ISLAM DAN DEMOKRASI: Penguatan Nilai-Nilai Islam menuju Ketahanan Nasional Rusydi Sulaiman email:
[email protected]
Abstract: Democracy is a choice of this nation. Democracy is not just a theory about the way which is probably to organize government by the people, however, democracy being understood as philosophy about what it should be (the best ways to build government) and also an understanding of the experience of organizing the praxis of Government in different societies, and at different times. Then, democracy named in inbuilt—Dynamics (grow and develop). It was responsed differently; Many agreed, and others disagreed toward democracy. Generally, muslim intellectuals also think about governance issues including democracy. This article analyes about Islam and democracy, further spesifically about the great ideas and sharp strategies for the strengthening of democracy toward governmental bureaucracy as basic of governance for national survavility toward the leaders. Some Islamic perspectif will appear strong addressing democracy which is indicated by muslim intellectuals. Democracy still prevail and persist up to nowadays. This paper is expected to contribute for Muslims in politics whether it is practically or theoretically. *** Demokrasi adalah sebuah pilihan bangsa ini. Demokrasi tidak hanya berupa teori tentang cara –cara yang dimungkinkan untuk mengorganisasikan pemerintahan oleh rakyat, namun demikian, demokrasi juga dipahami sebagai filsafat tentang apa yang seharusnya (cara-cara terbaik membangun pemerintahan) dan juga pemahaman tentang pengalaman praksis mengorganisasikan pemerintahan dalam
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 63
masyarakat yang berbeda, dan pada waktu yang berbeda pula. Dalam perkembangannya, demokrasi mempunyai dinamika yang inbuilt (tumbuh dan berkembang). Ia disikapi secara beragam; sebagian pro, namun sebagian lain mengambil sikap kontra terhadap demokrasi. Sama halnya, intelektual muslim juga menyikapi masalah pemerintahan walaupun tidak secara spesifik membahas tentang demokrasi. Artikel ini menegaskan pembahasannya tentang Islam dan demokrasi, yaitu lebih spesifik mengenai ide-ide besar dan strategi jitu penguatan demokrasi terhadap birokrasi pemerintah sebagai dasar tata kelola pemerintah bagi pemimpin menuju ketahanan nasional. Beberapa perspektif keislaman akan nampak kuat menyikapi demokrasi yang ditunjukkan para pemikir muslim. Demokrasi masih menang dan bertahan hingga saat ini. Tulisan ini diharapkan memberikan kontribusi bagi muslim dalam berpolitik baik secara praktis maupun teoritis keilmuan. Keywords: Islam, democracy, governmental bureaucracy, national survavility bangsa berikut keragaman A. Pendahuluan bahasa, agama, kekerabatan, sistem sosial, sistem politik dan Indonesia adalah Negara sistem ekonomi yang bertemu yang telah cukup lama— pada satu titik, yaitu tanah air setengah abad lebih mengenyam Indonesia. Negara ini kemudian kemerdekaan seperti beberapa memiliki kedaulatan penuh sama Negara tetangga (Malaysia, halnya dengan negara-negara Singapura, Brunai Darussalam, tersebut diatas yang harus diakui Philipina dan Pakistan) dengan kedaulatannya. sistem pemerintahan republik. Statemen tersebut Negara ini memiliki 17.805 pulau mengindikasikan bahwa dan meliputi lebih dari 500 suku Indonesia adalah bangsa yang
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 64
besar dan dikenal kaya akan sumber kekayaan alam dan khasanah sosio-kultural yang tidak dimiliki Negara-negara lain. Tentunya tidak hanya dipandang sebagai kekuatan, tetapi tantangan besar bagi bangsa ini bila ia ingin selangkah lebih maju. Demokrasi lalu disuguhkan sejak ORLA, ORBA dan Orde Reformasi. Pertanyaannya, apakah demokrasi melalui tata kelola pemerintahan atau politik birokrasi telah menjadi yang terbaik ketika dihadapkan kepada dinamika kehidupan masyarakat Indonesia? Atau sebaliknya masih ada kendala dalam implementasinya sehingga keinginan untuk menjadi bangsa yang integrated belum juga tercapai? Apalagi sejak angin reformasi dihembuskan di tahun 1998, situasi politik yang dahsyat muncul; sistem politik sentralistik berubah menjadi desentralisasi, Sebagai contoh, bahwa Presiden dan Wakil
Presiden berikut kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat Intinya negara ini mengadopsi demokrasi Barat. Dinamika demokrasi kemudian menyemarak ke seluruh negeri tanpa reserve yang kuat. Sikap euforia berpolitik berlebihan rakyat mengindikasikan hal tersebut. Ketika demokrasi bisa dijamah oleh siapapun, mampukah ia melahirkan stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang baik dan percepatan kesejahteraan rakyat? Sudah adakah pemimpin negeri yang katanya dipilih secara demokratis mampu mengelola demokrasi dengan baik, dan apakah ketahanan nasional sebagai bentuk stabilitas kenegaraan telah terwujud? Kekhawatirankekhawatiran politik selalu saja muncul dan menghantui kita selaku warga Negara yang menginginkan masyarakatnya maju.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 65
Apapun bentuk pencapaian yang telah dilakukan bangsa yang besar ini, diharapkan menjadi renungan kita bersama. Menurut Kuntowijoyo, integrasi selalu dituntut untuk diwujudkan. Integrasi selalu meninjau kembali tujuantujuannya sendiri ketika ia sampai pada satu taraf perkembangan sejarahnya, karena setiap pencapaian hanyalah satu titik dari sebuah proses yang berkelanjutan.1 Maka diperlukan ide-ide besar dan strategi jitu penguatan demokrasi melalui tata kelola pemerintahan sebagai modal bagi pemimpin menuju ketahanan nasional. Satu perspektif keislaman juga akan menyertai sebagai respon pemikir Islam terhadap demokrasi yang telah cukup lama digulirkan bagi bangsa ini.
