiologis, dan segera dikirim ke laboratorium veteriner terdekat.
Kendala yang sering dihadapi dalam pelaksanaan penanggulangan: a. Di beberapa wilayah masih ada masyarakat maupun petugas yang kurang menyadari akan bahaya rabies
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
h. Pertentangan dari berbagai pihak akan program kontrol populasi i.
Tingginya lalu lintas HPR yang bersifat ilegal
j. Belum tersedianya data populasi HPR yang akurat.
DAFTAR PUSTAKA 1. Kiat Vetindo Rabies Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia, Penyakit Rabies, Direktorat Jenderal Peternakan, Direktorat Kesehatan Hewan, 2007; 2. Pedoman Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Rabies, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan, 2012; 3. Rekomendasi Tim Komisi Ahli Kesehatan Hewan mengenai Kebijakan Pengendalian dan Pemberantasan Rabies Tahun 2011; 4. Terrestrial Animal Health Code, Chapter 8.10., OIE, Tahun 2012; 5. Rabies and Rabies-Related Lyssaviruses, The Center food Security & Public Health, Iowa State University, 2012.
11
PENGEMBANGAN VIRUS TANTANG RABIES DARI ISOLAT LOKAL BALI Ketut Karuni Nyanakumari Natih, Dodo Hermawan, Neni Nuryani, Ferry Ardiawan, Enuh Rahardjo Djusa Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan Gunungsindur, Bogor Jl. Raya Pembangunan, Gunungsindur Bogor 16340 Telp.(021)7560489; Fax. (021)7560466 ; http://www.bbpmsoh.org
PENDAHULUAN
Secara nasional penyakit rabies merupakan penyakit zoonosis yang menempati prioritas utama dari 12 jenis Penyakit Hewan Menular (PHM) berdasarkan Kepdirjen No:59/Kpts/PD.610/05/2007 tanggal 9 Mei 2007 (DIRKESWAN 2009). Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan berperan penting mensukseskan pembangunan dalam bidang kesehatan hewan melalui tugas pokoknya dengan mengawasi dan menguji mutu obat hewan yang beredar di Indonesia. Tugas pokok BBPMSOH diantaranya melaksanakan pengujian mutu, sertifikasi, pengkajian dan pemantuan obat hewan (BBPMSOH 2006). Bagaimana peran BBPMSOH dalam pemberantasan rabies di Indonesia?. Perannya adalah dengan menguji, mengkaji dan memantau vaksin rabies yang beredar di Indonesia. Pengujian kualitas vaksin rabies dilakukan terhadap vaksin rabies yang baru terdaftar ataupun daftar ulang di Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. Selain itu juga menguji mutu vaksin rabies dari kiriman dinas peternakan dan vaksin rabies yang diambil langsung dari lapangan. Hanya vaksin yang memenuhi syarat yang boleh diedarkan di Indonesia (Natih dkk 2011). Salah satu pengujian kualitas vaksin rabies di BBPMSOH adalah uji potensi dengan metode Habel yang menggunakan virus tantang rabies standar atau CVS (Challenge Virus Standard) (DITJENNAK 2007). Bagaimana bila menggunakan virus tantang rabies lokal?. Saat ini sedang dikembangkan virus rabies lokal yang berasal dari Propinsi Bali yang berpotensi sebagai virus tantang. Pengembangan ini bertujuan untuk mendapatkan satu virus tantang rabies lokal yang akan digunakan pada uji kualitas vaksin rabies sehingga diketahui potensi atau efikasi vaksin rabies
yang beredar di Indonesia terhadap virus rabies dari lapangan.
MATERI DAN METODE Virus
Beberapa isolat virus rabies lapang berasal dari Propinsi Bali digunakan sebagai kandidat virus tantang rabies lokal. Challenge Virus Standar digunakan sebagai kontrol positif.
Isolasi dan Identifikasi Virus Rabies
Isolasi virus dilakukan dengan cara meng-inokulasi suspensi otak mencit pada sel neuroblastoma (N2A) ((Djusa dkk 2011). Pengamatan terhadap cytophatic effect (CPE), yaitu terjadinya kerusakan atau perubahan pada sel dilakukan setiap hari selama 7 hari. Identifikasi virus rabies dilakukan dengan uji Fluorescent Antibody Technique (FAT) dan secara molekuler dengan Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) yang menggunakan primer untuk mengamplifikasi gen N (RHN 17 (TTC AAA GTC AAT CAG GTG G ) dan RHN 18 (CCA TGT AGC ATC CAA CAA AGT))
Propagasi Virus Rabies
Propagasi dilakukan untuk memperbanyak virus. Suspensi otak mencit diinokulasikan pada mencit umur 3-4 minggu atau anak mencit yang masih menyusu (suckling mice) umur 1-2 hari sebanyak 0.03 ml secara intracerebral (IC) (Gambar 1). Pengamatan dilakukan dua kali sehari selama 2 sampai 4 minggu. Mencit yang menunjukkan gejala klinis rabies diambil dan disimpan pada suhu -80o C untuk selanjutnya dilakukan panen virus rabies dari otak mencit.
Panen Virus Rabies
Mencit yang terinfeksi rabies yang disimpan pada suhu -80oC dicairkan. Panen virus dilakukan dengan cara mengambil bagian otak mencit kemudian dihomogenkan dengan larutan faali yang yang mengandung 2 % Horse Serum (HS), selanjutnya disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 15
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
12 menit. Cairan bagian atas atau supernatannya diambil dan disimpan pada suhu -80oC (Gambar 2). Titrasi Virus Rabies Titrasi virus dilakukan untuk mengetahui berapa kandungan virusnya. Caranya adalah virus diencerkan dengan kelipatan 10 kali dari 10-1 sampai 10-8 dan diinokulasikan sebanyak 0.03 ml secara IC pada 10 ekor mencit umur 3-4 minggu pada masingmasing pengenceran (Gambar 3). Pengamatan terhadap gejala rabies dilakukan selama 2 sampai 4 minggu.
isolat tersebut menunjukkan masa inkubasi yang berbeda. Masa inkubasi virus rabies lokal terlihat lebih lama dibandingkan dengan CVS yang terjadi pada hari ke-6 sampai hari ke-9.
Gejala klinis rabies pada mencit ada yang mati tiba-tiba tanpa menunjukkan gejala atau diawali dengan tremor, kejangkejang, kelumpuhan kaki belakang, mata mengecil dan meredup, dan mati (Gambar 4).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Masa inkubasi virus rabies isolat lapang setelah mengalami beberapa pasase terlihat berkurang dari pasase awal. Propagasi virus rabies pada suckling mice hanya dilakukan sebanyak 3 kali karena masa inkubasi yang berkurang sampai hari ke-6 sehingga sulit untuk memanen virusnya.
