ISOLASI NANOSERAT SELULOSA DARI AMPAS TAPIOKA DAN APLIKASINYA SEBAGAI BAHAN PENGISI FILM TAPIOKA
RUMPOKO WICAKSONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Isolasi Nanoserat Selulosa dari Ampas Tapioka dan Aplikasinya Sebagai Bahan Pengisi Film Tapioka adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2013 Rumpoko Wicaksono NIM F361080071
RINGKASAN RUMPOKO WICAKSONO. Isolasi Nanoserat Selulosa dari Ampas Tapioka dan Aplikasinya Sebagai Bahan Pengisi Film Tapioka. Dibimbing oleh KHASWAR SYAMSU, INDAH YULIASIH dan MUHAMAD NASIR. Film berbahan dasar pati dibatasi oleh sifat mekanisnya yang buruk. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk memperbaiki sifat mekanis film tersebut yaitu menggunakan serat atau serat berukuran nano sebagai bahan penguat. Ampas tapioka, suatu hasil samping industri pati ubikayu (tapioka), merupakan salah satu sumber serat alam.Nanoserat selulosa dari sumber yang dapat diperbarui akhir-akhir ini lebih mendapat perhatian karena memiliki sifat mekanis yang baik dan ramah lingkungan. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk:(1) mendapatkan informasi tentang karakter nanoserat selulosa dari ampas tapioka yang dihasilkan menggunakan beberapa metode isolasi; (2) mengetahui sifat mekanis dan fisis film hasil aplikasi nanoserat selulosa; dan (3) mengetahui kestabilan sifat mekanis film selama penyimpanan pada kondisi kelembaban lingkungan yang berbeda. Isolasi nanoserat selulosa dari ampas tapioka dilakukan melalui tiga metode, yaitu metode I (perlakuan alkali + bleaching + mekanis), metode II (perlakuan alkali + bleaching + hidrolisis asam + mekanis), dan metode III (hidrolisis asam + mekanis). Nanoserat selulosa yang dihasilkan melalui metode I berdiameter 20-30 nm, sedangkan nanoserat selulosa yang dihasilkan melalui metode II dan metode III masing-masing 5-8 nm dengan panjang beberapa mikrometer. Kestabilan suspensi nanoserat selulosa dari metode I, II, dan III tergolong baik, ditunjukkan dengan nilai zeta potential masing-masing sebesar 46,47 mV, 52,45 mV, dan 33,75 mV. Semua metode yang diterapkan dapat meningkatkan kristalinitas bahan dari 14,52% (sebelum perlakuan isolasi) menjadi 33,25% (metode I), 39,73% (metode II), dan 31,23% (metode III). Penggunaan nanoserat selulosa dapat meningkatkan sifat kuat tarik film tapioka sebesar 2,44-2,71 N/mm2, namun cenderung menurunkan pemanjangan putus film, sebesar 16,51-31,14%. Laju transmisi uap air yang dihasilkan sebesar 143,21-166,56 g/m2.hari dan nilai permeabilitas film tehadap uap air sebesar 28,52-31,98 g.mm/m2.hari.kPa. Penambahan nanoserat selulosa juga menurunkan transparansi film. Kondisi penyimpanan dengan RH 75% selama tujuh hari menyebabkan nilai kuat tarik film secara umum meningkat dan nilai pemanjangan putusnya menurun. Nilai modulus elastisitas film mengalami peningkatan, menunjukkan bahwa kekakuan film makin bertambah selama periode penyimpanan yang diamati. Kondisi penyimpanan dengan RH 97% selama tujuh hari menyebabkan nilai kuat tarik film secara umum menurun dan nilai pemanjangan putusnya menurun. Nilai modulus elastisitas film cenderung turun, menunjukkan bahwa struktur film makin lunak selama periode penyimpanan yang diamati. Kestabilan suspensi nanoserat selulosa tidak hanya mencerminkan kemampuannya untuk terdistribusi secara baik dalam matriks film, namun juga terkait dengan kristalinitas nanoserat selulosa yang selanjutnya berpengaruh
terhadap sifat mekanis film, meningkatkan keefektifan nanoserat selulosa sebagai penahan transmisi uap air, dan menunjang sifat transparansi film. Nanoserat selulosa dengan kristalinitas yang tinggi tidak hanya menunjang peningkatan kekuatan film, namun dapat meningkatkan keefektifan film sebagai penahan transmisi uap air, serta menekan penurunan transparansi film akibat penggunaan bahan pengisi. Kata kunci: nanoserat selulosa, ampas tapioka, bahan pengisi, film tapioka
SUMMARY RUMPOKO WICAKSONO. Isolation of Cellulose Nanofibers from Cassava Bagasse and Its Use as Tapioca-Film Filler. Supervised by KHASWAR SYAMSU, INDAH YULIASIH and MUHAMAD NASIR. Starch-based films limit their application due to poor mechanical properties. An effort to overcome these poor characteristics was using fibers or nanofibers as reinforcement filler. Cassava bagasse, a solid by-product of cassava starch industry, is a source of natural fibers. Cellulose nanofibers from the renewable sources have gained more attention in recent years because of their exceptional mechanical properties and environmental friendly. This research aims: (1) to know of cellulose nanofibers character produced from cassava bagasse; (2) to know physical and mechanical properties of film produced by application of cellulose nanofibers; and (3) to know of mechanical properties stability of film during storage at different environmental humidity conditions. Cellulose nanofibres from cassava bagasse were obtained by three methods, namely method I (alkali treatment + bleaching + mechanical treatment), method II (alkali treatment + bleaching + acid hydrolysis + mechanical treatment), and method III (acid hydrolysis + mechanical treatment). Cellulose nanofibers produced from method I have diameter of 20-30 nm, while cellulose nanofibers produced from method II and III have diameter of 5-8 nm with several micrometer of length. Cellulose nanofibers suspension have good stability, indicated by zeta potential value of method I, II, and III are 46.47 mV, 52.45 mV, and 33.75 mV, respectively. All method improved crystallinity of fibers from 14.52% in cassava bagasse to 33.25% (method I), 39.73% (method II), and 31.23% (method III). It was observed that the addition of cellulose nanofibers was improved tensile strength of films as much as 2.44-2.71 N/mm2, but tends to decrease of elongation at break as much as 16.51-31.14%. Water vapour transmission rate of film in range 143.21-166.56 g/m2.day and water vapoor permeability of film is 28.52-31.98 g.mm/m2.day.kPa. The addition of cellulose nanofibers also decreased the transparency of film. Storage condition with RH 75% for seven days cause tensile strength generally increased but elongation at break is decreased. Modulus of elasticity of film has increased during storage, indicating that the film stiffness also increased. Storage condition with RH 97% for seven days caused tensile strength and elongation at break decreased. Modulus of elasticity of film tends to decrease, indicating film structure getting soft during storage. Stability of cellulose nanofibers suspension not only reflects its ability to be well distributed in the matrix of the film, but also related to the crystallinity of cellulose nanofibers, further affect the mechanical properties of the film, improving the effectiveness cellulose nanofibers as a water vapour transmission barrier, and to support the transparency properties of the film. Cellulose nanofibers with higher crystallinity not only support the increased the strength of
the film, but it can increase the effectiveness of the film as a water vapour transmission barrier, as well as inhibit the reduction of film transparency due to the use of fillers. Keywords: cellulose nanofibers, cassava bagasse, filler, tapioca-film
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ISOLASI NANOSERAT SELULOSA DARI AMPAS TAPIOKA DAN APLIKASINYA SEBAGAI BAHAN PENGISI FILM TAPIOKA
RUMPOKO WICAKSONO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Liesbetini Hartoto, M.S. 2. Dr. Akhiruddin Maddu, M.Si. Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Nugraha Edhi Suyatma, S.TP., DEA 2. Dr. Nurul Taufiqu Rochman, Ph.D., M.Eng.
Judul Disertasi : Isolasi Nanoserat Selulosa dari Ampas Tapioka Aplikasinya Sebagai Bahan Pengisi Film Tapioka Nama : Rumpoko Wicaksono NIM : F361080071
dan
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr.Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc. Ketua
Dr. Indah Yuliasih, S.TP., M.Si. Anggota
Dr. Eng. Muhamad Nasir Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Machfud, M.S.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal Ujian: 22Agustus 2013
Tanggal Lulus: 30 Agustus 2013
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Komisi Pembimbing, yaitu Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc., Dr. Indah Yuliasih, S.TP., M.Si., dan Dr. Eng. Muhamad Nasir, yang telah memberi arahan dan masukan selama penelitian dan penulisan disertasi ini. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian beserta pengelola dan staf yang sudah banyak membantu dan memberi layanan yang baik selama penulis menjadi mahasiswa.Selain itu, ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak Pimpinan Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberi izin penulis untuk menempuh studi di Sekolah Pascasarjana IPB, serta kepada pihak DIKTI yang telah memberi dukungan melalui pemberian beasiswa BPPS.Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga besar penulis atas segala doa dan dukungannya, serta kepada semua pihak yang telah berjasa dalam memperlancar kegiatan studi penulis, termasuk pihak pengelola jurnal ilmiah yang telah menerima sebagian karya ini untuk dipublikasikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2013 Rumpoko Wicaksono
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xv
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah dan Kebaruan (Novelty) Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 2 5 5 5
2 TINJAUAN PUSTAKA Potensi dan Kendala Pemanfaatan Serat Selulosa Nanoserat Selulosa Pemanfaatan Limbah atau Produk Samping Agroindustri Sebagai Bahan Baku Nanoserat Selulosa dan Aplikasinya Dalam Pembuatan Film
14
3 ISOLASI DAN KARAKTERISASI NANOSERAT SELULOSA DARI AMPAS TAPIOKA Pendahuluan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
18 19 21 33
4 APLIKASI NANOSERAT SELULOSA DARI AMPAS TAPIOKA SEBAGAI BAHAN PENGISI FILM TAPIOKA Pendahuluan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
34 35 37 45
5 PENGARUH KELEMBABAN RELATIF RUANG PENYIMPANAN TERHADAP KESTABILAN SIFAT MEKANIS FILM TAPIOKA Pendahuluan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
46 47 49 52
6 PEMBAHASAN UMUM
55
Simpulan
6 8
65
7 SIMPULAN DAN SARAN
66
DAFTAR PUSTAKA
68
LAMPIRAN
76
RIWAYAT HIDUP
83
DAFTAR TABEL 1 Dimensi nanoserat selulosa 2 Nanoserat selulosa dari limbah atau hasil samping agroindustri dan metode isolasinya 3 Hasil pengamatan FTIR 4 Transmitansi film pada panjang gelombang cahaya tampak 5 Transmitansi film pada panjang gelombang cahaya ultraviolet
10 16 28 44 45
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Kerangka pikir perumusan masalah Unit glukopiranosa selulosa Konfigurasi selulosa Model struktur serat selulosa Diameter serat selulosa dan kekuatan mekanisnya Hasil scanning electron microscope (SEM) nanofibrils Hasil pengamatan menggunakan atomic force microscopy (AFM) dan bagan daerah kristal dan amorf nanoserat selulosa Hasil transmission electron microscope (TEM) wiskers Metode isolasi nanoserat selulosa dari ampas tapioka Hasil pengamatan SEM terhadap ampas tapioka dengan perbesaran 20 X (A) dan 100 X (B) Hasil pengamatan TEM terhadap morfologi nanoserat selulosa Reaksi umum oksidasi unit aromatik lignin dan hidrolisisnya dalam alkali Hasil pengamatan TEM terhadap nanoserat selulosa ampas tapioka melalui hidrolisis asam Nilai zeta potential suspensi nanoserat selulosa Spektrum FTIR ampas tapioka Spektrum FTIR nanoserat selulosa metode I Spektrum FTIR nanoserat selulosa metode II Spektrum FTIR nanoserat selulosa metode III Substruktur lignin ferulic acid (A) dan p-coumaric (B) Struktur dasar hemiselulosa Gugus fungsional lignin Ikatan β-1-4 glikosida Difraktogram ampas tapioka Difraktogram nanoserat selulosa Struktur selulosa I dan II Pengaruh jenis serat terhadap kuat tarik film Pengaruh kadar serat terhadap kuat tarik film Pengaruh jenis serat terhadap pemanjangan putus film Pengaruh kadar serat terhadap pemanjangan putus film Pengaruh jenis serat terhadap laju transmisi uap air
4 6 6 8 9 9 10 11 20 22 23 24 24 25 26 26 27 27 28 28 29 29 30 31 32 38 38 40 40 41
31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53
Pengaruh jenis serat terhadap permeabilitas film terhadap uap air Pengaruh kadar serat terhadap laju transmisi uap air Pengaruh kadar serat terhadap permeabilitas uap air Kuat tarik film tapioka selama penyimpanan Perubahan bobot film selama penyimpanan Pemanjangan putus film selama penyimpanan Modulus elastisitas film selama penyimpanan Reaksi ikatan gugus sulfat pada permukaan nanoserat selulosa Hubungan antara ZP dan indeks kristalinitas nanoserat selulosa Hubungan antara nilai ZP dan kuat tarik film Hubungan antara ZP nanoserat selulosa dan pemanjangan putus film Hubungan antara ZP dan laju transmisi uap air film Hubungan antara ZP dan permeabilitas film terhadap uap air Jalur difusi uap air dengan adannya nanoserat selulosa Hubungan antara ZP dan transmitansi rata-rata pada gelombang cahaya tampak Hubungan antara ZP dan transmitansi rata-rata pada gelombang cahaya ultraviolet Hubungan antara indeks kristalinitas dan kuat tarik film Hubungan antara kristalinitas dan pemanjangan putus film Hubungan kristalinitas dan laju transmisi uap air Hubungan kristalinitas dan permeabilitas film terhadap uap air Diagram absorpsi uap air secara langsung dan tidak langsung pada permukaanserat Hubungan antara indeks kristalinitas dan transmitansi rata-rata pada gelombang cahaya tampak Hubungan antara indeks kristalinitas dan transmitansi rata-rata pada gelombang cahaya ultraviolet
42 42 43 49 50 51 52 53 54 55 56 57 57 58 59 59 60 61 62 62 63 64 64
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Analisis statistik kuat tarik film Analisis statistik pemanjangan putus film Analisis statistik laju transmisi uap air Analisis statistik permeabilitas film terhadap uap air film Analisis statistik kuat tarik film selama penyimpanan Analisis statistik pemanjangan putus film selama penyimpanan Analisis statistik modulus elastisitas film selama penyimpanan
76 77 78 79 80 81 82
1
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Pati merupakan bahan yang banyak digunakan sebagai bahan baku maupun sebagai bahan campuran dalam pembuatan kemasan ramah lingkungan. Pati mudah diperoleh, dapat diperbarui, dan dapat terbiodegradasi, sehingga berpotensi sebagai bahan alternatif pengganti plastik sintetis untuk aplikasi pengemasan (Savadekar dan Mhaske 2012). Tapioka merupakan salah satu jenis pati yang banyak diteliti dan digunakan sebagai bahan baku kemasan ramah lingkungan, terutama di daerah tropis. Sifat fisis dan mekanis film berbahan dasar pati pada umumnya masih lebih rendah dibandingkan dengan film berbahan dasar petrokimia. Sifat penting yang harus diperhatikan dalam pembuatan film adalah kekuatan, kelenturan, dan kestabilannya selama pemakaian dan penyimpanan. Alternatif peningkatan kekuatan film dapat ditempuh dengan cara menggunakan bahan pengisi (filler) yang bersifat memperkuat (reinforcement). Bahan pengisi dapat berfungsi secara ekonomis dan teknis. Secara ekonomis, penggunaan bahan pengisi dapat menekan biaya produksi jika harganya lebih murah daripada polimer utamanya, sedangkan secara teknis, dapat memodifikasi polimer utamanya menjadi bahan dengan sifat yang dikehendaki, seperti meningkatkan kekakuan pada bahan yang terlalu lentur, meningkatkan kekuatan, mengurangi kerutan dan kecenderungan untuk bengkok (Xanthos 2010). Salah satu bahan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan pengisi adalah serat alam. Serat alam lignoselulosa merupakan salah satu biopolimer yang paling banyak di muka bumi, sehingga mudah diperoleh di berbagai daerah (Siró dan Plackett 2010). Serat alam juga memiliki beberapa keunggulan dari segi ekonomi, lingkungan, dan teknis. Energi yang diperlukan untuk memproduksi serat alam relatif rendah dan tidak memerlukan peralatan khusus yang mahal, dapat diperbarui dan tidak menghasilkan karbondioksida yang berlebih jika dibakar atau dikomposkan, sehingga menguntungkan dari segi lingkungan (John dan Thomas 2008). Serat alam juga memiliki bobot jenis yang ringan, namun mampu menghasilkan kekuatan yang tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai bahan penguat dan bersifat nonabrasif bagi alat pencampuran dan pencetakan. Kemampuan serat alam sebagai bahan pengisi penguat telah dibuktikan pada produk berbahan dasar polietilen (Menezes et al. 2009; Prachayawarakorn et al. 2010), karet alam (Bras et al. 2010; Pasquini et al. 2010), pati termoplastik (Ma et al. 2005; Teixeira et al. 2009), polipropilen (Qiu et al. 2006; Reddy dan Yang 2009; Kengkhetkit dan Amornsakchai 2012), serta pati (Famá et al. 2009; Dias et al. 2011). Penggunaan serat tidak hanya memberi penguatan saja, namun juga dapat memberi efek penahanan, antara lain meningkatkan kemampuan penahanan film pati terhadap uap air (Müller et al. 2009a; Belbekhouce et al. 2011), penahanan terhadap oksigen dan minyak (Aulin et al. 2010). Penggunaan serat juga dapat meningkatkan kemampuan biodegradasi karet alam (Bras et al. 2010),
2 memudahkan pembentukan film amilopektin (Rubio et al. 2007), dan meningkatkan kestabilan panas pati termoplastik (Ma et al. 2005; Chang et al. 2010). Salah satu sumber serat selulosa yang penting untuk industri adalah kayu. Adanya kompetisi kebutuhan penggunaan di bidang lain, seperti sektor bangunan, perabotan, industri kertas, dan energi, menimbulkan tantangan untuk mencari sumber selulosa dari selain tanaman berkayu keras. Oleh karena itu, sumber selulosa yang berasal dari tanaman nonkayu keras, seperti rami, hemp, sisal, dan lain-lain, berpotensi untuk dieksplorasi. Bahan nonkayu sebagai sumber serat alam memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan kayu, antara lain dapat dipanen dalam waktu yang lebih singkat, mudah dibudidaya, sehingga dapat mengurangi eksploitasi penebangan hutan untuk memenuhi kebutuhan serat alam untuk kepentingan industri (Subyakto et al. 2009). Selain itu, limbah pertanian atau hasil samping agroindustri yang kaya serat juga menjadi alternatif dalam perolehan serat selulosa. Limbah pengolahan hasil pertanian pada umumnya juga mengandung sedikit lignin karena sudah terbuang pada proses pengolahan, sehingga memudahkan dalam mendapatkan serat (Siró dan Plackett 2010). Ampas tapioka merupakan sisa ekstraksi pati ubi kayu. Ubi kayu merupakan salah satu tanaman perkebunan penting di Indonesia. Produksi ubi kayu nasional pada tahun 2010 mencapai 23.918.118 ton (KEMENTAN 2012). Sekitar 26% ubi kayu digunakan sebagai bahan baku dalam industri tapioka (Hermiati et al. 2012). Ekstraksi tapioka dari 100 kg ubi kayu menghasilkan tapioka kasar sekitar 22 kg dan limbah padat berupa ampas tapioka sebanyak 54,5 kg (Fauzi et al. 2010). Ketersediaan ampas tapioka di Indonesia di tahun 2011 mencapai 11.328.986 kg (BPS, 2013). Apabila ampas tapioka tidak diproses lebih lanjut menjadi produk lain, dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Perkembangan nanoteknologi di berbagai bidang, menarik peneliti untuk mengisolasi serat berukuran nano. Hal ini terkait dengan adanya sifat atau fenomena baru yang muncul jika materi tersebut digunakan pada skala nano akibat perubahan sifat fungsional bahan, terkait dengan perubahan sifat dispersinya (Lin et al. 2009), peningkatan luas permukaan partikel yang dapat memfasilitasi terbentuknya interaksi yang lebih besar dengan bahan lain, sehingga dapat meningkatkan efisiensi penguatan (Liang dan Pearson 2009). Sehubungan dengan hal tersebut, terbuka peluang untuk memanfaatkan limbah hasil pertanian yang kaya selulosa dengan pendekatan nanoteknologi dengan harapan dapat meningkatkan daya guna bahan yang dihasilkan. Perumusan Masalah dan Kebaruan (Novelty) Penelitian Ampas tapioka merupakan limbah padat industri tapioka yang dihasilkan dalam jumlah yang cukup besar, yaitu sekitar 50% dari bahan baku yang digunakan. Ampas tapioka masih mengandung sisa pati dan serat dengan kadar air yang masih cukup tinggi, sekitar 70%, dan berpotensi mencemari lingkungan jika tidak dimanfaatkan. Ampas tapioka telah dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pakan ternak, bioetanol, dan lain-lain. Kandungan serat dalam ampas
3 tapioka berpotensi untuk digunakan sebagai bahan pengisi untuk memperbaiki sifat fisis dan mekanis film. Penggunaan serat tidak terbatas dalam bentuk utuhnya saja, namun dikembangkan dalam bentuk selulosa murninya. Serat tersusun atas lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Kadar lignin dalam ampas tapioka mencapai 2,83%, selulosa 15,63%, dan hemiselulosa 4,58% (Rattanachomsri et al. 2009). Perkembangan aplikasi nanoteknologi di berbagai bidang, menarik peneliti terkait untuk mengekstraksi serat hingga berukuran nano atau 10-9 meter. Hal ini terkait dengan adanya sifat atau fenomena baru yang muncul jika materi tersebut diaplikasikan pada skala nano akibat perubahan sifat fungsional bahan. Perubahan ini berhubungan dengan perubahan sifat dispersinya (Lin et al. 2009), peningkatan luas permukaan partikel yang dapat memfasilitasi terbentuknya interaksi yang lebih besar dengan bahan lain, sehingga dapat meningkatkan efisiensi penguatan (Liang dan Pearson 2009). Berdasarkan potensi ketersediaan ampas tapioka dan pengaruh positif penggunaan serat selulosa, serta adanya peluang untuk perubahan sifat bahan yang lebih baik akibat aplikasi serat berukuran nano, maka perlu dikaji penggunaan serat nanoselulosa dalam pembuatan film. Teixeira et al. (2009) telah melakukan isolasi nanoserat selulosa dari ampas tapioka dan digunakan sebagai bahan penguat pati termoplastik. Isolasi dilakukan secara langsung dari bahan baku dengan metode hidrolisis asam dan ultrasonikasi. Perlakuan hidrolisis menggunakan asam kuat merupakan metode yang umum dilakukan untuk mengisolasi nanoserat selulosa, terutama untuk menghasilkan whiskers. Perlakuan hidrolisis asam juga dapat digunakan untuk menghidrolisis hemiselulosa menjadi xilosa dan gula lain, serta selanjutnya xilosa terdegradasi membentuk furfural. Asam juga dapat menghidrolisis polisakarida lain seperti residu pati menjadi gula sederhana (Adel et al. 2010). Serat selulosa pada dasarnya tersusun atas nanoserat selulosa yang disatukan oleh hemiselulosa. Serat-serat elementer dan hemiselulosa dilindungi oleh lapisan lignin (John dan Thomas 2008). Lignin dapat dihilangkan dengan perlakuan bleaching (pemucatan), sehingga teroksidasi dan lebih mudah larut dalam alkali (Gellerstedt 2010). Larutan alkali juga diketahui dapat menghidrolisis hemiselulosa (Abe dan Yano 2009). Penghilangan lignin dan hemiselulosa akan memudahkan proses isolasi nanoserat selulosa. Penghilangan bahan non-selulosa, terutama lignin, diharapkan dapat meningkatkan adhesi antara serat selulosa dan matriks film yang bersifat hidrofilik, seperti pati (Abraham et al. 2011). Lignin merupakan bahan yang relatif hidrofobik dan amorf. Penghilangan lignin dan bahan non-selulosa lain dapat meningkatkan interaksi antara serat dengan matriks film berbasis pati (Azeredo et al. 2012). Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan lain dalam mengisolasi nanoserat selulosa dari ampas tapioka, yaitu melibatkan perlakuan alkali dan bleaching. Informasi tentang pengaruh penggunaan nanoserat selulosa sebagai bahan pengisi film berbahan dasar tapioka masih terbatas, sehingga penelitian ini juga mengkaji pengaruh penggunaan nanoserat selulosa yang dihasilkan sebagai bahan pengisi film berbahan dasar tapioka, serta evaluasi kestabilan sifat film yang dihasilkan jika disimpan selama waktu tertentu pada kelembaban lingkungan yang berbeda. Kerangka pikir perumusan masalah dan kajian penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
4
FILM BERBASIS PATI AMPAS TAPIOKA
KONDISI
Ketersediaan dan kandungan serat sisa ekstraksi pati
PERMASALAHAN
ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH
KETERBATASAN INFORMASI
RUANG LINGKUP KAJIAN
Pati merupakan bahan yang banyak digunakan sebagai bahan dasar pembuatan film ramah lingkungan Tapioka merupakan salah satu pati yang mudah didapatkan di Indonesia
Kendala sifat mekanis dan fisis film berbahan dasar pati
Potensi pencemaran lingkungan
Peningkatan nilai tambah ampas tapioka dengan menjadi bahan baku nanomaterial
Isolasi nanoserat selulosa dari ampas tapioka dengan perlakuan alkali dan bleaching
Evaluasi sifat nanoserat selulosa
Penggunaan nanoserat selulosa dari ampas tapioka untuk memperbaiki sifat mekanis dan fisis film
Pengaruh penggunaan nanoserat selulosa dari ampas tapioka terhadap sifat mekanis dan fisis film tapioka
Evaluasi sifat mekanis dan sifat fisis film tapioka
Gambar 1 Kerangka pikir perumusan masalah
Kestabilan mekanis film berbahan pengisi nanoserat selulosa dari ampas tapioka selama penyimpanan Evaluasi kestabilan mekanis film tapioka berbahan pengisi nanoserat selulosa selama penyimpanan
5 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk: (1) mengetahui karakter nanoserat selulosa dari ampas tapioka yang dihasilkan menggunakan beberapa metode isolasi; (2) mengetahui sifat mekanis dan fisis film hasil aplikasi nanoserat selulosa; dan (3) mengetahui kestabilan sifat mekanis film selama penyimpanan pada kondisi kelembaban lingkungan yang berbeda.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai salah satu sumber informasi tentang isolasi dan penggunaan nanoserat selulosa dari ampas tapioka untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi selanjutnya dan aplikasinya di bidang industri. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian metode isolasi nanoserat selulosa dari ampas tapioka dan karakterisasi nanoserat selulosa yang dihasilkan, kajian pengaruh penggunaan nanoserat selulosa yang dihasilkan terhadap sifat mekanis dan fisis film tapioka yang dihasilkan, serta evaluasi kestabilan sifat mekanis film pada kondisi kelembaban lingkungan penyimpanan yang berbeda. Sumber ampas tapioka diperoleh dari industri kecil tapioka di daerah Purbalingga, metode isolasi yang digunakan merupakan gabungan metode kimia dan mekanis. Metode kimia menggunakan bahan berupa alkali (KOH), bleaching agent (NaClO2), dan asam sulfat, dilanjutkan dengan perlakuan mekanis menggunakan mixer. Nanoserat selulosa yang dihasilkan diaplikasikan sebagai bahan pengisi film dengan konsentrasi 0-4% dari berat kering tapioka sebagai bahan dasar pembuatan film. Film yang terpilih dievaluasi sifat kestabilannya selama 7 hari penyimpanan pada RH 75% dan 97%.
