Ragam Isi Salam Tabligh: Semakin besar kesulitan yang telah berhasil diatasi, maka akan semakin tinggi derajat dan semakin banyak pula kemudahan yang didapat. Dalam penyelesaian kesulitan itu, kita perlu melakukan jihad yang ditopang dengan kesabaran. Jihad dan sabar ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. . ............... 3
Tafsir al-Qur’an: Surat al-Baqarah ayat 44-46 Sungguh buruk orang yang memerintah orang lain berbuat baik tetapi dirinya sendiri tidak melakukan. Ayat ini memuat juga anjuran untuk berdoa, memohon pertolongan kepada Allah ta’ala dengan sabar dan melakukan shalat saat menghadapi hal-hal sulit dan berat. Juga tentang mengingat kematian dan meyakini akan bertemu berhadapan dengan Allah ta’ala sehingga perlu mempersiapkan diri dengan membawa bekal takwa dan amalan-amalan baik, ridha Allah dan ampunan-Nya. ........ 8 Tuntunan Akidah: Tawasul dan Wasilah yang Menyimpang .......... 19
Tuntunan Akhlak: Menjadi Pribadi Mukhlis ................................ 24 Adab Bepergian ........................................... 30
Tuntunan Ibadah: Shalat Istikharah .................................................... 36
Tuntunan Muammalah: Jual Beli yang Diperbolehkan dalam Islam ........ 44
Syarah Hadits: Berderma untuk Menjaga Kehormatan Diri ........ 51
foto sampul: Doha-Qatar at midnight (ahmedelzahra-devianart) disain:
[email protected] BERKALA TUNTUNAN ISLAM
ISLAM
THE WAY OF LIFE
Penasehat Ahli: Drs. H. Muhammad Muqoddas, Lc., M.A., Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.A., Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin, M.A. Pemimpin Umum: Agus Sukaca | Pemimpin Perusahaan: Ismail TS Siregar. Pemimpin Redaksi: Farid B. Siswantoro. Sidang Redaksi: Sutoto Jatmiko, Farid Bambang Siswantoro, Farid Setiawan, Arief B. Ch., Majelis Redaksi: Anhar Anshori, Ahmad Supriyadi, Agus Taufiqurrahman, Agus Kusnadi, Agus Tri Sundani, Ahmad Muttaqin, Ahmad Yani, Alfis Chaniago, Andy Dermawan, Arif Jamali, Fathurrahman Kamal, Imron Anhar, Kamiran Qomar, Kasiyarno, Khamim Zarkasih Putro, Marsudi Iman, Moh. Damami Zein, Muhammad Furqan, Muhammad Ziyad, Munichy B. Edrees, Najib Sudarmawan, NurudinTriwidiyanto, Okrisal Eka Putra, Risman Muhtar, Shobahussurur, Suhairy Ilyas, Sukirman, Syakir Jamaluddin, Syamsul Hidayat, Waharjani, Wijdan al-Arifin, Wikan Eko Pramuji, Yusuf A. Hasan., Zulbahri Sutan Bagindo. Kontributor Materi: dr. H. Agus Sukaca, M.Kes., Drs. H. M. Yusron Asrofie, M.A., Dr. H. Syamsul Hidayat, M.Ag., Dr. Mahli Z. Tago, M.Si., Drs. H. Zaini Munir Fadloli, M.Ag., Ruslan Fariadi, S.Ag., M.SI., Dr. H. Agung Danarta, M.Ag., dan lain-lain. Manajer Pemasaran dan Periklanan: Agus Budiantoro | Manajer Keuangan: Taufiqurrahman | Manajer Operasional dan Administrasi: Fitri T. Nugroho; Diterbitkan oleh: Majelis Tabligh PP Muhammadiyah. Alamat: Jl. KHA. Dahlan 103 Yogyakarta-55262 telp. +62-274-375025 fax. +62-274-381031 HP. 081804085282, 085328877997, 085729844448. email:
[email protected] Akun bank: Bank Syariah Mandiri nomor: 0300126664 a.n. Berkala Tuntunan Islam MT PPM.
minat berlangganan Tuntunan ISLAM? hubungi agen terdekat: | Ambon 0813.430.86.343 | Balikpapan 0813.90.999.159 | Bandar Lampung 081540824275 | Banjarmasin#1 081349605358 | Banjarmasin#2 081348022900 | Banjarnegara 0813.9152.7890 | | Banyumas 085226882222 | Banyuwangi 081336422882 | Batang 0815.654.7164 | Berau 0811.596641 | | Blora 0813.2877.1832 | Bontang 0812.581.9262 | Boyolali 0857.2557.9118 | Cilacap 081230513118 | | Demak 0857.2617.1950 | Gianyar- Bali 0361-292359 | Grobogan 0813.2562.0937 | Gunungkidul 0878.3916.2755 | | Hulu Sungai Utara 081349781285 | Indramayu 081320358074 | Jakarta Barat 081.707.39.789 | | Jakarta Pusat 0815.8415.4260 | Jambi 085366281816 | Jepara 0813.2524.1985 | Kebumen 0878.3779.7773 | | Karanganyar 0816.427.9538 | Kendal 08122.564.103 | Kisaran 081375202566 | Klaten 0817.942.742.3 | | Kulonprogo 0877.3844.8284 | Kudus 0291-333.1220 & 0815.7881.6153 | Labuhan Batu Utara 081370955377 | | Langkat 081370439013 | Lamongan 085231551513 | Lampung Tengah 081379342454 | | Lampung Timur 0821.8353.5500 | Luwuk Banggai 0817.693.5003 | Magelang (kab.) 0813.282.565.22 | | Magelang (kota) 0293-363.792 | Malang 0812.5257.5100 | Manado 0813.5640.3232 | Medan 08126302411 | Muko-Muko 0852.6849.0850 | Padang Sidempuan#1 081264117005 | Padang Sidempuan#2 081361667759 | | Pekalongan (kab.) 0858.42.0404.77 | Pekalongan (kota) 0856.4220.5499 | Pematang Siantar 081361173817 | | Pontianak 081256915708 | Purwokerto 08564.789.5017 | Purworejo 08522.692.1756 | | Purbalingga 0821.34.600.222 | Samarinda 0812.538.0004 | Serdang Bedagai 085261658206 | | Singaparna-Tasikmalaya 085322.400.124 | Selawan - Asahan 081375202566 | Rantau Perapat 081397936301 | | Sragen 0852.9371.1479 | Surabaya 081217026560 | Surakarta 0815.4854.6529 | | Tanah Bumbu - Kalsel 085298147419 | Tapanuli Selatan 081361667759 | Tapanuli Tengah 08126382034 | | Tarakan 085247133337 | Tapin - Kalsel 081349311222 | Temanggung 0877.1919.7899 | Tuban 085230882594 | | Wonosobo 0813.2871.8161 | Yogyakarta 0857.29.844.448 |
membeli lebih dari satu, lalu menghadiahkan kepada relasi-sanak-kerabat-handai taulan, sehingga mereka berkesempatan mengkaji Tuntunan ISLAM, adalah salah satu bentuk DAKWAH Anda... hotline pemasaran & iklan: 0821.3461.7479 0274-786.3449 hotline bagian admin.: email:
[email protected] 0818.040.85.282 (XL) 08532.887799.7 (As) Akun bank: Bank Syariah Mandiri, nomor rekening: 0857.29.844.448 (IM3) 0300126664 a.n. Berkala Tuntunan Islam MT PPM
Salam Tabligh
Agus Sukaca
MELIHAT SISI POSITIF DARI SETIAP NIKMAT DAN MUSIBAH
Pembaca yang Budiman! agi seorang mukmin, peristiwa dan situasi apapun yang dialami mestilah dihadapi dengan positif. Pikiran seorang mukmin akan menuntun untuk melihat setiap peristiwa dan situasi itu dari sisi positif. Peristiwa apapun yang telah atau sedang dialaminya pasti diterima dan dihadapi dengan baik, serta tanpa mengeluh. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan apabila hal itu akan diperlakukannya sebagai suatu peristiwa terbaik yang harus dialami. Sikap demikian itu sejatinya diinspirasi oleh sebuah hadits Nabi Muhammad SAW. Dari Abdurrahman bin Abu Laila, dari Shuhaib berkata; Rasulullah SAW bersabda: “menakjubkan sekali sifatsifat orang mukmin. Tidak ada sifat yang seperti itu kecuali pada orang mukmin: sesungguhnya setiap urusan dan situasi yang dihadapi baik baginya. Apabila mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, dan akibatnya baik baginya. Apabila mendapatkan kesulitan atau musibah, ia akan bersabar, dan akibatnya baik baginya” [HR. Muslim].
B
Dalam kesempatan lain, Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita sebuah do’a yang diawali dengan pernyataan: “Ya Allah, aku adalah hamba-Mu; anak dari hamba-Mu laki-laki dan perempuan; ubun-ubunku ada di tangan-Mu; berlaku atasku semua hukum-Mu; adil semua ketetapan-Mu atasku…” Pendahuluan do’a tersebut memberi pelajaran agar kita dapat menerima setiap peristiwa dan situasi apapun yang dialami sebagai suatu hal yang terbaik. Ketentuan di atas jelas tidak ada pembedaan terhadap suatu kondisi tertentu. Apakah peristiwa dan situasi yang dialami berupa kesulitan atau kemudahan, kesempitan atau kelapangan, kesedihan atau kesenangan, anugerah atau musibah, sesuai yang diinginkan atau tidak, semuanya patut kita terima sebagai suatu hal yang terbaik. Sikap seperti inilah yang menjadi pembeda antara seorang mukmin yang sukses dengan pecundang. Seorang mukmin menghadapi kemudahan dengan bersyukur dan setiap kesulitan atau musibah dihadapi dengan bersabar, sedangkan sikap seorang pecundang adalah sebaliknya. EDISI 15/2013
3
A. Syukur Terhadap Nikmat Allah SWT sejatinya telah menganugerahkan beragam kenikmatan kepada kita. Kenikmatan tersebut bisa berupa ampunan, kasih sayang, kecukupan, petunjuk, rezeki, kesehatan, kemudahan, kelapangan, kebahagiaan, kebaikan hubungan dengan orang lain, dan bentukbentuk lainnya. Sebagai seorang mukmin kita wajib memahami dan mengerti betul setiap nikmat yang telah Allah berikan. Dengan demikian, kita akan selalu mensyukuri setiap nikmat yang telah diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang berpikiran positif akan merespons setiap kenikmatan yang Allah anugerahkan dengan mengucapkan “Alhamdulillah” secara tulus. Tidak hanya itu, ucapan tersebut juga harus diiringi dengan tindakan, yaitu memanfaatkan segala nikmat yang diperoleh untuk halhal yang dicintai Allah. Sebagai contoh, misalnya, tentang rezeki. Kita wajib mensyukuri berapapun rezeki yang diterima. Apabila jumlahnya sedikit, kita tetap wajib bersyukur karena Allah masih memberikan rezeki. Dalam keadaan seperti ini, kita memohon kepada Allah agar rezeki yang sedikit itu bisa barakah dan dicukupkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kita tidak perlu “silau” atau “iri hati” dengan rezeki yang diperoleh orang lain, sekalipun usaha yang telah dilakukan jauh lebih keras darinya. Seseorang yang selalu bersyukur akan membawa keberlimpahan. Hal ini sesuai dengan janji Allah: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu sekalian memaklumkan; sungguh apabila kamu telah bersyu4
Berkala Tuntunan ISLAM
kur, pasti akan Aku tambah nikmat kepadamu; tetapi apabila kamu kufur, maka adzab-Ku amatlah pedih” [QS. Ibrahim: 7]. Ayat ini mengandung arti bahwa syukur merupakan sebuah sikap yang dapat memberikan dampak pada datangnya suatu kenikmatan yang lebih besar. Jika seseorang pandai bersyukur, maka keberlimpahan hidupnya akan semakin dekat. Namun demikian, sayangnya, masih banyak diantara orang mukmin yang kurang pandai bersyukur. Hal ini sebagaimana firman Allah: “Amatlah sedikit di antara hamba-Ku yang pandai bersyukur” [QS. Saba’: 13]. Dalam pergaulan antar manusia, orang yang pandai berterima kasih atas jasa orang lain pasti mendapatkan tempat istimewa. Pernahkah Anda membawa oleh-oleh untuk sahabat yang berupa barang murah, semisal ikan asin? Jika pernah, apa yang akan Anda rasakan bila oleh-oleh itu diterima dengan tanpa ucapan terima kasih dan/atau bahkan tanpa ekspresi? Secara manusiawi, Anda akan merasa tidak enak hati dan menyesal karena membawa oleh-oleh yang tidak disukainya. Pada titik ini, Anda merasa kapok, dan lain waktu tidak akan membawakan ikan asin lagi. Lain halnya jika saat dibawakan ikan asin, sahabat Anda akan bersyukur, berterima kasih dan memberikan ekspresi positif. Sebab ikan asin adalah makanan kegemaran keluarganya yang belum jadi dibeli di pasar. Dalam kondisi seperti ini, bagaimana perasaan Anda? Tentu Anda akan merasa senang, sebab oleh-oleh itu telah dihargai, sekalipun nilainya tergolong
barang murah. Dengan demikian, di lain kesempatan, Anda akan membawakan lagi ikan asin kepadanya. Peristiwa di atas hanyalah sebagian kecil dari nikmat yang kita peroleh dalam pergaulan antar manusia. Lantas, apa saja nikmat yang telah Allah berikan kepada kita? Terlampau banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. “Dan apabila kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan dapat selesai menghitungnya” [QS. an-Nahl: 18]. Sayangnya, banyak orang tidak mensyukurinya, dan baru menjadi kalangkabut ketika nikmat itu dicabut oleh-Nya. Oleh sebab itu, ada baiknya jika kita membiasakan mengindentifikasi segala nikmat yang diperoleh tiap hari, misalnya tentang kesehatan, pekerjaan, hubungan dengan orang lain, maupun juga rezeki yang diperoleh. Sebutkan setiap anugerah nikmat tersebut, dan berterimakasihlah kepada Allah SWT. Berikut ini adalah beberapa contoh yang dapat kita lakukan untuk selalu mengingat anugerah nikmat dari Allah. Pertama, kesehatan saya hari ini sangat baik. Saya dapat menjalani semua aktivitas yang telah terencana dengan baik. Terima kasih, ya Allah! Alhamdulillah. Perkenankanlah saya tetap hidup sehat pada waktu-waktu selanjutnya; Kedua, saya dapat menyelesaikan tugas pekerjaan dengan sangat baik hari ini. Tidak ada satupun pekerjaan yang tertunda. Terima kasih, ya Allah! Alhamdulillah. Bimbing dan mampukanlah saya menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan selanjutnya dengan kualitas yang terbaik;
Ketiga, hubungan saya hari ini dengan orang lain sangat baik. Hari ini saya telah memberikan manfaat bagi orang lain. Saya telah membantu tetangga yang kesulitan membayar uang sekolah anaknya. Saya tersenyum kepada semua orang yang saya temui hari ini. Saya merasakan hubungan saya dengan orang lain sangat baik. Hari ini saya terhindar dari marah dan menggunjing orang lain. Terima kasih, ya Allah! Alhamdulillah. Ya Allah, bimbinglah saya agar selalu memberikan banyak manfaat bagi orang lain; Keempat, hari ini saya menerima rezeki yang jumlahnya cukup untuk menafkahi keluarga, bersedekah, dan juga menabung. Terima kasih, ya Allah! Alhamdulillah. Luaskanlah rezeki saya, ya Allah agar dapat ikut berjuang di jalan-Mu dengan harta yang Kau berikan. Beberapa hal di atas hanyalah sebagian kecil dari contoh syukur nikmat atas anugerah yang telah diberikan Allah kepada kita. Tentu contoh itu masih dapat dikembangkan sesuai dengan nikmat yang Anda peroleh setiap hari. Lakukanlah hal itu setiap hari sebelum tidur. Ucapkan Alhamdulillah, dan bersyukurlah kepada-Nya. Insya Allah Anda akan mendapatkan keajaiban! B. Bersabar Terhadap Kesulitan dan Musibah Setiap orang pasti pernah mengalami kesulitan dan musibah, sebagaimana ia mengalami kemudahan dan kesenangan. Kesulitan dan kemudahan datang silih berganti. Kesulitan menjadi alasan berjihad dan media uji kesabaran. Keduanya EDISI 15/2013
5
merupakan password masuk surga, sebagaimana firman Allah: “Apakah kamu sekalian mengira akan dapat masuk surga, padahal belum teruji siapasiapa di antara kamu sekalian yang berjihad dan siapa-siapa yang bersabar” [QS. Ali-Imran: 142]. Apapun kesulitannya, baik kecil atau besar, Allah telah membekali manusia dengan potensi luar biasa yang bisa diaktualisasikan untuk mengatasi kesulitan jenis apapun. Manusia terhebat yang ada di dunia saat ini, potensi DNA-nya baru termanfaatkan tidak lebih dari 10%. Masih lebih banyak lagi DNA yang belum “dinyalakan”. Allah telah mengukur kemampuan setiap manusia dan memberinya potensi yang sangat besar. Dengan demikian, kesulitan merupakan daya rangsang yang telah diberikan Allah untuk “menyalakan” potensi diri yang belum dapat termanfaatkan secara optimal. Dalam al-Qur’an, Allah berfirman: “Tidaklah Allah membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya” [QS. al-Baqarah: 286]. Orang berpikiran positif selalu menerima kesulitan yang dihadapi sebagai bagian dari ujian Allah untuk meningkatkan derajat dan memberinya kemudahan. Tidak ada orang yang sukses tanpa kesulitan! Justru kesulitan-kesulitan itulah yang mengantarkannya menjadi sukses. Allah menguji kita dari kesulitan yang kecil hingga besar. Seorang mukmin yang sukses akan berjihad dalam mengatasi kesulitan demi kesulitan, dan tetap bersabar selama kesulitan itu berlangsung. Jihad seorang mukmin diaktualisasikan dalam 6
