PENELITIAN INDIVIDU
Isra’iliyyat dan Pengaruhnya Terhadap Kitab “Kulliyat Rasa’il An Nur” Karangan Said An Nursi
Oleh: Dr. H. Yusuf Baihaqi, M.A.
FAKULTAS SYARIAH IAIN RADEN INTAN LAMPUNG TAHUN 2013
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan / atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta), atau pidana penjara paling lama 7 (Tujuh) tahun dan / atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan , atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan / atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Hak Cipta pada pengarang : Dr. H. Yusuf Baihaqi, M.A. Dilarang mengutip sebagian atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun tanpa seizin penerbit, kecuali untuk kepentingan penulisan artikel atau karangan ilmiah. Judul Buku : Isra’iliyyat dan Pengaruhnya Terhadap Kitab “Kulliyat Rasa’il An Nur” Karangan Said An Nursi Cetakan Pertama : 2013 Desain Cover: Osa Computer Setting, Lay out oleh : Osa Dicetak Oleh : Percetakan Osa Seksi Penerbitan Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung Jl. Letkol H. Endro Suratmin Kampus Sukarame Telp. (0721) 703289 Bandar Lampung 35131 Kode Penerbit : ISBN :
SAMBUTAN KETUA
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
IAIN RADEN INTAN LAMPUNG Assalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillah, kegiatan penelitian di lingkungan IAIN Raden Intan Lampung Tahun 2013, dilaksanakan di bawah koordinasi Lembaga Penelitian IAIN Raden Intan Lampung dapat terlaksana dengan baik. Pelaksanaan kegiatan penelitian ini dibiayai berdasarkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) IAIN Raden Intan Lampung Tahun 2013. Kami menyambut baik hasil penelitian individu yang dilaksanakan oleh saudara Dr. H. Yusuf Baihaqi, M.A. dengan judul: “Isra’iliyyat dan Pengaruhnya Terhadap Kitab “Kulliyat Rasa’il An Nur” Karangan Said An Nursi”, berdasarkan Surat Keputusan Rektor Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung, Nomor: 74.a Tahun 2013 tanggal 5 Juni 2013. Kami berharap, semoga hasil penelitian ini dapat meningkatkan mutu hasil penelitian, menambah khazanah ilmu keislaman, dan berguna serta bermanfaat bagi masyarakat dan pembangunan yang berbasis iman, ilmu, dan akhlak mulia. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bandar Lampung, Desember 2013 Ketua Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat,
Dr. Syamsuri Ali, M.Ag NIP. 19611125 198903 1 003
KATA PENGANTAR Segala puji penulis persembahkan kepada Allah S.w.t. yang telah memberikan kekuatan dan kesehatan jasmani dan ruhani sehingga penelitian ini dapat dikerjakan dan diselesaikan. Selawat serta salam senantiasa disampaikan kepada Nabi Muhammad S.a.w., keluarga, para sahabat, dan seluruh umatnya hatta yaumal qiyamah. Penelitian ini dapat diselesaikan sesuai dengan alokasi waktu yang telah ditentukan oleh Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung. Selesainya penelitian ini adalah berkat bantuan dari teman-teman peneliti yang selalu memerikan suport, masukan dan motivasi konstruktif. Karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih yang tak terhingga. Semoga saja bantuan teman-teman semuanya menjadi amal baik mereka di sisi Allah, dan akan dibalas kelak di hari akhir dengan pahala yang berlipat ganda. Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini tidak terlepas dari kekurangan, kelemahan, dan mungkin kesalahan di sana-sini terutama dalam penulisannya. Oleh karena itu, koreksi, masukan, dan saran yang bersifat konstruktif dari semua pembaca sangat diharapkan dan diterima untuk kesempurnaan penelitian ini. Akhirnya, semoga hasil penelitian ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Bandar Lampung, Peneliti
Desember 2013
Daftar Isi
BAB I
Pendahuluan
1
I.a.
Latar Belakang Masalah
1
I.b.
Rumusan Masalah
3
I.c.
Tujuan Penelitian
3
I.d.
Kegunaan Penelitian
4
I.e.
Landasan Teori
4
I.f.
Metode Penelitian
7
BAB II
Hakekat Isra’iliyyat
9
II.a.
Makna Isra’iliyyat
9
II.b.
Permulaan Masuknya Isra’iliyyat .....
12
II.c.
Pengaruh Isra’iliyyat
21
BAB III
Kulliyyat Rasa’il An Nur Karya Said An Nursi
31
III.a.
Sekilas Tentang Biografi Said An Nursi
31
III.b.
Sekilas Tentang Kulliyyat Rasa’il An Nur
37
BAB IV
Isra’iliyyat dan Pengaruhnya .....
43
IV.a.
Pandangan Said An Nursi terhadap Isra’iliyyat
43
IV.b.
Riwayat Isra’iliyyat Dalam Penafsiran Said An 46 Noursi
BAB V
Penutup
67
Daftar Pustaka
71
BAB I Pendahuluan
I.a. Latar Belakang Masalah Tema Isra’iliyyat dalam penafsiran al-Qur’an masih terus dirasakan penting untuk dibahas, dikarenakan masih adanya upaya berlebihan yang dilakukan oleh sekelompok mufassirin dalam berinteraksi dengan teks al-Qur’an, khususnya berkaitan dengan kisahnya. Dimana mereka menafsirkannya dengan merujuk kepada isra’iliyyat tersebut tanpa memperdulikan dampak negatif yang ditimbulkannya. Ditilik dari sisi psikologis, dalam diri manusia ada kecendrungan untuk mengetahui rincian seputar pemberitaan umat terdahulu, apalagi berkaitan dengan kisah al-Qur’an yang bersinggungan erat dengan kehidupan manusia, hukum alam dan rahasia penciptaan yang membuka lebar daya pikir dan rasa. 1
Lebih daripada itu, dalam penelitian ini kami hendak menerangkan lebih lanjut pembahasan seputar isra’iliyyat, guna menghadirkan kepada setiap pembaca hakekat isra’iliyyat dan seberapa besar pengaruh yang ditimbulkannya dalam kitab-kitab tafsir tafsir, khususnya pengaruhnya terhadap kitab “Kulliyat Rasa’il An Nur” yang ditulis oleh seorang ahli tafsir kontemporer berkebangsaan Turki yang bernama Said An Nursi. Said An Nursi pada beberapa kesempatan yang beliau tulis dalam “Kulliyat Rasa’il An Nur” mengingatkan para mufassir Al Qur’an akan dampak negatif yang ditimbulkan dari riwayat isra’iliyyat, akan tetapi kami dapatkan pada beberapa penjelasan beliau terhadap beberapa teks Al Qur’an, penyebutan riwayatriwayat isra’iliyyat sebagai penjelasan atas teks Al Qur’an tersebut tanpa dibarengi penjelasan bahwasannya riwayat ini adalah bagian dari riwayat isra’iliyyat. Fenomena inkonsistensi inilah yang coba kami sajikan dalam penelitian ini.
I.b. Rumusan Masalah
2
Penelitian ini fokus pada pembahasan seputar hakekat isra’iliyyat dan seberapa besar pengaruhnya terhadap penafsiran Said An Nursi dalam kitabnya Kulliyat Rasa’il An Nur, Rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: 1. Terdapat pemahaman yang harus diluruskan berkaitan dengan isra’iliyyat, sehingga harus dijelaskan hakekat isra’iliyyat dari sudut pandang definisi dan sejarah perkembangannya. 2. Isra’iliyyat memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam khazanah kitab-kitab tafsir, seberapa kuat pengaruh isra’iliyyat secara spesifik terhadap karya tafsir Said An Nursi yang beliau namakan dengan kulliyat Rasa’il An Nur?
I.c. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui hakekat dan sejarah isra’iliyyat dalam khazanah kitab-kitab tafsir. 2. Mengetahui pengaruh isra’iliyyat dalam kitab Kulliyar Rasa’il An Nur karangan Said An Nursi. 3
I.d. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi: 1. Pengkaji Al Qur’an dalam memahami hakekat isra’iliyyat. 2. Pengkaji Al Qur’an dalam memahami biografi dan karya tafsir Said An Noursi. 3. Pengkaji Al Qur’an dalam mengetahui sikap Said An Noursi terhadap isra’iliyyat dan seberapa besar pengaruh isra’iliyyat ini dalam kitab tafsirnya.
I.e. Landasan Teori Isra’iliyyat merupakan sebuah kata dimana Bani Israil terambil dari kata tersebut. Adapun yang dimaksud dengan Israil itu sendiri adalah sosok nabiyullah Ya’kub as. yang berarti : hamba Allah. Bani Israil berarti : anak cucu Ya’kub as. dan yang terlahir dari keturunan mereka. Komunitas mereka juga dikenal dengan 4
nama “Yahudi” dari zaman dahulu, orang yang beriman dari kalangan mereka terhadap nabi Isa as disebut dengan “Nasrani”, sebagaimana yang beriman dari kalangan mereka terhadap ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad saw sering disebut sebagai Muslim Ahl Kitab1. Kitab suci yang terkenal yang dimiliki oleh komunitas Yahudi adalah : Taurat, sebagaimana kitab suci lain yang dimiliki oleh mereka adalah : Zabur yakni kitab suci yang diturunkan kepada nabi Dawud as, dan lembaran-lembaran yang diturunkan kepada para nabi-nabi yang diutus setelah Musa as. sumbersumber inilah yang kemudian dikenal dengan istilah “perjanjian lama”2. Disamping perjanjian lama, komunitas Yahudi juga memiliki sekumpulan catatan yang memuat tradisi, nasehat dan penjelasan yang diambil nabi Musa as tidak melalui tulisan, melainkan melalui 1
Ahl Kitab merupakan julukan bagi komunitas Yahudi dan Nasrani, akan tetapi
mayoritas yang dimaksud dalam hal ini adalah komunitas Yahudi, dikarenakan merekalah yang bermukim di kota Madinah dan sekitarnya, sebagaimana riwayat isra’iliyyat banyak bersumber dari komunitas Yahudi. 2
Muhammad Abu Syahbah, al-Israʻiliyyat Wa al-Maudhu’at Fi Kutub at-Tafsir,
Penerbit : Maktabah as-Sunnah, Hal : 12-13, Cet (1408 H).
