TAFSIR AL-QUR’AN: Konsep Dasar, Klasifikasi, dan Perkembangannya
Makalah Dipresentasikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah Studi al-Qur’an
Oleh: Sokhi Huda NIM : FO.2.4.98.42 Konsentrasi: Pemikiran Islam
Dosen Pembimbing: DR. H.M. Roem Rowi, M.A.
Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya 1998/1999
1
TAFSIR AL-QUR’AN: Konsep Dasar, Klasifikasi, dan Perkembangannya Oleh: Sokhi Huda
A. Pendahuluan Al-Qur’an adalah sebuah dokumen untuk umat manusia. Ia sendiri menamakan dirinya “petunjuk bagi umat manusia” (Hudan li al-Nas)1, sebagaimana dijumpai dalam surat al-Baqarah (2), ayat 185: yϑsù 4 Èβ$s%öà ø9$#uρ 3“y‰ßγø9$# zÏiΒ ;M≈oΨÉit/uρ Ĩ$¨Ψ=Ïj9 ”W‰èδ ãβ#uöà)ø9$# ϵŠÏù tΑÌ“Ρé& ü“Ï%©!$# tβ$ŸÒtΒu‘ ãöκy− ª!$# ߉ƒÌム3 tyzé& BΘ$−ƒr& ôÏiΒ ×Ïèsù 9x y™ 4’n?tã ÷ρr& $³ÒƒÍ÷s∆ tβ$Ÿ2 tΒuρ ( çµôϑÝÁuŠù=sù töꤶ9$# ãΝä3ΨÏΒ y‰Íκy− öΝä31y‰yδ $tΒ 4†n?tã ©!$# (#ρçÉi9x6çGÏ9uρ nÏèø9$# (#θè=Ïϑò6çGÏ9uρ uô£ãèø9$# ãΝà6Î/ ߉ƒÌムŸωuρ tó¡ãŠø9$# ãΝà6Î/ ∩⊇∇∈∪ šχρãä3ô±n@ öΝà6¯=yès9uρ Al-Qur’an adalah sebuah perisai untuk umat manusia. Ia sendiri bahkan memiliki julukan al-Furqan, al-Bayan, serta berbagai julukan lain dalam ayat-ayat lain. Al-Qur’an bukanlah wahyu yang diturunkan dalam masyarakat yang nir-sejarah dan kosong budaya. Ia diwahyukan dalam konteks historisitas dan kebudayaan tertentu, sehingga pantas apabila di setiap dekade muncul studi al-Qur’an dalam variasi kecenderungan dan substansinya. Studi al-Qur’an menguat, bukan saja di negara-negara berpenduduk muslim, namun juga di Barat.2 Studi al-Qur’an kebanyakan lebih ditekankan pada kajian produk tafsir daripada metodologi tafsir. Padahal mengetahui perkembangan metodologi tafsir lebih signifikan, melalui studi kritis terhadap perkembangan dan metodologinya, sehingga rekonstruksi lebih mudah dilakukan.
1 2
Periksa A. Yusuf Ali, The Holy Qur’an, 73. Fazlur Rahman, Some Recent Books on The Qur’an by Western Authors, 73.
2
Upaya menafsirkan al-Qur’an sudah dilakukan oleh Rasulullah saw. Predikat alQur’an sebagai Hudan (petunjuk) dan Rahmatan (rahmat) bagi manusia, membuka kemungkinan yang luas bagi penafsiran terhadapnya. Susunan al-Qur’an yang tidak sistematis3 juga merupakan alasan tersendiri mengapa penafsiran serta penggalian terhadap makna ayat-ayatnya justru menjadi tugas umat yang tidak pernah berakhir. Sebagai kerangka kontrol normatif maupun metodologis, ada prinsip-prinsip dasar yang penting diperhatikan —kalau tidak secara sakelik dikatakan harus dipenuhi— dalam penafsiran terhadap al-Qur’an. Dalam posisinya sebagai kontrol normatif, prinsip-prinsip tersebut sebagai rambu agar substansi tafsir bernilai representatif bagi kandungan alQur’an. Sedangkan kedudukannya sebagai kontrol metodologis, tafsir menjelaskan asasasas prosedur kerja, metode, maupun pendekatannya. Sejarah telah menyajikan ke hadapan kita perkembangan tafsir al-Qur’an yang digelarkan oleh ahlinya dengan metode dan pendekatan yang bermacam-macam.