1 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: Tiara Wacana,1999).,h. 113
B. Tinjauan Demokrasi Demokrasi merupakan sebuah pemerintahan oleh rakyat. Secara bahasa, demokrasi berasal dari gabungan dua kata dalam Bahasa Yunani, demos (rakyat), dan kratos (pemerintah). Namun demikian, demokrasi tidak hanya berupa teori tentang cara–cara yang dimungkinkan untuk mengorganisasikan pemerintahan oleh rakyat. Demokrasi juga dipahami sebagai filsafat tentang apa yang seharusnya (cara-cara terbaik membangun pemerintahan) dan juga pemahaman tentang pengalaman praksis mengorganisasikan pemerintahan dalam masyarakat yang berbeda, dan pada waktu yang berbeda pula.2
2 Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam sebuah Dunia yang sedang Berubah, terj. Dari, Democracy and democratization: Processes and Prospects in Changing World, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).,h.3
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 66
Dalam perkembangannya, demokrasi terus diperdebatkan bila ia dianggap memiliki elemen penting dan kemudian ditawarkan untuk diterapkan. Bagi para analis yang analisanya selalu saja berubah dan konteks sosial yang tidak menetap/ berkembang, perdebatan tentang demokrasi mempunyai dinamika yang inbuilt (pendebatan yang tumbuh dan berkembang). Selain definisi tokoh-tokoh Barat3, filosuf muslim seperti al-farabi juga mengklasifikasi tentang Negara. 3 Secara konseptual, demokrasi dideskripsikan oleh beberapa tokoh, yaitu: pertama, (Plato), sebuah pemerintahan harus dipegang oleh orang bijak,terlatih dan terpelajar, yaitu para filosuf; kedua (Aristoteles), demokrasi adalah system yang bercirikan adanya pemisahan kekuasaan untuk memastikan pertimbangan kekuatan diantara kelompok-kelompok utama dalam masyarakat; ketiga (Joseph Schumpeter), demokrasi merupakan sebuah metode politik, sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Warga Negara diberikan kesempatan untuk memilih salah satu diantara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih suara; keempat (C.B Mac Pherson), demokrasi dibagi dibagi menjadi tiga macam: demokrasi protektif, demokrasi pembangunan dan demokrasi equilibrium.