6
2 TINJAUAN PUSTAKA Potensi dan Kendala Pemanfaatan Serat Selulosa Serat alam lignoselulosa mudah ditemukan di berbagai daerah, sehingga ketersediaannya berlimpah dan merupakan salah satu biopolimer yang paling banyak di muka bumi. Serat alam secara umum dapat dikelompokkan berdasarkan asalnya, yaitu berasal dari tanaman, hewan, dan mineral. Serat asal tanaman dapat dikelompokkan berdasarkan sumbernya, antara lain serat batang, serat daun, serat biji, serat buah, dan sebagainya. Komposisi kimia serat tanaman tergantung pada umur, asal serat, dan metode isolasinya (Sheltami et al. 2012). Serat alam berupa serat selulosa terdapat pada kayu, kapas, rami, dan sebagainya, berfungsi untuk memperkuat struktur tanaman. Selain itu, selulosa dapat pula disintesis oleh ganggang dan beberapa bakteri (Siró dan Plackett 2010). Selulosa tersusun atas rantai polimer tidak bercabang dengan ikatan β-1-4 antara unit-unit glukosa dengan rumus empiris (C6H10O5)n. Panjang rantai selulosa dipengaruhi oleh sumbernya. Derajat polimerisasi selulosa berkisar dari beberapa ratus sampai sepuluh ribu unit glukosa. Selulosa memiliki tiga gugus hidroksil yang terletak pada posisi C2 dan C3 (gugus hidroksil sekunder) dan C6 (gugus hidroksil primer). Unit glukopiranosa selulosa dan konfigurasi selulosa dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3. Gugus hidroksil dapat membentuk ikatan hidrogen intramolekuler dan antarmolekuler. Ikatan hidrogen tersebut memungkinkan pembentukan struktur kristal tiga dimensi yang sangat teratur (Khalil et al. 2012).
Gambar 2 Unit glukopiranosa selulosa (Kamide 2005)
Gambar 3 Konfigurasi selulosa (Kamide 2005)
7 Pemanfaatan serat alam hingga kini menarik perhatian terutama bagi kalangan industri, terkait dengan berbagai keunggulannya, baik dari segi ekonomi, teknis, dan lingkungan. Biaya untuk memperoleh serat selulosa relatif murah dan tidak memerlukan peralatan khusus yang mahal. Secara teknis, serat alam bersifat nonabrasif bagi alat pencampuran dan pencetakan. Keunggulan serat alam ditinjau dari aspek lingkungan, yaitu terkait dengan sifatnya yang dapat diperbarui, memerlukan energi yang rendah dalam memproduksinya, serta tidak menghasilkan karbondioksida yang berlebih jika dibakar atau dikomposkan (John dan Thomas 2008). Serat selulosa juga memiliki bobot jenis yang ringan, namun mampu menghasilkan kekuatan yang tinggi sebagai bahan penguat komposit, antara lain sebagai penguat komposit polietilen (Menezes et al. 2009; Prachayawarakorn et al. 2010), karet alam (Bras et al. 2010; Pasquini et al. 2010), komposit pati termoplastik (Ma et al. 2005; Teixeira et al. 2009), polipropilen (Qiu et al. 2006; Reddy dan Yang 2009; Kengkhetkit dan Amornsakchai 2012), serta film berbahan dasar pati (Famá et al. 2009; Dias et al. 2011). Serat selulosa juga berperan penting dalam meningkatkan ketahanan film pati terhadap uap air (Müller et al. 2009a; Belbekhouce et al. 2011), meningkatkan sifat penahanan terhadap oksigen dan minyak (Aulin et al. 2010), meningkatkan kemampuan biodegradasi, misalnya pada karet alam (Bras et al. 2010) dan komposit polycaprolactone (Ludueña et al. 2012), memudahkan pembentukan film amilopektin (Rubio et al. 2007), meningkatkan kestabilan panas pati termoplastik (Ma et al. 2005; Chang et al. 2010), dapat digunakan sebagai tempat sintesis bahan pengisi lain, misalnya pembentukan nanopartikel CaCO3 di permukaan serat (Vilela et al. 2010), serta digunakan dalam aplikasi medis, misalnya sebagai bahan komposit dalam implan kardiovaskular, kateter, dan kulit buatan (Cherian et al. 2011). Sifat serat selulosa yang membatasi penggunaannya secara luas adalah sifat hidrofilnya. Sifat ini menghambat terjadinya pencampuran yang merata apabila digunakan sebagai bahan pengisi produk termoplastik yang bersifat nonpolar. Sifat hidrofil akan memudahkan penyerapan uap air, sehingga menghasilkan ruang terbuka antarmuka yang selanjutnya akan menurunkan sifat mekanisnya dan mengurangi kestabilan dimensi produknya (John dan Thomas 2008). Serat selulosa juga tidak dapat diproses pada suhu lebih dari 200oC karena akan mudah terdegradasi, sehingga tidak dapat digunakan bersama dengan bahan lain yang memerlukan titik leleh lebih tinggi dalam prosesnya untuk membentuk bahan komposit. Serat selulosa, sebagaimana biopolimer lainnya, mampu terbiodegradasi atau dapat diurai oleh mikroorganisme. Sifat ini menguntungkan jika ditinjau dari aspek lingkungan. Namun, di sisi lain sifat ini juga perlu diperhatikan, mengingat bahan yang dapat terbiodegradasi tidak tahan lama atau rentan busuk dalam pemakaian, penyimpanan, pengangkutan, dan pengolahan (John dan Thomas 2008). Peran serat selulosa sebagai bahan pengisi penguat polimer dibatasi oleh sifatnya yang polar, sehingga kurang bermanfaat untuk digunakan sebagai bahan pengisi matriks polimer yang bersifat nonpolar, seperti polietilen dan polipropilen. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu modifikasi serat selulosa maupun formula yang digunakan agar serat selulosa lebih sesuai untuk digunakan sebagai bahan pengisi polimer nonpolar (Khalil et al. 2012). Peningkatan kompatibilitas dapat
8 dilakukan melalui pembentukan grafting dengan maleic anhidride (Qiu et al. 2006; Prachayawarakorn et al. 2010), poly(ε-caprolactone) (Lönnberg et al. 2008), hexanoyl chloride, lauroyl chloride, stearoyl chloride (Menezes et al. 2009), dan vinyltrimethoxy silane (Prachayawarakorn et al. 2010), maupun dengan modifikasi selulosa dengan zirconium oxychloride (Mulinari et al. 2009). Peningkatan kompatibilitas ini meningkatkan keterpaduan bahan, sehingga sifat mekanisnya lebih baik, serta diketahui juga dapat meningkatkan kestabilan termalnya (Wang et al. 2005), terutama apabila yang digunakan adalah serat dengan kristalinitas tinggi (Kim et al. 2010; Ma et al. 2011). Kompatibilitas serat selulosa sebagai penguat polimer hidrofob tampak meningkat dengan mereduksi ukuran serat menjadi nano. Penggunaan nanoserat selulosa dari ampas tapioka tampak meningkatkan sifat mekanis karet dan meningkatkan permeabilitas uap air dalam matriks karet (Bras et al. 2010). Uap air berdifusi melalui permukaan atau zona amorf serat yang bersifat lebih hidrofil (Phan et al. 2005; Aulin et al. 2010). Nanoserat Selulosa Serat selulosa pada dasarnya tersusun atas agregat serat yang berukuran lebih kecil hingga berskala nanometer. Satu berkas serat terdiri atas sejumlah serat elementer yang dihubungkan dengan hemiselulosa. Serat-serat elementer dan hemiselulosa dilindungi oleh lapisan lignin. Model struktur nanoserat selulosa dapat dilihat pada Gambar 4.
Serat elementer selulosa Hemiselulosa Lignin
Gambar 4 Model struktur serat selulosa (John dan Thomas 2008) Perubahan ukuran dari serat selulosa menjadi nanoserat selulosa menyebabkan perubahan sifat serat. Sifat tersebut meliputi sifat morfologi, sifat fisis dan kimia, dan sifat termal. Salah satu indikator telah terbentuknya nanoserat selulosa ditunjukkan dengan terbentuknya massa seperti gel (Jonoobi et al. 2012). Penurunan ukuran serat dalam pulp, yaitu sekitar 10-40 µm menjadi di bawah 100
9 nm dapat menyebabkan peningkatan nilai kuat tarik serat. Kumara et al. (2009) mengilustrasikan perubahan sifat mekanis terkait dengan perubahan ukuran seperti yang disajikan pada Gambar 5.
Pulp (1-10 GPa)
Serat mikro (10-25 GPa)
Whiskers (70-40 GPa)
Gambar 5 Diameter serat selulosa dan kekuatan mekanisnya (Kumara et al. 2009) Hasil disintegrasi serat menghasilkan nanoserat selulosa yang dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu nanofibrils dan nanowhiskers atau hanya disebut whiskers). Nanofibrils berbentuk serat panjang dan fleksibel serta masih memiliki bagian yang bersifat kristal dan amorf dalam satu berkas serat (Gambar 6 dan 7). Bentuk ini pada umumnya diperoleh dari proses mekanis atau dibentuk secara alami oleh bakteri penghasil selulosa.
Gambar 6 Hasil scanning electron microscope (SEM) nanofibrils (Khalil et al. 2012)
10
Kristal Amorf
Gambar 7 Hasil pengamatan menggunakan atomic force microscopy (AFM) dan bagan daerah kristal dan amorf nanoserat selulosa (Bhattacharya et al. 2008) Nanowhiskers diperoleh dari proses hidrolisis material yang berasal dari tumbuhan. Bentuknya lebih pendek atau mirip jarum dengan bagian kristal yang lebih besar karena bagian amorf sudah dihidrolisis dengan menggunakan asam kuat (Gambar 8). Bagian amorf rantai selulosa lebih mudah dihidrolisis oleh asam, sehingga menyisakan rantai pendek yang bersifat kristal (Sheltami et al. 2012). Nanofibrils dan nanowhiskers secara umum disebut dengan nanofibres atau serat nano (Eichhorn et al. 2010). Terdapat istilah lain dalam penyebutan jenis nanoserat selulosa, seperti yang banyak digunakan dalam jurnal penelitian tentang nanoserat selulosa. Istilah lain untuk nanofibrils, meliputi microfibrillated cellulose, microfibrillar cellulose, microfibril, microfibril aggregates, atau nanofibrillar cellulose (Siró dan Plackett 2010). Whiskers dalam berbagai jurnal juga dikenal dengan istilah cellulose nanocrystals, cellulose crystallites, atau crystals (Cherian et al. 2011). Perbedaan nanoserat selulosa dapat pula ditinjau dari segi dimensinya, seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Dimensi nanoserat selulosa (Khalil et al. 2012) Struktur selulosa Microfibril Microfibrillated cellulose Cellulose whisker Microcrystalline cellulose
Diameter (nm) 2-10 10-40 2-20 >1000
Panjang (nm) >10.000 >1000 100-600 >1000
Aspect ratio (P/D) >1000 100-150 10-100
~1
11
Gambar 8
Hasil transmission electron microscope (TEM) wiskers (Cao et al. 2012)
Proses pembuatan material berskala nano dapat dilakukan melalui pengecilan ukuran dengan berbagai metode, sehingga tercapai material dengan ukuran nano (pendekatan top-down), atau dilakukan melalui penyusunan atau perakitan atom atau molekul menjadi struktur yang lebih besar atau supramolekuler (pendekatan bottom-up). Pembuatan material nano dari bahan alam umumnya menggunakan pendekatan top-down. Publikasi pembuatan nanoserat selulosa secara bottom-up masih jarang. Salah satunya penggunaan electrospinning untuk merakit serat selulosa dari selulosa dalam larutan tertentu, misalnya N, N-dimethylformamide. Proses electrospinning dilakukan dengan cara mengalirkan larutan ke dalam syringe dengan kecepatan 1 ml/jam. Ujung jarum diberi muatan positif 20 kV, sedangkan aluminum foil sebagai kolektor serat yang terletak 20 cm dari jarum diberi muatan negatif 3 kV (Dong et al. 2012). Serat berskala nano diperoleh melalui proses disintegrasi serat selulosa, melalui proses nonkimiawi, proses kimiawi, dan perpaduan dua proses tersebut. Proses nonkimiawi dilakukan dengan menggunakan beberapa metode antara lain metode berdasarkan tekanan, seperti homogenisasi (Bhattacharya et al. 2008); steam explosion (Ibrahim et al. 2010; Kaushik et al. 2010); dan berdasarkan gaya shear, misalnya grinding (Abe dan Yano 2009). High pressure homogenizer digunakan pada metode homogenisasi untuk memperkecil ukuran serat atau partikel dengan memanfaatkan gaya shear akibat pembatasan aliran secara mendadak di bawah tekanan tinggi melalui suatu katup (Sanguansri dan Augustin 2006). Pembukaan dan penutupan katup akibat adanya pegas menyebabkan terjadinya perubahan tekanan yang besar, sehingga serat atau partikel saling bertumbukan dan terjadi disintegrasi serat atau partikel (Siró dan Plackett 2010). Metode steam explosion memerlukan energi yang besar untuk menghasilkan uap panas jenuh dan memerlukan reaktor yang kuat. Struktur lignoselulosa dapat terbuka bahkan terdisintegrasi akibat tekanan uap panas dalam suatu reaktor atau autoklaf. Disintegrasi terjadi akibat tekanan uap panas yang dilepaskan secara mendadak, sehingga terjadi ledakan mengenai struktur serat (Ibrahim et al. 2010;
12 Jacquet et al. 2012). Ibrahim et al. (2010) menggunakan uap jenuh bersuhu 220 o C selama 240 detik untuk mendisintegrasi serat dari limbah batang pisang. Kaushik et al. (2010) menggunakan autoklaf dengan tekanan 15 lb selama 4 jam untuk mendisintegrasi serat dari jerami gandum. Uap panas berasal dari larutan NaOH 10-12% yang digunakan untuk merendam jerami. Grinding dilakukan menggunakan peralatan yang cukup sederhana, yaitu berupa grinder. Bahan lignoselulosa terfibrilasi akibat gaya shear saat melalui celah grinder yang berputar dengan kecepatan tinggi hingga 1.500 rpm. Proses mekanis ini terutama ditujukan untuk mengupas lapisan dinding sel luar, sehingga akan membuka lapisan dalam yang kaya serat nano (Nakagaito dan Yano 2004). Gaya shear merusak struktur dinding sel yang terdiri atas lapisan serat nano yang berikatan hidrogen, sehingga serat berukuran nano tersebut saling terlepas dalam pulp (Siró dan Plackett 2010). Besarnya gaya shear dipengaruhi oleh lebar celah, kecepatan putar, serta bentuk permukaan disk atau batu gerinda (Subyakto et al. 2009). Intensitas perlakuan mekanis berupa ulangan dan durasi proses berpengaruh terhadap keefektifan pemisahan agregat serat. Intensitas yang terlalu tinggi berisiko menurunkan sifat kristalinitas dan derajat polimerisasi selulosa (Henriksson et al. 2007; Abe dan Yano 2009), serta memerlukan energi yang tinggi (Nakagaito dan Yano 2004). Perolehan serat berskala nano dengan menggunakan energi yang rendah dan sedikit serat selulosa yang terdegradasi merupakan pertimbangan penting untuk memilih metode mekanis yang digunakan (Subyakto et al. 2009). Peningkatan keefektifan perolehan nanoserat selulosa juga dapat dilakukan dengan perlakuan tambahan berupa pembekuan bahan sebelum dikenai proses mekanis. Metode ini disebut cryocrushing, yaitu bahan dibekukan dengan menggunakan nitrogen cair. Kristal es yang terbentuk menekan dinding sel, sehingga saat dikenai gaya shear secara mekanis akan lebih mudah mengalami disintegrasi melepaskan nanoserat selulosa (Siró dan Plackett 2010; Sundari dan Ramesh 2012). Nanoserat selulosa murni dapat diperoleh dengan menggunakan serangkaian perlakuan kimiawi. Perlakuan kimiawi juga dapat memudahkan nanoserat selulosa terlepas dari agregat serat, akibat reduksi senyawa yang mengikat serat elementer selulosa, yaitu hemiselulosa, serta menghilangkan lignin yang melindungi agregat serat elementer tersebut (John dan Thomas 2008). Campuran toluene-ethanol dapat digunakan untuk menghilangkan lapisan lilin, lemak, dan minyak dalam bahan (Habibi et al. 2009). Proses pemucatan (bleaching) menggunakan campuran asam asetat glasial dan natrium klorit dapat menghilangkan senyawa fenol atau molekul yang memiliki gugus kromofor yang ada pada lignin (Bhattacharya et al. 2008). Pemucatan juga dapat dilakukan menggunakan natrium hipoklorit (Elanthikkal et al. 2010), hidrogen peroksida (Teixeira et al. 2011), atau menggunakan larutan tetraacetylethylenediamine (TAED) (Rosa et al. 2012). Proses tersebut menyebabkan lignin teroksidasi dan menjadi lebih mudah larut dalam larutan alkali (Elanthikkal et al. 2010). Larutan alkali dapat digunakan untuk pemurnian serat selulosa dari senyawa hemiselulosa, sisa pati, dan pektin. Abe dan Yano (2009) menggunakan KOH 25% untuk pemurnian nanoserat selulosa dari kayu, jerami padi, dan ampas kentang. Penggunaan larutan alkali tersebut dilakukan sebanyak dua kali pada
13 suhu 90oC selama dua jam. Elanthikkal et al. (2010) menggunakan larutan alkali berupa NaOH 1 M pada suhu 80oC selama empat jam untuk mereduksi kandungan hemiselulosa dan pektin pada serat pisang. Peningkatan konsentrasi larutan alkali yang digunakan cenderung meningkatkan fibrilasi (Zhang et al. 2005). Kandungan lignin juga dapat berkurang akibat perlakuan alkali melalui pembentukan kompleks kimiawi dan depolimerisasi (Mandal dan Chakrabarty 2011; Johar et al. 2012). Enzim dan mikroorganisme juga dapat dimanfaatkan untuk memudahkan pemisahan serat selulosa. Henriksson et al. (2007) menggunakan Novozym sebelum perlakuan homogenisasi untuk memperoleh serat nano dari tanaman Picea abies. Perlakuan tersebut menghasilkan serat nano berdiameter 15-30 nm dengan panjang beberapa mikrometer. Trichoderma reesei merupakan mikroorganisme yang dapat mendegradasi selulosa melalui enzim ekstraseluler yang dikeluarkan, meliputi endoglucanase, cellobiohydrolase, dan cellobiase (βglucosidase) (Satyamurthy et al. 2011). Kemampuan ini dimanfaatkan oleh Satyamurthy et al. (2011) untuk memperoleh nanoserat selulosa dari serat kapas. Perlakuan tersebut dapat menghasilkan serat selulosa berdiameter sekitar 36,5 nm. Isolasi nanoserat selulosa dengan menggunakan asam kuat dapat menghasilkan whiskers. Asam kuat lebih mudah menghidrolisis bagian amorf serat, sehingga serat terdegradasi menjadi serat pendek. Asam kuat juga dapat menghidrolisis hemiselulosa menjadi xilosa dan gula lain, selanjutnya xilosa terdegradasi membentuk furfural. Selain itu, polisakarida lain seperti residu pati dapat terhidrolisis menjadi gula sederhana (Adel et al. 2011). Derajat polimerisasi nanoserat selulosa, kristalinitas, morfologi, dan sifat lainnya dapat dipengaruhi oleh asam yang digunakan (Adel et al. 2011). Alemdar dan Sain (2008) menggunakan asam klorida 1 M untuk menghidrolisis jerami padi dan polong kedelai. Hidrolisis dilakukan pada suhu 80 ± 5 oC selama 2 jam untuk menghidrolisis hemiselulosa, pektin dan polisakarida menjadi gula sederhana, sehingga diperoleh serat selulosa bebas bahan nonselulosa. Selain asam klorida, banyak penelitian menggunakan asam sulfat sebesar 60 - 65% w/v atau 6 - 6,5 M sebagai media hidrolisis. Hidrolisis menggunakan asam sulfat digunakan oleh Bhattacharya et al. (2008) pada ampas tebu, Chen et al. (2009) pada serat polong kacang, Menezes et al. (2009) pada serat rami, Teixeira et al. (2009) pada ampas tapioka, Bras et al. (2010) pada pulp ampas tebu, Elanthikkal et al. (2010) pada serat pisang, Lu dan Hsieh (2010) pada selulosa kapas, Pasquini et al. (2010) pada ampas tapioka, Belbekhouche et al. (2011) pada serat sisal, Liu et al. (2011) pada bubuk selulosa mikrokristal, dan Teixeira et al. (2011) pada ampas tebu. Hidrolisis dilakukan pada suhu 45 – 60oC selama beberapa puluh menit sampai beberapa jam tergantung jenis bahan awalnya. Permasalahan yang perlu diperhatikan terkait penggunaan hidrolisis asam antara lain kemungkinan adanya bahaya keracunan akibat residu asam kuat pada permukaan serat, terutama jika digunakan sebagai bahan pengisi edible film. Selain itu, konsentrasi asam yang terlalu tinggi dapat menyebabkan degradasi selulosa yang berlebih. Abraham et al. (2011) menggunakan asam lemah berupa asam oksalat 5% untuk mengurangi bahaya penggunaan asam kuat dan mencegah degradasi selulosa. Namun, untuk meningkatkan keefektifan dalam perolehan nanoserat selulosa digunakan langkah tambahan berupa dua tahap steam
