ISLAM SEBAGAI WAY OF LIFE Oleh: Saiful Amien, M.Pd1 A. PENGERTIAN ISLAM Secara etimologis Kata `Islam berasal dari bahasa Arab. Akar katanya s-l-m ( bentuk pertamanya ialah salima (
). Kata kerja
), artinya “merasa aman”, “utuh” dan “integral”.
Kata kerja bentuk pertama ini tidak digunakan dalam al-Qur`an, tetapi ungkapanungkapan bahasa tertentu dari akar kata itu seringkali digunakan. Di antaranya ialah kata silm (
) dalam surat al-Baqarah ayat 208 yang berarti “damai”; salam (
) dalam
surat az-Zumar ayat 29, dengan arti “utuh” sebagai lawan dari “pemilahan-pemilahan dalam bagian-bagian yang bertentangan”, juga dalam surat an-Nisa` ayat 91 yang juga digunakan dalam pengertian “damai”. Dengan demikian kata tersebut dalam al-Qur`an seringkali digunakan dengan makna “damai”, “aman” atau “ucapan salam”2. Kata kerja bentuk keempatnya ialah aslama (
), artinya “ia menyerahkan
dirinya” atau “memberikan dirinya”. Sering digunakan dalam ungkapan aslama wajhahu (“ia menyerahkan pribadi atau dirinya”) yang diikuti dengan lillah (“kepada Tuhan”)3. Ada pendapat lain yang menambahkannya dengan arti “memelihara dalam keadaan selamat sentosa, tunduk patuh dan taat”4. Kata `islam merupakan verbal noun (mashdar; kata benda verbal) dari bentuk keempat ini, yang berarti “penyerahan yang sesungguhnya” atau “keberserahan diri yang amat sangat”, “ketundukan dan ketaatan”. Muncul dalam al-Qur`an sebanyak enam kali5. Dengan pengertian kebahasaan tersebut, kata Islam dekat dengan arti kata agama (ad-Din) yang berarti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan dan kebiasaan6. Senada dengan itu Nurcholis Madjid menegaskan bahwa sikap pasrah kepada Tuhan merupakan hakikat Islam. Sikap ini tidak saja merupakan ajaran Tuhan kepada hamba-Nya, tetapi ia diajarkan oleh-Nya dengan disangkutkan kepada alam asli 1
Pengajar AIK di Universitas Muhammadiyah Malang
2
Fazlur Rahman, 1993, Metode Dan Alternatif Neomodernisme Islam, (terj. Taufiq Adnan Amal), Bandung: Mizan, hal. 95. lihat juga Maulana Muhammad Ali, 1980, Islamologi (Dinul Islam), Jakarta: Ikhtiar Baru-Van Hoeve, hal. 2. Ia mengartikan `islam dengan “selamat, sentosa dan damai” Op.cit. Nasruddin Razak, 1977, Dienul Islam, Bandung: al-Ma‟arif, hal. 56 Fazlur Rahman, op.cit., hal. 96. Harun Nasution, 1979, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I, Jakarta: UI-Press, hal. 9.
3 4 5 6
1
(fitrah) manusia. Dengan kata lain ia diajarkan sebagai pemenuhan alam manusia, sehingga pertumbuhan perwujudannya pada manusia selalu bersifat dari dalam (internal), tidak tumbuh apalagi dipaksakan dari luar, karena cara yang demikian menyebabkan Islam tidak otentik, karena kehilangan dimensinya yang paling mendasar dan mendalam, yaitu kemurnian dan keikhlasan7. Subjek (fa`il; partisipan aktif) dari aslama ialah muslim (
). Baik dalam
bentuk tunggal, dua atau jamak kata muslim sering muncul dengan pengertian “seseorang yang menyerahkan dirinya kepada (hukum) Tuhan”. Dalam surat Alu Imran ayat 83, alam semesta dikatakan sebagai muslim sebab ia mematuhi hukum-hukum Tuhan8. Menurut Fazlur Rahman, kata `islam dan muslim selalu digunakan oleh alQur`an kadang dalam makna harfiahnya, yakni “menyerah” atau “orang yang menyerahkan dirinya kepada (hukum) Tuhan, kadang juga dalam makna sebagai namadiri untuk pesan keagamaan yang dikumandangkan oleh al-Qur`an dan bagi komunitas yang menerimanya. Bahkan dalam surat al-Hajj /22:78, pesan keagamaan ini dinisbatkan kepada Ibrahim, yang dikatakan telah memberikan nama Muslim kepada komunitas yang menerima pesan al-Qur`an ini. Maka nyatalah bahwa Islam di masa Madinah, selain bermakna harfiah, telah direifikasi menjadi nama agama yang dibawa oleh Muhammad SAW. Dan muslimun menjadi komunitas formal yang memeluk Islam (lihat QS. 5:111). Selanjutnya Rahman menjelaskan, bahwa ada dua hal penting untuk disimak sehubungan dengan istilah islam. Pertama, bahwa islam integral dengan iman. “Penyerahan” kepada Tuhan, dalam karakteristiknya yang hakiki, adalah mustahil tanpa iman. Bahkan kedua kata ini pada dasarnya adalah sama dan telah digunakan secara ekuivalen dalam banyak bagian al-Qur`an9. Kedua, islam merupakan pengejahwantahan lahiriah, konkret dan terorganisasi dari iman, melalui suatu komunitas normatif. Karena itu, anggota-anggota komunitas ini harus didasarkan pada iman dan cahayanya, dan –sebaliknya- cahaya iman
7
8
9
Nurcholis Madjid, 1992, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Tela‟ah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, hal. 426. Lihat juga Nazaruddin Razak, op.cit., dengan nada yang sama ia menyebutnya sebagai orang yang berserah diri, patuh dan taat. juga lihat Abuddin Nata, 1999, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo, hal. 62. Ia menyebut muslim sebagai orang yang taat, menyerahkan diri dan patuh kepada Allah swt. yang selanjutnya orang tersebut akan dijamin keselamatannya di dunia dan akherat. Lihat QS. 3:52, 10:84, 5:111, 43:69, 28:52-53.
2
semacam itu harus menjelma keluar sendiri melalui komunitas ini. Seseorang mungkin saja mempunyai iman, tetapi iman tersebut bukanlah iman sejati dan sepenuhnya kecuali jika ia diekspresikan secara islami dan dijelmakan melalui suatu komunitas yang semestinya, suatu komuitas yang muslim (berserah diri) dan Muslim10. secara terminologis Ada beberapa ulama dan pemikir Islam yang memberikan pengertian Islam secara terminologis, di antaranya ialah Syaikh Mahmud Syaltut. Ia memberikan pengertian Islam sebagai agama yang disyariatkan oleh Allah melalui nabi-Nya Muhammad SAW. untuk disampaikan dan diajarkan kepada seluruh manusia11. Harun Nasution memberikan pengertian Islam sebagai agama yang ajaranajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui nabi Muhammad SAW sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenal satu segi, tatapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia12. Sementara itu Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa Islam adalah agama perdamaian, di mana dua ajaran pokoknya yaitu keesaan Tuhan dan kesatuan atau persaudaraan umat manusia menjadi bukti nyata, bahwa Islam selaras benar dengan namanya. Islam bukan saja sebagai agama seluruh Nabi Allah, melainkan pula sebagai hakikat ketundukan dan keberserahan diri alam semesta kepada hukum Tuhan13. Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam putusannya memberikan pengertian agama Islam sebagai apa yang telah disyariatkan Allah dengan perantaraan para RasulNya berupa perintah, larangan dan petunjuk untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat mereka. Sedangkan agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW adalah apa yang telah diturunkan oleh Allah dalam al-Qur`an dan termuat dalam sunnah shahihah berupa perintah, larangan dan petunjuk untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat mereka14. Di kalangan masyarakat Barat, Islam sering diidentikkan dengan istilah Muhammadanism dan Muhammedan. Peristilahan ini merupakan bentuk analog dengan nama agama di luar Islam yang pada umumnya disandarkan pada nama 10 11 12 13 14
Fazlur Rahman, op.cit., hal. 96-102. Syeikh Mahmud Syaltut, 1967, Islam Sebagai Aqidah dan Syari‟ah, (terj. H. Bustami dkk.), Jakarta, hal. 15. Harun Nasution, Op.Cit., hal. 24 Ali, op.cit., lihat hal. 2-7. Seperti yang dikutip oleh Abdullah Ali dkk, 1994, Studi Islam I, Surakarta: PSIK-UMS, hal.39 dari Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta: PP. Muhammadiyah
3
pendirinya. Di Persia umpamannya ada agama Zoroaster. Agama ini disandarkan pada pendirinya Zarathustra (w.583 SM). Selanjutnya terdapat agama Budha yang dinisbahkan kepada tokoh pendirinya Sidharta Gautama Budha (lahir 560 SM). Demikian pula agama Yahudi yang disandarkan pada orang-orang yahudi (Jews), asal nama dari negara Juda (Judea) atau Yahudi. Juga agama Kristen yang dinisbahkan kepada Jesus Kristus. Penyebutan Muhammadanism atau Muhammedan untuk agama Islam bukan saja tidak tepat, tetapi secara prinsipil salah. Peristilahan itu bisa mengandung arti bahwa Islam adalah paham Muhammad atau pemujaan terhadap Muhammad seperti yang terdapat dalam agama Budha atau Kristen. Atau peristilahan itu juga bisa membawa pengertian bahwa agama Islam hanya untuk bangsa atau komunitas tertentu yang berkaitan dengan Muhammad, seperti agama Yahudi untuk bani Israel atau bangsa Yahudi. Analogi nama dengan agama-agama lainnya jelas tidaklah mungkin bagi Islam. Karena pertama, agama Islam bersumber dari wahyu yang datang dari Allah SWT. Bukan dari manusia, bukan pula Muhammad. Posisi Nabi SAW dalam agama Islam diakui sebagai manusia yang ditugasi untuk menyebarkan ajaran Islam tersebut kepada ummat manusia. Dalam proses penyebarannya peranan Nabi terbatas hanya memberi keterangan, penjelasan, uraian dan contoh prakteknya. Tidak lebih. Kedua, Islam bersifat universal, rahmatan lil alamin, untuk siapa saja, tidak terbatas komunitas atau bangsa tertentu seperti agama-agama sebelum Islam, muthabiqun likulli zaman wa makan, menembus batas ruang dan waktu, sesuai untuk manusia kapan dan di mana saja15. Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa: Islam, dilihat dari misi ajarannya berarti semua agama Allah (wahyu Allah) yang diturunkan kepada para Rasul (utusan) Allah sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad16. Namun demikian perlu ditegaskan di sini, bahwa sungguhpun para Nabi tersebut telah menyatakan diri sebagai muslim dan mengajarkan misi keislaman (keberserahan diri secara total kepada Allah), akan tetapi agama yang mereka bawa itu secara resmi tidak disebut agama Islam. Agama yang dibawa Nabi Isa umpamanya,
15 16
Lihat Abuddin Nata, Op.Cit., hal. 64-65. Juga Nasruddin Razak, Op.Cit., hal. 55. Dan juga Huston Smith, 1985, Agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 254. Mengenai hal ini bisa dilihat pada: QS. asy-Syuura (42):13, al-Baqarah (2):136 dan ayat-ayat lainnya yang senada.