Artinya secara tidak langsung menyinggung konsep demokrasi. Sama halnya Aristoteles, bahwa sebuah pemerintahan harus dipegang oleh kelompokkelompok utama di masyarakat (al-madiinah al-faadhilah). Dalam Islam, istilah, demokrasi adalah syura (musyawarah). Belum ada terma lain yang menggantikannya. Bagi sebagaian lain, demokrasi yang datang dari Barat tidak bertentangan dengan prinsipprinsip etik dalam Islam. Sebenarnya sama,karena menyangkut keterwakilan politik rakyat melalui sebuah majlis secara khusus bertugas merumuskan berbagai kebijakan umum tentang pelaksanaan pemerintahan dalam suatu 4 negara Persoalannya lembaga 4 Satu hal yang membedakan syura dengan demokrasi, bahwa syura mengutamakan ketinggian spriritualitas dan intelektualitas dalam diri figur-figur pemimpin wakil yang bermoral tinggi, amanah dan memiliki berbagai kelebihan lainnya bila dibandingkan dengan kebanyakan rakyat. Lihat Syarifuddin Jurdi, Pemikiran
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 67
syura tidak ditemukan dalam praktik politik modern. Kalaupun ada—hanya model imamah di Iran. Wacana syura dalam konteks politik dewasa ini kadang menjadi isu alternatif di tengah arus prustasi atau keterpurukan sistem politik modern.5 Sebuah aliran pemikiran baru tentang demokrasi, yang berdasarkan pada masyarakat modern, tidak pernah muncul hingga abad le-19M,walaupun permulaannya dapat ditelusuri ke jaman Renaisance dan Nicolo Machiavelli (1469-1527 M). Ideide demokrasi terbentuk dalam konteks pembangunan masyarakat industrial kapitalismodern. Setelah itu konsep demokrasi terus dicari formatnya menuju yang lebih sempurna sehingga sesuai dengan kebutuhan politik di era
Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara,khilafah, masyarakat Madani dan demokrasi, (Pustaka Pelajar, 2008).,h.601 5 Jurdi, Pemikiran politik Islam.,h. 601
kontemporer. Demokrasi seringkali disebut, 6 ”Mayoritarianisme”. Demokrasi apapun bentuknya kenyataannya menjadi idola termasuk sebagian Negaranegara muslim pasca runtuknya sistem khilafah pada tahun 1924 di Turki Utsmani. Demokrasi akhirnya dianggap pahlawan yang menyelamatkan rakyat ketika jenuh berada di bawah kekuasaan yang otoritarian yang menafikan partisipasi politik rakyat (tidak demokratis). Ketika demokrasi diartikan sebagai kompetisi, partisipasi dan kebebasan, sudah jelas bahwa proses demokratisasi,perubahan sistem politik dari bentuk yang non6 Mayoritarianisme dipahami sebagai kekuasaan oleh mayoritas rakyat lewat wakilwakilnya yang dipilih secara demokratis. Dan apa yang telah dilakukan oleh mayoritas dianggap sebagai kebenaran. Apa yang disukai orang banyak (preferredby most), tidaklah sama dengan, ‘apa yang banyak disukai, (most preferred). Lihat M.Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos wacana Ilmu, 2000).,h.33-34
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 68
demokratis ke bentuk yang lebih demokratis, dapat terjadi dengan berbagai cara. Dahl sebagaimana yang dikutip oleh Georg Sorensen, bahwa terdapat dua jalan menuju demokrasi; jalan terfokus pada kompetisi dan jalan yang terfokus pada partisipasi.7 Meningkatnya partisipasi berarti meningkatnya jumlah warga Negara yang memperoleh hak-hak politik dan kebebasan dalam berpolitik. Pemerintahan non-demokratis menolak partisipasi tersebut, sebaliknya pemerintahan demokratis sangat menghargai warga Negara Dewasa untuk memperoleh hak dan kebebasan berpolitik secara penuh, paling tidak bagi beberapa anggota sistem politik.
7 Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi.,h. 21
C. Dilema Demokrasi dan Tata Kelola: Pengalaman Indonesia Perubahan politik menuju demokrasi di beberapa Negara berkembang seringkali diawali dengan krisis ekonomi diikuti dengan runtuhnya pemerintahan yang otoritarian, dan kemudian muncul gerakan massa menuntut reformasi ke arah demokrasi dan demokratisasi di segala bidang yang ditangani negara. Fenomena ini juga dialami bangsa Indonesia. Krisis tersebut tidak hanya menurunkan legitimasi pemerintahan otoritarian Orde Baru, tetapi telah mendorong meluasnya gerakan masa rakyat menuntut perubahan tata pemerintahan. Tak terelakkan walaupun masih akan dipertahankan oleh Soeharto sebagai kepala Negara saat itu. Kekuasaan Soeharto secara konstitusional dilimpahkan kepada Habibi—dipandang
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 69
bagian dari pemerintahan otoritarian sebelumnya. Meskipun Habibi berupaya melakukan demokratisasi, tetap saja kekuasaannya tidak legitimate dan hilangnya dukungan politik rakyat yang berakibat pada laporan pertanggungjawabannya ditolak. Sebenarnya tahapan ini merupakan persiapan demokrasi; perjuangan politik menghancurkan rezim nondemokratis dan menata kelola kembali pemerintahan. Kenyataannya tidak demikian, praktik demokrasi dalam budaya politik tampaknya masih akan menempuh jalan berliku-liku dan penuh rintangan,8 disamping gangguan kekuatan oposan politik. Setelah itu dengan kekuatan politik yang tak terlalu dominan, Gus Dur—panggilan KH Abdurrahman Wahid terpilih menjadi presiden. Gus Dur dinilai 8 Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi.,h. 10