Berkala Tuntunan ISLAM
bentuk kerja keras dan kerja cerdas untuk mengatasi setiap kesulitan yang menghadang. Sabar diaktualisasikan dalam sikap ikhlas, ulet dan pantang menyerah dalam menghadapi segala resiko sampai segala kesulitan tersebut teratasi dengan baik. Seorang mukmin yakin jika dibalik setiap kesulitan yang dihadapinya selalu ada kenaikan derajat dan kemudahan. “Man jadda wajada”, siapapun yang bersungguh-sungguh, akan mendapat-kan. Allah telah mengatur bahwa setiap kesulitan selalu diikuti dengan kemudahan. Hal ini sebagaimana firman berikut: “fa inna ma’al ‘ushri yusra, inna ma’al ‘ushri yusra”, artinya “maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sungguh bersama kesulitan ada kemudahan” [QS. al-Insyirah: 5 - 6]. Semakin besar kesulitan yang telah berhasil diatasi, maka akan semakin tinggi derajat dan semakin banyak pula kemudahan yang didapat. Dalam penyelesaian kesulitan itu, kita perlu melakukan jihad yang ditopang dengan kesabaran. Jihad dan sabar ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Jihad adalah upaya sungguh-sungguh untuk mengatasi segala macam kesulitan yang dihadapi dalam melaksanakan ajaran Islam. Sedangkan, sabar adalah sikap ulet dan pantang menyerah dalam menghadapi resiko apapun saat melaksanakan jihad. Wallahu a’lam. Samarinda, 9 September 2013 Agus Sukaca
[email protected]
Setiap Kejadian Bernilai Positif Bagi seorang mukmin, peristiwa dan situasi apapun yang dialami, dihadapi dengan positif. Pikirannya menuntun melihat setiap peristiwa dan situasi dari sisi positif. Ia tidak pernah mengeluh, dan menerima setiap peristiwa dan situasi yang dihadapi sebagai yang terbaik. Sikap tersebut diinspirasi oleh sebuah hadits dari Abdurrahman bin Abu Laila, dari Shuhaib berkata; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Menakjubkan sekali sifat-sifat orang mukmin, tidak ada yang seperti itu kecuali pada orang mukmin; “Sesungguhnya setiap urusan dan situasi yang dihadapi baik baginya. Bila mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, dan akibatnya baik baginya. Bila mendapatkan kesulitan atau musibah, ia akan bersabar, dan akibatnya baik baginya” [HR. Muslim]. EDISI 15/2013
7
Tafsir al-Qur’an
SURAT AL-BAQARAH AYAT 44 - 46
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban)-mu sendiri, padahal kamu membaca alKitab (Taurat)? Maka, tidakkah kamu berpikir? (44). Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ (45). (Yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya (46) [QS. al-Baqarah: 44-46]. QS AL-BAQARAH AYAT 44
Ata’muruunan-naasa bil-birri wa tansauna anfusakum: Apakah kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan? sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban)-mu sendiri. Ini merupakan bentuk pertanyaan yang bernada keheranan, dan ada keanehan yang juga mengandung celaan. Syaikh Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa pertanyaan ini ditujukan kepada para petinggi dan ulama Yahudi yang tidak mau mengikuti Rasulullah Muhammad SAW. Al-Qurthubi melanjutkan, Ibnu 8
Berkala Tuntunan ISLAM
Abbas berkata: “dahulu, sebagian orang Yahudi Madinah berkata kepada mertuanya, keluarganya, saudara susuannya yang sudah menjadi orang Islam; “tetap teruskan (konsistenlah) terhadap apa yang kamu anut dan apa yang diperintahkan oleh orang ini”, yang mereka maksudkan (orang ini) adalah Nabi Muhammad SAW. Perintahnya adalah benar. Mereka memerintahkan seperti itu kepada orang-orang, tetapi mereka sendiri tidak melakukannya”. Dan juga dari Ibnu Abbas: “para pendeta (Yahudi) memerintahkan kepada para pengikutnya untuk mengikuti Kitab Taurat, padahal mereka sendiri tidak
melaksanakannya karena mereka mengingkari sifat Nabi Muhammad SAW”. Sementara itu, Ibnu Juraij mengatakan bahwa “para pendeta memerintahkan untuk taat kepada Allah, sementara mereka sendiri melakukan banyak kemaksiatan”. Sekelompok orang mengatakan: “para pendeta memerintahkan untuk bersedekah, tetapi mereka sendiri bakhil (kikir)”. Selanjutnya, Syaikh Imam al-Qurthubi mengutip hadits berikut dari Usamah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
Usamah berkata; aku mendengar Beliau (Rasulullah SAW) bersabda: pada hari kiamat akan dihadirkan seseorang yang kemudian dia dilempar ke dalam neraka, isi perutnya keluar dan terburai hingga dia berputar-putar bagaikan seekor keledai yang berputarputar menarik mesin gilingnya. Maka, penduduk neraka berkumpul mengelilinginya seraya berkata; ‘wahai Fulan, apa yang terjadi denganmu? Bukankah kamu dahulu orang yang memerintahkan kami berbuat ma’ruf dan melarang kami berbuat munkar?’ Orang itu berkata; ‘aku memang memerintahkan kalian agar berbuat ma’ruf, tapi aku sendiri tidak melaksa-
nakannya dan melarang kalian berbuat munkar, namun malah aku mengerjakannya’. Ghundar meriwayatkannya dari Syu’bah dari al-A’masy [HR. Bukhari no. 3027, Muslim no. 5305]. Hadits sahih di atas menunjukkan akibat atau azab bagi orang yang menyuruh orang lain berbuat baik padahal dirinya tidak melaksanakan. Selain itu, hadits berikut juga memiliki pesan yang sama:
Telah bercerita kepada kami Waki’, telah bercerita kepada kami Hammad bin Salamah, dari Ali bin Zaid bin Jud’an, dari Anas berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Ketika malam isra’, aku melewati suatu kaum yang lidahnya dipotong dengan gunting dari api. Aku (Rasulullah SAW) bertanya, ‘kenapa mereka dihukum seperti itu?’ (Malaikat) berkata; ‘mereka adalah para ahli khutbah dari umatmu di dunia, mereka memerintahkan kebaikan pada orang-orang namun melupakan diri mereka sendiri padahal mereka membaca al-Qur’an. Mengapakah mereka tidak menggunakan akal sehatnya?’ [HR. Ahmad, no. 12391]. Al-Albani: Hadits Hasan EDISI 15/2013
9
bil-birri: (mengerjakan) kebajikan. Al-birr adalah suatu kebajikan tingkat tinggi yang hampir menyamai derajat muttaquun. Surat al-Baqarah ayat 177 menjelaskan al-birr sebagai berikut:
Kalau pada ayat di atas itu al-birr disamakan dengan al-muttaquun, tetapi di lain tempat, seperti di surat Ali-‘Imran (3): 133-135 ada tambahan lagi sifat-sifat dari al-muttaquun. wa tansauna anfusakum: sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban)-mu sendiri. Dalam bahasa Arab, kata “lupa” tersebut mengandung arti “membiarkan” atau “lalai” tidak mengerjakan apa yang mereka perintahkan. wa antum tatluun al-
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, Nabi-Nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orangorang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa (muttaquun)” [QS. alBaqarah: 177]. 10
Berkala Tuntunan ISLAM
kitaab: padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat). Kata tatluuna (tilaawah) berarti membaca dan juga mengikuti. Kata ini bisa juga artinya meniru, menjadikan yang dibaca sebagai model atau contoh atas apa yang harus dilakukan, atau ringkasnya menjadikannya sebagai petunjuk. Kata tilaawah dikhususkan untuk arti mengikuti petunjuk kitab-kitab Allah yang diturunkan. Kata ini kadang dipakai untuk arti sekedar membaca, dan kadang dipakai untuk menjadikannya sebagai aturan atau tuntunan atas apa yang ada di dalam kitab-kitab itu yang berupa perintah dan larangan, pemberian harapan atau ancaman. Kata tilaawah lebih khusus daripada qira’ah. Setiap tilaawah adalah qira’ah, namun tidak semua kata qira’ah berarti tilaawah. Kita tidak bisa mengatakan saya bertilawah dan kita mengabaikan isi bacaannya atau bacaan itu tidak berkesan dan berakibat amal sesuai dengan yang kita baca.
afalaa ta’qiluun: Apakah kamu tidak faham? Apakah kamu tidak menggunakan akal? Al-‘aqlu (akal) adalah kemampuan batin untuk membedakan mana yang benar dan yang salah, yang baik dan yang tidak baik atau yang menuruti hawa nafsu, mana yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat [Lihat. Aisar al-Tafaasiir]. Sementara, Imam al-Raaghib menyebut al-‘Aql adalah kekuatan yang siap untuk menerima ilmu, yaitu ilmu yang memberi manfaat kepada manusia dengan kekuatan akal tadi. Di dalam kamus Lisaan al-‘Arab, al‘aqlu (akal) adalah rasio dan kecerdasan. Lawan katanya adalah kebodohan. Orang disebut al-‘Aqil adalah orang yang menjaga dirinya dan menjauhkannya dari hawa nafsu. Akal adalah penentuan secara hati-hati di dalam segala urusan. Akal adalah qalbu dan qalbu adalah akal. Orang disebut berakal karena pemiliknya mengerti supaya tidak terjerumus dalam kehancuran atau dia menjaganya (dari kehancuran). Keberadaan akal adalah pembeda antara manusia (insan) dengan seluruh binatang dan makhluk hidup lainnya. Selanjutnya, ’aqul dan ’aqala berarti faham atau memahami. Syaikh Abdurrahman bin Nashir asSa’di menyatakan bahwa, akal itu memang dianugerahkan agar orang berpikir untuk kebaikan yang bermanfaat untuk dirinya, dan menyadari apa yang tidak bermanfaat sehingga berusaha menjauhinya. Orang berakal adalah orang yang mengerjakan apa yang diperintahkan oleh
Allah Ta’ala dan orang yang tidak mengerjakan apa yang dilarang-Nya. Oleh karena itu, siapa yang memerintahkan orang lain berbuat kebajikan, tetapi dia sendiri tidak mengerjakannya, atau melarang orang lain berbuat yang tidak pantas atau perbuatan jelek lainnya padahal dia sendiri melakukannya, maka orang itu bisa dibilang tidak punya akal (ora duwe uteg; Jawa) atau berbuat kebodohan. Ayat ini meskipun ditujukan kepada Bani Isra’il, tetapi juga berlaku untuk umum (semua manusia):
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? (2); Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (3)” [QS. ash-Shaff: 2-3]. QS AL-BAQARAH AYAT 45 wasta’iinuu bishshabri: Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar. Memohon pertolongan kepada Allah adalah berdoa kepada-Nya yang isinya memohon pertolongan. Berdoa atau memohon pertolongan kepada Allah itu dituntunkan untuk dilakukan dengan sabar dan terusmenerus. Seorang hamba seringkali berdoa dengan keinginan segera dikabulkan, padahal tuntunan mengatakan supaya tidak tergesa dikabulkan. EDISI 15/2013
11
Orang disebut al-‘Aqil adalah orang yang menjaga dirinya dan menjauhkannya dari hawa nafsu. Akal adalah qalbu dan qalbu adalah akal. Orang disebut berakal karena pemiliknya mengerti supaya tidak terjerumus dalam kehancuran atau dia menjaganya (dari kehancuran). Keberadaan akal adalah pembeda antara manusia dengan seluruh binatang dan makhluk hidup lainnya. 2. Sabar untuk tidak durhaka, melanggar tuntunan dan aturan Allah ta’ala; 3. Sabar dalam menerima ketentuan takdir Allah ta’ala. Di dalam hadits sahih riwayat Imam Ahmad, Rasulullah bersabda: Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Yusuf, telah mengabari kami Malik, dari Ibnu Syihab, dari Abu ‘Ubaid bekas budak Ibnu Azhar, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “(Doa) kalian akan diijabahi selagi tidak terburu-buru, dengan mengatakan; ‘aku telah berdoa, namun tidak kunjung diijabahi” [HR. Bukhari, no. 5865; HR. Muslim, no. 4916 & 4917; HR. Abu Dawud, no. 1269; HR. Tirmidzi, no. 3309 & 3532; HR. Ibnu Majah, no. 3843; HR. Ahmad, no. 8784 dan 9921]. bish-shabri: dengan sabar.. Sabar itu terbagi menjadi tiga, yaitu: 1. Sabar dalam menaati tuntunan dan aturan Allah ta’ala; 12
Berkala Tuntunan ISLAM
“Shalat adalah cahaya (lembut, seperti cahaya rembulan), sedekah adalah bukti, sabar adalah sinar (sinar yang panas, seperti sinar matahari)” [HR. Muslim, no. 328; HR. Ahmad, no. 21834]. Sahih. Hadits di atas menunjukkan bahwa di dalam sabar itu ada cahaya, tetapi juga ada sesuatu hal yang sulit dan juga ada rasa kepanasan.
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya” [QS. Yunus: 5]. wash-shalaah: dan shalat.
wa innahaa laka-biiratun: sungguh (shalat dan bisa juga ditambah mohon pertolongan dengan sabar) itu merupakan perkara besar (yang berat). illaa ‘ala al-khaasyi’iin: kecuali bagi orang-orang yang khusyu’. Khusyu’ artinya keberadaan hati di hadapan Rabb dalam keadaan tunduk dan merendah, dan tenangnya anggota badan (tidak bergerak-gerak) yang dilakukan secara bersamaan. Di antara tanda-tanda khusyu’ ialah jika seorang hamba dihadapkan kepada kebenaran, maka dia menerimanya dan tunduk patuh. Menurut al-Junaid, khusyu’ adalah ketundukan hati kepada Dzat Yang Maha Mengetahui yang gaib. Para ulama sepakat bahwa khusyu’ itu berada di dalam hati, dan hasilnya ada di anggota tubuh atau anggota tubuhlah yang menampakkan khusyu’ itu.
QS AL-BAQARAH AYAT 46 alladziina yadhunnuu-na: (yaitu) orang-orang yang meyakini. Kata yadhunnuuna disini berarti meyakini berdasar ilmu yang sangat kuat. Kata dhanna-yadhunnu itu memiliki dua arti, kadang dipakai untuk arti meyakini berdasarkan ilmu yang kuat, dan kadang dipakai juga untuk perkiraan yang asalasalan. annahum mu-laaquu Rabbihim: bahwa mereka akan menemui Rabb-nya (Tuhannya). wa annahum ilaihi raaji’uun: dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. Narasumber utama artikel ini: M. Yusron Asrofie
PELAJARAN DARI AYAT 44-46 Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka pelajaran yang dapat kita petik dari QS. al-Baqarah ayat 44-46 adalah sebagai berikut: 1. Penilaian buruk terhadap orang yang memerintahkan orang lain berbuat baik sementara dirinya sendiri tidak melakukannya. 2. Anjuran untuk berdoa, memohon pertolongan kepada Allah ta’ala dengan sabar dan melakukan shalat ketika menghadapi hal-hal yang sulit dan berat. 3. Keutamaan bersikap khusyu’ dengan menghadirkan hati dalam shalat dan doa, merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala, bersikap tenang dan tenteram, dan merasa membutuhkan pertolongan-Nya. 4. Mengingat kematian dan meyakini akan bertemu berhadapan dengan Allah ta’ala sehingga perlu mempersiapkan diri dengan membawa bekal takwa dan amalan-amalan baik, ridha Allah dan ampunan-Nya.[] EDISI 15/2013
13
Terkait dengan pelajaran ke-4 yang dapat diambil dari kajian tafsir Surat al-Baqarah ayat 44-46 di atas, yakni: mengingat kematian dan meyakini akan bertemu berhadapan dengan Allah ta’ala sehingga perlu mempersiapkan diri dengan membawa bekal takwa dan amalan-amalan baik, ridha Allah dan ampunan-Nya; berikut ini disajikan tulisan dari Pak A.R.(K.H. AR Fachruddin, Ketua Muhammadiyah tahun 1968-1990) yang dapat memberikan gambaran terkait pelajaran ke-4 tersebut.