4
tidak disebut Islam tetapi Nasrani, yaitu nama yang dinisbahkan kepada tempat kelahiran Nabi Isa, Nazaret. Secara istilah, yang resmi disebut sebagai agama Islam ialah agama yang diwahyukan (berupa al-Qur`an) oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, khotimul anbiya` (penutup para Nabi) untuk disampaikan dan diajarkan kepada seluruh manusia sebagai penyempurna misi keislaman yang diajarkan oleh Nabi-Nabi sebelumnya. Meskipun pada periode Makkah ayat-ayat al-Qur`an telah menyebut Islam baik sebagai “menyerah kepada Tuhan” maupun sebagai agama konkret, namun penyebutan Islam secara tegas formal sebagai agama yang dibawa oleh Muhammad ini baru terjadi pada periode Madinah, atau setelah umat Islam menjadi sebuah komunitas Muslim di Madinah. Hal ini untuk membedakan umat Islam dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah menyimpang dari ke”islam”an mereka17. B. SUMBER AJARAN ISLAM Pada umumnya, ulama mengajarkan bahwa sumber agama Islam ada empat, yaitu Qur`an, Sunnah, `Ijma‟ (kesepakatan pendapat di antara jama‟ah muslimin) dan Qiyas (penggunaan akal). Qur`an dan sunnah (atau hadits) disebut al-Adillah alQoth‟iyyah, dalil yang mutlak benar. Sedang `ijma‟ dan qiyas disebut al-Adillah alIjtihadiyyah, dalil yang diperoleh dengan jalan ijtihad.
17
Mengenai hal ini dapat dirujuk pada ayat-ayat yang turun pada periode madinah, diantaranya ialah : Jalan kepatuhan (“din” atau “agama”) yang sebenarnya bagi tuhan adalah islam; orang-orang yang telah diberi al-kitab (sebelumnya: yakni orang-orang yahudi dan kristen) tidak berselisi antara satu dengan yang lainnya kecuali setelah pengetahuan (yang nyata: yakni wahyu) datang kepada mereka, yang mereka perselisihkan antara satu dengan yang lainnya” (QS. Alu-Imron (3): 19) Setelah sebuah kritik terhadap hal-hal yang dianggap al-qur`an sebagai kepercayaan-kepercayaan musyrik orang-orang yahudi dan kristen, al-Qur`an menyatakan: mereka ingin memadamkan cahaya Tuhan (yakni “islam”= Islam) dengan (meniupnya dengan) mulut-mulut mereka, tetapi Tuhan tidak menghendakinya kecuali lebih menyempurnakan cahaya-Nya untuk penghinaan terhadap kafirun (orang-orang yang menolak kebenaran). dialah yang mengutus rasul-nya dengan petunjuk dan jalan kepatuhan yang benar (din al-haqq), sehingga dia dapat memenangkannya atas seluruh jalan kepatuhan (yang palsu) untuk menghina para penyembah berhala” (QS. at-Taubah (9):32-33) Dari ayat-ayat di atas, mereka dipersalahkan karena telah mendistorsikan ajaran –ajaran asli mereka, maka terpecahlah mereka dalam sekte-sekte, mulai menyimpang dan mudah terserang syirk (“menempatkan diri seseorang atau sesuatu bersama-sama dengan Tuhan”), disebabkan oleh sikap keras kepala yang disengaja (baghy); karena itu, mereka bukanlah muslimin sebab mereka tidak dapat berserah diri kepada kebenaran. Pada basis inilah al-Qur`an mengeluarkan orang-orang Yahudi dan Kristen dari sebutan hanif (orang yang benar-benar beriman kepada Tuhannya) yang diterapkannya kepada Ibrahim, kepada nabi-nabi lainnya beserta pengikut-pengikut mereka dan, akhirnya, diterapkan kepada Muhammad beserta pengikut-pengikut kontemporernya (yang diwajibkan menjadi hanifun), sebab nabi-nabi dan pengikut mereka ini adalah monoteis-monoteis yang tidak menyimpang, nonsetarian. Lihat juga QS. 6:160-164, 30:30-32, dan 98:4-5. Fazlur Rahman, Op.Cit., hal. 99-100.
5
Tetapi karena –menurut pengakuan ulama- `ijma‟ dan qiyas itu didasarkan atas Qur`an dan hadits, sedang hadits itu sendiri merupakan penjelasan Nabi SAW terhadap Qur`an, maka Qur`an Suci benar-benar merupakan asas hakiki, yang di atas itu berdiri bangunan Islam, dan merupakan satu-satunya dalil yang mutlak dan menentukan dalam setiap pembahasan yang berhubungan dengan ajaran Islam; dan tak salah jika dikatakan bahwa Qur‟an adalah satu-satunya sumber utama yang darinya diambil segala ajaran dan amalan agama Islam18. Di sini akan dibahas tentang sumber utama ajaran Islam (al-Adillah alQath‟iyyah). Pertama, al-Qur`an. Kedua, as-Sunnah, dan kemudian diakhiri dengan pembahasan tentang `ijtihad dalam Islam. I. AL-QUR`AN Pengertian al-Qur`an Di kalangan ulama ada perbedaan pengertian etimologis (bahasa) mengenai alQur`an. Asy-Syafi‟i misalnya mengatakan bahwa al-Qur`an tidak berasal dari akar kata apapun, dan tidak pula ditulis dengan hamzah. Lafadz tersebut sudah lazim digunakan dalam pengertian kalam Allah (firman Tuhan) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Lain dari itu, banyak juga ulama yang mencoba mengembalikan lafadz Qur`an pada akar kata tertentu. Al-Farra` misalnya, menyebut bahwa lafadz Qur`an berasal dari kata qara`in, jamak dari kata qarinah yang berarti “kaitan”, karena dilihat dari segi makna dan kandungannya ayat-ayat al-Qur`an itu satu sama lain saling berkaitan. Selanjutnya al-Asy‟ari dan para pengikutnya mengatakan bahwa lafadz itu diambil dari akar kata qarn yang berarti “menggabungkan sesuatu atas yang lain”, karena surahsurah dan ayat-ayat al-Qur`an satu dan lainnya saling berkaitan19. Sementara itu ada juga yang menyebut Qur`an sebagai isim masdar (verbal noun) dari akar qara`a, yang makna aslinya ialah “mengumpulkan dan menghimpun”. Kata ini berarti pula “membaca”, karena dalam membaca, huruf dan kata-kata dihubungkan satu sama lain menjadi susunan kalimat. Sehingga qur`an seringkali
18 19
Maulana Muhammad Ali, 1980, Islamologi (Dinul Islam), terj. R. Kaelan & H.M. Bachrun Jakarta: PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve, hal.13 Subhi As-Shalih, 1991, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur`an (terj.), Jakarta: Pustaka Firdaus, hal.9
6
disamakan dengan qira`at (penamaan maf‟ul dengan masdar), yang berarti “bacan”, yakni himpunan huruf dan kata-kata dalam suatu ucapan yang tersusun rapi20. Senada dengan uraian di atas Farid Esack, seorang Doktor di bidang Tafsir alQur`an Universitas Western Cape-Afrika Selatan, menyimpulkan bahwa secara harfiah al-Qur`an berarti “bacaan”, “pengucapan” atau “kumpulan”. Ada baiknya kita ikuti uraian Esack: “Mayoritas pemikir Arab sepakat bahwa kata qur`an adalah bentuk lampau yang berasal dari akar kata Arab qara`a yang berarti “ia membaca”, atau kata sifat dari qarana, “ia menghimpun atau mengumpulkan”. Di dalam al-Qur`an sendiri, kata qur`an dipakai dalam arti “membaca” (QS. Al-Isra` (17):93), “mengucap” (Al-Qiyamah (75): 18), dan “sebuah kumpulan” (QS. Al-Qiyamah (75): 17)…”21 Adapun pengertian al-Qur`an dari segi istilah, Abd al-Wahhab al-khallaf menjelaskan bahwa, ia merupakan firman Allah yang diturunkan kepada hati Rosulullah, Muhammad bin Abdullah, melalui Jibril dengan menggunakan lafadz bahasa Arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadi hujjah bagi Rasul, bahwa ia benar-benar Rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka dan menjadi sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan membacanya. Ia terhimpun dalam mushhaf, dimulai dari surat alFatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas, disampaikan kepada kita secara mutawatir dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun tulisan serta terjaga dari perubahan dan pergantian22. Pewahyuan al-Qur`an Dari pengertian di atas, tampak bahwa dalam paham dan keyakinan umat Islam, al-Qur`an sebagai Kitab Suci, mengandung sabda Tuhan (kalam Allah), yang melalui wahyu disampaikan kepada Nabi Muhammada SAW. Dalam al-Qur`an dijelaskan wahyu ada tiga macam. Seperti yang tertera dalam QS. Asy-Syura [42]:51: “Tidaklah dapat terjadi pada manusia bahwa Tuhan berbicara dengannya kecuali melalui wahyu, atau dari belakang tabir, ataupun melalui utusan yang dikirim; 20 21 22
Manna‟ Khalil al-Qattan, 1996, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur`an (terj.), Bogor: Litera Antar Nusa, hal. 16. Lihat juga Ali, Op.Cit. Farid Esack, 2000, Al-Qur`an, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, ter. Watung A Budiman, Bandung: Mizan, hal. 85. Abd al-Wahhab al-Khallaf, 1972, Ilmu Ushul al-Fiqh, Jakarta: al-Majlis al-`Ala al-Indonesia li alDa‟wah al-Islamiyah, cet.IX, hal. 23.