B. Pengertian Tafsir dan Ta’wil Kata tafsir adalah bentuk kata benda dari kata kerja fassara. Tafsir berarti penjelasan, uraian, interpretasi, atau komentar. Kata ini terdapat hanya satu kali dalam alQur’an; surat al-Furqan (25): 33.4 ∩⊂⊂∪ #·Å¡ø s? z|¡ômr&uρ Èd,ysø9$$Î/ y7≈oΨ÷∞Å_ āωÎ) @≅sVyϑÎ/ y7tΡθè?ù'tƒ Ÿωuρ Tafsir dapat juga diartikan menyingkap dan menampakkan makna yang abstrak, yang tertutup, maksud lafal yang musykil, pelik.5 Tafsir dalam wacana istilah —menurut Abu Hayyan— dapat didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, tentang petunjukpetunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri maupun kala tersusun, dan makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun, serta hal-hal lain yang 3
Rashid Rida, Al-Wahy al-Muhammadiy, 107-108. Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqiy, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim, 519. 5 Manna‘ Khalil al-Qattan, Mabahith fi `Ulum al-Qur’an, 323. 4
3
melengkapinya.6 Dalam format yang lebih sederhana, al-Zarkashiy menekankan definisi tafsir sebagai ilmu untuk memahami al-Qur’an, serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.7 Kemudian, substansi definisi ini memberikan muara bagi kemungkinan diidentikkannya istilah tafsir dengan istilah hikmah —kaitannya dengan tafsir dalam perspektif al-Qur’an. Pengertian tafsir di atas membuka wacana dua dimensinya, yakni sebagai ilmu dan produk. Sebagai ilmu, tafsir merupakan perangkat pengetahuan untuk mengungkap kandungan makna al-Qur’an, baik petunjuk-petunjuk, hukum-hukum maupun hikmah di dalamnya. Sementara sebagai produk, tafsir berupa penjelasan petunjuk-petunjuk, hukumhukum maupun hikmah yang dikandung al-Qur’an. Kemudian, mengenai pengertian ta’wil —secara etimologis— berasal dari kata awwala yang berarti fassara (menafsirkan) dan bayyana (menjelaskan). Atas dasar itu, ta’wil berarti penafsiran (al-tafsir) dan penjelasan (al-tabyin) tentang apa yang dimaksud oleh perintah kalam.8 Sebagai pengayaan wawasan, penulis angkat sumbangan al-Qat}t}a>n yang menjelaskan bahwa pengertian etimologis ta’wil adalah memikirkan, memperkirakan, dan menafsirkan. Ta’wil berasal dari kata aul yang berarti kembali ke asal. Makna ta’wil menurut golongan salaf adalah esensi (haqiqah); misalnya ta’wil al-’amr (esensi perbuatan yang diperintahkan) dan ta’wil al-ikhbar (esensi dari apa yang diberitakan yang benar-benar terjadi). Sementara dalam tradisi muta’akhkhirin, arti ta’wil adalah sampai di manakah akibat yang dimaksud oleh kalam.9 Perbedaan kedua pandangan ini jelas. Tetapi, kalau keduanya dimanfaatkan, maka ta’wil dapat dipahami esensi tentang sesuatu yang dita’wilkan, yang dalam esensi itu termuat juga akibat-akibat yang ditimbulkan oleh sesuatu tersebut. 6
Ibid., 324. Abu Hayyan juga menjelaskan secara rinci unsur-unsur definisinya; ilmu, yang membahas petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, makna-makna, hal-hal yang melengkapinya. 7 Jalal al-Din al-Suyutiy, Al-’Itqa n fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid II, 174. Definisi al-Zarkashi yang dikutip oleh al-Hasaniy, Zubdah al-’Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, 167, diikuti penjelasan tentang perangkat yang diperlukan oleh tafsir, juga penyebutan ayat al-Qur’an, 2: 269, yang di dalamnya ada kata hikmah. 8 Al-Baqiy, Al-Mu’jam al-Mufahras ....., Jilid I, 69-70. 9 Al-Qattan, Mabahith..., 325. Dalam hal ini kelompok salaf diwakili oleh al-Tabariy dan alRaghib, golongan muta’akhkhirin diwakili oleh al-Zarkashiy dan Ibn Faris.
4
Sementara definisi ta’wil adalah memalingkan makna lafal yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena ada dalil yang menyertainya.10 Definisi yang dikemukakan oleh golongan muta’akhkhirin ini tidak sesuai dengan lafal ta’wil dalam alQur’an menurut versi salaf. Al-Zarqani mengemukakan bahwa tafsir menjelaskan lafal dari aspek riwayah, dan ta’wil dari aspek dirayah. Tafsir menjelaskan makna yang digali dari topik ibarat, sedangkan ta’wil menjelaskan makna dengan metode isyarat.11 Paparan di atas memberikan aset mengenai perbedaan arti dan kandungan tafsir dan ta’wil. Tafsir menerangkan petunjuk yang dikehendaki, sedangkan ta’wil menerangkan hakikat yang dikehendaki. Operasionalisasi tafsir lebih dekat pada pendekatan historisfenomenologis, sementara ta’wil pada pendekatan filosofis.