5
lisan, yang dikemudian hari dikodifikasi dan dikenal dengan nama “Talmud”. Disamping itu juga kita dapatkan kumpulan adab Yahudi, kisah, hukum dan dongengan, dimana kesemuanya inilah merupakan sumber primer bagi riwayat isra’iliyyat. Adapun komunitas Nasrani, pengetahuan mereka banyak bergantung kepada Injil. Beberapa injil yang diakui oleh komunitas Nasrani ditambah beberapa risalah kenabian dikenal dengan nama “perjanjian baru”. Injilpun sebagaimana kitab suci lainnya dijelaskan dengan banyak versinya, dimana penjelasan-penjelasan atas Injil ini dikemudian hari merupakan sumber pengetahuan komunitas Nasrani, sebagaimana sebagai tambahan adalah apa yang ditambahkan oleh komunitas Nasrani dari kisah-kisah dan ajaranajaran yang mereka anggap sebagai apa yang mereka peroleh dari sisi nabi Isa as, ini semua merupakan sumber pengetahuan komunitas Nasrani. Riwayat-riwayat diatas merupakan sumber dari riwayat isra’iliyyat, dimana setelah masuknya kelompok muslim Ahl kitab, riwayat-riwayat tersebut sering dirujuk dan dijadikan sebagai perbandingan oleh para sahabat dalam memahami teks Al Qur’an. 6
Fenomena ini terus berlanjut hingga hampir saja tidak kita dapatkan satu kitab tafsir melainkan termuat di dalamnya riwayat isra’iliyyat. Ada yang dengan mudah menukil riwayat isra’iliyyat, ada pula yang lebih berhati-hati dalam menukilnya. Penelitian ini mengkaji seberapa konsisten Said An Nursi dalam berinteraksi dengan riwayat isra’iliyyat, antara teori dan prakteknya.
I.f. Metode Penelitian Penelitian
ini
termasuk
dalam
katagori
penelitian
kepustakaan (library research), yang berarti penelitian dengan cara
mengumpulkan
buku-buku
literatur
yang
diperlukan
kemudian mempelajarinya. Dari sisi sifat penyajian, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan secara rinci semua objek permasalahan berdasarkan fakta dan data yang ada, kemudian menganalisanya, sehingga ditemukan hakikat kebenaran. Adapun data dalam penelitian ini meliputi data primer, sekunder dan tertier. Data primer adalah data yang menjadi rujukan langsung yang sesuai dengan tema permasalahan, yaitu 7
buku-buku yang berbicara seputar isra’iliyyat dan kitab tafsir yang ditulis oleh Said An Noursi yang berjudul Kulliyat Rasa’il An Nur. Sedangkan data sekunder adalah data-data pendukung yang memiliki kaitan erat dengan tema pembahasan, seperti: bukubuku tafsir, ulumul qur’an dan wawasan al qur’an. Adapun data tartier adalah data pelengkap, seperti: kamus dan buku-buku lain yang bersifat umum.
8
BAB II Hakekat Isra’iliyyat
II.a. Makna Isra’iliyyat Isra’iliyyat merupakan sebuah kata dimana istilah Bani Israil terambil dari kata tersebut. Adapun yang dimaksud dengan Israil itu sendiri adalah nabi Ya’kub as yang berarti: hamba Allah. Bani Israil merujuk kepada asal muasal penggunaannya diatas dapat diartikan sebagai: anak cucu nabi Ya’kub as. dan yang terlahir dari keturunan mereka. Komunitas mereka juga dikenal dengan nama “Yahudi” dari zaman dahulu, orang yang beriman dari kalangan mereka terhadap risalah kenabian yang dibawa oeh nabi Isa as disebut dengan “Nasrani”, sebagaimana yang beriman
9
dari kalangan mereka terhadap ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad saw disebut sebagai Muslim Ahl Kitab1. Kitab suci yang terkenal yang dimiliki oleh komunitas Yahudi adalah: Taurat, sebagaimana kitab suci lain yang dimiliki oleh mereka adalah : Zabur, yakni: kitab suci yang diturunkan kepada nabi Dawud as. Juga lembaran-lembaran yang diturunkan kepada para nabi-nabi yang diutus setelah Musa as. sumbersumber inilah yang kemudian dikenal dengan istilah “perjanjian lama”2. Disamping perjanjian lama, komunitas Yahudi juga memiliki sekumpulan catatan yang memuat tradisi, nasehat dan penjelasan yang diambil nabi Musa as, tidak melalui tulisan, melainkan melalui lisan, yang dikemudian hari dikodifikasikan dan dikenal dengan nama “Talmud”. Disamping itu juga kita dapatkan
1
Ahl Kitab merupakan julukan bagi komunitas Yahudi dan Nasrani, akan tetapi
mayoritas yang dimaksud dalam hal ini adalah komunitas Yahudi, dikarenakan merekalah yang bermukim di kota Madinah dan sekitarnya, sebagaimana riwayat isra’iliyyat banyak bersumber dari komunitas mereka. 2
Muhammad Abu Syahbah, al-Israʻiliyyat Wa al-Maudhu’at Fi Kutub at-Tafsir,
Hal : 12-13.
10
kumpulan adab Yahudi, kisah, hukum dan dongengan, dimana kesemuanya merupakan sumber primer bagi riwayat isra’iliyyat. Adapun komunitas Nasrani, sumber pengetahuan agama mereka banyak bergantung kepada Injil. Beberapa injil yang diakui oleh komunitas Nasrani ditambah beberapa risalah kenabian dikenal dengan nama “perjanjian baru”. Injil sebagaimana kitab suci lainnya dijelaskan dalam banyak versi, dimana penjelasan-penjelasan atas Injil ini dikemudian hari juga merupakan sumber pengetahuan agama komunitas Nasrani, sebagaimana sebagai tambahannya adalah apa yang ditambahkan oleh komunitas Nasrani dari kisah-kisah dan ajaran-ajaran yang mereka anggap sebagai apa yang mereka peroleh dari sisi Isa as, ini semua merupakan sumber pengetahuan agama bagi komunitas Nasrani. Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan, bahwasannya isra’iliyyat merupakan sekumpulan sumber pengetahuan agama yang dimiliki oleh anak cucu nabi Ya’kub as, baik dari komunitas Yahudi, Nasrani maupun Muslim Ahl Kitab.
11
II.b. Permulaan Masuknya Isra’iliyyat Dalam Tafsir dan Perkembangannya Dapat kita katakan bahwa masuknya isra’iliyyat dalam penafsiran Al Qur’an sudah dimulai semenjak zaman sahabat, hal ini dikarenakan terdapatnya persamaan antara Al Qur’an pada satu sisi dan Taurat dan Injil pada sisi lainnya, dimana Al Qur’an dalam pemaparannya kerap sebatas bersifat global, sedangkan Taurat dan Injil kerap memaparkan kisah yang sama dengan lebih detail dan rinci. Disamping itu pula sesungguhnya fenomena merujuk kepada pengetahuan kalangan Ahl Kitab, merupakan bagian dari sumber penafsiran Al Qur’an bagi sebagian sahabat rasul saw pada saat itu. Namun demikian, para sahabat ketika menjadikan pengetahuan kalangan Ahl Kitab sebagai sumber penafsiran Al Qur’an, tidaklah mereka menanyakan kepada kalangan Ahl Kitab berkaitan dengan semua permasalahan. Mereka juga tidak tidak menerima apa adanya semua yang disampaikan oleh kalangan Ahl Kitab, melainkan ketika bertanya, tidaklah mereka bertanya melainkan sebatas apa yang dapat menjelaskan kisah Al Qur’an dan menerangkan apa yang masih bersifat umum dari kisah 12
tersebut, dengan tetap tidak membenarkan atau menyalahkan apabila apa yang disampaikan oleh kalangan Ahl Kitab memungkinkan untuk keduanya (bisa benar dan bisa salah), hal ini berangkat dari sabda Rasul saw:
."
" : وﻗوﻟوا،ﻻ ﺗﺻدﻗوا أھل اﻟﻛﺗﺎب وﻻ ﺗﻛذﺑوھم
(Janganlah kalian membenarkan kalangan Ahl Kitab dan jangan pula kalian mendustakan mereka, dan katakanlah: “kami percaya kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kita”)1. Sebagaimana para sahabat juga tidak menanyakan kalangan Ahl Kitab apa yang berkaitan dengan masalah akidah atau berkaitan dengan hukum, kecuali sebatas sebagai tambahan argumen dan penguat atas apa yang terdapat dalam Al Qur’an. Para sahabat juga tidak menyeberang dari apa yang sudah menjadi ketetapan Rasul saw kepada pendapat kalangan Ahl Kitab, mereka juga tidak bertanya seputar pertanyaan yang tidak berbobot seperti: pertanyaan seputar warna anjing yang dimiliki oleh Ashhabul Kahfi, bagian sapi betina yang digunakan untuk 1
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Al Bukhari, Penerbit: Dar Ibnu Katsir,
Kitab: Tafsir, Nomor Hadits : 8, Cetakan: 1987 M.
13
memukul si mayit, ukuran perahu nabi Nuh as dan macam kayunya .......dll. Para sahabat juga tidak mempercayai informasi yang bersumber dari kalangan Ahl Kitab, apabila informasi tersebut bertentangan dengan syariah atau akidah Islam. Yang perlu digaris bawahi, sesungguhnya para sahabat dalam berinteraksi dengan kalangan Ahl Kitab, tidaklah keluar dari koredor yang diperbolehkan oleh Rasul saw sebagaimana disabdakan dalam haditsnya:
.ﻣﺗﻌﻣدا ﻓﻠﯾﺗﺑوأ ﻣﻘﻌده ﻣن اﻟﻧﺎر (Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat, dan beritakanlah dari Bani Israil dan itu tidak mengapa, dan barang siapa yang berdusta atas diriku secara sengaja maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di api neraka)1.
1
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Al Bukhari, Kitab: Anbiya', Nomor
Hadits: 50.
14
Mengkaji dua hadits diatas, sesungguhnya tidak ada perbedaan
antara
keduanya.
Dikarenakan
hadits
kedua
memperbolehkan para sahabat memberitakan apa yang terjadi pada Bani Israil dari perkara-perkara yang menakjubkan dikarenakan terkandung di dalamnya banyak pelajaran dan peringatan, hal ini tentunya dengan persyaratan ia bukanlah kebohongan, dikarenakan sangatlah tidak logis kalau Rasul saw memperbolehkan para sahabatnya meriwayatkan kebohongan. Adapun hadits pertama, yang dimaksud dengannya adalah sikap abstain atas apa yang diceritakan oleh komunitas Ahl Kitab, dimana kandungan makna dalam hadits tersebut bisa benar bisa pula salah. Diperintahkan untuk bersikap abstin, ditakutkan para sahabat menyalahkannya padahal kandungan maknanya benar, demikian pula sebaliknya, agar para sahabat tidak terjebak dalam sikap blunder itulah mereka diperintahkan untuk bersikap abstain. Sebaliknya apa yang bisa dipastikan kesalahannya dari sisi syariat kita, maka kita diperintahkan untuk menyalahkannya, dan apa yang sesuai dengan syariat kita, maka kita pun dianjurkan untuk membenarkannya.
