ISLAM DAN DEMOKRASI Oleh: Muhammad Abduh
Pendahuluan Demokrasi merupakan salah satu isu global yang terus berkembang hingga saat ini1, dan setidaknya dalam wacana pemikiran Islam terdapat tiga grand pemikiran; menolak, menerima dan mengakomodasi. Namun, wacana yang demikian di dalam realitas-empirik menunjukkan suatu yang berbeda. Bagi mereka yang dianggap menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan keseharian cenderung tidak merespon isu-isu tersebut dengan bijaksana.2 Sementara, di sisi lain terdapat suatu fenomena sebaliknya. Perkembangan ini kemudian menjadikan wacana demokrasi semakin variatif dan dalam makalah ini hanya akan difokuskan pada wacana perkembangan pemikiran demokrasi di dunia barat dan implikasinya terhadap islam dengan memetakan beberapa tokoh Islam dalam menyikapi demokrasi beserta argumentasi yang dibangun oleh masing-masing tokoh tersebut.
Berbagai Pengertian dan Variant Teori-Teori: Islam dan Demokrasi Jika dilihat dari basis empiriknya, Islam dan demokrasi, menurut Mahasin (1993: 30) merupakan dua sisi yang berbeda. Islam berasal dari wahyu, sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian Islam Guru Sejarah Kebudayaan Islam MAN Sakatiga dan Mahasiswa pada Program Studi Peradaban Islam Konsentrasi Pemikiran Pendidikan Islam Program Doktoral Pascasarjana IAIN Raden Fatah Palembang. 1 Isu-isu penting yang berkembang di era modern di antaranya globalisasi, demokrasi dan civil society. Ketiga hal tersebut dalam beberapa hal memaksa umat Islam dan dunia Islam untuk meresponnya. Oleh karena itu, kajian-kajian tentang hal ini mulai banyak ditemukan, terutama oleh penulis kontemporer yang berupaya mengakomodasinya dalam wacana keislaman. 2 Pengalaman-pengalaman negara-negara Islam tidak sama dalam meresponnya. Saudi Arabia merupakan kerajaan Islam yang menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan kenegaraannya. Namun, banyak yang menilai negara tersebut tidak demokratis. Di negara-negara lain, isu yang demikian telah menempatkannya sebagai isu penting. Sebuah negara atau person lebih aman ketika tidak dijustifikasi sebagai negara atau seorang yang demokratis dan tidak otoriter daripada tidak Islami. Demikian juga terhadap hal-hal yang melingkupi dari pengalaman negara muslim dalam demokrasi. Minimnya kajian terhadap demokrasi yang berkembang di negara Islam membuat kajian ini tidak populer di negara-negara Islam.
memiliki dialeketikanya sendiri. Namun begitu menurut Mahasin, tidak ada halangan bagi Islam untuk berdampingan dengan demokrasi. Islam3 adalah agama4. Sebagai agama, Islam diyakini dan dipahami merupakan seperangkat ketentuan dan aturan (aqidah wa al-syari‟ah) yang bersumber dari Allah Swt. Agama, dalam keseluruhan aspek ajarannya, dimaksudkan untuk menjadi panduan bagi manusia. Karena agama menjadi panduan bagi kehidupan manusia, berarti agama juga harus menjadi basis bagi semua atau keseluruhan perilaku manusia, yang antara lain meliputi perilaku politik, ekonomi, sosial dan seterusnya. Sebagai kumpulan ajaran Allah Swt, Islam terkodifikasikan dalam al-Qur‘an. Al-Qur‘an inilah yang kemudian menjadi rujukan perilaku manusia. Tetapi, karena ajaran-ajaran dalam al-Qur‘an memerlukan penjelasan, maka keberadaan Nabi Muhammad Saw., adalah berperan sebagai orang yang menjelaskan al-Qur‘an (mubayyin al-Qur‟an). Nabi Muhammad lah yang kemudian memberikan penjelaskan secara operasional terhadap ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur‘an. Karena itu kemudian, keduanya
--al-Qur‘an dan Sunnah--
menjadi rujukan bagi perilaku umat
Islam. Memperhatikan Islam sebagai kumpulan ajaran yang berasal dari Allah Swt., dan kemudian dilembagakan melalui Nabi Muhammad Saw., dapat dikatakan bahwa yang bisa disebut memiliki kemutlakan untuk mengatur manusia di sini adalah Allah. Dalam pandangan ini Allahlah yang memiliki kedaulatan atas manusia. Allah lah (al-Khaliq) yang menentukan segala ketentuan dan aturan untuk sekalian ciptaannya
3
Dari segi etimologis, Islam memiliki sejumlah derivasi (kata turunan), antara lain: aslama (menyerahkan diri, taat, tunduk, dan patuh sepenuhnya), salimah (selamat, sejahtera, sentosa, bersih dan bebas dari cacat/cela), salam (damai, aman dan tenteram), sullam (tangga; alat bantu untuk naik ke atas). 4 Agama berdasarkan asal kata, yakni al-Din, religi (religere, religare) dan agama. Al-Din (semit) berarti undang-undang atau hukum. Kemudian mengandung arti manguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan dan kebiasaan. Adapun dari kata religi (latin) atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca. Sedangkan religare berarti mengikat. Adapun agama berasal dari bahasa Sangsekerta ( a=tidak, dan gam=pergi), mengandung arti tidak pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun menurun.