MENUJU NEGARA ‘KEABADIAN’
R
asulullah SAW, adalah utusan Allah, bersabda: “Aturlah, siapkanlah lima perkara sebelum engkau kedatangan lima perkara: 1. Ketika engkau kaya sebelum engkau melarat; 2. Ketika engkau senggang sebelum engkau repot; 3. Ketika engkau sehat sebelum engkau sakit; 4. Ketika engkau muda sebelum engkau tua; 5. Ketika engkau hidup sebelum engkau mati. Ada lagi sabda Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam: 1. Berbuatlah sekehendakmu, tetapi ketahuilah bahwa semua perbuatan itu pasti mendapat balasan. 2. Cintailah apa saja dan siapa saja. Tetapi ketahuilah bahwa semua yang engkau cintai itu pasti akan berpisah. Entah engkau yang akan meninggalkannya, atau malah engkau yang ditinggalkannya. Berhubung dengan itu, maka kita tidak perlu takut mati. Yang lebih perlu ialah, mari kita mencari bekal untuk mati berupa amal dan perbuatan baik yang disenangi Allah. *** 14
Berkala Tuntunan ISLAM
Para orang tua kita dahulu mengibaratkan orang hidup di dunia ini ibaratnya orang yang mampir minum dalam suatu perjalanan yang jauh. Kita semua adalah orang yang sedang menempuh perjalanan menuju negara keabadian. Perjalanan kita masih jauh. Apalagi bila kelak sudah berada di alam keabadian. Di alam akhirat, akan sangat lama
sekali. Oleh karena itu, kita perlu waspada. Di dunia ini kita tidak lama. Waktu yang tidak lama itu harus kita pergunakan sebaik-baiknya. Jangan sampai waktu yang hanya sebentar itu kita sia-siakan. Hanya kita habiskan untuk bersenangsenang tanpa ada maknanya. Kita mencari kesehatan. Kita mencari kekayaan. Kita mencari kedudukan. Kita mencari kesenangan. Semua itu harus kita usahakan dengan cara yang benar. Jangan sampai tersesat. Sebab kalau sampai tersesat, kita akan celaka untuk selamanya. Menurut firman Allah dalam alQur’an, sudah dinyatakan bahwa semua orang akan mati. Semua yang hidup pasti mati. Semua benda yang wujud asalnya tidak ada, kemudian menjadi ada dan akhirnya rusak. Menurut keyakinan kita sebagai orang Islam, bumi dengan segala isinya — langit dan semua benda yang tampak seperti matahari, bulan, bintang, kesemuanya asalnya tidak ada. Sekarang ada, dan kelak kalau sudah sampai waktu yang telah ditentukan akan rusak. Tentang apa yang akan terjadi sesudah itu, akal kita tidak mampu memikirkannya. Hal itu kita serahkan sepenuhnya kepada Allah. Namun demikian, kita yakin bahwa Hari Akhir itu pasti ada. Pasti terjadi. Kapan terjadinya, hanya Allah sendiri yang tahu. HariAkhir artinya hari rusaknya semua makhluk. Sedang hari kiamat adalah hari dibangunkannya seluruh ummat manusia yang sudah mati.
Hari Akhir merupakan hari akhirnya semua makhluk hidup di dunia. Langit rusak. Matahari, bulan, bintang semuanya hancur. Lautan meluap, semua gunung meletus. Seluruh ummat manusia yang sudah mati dibangunkan kembali. Keadaan Hari Akhir nanti serba mengerikan. Semua makhluk —manusia dan binatang — berlari-lari lintang pukang tanpa tujuan. Bingung. Masing-masing mencari keselamatan dirinya sendiri, dan tidak tahu siapa yang bisa menyelamatkannya. Medan mahsyar adalah tempat berkumpulnya seluruh ummat manusia. Berapa ratus juta, berapa milyar atau bahkan triliun, semua berkumpul jadi satu. Di mana tempatnya? Allah sendiri yang menciptakan medan mahsyar itu. Percaya atau tidak, kelak kita semua pasti akan mengalaminya. *** Nafsi-nafsi artinya sendiri-sendiri. Semua orang hanya memikirkan dan mencari keselamatannya sendiri. Bapak. Ibu, anak — istri, suami, saudara, teman, semuanya lintang pukang tidak memikirkan satu kepada lainnya. Antara satu dengan yang lain tidak ingat lagi. Tidak memikirkan lagi. Keadaannya memang serba mengerikan. Dari atas terasa panas membakar karena matahari dekat sekali. Tidak ada pelindung sama sekali. Dan dari bawah terasa panas melelehkan. Padahal semua manusia tidak ada yang mengenakan alas kaki. Tanpa sandal, tanpa sepatu, tanpa lembar pakaian apapun. EDISI 15/2013
15
Semua orang saling bertanya satu sama lain, “Ada apa ini? Di mana kita?” Semua orang bertanya, tetapi tidak ada yang dapat menjawabnya. Nafsi-nafsi, masing-masing sendiri-sendiri. Kedatangan Hari Kiamat memang mengagetkan. Karena mendadak, serba menakutkan dan mengerikan. Ketika datang Hari Kiamat atau Hari Akhir, dapatlah dilukiskan demikian. Orang-orang sama meninggalkan untauntanya yang sedang bunting. Artinya, mereka tidak peduli lagi akan keuntungan besar yang tinggal meraihnya. Wanitawanita yang sedang mengandung melahirkan bayinya dengan tidak merasa dan terasa. Binatang-binatang buas
biasanya berkuasa di hutan, pada saat itu — dalam situasi yang sangat mengerikan — berkumpul menjadi satu. Semua merasa takut, tidak saling memangsa. Orang-orang berlarian kian kemari seperti orang mabuk. Padahal mereka dalam keadaan sadar. Benar-benar Hari Akhir itu datangnya sangat mendadak dan sangat mengerikan. [Pak A.R. Yogya]
(Tulisan diambil dari buku Pesan dan Warisan Pak A.R. yang disunting oleh Soeparno S. Adhy terbitan PT. Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, 1995).
Rincian Hadis dan Ayat Al-Qur’an Berikut ini adalah hadis-hadis dan ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan tulisan/penjelasan Pak AR di atas. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: [1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, [2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, [3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, [4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, [5] Hidupmu sebelum datang kema16
Berkala Tuntunan ISLAM
tianmu.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadroknya, dikatakan oleh Adz-Dzahabiy dalam At-Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini dikatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam AlJami’ ash-Shogir). Rasulullah SAW pernah menasehati seorang sahabat yang tatkala itu berusia muda (berumur sekitar 12 tahun) yaitu Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang pundaknya lalu bersabda: “Hiduplah engkau di dunia ini seakanakan sebagai orang asing atau pengembara.” (HR. Bukhari no. 6416)
Dalam hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apa peduliku dengan dunia?! Tidaklah aku tinggal di dunia melainkan seperti musafir yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu musafir tersebut meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi no. 2551. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi) ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu juga memberi petuah kepada kita,
“Dunia itu akan pergi menjauh. Sedangkan akhirat akan mendekat. Dunia dan akhirat tesebut memiliki anak. Jadilah anak-anak akhirat dan janganlah kalian menjadi anak dunia. Hari ini (di dunia) adalah hari beramal dan bukanlah hari perhitungan (hisab), sedangkan besok (di akhirat) adalah hari perhitungan (hisab) dan bukanlah hari beramal.” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-)
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS alHadid: 20)
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan. (QS alAnkabut: 57)
1. Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat); 2. Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya; 3. Dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (menjadi begini)?”; 4. Pada hari itu bumi menceritakan beritanya; 5. Karena Sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu)
EDISI 15/2013
17
Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Bilakah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba”. Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS al-A’raaf: 187)
1. Hari kiamat; 2. Apakah hari kiamat itu?; 3. Tahukah kamu apakah hari
18
Berkala Tuntunan ISLAM
kiamat itu?; 4. Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran; 5. Dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan. (QS al-Qaariah: 1-5)
Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-sekali tiada bermanfaat bagimu pada hari kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Mumtahanah: 3) [Tim Redaksi]
ILUSTRASI | www.googleplussuomi.com
kepadanya; 6. Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam Keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. (QS al-Zalzalah: 1-5)
Tuntunan Akidah Perkara-perkara Perusak Akidah Tauhid
ILUSTRASI | arabtimeonline.com
TAWASUL DAN WASILAH YANG MENYIMPANG
P
ada dua edisi “Berkala Tuntunan ISLAM” yang lalu, telah dikaji tentang perusak yang sekaligus pembatal akidah tauhid, yaitu kufur (kekafiran) dan syirk (kemusyrikan). Kufur dapat membatalkan akidah tauhid (iman) dan Islam seseorang. Seseorang dikatakan kufur apabila ia mengingkari pokok-pokok ajaran Islam, baik dalam Rukun Iman maupun Rukun Islam. Demikian halnya dengan syirk, perbuatan ini juga dapat membatalkan akidah tauhid seseorang. Syirk merupakan dosa terbesar yang tidak terampunkan, lebih-lebih
apabila pelakunya meninggal dengan melakukan syirk akbar atau syirk jaliy (syirik besar). Mulai edisi ini, hingga beberapa edisi berikutnya, akan dikaji perkara-perkara yang merusak atau mengurangi kesempurnaan akidah tauhid. Orang yang melakukan perkara-perkara ini tidak dinilai kafir atau keluar dari Islam, tetapi akidahnya ternoda, tidak sempurna, dan ketauhidannya tidak murni lagi. Perilakuperilaku yang dapat mengurangi kemurnian akidah tauhid atau bahkan merusaknya, antara lain, adalah masalah tawasul dan wasilah. Begitu pentingnya, masalah tawasul dan wasilah ini telah mendorong Syaikhal-Islam Ibnu Taimiyyah (seorang ulama pemurni dan pembaru Islam pada abad EDISI 15/2013
19
14 yang berpengaruh di dunia Islam hingga saat ini) untuk menulis kitab yang berjudul “al-Tawasul wa al-Wasilah”. Kitab ini menjadi salah satu bacaan penting bagi para tokoh pembaharu Islam generasi berikutnya, seperti para pemurni dan pembaru Islam di Arab Saudi, yakni: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha di Mesir, hingga K.H. Ahmad Dahlan, “Sang Pencerah” dari Jawa dan pendiri Muhammadiyah, sebuah gerakan pemurnian dan pembaruan Islam di Indonesia. Pengertian Tawasul dan Wasilah Tawasul merupakan bentuk masdar dari fi’il (kata kerja) tawassala – yatawassalu, yang artinya menjadikan atau mengambil sesuatu menjadi perantara dalam mendekatkan diri kepada Allah. Kata benda objek dari kata kerja “tawassala” adalah wasilah yang artinya: antara atau perantara. Dalam tinjauan ilmu sharaf (tashrif) dapat digambarkan sebagai berikut: : bertawasul, atau menjadikan sesuatu menjadi perantara dalam mendekatkan diri kepada Allah. : perantara, sesuatu yang menghubungkan antara hamba dengan Allah Perkataan wasilah disebutkan dua kali di dalam al-Qur’an. Pertama, di dalam surat al-Ma’idah ayat 35:
20
Berkala Tuntunan ISLAM
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah “wasilah” (jalan) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. [QS. al-Ma’idah: 35]. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari menjelaskan makna dari “dan carilah wasilah (perantara) yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya” dengan pengertian “carilah qurbah (yang dapat mendekatkan) kepada-Nya”, dengan mengamalkan apa-apa yang diridhaiNya. Sedangkan, ar-Raghib al-Ashfahani berkata dalam Mufradat-nya bahwa hakikat wasilah kepada Allah adalah menjaga jalan menuju ridha-Nya dengan beramal dan beribadah. Imam Ibnu Katsir menukilkan dari Ibnu Abbas tentang makna wasilah pada ayat itu adalah qurbah (apa-apa yang mendekatkan diri kepada Allah) berupa ketaatan kepada-Nya dan amal saleh, serta segala sesuatu yang dapat menghadirkan keridhaan Allah. Ibnu Katsir menegaskan pendapat para ulama bahwa wasilah adalah sesuatu yang digunakan untuk mengantarkan mencapai tujuan. Kedua, kata wasilah terdapat pada firman Allah surat al-Israa’ ayat 57:
Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari “wasilah” (jalan) kepada Rabb mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (ke-
pada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Rabbmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti” [QS. al-Israa’: 57]. Abdullah bin Mas’ud telah menyatakan “ayat ini turun mengenai sekelompok orang Arab yang beribadah/menyembah sekelompok jin, kemudian jin-jin itu masuk Islam, sedangkan manusia yang menyembah mereka tidak mengetahui” [Muslim, Fathul Bari 8/320-321]. Sedangkan, Syaikh alAlbani berpendapat bahwa, “wasilah adalah apa yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itulah, Allah berfirman “mereka mencari” yaitu mereka mencari apa yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, yaitu amalan-amalan yang saleh”. Amalan itu menjadi saleh dan diterima di sisi Allah jika memenuhi dua syarat sebagaimana telah maklum, yaitu: pelakunya meniatkan untuk mencari “wajah” Allah semata, dan kedua: sesuai dengan apa yang Allah syariatkan di dalam kitab-Nya atau dijelaskan oleh Rasulullah SAW di dalam Sunnahnya. Jika kehilangan salah satu dari keduanya, maka amalan itu tidak menjadi amalan saleh dan tidak diterima oleh Allah. Wasilah yang Haq Dalam praktiknya, tawasul dan wasilah terbagi menjadi dua jenis yaitu tawasul dan wasilah yang haq dan yang batil. Tawasul yang haq adalah tawasul yang diajarkan oleh agama, atau disebut dengan istilah tawasul masyru’ (tawasul
yang disyari’atkan). Dengan demikian, tawasul masyru’ dapat diamalkan. Sedangkan tawasul batil adalah tawasul yang tidak diajarkan oleh agama, sehingga tidak boleh diamalkan. Hal ini karena tawasul adalah termasuk ibadah, sedangkan ibadah haruslah berdasarkan tuntunan. Tawasul yang tidak ada tuntunannya disebut tawasul mamnu’ (tawasul yang terlarang). Adapun macam-macam tawasul dan wasilah yang haq (masyru’) secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama, Tawasul/berdoa kepada Allah dengan menggunakan perantara nama Allah atau sifat-Nya. “Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu” [QS. al-A’raf: 180]. Kedua, Tawasul/berdoa kepada Allah dengan menggunakan perantara amalan saleh yang dilakukan oleh orang yang berdoa.
Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): ‘Berimanlah kamu kepada Rabbmu’; maka kami pun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosadosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti. [QS. Ali-Imran: 193]. EDISI 15/2013
21
Ketiga, Tawasul/berdoa kepada Allah dengan menggunakan perantara doa orang saleh yang masih hidup. “Dari Anas r.a., dia berkata: “Ketika Nabi SAW sedang berkhutbah Jum’at, lalu seorang lelaki berdiri dan berkata; ‘Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Dia memberikan hujan kepada kami’. Maka langitpun mendung, dan kami mendapatkan hujan, sehingga hampir-hampir lelaki tadi tidak sampai ke rumahnya. Terusmenerus hujan turun sampai Jum’at berikutnya. Maka lelaki itu, atau lainnya, berdiri lalu berkata; “berdoalah kepada Allah agar Dia memalingkan hujan dari kami, karena kami telah kebanjiran”. Maka Rasulullah berdoa; “wahai Allah jadikanlah hujan sekitar kami, jangan kepada kami. Maka mulailah awan menyingkir di sekitar kota Madinah, dan tidak menghujani penduduk Madinah” [HSR. Bukhari]. Tawasul Batil Merusak Akidah Tawasul batil yang terlarang adalah tawasul yang dilakukan kaum musyrikin, sebagaimana firman Allah berikut.
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan 22
Berkala Tuntunan ISLAM
supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar” [QS. az-Zumar: 3]. Hal ini juga ditegaskan Allah dalam ayat berikut.
“Dan mereka menyembah selain dari Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah” [QS. Yunus: 18]. Kedua ayat di atas menggambarkan kondisi kaum musyrikin di zaman Rasulullah SAW. Mereka menyembah selain Allah sebagai perantara, mendekatkan diri kepada Allah dan memberi syafaat baginya. Mereka tidak semata-mata meminta kepada sesembahannya. Namun, sesembahan mereka hanyalah sebagai perantara dan pemberi syafaat. Kondisi ini sama persis dengan apa yang dilakukan kaum musyrikin di zaman sekarang. Mereka menganggap para wali yang sudah meninggal dapat menjadi perantara dan pemberi syafaat baginya.