Hasil positif pada diagnosa isolat virus rabies lapang dengan uji FAT (gold standard) akan dilanjutkan dengan Gambar 1. Propagasi virus rabies pada mencit isolasi virus rabies pada A. Inokulasi virus rabies pada mencit secara IC B. Inokulasi virus rabies pada suckling mice secara IC biakan sel N2A. Hasil positif pada sel N2A terlihat dengan timbulnya CPE. Hasil isolasi virus pada biakan jaringan menunjukkan bahwa sel N2A dapat Dari beberapa isolat yang telah dipropagasi, digunakan untuk isolasi virus lapang rabies dengan dipilihlah satu untuk dijadikan kandidat virus tantang. terlihat jelas adanya CPE setelah dilakukan passage 2 – 3 Gejala klinis pada virus rabies lapang kode CVB751 kali (Djusa dkk 2011). setelah beberapakali dipropagasikan pada mencit terlihat stabil timbul pada hari ke-6 post inokulasi. Sebagaimana neurotropik virus, rabies dapat melekat Hasil titrasi virus rabies CVB751 setelah dipasase 7 pada membran plasma dari jaringan syaraf sel N2A. kali pada mencit terlihat makin meningkat dan telah Sensitifitas paling tinggi pada sel N2A dibandingkan mencapai nilai standar virus tantang rabies yang dengan sel lestari lainnya telah banyak diteliti (Iwasaki digunakan pada uji potensi vaksin rabies, yaitu 106.1 1977, Clark 1980, Umoh 1983, Tsiang 1985), sehingga MLD50 (mice lethal dose) (Tabel 2). dengan menggunakan sel N2A dapat digunakan untuk pengganti uji biologis dengan menggunakan mencit (in Masa inkubasi rabies adalah masa masuknya vivo). virus ke dalam tubuh hewan atau manusia sampai menimbulkan gejala penyakit. Masa inkubasi virus Spesimen virus rabies yang mengandung banyak rabies pada spesies satu dengan lainnya bervariasi. antigen dapat dengan mudah dideteksi dengan Masa inkubasi pada hewan antara 3-8 minggu uji impression smear FAT, dan uji biologis dengan sedangkan pada manusia biasanya 2-8 minggu, mencit. Tetapi sebaliknya spesimen virus rabies yang kadang-kadang 10 hari sampai 2 tahun, tetapi rata-rata mengandung sedikit antigen dibiakan terlebih dahulu masa inkubasinya 2-18 minggu. Masa inkubasi virus pada jaringan sel N2A (Griffim 1984). pada anjing sebagai hewan penular rabies umumnya selama 10-14 hari (Madigan 2009). Identifikasi cepat dilakukan secara molekuler dengan
A
menggunakan RT-PCR menunjukkan hasil yang positif pada band 947 (Djusa dkk 2011). Pengamatan masa inkubasi rabies pada mencit propagasi awal dapat dilihat pada Tabel 1. Beberapa
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
B
Penyakit rabies pada tikus umumnya jarang terjadi atau memang tidak ada laporannya. Rabies pada hewan percobaan seperti mencit setelah terpapar virus rabies lapangan biasanya masa inkubasinya selama
13
Gambar 2. Panen virus rabies dari otak mencit
beberapa bulan dan tidak menimbulkan gejala klinis sampai timbul paralisis dan kematian (Cobalt 2011). Dari hasil pengamatan masa inkubasi rabies lokal pada mencit propagasi awal memang menunjukkan masa inkubasi yang lebih lama dibandingkan dengan CVS. Gejala klinis pada CVS biasanya muncul pada atau setelah hari ke-5 pasca inokulasi. Uji potensi rabies dianggap tidak layak bila lebih dari 2 mencit pada setiap kelompok mati pada hari ke-1 sampai hari ke- 4 setelah uji tantang. Pengamatan terhadap gejala klinis rabies pada hari ke-5 sampai hari ke-14 setelah uji tantang (European Pharmacopoeia 2012). Pengamatan gejala klinis rabies CVB751 pada mencit menunjukkan kematian yang tiba-tiba, tremor, kejang-kejang, kelumpuhan kaki belakang, takut cahaya, dan mati. Gejala rabies pada mencit terdiri dari 3 stadium sama halnya seperti pada anjing atau manusia, yaitu stadium prodromal, furious atau ganas dan paralisis. Pada stadium prodromal, gejala klinis terjadi karena virus rabies mulai bereplikasi dan menyebar melalui sistem saraf. Pada tahap ini mencit terlihat tidak beraktifitas, mata mengecil, bulu berdiri dan tremor. Selanjutnya perilaku mencit akan berubah dari diam menjadi agresif pada stadium ganas. Umumnya mencit sebagai binatang malam akan menjadi aktif setiap saat. Hal ini karena virus rabies sudah menginfeksi sistem saraf sehingga timbul gejala saraf seperti agresif, sensitif terhadap cahaya dan sentuhan, dan menyerang. Lebih lanjut virus rabies akan mempengaruhi otak yang berakibat pada gejala tahap akhir yaitu paralisis. Mencit biasanya
Gambar 3. Titrasi virus rabies pada mencit
sulit berjalan atau tidak bisa bergerak, gejala lain adalah tidak mampu menelan atau mengunyah yang terlihat pada kondisi tubuh yang mengecil. Kematian umumnya terjadi setelah munculnya paralisis. Tetapi ada juga yang walaupun tidak menunjukkan stadium prodoma atau ganas, mencit menunjukkan gejala tahap akhir atau tiba-tiba sudah mati (Cobalt 2011), sehingga diperlukan pengamatan yang cermat dilakukan minimal 2 kali sehari. Pada hasil pengamatan walaupun telah dilakukan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari tetap ditemukan mencit yang mati dengan tanpa gejala, hal ini kemungkinan juga disebabkan oleh waktu pengamatan yang kurang tepat. Vaksin rabies merupakan salah satu cara tepat agar mengurangi penyebaran virus rabies penyebab rabies. Uji potensi vaksin rabies dilakukan untuk mengetahui potensi atau efikasi suatu vaksin setelah melalui suatu uji tantang. Uji potensi sangat diperlukan untuk melihat apakah vaksin rabies tersebut dapat menahan infeksi atau serangan dari virus rabies strain ganas. Sampai saat ini uji potensi vaksin rabies dilakukan di BBPMSOH dengan metode Habel dan menggunakan virus tantang rabies standar atau CVS. Vaksin dinyatakan memenuhi syarat apabila mempunyai titer minimal 103 MLD50 (WHO 1996; DITJENNAK 2007). Pengembangan virus rabies lokal dari propinsi Bali yaitu CVB751 merupakan kandidat virus tantang rabies lokal untuk menguji mutu vaksin rabies yang beredar di Indonesia. Titer virus rabies CVB751 sampai
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
14 Gambar 3. Gejala klinis rabies pada mencit
A. Mencit umur 10 hari dengan tremor dan kejang-kejang
C. Mencit umur 21 hari dengan kematian tanpa gejala (tiba-tiba)
B. Mencit umur 23 hari dengan kelumpuhan kaki belakang dan mata yang meredup
D. Mencit umur lebih dari 4 minggu dengan gejala tenang, ganas, kelumpuhan kaki belakang dan kematian
NO.
Kode virus
TITER (MLD50/0.03ml)
Timbul Gejala Klinis Hari ke-
1.
CVB1266m1
4.1
2.
CVB751m1
4.0
7
3.
CVB322m1
3.1
13
4.
751 N2A
1.1
12
11
5.
CVB751sm3m1
3.9
7
6.
CVB751sm3m2
3.8
8
7.
CVB751sm3m3
3.8
9
8.
CVB1266sm1m1
4.1
9
9.
CVB751sm3m4
4.2
6
10.
CVB751sm3m5
4.9
6
11.
CVB751sm3m6
5.4
6
12.
CVB751sm3m7
6.1
6
Tabel 2. Hasil Titrasi Virus Rabies Bali (CVB) Pada Mencit
pasase 7 pada mencit telah mencapai 106.1 MLD50 sesuai dengan standar titer virus tantang rabies yaitu 106 sampai 108 MLD50 (WHO 1996). Tetapi sampai saat ini masih dilakukan propagasi dan titrasi virus untuk mengetahui kestabilan virus rabies lokal ini sebelum digunakan sebagai virus tantang. Tersedianya virus tantang rabies lokal ini diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui potensi atau efikasi vaksin rabies setelah melalui suatu uji tantang dengan strain lokal. Kualitas atau mutu vaksin rabies ditentukan apakah vaksin tersebut bisa memberikan kekebalan
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
Tabel 1. Masa inkubasi propagasi awal beberapa virus rabies lokal dari Propinsi Bali dibandingkan dengan CVS
Kode Virus Rabies
Masa Inkubasi
CVS
Hari ke- 6
1266sm1
Hari ke-13
1266m1
Hari ke-13
751sm1
Hari ke- 21
751m1
Hari ke- 20
322m1
Hari ke- 20
916sm1
Hari ke-23
916m1
Hari ke- 23
212m1
Hari ke- 23
Keterangan: sm= suckling mice; m= mice
terhadap virus lokal atau lapang, sehingga untuk menguji vaksin yang mutu maka vaksin tersebut harus ditantang dengan isolat lokal.
KESIMPULAN DAN SARAN Pengembangan beberapa virus rabies dari isolat
15 lokal Bali menghasilkan satu kandidat virus tantang rabies lokal yaitu CVB751. Tersedianya virus rabies lokal CVB751 sebagai virus tantang dapat digunakan untuk mengetahui potensi atau efikasi vaksin rabies, sehingga mutu vaksin yang beredar di Indonesia sesuai dengan kasus yang ada di lapangan dan program vaksinasi bisa berhasil meredakan atau menekan kasus di lapang dan mendapatkan kekebalan yang sangat baik terhadap virus lapang. Selain itu digunakan untuk mengetahui titer antibodi dari virus vaksinasi atau lapang dengan menggunakan uji serum netralisasi dengan pembanding CVS. Pemeliharaan virus rabies lokal CVB751 harus tetap dilakukan agar titer virus CVB751 stabil sebagai virus tantang. Uji potensi vaksin rabies yang akan datang dapat digunakan CVS dan CVB751 untuk membandingkan protektifitas vaksin rabies terhadap kedua virus tersebut.
DAFTAR PUSTAKA [BBPMSOH] Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan. 2006. Perjalanan panjang Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) 1984-2006. Jakarta: GITAPustaka. Clark H F. 1980. Rabies serogroup viruses in neuroblastoma cells: propagation, “autointerference,” and apparently random backmutation of attenuated viruses to the virulent state. Infect. Immun. 27:1012-1022. Cobalt D. 2011. Rabies symptoms in pet mice. http:// www.ehow.com/list_6678787_rabies-symptomspet-mice.html [21 Desember 2011]. [DIRKESWAN] Direktur Kesehatan Hewan. 2009. Kebijakan nasional pemberantasan Rabies pada hewan. Disampaikan pada: Rapat Koordinasi Regional Rabies Se Sumatera Banda Aceh, 28 - 30 Oktober 2009. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian.
Djusa ER, Tenaya IWM, Natih KKN, Agustini NLP, Wirata K, Yupiana Y, Hermawan D, Nuryani N. 2011. Isolasi dan identifikasi isolat virus rabies lapang. Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah Kesehatan Hewan Tahun 2011. Poster dan Prosiding. European Pharmacopoeia 5.0. 2012. Rabies vaccine (inactivated) for veterinary use. http://lib.njutcm.edu.cn/yaodian/ep/EP5.0/09_ monographs_on_vaccines_for_veterinary_use/ Rabies%20vaccine%20%28inactivated%29%20 for%20veterinary%20use.pdf [21 Juni 2012] Griffin C W. 1984. Performance evaluation critique. Fluorescent rabies antibody test 1983-1984, p. 2-4. Centers for Disease Control, Atlanta. Iwasaki YI, HF Clark. 1977. Rabies virus infection in mouse neuroblastoma cells. Lab. Invest. 36:578-584. Madigan MT (2009). Brock Biology of Microorganisms Twelfth Edition. hlm. 1003-1005. Natih KKN, Yupiana Y, Hermawan D, Nuryani N, Djusa ER. 2011. Kualitas vaksin rabies yang beredar di Indonesia. Buletin Penyakit Zoonosis 11: 23-24. Touihri L, Zaouia I, Elhili K, Dellagi K, Bahloul C. 2011. Evaluation of mass vaccination campaign coverage against rabies in dogs in Tunisia.Zoonoses and Public Health, 58: 110-118. Tsiang H. 1985. An in-vitro study of rabies virus pathogenesis. Bull. Inst. Pasteur 83:41-56. Umoh JU, DC Blenden. 1983. Comparison of primary skunk brain and kidney and raccoon kidney cells with established cell lines for isolation and propagation of street rabies virus. Infect. Inimun. 41:1370-1372. [WHO] World Health Organization. 1996. Laboratory techniques in rabies. Fourth Edition. Edited by FX Meslin, MM Kaplan and H Koprowski. WHO. Geneva.