14 explosion, yaitu pada tahap preparasi bahan baku dan pada tahap setelah perlakuan asam. Diameter dan panjang nanoserat selulosa dipengaruhi oleh perlakuan isolasi atau ekstraksi nanoserat selulosa yang diterapkan. Serat yang masih mengandung lignin dan hemiselulosa menunjukkan ukuran yang lebih besar, dibandingkan nanoserat selulosa murni. Hemiselulosa juga dapat mencegah terjadinya agregasi nanoserat selulosa (Lavoine et al. 2012). Fragmen kristal nanoserat selulosa dalam kondisi kering cenderung membentuk agregat. Agregat terjadi akibat pembentukan ikatan hidrogen karena adanya gugus hidrogen dan energi permukaan nanoserat selulosa yang tinggi (Mandal dan Chakrabarty 2011). Reaksi hidrolisis yang lebih lama, misalnya dari 30 menit menjadi 60 menit, menyebabkan nanoserat selulosa yang terbentuk lebih pendek dan kecil, indeks kristalinitas lebih tinggi, dan penurunan kestabilan termal (Tonoli et al. 2012). Neto et al. (2013) di sisi lain melaporkan bahwa kondisi hidrolisis asam yang lebih lama (40 menit) tidak hanya menghasilkan nanoserat selulosa yang lebih pendek, namun juga menyebabkan kerusakan struktur kristal nanoserat selulosa dibanding perlakuan hidrolisis asam selama 30 menit. Hidrolisis umumnya menyerang pada bagian amorf, sehingga dihasilkan nanoserat selulosa pendek dengan kristalinitas tinggi. Hal ini berlawanan dengan hasil nanoserat selulosa dari proses mekanis, yaitu cenderung menghasilkan nanoserat selulosa panjang dan mengandung bagian kristal dan amorf (Neto et al. 2013). Selain itu, peningkatan waktu hidrolisis asam menggunakan asam sulfat dapat meningkatkan kandungan sulfur pada permukaan nanoserat selulosa, dan menunjukkan suhu degradasi termal yang lebih rendah dibandingkan dengan nanoserat selulosa yang dihasilkan secara mekanis (Tonoli et al. 2012). Proses pemurnian kimiawi juga berpengaruh terhadap permukaan serat. Johar et al. (2012) menunjukkan bahwa serat setelah perlakuan alkali tampak lebih kasar. Hal ini menunjukkan terjadi degadrasi pada bahan yang terdapat di permukaan serat, seperti hemiselulosa, lignin, pektin, lilin, dan bahan lain di permukaan serat. Perubahan sifat kimia permukaan yang terjadi berpengaruh terhadap kestabilan dispersi nanoserat selulosa dalam larutan. Kestabilan dispersinya dinilai dengan nilai zeta potential nanoserat selulosa. Nilai ini menunjukkan perbedaan muatan antara medium dengan muatan listrik di sekitar partikel. Nilai zeta potential yang tinggi menunjukkan kapasitas dispersi yang tinggi dalam air, sedangkan nilai zeta potential yang rendah menunjukkan kestabilan dispersi yang rendah (Tonoli et al. 2012). Pemanfaatan Limbah atau Produk Samping Agroindustri Sebagai Bahan Baku Nanoserat Selulosa dan Aplikasinya Dalam Pembuatan Film Kayu merupakan sumber serat selulosa yang penting untuk industri. Adanya kompetisi kebutuhan penggunaan di bidang lain, seperti sektor bangunan, perabotan, industri kertas, dan energi, menimbulkan tantangan untuk mencari sumber selulosa dari selain tanaman berkayu keras. Oleh karena itu, sumber selulosa yang berasal dari tanaman nonkayu keras, seperti rami, hemp, sisal, dan lain-lain, berpotensi untuk diekspolarasi. Bahan nonkayu sebagai sumber serat alam memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan kayu, antara lain dapat
15 dipanen dalam waktu yang lebih singkat, mudah dibudidaya, sehingga dapat mengurangi eksploitasi penebangan hutan untuk memenuhi kebutuhan serat alam untuk kepentingan industri (Subyakto et al. 2009). Limbah pertanian atau hasil samping agroindustri yang kaya serat menjadi alternatif dalam perolehan nanoserat selulosa. Penggunaan serat asal limbah pertanian selain menjadi alternatif pemanfaatan limbah, juga diharapkan dapat mengurangi eksploitasi hutan untuk memenuhi kebutuhan serat alam bagi industri. Selain itu, limbah pengolahan hasil pertanian pada umumnya juga mengandung sedikit lignin karena sudah terbuang pada proses pengolahan, sehingga memudahkan dalam mengekstraksi serat (Siró dan Plackett 2010). Contoh-contoh bahan dari limbah atau hasil samping agroindustri yang telah diteliti sebagai sumber pembuatan nanoserat selulosa dan metode pembuatannya dapat dilihat pada Tabel 2. Informasi tentang aplikasi nanoserat selulosa pada umumnya terkait dengan aplikasinya sebagai bahan pengisi komposit/biokomposit. Plastik merupakan salah satu tujuan aplikasi nanoserat selulosa dalam rangka rekayasa plastik yang dapat terdegradasi di lingkungan dengan cepat. Sifat tersebut penting terutama bagi pengemas yang masa pemakaiannya hanya dalam waktu singkat dan jarang digunakan kembali atau dibuang. Pencegahan penurunan kualitas produk pangan atau hortikultura melalui pengemasan pada prinsipnya adalah membatasi produk tersebut untuk berinteraksi langsung dengan lingkungan luar. Pembatasan interaksi ini bertujuan untuk menekan pengaruh buruk yang berasal dari lingkungan di luar produk, seperti kelembaban udara, cahaya, suhu, tekanan, gesekan, dan aktivitas mikroorganisme. Pengemas berbasis karbohidrat pada umumnya memiliki sifat mekanis yang kurang baik, terutama terkait dengan sifat higroskopis bahan. Kekuatan pengemas tersebut pada umumnya melemah sejalan dengan peningkatan kadar airnya (Gilfillan et al. 2012). Salah satu bentuk perlindungan yang dapat diterapkan yaitu berupa pengemasan secara langsung berhubungan atau melekat dengan produk, berupa film atau coating dengan penggunaan bahan pengisi berupa nanoserat selulosa merupakan usaha alternatif untuk memperbaiki sifat mekanis film (Azeredo et al. 2012). Coating diaplikasikan dan dibentuk secara langsung di permukaan produk pangan. Metode aplikasi yang digunakan dalam menghasilkan coating dapat berupa penyemprotan, pengolesan, maupun pencelupan. Pencelupan merupakan metode yang mudah dan sesuai untuk diaplikasikan pada komoditas yang permukaannya tidak rata (Ghasemzadeh et al. 2008; Bahri dan Rashidi 2009). Film diaplikasikan setelah dibentuk secara terpisah (Bahri dan Rashidi 2009), antara lain dibuat dengan menggunakan metode casting. Larutan film dituangkan pada lempeng cetakan dengan ketebalan tertentu, dikeringkan, dan dilepas dari cetakan untuk selanjutnya diaplikasikan untuk mengemas produk (Müller et al. 2009a). Pengurangan sifat hidrofil dan pembentukan struktur jaringan penguat akibat penggunaan nanoserat selulosa dapat memperbaiki sifat mekanis film (Ma et al. 2005; Mondragón et al. 2008). Kondisi tersebut dapat meningkatkan kestabilan sifat mekanis film terhadap perubahan kelembaban lingkungan (Ma et al. 2005; Müller et al. 2009b). Peningkatan sifat kuat tarik akibat penambahan serat selulosa dapat diikuti oleh penurunan sifat pemanjangan putusnya. Gerakan
16 rantai polimer pati menjadi lebih terbatas akibat adanya interaksi antara serat selulosa dan pati. Hal ini menyebabkan kemampuan memanjang matriks film menjadi berkurang (Ma et al. 2005; Müller et al. 2009b). Tabel 2 Nanoserat selulosa dari limbah atau hasil samping agroindustri dan metode isolasinya Bahan Baku Pea hull
Metode Hidrolisis asam
Prickly pear fruits (Opuntia ficus indica) Ampas tapioka
Homogenisasi menggunakan Manton–Gaulin homogenizer Hidrolisis asam
Tandan buah pisang rachis
Hidrolisis asam dan alkali
Ampas tebu
Hidrolisis asam
Daun nanas
Batang pisang
Hidrotermal tekanan tinggi; Mechanical stirrer 8.000 rpm Hidrolisis asam
Ampas tapioka
Hidrolisis asam
Sabut kelapa
Hidrolisis asam
Hasil Panjang (P), diameter (D) dan nilai P/D berturutturut 240-400 nm, 7-12 nm, dan 32,22-36,00 Nanoserat berdiameter 2-5 nm; panjang beberapa mm Nanoserat berdiameter 2-11 nm dan panjang 60-1.700 nm Nanoserat berdiameter 3-5 nm, panjang beberapa mikrometer Nanoserat berdiameter 4-10 nm, panjang 84102 nm Nanoserat berdiameter 5-60 nm
Referensi Chen et al. (2009)
Nanopartikel selulosa 20-25 nm Nanoserat berdiameter ratarata 15 nm, panjang rata-rata 1.150 nm Nanoserat berdiameter sekitar 5 nm, rasio P/L sekitar 60
Elanthikkal et al. (2010) Pasquini et al. (2010)
Habibi et al. (2009)
Teixeira et al. (2009) Zuluaga et al. (2009)
Bras et al. (2010)
Cherian et al. (2010)
Rosa et al. (2010)
17 Tabel 2 Nanoserat selulosa dari limbah atau hasil samping agroindustri dan metode isolasinya (lanjutan) Bahan Baku
Metode
Hasil
Referensi
Kayu residu pembuatan bioetanol Serbuk kayu pohon poplar
- Ultrasonikasi - Homogenisasi - Hidrolisis asam Ultrasonikasi
Oksman et al. (2011)
Limbah kulit kentang
- Praperlakuan: perlakuan alkali dan chlorite bleaching - Hidrolisis asam sulfat
Nanoserat berdiameter 10-20 nm Nanoserat berdiameter 5-20 nm, panjang beberapa mikrometer Nanokristal selulosa; panjang 410 ± 181 nm diameter ± 10 nm
Chen et al. (2011)
Chen et al. (2012)
18
3 ISOLASI DAN KARAKTERISASI NANOSERAT SELULOSA DARI AMPAS TAPIOKA Pendahuluan Disintegrasi serat alam menjadi serat berbentuk nano memerlukan serangkaian proses yang melibatkan proses kimiawi dan mekanis. Aplikasi beberapa proses dapat memodifikasi struktur serat selulosa, bahkan dapat merusak struktur serat yang dihasilkan. Faktor perubahan struktur serat maupun kerusakan akibat proses yang diterapkan dapat bersifat kontraproduktif terhadap keunggulan sifat suatu nanoserat. Ampas tapioka merupakan bahan sisa hasil ekstraksi pati ubi kayu (tapioka) yang masih mengandung serat dan dapat dimanfaatkan lebih lanjut menjadi bahan baku nanoserat. Hal tersebut telah dilakukan oleh Teixeira et al. (2009) yang mendapatkan nanoserat dengan menggunakan asam kuat. Nanoserat yang diperoleh diaplikasikan dalam pembuatan pati termoplastik. Hal serupa juga dilakukan oleh Pasquini et al. (2010) dan mengaplikasikannya sebagai bahan pengisi karet. Proses kimiawi yang dilakukan dalam mengisolasi nanoserat ditujukan untuk memudahkan proses isolasi dan pemurnian nanoserat yang dihasilkan. Nanoserat secara alami dilindungi oleh bahan lain terutama lignin dan diikat oleh hemiselulosa. Penghilangan bahan selain selulosa akan mempermudah pelepasan nanoserat selulosa dan meningkatkan kemurnian selulosa yang dihasilkan. Proses mekanis bermanfaat untuk memudahkan pelepasan nanoserat yang dihasilkan dari agregat-agregat serat atau dikenal pula dengan istilah individualisasi serat. Metode isolasi nanoserat selulosa menggunakan asam kuat merupakan proses yang sederhana dan cukup efektif untuk menghilangkan komponen dalam ampas tapioka yang tidak dikehendaki, misalnya sisa pati dan hemiselulosa. Namun, penggunaan asam kuat dapat merusak struktur serat apabila tidak dikendalikan dengan baik. Perlakuan kimiawi dengan menggunakan alkali dapat pula diaplikasikan dalam proses isolasi nanoserat selulosa. Proses ini dapat dikombinasikan dengan proses lain, terutama bleaching untuk meningkatkan degradasi lignin. Abe dan Yano (2009) menggunakan kombinasi alkali dan bleaching untuk meningkatkan keefektifan isolasi nanoserat, sehingga menghemat energi yang digunakan dalam proses mekanisnya. Hasil nanoserat yang diperoleh melalui berbagai metode secara morfologi dapat sama, namun secara fungsional dapat berbeda. Sehubungan dengan hal tersebut, karakterisasi terhadap nanoserat selulosa perlu dilakukan untuk memprediksi kinerja nanoserat jika diaplikasikan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang karakter nanoserat selulosa dari ampas tapioka yang dihasilkan menggunakan beberapa metode isolasi.
19 Metode Bahan dan Alat Bahan yang digunakan meliputi ampas tapioka, kalium hidroksida (KOH), natrium klorit (NaClO2), asam sulfat (H2SO4) analytical grade, dan akuades. Instrumen pengujian yang digunakan meliputi Scanning Electron Microscope (SEM) Zeiss EVO® 50, Transmission Electron Microscope (TEM) JEOL JEM1400, Delsa Nano C Beckman Coulter, Fourier Transform Infrared (FTIR) spectrometer Bruker Tensor 37, X-ray diffractometer XRD-7000 Shimadzu, dan Zwick Instrument.
Isolasi Nanoserat Selulosa Nanoserat selulosa diisolasi menggunakan tiga metode, yaitu: (1) menggunakan perlakuan alkali + bleaching + mekanis (metode I); (2) perlakuan alkali + bleaching + hidrolisis asam + mekanis (metode II); dan (3) perlakuan hidrolisis asam + mekanis (metode III). Diagram alir metode tersebut dapat dilihat pada Gambar 9. 1. Metode I Prosedur isolasi nanoserat selulosa secara kimiawi mengikuti prosedur umum dari Abe dan Yano (2009). Ampas tapioka lolos ayak 100 mesh direndam dalam KOH 4% pada suhu 80oC selama satu jam. Selanjutnya, bahan dicuci dengan akuades dan dilanjutkan dengan proses bleaching menggunakan NaClO2 5% pada suhu 70oC selama 1 jam sambil diaduk. Proses bleaching dilakukan dalam suasana asam (pH 4,5) sebanyak dua kali. Setelah bleaching, bahan dicuci dengan akuades dan dilakukan perendaman kembali menggunakan KOH 4% pada suhu 80oC selama satu jam. Perlakuan kimiawi diakhiri dengan pencucian bahan menggunakan akuades sampai pH 6-7 dan disaring menghasilkan pulp. Pulp sebanyak 5 g disuspensikan ke dalam 300 ml akuades dan dilanjutkan dengan perlakuan mekanis menggunakan mixer dengan kecepatan 22.000 rpm selama 10 menit. 2. Metode II Proses isolasi dilakukan mengikuti perlakuan kimiawi metode I (Abe dan Yano 2009), kemudian dilanjutkan dengan perlakuan asam, menggunakan H2SO4 6,5 M (Teixeira et al. 2009). Hidrolisis dilakukan pada suhu 60oC sambil diaduk selama 1 jam, kemudian dicuci dengan akuades sampai pH 6-7. Suspensi disentrifugasi dengan kecepatan 6.000 rpm selama 10 menit sehingga diperoleh endapan pulp. Selanjutnya, pulp sebanyak 5 g disuspensikan ke dalam 300 ml akuades dan dilanjutkan dengan perlakuan mekanis menggunakan mixer dengan kecepatan 22.000 rpm selama 10 menit.
20 3. Metode III Prosedur isolasi nanoserat selulosa secara kimiawi mengikuti prosedur umum dari Teixeira et al. (2009). Ampas tapioka lolos ayak 100 mesh direndam dalam larutan H2SO4 6,5 M. Hidrolisis dilakukan pada suhu 60oC sambil diaduk selama 1 jam. Setelah hidrolisis, suspensi dicuci menggunakan akuades dan disentrifugasi dengan kecepatan 6.000 rpm selama 10 menit sehingga diperoleh endapan pulp. Pencucian dilakukan sampai pH suspensi netral. Selanjutnya, pulp sebanyak 5 g disuspensikan ke dalam 300 ml akuades dan dilanjutkan dengan perlakuan mekanis menggunakan mixer dengan kecepatan 22.000 rpm selama 10 menit.
Gambar 9 Metode isolasi nanoserat selulosa dari ampas tapioka
Karakterisasi Pengamatan mikroskopis Morfologi ampas tapioka diamati menggunakan scanning electron microscope (SEM) Zeiss EVO® 50 dengan voltase akselerasi elektron 1 kV, sedangkan morfologi nanoserat selulosa diamati dengan menggunakan transmission electron microscope (TEM) JEOL JEM-1400 dengan voltase akselerasi elektron 100 kV. Larutan amonium molibdat 1% ditambahkan pada sampel untuk memperjelas gambar yang dihasilkan.
21 Pengukuran zeta potential Nilai zeta potential permukaan nanoserat selulosa dianalisis menggunakan Delsa Nano C Beckman Coulter. Sampel berupa suspensi nanoserat selulosa dalam akuades, diuji dalam wadah berupa flow cell. Spektroskopi FTIR Spektra serapan inframerah bahan diamati menggunakan fourier transform infrared (FTIR) spectrometer Bruker Tensor 37. Sampel dibentuk pellet dengan penambahan KBr. Pemindaian dilakukan pada bilangan gelombang 4000 – 400 cm-1. Difraksi sinar X Pola difraksi sinar-X sampel diamati menggunakan X-ray diffractometer XRD-7000 Shimadzu pada posisi statis menggunakan radiasi Cu Kα (λ = 1,5418 Å) pada 40 kV, 30 mA. Pemindaian dilakukan pada kisaran 2θ = 5-40o dengan kecepatan 2o/menit. Derajat kristalisasi dihitung dengan metode amorphous subtraction method menggunakan rumus: Xc = [Fc/(Fc + Fb)] x 100% Fc = luas daerah kristal; Fb = luas daerah amorf dari kurva difraksi sinar X (Park et al. 2010; Liu et al. 2013). Hasil dan Pembahasan Morfologi Nanoserat Selulosa Perlakuan kimiawi dan mekanis yang diterapkan pada ampas tapioka diarahkan untuk membentuk serat berukuran nano atau nanoselulosa. Pengamatan morfologi ampas tapioka sebelum perlakuan pembentukan nanoserat selulosa dapat dilihat pada Gambar 10. Diameter serat ampas tapioka tampak sekitar 50 µm dan tampak granula yang berasal dari umbi ubi kayu dengan diameter sekitar 270-290 µm. Perlakuan kimiawi dan mekanis yang diterapkan pada ampas tapioka menghasilkan serat berdiameter <100 nm (Gambar 11).
22
S
G
(A)
D
(B)
Ket. = G: granula umbi ubi kayu; S: serat ampas tapioka; D: diameter serat Gambar 10 Hasil pengamatan SEM terhadap ampas tapioka dengan perbesaran 20 X (A) dan 100 X (B) Metode I menghasilkan nanoserat selulosa dalam satu berkas serat berdiameter 20-30 nm, sedangkan nanoserat selulosa dari metode II dan III tampak lebih terdisintegrasi, masing-masing berdiameter sekitar 5-8 nm. Panjang nanoserat selulosa yang dihasilkan metode I, II, dan III diperkirakan mencapai beberapa mikrometer. Perlakuan alkali dan suhu tinggi yang dilakukan pada ampas tapioka menyebabkan hemiselulosa dan residu pati terhidrolisis dan larut dalam air. Perlakuan bleaching membantu menghilangkan sebagian besar lignin. Lignin teroksidasi sehingga terbentuk gugus karboksil yang dalam kondisi alkali akan terionisasi dan lebih mudah larut (Gambar 12). Hilangnya hemiselulosa dan lignin yang mengikat serat, menyebabkan serat berukuran nano terlepas dari berkas serat yang besar. Perlakuan asam juga dapat melemahkan struktur dalam agregat serat, sehingga menyebabkan serat lebih mudah terdisintegrasi (Cherian et al. 2010). Perlakuan mekanis digunakan untuk melepas agregat serat menjadi berkas serat yang lebih kecil atau saling terpisah (Cao et al. 2012). Penggunaan mixer berkecepatan tinggi membantu memisahkan nanoserat selulosa dari agregat serat, setelah bahan berupa lignin dan hemiselulosa yang mengikat berkas serat dilemahkan atau dihilangkan. Nanoserat selulosa yang dihasilkan berbentuk nanofibrils, mirip dengan nanoserat selulosa dari ampas tapioka yang diperoleh oleh Teixeira et al. (2009) (Gambar 13). Hal ini menunjukkan bahwa proses isolasi yang dilakukan hanya mendegradasi sebagian rantai serat yang bersifat amorf.
23
Metode I (Perbesaran 20.000 X)
Metode I (Perbesaran 100.000 X)
Metode II (Perbesaran 20.000 X)
Metode II (Perbesaran 100.000 X)
Metode III (Perbesaran 20.000 X)
Metode III (Perbesaran 100.000 X)
Ket. : tanda batang merah mewakili diameter nanoserat selulosa Gambar 11 Hasil pengamatan TEM terhadap morfologi nanoserat selulosa
24
Oksidasi
Alkali
R = H atau lignin L = lignin
Gambar 12 Reaksi umum oksidasi unit aromatik lignin dan hidrolisisnya dalam alkali (Gellerstedt 2010)
Gambar 13 Hasil pengamatan TEM terhadap nanoserat selulosa ampas tapioka melalui hidrolisis asam (Teixeira et al. 2009)
Zeta Potential Nanoserat Selulosa Zeta potential (ZP) merupakan parameter penting untuk mengetahui kestabilan dispersi partikel dalam suatu suspensi (Elanthikkal et al. 2010). Nilai ZP menggambarkan perbedaan potensial muatan listrik di antara partikel koloid. Bahan dalam medium polar pada umumnya mendapatkan muatan listrik permukaan secara spontan, antara lain disebabkan oleh perbedaan afinitas elektron pada partikel dan medium serta adanya ionisasi dan disosiasi gugus permukaan. Suspensi yang stabil ditunjukkan oleh nilai ZP yang besar, merupakan indikator adanya gaya tolak-menolak yang besar antara partikel yang satu dan partikel lain dalam suatu sistem suspensi. Nilai ZP yang tinggi juga menunjukkan kapasitas dispersi yang tinggi (Tonoli et al. 2012). Gambar 14 memperlihatkan hasil pengukuran ZP suspensi nanoserat selulosa hasil metode I, II, dan III. Nilai ZP lebih dari ± 30 mV menunjukkan bahwa suspensi nanoserat selulosa memiliki kestabilan yang baik (Silva et al. 2012).
