ISBN : 978-979-145-87-0
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Prosiding Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa 2014 dengan tema “Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan”. Prosiding ini berisi makalah-makalah yang telah dipresentasikan pada Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa 2014 yang dilaksanakan oleh Pusat Sains Antariksa (Pussainsa) dan Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA), Kedeputian Bidang Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan, LAPAN pada tanggal 25 November 2014 di Auditorium Gd. 1 Lt. 3, Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung dan prosiding diterbitkan pada Juni 2015 setelah melalui proses review.
Penyunting Penyelia: 1. Drs. Jiyo, M.Si 2. Drs. Sri Kaloka Penyunting: 1. Dr. Buldan Muslim 2. Ir. Timbul Manik, M.Eng. 3. Dr. Teguh Harjana 4. Asnawi, M.Sc. 5. Anwar Santoso, M.Si. 6. Dr. Lilik Slamet 7. Prof. Dr. Eddy Hermawan 8. Suaydhi, M.Sc. 9. Dra. Sinta Berliana S., M.Sc. 10. Drs. Mahmud Editor: 1. Dwiko Unggul Prabowo, ST. 2. Lely Qodrita Avia, S.Si. 3. Farid Lasmono, ST. Desain sampul: Risyanto, S.Si.
Dipublikasikan oleh: Pusat Sains Antariksa (Pussainsa) dan Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA), Kedeputian Bidang Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jl. Dr. Djunjunan No. 133 Bandung 40173 Telepon: 022-6012602 / 022-6037445, Fax: 022-6014998/ 022-6037443 Website: www.sains.lapan.go.id ISBN: 978-979-1458-87-0
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
i
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum wr. wb. Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga kegiatan Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 dengan tema Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan dapat terselenggara dengan baik pada tanggal 25 November 2014 di Auditorium Gd I Lt 3 Pusat Sains Antariksa, LAPAN, Jl. Dr. Djundjunan No.133 Bandung. Seminar nasional ini dilaksanakan Pusat Sains Antariksa (Pussainsa) dan Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA), LAPAN, yang dihadiri oleh para peneliti sains atmosfer dan antariksa dari berbagai instansi pemerintah, universitas, dan swasta, serta pakar iklim, lingkungan, polusi udara, GRK. Pembicara utama dalam seminar ini menghadirkan Kepala LAPAN dan Staf Ahli Kementerian Ristekdikti. Sedangkan pembicara tamu serta pemakalah berasal dari instansi lainnya yaitu lembaga penelitian dan perguruan tinggi dari beberapa daerah di kota-kota di P. Jawa maupun di luar P. Jawa. Pemakalah yang mendaftarkan untuk mengikuti seminar, baik sebagai pemakalah oral maupun poster adalah sebanyak 27 untuk topik sains antariksa dan 30 untuk topik sains dan teknologi atmosfer. Setelah melewati proses seleksi terpilih makalah yang layak untuk dipresentasikan dalam bentuk oral maupun poster sebanyak 21 makalah sains antariksa dan 24 makalah sains dan teknologi atmosfer. Dari keseluruhan makalah yang diterima dan telah dipresentasikan pada kegiatan SNSAA 2014, akhirnya sejumlah 35 makalah untuk kedua topik tersebut dinyatakan layak diterbitkan pada prosiding ini setelah melalui proses review oleh tim penyunting dan revisi oleh penulisnya. Makalah yang telah diperbaiki dan layak terbit dikumpulkan pada tanggal 18 Mei 2015 dan telah dilakukan editing oleh editor untuk disesuaikan dengan format penulisan prosiding. Kami selaku tim penyunting dan editor memohon maaf sebesar-besarnya atas keterlambatan penerbitan prosiding ini. Alhamdulillah, pada 19 Juni 2015 Prosiding Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 dapat diselesaikan. Akhir kata, terima kasih kepada seluruh Panitia dan semua pihak yang telah membantu terbitnya prosiding ini dan semoga prosiding ini bermanfaat bagi pembaca. Amin. Wassalamu’alaikum wr. wb.
Bandung, 19 Juni 2015 Tim Penyunting dan Editor
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
ii
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
LAPORAN KETUA PANITIA SNSAA 2014 Assalamu’alaikum wr. wb. dan salam sejahtera untuk kita semua.
Yth. Kepala LAPAN, Yth. Menteri Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi, dalam hal ini diwakili oleh Staf Ahli Kemenristekdikti, Yth. Deputi Sains Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan, Yth. Kepala Pusat Sains Antariksa, Yth. Kepala Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Yth. para narasumber dan moderator, Yth. para tamu undangan dan peserta seminar.
Hadirin yang terhormat, kami ucapkan “Selamat datang di LAPAN Bandung”. Alhamdullilah, puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, dimana kita dapat berkumpul dalam acara Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) keIV tahun 2014. SNSAA merupakan seminar tahunan yang diselenggarakan oleh LAPAN sejak tahun 2011. Dalam rangka mendukung pemerintahan Indonesia yang baru (2014-2015) yang lebih baik, demi mewujudkan kemandirian ekonomi bangsa, maka SNSAA IV 2014 ini mengusung tema “Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan”. SNSAA IV 2014 ini bertujuan untuk mempertemukan dan membangun jejaring di kalangan peneliti/ perekayasa, akademisi, stakeholder dari lembaga pemerintahan, institusi pendidikan dan swasta untuki pemanfaatan informasi sains dan teknologi atmosfer dan antariksa. Diharapkan seminar ini dapat berkontribusi pada percepatan pembangunan nasional, sehingga Indonesia dapat menjadi negara yang mandiri, maju dan kuat di bidang sains dan teknologi keantariksaan sebagai implementasi dari Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2013 Tentang Keantariksaan. Hadirin yang terhormat, Panitia mengucapkan terima kasih kepada keynote speaker pada seminar ini, yaitu: Kementerian Ristekdikti dan Kepala LAPAN. Selanjutnya seminar ini akan dilaksanakn dalam bentuk presentasi oral oleh para narasumber yang berkompeten dan presentasi poster oleh pemakalah dari berbagai instansi, yaitu: LAPAN, BMKG, ITB, IPB, UNPAS, dan UPI. Hadirin yang terhormat, Panitia sangan berbahagia atas sambutan dari banyak kalangan baik dengan mengirimkan makalah dan atau menghadiri seminar ini. Perlu kami sampaikan bahwa dalam rangkja perbaikan dan peningkatan kualitas prosiding seminar, maka pada SNSAA tahun ini, panitia dan tim reviewer telah melakukan seleksi tidak lagi berdasarkan abstrak melainkan dari fullpaper yang dikirimkan pemakalah. Berdasarkan hasil seleksi dari 57 makalah yang diterima oleh panitia, sebanyak 45 makalah dinyatakan “diterima” untuk dapat dipresentasikan pada seminar ini, dan dengan berat hati, panitia dan tim reviewer memutuskan sebanyak 12 makalah “tidak diterima” karena masih belum memenuhi standar nilai minimal yang telah disepakati oleh tim reviewer pada sidang yang dilaksanakan hari Rabu, tanggal 20 November 2014. Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
iii
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Seluruh full-paper yang diterima selanjutnya akan melalui tahapan review sebelum dicetak menjadi prosiding seminar sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan panitia. Kami mengucapkan terima kasih kepada para pemakalah atas partisipasinya ikut menyukseskan seminar ini, dan juga kepada seluruh panitia seminar atas kerja keras dan kerja sama yang sangat baik sejak persiapan awal sampai terlaksananya seminar pada hari ini. Tak lupa tentunya terima kasih kami ucapkan kepada hadirin peserta seminar. Akhir kata, kami sadari “tak ada gading yang tak retak”, meskipun panitia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik pada seminar ini, namun, mungkin masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kami selaku panitia penyelenggara memohon maaf apabila terdapat kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaan seminar ini. Kritik dan saran untuk perbaikan kegiatan serupa selanjutnya sangat kami harapkan. Hadirin yang berbahagia, selamat mengikuti seminar, semoga bermanfaat untuk kemajuan kita semua. Wassalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera bagi kita semua.
Bandung, 25 November 2014 Ketua Panitia SNSAA 2014
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
iv
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
SUSUNAN PANITIA No. Nama Jabatan 1. Pengarah dan penanggung jawab
2.
Tim pemakalah/ penyunting
3.
Ketua
4.
Sekretaris
5.
Akademik
6.
Multimedia
7.
Sie. Humas, Publikasi, dan Dokumentasi Sie. Perlengkapan dan protokoler
8.
9.
Sie. Konsumsi
10.
Moderator
11.
MC
Personil Deputi Bidang Sains Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan Kepala Pusat Sains Antariksa Kepala Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Drs. Jiyo, M.Si (penyelia) Dr. Buldan Muslim Ir. Timbul Manik, M.Eng Dr. Teguh Harjana Asnawi, M.Sc Anwar Santoso, M.Si Drs. Sri Kaloka (penyelia) Dr. Lilik Slamet Prof. Dr. Eddy Hermawan Suaydhi, M.Sc Dra. Sinta Berliana S., M.Sc Drs. Mahmud Dwiko Unggul Prabowo, ST Lely Qodrita Avia, S.Si Elyyani, S.Si (merangkap Bendahara) Farid Lasmono, ST Dessi Marlia, ST Christine Widyaningrum, S.Pd KSTU Pusainsa KSTU PSTA Anwar Santoso, M.Si Erma Yulihastin, M.Si (merangkap MC) Sefria Anggarani, S.Si Farahhati Mumtahana, S.Si Indah Susanti, ST Yoga Andrian, S.Kom Ahmad Zulfiana, S.Kom Anton Winarko, S.Si Risyanto, S.Si Jaja Sudrajat Sudirman, SH, MAP Sucipto, SAB Djoko Trianas, A.Md Patah Supriatna Puji Siwi Semedi Herni Meilani, A.Md Peberlin Sitompul, MT Dr. Ninong Komala Siti Maryam, ST
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
v
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
JADWAL ACARA Waktu 08.00 - 08.45 08.45 -09.00 09.00 - 09.30 09.30 - 10.00 10.00 -10.15
Acara Registrasi Menyanyikan Lagu Indonesia Raya Pembukaan dan Keynote Speaker Keynote Speaker Foto Bersama
Pelaksana Panitia Panitia Kepala LAPAN Menristekdikti Panitia
PRESENTASI ORAL SESI 1 Topik : Sains Antariksa / Moderator : Peberlin Sitompul, MT. 10.15.-10.35
10.35 - 10.55 10.55 - 11.15 11.15 - 11.35
11.35 - 12.00 12.00 - 13.00 13.00 -14.00
Pengamatan Geomagnetik di Wilayah Indonesia Timur : Kualitas Data dan Prospek Pemanfaatannya Sistem Pengukuran dan Karakteristik Respon Impuls Kanal Propagasi HF Proposal Observatorium Nasional Pengembangan Sistem Monitoring Gelombang Ionosfer Terkait Gempa Bumi dan Tsunami Menggunakan Data GPS Diskusi ISOMA Presentasi Sesi Poster
Dr. Teti Zubaidah (Univ. Mataram) Prof. Gamantyo (ITS) Dr. Taufiq Hidayat (ITB) Dr. Buldan Muslim (LAPAN)
Moderator Panitia Pemakalah Poster
PRESENTASI ORAL SESI 2 Topik : Sains dan Teknologi Atmosfer / Moderator : Dr. Ninong Komala 14.00 - 14.20.
14.20 - 14.40 14..40- 15.00
15.00-15.20 15.20 - 15.45 15.45-16.00
Antisipasi dampak Periode Hiatus Pemanasan Global terhadap Iklim Indonesia Informasi Atmosfer Untuk Kebencanaan Analisis Curah Hujan Dasarian dan Validasinya Berbasis Data Downscaling CCAM (Cubical Conformal Atmospheric Model) di Pulau Jawa Kemampuan Komputasi Nasional Untuk Adaptasi Perubahan Iklim Nasional Diskusi Penutupan
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
Dr. Tri Wahyu Hadi (ITB)
Dr. Sutopo Purwonugroho (BNPB) Haries Satyawardhana, S.Si. (LAPAN)
Dr. Didi Satiadi (LAPAN) Moderator Deputi Sains dan Pengkajian InformasiKedirgantaraan
vi
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR................................................................................................................ ii LAPORAN KETUA PANITIA SNSAA 2014 ......................................................................... iii SUSUNAN PANITIA ................................................................................................................ v JADWAL ACARA ................................................................................................................... vi DAFTAR ISI ............................................................................................................................ vii ANTARIKSA VISUALISASI MONITORING JARINGAN DATA PENGAMATAN ANTARIKSA MENGGUNAKAN ALGORITMA FORCE DIRECTED GRAPH (VISUALIZATION FOR NETWORK MONITORING ON OBSERVATION SPACE DATA USING FORCE DIRECTED GRAPH ALGORITHM) oleh Ahmad Zulfiana Utama ........................................ 1 PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING GELOMBANG IONOSFER TERKAIT GEMPA BUMI MENGGUNAKAN DATA GPS (GPSIONOQUAKE) (DEVELOPMENT OF MONITORING SYSTEM OF IONOSPHERIC WAVES ASSOCIATED WITH EARTHQUAKE USING GPS DATA (GPSIONOQUAKE)) oleh Buldan Muslim, Joni Effendi, Edvin Aldrian, Fakhrizal, Bambang Sunardi dan Angga ........................................... 12 KAJIAN AKURASI DAN EFISIENSI KOMPUTASI MODEL ATMOSFER RUSSIAN GOST DALAM PERHITUNGAN KERAPATAN ATMOSFER (A STUDY ON THE ACCURACY AND COMPUTATIONAL EFFICIENCY OF RUSSIAN GOST MODEL IN CALCULATING ATMOSPHERIC DENSITY) oleh Desy Novia, Abdul Rachman, Judhistira Aria Utama ............................................................................................................................... 30 PENINGKATAN AKSESIBILITAS LAYANAN INFORMASI SAINS ATMOSFER DAN ANTARIKSA (THE ACCESSIBILITY ENHANCEMENT OF ATMOSPHERIC AND SPACE SCIENCE INFORMATION SERVICES) oleh Elyyani dan Siti Maryam ................ 39 METODE PENCARIAN DATA ANTARIKSA DI DALAM SISTEM BASIS DATA DAN SISTEM MANAJEMEN FILE (THE SEARCH METHOD OF SPACE DATA IN DATABASE SYSTEM AND FILE MANAGEMENT SYSTEM) oleh Elyyani dan Ahmad Zulfiana Utama ......................................................................................................................... 48 METODA ESTIMASI KECEPATAN DAN TEKANAN DINAMIK ANGIN SURYA BERDASARKAN INDEKS PC5 (ESTIMATION METHOD OF SOLAR WIND SPEED AND ITS DYNAMIC PRESSURE BASED ON PC5 INDEX) oleh Harry Bangkit, Laode M. M. Kilowasit, Afnimar ............................................................................................................. 61 PENGARUH FASE TINGGI DAN TENANG MATAHARI TERHADAP KECERAHAN LANGIT MALAM TERKAIT VISIBILITAS OBJEK LANGIT (THE INFLUENCE OF HIGH AND QUITE SOLAR ACTIVITY ON NIGHT SKY BRIGHTNESS AND CORRELATION Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
vii
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
WITH VISIBILITY OF CELESTIAL OBJECT) oleh Lia Hikmatul Maula, Judhistira Aria Utama, Taufik Ramlan Ramalis ............................................................................................... 71 SKEMA DASAR VISIBILITAS HILAL UNTUK WILAYAH TROPIS (THE BASIC SCHEME OF LUNAR CRESCENT VISIBILITY FOR TROPIC REGION) oleh Muhammad Nurul Huda, Judhistira Aria Utama, Winny Liliawati ............................................................. 83 HASIL PENGAMATAN DAN PENGOLAHAN DATA CALLISTO DI LOKA PENGAMATAN DIRGANTARA SUMEDANG BULAN SEPTEMBER 2014 (RESULTS OF OBSERVATIONS AND DATA PROCESSING OF CALLISTO AT LOKA DIRGANTARA SUMEDANG OBSERVATIONS IN SEPTEMBER 2014) oleh Mumen Tarigan, Peberlin Sitompul, dan Yana Robiana .................................................................................................... 92 METODE EVALUASI KEAMANAN INFORMASI PADA JARINGAN LOKAL LAPAN BANDUNG (EVALUATION METHOD OF INFORMATION SECURITY ON LAPAN BANDUNG LOCAL NETWORK) oleh Musthofa Lathif, Rizal Suryana dan Siti Maryam 104 ANALISIS KORELASI KASUS ANOMALI SATELIT MELALUI VARIASI MAGNETIK BUMI (CORRELATION ANALYSIS OF ANOMALY CASES THROUGH GEOMAGNETIC VARIATION) oleh Nizam Ahmad dan Dhani Herdiwijaya ................... 117 VARIASI HARIAN NILAI TEC DAN KONVERSI SLANT TEC MENJADI VERTICAL TEC DENGAN PENERIMA BEACON oleh Peberlin Sitompul, Timbul Manik, Yana Robiana 130 FAKTOR-FAKTOR KECERAHAN LANGIT SENJA DAN PENGARUHNYA TERHADAP NILAI MINIMUM PARAMETER-PARAMETER FISIS VISIBILITAS HILAL (CONTRIBUTION OF SOME FACTORS TO THE SKY TWILIGHT BRIGHTNESS AND THEIR INFLUENCES ON MINIMUM VALUE OF THE PHYSICAL PARAMETERS OF THE LUNAR CRESCENT VISIBILITY) oleh Rahayu Ningsih, Judhistira Aria Utama, Taufik Ramlan Ramalis ..................................................................................................................... 139 MATERI DAN MEDIA EDUKASI SAINS ANTARIKSA (SPACE SCIENCE EDUCATION MATERIAL AND MEDIA) oleh Rhorom Priyatikanto........................................................ 152 KAJIAN PENGEMBANGAN DATA CENTER SAINS ANTARIKSA LAPAN BANDUNG (STUDY DEVELOPMENT OF DATA CENTER SPACE SCIENCE OF LAPAN BANDUNG) oleh Rizal Suryana dan Yoga Andrian............................................................. 163 STUDI GELOMBANG ULF: KARAKTERISTIK PULSA MAGNET Pc3 PADA SAAT BADAI MAGNET TAHUN 1998-2000 (STUDY OF ULF WAVE: CHARAKTERISTIC OF Pc3 MAGNETIC PULSATION DURING MAGNETIC STORM ON 1998-2000) oleh Setyanto Cahyo Pranoto ......................................................................................................... 174 ANALISIS SINTILASI IONOSFER MENGGUNAKAN GPS DAN IONOSONDA DI ATAS MANADO, PONTIANAK DAN KOTOTABANG (IONOSPHERIC SCINTILLATION ANALYSIS USING GPS AND IONOSONDE OVER MANADO, PONTIANAK AND KOTOTABANG) oleh Sri Ekawati ....................................................................................... 183 PENGAMATAN BURST RADIO MATAHARI DENGAN SPEKTROMETER CALLISTO DI INDONESIA: HASIL SUKSES PERTAMA (OBSERVATION OF SOLAR RADIO BURST USING CALLISTO SPECTROMETER IN INDONESIA: FIRST SUCCESSFUL RESULT) oleh Timbul Manik dan Peberlin Sitompul........................................................... 195 Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
viii
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
PERBANDINGAN METODE ADAPTIVE SMOOTHING METHOD DAN FINNISH METEOROLOGICAL INSTITUTE UNTUK MENENTUKAN INDEKS K DI STASIUN GEOFISIKA TUNTUNGAN (COMPARISON OF ADAPTIVE SMOOTHING METHOD AND FINNISH METEOROLOGICAL INSTITUTE METHOD ON DERIVING K-INDICES AT TUNTUNGAN GEOPHYSICAL STATION) oleh Yosi Setiawan, I Gusti Ketut Satria Bunaga .................................................................................................................................... 206 ATMOSFER PERBANDINGAN HASIL PREDIKSI WEATHER RESEARCH FORECAST DENGAN DATA OBSERVASI TRMM (STUDI KASUS: CURAH HUJAN) (COMPARISON BETWEEN WEATHER RESEARCH FORECAST PREDICTION RESULT AND TRMM OBSERVATION DATA) (CASE STUDY: PRECIPITATION) oleh Aisya Nafiisyanti ..... 214 KOMPOSISI KIMIA DAN VARIASI MUSIMAN DEPOSISI BASAH DI TEPI CEKUNGAN BANDUNG (CHEMICAL COMPOSITION AND SEASONAL VARIATION OF WET DEPOSITION IN BANDUNG BASIN EDGE) oleh Asri Indrawati dan Dyah Aries Tanti 224 KONVERGENSI HORISONTAL PADA KASUS HUJAN LEBAT DI JAKARTA BERDASARKAN MODEL COSMO (HORIZONTAL CONVERGENCE IN JAKARTA HEAVY RAINFALL CASE BASED ON COSMO MODEL) oleh Erma Yulihastin ......... 237 ANALISIS CURAH HUJAN DASARIAN DAN VALIDASINYA BERBASIS DATA DOWNSCALING CCAM (CUBICAL CONFORMAL ATMOSPHERIC MODEL) DI PULAU JAWA (ANALYSIS AND VALIDATION OF 10-DAY RAINFALL BASED ON CUBICAL CONFORMAL ATMOSPHERIC MODEL DOWNSCALING DATA IN JAVA ISLAND) oleh Haries Satyawardhana, Armi Susandi, Bambang Siswanto dan Andi S. Muttaqien ............. 252 METODE KORELASI DALAM PENGISIAN DATA KOSONG UNTUK ANALISIS CURAH HUJAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG (CORRELATION METHOD TO FILLING EMPTY DATA FOR RAINFALL ANALYSIS IN CIKAPUNDUNG WATERSHED) oleh Hary Pradiko, Arwin, Prayatni Soewondo, Yadi Mulyadi .................. 263 ANALISIS VARIASI DEKADAL CURAH HUJAN DAN TEMPERATUR DI SUMATERA (ACEH, MEDAN, BENGKULU, PADANG DAN PALEMBANG) (DEKADAL VARIATION ANALYSIS OF RAINFALL AND TEMPERATURE IN SUMATERA (ACEH, MEDAN, BENGKULU, PADANG AND PALEMBANG)) oleh Juniarti Visa ................... 277 POLA DIURNAL SUHU PUNCAK AWAN DAN CURAH HUJAN UNTUK TIGA DAERAH TIPE HUJAN DI INDONESIA (DIURNAL PATTERNS OF CLOUD TOP TEMPERATURE AND RAINFALL FOR THREE TYPES OF RAINFALL IN INDONESIA) oleh Lely Qodrita Avia ........................................................................................................... 287 ANALISIS PENGARUH KONDISI ATMOSFER TERHADAP NILAI REFLEKTANSI PADA CITRA LANDSAT 8 (AN ANALYSIS OF THE INFLUENCE OF ATMOSPHERIC CONDITIONS ON REFLECTANCE VALUES LANDSAT 8 IMAGE) oleh Liana Fibriawati dan Haris Suka Dyatmika ............................................................................................................. 300 KAJIAN CLEAR AIR TURBULENCE DI INDONESIA (STUDY OF CLEAR AIR TURBULENCE IN INDONESIA) oleh Muhammad Arif Munandar ................................... 312
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
ix
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
PROFIL VERTIKAL O3 DAN CO PADA LAPISAN TROPOPAUSE TROPIKAL DI INDONESIA HASIL OBSERVASI MLS/AURA (VERTICAL PROFILE OF O3 AND CO AT THE TROPICAL TROPOPAUSE LAYER IN INDONESIA OBSERVED OLEH MLS/AURA) oleh Novita Ambarsari dan Ninong Komala ................................................... 327 DETEKSI CLEAR AIR TURBULENCE MENGGUNAKAN INDEKS TURBULENSI DAN BILANGAN RICHARDSON (DETECTION OF CLEAR AIR TURBULENCE USING TURBULENCE INDEX AND RICHARDSON NUMBER) oleh Ristiana Dewi, Heri Ismanto ................................................................................................................................................ 339 STUDI AWAL PERILAKU UMUM PERTUMBUHAN AWAN DAN CURAH HUJAN AKIBAT PERUBAHAN KONSENTRASI AEROSOL MENGGUNAKAN PENDEKATAN MODEL PREDATOR-MANGSA (A PRELIMINARY STUDY OF THE GENERAL BEHAVIOR OF CLOUDS AND PRECIPITATION GROWTH DUE TO CHANGES IN AEROSOL CONCENTRATIONS USING PREDATOR-PREY MODEL APPROACH) oleh Rita Sulistyowati, Rizal Kurniadi, Wahyu Srigutomo ........................................................... 352 PENGARUH SINAR KOSMIK TERHADAP TUTUPAN AWAN (COSMIC RAYS EFFECT ON CLOUD COVER) oleh Riza Adriat ................................................................................ 364 SUHU EKSTRIM TINGGI DARATAN AUSTRALIA SEBAGAI INDIKATOR MUSIM KEMARAU BASAH DI PULAU JAWA (THE AUSTRALIA CONTINENT EXTREMELY HIGH TEMPERATURE AS INDICATOR OF WET DRY SEASON OVER JAVA ISLAND) oleh Santi Oktariyandari, Afendi ........................................................................................... 376 PEMANFAATAN MODEL PREDIKSI IKLIM MUSIMAN CLIMATE PREDICTABILITY TOOL (CPT) PADA CURAH HUJAN INDONESIA SAAT KONDISI ENSO (STUDI KASUS: SUMATERA BARAT DAN NUSA TENGGARA BARAT) oleh Shailla Rustiana dan Eddy Hermawan .............................................................................................................. 388 (UTILIZATION OF SEASONAL CLIMATE PREDICTION MODELS CLIMATE PREDICTABILITY TOOL (CPT) ON INDONESIAN RAIFALL CURRENT ENSO CONDITIONS) (STUDY CASE: WEST SUMATERA AND WEST NUSA TENGGARA) oleh Shailla Rustiana dan Eddy Hermawan ........................................................................... 388 DISTRIBUSI FREKUENSI TIPE AWAN CUMULONIMBUS (CB) DI INDONESIA DARI PENGAMATAN SATELIT MTSAT (FREQUENCY DISTRIBUTION OF TYPE CB FROM SATELLITE OBSERVATION MTSAT IN INDONESIA) oleh Sinta Berliana Sipayung dan Risyanto .................................................................................................................................. 403 ANALISIS NITROGEN DIOKSIDA (NO2), SULFUR DIOKSIDA (SO2) DAN AMONIA (NH3) DI CEKUNGAN BANDUNG DAN DAERAH PANTAI PAMEUNGPEUK-GARUT (ANALYSIS OF NITROGEN DIOXIDE (NO2), SULFUR DIOXIDE (SO2) AND AMMONIA (NH3) IN BANDUNG BASIN AND COASTAL AREAS PAMEUNGPEUK-GARUT) oleh Tuti Budiwati dan Dyah Aries Tanti ...................................................................................... 413
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
x
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
VISUALISASI MONITORING JARINGAN DATA PENGAMATAN ANTARIKSA MENGGUNAKAN ALGORITMA FORCE DIRECTED GRAPH (VISUALIZATION FOR NETWORK MONITORING ON OBSERVATION SPACE DATA USING FORCE DIRECTED GRAPH ALGORITHM) Ahmad Zulfiana Utama Pusat Sains Antariksa, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Data hasil pengamatan antariksa dari seluruh BPD/LPD/stasiun kerjasama (Stasiun Pengamatan) disimpan ke dalam satu server yang bertempat di Pusat Sains Antariksa (Pussainsa) Bandung. Tujuan penyimpanan data pada satu server adalah untuk mempermudah pengelolaan, monitoring, dan backup data. Server Stasiun Pengamatan terhubung dengan server utama yang terletak di Pussainsa Bandung melalui jaringan komputer, sehingga komputer dapat saling berkomunikasi, dan melakukan transfer data. Pemeliharaan jaringan komputer diperlukan untuk memastikan ketersediaan data terpenuhi, menjaga jaringan tetap berfungsi dan dapat memenuhi kebutuhan organisasi. Untuk memastikan jaringan komputer selalu berfungsi dengan baik perlu dimonitor secara berkala sehingga mempermudah pengelola dalam mendeteksi suatu permasalahan dalam jaringan komputer. Monitoring jaringan dapat divisualisasikan dengan sebuah graf, dimana simpul-simpul dalam graf merepresentasikan komputer atau perangkat jaringan yang dihubungkan oleh suatu garis. Masalah yang muncul pada penggambaran graf adalah simpul dan garis tidak memiliki informasi mengenai tata letak (x,y).Salah satu metode untuk menghitung tata letak simpul dan garis adalah dengan menggunakan algoritma FDG(Force Directed Graph). Visualisasi ini diharapakan mempermudah pengelola dalam melakukan monitoring jaringan. Kata Kunci: Jaringan Komputer, Monitoring Jaringan, Algoritma FDG, Visualisasi, Graf.