C. Tafsir dan Ta’wil dalam Perspektif al-Qur’an Pada al-Qur’an, surat al-Furqan 33 diredaksikan ahsan tafsir, yang dalam pendapat Ibn Abbas diartikan lebih baik perinciannya. Ayat itu merupakan kelanjutan dari penjelasan argumentatif atas gugatan orangorang kafir tentang mengapa al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus (jumlah wahidah). Tidak lain, kebertahapan wahyu al-Qur’an agar mudah dipahami dan dihafalkan (li nuthabbit bih fu’adak) dalam konteksnya. Kata hikmah12 yang dikutip oleh al-Zarkashiy menyertai definisi tafsirnya13 diperkuat oleh riwayat dari Ibn Abbas yang menjelaskan maknanya sebagai pengetahuan tentang al-Qur’an (al-Ma’rifah bi al-Qur’an); yakni nasikh-mansukh, muhkam-mutashabih, muqaddam-mu’akhkhar, halal-haram. Atas dasar ini al-Qur’an mengidentikkan istilah dan substansi tafsir dengan hikmah. Maka, ada dua hal yang penting dicatat kaitannya dengan tafsir dalam perspektif alQur’an, yaitu: pertama, tafsir merupakan instrumen untuk memahami al-Qur’an secara 10
Ibid., 326. Periksa al-Qur’an, 7: 52-53, sebagai masukan komparatif lafal ta’wil menurut golongan salaf. 11 Al-Zarqaniy, Manahil al-’Irfa n fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid II, 4-5. 12 Al-Qur’an, 2: 269. 13 Al-Hasaniy, Zubdah ..., 168.
5
lebih mudah dan sistematis, dan kedua, tafsir —yang diidentikkan dengan hikmah—, adalah pelita yang mengungkap hukum-hukum (fiqh), rahasia kandungan makna, unsurunsur dan historisitas al-Qur’an. Mengenai pengertian ta’wil dalam perspektif al-Qur’an, dalam penjelasan Khalid ‘Abd al-Rahman al-`Ak14, terpancar melalui surat-surat: (1) al-Nahl (16), ayat 44 dan 64: ∩⊆⊆∪ šχρã©3x tGtƒ öΝßγ¯=yès9uρ öΝÍκös9Î) tΑÌh“çΡ $tΒ Ä¨$¨Ζ=Ï9 tÎit7çFÏ9 tò2Ïe%!$# y7ø‹s9Î) !$uΖø9t“Ρr&uρ 3 Ìç/–“9$#uρ ÏM≈uΖÉit7ø9$$Î/ ∩∉⊆∪ šχθãΖÏΒ÷σム5Θöθs)Ïj9 ZπuΗ÷qu‘uρ “Y‰èδuρ ϵŠÏù (#θà n=tG÷z$# “Ï%©!$# ÞΟçλm; tÎit7çFÏ9 āωÎ) |=≈tGÅ3ø9$# y7ø‹n=tã $uΖø9t“Ρr& !$tΒuρ (2) Ali Imran (3), ayat 7: tÏ%©!$# $¨Βr'sù ( ×M≈yγÎ7≈t±tFãΒ ãyzé&uρ É=≈tGÅ3ø9$# ‘Πé& £èδ ìM≈yϑs3øt’Χ ×M≈tƒ#u çµ÷ΖÏΒ |=≈tGÅ3ø9$# y7ø‹n=tã tΑt“Ρr& ü“Ï%©!$# uθèδ 3 ª!$# āωÎ) ÿ…ã&s#ƒÍρù's? ãΝn=÷ètƒ $tΒuρ 3 Ï&Î#ƒÍρù's? u!$tóÏGö/$#uρ ÏπuΖ÷GÏ ø9$# u!$tóÏGö/$# çµ÷ΖÏΒ tµt7≈t±s? $tΒ tβθãèÎ6®KuŠsù Ô+÷ƒy— óΟÎγÎ/θè=è% ’Îû ∩∠∪ É=≈t6ø9F{$# (#θä9'ρé& HωÎ) ã©.¤‹tƒ $tΒuρ 3 $uΖÎn/u‘ ωΖÏã ôÏiΒ @≅ä. ϵÎ/ $¨ΖtΒ#u tβθä9θà)tƒ ÉΟù=Ïèø9$# ’Îû tβθã‚Å™≡§9$#uρ Muaranya begini, pada kedua ayat surat al-Nahl, kata tabyin (bentuk masdar dari tubayyin) berafiliasi pada makna ta’wil. Apa yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi SAW, tidak dapat diketahui ta’wilnya kecuali dengan tabyinnya mengenai semua pemahaman: ragam perintah, wajib-sunnah-petunjuk, aneka larangan, pemenuhan hak dan batas-batasnya, dan sebagainya. Sedangkan maksud wa ma ya’lam ta’wilah illa Allah, bahwa pada sebagian ta’wil, tiada yang tahu kecuali Allah, yaitu mengenai berita tentang penentuan waktu (kejadian) sudah berlalu maupun yang akan datang, seperti realisasi hari kiamat, peniupan roh pada makhluk, turunnya Nabi Isa as dan sebagainya. Secara lebih luas dan rinci, Muhammad Hayyan menjelaskan variasi makna ta’wil dalam perspektif al-Qur’an. Ta’wil dapat berarti penafsiran dan penentuan (Al Imran: 7), akibat dan tempat kembali (al-Nisak: 59), kejadian apa yang diberitakan (al-’A‘raf: 53; Yunus: 39), esensi petunjuk rasionalitas (Yusuf: 6,37,44,45,100), pemaparan fakta historis 14
Khalid ‘Abd al-Rahman al-`Ak, Usul al-Tafsir wa Qawa`iduh, 49-51.