[DITJENNAK] Direktorat Jendral Peternakan. 2007. Farmakope Obat Hewan Indonesia. Jilid I (Sediaan Biologik). Ed ke-3. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian.
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
16
SOSIALISASI PENGENDALIAN RABIES BAGI TENAGA KESEHATAN DI PROVINSI SULAWESI UTARA MANADO, 25 – 27 MARET 2013 drh. Misriyah M.Epid. dkk dan hanya 9 provinsi masih bebas rabies. Daerahdaerah yang bebas rabies adalah Kepulauan Riau, Pulau Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua dan Papua Barat. Selama 2010 – 2011 kasus gigitan hewan penular rabies meningkat dari 78574 menjadi 84010 kasus, tetapi kematian akibat rabies menurun dari 206 menjadi 184 kematian.
Pendahuluan
Rabies adalah penyakit infeksi sistem syaraf pusat akut pada manusia dan hewan berdarah panas yang disebabkan oleh virus rabies. Rabies merupakan penyakit zoonosa penting (penyakit yang ditularkan ke manusia melalui hewan), karena hingga kini belum ditemukan obatnya, jika gejala penyakit telah ditemukan, maka rabies akan selalu menyebabkan kematian. Rabies telah menyebar luas secara global, dengan hanya beberapa negara (umumnya kepulauan dan semenanjung) bebas rabies. Rabies berkembang cepat di negara-negara berkembang di America Selatan dan Tengah, Afrika dan Asia, dimana terdapat angka kematian tinggi. Lebih dari 90 % kasus kematian rabies pada manusia disebabkan oleh anjing: banyak kematian terjadi di Asia dan Afrika. Setiap tahun, lebih dari 15 milyar orang diseluruh dunia mendapatkan vaksin pencegahan pasca gigitan – saat ini diperkirakan 327.000 kematian rabies setiap tahunnya. Di Indonesia, rabies selalu menyebar ke daerah bebas rabies secara histori, seperti Provinsi Bali yang telah terinfeksi akhir tahun 2008, Provinsi Riau tertular tahun 2009 dan Pulau Nias juga tertular awal tahun 2010, sejauh ini 24 provinsi telah tertular
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
Di Provinsi Sulawesi Utara, selama 2010 – 2011 jumlah kasus gigitan hewan penular rabies meningkat dari 1412 menjadi 2961 kasus. Jumlah kematian akibat rabies meningkat dari 26 menjadi 35 kematian. Mengingat jumlah kasus gigitan hewan penular rabies dan kematian akibat rabies meningkat dalam tiga tahun terakhir, khususnya di Provinsi Sulawesi Utara dan tingginya rotasi tenaga kesehatan, sehingga diperlukan untuk melakukan pelatihan bagi pengelola pengendalian rabies untuk meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan dalam aktivitas pengendalian rabies yang meliputi tatalaksana kasus gigitan hewan penular rabies, surveilans rabies, pelaporan dan respon kejadian luar biasa di lapangan.
Tujuan Umum
Menguatkan kapasitas tenaga kesehatan dalam kegiatan pengendalian rabies di lapangan.
Tujuan Khusus
Setelah pelatihan seluruh mengerti dan melaksanakan
peserta
dapat
1. Kebijakan dan strategi untuk pencegahan rabies pada manusia 2. Kebijakan nasional dan strategi bagi eradikasi rabies pada hewan 3. Peran dan fungsi Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis dalam pengendalian zoonosis di
17
Indonesia (Pusat, Kabupaten/Kota) 4. Situasi Provinsi dan strategi bagi pencegahan rabies pada manusia 5. Situasi Provinsi dan strategi bagi eradikasi rabies pada hewan 6. Epidemiologi rabies: definisi kasus, patofisiologi, diagnosis dan tatalaksana kasus (lesson learned Provinsi Bali) 7. Lesson learned Pemberdayaan Tokoh Agama beserta masyarakat dalam pengendalian rabies di Paroki Nelle – Maumere 8. Epidemiologi rabies dan eliminasi efektif rabies pada hewan dan manusia (masyarakat veteriner) 9. Strategi karantina hewan bagi pengendalian rabies 10. Pemeriksaan laboratorium dan penanganan spesimen rabies pengepakan dan pengiriman)
prosedur (sampai
11. Penyelidikan epidemiologi, pelaporan kasus gigitan hewan penular rabies dan lyssa pada manusia 12. Promosi kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan kolaborasi lintas sektor dalam pengendalian rabies 13. Monitoring dan evaluasi pengendalian rabies 14. Rencana tindak lanjut
Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan Sosialisasi Pengendalian Rabies bagi Tenaga Kesehatan di Provinsi Sulawesi Utara dilaksanakan tanggal 25 – 27 Maret 2013 bertempat di Arya Duta Hotel – Manado dibuka oleh dr. Emil Agustiono, M.Kes. selaku Sekretaris/Ketua Pelaksana Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis didampingi oleh dr. Maxi R. Rondonuwu, SHSM. selaku Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara, drh. Misriyah, M.Epid selaku Kasubdit Pengendalian Zoonosis Kementerian Kesehatan dan dr. Selamet Hidayat, MPH selaku Perwakilan WHO Indonesia. Kegiatan ini dihadiri sebanyak 43 peserta yang berasal dari para pengelola program rabies, petugas rabies center, petugas peternakan dan kesehatan hewan dari Provinsi dan 15 Kabupaten/
Kota se-Provinsi Sulawesi Utara, RSUP dr. Kandou, RSUD beberapa Kabupaten dan Kantor Kesehatan Pelabuhan Manado. Metode yang digunakan dalam sosialisasi ini meliputi penyajian dari beberapa narasumber, diskusi interaktif (Kartu Meta), diskusi kelompok (Studi Kasus) dan penilaian (Pre dan Post Test). Para narasumber yang menghadiri kegiatan ini terdiri dari Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang PPBB), Kepala Balai Karantina Hewan dan Keselamatan Biologik Kelas I Manado, RSUP Sanglah Bali, Sekretaris/Ketua Pelaksana Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis, Kepala Subdit Pengendalian Zoonosis, Direktorat PPBB, Kepala Subdit P3H, Direktorat Kesehatan Hewan, Kepala Subdit Zoonosis dan Kesrawan, Direktorat Kesejahteraan Masyarakat Veteriner dan Pasca Panen Kementerian Pertanian, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara, Kepala Dinas Peternakan Provinsi Sulawesi Utara, Kepala Bidang PMK Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara, Kepala laboratorium Peternakan Provinsi Sulawesi Utara, WHO Perwakilan Indonesia, Rm. Wilfrid Valiance, Pr (Pastor Paroki Nelle – Maumere) dan difasilitasi oleh WHO Perwakilan Indonesia, Subdit Pengendalian Zoonosis, Direktorat PPBB Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara. Beberapa hal penting yang terangkum dari beberapa narasumber sebagai berikut: 1. Komunikasi formal dan informal lintas sektor atau lintas program sangat penting dalam menjalin koordinasi program pengendalian rabies. 2. Pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian rabies dapat dilakukan melalui pendekatan Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat dan stakeholder yang lain. 3. Sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, Penyediaan Vaksin Anti Rabies (VAR) dan Serum Anti Rabies (SAR) wajib diselenggarakan oleh Provinsi, Kabupaten/Kota dan Pusat. 4. Masyarakat jika mengalami kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) segera mencuci luka dengan sabun/deterjen menggunakan
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
18 18
18
air mengalir selama 10 – 15 menit, kemudian dibawa ke pelayanan kesehatan (Rabies Center) untuk mendapatkan VAR dan atau SAR sesuai Standar Prosedur Operasional. 5. Pengawasan lalu lintas hewan penular rabies sangat penting untuk mengendalikan penyebaran rabies. 6. Sampel kepala hewan penular rabies harap dibawa ke Laboratorium Kesehatan Hewan setempat. 7. Prinsip penanganan hewan penular rabies harus mentaati prinsip kesejahteraan hewan (animal welfare).
Hasil Evaluasi Kegiatan
Dari hasil pre test dan post test yang fasilitator lakukan terhadap seluruh peserta didapatkan hasil pada saat pre test, nilai terendah yang didapat peserta sebesar 20 dan tertinggi sebesar 80 dengan rerata sebesar 60. Sedangkan pada saat post test, nilai terendah yang didapat peserta sebesar 40 dan tertinggi sebesar 100 dengan rerata sebesar 80. Prosentase kenaikan nilai pre test dan post test sebesar 50 %.