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
ABSTRACT Data obtained from BPD/LPD/Observatory collected into the main storage server in Space Science Center (Pussainsa) Bandung.The purpose of collecting data into a single server is to ease management, monitoring, and backup data.A server computer at Observation Station are connected to the main server (Pussainsa Bandung) through a computer network, so that computer can communicate with each other, and perform data transfer. A computer network require maintenance to ensure the availability data fulfilled, keep fixed network serves and able to fulfill the organization needed.To make sure the computer network always functioning properly need to be monitored regularly.Network monitoring can be visualized a graph, where the nodes represent computers or network devices which are connected a line. On the depiction of graph appeared a problem namely vertices and line do not have information about the layout in a depiction of graph, therefore needed a method to calculate the layout nodes and lines using FDG (Force Directed Graph) algorithm. This visualization is expected to simplify officer in monitoring network. Keywords: Computer Network, Network Monitoring, Algorithm FDG, Visualization, Graph. 1.
PENDAHULUAN Data hasil pengamatan dari Stasiun Pengamatan merupakan suatu hal penting untuk
mendukung kegiatan penilitian/perekayasa di Pusat Sains Antariksa (Pussainsa) Bandung. Alat pengamatan tersebut tersebar diberbagai kota yaitu Balai Pengamatan Dirgantara (BPD) Pontianak,
BPD Biak,
BPD Pameungpeuk,
BPD Watukosek, Loka Pengamatan
Dirgantara(LPD) Sumedang,stasiun kerjasama Kupang, stasiun kerjasama Manado dan stasiun kerjasama Yogyakarta.Peralatan pengamatan melakukan pengamatan dalam interval waktu tertentu, dan data hasil pengamatan disimpan di dalam komputer kontrol. Serverdata pada masing-masing BPD/LPD/stasiun kerjasama (selanjutnya disebut sebagai Stasiun Pengamatan) melakukan sinkronisasi data dengan setiap komputer kontrol alat pengamatan. Data dari setiap server Stasiun Pengamatandikirim ke server yang berada di Bandung. Semua komputer kontrol pada Stasiun Pengamatan (pengirim data) dan server Bandung (penerima data) terhubung ke dalam sebuah jaringan melalui perangkat tertentu. Masalah yang sering muncul pada pertukaran data antara server utama yang terletak di Pusat Sains Antariksa dengan server Stasiun Pengamatan disebabkan jaringan yang terputus, sedangkan indikator baik tidaknya jaringan komputer dapat diukur dari kecepatan akses data, dan kestabilan dari akses data tersebut. Jaringan komputer akan bermasalah apabila jaringan tersebut terputus dan mempengaruhi ketersedian data (avaibility) pada server utama. Untuk
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
2
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
mengantisipasi hal tersebut diperlukan monitoring jaringan, agar jaringan tetap berfungsi dan dapat memenuhi kebutuhan organisasi. Monitoring jaringan berfungsi sebagai sistem pertama untuk mendeteksi, dan mempermudah dalam mencari permasalahan dalam suatu jaringan (Sofana, 2012). Keterhubungan Stasiun Pengamatan di dalam suatu jaringan dapat divisualisasikan dengan kumpulan simpul-simpul dan keterhubungannya direpresentasikan oleh suatu garis. Hal tersebut direpresentasikan oleh suatu graf G = (V, E), dengan V merupakan kumpulan simpulsimpul (Stasiun Pengamatan) dan E kumpulan garis-garis yang menghubungkan antar simpul.Visualisasi ini bertujuan untuk mempermudah dalam melihat keadaan atau status jaringan komputer. Ketika simpul memiliki asosiasi yang banyak, atau jumlah simpul yang digambar berjumlah banyak, tentu penggambarannya menjadi lebih sulit. Karena simpul tidak memiliki informasi mengenai posisi (x,y) dalam komputasi penggambaran graf, maka dibutuhkan cara untuk menghitung peletakan posisi dari setiap simpul dengan menggunakan algoritma Force Directed Graph (FDG). Algoritma FDG menggunakan representasi spring model, dimana simpul-simpul dianggap sebagai benda-benda yang bermuatan dan dihubungkan (ditarik) oleh garis yang dianggap sebagai pegas. Benda-benda yang bermuatan tersebut saling tolak menolak. Ada dua langkah utama dalam algoritma FDG yaitu, menghitung daya tolak menolak antar simpul dan menghitung daya tarik menarik diantara semua simpul yang terhubung. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Visualisasi Informasi Visualisasi informasi adalah metode dalam teknologi informasi untuk menampilkan data dan menyampaikan informasi, dengan tujuan metode tersebut dapat menampilkan data dari sudut pandang yang berbeda sehingga menghasilkan suatu informasi yang baru. Visualisasi informasi adalah sebuah proses dimana informasi dirubah ke dalam bentuk visual. Dilihat dari sisi Ilmu Komputer, visualisasi menggunakan teknik pencitraan grafis. Disamping itu visualisasi informasi melibatkan seluruh pengguna yang terkait. Dengan demikian, pengembang harus memperhitungkan persepsi dari pengguna, kemampuan kognitif, dan karakteristik dari informasi tersebut. Visualisasi bukan sekedar gambar biasa, visualisasi yang sukses dapat mengurangi waktu pengguna dalam mendapatkan suatu informasi. (Mazza, 2004) Transformasi data dari visualisasi informasi bertujuan untuk mengubah data abstrak ke dalam bentuk grafis. Transformasi data tersebut merupakan proses kreatif dimana perancang ataupun pengembang memberikan arti yang baru ke dalampola-pola grafis. Dalam sudut Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
3
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
pandang seni, visualisasi informasi bertujuan untuk mengkomunikasikan ide yang rumitsehingga para pengguna atau yang melihatnya mendapatkan persfektif yang lain. (McKelvey et al., 2012) Intisari dari visualisasi adalah informasi atau data yang disajikan menjadi suatu wawasan bagi pengguna. Secara umum wawasan didefinisikan sebagai suatu penemuan yang tak terduga, memperdalam pemahaman dari cara baru untuk berpikir, dan terobosan intelektual. (Ahmad, 2012). 2.2. Force Directed Graph Algoritma Force Directed Graph menggunakan representasi spring model, dimana simpul-simpul dianggap sebagai benda-benda bermuatan dan dihubungkan(ditarik) oleh garis yang dianggap sebagai pegas. Dimana benda-benda yang bermuatan tersebut saling tolak menolak. (Eadas dan Tamassia,1994).
Gambar 2-1: Model spring. (Battista et al., 1999)
Ada 4 langkah utama dalam Algoritma Force Directed Graph (Di Battista et al., 1999): a. Hitung daya tolak menolak antar simpul. (Inverse Square Law / Coulomb Law) b. Hitung daya tarik menarik diantara semua simpul yang terhubung oleh garis (Hooke's Law) c. Jumlahkan daya tolak menolak dan daya tarik menarik. d. Penggantian posisi simpul awal dengan posisi baru. Hasil dari penjumlahan daya tolak dan daya tarik menarik merupakan inti dari Force Directed Graph yang dijelaskan pada persamaan (Fruchtermanat et al., 1991):
F (v) F (a) F (r ).....................................(2 1) dengan F(v) adalah gaya total, F(a) merupakan gaya tarik menarik antar simpul yang dihubungkan oleh garis, dan F(r) adalah gaya tolak menolak antar simpul dengan simpul lainnya.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
4
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
F(a) mengikuti hukum Hooke. Hal ini dikarenakan garis pada FDG direpresentasikan sebagai pegas. Persamaan hukum Hooke (Fruchterman et al, 1991): F k * y .......... .......... .......... .......... ......( 2 2 )
dengan F adalah gaya pegas dalam N, ∆y merupakan pertambahan panjang dalam m, dan k adalah konstanta pegas dalam Nm-1. F(r) pada persamaan (2-1) mengikuti inversesquare law atau dikenal juga dengan Coulumb law. Coulumb law adalah hukum yang menjelaskan gaya yang timbul antara dua buah benda yang bermuatan listrik saling didekatkan dengan jarak r, maka keduanya akan saling tarik-menarik atau tolak-menolak. Persamaannya dituliskan sebagai berikut: F k
q1 q 2 .......... .......... .......... .......... .......... .......( 2 3) r2
dengan F merupakan gaya interaksi (N), q1 adalah muatan listrik benda 1 (C), q2 muatan listrik benda 2 (C), r adalah jarak pisah antar 2 benda bermuatan listrik (C), dan k konstanta Coulomb (9 x 109 Nm2c-1). Menurut Brandenburgada metode lain yang menyerupai persamaan (2-1) yaitu metode Fruchterman dan Reingold. Metode Fruchterman dan Reingold membuat persamaan yang lebih sederhana untuk mencari gaya tarik-menarik (attractive force) dan gaya tolak-menolak (repulsive force) dalam penggambaran suatu graf (Fruchterman et al., 1991) yaitu: Fa ( d ) Fr ( d )
d2 .......... .......... .......... .......... .......... ...( 2 4 ) k
k2 .......... .......... .......... .......... .......... ...( 2 5 ) d
dengan d adalah jarak antar 2 simpul yang bertetangga dan k konstanta untuk penempatan simpul yang terdistribusi secara merata. Konstanta k dinyatakan dengan: k
areaoffram e .......... .......... .......... .......... .......... ....( 2 6 ) V
Dengan areaofframe = w * l (w dan l merupakan lebar dan panjang dari sebuah frame). |V| merupakan jumlah simpul yang akan digambar. Fruchterman dan Reingold menambahkan variable t dikenal dengan istilah temperatur dan dirumuskan sebagai berikut: t
width .......... .......... .......... .......... .......... .......( 2 7 ) 10
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
5
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Tujuan dari variable t ini untuk mempercepat penempatan simpul baru sesuai dari hasil perhitungan, karena lebar frame lebih kecil daripada sebelumnya (Fruchterman et al., 1991). 3. DATA Data yang digunakan pada implementasi penggambaran graf menggunakan algoritma Force Directed Graph untuk memvisualisasikan jaringan data antariksa Pusat Sains Antariksa Bandung menggunakan alamat IP dari setiap Stasiun Pengamatan yang terhubung.Untuk menjaga keamanan jaringan, pada makalah ini tidak menampilkan IP yang sebenarnya tetapi diganti dengan kode yang mewakili nama Stasiun Pengamatan. Adapun Stasiun Pengamatan yang terhubung ke dalam jaringan adalah sebagai berikut:
Tabel 3-1: DAFTAR STASIUN PENGAMATANYANG TERHUBUNG DENGAN SERVER UTAMA(PUSSAINSA BANDUNG). No Site
Kode
1.
Bandung
BDG
2.
Pontianak
PTK
3.
Sumedang
SMD
4.
Biak
BIK
5.
Pameungpeuk
PMK
6.
Watukosek
WTK
7.
Kupang
KPG
8.
Yogyakarta
YGY
Selain serverpada masing-masing Stasiun Pengamatan, akan dirinci secara lebih detail daftar komputer kontrol dari setiap alat pengamatan. Berikut adalah alat pengamatan dari sebagian Stasiun Pengamatan:
Tabel 3-2:DAFTAR IP KOMPUTER KONTROL PADA ALAT PENGAMATAN.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
6
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Monitoring jaringan yang akan dilakukan pada komputer kontrol dengan cara melakukan perintah ping secara berkala. Perintah ping ini berfungsi untuk memeriksa suatu koneksi perangkat jaringan atau komputer. Apabila paket ping memberi suatu balasan dengan nilai yang terdiri dari alamat IP, waktu, TTL(Time To Live), dan Olehtes berarti komputer tersebut terhubung ke dalam jaringan, jika memberikan pesan error unreachable host, atau request time out ada permasalahan jaringan pada perangkat tersebut. Hasil dari perintah ping ditampung ke dalam basis data, dan dijadikan paramater pada visualisasi monitoring jaringan (Laverty et al., 2007). Implementasi dalam penelitian ini menggunakan bahasa pemrograman (Knuth et al, 1994) PHP, Javascript, HTML5 dan SVG, dan Query Language (MYSQL). 4. HASIL PEMBAHASAN Berikut adalah langkah-langkah untuk memvisualisasikan monitoring jaringan a. Ping setiap IP dari seluruh Stasiun Pengamatan. Jalankan perintah tersebut menggunakan aplikasi scheduler setiap 1 menit sekali. b. Masukan(update/insert) hasil pengecekan langkah 1 ke dalam basis data. c. Tampilkan hasil dalam bentuk graf menggunakan algoritma Force Directed Graph. Visualisasi jaringan antara server Pusat Sains Antariksa dengan server VPN Stasiun Pengamatan adalah sebagai berikut:
Gambar 4-1: Visualisasi graf server Bandung dengan seluruh Stasiun Pengamatan.
Terlihat pada gambar 4-1 graf berbentuk simetris, dapat dikatakan simetris karena jika ditarik garis lurus pada titik tengah jumlah simpul bagian atas dan bawah berjumlah sama. Graf diatas merepresentasikan hubungan antara server Bandung dengan Stasiun Pengamatan yang lain. Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
7
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Penggambar graf tidak perlu menghitung posisi (x,y) setiap simpul cukup memasukkan jumlah titik dan keterhubungan antar titik, karena posisi simpul akan dihitung oleh algoritma Force Directed Graph.
(a)
(b)
Gambar 4-2: (a) Hubungan antara LPD Sumedang dengan komputer alat (b) Hubungan antara komputer alat di LPD Sumedang dengan seluruh Stasiun Pengamatan.
Gambar 4-2(a) merupakan graf yang merepresentasikan hubungan dari komputer kontrol alat pengamatan yang terhubung dengan server lokal (LPD Sumedang). Gambar 4-2(b) merupakan jaringan computer LPD Sumedang yang digabungkan dengan seluruh Stasiun Pengamatan.
Gambar 4-3: Graf yang menghubungkan server Bandung dengan seluruh komputer kontrol alat pengamatan.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
8
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-3 merupakan visualisasi dari seluruh Stasiun Pengamatan yang terhubung dengan Pussainsa Bandung. Tujuan dari visualisasi adalah informasi atau data yang disajikan menjadi suatu wawasan bagi pengguna. Maka dari itu perlu ditambahkan suatu tanda pada Stasiun Pengamatan yang mengalami gangguan jaringan misalnya diberi warna merah pada simpul dan garis yang menghubungkannya. Untuk mengetahui jaringan yang bermasalah menggunakan utilitas jaringan pada sistem operasi yaitu fungsi ping. Setiap Stasiun Pengamatan dicek melalui alamat IP kemudian hasilnya dimasukan ke dalam basis data. Hasil scan IP tanggal 11 November 2014 pukul 14.15 adalah sebagai berikut:
(a)
(b)
Gambar 4-4: (a) Daftar IP seluruh komputer alat pada basis data (b) Daftar IP seluruh site pada basis data.
Status dengan nilai 1 menandakan bahwa jaringan tersebut terhubung, dan status dengan nilai 0 tidak terhubung ke dalam jaringan. Hasil dijadikan parameter untuk divisualisasikan ke dalam bentuk graf. Hasilnya adalah sebagai berikut
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
9
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-5: Hasil monitoring jaringan tanggal 14 November pukul 14.15.