25 60 52,45
Zeta potential (mV)
50
46,47
40 33,75 30
20
10
0 I
II
III
Metode isolasi
Ket. = Metode I: perlakuan alkali, bleaching, mekanis; Metode II: perlakuan alkali, bleaching, asam, mekanis; Metode III: perlakuan asam, mekanis Gambar 14 Nilai zeta potential suspensi nanoserat selulosa Suspensi nanoserat selulosa yang diperoleh tidak mudah mengendap. Keadaan ini jauh berbeda dengan ampas tapioka yang sangat mudah mengendap jika disuspensikan dalam air. Kondisi yang mudah mengendap ini terkait dengan ukuran partikel ampas tapioka yang masih relatif besar. Partikel berukuran besar memiliki muatan permukaan partikel yang rendah, menyebabkan partikel lebih mudah berinteraksi dengan partikel lain sehingga mudah mengendap (Elanthikkal et al. 2010). Spektrum FTIR Nanoserat Selulosa Analisis FTIR dilakukan untuk mengetahui keberadaan gugus fungsional tertentu dalam bahan terkait dengan senyawa lignin, hemiselulosa, dan selulosa, serta perubahannya setelah pemberian perlakuan. Hasil pengamatan terhadap spektrum FTIR ampas tapioka dapat dilihat pada Gambar 15, sedangkan spektrum FTIR nanoserat selulosa dapat dilihat pada Gambar 16, 17, dan 18.
26
Gambar 15 Spektrum FTIR ampas tapioka
Gambar 16 Spektrum FTIR nanoserat selulosa metode I
27
Gambar 17 Spektrum FTIR nanoserat selulosa metode II
Gambar 18 Spektrum FTIR nanoserat selulosa metode III Perubahan gugus fungsional yang terjadi akibat perlakuan kimiawi dapat dilihat pada Tabel 3. Spektrum FTIR ampas tapioka dan nanoserat selulosa menunjukkan pita serapan yang luas pada daerah 3500-3200 cm-1 yang merupakan daerah vibrasi regangan yang berasal dari gugus OH dalam molekul selulosa (Mandal dan Chakrabarty 2011). Semua spektrum juga menunjukkan adanya pita serapan pada daerah sekitar 2900 cm-1. Pita serapan yang muncul pada daerah tersebut berasal dari vibrasi regangan C-H (Rosa et al. 2012).
28 Tabel 3. Hasil pengamatan FTIR Perlakuan
Bilangan gelombang (cm-1)
Ampas tapioka
Nanoserat selulosa I
Nanoserat selulosa II
Nanoserat selulosa III
3500-3200
3412,65
3433,19
3402,08
3426,58
Vibrasi regangan yang berasal dari gugus OH
~ 2900
2930,41
2921,50
2915,57
2918,58
Vibrasi regangan C-H
1765-1715
1734,75
-
1732,15
1738,90
Vibrasi C=O dari ikatan ester hemiselulosa atau gugus karboksilat dari ferulic acid dan pcoumaric acid lignin; serapan gugus karboksilat
1244
1244,56
-
-
-
Vibrasi cincin aromatik lignin
~ 900
861,46
895,86
896,69
896,51
Vibrasi ikatan β glikosida
Keterangan
Spektrum FTIR ampas tapioka memperlihatkan adanya sinyal pada bilangan gelombang 1734,75 cm-1 yang diduga berasal dari vibrasi regangan C=O. Daerah 1765-1715 cm-1 pada spektrum FTIR merupakan daerah vibrasi regangan C=O dari ikatan ester gugus karboksilat dari ferulic acid dan p-coumaric acid lignin (Gambar 19). Daerah tersebut juga merupakan daerah vibrasi C=O dari hemiselulosa (Gambar 20) (Abraham et al. 2011; Mandal dan Chakrabarty 2011; Sundari dan Ramesh 2012).
A
B
Gambar 19 Substruktur lignin ferulic acid (A) dan p-coumaric acid (B) (Buranov dan Mazza 2008)
Gambar 20 Struktur dasar hemiselulosa (Ochoa-Villarreal et al. 2012)
29 Pita serapan tersebut tidak muncul lagi pada spektrum nanoserat selulosa yang dihasilkan melalui metode I. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa terdapat deformasi struktur lignin akibat perlakuan kimiawi yang diberikan. Namun, pita serapan tersebut muncul kembali pada spektrum nanoserat selulosa yang dihasilkan melalui metode II dan III. Kemunculan pita serapan pada bilangan gelombang sekitar 1730 cm-1 diduga karena cincin glukopiranosa terbuka akibat pemutusan rantai selulosa saat perlakuan asam, sehingga memicu oksidasi gugus C-OH pada selulosa (Morán et al. 2008). Ampas tapioka juga menunjukkan adanya serapan pada bilangan gelombang 1244,56 cm-1. Daerah tersebut merupakan daerah serapan khas lignin (Rosa et al. 2012). Pita serapan tersebut menunjukkan adanya vibrasi cincin aromatik pada lignin khususnya berasal dari gugus aryl (Gambar 21) (Abraham et al. 2011; Mandal dan Chakrabarty 2011). Pita serapan pada bilangan gelombang 1244,56 cm-1 tidak muncul pada spektrum semua nanoserat selulosa, sehingga diduga bahwa lignin telah mengalami deformasi akibat perlakuan kimia selama proses isolasi nanoserat selulosa dari ampas tapioka. Alkohol
Aryl eter
Gugus alifatik
Gugus aryl eter Gugus “condensed ”
Metoksil Fenol
Gambar 21 Gugus fungsional lignin (Dimmel 2010) Keberadaan selulosa juga dapat diduga dari adanya pita serapan pada bilangan gelombang sekitar 895,86 cm-1 yang merupakan pola khas struktur selulosa (Alemdar dan Sain 2008). Pita serapan pada bilangan gelombang sekitar 900 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi dari ikatan β glikosida di antara unit glukosa dalam selulosa (Gambar 22) (Adel et al. 2010; Mandal dan Chakrabarty 2011; Rosa et al. 2012). Peningkatan intensitas pita serapan pada bilangan gelombang tersebut menunjukkan peningkatan persentase komponen selulosa pada bahan setelah penghilangan bahan non-selulosa (Neto et al. 2013).
Ikatan β-1-4
Gambar 22 Ikatan β-1-4 glikosida (Morán et al. 2008)
30 Pola Difraksi Sinar X Nanoserat Selulosa Pola difraksi sinar X ampas tapioka sebelum proses kimiawi dan setelah proses kimiawi untuk menghasilkan nanoserat selulosa dapat dilihat pada Gambar 23 dan 24. Difraktogram menunjukkan puncak difraksi sinar X selulosa alami yaitu adanya 1 puncak tajam pada daerah sekitar 2θ = 22o (Adel et al. 2011; Cherian et al. 2011). Difraktogram ampas tapioka memperlihatkan beberapa puncak, yaitu pada 2θ = 15o, 2θ = 17o, dan 2θ = 22,85o, sedangkan pada ampas tapioka setelah perlakuan kimiawi pada metode I memperlihatkan puncak utama pada 2θ = 15,09o dan 2θ = 22,19o, metode II memperlihatkan puncak utama pada 2θ = 15,5o dan 2θ = 22,13o, sedangkan metode III memperlihatkan puncak utama pada 2θ = 15,94o dan 2θ = 22,23o. Intensitas puncak difraksi ampas tapioka yang telah diberi perlakuan kimiawi tampak lebih tinggi dibandingkan tanpa perlakuan, menunjukkan bahwa kristalinitasnya lebih tinggi. Indeks kristalinitas ampas tapioka sebelum perlakuan dan setelah diberi perlakuan kimiawi mengikuti metode I, II, dan III berturut-turut adalah 14,52%, 33,25%, 39,73%, dan 31,23%. Perubahan intensitas puncak difraksi menunjukkan terjadi perubahan pada struktur kristalinitasnya atau keteraturan rantai molekul selulosanya (Elanthikkal et al. 2010; Chen et al. 2011). Kristalinitas yang tinggi menunjukkan bahwa susunan rantai polimer dalam bahan tersusun secara teratur atau kisi-kisi bagian kristalinnya lebih sempurna (Lu dan Hsieh 2010).
22,85o 17o 15o
Gambar 23 Difraktogram ampas tapioka
31
22,19o
15,09o
Metode I
22,13o
15,5o
Metode II
22,23o
15,94o
Metode III Gambar 24 Difraktogram nanoserat selulosa
32 Peningkatan kristalinitas ini disebabkan oleh penurunan komposisi serat yang bersifat amorf akibat perlakuan kimiawi. Perlakuan kimiawi diarahkan untuk menghilangkan hemiselulosa, lignin, pektin, yang merupakan komponen serat yang berkontribusi terhadap bagian amorf serat (Morán et al. 2008). Bagian amorf lebih mudah terhidrolisis dibandingkan dengan bagian kristalin, sehingga perlakuan hidrolisis menyebabkan serat menjadi lebih kristalin (Elanthikkal et al. 2010). Penghilangan bagian amorf menyebabkan nanoserat selulosa menata ulang strukturnya, akibat terbukanya permukaan rantai selulosa. Rantai selulosa merupakan rantai yang lurus, sehingga mampu saling mendekati dengan rantai selulosa yang berdekatan sampai jarak sedemikian dekat, sehingga terjadi gaya tarik antara rantai yang satu dan rantai yang lain. Nanoserat selulosa yang dihasilkan melalui metode II menunjukkan derajat kristalisasi yang lebih besar dibandingkan dengan nanoserat selulosa yang dihasilkan melalui metode I dan III. Perlakuan alkali, bleaching, dan asam yang dilakukan pada metode II diduga menghasilkan nanoserat selulosa dengan kandungan lignin dan hemiselulosa yang lebih rendah. Metode II menggunakan alkali, dalam hal ini KOH, dapat menghilangkan residu pati, hemiselulosa, dan pektin, sedangkan bleaching dengan NaClO2 dapat mereduksi lignin, sehingga lebih mudah larut dalam larutan alkali (Abe dan Yano 2009). Selain itu, adanya perlakuan asam dapat menghidrolisis bagian serat yang amorf, sehingga proporsi bagian serat yang berkristal menjadi lebih besar. Bagian kristal dalam rantai selulosa lebih tahan terhadap perlakuan hidrolisis asam dibandingkan dengan bagian amorfnya. Metode III menghasilkan nanoserat selulosa dengan derajat kristalisasi yang lebih rendah dibandingkan metode lain. Perlakuan kimiawi yang digunakan pada metode III hanya berupa perlakuan asam, sehingga kurang efektif dalam menghilangkan bahan yang amorf, terutama lignin. Adanya bahan yang amorf menghalangi rantai selulosa untuk berinteraksi dengan rantai tetangganya untuk membentuk susunan rapat, sehingga mencegah pembentukan ikatan hidrogen di antara rantai selulosa. Pola difraksi nanoserat selulosa yang dihasilkan dengan metode II dan III menunjukkan puncak dengan intensitas kuat pada 2θ = 20o. Puncak tersebut menandakan terbentuk struktur selulosa II selama proses isolasi nanoserat selulosa (Gupta et al. 2013). Selulosa II merupakan struktur rantai selulosa yang terjadi akibat interaksi rantai yang tidak paralel, atau terjadi antara rantai selulosa dalam satu susunan selulosa dengan rantai selulosa yang terdapat dalam susunan selulosa yang lain. Cheng et al. (2011) menunjukkan perbedaan struktur selulosa I (alami) dan II pada Gambar 25.
Selulosa I (alami) Selulosa II Gambar 25 Struktur selulosa I dan II (Cheng et al. 2011)
33 Struktur selulosa II umumnya terjadi pada daerah amorf (Zuluaga et al. 2009). Selulosa II terjadi akibat disosiasi ikatan hidrogen akibat perlakuan kimiawi. Selulosa secara alami tersusun atas lembaran-lembaran. Rantai selulosa yang saling berdekatan dalam satu lembaran membentuk ikatan hidrogen secara paralel. Perlakuan kimia yang diberikan dapat menyebabkan serat membengkak dan terjadi disosiasi ikatan hidrogen. Setelah disosiasi, rantai selulosa melakukan penataan ulang menyebabkan terjadi peluang pembentukan ikatan hidrogen dengan lembaran selulosa yang lain, sehingga terbentuk selulosa II (El Oudiani et al. 2011). Perlakuan asam yang diberikan diduga melemahkan dan memutuskan ikatan hidrogen pada daerah kristal selulosa alami (selulosa I), sehingga terbentuk ikatan hidrogen baru yang memunculkan struktur selulosa II. Simpulan Isolasi nanoserat selulosa dengan perlakuan alkali + bleaching + mekanis (metode I), perlakuan alkali + bleaching + hidrolisis asam + mekanis (metode II), dan hidrolisis asam + mekanis (metode III) menghasilkan nanoserat selulosa dengan diameter 20-30 nm, sedangkan nanoserat selulosa yang dihasilkan melalui metode II dan metode III masing-masing 5-8 nm dengan panjang beberapa mikrometer. Nilai zeta potential suspensi nanoserat selulosa dari metode I, II, dan III masing-masing sebesar 46,47, 52,45, dan 33,75 mV, menunjukkan tingkat kestabilan suspensinya tergolong baik. Semua metode yang diterapkan dapat meningkatkan kristalinitas bahan dari 14,52% (sebelum perlakuan isolasi) menjadi 33,25% (metode I), 39,73% (metode II), dan 31,23% (metode III).
34
4 APLIKASI NANOSERAT SELULOSA DARI AMPAS TAPIOKA SEBAGAI BAHAN PENGISI FILM TAPIOKA Pendahuluan Sifat mekanis merupakan salah satu sifat penting yang digunakan sebagai dasar untuk menilai kelayakan fungsi film sebagai pengemas. Permasalahan yang umum dihadapi oleh film berbasis karbohidrat adalah memiliki sifat mekanis yang kurang baik, terutama terkait dengan sifat higroskopis bahan. Kekuatan film pada umumnya melemah sejalan dengan peningkatan kadar airnya (Gilfillan et al. 2012). Air dapat membentuk ikatan hidrogen dengan pati dan dengan serat, menggantikan interaksi sebelumnya antara pati dan serat. Penghalangan interaksi antara pati dan serat akibat adanya air akan melemahkan kuat tarik film (Ma et al. 2005). Sifat mekanis film dapat diperbaiki dengan penambahan bahan pengisi berupa nanoserat selulosa (Azeredo et al. 2012). Mekanisme penguatan film akibat adanya nanoserat selulosa ini terkait dengan sifat selulosa itu sendiri yang lebih hidrofob dibandingkan dengan pati (Ma et al. 2005) dan kemampuan selulosa dalam membentuk struktur jaringan penguat dalam matriks film (Mondragón et al. 2008). Kondisi tersebut dapat mengurangi kelembaban film pati dan meningkatkan kestabilannya terhadap perubahan kelembaban lingkungan (Ma et al. 2005; Müller et al. 2009b). Peningkatan sifat kuat tarik akibat penambahan nanoserat selulosa dapat diikuti oleh penurunan sifat pemanjangan putusnya. Gerakan rantai polimer pati menjadi lebih terbatas akibat adanya interaksi antara nanoserat selulosa dan pati. Hal ini menyebabkan kemampuan memanjang matriks film menjadi berkurang (Ma et al. 2005; Müller et al. 2009b). Penambahan nanoserat selulosa dapat menyebabkan kristalinitas bahan makin tinggi (Ma et al. 2005; Müller et al. 2009b), sehingga dapat menurunkan sifat higroskopis bahan (Averous dan Boquillon 2004). Modifikasi sifat kristal bahan melalui penambahan nanoserat selulosa, disertai dengan penurunan sifat higroskopis dan terbentuknya struktur jaringan dalam matriks film menyebabkan sifat mekanis film dapat direkayasa menjadi lebih baik. Sifat mekanis sangat dipengaruhi oleh adhesi antara matriks film dan serat (Rosa et al. 2009). Peningkatan kuat tarik merupakan indikator bahwa nanoserat selulosa sesuai (kompatibel) untuk digunakan sebagai bahan pengisi penguat, terutama pada film berbahan dasar pati. Kesesuaian ini terkait dengan kemiripan kimia antara selulosa dan pati, sehingga terjadi interaksi yang baik (Ma et al. 2005; Chang et al. 2010). Nanoserat selulosa dapat terdistribusi dengan baik dan terlapisi oleh matriks film dari pati. Hal itu menunjukkan bahwa terbentuk interaksi yang baik antara nanoserat selulosa dan matriks (Guimarães et al. 2010). Peningkatan distribusi serat dapat ditingkatkan melalui pembentukan serat berukuran nano. Pengaruh buruk distribusi bahan pengisi yang tidak baik tidak hanya pada penurunan sifat mekanis saja, namun juga memudahkan terjadi transmisi uap air dan gas (Chang et al. 2010; Alves et al. 2011). Komposisi film berpengaruh penting terhadap sifat transmisi uap air, di samping kondisi suhu dan kelembaban relatif ruang serta ketebalan film. Adanya nanoserat selulosa dalam komposisi film dapat memodifikasi sifat transmisi film
35 akibat adanya interaksi antara sisi hidrofil rantai pati dan nanoserat selulosa yang dapat mencegah dan menggantikan terjadinya interaksi antara rantai pati dan air. Hal ini menurunkan sifat higroskopis film berbahan dasar pati (Müller et al. 2009a; Dias et al. 2011). Selain itu, adanya jaringan atau belitan nanoserat selulosa dalam matriks film dapat menghambat difusi uap air dari udara ke dalam matriks film, sehingga penambahan nanoserat selulosa meningkatkan sifat penghambatan terhadap uap air (Belbekhouce et al. 2011; Saxena et al. 2011; Azeredo et al. 2012). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat mekanis dan fisis film hasil aplikasi nanoserat selulosa. Metode Bahan dan Alat Bahan yang digunakan meliputi tapioka, nanoserat selulosa dari ampas tapioka hasil isolasi metode I, II, dan III, dan akuades. Alat yang digunakan dalam pembuatan film antara lain hot plate stirrer, termometer, dan cabinet dryer. Instrumen pengujian yang digunakan meliputi Zwick Instrument dan UV-visible spektrofotometer Shimadzu. Pembuatan Film Film dibuat dengan metode casting, yaitu pencetakan pada pelat cetakan dan dikeringkan, sehingga terbentuk lembaran film (Müller et al. 2009a). Tapioka sebanyak 4% (basis kering) dipanaskan dalam akuades pada suhu 80oC sambil diaduk selama 15 menit. Nanoserat selulosa dari masing-masing metode isolasi ditambahkan sebanyak 1, 2, 3, dan 4% b/b dari berat kering tapioka. Sorbitol ditambahkan sebanyak 2,5% b/b dari total larutan film sebagai pemlastis. Larutan film dituangkan ke permukaan cetakan dengan ketebalan ± 5 mm. Pengeringan dilakukan pada suhu 50oC selama 12 jam menggunakan cabinet dryer. Film yang terbentuk selanjutnya dilepas dari cetakan dan disimpan dalam wadah kedap udara. Film tanpa bahan bahan pengisi dan film dengan bahan pengisi berupa ampas tapioka juga dibuat sebagai pembanding. Film dengan penambahan ampas tapioka lolos ayak 100 mesh dengan konsentrasi yang sama berdasarkan kadar serat kasarnya (basis kering) juga dibuat sebagai perlakuan dan film tanpa penambahan serat dibuat sebagai pembanding. Pengujian Sifat Mekanis Pengujian dilakukan dengan menggunakan Zwick Instrument pada sampel berbentuk dayung (dumbbell). Sampel dijepit pada penjepit sampel dengan jarak 50 mm, selanjutnya sampel ditarik dengan kecepatan 10 mm/menit. Nilai kuat tarik dihitung dengan membagi gaya maksimum saat bahan uji putus (Newton) dibagi dengan luas penampang bahan uji (mm2), yaitu:
36
σ=
F
A σ = kuat tarik (tensile strength) (N/mm2) ; F = gaya yang diperlukan untuk menarik bahan uji sampai putus (N); A = luas penampang daerah putus (section area) (mm2). Pemanjangan putus dihitung dengan rumus: ε=
Δl lo
x 100%
ε = pemanjangan putus (elongation at break) (%); Δl = pertambahan panjang bahan uji sampai putus; lo = panjang mula-mula (Davis, 2004; Sari dan Satoto 2010). Pengujian Laju Transmisi Uap Air dan Permeabilitas Film terhadap Uap Air Cawan berisi gel silika kering ditutup dengan film rapat-rapat. Cawan diletakkan di dalam wadah kedap udara, yang di dalamnya berisi larutan NaCl jenuh untuk menciptakan kondisi kelembaban relatif lingkungan ±75 persen. Uap air yang terdifusi melalui film akan diserap oleh gel silika dan akan menambah berat silika gel tersebut. Perubahan berat cawan dicatat setiap jam sampai jam ketujuh. Data yang diperoleh dibuat persamaan regresi linier, sehingga diperoleh slope. Laju transmisi uap air (water vapour transmision rate/WVTR) dihitung dengan rumus: WVTR =
Slope kenaikan berat cawan (g/jam) Luas permukaan film (m2)
Nilai permeabilitas film terhadap uap air (water vapour permeability/WVP) dihitung dengan rumus: WVP =
WVTR x tebal film P (R1 – R2)
P merupakan tekanan jenuh uap air pada suhu pengujian (± 27 oC) yaitu sebesar 3,17 kPa, R1 merupakan RH dalam wadah (75%), dan R2 merupakan RH di bagian dalam cawan (52%) (Lastriyanto et al. 2007). Pengujian Transparansi Film Film dipotong berukuran 1 x 3 cm dan ditempelkan pada dinding wadah sampel spektrofotometer. Transmisi cahaya ditentukan melalui pengukuran nilai transmittance (%) film dengan panjang gelombang 200-800 nm (Bilbao-Sainz et al. 2011).
