ISBN 978-602-19911-3-8
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
Pusat Penginderaan Jauh Institut Teknologi Bandung Bandung, Indonesia 40132
ISBN
978-602-19911-3-8
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 Diterbitkan di Bandung oleh Pusat Penginderaan Jauh, Institut Teknologi Bandung Gedung Labtek IX-C, lt. 3 Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132 http://crs.itb.ac.id email:
[email protected]
Editor : Ketut Wikantika, Lissa Fajri Yayusman Desain sampul : Achmad Ramadhani Wasil, Nur Fajar Trihantoro Cetakan Pertama : April 2015 Hak Cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin penerbit UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
ii
Kata Pengantar Indonesia telah banyak dihadapkan dengan berbagai bencana alam, kependudukan, sosial-ekonomi, dan berbagai masalah lain yang sesungguhnya secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan lingkungan. Berbagai penelitian dari banyak cabang ilmu pengetahuan dan teknologi telah dikerahkan dalam rangka mengatasi isu-isu tersebut. Salah satu upaya yang sangat vital ialah pendekatan dari segi informasi geospasial yang cepat dan akurat untuk membantu dalam proses perencanaan pembangunan, monitoring, dan pengambilan keputusan. Teknologi penginderaan jauh merupakan teknologi berbasis geospasial dengan keunggulan yang dapat memberi informasi mengenai gambaran di permukaan bumi. Teknologi ini telah cukup dikenal dengan kemampuan yang dapat memudahkan manusia untuk dapat melakukan analisis spasial terhadap fenomena yang terjadi pada lingkungan sekitar. Buku berjudul “Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013” ini ditujukan sebagai sarana publikasi karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan penginderaan jauh. Beragam karya ilmiah mengenai aplikasi dalam berbagai bidang baik lingkungan, pertanian, perikanan, dan bencana alam menjadi bagian dalam buku ini. Harapan redaksi agar buku ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun sumber pengetahuan baru di bidang penginderaan jauh. Partisispasi dari para peneliti dan penulis lain juga terus dinantikan agar semakin banyak inovasi dan penyampaian ilmu pengetahuan mengenai penginderaan jauh di masa yang akan datang.
Tim Redaksi
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
iv
Daftar Isi Kata Pengantar ....................................................................................................... ii Daftar Isi ............................................................................................................... iv Karakteristik Pola Curah Hujan di Wilayah Indonesia Berdasarkan Data Satelit TRMM (1998-2011) .............................................................................................. 1 Pemanfaatan Data Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) dalam Verifikasi Peningkatan Akurasi Keluaran Model Curah Hujan Coupled Model Intercomparison Project Phase 3 (CMIP3) Menggunakan Data Sinar Kosmik di Indonesia Berbasis Jaringan Syaraf Tiruan.......................................................... 23 Kajian Konsentrasi Klorofil-a di Perairan Danau Matano, Mahalano, dan Towuti Menggunakan Data Landsat-7 ETM .................................................................... 37 Identifikasi Alih Fungsi Lahan Pertanian di Tanah Lokasi PRONA dengan Metode Klasifikasi Kontekstual dari Citra Landsat-TM dan Aster ..................... 63 Model Spasial NDVI Minimum dan Maksimum dengan Landsat TM/ETM+ Multi-temporal (2000-2009) ................................................................................ 81 Penggabungan Data DEM SRTM, ALOS PRISM, dan Peta Topografi .............. 96 Analisis Prospek Panas Bumi dengan Landsat TM5 Berbasis Fuzzy Logic ...... 114 Karakterisasi Permukaan Tanah di Wilayah Karst Kecamatan Cipatat Menggunakan Data SAR ................................................................................... 137 Pembelajaran dan Pemahaman Konsep Lingkungan Berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG).................................................................................................. 154
Karakteristik Pola Curah Hujan di Wilayah Indonesia Berdasarkan Data Satelit TRMM (1998-2011)
Parwati Sofan
1
2
Parwati Sofan.
Karakteristik Pola Curah Hujan di Wilayah Indonesia Berdasarkan Data Satelit TRMM (1998-2011)
Parwati Sofan Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Jl. LAPAN No.70 Pekayon Pasar Rebo, Jakarta Timur 13710 E-mail:
[email protected]
Abstrak Karakteristik utama dari variabilitas curah hujan Indonesia pada skala tahunan didominasi oleh monsun Asia-Australia (AA). Pada skala waktu tahunan, distribusi curah hujan bergerak sejalan dengan zona suhu musiman maksimum. Dalam tulisan ini, beberapa karakteristik hujan di Indonesia dianalisis menggunakan data curah hujan berdasarkan data satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) periode 1998 - 2011 pada resolusi 0.25 x 0.25. Secara spasial nilai rata-rata curah hujan setiap pixel diinterpolasi dengan metode Inverse Distance Weighted (IDW). Selanjutnya dilakukan pengkelasan curah hujan berdasarkan acuan BMKG sehingga diperoleh wilayah-wilayah di Indonesia yang memiliki Intensitas curah hujan sangat tinggi, tinggi, menengah, dan rendah. Hasil analisis menunjukkan bahwa curah hujan sangat tinggi (> 401 mm/bulan) terdapat di sebagian wilayah Papua Tengah, Papua Timur, Papua Barat. Curah hujan kategori tinggi (301-400 mm/bulan) terdapat di sebagian wilayah Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan (Luwu), Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Curah hujan rendah (0-100 mm/bulan) terdapat di wilayah Maluku, Bali, dan Nusa Tenggara. Selebihnya wilayah Indonesia termasuk dalam curah hujan kategori menengah (101 – 300 mm/bulan). Selain itu juga dilakukan pengkelasan pola hujan (Monsun, Ekuatorial, Lokal) terhadap 32 provinsi di Indonesia, dimana pola hujan monsun memiliki hujan maksimum pada periode Desember-Januari-Februari (DJF), sedangkan pola hujan ekuatorial memiliki puncak hujan pada bulan Maret dan Oktober, dan pola hujan lokal memiliki hujan maksimum pada periode Juni-Juli-Agustus (JJA). Hasil korelasi data TRMM dengan data curah hujan BMKG (r 0.8) menunjukkan bahwa data TRMM mampu dengan baik merepresentasikan kondisi curah hujan di wilayah Indonesia. Kata Kunci: TRMM, klasifikasi curah hujan, pola hujan, analisis korelasi Abstract The most striking characteristic of the Indonesian rainfall variability at the annual scale is dominated by the Asian-Australian (AA) monsoon. On the yearly time scale, the rainfall moves in association with the zone of maximum seasonal
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
3
temperatures. In this paper, some characteristics of monsoon over Indonesia are investigated using the spaced-based rainfall data of the Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) for the period 1998 – 2011 at a 0.25 x 0.25 resolution. The Inverse Distance Weighted (IDW) method was used to interpolate the rainfall in each pixel. Further more, we used the BMKG classification to clasify the monthly average of rainfall using spasial analysis in Indonesia. The result shows that the very high rainfall class (> 401 mm/month) occurs in Central Papua, East Papua, West Papua. The high rainfall class (301-400 mm/month) occurs in Central Kalimantan, West Kalimantan, South Sulawesi (Luwu), West Sumatera, and North Sumatera. The low rainfall class (0-100 mm/month) occurs in Maluku, Bali, dan Nusa Tenggara. The rest of Indonesia region exist in the middle rainfall class (101 – 300 mm/month). We also clasify the type of rainfall pattern (Monsun, Equatorial, Local) for 32 provinces in Indonesia. The monsun type has maximum rainfall in Desember-Januari-Februari (DJF) period, while the equatorial type has rainfall peak in March and October. The local type has maximum rainfall in Juni-Juli-Agustus (JJA) period. The correlation between rainfall from TRMM and rain gauge stations in Indonesia show good correlation ((r 0.8). It shows that the TRMM data can represent the local rainfall condition in Indonesia. Keywords: TRMM, rainfall classification, rainfall type, correlation analysis. 1. PENDAHULUAN Intertropical Convergence Zone (ITCZ) merupakan zona tekanan rendah yang berada di dekat ekuator dimana dua angin pasat yang berasal dari belahan bumi utara dan selatan berkonvergensi. Pada zona ini terjadi peningkatan konveksi, keawanan dan presipitasi yang membentuk sirkulasi meridional Hadley. Interaksi antara darat dan laut menyebabkan adanya zonasi pemanasan yang memutarbalikkan sirkulasi barat-timur atau dikenal sebagai sirkulasi Walker dimana udara diangkat naik oleh adanya pemanasan di suatu lintang dan dialihkan ke lintang yang lain. Tiga wilayah yang menjadi pusat konvergensi dari sirkulasi Walker berada di Indonesia, Afrika Tengah dan Daratan Amazon. Dalam analisis iklim global, stuktur, posisi, dan migrasi ITCZ sangat penting diketahui, sedangkan dalam skala lokal iklim suatu wilayah dapat dianalisis berdasarkan interaksi antara udara dan laut (Waliser dan Gautier, 1933; Zhang, 1993, Roswintiarti, 199). Kondisi iklim di Indonesia pada skala waktu tahunan mengikuti pergerakan ITCZ yang bergerak berdasarkan zona suhu maksimum pada suatu musim. ITCZ akan mencapai posisi terjauh di selatan pada periode Januari-Februari, kemudian bergerak ke utara pada Maret-April dan Mei-Juni, dan mencapai posisi terjauh di utara pada periode Juli-Agustus. Selanjutnya ITCZ akan kembali menuju ke selatan pada periode September-Oktober dan November-Desember. Pergerakan ITCZ lebih dominan melewati wilayah daratan termasuk wilayah Indonesia pada
4
Parwati Sofan.
saat bergerak dari Samudera Hindia menuju Laut Pasifik Barat, dan dominan melewati lautan dari Laut Pasifik sebelah timur hingga Laut Atlantik (Hastenrath, 1990). Pergerakan posisi ITCZ ini jelas sangat berpengaruh terhadap kondisi curah hujan di Indonesia. Selain ITCZ, karakteristik dan variabilitas curah hujan di Indonesia secara tahunan juga dipengaruhi oleh Asian-Australian (AA) monsoon. AA monsoon merupakan kunci utama dari sistem iklim bumi yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia lebih dari 60% populasi di wilayah tropic (Word Bank Atlas, 2003). Monsoon pada saat winter (northeast monsoon) umumnya bersirkulasi mulai dari bulan November hingga Februari yang ditandai dengan pergerakan angin pasat utara melewati Pasifik Barat dan Asia Tenggara mulai dari lintang 20N menuju ke ekuator. Selanjutnya menuju ke selatan melewati ekuator melalui Pulau Jawa, Australia bagian utara dan Pasifik bagian barat daya. Pada periode monsoon ini, pemanasan utama terdapat di Australia bagian utara dan Pasifik barat di ekuator, sedangkan sumber pendinginan berpusat di daratan Asia. Hujan lebat yang berasosiasi dengan pelepasan panas hasil kondensasi berada diantara lintang 5S dan 15S mulai dari Samudera Hindia hingga Laut Pasifik bagian barat (Gambar 1 sebelah kanan). Sementara itu, pada monsoon summer (southwest monsoon) umumnya terjadi pada periode Juni hingga September ketika angin pasat bergerak dari Samudera Hindia menuju Asia. Sumber pemanasan utama terdapat di Daratan Tibet, sedangkan sumber pendinginan terletak di Samudera Hindia bagian selatan. Hujan lebat terjadi di wilayah India dan negara tetangga di sekitarnya, serta di China bagian selatan dan tengah. Meskipun demikian sumber uap air berasal dari wilayah ekuator di Indonesia (Gambar 1 sebelah kiri).
Gambar 1. Sirkulasi AA Monsoon pada saat musim northeast moonson (kanan) dan southwest monsoon (kiri) (Sumber: Geogonline G3a Climatic hazard. 2013, 2013)
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pentingnya kita memiliki informasi iklim di wilayah Indonesia yang terkait dengan siklus AA Monsoon dan zona konvergensi ITCZ. Penyediaan informasi iklim tidak hanya berdasarkan hasil pengukuran di stasiun iklim, namun kini telah berkembang pesat melalui
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
5
satelit penginderaan jauh. Melalui kapasitasnya yang mampu meliput wilayah yang luas dalam periode yang panjang, data satelit mampu mengestimasi konveksi di wilayah tropis. Kini estimasi hujan bukan hanya berdasarkan kapabilitas spektrum radiasi inframerah dan radiasi sinar tampak, namun diintegrasikan dengan sensor microwave yang mampu mengestimasi kadar uap air dalam awan dan intensitas curah hujan. Pada tanggal 28 November 1997 Satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) telah diluncurkan pada pada ketinggian 403 km, dan dapat memantau dan mempelajari curah hujan di wilayah tropik (50LU – 50LS) sebanyak 16 kali sehari setiap 92.5 menit (Gambar 2). TRMM merupakan misi kerjasama antara NASA dan Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA). Jenis sensor TRMM dapat dilihat pada Tabel 1.
Gambar 2. Karakteristik sensor-sensor yang dibawa satelit TRMM (Sumber : trmm.gsfc.nasa.gov)
Data TRMM tersedia dalam berbagai produk dengan resolusi spasial dan temporal yang berbeda-beda. Masing-masing produk dihasilkan dari sensor berbeda. Contoh beberapa produk data TRMM dapat dilihat pada Tabel 2. Produk data TRMM dapat diakses melalui website Goddard Space Flight Center NASA (GSFC NASA) di http://trmm.gsfc.nasa.gov serta website Earth Observation Research Center JAXA (EORC) di http://www.eorc.jaxa.jp/TRMM/index_e.htm.
6
Parwati Sofan.
Berbagai penelitian, validasi, serta aplikasi data TRMM telah banyak dilakukan (Mori et al. 2004, Wolff et al. 2005, Ichikawa and Yasunari 2006). Tabel 1. Jenis sensor TRMM Jenis Sensor Precipitation Radar (PR)
TRMM Microwave Imager (TMI)
Visible and Infrared Scanner (VISR) Lightning Imaging Sensor (LIS) Cloud and Earth Radiant Energy Sensor (CERES)
Resolusi spasial 5 km
Lebar sapuan 247 km
5.1 km
878 km
menghitung kandungan uap air dalam atmosfer dan awan menghitung intensitas curah hujan
2 km
720 km
Mengetahui kondisi keawanan
4 km
600 km
25 km
seluruh bumi
Mengetahui penyebaran dan variabilitas awan Mengetahui penyebaran dan variabilitas awan
Kemampuan menyediakan profil vertikal hujan/salju dari permukaan hingga ketinggian 20 km mendeteksi intensitas hujan ringan (sampai 0.7mm/jam) mendeteksi intensitas hujan lebat
Produk data TRMM setiap 3 jam adalah TRMM 3B42. Data TRMM 3B42 ini merupakan hasil kombinasi data estimasi curah hujan dari satelit TRMM dan dari satelit lain baik dengan sensor microwave maupun inframerah. TRMM 3B42 memberikan informasi setiap 3 jam dengan arsip data sejak 01-01-1998. Cakupan wilayah datanya meliputi Latitude: 50°S - 50°N; Longitude:180°W - 180°E, dengan resolusi spasial 0.25° x 0.25°; dan jumlah pixel baris = 400, pixel kolom = 1440. Contoh data dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Produk TRMM 3B42 pada 20-03-2012 jam 21.00 UTC (Sumber : trmm.gsfc.nasa.gov)
7
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
Tabel 2. Contoh produk data TRMM yang tersedia Jenis 3A11
Deskripsi
Resolusi Spasial Temporal bulanan 5.0 x 5.0
Periode
Khusus curah hujan di atas Desember lautan, diperoleh dari sensor 1997 PR. sekarang 3A25 Curah hujan di atas daratan bulanan Desember 5.0 x 5.0 dan lautan, diperoleh dari 1997 dan sensor PR. sekarang 0.5 x 0.5 3A26 Curah hujan di atas daratan bulanan Desember 5.0 x 5.0 dan lautan, diperoleh dari 1997 sensor PR. sekarang 3A31 Curah hujan di atas daratan bulanan Desember 5.0 x 5.0 dan lautan, diperoleh dari 1997 sensor PR dan TMI. sekarang 3A46 Curah hujan di atas daratan bulanan Januari 1998 1.0 x 1.0 dan lautan, diperoleh dari -sekarang sensor SSM/I*. 3B42 Curah hujan di atas daratan setiap 3 jam Desember 0.25 x dan lautan, diperoleh dari 1997 0.25 sensor-sensor TRMM dan sekarang lainnya (SSM/I, AMSR-E**, AMSU-B***). 3B46 Curah hujan di atas daratan setiap 3 jam Januari 1998 0.25 x dan lautan, diperoleh dari - sekarang 0.25 gabungan data 3B42 dan raingauge. * SSM/I: Special Sensor Microwave Imager (satelit Defense Meteorological Satellite Program) ** AMSR-E: Advanced Microwave Scanning Radiometer - Earth Observing System (satelit Aqua) *** AMSU-B: Advanced Microwave Sounding Unit – B (satelit NOAA)
Produk data TRMM bulanan yang telah dikalibrasi dengan data curah hujan global dari stasiun pengukur curah hujan adalah TRMM 3B43. Data TRMM 3B43 merupakan kombinasi antara data estimasi curah hujan dari satelit TRMM dan curah hujan dari satelit lain, serta data curah hujan global dari stasiun pengukur hujan (CAMS global data). Data TRMM diproduksi oleh NOAA Climate Prediction Center, sedangkan data curah hujan global dari stasiun pengukur hujan diproduksi oleh Global Precipitation Climatology Center (GPCC). Saat ini data TRMM 3B43 tersedia sejak 01-01-1998 hingga Juni 2011, tim NOAA CPC sedang melakukan kalibrasi terhadap data TRMM 3B43 untuk memperbaiki tingkat akurasi. Cakupan TRMM 3B43 meliputi wilayah Lintang: 50°S - 50°N; Bujur:180°W - 180°E, dengan resolusi spasial 0.25° x 0.25°dan jumlah pixel baris = 400, pixel kolom = 1440. Verifikasi data TRMM 3B43 di Indonesia telah dilakukan oleh Roswintiarti et al, 2009; 2010 yang menunjukkan
8
Parwati Sofan.
bahwa ada korelasi yang cukup tinggi (r > 0.8) antara data curah hujan TRMM dengan data curah hujan dari stasiun pengamatan di beberapa wilayah di Indonesia yaitu Jawa Barat (Indramayu, Bandung), Bali, Palangkaraya, dan Maros (Sulawesi Selatan). Kajian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik spasial dan temporal curah hujan berdasarkan data TRMM di wilayah di Indonesia- terkait dengan AA Monsoon dan ITCZ dalam kurun waktu 14 tahun (1998-2011). 2. DATA DAN METODE Data yang digunakan adalah data TRMM versi 3B43.6 yang mempunyai resolusi spasial 0.25 x 0.25 dan resolusi temporal bulanan selama 1998 – 2011 (198 bulan). Lokasi studi berada pada wilayah 92.50E – 141.25E; 8.00N – 12.0S dengan dimensi pixel 80 x 195 setiap 0.25 derajat (Gambar 4).
Gambar 4. Studi area penelitian
Analisis statistik yang dilakukan adalah nilai rata-rata curah hujan jangka panjang dan musiman (x), standard deviasi (s), nilai rata-rata musiman, dan trend curah hujan di wilayah daratan dan lautan secara regional dan lokal. Jumlah data yang digunakan (n) adalah 198 bulan. Berikut adalah formula rata-rata (mean) dan standar deviasi (Steel and Torrie, 1993) yang dikalkulasi untuk setiap grid data spasial yang terdiri dari 80 baris dan 195 kolom pixel. (1)
(2)
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
9
Selanjutnya pada analisis spasial dilakukan interpolasi terhadap nilai rata-rata bulanan dengan menggunakan metode Inverse Distance Weighted (IDW) yang mengestimasi nilai suatu sel dengan analisis rata-rata terhadap nilai titik sample tetangga terdekat di setiap sel. Rumus umum IDW adalah sebagai berikut (Bonham-Carter, 1994). (3)
dimana z0 merupakan nilai yang diduga dan zi merupakan sekumpulan nilai penduga. Nilai pembobot dalam teknik IDW umumnya dihitung dengan rumus umum berikut: (4) dimana di0 merupakan jarak antara titik pengamatan i dengan titik yang diduga. Pembobotan nilai dengan melibatkan kuadrat jarak bukanlah ketetapan yang mutlak. Beberapa varian dari penetapan nilai pembobot ini antara lain dengan teknik eksponensial dan teknik decay. Interpolasi IDW tersedia baik pada perangkat lunak ArcView maupun ArcGIS (Trisasongko et al, 2008). Ekstraksi nilai curah hujan rata-rata juga dilakukan berdasarkan batas administrasi yang bersumber dari hasil pemetaan Bakosurtanal tahun 2000, dimana Indonesia dibagi menjadi 32 provinsi. Hasil ekstraksi diplot dalam grafik untuk melihat pola hujan pada masing-masing provinsi di Indonesia. Analisis timeseries dan korelasi dilakukan terhadap data TRMM dengan data curah hujan dari stasiun pengamatan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui seberapa besar data TRMM dapat merepresentasikan nilai curah hujan aktual di lapangan. Koefisien korelasi dapat diperoleh dengan formula sebagai berikut (Steel and Torrie, 1993): x, y = Cov (x,y) / (x, y) dimana
(5)
-1 ≤ x, y ≤ 1, dan (6)
dalam hal ini x = data TRMM, y = data curah hujan BMKG, = koefisien korelasi (atau biasa ditulis dalam notasi huruf kecil r), n = jumlah data, i= data ke-i, x y = nilai rata-rata (mean) dari x dan y.
10 3.
Parwati Sofan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Nilai Statistik Klimatologi Curah Hujan dari Data TRMM Berdasarkan klasifikasi curah hujan bulanan dari BMKG yang membagi kelas hujan menjadi 4 kelas, yaitu kelas rendah (0-100 mm/bulan), kelas menengah (101-300 mm/bulan), kelas tinggi (301-400 mm/bulan), dan kelas sangat tinggi (> 401 mm/bulan), maka dilakukan klasifikasi curah hujan rata-rata bulanan periode tahun 1998-2011 dari data TRMM. Hasil analisis curah hujan rata-rata bulanan di wilayah Indonesia secara spasial diperoleh bahwa curah hujan sangat tinggi terdapat di sebagian wilayah Papua Tengah, Papua Timur, Papua Barat. Curah hujan kategori tinggi terdapat di sebagian wilayah Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan (Luwu), Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Selebihnya wilayah Indonesia sebagian besar curah hujannya berada dalam kategori menengah (101-300 mm/bulan), kecuali di wilayah Maluku, Bali, dan Nusa Tenggara yang termasuk dalam curah hujan kategori rendah (0 – 100 mm/bulan) (Gambar 5).
Gambar 5. Rata-rata curah hujan berdasarkan data TRMM 1998-2011.
Analisis rata-rata curah hujan bulanan dari Januari hingga Desember dapat dilihat pada Gambar 6, dimana dapat dilihat bahwa pada periode bulan Januari-Februari ketika ITCZ berada paling jauh di selatan, Curah hujan sangat tinggi (> 401 mm/bulan) dan tinggi (301-400 mm/bulan) umumnya masih mendominasi sebagian wilayah Indonesia dengan maksimum curah hujan berada pada Sumatera bagian selatan, P. Jawa, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, Sulawesi bagian selatan dan tengah, serta sebagian Papua. Pada bulan MaretApril saat ITCZ menuju ke ekuator dari posisinya di selatan, curah hujan sangat tinggi (> 401 mm/bulan) dan tinggi (301-400 mm/bulan) masih mendominasi sebagian besar wilayah Indonesia dan mempunyai maksimum curah hujan di wilayah Papua, Sulawesi Tengah, Sumatera bagian selatan, sebagian P. Jawa, sebagian Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
11
Sementara pada bulan Mei-Juni dimana ITCZ bergerak ke utara ekuator, curah hujan sangat tinggi (> 401 mm/bulan) dan tinggi (301-400 mm/bulan) sudah mulai berkurang dan hanya nampak di sebagian Sulawesi, Maluku dan Papua. Pada periode ini nampak curah hujan rendah (0-100 mm/bulan) berada di wilayah Nusa Tenggara, Bali, dan sebagian Jawa Timur. Pada posisi terjauh di utara ekuator (Juli – Agustus), ITCZ telah menyebabkan berkurangnya curah hujan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Curah hujan sangat tinggi (> 401 mm/bulan) dan tinggi (301-400 mm/bulan) hanya nampak di sebagian kecil Papua Barat dan Papua Tengah, sedangkan curah hujan rendah (0-100 mm/bulan) telah meluas meliputi wilayah Nusa Tenggara, Bali, Jawa, dan Sulawesi bagian selatan. Selanjutnya ITCZ akan kembali menuju ekuator dan ke bagian selatan ekuator pada periode September - Oktober dan November - Desember yang mengimplikasikan adanya peningkatan curah hujan di wilayah Sumatera bagian utara dan barat, Kalimantan bagian barat, serta Papua. Pada periode bulan Oktober curah hujan rendah (0-100 mm/bulan) mulai berkurang dan hanya nampak di wilayah Nusa Tenggara. Selanjutnya memasuki bulan November curah hujan sangat tinggi (> 401 mm/bulan) dan tinggi (301-400 mm/bulan) kembali mendominasi wilayah Indonesia dan puncaknya pada bulan Desember di mana curah hujan maksimum banyak terdapat di wilayah Indonesia (Gambar 6). 3.2 Pola Hujan Bulanan di Wilayah Indonesia Berdasarkan acuan yang digunakan oleh BMKG, curah hujan di wilayah Indonesia pada umumnya dibagi menjadi 3, yaitu: pola hujan Monsoon, pola hujan Ekuatorial, dan pola hujan Lokal. Hasil analisis pola curah hujan bulanan dari data TRMM periode tahun 1998-2011 yang diekstraksi berdasarkan batas provinsi di Indonesia (32 provinsi) dari peta Bakosurtanal tahun 2000 dapat dilihat pada Gambar 7-9. Pada Gambar 7 ditunjukkan bahwa wilayah provinsi yang memilki pola hujan Monsun adalah Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa timur, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Pada pola hujan ini memiliki perbedaan jelas antara periode musim kemarau, tipe hujan memiliki pola unimodal dengan puncak musim hujan pada bulan Desember-Januari-Februari (DJF), dan musim kemarau pada bulan Juni-JuliAgustus (JJA). Berdasarkan analisis periode tahun 1998-2011, pada pola hujan monsun periode DJF nilai rata-rata maksimum curah hujannya sekitar 306 mm/bulan, sedangkan nilai rata-rata minimumnya adalah 49 mm/bulan yang terjadi pada periode JJA.
12
Parwati Sofan.
Gambar 6. Curah hujan bulanan (Januari-Desember) rata-rata periode tahun 1998-2011 berdasarkan data TRMM.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
13
Berdasarkan nilai standar deviasi yang dianalisis pada masing-masing bulan (Januari – Desember) periode tahun 1998-2011 (Gambar 7) khususnya untuk wilayah yang memiliki pola hujan monsun menunjukkan bahwa umumnya standar deviasi pada musim kemarau atau pada bulan-bulan yang memiliki curah hujan rendah (JJA) bernilai lebih rendah dibandingkan pada musim hujan (DJF). Nilai standar deviasi yang dirata-rata pada wilayah provinsi dengan pola hujan monsun memiliki nilai minimum pada bulan Agustus yaitu sebesar 35 mm/bulan, sedangkan pada musim hujan memiliki nilai standar deviasi yang maksimum pada bulan Desember (80 mm/bulan). Hal ini menunjukkan bahwa pada musim kemarau variasi nilai curah hujannya kecil, sedangkan pada musim hujan variasi nilai curah hujannya besar dimana terjadi nilai maksimum curah hujan dalam periode tersebut. Pada Gambar 8 ditunjukkan pola hujan Ekuatorial yang dimiliki oleh wilayah Provinsi Bangka Belitung, gorontalo, Bengkulu, Jambi, DI. Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Riau. Pada pola hujan ekuatorial wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan dan hampir sepanjang tahun masuk dalam kriteria musim hujan. Puncak hujan umumnya terjadi pada bulan Maret atau Oktober. Berdasarkan nilai standar deviasi yang dianalisis pada masing-masing bulan (Januari – Desember) periode tahun 1998-2011 (Gambar 8) khususnya untuk wilayah yang memiliki pola hujan ekuatorial menunjukkan bahwa nilai standar deviasi tertinggi terdapat pada bulan Maret (77 mm/bulan) dan Oktober (89 mm/bulan) yang merupakan puncak musim hujan. Sebaliknya pada musim kemarau atau pada saat curah hujan minimum mempunyai nilai standar deviasi yang rendah, yaitu Januari (61 mm/bulan), Mei (56 mm/bulan), dan November (62 mm/bulan).
14
Parwati Sofan.
Gambar 7. Pola hujan monsoon di wilayah Indonesia periode tahun 1998-2011 TRMM (nilai rata-rata ditunjukkan oleh grafik batang, nilai standard deviasi ditunjukkan oleh grafik garis)
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
15
Gambar 8. Beberapa contoh pola hujan ekuatorial yang dianalisis dari data TRMM periode 1998-2011 (nilai rata-rata ditunjukkan oleh grafik batang, nilai stadard deviasi ditunjukkan oleh grafik garis)
Pada Gambar 9 ditunjukkan pola hujan lokal yaitu di wilayah provinsi Papua Barat, Papua Tengah, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah. Pola hujan ini memiliki ciri bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan) dimana puncak hujannya berada dalam bulan JJA. Berdasarkan analisis nilai standar deviasi pada pola hujan lokal, umumnya nilai standar deviasi tertinggi terdapat pada periode bulan JJA dengan nilai maksimum 96 mm/bulan (Agustus). Sedangkan nilai
16
Parwati Sofan.
standar deviasi terendah terdapat pada bulan Februari dan November dengan kisaran antara 49 – 50 mm/bulan.
Gambar 9. Contoh pola hujan lokal yang dianalisis dari data TRMM periode 1998-2011 (nilai rata-rata ditunjukkan oleh grafik batang, nilai standar deviasi ditunjukkan oleh grafik garis)
3.3
Validasi dengan Data Lapangan
Analisis timeseries dan korelasi dilakukan antara data curah hujan dari TRMM dan data stasiun klimatologi BMKG. Periode data yang digunakan untuk validasi adalah 1998 – 2007 di wilayah Indramayu dan Bali, Palangkaraya, Bandung, Aceh dan Maros (Sulawesi Selatan). Gambar 10 menunjukkan hasil analisis korelasi dimana nilai koefisien korelasi (r) di wilayah kajian mencapai lebih dari 0.8. Oleh karenanya data TRMM dapat merepresentasikan kondisi curah hujan lokal di sebagian besar wilayah Indonesia.
17
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 Indramayu - West Java (1998 - 2004)
600
600 Rainfall_TRMM
Rainfall_Ground Based
500
Rainfall (mm/month)
r = 0.807 400
300
200
400
300
200
100
0
0
1 2 3 4 5 6 7
100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Rainfall (mm/month)
500
1998
1999
2000
2001
2002
2003
1998
2004
Palangkaraya - Central Kalimantan (1998 - 2007) 600
700
Rainfall_TRMM Rainfall_Ground Based
500
r = 0.779
500
Rainfall (mm/month)
Rainfall (mm/month)
600
400 300
400
300
200
200 100
100
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
7
5
1
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1998
3
0
0
1998
2007
Aceh (1998 - 2000) 600
1500
Rainfall_TRMM
1300
Rainfall_Ground Based
Rainfall (mm/month)
r = 0.807 400
300
200
1100 900 700
500 300
100
12
11
9
10
8
7
6
5
4
3
2
1
12
11
9
10
8
7
6
5
4
3
2
1
12
11
9
10
8
7
6
5
4
3
2
1 3 5 7
100 -100
0 1
Rainfall (mm/month)
500
1998 1998
1999
2000
18
Parwati Sofan. Bali (1998 - 2005) 600
Rainfall_TRMM Rainfall_Ground Based
Rainfall (mm/month)
500
r = 0.881 400
300
200
100
8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
0
3
1998
2004
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Bandung - West Java (1998 - 2006) Rainfall_TRMM
600
Rainfall_TRMM
Rainfall_Ground Based
Rainfall_Ground Based
r = 0.838
Rainfall (mm/month)
500
400
300
200
100
2006
1999
2000
2001
2002
2003
5
3
1
9
7
2005
11
5
3
1
9
7
2004
11
5
3
1
9
7
11
5
3
1
9
7
11
5
3
1
9
7
11
5
3
1
9
7
11
5
3
1
9
7
11
5
3
1
9
7
1998
2007
11
5
3
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11
1
0
2006
Maros - South Sulawesi (1998 - 2007) Rainfall_TRMM
1500
Rainfall_TRMM
Rainfall_Ground Based
1300
Rainfall (mm/month)
Rainfall_Ground Based
r = 0.940
1100 900 700
500 300
12
11
9
10
8
7
6
-100
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5
100
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2000
Gambar 10. Grafik timeseries antara TRMM dan curah hujan stasiun di Indramayu, Palangkaraya, Aceh, Bali, Bandung, dan Maros periode tahun 1998 - 2007
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
19
4. KESIMPULAN Berdasarkan analisis bulanan data curah hujan dari TRMM periode tahun 1998 – 2011 (198 bulan) diketahui bahwa:
Rata-rata curah hujan sangat tinggi (> 401 mm/bulan) terdapat di sebagian wilayah Papua Tengah, Papua Timur, Papua Barat. Curah hujan kategori tinggi (301-400 mm/bulan) terdapat di sebagian wilayah Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan (Luwu), Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Curah hujan rendah (0-100 mm/bulan) terdapat di wilayah Maluku, Bali, dan Nusa Tenggara. Selebihnya wilayah Indonesia termasuk dalam curah hujan kategori menengah (101 – 300 mm/bulan).
Wilayah provinsi yang memilki pola hujan Monsun adalah Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa timur, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Pola hujan Ekuatorial dimiliki oleh wilayah Provinsi Bangka Belitung, gorontalo, Bengkulu, Jambi, DI. Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Riau.
Pola hujan lokal yaitu di wilayah provinsi Papua Barat, Papua Tengah, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah.
Curah hujan maksimum pada pola hujan monsun terjadi pada periode Desember-Januari-Februari (DJF), pola hujan ekuatorial memiliki puncak hujan pada bulan Maret dan Oktober, sedangkan pola hujan lokal memiliki hujan maksimum pada periode Juni-Juli-Agustus (JJA).
DAFTAR REFERENSI Bonham-Carter GF. 1994. Geographic inforation systems for geoscientists. Pergamon, Kidlington, UK. 398p. Geogonline G3a Climatic hazard. 2013. Tropical Region - Summary Explanatory Descriptions of Main Climate Types. http://www.geogonline.org.uk/g3a_ki3.2.htm. Disunting pada tanggal 10 September 2013 Hastenrath, S. 1990. The relationship of highly reflective clouds to tropical climate anomalies. J.Climate, 3, 353-365. Ichikawa, Hiroki, Tetsuzo Yasunari, 2006: Time–Space Characteristics of Diurnal Rainfall over Borneo and Surrounding Oceans as Observed by TRMM-PR. J. Climate, 19, 1238–1260. Shige et al. 2007. Mori, S., H. Jun-Ichi, Y.I. Tauhid, M. D. Yamanaka, N. Okamoto, F. Murata, N. Sakurai, H. Hashiguchi, T. Sribimawati, 2004: Diurnal land–sea rainfall peak migration over Sumatra Island, Indonesian Maritime Continent, observed by TRMM satellite and intensive rawinsonde soundings. Mon. Wea. Rev, 132, 2021–2039.
20
Parwati Sofan.
Roswintiarti, O. 1999. Statistical Analysis and Numerical Simulations of the Intertropical Convergence Zone during Normal and ENSO Years. Dissertation. Marine, Earth and Atmospheric Sciences. North Carolina State University. Roswintiarti, O., S. Parwati, A. Zubaidah. 2009. Pemanfaatan Data TRMM dalam Mendukung Pemantauan dan Prediksi Curah Hujan Di Indonesia. Berita Inderaja Volume VIII, No. 14, Juli. Roswintiarti, O., dan P. Sofan. 2010. The Relationship between the Indonesian and Indian Monsoon Based on TRMM Rainfall Data. Proceedings of the International Symposium on Equatorial Monsoon System. Jakarta, July 28-29, 2010. BMKG. Steel, R. G. D.. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Trisasongko, B.H, DR Panuju, Harimurti, AF Ramly, H Subroto. 2008. Kajian spasialkesetimbangan air pada skala DAS. Publikasi Teknis DATIN, Kementrian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta TRMM Background. http://trmm.gsfc.nasa.gov. Disunting pada 10 Agustus 2013. Waliser, D. E., and C. Gautier, 1993: A satellite-derived climatology of the ITCZ. J.Climate, 6, 2162-2174. Wolff, David B., D. A. Marks, E. Amitai, D. S. Silberstein, B. L. Fisher, A. Tokay, J. Wang, J. L. Pippitt, 2005: Ground Validation for the Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM). J. Atmos. Oceanic Technol., 22, 365–380. Word Bank Atlas, 2003. Atlas Of Global Development. World Bank. http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Klimatologi/Informasi_Hujan_Bulanan.bmkg Zhang, C., 1993: Large-scale variability of atmospheric deep convection in relation to sea surface temperature in the tropics. J. Climate, 6, 1898-1913.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
21
BIOGRAFI PENULIS
Parwati Sofan, S.Si., M.Sc. Penulis menyelesaikan studi S1 pada Program Studi Agrometeorologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi FMIPA-IPB tahun 1999. Sejak tahun 2002 bekerja di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh – Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sebagai peneliti bidang lingkungan dan mitigasi bencana alam. Tahun 2008 penulis menyelesaikan Program Master pada program studi Remote Sensing and GIS Applications di International School of Beihang University of Aeronautics and Astronautic (BUAA), di Beijing-China. Penelitian yang sudah dilakukan antara lain adalah aplikasi data satelit penginderaan jauh untuk analisis cuaca dan iklim, bencana alam (kekeringan, banjir, kebakaran hutan, letusan gunung berapi), pertanian (pertumbuhan padi, produktivitas padi). Penulis aktif menuliskan papernya baik pada jurnal nasional maupun internasional. Pada tahun 2011, penulis diberi kesempatan oleh Asia-Pacific Space Cooperation Organization (APCSO) untuk mengajar pada Training Course on Environment and Disaster Monitoring Through Space Technology baik materi maupun praktek pengolahan data dengan tema “Space Applications – Drought” yang dilaksanakan di Dhaka, Bangladesh tanggal 26-30 November 2011. Penulis juga pernah menjadi Technical Suporter periode tahun 2009-2011 pada kegiatan Voluntary Project : Space Applications for Environment (SAFE) Prototype on Potential Drought Monitoring bersama dengan Universitas Tokyo dan Geo-Informatics Center, Asian Institute of Technology, (GIC-AIT) yang dikoordinasi oleh JAXA.