Dilihat dari gambar 4-5 simpul BPD Pameungpeuk berwarna merah, apabila simpul lokasinya yang mengalami gangguan secara otomatis komputer alat pengamatan di lokasi tersebut mengalami gangguan jaringan. Selain itu dilihat dari gambar 4-5 komputer alat beacon pada Stasiun Pengamatan Yogyakarta mengalami gangguan. Monitoring jaringan dalam bentuk visualisasi graf menampilkan suatu informasi dalam grafis, diharapkan mempermudah pengelola jaringan untuk mengidentifikasi, dan mengetahui masalah pada jaringan. 5. KESIMPULAN Monitoring jaringan data pengamatan Pussainsa Bandung dapat divisualisasikan dalam bentuk graf. Simpul-simpul merepresentasikan Stasiun Pengamatan atau komputer alat dan garis merepresentasikan hubungan antar simpul. Algoritma FDG (Force Directed Graph) membantu penghitungan komputasi tata letak simpul dan garis. Hasil perhitungan algoritma FDG menghasilkan graf yang simetris dan simpul yang digambar terdistribusi secara merata. Visualisasi akan mempermudah pengelola dalam memantau jaringan data pengamatan Pussainsa. UCAPAN TERIMA KASIH Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih atas dorongan dan bantuan yang telah diberikan secara langsung maupun tidak langsung hingga selesainya Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
10
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
makalah ini. Ucapan terima kasih penulis diberikan kepada Bapak Teguh Harjana selaku Kepala Bidang Teknologi Pengamatan telah memberikan motivasi, Ibu Ellyani selaku Kepala Program yang telah memberikan masukan mengenai tatacara penulisan makalah, Bapak Yusuf yang telah memberikan data IP BPD/LPD/stasiun kerjasama dan penjelasan mengenai topologi jaringan, dan anggota bidang Teknologi Pengamatan yang tidak dapat disebut satu persatu. DAFTAR RUJUKAN Di Battista, G., A. Garg, G. Liutta, R. Tamassia, E. Tassinari, F. Vargiu, 1999. ”Graph Drawing: Algorithms for the visualization of graphs", New Jersey: Prentice-Hall. Eades, P., and R. Tamassia, 1994. ”Algorithms for Drawing Graphs: An Annotated Bibliography”, USA: The University of Texas Pressman. Fruchterman, T. M. J., and E. M. Reingold, 1991. ”Graph Drawing oleh Force-directed Placement”, USA: Department of Computer Science. Knuth, D., 1994. ”The Stanford GraphBase: A Platform for Combinatorial Computing”, New York: ACM Press. Laverty, D., D. J. Morrow, and T. Littler, 2007, ”Internet based loss-of-mains detection for distributed generation”, UPEC 2006, 42nd International, Universities Power Engineering. Mazza, R., 2004, ”Introduction to Information Visualisation”, Italia: University of Lugano. McKelvey, K., A. Rudnik, M. D. Conover, F. Menczer, 2012. ”Visualizing Communication on Social Media”, IN: Indiana University School of Informatics dan Computing. Pressman, R. S., 1994. ”Software Engineering: A Practitioner’s Approach”, McGraw-Hill. Sofana, I., 2012, ”Cisco CCNP dan Jaringan Komputer", Bandung, Penerbit Informatika. Zulfiana, A., 2012, ”Perbandingan Algoritma Force Directed Graph dengan Random Geometric Graph Pada Penggambaran Graf”, Skripsi, FPMIPA, Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
11
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING GELOMBANG IONOSFER TERKAIT GEMPA BUMI MENGGUNAKAN DATA GPS (GPSIONOQUAKE) (DEVELOPMENT OF MONITORING SYSTEM OF IONOSPHERIC WAVES ASSOCIATED WITH EARTHQUAKE USING GPS DATA (GPSIONOQUAKE)) Buldan Muslim1), Joni Effendi2), Edvin Aldrian3), Fakhrizal3), Bambang Sunardi3) dan Angga3) 1)
Pusat Sains Antariksa, LAPAN; 2) Badan Informasi Geospasial; 3) Puslitbang BMKG e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Gelombang gravitasi atmosfer dan infrasonik dapat ditimbulkan oleh aktivitas seismik seperti gempa bumi dan tsunami. Jika tsunami dan gempa bumi cukup kuat, gelombanggelombang tersebut dapat menjalar sampai ketinggian ionosfer sehingga fluktuasi ionosfer dalam orde gelombang gravitasi atmosfer dan infrasonik dapat muncul di ionosfer. Sistem monitoring gelombang ionosfer yang terkait dengan gempa bumi dari data GPS (GPSIONOQUAKE) telah dikembangkan dari jaringan stasiun pengamatan GPS di Indonesia dan sekitarnya. Menggunakan sliding Fast Fourier Transform (SFFT) pada data TEC differensial yang diestimasi dari data fase gelombang pembawa sinyal GPS, fluktuasi tidak teratur dalam orde beberapa puluh detik sampai beberapa puluh menit dapat dideteksi di ionosfer dengan amplitudo rata-rata yang bervariasi dalam orde kurang dari 0,01 TECU. Pada saat tertentu fluktuasi ionosfer menjadi lebih teratur dengan amplitudo mencapai lebih besar dari 0,01 TECU. Pengujian metodologi menggunakan data GPS pada hari terjadinya gempa bumi Aceh 26 Desember 2004 menunjukkan bahwa gelombang ionosfer dapat dideteksi beberapa menit sampai beberapa jam setelah gempa bumi dan tsunami yang tergantung pada jarak titik pengamatan ionosfer dari episenter gempa bumi. Kata kunci: GPS, TEC, ionosfer, gempa bumi, gelombang, gravitasi, infrasonik. ABSTRACT Atmospheric gravity and infrasonic waves can be exited oleh seismic activities such as earthquake and tsunami. If the tsunami and earthquake are strong enough, the waves can
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
12
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
propagate to a height of the ionosphere so that fluctuations in the ionosphere in the period order of atmospheric gravity and infrasonic waves can appear in the ionosphere. Monitoring system of ionosphere waves
associated
with the earthquake from GPS data
(GPSIONOQUAKE) has been developed from a network of GPS observation stations. Using sliding Fast Fourier Transform (SFFT) on differential TEC data estimated from the carrier phase data of the GPS signal, ionospheric irregular fluctuations in period order from seconds to tens of minutes can be detected in the ionosphere with an average amplitude which varies in the order of less than 0,01 TECU. At a certain moment the ionospheric fluctuations becomes more regular and have greater amplitude more than 0,01 TECU. The methodology examining using the GPS data during the occurrence of the December 26, 2004 Aceh earthquake shown that the ionosphere waves can be detected a few minutes to a few hours after the earthquake and tsunami that depends on the distance of the observation point of the ionosphere from the earthquake epicenter. Keywords: GPS, TEC, ionosphere, wave, infrasonic, gravity, earthquake, tsunami. 1. PENDAHULUAN Indonesia terletak di daerah pertemuan 3 lempeng tektonik, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan lempeng Pasific. Lempeng Indo-Australia bertemu dengan lempeng Eurasia di lepas pantai Sumatra, Jawa dan Nusa Tenggara, dan bertemu dengan lempeng Pasific di utara Irian dan Maluku utara. Di sekitar lokasi pertemuan lempeng ini akumulasi energi tabrakan terkumpul sampai suatu titik dimana lapisan bumi tidak lagi sanggup menahan tumpukan energi sehingga terjadi pelepasan energi. Pelepasan energi tersebut menimbulkan bencana berupa gempa bumi dan tsunami. Untuk mengurangi dampak gempa bumi di laut yang menimbulkan tsunami, telah dikembangkan sistem peringatan dini tsunami oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) bekerjasama dengan instansi luar negeri di Jerman. Sistem peringatan dini tsunami tersebut dikenal dengan German-Indonesia Tsunami Early Warning System (GITEWS). Sistem peringatan dini tsunami bekerja berdasakan model hubungan litosfer dan hidrosfer. GITEWS telah selesai dibangun dan telah diserahkan secara penuh oleh Jerman kepada Indonesia pada 31 Maret 2011 (GITEWS, 2014). Bagaimanapun juga peringatan dini tsunami perlu diklarifikasi melalui pemantauan gelombang laut dari posisi yang diukur dengan Global Positioning System (GPS) yang dikenal dengan buoy. Tetapi buoy ini banyak mengalami kendala, baik dalam sistem keamanan peralatan di laut lepas yang lemah maupun dalam menghadapi gangguan dari alam. Maka
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
13
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
diperlukan sistem klarifikasi dengan metode lainya yang lebih murah dan lebih efektif. Occipinthi et al. (2008a) menyarankan agar data total electron content yang diturunkan dari data GPS yang dapat disingkat dengan TEC GPS (bukan posisi alat penerima GPS yang terletak di laut) dapat segera diintegrasikan dengan sistem peringatan dini yang sudah ada. Berbeda dengan buoy, sistem pendukung peringatan dini tsunami berbasis TEC GPS tidak memerlukan stasiun GPS di laut lepas, tetapi cukup menggunakan jaringan pengamatan GPS di daratan yang sudah ada karena satu alat penerima GPS dapat mengamati beberapa titik ionosfer yang tersebar di sekitar stasiun GPS sampai lebih dari ratusan km sehingga bisa menjangkau pengamatan ionosfer di atas laut. Gempa bumi dan tsunami yang besar dapat menimbulkan gelombang gravitasi atmosfer dan gelombang infrasonik yang menjalar sampai ketinggian ionosfer sehingga ionosfer berfluktuasi dalam orde periode gelombang gravitasi atmosfer dan infrasonik. Jika informasi gelombang di ionosfer yang terkait dengan gempa bumi dan tsunami dapat diketahui secara real time, peringatan dini tsunami dan informasi gempa bumi dapat diklarifikasi dengan informasi gelombang ionosfer. Maka dari itu LAPAN, BMKG dan Badan Informasi Geospasial (BIG) telah mencoba bekerjasama mengoptimalkan sumber daya yang ada untuk mengembangkan sistem monitoring gelombang ionosfer dari jaringan stasiun pengamatan GPS (yang selanjutnya kami namakan secara singkat dengan GPSIONOQUIKE). Sistem tersebut tidak dimaksudkan untuk menggantikan GITEWS yang sudah ada melainkan untuk melengkapi dan memperkuat sistem yang sudah ada. Jika GPSIONOQUAKE dapat terwujud dan bisa diimplementasikan, maka harapan besar dari masyarakat bisa dipenuhi. Secara teknis kerjasama pengembangan GPSIONOQUAKE oleh LAPAN, BIG dan BNMKG sudah berjalan sejak 2014. Makalah ini menjelaskan status GPSIONOQUAKE yang sedang dikembangkan dan arah pengembangan selanjutnya untuk memperkuat sistem peringatan dini tsunami di Indonesia. 2. DASAR TEORI Pengaruh gempa bumi terhadap ionosfer melalui kopling litosfer-atmosfer-ionosfer. Lognonne et al. (2006) menjelaskan bahwa gelombang seismik dengan amplitudo terbesar di permukaan bumi merupakan gelombang permukaan yang salah satunya adalah gelombang Rayleigh. Gelombang seismik menjalar sepanjang permukaan bumi melalui kerak dan mantel bagian atas dengan kecepatan antara 3 – 4 km / detik. Gelombang tersebut dapat menghasilkan gelombang atmosfer yang menjalar ke atas dengan periode lebih besar dari 10 detik. Gelombang infrasonik tersebut menjalar di atmosfer dan ketika sampai di ionosfer, energi Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
14
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
gelombangnya ditransfer ke ionosfer melalui tumbukan dengan ion dan elektron sehingga dapat memunculkan gelombang infrasonik di ionosfer. Gelombang infrasonik tersebut dapat dideteksi dengan beberapa peralatan pengamatan ionosfer termasuk GPS. Adapun teori kopling laut-atmosfer-ionosfer saat terjadi tsunami telah dijelaskan oleh Occhipinti et al. (2008b) yang secara ringkas dapat disimpulkan bahwa: a. Berdasarkan analisis teori kopling laut-atmosfer-ionosfer melalui gelombang gravitasi atmosfer internal yang ditimbulkan oleh tsunami menunjukkan bahwa secara kuantitatif tanda-tanda pengaruh tsunami di ionosfer dapat dihitung. b. Dan kebetulan didukung dengan komponen medan magnet di daerah ekuatorial dan lintang rendah yang mendekati horisontal, arah kecepatan partikel netral saat terjadi gelombang gravitasi sejajar dengan medan magnet bumi sehingga dapat menjalar sampai ionosfer lebih tinggi dibandingkan propagasi gelombang gravitasi atmosfer di daerah lintang tengah dan tinggi. c. Perubahan kerapatan elektron ionosfer yang disebabkan oleh gelombang gravitasi atmosfer internal melalui kopling partikel netral dan terionisasi di ionosfer dapat dideteksi melalui pengamatan TEC yang diturunkan dari data GPS. d. Di samping itu propagasi gelombang gravitasi akustik juga telah dikaji secara teoritis yang menunjukkan bahwa gelombang gravitasi akustik dapat dideteksi di ionosfer dengan kecepatan yang jauh lebih besar dari kecepatan gelombang gravitasi atmosfer internal. 3. DASAR EKSPERIMEN Berdasarkan data TEC GPS, pengaruh tsunami pada ionosfer melalui beberapa gelombang gravitasi atmosfer dan akustik telah banyak ditemukan untuk kasus gempa bumi besar seperti kasus Aceh 26 Desember 2004 dan Tohoku 11 Maret 2011. Choosakul et al. (2009) telah menemukan osilasi periodik sekitar 4 menit dari data TEC yang diturunkan dari data GPS SAMP (Sampali, Medan) dan PHKT (Phuket, Thailand) setelah gempa bumi dan tsunami di Aceh 26 Desember 2004. Dari data GPS diketahui osilasi sekitar 4 menit di ionosfer memanjang antara 4oLU sampai 15oLU yang mirip dengan luas retakan gempa bumi Aceh. Choosakul et al. (2009) telah mengaitkan osilasi ionosfer ini sebagai gelombang akustik di ionosfer yang disebabkan oleh gempa bumi. Menggunakan beberapa peralatan yang berbeda, Hao et al., (2012) telah mengkonfirmasi bahwa gelombang ionosfer dengan periode sekitar 3-5 menit disebabkan oleh gelombang infrasonik yang disebabkan oleh gelombang Rayleigh yang bersumber dari gempa bumi Tohoku sekitar 10 menit sebelumnya. Kecepatan fase gangguan ionosfer tersebut diestimasi Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
15
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
sekitar 3,6 km/detik yang setara dengan kecepatan gelombang Rayleigh. 4. PERALATAN Gambar 4-1 menjelaskan GPSIONOQUAKE yang terdiri dari alat penerima GPS milik Badan Informasi Geospasial (BIG) di Cibinong. Sekitar 9 stasiun GPS BIG dapat diakses setiap 1 jam dan dua stasiun GPS dapat diakses setiap 1 menit.
Gambar 4-1: Sistem monitoring gelombang ionosfer menggunakan jaringan stasiun pengamatan GPS Badan Informasi Geospasial di Cibinong.
Dua stasiun GPS telah diset untuk pengamatan setiap 1 detik dan data disimpan setiap 1 menit satu berkas (file). Server TEC di BIG digunakan untuk menyimpan data GPS dengan format Receiver Indepemdent Exchange Format (RINEX) sementara sebelum digunakan untuk penentuan TEC. PC monitor dan kontrol di LAPAN Bandung digunakan untuk monitor operasional pengamatan TEC GPS yang beroperasi di Cibinong melalui perangkat lunak Tiem Viewer. Hasil pengamatan TEC GPS juga dapat diunduh oleh BMKG sehingga hasil monitoring gelombang ionosfer dapat digunakan untuk penelitian gempa bumi dan tsunami. Sistem ini merupakan pengembangan dari sistem komputasi TEC otomatis dari data GPS BIG yang disingkat dengan TEC GPS BIG LAPAN (Buldan et al., 2013).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
16
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
4.2 Data dan Metodologi Setiap satu menit pengamatan data GPS format RINEX resolusi 1 Hz disimpan dalam satu berkas (file) pengamatan. Data GPS tersebut digunakan untuk komputasi TEC setiap menit yang disimpan dalam satu berkas. Metodologi yang digunakan dalam GPSIONOQUAKE pada intinya terdiri dari 3 tahap utama yaitu kombinasi data GPS otomatis, komputasi TEC otomatis, dan analisis spektrum otomatis. Diagram alir metodologi yang digunakan dalam GPSIONOQUAKE diperlihatkan pada Gambar 4-2. Penjelasan diagram alir tersebut adalah sebagai berikut: 4.2.1 Kombinasi data GPS GPSIONOQUAKE pertama kali mendeteksi adanya berkas data GPS format RINEX yang ada di folder /komgps. Jika berkas data GPS format RINEX terdeteksi maka program combiner.exe langsung mengkonversinya menjadi data kombinasi GPS yaitu hasil perhitungan L1-L2, P1-P2, data posisi stasiun dan data waktu pengamatan (epok). Jika tidak ada data GPS dalam folder /komgps maka combiner.exe akan menunggu beberapa detik sebelum melakukan deteksi di folder tersebut. Penjelasan lanjut kombinasi data GPS untuk estimasi TEC dapat dilihat di makalah Buldan dkk., (2013). 4.2.2 Konversi data kombinasi GPS ke TEC Setelah data GPS dikombinasikan maka data RINEX segera dipindahkan ke folder /obsgps/tahun/doy sesuai dengan data pengamatan pada hari ke berapa (doy singkatan dari day of year) dan pada tahun sesuai data pengamatan. Adapun data hasil kombinasi masuk secara otomatis di folder /komgps/komgps. Di folder ini program com2tec.exe sudah mendeteksi setiap saat keberadaan data tersebut. Jika ada data masuk dalam folder itu maka com2tec.exe segera mengubahnya menjadi TEC dan hasil perhitungannya dimasukkan dalam folder /komgps/komgps/tecgps/tahun/doy. Ada dua jenis data TEC yaitu data TEC GPS tiap menit dan data TEC GPS tiap jam. Maka dalam folder /doy ada lagi folder /jam dan folder /men. Selain itu untuk monitoring aktivitas gelombang infrasonik, 10 menit data terakhir masuk di folder komgps/komgps/tecgps/menlatest. Bagaimana menghitung TEC dari data GPS telah dijelaskan pada makalah sebelumnya yang terbit di proseding Siptekgan internasional yang disusun oleh Buldan dkk., tahun 2013.
4.2.3 Analisis spektrum Analisis spektrum gelombang ionosfer dilakukan setiap saat ada data baru di folder /menlatest. Jika ada data baru maka program infraion.exe segera melakukan pembacaan berkas data TEC menitan dan dikumpulkan untuk 10 menit, kemudian dilakukan perhitungan FFT Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
17
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
setiap 5 menit data TEC dan bergerak setiap satu detik yang disingkat dengan Sliding FFT (SFFT). Untuk data GPS setiap jam, digunakan SFFT setiap satu jam dan bergerak setiap 30 detik. Hasil analisis spektrum berupa informasi periodisitas variasi TEC dari orde detik sampai sekitar 500 detik (dari data TEC 1 Hz, dengan berkas setiap menit) dan informasi gelombang ionosfer dengan periode beberapa menit sampai puluhan menit (dari data GPS setiap 30 detik dalam berkas setiap satu jam). Hasil analisis berupa gambar spektrum dan nilai numeriknya secara otomatis disimpan dalam folder /spektrumlatest dan spektrum/tahun/doy. Data analisis spektrum yang masuk folder spektrumlatest digunakan untuk monitoring gelombang ionosfer dalam orde infrasonik secara near real time dan untuk keperluan penyebaran informasi melalui website atau sebagai bahan informasi website yang dinamis. Komputer yang ada di BIG pada akhir tahun 2014 telah dijadikan server dan telah diberi IP publik sehingga setiap saat bisa diunduh melalui internet. Untuk berkas data GPS tiap menit telah digunakan data pengamatan TEC selama 10 menit, sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi gelombang ionosfer infrasonik dengan periode beberapa puluh detik sampai beberapa menit. Adapun gelombang gravitasi atmosfer yang disebabkan tsunami memiliki periode beberapa puluh menit dapat dideteksi dengan data sepanjang 1 jam pengamatan dengan resolusi pengamatan GPS yang standar yaitu setiap 30 detik. Kejadian gempa bumi yang disertai tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember 2014 telah digunakan untuk pengujian metodologi yang dikembangkan. Tiga stasiun GPS yaitu SAMP (di Sampali, Medan), IISC (India) dan COCO (Cocos Island) telah diolah untuk mendapatkan nilai TEC dari data fase sinyal GPS.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
18
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-2: Diagram alir sistem monitoring gelombang ionosfer dari data GPS
Perbedaan nilai TEC dari satu waktu pengamatan ke nilai TEC pada waktu pengamatan sebelumnya disebut dengan TEC differensial, yang digunakan untuk menghilangkan variasi periode panjang TEC GPS. Walaupun nilai TEC differensial sudah dapat menunjukkan variasi Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
19
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
kecil jangka pendek tetapi gerakan satelit telah mempengaruhi kecenderungan data jangka beberapa jam sehingga perlu dilakukan penyaringan menggunakan metode polinom. Orde polinom yang digunakan adalah orde 3 untuk eliminasi trend jangka panjang dalam satu jam. 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Status GPSIONOQUAKE Gambar 5-1 menunjukkan tampilan gelombang ionosfer dalam orde periode infrasonik yang ditampilkan di PC TEC di BIG. Status saat ini yaitu pada akhir tahun 2014, GPSIONOQUAKE dapat digunakan untuk monitoring gelombang ionosfer. Dari hasil percobaan GPSIONOQUAKE dapat memunculkan fluktuasi di ionosfer dalam orde periode gelombang infrasonik mulai dari beberapa puluh detik sampai beberapa ratus detik dan dari orde beberapa menit sampai puluhan menit. Pada Gambar 5-1 diketahui adanya fluktuasi dengan periode sekitar 48 detik yang terjadi sekitar pukul 0,87 UT atau pukul 00:52 UT. Walaupun data pengamatan tiap detik tetapi waktu kemunculan gelombang sulit dilihat sampai orde detik karena kejadian gelombang tidak mendadak pada detik tertentu dan periodenya mendekati orde menit. Amplitudo gelombang rata-ratanya sekitar 0,01 TECU dari stasiun pengamatan GPS di Cibinong dengan kode stasiun BAKO untuk satelit dengan PRN 30 (paling atas). Periode fluktuasi sekitar 48 detik tersebut semakin besar periodenya menjadi lebih dari 50 detik setelah pukul 1.2 UT atau pukul 01:12 UT (no 2 dari atas). Pada pukul 1,32 UT (sekitar pukul 01:19 UT) fluktuasi tersebut sudah mulai melemah dengan amplitudo kurang dari 0,01 TECU, dengan periode lebih besar dari 65 detik (no 3 dari atas). Dari spektrum fluktuasi TEC ionosfer telah diidentifikasi juga periodisitas sekitar 120 detik (2 menit) dengan amplitudo sekitar 0,01 TECU. Dengan melihat karakteristik gelombang yang dideteksi yaitu periodenya masuk dalam orde gelombang infrasonik, periode gelombang yang semakin membesar seiring dengan berjalannya waktu, dan amplitudo yang semakin melemah dapat diduga bahwa gelombang tersebut merupakan gelombang infrasonik yang bersumber dari lapisan di bawah ionosfer seperti gempa bumi, petir, kilat, puting beliung, bukan dari atas ionosfer seperti aktivitas matahari, magnetosfer dll.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
20
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 5-1: GPSIONOQUAKE mendeteksi adanya fluktuasi dengan periode sekitar 48 di ionosfer dari satelit GPS dengan PRN 30 (paling atas). Periode fluktuasi tersebut semakin besar menjadi lebih dari 50 menit setelah pukul 1,2 UT atau pukul 01:12 UT (no 2 dari atas) dan akhirnya dengan periodenya lebih besar dari 65 detik (no 3 dari atas). Diidentifikasi juga periodisitas sekitar 120 detik (2 menit) dengan amplitudo mencapai 0,01 TECU (paling bawah).
Sistem monitoring gelombang ionosfer telah dapat beroperasi secara otomatis dan near real time yang tertunda setiap satu atau dua menit. Tetapi dalam kondisi tertentu pengiriman data dari alat GPS melalui jaringan lokal di BIG mengalami hambatan sehingga bisa tertunda sampai satu jam. Hal ini disebabkan oleh gangguan jaringan area lokal (LAN) di BIG. Untuk keperluan monitoring gelombang ionosfer yang terkait dengan gempa bumi dan tsunami, GPSIONOQUAKE perlu dikombinasikan dengan data seismik dari pengamatan di
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
21
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
permukan bumi. Oleh karena itu GPSIONOQUAKE telah dicoba dibuka aksesnya untuk BMKG. Data hasil monitoring gelombang ionosfer dapat digunakan untuk penelitian koplinglitosfer-atmosfer-ionosfer dan untuk kajian serta verifikasi sistem sebelum digunakan untuk operasional dalam memperkuat sistem peringatan dini tsunami. 5.2 Pengujian GPSIONOQUAKE untuk deteksi efek gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004 Menggunakan metodologi yang dikembangkan, TEC ionosfer telah dapat dihitung dari data fase gelombang pembawa sinyal GPS dari stasiun pengamatan GPS di Sampali, Medan Sumatra Utara dengan kode stasiun SAMP, dari stasiun GPS di India dengan kode stasiun IISC dan setasiun GPS di Cocos Island dengan kode stasiun COCO. Dari data TEC GPS tersebut gelombang ionosfer dengan sekala periode gelombang infrasonik yang disebabkan oleh gempa bumi Aceh 26 Desember 2004 telah dapat dideteksi sekitar 13 menit setelah gempa bumi sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 5-2 bagian atas dan lokasi titik pengamatan ionosfernya ditunjukkan pada Gambar 5-2 bagian tengah. Pada bagian bawah Gambar 5-2 ditunjukkan posisi propagasi tsunami pada pukul 01:12 UT. Kejadian gempa Aceh saat tersebut mendekati pukul 00:59:00 sehingga selisih waktu gempa dengan waktu terjadinya geombang infrasonik di ionosfer (gelombang ionosfer infrasonk) sekitar 13 menit. Jarak antara titik ionosfer diamati di koordinat (12,1751o LU, 93,889oBT) dan episenter gempa bumi di koordinat sekitar (3,3oLU, 95,9oBT) adalah sekitar 1011 km. Dan jarak lurus dari episenter gempa ke titik ionosfer yang diamati pada ketinggian 350 km adalah sekitar 1069 km. Jika dianggap gelombang menjalar dari episenter tsunami langsung ke titik ionosfer maka gelombang infrasonik di atmosfer (gelombang atmosfer infrasonik) harus menjalar dengan kecepatan sekitar 1371 meter/detik. Padahal kecepatan gelombang atmosfer infrasonik hanya sekitar beberapa ratus meter/detik. Chum et al (2012) mendapatkan kecepatan gelombang atmosfer infrasonik ini sekitar 407 meter/detik. Oleh karena itu tidak mungkin gelombang atmosfer infrasonik yang dideteksi di ionosfer sebagai gelombang ionosfer infrasonik menjalar langsung melalui atmosfer dari pusat gempa. Propagasi gelombang atmosfer infrasonik ke ionosfer dapat diterangkan melalui dua jalan. Pertama melalui permukaan bumi yang dikenal dengan gelombang Rayleigh dengan kecepatan sekitar 3 – 4 km/detik. Kemudian gelombang atmosfer infrasonik menjalar vertikal dari permukaan bumi ke ionosfer pada ketinggian ionosfer yang dideteksi dengan GPS sekitar 350 km. Dengan asumsi kecepatan gelombang Rayleigh 3,6 km/detik maka geombang seismik tersebut mencapai koordinat titik ionosfer di permukaan bumi adalah 4,7 menit. Maka waktu
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
22
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
yang dibutuhkan geombang atmosfer infrasonik dari permukaan bumi sampai ionosfer adaah 8,3 menit sehingga kecepatan geombang atmosfer infrasonik sekitar 700 meter/detik. Deteksi geombang gravitasi atmosfer di ionosfer setelah tsunami dapat dilakukan dengan metode yang sama. Setelah dilakukan SFFT hasilnya ditunjukkan pada Gambar 5-3 bagian atas. Lokasi titik ionosfer diperlihatkan pada Gambar 5-3 bagian tengah dan estimasi propagasi tsunami pada saat tersebut ditunjukkan pada Gambar 5-3 bagian bawah. Dari Gambar 5-3 bagian tengah dan bawah diketahui waktu tsunami mencapai lokasi koordinat titik ionosfer di permukaan bumi adalah sekitar pukul 01:53 UT. Sekitar 8 menit kemudian atau sekitar pukul 2:02 UT gejala gelombang ionosfer dengan periode sekitar 34 menit mulai terlihat di Gambar 5-3 bagian atas. Dengan cara yang sama dapat diketahui bahwa gelombang ionosfer dengan periode sekitar 22 menit dan 34 menit dapat dideteksi di ionosfer dari stasiun GPS COCO sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5-4 bagian atas. Terdeteksinya gelombang ionosfer dalam sekala periode gelombang gravitasi atmosfer di atas Cocos Island memperkuat penjelasan bahwa propagasi gelombang ionosfer yang bersumber dari tsunami Aceh menjalar melalui dua media. Pertama melalui hidrosfer yang dibawa oleh tsunami dari episenternya di Aceh sampai di sebelah Timur Cocos Island seperti terlihat pada Gambar 5-4 bagian tengah.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
23
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 5-2: Gelombang ionosfer infrasonik muncul sekitar 13 menit setelah gempa bumi Aceh, 26 Desember 2004 pukul 00:59 UT (bagian atas), di titik ionosfer (bagian tengah, dan status tsunami Aceh 26 Desember 2004, 13 menit setelah gempa.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
24
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 5-3: Gelombang ionosfer dengan periode sekitar 34 menit dapat dideteksi dari data TEC GPS setelah dilakukan analisis spektrum menggunakan SFFT (bagian atas), di lokasi titik ionosfer yang diamati (bagian tengah), dan kondisi propagasi tsunami Aceh pada pukul 01:51 UT.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
25
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 5-4: Gelombang ionosfer teramati dari data TEC GPS sekitar pukul 4:00 UT dengan periode 22 menit (bagian atas) di titik ionosfer di sebelah timur Cocos Island (bagian tengah). Kondisi propagasi tsunami pada pukul 03:43 beberapa menit sebelum terdeteksinya gelombang ionosfer (bagian bawah).