15
Berkaitan dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari sahabat Jabir Ibn Abdillah:
أن ﻋﻣر ﺑن اﻟﺧطﺎب أﺗﻰ اﻟﻧﺑﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯾﮫ وﺳﻠم ﺑﻛﺗﺎب أﺻﺎﺑﮫ ﻣن ﺑﻌض : أھل اﻟﻛﺗﺎب ﻓﻘرأه ﻋﻠﯾﮫ ﻓﻐﺿب ﻓﻘﺎل ﻻ ﺗﺳﺄﻟوھم ﻋن ﺷﻲء ﻓﯾﺧﺑروﻛم ﺑﺣق. ﻟﻘد ﺟﺋﺗﻛم ﺑﮭﺎ ﺑﯾﺿﺎء ﻧﻘﯾﺔ،ﻧﻔﺳﻲ ﺑﯾده أن .اﻟﺳﻼم ﻛﺎن ﺣﯾﺎ ﻣﺎ وﺳﻌﮫ إﻻ أن ﯾﺗﺑﻌﻧﻲ (Bahwasannya Umar bin al-Khaththab datang kepada nabi saw dengan membawa sebuah kitab yang ia dapatkan dari komunitas Ahl Kitab, maka ia pun membacakannya dihadapan beliau, maka beliau (Rasulullah saw) pun marah dan berkata: apakah kalian meragukannya (pemberitaan yang bersumber dari kitab suci sebelumnya) wahai Ibn Khaththab? Demi jiwaku ditangan-Nya, aku telah datang kepada kalian bersamanya (pemberitaan yang bersumber dari kitab suci sebelumnya) putih dan bersih. Janganlah kalian tanya mereka hingga mereka memberitahukan kalian sebuah kebenaran namun kalian mendustakannya, atau sebuah kebatilah namun kalian membenarkannya, demi jiwaku ditangan-
16
Nya, kalau saja Musa as masih hidup tentulah dia akan mengikutiku)1. Hadits ini sesungguhnya tidaklah bertolak belakang dengan apa yang kami katakan seputar pembolehan meriwayatkan apa yang bersumber dari kalangan Ahl Kitab, dikarenakan pelarangan yang terdapat dalam hadits ini terjadi pada awal masa keislaman, sedangkan pembolehan terjadi setelah hukum Islam diketahui secara luas dan kecil kemungkinan terjadi pencampur-adukkan antara apa yang bersumber dari nabi saw dan yang bersumber dari kalangan Ahl Kitab. Atas dasar itulah, kami katakan tidak terdapat kontradiksi antara tiga hadits yang berbicara seputar riwayat isra’iliyyat diatas, sebagaimana juga sangat jelas batasan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan oleh syariat dalam meriwayatkan apa yang bersumber dari kalangan Ahl Kitab, dan sejauh mana sikap para sahabat dalam menerapkan syariat tersebut2. 1
Ahmad Ibn Hambal, Musnad Ahmad, Penerbit: Alam al-Kutub, Juz: 3, Hal: 387,
Cet: 1998 M. 2
Muhammad Husein Adz Dzahabi, at-Tafsir Wa al-Mufassirun, Penerbit:
Wahbah, Juz : 1, Hal : 179-184, Cet: Keenam (1995 M).
17
Adapun para tabi’in, mereka memiliki kecenderungan lebih longgar dalam mengambil riwayat Ahl Kitab, sehingga banyak kita dapatkan riwayat isra’iliyyat dalam penafsiran mereka, fenomena ini terus diadopsi oleh kalangan ahli tafsir yang memiliki kecenderungan bil ma’tsur setelahnya. Diperbolehkannya pemuatan riwayat isra’iliyyat dalam kitab tafsir mereka, dikarenakan anggapan mereka bahwasannya semacam riwayat tersebut bukan bagian dari rujukan yang harus dijadikan sebagai landasan hukum, sebagaimana masyarakat luas juga menikmati riwayat mereka. Mereka pun duduk di masjid mengitari orang yang mengisahkan riwayatd seputar pemberitaan umat-umat
terdahulu
menggembirakan
dan
yang
cenderung
menimbulkan
menakutkan,
kekaguman,
daripada
berlandaskan kepada kebenaran periwayatannya1. Kemudian datanglah setelah era tabi’in, generasi yang sangat tertarik dengan riwayat isra’iliyyat, mereka pun ternyata bersikap melampaui batas dalam mengambil riwayat tersebut. Dalam menukil riwayat isra’iliyyat, mereka tidak lagi menyeleksi 1
At-Tuhami Naqrah, Siqulujiyyah Al Qishshah Fi Al-Qur’an, Penerbit: asy-syirkah
at-Tunisiyyah Li at-Tauzi’, Hal: 277-278.
18
kebenarannya. Sebagaimana mereka pun membuka lebar-lebar upaya untuk mengaitkan Al Qur’an dengan riwayat isra’iliyyat walaupun riwayat tersebut jauh untuk diterima secara nalar. Fenomena
semacam
ini
terus
berlanjut
hingga
era
pengkodifikasian tafsir, sehingga kita dapatkan diantara para mufassirin yang berupaya memenuhi kitab tafsir mereka dengan kisah-kisah isra’iliyyat1. Sebagai contoh: pembahasan diantara mereka seputar warna anjing yang dimiliki oleh ashhabul kahfi, nama pemuda yang dibunuh oleh orang shaleh dalam kisah nabi Musa as, aneka makanan yang diturunkan sebagai hidangan langit ketika dikabulkannya doa nabi Isa as, jenis burung yang dihidupkan oleh Allah
swt
untuk
nabiyullah
Ibrahim
as,
hadiah
yang
dipersembehkan ratu Bilqis kepada nabi Sulaiman as, bilangan dirham yang dengannya nabi Yusuf diperjual belikan, dan masih banyak lagi perkara-perkara sepela lainnya yang tidak kita dapatkan penjelasannya dalam kisah Al Qur’an, sebaliknya kita dapatkan penjelasan seputar ini dalam riwayat-riwayat isra’iliyyat.
1
Muhammad Husein Adz Dzahabi, at-Tafsir Wa al-Mufassirun, Juz: 1, Hal: 187.
19
Demikian, yang lebih mengkhawatirkan, kita dapatkan dalam banyak kitab tafsir klasik1 kisah-kisah aneh, dimana dalam periwayatannya tidak dikomentari, tidak pula dikritisi seputar kebenarannya oleh orang yang menukilnya, padahal kisah-kisah tersebut hanyalah hasil dari imajinasi khayal. keinginan untuk mengakomodir apa yang telah didapat dari para pendahulu, apapun sumbernya dan walaupun kisah tersebut penuh dengan keanehan dan keganjilan, itulah sesungguhnya yang menjadi alasan dinukilnya semacam riwayat tersebut dalam kitab-kitab tafsir mereka.2.
II.c. Pengaruh Isra’iliyyat Sesungguhnya isra’iliyyat yang dinukil oleh para mufassir dari kalangan Ahl Kitab banyak menimbulkan pengaruh negatif dalam Islam, diantaranya:
1
Yang dikarenakan keklasikannya ternyata banyak dikultuskan oleh manusia.
2
At Tuhami Naqrah, Siqulujiyyah Al Qishshah Fi Al-Qur’an, Hal: 279.
20
Pertama, dinisbatkannya riwayat isra’iliyyat ini kepada sosok nabi berdampak sangat negatif bagi pencitraan sosok beliau. Kalau saja israiliyyat ini -apalagi yang palsu dan batil- berhenti tidak sampai kepada sosok rasul saw, tentunya sisi negatif yang ditimbulkannya tidak separah kalau isra’iliyyat itu dinisbatkan kepada rasul saw. Terkandungnya dalam isra’iliyyat kisah-kisah khayal dan irrasional tentu akan menghalangi seseorang -dengan tingkat toleransi yang tinggi sekalipun- untuk masuk Islam, bahkan tidak menutup kemungkinan yang bersangkutan akan meragukannya. Atas dasar itulah, kita dapatkan banyak dari kalangan misionaris dan orientalis yang menfokuskan hujatan mereka terhadap Islam dan nabinya melalui semacam riwayat isra’iliyyat ini1. Berangkat dari fakta diatas, mayoritas Ulama berkata bahwasannya berdusta kepada rasulullah saw merupakan bagian dari perbuatan dosa besar, walaupun demikian pelakunya tidak sampai dikafirkan, kecuali apabila ia menghalalkan perbuatannya. Berkata Imam Juwaini: telah kafir apabila seseorang dengan 1
Muhammad Abu Syahbah, al-Israʻiliyyat Wa al-Maudhu’at Fi Kutub at-Tafsir,
Hal : 94.
21
sengaja berdusta kepada rasulullah saw, hal ini merujuk kepada firman Allah saw: (Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah)1. keimanan pada ayat diatas dinafikan atas orang yang mendustakan Allah swt, dan berbohong atas rasulullah saw adalah sama hukumnya dengan berbohong atas Allah swt, sebagaimana dalam sebuah hadits, rasulullah saw bersabda :
ﻓﻣن ﻛذب ﻋﻠﻲ ﻣﺗﻌﻣدا ﻓﻠﯾﺗﺑوأ ﻣﻘﻌده ﻣن،إن ﻛذﺑﺎ ﻋﻠﻲ ﻟﯾس ﻛﻛذب ﻋﻠﻰ أﺣد .اﻟﻧﺎر (Sesungguhnya bohong atas diriku tidaklah sama dengan bohong atas seseorang yang lain, maka barang siapa yang berdusta atas diriku secara sengaja maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di api neraka)2. 1
Q.S. an-Nahl [16]: 105.
2
Muslim, Shahih Muslim, Juz 1, Hal: 13 (www.al-islam.com).
22
Redaksional hadits diatas sangat lugas menunjukkan bahwasannya bohong atas diri rasulullah saw tidaklah bisa disamakan dengan bohong dengan selainnya, kalau saja bohong atas selainnya merupakan bagian dari perbuatan dosa besar, maka melakukan kebohongan atas diri rasulullah saw tingkatan dosanya jauh lebih besar lagi, atau bahkan dosa yang paling besar.1 Kedua,
keberadaan
riwayat
isra’iliyyat
dapat
menggugurkan argumentasi Al Qur’an, dikarenakan riwayat isra’iliyyat ini menampilkan Al Qur’an sebagai sebuah kitab suci yang penuh dengan permainan dan pembahasan yang sia-sia, penuh dengan hal-hal yang kontradiktif dengan kebenaran ilmu pengetahuan, sehingga secara tidak langsung mempertontonkan wajah Al Qur’an sebagai sesuatu yang bukan bersumber dari Allah swt.2 Ketiga, penisbatan isra’iliyyat yang sebagian besar dinisbatkan secara tidak akurat kepada orang yang beriman dari 1
Muhammad Abu Syahbah, al-Israʻiliyyat Wa al-Maudhu’at Fi Kutub at-Tafsir,
Hal: 15-16. 2
Ibrahim Khalifah, Ad Dakhil Fi At Tafsir, Penerbit: Fakultas Ushuluddin Univ al
Azhar, Hal : 41, Cet : 1996 M.