7
maka disampaikanlah kepadanya dengan sizin Tuhan apa yang dikehendakinya. Sesungguhnya Tuhan Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. Demikianlah Kami kirimkan kepadamu ruh atas perintah kami”. Wahyu dalam bentuk pertama adalah pengertian atau pengetahuan yang tibatiba dirasakan seseorang timbul dalam dirinya; timbul dengan tiba-tiba sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya. Maulana Muhammad Ali menyebutnya dengan makna aslinya sebagai al-`Isyarat as-sari‟ah, isyarat yang cepat yang dimasukkan dalam kalbu seseorang23. Kedua, wahyu berupa pengalaman dan penglihatan dalam keadaan tidur atau dalam keadaan trance, rukyat atau kasyf (vision). Ketiga, wahyu dalam bentuk yang diberikan melalui utusan atau malaikat, yaitu Jibril, dan wahyu serupa ini disampaikan dalam bentuk kata-kata. Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammada SAW adalah wahyu dalam bentuk ketiga seperti yang dijelaskan oleh al-Qur`an: “Sesungguhnya ini adalah wahyu Tuhan semesta alam, dibawa turun oleh ruh setia ke dalam hatimu agar engkau dapat memberi ingat dalam bahasa Arab yang jelas” (QS. Asy-Syu‟ara` [26]: 192-193) Selanjutnya: “Katakanlah, ruh suci membawakannya turun dengan kebenaran dari Tuhanmu, untuk meneguhkan (hati) orang yang percaya dan untuk menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi yang berserah diri” (QS. An-Nahl [16]:102) Bahwa yang dimaksud dengan ruh setia atau ruh suci adalah Jibril: “Katakanlah siapa yang menjadi musuh Jibril, maka ialah yang sebenarnya membawanya turun ke dalam hatimu dengan seizin Tuhan untuk membenarkan apa yang (datang) sebelumnya dan untuk menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang percaya” (QS. Al-Baqarah [2]: 97) Hadits-hadits juga menjelaskan bahwa wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad adalah melalui Jibril. Dalam suatu hadits, „Aisyah mengemukakan bagaimana Jibril merangkul Nabi hingga beliau merasa kesakitan ketika menerima wahyu yang pertama.
23
Ali menjelaskan: sebenarnya inilah yang dimaksudkan dengan perihal para nabi atau orang tulus berbicara di bawah bimbingan dan pengaruh Roh Suci, dalam hal ini suatu pengertahuan disampaikan dalam kalbu, dan persoalan yang tengah dihadapinya itu menjadi terang terpecahkan seakan diterangi dengan sinar halilintar. Ini bukanlah ilham dengan kata-kata, melainkan sebuah pengetahuan yang yang menghilangkan keraguan dan kesulitan, dan ini bukan pula hasil dari meditasi. Op.Cit., hal. 15.
8
Dalam hadits lain sewaktu ditanya, bagaimana caranya wahyu turun kepada Nabi, Nabi Muhammad menerangkan: “Wahyu itu terkadang turun sebagai suara lonceng dan inilah yang terberat bagiku. Kemudian ia (Jibril) pergi dan aku pun sudah mengingat apa yang dituturkannya. Terkadang malaikat itu datang dalam bentuk
manusia,
berbicara
kepadaku
dan
akupun
mengingat
apa
yang
dikatakannya”. Hadits lain lagi, yang berasal dari Ibnu Abbas, menjelaskan bahwa pada bulanbulan Ramadlan, Jibril selalu turun mendengar dan memperbaiki bacaan Nabi mengenai ayat-ayat yang diturunkan kepadanya. Atas dasar ayat-ayat dan hadits-hadits serupa inilah maka umat Islam mempunyai keyakinan bahwa apa yang terkandung al-Qur`an adalah wahyu Tuhan. Farid Esack menjelaskan, bahwa sebagai kompilasi “Firman Tuhan”, al-Qur`an tidak merujuk pada sebuah kitab yang diilhami atau dipengaruhi oleh-Nya atau ditulis di bawah bimbingan ruh-Nya. Ia lebih dianggap sebagai kata-kata langsung Tuhan24. Dengan kata lain, teks Arab yang ada dalam Kitab Suci itu tidak diakui sebagai wahyu, apalagi terjemahannya dalam bahasa asing.25 Wahyu dalam bentuk kata-kata itu diturunkan oleh Jibril untuk disampaikan kepada Nabi tidak secara sekaligus tetapi berangsur-angsur dan bertahap dalam masa kurang lebih 22 tahun 2 bulan 22 hari26 atau biasanya digenapkan menjadi 23 tahun sesuai dengan perdebatan tentang masa tinggal Nabi di Makkah setelah kenabian (anNubuwwah). Hikmahnya ialah seperti yang tersirat dalam al-Qur`an surat al-Furqan [25] ayat 32: “Berkatalah orang-orang yang kafir: ”Mengapa al-Qur`an itu tidak
24
25
26
Ibn Manzur (w. 1312), penulis Lisan al-„Arab, merefleksikan pandangan mayoritas pemikir Muslim ini ketika mendefiniskan al-Qur`an sebagai “wahyu yang tak bisa disamai, perkataan Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril [yang sekarang ada] secara harfiah dan lisan dalam kata-kata bahasa Arab yang paling murni”. Farid Esack, Op.Cit., hal. 85. Lihat juga Ali,. Op.Cit., hal.15-17. Imam as-Suyuti, 1996, Apa itu al-Qur`an, Jakarta: Gema Insani Press, hal. 46-47. Dalam hal ini, Harun Nasution menjelaskan bahwa, wahyu menurut paham Islam, berbeda dari wahyu menurut paham agama lain. Agama Kristen umpamanya, Injil dalam teksnya bukanlah wahyu; yang wahyu hanyalah isi yang terkandung dalam teks itu. Maka terjemahannya dalam bahasa-bahasa asing dianggap sama kuat. Berdasarkan atas ini ada kaum orientalis yang mengatakan: Sabda Tuhan dalam Islam menjelma menjadi al-Qur`an, sedang dalam Kristen sabda Tuhan menjelma menjadi Yesus. Lihat Harun Nasution, 1995, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Bandung: Mizan. Hal. 18. Mengenai kaifiat (bagaimana) penurunan al-Qur`an, Imam As-Suyuti menyebutnya ada empat pendapat, dan yang paling benar ialah Allah menurunkannya dari al-Lauh al-Mahfuzh ke langit dunia pada malam Qadr (lailat al-Qadar) secara sekaligus. Kemudian diturunkannya secara bertahap selama 20 tahun atau 23 tahun atau 25 tahun, sesuai perbedaan pendapat tentang masa tinggal Rasulullah SAW di Makkah dan Madinah setelah kenabian. Imam As-Suyuti, Op.Cit., hal. 42.
9
diturunkan kepadanya sekali saja?”; demikianlah, supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya kelompok demi kelompok” Yang pertama ialah, untuk meneguhkan hati (tatsbit al-Fu`ad) Nabi SAW. Dengan turunnya wahyu dalam setiap peristiwa, maka hal itu merupakan komunikasi langsung dan intens yang menguatkan hati dan memberikan perhatian yang lebih kepada Nabi. Jibril akan turun berkali-kali kepadanya sehingga menimbulkan kegembiraan di hatinya. Kedua, untuk memudahkan pembacaan dan penghafalannya (penjagaannya) serta penerimaannya dalam konteks pentahapan hukum yang terdapat di dalamnya. Berbeda jika diturunkan secara sekaligus, selain akan menyulitkan dalam menghafal juga akan menyulitkan banyak orang karena banyaknya kewajiban dan larangan di dalamnya27. Ketiga, dari hadits-hadits Nabawi dapat diketahui bahwa al-Qur`an diturunkan sesuai kebutuhan. Kadang-kadang diturunkan lima ayat atau kadang-kadang sepuluh ayat, kurang sedikit dari itu atau lebih. Hal ini mempunyai implikasi pada “revolusi budaya” yang kontekstual-komprehensif (rahmatan lil „alamin) bagi umat Nabi. Untuk lebih jelasnya kita ikuti dulu sejarah kodifikasi (pembukuan) al-Qur‟an sejak masa Nabi SAW. Sejarah Kodifikasi al-Qur`an 1. Masa Rasulullah SAW Yang dilakukan Nabi pada saat itu –setiap wahyu turun- ialah menyampaikan kepada para sahabat untuk dihafal dan dicatat. Zaid bin Tsabit adalah sekretris utama dalam mencatat tulisan dalam ayat-ayat yang diturunkan itu. Selain dari sekretaris ini disebut juga nama sahabat-sahabat lain yang disuruh mencatat, seperti Abu Bakar, Utsman, Umar, Ali, Zubair Ibnu Awam, Abdullah Ibnu Sa‟ad dan Ubay Ibnu Ka‟ab. Ayat-ayat itu ditulis di atas batu, tulang, pelepah kurma dan lain-lain. Jadi, pada masa Rasulullah ayat-ayat al-Qur`an sudah ditulis secara keseluruhan, tetapi belum dihimpun di dalam satu Mushhaf28 seperti sekarang ini, karena masih menunggu adanya penghapusan sebagian hukum dan tilawahnya.
27 28
As-Suyuti, Op.Cit., hal.42-44. Al-Mushhaf, isim maf‟ul (kata benda objek) dari ashhafa artinya “mengumpulkan shuhuf”. Shuhuf bentuk jamak dari shahifah, lembaran-lembaran yang bertulis. Lihat Ahmad Warson Munawir, 1984, Kamus al-Munawwir, Jakarta: Pustaka Progresif, hal. 818.
10
Sebenarnya sejak masa Rasulullah, secara lisan al-Qur`an sudah terhimpun atas petunjuk Jibril dalam kuatnya ingatan penghafal-penghafal profesional29 di kalangan sahabat, dan senantiasa terjaga dalam bacaan shalat. 2. Masa Abu Bakar ash-Shiddiq. Tidak bisa dipungkiri, bahwa penghafal-penghafal ini besar peranannya dalam sejarah pengumpulan ayat-ayat al-Qur`an dalam bentuk mushhaf seperti yang kita kenal sekarang. Kodifikasi ayat-ayat dalam bentuk buku ini, terjadi setelah banyaknya sahabat-sahabat yang menghafal Qur`an gugur dalam peperangan yang timbul pada zaman Abu Bakar. Tepatnya pada perang Yamamah. Dengan gugurnya penghafalpenghafal Qur`an dikhawatirkan ayat-ayat al-Qur`an akan ikut hilang. Maka atas anjuran „Umar, Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit dan sahabat-sahabat lain untuk mengumpulkan ayat-ayat yang ditulis di atas batu, tulang, pelepah kurma dan dihafal oleh sahabat-sahabat itu untuk disusun dalam bentuk mushhaf sesuai dengan susunan bacaan lisan yang sudah lazim pada zaman Nabi SAW. Mushhaf ini menjadi naskah standar sampai pada akhir masa „Umar sebagai khalifah kedua, yang pemeliharaannya diserahkan kepada Hafshah, putri „Umar dan janda Rasulullah30.
