Joana Budaya Media lnformas1 Se1arah Sos1af dan Budaya
.. -·
Vol. 18
-Hal
1 - 174
• Denpasar
.
ISSN 1410-5195
JN ANA BUDAYA VOLUME 18, NOMOR I, FEBRUARI TAHUN 2013
NomorAkreditasi: 516/AUl/P2MI-LIPl/40/2013 Jnana Budaya merupakan seri penerbitan Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali, NTB, NTT. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Diterbitkan secara berkala dua kali dalam setahun. Jnana Budaya merupakan sebuah wadah untuk memberikan ruang dalam menvampaikan gagasan ataupun bersifat informasi berirnitan dalam bidang sejarah, sosial, dan budaya. Fokus dari Jumal Jnana Budaya merupakan hasil pemikiran yang original dan aktual dalam tataran konsep ataupun dalam wujud yang sifatnya praktisi. Kata "Jnana" berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti pengetahuan, sedangkan "budaya" merupakan konstruksi dari pola kehidupan masyarakat. Secara harfi.ah Jnana Budaya berarti pengetah<.ian tentang kebudayaan yang berkembang ditengah-tengah !<ehidupan masyarakat. Ketua Dewan Redaksi
Ora. I Gusti Ayu Armini, M.Si. (Sastra Indonesia)
Sekretaris Redaksi
l Gusti Ngurah Jayanti, S.Sos, M.Si. (Antropologi)
Dewan Penyunting
Prof. Dr. Susanto Zuhdi (Universitas Indonesia Jakarta). Prof. Dr. Sri Hastanto, MA. (lnstitut Seni Indonesia Solo). Prof. Dr. I Nengah Sudipa, M.A. ( Sosiolinguistik) Prof. Dr. A.A. Ngurah Anom Kumbara,M.A. (Antropologi ). Dr. I Gede Mudana, M.Si. (Kajian Budaya) Dr. I Wayan Budi Utama, M.Si (Agama dan Kebudayaan)
Mitra Bestari
Prof. Dr. I Gde Parimartb, M.A. (Ilmu Sejarah) Prof. Dr. Ida Bagus Gunadha, M.Si. (f.gaIT.a dan Y-.ebudayaan) Prof. Dr. I Made Suastika, SU. (Kajian Budaya) Dr. Ors. !da Bagus Rai Putra, M.Hum. (Kajian Budaya)
Redaksi Pelaksari.a
Ors. I Wayan Rupa, M.Si. (Agama dan Kebudayaan) Ors. I Mac::: Satyananda. (Sastra Indonesia) Nuryahman, S.S. (Sejarah) Ida Bagus Sugianto, S.S. (Sejarah)
Cover
Tradisi Kubur Batu
Desain Cover
I Komang Puma Wiradnyana Putra, S.Kom.
Distributor
I Made Sedana, BA.
Diterbitkan oleh
Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali, NTB, NTT Tahun Anggaran 2013
Dicetak oleh
PT. Percetakan Bali JI. Gajah Mada I/ l, Denpasar, Telp. (0361) 234 723 Anggota !KAP!
Alamat Redaksi
Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali, NTB, NTT JI. Raya Dalung Abian Base No. l 07 Kuta Utara, Badung, Bali. Tip. (0361) 43954 7I fax. 439546 website: www.bpsntbali.com. E-mail:
[email protected],
[email protected].
•
PENGANTAR REDAKSI Puji syukur dipanjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat-nya, Jurnal Jnana Budaya volume 18 nomor 1 Tahun 2013 dapat dipublikasikan. Jurnal Jnana Budaya mecupakan sebuah wadah untuk memberikan ruang menyampaikan gagasan original yang bersifat informatif berkaitan dengan bidang sejarah, social, dan budaya. Sebagai pembuka dalamjurnal ini, di~wali dengan pembahasan sebuah artikel yang bcrjudtil Isu Komodifikasi Ranah Tri Hita Karana: Kritik Terhadap Kebijakan Pembangunan Industri Kepariwisatandi Bali.Artikel iniditulis oleh I Gusti Ketut GdeArsanadanI.B.G. Pujaastawa. Dalam bahasannya, dijelaskan bahwa kapitalisme pariwisata membawa konsekuensi logis terhadap segala bidc.ng kehidupan khususnya di Bali. Dorongan libido kapitalisme u:1tuk mengeruk keuntungan yang tidak mengenal batas tentunya merupakan ancaman serius bagi kelcstarian sumber daya alam dan lingkungan. Terlebih lagi paradigma kapitalisme yang cenderung memandang sumbcr daya alam sebagai komuditas ekonomi belaka dan hampir tak pernah bcrpikir tentang bagaimana dampaknya bagi kelestarian lingkungan. Melalui industri pariwisata kaum kapitalis tidak hanya mcngkapitalisasi barang-barang material tetapi juga ncn material; dan bahkan lcbih jauh tanpa dirasakan juga telah menodai escnsi hidup kemanusiaan yang paling inhercn yaitu ranah teosofi (moralitas). Tulisan sclanjutnya bcrjudul Budaya Spiritual di Lingkungan Makam Syekh IV~uhammad Arsyad Al Banjari, oleh Hcndraswati. Dalam bahasannya dijelaskan bahwa Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari adalah tokoh ulama yang pertama kali !Tlengajarkan dan meng~mbangkan agama Islam di Kerajaan Banjar. Tokoh ini dianggap sebagai ulama, penulis buku, pelopor pendiri pondok pcsantren, aktivitas dan kreativitasnya dapat dilihat dan dinikmati sampai sekarang. Tulisan ini mcnggambarkan bagaimana makam Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dianggap makam kcramat dan bcrkembang menjadi sebuah budaya spiritual. Beliau sangat di horrnati dan hingga kini Makam beliau di Kalampayan selalu penuh oleh pc:ra peziarah. Sclanjutnya tulisan berikut terkait dengan Perkembangan Ilmu pengetahuan, menjadi pcrhatian dalam tulisan I Nyoman Sama. Tulisan bcliau bcrjudul Etnosains, Diskursif dalam Epistemologi Antropologi (sebuah Pemikiran). Dalam bahasannya dijelaskan bahwa di era globalisasi perkembangan ilmu pengetahuan semakin maju dan penemuan-penemuan barn telah banyak mcmberi gaya atau pola pikir sekarang ini. Begitu juga dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial, telah banyak pula dilakukan dekonstruksi terhadap teori terdahulu, yang sudah dianggap tidak dapat lagi represcntatif dalam menyelesaikan permasalah pada era kckinian. Setelah adanya penemuan tcori-teori baru, terlebih memfokuskan pada fenomena sosial, maka aliran ilmu Antropologi telah memasuki pada berbagi masa dan varian yang dapat dilihat yaitu, telah mulai mcngkaji fenomena-fenomena sosial budaya dengan menggunakan teori-teori mutakhir, salah satunya dengan menggunakan etnosains yang akan dikaji dalam tulisan ini. Perkembangan ilmu pengetahuan membawa pengaruh oesar terhadap kehidupan terutama dalam perkembangan yang sering disebut globalisasi. Perkembangan globalisasi dalam masyarakat tampaknya membawa konsekuensi logis terhadap masyarakat terutama pada masyarakat tradisional. Hal ini tampak dalam pola transaksi dan interaksi masyarakat tradisional menanggapi perkembangan pasar-pasar modern. Kcterancaman eksistensi pasar tradisional ini membawa dampak terhadap eksistensi masyarakat dalam pola yang masih tradisional. Melihat keadaan tersebut maka artikel selanjutnya mencoba untuk mengkaji fenomena terscbut dalamjudul "Eksistensi Pasar Tradisional di Tengah Maraknya Pasar Modern (Supermarket, Hypermarket) di Kabupatcn Gianyar, Provinsi Bali'', ditulis oleh