23
kalangan Ahl Kitab, menjadikan mereka pada posisi yang tertuduh1. Sebagai contoh, Ahmad Amin yang berupaya untuk meragukan kredibilitas Ka’ab Al Ahbar, dimana ia menuduhnya dengan tuduhan yang sangat tidak layak untuk dituduhkan kepadanya, ia berkata: “Beberapa penulis memperhatikan bahwasannya beberapa nama ternama seperti Ibnu Qutaibah dan An Nawawi tidak pernah meriwayatkan sesuatu darinya, dan Ibnu Jarir meriwayatkan darinya dalam jumlah yang sangat sedikit, akan tetapi selain mereka seperti Ats Tsa’labi dan Al Kasa’i meriwayatkan banyak darinya pada kisah nabi-nabi. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir: bahwasannya Ka’ab Al Ahbar datang menemui Umar bin Al Khathab tiga hari sebelum kematiannya dan berkata kepadanya: saya bersumpah bahwasannya kamu akan meninggal dalam tiga hari ini, Umar bertanya: apa yang melandasi perkataanmu wahai Ka’ab? Dia berkata: aku dapatkannya dalam Taurat, Umar kembali berkata: sesungguhnya kamu dapatkan pembahasan tentang Umar dalam Taurat! Dia berkata: tidak,
1
Muhammad Husein Adz Dzahabi, at-Tafsir Wa al-Mufassirun, Jilid: 1, Hal: 189.
24
melainkan aku dapatkan sifat dan karaktermu dan sesungguhnya telah habis waktu ajalmu”. Kemudian berkata Ahmad Amin, “kisah diatas jikalah benar menandakan bahwasannya Kaʻab terlibat dalam konspirasi pembunuhan Umar, kemudian penempatan kisah ini dalam bentuk riwayat isra’iliyyat menandakan besarnya kontribusi Ka’ab dalam mengada-adakan apa yang diriwayatkannya”. Kemudian diapun berkata, “secara umum telah masuk banyak hal yang bersifat negatif ke dalam ranah aqidah dan pengetahuan kaum muslimin dari mereka -Kaʻab, Wahb dan selain keduanya dari kalangan Ahl Kitab-”.1 Kita sepakat dengan pernyataan Ahmad Amin, “kisah diatas jikalah benar menandakan bahwasannya Kaʻab terlibat dalam
konspirasi
pembunuhan
Umar”,
akan
tetapi
permasalahannya adalah kita tidak meyakini kebenaran kisah tersebut.
1
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Penerbit: Lajnah At Ta’lif Wa At Tarjamah Wa An
Nasyr, Hal: 198, Cet: 1935 M.
25
Penyebutan kisah diatas oleh Ibnu Jarir, tidaklah menunjukkan kebenaran kisah tersebut. Dikarenakan Ibnu Jarir sebagaimana yang kita ketahui, tidaklah mewajibkan atas dirinya sebatas meriwayatkan riwayat-riwayat yang benar, bahkan mereka yang mengkaji tafsirnya akan menemukan sejumlah riwayat yang lemah dari isi kebenarannya. Sebagaimana apa yang beliau nukil dalam kitab sejarahnya, hanyalah sebatas pemaparan sejarah yang bisa benar dan bisa juga salah. Apa yang diketahui tentang Kaʻab dari aspek agama, perilaku,
tanggung
jawab,
dan
banyaknya
Ulama
yang
mempercayai periwayatan beliau, merupakan faktor yang menjadikan kita yakin bahwasannya kisah diatas diada-adakan atas diri beliau. Sangat jauh dalam hemat kita untuk dikatakan bahwasannya Kaʻab mengetahui konspirasi pembunuhan atas diri sahabat Umar, kemudian tidak menginformasikan kepadanya pihak-pihak yang berupaya untuk melakukan konspirasi atas dirinya, sebagaimana kita juga tidak percaya bahwasannya Kaʻab merupakan sosok pembohong dan pengada-ada dalam banyak riwayat.
26
Adapun berkaitan dengan pernyataan Ahmad Amin “secara umum telah masuk banyak hal yang bersifat negatif ke dalam ranah aqidah dan pengetahuan kaum muslimin dari mereka -Kaʻab, Wahb dan selain keduanya dari kalangan Ahl Kitab-”, kami tidaklah sepakat apabila pengaruh negatif ini dinisbatkan kepada Kaʻab dan yang semisalnya dari kalangan Ahl Kitab, dikarenakan apa yang diriwayatkan oleh Kaʻab dan yang semisalnya dari kalangan Ahl Kitab tidaklah dinisbatkan kepada rasulullah saw, mereka juga tidaklah melakukan pembohongan terhadap salah seorang dari kaum muslimin dengan periwayatan mereka, dikarenakan mereka meriwayatkannya dengan menerangkan bahwasannya riwayat tersebut merupakan bagian dari riwayat israiliyyat yang terdapat dalam kitab suci mereka. Apabila isra’iliyyat yang diriwayatkan dari Kaʻab dan yang semisalnya dari kalangan Ahl Kitab ini telah berdampak negatif, kesalahannya tidaklah dapat dinisbatkan kepada Kaʻab dan yang semisalnya dari kalangan Ahl Kitab, dikarenakan mereka tidak menjadikan riwayat isra’iliyyat tersebut sebagai penjelas bagi Al Qur’an kecuali pada bagian-bagian yang terdapat kesepakatan dengan Al Qur’an. Letak kesalahan sesungguhnya adalah terletak pada mereka yang datang setelah masa Kaʻab, yang berupaya 27
untuk menjelaskan Al Qur’an dengan riwayat isra’iliyyat. Lebih lanjut, mereka pun menisbatkan riwayat isra’iliyyat tersebut kepada Kaʻab dan yang semisalnya dari kalangan Ahl Kitab, dengan niatan agar riwayat tersebut dapat diterima oleh banyak kalangan dan dengan niatan pembodohan atas kalangan awam1. Atas dasar itulah, sangat mengherankan dalam hemat kami, walaupun riwayat isra’iliyyat jauh untuk dinisbatkan kepada rasulullah saw dan para sahabatnya, ternyata riwayat israiliyyat ini menurut sebagian ilmuan dan cendekiawan memiliki kandungan ilmiah yang signifikan. Dikarenakan riwayat israiliyyat ini dalam hemat mereka dapat menandakan kebudayaan pada masanya, ilmu pengetahuan yang telah dicapai oleh masyarakat pada masa tersebut dan keberadaan riwayat isra’iliyyat ini juga membuktikan adanya proses asimilasi antar kebudayaan pada masa itu.
1
Muhammad Husein Adz Dzahabi, at-Tafsir Wa al-Mufassirun, Jilid: 1, Hal: 199-
201.
28
Semacam pernyataan diatas yang kerap didengunkan oleh sebagian ilmuan dan cendekiawan,1 dalam hemat kami tidak cukup menenangkan dikarenakan dapat meracuni pemikiran dan menumbuh suburkan keberadaan riwayat isra’iliyyat dalam kajian tafsir dan hadits khususnya, sebagaimana pernyataan ini juga berdampak negatif pada kajian-kajian keislaman lainnya, dengan kata lain: sisi kemudharatan yang ditimbulkan dari riwayat isra’iliyyat ini jauh lebih besar daripada sisi kemanfaatan yang diperkirakan.2
1
Seperti: Ahmad Amin dalam dua bukunya: Fajr Al Islam, Hal : 251 dan Dhahy Al
Islam, Penerbit: Lajnah At Ta’lif Wa At Tarjamah Wa An Nasyr, Hal: 2/143, Cet: 1933 M. 2
Muhammad Abu Syahbah, al-Israʻiliyyat Wa al-Maudhu’at Fi Kutub at-Tafsir,
Hal: 9.
29
30
BAB III Kulliyyat Rasa’il An Nur Karya Said An Nursi
III.a. Sekilas Tentang Biografi Said An Nursi Said An Nursi dilahirkan di era sultan Abdul Hamid II, seorang sultan dari dinasti Utsmaniyyah yang berkuasa dari tahun 1876-1909 M. Dia memegang kekuasaan setelah kewafatan bapaknya sultan Abdul Majid I1. Masa sultan Abdul Hamid II merupakan masa-masa akhir dari dinasti Ustmaniyyah sebelum keruntuhannya, sebuah masa di mana dinasti Ustmaniyyah menghadapi beragam propaganda dan intrik dari para musuhmushnya, guna menghancurkannya. 1
Abdul Fattah Abu Isa, Mausu`ah Al Qadhah As Siyasiyyin “Arab Wa Ajanib”,
Penerbit : Dar Usamah, Hal : 189-190, Cet : Pertama (2002 M).
31
Said An Nursi dilahirkan di daerah pegunungan pada pagi buta bertepatan dengan terdengarnya suara adzan shubuh. Nama desa tempat kelahiran beliau adalah Nuris, dimana nama beliau di kemudian hari dinisbatkan kepada nama desa tempat kelahirannya tersebut. Sebuah desa yang terletak di distrik Khaizan, sebuah distrik pada wilayah Bitlis, sebelah timur kota Anatolia, pada tahun 1876 M. adapun kewafatan beliau, terjadi pada rbu pagi tanggal 23 maret 1960 M. Said An Nursi tidaklah terlahir dari keturunan yang terpandang, melainkan beliau terlahir dari kedua orang tua yang baik dan mulia. Bapaknya bernama Syaikh Mirzah, yang lahir pada tahun 1920 an merupakan seorang yang wara’ (giat beribadah dan kerap menjauhkan diri dari kemaksiatan. Beliau merupakan sosok yang dapat dicontoh dan ditauladani dari sisi keshalehan dan ketakwaan. Dikisahkan, bahwasannya beliau tidak pernah mengkomsumsi barang yang haram, tidak pula memberi makan anak-anaknya kecuali dari barang yang halal, bahkan dikisahkan “apabila dia hendak pulang bersama binatang ternaknya dari tempat pengembalaan, dia ikat mulut binatang ternaknya agar tidak memakan makanan dari ladang orang lain disaat perjalanan pulang ke rumahnya”. 32
Demikian pula ibunya yang bernama Nuriyah, juga merupakan sosok ibu yang shalehah. Dikisahkan bahwasannya dia berkata : tidaklah aku menyusui anak-anak ku kecuali aku dalam kondisi suci dan berwudhu. Sebagaimana juga dikisahkan, bahwasannya ia tidak pernah meninggalkan kebiasaan shalat tahajjud sepanjang hidupnya, kecuali pada hari-hari yang terlarang secara syar’i. Di lingkungan yang selalu dinaungi dengan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan inilah Said An Nursi dilahirkan dan dibesarkan1. Tanda-tanda kepintaran dan kecerdasan Said An Nursi telah terlihat semenjak masa kecilnya, dia beliau semasa kecil kerap bertanya dan kerap berkeinginan untuk mengetahui permasalahan-permasalahan yang tidak dipahaminya, beliau juga kerap menghadiri majlis orang dewasa, mendengarkan apa yang menjadi perbincangan mereka disaat mereka mendiskusikan berbagai permasalahan, apalagi majlis para ulama kampungnya,
1
Ihsan Qasim Shaleh, Badi’ Az Zaman Said An Nursi Nadzrah ‘Ammah ‘An
Hayatihi Wa Atsarihi, Penerbit : Sozler, Hal : 19, Cet : Kedua (1996 M).