kurang mampu mengemban amanat demokrasi; kebijakan mengelola Negara cenderung seperti mengelola persoalan pribadi. Pejabat pemerintah diangkat berdasarkan pertimbangan pribadi dan berdasarkan kedekatan; kurang didukung oleh DPR dan tidak ada kekuatan sosial masyarakat yang mampu mengontrol; pemimpin politik pendukung Gus Dur tidak memiliki landasan moral dan legitimasi idelogis yang kuat agar mereka dipatuhi oleh masyarakat dan birokrat. Tanpa disadari kekuasaannya pun rapuh, dan proses demokratisasi cenderung mengarah ke tindakan anarkhis. Bergantilah tampuk kekuasaan ke Megawati setelah melalui pemilihan umum yang relatif demokratis. Selanjutnya beralih ke SBY—panggilan Susilo Bambang Yudoyono dengan dukungan kuat parta baru, Partai demokrat, sehingga mampu berkuasa selama dua periode
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 70
kekuasaan. Walaupun demikian, prahara politik pun terjadi melanda partai berkuasa tersebut, dan juga partai koalisinya, yaitu Partai Keadilan Sejahtera. Satu isu besar yang bergulir hingga saat ini adalah telah terjadinya tindak pidana korupsi dan begitu banyak masalah yang menghambat proses demokratisasi di Indonesia. Secara umum situasi politik mulai dulu hingga saat ini tidak mampu membuktikan semangat demokrasi dan proses demokratisasi yang sesungguhnya. Proses tata kelola pemerintahan sangatlah politis— telah terjadi politisasi birokrasi di segala bidang. Beberapa masalah yang dipersoalkan diantaranya adalah: ketergantungan birokrasi kepada pemerintah, (demokrasi terpimpin dan demokrasi pancasila), birokrasi menjadi alat pemerintah, pengawasan legislatif terhadap pemerintah masih lemah., tugas-tugas
kekuasaan belum sepenuhnya menjadi replesentasi rakyat, lemahnya rekruitmen calon penguasa misalnya kalangn birokrat, legislatif dan lainnya (belum demokratis), belum sepenuhnya perundangundangan yang menjadi konstitusi meng-cover seluruh aspek kehidupan masyarakat dan sebagiannya sehingga perlu di rumus ulang, hukum belum menjadi panglima, lemahnya sinergitas antara lembagalembaga pemerintah, terjadinya politisasi masa oleh kekuatan politik tertentu dan untuk tujuan politik tertentu sehingga terhambatnya partisipasi politik rakyat, politik dinasti yang berorientasi pada kepentingan keluarga dan masalah-masalah pribadi, Nepotisme Politik: Dominasi kelompok tertentu berdasarkan etnis dan suku tertentu, dan adanya jabatan ganda atau bahkan multi Jabatan.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 71
D. Politik Birokrasi Orde Baru: Respon Pemikir/ Aktivis Islam Birokrasi sebagai alat pemerintah pada dasarnya bekerja untuk kepentingan masyaarakat secara keseluruhan (Public Service). Birokrasi pula dapat dipandang ssebagai suatu mata rantai hubungan antara pemerintah dengan rakyat.. Tugas birokrasi adalah merealisasikan kebijakankeabijakan pemerintah dalama rangka pencapaian kepentingan masyarakat. Ini berarti dalam menjalankan tugasnya, birokrasi menerjemahkan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sehingga kebijakan tersebut dapat dioperasionalisasikan. Birokrasi dalam realitasnya sekali lagi bukanlah semata-mata persoalan administratif, tapi juga bersifat politis dan berkaitan dengan masalah kekuasaan. Adanya anggapan bahwa birokrasi sebagai bagian dari
eksekutif, merupakan satusatunya wadah yang mampu memformulasikan tujuan-tujuan yang jelas secara politis maupun administratif.9 Ide birokrasi di Indonesia muncul ketika Kabinet Wilopo digantikan oleh Kabinet Ali Sastromojoyo (PIN) pada pertengahan tahun 1953, kemudian digantikan Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi) pada tahun 1955. Kabinet Ali ditandai dengan penempatan unsur-unsur partai ke dalam birokrasi tersebut. Tindakan ini kemudian diikuti kabinet-kabinet sesudahnya. Maka secara formal sejak itu birokrasi praktis menjadi arena bagi kepentingan partai politik.10 Ketergantungan birokrasi kepada pemerintah terus beerlanjut, baik pada masa Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila. Pada masa 9 M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi IslamIndonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995).,h.I. 10 Ahmad Syafi’i Ma’arif,Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta:LP3ES,1985).,h. 155-121
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 72