Hartono. Dalam pembahasannya diuraikan bahwa pasar tradisional merupakan barometer dalam melihat perekonomian dalam skala kecil dan menegah. Pasar tradisional juga cenderung memiliki kestabilan harga dibandingkan dengan pasar modern. Hal ini lah perlu adanya perlindungan yang sifatnya lebih memihak kepada pasar yang bersekala kecil dan menengah karena terbukti pada saat krisis cenderung lebih stabil. Oleh karena itu pasar-pasar trac!isional seperti Pasar Badung, Pasar Kumbasari (Denpasar) dan Pasar Sukawati, Pasar Blahbatuh (Gianyar). Penting untuk mendapat perlindungan agar eksistens pasar tradisional tidak tergerus oleh pasar modern yang belakangan ini tumbuh bersaing dan cenderung meminggirkan pasar tradisional. Eksistensi pasar tradisional dapat berkelanjutan bila ada kesadaran masyarakat dan pemerintah dalam menjaga kelestariannya. Begitu juga pada bangunan tradisional yang yang tersebar di seluruh Indonesia, yang salah satunya rumah tradisional Sumbawa penting untuk mendapat perhatian dalam menjaga kelestariannya. Tulisan selanjutnya akan membahas local wisdom berjudul "Arsitektur Rumah Tradisional di Sumbawa Besar Nusa Tenggara Barat", ditulis oleh I Made Dharma Suteja. Dalam inti pembahasannya dijclaskan bahwa bangunan tradisional mcrupakan symbol atau media untuk menyampaikan pesan secara simb9lis. Suatu bentuk bangunan arsitektur terdapat relasi maknawi atau relasi pemberian arti oleh masyarakat pendukung suatu kebudayaan sesuai dengan konsepsi-konscpsi sistem budaya yang melatarbelakanginya. Dalam setiap kebudayaan, simbolsimbol yang ada cenderung untuk c!ibuat dan dimengerti oleh warga masyarakat pendukungnya berdasarkan atas konsep-konsep yang mempunyai arti tetRp dan disepakati bersama dalam jangka waktu tertentu. Dalam menggunakan simbol-simbol, biasanya seseorang mclakukan berdasarkan aturan-aturan U11tuk member..tuk, mengkombinasikan, mengkatagorikan be;·macam-macam simbol da•1 menginte~pretasikan simbol-simbol yang di!1adapinya. Serara umum tedapat suatu kes3.tuan gaya dalam penampilan fisik banguna yang c!idapati pJ.da beberapa lokasi desa seperti di Sumbawa Bcsar. Kesatuan ini secara spesi5.k telah mewujudkan ciri karakteristik arsitektur yang disebut arsitel
11
yang bernuansa mistis dan ditarikan hanya pada saat suku itu melakukan ritual penyembahan roh lcluhur. Namun sciring perkembangan zaman dan berjalannya waktu, kesenian api tcrsebut mulai dilirik scrta dikembangkan olch scniman-seniman kreatif dari negara lain dan mampu bersaing di tingkat nasional dan intcrnasional. Hingga pada akhirnya mulai disebarkan dan dipelajari olch para scniman muda dibcrbagai daerah pariwisata di Bali. Perkcmbangan Pariwisata membawajuga revitalisasi terhadap kebudayaan tradisional yang kian mengalami kepunahan. Oleh karena itu penting kiranya melakukan inventarisasi terhadap scmua aset budaya khususnya melihat pola perkampungan masyarakat tradisional. Bcrikut akan dibahas mcngcnai po la pcrkampungan tradisional yang akan diulas oleh Kadek Dwikayana berjudul Pcmukiman Tradisional Wogo, Dcsa Ratogesa, Ngada, NTT Perkampungan Tradisional Wogo di Dcsa Ratogesa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada provinsi NTT. Penulis memaparkan perkampungan Tradisional Wogo memiliki unik dan hingga kini masih lrstari. Pola Permukiman maysarakat Wogo adalah mengelompok dimana deretan rumah-rumah masyarnkat dan pohonpohon yang mengclilingi lapangan tengah. Pada bagian lapangan terbuka di permukiman tersebut tcrdapat Ngadhu dan Bagha. Rumah adat pada permukiman kampung tradisional wogo ini terdiri d::i_ri 3 bagian yaitu One, Tedha One dan Tedha Wawo. Permukiman rumah adat di kampung Wogo merupakan salah satu wujud nyata dari bentuk eksp1esi masyarakatnya yang sarat dengan nilainilai budaya sepcrti nilai nilai etika, nilai Solidaritas, nilai Religius, dan nilai estetika. Tulisan Bcrikut masih dala;n topik yang sama yakni rr:embahas mengenai pola pemukiman nar.rnn dalam masyarakat suku Bajo. Tulisan ini dibahas secara berkelumpok oleh I Made Saty
suara sebagai icon masyarakat karena sangat berkaitan dengan Pendidikan Anti Korupsi di Pura Batur, kemudian hidupnya tradisi lain, yang dapat mengayomi kehidupan masyarakat Bali sepcrti : Pesebaran air suci ke pelosok Bali Dwipa, Tradisi pemadegan Pemangku,Kisah Ki Balian Batut, Kisah Ida Ratu Gede Ngurah Subandar, sedangkan aspek kekunaan di desa Batur herupadanau dan gunung Batur merupakanmitos kekunaan Desa Eatur, Sejarah desa Batur,Sejarah pura Ulun Darm -Batur, dan Bangunan suci di Pura Batur. Tradisi-tradisi tersebut merupakan warisan yang masih bcrtahan hingga saat ini dan perlu untuk mendapatkan apresasi maupun pelestariannya. Pada akhimya, jumal Jnana Budaya vol. 18 Nomer 1, ditutup oleh tulisan I Gusti Ngurah Jayanti dan I Made Sumertha yang membahas ketcrkaitan system keyakinan masyarakat Bungin dalamjudul "RitualdanKepercayaanMasyarakatPulauBunginKabupatenSumbawa,PropinsiNusa Tenggara Barat". Dalam tulisannya, dijelaskan bahwa terdapat beberapa ritual yang menyangkut system kepercayaan masyarakat Bungin system kepercayaan seperti ritual-ritual :nampo tawar, tolak bala, syukuran, tiba pisah, anca1< dan tiba rakit. Semua upacara ini berjalan secara harmonis dan masyarakat telah memberikan apresiasi yang cukup besar dengan tidak mempertentangkan dengan kaidah-kaidah atau norma-norrna agama yang dianutnya sekarang. Pelaksanaan ritual yang dilakukan oleh masyarakat merupakan lebih pada penghargaari yang setinggi-tingginya terhadap- lingkungan alam dan penghormatan terhadap Tuhan yang tertinggi dalam wujud dan manifestasinya yang beragam.Para nelayan dalam mengungkapkan rasa hormat terhadap alam menggunakan media ritual seperti upacara nampo ta war dan tolak bala. • Demikianlah beruagai judul tulisan telah dikctengahkan secara baik dan tentunya sctiap tulisan terscbut diharapkan mendapatkan respon dalam masyarakat. Pada akhimya kai:1i scnantiasa mcngucapkaa maaf bila dalam jumal ini t~rdapat kesabhan ataupun kekcliruan akar, diperbaiki segera. Jadi pada jumal volume ini mudah mudahan mendapatkan manfaat.