Pemanfaatan Data Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) dalam Verifikasi Peningkatan Akurasi Keluaran Model Curah Hujan Coupled Model Intercomparison Project Phase 3 (CMIP3) Menggunakan Data Sinar Kosmik di Indonesia Berbasis Jaringan Syaraf Tiruan
Jalu Tejo Nugroho, Safwan Hadi, Bayong Tjasyono, The Houw Liong
23
24
Jalu Tejo Nugroho, dkk.
Pemanfaatan Data Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) dalam Verifikasi Peningkatan Akurasi Keluaran Model Curah Hujan Coupled Model Intercomparison Project Phase 3 (CMIP3) Menggunakan Data Sinar Kosmik di Indonesia Berbasis Jaringan Syaraf Tiruan
Jalu Tejo Nugroho1, Safwan Hadi1, Bayong Tjasyono1, dan The Houw Liong2 1 Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, ITB 2 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, ITB E-mail:
[email protected]
Abstrak Telah dilakukan penelitian untuk meningkatkan akurasi keluaran model curah hujan Coupled Model Intercomparison Project Phase 3 (CMIP3) di wilayah Indonesia dengan memanfaatkan data Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) sebagai verifikator. Hasil simulasi jaringan syaraf tiruan (JST) dua masukan, yaitu data CMIP3 dan data sinar kosmik pada wilayah dengan klaster II terbukti meningkatkan koefisien korelasi (R) data latih dan data uji masingmasing sebesar 31,8% dan 5,6% dibandingkan simulasi dengan satu masukan. Hasil ini melengkapi bukti yang telah ada sebelumnya tentang pengaruh sinar kosmik yang intensitasnya di atmosfer bumi dimodulasi oleh aktivitas matahari pada curah hujan di wilayah Indonesia. Mekanisme yang melatarbelakangi hubungan tersebut adalah kelistrikan global di atmosfer yang mempengaruhi inti kondensasi awan di lapisan troposfer. Kata kunci: model curah hujan CMIP3, Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM), sinar kosmik, jaringan syaraf tiruan (JST) Abstract In this study we have successfully to improve the accuracy of rainfall global model namely Coupled Model Intercomparison Project Phase 3 (CMIP3) in Indonesia region by using Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) data as verification. The addition of cosmic rays parameter as an input of artificial neural network (ANN) have increased the correlation coefficient (R) of training and testing data up to 31.8% and 5.6% respectively for cluster II region. This result supports the previous study about effects of solar activity on rainfall in Indonesia region. The mechanism underlying this relationship is global electricity in the atmosphere that affect cloud condensation nuclei in the troposphere. Keywords: CMIP3 model, Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM), cosmic rays, artificial neural network (ANN)
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
25
1. PENDAHULUAN Sistem iklim di permukaan bumi saling berinteraksi satu sama lain sehingga menyebabkan mekanismenya menjadi sangat kompleks dan sulit dipahami. Untuk mengatasi tuntutan ini para ahli menciptakan model numerik dari sistem bumi yang mengacu pada model kesetimbangan energi yang telah berevolusi selama beberapa dekade terakhir. Pada dasarnya, model iklim berusaha untuk mereplika proses sistem iklim di bumi (sebagai contoh termodinamika, dinamika fluida, dan proses ekosistem) yang memungkinkan kita untuk bereksperimen dengan parameter-parameter sistem dan menarik kesimpulan tentang bagaimana sumber yang berbeda menciptakan sifat/karakter yang berbeda. Dalam hal ini dikenal istilah model sirkulasi global yang mengintegrasikan beberapa model yang telah ada sebelumnya, seperti model atmosfer, dinamika awan, permukaan tanah, serta model-model lainnya. Salah satu model iklim yang telah banyak digunakan adalah World Climate Research Programme (WCRP) Coupled Model Intercomparisan Project Phase 3 (CMIP3) oleh Meehl et al. (2007) yang berbasis pada proyeksi iklim yang digunakan oleh Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC). Salah satu dari model iklim global untuk curah hujan tersebut adalah CSIRO-Mk3.SRES 0 A1B yang merupakan model downscaled menggunakan metode bias-correction/spatial. Untuk studi karakteristik dan mekanisme curah hujan di daerah tropis satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) merupakan wahana yang tepat. Ichikawa dan Yasunari (2006) menggunakan data TRMM untuk mengetahui karakteristik ruang dan waktu dari siklus diurnal curah hujan di Kalimantan. Mereka menyimpulkan bahwa komponen baratan (timuran) troposfer bawah berhubungan dengan periode konveksi aktif (tidak aktif) di atas pulau yang berkaitan dengan gangguan atmosfer intramusiman yang diakibatkan oleh Madden Julian Osillation (MJO). Meneghini et al. (2004) dengan menggunakan metode Surface Reference Technique (SRT) dan metode Hitschfeld–Bordan telah meneliti profil curah hujan global menggunakan data TRMM dari sensor PR. Dari perhitungan selama dua minggu diperoleh bahwa 90% estimasi kejadian hujan di sepanjang lautan masih berada dalam rentang nilai yang dapat ditoleransi. Siklus harian curah hujan dan variasi regional di Sumatera, Indonesia juga telah diteliti oleh Mori et al. (2004) menggunakan data TRMM dari sensor yang sama. Dengan kemampuan sensor dalam mendeteksi hujan secara langsung terlepas dari kondisi permukaan dan awan mereka mengemukakan bahwa curah hujan konvektif banyak mendominasi wilayah Sumatera pada waktu lokal 15.00 sampai dengan 20.00. As-syakur dan Prasetia (2010) menyebutkan adanya tingkat korelasi yang sedang sampai kuat antara data satelit TRMM dengan data obserasi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Indonesia. Data satelit tersebut dapat memberikan informasi sebaran spasial temporal curah hujan di
26
Jalu Tejo Nugroho, dkk.
Indonesia. Data curah hujan TRMM juga dapat dijadikan untuk memverifikasi keluaran model curah hujan global. Satiadi (2009) membandingkan antara curah hujan konvektif hasil simulasi model sirkulasi umum atmosfer dengan data TRMM. Hasil perbandingan menunjukkan pola distribusi yang secara umum mengikuti pola data TRMM. Analisis validasi yang dilakukan oleh As-syakur et al. (2011) di wilayah Bali menunjukkan bahwa data TRMM memiliki korelasi yang sangat baik dengan data pengukuran pada rentang waktu bulanan dibandingkan dengan data harian selama kurun waktu 1998 sampai dengan 2002. Data TRMM di wilayah ini diketahui memiliki nilai yang lebih rendah (under estimated) dibandingkan dengan data pengukuran. Aktivitas matahari dalam berbagai literatur telah terbukti ikut berperan pada variabilitas iklim di permukaan bumi, termasuk di dalamnya curah hujan. Sinar kosmik telah diketahui berkorelasi negatif dengan aktivitas matahari yang dikarakterisasi oleh bilangan bintik matahari (sunspot). Pada saat aktivitas matahari maksimum maka intensitas sinar kosmik yang mencapai permukaan bumi akan menjadi minimum dan sebaliknya. Secara umum dikatakan apabila fluks sinar kosmik yang mencapai atmosfer bumi maksimum maka tutupan awan di atmosfer pun menjadi maksimum yang dapat berdampak pada peningkatan intensitas curah hujan di bumi oleh Svensmark dan Friis-Christensen (1997) serta Gernowo (2009). Menurut Rosenfeld (2006) dan Tinsley et al. (2007), mekanisme antara intensitas sinar kosmik yang masuk ke atmosfer bumi dengan variabilitas curah hujan di permukaan bumi adalah melalui kelistrikan global di atmosfer melalui proses ionisasi, dimana ionisasi oleh sinar kosmik menjadikan atmosfer sebagai plasma penghantar listrik sehingga arus listrik melewati ionosfer menuju atmosfer bawah yang pada akhirnya mempengaruhi inti kondensasi awan. Konsentrasi droplet inti kondensasi awan ini akan mengontrol reflektivitas awan dan efisiensi curah hujan pada awan rendah (Carslaw et al, 2002). Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk memanfaatkan data TRMM sebagai verifikator dalam peningkatan akurasi keluaran model curah hujan di wilayah Indonesia dengan melibatkan faktor sinar kosmik sebagai masukan (input) jaringan syaraf tiruan. 2. DATA DAN METODE PENELITIAN Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data bulanan TRMM tipe 3B43 yang dapat diperoleh dari http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/ TRMM mulai dari bulan Januari 1998 sampai dengan bulan Desember 2010 dengan resolusi 0,25o x 0,25o dan dalam satuan mm/jam. Data sinar kosmik bersumber dari observatorium Beijing, Cina diunduh dari: ftp.ngdc.noaa.gov/ dalam satuan hourly counting rate, mulai dari bulan Januari 1993 s.d Juni 2010. Data keluaran model iklim untuk curah hujan yang digunakan bersumber dari www.engr.scu.edu/ dan yang
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
27
dipilih adalah data CSIRO-Mk3.SRES 0 A1B. Data tersebut merupakan data bulanan grid global tiap 0,5o x 0,5o berturut-turut untuk lintang dan bujur. Data yang dipergunakan dalam penelitian dipilih untuk wilayah Indonesia dengan posisi bujur dan lintang masing-masing adalah 95,25oBT-141,75oBT dan 9,75oLU-11,75oLS dari bulan Januari 1998 sampai dengan bulan Desember 2010. Metode penelitian yang digunakan adalah jaringan syaraf tiruan (JST) propagasi mundur (backpropagation) yang terdiri atas satu neuron pada lapisan masukan dan satu neuron pada lapisan keluaran. Mengacu pada Kusumadewi (2004), arsitektur jaringan menggunakan dua lapisan tersembunyi, masing-masing dengan sepuluh neuron pada lapisan tersembunyi pertama dengan fungsi aktivasi tansig dan lima neuron pada lapisan tersembunyi kedua dengan fungsi aktivasi logsig. Pada lapisan keluaran digunakan fungsi aktivasi purelin. Sebelum dilakukan proses propagasi mundur terlebih dulu dilakukan proses preprocessing dan propagasi maju (feedfordward propagation). Dengan asumsi data masukan (data keluaran model curah hujan dan sinar kosmik) disimpan pada matriks p dan target (data curah hujan observasi) pada matriks t, maka: [pn, meanp, stdp, tn, meant, stdt] = prestd (P,T)
(1)
dimana pn dan tn masing-masing adalah matriks masukan dan keluaran yang ternormalisasi, meanp dan meant berturut-turut adalah rata-rata (mean) pada matriks masukan (p) dan keluaran (t), stdp dan stdt adalah deviasi standar pada matriks masukan (p) dan keluaran (t), dan prestd adalah fungsi untuk mengubah data ke bentuk normal dengan rata-rata = 0 dan deviasi standar = 1. Tahap selanjutnya dibangun jaringan dengan metode pembelajaran traingdm: net = newff(minmax(pn), [10 5 1], {'tansig' 'logsig' 'purelin'}, 'traingdm')
(2)
dengan newff adalah fungsi yang digunakan untuk membangun jaringan backpropagation, minmax(pn) adalah fungsi untuk menentukan skala masukan dan keluaran, serta traingdm adalah fungsi untuk menghitung gradien serta memperbaiki nilai bobot pada setiap pengoperasian data masukan. Proses pembelajaran dilakukan dengan perintah: net = train(net, pn, tn)
(3)
Selanjutnya dilakukan pengujian (simulasi) terhadap data-data yang ikut dilatih: an = sim(net, pn)
(4)
dengan an adalah vektor yang digunakan untuk menyimpan hasil simulasi jaringan. Selanjutnya keluaran jaringan dan target dianalisis dengan regresi linear
28
Jalu Tejo Nugroho, dkk.
yang menghasilkan persamaan menggunakan fungsi postreg.
garis
serta
koefisien
korelasi
[m, a, r] = postreg(a, T)
dengan (5)
dimana m, a, dan r berturut-turut adalah gradien hasil regresi linear, titik perpotongan dengan sumbu-y, dan koefisien korelasi antara keluaran jaringan dengan target. Pengelompokan wilayah yang menjadi lingkup penelitian ini dilakukan menggunakan metode pengklasteran samar (fuzzy clustering). Teknik ini dapat menentukan klaster optimal dalam suatu ruang vektor yang didasarkan pada bentuk normal Euclidian untuk jarak antar vektor. Fuzzy c-means (FCM) adalah suatu teknik pengklasteran data dimana keberadaan tiap-tiap titik data dalam suatu klaster ditentukan oleh derajat keanggotaan. Konsep dasar FCM adalah menentukan pusat klaster, yang akan menandai lokasi rata-rata untuk tiap-tiap klaster. Dengan cara memperbaiki pusat klaster dan derajat keanggotaan tiap-tiap titik data secara berulang, maka akan dapat dilihat bahwa pusat klaster akan bergerak menuju lokasi yang tepat. Mengacu pada Kusumadewi (2006), masukan data X yang akan diklaster dapat dinyatakan sebagai matriks berukuran n x m yang dituliskan dengan: X ij = data sampel ke-i (i = 1,2,3,..., n), atribut ke-j (j = 1,2,3,..., m), dengan n adalah jumlah sampel data dan m adalah atribut tiap data. Langkah selanjutnya adalah menentukan jumlah cluster (c), pangkat (w), maksimum iterasi (MaxIter), galat terkecil yang diharapkan (), fungsi obyektif awal (Po= 0), dan iterasi awal (t =1). Bilangan random μik, dengan i = 1,2,...,n dan k = 1,2,...,c dibangkitkan sebagai elemen-elemen matriks partisi awal U. Jumlah setiap kolom (atribut) dihitung menggunakan persamaan: c
Qj ik
(6)
k1
dengan j = 1,2,...,m. Pusat cluster ke- k: Vkj dapat dihitung sebagai berikut:
( )
n
w
Vkj
ik
i1
*Xij
(7)
n
( )
w
i1
ik
dengan k = 1,2,...,c dan j = 1,2,...,m. Tahap selanjutnya adalah menghitung fungsi obyektif pada iterasi ke-t, Pt: 2
2 P𝑡 = ∑𝑛𝑖=1 ∑𝑐𝑘=1 ([∑𝑚 𝑗=1(𝑋𝑖𝑗 − 𝑉𝑖𝑗 ) ] (𝜇𝑖𝑘 ) )
(8)
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
29
serta perubahan matriks partisi: 1
2 w1 m Xij Vkj j1 ik 1 2 w1 c m Xij Vkj k1 j1
(9)
t P t1 dengan i = 1,2,...,n dan k = 1,2,...,c. Kondisi berhenti tercapai jika P atau (t>MaxIter). Jika tidak maka: t = t + 1, yang berarti mengulang langkahlangkah sebelumnya.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap pertama penelitian ini adalah mengaplikasikan metode pengklasteran untuk mengklasifikasikan daerah di Indonesia berdasarkan kesesuaian data yang dianalisis, yaitu data keluaran model curah hujan serta data TRMM dengan jumlah klaster yang dipilih sebanyak tiga klaster. Gambar 1 merupakan hasil pengklasteran data bulanan keluaran model curah hujan tahun 2000 sementara Gambar 2 adalah hasil pengklasteran data bulanan TRMM untuk tahun yang sama. Pemilihan tahun 2000 dalam penentuan klaster dengan pertimbangan bahwa tahun tersebut bersesuaian dengan kondisi aktif matahari yang merupakan puncak siklus ke- 23 aktivitas matahari. Diharapkan agar pada saat identifikasi pengaruh masukan parameter aktivitas matahari di dalam jaringan syaraf tiruan (JST) guna peningkatan akurasi keluaran model curah hujan akan dapat diperoleh hasil yang maksimal. Perhitungan koefisien korelasi statistik (R) antara data keluaran model curah hujan dengan data TRMM dari bulan Januari 1998 sampai dengan bulan Desember 2010 untuk masing-masing klaster telah dilakukan. Tabel 1 memuat nilai R tertinggi yang diperoleh pada daerah dengan klaster II, baik untuk data TRMM maupun data keluaran model curah hujan. Gambar 3 menunjukkan plot dari kedua data tersebut. Langkah yang selanjutnya dilakukan adalah mengaplikasikan metode JST untuk merekonstruksi serta memprediksi data keluaran model curah hujan dengan menjadikan data TRMM sebagai data untuk mengecek akurasinya. Pemilihan klaster serta rentang waktu data yang akan diuji mengacu pada data yang mempunyai nilai korelasi linear tertinggi antara data keluaran model curah hujan dengan data TRMM, yaitu klaster II data keluaran model curah hujan dengan klaster II data TRMM untuk keseluruhan bulan.
30
Jalu Tejo Nugroho, dkk.
Gambar 1. Hasil pengklasteran data keluaran model curah hujan tahun 2000. Klaster I, II, dan III, masing-masing ditandai dengan area berwarna biru tua (I), biru muda (II), dan coklat (III).
Gambar 2. Hasil pengklasteran data TRMM tahun 2000. Klaster I, II, dan III, masingmasing ditandai dengan area berwarna coklat (I), hijau (II), dan biru (III) .
Tabel 1. Nilai Koefisien korelasi data keluaran model curah hujan dan data TRMM untuk keseluruhan bulan Januari 1998 sampai Desember 2010 untuk setiap klaster
Model CH
TRMM Klaster I
Klaster II
Klaster III
Klaster I
0.05
0.16
0.12
Klaster II
-0.20
0.57
0.04
Klaster III
-0.21
0.40
-0.06
31
TRMM (mm/jam)
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
0.5 0.45 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0
y = 0.0244x - 0.0086 R² = 0.3275
0
4
8
12
16
Keluaran Model Curah Hujan (mm/hari)
Gambar 3. Plot persamaan linear dan koefisien korelasi antara data keluaran model curah hujan dengan data TRMM untuk keseluruhan bulan mulai dari Januari 1998 sampai dengan Desember 2010
Data yang menjadi masukan pada proses simulasi menggunakan JST dengan satu masukan adalah data bulanan keluaran model curah hujan, mulai dari Januari 1998 sampai dengan Juni 2010. Data yang menjadi target yaitu data TRMM dengan rentang yang sama. Jumlah data yang digunakan sebanyak 150 data, 100 data pertama merupakan data pelatihan dan sisanya menjadi data pengujian. Nilai optimum R antara data pengujian dengan data target sebesar 0,58 yang tercapai pada saat epoch 12000. Gambar 4 merupakan plot persamaan linier serta R antara data pengujian dengan data target hasil simulasi JST dengan satu masukan. Rekonstruksi data pengujian terhadap data target untuk kasus ini ditampilkan dalam Gambar 5. Untuk meningkatkan akurasi data keluaran model curah hujan yang menjadi input jaringan terhadap data TRMM sebagai data acuan secara hipotesis dapat dilakukan dengan memperhitungkan parameter lain yang telah terbukti secara fisis ikut berkontribusi pada variabilitas curah hujan sebagai input tambahan. Peningkatan akurasi tersebut ditandai dengan adanya peningkatan nilai koefisien korelasi antara data pengujian dengan data target. Berdasarkan perhitungan R antara data bilangan bintik matahari dengan data TRMM klaster II diperoleh hasil korelasi yang negatif sebesar 0,05. Sementara R antara data sinar kosmik dengan data TRMM klaster II sebesar 0,39. Dari perhitungan ini maka parameter aktivitas matahari yang dimasukkan sebagai masukan tambahan pada arsitektur JST adalah sinar kosmik. Data yang menjadi masukan JST dengan dua masukan adalah data bulanan keluaran model curah hujan serta data sinar kosmik sementara yang menjadi target yaitu data TRMM. Interval data dimulai dari Januari 1998 sampai dengan Juni 2010. Dengan demikian, arsitektur yang yang dibangun terdiri atas dua neuron pada lapisan
32
Jalu Tejo Nugroho, dkk.
Gambar 4. Plot persamaan linier serta R antara data pengujian dengan data target untuk satu masukan
Gambar 5. Rekonstruksi data pengujian terhadap data target pada jaringan dengan satu masukan
input dan satu neuron pada lapisan keluaran. Dari simulasi diperoleh nilai optimal R antara data pelatihan dengan data target sebesar 0,87 dan untuk data pengujian dengan data target sebesar 0,62 yang tercapai pada saat epoch 12000. Gambar 6 merupakan plot persamaan linier serta R antara data pengujian dengan data target sementara plot data pengujian terhadap data target untuk kasus ini ditampilkan dalam Gambar 7.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
33
Gambar 6. Plot persamaan linier serta R antara data pengujian dengan data target untuk dua masukan dengan nilai epoch optimal 12000.
Gambar 7 Rekonstruksi data pengujian terhadap data target untuk dua input pada nilai epoch optimal 12000
Diperoleh hasil bahwa nilai R jaringan dengan dua masukan (yaitu data keluaran model curah hujan dan data sinar kosmik), baik untuk data pelatihan maupun untuk data pengujian mengalami peningkatan terhadap data target (yaitu data TRMM) dibandingkan pada jaringan dengan hanya satu masukan saja (data keluaran model curah hujan saja). Tabel 2 menampilkan persentase kenaikan nilai R terhadap penambahan masukan JST. R11, R12, R21, dan R22 berturut-turut menyatakan R data pelatihan terhadap data target untuk satu masukan, data pelatihan terhadap data target untuk dua masukan, data pengujian terhadap data
34
Jalu Tejo Nugroho, dkk.
target untuk satu masukan, dan data pelatihan terhadap data target untuk dua masukan. Tabel 2. Persentase kenaikan nilai koefisien korelasi (∆R) terhadap penambahan input pada epoch optimal R11 R12 R21 R22 0,66 0,87 0,587 0,62 % ∆R 31,8% 5,6% Dari Tabel 2 di atas terlihat adanya peningkatan nilai R, baik untuk data latih maupun data uji pada hasil simulasi JST dengan dua masukan dibandingkan terhadap JST dengan satu masukan. Dengan penambahan masukan berupa parameter sinar kosmik pada simulasi JST telah dapat meningkatkan akurasi keluaran model curah hujan untuk wilayah Indonesia dengan klaster II dengan menggunakan data TRMM sebagai verifikator hasil prediksi yang diperoleh. Hasil penelitian ini dapat melengkapi bukti-bukti sebelumnya tentang pengaruh sinar kosmik pada variabilitas curah hujan di berbagai wilayah di permukaan bumi. Zherebtsov et al. (2005) mengatakan bahwa tingkat dan korelasi antara intensitas sinar kosmik dan keawanan global bergantung pada posisi lintang, karakter permukaan (daratan atau lautan) serta karakteristik tutupan awan. 4. KESIMPULAN Dengan penambahan faktor yang ikut berkontribusi terhadap variabilitas curah hujan di permukan yaitu sinar kosmik telah dapat meningkatkan akurasi keluaran model curah hujan Coupled Model Intercomparison Project Phase 3 (CMIP3) di wilayah Indonesia dengan memanfaatkan data Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) sebagai verifikator. Peningkatan akurasi yang diperoleh ditunjukkan dengan peningkatan nilai koefisien korelasi (R) simulasi menggunakan metode jaringan syaraf tiruan (JST) baik antara data latih maupun data uji yang dibandingkan terhadap data acuannya. Dari metode pengklasteran diperoleh nilai R optimal antara data TRMM dengan data CMIP3 sebesar 0,57 untuk wilayah dengan klaster II. Hasil simulasi JST dengan dua masukan menunjukkan adanya peningkatan nilai R, baik untuk data latih dan data uji masing-masing sebesar 31,8% dan 5,6% dibandingkan dengan hasil simulasi satu masukan. Hasil ini melengkapi bukti yang telah ada sebelumnya tentang pengaruh sinar kosmik yang intensitasnya dimodulasi oleh aktivitas matahari pada curah hujan di wilayah Indonesia.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
35
DAFTAR REFERENSI As-syakur, A.R., dan R. Prasetia, 2010. Pola Spasial Anomali Curah Hujan Selama Maret Sampai Juni 2010 di Indonesia; Komparasi Data TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA) 3B43 dengan Stasiun Pengamat Hujan, Prosiding Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia, pp. 505-516, Universitas Udayana As-syakur, A.R., Tanaka, T., Prasetia, R., Swardika, I.K., dan Kasa, I.W., 2011, Comparison of TRMM multisatellite precipitation analysis (TMPA) products and daily-monthly gauge data over Bali, International Journal of Remote Sensing, Vol. 32, No. 24, 8969–8982 Carslaw, K. S., Harison R. G., dan Kirkby J., 2002, Cosmic Rays, Clouds, and Climate, Science, 298, 1732-1737 Didi Satiadi, 2009, Perbandingan Curah Hujan Hasil Simulasi Model Sirkulasi Umum Atmosfer dengan Data Observasi Satelit TRMM, Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 4 No. 1, hal. 31-40 Gernowo R., 2009, Dinamika Atmosfer Curah Hujan Ekstrim dan Evaluasi Awal Teknologi Modifikasi Cuaca Sistem Statis di DKI Jakarta (Disertasi), Institut Teknologi Bandung Ichikawa H. And T. Yasunari, 2006. Time – Space Characteristics of Diurnal Rainfall over Borneo and Surrounding Oceans as Observed by TRMM-PR. Journal of Climate: Vol. 19, No. 7, pp. 1238-1260 Kusumadewi, S., 2004, Membangun Jaringan Syaraf Tiruan Menggunakan Matlab dan Excel Link, Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta Kusumadewi, S., 2006, Multi-Attribute Decision Making (FMADM), Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta Meehl, G. A., C. Covey, T. Delworth, M. Latif, B. McAvaney, J. F. B. Mitchell, R. J. Stouffer, and K. E. Taylor: The WCRP CMIP3 multi-model dataset: A new era in climate change research, Bulletin of the American Meteorological Society, 88, 13831394, 2007. Meneghini, R., J. A. Jones, T. Iguchi, K. Okamoto and J. Kwiatkowski, 2004. A Hybrid Surface Reference Technique and Its Application to the TRMM Precipitation Radar. Journal of Atmospheric and Oceanic Technology: Vol. 21, No. 11, pp. 1645-1658 Mori S., H. Jun-Ichi, Y. I. Tauhid, M. D. Yamanaka, N. Okamoto, F. Murata, N. Sakurai, H. Hashiguchi, and T. Sribimawati, 2004. Diurnal Land-Sea Rainfall Peak Migration over Sumatera Island, Indonesian Maritime Continent, Observed by TRMM Satellite and Insentive Rawinsonde, Soundings. Monthly Weather Review: Vol. 132, No. 8, pp. 2021-2039 Rosenfeld, D., 2006. Aerosol-cloud interactions control of earth radiation and latent heat release budgets, Space Sci. Rev., 125, 149-157 Svensmark, H. dan Friis-Christensen, 1997, Variation of cosmic ray flux and global cloud coverage - a missing link in solar-climate relationships, J. Atmos. Solar Terr. Phys. 59, p. 1225-1232 Tinsley B. A., G.B. Burns, Limin Zhou, 2007. The role of the global electric circuit in solar and internal forcing of clouds and climate, Advances in Space Research 40, pp. 1126–1139 Zherebtsov G.A., Kovalenko V.A., Molodykh S.I., 2005, The physical mechanism of the solar variability influence on electrical and climatic characteristics of the troposphere, Advances in Space Research, Volume 35, Issue 8, pp. 1472–1479
36
Jalu Tejo Nugroho, dkk.
BIOGRAFI PENULIS Jalu Tejo Nugroho Jalu Tejo Nugroho lahir di Jakarta (39) bekerja pada Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Saat ini sedang menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung. Penulis memperoleh gelar sarjana dan master di Departemen Fisika, Universitas Indonesia.
Kajian Konsentrasi Klorofil-a di Perairan Danau Matano, Mahalano, dan Towuti Menggunakan Data Landsat-7 ETM
Nana Suwargana
38
Nana Suwargana
Kajian Konsentrasi Klorofil-a di Perairan Danau Matano, Mahalano, dan Towuti Menggunakan Data Landsat-7 ETM
Nana Suwargana Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN Email:
[email protected]
Abstrak Penerapan teknologi penginderaan jauh untuk mengkaji kualitas perairan Danau melalui pendeteksian zat-zat organik maupun anorganik yang terlarut dalam perairan seperti, kecerahan, klorofil-a dan muatan padatan terlarut telah banyak dilakukan. Cahaya (radiance) berbentuk gelombang elektomagnetik yang dipantulkan (reflected) oleh permukaan air Danau dapat dideteksi (detected) oleh sensor citra satelit, yang kemudian dapat dihasilkan data konsentrasi klorofil-a. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji konsentrasi klorofil-a di Danau Matano, Mahalano dan Towuti di Sulawesi Selatan dengan data satelit Landsat-7 ETM. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menganalisis dan membandingkan penurunan dari algoritma yang dikembangkan oleh Wibowo et.al (1994), Wouthuyzen (1991), dan Mayo et.al (1995). Analisis dilakukan melalui regresi antara perhitungan reflektansi kanal-kanal data Landsat-7 ETM dari ketiga algoritma tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa: a). Konsentrasi klorofil-a mempunyai nilai relatif tinggi dengan algoritma Wouthuyzen (1991) jika dibandingkan dengan algoritma Wibowo et.al (1994) dan algoritma Mayo et.al (1995) nilainya lebih rendah, namun ketiganya memiliki kemiripan pola; b). Hasil penurunan regresi antara perhitungan reflektansi kanal-kanal data Landsat-7 ETM dari model Wouthuyzen (1991) dan Mayo et.al (1995) diperoleh bentuk fungsi baru (WoutMayo) y = 0,0704 x +0,1658 dengan koefesien determinasi (R)=1, algoritma ini cukup signifikan untuk dilakukan penelitian berkelanjutan; c). Sebaran klorofil-a yang diperoleh melalui perhitungan persamaan algoritma WoutMayo dan Mayo et.al (1995) nampak keduanya menunjukkan pola kesetaraan yang sama. Kata kunci : klorofil-a, citra Landsat-7 ETM, regresi, pantulan.
Abstract Application of remote sensing technology to assess water quality of the lake through the detection of organic substances and inorganic dissolved in water such as, brightness, chlorophyll-a and dissolved solids loads have been carried out. Electromagnetic wave-shaped light reflected by the surface of the lake water can be detected by the sensor of satellite image, which can then be generated chlorophyll-a concentration data. The purpose of this study is to assess the
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
39
concentration of chlorophyll-a in Lake Matano, Mahalano and Towuti in South Sulawesi with satellite data of Landsat-7 ETM. The method used in this study is by analyzing and comparing the decline of the algorithm developed by Wibowo et.al (1994), Wouthuyzen (1991), and the Mayo et.al (1995). The analysis was performed through a regression between reflectance calculation canals Landsat7 ETM of the three algorithms. The analysis showed that: a).The concentration of chlorophyll-a have a relatively high value of the algorithm Wouthuyzen (1991 ) when compared with the algorithm Wibowo et.al (1994) and Mayo algorithm et.al (1995) the value is lower, but all three have similar pattern b). Results of regression between the decrease in reflectance calculations canals Landsat-7 ETM Wouthuyzen model (1991) and Mayo et.al (1995) obtained a new function form (WoutMayo) y = 0.0704 x +0.1658 with a coefficient of determination (R)=1, this algorithm is quite significant for ongoing research, c). Distribution of chlorophyll-a is obtained by calculating the equation algorithm and Mayo WoutMayo et.al (1995) both appear to show the same pattern of equality. Keywords : chlorophyll -a , Landsat -7 ETM , regression , reflection. 1. PENDAHULUAN Parameter yang sangat menentukan produktivitas perairan baik di perairan laut maupun perairan air tawar (Danau) biasanya adalah klorofil-a. Tinggi dan rendahnya sebaran konsentrasi klorofil-a berkaitan langsung dengan kondisi perairan itu sendiri. Beberapa parameter fisika-kimia yang mempengaruhi sebaran klorofil adalah intensitas cahaya dan nutrien (terutama nitrat, fosfat dan silikat). Umumnya sebaran konsentrasi klorofil-a tinggi di perairan Danau sebagai akibat dari tingginya suplai nutrien yang berasal dari daratan melalui limpasan air sungai. Oleh karena itu ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari di suatu perairan sangat mempengaruhi konsentrasi klorofil-a. Apabila nutrien dan intensitas cahaya matahari tersedia cukup, maka konsentrasi klorofila akan tinggi begitu pula sebaliknya. Perairan di daerah tropis umumnya memiliki konsentrasi klorofil-a yang rendah karena keterbatasan nutrien dan kuatnya stratifikasi kolom perairan sebagai akibat pemanasan permukaan perairan yang terjadi sepanjang tahun. Sebaran fitoplankton dapat diestimasi dari kandungan klorofilnya melalui teknologi penginderaan jauh yaitu melalui data satelit Landsat. Data satelit Landsat-7 ETM bisa memberikan informasi data perairan berdasarkan sinar pantulan yang terdeteksi oleh sensor satelit Landsat-7 ETM. Model pemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk kegiatan deteksi klorofil-a telah dipublikasikan dalam banyak paper seperti: Wibowo et.al (1994) dalam Halida et.al (2010); Wouthuyzen (1991) dalam Pentury. R. et al (2009); Mayo et.al (1995); Brezonik et al. (2002); Kneubühler M. et al. (2007) ; Griffin. C. G. (2010); Sebastiá M.T. et al. (2012); Zhang. Y. (2010); Luoheng Han. (2002); Jamadar. B. (2013). Brezonik et al. (2002) telah membuat model pemetaan klorofil-a dan kecerahan perairan Danau menggunakan data Landsat-7
40
Nana Suwargana
ETM, dan telah menerapkan model tersebut secara operasional untuk memantau kondisi beberapa Danau di Amerika, demikian juga algorithma dari Wibowo et.al (1994) yang dipakai dalam Nuriya.H (2010) telah melakukan penelitian untuk medeteksi klorofil-a secara operasional untuk wilayah selat Madura. Selain itu, juga Mayo et.al (2010) telah membuat model deteksi klorofil-a menggunakan data Landsat-7 ETM, dan telah menerapkan model tersebut secara operasional di Danau Kinneret. Tel-Aviv, Israel, demikian juga Wouthuyzen (1991) yang dikembangkan oleh Pentury. R. et al .(2009) telah melakukan penelitian untuk deteksi dan pemetaan klorofil-a secara operasional di Teluk Kayeli, Kabupaten Buru Provinsi Maluku. Metode pemantauan kualitas air Danau untuk deteksi klorofil-a di Indonesia masih banyak menggunakan pengukuran langsung di lapangan atau analisa laboratorium dari pada memanfaatkan teknologi satelit penginderan jauh. Model pemanfaatan teknologi satelit penginderan jauh, telah banyak pula model algorithma yang dipublikasikan untuk menentukan ekstraksi klorofil-a baik melalui jurnal nasional maupun jurnal internasional. Untuk daerah-daerah di Indonesia terutama untuk kajian Danau yang menjadi periotas perlu dikaji dengan menggunakan data Landsat-7 ETM. Hal tersebut perlu dilakukan studi pembanding dari hasil penurunan algorithma-algorithma tersebut apabila ingin mendapatkan profil klorofil-a untuk suatu perairan yang lebih luas dari pada pengukuran klorofil-a dengan metode dilapangan yang harus menggunakan banyak titik sampel. Tentu saja untuk melakukannya diperlukan waktu yang relatif lama dalam mengumpulkan sampel dan dana yang cukup besar dalam menganalisis dan pengumpulan datanya. Oleh karena itu, teknologi pengukuran klorofil-a menggunakan metode penginderaan jauh banyak berbagai kemudahan dalam melakukan penelitian untuk mengkaji kualitas perairan air tawar khususnya perairan Danau. Salah satunya memudahkan penelitian adalah mudah dilakukan di daerah cakupan yang luas. Selanjutnya dengan menggunakan analisis Land Satellite (Landsat) dapat didapatkan profil sebaran klorofil-a secara real time. Sebagai contoh aplikasi penginderaan jauh untuk pendeteksian, pemantauan dan inventarisasi terhadap klorofil-a, suhu permukaan air, kekeruhan dan lain sebagainya memiliki banyak kelebihan dibanding dengan cara konvensional. Dari kesemua algorithma-algorithma yang telah diturunkan oleh para peneliti, dalam penelitan ini telah dilakukan kajian menggunakan data Landsat-7 ETM. Dalam penelitian disini dicoba melakukan studi banding dari model algorithma: Wibowo et.al (1994), Wouthuyzen (1991), dan Mayo et.al (1995). Sedangkan untuk algorithma-algorithma yang lainnya akan dilakukan untuk tahun penelitian berikutnya. Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian estimasi konsentrasi klorofil-a di perairan Danau Matano, Mahalano dan Towuti di Sulawesi Selatan dengan menggunakan data penginderaan jauh citra satelit Landsat-7 ETM. Metoda penelitian yang dilakukan adalah menurunkan dan menganalisis algorithma yang telah dikembangkan oleh Wibowo et.al (1994), Wouthuyzen (1991), dan Mayo
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
41
et.al (1995) serta melakukan studi banding dari ketiga penurunan algorithma tersebut dengan membuat persamaan regresi antara perhitungan reflektansi kanal-kanal data Landsat-7 ETM. Hasil kajian diharapkan dapat digunakan oleh pihak-pihak terkait sebagai alternatif pengganti metode pengukuran lapangan. Pengukuran lapangan hanya digunakan untuk pembangunan metode dan verifikasi hasil. Serta untuk mendukung model pembuatan peta sebarannya. 2. METODOLOGI 2.1 Data dan Lokasi Penelitian Data yang digunakan adalah Citra Landsat-7 ETM dengan posisi citra pada path/row: 113/062. Data set citra yang diakuisisi tanggal 17 Oktober 1997 mencakup didalamnya perairan Danau Matano, Danau Mahalano, dan Danau Towuti yang terletak di Kecamatan Nuha, Sorowaka, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Data set citra Landsat-7 ETM (daerah kajian) tersusun oleh kanal-kanal 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 7 dengan resolusi spasial 30 meter lihat Tabel 1. Tabel 1. Saluran spektral yang digunakan dalam sistem data Landsat-7 ETM dan karakteristiknya Panjang Resolusi Gelombang Spasial Karakteristik (µm) (m) 1 (biru) 0,45-0,51 30 Penetrasi maksimum pada air berguna untuk pemetaan batimetri perairan dangkal 2 (hijau) 0,52-0,60 30 Berfungsi untuk mengindera puncak pantulan vegetasi. 3 (merah) 0,63-0,69 30 Berfungsi untuk membedakan absorbsi klorofil dan tipe vegetasi. 4 (Inframerah 0,75-0,90 30 Untuk menentukan kandungan dekat) biomas, tipe vegetasi, pemetaan garis pantai. 5 (Infra-merah 1,55-1,75 30 Menunjukkan kandungan tengah I) kelembaban tanah dan kekontrasan tipe vegetasi. 6 (Infra-merah 10,4 – 12,5 30 Untuk mendeteksi gejala alas yang thermal) berhubungan dengan panas. 7 (Infra-merah 2,09-2,35 30 Rasio antara kanal 5 dan 7 untuk tengah II.) pemetaan perubahan batuan secara hidrotermal dan sensitive terhadap kandungan kelembaban vegetasi 8 0,52-0,90 15 Bermanfaat untuk identifikasi (Pankromatik) obyek lebih detail. Sumber: Landsat-7 ETM: Eros Data Center (1995). Kanal
42
Nana Suwargana
Data sekunder yang digunakan dlm penelitian ini adalah peta letak topografis dan profil danau Matano, danau Mahalona dan danau Towuti. Contoh data sekunder peta topografis yang digunakan diperlihatkan pada (Gambar 1) dan profil danau Matano diperlihatkan pada (Gambar 2). Secara geografis lokasi kajian untuk Danau Matano terletak pada koordinat : 2° 29' 45" LU 121° 20' 35"BT, Danau Mahalona terletak pada koordinat : 2° 29' 7" LU 121° 20' 03" BT, dan Danau Towuti terletak pada koordinat : 2° 45′ 0″ LU 121° 30′ 0″ BT ditunjukkan pada (Gambar 1). Luas Danau Matano berkisar 16.408 hektar dengan sumbu memanjang 28 km pada arah timur barat (limnologi.lipi.go.id). Posisi dasar Danau ini sangat khas karena letaknya lebih rendah dari permukaan laut memiliki kedalaman berkisar 595 meter dengan letak dasar danaunya berada pada 203 meter di bawah permukaan laut (Gambar 2). Danau Matano merupakan Danau terdalam di Asia Tenggara bahkan terdalam kedelapan di dunia. Pembentukan Danau Matano bukan merupakan pembentukan dari beberapa anak sungai, tetapi terbentuk karena dari ribuan mata air yang muncul akibat gerakan tektonik; lipatan dan patahan kerak bumi yang terjadi di sekitar daerah litosfir yang membutuhkan waktu lama untuk terisi oleh air dan membentuk danau sekitar 4 juta tahun yang lalu (limnologi.lipi.go.id). Sehingga danau ini tidak akan pernah mengalami kekeringan dan airnya sangat jernih. Karena kejernihannya maka kecerahan air yang mencapai berkisar 23 meter sehingga sangat menggoda untuk olahraga snorkling dan diving. Di Danau Matano juga terdapat berbagai jenis flora dan fauna endemik yang masih terjaga dengan baik. Flora dan fauna endemik adalah makhluk hidup yang hanya ditemui di suatu tempat dan tidak ditemukan di tempat yang lain. Sedangkan Danau Mahalona dan Danau Towuti terbentuk dibagian selatan Danau Matano. Kedalaman Danau Mahalona berkisar 60 meter dengan luas 2.440 hektar dan Danau Towuti mempunyai kedalaman berkisar 200 meter dengan luas 56.108 hektar. Pergerakan arus air yang mengalir dari Danau Matano dialirkan melalui sungai Larona ke Danau Mahalona kemudian ke Danau Towuti dan selanjutnya menuju muara melalui sungai Malili dan berakhir di Laut Bone. Sungai inilah yang menjadi penggerak PLTA Larona dan PLTA Balambano dan PLTA Karebbe. Topografis dan kondisi penutup lahan di danau Matano sebagaian pemanfaatan lahan dominan sekitar perairan Danau adalah hutan alam yang berada di bagian timur, utara dan barat danau. Penutup lahan Danau. Permukiman yang pemanfaatannya berada di bagian selatan terutama di Solosa yang secara mengelompok. Lahan ladang terdapat disekitar permukiman karena merupakan bagian mata pencaharian pendudk di sekitar Danau. Terdapat pula keberadaan lahan tebuka yang pemanfaatannya berada disebelah timur Danau.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
43
Gambar 1. Peta Letak Topografi Danau Matano, Mahalano, dan Towuti. Garis kuning menunjukkan sistem sungai yang menghubungkan masing-masing danau dan menjadi satu sebelum bermuara ke Teluk Bone. Garis putih menunjukkan sungai penyuplai air (river inlet). Dari peta topografi di atas terlihat bahwa seluruh danau dikelilingi oleh bukit-bukit dengan ketinggian 500-700 m. (Sumber: http://upload.wikimedia.org)
Gambar 2. Frofil Danau Matano kedalamannya lebih rendah dari permukaan laut memiliki kedalaman berkisar 595 meter dengan letak dasar Danaunya berada pada 203 meter di bawah permukaan laut. (Sumber: limnologi.lipi.go.id)
44
Nana Suwargana
Metode penelitian yang dilakukan adalah menurunkan dan menganalisis algoritma yang telah dikembangkan oleh Wibowo et.al (1994), Wouthuyzen (1991), dan Mayo et.al (1995) serta melakukan studi banding dari ketiga penurunan algorithma tersebut dengan membuat persamaan regresi antara perhitungan reflektansi kanal-kanal data Landsat-7 ETM. 2.2 Metode Pengolahan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menentukan estimasi konsentrasi klorofil-a berbasiskan data Landsat-7 ETM. Tahapan metode penelitian pertama yaitu menganalisis dan membandingkan penurunan dari algorithma Wibowo et.al (1994), Wouthuyzen (1991), dan Mayo et.al (1995) dari citra Landsat-7 ETM, kedua menentukan persamaan regresi dari hubungan antara reflektansi kanal-kanal ETM dari perhitungan algoritma Wibowo et.al (1994) terhadap reflektansi kanal-kanal ETM dari perhitungan algoritma Wouthuyzen (1991), atau Mayo et.al (1995) dan sebaliknya. Tahapan pengolahan meliputi pengolahan awal serta ekstraksi klorofil-a. 2.2.1 Pengolahan awal ( Pre-processing ) Pengolahan citra dilakukan dengan software ERDAS ER Mapper Versi 7.2. Sebelum melakukan pengolahan dan analisis citra, terlebih dahulu dilakukan koreksi geometrik citra dengan tujuan agar citra dapat mempunyai koordinat yang sama dengan koordinat peta yang dikeluarkan oleh Bakosurtanal. Kemudian dilakukan overlay antara kanal (membuat citra gabungan/citra RGB) dan penajaman serta analisisa visual dengan tujuan untuk mengidentifikasi obyek air Danau. Setelah melakukan koreksi geometrik dilakukan koreksi radiometrik, dan koreksi atmosfir. Koreksi geometrik dilakukan dengan metode registrasi (image to Image). Citra acuannya adalah citra georefernsi yang telah terkoreksi dengan koordinat peta dari Bakosurtanal. Penyamaan posisi ini dimaksudkan agar posisi piksel citra original menjadi sama dengan citra terkoreksi. Jadi proses registrasi citra ke citra disini melibatkan proses georeferensi apabila citra acuannya sudah terkoreksi. Transfomasi kiordinat pada citra menggunakan model polynomial. Pada persamaan poliminal dengan orde-t, maka jumlah minimal GCP (Ground Control Point) yang diperlukan (n) mengikuti (persamaan 1).