Jika asumsi kecepatan gelombang ionosfer infrasonik sebesar 700 m/detik diterapkan disini maka jika gelombang ionosfer dianggap sampai ketinggian 350 km dicapai dalam 8,3 menit, berarti tsunami tersebut telah mencapai Cocos Island 8,3 menit sebelumnya. Berdasarkan simulasi tsunami yang dikeluarkan NOAA, tsunami dengan ketinggian kurang dari 0,5 meter telah mencapai Cocos Island pada pukul 3:43 UT. Waktu yang dibutuhkan tsunami mencapai Cocos Island adalah sekitar 2 jam 44 menit. Jarak horisontal episenter gempa sampai titik ionosfer adalah sekitar 1724 km. Jadi kecepatan tsunami diestimasi dari kejadian gelombang ionosfer adalah sekitar 631 km / jam. Kemudian tsunami tersebut menimbulkan gelombang Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
26
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
gravitasi atmosfer dan menjalar vertikal dan sampai ke ionosfer 8,3 menit kemudian yaitu sekitar pukul 3:51 UT. Dari Gambar 5-4 bagian bawah dan atas diketahui bahwa perhitungan ini sesuai dengan waktu pengamatan gelombang ionosfer dengan periode sekitar 22 menit. Dari tiga stasiun GPS yaitu SAMP di Sampali, IISC di India dan COCO di Cocos Island telah dibuktikan bahwa metodologi yang dikembangkan mampu mendeteksi gelombang ionosfer yang bersumber dari gempa bumi melalui gelombang seismik dan gelombang infrasonik, dan dapat mendeteksi gelombang ionosfer yang bersumber dari tsunami melalui hidrosfer secara horisontal dan menjalar vertikal melalui atmosfer dalam bentuk gelombang atmosfer infrasonik. 5.4 Pengembangan Sistem Untuk Keperluan Operasional GPSIONOQUKAE baru dapat digunakan untuk monitoring gelombang ionosfer yang terkait dengan aktivitas gelombang infrasonik dengan periode kurang dari 5 menit dan gelombang gravitasi atmosfer di ionosfer dengan periode beberapa puluh menit. Untuk monitoring gelombang ionosfer infrasonik, sistem belum dapat digunakan untuk estimasi arah dan besar kecepatan gelombang ionosfer karena masih menggunakan dua alat penerima GPS beresolusi 1 Hz. Adapun dari data GPS tiap jam, sistem monitoring dapat digunakan untuk estimasi propagasi tsunami melalui gelombang ionosfer karena sudah menggunakan 8 stasiun GPS, tetapi pengumpulan data otomatis setiap 1 jam belum memenuhi kebutuhan untuk operasional. Untuk dapat digunakan secara operasional pemantauan gelombang ionosfer terkait gempa bumi dan tsunami, GPSIONOQUAKE memerlukan minimal 3 GPS receiver dengan resolusi 1 Hz yang dapat disimpan datanya setiap 10 detik. Jarak antar stasiun GPS adalah sedemikian sehingga kecepatan gelombang infrasonik sekitar beberapa km/detik masih dapat dideteksi. Hal ini membutuhkan jarak antar stasiun GPS sekitar 30 km. Dengan demikian sistem monitoring dapat memberikan informasi gelombang ionosfer yang diupdate setiap 10 detik. Untuk transfer data GPS dari 3 stasiun dibutuhkan kabel fiber optik agar stabil dan cepat. PC yang dibutuhkan adalah yang memiliki kecepatan tinggi, dengan media penyimpan data yang dinamis sehingga dapat ditambah sesuai kebutuhan tanpa menghentikan operasional sistem. Dengan demikian diperlukan pengembangan perangkat lunak yang dapat membaca streaming data GPS format Networked Transport of RTCM via Internet Protocol (NTRIP).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
27
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Gelombang ionosfer telah dapat dimunculkan dengan sistem monitoring gelombang ionosfer GPSIONOQUAKE. Osilasi periodik ionosfer sama dengan dengan orde osilasi gelombang infrasonik sampai gelombang gravitasi atmosfer. Adapun gangguan ionosfer yang tidak reguler periodenya hampir tiap saat terjadi dengan amplitudo yang lebih kecil dari gelombang yang periodik dan reguler. Pengujian metodologi untuk deteksi efek gempa bumi dan tsunami Aceh 26 Desember 2004
pada
lapisan
ionosfer
menunjukkan
bahwa
metodologi
yang
digunakan
GPSIONOQUAKE mampu mendeteksi gelombang ionosfer yang disebabkan oleh gempa bumi dan tsunami tersebut. GPSIONOQUAKE perlu dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat digunakan untuk monitoring arah pergerakan gelombang ionosfer sehingga dapat dijadikan bahan informasi untuk perkiraan episenter gempa bumi dan monitoring tsunami melalui gelombang ionosfer dan dapat dijadikan sebagai penguat sistem peringatan dini tsunami di Indonesia. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada LAPAN yang telah memberikan dukungan fasilitas untuk pengembangan sistem GPSIONOQUAKE, kepada BIG yang telah memberikan ijin penempatan komputer server dan untuk komputasi TEC dari jaringan pengamatan GPS yang dikelolanya, dan kepada BMKG yang telah mempercayakan pengembangan sistem kepada penulis. DAFTAR RUJUKAN Choosakul, N., A. Saito, T. Iyemori, dan M. Hashizume, 2009, “Excitation of 4-Min Periodic Ionospheric Variations Following The Great Sumatra-Andaman Earthquake In 2004”, JOURNAL OF GEOPHYSICAL RESEARCH, VOL. 114. Chum, J., F. Hruska, J. Zednik, and
J. Lastovicka, 2012,” Ionospheric Disturbances
(Infrasound Waves) over The Czech Republic Excited”, the 2011 Tohoku earthquake, JOURNAL OF GEOPHYSICAL RESEARCH, VOL. 117, A08319. Hao, Y.Q., Z. Xiao, and D. H. Zhang, 2012, “Multi-Instrument Observation on Co-Seismic Ionospheric
Effects
after
Great
Tohoku
Earthquake”,
JOURNAL
OF
GEOPHYSICAL RESEARCH, VOL. 117. Lognonné, P., R. Garcia, F. Crespon, G. Occhipinti, A. Kherani, J. Artru-Limbin, 2006, “Seismic waves in the ionosphere”, European Journal of Physics, 37, 4, 200.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
28
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Muslim, B., J. Effendi, R. Suryana, 2013, “Developing Real Time GPS TEC Computing System”, Proceeding of International SIPTEKGAN, Serpong, 3 Desember 2013. Occhipinti G., A. Komjathy, P. Lognonne, 2008a, “Tsunami Detection oleh GPS, How Ionospheric Observation Might Improve the Global Warning System”, GPS World, February, 2008. Occhipinti, G., E. A., Kherani, and P., Lognonn´e, 2008b, “Geomagnetic Dependence of Ionospheric Disturbances Induced Oleh Tsunamigenic Internal Gravity Waves”, Geophys. J. Int.,173, 753–765. GITEWS, 2014, www.gitews.org, diakses 2 Nopember 2014.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
29
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
KAJIAN AKURASI DAN EFISIENSI KOMPUTASI MODEL ATMOSFER RUSSIAN GOST DALAM PERHITUNGAN KERAPATAN ATMOSFER (A STUDY ON THE ACCURACY AND COMPUTATIONAL EFFICIENCY OF RUSSIAN GOST MODEL IN CALCULATING ATMOSPHERIC DENSITY) Desy Novia1), Abdul Rachman2), Judhistira Aria Utama1) 1)
Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UPI 2)
Pusat Sains Antariksa, LAPAN
e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kerapatan atmosfer adalah salah satu faktor yang menentukan dinamika populasi sampah antariksa yang mengorbit bumi. Dalam penelitian ini, telah dikaji profil kerapatan atmosfer memakai model Russian GOST. Implementasi model dilakukan dengan memakai perangkat lunak Matlab. Adapun validasinya dilakukan dengan membandingkan nilai kerapatan atmosfer yang diperoleh di ketinggian 650 km dengan nilai yang diperoleh dari model NRLMSISE-00 sejak Januari 2008 hingga Desember 2011. Hasil kajian menunjukkan bahwa model Russian GOST dan NRLMSISE-00 memberikan nilai kerapatan atmosfer total yang serupa dengan koefisien korelasi 0,97. Standard deviasi selisih rata-rata bulanan kedua model bernilai 6,05x1016
kg/m3 pada saat aktivitas Matahari rendah (F10,7 < 90 sfu) dan 2,97x10-15 kg/m3 pada saat
aktivitas Matahari tinggi (F10,7 > 90 sfu). Sekalipun ada indikasi bahwa hasil kerapatan atmosfer model Russian GOST menurun akurasinya dengan meningkatnya aktivitas Matahari, namun model ini mampu menghitung 100 kali lebih cepat dibandingkan model NRLMSISE00. Kata kunci: kerapatan atmosfer, model Russian GOST, model NRLMSISE-00.
ABSTRACT Atmospheric density is one of the factors that determine the dynamics of space debris population orbiting the Earth. We have studied the atmospheric density profile using Russian GOST model. We implemented the model oleh using Matlab. The validation was conducted oleh comparing atmospheric density values obtained at altitude of 650 km with NRLMSISESeminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
30
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
00 model since 2008 to 2011. The result shows that both model give similar atmospheric densities with a correlation coefficient of 0.97. Standard deviation of the difference between the monthly average of the two models is worth 6.05x10-16 kg/m3 at the time of low solar activity (F10.7 < 90 sfu) and 2.97x10-15 kg/m3 at the time of high solar (F10.7 > 90 sfu). Although there is indications that the results of atmospheric density models Russian GOST decreases accuracy with increasing solar activity, however Russian GOST model is able to calculate 100 times faster than NRLMSISE-00 model. Keywords: atmospheric density, Russian GOST model, NRLMSISE-00 model. 1. PENDAHULUAN Sampah antariksa merupakan dampak/akibat dari penjelajahan angkasa yang telah berlangsung lebih dari 50 tahun. Sampah antariksa meliputi semua benda antariksa buatan manusia yang sudah tidak memiliki fungsi. Sampah ini mencakup bekas roket (rocket bodies), sampah yang sengaja dilepaskan sesuai dengan rancangan misi (mission related debris), serpihan-serpihan hasil pecahnya sebuah benda antariksa (fragmentation debris), dan satelit yang tidak lagi berfungsi (nonfunctional spacecraft) (NASA, 1997). Saat ini, sekitar 94% benda buatan yang mengorbit bumi adalah sampah antariksa. Dinamika populasi sampah antariksa salah satunya ditentukan oleh kondisi atmosfer yang menghambat gerak benda-benda antariksa dalam orbitnya. Studi dinamika populasi sampah antariksa membutuhkan model atmosfer yang tidak hanya akurat namun juga efisien proses komputasinya. Efisiensi proses komputasi dibutuhkan dikarenakan dua hal: pertama, sangat banyaknya objek antariksa yang perlu diperhitungkan yang saat ini telah mencapai lebih dari 16000 untuk sampah yang berukuran lebih dari 10 cm dan kedua, panjangnya rentang waktu simulasi yang diperlukan untuk memperhitungkan faktor perubahan aktivitas matahari yang satu siklusnya membutuhkan waktu sekitar 11 tahun. Studi dinamika populasi sampah antariksa ini dapat memanfaatkan model-model kerapatan atmosfer yang telah tersedia. Dua di antaranya adalah model Russian GOST dan NRLMSISE-00. Model atmosfer Russian GOST adalah metode analitik untuk memprediksi kerapatan atmosfer atas berdasarkan hasil pengamatan satelit-satelit Cosmos milik Rusia. Model ini berlaku untuk satelit di ketinggian 120 hingga 1500 km dari permukaan bumi (Vallado, 2007). Sedangkan model atmosfer NRLMSISE-00 adalah model empiris yang merupakan perbaikan dari model MSIS-90 (Picone, 2002). Menggunakan model atmosfer yang sangat kompleks seperti NRLMSISE-00 akan sangat berpengaruh pada waktu komputasi yang diperlukan.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
31
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Dalam kaitannya dengan studi awal dinamika populasi sampah antariksa, model Russian GOST adalah salah satu model yang tepat untuk dipilih. Alasannya adalah karena model ini memiliki kemudahan dan kesederhanaan dalam implementasi komputernya dengan tetap memiliki akurasi yang cukup tinggi. Model ini memiliki akurasi 90% jika aktivitas matahari rendah (tanpa badai geomagnet) dan sekitar 70% jika terjadi badai geomagnetik (Vallado, 2007). Oleh karena itu, studi ini bermaksud mengkaji lebih jauh tentang model Russian GOST dengan membandingkan akurasi dan efisiensi komputasinya dengan model NRLMSISE-00 yang merupakan model atmosfer standar saat ini. 2. LANDASAN TEORI Model atmosfer Russian GOST adalah metode analitik untuk memprediksi kerapatan atmosfer atas berdasarkan gangguan akibat hambatan atmosfer yang dialami satelit-satelit Cosmos milik Rusia. Model ini berlaku untuk satelit di ketinggian 120 hingga 1500 km. Keuntungan dari model analitik ini adalah kesederhanaan dan kemudahan penerapannya di komputer. Kesalahan relatif dalam perhitungan kerapatan atmosfer dengan menggunakan model GOST di ketinggian 200-500 km adalah 10% selama aktivitas Matahari minimum dan sekitar 30% selama badai geomagnetik (Vallado,2007). Faktor-faktor yang diperhitungkan dalam model GOST adalah profil kerapatan di waktu malam n , koreksi aktivitas Matahari k0 , efek harian kerapatan atmosfer k1 , koreksi musiman k 2 , koreksi perubahan kerapatan atmosfer terhadap aktivitas Matahari k3 , koreksi aktivitas
Geomagnet k 4 . Berikut ini adalah persamaan dari model Russian GOST.
n k 0 k1 k 2 k 3 k 4 ............................................ (2-1) Faktor k dan memiliki perumusan yang dapat dilihat pada persamaan (2-2) hingga (2-7). 2 k0 1 (l1 l2 hellp l3 hellp )(F81 F0 ) .......................................... (2-2)
2 3 k1 1 (c1 c 2 hellp c 3 hellp c 4 hellp )COS
( n0 n1hellp )
.............. (2-3) 2
2 k2 1 (d1 d 2 hellp d3 hellp ) A(d ) .............................................. (2-4)
k3 1
2 (b1 b2 hellp b3 hellp )( F10.7 F81 )
F10.7
......................................... (2-5)
2 3 k4 1 (e1 e2 hellp e3 hellp e4 hellp )(e5 e6 k p e7 k p2 ) .............. (2-6) a a2 hellpa3
n 9,80665EXP 1
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
kg / m3 ..................................................... (2-7)
32
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Nilai-nilai koefisien pada persamaan (2-2) hingga (2-7) seperti a1, a2, a3, l1, l2, l3, c1, c2, c3, d1, d2, d3, b1, b2, b3, e1, e2, e3, e4, e5, e6, e7, n0, n1 dan tersedia di tabel B-6 hingga B-9 pada buku Fundamental of Astrodynamics and Applications 3rd Edition (Vallado, 2007). F81 adalah nilai rata-rata fluks Matahari F10,7 selama 81 hari. F10,7 adalah indeks yang merepresentasikan tingkat aktivitas Matahari pada panjang gelombang radio 10,7 cm di orbit bumi. A(d) mendeskripsikan efek semiannual (setengah-tahunan) kerapatan atmosfer, dan d jumlah hari dihitung dari awal tahun.
adalah indeks yang merepresentasikan aktivitas Geomagnet rata-
rata. hellp adalah ketinggian atmosfer. 3. DATA DAN METODOLOGI Data harian aktivitas matahari F10,7 dalam solar flare unit (sfu), data rata-rata F10,7 selama 81 hari (F81), dan data aktivitas geomagnet indeks Kp (dalam satuan nano Tesla, nT) sejak 2008 hingga 2011 yang diperoleh dari situs web Celestrak (Celestrak, 2014). Nilai parameter-parameter lain yang diperlukan pada Persamaan 2-1 hingga 2-7 diperoleh dari tabel B-6 hingga B-9 pada buku Fundamental of Astrodynamics and Applications 3rd Edition (Vallado, 2007). Kerapatan atmosfer model Russian GOST dapat dihitung dengan Matlab R2013a dengan terlebih dahulu membuat kode program komputernya. Kode progam ini selanjutnya digunakan untuk menghitung kerapatan atmosfer di ketinggian 650 km yang merupakan zona ketinggian dengan aktivitas matahari berpengaruh maksimum pada kerapatan atmosfer (Wertz, 2006). Nilai kerapatan atmosfer yang diperoleh kemudian dibandingkan akurasi dan waktu komputasinya dengan kerapatan atmosfer model NRLMSISE-00. Perbandingan akurasi dilakukan dengan membandingkan grafik kerapatan atmosfer dari kedua model dan menghitung koefisien korelasi dan standar deviasi selisih rata-rata bulanan kedua model. Perbandingan waktu komputasi dilakukan dengan menghitung lamanya waktu running untuk masing-masing model. Waktu yang dimaksud di sini adalah waktu yang dibutuhkan Matlab R2013a untuk menghasilkan grafik kerapatan atmosfer masing-masing model. Perhitungan untuk NRLMSISE-00 memanfaatkan skrip Matlab yang diperoleh dari Pusat Sains Antariksa (Rachman, 2012). 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil simulasi kerapatan atmosfer model Russian GOST dan model NRLMSISE-00 dengan menggunakan matlab R2013a dapat dilihat pada Gambar 4-1. Terlihat bahwa profil kerapatan atmosfer model Russian GOST dan model NRLMSISE-00 hampir berhimpit dengan koefisien korelasi 0,97. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum, kerapatan atmosfer model
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
33
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Russian GOST yang dihasilkan dalam penelitian ini serupa dengan profil kerapatan atmosfer model NRLMSISE-00.
Gambar 4-1: Perbandingan profil kerapatan atmosfer model Russian GOST dan model NRLMSISE-00 sejak Januari 2008 hingga Desember 2011.
Perbandingan profil kerapatan atmosfer rata-rata bulanan untuk kedua model dapat dilihat pada Gambar 4-2. Tampak pada gambar tersebut bahwa profil kerapatan atmosfer kedua model serupa. Perbedaan menyolok hanya tampak pada puncak kerapatan kedua setelah Januari 2011.
Gambar 4-2: Perbandingan profil kerapatan atmosfer rata-rata bulanan model Russian GOST
dan
model
NRLMSISE-00
sejak
Januari
2008
hingga
Desember 2011. Selisih kerapatan atmosfer model Russian GOST dan model NRLMSISE-00 dapat dilihat pada Gambar 4-3. Gambar tersebut menunjukkan bahwa selisih kerapatan atmosfer kedua model sangat kecil. Nilai di atas 2x10-15 kg/m3 hanya terjadi saat aktivitas Matahari di atas 100
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
34
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
sfu. Pada saat aktivitas matahari rendah yakni sejak 2008 hingga akhir 2010 dengan nilai di bawah 90 sfu (Gambar 4-4), standard deviasinya sebesar 6,05x10-16 kg/m3. Namun, saat aktivitas matahari meningkat setelah awal 2011 dengan nilai F10.7 melebihi 90 sfu, standard deviasinya lebih besar yakni 2,97x10-15 kg/m3. Diduga ini dikarenakan meningkatnya aktivitas Gemagnet sejak awal 2011 seperti terlihat pada Gambar 4.5. Hasil ini sesuai dengan Vallado (2007) yang menyatakan adanya penurunan akurasi model GOST saat aktivitas geomagnet meningkat.
Gambar 4-3: Selisih kerapatan atmosfer model Russian GOST dan model NRLMSISE-00
Gambar 4-4: Rata-rata bulanan aktivitas matahari dalam indeks F10.7 sejak Januari 2008 hingga Desember 2011. Data diperoleh dari http://www.spaceweather.ca/.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
35
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-5: Aktivitas geomagnet dalam indeks Dst sejak akhir 2007 hingga awal 2012. Tampak pula grafik aktivitas Matahari (dalam warna merah). Data diperoleh dari: http://omniweb.gsfc.nasa.gov/.
Pada Tabel 4-1 ditunjukkan perbedaan waktu komputasi kerapatan atmosfer antara model Russian GOST dan NRLMSISE-00 pada matlab R2013a. Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4-1, waktu running model Russian GOST lebih cepat 100 kali dibandingkan waktu running model NRLMSISE-00 memakai Intel Atom CPU N455 2 GB RAM Windows 7. Hasil ini membuktikan bahwa model Russian GOST bukan saja cukup akurat namun relatif cepat. Tabel
4-1:
PERBANDINGAN
WAKTU
PEMBUATAN
GRAFIK
KERAPATAN
ATMOSFER MODEL RUSSIAN GOST DAN NRLMSISE-00 PADA MATLAB R2013A Model Atmosfer
Waktu Running di matlab R2013a Tahun 2008
Tahun 2009
Tahun 2010
Tahun 2011
Russian GOST
2,92 detik
2,40 detik
2,12 detik
2,49 detik
NRLMSISE-00
260,42 detik
247,1 detik
280,60 detik
273,94 detik
Model Russian GOST dan model NRLMSISE-00 menggunakan perumusan yang sangat bergantung pada aktivitas Matahari yang diwakili oleh fluks F10.7 dan aktivitas geomagnet yang diwakili oleh indeks Kp. Berimpitnya pola kerapatan atmosfer yang ditunjukkan oleh kedua model berarti bahwa, kedua model ini memberikan respon yang hampir sama terhadap variasi aktivitas Matahari dan geomagnet. Tingginya akurasi dan efisiensi komputasi model atmosfer Russian GOST menunjukkan bahwa model ini cocok digunakan untuk studi awal dinamika populasi sampah antariksa di orbit rendah. Studi ini tidak hanya memerlukan model kerapatan atmosfer yang akurat namun juga Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
36
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
cepat proses komputasinya karena banyaknya objek antariksa yang dikaji. Model ini bisa digunakan untuk menggantikan model atmosfer sederhana yang digunakan pada pemodelan kerapatan spasial sampah antariksa yang sebelumnya dilakukan di Pusat Sains Antariksa LAPAN (Rachman, 2013). 5. KESIMPULAN Dinamika populasi sampah antariksa salah satunya ditentukan oleh kondisi atmosfer yang menghambat gerak benda antariksa dalam orbitnya. Berdasarkan hasil simulasi kerapatan atmosfer untuk model NRLMSISE-00 dan model Russian GOST dengan menggunakan matlab R2013a, dapat disimpulkan bahwa kedua model ini menunjukkan profil serupa yang ditunjukkan dengan tingginya koefisien korelasi sebesar 0,97 dan selisih nilai kerapatan keduanya yang sangat kecil. Standard deviasi selisih rata-rata bulanan kedua model bernilai 6,05x10-16 kg/m3 pada saat aktivitas Matahari rendah (F10,7 < 90 sfu) dan 2,97x10-15 kg/m3 pada saat aktivitas Matahari tinggi (F10,7 > 90 sfu). Lebih besarnya nilai standar deviasi saat aktivitas Matahari tinggi nampaknya dikarenakan meningkatnya aktivitas geomagnet pada periode tersebut. Model GOST memang mengalami penurunan akurasi saat terjadi badai geomagnet (Vallado, 2007). Sekalipun ada indikasi bahwa hasil kerapatan atmosfer model Russian GOST menurun akurasinya seiring dengan meningkatnya aktivitas Matahari, namun model ini mampu menghitung 100 kali lebih cepat dibandingkan model NRLMSISE-00. Studi dinamika populasi sampah antariksa membutuhkan model atmosfer yang tidak hanya akurat namun juga efisien proses komputasinya. Hasil studi ini telah menunjukkan bahwa model Russian GOST cocok digunakan untuk keperluan tersebut untuk ketinggian atmosfer 120 km sampai 1500 km. DAFTAR RUJUKAN Picone, J. M., A. E. Hedin, dan D.P. Drob, 2002, ”NRLMSISE-00 empirical model of the atmosphere: Statistical comparisons and scientific issues”, Journal of Geophysics Research, Volume 107, No A12, 1468, doi: 10.1029/2002JA009430. Rachman, A., 2012. ”Karakteristik Kerapatan Atmosfer Orbit LAPAN-TUBSAT Saat Peristiwa Flare/CME dan Badai Geomagnet”, Laporan Kegiatan Bidang Matahari dan Antariksa, Pusat Sains Antariksa, LAPAN, November 2012. Rachman, A., 2013, “Pengembangan Model Kerapatan Spasial Sampah Antariksa: Kaitannya dengan Aktivitas Matahari”, Pusat Sains Antariksa LAPAN. Vallado, D. A., 2007, ”Fundamentals of Astrodynamics and Applications Third Edition”, p: 549-571, 957-963, Microcosm Press and Kluwer Academic Publishers: USA. Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
37
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Wertz, J. R., 2006, ”Orbital Properties and Terminology, Mission Geometry – Orbit and Constellation Design and Management", Bab 2, Microcosm Press. Celestrak, 2014, ”EOP and Space Weather Data”, http://celestrak.com/SpaceData/ sw19571001.txt, diakses pada September 2014.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
38
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
PENINGKATAN AKSESIBILITAS LAYANAN INFORMASI SAINS ATMOSFER DAN ANTARIKSA (THE ACCESSIBILITY ENHANCEMENT OF ATMOSPHERIC AND SPACE SCIENCE INFORMATION SERVICES) Elyyani dan Siti Maryam Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
[email protected] ABSTRAK Peningkatan terhadap aksesibilitas layanan situs sains atmosfer dan antariksa serta kemudahan dalam mengakses layanan informasi pada berbagai macam perangkat merupakan hal yang harus diperhatikan. Untuk memberi kenyamanan pada saat mengakses layanan informasi tersebut maka dibutuhkan teknik Responsif Web Design (RWD) agar halaman web bisa secara otomatis beradaptasi terhadap berbagai perangkat yang digunakan pengguna. Pada makalah ini akan dibahas pengaturan posisi tata letak informasi pada situs agar untuk memastikan pola dari web yang akan dirancang yaitu dengan menggunakan template manager. Tiga faktor utama pada konsep RWD adalah fluid grid, flexible image, media queries. Dalam hal ini layanan informasi pada website tersebut akan ditampilkan mengikuti lebar resolusi layar perangkat. Manfaat yang diperoleh adalah kenyamanan bagi pengguna, kemudahan pengembangan web serta mengurangi duplikasi terhadap konten yang disajikan. Kata Kunci: Responsive, query media, website, perangkat mobile ABSTRACT The accessibility enhancement of information service for atmospheric and space science to a variety of devices are things that must be considered. To give comfort when accessing information services such is needed Responsif Web Design (RWD) techniques that web page can automatically adapt to the devices is used. This paper will discuss setting layout information content on the site is needed to ensure the pattern of the web to be designed using a template manager. Three main factors on RWD concept are namely fluid and flexible grids, flexible images and media queries. In this case the service information on the website will be displayed to adjust the width of the device screen resolution. The benefits of this concept is convenience for the user, the ease of development and reduce duplication of the content presented. Keyword: Responsive Web Desain, query media, website. Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
39
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
1. PENDAHULUAN Saat ini perkembangan situs web meningkat dengan pesat, namun hal yang perlu diketahui adalah mempersiapkan situs web yang dapat memberi kenyamanan kepada pengguna dalam mengakses informasi layanan. Pengembangan e-government merupakan upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan kepemerintahan yang berbasis elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif dan efisien (Inpres No.3 Tahun 2003). Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah melalui pelayanan publik maka LAPAN Bandung memiliki alamat www.sains.lapan.go.id yang dapat diakses oleh pengguna. Penyajian layanan informasi pun harus disesuaikan dengan berbagai media akses yang digunakan pengguna mulai dari PC, laptop, tablet, notebook maupun smart phone. Responsive web design adalah salah satu metode pendekatan dalam proses design web site yang bertujuan untuk menghadirkan kemudahan dalam membaca dan melakukan navigasi dengan meminimalisasi proses resize, panning dan scrolling baik saat website dilihat dari desktop(PC) ataupun perangkat mobile lainnya (Wikipedia, 2014). Istilah lain tentang Responsive web design (RWD) adalah teknik yang digunakan untuk membuat layout web dengan menyesuaikan tampilan perangkat yang digunakan baik ukuran maupun orientasi, sehingga memiliki kenyamanan tampilan yang sama pada berbagai perangkat yang digunakan (Syahbana et al., 2014). Sekitar 60% dari pengguna tablet lebih memilih mengakses berita pada web mobile daripada melalui sebuah aplikasi tersendiri (PewResearch, 2012). Situs yang didesain tidak menggunakan teknologi RWD akan mengalami kendala dalam hal integrasi informasi sehingga akan timbul ketidaknyamanan layanan informasi dikarenakan adanya resolusi layar yang berbeda-beda. Hal ini tentunya sangat tidak nyaman, sehingga web yang berbasis responsive akan mengatasi hal tersebut. Gambar 1-1. berikut adalah contoh situs yang tidak menggunakan teknik responsive.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
40
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Untuk melihat keseluruhan tampilan dengan menggeser web ke kanan ke kiri
Gambar 1-1: Tampilan situs Web Lapan Bandung pada resolusi kurang dari 800 pixel
Solusinya adalah membangun web yang bisa beradaptasi dengan setiap perangkat dengan menggunakan teknik RWD (Responsive web design). Pada intinya maksud dari desain responsive adalah agar website yang dibuat bisa tampil secara otomatis mengikuti lebar resolusi layar perangkat. Layout website Lapan Bandung ini dirancang dengan berdasarkan kepada menu dan konten website sebelumnya, tetapi dengan layout dan seni yang berbeda. Diharapkan dengan adanya perbaikan pada tampilan website yang lebih bersifat responsive maka pengguna lebih nyaman dan mudah dalam mengakses layanan informasi sains atmosfer dan antariksa cuaca antariksa dalam berbagai media akses. 2.