Rencana Tindak Lanjut
Pada sesi akhir kegiatan para peserta membuat Rencana Tindak Lanjut (RTL) yang akan mereka lakukan di tempat tugas masing-masing. Secara garis besar RTL tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Melaporkan kepada pimpinan unit kerja masingmasing. 2. Sosialisasi kepada teman kerja di unit kerja dan masyarakat di wilayah kerja masing-masing.
3. Advokasi kepada para stakeholder di tempat tugas masing-masing. 4. Pembentukan Komda Pengendalian Zoonosis Provinsi dan Kabupaten/Kota. 5. Koordinasi program pengendalian rabies antar lintas sektor/lintas program. 6. Pembentukan Rabies Center. 7. Pengadaan Vaksin Anti Rabies (VAR) untuk manusia 8. Pengadaan Vaksin Rabies untuk hewan dan penyediaan biaya operasionalnya. 9. Meningkatkan surveilans dalam rangka sistem kewaspadaan dini rabies 10. Revitalisasi Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) 11. Pembentukan desa Percontohan Pengendalian Rabies. Kegiatan ini ditutup pada tanggal 27 Maret 2013 oleh dr. Andi Muhadir, MPH Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang didampingi oleh drh. Misriyah, M.Epid selaku Kasubdit Pengendalian Zoonosis Kementerian Kesehatan, dr. Sysilia Deby Pondaag selaku Kepala Seksi Bimdal P2 Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara, dan dr. Selamet Hidayat, MPH selaku Perwakilan WHO Indonesia.
Penutup
Bahwa program pengendalian rabies tidak bisa diselesaikan oleh satu sektor saja namun harus dilakukan secara terintegrasi sehingga pertemuan sosialisasi pengendalian rabies yang melibatkan sektor kesehatan dan sektor peternakan dan kesehatan hewan seperti kegiatan sosialisasi kali ini menjadi sangat penting guna menurunkan kasus rabies di Provinsi Sulawesi Utara pada khususnya dan mendukung visi “Indonesia Bebas Rabies 2020”.
Penutupan sosialisai pengendalian rabies bagi tenaga kesehatan di Propinsi Sulut
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
19 19
Pengendalian Anthrax di DKI Jakarta Dalam Rangka Penyediaan Pangan Hewani yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH) Drh. Dedeh Yulianti Rahayu Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta
Sapi Terkena Antraks
Baccilus Anthracis
PENDAHULUAN
P
angan merupakan kebutuhan dasar dari suatu negara untuk mensejahterakan rakyatnya. Kuantitas dan kualitas pangan sangat menentukan nilai nutrisi dari asupan konsumsi yang akan berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia negara tersebut. Sumber pangan dapat berasal dari pangan nabati dan hewani. Ketersediaan pangan hewani bersumber dari produk peternakan yakni daging, susu dan telur. Isu ketahanan pangan merupakan isu penting saat ini sehingga dijadikan program prioritas pemerintah pusat dan daerah. Salah satu program prioritas Kementerian Pertanian dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan asal ternak berbasis sumberdaya lokal adalah Program Swasembada Daging Sapi dan KerbauTahun 2014 (PSDSK 2014). Berdasarkan Undangundang Nomor 18 Tahun 2012, definisi ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi Negara sampai dengan perseorangan tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat untuk dapat sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan. Dari definisi ini tercermin bahwa ketersediaan pangan saja tidak cukup tapi harus disertai dengan mutu dan kualitas yang baik atau dengan kata lain aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).
Anthraks Kulit
Pemerintah DKI Jakarta juga menempatkan Urusan Ketahanan Pangan sebagai salah satu urusan wajib yang tercantum dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2013 – 2017 dimana salah satu programnya adalah Program Peningkatan dan Pengawasan Mutu dan Kemanan Pangan Produk Hewan (Kesmavet). Salah satu prasyarat dalam upaya pencapaian ketersediaan pangan hewani yang cukup dari segi kuantitas serta terjamin mutu dan keamanannya adalah status kesehatan hewan yang optimal. Status kesehatan hewan yang dimaksud terkait dengan penyakit hewan menular (PHM), penyakit hewan non infeksi yang berdampak ekonomi tinggi, dan gangguan reproduksi yang berdampak pada rendahnya service per conception (S/C). Suatu hewan dapat mencapai status kesehatan yang optimal apabila telah terbebas dari penyakit – penyakit seperti Rabies, Avian Influenza, Brucellosis, Anthrax, Hog Cholera dan lainnya.
Anthrax Sebagai Penyakit Hewan Menular yang penting Penyakit hewan menular strategis (PHMS) yang menjadi prioritas pengendalian di DKI Jakarta antara lain Rabies, Avian Influenza, Brucellosis, Anthrax dan Septicemia Epizootica. Penyakit yang berkaitan dengan penyediaan pangan hewani yang aman, sehat, utuh dan halal adalah penyakit Anthrax. Hal ini dikarenakan penyakit ini merupakan penyakit yang dapat menular kepada manusia (zoonosis) serta lalu lintas ternak
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
20 besar maupun kecil dari daerah endemis Anthrax ke DKI Jakarta masih sangat tinggi terutama menjelang Hari Raya Idul Qurban. Selain itu, adanya faktor penggunaan spora Anthrax sebagai senjata biologis dalam bioterorisme juga dapat menjadi perhatian penting. Anthrax atau Radang Limpa merupakan salah satu penyakit hewan yang berbahaya bagi hewan maupun manusia. Penyebab penyakit ini adalah bakteri Bacillus anthracis dan umumnya menyerang hewan berdarah panas dan pemakan rumput (herbivora) seperti sapi, kerbau, kambing, domba, kuda dan babi. Penyakit Anthrax bersifat universal karena secara geografis tersebar di seluruh dunia, baik Negara yang beriklim tropis maupun subtropis. Di Indonesia sendiri, hampir semua provinsi dilaporkan pernah ada kasus Anthrax kecuali Provinsi Aceh, Riau, Bangka Belitung, Gorontalo, Maluku Utara, Maluku, Papua dan Papua Barat. Gejala klinis penyakit Anthrax pada hewan dapat dibagi dalam tiga bentuk yaitu per akut, akut dan kronis. 1. Bentuk per akut (sangat mendadak) Anthrax per akut gejalanya sangat mendadak, Hewan mendadak mati karena pendarahan otak. Bentuk per akut sering terjadi pada domba dan kambing dengan perubahan apopleksi serebral, hewan berputar-putar, gigi gemeretak dan mati hanya beberapa menit setelah darah keluar dari lubang kumlah 2. Bentuk akut Gejala penyakit bermula demam (40-42 0 C), gelisah, depresi, sesak napas, detak jantung cepat tapi lemah, hewan kejang kemudian mati. Pada sapi gejala umum adalah pembengkakan sangat cepat didaerah leher, dada, sisi perut, pinggang dan kelamin luar. Dari lubang kumlah (telinga, hidung, anus, kelamin) keluar cairan darah encer merah kehitaman seperti ter (aspal cair). Kematian terjadi antara 1-3 hari setelah tampak gejala klinis. 3. Bentuk kronis Terlihat lesi/ luka lokal yang terbatas pada lidah dan tenggorokan, biasanya menyerang ternak babi.
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
Dalam tubuh hewan, kuman akan berada dalam bentuk vegetatif dan tumbuh secara cepat, apabila kuman keluar dari tubuh hewan dan terbuka kena udara, maka Anthrax akan membentuk spora. Spora Anthrax ini dapat bertahan hidup sampai dengan 40 tahun lebih dan dapat menjadi sumber penularan baik kepada manusia maupun hewan. Hal ini yang menyebabkan Anthrax sangat sulit untuk diberantas terutama didaerah endemis. Manusia dengan lesi atau luka terbuka dapat tertular penyakit Anthrax karena bersentuhan dengan hewan tertular atau dengan bahan yang tercemar bakteri Anthrax seperti darah, daging, kulit dan semua bagian tubuh hewan yang mati dan diduga positif Anthrax. Selain itu spora atau bakteri dapat masuk ke dalam tubuh apabila mengonsumsi bagian tubuh hewan tertular atau menghirup spora Anthrax dalam jumlah besar sehingga dapat menimbulkan infeksi. Penularan Anthrax dari manusia ke manusia dapat terjadi namun sangat jarang (WHO Berdasarkan gambaran klinis yang tampak, dikenal empat bentuk anthrax pada manusia yaitu: 1. Anthrax Kulit 2. Anthrax Saluran pencernaan 3. Anthrax Paru-paru 4. Anthrax Meningitis Anthrax kulit merupakan tipe yang paling banyak ditemui yaitu lebih dari 90% dari keseluruhan kasus di Indonesia. Anthrax saluran pencernaan dapat terjadi karena infeksi melalui makanan yang mengandung kuman/ spora Anthrax Tipe yang jarang ditemui adalah Anthrax paru-paru dan Anthrax meningitis.