33
yang kerap berkumpul di kediaman orang tuanya di malam-malam musim dingin yang panjang. Said
An
Nursi
merupakan
sosok
periang
dan
menyenangkan, semenjak kecil beliau menjauhkan dirinya dari melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan pihak lain. Perilaku baik dan santun ini terus menguat dalam dirinya ketika ia tumbuh menjadi dewasa, dan banyak berpengaruh pada sikapnya terhadap semua orang yang dihadapinya kelak dari para petinggi dan penguasa. Awal perjalanan pencarian ilmu Said An Nursi telah dimulai semenjak usia masih kanak-kanak. Dimulai dari belajar di pondok-pondok dan sekolah-sekolah agama, dia juga belajar dari saudaranya Al Malla1 Abdullah dan para Ulama lainnya. Materi yang beliau pelajari pada masa ini sebatas pada materi sharaf dan nahwu, kemudian setelah itu dengan penuh semangat beliau berpindah-pindah dari satu kota ke kota yang lain, dan dari satu 1
Gelar yang diperuntukkan bagi ulama besar dalam tradisi daulat Ustmaniyyah
(Khalil Inalizik, Tarikh Ad Daulat Al Ustmaniyyah Min An Nusyu’ Ila Al Inhidar, Tarjamah : Muhammad Arnauth, Penerbit : Dar Al Madar Al Islami, Hal : 340, Cet : Pertama (2002 M)).
34
madrasah dan guru yang satu ke madrasah dan guru yang lain guna mempelajari beragam ilmu keislaman. Popularitas Said An Nursi pun muai meranjak setelah dia mampu membukam para Ulama lokal dalam diskusi-diskusi yang diikutinya, mereka pun kemudian menjuluki beliau dengan “Said Al Masyhur (Said Yang Populer)”. Kemudian beliau pergi ke wilayah Bitlis, kemudian dilanjutkan ke wilayah Tello, dimana di tempat ini beliau sempatkan untuk ber’tikaf dalam beberapa waktu pada salah satu tempat ibadah guna menghafal Al Qamus Al Muhith karangan Fairuzabadi1 hingga bab sin. Pada tahun 1892 M Al Malla Said pergi ke kota Mardin, dimana beliau memulai menyampaikan pengajian agama di salah satu masjid kota ini, banyak dari pertanyaan jamaah yang beliau jawab, dikarenakan fitnah atas dirinya, penguasa kota Mardin yang bernama Nadir Beik pun mengeluarkan keputusan untuk
1
Yakni : Muhammad bin Ya’kub bin Ibrahim Asy Syairazi Al Fairuzabadi, seorang
pengarang kamus terkenal, dilahirkan pada tahun 729 H di distrik Karzin, meninggal pada malam keduapuluh dari bulan syawwal tahun 816 H (Jalaluddin As Suyuthi, Bughyat Al Wu’at Fi Thabaqat Al Lughawiyyin Wa An Nuhat, Penerbit : Isa Al Babi Al Halabi, Juz : 1, Hal : 273-274, Cet : Pertama (1965 M)).
35
mengeluarkan beliau dari kota Mardin. Kemudian beliau pun dievakuasi ke wilayah Bitlis, sehingga ketika penguasa wilayah Bitlis yang bernama Umar Basya mengetahui keberadaan dan kepribadian
beliau,
bersamanya,
maka
dia beliau
pun pun
memintanya menyambut
untuk
tinggal
tawaran
ini.
Kesempatan ini digunakan oleh Said An Nursi untuk menelaah beberapa referensi buku-buku keislaman, lebih-lebih buku-buku seputar kajian filsafat, teologi, retorika, tafsir, hadits, fiqih, nahwu ..... hingga hafalan beliau berkaitan dengan teks-teks berkaitan dengan kajian-kajian tersebut mencapai 80 an teks, sebagaimana keberadaan beliau di kota ini, beliau gunakan untuk berguru langsung dengan seorang Ulama besar yang bernama Syaikh Muhammad Al Kafrawi. Pada tahun 1894 M, Said An Nursi pergi ke kota Wan atas undangan penguasa disana yang bernama Hasan Basya, di kota ini Said An Nursi tekun mendalami beragam ilmu eksak, seperti : matematikaa, falak, kimia, fisika, geologi, filsafat modern dan geografi, sampai pada taraf beliau mampu menandingi para spesialis dalam bidang-bidang ilmu tersebut, pada saat itulah dan untuk pertama kalinya, beliau disebut dengan nama Badi’ Az
36
Zaman, sebagai sebuah penghormatan oleh para ilmuawan atas kepintaran dan kecendikiawanan beliau. Inilah sekelumit dari biografi singkat Badi’ Az Zaman Said An Nursi, dan kisah perjalanannya dalam mencari ilmu pengetahuan.
III.b. Sekilas Tentang Kulliyyat Rasa’il An Nur Berkaitan dengan karya-karya Said An Nursi, semuanya telah dikumpulkan dalam sebuah kitab yang dinamakan dengan Kulliyyat Rasa’il An Nur. Kulliyyat Rasa’il An Nur merupakan kumpulan risalah (tulisan) yang ditulis oleh Said An Nursi semasa hidupnya, dikatakan : bahwasannya jumlah risalah yang beliau tulis sekitar seratus tiga puluh risalah berbahasa Turki plus lima belas risalah berbahasa
Arab.
Semua
risalah
yang
ditulisnya
bersifat
independen, dalam artian orang yang membacanya tidak harus membacanya dari awal risalah untuk memahami risalah-risalah berikutnya. Melainkan si pembaca bebas memilih risalah mana
37
yang hendak dibacanya tanpa harus terpaku dengan urutan risalah yang ada1. Semua risalah yang ditulis oleh Said An Nursi dalam bahasa Turki telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul besar Kulliyyat Rasa’il An Nur. Buku ini terdiri dari 8 jilid besar, dimana setiap jilidnya memiliki judul khusus untuk membedakannya dengan jilid-jilid yang lain. Kedelapan jilid tersebut adalah : Pertama, Al Matsnawi Al `Arabi An Nuri, jilid ini merupakan buku pertama yang ditulis oleh Said An Nursi, atas dasar itulah kerap kita dapatkan dalam jilid ini akar pemikiran beliau, dimana dari akar pemikiran tersebut muncul beragam ide dan gagasan yang tertuang kemudian di beberapa jilid buku beliau berikutnya2. Kedua, Isyarat Al I`jaz Fi Madzan Al Ijaz, jilid ini merupakan penafsiran Said An Nursi terhadap surah Al Fatihah 1
Said An Nursi, Al Kalimat, Terjemah : Ihsan Qasim Shaleh, Penerbit : Sozler, Hal
: 899, Cet : Kedua (1992 M). 2
Said An Nursi, Al Matsnawi Al `Arabi An Nuri, Terjemah : Ihsan Qasim Shaleh,
Penerbit : Sozler, hal : 255, Cet : Pertama (1995 M).
38
dan 33 ayat dari surah Al Baqarah. Dalam tafsir ini Said An Nursi menerangkan dengan redaksi singkat seputar aspek kemu`jizatan Al Qur’an dilihat dari sisi tata letak dan redaksinya, dimana diterangkan oleh beliau korelasi antara satu ayat dengan ayat yang lain, korelasi dan ketepatan pemilihan kalimat, dan bagaimana sebuah
kalimat
bahkan
huruf
dipilih
secara
apik
guna
menggambarkan sebuah makna. Semua ini Said An Nursi lakukan dengan merujuk kepada ilmu balaghah, nahwu, sharaf, retorika, ushuluddin dan beragam ilmu pengetahuan lain yang memiliki keterkaitan guna memberikan tambahan wawasan makna sebuah ayat. Yang lebih mencengangkan, bahwasannya karya tafsir beliau ini beliau diktekan kepada muridnya di saat beliau berada di tengah medan perang dunia pertama1. Ketiga, Al Maktubat, jilid ini terdiri dari 33 risalah, dalam jilid ini dikaji banyak permasalahan tentang keimanan, dan penegasan beliau akan pentingnya penanaman unsur keimanan yang kuat dalam diri seorang muslim. Juga dibahas dalam sikap beliau terhadap politik dan alasan beliau kenapa semasa hidupnya 1
Ibrahim Ali `Iwadhi, Badi` Az Zaman Said An Nursi Fikruhu Wa Da`watuhu,
Penerbit : Al Ma`had Al `Alami Li Al Fikr Al Islami, Hal : 255, Cet : Pertama (1997 M).
39
kerap menjauhkan diri dari kehidupan politik. Sebagaimana juga Dalam jilid ini kita dapatkan pembahasan seputar 300 aspek kemu`jizatan yang dimiliki oleh baginda rasulullah saw, merujuk kepada hadits-hadits yang shahih, disamping risalah-risalah lain yang diperuntukkan bagi para pengkaji Al Qur’an1. Keempat, Al Kalimat, jilid ini terdiri dari 33 risalah yang sarat dengan pembahasan masalah-masalah keimanan disamping pembahasan seutar aspek kemu`jizatan yang melekat dalam kenabian Muhammad saw, juga pembahasan seputar 40 aspek kemu`jizatan Al Qur’an2. Kelima, Al Mulahik, jilid ini merupakan kumpulan korespondensi antara Said An Nursi dengan murid-murid-nya, kandungannya secara garis besar adalah arahan Said An Nursi kepada para murid-murid-nya dalam bagaimana berdakwah pada era itu dan apa saja yang harus diperhatikan oleh seorang pendakwah dalam kegiatan dakwahnya. 1
Ibrahim Ali `Iwadhi, Badi` Az Zaman Said An Nursi Fikruhu Wa Da`watuhu, Hal :
252. 2
Said An Nursi, Al Kalimat, Terjemah : Ihsan Qasim Shaleh, Penerbit : Sozler, Hal
: 251.