𝑛=
(𝑡+1)(𝑡+2)
Dimana;
2
(1)
n = jumlah GCP yang dibutuhkan t = orde persamaan yang diterapkan
Langkah selanjutnya dilakukan perhitungan Root Mean Square Error/RMSE (persamaan 2) dan Standard Deviation/STD (persamaan 3) hasil transformasi koordinat sehingga dapat diketahui kepresisian datanya. Minimal besarnya nilai RMSE yang dapat diterima adalah sebesar 0.5 piksel. Formula RMSE dan STD:
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
45
(2)
(3) Dengan: x', y' = koordinat citra hasil koreksi (x,y)origin = koordinat GCP pada bidang referensi n = jumlah GCP Koreksi radiometrik ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel supaya sesuai dengan yang seharusnya, biasanya mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer sebagai kesalahan utama. Pada koreksi ini, diasumsikan bahwa nilai piksel terendah pada suatu kerangka liputan (scene) seharusnya nol, sesuai dengan bitcoding sensor. Apabila nilai terendah piksel pada kerangka liputan tersebut bukan nol, maka nilai penambah (offset) tersebut dipandang sebagai hasil dari hamburan atmosfer. Fungsi dari koreksi radiometrik adalah untuk menghilangkan kesalahan radiometrik (radiometric error) yang disebabkan oleh aspek eksternal berupa gangguan atmosfer pada saat proses perekaman. Biasanya gangguan atmosfer ini dapat berupa serapan, hamburan, dan pantulan yang menyebabkan nilai piksel pada citra hasil perekaman tidak sesuai dengan nilai piksel obyek sebenarnya di lapangan. Kesalahan radiometrik pada citra dapat menyebabkan kesalahan interpretasi terutama jika interpretasi dilakukan secara dijital yang mendasarkan pada nilai piksel. Sehingga, koreksi radiometrik ini sangat penting untuk dilakukan agar hasil yang diperoleh sesuai dengan yang diinginkan. Koreksi radiometrik dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah penyesuaian regresi, penyesuaian histogram, dan kalibrasi bayangan. Proses koreksi dilakukan dengan merubah nilai dijital piksel menjadi nilai radian (radiasi dari objek ke sensor). Persamaan konversi DN (Nilai Dijital) ke Radian diperlihatkan pada (persamaan 4) pada (Gambar 3) dan setelah dimasukan slope ke persamaan 4, diperoleh koreksi radiometrik (persamaan 5).
Gambar 3. Konversi DN ke Radian
46
Nana Suwargana
Bentuk konversi DN ke Radian adalah : L= G x DN+B Dimana: DN G L B
(4)
=Nilai dijital = Gradien (kanal gain) = Radian di atas atmosfir = Titik potong (kanal offset)
Untuk koreksi radiansi citra Landsat: L=[(Lmax – Lmin)/255] x DN + Lmin
(5)
Dimana: Lmax = radian maksimum pada kanal (1-7) Lmin = radian minimum pada kanal (1-7) Koreksi atmosfir menggunakan model 6s (Second Simulation of a Satellite Signal in the Solar Spectrum) yang diunduh dari (http://6s.ltdri.org/). Model 6s menghitung nilai global transmittance dan total scattering transmitannce berdasarkan informasi kondisi atmosfer pada saat data direkam. Nilai koefisien yang dihasilkan model 6s dapat digunakan untuk menghitung nilai reflectance perairan yang telah bebas dari pengaruh kondisi atmosfir. Tahap terakhir melakukan normalisasi antar waktu sehingga perbedaan nilai spektral pada data yang berlainan waktu dan berlainan sensor dapat dikurangi atau dihilangkan. Cara melakukan koreksi atmosfir adalah memasukan website : http://www.6s.ltdri.org kemudian siapkan header file dari data Landsat-7 ETM dimana input yang dimasukan diantaranya : jenis sensor, tanggal dan waktu perekaman, latitude dan longitude pada titik pusat citra, dan visibility dari atmosfir. Dengan memasukan input data Landsat-7 ETM ke model 6S dan mengunduh http://6s.ltdri.org/ diperoleh parameter-parameter koreksi atmosfir acr (Atmopheric Correction Result) : ************************************************************************** atmospheric correction result ----------------------------input apparent reflectance : 0.000 measured radiance [w/m2/sr/mic] : 0.000 atmospherically corrected reflectance Lambertian case : -0.10217 BRDF case : -0.10217 coefficients xa xb xc : 0.00246 0.10054 0.15892 y=xa*(measured radiance)-xb; acr=y/(1 +xc*y) **************************************************************************
47
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
Dari output atmospheric correction (arc) diperoleh persamaan sebagai berikut: y = xa(radiasi yang diukur)-xb = (xa*L)-xb
(6)
dan koreksi atmosfir: arc = y/(1+xc*y)
(7)
Dimana: xa, xb,xc = coefesien koreksi atmosfir L = Koreksi radiometrik citra Landsat (kanal 1-7). 2.2.2 Ekstraksi informasi klorofil-a Klorofil-a yang terdeteksi oleh citra pada dasarnya merupakan pigmen yang terkandung dalam tubuh fitoplankton yang merupakan produsen primer di dalam perairan. Informasi klorofil-a tersebut dapat dianalisis berdasarkan sinar pantulan (reflectance) yang terdeteksi oleh sensor. Hubungan radiansi spektral kanal tunggal dari tubuh air dengan konsentrasi klorofil-a sangat rendah, sehingga untuk pendugaan konsentrasi klorofil-a dapat digunakan ratio kanal biru (range: 0,45 – 0,51 µm) dan kanal hijau (range: 0,52 – 0,60 µm). Seperti yang dikembangkan oleh Wouthuyzen (1991) dalam Pentury. R. et al (2009) menggunakan kanal biru (range:0,45 – 0,51 µm) dan kanal hijau (range:0,52– 0,60 µm), Mayo et.al (1995) pengembangannya mengunakan kanal biru (range:0,45 – 0,51 µm), kanal hijau (range:0,52 – 0,60 µm) dan kanal infra merah (range:0,63-0,69 µm). Bahkan beberapa peneliti lainnya seperti Wibowo et.al (1994) dalam Halida et.al (2010) menggunakan kanal infra merah (range: 0,63 – 0,69 µm), kanal infra merah dekat (range:0,75 – 0,90 µm) dan kanal Infra-merah tengah I (range:1,55- 1,75 µm); Kneubühler M. et al. (2007) menggunakan ratio kanal biru, kanal merah dan kanal hijau yaitu model : ([0.45,0.52 µm]-[0.63.69 µm])/[0.52,0.60 µm]; Griffin. C. G. (2010) menggunakan kanal 1-4 yaitu, (biru: 0.45-0.52 µm, hijau: 0.52-0.60 µm, merah: 0.63-0.69 µm, infra merah dekat: 0.67-0.90 µm); Zhang. Y. (2010); menggunakan ratio kanal maksimum, yang dihitung sebagai maksimum dari ratio reflektasi tiga kanal pada panjang gelombang 0.443, 0.490, 0.520, dan 0.564 µm (ρ0.443/ρ0.565, ρ0.490/ρ0.565, ρ0.520/ρ0.565) dapat digunakan untuk estimasi klorofil-a; Luoheng Han. (2002) melakukan pendekatan model dengan kanal biru 0.45-0.52 µm, hijau 0.52-0.60 µm, merah 0.6-0.69 µm dan infra merah dekat 0.76-0.90 µm; Sebastiá M.T.et al. (2012) melakukan pendekatan sama dengan model Luoheng Han. (2002) menggunakan kanal biru: 0.45-0.52 µm, kanal hijau : 0.52-0.60 µm kanal merah: 0.6-0.69 µm, infra merah dekat: 0.76-0.90 µm; dan Jamadar.B.(2013) menggunakan ratio antara kanal hijau (0.50-0.60 μm) dan kanal merah (0.60- 0.70 μm) atau sebaliknya dan rasio antara kanal biru (0,400,50 mm) dan kanal merah atau sebaliknya.
48
Nana Suwargana
Algorithma-algorithma yang digunakan untuk menentukan estimasi konsentrasi klorofil-a dengan kajian data Landsat-7 ETM adalah melakukan studi banding dari model algoritma: Wibowo et.al (1994), Wouthuyzen (1991), dan Mayo et.al (1995). Sedangkan untuk algorithma-algorithma yang lainnya akan dilakukan untuk tahun penelitian berikutnya. Untuk menentukan hubungan antara radiansi spektral dari tubuh air dengan kandungan klorofil-a yang diturunkan Wibowo et.al (1994) dalam Halida et.al (2010) menyatakan bahwa kanal infra merah (TM3), kanal infra merah dekat (TM4) dan kanal Infra-merah tengah I (TM5) dari citra satelit Landsat-7 ETM dapat digunakan untuk mendeteksi konsentrasi klorofil-a di perairan. Algoritma yang diturunkan adalah pada (persamaan 8). 𝑇𝑀4+𝑇𝑀5 3.497
C = 0.2812 x (
𝑇𝑀3
)
(8)
Di mana : C = konsentrasi klorofil-a (mg/l) TM3 : kanal 3 TM4 : kanal 4 TM5 : kanal 5 Sedangkan dari pemaparan peneliti lainnya seperti Wouthuyzen et.al (1991) dalam Pentury et al (2009) menyatakan bahwa kandungan konsentrasi klorofila dapat dideteksi melalui citra satelit Landsat-7 ETM dengan menggunakan kanal biru (TM1) dan kanal hijau (TM2). Algoritma yang diturunkan adalah pada (persamaan 9). Chl= 10.359(TM2/TM1)-2.355
(9)
Di mana: TM1 = kanal 1 TM2= kanal 2 yang telah terkoreksi atmosfir (dijelaskan pada persamaan 7) Kemudian pemaparan lainnya yang dikemukakan oleh Mayo et.al (1995) telah melakukan penelitian di Danau Kinneret Israel, menyatakan bahwa pendeteksian klorofil-a dapat menggunakan kanal biru, kanal hijau dan kanal infra merah. Hasil penurunan regresinya diperoleh bahwa hubungan antara reflektansi kanalkanal ETM yang disimulasikan terhadap pengukuran klorofil yang sebenarnya (langsung dilangan/ground truth) dengan satuannya dalam miligram per meter kubik. Algorithma yang diturunkan adalah pada (persamaan 10). Chl = 0.164{[TM1)-(TM3)]/(TM2)}-0.98 Di mana : TM1 = kanal 1 TM2 = kanal 2 TM3 = kanal 3
(10)
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
49
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Karena pada penelitian ini tidak ada pengambilan data klorofil di lapangan (ground truth) yang sama dengan waktu akuisisi dari citra Landsat-7 ETM, maka peta sebaran konsentrasi klorofil-a langsung didapatkan dengan mengaplikasikan model-model dari pendekatan algoritma Wibowo et.al (1994), Wouthuyzen (1991) dan Mayo et.al (1995). Sebelum pembuatan peta sebaran klorofil terlebih dahulu dilakukan pembuatan citra warna gabungan RGB. Pada citra Landsat-7 ETM dibuat citra gabungan RGB 421 (Gambar 4) kemudian dipertajam (enhancement) sehingga dapat memperlihatkan ciri obyek yang lebih jelas dari kondisi air dan penutup lahan disekitarnya (Gambar 5) disertai dengan titik-titik lokasi pengamatan. Air Danau ditunjukkan dengan rona keruh (biru muda) hingga cerah (biru tua), sedangkan tutupan lahan disekitarnya didominasi tutupan bervegetasi (hutan dan tanaman campuran lain-lain yang ditunjukkan denga rona warna merah), tutupan lahan lainnya adalah lahan terbuka, permukiman dan lain-lain. Berdasarkan data statistik citra Landsat-7 ETM yang setelah didelineasi batas-batas Danaunya maka dapat diketahui luasan masing-masing Danau. Luas Danau Matano berkisar 16.188,48 Hektar, Danau Mahalano berkisar 2.276,20 Hektar dan Danau Towuti berkisar 55.087,34 Hektar.
Gambar 4. Citra Landsat-7 ETM Gabungan RGB 421
Citra hasil olahan konsentrasi klorofil-a yang diturunkan dari model algorithma Wibowo et.al (1994), Wouthuyzen (1991), dan Mayo et.al (1995) yang diterapkan pada perairan Danau Matano, Mahalano, Towuti di Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan menampilkan citra dalam bentuk Color Mode Pseudocolor dan Color Table Pseudocolor. Citra hasil penerapan ketiga
50
Nana Suwargana
algorithma tersebut memperlihatkan penampakan obyek yang mirip sama antara model yang satu dengan lainnya. Penampakan konsentrasi klorofil-a ditampilkan dengan warna rona biru muda hingga biru tua, namun apabila dihitung berdasarkan algorithma dari ketiga model besaran nilai angka dijital antara satu citra dengan citra yang lainnya tidak sama dan bervariasi. Perbedaan nilai angka digital dari ketiga algorithma tersebut dapat ditampilkan lebih jelas dalam kedalam bentuk histogram dan sebaran klorofil-a (Gambar 6-a,b,c) serta hasil klasifikasi kedalam bentuk peta sebaran klorofil-a yang ditampilkan pada (Gambar 6-d,e,f).
Gambar 5. Citra Satelit Landsat-TM RGB 421 Danau Matano, Danau Mahalano dan Danau Towuti, Aquisisi Tanggal 17 Oktober 1997 dan lokasi titik-titik pengamatan. Danau Matano 15 titik lokasi, Danau Mahalona 6 titik lokasi dan Danau Towuti 20 titik lokasi.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
(a) Histogram dan Sebaran Klorofil-a Algorithma Wibowo et.al (1994).
(b) Histogram dan Sebaran Klorofil-a Algorithma Wouthuyzen (1991)
(c) Histogram dan Sebaran Klorofil-a Algorithma Mayo et.al(1995)
51
52
Nana Suwargana
(d) Klasifikasi Peta Sebaran Klorofil-a Algorithma Wibowo et.al (1994).
(e) Klasifikasi Peta Sebaran Klorofil-a Algorithma Wouthuyzen (1991)
(f) Klasifikasi Peta Sebaran Klorofil-a Algorithma Mayo et.al(1995) Gambar 6. Model sebaran konsentrasi klorofil-a dari penurunan algorithma Wibowo et.al (1994), Wouthuyzen (1991) dan Mayo et.al (1995).
Untuk mengetahui apakah penurunan algorithma hasil olahan citra dari ketiga peneliti tersebut mempunyai nilai konsentrasi klorofil-a yang setara antara satu sama dengan yang lainnya, maka berdasarkan statistik dapat dihitung nilai konsentrasi klorofil-a yang diperoleh dari piksel-piksel angka dijital citra Landsat-7 ETM terebut. Pengambilan sampel dilakukan dengan mencatat nilai angka dijital pada setiap titik-titik lokasi pengamatan terhadap kanal-kanal : TM1, TM2, TM3, TM4, TM5, TM6 dan TM7. Pengambilan angka dijital pada lokasi titik-titik sampel pengamatan ditampilkan pada Tabel 2. Pengambilan sampel nilai angka dijital pada Danau Matano diambil 15 titik lokasi pengamatan, pada Danau Matano 6 titik lokasi pengamatan, dan pada Danau Towuti sebanyak 20 lokasi titik pengamatan, ditampilkan pada (Gambar 5).
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
53
Hasil penghitungan penurunan algorithma dari ketiga peneliti diperoleh nilai konsentrasi klorofil-a untuk setiap titik-titik lokasi pengamatan dengan satuannya dalam mg/l, lihat Tabel 3. Berikut ini contoh hasil olahan citra dari model algoritma Wibowo et.al (1994), Wouthuyzen (1991), dan Mayo et.al (1995) dijelaskan sebagai berikut: Algoritma Wibowo et.al (1994): Estimasi kandungan klorofil-a dengan menggunakan algorithma Wibowo et.al (1994) menghasilkan kisaran nilai klorofil-a bervariasi antara 0.4879 – 0.7221 mg/l, dengan frekwensi tertinggi didominasi oleh nilai konsentrasi berkisar antara 0.479 – 0.541 mg/l, lihat (Gambar 6a) dan rata-rata = 0.5858 mg/l, StDev = 0.0585 lihat (Tabel 3). Dengan mengklasifikasikan (unsupervised classification) citra hasil dari penurunan algorithma Wibowo (1994) diperoleh peta sebaran klorofil-a yang ditunjukkan pada (Gambar 6d). Hasil klasifikasinya dibagi 6 kelas, yakni kelas 1(0 mg/l), kelas 2 (0.4879 mg/l), kelas 3 (0.5464 mg/l), kelas 4 (0.6050 mg/l), kelas 5 (0.6636 mg/l), kelas 6 (0.7221 mg/l). Algoritma Wouthuyzen (1991): Estimasi kandungan klorofil-a dengan menggunakan algorithma Wouthuyzen (1991) di perairan Danau (Matano, Mahalona dan Towuti) menghasilkan kisaran nilai klorofil-a bervariasi antara 1.1343 – 1.1649 mg/l, dengan frekwensi tertinggi didominasi oleh nilai konsentrasi berkisar antara 1.157 – 1.179 mg/l, lihat (Gambar 6b) dan rata-rata = 1.2879 mg/l, StDev = 0.1092 lihat (Tabel 3). Hasil klasifikasi (unsupervised classification) citra hasil dari penurunan algoritma Wouthuyzen (1991) diperoleh peta sebaran klorofil-a yang ditunjukkan pada (Gambar 6e). Klasifikasi dibagi 6 kelas, yakni kelas 1(0 mg/l), kelas 2 (1.1343 mg/l), kelas 3 (1.2644 mg/l), kelas 4 (1.3946 mg/l), kelas 5 (1.5247 mg/l), kelas 6 (1.6549 mg/l). Algoritma Mayo et.al (1995): Estimasi kandungan klorofil-a dengan menggunakan algorithma di perairan Danau (Matano, Mahalona dan Towuti) menghasilkan kisaran nilai klorofil-a bervariasi antara 0.2456 – 0.2823 mg/l, dengan frekwensi tertinggi didominasi oleh nilai konsentrasi berkisar antara 0.247 – 0.249 mg/l, lihat (Gambar 6c) dan rata-rata = 0.2564 mg/l, StDev = 0.0076, lihat (Tabel 3). Hasil klasifikasi (unsupervised classification) citra hasil dari penurunan algoritma Mayo et.al (1995) diperoleh peta sebaran klorofil-a yang ditunjukkan pada (Gambar 6f). Klasifikasi dibagi 6 kelas, yakni kelas 1(0 mg/l), kelas 2 (0.2456 mg/l), kelas 3 (0.2547 mg/l), kelas 4 (0.2639 mg/l), kelas 5 (0.2731 mg/l), kelas 6 (0.2822 mg/l).
54
Nana Suwargana
Tabel 2. Nilai angka dijital dilokasi titik-titik pengamatan pada citra Landsat-TM setiap kanal: TM1, TM2, TM3, TM4, TM5, TM6, dan TM7 di Lokasi Danau Matano(Mt), Danau Mahalano(Mh) dan Danau Towuti(Tw) Koordinat Pengamatan Mt1 Mt2 Mt3 Mt4 Mt5 Mt6 Mt7 Mt8 Mt9 Mt10 Mt11 Mt12 Mt13 Mt14 Mt15 Mh1 Mh2 Mh3 Mh4 Mh5 Mh6 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw5 Tw6 Tw7 Tw8 Tw9 Tw10 Tw11 Tw12 Tw13 Tw14 Tw15 Tw16 Tw17 Tw18 Tw19 Tw20
Latitude
Longitude
2:26:16.33S 2:25:47.22S 2:27:30.81S 2:29:35.92S 2:31:49.19S 2:33:17.78S 2:31:17.37S 2:30:2.96S 2:28:33.23S 2:26:56.94S 2:27:39.53S 2:28:33.83S 2:29:4.63S 2:29:47.55S 2:31:2.26S 2:36:37.35S 2:55:4.85S 2:33:52.46S 2:36:41.76S 2:34:42.91S 2:35:48.31S 2:41:41.5S 2:40:6.31S 2:39:35.18S 2:39:28.84S 2:41:29.41S 2:44:54.8S 2:50:16.77S 2:52:31.46S 2:55:14.92S 2:55:59.06S 2:53:11.44S 2:49:13.3S 2:44:1.73S 2:42:46.04S 2:42:42.4S 2:48:55.32S 2:51:11.35S 2:53:11.66S 2:46:56.82S 2:43:36.22S
121:13:0.31E 121:17:10.1E 121:21:47.5E 121:25:29.83E 121:31:49.19E 121:26:14.06E 121:22:27.42E 121:19:31.87E 121:16:36.74E 121:15:11.78E 121:17:39.65E 121:19:23.4E 121:21:44.26E 121:23:31.16E 121:25:3.96E 121:28:52.51E 121:28:13.02E 121:30:18.28E 121:30:47.07E 121:29:44.27E 121:29:19.45E 121:25:37.25E 121:30:57.71E 121:35:7.78E 121:38:15.32E 121:39:33.33E 121:36:15.14E 121:33:35.86E 121:31:2.0E 121:28:3.34E 121:23:32.78E 121:23:31.3E 121:25:45.77E 121:26:57.81E 121:30:27.57E 121:34:25.89E 121:30:14.08E 121:28:11.48E 121:26:4.98E 121:22:11.08E 121:19:12.95E
TM 1 89 89 90 86 88 86 93 90 87 89 90 90 92 91 88 94 92 90 93 95 93 94 94 91 92 92 89 92 95 96 95 94 96 94 94 91 94 94 96 96 90
Nilai Angka Digital TM TM TM TM 2 3 4 5 31 26 21 12 31 25 21 10 32 26 19 10 29 24 19 10 31 26 21 10 30 23 19 8 35 28 20 11 31 26 21 11 31 24 19 9 31 25 16 10 32 25 16 11 31 26 16 11 32 27 17 11 31 26 16 10 31 25 16 8 34 27 21 11 33 27 23 11 32 24 22 10 36 31 20 10 34 26 20 11 32 26 18 9 33 27 20 11 33 26 17 11 31 25 20 10 31 26 21 10 31 25 16 8 31 25 15 9 32 27 20 10 32 26 19 10 34 27 20 9 34 28 21 9 34 27 23 11 35 28 20 10 34 27 20 8 32 26 16 10 31 25 15 9 32 27 16 9 33 27 17 10 34 28 18 11 35 28 22 11 32 27 24 13
TM 7 6 5 5 6 4 5 6 6 6 5 6 7 6 6 7 5 6 5 3 4 5 7 6 6 4 5 6 5 5 6 6 6 6 5 6 6 6 6 5 7 5
55
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
Tabel 3. Konsentrasi klorofil-a di setiap titik-titik lokasi pengamatan diperairan Danau Matano (Mt), Mahalona (MH), dan Towuti (Tw) Pengamatan Mt1 Mt2 Mt3 Mt4 Mt5 Mt6 Mt7 Mt8 Mt9 Mt10 Mt11 Mt12 Mt13 Mt14 Mt15 Mh1 Mh2 Mh3 Mh4 Mh5 Mh6 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw5 Tw6 Tw7 Tw8 Tw9 Tw10 Tw11 Tw12 Tw13 Tw14 Tw15 Tw16 Tw17
Wibowo 0.668851 0.653447 0.587778 0.63676 0.628315 0.618621 0.583435 0.648583 0.614802 0.548052 0.569131 0.547242 0.546491 0.526974 0.505895 0.624561 0.663596 0.702631 0.509974 0.628315 0.547242 0.605044 0.56751 0.632368 0.628315 0.505895 0.505895 0.585526 0.587778 0.566009 0.564615 0.663596 0.564615 0.546491 0.526974 0.505895 0.487938 0.526974
Konsentrasi Klorofil mg/l Wouthuyzen Mayo 1.253191 1.253191 1.3282 1.138151 1.294193 1.258605 1.543548 1.2131 1.336138 1.253191 1.3282 1.2131 1.24813 1.17389 1.294193 1.391872 1.360728 1.3282 1.654935 1.352432 1.209387 1.28167 1.28167 1.17389 1.135533 1.135533 1.253191 1.24813 1.134347 1.313813 1.352432 1.391872 1.421719 1.391872 1.171468 1.17389 1.171468 1.28167
0.253977 0.253977 0.2592568 0.2458795 0.2568631 0.2543581 0.274415 0.251155 0.2598156 0.253977 0.2592568 0.251155 0.2536208 0.2483951 0.2568631 0.2637386 0.2615464 0.2592568 0.2822554 0.2609625 0.2508937 0.2559816 0.2559816 0.2483951 0.2456951 0.2456951 0.253977 0.2536208 0.2456117 0.2582441 0.2609625 0.2637386 0.2658395 0.2637386 0.2482246 0.2483951 0.2482246 0.2559816
WoutMayo 0.19032135 0.19032135 0.19083111 0.18953953 0.1906 0.19035814 0.19229462 0.19004889 0.19088506 0.19032135 0.19083111 0.19004889 0.19028696 0.18978242 0.1906 0.19126383 0.19105217 0.19083111 0.19305161 0.19099579 0.19002366 0.19051489 0.19051489 0.18978242 0.18952174 0.18952174 0.19032135 0.19028696 0.18951368 0.19073333 0.19099579 0.19126383 0.19146667 0.19126383 0.18976596 0.18978242 0.18976596 0.19051489
56 Pengamatan Tw18 Tw19 Tw20 Minimum Maksimum Rata-rata Stdev
Nana Suwargana
Wibowo 0.545794 0.621076 0.722149 0.487938 0.722149 0.585882 0.058574
Konsentrasi Klorofil mg/l Wouthuyzen Mayo 1.313813 0.2582441 1.421719 0.2658395 1.3282 0.2592568 1.134347 0.2456117 1.654935 0.2822554 1.287914 0.2564211 0.109207 0.007687
WoutMayo 0.19073333 0.19146667 0.19083111 0.18951368 0.19305161 0.19055733 0.00074217
Bila dilihat pada Tabel 3 ternyata nilai konsentrasi klorofil-a di ketiga Danau nampak bervariasi. Nilai konsentrasi klorofil-a dengan menggunakan algorithma Wouthuyzen (1991) relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan algorithma Wibowo et.al (1994) dan algorithma Mayo et.al (1995), namun apabila dilihat dari kenampakan spektral dari ketiga citra hasil olahan memiliki kemiripan pola. Pola penampakan spektral yang setelah diklasifikasikan kedalam bentuk peta sebaran klorofil-a ditampilkan pada Gambar 6 d, e, f. Konsentrasi tinggi dominan diperlihatkan pada perairan Danau Matano tersebar di pinggiran Danau dengan ditunjukkan warna hijau muda dan agak kekuning-kuningan menurun berangsurangsur hingga biru muda ke arah tengah Danau. Di perairan Danau Mahalona dominan rata-rata tinggi ditunjukkan dengan warna hijau muda dan di perairan Danau Towuti dominan konsentrasinya rendah ditunjukkan dengan warna biru muda, namun dipinggiran Danau dan ke arah outlet dominan tinggi ditunjukkan dengan warna hijau muda dan kuning. Ketidaksamaan nilai angka dijital dari pola sebaran klorofil-a yang diperoleh melalui hasil perhitungan ketiga metode ini disebabkan karena tiap metode menggunakan kanal yang berbeda-beda, sehingga menghasilkan nilai konsentrasi klorofil-a yang berbeda pula (Gambar 7a). Dalam perbedaan nilai ini, kemudian dibuat simulasi reflektansi kanal-kanal ETM dari ketiga model algoritma tersebut. Simulasi reflektansi kanal-kanal ETM dilakukan dengan pengambilan sampel (angka dijital) pada objek titik-titik pengamatan dan diantara ketiga algorithma tersebut kemudian dibuat persamaan regresinya. (Gambar 7b) memperlihatkan regresi antara perhitungan reflektansi ke simulasi kanal-kanal ETM dari model Wibowo et.al dan Wouthuyzen yang menghasilkan fungsi y = 0,1844 x +1,1799 dan koefesien determinasi (R2) = 0,0098. Selanjutnya (Gambar 7c) memperlihatkan regresi antara perhitungan reflektansi ke simulasi kanal-kanal ETM model Wouthuyzen (1991) dan Mayo et.al (1995) yang menghasilkan fungsi y = 0,0704 x +0,1658 dan koefesien determinasi (R2) = 1. Kemudian (Gambar 7d) memperlihatkan regresi antara perhitungan reflektansi ke simulasi kanal-kanal ETM dari model Mayo et.al (1995) dan Wibowo et.al (1994) yang menghasilkan fungsi y = 0,7536 x +0,3926 dan koefesien determinasi (R2) = 0,0098.
57
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
Wouthu
Persamaan Regresi Wibowo vs Wouthu
y = 0.1844x + 1.1799 R² = 0.0098
1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
Wibowo
(a) Nilai Klorofil-a: Wibowo et.al, Wouthuyzen dan Mayo et.al Persamaan Regresi Wouthu vs Mayo
y = 0.0704x + 0.1658 R² = 1
0.28 0.27 0.26
Persamaan Regresi Mayo vs Wibowo
0.8 0.6
Wibowo
0.29
Mayo
(b) Regresi antara Wibowo et.al dan Wouthuyzen
y = 0.7536x + 0.3926 R² = 0.0098
0.4 0.2
0.25
0
0.24 0
0.5
1 Wouthu
1.5
2
0.24
0.26
0.28
0.3
Mayo
(c) Regresi antara Wouthuyzen dan Mayo (d) Regresi antara Mayo et.al dan et.al Wibowo et.al Gambar 7. Hasil pengukuran konsentrasi klorofil-a dan bentuk regresi antara perhitungan reflektansi ke simulasi kanal-kanal Landsat-7 ETM dari model algoritma Wibowo et.al, Wouthuyzen, dan Mayo et.al.