Sebagian kaum musyrikin yang lain, ada juga yang melakukan tawasul dengan jah (kedudukan) orang saleh yang sudah meninggal. Dalam doanya kepada Allah, mereka berkata: “Demi kehormatan Rasulullah SAW, atau demi kehormatan Syaikh Abdul Qadir Jaelani, Ya Allah kami memohon ....”. Tawasul yang demikian terlarang. Hal ini bisa ditinjau dari dua sisi, pertama, orang yang tawasul seperti itu berarti telah bersumpah dengan selain Allah. Padahal bersumpah dengan selain Allah adalah haram, bahkan termasuk syirik, meskipun syirik asghar (syirik kecil). Kedua, orang itu berarti mempunyai keyakinan bahwa seseorang memiliki hak atas diri Allah. Padahal, seseorang itu tidaklah memiliki
hak selain yang telah Allah anugerahkan kepadanya. Batas antara tawasul yang haq dan yang batil kadang-kadang sangat tipis, apabila tidak hati-hati akan dapat merusak akidah tauhid kita. Para pelaku tawasul batil harus segera dinasehati untuk kembali kepada pemahaman dan pengamalan akidah Islam yang benar. Jika tidak, seseorang dapat terjerumus ke dalam kesyirikan, bahkan syirk akbar. Wallahul musta’an.(bersambung) Narasumber utama artikel ini: Syamsul Hidayat [
[email protected]], Dosen FAI UM Surakarta
EDISI 15/2013
23
Tuntunan Akhlak
MENJADI PRIBADI MUKHLIS
K
ata mukhlis merupakan bentuk isim fail yang terambil dari kata akhlasha– yukhlishu–ikhlaashan–mukhlishun, yang berarti orang yang ikhlas. Kata mukhlis terambil dari kata khalasha yang berarti bersih, jernih, atau murni. Dengan demikian, kata mukhlis dapat kita pahami sebagai orang yang berhati bersih, jernih atau murni (hanya mengharap ridha Allah SWT) dalam melakukan seluruh amalnya. Orang yang mukhlis selalu menjaga setiap amal perbuatan yang dilakukannya murni untuk mendapatkan ridha-Nya semata, dan tidak mencampur sedikitpun dengan harapan untuk mendapatkan pujian atau balasan dari selain Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
Katakanlah: “sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” [QS. al-An’aam: 162]. Setiap mukmin yang ingin menjadi mukhlis harus memiliki modal dasar berupa tauhid uluhiyyah yang benar. Modal 24
Berkala Tuntunan ISLAM
ini merupakan suatu prioritas, mengingat sendi utama sikap ikhlas adalah bertauhid kepada Allah dengan bersih dan murni. Oleh karena itu, seseorang akan sulit menjadi mukhlis apabila belum memiliki dasar-dasar bertauhid yang benar. Uraian di atas tidak hanya menggambarkan bahwa mukhlis harus dijadikan sebagai bagian dari kepribadian seorang mukmin. Tetapi lebih dari itu, mukhlis juga merupakan indikator kekuatan iman seorang mukmin kepada Allah SWT. Indikator Pribadi Mukhlis Lantas, apakah kita sudah menjadi seorang yang mukhlis? Untuk menjawab pertanyaan ini, setidaknya ada empat hal yang bisa digunakan sebagai indikator bahwa seseorang telah mukhlis. Pertama, tatkala ada orang lain yang memuji atau merendahkan amal perbuatan yang telah atau sedang dilakukan, maka hati kita tidak sedikitpun merasa terganggu. Hal ini disebabkan karena adanya kemantapan hati, bahwa apa yang telah atau sedang kita lakukan sudah sesuai dengan syariat Islam, dan cukup Allah SWT sajalah yang membalas amal perbuatan tersebut.
Kedua, kita selalu termotivasi untuk berbuat yang terbaik dan optimal. Motivasi ini didasarkan oleh keinginan untuk meningkatkan kualitas diri. Semakin baik prestasi amal yang dilakukan, maka Allah SWT akan membalasnya lebih baik lagi. Ketiga, jika amal perbuatan yang kita lakukan terasa berat dan banyak hambatan, maka hanya kepada Allah-lah kita memohon bantuan dan mendekatkan diri. Dengan demikian, kita tidak selalu berkeluh-kesah, apalagi sampai berputus-asa. Keempat, kita selalu terdorong untuk berbuat banyak amal kebajikan. Dorongan ini didasari oleh keyakinan bahwa setiap amal kebaikan yang dilakukan akan dapat melahirkan amal kebaikan yang lainnya. Dengan demikian, indikator pribadi yang mukhlis dalam hal ini adalah tumbuhnya sikap kecanduan untuk selalu beramal kebaikan. Beberapa indikator tersebut di atas sejatinya dapat diringkas dalam pemahaman, bahwa pribadi yang mukhlis akan senantiasa teguh pendirian dan kuat hatinya karena Allah SWT, selalu memberikan yang terbaik, tidak pernah berkeluh-kesah, dan terdorong untuk banyak berbuat amal kebajikan. Dalam kehidupan sehari-hari, pribadi demikian itu jelas akan memberi dampak yang baik terhadap diri dan lingkungan. Di dalam buku “Kuliah Akhlaq”, Ustadz Yunahar Ilyas menguraikan dampak dari pribadi yang mukhlis, sebagai berikut: 1. Seseorang tidak akan pernah merasa sombong ketika berhasil. Seorang hamba yang mukhlis sadar betul bahwa keberhasilan yang diperolehnya
hanyalah pemberian dari Allah SWT; 2. Seseorang yang gagal dalam usahanya tidak akan pernah berputus-asa. Hamba yang mukhlis menyadari bahwa kegagalan itu adalah kehendak Allah SWT, yang memiliki hikmah kebaikan bagi dirinya yang belum bisa ia pahami pada saat kegagalan itu terjadi. Selain itu, kegagalan tersebut juga disadari sebagai sebuah ujian bagi dirinya; 3. Seseorang tidak lupa diri di saat menerima pujian, dan tidak mundur karena cacian. Seorang hamba yang mukhlis merasa bahwa pujian yang diharapkan hanyalah dari Allah SWT, dan yang paling ditakutkan adalah mendapatkan kemurkaan dari-Nya; 4. Seorang hamba yang mukhlis selalu bersemangat dalam beramal. Mendidik Diri Menjadi Mukhlis Begitu besar dampak yang akan diperoleh dan diberikan oleh seorang hamba yang mukhlis. Untuk itu, menjadi penting bagi kita agar selalu dan terusmenerus mengupayakan diri menjadi seorang yang mukhlis. Lantas, apa yang bisa dilakukan agar kita menjadi seorang hamba yang mukhlis? Berikut ini ada dua upaya yang bisa dilakukan untuk mendidik diri kita menjadi seorang hamba yang mukhlis. Pertama, Ikhlas. Kunci untuk menjadi seorang hamba yang mukhlis terletak pada kata ikhlas. Mengingat, ikhlas adalah penentu di dalam kita berislam. Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Untuk menjadi mukhlis, maka hal mendasar EDISI 15/2013
25
Keikhlasan seseorang tidak dapat diketahui orang lain, sekalipun ada di antara mereka yang telah banyak beramal dan mengatakan melalui lisannya bahwa dirinya betul-betul ikhlas. Sebab, ikhlas adalah perbuatan hati. Sedangkan soal hati, yang paling tahu adalah Allah SWT. yang perlu diperbaiki adalah keimanan kita kepada Allah SWT. Seseorang yang lemah imannya kepada Allah, bisa dipastikan amat sulit untuk beramal dengan ikhlas. Walaupun melalui lisannya ia berkata ikhlas dalam melakukan amal perbuatan, namun selalu saja muncul keragu-raguan dan ketidaktulusan. Bahkan, ia sering merasa kecewa terhadap setiap amal perbuatan yang telah dilakukan karena tidak mendapatkan respons yang sesuai harapan. Keikhlasan seseorang tidak dapat diketahui orang lain, sekalipun ada di antara mereka yang telah banyak beramal dan mengatakan melalui lisannya bahwa dirinya betul-betul ikhlas. Sebab, ikhlas adalah perbuatan hati. Sedangkan soal hati, yang paling tahu adalah Allah SWT. Dengan demikian, seseorang yang ingin menjadi mukhlis harus mengawali niatnya untuk mendapatkan ridha dari Allah SWT. Jangan sekali-kali mengeluarkan katakata, agar didengar orang lain, bahwa apa yang kita lakukan adalah ikhlas. Jika seseorang masih merasa perlu untuk me26
Berkala Tuntunan ISLAM
yakinkan orang lain bahwa perbuatan tersebut didasarkan oleh keikhlasan, maka sebenarnya ia tidak meyakini bahwa cukuplah Allah SWT yang tahu tentang apa maksud dari perbuatan itu. Artinya, ia masih meminta perhatian kepada selain Allah. Situasi ini akan lebih menciptakan ketidakikhlasan dalam beramal. Kedua, mengenali Allah SWT melalui al-asma was-shifat (lihat Berkala Tuntunan ISLAM edisi 10, hlm. 19). Hal ini dapat lebih mendorong untuk menjadi seorang yang mukhlis. Allah SWT memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang menunjukkan ke-Mahasempurnaan-Nya. Mengenal Allah SWT melalui al-asma was-shifat dengan mengkajinya dari alQur’an dan as-Sunnah akan memunculkan rasa takut, kagum, cinta serta memenuhi panggilan-Nya. Orang yang mengenal Allah SWT dengan baik, dapat dipastikan bahwa amal perbuatannya adalah yang terbaik. Ia sadar betul bahwa setiap amal perbuatan yang dilakukannya akan mendapatkan balasan yang tiada bandingannya. Hal inilah yang membedakan harapan sese-
orang jika amal perbuatannya ditujukan kepada selain Allah. Sebaliknya, jika amal tersebut ditujukan untuk mengharap balasan dari manusia, maka hal itu belum tentu akan dibalas. Bahkan, balasan yang akan diberikan orang lain belum tentu sesuai dengan harapan, dan mungkin juga dapat menyakitkan perasaan. Oleh sebab itu, marilah kita coba untuk merenung dengan mengingat kembali setiap amal yang telah dilakukan. Bandingkan jika amal tersebut ditujukan untuk mengharap pujian dan balasan manusia dengan semata mengharap balasan dan ridha dari Allah SWT. Adakah rasa kecewa yang muncul pada hati kita ketika ber-
harap balasan amal dari manusia? Pernahkah kita kecewa setelah beramal dengan semata mengharap ridha Allah? Kalau yang berkembang dalam hati adalah rasa puas apabila berbuat amal dengan mengharap ridha Allah SWT, dan betapa seringnya kita kecewa atas respon orangorang sekitar terhadap amal perbuatan kita, maka doronglah semangat diri kita, bahwa berbuat amal dengan semata-mata hanya mengharap ridha Allah SWT adalah yang terbaik bagi kita. Narasumber utama artikel ini: Syahrir
KISAH TENTANG KEIKHLASAN DAN KEDERMAWANAN Berikut ini adalah sebuah kisah tentang seseorang yang berasal dari masa lalu. Ada yang berpendapat, kita ini hidup di masa kini dengan kondisi dan problematika hidup masa kini. Tak usahlah beromantika. Masa lalu adalah masa lalu. Bisa jadi, pendapat ini benar. Namun, pengungkapan kisah ini bukan bermaksud romantisme itu. Tetapi, ada nilai-nilai perjuangan seorang manusia muslim yang perlu direfleksi. Selamat menyimak tulisan berikut ini yang diambil dari tulisan Moeh. Mansoer dalam buku Alma nak Moehammadiyah 1348 Hijriyah, dengan gaya bahasa sesuai tulisan aslinya.
I
ni kisah, tentang seorang bernama Mas Ng. Atmohartono, ia adalah seorang abdi Kasultanan berpangkat Menteri Tondo Pamitjis dalam daerah Onderdistrict Srandakan Djokjakarta. Sebelumnya pernah menjabat sebagai Djoeroetoelis No. 2 di Onderdistrict Panggang.
Alkisah, sebelum bergabung dalam Persyarikatan Muhammadiyah, Mas Ngabei belum mengenal sama sekali tentang seluk beluk agama Islam. Apa yang dilakukannya dalam hidupnya hanya menurut fikirannya sendiri tentang hal-hal yang menurut perkiraannya baik dilakukan.
EDISI 15/2013
27
Karena tertarik dari akibat pergaulan sehari-hari, suatu ketika Mas NgabeiAtmohartono mempelajari ilmu tentang kesempurnaan (semacam ilmu kebatinan Jawa) dari seorang guru ilmu kesempurnaan yang dipandang terkenal kepandaiannya. Selama belajar ilmu tersebut, ia menjadi murid yang tekun dan bersungguh-sungguh dalam mengikuti setiap perintah gurunya. Tahun 1916, ia mulai menyadari bahwa keyakinannya selama ini keliru, ketika mulai mendengar keterangan dari seorang muballigh Muhammadiyah. Bahwa keyakinan yang selama ini ia pelajari sangat berbeda jauh dengan ajaran Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang diajarkan oleh muballigh tersebut. Atas hidayah dan pertolongan Allah, sejak saat itu Mas Ngabei mulai menjalankan shalat lima waktu. Mas Ngabei dengan sungguh-sungguh dan tekun mempelajari ajaran-ajaran agama Islam, hingga pada tahun 1920 Mas Ngabei sudah mulai memahami dasar, maksud dan tujuan gerakan Persyarikatan Muhammadiyah. Sejak saat itu ia mulai meninggalkan keyakinannya yang lama dan mengganti dengan keyakinan atas ajaran Islam yang sebenar-benarnya. Hal ini kemudian diikuti oleh segenap anak isteri dan anak buahnya di Srandakan dan juga sebagian di Panggang. Pada tahun 1926, Mas Ngabei Atmohartono dipercaya memegang 28
Berkala Tuntunan ISLAM
jabatan sebagai Voorzitterschap Groep Muhammadiyah Srandakan. Atas jerih usahanya yang keras, kemajuan dan hasil usaha menyebarkan faham agama Islam, sebagaimana diajarkan Kyai Haji Ahmad Dahlan, mulai menampakkan hasil dan buahnya dapat dirasakan masyarakat umum. Suatu hari, pukul dua dinihari, Mas Ngabei sakit keras. Ia memanggil seluruh anak-anak dan isterinya, lalu berkata: “Hendaklah kalian bersabar dan jangan mudah menyerah atau putus asa dalam setiap urusan kalian. Rasanya, penyakitku ini sudah tidak dapat lagi disembuhkan dengan obat-obatan. Rasanya, sudah cukup usiaku sampai di sini, Tuhan akan memanggilku kembali. Maukah engkau, wahai isteriku, menjadi saksi bagiku kelak kemudian hari di akherat?” Mendengar suaminya berkata demikian, isteri Mas Ngabei sambil tersedu-sedu dan air mata bercucuran menjawab: “Untung benar badan saya, akan segala nasib saya serahkan kepada Tuhan. Mudah-mudahan terhindar dari segala marabahaya yang dapat menggelincirkan iman. Tentang menjadi saksi, saya belum faham maksud panjenengan”. Mas Ngabei menjelaskan, “Maksudku, sepeninggalku nanti barangbarang harta benda yang berwujud uang, seperlimanya supaya didermakan kepada Groep Moehammadijah,
adapun sisanya dan lain-lainnya terserah sampeyan dan anak-anak.” Demikianlah wasiat Mas Ngabei Atmohartono kepada anak-anak dan isterinya agar kiranya dapat menjadi saksi di akherat kelak. Maksudnya, anak-anak dan isterinya kiranya sudi menjadi “amal shaleh” bagi Mas Ngabei dengan cara rela menyerahkan sebagian warisan untuk Groep Moehammadijah. Dan ternyata, sekalian anak-anak dan isteri Mas Ngabei menyanggupi apa yang menjadi keinginan wasiatnya Mas Ngabei itu. Mas Ngabei berkata lagi kepada isterinya: “Kalau sampeyan sudah menyatakan sanggup, hendaklah jangan disepelekan. Mengingkari suatu kesanggupan itu adalah dosa besar. Nasehatku, hendaklah kalian semua bersungguh-sungguh taat kepada Allah; ketahuilah, bahwa kalian akan berpisah denganku, bahwa sampeyan isteriku akan menggantikanku menjadi tempat bertanya bagi anak-anak perempuan di sini; dan bahwa sampeyan akan diserahi anak-anak saudara-saudara di sini untuk diajari tentang agama. Wahai isteriku, sungguh berat menjadi orang tua itu, kasar dan halus patut diketahui, jangan mudah menyerah, sebab hal itu yang menjadi penolak rahmat Tuhan.” Kepada anak-anaknya Mas Ngabei berkata: “Jagalah diri kalian baikbaik. Kalian akan berpisah dengan bapak untuk selamanya; untung atau celaka nanti itu terserah kalian sendiri, janganlah kalian berbuat suatu perbuatan
yang terlarang. Kalau sekiranya kalian berbuat sesuatu kejahatan, bukan hanya nama orang tuamu saja yang tercela, bahkan Persyarikatanmu ini pun akan terbawa-bawa. Serahkanlah dan hadapkanlah hatimu ke hadapan Tuhan, sebab Tuhan senantiasa melihat apa saja yang kalian perbuat.” Sesudah peristiwa itu, Mas Ngabei minta supaya pindah dari Srandakan ke kota Djokja. Selang tidak berapa lama setelah pindah, Mas Ngabei Atmohartono wafat dalam usia 42 tahun, tepat hari Rabu 27 Muharram 1347. Inna lillahi wainna ilaihi raji’un. Dalam beberapa hari kemudian, anak-anak dan isterinya masih tinggal di kota Djokja untuk menyelesaikan berbagai keperluan. Setelah itu baru mereka kembali ke Srandakan. Segala wasiat Mas Ngabei dipenuhi, malah yang tidak diwasiatkan juga didermakan, misalnya: kitab-kitab yang dimiliki Mas Ngabei dan sebagainya. Selanjutnya isteri Mas Ngabei tetap menjadi pemimpin Groep Muhammadijah bahagian Aisyiyah di Srandakan, mengasuh anak-anak yang belajar agama, sehingga segala wasiat suaminya sudah dapat dilaksanakan. Demikian, riwayat Mas Ngabei Atmohartono, semoga dapat menjadi teladan bagi saudara-saudara. Catatan: Tulisan terkait tema tentang kedermawanan, lihat Syarah Hadis di halaman 51. (Tim Redaksi) EDISI 15/2013
29
Tuntunan Akhlak
ADAB BEPERGIAN
R
Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW bersabda: “Bepergian (safar) itu adalah sebagian dari siksaan yang menghalangi seseorang dari kalian dari makan, minum dan tidurnya. Maka, apabila dia telah selesai dari urusannya, hendaklah dia segera kembali kepada keluarganya” [HR. Bukhari]. 30
Berkala Tuntunan ISLAM
asulullah SAW menyatakan bahwa bepergian atau safar merupakan bagian siksaan. Di samping resiko lapar, dahaga, dan kurang istirahat, di dalam perjalanan juga terdapat resiko kecelakaan yang dapat menyebabkan terluka atau bahkan meninggal dunia. Oleh karena itu, seorang muslim harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya dan menjadikan setiap kepergiannya sebagai bagian dari amal saleh. Bekerja, berbisnis, berdakwah, belajar, berbelanja untuk keperluan keluarga, ber-silaturrahim atau berkunjung ke rumah sahabat, menolong orang lain, beribadah ke masjid, haji dan umrah adalah bepergian yang tergolong amal saleh sepanjang dengan niat yang benar. Seorang muslim harus menghindari bepergian untuk melakukan maksiat. Perkembangan alat transportasi yang telah terjadi saat ini memungkinkan orang semakin banyak bepergian dibandingkan dengan masa lalu. Adanya alat transpor-
tasi super cepat memungkinkan perjalanan yang dahulu memerlukan waktu berbulan-bulan, kini dapat ditempuh hanya dalam beberapa jam. Pergi haji ke tanah suci misalnya, kini bisa ditempuh dengan pesawat terbang hanya dalam waktu 11 jam dari tanah air. Padahal, dahulu pergi haji ke tanah suci dilakukan dengan kapal laut dan memerlukan waktu berbulan-bulan. Oleh sebab itu, agar perjalanan yang dilakukan bernilai sebagai amal saleh, maka kita perlu melaksanakannya sesuai adab Islam. Tulisan ini sengaja disusun sebagai tuntunan adab bepergian bagi segenap seorang muslim. Sebagai tuntunan, tulisan ini akan mengurai beberapa adab, di antaranya menjelang keberangkatan, saat keluar rumah, di dalam kendaraan, selama dalam perjalanan, segera kembali setelah selesai urusan, dan saat kembali. 1. Menjelang Keberangkatan a. Shalat Safar Apabila hendak bepergian hendaklah melaksanakan shalat safar 2 raka’at. Berdasarkan hadits dari Ibnu Mas’ud, pernah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW dan berkata: “Ya Rasulullah, saya hendak pergi ke Bahrain untuk urusan dagang”. Lalu Rasulullah menyuruh orang itu: “Pergilah shalat 2 raka’at” [HR. Thabrani dalam al-Kabir]. Hadits dari Mukmin bin Miqdad menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah berkata: “Tidaklah sesuatu yang sangat utama bagi seseorang yang hendak meninggalkan sesuatu pada
keluarganya melebihi shalat 2 raka’at yang di tengah mereka kalau ia hendak bepergian” [HR Thabrani]. Demikian pula ketika pulang dari bepergian, hendaklah melaksanakan shalat 2 raka’at di masjid sebelum duduk. Hadits Jabir bin Abdullah mengatakan bahwa pernah aku bersama-sama Rasulullah dalam perjalanan. Lalu setiba kami (kembali) di Madinah, Beliau berkata: “masuklah ke masjid dan kerjakan shalat 2 raka’at [HR. Bukhari dan Muslim]. b. Berpamitan Apabila hendak bepergian, maka berpamitanlah dengan seisi rumah agar kepergian Anda mereka ketahui. Anda dapat berdoa untuk mereka, dan begitu pula sebaliknya.