29
30
Dalam hal ini Harun Nasution dengan mengutip A. Guilaume, mengakui bahwa penghafal-penghafal profesional merupakan bagian yang tidak boleh tidak mesti ada dalam masyarakat Arab dahulu. Merekalah yang menghafal syair-syair Arab jahiliah dalam keseluruhannya dan merekalah yang menyebarkannya ke daerah-daerah dan meneruskannya dari generasi ke generasi. Nasution, Op.Cit., hal. 19 Dalam hal ini ada baiknya, penulis kutipkan hadits dari Zaid bin Tsabit yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya tentang riwayat penulisan al-Qur`an pada masa Abu Bakar ini: “Ia (Zaid bin Tsabit) berkata: “Abu Bakar (ra) memintaku datang berkenaan dengan kematian para sahabat di peristiwa Yamamah. Pada saat itu „Umar (ra) berada di sisinya, lalu Abu Bakar berkata:‟ Sesungguhnya „Umar datang kepadaku mengatakan:‟Para penghafal al-Qur`an banyak yang terbunuh pada peristiwa Yamamah dan sesungguhnya aku kawatir akan terbunuhnya para penghafal al-Qur`an (yang masih ada ini) di berbagai tempat lalu dengan itu banyak bagian al-Qur`an yang hilang; karena itu aku mengusulkan agar kamu memerintahkan penghimpunan al-Qur`an‟. Kemudian aku berkata kepada „Umar: „Magaimana kita akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW?‟. „Umar berkata:”Demi Allah, ini adalah kebaikan‟. Maka „Umar pun terus mendeakku sehingga Allah melapangkan dadaku untuk itu, dan aku (sekarang) berpendapat sebagaimana pendapat „Umar‟. Zaid berkata: “Abu Bakar berkata: Sesungguhnya kamu adalah pemuda yang bijaksana, kami tidak menyangsikannmu, karena kamu perna menjadi penulis wahyu bagi Rasulullah SAW; maka periksalah al-Qur`an dan himpunlah”. Demi Allah seandainya mereka menugaskanku untuk memindahkan salah satu gunung, sungguh itu tidaklah lebih berat bagiku dari pada apa yang ia perintahkan kapadaku untuk menghimpun al-Qur`an. Aku berkata: bagaimana kamu berdua akan melakukan sesuatu yant tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah? Ia berkata: ”Demi Allah ini adalah kebaikan”. Maka Abu Bakar pun terus mendesakku sehingga Allah melapangkan dadaku untuk melakukannya sebagaimana Allah telah melapangkan dada Abu Bakar dan “Umar sebelumnya. Maka aku periksa al-Qur`an dan aku menghimpunnya dari pelepah kurma, batu-batu tulis (likhaf) dan dada-dada para sahabat, sehingga dapati akhir surat at-Taubah pada Abu Khuzaimah al-Anshari; asku tidak mendapatkannya pada sahabat lainnya, yaitu ayat laqad ja`akum rasul… sampai akhir at-Taubah. Maka mushhaf itu disimpan
11
3. masa „Usman bin Affan. Mushhaf yang ada pada Hafshah, kemudian oleh „Utsman bin Affan, khalifah ketiga (644-655), ditulis kembali dan diperbanyak eksemplarnya, kemudian dikirimkan ke daerah-daerah untuk menjadi pegangan tertulis bagi umat Islam yang ada di sana31. Dalam penulisan ini sangat diperhatikan sekali perbedaan bacaan (untuk menghindari perselisihan di antara umat). „Utsman memberikan tanggungjawab penulisan ini kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin „Ash dan Abdur Rahman bin al-Harits bin Hisyam. Mushhaf tersebut ditulis tanpa titik dan baris. Dari teks „Utsman inilah salinan-salinan selanjutnya ditulis dan dicetak. Sehingga kita mengenal mushhaf kita sekarang ini sebagai mushhaf „ala rasm „Utsmani. 4. Pemberian titik dan baris, terdiri dari tiga fase: Pertama, Mu‟awiyah bin Abi Sufyan menugaskan Abu al-Aswad ad-Dualy untuk meletakkan tanda bacaan (I‟rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan dalam membaca. Kedua, Abdul Malik bin Marwan menugaskan al-Hajaj bin Yusuf yang dibantu oleh Nashr `Aslim dan Hay bin Ya`mar, untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan huruf lainnya (Ba` dengan satu titik di bawah; Ta` dengan dua titik di atas; Tsa` dengan tiga titik di atas dll.) Ketiga, peletakan baris atau tanda baca (I‟rab) seperti dlammah, fathah, kasrah dan sukun mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidy32. Berdasarkan atas sejarah kodifikasi yang jelas ini, umat Islam berkeyakinan bahwa teks al-Qur`an yang kita baca sekarang ini betul sesuai dengan apa yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Keorisinilan al-Qur`an dari Nabi Muhammad ini juga diakui oleh para orientalis. Nicholson dalam A Literary History of Arab (1961) umpamanya mengatakan: “…keasliannya tidak diragukan.”. H.A.R. Gibb
31 32
oleh Abu Bakar sampai ia meninggal, kemudian disimpan oleh „Umar sampai ia meninggal dan selanjutnya disimpan oleh Hafshah binti „Umar”. Seperti yang dikutip oleh Imam As-Suyuti, Op.Cit., hal. 56-57. Lebih jelasnya baca Zainal Abidin, 1992, Seluk-Beluk Al-Qur`an, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 33- 36. PC CD ROM, Al-Qur`an 6.50 dan al-Hadis: Versi Indonesia, @ Warez CD, LTD. 1999.
12
dalam Muhammedanism menulis: “Sangat bisa diterima bahwa bentuk dan isi ucapanucapanyang asli sangat terjaga” 33. Jelaslah sudah bahwa teks al-Qur`an adalah asli dari Tuhan. Wahyu yang Nabi terima dari Tuhan melalui Jibril dalam bentuk kata-kata yang didengar dan dihafal, bukan dalam bentuk pengetahuan yang dirasakan dalam hati atau yang dialami, bukan pula yang dilihat dalam keadaan tidak sadar (trance). Nama, sifat dan fungsi al-Qur`an Sungguh tepat penamaan al-Qur`an oleh Allah sendiri, yang secara harfiah berarti “bacaan sempurna”, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis-baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi al-Qur`an.34 Selain sebutan al-Qur`an (QS. al-Isra` [17]: 9), dalam berbagai ayatnya, alQur`an juga menyebut dirinya dengan al-, al-Kitab (QS. al-Anbiya` [21]: 10), alFurqan (QS. Al-Furqan [25]:1), al-Dzikr (QS. Al-Hijr [15]: 9) dan at-Tanzil (QS. AlSyu‟ara` [26]: 192). Yang paling populer di antara sebutan itu ialah al-Qur`an dan alKitab35.
33 34
Nasution, Op.Cit., hal. 19. Dalam hal ini penulis kutipkan uraian panjang lebar dari Quraish Shihab, seorang Doktor dalam ilmuilmu al-Qur`an di Universitas Al-Azhar. “Tidak ada bacaan semacam al-Qur`an yang dibaca oleh ratusan juta orang yang tidak mengerti artinya atau tidak dapat menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal oleh orang dewasa, remaja dan anak-anak.
35
Tiada bacaan pun melebihi al-Qur`an dalam perhatian yang diperolehnya, bukan saja dari sejarahnya secara umum, tetapi ayat demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat turunnya, sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya. Tiada bacaan pun seperti al-Qur`an yang dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan kosa katanya, tetapi juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid, buku, generasi demi generasi. Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecendrungan mereka, namun semua mengandung kebenaran. Al-Qur`an layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masingmasing. Tiada bacaan seperti al-Qur`an yang diatur tata cara membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal atau diperhalus ucapannya, di mana tempat yang terlarang atau boleh, atau harus memulai dan berhenti, bahkan diatur lagu dan iramanya, sampai kepada etika membacanya… Adakah suatu bacaan ciptaan makhluk seperti itu? Al-Qur`an menantang : “ Katakanlah, „Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk menyusun semacam al-Qur`an ini, mereka tidak akan berhasil menyusun semacamnya, walaupun mereka bekerja sama‟ ” (QS. Al-Isra` [17]:88) Orientalis H.A.R. Gibb pernah menulis bahwa, tidak ada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini telah memainkan “alat” bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yng dibaca Muhammad (al-Qur`an). Demikian terpadu dalam alQur`an keindahan bahasa, ketelitian dan keseimbangannya, dengan kedalaman makna, kekayaan dan kebenarannya, serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan yang ditimbulkannya” Quraish Shihab, 1996, Wawasan Al-Qur`an, Bandung: Mizan, hal. 3-5 Lihat al-Qattan, Op.Cit., hal. 18-19
13
Sedangkan mengenai sifatnya, al-Qur`an menyebut beberapa sifat diantaranya adalah an-Nur, cahaya (QS. An-Nisa` [4]:174); al-Huda, petunjuk; asy- Syifa`, obat; ar-Rohmah, rahmat; al-Mau‟idzoh, nasehat (QS. Yunus [10]: 57); al-Mubin, yang menerangkan (QS. Al-Maidah [5]:15); al-Mubarak, yang diberkati (QS. Al-`An‟am [6]:92); al-Busyro, kabar gembira (QS. Al-Baqarah [2]:97); al-„Aziz, yang mulia (QS. Fushshilat [41]:41); al-Majid, yang dihormati (QS. Al-Buruj [85]: 21); al-Basyir, pembawa kabar gembira; an-Nadzir, pembawa peringatan (QS. Fushshilat [41]:3-4)36. Dari nama dan sifat-sifat di atas, sebenarnya secara global dapat diketahui apa fungsi al-Qur`an itu sendiri. Di antaranya ialah, pertama, untuk menjadi hujjah atau bukti yang kuat atas kerasulan Nabi Muhammad SAW. Al-Qur`an merupakan mu‟jizat terbesar baginya37. Keberadaannya hingga kini masih tetap terpelihara dengan baik, dan pemasyarakatannya dilakukan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Allah sendiri yang akan menjaganya (QS. Al-Hijr [15]:9). Kedua, sebagai petunjuk bagi manusia. Yakni sebagai konfirmasi yang memperkuat-pendapat akal pikiran, dan sebagai informasi terhadap hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh akal. Hanya orang-orang bertaqwalah yang sesungguhnya mendapatkan petunjuk al-Qur`an ini. Karena fungsi al-Qur`an sebagai sarana mencapai kebaikan di dunia dan akherat terpenuhi. Sedangkan bagi orang yang tidak bertaqwa, al-Qur`an hanya bisa dipakai sebagai sarana untuk mencapai kebaikan di dunia semata. Ketiga, sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam segala urusannya hendaknya ia berhakim kepada al-Qur`an. Selanjutnya al-Qur`an berfungsi sebagai pengontrol dan pengoreksi terhadap perjalanan hidup manusia di masa lalu. Berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh Bani Israil terhadap ayat-yat Allah umpamanya dikoreksi 38. Keempat, sebagai pemberi peringatan dan kabar gembira. Di sini al-Qur`an menjelaskan mengenai janji Allah tentang balasan baik bagi orang-orang yang mentaati perintah-Nya dan menjelaskan peringatan Allah tentang hikuman bagi mereka yang melanggar dan mengingkari-Nya.