37 Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial. Faktor perlakuan terdiri atas jenis serat selulosa (A) dan konsentrasi serat selulosa (B). Jenis serat selulosa yang digunakan meliputi serat alami dari ampas tapioka (A1), nanoserat selulosa yang dihasilkan dari metode I (A2), nanoserat selulosa yang dihasilkan dari metode II (A3), dan nanoserat selulosa yang dihasilkan dari metode III (A4). Konsentrasi serat selulosa yang digunakan meliputi 0% (B1), 1% (B2), 2% (B3), 3% (B4), dan 4% (B5) b/b tapioka basis kering. Percobaan dilakukan sebanyak dua ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam, apabila menunjukkan perbedaan yang nyata (p < 0,05) dilanjutkan dengan Duncan Multiple Range Test pada taraf uji 0,05. Model umum rancangan percobaan yang digunakan: Yijk = μ + Ai + Bj + ABij + εijk Yijk Ai Bj ABij ijk i j k
= Nilai pengamatan ke-k dari jenis serat selulosa ke-i dan konsentrasi serat ke-j = Nilai rata-rata pengamatan = Pengaruh jenis serat selulosa ke-i = Pengaruh kadar serat ke-j = Pengaruh interaksi dari jenis serat selulosa ke-i pada kadar serat ke-j = Pengaruh galat pada pengamatan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij = Jenis serat selulosa ke-1, 2, 3, dan 4 = Kadar serat selulosa 0, 1, 2, 3, dan 4% = Ulangan ke-1 dan ke-2 Hasil dan Pembahasan Sifat Mekanis Film
Pengaruh jenis serat terhadap kuat tarik film dapat dilihat pada Gambar 26. Film dengan nanoserat metode I menunjukkan kuat tarik yang lebih tinggi dibandingkan dengan film metode II dan III. Hal ini menggambarkan bahwa nanoserat dari metode I menghasilkan tingkat kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode II dan III. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh perlakuan kimiawi yang diberikan. Metode II menggunakan proses alkali dan bleaching dan dilanjutkan dengan hidrolisis asam kuat dengan tujuan untuk lebih mengecilkan ukuran nanoserat. Perlakuan kimiawi yang lebih intensif ini diduga sudah merusak sebagian struktur serat, sehingga peranannya sebagai penguat menjadi kurang efektif. Metode III menggunakan hidrolisis asam kuat secara langsung. Perlakuan ini ditambah dengan suhu tinggi sampai batas tertentu dapat mendegradasi bagian kristalin serat selulosa, sehingga efek penguatannya menjadi berkurang.
38
Kuat tarik (N/mm2)
3
2
1
0 Tanpa serat Ampas tapioka Nanoserat I
Nanoserat II Nanoserat III
Jenis serat
Gambar 26 Pengaruh jenis serat terhadap kuat tarik film Penggunaan serat telah diketahui dapat meningkatkan kuat tarik film. Namun dalam penelitian ini, peningkatan kadar serat dari 1% hingga 4% belum menunjukkan perbedaan kuat tarik yang nyata, meskipun ada kecenderungan peningkatan nilai kuat tariknya (Gambar 27). Hal ini diduga dipengaruhi oleh sebaran serat yang kurang merata. Meskipun suspensi nanoserat yang dihasilkan termasuk stabil atau tidak mudah mengendap, kemungkinan dengan adanya bahan lain yang dapat berinteraksi dengan nanoserat, seperti tapioka dan sorbitol menyebabkan distribusi nanoserat tertahan oleh bahan tersebut.
Kuat tarik (N/mm2)
3
2
1
0 1
2
3
4
Kadar serat (%)
Gambar 27 Pengaruh kadar serat terhadap kuat tarik film
5
39 Mekanisme penguatan terkait dengan kemampuan serat dalam membentuk struktur jaringan penguat dalam matriks film, sehingga memungkinkan terjadi peralihan beban dari matriks ke serat, apabila film terkena gaya mekanis (BilbaoSainz et al. 2011). Bentuk nanoserat selulosa yang jauh lebih kecil dibandingkan serat ampas tapioka, dapat meningkatkan luas permukaannya, sehingga memperbesar kontak permukaan antara serat dan matriks film. Peningkatan kontak permukaan memungkinkan peningkatan ikatan hidrogen antara matriks dan serat, sehingga memudahkan peralihan beban dari matriks ke serat (BilbaoSainz et al. 2011). Penghilangan bahan selain selulosa, terutama lignin, yang dilakukan pada isolasi nanoserat selulosa dapat meningkatkan adhesi antara serat dan matriks film (Abraham et al. 2011). Lignin merupakan bahan yang relatif hidrofob, sedangkan pati bersifat hidrofil. Penghilangan lignin dapat meningkatkan interaksi antara serat dan matriks film berbasis pati (Azeredo et al. 2012). Interaksi yang baik antara serat selulosa dan matriks film dari pati, memungkinkan serat untuk terdistribusi dengan baik dalam matriks film (Guimarães et al. 2010). Distribusi serat yang baik menyebabkan peralihan beban dari matriks ke serat berlangsung efektif (Zimmermann et al. 2010; Bilbao-Sainz et al. 2011). Sebaran serat yang tidak merata dapat mengurangi keefektifan penguatannya (Kengkhetkit dan Amornsakchai 2012; Savadekar dan Mhaske 2012). Pencampuran bahan yang tidak rata dapat menghasilkan matriks film yang tidak sinambung atau tidak padu, sehingga dapat menurunkan sifat kuat tariknya (Attarian et al. 2006; Bahri dan Rashidi 2009). Penambahan serat pada umumnya meningkatkan sifat kuat tarik, namun menurunkan kapasitas pemanjangan (Müller et al. 2009a). Penambahan serat tampak menurunkan persentase pemanjangan putus film. Hal ini terlihat pada Tabel 3 yang menunjukkan bahwa penambahan nanoserat selulosa berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap pemanjangan putus film. Penurunan sifat pemanjangan putus ini akibat penghalangan mobilitas rantai molekul polimer dengan adanya penambahan serat (Kaushik et al. 2010). Penurunan sifat pemanjangan putus juga diduga karena pengaruh serat yang dapat mengurangi sifat higroskopis film. Air dalam matriks film dapat berperan sebagai pemlastis. Interaksi antara rantai pati dan serat selulosa dapat mencegah terjadinya interaksi antara rantai pati dan air, sehingga mengurangi sifat higroskopis film berbahan dasar pati (Müller et al. 2009a). Film berbahan pengisi nanoserat selulosa dari metode I tampak menunjukkan nilai pemanjangan putus lebih tinggi dibandingkan film berbahan pengisi lain (Gambar 28). Hal ini terkait dengan dugaan adanya kerusakan struktur rantai selulosa pada nanoserat selulosa yang dihasilkan melalui metode II dan III. Struktur serat yang baik dapat berperan sebagai penahan integritas matriks film, sehingga matriks film tidak mudah mengalami deformasi apabila dikenai gaya berupa tarikan.
40 40
Pemanjangan putus (%)
35 30 25 20 15 10 5 0 Tanpa serat
Ampas tapioka
Nanoserat I
Nanoserat II
Nanoserat III
Jenis serat
Gambar 28 Pengaruh jenis serat terhadap pemanjangan putus film Penambahan serat pada umumnya meningkatkan sifat kuat tarik, namun menurunkan kapasitas pemanjangan (Müller et al. 2009a). Penambahan serat tampak menurunkan persentase pemanjangan putus film (Gambar 29). Penurunan sifat pemanjangan putus ini akibat penghalangan mobilitas rantai molekul polimer dengan adanya penambahan serat (Kaushik et al. 2010). Penurunan sifat pemanjangan putus juga diduga karena pengaruh serat yang dapat mengurangi sifat higroskopis film. Air dalam matriks film dapat berperan sebagai pemlastis. Interaksi antara rantai pati dan serat selulosa dapat mencegah terjadinya interaksi antara rantai pati dan air, sehingga mengurangi sifat higroskopis film berbahan dasar pati (Müller et al. 2009a). 40 Pemanjangan putus (%)
35 30 25 20 15 10 5 0 1
2
3
4
5
Kadar serat (%)
Gambar 29 Pengaruh kadar serat terhadap pemanjangan putus film
41
Laju Transmisi Uap Air dan Permeabilitas Film terhadap Uap Air Laju transmisi uap air merupakan banyaknya uap air yang ditransmisikan dari salah satu sisi film ke sisi film lainnya dalam suatu luasan dan waktu tertentu, sedangkan permeabilitas terhadap uap air merupakan banyaknya uap air yang bermigrasi melalui film dengan ketebalan dan perbedaan tekanan uap tertentu dari kedua sisi film. Pengaruh jenis serat terhadap laju transmisi uap air dan perneabilitas film terhadap uap air dapat dilihat pada Gambar 30 dan Gambar 31. Film berbahan pengisi nanoserat selulosa metode II tampak memperlihatkan kemampuan penahan terhadap uap air yang lebih baik. Hal ini diduga terkait dengan kristalinitas nanoserat yang lebih tinggi. Kristalinitas serat selulosa yang makin tinggi pada umumnya makin menghambat transmisi uap air. Uap air sulit melalui bagian serat yang bersifat kristal karena strukturnya rapat (Saxena et al. 2011; Indriyati et al. 2012; Lavoine et al. 2013). Sebaliknya, struktur amorf bersifat lebih hidrofil, sehingga memiliki kapasitas serapan uap air yang lebih besar daripada struktur kristal. Uap air lebih mudah ditransmisikan pada bagian tersebut (Phan et al. 2005; Bilbao-Sainz et al. 2103; Jiménez et al. 2013). Mekanisme penghambatan pergerakan uap air dalam matriks film, secara umum terkait dengan pembentukan jalur difusi yang berliku akibat serat yang tersebar di dalam matriks film (Huq et al. 2012; Savadekar dan Mhaske 2012; Abdollahi et al. 2013). Film memiliki sifat penghalangan terhadap difusi uap air yang makin baik apabila jalur difusi dalam film makin berliku. Struktur belitan serat dalam matriks film merupakan salah satu faktor yang menyebabkan jalur difusi uap air dalam matriks film makin berliku (Lavoine et al. 2012).
Laju transmisi uap air (g/m2.hari)
300 250 200 150 100 50 0 Tanpa serat
Ampas tapioka
Nanoserat I
Nanoserat II
Nanoserat III
Jenis serat
Gambar 30 Pengaruh jenis serat terhadap laju transmisi uap air
42 60
Permeabilitas uap air (g.mm/m2.hari.kPa)
50 40 30 20 10 0 Tanpa serat
Ampas tapioka Nanoserat I
Nanoserat II
Nanoserat III
Jenis serat
Gambar 31 Pengaruh jenis serat terhadap permeabilitas film terhadap uap air Ampas tapioka menunjukkan sifat penahan uap air yang kurang baik. Kestabilan serat dalam ampas tapioka tidak sebaik nanoserat selulosa. Sebaran bahan pengisi yang tidak merata atau terjadi aglomerasi akan menghasilkan ruang kosong tanpa bahan pengisi pada salah satu bagian dalam matriks, sehingga molekul air akan lebih mudah berdifusi pada bagian tersebut (Moura et al. 2011; Ludueña et al. 2012; Yoon et al. 2012). Pengaruh kadar serat terhadap laju transmisi uap air dan permeabilitas terhadap uap air dapat dilihat pada Gambar 32 dan 33. Peningkatan kadar serat tampak meningkatkan penghambatan terhadap uap air. Hal ini diduga terkait dengan peningkatan kepadatan film sejalan dengan penambahan kadar serat.
Laju transmisi uap air (g/m2.hari)
300 250 200 150 100 50 0 1
2
3
4
5
Kadar serat (%)
Gambar 32 Pengaruh kadar serat terhadap laju transmisi uap air
Permeabilitas uap air (g.mm/m2.hari.kPa)
43 60 50 40 30 20 10 0 1
2
3
4
5
Kadar serat (%)
Gambar 33 Pengaruh kadar serat terhadap permeabilitas uap air Transparansi Film Penambahan bahan pengisi ke dalam film dengan tujuan teknis maupun ekonomis dapat memengaruhi sifat transparansi film. Transparansi merupakan kemampuan suatu bahan untuk meneruskan cahaya. Partikel yang lebih besar daripada gelombang cahaya akan menghalangi cahaya (Mbey et al. 2012). Penurunan transparansi film akibat penambahan bahan pengisi ditentukan dari penurunan nilai transmitansi pada panjang gelombang yang sama (Savadekar dan Mhaske 2012). Pengaruh penambahan bahan pengisi berupa ampas tapioka dan nanoserat terhadap transmitansi film pada panjang gelombang cahaya tampak (400-800 nm) disajikan pada Tabel 4, sedangkan pada gelombang cahaya ultraviolet (UV) (200-350 nm) disajikan pada Tabel 5. Penambahan bahan pengisi berupa ampas tapioka dan nanoserat selulosa tampak menurunkan sifat transparansi film, yang ditunjukkan oleh penurunan persentanse transmitansi pada gelombang cahaya tersebut. Film dengan bahan pengisi ampas tapioka menunjukkan nilai transmitansi yang lebih rendah dibandingkan film tanpa bahan pengisi dan film dengan bahan pengisi nanoserat selulosa. Penurunan nilai transmitansi pada konsentrasi bahan pengisi yang sama dapat dijadikan indikator bahwa ukuran partikel bahan pengisi yang digunakan lebih besar (Salleh et al. 2009). Nilai transmitansi ampas tapioka yang rendah disebabkan oleh penghalangan transmisi cahaya, maupun adanya absorpsi cahaya oleh komponen dalam ampas tapioka. Perlakuan kimiawi dan mekanis yang diterapkan pada ampas tapioka menyebabkan serat berukuran jauh lebih kecil dan lebih murni dibandingkan dengan ampas tapioka. Hal tersebut menyebabkan bahan pengisi berupa nanoserat selulosa tidak menahan atau merefleksikan cahaya dan tidak mengabsorpsi cahaya sebesar serat dalam ampas tapioka.
44 Tabel 4 Transmitansi film pada panjang gelombang cahaya tampak Penggunaan serat
Transmitansi (%) Panjang gelombang (nm) 400
450
500
550
600
650
700
750
800
Tanpa serat
72,60 74,35 76,10 76,85 77,60 78,35 79,10 79,45 79,80
Ampas 1% Ampas 2%
33,10 35,50 37,90 38,93 39,95 40,98
Ampas 3%
15,10 17,30 19,50 20,43 21,35 22,28 23,20 23,55 23,90
Ampas 4%
5,50
Nanoserat I 1% Nanoserat I 2% Nanoserat I 3%
62,20 64,60 67 68,38 69,75 71,13 72,50 73,10 73,70 57,50 60,80 64,10 65,83 67,55 69,28 71 71,90 72,80 40,20 44,80 49,40 51,73 54,05 56,38 58,70 59,20 59,70
Nanoserat I 4%
38,90 41,45
Nanoserat II 1% Nanoserat II 2%
64,80 69,80 74,80 75,13 75,45 75,78 76,10 76,75 77,40 58,80 62 65,20 66,65 68,10 69,55 71 71,90 72,80
Nanoserat II 3%
54,90 57,80 60,70 62,03 63,35 64,68
Nanoserat II 4%
36,50 38,50 40,50 41,80 43,10 44,40 45,70 46,15 46,60
Nanoserat III 1% Nanoserat III 2%
62,90 65,20 67,50 68,80 70,10 71,40 72,70 73,70 74,70 56,80 60,15 63,50 64,60 65,70 66,80 67,90 68,55 69,20
Nanoserat III 3%
53,10 56,85 60,60 61,70 62,80 63,90 65,00 65,65 66,30
Nanoserat III 4%
37,10 39,45 41,80 43,03 44,25 45,48 46,70 47,50 48,30
28
42
42,45 42,90
30,90 33,80 35,15 36,50 37,85 39,20 39,90 40,60 6,10
6,70
44
7,08
7,45
7,83
8,20
8,65
9,10
45,03 46,05 47,08 48,10 48,60 49,10
66
66,85 67,70
Penggunan serat juga menghasilkan efek penghambatan terhadap sinar UV seperti pada cahaya tampak, namun penghambatannya terlihat lebih tajam pada daerah sinar UV. Penurunan nilai transmitansi yang tajam pada film pada daerah sinar UV tersebut menunjukkan adanya komponen dalam serat yang turut berperan mengabsorpsi sinar UV. Salah satu senyawa yang dikenal sebagai penyerap sinar UV adalah lignin yang merupakan salah satu komponen dalam serat (Núñez-Flores et al. 2013). Penurunan nilai transmitansi ini pada satu pihak dapat dianggap sebagai faktor negatif penggunaan serat sebagai bahan pengisi terkait penurunan sifat transparansinya, namun dipihak lain dapat menguntungkan terkait dengan penahanan kerusakan akibat cahaya, terutama untuk mencegah oksidasi lipid yang menyebabkan ketengikan produk, maupun kerusakan senyawa yang peka terhadap cahaya (Warsiki et al., 2011; Al-Hassan dan Norziah 2012).
45 Tabel 5 Transmitansi film pada panjang gelombang cahaya ultraviolet Transmitansi (%) Penggunaan serat
Panjang gelombang (nm) 200
250
300
350
4,30 0,20
45,10 9,50
59,90 20,60
69,20 27,80
0,09
7,40
14,90
21,90
Ampas 3%
0,07
3
6,70
10,50
Ampas 4%
0,06
1,37
2,80
4,10
Nanoserat I 1% Nanoserat I 2%
2,40
30,60
46,20
57,20
Nanoserat I 3%
1,80 0,70
29,60 16,30
41,80 25,90
50,40 34,10
Nanoserat I 4%
0,60
15,20
24,90
32,80
Nanoserat II 1% Nanoserat II 2%
3,20
36,40
50,30
59
2,30
29,60
45,30
54,50
Nanoserat II 3%
1,10
22,90
37,40
49,50
Nanoserat II 4%
0,40 2,80
12 33,20
21,80 47,80
30,80 58,40
1,74
26,90
38,80
50,00
Nanoserat III 3%
0,90
21,20
37,10
49,10
Nanoserat III 4%
0,60
12,60
23
32,30
Tanpa serat Ampas 1% Ampas 2%
Nanoserat III 1% Nanoserat III 2%
Simpulan Penggunaan nanoserat selulosa dapat meningkatkan sifat kuat tarik film tapioka, namun mengurangi sifat pemanjangan putus film. Nilai kuat tarik film yang dihasilkan sebesar 2,44-3,15 N/mm2, sedangkan nilai pemanjangan putus film yang dihasilkan sebesar 16,51-31,14%. Penggunaan nanoserat selulosa mampu menurunkan laju transmisi uap air dan permeabilitas film terhadap uap air. Laju transmisi uap air yang dihasilkan sebesar 143,21-166,56 g/m2.hari dan nilai permeabilitas film tehadap uap air sebesar 28,52-52,01 g.mm/m2.hari.kPa. Penambahan nanoserat selulosa juga menurunkan transparansi film.
46
5 PENGARUH KELEMBABAN RELATIF RUANG PENYIMPANAN TERHADAP KESTABILAN SIFAT MEKANIS FILM TAPIOKA Pendahuluan Sifat film pada umumnya mengalami perubahan atau kurang stabil selama penyimpanan. Penyimpanan atau penggunaan film pada kondisi lingkungan tertentu dapat mengubah sifat fisik dan kimia polimer yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan film. Perubahan kimiawi dalam film, misalnya oksidasi dapat mendegradasi rantai polimer. Perubahan fisik film, meliputi rekristalisasi polimer dan penurunan kelenturan film akibat migrasi bahan yang bersifat pemlastis dapat menurunkan sifat mekanis film (Osés et al. 2009). Penurunan mutu fisik dan mekanis film akan berimbas terhadap penurunan kemampuan fungsional penggunaannya. Film berbahan dasar pati dikenal sebagai film yang bersifat higroskopis, yaitu dapat menyerap uap air dari udara. Namun, jika kelembaban udara di sekitar film lebih kering, air dapat bermigrasi dari dalam menuju permukaan film dan terlepas ke udara. Oleh karena itu, kelembaban relatif udara atau relative humidity (RH) di sekitar penyimpanan dan penggunaan film merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perubahan sifat mekanis film. Perubahan sifat tersebut disebabkan antara lain disebabkan oleh migrasi bahan yang berperan sebagai pemlastis, terutama air, dari dalam ke permukaan film. Laju migrasinya tergantung pada polaritas dan struktur matriks film (Osés et al. 2009). Penggunaan nanoserat selulosa telah diketahui dapat menghalangi pergerakan molekul air dalam film. Migrasi air dari permukaan ke dalam matriks film atau sebaliknya menjadi terhambat akibat pembentukan jalur difusi yang berliku disebabkan oleh serat yang tersebar di dalam matriks film (Huq et al. 2012; Savadekar dan Mhaske 2012; Abdollahi et al. 2013). Penggunaan nanoserat selulosa sebagai bahan pengisi diharapkan dapat menjaga kestabilan film yang bersifat higroskopis terhadap perubahan kondisi RH selama penyimpanan maupun penggunaan. Metode pembuatan film tapioka dengan nanoserat selulosa yang dilakukan dalam penelitian ini mengacu pada hasil penelitian sebelumnya, yaitu film dengan penambahan nanoserat selulosa sebesar 1% b/b dari berat kering tapioka. Nanoserat selulosa diperoleh dari serangkaian perlakuan alkali, bleaching, dan perlakuan mekanis. Komposisi tersebut menghasilkan film dengan kekuatan mekanis dan permeabilitas terhadap air yang dianggap dapat mewakili komposisi film dengan nanoserat selulosa yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kestabilan sifat mekanis film selama penyimpanan pada kondisi kelembaban lingkungan yang berbeda.
47 Metode Bahan dan Alat Bahan yang digunakan meliputi tapioka, nanoserat selulosa hasil isolasi metode I, sorbitol, dan akuades. Alat yang digunakan dalam pembuatan film antara lain hot plate stirrer, termometer, dan cabinet dryer. Instrumen pengujian yang digunakan meliputi Zwick Instrument. Pembuatan Film Film dibuat dengan metode casting, yaitu pencetakan pada pelat cetakan dan dikeringkan, sehingga terbentuk lembaran film (Müller et al. 2009a). Film yang dibuat terdiri atas dua jenis, yaitu film tapioka tanpa bahan pengisi dan film tapioka dengan bahan pengisi berupa nanoserat tapioka. Tapioka sebanyak 4% (basis kering) dipanaskan dalam akuades pada suhu 80oC sambil diaduk selama 15 menit. Sorbitol ditambahkan sebanyak 2,5% b/b dari total larutan film sebagai pemlastis. Larutan film dituangkan ke permukaan cetakan dengan ketebalan ± 5 mm. Pengeringan dilakukan pada suhu 50oC selama 12 jam menggunakan cabinet dryer. Film yang terbentuk selanjutnya dilepas dari cetakan. Film tapioka dengan bahan pengisi nanoserat selulosa dibuat dengan cara yang sama, namun dengan penambahan nanoserat selulosa sebanyak 1% b/b dari berat kering tapioka. Kondisi Penyimpanan Film dipotong sesuai dengan bentuk potongan uji, yaitu berbentuk dayung dan disimpan disimpan dalam wadah pada RH 75% dan RH 97% selama 7 hari. RH dijaga konstan menggunakan larutan jenuh NaCl (RH 75%) dan K2SO4 (RH 97%) di dalam wadah kedap udara. Pengujian Sifat Mekanis Pengujian dilakukan dengan menggunakan Zwick Instrument pada sampel berbentuk dayung (dumbbell). Sampel dijepit pada penjepit sampel dengan jarak 50 mm, selanjutnya sampel ditarik dengan kecepatan 10 mm/menit. Nilai kuat tarik dihitung dengan membagi gaya maksimum saat bahan uji putus (Newton) dibagi dengan luas penampang bahan uji (mm2), yaitu: σ=
F A
σ = kuat tarik (tensile strength) (N/mm2) ; F = gaya yang diperlukan untuk menarik bahan uji sampai putus (N); A = luas penampang daerah putus (section area) (mm2).