Dari Musa bin Wardan berkata; Abu Hurairah berkata kepada seorang laki-laki: “Kemarilah, saya akan mengucapkan selamat tinggal (berpamitan) kepadamu sebagaimana Rasulullah SAW mengucapkan selamat tinggal kepadaku, atau sebagaimana Rasulullah SAW mengucapkan selamat tinggal; aku titipkan engkau kepada Allah yang tidak menyia-nyiakan titipan-Nya” Selain mengucapkan kata-kata pamitan, hendaklah berjabat tangan dan EDISI 15/2013
31
mengucapkan salam. Rasulullah SAW bersabda: Hendaklah kalian saling berjabat tangan, niscaya akan hilanglah kedengkian. [HR. Malik dari ‘Atha bin Abu Muslim Abdullah al- Khurasani berkata].
Termasuk kesempurnaan penghormatan adalah berjabat tangan. [HR. Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud]. Ucapan salam ketika berpisah dengan keluarga adalah:
Semoga keselamatan tetap atas kamu, demikian pula rahmat Allah dan barakah-Nya. Berjabat tangan dan mengucapkan salam merupakan bentuk penghormatan kepada keluarga yang ditinggalkan. Hal ini akan memberikan perasaan nyaman bagi kedua belah pihak. 2. Saat Keluar Rumah Pada saat keluar rumah, hendaklah bertawakal kepada Allah SWT dengan mengucapkan:
Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah.
32
Berkala Tuntunan ISLAM
Dari Anas bin Malik bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika seorang laki-laki keluar dari rumahnya lalu mengucapkan: ‘BISMILLAHI TAWAKKALTU ‘ALAALLAHI LAA HAULA WA LAA QUWWATA ILLA BILLAH (Dengan nama Allah aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah). ‘ Beliau bersabda: “Maka pada saat itu akan dikatakan kepadanya, ‘Kamu telah mendapat petunjuk, telah diberi kecukupan dan mendapat penjagaan’, hingga setan-setan menjauh darinya. Lalu setan yang lainnya berkata, “Bagaimana (engkau akan menggoda) seorang laki-laki yang telah mendapat petunjuk, kecukupan dan penjagaan.” [HR. Abu Daud]. 3. Memilih Pemimpin Perjalanan Nabi menuntun kita agar memilih pemimpin rombongan manakala melakukan perjalalan. Hadits riwayat Abu Daud dari Abu Sa’id Al Khuduri menyebutkan hal tersebut.
Apabila ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaknya mereka menunjuk salah seorang dari mereka sebagai pemimpin [HR. Abu Daud)
Sesudah pemimpin rombongan ditentukan, maka dia harus mulai berpikir tentang rombongannya, bukan tentang dirinya sendiri. Sementara itu, para “anak buah” yang sudah memiliki pemimpin itu punya kewajiban untuk taat kepada pemimpin, sejauh sang pemimpin berada di jalan yang benar. Di belakang hari (apalagi di saat-saat menjelang pemilu) ajaran Nabi Muhammad itu dijadikan ibrah tentang pentingnya pendidikan politik. Sebab, memilih pemimpin politik itu setara dengan memilih pemimpin dalam bersafar (perjalanan), meskipun dalam bentuk berbeda. 4. Di Dalam Kendaraan Duduklah di dalam kendaraan pada tempat di mana seharusnya Anda duduk. Jika sebagai pengemudi, maka Anda duduk di belakang kemudi. Jika sebagai penumpang, duduklah pada kursi Anda, dan janganlah mengambil hak tempat duduk orang lain. Pada saat telah siap di atas kendaraan (misalnya sepeda, sepeda motor, becak, andong, mobil, kereta api, pesawat terbang, dan kapal) hendaklah bertakbir sebanyak 3 (tiga) kali dan kemudian berdoa sebagaimana diriwayatkan dalam hadis berikut:
Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kebaikan dan takwa dalam perjalanan ini, kami mohon perbuatan yang Engkau ridhai. Ya Allah, permudahkanlah perjalanan kami ini, dan dekatkanlah jaraknya bagi kami. Ya Allah, Engkaulah pendampingku dalam bepergian dan mengurusi keluarga. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelelahan dalam bepergian, pemandangan yang menyedihkan dan kepulangan yang buruk dalam harta dan keluarga. [HR. Muslim, dari Ibnu Umar]. 5. Selama dalam Perjalanan Selama dalam perjalanan, hendaklah Anda mengisi waktu tersebut dengan amalan-amalan yang baik sehingga dapat meningkatkan nilai perjalanan. Di antara amalan yang dapat dilakukan adalah berzikir, membaca al-Qur’an, membaca buku, dan berbicara baik. a. Berzikir Rasulullah SAW tidak pernah lalai dalam berzikir, sebagaimana diungkapkan dalam hadis berikut:
Dari al-Aghar al-Muzanni (salah seorang sahabat Rasulullah SAW), Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya hatiku tidak pernah lalai dari zikir kepada Allah, sesungguhnya aku EDISI 15/2013
33
beristighfar seratus kali dalam sehari” [HR. Muslim, HN 4870]. Waktu-waktu di atas kendaraan hendaklah dimanfaatkan dengan baik untuk berzikir. Jangan dibiarkan waktu itu hilang percuma hanya untuk duduk termenung tanpa melakukan apa-apa. Padatnya lalu lintas saat ini membuat kita lebih lama berada di jalan. Berzikir adalah amalan luar biasa yang dengan mudah dapat kita lakukan dalam perjalanan, bahkan ketika sedang dalam posisi mengemudi sekalipun. Konsentrasi mengemudi tidak akan terganggu, tetapi justru menambah ketenangan hati yang pada akhirnya sangat bermanfaat dalam mengemudi. Pilihlah zikir-zikir yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, dan jadikanlah sebagai bagian kebiasaan Anda ketika berada di atas kendaraan. Dari Abu Darda’, dia berkata; Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda kepadaku: “Hendaknya kamu selalu mengucapkan:
Maha suci Allah, dan segala pujian bagi Allah, dan tidak ada ilah kecuali Allah dan Allah Maha Besar. “Kalimat tersebut akan menggugurkan kesalahan-kesalahan sebagaimana pohon menjatuhkan dedaunannya” [HR. Ibnu Majah, HN 3803]. Dalam hadits riwayat Ahmad (HN 6191) disebutkan bahwa kalimat zikir tersebut menghapus dosa, meskipun dosanya sebanyak buih di lautan. Rasulullah juga mengajarkan setiap 34
Berkala Tuntunan ISLAM
melewati jalanan naik, membaca (Allahu Akbar) dan melewati jalan (Submenurun membaca hanallah) [HR. Abu Daud]. b. Melaksanakan Shalat Fardhu dengan Jamak Qashar Selama dalam perjalanan, kita melaksanakan shalat fardhu dengan cara jamak qashar, yakni shalat Dzuhur dijamak dengan Ashar menjadi masing-masing 2 raka’at; dan shalat Maghrib dijamak dengan Isya’(shalat Maghrib tetap dilaksanakan sebanyak 3 raka’at dan shalat Isya’ menjadi 2 raka’at).
Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Allah Ta’ala telah mewajibkan shalat lewat lisan Nabi kalian ketika menetap (tidak bepergian) sebanyak empat raka’at, di waktu bepergian dua raka’at dan dalam kondisi takut (dalam situasi perang) satu raka’at” [HR. Abu Daud, HN 1056].
“Dari Yahya bin Yazid al-Huna’i, dia berkata: saya bertanya kepada Anas bin Malik tentang meng-qashar shalat, maka Anas menjawab; ‘apabila Ra-
sulullah SAW bepergian sejauh perjalanan tiga mil atau tiga farsakh – Syu’bah ragu- maka Beliau shalat dua raka’at” [HR. Abu Daud, HN 1015]. Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda: “… apabila salah seorang dari kalian telah menyelesaikan urusan (saat bepergian), hendaklah dia segera kembali kepada keluarganya” [HR. Bukhari, HN 2779]. Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Rasulullah SAW melakukan safar (bepergian), kemudian Beliau melaksanakan shalat dua raka’at-dua raka’at selama sembilan belas hari. Ibnu Abbas berkata, sedangkan di antara kami melaksanakan 2 raka’at-2 raka’at selama sembilan belas hari. Jika kami tinggal lebih lama dari itu, maka kami shalat empat raka’at” [HR. Tirmidzi, HN 504]. 6. Segera Kembali Setelah Selesai Urusan Apabila telah menyelesaikan urusan yang menjadi maksud kepergian, maka hendaklah kita bersegera pulang ke rumah. Bagi Anda yang bersekolah atau kuliah, selesainya urusan ditandai dengan berakhirnya jam belajar atau kuliah. Bagi pegawai, ditandai dengan selesainya jam kerja. Bagi pedagang, bisa menetapkan berapa lama berdagang, dan pada jam berapa ia harus pulang. Demikian pula untuk urusan-urusan yang lainnya. Begitu maksud kepergian telah tertunaikan, maka hendaklah segera pulang.
7. Saat Kembali Pada saat kembali dan sesampainya di rumah, maka bertakbirlah sebanyak 3 kali dan membaca:
Kita kembali, insya Allah sebagai hamba yang bertaubat, beribadah, memuji-Nya dan yang sujud untuk Rabb kita. Allah Maha Benar dengan janji-Nya, menolong hamba-Nya dan menghancurkan musuh-musuh-Nya. [HR. Bukhari, dari Abdullah RA]. Wallahu a’lam. Samarinda, 17 September 2013 Agus Sukaca
[email protected]
EDISI 15/2013
35
Tuntunan Ibadah
SHALAT ISTIKHARAH onislam.net
A. Pendahuluan halat Istikharah adalah shalat sunnah yang dilakukan untuk memohon petunjuk kepada Allah untuk dipilihkan antara beberapa pilihan yang paling baik untuk dilaksanakan. Shalat ini sangat penting untuk dilaksanakan karena manusia adalah makhluk yang lemah dan sangat butuh pertolongan Allah dalam setiap urusannya. Setinggi apapun ilmu yang dimiliki, manusia tidak akan mengetahui perkara yang gaib. Ia juga tidak mengetahui manakah kejadian yang baik dan buruk pada masa yang akan datang. Seorang muslim sangat yakin dan tidak ada keraguan sedikitpun bahwa yang mengatur segala urusan adalah Allah Ta’ala. Dialah yang menakdirkan dan menentukan segala sesuatu sesuai yang Dia kehendaki pada hamba-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
S
36
Berkala Tuntunan ISLAM
“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia). Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan. Dan Dialah Allah, tidak ada Rabb (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan hanya kepadaNyalah kamu dikembalikan” [QS. alQashash: 68-70].
Oleh karena itu, Allah SWT memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar senantiasa memohon pertolongan kepada-Nya agar diberikan petunjuk untuk memperoleh kebaikan bagi kehidupannya dan terhindar dari keburukan. Cara yang terbaik dalam memohon pertolongan kepada Allah SWT adalah melalui shalat, sebagaimana hal ini difirmankan Allah SWT di dalam al-Qur’an yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” [QS. alBaqarah: 153]. Untuk melaksanakan perintah Allah SWT di atas, seorang muslim haruslah mengikuti petunjuk Rasulullah SAW. Sebab, Beliaulah satu-satunya orang yang diutus Allah SWT untuk menjelaskan tatacara yang benar dalam berkomunikasi antara hamba dengan Penciptanya. Sebaliknya, seorang muslim harus menjauhi tata-cara menentukan pilihan ini diluar petunjuk dari Rasulullah SAW, sebagaimana yang telah dilakukan oleh masyarakat jahiliyah sebelum datangnya Islam. Ketika akan melakukan suatu pekerjaan, mereka menentukan pilihan dengan cara azlam (undian). Setelah ajaran Islam datang kepada mereka, Allah SWT melarang cara-cara semacam ini, dan kemudian diganti dengan shalat istikharah.
