ISLAM DAN POLITIK: Doktrin, Realitas, dan Akses Sosiologisnya
Makalah Dipresentasikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Sosiologi Agama
Oleh: Sokhi Huda NIM: F0.1.4.98.42
Dosen Pembimbing: Prof. H. Soetandyo Wignyosoebroto, MPA. Drs. Musta’in, M.Si.
Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Juni 1999
DAFTAR ISI Halaman
A. Pendahuluan .............................................................................................................. Latar Belakang (Kerangka Asumsi) .......................................................................... Permasalahan ............................................................................................................ Metodologi Pembahasan ........................................................................................... - Fokus Pembahasan ................................................................................................. - Perspektif (Pendekatan) .......................................................................................... - Metode ....................................................................................................................
1 1 2 2 2 2 3
B. Islam dan Politik ....................................................................................................... Fungsi Agama dalam Kehidupan Manusia ............................................................... Interaksi Agama dan Politik ...................................................................................... Kajian-kajian tentang Hubungan Islam dan Politik .................................................. Doktrin Islam tentang Politik ....................................................................................
4 4 5 5 7
C. Islam, Politik, dan Masyarakat; Refleksi Abad Klasik ............................................. 8 1. Masa Nabi Muhammad ....................................................................................... 9 2. Masa Khulafa’ Rashidun ..................................................................................... 12 3. Masa Dinasti Umayyah ....................................................................................... 14 4. Masa Dinasti Abbasiyyah ................................................................................... 15 D. Politik Islam Abad Pertengahan; Kemunduran Politik dan Kecenderungan Moral .. 19 E. Politik Islam Abad Modern ....................................................................................... 1. Respon Revivalis pada Pra-Modern .................................................................... 2. Nasionalisme Islam ............................................................................................. 3. Negara-Negara Modern dan Politik Kontemporer .............................................. a. Negara-Negara Modern ................................................................................... b. Politik Kontemporer ........................................................................................
21 21 23 27 27 29
F. Analisis ..................................................................................................................... 30 Daftar Pustaka .................................................................................................................. 36
ISLAM DAN POLITIK Telaah tentang Doktrin, Realitas, dan Akses Sosiologisnya* Oleh: Sokhi Huda Prinsip politik Islam adalah: tiada lawan tetap, ada kawan tetap, dan ada tujuan tetap. (Sokhi Huda) A. Pendahuluan Dalam frame asumsi penulis, agama (Islam termasuk di dalamnya) memiliki dua dimensi gerak; yakni sebagai ajaran dan ideologi. Pertama, dimensi ajaran bergerak kedalam untuk mengatur kehidupan umatnya sendiri. Kedua, dimensi ideologi bergerak keluar dalam interaksinya dengan ideologi-ideologi lain, dalam posisi sebagai salah satu ideologi dunia (world view). Pada dimensi ideologi inilah Islam memasuki wilayah politik –di samping wilayah kultural—sebagai konsekuensi interaksi. Wilayah politik itu terkait dengan kemestian “sifat alami daya saing” yang dimiliki oleh setiap ideologi. Sedangkan doktrin politik 1 dalam agama bermula dari kepentingan untuk mengatur rumahtangga internal umatnya, yang pada kondisi tertentu menuntut adanya penyelamatan dari gangguan atau penetrasi pihak luar (ideologi lain) melalui keniscayaan instrumen politik. Di sinilah dimensi ajaran dan dimensi ideologi dalam agama, bertemu. Kemudian dalam Islam sendiri, pertemuan itu dimodali oleh setidaknya tiga hal; yakni: (1) sifat Islam sebagai “rahmat bagi seluruh alam semesta” (Rahmah li al`Alamin)2, (2) tugas sebagai khalifah (wakil/ kekuasaan Tuhan) di bumi3, dan (3) perintah untuk taat kepada Tuhan, Rasul, dan pemerintah yang berkuasa4. Pada hal kedua, realitas politik agama dapat memperoleh tempat yang lebih menonjol dibanding dengan kedua hal lainnya. Di antara kemungkinannya adalah, munculnya klaim dari diri umat Islam sendiri sebagai khalifah Tuhan. Klaim ini dapat berupa persaingan internal antar kelompok-kelompok umat Islam sendiri atau antara umat Islam dengan komunitas di luarnya. *
Makalah dipresentasikan pada seminar kelas mata kuliah Sosiologi Agama pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, dengan pembimbing Prof. H. Soetandyo Wignyosoebroto, MPA, pada 3 Juni 1999. 1 Dalam hal ini, dimaksudkan bahwa doktrin dalam wilayah dimensi ajaran dan politik dalam wilayah dimensi ideologi. 2 Qur'an: al-Anbiya' (21), 107. 3 Ibid.: al-Baqarah (2), 30. 4 Ibid.: al-Nisa'(4), 58.
2 Terlepas dari kompetisi politis yang variatif tersebut, hal pertama (sifat Islam sebagai “rahmat bagi seluruh alam semesta”) dan ketiga (perintah untuk taat kepada Tuhan, Rasul dan pemerintah yang berkuasa) menjadi kontrol bagi keberlangsungan politik, yang diwujudkan dalam program-program tertentu. Dalam hal inilah akses sosiologis realitas politik teruji. Sistemasi frame asumsi tersebut menjadi latar belakang bagi pemilihan topik di atas untuk dicari jawabannya. Sedangkan sejumlah permasalahan yang diajukan adalah: 1. Adakah doktrin Islam tentang Politik? 2. Apabila ada, bagaimanakah doktrin tersebut mengambil bentuk dalam realitasnya pada masa klasik Islam? 3. Bagaimanakah akses sosiologis realitas politik Islam pada masa klasik? Metodologi pembahasan makalah ini meliputi tiga unsur, yakni fokus, pendekatan dan metode pembahasan, yang ditempatkan dalam kerangka context of discovery yang berusaha untuk memperoleh temuan baru, bukan context of justification yang menekankan pada pengujian hipotesis. Pertama, fokus pembahasan makalah ini adalah konsep, realitas, dan akses sosiologis politik Islam, dalam wacana historis; mulai abad klasik sampai kontemporer. Sifat fokus ini adalah sintetis-integratif terhadap kajian-kajian tentang Islam dan Politik. Kedua, perspektif yang digunakan sebagai pendekatan adalah aliran fungsionalisme 5, yang berakar dari paradigma fakta sosial6. Ini didasarkan pada asumsi bahwa sosok politik Islam terkait dengan adanya nilai/ ajaran agama yang menjadi sumber inspirasi bagi praktik sosial. Sehingga peran-peran atau respon-respon kepolitikan yang dimainkan oleh umat Islam bersifat fungsional, bahkan terkait juga dengan sistem keimanan, yaitu tauhid7.
5
Aliran fungsionalisme melihat masyarakat sebagai suatu social equilib rium dari semua institusi yang ada di dalamnya. Sebagai keseluruhan sistem sosial, masyarakat menciptakan pola-pola kelakuan yang terdiri dari norma-norma yang dianggap sahih dan mengikat oleh para anggotanya yang berpartisipasi dalam sistem tersebut. Periksa Hendropuspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 27. 6 Fakta sosial adalah barang sesuatu (thing) yang benar-benar nyata berupa realitas dalam masyarakat. Fakta sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial dan pranata sosial. Secara rinci, fakta sosial terdiri atas: kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, posisi, peranan, nilai-nilai keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Ada empat varian teori yang tergabung dalam paradigma tersebut, yaitu teori fungsional struktural, teori konflik, teori sistem, dan teori sosiologi makro. Periksa George Ritzer, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, ter. Alimandan (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), 21-22, 24. 7 Esposito, Islam and Politics (Syracuse: Syracuse University Press, 1984), 1-3. Bandingkan “sebagai pengayaan” dengan Isma`il Ragi al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam (New York: Macmillan
3 Menyertai penggunaan perspektif fungsional –yang tidak lain adalah fungsional struktural8, penulis juga menggunakan perspektif teori sistem9, karena antara keduanya terdapat keterkaitan erat, yaitu fungsi-fungsi yang terbentuk berada pada sistem yang ada, atau suatu sistem tertentu dilengkapi dengan perangkat fungsi-fungsi yang sistematis. Demikian ini tampak secara tegas sebagaimana pengemukaan Parsons tentang “ciri-ciri struktural sistem sosial”10 dan “prasyarat-prasyarat fungsional sistem sosial”11. Ketiga, metodenya adalah historis-deskriptif. Alasan penggunaan metode ini adalah, bahwa paradigma fakta sosial menyediakan fasilitas metode historis12 atau komparatif –disamping interviu dan kuesener—yang banyak dipakai oleh para pendukungnya13.
Publishing Company, 1986), 73-90, mengemukakan bahwa esensi peradaban Islam adalah "Tawhid" yang menyatu dalam kehidupan dan merekatsatukan seluruh elemennya secara harmonis. Tawhid sebagai esensi peradaban Islam, mewilayahi dua aspek dimensinya; metodologi dan konten. 8 Untuk relevansi dengan pendekatan fungsionalisme struktural, Durkheim menawarkan konsep "solidaritas sosial"; yaitu apa yang mempersatukan masyarakat sehingga tidak bercerai-berai. Ia berpendapat bahwa bentuk solidaritas dalam masyarakat modern telah berubah dari "solidaritas mekanis" (perilaku individu ditentukan oleh collective consciense) ke "solidaritas organis" (adanya ketergantungan antar individu, karena kompleksitas peran-peran sosial). Periksa Soleman B. Taneko, Sistem Sosial Indonesia (Jakarta: CV Fajar Agung, 1994), 50. 9 Tokoh sentral aliran ini adalah Adam Smith (1723-1790). Ia menganggap bahwa masyarakat sebagai sebuah mekanisme yang menjaga hidupnya dan memenuhi tujuannya dengan menetapkan dan menetapkan kembali keseimbangan-keseimbangan alamiah tertentu atau, dalam istilah modernnya, ekuilibriumekuilibrium. Karena itu, ia menjadi seorang perintis fungsionalisme dalam sosiologi. Lihat Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan, terj. F. Budi Hardiman (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 111. Unsur-unsur sistem sosial adalah (1) Keluarga, (2) Ekonomi, (3) Pemerintahan, (4) Agama, (5) Pendidikan dan Peranan Umum, (6) Kelas Masyarakat. Periksa Taneko, Sistem Sosial..., 32. 10 Parsons mengemukakan bahwa ciri-ciri struktural sistem sosial “sebagai ciri-ciri pokok relasi-relasi dalam proses interaksi, memuat lima pasang yang masing-masing berdua alternatif, yaitu ; (1) perasaan atau netral perasaan; (2) arah diri atau arak kolektifitas; (3) partikularisme dan universalisme; (4) status bawahan atau status perolehan sendiri yang perlu diperhitungkan; dan (5) campur-baur atau tertentu. Periksa K.J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-individu dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), 202. 11 Parsons mengemukakan bahwa ada empat imperatif yang menentukan terhadap proses jalannya tiaptiap sistem sosial, agar keseimbangan sistem itu terjamin, yakni; (1) adaptasi; (2) kemungkinan mencapai tujuan; (3) integrasi para anggotanya; dan (4) Kemampuan mempertahankan identitasnya terhadap goncangan dan ketegangan yang timbul dari dalam. Ibid., 206. 12 Dalam hal ini dipilih metode historis kronologis; yaitu penelitian dengan menggunakan data masa lalu; menurut urutan waktunya (time squence) dari masa yang paling tua sampai masa sekarang, baik untuk memahami kejadian pada masa lalu maupun untuk memahami kejadian sekarang dalam hubungannya dengan keadaan masa lalu. Hasilnya juga dapat digunakan untuk meramalkan keadaan masa akan datang. Metode Deskriptif adalah penelitian dengan melukiskan keadaan subjek (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana apa danya. Melalui sifatnya itu, metode deskriptif bersifat menemukan fakta-fakta (fact-finding), lalu memberikan penafsiran terhadapnya. Lihat Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991), 7376, 81. 13 Ritzer, Sosiologi: ..., 153-154.