Pengendalian Anthrax di DKI Jakarta Adanya peluang tertularnya manusia terhadap Anthrax melalui makanan (food borne disease) menyebabkan ketersediaan daging yang bebas Anthrax sangat diperlukan. Daging yang aman dan sehat berasal dari hewan yang sehat dan bebas dari penyakit termasuk Anthrax Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, belum pernah dilaporkan adanya kasus Anthrax pada hewan, hal ini didukung dengan hasil surveillans oleh Balai Kesehatan Hewan dan Ikan (BKHI) Dinas Kelautan dan Pertanian yang
21 dilakukan setiap tahun menunjukkan tidak adanya kasus Anthrax di wilayah DKI Jakarta. Namun, tingginya lalu lintas ternak besar dan kecil dari daerah endemis Anthrax menempatkan DKI Jakarta sebagai daerah yang berisiko tinggi dalam penularan. Dinas Kelautan dan Pertanian merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang membidangi masalah peternakan, kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner selalu melakukan upaya dalam mengendalikan penyakit hewan menular terutama yang zoonosis. Usaha yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Pertanian dalam mengendalikan penyakit anthrax di DKI Jakarta antara lain: 1. Vaksinasi Anthrax terhadap ternak besar dan kecil yang dipelihara di wilayah DKI Jakarta 2. Pengawasan pemasukan ternak terutama dari daerah endemis Anthrax dengan pemeriksaan dokumen pendukung seperti Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) dan surat keterangan vaksinasi 3. Pemeriksaan kesehatan hewan di tempat-tempat penampungan hewan dan Rumah Potong Hewan 4. Sosialisasi dan public awareness kepada masyarakat 5. Pemeriksaan terhadap hewan dan daging qurban pada hari raya Qurban 6. Surveillans Anthrax terhadap hewan ternak oleh Balai Kesehatan Hewan dan Ikan (BKHI) setiap tahun Pengawasan pemasukan ternak tidak hanya sekedar untuk memonitor jenis, jumlah dan harga jual ternak yang berhubungan dengan ketersediaan dan kecukupan ternak dalam memenuhi kebutuhan masyarakat DKI Jakarta. Tetapi terutama sebagai usaha penyaringan atau pencegahan masuknya penyakit hewan menular ke wilayah DKI Jakarta. Hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing dan domba yang masuk dari daerah pemasok seringkali luput dari pengawasan secara keseluruhan dan masuk ketempat penampungan tanpa pemeriksaan kesehatan sehingga pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan di tempat penampungan dan Rumah Potong Hewan (RPH) wajib dilakukan.
Pemeriksaan kesehatan diawali dengan mengecek dokumen surat keterangan kesehatan hewan (SKKH) dan surat keterangan vaksinasi dari daerah asal. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik yang mencakup kondisi umum, temperatur dan keadaan mukosa. Saat pemeriksaan perlu diperiksa secara khusus kemungkinan ditemukannya gejala anthrax dan penyakit hewan menular lainnya seperti SE (Septicemia epizootica), Blue Tongue, IBR (Infectious Bovine Rhinotracheitis). Apabila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk penegakkan diagnosa. Jika ada ternak yang terdiagnosa terinfeksi penyakit Anthrax maka akan dilakukan tindakan sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku seperti penutupan wilayah, pengobatan hewan sakit, penguburan hewan yang mati serta vaksinasi. Hewan ternak yang dinyatakan sehat dapat dipotong di Rumah Potong Hewan. Sesuai standar maka setelah dipotong secara halal dan dikuliti, maka karkas harus mendapat pemeriksaan post mortem (setelah dipotong) oleh petugas berwenang. Hal ini untuk menjamin bahwa karkas yang akan beredar dimasyarakat adalah karkas yang aman, sehat, utuh dan halal sebagai jaminan keamanan pangan (food safety)
Daftar Pustaka: Pedoman Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular (PHM) Seri Penyakit Anthrax, Departemen Pertanian Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Direktorat Kesehatan Hewan 2003 http://www.who.int/csr/disease/Anthrax/en/ http://www.nap.edu/openbook .php?record_ id=10733&page=7 http://development.mti-indonesia.com/Berita/ Kesehatan/2166 http://keswankesmavetsulut.blogspot. com/2011/06/antraks-pada-manusia.html
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
22
MEWASPADAI MUNCULNYA
VIRUS H7N9
dari
China
Eka Soni Subdit Pengendalian Zoonosis
Kasus flu burung H7N9 yang diisolasi di Rumah Sakit China dalam rangka antisipasi penyebaran yang lebih luas (Sumber dari WHO).
A
wal tahun 2013, tepatnya mulai bulan Februari 2013 di kejutkan dengan berita munculnya virus influenza jenis baru dari Negeri China yaitu tipe H7N9, dikabarkan dengan memulai menginfeksi piaraan babi dan unggas di pemukiman penduduk, total akhir Maret 2013 sekitar 15.000 ekor babi dan unggas mati mendadak,melihat masa lalu flu burung H5N1 yang begitu mematikan dapat menginfeksi manusia, dengan kemunculan flu burung H7N9 ini dikhawatirkan akan lebih ganas dan mematikan jika menginfeksi kepada manusia. Seperti yang disampaikan Menteri Kesehatan Republik Indonesia dr. Nafsiah Mboi, tanggal 7 April 2013 pada acara Peringatan Hari Kesehatan Dunia, pemerintah Indonesia siap siaga mencegah beredarnya virus flu burung baru H7N9 yang di perkirakan akan lebih mematikan dibanding dengan jenis virus H5N1, walaupun disinyalir belum ada indikasi mutasi virus ini ke manusia. Virus flu burung H7N9 ini sudah menimbulkan kematian 13 orang, dari 60 kasus H7N9 di China, sementara ribuan kasus lainnya dalam masa pengawasan diantaranya di provinsi Shanghai, Jiangsu, Zhejiang dan Ahui, kewaspadaan ini terus ditingkatkan dengan menghentikan aktifitas perdangan babi dan unggas untuk sementara waktu dan melakukan isolasi untuk pasien yang terinfeksi virus H7N9, walaupun belum ada tanda-tanda penularan dari manusia ke manusia.
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
Influenza subtype A H7 merupakan kelompok/ grup virus influenza, normalnya bersirkulasi di antara avian/burung/unggas. Influenza H7N9 merupakan salah satu sub grup diantara grup besar influenza H7. Walaupun virus A H7 (H7N2,H7N3,H7N7) kadang kadang ditemukan menginfeksi pada manusia, tetapi sebelumnya tak pernah ada infeksi A H7N9 pada manusia, kecuali yang terjadi saat ini (April) di China. Deskripsi dari Skema Influenza A replikasi virus (NCBI): “Sebuah virion menempel pada membran sel inang melalui HA dan memasuki sitoplasma oleh reseptor-mediated endositosis (LANGKAH 1), sehingga membentuk endosome A seluler tripsin - seperti enzim memotong HA. menjadi produk HA1 dan HA2 (tidak ditampilkan). HA2 mempromosikan fusi amplop virus dan membran endosome sebuah virus kecil tindakan protein amplop M2 sebagai saluran ion sehingga membuat bagian dalam virion lebih asam. Akibatnya, amplop besar protein berdisosiasi M1 dari nukleokapsid dan vRNPs yang translokasi ke dalam inti (STEP 2) melalui interaksi antara NP dan mesin transportasi seluler Dalam nukleus, kompleks polimerase virus menuliskan (3a STEP) dan mereplikasi (LANGKAH 3b) yang vRNAs. baru disintesis mRNA bermigrasi ke sitoplasma (LANGKAH 4) di mana mereka diterjemahkan pengolahan pascatranslasinya HA, NA, dan M2 termasuk transportasi melalui aparatus
23 Data WHO H7N9 pemutakhiran 14 Juni 2013: Kumulatif terdapat 51 kasus terkonfirmasi lab, diantaranya meninggal 11, angka fatalitas (CFR) 21,5%; Menurut WHO: Penyelidikan terhadap sumber infeksi dan reservoir virus sedang dan terus dilakukan. Lebih dari 1000 kontak dekat kasus di monitor. Belum ada bukti penularan dari manusia ke manusia. Who menganjurkan tidak ada skrining khusus di pintu masuk, dan tak ada pembatasan perjalanan serta tak ada pembatasan perdagangan.
Genetik Virus A(H7N9): Skema H7N9
Golgi ke membran sel (5b STEP) NP, M1, NS1 (protein nonstruktural peraturan - tidak ditampilkan). dan. NEP (ekspor protein nuklir, komponen virion kecil - tidak ditampilkan) pindah ke inti (5a STEP) di mana mengikat baru salinan disintesis dari vRNAs The nukleokapsid baru terbentuk bermigrasi ke dalam sitoplasma dalam proses NEP-dependent dan akhirnya berinteraksi melalui M1 dengan. sebuah wilayah membran sel mana HA, NA dan M2 telah dimasukkan (LANGKAH 6) Kemudian tunas virion baru disintesis dari sel yang terinfeksi (LANGKAH 7). NA menghancurkan bagian asam sialat dari reseptor seluler, sehingga melepaskan virion progeni.