36 37 38
Al-Qattan, Op.Cit., hal. 20-24. Bandingkan dengan Imam as-Suyuti, 1996, Apa Itu Al-Qur`an, Jakarta: Gema Insani Press, hal. 15-16. Untuk mengetahui bagaimana kemu‟jizatan al-Qur`an. Baca Zainal Abidin S, Op.Cit., hal. 98. Abuddin Nata, 1999, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Press, hal. 68-72.
14
Kelima, sebagai syifa`an, obat penawar. Di sini bisa diartikan dalam dua versi, yaitu sebagai penyembuh penyakit batin dan penyembuh penyakit fisik. Penyakit batin seperti kesombongan, kerakusan, kemalasan, dengki, iri dan sebagainya. Sedangkan mengenai penyakit fisik, seperti yang tersirat dalam surat an-Nahl ayat 69, di situ dijelaskan tentang lebah dengan madunya. Dari ayat itu tentu al-Qur`an mendorong manusia untuk menyingkap misteri obat apa yang terdapat di dalamnya. Sedikit uraian di atas, mungkin bisa menjelaskan tentang fungsi al-Qur`an yang paling populer di yakini umat Islam. Yakni, sebagai rahmatan lil-alamin, rahmat bagi sekalian alam. Di sini al-Qur`an sebagaimana Islam menjadi bersifat universal. Muthabiqun likulli zaman wa makan, sesuai kapan dan di manapun. Kandungan al-Qur`an Wahyu turun kepada Nabi Muhammad SAW dalam dua periode: periode Makkah yang lamanya kira-kira 13 tahun dan periode Madinah yang lamanya kira-kira 10 tahun. Ayat-ayat yang diturunkan di Makkah merupakan bagian terbanyak, dan yang diturunkan di Madinah kira-kira sepertiga dari keseluruhan ayat yang terkandung dalam al-Qur`an. Kedua periode tersebut mempunyai ciri masing-masing. Pada periode Makkah, di mana agama Islam baru didirikan dan dinyatakan, ayat-ayat yang diturunkan banyak mengandung keterangan-keterangan tentang dasar Islam, seperti keesaan Tuhan, pengiriman rasul-rosul, adanya kitab-kitab suci, adanya kelak hari perhitungan dan pembalasan sesudah hidup duniawi, adanya surga dan neraka. Juga ajaran-ajaran lain, seperti sikap
terhadap agama-agama lain, tanda-tanda tentang adanya Tuhan,
ancaman bagi orang yang tidak mau percaya, teladan dari sejarah-sejarah umat terdahulu yang tidak patuh terhadap ajaran-ajaran sebelum Nabi Muhammad, cara mengabdi pada Tuhan, budi pekerti luhur dan lain-lain. Sedangkan pada periode Madinah -di mana umat Islam telah berkembang menjadi umat yang kuat dan mempunyai negara yang disegani oleh suku-suku bangsa Arab lainnya, bahkan kota Makkah yang mengusir Nabi Muhammad akhirnya jatuh ke dalam kekuasaan Madinah- ayat-ayat yang diturunkan mempunyai corak yang lain sekali dari ayat-ayat yang turun di Makkah. Ayat-ayat pada periode ini telah mencakup soal-soal hidup kemasyarakatan dan kenegaraan, seperti soal hukum yang mengatur hidup kekeluargaan (perkawinan, perceraian, hak waris, dan sebagainya), hubungan dagang dalam masyarakat, pengadilan, hubungan orang Muslim dengan non-Muslim,
15
hubungan antara orang kaya dengan orang miskin dan sebagainya. Di samping soalsoal hukum ini, ayat-ayat periode Madinah juga mencakup polemik yang terjadi dengan kaum Yahudi, hubungan dengan suku-suku Arab Badui dan penjelasan lebih lanjut tentang soal-soal yang telah disinggung pada periode Makkah39. Dengan demikian dapatlah ayat-ayat al-Qur`an dibagi ke dalam bagian-bagian besar berikut: 1. Ayat-ayat mengenai dasar-dasar keyakinan atau kredo dalam Islam yang dari situ lahir teologi Islam. 2. Ayat-ayat mengenai soal hukum yang melahirkan ilmu hukum Islam (fiqh). 3. Ayat-ayat mengenai soal pengabdian kepada Tuhan yang membawa keentuan-ketentuan tentang ibadah dalam Isalam. 4. Ayat-ayat mengenai budi pekerti luhur yang melahirkan etika Islam. 5. Ayat-ayat mengenai dekat dan rapatnya hubuingan manusia dengan Tuhan yang kemudian melahirkan mistisme dalam Islam. 6. Ayat-ayat mengenai tanda-tanda alam yang menunjukkan adanya Tuhan, yang membicarakan soal kejadian alam di sekitar manusia. Ayat-ayat yang serupa ini menumbuhkan pemikiran filosofis dalam Islam. 7. Ayat-ayat mengenai hubungan golongan kaya dengan golongan miskin, dan ini membawa pada ajaran-ajaran sosiologis dalam Islam. 8. Ayat-ayat yang ada hubungannya dengan sejarah terutama mengenai nabinabi dan umat mereka sebelum Nabi Muhammad SAW, dan umat-umat lainnya yang hancur karena keangkuhan mereka. Dari ayat-ayat ini dapat diambil pelajaran. 9. Ayat-yat mengenai hal-hal lainnya. Dari pembagian di atas, menurut Harun Nasution, dapat dilihat betapa kurang benarnya anggapan bahwa al-Qur`an mengandung segala-galanya. Yang berkaitan dengan hukum, misalnya, hanya terdapat 230 ayat saja dari seluruh ayat al-Qur`an. Tentu jumlah ini tidaklah cukup untuk mengatur hidup kemasyarakatan yang kompleks ini. Dalam soal ibadah hanya terdapat kira-kira 140 ayat. Sudah barang tentu jumlah ini tidak dapat menjelaskan segala hal yang bersangkutan dengan ibadah.
39
Nasution, Op.Cit., hal. 19-20
16
Umpamanya masalah shalat, tidak dengan jelas dan tegas disebut dalam Qur`an harus dilaksanakan lima kali sehari, dan tidak pula disebut rakaat, waktu, bacaan, dan lainlain. Demikian juga denga soal ibadah lainnya. Perincian mengenai shalat, puasa, zakat dan lain-lain, diketahui bukan dari al-Qur`an tetapi dari hadits. Demikian juga dalam soal keimanan, umpamanya mengenai ucapan dua kalimat syahadat, tidak disebut dengan jelas dan tegas dalam al-Qur`an. Tapi dijelaskan oleh hadits. Kalau dalam hal-hal yang dasar serupa dengan ini saja tidak semua dijelaskan dalam al-Qur`an, apalagi dalam persoalan yang bukan dasar, yang tidak ada huibungannya dengan keimanan, seperti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ideologi-ideologi seperti sosialisme, sistem-sistem pemerintahan seperti demokrasi dan lain-lain. Pandangan bahwa al-Qur`an mengandung segala-galanya sehingga apa saja yang terjadi di sekeliling kita dicari dan dicocok-cocokkan dengan ayat Qur`an, timbul akibat dari salah interpretasi terhadap ayat-ayat seperti berikut ini: “…Tidak ada suatu apa pun yang Kami lupa menyebutnya dalam kitab itu…” (QS. Al-An‟am [6]: 38) “… Dan Kami turunkan kitab ini padamu untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar genbira bagi orang-orang yang berserah diri” (QS. An-Nahl [16]: 89) Menurut banyak ulama tafsir, di antaranya Al-Zamakhsyari, yang dimaksud dengan “segala sesuatu” pada ayat di atas bukanlah berarti segala apa saja, tetapi segala sesuatu mengenai agama Islam, terutama tentang apa yang haram dan yang halal. Rasyid Ridlo menerangkan bahwa paham yang demikian (segala sesuatu terdapat dalam Qur`an) tidak pernah dianut para sahabat, tabi‟in dan ulama klasik, karena pendapat yang serupa iu tidak dapat diterima akal yang waras. Al-Qur`an sebenarnya bukanlah ensiklopedi yang memuat apa saja yang kita cari. Ia –seperti dapat dilihat pada kandungannya- merupakan buku agama yang dikirimkan Tuhan kepada masyarakat manusia untuk menjadi petunjuk (hudan) bagi mereka di dunia dan akhirat. Kalau disebut di dalamnya hal-hal yang ada hubungannya dengan fenomena alam, sejarah dan lain-lain, itu hanya sekilas sebagai argumen yang harus dipikirkan dan teladan yang harus dipahami oleh manusia40.
40
Op.Cit., hal. 21- 22.
17
Upaya memahami al-Qur`an. Dalam usaha memahami al-Quran, ulama-ulama Islam –baik dalam bidang teologi dan hukum, maupun tasawuf dan filsafat- membagi umat Islam ke dalam dua golongan besar, yakni „awam dan khawas (intelejensia). Dalam hubungannya dengan al-Qur`an, kaum awam memahami misi al-Qur`an sesuai dengan tigkatan kecerdasan yang ada pada mereka, sedang kaum khawas memahaminya menurut pengetahuan dan ketajaman akal yang mereka miliki. Kaum sufi dan filosof mengatakan bahwa ayat alQur`an mengandung dua arti: arti lahir (tersurat) dan arti batin (tersirat; ). Kaum khawas mencari arti tersirat sedangkan kaum awam menerima arti yang tersurat. Surga umpamanya, oleh ayat-ayat Qur`an digambarkan mempunyai bentuk jasmani. Yaitu tempat yang di dalamnya terdapat makanan yang lezat, bidadari yang cantik, perhiasan yang indah dan sebagainya. Bagi kaum awam, surga adalah seperti apa yang tersurat itu. Bagi kaum sufi dan filosof, tidaklah demikian. Bagi mereka kesenangan jasmani tidak ada artinya. Mereka lebih mengutamakan kesenangan intelektual dan ruhaniah (batiniah), sehingga surga bagi mereka adalah seperti yang terkandung dalam makna tersiratnya, yakni kesenangan batiniah yang terletak di balik kesenangan mahligai, makanan, bidadari, dan perhiasan yang digambarkan tersebut. Dalam konteks inilah, kandungan al-Qur`an seharusnya dipahami, bahwa teks Arab dari al-Qur`an -dan bukan isi teks- itu yang merupakan wahyu, yang dimungkinkan mempunyai interpretasi lebih dari satu. Apalagi bila diingat bahwa, alQur`an bukanlah buku ensiklopedi yang memuat apa saja secara terperinci. Sehingga diperlukan adanya penafsiran termasuk di dalamnya adalah penterjemahan. Sebenarnya kata “terjemahan” bersifat problematik. Karena tidak mungkin manusia yang nisbi (serba relatif) mampu menterjemahkan firman Tuhan yang Muthlak. Maka istilah terjemahan itu tak lain adalah merupakan interpretasi (penafsiran) sang penterjemah terhadap kandungan al-Qur`an. Terjemahan dapat dipakai untuk memahami isi al-Qur`an secara umum saja, yakni tidak begitu mendalam. Artinya untuk dipakai sebagai pedoman hidup secara umum terjemahan bisa dianggap memadai. Tetapi untukmemperoleh pengertian dan dan pemahaman yang mendalam, apalagi untuk mengambil ketentuan hukum dan dasar-dasar (norma) keimanan, orang harus pergi ke teks aslinya dalam bahasa Arab. Ini dasarkan pada pertimbangan bahwa: 1. Bahasa Arab mempunyai susunan kata dan tata bahasa sendiri yang banyak berbeda dengan susunan kata dan tata bahasa dari bahasa-bahasa lainnya.