4 B. Islam dan Politik Dalam sajian Islam dan politik ini, penulis sengaja menggunakan cara terobos kepustakaan untuk efisiensi tulisan –kaitannya dengan cakupan isinya. Secara kronologis, pembahasan dipresentasikan demikian; mulai dari kajian tentang fungsi agama dalam kehidupan manusia, ke interaksi agama dan politik, kemudian kajian mengenai hubungan Islam dan politik, dan doktrin Islam tentang politik. Agama merupakan faktor yang menentukan terhadap kehidupan manusia, sebagaimana kajian Maarif14 dan Sobary15, yang menempatkan agama sebagai faktor dominan terhadap etos kerja manusia yang dipengaruhi oleh semangat keagamaan. Namun demikian, Sobary berasumsi bahwa agama bukan satu-satunya faktor, akan tetapi merupakan salah satu faktor yang menentukan prilaku manusia. Weber menyebutnya sebagai elective affinity16. Makalah ini mengikuti tradisi penjelasan adanya interaksi antara agama dan politik sebagaimana kajian Sobary 17 dan Aziz18, menuju pada pemahaman tentang Islam dan politik. Kemudian, kajian tentang hubungan Islam dan politik juga telah banyak dilakukan oleh para ahli. Penulis mengategorikannya kedalam lima kategori; yaitu pertama, kajian yang memproporsikan konsep politik dalam Islam; doktrin, identitas dan paradigma politik Islam, seperti yang dilakukan oleh al-Mawardi19,
14
A. Syafii Maarif, Islam: Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997). Gagasan utama tulisannya adalah mengedepankan konsep tentang "tauhid sosial" sebagai basis bagi dimensi praksis kehidupan sosial; dalam pemberdayaan rakyat, pembangunan, moralitas, maupun kemerdekaan dan jati diri. Dalam pemahamannya, tauhid sosial adalah dimensi praksis dari resiko keimanan kepada Tuhan yang Esa, suatu doktrin yang memang sudah ada sejak periode sangat dini dideklarasikan al-Qur'an, masa Mekkah tahun-tahun awal. 15 Mohamad Sobary, Kesalehan dan Prilaku Ekonomi (Jakarta: Bentang Budaya, 1995). 16 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), 238. Konsep ini mencoba untuk memberikan gambaran bahwa antara Etika Protestan dan semangat Kapitalisme bukanlah sebab akibat, akan tetapi merupakan kesesuaian logis dan konsistensi psikologis di mana keduanya saling mendukung. 17 Sobary, Kebudayaan Rakyat: Dimensi Politik dan Agama (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1996), mengemukakan besarnya kontribusi agama (Islam) terhadap politik, berupa dimuatnya nilai-nilai agama dalam undang-undang negara terutama tekanannya pada hak asasi manusia untuk rakyat. Tulisannya diarahkan pada keberpihakan kepada rakyat yang dipandangnya sering menjadi korban hegemoni pemerintah, pada dimensi praktis pelaksanaan undang-undang tersebut. 18 M. Imam Aziz, (ed), Agama, Demokrasi dan Keadilan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993). Relevansi kajian ini “secara elaboratif bernuansa empirik” terletak posisi strategis sumbangan agama untuk menciptakan demokratisasi politik, khususnya di Indonesia. Kemudian, aksentuasinya “sebagai target prakmatis yang diinginkan” dipacu ke arah pengembalian hak agama dan hak negara kepada kedaulatan rakyat. Pada awal gagasannya dinyatakan bahwa antara agama dan negara mempunyai beberapa kemiripan, karena keduanya mempunyai unsur pembentuk yang sama; pemimpin, "warga" dan simbol serta ritus. 19 Abu al-Hasan al-Mawardi, Kitab al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.) pertama diedit oleh Macmillan Enger (Bonn: Adolphus Marcus, 1853) lalu Kitab Nasihat al-Muluk, periksa Hanna Mikhail, Politics and Revolution: Mawardi and After (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1995), 6566. Ahkam al-Mawardi merupakan dokumen kunci dalam teori politik, yang berpengaruh terhadap para hakim pada abad lima hijriyah dan setelahnya, juga merupakan buku pertama bagi hukum politik Muslim.
5 Musa20, Ahmed21, Tibi22, dan Kuntowijoyo23. Kategori pertama ini dapat dikata bermateri pokok seputar konsep dasar politik Islam; prinsip dasar-normatif, mazhabmazhab pemikiran, teori-teori, dan prosesnya. Kedua, kajian yang menekankan respons dan peran politik Islam, seperti tulisan Mulyati24, Siddiqui 25, Pipes26, Esposito 27, Anwar 28, Hassan29, Rahnema 30, dan Mulkhan31. Ketiga, kajian yang lebih memfokuskan pada peran negara terhadap Islam, seperti tulisan Suminto 32. Keempat adalah kajian yang lebih memfokuskan
Periksa Sri Mulyati, et.al., Islam and Development: A Politico-Religious Response (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), 9-10. 20 M. Yusuf Musa, Nidham al-Hukm fi al-Islam (Kairo, Mesir: 1963). Buku ini membahas prinsipprinsip politik Islam “sebagai fitrah manusia” dari al-Qur'an dan Sunnah, trias politika Islam, dan pemikiran politik dari beberapa tokoh Islam. Dapat dikata tulisan tersebut bernilai kuat normatif-romantis. 21 Ishtiaq Ahmed, The Concept of an Islamic State: An Analysis of the Ideological Controversy in Pakistan (New York: St. Martin's Press, 1987). Inti gagasan buku ini adalah konsep negara Islam sebagai ideologi politik. Muatan induk itu lalu bersistemasikan figur (1) negara Islam sebagai visi tentang masyarakat Tuhan, (2) negara Islam dan orientasi aksi, (3) negara Islam dan modernisasi, (4) negara Islam dan distorsi realitas, (5) negara Islam sebagai instrumen dominasi kelas sosial, (5) negara Islam dan legitimasi tertib sosial, dan (6) negara Islam sebagai ideologi dan wawasan. Di dalamnya juga dibahas tentang Islam dan demokrasi, dan secara khusus konsep negara Islam pada politik Pakistan. 22 Bassam Tibi, Islam and Cultural Accomodations of Social Change (Boulder, San Francisco & Oxford: Westview Press, 1991). Tibi memposisikan politik Islam dalam skala memperjuangkan konsep ummah yang inklusif dalam sistem kultur global. Seseorang yang masuk Islam menjadi anggota ummah, dan selain pemeluk Islam dapat hidup sebagai minoritas yang dilindungi oleh pemerintah Islam, sehingga ummah dapat menjadi alternatif di antara kultur yang dibentuk Barat dan pluralisme kultur. 23 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997). Frame pemikirannya adalah, dia menawarkan metode reinterpretasi untuk memahami preskripsi-preskripsi al-Qur'an; dari pemahaman yang general dan normatif ke pemahaman spesifik dan empiris. Penafsiran seperti ini tidak saja akan menumbuhkan kesadaran objektif mengenai realitas sosial dari perspektif normatif agama, akan tetapi juga memungkinkan Islam muncul sebagai agama yang relevan untuk menjawab permasalahan kontemporer. Sementara dalam kepolitikan, dia memaparkan adanya diakronis paralel mengenai sejarah umat Islam di Indonesia, sekaligus membuktikan bahwa gerakan religio-politik Islam tidak pernah lepas dari prosesproses ekonomi-politik. 24 Sri Mulyati, et.al., Islam and Development: A Politico-Religious Response (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997). 25 Muhammad Yasin Mazhar Siddiqui, Organisation of Goverment Under the Prophet (Delhi, India: Idarah-i Adabiya-i Delli, 1987). 26 Daniel Pipes, In the Path of God: Islam and Political Power (New York: Basic Books Inc., 1985). 27 John L. Esposito, Islam and Politics (Syracuse: Syracuse University Press, 1984). Tulisan ini, diantar terlebih dulu oleh doktrin Islam tentang politik, sebelum menyajikan realitas dan peran politik Islam dalam kacamata historis. 28 M. Syafi'i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995). 29 Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia, Respon Cendekiawan Muslim (Surabaya: Bina Ilmu, 1987). 30 Ali Rahnema, Ed., Para Perintis Zaman Baru Islam, ter. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1996). Muatan pokok tulisan ini adalah hipotesis ajuan bahwa mencita-citakan dan mempertahankan politik dalam pemerintahan Islam, pada akhirnya mengharuskan pragmatisme. Kemudian, ciri khas kebangkitan Islam adalah bangkitnya perhatian terhadap Islam sebagai ideologi yang memiliki kekuatan pembebas. Di dalamnya disajikan data dan pengalaman sembilan tokoh pembaharu Islam, mulai Afghani sampai Al-Sadr, dengan kesan masing-masing pada gerakan Islam kontemporer dan para pemimpin intelektual nasional atau regional. 31 Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri (Jogyakarta: Sipress, 1994). 32 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1986).
6 pada kekuatan religio-politik di dalam sistem politik, seperti tulisan Surbakti 33. Kelima, kajian tentang pengalaman politik kelompok-kelompok sosial tertentu, sebagaimana tulisan Bruinessen34 dan Kandiyoti35. Fakta-fakta tersebut pemakalah jadikan sebagai wawasan dasar searah topik utama makalah ini (tentang Islam dan politik), untuk selanjutnya dipertajam ke fokus pembahasan sebagaimana penjelasan tentang metodologi di muka. Sementara mengenai doktrin Islam tentang politik, dapat dilacak pada firman Tuhan dalam al-Qur’an; ayat-ayat 2:124, 38:26 dan 6:165. Ayat-ayat tersebut menjelaskan secara umum terma-terma fungsi dan tugas utama keberadaan manusia. Para mufassir setuju bahwa kata “khalifah” tidak berarti wakil (representatif) Tuhan di bumi. Kata itu menjelaskan hanya ide paling dasar tentang dispensasi Tuhan. Perintah untuk memberlakukan shari`ah diberikan kepada Nabi; tugas khusus untuk melanjutkan misi para Nabi adalah apa yang turun kepada para khalifah mereka.36 Karenanya, khalifah adalah sebuah institusi yang merepresentasikan kelanjutan misi Muhammad, dan mengemban tugas itu untuk memelihara agama dan organisasi pemerintahan secara umum. Tiadanya penjelasan detil al-Qur‘an merupakan satu alasan mengapa sedemikian banyak ruang-terbuka bagi perbedaan interpretasi dan mengapa juga banyak institusi kontroversial sebagaimana para khalifah mewarnai beberapa abad. Oleh karena itulah, kemudian muncul beberapa perspektif pemikiran tentang hubungan Islam dan politik. Pertama, perspektif yang menyatakan antara agama dan
33
Ramlan Surbakti, "Religion and Politics: A Literature Review", Majalah Bestari, No.16 Th.VII, 6168. Di dalamnya dinyatakan, bahwa terdapat relasi kekuatan antara agama dan pemerintah, dan penetrasi internal antara negara dan agama. Fakta-fakta yang melandasinya ialah, dalam terma agama, Indonesia ialah masyarakat plural, yang secara historis mengakui adanya organisasi keagamaan, akan tetapi juga memendam konflik internal. Sedangkan di pihak lain, terdapat respon politik dari umat beragama, misalnya protes terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Jadi, di satu pihak, negara mengatur, akan tetapi di lain pihak, agama juga memiliki kekuatan resistensi. 34 Martin van Bruinessen, Rakyat Kecil, Islam dan Politik, ed. & ter. Farid Wajidi (Yogyakarya: Yayasan Bentang Budaya, 1998). Inti tulisan ini adalah peranan sosial dan politik Islam. Bahasannya tidak diarahkan pada Islam "normatif", akan tetapi menitikberatkan pada peranan agama dalam kehidupan kaum miskin “kaum yang tersisih” dan kehidupan politik di Indonesia. Setting yang dihadapkannya adalah keberadaan ICMI “mewakili gelaja menguatnya civil society dengan kehadiran kelas menengahmuslim yang kuat” yang tidak mampu membela hak-hak kaum mustadh`afin. 35 Deniz Kandiyoti, Women, Islam and State (Philadelphia: Temple University Press, 1991). Buku ini membahas hubungan antara Islam, alam proyek negara dan posisi wanita dalam negara-negara bangsa modern di Timur-Tengah dan Asia-Selatan. Pengalaman wanita dalam wacana politik didudukkan pada empat isu sentral: (1) Islam, nasionalisme dan hak-hak wanita, (2) wanita, Islam dan politik otentisitas, (3) wanita, keluarga dan negara, dan (4) wanita, negara dan hubungan internasional. 36 Mulyati, "The Theory of State of Al-Mawardi", dalam Mulyati, et.al. (ed), Islam and Development: A Politico Religious Response (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), 9-10., 3.
7 negara adalah integratrif, sebagaimana pandangan “teokrasi” kaum Shi`i Iran 37, dan Jama`at Islamiyyah Pakistan dengan tokoh sentralnya Abu al-A`la al-Mawdudi38. Kedua, perspektif yang memandang bahwa agama dan politik adalah simbiosis, sebagaimana al-Mawardi39 dan al-Ghazali40. Ketiga, perspektif yang memandang bahwa antara agama dan negara sekularistik –kontra integratif maupun simbiosis, sebagaimana Ali `Abd al-Rozzaq41. C. Islam, Politik, dan Masyarakat: Refleksi Abad Klasik Pada masa klasik dalam historisitas Islam42 khususnya, terefleksikan hubungan antara Islam dan Politik. Darinya umat Islam menemukan sumber-sumber keimanan dan basis bagi formulasi kontemporer ideologi Islam tentang negara dan masyarakat Pada masa ini Islam menampakkan keberhasilan dan sejarah yang kompleks dan khas. Islam membuktikan bahwa iman dapat menjadi kekuatan politik. Komunitas Islam menyatu dalam iklim spiritual dan temporal, masjid dan negara. Kepercayaan dan ideologi agama menyediakan perekat motivatif dan ideologis yang mempersatukan aneka suku bangsa Arab, dan memberi inspirasi serta arah ke periode awal ekspansi dan kemenangan Islam. Islam memfasilitasi pandangan dunia (world view), kerangka kerja (framework) dan makna (meaning) bagi kehidupan individual dan bersama. Demikian juga pada masa pemerintahan Khulafa’ Rashidun, Dinasti Umayyah, dan Dinasti Abbasiyyah, fondasi ideologi masyarakat/ negara adalah Islam. Legitimasi dan otoritas aturan, hukum resmi negara, pendidikan, dan institusi sosial, semuanya
37
Lewat prinsip "imamah"nya, mereka berpandangan bahwa negara adalah penjelmaan dari "kedaulatan Tuhan", yang berarti kekuasaan mutlak di tangan Tuhan. Lihat Haidar Baqir, "Republik Islam Iran: Revolusi Menuju Teodemokrasi" dalam M. Imam Aziz, Agama, Demokrasi dan Keadilan (Jakarta: Gramedia, 1993). 38 Melalui prinsip "teodemokrasi" Maududi menyatakan bahwa negara merupakan kendaraan politik untuk menerapkan hukum Tuhan. Lihat Din Syamsuddin, "Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam" dalam Ulumul Qur'an, no.2,vol.iv (Jakarta: LSAF & ICMI, 1994), 6. 39 Al-Mawardi mengemukakan bahwa kepemimpinan negara (imamah “digunakannya sejajar dengan khalifah”) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian untuk memelihara agama dan mengorganisasi dunia. Mulyati, "The Theory of State of Al-Mawardi", dalam Mulyati, Islam and Development:.., 22-23. Lihat juga Syamsuddin, "Usaha Pencarian...", 6. 40 Al-Ghazali berpandangan bahwa terdapat dimensi keagamaan dalam lembaga kenegaraan, atau ada realitas idealitas agama dalam realitas kenegaraan. Lihat Syamsuddin, "Usaha Pencarian...", 6. 41 Oleh al-Rozzaq, Islam dinyatakan tidak memiliki kaitan apapun dengan kekhalifahan, sehingga semua sistem kekhalifahan adalah urusan duniawi. Ini berarti menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara. Lihat Syamsuddin, "Usaha Pencarian..", 7-8. 42 G.E. von Grunebaum. Classical Islam: A History 600 A.D.-1258 A.D. (Chicago: Aldine Publishing, 1st Ed., 1970); bandingkan dengan Masudul Hasan. History of Islam: Classical Period 571-1258 C.E. (Delhi, India: Adam Publishing, 1995); Sidi Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 276, membagi tiga kurun sejarah Islam: kurun klasik (650-1200 M.), kurun pertengahan (1200-1800 M.), dan kurun baru/modern (1800-... M.).