Dari ketiga persamaan regresi yang ditampilkan kita dapat memilih persamaanpersamaan yang relatif setara dengan ketiga model yang dihasilkan, sehingga persamaan tersebut mempunyai nilai yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk penelitian yang berkelanjutan. Apabila dicermati ternyata hasil penurunan algoritma dengan cara menurunkan persamaan regresi antara perhitungan reflektansi ke simulasi kanal-kanal Landsat-7 ETM yang paling baik adalah regresi antara perhitungan model Wouthuyzen dan Mayo t.al dengan perolehan fungsinya, yaitu: y = 0,0704 x + 0,1658 dengan koefesien determinasinya (R2) = 1. Kedua persamaan algorithma dari Wouthuyzen dan Mayo et.al menunjukkan hasil yang cukup signifikan karena mempunyai koefesiannya R2=1 sehingga keduanya setara dan dapat dipakai untuk ekstraksi informasi konsentrasi klorofil-a yang berkelanjutan. Oleh karena itu, persamaan regresi tersebut bisa kita pakai untuk ekstraksi informasi klorofil-a berkelanjutan yang mana kita sebut persamaan baru tersebut adalah ”WoutMayo” (Wouthuyzen dan Mayo et.al) :
58
Nana Suwargana
Y=0,0704 (TM2/TM1) + 0,1658
(11)
Di mana: TM1 = kanal biru, TM2 = kanal hijau yang telah terkoreksi atmosfir (telah dijelaskan pada pengolahan awal). Hasil perhitungan nilai onsentrasi klorofil-a untuk ketiga model Wouthuyzen, Mayo dan WoutMayo pengalami perbedaan. Konsentrasi Wouthuyzen nampak lebih tinggi dari pada Mayo dan WoutMayo (Gambar 8a). Ini disebabkan karena komposisi kanal untuk algorithma Wouthuyzen menggunakan dua kanal biru dan hijau yaitu ratio kanal TM1 dan TM2, sedangkan Mayo dan WoutMayo menggunakan input tiga kanal biru, hijau dan merah yaitu ratio kanal TM1, TM2 dan TM3. Persamaan Regresi Mayo vs WoutMayo
WoutMayo
1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
D1 D4 D7 D10 D13 B1 B4 M1 M4 M7 M10 M13 M16 M19
Klorofil mg/l
Pengukuran Konsentrasi Klorofil
Wouthu
Mayo
WoutMayo
(a) Nilai Klorofil-a Wouthuyzen, Mayo dan WoutMayo
0.1935 0.193 0.1925 0.192 0.1915 0.191 0.1905 0.19 0.1895 0.189
y = 0.0965x + 0.1658 R² = 1
0.24
0.26
0.28
0.3
Mayo
(b) Regresi antara Mayo dan WoutMayo
(c) Histogram Konsentransi Klorofil-a (d) Peta Sebaran Klorofil-a Hasil Perhitungan WoutMayo Klasifikasi Metode WoutMayo Gambar 8. Hasil pengukuran konsentrasi klorofil-a dari WoutMayo, (b). bentuk regresi antara perhitungan reflektansi ke simulasi kanal-kanal ETM dari model algoritma Mayo dan WoutMayo, (c). Histogram konsentrasi klorofil-a WoutMayo, dan (d).Peta sebaran klorofil-a hasil klasifikasi WoutMayo
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
59
Kemudian pola sebaran klorofil-a yang diperoleh dari algorithma WoutMayo dan Mayo et.al (1995) nampak setara, artinya kedua model algorithma dari hasil penurunannya membentuk suatu garis yang parallel (Gambar 8a) dan kalau dilihat dari titik-titik lokasi pengamatan dari kedua model algorithma tersebut diperoleh suatu persamaan regresi yang membentuk suatu persamaan garis lurus dengan nilai persamaan y=0,0965x + 0,1658 dan nilai koefesien determinasinya R2=1 diperlihatkan pada (Gambar 8.b). Estimasi kandungan klorofil-a dengan menggunakan algoritma WoutMayo menghasilkan kisaran nilai klorofil-a yang bervariasi antara 0.1895 – 0.1930 mg/l, dengan frekwensi tertinggi didominasi oleh nilai konsentrasi berkisar antara 0.1896 – 0.1899 mg/l dan rata-rata 0.1905 mg/l, StDev = 0.0007. Seluruh frekwensi konsentrasi klorofil-a ditampilkan dalam bentuk histogram (Gambar 8c). Hasil klasifikasi dibuat menjadi 6 kelas, yakni kelas 1(nilai nol), kelas 2 (0.1895 mg/l), kelas 3 (0.1903 mg/l), kelas 4 (0.1913 mg/l), kelas 5 (0.1922 mg/l), kelas 6 (0.1931 mg/l) ditunjukkan pada (Gambar 8d). 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Konsentrasi klorofil-a di perairan Danau (Matano, Mahalona dan Towuti) dengan menggunakan tiga model algoritma nilainya bervariasi. Konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi diperoleh dengan menggunakan algorithma Wouthuyzen (1991) jika dibandingkan dengan algoritma Wibowo et.al (1994) dan algoritma Mayo et.al (1995). Ini disebabkan karena komposisi band untuk algorithma Wouthuyzen menggunakan dua kanal yaitu ratio kanal TM1 dan TM2, sedangkan Mayo dan WoutMayo menggunakan input ratio kanal TM1, TM2 dan TM3. Namun ketiganya memiliki kemiripan pola dimana konsentrasi klorofil-a yang tinggi dihasilkan pada perairan sekitar pinggiran danau dan disekitar outlet. Konsentrasi akan menurun berangsur-angsur dari inlet ke tengah danau. 2. Hasil menurunkan persamaan regresi dari model Wouthuyzen (1991) dan Mayo et.al (1995) diperoleh bentuk persamaan regresi baru WoutMayo Y = 0,0704 X +0,1658 dengan koefesien determinasi (R2) = 1. Dari persamaan algoritma ini menunjukkan hasil yang cukup signifikan dan setara untuk dipakai mengekstraksi informasi konsentrasi klorofil-a berkelanjutan. Oleh karena itu, dengan referensi dari model Wibowo,Wouthuyzen dan Mayo, dapat dibuat model WoutMayo dengan tujuan utama adalah untuk mengembangkan model lain dari deteksi dan ekstraksi informasi konsentrasi klorofil-a di perairan danau menggunakan data satelit penginderaan jauh.
60
Nana Suwargana
3. Sebaran klorofil-a yang diperoleh melalui hasil perhitungan metode WoutMayo dan metode Mayo et.al (1995) nampak menunjukkan pola kesetaraan yang sama dengan nilai keduanya paralel. Estimasi kandungan klorofil-a menggunakan algoritma WoutMayo diperoleh kisaran nilai klorofil-a antara 0.1895 – 0.1930 mg/l, dengan frekwensi tertinggi didominasi oleh nilai konsentrasi berkisar antara 0.1896 – 0.1899 mg/l dan rata-rata 0.1905 mg/l. Hasil pengkelasan algoritma WouthMayo dikelaskan menjadi: kelas 1(0 mg/l), kelas 2 (0.1895 mg/l), kelas 3 (0.1903 mg/l), kelas 4 (0.1913 mg/l), kelas 5 (0.1922 mg/l), kelas 6 (0.1931 mg/l). Disarankan agar penelitian lanjutan dengan melakukan uji lapangan untuk menghasilkan algoritma klorofil-a yang valid khusus untuk perairan Danau (Matano, Mahalona dan Towuti), mengingat belum adanya algoritmma yang dikembangkan untuk perairan tersebut dengan menggunakan data penginderaan jauh. Kemudian diharapkan dapat dijadikan masukan untuk membuat kebijakan pengelolaan danau berkelanjutan (Memanfaatkan Danau dengan memperhatikan kelestariannya). DAFTAR REFERENSI Balasaheb Jamadar., Purandara, B.K. “Review on Study of Lake Water Using Multi Sensor Remote Sensing Data”. Department of PG Studies-Visveswaraiah Technological University Belgaum, Karnataka India 2 Scientists, Regional Centre, National Institute of Hydrology, Hanuman Nagar, Belgaum, Karnataka, India-590 00. IOSR Journal of Mechanical and Civil Engineering (IOSR-JMCE) e-ISSN: 2278-1684,pISSN: 2320-334X, Volume 6, Issue 5 (May. - Jun. 2013), PP 50-52 www.iosrjournals.org Brezonik et al. (2002), Satellite and GIS Tools to Assess Lake Quality”, Water Resources Center, University of Minnesota. Butler, MJA,M.C Moucot,V Barale and Le Blanc 1988. The Aplication of Remote Sensing Technology to Marine Fisheries An Introductory manual FAO. New York. 165p. Claire G. Griffin. ”Remote sensing of chlorophyll-a in texas estuary” CE 394K.3. GIS in Water Resources.Fall 2010. Halida et.al (2010). Pengukuran Konsentrasi Klorofil-a dengan Pengolahan Citra Landsatm ETM-7 dan Uji Laboratorium di Perairan Selat Madeura Bagian Barat. Jurnal Kelautan, Volume 3, No.1 April 2010 ISSN : 1907-9931 Mayo.M, Gitelson.A, Yacobi.Y.Z and Ben-Avraham.Z (1995).Chlorophyll Distribution in Lake Kinneret Determined from Landsat Thematic Mapper Data. Departemen of Geophysics and Planetary Sciences. Tel-Aviv University. Israel. INT.J.REMOTE SENSING, 1995, VOL. 16.No1 I.175-182. Internotionoi Journal of Remote Sensing 12,2045-2063. Kneubuhler.M. et.al (2007).Mapping Chlorophyll-a in Lake Kivu with Remote Sensing Methods. Remote Sensing Laboratories (RSL), University of Zürich, Winterthurerstrasse 190, 8057 Zürich, Switzerland. Proc. ‘Envisat Symposium 2007’, Montreux, Switzerland 23–27 April 2007 (ESA SP-636, July 2007)
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
61
Luoheng Han.. “Mapping Chlorophyll Using Landsat ETM+ Data”. Department of Geography University of Alabama. (2002). O’ Relly, J. E., S. Maritorena, B.G. Mitchell, D.A. Siegel, K.L. Carder. S.A. Garver, M Kahru, and C. Mc Clain , 1998, “ Ocean Color Algorithm for Sea Wifs” J. Ceophysical Res. 103. 24, 937 – 24, 953. Pentury.R dan Waas.H.J.D. Penentuan Konsentrasi Klorofil-a Perairan Teluk Kayeli Pulau Buru Menggunakan Metode Inderaja. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Pattimura . Jurnal TRITON Volume 5, Nomor 2, Oktober 2009.hal 60-66. Risdianto R .K. 1995. Algorithm Pendugaan Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Data Landsat-TM Untuk Barat. Skripsi Fakultas Perikanan IPB 106 hal.Pemetaan Horizontal Produktivitas Primer di Perairan Selatan Jawa Sebastiá1, M.T, J. Estornell2, M. Rodilla1, J. Martí1 and S. Falco1. “Estimation of Chlorophyll-a A Quickbird “.Revista de Teledetección (2012) 37, 23-33. The Valencian Gulf (Mediterranean Sea) Spain (2012). Yuanzhi Zhang1, Hui Lin, Chuqun Chen, Liding Chen, Bing Zhang and Anatoly A Gitelson. ”Estimation of Chlorophyll-a Concentration in Estuarine Waters: Case Study of The Pearl River Estuary, South China Sea“. Enviromental Research Letters . Environ. Res. Lett. 6 (2011) 024016.(9pp). Published 1 June 201.
62
Nana Suwargana
BIOGRAFI PENULIS
Drs. Nana Suwargana, M.Si. Drs. Nana Suwargana, M.Si. dilahirkan di Banjar pada tanggal 09 Maret 1955. Peneliti Madya bidang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh LAPAN. Gelar Magister penulis diperoleh dari pendidikan Ilmu Tanah, Pascasarjana, IPB (2002). Gelar sarjana diraih tahun 1982 di bidang Fisika, Unpad. Gelar spesialis dari Post Graduate Course: Training “Digitale Verabetung von Satellitendaten” im Rahmen des Overseses Felowship Programe, DLR Jerman (1988). Penelitian yang dilakukan banyak berkaitan dengan penginderaan jauh, pemantauan dan inventarisasi Sumber Daya Wilayah Pesisir Laut dan Sumber Wilayah Perairan Darat. Organisasi profesi yang menaungi aktivitasnya adalah Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN). Tulisan ilmiahnya antara lain: Pemantauan Perubahan Tutupan Lahan Pulau Rambut dan Pulau Untung Jawa di Kepulauan Seribu, Analisis Perubahan Penutup Lahan di Pulau Karimun Propinsi Kepulauan Riau, Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan Pesisir Pantai Indah Kapuk Menggunakan Data Satelit Landsat dan Ikonos, Dampak Musim Hujan Terhadap Pola Sebaran TSM di Danau Limboto Gorontalo Menggunakan Data Landsat-TM, dan Pemantauan Luas Rawa Pening Periode 1992, 2001, dan 2006 Berbasis Data Landsat-TM dan Ikonos.
Identifikasi Alih Fungsi Lahan Pertanian di Tanah Lokasi PRONA dengan Metode Klasifikasi Kontekstual dari Citra Landsat-TM dan Aster
Ardhi Arnanto, Westi Utami
64
Ardhi Arnanto dan Westi Utami
Identifikasi Alih Fungsi Lahan Pertanian di Tanah Lokasi PRONA dengan Metode Klasifikasi Kontekstual dari Citra Landsat-TM dan Aster
Ardhi Arnanto1, Westi Utami2 1) Plt. Kepala Laboratorium Sistem Informasi Geografi dan Sistem Informasi Pertanahan STPN 2) Staf STPN dan Mahasiswa Magister Manajemen Bencana SPS UGM, Badan Pertanahan Nasional RI Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Jl. Tata Bumi No. 5 Yogyakarta 55293 No. Telp. : 0274 587239; No Fax : 0274 587138 Email : 1)
[email protected]
Abstrak Pertambahan penduduk yang terjadi akibat pembangunan yang pesat di Kota Yogyakarta dan sekitarnya menyebabkan perbedaan kepentingan terhadap lahan, terutama kepentingan untuk mencukupi kebutuhan pangan dan kepentingan non pertanian. Hal ini membawa konsekuensi alih fungsi lahan pertanian wilayah peri urban khususnya di Kabupaten Bantul yang terjadi cukup intensif. Berdasarkan data tahun 2007 luasan sawah di Bantul 16.123 ha sedangkan pada tahun 2009 menjadi 16.046 ha. Hanya kurun waktu 2 tahun telah terjadi alih fungsi lahan persawahan seluas 77 ha (BPN RI, 2010). Kompetisi lahan yang memang tidak berimbang memerlukan pengawasan dan pengaturan agar masing-masing kepentingan dapat berjalan secara berkelanjutan (sustainable). Pelaksanaan pengawasan yang kurang baik menyebabkan kepentingan untuk mempertahankan lahan yang menghasilkan pangan menjadi terabaikan. Akibatnya, potensi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan sangat mungkin terjadi. Pendaftaran tanah pertanian menjadi salahsatu instrumen penting dalam administrasi lahan dan dapat dijadikan sebagai alat pengawasan alih fungsi lahan. Dalam hal ini kebijakan Pemerintah melalui BPN telah memberikan insentif terhadap lahan pertanian melalui program nasional sertifikasi tanah pertanian (PRONA). Pelaksanaan pengawasan akan berjalan efektif jika didukung ketersediaan data spasial yang cepat dan lengkap. Perkembangan teknologi pemetaan memungkinkan untuk mendapatkan data tersebut, yaitu dengan teknologi penginderaan jauh. Penelitian ini menggunakan sebuah pendekatan ekstraksi data citra digital dengan metode contextual and multisource classification untuk mendapatkan data penggunaan lahan dengan cepat dan lengkap yang diharapkan dapat mengetahui tingkat ketelitian klasifikasi penggunaan lahannya. Klasifikasi penggunaan lahan didapatkan dengan mengekstraksi 2 citra digital multitemporal, yaitu citra digital Landsat TM tahun 1996 dan ASTER tahun 2007. Perhitungan uji ketelitian klasifikasi dilakukan
65
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
dengan matrik uji ketelitian untuk mendapatkan nilai ketelitian klasifikasi yang digunakan sebagai dasar kelayakan pemanfaatan data tersebut. Hasil dari penelitian ini adalah identifikasi alih fungsi lahan pertanian yang didapatkan dengan menumpang tindihkan peta penggunaan lahan hasil klasifikasi, yaitu peta penggunaan lahan tahun 1996 dan peta penggunaan lahan tahun 2007. Kata
kunci:
Identifikasi, Lahan Pertanian, Multisourcce Classification
PRONA,
Contextual
and
Abstract The consequence of increasing activities in urban area requires more space to support the activities. Urban area that cannot accomodate its activities, leads the development of new settlement and infrastructure using land in the peri-urban areas. Population growth caused by rapid development in Yogyakarta and the surrounding area makes the differences in interest of the land, especially interest to agricultural and non-agricultural land. As a consequence, this leads to intensive agricultural land use change in Bantul District peri-urban areas. The data shows that agricultural areas in Bantul was 16,123 ha in 2007 and was 16,046 ha in 2009, where agricultural areas changed 77 ha (BPN RI, 2010). A lack of proportion on the land competition betwen agricultural and nonagricultural sector needs monitoring and regulation to accommodate all interests fulfilled sustainably. An undeveloped monitoring, will cause the preservation of food producing area decreased, and consequently it will lead to the declining of food security. Agricultural land administration/registration will become one of the important instruments to monitor landuse change. In this sense, Indonesian Government’s policy via BPN gives an insentif to the people who have agricultural land through the national program on land administration, called PRONA. Monitoring can be implemented efectively if it is supported by the availability of a quick and complete system to provide the spatial data. The development of mapping technology gives opportunity to provide data that we need quickly and completely using remote sensing technology. This research applied contextual and multisource classification to extract quickly land use information from digital satelite image which is expected to determine the level of land use classification accuracy. Land use classification was obtained by extracting 2 multitemporal digital images, Landsat TM that recorded in 1996 and ASTER that recorded in 2007. Classification accuracy test calculated by accuracy test matrix to obtain a classification accuracy values were used as the basis of the feasibility data. The research results is identification of agriculture land use changes that obtained by overlaying betwen land use maps in 1996 and land use map in 2007. Keywords:
Identification, Agricultural Multisource Classification
land,
PRONA,
Contextual
and
66
Ardhi Arnanto dan Westi Utami
1. PENDAHULUAN Kondisi infrastruktur perkotaan yang relatif lebih baik dari daerah perdesaan mendorong berbagai kegiatan ekonomi tumbuh di daerah ini. Pusat perkantoran, perdagangan, industri, maupun jasa tumbuh dengan pesat. Kesempatan kerja yang tercipta menjadi magnet bagi penduduk dari luar kota untuk mendapatkan pekerjaan di daerah perkotaan. Hal ini membawa permasalahan demografi di daerah perkotaan yaitu pertumbuhan penduduk perkotaan menjadi tinggi.Kondisitersebut tentu sajamembawa dampak negatif bagi perkotaan, munculnya permukiman kumuh tidak akan terhindarkan lagi karena kebutuhan ruang yang tidak terpenuhi. Keberadaan lingkungan kumuh membawa beberapa aspek negatif terhadap lingkungan kota, baik aspek spasial, lingkungan biotik, lingkungan abiotik, lingkungan sosial, lingkungan ekonomi, dan lingkungan budaya. Bertambahnya jumlah penduduk juga memicu meningkatnya kegiatan penduduk karena tuntutan kehidupan masyarakat. Keterbatasan ruang menyebabkan kebutuhan ruang harus dipenuhi oleh daerahdaerah yang ada di pinggiran kota (peri urban). Hal ini menyebabkan alih fungsi lahan-lahan pertanian menjadi non pertanian di wilayah tersebut terjadi secara intensif. Menurut data Badan Pertahanan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) tahun 2007, lahan pertanian di Pulau Jawa masih sekitar 4,1 juta hektar, namun berdasarkan audit lahan yang dilakukan Kementan tahun 2010, didapatkan data yang sudah berubah drastis menjadi 3,5 juta hektar. Yogyakarta sebagai salahsatu kota di Pulau Jawa juga mengalami permasalahan alih fungsi lahan pertanian. Kota dengan basis ekonomi bertumpu pada pendidikan dan pariwisata tumbuh dengan pesat seiring peningkatan infrastruktur. Di kota pendidikan ini terdapat 2872 institusi pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi (BPS, 2010). Sebagai daerah tujuan pariwisata kedua di Indonesia setelah Bali dengan obyek wisata 23 tempat baik berupa wisata alam, wisata pendidikan maupun wisata budaya, Yogyakarta mempunyai magnet tersendiri bagi wisatawan asing maupun domestik sehingga setiap tahun jumlah pengunjung selalu meningkat (Profil Kota Yogyakarta, 2006). Peningkatan aktivitas ini tentu membawa konsekuensi kebutuhan ruang untuk mendukung kegiatan tersebut. Ruang di dalam kota yang sudah tidak mampu menampung menyebabkan pembangunan permukiman dan sarana kegiatan baru mengambil lahan pada daerah yang masih kosong di pinggiran kota (peri urban). Pertambahan penduduk yang terjadi akibat pembangunan yang pesat di Kota Yogyakarta dan sekitarnya menyebabkan perbedaan kepentingan terhadap lahan, terutama kepentingan untuk mencukupi kebutuhan pangan dan kepentingan non pertanian. Hal ini membawa konsekuensi alih fungsi lahan pertanian wilayah peri urban. Trend perluasan kebutuhan ruang kota terjadi ke arah utara yaitu Sleman dan ke selatan yaitu Kabupaten Bantul. Alih Fungsi lahan yang terjadi di Bantul cukup intensif, kurang lebih 38 Ha/Th (BPN RI, 2010). Adanya kebijakan yang menjadikan kawasan ring road selatan sebagai kawasan perkembangan kota
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
67
menuju sektor perdagangan dan jasa, tentu sangat berpengaruh terhadap kawasan peri urban. Berdasarkan data yang ada tingkat produksi pangan cenderung berkurang akibat laju alih fungsi lahan sawah. Hal ini ditunjukkan pada tahun 2004 hingga 2006 produksi padi mengalami penurunan dari produksi 154.443 ton pada tahun 2004 menjadi 145.106 ton pada tahun 2006 (BPS, 2006). Dampak lebih lanjut dari alih fungsi lahan ke non pertanian akan mengancam persediaan bahan pangan di wilayah Bantul, lebihdari setengah luas wilayah Kabupaten Bantul merupakan kawasan budidaya pertanian dengan tingkat kesuburan yang cukup tinggi dengan didukung irigasi teknis pada sebagian besar areal persawahan yang ada. Pengendalian alih fungsi lahan secara teoritis dapat dilakukan dengan memberikan insentif yang besar kepada petani agar mereka tidak menjual atau mengalihfungsikan lahan pertaniannya. Pendekatan ini membutuhkan dana yang sangat besar karena perbandingan landrent untuk penggunaan pertanian dan non pertanian sekitar 1 : 500 dan 1 : 622 untuk kawasan industri dan kawasan perumahan (Nasoetion dan Winoto, 1996). Model pendekatan seperti ini tidak digunakan di Indonesia, pendekatan pengendalian yang digunakan baru sebatas pendekatan hukum (law enforcement), termasuk peraturan mengenai pelaksanaan sertifikasi lahan-lahan pertanian. Kebutuhan data spasial sebagai sarana administrasi, pengawasan (monitoring), dan pengendalian dapat memanfaatkan kemajuan teknologi pemetaan yang telah berkembang dengan pesat. Data yang menunjukkan perubahan penggunaan lahan masa lalu dengan aktual oleh masyarakat dapat diperoleh dengan relatif cepat dan lengkap melalui pengolahan data digital penginderaan jauh. Pemanfaatan citra satelit untuk pengelolaan sumberdaya alam sudah banyak dilakukan di Indonesia. Citra Landsat TM (Thematic Mapper) dan ASTER merupakan salahsatu citra multispekstral yang biasa digunakan di Indonesia dalam kegiatan pemetaan penggunaan lahan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan teknologi digital penginderaan jauh memberikan keuntungan dalam memperoleh data secara cepat dan efisien. Projo Danoedoro di tahun 2003 memanfaatkan citra Landsat TM dan peta topografi skala 1 : 50.000 untuk memetakan penggunaan tanah di daerah Unggaran, Kabupaten Semarang. Informasi morfologi lahan digunakan sebagai data tambahan dalam mengklasifikasi penggunaan lahan sehingga diharapkan dapat memberikan informasi penggunaan lahan yang lebih akurat. Pemanfaatan data citra resolusi besar (hight resolution) juga semakin sering digunakan untuk pemetaan penggunaan lahan skala besar, baik itu dalam tingkatan penelitian maupun praktisi. Penelitian yang dilakukan oleh Melania Swetika Rini pada tahun 2010 memanfaatkan data citra quickbird untuk memetakan penggunaan lahan perkotaan di Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta. Beberapa penelitian tersebut menjadi salahsatu referensi dalam penelitian ini untuk mengembangkan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh digital dalam
68
Ardhi Arnanto dan Westi Utami
bidang pertanahan, terutama mengetahui ketelitian hasil klasifikasi kontekstual untuk menghasilkan informasi penggunaan lahan. Hasil klasifikasi ini diharapkan mampu menjadi salah satu sumber data untuk menganalisis alih fungsi lahan pertanian di daerah-daerah yang pernah menjadi lokasi PRONA. 2. METODE 2.1. Area Studi Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bantul yang berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta dan menjadi daerah perkembangan kota (urban sprawl). Secara geografis Kabupaten Bantul terletak antara 07° 44' 04" hingga 08° 00' 27" Lintang Selatan dan 110° 12' 34" hingga 110° 31' 08" Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten Bantul 516,13 km2, sekitar 15,90% dari luas wilayah Propinsi DIY. Secara administratif Kabupaten Bantul dibagi dalam 17 kecamatan terdiri dari 75 desa yang dibagi lagi dalam 933 pedukuhan. Selopamioro yang terletak di Kecamatan Imogiri merupakan desa terluas di Kabupaten Bantul dengan luas 20,80 km2 atau sekitar 4,03% dari luas Kabupaten Bantul. Secara fisik, Kabupaten Bantul dibatasi oleh dua sungai besar, yaitu sungai Oyo di sebelah timur dan sungai Progo di sebelah barat yang membatasi, peta dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta Administrasi Kabupaten Bantul
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
69
2.2. Data Satelit Citra Landsat TM mempunyai tujuh buah saluran spektral yang dirancang untuk memaksimalkan kemampuan analisis objek (terutama vegetasi) dalam berbagai bidang terapan. Citra Landsat TM dirancang dengan resolusi spasial 30 meter kecuali untuk saluran inframerah termal sebesar 120 meter. Namun sejak tahun 2004 sensor Landsat TM mengalami gangguan sehingga data yang dihasilkan tidak sempurna, timbul baris-baris data yang hilang (strip line). Di bawah ini disajikan tujuh saluran spektral citra Landsat TM beserta kemampuan analisisnya (John R. Jensen, 1996). Tabel 1. Citra Landsat TM dan Kemampuan Analisisnya SALURAN Saluran satu (0,45 μm – 0,52 μm) Saluran dua (0,52 μm – 0,60 μm)
Saluran tiga (0,63 μm – 0,69 μm) Saluran empat (0,76 μm – 0,90 μm) Saluran lima (1,55 μm – 1,75 μm) Saluran tujuh (2,08 μm – 2,35 μm)
KEMAMPUAN ANALISIS Peningkatan penetrasi ke dalam tubuh air dan mendukung analisis sifat khas penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi. Mengindera puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau yang terletak diantara dua saluran spektral serapan khlorofil. Respon pada saluran ini menekankan pada hasil pembedaan vegetasi dan penilaian kesuburan. Merupakan saluran terpenting untuk memisahkan vegetasi. Saluran ini berada pada salah satu bagian serapan khlorofil dan memperkuat kontras antara kenampakkan vegetasi dan bukan vegetsi juga menajamkan kontras antara kelas vegetasi. Saluran yang peka terhadap vegetasi sehingga membantu identifikasi tanaman dan memperkuat kontras antara tanaman – tanah dan tanaman – air. Saluran yang penting untuk penentuan jenis tanaman, kondisi air pada tanaman, dan kondisi kelembaban tanah. Saluran yang penting untuk pemisah formasi batuan.
Saluran inframerah termal yang dikenal bermanfaat untuk klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi, pemisah kelembaban tanah, dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas. Sumber : John R. Jensen, 1996 Saluran enam (10,40 μm – 12,50 μm)
Sensor ASTER dikembangkan untuk monitoring permukaan bumi oleh Ministry of Economy, Trade and Industry, Jepang, yang diluncurkan oleh platform Amerika yang bernama TERRA, diluncurkan pada Desember 1999 mengelilingi bumi dengan orbit polar, selaras matahari (sunsyncronous), dengan ketinggian 705 km di atas ekuator setiap jam 10.30 pagi. Lintasan selama 99 menit dengan pengulangan waktu rekaman pada tempat yang sama setiap 16 hari. Sejak diluncurkan sensor ini telah mengobservasi permukaan bumi dengan skala global sebanyak 500 ribu citra (60 km x 60 km per citra). Sensor ini mengobservasi permukaan bumi dari ketinggian 705 km dengan frekuensi band : Visible dan Near Infrared - VNIR (tiga band + satu band arah belakang (backward) untuk data stereoskopik dengan resolusi spatial 15 m), Short Wave Infrared - SWIR
70
Ardhi Arnanto dan Westi Utami
(enam band dengan resolusi spatial 30 m) dan Thermal Infrared - TIR (lima band dengan resolusi spatial 90m), total berjumlah 14 band. Sensor ASTER beroperasi atas kerjasama NASA dan ERSDAC. Sensor ASTER merupakan peningkatan dari sensor yang dipasang pada satelit generasi sebelumnya, JERS-1 (Abrams, M., et. al., 1999). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Karakteristik Sensor ASTER
Sumber : Abrams, M., et. al., 1999. 2.3. Klasifikasi Pendekatan Kontekstual Teknik klasifikasi digital yang digunakan dalam penelitian ini adalah contextual and multisource classification, yaitu salah satu teknik ekstraksi data dalam penelitian penginderaan jauh digital. Metode ini mendasarkan pada beberapa sumber data sebagai dasar pengklasifikasian penggunaan lahan pada data citra digital, mencakup klasifikasi multispektral sebagai teknik ekstraksi data tutupan lahan (landcover). Pengklasifikasian kembali hasil ektraksi dengan klasifikasi multispektral dibantu dengan data tambahan (ancillary data) sehingga mendapatkan klasifikasi penggunaan lahan. Klasifikasi multispektral dengan metode supervised mencakup langkah pemilihan ROI (region of interest), perhitungan algoritma klasifikasi, dan pengklusteran nilai piksel. Data yang akan dicari adalah unit-unit penggunaan lahan sesuai dengan tahun perekaman. Algoritma maximum likelihood digunakan dalam klasifikasi multispektral ini karena algoritma ini dipandang sebagai algoritma yang paling bagus (Danoedoro, 1996). Teknik klasifikasi multispektral ini dipandang hanya mampu mengklasifikasikan tutupan lahan, sehingga harus dibutuhkan variabel lain untuk bisa mengklasifikasikan penggunaan lahan dengan data citra digital.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
71
Pengunaan lahan sangat dipengaruhi oleh kondisi morfologi dari suatu wilayah, seperti bentuk lahan, kelerengan, dan ketinggian (Danoedoro, 2003). Penelitian ini menggunakan data tambahan kemiringan lereng sebagai dasar pengklasifikasian kembali tutupan lahan menjadi penggunaan lahan. Beberapa lokasi sering menunjukkan kenampakan tutupan lahan tanah terbuka, hal ini ditunjukkan dengan nilai spektral yang sama namun satu obyek adalah persawahan yang sedang bera dan obyek yang lain memang benar-benar obyek tanah terbuka. Kesalahan-kesalahan yang disebabkan oleh keterbatasan respon spektral sebagai data tunggal untuk menentukan penggunaan lahan dapat dikurangi dengan adanya data tambahan yang secara kontekstual mempengaruhi penggunaan lahan di wilayah tersebut, seperti kondisi morfologi.
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
72
Ardhi Arnanto dan Westi Utami
Data morfologi, dalam hal ini adalah data kelerengan membantu dalam mengklasifikasikan kembali tutupan lahan yang sama tersebut menjadi kelas penggunaan lahan yang berbeda.
2.4 Uji Ketelitian Interpretasi Teknik pengambilan sampel yang akan digunakan untuk keperluan uji ketelitian interpretasi citra digital adalah proporsional purposive sampling. Teknik ini digunakan untuk memperoleh sampel yang proporsional untuk masing-masing unit penggunaan lahan. Pengambilan proporsi masing-masing unit penggunaan lahan didasarkan pada tingkat kesulitan klasifikasi digital dan luasannya yang dapat diketahui setelah dilakukan klasifikasi citra secara digital. Lokasi pengambilan sampel ditentukan secara purposive (bertujuan), yaitu pada lokasilokasi yang mudah dijangkau untuk memudahkan pengambilan sampel. Tabel 3.Perhitungan Jumlah Sampel Uji Ketelitian No
Kategori (Bobot)
Penggunaan Lahan
Jumlah PL x Bobot
Persentase Sampel
1x2=2
2 × 100% 15 = 13,33 % = 𝟏𝟑 %
Hutan 1
Mudah (1) Kebun Persawahan
2
Sedang (2)
Pertanian Tanah Kering Semusim
2x2=4
4 × 100% 15 = 26,66 % = 𝟐𝟕 %
Sulit (3)
Permukiman Perkotaan
3x3=9
9 × 100% 15 = 𝟔𝟎 %
Tanah Terbuka Jumlah
Keterangan:
229,36 × 100 % 388,25 = 𝟓𝟗% 158,90 × 100 % 388,25 = 𝟒𝟏% 2695,23 2834,55 × 100 % = 𝟗𝟓% 139,32 2834,55 × 100 % = 𝟓% 2992,64 5716,69 × 100 % = 𝟓𝟐%
Permukiman Perdesaan 3
Persentase PL per Kategori
15
100 %
2484,30 5716,69 × 100 % = 𝟒𝟑% 239,75 5716,69 × 100 % = 𝟒%
Jumlah Sampel 5
3 15 1
19
16
2 60
PL = Penggunaan Lahan PS = Persentase Sampel PPK = Persentase Penggunaan Lahan per Kategori 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑃𝐿 = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙(60) × 𝑃𝑆 × 𝑃𝑃𝐾
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
73
Perhitungan persentase proporsi sampel pada tiap kategori tingkat kesulitan klasifikasi citra digital dilakukan dengan memberikan bobot sesuai dengan tingkat kesulitannya. Kategori mudah diberi bobot 1, kategori sedang diberi bobot 2, dan kategori sulit diberi bobot 3. Nilai bobot tingkat kesulitan akan dikalikan dengan jumlah penggunaan lahan yang termasuk dalam setiap kategori. Proporsi jumlah sampel pada tiap penggunaan lahan mempertimbangkan persentase luasan penggunaan lahan tersebut pada masing-masing kategori. Tabel 3 merincikan perhitungan mengenai pembagian sampel secara proporsional. Setelah diketahui proporsi jumlah sampel untuk masing-masing bentuk penggunaan lahan selanjutnya untuk menentukan unit penggunaan lahan yang akan dijadikan sampel dilakukan dengan cara purposive (bertujuan). Tujuan yang dimaksud adalah memudahkan pemilihan titik sampel yang akan dicek di lapangan. Pertimbangannya adalah objek-objek yang mempunyai klasifikasi penggunaan lahan yang sama dan dipilih objek yang mudah dijangkau (akesibilitasnya baik). Pertimbangan aksesibilitas digunakan dalam penentuan lokasi-lokasi pengambilan sampel, sedangkan distribusi sampel pada di wilayah peri urban mempertimbangkan tingkat keterwakilan dari masing-masing zona wilayah peri urban. Hal ini dimaksudkan agar setiap sampel memenuhi keterwakilan karakteritik dari zona wilayah peri urban. Pengambilan sampel dilapangan menggunakan metode area sampling karena data hasil klasifikasi merupakan data piksel. Luas wilayah satu lokasi sampel minimal seluas 1 piksel sesuai dengan resolusi spasialnya. Resolusi spasial citra Landsat TM adalah 30 m maka minimal luas pengambilan sampelnya 900 m2 dan resolusi spasial citra ASTER adalah 15 m maka minimal luas pengambilan sampelnya 225 m2. Hasil pengukuran seluruh sampel dianalisis confusion matrix calculation dengan menumpangsusunkan peta sampel dan citra hasil klasifikasi. Hasil tumpangsusun tersebut akan didapatkan data matrik jumlah kesesuaian klasifikasi piksel dengan data sampel lapangan sehingga didapatkan prosentase kesesuaian yang disebut dengan nilai tingkat ketelitian interpretasi. Uji ketelitian hasil klasifikasi citra Landsat TM tahun 1996 menunjukan bahwa ketelitian hasil interpretasi mempunyai tingkat ketelitian 89,57% (lihat tabel 4). Berdasarkan pendapat Jensen (1996) suatu hasil interpretasi dapat digunakan keperluan analisis jika tingkat ketelitiannya mencapai minimal 85%, ini berarti hasil klasifikasi citra Landsat TM dalam penelitian ini telah memenuhi kriteria, sehingga dapat diterima ketelitiannya. Uji ketelitian hasil klasifikasi citra ASTER tahun 2007 menunjukan bahwa ketelitian hasil interpretasi mempunyai tingkat ketelitian 92,20% (lihat tabel 5). Hal ini berarti data hasil dari klasifikasi digital citra ASTER dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut. Ketelitian klasifikasi pada citra ASTER mempunyai nilai yang lebih besar jika dibandingkan dengan ketelitian klasifikasi yang dihasilkan oleh citra Landsat TM, hal ini disebabkan oleh (1) citra ASTER mempunyai resolusi spasial lebih baik dari pada citra Landsat TM yaitu 15 m, (2)
74
Ardhi Arnanto dan Westi Utami
citra ASTER tersebut direkam pada tahun 2007 sehingga lebih mendekati kondisi aktual dilapangan. Tabel 4. Matrik Uji Ketelitian Klasifikasi Citra Landsat TM Tahun 1996
Contextual and Multisource Classification(piksel)
PENGGUNAAN LAHAN
TT
Hasil Cek Lapangan (piksel) PPk PPd PTKS P K
H
Jumlah
Ketelitian (%)
TT
95
8
0
4
0
0
0
107
88,79
PPk
2
49
1
0
2
0
0
54
90,74
PPd
0
5
90
5
1
0
0
101
89,11
PTKS
2
0
0
10
0
0
0
12
83,33
P
0
2
1
1
42
0
0
46
91,30
K
0
0
0
0
0
4
0
4
100,00
H
0 0 0 0 0 0 2 2 100,00 JUMLAH 99 64 92 20 45 4 2 326 89,57 Keterangan:TT (Tanah Terbuka), PPk (Permukiman Perkotaan), PPd (Permukiman Perdesaan), PTKS (Pertanian Tanah Kering Semusim), P (Persawahan), K (Kebun), dan H (Hutan)
Tabel 5. Matrik Uji Ketelitian Klasifikasi Citra ASTER Tahun 2007
Contextual and Multisource Classification (piksel)
PENGGUNAAN LAHAN
TT
Hasil Cek Lapangan (piksel) PPk PPd PTKS P K
TT
386
26
PPk
22
PPd
0
PTKS
H
Jumlah
Ketelitian (%)
1
0
0
0
0
413
93,46
219
0
0
0
0
0
241
90,87
10
254
9
1
0
0
274
92,70
0
0
2
26
0
0
0
28
92,86
P
0
0
11
0
169
0
0
180
93,89
K
0
0
0
7
0
44
0
51
86,27
H 6 0 1 1 0 0 48 56 85,71 JUMLAH 414 255 269 43 170 44 48 1243 92,20 Keterangan: TT (Tanah Terbuka), PPk (Permukiman Perkotaan), PPd (Permukiman Perdesaan), PTKS (Pertanian Tanah Kering Semusim), P (Persawahan), K (Kebun), dan H (Hutan)
3. ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DI TANAH LOKASI PRONA Percepatan pendaftaran tanah melalui prona/prodamerupakan salahsatu upaya pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, berperan secara jelas untuk terciptanya tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan, menjamin keberlanjutan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara untuk meminimalkan perkara, sengketa dan konflik pertanahan. Pemerintah Kabupaten
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
75
Bantul melaksanakan beberapa program percepatan pendaftaran tanah melalui prona/proda di beberapa desa yang termasuk dalam wilayah peri urban, seperti Bangunharjo, Potorono, Tamanan, Singosaren, dan Wirokerten. Luas sertifikasi prona/proda di wilayah desa Bangunharjo 103529,37 m2, Potorono seluas 318456,64 m2, Singosaren seluas 490440,50 m2, Tamanan seluas 652592,42 m2, dan Wirokerten seluas 488659,85 m2, seperti yang terlihat pada gambar 3.