B. Dasar Hukum Shalat Istikharah Tuntunan shalat istikharah didasarkan pada hadits sahih yang bersumber dari sahabat Jabir bin ‘Abdillah r.a. Dia berkata:
Rasulullah SAW mengajari kami shalat istikharah dalam setiap perkara atau urusan yang kami hadapi, sebagaimana Beliau mengajarkan kami suatu surat dari al-Qur’an. Beliau berkata: “Jika salah seorang di antara kalian berniat dalam suatu urusan, maka lakukanlah shalat dua rakaat yang bukan shalat wajib, kemudian berdoalah…”. [HR. al-Bukhari]. Berdasarkan hadits di atas, al-‘Allamah al-Qurthubi rahimahullah mengatakan bahwa “sebagian ulama menjelaskan: tidak sepantasnya bagi orang yang ingin menjalankan di antara urusan dunianya sampai ia meminta pada Allah pilihan dalam urusannya tersebut yaitu dengan melaksanakan shalat istikharah. Jadi, shalat istikharah adalah salah satu amalan yang biasa dilakukan oleh seorang muslim setiap akan melakukan suatu urusan. Namun demikian, para ulama bersepakat bahwa shalat istikharah bukan termasuk amalan wajib (fardlu), melainkan dianjuran (mustahab/sunah). Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad EDISI 15/2013
37
SAW tersebut di atas yang berbunyi: “maka lakukanlah shalat dua rakaat yang bukan shalat wajib”. Selain itu, pendapat ini juga didasarkan pada jawaban Rasulullah SAW ketika seorang laki-laki bertanya tentang Islam. Beliau SAW menjawab: “shalat lima waktu sehari semalam”. Lalu ia tanyakan pada Nabi SAW:
“Apakah aku memiliki kewajiban shalat lainnya?” Nabi SAW pun menjawab: “Tidak ada, kecuali jika engkau ingin menambah dengan shalat sunah” [HR. Bukhari dan Muslim]. C. Tata-Cara Shalat Istikharah 1. Waktu Pelaksanaan Shalat istikharah dapat dilakukan kapan saja, baik siang maupun malam hari, asalkan bukan pada 3 waktu yang terlarang untuk melakukan shalat, yakni ketika matahari terbit atau sedang berada di tengah atau sedang terbenam [HR. Jama’ah kecuali Bukhari]. Akan tetapi, jika shalat istikharah tidak bisa diundur atau dibutuhkan saat itu juga, maka sebagian ulama berpandangan bahwa hal itu boleh dikerjakan saat itu juga walaupun pada waktu yang terlarang. Pandangan yang demikian itu didasarkan pada kebutuhan pelaksanaan shalat istikharah yang perlu dilakukan secepatnya. Dengan demikian, jadilah ia shalat sunah yang disyariatkan karena adanya sebab, sementara sudah dimaklumi bahwa waktu-waktu terlarang shalat ini tidak berlaku pada shalat-shalat sunah yang 38
Berkala Tuntunan ISLAM
mempunyai sebab, seperti tahiyatul masjid, shalat sunah wudhu, dan semacamnya. Pandangan ini merupakan mazhab Imam asy-Syafi’i dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad, serta pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah [Lihat, Majmu’ al-Fatawa: 23/210215]. Jadi, pelaksanaan shalat istikharah tidak terikat dengan waktu tertentu, tetapi ia dilakukan ketika seseorang telah berniat atau bertekad melakukan suatu pekerjaan tertentu. Hal ini didasarkan pada penggunaan kata “hamma” dalam sabda Rasulullah SAW di atas yang memiliki arti berniat, juga pada isi doa istikharah yang menunjukkan telah adanya niat seseorang dalam mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu, jika seseorang masih belum berniat untuk mengerjakan sesuatu atau masih ada beberapa pilihan yang akan dikerjakan, hendaklah ia terlebih dahulu berniat atau menentukan pilihannya, lalu lakukanlah istikharah. Pekerjaan yang dimaksud berkaitan dengan perkara-perkara yang mubah, bukan yang wajib dilaksanakan, atau haram dilakukan. Dalam hal ini, al-Hafiz Ibnu Hajar berkata dalam “al-Fath” (11/ 220); “Ibnu Abi Hamzah berkata: amalan yang wajib dan yang sunah tidak perlu melakukan istikharah dalam melakukannya, sebagaimana yang haram dan makruh tidak perlu melakukan istikharah dalam meninggalkannya. Maka urusan yang butuh istikharah hanya terbatas pada perkara yang mubah dan dalam urusan yang sunah jika di depannya ada dua amalan
sunah yang hanya bisa dikerjakan salah satunya, mana yang dia kerjakan lebih dahulu dan yang dia mencukupkan diri dengannya. Maka, janganlah sekali-kali kamu meremehkan suatu urusan, akan tetapi hendaknya kamu beristikharah kepada Allah dalam urusan yang kecil dan yang besar, yang mulia atau yang rendah, dan pada semua amalan yang disyariatkan istikharah padanya. Karena terkadang ada amalan yang dianggap remeh akan tetapi lahir darinya perkara yang mulia”. 2. Kaifiat (Cara) Shalat Sebagaimana dijelaskan di dalam hadits riwayat al-Bukhari di atas, shalat istikharah dilakukan sebanyak 2 rakaat. Adapun tata caranya hendaklah dilakukan sebagaimana tata cara shalat yang lain, baik yang meliputi bacaan maupun gerakan shalat. Sebagian ulama menganjurkan ketika rakaat pertama dan setelah membaca al-Fatihah hendaklah seseorang membaca surat al-Kafirun, dan di rakaat kedua membaca surat al-Ikhlas. Namun, pendapat semacam ini tidak ada landasannya, sehingga tidak bisa dijadikan pegangan. Oleh karenanya, dalam shalat istikharah, seseorang boleh memilih surat apa saja dalam al-Qur’an. Sayyid Sabiq dalam “Fiqhus-Sunnah” mengatakan bahwa tidak ada ketentuan yang kuat tentang surat atau ayat apa yang harus secara khusus dibaca pada 2 rakaat istikharah itu. Selain itu juga tidak ada anjuran untuk mengulang-ulang ayat tertentu dalam suatu rakaat.
Perbedaan shalat istikharah dengan shalat pada umumnya hanyalah pada bacaan doa setelah selesai shalat. Teks doa istikharah terdiri dari dua macam, yaitu pertama, berbunyi:
Allahumma inni astakhii-ruka bi ‘ilmika, wa astaq-diruka bi qud-ratika, wa as-aluka min fadh-likal adziim, fa in-naka taq-diru wa laa aq-diru, wa ta’lamu wa laa a’lamu, wa anta ‘allaamul ghuyub. Allahumma in kunta ta’lamu anna hadzal amra*) khairan lii fii diinii wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii faq-dur-hu lii, wa yassirhu lii, tsumma baarik lii fiihi. Wa in kunta ta’lamu anna hadzal amra*) syarrun lii fii diinii wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii, fash-rifhu ‘annii wasrifnii ‘anhu, waqdur lial khaira haitsu kaana tsumma ardhi-nii bih. “Ya Allah, aku memohon petunjuk kebaikan kepada-Mu dengan ilmu-Mu. Aku memohon kekuatan dengan kekuatan-Mu. Ya Allah, seandainya Engkau tahu bahwa masalah ini..*) baik untukku dalam agamaku, kehidupanku dan jalan hidupku, jadikanlah untukku EDISI 15/2013
39
dan mudahkanlah bagiku dan berkahilah aku di dalam masalah ini. Namun. jika Engkau tahu bahwa masalah ini...*) buruk untukku, agamaku dan jalan hidupkku, jauhkan aku darinya dan jauhkan masalah itu dariku. Tetapkanlah bagiku kebaikan di mana pun kebaikan itu berada, dan ridhailah aku dengan kebaikan. *)
Sebutkan urusan yang sedang dihadapi
Adapun teks doa istikharah kedua sama dengan di atas, hanya saja ada kalimat yang berbeda, yaitu: kalimat diganti dengan Dengan demikian, teks lengkapnya adalah sebagai berikut:
‘annii was-rifnii ‘anhu, waqdur lial khaira haitsu kaana tsumma ardhi-nii bih. “Ya Allah, aku memohon petunjuk kebaikan kepada-Mu dengan ilmu-Mu. Aku memohon kekuatan dengan kekuatan-Mu. Ya Allah, seandainya Engkau tahu bahwa masalah ini...*) baik untukku di waktu dekat atau di masa nanti, jadikanlah untukku dan mudahkanlah bagiku dan berkahilah aku di dalam masalah ini. Namun, jika Engkau tahu bahwa masalah ini...*) buruk untukku, di waktu dekat atau di masa nanti, jauhkan aku darinya dan jauhkan masalah itu dariku. Tetapkanlah bagiku kebaikan di mana pun kebaikan itu berada dan ridhailah aku dengan kebaikan”. *)
Sebutkan urusan yang sedang dihadapi
Kedua teks doa tersebut bersumber dari hadits Jabir r.a. yang diriwayatkan al-Bukhari dalam kitab Shahihnya:
Allahumma inni astakhii-ruka bi ‘ilmika, wa astaq-diruka bi qud-ratika, wa as-aluka min fadh-likal adziim, fa innaka taqdiru wa laa aq-diru, wa ta’lamu wa laa a’lamu, wa anta ‘allaamul ghuyub. Allahumma in kunta ta’lamu anna hadzal amra*) khairan lii fii ‘aajili amrii wa aajilih faq-dur-hu lii, wa yas-sirhu lii, tsumma baarik lii fiihi. Wa in kunta ta’lamu anna hadzal amra*) syarrun lii fii ‘aajili amrii wa aajilih, fashrifhu 40
Berkala Tuntunan ISLAM
“Rasulullah SAW mengajari kami istikharah dalam setiap urusan yang kami hadapi sebagaimana Beliau mengajarkan kami suatu surat dari al-Qur’an. Beliau SAW bersabda: ‘Jika seorang dari kalian menghadapi masalah maka ruku’lah (shalat) dua rakaat yang bukan shalat wajib kemudian berdoalah: Allaahumma inniy astakhiiruka bi ‘ilmika wa astaqdiruka biqudratika, wa as-aluka min fadhlikal ‘azhim, fainnaka taqdiru wa laa aqdiru wa ta’lamu walaa ‘a’lamu wa anta ‘allaamul ghuyuub. Allahumma in kunta ta’lamu anna haadzal amra khairul liy fiy diiniy wa ma’aasyiy wa ‘aaqibati amriy” atau: -‘Aajili amriy wa aajilihi faqdurhu liy wa yassirhu liy tsumma baarik liy fiihi. Wa in kunta ta’lamu anna haadzal amru syarrul liy fiy diiniy wa ma’aasyiy wa ‘aqibati amriy” atau: -fiy ‘aajili amriy wa aajilihi- fashrifhu ‘anniy washrifniy
H o t l i ne : 0 85 7 . 29 . 8 44 . 4 48
/
‘anhu waqdurliyl khaira haitsu kaana tsumm ar dhiniy”. Ya Allah, aku memohon pilihan kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan memohon kemampuan dengan kekuasaanMu dan aku memohon karunia-Mu yang Agung. Karena Engkau Maha Mampu sedang aku tidak mampu, Engkau Maha Mengetahui sedangkan aku tidak mengetahui, Engkaulah yang Maha Mengetahui perkara yang gaib. Ya Allah, bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini baik untukku, bagi agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku ini -atau: Beliau bersabda; di waktu dekat atau di masa nanti- maka takdirkanlah buatku dan mudahkanlah, kemudian berikanlah berkah padanya. Namun, sebaliknya ya Allah, bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk untukku, bagi agamaku, kehidupanku dan kesu-
0 8 1 3. 2 8 .2 1 2 1. 3 2
EDISI 15/2013
41
dahan urusanku ini -atau: Beliau bersabda; di waktu dekat atau di masa nanti- maka jauhkanlah urusan dariku dan jauhkanlah aku darinya. Dan tetapkanlah buatku urusan yang baik saja di mana pun adanya, kemudian jadikanlah aku ridha dengan ketetapan-Mu itu’. Beliau bersabda: ‘Dan hendaklah seseorang sebutkan urusan yang sedang diminta pilihannya itu’. [HR. al-Bukhari, No. 1162]. Keterangan: a. Cara menyebutkan urusan misalnya: Allahumma in kunta ta’lamu anna haadzal amra (Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini) misalnya saja: perjalananku ke Surabaya, atau pernikahanku dengan si Fulanah, atau usahaku membuka warung atau yang lainnya. b. Doa shalat istikharah yang lebih tepat dibaca setelah shalat, dan bukan di dalam shalat, sebagaimana disebutkan pada hadits di atas. Syaikh Musthafa al- ‘Adawi hafizhahullah mengatakan: “Aku tidak mengetahui dalil yang sahih yang menyatakan bahwa doa istikharah dibaca ketika sujud atau setelah tasyahud (sebelum salam), kecuali landasannya adalah dalil yang sifatnya umum yang menyatakan bahwa ketika sujud dan tasyahud akhir adalah tempat terbaik untuk berdoa. Akan tetapi, hadits ini sudah cukup sebagai dalil tegas bahwa doa istikharah adalah setelah shalat. c. Setelah melakukan shalat istikharah, hendaknya seseorang memilih untuk mengerjakan apa yang hendak dila42
Berkala Tuntunan ISLAM
kukan dari urusan yang ingin dikerjakan. Jika urusan itu merupakan kebaikan, maka insya Allah dia akan dimudahkan oleh Allah SWT, dan jika itu merupakan kejelekan maka Allah akan memalingkannya dari urusan tersebut. Muhammad bin Ali az-Zamlakani rahimahullah berkata: “Jika seseorang sudah shalat istikharah dua rakaat untuk suatu urusan, maka setelah itu hendaknya dia mengerjakan urusan yang dia ingin kerjakan, baik hatinya lapang/tenang dalam mengerjakan urusan itu ataukah tidak. Karena, pada urusan tersebut terdapat kebaikan walaupun mungkin hatinya tidak tenang dalam mengerjakannya”. Dan beliau juga berkata: “karena dalam hadits (Jabir) tersebut tidak disebutkan adanya kelapangan/ketenangan jiwa” [Thabaqat asy-Syafi’iah al-Kubra: 9/206]. Maksudnya: dalam hadits Jabir di atas tidak disebutkan bahwa hendaknya dia mengerjakan apa yang hatinya tenang dalam mengerjakannya (wallahu a’lam). Sebagian orang beranggapan bahwa jawaban istikharah akan Allah sampaikan dalam mimpi. Ini adalah anggapan yang sama sekali tidak berdalil, sebab tidak ada keterkaitan antara istikharah dengan mimpi. Syaikh Masyhur Hasan Salman hafizhahullah mengatakan: mimpi tidak bisa dijadikan acuan hukum fikih. Sebab di dalam mimpi, setan memiliki peluang besar untuk mema-
Shalat Istikharah boleh dilakukan berulang kali dalam urusan yang kita inginkan untuk mohon petunjuk kepada Allah. Sebab, istikharah adalah doa, dan tentu saja boleh dilakukan berulang kali.
tidak ada keterkaitan antara istikharah dengan mimpi. d. Sebagian ulama berpandangan bahwa melakukan istikharah tidak harus dengan shalat khusus, tapi bisa dengan semua shalat sunnah. Artinya, seseorang bisa melakukan shalat rawatib, dhuha, tahiyatul masjid, atau shalat sunnah lainnya, kemudian setelah mengerjakan shalat itu dia membaca doa istikharah. Pandangan tersebut didasarkan pada hadits tentang shalat istikharah di atas yang dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW berikut ini:
inkan perannya, sehingga bisa jadi setan menggunakan mimpi untuk mempermainkan manusia. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Kerjakanlah shalat dua rakaat selain shalat fardhu…” Dalam hal ini, Imam an-Nawawi mengatakan:
“Mimpi ada 3 macam, (yaitu) berita gembira dari Allah, dari bisikan hati, dan ketakutan dari setan” [HR. Ahmad]. Beliau juga menjelaskan bahwa mimpi tidak bisa untuk menetapkan hukum, namun hanya sebatas diketahui. Selain itu, tidak ada hubungan antara shalat istikharah dengan mimpi. Karena itu, tidak disyaratkan, bahwa setiap istikharah pasti diikuti dengan mimpi. Hanya saja, jika ada orang yang istikharah kemudian dia tidur dan bermimpi yang baik, bisa jadi ini merupakan tanda baik baginya dan melapangkan jiwanya. Tetapi, sekali lagi,
“Dan yang jelas, doa istikharah bisa dilakukan setelah melaksanakan shalat rawatib, tahiyatul masjid, atau shalat sunnah lainnya” [Bughyatul Mutathawi’, hlm. 45]. e. Shalat Istikharah boleh dilakukan berulang kali dalam urusan yang kita inginkan untuk mohon petunjuk kepada Allah. Sebab, istikharah adalah doa, dan tentu saja boleh dilakukan berulang kali. Wallahu A’lam. Narasumber utama artikel: Zaini Munir Fadloli
[email protected]
EDISI 15/2013
43
Tuntunan Muamalah
JUAL BELI
YANG DIPERBOLEHKAN DALAM ISLAM
M
acam-macam jenis jual beli dapat ditinjau secara hukum (halalharam) dan akad (transaksi). Secara hukum, jual beli dalam Islam dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu jual beli yang dihalalkan dan yang diharamkan. Dasar dan kriteria penentuan suatu jual beli (apakah termasuk kategori halal atau haram/dilarang) tentu dengan kembali pada dasar hukum dan kriteria atau neraca hukum agama (mi’yar al-syari’ah) yang telah ditentukan oleh Islam. Sedangkan jika ditinjau dari segi akad, jual beli dapat dibagi menjadi beberapa macam. Kendatipun demikian, semua pembagian ini tidak bisa dilepaskan dari aspek kebolehan (kehalalan) dan keharaman jual beli. 44
Berkala Tuntunan ISLAM
Untuk menguraikan materi jual beli secara komprehensif, maka tulisan ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama tulisan ini mengurai soal macammacam jenis jual beli, baik dalam tinjauan hukum (halal-haram), maupun khusus ditinjau dari aspek akad atau transaksinya. Sedangkan, pada kesempatan berikutnya, penulis akan menjelaskan secara spesifik tentang macam-macam jenis jual beli yang halal dan haram serta banyak dijumpai dalam transaksi jual beli yang dilakukan masyarakat. Dengan demikian, tulisan ini dapat dijadikan sebagai salah satu tuntunan untuk menakar atau mengukur suatu sistem jual beli yang dijalankan termasuk jenis yang diharamkan ataukah yang dihalalkan.
A. Jual beli yang Diperbolehkan dalam Islam Beberapa bentuk jual beli yang diperbolehkan dalam hukum (fikih) Islam, yaitu Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd, Bai’ alMuqayadhah, Bai’ al-Salam, Bai’ alMurabahah, Bai’ al-Wadhiah, Bai’ alTauliah, Bai’ al-Inah, Bai’ al-Istishna’, dan Bai’ al-Sharf. Berikut ini akan diuraikan mengenai pengertian dan contohcontoh dari bentuk jual beli tersebut. 1. Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd yaitu menjual suatu barang dengan alat tukar resmi atau uang. Jenis jual beli ini termasuk salah satu jenis jual beli yang paling banyak dilakukan dalam masyarakat dewasa ini. Contoh Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd adalah membeli pakaian atau makanan dengan uang rupiah sesuai dengan harga barang yang telah ditentukan.