40
Kitab Al Mulahik terdiri dari 3 kelompok. Yakni : mulhak Barla, mulhak Qasthamuni dan mulhak Amirdagh, semuanya berdiri secara independen dan tidak ada keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Tiga kelompok ini secara penamaannya dinisbatkan kepada nama tempat dimana korespondensi terjadi antara Said An Nursi dengan murid-murid-nya1. Keenam, Shaiqal Al Islam, jilid ini merupakan gambaran akan sosok Sa`id Al Qadim (Said lama), yakni : sosok Said An Nursi yang masih kerap bersinggungan dengan urusan sosial politik2. Ketujuh, Al Lama`at, disamping risalah-risalah yang membahas tentang keimanan, dibahas pula dalam jilid seputar kenabian, ekonomi juga risalah penolakan terhadap kalangan scientis3.
1
Ibrahim Ali `Iwadhi, Badi` Az Zaman Said An Nursi Fikruhu Wa Da`watuhu, Hal :
257. 2
Ibrahim Ali `Iwadhi, Badi` Az Zaman Said An Nursi Fikruhu Wa Da`watuhu, Hal :
258. 3
Ibrahim Ali `Iwadhi, Badi` Az Zaman Said An Nursi Fikruhu Wa Da`watuhu, Hal :
253.
41
Kedelapan, Asy Syu`a`at, jilid ini terdiri dari 15 risalah, dimulai dengan pembahasan bahwasannya keelokan alam semesta dan kelebihan manusia tidak mungkin tampak kecuali dengan ketauhidan, dilanjutkan dengan pembahasan-pembahasan tentang keimanan sebagaimana jilid-jilid yang lain, juga dibahas dalam jilid ini seputar rahasia dan hikmah dibalik pengulangan dalam Al Qur’an1.
1
Ibrahim Ali `Iwadhi, Badi` Az Zaman Said An Nursi Fikruhu Wa Da`watuhu, Hal :
254.
42
BAB IV Isra’iliyyat dan Pengaruhnya Terhadap Kulliyat Rasa’il An Nur
IV.a. Pandangan Said An Nursi terhadap Isra’iliyyat Dalam tafsirnya, kita dapatkan Said An Noursi kerap kali mengingatkan kita akan dampak negatif yang ditimbulkan dari periwayatan isra’iliyyat, diantara peringatan beliau yang kita dapatkan dalam tafsirnya adalah: Pertama, masuknya sejumlah riwayat israiliyyat dan pemikiran filsafat Yunani dalam khazanah keislaman dan tampilan
43
keduanya
dalam
balutan
agama
yang
menarik,
kerap
mengecohkan pemikiran umat1. Kedua, meriwayatan riwayat isra’iliyyat dan menjadikan filasat Yunani sebagai rujukan, merupakan dua sikap yang berdampak negatif. Filsafat Yunani bisa jadi lebih besar bahayanya, akan tetapi tidak menutup kemungkinan periwayatan semacam riwayat israiliyyat
lebih
banyak
dosanya,
dikarenakan
kerap
kali
keberadaan riwayat isra’iliyyat ini yang mendorong seseorang bersikap menjadikan filsafat Yunani sebagai rujukan, dikarenakan ketidakpuasan yang bersangkutan terhadap kandungan riwayat isra’iliyyat. Disebabkan sikap toleran yang kebablasan yang diberikan dalam bentuk pembolehan periwayatan israiliyyat, hal ini kerap kali menjadikan hakekat sesuatu bercampur baur dan terkontaminasi dengan kebohongan. Sehingga ketika para kritikus melihat fenomena ini, kerap kali mereka tidak bersikap objektif
1
Said An Nursi, Shaiqal Al Islam, Terjemah : Ihsan Qasim Shaleh, Penerbit :
Sozler, Hal : 34, Cet : Kedua (1995 M).
44
dengan
mengeneralisir
permasalahan
dan
beranggapan
bahwasannya sumber periwayatan dalam penafsiran al Qur’an memiliki kwalitas yang sama dengan riwayat israiliyyat1. Ketiga, banyaknya kandungan riwayat isra’iliyyat dari unsur-unsur fiktif, keburukan-keburukan dan kebatilan-kebatilan dalam masalah-masalah agama, akan menjauhkan pembacanya dari hakekat kebenaran, bahkan pada akhirnya mengakibatkan kepada perasaan menyesal2. Tiga
pernyataan
Said
An
Noursi
diatas
dapat
memberikan gambaran yang jelas sekali betapa sosok beliau sangat alergi dengan riwayat isra’iliyyat, dan mengingatkan siapapun yang berinteraksi dengan Al Qur’an, khususnya dengan ayat-ayat kisahnya untuk berhati-hati dalam menukil riwayat isra’iliyyat, dikarenakan beragam dampak buruk yang tidak bisa dianggap remeh dan enteng dari meriwayatkannya.
1
Said An Nursi, Shaiqal Al Islam, Hal : 37.
2
Said An Nursi, Shaiqal Al Islam, Hal : 66.
45
IV.b. Riwayat Isra’iliyyat Dalam Penafsiran Said An Noursi Diatas sudah dipaparkan bagaimana pendapat Said An Noursi berkaitan dengan riwayat isra’iliyyat, akan tetapi sangat disayangkan
ternyata
dalam
penafsirannya,
beliau
tidak
selamanya konsisten dengan pernyataannya diatas, hal ini dikarenakan kita dapatkan -walaupun dalam jumlah yang sedikit sekali dibandingkan dengan para mufassir yang lainnya- pengaruh riwayat isra’iliyyat dalam penafsiran beliau. Berdasarkan
bacaan
atas
tulisan-tulisan
yang
menyangkut penafsiran Al Qur’an dalam Kulliyyat Rasa’il An Nur, ternyata kita dapatkan dalam tulisan-tulisan beliau beberapa riwayat isra’iliyyat dengan ketiga ragam yang dimilikinya. Sebagai contoh dari ragam pertama, yakni: riwayat isra’iliyyat yang memiliki kesesuaian dengan apa yang termaktub baik dalam teks Al Qur’an maupun teks As Sunnah. Pernyataan beliau: sesungguhnya telah banyak tandatanda berkaitan dengan sosok yang akan menjadi “pemimpin dunia” sebagaimana yang diberitakan oleh nabi Isa as di kitab Injil, 46
seperti: “Dan bersamanya pedang yang terbuat dari besi, dengannya ia dan pengikutnya berperang”. Pernyataan yang termuat dalam kitab Injil diatas menginformasikan bahwasannya sosok nabi terakhir setelah nabi Isa as dan yang akan menjadi pemimpin dunia kelak adalah sosok yang dalam sejarah hidupnya akan terlibat dalam peperangan untuk berjihad, sebagaimana umatnya juga oleh ajaran yang dibawanya diperintahkan untuk berjihad di medan perang. Informasi awal yang diinformasikan oleh Injil diatas, sesungguhnya sangatlah akurat dan pas dengan apa yang digambarkan oleh Al Qur’an:
47
(Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam taurat dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu: seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orangorang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan diantara mereka, ampunan dan pahala yang besar)1.
1
Q.S. Al Fath [48]: 25.
48
Disamping itu juga terdapat beberapa ayat lain yang memiliki kemiripan secara kandungan dengan kandungan Injil diatas. Demikian pula kita dapatkan dalam sebuah ayat di kitab Taurat: “Telah datang Tuhan dari “Sinai”, terbit untuk kita dari “Sa’ira” dan akan diinformasikan (berkaitan dengan kenabian) dari gunung “Faran”, dan bersamanya ribuan orang-orang suci di sisi kanannya”. Kandungan
Taurat
diatas,
sebagaimana
menginformasikan kepada kita berkaitan dengan kenabian nabi Musa as, dikarenakan beliau pertama kali menerima wahyu kenabian dari bukit “Sinai”, juga menginformasikan kepada kita berkaitan dengan kenabian nabi Isa as, dikarenakan penyebutan kata “Sa’ira” menunjukkan tempat dimana nabiyullah Isa as menyampaikan dakwah kenabiannya. Sebagaimana pada saat bersamaan,
juga
menginformasikan
akan
kenabian
nabi
Muhammad saw, dikarenakan penyebutan kata “Faran” disepakati sebagai gunung di tanah Hijaz, yakni: tempat dimana nabiyullah Muhammad
saw
menerima
kenabiannya.
49
wahyu
dan
mendakwakan
Lebih daripada itu, bunyi redaksi ayat di kitab Taurat di atas “dan bersamanya ribuan orang-orang suci di sisi kanannya” menguatkan kandungan kitab Injil di atas, hal yang sama kita dapatkan kesesuaian kandungannya dengan yang ada dalam kitab Al Qur’an. Dimana Taurat menerangkan bahwasannya orangorang yang bersama nabi Muhammad saw adalah orang-orang suci, yakni: orang-orang yang shaleh. Berkaitan dengan keshalehan sahabat rasulullah saw, sesungguhnya kita dapatkan dalam banyak teks Al Qur’an, seperti firman Allah swt:
(Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orangorang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah Ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan
50
bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawah-nya sungaisungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung)1. Demikian contoh dari sebuah ragam isra’iliyyat yang masuk dalam khazanah keislaman, seperti: kajian tafsir Al Qur’an. Dimana kandungan yang terdapat dalam riwayat isra’iliyyat tersebut memiliki kesesuaian dengan apa yang terkandung dalam Al Qur’an. Dan pengutipan riwayat isra’iliyyat dalam ragam ini, kita dapatkan dalam tafsir Said An Noursi. Berkaitan dengan ragam kedua dari riwayat isra’iliyyat, yakni: apa yang kita ketahui dan pastikan kebohongannya, dikarenakan jelas-jelas bertolak belakang dengan apa yang dimiliki oleh khazanah keislaman yang bersumberkan kepada Al Qur’an dan Al Hadits, adalah penyebutan Said An Noursi seputar kisas nabiyullah Ayyub as yang sanagt populer dan kisah ini dinukil oleh banyak kitab tafsir. Dikisahkan oleh Said An Noursi dalam kitab tafsirnya, bahwasannya nabiyullah Ayyub as larut dalam kesabarannya 1
Q.S. At Taubah [9]: 100.