Gambar 3. Peta Lokasi Prona di Kabupaten Bantul
Penggunaan lahan yang disertifikasi melalui program prona/proda pada umumnya adalah permukiman perdesaan dan persawahan yang mengelompok pada satu lokasi. Dinamika wilayah peri urban akibat pengaruh Kota Yogyakarta membawa konsekuensi terhadap penggunaan lahan selama tahun 1996–2007 mengalami perubahan. Permukiman perdesaan di setiap desa mengalami perkembangan menjadi permukiman perkotaan, hal ini berarti terjadi proses densifikasi permukiman perdesaan sehingga menjadi permukiman perkotaan. Beberapa literatur menyebutkan bahwa proses densifikasi banyak dilakukan oleh individu terjadi akibat jual beli tanah dan proses pemecahan waris. Proses alih fungsi lahan pertanian berupa lahan persawahan juga banyak terjadi, persawahan dialihfungsikan menjadi permukiman perdesaan dan permukiman perkotaan. Proses alih fungsi lahan persawahan menjadi pemukiman pada umumnya dilakukan oleh para pengembang. Upaya pengendalian alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul salahsatunya melalui
76
Ardhi Arnanto dan Westi Utami
program sertifikasi lahan pertanian. Pemberian sertifikat hak atas tanah kepada penduduk diikuti dengan syarat bahwa tanah tersebut minimal 5 tahun tidak akan dialihfungsikan untuk peruntukan non pertanian. Hal ini diharapkan akan mampu menekan alih fungsi lahan pertanian di wilayah ini. Data mengenai luas lahan pertanian dan luas alih fungsi lahan pertanian pada tanah-tanah yang telah diberikan sertifikat hak atas tanah dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6. Luas Alih Fungsi Lahan Pertanian Bersertifikat Hak Atas Tanah Berdasarkan Citra Tahun 2011 Desa Bangunharjo Potorono Potorono Singosaren Tamanan Tamanan Wirokerten Wirokerten
Luas Lahan Pertanian Bersertifikat 88184,88 120267,28 19658,82 297498,18 107136,95 415607,74 318428,83 39906,22
Luas Alih Fungsi Lahan Th 1996 - 2007 4596,66 12401,28 141,49 79242,53 0,00 204735,83 10660,98 26567,75
Data tersebut menunjukkan bahwa luas alih fungsi lahan pertanian mengikuti luas tanah pertanian yang telah diberikan sertifikat hak atas tanah. Setiap kenaikan luasan dari lahan pertanian yang telah diberikan sertifikat hak atas tanah maka diikuti juga dengan kenaikan luas alih fungsi lahan pertanian. Hal ini berarti kedua variabel tersebut mempunyai hubungan yang positif. Hal ini didasarkan kebutuhan akan lahan non pertanian yang semakin besar untuk menunjang aktifitas Kota Yogyakarta, sehingga seberapapun luas ketersediaan lahan pertanian yang dapat dengan mudah dialihfungsikan menjadi non pertanian tetap akan diserap oleh pasar. Alih fungsi lahan pertanian dalam hal ini persawahan menjadi permukiman perdesaan pada umumnya dilakukan oleh perseorangan, hanya beberapa yang dilakukan oleh pengembang, terutama pengembang-pengembang kecil yang membangun perumahan kecil dekat dengan lokasi permukiman perdesaan yang sudah ada terlebih dahulu.Alih fungsi lahan pertanian untuk permukiman perkotaan menunjukkan kecenderungan terjadi pada lahan yang telah bersertifikat, ditunjukkan dengan kejadian tersebut terjadi sebesar 20,09 % dari luas keseluruhan lahan pertanian bersertifikat. Hal ini banyak dilakukan oleh pengembang perumahan yang membutuhkan proses perizinan untuk mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi non pertanian. Pengembang perumahan akan lebih memilih lahan-lahan yang memiliki sertifikat hak atas tanah, baik itu sertifikat hak milik atau hak guna bangunan karena diperlukan dalam proses perijinan alih fungsi.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
77
Kesadaran masyarakat terhadap hukum yang masih relatih rendah menyebabkan sertifikasi tanah pertanian menjadi tidak mempunyai pengaruh signifikan, hal ini ditunjukkan dengan kesadaran masyarakat yang masih rendah untuk mengurus ijin mendirikan bangunan (IMB), padahal hal ini menjadi instrumen penting dalam pengawasan dan pengendalian pendirian bangunan. Faktor ekonomi menjadi faktor lain dalam masalah alih fungsi lahan pertanian, hal ini bisa dilihat dari landrent lahan pertanian dan land value (nilai lahan) dari lahan pertanian yang telah disertifikasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa landrent lahan pertanian jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan landrent lahan non pertanian, sehingga secara ekonomis penggunaan lahan non pertanian jauh lebih ekonomis, hal ini menjadi salah satu pendorong masyarakat untuk mengalihfungsikan lahan pertanian. Nilai lahan yang telah mempunyai sertifikat memiliki nilai lahan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai lahan yang belum mempunyai sertifikat, dalam beberapa temuan dilapangan juga memperlihatkan bahwa pengembang lebih menyukai lahan yang bersertifikat karena fungsi sertifikat yang dapat diagunkan untuk memperoleh kredit dari bank. Ketiadaan instrumen insentif bagi masyarakat yang mempertahankan lahannya untuk pertanian semakin membuat penggunaan lahan pertanian tidak mempu bersaing dengan penggunaan lahan non pertanian. Fakta-fakta di lapangan yang ditemui menunjukkan bahwa nilai pajak bumi dan bangunan (PBB) antara lahan yang digunakan untuk persawaahan dan permukiman pada daerah-daerah strategis adalah sama, sehingga nilai pajak akan semakin memberatkan pemilik lahan yang digunakan untuk pertanian. Faktor-faktor tersebut yang dapat menjelaskan bahwa status lahan tidak mampu secara signifikan mengurangi penyusutan lahan pertanian menjadi non pertanian. 4. KESIMPULAN Berdasarkan uraian pada pembahasan di atas dapat ditarik sejumlah kesimpulan sebagai berikut, analisis uji ketelitian menunjukkan bahwa tingkat ketelitian hasil klasifikasi digital dengan metode contextual and multisource classification pada citra digital Landsat TM tahun 1996 dan citra ASTER tahun 2007 untuk pemetaan penggunaan lahan di wilayah peri urban Kabupaten Bantul masingmasing adalah 89,57% dan 92,20%. Hal ini berarti bahwa data hasil klasifikasi digital ini layak untuk digunakan analisis selanjutnya yang menggunakan data tersebut. Dinamika penggunaan lahan yang terjadi selama 11 tahun sebagai konsekuensi dari meningkatnya aktivitas kota membuat alih fungsi lahan pertanian terjadi tidak terkendali. Desa Wirokerten terjadi alih fungsi seluas 468796,70 m2 (1,64 %), Desa Bangunharjo seluas 1138634,73 m2 (2,60 %), Desa Bangunjiwo seluas 7635987,14 m2(4,87 %), Desa Banguntapan seluas 673285,45 m2(3,81 %), Desa Baturetno seluas 1655201,00 m2 (4,17%), Desa Ngestiharjo seluas 695608,49 (4,16 %), Desa Panggungharjo seluas 688208,74m2(2,46 %), Desa Potorono seluas 652639,29m2 (2,19%), Desa Singosaren seluas 81621,51m2(2,04 %), Desa
78
Ardhi Arnanto dan Westi Utami
Tamanan seluas 1040672,23m2(4,84 %), Desa Tamantirto seluas 2899965,04m2(5,33 %), dan Desa Tirtonirmolo seluas 620169,85m2(3,15 %). Data alih fungsi lahan pertanian dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7. Luas Alih Fungsi Lahan Pertanian di Lokasi PRONA/PRODA Berdasarkan Citra Tahun 2011 Kelas Penggunaan Lahan DESA
Bangunharjo
Bangunjiwo
Banguntapan
Baturetno
Ngestiharjo Panggungharj o Potorono
Singosaren
Tamanan
Tamantirto
Tirtonirmolo
Wirokerten
Luas (m2)
Tahun 1996
Tahun 2007
Pertanian
Non Pertanian
1138634,73
Pertanian
Pertanian
2850044,96
Pertanian
Kehutanan
1698873,23
Pertanian
Non Pertanian
7635987,14
Pertanian
Pertanian
4927088,43
Pertanian
Non Pertanian
673285,45
Pertanian
Pertanian
934526,13
Pertanian
Non Pertanian
1655201,00
Pertanian
Pertanian
1950401,82
Pertanian
Non Pertanian
695608,49
Pertanian
Pertanian
824106,56
Pertanian
Non Pertanian
688208,74
Pertanian
Pertanian
Pertanian
Non Pertanian
Pertanian
Pertanian
Pertanian
Non Pertanian
Pertanian
Pertanian
Pertanian
Non Pertanian
Pertanian
Pertanian
915381,17
Pertanian
Kehutanan
25972,58
Pertanian
Non Pertanian
2899965,04
Pertanian
Pertanian
2017594,48
Pertanian
Kehutanan
Pertanian
Non Pertanian
Pertanian
Pertanian
Pertanian
Non Pertanian
Pertanian
Pertanian
Luas Total (m2)
Persentase Alih Fungsi Lahan Pertanian (%)
3988679,69
2,60
14261948,8 0
4,87
1607811,58
3,81
3605602,82
4,17
1519715,05
4,16
2541902,65
2,46
2709212,05
2,19
363099,13
2,04
1956053,40
4,84
4943532,10
5,33
1787045,89
3,15
2596961,55
1,64
1853693,91 652639,29 2056572,76 81621,51 281477,62 1040672,23
2118,20 620169,85 1164757,84 468796,70 2128164,85
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
79
DAFTAR REFERENSI Abrams, M., & Hook, S., 2000, ASTER User Handbook Version 2. Pasadena : EROS Data Centre. Anonim, 2009. Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Diperoleh dari www.setneg.go.id, diakses tanggal 27 Desember 2010. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, 2006. Database Profil Daerah Kabupaten Bantul Tahun 2006. Laporan. Bantul : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Badan Pertanahan Nasional RI, 2008. Penggunaan Tanah di Indonesia. Laporan Tahunan. Jakarta : Badan Pertanahan Nasional RI Badan Pusat Statistik, 2004. Bantul Dalam Angka 2004. Bantul : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. Badan Pusat Statistik, 2006. Bantul Dalam Angka 2006. Bantul : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. Badan Pusat Statistik, 2010. Bantul Dalam Angka 2010. Bantul : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian, 2010. Audit Lahan Pertanian, Diperoleh dari http://psp.deptan.go.id/index.php/page/lahan_audit, diakses tanggal 27 Desember 2010. Hadi Sabari Yunus, 2010. Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. I Gde Nyoman G., & Soeradji, 2007. Pendaftaran Tanah Pertama Kali. Yogyakarta : STPN Press Jensen, J.R., 1996. Introductory Digital Image Processing A Remote Sensing Perspecstive. New Jersey : Prentice Hall. Melania Swestika Rini, 2010. Penyusunan Neraca Perubahan Penggunaan Lahan Berdasarkan Pedoman Baku di Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta Dengan Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. Skripsi. Program Pendidikan Geografi UNY. Nasoetion, L. dan J. Winoto, 1996. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan. Prosiding Lokakarya “ Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: 64 - 82. Bogor : Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation. Projo Danoedoro, 1996. Pengolahan Citra Digital Teori dan Aplikasinya Dalam Bidang Penginderaan Jauh. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. ______________, 2003. Multisource Classification for Landuse Mapping Based on Spectral, Textural, and Terrain Information Using Landsat Thematic Mapper Imagery : A Case Study of Semarang - Ungaran Area, Central Java. Indonesian Juranal of Geography Vol.35 No. 2. Page 81 – 106. Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan, 2010. Penggunaan Tanah Kabupaten Bantul Tahun 2007 – 2009, Laporan Tahunan. Bantul : Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul.
80
Ardhi Arnanto dan Westi Utami
BIOGRAFI PENULIS
Ardhi Arnanto Lahir di Yogyakarta pada tanggal 4 Juli 1980. Pendidikan SD, SMP, dan STM Jurusan Geologi Pertambangan di selesaikan di Yogyakarta. Pendidikan tinggi diawali dengan menyelesaikan Program Diploma III Penginderaan Jauh dan SIG Fakultas Geografi UGM, dilanjutkan Program Sarjana di Prodi Pendidikan Geografi UNY. Saat ini bekerja di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional sebagai Kepala Laboratorium SIG/SIP.
Westi Utami Lahir di Bantul pada tanggal 16 Juli 1983, Pendidikan SD, SMP, SMA di Bantul. Gelar Sarjana diperoleh pada Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi UGM pada tahun 2005, saat ini sedang menyelesaikan Program Master pada Program Studi Magister Manajemen Bencana UGM. Penulis adalah Staf pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.
Model Spasial NDVI Minimum dan Maksimum dengan Landsat TM/ETM+ Multi-temporal (2000-2009)
Bambang Trisakti
82
Bambang Trisakti
Model Spasial NDVI Minimum dan Maksimum dengan Landsat TM/ETM+ Multitemporal (2000-2009)
Bambang Trisakti Peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Indonesia e-mail :
[email protected]
Abstrak Informasi spasial nilai minimum dan dan maksimum dari indek kehijauan vegetasi (NDVI) sangat diperlukan sebagai data masukan untuk pendugaan laju erosi tanah. Informasi spasial NDVI pada daerah tangkapan air (DTA) membutuhkan citra satelit dengan resolusi spasial menengah, seperti citra Landsat. Tetapi tutupan awan/haze dan perbedaan pencahayaan karena topografi dapat mengakibatkan tidak akuratnya NDVI. Kegiatan ini bertujuan untuk membuat informasi spasial NDVI minimum dan maksimum di DTA Danau Kerinci menggunakan 19 citra Landsat TM/ETM+ periode 2000-2009. Data yang digunakan adalah perekaman bulan berbeda yang mewakili musim kemarau dan hujan. Standardisasi data dengan melakukan koreksi geometri matahari dan koreksi terrain menggunakan metode C-correction. Proses berikutnya adalah menghilangkan awan/haze dan bayangan pada setiap citra, konversi ke NDVI, pemotongan citra dan penggabungan data, serta perhitungan NDVI maksimum dan minimum. Analisis lebih lanjut dilakukan untuk melihat perubahan NDVI. Hasil memperlihatkan bahwa kondisi topografi, awan dan bayangan mempengaruhi NDVI, terutama dalam menentukan NDVI minimum. Karena itu standardisasi data dan penghilangan awan/bayangan menjadi syarat penting mendapatkan NDVI yang konsisten dan akurat. Perubahan NDVI tinggi terjadi pada penutup lahan yang dinamis (sawah), sedangkan perubahan NDVI rendah terjadi pada penutup lahan yang statis (hutan dan tubuh air). Kata Kunci: NDVI, standardisasi, Landsat TM/ETM+, topografi, penghilangan awan/bayangan Abstract Spatial information of minimum and maximum Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) are needed as input data to estimate soil erosion rate. Spatial information of NDVI in water catchment area (DTA) needs middle resolution of satellite image such as Landsat image. Cloud/haze cover and lightening difference due to topography can cause inconsistency of NDVI, therefore NDVI extraction process should consider those factors. The purpose of the research is
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
83
to produce spatial information of minimum and maximum NDVI in Danau Kerinci catchment area using 19 images of Landsat TM/ETM+ along 2000-2009 periods. Those data were recorded in different months that represented rain and dry season. Standardization of data was conducted by doing sun geometry correction, terrain correction using C correction method. The next procedures were cloud and shadow removal for each image, NDVI extraction, cropping and layer stacking, and then minimum and maximum NDVI calculation. Further analysis was conducted to observe the NDVI change in catchment area. The results show that topographic condition and cloud/shadow cover give significant effect to NDVI, especially for determining minimum NDVI. Therefore data standardization and cloud/shadow removal become important to be done to get consistent and accurate NDVI. High change of NDVI occurred in dynamic land use (paddy field), otherwise low change of NDVI occurred in static land use (forest and water body). Keywords: NDVI, standardization, cloud/shadow removal
Landsat
TM/ETM+,
topography,
1. PENDAHULUAN Konversi lahan menjadi permasalahan utama yang mengakibatkan terjadinya kerusakan di bagian hulu Daerah Tangkapan Air (DTA), yang selanjutnya mengakibatkan berubahnya siklus hidrologi di DTA tersebut. Bila hujan turun pada tanah yang terbuka, maka air akan masuk ke dalam tanah yang memiliki kesuburan tinggi. Dengan tidak adanya pohon yang menahan air hujan agar meresap ke dalam tanah, maka aliran air permukaan akan meningkat. Aliran air permukaan yang besar dan cepat akan mengikis lapisan permukaan tanah yang subur sehingga menyebabkan hilangnya kesuburan tanah. Sehingga dampak yang terjadi adalah meningkatnya erosi tanah pada musim hujan dan kurangnya air pada musim kemarau karena rendahnya resapan air ke dalam tanah (Nurdin, 2011). Permasalahan di DTA berakibat pada turunnya kualitas danau seperti: pendangkalan dan penyempitan danau, penyebaran eceng gondok dan turunnya kualitas air. Oleh karena itu perlu dilakukan usaha pencegahan agar kerusakan DTA tidak berlanjut terus, serta upaya pemulihan kualitas danau sehingga danaudanau tersebut dapat tetap lestari. Untuk menangani permasalahan ini, pemerintah telah menggulirkan program nasional penyelamatan danau 2010-2014 yang diprioritaskan kepada 15 danau yang telah mengalami kerusakan (KLH, 2011). Program tersebut telah ditindak lanjuti dengan diadakannya Konferensi Danau I di Bali pada tahun 2009 dan Konferensi Danau II di Semarang pada Tahun 2011, yang menghasilkan kesepakatan antara 9 Kementerian dan penegasan kembali untuk pemulihan 15 danau prioritas. Berdasarkan pedoman Pengelolaan Ekosistem Danau (KLH, 2008) dijelaskan bahwa status ekosistem danau ditentukan oleh beberapa faktor, yang salah
84
Bambang Trisakti
satunya adalah erosi lahan. Erosi merupakan suatu proses hilangnya lapisan tanah, baik disebabkan oleh pergerakan air maupun angin (Foth, 1995). Tingkat erosi yang tinggi dan melebihi batas toleransi mengakibatkan DTA suatu danau diberi status mengalami kerusakan. Metode Universal Soil Loss Equation (USLE) adalah metode pendugaan laju erosi tanah yang cukup populer dan sangat baik diterapkan di daerah yang faktor utama penyebab erosi adalah hujan dan aliran permukaan (As-syakur, 2008), tetapi metode USLE membutuhkan beberapa masukan data pengukuran lapangan yang belum tentu tersedia untuk setiap wilayah Indonesia. Metode pendugaan lain berbasis data satelit penginderaan jauh, yang membutuhkan informasi spasial kemiringan lereng dan data Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) untuk wilayah kajian (Hazarika dan Honda, 2001). Data NDVI yang dibutuhkan untuk pendugaan laju erosi tanah adalah NDVI minimum dan maksimum pada suatu wilayah selama periode tertentu. NDVI adalah indeks vegetasi yang paling popular digunakan dan dapat mengambarkan kondisi tingkat kehijauan, kesehatan dan kerapatan vegetasi. NDVI dikembangkan oleh Rouse et al. (1974), berbasis kepada perbedaan nilai pantulan band inframerah dengan band merah. Tumbuhan hijau akan menyerap gelombang pada spektrum merah untuk proses fotosintesis, dan memantulkan gelombang pada spektrum inframerah. Parameter indek vegetasi sebaiknya memenuhi syarat (Jensen, 2000): (a) Memaksimalkan sensitifitas dari parameter biofisik tanaman, (b) Menormalkan pengaruh dari luar seperti: sudut matahari, sudut pandang sensor, atmosfir dan waktu perekaman, (c) menormalkan pengaruh dari dalam seperti: variasi dari jenis kanopi dan tanah, kondisi topografi, jenis tanaman, (d) dapat dihubungkan dengan parameter biofisik yang dapat diukur seperti biomassa atau Leaf Area Index (LAI) yang dapat dijadikan alat validasi dan kontrol kualitas informasi. Walaupun NDVI diharapkan dapat terlepas dari pengaruh dari faktor luar dan faktor dalam, tetapi pada kenyataannya pengaruh faktor-faktor tersebut mempengaruhi nilai dijital piksel secara berbeda untuk setiap band. Oleh karena itu NDVI yang berbasis pada selisih band tidak akan terlepas sepenuhnya dari pengaruh tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi nilai dijital piksel adalah pengaruh tutupan awan/haze, bayangan dan beda pencahayaan karena perbedaan kondisi topografi permukaan bumi. Faktor yang paling berpengaruh untuk wilayah Indonesia adalah faktor tutupan awan, karena Indonesia terletak di wilayah tropis yang merupakan wilayah pembentukan awan. Kegiatan ini bertujuan untuk untuk membuat informasi spasial NDVI minimum dan maksimum di DTA Danau Kerinci menggunakan citra multi temporal Landsat TM/ETM+ selama periode 2000-2009. Proses standardisasi data dilakukan dengan melakukan koreksi geometri matahari dan terrain, kemudian melakukan penghilangan awan/haze dan bayangan awan dengan menggunakan kombinasi band. Diharapkan proses standardisasi data dan penghilangan
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
85
awan/haze dan bayangan dapat mempertahankan konsistensi nilai NDVI sehingga dapat digunakan untuk mendukung pendugaan laju erosi tanah yang akurat. 2. METODOLOGI 2.1 Lokasi dan Data Lokasi kajian adalah daerah tangkapan air Danau Kerinci di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, Indonesia (Gambar 1). Danau Kerinci merupakan salah satu dari 15 danau yang termasuk dalam program pengelolaan danau prioritas tahun 20102014 yang dikeluarkan oleh BLHPP (Badan Lingkungan Hidup dan Penelitian Pengembangan), KLH. Ekosistem sekitar Danau Kerinci mempunyai permasalahan dengan terjadinya kerusakan DAS karena konversi lahan yang mengakibatkan tingginya laju erosi tanah di wilayah DTA. Wilayah ini mempunyai kondisi topografi yang bervariasi dan dikelilingi oleh pegunungan bukit barisan, dengan penutup lahan yang utama terdiri dari pertanian, perkebunan, hutan dan ladang/tegalan. Data penginderaan jauh satelit yang digunakan adalah data Landsat TM/ETM selama periode 2000-2009, dan data Digital Elevation Model (DEM) SRTM X-C band. Kedua jenis data mempunyai resolusi spasial yang sama yaitu 30 m. Data Landsat TM/ETM+ diperoleh dari program Indonesia National Carbon Accounting System (INCAS), kondisi data sudah terkoreksi geometri matahari (konversi nilai dijital ke reflektansi) dan sebagian sudah terkoreksi terrain. Dari data yang diterima dilakukan evaluasi tingkat penutup awan, untuk selanjutnya dipilih 19 data dengan tingkat penutup awan yang relatif rendah untuk digunakan. Data yang dipilih juga memperhatikan keterwakilan bulan-bulan pada musim hujan dan musim kemarau. Data yang digunakan diperlihatkan pada Tabel 1.
Gambar 1. Lokasi daerah kajian di Kabupaten Kerinci (Kiri), dan daerah tangkapan air Danau Kerinci (Kanan)
86
Bambang Trisakti
Tabel 1. Data Landsat yang digunakan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Jenis data Landsat TM Landsat TM Landsat TM Landsat TM Landsat TM Landsat ETM+ Landsat ETM+ Landsat ETM+ Landsat TM Landsat ETM+ Landsat TM Landsat TM Landsat TM Landsat TM Landsat ETM+ Landsat TM Landsat TM Landsat TM Landsat TM
Tanggal Perekaman 22 Januari 2000 5 Mei 2000 13 Mei 2000 3 Juli 2001 11 Juli 2001 24 Maret 2002 28 Juni 2002 15 Agustus 2002 6 Januari 2003 17 Juni 2004 13 September 2004 27 Mei 2005 30 Mei 2006 1 Juli 2006 11 September 2006 1 Mei 2007 19 Mei 2008 20 April 2009 22 Mei 2009
2.2 Metodologi Penelitian Sebagian data masih belum dilakukan koreksi terrain, sehingga tahap pertama adalah melakukan koreksi terrain dengan menggunakan algoritma C correction (Wu et al., 2004) seperti pada persamaan 1. Detil penjelasan mengenai koreksi terrain dan cara memperoleh nilai C dapat dilihat pada hasil penelitian sebelumnya (Trisakti et al., 2009). LH = LT (Cos sz + C)/(Cos i +C) (1) Dimana: LH : Reflektansi yang sudah dikoreksi (pada permukaan datar) LT : Reflektansi belum dikoreksi (pada permukaan miring karena kondisi topografi) sz : Sudut zenith matahari i : Sudut normal piksel yang dibentuk dari arah normal piksel dan arah matahari c : Koefisien pembatas yang merupakan rasio antara titik potong dan gradient (b/m) dari persamaan regresi LT = m Cos I + b Selanjutnya melakukan penghilangan awan/haze (cloud removal) dan bayangan awan untuk data Landsat. Penghilangan awan dilakukan dengan menggunakan
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
87
metode penghilangan awan secara bertahap menggunakan band biru (band 1) dan band inframerah (band 4), algoritma yang digunakan adalah sebagai berikut: if X4 > Acloud-thres then P = piksel awan, if X1 > Bcloud-thres then P = piksel awan, Selain itu adalah piksel non awan, dimana: X1 = Band 1 X4 = Band 4 Acloud-thres = Nilai batas awan band 4 Bcloud-thres = Nilai batas awan band 1 Sedangkan untuk penghilangan bayangan awan digunakan metode penghilangan bayangan secara bertahap menggunakan band albedo (penjumlahan band visible) dan band inframerah (band 4), algoritma yang digunakan adalah sebagai berikut: if X1+X2+X3 < Acloud-thres then P = piksel bayangan, if X4 < Bcloud-thres then P = piksel bayangan, Selain itu adalah piksel non awan, dimana: X1, X2, X3 = Band 1, Band 2 dan Band 3 X4 = Band 4 Acloud-thres = Nilai batas bayangan band albedo Bcloud-thres = Nilai batas bayangan band 4 Nilai batas awan dan bayangan ditentukan dengan melakukan perbandingan visual antara hasil citra penerapan algoritma penghilangan awan dan bayangan dengan citra Landsat komposit RGB 542. Bila hasil masking awan dan bayangan belum sesuai maka dilakukan iterasi sehingga diperoleh batas yang paling optimal. Setelah itu tahap berikutnya adalah mengubah piksel non awan menjadi nilai NDVI dengan persamaan umum dari NDVI. NDVI = (X4-X3)/(X4+X3) dimana : X3, X4 = Band 3 dan band 4
(2)
Konversi NDVI dilakukan untuk seluruh data (19 data), selanjutnya melakukan kroping dengan batas DTA yang diturunkan dengan data DEM menggunakan metode akumulasi aliran. Selanjutnya menggabung seluruh data NDVI dan menghitung sebaran nilai maksimal (Max-NDVI) dan nilai minimum (MinNDVI) dari seluruh data selama periode 2000-2009. Tahap terakhir adalah menentukan perubahan NDVI (NDVI ) dengan menghitung selisih antara nilai maksimum dan nilai minimum NDVI untuk setiap piksel, kemudian membagi
88
Bambang Trisakti
menjadi tiga kelas yaitu perubahan NDVI rendah, perubahan NDVI menengah dan perubahan NDVI tinggi untuk daerah tangkapan air Danau Kerinci. NDVI Max = f (i1, i2, …, in) NDVI Min = f (i1, i2, …, in) NDVI = NDVI Max – NDVI Min (3) dimana: i1, i2, …, in = layer NDVI ke 1 sampai dengan layer NDVI ke n (n=19) 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Pengaruh terrain, awan, dan bayangan awan pada nilai NDVI Nilai NDVI diekstrak secara dijital dengan menggunakan kombinasi band 3 (merah) dan band 4 (inframerah), dimana band ini dipengaruhi oleh kondisi keawanan (awan, haze dan bayangan) dan topografi permukaan bumi. Gambar 2 memperlihatkan Landsat dengan kondisi topografi di wilayah kajian yang berbukit dan hasil NDVI yang diturunkan dari data tersebut. Kondisi topografi yang bervariasi mengakibatkan terjadinya perbedaan pencahayaan matahari terhadap permukaan bumi. Bagian yang menghadap matahari akan memperoleh intensitas pencahayaan yang tinggi sehingga mempunyai nilai piksel yang juga tinggi (terang), sedangkan bagian yang membelakangi matahari akan memperoleh intensitas pencahayaan yang rendah sehingga mempunyai nilai yang lebih rendah (gelap). Berkurangnya intensitas pencahayaan pada bagian yang membelakangi matahari, lebih mempengaruhi nilai spektral pada band dengan panjang gelombang lebih panjang (band 4) dibandingkan band dengan panjang gelombang
Citra Landsat RGB 542 Nilai NDVI Gambar 2. Citra Landsat (Kiri) dan Nilai NDVI dari citra Landsat (Kanan)
89
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
yang lebih pendek (band 2). Oleh karena itu permukaan yang membelakangi matahari mempunyai nilai NDVI yang rendah seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2, khususnya dalam kotak hitam. Pengaruh awan sangat berdampak terhadap objek di permukaan bumi, awan tebal akan memblok gelombang elektromagnetik yang datang dan memantulkan kembali ke atmosfir. Sedangkan awan tipis (haze) hanya memblok sebagian gelombang elektromagnetik yang datang ke permukaan bumi, sehingga mengakibatkan berkurangnya intensitas cahaya pada daerah yang dipengaruhi haze. Pengurangan intensitas cahaya juga terjadi pada daerah yang menjadi proyeksi awan pada permukaan bumi (daerah bayangan awan atau haze). Pengurangan intensitas cahaya mempengaruhi nilai NDVI seperti diperlihatkan pada Gambar 3. Nilai NDVI menjadi sangat rendah pada daerah yang ditutupi oleh awan dan haze. Berdasarkan hal yang dijelaskan tersebut maka penurunan NDVI perlu melakukan proses standardisasi data dan penghilangan awan, haze dan bayangan.
Awan dan bayangan
Awan tipis (haze)
Bayangan
NDVI karena awan NDVI karena haze NDVI karena bayangan Gambar 3. Pengaruh awan, haze dan bayangan pada nilai NDVI
90
Bambang Trisakti
3.2 Standardisasi data dan penurunan NDVI Standardisasi data dilakukan dengan melakukan koreksi radiometrik (koreksi geometri matahari dan koreksi terrain), serta penghilangan awan dan bayangan. Gambar 4 memperlihatkan data sebelum dan setelah dilakukan proses koreksi terrain. Setelah mengalami proses koreksi terrain, penampakan data dalam bentuk 3 dimensi berubah menjadi bentuk datar 2 dimensi, dan perwarnaan yang lebih gelap dari bagian yang membelakangi matahari menjadi lebih terang sehingga mendekati pewarnaan dari bagian yang menghadap matahari. Analisis secara dijital memperlihatkan bahwa nilai-nilai dari band pada objek yang membelakangi matahari bertambah, dan nilai-nilai dari band pada objek yang menghadap matahari berkurang mendekati nilai-nilai band pada objek yang pada bagian datar. Hasil penghilangan awan dan bayangan diperlihatkan pada Gambar 5. Dengan menggunakan metode penghilangan secara bertahap menggunakan kombinasi band, maka awan dan bayangan dapat dihilangkan dengan cukup baik. Permasalahannya yang masih menyulitkan dalam proses penghilangan awan dan bayangan adalah perlunya melakukan iterasi untuk mendapatkan nilai batas yang optimal, dan nilai tersebut bisa berubah pada data yang berbeda. Sehingga apabila nilai batas tidak optimal, maka akan mengakibatkan tidak optimalnya nilai NDVI (NDVI lebih rendah dari semestinya). Setelah data terstandardisasi, maka dilakukan penurunkan nilai NDVI untuk untuk setiap data pada Tabel 1. Gambar 6 memperlihatkan contoh data NDVI untuk DTA Danau Kerinci pada tanggal perekaman berbeda selama periode 2000-2009.
Data belum terkoreksi terrain
Data terkoreksi terrain
Gambar 4. Hasil koreksi terrain pada data Landsat
91
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
Awan dan bayangan pada citra
Penghilangan awan dan bayangan
Gambar 5. Hasil penghilangan awan dan bayangan pada data Landsat
0.1
0.9
0.1
0.9
0.1
0.9
27 Mei 2005 11 juli 2001 22Mei 2009 Gambar 6. Nilai NDVI pada data Landsat yang telah dikoreksi
3.3 Perubahan NDVI di DTA Danau Kerinci Seluruh informasi spasial NDVI untuk DTA Danau Kerinci kemudian disusun dan dihitung nilai NDVI maksimum dan minimum untuk setiap piksel. Hasil NDVI minimum dan NDVI maksimum di DTA Danau Kerinci diperlihatkan pada Gambar 7. NDVI minimum memperlihatkan nilai NDVI terendah sepanjang periode 2000-2009, tidak menutup kemungkinan nilai rendah tersebut diakibatkan oleh pengaruh haze, bayangan atau kondisi topografi. Tetapi berdasarkan hasil evaluasi secara visual, standardisasi data yang dilakukan telah mengurangi pengaruh-pengaruh tersebut, sehingga diharapkan NDVI yang dihasilkan lebih konsisten dan akurat. Nilai NDVI minimum terpantau pada air danau, sawah (dalam fase air) di dataran rendah, dan daerah lahan terbuka di
92
Bambang Trisakti
bagian hulu DTA (puncak Gunung Kerinci). Sedangkan Nilai NDVI maksimum sepanjang periode 2000-2009 teridentifikasi di daerah hutan pada bagian perbukitan. Nilai NDVI maksimum pada area sawah di bagian tengah DTA adalah kondisi sawah dalam fase vegetatif.
(a)
(b) Keterangan: a) NDVI Minimum 200-2009 b) NDVI Maksimum 2000-2009 c) Perubahan NDVI 2000-2009 Legenda Nilai NDVI 0.2
0.9
(c) Gambar 7. NDVI minimum, NDVI maksimum dan perubahan NDVI selama periode 20002009
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
93
Analisis perubahan nilai NDVI di DTA Danau Kerinci dilakukan dengan mengurangi NDVI maksimum dengan NDVI minimum. Besarnya selisih NDVI yang diperoleh kemudian dibagi menjadi tiga bagian dan dikelaskan menjadi kelas perubahan NDVI rendah, kelas perubahan NDVI sedang dan kelas perubahan NDVI tinggi. Kelas perubahan NDVI tinggi dan NDVI sedang teridentifikasi di daerah sawah, ladang dan perkebunan yang mempunyai perubahan tingkat kehijauan yang tinggi. Yaitu kehijauan vegetasi saat masa penanaman atau masa setelah panen yang didominasi oleh tanah (NDVI rendah) dengan kehijauan vegetasi saat fase vegetasi yang didominasi oleh tutupan daun yang rapat (NDVI tinggi). Sedangkan kelas perubahan NDVI rendah terpantau pada hutan, air danau, permukiman, semak belukar yang tingkat kehijauannya relatif tetap (cenderung sama). 4. KESIMPULAN Pada kegiatan ini dilakukan pembuatan NDVI maksimum dan minimum untuk wilayah DAS Danau Kerinci dengan menggunakan data Landsat TM/ETM+ selama periode 2000-2009. Hasil memperlihatkan bahwa,
Kondisi topografi, tutupan awan, haze dan bayangan sangat mempengaruhi NDVI, terutama dalam menentukan NDVI minimum. Karena itu standardisasi data dan penghilangan awan/bayangan menjadi syarat penting mendapatkan NDVI yang konsisten untuk menghasilkan pendugaan laju erosi tanah yang akurat Standardisasi yang perlu dilakukan adalah koreksi terrain untuk penghilangan pengaruh perbedaan pencahayaan karena topografi dan penghilangan awan/haze dan bayangan. Perubahan NDVI tinggi terjadi pada penutup/penggunaan lahan yang dinamis seperti sawah, sedangkan perubahan NDVI rendah terjadi pada penutup/penggunaan lahan yang statis seperti hutan dan tubuh air.
REFERENSI As-syakur, A.R. 2008, Prediksi Erosi Dengan Menggunakan Metode USLE Dan Sistem Informasi Geogra_s (SIG) Berbasis Piksel Di Daerah Tangkapan Air Danau Buyan. PIT MAPIN XVII:Bandung. Foth, H.D. 1995. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Hazarika, M.K. dan Honda, K. 1999. Estimation of Soil Erosion Using Remote Sensing and GIS, Its Valuation and Economic Implications on Agricultural Production. Proceeding, The 10th International Soil Conservation Organization Meeting held May 24-29, Purdue University and the USDA-ARS National Soil Erosion Research Laboratory. Jensen, J.R. 2000. Remote Sensing of The Environment an Earth Resource Perspective. PP.361. Published by Pearson Education Inc. First Indian Reprint, 2003. KLH. 2011. Profil 15 Danau Prioritas Nasional 2010-2014. Kementerian Lingkungan Hidup.
94
Bambang Trisakti
KLH. 2008. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Danau. Kementerian Lingkungan Hidup. Nurdin, Ali. http:// www.salmaghaliza.blogspot.com. Keseimbangan Ekosistem. 10 November 2011.Rouse, J.W. Haas, R.H. Schell, J.A. dan Deering, D.W. 1974. Monitoring Vegetation System in The Great Plains with ERTS. Proceeding, Third Earth Resources Technology Satellite-1 Symposium. Greenbelt: NASA SP-351. 3010-317. Trisakti, B. Kartasasmita, M. Kustiyo dan Kartika T. 2009. Kajian Koreksi Terrain pada Citra Landsat Thematic Mapper. Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Digital. Vol.6. Wu, X. Furby, S. dan Wallace, J. 2004. An Approach for Terrain Illumination Correction. Proceeding, The 12th Australasian Remote Sensing and Photogrametry Association Conference, held in Fremantle, Western Australia 18-22 October 2004.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
95
BIOGRAFI PENULIS Bambang Trisakti Penulis bernama Bambang Trisakti, lahir di Jakarta pada tanggal 1 Oktober 1972. Penulis menyelesaikan pendidikan pada bidang Natural Science di Universitas Okayama Jepang pada tahun 2002. Selanjutnya mulai tahun 2002 sampai sekarang, penulis aktif sebagai staf peneliti di Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Saat ini jabatan fungsional adalah peneliti Madya. Penulis telah melakukan kegiatan penelitian pemanfaatan data satelit inderaja untuk berbagai sektor, seperti sektor kehutanan, sumber daya air, pesisir dan lautan serta kebencanaan. Bidang yang diminati adalah image processing.