(al-Makhluq), termasuk di dalamnya adalah manusia. Dengan demikian manusia harus tunduk dan patuh kepada semua ketentuan dan aturan Allah ini. Dalam pada itu ketentuan dan aturan yang bersumber dari Allah dipandang memiliki nilai kemutlakan (ultimate). Dengan demikian penilaian atas sesuatu yang dilakukan oleh Islam terhadap perilaku manusia secara pasti dan mutlak telah ditentukan apakah itu termasuk dalam kategori benar atau salah. Ketentuan hukum yang demikian adalah mutlak adanya dan tidak bisa dirubah dan akan berlaku sepanjang kehidupan manusia. Di pihak lain dikenal adanya faham tentang ―demokrasi‖5. Demokrasi bukan merupakan hal yang baru bagi masyarakat Eropa dan Amerika. Mereka sudah lama mengenalnya. Nenek moyang mereka sudah dengan sadar mengaplikasikan konsep baru dalam pemerintahan. Setidaknya dapat dijumpai di masyakarat Athena, kota kecil di Yunani. Peristiwa tersebut terjadi di masa kepemimpinan Pericles.6 Namun, patut disayangkan kesempatan hanya diberikan kepada kaum Adam (laki-laki) an sich. Kaum wanita, budak dan orang-orang asing dikecualikan. Demokrasi yang berjalan di Athena ini berjalan sampai 200 tahun (The World of Encyclopaedia, 1983: 106-107). Dari sejarah panjang inilah kemudian demokrasi berkembang dan sekarang menjadi suatu yang universal dan diadopsi oleh berbagai negara di dunia ini. Perkembangan demokrasi sejalan dengan perkembangan umat manusia dan telah melahirkan berbagai macam tokoh dan pemikir yang handal. Pemikiran dan aplikasi teoritis dalam kancah pemerintahan sudah lama terbukti dan teruji secara baik
5
Istilah demokrasi pertama kali muncul dari Yunani sekitar 2,5 ribu tahun silam, di salah satu kota Yunani, Athena muncul bentuk pemerintahan politik baru. Namun, bukan berarti substansi demokrasi tidak dapat ditemukan sebelumnya. Franz Magnis-Suseno (1996: 129-130) melihat jauh sebelum munculnya Yunani yakni 4 ribu tahun silam di mana munculnya Abraham (Ibrahim) di masyakarat Israel telah menemukan akar-akar demokrasi ini. 6 Athena adalah kota yang mampu merealisasikan demokrasi secara langsung dalam sebuah majelis dan di dalamnya hanya terdiri dari 5000 sampai 6000 orang yang memungkinkan dalam jumlah tersebut berkumpul dalam satu ruangan. Namun, bentuk demokrasi langsung tersebut tidak lagi banyak dianut oleh negara-negara maju dikarenakan jumlah penduduk yang lebih banyak dan lebih nyaman menggunakan perwakilan dalam mengurusi suatu tatanan kenegaraan.
dan mengesankan (Effendi, 1996: 86). Walaupun demikian, dalam kapasitas tertentu simbol tersebut perlu dipertanyakan eksistensi dan aplikasinya dalam kehidupan masyarakat dunia dalam skala makro maupun mikro. Pengalaman-pengalaman yang beraneka ragam dan tidak berdimensi satu membuat makna, ciri dan tinjauan-tinjauan yang berhubungan dengan demokrasi menjadi suatu yang beragam. Kenyataan ini juga didukung oleh fenomena sosial dari ilmu politik yang memayungi kajian demokrasi dan yang berhubungan dengannya. Oleh karena itu, setiap negara dan kawasan memilki banyak ragam dalam merespon demokrasi dalam kancah perpolitikan mereka. Ada negara yang sudah mampu dan mapan dalam menerapkannya dan ada juga yang masih belajar dengan tertatih-tatih tanpa membuahkan hasil yang memadai dan memberikan perubahan yang cukup berarti. Pemahaman tentang demokrasi dapat dilakukan secara utuh jika dapat dilakukan kajian yang mendalam tentang substansi dari demokrasi dan hal-hal lain yang mendukungnya. Pengalaman dan aplikasi berbagai negara dapat dijadikan sebagai variant model yang muncul mengiringi paket demokrasi, yang dapat disebut sebagai upaya kreatif masing-masing negara dalam merespon isu demokrasi. Upaya kreatif tersebut tidak dianggap sebagai sebuah reduksi dalam memahami dan mencerna isu penting tersebut. Namun, aplikasi demokrasi akan dapat bermakna bagi negara-negara lain jika disesuaikan dengan kondisi sosial-politik dan sosial-budaya masyarakat setempat. Tentu, ada beberapa hal yang sesuai dengan kondisi tertentu dari negara dan tidak cocok bagi negara lain. Demokrasi tersusun dari dua kata ―demos‖ berarti ―people‖dan ―kratos‖ berarti rule or authority‖ (bahasa Greek, Yunani); yang berarti pemerintahan oleh rakyat (rule or authority by the people) di mana kekuasaan tertinggi di tangan rakyat dan dijalankan secara langsung maupun melalui perwakilan di bawah sistem pemilihan yang bebas. Istilah tersebut menurut Abraham Lincoln sebagaimana dikutip oleh Efendi (1996: 86)
didefenisikan sebagai goverment of the people, by the people, for the people atau pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dari pengertian sederhana tersebut jelas bahwa demokrasi menginginkan pemerintahan diselenggarakan secara terbuka dan rakyat diberi kesempatan dalam memerintah. Demokrasi dan kebebasan sering digunakan secara timbal balik. Namun keduanya tidak sama atau berbeda. Demokrasi merupakan seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan dan juga seperangkat praktek dan prosedur tertentu melalui sejarah panjangnya yang berliku-liku. Oleh karena itu, demokrasi sering diartikan sebagai sebuah pelembagaan kebebasan. Banyak pemikir yang brusaha memberikan pemaparan mengenai ciri-ciri dari demokrasi.