48 Pemanjangan putus dihitung dengan rumus: ε=
Δl
x 100%
lo ε = pemanjangan putus (elongation at break) (%); Δl = pertambahan panjang bahan uji sampai putus; lo = panjang mula-mula. Nilai modulus elastisitas diperoleh dari perhitungan slope kurva stressstrain yang diperoleh dari hasil pengujian mekanis. Slope dihitung pada zona deformasi linier. Modulus elastisitas dihitung dengan rumus: Y=
σ2 – σ1 ε2 - ε1
=
Δσ Δε
Y = modulus elastisitas (N/mm2), σ2 = tegangan pada titik 2(akhir), σ1 adalah tegangan pada titik 1 (awal), ε2 = regangan pada titik 2 (akhir), ε1 = regangan pada titik 1 (awal), Δσ = perbedaan tegangan antara titik 2 dan titik 1, dan Δ ε = perbedaan regangan antara titik 2 dan titik 1 (Davis 2004; Sari dan Satoto 2010). Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial. Perlakuan terdiri atas film tapioka tanpa bahan pengisi (A1) dan film tapioka dengan bahan pengisi nanoserat selulosa (A2), serta RH penyimpanan 75% (B1) dan RH penyimpanan 97% (B2). Data diperoleh dari tiga ulangan perlakuan, hari penyimpanan digunakan sebagai blok perlakuan. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam, apabila menunjukkan perbedaan yang nyata (p < 0,05) dilanjutkan dengan Duncan Multiple Range Test pada taraf uji 0,05. Model umum rancangan percobaan yang digunakan: Yijk = μ + Kk + Ai + Bj + ABij + εijk Yijk Kk Ai Bj ABij ijk i j k
= = = = = = =
Nilai pengamatan dari blok ke-k dari jenis film ke-i dan RH ke-j Nilai rata-rata pengamatan Pengaruh blok hari ke-k Pengaruh jenis film ke-i Pengaruh RH ke-j Pengaruh interaksi dari jenis film ke-i pada RH ke-j Pengaruh galat pada pengamatan blok hari ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij = jenis film ke-1 dan ke-2 = RH ke-1 dan ke-2 = blok hari ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7
49 Hasil dan Pembahasan Perbedaan sifat kuat tarik film tapioka tanpa bahan pengisi dan dengan bahan pengisi nanoserat selulosa pada RH 75% dan 97% selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 34. Peningkatan masa simpan film pada RH 75% menyebabkan peningkatan kuat tarik film. Penyimpanan film pada RH 97% ternyata menunjukkan pola sebaliknya, yaitu kuat tariknya cenderung menurun. Selain itu, penyimpanan film pada RH 75% menghasilkan nilai kuat tarik yang lebih tinggi dibandingkan dengan penyimpanan film pada RH 97%. 3,5
Kuat tarik (N/mm2)
3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 1
2
3
4
5
6
7
Penyimpanan (hari) Tapioka, RH 75%
Tapioka+Nanoserat, RH 75%
Tapioka, RH 97%
Tapioka + Nanoserat, RH 97%
Gambar 34 Kuat tarik film selama penyimpanan Film tapioka dan film tapioka berbahan pengisi nanoserat selulosa pada RH 75% tampak mengalami peningkatan kuat tarik hingga sampai hari ketujuh. Perubahan kuat tarik kedua jenis film tidak menujukkan perbedaan yang nyata. Peningkatan kuat tarik ini menunjukkan peningkatan kekakuan film. Film tanpa nanoserat selulosa pada RH 97% mengalami penurunan nilai kuat tarik sekitar 87% pada hari ketujuh, sedangkan film dengan nanoserat selulosa mengalami penurunan nilai kuat tarik mencapai 72%. Film tapioka pada penyimpanan hari kedua menunjukkan penurunan nilai kuat tarik yang lebih besar dibandingkan dengan film tapioka berbahan pengisi nanoserat selulosa. Penurunan nilai kuat tarik film tapioka ini menunjukkan bahwa uap air yang terserap dari hari pertama sampai kedua berlangsung secara cepat dan menempati ruang bebas di dalam matriks film. Laju penyerapan uap air pada hari ketiga dan seterusnya diduga melambat akibat sebagian mikropori matriks film tapioka sudah terisi oleh air. Secara umum kuat tarik film tapioka tanpa bahan pengisi dan film tapioka dengan bahan pengisi nanoserat selulosa sampai hari ketujuh penyimpanan menunjukkan pola penurunan kuat tarik yang sama dan tidak berbeda nyata secara statistik. Meskipun demikian, penggunaan nanoserat selulosa tampak dapat menghambat penurunan kuat tarik film pada RH 97%. Penurunan nilai kuat tarik
50 mulai terjadi pada hari keempat. Kondisi ini menunjukkan bahwa adanya nanoserat selulosa dapat menghambat penyerapan uap air dari udara akibat penurunan sifat higroskopis film. Penurunan sifat higroskopis film terkait dengan adanya interaksi antara sisi hidrofil rantai pati dan nanoserat selulosa, sehingga dapat mencegah dan menggantikan terjadinya interaksi antara rantai pati dan air (Müller et al. 2009a; Dias et al. 2011). Adanya jaringan atau belitan serat selulosa dalam matriks film dapat menghambat difusi uap air dari udara ke dalam matriks film, sehingga penambahan nanoserat selulosa meningkatkan sifat penghambatan terhadap migrasi uap air ke matriks film (Belbekhouce et al. 2011; Saxena et al. 2011; Azeredo et al. 2012). Kondisi tersebut dapat mengurangi kelembaban film pati dan meningkatkan kestabilannya terhadap perubahan kelembaban lingkungan (Ma et al. 2005; Müller et al. 2009b). Kondisi RH 75% menunjukkan kondisi kelembaban udara yang lebih kering dibandingkan RH 97%. Film pada kelembaban kering dapat melepaskan air yang terkandung di dalamnya melalui proses difusi molekul air dari matriks film menuju permukaan dan penglepasan (desorpsi) molekul air ke udara. Sebaliknya, pada kondisi RH penyimpanan 97% terjadi peristiwa adsorpsi uap air dari udara ke permukaan film dan dilanjutkan dengan migrasi uap air dari permukaan ke bagian dalam matriks film. Perubahan kandungan uap air film tercermin pada perubahan bobot film selama penyimpanan (Gambar 35). Migrasi uap air ke dalam matriks film dapat melemahkan interaksi rantairantai polimer, sehingga film menjadi lebih lunak (Rachtanapun dan Wongchaiya 2012). Pelemahan ini diduga disebabkan oleh uap air dari udara yang masuk ke dalam matriks film. Air dalam matriks film dapat melemahkan interaksi di antara rantai polimer film, sehingga menurunkan kepaduan dan elastisitas film (Bertuzzi et al. 2012; Rachtanapun dan Wongchaiya 2012).
Gambar 35 Perubahan bobot film selama penyimpanan
51 Pelemahan interaksi antar polimer yang satu dengan yang lain dalam matriks film dengan adanya air dapat meningkatkan mobilitas rantai polimer. Air dalam hal ini berperan seperti bahan pemlastis yang menghalangi interaksi rantai polimer secara langsung, sehingga meningkatkan mobilitas rantai polimer (Schmidt et al. 2013). Penggunaan bahan pemlastis sampai batas tertentu dapat meningkatkan nilai pemanjangan putus. Namun, film yang disimpan pada RH 97% menunjukkan nilai pemanjangan putus yang rendah dan cenderung menurun sampai hari ketiga dan selanjutnya cenderung stabil sampai hari ketujuh (Gambar 36). 160 Pemanjangan putus (%)
140 120 100 80 60 40 20 0 1
2
3
4
5
6
7
Penyimpanan (hari) Tapioka, RH 75%
Tapioka, RH 97%
Tapioka + Nanoserat, RH 75%
Tapioka + Nanoserat, RH 97%
Gambar 36 Pemanjangan putus film selama penyimpanan Film tapioka pada kondisi RH penyimpanan 97% pada hari kedua menunjukkan nilai pemanjangan putus yang menurun cukup tajam hingga 50% dari hari pertama, sedangkan nilai pemanjangan putus film tapioka dengan penambahan nanoserat selulosa hanya turun sekitar 10%. Nilai pemanjangan putus film pada hari keempat sampai ketujuh relatif tidak menunjukkan perubahan yang besar. Perubahan nilai modulus elastisitas film dapat dilihat pada Gambar 37. Modulus elastisitas kedua jenis film pada RH 75% dari hari pertama dan kedua tampak lebih rendah daripada modulus elastisitas film pada RH 97%. Namun, modulus elastisitas film pada RH 75% tampak lebih tinggi daripada modulus elastisitas film pada RH 97% mulai dari hari ketiga sampai ketujuh. Peningkatan modulus elastisitas menunjukkan bahwa gaya yang diperlukan untuk menarik film sampai pemanjangan tertentu dalam zona deformasi linier makin meningkat. Film dengan modulus elastisitas tinggi menunjukkan sifat yang lebih kaku dibandingkan dengan film dengan modulus elastisitas rendah. Kekakuan film akibat penyimpanan pada RH yang rendah berisiko terjadi retakan saat aplikasi (Ferreira et al. 2009).
52
Modulus elastisitas (N/mm2)
25 20 15 10 5 0 1
2
3
4
5
6
7
Penyimpanan (hari) Tapioka, RH 75%
Tapioka + Nanoserat, 75%
Tapioka, 97%
Tapioka + Nanoserat, 97%
Gambar 37 Modulus elastisitas film selama penyimpanan
Simpulan Nilai kuat tarik, pemanjangan putus, dan modulus elastisitas film pada kondisi penyimpanan 75% tampak lebih tinggi daripada film yang disimpan pada kondisi 97%. Kondisi penyimpanan dengan RH 75% selama tujuh hari menyebabkan nilai kuat tarik film secara umum meningkat dan nilai pemanjangan putusnya menurun. Peningkatan nilai kuat tarik dan penurunan pemanjangan putus film tapioka tanpa bahan pengisi relatif lebih tajam dibandingkan dengan nilai kuat tarik dan pemanjangan putus film tapioka dengan nanoserat selulosa. Nilai modulus elastisitas film mengalami peningkatan, menunjukkan bahwa kekakuan film makin bertambah selama periode penyimpanan yang diamati. Kondisi penyimpanan dengan RH 97% selama tujuh hari menyebabkan nilai kuat tarik film secara umum menurun dan nilai pemanjangan putusnya menurun. Nilai modulus elastisitas film cenderung turun, menunjukkan bahwa struktur film makin lunak selama periode penyimpanan yang diamati.
53
6 PEMBAHASAN UMUM Metode isolasi nanoserat selulosa yang dilakukan dalam penelitian ini telah berhasil memperoleh nanoserat selulosa dari ampas tapioka. Perubahan ukuran serat menjadi serat berukuran nano menyebabkan perubahan sifat serat, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan baku suatu produk tertentu untuk memodifikasi sifat produk yang dihasilkan ke arah sifat yang diinginkan. Ukuran serat yang lebih kecil dengan adanya asam sulfat menunjukkan proses disintegrasi serat menjadi lebih intensif. Perubahan tersebut diikuti oleh perubahan komponen serat lain, terutama lignin dan hemiselulosa, sehingga sifat fisikokimia serat juga berubah. Perubahan sifat fisikokimia dapat dideteksi antara lain melalui pengamatan terhadap sifat zeta potential (ZP), keberadaan gugus fungsional tertentu, dan kristalinitas. Nilai ZP merupakan nilai yang menunjukkan kestabilan partikel dalam suspensi. Sifat ini penting dalam hubungannya dengan pembentukan formulasi yang homogen. Nilai ZP yang rendah menunjukkan partikel atau serat cenderung untuk mengendap atau membentuk aglomerat, sehingga akan mengurangi kehomogenan bahan. Matriks film yang kurang homogen dapat mengurangi kualitas mekanis film yang dihasilkan. Penurunan ukuran partikel pada umumnya meningkatkan kestabilannya dalam suspensi. Hal ini terkait dengan peningkatan luas permukaan yang berpengaruh pula terhadap gugus-gugus fungsional yang terekspos di permukaan. Gugus-gugus tersebut akan menghasilkan gaya tarik-menarik atau tolak-menolak. Peristiwa tolak-menolak dapat terjadi jika partikel bermuatan sejenis. Gaya tersebut akan besar jika perbedaan muatan listrik di permukaan juga besar. Perbedaan muatan listrik di permukaan partikel diukur dengan ZP Berdasarkan hasil TEM diketahui bahwa diameter atau ukuran nanoserat selulosa yang dihasilkan metode III lebih kecil daripada metode I, namun menghasilkan nilai ZP yang lebih kecil, yaitu 33,75 mV, sedangkan metode I menghasilkan nilai ZP 52,45 mV. Nilai ZP yang lebih kecil ini diduga dipengaruhi oleh residu sulfat yang bermuatan negatif pada permukaan serat setelah perlakuan hidrolisis asam pada metode III. Reaksi ikatan gugus sulfat pada permukaan nanoserat selulosa dapat dilihat pada Gambar 38.
Gambar 38 Reaksi ikatan gugus sulfat pada permukaan nanoserat selulosa (Lu dan Hsieh 2010)
54 Tonoli et al. (2012) mengamati bahwa penambahan waktu hidrolisis menggunakan asam sulfat menyebabkan kandungan sulfur pada nanoserat selulosa meningkat. Peningkatan kandungan sulfur pada nanoserat selulosa menurunkan muatan listrik pada permukaan nanoserat selulosa, sehingga nilai ZPnya turun. Metode II juga menggunakan perlakuan asam. Namun, nilai ZP nya tercatat paling tinggi dibandingkan metode I dan II, yaitu 52,45 mV. Hal ini diduga ada residu alkali dan bleaching agent yang menetralkan muatan gugus negatif yang berasal dari gugus sulfat. Secara umum, nilai kestabilan suspensi nanoserat selulosa tergolong baik. Hal ini menunjukkan bahwa semua metode isolasi yang digunakan dalam penelitian ini berpotensi untuk menghasilkan suspensi nanoserat yang stabil. Sifat ZP tersebut dapat berpengaruh terhadap sifat lain pada nanoserat selulosa maupun pada sifat film yang dihasilkan. Hubungan antara nilai ZP dan indeks kristalinitas nanoserat selulosa dapat dilihat pada Gambar 39.
40
Indeks kristalinitas (%)
38
36
34
32
30 30
40
50
60
Zeta potential (mV)
Gambar 39 Hubungan antara ZP dan indeks kristalinitas nanoserat selulosa Peningkatan nilai ZP tampak diikuti oleh peningkatan indeks kristalinitas nanoserat selulosa. Nilai ZP yang tinggi menunjukkan bahwa muatan ion total di permukaan partikel atau serat juga tinggi. Struktur kristal terjadi akibat interaksi berupa ikatan hidrogen melalui gugus hidroksil pada molekul selulosa yang berdekatan saat serat atau partikel dikeringkan (Sheltami et al. 2012). Beda potensial permukaan yang tinggi menyebabkan interaksi yang terjadi di antara permukaan serat juga tinggi. Interaksi yang terjadi pada umumnya berupa ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen terjadi apabila atom hidrogen terikat pada atom yang sangat
55 elektronegatif, menyebabkan pasangan elektron hidrogen tertarik pada atom yang lebih elektronegatif (efek imbas). Kekosongan elektron pada salah satu sisi atom hidrogen menghasilkan ujung positif dipol kuat. Ujung dipol positif mencari daerah berkerapatan elektron tinggi, seperti atom elekronegatif yang terbentuk pada rantai selulosa lainnya, sehingga menghasilkan gaya tarik-menarik antarrantai yang kuat (Cowd 1991). Kestabilan nanoserat selulosa berperan penting dalam kaitannya dengan pembuatan larutan film. Kestabilan yang baik memungkinkan serat tersebar secara merata, sehingga efek penguatannya lebih efektif. Hubungan antara nilai ZP dan nilai kuat tarik film dapat dilihat pada Gambar 40. 3
Kuat tarik (N/mm2)
2,5 2 1,5 1 0,5 0 30
40
50
60
Zeta potential (mV)
Gambar 40 Hubungan antara nilai ZP dan kuat tarik film Nilai rata-rata kuat tarik film berbahan pengisi nanoserat selulosa yang dihasilkan dari metode III atau metode asam (2,30 N/mm2), cenderung lebih rendah dibandingkan metode I (2,59 N/mm2) dan II (2,35 N/mm2). Apabila dikaitkan dengan nilai ZP nya, metode III menunjukkan nilai ZP yang lebih kecil dibandingkan metode I dan II. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa kestabilan suspensi nanoserat berperan penting dalam distribusi nanoserat dalam matriks film, sehingga memberikan efek kekuatan film yang cukup berarti. Apabila dikaitkan dengan pengaruh ZP terhadap indeks kristalinitas (Gambar 46), ZP yang tinggi berhubungan dengan kristalinitas nanoserat selulosa yang tinggi. Penggunaan bahan pengisi dengan kristalinitas tinggi dapat meningkatkan kristalinitas matriks film, sehingga kekerasan atau kekakuan film turut meningkat. Perubahan kekakuan film dapat berpengaruh pula terhadap kelenturan film. Hubungan antara ZP nanoserat selulosa dan pemanjangan putus film dapat dilihat pada Gambar 41.
56 30
Pemanjangan putus (%)
25 20 15 10 5 0 30
40
50
60
Zeta potential (mV)
Gambar 41 Hubungan antara ZP nanoserat selulosa dan pemanjangan putus film Penambahan nanoserat selulosa diketahui dapat menahan mobilitas rantai polimer matriks film. Namun, jika ditinjau dari hubungan antara ZP dan pemanjangan putus film, tampak bahwa pemanjangan putus film relatif tidak berbeda dengan adanya perbedaan nilai ZP. Kondisi ini menunjukkan bahwa sifat penahanan pergerakan polimer tidak hanya dipengaruhi oleh distribusi nanoserat selulosa saja dalam film, namun ada faktor lain seperti sifat fisis dan mekanis serat itu sendiri yang dapat bervariasi akibat perbedaan perlakuan kimiawi yang diberikan saat mengisolasi nanoserat selulosa. Sifat penahanan difusi molekul air dalam matriks film dipengaruhi oleh keberadaan bahan yang dapat menahan laju molekul air baik secara fisik maupun secara kimia. Penggunaan nanoserat selulosa dapat memodifikasi sifat transmisi film akibat adanya interaksi antara sisi hidrofil rantai pati dan serat selulosa, sehingga mencegah interaksi antara rantai pati dan air. Hal ini menurunkan sifat higroskopis film berbahan dasar pati (Müller et al. 2009a; Dias et al. 2011). Sebaran bahan yang dapat menahan molekul air turut berpengaruh pula dalam menahan mobilitas molekul air dalam matriks film. Hal tersebut dapat dilihat dari hubungan antara nilai ZP dan laju transmisi uap air film serta nilai permeabilitasnya (Gambar 42 dan 43).
57
Laju transmisi (g/m2.hari)
200
190
180
170
160
150 30
40
50
60
Zeta potential (mV)
Gambar 42 Hubungan antara ZP dan laju transmisi uap air film
Permeabilitas
(g.mm/m2.hari.kPa)
40 35 30 25 20 15 10 5 0 30
40
50
60
Zeta potential (mV)
Gambar 43 Hubungan antara ZP dan permeabilitas film terhadap uap air Nanoserat selulosa dengan nilai ZP yang besar cenderung menurunkan nilai laju transmisi uap air dan permeabilitas film terhadap uap air. Distribusi nanoserat yang merata akan lebih menahan pergerakan molekul air dalam matriks film. Keadaan tersebut ditunjukkan dengan nilai rata-rata laju transmisi uap air dan permeabilitas film berbahan pengisi nanoserat selulosa hasil metode III yang relatif lebih besar (182,06 g/m2.hari dan 10,79 g.mm/m2.hari.kPa) dibandingkan
58 dengan metode I (173,38 g/m2.hari dan 10,37 g.mm/m2.hari.kPa) serta metode II (168,99 g/m2.hari dan 10,51 g.mm/m2.hari.kPa). Adanya jaringan dan sebaran nanoserat selulosa dalam matriks film yang baik juga dapat menghambat difusi uap air dari udara ke dalam matriks film atau sebaliknya, akibat pembentukan jalur difusi yang lebih berliku dalam matriks film. Hal ini menyebabkan penambahan nanoserat selulosa dapat meningkatkan sifat penghambatan uap air (Belbekhouce et al. 2011; Saxena et al. 2011; Azeredo et al. 2012). Gambaran penghambatan nanoserat tersebut dapat dilihat pada Gambar 44.
Molekul uap air Jalur difusi Zona belitan Gambar 44 Jalur difusi uap air dengan adannya nanoserat selulosa (Belbekhouche et al. 2011) Sifat transparansi film merupakan salah satu pertimbangan dalam pemilihan penggunaan film. Penggunaan bahan pengisi dapat menurunkan transparansi film. Sebaran bahan pengisi yang baik dalam film merupakan salah satu faktor yang tidak hanya berperan untuk memperbaiki sifat mekanis film, juga berperan untuk mempertahankan transparansi film. Hubungan antara ZP nanoserat selulosa dan transparansi film dapat dilihat pada Gambar 45 dan 46. Persentase transmitansi film tampak cenderung lebih tinggi apabila menggunakan nanoserat selulosa dengan ZP yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sebaran bahan pengisi dapat mengurangi penghalangan cahaya yang menembus lapisan film. Sebaran bahan pengisi yang kurang baik, terutama jika terbentuk aglomerasi akan menghasilkan kumpulan partikel yang besar, yang dapat menghalangi cahaya melalui proses refleksi atau penghamburan cahaya.
59
Transmitansi rata-rata (%)
70 400 nm
65
450 nm 60
500 nm 550 nm
55
600 nm 650 nm
50
700 nm 750 nm
45
800 nm
40 30
35
40
45
50
55
60
Zeta potential (mV)
Gambar
45 Hubungan antara ZP dan transmitansi rata-rata pada gelombang cahaya tampak
Transmitansi rata-rata (%)
50 40 30
200 nm 250 nm
20
300 nm 350 nm
10 0 30
35
40
45
50
55
60
Zeta potential (mV)
Gambar
46 Hubungan antara ZP dan transmitansi rata-rata pada gelombang cahaya ultraviolet
Kristalinitas merupakan salah satu faktor penting dalam kaitannya dengan sifat fungsional film. Hubungan antara kristalinitas bahan pengisi dan sifat kuat tarik film dapat dilihat pada Gambar 47.
60 3
Kuat tarik (N/mm2)
2,5 2 1,5 1 0,5 0 0
10
20
30
40
50
Indeks kristalinitas (%)
Gambar 47 Hubungan antara indeks kristalinitas dan kuat tarik film Indeks kristalinitas yang tinggi menunjukkan nilai kuat tarik yang tinggi pula. Kristalinitas bahan setelah perlakuan pembuatan nanomaterial tampak meningkat. Kristalinitas yang tinggi diasosiasikan dengan nilai kuat tarik serat yang tinggi, sehingga ideal untuk dijadikan bahan penguat (Alemdar dan Sain 2008). Penghilangan bahan selain selulosa pada serat ampas tapioka dapat meningkatkan kristalinitasnya. Kristalinitas bahan telah diketahui berperan penting dalam memengaruhi sifat mekanis film. Metode II tampak menghasilkan indeks kristalinitas 39,73%, lebih besar dibandingkan dengan metode I dan II, yaitu 33,25% dan 31,23%. Namun, film berbahan pengisi nanoserat selulosa dari metode II menghasilkan nanoserat selulosa dengan sifat kristalinitas yang paling tinggi berdasarkan hasil pengamatan dengan XRD, namun sifat kuat tarik film dengan bahan pengisi nanoserat selulosa dari metode II tampak lebih rendah daripada metode I. Hal ini diduga karena adanya kerusakan pada struktur selulosa saat hidrolisis asam. Apabila dikaitkan dengan spektrum FTIR pada metode II, tampak ada serapan inframerah pada bilangan gelombang sekitar 1730 cm-1 Serapan inframerah pada bilangan gelombang tesebut disebabkan oleh cincin glukopiranosa yang terbuka akibat pemutusan rantai dan memicu oksidasi gugus C-OH pada selulosa (Morán et al. 2008). Kemunculan puncak pada hasil XRD yang menunjukkan peningkatan kristal selulosa II pada nanoserat selulosa hasil isolasi dengan metode II dan III diduga turut berperan dalam menurunkan sifat kuat tarik film. Perubahan struktur kristal dari selulosa I ke selulosa II dapat terjadi akibat perlakuan alkali dengan konsentrasi 5% (Gupta et al. 2013), sedangkan El Oudani et al. (2011) menyatakan bahwa kadar alkali > 2% sudah dapat menyebabkan perubahan struktur kristal selulosa. Perubahan struktur kristal selulosa tersebut dapat diikuti dengan degradasi rantai selulosa, sehingga melemahkan serat.