Penggabungan Data DEM SRTM, ALOS PRISM, dan Peta Topografi
Atriyon Julzarika, Bambang Trisakti, dan Ahmad Sutanto
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
97
Penggabungan Data DEM SRTM, ALOS PRISM, dan Peta Topografi
Atriyon Julzarika, Bambang Trisakti, dan Ahmad Sutanto Penelitian Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Digital Elevation Model (DEM) dapat dihasilkan dari peta topografi, Interferometry Synthetic Aparture Radar (InSAR) atau citra stereo optik. Masingmasing DEM memiliki kelebihan dan kelemahan berkaitan dengan kedetilan informasi, cakupan wilayah dan tingkat akurasi. Pada penelitian ini dilakukan penggabungan data DEM yang berbeda (DEM dari peta topografi, DEM SRTM dan DEM dari ALOS PRISM) untuk mendapatkan DEM dengan kedetilan informasi dan tingkat akurasi yang lebih baik. Penggabungan DEM dilakukan dengan 2 metode, yaitu: DEM Integration dan DEM fusion. DEM integration dilakukan dengan menentukan Height Error Map (HEM) pada DEM, menghilangkan daerah error pada batas tertentu, mengisi void dengan titik ketinggian dari DEM berbeda dan melakukan interpolasi untuk membentuk DEM baru. Sedangkan, DEM fusion dilakukan dengan menggabungkan 2 DEM menggunakan bobot yang dihitung dari HEM setiap DEM. Perbaikan kualitas dan tingkat Akurasi dari DEM dievaluasi menggunakan perubahan HEM, analisis jumlah bull eyes, serta pengujian dengan data pengukuran lapangan menggunakan GPS Geodetik. Hasil memperlihatkan bahwa pada penggabungan DEM topografi dan DEM SRTM, Metode DEM integration mampu memperbaiki HEM dan meningkatkan akurasi vertikal DEM. Sedangkan pada penggabungan DEM ALOS PRISM dan DEM SRTM, DEM fusion mampu memperbaiki bull eyes dan meningkatkan akurasi vertikal DEM. Kata kunci: DEM integration, DEM fusion, Height Error Map, Bull eyes, akurasi Abstract Digital Elevation Model (DEM) can be generated based on topographic map, Interferometry Synthetic Aparture Radar (InSAR) or stereoscopic image. Each DEM has advantages and disadvantages related to information detail, coverage area and accuracy level. This research focused on DEM combination using different DEM sources (DEM from topographic map, DEM SRTM, and DEM from ALOS PRISM) for obtaining new DEM with better information detail and accuracy. DEM combination was conducted using 2 methods: DEM Integration and DEM fusion. DEM integration was done by determining Height Error Map
98
Atriyon Julzarika, dkk.
(HEM) of DEM, remove error area using threshold, filling the void using height points from other DEM, and doing co-krigging interpolation. DEM fusion was done by combining two DEMs using weight factors calculated from HEM of each DEM. Quality and accuracy improvement were evaluated by analyzing HEM change, bull eyes, and vertical accuracy assessment using height data measured in the field. The results show that DEM integration method reduced HEM and improved the vertical accuracy of DEM for combination between DEM from topographic map and SRTM. On other hand, DEM fusion reduced the bull eyes number and improved the vertical accuracy of DEM for combination between DEM from ALOS PRISM and SRTM. Keywords: DEM integration, DEM fusion, Height Error Map, Bull eyes, accuracy 1.
LATAR BELAKANG
Digital Elevation Model (DEM) adalah model digital dari ketinggian (topografi) suatu wilayah permukaan bumi, setiap pikselnya mempunyai informasi titik koordinat (XY) dan ketinggian (Z). Pembuatan DEM dapat dilakukan dengan metode Interpolasi titik tinggi (dari peta topografi atau hasil pengukuran lapangan), dan menghitung ketinggian secara langsung berbasis citra stereo optik atau Interferometry Synthetic Aparture Radar (InSAR) (Trisakti et al., 2006). Saat ini, Data DEM yang umum digunakan dan mudah diperoleh adalah data DEM yang berasal peta topografi, DEM Shutlle Radar Topography Mission (SRTM) dan DEM yang diturunkan dari citra stereo optik (seperti: DEM dari data ASTER atau ALOS PRISM). Masing-masing DEM memiliki kelebihan dan kelemahan yang berbeda-beda terkait dengan kedetilan informasi, tingkat akurasi data, cakupan perekaman data, dan hilangnya data karena tutupan awan. Sebagai contoh data DEM SRTM memiliki akurasi vertikal yang baik (Tabel 1) tapi mempunyai resolusi spasial kurang detil (30 m untuk X band dan 90 m untuk C band). selain itu data DEM berbasis InSAR dapat memiliki error yang disebabkan oleh layover, shadow dan atmosferic effect (temporal decorrelation) (Karkee et al., 2006). Peta topografi merupakan produk yang umum digunakan karena terdiri dari berbagai skala, tetapi saat ini skala yang detil (1:10.000 atau 1:25.000) bahkan skala menengah (1:50.000) belum mencakup seluruh wilayah Indonesia. Selain itu kontur ketinggian kurang rapat di wilayah datar sehingga mengakibatkan hilangnya informasi topografi antara 2 garis kontur. Sedangkan DEM dari citra stereo ALOS PRISM merupakan alternatif untuk memenuhi kebutuhan DEM dengan resolusi spasial tinggi (2.5-10 m) dan akurasi tinggi (2-6 m) (Tabel 1), tetapi cakupan DEM tersebut sempit (lokal) dan adanya bull eyes (error lokal) yang terjadi bila pada saat pembuatannya distribusi dan jumlah GCP tidak mencukupi atau adanya tutupan awan (Trisakti et al, 2010).
99
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
Table 1. Akurasi DEM SRTM dan DEM dari stereo ALOS PRISM Tahun
Sensor satelit
Referensi
Akurasi (m)
2005 2006 2006 2006 2008 2008 2010 2010
SRTM X- band SRTM X band SRTM C band ALOS PRISM ALOS PRISM ALOS PRISM ALOS PRISM ALOS PRISM
Gesch D. Yastikh et al. Yastikh et al. JAXA Bignone & Umakawa Schneider et al. Geo Image Trisakti et al.
3–5m 5.6 9.6 m < 6.5 m 2–5m 4m 5m <5m
Dewasa ini, pembangunan di setiap wilayah membutuhkan DEM yang akurat untuk memenuhi kebutuhan peta topografi wilayah. Selain itu banyaknya kejadian bencana di Indonesia, mengakibatkan DEM yang detil dan akurat menjadi data vital untuk memetakan daerah rawan bencana. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu upaya untuk menghasilkan data DEM dengan akurasi dan kedetilan yang lebih baik dari DEM yang digunakan saat ini. Salah satu cara adalah melakukan penggabungan DEM untuk menghasilkan DEM yang lebih baik dari DEM pembentuknya. Hoja et al. (2006) melaporkan bahwa penggabungan antara DEM SPOT 5 dan SRTM dapat mengurangi bull eyes sehingga meningkatkan akurasi DEM yang dihasilkan. Beberapa metode penggabungan adalah DEM integration, DEM fusion (Hoja and d’Angelo, 2010), dan Spatial Fequency Domain menggunakan Fast Fourier Transform (FFT) (Honikel (1998); Karkee et al.( 2006)). Metode-metode tersebut digunakan untuk menggabungkan antara DEM dari citra optik (SPOT dan ASTER) dan citra SAR (SRTM) untuk wilayah kajian masing-masing, sementara penggabungan DEM untuk perbaikan kualitas DEM dari peta topografi dan citra stereo ALOS PRISM, khususnya untuk wilayah Indonesia, dengan menggunakan model Geoid 2008 masih jarang dilakukan. Kegiatan ini bertujuan untuk menkaji metode penggabungan data DEM yang berbeda (DEM dari peta topografi, DEM SRTM dan DEM dari ALOS PRISM) untuk mendapatkan DEM dengan kedetilan informasi dan tingkat akurasi yang lebih baik dibandingkan DEM awal, selanjutnya tingkat akurasi dari DEM yang dihasilkan dievaluasi dengan menggunakan perubahan HEM, perubahan jumlah bull eyes serta pengujian dengan data pengukuran lapangan menggunakan GPS Geodetik. 2. METODOLOGI 2.1 Lokasi Kajian Lokasi kajian yaitu: Kabupaten Enrekang dan sekitarnya di Provinsi Sulawesi Selatan dengan ketinggian wilayah berkisar dari 0-2000 m, dan Kabupaten Sragen
100
Atriyon Julzarika, dkk.
dan sekitarnya di Provinsi Jawa Tengah dengan ketinggian wilayah berkisar dari 50 – 500 m (Gambar 1). Wilayah kajian di dalam kotak kuning. Pemilihan lokasi-lokasi tersebut dilakukan dengan pertimbangan:
Wilayah-wilayah ini mempunyai kondisi topografi yang bervariasi sehingga dapat mewakili lingkungan bertopografi rendah sampai lingkungan bertopografi tinggi. Ketersediaan data yang lengkap (DEM SRTM, peta topografi, Citra stereo dan GCP )
Enrekang
(a)
Sragen
(b) Gambar 1.
Lokasi kajian pembuatan DEM: (a) Kab. Enrekang dan (b) Kab. Sragen
101
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
2.2 Data yang Digunakan -
Data SRTM X (resolusi 30 m) atau C (resolusi 90 m) band untuk wilayah Enrekang dan Sragen.
-
Peta topografi 1 : 50.000 (Peta Rupa Bumi) untuk wilayah Enrekang
-
DEM dari citra stereo PRISM resolusi 10 m untuk wilayah Sragen
-
Data GCP (XYZ) pengukuran lapangan wilayah Enrekang dan Sragen
2.3 Metode Penelitian Alur kegiatan (flowchart) penelitian diperlihatkan pada Gambar 2, dimana proses dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu: 1. Penyiapan data DEM yang akan digabung, yang meliputi: Pembuatan DEM Standarisasi Model Elipsoid-Geoid 2008 Co-registrasi dan koreksi ketinggian 2. Penggabungan data DEM menggunakan 3 model penggabungan, yaitu: DEM fusion DEM integration 3. Verifikasi hasil penggabungan data DEM, dengan menggunakan Perubahan Height Error Map Deteksi bull eyes GCP pengukuran Lapangan Pembuatan DEM Stereo PRISM danPeta topografi DEM SRTM
DEM stereo, DEM topo
Koreksi Geoid (Model EGM 2008) Co-registrasi dan koreksi ketinggian (mean dan std deviasi)
DEM Integrasi
DEM Fusion DEM gabungan
Tidak
Verifikasi hasil Kualitas up?
GCP Pengukuran, Height Error Jumlah Bull eyes
Ya
Metode terbaik untuk wilayah kajian
Gambar 2. Flowchart proses penggabungan DEM
102
Atriyon Julzarika, dkk.
Standarisasi model elipsoid-geoid diperlukan untuk menyamakan titik acuan dari seluruh DEM yang akan digabung. Pada umumnya model geoid yang digunakan saat ini adalah model elipsoid-geoid 1996 (EGM 96), tetapi model ini diperbaharui dengan model elipsoid-geoid 2008 (EGM 2008). Pada penelitian ini, DEM berbasis EGM 96 dikembalikan sistem elipsoid kemudian dirubah ke EGM 2008. Ko-registrasi dilakukan untuk menyamakan posisi horisontal kedua DEM, proses ini dilakukan dengan mencari titik kontrol pada objek dengan kenampakan sama di kedua DEM (menggunakan penampakan 3D dengan sudut matahari dan azimut yang sama). Titik kontrol sekitar 10 titik kontrol yang terletak menyebar di seluruh wilayah, kemudian melakukan koreksi dengan model transformasi linear dan model resampling Nearest Neighbor. Koreksi (Normalisasi) ketinggian dilakukan untuk menyamakan range ketinggian antara 2 DEM, dengan cara mempersamakan nilai mean dan variance dari kedua DEM. Penggabungan DEM dengan metode DEM integrasi dilakukan dengan menurunkan Height Error Map DEM yang ingin diperbaiki. Selanjutnya dilakukan deteksi dan penghilangan error dengan menggunakan metode threshold standar deviasi >2σ. Bagian error yang dihilangkan akan diisi dengan titik tinggi yang diekstrak dari DEM, selanjutnya dilakukan proses intepolasi CoKrigging sehingga menghasilkan DEM gabungan. Sedangkan, DEM fusion mengacu kepada metode yang dikembangkan oleh Hoja et al. (2006), walaupun terdapat perbedaan dalam pembuatan HEM. Penggabungan DEM dilakukan dengan menurunkan HEM dari ke dua DEM yang akan digabung, selanjutnya dilakukan penggabungan dengan mempertimbangkan besar error setiap piksel dari kedua DEM. Penggabungan dilakukan dengan menggunakan model pembobotan menggunakan Persamaan (1). (1) Dimana, pi = 1/ai , ai > 0 hi : Ketinggian DEM (1,2) ai : Tingkat akurasi DEM, error DEM (1,2) Tahap terakhir melakukan pengujian dengan cara: 1. Perbandingan HEM sebelum dan sesudah dilakukan penggabungan. 2. Perbandingan jumlah bull eyes sebelum dan sesudah dilakukan penggabungan. 3. Pengujian tingkat akurasi dengan menggunakan data pengukuran lapangan menggunakan GPS geodetik
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
103
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Penggabungan DEM Topografi dan DEM SRTM Gambar 3 memperlihatkan DEM dari peta topografi dan DEM SRTM yang telah dikoreksi (Koreksi Geoid, Coregistrasi dan koreksi ketinggian) siap untuk digabungkan. Berdasarkan gambar 3, diketahui bahwa walaupun DEM SRTM mempunyai resolusi yang rendah (kurang detil) tetapi DEM SRTM mempunyai pola topografi yang lebih dapat diterima (realistis) di wilayah datar dibandingkan DEM dari peta topografi. Pada penelitian ini kami tidak membedakan antara DSM dan DTM, dengan kata lain kondisi kedua DEM diasumsikan sama. Berdasarkan alasan di atas, maka DEM SRTM digunakan untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi pada DEM peta topografi.
0
2200m
0
2200m
(a) DEM dari peta (b) DEM SRTM – Resolusi topografi - Resolusi spasial spasial 90 m 25m Gambar 3. DEM yang akan digabungkan
3.1.1 Hasil Penggabungan DEM dengan DEM Integration Gambar 4 memperlihatkan hasil dari setiap tahapan proses penggabungan DEM dengan metode DEM Integrasi. Berdasarkan HEM terlihat bahwa daerah dengan topografi rendah di bagian kiri bawah mempunyai error tinggi sedangkan daerah bertopografi tinggi mempunyai error rendah (4a). Selanjutnya error dihilangkan dengan treshold (>2), dan diisi dengan titik tinggi dari DEM SRTM (4b). Hasil penggabungan (pengisian) titik tinggi berbasis HEM dapat menutupi seluruh kekurangan titik, dengan kata lain titik rapat dan menutupi seluruh daerah (4c). Selanjutnya pembuatan DEM gabungan dengan metode interpolasi CoKrigging sehingga dihasilkan DEM gabungan (4d) dan HEM DEM gabungan (4e). Hasil DEM gabungan mempunyai pola topografi yang lebih realistis dan
104
Atriyon Julzarika, dkk.
relatif mirip dengan DEM SRTM tetapi mempunyai kedetilan informasi yang sama detilnya dengan DEM peta topografi (resolusi spasial 25 m). Hasil analisis HEM sebelum dan sesudah proses penggabungan memperlihatkan adanya pengurangan error yang cukup signifikan.
(a) Height Error Map DEM topografi
(b) Error <2 (merah error)
(c) Pengisian void dengan titik tinggi DEM pengisi
(d) DEM gabungan dengan metode DEM Integrasi Keterangan Height Error 0
100
Keterangan Error
Error
Non Error
Keterangan DEM 0
2200
(e) Height Error Map DEM gabungan Gambar 4. Hasil dari setiap tahapan proses penggabungan DEM dengan metode DEM Integrasi
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
105
3.1.2 Hasil Penggabungan DEM dengan DEM Fusion Gambar 5 memperlihatkan DEM hasil penggabungan dengan metode DEM fusion dan HEM dari hasil DEM gabungan. Hasil memperlihatkan bahwa DEM gabungan (5a) mempunyai pola topografi yang baik di seluruh wilayah dan mempunyai resolusi yang detil (25 m). Selain itu, perbandingan antara HEM hasil penggabungan dengan metode DEM fusion (5b) dengan HEM sebelum pengggabungan (4a) memperlihatkan bahwa sebagian error dapat diturunkan sehingga distribusi menjadi lebih rendah.
(a) DEM gabungan dengan DEM fusion
(b) HEM dari DEM gabungan
Gambar 5. Hasil DEM dan HEM dengan metode DEM Integrasi
3.1.3 Pengujian Hasil DEM Gabungan Gambar 6 memperlihatkan perbandingan nilai error (>2) antara DEM SRTM, DEM peta topografi, DEM hasil fusion dan DEM hasil integration. Hasil memperlihatkan bahwa DEM SRTM mempunyai error sebesar 18.4%, DEM RBI mempunyai error sebesar 8%, DEM hasil fusion sebesar 5.8 % dan DEM hasil integration sebesar 2%. Selanjutnya dilakukan pengujian akurasi vertikal dengan membandingkan ketinggian pada DEM gabungan dengan ketinggian hasil pengukuran lapangan dengan menggunakan GPS Geodetik. Hasil diperlihatkan pada Tabel 2. DEM gabungan dengan metode DEM integration dapat menurunkan error dan meningkatkan akurasi vertikal cukup signifikan dibandingkan DEM pembentuknya.
106
Atriyon Julzarika, dkk. 2
2
DEM SRTM
18.4%
DEM RBI 8%
4
3
30
DEM FUSION
19
DEM INTEGRASI 2
2
5.8 % 2%
3
15
3
12
Gambar 6. Distribusi 99% histogram dari HEM, dan Error > 2 untuk setiap DEM
Table 2. Hasil pengujian akurasi vertikal dari DEM gabungan DEM DEM peta topografi DEM SRTM DEM fusion DEM integration
Akurasi (m) 14.5 19.6 14.8 12.6
3.2 Hasil Penggabungan DEM ALOS PRISM dan DEM SRTM Gambar 7 memperlihatkan DEM ALOS PRISM dan DEM SRTM yang telah dikoreksi (Koreksi Geoid, co-registrasi dan koreksi ketinggian) siap untuk digabungkan. Berdasarkan gambar 6, diketahui bahwa DEM ALOS mempunyai tingkat kedetilan yang tinggi (teramati adanya alur sungai yang sangat jelas). Tetapi DEM ini mempunyai permasalahan dengan bull eyes (anomali ketinggian), dengan adanya pit (lubang) dan spire (puncak) yang cukup banyak dan tersebar pada seluruh bagian citra, terutama di bagian tengah yang mempunyai topografi yang relatif datar seperti diperlihatkan pada Gambar 8. Sedangkan DEM SRTM mempunyai kedetilan yang lebih rendah, tapi mempunyai bull eyes (pit/spire) yang sangat sedikit, bahkan tidak dideteksi adanya bull eyes di wilayah datar.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
0
500m
0
107
500m
(b) DEM SRTM – Resolusi Spasial 30 m (a) DEM ALOS PRISM – Resolusi spasial 10 m Gambar 7. DEM ALOS PRISM dan DEM SRTM yang akan digabungkan
(a)Sebaran bull eyes DEM ALOS spasial 10 m Spire setting radius: 150m, height: 12m Pits setting radius : 150m, depth: 12 m Hasil (Pits (merah): 3687, Spires (hijau): 201)
108
Atriyon Julzarika, dkk.
(b) Sebaran bull eyes DEM SRTM Spire setting radius: 250m, height: 12m Pits setting radius : 250m, depth: 12 m Hasil (Pits (merah): 9, Spires (hijau): 7) Gambar 8. Sebaran bull eyes pada DEM ALOS PRISM dan DEM SRTM
3.2.1 Hasil Penggabungan DEM Gambar 9 memperlihatkan DEM gabungan, HEM dan sebaran bull eyes menggunakan DEM Integration. Perbandingan terhadap HEM memperlihatkan bahwa besar error pada DEM gabungan mengalami pengurangan, demikian juga perbandingan terhadap jumlah bull eyes sebelum dan sesudah penggabungan memperlihatkan adanya pengurangan, walaupun secara statistik pengurangan yang terjadi tidak terlalu besar. Gambar 10 memperlihatkan DEM gabungan, HEM dan jumlah bull eyes yang dibuat dengan metode DEM fusion. Hasil pengamatan visual terlihat bahwa HEM sedikit berkurang, sedangkan jumlah bull eyes mengalami penurunan yang cukup signifikan.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
(a) DEM gabungan spasial 10 m
0
22 m
(b) HEM DEM gabungan
(c) Sebaran bull eyes DEM gabungan Spire setting radius: 250m, height: 12m Pits setting radius : 250m, depth: 12 m Hasil (Pits (merah): 2648, Spires (hijau): 97)
Gambar 9. DEM gabungan, HEM dan sebaran bull eyes pada DEM Integration
109
110
Atriyon Julzarika, dkk.
(a) DEM gabungan spasial 10 m
0
22 m
(b) HEM DEM gabungan
(c) Sebaran bull eyes DEM gabungan Spire setting radius: 150m, height: 12m Pits setting radius : 150m, depth: 12 m Hasil (Pits (merah): 1673, Spires (hijau): 60)
Gambar 10. DEM gabungan, HEM dan sebaran bull eyes pada DEM fusion
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
111
3.2.2 Pengujian Hasil DEM Gabungan Pengujian dilakukan dengan melakukan deteksi jumlah bull eyes sebelum dan sesudah penggabungan. Hasil rangkuman jumlah bull eyes (pit dan spire) diperlihatkan bahwa DEM gabungan dengan metode fusion dapat mengurangi sampai 70% dari jumlah bull eyes DEM awal, sementara DEM gabungan dengan metode integration hanya mengurangi sampai 30%. Akurasi vertikal DEM gabungan diuji dengan membandingkannya dengan ketinggian hasil pengukuran lapangan, hasil diperlihatkan pada Tabel 3. Berdasarkan hasil tersebut, diketahui bahwa DEM gabungan dengan metode fusion dan DEM integration mempunyai akurasi vertikal yang lebih baik dibandingkan dengan DEM awal (DEM ALOS PRISM), dimana akurasi vertikal terbaik diperoleh dari DEM gabungan menggunakan metode DEM fusion. Table 3. Hasil pengujian akurasi vertikal dari DEM gabungan DEM Akurasi (m) DEM ALOS PRISM 7.6 DEM Integration 7.4 DEM Fusion 7.3 4.
KESIMPULAN
Pengembangan metode penggabungan data DEM yang berbeda dengan menggunakan metode DEM integration dan DEM fusion telah dilakukan, beberapa kesimpulan yang diperoleh adalah: 1. Tahap penyiapan data yang meliputi penyamaan model referensi tinggi dan normalisasi data DEM, dari sumber DEM yang berbeda, perlu dilakukan untuk mendapatkan DEM gabungan dengan kualitas yang baik. 2. Pada penggabungan DEM dari peta topografi dan DEM SRTM, Metode DEM integration merupakan pilihan terbaik untuk menghasilkan DEM gabungan yang detil dan akurat. Karena DEM integration dapat mengisi kekurangan informasi di wilayah datar sehingga memperbaiki HEM dan meningkatkan akurasi vertikal DEM gabungan. 3. Pada penggabungan DEM ALOS PRISM dan DEM SRTM, metode DEM fusion dapat memperbaiki bull eyes secara menyeluruh, sehingga meningkatkan akurasi vertikal dari DEM gabungan. DAFTAR REFERENSI Bignone F. and Umakawa H., 2008, Assessment of ALOS PRISM Digital Elevation Model Extraction ove Japan, The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences. Vol. XXXVII, Beijing, 2008
112
Atriyon Julzarika, dkk.
Gesch D., 2005, Vertical Accuracy of SRTM Data of the Accuracy of SRTM Data of the United States: Implications for Topographic Change Detection, SRTM Data Validation and Applications Workshop Hoja D. and d’Angelo P, 2010, Analysis Of Dem Combination Methods Using High Resolution Optical Stereo Imagery And Interferometric SAR Data, International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Science, Volume XXXVIII, Part 1, Calgary, Canada, 2010 Hoja D., Reinartz P. and Schroeder M., 2006, Comparison Of Dem Generation And Combination Methods Using High Resolution Optical Stereo Imagery And Interferometric SAR Data, International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Science, Volume XXXVI, Part 1, Paris, France, 2006 Honikel M. 1998, “Fusion of Optical and Radar Digital Elevation Models in the Spatial Fequency Domain”, Workshop ESTEC, 21-23 Oktober 1998 JAXA, 2006, The 2nd ALOS Research Announcement: Calibration and Validation, Utilization Research, and Scientific Research, Earth Observation Research Center Japan Aerospace Exploration Agency, Japan Schneider M., Lehner M., Muller R. And Reinartz P., 2008, Stereo Evaluation of ALOS/PRISM Data on ESA-AO Test Sites – First DLR Results, ALOS Symposium, Rhodos, 2008 Trisakti B. and Pradana F.A., 2006, “Application of ASTER stereoscopic Image for developing topography updating model”, Research Report 2006, Remote Sensing Application and Development Center, LAPAN. Trisakti B. dkk, 2010, Pengembangan Metode Ekstraksi Dem (Digital Elevation Model) Dari Data ALOS PRISM, Laporan Akhir Program Insentif Riset Dasar, Pusbangja, LAPAN, 2010 Yastikh et al., 2006, Accuracy and Morphological Analyses of GTOPO30 and SRTM X-C band DEMS in the Test Area Istambul, ISPRS Workshop, Ankara.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
113
BIOGRAFI PENULIS Bambang Trisakti Penulis bernama Bambang Trisakti, lahir di Jakarta pada tanggal 1 Oktober 1972. Penulis menyelesaikan pendidikan pada bidang Natural Science di Universitas Okayama Jepang pada tahun 2002. Selanjutnya mulai tahun 2002 sampai sekarang, penulis aktif sebagai staf peneliti di Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Saat ini jabatan fungsional adalah peneliti Madya. Penulis telah melakukan kegiatan penelitian pemanfaatan data satelit inderaja untuk berbagai sektor, seperti sektor kehutanan, sumber daya air, pesisir dan lautan serta kebencanaan. Bidang yang diminati adalah image processing.
Analisis Prospek Panas Bumi dengan Landsat TM5 berbasis Fuzzy Logic (Studi Kasus Wilayah Gunung Endut, Provinsi Banten)
Faris Pramadhani, Rokhmatuloh, Supriatna
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
115
Analisis Prospek Panas Bumi dengan Landsat TM5 berbasis Fuzzy Logic (Studi KasusWilayah Gunung Endut, Provinsi Banten)
Faris Pramadhani, Rokhmatuloh, Supriatna Departemen Geografi, FMIPA Universitas Indonesia Kampus UI, Depok 16424 Email:
[email protected],
[email protected]
Abstrak Berdasarkan fisiografi Pulau Jawa (Bemmelen, 1949), Gunung Endut termasuk dalam jajaran zona gunungapi kuarter, di mana aktivitas vulkanisme dan magmatisme menandakan daerah ini merupakan daerah potensial panas bumi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lokasi sistem panas bumi di Gunung Endut berdasarkan kondisi fisik wilayah yang dikenali menggunakan data citra satelit Landsat TM-5 dan data-data geologi. Dalam penelitian ini, wilayah prospek panas bumi diintegrasi dalam sistem kepakaran mesin yaitu Fuzzy Logic. Model ini mengintegrasikan nilai variabel penciri kehadiran sistem panas bumi di permukaan, seperti struktur kelurusan, endapan hidrotermal dan satuan morfologi. Hasil penelitian menunjukan bahwa prospek panas bumi di Gunung Endut terletak di sebelah barat dari kerucut Gunung Endut itu sendiri dengan luas wilayah prospek sebesar 17,5 km2. Wilayah ini ditandai oleh kemunculan air panas Cikawah dan Handeleum serta bentukan morfologi sungai stream offset. Hasil penelitian memiliki keselarasan cukup baikdengan hasil delineasi pengukuran geofisika pada penelitian sebelumnya oleh Badan Geologi pada tahun 2006. Satuan morfologi merupakan variabel yang paling tinggi mempengaruhi hasil delineasi wilayah prospek, ditunjukkan oleh koefisien korelasi regresi sebesar 0,5. Berdasarkan delineasi prospek dan karakteristik fisik wilayahnya, Gunung Endut merupakan Lapangan Panas Bumi dengan Sistem Vulkano-Tektonik (kerucut vulkanik-graben). Kata kunci: Fuzzy Logic, Gunung Endut, panas bumi, penginderaan jauh,
Wayang Windu Abstract Based on physiographic of Java Island (Bemmelen, 1949), Mount Endut is included in the ranks of the volcanic zones quarter, where volcanism and magmatism indicate this area is a geothermal potential location. This study aims to determine the location of the geothermal system at Mount Endut based on the physical condition of the area which identified using Landsat TM-5 sattellite image and geological data. In this study, geothermal prospect areas were
116
Faris Pramadhani, dkk.
delineated using Fuzzy Logic engine system. This model integrates the value of the variable identifier for geothermal systems such as lienament structures, hydrothermal alteration and morphological units. The results showed that the geothermal prospects in Mount Endut located on the west of the Gunung Endut with the prospect of about 17.5 km2. This region is characterized by the appearance of hot water in Cikawah and Handeuleum river and streamoffset morpholgic feature. The results have a pretty good aggrement with the results of the delineation of geophysical measurements in previous studies by the Geological Survey in 2006. Morphological unit is the highest variable affecting outcome of prospect regions which indicated by the regression of correlation coefficient about 0.5. Based on physical characteristics of the region and the prospect area, Mount Endut is a Geothermal Field with Volcano-tectonic (volcanic cone-graben) system. Keywords: Fuzzy Logic, geothermal, Mount Endut, remote sensing, WayangWindu 1. PENDAHULUAN Energi panas bumi merupakan alternatif energi terbarukan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Di Indonesia, sebagian besar energi panas bumi yang telah dimanfaatkan selama ini merupakan energi yang diekstrak dari sistem konvektif hidrotermal. Namun, potensi panas bumi dari satu lapangan ke lapangan panas bumi lainnya tidak selalu sama. Lokasi sumber panas, sirkulasi fluida, dan jalur patahan sebagai komponen utama sistem panas bumi bergantung pula pada bagaimana karakteristik fisik wilayahnya. Dengan mengetahui keterkaitan antara sistem panas bumi dan karakteristik fisik suatu wilayah, dapat diketahui pula implikasinya terhadap potensi panas bumi yang muncul di wilayah tersebut (Utami Pri & Soetoto, 2001). Kehadiran struktur kedalaman lokal yang berkaitan dengan panas bumi dapat tercemin terhadap ekspresi struktur geologi di permukaan, seperti kelurusan – kelurusan topografi dan bentukan struktur melingkar. Di samping itu, sistem rekahan dan patahan di lapangan panas bumi sebagai media penetrasi fluida naik ke atas pada umumnya ditandai dengan deposit mineral di permukaan yang berhubungan dengan manifestasi dan gejala alterasi batuan (umumnya lempung). Data mengenai manifestasi ini dapat berguna dalam tahap prospeksi untuk mengenali dimana terdapat sistem panas bumi pada suatu wilayah (Saptadji, 2002). Kriteria geologi ataupun ekspresi gejala panas bumi di permukaan dapat diidentifikasi lewat aplikasi penginderaan jauh dan diintegrasikan menggunakan model SIG (Sistem Informasi Geografis). Penilaian permeabilitas batuan (patahan/rekahan) dalam suatu lapangan panas bumi dapat diukur menggunakan metode Fault and Fracture Density (Soengkono, 1999). Sementara kaitannya
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
117
dengan ciri panas bumi lain di permukaan, seperti batuan alterasi/endapan hidrotermal dapat dikenali lewat metode Defoliant Tehnique menggunakan sensor citra inframerah (Utami & Soetoto, 2001). Penelitian ini mengambil studi kasus yaitu Gunung Endut, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Daerah ini memiliki sejarah aktifitas vulkanisme pada zaman Kuarter. Kehadiran gunungapi kuarter di daerah penelitian adalah penanda bahwa daerah ini merupakan daerah potensial panas bumi(Saepulloh, 2012). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana aplikasi penginderaan jauh dan sistem Fuzzy Logic dapat memetakan prospek panas bumi di daerah penelitian dan mengetahui pengaruh karakteristik fisik wilayah terhadap potensi panas bumi di daerah penelitian. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Panas Bumi di Indonesia Posisi Kepulauan Indonesia yang terletak pada pertemuan antara tiga lempeng besar (Eurasia, Hindia–Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki tatanan tektonik yang kompleks. Subduksi antar lempeng benua dan samudra menghasilkan suatu proses peleburan magma dalam bentuk partial melting batuan mantel dan magma mengalami diferensiasi pada saat perjalanan ke permukaan. Proses tersebut membentuk kantong–kantong magma yang berperan dalam pembentukan jalur gunungapi yang dikenal sebagai lingkaran api (ring of fire). Munculnya rentetan gunung api Pasifik di sebagian wilayah Indonesia beserta aktivitas tektoniknya, dapat dijadikan sebagai model konseptual pembentukan sistem panas bumi di Indonesia (Kasbani, 2010). Berdasarkan kriteria tatanan geologinya, sistem panas bumi konvektif hidrotermal di Indonesia dibagi dalam 3 kategori utama (Badan Geologi, 2008, dalam Kasbani, 2010) : (a) Sistem Vulkanik. Sistem panas bumi vulkanik berasosiasi dengan aktifitas vulkanik kuarter. Fluida panas bumi pada sistem ini menerima panas dari intrusi magma dengan panas yang tertinggi (≤370oC) dibanding dengan tipe sistem panas bumi lainnya. (b) Sistem Vulkano – Tektonik. Sistem ini adalah sistem panas bumi yang berasosisasi antara struktur graben (tektonik) dan kerucut vulkanik, umumnya ditemukan di daerah Sumatera pada jalur sistem sesar sumatera (Sesar Semangko) dan memiliki reservoar menengah (50 – 100 MW) sampai tinggi (>100 MW). (c) Sistem Tektonik. Sistem panas bumi yang tidak berkaitan langsung dengan vulkanisme dan umumnya berada di luar jalur vulkanik Kuarter (Kasbani, 2010), dimana gaya tektonik menyebabkan regangan pada
118
Faris Pramadhani, dkk.
lapisan bumi dan menyebabkan material panas (heat source) dapat muncul di kedalaman dangkal (Ballard, 2000). 2.2
Geomorfologi Lapangan Panas Bumi Vulkanik
Studi geomorfologi pada suatu lapangan panas bumi umumnya mempunyai dua tujuan utama. Pertama, bermaksud mengorganisasikan secara sistematik pemerian bentang alam dalam suatu skema pengelompokan. Kedua, bermaksud untuk mengetahui penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dari pengelompokan, guna membuktikan adanya suatu perubahan dalam tata lingkungan bentang alam yang normal, untuk suatu tujuan dan sasaran yang ingin dicapai (Bloom, 1979., dalam Mardiana, 2007). Setidaknya terdapat dua bentukan menyimpang di lapangan vulkanik yang berhubungan dengan kepanasbumian, yaitu struktur melingkar yang menandakan adanya sector collapse atau deformasi vulkanik dan struktur kelurusan yang menandakan adanya pergeseran posisi batuan. 2.3
Peran Penginderaan Jauh dalam Eksplorasi Panas Bumi
Penginderaan jauh dapat membantu pemetaan geologi permukaan, khususnya dalam memetakan struktur geologi, daerah manifestasi panas, dan pelamparan batuan teralterasi (Utami dan Soetoto, 2001). Di samping dapat membantu menentukan strategi ground survey (baik geokimia maupun geofisika), dan membantu pemilihan lokasi pemboran eksplorasi. Struktur geologi perlu dipetakan dan diketahui karakteristiknya karena struktur tersebut mengontrol permeabilitas reservoar panas bumi (Soengkono, 1999). Foto udara banyak dipakai untuk membantu memetakan struktur geologi, seperti yang telah dilakukan di Taupo, Selandia Baru (Soengkono, 1999), dan Islandia Selatan (Khodayar et al., 2010). Saepulloh, et al (2010) menyebutkan bahwa citra ASTER yang memiliki resolusi spasial 15-30 m untuk band VNIR-SWIR dapat mengenali daerah panas bumi di Pulau Bacan, Maluku Utara. Mereka memetakan sebaran mineral kaolinite, illite dan alunite melalui metode Spectral Angle Mapper (SAM). Berikutnya, Wibowo (2006) melakukan pengenalan daerah panas bumi lewat pemetaan daerah alterasi lempung dan oksida besi di Jawa Barat menggunakan sensor citra Landsat TM. Hasilnya menunjukan adanya korelasi antara kejadian panas bumi dan sebaran alterasi di permukaan dalam jarak tertentu. 2.4
Fuzzy Logic
Konsep Fuzzy Logic diperkenalkan pertama kali oleh Wilkinson pada tahun 1963 dan Zadeh pada tahun 1965 (Zadeh, 1993). Konsep Fuzzy Logic merupakan pengembangan dari logika Boolean/Klasik, dimana logika Boolean menyatakan bahwa segala hal diekspresikan dalam istilah binari (seperti : 0 atau 1, hitam atau putih, ya atau tidak).