2. Bai’ al-Muqayadhah Bai’ al-Muqayadhah yaitu jual beli suatu barang dengan barang tertentu atau yang sering disebut dengan istilah barter. Jenis jual beli ini tidak hanya terjadi pada zaman dulu saja, namun juga masih menjadi salah satu pilihan masyarakat dewasa ini. Hal sangat prinsip yang harus diperhatikan dalam menjalankan jenis jual beli ini adalah memperhatikan aspekaspek yang terkait dengan etika berbisnis dalam Islam. Selain itu, prinsip lain yang juga harus diperhatikan adalah hal-hal yang dapat menimbulkan kerugian di antara kedua belah pihak serta tidak memunculkan aspek ribawi, terutama terkait dengan penukaran (barter) antara dua barang sejenis dengan perbedaan ukuran dan harga. Contoh Bai’ al-Muqayadhah adalah menukar beras dengan jagung, pakaian dengan tas, atau binatang ternak dengan barang tertentu lainnya.
Pondok Pesantren dan Panti Asuhan An-Najwa Dikembangkan oleh Takmir Masjid An-Najwa dan Pimpinan Cabang Muhammadiyah Sewon Utara, Bantul, Ponpes ini tengah membangun gedung pondok pesantren dan panti asuhan di atas tanah wakaf seluas + 1.102 m2. Rencana pembangunan membutuhkan biaya sekitar Rp 2,3 milyar. Saat ini telah menghabiskan dana lebih dari Rp 280 juta. Ponpes dan Panti Asuhan An-Najwa beralamat di Dusun Kweni RT 02, Panggungharjo, Sewon, Jalan Bantul Km. 5 Yogyakarta. Panitia dan PCM Sewon Utara dengan ini mengharapkan bantuan dana zakat, infaq, shadaqah Bapak/Ibu/Saudara sekalian, yang dapat ditransfer melalui rekening BPD DIY Cabang Bantul Kantor Kas Sewon no. 004.211.022130 atas nama PONPES DAN PANTI ASUHAN AN-NAJWA. Jazakumullah khaira. KONTAK PERSON: Sukiman 0274-372787 | Haryadi 087738316882.
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan harta di jalan Allah), maka Allah akan elipatgandakan pembayarannya kepadanya dengan berlipat ganda yang banyak. (QS al-Baqarah: 245) EDISI 15/2013
45
3. Bai’ al-Salam Bai’ al-Salam yaitu jual beli barang dengan cara ditangguhkan penyerahan barang yang telah dibayar secara tunai. Praktik jual beli jenis ini dapat digambarkan dengan seorang penjual yang hanya membawa contoh atau gambar suatu barang yang disertai penjelasan jenis, kualitas dan harganya, sedangkan barang yang dimaksudkan tidak dibawa pada saat transaksi terjadi. Jenis jual beli ini termasuk jual beli yang dibolehkan dalam Islam, selama dilakukan dengan suka rela dan tetap memperhatikan hak dan tanggung jawab masing-masing pihak. Dengan ketentuan ini, maka tidak ada pihak yang dirugikan setelah salah satu pihak (pembeli) menyerahkan sejumlah uang kepada pihak yang lain (penjual/ salesman). Contoh Bai’ al-Salam adalah membeli perabotan rumah tangga, seperti kursi, meja atau almari dari seorang sales yang menawarkan barang dengan membawa contoh gambar/foto barang. Selanjutnya, barang itu dikirimkan kepada pembeli setelah dibayar terlebih dahulu. Contoh lainnya adalah jual beli barang yang dipajang melalui media atau jaringan internet (iklan). Calon pembeli mentransfer sejumlah uang kepada penjual sesuai harga barang, kemudian barang baru dikirim kepada pembeli. 4. Bai’ al-Murabahah Bai’ al-Murabahah yaitu menjual suatu barang dengan melebihi harga pokok, atau menjual barang dengan 46
Berkala Tuntunan ISLAM
menaikkan harga barang dari harga aslinya, sehingga penjual mendapatkan keuntungan sesuai dengan tujuan bisnis (jual beli). Tatkala seseorang menjual barang, ia harus mempertimbangkan kemampuan daya beli masyarakat, lebihlebih hal itu untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Dengan demikian, mematok keuntungan yang terlalu tinggi dapat menyulitkan kebutuhan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok. Dalam menentukan besaran keuntungan, maka seorang penjual harus memiliki pertimbangan antara aspek komersial dan sosial untuk saling ta’awun (saling menolong). Pada titik ini, bisnis yang dijalankannya memiliki dua keuntungan sekaligus, yaitu finansial dan sosial. Dalam agama Islam sering disebut “fiddun-ya hasanah wa fil akhirati khasanah (kebahagiaan di dunia dan di akhirat)”. Contoh dari Bai’ al-Murabahah adalah, misalnya, seorang pedagang menjual baju yang harga aslinya Rp. 35.000,- dijual menjadi Rp. 40.000,-. Dengan demikian, penjual mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 5000,-. 5. Bai’ al-Wadhiah Bai’ al-Wadhiah yaitu kebalikan dari jual beli Murabahah, yaitu menjual barang dengan harga yang lebih murah dari harga pokoknya. Sebagai contoh misalnya, seorang menjual hand phone (HP) yang baru dibelinya dengan harga Rp.500.000,- Namun karena adanya kebutuhan tertentu, maka ia menjual HP tersebut dengan harga Rp. 450.000,.
Praktik jual beli seperti ini diperbolehkan dalam Islam, selama hal itu dibangun atas prinsip saling rela (‘an-taradhin), dan bukan karena paksaan. 6. Bai’ al-Tauliah Bai’ al-Tauliah yaitu jual beli suatu barang sesuai dengan harga pokok, tanpa ada kelebihan atau keuntungan sedikitpun. Praktik jual beli seperti ini digambarkan dengan seseorang yang membeli sebuah sepeda motor baru dengan harga Rp. 13.500.000. Mengingat ia memiliki kebutuhan lainnya yang lebih penting atau pertimbangan tertentu, maka sepeda motor tersebut dijual lagi dengan harga yang sama. Sepintas, jenis jual beli ini terkesan bertentangan atau menyalahi prinsip dan tujuan jual beli pada umumnya, yaitu untuk mencari keuntungan finansial dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup (ma’isyah) seseorang. Namun perlu difahami bahwa biasanya praktik jual beli altauliyah dapat terjadi secara kasuistis karena adanya suatu kondisi tertentu, sehingga ia rela menjual barang yang dimilikinya sesuai harga pokok dan tanpa bermaksud untuk mencari keuntungan sedikitpun. Jual beli semacam ini termasuk hal yang diperbolehkan dalam Islam, selama dibangun di atas prinsip saling merelakan (‘an-taradhin), dan tidak terdapat unsur paksaan serta kezaliman. 7. Bai’ al-Inah Bai’ al-Inah yaitu jual beli yang terjadi antara dua belah pihak (penjual dan
pembeli), di mana seseorang menjual barangnya kepada pihak pembeli dengan harga tangguh lebih tinggi, dan menjual dengan harga lebih murah jika dibayar secara tunai (cash). Dalam fikih Islam, jenis jual beli seperti ini sering juga disebut dengan “al-bai’ bitsamanin ‘ajil” atau jual beli dengan sistem kredit, atau jual beli dengan pembayaran yang ditangguhkan. Jenis jual beli ini hukumnya Mubah (boleh), dengan syarat, penjual harus memperhatikan hak-hak pembeli, penentuan harga yang wajar, dan tidak ada kezaliman. Dengan demikian, terdapat unsur saling tolong-menolong di antara penjual dan pembeli untuk menyediakan dan melonggarkan kesulitan masing-masing pihak. Seorang penjual membantu menyediakan barang bagi calon pembeli sesuai kemampuan daya beli dengan memberikan waktu sesuai kesepakatan. Di sisi lain, penjual juga tidak diperkenankan untuk mencari kesempatan dalam kesempitan dengan memanfaatkan ketidakmampuan ekonomi calon pembeli demi mencari keuntungan semaksimal mungkin. Jika hal ini terjadi, maka pembeli akan merasa terpaksa mengikuti sistem yang ditetapkan penjual, karena kebutuhannya yang mendesak terhadap barang tertentu. Dalam praktik sehari-hari, tidak sedikit orang yang mengkreditkan barang dengan melakukan penyitaan (mengambil kembali) barang yang telah dikreditkan karena pembeli belum sanggup melunasi sesuai batas waktu yang telah ditentukan EDISI 15/2013
47
Anda belum bisa ceramah? Anda belum bisa pidato? Itu bukan penghalang untuk berdakwah! Anda bisa berdakwah dengan cara memberikan Berkala TUNTUNAN ISLAM kepada teman, kerabat, tetangga, saudara dan handai taulan... tanpa memberikan toleransi atau penambahan waktu. Sistem seperti ini tentu merupakan bentuk kezaliman terhadap orang lain yang sangat dibenci dan dilarang oleh ajaran Islam. 8. Bai’ al-Istishna’ Bai’ al-Istishna’ yaitu jenis jual beli dalam bentuk pemesanan (pembuatan) barang dengan spesifikasi dan kriteria tertentu sesuai keinginan pemesan. Pemesan barang pada umumnya memberikan uang muka sebagai bentuk komitmen dan keseriusan. Setelah terjadi akad atau kesepakatan tersebut, kemudian penjual memproduksi barang yang dipesan sesuai kriteria dan keinginan pemesan. Bentuk jual beli ini sepintas memiliki kemiripan dengan jual beli Salam (bai’ al-Salam), namun tetap terdapat perbedaan. Di dalam jual beli Salam, barang yang ditransaksikan sesungguhnya sudah ada, namun tidak dibawa pada saat terjadinya jual beli. Penjual (salesman) hanya membawa foto atau contoh barang (sample) saja, kemudian diserahkan kepada pembeli setelah terjadinya kesepakatan di antara mereka. Sedangkan dalam 48
Berkala Tuntunan ISLAM
jual beli istishna’, barang yang diperjualbelikan belum ada dan belum diproduksi. Barang itu baru dibuat setelah terjadinya kesepakatan di antara penjual dan pembeli sesuai kriteria dan jenis barang yang dipesan. Contoh Bai’ al-Istishna’ adalah pemesanan pembuatan kursi, almari dan lain sebagainya kepada pihak produsen barang. Jenis jual beli seperti ini diperbolehkan dalam Islam, sekalipun barang yang diperjualbelikan belum ada, asalkan dibangun di atas prinsip saling merelakan (‘an-taradhin), transparan (tidak manipulatif), memegang amanah, serta sanggup menyelesaikan pesanan sesuai kesepakatan yang telah diputuskan bersama. 9. Bai’ al-Sharf Bai’ al-Sharf yaitu jual beli mata uang dengan mata uang yang sama atau berbeda jenis (currency exchange), seperti menjual rupiah dengan dollar Amerika, rupiah dengan riyal dan sebagainya. Jual beli mata uang dalam fikih kontemporer disebut “tijarah an-naqd” atau “al-ittijaar bi al-‘umlat”.
Abdurrahman al-Maliki mendefinisikan bai’ al-sharf sebagai pertukaran harta dengan harta yang berupa emas atau perak, baik dengan sesama jenis dan jumlah yang sama, maupun dengan jenis yang berbeda dan jumlah yang sama ataupun tidak. Menurut para ulama, hukum jual beli mata uang adalah mubah (boleh), selama memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi Muhammad SAW berikut:
“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) harus sama dan kontan. Barangsiapa yang menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba, pemberi dan penerima dalam hal ini sama” [HR. Muslim]. Dalam hadits lain, dijelaskan:
“Janganlah engkau menjual emas ditukar dengan emas melainkan sama
dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Janganlah engkau menjual perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Dan janganlah engkau menjual salah satunya diserahkan secara kontan ditukar dengan lainnya yang tidak diserahkan secara kontan” [HR. al-Bukhari dan Muslim]. Sekalipun kedua hadits tersebut berbicara tentang jual beli atau pertukaran emas dan perak, namun hukumnya berlaku pula untuk mata uang saat ini. Hal ini tidak lain karena sifat yang ada pada emas dan perak saat itu sama dengan uang saat ini, yaitu sebagai alat tukar atau uang (al-nuqud). Menurut para ulama fikih, termasuk Majelis Ulama Indonesia, transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut: a. Tidak untuk berspekulasi (untunguntungan); b. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan); c. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis, maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh); d. Apabila berlainan jenis, maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai. (Bersambung) Narasumber utama artikel: Ruslan Fariadi
[email protected]
EDISI 15/2013
49
Muallimin Tempo Dulu
50
Berkala Tuntunan ISLAM
Sarah Hadits
BERDERMA UNTUK MENJAGA KEHORMATAN DIRI
"Orang yang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan surga, dan jauh dari neraka. Sedangkan orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka. Orang jahil yang dermawan lebih disukai oleh Allah daripada ahli ibadah yang kikir." [HR. Tirmidzi]
B
anyak hadits dan ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang sifat dan keutamaan-keutamaan kedermawanan, serta akibat dari kekikiran. Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi sebagaimana dituliskan di atas. Hadits tersebut membedakan keistimewaan para dermawan dan keburukan orang-orang yang kikir. Perbedaan ini berhubungan langsung dengan kedudukan mereka di hadapan Allah SWT, beserta konsekuensi kehidupannya masing-masing, baik ketika di dunia maupun di akhirat kelak. Secara tersirat, hadits tersebut mengandung perintah kepada kita untuk menjadi dermawan dan menjauhi kekikiran.
Menjaga Kehormatan Diri Masih mengenai perintah serta keutamaan lain dari berderma. Di dalam suatu hadits disebutkan:
“Lindungilah kehormatan kalian dengan harta benda kalian” [HR. alKhathib]. Kedermawanan ternyata juga merupakan upaya menjaga kehormatan diri. Kehormatan diri memang harus dijaga, termasuk dari kemungkinan adanya harta haram yang kita belanjakan. Harta menjadi haram apabila di dalam harta yang kita peroleh terdapat hak orang lain, tetapi semua dibelanjakan untuk kepentingan diri dan keluarga. Harta haram inilah yang EDISI 15/2013
51
menodai dan merusak kehormatan seorang muslim. Hubungan antara sifat kedermawanan dengan menjaga kehormatan diri seseorang sesungguhnya terletak pada sikap kasih sayang yang ditunjukkan dengan keikhlasan berbagi dengan orang lain. Orang yang tidak menjaga kehormatan diri mungkin akan berkata: “masak, setelah susah payah mengumpulkan harta, aku harus membaginya dengan orang lain. Enak saja…” Namun, hal ini akan berbeda dengan orang yang memahami pentingnya makna kehormatan diri. Dia akan berkata: “tidak mungkin aku bersikap kikir dan memakan harta yang bukan hakku. Tidak mungkin! Malah, aku harus menunjukkan kepedulian dan berbagi kepada sesama, terutama kepada orang-orang lemah, karena mereka adalah saudaraku seiman.” Pernyataan orang yang memahami pentingnya makna kehormatan diri di atas sesungguhnya sejalan dengan firman Allah SWT dan hadits Rasulullah SAW. Dalam QS. al-Hujurat ayat 10, Allah berfirman “sesungguhnya kaum mukminin itu adalah bersaudara.” Sedangkan, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah sempurna keimanan salah seorang di antara kamu hingga ia mencintai saudaranya (sesama muslim)….” Melipatgandakan Rezeki Banyak orang kikir karena mereka takut hartanya berkurang. Tidak sedikit di antara mereka yang bahkan takut 52
Berkala Tuntunan ISLAM
berderma karena akan menjadi miskin. Padahal anggapan ini sebenarnya bersumber dari bisikan dan tipu daya setan. Allah SWT berfirman: “Syaitan menjanjikan (menakutnakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui” [QS. al-Baqarah: 268]. Dalam ayat lain, Allah menegaskan bahwa kedermawanan sama sekali tidak menyebabkan berkurangnya harta, apalagi sampai membuat miskin seseorang. Justru, kedermawanan akan dibalas dengan limpahan rezeki/karunia yang berlipat ganda. Penegasan tersebut dapat kita jumpai dalam QS. al-Baqarah ayat 261 dan 245 berikut:
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui” [QS. al- Baqarah: 261].
Allah menegaskan bahwa kedermawanan sama sekali tidak menyebabkan berkurangnya harta, apalagi sampai membuat miskin seseorang. Justru, kedermawanan akan dibalas dengan limpahan rezeki/karunia yang berlipat ganda.