6
tentang tenggelamnya perahu, terbunuhnya bocah, dan ditegakkannya pagar (pada kisah Nabi Musa as, pen.).15 Kevariasian makna ta’wil yang dikemukakan oleh Hayyan tersebut, dapat dipakai sebagai standar alternatif untuk memahami ayat-ayat lain, apabila substansinya sama dengan ayat-ayat yang disebutkannya. Termasuk di dalamnya, sebab-sebab yang meliputi hal-hal dalam substansi tersebut.
D. Urgensi Tafsir Urgensi tafsir terkait dengan kedudukan, sistem, tujuan, serta keutamaannya, juga kaitannya dengan kompetensi praktis-religius maupun pragmatis. Kedudukan tafsir dapat dipahami sebagai kunci representatif untuk membuka tabir rahasia makna al-Qur’an. Kedudukan tersebut, dalam sistem ajaran Islam berfungsi sebagai media (tariqah) untuk menggapai tujuan yang dikehendaki dalam memahami makna al-Qur’an, yakni memperoleh mutiara dan permata —sebagai simbol makna tertinggi— di dalamnya. Pemahaman tersebut dijadikan sebagai pegangan yang kokoh untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki. Sehingga, kompetensi apapun yang berorientasi pada hal-hal profanik (duniawi) maupun eskatologik (ukhrawi) secara langsung bergantung pada equilibrium pemahaman terhadap makna yang terkandung dalam kalamullah sebagai sumber utama yurisprudensi kehidupan. Demikianlah kelindan tafsir dengan kepentingan praktis-religius maupun pragmatis. Dari sini dapat dicerna secara aksentuatif akan mendesaknya kebutuhan terhadap tafsir. Berikut, penulis hadirkan perbandingan masukan dua ahli ulum al-Qur’an. Pertama, menurut al-Sabuniy, tafsir merupakan kunci untuk membuka gudang simpanan yang terhimpun dalam al-Qur’an. Tanpa tafsir orang tidak akan dapat membuka gudang simpanan tersebut untuk mendapatkan mutiara dan permata yang ada di dalamnya.16 Itulah sebabnya tafsir menjadi kebutuhan yang begitu penting. Karena tanpa tafsir tentu tidak 15
Muhammad Hayyan Al-Zahabiy, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I (Iraq: Hafuzah li al-Muallif, 1976), 16-17. 16 Al-Sabuniy, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, 60; al-Zarkashiy, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz I, 13; al-Zarqaniy, Manahil..., Juz I, 470.
7
akan diperoleh pemahaman yang tepat terhadap berbagai ayat al-Qur’an.17 Kedua, dengan kalimat yang sedemikian romantis al-Suyutiy menyatakan urgensi tafsir, demikian:
وﻫﻮ اﺷﺮف اﻟﻌﻠﻮم ﻣﻮﺿﻮﻋﺎ وﻏﺮﺿﺎ وﺣﺎﺟﺔ,واﻟﺘﻔﺴﻴﺮ ﻣﻦ اﺟﻞ ﻋﻠﻮم اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ وارﻓﻌﻬﺎ ﻗﺪرا وﻷن, ﻷن ﻣﻮﺿﻮﻏﻪ ﻛﻼم اﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ اﻟﺬي ﻫﻮ ﻳﻨﺒﻮع ﻛﻞ ﺣﻜﻤﺔ وﻣﻌﺪن ﻛﻞ ﻓﻀﻴﻠﺔ,اﻟﻴﻪ اﻟﻌﺮض ﻣﻨﻪ ﻫﻮ اﻻﻋﺘﺼﺎم ﺑﺎﻟﻌﺮوة اﻟﻮﺛﻘﻰ اﻟﻰ اﻟﺴﻌﺎدة اﻟﺤﻘﻴﻘﺔ – واﻧﻤﺎ اﺳﺘﺪت اﻟﺤﺎﺟﺔ اﻟﻴﻪ ﻷن ﻛﻞ ﻛﻤﺎل دﻳﻨﻲ او دﻧﻴﺎوي ﻻ ﺑﺪ وان ﻳﻜﻮن ﻣﻮاﻓﻘﺎ ﻟﻠﺸﺮع وﻣﻮاﻓﻘﺘﻪ ﺗﺘﻮﻓﻖ ﻋﻠﻰ .اﻟﻌﻠﻢ ﺑﻜﺘﺎب اﷲ Tafsir adalah ilmu syari’at yang paling agung dan paling tinggi kedudukannya. Tafsir merupakan ilmu yang paling mulia objek pembahasan dan tujuannya, serta dibutuhkan. Objek pembahasannya adalah kalamullah yang merupakan sumber segala hikmah dan tambang segala keutamaan. Tujuan utamanya untuk dapat berpegang pada tali yang kokoh dan mencapai kebahagiaan hakiki. Sedangkan kebutuhan terhadapnya sangat mendesak karena segala kesempurnaan agamawi dan duniawi haruslah sejalan dengan syara’, sedang 18 kesejalanan ini sangat bergantung pada pengetahuan tentang kitab Allah.