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
119
Fuzzy Linear merupakan salah satu fungsi dalam Fuzzy Logic yang hanya mentransformasikan nilai maksimum dan minimun dari input awal menjadi garis linear 0 sampai 1 (Gambar 1). Fuzzy Large merupakan fungsi yang mengubah nilai berurutan, yaitu semakin besar
maka nilai fuzzy mendekati 1. Sedangkan Fuzzy Small merupakan fungsi kebalikan dari fungsi Large. Gambar 1. Grafik Fungsi Fuzzy Linear (Zadeh, 1993)
2.5. Fisik Wilayah Gunung Endut Gunung Endut terletak di Kecamatan Lebakgedong, Ciparay, Leuwidamar, Sajira, Sobang dan Muncang, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Dimensi penelitian ini mencakup keseluruhan tubuh Gunung Endut menuju ke lereng barat. Dalam fisiografi skala regional, Gunung Endut berada pada jajaran pertemuan 3 Fisiografi, yaitu antara Zona Bogor, Punggungan dan Kubah dalam Zona Depresi dan Zona Gunungapi Kuarter, di mana merupakan perbukitan lipatan yang tersedimentasi dan terpatahkan di laut dalam pada zaman Tersier dan membentuk Antiklinorium kemudian tertindih oleh gunungapi kuarter yang lebih muda (Van Bemmelen, 1949). Ketinggian di Gunung Endut berkisar kurang lebih antara 70 sampai 1.500 mdpl. Berdasarkan klasifikasi Sandy (1985), wilayah ketinggian di Daerah Gunung Endut terbagi dalam 3 klasifikasi, yaitu wilayah pertengahan (>500 mdpl), wilayah pegunungan (500-1000 mdpl) dan wilayah pegunungan tinggi (10001500 mdpl).Kemiringan lereng bervariasi dengan kisaran antara 0 – 50 %. Daerah dengan kemiringan lereng curam (30 -50%) berada di bagian barat Gunung Endut dan sekeliling G. Pilar di barat laut daerah penelitian. Kemudian kemiringan lereng antara 0 - 15% dan 15 – 30% menempati sebagian besar daerah penelitian, terutama di bagian tengah dan selatan. Berdasarkan rujukan Peta Geologi Sistematik skala 1:50.000 hasil laporan Penyelidikan Terpadu PSDG (Kusnadi et al, 2006), Batuan di Daerah Gunung Endut dikelompokkan menjadi 12 satuan. Urutan dari tua ke muda adalah Formasi Badui (Tmd), Anggota Batugamping (Tmb), Anggota Batupasir (Tmbp), Dasit (Tda), Intrusi Andesit (Ta), Batuan Gunungapi Pra-Endut (Tve), Batuan
120
Faris Pramadhani, dkk.
Gunungapi Pilangranal (Tvp), Diorit (Td), Granodiorit (Tgr), Batuan Gunungapi Pilar (Qvpi), Batuan Gunungapi Endut (Qve) dan Aluvium (Qal).
Gunung Endut
Gambar 2. Fisiografi Jawa Barat dan Penampang Topografi Gunung Endut
3. METODOLOGI PENELITIAN Wilayah prospek panas bumi diukur dengan menyusun variabel-variabel penciri utama sistem panas bumi dalam satu model spasial Fuzzy Logic. Didalamnya meliputi tahap delineasi wilayah berdasarkan hasil integrasi variabel penciri sistem panas bumi, yaitu tingkat permeabilitas batuan, morfologi struktural dan sebaran batuan alterasi. Pengaruh karakteristik fisik terhadap potensi panas bumi di masing-masing daerah penelitian dikaji melalui konsep korelasi. Dua hal yang dikorelasikan adalah variabel fisik dengan area prospek panas bumi. Variabel fisik yang digunakan adalah struktur geologi, litologi dan geomorfologi. Dengan mengetahui keterkaitan keduanya, maka dapat diketahui variabel penciri yang paling mempengaruhi prospek panas bumi di masing-masing daerah penelitian. Secara garis besar, metodologi penelitian meliputi tahap pekerjaan, yang terdiri dari: 1) Pengumpulan dan pemasukkan data yang digunakan sebagai variabel. 2) Pembuatan model yang didasarkan pada studi empiris dan penentuan kriteria umum untuk mengenali gejala sistem panas bumi di masing-masing daerah penelitian. Termasuk validasi hasil model prediksi dengan data lapangan. 3) Korelasi antara potensi panas bumi dengan karakteristik fisik wilayah di masing-masing daerah penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dan peta Geologi Sistematik skala 1: 50.000, data DEM (Digital Elevation Model) yang di ektstrak
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
121
dari kontur Peta Rupa Bumi skala 1 : 25.000, data citra Landsat TM-5 tahun 1999, dan data ground truth diperoleh dari Laporan hasil penyelidikan terpadu panas bumi Gunung Endut milik Badan Geologi - Pusat Sumber Daya Geologi Bandung tahun 2006. Pengolahan data dilakukan melalui beberapa perangkat lunak pengolah citra satelit, data spasial, dan non-spasial diantaranya ENVI 4.7, Global Mapper 14.0, PCI Geomatica 12, dan ArcGIS 9.3. Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian antara lain : 1)
Morfologi bentukan asal struktural
antara lain : a) Morfologi Tapal Kuda (sector collapse), b) Kawah atau sisa kawah, berhubungan dengan eksplosi, c) Kaldera, d) Graben/Horst. Satuan morfologi diperoleh menggunakan analisis tumpang tindih peta. Data peta yang termasuk dalam parameter ini adalah bentuk medan dengan bentukan asal. Bentuk medan diperoleh dari penampalan peta ketinggian dan kemiringan lereng. Klasifikasi bentuk medan yang digunakan mengacu pada Dessaunets (1977). Sedangkan bentukan asal diperoleh melalui interpretasi data dan peta geologi. Data geologi meliputi informasi garis patahan/sesar, komposisi, umur, dan sebaran batuan penyusun. Peta klasifikasi satuan geomorfologi mengacu pada klasifikasi menurut Brahmantyo & Bandono (1999), yaitu berdasarkan pemerian bentukan asal, struktur, dan proses. 2)
Batuan Alterasi
Sebaran Batuan Alterasi merupakan parameter yang mewakili variabel Zona Pengaruh Proses Hidrotermal. Sebaran ini berhubungan dengan keberadaan Proses Hidrotermal di kedalaman. Karena pada kenyataannya, sirkulasi hidrotermal sering kali memunculkan batuan alterasi di permukaan akibat adanya pelamparan panas. Pengolahan sebaran alterasi dilakukan menggunakan metode Defoliant atau Directed Principal Component (DPC)Analysis. DPC di kalkulasi menggunakan syarat tertentu. Band rasio untuk objek kajian harus secara teoritis tinggi (yaitu, lebih besar dari 1) di salah satu input gambar lainnya dan secara teoritis rendah (yaitu, kurang dari 1) dalam gambar input lainnya. Hasil DPC yaitu berupa nilai hubungan dari input dua band rasio. Warna terang dan gelap dalam hasil luaran gambar menunjukkan ada tidaknya mineral lempung (clay). 3) Permeabilitas Batuan a.
Kerapatan Patahan dan Rekahan Patahan dan rekahan ditinjau dari kelurusan-kelurusan yang nampak sebagai struktur topografi (topographic lineament). Struktur topografi ini berhubungan dengan adanya pengsesaran dan perekahan batuan di kedalaman.
b.
Kerapatan Titik Perpotongan Struktur (Patahan dan Rekahan)
122
Faris Pramadhani, dkk.
Parameter ini menggambarkan zona bukaan struktur (jog) dari hasil perpotongan kelurusan yang memiliki anomali kerapatan tinggi sebagai media potensial bagi fluida panasbumi muncul ke permukaan. Titik Perpotongan Struktur ditarik dari struktur topografi yang berpotongan dengan patahan regional. Pengolahan struktur dilakukan melalui metode FFD, yang diperkenalkan oleh Soengkono pada tahun 1999. Tujuan dari analisis ini adalah untuk memperoleh densitas kelurusan. Selanjutnya dibuat peta kontur nilai densitas kelurusan yang diasumsikan bahwa pada densitas tinggi berasosiasi dengan pusat pergerakan fluida panas bumi atau zona permeabel. Untuk memperoleh wilayah prospek panas bumi pada masing-masing daerah penelitian dilakukan proses tumpang tindih peta yang menginformasikan derajat kehadiran variabel panas bumi dengan menggunakan model Fuzzy Logic. Proses ini menggabungkan variabel-variabel kriteria fisik wilayah dan manifestasi sebagai indikator panas bumi.Operator Fuzzy yang digunakan dalam analisis ini adalah operator Fuzzy Gamma dan Fuzzy SUM.
Gambar 3. Skema Pengolahan Model Fuzzy
Hasil wilayah prospek (predicitive) berdasarkan karakteristik fisik di verifikasi dengan jangkuan manifestasi, dimana menurut Saptadji (2002), lokasi panas bumi umumnya berjarak 3 km dari manifestasinya. Sehingga berdasarkan gabungan kriteria fisik wilayah dan manifestasi dapat didelineasi wilayah prospek panas bumi (predictive). Angka ~0 untuk wilayah non prospek dan > 0,7 untuk wilayah
123
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
prospek. Wilayah dengan nilai Fuzzy > 0,7 didasarkan pada batas nilai Gamma 0,7 yang digunakan dalam penelitian ini. Berikut ini adalah skema Fuzzy yang digunakan dalam tahap analisis wilayah prospek (Gambar 3). Untuk pengujian akurasi model Wilayah Prospek, dilakukan tahap validasi antara hasil Model Prediksi Fuzzy Logic dengan data Ground Truth, yaitu hasil delineasi pengukuran geofisika menggunakan analisis Kappa. Analisis Kappa dilakukan dengan menampalkan sampel pengukuran hasil pengukuran Fuzzy dengan pengukuran geofisika. Sampel diambil tiap grid dengan ukuran 1 x 1 km. Nilai Kappa akan menunjukkan tingkat keselarasan (aggrement) dan prosentase total akurasi dari kedua hasil pengukuran. Skema analisis wilayah prospek secara garis besar ditunjukkan dalam Gambar 4. Daerah Penelitian dan II GunungI Endut
Peta RBI
LANDSAT TM-5
DPC Ratio 2 gabungan PCA band SWIR/VNIR
Sebaran Alterasi Lempung
Manifestasi Upflow
Peta Geologi sistematik skala 1 : 100.000
FFD (Fault And Fracture Density)
Kerapatan Patahan dan Rekahan Perpotongan Struktur
Fuzzy Logic System
Wilayah Ketinggian dan Kemiringan Lereng
Bentuk Medan dan Pola Aliran Sungai
Overlay
Satuan Morfologi
Wilayah Prospek Panas Bumi
Gambar 4.
Stratigrafi Patahan Regional
Data Sekunder: Validasi Model Prospek Lokasi Sumur Eksisting Pengukuran MT Resistivity Lokasi Mata Airpanas
Skema Analisis Wilayah Prospek
124 4. 4.1 a.
Faris Pramadhani, dkk.
HASIL DAN PEMBAHASAN Geomorfologi Morfologi Gunungapi
Morfologi ini ditandai dengan bentukan medan pegunungan dimana ketinggiannya berada di atas bagian morfologi lain di sekitarnya. Pada daerah ini hanya terdapat satu morfologi puncak yang masih terlihat utuh sebagai kerucut gunung api, yaitu Puncak Gunung Endut (Gambar 5), ditandai dengan vegetasi lebat dan erosi kuat. Komposisi batuan adalah breksi dan lava Gunungapi Endut.
Gambar 5. Morfologi Gunung Endut
Bentuk aktivitas magma lainnya adalah Deretan Kubah Intrusi dengan berbagai komposisi, yaitu Andesit, Dasit, Granodiorit dan Diorit (mengandung kuarsa). Deretan Kubah Intrusi ini tersingkap di permukaan akibat terjadinya pengerosian intensif sedimen atau batuan vulkanik yang mengisi di atasnya. Dan akibat erosi tersebut, batuan di atas tertransportasi menjadi debris dan menyisakan batuan beku intrusi dangkal yang relatif lebih resisten terhadap erosi. Deretan Kubah Intrusi andesit berumur Miosen ini sekaligus menandakan bahwa terdapat pula gejala intrusi dangkal di dalam permukaan saat ini, yang mungkin masih mengalami proses pemanasan dari dapur magma (jika jalurnya belum terputus) dan menjadi sumber panas (heat source) bagi sistem panas bumi yang ada.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
125
b. Morfologi sesar Di Gunung Endut morfologi bentukan asal struktural yang terbentuk bersifat struktur kelurusan (sesar). Morfologi ini mengisi bagian tengah ke barat daya daerah penelitian. Bagian morfologi ini menandakan terjadinya deformasi struktural akibat pengsesaran (tektonisme). Anggota Unit Morfologi yang masuk dalam Gejala Patahan adalah Punggungan Struktural Pilar-Endut, Lembah Struktural Pilar-Endut, Gawir Sesar dan Kelurusan Struktur Sesar.
Gambar 6.
Horst/Graben Daerah Gunung Endut
4.2 Permeabilitas Batuan 4.2.1 Fault And Fracture Density ( FFD ) Dari modelling DEM, kemudian dilakukan transformasi menjadi mode Hillshade Image melalui delapan arah inklinasi cahaya berbeda, yaitu arah Timur (0°), Timur Laut (45°), Utara (90°), Barat Laut (135°), Barat (180°), Barat Daya (225°), Selatan (270°) dan Tenggara (315°). Delapan arah cahaya ini kemudian dibentuk menjadi 2 image berbeda menggunakan analisis overlay. Dari 2 tampilan hasil overlay tersebut, kemudian ditentukan image terbaik yang berhubungan dengan arah patahan utama setelah di analisis menggunakan tren Diagram Roset. Setelah mendapatkan image pilihan, kemudian dapat ditarik kelurusan-kelurusan yang diasumsikan merupakan struktur geologi lewat perbedaan kontras rona. Kelurusan-kelurusan inilah yang mengontrol tinggirendahnya kerapatan.
126
Faris Pramadhani, dkk.
Gambar 7. Hillshade image sudut inklinasi cahaya kelurusan
00, 450, 900, 1350dan ekstraksi
Penarikan kelurusan diekstrak menggunakan software PCI Geomatica menggunakan mode Automatice Line Extraction (ALE). Hasil tren arah menunjukan arah kelurusan permukaan signifikan dengan arah patahan utama di daerah penelitian, yaitu sesar mendatar berarah Barat Daya – Timur Laut. Struktur dominan berarah Barat Daya – Timur Laut merupakan struktur yang mengikuti Pola Meratus, dimana merupakan struktur awal penunjaman lempeng Samudra Indo-Australia ke bawah Paparan Sunda (Kusnadi et al, 2006).
Gambar 8. FFD Gunung Endut
127
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
Hasil FFD di Daerah Gunung Endut menunjukan nilai kerapatan dengan kisaran 0,5 – 7,4 km/km2. Sebaran nilai FFD tinggi terkonsentrasi di kaki barat Gunung Endut dan menjauh ke barat daya daerah penelitian mengikuti arah aliran sungai. Diasumsikan bahwa daerah nilai FFD > 5 km/km2 adalah zona patahan dan rekahan intensif. Dalam zona ini terdapat sesar mendatar (strike slip fault) yang ditandai dari kenampakan jaringan sungai yang mengalami pembelokan tegak lurus aliran asal/stream offset. 4.2.2
Kerapatan Titik Perpotongan Struktur
Di daerah Gunung Endut, titik lokasi perpotongan struktur berada di kaki Gunung Endut yang bentuk medannya relatif bergelombang landai sampai terjal, dengan nilai kerapatan sebesar 26/km2. Pada lokasi tertentu memperlihatkan bidang morfologi Graben dan Horst, dimana terdapat bidang sesar sejajar bertemu dengan sesar dari arah lain dan saling berpotongan membentuk sesar kompleks di zona tersebut.
Pusat Perpotongan Struktur
U
Gambar 9. Perpotongan Struktur Gunung endut
4.3 Sebaran Endapan Hidrotermal (Alterasi) Berdasarkan kolom respon spektral USGS library yang disebandingkan dengan panjang gelombang masing-masing saluran citra Landsat TM-5, didapatkan variasi kurva pantulan vegetasi dan lempung yang digunakan untuk masukan (loading) DPC. Dari rumus Defoliant, maka dua input rasio yang dipilih di masing-masing daerah penelitian adalah 4/5 dan 5/7. Pada rasio 4/5, nilai vegetasi secara teoritis akan tinggi sedangkan nilai lempung (kaolinit) akan rendah pada rasio tersebut. Pada rasio yang berbeda yaitu 5/7, nilai lempung (kaolinit) secara teoritis akan tinggi.
128
Faris Pramadhani, dkk.
Tabel 1. Statistik PCA alterasi lempung (clay) Eigen vector DPC 1 DPC 2
4/5 +0.397648 +0.917538
5/7 +0.917538 -0.397648
Eigenvalue 1.341606 0.106321
Eigenvalue (%) 92.65701931 7.342980689
Hasil komputasi statistik eigenvalue DPC menunjukkan nilai kontras negatif (0,397648) dan positif (+0,917538) serta eigenvalue sebesar 7,34 % pada loading DPC 2. Kondisi ini menjelaskan bahwa sebaran alterasi lempung dapat dikenali pada loading ini. Sebaran berada pada nilai negatif dan ditandai dengan rona gelap pada citra luaran (Gambar 10). Di daerah Gunung Endut, sebaran alterasi lempung berada di kaki kerucut Gunung Endut sebelah timur sampai timur laut mengikuti arah aliran sungai di lereng kerucut Endut.
Gambar 10. Citra loading DPC 2 menunjukan sebaran alterasi lempung dalam rona gelap
4.4 Wilayah Prospek Panas Bumi Operator Fuzzy yang digunakan dalam analisis ini adalah operator Fuzzy Gamma dan Fuzzy SUM. Berikut ini adalah gambar hasil tumpang susun data kriteria fisik yang telah difuzzifikasi (Gambar 11). Di Daerah Gunung Endut wilayah prospek terkonsentrasi di barat Daerah Penelitian dengan luas sebesar 17,57 km2. Relatif berada di barat dari kaki Gunung Endut mengisi sekitar aliran sungai Cikawah dan sungai Handeleum. Konsentrasi berikutnya nampak di utara kaki Gunung Endut. Terdapat pula dua kosentrasi tidak dominan di utara Gunung Barebangeun. Konsentrasi ini mengisi sekitar aliran sungai.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
129
Gambar 11. Fuzzy Sets Wilayah Prospek Panas Bumi, berturut-turut (A) FFD, (B) Perpotongan Struktur (C) Batuan Alterasi, dan (D) Morfologi bentukan asal struktural.
Gambar 12. Peta Wilayah Prospek Gunung Endut
Hasil Analisis Kappa memperlihatkan bahwa sebanyak 149 sampel kedua hasil pengukuran menunjukan keselarasan (agreement) dalam menyatakan titik nonprospek dari total 150 titik sampel non prospek hasil pengukuran Fuzzy. Kemudian sebanyak 7 sampel kedua hasil pengukuran menunjukan keselarasan
130
Faris Pramadhani, dkk.
(agreement) dalam menyatakan titik prospek dari total 19 titik sampel prospek hasil pengukuran Fuzzy. Tingkat akurasi keselarasan dari kedua pengukuran sebesar 64 % dan nilai Kappa termasuk dalam kelas cukup (0,484). Sehingga, berdasarkan hasil ekstraksi titik mata airpanas dan analisis Kappa, delineasi prospek panas bumi menggunakan model prediksi Fuzzy cukup akurat untuk dijadikan Wilayah Prospek Panas Bumi di Daerah Gunung Endut.
Gambar 13. Analisis Kappa Wilayah Prospek
Tabel 2. Hasil Analisis Kappa Fuzzy 0 1 Column Total Kappa Accuraccy (%)
MT Resistivity 0 1 149 1 12 7 161 8 0.484 90.0233
Row Total 150 19 169
Keterangan : 0 = Non Prospek; 1 = Prospek
Interpretasi keselarasan (Landies and Koch 1997, dalam Carranza 2002): Kappa <0,4 : buruk Kappa 0,6 – 0.75 : memuaskan Kappa 0,4 – 0,6 : cukup Kappa >0,75 : istimewa
4.5
Pengaruh Karakteristik Fisik Wilayah Terhadap Potensi Panas Bumi
Morfologi Graben dan Horst merupakan variabel yang paling mempengaruhi tingkat prospek panas bumi di daerah penelitian, dimana ditunjukkan oleh nilai koefisien regresi sebesar 0,5813 (Tabel 3).
131
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
Tabel 3. Korelasi Regresi Wilayah Prospek dengan variabel masukan Regression Statistics Multiple R 0.89637351 R Square 0.80348547 Adjusted R Square 0.799454402 Standard Error 0.175090806 Observations 200
Intercept FFD Perp. Struktur Morfologi Alterasi
Coefficients
Std. Error
t Stat
P-value
Lower 95%
Upper 95%
Lower 95,0%
Upper 95,0%
-0.428 0.0597
0.1136 0.0131
-3.769 4.5712
0.0002 0.0000
-0.6520 0.0339
-0.2041 0.0854
-0.6520 0.0339
-0.2041 0.0854
0.0054
0.0035
1.5375
0.1258
-0.0015
0.0123
-0.0015
0.0123
0.5813 0.2800
0.0337 0.1232
17.271 2.2722
0.0000 0.0242
0.5150 0.0370
0.6477 0.5230
0.5150 0.0370
0.6477 0.5230
Sumber panas bumi di Daerah Gunung Endut saat ini berasal dari intrusi batuan beku 500 m dari bawah permukaan yang ditandai dengan anomali tahanan jenis tinggi (Kusnadi et al, 2006). Intrusi tersebut ditandai pula dengan adanya kawasan perbukitan dan kubah Intrusi Batuan Beku di selatan daerah penelitian. Jika kubah dan perbukitan ini terbentuk pada zaman tersier, maka telah terjadi perlipatan yang sangat kuat hingga tersingkapnya morfologi tersebut saat ini. Perlipatan yang sangat kuat ini telah didiskusikan pula oleh Van Bemmelen (1949) pada pembagian Zona Fisiografi Jawa Bagian Barat, dimana Daerah Gunung Endut termasuk dalam Zona pertemuan Antiklinorium Bogor, Kubah Bayah dan Zona Gunungapi Kuarter Jawa. Gaya perlipatan yang sangat kuat di mana melebihi tingkat elastistas batuan menimbulkan ketidakseimbangan posisi batuan yang berujung pada aktivitas pengsesaran atau morfologi bentukan struktural saat ini. Di Daerah Gunung Endut, kelurusan struktur di dominasi oleh tren berarah barat daya – timur laut dan barat laut - tenggara. Sesar mendatar barat daya – timur laut ini mengontrol pemunculan morfologi Graben dan Mata Airpanas Cikawah. Di sisi lain, inflasi atau deflasi vulkanisme Gunungapi Endut pada kala Pleistosen menyebabkan sesar di barat daerah penelitian semakin kompleks dan membentuk reservoar panas bumi saat ini. Adanya perselingan morfologi kerucut Gunungapi kuarter dan morfolgi Graben berbatuan Tersier-Kuarter ini mendukung keberadaan sesar kompleks disana, dimana terjadi potong-memotong antara sesar lama berarah Barat Daya – Timur Laut dengan sesar baru berarah Barat Laut – Tenggara. Maka, berdasarkan karakteristik fisik wilayah dengan kondisi suhu reservoar kelas sedang (18002200C) dan potensi sedang (50 – 100 MWe), Lapangan Panasbumi Gunung Endut merupakan lapangan dengan Sistem Vulkano-Tektonik atau Kerucut VulkanikGraben.
132
Faris Pramadhani, dkk.
Gambar 14.
Model Konseptual Sederhana Sistem Panasbumi Vulkano-Tektonik (Kerucut Vulkanik-Graben) Gunung Endut
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan
Wilayah prospek panas bumi di Gunung Endut dapat dikenali menggunakan kompilasi data-data penginderaan jauh dan geologi. Potensi tersebut berada di luar kerucut Gunung Endut, yaitu berada di sekitar aliran Sungai Cikawah dan Handeuleum dengan luas 17,57 km2. Analisis Kappa menunjukkan wilayah prospek hasil penelitian memiliki tingkat keselarasaan yang cukup baik (0,484) setelah disebandingkan dengan data pengukuran geofisika. Morfologi bentukan asal struktural merupakan variabel yang paling mempengaruhi nilai prospek panas bumi dalam sistem Fuzzy, di mana berdasarkan korelasi regresi berganda, koefisien morfologi berada pada nilai tertinggi, yaitu 0,5813. Tingginya pengaruh morfologi dalam delineasi prospek dipengaruhi oleh pola keruangan yang cenderung in-situ dalam satu luasan ruang yang tinggi dan mengelompok (clustered). Sedangkan FFD, perpotongan struktur dan batuan alterasi cenderung tinggi dalam ruang yang acak (random), meskipun berkontribusi dalam tingginya nilai Fuzzy dalam wilayah prospek. 5.2
Saran
Selain untuk kebutuhan analisis karakteristik fisik wilayah pada tahap eksplorasi panas bumi, aplikasi penginderaan jauh dapat pula digunakan untuk membantu mengidentifikasi anomali suhu permukaan yang berkaitan dengan kehadiran manifestasi permukaan seperti fumarole, kolam lumpur, kawah atau mata air
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
133
panas. Namun aplikasi ini membutuhkan perangkat sensor termal dengan resolusi spasial dan spektral yang detail. Karena sampai saat ini, sensor termal LANDSAT TM yang memiliki resolusi spasial 90 m x 90 m belum cukup membantu dalam pemetaan sebaran anomali panas tersebut. Delineasi alterasi lempung (clay) dengan teknik penginderaan jauh, akan lebih baik menggunakan citra ASTER jika dibandingkan dengan citra LANDSAT TM, karena citra ASTER memiliki jumlah salurannya yang lebih banyak dibandingkan LANDSAT Thematic Mapper sehingga lebih peka terhadap refleksi lempung. Data hasil identifikasi penginderaan jauh, geokimia dan pendekatan alat lapangan seperti MT Resistivity, Gravity, dll dapat dikolaborasi menggunakan Metode Fuzzy Logic untuk memantapkan penentuan lokasi titik bor di daerah-daerah yang terindikasi memiliki potensi dan sistem panas bumi. DAFTAR REFERENSI Badan Standardisasi Nasional. (1999). Klasifikasi Potensi Energi Panas Bumi di Indonesia. Ballard, D., Robert. (Ed.). (2000). Encyclopedia of Volcanoes. New York: Academic Press. Badan Geologi Kementrian ESDM. (2006). Peta Kompilasi Daerah Panas Bumi Gunung Endut Kabupaten Lebak Banten. http://pertambangan-geologi.blogspot.com Bemmelen, R.W., van. (1949). The Geology of Indonesia (Vol 2). The Hague. Bogie, I., Shanti, R.A.S, & Dwiyogarani, M. (2010). Volcanic Landforms that Mark the Successfully Developed Geothermal Systems of Java, Indonesia Identified from ASTER Satellite Imagery. Proceedings World Geothermal Congress, Bali. Brahmantyo, B., & Bandono. (1999). Geomorpholigical Information in Spatial Planning of Indonesia Region. Proceedings of Indonesian Association of Geologist, Jakarta. Bronto, S. (2010). Geologi Gunungapi Purba. Bandung: Badan Geologi ESDM. Carranza, E.J.M. (2002). Geologically-Constrained Fuzzy Mineral Potential Mapping, Examples from the Philippines. ITC Publication No. 86. Giggenbach, W.F. (1988). Chemical Techniques in Geothermal Exploration. New Zealand: Chemistry Division, DSIR, Private Bag. Gupta, H., dan Sukanta, R. (2007). Geothermal Energy: An Alternative Resource For The 21st Century. United Kingdom: Oxford. Kasbani. (2010). Tipe Sistem Panas Bumi di Indonesia dan Estimasi Potensi Energinya. Bandung: Badan Geologi, ESDM. Khodayar, M., Sveinbjorn, B., & Hjalti, F. (2010). Effect of Tectonics and Earthquakes on Geothermal Activity Near Plate Boundaries: A Case Study From South Iceland, Journal Geothermics, 39, 207-219. Elsevier. http://www.sciencedirect.com Kusnadi, D., Alanda, I., Yuanno, R., Suhanto, & Edi, S. (2006). Penyelidikan Terpadu Panasbumi Daerah Gunung Endut Kabupaten Lebak, Banten. Prosiding Pemaparan Hasil Kegiatan lapangan dan Non Lapangan, Pusat Sumber Daya Geologi, Bandung.
134
Faris Pramadhani, dkk.
Mardiana, U. (2007). Manifestasi Panasbumi Berdasarkan Nilai Tahanan Jenis Batuan : Studi Kasus Gunung Papandayan, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat. Laboratorium Geofisika, Universitas Padjadjaran, Bandung. Noor, D. (2012). Pengantar Geologi. Universitas Pakuan, Fakultas Teknik. Pannekoek, A.J. (1989). Garis Besar Geomorfologi Pulau Jawa. Pusat Sumber Daya Geologi. (2006). Data Analisis Contoh Air Geokimia Daerah Panas Bumi G. Endut, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. (Tidak dipublikasikan). Saepulloh, A., Minoru, U., Prihadi, S., & Suryantini. (2012). Spatial Priority Assesment of Geothermal Potentials Using Multi-sensor Remote Sensing Data and Applications. Proceedings Geothermal Workshop ITB, Bandung. Saptadji, N.M. (2002). Teknik Panasbumi. Bandung: Departemen Teknik PerminyakanInstitut Teknologi Bandung. Soengkono, S. (1999). Assessment of Faults and Fractures at The Mokai Geothermal Field, Taupo Volcanic Zone, New Zealand. Auckland, Geothermal Institute. Sugiono, S.R.A., & Ali, A.R. (2012). Fault and Fracture Assessment at Wayang-Windu Geothermal Field, Indonesia. Proceedings 1st ITB Geothermal Workshop, Institut Teknologi Bandung. U.S. Department of Energy. (2010). Exploration 1976 – 2006 : A History of Geothermal Energy Research and Development in the United States. Geothermal Technologies Program. Utami, Pri., & Soetoto. (2001). Peran Citra Penginderaan Jauh Dalam Pengembangan Sumberdaya Panasbumi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Wibowo, H. (2006). Spatial Data Analysis and Integration for Regional-Scale Geothermal Prospectivity Mapping, West Java, Indonesia. Msc Thesis. International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation, Enschede, The Netherlands. Zadeh, L.A. (1993). Fuzzy sets Information Control. California: University of California, Department of Electrical Engineering.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
135
BIOGRAFI PENULIS Faris Pramadhani Faris Pramadhani lahir di Cirebon pada 19 Februari 1992. Penulis memiliki minat khusus dalam dunia GIS dan Remote Sensing sejak duduk di semester 3 di pendidikan tinggi Universitas Indonesia dan menuntaskan gelar sarjana sains pada bidang Geografi pada Januari 2014. Penulis pernah duduk sebagai GIS support analyst untuk memetakan Banjir Jakarta pada tahun 2013 bersama World Bank dan BPBD Jakarta. Menjadi salah satu mahasiswa peneliti dalam bidang tehnologi rekayasa yang diadakan DIKTI tahun 2013 untuk judul "Aplikasi DInSAR untuk Mendeteksi Land Subsidence di Kota Surabaya" dan "ALOS PALSAR D-InSAR untuk Estimasi Volume Material Vulkanik Akibat Letusan Gunung Semeru 2006 – 2009. Sampai saat ini, penulis aktif menjadi pembicara dan intruktur dalam berbagai pelatihan GIS dan Remote Sensing. Rokhmatuloh Rokhmatuloh dilahirkan di Tangerang, Baten pada tahun 1971. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana di bidang Geografi di Universitas Indonesia tahun 1996, Ia memulai karirnya sebagai dosen di Departemen Geografi dalam bidang penginderaan jauh dan interpretasi foto udara. Setelah enam tahun mengajar, ia memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studinya di Universitas Chiba, melalui dukungan Monbukagakusho, Jepang. Selama studinya ini ia bergabung dengan Center of Environmental Remote Sensing (CEReS), serta aktif berpartisipasi dalam konferensi lokal dan internasional. Kemudian gelar Ph.D juga diperolehnya dari universitas yang sama. Riset yang dilakukannya meliputi radar speckle noise filtering, percent tree cover and global land cover mapping, dan ground truth selection. Saat ini Rokhmatuloh aktif sebagai pengajar khususnya di bidang aplikasi penginderaan jauh dan SIG untuk mitigasi bencana, pengembangan daerah, managemen lingkungan, dan interpretasi citra digital.
136
Faris Pramadhani, dkk.
Supriatna Supriatna lahir di Sukabumi, pada 14 Maret 1967. ia menyelesaikan program sarjana dari Departemen Geografi, Fakultas MIPA, Universitas Indonesia pada tahun 1992, dan memperoleh gelar Master dari Program Sistem Informasi Spasial-Geodesi, FTSP, Institut Teknologi Bandung enam tahun kemudian. Selain itu, berbagai program tambahan juga diikutinya, seperti GIS course with software Caris, oleh PT Mitra Teknokorpora pada tahun 1993, Remote Sensing course and GIS in Land resources evaluation, di Fakultas Geografi, UGM, pada 1994-1995, dan juga GIS course with software Genasis, oleh PT. Multimatra Prakarsa pada 1995. Berbagai riset ilmiah telah dipublikasikan, seperti "Kualitas Air Tanah di Desa Sukmajaya, Depok" hasil kerja sama dengan pusat riset UI dan Senat Fakultas MIPA UI, dan riset berjudul "Kualitas Lingkungan di Grogol Petamburan" dengan Kelompok Studi Geografi (KSG), Fakultas MIPA, UI pada tahun 1989, serta riset seputar konservasi magrove di Kawasan Pantai Paojepe, Siwa, Kab. Wajo, Sulawesi Selatan pada 1999 yang merupakan riset hasil kerja sama dengan Antropologi, FISIP-UI, Biologi LIPI, Demografi, FE-UI, dan Geografi, FMIPAUI. Supriatna juga bergabung dengan berbagai organisasi seperti Ikatan Geografi Indonesia (IGI), Asosiasi Kartografi Indonesia (AKI), dand Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN). Saat ini ia aktif sebagai pengajar di bidang Kartografi Digital dan SIG, dan juga menjabat sebagai Wakil Dekan Fakultas MIPA, UI.
Karakterisasi Permukaan Tanah di Wilayah Karst Kecamatan Cipatat Menggunakan Data SAR
Dimas Ade Prasetyo, Ketut Wikantika, Asep Saepuloh
138
Dimas Ade Prasetyo, dkk.
Karakterisasi Permukaan Tanah di Wilayah Karst Kecamatan Cipatat Menggunakan Data SAR
Dimas Ade Prasetyo1, Ketut Wikantika2, Asep Saepuloh3 1 Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika, Institut Teknologi Bandung 2 Kelompok Keilmuan Penginderaan Jauh dan Sains Informasi Geografis, Institut Teknologi Bandung 3 Program Studi Teknik Geologi, Institut Teknologi Bandung Email :
[email protected]
Abstrak Daerah karst merupakan daerah gamping yang memiliki manfaat di berbagai aspek kehidupan sehingga adanya informasi mengenai permukaan tanah di wilayah karst tersebut sudah merupakan suatu keharusan. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan karakterisisasi permukaan tanah di wilayah karst Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Dengan adanya teknologi penginderaan jauh, proses karakterisasi tersebut menjadi lebih cepat dan dapat menghemat biaya survei geologi. Metode yang dilakukan adalah dengan mengklasifikasikan citra fusi dan citra kerapatan kelurusan di Kecamatan Cipatat dengan menggunakan metode region growing. Citra kerapatan kelurusan didapat dari hasil penarikan kelurusan (linear features) pada dua frame citra ALOS PALSAR dengan mode ascending dan descending, sedangkan citra fusi Kecamatan Cipatat merupakan penggabungan dari 2 band data ALOS AVNIR-2 dengan 1 band data ALOS PALSAR polarimetric. Dengan metode region growing, maka akan dihasilkan zona-zona karakteristik permukaan tanah di wilayah karst Kecamatan Cipatat. Kata Kunci : Karst, Karakterisasi, Permukaan Tanah, Kerapatan Kelurusan, Citra Fusi, AVNIR-2, ALOS, Metode Region Growing.
Abstract Karst area are limestone areas which can be used for various benefits hence knowledge upon land surface of karst area is a necessity. The purpose of this research is to characterize land surface of karst area in Cipatat Subdistrict in the western Bandung District. The time and cost spent in geological surveys when characterizing the karst area can be reduced with the technology of remote sensing. The method used in this research is by classifying fusion image and linear features density image of Cipatat Subdistrict using region growing method classification. Linear features density image were obtained from linear features of two frame images of ALOS PALSAR ascending and descending mode, while the fusion images of Cipatat Subdistrict were joint images from double band data ALOS AVNIR-2 with single band data ALOS PALSAR polarimetric. The result of
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
139
the region grown method classification are shown as different class characteristics of land surface of the Cipatat Subdistrict. Keywords : Karst, Characterization, Land Surface, Linear Features Density, Fusion Image, AVNIR-2, ALOS, Region Growing Method. 1.
PENDAHULUAN
Wilayah karst merupakan wilayah gamping yang telah mengalami proses pelarutan dengan ciri-ciri berupa perbukitan gersang, kering, panas, dan berwarna putih (Ford dan Williams, 1989). Salah satu daerah yang memiliki wilayah karst luas di Pulau Jawa ini adalah Kecamatan Cipatat. Keberadaan karst di Kecamatan Cipatat merupakan suatu keuntungan tersendiri karena memiliki nilai strategis dan ekonomis, antara lain sebagai sumber air bagi penduduk, bahan baku semen, bahan baku pestisida, dan lain-lain. Oleh karena itu, adanya informasi karateristik mengenai permukaan tanah di wilayah karst ini sudah semestinya menjadi suatu keharusan. Karakterisasi permukaan tanah sebenarnya dapat dilakukan langsung di lapangan dengan survei geologi. Namun, pada kenyataannya kegiatan survei geologi membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang banyak. Dengan adanya teknologi penginderaan jauh, seperti data SAR (Synthetic Aperture Radar) ini sangat membantu dalam proses karakterisasi permukaan tanah. Penginderaan jauh memberikan informasi mengenai suatu objek di permukaan bumi tanpa harus mendekati secara langsung objek tersebut. 2.
WILAYAH STUDI
Gambar 1. Wilayah Studi
140
Dimas Ade Prasetyo, dkk.
Wilayah studi pada penelitian ini adalah Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Kecamatan Cipatat memiliki 12 kelurahan. Kecamatan Cipatat merupakan wilayah karst karena sebagian besar wilayahnya berupa perbukitan gersang, kering, panas, dan berwarna putih. Wilayah Kecamatan Cipatat dapat dilihat pada Gambar 1. 3.
METODE PENELITIAN
Secara umum, metode penelitian yang dilakukan pada penelitian ini ditunjukkan oleh gambar 2.
Gambar 2. Metode Penelitian
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
141
3.1 Data Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data SAR (Synthetic Aperture Radar) yang merupakan hasil akuisisi satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite) dari sensor PALSAR (Phase Array type L-band Synthetic Aperture Radar), yaitu berupa 1 frame citra hasil akuisisi mode ascending pada tanggal 9 September 2010 dan 1 frame citra hasil akuisisi mode descending pada tanggal 5 Januari 2011. Citra ascending dan descending yang digunakan ditunjukkan oleh gambar 3.