orde baru ini, birokrasi dijadikan mobil politik yang ampuh di tangan pemerintah. Walaupun tidak begitu signifikan perubahannya, birokrasi di era reformasi—pasca Orde Baru—cenderung lebih akomodatif dan bersahabat, bahkan belakangan pemerintah membuka diri untuk berjalan secara kompromis dengan pemikir/ aktivis baru Islam dan juga kalangan pesantren. Fenomena multi-partai di era reformasi ini merupakan indikator sikap antusiasme mereka terhadap pembaharuan politik dan birokrasi di Indonesia. Dengan adanya politisasi birokrasi tersebut, maka perkembangan politik di indonesia tidak berjalan dengan baik. Adapun dampak lain dari politisasi birokrasi tersebut adalah: Pertama, terciptanya Iklim Politik Yang Tidak Sehat; kedua,melemahnya Kekuatan Politik DPR dan Partai Politik; dan ketiga,. Terhambatnya Partisipasi
Politik Rakyat. Namun dari sisi Orde Baru sangatlah efektif pemberlakuan birokrasi tersebut. Langkah-langkah yang ditempuh dalam memperbaiki birokrasi itu adalah: pertama, mengalihkan wewenang pemerintah ke tingkat birokrasi yang lebih tinggi yaitu pemusatan proses pembuatan kebijakan pemerintahan. Kedua, menjadikan birokrasi efektif dan tanggap terhadap perintah pimpinan pusat. Ketiga, memperluas wewenang pemerintah dan mengendalikan daerah-daerah.11 Melihat realitas tersebut, dapat dipahami mengapa sebagian generasi pemikir kita pada tahun 70-an memilih gagasan untuk menyiapkan sebuah integrasi politik lewat partisipasi langsung dalam arus utama proses-proses politik dan birokrasi negara, dengan bergabung baik ke dalam Golkar 11 Baca M.Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi.,hal. 18
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 73
maupun birokrasi negara.12 Telah diketahui secara luas bahwa kalangan intelektual Indonesia secara historis memainkan peranan yang penting dalam pembentukan politik Indonesia modern. Semenjak awal abad kedua puluh, mereka menjadi pemimpin dalam gerakan nasionalis yang menjadi suatu cara untuk melawan kolonialisme. Selama periode yang disebut demokrasi liberal (1945-1959), mereka yang dari generasi intelektual pertama tidak hanya aktif dengan memberikan nasehat-nasehat intelektual untuk program dan kebijakan sosial ekonomi, dan politik namun mereka juga terlibat dalam aktifitas-aktifitas politik secara nyata. Sebagai tinjauan ulang, mungkin dapat dinyatakan bahwa latar belakang mereka
12 Bakhtia Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998).,hal.260
sebagai intelektual telah mewarnai nuansa politik di dalam suatu masa yang sangat demokratis, meskipun kadangkala tidak efisien secara politik13. Setelah pembentukan orde baru, kehidupan intelektual di Indonesia telah menciptakan suatu bentuk yang sangat berbeda, khususnya sejauh berkaitan dengan pean politik mereka. Lenyap sudah posisi kesejarahan mereka sebagai salah satu agen utama dari praktik diskursus sosial-politik. Sebaliknya, posisi mereka saat ini telah digantikan oleh kalangan teknokrat, yang telah muncul sangat berkuasa di bawah rezim orde baru sebagai satu faksi yang penting di dalam elit politik bersama dengan kalangan birokrat militer dan sipil dan juga masyarakat kapitalis. Jika punada, kalangan intelektual, khususnya mereka yang secara terbuka mengkritik pemerintah, 13 Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES, 1999, 60
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 74
berada pada posisi yang defensif dan secara berkesinambungan di bawah tekanan politik negara14. Sebagian diantara mereka adalah Berli Halim, Majid Ibrahim, Deliar Noer, Sularso, Bintoro Cokroaminoto, Bustanul Arifin, Saadillah Mursyid, Mar’i Muhammad dan sebagainya, mereka adalah mantan aktivis HMI. Mereka melihat tak ada gunanya memperjuangkan Islam politik yang akan membawa resiko besar dengan mempertentangkan Islam dan neagara, sebagaimana Islam yang diperjuangkan lewat partaipartai Islam selama Orde Lama. Mereka tetap memperjuangkan berlangsungnya tatanan sosial politik negara sehingga umat islam dapat menjalankan ajaranajaran agama mereka secara bebas. Selain kelompok pemikir sebagaimana telah disebut di atas, sebagian pemikir lebih 14
62
muda merespon gejala politik birokrasi pada waktu itu dengan sikap yang berbeda. Mereka menganggap persoalan yang lebih urgen adalah mempersiapkan infrastruktur kegiatan politik umat Islam, serta membina struktur basis yang diperlukan untuk mendukung sistem politik yang demokratis. Kelompok pemikir yang lebih muda ini juga tertarik dengan kegiatan membangun masyarakat dan bergerak dalam bidang pemikiran dari terjun langsung kedalam percaturan politik atau masuk ke birokrasi.15 Sikap kelompok terakhir yaitu memilih berada di luar birokrasi, tampaknya dapat dipahami dan disadari sepenuhnya. Kalaupun mereka berada di dalam birokrasi yang telah dibangun oleh Orde Baru, maka mereka tidak dapat mengaktualisasikan idealisme mereka untuk menata struktur pemerintahan 15
Muhammad AS Hikam, Demokrasi.,h.