Robert
A.
Dahl
sebagaimana
dikutip
oleh
Efendi
(1996:
89)
mengungkapkan bahwa sebuah rezim dianggap demokratis jika memilki tiga ciri, (1) menyelenggarakan pemilihan yang terbuka dan bebas, (2) mengembangkan pola politik yang kompetitif dan (3) memberi perlindungan kebebasan masyarakat. Sedangkan, W. Ross Yates sebagaimana dikutip oleh Karim ( 1988: 6) mengungkapkan enam ciri. Ciri demokrasi adalah toleransi terhadap yang lain, perasaan fairplay, optimisme terhadap hakekat manusia, persamaan kesempatan, orang yang terdidik, jaminan hidup, kebebasan dan milik. Telah terjadi perubahan dalam pemikiran tentang hal ini. Berbagai pandangan baru yang bersinggungan dengan teori-teori Marxis sebagaimana dikutip oleh Karim (1988: 6) yang berupaya memberikan porsi lebih terhadap kebebasan manusia juga bermunculan. Hal ini misalnya ditunjukkan oleh new left dan new right. Mereka ini berpandangan bahwa demokrasi haruslah memiliki ciriciri penciptaan suasana yang terbaik agar setiap orang dapat berkembang sesuai bakat dan keahliannya masing-masing. Di samping itu, manusia juga diberi hak-hak perlindungan dan penggunaan sewenang-wenang otoritas politik dan kekuasaan. Demikian juga, sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, mereka memberikan catatan
tambahan tentang ciri demokrasi yaitu haruslah mampu memberikan keterlibatan yang sama di antara warga negara dalam bidang politik dan ekonomi yang dapat mensejahterakan mereka. Ternyata dari dua ciri-ciri demokrasi yang disebut di atas dapat dikatakan bahwa demokrasi mengalami berbagai bentuk dan tujuan yang dikaitkan dengan perbedaan mereka dalam memahami (subyektif) dan dengan obyek yang berbeda pula. Untuk membuktikan kesimpulan tersebut, dapat diungkap di sini bahwa terdapat pemikiran yang menitikberatkan pada eksisstensi lembaga eksekutif. Ted Robert Gurr. 7 Demikian juga terhadap pemikiran Mitchell dan Simmons yang mengarahkan pada pilihan publik8 dan John Rawl yang mengutamakan aspek hukum. 9 Berbagai dimensi dan cara pandang terhadap demokrasi di atas juga berimplikasi terhadap banyak ragamnya demokrasi yang ada. Demokrasi perwakilan adalah salah satu bentuk demokrasi yang populer dan sering diterapkan demokrasi negara-negara maju. Walaupun demikian, demokrasi perwakilan bukan satu-satunya bentuk demokrasi. Dalam istilah demokrasi setidaknya mengenal banyak ragam demokrasi antara lain demokrasi protektif, pembangunan, keseimbangan dan partisiparis (Karim 1988). Demokrasi sisi lain, Sklar sebagaimana dikutip oleh Karim (1988: 7) menunjuk lima bentuk demokrasi, yaitu demokrasi liberal, terpimpin, sosial, partsisipasi, dan consociational. Dari uraian demokrasi atas dapat dikatakan bahwa demokrasi dapat berjalan dengan baik jika prasyarat tertentu dipenuhi. Demokrasi kalangan para pakar telah terjadi immak bahwa demokrasi hanya kondusif demokrasi negara maju dan demokrasi
7
Pemikiran tersebut menghasilkan ciri-ciri demokrasi sebagai berikut: persaingan partisispasi politik, persaingan rekrutmen politik, keterbukaan rekurtmen eksebutif dan keberadaan hambatan dari ketua-ketua eksekutif. 8 Bagi kedua pemikir tersebut hakekat politik haruslah memilki empat kelompok pembuat keputusan, yaitu pemilih, pejabat yang dipilih/politisi, birokrat dan kelompok-kelompok kepentingan. 9 Rawl menekankan terhadap hak-hak sipil dan politik yang sama, hak-hak sosio-ekonomi yang minimum dan keterpercayaan.
lingkungan negara kapitalis saja (Kuntowijoyo, 1997:
91). Sedangkan demokrasi
negara yang berkembang atau terbelakang cenderung pelaksanaan demokrasi tidak berjalan baik dan bahkan tidak berjalan sama sekali. Salah satu faktornya adalah kebutuhan biologis masyarakat belum sepenuhnya terpenuhi. Oleh karena itu, mereka tidak banyak memikirkan hal-hal lain yang mendasar dan luas bagi kelangsungan kehidupan mereka dalam kancah perpolitikan. Mereka hanya cukup untuk mendapatkan sesuap nasi guna mendapati kelangsungan hidup mereka dan yang terpenting perut tidak kosong. Substansi demokrasi yang berkembang dalam berbagai teori dan telaahan pemikir dapat disimpulkan dalam tiga agenda dasar yaitu: hak politik yang berkaitan erat dengan hubungan negara dengan masyarakat, hak sipil (demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi) yang berhubungan dengan hubungan elite dengan massa, dan hak aktualisasi diri (demokrasi budaya dan demokrasi agama) yang berhubungan dengan warga negara dengan negara dan warga negara dengan sesamanya. Dari uraian tentang demokrasi di atas, jelas bahwa demokrasi memilki pilarpilar utama yang merupakan soko gurunya. Di antara pilar-pilar demokrasi adalah kedaulatan rakyat, pemilihan yang bebas dan jujur, dan kekuasaan mayoritas dan hakhak minoritas. Oleh karena itu, demokrasi sering diidentikkan dengan seperangkat prosedur tertentu dalam menjadikan bentuk pemerintahan yang berada dalam kekuasaan rakyat. al-Aqqad (t.th.: 29-31) mengungkapkan asas-asas demokrasi yang berkembang di dalam Islam. Dasar penetapan asas-asas tersebut adalah berpijak pada sumber ajaran Islam (al-Qur‘an dan hadis) dan praktek kenegaraan yang berkembang di masa Nabi Muhammad Saw. dan khulafa„ al-Rasyidin. Secara lengkap asas-asas demokrasi adalah: tanggung jawab individu, persamaan manusia dan hak-haknya, musyawarah, dan solidaritas sosial.