Gambar 3. Citra Ascending (kiri) dan Citra Descending (kanan)
Data lain yang digunakan adalah citra fusi Kecamatan Cipatat. Citra fusi ini merupakan hasil penggabungan antara data citra optis dan data citra SAR. Citra fusi ini terdiri dari 3 band, dengan komposisi 2 band dari citra ALOS AVNIR-2 dan 1 band dari citra ALOS PALSAR polarimetric (Marcella, 2013). Citra fusi Kecamatan Cipatat ditunjukkan oleh gambar 4. Selain itu, juga digunakan peta Peta Geologi Lembah Cianjur, Jawa, karya Sudjatmiko tahun 1972. Peta geologi menampilkan sumber informasi dasar dari jenis-jenis batuan (litologi), ketebalan, kedudukan satuan batuan (jurus dan kemiringan), susunan atau urutan satuan batuan, struktur sesar, perlipatan dan kekar serta proses-proses yang pernah terjadi di daerah ini. Peta Geologi Lembah Cianjur ditunjukkan oleh gambar 5.
142
Dimas Ade Prasetyo, dkk.
Gambar 4. Citra Fusi Kecamatan Cipatat (Marcella, 2013)
Gambar 5. Wilayah Kecamatan Cipatat pada Peta Geologi Lembah Cianjur, Jawa
3.2 Metode 3.2.1 Pra-pengolahan Citra Tahap pra-pengolahan yang dilakukan meliputi koreksi geometrik, speckle noise filtering, dan pemotongan citra (masking). Koreksi geometrik dilakukan agar citra ALOS PALSAR ascending dan descending memiliki datum dan sistem proyeksi peta yang sama dengan citra fusi Kecamatan Cipatat (Marcella, 2013). Metode
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
143
yang digunakan adalah image registration (image to image) menggunakan titik kontrol tanah atau GCP (Ground Control Point) sebanyak 10 titik dan titik ICP (Independent Check Point) sebanyak 5 titik pada masing-masing citra ascending dan descending. Dari proses image registration yang dilakukan, didapatkan nilai RMSE dari GCP pada citra ascending sebesar 0,121197 pixel dan pada citra descending sebesar 0,164934 pixel. Sedangkan nilai RMSE dari ICP pada citra ascending sebesar 0,147894 pixel dan pada citra descending sebesar 0,221719 pixel.l. Dari nilai RMSE yang didapatkan, maka koreksi geometrik metode image registration yang dilakukan telah memenuhi persyaratan standar kesalahan yaitu di bawah 0.5 pixel (Ekadinata, 2013). Proses speckel noise filtering dilakukan dengan untuk mengurangi kesalahankesalahan yang timbul akibat gangguan pada saat pengambilan citra karena gangguan-gangguan tersebut mempengaruhi kenampakan pada citra sebagai piksel yang terang atau gelap (Ragajaya, 2012). Metode yang dipakai adalah adaptive filters bit errors dengan filter size 3x3, sigma factor 3, dan tolerance 5. Setelah proses filtering, citra terlihat lebih halus karena speckle noise telah berkurang. Setelah melewati proses koreksi geometrik dan speckel noise filtering, maka akan didapat citra yang telah terkoreksi. Tahap selanjutnya adalah pemotongan citra (masking). Pemotongan citra (masking) dilakukan dengan menampalkan (overlay) citra dengan batas administrasi Kecamatan Cipatat. Hasil akhir dari proses pra-pengolahan data ditunjukkan oleh gambar 6.
Gambar 6. Hasil Akhir Tahap Pra-Pengolahan Data. Citra Ascending (kiri) dan Citra Descending (kanan)
3.2.2 Penarikan Kelurusan (Linear Features) Kelurusan berkaitan dengan fenomena yang bersifat linear pada suatu obyek permukaan bumi. Fenomena kelurusan merupakan refleksi bidang
144
Dimas Ade Prasetyo, dkk.
ketidakmenerusan pada batuan, seperti rekahan, kekar, dan sesar (Singhal dan Gupta, 1999). Kelurusan morfologi yang tampak pada citra dapat terlihat pada beberapa kenampakan, seperti pada jalur pegunungan, dataran, deretan gunung api, sungaisungai, memanjangnya tepi danau, garis pantai, palung, dan sebagainya (Modul Kuliah Geomorfologi). Semua kelurusan yang tampak pada citra ascending dan descending tersebut kemudian ditarik kelurusannya seperti yang ditunjukkan oleh gambar 7 dan 8.
Gambar 7. Kelurusan pada Citra Ascending Ditandai dengan Garis Merah
Gambar 8. Kelurusan pada Citra Descending Ditandai dengan Garis Kuning
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
145
Dari citra ascending dan descending di atas, jumlah kelurusan yang dapat ditarik adalah sebanyak 978 kelurusan. Persebaran posisi kelurusan dari kedua citra tersebut ditunjukkan oleh gambar 9.
Gambar 9. Posisi Persebaran Kelurusan. Kelurusan pada Citra Ascending (Merah) dan pada Citra Descending (Kuning)
Sebanyak 978 kelurusan yang sudah ditarik (gambar 10 kiri), kemudian diukur arahnya dengan cara menghimpitkan titik pusat masing-masing kelurusan pada titik pusat lingkaran diagram mawar (gambar 10 kanan). Setelah titik pusat kelurusan dan titik pusat lingkaran diagram mawar berhimpit, maka akan dapat terlihat arah atau jurus suatu kelurusan.
Gambar 10. Persebaran Posisi Kelurusan (kiri) dan Lingkaran Diagram Mawar (kanan)
146
Dimas Ade Prasetyo, dkk.
Setelah semua kelurusan diketahui arahnya, kemudian dibuat diagram mawar kelurusan Kecamatan Cipatat. Diagram mawar kelurusan Kecamatan Cipatat ditunjukkan pada gambar 11.
Gambar 11. Diagram Mawar Kelurusan Kecamatan Cipatat. Arah Umum Kelurusan Ditunjukkan oleh Garis Berwarna Merah
Dari diagram mawar di atas, dapat dilihat bahwa arah umum kelurusan di wilayah Kecamatan Cipatat berada pada rentang 1°-10° atau 181°-190° dan rentang 151°160° atau 331°-340° karena kedua rentang sudut tersebut memiliki frekuensi paling besar. 3.2.3 Pembuatan Citra Kerapatan Kelurusan (Linear Features Density Image) Setelah mengukur arah umum kelurusan, maka tahap selanjutnya adalah menghitung kerapatan kelurusan. Penghitungan kerapatan kelurusan ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi dan pola penyebaran kelurusan-kelurusan morfologi (Kim, 2003). Penghitungan kerapatan kelurusan dimulai dengan pembuatan grid pada daerah penelitian dengan interval yang tetap. Pada penelitian ini, ukuran grid yang digunakan sebesar 10x10, sehingga akan menghasilkan 100 kotak kecil yang memiliki luas yang sama. Grid yang dimaksud ditunjukkan pada gambar 12. Dalam penghitungan kerapatan kelurusan ini, penulis mencetak grid kelurusan dengan panjang 206 milimeter dan lebar 184 milimeter pada kertas. Dengan demikian, maka tiap 1 kotak kecil pada grid akan memiliki panjang 20,6 milimeter dan lebar 18,4 milimeter. Luas tiap 1 kotak kecil pada grid adalah 379,04 milimeter².
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
147
Gambar 12. Grid Kelurusan
Selanjutnya akan dilakukan penghitungan nilai % kerapatan kelurusan (% D) pada setiap kotak kecil pada grid. Untuk menghitung nilai % kerapatan kelurusan tersebut digunakan rumus sebagai berikut (Saepuloh et al., 2013 ): 𝑃
% 𝐷 = 𝐿 𝑥 100 %
(1)
Dimana, % D = % kerapatan kelurusan 1 kotak kecil pada grid P = Jumlah panjang kelurusan dalam 1 kotak grid (satuan milimeter) L = Luas 1 kotak grid (= 379,04 milimeter²) Dari rumus di atas, maka akan didapatkan nilai % kerapatan kelurusan setiap kotak kecil pada grid. Nilai % kerapatan kelurusan yang didapat memiliki rentang antara 0 - 43,121693 seperti yang ditunjukkan oleh tabel 1. Tabel 1. Nilai % Kerapatan Kelurusan pada Grid
148
Dimas Ade Prasetyo, dkk.
Nilai % kerapatan kelurusan di atas kemudian disimpan ke dalam format ASCII (*.txt) sehingga setiap pixel akan akan menyimpan satu nilai % kerapatan kelurusan. Setelah itu, akan ditampilkan sebagai citra kerapatan kelurusan. Pada tahap pengolahan selanjutnya, citra kerapatan kelurusan akan digabungkan (layer stacking) dengan citra fusi Kecamatan Cipatat (Marcella, 2013). Oleh karena itu, header dari citra kerapatan kelurusan ini harus disamakan dengan header dari citra fusi Kecamatan Cipatat terlebih dahulu.
Gambar 13. Citra Kerapatan Kelurusan
Citra kerapatan kelurusan memiliki 1 band tunggal (grayscale). Rentang nilai dalam band ini juga sudah normal karena sudah sesuai dengan rentang nilai kerapatan kelurusan yang sebenarnya, yaitu antara 0 – 43,121693. 3.2.4 Penggabungan Band (Layer Stacking) Penggabungan band (layer stacking) merupakan tahap menggabungkan dua data citra yang sudah memiliki datum dan sistem koordinat yang sama. Pada penelitian ini, layer stacking dilakukan dengan menggabungkan band dari citra kerapatan kelurusan dengan band dari citra fusi Kecamatan Cipatat (Marcella, 2013). Hasil dari tahap layer stacking akan menghasilkan citra fusi Kecamatan Cipatat terbaru yang terdiri dari 4 band, yaitu 2 band ALOS AVNIR-2, 1 band ALOS PALSAR polarimetric, dan 1 band kerapatan kelurusan. 2 band dari citra optis ALOS AVNIR-2 dan 1 band dari citra ALOS PALSAR polarimetric Karena dalam citra fusi Kecamatan Cipatat terdapat 4 band, maka perlu dilakukan pengaturan komposisi band terlebih dahulu, sehingga akan menghasilkan 3 band RGB citra fusi Kecamatan Cipatat dengan komposisi sabagai berikut:
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
149
1. R-band adalah gabungan dari 2 band dari citra ALOS AVNIR-2 (R+G band ALOS AVNIR-2). 2. G-band adalah 1 band dari citra ALOS PALSAR polarimetric (B-band ALOS PALSAR polarimetric. 3. B-band adalah 1 band dari citra kerapatan kelurusan. Citra fusi Kecamatan Cipatat hasil dari tahap penggabungan band (layer stacking) dan pengaturan komposisi band ditunjukkan oleh gambar 13.
Gambar 13. Citra Fusi Kecamatan Cipatat Hasil Layer Stacking
Citra fusi Kecamatan Cipatat hasil layer stacking memiliki rentang nilai band yang bervariasi. Untuk nilai R-band adalah 0 - 255, nilai G-band adalah 0 - 255, dan nilai B-band adalah 0 - 43,121693. 3.2.5 Klasifikasi Citra Fusi Pada citra penginderaan jauh, nilai respon spektral yang didapat akan sangat beragam. Hal ini dapat dilihat dari beragamnya nilai piksel pada tiap band citra sehingga dibutuhkan metode yang dapat memudahkan untuk menganalisis dan menginterpretasikan citra. Pada umumnya, klasifikasi citra satelit digunakan untuk mendapatkan informasi karakteristik permukaan tanah dengan menerapkan algoritma klasifikasi. Pada penelitian ini, klasifikasi dilakukan dengan cara membuat zona-zona pada citra fusi Kecamatan Cipatat. Pembuatan zona ini dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama adalah pembuatan zona secara manual berdasarkan kenampakan visual, yaitu pembuatan zona dilakukan berdasarkan penglihatan mata. Parameter yang digunakan adalah warna (rona) atau nilai kecerahan pada setiap piksel citra fusi Kecamatan Cipatat. Dengan proses tahap pertama ini, penulis dapat membagi citra fusi Kecamatan Cipatat menjadi 7 zona seperti yang terlihat pada gambar 14.
150
Dimas Ade Prasetyo, dkk.
Gambar 14. Citra Fusi Kecamatan Cipatat (7 Zona) Hasil Layer Stacking
Tahap kedua adalah pembuatan zona dengan menggunakan metode region growing. Region growing merupakan salah satu metode sederhana dalam proses segmentasi citra yang berdasarkan region. Prinsip metode region growing ini mulanya ialah penentuan sekumpulan seed point. Kemudian diinisialisasikan suatu region awal dari seed tersebut. Region ini akan terus berkembang dari seed point menjadi point-point yang saling berdekatan tergantung pada kriteria yang dibuat seperti yang ditunjukkan oleh gambar 15.
Gambar 15. Ilustrasi Metode Region Growing
Dalam penelitian ini, kriteria yang dibuat untuk membatasi perkembangan region adalah dengan batas zona yang sudah dibuat berdasarkan pembuatan zona secara visual seperti yang ditunjukkan oleh gambar 16.
Gambar 16. Contoh Proses Perkembangan Seed Point Sesuai dengan Batas Zona
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
4.
151
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil akhir penelitian ini berupa peta karakteristik permukaan tanah di wilayah karst Kecamatan Cipatat. Peta tersebut menampilkan tujuh zona. Setiap zona diberikan warna yang berbeda-beda seperti yang ditunjukkan oleh gambar 17.
Gambar 17. Peta Karakteristik Permukaan Tanah di Wilayah Karst Kecamatan Cipatat
Dari klasifikasi metode region growing, didapat data statistik untuk setiap zona seperti yang ditampilkan oleh tabel 2. Statistik tersebut menampilkan informasi rincian nilai rentang maximum, minimum, dan mean pada setiap band. Selain itu, juga dilengkapi dengan informasi litologi pada masing-masing zona. Informasi litologi tersebut didapatkan dengan mengacu pada legenda Peta Geologi Lembah Cianjur. Tabel 2. Statistik Zona Karakteristik Permukaan Tanah
152
Dimas Ade Prasetyo, dkk.
Dari hasil penelitian (Marcella, 2013) telah dijelaskan bahwa setiap band pada citra fusi akan menunjukkan karakteristik tertentu. Untuk R-band AVNIR-2 menunjukkan kerapatan vegetasi dan perbedaan ketinggian. Untuk G-band ALOS PALSAR polarimetric menunjukkan kekasaran obyek. Sedangkan, untuk B-band kerapatan kelurusan hasil dari penelitian ini mengidentifikasikan pada keberadaan struktur geologi. Dengan meninjau R-band AVNIR 2, dapat dilihat bahwa zona 4 dan 6 memiliki nilai mean yang tinggi dibandingkan dengan zona lainnya, yang berarti zona 4 dan 6 memiliki nilai kerapatan vegetasi dan perbedaan ketinggian yang tinggi dibandingkan dengan zona lainnya. Litologi zona 4 dan 6 didominasi oleh batuan breksi, lahar, lava, batupasir, dan serpih. Menurut informasi dari peta geologi, batuan-batuan tersebut merupakan batuan hasil dari gunung api tua. Dengan meninjau G-band ALOS PALSAR, dapat dilihat bahwa zona 6 memiliki nilai mean tertinggi dan zona 3 memiliki nilai mean terendah. Zona 6 memiliki litologi berupa breksi, lahar, lava, batupasir, serpih. Sedangkan, zona 3 memiliki litologi berupa batupasir, batu gamping, batu lanau. Dengan meninjau B-band kerapatan kelurusan, dapat dilihat bahwa zona 2, 3, 6, dan 7 memiliki nilai mean yang tinggi. Hal ini berarti mengindentifikasikan bahwa zona tersebut memiliki struktur geologi yang banyak jika dibandingkan dengan zona lainnya. Struktur geologi tersebut bisa berupa patahan (sesar), lipatan, maupun struktur kecil lainnya. 5.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan ini, ada beberapa kesimpulan yang bisa didapat yaitu:
Hasil penelitian ini memberikan karakteristik permukaan tanah di wilayah karst Kecamatan Cipatat dengan membaginya menjadi tujuh zona dan disertai dengan nilai statistik pada masing-masing band RGB serta informasi litologi pada masing-masing zonanya.
Dengan menggunakan data SAR dalam hal ini citra ALOS PALSAR ascending dan ascending, proses penarikan kelurusan pada citra dapat dilakukan dengan relatif mudah.
Dengan melakukan proses penggabungan band (layer stacking) antara fusi hasil hasil penelitian (Marcella, 2013) dan citra kerapatan kelurusan hasil penelitian ini, maka akan didapat citra fusi terbaru yang menampilkan warna (rona) atau nilai piksel yang lebih beragam. Oleh karena itu, zona yang terklasifikasi menjadi lebih banyak daripada hasil klasifikasi hanya dengan menggunakan citra fusi hasil penelitian (Marcella, 2013) saja.
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
153
5.2 Saran Berdasarkan pengerjaan penelitian ini, didapatkan beberapa saran, yaitu:
Sebaiknya menggunakan peta geologi yang terkini agar informasi geologi yang diperoleh sesuai dengan keadaan lapangan terkini.
Sebaiknya perlu mempelajari karakteristik litologi terlebih dahulu secara mendalam sehingga dapat memberikan informasi karakteristik permukaan tanah yang lebih baik.
DAFTAR REFERENSI Choo, A. L., Chan, Y. K., dan Koo, V. C. (2011). Geometric Correction on SAR Imagery. Progress in Electromagnetic Research Symposium Proceedings. Kuala Lumpur: Multimedia University. Ekadinata, A. (2008). Sistem Informasi Geografis Untuk Pengelolaan Bentang Lahan Berbasis Sumber Daya Alam. World Agroforestry Centre, Bogor. Ensiklopedia ITT Telkom. Diambil dari http://digilib.ittelkom.ac.id/ Ford, D and William, P. (2007). Karst Hidrogeology and Geomorphology, John Wiley & Sons Ltd. The Atrium Gate, Chicester West Sussex, England Gupta, R. P. (1991). Remote Sensing Geologi. Springer-Verlag, Berlin Heidelberg, New York. Kim, Gyoo-Bum. (2003). Construction of a Lineament Density Map with ArcView and Avenue. Korea Water Resources Corporation, South Korea. Marcella, Manda. (2013). Identifikasi Tutupan Lahan Wilayah Karst Kecamatan Cipatat dengan Data ALOS PALSAR dan AVNIR : Kajian Perspektif Sosial, Kependudukan, dan Ekonomi. Skripsi. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Modul Kuliah Geologi Dinamik. Teknik Geologi, Institut Teknologi Bandung. Modul Kuliah Geologi Struktur. Teknik Geologi. Institut Teknologi Bandung. Modul Kuliah Geomorfologi. Teknik Geologi. Institut Teknologi Bandung. Prihanggo, Maundri. (2013). Identifikasi Genangan Air dengan Memanfaatkan Citra Quickbird dan ALOS PALSAR: Studi Kasus Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. Skripsi. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Purwadhi, S. H. dan Sanjoto, T. B. (2008). Pengantar Interpretasi Citra Penginderaan Jauh. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dan Universitas Negeri Semarang. Ragajaya, R. (2012). Perhitungan Biomassa dengan Metode Polarimetrik SAR Menggunakan Citra ALOS PALSAR. Skripsi. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Saepuloh, A., Urai, M., Meilano, I., dan Sumintadireja, P. (2013). Automatic Extraction and Validation of Linear Features Density From ALOS PALSAR Data for Active Faults and Volcanoes. Institute of Geology and Geoinformation and Technology, National Inst. Of Advanced Industrial Science and Technology (AIST Japan). Singhal, B. B. S., dan Gupta, R. P. (1999). Applied Hydrogeology of Fractured Rocks. Kluwer Academic Publisher, Netherlands. Yudhono, Erfianto Bagus. (2010). Klasifikasi Tutupan Lahan dan Tata Guna Lahan di Kabupaten Bandung Barat dengan Menggunakan Citra Landsat-7 ETM dan ALOS PALSAR. Skripsi. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Pembelajaran dan Pemahaman Konsep Lingkungan Berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG)
Hertien Koosbandiah Surtikanti dan Topik Hidayat
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
155
Pembelajaran dan Pemahaman Konsep Lingkungan Berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG)
Hertien Koosbandiah Surtikanti dan Topik Hidayat Jurusan Pendidikan Biologi, FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia Jalan Dr. Setiabudhi 229, Bandung, Jawa Barat, Indonesia.
1. PENDAHULUAN Munculnya Sistem Geografi Informasi (SIG) sejak tahun 1980an, terutama terdorong oleh perkembangan penginderaan jarak jauh, adanya komputer, dan Global Positioning System (GPS). Sejak saat itu SIG mulai berkembang dan menarik bagi berbagai pihak untuk keperluan yang sangat beragam. Oleh karena itu, penggunaan SIG mengalami peningkatan yang sangat pesat sejak 1980-an. Peningkatan dalam penggunaan SIG terjadi terutama di negara-negara maju, baik di kalangan militer, pemerintahan, akademis, maupun untuk kepentingan bisnis. SIG merupakan suatu sistem berbasiskan komputer yang secara umum dipergunakan untuk menyimpan, menampilkan, memanipulasi dan menganalisa informasi-informasi data geografis (Prahasta 2005). Data geografis meliputi fungsi lahan, administrasi desa, topografi, topologi, kandungan mineral tanah, daerah aliran sungai, jaringan jalan, pemukiman dll. Produk yang dihasilkan berupa peta konvensional (tradisional) yang dapat juga diubah ke dalam bentuk peta digital, dengan maksud untuk lebih memudahkan pengguna melakukan akses dan memperbanyak data. Bahkan dapat menghasilkan peta tematik yang merupakan hasil modifikasi dan manipulasi dari peta asli serta disesuaikan dengan kebutuhan (Surtikanti, dkk 2013). Sistem ini dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisa objekobjek dan fenomena-fenomena yang lokasi geografisnya merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Arc View merupakan salah satu perangkat lunak dekstop SIG dan pemetaan yang dikembangkan oleh ESRI (Environmental System Research Institute). Dengan demikian SIG merupakan sistem yang memiliki empat kemampuan dalam menangani data yang bereferensi geografis yaitu input (masukan), output (keluaran), manajemen data penyimpanan dan pemanggilan data, serta analisis dan manipulasi data. SIG ini dapat menampilkan gambar dua atau tiga dimensi suatu wilayah. Berbagai bentang alam seperti bukit, sungai, serta berbagai informasi tambahan seperti jalan dan perumahan dapat ditampilkan pada sistem ini. Salah satu penggunaan SIG, yaitu dalam menganalisa fenomena/gejala yang terjadi di permukaan bumi secara meruang. Fenomena ini dapat bersifat fisik dan sosial (ekonomi, politik, budaya dan lingkungan). Adanya SIG, maka
156
Hertien Koosbandiah Surtikanti dan Topik Hidayat
fenomena lokasi dan pola dapat diperoleh secara tepat dan akurat tanpa harus kelapangan, sehingga memudahkan dalam menyelesaikan permasalahan terkait (Andrasmoro dan Ratri, 2010). Disini terjadi proses perkembangan pemanfaatan SIG dari yang bersifat pasif yaitu berupa data dalam bentuk peta atau hard disk yang digunakan sebagai data informasi, menuju ke pemanfaatan SIG yang bersifat aktif. Hal ini terlihat dari beberapa hasil penelitian yang menggunakan SIG untuk menganalisa permasalahan lingkungan, memprediksi kerusakan lingkungan dan dapat juga digunakan untuk pengelolaan lingkungan. Dalam pembelajaran SIG berada di 2 posisi yaitu belajar tentang SIG dan belajar dengan SIG (Kerski 2013). Belajar tentang SIG meliputi materi Remote Sensing, Geomatics dan informal education. Sedangkan belajar dengan SIG yaitu mempelajari ilmu bumi, kimia, biologi, geografi, program komputer, sejarah, dan matematika. Model pembelajaran konstruktivisme, pembelajaran berbasis masalah, dan asesmen autentik sangat sesuai jika dikolaborasi dengan media SIG. Walaupun SIG dikembangkan untuk melengkapi kemutakhiran data geografi, tetapi SIG juga digunakan sebagai alat untuk kebutuhan dari segala aspek. Khusus dalam bab ini akan dipaparkan bahwa SIG merupakan media teknologi tinggi yang digunakan dalam pembelajaran dan penelitian yang berkaitan dengan lingkungan. 2. SIG DAN LINGKUNGAN Penggunaan SIG sangat erat hubungannya dengan lingkungan dan geografi. Dibawah ini adalah paparan yang melukiskan bahwa SIG ternyata banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat, yaitu: mempelajari pencemaran lingkungan, alih fungsi lahan, pengelolaan lingkungan dan populasi hewan/tumbuhan. Pada beberapa penelitian yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan, SIG merupakan salah satu media juga yang digunakan untuk memberikan gambaran yang lebih luas. Bahri dan Irianto (2007) menggunakan SIG yang dipadu secara integrasi dengan indeks kualitas air dalam mengkaji kualitas air sungai Citarum. Adanya SIG ini, mampu memberikan kontribusi dalam menentukan kualitas air secara spasial dan membantu para pengelola kebijaksanaan daerah setempat (Triyono dan Wahyudi, 2008). Di penelitian lain, pemanfaatan SIG dalam menjelaskan degradasi perubahan kualitas air DAS Cikapundung dari hulu hingga hilir, juga memberikan penjelasan deskriptif yang komprehensif (Surtikanti, dkk 2013). Penyederhanaan peta DAS Cikapundung berbasis SIG dapat dilakukan untuk memberikan gambaran fokus pada fungsi lahan dan pencemaran lingkungan. Peta tersebut dapat dilengkapi dengan nilai biotik indeks (kualitas air berbasis biologi) atau juga dengan menambahkan gambar benthos (biota air) yang merupakan bioindikator air bersih maupun air kotor (Gambar 1). Peta di
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
157
bawah ini merupakan hasil modifikasi dengan menggunakan program SIG, yaitu menggambarkan profil DAS Cikapundung dari hulu hingga hilir dan fungsi lahan yang berbeda. Kualitas DAS Cikapundung ini di evaluasi dengan menggunakan bantuan bioindikator benthos. Keberadaan bioindikator benthos ini mencirikan air bersih dan air tercemar.
Gambar 1. Paduan SIG dan bioindikator benthos dalam evaluasi kualitas air DAS Cikapundung (Surtikanti, dkk 2013)
Aplikasi SIG juga dapat dilakukan untuk mengevaluasi dan memantau tingkat pencemaran udara, sungai dan laut. Hasil peta SIG ini memiliki kemampuan memberikan informasi (data) dan dapat membandingkan parameter-parameter yang melebihi standar baku mutu. Aplikasi ini juga dapat dilengkapi dengan informasi lokasi industri dan daerah pengembangan industri. Puslit Air (2006) membuat kombinasi bioindikator makrobenthos dengan SIG sehingga dihasilkan data peta hubungan antara tingkat pencemaran pada sungai Citarum dengan skor metric bioindikator dan jenis bioindikator. Dengan adanya program ini maka pembaca dengan mudah dapat mengetahui informasi tingkat pencemaran udara, sungai dan laut serta lokasi dimana terjadi pencemaran secara visual. SIG juga dibutuhkan dalam memperoleh intepretasi data morfologi geografi, lahan fungsi, drainase air, peta geologi, dan untuk mempelajari pencemaran air di India (Alaguraja 2010). Sebab terjadinya pencemaran air, selain adanya buangan limbah industri, pencemaran dapat di pengaruhi oleh berbagai faktor fisik lingkungan. Data fisik lingkungan ini sekarang dengan mudah dapat diperoleh melalui SIG.
158
Hertien Koosbandiah Surtikanti dan Topik Hidayat
Dalam pembelajaran ekologi populasi tupai, SIG dapat digunakan untuk menunjang proses pembelajaran di tingkat universitas. SIG yang dipadukan dengan kuliah lapangan ternyata lebih memotivasi siswa dalam belajar jika dibandingkan dengan metode kuliah lapangan saja (Simmons, dkk 2008). Penggunaan SIG akan lebih bermanfaat jika dilakukan pada skala ruang yang sangat luas, kompleks dan sukar dijangkau jika dilakukan observasi di lapangan. Walaupun begitu SIG dapat digunakan dalam pembelajaran bagi siswa yang tidak nyaman melakukan kuliah lapangan. Selain untuk mempelajari populasi dan habitat hewan, Purnama (2011) juga memanfaatkan SIG dan GPS untuk mempelajari pola distribusi, komposisi dan struktur komunitas hutan lamun di pantai Karang Tirta (Padang). SIG dan GPS dalam studi tersebut membantu dalam menentukan lokasi sampling dan lokasi penyebaran lamun. Peta sebaran lamun yang dihasilkan tersebut dapat memberikan informasi yang jelas secara visual dan dapat memperlihatkan kerusakan hutan lamun yang terjadi. 3. SIG DALAM DUNIA PENDIDIKAN Keberhasilan siswa dalam mempelajari lingkungan, khususnya literasi lingkungan terdapat 6 aspek yang harus dipenuhinya yaitu memiliki: sikap peduli lingkungan, menguasai pengetahuan ekologi, sosial-politik, masalah lingkungan, kemampuan mendeteksi lingkungan, berfikir sistematik dan bertindak dalam memecahkan permasalahan lingkungan, dan perilaku tanggung jawab terhadap lingkungan (Hollweg, dkk. 2011). Untuk dapat mencapai ke 6 kriteria tersebut, dibutuhkan beberapa strategi pembelajaran yang melibatkan model, metode dan media pembelajaran yang sesuai. Pemanfaatan hasil Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sudah banyak diimplementasikan di beberapa instansi termasuk diantaranya di dalam dunia pendidikan, khususnya dalam aktifitas pembelajaran dikelas dan praktikum di laboratorium. Salah satu media TIK yang sudah tidak asing lagi yaitu komputer yang menggantikan posisi mesin tik. Hasil aktifitas yang dilakukan dengan menggunakan komputer sangat jauh manfaatnya dibandingkan dengan mesin tik. Walaupun biaya yang dikeluarkan dengan menggunakan komputer sangat tinggi tetapi dengan kemajuan yang diperoleh sangat signifikan. Sehingga masyarakat dari segala umur sudah banyak mengenal alat komputer. Pemanfaatan komputer dalam pengajaran diterapkan dalam bentuk pembelajaran berbasis komputer yaitu CBI (computer based instruction) dan CBL (computer based learning). Teknologi pembelajaran berbasis komputer telah dibuktikan dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran (Riandi 2003). Dengan munculnya komputer terutama pemanfaatannya di sekolah, banyak dikembangkan beberapa proses pembelajaran yang dipadukan dengan komputer. Pembelajaran tersebut diantaranya dengan menggunakan media power point, virtual, internet, e-learning, e-book. Belajar mengajar Biologi dengan menggunakan presentasi Power Point memberikan motivasi siswa untuk belajar
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
159
biologi lebih bermakna (Kubiatko & Halakova 2009). Media pembelajaran berbasis komputer yang dipadukan dengan e-learning dapat meningkatkan belajar siswa pada ranah kognitif, efektif dan psikomotor di SMA (Riyadi 2011). Media lain yang masih minim digunakan di Indonesia yaitu SIG. Di Amerika, SIG yang dipadukan dengan kuliah lapangan dapat meningkatkan sikap dan pengetahuan konseptual mahasiswa dalam mempelajari Ekologi (Simmons, dkk 2008). Kombinasi kuliah lapangan dan penggunaan SIG memiliki potensial dalam pengembangan problem-based learning. Dalam kuliah lapangan saja, mahasiswa hanya menggunakan alat radio telemetry untuk mencari lokasi. Sedangkan SIG saja, hanya mengandung data yang digunakan untuk menvisualisasi lokasi. Tetapi akhir-akhir ini SIG digunakan untuk mendukung PBL (problem based learning) oleh para pendidik (Summerby-Murray, 2001 & Drennon, 2005). Sebab SIG memiliki potensi dalam meningkatkan pembelajaran lingkungan (NRC, 2006) dan meningkatkan sikap siswa terhadap lingkungan (West, 2003). Walaupun sudah diketahui bahwa SIG sangat bermanfaat dalam pembelajaran, tetapi dalam pelaksanaan di lapangan masih terhambat oleh beberapa kendala. Kendala tersebut diantaranya ketrampilan guru yang masih minim terhadap komputer, minimnya sarana komputer, pengetahuan SIG yang kompleks, pemahaman SIG terhadap guru dan siswa, kebutuhan waktu lama untuk memperkenalkan SIG di kelas, tingkat efektifitas penggunaan SIG yang belum jelas dan membutuhkan biaya dan perlengkapan yang relatif mahal (Lloyd, 2001; Baker, 2005; Simmons, dkk., 2008; Andrasmoro dan Ratri, 2010; dan Aina, 2013). Beberapa kendala tersebut merupakan keterbatasan dalam implementasi SIG pada pembelajaran di kelas. Salah satu usaha dalam mengatasi kendala tersebut yaitu pengembangan strategi pembelajaran oleh guru guna peningkatan pemahaman materi Penginderaan Jauh dan SIG terhadap guru sendiri dan siswa (Andrasmoro dan Ratri, 2010) 4. KESIMPULAN Penggunaan teknologi SIG khususnya di bidang lingkungan sudah sangat luas yaitu untuk evaluasi pencemaran sungai, mempelajari populasi hewan, dan tumbuhan. Selain metode penelitian biologi yang sudah standar, tetapi dengan adanya SIG ini memberikan kontribusi dalam melakukan penelitian berkaitan lingkungan. Sehingga informasi yang diperoleh dari hasil penelitian sangat komprehensif dan terpadu. Dalam pembelajaran di sekolah maupun di universitas, SIG ternyata juga sudah diperkenalkan untuk pembelajaran terkait lingkungan. Tetapi SIG hanya berupa media, dan SIG ini harus dipadukan dengan model pembelajaran lain seperti PBL, Inquiry, Contextual Learning, CBL, dan lain-lain. Perlu diantisipasi bahwa banyak kendala yang perlu dipertimbangkan dalam menggunakan SIG dalam pembelajaran, sehingga implementasi SIG dapat berlangsung tanpa hambatan.
160
Hertien Koosbandiah Surtikanti dan Topik Hidayat
DAFTAR REFERENSI Androsmoro, D. & Ratri DA. 2010. Kendala guru Geografi dalam pengembangan pembeljaran pengindaraan jauh (Remote sensing) dan SIG (Sistem Informasi Geografis) di lingkungan SMA kelas XII Kabupate Sragen. Seminar Nasional‐ PJ dan SIG. Aina, J.K. 2013. Effecrive teachingand learning in science education through information and communication technology (ICT). IOSR Journal of Research and Method in Education 2(5) 43-47. Alaguraja, P., Yuvaraj D., Sekar M., Muthuveerran P., dan Manivel M. 2010. Remote Sensing and GIS Approach for the Water Pollution and Management In Tiruchirappli Taluk, Tamil Nadu, India. INTERNATIONAL JOURNAL OF ENVIRONMENTAL SCIENCES Volume 1, No1. Bahri, S. dan Irianto EW. 2007. Integrasi peta tematik dan indek kualitas air untuk kajian kualitas air sungai. Buletin Pusair, Media Informasi Kegiatan Penelitian Keairan. Vol. 16, No. 47. Baker, TR. 2005. Internet-based GIS mapping in supportof K-12 education. Prof. Geogr. 57, 44-50. Drennon, C. 2005. Teaching geographic information systems in a problem-based learning environment. J. Geog. High. Educ. 29, 385-402. Hollweg, K.S., Taylor J.R., Bybee R.W., Marcinkowski T.J., McBeth W.C. & Zoido P. 2011. Developing a framework for assessing environmental literacy, Washington, DC. North American Association for Environmental Education. (http://www.naaee.net). Kerski, J. 2013. Developments in Technologies and Methods in GIS In Education http://www.josephkerski.com/data/spatial_thinking_wa10.pdf. Kubiatko, M. and Halakova Z. 2009. Slovak high school students attitudes to ICT using in biology lesson. Computers in Human Behaviour 25 743-748. Lloyd, W.J. 2001. Intergrating GIS into the undergraduate learning environment. J. Geog. 100, 158-163. Pardede, F.A.,Warnars, S.H.L.H. 2010. Pemanfaatan teknologi sistem informasi geografis untuk menunjang pembangunan daerah. http://arxiv.org/ftp/arxiv/papers/1006/1006.2085.pdf Prahasta, E. 2005. Sistem informasi geografi: Konsep-konsep dasar, Penerbit Informatika, Bandung. Purnama, A.A. 2011. Pemetaan dan kajian beberapa aspek ekologis komunitas lamun di perairan Pantai Karang Tirta Padang. http://pasca.unand.ac.id/id/wpcontent/uploads/2011/09/artikel-Arief-Anthonius-Purnama.pdf Puslit Air. 2006. Penerapan Teknologi Spasial dan Sistem Informasi Geografi untuk Pengelolaan Kualitas Lingkungan Keairan. Laporan akhir. Qoriani, H.F. 2012. Sistem informasi geografis untuk mengetahui tingkat pencemaran limbah pabrik di Kabupaten Sidoarjo, JURNAL LINK Vol 17/No. 2 Riandi. 2003. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pendidikan di Indonesia dan Negara-negara Pasifik. Makalah disampaikan pada “The National Seminar on Science and Mathematics Education”. Riyadi, S. 2011. Studi experiment penggunaan Google Earth sebagai media pembelajaran Sejarah berbasis E-Learning kelas XI IPS di SMA Negeri I Purwodadi Tahun ajaran 2011/2012. Skripsi. Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Semarang. (Tidak diterbitkan).
Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013
161
Simmons, M.E., Wu X.B., Knight S.L., dan Lopez R.R. 2008. Assessing the influence an field and GIS-based inquiry on student attitude and conceptual knowledge in an undergraduate ecology lab.CBE Life Science Education Vol.7 338-345. Summerby-Murray, R. 2001. Analysing heritage landscape with historical GIS: contributions from problem-based inquiry and constructivist pedagogy. J.Geor. High. Educ. 25, 37-52. Surtikanti, H.K., Safaria T., dan Suryakusumah W. 2013. Kajian sistem informasi geografi dan teknologi spasial untuk pengelolaan ekosistem sungai Cikapundung. Laporan penelitian PPKBK, DIKTI-UPI. Triyono, J. dan Wahyudi K. 2008. Aplikasi sistem informasi geografi tingkat pencemaran industri di Kabupaten Gresik. Jurnal Teknologi, Vol. 1, No. 1: 1-8. West, B.A. 2003. Student attitudes and the impact of GIS on thinking skills and motivation. J. Geog. 102, 267-274.