DEWAN REDAKSI
IV
JNANA BUDA YA Media !nformasi Sejarah, Sosial, dan Budaya Volume 18, Nomor /, Februari 2013
Akreditasi: 516/AUl/P2MI-LIPl/40/2013
ISSN : 1410 - 5195
Media lnformasi Sejarah, Sosial, dan Budaya
DAFTARISI
Isu Komodifikasi Ranah Tri Hita Kamna: Kritik Terhadap Kebijakan Pembangunan Industri Kepariwisataan Bali I Gusti Ketut Gde Arsana & I B. G. Pujaastawa Budaya Spiritual di Lingkungan Makam Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari ......... .
1 - 10
11 - 22
l!enrlraswati Etno.:ains, Diskt.::-sif dalam Epistemologi Antropologi (Scbuah Pemikiran) ...................................................................................................... .
23 - 30
I Nyoman Sama Eksistcnsi Pasar Tradisional di Tengah Maraknya Pasar Mudern (Supermarket, Hypermarket) di Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali Hartono
31 - 48
Arsitcktur Rumah Tradisional di Sumbawa Besar Nusa Tenggara Barat ......................
49 - 68
I Made Dharma Suteja Kampung Adat Ratenggaro di Sumba Barnt Daya "Antara Sejarah dan Tradisi Ku bur Batu" ......................... ........................................ ....
69 - 80
I Putu Kamasan Sanjaya Seni Tari Api Kontemporer Sebagai Daya Tarik Pariwisata di Bali ..............................
81 - 94
I Gusti Ayu Agung Sumarheni Pemukiman Tradisional Wogo, Desa Ratogesa, Ngada, NTT ..................................... ...
95 - 112
Kadek Dwikayana Pola Pcmukiman Suku Bajo di Desa Pulau Bungin, Kccamatan Alas, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat ............................................... ............ .. .... I Made Satyananda & Harlono-
113 - 126
Kubur Batu di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (Makna dan Filosofi Sejarah) ......................................................................................... Ida Bagus Sugianto & Cokorda lstri Suryawati
127 - 142
Desa Batur dalam Tradisi dan Kekunaan........................................................................
143 - 158
I Wayan Rupa
Ritual dan Kepercayaan Masyarakat Pulau Bungin Kabupaten Sumbawa, Propinsi Nusa Tenggara Barat ....................................................................................... I Gusti Ngurah Jayanti & I Made Sumer/ha
VI
159 - 174
(I Gusti Ketut Gde Arsana & J.B. G. Pujaastawa) /su Komodifikasi Ranah Tri Hila Karana...
ISU KOMODIFIKASI RANAH TRI HITA KARANA: KIUTIK TERIIADAP KEBIJAKAN PEMBANGUNAN INDUSTRI KEPARIWISATAAN BALI COMMODIFICATION ISSUES OF TRI El/TA KARANA: CRITICISM OF BALI TOURISM INDUSTRY DEVELOPMENT POLICY I Gusti Kctut Gdc Arsana I. B. G. Pujaastawa Fakultas Sastra Universitas Udayana Jalan Nias No. 13 Sanglah Denpasar, Bali Telp. (0361) 224121, Fax. (0361) 224121 Email :
[email protected] 08123835156 081999487385 Naskah diterima, 9 Desember 2012, diterima setelah perbaikan 11 Januari 2013, disetujui untuk dicetak 25 Januari 2013
AB ST RAK Pcrkemban;an pariwisata tclah menyebabkan dampak terhadap pembangunan di Bali. Dampak itu sangat m"mpengaruhi keh;dupan ekonomi, sosial budaya, masyarakatnya. Perker11bangan pariwisata yang kurang tcrkontrol terhadap kapasitas Bali dan sumber dayanya, membuat Bali mengalami over kapasiti. Hal ini dapat dirasakan, bagaimana Bali telah mengalami perubahan tata ruang yang dulunya sangat ketat dan disiplin mcnggunakan konsep tata ruang Tri Hita Karana. N(lmun semenjak perkembangan pariwisata dan pcmbangunannya, hakikat dan prinsip dalam rar,ah Tri Hila Karana telah terkomodifikasi sejalan dengan kcpentingan pariwisata. Bila ha! ini ter'Js terjadi, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi disvaritas nilai dan ketcrancaman budaya Bali. Kata kunci: komodiflkasi, tri hita karana, pembangunan, pariwisata
ABSTRACT The development of tourism has led to an impact on development in Bali. The impact was greatly influenced life ekomoni, socio-cultural community. Poorly controlled development of tourism Bali terhadapa capacity and resources, making Bali experienced over kapasiti. It can be felt how Bali has changed tat space that was once ve1y strict and disciplined use of the concept of Tri Hita Karana layout. However, since the development of tourism and development in the realm of nature and the principle of Tri Hit a Karana has been com modified in the interests oftourism. Ifthis continues to happen, then it is likely to happen disvaritas keterancaman values and culture of Bali. Keywords: commodification, tri hit a karana, construction, tourism