Syafi’i Anwar,Pemikiran dan Aksi.,hal.
26
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 75
demokratis yang dapat menjamin hak-hak politik Umat islam khususnya dan Bangsa Indonesia pada umumnya. Banyak diantaranya, mereka yang justru bergumul dengan masalah-masalah sosial melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dengan masuknya ke lembaga-lembaga tersebut, mereka merasa dapat memberikan kontribusi dalam menyiapkan masyarakat yang demokratis. Mengapa mereka tidak memilih aktif di partai yang secara simbolis adalah Islam? Nampaknya penilaian mereka terhadap partai oposan—partaipartai selain Golkar di era Orde Baru, tidak lain hanyalah partaipartai yang berfungsi sebagai ornamental. Mengapa demikian? Jawabannya, karena begitu kuatnya politik birokrasi yang dikendalikan Suharto yang sangat ditakuti. Meskipun kala itu bermunculan partai politik dengan simbol Islamnya,
kenyataannya tetap berada dalam pasungan penguasa, dan bahkan yang boleh memimpin partai-partai tersebut sebenarnya mereka orang-orang yang dapat dikendalikan 16 penguasa. Para aktivis baru yang masuk ke dalam birokrasi Orde Baru meski ada usaha-usaha islamisasi birokrasi, namun komunitas muslim tidak memberikan legitimasi terhadap kegiatan mereka yang diangggap tidak dapat mewakili aspirasi Islam mereka, sehingga islamisasi birokrasi kemudian dimaknai terbalik menjadi birokrasisasi Islam. Hal ini dapat kita simpulkan bahwa adanya ketidakpercayaan komunitas muslim kepada aktivis baru tersebut. Mereka (aktivis baru) dianggap terlalu akomodatif kepada negara dan bahkan dipandang telah terbawa arus 16 Tobroni dan Samsul Arifin, Islam, Pluralisme Budaya dan Politik, (Jogyakarta: SIPRESS, 1994).,hal. 63
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 76
proses-proses politik dan birokrasi negara serta kehilangan sikap kritis mereka. Komunitas pesantren pun dimungkinkan akan kehilangan karakter kepesantrenannya ketika berhadapan dengan modernitas, dalm hal ini perkembangan politik dan birokrasi pemerintah. Sudah semestinya mereka harus mengambil sikap bijaksana dengan tetap memelihara prinsip konservasi dan akomodasi, yaitu “al-Muhafazhah ‘ala al-Qadim al-Shalih wa al-Akhdzu bi alJadidi al-Aslah”. Namun demikian, proses panjang islamisasi terhadap birokrasi dan politik pemerintah oleh para pemikir/ aktivis politik Islam memberikan hasil yang berarti terhadap prospek politik Indonesia selanjutnya. Terbukti, tokoh-tokoh Islam tertentu dan bahkan kalangan pesantren memegang peranan penting dalam struktur poltik pemerintah pasca Orde Baru, baik sebagai eksekutif, legislatif dan juga
yudikatif, selebihnya di luar kekuasaan dengan bargaining politik yang kuat. E. Penguatan Demokrasi melalui Tata Kelola Pemerintahan Singkatnya yang perlu dilakukan adalah upaya-upaya menuju demokrasi di segala bidang melalui tata kelola pemerintahan. Bisa saja sebagaimana yang telah di lakukan Orde Baru, yaitu penguatan politik birokrasi. Adapaun tahapan tersebut, meliputi: tahapan Persiapan (Pecahnya rezim nondemokratis), tahapan Keputusan (Mulai membangun tata tertib Demokrasi), dan tahapan Konsolidasi (Pengembangan demokrasi lebih lanjut: demokrasi mendarah daging dalam budaya politik). Demokrasi dilakukan dengan manajemen kelembagaan yang kuat.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 77
Demi terwujudnya iklim pemerintah yang demokratis dan munculnya dinamika demokratisasi di negeri ini,maka dibutuhkan pemimpin yang ideal yang kapasitas dan kompetensinya berada diatas kebanyakan masyarakat; memiliki integritas diri dan pengakuan publik yang kuat). Dalam melakukan tata kelola pemerintahannya, seorang pemimpin harus bersikap demokratis dan melakukan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada rakyat, seperti: melakukan pemisahan tugas kekuasaan dengan pelimpahan yang jelas, bersikap akomodatif terhadap kekuatan politik di luar kekuasaan politik, tidak menafikkan partisipasi rakyat dalam berpolitik, meminimalisir konflik yang mengarah kepada instabilitas dan disintegritas negara. Sebagai solusi, maka beberapa harapan disampaikan kepada seorang pemimpin/