51
dalam kurun waktu yang sangat lama, menahan penyakit kronis yang dideritanya, bahkan sampai-sampai ulat dan luka menutupi sebagian besar dari tubuh beliau. Dalam kondisi semacam ini, beliau tetap sabar, tegar dan tidak mengeluh kepada Tuhannya, mengharapkan dari kesabarannya pahala dan curahan rahmat Tuhannya. Bahkan disaat ulat yang semakin hari semakin membanyak dalam tubuhnya, hingga ketika ditakutkan mengenai hati dan lidah beliau, rasa takut dalam dirinya pun timbul. Takut bukan karena menghadap kematian,melainkan dikarenakan beliau takut tidak akan mampu lagi berdzikir dan beribadah kepada Tuhannya, walaupun hanya dengan hati dan lisannya, beliau pun berharap curahan rahmat Tuhannya dan bermunajat kepada Tuhannya sebagaimana yang diabadikan dalam Al Qur’an:
(Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, “(Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal
52
Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang)1. Doa yang dipanjatkan oleh nabiyullah Ayyub as ini singkat ceritanya pun didengar dan dikabulkan oleh Allah swt dengan cara yang tidak biasa dan sangat cepat. Kesehatan dan kebugaran jasmani pun kembali beliau dapatkan, sebagaimana curahan dari beragam rahmat Tuhan pun diberikan kepada nabiyullah Ayyub as dan keluarganya, atas kesabaran terhadap cobaan Tuhan yang diberikan kepadanya. Difirmankan dalam Al Qur’an:
(Maka Kami kabulkan (doa)nya, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan (Kami lipat gandakan jumlah mereka) sebagai suatu rahmat
1
Q.S. Al Anbiya’ [21]: 83.
53
dari Kami, dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Kami)1. Inilah sekelumit dari kisah nabiyullah Ayyub as, yakni: disaat beliau dicoba oleh Tuhannya dengan penyakit yang dideritanya yang juga ditulis dan dinukil oleh Said An Noursi dalam tafsirnya2. Catatan: berkaitan dengan kisah nabiyullah Ayyub as, memang kita dapatkan kisahnya dalam Al Qur’an sebagaimana yang disampaikan kepada kita oleh nabiyullah Muhammad saw. dimana nabiyullah Ayyub as diuji oleh Tuhannya, dengan penyakit yang diderita oleh tubuhnya, sebagaimana beliau juga diuji oleh Tuhannya dari sisi keluarga dan harta yang dimilikinya. Nabiyullah Ayyub as pun bersabar dengan semua ujian Tuhan yang diujikan kepadanya, sehingga kesabaran beliau inipun sering dijadikan sebagai perumpamaan bagi kebanyakan manusia untuk mereka suri tauladani, sehingga kemudian kita mengenal istilah yang
1
Q.S. Q.S. Al Anbiya’ [21]: 83.
2
Said An Noursi, Al Lama’at, Hal: 10, Terjemah : Ihsan Qasim Shaleh, Penerbit :
Sozler, Cet : Kedua (1993 M).
54
sangat populer ishbir shabra Ayyub (bersabarlah sebagaimana sabarnya nabiyullah Ayyub as). Pujian berkaitan dengan kesabaran nabiyullah Ayyub as ini pun yang kita dapatkan dalam sebuah teks Al Qur’an, dimana Allah swt mengabadikan sisi kesabaran yang dimiliki oleh nabiyullah Ayyub as, walaupun ujian Tuhan secara bertubi-tubi menimpa dirinya:
(Dan ambillah seikat (rumput) dengan tanganmu, lalu pukullah dengan
itu
dan
janganlah
engkau
melanggar
sumpah,
sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat (kepada Allah))1. Dalam hemat kami, berkaitan dengan ujian Tuhan yang menimpa nabiyullah Ayyub as merupakan sebuah perkara yang tidak terbantahkan, dikarenakan hal ini bukan saja kita dapatkan 1
Q.S. Shad [38]: 44.
55
dalam
riwayat
isra’iliyyat,
melainkan
Al
Qur’an
pun
menginformasikannya kepada kita akan hal itu. Akan tetapi yang selalu diperhatikan oleh seorang muslim dalam berinteraksi dengan kitab sucinya: Al Qur’an, adalah hendaknya ia bersikap sebagaimana sikap yang dimiliki oleh kitab sucinya. Yakni: tidak menambahkan dalam pemaparan sebuah kisah, apa yang tidak dijelaskan oleh kitab sucinya atau sumbersumber lain yang dapat diterima secara syar’i, sebagaimana yang kerap dilakukan oleh kalangan Yahudi. Banyak dari kalangan Yahudi yang menisbatkan kepada para nabi dari kalangan mereka sesuatu yang sangat tidak layak untuk dinisbatkan kepada semacam orang-orang baik dan pilihan dari kalangan para nabi. Fenomena yang tidak senonoh semacam ini tidaklah terlalu mengherankan untuk kita saksikan dalam diri kalangan Yahudi, dikarenakan keberanian mereka untuk berlaku tidak senonoh bukan saja mereka perlihatkan dan peruntukkan kepada kalangan para nabi, melainkan hal yang sama juga mereka lakukan dan perlihatkan kepada Dzat yang mengutus para nabi tersebut,
56
Dzat yang menciptakan mereka dan alam semesta ini, yakni: Allah swt. Prilaku
tidak
senonoh
yang
diperlihatkan
oleh
komunitas Yahudi terhadap Dzat Yang Menciptakan mereka inipun diabadikan dalam Al Qur’an, seperti: pernyataan mereka bahwasannya Tuhan adalah Dzat Yang miskin dan Kikir, difirmankan dalam Al Qur’an: (Sungguh, Allah telah mendengar perkataan orang-orang (Yahudi) yang mengatakan, “sesungguhnya Allah itu miskin dan kami kaya.” Kami akan mencatat perkataan mereka dan perbuatan mereka membunuh nabi-nabi tanpa hak (alasan yang benar), dan Kami akan mengatakan (kepada mereka), “rasakanlah olehmu adzab yang membakar!”)1.
1
Q.S. Ali Imran [3]: 181.
57
Berkaitan dengan pernyataan kalangan Yahudi -semoga Allah swt melaknat mereka- yang lain, difirmankan dalam Al Qur’an:
(Dan orang-orang Yahudi berkata, “Tangan Allah terbelenggu (maksudnya adalah kikir).” Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu, padahal kedua tangan Allah terbuka; Dia memberi rezki sebagaimana Dia kehendaki. Dan (Al Qur’an) yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu pasti akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan mereka. Dan Kami timbulkan permusuhan dan kebencian diantara mereka sampai hari kiamat. Setiap kali mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya. Dan mereka berusaha 58
(menimbulkan) kerusakan di bumi. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan)1. Inilah sekelumit pernyataan yang tidak senonoh yang dilontarkan oleh komunitas Yahudi terhadap Tuhan mereka, maka sangatlah tidak bijak dan tentunya sangat bertolak belakang dengan syariat kita, apabila kita mengekor dan mengamini semua pernyataan yang terlontar dari kalangan Yahudi terhadap kalangan para nabi-nabi. Hal ini dikarenakan syariat kita mengajarkan bahwasannya para nabi merupakan sekumpulan manusia pilihan yang langsung dipilih oleh Tuhannya untuk menjadi tauladan bagi umat, sehingga sangatlah tidak pas untuk kemudian mereka digambarkan sebagai manusia yang sangat hina di tengah umatnya sebagaimana yang digambarkan oleh riwayat isra’iliyyat di atas seputar kondisi nabiyullah Ayyub as, ketika diuji oleh Tuhannya dengan sebuah penyakit yang sangat mengerikan dan menjijikkan. Pemahaman yang harus terbangun dalam diri kita dalam memahami hakekat penyakit yang menimpa nabiyullah
1
Q.S. Al Ma’idah [5]: 64.
59
Ayyub as tidaklah separah sebagaimana yang didustakan oleh kalangan Yahudi, yang sangat mengerikan dan menghinakan. Nabiyullah Ayyub as dalam hemat kami sangatlah mulia dan jauh untuk dicoba oleh Tuhannya dengan sebuah penyakit yang dapat menjauhkan umatnya darinya, dikarenakan rasa jijik umatnya atas penyakit yang dideritanya. Faedah apa yang bisa diambil dari fenomena semacam ini, atas risalah kenabian yang diemban oleh seorang nabi?, bukankah seorang nabi diutus kepada umatnya agar ia selalu berada di tengah umatnya, dengan harapan akan banyak dari umatnya yang mau menerima risalah kenabian yang diserunya? Kisah seputar penyakit yang diderita oleh nabiyullah Ayyub as merujuk kepada riwayat isra’iliyyat dalam hemat kami terlalu diada-adakan, dan sangat sulit untuk dapat diterima oleh akal pikiran sehat, disamping tidak kita dapatkan sebuah riwayat shahih yang dapat menguatkan riwayat isra’iliyyat tersebut. Sejatinya penyakit yang diderita oleh nabiyullah Ayyub as adalah penyakit yang tidak mengerikan dan menjijikkan, sebuah penyakit yang tidak sampai membekas secara mengerikan pada kulit nabiyullah Ayyub as, semacam penyakit rematik dan yang 60
sejenisnya. Hal ini diperkuat: ketika Allah swt memerintahkan nabiyullah
Ayyub
as
menghentakkan
kakinya
ke
bumi,
terpancarlah mata air, nabiyullah Ayyub as pun mandi dan minum dari sumber mata air tersebut, kesembuhan atas izin Allah swt pun didapat kemudian oleh nabiyullah Ayyub as. Dalam versi yang lain dikatakan, ketika nabiyullah Ayyub as menghentakkan kakinya ke bumi sesuai dengan perintah Tuhannya, terpancarlah dari arah bumi sumber mata air panas, beliau pun mandi dengan air panas tersebut, kemudian nabiyullah Ayyub as untuk kedua kalinya menghentakkan kakinya ke bumi, terpancarlah sumber mata air dingin, ia pun kemudian minum dengan air dingin tersebut1. Dalam hemat kami, versi pertama lebih dapat diterima dikarenakan kalau merujuk kepada teks al Qur’an, yang tersebut sebatas satu hentakan bukanlah dua hendakan:
1
Muhammad Abu Syahbah, al-Israʻiliyyat Wa al-Maudhu’at Fi Kutub at-Tafsir,
Hal: 280-281.
61
(Allah berfirman), “Hentakkanlah kakimu, inilah (air) untuk mandi dan untuk minum)1. Adapun berkaitan dengan ragam ketiga dari macammacam riwayat isra’iliyyat, dimana Said An Noursi juga termasuk dalam kelompok para mufassirin yang terpengaruh dan terjebak di dalamnya adalah: kandungan riwayat isra’iliyyat yang bersikap abstain, yakni: tidak kita dapatkan pembenar atau sebaliknya dalam khazanah keislaman yang bersumber baik kepada teks Al Qur’an maupun kepada teks As Sunnah. Sebagai contoh: penyebutan Said An Noursi nama wanita yang dimaksud dalam redaksi Al Qur’an Imra’atul Aziz (istri penguasa Mesir). Dalam sebuah penafsirannya beliau berkata, “adapun perasaan rindu yang menghantarkan kepada perasaan cinta adalah seperti perasaan yang terdapat dalam diri Zulaikha seorang istri penguasa Mesir kepada sosok Yusuf”2.