A. PENDAIIULUAN Pu tu Setia, wartawan yangjuga sastrawan asal Bali dalam karyanya "Menggugat Bali" (1987) menuturkan bahwa dirinya pernah disindir oleh scorang Penyair Muda tatkala di ruang ke1janya sedang dibacakan sajak karya Rendra yang berjudul " Sajak Pulau Bali". Dengan nada suan:1 yang keras Penyair Muda
itu mengalunkan bait-bait bagian terakhir dari sajak berbunyi: " ................ Di Bali, Pantai, gunung, tempat tidur dan pura telah dicemarkan ......... " Setelah pembacaan sajak, Sang Penyair Muda itu menambahkan: "Bali benar-benar
Jnana Budaya Volume 18, Nomor /, Februari 2013 (/ - JO)
komersil. Daerah ini berjalan menuju neraka"; ujarnya. Lalu ia bertanya: "apa lagi yang bisa dipcrtahankan oleh Balimu? Pantai dan tebingtebingmu telah menjadi milik orang Jakarta dan juga milik para Bule". Putu Sctia hanya bisa menjawab dengan senyum karcna mcnurutnya, Sang Pcnyair Muda itu telah mcnjawabnya sendiri. Di kescmpatan lainnya komponis Ycpi Latul lewat lagunya juga menggugat " kcmbalikan Bali-Ku". Scrncntara di Bali lcwat corongnya Bali TV juga tak mau diam. Media tcrscbut sccara periodik dulu scrnpat menayangkan bentuk kcpcrihatinannya ke dalam tema berjudul "Ajeg Bali-nya". Kambing hitamnya tampaknya tak sulit rasanya untuk dicari. Sindiran Sang Penyair Mi1da, gugat Sang Komponis dan kotbahnya Bali TV tak lain dialamatkan kepada dua sijoli yang scdang kcasmaran; siapa lagi kalau bukan Nyi Bali yang cm1tik dengan Tuan Wisatanya yang tampan. Dalam perkembangannya, pariwisata, lebih-lcbih dalam prosesnya kemudian dan dalam kebcradaannya di masa kini, ia adalah "industri". Industri pariwisata (tourism/ tourist industry.) merupakan sebuah pcristiwa ekonomi atau suatu pcrtukaran barang dan atau jasa dengan uang sebagaimana yang terjadi juga dengan bisnis-bisnis lainnya.. Ini adalah situasi saling mcmbcri dan mcnerima (lake and give) yang wajar-wajar saja (by nature) dan sudah seharusnya serta sating menguntungkan; dan itu disebut "manusiawi". Tidak mengherankan lagi, dari pengalaman penelitiannya di Bali, Antropolog Amerika Phillip Frick McKean ( l 973) menangkap sinyal itu sebagai suatu partial equivalent structure (struktur kesepadanan parsial). Maksudnya, peristiwa pariwisata di Bali; masyarakat lokal memberikan kepada Wisatawan layanan estetik. Sembari pada saat bcrsamaan, si wisatawan memberikan imbalan ekonomi kepada sang pclayan. Sebagai konsckuensinya, di Bali atau mungkin di mana saja pembangunan sektor pariwisata kemudian
semakin direduksi dan dilegitimasi menjadi lebih hanya peristiwa ekonomi. Di sinilah kunci keterjebakannya sebagai insan yang Balinese dan kemudian memaknai dirinya scbagai hanya sckadar mahluk yang ekonomikus (homo-economicus) yaug cenderung scmakin meniadakan dirinya sebagai halnya juga adalah mahluk homo-socius. Di sini mcnjadi agak ambigu dan berupaya mcncrnpatkan jati dirinya melalui cara-cru-a yang eufemisme. Artin:ya, terjadi penghalusan yang seolah-olah mengatakan bahwa "pariwisata= yes, dan juga pelcstarian budaya''. Narnpaknya kesulitan untuk mcngatakan sccara tcrang-tcrangan bahwa, "pariwisata adalah industri budayanya Bali" (ini tcrkcsan scpcrti pabrikan). Scbagai sebuah kcgiatan ekonorni, pariwisata tak terelak:..:.an lagi adalah scbuah komodifikasi (commod[fication) yang rnulanya bersifat tcmpor1;;r lalu kcmudian 1nenjadi semakin pcrmancn. Pic.'.'.:d (1996) mc-makai istilah komodihKasi sebagai cara pemaknaan hubungan antara pariwisata budaya dan budaya pariwisata di Bali yang dianggapnya telah menjurus menjadi touristification, yakni upaya mcnj adikan masyarakcit tuj uan wisata (Bali) sebagai produk pariwisata. Komodif1kasi dalam pariwisata dan pariwisata dalam komodifikasi, muaranya adalah munculnya etas "dikapitalisasi" budaya dan lingkungan di I3ali. Di dalamnya secara terselubung tcrdapat hegcmoni yang halus, canggih, tak tcrasa; dan olch karenanya kernudian mcmpcrolci1 pcrsctujuan. Kajian ini, dcngan lcbih bcrbasiskan contoh-contoh kasus Bali scbagai daerah tujuan wisata di Indonesia, scpintas membahas hubungan antara komodifikasi (turistifikasi) dengan berbagai sektor kehidupan yang diduga tclah mcnciptakan apa yang mcnurut Marx clan Simmel (dalam Turner, 1992: 115-138) sebagai "spirit menciptakan keuntungan yang berlimpah ruah". Bila dilacak ideologi scmacam itu porosnya berasal dari ide Rostowan yang oleh kalangan kritikus sering dianggap sebagai pcnebar ide ekonomi libido; atau dalam pepatah
·. ,,.·1 <
,j
(I Gusti Ketut Gde !lrsana & I. B. G. Pujaastawa) /su Komodifikasi Ranah Tri Hila Karana ...
