ISSN: 1907-4336
KONSEP TAZKIYYAH AL-NAFS (PEMBERSIHAN JIWA) AL-GHAZALI Dyah Nawangsari Abstrak Pembentukan perilaku ideal merupakan tujuan dari pendidikan yang harus tidak sekedar dalam tataran teori tetapi juga harus diimplementasikan dalam kehidupan seharihari. Salah satu upaya pembentuka karakter adalah melalui pembersihan jiwa (tazkiyyah al-nafs) dari segala penyakit hati, sebab hati merupakan cerminan tingkah laku manusia. Konsep pembersihan jiwa (tazkiyyah al-nafs) itu sendiri bisa diambil dari karya-karya Al Ghazali yakni Ihya’ Ulum al Di>n ()إحياء علوم الدين, dan diperkuat lagi dalam kitab Bida>yat al-Hida>yah ()بداية الهداية. Kitab ini berisi tentang ajaran etika di dalam hidup manusia, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, maupun dalam hubungannya dengan manusia lain.
Kata Kunci : Tazkiyyah al-nafs, Penyakit hati
A. Konsep Tazkiyyah al-Nafs Tazkiyyah al-nafs berasal dari Bahasa Arab yang terdiri dari dua kata yaitu tazkiyyah ( )تزكيةdan al-nafs ()النفس. Secara kebahasaan (etimologi) tazkiyyah berarti menyucikan, menguatkan dan mengembangkan. Sedangkan al-nafs adalah diri atau jiwa seseorang. Dengan demikian istilah tazkiyyah al-nafs memiliki makna mensucikan, menguatkan dan mengembangkan jiwa sesuai dengan potensi dasarnya (fitrah) yakni potensi iman, islam, dan ihsan kepada Allah. Adapun secara istilah makna tazkiyyah
Jurusan Tarbiyah STAIN Jember
Konsep tazkiyyah al-nafs (Pembersihan Jiwa) al-Ghazali al-nafs adalah penyucian jiwa dari segala penyakit dan cacat, merealisasikan berbagai maqām kepadanya, dan menjadikan asmā' dan shifāt sebagai akhlaknya.1 Kata tazkiyyah al-nafs sering digunakan al-Ghazālī untuk menyebutkan upaya-upaya pembersihan jiwa, penyucian diri.2 Adapun upaya itu meliputi: murāqabah al-qalb wa al-jawārih (kesadaran hati dan anggota badan), ta’addub al-‘abd zhāhiran wa bāthinan (tata krama lahir batin seorang hamba), bashīrah bi ‘uyuub
1
Said Hawwa, al-Mustakhlish Fī Tazkiyah al-Anfus, (Jakarta: Robbani Press, 1998), vii. 2 Meskipun demikian dalam kitab Bidāyah al-Hidāyah, al-Ghazālī justru menggunakan kata tersebut untuk menyebut penyakit lisan yang kelima yang harus senantiasa dihindari, sebagaimana ungkapan beliau: ”(Penyakit lisan) yang kelima adalah tazkiyyah al-nafs (menganggap baik diri sendiri). Allah SWT telah berfirman: ‘Janganlah engkau mengatakan dirimu suci. Dialah (Allah) yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa’ (QS. An-Najm:32). Dulu ada seorang bertanya kepada seorang cendekiawan, apakah kebenaran yang tidak baik itu? Dia lalu menjawab, yaitu pujian seseorang kepada dirinya sendiri. Janganlah engkau membiasakan memuji diri sendiri, sebab hal itu akan mengurangi derajatmu di mata orang-orang dan menyebabkan engkau dimurkai oleh Allah SWT. Apabila engkau ingin mengetahui, bahwa pujianmu terhadap diri sendiri itu tidak dapat menambah tinggi derajatmu di kalangan orang lain, maka perhatikanlah teman-teman yang suka memuji-muji diri mereka dihadapanmu dengan menyebutkan kelebihan, pangkat dan kekayaaannya. Coba engkau rasakan, bagaimana perasaan hatimu memprotes atau tidak menyukai mereka, dan betapa berat perasaanmu menerima sikap mereka, kemudian bagaimana engkau mencaci-caci mereka atas pujian mereka terhadap diri sendiri mereka, ketika mereka pergi dari sisimu. Maka dari itu, ketahuilah, bahwa mereka juga seperti itu ketika mendengar engkau sedang memuji-muji dirimu dengan menceritakan kelebihan, pangkat dan harta kekayaan. Mereka mencela kamu di dalam hatinya seketika itu dan akan mencacimu dengan terang-terangan sewaktu engkau pergi dari sisi mereka”. Lihat: Imam Abu Hamid al-Ghazali, Bidāyah al-Hidāyah, Tuntunan Mencapai Hidayah Ilahi. terj. H.M. Fadlil Sa’id An-Nadwi. (Surabaya: AlHidayah,1418 H), 143-144.