DATA DAN METODOLOGI Data yang digunakan berasal dari informasi yang ada pada halaman beranda (index)
website LAPAN Bandung. Data tersebut akan menjadi informasi yang akan ditampilkan pada layanan informasi sains atmosfer dan antariksa. Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan teknik Responsive Web Design. Responsive berarti memiliki sifat merespon, dalam hal ini ukuran layar akan menyesuaikan dengan perangkat(Kosmo, 2012). Pada Perangkat yang memiliki lebar layar 1024px pada desktop, situs web akan ditampilkan 3 kolom. Jika perangkat memiliki lebar 320px pada smartphone maka situs web akan ditampilkan dengan 1 kolom. Tiga faktor utama pada Responsive Web Design (Marcote, 2011): a. Fluid Grid atau Grid yang fleksibel adalah konsep yang mengacu pada penggunaan ukuran relatif dengan basis persentase dibandingkan jenis ukuran absolut seperti pixel atau point.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
41
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
b. Flexible Image yaitu penggunaan ukuran persen dari 0 sampai 100 untuk image yang ditampilkan di web responsif, selain itu juga teknik ini berguna untuk mencegah image tampil melebihi kapasitas elemennya. c. Media Queries adalah salah satu fasilitas yg dimiliki oleh CSS3 (Cascading Style Sheet), dimana halaman web bisa menggunakan CSS3 yang berbeda sesuai dengan karakteristik dari perangkat yang digunakan pengguna, pada umumnya media queries mendeteksi ukuran jendela browser . Untuk menjembatani kebutuhan tersebut maka pembuatan web LAPAN Bandung didesain menggunakan desain web responsive yang mengutamakan rancangan tampilan. Dalam hal ini Joomla akan memberi kemudahan bagi pengguna individu dalam membuat tampilan website yang menarik (Burge, 2006). Tampilan desain yang berbasis responsive akan berorientasi kepada arsitektur informasi web sebagai acuan pembuatan struktur menunya. Sebuah arsitektur informasi harus memperhatikan hal-hal berikut ini seperti, jenis data yang dikumpulkan, proses pengumpulan data, proses pengiriman data, proses penyimpanan data dan sistem aplikasi yang akan digunakan (Alter, 1992). Arsitektur informasi web tersebut akan menjadi panduan dalam membuat web yang berbasis responsive, terutama dalam hal tata letak dan isi informasi didalamnya. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk meningkatkan aksesibilitas layanan informasi sains atmosfer dan antariksa, selain dari sisi tampilan yang dinamis (responsive) maka diperlukan komponen pendukung kebutuhan hardware dan software di Lapan Bandung (Elyyani, 2014), seperti yang terlihat pada Tabel 1. Peningkatan aksesibilitas layanan informasi ini tidak terlepas dari unsur teknis seperti faktor kemudahan bagi pengguna dalam mengelola perubahan isi website yang dinamis. Software aplikasi CMS (Content Management System) yang digunakan adalah Joomla menggantikan software sebelumnya yaitu Drupal. Sebagian besar individu memilih Joomla sebagai CMS karena ease of use (kemudahan dalam penggunaan), Interface Designing (desain tampilan) dan documentation (dokumentasi) yang baik (Rahmadi.R, 2010).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
42
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Tabel 3-1: INFORMASI KOMPONEN KEBUTUHAN HARDWARE DAN SOFTWARE DI LAPAN BANDUNG Analisis kebutuhan Kondisi sebelumnya Hardware
Software
-ProsessorIntel Xeon i 386
Kondisi yang diinginkan Hardware -ProsessorIntel Xeon 1,9 GHz
-Memory 2 GB
(dual core)
- Koneksi Internet (sharing dgn
-Memory 2 GB
net)
- Koneksi Internet (desain)
-Hardisk 160 GB SCSI
-Hardisk 250 GB Scasi
-Free BSD ver 7.2
Software
-Linux Debian ver 7 (64 bit)
-PHP ver 5.3.7
-PHP ver 5.4.4 release 3 okt
-CSS
2013
-Java Script
-CSS ver.3
-web server Apache ver. 1.3.42
-web server Apache 2.2.22
-Mysql ver.5.0.8
-Mysql ver.5.5.3.1
-phpmaker
-Jomla ver. 3.2.0 -java script jquery ver. 1.10.2
Hasil klasifikasi konten yang terlihat pada Gambar 3-1, bersumber dari pengelompokan isi web yang terdiri dari menu informasi utama yang berupa kegiatan penelitian, menu klasifikasi informasi pendukung terdiri dari Berita Dirgantara, Balai Loka, Berita Kegiatan Lapan, Lapan @ Media dan Buletin sedangkan klasifikasi informasi pelengkap terdiri daril menu event, info kegiatan dan info seminar (Elyyani, 2014).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
43
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 3-1: Klasifikasi konten Informasi terdiri dari Utama (1), Pendukung
(2), dan
Pelengkap (3).
Penentuan target layar diperoleh dengan menetapkan pola susunan informasi yang dapat dilihat pada Gambar 3-2 yang menggambarkan pengaturan posisi pada area Template Manager yang menampilkan bagian halaman indeks.
Gambar 3-2: Template Manager Untuk Pengaturan Posisi Layout Informasi.
Pada gambar 3-3, layout/pola susunan desain Web LAPAN Bandung untuk memastikan layout dari web yang akan dirancang. Pola tersebut dirancang berdasarkan pengaturan template dalam menempatkan setiap menu pada masing-masing posisi.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
44
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 3-3: Layout/Pola Desain Web Lapan Bandung
Perancangan web Lapan Bandung ini dibuat menggunakan PHP Versi 5 dan Cascade Style Shett (CSS) versi 3, PHP digunakan untuk membuat website sedangkan CSS digunakan untuk mengatur tampilan dokumen seperti ukuran gambar, warna text dan sebagainya. Web responsive ini dikembangkan dengan menggunakan CSS media queries, yang akan mengatur pembagian kolom yang disesuaikan dengan lebar resolusi layar setiap perangkat. Implementasi hasil web yang menggunakan teknik responsive berdasarkan ukuran perangkat dapat dilihat pada Gambar 3-4 dan Gambar 3-5 berikut:
Gambar 3-4: Tampilan Website Menggunakan Teknik Responsive untuk ukuran Note Book Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
Gambar 3-5: Tampilan Website Menggunakan Teknik Responsive untuk ukuran smartphone 45
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Pada Generic Note book memiliki ukuran (1280x800) pixel dan Samsung Galaxy Note 3 memiliki ukuran (540 x 960) pixel. Dengan web berbasis responsive akan membuat tampilan web tersebut lebih nyaman dilihat karena secara otomatis bagian halaman web akan menyesuaikan dengan ukuran perangkat yang dipakai pengguna. Kemampuan adaptasi tersebut merupakan hal penting dalam proses perancangan situs, sebab untuk dapat menciptakan sebuah desain web yang baik, maka proses perancangan perlu berfokus pada penyediaan layanan dan mobilisasi yang baik bagi pengguna (Mager et al., 2011) Pada Gambar 3-4 dan gambar 3-5, situs yang sudah menggunakan Responsive Web Design, scrool horizontal tidak akan tampak. Tampilan gambar dan kolom diatas akan menyusut menyesuaikan ukuran layar, sedangkan tata letak kolom informasi dapat berubah dari tiga kolom menjadi dua kolom atau satu kolom. Situs LAPAN Bandung sudah memiliki struktur konten web yang rapi sehingga hal ini akan memudahkan pengembang web dalam membuat situs yang nyaman bagi setiap perangkat yang berbeda. 4. KESIMPULAN Pada pembangunan website, keterbatasan dalam mengakses layanan informasi terhadap berbagai perangkat baik pada ponsel, desktop maupun tablet dapat diatasi dengan memanfaatkan teknologi Web Responsive. Melalui teknologi tersebut penyajian layanan informasi sains atmosfer dan antariksa lebih efisien karena situs dapat beradaptasi terhadap semua perangkat mobile dan platfom sehingga akan memberi kenyamanan bagi pengguna. Keuntungan lain yang dapat diperoleh adalah mengurangi penggandaan informasi yang disajikan karena pengelolaan informasi dapat dilakukan hanya dengan membuat satu desain web untuk semua perangkat tersebut (ponsel, desktop maupun tablet). Dalam hal aksesibilitas informasi terjadi peningkatan karena pembangunan website LAPAN Bandung juga sudah disesuaikan untuk semua browser sehingga proses mengakses layanan informasi tersebut menjadi lebih mudah. UCAPAN TERIMA KASIH Kami ucapkan terima kasih kepada Dr. Teguh Harjana yang telah banyak membimbing dan mengarahkan untuk terlaksananya makalah ini serta bantuan semua rekan-rekan Bidang Teknologi Pengamatan.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
46
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
DAFTAR RUJUKAN Alter, S., 1992, “Information system: A management perspective”, Addison-Wesley. Elyyani, 2014, “Arsitektur Website LAPAN Bandung Dalam Rangka Pemetaan Informasi Sains Atmosfer Dan Antariksa”, Prosiding Seminar Sains Atmosfer 2014, ISBN: 978-9791458-84-9. Mager, B., & Sung, T. J., 2011,” Special Issue Editorial: Designing for Services”, International Journal of Design. Rahmadi, R, 2010, “Studi Komparatif Penggunaan Open Source Content Management System(CMS) Joomla Dan Drupal Untuk Pembuatan Website”, Jurnal Generic, Vol.5 No.1 (Januari 2010), Universitas Islam Indonesia. Syahbana, A. Zulkarnain, 2014, Perancangan Website Menggunakan Responsive Web Design, Jurnal Sigmata, LPPM AMIK SIGMA, Vol.2:No:1:Oktober 2013-Maret 2014. Anonim, “ Instruksi Presiden Nomer 3 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Dan Strategi Nasional Pengembangan E-Govenrment”, diakses 25 Mei 2014. Anonim, http://id.wikipedia.org/wiki/ Responsive web design, rujukan dalam situs web diakses September 2014. Burge, S., 2006, ”Joomla and Drupal: Whice one is right for you”, http://www.alledia.com diakses tanggal 18 Agustus 2014. Kosmo, 2012, “Istilah Responsive”, http://www.stoepy.com/adaptive-dan-responsive-webdesign/, diakses Mei 2013. Marcote,
E.,
2011,
”Responsive
Web
Design”,
ISBN:
978-0-9844425-7-7,
http://abookpart.com, Publisher: Jeffrey Zeldman, New York. Pew Research Journalism Project, 2012, “Future of mobile News”, http:// www.journalism.org, diakses 10 September 2014.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
47
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
METODE PENCARIAN DATA ANTARIKSA DI DALAM SISTEM BASIS DATA DAN SISTEM MANAJEMEN FILE (THE SEARCH METHOD OF SPACE DATA IN DATABASE SYSTEM AND FILE MANAGEMENT SYSTEM) Elyyani dan Ahmad Zulfiana Utama Pusat Sains Antariksa Lembaga Antariksa Dan Penerbangan Nasional e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Saat
ini
data
pengamatan
antariksa
dapat
diakses
pada
alamat
https://rdsa.sains.lapan.go.id yang merupakan sistem penyimpanan data pengamatan antariksa yang berada di Pusat Sains Antariksa-LAPAN. Pengelolaan data pengamatan diatur dalam lokasi file/folder, pengelolaan data seperti itu tentunya memiliki keterbatasan terutama jika data semakin banyak maka proses pencarian pun akan semakin sulit. Untuk mengatasi hal tersebut maka pada makalah ini akan dibahas teknik pencarian data hasil pengamatan sebagai pengembangan dari sistem penyimpanan data sains antariksa. Metode yang akan digunakan yaitu sistem basis data dan sistem manajemen file. Di dalam penelitian, peran basis data sangat penting karena sistem basis data akan digunakan untuk menyimpan informasi lokasi alat pengamatan, nama alat pengamatan dan format file. Sedangkan sistem manajemen file akan melakukan pengaturan data seperti pencarian, penyimpanan dan pengambilan file pada media penyimpanan. Metode pencarian data tersebut akan menjadi pola/konsep dalam mencari data pengamatan lainnya sehingga hal ini akan mempermudah proses pencarian data pada sistem basis data antariksa. Kata kunci: basis data, sistem manajemen file, File Manager. ABSTRACT Currently space observation data can be accessed at https://rdsa.sains.lapan.go.id. known as space observation data repository of Space Science Centre-LAPAN. Management of data was set as file/folders which have limitation, especially when increasing of the data, then the searching process will be more difficult. To solve this problem, it is discussed in this paper the search technique of observation data as a development of an existing repository system. The method is combining of database and file management system. In research, a database is very Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
48
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
important because of database system will be used to store location and name of the observation instrument, as well as the file format. In other hand, file management system will perform searching, storage and retrieval on media. The searching method will be a pattern/concept for finding other observation data, so it is will be more easier searching data process in space observation the database system. Keywords: Database, file management, File System Manager. 1. PENDAHULUAN Pada jaman keterbukaan data berbagai tuntutan terhadap layanan kebutuhan data menjadi sesuatu yang harus diperhatikan. Dalam hal ini perlu dukungan dari sistem informasi untuk peningkatan penyajian aksesibilitas data hasil pengamatan yang tepat waktu dan akurat. Sistem informasi merupakan kumpulan komponen yang saling berhubungan untuk mengolah input (data) menjadi output (informasi) sehingga dapat memenuhi kebutuhan pemakai (Jogiyanto, 2000). Pusat Sains Antariksa sudah memiliki pusat data yang beralamat di https://rdsa.bdg.lapan.go.id dengan nama Repository Data Sains Antariksa yang merupakan dari perkembangan teknologi informasi. Perkembangan teknologi informasi itu sendiri memunculkan berbagai jenis kegiatan yang berbasis teknologi seperti e-commerce, eeducation, e-medicine, e-laboratory dan lain sebagainya, yang semuanya berbasis elektronika (Wardiana, 2004). Saat ini fungsi web pun telah meluas yaitu dengan adanya berbagai aplikasi yang dibangun diatas plafform berbasis web yang disebut sebagai web based application (Setiawan, 2002). Pada Gambar 1 menjelaskan rancangan global sistem basis data antariksa. Rancangan ini secara infrastruktur sebagian sudah diterapkan hanya sistem aplikasi basis datanya masih dalam tahap pengembangan. Pusat Sains Antariksa LAPAN memiliki berbagai alat pengamatan yang tersebar di beberapa lokasi pengamatan di wilayah Indonesia seperti lokasi pengamatan Sumedang, Pameungpeuk, Kototabang, Pontianak, Biak, Watukosek. Dan ada beberapa lokasi pengamatan kerjasama lainnya seperti Yogyakarta, Manado dan Kupang. Server data pengamatan yang ada di setiap lokasi pengamatan tersebut akan mengirimkan hasil data pengamatan tersebut ke pusat data yang berada di LAPAN Bandung melalui jaringan Virtual Private Network (VPN). Kondisi yang ada saat ini, data pengamatan yang berhasil dikirim dari lokasi pengamatan akan disimpan pada Repository Data Sains Antariksa LAPAN dalam bentuk File Manager (sistem direktori) berbasis web dengan menggunakan PYDIO (Put Your Data In Orbit. Server file tersebut menggunakan sistem manajemen file yang mampu mengatur, menampilkan serta berbagi data.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
49
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 1-1: Rancangan global pembangunan sistem basis data antariksa.
Proses pencarian akan lebih mudah jika informasi yang diakses lebih sedikit, ketika jumlah informasi semakin banyak maka akan menjadi kendala tersendiri sehingga aplikasi yang ada harus dapat merespon dengan cepat (Savoy, 2002). Dengan adanya data yang semakin banyak pada pusat data (Repository Data Sains Antariksa) maka perlu dikembangkan ke arah sistem basis data melalui proses pencarian data berdasarkan query tertentu seperti, berdasarkan alat dan lokasi pengamatan sebagai kunci pencarian. Prinsip utama dalam basis data adalah konsep independensi data yaitu pemisahan data dari program aplikasinya (Lewis et al., 2002; Post, 1999). Tujuan perancangan basis data (Abdillah, 2003): a. Untuk memenuhi informasi yang berisikan kebutuhan-kebutuhan pengguna secara khusus dan aplikasi-aplikasinya b. Memudahkan pengertian struktur informasi c. Mendukung kebutuhan-kebutuhan pemrosesan dan beberapa objek tampilan (waktu respon, waktu proses dan ruang penyimpanan) Dalam penelitian ini digunakan data hasil pengamatan di lokasi pengamatan Sumedang. Makalah ini akan membahas pengembangan sistem query data pengamatan pada sistem basis data antariksa. Aplikasi yang dibangun harus mampu mengambil data dari server Repository Data Sains Antariksa, dengan format penamaan data yang sudah standar sehingga hal ini akan memudahkan dalam membuat sistem aplikasi yang akan dikembangkan. Manfaatnya adalah memudahkan pengguna data/peneliti dalam mendapatkan data yang diinginkan berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
50
ISBN: 978-979-1458-87-0
2.
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
DATA DAN METODE Data primer yang digunakan bersumber dari data internal LAPAN yaitu data yang
berasal dari lokasi pengamatan yang dikelola sendiri oleh Lapan. Sifat dari data ada yang berbentuk angka-angka dan ada juga yang berupa data gambar(image). Data hasil pengamatan dari berbagai lokasipengamatan dikumpulkan menggunakan VPN media elektronik untuk ditransfer ke server LAPAN, data tersebut tersimpan pada pusat data (Repository Data Sains Antariksa). Pada makalah ini akan digunakan data hasil pengamatan untuk lokasi pengamatan di Loka Pengamat Dirgantara Sumedang sebagai kasusnya. Gambar 2-1 berikut ini adalah contoh data hasil pengamatan:
Gambar 2-1: Data gambar(image) hasil pengamatan Teleskop Celetron Loka Pengamat Dirgantara Sumedang pada Repository Data Sains Antariksa (https://rdsa.bdg.lapan.go.id) Dalam hal ini, penggunaan sistem basis data dan sistem manajemen file akan digunakan sebagai metode dalam pencarian data pengamatan. Pendekatan basis data memiliki delapan keuntungan (Date, 2000): a. Duplikasi data dapat berkurang b. Menghindari ketidakkonsistenan data c. Data dapat dibagikan d. Standarisasi data e. Pembatasan keamanan data f. Integritas data g. Keperluan yang bertentangan dapat diseimbangkan Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
51
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
h. Adanya dukungan untuk transaksi Sistem manajemen file akan menggunakan fungsi yang terdapat pada bahasa pemrograman tingkat server, pada kasus ini menggunakan bahasa pemrograman PHP 5.0. Pemrograman PHP menyediakan fungsi untuk mendukung sistem manajemen file, contohnya fungsi untuk membaca, memindahkan, menghapus, menggandakan, mengganti hak akses dan melakukan pengecekan tipe data. Dengan semua fungsi tersebut aplikasi file manager sangat memungkinkan dibangun menggunakan bahasa pemrograman PHP. Hal ini sangat membantu pengembang aplikasi, karena pengembang tidak perlu memikirkan bagaimana aplikasi mengakses data pada media penyimpanan. Hasil data pengamatan disimpan pada media penyimpanan dengan stuktur folder yang sudah tertata rapih atau terstruktur, hal ini membantu aplikasi pada saat melakukan pencarian data. Sebuah analogi apabila seseorang akan mencari suatu alamat, dan dia hanya mengetahui kota tujuan tanpa alamat yang spesifik. Salah satu cara agar orang tersebut mencapai alamat tujuannya dengan cara mengetuk satu persatu pintu rumah yang ada di seluruh kota. Hal tersebut tentu akan memakan waktu yang sangat lama, apabila orang tersebut mengetahui alamatnya sampai dengan tingkat kecamatan, maka orang tersebut hanya perlu mengetuk pintu yang ada di seluruh kecamatan tersebut tetapi hal ini pun akan memakan waktu yang lama. Apabila orang tersebut mengetahui alamat yang dituju secara spesifik dan jelas akan lebih terarah dan mempersingkat waktu tempuh. Dari analogi inilah aplikasi membuat suatu masukan dari pengguna untuk mengetahui data yang diinginkan secara spesifik. Pada Gambar 2-2, pengguna dapat memasukkan beberapa parameter seperti lokasi lokasi pengamatan, nama alat dan model alat pengamatan, serta rentang waktu pengambilan data. Parameter tersebut dijadikan acuan pada saat pencarian data. Setiap alat memiliki struktur folder yang berbeda, agar dapat dijadikan acuan yang baku maka format atau hirarki folder akan dicatat di dalam basis data, hal ini bertujuan untuk dijadikan sumber dalam pengambilan data. Masukan pengguna pada aplikasi diubah ke dalam bentuk tipe data string dan dibuat sebagai format struktur folder sesuai dengan format path yang ada pada basis data. Setelah struktur folder terbentuk atau lokasi file diketahui, selanjutnya lokasi file tersebut dimasukan ke dalam fungsi scandir() yang terdapat di pemrogmraman PHP untuk mengurutkan semua file yang terdapat pada folder tersebut. Secara umum metode pencarian data digambarkan sebagai berikut
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
52
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 2-2: Proses dalam mendapatkan lokasi data secara spesifik.