Bali ·'amerta ngemasin wisia" ; Dosa besar tak terampuni itu juga semakin terasa sampai di Bali karena telah mendorong munculnya glokalitas dan menihilkan keabsolutan makna kultural yang berlanda~kan prinsip kearifan lokal Bali yakni "tri hita karana". Adagium Bali yang bcrfalsafahkan tri hita karana (tiga prinsip hubungan kcselarasan) seperti kcselarasan hubungan antara manusia dengan alam/ lingkungan (palemahan); manusia dengan scsamanya (pawongan) dan mariusia dcngan Sang Penciptanya (parhyangan), kian mcnj ad i lul uh lantah ketika mi tos kcsucian dan kekcramatannya dibujuk rayu olch mitos-rnitos kapitalismcnya Rostowan. B. PEMBAIIASAN a. Komodifikasi Ruang i)alcmahan. Baisi kaum pcmuja kapitalisme mclilnt ba!1wa sumber daya alaIY' merupakar'l komuditqs utama untuk mcngeruk keuntungan. Scbagaimana dinyatakan fakih (dalam Samek to, 2005: 82-83) bahwa sumbcrdaya al am meri.Jpal
yakni maksimalisasi laba. Paradigma kapitalisme seperti itu merupakan paradigrna antroposentrisme yang memosisikan manusia sebagai pusat orientasi dan mengkonsepsikan lingkungan tidak lebih dari sekadar obyck yang hanya memiliki nilai sejauh dapat memenuhi kepentingan manusia (Snauwaert, 1997; Soemarwoto, 2001). Perkcmbangan sektor kepariwisataan yang sempat dirasakan dan memberi kenikmatan seperti di Bali, adalah sinyalcmen mengganasnya libido kapitalisme yang sering dipuja-puja. Melalui industri pariwisata, kaum kapitalis tidak hanya mengkapitalisasi barang-barang material tetapi juga non material, dan bahkan lebih jauh tanpa dirasakan juga telah menoclai escnsi hidup kcmanusiaan yang yang paling inheren yaitu ranah tco<>ofi (moralitas). Para konglom~rat multinasional kini tengah beraliansi membangun kartel nntuk memburu tcmpat-tempat di mana schelumnya kita masih dapat menikm?ti cahaya matahari, tidara segar, laut, sungai dan hamparan pc1m,ndangan secara gratis. Di atas lahan itulah mereka kini telah membangun berbagai fasilitas untuk "sebuah kenikmatan" seperti hotel, vila, kolam renang, bcrsilancar, arena rafting dan lain sebagainya. Dcngan begitu, bila orang ingin menikmati cahaya matahari di pantai, at&u melaksanakan ibadah ritual K.eagamaan di sckitar areal yang dulunya sempat menjadi klaim keterpcmilikan secara kultural, kini jangan terlalu bcrharap dapat memanfaatkan klaim tradisional itu sccara leluasa. Karena justcru merekalah (para kartel) kini merasa memcgang hak atas klaim kepemilikan areal tcrsebut dan bahkan telah menjadi sang tuan rumah yang men~ntukan berbagai aturan tata-tertib lingkungan demi kcnyamanannya. Ia seperti layaknya "sang penguasa", sang raja yang sekaligus adalah sang tuan-rumah. Sedangkan orang-orang Bali sendiri kini menjadi sang pelayannya; mclayani segala kebutuhan sang tuannya sehingga mereka tetap merasakan kenikmatan. Kaum kapitalis telah mencapai prcstasi yang gemilang dalam
Jnana Budaya Volume 18, Nomor I, Februari 2013 (! - 10)
mengkapitalisasi pemandangan dan tempattempat yang indah yang sebelumnya sempat diberi nilai sakral. Artinya, menjadikannya sebagai kapital dengan mengelolanya, meengoperasikannya dan lebihjauh dapat saja menjualnya kembali kepada sesama karcel lainnya scpanjang dalam hitungan u1ereka akan lebih memberikan laba (Gorz, 2005). Inilah konsepsi mutahir tentang palemahan: "keselarasan manusi
yang mengasumsikan bahwa masyarakat sedang berevolusi dari tradisionalisme menuju modernisme. Dengan begitu sikap-sikap tradisional mau tidak mau harus direduksi dan digantikan dengan sikap dan tindakan modern bercirikan rasionaiitas. Oleh karenanya mitos, tahyul, dan atau kepercayaan-kepcrcayaan mitis sejenisnya, oleh Rostow (dalam Sukirno, 1982: 154) dianggapnya scbagai pcnghambat utama untuk memuluskan perjalanan pesawat terbang mcnuju masyarakat lepas landas. b. Komodifikasi Tubuh Pmvonga11. Ambivalcnsi dari scbuah kcgiatan industri kepariwisataan yang pada hakikatnya memang telah membawa anugrah, tctapi secara bersamaan iajuga memendam musibah. Barangk:ali ada baiknya bila orang Bali mau belajar dari pengalaman Hawai yang lebih dulu telah memetik hikmah dari pcradaban turistifika~i itu. Pe!"!<.embangan industri pariwisata yang demikian pesat di wilayah itu mcnyebabkan penduduk asli Hawai tidak memiliki kemampuan memadai dala1n mengadaptasikan dirinya di tengah hfruk pikuknya peracldban yang sedang berkembang. Akibatnya, sebagian dari mereka menjadi semakin terpinggirkan dan menjadi komunitas yang terisolasi. Menyadari kenyataan tcrsebut, akhirnya konsep pengembangan pariwisata Hawai dievaluasi kembali. Tujuannya adalah untuk mencmukan kembali apa yang disebut sebagai "esensi budaya" atau "jati diri" kebudayaan penduduk asli Hawai (Triyono, 1996: 143). Sebaliknya ada fenomena yang agak unik di Jepang yang pernah dilukiskan olch Jonathan FricdmandalamBeinginthe Word: Globalization and Localization (1990). Suku Ainu di Jepang, kata Friedman justeru sedang berupaya kcras untuk mclakukan upaya revitalisasi budaya untuk mcnunjukkan kembali identitas lokalnya kepada dunia modern. Tujuannya adalah untuk mendapatkan pengakuan sebagai kelompok etnik yang masih eksis walaupun harus hidup di tengah-tengah berkecamuknya wabah
(/Gusti Ketul Gde Arsana & l.B.G. Pujaastawa) Isu Komodijikasi Ranah Tri Hila Karana ...