2|
Dyah Nawangsari al-nafs wa āfāt al-a’māl (pengetahuan tentang kekurangan diri dan efek perbuatan), hudhūr al-qalb (kehadiran hati), kaff al-jawārih (menjaga anggota badan), hifzh al-a’dlā’ wa al-qalb ‘an al-ma’āshī (menjaga anggota badan dan hati dari maksiat) dan tathhīr al-qalb (penyucian hati). Tazkiyyah al-nafs sendiri bertujuan untuk membentuk keharmonisan hubungan manusia dengan Allah, dengan sesama manusia dan makhluk-Nya dan dengan diri manusia sendiri. Secara khusus al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan tazkiyyah al-nafs terdiri dari empat komponen (rubu’), yakni; (1) Rubu’ ibadah yakni membentuk manusia yang ‘ālim, mu’min, ‘ābid, muqarrib, mau beramal, berdoa, berzikir, sadar akan akan keterbatasan umurnya, mau menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya, dan mampu menjadikan seluruh aktivitas hidupnya bernilai ibadah kepada Allah. (2) Rubu’ adat guna membentuk manusia yang berakhlak dan beradab dalam bermuamalah dengan sesamanya, yang sadar akan hak, kewajibannya, tugas, dan tanggung jawabnya dalam hubungan dengan kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, negara, dan agama. (3) Rubu’ muhlikat dalam rangka membentuk manusia yang bersikap i’tidāl (seimbang) terhadap dirinya sendiri di dalam mempergunakan potensi yang dimilikinya. Dengan i’tidāl terhadap dirinya, akan memudahkan manusia dalam membebaskan diri dari akhlak tercela dan memperoleh kesehatan jiwa (shihhiyyah alnafs). (4) Rubu’ munjiyat, untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia terhadap dirinya sendiri. 3 Dengan demikian, tujuan tazkiyyah al-nafs adalah membentuk manusia yang taat, takwa, dan beramal saleh dalam hidupnya, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat,
3
Lihat: A.F. Jaelani, Penyucian Jiwa (Tazkiyat Al-Nafs) & Kesehatan Mental, (Jakarta: AMZAH, 2000), 65–66.
Volume 9. No. 1. September 2014 | 3
Konsep tazkiyyah al-nafs (Pembersihan Jiwa) al-Ghazali negara, maupun agama. Orang yang taat, takwa, dan beramal saleh adalah orang yang bersikap i’tidāl dalam berakhlak dan memiliki kesehatan jiwa dalam hidupnya. Ia dekat dengan Allah dan selalu memperoleh kemenangan. Dapat dikatakan tujuan khusus tazkiyyah al-nafs antara lain: 1. Pembentukan manusia yang bersih akidahnya, suci jiwanya, luas ilmunya, dan seluruh aktivitas hidupnya bernilai ibadah. 2. Membentuk manusia yang berjiwa suci dan berakhlak mulia dalam pergaulan dengan sesamanya, yang sadar akan hak dan kewajiban, tugas serta tanggung jawabnya. 3. Membentuk manusia yang berjiwa sehat dengan terbebasnya jiwa dari perilaku tercela yang membahayakan jiwa itu sendiri. 4. Membentuk manusia yang berjiwa suci dan berakhlak mulia, baik terhadap Allah, diri sendiri maupun manusia sekitarnya.4 B. Macam-macam Penyakit Hati Yang Utama Pembahasan tentang konsep Tazkiyyah al-nafs, harus diawali kajian tentang berbagai penyakit hati, sebab dengan pemahaman ini akan bisa ditentukan terapi pengobatannya. AlGhazali mengemukakan bahwa hati (al-Qalb) memiliki dua makna. Makna pertama adalah segumpal daging yang terletak di dada sebelah kiri yang berisi rongga penuh darah, atau disebut juga dengan jantung. Adapun makna yang kedua adalah sesuatu yang amat halus (lathīfah), tidak kasat mata, tidak dapat diraba, bersifat spiritual ilahiah yang merupakan jati diri dan hakikat manusia yang memiliki potensi untuk mengenal, mengetahui, mengerti, memahami dan merasakan.5 4