8 berakar pada Islam. Prinsip utama identitas politik dan kohesi sosial menjadi komitmen publik terhadap shari’ah (hukum Islam). Generasi Islam berikutnya mewarisi pemahaman romantis dan ideal tentang alam sejarah politik dan hukum Islam yang telah dibangun oleh para Ulama klasik, yang ditransmisikan dan diabadikan kedalam institusi pendidikan dan instruksi keagamaan.
1. Masa Nabi Muhammad (Tahun 610-632 M) Nabi Muhammad, sebagai penerjemah ideal Islam, menampilkan format dan substansi politik yang komprehensif pada periode Madinah. Sedangkan pada periode Makkah, hal itu lebih didominasi oleh eksplorasi kehidupan sosial, pengenalan Islam, dan ancangan strategi politik. Di Makkah, Nabi Muhammad sukses dalam memperoleh sikap hormat masyarakatnya, melalui kombinasi antara reputasi predikat “al-amin” selama hidupnya dan potensi ekonomi lewat pernikahannya dengan Khadijah. Tetapi kemudian, terjadi perubahan dramatis ketika dia menerima wahyu dari Tuhan untuk diproklamasikan kepada umatnya. Wahyu tersebut bermuatan pengubahan dari politeisme ke monoteisme dan program reformasi sosial. Hal ini membuatnya berhadapan dengan kekuatan dan otoritas politik dan elit religius Makkah, yang bereaksi keras terhadap otoritas kenabiannya43, sehingga hari-harinya dipenuhi oleh tantangan dan ancaman, serta boikot sosial dan ekonomi terhadap diri dan para pengikutnya. Reformasi sosial di Makkah sudah dilakukan oleh –sebagai bukti kualitas kepemimpinan—Muhammad sebelum menjadi Nabi, yaitu menciptakan kehidupan sosial yang asosiatif sebagai pengganti kondisi yang disosiatif antar suku. Ini dapat dilihat pada peristiwa peletakan kembali hajar aswad (batu hitam) pada pembangunan kembali Ka’bah setelah terusak banjir. Pengembalian batu itu memancing sengketa antar kepala suku, karena masingmasing merasa berhak untuk melakukannya. Sampai kemudian, mereka sepakat bahwa yang datang pertama berhak untuk mengembalikan batu tersebut ke tempatnya semula. Ketika Muhammad dinyatakan menang karena datang pertama kali, dia justru melibatkan partisipasi semua kepala suku untuk melakukannya bersama-sama, sedangkan sang batu saat diangkat berada di bentangan sorban yang dipegang oleh
43
Esposito, Islam and Politics (Syracuse: Syracuse University Press, 1984), 3-4
9 mereka. Demikian itu menjadi solusi ampuh yang membuat mereka puas dan sangat hormat kepada Muhammad.44 Kemudian dalam kondisi terancam dan terboikot tersebut, ibarat “gayung bersambut”, Nabi diundang oleh delegasi Yathrib untuk berimigrasi (hijrah) ke kota mereka pada tahun 622 M45, dan dia menerimanya. Maksud undangan itu adalah, Nabi diharapkan menjadi pendamai permusuhan antar suku, yang kemudian menjadikannya sebagai wasit atau kepala hukum/ keadilan. Konsolidasi kekuatan politik dan pendirian sebuah negara ditandai dengan perubahan nama Yathrib menjadi Madinah (madinah al-Nabiy, kota Nabi). Karenanya, pentingnya ummah dalam Islam dan signifikansi pendirian sebuah negara, diperhitungkan pada tahun 622 M sebagai permulaan komunitas dan negara Islam di Madinah. 46 Dengan kepemimpinan Muhammad, melalui kristalisasi iman dan sistem sosiopolitik, komunitas Islam menghegemoni sampai Central Arabia, dengan ideologi umum, sentralisasi otoritas dan hukum. Sehingga, untuk pertama kali dalam sejarah, arti penting penyatuan dan inspirasi suku-suku Arab, sebagai sebuah negara, berani menghadapi kerajaan-kerajaan tetangga, seperti Bizantium dan Persia, dan mampu mengubah politik dan kehidupan sosial di Timur-Tengah. 47 Muhammad, sebagai pemimpin agama dan politisi, tampil prima sebagai Nabi, kepala negara, komandan militer, kepala hukum dan penegak keadilan. Ada tiga hal menonjol yang dapat dicatat dalam politik Islam masa Nabi selama di Makkah dan Madinah, kaitannya dengan peran-peran fungsional politis. Pertama, pernikahan Nabi terhadap banyak isteri. Delapan kali pernikahan setelah pernikahannya terhadap Khadijah, hanya terhadap seorang dari mereka yang merupakan pernikahan riil, yaitu ‘A‘ishah, putri sahabat terdekatnya Abu Bakr. Sedangkan pernikahan terhadap lainnya, karena alasan politis dan sosial. Di antaranya adalah pernikahannya dengan Juwayriyah, janda putri Harith, kepala suku Banu alMustaliq. Juwayriyah adalah tawanan perang, akibat kekalahan sukunya melawan pasukan Islam. Tawaran Nabi untuk menikahinya, diterima. Ia masuk Islam, dan 44
Isma`il Ragi al-Faruqi, The Cultural Atlas …, 128. Pada tahun ini –sebagai tahun pertama hijriah—juga terjadi lima peristiwa penting lainnya; yaitu (1) Nabi membangun masjid dan residen, (2) pencanangan ukhuwah islamiah (ummah) sebagai social order baru, (3) Nabi mendirikan negara Islam pertama, (4) piagam Madinah, dan (5) Nabi menikahi `A'ishah. Ibid., 124. 46 Esposito, Islam and Politics..., 4; dan sebagai peluas data, lihat Siddiqui, Organisation of Goverment..., mencatat bahwa hal-hal yang terorganisasi dalam pemerintahan Islam oleh Muhammad adalah, (1) organisasi militer, (2) administrasi sipil di tingkat pusat dan propinsi, (3) struktur keuangan, dan (4) organisasi keagamaan. Masing-masing point disajikan “secara analitis” dengan data-data yang rinci dan apendiks klasifikatif yang sistematis. 47 Ibid., 4. 45
10 membawa semua warga sukunya untuk masuk Islam beberapa bulan setelah pernikahannya.48 Secara sosiologis (dalam arti reformatif), pernikahan Nabi menempatkan para isterinya yang hampir semuanya janda49 pada derajat kehormatan sebagai “para ibu umat Islam” (mothers of the believers/ ummahat al-mu’minin). Masing-masing mereka memainkan peran penting dalam periode formatif Islam dan memberi kontribusi terhadap kohesi sosial pada masyarakat baru. Kedua, program ummah sebagai komunitas ideal. Pertama, mendamaikan dua suku utama di Madinah (Aws dan Khazraj) dan mempersatukan mereka ke dalam format tatanegara Islam pertama, dengan prinsip baru saling menghormati, saling mengasihi, dan mempertahankan kesatuan. Kedua, mempersatukan kaum Ansar (resepsionis Madinah) dan kaum Muhajirun (imigran Makkah) yang hadir dengan tangan kosong. Setiap rumah di Madinah merespons dengan hati terbuka terhadap semua imigran Makkah. Ini adalah pertama kali, bahwa para kepala suku dan aristokrat, tuan dan budak, kaya dan miskin, warga pribumi dan warga asing, merjer bersama ke bentuk masyarakat baru dimana obligasi iman melebihi perbedaanperbedaan kelahiran (budaya) dan sejarah. Ini membuat orang-orang Yahudi tertarik kepada Muhammad, dan menjadi anggota integral di dalamnya. Juga, delegasi Kristen Najran (Yaman) berkunjung ke Madinah dan diakui sebagai warga ummah yang konstituen, pada tahun 631. Mereka semua berada di bawah satu atap dalam format masyarakat pluralistik. 50 Ketiga,
piagam
Madinah
sebagai
konstitusi
negara
Islam.
Untuk
memformulasikan kesatuan komunitas dan merekor kesepakatan mereka, Muhammad mencanangkan “Piagam Madinah” –konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Konstitusi ini memancangkan negara Islam pertama, world order multireligius pertama. Kandungan piagam tersebut adalah, (1) Umat Islam tidak melakukan ibadah haji pada tahun itu, akan tetapi bolah melakukannya pada tahun berikutnya dan tidak lebih dari tiga hari; (2) siapapun warga Makkah yang bergabung dengan umat Islam dipulangkan ke Makkah dan siapapun muslim yang datang ke Makkah tidak boleh kembali ke Madinah; (3) Orang Arab dari luar Makkah yang hendak bergabung dengan
48
Faruqi, The Cultural Atlas..., 124. Ibnu Sa'ad, Purnama Madinah: 600 Sahabat-Wanita Rasulullah SAW. Yang Menyemarakkan Kota Nabi, terj. Eva Y. Nukman (Bandung: Al-Bayan, 1997), 56-128. Buku ini dilengkapi dengan data-data luas dan hadith-hadith Nabi. Karena 600 wanita tersebut adalah para wanita yang pernah bertemu dengan atau meriwayatkan hadith dari Nabi. 50 Faruqi, The Cultural Atlas..., 129, 125. 49
11 Muhammad boleh bergabung di Makkah atau dengan Muhammad; dan (4) tidak boleh saling menyerang selama sepuluh tahun berikutnya.51
2. Masa Khulafa‘ Rashidun (Tahun 632-661 M) Setelah Nabi wafat tahun 632, komunitas memasuki dua krisis politik suksesif, termasuk otoritas politik: yaitu (1) isu suksesi dan (2) problem fragmentasi politik atau perang sipil. Ini muncul, karena Nabi tidak menunjuk seorang sebagai penggantinya, untuk penegakan demokrasi. Para sejarawan mengelompokkan empat khalifah (leader) setelah Nabi sebagai Khulafa‘ Rashidun (The Rightly Guided Chalips). Mereka adalah (1) Abu Bakar (632634), (2) Umar bin Khattab (634-644), (3) Uthman bin Affan (644-655), dan (4) Ali bin Abi Talib (655-661). 52 Ciri utama masa ini ialah pemilihan khalifah baru berdasarkan asas demokrasi, yang membedakannya dari model kedinastian setelah masa tersebut, seperti Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyyah (model kerajaan). Masa kepemimpinan Abu Bakar dihabiskan untuk menyelesaikan kemelut dalam negeri, terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku Arab yang tidak mau lagi tunduk kepada pemerintah Madinah. Mereka menganggap bahwa piagam Madinah, dengan sendirinya batal setelah Nabi wafat. Karena penentangan keras mereka dianggap dapat membahayakan agama dan negara, maka Abu Bakr menyelesaikannya dengan perang riddah (perang melawan kemurtadan). Tampaknya, ia menggunakan model kekuasaan sentral; legislatif, yudikatif, dan ekskutif – sebagaimana Nabi53, meskipun ia sering bermusyawarah dengan para sahabat. Pada masa pemerintahan Umar, dengan memperkenalkan gelar Amir alMu’minin (komandan bagi orang-orang yang beri-man), politik ditekankan pada ekspansi wilayah kekuasaan, pembagian administrasi pemerintahan, penertiban sistem gaji dan pajak tanah, pendirian pengadilan untuk memisahkan lembaga yudikatif dari lembaga eksekutif, jawatan kepolisian, dan jawatan pekerjaan umum, pendirian Bayt al-Mal, dan menciptakan tahun hijriah. Pada masa pemerintahan Uthman, politik terisi dengan melanjutkan perluasan wilayah (gelombang terakhir selama kepemimpinan Khulafa‘ Rashidun) dan
51
Faruqi, The Cultural..., 135; Tibi, Islam and the Culture ..., 180. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 35-42. 53 Dalam hal ini harus dipahami, bahwa kekuasaan sentral Nabi merupakan otoritas istimewa dalam konteks sebagai penerima garansi dan suplai bimbingan dari Tuhan, dan sebagai penerjemah Islam Ideal. Garansi dan bimbingan itu dipadu dengan kualitas kenegarawanannya; seperti reputasi al-amin; kejituan menentukan strategi; sikap moderat, asosiatif, dan pluralistik; dan wawasan prospektif. 52
12 pembangunan fisik. Pada paruh terakhir masa itu muncul kekecewaan di kalangan umat Islam terhadap kepemimpinannya; di samping tidak energik karena sudah tua (70 tahun) dan lemah lembut, juga karena praktik nepotisme yang dilakukannya; bukan saja dalam segi jabatan, akan tetapi juga kekayaan negara. Kemudian, masa pemerintahan Ali, politik dipenuhi oleh pergolakan. Oleh karena itu, Ali memecat para Gubernur yang diangkat Uthman, karena dipandangnya tidak mampu menjaga stabilitas keamanan. Kebijakan tersebut memicu pemberontakan balik kepada dari para Gubernur yang didukung oleh Gubernur Damaskus, Muawiyah. Bersamaan dengan itu, muncul pemberontakan dari Talhah, Zubayr dan ‘A‘ishah. Mereka menuntut ketidakmauan Ali untuk mengadili pembunuh Uthman. Perang Jamal (unta) –karena ‘A‘ishah naik unta—tidak dapat dielakkan, dan Ali menang. Setelah itu Ali menghadapi kelompok Mu’awiyah di Shiffin. Ali termakan oleh politik “tipu muslihat” damai Mu’awiyah yang hampir kalah. Tahkim (keputusan damai) tersebut memunculkan kelompok baru –keluar dari barisan Ali (khawarij) karena tidak menyetujuinya. Sehingga pada masa Ali, muncul tiga kekuatan politik, yaitu Muawiyah, Shi’ah (pengikut) Ali, dan Khawarij. Akhirnya Ia terbunuh oleh seorang anggota khawarij, pada tahun 660. Kedudukan Ali kemudian dijabat oleh anaknya, Hasan. Oleh karena ia lemah, sedangkan Muawiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian dengan Muawiyah, untuk menyatukan umat Islam dalam kepemimpinan politik Umayyah. Lagi pula, perjanjian itu menyebabkan Muawiyah berkuasa secara absolutis dalam Islam. Maka jadilah tahun 661 sebagai “tahun persatuan” (‘am jama`ah). Dengan demikian, terjadi perubahan drastis dalam sejarah politik Islam; dari sistem khilafah rashidah yang demo-kratis ke sistem daulah yang monarchihiredetis (kerajaan turun-temurun).