Apabila rentang waktu melebihi satu bulan atau satu hari maka keluaran yang dihasilkan akan lebih dari satu, yang sudah disesuaikan dengan format path dari setiap alat. Selanjutnya keluaran tersebut (lokasi data) diproses lebih lanjut untuk mendapatkan file yang dicari, seperti pada Gambar 2-3 dan Gambar 2-4 merupakan flowchart searching data yang digunakan.
1. Cek apakah folder ada dalam sistem. 2. Jika ada gunakan fungsi scandir().
Gambar 2-3: Proses pencarian data berdasarkan lokasi data (path).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
53
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 2-4:Flowchart Searching Data
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Loka Pengamatan Dirgantara Sumedang memiliki sejumlah alat pengamatan yaitu: Celetron, Fluxgate, IPS71, Meteo, Proton, SN4000, TEC-BIG, TEC-meter, Beacon, Geomagnet. Pengelolaan penyimpanan lokasi file pada Repository Data Sains Antariksa harus memiliki format standar untuk mengembangan aplikasi yang berupa proses query sebagai pemanggilan data yang tersimpan dalam sebuah database (basis data). Database merupakan sekumpulan data yang dikelola untuk melayani beberapa aplikasi secara efisien dengan sentralisasi data dan mengurangi duplikasi data (Laudon and Laudon, 2002). Gambar 3-1 menjelaskan tentang proses yang berjalan pada aplikasi sistem basis data antariksa. Sistem Basis Data Antariksa ini menjadi pusat integrasi untuk setiap data yang berasal dari setiap lokasi pengamatan. Pengguna diberikan otentikasi untuk dapat mengakses data pengamatan melalui antar muka aplikasi web yang akan berinteraksi dengan web server dan basis data antariksa.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
54
ISBN: 978-979-1458-87-0
Autentifikasi
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
User
Akses dan Manipulasi Informasi (Setelah Autentifikasi)
Antarmuka aplikasi web
Melayani permintaan user
Akses data sesuai keingingan user
Sistem Basis Data Antariksa (MySQL)
Web server (Apache)
Data sesuai permintaan user
Gambar 3-1: Proses aplikasi sistem basis data antariksa
Hasil dari analisa menyatakan bahwa sistem query yang akan dibuat harus mampu membaca format lokasi file (path) yang selanjutnya akan dijadikan parameter dalam basis data sehingga dapat terbaca oleh sistem. Berbagai informasi data/file pengamatan dapat dimasukan ke dalam database management system(DBMS). Gabungan antara metode basis data dan sistem manajemen file dapat diterapkan untuk memecahkan masalah tersebut. Basis data merupakan salah satu komponen utama dalam sistem informasi, karena merupakan basis dalam penyediaan informasi bagi para pemakai (Fathansyah, 1999; Post, 1999). Dalam hal ini basis data digunakan menyimpan data lokasi, alat pengamatan, dan format dari lokasi file. Sistem pengambilan file/data akan dilakukan dengan cara membaca informasi lokasi file dalam basis data, selanjutnya sistem manajemen file akan mencari file terkait dengan memanfaatkan informasi dari basisdata tersebut. Format standarisasi lokasi file/data pengamatan pada sistem repository adalah sebagai berikut: -
Lokasi\Nama_Alat\Tahun\Bulan
-
Lokasi\Nama_Alat\Jenis Alat\Tahun\Bulan (khusus data IPS71) Metode pencarian seluruh data hasil pengamatan difokuskan pada data pengamatan
Loka Pengamat Dirgantara (LPD) Sumedang, metode inipun bisa diterapkan untuk data di lokasi pengamatan lain. Modul utama pada Sistem Basis Data Antariksa adalah modul pencarian data, maka perlu dibuatkan algoritma dan alur pengambilan data. Setiap nama alat pengamatan disimpan ke dalam suatu tabel basis data, terdiri dari kolom (m_alat_id, m_alat_name, dan m_alat_child_id). Kolom m_alat_id berfungsi sebagai Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
55
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
primary key, dan m_alat_child_id merupakan foreign key dari m_alat_id. Apabila ada suatu alat memiliki lebih dari satu jenis atau model maka primary key dari alat tersebut dimasukan ke dalam m_alat_child_id pada masing-masing jenisnya. Tabel nama alat pengamatan ini berfungsi untuk menampung seluruh alat pengamatan yang ada, mencegah redudansi atau ketidak seragaman dalam penamaan alat, dan yang paling penting dijadikan acuan dalam referensi format path pada media penyimpanan (Tabel:1.) Contohnya adalah Tabel 3-1 berikut.
Tabel 3-1: TABEL ALAT PENGAMATAN
Setiap alat pengamatan dimungkinkan memiliki hirarki folder yang berbeda-beda sehingga untuk mengetahui lokasi filenya maka peralatan harus diinisialisasi melalui tabel format_path. Format Path digunakan untuk menentukan lokasi file. Contohnya alat Fluxgate Magnetometer memiliki lokasi nama file”na\\yyyy\\mm", artinya lokasi filenya adalah Nama Alat/Tahun/Bulan atau Fluxgate/2014/01. Kode pada kolom format_path_format (Tabel 2) adalah sebagai berikut: a. na
: Nama Alat.
b. yyyy
: Tahun (2014).
c. mm
: Bulan (01-12).
d. ma
: Model Alat.
e. dd
: Tanggal (01-31)
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
56
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Tabel 3-2: FORMAT PATH UNTUK PENENTUAN LOKASI FILE
Tabel format_path terdiri dari kolom format_path_id, m_alat_id, format_path, format_path_length, format_path_date, dan format_file_month. Kolom format_path_id merupakan primary key, m_alat_id foreign key dari tabel alat pengamatan, format_path_format untuk menampung format path atau format lokasi file, format_path_length menampung nilai dari panjang karakter yang menunjukan tanggal pada penamaan file dan index/letak karakter tersebut disimpan di kolom format_path_date. Kolom format_file_month untuk membedakan penamaan bulan dari setiap alat berbentuk karakter atau nomor. Gambar 3-2 adalah hasil dari pencarian pada setiap alat pengamatan di Loka Pengamat Dirgantara(LPD) Sumedang.
IPS 71 Pada alat ini memiliki 3 jenis pengukuran yaitu doppler, visual, dan surveillance, Gambar 6.menampilkan data IPS71 dengan jenis pengukuran surveillance.
Isi data
Gambar 3-2: Data IPS71(sumber: https://rdsa.bdg.lapan.go.id)
Untuk
data
tersebut
lokasi
file
dapat
disimpan
pada
format
lokasi
IPS71/2014/01/07/sum. Kode pada kolom format_path_format adalah sebagai berikut: a. na
: IPS71.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
57
ISBN: 978-979-1458-87-0
b. yyyy
: 2014.
c. mm
: Bulan (01).
d. ma
: Sum.
e. dd
: Tanggal (07).
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 3-3 dan Gambar 3-4 adalah contoh pengguna melakukan pencarian dan hasil tampilan data IPS71 jenis data SUR rentang tanggal dari 15 Januari 2014 sampai 20 Februari 2014.
Gambar 3-3: Tampilan pencarian data IPS71 jenis surveillance
Gambar 3-4: Tampilan hasil data IPS71
Kemudahan dalam mengakses data ini dapat terlaksana jika semua data sudah tersusun dengan satu format serta terkelola dengan baik dalam suatu basis data. Basis data memiliki Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
58
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
peran penting dalam kegiatan penelitian sebagai media penyimpanan yang tersentralisasi dan mengurangi duplikasi data. 4. KESIMPULAN Dengan tersedianya sistem query maka proses pencarian data pengamatan menjadi lebih efektif karena perolehan data menjadi lebih mudah. Penerapan sistem query pada pembangunan aplikasi basis data tersebut dilakukan dengan menggabungkan metode basis data dan sistem manajemen file. Sistem pengambilan file pada media penyimpanan dilakukan dengan cara membaca informasi lokasi file yang sudah tersimpan dalam basis data, selanjutnya sistem manajemen file akan mencari file terkait dengan memanfaatkan informasi dari basis data tersebut. Metode basis data dan sistem manajemen file dapat mengurangi waktu pemrosesan dalam pencarian data, dan tidak terlalu membebani Database Management System (DBMS) dalam hal menyimpan data. Metode ini sudah digunakan untuk lokasi Loka Pengamat Dirgantara Sumedang. Hasilnya sesuai dengan yang diharapkan, pengguna dapat mencari data sesuai dengan rentang waktu yang diinginkan. UCAPAN TERIMA KASIH Kami ucapkan terima kasih kepada Dr. Teguh Harjana yang telah banyak membimbing dan mengarahkan untuk terlaksananya makalah ini serta bantuan semua rekan-rekan Bidang Teknologi Pengamatan. DAFTAR RUJUKAN Abdillah, Leon, Andertti, 2003, ” Sistem Basis Data Lanjut 1: Membangun sistem basis data”, Universitas Bina Darma, Palembang. Date, 2000, “An Introduction to Database System”, Seventh Edition, Addison-Wesley Publishing Company, New York. Fathansyah, 1999, “Basis Data”, Informatika Bandung, Bandung. Jogiyanto, 2000, “Analisis Dan Desain Sistem Informasi: Pendekatan Terstruktur Teori dan Praktek Aplikasi Bisnis”, Andi, Yogyakarta. Laudon, K. C., J. P. Laudon, 2002, “Management Information System: Managing the Digital Firm”, Seventh Edition, Prentice Hall, 208-210. Lewis, P.M., A. Bernstein and M. Kifer., 2002, “Database and Transaction Processing; and Application-Oriented Approach”, Addison Wesley. Setiawan, M.A., 2002, “Content Management System Dengan Active Server Pages Pada Situs DPD PK Sleman”, Teknik Elektro, Yogyakarta: Gajah Mada.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
59
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Savoy, J., 2002, “Information Retrival on The Web: A New Paradigm”, Upgrade, Vol.III, No. 3. Anonim, https://rdsa.bdg.lapan.go.id., sebagai rujukan dalam mengakses Pusat Data, diakses September 2014. Wardiana,
2004,
“Perkembangan
Teknologi
Informasi
di
Indonesia”,
(On
line),
http://eprints.rclis.org/archive/, 2004, diakses Oktober 2014.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
60
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
METODA ESTIMASI KECEPATAN DAN TEKANAN DINAMIK ANGIN SURYA BERDASARKAN INDEKS PC5 (ESTIMATION METHOD OF SOLAR WIND SPEED AND ITS DYNAMIC PRESSURE BASED ON PC5 INDEX) Harry Bangkit1), Laode M. M. Kilowasit 1), Afnimar2) 1)
Space Science Center – National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN)
2)
Master Program of Earth Sciences - Bandung Institute of Technology (ITB) e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Pulsa magnet Pc5 merupakan osilasi gelombang plasma di magnetosfer Bumi yang secara implisit terkandung dalam variasi geomagnet. Kemunculannya dipercayai bergantung pada kondisi angin surya dan dinamika magnetosfer. Untuk tujuan praktis pulsa Pc5 didefinisikan dalam bentuk indeks, salah satunya adalah tabel indeks Pc5 Biak. Dalam penelitian ini dicari model hubungan indeks Pc5 terhadap kecepatan dan tekanan dinamik angin surya, yang nantinya dapat digunakan untuk mengestimasi parameter tersebut dari data geomagnet landas Bumi. Dari pengujian di beberapa stasiun geomagnet LAPAN didapat korelasi berkisar 0,93 sampai dengan 0,99. Hasil ini menunjukkan tabel indeks Pc5 stasiun Biak dapat digunakan pada stasiun-stasiun geomagnet di Indonesia dan dipercaya untuk mengestimasi parameter angin surya. Kata kunci: Pulsa Magnet, Indeks Pc5, Parameter Angin Surya. ABSTRACT Pc5 magnetic pulsation is a kind of hydromagnetic oscillation in the Earth’s magnetosphere where those oscillations are contained in the geomagnetic field variations. Occurrence of the magnetic pulsations is believed depend on solar wind and magnetosphere dynamics. For practical usage Pc5 pulsation is defined into indexes, the Pc5 index table of Biak is one of example. In this study we found the relations between Pc5 index and solar wind speed as well as its dynamic pressure. Those relations have correlation between 0.93 to 0.99. Hence, we concluded that Pc5 index that derived from ground-based station at Biak can be used for another stations in Indonesia and also reliable to estimate solar wind parameters. Keywords: Magnetic Pulsations, Pc5 Index, Solar Wind Parameters.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
61
ISBN: 978-979-1458-87-0
1.
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
PENDAHULUAN Pulsa magnet merupakan osilasi gelombang hidromagnetik pada frekuensi 1 mHz – 1Hz
(ULF: ultra low frequency) sebagai manifestasi dari dinamika angin surya dan magnetosfer Bumi. Gelombang ULF tersebut menjalar dari magnetosfer luar melewati ionosfer hingga teramati di permukaan Bumi melalui proses resonansi garis medan (Yumoto, 1986). Berdasarkan bentuknya pulsa magnet diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu kontinyu dan iregular. Pulsa magnet kontinyu (Pc) bersifat kuasi-sinusoidal dan rentang kemunculan dapat lebih dari 1-jam (Potapov at al., 2006). Sedangkan pulsa magnet iregular (Pi) memiliki bentuk gelombang tidak teratur, impulsif, dan kemunculannya bersifat transien (Jacobs et al., 1964). Pc5 merupakan pulsa magnet kontinyu dengan periode antara 150 sampai dengan 600 detik. Pulsa Pc5 dibangkitkan melalui proses eksternal dan internal magnetosfer. Pulsa yang dibangkitkan secara eksternal terkait dengan respon magnetosfer terhadap perubahan kondisi angin surya. Hal ini biasanya dibangkitkan oleh fluktuasi kecepatan atau tekanan dinamis angin surya atau fluktuasi medan magnet antar-planet selama berlangsungnya badai magnet (Yumoto, 1986). Pulsa ini terekam di luar magnetosfer dan di seluruh permukaan Bumi, sehingga dikenal dengan Pc5 global (Anderson, 1994). Sedangkan pulsa magnet yang dibangkitkan secara internal umumnya bersumber dari injeksi partikel saat terjadi rekoneksi garis medan magnet antar-planet dengan medan magnet Bumi di magnetotail. Peristiwa tersebut menyebabkan injeksi partikel angin surya menuju daerah lintang tinggi yang teramati sebagai badai aurora atau substorm. Oleh karena itu pulsa magnet tersebut teramati secara lokal dan dikenal dengan Pc5 lokal (Jacobs et al., 1964). Pulsa magnet Pc5 telah banyak digunakan untuk mendukung program cuaca antariksa, misalnya untuk mengestimasi parameter angin surya, memonitor badai magnet, dan medeteksi elektron relativistik sabuk radiasi. Untuk tujuan praktis para peneliti mengembangkan metoda penentuan dan pemanfaatan indeks Pc5 dari data geomagnet ground-based. Abe at al., (2012) mengembangkan indeks Pc5 real-time untuk estimasi parameter angin surya. Kozyreva and Kleimenova, (2008) mengembangkan indeks Pc5 untuk deteksi elektron relativistik magnetosferik dan badai magnet. Gannon and Rigler, 2013 mengembangkan indeks Pc5 untuk memetakan kondisi magnetosfer. Bangkit et al., (2014) telah mengkontruksi tabel indeks pulsa magnet Pc5 untuk stasiun Biak. Tabel indeks Pc5 stasiun Biak dikonstruksi secara logaritmik mengikuti pola distribusi indeks Kp. Tabel ini digunakan untuk menentukan nilai indeks Pc5 dari amplitudo pulsa Pc5. Dalam penelitian ini dicari model hubungan indeks Pc5 dengan kecepatan dan tekanan dinamik
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
62
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
angin surya. Dari model tersebut diharapkan dapat mengestimasi kecepatan dan tekanan angin surya dari data geomagnet di stasiun-stasiun LAPAN. 2.
INDEKS PC5 STASIUN BIAK Pada penelitian sebelumnya, Bangkit, at.al, (2014) telah diperoleh tabel indeks Pc5 stasiun
Biak dari data variasi geomagnet selama satu siklus matahari (±11 tahun) dari tahun 1992 sampai dengan tahun 2003. Indeks Pc5 tersebut dikonstruksi secara logaritmik dengan panjang rentang 28 mengikuti kaidah indeks Kp dengan rentang amplitudo antara 0,03190 hingga 6,88812 nT. Tabel indeks Pc5 Biak ditunjukkan pada Tabel 2-1 di bawah ini.
TABEL 2-1: Tabel indeks pulsa magnet Pc5 stasiun Biak, digunakan dalam penentuan nilai indeks dari amplitudo pulsa Pc5 (Bangkit et al., 2014). No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Indeks 0 0+ 11 1+ 22 2+ 33 3+ 44 4+ 55 5+ 66 6+ 77 7+ 88 8+ 99
Batas Bawah (nT) 0,03190 0,03511 0,04254 0,05155 0,06246 0,07567 0,09169 0,11109 0,13460 0,16309 0,19760 0,23942 0,29008 0,35147 0,42585 0,51598 0,62517 0,75747 0,91777 1,11199 1,34732 1,63245 1,97791 2,39649 2,90365 3,51813 4,26265 6,25772
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
Batas Atas (nT) 0,03511 0,04254 0,05155 0,06246 0,07567 0,09169 0,11109 0,13460 0,16309 0,19760 0,23942 0,29008 0,35147 0,42585 0,51598 0,62517 0,75747 0,91777 1,11199 1,34732 1,63245 1,97791 2,39649 2,90365 3,51813 4,26265 5,16474 6,88812
63
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Tabel indeks yang dikontruksi dari data tahun 1992 sampai dengan 2003 kemudian diuji dengan menggunakan data tahun 2004 dan 2010. Hasilnya dibandingkan dengan indeks Kp. Data geomagnet dari stasiun Biak, Manado, Parepare, Kupang, Tanjungsari, dan Kototabang digunakan. Hasilnya seperti terlihat pada Gambar 2-1 dan 2-2.
Gambar 2-1: Plot indeks Kp (atas), indeks Pc5 Biak (tengah), indeks Pc5 Kototabang (bawah) sepanjang tahun 2004.
Gambar 2-2: Plot indeks Kp, indeks Pc5 stasiun; Manado, Parepare, Kupang, dan Tanjungsari berturut-turut dari atas kebawah sepanjang tahun 2010.
Indeks Pc5 di stasiun-stasiun geomagnet LAPAN sepanjang tahun 2004, Gambar 2-1, dan tahun 2010, Gambar 2-2, menunjukkan pola peningkatan dan penurunan nilai yang relatif sama Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
64
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
dengan indeks Kp (sumbu Y), meskipun terdapat beberapa kekosongan data. Indeks Kp merupakan indeks badai magnet global yang diperoleh dari beberapa stasiun geomagnet di seluruh dunia. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa indeks Pc5 dari stasiun tunggal di Indonesia sudah dapat digunakan untuk memonitor aktivitas badai magnet. 3.
DATA DAN METODOLOGI Dalam penelitian ini dicari model antara indeks Pc5 stasiun Biak dengan kecepatan dan
tekanan dinamik angin surya. Data parameter angin surya tersebut diperoleh dari satelit ACE (Advanced Composition Explorer) selama 6 tahun dari 1998 hingga 2003. Selanjutnya model tersebut diuji dengan membandingkan hasil perhitungan model dengan data pengamatan satelit ACE. Dalam pengujian diekstrak pulsa Pc5 stasiun Biak tahun 2004, Manado tahun 2011, Parepare tahun 2011, Kupang tahun 2011, Tanjungsari tahun 2010, dan Kototabang tahun 2004 secara visual (Bangkit, 2011). Stasiun-stasiun geomagnet tersebut berada pada lintang rendah dan dengan asumsi tidak ada perubahan karakteristik amplitudo pulsa Pc5 terhadap longitude (bujur), maka penentuan indeks Pc5 pada tiap stasiun dapat ditentukan dengan menggunakan tabel indeks Pc5 Biak. 4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan antara indeks pulsa Pc5 stasiun Biak dengan kuadrat kecepatan angin surya
selama tahun 1998 hingga 2003 terlihat seperti pada Gambar 4-1.
Gambar 4-1: Hubungan indeks Pc5 Biak dengan kuadrat kecepatan angin surya sepanjang tahun 1998 hingga 2003 sebanyak 28024 data.
Gambar di atas menunjukkan indeks Pc5 Biak dengan kuadrat kecepatan angin surya memiliki hubungan yang kuat dengan korelasi sebesar 0,972 pada rentang indeks = 0 sampai dengan indeks = 8. Oleh karena gangguan yang diakibatkan aktivitas matahari skala besar
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
65
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
sangat jarang terjadi dan pada saat aktivitas matahari skala besar dapat menyebabkan data magnetometer terganggu (kotak asiran), maka untuk mendapatkan tingkat korelasi yang tinggi, korelasi indeks Pc5 dengan kecepatan angin surya ditentukan dari indeks Pc5 ke-1 sampai dengan indeks Pc5 ke-14, seperti terlihat pada Gambar 4-2.
Gambar 4-2: Korelasi indeks Pc5 Biak dengan kuadrat kecepatan angin surya sepanjang tahun 1998 hingga 2003 pada indeks 0 sampai 4+.
Pembangkitan pulsa magnet sangat ditentukan oleh tekanan dinamik angin surya dan medan magnet antar planet arah selatan (McPherron, 2005). Hubungan indeks Pc5 stasiun Biak dengan tekanan dinamik angin surya sepanjang tahun 1998 hingga 2003 terlihat pada Gambar 4-3.
Gambar 4-3: Hubungan indeks Pc5 Biak dengan tekanan dinamik angin surya tahun 1998 – 2003 pada indeks sampai dengan 4+ (indeks ke 14). Dengan demikian diperoleh dua buah model hubungan indeks Pc5 Biak dengan kecepatan angin surya, yaitu model dengan pendekatan linier
Vsw2 13617 Pc5 12380 ....................................(4-1)
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
66
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
dan model dengan pendekatan eksponensial
Vsw2 138100 exp0,06154.Pc5 ...................................(4-2) Untuk tekanan dinamik diperoleh model dengan pendekatan linier
Psw 0,2105 Pc5 0,7569 ......................................(4-3) dan model dengan pendekatan eksponensial Psw 1,066 exp( 0,0948 Pc 5) ............................(4-4) Selanjutnya model-model tersebut digunakan untuk mengestimasi kecepatan dan tekanan dinamik angin surya dari data geomagnet stasiun LAPAN.
Gambar 4-4: Perhitungan kecepatan angin surya angin surya jam-an berdasarkan indeks Pc5 stasiun Biak, Manado, Parepare, Kupang, Tanjungsari dan Kototabang dalam satu tahun.
Pengujian model kecepatan angin surya menggunakan indeks Pc5 stasiun Biak, Manado, Parepare, Kupang, Tanjungsari, dan Kototabang menunjukkan hasil seperti terlihat pada Gambar 4-4. Hasil estimasi kecepatan sangat mendekati dengan data pengamatan dengan korelasi mencapai 0,99 per tahun pada rentang indeks Pc5 0 sampai dengan 4+. Sementara untuk indeks lebih besar dari 4+ menunjukkan hasil yang kurang baik (kotak asiran). Hal ini
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
67
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
dapat disebabkan sedikitnya aktivitas angin surya skala besar, dan atau peristiwa angin surya skala besar berdampak pada instrumen magnetometer (dan pada satelit ACE) yang terlihat sebagai anomali. Hasil di atas menggambarkan kecepatan angin surya terdistribusi merata di seluruh garis medan magnet, dalam hal ini lapisan ionosfer karena garis medan magnet di sekitar Indonesia berada pada L1 (L-shell) yaitu ketinggian sekitar 300 km. Hasil ini juga menunjukkan bahwa amplitudo pulsa Pc5 di stasiun geomagnet seluruh Indonesia memiliki nilai yang relatif sama. Pengujian model tekanan dinamik angin surya menggunakan indeks Pc5 stasiun Biak, Manado, Parepare, Kupang, Tanjungsari, dan Kototabang menunjukkan hasil yang baik, meskipun korelasinya tidak sebesar model kecepatan, seperti terlihat pada Gambar 4-5. Hal ini disebabkan tekanan dinamik dipengaruhi oleh kerapatan partikel angin surya.