Sholihin, Tasawuf Tematik, (Bandung: CV Pustaka Setia , 2003), 145. al-Ghazali, Benang Tipis Antara Halal dan Haram. terj. Ahmad Shiddiq. (Surabaya: Putra Pelajar, 2002), 310. 5
4|
Dyah Nawangsari Para ulama’ banyak membuat ibarat/perumpamaan bagi hati. Al-Ghazālī mengibaratkannya sebagai cermin yang dapat memantulkan segala sesuatu dan juga sebagai tuan yang menjadikan segala sesuatu dalam diri sebagai alat dan pelayannya.6 Muhammad Husain Ya’qub setelah menyitir hadis Nabi dalam Shahīh al-Bukhārī dan Shahīh Muslim mengibaratkan hati seperti tanah. Ada tanah yang gembur, dapat menerima air dan menumbuhkan pepohonan (gambaran hati yang menerima hidayah yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain), ada tanah yang kering namun dapat menahan air (gambaran hati yang menerima hidayah yang bermanfaat bagi orang lain namun tidak memberi manfaat pada dirinya), ada juga tanah yang datar dan gersang, yang tidak dapat menahan air apalagi menumbuhkan pohon (gambaran hati orang yang tidak dapat menerima hidayah Allah sama sekali).7 Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah membagi hati menjadi tiga macam; pertama hati yang sehat, yakni hati yang selalu menerima, mencintai dan mendahulukan kebenaran. Hati yang seperti ini akan selamat, dan terbebas dari setiap syahwat serta keinginan yang bertentangan dengan perintah Allah. Disamping itu juga selamat dari setiap syubhat dan ketidakjelasan yang menyeleweng dari kebenaran. Kedua hati yang mati, yang tidak mengenal siapa Tuhannya, sehingga tidak menerima kebenaran dan tidak taat padanya. Ketiga hati yang sakit, yang hidup namun
6
Ibid. 312-313. Juga dalam al-Ghazali, Bahagia Senantiasa. terj. Dedi Slamet Riyadi dan Fauzi Faishal Bahreisy, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007), 13–14. Muhammad Husain Ya’qub. Iltizam, The Moslem Reborn. terj. Ahmad Fadhil. (Jakarta: Sahara Publishers, 2007), 180-181. 7
Volume 9. No. 1. September 2014 | 5
Konsep tazkiyyah al-nafs (Pembersihan Jiwa) al-Ghazali mengandung penyakit, terkadang dekat pada kebinasaan namun juga terkadang dekat dengan keselamatan.8 Peran hati bagi anggota tubuh ibarat raja bagi para prajuritnya. Semua tunduk dan patuh kepadanya. Apabila hati itu rusak/jelek, maka rusak/jelek juga amal perbuatan yang dilakukan oleh si pemilik hati. Rasulullah SAW bersabda,
ْ صلُ َح ْال َج َس ُد ُكلُّهُ َو إِ َذا فَ َسد ْ صلُ َح َت فَ َس َد َ ت َ أَال إِ َّن ِفى ْال َج َس ِد ُمضْ َغةٌ إِ َذا (ْال َج َس ُد ُكلُّهُ أَالَ َو ِه َى ْالقَ ْلبُ ( رواه البخارىو مسلم Artinya: “Bahwa dalam diri setiap manusia terdapat segumpal daging, apabila ia baik maka baik pula seluruh amalnya, dan apabila ia itu rusak maka rusak pula seluruh perbuatannya. Gumpalan daging itu adalah hati”. (HR. al-Bukhārī dan Muslim). 9 Dikarenakan hati merupakan kunci perilaku manusia, maka pembenaran dan pelurusan hati merupakan sesuatu yang harus diseriusi oleh para penempuh jalan menuju Allah. Mengobati penyakit-penyakit hati merupakan bentuk ibadah yang utama bagi seseorang. Untuk itu diperlukan pemahaman tentang macam-macam penyakit hati disertai cara pengobatannya. AlGhazālī dalam Kitab Bidāyah al-Hidāyah mengemukakan,