3. Masa Dinasti Umayyah (Tahun 661-750 M) Pendiri Dinasti Bani Umayyah adalah Muawiyah. Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang diangkat oleh Allah 54. Aksentuasi politiknya diarahkan secara kuat pada perluasan wilayah kekuasaan. Keberhasilan ekspansinya – di Barat dan Timur—meliputi wilayah yang luas; Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arabia, Iraq, sebagian Asia Kecil, Persia, Afghanistan, daerah yang
54
Yatim, Sejarah ..., 42.
13 sekarang disebut Pakistan, Purkemia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah. 55 Luasnya wilayah yang dicapai, setelah berakhirnya kekuasaan, ditinggalkan sebagai aset bagi Dinasti Abbasiyyah yang konsentrasinya bukan pada pemerluasan wilayah kekuasaan. Realitas politiknya dapat telaah melalui lima hal56. Pertama, kekuasaan diperoleh di luar cara demokratis, karena menggunakan alat kekuatan atau perlawanan. Ini berarti bahwa kekuasaan itu tidak merupakan cerminan keinginan rakyat, sehingga berkemungkinan dapat berpengaruh terhadap tingkat non-partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemerintahan. Kedua, mengutamakan kekuatan militer sebagai instrumen kunci untuk ekspansi kekuasaan, juga mengandalkan kekerasan, diplomasi dan tipu daya. Untuk itu, pemerintahan diperlengkapi juga dengan Angkatan Laut dan teknologi kemiliteran seperti senjata peledak. Ketiga, program “arabisasi kebudayaan” di daerah-daerah yang dikuasainya. Program ini meliputi: (1) penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa administrasi untuk mengganti bahasa Yunani dan bahasa Palawi, yang didukung dengan sosialisasi dan edukasi; (2) Aktualisasi sastra Arab, hingga melahirkan penyair-penyair baru; (3) perhatian terhadap ilmu-ilmu keislaman dalam standar bahasa Arab; seperti tafsir, hadith, fikih, dan teologi, meskipun baru tahap awal, (4) mengganti mata uang Bizantium/ Yunani (Drachme) dan Persia (Dirhan), dengan mata uang bertuliskan Arab, seperti Dinar (terbuat dari emas) dan Dirham (terbuat dari perak). Program tersebut lalu dikembangkan pada aspek arsitektur pada bangunan masjid-masjid dan istana-istana. Keempat, sebagai akibat dampingan program “arabisasi” tersebut, adalah tampilnya format politik yang eksklusif. Format ini menganakemaskan etnik Arab, sambil menginferiorkan kelompok non-Arab yang lazim disebut kaum Mawali. Ini pada kenyataanya dapat memicu semakin suburnya kelompok-kelompok oposan dari kalangan internal sendiri. Kecuali pada masa Khalifah Umar bin ‘Abd al-‘Aziz (717-720), hubungan baik pemerintah dengan oposan terjalin. Ini disebabkan oleh sikap moderat dan toleran, serta wawasan konstruktif sang Khalifah. Ketika dinobatkan sebagai khalifah, dia menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah
55
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Bagian I (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985), 61-62; Yatim, Sejarah Peradaban..., 44; dan Sidi Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 280. 56 Nasution, Islam Ditinjau..., 63-64; Gazalba, Masyarakat Islam..., 280-281; Yatim, Sejarah..., 42-9.
14 Islam lebih baik daripada menambah perluasannya.57 Akses pernyataan itu di antaranya adalah, garansi kekebasan beragama, pajak diperingan, dan kedudukan Mawali disejajarkan dengan muslim Arab.58 Maka jadilah masa kepemimpinannya yang singkat itu benar-benar produktif. Namun para khalifah masa sesudahnya, terbius oleh kemewahan. Kelima, orientasi politik lebih terarah kepada kemewahan dan elit birokratis sebagai ukuran, daripada kepentingan masyarakat. Meskipun memang ada perhatian terhadap pemberdayaan intelektual, namun porsinya tidak seberapa kuat dan itupun terkooptasi oleh program “arabisasi”.
4. Masa Dinasti Abbasiyyah (Tahun 750-1258) Dinasti Abbasiyyah didirikan oleh Abu al-Abbas, dan mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah pertamanya. Dekla-rasi itu diselenggarakan di masjid Kufah pada tahun 750.59 Dia menggelari dirinya dengan al-Saffah (Sang Penjagal), berkuasa tahun 750-754. Demikian ini dapat dipahami dari latar belakang berdirinya Dinasti tersebut sebagai hasil coup d’etat dengan dukungan kaum Mawali (non-etnik Arab), yang dilakukan keturunan al-Abbas, paman Nabi. Kemudian siapapun musuh-musuhnya dibersihkan dengan pedang. Perlakuan ini merupakan refleksi dari pendaman dendam sejak berkuasanya Dinasti Umayyah, karena keturunan al-Abbas merasa lebih berhak atas tampuk kepemimpinan kekhalifahan. Legitimasi Daulah dipertegas oleh al-Mansur (754-775) yang menyatakan bahwa “Innama ana Sultan Allah fi Ardih” (Sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumiNya)60. Ada ciri-ciri pembeda Dinasti Abbasiyyah daripada Dinasti Umayyah. Kalau masa Dinasti Umaiyyah merupakan “kurun perluasan wilayah kekuasaan Islam”, adalah periode Dinasti Abbasiyyah menjadi “kurun pembentukan dan perkembangan kebudayaan/ peradaban Islam”. Islam mengintegrasikan kebudayaan suatu daerah yang amat luas, mulai dari Spanyol di Barat, Sudan di Selatan, India di Timur, sampai Kaukasus di Utara.61 Selain perbedaan pokok itu, ada tiga karakteristik menonjol Dinasti Abbasiyyah yang tidak terdapat pada zaman Dinasti Umayyah, yakni: (1) pindahnya ibu kota dari Damaskus (Syiria) ke Bagdad (Irak), pemerintah Abbasiyyah menjadi jauh dari pengaruh Arab, sebaliknya Bani Umayyah berorientasi kepada Arab, 57
Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa (Bandung: CV Rusyda, 1987), 104. Yatim, Sejarah Peradaban..., 47. 59 Syed Mahmudunnasir, Islam: It's Concept and History (India: Kitab Bhavan, tt.), 187. 60 Yatim, Sejarah Peradaban..., 52. 61 Gazalba, Masyarakat Islam: ..., 283. 58
15 (2) dalam sistem pemerintahan, terdapat tradisi baru “mengangkat wazir” (setingkat perdana menteri), yang tidak ada pada zaman Daulah Umayyah, dan (3) prajurit profesional baru (semacam kopassus) terbentuk, yang pada masa sebelumnya belum ada. 62 Pola baru ini bergerak agresif segera, dengan membentuk sekretaris dan kepolisian negara. Kiprah jawatan pos pun tidak luput dari reformasinya, yang semula pada masa Dinasti Umayyah hanya mengantar surat, perannya ditingkatkan pada penghimpunan seluruh informasi di daerah-daerah, termasuk kiprah para gubernurnya, untuk memperlancar administrasi kenegaraan. Perkembangan politis Dinasti Abbasiyyah yang mengantarkan pada kemajuan peradabannya, didukung oleh di antaranya dua hal, yakni pertama, terjadinya asimilasi dengan bangsa-bangsa yang lebih dulu mengalami perkembangan kebudayaan. Bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra.63 Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, matematika dan astronomi.64 Sedangkan Yunani memberikan pengaruh melalui terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat. Maka peradaban Islam merupakan hasil akulturasi dari prinsip-prinsip kebudayaan Islam (yang telah berasimilasi dengan kebudayaan Arab) dengan kebudayaan-kebudayaan lain tersebut. Kedua, aktifitas terjemahan.65 Gerakan ini memberi kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam ilmu-ilmu keislaman, pengaruhnya terbaca dalam bidang tafsir, fikih, dan teologi. Munculnya tafsir bi al-ra’y (tafsir), rasionalisme Imam Ahmad bin Hanbal (fikih) dan kaum Mu’tazilah (teologi) 66, logika Yunani karya teologi Abu al-Hasan alAsh’ari, merupakan sebagian indikasinya. Popularitas Daulah Abbasiyyah mencapai puncaknya pada zaman Khalifah Harun al-Rashid (786-809) dan putranya Khalifah al-Ma’mun (813-833). 67 Khalifah Harun al-Rashid mencurahkan perhatian kepada pemenuhan fasilitas masyarakat/ umum dan pengetahuan, Sedangkan al-Ma’mun perhatian besarnya tertuju pada
62
Yatim, Sejarah Peradaban..., 54. Ahmad Amin, Duha al-Islam, Jilid 1 (Kairo: Lajnah al-Ta'lif wa al-Nashr, t.t.), 207. 64 Ibid., 177-178. 65 Upaya penerjemahan berlangsung tiga fase; pertama (masa al-Mansur sampai Harun al-Rashid) mayoritas menerjemahkan bidang astronomi dan mantiq, kedua (masa Al-Ma'mun-899 M.) menerjemahkan bidang filsafat dan kedokteran, dan ketiga (setelah 899 M., adanga pembuatan kertas) menerjemahkan bidang-bidang yang semakin luas. Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban.., 55-56. 66 Gelombang Hellenisme pertama bersentuhan dengan pemikiran Islam lebih banyak terlihat dalam pemikiran teologi. Tentang hal ini, lihat Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam (Jakarta: P3M, 1987), 54-113; Bandingkan dengan G.E.von Grunebaum, Classical Islam:..., 96. 67 Harun Nasution. Islam Ditinjau ..., 52; Masudul Hasan. History of Islam: Classical Period 5711258 C.E. (Delhi, India: Adam Publishing, 1995), 212, 219, menggelari Harun al-Rashid dengan the Hero of the Araban Night, dan mengindentitasi masa al-Ma'mun dengan the Augustan Age of Islam. 63
16 kemajuan ilmu pengetahuan. Pada masa al-Rashid, untuk fasilitas umum, dibangunlah rumah sakit dan farmasi, pemandian-pemandian umum. Dalam hal tatakota (planologi), istana diperindah, dan gedung-gedung dibangun. Sedangkan pada masa alMa’mun, ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang sangat pesat, seperti: tafsir, fikih, hadith, nahwu, teologi, astronomi, optika, matematika, astronomi, aljabar kimia, fisika, filsafat, kedokteran, geografi dan sejarah. Daulah Abbasiyyah merupakan pemerintah pusat kekuasaan Islam. Sebab, ada banyak al-halla (dinasti kecil) yang memiliki daerah otonom. Alasan lahirnya alhallaalhalla lalu memisahkan diri dari pemerintahan pusat, adalah: (1) merasa sebagai keturunan Nabi, yang berhak mewarisi tampuk khilafah, (2) prestise diri, misalnya mantan pejabat tinggi, (3) ambisi, dan (4) mengaku sebagai khalifah. Tetapi mereka masih mengakui dan menghormati pemerintahan pusat, karena alasan normatifreligius68. Di antara beberapa alhalla itu, dalam skala besar, adalah di Spanyol, yakni Abd al-Rahman dari Dinasti Umayyah membentuk khalifah tersendiri mulai tahun 7561031, dengan Cordoba sebagai pusat kekuasaan.69 Oleh karenanya, ada dua pusat kebudayaan Islam, yakni Cordoba di Barat, sebagai tandingan Bagdad di Timur. 70 Kecemerlangan peradaban Dinasti Abbasiyyah dapat diklasifikasikan ke dalam enam bidang, yaitu: (1) sistem pemerintahan, (2) pembangunan kota dan sarana sosial, (3) seni dan arsitektur, (4) pendidikan, (5) ilmu pengetahuan, dan (6) ekonomi.71 Data ringkas di atas, dapat dipahami proporsi politis-nya dalam lima hal. Pertama,
kekuasaan diperoleh
dengan
cara non-demokratis dan
berbebtuk
monarchihiredetis, sebagaimana Daulah Umayyah. Kedua, karena politik tidak diarahkan untuk ekspansi kekuasaan72, maka kekuatan militer lebih ditekankan pada upaya defensifitas, dan di sisi lain ditingkatkan
68
Ada hadis Nabi yang menyatakan bahwa para pemimpin (umat Islam) itu dari golongan Quraysh. E.von Gruneboum. Classical Islam:....., 281.. 70 Nasution, Islam Ditinjau ..., 78; Jurji Zaidan, History of Islamic Civilization (New Delhi: Kitab Bhavan, 1978), 240-163. Dinasti-dinasti yang memisahkan diri dari pemerintah pusat dipaparkan secara rinci menurut lima klasifikasi; empat kelompok menurut bangsa (Persia, Turki, Kurdi, dan Arab) dan satu lainnya mengaku sebagai khalifah. 71 Yatim. Sejarah Peradaban....., 51-59; Nasution, Islam Ditinjau..., 67-75; Gazalba, Masyarakat Islam:..., 282-288; Oemar Amin Hoesin, Kultur Islam: Sejarah Perkembangan Kebudayaan dan Pengaruhnya dalam Dunia Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1981); Sebagai perbandingan, lihat Ahmad Shalabiy, al-Tarikh al-Islamiy wa al-Hadarah al-Islamiyyah: 3 (al-Khilafah al-Abbasiyyah) (Mesir: alNahdah al-Misriyyah, 1978), 233-254. 72 Dalam hal ini, harus diakui jasa Daulah Umayyah yang telah mewariskan wilayah kekuasaan Islam yang luas, kepada Daulah Abbasiyyah. 69
17 kualitasnya dari demonstrasi fisik ke penguasaan strategi kemiliteran bagi komando pasukan khusus. Ketiga, program transformasi informasi dan akulturasi budaya. Ini memberikan kontribusi terhadap wawasan dalam dan luar negeri, di samping kemungkinan terbinanya hubungan politik internasional. Untuk wawasan dalam negeri, program tersebut meningkatkan vitalitas sumber daya manusia yang dipersiapkan sebagai generasi-generasi yang handal untuk memimpin peme-rintahan dan membangun bangsa. Sedangkan untuk wawasan luar negeri, diperolehnya cakrawala global, untuk mengevaluasi potensi internal dan sekaligus sebagai antisipasi kemungkinankemungkinan yang akan terjadi dalam iklim persaingan, hegemoni ataupun penyerangan. Keempat, program transformasi tersebut berakibat pada format politik yang inklusif. Ini memungkinkan partisipasi warga negara kondusif, sesuai dengan peranperan yang dapat dilakukannya. Demikian ini juga terjadi pada proyek penerjemahan karya-karya Yunani dan Persia. Di dalamnya, khalifah bersemangat untuk melibatkan warga yang non-muslim, bahkan penyembah berhala, karena mereka dipandang punya kemampuan yang solid untuk melakukan peran tersebut. Kemudian nyatanya, penerjemahan Abbasiyyah itu telah mengantarkan Islam pada “The Golden Age of Islam”, yang di dalamnya ada peran non-muslim, baik karya yang diterjemahkan atau penerjemanya. Kelima, orientasi politik lebih terkonsentrasi pada kesejahteraan masyarakat, baik dalam bentuk penyediaan fasilitas umum atau kejasaan maupun pemberdayaan intelektual-spiritual. Sehingga, harmoni fisik dan non-fisik dalam kehidupan masyarakat Daulah Abbasiyyah dilukiskan dalam “alf lailah wa lailah” (kisah seribu satu malam), sebuah karya sastra yang monumental dari Al-Jashiri. Format politik yang inklusif dan orientasi politik yang mementingkan kesejahteraan
masyarakat
dalam
pemerintahan
Dinasti
Abbasiyyah,
terbukti
keterjaminan stabilitas keamanan atau ekuilibrium sosial dalam negeri. Meskipun ada kemestian kelompok-kelompok oposan seperti adanya al-halla-al-halla dan hegemoni pengaruh kelompok-kelompok tertentu73, akan tetapi hubungan pemerintah pusat dengan mereka stabil. Sehingga kekuasaan pemerintah bertahan lama hingga mencapai 73
Pemerintahan Bani Abbasiyah terklasifikasi menjadi lima periode yang merupakan hegemoni pengaruh kelompok-kelompok tyertentu; (1) pengaruh Persia pertama (750-847 M.), (2) pengaruh Turki pertama, (3) pengaruh Persia kedua –kekuasaan dinasti Buwaih, (4) pengaruh Turki kedua –kekuasaan dinasti Bani Seljuk, dan (5) bebas dari pengaruh dinasti lain –efektif di sekitar kota Baghdad. Lihat Yatim, Sejarah.., 49-50.