61 Hubungan antara kristalinitas dan sifat pemanjangan putus film dapat dilihat pada Gambar 48. Kristalinitas nanoserat selulosa tampak berperan penting dalam mempertahankan integritas film, sehingga tidak putus saat ditarik. Serat dengan kristalinitas tinggi memiliki kemampuan berinteraksi yang tinggi antara serat dengan polimer dan antara serat dan serat. Peningkatan interaksi polimer dalam matriks film menyebabkan integritas film makin baik, sehingga dapat menahan gaya yang mendeformasi film. 30
Pemanjangan putus (%)
25 20 15 10 5 0 0
10
20
30
40
50
Indeks kristalinitas (%)
Gambar 48 Hubungan antara kristalinitas dan pemanjangan putus film Pengaruh kristalinitas bahan pengisi terhadap kemampuan penahanan film terhadap molekul air dapat dilihat pada Gambar 49 dan 50. Kristalinitas bahan pengisi tampak meningkatkan kemampuan penahanan film terhadap difusi molekul air. Secara umum, serat tergolong bahan yang bersifat higroskopis. Molekul air terabsorpsi secara langsung pada gugus hidroksil pada permukaan eksternal, daerah amorf, permukaan dalam, dan daerah kristal. Molekul air tambahan dapat terikat pada permukaan air yang terabsorpsi langsung pada permukaan serat. Absorpsi molekul air secara langsung pada permukaan eksternal dan daerah amorf berlangsung dengan cepat, sedangkan pada permukaan serat bagian dalam dan daerah kristal relatif lambat (Belbekhouche et al. 2011). Diagram absorpsi uap air pada permukaan serat dapat dilihat pada Gambar 51.
62 220
Laju transmisi (g/m2.hari)
210 200 190 180 170 160 150 0
10
20
30
40
50
Indeks kristalinitas (%)
Gambar 49 Hubungan kristalinitas dan laju transmisi uap air
Permeabilitas (g.mm/m2.hari.kPa)
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0
10
20
30
40
50
Indeks kristalinitas (%)
Gambar 50 Hubungan kristalinitas dan permeabilitas film terhadap uap air Sifat kristalin yang tinggi, menyebabkan serat dapat menekan sifat higroskopisitas film dan meningkatkan ketahanan terhadap difusi molekul air apabila digunakan sebagai bahan pengisi. Hal ini disebabkan karena molekul air lebih mudah melalui daerah yang amorf daripada daerah kristal. Nanofibrils dianggap memiliki kemampuan dalam menghalangi transmisi uap air yang melalui film dibandingkan nanowhiskers terkait dengan pembentukan formasi jaringan dalam matriks film. Namun, apabila nanofibrils memiliki daerah amorf yang banyak, maka keefektifan sifat penghambatan terhadap uap air menjadi berkurang.
63
a: daerah kristal b: daerah amorf c: molekul antara serat d: daerah kosong
1: absorpsi eksternal 2: absorpsi di daerah amorf 3: absorpsi di permukaan dalam 4: absorpsi di daerah kristal
molekul air langsung molekul air tidak langsung Gambar 51 Diagram absorpsi uap air secara langsung dan tidak langsung pada permukaanserat (Okubayashi et al. 2004)
Peningkatan sifat penahanan terhadap uap air diharapkan juga dapat mempertahankan kestabilan sifat mekanis film selama penyimpanan dan pemakaian, mengingat salah satu faktor yang dapat menurunkan sifat mekanis film berbasis pati adalah sifat higroskopisnya yang tinggi. Penggunaan nanoserat selulosa tampak cenderung menahan perubahan sifat fisik film selama penyimpanan. Namun, pengaruhnya belum menampakkan hasil yang maksimal. Hal ini diduga terkait dengan sifat pati atau tapioka yang masih tampak dominan terhadap sifat fisik film. Modifikasi sifat fisik film terkait dengan peningkatan kestabilan film selama penyimpanan masih perlu dilanjutkan, mengingat informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini masih terbatas pada salah satu produk isolasi nanoserat selulosa dan dengan konsentrasi nanoserat selulosa yang relatif masih kecil. Hubungan antara kristalinitas dan transparansi film dapat dilihat pada Gambar 52 dan 53. Kristalinitas bahan pengisi yang rendah atau cenderung amorf tampak menurunkan nilai transmitansi film. Hal ini diduga berkaitan dengan struktur amorf yang kurang teratur, sehingga dapat memerangkap berkas cahaya dan merefleksikannya. Keteraturan struktur serat dengan kristalisasi tinggi menyebabkan serat lebih kompak, sehingga menyisakan ruang kosong untuk dilewati berkas cahaya.
64 70
400 nm
Transmitansi rata-rata (%)
60
450 nm 500 nm
50
550 nm
40
600 nm
30
650 nm
20
700 nm
10
750 nm 800 nm
0 0
10
20
30
40
50
60
Indeks kristalinitas (%)
Gambar 52
Hubungan antara indeks kristalinitas dan transmitansi rata-rata pada gelombang cahaya tampak
Transmitansi rata-rata (%)
60 50 40 200 nm
30
250 nm 300 nm
20
350 nm
10 0 0
10
20
30
40
50
60
Indeks kristalinitas (%)
Gambar 53
Hubungan antara indeks kristalinitas dan transmitansi rata-rata pada gelombang cahaya ultraviolet
65
Simpulan Berdasarkan pembahasan tentang hubungan variabel pengamatan pada karakterisasi dan aplikasi nanoserat selulosa dapat diambil simpulan sebagai berikut: 1. Pengecilan ukuran serat menjadi serat berskala nano, meningkatkan kestabilan suspensi serat, meningkatkan keefektifan serat sebagai penguat film, dan selanjutnya dapat berdampak positif terhadap kemampuan film dalam menahan transmisi uap air melalui matriks film. 2. Kestabilan suspensi nanoserat selulosa tidak hanya mencerminkan kemampuannya untuk terdistribusi secara baik dalam matriks film, namun juga terkait dengan kristalinitas nanoserat selulosa yang selanjutnya berpengaruh terhadap sifat mekanis film, meningkatkan keefektifan nanoserat selulosa sebagai penahan transmisi uap air, dan menunjang sifat transparansi film. 3. Nanoserat selulosa dengan kristalinitas yang tinggi tidak hanya menunjang peningkatan kekuatan film, namun dapat meningkatkan keefektifan film sebagai penahan transmisi uap air, serta menekan penurunan transparansi film akibat penggunaan bahan pengisi.
66
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perlakuan alkali + bleaching + mekanis (metode I), perlakuan alkali + bleaching + hidrolisis asam + mekanis (metode II), dan hidrolisis asam + mekanis (metode III) dapat digunakan untuk mengisolasi nanoserat selulosa. Nanoserat selulosa yang dihasilkan melalui metode I berdiameter 20-30 nm, sedangkan nanoserat selulosa yang dihasilkan melalui metode II dan metode III masingmasing 5-8 nm dengan panjang beberapa mikrometer. Kestabilan suspensi nanoserat selulosa dari metode I, II, dan III tergolong baik, ditunjukkan dengan nilai zeta potential masing-masing sebesar 46,47 mV, 52,45 mV, dan 33,75 mV. Semua metode yang diterapkan dapat meningkatkan kristalinitas bahan dari 14,52% (sebelum perlakuan isolasi) menjadi 33,25% (metode I), 39,73% (metode II), dan 31,23% (metode III). Penggunaan nanoserat selulosa dapat meningkatkan sifat kuat tarik film tapioka, namun mengurangi sifat pemanjangan putus film. Nilai kuat tarik film tapioka tanpa bahan pengisi sebesar 1,45 N/mm2. Penambahan bahan pengisi berupa nanoserat selulosa menghasilkan kuat tarik sebesar 2,44-3,15 N/mm2, sedangkan film dengan bahan pengisi ampas tapioka menghasilkan kuat tarik sebesar 1,43-2,24 N/mm2. Nilai pemanjangan putus film tapioka tanpa bahan pengisi sebesar 35,30%. Penambahan bahan pengisi berupa nanoserat selulosa menghasilkan pemanjangan putus sebesar 16,51-31,14%, sedangkan film dengan bahan pengisi ampas tapioka menghasilkan pemanjangan putus sebesar 13,5422,94%. Penggunaan nanoserat selulosa mampu menurunkan laju transmisi uap air dan permeabilitas film terhadap uap air. Laju transmisi uap air film tapioka tanpa bahan pengisi sebesar 262,29 g/m2.hari dengan nilai permeabilitas film terhadap uap air sebesar 51,56 g.mm/m2.hari.kPa. Penambahan bahan pengisi berupa nanoserat selulosa menghasilkan laju transmisi uap air sebesar 143,21-166,56 g/m2.hari dan nilai permeabilitas film tehadap uap air sebesar 28,52-31,98 g.mm/m2.hari.kPa, sedangkan film dengan bahan pengisi ampas tapioka menghasilkan laju transmisi uap air sebesar 186,51-214,86 g/m2.hari dan nilai permeabilitas film tehadap uap air sebesar 40,27-52,01 g.mm/m2.hari.kPa Penambahan nanoserat selulosa juga menurunkan transparansi film. Kondisi penyimpanan dengan RH 75% selama tujuh hari secara umum menyebabkan peningkatan nilai kuat tarik film dan penurunan nilai pemanjangan putusnya. Nilai modulus elastisitas film mengalami peningkatan, menunjukkan bahwa kekakuan film makin bertambah selama periode penyimpanan yang diamati. Kondisi penyimpanan dengan RH 97% selama tujuh hari secara umum menyebabkan penurunan nilai kuat tarik film dan nilai pemanjangan putusnya. Nilai modulus elastisitas film cenderung turun, menunjukkan bahwa struktur film makin lunak selama periode penyimpanan yang diamati. Kestabilan suspensi nanoserat selulosa tidak hanya mencerminkan kemampuannya untuk terdistribusi secara baik dalam matriks film, namun juga terkait dengan kristalinitas nanoserat selulosa yang selanjutnya berpengaruh terhadap sifat mekanis film, meningkatkan keefektifan nanoserat selulosa sebagai
67 penahan transmisi uap air, dan menunjang sifat transparansi film. Nanoserat selulosa dengan kristalinitas yang tinggi tidak hanya menunjang peningkatan kekuatan film, namun dapat meningkatkan keefektifan film sebagai penahan transmisi uap air, serta menekan penurunan transparansi film akibat penggunaan bahan pengisi. Saran Suspensi nanoserat selulosa yang dihasilkan dari penelitian ini masih tampak kecoklatan. Warna yang kecoklatan ini menyebabkan film menjadi berwarna kecoklatan apabila nanoserat selulosa yang ditambahkan dalam konsentrasi yang tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikaji metode bleaching yang lain namun dengan tetap memperhatikan sifat fisiko-kimia nanoserat yang dihasilkan. Penggunaan nanoserat selulosa dengan konsentrasi 1% sampai 4% b/b dari berat kering pati tampak menunjukkan peningkatan kuat tarik. Perlu dikaji penambahan konsentrasi nanoserat selulosa, dengan tetap memperhatikan penurunan kelenturan film yang cenderung turun jika kuat tarik meningkat. Pengujian kestabilan film pada RH 75% dan 97% dilakukan pada hari pertama sampai hari ketujuh. Selama periode penyimpanan tersebut, kemungkinan film masih dalam proses pencapaian kesetimbangan kandungan airnya dengan lingkungan. Oleh karena itu, perlu dikaji kestabilan film pada kondisi penyimpanan setelah hari ketujuh dan dengan penambahan variasi RH.
68
DAFTAR PUSTAKA Abe K, Yano H. 2009. Comparison of the characteristics of cellulose microfibril aggregates of wood, rice straw and potato tuber. Cellulose 16:10171023. Abdollahi M, Alboofetileh M, Rezaei M, Rabi Behrooz R. 2013. Comparing physico-mechanical and thermal properties of alginatenanocomposite films reinforced with organic and/or inorganic nanofillers. Food Hydrocolloids 32:416-424. Abraham E, Deepa B, Pothan LA, Jacob M, Thomas S, Cvelbard U, Anandjiwala R. 2011. Extraction of nanocellulose fibrils from lignocellulosic fibres: a novel approach. Carbohyd Polym 86:1468-1475. Adel AM, El-Wahab ZHA, Ibrahim AA, Al-Shemy MT. 2010. Characterization of microcrystalline cellulose prepared from lignocellulosic materials. Part I. Acid catalyzed hydrolysis. Bioresource Technol 101:44464455. Adel AM, El-Wahab ZHA, Ibrahim AA, Al-Shemy MT. 2011. Characterization of microcrystalline cellulose prepared from lignocellulosic materials. Part II: physicochemical properties. Carbohyd Polym 83:676-687. Alemdar A, Sain M. 2008. Isolation and characterization of nanofibers from agricultural residues. Wheat straw and soy hulls. Bioresource Technol 99:1664-1671. Al-Hassan AA, Norziah MH. 2012. Starch-gelatin edible films: water vapor permeability and mechanical properties as affected by plasticizers. Food Hydrocolloids 26:108-117. Alves VD, Castello R, Ferreira AR, Costa N, Fonseca IM, Coelhoso IM. 2011. Barrier properties of carrageenan/pectin biodegradable composite films. Proced Food Sci 1:240-245. Attarian ACL, Kechichian V, Veiga-Santos P, Ditchfield C, Tadini CC. 2006. Effect of antimicrobial edible additives on cassava starch biobased films characterization. Proceedings of the 2nd CIGR Section VI International Symposium on Future of Food Engineering, Warsaw, Poland. 26-28 April 2006. Aulin C, Gällstedt M, Lindstrom T. 2010. Oxygen and oil barrier properties of microfibrillated cellulose films and coatings. Cellulose 17:559-574. Averous L, Boquillon N. 2004. Biocomposites based on plasticised starch: thermal and mechanical behaviours. Carbohyd Polym 56:111-122. Azeredo HMC, Miranda KWE, Rosa MF, Nascimento DM. 2012. Ediblefilms from alginate-acerola puree reinforced with cellulose whiskers. LWT-Food Sci Technol 46:294-297. Bahri MH, Rashidi M. 2009. Effect of coating methods and storage periods on some qualitative characteristics of carrot during ambient storage. Int J Agric Biol 11:443-447. Belbekhouce S, Bras J, Siqueira G, Chappey C, Lebrun L, Khelifi B, Marais S, Dufresne A. 2011. Water sorption behavior and gas barrier properties of cellulose whiskers and microfibrils film. Carbohyd Polym 83:1740-1748.
69 Bertuzzi MA, Gottifredi JC, Armada M. 2012. Mechanical properties of ahigh amylose content corn starch based film, gelatinized at low temperature.Braz J Food Technol 15(3):219-227. Bhattacharya D, Germinario LT, Winter WT. 2008. Isolation, preparationand characterization of cellulose microfibers obtained from bagasse. Carbohyd Polym 73:371-377. Bilbao-Sainz C, Bras J, Williams T, Sénechal T, Orts W. 2011. HPMC reinforced with different cellulose nano-particles. Carbohyd Polym 86:15491557. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Industri Manufaktur Indonesia 2011. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bras J, Hassan ML, Bruzessea C, Hassan EA, El-Wakil NA, Dufresne A. 2010. Mechanical, barrier, and biodegradability properties of bagasse cellulose whiskers reinforced natural rubber nanocomposites. Ind Crop Prod 32:627– 633. Buranov AU, Mazza G. 2008. Lignin in straw of herbaceous crops. Ind Crop Prod 28:237-259. Cao X, Ding B, Yu J, Al-Deyab SS. 2012. Cellulose nanowhiskers extracted from TEMPO-oxidized jute fibers. Carbohyd Polym 90:1075-1080. Chang PR, Jian R, Zheng P, Yu J, Ma X. 2010. Preparation and properties of glycerol plasticized-starch (GPS)/cellulose nanoparticle (CN) composites. Carbohyd Polym 79:301-305. Chen D, Lawton D, Thompson MR, Liu Q. 2012. Biocomposites reinforcedwith cellulose nanocrystals derived from potato peel waste. Carbohyd Polym 90:709-716. Chen Y, Liu C, Chang PR, Cao X, Anderson DP. 2009. Bionanocomposites based on pea starch and cellulose nanowhiskers hydrolyzed from pea hull fibre: effect of hydrolysis time. Carbohyd Polym 76:607–615. Chen W, Yua H, Liua Y, Chen P, Zhang M, Hai Y. 2011. Individualization of cellulose nanofibers from wood using high-intensity ultrasonication combined with chemical pretreatments. Carbohyd Polym 83:1804–1811. Cheng G, Varanasi P, Li C, Liu H, Melnichenko YB, Simmons BA, Kent MS, Singh S. 2011. Transition of cellulose crystalline structure and surface morphology of biomass as a function of ionic liquid pretreatment and its relation to enzymatic hydrolysis. Biomacromolecules. [terhubung berkala]. http:// pubs.acs.org/Biomac. dx.doi.org/10.1021/bm101240z. Cherian BM, Leãoa AL, Souza SF, Thomas S, Pothan LA, Kottaisamy M. 2010. Isolation of nanocellulose from pineapple leaf fibres by steam explosion. Carbohyd Polym 81:720–725. Cherian BM, Leãoa AL, Souza SF, Costa LMM, Olyveira GM, Kottaisamy M, Nagarajan ER, Thomas S. 2011. Cellulose nanocomposites with nanofibers isolated from pineaple life fibers for medical application. Carbohyd Polym 86:1790-1798. Cowd MA. 1991. Kimia Polimer. Firman H, penerjemah; Stark JG, editor. Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan dari: Polymer Chemistry. Davis JR. 2004. Tensile Strength. 2nd Edition. Ohio: ASM International.
70 Dias AB, Müller CMO, Larotonda FDS, Laurindo JB. 2011. Mechanical and barrier properties of composite film based on rice flour and cellulose fibers. LWT-Food Sci Technol 44:535-542. Dimmel D. 2010. Overview. Di dalam: Heitner C, Dimmel DR, Schmidt JA, editor. Lignin and Lignan, Advances in Chemistry. Boca Raton: CRC Press; hlm 1-10. Dong H, Strawhecker KE, Snyder JF, Orlicki JA, Reiner RS, Rudie AW. 2012. Cellulose nanocrystals as a reinforcing material for electrospun poly(methyl methacrylate) fibers: formation, properties and nanomechanical characterization. Carbohyd Polym 87:2488-2495. Eichhorn SJ, Dufresne A, Aranguren M, Marcovich NE, Capadona JR, Rowan SJ, Weder C, Thielemans W, Roman M, Renneckar S et al. 2010. Review: current international research into cellulose nanofibres and nanocomposites. J Mater Sci 45:1-33. Elanthikkal S, Gopalakrishnapanicker U, Varghese S, Guthrie JT. 2010. Cellulose microfibres produced from banana plant wastes: isolation and characterization. Carbohyd Polym 80:852–859. El Oudiani A, Chaabouni Y, Msahli S, Sakli F. 2011. Crystal transition from cellulose I to cellulose II in NaOH treated Agave americana L. fibre. Carbohyd Polym 86:1221-1229. Famá L, Gerschenson L, Goyanes S. 2009. Starch-vegetable fibre composites to protect food products. Carbohyd Polym 75:230-235. Fauzi AM, Rahmawakhida A, Hidetoshi Y. 2010. Kajian produksi bersih di industri kecil tapioka: kasus Kelurahan Ciluar, Kecamatan Bogor Utara. J Tek Ind Pert 18(2):60-65. Ferreira FAB, Grossmann MVE, Mali S, Fábio Yamashita F, and Cardoso LP. 2009. Effect of relative humidities on microstructural, barrier and mechanical properties of yam starch-monoglyceride films. Braz Arch Biol Technol 52(6):1505-1512. Ghasemzadeh R, Karbassi A, Ghoddousi HB. 2008. Application of edible coating for improvement of quality and shelf-life of raisins. World Appl Sci J 3(1):8287. Gellerstedt G. 2010. Chemistry of Pulp Bleaching. Di dalam: Heitner C, Dimmel DR, Schmidt JA, editor. Lignin and Lignan, Advances in Chemistry. Boca Raton: CRC Press; hlm 393-438. Gilfillan WN, Nguyen DMT, Sopade PA, Doherty WOS. 2012. Preparation and characterisation of composites from starch and sugar cane fibre. Ind Crop Prod 40:45-54. Guimarães JL, Wypych F, Saul CK, Ramos LP, Satyanarayana KG. 2010. Studies of the processing and characterization of corn starch and its composites with banana and sugarcane fibers from Brazil. Carbohyd Polym 80:130-138. Gupta PK, Uniyala V, Naithani S. 2013. Polymorphic transformation of cellulose I to cellulose II by alkali pretreatment and urea as an additive. Carbohyd Polym 94:843– 849. Habibi Y, Mahrouz M, Vignon MR. 2009. Microfibrillated cellulose from the peel of prickly pear fruits. Food Chem 115:423–429.
71 Henriksson M, Henriksson G, Berglund LA, Lindström T. 2007. An environmentally friendly method for enzyme-assisted preparation of microfibrillated cellulose (MFC) nanofibers. Eur Polym J 43:3434–3441. Hermiati E, Mangunwidjaja D, Sunarti TC, Suparno O, Prasetya B. 2012. Potential utilization of cassava pulp for ethanol production in Indonesia. Sci Res Essays 7(2):100-106. Huq T, Salmieri S, Khan A, Khan RA, Tiena CL, Riedl B, Fraschini C, Bouchard J, Uribe-Calderon J, Musa R. Kamal MR, Lacroix M. 2012. Nanocrystalline cellulose (NCC) reinforced alginate based biodegradable nanocomposite film. Carbohyd Polym 90:1757-1763. Ibrahim MM, Dufresne A, El-Zawawy WK, Agblevor FA. 2010. Banana fibers and microfibrils as lignocellulosic reinforcements in polymer composites. Carbohyd Polym 81:811-819. Indriyati, Yudianti R, Karina M. 2012. Development of nanocomposites from bacterial cellulose and poly(vinyl alcohol) using casting-drying method. Procedia Chemistry 4:73-79. Jacquet N, Vanderghem C, Danthine S, Quiévy N, Blecker C, Devaux J, Paquot M. 2012. Influence of steam explosion on physicochemical properties and hydrolysis rate of pure cellulose fibers. Bioresource Technol 121:221-227. Jiménez A., Fabra M.J., Talens P., Chiralt A. 2013. Phase transitions in starch based films containing fatty acids. Effect on water sorption and mechanical behavior. Food Hydrocolloids 30: 408-418. Johar N, Ahmad I, Dufresne A. 2012. Extraction, preparation and characterization of cellulose fibres and nanocrystals from rice husk. Ind Crop Prod 37:93-99. John MJ, Thomas S. 2008. Biofibres and biocomposites. Carbohyd Polym 71: 343–364. Jonoobi M, Mathew AP, Oksman K. 2012. Producing low-cost cellulose nanofiber from sludge as new source of raw materials. Ind Crop Prod 40:232238. Kamide K. 2005. Cellulose and Cellulose Derivatives, Molecular Characterization and its Applications. Amsterdam: Elsevier B.V. Kaushik A, Singh M, Verma G. 2010. Green nanocomposites based on thermoplastic starch and steam exploded cellulose nanofibrils from wheat straw. Carbohyd Polym 82:337-345. [KEMENTAN] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2012. Basis Data Statistik Pertanian. http://aplikasi.deptan.go.id/bdsp/newkom.asp [27 Jun 2012]. Kengkhetkit N, Amornsakchai T. 2012. Utilisation of pineapple leaf waste for plastic reinforcement: 1. A novel extraction method for short pineapple leaf fiber. Ind Crop Prod 40:55-61. Khalil HPSA, Bhat AH, Yusra AFI. 2012. Green composites from sustainable cellulose nanofibrils: a review. Carbohyd Polym 87:963-979. Kim UJ, Eom SH, Wada M. 2010. Thermal decomposition of native cellulose: influence on crystallite size. Polym Degrad Stabil 95:778-781. Kumara AP, Depan D, Tomer NS, Singh RP. 2009. Nanoscale particles for polymer degradation and stabilization. Trends and future perspectives. Prog Polymer Sci 34: 479–515.