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ighātsah al-Lahfān, Manajemen Kalbu: Melumpuhkan Senjata Syetan, terj. Ainul Haris Umar Arifin Thayib, (Jakarta: Darul Falah, 1423 H), 1-5. 8
Muhy al-Dīn Abī Zakariyā Yahyā bin Syaraf al-Nawawī, al-Adzkār alMuntakhabah min Kalām Sayyid al-Abrār. Surabaya: Al-Hidayah tt), 363. 9
6|
Dyah Nawangsari
Artinya: “Ketahuilah, bahwa sifat-sifat tercela yang ada didalam hati itu banyak, dan cara membersihkan dari sifat-sifat tercela itu perlu waktu lama, pengobatannya pun juga sulit dan teori dan praktek mengobati itu pun telah lenyap, karena kelalaian makhluk itu sendiri terhadap dirinya sendiri dan karena mereka telah sibuk mengejar kemewahan hidup di dunia. Kami sebenarnya telah menjelaskan masalah ini dalam Ihyā’ Ulūm alDīn pada bab al-Muhlika>t dan bab al-Munjiya>t. Meskipun demikian, kami masih menganggap perlu memperingatkan kepadamu sekarang ini mengenai tiga sifat hati yang sangat jelek, yaitu sifat yang sering terdapat pada hati para ulama’ pada zaman sekarang. Tujuannya, agar engkau waspada dan menjauhkan sifat tersebut dari hatimu, karena sifat-sifat itu termasuk perkara yang membawa kebinasaan pribadi. Tiga sifat yang merupakan pokok dari segala kejelekan itu ialah: hasud, riyā’ dan ‘ujub”.10 Berdasarkan pernyataan tersebut, al-Ghazali mengatakan bahwa penyakit hati sangatlah banyak. Namun alGhazali menyimpulkan ada 3 (tiga) penyakit hati yang sangat utama, yang merupakan pokok dari segala kejelekan. Ketiga 10
al-Ghazali, Bidāyah al-Hidāyah……….,159.
Volume 9. No. 1. September 2014 | 7
Konsep tazkiyyah al-nafs (Pembersihan Jiwa) al-Ghazali penyakit hati itu adalah hasad, riyā’ dan ‘ujub. Penjelasan dari masing-masing adalah sebagai berikut: 1. Hasad Hasad merupakan cabang dari kekikiran karena orang yang memiliki sifat hasad selalu merasa keberatan atau tidak senang jika Allah SWT memberikan nikmat, baik berupa ilmu, harta atau pengaruh kepada orang selainnya dan dia mengharapkan atau sangat senang jika nikmat tersebut lepas dari tangan orang yang menerimanya, meskipun dia tidak mendapat nikmat seperti itu. Al-Ghazali juga menyatakan bahwa orang yang memiliki sifat hasad akan selalu tersiksa batinnya selama hidup di dunia dan di akhirat ia akan mendapat siksa.11 Dengan kata lain, orang yang memiliki sifat hasad, hatinya tidak akan pernah merasa tenang, bahkan selalu gelisah apabila orang lain memperoleh kegembiraan. Seorang pendengki adalah orang yang berhati kerdil, karena sifat dengki tidak mungkin dimiliki oleh orang yang berjiwa besar. Dalil naqli tentang hasad diantaranya adalah Firman Allah dalam Surat al-Syūrā ayat 14: ْ َ َو َما تَفَ َّرقُوا إِ َّال ِم ْن بَ ْع ِد َما َجا َءه ُ ُم ْال ِع ْل ُم بَ ْغيًا بَ ْينَهُ ْم ۚ َولَوْ َال َكلِ َمةٌ َسبَق ك إِلَى أَ َج ٍل ُم َسمًى َ ِّت ِم ْن َرب ُ )42:14( ب ٍ َاب ِم ْن بَ ْع ِد ِه ْم لَفِي شَكٍّ ِم ْنهُ ُم ِري َ ورثُوا ْال ِكت ِ ُلَق ِ ض َي بَ ْينَهُ ْم ۚ َوإِنَّ الَّ ِذينَ أ Artinya: “Dan mereka (ahli Kitab) tidak berpecah belah, kecuali setelah datang pada mereka ilmu pengetahuan, karena kedengkian di antara mereka. Kalau tidaklah karena sesuatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulunya (untuk menangguhkan azab) sampai kepada waktu yang ditentukan, pastilah mereka telah dibinasakan. Sesungguhnya orang-orang yang diwariskan kepada mereka Al-Kitab (Taurat dan Injil) 11
Ibid, 131.