R² obs vs model exp = 0.9801 R² obs vs model linier = 0.9554
R² obs vs modelA exp = 0.9930 R² obs vs model
R² obs vs model exp = 0.9535 R² obs vs model linier = 0.9046
R² obs vs modelA exp = 0. 9978 R² obs vs model
Gambar 4-5: Estimasi tekanan dinamik angin surya jam-an menggunakan indeks pulsa magnet Pc5 stasiun Biak, Manado, Parepare, Kupang, Tanjungsari dan Kototabang dalam satu tahun.
Dari pengujian model-model diatas terlihat model dengan pendekatan eksponensial lebih baik (memiliki korelasi lebih tinggi) dibandingkan model dengan pendekatan linier. Hal ini menunjukkan gangguan di magnetosfer akan jauh lebih besar saat”high-speed streams”. Model tekanan dinamik memiliki korelasi yang lebih rendah dibanding dengan model kecepatan, meskipun tidak signifikan. Ini menunjukkan komponen kecepatan memberikan Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
68
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
kontribusi besar dalam pertukaran energi antara partikel dengan magnetosfer, dan menekankan bahwa efek kerapatan partikel di magnetosfer sangat kecil terhadap tekanan dinamik. 5.
KESIMPULAN Telah diperoleh metoda untuk mengestimasi kecepatan dan tekanan dinamik angin surya
dengan melihat hubungan antara indeks Pc5 Biak dengan parameter angin surya tersebut. Dari pengujian menggunakan beberapa stasiun geomagnet LAPAN didapat korelasi antara 0,93 sampai dengan 0,99. Hasil tersebut menunjukkan tabel indeks Pc5 stasiun Biak dapat digunakan pada stasiun-stasiun geomagnet di Indonesia dan dipercaya untuk mengestimasi parameter angin surya. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada Prof. K. Yumoto yang telah membangun jaringan magnetometer dalam program MAGDAS di Indonesia sejak 1992. Terima kasih kepada situs OMNI yang menyediakan data parameter angin surya, dan situs Kyoto yang menyediakan data indeks Kp. DAFTAR RUJUKAN Abe, S., Yumoto, K., Ikeda, A., Uozumi, T., and Maeda, G., 2012, “Data and Information Activities Of Icswse, Kyushu University”, JAPAN, International Center for Space Weather Science and Education (ICSWE), Kyushu University, 6-10-1, Hakozaki, Higashi-ku, Fukuoka, 812-8581, Japan, 2012. Anderson, B. J., 1994, “An overview of spacecraft observations of 10 s to 600 s period magnetic pulsations in the Earths magnetosphere, in Solar Wind Sources of Magnetospheric Ultra-Low-Frequency Waves, eds. M. J. Engebretson”, K. Takahashi, and M. Scholer, AGU Geophysical Monograph 81, 25-43. Bangkit, H., 2011, “Metode Visual Identifikasi Pulsa Magnetik Kontinyu Di Lintang Rendah Dari Data Rekaman Magnetometer Landas Bumi”. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta. Bangkit, H., Afnimar., Laode. M. Musafar. K, “Penentuan Indeks Pulsa Magnet Pc5 Stasiun Geomagnet Biak”, Workshop Geomagnet Pusat Sains Antariksa 2014: Dalam proses terbit dalam buku ilmiah. Jacobs, J. A., Y. Kato, S. Matsushita, and V. A. Troitskaya, 1964, “Classification of Geomagnetic Micropulsations”, J. Geophys. Res., 69, 180.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
69
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Kozyreva, O.V., N. G. Kleimenova, 2008, “Storm-Time Pc5 Geomagnetic Pulsations Analysis Based
On
A
New
Ulf-Index”,
Proceedings
of
the
7th
International
Conference”Problems of Geocosmos, St. Petersburg, Russia, 26-30 May 2008. McPherron, R. L., 2005, “Magnetic Pulsations: Their Sources and Relation To Solar Wind and Geomagnetic Activity”, Surv. Geophys., 26, 545-592. Potapov, A., A. Guglielmi, B. Tsegmed, J. Kultima, 2006, “Global Pc5 Event during 29-31 October 2003 Magnetic Storm”, Advances in Space Research 38, 1582-1586, 0273117, DOI: 10.1016/j.asr.2006.05.010. Xu, Z., J. L. Gannon, and E. J. Rigler, “Report of Geomagnetic Pulsation Indices for Space Weather Applications”, Open-File Report 2013–1166, U.S. Geological Survey. Yumoto, K., 1986, “Generation and Propagation Mechanism of Low-Latitude Magnetic Pulsations”, J.-Geophy., 60, 79-105.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
70
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
PENGARUH FASE TINGGI DAN TENANG MATAHARI TERHADAP KECERAHAN LANGIT MALAM TERKAIT VISIBILITAS OBJEK LANGIT (THE INFLUENCE OF HIGH AND QUITE SOLAR ACTIVITY ON NIGHT SKY BRIGHTNESS AND CORRELATION WITH VISIBILITY OF CELESTIAL OBJECT) Lia Hikmatul Maula, Judhistira Aria Utama, Taufik Ramlan Ramalis Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pendidikan Indonesia. e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Aktivitas Matahari dengan siklusfluks radio 10,7 cm sebagai indikatornya, diketahui berdampak terhadap kecerahan langit malam. Pada saat Matahari berada dalam fase tenang langit cenderung akan lebih gelap (nilai magnitudo besar) dibandingkan pada saat fase tingginya, yang akan berpengaruh terhadap visibilitas objek langit. Dalam penelitian ini dikaji pengaruh kecerahan langit malam terhadap visibilitas objek langit berupa sumber cahaya titik (point source) yang redup untuk pengamatan dengan modus mata telanjang. Data kecerahan langit
malam
di
sekitar
arah
zenit
diperoleh
dari
pangkalan
data
Unihedron
(www.unihedron.com) untuk lokasi pengamatan Observatorium Garraí Réalta (39°,1 LU ; 108°,7 BB ; elevasi 1412 m di atas permukaan laut), Colorado, Amerika Serikat pada rentang waktu Juli 2006 - Juli 2014. Nilai ambang batas magnitudo visual dari nilai kecerahan langit malam pada setiap fase aktivitas Matahari yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk membangun kurva visibilitas objek langit. Untuk fase tinggi diperoleh nilai rata-rata ambang batas magnitudo visual adalah 5,25, sementara rata-rata pada fase tenang sebesar 5,49. Hal ini menunjukkan bahwa nilai batas ambang visibilitas objek langit saat fase tinggi dan tenang Matahari memiliki nilai yang berbeda. Kata kunci: aktivitas Matahari, kecerahan langit malam, ambang batas magnitudo visual, visibilitas objek langit.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
71
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
ABSTRACT Solar activity has been known has an influence on night sky brightness deduced from correlation between the value of night sky brightness and solar radio flux (10.7–cm). In this work we investigate the influence of night sky brightness on dim point sources in naked eye mode of observation. Zenithal night sky brightness data for Observatorium Garraí Réalta (39.1°N; 108.7°W; elevation 1,412 m above sea level), Colorado, USAduring July 2006–July 2014 come from Unihedron data base (www.unihedron.com). The visibility curve of point source object as a function of its altitude is constructed from threshold magnitude calculated for each solar activity phase. Mean of threshold magnitude for high solar activity reach 5.25 in contrary to 5.49 for quite solar activity it shows the different value of threshold magnitude from each phase of solar activity. Keywords: solar activity, night sky brightness, threshold magnitude, celestial object visibility. 1.
PENDAHULUAN Matahari merupakan benda langit yang dinamis. Dinamika yang terjadi di Matahari dikenal
sebagai aktivitas Matahari. Tingkat aktivitas Matahari dapat diindikasikan dengan jumlah sunspot (bintik Matahari) yang muncul di permukaan Matahari. Saat jumlah sunspot bertambah banyak, maka aktivitas Matahari sedang tinggi begitupun sebaliknya. Selain menggunakan jumlah sunspot sebagai indikator aktivitas Matahari, dinamika yang terjadi dapat pula dipantau dari pengamatan fluks radio Matahari 10,7 cm (F10,7). Fluks radio 10,7 cm atau pada frekuensi 2800 MHz merupakan indikator aktivitas Matahari terbaik karena memiliki korelasi tertinggi dengan bilangan sunspot dibandingkan dengan panjang gelombang lainnya (Jasman, 2001). Tingkat aktivitas Matahari akan berpengaruh terhadap kondisi Bumi, salah satunya adalah kecerahan langit. Walker (1988) telah melakukan dua kali pengukuran kecerahan langit di kawasan San Benito Mountain ( = 120 38’ 35”BB; = 36 22’ 10”LU; elevasi 1600 meter di atas permukaan laut). Pengamatan pertama dilakukan pada tahun 1976, dekat dengan saat fase tenang Matahari (solar minimum) dan pengamatan kedua pada tahun 1980 saat fase tinggi Matahari (solar maximum). Hasil dari kedua pengukuran tersebut menunjukkan adanya perbedaan nilai magnitudo kecerahan langit malam di San Benito Mountain, di mana langit malam arah zenit lebih terang 0,2–0,5 magnitudo pada tahun 1980. Penelitian lebih lanjut dilakukan oleh Krisciunas (1997) dan Patat (2003) juga menunjukkan bahwa aktivitas Matahari berpengaruh terhadap kecerahan langit malam. Tujuan dari penelitian ini adalah membangun kurva visibilitas objek langit berupa sumber cahaya titik (point source) yang dipengaruh aktivitas Matahari untuk dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam menentukan waktu Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
72
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
dan modus pengamatan yang tepat dengan memanfaatkan data pengukuran kecerahan langit malam dalam pangkalan data laman www.unihedron.com. 2.
LANDASAN TEORI Kecerahan langit merupakan faktor yang sangat penting dalam astronomi pengamatan.
Nilai kecerahan langit yang kecil menandakan kondisi langit yang semakin gelap, sehingga memudahkan untuk dapat mengamati objek-objek langit yang redup. Sebaliknya, semakin besar nilai kecerahan langitnya semakin terang pula kondisi langit latar belakang. Pada kondisi berawan, langit yang sama dapat terlihat lebih terang karena pemantulan cahaya terestrial oleh awan tersebut. Dengan mengetahui nilai kecerahan langit malam di suatu tempat, dapat diketahui berapa magnitudo teredup (ambang batas magnitudo visual) dari suatu objek langit agar objek tersebut dapat diamati dalam modus pengamatan mata telanjang. Ambang batas magnitudo visual suatu objek untuk berbagai nilai kecerahan langit pada saat fase tenang Matahari telah diperoleh Tousey dan Koomen (dalam Nawar, 1983). Sebelumnya, Weaver (1947) juga melakukan hal yang sama. Ambang batas magnitudo visual suatu objek dalam publikasi Weaver, 1947) berasal dari data kecerahan langit malam (Knoll et al.,1946; dalam Weaver 1947) yang dihitung dengan ekspresi analitik dari Hecht (dalam Weaver 1947). Dengan mengganggap data Knoll et al tersebut diperoleh dalam tahun yang sama dengan tahun publikasinya, maka nilai kecerahan langit yang tersedia merupakan pengukuran kecerahan langit pada saat fase tinggi Matahari siklus ke-18 (1941–1952). Dengan mengetahui nilai ambang batas magnitudo visual untuk beragam nilai kecerahan langit pada fase aktivitas Matahari yang berbeda, dapat dibangun kurva visibilitas objek langit (berupa sumber cahaya titik – point source) yang berada dalam batas ambang kemampuan mata manusia untuk mengamatinya. Objek langit yang sama akan memberikan tantangan yang berbeda untuk dapat diamati dengan mata telanjang, bergantung pada kecerahan langit malam yang dipengaruhi oleh aktivitas Matahari. Sebagai indikator aktivitas Matahari digunakan nilai F10,7, yaitu nilai observed-nya, karena memiliki korelasi terbaik dibandingkan dengan nilai fluks absolutnya yang diemisikan Matahari (Walker, 1988). Rentang waktu data F10,7 disesuaikan dengan ketersediaan data kecerahan langit malamnya. Data yang digunakan merupakan data rata-rata bulanan dari masing-masing data kecerahan langit malam (M, dalam satuan mag/[“]2) dan log F10,7. Tabulasi nilai kecerahan langit malam beserta ambang batas magnitudo visual yang bersesuaian pada saat fase tenang dan aktif Matahari masing-masing dinyatakan dalam satuan candle/foot2 dan nano lambert (nL). Keduanya ditampilkan dalam Tabel 2-1 dan Tabel 2-2 menggunakan satuan yang sama, yaitu nanolambert. Untuk mengkonversi ke dan dari satuan Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
73
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
lain yang biasa digunakan dalam astronomi, yaitu mag/[“]2 (magnitudo per detik busur kuadrat), digunakan persamaan-persamaan berikut ini (Gastel, 2009).
C 10(12,58M )/2,5..................................................(2 1) B 100,4 M 26,33 ..................................................(2 2) Dalam Persamaan (2–1) dan (2–2), M merupakan nilai kecerahan langit dalam satuan mag/[“]2, sementara C dan B berturut-turut menyatakan kecerahan langit dalam satuan candle/m2 (1 foot = 0,3048 m) dan nL. Tabel 2-1: NILAI AMBANG BATAS MAGNITUDO VISUAL (m0) SUMBER CAHAYA TITIK UNTUK BERBAGAI KECERAHAN LANGIT SAAT FASE TENANG MATAHARI log B (nL) 1.043 2.043 3.043 4.043 5.043 6.043 7.043 8.043 9.043
m0 6.85 5.81 4.89 4.73 3.82 2.35 0.49 -1.53 -3.70
Tabel 2-2: NILAI AMBANG BATAS MAGNITUDO VISUAL (m0) SUMBER CAHAYA TITIK UNTUK BERBAGAI KECERAHAN LANGIT SAAT FASE TINGGI MATAHARI log B (nL) - 0 1 2 3 3.17 4 5 6 7 8 9 10
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
m0 7.7 7.5 7.0 6.1 4.3 4.1 3.9 3.4 2.5 0.8 -1.3 -3.7 -6.2
74
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Dalam membangun kurva visibilitas, efek pelemahan oleh atmosfer Bumi turut pula diperhitungkan dengan menerapkan hukum Bouguer (dalam Vargas et al 2002) yang diekspresikan sebagai:
m λ m0 λ k λ X ..................................................(2 3) Dalam Persamaan (2–3), m() menyatakan magnitudo bintang untuk suatu panjang gelombang yang diamati pengamat dari permukaan Bumi, m0 magnitudo bintang tersebut di luar atmosfer, k merupakan koefisien pelemahan atmosfer (digunakan nilai k=0,2 dalam panjang gelombang visual), dan X merupakan massa udara yang diperoleh dengan menggunakan Persamaan (2–4) (Hardie, dalam Vargas et al., 2002) sebagai fungsi jarak zenit z (= 90–h).
X sec z 0,001816sec z 0,002875sec2 z 0,0008083sec3 z ....................(2 4) 3.
DATA DAN METODOLOGI Dalam penelitian ini digunakan data kecerahan langit malam yang bersumber dari
pangkalan data laman www.unihedron.com pada rentang waktu Juli 2005–Juli 2014 dalam satuan magnitudo per detik busur kuadrat (mag/[“]2) dan nilai fluks radio Matahari yang tersedia di laman www.spaceweather.com. Pada saat diakses total data pengukuran kecerahan langit malam yang tersedia sebanyak 2903 data. Data tersebut kemudian dikelompokkan berdasarkan lokasi pengamatan menurut lintang dan bujur geografis. Guna mencapai tujuan yang dikehendaki, dipilih satu lokasi dengan rentang waktu pengukuran yang relatif panjang yaitu mendekati cakupan satu siklus aktivitas Matahari. Proses pencarian menempatkan Observatorium Garraí Réalta (39,1°LU ; 108,7°BB ; elevasi 1412 m dpl) di Colorado, Amerika Serikat sebagai lokasi terpilih. Dari lokasi ini diperoleh sejumlah 106 data dalam kurun waktu Juli 2006–Juli 2014 yang bersesuaian dengan akhir siklus Matahari ke-23 (fase tenang) dan awal hingga pertengahan siklus ke-24 (fase tinggi). Data dari Observatorium Garraí Réalta masih mengalami prosedur penyeleksian dengan cara mengeliminasi data yang menyertakan pengukuran saat iluminasi Bulan lebih dari 50% (Bulan dalam fase waxing gibbous) dan saat kondisi awan yang menutupi langit pada daerah tersebut lebih dari 40%. Melalui proses ini diperoleh hasil pengukuran kecerahan langit sejumlah 89 data. Data kecerahan langit malam yang tersedia untuk Observatorium Garraí Réalta hanya satu nilai kecerahan langit untuk tiap satu malam pengukuran. Terdapat suatu kecenderungan bahwa langit malam sebelum tengah malam lebih terang daripada setelah tengah malam. Hal ini terkait dengan berkurangnya aktivitas ekonomi setelah tengah malam yang berarti cahaya buatan yang membuat langit menjadi lebih terang sudah berkurang (Herdiwijaya dan Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
75
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Arumaningtyas, 2011). Untuk mendapatkan data lengkap satu malam yang meliputi waktu sebelum dan setelah tengah malam, telah dibangun suatu prosedur untuk mengkonstruksi data yang kurang tersebut. Data kecerahan langit dikelompokkan menurut waktu pengambilan data (sebelum dan setelah tengah malam menurut waktu setempat) dan berdasarkan fase aktivitas Matahari. Fase tenang pada rentang 2006–2011 dan fase tinggi pada rentang 2012–2014. Pada setiap kelompok data dihitung selisih antara nilai maksimum dan minimum kecerahan langit malamnya. Selisih yang ada merupakan nilai yang digunakan untuk melengkapi data kecerahan langit satu malam (sebelum atau setelah tengah malam) yang belum tersedia pada tiap hari pengambilan data. Sebagai contoh, nilai selisih dari data kecerahan langit maksimum dan minimum sebelum tengah malam pada fase tenang dikurangkan pada data kecerahan langit setelah tengah malam pada fase aktivitas Matahari yang sama untuk mendapatkan nilai kecerahan langit sebelum tengah malam yang masih kosong. Demikian pula, selisih dari data kecerahan langit maksimum dan minimum setelah tengah malam ditambahkan pada data kecerahan langit sebelum tengah malam guna memperoleh nilai kecerahan langit setelah tengah malam. Langkah yang sama diulangi untuk fase tinggi Matahari. Untuk mendapatkan nilai ambang batas magnitudo visual dari data yang diperoleh di Observatorium Garraí Réalta, dilakukan proses interpolasi menggunakan persamaan polinomial yang diperoleh melalui pencocokan kurva dengan nilai-nilai dalam tabulasi. Orde polinomial dipilih secara cermat dengan memastikan bahwa untuk suatu nilai kecerahan langit malam faktual yang berada di antara dua nilai dalam tabulasi di atas, nilai ambang batas magnitudo visual yang dihitung juga harus berada di antara dua nilai ambang batas magnitudo visual dalam tabulasi yang bersangkutan. 4.
HASIL PEMBAHASAN Hasil plot Tabel 2-1 dan Tabel 2-2 ditunjukkan dalam Gambar 4-1 dan Gambar 4-2
sedangkan persamaan polinomial yang bersesuaian untuk masing-masing kurva diberikan pada persamaan 4-1 dan 4-2.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
76
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-1: Magnitudo minimum yang masih dapat diamati mata untuk berbagai kecerahan langit malam (dalam logaritma) saat fase tenang Matahari. m0 0,001log B 6 0,031log B 5 0,3561log B 4 1,928log B 3 5,0106log B 2 4,9107log B 5,3826
...........................(4-1)
Gambar 4-2: Magnitudo minimum yang masih dapat diamati mata untuk berbagai kecerahan langit malam (dalam logaritma) saat fase tinggi Matahari. m0 0,0003log B 6 0,0106log B 5 0,1457log B 4 0,9058log B 3 2,4945log B 2 1,4775log B 7,4604
............................................ (4-2)
Dari persamaan (4-1) dan (4-2) dapat diperoleh nilai ambang batas magnitudo visual objek langit untuk setiap nilai kecerahan langit malam di Observatorium Garraí Réalta, Colorado, Amerika Serikat. Sementara itu dari nilai rata-rata bulanan kecerahan langit malam selama kurun waktu 2006–2014 di Observatorium Garraí Réalta, berhasil diperoleh grafik yang ditunjukkan dalam Gambar 4-3a dan 4-3b. Dalam Gambar 4-3a terlihat adanya kecenderungan
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
77
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
langit menjadi lebih terang. Hal ini dapat dipahami mengingat tahun 2006 merupakan akhir dari siklus Matahari ke-23 sehingga saat tersebut Matahari berada pada fase tenangnya. Kecerahan langit mulai mengalami kenaikan setelah tahun 2009 yang merupakan masa awal dari siklus ke-24. Kecerahan langit cenderung terus naik dan mencapai maksimum pada sekira tahun 2013 yang diperkirakan merupakan puncak dari siklus ke-24. Sementara Gambar 4-3b menunjukkan hubungan antara kecerahan langit malam terhadap nilai F10,7. Pertambahan nilai F10,7 menandakan Matahari yang semakin aktif. Gambar 4-3b juga menunjukkan kecenderungan yang naik. Saat nilai F10,7 membesar, langit malam akan bertambah terang (nilai numerik mag/[“]2 mengecil). Hal ini bersesuaian dengan hasil yang diperoleh Walker (1988), Krisciunas (1997), maupun Patat (2003) yang menyebutkan bahwa langit akan menjadi lebih terang dengan pertambahan nilai F10,7.
Gambar 4-3: Magnitudo Kecerahan langit malam tahunan di Observatorium Garraí Réalta, Colorado, Amerika Serikat (a) dan hubungannya dengan aktivitas Matahari (b).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
78
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Nilai rata-rata ambang batas magnitudo visual dalam kurun waktu 2006–2014 di Observatorium Garraí Réalta pada fase tinggi adalah 5,25. Sementara rata-rata untuk fase tenang sebesar 5,49. Nilai ini menunjukkan bahwa pada fase aktivitas Matahari yang berbeda, magnitudo teredup suatu objek langit yang dapat diamati akan memiliki nilai yang berbeda pula. Gambar 4-4 merupakan kurva visibilitas yang dibuat dengan memplotkan nilai magnitudo objek langit di permukaan Bumi untuk berbagai ketinggian dari horison (3–90). Kurva visibilitas ini berhubungan dengan heliacal rising dan heliacal setting objek. Terlihat bahwa di ketinggian dari horison < 15°, beberapa objek langit sukar untuk diamati. Objek langit bermagnitudo 5,5 hingga 5,3 tidak akan dapat diamati dengan mata telanjang pada kedua fase aktivitas Matahari. Kurva ini dapat memberikan prediksi yang lebih baik mengenai saat objek langit pertama kali muncul di langit (heliacal rising/setting) yang banyak digunakan dalam penentuan momen-momen penting di berbagai kebudayaan dan peradaban. Bangsa Mesir Kuno menggunakan heliacal rising Sirius sebagai awal tahun dalam kalender mereka (Lockyer 1894, dalam Schaefer 1987). Demikian pula dengan pembagian empat interval dalam kalender bangsa Maya terkait kemunculan Venus (Lounsbury 1978, dalam Schaefer 1987) maupun kemunculan pertama kali Bulan sabit dalam kalender Komariyah. Sementara itu objek langit dengan magnitudo 5,2 dan 5,1 hanya dapat diamati pada fase tenang di ketinggian tertentu dari horison. Objek yang sama tidak akan dapat diamati pada saat Matahari sedang berada pada fase tingginya. Objek dengan magnitudo 5,0 dan 4,9 dengan mudah dapat diamati pada fase tenang. Namun demikian, objek yang sama hanya akan dapat diamati mulai di ketinggian tertentu dari horisonsaat fase tinggi. Objek dengan magnitudo lebih terang daripada 4,9 akan dapat diamati pada fase aktivitas Matahari apapun dari Garraí Réalta Observatory.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
79
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-4: Grafik visibilitas objek langit di permukaan Bumi di lokasi Observatorium Garraí Réalta, Colorado, Amerika Serikat untuk ketinggian objek 3°–90° dengan magnitudo objek antara 4,7 dan 5,5. Dua garis horisontal merupakan ambang batas magnitudo visual saat fase tinggi Matahari (atas) dan fase tenang Matahari (bawah).
Profil ”bahu” dalam Gambar 4-4 berlaku untuk objek langit yang baru terbit maupun akan terbenam dengan nilai sudut depresi Matahari yang berubah terhadap waktu. Saat Matahari berada semakin dalam di bawah horison, langit akan bertambah gelap yang membuat objekobjek redup mulai terlihat. Untuk suatu objek menjelang saat terbenamnya, objek bersangkutan akan mengalami serapan atmosfer yang semakin kuat dan membuat kecerahannya menjadi berkurang. Mula-mula objek dapat diamati pada saat senja setelah terbenamnya Matahari, kemudian objek yang sama hilang dari pandangan di ketinggian tertentu dari horison. Kondisi yang berlawanan dijumpai untuk objek yang baru terbit sebelum terbitnya Matahari. Selain menunjukkan bahwa magnitudo yang diamati di permukaan Bumi bergantung pada jarak zenit mengikuti hukum Bouguer dan kekeruhan atmosfer lokal, keberhasilan mengamati suatu objek juga bergantung pada nilai ambang batas magnitudo visual yang dipengaruhi oleh aktivitas Matahari. Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
80
ISBN: 978-979-1458-87-0
5.