18 lebih dari lima abad (750-1258). Oleh karenanya, runtuhnya Dinasti Abbasiyyah bukan karena kudeta kelompok oposan dalam negeri, akan tetapi karena penetrasi kekuatan luar negeri, yaitu serangan pasukan Hulaghu Khan pada tahun 125874.
C. Politik Islam Abad Pertengahan (Abad 13-18): Kemunduran Politik dan Kecenderungan Sosio-Moral Kesatuan politik masa dua dinasti sebelumnya (periode kekhalifahan), telah memberi cara untuk operasi para Sultan –sebutan penguasa Islam pada abad pertengahan—yang memerintah wilayah mulai dari Afrika Utara hingga Asia Tenggara. Islam secara progresif memasuki Timur, Barat, dan Sentral Afrika, Sentral dan Asia Tenggara, dan Eropa Timur. Keberlangsungan ekspansi Islam didukung oleh pemerintah muslim dan konversi berskala besar, yang diinspirasi oleh pesan Islam sebagaimana dipresentasikan oleh para da’i, khususnya para Sufi. Meskipun tampak fragmentasi politik periode kekhalifahan, atau hilangnya otoritas sentral universal sejak periode kesultanan, kesatuan iman dan kultur berlanjut eksis. Warga muslim di wilayah (negara) yang berbeda juga mempertahankan kesadaran identitas dan afiliasi yang lebih luas dengan komunitas yang lebih universal. Sejak abad keenambelas, tiga kerajaan terbesar Islam telah muncul di tengahtengah beberapa kesultanan: (1) Sunni Ottoman di Asia Barat dan Eropa Timur, (2) Shi’i Shavawi di Persia, (3) Sunni Mughal di India. Ketiganya disebut “gunpowder empires” (kerajaan obat peledak), yang disuportasi oleh campuran ideologi keagamaan dan kekuatan militer. Para Sultan besar yang berperan di dalamnya adalah, Sultan Sulaiman dari Ottoman, Sultan Shah Abbas dari Shavawi, dan Sultan Akbar dari Mughal. Karakter negara Islam direfleksikan oleh para penakluk dari Ottoman, yang – setelah menaklukkan kapital dunia Romawi Timur, dan Konstantinopel yang diganti Istambul—memahkotai bukit-bukit dengan masjid-masjid yang monumental. 75 Melalui ekspansi dinamis mereka, Istanbul, Isfahan, dan Delhi, menjadi pelanjut Baghdad pada masa tersebut. Meskipun ada perbedaan signifikan isme di antara ketiga kerajaan tersebut (Sunni dan Shi’i), masing-masingnya mempertahankan muatan inti negara dan masyarakat Islam. Sultan, sebagai protektor Islam melalui kekuasaannya, bertumpu
74
Sepuluh tahun sebelumnya, yaitu tahun 1248, Cordoba (pusat Dinasti Umayyah di Spanyol) dihancurkan oleh Kerajaan Nasrani Seville. Lihat Gazalba, Masyarakat Islam:..., 286-287. 75 Esposito, Islam and ..., 24.
19 pada shari’ah –sebagai hukum resmi negara—yang memainkan peranan mayor bagi hukum publik. Padanya Ulama sering berperan sebagai presensi signifikan di antara angkatan bersenjata dan pejabat negara, yang melakukan servis sebagai advisor –semacam DPA yang dominan dan bahkan administrator—bagi pemerintah. Demikian ini berbeda dari masa klasik, yang mana Ulama merupakan benteng hukum dan tradisi, yang karenanya mendominasi yudisial, pendidikan dan sistem servis sosial. Kemudian, pada abad kedelapanbelas –setelah puncak kejayaan masa tiga Sultan tersebut di atas—ketiga kerajaan besar mengalami kemunduran, disebabkan oleh disintegrasi, berkurangnya kuantitas dan militansi pasukan, disalokasi sosial, dan kekacauan ekonomi, yang dipengaruhi oleh kompetisi Eropa dalam perdagangan dan perindustrian. Kemuduran politik dan ekonomi disebabkan oleh tumbuhnya perhatian terhadap spiritual dan kemunduran moral dalam masyarakat Islam –termasuk yang sangat menentukan, dekadensi moral para Sultan.76 Pada masa ini masyarakat Islam dikuasai oleh prilaku taqlid (statis, tidak dinamis) sebagai akibat dari pola tasawuf yang tradisional. Yang dicapai oleh abad pertengahan adalah kemajuan rasa, yang membedakannya dari kemajuan rasio pada abad klasik. Sehingga ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan pada masa klasik menjadi mandul pada abad pertengahan. Inilah yang menyebabkan Islam kalah secara strategis dalam bidang politik dan ekonomi, dalam kompetisinya dengan Barat (Eropa).
D. Politik Islam Abad Modern (Abad 19-...). 1. Respon Revivalis pada Pra-Modern Gerakan revival religio-politik Islam pra-modern pada abad kedelapanbelas dan kesembilanbelas memberikan kontribusi terhadap pola politik Islam dan menyediakan warisan bagi abad keduapuluhnya. Gerakan tersebut, tidak sebagaimana gerakan modern, lebih dimotivasi secara primer dalam merespons terhadap persoalan internal; kemunduran sosio-moral, daripada eksternal seperti tindakan kolonial. Purifikasi merupakan tema umum pada gerakan tersebut, yaitu reformasi tasawuf dan kembali fundamental kepada Islam sebagaimana periode normatif awal Muhammad dan Khulafa ‘ Rashidun. 76
Esposito, Islam and..., 31. Yatim, Sejarah..., 155-171, menjelaskan bahwa kemunduran Islam abad pertengahan bersamaan dengan kemajuan Eropa yang diproduk dari serapannya terhadan khazanah Islam sejak abad keduabelas melalui Perang Sali, Sicilia, dan terutama Spanyol Islam. Hal itu menyebabkan Eropa mencapai renaissance yang melahirkan perubahan-perubahan besar dalam sejarah dunia, yang ditandai dengan pentingnya abad keenambelas dan ketujuhbelas.
20 Apalagi, dalam Islam memang ada pesan normatif yang menyatakan bahwa Tuhan
akan
membangkitkan
mujtahid
pada
setiap
seratus tahun.77
Meski
bagaimanapun pesan tersebut –terlepas dari muatan prediksi kenabian—mensuplai agar umat Islam mengadakan pembaruan kehidupan secara makro, sampai batas maksimal setiap seratus tahun. Di antara yang paling gigih memperjuangkan gagasan pra-modern, Muhammad bin ‘Abd Al-Wahhab (Saudi Arabia), Shah Wali Allah (India), dan gerakan Jihad Afrika. 78 Mereka mewariskan kepada generasi sesudahnya pola gerakan Islam modern: pandangan dunia mereka, ideologi, bahasa, dan metodenya. Pertama,
Muhammad
bin
‘Abd
al-Wahhab
(1703-1792)
untuk
memperjuangkan gagasannya, menjalin kekuatan dengan kepala suku lokal Dariyia, Muhammad bin Sawd (wafat 1765), dan dari aliansi ini lalu lahir gerakan Wahhabi. Sehingga militer dan semangat keagamaan merjer dalam sebuah gerakan religio-politik yang disebut holy war (perang suci). Gagasannya purifikasi ajaran Islam dari rekayasa (bid’ah) dan takhayul yang diperkenalkan oleh kelompok Sufi. Untuk itu umat Islam harus kembali kepada sumber orisinal, yakni al-Qur’an dan Sunnah. 79 Dia memerangi semua bentuk pengkultusan kepada Nabi maupun para Wali (sufi’s saint). Tak terkecuali, makam Husain di Karbala dihancurkannya. Makam itu dikeramatkan oleh kaum Shi’i. Karenanya, peristiwa tersebut tak pernah terlupakan oleh mereka, dan mengkontribusi terhadap perilaku negatifnye terhadap Wahhabi Saudi Arabia. Kedua, Shah Wali Allah (1702-1762) –tidak seradikal Wahhabi—merespon korupsi moral yang disebut singkritisme sufisme. Dia lebih mengutamakan reformasi terhadap sufisme daripada membinasakannya. Dia membela penggunaan interpretasi untuk mereformasi abad pertengahan Islam. Dia yakin bahwa rektifikasi kredo dan praktik Islam akan mewujudkan revitalisasi masyarakat Islam dan restorasi kekuatan Mughal. Secara politis, Shah Wali Allah, bergerak pada penanaman ideologi terhadap generasi sesudahnya. Implikasi sosio-politik dari ajarannya dibangun dan diterapkan oleh kepeminpinan putranya, Shah ‘Abd al-Aziz (1746-1824), dan kemudian Sayyid Ahmad Barelewi (1786-1831). Di tangan Sayyid Ahmad, ajaran itu berkembang
77
Muhammad Muhy Al-Din Abd' al-Hamid, Sunan Abi Dawud, Jilid IV (Kairo Mesir: al-Tijariyyah al-Kubra, 1953), 109. 78 Fazlurrahman. Islam, Second Edition. Chicago: Chicago University Press, 1988.), 193-211; Esposito, Islam and..., 30-39; Pipes, In The Path..., 89-93. 79 Ali E. Hilal Dessouki, "Islamic Modernism", dalam The Encyclopedia of Religion, Vol. 10 (New York: Macmillan Publishing Company, 1993, 15.
21 menjadi holy war yang memadukan dakwah kekuatan militer dalam gerakan jihad melawan pemerintah Skhiks di Balakot, yang golnya adalah pendirian sebuah negara Islam murni (sekarang Pakistan) yang membangun keadilan dan persamaan sosial. Ketiga, di Afrika, sebagaimana pada sebagian besar dunia Islam, para pemimpin sufisme menjadi para muballigh Islam terbesar. Para reformis Sufi meredefinisi sufisme, yang menekankan pada spiritualitas yang berorientasi kuat ke pandangan keduniaan. Dimensi sosio-politik Islam diperkenalkannya dengan ajaran, bahwa shalat dan aksi politik bersatu untuk mewujudkan kehendak Tuhan di Bumi. Pada giliran selanjutnya, deretan gerakan jidad Afrika mengantarkan pada pendirian negara-negara Islam; termasuk yang dipimpin oleh Uthman dan-Fodio (1754-1817) di Nigeria Utara, Sanusi di Libya (1787-1859), dan Mahdi di Sudan (1848-1885). Karakteristik khas gerakan revivalis Afrika adalah: reformis, militan, para pemimpin sufi yang beroientasi politis.