Dari beberapa penjelasan tentang demokrasi di atas yang bersumber dari beberapa pemikir muslim dan Barat, tempat di mana lahirnya tradisi demokrasi, maka pemahaman
tentang demokrasi
menjadi
suatu yang beragama
sesuai
dengan
konteksnya. Oleh karena itu, tidak dapat disamakan isu-isu demokrasi yang berjalan di negara-negara
Barat
dengan
menunjukkan lain, acapkali
negara-negara demokrasi
Timur
(Islam).
Namun,
realitas
dipaksakan oleh negara maju dengan
serangkaian besar dana dan prosedur yang ketat agar demokrasi dilaksanakan sesuai keinginan mereka, padahal locus dan tempos-nya berbeda. Ada yang menerima, menolak dan ada yang memberi apresiasi dengan sewajarnya. Penjelasan terhadap masalah ini dapat dilihat dalam perkembangan pemikiran demokrasi di dunia barat dan implikasinya terhadap Islam dengan memetakan beberapa tokoh Islam dalam menyikapi demokrasi beserta argumentasi yang dibangun oleh masing-masing tokoh tersebut dalam pembahasan berikut ini.
Demokrasi Dalam Pandangan Barat Berbicara demokrasi dalam pandangan barat tidak bisa dilepaskan dari konteks historis, karena konsep demokrasi sendiri memang berasal dari barat yang kemudian berkembang menjadi beberapa fase, yaitu: Pertama, Fase Klasik. Pada fase ini ditandai dengan munculnya pemikiranpemikiran filosofis dan praksis politik dan ketatanegaraan sekitar abad ke 5 SM yang menjadi kebutuhan dari negara-negara kota (city states) di Yunani, khususnya Athena. Munculnya pemikiran yang mengedepankan demokrasi (democratia, dari demos dan kratos) disebabkan gagalnya sistem politik yang dikusai para Tyrants atau autocrats untuk memberikan jaminan keberlangsungan terhadap Polis dan perlindungan terhadap warganya. Filsuf-filsuf seperti Thucydides (460-499 SM), Socrates (469-399 SM), Plato (427-347SM), Aristoteles (384-322 SM) merupakan beberapa tokoh terkemuka yang
mengajukan pemikiran-pemikiran mengenai bagaimana sebuah Polis seharusnya dikelola sebagai ganti dari model kekuasaan para autocrats dan tyrants. Dari buah pikiran merekalah prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi, yaitu persamaan (egalitarianism) dan kebebasan (liberty) individu diperkenalkan dan dianggap sebagai dasar sistem politik yang lebih baik ketimbang yang sudah ada waktu itu. Tentu saja para filsuf Yunani tersebut memiliki pandangan berbeda terhadap kekuatan dan kelemahan sistem demokrasi itu sendiri. Plato, misalnya, dapat dikatakan sebagai pengritik sistem demokrasi yang paling keras karena dianggap dapat mendegenerasi dan mendegradasi kualitas sebuah Polis dan warganya. Kendati Plato mendukung gagasan kebebasan individu tetapi ia lebih mendukung sebuah sistem politik dimana kekuasaan mengatur Polis diserahkan kepada kelompok elite yang memiliki kualitas moral, pengetahuan, dan kekuatan fisik yang terbaik atau yang dikenal dengan nama “the philosopher Kings”. Sebaliknya, Aristoteles memandang justru sistem demokrasi yang akan memberikan kemungkinan Polis berkembang dan bertahan karena para warganya yang bebas dan egaliter dapat terlibat langsung dalam pembuatan keputusan publik, dan secara bergiliran mereka memegang kekuasaan yang harus dipertanggungjawabkan kepada warga. Demokrasi klasik di Athena, baik dari dimensi pemikiran dan praksis, jelas bukan sebuah demokrasi yang memenuhi kriteria sebagai demokrasi substantif, karena pengertian warga (citizens) yang “egaliter” dan ―bebas‖ pada kenyataannya sangat terbatas. Mereka ini adalah kaum pria yang berusia di atas 20 tahun, bukan budak, dan bukan kaum pendatang (imigran). Demikian pula demokrasi langsung di Athena dimungkinkan karena wilayah dan penduduk yang kecil (60000-80000 orang). Warga yang benar-benar memiliki hak dan berpartisipasi dalm Polis kurang dari sepertiganya dan selebihnya adalah para budak, kaum perempuan dan anak-anak, serta pendatang atau orang asing! Demikian pula, para warga dapat sepenuhnya berkiprah dalam proses
politik karena mereka tidak tergantung secara ekonomi, yang dijalankan sepenuhnya oleh para budak, kaum perempuan, dan imigran. Kedua, Pada fase Pencerahan (Abad 15 sampai awal 18M). Yang mengemuka pada fase ini adalah gagasan alternatif terhadap sistem Monarki Absolut yang dijalankan oleh para raja Eropa dengan legitimasi Gereja. Tokoh-tokoh pemikir era ini antara lain adalah Niccolo Machiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), dan Montesquieu (1689-1755). Era ini ditandai dengan munculnya pemikiran Republikanisme (Machiavelli) dan liberalisme awal (Locke) serta konsep negara yang berdaulat dan terpisah dari kekuasan eklesiastikal (Hobbes). Lebih jauh, gagasan awal tentang sistem pemisahan kekuasaan (Montesquieu) diperkenalkan sebagai alternative dari model absolutis. Pemikiran awal dalam sistem demokrasi modern ini merupakan buah dari Pencerahan dan Revolusi Industri yang mendobrak dominasi Gereja sebagai pemberi legitimasi sistem Monarki Absolut dan mengantarkan pada dua revolusi besar yang membuka jalan bagi terbentuknya sistem demokrasi modern, yaitu Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Perancis (1789). Revolusi Amerika melahirkan sebuah sistem demokrasi liberal dan federalisme (James Madison) sebagai bentuk negara, sedangkan Revolusi