8|
Dyah Nawangsari sesudah mereka, benar-benar berada dalam keraguan yang menggoncangkan tentang kitab itu” (QS. al-Syūrā: 14).12
2. Riyā’ (Pamer) Secara bahasa riyā’ artinya memperlihatkan atau memamerkan. Dalam Kitab Bidāyah al-Hidāyah, al-Ghazali mengemukakan,
Artinya: “Adapun riyā’ itu sama dengan syirik terselubung, yaitu salah satu perbuatan syirik. Arti riyā’ ialah upayamu mencari perhatian dari orang lain, untuk memperoleh kedudukan dan pengaruh. Sedangkan cinta kedudukan itu bagian dari menuruti hawa nafsu. Karena penyakit riyā’ inilah banyak orang menjadi binasa dan yang menyebabkan mereka binasa itu adalah manusia sesamanya sendiri”.13 Dari pernyataan al-Ghazali tersebut, beliau menyatakan bahwa riyā’ sama dengan syirik terselubung. Beliau juga mendefinisikan riyā’ sebagai perbuatan mencari perhatian dari orang lain, untuk memperoleh kedudukan dan pengaruh. Sifat riyā’ inilah yang banyak membinasakan manusia. Riyā’ adalah perkara yang tercela, yaitu melakukan ibadah bukan karena Allah 12
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: J-ART, 2005), 485.
13
al-Ghazali, Bidāyah al-Hidāyah………,162.
Volume 9. No. 1. September 2014 | 9
Konsep tazkiyyah al-nafs (Pembersihan Jiwa) al-Ghazali melainkan agar manusia melihat ibadahnya untuk selanjutnya berharap manusia memujinya, menyanjungnnya bahkan mungkin memberikan harta kepadanya. Perbuatan riyā’ merupakan perbuatan yang tercela, karena melakukan amal perbuatannya tidak untuk mencari ridha Allah melainkan mencari perhatian, pujian dan sanjungan dari orang lain. Orang yang memiliki sifat riyā’ pasti jauh dari sifat ikhlas. Sebagaimana sifat hasad, sifat riyā’ juga dapat menghapus amal kebaikan yang telah dilakukan. Allah menjelaskan dalam firman-Nya Surat Al-Baqarah ayat 264 sebagai berikut:
ُ ِص َدقَاتِ ُك ْم بِ ْال َمنِّ َو ْاْلَ َذى َكالَّ ِذي يُ ْنف ق َمالَهُ ِرئَا َء َ يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا َال تُب ِْطلُوا ُصابَه َ َ ان َعلَ ْي ِه تُ َرابٌ فَأ َ اَّلل َو ْاليَوْ ِم ْاْل ِخ ِر ۖ فَ َمثَلُهُ َك َمثَ ِل ِ َّ ِاس َو َال ي ُْؤ ِمنُ ب ٍ ص ْف َو ِ َّالن ْ ْ َّ صلدًا ۖ َال يَ ْق ِدرُونَ َعلَى َش ْي ٍء ِم َّما َك َسبُوا ۗ َو َّللاُ َال يَ ْه ِدي القَوْ َم َ َُوا ِب ٌل فَتَ َر َكه )2:264( َْال َكافِ ِرين Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebutnyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (QS. al-Baqarah: 264).14 3. ‘Ujub (Bangga Diri)
14
Depag RI, Al-Qur’an ……….,45.