2. Nasionalisme Islam Nasionalisme Islam muncul pada abad kesembilanbelas, sebagai abad pertumbuhan identitas Islam di berbagai wilayah.80 Strategi umum yang digunakan para nasionalis Islam –yang paling menonjol di Mesir, India dan Indonesia—adalah isu dan kekuatan nasional dijadikan sebagai simbol dan retorika, untuk mengangkat spektrum masyarakat yang lebih luas. 81 Ada dua tren politik mayor yang peran pentingnya dimainkan oleh nasionalisme Islam era modern, yaitu (1) gerakan independensi anti-kolonial dan (2) emergensi nasionalisme modern. Tren pertama, di Afrika utara dan Idia, Islam menyediakan sebuah identitas dan semboyan, ideologi dan simbol, kepemimpinan dan pusat galangan komunikasi di masjid. Tren kedua, perkembangan nasionalisme Islam modern disandarkan pada modernis Islam seperti para pemimpin nasionalis sekular. Islam menyatu dalam perkembangan ideologi nasionalis: Nasionaliosme Mesir, Arab dan Iran sebagaimana nasionalisme Tunisia, Algeria, Maroko, dan Pakistan. Tentu saja, hal itu niscaya memerlukan proses redefinisi dan legitimasi ideologi. 82 Pertama, nasionalisme Islam di Arab Timur. Nasionalisme ini berawal dari reformasi salaf Islam, yang terjadi pada akhir perang dunia pertama, dimana selama
80
Nehemia Levtzion and John Obert Voll, Eighteenth-Century Renewal and Reform in Islam (New York: Syracuse University Press, 1987), 18. 81 Esposito, The Oxford ..., 121. 82 Esposito, Islam and..., 58-93.
22 perang tersebut kerajaan Ottoman jatuh di tangan negara-negara Eropa. Ada tiga orientasi ideologi pada periode tersebut. Pertama, reformasi salafiyyah Rashid Rida 83. Ia, lewat penerbitan majalah al-Manar, merefleksikan jangkauan perhatian yang luas dari untuk reformasi Islam: doktrin dan spiritualitas, Qur’an dan Tafsir, dan politik dan modernisasi hukum. Kedua, nasionalisme Mesir. Ini merupakan refleksi dari sejarah, identitas dan rasasebangsa yang terpisah. Sebab sejak masa khalifah bangsa Mesir dapat dikata tidak memiliki otoritas dirinya sendiri, dipimpin oleh orang lain. Meskipun, Mesir menjadi pemimpin bagi nasionalisme Arab. Pemikiran beberapa pemimpin nasionalisme Mesir, yang merupakan para pengikut awal Afghani84 dan Abduh85, modernisme Islam memberi jalan ke nasionalisme yang lebih sekular. Relasi Islam terhadap negara dan masyarakat direinterpretasi dengan membatasi agama untuk person dan bukan untuk kehidupan publik. Representasi pemahaman dan pendekatan ini diperani oleh Ahmad Lutfi Al-Sayyid (1872-1963), Taha Husayn (1889-1973), dan Ali ‘Abd Al-Raziq (1888-1966). Lutfi menekankan pada identitas nasional dan pemisahan agama dari politik, seperti akomodasi selektif ide-ide politik dan sosial Eropa. Husayn merefleksikan orientasi Eropa dan Nasionalisme Mesir. Sedangkan Al-Raziq mengambil tendensi Barat, liberal dan sekular terhadap kongklusi logis Lutfi dan Husayn. Ketiga, nasionalis Arab menekankan pada Bangsa Arab, identitas dan solidaritas nasional yang berakar dalam bahasa umum, sejarah, kultur dan geografi masyarakat Arab. Bagi nasionalisme Arab agar menjadi ideologi populer, nasionalis harus harus menempatkan persoalan peran Islam di dalamnya. Sebab, sejarah, identitas, kebanggan dan bahasa Arab telah berkelindan erat dengan Islam; seperti bahasa al-Qur’an, Nabi Muhammad, kemenangan-kemenangan awal Islam, dan para pahlawan semua bentuk dari Arab. Di antara tokoh yang mencanangkan persoalan Islam dan nasionalisme Arab adalah, Shakib Arslan (1869-1946)—teman dekat dan asosiasi Rashid Rida, Sati alHusri (1880-1964), dan ‘Abd al-Rahman al-Bazzaz (1913-1972). Bagi Arslan, Islam 83
Rashid Rida adalah mitra Abduh dalam penerbitan jurnal al-Manar (1865-1935) yang datang ke Mesir dari Syria pada tahun 1897. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Vol. 3 (New York, Oxford: Oxford University Press, 1995), 120. 84 Jamal al-Din al-Afghani adalah orang pertama yang mengobarkan akses modernisme Islam dalam format politik. Sasarannya adalah melawan dominasi Eropa. Semangatnya dapat dipahami, sebab ia hidup pada masa Angkatan Laut Eropa menguasai daerah muslim; mulai Tunisia sampai Central Asia. Ibid., 119. 85 Ketika gagasan politik "agitasi" milik Afghani dibedah dengan "pisau konseptual" yang lebih tinggi oleh Abduh, maka itu menjadi politik "intelektual". Kandungan hipotesis Abduh adalah, bahwa kemakmuran dan power Eropa merupakan produk keberhasilannya dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan. Ia mempromosikan, bahwa, untuk melawan dominasi Eropa, umat Islam harus giat dalam pendidikan modern dan mengaplikasikannya dalam masyarakat. Ibid., 120.
23 menyediakan Nasionalisme Arab, nasionalisme muslim, dan reformasi Islam. Bagi Husri, nasionalisme berakar dari bahasa. Bahasa menyediakan campuran nasional primer yang disuportasi dan diperkuat oleh sejarah dan agama. Karenanya, ia berargumentasi menentang separatisme nasionalis Mesir seperti Taha Husayn yang memandang Eropa legih mulia dibanding dunia Arab. Ketika Husri hendak menciptakan nasionalisme Arab sekular, al-Bazzaz berargumentasi bahwa antara kesatuan Arab dan Islam adalah harmoni sempurna, karena Islam adalah agama nasional Arab. Kedua, gerakan nasionalisme Afrika Utara. Perancis menguasai Maghreb (Arab Barat) pada akhir abad kesembilanbelas dan akhir abad keduapuluh –Tunisia tahun 1881, Algeria tahun 1847, dan Maroko tahun 1912. Meskipun ada perbedaan pada masing-masing negara, Reformasi Islam di Afrika utara memiliki empat ciri umum. Pertama, oposisi terhadap program asimilasi kultur Perancis, sebagai pernyataan identitas nasional yang berakar pada warisan Islam pribumi. Kedua, di samping ancaman luar dari imperialisme Perancis, survival muslim juga diancam oleh keruntuhan internal komunitas Islam yang sebagian besar beratribut sufisme. Ketiga, restorasi kesatuan dan vitalitas Islam yang memerlukan bukan saja pengkajian, akan tetapi juga pendalaman studi Islam yang digandengkan dengan ilmu-ilmu modern. Keempat, reformasi kehidupan dan praktik personal. Ketiga, Islam Shi’i dan Protes Politik. Gerakan nasionalis Iran berkembang sejak akhir abad kesembilanbelas dan awal abad keduapuluh (1870-1914). Nasionalisme ini dipicu oleh (1) respon terhadap ancaman yang tumbuh terhadap independensi Iran dan Islam oleh penetrasi kekuatan kolonial Barat dan (2) usaha untuk mengintroduksi batas-batas konstitusional formal terhadap pemerintahan Shah Qajar (1794-1925) yang despotik dan otokratik. Di bawah pemerintahan Qajar, hubungan ulama dan pemerintahan berubah untuk mengambil alih kembali peran oposisionalnya sebagai protektor dan pemertahan masyarakat, daripada sebagai advisor dan administrator pemerintah. Kemudian, pemerintahan Shah Qajar mengalami kelemahan disebabkan faktor internal. Sementara ulama menggalang kekuatan melalui kerjasama dengan para intelektual untuk membentuk gerakan oposisional dan aksi politik. Kerjasamanya diperluas, disamping dengan para intelektual juga dengan pedagang, kepala suku, dan tuan tanah, membentuk reformasi liberal untuk mengontrol tindakan monarki yang melampaui batas dalam pemerintahan Shah Nasir al-Din. Buah dari gerakan itu
24 adalah: (1) protest tembakau tahun 1891- 189286 dan (2) Revolusi Konstitusional pada tahun 1905-191187. Kemudian ancaman terhadap identitas Iran muncul kembali sejak pemerintahan Palevi. Namun kemudian Palevi dapat ditumbangkan oleh revolusi Iran tahun 1979.88 Keempat, nasionalisme India bermula sejak abad kesembilanbelas. Pilihan yang ditawarkan oleh Shah ‘Abd Aziz adalah jihad atau emigrasi dari daerah nonIslam bentukan pemerintah Inggris. Respon masyarakat Islam memunculkan peberontakan anti-Inggris tahun 1857. Nasionalisme itu dipertegas oleh pendirian “Kongres Nasional India pada tahun 1885 dan pencanangan “Liga Muslim” tahun 1906. Meskipun beberapa pemimpin Islam telah memberi perhatian kepada hak-hak umat Islam di dalam sebuah gerakan mayoritas Hindu sejak awal dekade abad keduapuluh, elit muslim bekerjasama dengan kongres juag secara formal atau informal dalam berjuang untuk meraih independensi nasional. Kemudian, Muhammad Ali dan ‘Abd Kalam Azad menggalangkan “gerakan khalifah” –Istilah sebagai simbol kekuatan dan kesatuan muslim, yang diadopsi dari kerajaan Ottoman—untuk mobilisasi massa dan revitalisasi politik muslim India. Sasarannya kuatnya adalah imperialisme Eropa, untuk independensi tersebut. Di samping itu mereka mmebuat politik aliansi dengan “Kongres” yang dipimpin oleh Mahatma Gandhi. Gerakan tersebut tidak berlangsung lama bersamaan dengan runtuhnya Kerajaan Ottoman. Di sisi lain Liga Muslim bekembang di tangan Muhammad Iqbal dan Muhamamd Ali Jinnah. Liga muslim memperhatikan kepada masa depan minoritas muslim di negara sekular yang didominasi Hindu. Sehingga, hasilnya, pada tahun 1947 Pakistan didirikan sebagai negara Islam. Kelima, nasionalisme di Indonesia. Bentuknya adalah perlawanan terhadap kekuasaan
86
Eropa
dan
aktivitas
misionaris.
Gerakan
terpentingnya
adalah
Gerakan protes tembakau ini didukung oleh Afghani (advisor Shah), dipimpin oleh Ayatollah Hasan al-Shirazi, ditujukan terhadap kesewenangan Shah yang diberi hak-hak eksklusif oleh Britain untuk mengembangkan perbankang, jalan raya, irigasi dan pertambangan. Bentuk Protes adalah, melakukan boikot seluruh negeri, dilarang merokok, toko-toko ditutup, demonstrasi dan oposisi politik digelar. 87 Pada tahun 1907 ditandatangani persetujuan, bahwa Rusia menguasai Iran Utara dan Inggris mengasai daerah Iran Selatan. Melalui suportasi Rusia, kantor kedutaan nasional pada akhirnya dapat ditutup pada bulan Desember 1911. 88 Esposito, Islam..., 83-85. Lihat juga Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 3, (New York, Oxford: Oxford University Press, 1995), 121; juga Mary Pat Fisher, Living Religions; An Encyclopaedia of The World Faiths (London-New York: I.B. Tauris Publisher, 1997), 371.