globalisme yang melanda dunia. Mereka mcmerakarsai untuk membangun kembali (reconstruction) struktur desa tradisional Ainu. Di samping itu mereka juga menggalakkan kembali berbagai produksi kerajinan tangan yang sempat lama ditinggalkannya. Semua yang dilakukan iiu adalah dimaksudkan agar turis dan orang-orang kota akan tertarik datang kc situ. Meskipun tinggal dalam masyarakat luas, mereka tetap membangun rumah dengan gaya arsitektur khas Ainu yaitu dinamakan chise. Mereka juga merevitalisasi berbagai ritual dan cara-cara hidup yang berlandaskan etika lokal yang diwariskan nenek moyangnya. Semua yang dilakukannya ternyata mendapat sambutan hangat terutama bagi orang-orang kota ataupun turis yang semakin menyadari p~rlunya suasana kehidupan yang lebih homo-socius. Mereka datang berd11yun-duyun ke desa Ainu baik untuk sekadar Giembeli barang-harang kerajinan, dan ataupun barangbarang ccnderamata lainnya. Tetapi ada juga di antaranya yang datang ke dcsa itu untuk mempclajari b~gaimana orang-orang Ainu mengerjakan barang-barnng ~ersebut tanpa dibantu dengan peralatan modern. Sedangkan yang lainnya ada yang sengaja datang ke Ainu untuk mendeagarkan dongeng-dongeng, mitos-mitos dan ataupun sejarah orang Ainu ya11g bagi ukuran orang kota menjadi sangat memikat dan memukau. Bahkan di antaranya ada yang tertarik untuk terlibat secara langsung dan melebur diri di dalam suasana prosesi ritual adat Ainu yang dirasakan penuh dengan semangat keakraban/ solidaritas sosialnya. Sembari menikrnati suasana sosialbudaya Ainu, para tamu (turis) juga dijamu dengan berbagai masakan khas Ainu di rumahrumah tradisionalnya. Para tamu diajaknya makan secara bersama-sama seperti layaknya dengan sesama kerabatnya. Suasana makan bersama itu tentu menjadi kesan tersendiri bagi para turis yang datang berkunjung ke desa itu. Ada satu fenomena menarik dalam acara jamuan makan untuk para tamu yang datangke Ainu. Mereka tidak dikenai tarif seperti yang
lumrah terjadi dalam bisnis panw1sata pada umunya. orang Ainu hanyalah semata-mata untuk melestarikan tradisi perjamuan yang sangat dihargai dalam kehidupan orang Ainu sejak lampau. Acara jan,uan makan untuk menyamhut tamu semacam itu sama sekali bukan untuk mengeruk keuntungan ekonomi. Mereka merasa memetik keuntungan yang tak ternilai harganya, apabil::t para tamunya bersedia bersama keluargamereka untuk makan bersama. Dalam pandangan orang Ainu, makan bersama tamu yang berasal dari luar adalah 'sebuah kehormatan'. Menurut Triyono (1996: 136-147) fenomena seperti itu dapat disebut sebagai bagian dari conies capital yang clapat dimaknai sebagai strategi perwujudan jati diri melalui bentuk komoditi taripa ukuran material/ financial. Melalui cara inilah bagi orang Ainu merasa mener.rnkan k~mbali jati dirinya y&ng sesungguhnya (inheren); dan bukan kepalsu8.11 dan atau kesemuan seperti yang dijanjikan dalam reradaban kapitalisme. Cerminan dari dua kasus di atas (Hawai yang ambruk; dan Aiau yang sedang bangkit) cukup m~njadi pelajaran buat Bali )'3.ng sering dipuja-puji sebagai daerah wisata yang unik. Lalu apakah kita (Bali) akan seperti Hawai (?) ataukah kembali kc-Ainu (?). Roche (dalam Apostolopoulos, et.al., 2002: 342) memandang betapa pentingnya "performance" (penampilan) dalam melihat diri melalui proses yang sedang terjadi di luar diri. Menurut Roche: " .......... evaluating as tourist and citizen, or see ourselves as others see us. The notion of others (outsiders, strangers, aliens), see ourselves as tourist see us ..........". Untuk menjawab kegamanfian kita sebagai orang Bali dalam menatap "diri" di tengah ketidak-menentuan proyek industry budaya ini, kiranya kita masih memiliki waktu untuk merenung dengan memetik hikrnah lewat brata penyepian; Atau bagi saudara-saudara kita yang Muslim mcnemukan hikrnahnya lewat bulan Ramadhan-nya. Sesudah meny~pi
Jnana Budaya Volume 18, Nomor 1, Februari 2013 (I - 10)
beberapa saat dari kebisingan hiruk-pikuknya hidupduniawi,lalukitabersama~samamembuka
kembali 'hati n~rani'dan lalu bertanya: rnasih adakah di antara kita yang terlena dari berbagai puja-:-puji yang. sempat dilontarkan oleh sang pcneliti asing yang scmpat rnempeiolch simpati Pemcrintah Dcierah Bali di masa tahun 1970-an yakni Philip Erick Mc. Kean. Ia tak lain adalah seorang Antropolog yang namanya tak asing lagi dalam kancah akademis bid&ng kepariwisataan. Pcrnda Bali pun sempat terlena olehnya; karena apa yang disuguhkan lewat hasil studinya tcntang pariwisata budaya di Bali (era 1970 an) ternyata rnelcgakan kalangan stake holder. Basil studi yang mclcgakan itu adalah scbuah kesimpulan bahwa: " ......... tourism is very much a part of the modern tradition, but is built on the foundation laid during the little and great traditiun, without w1ch it 11ould never been started and without wich it will 11ot jlorish i"l the future ....... , .... ( Mc.Kean, 1973: 26). Bahwa kehadiran wisatawan untuk mcnikmati kebudayaan (Bali) bcrsimbiosa dcngan scmakin maraknya bentuk dan praktekpraktek kebudayaan itu. Hal itu tercerrnin dalam berbagai jenis kescnian tradisional yang kian sering dan mcluas dipcrtunjukkan daripada sebclumnya. Apa yang dihasilkan dari kesimpulan pcnelitian Mc.Kean itu tampaknya dapat dimaklumi karena studi yang ia lakukan bertepatan dengan era kecmasan Bali sebagai daerah kunjungan wisata. Mungkin sedikit sekali ada orang yang menyangkal Kean di kala scpcrti itu. Bahkan pakar asal yang namanya juga telah mendunia sepcrti Profesor Ngurah Bagus pun tampaknya tak tega menyangkal kesimpulan Kean. Sccara tidak langsung Guru l3csar Unud yang juga perintis Kajian Budaya itujuga scnada dcngan pandangan Kean. Bagus (1990: 6) mcngemukakan bahwa: " ............. dalam ha] inilah kita melihat di daerah pariwisata di Bali pcrubahan
bcntuk dan struktur organisasi banj ar serta desa dalam melaksanakan hid up bcrwarga dan bcrupacara di dacrah pariwisata. Perubahan ini bukan suatu kemuduran melainkan scbaliknya mcrupakan suatu pcningkatan isi lembaga sosial tadi. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa dalam penyesuaian itu didapat kctahanan untuk survival sertayang baru itu menjadi bagian struktur masyarakat Bali ......... " Apa yang dikatakan oleh kc dua pakar terscbut, tampaknya secara mudah dapat diterka maknanya. Terutama Mc.Kean yang dikcnal melihat 'mega proyck budaya' itu seba6ai "partial equivalent structure" (struktur kcsepadanan parsial); yang sebetulnya juga mempengaruhi pandangan Bagus pada era itu. Terlcbih-lebih dir:rnngkinkan ol~h kondisi pariwi3ata Bali di tahun-tahun yang sedang mengalami masa keeinasannya. Oleh karcna pada masa-masa proyek itu sedangjaya-jayanya sehingga dapat meyakinkan bahwa pariwisata adalah Iumbungnya ekor..omi Bali. Ia mcnjadi sumber utama devisa bagi peningkatan PDRB/ PNRB; dan tRk pelak lagi industry pariwisata dapat dimaknai sebagai sebuah situasi take and give; sehingga hampir semua memandangnya hal yang wajar-wajar saja (by nature). Dalam suasana sepcrti itu tampaknya sulit untuk menayangkan kritik, apalagi membantahnya. Yang mungkin bisa dilakukan hanyalah scbatas sikap eufe;,dsme untuk tidak menyatakan bahwa proyek devisa itu sebagai "industry pariwisata" danjuga bukan "industry budaya". Kata "Bali untuk pariwisata" lalu dihaluskan dcngan mengatakan "pariwisatalah untuk Bali". Sikap semacam itu juga tcrlihat kcmudian dalam wujudnya yang lebih melembaga ketika pariwisata digabungkan dengan budaya; yang kemudian mcnjelma menjadi Kcmcntcrian Negara, Budaya dan Pariwisata (Budpar). Scdangkan di Negara-negara Barat scjak lama pariwisata secara terbuka dan terangterangan digandengkan dengan urusan bisnis perdagangan yakni departement of trade and
~ ',
(/Gusti Ketut Gde Arsana & l.B.G. Pujaastawa) lsu Komodifikasi Ranah Tri Hit a Karana. ..