Kasus H7N9 pertama di China:
Pasien, lelaki, 87 tahun, pekerjaan pensiunan, tinggal di Distrik Minghan, Shanghai, mulai sakit (onset) 18 Februari 2013, gejala klinis demam tinggi dan sesak nafas timbul seminggu kemudian sejak mulai sakit. Faktor risiko: kontak dengan burung/unggas belum diketahui, dirawat dirumah sakit Fifth Peoples Hospital dan meninggal pada tgl 4 Maret 2013. Lama sakit sejak onset –meninggal: 14 hari. Kondisi medis penyakit penyerta (risiko tinggi) PPOK/COPD dan hipertensi. Dari 3 kasus pertama 2 kasus terjadi di Distrik Minhang, Shanghai dan 1 kasus di Provinsi Anhui. Faktor risiko: kasus 2 dan ke 3 mempunyai kontak dengan unggas di Pasar 1 minggu sebelum sakit dan 1 kasus tak diketahui adanya kontak Semua 3 kasus pertama gejala klinis berat, demam tinggi, batuk dan sesak nafas. meninggal,3 kasus tersebut semuanya merupakan risiko tinggi karena mempunya kondisi medis penyerta pasie 1, PPOK/COPD dan hipertensi, pasien ke 2. Hepatitis B dan pasien ke 3, riwayat depresi, hepatitis B dan obesitas
(Sumber NEJM /New England Journal of Medicine publish 11 April 2013)
Analysis gen vrus H7N9 pada manusia menunjukkan berasal dari virus avian/burung, yang menunjukkan tanda adanya adaptasi pertumbuhan pada jenis (spesies) mamalia. Adaptasi ini termasuk kemampuan mengikat sel mamalia dan tumbuh pada temperatur/suhu tubuh normal mamalia yang lebih rendah daripada burung (WHO). Menurut WHO dan NEJM pemeri), tetapi masih sensitive terhadap golongan Neromidase inhibitor yaitu oseltamivir dan zanamivir, bila diberikan secara dini pada waktu sakit. Menurut publikasi NEJM dalam analisis sekuesing genetik menunjukkan gen virus avian. Tak ada bukti adanya gen manusia dan gen babi (swine) pada ke 3 virus yang menjangkiti 3 kasus pertama di China; Ke 3 virus pada 3 kasus pertama manusia di China menunjukkan genetik yang sama identik 97,7 – 100% pada 8 segmen gen. Pada burung merpati (pigeon) di pasar Shanghai ditemukan postif A (H7N9)
Pencegahan: PHBS, Cuci tangan dengan sabun. Hindari kontak dengan unggas, unggas sakit dan unggas mati serta lingkungan yang tercemar kotoran unggas/burung. Hindari kontak dengan orang sakit panas, batuk dan sesak Memakai, masker, tissue, sapu tangan, atau dengan lengan atas pada saat batuk dan bersin dan buang tissue pada tempatnnya pembuangan. Bila sakit demam, batuk dan gangguan pernafasan segera berobat ke pelayanan kesehatan dan berikan keterangan sebenarnya kepada dokter bila 1 minggu sebelumnya ada kontak dengan unggas. Vaksin belum tersedia. (Sumber: Center for Desiase Control and Prevention 1600 Clifton Pd. Atlanta< GA 30333. USA - 800-CDC-INFO (800-232-4636))
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
24
MEMINDAI JEJAK FLU
BURUNG (H5N1) DARI PARUNG PANJANG, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT DI PENGHUJUNG TAHUN 2012 dr. Romadona Triada Subdit Pengendalian Zoonosis
I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hari Jumat 6 Desember 2012 Subdit Zoonosis mendapat laporan dari Badan Litbang bahwa terdapat kasus Flu Burung (FB) di RSUD Tangerang, Bogor, Jawa Barat. Hasil Laboratorium Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan (BTDK) kasus FB yang dinyatakan positif H5N1 adalah hasil sampel pertama yang dikirimkan oleh RSUD Tangerang, Banten pada tanggal 6 Desember 2012. Tim gabungan dari Subdit Zoonosis dan BTDK, Kemenkes RI ditugaskan untuk melakukan Penyelidikan Epidemiologi (PE). Penyelidikan dilakukan di RSUD Tangerang, rumah dan lingkungan kasus, petugas kesehatan serta kontak penderita.
II. TUJUAN 2.1. Umum Mengetahui gambaran epidemiologis, virologis dan klinis dari kasus konfirmasi Flu Burung yang dapat digunakan untuk menanggulangi KLB di Kampung Nagreg, Desa Gorowong, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
III. METODOLOGI a. Wawancara dengan orangtua kasus, keluarga, tetangga, teman dan petugas kesehatan di Puskesmas dan RSUD Tangerang. b. Observasi terhadap kontak penderita seperti orang tua, keluarga kasus dan kontak yang lain seperti yang membantu merawat kasus dirumah dan di rumah sakit. c. Mendapatkan informasi dari RSUD Tangerang melalui Rekam Medis kasus. d. Mengambil sampel darah dan swab tenggorok hidung terhadap kontak penderita yang mengalami keluhan demam, batuk, pilek untuk diperiksakan di BTDK.
IV. HASIL PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGIS 4.1. Identitas Kasus: a. Nama : b. Jenis Kelamin : c. Umur : d. Pekerjaan : e. Alamat :
2.2. Tujuan Khusus a. Mengetahui secara kronologis gambaran perjalanan penyakit. b. Mendapatkan perjalanan epidemiologi Flu Burung pada manusia. c. Mengetahui secara dini risiko penularan Flu Burung dari unggas ke manusia. d. Mengetahui secara dini risiko penularan Flu Burung dari manusia ke manusia.
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
IT Laki-laki 4 tahun Kampung Nagreg Desa Gorowong, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
4.2. Riwayat Sakit: Tanggal mulai sakit (demam): 30 November 2012 Gejala dan Tanda Sakit • Demam : + • Batuk : • Pilek : • Sakit tenggorok : • Sesak nafas : • Mual : -
25 4.5. Pengambilan spesimen:
4.3. Kronologis Penyakit: 1. Berdasarkan hasil wawancara hari Sabtu, 8 Desember 2012 dengan orang tua, kerabat, tetangga kasus diketahui bahwa kasus mulai demam pada hari Jumat, tanggal 30 November 2012. 2. Sabtu, tanggal 1/12/2012, pada pagi hari kasus dibawa ke Pustu dengan keluhan 39,1°C tanpa gejala lain. 3. Selasa, tanggal 4/12/2012, kasus tidak ada perubahan dan berobat ke dokter swasta 4. Rabu, tanggal 5/12/2012, pagi hari kasus dibawa ke Puskesmas dan dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan hasil Leukosit 1.000, Trombosit 44.000, Hematokrit 28, Widal (-). Sore hari kasus dirujuk ke RSIA swasta untuk rawat inap karena masih demam dan ditambah batuk dan sedikit sesak. Di RSIA kasus diperiksa laboratorium dengan hasil Leukosit 1.600, Trombosit 184.000, Hematokrit 23. Kasus didiagnosa dengan DHF. 5. Kamis, 6 Desember 2012, kasus dirujuk ke RSUD Tangerang dengan kondisi kesadaran berkurang (somnolen), demam, batuk, sesak. Di RSUD Tangerang kasus didiagnosa dengan Bronkopneumonia dengan DD/ suspek FB. Terapi diberikan oseltamivir. Hasil Laboratorium Leukosit 1400, Trombosit 153.000. Kasus meninggal jam 23.40 WIB.
4.4. Perjalanan Penyakit 30/11/2012
4/12/2012
5/12/2012
6/12/2012
1/12/2012
Mulai demam
Demam 39,1°C, dibawa ke Pustu
Karena tidak ada perubahan, kasus berobat ke dokter swasta.
Belum ada perubahan lalu pagi hari kasus di bawa ke Puskesmas dan dirujuk ke RSIA Swasta untuk rawat inap. Diagnosa RSIA Swasta DHF
Kasus dirujuk ke RSUD Tangerang dengan keluhan somnolen, demam, batuk, sesak. Diagnosa BP, DD/ suspek FB. Oseltamivir diberikan. Kasus meninggal jam 23.40 WIB
Spesimen I diambil tanggal 6 Desember 2012 diperiksa di Pusat BTDK pada tanggal 7 Desember 2012 hasil positif (+) H5N1.
4.6. Foto Rontgen: 1. Tanggal 6/12/2012 kesan perselubungan paru kanan.
1. Foto 6/12/2012
2. Foto 6/12/2012
4.7. Temuan Epidemiologi dan Faktor Risiko : 1. Pada unggas a. Berdasarkan survei, tempat tinggal korban didaerah perkampungan dengan warga memelihara unggas di perkarangan. b. Sekitar 2 minggu yang lalu sekitar tanggal 20 November 2012, terdapat kematian unggas (entog 3 ekor, ayam 2 ekor). 2. Pada manusia a. Kasus tinggal dengan orang tua dan seorang adik. b. Sebelum sakit kasus memegang bangkai entog bersama 2 anak lainnya yaitu Z (5 tahun) dan R (4 tahun). Saat investigasi Z mengalami batuk, suhu 36,4°C, R batuk dan pilek suhu 35°C. Keduanya telah diberikan oseltamivir dan dilakukan pemantauan selama 2 kali masa inkubasi. c. Pemantauan dilakukan terhadap kontak erat penderita baik di rumah dan lingkungan maupun di RS. Semua kontak erat dilakukan pemantauan selama 2 kali masa inkubasi dan pemberian oseltamivir. Selain itu kontak erat kasus di rumah dan lingkungan diambil spesimen oleh Pusat BTDK untuk
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
26
No
Nama
L/P
Umur (thn)
Hubungan
Kontak Akhir
Gejala
Sampel
Hasil
1.
T
L
35
Ayah
6/12/2012
Flu
nasofaring
negatif
2.
I
P
25
Ibu
6/12/2012
Tidak ada
nasofaring
negatif
3.
H
P
1
Adik
3/12/2012
Batuk
nasofaring
negatif
4.
A
L
45
Paman
6/12/2012
Tidak ada
nasofaring
negatif
5.
R
L
27
Paman
5/12/2012
Demam
nasofaring
negatif
6.
M
L
49
Paman
6/12/2012
Tidak ada
nasofaring
negatif
7.