Dapat dilihat secara praktis-sistematis mengenai variasi pandangan kedua ahli tersebut tentang urgensi tafsir, demikian: Tabel Variasi Pandangan tentang Urgensi Tafsir Antara al-Sabuniy dan al-Suyutiy No. 1
17
Aspek Tafsir Kedudukan/Keutamaan
2
Tujuan
3
Tekanan Urgensi
al-S}abu>ni>y sebagai kunci untuk membuka gudang simpanan al-Qur’an mendapatkan mutiara dan permata dalam alQur’an diperolehnya pemahaman yang tepat terhadap al-Qur’an
al-Suyu>ti} >y sebagai ilmu yang paling mulia karena objek dan tujuannya media untuk mencapai kebahagiaan hakiki kebutuhan mendesak akan kesempurnaan halhal duniawi dan agamawi
Al-Zarqaniy, Manahil..., Juz II, 6-7; dalam al-Hasaniy, Zubdah.., al-Asbahaniy menyatakan pentingnya kedudukan tafsir dalam memahami al-Qur’an, yakni: “karya termulia ialah buah kesanggupan menafsirkan al-Qur’an”. Karena objek tafsir adalah kalamullah yang merupakan sumber hikmah dan tambang segala keutamaan. 18 Al-Suyutiy, al-’Itqan..., 175.
8
E. Prinsip-Prinsip Dasar Tafsir Para ahli menggunakan beberapa istilah untuk menjelaskan prinsip-prinsip dasar tafsir. Di antaranya adalah Shuru>t al-Mufassir (Al-Qat}t}a>n: 329-331, al-’Ak: 186-187), Adab al-Mufassir (Al-Qat}t}a>n:331-332), dan Ummahat Ma’akhid al-Tafsir (Al-H}asaniy: 168-169). Istilah-istilah tersebut digunakan secara parsial, tidak disistemasikan secara tegas dalam topik prinsip-prinsip dasar tafsir (asas al-tafsir). Karenanya, diperlukan media secara metodologis untuk memahaminya secara komprehensif. Penulis berikhtiar untuk menyajikan prinsip-prinsip dasar tafsir dengan mengklasifikasikannya ke dalam empat bagian, yakni: (1) aspek metodologis (prosedur), (2) ilmu-ilmu yang diperlukan, (3) kriteria /kualifikasi personalitas, dan (4) etika. Pertama, aspek metodologis (prosedur): 1) Menafsirkan, lebih dulu, al-Qur’an dengan al-Qur’an. 2) Mencari penafsiran dari al-Sunnah. 3) Meninjau pendapat para sahabat. 4) Memeriksa pendapat tabi’in.19 Kedua, ilmu-ilmu yang diperlukan: (1) Bahasa, (2) Nahwu, (3) Tasrif, (4) Ishtiqaq, (5) Ma’aniy, (6) Bayan, (7) Badi‘, (8) Qira’ah, (9) Usul al-Din, (10) Usul al-Fiqh, (11) Asbab al-Nuzul, (12) Nasikh-Mansukh, (13) Fiqh, (14) Hadis-hadis tentang penafsiran lafal mujmal dan mubham, dan (15) Mawhibah.20 Ketiga, kriteria/kulalifikasi personalitas: Seorang mufassir disyaratkan memenuhi kriteria: (1) berakidah yang benar, (2) bersih dari hawa nafsu, (3) berpengetahuan bahasa Arab, dengan segala cabangnya, (4) berpengetahuan bahasa, (5) berpengetahuan pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan alQur’an, (6) berkemampuan pemahaman yang cermat.21 Berbeda halnya dengan pandangan Khalid ‘Abd al-Rahman al-‘Ak, ada limabelas syarat bagi mufassir, yang justru lebih mencerminkan kemampuan ilmu-ilmu yang diperlukan 19
Ibid., 330-331. Al-H}asaniy, Zubdah..., 170-172. 21 Al-Qat}t}a>n, Mabahith..., 329-330. 20
9
bagi penafsiran, bukan kualifikasi personalitas.22 Ini lebih dekat pada komposisi keilmuan yang ditawarkan oleh al-Hasaniy pada poin ketiga berikut. Keempat, etika. (1) Berniat baik dan bertujuan benar, (2) berakhlak baik, (3) taat dan beramal, (4) berlaku jujur dan teliti dalam penukilan, (5) tawaddu’, (6) berjiwa mulia, (7) vokal dalam menyampaikan kebenaran, (8) berpenampilan baik, (9) bersikap tenang dan mantap, (10) mendahulukan orang lain yang lebih utama daripada dirinya, (11) mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik.23 Khusus aspek ketiga dan keempat, pemisahan antara keduanya didasarkan pada alasan substantif-tipikal masingmasing. Aspek kualifikasi personal merupakan segi statis yang bercirikan kedirian (individualisasi) mufassir. Sementara aspek etika merupakan segi dinamis dalam interaksi kedirian mufassir dengan pihak di luarnya. Apabila keempat aspek tersebut disimplifikasikan, maka aspek pertama dan kedua dapat disatukan kedalam aspek tafsir (metodologis), sedangkan aspek ketiga dan keempat kedalam aspek mufassir.