tourism. Hal itu didasarkan alasan bahwa dalam kenyataannya bahwa, pariwisata jelasjelas mcrupakan tambang devisa asing yang sccara riil signifi.kan telah meningkatkan perckonomian Negara. Apapun cara untuk mcnghaluskannya, yang tak bisa disangkal adalah persoalan 'budaya'. Dalam industry pariwisata pastilah budaya itu akan menjadi komoditi. Budaya, dengan dcmikian adalah mau tidak maul suka tidak suka akan menjelma sebagai capital (culture capital); Atau bahasa pulgarnya: "Bali menjual budayanya". Scbagai suatu kegiatan bisnis/ transaksi juga tak terlcpas bidang budaya Uasa) dari rumus "pcnnintaan" (demand) dan "penawaran" (supply); atau konsumer1produscn; dan juga adalah pelayanan (service). Mcningkatnya pcrmintaan Uumlah wisatawan dan lama waktu kunjungan) ke daerah ini amat ditentukan olch daya tarik suguhan (budaya) termasuk kenikmatan yang didapatkan konsumcn. Untuk memcnuhi kepuasan konsumcn inilah dapat mcndorong orang untuk bcrlomb0-lomba mcnawarkan bcrb:--gai produk yang memikat. Dalam situasi sepcrti inilah orang sering dapat tc1jerumus ke dalam sibp eujisme ketika menjadikannya budaya itu scbagai produk yang bisa dijual. Demi meraih keuntungan scbanyak-banyaknya dari modal budaya itu, di satu sisi mendorong orang untuk mcngcksplorasi budaya itu; dan sccara bersamaan pula bcrmunculanlah pernik-pemik budaya yang tak lain adalah macam-macam seni yang scmu (pseudo tradition art); yang pada gilirannya akan tumbuh scbagai jamur yang tak pclak dapat mcngancam core culture (inti spirit budaya) Bali tcrscbut. Apabila proses pcnjamuran tcrus bcrkcmbang mcluas kc scluruh pclosok pulau Bali, maka sccara bcrsarnaan pula bcrmunculan pulalah mahlukmahluk budaya yang homo-economicus. Yakni manusia (Bali) yang scmakin kchilangan kc13ali-annya karcna scmakin terpisahkan dari kodratnya scbagai insan Bali yang mulanya sangat mcnjunjung tinggi nilai-nilai homo-
socius. Bahkan Jebihjauh lagi,jati diri scmacam itupun tega dikorbankan demi mcraih uangnya Sang Turis. Fenornena yang mcngarah ke pada kcbcjatan moral seperti maraknya kemunculan bisnis pelayanan yang menjual tubuh scperti pelacuran ataupun gigolo dan scbagainya; dalarn industry kepariwisataan scmakin dircduksi dari gejab moral. Atau seolah-olah tak ada hubungan lagi antara praktik prustitusi semacu.rn itu dengan dunia moral. Di siri.i manusia manganalogkan dirinya (tubuhnya) tak ubahnya bagaikan 'rnesin produksi"; Jadi dengan dcmikian, industry pariwisata bukan menjadikan budaya saja sebagai kapital tetapi lebih jauh lagi adalah tubuh manusia. Dunia pariwisata dan dunia moral scakan merupakan wilayah yang terpisah yang dapat dibatasi olch tcmpat dan waktL; (time-space). Kadar moral dcngan dcmikian sangat ditentukan olch batasan-batasan tempt dan waktu schingga nilai moral mcnjadi bersifat relatif. Dalam situasi keterjebakan scpcrti itu, nampaknya tcpat apa yang
Ranah
Spiritualitas
(Parhyangan). Pergeseran inti spirit budaya ke arah spirit meraih laba tampaknya juga menusuk lebih jauh ke ranah yang bcrsifat transenden. Ranah inipun tak disia-siakan; ranah spiritualitas yang sccara kultural memisahkan antara apa yang seharusnya diberi peringkat nilai sakral dan sebaliknya apa yang secara absolute tak bisa dikategori kc dalamnya. Kini adagium sakral versus profan bukan lagi bcrada dalam relasi yang beroposisi biner. Tctapi ia bisa sa.1a bcrtukar tempat: sakral bisa diambilalih
Jnana Budaya Volume 18, Nomor I, Februari 2013 (1-10)
posisinya oleh apa yang disebut profan dan sebaliknya ketika spirit meraih keuntungan telah menjadi panglima dalam kehidupan. Inilah yang oleh Derrida (Saha!, 1994: 16-19) disebut pembalikan logika sebagai ciri dari semiotika post-struktural dalam upaya untuk memahami produktivitas tanda. Kita masih ingat peristiwa yang sempat mengegerkan Bali tatkala seorang penyanyi rock legendaris kelompok Rolling S!ones asal Inggris manggung di daerah ini. Ia bukannya menghibur Bali dengan alunan musiknya yang khas tetapi menunj ukkan atraksi pernikahannya dengan super model Jerry Hall yang fenomenal. Tampaknya sang rocker Mick Jagger dan pasangannya Jerry Hall bermaksud membuat sensasi di pulau yang sudah tersohor di m
obyektivitasnya. Atau dengan bahasa Ricoeur (1978:245-249) bahwa tanda-tanda akan dapat dimaknai sebagai 'proses mengubah scsuatu:; schingga tidaklah tepat kalau mengatakan bahwa tidak selamanya ritual keagamaci.n (ranah spiritualitas) itu memiliki makna yang tunggal dan ab~0lute. Persoalannya di sini adalah subyek; siapa dan dari sudut mana tanda itu dimaknai. Ketika dalam situasi seperti itu (saat, tempat, dan keadaan) Jagger dan Hall menyebut dirinya 'paling Hindu'; obyektivitas sebuah ritual tereduksi menjadi amat terpisah dengan subyek. Pertanyaannya, apa dasar yang membuat pasangan itu begitu yakin bahwa dirinya merasa memiliki keabsahan sccara kul tural untuk kemudian me mi lihmelaksanakan pernikahannya dengan tata cara Hindu?. Di sinilah kita (orang Bali) kembali tel ah terjebak ke dalam apa yang disebut 'kesadaran palsu' (false consciousness) ai<:ib::i.t terlampau mendewakan mitos keramah-tamahan yang terbangun oleh ideology kepariwisataan itu; Ideologi semacam itu sepertinya sengaja dipelihara dan menjad1 '~anda' bermakna yakni scbagai 'ikon' core culture yang kemudian bermanfaat bagi penyainbutan siapa saja yang ingin berkunjung ke pulau ini yang kemudian populis dengan motto' welcome to Bali'. Apalagi buat tamu yang spesial seperti halnya Jagger dan Hall yang dibayangkan akan dapat lebih mempopulerkan Bali di manca Negara. Pernikahan Agung Jagger-Hall seperti itu adalah sebuah investasi yang diyakini akan mendatangkan keuntungan yang berlipat ganda buat Bali. Di sini ia diartikulasikan sebagai advertensi (iklan) yang tak tcrnilai harganya. Fenomena inilah kemudian memunculkan sentilan berbahasa Inggris yang berkembang di masyarakat: "tirtha for you, money for me" (air suci untukmu, uang untukku). Fenomena semacam itu seakan meniscayakan bahwa legitimasi religious sebanding dengan keuntungan yang akan diraih. Lalu apakah kita masih harus bersikap eufisme untuk tidak mau lagi mengatakan bahwa kepariwisataan Bali adalah sebuah industri budaya. Realitas
(I Gusti Ketut Gde Arsana & I. B. G. Pujaastawa) lsu Komodifikasi Ranah Tri Hit a Karana ...