18
2. Ayat-ayat al-Qur`an diturunkan dalam gaya ringkas tanpa banyak keterangan apalagi rincian, dan oleh sebab itu muncul interpretasi-interpretasi yang berlainan. 3. Dalam linguistik, diakui bahwa kata terjemahan tidak memberi arti yang identik dengan arti yang dikandung dalam bahasa aslinya. Tiap bahasa menggambarkan filsafat, pandangan hidup dan tradisinya sendiri. Oleh sebab itu, terjemahan tidak memberikan arti yang sebenarnya dari kandungan al-Qur`an seperti yang terdapat dalam bahasa aslinya. Terjemahan hanya memberikan salah satu alternatif dari interpretasi-interpretasi (penafsiran) itu41. Usaha memahami al-Qur`an sebagai sumber norma dan hukum Islam melalui penafsiran sebenarnya telah lama dimulai. Quraish Shihab mencatat sejak masa Rasulullah, Sahabat dan permulaan Tabi‟in sebagai periode pertama. Pada periode ini tafsir belum dalam bentuk tertulis. Tetapi masih tersebar dalam secara lisan. Periode kedua,
bermula
dari
kodifikasi
hadits,
tepatnya
pada masa
pemerintahan „Umar bin Abd al-„Aziz (99-101H) dari Daulah „Umawiyah. Pada periode ini penulisan tafsir masih tergabung dengan penulisan hadits. Dan metodologinya masih menggunakan metode bi al-Ma`tsur (periwayatan). Periode ketiga, tafsir Qur`an sudah ditulis (terkodifiksikan) dalam kitab-kitab tafsir secara khusus dan berdiri sendiri. Ini dimulai dengan Al-Farra‟ (207H) yang menulis kitab tafsir, Ma‟ani al-Qur`an42. Kegiatan menafsirkan al-Qur`an ini mengambil metodologi yang senantiasa terus berkembang. Pertama, Tafsir bi al-Ma`tsur (periwayatan). Dalam menafsirkan al-Qur`an biasanya tafsir ini mengembalikan dan menggabungkan tiga sumber penafsiran, yakni Rasulullah, Sahabat dan Tabi‟in, yang disebarkan melalui jalan periwayatan dan kebahasaan. Kedua, Tafsir bi ar-Ra`yi (penalaran). Dalam tafsir ini dikenal ada 4 corak metode: Metode Tahlily. Di sini al-Qur`an ditafsirkan dari segala segi (kosakata, asbab an-Nuzul [sebab-sebab turunnya ayat], munasabat al-Ayat wa asSuwar [keterkaitan atau hubungan antar ayat dan antar surat] dan lain-lain) dengan memperhatikan runtutan ayatnya sebagaimana dalam mushhaf. Metode Ijmaly.
41 42
Op.Cit., hal. 24. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an, Bandung: Mizan, hal. 73.
19
Metode Muqaran (perbandingan) Metode Maudlu‟i (tematik). Di sini ayat-ayat dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan (topik) tertentu dihimpun, kemudian penafsir membahas dan menganalisis kanadungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh43. Sedangkan corak penafsirannya, dikenal ada banyak sekali. Diantaranya adalah: 1. Corak sastra-bahasa. Tafsir ini lebih menekankan pada keistimewaan dan kedalaman arti kandungan al-Qur`an dalam bidang kesusasteraan dan kebahasaan; 2. Corak filsafat dan teologi. Sebagai akibat dari terjemahan kitab-kitab filsafat dan masuknya penganut agama lain; 3. Corak penafsiran ilmiah; 4. Corak fiqh atau hukum; 5. Corak tashawuf atau mistisme Islam; 6. Corak sastra-budaya kemasyarakatan. Lebih menekankan pada petunjuk-petujuk ayat-ayat al-Qur`an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat serta untuk menanggulanginya berdasarkan petunjukpetunjuk itu dengan bahasa yang mudah dimengerti dan indah didengar44. II. AS-SUNNAH DAN AL-HADITS Definisi as-Sunnah dan al-Hadits As-Sunnah berasal dari kata kerja Sanna-Yasunnu (“berjalan”, “menjelaskan” atau “menetapkan”) yang berarti as-Sirah, “prikehidupan” atau “prilaku”, athThariqah; “jalan”, “cara”, dan metode” dan asy-Syari‟ah; “syari‟at”, “peraturan” dan “hukum”.45 Adapun kata hadits jamaknya `ahadits makna aslinya adalah “ucapan”, “perkataan” dan “pembicaraan”.46 Dari pengertian di atas, Asy-Syaukani dalam bukunya, Irsyadul Fuhul menyebut as-Sunnah secara lughowi
sebagai
ath-Thariqat wa law ghaira
mardliyyah, yakni “jalan yang tetap kita jalani (telah menjadi tradisi untuk kita jalani), baik diridlai maupun tidak”47. Atau dengan bahasa lain, seperti yang disebutkan oleh M.M. Azami, “tata cara, jalan, tingkah laku baik terpuji maupun tercela”48. Sedangkan
43 44 45 46 47 48
Ibid., hal. 71-83. Ibid., hal. 72-73. Munawir, Op.Cit., hal. 714 & 716. Op.Cit., hal. 261. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, 1999, Kriteria Sunnah dan Bid‟ah, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, hal. 18. M.M. Azami, 1994, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta: Pustaka Firdaus, hal. 13-14.
20
hadits, menurut Maulana Muhammad Ali sebagai “ucapan yang disampaikan kepada manusia, baik dengan perantaraan pendengaran maupun perantaraan wahyu”. 49 Sedangkan secara terminologis, ada beberapa pengertian sunnah. Ahlul hadits mengartikannya dengan sabda (qaul), pekerjaan (fi‟il), ketetapan (taqrir), sifat atau tingkah laku Nabi baik sebelum maupun sesudahnya. Di sini ahlul hadits menyamakan sunnah dengan hadits. Ahlul ushul mendefinisikannya dengan sabda Nabi yang bukan dari Qur`an, pekerjaan atau ketetapannya. Dan terakhir, Ahlul Fiqh memberikan arti sebagai hal-hal yang berasal dari Nabi baik ucapan maupun pekerjaan, tetapi hal itu tidak wajib dikerjakan50. Di antara ulama ada yang membedakan sunnah dengan hadits. Sesuai dengan makna aslinya Sunnah berarti perbuatan Nabi SAW, sedang Hadits merupakan sabdanya. Meskipun demikian dalam pengertian ini Sunnah disebut juga dengan Hadits. Karena keduanya berkisar di lapangan yang sama, dan dapat diterapkan terhadap: (1) qaul, yaitu sabda Nabi SAW yang berhubungan dengan perkara agama; (2) fi‟il, yaitu perbuatan atau tingkah laku Nabi SAW; dan (3) taqrir, yaitu diamnya Nabi karena setuju atas perbuatan orang lain. Dengan kata lain, Sunnah ialah segala perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat dan sikap Rosulullah SAW yang dicatat dan direkam dalam Hadits. Dalam arti teknis as-Sunnah (sunnah ar-Rosul) identik dengan al-Hadits (al-Hadits an-Nabawi)51. Sebagai sumber ajaran Islam kedua Sunnah atau hadits adalah sumber syari‟at Islam yang nomor dua, dan tidak disangikan lagi dalam keyakinan umat Islam menduduki tempat kedua setelah Qur`an
Ali, Op.Cit., hal. 41. Oleh karena itu menurut Ali, Qur`an juga sering disebut hadits (QS. Al-Kahfi [18]: 6, QS. Az-Zumar [39]: 23). Kata sunnah digunakan oleh Qur`an dalam arti umum, yaitu “cara” atau “aturan”. Jadi kata sunnah al-Awwalin (QS. 8:38; 15:13; 18:55; 35:43) berarti “cara atau percontohan orang-orang dahulu”. Juga kata sunnah acapkali digunakan oleh Qur‟an sebagai “cara Allah dalam memperlakukan manusia”, yakni Sunnatullah. Akan tetapi bentuk jamak sunan, pernah satu kali digunakan oleh Qur`an dalam arti jalan yang harus dilalui oleh manusia (QS. 4:26). 50 Azami, Op.Cit., hal. 13-14. 51 Endang Saifuddin Anshari, 1986, Wawasan Islam: Pokok-Pokok Fiiiran tentang Islam dan Umatnya, Jakarta: Rajawali, hal. 36. Lihat juga, Fazlur Rahman, 1993, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, Bandung: Mizan. Menurut Taufiq Adnan Amal, penyunting buku ini, dalam pandangan neomodernisme sunnah (dalam kaitannya dengan hadits nampak) dibedakan menjadi dua: yaitu “Sunnah historis” , yakni biografi Nabi dan “Sunnah teknis” , yakni yang terdapat dalam hadits-hadits. 49
21
Suci. Hal itu karena pertama, sebagaimana yang diperintahkan dalam surat an-Nisa` [4]: 59: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulul amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman akepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. Juga dalam surat al-Hasyr [59]: 7: “….Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka
tinggalkanlah; dan bertaqwalah
kepada
Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”. Dan hadits Rasulullah SAW.: “Saya telah tinggalkan kepadamu dua urusan yang kamu sekali-kali tidak akan sesat selama kamu berpegang teguh kepadanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul” (HR. Malik)52. Kedua, karena fungsi hadits sendiri sebagai bayan53, penjelas dan penafsir pelaksanaan al-Qur`an. Banyak persoalan di dalam al-Qur`an yang dibahas secara global dan membutuhkan perincian pelaksanaan. Di sinilah peranan Nabi dengan sunnahnya (hadits) menjelaskan perintah yang masih global tersebut. Sebagaimana yang tersirat dalam surat an-Nahl [16] ayat 44: “ (Rasul-rasul itu kami utus) membawa keterangan-keterangan (mu‟jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur`an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan”. Ketiga,
tidak bisa dilepaskan dari hakikat as-Sunnah itu sendiri. Pada
hakikatnya, as-Sunnah juga merupakan wahyu ilahi yang bukan al-Qur`an. Pengertiannya adalah bahwa ruh dari kandungan as-Sunnah juga dari Allah dalam bentuk dan konteks yang berbeda dengan al-Qur`an. Di sini Nabi tidak melakukan interpretasi dengan menggunakan akal dan pikirannya lepas dari petunjuk Allah. Nabi
52 53
Sebagaimana yang dikutip oleh Tim Penyusun Serial al-Islam dan Kemuhammadiyahan, 1994, Studi Islam I, Surakarta: PSIK UMS, hal. 55 Fungsi as-Sunnah atau al-Hadits sebagai penjelas dn penafsir al-Qur`an: [1] memperinci dan menguraikan ayat-ayat Qur`an yang bersifat umum. [2] menjelaskan ayat-ayat Qur`an yang implisit (tersirat). [3] memberi putusan dan penilaian tentang hal-hal tertentu yang kebetulan tidak disinggung (secara jelas dan tegas) dalam al-Qur`an. Lihat, Anshari, Op.Cit., hal. 37.