10 |
Dyah Nawangsari Secara bahasa ‘ujub berarti al-Zahw (kebanggaan) dan alKibr (kesombongan). ‘Ujub merupakan kesombongan yang ada didalam batin dikarenakan merasa memiliki kesempurnaan didalam ilmu atau amal. Dalam Kitab Bidāyah al-Hidāyah, al-Ghazali menyatakan,
Artinya: “Sifat ‘ujub, sombong dan bangga dengan dirimu sendiri adalah satu penyakit hati yang sulit diobati. ‘Ujub ialah memandang mulia kepada diri sendiri dan memandang remeh orang lain”.15 Dari pernyataan al-Ghazālī tersebut, beliau menyatakan bahwa‘ujub adalah memandang mulia diri sendiri dan memandang remeh orang lain. Beliau juga mendefinisikan‘ujub sebagai sifat merasa diri serba berkecukupan dan berbangga hati atas nikmat yang ada, dan lupa jika kelak akan sirna.‘Ujub merupakan induk dari sifat takabbur. Sedang al-Qurthubi mengemukakan ‘ujub adalah melihat diri serba sempurna dan serba baik, sambil melupakan anugerah Allah SWT. Jika sifat ini diarahkan pada orang lain, maka menjadi kesombongan.16 ‘Ujub adalah perasaan puas dengan diri sendiri, merasa diri sangat sempurna, dan menganggap segala pekerjaan dalam masyarakat tidak akan selesai kalau tanpa diri Perangai ‘ujub ini akan membuat seseorang lupa akan kekurangannya sendiri dan justru akan selalu ingat kekurangan orang lain.17 15
16 17
al-Ghazālī, Bidāyah al-Hidāyah………,164. Ya’qub, 2007. Iltizam,………154. Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 2001), 157-158.
Volume 9. No. 1. September 2014 | 11
Konsep tazkiyyah al-nafs (Pembersihan Jiwa) al-Ghazali Selain mendefinisikan ‘ujub, dalam Kitab Bidāyah alHidāyahal-Ghazālī juga memberikan tanda-tanda dari sifat ‘ujub. Di antara tanda sifat ‘ujub yang nampak pada lisan adalah kebiasaan berkata siapa saya, apa kamu tidak tahu saya dan siapa kamu. Ucapan seperti ini sama dengan perkataan iblis yang terkutuk, sebagaiman diceritakan dalam firman Allah dalam AlQur’an Surat al-A’rāf ayat 12:
َُار َو َخلَ ْقتَه َ ُك أَ َّال تَ ْس ُج َد إِ ْذ أَ َمرْ ت َ قَا َل َما َمنَ َع ٍ ك ۖ قَا َل أَنَا َخ ْي ٌر ِم ْنهُ َخلَ ْقتَنِي ِم ْن ن )7:12( ين ٍ ِم ْن ِط Artinya: “Iblis menjawab: "Saya lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah” (QS. al-A’rāf: 12).18 C. Metode Mengobati Penyakit Hati 1. Metode Mengobati Hasad (Dengki) Hasad (kedengkian) merupakan penyakit yang berat bagi hati, dan hanya bisa diobati dengan ilmu dan amal. AlGhazālī sebagaimana dikutip oleh Hawwa mengemukakan, ilmu yang bermanfaat bagi penyakit kedengkian ialah mengetahui secara pasti bahwa kedengkian sangat berbahaya bagi dunia dan agama pendengki dan justru sangat bermanfaat bagi dunia dan agama orang yang didengki.19 Kedengkian berbahaya bagi keberagamaan karena kedengkian sama saja dengan membenci ketentuan (qadr) Allah, tidak suka kepada nikmat-Nya yang telah 18
Depag RI, Al-Qur’an ………., 153.
19
Said.Hawwa, al-Mustakhlish Fī Tazkiyah al-Anfus, ( Jakarta: Robbani Press, 1998), 211-212.