yang kita saksikan sekarang adalah rclasi yang tampaknya tak terpisahkan lagi antara budaya dengan industry. Paradigma yang berkembang sekarang justeru tidak selamanya lagi melihat bahwa antara budaya dan industry scbagai ha! yang terdekotcmikan sccara absolut. Malahan ada kecenderungan kcdua sijoli itu scdang mcnjalin hubungan mesra karena samasama diuntungkan. Sebagai contoh dalam pcmandangan akhir-akhii ini tcrutama di pasarpasar tradisional, di Geriya dan ataupun dalam arena kultural lainnya, tclah bcgitu lumrah dipcrjual belikan yang namanya 'ban/en'. Bahkan tirla Geriya-pun sckarang menjadi komoditas yang dipcrdagangkan di pasar-pasar. Olch karena bisnis scpcrti itu ternyata memberi keuntungan kepada semua pihak maka tak 2.da lagi kata 'prates'; artinya ditcrima j adi sebagai scbuah konvensi. Kalau misalnya pakct banten itu dibdi konfensasinya adalah vang; tetapi toh kalaupun itu harus dike1jakan sendiri, konfcnsasinya adalah tenaga kerja yang nota bcna juga adalah jasa yang scharusnya ditakar bcrdasarkan upah yang sama dengan uang. Tnilah rasionalitas ekonoffi yang dimaksud Rostow bahwa kapital mampu mcrelatifkan a pa pun sckalipun mulanya pcrnah diabsolutkan sccara kultural.
C. PENUTUP Komodifikasi dalam pariwisata, di manapun di seluruh dunia adalah keniscayaan. Realitasnya dapat saja muncul dalam bcrbagai ranah kehidupan, termasuk ke dalam ranah tcosofi scpcrti dalam pandangan hidup orang Bali yang menggunakan adagium tri hita karana. Menolaknya adalah merupakan sikap hipokrit yang kurang populis dalam paradigma modernis. Sccara tidak disadari ki ta j uga akhirnya telah terperangkap ke dalam jaringjaring kapitalisme ketika pariwisata di Bali scmakin mencirikan dirinya scbagai pariwisata budaya. Pariwisata tidak lain adalah industry; dan dcngan demikian sama artinya dengan industry budaya. Budaya dijadikan modal atau capital (culture capita[) yang diproduksi untuk
memperoleh keuntungan. Pariwisata di s1111 ibarat menjadi 'dapurnya' orang Bali; dengan demikian, ia juga adalah 'hita karana-nya' (sumber kesejahteraan) masyarakat. Kalau sudah rlemikian filsafatnya, kita mau bilang apa; Inilah produk dari kebijakan pembangunan manusia Bali yang dimaksudkan "scutuhnya"; utuh dalamartijasmani (pa!emahan,pawongan) dan rohani (parhyangan). Lalu, apanya lagi yang masih harus digugat?
DAFTAR PUSTAKA Apostolopoulus, Y, et.al., 2002. The Sociology o,[Tourism. London: Routledge. Bagus, I Gusti Ngurah, 1990. "Dari Obyck Kc Subyek Mcngada Dan Mcnjadi Dal am Proses ~engembangan Pariwisata", dalam Widya Pustaka, Tahun VII, Nomor 4, Juli 1990. Denpasar. FS. Unud. Chambers, W. W, 1987. Pembangunan Desa Mulai Dari Belakang .Pepep Sudradjat ( pencrjemah), Jakarta: LP3ES Gorz, Andre, 2005. Anarki Kapitalisme. Hendry Heyneardy, dkk. (penerjemah). Yogyakaiia. Resist Book. Khairuddin, H., 1991. Pembangunan Masyaryarakat. Yogyakarta. Liberti. Mc.Kean, Philip Erick, 1973. Cultural Involution Tourist Balinese and the Process of Modernization in An Anthropological Perspective. Disertasi PHO. Departement of Anthropology, Brown University, USA. Marcuse, H., 2000. Manusia Sati1 Dimensi. Yogyakarta. Yayasan I3enteng Budaya. Picard, Michael, 1996. Cultural Tourism and Touristic Culture. Singapore.Archipelago Press. Ros tow, W. W, 1971. Politic and the Stages of Economic Growth. Cambridge University Press. Ricocur, P., 1978. Main Trends in Philosophy. New York. Holmes and Meier Publishers.
Jnana Budaya Volume 18, Nomor I, Februari 2013 (/ - JO)
Saha!, Ahmad, "Kemudian Di Manakah Emansipasi?"Tentang Teori Kritis, Genealogi dan Dekonstruksi. 'Jurnal Kebudayaan KALAM, No. I Th.1994. Jakarta. Yayasan Kalam dan Penerbit Pustaka Utama Grafiti. Samekto, Adji FX., 2005. Kapitalisme, Modernisasi dan Kerusakan Lingkungan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Setia, Putu, 1987. Menggugat Bali Menelusuri Perjalanan Budaya. Jakarta. PT. Pustaka Utama Grafiti. Snauwaert, Dale T., 1997. The Relevance of the Anthropocenlric-Ecocentric Debate. Philosophy of Education Society.
Soemarwoto, Otto, 2001. Atur Diri Sendiri: Paradigma Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yogyakarta. Gajah Mada University Press. Triyono, Lambang, 1996. "Globalisasi Modernitas dan Krisis Negara Bangsa: Tantangan Integrasi Nasional dalam Konteks Global", dalam Nasionalisme dan Berakhirnya Negara Bangsa. Analisis CSIS Tahun xxv, No.2 MaretApril 1996. Turner, Bryan S., 1992. Max Weber: From London. History to Modernity. Routledge. -.~
1