Perancis
mengakhiri
Monarki
Absolut dan meletakkan dasar
bagi
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia secara universal. Ketiga, Fase Modern (awal abad 18-akhir abad 20). Pada fase modern ini dapat disaksikan dengan bermunculannya berbagai pemikiran tentang demokrasi berkaitan dengan teori-teori tentang negara, masalah kelas dan konflik kelas, nasionalisme, ideologi, hubungan antara negara dan masyarakat dan sebagainya. Disamping itu, terjadi perkembangan dalam sistem politik dan bermunculannya negara-negara baru sebagai akibat Perang Dunia I dan II serta pertikaian ideologi khusunya antara kapitalisme dan komunisme.
Pemikir-pemikir demokrasi modern yang paling berpengaruh termasuk JJ Rousseau (1712-1778), John S Mill (1806-1873), Alexis de Tocqueville (1805-1859), Karl Marx (1818-1883), Friedrich Engels (1820-1895), Max Weber (1864-1920), dan J. Schumpeter (1883-1946). Rousseau membuat konsepsi tentang kontrak sosial antara rakyat dan penguasa dengan mana legitimasi pihak yang kedua akan diberikan, dan dapat dicabut sewaktu-waktu apabila ia dianggap melakukan penyelewengan. Gagasan dan praktik pembangkangan sipil (civil disobedience) sebagai suatu perlawanan yang sah
kepada
penguasa
sangat
dipengaruhi
oleh
pemikiran
Rousseau.
Mill
mengembangkan konsepsi tentang kebebasan (liberty) yang menjadi landasan utama demokrasi liberal dan sistem demokrasi perwakilan modern (Parliamentary system) di mana Mill menekankan pentingnya menjaga hak-hak individu dari intervensi negara/pemerintah. Gagasan pemerintahan yang kecil dan terbatas merupakan inti pemikiran Mill yang kemudian berkembang di Amerika dan Eropa Barat. De Toqcueville juga memberikan kritik terhadap kecenderungan negara untuk intervensi dalam kehidupan sosial dan individu sehingga diperlukan kekuatan kontra yaitu masyarakat sipil yang mandiri. Marx dan Engels merupakan pelopor pemikir radikal dan gerakan sosialiskomunis yang menghendaki hilangnya negara dan munculnya demokrasi langsung. Negara dianggap sebagai ―panitia eksekutif kaum burjuis‖ dan alat yang dibuat untuk melakukan kontrol terhadap kaum proletar. Sejauh negara masih merupakan alat kelas burjuis, maka keberadaannya haruslah dihapuskan (withering away of the state) dan digantikan dengan suatu model pemerintahan langsung di bawah sebuah diktator proletariat. Dengan mendasari analisa mereka mengikuti teori perjuangan kelas dan materialism dialektis, Marx dan Engels menganggap sistem demokrasi perwakilan yang diajukan oleh kaum liberal adalah alat mempertahankan kekuasaan kelas burjuis dan
karenanya bukan sebagai wahana politik yang murni (genuine) serta mampu mengartikulasikan kepentingan kaum proletar. Max Weber dan Schumpeter adalah dua pemikir yang menolak gagasan demokrasi langsung ala Marx dan lebih menonjolkan sistem demokrasi perwakilan. Mereka berdua mengemukakan demokrasi sebagai sebuah sistem kompetisi kelompok elite dalam masyarakat, sesuai dengan roses perubahan masyarakat modern yang semakin terpilah-pilah menurut fungsi dan peran. Dengan makin berkembangnya birokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sistem pembagian kerja modern, maka tidak mungkin lagi membuat suatu sistem pemerintahan yang betul-betul mampu secara langsung mengakomodasi kepentingan rakyat. Demokrasi yang efektif adalah melalui perwakilan dan dijalankan oleh mereka yang memiliki kemampuan, oleh karenanya pada hakekatnya demokrasi modern adalah kompetisi kaum elit. Perkembangan pemikiran demokrasi dan praksisnya pada era kontemporer menjadi semakin kompleks, apalagi dengan bermunculannya negara-negara bangsa dan pertarungan ideologis yang melahirkan blok Barat dan Timur, kapitalisme dan sosialisme/komunisme. Demokrasi menjadi jargon bagi kedua belah pihak dan hampir semua negara dan masyarakat pada abad keduapuluh, kenbdatipun variannya sangat besar dan bahkan bertentangan satu dengan yang lain. Demokrasi kemudian menjadi alat legitimasi para penguasa, baik totaliter maupun otoriter di seluruh dunia. Di negara-negara Barat seperti Amerika dan Eropa, pemahaman demokrasi semakin mengarah kepada aspek prosedural, khususnya tata kelola
pemerintahan
(governance).