25 Muhammadiyah, lahir tahun 1912, pimpinan KH Ahmad Dahlan (1868-1923). Kelahiran gerakan tersebut disuplai oleh strategi dari Mesir, Mekkah dan India.89
3. Negara-Negara Modern dan Politik Kontemporer Pola politik modern membangun –dalam “plakat-plakat dunia muslim—tiga orientasi umum dalam pemerintahan negara-negara muslim; sekular, Islam, dan muslim. Sedangkan even-even politik kontemporer di dunia muslim –secara dramatis sejak dekade tahun 1970-an90—memberikan perhatian terhadap politik dan potensi sosial Islam. Negara-negara yang termasuk kategori negara modern adalah; Turki dan Saudi Arabia, serta Tunisia, Algeria, Syiria, Yordan, dan Malaysia. Sedangkan beberapa negara yang termasuk kedua kategori negara modern dan kontemporer adalah; Pakistan, Iran, Mesir dan Libya. Di antara kedua kategori itu, tampil juga level kelompok politik Islam era modern, yang dapat disebut sebagai kelompok-kelompok alternatif Islam, yaitu Ikhwan al-Muslimin (Mesir) dan Jama‘at Islamiyyah (Pakistan).91 Kedua kelompok ini membangun gerakan politik yang disebutnya jihad (religious war), sebagai konter terhadap gerakan intelektual ijtihad, untuk melawan dominasi Barat. Konter itu dinyatakan dalam berpendirian mereka bahwa ijtihad tidak akan mampu mengge- rakkan massa untuk melawan Barat, kecuali dengan jihad.92 a. Negara-Negara Modern Pertama, Turki memilih model sekular secara total, memisahkan Islam dari negara dan dengan demikian membatasi agama pada skala kehidupan pribadi. Kedua,
Saudi
Arabia
memilih
orientasi
Islam,
secara
formal
memproklamasikan karakter Islam –termuat di dalamnya kedudukan istimewa hukum Islam—untuk negara. Komitmen Islam ini digunakan, tidak hanya untuk melegitimasi pemerintah domistik, akan tetapi juga memperkuat kebijakan luar negeri dengan negara-negara Islam lainnya. 89
Esposito, dalam The Oxford Encyclopedia ..., 121. Pipes, In the Path..., 331; Fisher, dan Living Religions;..., 368. Peristiwa penting menandai awal dekade ini adalah lahirnya OPEC (The Organization of Petroleum Exporting Countries) oleh untuk menciptakan keseimbangan global dalam mengontrol harga dan penggunaan minyak. Sebagian besar negara-negara OPEC adalah mayoritas muslim; Algeria, Libya, Saudi Arabia, Kuwait, Qatar, Emirat Arab, Indonesia, dan separuh muslim Nigeria. Peran OPEC secara politis adalah keberdayaan negara dan masyarakat Islam untuk menentukan kebijakan ekonomi yang posisinya strategis dalam pembangunan negara berskala persaingan global. Periksa juga sebagai penekanan politis secara umum Esposito, Islam and..., 209-230. 91 Esposito, Islam and..., 94-95, 130, 152-153. 92 Dessouki, "Islamic Modrnism" dalam The Encyclopaedia..., 8. 90
26 Ketiga, Pakistan menengarai model modernnya sebagaimana Saudi Arabia. Meskipun demikian permasalahan yang muncul di dalamnya adalah: Apa artinya dalam pernyataan bahwa Pakistan adalah negara Islam atau muslim modern?; Bagaimana karakter Islamnya direfleksikan di dalam ideologi dan institusi Negara? Dua permasalahan ini muncul, karena tidak ada pemahaman dan konsensus yang jelas mengenai isi positif ideologi Pakistan dan aplikasinya terhadap struktur, program dan kebijakannya. Sejak awal dekade Pakistan, ada dua even mayor, yaitu konstitusi 1956 93 dan anti Ahmadiyyah 94. Keempat, mayoritas negara-negara muslim muncul sebagai negara-negara muslim. Ketika meniru model-model Barat untuk pengembangan politik, legal dan sosial, mereka menggabungkan beberapa perlengkapan konstitusional Islam. Untuk hal serupa, Islam dideklarasikan sebagai agama negara, dan shari ‘ah dinyatakan sebagai sumber hukum atau tidak, ini terbukti dalam realitas. Sebagian besar menghendaki bahwa kepala negara adalah seorang muslim dan dan menyediakan kontrol negara terhadap urusan keagamaan. Negara-negara yang merefleksikan model ini adalah Tunisia, Algeria, Syiria, Yordan, dan Malaysia. Kelima, selain pada ketiga model tersebut, terbukti bahwa Islam tidak hanya sebagai faktor dalam membangun negara modern, akan tetapi juga sebagai katalisator dalam formasi gerakan-gerakan atau organisasi modern Islam. Dua kelompok yang terpenting dalam hal ini adalah Ikhwa- n al-Muslimi- n (Mesir) dan Jama- ‘at Islamiyyah (Pakistan). Keduanya menawarkan beberapa alternatif Islam terhadap apa yang mereka pandang tumbuh menjadi ke-Barat-an dan dari sini menjadi masyarakat nonislami. Keduanya telah memainkan peran-peran signifikan di negara-negara mereka sendiri maupun dalam kancah internasional. Kemudian, mereka menjadi ideologi gerakan revivalis Islam kontemporer. b. Politik Kontemporer Selain disebut di muka, perhatian utama politik kontemporer adalah: (1) melanjutkan
impotensi
masyarakat
muslim –kegagalan
dan
ketidakefektifan
pemerintah muslim dan ideologi nasionalis; (2) dendam terhadap Barat; dan (3) 93
Di antara komposisinya adalah: (1) Titel negara adalah Republik Islam Pakistan; (2) Pakistan adalah negara demokratis islami; (3) Pusat penelitian Islam untuk membantu "rekonstruksi masyarakat muslim dan basis Islam sejati". Esposito, Islam and..., 112. 94 Organisasi ini didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908). Muatan pokok sasarannya adalah menolak bahwa Muhammad adalah Nabi terakhir, dan memberi kelonggaran kepada minoritas non-muslim untuk tidak mematuhi sepenuhnya undang-undang negara. Tetapi, munculnya Konstitusi 1956 –diantar oleh gerakan anti-Ahmadiyah sejak 1953—menjadi pemecahan finalnya. Ibid., 113.
27 semangat untuk mengartikulasikan identitas yang lebih otentik. Ketiganya merupakan tema umum sosio-politik untuk memproduksi politik otentik dan sintesis sosial. Pola politik kontemporer terjadi di Libya, Pakistan, Iran, dan Mesir. Di Libya, di bawah kepemimpinan Qaddafi, ciri kontemporer muncul pada dua momen. Pertama, pada bulan Oktober 1977, Qaddafi menulis sebuah artikel tentang “No Mufti, no marabits, no Shaykh” pada koran al-Fajar al-Jadid, yang menimbulkan kofrontasi dengan ulama. Artikel itu sebagai penegasan sebuah kebijakan Qaddafi yang mengganti kedudukan Shari’ah –bermuatan dan bermuara dari al-Qur’an dan alSunnah—dengan al-Qur’an dan The Green Book. Keduanya menjadi basis bagi kehidupan masyarakat Libya. Tampak bahwa Qaddafi menghendaki lebih daripada sekadar reformasi hukum, akan tetapi merupakan formulasi interpretasi yang sesuai dengan kondisi historis. Kedua, pada bulan April 1978, beberapa pemimpin agama pada Konferensi Internasional membahas The Green Book, mengkritik doktrin sosialisnya, khusus-nya pada pernyataannya bahwa “tanah bukan milik pribadi”. Ini kontras dengan tradisi Islam. 95 Di Pakistan, ketika Zia ul-Haq memerintah sejak Juli 1977, keyakinan agamanya
dan
klaim
politik
Pakistan,
menyebabkan
dia
komit
kepada
pemerintahannya untuk implementasi dan pemberdayaan sistem pemerintahan Islam. Demikian ini untuk untuk melegitimasi pemerintahannya dan menyediakan basis identitas dan kesatuan nasional.96 Di Iran, tahun 1977 merupakan periode kontemporer Iran. Secara kronologis demikian. (1) pada tahun 1970 Khomeini menyatakan Revolusi Islam. Agitasi ini membawa pada revolusi yang melumpuhkan Shah, dan melalui revolusi tahun (2) 1977-1979, akhirnya berhasil didirikan negara Republik Islam Iran. Keberhasilan dari gerakan ini diwujudkan dengan pengutamaan program pemenuhan kesejehteraan, pendidikan dan reformasi pertanian (pembangunan sosio-ekonomi). Di Mesir, tahun 1971, Anwar Sadat memulai pernyataan tentang kebijakan dan gerakan melawan oponen sosialis dan Nasser dengan inaugurasi program raktifikasi atau “revolusi Korektif”.
95 96
Esposito, Islam..., 161. Ibid., 157.
28 E. Analisis 1. Masa Abad Klasik a. Masa Nabi Politik Islam masa Nabi merupakan periode formatif dalam skala peletakan dasar-dasar ideal Islam. Sebagai respons terhadap kondisi sosial yang dihadapinya, Nabi menetapkan program reformasi sosial untuk membentuk ummah. Program yang terbukti berhasil gemilang tersebut, di antaranya adalah; 1) Mengontrol dinamika sosial ke arah konstruktif, dalam bentuk mengasosiasi aneka suku bangsa, bahkan aneka agama. Ini dimodali oleh spirit Islam yang memfasilitasi perekat motivatif dan ideologis untuk mempersatukan seluruh bangsa. Fakta-faktanya adalah; (a) peristiwa pengembalian hajar aswad 97; (b) pengorganisasian kelompok-kelompok sosial; Muhajirun dan Ansor, bahkan “bintang tamu” Yahudi dan Nasrani98. 2) Mewujudkan kohesi sosial melalui pernikahannya dengan banyak isteri.99 Ini juga dimaksudkan sebagai strategi politik dengan pendekatan kultural. Pada sisi lain, pernikahannya terhadap istri pertamanya, Khadijah, yang dipadu dengan reputasi predikat “al-amin”nya100 menjadi strategi politik berpendekatan ekonomis. 3) Pencanangan “Piagam Madinah” sebagai konstitusi negara Islam (konstitusi tertulis sekaligus world order multireligious pertama dalam sejarah manusia) 101, merupakan jaminan konstituen bagi semua warga ummah. Pada realitasnya, ummah merupakan masyarakat plural, yang mana warganya tidak saja secara khusus (eksklusif) terdiri dari umat Islam saja, akan tetapi juga nonmuslim (Yahudi dan Nasrani). Mereka berada dalam satu atap di atas konstruksi prinsip baru yang toleran dan integratif, untuk mempertahankan sistem sosialnya. Dalam toleransi tersebut tidak saja diwujudkan dengan tumbuhnya saling beradaptasi –sebagaimana diungkapkan oleh Parsons, untuk mencapai keseimbangan sosial102, akan tetapi juga integrasi ekonomis yang dibuktikan melalui penerimaan resesionis Masinah (Ansar) terhadap pemigran Makkah (Muhajirun) yang datang dengan
97
Faruqi, The Cultural..., 128. Ibid., 129; Tibi, Islam and the Culture..., 180. 99 Faruqi, The Cultural ..., 124; Sa`ad, Purnama Madinah:..., 56-128. 100 Esposito, Islam and..., 3-4. 101 Faruqi, The Cultural Atlas..., 129, 125. 102 Veeger, Realitas Sosial..., 206. Parsons menyatakan bahwa proses adaptasi dan penguasaan lingkungan –melalui tersedianya sarana materiil, gagasan, dan fasilitas lainnya—disebut "ekonomi". 98
29 tangan kosong. Ketika itu juga dapat dilihat suburnya collective orientation103. Ini terbukti dengan dicanangkannya “Piagam Madinah” setelah direkornya kesepakatan warga. Piagam tersebut merupakan pernyataan untuk mempertahankan identitas sistem sosial104 terhadap kemungkinan penetrasi luar maupun ketegangan internal, sebagai salah satu jaminan untuk menciptakan ekuilibrium sosial. Sebagai periode formatif, shari‘ah dalam konteks historis ketika itu, sebagai nilai acuan mengalami tahap “penerjemahan” dalam berbagai bentuk dan substansinya, oleh Nabi sebagai penerjemah ideal Islam selama hayatnya. Sedangkan pada periode berikutnya shari‘ah diacui dengan interpretasi dan reinterpretasi.
b. Masa Khulafa’ Rashidun Masa ini berkonsentrasi pada usaha mempertahankan ekuilibrium sosial yang telah dibentuk Nabi. Sebab setelah Nabi wafat, ummah segera berhadapan dengan permasalahan goncangan identitas, disintegrai warga dan munculnya self orientation, berupa isu suksesi dan problem fragmentasi politik (civil war). Di sisi lain, keberlakuan “Piagam Madinah” dinyatakan habis secara otomatis dengan wafatnya Nabi, oleh pihak-pihak luar negeri yang terkait dengan piagam tersebut. Ciri khusus masa ini adalah dijunjung tingginya demokrasi dalam pemerolehan kekuasaan oleh khalifah, yang membedakannya dari periode-periode setelahnya105. Pertama, Abu Bakr memilih cara perang untuk menyikapi warga yang tidak konsisten terhadap identitas dan collective orientation, yang terkenal dengan istilah perang melawan kemurtadan. Kedua, pada masa Umar, konsentrasi “perang” Abu Bakr dialihkan pada pemenuhan
sarana-sarana
sistem sosial;
seperti
menciptakan
tahun
hijriah,
peorganisasian administrasi, pendirian pengadilan, jawatan kepolisian dan jawatan pekerjaan umum, dan pendirian lembaga ekonomi (Bayt al-Mal). Meskipun tidak sesehat masa Nabi, pulihnya keseimbangan sosial terbukti dengan kesempatan Umar untuk melakukan ekspansi wilayah kekuasaan. Bersamaan dengan program ekspansi tersebut, Umar memperkenalkan gelar “Amir al-Mu’minin”. Ketiga, Uthman melanjutkan misi “perluasan wilayah” Umar. Di sisi lain ekuilibrium sosial tergoncang kembali oleh ancaman “sikap disadaptif” terhadap 103
Ibid., 202. Orientasi tersebut merupakan satu dari kelima pasangan alternatif ciri-ciri relasi-relasi dalam proses interaksi dalam sistem sosial. Pasangan alternatif collective orientation adalah self orientation yang bernuansa kesenangan pribadi. 104 Ibid., 206. 105 Yatim, Sejarah..., 35-42.