22
tidak berbicara tentang agama (al-Qur`an) secara mandiri dri analisis yang bersifat individual, melainkan dengan isyarat Allah. Sebagaimana yang dikuatkan Allah dalam surat an-Najm [53] ayat 3-4 : “ dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur`an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” Jadi jelaslah, bahwa Nabi tidak berkata menurut nafsu dirinya, tetapi ap yang dikatakan tidak lain adalah wahyu pula yang berfungsi sebagai penjelas bagi ayat-ayat al-Qur`an. Dalam hal ini Nabi pun membenarkannya dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, at-Turmudzi, Ibnu Majah: “Ketahuilah bahwasanya aku diberi al-Qur`an dan semacam Qur`an (as-Sunnah) besertanya”54. Hadits ini menujukkan bahwa di samping al-Qur`an, Nabi juga mendapatkan wahyu non-Qur`an. perbedaan kedua wahyu tersebut sebagaimana berikut: 1. Al-Qur`an secara legal dari Allah, baik teks maupun isinya. Sedang asSunnah, teksnya dari Rasul dan isinya dari Allah. 2. Al-Qur`an merupakan mu‟jizat isi maupun teksnya, diperintahkan untuk membacanya (sebagai ibadah; hukum fiqhnya sunnah). Sedangkan asSunnah bukanlah mu`jizat dan tidak
disunnahkan untuk dibaca
sebagaimana al-Qur`an. Dengan demikian, status dan kekuatan as-Sunnah sebagai sumber hukum, yang dalam hal ini sebagai penjelas al-Qur`an, tidak disangsikan lagi sebab secara substansi dia adalah wahyu Allah yang sudah jelas dan legal. Secara formal, Rasulullah diberi hak dan wewenang untuk menjelaskan dan menyampaikan kepad manusia. Dan secara metodologis telah memenuhi kriteria ilmiah, sebagai hasil liputan peristiwa serta penelitianyang dilakukan dengan seksama, diperhatikan unsur validitas, reabilitas serta objektifitasnya. Sehingga untuk mengkodifikasikan dan mengabsakannya diperlukan berbagai ilmu bantu yang pda akhirnya menjadi disiplin ilmu tersendiri yang disebut “ilmu Musthalahul Hadits”, sejenis metodologi as-Sunnah. Di dalam ilmu ini diperkenalkan berbagai kriteria serta persyaratan yang amat ketat suatu hadits atau sunnah bisa diterima sebagai sumber hukum. Ketatnya persyaratan dan kriteria itu, baik dari segi pembawanya (perawi; sanad) maupun teksnya (matan) dan lain-lain, disebabkan karena bukti sejarah bahwa as-Sunnah tidak dari awal mula ketika Nabi masih hidup ditulis, bahkan Nabi sendiri pada saat itu
54
lihat Abdul Majid, dkk. 1995, Al-Islam I, Malang: LSIK-UMM, hal. 59.
23
melarang penulisan hadits karena dikhawatirkan akan bercampur dengan penulisan alQur`an. As-Sunnah baru secara resmi dikodifikasikan kira-kira 1 abad setelah Rasulullah wafat. Tepatnya pada masa pemerintahan „Umar bin Abdil Aziz (99-101H), khalifah kedelapan dari Daulan Bani Umayah. Ia memerintahkan agar para gebenur mengadakan penghimpunan serta penulisan (tadwin) as-Sunnah secara legal. Kebijakan itu betul-betul dilakukan dan berjalan terus sehingga melahirkan berbagai kitab himpunan as-Sunnah serta buku-buku tentang ilmu hadits. Pada perkembangan terakhir muncul kitab-kitab as-Sunnah besar dan sanagat populer yang dihasilkan oleh para perawi dan ahli as-Sunnah yang agung. Mereka itu antara lain: 1. Imam Bukhari dengan kitabnya Shahih Bukhari (194-256H) 2. Imam Muslim dengan kitabnya Shahih Muslim (204-261H) 3. Imam Abu Daud dengan kitabnya Sunnah Abu Daud (202-275H) 4. Imam at-Turmudzi dengan kitabnya Shahih Turmudzi (w. 209H) 5. Imam Ibnu Majah dengan kitabnya Sunnah Ibnu Majah (209-283H) 6. Imam an-Nasa`i dengan kitabnya Sunnah an-Nasa`i. (w. 303H) Dan masih banyak lagi kitab-kitab Sunnah lainnya, dan ilmu serta sistematika pembahasan as-Sunnah terus berkembang hingga saat ini55. Dari semua uraian di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa as-Sunnah sebagai sumber Islam mempunyai status serta kekuatan hukum setelah al-Qur`an dan berfungsi sebagai penjelas serta pengembangan dari nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Sudah barang tentu mempelajari dan berusaha mengamalkannya mempunyai kedudukan yang sama dengan al-Qur`an. III. IJTIHAD Pengertian Ijtihad Ijtihad adalah sumber syari‟at Islam yang ketiga. Kata ijtihad berasal dari akar kata jahada yang artinya “berusaha keras” atau “berusaha sekuat tenaga” . kata ijtihad yang secara harfiah mempunyai makna yang sama, secara teknis diterapkan bagi seorang ahli hukum yang dengan kemampuan akalnya berusaha keras untuk menentukan pendapat di lapangan hukum mengenai hal yang pelik dan meragukan56.
55 56
Ibid., hal. 61. Ali, Op.Cit., hal. 66
24
Endang Saifuddin Anshari mengartikan ijtihad secara terminologis sebagai usaha sungguh-sungguh seseorang (beberapa orang) ulama tertentu, yang memiliki syarat-syarat tertentu, pada suatu tempat dan waktu tertentu, untuk merumuskan kepastian atau penilaian hukum mengenai sesuatu (atau beberapa) perkara, yang tidak terdapat kepastian hukumnnya secara eksplisit dan positif, baik dalam al-Qur`an maupun al-Hadits. Orang yang berijtihad disebut Mujtahid.57 Sedangkan Imam Syaukani mengartikan Ijtihad sebagai “mengerahkan segala kemampuan daya nalar secara maksimal dalam memperoleh hukum syar‟I yang bersifat amali melalui cara istinbat. Secara sederhana pengertian ijtihad dapat disimpulkan sebagaimana berikut: 1. Pengerahan daya nalar secara maksimal. 2. Oleh seorang Faqih (Mujtahid yang telah memenuhi segala persaratan), 3. Produkknya adalah dugaan kuat tentang hukum syari‟ah yang bersifat amaliah. 4. Usaha ijtihad melalui istinbat. Penghargaan terhadap Akal dan Anjuran berijtihad Qur‟an mengakui bahwa wahyu sebagai sumber ilmu itu lebih tinggi dari pada akal, tetapi disamping itu Qur`an juga mengakui bahwa kebenaran ajaran yang ditetapkan oleh wahyu dapat dipertimbangkan oleh akal. Oleh karena itu al-Qur`an berseru berulang kali agar manusia mau menggunakan akalnya, dan memuji orang yang menggunakan akalnya. Seperti yang tersirat dalam beberapa ayat serupa berikut ini: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil bediri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka perihalah kami dari siksa neraka” (QS. Alu Imron [3]: 190-191) Selanjutnya Qur`an mencela orang yang tidak mau menggunakan akalnya, dan menyamakannya dengan binatang, serta dikatakan pula sebagai orang tuli, bisu dan buta: “Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala
57
yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan
Anshari, Op.Cit., hal. 39.
25
dan seruan saja. (mereka) tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti” (QS. al-Baqarah [2]: 171) Al-Qur`an juga mengakui perlunya menggunakan pertombangan akal agar orang sampai kepada keputusan: “ Dan apabila datang kepada mereka berita tentang keamanan dan ketakutan, mereka menyiarkan itu. Dan sekiranya mereka mengembalikan itu kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, niscaya orang-orang diantara mereka yang ingin meneliti (berita) itu, akan mengetahuinya” (QS. an-Nisa` [4]: 83) Maulana Muhammad Ali menjelaskan bahwa, kata yang dicetak tebal dalam ayat di atas aslinya berbunyi yastanbithunahu, dari kata istinbath, berasal dari nabatha al-Bi`ra artinya “menggali sumur dan mengeluarkan air”. Istilah istinbath seorang hakim berasal dari kata ini, yang artinya “meneliti arti yang tersembunyi dengan jalan ijtihad”. Ini sama dengan istikhraj yang artinya “menarik kesimpulan dengan analogi (kiyas58). Jadi ayat tersebut mengakui prinsip penggunaan pertimbangan akal, yang ini sama dengan ijtihad; walaupun peristiwa yang disebutkan dalam ayat tersebut merupakan hal khusus, tetapi prinsip yang diundangkan itu merupakan prinsip umum.59 Selain ayat di atas, terdapat juga hadits Nabi yang diriwayatkan oleh oleh Abu Dawud60, yang dianggap sebagai dasar ijtihad dalam Islam: “Pada waktu Muadz ditetapkan sebagai gubernur di Yaman, ia ditanya oleh Nabi SAW, bagaimana ia akan mengadili jika diajukan kepadanya suatu perkara. Muadz menjawab: “Aku akan mengadili dengan undang-undang Qur`an”. “tetapi jika engkau tidak menemukan petunjuk dalam Kitab Suci?” tanya Nabi. “Maka aku akan mengadili menurut Sunnah Nabi” jawab Muadz. “tetapi jika engkau tidak menemukan petunjuk dalam Sunnah nabi?”. tanya Nabi. “maka aku akan menggunakan pertimbangan akalku (ajtahidu) dan mengadili menurut itu” jawab Muadz. Nabi lalu menepuk lengan Muadz sambil berkata: “Segala puji bagi Allah, yang telah memberi petunjuk kepada Utusan-Nya seperti yang Ia kehendaki”.