F. Tafsir Rasul, Sahabat dan Tabi’in 1. Tafsir Rasul Rasulullah
adalah
orang
pertama
yang
menguraikan
isi
al-Qur’an
dan
menjelaskannya kepada umatnya. Pada masa ini tidak seorangpun dari para sahabat yang berani menafsirkan al-Qur’an, karena beliau berada di tengah-tengah mereka.24 Tidak semata karena alasan bahwa Nabi memikul “beban berat” —sebagaimana penjelasan S}ubhiy al-S}alih—, tetapi karena memang beliau telah memperoleh garansi dari Allah, untuk menafsirkan al-Qur’an. Hal ini direferensikan pada firman Allah: Surat al-Qiyamah (75), ayat 17-19: ∩⊇∪ …çµtΡ$uŠt/ $uΖøŠn=tã ¨βÎ) §ΝèO ∩⊇∇∪ …çµtΡ#uöè% ôìÎ7¨?$$sù çµ≈tΡù&ts% #sŒÎ*sù ∩⊇∠∪ …çµtΡ#uöè%uρ …çµyè÷Ηsd $uΖøŠn=tã ¨βÎ) 22
Khalid ‘Abd al-Rahman al-`Ak, Usul al-Tafsir ..., 186-187. Al-Qat}t}a>n, Mabahith..., 331-332. 24 Subhiy Al-Salih, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an, 289. 23
10
Surat al-Nahl, ayat 44: ∩⊆⊆∪ šχρã©3x tGtƒ öΝßγ¯=yès9uρ öΝÍκös9Î) tΑÌh“çΡ $tΒ Ä¨$¨Ζ=Ï9 tÎit7çFÏ9 tò2Ïe%!$# y7ø‹s9Î) !$uΖø9t“Ρr&uρ 3 Ìç/–“9$#uρ ÏM≈uΖÉit7ø9$$Î/ Lebih tepat digunakan istilah amanat —dalam pandangan penulis— daripada beban berat bagi Nabi untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an kepada orang-orang di sekitarnya (para sahabat). Beliau menunaikan amanat itu lebih merupakan konsekuensi historis sesuai dengan karakter pesan normatif maupun universal al-Qur’an sendiri.
2. Tafsir Sahabat Di kalangan para sahabat, yang terkenal sebagai ahli tafsir yang luas pengetahuannya ada 10 orang. Di antaranya adalah al-Khulafa‘ al-Rashidun, dan Ali adalah orang yang sering disebut daripada ketiga khalifah lainnya. Sementara yang paling tepat bergelar “ahli tafsir” adalah Abdullah bin Abbas, sedangkan Nabi sendiri menyaksikan kedalaman ilmunya.25 Ia juga terkenal dengan gelar “Turjuman alQur’an”.26 Cara yang ditempuh oleh para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an, berpegang teguh pada: (1) al-Qur’an, (2) penjelasan Nabi, dan (3) pemahaman dan ijtihad. Sedangkan pendekatan penafsirannya adalah bi al-Ma’thur.27 Tafsir sahabat diterima baik oleh para ulama dari kaum tabi’in di berbagai daerah Islam, bahkan jumhur ulama berpendapat, bahwa tafsir sahabat mempunyai status marfu’ apabila berkenaan dengan asbab al-nuzul dan semua hal yang tidak mungkin dimasuki ra’y. Dalam pemahaman dan ijtihad, para sahabat memanfaatkan kemampuan linguistiknya. Perbedaan kemampuan ini menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat pemahaman di antara mereka terhadap al-Qur’an. Aspek kebahasaan —tetapi tidak sepenuhnya— ini ternyata signifikan terhadap derajat intelektual. Maka aspek bahasa bersifat “antara”, sedangkan aspek intelektual bersifat dominan, dalam perbedaan tersebut.