M
L
30
Paman
6/12/2012
Tidak ada
nasofaring
negatif
8.
Z
L
5
Teman
3/12/2012
Batuk
nasofaring
negatif
9.
R
L
4
Teman
3/12/2012
Batuk, pilek
nasofaring
negatif
dilakukan pemeriksaan. Di rumah sakit, dokter dan perawat diambil spesimen oleh pihak rumah sakit dan dilakukan pemeriksaan oleh Pusat BTDK.
4.8. Pemantauan Kontak Kasus di Rumah Sakit dan Lingkungan Pemantauan kontak kasus sekitar 15 orang di RSUD Tangerang terhadap dokter dan perawat telah diberikan oseltamivir dan pengambilan sampel untuk diperiksa lebih lanjut ke Pusat BTDK. Hasil dari Pusat BTDK negatif H5N1.
V. DISKUSI DAN ANALISIS 1. Dari hasil penyelidikan terlihat bahwa kemungkinan kasus tertular H5N1 dari kontak langsung dengan bangkai unggas (entog) peliharaan warga setempat sekitar 2 minggu sebelum sakit. Pada saat sakit kasus berkunjung ke pustu dan praktek dokter swasta sebelum dirujuk ke RS Swasta. Setelah itu kasus dirujuk ke RSUD Tangerang dan diambil sampel. 2. Penanganan kasus dapat dikatakan terlambat untuk dalam tatalaksana kasus flu burung. Kasus baru didiagnosa suspek flu burung saat di RSUD Tangerang. Pemberian oseltamivir dilakukan pada saat kasus di RSUD Tangerang. 3. Hasil pemeriksaan oleh Pusat BTDK keluar sehari setelah kasus meninggal dunia.
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
VI. KEGIATAN YANG DILAKUKAN 1. Investigasi dilaksanakan oleh Tim Gerak Cepat (TGC). 2. Pengambilan spesimen kontak kasus oleh petugas Pusat BTDK, Kementerian Kesehatan RI. 3. Dilakukan pemantauan di sekitar rumah kasus dan rumah sakit. 4. Pemantauan kontak selama 14 hari terhadap keluarga, kerabat serta petugas RSUD Tangerang selama dua kali masa inkubasi.
VII. SARAN DAN TINDAK LANJUT 1. Perlu dilakukan dan ditingkatkan surveilans ketat ILI di semua tempat pelayanan kesehatan, keluarga, kerabat serta lingkungan masyarakat terkait dengan kasus diatas. 2. Lebih ditingkatkan kemampuan pendeteksian dini terutama gejala ILI di pelayanan kesehatan tingkat dasar dan rumah sakit agar terdeteksi lebih cepat sehingga penanganan serta tindakan yang dilakukan sesuai prosedur. 3. Perlu dilakukan pertemuan penyegaran penatalaksanaan kasus H5N1 untuk kalangan pelayanan kesehatan tingkat dasar dan rumah sakit. 4. Dinas pertenakan melakukan pengambilan sampel pada unggas untuk diperiksa lebih lanjut
27
Pengenalan ZOONOSA Pada Kegiatan
“International Scout Peace Camp 2013” Tengku Fakhrul Razy, SE; Eka Soni. Subdit Pengendalian Zoonosis Direktorat PPBB, Ditjen PP dan PL , Kemenkes RI
K
egiatan Pramuka tingkat dunia, International Scout Peace Camp yang dilaksanakan di Nagara Republik Indonesia (Cibubur), adapun dukungan Tim Ditjen PP dan PL Kemenkes RI dalam Hal ini adalah Tim Kesehatan, Obat-obatan, Foging, hygiene dan Sanitasi, Pameran Sakabakti Husada, pada kesempatan ini tenda Kesehatan berkesempatan menjelaskan dan memaparkan diataranya Penyakit Leptospirosis, Flu Burung, Rabies, Antraks dll dalam hal gejala umum dan pengendaliaan penyakit zoonosa yang bisa ditularkan dari binatang kemanusia atau sebaliknya. Sesuai dengan SK Kwarnas Gerakan Pramuka No.012 tahun 2013 tentang Panitia International Scout Peace Camp 2013, Pinsaka Bakti Husada Tingkat Nasional Sebagai Tim Kesehatan dalam Divisi sarana pendukung kegiatan pramuka di sektor kesehatan. Surat Kepala Kwarnas Gerakan Pramuka No.010700-b tanggal 7 februari 2013, perihal permohonan Tim Kesehatan dan Obat-obatan kegiatan ISPC 2013. Adapun kegiatan Peerkemahan Perdamaian Pramuka Dunia ini yang dikuti sekitar 504 orang pramuka penegak dan pandega dengan usia 18-25 tahun dari 6 region WOSM (World Organization of the Scout Movement) yaitu Asia Pasific, Africa, Arab, Eropa, Eurasia dan Inter-America (sekitar 161 negara) dengan rincian 240 peserta luar negeri dan 264 peserta Indonesia
di Bumi Perkemahan Cibubur dengan tema ’Scouting Builds Peace’ Kehormatan besar untuk Negara Republik Indonesia untuk menjadi tuan rumah dalam salah satu event pramuka internasional. Kegiatan ini yang sudah dilaksanakan pada 25 - 31 Maret 2013 di Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta Timur. Acara ini di kenal sebagai Perkemahan Perdamaian Pramuka dunia atau International Scout Peace Camp. Anggota Pramuka dari berbagai penjuru dunia berkumpul di tempat tersebut. Sekitar 504 pramuka dunia terdiri dari penegak dan pandega utusan dari 6 region yakni, Asia Pacific, Afrika, Arab,Eropa, Eurasia dan Inter-Amerika. Mereka memiliki visi menginspirasi dunia dengan kedamaian. Selain kegiatan di Cibubur, para peserta juga akan hidup bersama masyarakat selama 3 hari dalam pengenalan situs budaya yang beragam di Indonesia diantaranya, yaitu di Sub Camp Setu Babakan sebagai situs cagar budaya Betawi, Sub Camp Kampung Domba, Pandeglang, Banten sebagai situs budaya Baduy, dan Sub Camp Desa Sukaratu, Cianjur, Jawa Barat sebagai situs budya Sunda. Sejumlah pameran kerajinan dan home industry juga meramaikan acara bumi perkemahan Internasional tersebut di sejumlah lokasi perkemahan. Pada upacara pembukaan yang diramu dengan suasana kebudayaan yang kental dengan memadukan unsur modern, Kak Azrul didampingi oleh Scott A. Teare
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
28
Suasana Workshop on Global Disease, pada saat diskusi penyakit Pes, Leptospirosis dan Zoonosis lainnya.
(General Secretary of WOSM), Simon Rhee (Chairman of The World Scout Commitee), Abdullah Rasheed (Director Regional APR ) serta pengurus Nasional Scout Organization dari sekitar 50 negara yang sebelumnya telah mengikuti World Scout Conference di Jakarta. Prosesi upacara diawali dengan penampilan Reog Ponorogo yang mendapat sambutan yang meriah oleh peserta upacara termasuk tamu undangan World Scout Committee dan APR Scout Committee. Acara dikemas tentu tidak seperti biasanya, dalam suasana santai tapi hikmat mewarnai di Bumi Perkemahan Pramuka Cibubur.
“Team Camp Global Development Village, Workshop on Global Disease, Ministry of Health Republic of Indonesia” dari Kiri ke Kanan (Ka. Nies Andekayani,Ka.Dyni Zakhyah, Ka. Kodrat, Ka.Soni, Ka.Ajie Mulia Avisena , Ka.Gede).
Simon Rhee, mengatakan selama kegiatan pramuka ini diharapkan dapat menjalin persaudaraan dan perdamian dunia. Sehingga akhirnya dapat memahami masing-masing kebudayaan setiap Negara dan menghormati sesame umat manusia yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama yaitu menjaga perdamaian dunia yang indah ini. (Sumber : http://www.journalscoutpeacecamp.com/mainreport/95-main-report/157-meriahnya-acara-pembukaaninternational-scout-peace-camp-ispc-tahun-2013.)
Kemudian, perwakilan dari masing-masing negara peserta masuk dalam arena lapangan dengan membawa bendera negaranya masing - masing dan mengucapkan janji pramuka yang dilakukan oleh salah satu peserta dari Indonesia. Sambutan pada upacara pembukaan ISPC disampaikan oleh Simon Rhee selaku ketua komite kepramukaan dunia dan Kak Azrul Azwar selaku Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Indonesia. Tim Kesehatan Ditjen PP dan PL di depan tenda Kemenkes RI
Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, Prof. Dr. dr. H. Azrul Azwar, M.P.H, Senin pagi (25/3) membuka kegiatan secara resmi.
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
Simon Rhee,chairman of the World Scout Comitee, memberikan sambutan.