pimpinan agar pemerintahan demokratis berjalan stabil adalah: pertama, para pemimpin tidak menggunakan kekerasan, yaitu polisi dan militer untuk meraih atau mempertahankan kekuasaannya; kedua, adanya organisasi masyarakat pluralis yang modern dan dinamis; ketiga, potensi konflik dalam pluralisme struktural dipertahankan pada tingkat yang masih dapat di toleransi; keempat, dalam masyarakat, khususnya yang aktif dalam politik, ada budaya politik dan sistem keyakinan yang mendukung ide demokrasi dan lembaga poliarki.17 F. Menjadi Good-Governance menuju Ketahanan Nasional Satu hal yang harus dilakukan dalam rangka menuju Good Governance adalah memberdayakan masyarakat 17 Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi.,h.7
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 78
madani—merujuk kepada konsep yang telah dikembangkan Nabi Muhammad,saw ketika merintis pembangunan Negara Madinah pasca hijrahnya dari Kota makkah. Masyarakat dimaksud adalah masyarakat ideal—memiliki wujud-wujud kebudayaan; idealism, kelakuan dan wujud benda (wujud peradaban).18 Masyarakat
tersebut terbentuk secara demokratis dan diatur oleh sebuah konstitusi, disebut “Piagam Madinah”, al-‘Ahd li alMadiinah.19
18 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008).,h. 2 Kata Madinah berasal dari kata dalm bahasa Arab yaitu Tamaddun, mengandung pengertian peradaban atau kemajuan telah dicapai. Kata kerja asal istilah tersebut adalah tamaddanayatamaddanu-tamaddun, berarti berperadaban (civilized). Terma Madina, di dalam bahasa Indinesia berarti kota, yaitu Kota Madinah, sebuah kota yang identik dengan kemajuan yang dicapai. Perubahan nama dari yastrib ke sebutan madinah, bukan tanpa alasan, tapi perubahan nama yang mengambarkan cita-cita Nabi. Yaitu: Istilah yang belakangan digunakan untuk masyarakat yang sudah maju, dinamis dan beperadaban tinggi adalah madani (masyarakat madani) da sebutan lain yang disinonimkan dengan istilah tersebut adalah masyarakat sipil (dari bahasa inggris civil), berarti warga negara yang berkemajuan. Dua istilah tersebut tampaknya memiliki kesamaan makna, tapi berbeda sumber pengembalianya. Yang pertama merujuk kepada supremasi kota madinah, sedangkan kedua merujuk ke kejayaan masa lalu di
Barat. Kelompok liberal tidak menyetujui pemaduan dua istilah,masyarakat madani dan civil society. Terma Civil Society digagas oleh John Locke atau Montequieu pada abad ke-18M. Sebeleumnya juga sudah digagas di Yunani Kuno—societies civillis. Lihat Usman Quraisy, Good Governance: dalam Perspektif NU dan Muhammadiyah, ((Jambi: Syariah Press Sulthan Thaha Jambi, 2011).,h. 2 19 Naskah Piagam Madinah secara lengkap dapat dilihat dalam Ahmad Ibrahim al-Syarif, Daulat al-Rasul fi al-Madinat, (Kuwait: Dar al-Bayan, 1972), 90-94 Beberapa item penting tentang muatan naskah Piagam Madinah tersebut antara lain adalah; Pasal 24 misalnya, memperlihatkan bahwa Yahudi telah mengingatkan diri untuk memberikan kontribusi untuk biaya perang dalam mempertahankan Madinah. Mereka memiliki komitmen membantu kaum muslim selama dalam situasi perang. Dalam pasal 45, diatur larangan bagi kaum Yahudi untuk membantu kaum quraisy ketika dalam perang dengan Islam. Lihat dalam Akram Dhiyauddin Umari, Masyrakat Madani; Tinjauan histories Kehidupan Zaman Nabi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999),h. 126-127
Di dalam good Governance, terdapat prinsip-prinsip yang meliputi : pertama, partisipasi masyarakat. Partisipasi dibangun berdasarkan kebebasan
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 79