25
Al-S}alih, Mabahith..., 289. Al-Zarkashiy, al-Burhan..., Jilid II, 161; al-Hasaniy, Zubdah...., 174, diperkuat oleh hadith: 27 Al-Qat}t}a>n, Mabahith..., 335-336. 26
11
Karenanya, Hayyan memfalsifikasi (mengkonter) pendapat Ibnu Khaldun yang menyimplifikasikan bahwa semua sahabat memahami al-Qur’an; mengerti makna mufradat dan tarkibnya, karena al-Qur’an diturunkan dengan bahasa dan uslub Arab. Padahal, nyatanya, tidak semuanya mengerti makna kosa kata bahasa Arab.28
3. Tafsir Tabi’in Pada masa ini, muncul kelompok-kelompok ahli tafsir di Makkah, Madinah dan Iraq. Kelompok Makkah memperoleh transformasi dari Ibnu Abbas, yang mereka adalah para sahabatnya. Kelompok Madinah dituruni ilmu oleh Zaid bin Aslam, yang mereka adalah anak dan muridnya. Sementara di Kufah (Iraq) muncul para mufassir dari sahabat-sahabat Abdullah bin Mas’ud.29 Cara yang ditempuh penafsir tabi’in adalah berpegang pada: (1) al-Qur’an, (2) keterangan dari para sahabat yang bersumber dari Rasulullah, (3) penafsiran para sahabat sendiri, (4) keterangan dari ahli kitab yang bersumber dari kitab mereka, dan (5) ijtihad.30 Seirama dengan bertambah jauhnya manusia dari masa Nabi dan sahabat, maka tingkat kesulitan penafsiran semakin bertambah. Karenanya, mufassir tabi’in berupaya menambahkan keterangan-keterangan untuk memecahkannya. Di samping itu, permasalahan yang dihadapi oleh tabi’in adalah, tidak semua ayat al-Qur’an dijumpai tafsirnya dari Nabi dan sahabat. Bagi tabi’in, yang hidupnya tidak pernah bersama Rasulullah, persoalan tersebut serius. Ada beberapa cara yang ditempuh oleh tabi’in untuk memecahkannya, yakni (1) berpegang pada pengetahuan bahasa Arab, (2) fenomena-fenomena yang terjadi pada masa turunnya ayat, yang mereka pandang representatif,(3) perbendaharaan pemahaman mereka, dan (4) kesinambungan pembahasan tafsir.31 Perkembangan tafsir pada masa-masa selanjutnya, baik segi pertumbuhannya antar dekade maupun variasi metode dan pendekatannya, ditandai munculnya sejumlah karya 28
Hayyan, al-Tafsir ....., 23-24. al-Suyutiy, al-’Itqan..., Juz II, 323. 30 Al-Qat}t}a>n, Mabahith..., 338. 31 Hayyan, al-Tafsir..., 100. 29
12
(produk) tafsir dan metodologinya. Dalam kacamata historis, ada hal yang dapat dimaklumi secara logis maupun fenomenal, yaitu perkembangan permasalahan yang semakin kompleks, sehingga memicu bangkitnya tanggung jawab moral para cendikiawan muslim untuk memberikan jawabannya. Apalagi, ketika terjadi dialog peradaban Islam dengan peradaban Barat, dinamika perkembangan ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu pengetahuan secara luas, tampak mencuat keras.
G. Macam-Macam Tafsir Macam-macam tafsir ditentukan oleh perbedaan metode yang digunakannya. Perbedaan ini, selanjutnya, menjadi argumentasi bagi variasi pendekatan sesuai dengan substansi kajiannya masing-masing. Secara klasik, metode tafsir dibedakan ke dalam dua bagian besar, yaitu Tafsir bi alRiwayah dan Tafsir bi al-Dirayah.32 Dari paduan kedua metode itu lalu muncul empat metode, yakni: (1) Tafsir Tahliliy, (2) Tafsir Ijmaliy, (3) Tafsir Muqaran, dan (4) Tafsir Mawdu ‘iy.33 Tafsir Tahliliy mengkaji al-Qur’an dari segala aspek dan maknanya. Tafsir ini memuat beberapa macam, yakni: (1) Tafsir bi al-Ma’thur, (2) Tafsir bi al-Ra’y, (3) Tafsir Sufiy, (4) Tafsir Ishariy, (5) Tafsir fiqhiy, (6) Tafsir Falsafiy, (7) Tafsir ‘Ilmiy, (8) Tafsir Adabiy, dan (9) Tafsir Isra ‘iliyyat. Tafsir Ijmaliy menafsirkan al-Qur’an secara singkat dan global, tanpa penjelasan panjang lebar, untuk konsumsi berbagai tingkatan intelektualitas. Yang ditafsirkan disesuaikan urutan mushaf, dari ayat ke ayat, dari surat ke surat berikutnya. Tafsir Muqaran adalah metode tafsir dengan mengambil sejumlah ayat, kemudian mengemukakan penafsiran para ulama tafsir yang metode dan kecenderungannya berbedabeda dan mengkomparasikannya, kemudian menjelaskan kecenderungan legitimasi kemazhabannya masing-masing. Tafsir Mawdu‘iy (tematik) ialah metode tafsir dengan cara menghimpun seluruh ayat yang berbicara mengenai masalah atau tema tertentu serta mengarah pada suatu 32 33
Al-Salih, Mabahith..., 290-291. ’Abd al-Hay al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdu‘iy, 23.
13
pengertian dan ujuan tertentu, meskipun ayat-ayat itu turunnya —baik segi cara, waktu maupun tempatnya— berbeda, tersebar dalam berbagai surat. Sehingga satu tema dapat dipecahkan secara tuntas. Selebih penjelasan di atas, ada juga yang mengklasifikasikan tafsir ke dalam dua golongan besar, yakni (1) Tafsir Jaf dan (2) Tafsir Mujawiz.34 Tafsir Jaf merupakan tafsir yang terbatas pada segi kebahasaan, bersifat denotatif. Sedangkan tafsir mujawiz yang bergerak secara luas (berlebihan), bersifat konotatif. Tafsir Jaf dikembangkan secara serius oleh di antaranya Muhammad Abduh. Prinsip teoritik tafsirnya adalah “al-`Ibrah bi ‘Umum al-Lafz la bi khusus al-sabab”35. Model tafsir Jaf ini benar-benar memperhatikan unsur balaghah, keharmonisan uslub (gaya bahasa), dan sistemasi rasionalitas al-Qur’an. Demikian ini sebagai konter terhadap kecenderungan umum —menurut Abduh— penafsiran al-Qur’an, secara parsial antar ayatayatnya. Cara parsial inilah yang disebutnya sebagai cara yang tidak terkendali, sehingga dapat mungkin bahwa penafsirannya melampaui batas substansial ayat yang ditafsirkannya (mujawiz, pen.).