12 |
Dyah Nawangsari dibagikan di antara para hamba-Nya, dan tidak mau menerima keadilan-Nya yang ditegakkan-Nya di dalam kerajaan-Nya dengan kebijaksanaan-Nya. Sedangkan bahaya kedengkian terhadap dunia pendengki adalah menjadi sakit dan tersiksa di dunia. Pendengki akan senantiasa dalam keadaan sedih dan gundah apabila musuh-musuhnya tidak dijauhkan Allah dari berbagai nikmat yang dilimpahkan-Nya kepada mereka. Adapun amal yang bermanfa'at dalam mengobati kedengkian adalah dengan menghukum kedengkian.20 Secara rinci obat untuk mengobati hasad dengan menelusuri sebab-sebab kedengkian seperti kesombongan, egoisme dan besarnya ambisi terhadap hal yang tidak bermanfaat. Hal-hal ini merupakan komponen penyakit hasad. Untuk mengikis habis penyakit hasad, maka harus dengan mengikis komponennya. Apabila masih mencintai kedudukan, pasti ia masih mendengki orang lain yang mendapatkan kedudukan dan tempat di hati manusia. Tindakan yang paling mudah dilakukan adalah dengan mengurangi kesedihannya atas dirinya dan tidak menampakkan dengan lisan dan tangannya, tetapi tidak dapat menghindarinya sama sekali. 2. Metode Mengobati Riyā’ (Pamer) Sebagaimana telah diketahui bahwa riyā' dapat membatalkan amal, menjadi penyebab kemurkaan Allah, dan termasuk pembinasa yang terbesar. Menghadapi hal seperti ini, kita harus berusaha keras menyingkirkannya, sekalipun dengan mujahadah dan bersusah payah, karena tidak akan ada kesembuhan kecuali dengan meminum obat yang pahit. Al-Ghazālī dalam Hawwa mengemukakan dua maqām untuk menyembuhkan riyā'. Kedua maqām itu adalah:
20
Ibid.
Volume 9. No. 1. September 2014 | 13
Konsep tazkiyyah al-nafs (Pembersihan Jiwa) al-Ghazali a. Maqām pertama: mencabut akar-akar riyā' dan menggusur habis dasar-dasarnya. b. Maqām kedua: menolak hal yang timbul dari riyā' pada saat melaksanakan ibadah.21 3. Metode Mengobati ‘Ujub (Bangga Diri) Untuk mengobati ‘ujub, harus tahu hal-hal yang bisa dipakai untuk ‘ujub, sehingga dalam memberikan pengobatan tidak terjadi kesalahan. Menurut al-Ghazālī, ada delapan hal yang mendorong untuk ‘ujub yakni; a. ‘Ujub dengan fisiknya, misalnya kecantikan, postur tubuh, kekuatan dan lain-lain. Pengobatan jenis ‘ujub ini adalah dengan tafakkur tentang berbagai kotoran batinnya, tentang mula pertama penciptaan dan akhir kesudahannya, tentang bagaimana wajah yang cantik dan tubuh yang gemulai itu akan terkoyak-koyak oleh tanah dan membusuk di kubur hingga menjijikkan. b. ‘Ujub dengan kedigdayaan dan kekuatan. Terapinya ialah dengan mengetahui bahwa sakit sehari saja bisa melemahkan kekuatannya dan bisa jadi Allah akan mencabut kekuatan yang dibangga-banggakannya hanya dengan sebab pelanggaran yang paling ringan. c. ‘Ujub dengan intelektualitas, kecerdasan dan kecermatan dalam menganalisis berbagai problematika agama dan dunia. Terapinya ialah bersyukur kepada Allah atas karunia intelektualitas yang telah diberikan kepadanya, dan merenungkan bahwa dengan penyakit paling ringan yang menimpa otaknya sudah bisa membuatnya berbicara melantur dan gila sehingga menjadi bahan tertawaan orang. Hendaklah ia menyadari keterbatasan akal dan ilmunya. Apa yang tidak diketahuinya lebih banyak ketimbang yang diketahuinya. 21
Ibid. 192 -195
14 |
Dyah Nawangsari d.