berkumpul an mengungkapkan pendapat serta kepastian untuk partisipasi secara kongkrit dan transparan; kedua, berorientasi pada konsensus. Tata pemerintahan yang baik yang menjembatani kepentingankepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus yang menyeluruh; ketiga, kesetaraan. Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka; keempat, efektivitas dan efisiensi. Proses pemerintahan yang membuahkan hasil sesuai dengan kebutuhan warga masyarakat dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin; kelima, akuntabilitas. Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat bertanggungjawab, baik kepada masyarakat maupun lembagalembaga yang berkepentingan; keenam, visi strategis. Para
pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik.20 Bila prinsip-prinsip diatas benar-benar melekat pada suatu Negara,maka dengan sendirinya ia akan memiliki stabilitas politik yang kuat. Artinya mampu menuju ketahanan nasional dengan bercirikan: pertama, memiliki birokrasi yang efisien dan tidak korup; kedua, memiliki elit politik yang berkemauan dan mampu memberikan prioritas pada pembangunan ekonomi; dan ketiga, memiliki kebijakan yang dirancang dengan baik untuk mencapai tujuan pembangunan.21 Masyarakat madani tang berada dibawah pemerintahan,”Good Governance”, adalah SDM yang berkualitas yang erat 20 Irwan Abdullah, Berpihak pada manusia: Paradigma Nasional, Pembangunan Indonesia Baru, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).,h. 14-15 21 Georg Sorensen, Demokrasi dan Demok.,h. 5
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 80
hubungannya dengan ketahanan nasional. Mereka memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap ketahanan nasionanl, ancaman, dan mampu mengidentifikasi persoalan-persoalan bangsa yang runit. Adapun pengauatan SDM di negeri ini misalnya dapat dilakukan dengan penguatan nilai-nilai Pancasila sebaga falsafah bangsa, juga melalui revitalisasi dan implementasi konsepsi ketahanan sosial budaya. Dengan demikian terwujudlah Negara Indonesia kuat dan aman.
yang kuat adalah Negara yang menjalankankan fungsi-fungsi kenegaraannya dengan baik dan melibatkan partisipasi politik rakyat dalam berdemokrasi. Demokrasi bukan segalanya, namun kenyataannya masih bertahan. Situasi ini setidaknya memotivasi para pemikir muslim untuk lakukan perubahan politik sehingga bentuk-bentuk idealisme tersebut menjadi pijakan bagi masyarakat.
G. Kesimpulan Demikian pembahasan tentang Islam dan demokrasi. Mudah-mudahan apa yang menjadi harapan kita bersama terhadap demokrasi dan hubungannya dengan kebijakan politik kenegaraan menjadi kenyataan, khususnya bagi bangsa yang besar ini. Negara
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 81
BIBLIOGRAPHY Kuntowijoyo, Budaya Wacana,1999)
dan
Masyarakat,
(Yogyakarta:
Tiara
Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam sebuah Dunia yang sedang Berubah, terj. Dari, Democracy and democratization: Processes and Prospects in Changing World, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara,khilafah, masyarakat Madani dan demokrasi, (Pustaka Pelajar, 2008) M.Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos wacana Ilmu, 2000) M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi IslamIndonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995) Ahmad Syafi’i Ma’arif,Islam (Jakarta:LP3ES,1985)
dan
Masalah
Kenegaraan,
Bakhtia Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998) Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES, 1999) Tobroni dan Samsul Arifin, Islam, Pluralisme Budaya dan Politik, (Jogyakarta: SIPRESS, 1994) Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008)
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 82
Usman Quraisy, Good Governance: dalam Perspektif NU dan Muhammadiyah, ((Jambi: Syariah Press Sulthan Thaha Jambi, 2011) Ahmad Ibrahim al-Syarif, Daulat al-Rasul fi al-Madinat, (Kuwait: Dar al-Bayan, 1972), Akram Dhiyauddin Umari, Masyrakat Madani; Tinjauan histories Kehidupan Zaman Nabi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999) Irwan Abdullah, Berpihak pada manusia: Paradigma Nasional, Pembangunan Indonesia Baru, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 83