58
59 60
Qiyas ialah suatu usaha yang ditempuh oleh Mujtahid untuk menemukan kepastian hukum suatu perkara dengan jalan mempersamakan perkara termaksud dengan perkara lainnya yang terdapat kepastian hukumnya dalam al-Qur`an dan al-Hadits. Qiyas dalam ilmu Hukum Islam sama dengan analogi dalam Ilmu Hukum Umum. Analogi bukanlah sumber hukum tetapi salah satu metode penafsiran hukum. Penafsiran hukum lainnya ialah: penafsiran gramatikal, penafsiran sosiologis, teleologis dan penafsiran historis. Lihat Anshari, OpCit., hal, 40 Ali, Op.Cit., hal. 67. Seperti yang dikutip oleh Anshari, Op.Cit., hal. 34. Juga lihat Ali, Op.Cit., hal. 67.
26
Hadits tersebut tidak hanya menunjukkan bahwa Nabi membenarkan penggunaan pertimbangan akal, juga menunjukkan bahwa sahabat Nabi menyadari sepenuhnya prinsip ini, dan bahwa di zaman Nabi, selain beliau sendiri, orang-orang lainpun menggunakan ijtihad secara bebas bila dianggap perlu. Masalah-masalah yang menjadi topik ijtihad tentunya tidak semua masalah atau didasarkan pada sembarang dalil yang terdapat dalam al-Qur`an maupun as-Sunnah. Akan tetapi masalah tersebut berkisar pada masalah-masalah ijtihadiyah (yang hukumnya tidak dijelaskan dalam Qur`an dan Sunnah): Pertama, masalah yang tidak ada nashnya sama sekali. Kedua, masalah yang ada nashnya namun belum pasti untuk masalah itu. Ijtihad ini dapat dilakukan dengan dua cara: Ijtihad fardi (secara individu) dan ijtihad jama‟I (secara kolektif). C. KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM Pinsip Dasar Islam: Upaya menjadikan Islam sebagai Way of Life Dalam bukunya Wawasan Al-Qur`an, Quraish Syihab61 menjelaskan bahwa, Islam mempunyai prinsip-prinsip dasar yang harus mewarnai sikap dan aktivitas pemeluknya. Puncak dari prinsip itu adalah tauhid. Di sekelilingnya beredar unit-unit bagaikan planet-planet tata surya yang beredar di sekeliling matahari, yang tidak dapat melepaskan diri dari orbitnya. Unit-unit tersebut antara lain: a. Kesatuan alam semesta. Dalam arti, Allah menciptakannya dalam keadaan amat serasi, seimbang dan berada di bawah pengaturan dan pengendalian Allah SWT melalui hukum-hukum yang ditetapkan-nya. b. Kesatuan kehidupan. Bagi manusia ini berarti bahwa kehidupan duniaminya menyatu dengan kehidupan ukhrowinya. Sukses atau kegagalan ukhrowi, ditentukan oleh amal duniawinya. c. Kesatuan ilmu. Tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu umum, karena semuanya bersumber dari satu sumber yaitu Allah SWT. d. Kesatuan iman dan rasio. Karena masing-masing dibutuhkan dan masingmasing mempunyai wilayahnya sehingga harus saling melengkapi. e. Kesatuan agama. Agama yang dibawa oleh para Nabi kesemuanya bersumber dari Allah SWT., prinsip-prinsip pokoknya menyangkut aqidah, syari‟ah dan akhlaq tetap sama dari zaman dahulu sampai sekarang. 61
Quraish Shihab, 1996, Wawasan Al-Qur`an: Tafsir Maudlu‟i atas Berbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, hal. 382-383.
27
f. Kesatuan kepribadian manusia. Mereka semua diciptakan dari tanah dan Ruh Ilahi. g. Kesatuan individu dan masyarakat. Masing-masing harus saling menunjang. Sifat Khas Ajaran Islam Senada dengan uraian di atas, Khurshid Ahmad62 menegaskan ada beberapa sifat khas ajaran Islam, diantaranya ialah: a. Kesederhanaan, rasionalitas dan praktis (amaliah). Islam adalah agama yang tidak memiliki mitologi. Ajarannya cukup sederhana dan dapat dipahami. Di dalamnya tidak pernah ada tempat bagi keberhalaan dan keyakinan tak rasional mengenai dasar islam, yakni Keesaan Allah, kerasulan Muhammad dan kepercayaan akan hari kiamat.
Seluruh ajaran Islam bertolak dari
keyakinan dasar tersebut, dan bersifat sederhana serta langsung. Di dalamnya tidak ada sistem kependetaan atau abstraksi yang berbelit-belit, juga tidak ada ritus dan ritual yang sedemikian rumit. Setiap manusia dimungkinkan untuk memahami Kitab Allah secara langsung dan kemudian menerapkan ketentuan yang ada ke dalam kehidupan praktis (lihat QS. 13:29) b. Kesatuan antara materi dan ruhani. Islam tidak memisahkan secara ketat antara materi dan ruhani. Ia tidak membela pengabaian kehidupan, tetapi justru mendorong kepuasan dalam kehidupan. Islam tidak menerima asketisme (kepertapaan). Ia tidak perna meminta manusia agar menjauhi materi. Ia menunjukkan keluhuran ruhani yang harus diupayakan untuk dicapai lewat cara hidup yang saleh dalam berhadapan dengan dunia, dan bukan lewat pengingkaran atas dunia (lihat QS. 2:201 juga 7:32). c. Sebuah jalan/cara hidup (way of life) yang lengkap. Islam bukan hanya agama dalam pengertian yang biasa, yang membatasi masalahnya hanya pada hal-hal pribadi saja. Tetapi ia merupakan pandangan hidup yang lengkap, yang melingkupi seluruh aspek eksistensi kehidupan manusia. d. Keseimbangan antara individualisme dan kolektivisme. Salah satu keunikan Islam adalah penekanan pada pentingnya keseimbangan antara individualisme dan kolektivisme. Dijelaskannya pengertian personalitas pribadi manusia, serta pertanggungjawabannya kepada Tuhannya. Dijaminnya hak-hak dasar 62
Khurshid Ahmad, dkk., Islam: Sifat, Prinsip Dasar Dan Jalan Menuju Kebenaran, Jakarta: Srigunting, hal. 26-42.
28
pribadi, dan tidak dibiarkannya seseorangpun untuk meremehkannya. Dan sebaliknya Islam juga membangkitkan rasa tanggungjawab kemasyarakatan pada manusia, mengorganisasi manusia di dalam masyarakat dan negara dan mendorong pribadi agar berbuat baik untuk kemashlahatan (kebaikan) bersama. e. Universalitas dan humanitas. Pesan Islam disampaikan untuk seluruh umat manusia. Allah dalam pengertian Islam adalah Tuhan bagi seluruh alam (lihat QS. 1:1), dan Rasulullah SAW diutus bagi seluruh umat manusia (lihat QS. 7:158 dan QS. 21:107). Dalam Islam, seluruh manusia sama derajatnya, apapun warna kulit, bahasa, ras atau nasionalitasnya. Semuanya di hadapan Allah sama kecuali takwanya. Dari prinsip-prinsip semacam di atas, seorang Muslim dapat menjadikan Islam sebagai way of life (jalan hidup)-nya yang bersifat dinamis dan progresif mengikuti perkembangan positif masyarakatnya, dan karena itu pula Islam memperkenalkan dirinya sebagai agama yang universal, agama yang selalu sesuai kapan dan dimanapun juga63. Wa Allahu a‟lam!
63
Masalah universalitas islam dalam tataran sejarah telah digambarkan dengan baik oleh Harun Nasution dalam bukunya Islam Rasional, 1995, Bandung: Mizan, hal.32-36.
29
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Zainal, 1992, Seluk-Beluk Al-Qur`an, Jakarta: Rineka Cipta. Ahmad, Khurshid dkk., Islam: Sifat, Prinsip Dasar dan Jalan Menuju Kebenaran, Jakarta: Srigunting. Ali, Abdullah dkk, 1994, Studi Islam I, Surakarta: PSIK-UMS. Ali, Maulana Muhammad, 1980, Islamologi (Dinul Islam), terj. R. Kaelan & H.M. Bachrun, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru – Van Hoeve. Al-Khallaf, Abd al-Wahhab, 1972, Ilmu Ushul al-Fiqh, Jakarta: al-Majlis al-`Ala alIndonesia li al-Da‟wah al-Islamiyah, cet.IX. Al-Qattan, Manna‟ Khalil, 1996, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur`an (terj.), Bogor: Litera Antar Nusa. Anshari, Endang Saifuddin, 1986, Wawasan Islam: Pokok-Pokok Fikiran tentang Islam dan Umatnya, Jakarta: Rajawali Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, 1999, Kriteria Sunnah dan Bid‟ah, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. As-Shalih, Subhi, 1991, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur`an (terj.), Jakarta: Pustaka Firdaus. As-Suyuti, Imam, 1996, Apa itu al-Qur`an, Jakarta: Gema Insani Press. Azami, M.M., 1994, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta: Pustaka Firdaus. Esack, Farid, 2000, Al-Qur`an, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, ter. Watung A Budiman, Bandung: Mizan. Madjid, Nurcholis, 1992, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Tela‟ah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina. Majid, Abdul dkk. 1995, Al-Islam I, Malang: LSIK-UMM Munawir, Ahmad Warson, 1984, Kamus al-Munawwir, Jakarta: Pustaka Progresif. Nasution, Harun, 1979, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I, Jakarta: UIPress. _______, 1995, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Bandung: Mizan. Nata, Abuddin, 1999, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Press
30
Rahman, Fazlur, 1993, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, Bandung: Mizan. Razak, Nasruddin, 1977, Dienul Islam, Bandung: al-Ma‟arif. Shihab, Quraish, 1995, Membumikan al-Qur`an, Bandung: Mizan _____, 1996, Wawasan al-Qur`an: Tafsir Maudlu‟i atas Berbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan. Smith, Huston, 1985, Agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Syaltut, Syeikh Mahmud, 1967, Islam Sebagai Aqidah dan Syari‟ah, (terj. H. Bustami dkk.), Jakarta.
31