Pemikir
seperti
Robert Dahl
umpamanya
menyebutkan bahwa teori demokrasi bertujuan memahami bagaimana warganegara melakukan control terhadap para pemimpinnya. Dengan demikian focus pemikiran dan teori demokrasi semakin tertuju pada masalah proses-proses pemilihan umum atau
kompetisi partai-partai politik, kelompok kepentingan, dan pribadi-pribadi tertentu yan memiliki pengaruh kekuasaan. Dengan hancurnya blok komunis/sosialis pada penghujung abad ke duapuluh, demokrasi seolah-olah tidak lagi memiliki pesaing dan diterima secara global. Fukuyama bahkan menyebut era paska perang dingin sebagai Ujung Sejarah (the End of History) di mana demokrasi (liberal), menurutnya, menjadi pemenang terakhir. Pada kenyataannya, sistem demokrasi di dunia masih mengalami persoalan yang cukup pelik karena komponen-komponen substantif dan prosedural terus mengalami penyesuaian dean tantangan. Kendati ideologi besar seperti sosialisme telah pudar, namun munculnya ideologi alternatif seperti fundamentalisme agama, etnis, ras, dsb telah tampil sebagai pemain dan penantang baru terhadap demokrasi, khususnya demokrasi liberal. Kondisi saat ini di mana globalisasi telah berlangsung, maka demokrasi pun mengalami pengembangan baik pada tataran pemikiran maupun prkasis. Munculnya berbagai pemikiran dan gerakan advokasi juga menjadi tantangan bagi sistem politik demokrasi liberal, seperti gerakan feminisme, kaum gay, pembela lingkungan, dan sebagainya. Termasuk juga gerakan anti kapitalisme global yang bukan hanya berideologi kiri, tetapi juga dari kubu liberal sendiri, semakin menuntut terjadinya terobosan baru dalam pemikiran tentang demokrasi. Contoh yang dapat disebutkan disini adalah upaya mencari jalan ke tiga (the Third Way) yang menggabungkan liberalisme dan populisme di Eropa dan Amerika Serikat. Indonesia sedang dalam proses tranformasi dari sistem otoriter menuju demokrasi sebagaimana dicita-citakan para pendirinya dalam konstitusi. Tak terelakkan lagi, diperlukan kemampuan dari para pekerja demokrasi untuk mencari varian demokrasi yang compatible dengan konteks yang dihadapi. Pemahaman tentang
perkembangan pemikiran dan praksis demokrasi dari berbagai era dan wilayah dunia akan sangat membantu dalam usaha tersebut (Rosyada, 2005: 127-130).
Demokrasi Dalam Pandangan Islam Esposito dan Piscatori (1994: 19-21), memetakan wacana pemikiran politik Islam terhadap demokrasi menjadi tiga aliran; aliran pemikiran Islam yang menolak konsep demokrasi, aliran yang menyetujui prinsip-prinsipnya tetapi mengakui adanya perbedaan, dan aliran yang menerima konsep demokrasi sepenuhnya. Pertama, bagi kelompok yang menolak demokrasi beranggapan bahwa adalah impossible jika Islam memiliki kesamaan dengan demokrasi. Mereka berpendapat bahwa dalam Islam tidak ada tempat yang layak bagi demokrasi, yang karenanya Islam dan demokrasi tidak dapat dipadukan. Beberapa ulama yang berpandangan demikian antara lain adalah, Syaikh Fadillah Nuri, Thabathabai, dan Sayyid Qutb. Bagi Syaikh Fadillah Nuri, salah seorang ulama Iran, satu kunci gagasan demokrasi yaitu persamaan semua warga negara adalah impossible dalam Islam. Perbedaan luar biasa yang tidak mungkin dihindari pasti terjadi, misalnya, antara yang beriman dan yang tidak beriman, antara kaya dan miskin, dan antara faqih (ahli hukum Islam) dan pengikutnya (Kamil, 1999: 38-39). Selain itu, ia juga menolak legislasi oleh manusia. Islam katanya, tidak memiliki kekurangan yang memerlukan penyempurnaan. Dalam Islam tidak ada seorangpun yang diizinkan mengatur hukum. Paham konstitusional sebagai bagian dari demokrasi, karenanya bertentangan dengan Islam. dalam keyakinan Syaikh Fadillah Nuri, tampaknya manusia hanya bertugas melaksanakan hukum-hukum Tuhan (Kamil, 1999: 48). Sayyid Qutb, Pemikir Ikhwanul Muslimin, sangat menentang gagasan kedaulatan rakyat. Baginya, hal itu adalah pelanggaran terhadap kekuasaan Tuhan dan merupakan suatu bentuk tirani sebagian orang terhadap yang lainnya. Mengakui kekuasaan tuhan berarti melakukan pertentangan secara menyeluruh terhadap seluruh kekuasaan manusia dalam seluruh
pengertian, bentuk, sistem, dan kondisi. Agresi menentang kekuasaan Tuhan di atas bumi merupakan suatu bentuk jahiliyah (kebodohan pra Islam), sambil menekankan bahwa sebuah negara Islam harus berlandaskan pada prinsip musyawarah, ia percaya bahwa syari‟ah sebagai sebuah sistem hukum dan sistem moral sudah sangat lengkap, sehingga tidak ada legislasi lain yang mengatasinya (Kamil, 1999: 48). Kedua, Kelompok yang menyetujui adanya prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam tetapi mengakui adanya perbedaan. Kelompok ini diwakili oleh Maududi di Pakistan dan Imam Khomeini dari Iran, serta beberapa pemikir Islam lainnya. Abu ‗Ala Maududi misalnya berpandangan bahwa ada kemiripan wawasan antara demokrasi dengan (QS.