1
Q.S. Shad [38]: 42.
2
Said An Noursi, Al Maktubat, Hal : 37, Terjemah : Ihsan Qasim Shaleh, Penerbit
: Sozler, Cet : Kedua (1993 M).
62
Catatan: cara berinteraksi dengan kisah Al Qur’an semacam ini, yakni: keinginan untuk mengetahui rincian dari pemaparan sebuah kisah, sebagaimana dalam kasus ini, yakni: penyebutan nama istri penguasan Mesir dalam kisahnya dengan nabi Yusuf as, dimana Al Qur’an tidak menyebutnya, demikian pula hadits yang shahih, dalam hemat kami tidak terlepas dari catatan. Diantaranya: Pertama, Al Qur’an tidak menyebut nama istri penguasa mesir, melainkan ia sebatas menyebut statusnya bukan namanya, seperti dalam firman Allah swt:
(Dan perempuan-perempuan di kota berkata, “istri Al Aziz menggoda dan merayu pelayannya untuk menundukkan dirinya, pelayannya benar-benar membuatnya mabuk cinta. Kami pasti memandang dia dalam kesesatan yang nyata.”)1.
1
Q.S. Yusuf [12]: 30.
63
Hal ini adalah dikarenakan Al Qur’an bukanlah kitab sejarah, sehingga ketika ia berkisah tidaklah sebagaimana para sejarawan berkisah yang kerap menyebut semua yang berkaitan dengan rincian dari kisah yang dikisahkannya. Al Qur’an walaupun terkandung di dalamnya banyak peparan kisah, tetapi tetap saja ia merupakan kitab petunjuk, difirmankan dalam Al Qur’an:
(Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa)1. Akan tetapi walaupun demikian, janganlah kita dilupakan bahwasannya semua yang dikisahkan dalam Al Qur’an merupakan intisari dan realitas dari sebuah kisah, tidak ada kebohongan atau pemaparan dari bagian sebuah kisah yang tidak bermakna dan mengandung pelajaran. Difirmankan dalam Al Qur’an:
1
Q.S. Al Baqarah [2]: 2.
64
(Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Al Qur’an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman)1. Kisah Al Qur’an bukanlah kisah sejarah yang menyajikan dalam setiap kisahnya: nama, tempat dan waktu yang meliputi sebuah kisah. Melainkan sebagaimana yang dikatakan diatas, kisah Al Qur’an merupakan intisari dari sebuah kisah dengan menitik beratkan pada aspek pelajaran dan pendidikan. Atas dasar itulah, kerap kali tidak kita dapatkan pemaparan yang bersifat rinci berkaitan dengan nama, tempat dan zaman dari sebuah kisah yang ada dalam Al Qur’an2. 1
Q.S. Yusuf [12]: 111.
2
Masmu’ Ahmad Abu Thalib, Shafwat Al Bayan Fi Tafsir Surah Al Kahfi, Penerbit
: Dar Ath Thiba’ah al Muhammadiyyah, Hal : 64, Cet : Pertama (1997 M).
65
Kedua, para mufassir berbeda pendapat dalam mengidentifkasi nama istri penguasa Mesir yang menggoda Yusuf, dikatakan namanya adalah: Zalikha, dalam versi yang lain, orang Yahudi menamakannya dengan: Ra’il1. Penamaan keduanya bersumber kepada riwayat yang lemah, dan tidak ada argumentasi kuat yang shahih yang dapat membenarkan salah satu dari keduanya. Melainkan semuanya sangat dimungkinkan sekali didapat dari kalangan Ahl Kitab yang masuk Islam, atau lebih dikenal dengan istilah Muslim Ahl Kitab. Ketiga, pengetahuan akan nama dari penguasa Mesir diatas, sejatinya tidaklah memiliki arti yang penting dari aspek syar’i, artinya: kalaulah pengetahuan berkaitan dengan nama tersebut adalah sesuatu yang penting, tentulah kita dapatkan penjelasannya, baik dalam teks Al Qur’an maupun teks As Sunnah. sehingga cukuplan bagi kita untuk memperhatikan sesuatu sebatas apa yang diinformasikan Al Qur’an2.
1
Ibnu Asyur, Tafsir At Tahrir Wa At Tanwir, Hal: 12/245, Cet : Dar Sahnun.
2
Yusuf Qaradhawi, Kaifa Nata’amal Ma’al Qur’an Al Azhim, Hal : 451, Penerbit :
Dar Asy Syuruq, Cet : Pertama (1999 M).
66
BAB V Penutup
Dari pemaparan penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan: -
Istilah isra’iliyyat tidak bisa dilepaskan dari sosok nabiyullah
Ya’kub
as,
dikarenakan
isra’iliyyat
merupakan sekumpulan sumber pengetahuan agama yang dimiliki oleh anak cucu beliau. -
Isra’iliyyat telah masuk dalam penafsiran Al Qur’an semenjak zaman sahabat, walaupun demikian mereka dalam berinteraksi dengan isra’iliyyat masih sesuai dengan arahan rasulullah saw, tidak seperti generasi setelah mereka.
67
-
Sangat banyak dampak negatif yang ditimbulkan dari periwayat isra’iliyyat, baik bagi sosok nabi Muhammad saw, kitab suci yang dibawanya, maupun kalangan muslim Ahl Kitab.
-
Said An Nursi walaupun tidak terlahir dari keturunan terpandang,
akan
tetapi
kepribadiannya
dapat
dijadikan sebagai panutan bagi karakter seorang Ulama. -
Kulliyyat Rasa’il An Nur merupakan kumpulan tulisan yang ditulis oleh Said An Nursi semasa hidupnya, dimana pembahasan seputar tafsir Al Qur’an disamping pembahasan seputar lintas disiplin ilmu pengetahuan yang lain termuat di dalamnya.
-
Sosok Said An Nursi merupakan sosok Ulama yang alergi dengan riwayat isra’iliyyat, hal ini dibuktikan dengan pernyataan-pernyataan negatif yang beliau tulis seputar riwayat ini.
-
Beberapa riwayat isra’iliyyat masih kita dapatkan dalam penafsiran Said An Noursi, walaupun dalam jumlah 68
yang sangat sedikit sekali, apalagi apabila dibandingkan dengan banyak dari kalangan mufassir klasik yang bercorakkan periwayatan dalam penafsiran mereka.
69
Daftar Pustaka
-
Al Qur’an Al Karim.
-
Ahmad Amin, Dhahy Al Islam, Penerbit: Lajnah At Ta’lif Wa At Tarjamah Wa An Nasyr, Cet: 1933 M.
-
Ahmad Amin, Fajr Al Islam, Penerbit: Lajnah At Ta’lif Wa At Tarjamah Wa An Nasyr, Cet: 1935 M.
-
Abdul Fattah Abu Isa, Mausu`ah Al Qadhah As Siyasiyyin “Arab Wa Ajanib”, Penerbit : Dar Usamah, Cet : Pertama (2002 M).
-
Ahmad Ibn Hambal, Musnad Ahmad, Penerbit: Alam alKutub, Cet: 1998 M.
-
At-Tuhami Naqrah, Siqulujiyyah Al Qishshah Fi Al-Qur’an, Penerbit: asy-syirkah at-Tunisiyyah Li at-Tauzi’.
-
Ibnu Asyur, Tafsir At Tahrir Wa At Tanwir, Cet : Dar Sahnun. 71
-
Ibrahim Ali `Iwadhi, Badi` Az Zaman Said An Nursi Fikruhu Wa Da`watuhu, Penerbit : Al Ma`had Al `Alami Li Al Fikr Al Islami, Hal : 255, Cet : Pertama (1997 M).
-
Ibrahim Khalifah, Ad Dakhil Fi At Tafsir, Penerbit: Fakultas Ushuluddin Univ al Azhar, Cet : 1996 M.
-
Ihsan Qasim Shaleh, Badi’ Az Zaman Said An Nursi Nadzrah ‘Ammah ‘An Hayatihi Wa Atsarihi, Penerbit : Sozler, Cet : Kedua (1996 M).
-
Jalaluddin As Suyuthi, Bughyat Al Wu’at Fi Thabaqat Al Lughawiyyin Wa An Nuhat, Penerbit : Isa Al Babi Al Halabi, Cet : Pertama (1965 M)).
-
Khalil Inalizik, Tarikh Ad Daulat Al Ustmaniyyah Min An Nusyu’ Ila Al Inhidar, Tarjamah : Muhammad Arnauth, Penerbit : Dar Al Madar Al Islami, Cet : Pertama (2002 M).
-
Masmu’ Ahmad Abu Thalib, Shafwat Al Bayan Fi Tafsir Surah Al Kahfi, Penerbit : Dar Ath Thiba’ah al Muhammadiyyah, Cet : Pertama (1997 M).
-
Muhammad Abu Syahbah, al-Israʻiliyyat Wa al-Maudhu’at Fi Kutub at-Tafsir, Penerbit : Maktabah as-Sunnah, Cet (1408 H).
72
-
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Al Bukhari, Penerbit: Dar Ibnu Katsir, Cetakan: 1987 M.
-
Muhammad Husein Adz Dzahabi, at-Tafsir Wa alMufassirun, Penerbit: Wahbah, Cet: Keenam (1995 M).
-
Muslim, Shahih Muslim (www.al-islam.com).
-
Said An Nursi, Al Kalimat, Terjemah : Ihsan Qasim Shaleh, Penerbit : Sozler, Cet : Kedua (1992 M).
-
Said An Noursi, Al Lama’at, Terjemah : Ihsan Qasim Shaleh, Penerbit : Sozler, Cet : Kedua (1993 M).
-
Said An Noursi, Al Maktubat, Terjemah : Ihsan Qasim Shaleh, Penerbit : Sozler, Cet : Kedua (1993 M).
-
Said An Nursi, Al Matsnawi Al `Arabi An Nuri, Terjemah : Ihsan Qasim Shaleh, Penerbit : Sozler, Cet : Pertama (1995 M).
-
Said An Nursi, Shaiqal Al Islam, Terjemah : Ihsan Qasim Shaleh, Penerbit : Sozler, Cet : Kedua (1995 M).
-
Yusuf Qaradhawi, Kaifa Nata’amal Ma’al Qur’an Al Azhim, Penerbit : Dar Asy Syuruq, Cet : Pertama (1999 M).
73