30 kepentingan warga, yang diproduk oleh Uthman sendiri dengan praktik nepotisme dalam jabatan dan kekayaan negara. Keempat, pada masa Ali, disekulibrium semakin berkembang lebih berani dengan tampilnya para oposan terbuka, yaitu Mu’awiyah dan Aishah. Mulai masa ali self orientation berkembang subur. Bahkan menjadi embrio maraknya oposisi dalam pentas politik Islam yang kemudian berpengaruh pada pertumbuhan aliran-aliran teologi Islam.
c. Masa Dinasti Umayyah Konsentrasi awal masa ini adalah menyiasati shari‘ah, melalui pengukuhan diri sendiri khalifah (Umayyah) sebagai “kekuasaan” Tuhan106. Ini disebabkan oleh pemerolehan kekuasan melalui cara non-demokrasi, yaitu tipu muslihat (rekayasa). Masa inilah yang pertama kali memperkenalkan “korupsi moral” politik Islam dalam skala demokrasi. Konsentrasi utamanya adalah memperluas wilayah 107 teritorial sistem sosial, dengan andalan utama “kekuatan fisik” militer yang mendampingi instrumen kekerasan, diplomasi dan rekayasa. Ini berarti bahwa sarana-sarana sosial diabaikan, kecuali perhatian yang tidak besar terhadap pemenuhan sarana intelektual. Itupun dikooptasi oleh program “arabisasi” –bermuatan format eksklusif-etnis, kecuali masa Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (717-720) 108—untuk seluruh wilayah kekuasaan, yang diberlakukan pada bahasa administrasi, aktualisasi sastra dan standar mata uang. Di pihak lain orientasi politiknya adalah kepentingan elit (bermewahan). Karena format dan orientasi politik tersebut, peluang suburnya kelompokkelompok oposan (kaum Mawali/ non-etnik Arab, keturunan Nabi, dan rival ideologi) terbuka lebar. Sehingga keperkasaan militernya untuk meredam kemelut internal, akhirnya takluk pada integrasi antar kelompok-kelompok oposan, menandai berkahirnya kekuasaan. d. Masa Dinasti Abbasiyyah Sebagaimana Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyyah merasa amat perlu untuk melakukan legitimasi politik dengan menyiasati shari‘ah, karena alasan yang sama (non demokrasi) seperti Dinasi pendahulunya, akan tetapi melalui kudeta dengan 106
Ibid., 42. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Bagian I (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985), 61-62; Yatim, Sejarah Peradaban..., 44; dan Gazalba, Masyarakat Islam..., 280. 108 Amin, Islam dari..., 104. 107
31 dukungan kaum Mawali. Bahkan, pengukuhan diri sebagai khalifah Tuhan itu dinyatakan oleh Khalifah al-Mansur (754-775) –sutradara Khalifah pertama al-Abbas al-Saffah (sang penjagal), menggunakan kalimat aksentuatif “innama ana Sultan Allah fi Ardih” (Sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumiNya)109. Konsentrasi “ekspansi” Dinasti Umayyah dialihkan oleh Dinasti Abbasiyyah ke pengembangan kebudayaan untuk mengisi sarana sistem bagi luasnya wadah teritorial yang diwariskan oleh Dinasti Umayyah. Sehingga Dinasti Abbasiyyah berjasa besar mengantarkan Islam mencapai “kepuasan” sejarahnya dengan predikat “The Golden Age of Islam”. Pemenuhan sarana sistem sosial dimantapkan dan dikembangkan: (1) dalam sistem pemrintahan, Dinasto Abbasiyyah menciptakan tradisi baru “mengangkat wazir (setingkat perdana menteri), (2) membetuk pasukan khusus yang dibekali kemampuan strategis, lebih daripada penampilan fisik, dan (3) peningkatan kualitas peran lembagalembaga negara. Sedangkan format politiknya adalah inklusif. Ini dibuktikan dengan: (1) menghapus “arabisasi” melalui pemindahan ibukota dari Damaskus (Syiria) ke baghdad (Irak) dan pelibatan terhadap Mawali –bahkan non muslim—dalam peranperan fungsional kenegaraan; (2) proyek transformasi informasi dan akulturasi kebudayaan asing melalui gerakan penerjemahan karya-karya Yunani, Persia dan India. Sedangkan orientasi politiknya diarahkan pada kesejahteraan rakyat; baik dalam dalam bentuk fasilitas dan pelayanan umum-sosial maupun pemberdayaan intelektual. Melalui dan akibat format dan orientasi politik tersebut, ekuilibrium sosial terbukti kokoh, bahkan dinamis. Indikasinya adalah: (1) suburnya dinasi-dinasti kecil yang memisahkan diri tetap menghormati pemerintahan pusat, bahkan turut memberikan dukungan dalam perkembangan kebudayaan, (2) kekuasaan bertahan lama, mencapai lebih dari lima abad, (3) kejatuhan kekuasaan bukan karena faktor internal oposan, akan tetapi disebabkan penetrasi pihak luar (Mughal, tahun 1258), dan (4) pencapaian puncak kemajuan peradaban dalam ilmu-ilmu pengetahuan.
2. Masa Abad Pertengahan Pada abad pertengahan, sistem sosial Islam terbagi dalam beberapa sistem sosial melalui keberadaan tiga kerajaan besar, yaitu Sunni Ottoman (Asia Barat dan
109
Yatim, Sejarah..., 52.
32 Eropa Timur), Shi‘i Shavawi (Persia), dan Sunni Mughal (India). Ketiganya disebut “gunpowder empires” (kerajaan-kerajaan obat peledak). Karakter politik abad pertengahan adalah; pertama, sebagaimana masa Dinasti Umayyah, sibuk dengan perluasan wilayah. Kedua, terjadi pergeseran orientasi nilai yang dianut, yaitu lebih besar ke tasawuf. Ini mengakibatkan sistem sosial mandul SDM-nya secara politis. Dominasi orientasi eskatik itu “mengebiri” kebutuhan ekonomi yang menjadi unsur sistem sosial110. Sementara pada taraf individual, para individu dengan sikap taklidnya mengabaikan kemampuan menampakkan diri untuk belajar, yang dalam bahasa Smith diartikan kehilangan nafsu sosial ‘sekunder”111. Di sisi lain, peran ulama sebagai penjamin/ penjaga keadilan 112 dalam bentuk servis sosial, berorientasi ke elit kekuasaan sebagai advisor dan bahkan administrator, tidak sebagaimana padsa abad klasik. Oleh karenanya, melalui disintegrasi pada masing-masing sistem sosial, “pengebirian” kebutuhan ekonomi, kehilangan nafsu sosial ‘sekunder’ dan disfungsionalisasi penjaga keadilan, wajar apabila sistem sosial abad pertengahan lemah. Sehinga Islam kalah secara strategis dalam bidang politik dan ekomoni.
3. Masa Abad Modern Pertama, pada masa pra-modern, politik Islam ditekankan pada purifikasi praktik-praktik keagamaan. Masa ini merespon abad pertengahan. Wahhabi menggunakan cara holy war dengan target membinasakan, Shah Wali Allah menekankan reformasi tasawuf daripada membinasakannya, dan Sufi Afrika memilih cara meredefinisi tasawuf dalam kemasan: bahwa salat dan aksi politik bersatu untuk mewujudkan kehendak Tuhan di bumi. Respons tersebut disebabkan oleh karena pramodern melihat abad pertengahan sebagai abad pergeseran sistem sosial dari nilai-nilai yang semula telah disepakati sebelumnya. Kedua, nasionalisme merupakan gerakan penyadaran collective orientation113 untuk memperkokoh sistem sosial dari kerapuhannya akibat tekanan dari pihak di luar sistem (kolonial). Di dalamnya, nilai-nilai agama yang secara moral memiliki kekuatan pembebas/ penyelamat114, dipakai sebagai acuan utama. Nasionalisme Islam di Arab
110
Taneko, Sistem Sosial..., 32. Campbell, Tujuh Teori..., 116, 117. 112 Keadilan merupakan unsur pokok bagi keterjaminan kehidupan masyarakat dalam sistem tertentu. Ibid., 122. 113 Veeger, Realitas Sosial:.., 203. 114 Hendropuspito, Sosiologi..., 39. 111
33 Timur, menggunakan cara-cara (1) salaf melalui majalah al-Manar sebagai fungsi edukatif agama115, oleh Rashid Rida; dan (2) penumbuhan identitas melalui fungsi memupuk persaudaraan agama116, di Mesir dan Arab. Nasionalisme di Afrika Utara – sebagian besar sufisme—menggunakan cara-cara: (1) penyadaran identitas kelompok dan fungsi profetis agama 117. Kedua cara nasionalisme Afrika Utara ini digunakan juga oleh nasionalisme di Iran, India, dan Indonesia. Ketiga, negara-negara modern memberikan perhatian kepada politik dan potensi sosial. Bentuk-bentuk politik yang diambil adalah; (1) sekuler oleh Turki; (2) Islam, oleh Saudi Arabia dan Pakistan; dan (3) Muslim, oleh sebagian besar wilayah. Selain itu adalah ada dua kelompok alternatif di Ikhwan al-Muslimin (Mesir) dan Jama‘at Islamiyyah (Pakistan) yang didalamnya berfungsi sebagai katalisator
115
Ibid., 38. Ibid., 50. 117 Ibid., 47. 116
34 DAFTAR PUSTAKA Ahmed, Ishtiaq. The Concept of an Islamic State: An Analysis of the Ideological Controversy in Pakistan. New York: St. Martin’s Press, 1987. Amin, Ahmad. Dhuha al-Islam, Jil. 1. Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa al-Nashr, t.t. Anwar, M. Syafi’i. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru. Jakarta: Penerbit Paramadina, 1995. Aziz, M. Imam, Ed., Agama, demokrasi dan Keadilan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993. Baqir, Haidar. “Republik Islam Iran: Revolusi Menuju Teodemokrasi” dalam M. Imam Aziz, Agama, Demokrasi dan Keadilan. Jakarta: Gramedia, 1993. Bruinessen, Martin van. Rakyat Kecil, Islam dan Politik, ed. & ter. Farid Wajidi. Yogyakarya: Yayasan Bentang Budaya, 1998. Campbell, Tom. Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan, ter. F. Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius, 1994. Esposito, John L. Islam and Politics. Syracuse: Syracuse University Press, 1984. ————. The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 3. New York, Oxford: Oxford University Press, 1995. Faruqi, Isma ‘il Ragi. The Cultural Atlas of Islam. New York: Macmillan Publishing Company, 1986. Fazlurrahman. Islam, Second Edition. Chicago: Chicago University Press, 1988. Fisher, Mary Pat, Living Religions; An Encyclopaedia of The World Faiths. London-New York: I.B. Tauris Publisher, 1997. Gazalba, Sidi. Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi. Jakarta: Bulan Bintang, 1976. Grunebaum, G.E. von. Classical Islam: a History 600 A.D.- 1258 A.D. Chicago: Aldine Publishing, 1st Ed., 1970. Hamid, Muhammad Muhy Al-din Abd’. Sunan Abi Dawud, Jilid IV. Kairo, Mesir: alTijariyyah al-Kubra, 1953. Hasan, Masudul. History of Islam: Classical Period 571-1258 C.E. Delhi, India: Adam Publishing, 1995. Hassan, Muhammad Kamal. Modernisasi Indonesia, Respon Cendekiawan Muslim. Surabaya: Bina Ilmu, 1987. Hendroprasetyo. “Mengislamkan Orang Jawa: Antropologi Baru Islam Indonesia” dalam Islamika, No. 3. Bandung: Mizan, 1993. Hendropuspito. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
35 Hoesin, Oemar Amin. Kultur Islam: Sejarah Perkembangan Kebudayaan dan Pengaruhnya dalam Dunia Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1981. Johnson, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994. Kandiyoti, Deniz, Ed. Women, Islam and State. Philadelphia: Temple University Press, 1991. Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan, 1997. Levtzion, Nehemia, and Voll, John Obert. Eighteenth-Century Renewal and Reform in Islam. New York: Syracuse University Press, 1987. Maarif, A. Syafii. Islam: Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. ————. Islam dan Politik di Indonesia. Jakarta: IAIN Sunan Kalijaga Pers, 1988. Mahmudunnasir, Syed. Islam: It’s Concept and History. India: Kitab Bhavan, tt. Mawardi, Abu al-Hasan. Kitab al-Ahkam al-Sultaniyyah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t., pertama diedit oleh Macmillan Enger. Bonn: Adolphus Marcus, 1853. Mikhail, Hanna. Politics and Revolution: Mawardi and After. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1995. Mulkhan, Abdul Munir. Runtuhnya Mitos Politik Santri. Yogyakarta: Sipress, 1994. Mulyati, Sri, et.al. Islam and Development: A Politico-Religious Response. Yogyakarta:Titian Ilahi Press, 1997. Musa, M. Yusuf. Nizam al Hukm fi al-Islam. Kairo, Mesir: 1963. Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya, Bagian I. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985. Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991. Noer, Deliar. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Grafiti Pers, 1987. Pipes, Daniel. In the Path of God: Islam and Political Power. New York: Basic Books Inc., 1985. Radi, Umaidi. Strategi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Semasa 1971-1982: Suatu Studi Tentang Kekuatan Politik Islam di Tingkat Nasional. Jakarta: Integrita Press, 1984. Rahnema, Ali, Ed., Para Perintis Zaman Baru Islam, ter. Ilyas Hasan (bandung: Mizan, 1996). Ritzer, George. Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, ter. Ali Mandan. Jakarta: Rajawali Press, 1992. Sa’ad, Ibnu. Purnama Madinah: 600 Sahabat-Wanita Rasulullah yang Menyemarakkan Kota Nabi, ter. Eva Y. Nukman. Bandung: Al-Bayan, 1997.
36 Shalabiy, Ahmad. al-Tarikh al-Islamiy wa al-Hadarah al-Islamiyyah: 3 (al-Khilafah alAbbasiyyah). Mesir: al-Nahdah al-Misriyyah, 1978. Syamsuddin, Din. “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Seja-rah Pemikiran Politik Islam”, dalam Ulumul Qur’an, No.2, Vol.iv .Jakarta: LSAF & ICMI, 1994. Siddiqui, Muhammad Yasin Mazhar Organisation of Goverment Under the Prophet. Delhi, India: Idarah-i Adabiya-i Delli, 1987. Sobary, Mohamad. Kebudayaan Rakyat: Dimensi Politik dan Agama. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1996. ————. Kesalehan dan Perilaku Ekonomi. Jakarta: Bentang Budaya, 1995. Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES, 1986. Surbakti, Ramlan. “Religion and Politics In Indonesia: A Literature Review”, dalam Majalah Bestari, No. 16 Th.vii, Januari-Maret. Malang: UMM, 1994. Taneko, Soleman B. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: C.V. Fajar Agung, 1994. The Encyclopedia of Religion, vol. 10 & 12. New York: Macmillan Publishing Company, 1993. Tibi, Bassam. Islam and Cultural Accomodations of Social Change. Boulder, San Francisco & Oxford: Westview Press, 1991. Veeger, K.J. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-individu dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993. Weber, Max. The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism. New York: Charles Scribner and Son, 1958. Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Zaidan, Jurji. History of Islamic Civilization. New Delhi: Kitab Bhavan, 1978.