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan berlipatganda. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan” [QS. al-Baqarah: 245] Mengacu pada kedua ayat di atas, berderma, terutama kepada orang-orang miskin, sebenarnya adalah upaya memperbesar potensi datangnya rezeki dari Allah. Berderma, misalnya dengan uang, ternyata merupakan cara “meminjamkan” uang tersebut kepada Allah. Kenapa disebut “meminjamkan” uang kepada Allah? Karena Allah menyebutnya sebagai “pinjaman”, yaitu “meminjamkan kepada Allah” seperti yang disebutkan pada ayat tersebut. Allah Mahakaya (al-Ghaniy). Dia pasti membayar “utang” yang kita pinjamkan kepada-Nya. Dalam proses pembayaran “utang” tersebut, ada yang secara langsung “dibayar” melalui datangnya “rezeki” yang tidak didugaduga (tidak selalu berupa uang). Sebelum
“membayar”, Allah seringkali menguji umatnya terlebih dahulu. Di antara ujiannya yaitu Dia tidak langsung membayar “utang” itu. Maksud Allah menguji umat-Nya adalah untuk mengetahui apakah hambaNya akan terus berderma/bersedekah atau hanya seketika saja. Selain itu, Allah sengaja menangguhkan “pembayaran” juga untuk menguji keikhlasan dan kesabaran seseorang, sampai pada saatnya nanti Allah SWT “membayar” dalam bentuk yang bisa beragam. Ada yang “dibayar” melalui kenaikan gaji atau penghasilan dari usahanya, mendapatkan kepercayaan tertentu dalam karir dan bisnis, diberikan suatu fasilitas dari kantor, memperoleh tawaran pinjaman lunak yang bagi orang lain sangat sulit mendapatkannya, dihindarkan dari kemungkinan bencana/musibah/ penyakit tertentu, dimudahkan memperoleh jodoh atau dikaruniai anak, serta beragam bentuk “rezeki” lain yang tidak diduga-duga. Mengapa bisa demikian? Karena kedermawanan adalah salah satu perwujudan dari hamba yang bertakwa. “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya diadakan-Nya jalan keluar baginya dan memberinya rezeki dari jalan yang tidak didugaduga” [QS. ath-Thalaq: 2-3]. EDISI 15/2013
53
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan (mendermakan) sebagian harta yang kamu cintai...” [QS. Ali-Imran: 92]. Untuk merasionalkan korelasi antara senang berderma (“memberi pinjaman kepada Allah”) dengan berlipatgandanya “pembayaran” dari-Nya (seperti disebutkan QS. al-Baqarah: 245), setidaknya kita dapat memahaminya dari dua tinjauan logis, yaitu: pertama, orang yang senang memberi adalah orang yang membuktikan dirinya pantas untuk diberi (oleh-Nya). Pemahaman ini sejalan dengan firman Allah SWT; “Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan, sampai kalian infakkan apa yang kalian cintai” (QS. Ali-Imran: 92). Kebaikan itu banyak sekali wujudnya, termasuk berupa balasan limpahan rezeki bagi orang yang senang berderma. Kedua, orang yang memberi (berderma), terutama kepada orang-orang yang sangat membutuhkan, menjadi “penjawab” dari doa-doa mereka. Melalui si dermawan itulah Allah “menjawab” doa orang-orang tersebut yang sebelumnya memohon rezeki kepada-Nya. Rezeki yang mereka terima tetap berasal dari Allah, sedangkan orang yang berderma secara ikhlas adalah “juru bayar-Nya”. Orang-orang yang mendapatkan bantuan materi (misalnya sedekah dan hibah) merasa amat senang menerimanya, sehingga mereka mendoakan kebaikan bagi si penderma, termasuk mendoakan agar dia diberi kesuksesan dalam jodoh, anak, karier, bisnis, dan/atau ekonomi. 54
Berkala Tuntunan ISLAM
Jika semakin banyak orang yang diberi (dibantu) lalu semuanya mendoakan kebaikan bagi si dermawan tadi, maka logikanya, Tuhan semakin terdorong untuk segera mengabulkan dengan “pembayaran” yang lebih banyak. Apalagi jika orang-orang yang diberi tadi termasuk yang terzalimi. Allah Subhanahu Wata’ala sangat terenyuh mendengarnya. Mari kita cermati secara seksama sebuah hadits riwayat alBukhari berikut ini: “Tidaklah kalian semua diberi pertolongan dan diberikan rezeki melainkan karena orang-orang lemah di antara kalian” [HR. al-Bukhari]. Apakah hanya itu? Ternyata tidak! Sebab para malaikat pun turut mendoakan agar para dermawan diberi limpahan rezeki oleh Allah, sebagaimana diceritakan dalam hadits berikut ini.
“Tiada suatu pagi hari pun yang dilewati oleh hamba-hamba Allah melainkan turun di waktu tersebut dua malaikat; salah satu di antaranya mengatakan, ‘Ya Allah, berikanlah pengganti kepada orang yang dermawan’. Sedangkan malaikat yang satunya lagi mengatakan; ‘Ya Allah, berikanlah kerusakan kepada orang yang memegang (orang kikir)” [HR. Muslim dan Bukhari]. Jika si penderma juga turut berdoa, maka Tuhan menjadi semakin tersemangati untuk bersegera mengabulkannya.
Tuhan merasa bahwa hamba-Nya itu memang pantas sesegera mungkin mendapatkan rezeki dan lebih banyak. Dengan perspektif inilah, hendaknya, siapapun, termasuk mereka yang hidupnya paspasan, apalagi bagi mereka yang berkecukupan, untuk berderma sesuai kemampuannya.
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orangorang yang bertakwa. (Yaitu) orangorang yag menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun di waktu sempit,…” [QS. Ali-Imran: 133].
“Hendaklah orang yang memiliki kemampuan memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya, maka hendaklah ia memberi nafkah dari apa-apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan (kemudahan) sesudah kesempitan (kesulitan).” [QS. at-Thalaq: 7]. Narasumber artikel Syarah Hadis: Buya Muhammad Alfis Chaniago
EDISI 15/2013
55
Keutamaan-Keutamaan Berderma
D
isamping keutamaan-keutamaan berderma seperti yang sudah disebutkan di dalam beberapa hadits dan ayat al-Qur’an di atas, keutamaan lain dari sikap senang berderma diantaranya adalah sebagai berikut.
bawah adalah orang yang meminta” [HR. Ibnu Umar r.a.]. 2. Orang yang berderma memperoleh pahala yang besar.
1. Berderma itu baik dilakukan secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi asalkan ikhlas.
“Jika kamu menampakkan sedekah (mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orangorang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian ke-salahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” [QS. al-Baqarah: 271]
“Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah, tangan yang di atas adalah orang yang memberi, sedangkan tangan yang di 56
Berkala Tuntunan ISLAM
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar” [QS. an-Nisa: 114]. 3. Dengan berderma akan menjauhkan diri dari kekhawatiran dan kesedihan.
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-
terangan, mereka mendapat pahala disisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” [QS. alBaqarah: 274]. 4. Orang yang berderma akan memperoleh banyak nikmat. “Sesungguhnya Allah mempunyai kaum-kaum yang Dia khususkan mendapat banyak nikmat untuk kemanfaatan hamba-hamba Allah; Dia menetapkan nikmat-nikmat tersebut kepada mereka selagi mereka mendermakannya. Apabila mereka tidak mau mendermakannya, maka Dia mencabutnya dari tangan mereka lalu dipindahkannya kepada selain mereka” [HR. Ibnu Abud Dunya melalui Ibnu Umar r.a.]. 5. Dengan berderman akan mendatangkan kebaikan bagi orang tua yang telah meninggal dunia.
“Seorang laki-laki berkata kepada Nabi Muhammad SAW: ‘sesungguhnya ibuku meninggal dunia secara mendadak. Saya menduga, jika ia bisa bicara, ia akan bersedekah. Apakah ia bisa mendapatkan pahala
jika saya bersedekah untuknya?’ Beliau menjawab: ‘Ya’. [HR. Bukhari]. Ibnu Abbas bercerita kepada kami bahwa Sa’ad bin Ubadah r.a. sedang tidak ada di tempat ketika ibunya meninggal. Ia berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat, sedang saya tidak berada di sana. Apakah sesuatu berguna untuknya, jika aku sedekahkan untuknya?” Nabi SAW menjawab: “Ya”. Ia berkata: “sesungguhnya saya persaksikan kepadamu bahwa kebunku al-Mikhraf menjadi sedekah untuk ibuku” [HR. Bukhari]. Seseorang berkata kepada Nabi: “Sesungguhnya ayahku meninggal dunia dan tidak berwasiat, apakah sedekahku bisa menebus (kesalahan)-nya?” Beliau menjawab: “Ya” [HR. Muslim]. 6. Dengan berderma insya Allah akan menjauhkan diri dari siksa api neraka. Bersedekah (berderma) memiliki keutamaan luar biasa, walaupun dengan sebiji kurma asalkan ikhlas.
Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Jagalah dirimu dari api neraka walaupun dengan (bersedekah) sebutir kurma” [ Muttafaq ‘Alaih]. [Buya H.M. Alfis Chaniago
]
EDISI 15/2013
57
Balasan bagi Orang Kikir
S
ebagaimana keutamaan bagi para penderma, maka bagi mereka yang kikir, pelit atau bakhil pasti juga akan mendapat balasannya, seperti: 1. Allah akan menyempitkan rezekinya.
Rasulullah SAW bersabda: ”Janganlah kamu menghitung-hitung untuk bersedekah karena takut miskin, sebab nanti Allah menyempitkan rezeki bagimu” [HR. Bukhari]. 2. Mendapat keburukan dan siksa di neraka.
“Sekali-kali janganlah orangorang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di Hari Kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” [QS. Ali-Imran: 180].
“(yaitu) Orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikanNya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orangorang kafir siksa yang menghinakan” [QS. an-Nisaa: 37]. Realitas kehidupan ini, sebenarnya sudah cukup memberi pelajaran kepada kita untuk bersikap dermawan daripada kikir. Banyaknya orang yang mengalami beragam permasalahan dan musibah karena tampaknya semua itu “akibat” dari kekikiran yang selama ini ditunjukkan. Hak-hak orang lain yang ada pada harta kekayaannya tidak diberikan kepada mereka. Bahkan kerakusan telah mendorongnya untuk menumpuk harta melalui cara-cara yang batil, seperti mencuri dan korupsi. Berbeda dengan mereka yang dermawan, baik yang kaya maupun biasa saja, kehidupannya tampak memberkahkan. Hidupnya lebih tenang dan bahagia, karena jiwanya terisi dengan sifat-sifat yang memancarkan kebaikan dalam hidup. Dalam sejarah para Nabi juga terkandung pelajaran tentang adanya orangorang bakhil atau kikir dan orang-orang yang senang berderma. Mereka yang bakhil dikisahka n akhirnya harus mengalami musibah atau penderitaan akibat dari sikapnya itu. Sebaliknya, mereka yang senang berderma, dikisahkan menjalani kehidupan yang penuh rahmat dari Allah. Keberadaan orang kikir dan penderma pun sengaja Allah abadikan dalam al-Qur’an sebagai pelajaran bagi manusia. Wallahu a’lam. [Buya H.M. Alfis Chaniago ]
58
Berkala Tuntunan ISLAM
Lembaga Zakat Nasional
LAZISMU
Jl. Menteng Raya 62 Jakarta Pusat 10340 t: @lazismu
f: lazismu.org
Da’i Mandiri Program pengiriman Juru Dakwah di wilayah pedalaman dan kawasan suku terasing melalui konsep gerakan dakwah dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat.
Save Our Schools LAZISMU mengembangkan gerakan masyarakat dengan tajuk SAVE OUR SCHOOLS, sebuah gerakan untuk pengembangan pendidikan dan penyelamatan sekolah yang mengalami kerusakan melalui pendekatan Integrated Development for Education (IDE).
Tani Bangkit Penanggulangan kemiskinan di kalangan masyarakat tani dengan menitikberatkan pemberdayaan petani sebagai pendekatan operasional, merupakan komitmen LAZISMU & MPM Muhammadiyah dalam mewujudkan kesejahteraan sosial bagi masyarakat Indonesia. Pemberdayaan petani merupakan perwujudan nyata bagi upaya menanggulangi kemiskinan di Indonesia.
Humanitarian Rescue (PKO) Humanitarian Rescue adalah aksi kerja sinergi LAZISMU dan MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center) yang bergerak dalam bidang layanan kemanusiaan dengan fokus utama penanganan bencana (baik bencana alam maupun sosial) dan kesehatan masyarakat melalui sistem layanan yang terintegrasi (tanggap darurat/ emergency, rehabilitasi dan rekonstruksi).
1000 SARJANA Program 1000 Sarjana adalah program beasiswa kepada lulusan SLTA dari keluarga kurang mampu untuk melanjutkan pendidikan kejenjang kesarjanaan.
Perempuan Berdaya Tuna Daksa Pantang Menyerah Qurban Pak Kumis Gerakan Orang Tua Asuh Youth Entrepreneurship Micro Finance Development Children Care Telp. 021-31 50 400 Faks. 021-31 432 30 SMS: 0856 1 62 62 22 Pin BB: 2777B132
www.lazismu.org
ternyata,
+62-21-31.50.400 EDISI 15/2013
59
Belajar Memahami Al-Qur’an dengan
Metode
Manhaji
U
ntuk bisa memahami Al-Qur’an harus mengerti Bahasa Arab. Metode MANHAJI merupakan metode belajar Bahasa Arab secara langsung dari Al-Qur’an. Metode ini mengajak kembali kepada Al-Qur’an dengan memahami arti dan maksud kata perkata dalam ayat serta memahami bahasa Arabnya. Bahasa Al-Qur’an adalah bahasa ilmiah, alamiah dan amaliah, sekaligus mudah, sebagaimana dinyatakan di dalam Surah Maryam: 97, ad-Dukhan: 58, al-Qomar: 17, 22, 32, 40 dan ditegaskan lagi di dalam Surat Thaha: 1-2, baik Maktub, Mantuq maupun Mafhum-nya. Untuk bisa memahami Al-Qur’an cukup dari Juz I s.d. Juz IV saja, karena Juz V dan seterusnya sampai akhir Al-Qur’an, kata-kata dan susunan kalimatnya banyak terulang; dengan pengertian bahwa sistem muatan kajiannya diatur semakin ke tengah semakin dalam, model pergi ke tengah laut. Pembelajaran dilakukan berorientasi kepada santri, dengan pendekatan Cara Belajar Santri Aktif (CBSA), yaitu mula-mula santri diajak membaca satu ayat, kemudian Ustadz pemandunya mengajak mengartikan kata demi kata dalam ayat tersebut, sesudah itu santri diajak mencoba menyimpulkan maksud ayat. Praktek ini dilakukan secara klasikal dan individual. Selanjutnya, Ustadz mengajak membaca ayat berikutnya, dengan cara yang sama, kemudian mengajak memahami dan membicarakan rangkaian ayat tersebut dengan ayat sebelumnya, metodenya bisa dengan monologis atau dialogis. Pembelajaran dilaksanakan dalam 4 jenjang. Jenjang pertama (mempelajari Juz I Al-Qur’an) memahami arti kata-kata dan jenisnya (fi’il, ism, huruf). Jenjang kedua (mempelajari Juz II) mengajarkan teknik memahami kata perkata, sesuai dengan perubahan kata-katanya (ilmu Sharaf). Jenjang ketiga (mempelajari Juz III) mengajarkan mengenalkan susunan kalimat (Nahwu), dan terakhir, jenjang keempat (mempelajari Juz IV) Berkala Tuntunan ISLAM 60
mengajarkan tentang gaya atau jiwa bahasa dari Al-Qur’an (ilmu Balaghah). Dengan demikian, untuk memahami Al-Qur’an tidak harus dibimbing Ustadz sampai 30 Juz, akan tetapi cukup sampai Juz IV saja. Bahkan, secara otodidak pun bisa, belajar memahami AlQur’an yang penting minat dan niat, karena cinta dapat mengalahkan segala-galanya, bukan kepandaian. Bahkan, andaikata belajar dengan Metode MANHAJI hanya sampai Juz II saja pun dapat memahami bahasa Al-Qur’an, ala kadarnya, dan sudah bisa membaca Kitab Kuning (Kitab Gundul). Dengan rincian ini, diharapkan santri dapat mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an secara Manhaji atau langkah demi langkah sekaligus memahami bahasanya. Setelah mereka melampaui 4 juz, mereka sudah tidak perlu dibimbing lagi, mereka dapat melanjutkan sendiri. Jadi, belajar memahami Al-Qur’an tidak harus belajar bahasa Arab dulu, dan belajar cukup 4 Juz saja. Dalam mengikuti metode ini, santri akan menjumpai beberapa kemudahan, antara lain, di Juz I saja kira-kira 70 %-nya merupakan pengulangan, akar katanya sama, perubahan kata-katanya 99,9 % beraturan, itu pun masih dipermudah lagi dengan ciri setiap kata yang Musytaq yang sama. Juga, kalau di dalam Juz I terdiri dari 3580 kata, sedang waktu belajarnya satu tahun, berarti setiap hari mereka perlu menghafalkan hanya 10 kata saja. Itu pun bisa dihafalkan setiap selesai shalat hanya 2 kata. Dan lagi, pada umumnya, kata-katanya memiliki ciri yang sama, dan hanya membutuhkan pengertian, dan kata-katanya itu pun mengikuti alur cerita dalam ayat yang tidak akan pernah berubah (Al-Hijr: 9). Selain itu, santri bisa melatih diri sendiri dengan bantuan Buku Ajar yang disediakan, yang dirancang sedemikian mudahnya.[]
informasi: 0857.29.844.448