72 Lastriyanto A, Argo BD, Sumardi HS, Komar N, Hawa LC, Hermanto MB. 2007. Penentuan koefisien permeabilitas film edibel terhadap transmisi uap air, gas O2, dan gas CO2. J Tek Pert 8(3):182-187. Lavoine N, Desloges I, Dufresne A, Bras J. 2012. Microfibrillated cellulose. Its barrier properties and application in cellulosic materials: a review. Carbohyd Polym 90:735-764. Liang YL, Pearson RA. 2009. Toughening mechanisms in epoxy-silica nanocomposites (ESNs). Polymer 50:4895–4905. Lin OH, Ishak ZAM, Akil HM. 2009. Preparation and properties of nanosilicafilled polypropylene composites with PP-methyl POSS as compatibiliser. Mater Design 30:748–751. Liu D, Chen X, Yue Y, Chen M, Wu Q. 2011. Structure and rheology of nanocrystalline cellulose. Carbohyd Polym 84:316-322. Liu M, Zhou Y, Zhang Y, Yu C, Cao S. 2013. Preparation and structural analysis of chitosan films with and without sorbitol. Food Hydrocolloids 33:186-191. Lönnberg H, Fogelström L, Berglund MASASL, Malmström E, Hult A. 2008. Surface grafting of microfibrillated cellulose with poly(ε-caprolactone). Synthesis and characterization. Eur Polym J 44:2991-2997. Lu P, Hsieh YL. 2010. Preparation and properties of cellulose nanocrystals: rods, spheres, and network. Carbohyd Polym 82:329-336. Ludueña L, Vázquez A, Alvares V. 2012. Effect of lignocellulosic filler type and content on the behavior of polycaprolactone based eco-composites for packaging applications. Carbohyd Polym 87:411-421. Ma H, Zhou B, Li HS, Li YQ, Ou SY. 2011. Green composite films composed of nanocrystalline cellulose and a cellulose matrix regenerated from functionalized ionic liquid solution. Carbohyd Polym 84:383-389. Ma X, Yu J, Kennedy JF. 2005. Studies on the properties of natural fibersreinforced thermoplastic starch composites. Carbohyd Polym 62:19-24. Mandal A, Chakrabarty D. 2011. Isolation of nanocellulose from waste sugarcane bagasse (SCB) and its characterization. Carbohyd Polym 86:1291-1299. Mbey JA, Hoppe S, Thomas F. 2012. Cassava starch-kaolinite composite film. Effect of clay content and clay modification on film properties. Carbohyd Polym 88:213-222. Menezes AJ, Siqueira G, Curvelo AAS, Dufresne A. 2009. Extrusion and characterization of functionalized cellulose whiskers reinforced polyethylene nanocomposites. Polymer 50:4552-4563. Mondragón M, Arroyo K, Garcia JR. 2008. Biocomposites of thermoplastic starch with surfactant. Carbohyd Polym 74:201-208. Morán JI, Alvarez VA, Cyraz VP, Vázquez A. 2008. Extraction of cellulose and preparation of nanocellulose from sisal fibers. Cellulose 15:149-159. Moura MR, Avena-Bustillos RJ, McHugh TH, Wood DF, Caio G. Otoni CG, Luiz H.C. Mattoso LHC. 2011. Miniaturization of cellulose fibers and effect of addition on the mechanical and barrier properties of hydroxypropyl methylcellulose films. J Food Eng 104:154-160. Mulinari DR, Voorwald HJC, Cioffi MOH, Silva MLCP da, Luz SM. 2009. Preparation and properties of HDPE/sugarcane bagasse cellulose composites obtained for thermokinetic mixer. Carbohyd Polym 75:317-321.
73 Müller CMO, Laurindo JB, Yamashita F. 2009a. Effect of cellulose fibers addition on the mechanical properties and water vapor barrier of starch-based films. Food Hydrocolloid 23:1328-1333. Müller CMO, Laurindo JB, Yamashita F. 2009b. Effect of cellulose fibers on the crystallinity and mechanical properties of starch-based films at different relative humidity values. Carbohyd Polym 77:293-299. Nakagaito AN, Yano H. 2004. The effect of morphological changes from pulp fiber towards nano-scale fibrillated cellulose on the mechanical properties of high-strengthplant fiber based composites. Appl Phys A-Mater Sci Process 78:547–552. Neto WPF, Silvério HA, Dantas NO, Pasquini D. 2013. Extraction and characterization of cellulose nanocrystals from agro-industrial residue. Soy hulls. Ind Crop Prod 42:480–488. Núñez-Flores R, B. Giménez, F. Fernández-Martín, M.E. López-Caballero, M.P. Montero, M.C. Gómez-Guillén. 2013. Physical and functional characterization of active fish gelatin films incorporated with lignin. Food Hydrocolloids 30:163-172. Ochoa-Villareal M, Aispuro-Hernández E, Vargas-Arispuro I, Martinez-Téllez. 2012. Plant Cell Wall Polymers: Function, Structure and Biological Activity of Their Derivatives. Di dalam: Gomes ADS, editor. Polymerization. Rijeka: In Tech; hlm 63-86. Oksman K, Etang JA, Mathew AP, Jonoobi M. 2011. Cellulose nanowhiskers separated from a bio-residue from wood bioethanol production. Biomass Bioenerg 35:146-152. Okubayashi S, Griesser UJ, Bechtold T. 2004. A kinetic study of moisture sorption and desorption on lyocell fibers. Carbohyd Polym 58:293-299. Osés J, Fernández-Pan I, Mendoza M, Maté JI. 2009. Stability of the mechanical properties of edible films based on whey protein isolate during storage at different relative humidity. Food Hydrocolloids 23(1):125–131. Park S, Baker JO, Himmel ME, Parilla PA, Johnson DK. 2010. Cellulose crystallinity index: measurement techniques and their impact on interpreting cellulase performance. Biotech Biofuels 3:1-10. Pasquini D, Teixeira E de M, Curvelo AA da S, Belgacem MN, Dufresne A. 2010. Extraction of cellulose whiskers from cassava bagasse and their applications as reinforcing agent in natural rubber. Ind Crop Prod 32:486–490. Phan TD, Debeaufort F, Luu D, Voilley A. 2005. Functional properties of edible agar-based and starch-based films for food quality preservation. J Agr Food Chem 53:973-981. Prachayawarakorn J, Sangnitidej P, Boonpasith P. 2010. Properties of thermoplastic rice starch composites reinforced by cotton fiber or low-density polyethylene. Carbohyd Polym 81:425-433. Qiu W, Endo T, Hirotsu T. 2006. Structure and properties of composites of highly crystalline cellulose with polypropylene: effects of polypropylene molecular weight. Eur Polym J 42:1059-1068. Rachtanapun P, Wongchaiya P. 2012. Effect of relative humidity on mechanical properties of blended chitosan-methylcellulose film. Chiang Mai J Sci 39(1):133-137.
74 Rattanachomsri U, Tanapongpipat S, Eurwilaichitr L, Champreda V. 2009. Simultaneous non-thermal saccharification of cassava pulp by multi-enzyme activity and ethanol fermentation by Candida tropicalis. J Biosci Bioeng 107:488-493. Reddy N, Yang Y. 2009. Properties and potential applications of natural cellulose fibers from the bark of cotton stalks. Bioresource Technol 100:35633569. Rosa MF, Chiou B, Medeiros ES, Wood DF, Williams TG, Mattoso LHC, Orts WJ, Imam SH. 2009. Effect of fiber treatments on tensile and thermal properties of starch/ethylene vinyl alcohol copolymers/coir biocomposites. Bioresource Technol 100:5196-5202. Rosa MF, Medeiros ES. Malmonge JA, Gregorski KS, Wood DF, Mattoso LHC, Glenn G, Orts WJ, Imam SH. 2010. Cellulose nanowhiskers from coconut husk fibers: effect of preparation conditions on their thermal and morphological behavior. Carbohyd Polym 81:83–92. Rosa SML, Rehman N, Miranda MIG, Nachtigall SMB, Bica CID. 2012. Chlorine-free extraction of cellulose from rice husk and whisker isolation. Carbohyd Polym 87:1131-1138. Rubio AL, Lagaron JM, Ankerfors M, Lindström T, Nordqvist D, Mattozzi A, Hedenqvist MS. 2007. Enhanced film forming and film properties of amylopectin using micro-fibrillated cellulose. Carbohyd Polym 68:718-727. Salleh E, Muhamad II, Khairuddin N. 2009. Structural Characterization and Physical Properties of Antimicrobial (AM) Starch-Based Films. World Academy Sci Eng Technol:428-436. Sanguansri P, Augustin MA. 2006. Nanoscale materials development. A food industry perspective. Trends Food Sci Tech 17:547-556. Sari K, Satoto R. 2010. Analisis korelasi kondisi pembuatan film tipis polipropilen (PP) dan sifat-sifat mekaniknya dengan metode uji tarik. Berkala Fisika 13(2): C27-C38. Satyamurthy P, Jain P, Balasubramanya RH, Vigneshwaran N. 2011. Preparation and characterization of cellulose nanowhiskers from cotton fibres by controlled microbial hydrolysis. Carbohyd Polym 83:122–129. Savadekar NR, Mhaske ST. 2012. Synthesis of nano cellulose fibers and effect on thermoplastics starch based films. Carbohyd Polym 89:146–151. Saxena A, Elder TJ, Ragauskas AJ. 2011. Moisture barrier properties of xylan composite films. Carbohyd Polym 84:1371-1377. Schmidt WCR, Porto LM, Laurindo JB, Menegalli FC. 2013. Water vapor barrier and mechanical properties of starch films containing stearic acid. Industrial Crops Prod 41:227-234. Sheltami RM, Abdullah I, Ahmad I, Dufresne A, Kargarzadeh H. 2012. Extraction of cellulose nanocrystals from mengkuang leaves (Pandanus tectorius). Carbohyd Polym 88:772-779. Silva HD, Cerqueira MA, Vicente AA. 2012. Nanoemulsions for food applications: developmentand characterization. Food Bioprocess Technol 5:854–867. Siró I, Plackett D. 2010. Microfibrillated cellulose and new nanocomposite materials: a review. Cellulose 17:459–494.
75 Subyakto, Hermiati E, Yanto DHY, Fitria, Budiman I, Ismadi, Masruchin N, Subiyanto B. 2009. Proses pembuatan serat selulosa berukuran nano dari sisal (Agave sisalana) dan bambu betung (Dendrocalamus asper). Berita Selulosa 44(2): 57-65. Sundari MT, Ramesh A. 2012. Isolation and characterization of cellulose nanofibers from the aquatic weed water hyacinth-Eichhornia crassipes. Carbohyd Polym 87:1701-1705. Teixeira EM, Bondancia TJ, Teodoro KBR, Corrêa AC, Marconcini JM, Mattoso LHC. 2011. Sugarcane bagasse whiskers: extraction and characterizations. Ind Crop Prod 33:63–66. Teixeira EM, Pasquini D, Curvelo AAS, Corradini E, Belgacem MN, Dufresne A. 2009. Cassava bagasse cellulose nanofibrils reinforced thermoplastic cassava starch. Carbohyd Polym 78:422–431. Tonoli GHD, Teixeira EM, Corrêa AC, Marconcini JM, Caixeta LA. 2012. Cellulose micro/nanofibres from Eucalyptus kraft pulp: preparation and properties. Carbohyd Polym 89:80-88. Vilela C, Freire CSR, Marques PAAP, Trindade T, Neto CP, Fardim P. 2010. Synthesis and characterization of new CaCO3/cellulose nanocomposites prepared by controlled hydrolysis of dimethylcarbonate. Carbohyd Polym 79:1150-1156. Wang S, Yu J, Yu J. 2005. Compatible thermoplastic starch/polyethylene blends by one-step reactive extrution. Polym Int 54:279-285. Warsiki E, Sianturi J, Sunarti TC. 2011. Evaluasi sifat fisis-mekanis dan permeabilitas film berbahan kitosan. J Tek Ind Pert 21 (3):139-145. Wua CL, Zhang MQ, Rong MZ, Friedrich K. 2002. Tensile performance improvement of low nanoparticles filled-polypropylene composites. Compos Sci Technol 62:1327–1340. Xanthos M. 2010. Polymers and Polymer Composites. Di dalam: Xanthos M, editor. Functional Fillers for Plastic. Ed ke-2. Weinheim: WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. hlm 3-18. Yoon SD, Park MH, Byun HS. 2012. Mechanical and water barrier properties of starch/PVA composite films by adding nano-sized poly(methyl methacrylateco-acrylamide) particles. Carbohyd Polym 87:676– 686. Zhang W, Okubayashi S, Bechtold T. 2005. Fibrillation tendency of cellulosic fibers. Part 4. Effects of alkali pretreatment of various cellulosic fibers. Carbohyd Polym 61:427-433. Zimmermann T, Bordeanu N, Strub E. 2010. Properties of nanofibrillated cellulose from different raw materials and its reinforcement potential. Carbohyd Polym 79:1086-1093. Zuluaga R, Putaux JL, Cruz J, Vélez J, Mondragon I, Gañán P. 2009. Cellulose microfibrils from banana rachis: effect of alkaline treatments on structural and morphological features. Carbohyd Polym 76:51–59.
76
LAMPIRAN Lampiran 1 Analisis statistik kuat tarik film Analisis sidik ragam Sumber Variasi
db
JK
Rata-rata Jenis serat (A) Kadar serat serat (B) Interaksi Galat Jumlah
1 3 4 12 20 40
194,03 5,69 6,04 1,65 1,38 208,78
KT 194,03 1,90 1,51 0,14 0,07
F Hitung 2821,03 27,57 21,95 2,00
F Tabel 0,05 0,01 3,10 2,87 2,28
Analisis uji lanjut Duncan Multiple Range Test Perlakuan Serat ampas tapioka (A1) Nanoserat selulosa (A2) Nanoserat selulosa (A3) Nanoserat selulosa (A4) Kadar serat 0% (B1) Kadar serat 1% (B2) Kadar serat 2% (B3) Kadar serat 3% (B4) Kadar serat 4% (B5) A1 B1 A1 B2 A1 B3 A1 B4 A1 B5 A2 B2 A2 B3 A2 B4 A2 B5 A3 B2 A3 B3 A3 B4 A3 B5 A4 B2 A4 B3 A4 B4 A4 B5
Rata-rata (N/mm2)
α = 0,05
1,58 2,59 2,35 2,30 1,45 2,28 2,33 2,42 2,53 1,45 1,53 1,43 1,69 1,81 2,71 2,80 2,84 3,15 2,44 2,55 2,57 2,75 2,45 2,56 2,60 2,44
C A AB B B A A A A C C C C C AB AB AB A B AB AB AB B AB AB B
4,94 4,43 3,23
77 Lampiran 2 Analisis statistik pemanjangan putus film Analisis sidik ragam Sumber Variasi Rata-rata Jenis serat (A) Kadar serat (B) Interaksi Galat Jumlah
db
JK
KT
1 3 4 12 20 40
25410,99 306,47 1329,12 206,48 117,08 27370,15
25410,99 102,16 332,28 17,21 5,85
F Tabel 0,05 0,01
F Hitung 4340,63 17,45 56,76 2,94
3,10 2,87 2,28
Analisis uji lanjut Duncan Multiple Range Test Perlakuan Serat ampas tapioka (A1) Nanoserat selulosa (A2) Nanoserat selulosa (A3) Nanoserat selulosa (A4) Kadar serat 0% (B1) Kadar serat 1% (B2) Kadar serat 2% (B3) Kadar serat 3% (B4) Kadar serat 4% (B5) A1 B1 A1 B2 A1 B3 A1 B4 A1 B5 A2 B2 A2 B3 A2 B4 A2 B5 A3 B2 A3 B3 A3 B4 A3 B5 A4 B2 A4 B3 A4 B4 A4 B5
Rata-rata (%)
α = 0,05
20,58 25,69 26,80 27,75 35,30 26,94 23,85 21,51 18,43 35,30 22,94 17,20 13,54 13,95 31,14 22,86 22,62 16,51 28,04 27,58 23,54 19,57 25,63 27,77 26,36 23,71
B A A A A B C C D A CD EF F F AB CD CD EF BC BC CD DE BC BC BC CD
4,94 4,43 3,23
78 Lampiran 3 Analisis statistik laju transmisi uap air film Analisis sidik ragam Sumber Variasi Rata-rata Jenis serat (A) Kadar serat (B) Interaksi Galat Jumlah
db
JK
1 3 4 12 20 40
1348,125,72 10124,44 62520,45 3132,68 380,00 1424283,28
KT 1348125,72 3374,81 15630,11 261,06 19,00
F Hitung 70954,49 177,62 822,64 13,74
Analisis uji lanjut Duncan Multiple Range Test Perlakuan Serat ampas tapioka (A1) Nanoserat selulosa (A2) Nanoserat selulosa (A3) Nanoserat selulosa (A4) Kadar serat 0% (B1) Kadar serat 1% (B2) Kadar serat 2% (B3) Kadar serat 3% (B4) Kadar serat 4% (B5) A1 B1 A1 B2 A1 B3 A1 B4 A1 B5 A2 B2 A2 B3 A2 B4 A2 B5 A3 B2 A3 B3 A3 B4 A3 B5 A4 B2 A4 B3 A4 B4 A4 B5
Rata-rata (g/m2.hari)
α = 0,05
209,91 173,38 168,99 182,06 262,30 170,12 165,10 161,59 158,82 262,30 214,86 197,14 188,76 186,51 152,99 152,16 149,19 150,26 146,07 148,08 145,29 143,22 166,56 163,03 163,12 155,30
D B A C E D C B A H G F EF E AB AB AB AB AB AB AB A D CD CD BC
F Tabel 0,05 0,01 3,10 2,87 2,28
4,94 4,43 3,23
79 Lampiran 4 Analisis statistik permeabilitas film terhadap uap air Analisis sidik ragam Sumber Variasi Rata-rata Jenis serat (A) Kadar serat (B) Interaksi Galat Jumlah
db 1 3 4 12 20 40
JK 55746,14 1018,49 2048,37 432,38 14,47 59259,85
KT 55746,14 339,50 512,09 36,03 0,72
F Hitung 77036,90 469,16 707,67 49,79
F Tabel 0,05 0,01 3,10 2,87 2,28
Analisis uji lanjut Duncan Multiple Range Test Perlakuan Serat ampas tapioka (A1) Nanoserat selulosa (A2) Nanoserat selulosa (A3) Nanoserat selulosa (A4) Kadar serat 0% (B1) Kadar serat 1% (B2) Kadar serat 2% (B3) Kadar serat 3% (B4) Kadar serat 4% (B5) A1 B1 A1 B2 A1 B3 A1 B4 A1 B5 A2 B2 A2 B3 A2 B4 A2 B5 A3 B2 A3 B3 A3 B4 A3 B5 A4 B2 A4 B3 A4 B4 A4 B5
Rata-rata (g.mm/m2.hari.kPa)
α = 0,05
46,03 33,81 34,29 35,20 51,56 33,45 32,71 33,90 35,04 51,56 40,27 40,56 45,74 52,01 31,48 28,52 28,65 28,85 30,05 30,46 29,89 29,46 31,98 31,30 31,32 29,82
C A A B D AB A B C F D D E F BC A A A ABC ABC AB AB C BC BC AB
4,94 4,43 3,23
80 Lampiran 5 Analisis statistik kuat tarik film selama penyimpanan Analisis sidik ragam Sumber Variasi Rata-rata Hari (Blok) Film (A) RH (B) Interaksi AB Galat Jumlah
db
JK
1 6 1 1 1 74 84
96,50 7,57 0,32 37,67 0,02 23,83 165,91
KT 96,50 1,26 0,32 37,67 0,02 0,32
F Hitung 299,61 3,91 1,01 116,95 0,07
F Tabel 0,05 0,01 2,23 3,98 3,98 3,98
Analisis uji lanjut Duncan Multiple Range Test Perlakuan Film tapioka (A1) Film tapioka + nano (A2) RH 75% (B1) RH 97% (B2) A1B1 A1B2 A2B1 A2B2
Rata-rata (N/mm2)
α = 0,05
1,01 1,13 1,74 0,86 1,70 0,32 1,79 0,48
A A A B A B A B
3,07 7,01 7,01 7,01
81 Lampiran 6 Analisis statistik pemanjangan putus film selama penyimpanan
Analisis sidik ragam Sumber Variasi Rata-rata Hari (Blok) Film (A) RH (B) Interaksi AB Galat Jumlah
db
JK
KT
1 6 1 1 1 74 84
53174,31 19872,73 1006,94 18965,37 1087,95 22663,45 116770,75
53174,31 3312,12 1006,94 18965,37 1087,95 306,26
F Hitung 173,62 10,82 3,29 61,93 3,55
F Tabel 0,05 0,01 2,23 3,98 3,98 3,98
Analisis uji lanjut Duncan Multiple Range Test Perlakuan Film tapioka (A1) Film tapioka + nano (A2) RH 75% (B1) RH 97% (B2) A1B1 A1B2 A2B1 A2B2
Rata-rata (%)
α = 0,05
28,62 21,70 47,25 17,80 47,25 10 33,13 10,27
A A A B A C B C
3,07 7,01 7,01 7,01
82 Lampiran 7 Analisis statistik modulus elastisitas film selama penyimpanan
Analisis sidik ragam Sumber Variasi Rata-rata Hari (Blok) Film (A) RH (B) Interaksi AB Galat Jumlah
db 1 6 1 1 1 74 84
JK 6420,17 1471,18 44,20 1070,62 23,30 1394,517 10423,99
KT 6420,17 245,20 44,20 1070,62 23,30 18,85
F Hitung 340,69 13,01 2,35 56,81 1,24
F Tabel 0,05 0,01 2,23 3,98 3,98 3,98
Analisis uji lanjut Duncan Multiple Range Test Perlakuan Film tapioka (A1) Film tapioka + nano (A2) RH 75% (B1) RH 97% (B2) A1B1 A1B2 A2B1 A2B2
Rata-rata (N/mm2)
α = 0,05
8,02 9,47 11,06 7,97 11,06 4,97 13,57 5,37
A A A B A B A B
3,07 7,01 7,01 7,01
83
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Purwokerto, 1 Maret 1971 sebagai anak kedua dari 5 bersaudara dari pasangan Alm. Soekanto dan Alm. Siti As ‘Afiah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar sampai menengah di Purwokerto. Pendidikan Sarjana di tempuh di Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, lulus tahun 1995. Setelah bekerja di salah satu perusahaan agroindustri swasta nasional, Penulis memulai pengabdiannya sebagai Pegawai Negeri Sipil pada tahun 1999 sebagai staf pengajar di Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman hingga sekarang. Penulis mendapat kesempatan untuk mendalami ilmu di bidang Teknologi Hasil Perkebunan, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta atas sponsor DUE-Like Dikti 2001 dan mendapat gelar Magister Pertanian pada tahun 2004. Tahun 2008, Penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi S3 di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor atas sponsor BPPS selama 7 semester dan Universitas Jenderal Soedirman selama 3 semester. Sebagian karya ilmiah yang disusun Penulis sebagai tugas akhir Program Doktor, berjudul “Karakteristik Nanoserat Selulosa dari Ampas Tapioka dan Aplikasinya sebagai Penguat Film Tapioka” telah diterima untuk dipublikasi di jurnal nasional terakreditasi, Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vol. 23 tahun 2013 dan artikel berjudul “Cellulose Nanofibers from Cassava Bagasse: Characterization and Aplication on TapiocaFilm” diterima untuk publikasi pada Journal of Chemistry and Materials Research.