Islam,
seperti
al-Hujuraat/49:
keadilan,
(QS.
13), akuntabilitas
asy-Syuraa/42:
pemerintahan (QS.
15),
persamaan
an-Nisaa/4:
58),
musyawarah (QS. asy-Syuraa/42: 38), tujuan negara (QS. al-Hajj/22: 4), dan hak-hak oposisi (QS. al-Ahzab/33: 70). Akan tetapi perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa dalam sistem Barat, suatu negara demokratis menikmati kedaulatan rakyat mutlak, maka dalam demokrasi Islam, kekhalifahan diterapkan untuk dibatasi oleh batas-batas yang telah di gariskan oleh hukum-hukum Ilahi (Kamil, 1999: 49). Khomeini sebagaimana dikutip oleh Yamani (2002: 141) mempunyai pandangan lain terhadap demokrasi, menurutnya demokrasi Islam berbeda dengan demokrasi liberal, Khomeini meyakini bahwa kebebasan mesti dibatasi dengan hukum, dan kebebasan yang diberikan itu harus dilaksanakan di dalam batas-batas hukum Islam dan konstitusi, dengan sebaik-baiknya. Konstitusi Republik Islam Iran yang didasarkan pada konsep wilayatul faqih mencerminkan bahwa di satu sisi Iran merupakan negara Islam yang bersumber pada hukum agama, namun di sisi lain Iran termasuk merupakan sebuah negara yang secara prinsipil menganut sistem demokrasi. Ketiga, kelompok yang menerima sepenuhnya konsep demokrasi memandang bahwa sejatinya di dalam diri Islam sangat demokratis karenanya menurut mereka Islam
menerima sepenuhnya demokrasi sebagai sesuatu yang universal. Pemikir yang masuk dalam kategori kelompok ketiga ini antara lain, Muhammad Husain Haikal dari Mesir, Rashid al-Ghannouchi, pemikir politik asal Tunisia, serta Bani Sadr dan Mehdi Bazargan dari Iran. Muhammad Husein Haikal, salah seorang pemikir muslim dari Mesir, berpendapat bahwa dalam dunia pemikiran, demokrasi pertama kali dicanangkan oleh Islam, menurutnya, semua sistem yang tidak berdiri di atas prinsip-prinsip demokrasi adalah tidak sesuai dengan kaidah-kaidah utama yang ditetapkan dan diserukan Islam. Karena, kaidah-kaidah yang ditetapkan demokrasi merupakan kaidah Islam dan begitu pula dengan prinsip-prinsipnya. Islam dan demokrasi sama-sama berorientasi kepada fitrah manusia. Haikal mendasarkan pikirannya kepada prinsip musyawarah, prinsip persaudaraan Islam, prinsip persamaan, prinsip ijtihad (penalaran pribadi) atau kebebasan berpikir terutama dalam masalah yang tidak ada kaitannya dengan syariah. prinsip legislasi yang wewenangnya hanya dimiliki oleh para hakim dan tidak dimiliki oleh khalifah atau imam, prinsip ijma‟ (kesepakatan para ahli), pengawasan terhadap penguasa, akuntabilitas serta pengendalian nafsu bagi penguasa. Semua itu merupakan prinsip-prinsip dari sistem politik yang dipraktekkan Nabi di Madinah (Kamil, 1999: 58-59).
Pemahaman dan Pandangan Penulis Demokrasi yang berkembang di Barat, berangkat dari adagium: “vox populi vox dei“ (Suara rakyat suara Tuhan) yang dikemukakan oleh William of Malmesbury di abad ke-12. Dalam Islam sebuah pertanyaan besar: apakah kalau rakyatnya semua kafir, atau musyrik, atau fasiq, itu juga suara Tuhan , atau bodoh-bodoh, itu suara Tuhan? Tuhan yang mana? dan dalam hal apa saja kapasitas demokrasi itu, apakah kalau mau shalat harus musyawarah dulu? Melaksanakan hukum Allah harus musyawarah dulu?
Tentu saja tidak! Tetapi juga wajib difahami bahwa, Islam mengatur tata kehidupan beragama dalam bernegara, -dalam kontek Indonesia, misalnya- hal ini penting untuk diketahui
,karena
banyak umat yang beragama
sangat eksklusif, yang tidak
proporsional, atau inklusif juga tidak pada tempatnya. Prinsip hidup beragama dalam bernegara seperti ini telah diterapkan oleh Rasulullah Saw., bersama para sahabatnya, ketika membangun Negara Madinah, melalui “Watsiqah Madinah“ (Piagam Madinah) nya. Bagaimana Nabi Muhammad Saw. membuat perjanjian bela negara dengan orang-orang Yahudi, Nashrani, Majusi, Shabi-iin, Musyrikiin. Itulah bentuk negara pertama yang sebenarnya, dalam sejarah ketatanegaraan, kalau kita mau jujur. Lalu, umat Islam kapan lagi, jujur dan konsisten dengan ajaran pokoknya al-Quran dan al-Sunnah, siapa lagi yang harus diikuti dan diteladani selain Rasul Allah dan para sahabatnya? (lihat QS. Ali Imran/3: 3, dan QS. an-Nisa‟/ 4: 59). Jadi menurut penulis konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam. Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan Islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan kebijakan lewat wakilnya. Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu Ilahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di antaranya: Pertama, demokrasi tersebut harus berasa di bawah payung agama; Kedua, rakyat diberi kebabasan untuk menyuarakan aspirasinya; Ketiga, pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah; Keempat, suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah.