‘Ujub dengan nasab yang terhormat. Terapi penyakit ini adalah mengetahui bahwa jika ia menyalahi perbuatan dan akhlak nenek moyangnya dan mengira bahwa ia akan disusulkan dengan mereka maka sesungguhnya ia bodoh, tetapi jika meneladani nenek moyangnya maka hendaknya mengetahui bahwa nenek moyangnya, tidak pernah '‘ujub bahkan mereka senantiasa merasa khawatir terhadap dirinya. Mereka mulia karena ketaatan, ilmu dan sifat-sifat terpuji, bukan dengan nasab. Hendaklah ia mencari kemuliaan dengan apa yang membuat mereka mulia. Kemuliaan hanya bisa didapat dengan dengan taqwa bukan dengan nasab. e. ‘Ujub dengan nasab para penguasa yang zhālim dan para pendukung mereka, bukan nasab agama dan ilmu. Terapinya adalah merenungkan tentang berbagai kehinaan mereka dan tindakan-tindakan kezhaliman mereka terhadap para hamba Allah, kerusakan yang mereka lakukan terhadap agama Allah, dan bahwa mereka adalah orang-orang yang dimurkai Allah.
f.
‘Ujub dengan banyaknya jumlah anak, pelayan, budak, keluarga, kerabat, pendukung dan pengikut. Terapinya adalah merenungkan tentang kelemahannya dan kelemahan mereka, g. ‘Ujub dengan harta. Terapinya adalah merenungkan tentang keburukan-keburukan harta kekayaan, hak-haknya yang banyak, dan para pendengkinya yang rakus. Kemudian memperhatikan keutamaan orang-orang fakir dan bahwa mereka akan masuk surga terlebih dahulu pada hari kiamat. h. ‘Ujub dengan pendapat yang salah. Terapi ‘ujub ini lebih berat ketimbang terapi ‘ujub yang lainnya, karena pemilik pendapat yang salah tidak mengetahui kesalahannya. Tidak akan mengobati penyakit, orang yang tidak tahu bahwa dirinya ber-
Volume 9. No. 1. September 2014 | 15
Konsep tazkiyyah al-nafs (Pembersihan Jiwa) al-Ghazali penyakit. Terapinya secara umum ialah hendaknya ia selalu menuduh pendapatnya sendiri dan tidak terpedaya, kecuali jika secara pasti didukung oleh al-Qur'an atau al-Sunnah atau dalil aqli yang sahih yang memenuhi berbagai persyaratannya.22 DAFTAR PUSTAKA Bruinnessen, Martin Van, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992). Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: J-ART, 2005). Dhofier, Zamaksyari Tradisi Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1984). Imam Abu Hamid al-Ghazali, Bidāyah al-Hidāyah, Tuntunan Mencapai Hidayah Ilahi. terj. H.M. Fadlil Sa’id AnNadwi. (Surabaya: Al-Hidayah, 1418 H). ______________, Bidāyah al-Hidāyah, (Beirut: Dar Sader, 1998). _______________, Benang Tipis Antara Halal dan Haram. terj. Ahmad Shiddiq. (Surabaya: Putra Pelajar, 2002). ______________, Metode Menaklukkan Jiwa Perspektif Sufistik, (Bandung: Mizan, 2002). ______________, Bahagia Senantiasa. terj. Dedi Slamet Riyadi dan Fauzi Faishal Bahreisy, ( Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007).
22
Ibid,
16 |
221–226.
Dyah Nawangsari
Hawa, Said. al-Mustakhlish Fī Tazkiyah al-Anfus, ( Jakarta: Robbani Press, 1998). Humaini, Konsep Tazkiyatun Nafs dalam Al-Quran dan Implikasinya dalam Pengembangan Pendidikan Islam, (Skripsi, UIN Maliki, Malang, 2008). Jaelani, A.F. Penyucian Jiwa (Tazkiyat Al-Nafs) & Kesehatan Mental, (Jakarta: AMZAH, 2000). al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim, Ighātsah al-Lahfān, Manajemen Kalbu: Melumpuhkan Senjata Syetan, terj. Ainul Haris Umar Arifin Thayib, (Jakarta: Darul Falah, 1423 H). Madjid, Nurkholis, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997). al-Nawawī, Muhy al-Dīn Abī Zakariyā Yahyā bin Syaraf. tt. alAdzkār al-Muntakhabah min Kalām Sayyid al-Abrār, (Surabaya: Al-Hidayah, tt). Sholihin, Tasawuf Tematik, (Bandung: CV Pustaka Setia , 2003).
Volume 9. No. 1. September 2014 | 17
ISSN: 1907-4336