29
PENGUATAN SISTEM KEWASPADAAN DINI DAN RESPONS ( SKDR/EWARS ) DI INDONESIA MELALUI IMPLEMENTASI SKDR Rosmaniar, SKp, MKes Subdit Surveilans & Respon KLB Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI
PENDAHULUAN
W
HO telah menyatakan bahwa IHR 2005 mulai diimplementasikan pada 15 Juni 2007 tetapi kepada seluruh negara masih
diberikan waktu selama 5 tahun untuk dapat melaksanakan secara penuh implementasi IHR 2005
iklim yang disebabkan oleh pemanasan global yang semakin cepat. Kondisi ini juga akan mempengaruhi pola dan jenis penyakit potensial wabah secara langsung maupun tidak langsung misalnya seperti malaria, DBD, maupun penyakit emerging seperti flu burung.
ini. Indonesia sebagai anggota WHO menerima
Indonesia secara geografis memudahkan untuk
IHR (International Health Regulation) 2005 harus
penularan penyakit potensial KLB seperti malaria,
mengikuti dan menjalankan aturan tersebut. Suatu
DBD, diare, kolera, difteri, antraks, rabies, campak,
Negara harus mengembangkan, memperkuat, dan
pertusis, maupun ancaman flu burung pada manusia.
memelihara kemampuan untuk mendeteksi, menilai,
Penyakit-penyakit tersebut apabila tidak dipantau
dan melaporkan kejadian sebagaimana ditetapkan
dan dikendalikan maka akan mengancam kesehatan
dalam Lampiran 1 IHR (Kapasitas Inti Bidang
masyarakat Indonesia dan menyebabkan KLB yang
Surveilans dan Respons yang harus dipenuhi),
lebih besar atau bahkan dapat menyebar ke negara
sedini mungkin dan paling lambat lima tahun sejak
tetangga lainnya.
diberlakukannya IHR 2005 seperti yang tercantum dalam Bab II, Pasal 5, ayat 1.
Dengan latar belakang itu semua maka sangat penting pelaksanaan sistem kewaspadaan dini dan
Dalam era globalisasi ini mobilisasi manusia
respon (SKDR) / early warning and response system
maupun barang sudah sangat tinggi dan sangat
(EWARS) ditingkatkan kembali di seluruh wilayah di
cepat. Tetapi kondisi ini juga dapat dilihat sebagai
Indonesia.
sebuah ancaman misalnya transmisi penyakit menular dari suatu negara ke negara lain. Salah satu contoh adalah KLB Polio di Indonesia tahun 2005 terjadi karena ada import virus polio dari negara lain (Laporan KLB Polio Tahun 2005 Subdit Surveilans). Selain itu saat ini dunia telah mengalami perubahan
Kelebihan dari sistem yang dibangun ini, pada perangkat lunaknya adalah dapat menampilkan sinyal “alert“ adanya peningkatan kasus melebihi nilai ambang batas di suatu wilayah baik wilayah kerja puskesmas, kabupaten maupun propinsi. Output yang dihasilkan dapat berupa tabel, grafik, maupun peta.
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
30 Tujuan dari SKDR adalah sebagai berikut: -
diamati, serta peta kasus maupun insidens penyakit
Memonitor kecenderungan penyakit menular.
- Menyelenggarakan Deteksi Dini KLB penyakit -
dari tingkat kecamatan sampai dengan provinsi. Salah satu kelebihan dari SKDR adalah setiap
menular.
minggu mampu menangkap sinyal peringatan dini
Memberikan peringatan dini kepada pengelola
sampai level kecamatan/ wilayah kerja puskesmas
program untuk melakukan respons cepat
menurut jenis penyakitnya. Untuk kabupaten
- Meminimalkan kesakitan atau kematian yang berhubungan dengan KLB.
komputer maupun internet dimungkinkan untuk
- Menilai dampak intervensi program dalam pengendalian
dan
penanggulangan
KLB
penyakit menular. SKDR
merupakan
dapat menganalisis sampai tingkat desa sehingga puskesmas juga mengetahui sinyal peringatan dini sampai tingkat desa.
penguatan
dari
laporan
mingguan (W2) atau dalam Kepmen No. 1479/ MENKES/SK/X/2003
yang seluruh puskesmasnya memiliki fasilitas
berganti
menjadi
PWS
(Pemantauan Wilayah Setempat) penyakit potensial KLB/ Wabah yang dilaporkan secara mingguan oleh pustu maupun puskesmas. Penguatan dalam SKDR adalah dalam aspek pelaporannya, pengolahan dan analisa data, serta keterlibatan laboratorium dalam menunjang kepastian diagnostik penyakit menular tersebut.
Bila ada sinyal peringatan dini segera dilakukan verifikasi oleh pihak yang pertama kali menemukan sinyal tersebut. Jika dari hasil verifikasi menunjukan ada indikasi KLB maka puskesmas segera melakukan penyelidikan epidemiologi. Dalam hal puskesmas tidak dapat melakukan penyelidikan epidemiologi dapat meminta bantuan kabupaten/kota, provinsi maupun pusat dapat turun melakukan penyelidikan epidemiologi bila diperlukan. Selain itu bila memerlukan konfirmasi laboratorium maka pihak
Dalam aspek pelaporan, unit pelapor (pustu
laboratorium dapat terlibat untuk mengambil dan
maupun puskesmas) mengirimkan laporan melalui
memeriksa spesimen tersebut. Penanggulangan KLB
SMS yang merupakan laporan resmi. Namun demikian
dilakukan oleh pemegang program terkait.
puskesmas maupun pustu harus mempunyai arsip tercatat karena apabila ada sinyal peringatan dini yang muncul pada software di Kabupaten, Propinsi
Adapun penyakit menular potensial KLB yang diamati dalam sistem SKDR adalah sebagai berikut:
maupun Pusat maka sinyal tersebut akan diverifikasi
1. Diare Akut
dengan data dari unit pelapor. Sehingga data
2. Malaria Konfirmasi
tersebut akan sinkron.
3. Tersangka Demam Dengue
Dalam aspek pengolahan dan analisis data, Kabupaten, Propinsi dan Pusat dibekali dengan software yang dapat melakukan analisa secara cepat setiap minggu seperti: sinyal peringatan dini (alert) yang muncul dari tingkat wilayah kerja puskesmas (kecamatan) sampai dengan provinsi, tren kasus, insidens dan proporsi penyakit menular yang
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
4. Pneumonia 5. Diare Berdarah 6. Tersangka Demam Tifoid 7. Jaundice Akut 8. Tersangka DBD 9. Tersangka Flu Burung pada Manusia*) 10. Tersangka Campak*) 11. Tersangka Difteri*)
31 12. Tersangka Pertussis
yang terbesar proporsi morbiditas adalah; Diare
13. AFP (Lumpuh Layuh Mendadak)*)
akut, diikuti
14. Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR)*)
tifoid, Diare Berdarah, Malaria konformasi,
15. Tersangka Antrax*)
Suspek Dengue, Suspek Campak dan GHPR.
berturut-turut,
suspek demam
16. Demam yg tdk diketahui sebabnya 17. Tersangka Kolera*)
DISTRIBUSI KASUS MENURUT JENIS PENYAKIT/
18. Kluster Penyakit yg tdk diketahui
GEJALA DALAM SISTEM SKD DAN RESPONS DI KABUPATEN PESAWARAN MINGGU KE- 13
19. Tersangka Meningitis/Encephalitis 20. Tersangka Tetanus Neonatorum*)
3. Sinyal Peringatan Dini Minggu ke-13
21. Tersangka Tetanus
22. ILI (Influenza Like Illness)
Untuk sinyal Alert di minggu ke-13 ditingkat Puskesmas dibandingkan minggu ke-12 terjadi Penurunan Alert, yaitu dari 4 sinyal menjadi 2
Contoh Laporan Buletin Mingguan Kabupaten Pasawaran Pada Minggu 13 Tahun 2013
sinyal di minggu ke-13 th 2013.
1. Ketepatan dan Kelengkapan Laporan
ke-13 dapat dilihat sbb :
Ketepatan dan kelengkapan laporan SKD dan Respons Kabupaten Pesawaran pada minggu
Campak
pada
Puskesmas
Kedondong dengan 2 kasus.
system dapat menangkap sinyal adanya indikasi
2. Gigitan
KLB di wilayah Puskesmas sebanyak 100 %.
Hewan
Penuar
Rabies,
Pada
Puskesmas Kedondong dengan 1 kasus.
Ketepatan dan kelengkapan ini diharapkan dapat dipertahankan di minggu-minggu selanjutnya agar alert benar-benar dapat di antisipasi secara dini sehingga KLB dimungkinkan dapat dicegah.
4.
Rencana Tindak Lanjut -
Melacak dan menindak lanjuti kasus-kasus yang ada sinyal untuk dilakukan tindakan seperlunya sesuai dengan protap yang ada.
- Sosialisasi ke Masyarakat guna berupaya
2. Situasi Umum Penyakit Minggu ke-13
Dimana alert meliputi beberapa penyakit sbb : 1. Suspek
ke- 13 tahun 2013 sudah mencapai 100%. Berarti
Distribusi alert penyakit perpuskesmas minggu
Situasi Umum penyakit pada Minggu ke-13
dalam rangka pencegahan penyakit dan
seperti minggu-minggu sebelumnya pertama
perilaku
Suspek Campak Mingguan 2013-13
Tempat
Peringatan dini
Nilai
Ambang batas
Kriteria
Kasus
PKM KEDONDONG
Kasus
2
1
2
2
Bandingkan
Dibuat
2 2013-04-01
Gigitang Hewan Penular Rabies Mingguan
Tempat
Peringatan dini
Nilai
Ambang batas
Kriteria
Kasus
2013-13
PKM KEDONDONG
Kasus
1
1
1
1
Bandingkan
Dibuat
1 2013-04-01
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v
32
Z
K
N O O SI O
EM
ENKES
S
I R
Subdit Pengendalian Zoonosis Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2013
KEMENTERIAN KESEHATAN R.I.
BULETIN PENYAKIT ZOONOSA v Edisi 14 v