H. Simpulan Konsep dasar tafsir memuat pengertian etimologis dan definisinya, serta pengertiannya dalam perspektif al-Qur’an, kedudukan dan urgensi tafsir, objek dan tujuan tafsir, dan prinsip-prinsip dasarnya. Tafsir memiliki dua dimensi, yakni dimensi sebagai ilmu dan sebagai produk. Sebagai ilmu, tafsir berisi perangkat metodologi untuk mengungkap petunjuk-petunjuk, hukum-hukum maupun hikmah di dalam al-Qur’an, dan sebagai produk, tafsir berupa petunjuk-petunjuk, hukum-hukum maupun hikmah di dalamnya. Tafsir mengkaji makna al-Qur’an dari aspek historis-fenomenologis, sementara ta’wil dari segi filosofisnya. Al-Qur’an sendiri memandang tafsir sebagai instrumen untuk
34
Al-Zarqaniy, Manahil..., Juz II, 6. ‘Abdullah Mahmud, Manhaj al-Imam Muhammad ‘Abduh fi Tafsir al-Qur’an al-Karim (Kairo, Mesir: Nashr al-Rasail al-Jami’ah, tt), 36-37.
35
14
memahami maknanya secara lebih mudah dan sistematis, dan ta’wil memiliki pengertian yang bervariasi. Urgensi tafsir ada pada posisi strategisnya —melalui produknya— untuk mencapai kesempurnaan hidup dan kebahagiaan hakiki. Meski demikian, tafsir tetap berhadapan dengan pola kontrol normatif maupun metodologis, yang di dalamnya ada empat prinsip yang penting diperhatikan bagi tafsir, yakni aspek prosedur kerja, ilmu-ilmu yang diperlukan, kriteria/kualifikasi personalitas, dan etika. Dalam hal klasifikasi, tafsir terbagi ke dalam empat kelompok yang lahir dari paduan Tafsir bi al-Riwayah dan Tafsir bi al-Dirayah. Keempat kelompok tersebut mempunyai beberapa macam corak yang ditentukan oleh perbedaan metode dan pendekatan seiring orientasi substansialnya. Perkembangan tafsir, mulai Nabi, sahabat, sampai tabi’in, masih didominasi oleh pendekatan bi al-Ma’thur, yang menekankan pada aspek sumber-sumber riwayah dan kebahasaan.
15
DAFTAR KEPUSTAKAAN
‘Ak, Khalid ‘Abd al-Rahman. Usul al-Tafsir wa Qawa‘iduh. Beirut: Dar al-Nafa’is, 1964. ‘Ali, Ahmad Yusuf. The Holy Qur’an. Branswood Mryland, AS: Amana Corp., 1989. Baqiy, Muhammad Fu’ad ‘Abd. al-Mu’jam al Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim. Dar al-Sha’ab, 1945. Farmawy, ‘Abd al-Hay. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdu‘iy. Mesir: al-Jumhuriyyah alMisriyyah, 1977. Hasaniy, Muhammad bin al-Sayyid Alwiy al-Malikiy. Zubdah al-’Itqan fi ‘Ulum alQur’an. Madinah: al-Irshad, 1401 H Mahmud, ‘Abdullah. Manhaj al-Imam Muhammad ‘Abduh fi Tafsir al-Qur’an al-Karim. Kairo, Mesir: Nashr al-Rasail al-Jami’ah, tt. Qattan, Manna ‘ Khalil. Mabahith fi `Ulum al-Qur’an. Beirut: Mansurat al-‘Asr al-Hadith, 1972. Rahman, Fazlur. Some Recent Books on The Qur’an by Western Authors, Journal of Religion, vol. 64, 1984. Rida, Rashid. al-Wahy al Muh. Ammadiy. Salih, Subhiy , Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar ‘Ilm li al-Malayin, 1977. Sabuniy, Muhammad ‘Ali. al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an. Mekkah: 1980. Suyutiy, Jalal al-Din. al-’Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid II. Mesir: Dar Ihy al-Kutub al’Arabiyyah, t.t. Zahabiy, Muhammad Hayyan. al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I. Iraq: Hafuzah li alMuallif, 1976. Zarkashi, Badr al-Din Muhammad bin ‘Abd Allah. al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an. Juz I. Mesir: Dar Ihy al-Kutub al-’Arabiyyah, t.t. Zarqaniy, Muhammad ‘Abd al-’Azi z. Manahil al-’Irfa n fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid I dan II. Mesir: Dar Ihy al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.