Contonya kasus Abu Bakar ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perangdengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya; Kelima, musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh al-Qur‘an dan Sunnah; Keenam, produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar daari nilai-nilai agama; Ketujuh, hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warganya. Akhirnya, agar sistem atau konsep demokrasi yang Islami di atas terwujud, langkah yang harus dilakukan: Pertama, seluruh warga atau sebagaian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya. Kedua, parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan Islam secara baik.
Penutup Nampaknya, entah itu di kalangan barat maupun Islam memiliki perbedaan berikut persamaan dalam mengartikan demokrasi, dan terlepas dari itu semua, pada tataran konsep, memang apapun sistem politik yang digunakan dalam menjalakan sebuah roda pemerintahan dan negara pada dasarnya adalah ideal dan baik, begitu pun dengan demokrasi, demokrasi memang pada tataran idea dan konsepnya merupakan sebuah sistem politik yang dianggap terbaik dari sistem politik yang ada, namun pada tataran praktis para demokrat yang hidup di alam demokrasi tersebut terkadang melenceng dari koridor demokrasi yang ada, dengan mengkhianati konsep-konsep demokrasi yang ideal tersebut, yang mesti dikedepankan kemudian adalah komitmen
dalam menjalankan sebuah sistem politik, dengan mengikuti koridor-koridor yang ada, apa pun itu sistemnya, termasuk demokrasi. Wallahua`lam…
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‘an al-Karim al-Aqqad, Abbas Mahmud. t.th. al-Dimuqratiyah fi al-Islam. Mansyurat al-Maktabat al‘Asriyah, Beirut. Ali, A. Mukti. 1996. Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Mizan, BandungCet. III. al-Raziq, Ali ibn Abd. 1925. al-Islam wa Usul al-Hukum. tp.Cet. III. Dede Rosyada dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah), 2005, cet. III Donohue, John J. dan John L. Esposito, Islam in Tradition, Muslim Perspective (diterjemahkan oleh Machnun Husein) 1995. Islam dan Pembaruan Ensiklopedi Masalah-masalah. Rajawali Press, Jakarta. Effendi, Bahtiar. 1996. ―Islam dan Demokrasi: Mencari Sebuah Sintesa yang Memungkinkan dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher, (Ed),. Agama dan Dialog antar Peradaban. Paramadina, Jakarta. Cet. I. —— Masyarakat Agama: Deprivatiasai Agama, dalam Jurnal Kebudayaan dan Peradabn Ulumul Qur‘an edisi 3/VII/1997. ——.1995. Islam and Democracyt: in Search of a Viable Systhesis dalam Studi Islami, Vo. 2, No. 4, 1995.
Esposito, John L. 1999. Islam and Democracy (diterjemahkan oleh Rahmani Astuti) dengan judul Demokratisasi di Negara-negara Muslim: Problem dan Praktek. Mizan, Bandung. ——– 1986. Islam and Development (diterjemahkan oleh Rahman Zainuddin) dengan judul Identitas Islam pada Perubahan Politik. Bulan Bintang, Jakarta. http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi Huwaydi, Fahmi. 1996. al-Islam wa al-DImuqratiyah (diterjemahkan oleh Muhammad Abdul Goffar E.M.) dengan judul Demokratsi oposisi dan Masyarakat Madani: Isu-isu Besar Politik Islam. Mizan, Bandung. Cet. I. Ibn Majah. t.th. Sunan Ibn Majah, Isa al-Babi al-Hubla wa Auladuh, Mesir. Jilid II. Kamil,Sukron. 2002. Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis. Gaya Media Pratama, Jakarta.
Karim, M. Rusli. Peluang dan Hambatan Demokratisasi dalam Analisis CSIS, Tahun XXVII, No. 1 Januari-Maret 1988. Kuntowijoyo. 1997. Identitas Politik Umat Islam. Mizan, Bandung. Cet. II. Lapidus, Ira M. 1999. Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian 3 (terj. Ghufron A. Mas‘adi). Raja Grafindo Persada, Jakarta. Magnis-Suseno, Franz. 1996. ―Demokrasi: Tantangan Universal‖ dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher, (Ed), Agama dan Dialog antar Peradaban. Paramadina, Jakarta. Cet. I. Ohmae, Kenichi. The End of the Nation State dalam Analisis CSIS Tahun XXV, No. 2 Maret-April 1996. Rusli, Ris‘an et. al. 2010. Panduan Penulisan Karya Ilmiah. Program Pascasarjana IAIN Raden Fatah Palembang. Sjadzali, Munawir. 1990. Islam dan Tata Negara: Ajarn, Sejarah, dan Pemikirannya. UI Press, Jakarta. Cet. VIII. Taylor,David. 1989. ―Politik Islam dan Islamisasi Pakistan‖ dalam Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Thaba, Abdul Aziz. 1996. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Gema Insani Press, Jakarta. Cet. I The World of Encyclopaedia. 1983.World Book, Inc., Chicago. Juz V. 1983. Tibi, Bassam. 1998. The Challenge of Fundamentalism Political Islam and the New World Disorder. University of California Press, Los Angles. Yamani. 2002. Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam. Mizan, Bandung. Cet. I.