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
KESIMPULAN Ambang batas magnitudo visual bagi visibilitas suatu objek langit memiliki nilai yang
berbeda untuk fase aktivitas Matahari yang berbeda pula. Nilai ambang batas magnitudo visual untuk fase tenang lebih besar secara numerik daripada nilai ambang batas magnitudo visual pada saat fase tinggi Matahari, artinya pada fase tinggi diperlukan objek yang lebih terang untuk dapat diamati dalam modus mata telanjang dari suatu lokasi pengamatan. Nilai ambang batas magnitudo visual untuk fase tinggi Matahari yang dihitung menggunakan persamaan dari hasil pencocokan kurva secara konsisten lebih kecil nilai numeriknya daripada ambang batas magnitudo visual untuk fase tenang. Hal ini mengindikasikan bahwa asumsi yang digunakan adalah benar, yaitu data Knoll et al. (dalam Weaver, 1947) diperoleh saat fase tinggi Matahari. Disarankan untuk menggunakan nilai kecerahan langit malam di berbagai jarak zenit dan membangun pula kurva visibilitas objek langit berupa sumber cahaya membentang (extended source), tidak saja untuk modus pengamatan mata telanjang namun juga pengamatan dengan bantuan alat optik menggunakan model-model terbaru yang tersedia, seperti manuskrip dari Andrew Crumey (arXiv: 1405.4209v1, 16 Mei 2014). UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada para pengguna Sky Quality Meter (SQM) di seluruh dunia yang telah berbagi hasil pengukuran mereka melalui pangkalan data www.unihedron.comdan pengelola laman www.spaceweather.comyang telah menyediakan data fluks radio Matahari bagi publik sehingga penelitian ini dapat dilakukan.
DAFTAR RUJUKAN Crumey, A., 2014, ”Human contrast threshold and astronomical visibility”, Arxiv: 1405.4209vl Herdiwijaya, D & Arumaningtyas, E.P.,2011, ”Pengukuran keceralangan langit arah zenith di Bandung dan Cimahidengan menggunkan Sky Quality Meter”, Prosiding Seminar Himpunan Astronomi Indonesia. Jasman, S., 2001, “Fluks Emisi 10,7 cm Sebagai Parameter Aktivitas Matahari”, Matahari dan Lingkungan Hidup,p: 21-27. Jakarta: Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Krisciunas, K., 1997, “Optical Night-Sky Brightness at Mauna Kea over the Course of a Complete Sunspot Cycle”, Publication of the Astronomical Society of the Pacific, Volume 109, p:1181-1188
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
81
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Nawar, S., 1983, “Solar Activity and Atmospheric Attenuantion Effect on the Visibility of Stars and Planet during Twilight”, The Moon and the Planets, Volume 29, p:107-116 Patat, F., 2003, “UBVRI Night Sky Brightness During Sunspot Maximum at ESOParanal”,Astronomy & Astrophysics, Volume 400, p:1183-1198 Schaefer, B.E., 1987, “Heliacal Rise Phenomena”, Archaeoastronomy, No. 11 Vargas, M.J., P. M. Benítez, F. S. Bajo, A. A. Vivas, 2002, “Measurements of Atmospheric Extinction at a Ground Level Observatory”, Astrophysics and Space Science, Volume 279, p:261-269 Walker, M.F., 1988, “The Effect of Solar Activity on the V and Β Band Sky Brightness”, Publication of the Astronomical Society of the Pacific, Volume 100, p:496-505 Weaver, H.F., 1947, “The Visibility of Stars without Optical Aid”. Publication of the Astronomical Society of the Pacific, Volume 59, p:232-243 Gastel, J.V., 2009, ”Formulae for converting to and from astronomy-relevant units”rujukan dari situs webhttp://members.ziggo.nl/ jhm.vangastel/Astronomy/Formules.pdf Night sky brightness data, http://www.unihedron.com Solar flux data, http://www.spaceweather.com.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
82
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
SKEMA DASAR VISIBILITAS HILAL UNTUK WILAYAH TROPIS (THE BASIC SCHEME OF LUNAR CRESCENT VISIBILITY FOR TROPIC REGION) Muhammad Nurul Huda, Judhistira Aria Utama, Winny Liliawati Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, Indonesia e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Adanya perbedaan beberapa ormas Islam di Indonesia dalam sistem penanggalan Hijriyah menjadi penyebab ketidakseragaman di masyarakat dalam menyelaraskan aktivitas kesehariannya, baik yang menyangkut ekonomi, sosial, budaya, maupun ibadah. Hingga saat ini di Indonesia belum ada kriteria penetapan penanggalan Hijriyah yang berlaku unik. Untuk itu diperlukan suatu kriteria yang dapat diterima oleh semua pihak sebagai rujukan sekaligus memiliki landasan ilmiah yang kokoh. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh skema dasar visibilitas hilal di wilayah tropis dengan menggunakan parameter fisis beda tinggi BulanMatahari (ARCV) dan tebal-tengah sabit Bulan (w) dengan memanfaatkan laporan kesaksian mengamati hilal yang telah dihimpun oleh Rukyatul Hilal Indonesia dan Islamic Crescent Observation Project. Data selanjutnya mengalami penyeleksian berdasarkan lintang geografis dan beda waktu terbenam Matahari–Bulan (lag) yang dihitung saat waktu terbaik (best time) pengamatan. Visibilitas hilal diperoleh dengan menerapkan uji v (v-test) terhadap seluruh data terpilih untuk membangun skema dasar visibilitas hilal. Dari hasil skema diperoleh: (i) hilal mudah diamati dengan mata telanjang (easily visible), (ii) perlu alat bantu optik (could be seen oleh naked eye), (iii) hanya dapat diamati dengan alat bantu optik (need optical aid), dan (iv) tidak dapat diamati dengan alat bantu optik (impossible). Kata kunci: kriteria visibilitas hilal, visibilitas hilal, wilayah tropis. ABSTRACT The differences between the authority and Islamic society organization in determining the beginning of month in Hijri calender causes the difference in the society. Up to now, Indonesia does not have a unique criterium for that purpose. So it is important to determine criteria which can be accepted oleh all society as a reference and based on the science. This Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
83
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
research is purposed to build the basic scheme of the crescent visibility for tropic region oleh using parameter of ARCV (arc of vision) and w (crescent width). Data come from Rukyatul Hilal Indonesia and Islamic Crescent Observation Project report database. The data then selected based on geographical latitude and lag time calculated at the best time. Crescent visibility is found oleh applied v-test for all selected data to built the basic scheme of the crescent visibility which is divided into four cases: (i) crescent can be observed oleh naked eye easily, (ii) could be seen oleh naked eye, (iii) need optical aid to be seen, and (iv) impossible. Keyword: crescent visibility criteria, crescent visibility, tropic region. 1.
PENDAHULUAN Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan soal waktu. Namun, tidak dipungkiri
bahwa umat Islam Indonesia sampai saat ini belum memiliki sistem penanggalan Hijriyah yang berlaku secara universal. Penyebabnya adalah belum adanya kriteria tunggal yang digunakan bersama oleh semua pihak dalam penetapan penanggalan Hijriyah di Indonesia. Hal tersebut seringkali menimbulkan kebingungan dan keresahan di masyarakat umum, sehingga kebutuhan terhadap hadirnya kriteria yang berlaku unik tersebut merupakan suatu keniscayaan. Kepastian kriteria penetapan awal bulan Hijriyah diperlukan oleh umat manusia untuk menyelaraskan aktivitas kesehariannya, baik yang menyangkut ekonomi, sosial, budaya, dan ibadah. Dalam praktiknya, penentuan awal kalender Hijriyah dilakukan menggunakan metode hisab (perhitungan model matematis) dan rukyat (observasi/pengamatan). Terdapat perkembangan yang signifikan dalam kegiatan pengamatan hilal dari sisi teknologi yang digunakan. Dahulu kegiatan tersebut dilakukan hanya mengandalkan mata telanjang dengan bantuan peralatan sederhana seperti gawang pengamatan, sekarang penggunaan alat bantu optik (binokular, teodolit, dan teleskop) telah pula diakomodasi. Bahkan bercermin dari penetapan 1 Syawal 1430 H (2009 M), penggunaan hasil potret ataupun video Bulan sabit muda telah dinyatakan dapat diterima sebagai bukti keberhasilan mengamati hilal dalam sidang penetapan (itsbat) di Kementerian Agama. Dalam astronomi dan sains secara umum, hisab–rukyat ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Hisab yang akurat dibangun dari data hasil rukyat yang cermat. Hisab berperan sebagai pemandu sekaligus harus dapat diverifikasi melalui aktivitas rukyat. Secara astronomi, hisab-rukyat mudah dipersatukan dengan menggunakan kriteria visibilitas hilal atau imkanur rukyat (Djamaluddin, 2011). Kriteria ini didasarkan pada hasil rukyat jangka panjang yang telah dimodelkan sehingga dapat memprediksi suatu fenomena. Dengan demikian kedua pendukung hisab-rukyat dapat diakomodasi. Kriteria itu digunakan untuk menghindari hasil rukyat yang
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
84
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
meragukan dan digunakan untuk penentuan awal bulan berdasarkan hisab. Dengan demikian tidak akan dijumpai adanya kesenjangan antara produk hisab dan hasil rukyat. Kriteria visibilitas hilal sendiri terus mengalami perkembangan. Terdapat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap visibilitas hilal, seperti konfigurasi geometri ketiga benda langit terkait (Matahari-Bumi-Bulan), kondisi atmosfer, ketajaman penglihatan, pengalaman pengamat, serta lokasi pengamatan. Dengan menggunakan prosedur dalam Qureshi (2010), penelitian ini bertujuan membangun suatu skema dasar visibilitas hilal dengan keberlakuan untuk wilayah tropis. Skema dasar yang diperoleh dapat digunakan sebagai prediktor visibilitas hilal dan diusulkan sebagai kriteria visibilitas hilal di Indonesia. 2.
TINJAUAN PUSTAKA Dalam astronomi dan sains secara umum, hisab–rukyat ibarat dua sisi mata uang yang tidak
terpisahkan, hisab berperan sebagai pemandu sekaligus harus dapat diverifikasi melalui aktivitas rukyat. Secara astronomi, hisab-rukyat mudah dipersatukan dengan menggunakan kriteria visibilitas hilal atau imkanur rukyat (Djamaluddin, 2011). Kriteria visibilitas hilal sendiri terus mengalami perkembangan. Dengan menggunakan prosedur dalam Qureshi (2010), penelitian ini bertujuan membangun suatu skema dasar visibilitas hilal dengan keberlakuan untuk wilayah tropis. Skema dasar yang diperoleh dapat digunakan sebagai prediktor visibilitas hilal dan diusulkan sebagai kriteria visibilitas hilal di Indonesia. Menurut Djamaluddin (2011), kriteria visibilitas hilal merupakan kajian astronomi yang terus berkembang, bukan sekedar untuk keperluan penentuan awal bulan Komariah (lunar calendar) bagi umat Islam, tetapi juga merupakan tantangan saintifik para pengamat hilal. Dua aspek penting yang berpengaruh adalah kondisi fisik hilal akibat iluminasi (pencahayaan) pada Bulan dan kondisi cahaya latar depan akibat hamburan cahaya Matahari oleh atmosfer di horison. Kriteria visibilitas hilal Internasional terbagi ke dalam kriteria klasik dan kriteria kontemporer. Kriteria klasik terdiri dari kriteria Babilonia dan kriteria Al-Biruni, sedangkan kriteria kontemporer terdiri dari kriteria Fotheringham-Maunder (1910), kriteria Danjon, kriteria Bruin, kriteria Ilyas (1988), kriteria Yallop, kriteria Odeh (2006), kriteria Fatoohi dkk (1998), serta kriteria SAAO (The South African Astronomical Observatory). Kriteria visibilitas hilal di Indonesia terdiri dari imkanur rukyat dan rukyat global. Imkanur rukyat dimaksudkan untuk menjembatani metode rukyat dan metode hisab. Terdapat tiga kemungkinan kondisi, yaitu: (i) ketinggian hilal kurang dari 0o, (ii) ketinggian hilal lebih dari 2o, dan (iii) ketinggian hilal antara 0o dan 2o. Adapun yang termasuk kedalam imkanur rukyat adalah MABIMS dan kriteria LAPAN. Sedangkan rukyat global merupakan kriteria penentuan Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
85
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
awal bulan Hijriyah yang menganut prinsip jika ada penduduk suatu wilayah berhasil melihat hilal, maka penduduk seluruh dunia turut memasuki bulan Hijriyah yang baru meskipun boleh jadi di tempat lain belum melihat hilal. Prinsip ini antara lain dipakai oleh Hizbut Tahrir Indonesia. 3.
DATA DAN METODOLOGI Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik. Data yang digunakan bersumber
dari data yang dihimpun oleh Rukyatul Hilal Indonesia dalam kurun waktu 2007-2009 dan data hilal internasional selama kurun waktu 1859-2006 (Sudioleho, 2009; Odeh, 2006) baik berupa laporan positif maupun laporan negatif. Seleksi terhadap data dilakukan yaitu hanya menggunakan laporan hasil pengamatan hilal diwilayah tropis ( = 23,5) dengan lag (beda waktu terbenam antara Matahari dan Bulan) < 60 menit. Hasil seleksi menghasilkan 114 data. Pengolahan data terseleksi dilakukan dengan mengikuti prosedur yang dijelaskan dalam Qureshi (2010). Data terseleksi tidak ada satupun yang dapat menghasilkan profil kurva meyerupai hasil Qureshi (2010), maka tabulasi data fundamental (w – tebal-tengah sabit Bulan dan ARCV – beda tinggi Bulan–Matahari) dalam penelitian ini menggunakan tiga data dari Qureshi (2010). Ketiga data tersebut dipilih dengan pertimbangan diperoleh dari lokasi Observatorium Universitas Karachi ( = 67 03’ BT; = 24 52’ LU) yang letaknya relatif dekat dengan kawasan tropis (kurang dari 1,5 di atas garis balik utara). Dari ketiga data fundamental, melalui pencocokan kurva diperoleh persamaan polinomial orde dua yang akan digunakan untuk menghasilkan nilai parameter v (parameter visibilitas hilal). 4.
HASIL PEMBAHASAN Berikut ini disajikan grafik kurva visibilitas data Karachi pada Gambar 4-1 (a) dan kurva
visibilitas minimum Karachi pada Gambar 4-1 (b), sebagai berikut:
(a)
(b)
Gambar 4-1: (a) dan (b): Kurva visibilitas data Karachi dan kurva visibilitas minimum Karachi Profil kurva dalam Gambar 4-1 (a) dan (b) menunjukkan kesamaan dengan kurva yang terdapat dalam publikasi Bruin (1977). Yang membedakan adalah Bruin menggunakan Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
86
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
kecerahan rata-rata Bulan purnama sebagai fungsi ketinggian dari horison sebagai kecerahan hilal, sementara Qureshi memanfaatkan algoritma dari Schaefer (1988, dalam Qureshi 2010) guna mendapatkan nilai kecerahan langit dan magnitudo ambang yang lebih akurat. Dalam Gambar 4-1 (b), titik-titik terendah dari masing-masing kurva diinterpretasi sebagai saat optimal dalam mengamati hilal. Pada saat tersebut diperoleh kombinasi antara nilai w dan ARCV (=s+h) sebagaimana ditabulasikan dalam Tabel 4-1 berikut ini.
Tabel 4-1: DATA FUNDAMENTAL KARACHI W
60"
92"
124"
ARCV
6.9
5.6
5.0
Nilai-nilai dalam Tabel 4-1 menghasilkan grafik seperti ditunjukkan dalam Gambar 4-1 (b) yang dapat dinyatakan sebagai persamaan polinomial orde dua yang terdapat dalam persamaan (4-1).
Gambar 4-2: Grafik untuk menghasilkan persamaan polinomial uji v (v–test).
Berdasarkan grafik s+h terhadap w didapatkan persamaan polinomial orde dua sebagai berikut: ARCV 0,000342w 2 0,092578w 11,22421 …..................…. (4-1)
Dari persamaan (4-1) didefinisikan parameter v untuk menganalisis data observasi dari wilayah tropis guna menghadirkan kriteria visibilitas yang baru, yaitu: v
ARCV 0,000342w 2 0,092578w 11,224219 ..............………(4-2) 10
Pembagi 10 dimunculkan dalam persamaan (4-2) untuk membuat nilai v berada di antara 1 dan +1. Dengan uji v di atas, kriteria visibilitas yang digunakan adalah”jika v > 0,00 hilal dapat diamati dengan mata telanjang, dan sebaliknya bila v < 0,00 hilal tidak akan dapat diamati dengan mata telanjang”. Grafik untuk seluruh data yang tersedia dengan beragam Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
87
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
modus pengamatan (N – mata telanjang, B – binokular, T – teleskop) ditunjukkan dalam Gambar 4-3.
Gambar 4-3: ARCV model (simbol: + berwarna jingga) terhadap data faktual wilayah tropis.
Garis-garis horisontal dalam Gambar 4-3 merupakan nilai-nilai batas bawah untuk ARCV dalam masing-masing modus pengamatan. Sebagai batas bawah nilai ARCV diadopsi nilainilai dalam Utama dan Hilmansyah (2013), yaitu ARCV = 11,5 sebagai nilai batas untuk hilal yang mudah diamati dengan mata telanjang dan ARCV = 10 untuk hilal yang perlu bantuan alat optik sebelum dapat diamati dengan mata telanjang. ARCV = 8,6 dipilih berdasarkan sebaran data pengamatan berbantuan alat optik yang masih memberikan laporan positif kenampakan hilal. Di bawah garis ARCV = 8,6 diinterpretasikan sebagai kasus hilal yang tidak dapat diamati sekalipun menggunakan alat bantu optik. Dengan menggunakan ketiga nilai batas ARCV tersebut disusun interval nilai parameter v seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 4-2. Sebagian hasil perhitungan parameter v terhadap seluruh data yang tersedia disajikan dalam Tabel 4-3.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
88
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Tabel 4-2: KRITERIA VISIBILITAS HILAL WILAYAH TROPIS Kriteria
Interval
Kode Visibilitas
A
V > 0.030
V ; mudah diamati dengan mata telanjang
B
-0.120 < V 0.030
V (F) ; perlu alat bantu optik
C
-0.261 < V -0.120
V (B/T) ; hanya dapat diamati dengan alat bantu optik
D
V ≤ -0.261
I ; tidak dapat diamati dengan alat bantu optik
Tabel 4-3: HASIL PERHITUNGAN NILAI PARAMETER V (terurut dari besar ke kecil) W
ARCV (N)
0.56 0.56 0.55 0.55 0.36 0.39 0.33 0.40 0.26 0.22 0.21 0.22 0.23 0.19 0.20 0.05 0.11 0.09 0.06
13.005 13.005 13.000 12.967
ARCV (B)
ARCV (T)
ARCV (I)
12.222 11.395 11.280 11.180 10.764 10.029 9.641 9.574 9.561 9.333 9.078 4.526 4.071 3.439 3.439
ARCV (Model)
V
11.172 11.172 11.173 11.173 11.191 11.188 11.194 11.187 11.200 11.204 11.205 11.204 11.203 11.207 11.206 11.220 11.214 11.216 11.219
0.183 0.183 0.183 0.179 0.103 0.021 0.009 -0.001 -0.044 -0.117 -0.156 -0.163 -0.164 -0.187 -0.213 -0.669 -0.714 -0.778 -0.778
Penjelasan dari Tabel 4-3 yaitu hilal mudah diamati dengan mata telanjang (easily visible) ditandai dengan warna jingga, perlu alat bantu optik (could be seen oleh naked eye) ditandai dengan warna merah, hanya dapat diamati dengan alat bantu optik (need optical aid) ditandai dengan warna hijau, dan tidak dapat diamati dengan alat bantu optik (impossible) ditandai dengan warna biru. Berdasarkan hasil uji v terhadap 114 data, terdapat 25 data yang termasuk dalam kriteria A (dengan 9 data menyimpang), 13 data kriteria B (dengan 7 data menyimpang), 7 data kriteria C (dengan 14 data menyimpang), dan 32 data termasuk kriteria D (dengan 7 data menyimpang). Sebanyak 16 buah data yang menyimpang dari kriteria A dan B merupakan kontribusi dari Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
89
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
laporan negatif. Artinya, ke-16 laporan negatif tersebut justru memiliki nilai v yang membuat seluruh data masuk dalam kriteria A (mudah diamati dengan mata telanjang) dan B (perlu alat bantu optik) dalam model visibilitas ini. Ke-16 laporan negatif tersebut memiliki rentang ARCV antara 10 dan 15. Dengan rentang nilai ARCV sebesar itu, seharusnya hilal dapat dengan mudah diamati. Hal ini didasarkan kepada hasil yang diperoleh Sopwan & Raharto (2012) melalui studi teoretik hilal metonik yang mendapati rentang ARCV untuk kasus hilal yang mudah diamati dengan mata telanjang adalah sebesar 10–11. Dengan demikian, ke-16 laporan negatif tersebut besar kemungkinan tidak berhasil diamati semata-mata karena gangguan cuaca pada saat pengamatan. Kriteria C merupakan kriteria dengan data menyimpang terbanyak. Dari total 14 data menyimpang, sebanyak 12 data merupakan laporan negatif dan dua data lainnya menyatakan berhasil mengamati hilal dengan mata telanjang. Kriteria C mensyaratkan hilal hanya dapat diamati dengan alat bantu optik. Mengingat batas bawah untuk kriteria B adalah ARCV = 10, berarti untuk hilal dengan ARCV kurang dari nilai ini hanya akan dapat diamati menggunakan alat bantu optik. Ke-12 data di atas memiliki rentang ARCV antara 8,5 dan 10. Dengan demikian, sesungguhnya ke-12 data laporan negatif tersebut konsisten dengan syarat dalam kriteria C sehingga kedua belas kasus hilal tersebut gagal diamati dengan bantuan alat optik karena gangguan cuaca. Sementara 2 dari 14 data menyimpang tersebut melaporkan telah berhasil mengamati hilal dengan mata telanjang, masing-masing dengan ARCV sebesar 9,9 (Odeh, 2006) dan 8,7 (Rukyatul Hilal Indonesia). Kedua data memiliki nilai ARCL masingmasing 10 dan 9,7. Kedua data ini hanya dapat dijelaskan bila pengamatan dilakukan dalam kondisi yang sempurna, yaitu cuaca yang cerah dan atmosfer (minim aerosol). Dalam kriteria D, sebanyak 7 data yang menyimpang memiliki ARCV antara 6 dan 9. Secara faktual data tersebut merupakan laporan positif mengamati hilal dengan modus mata telanjang. Inspeksi lebih lanjut mendapati ketujuh data memiliki nilai ARCL antara 7 dan 9,5. Rentang nilai ARCL ini sudah melampaui limit Danjon, yaitu ARCL = 7. Sama halnya dengan penjelasan kriteria C, ketujuh data menyimpang dalam kriteria D sangat dimungkinkan pengamat pun memiliki kemampuan berupa ketajaman penglihatan di atas rata-rata pengamat lainnya. Selain dukungan cuaca yang cerah dan atmosfer yang sangat bersih. 5.
KESIMPULAN Telah dikembangkan kriteria visibilitas hilal menggunakan uji v dengan keberlakuan untuk
wilayah tropis yang memenuhi hubungan seperti dinyatakan persamaan (4-2) dalam empat kelas interval yaitu: (i) kasus hilal yang mudah diamati, (ii) perlu alat bantu optik, (iii) hanya Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
90
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
dapat diamati dengan alat bantu optik, dan (iv) hilal yang tidak dapat diamati dengan alat bantu optik. Diperlukan data observasi dari wilayah tropis dalam jumlah yang lebih representatif dan menjadi rekor untuk nilai-nilai parameter fisisnya guna memperbaiki penentuan nilai-nilai batas kelas interval sehingga memberikan solusi bagi permasalahan yang terdapat di masyarakat, khususnya bagi masyarakat muslim. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Muh. Ma’rufin Sudioleho yang telah memberikan informasi terkait data pengamatan hilal yang terdapat di Indonesia. Juga kepada Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI Bandung yang telah memberikan dukungan sehingga penulis dapat berpartisipasi dalam kegiatan ilmiah ini. DAFTAR RUJUKAN Bruin, F., 1977,”The First Visibility of the Lunar Crescent”, Vistas in Astronomy, Volume 21, p:331-358. Danjon, A., 1936,”Le Croissant Lunaire”, L’Astronomie, p:2-10. Djamaluddin, T., 2011,”Astronomi Memberi Solusi Penyatuan Umat”, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Schaefer, B.E., 1991,”Length of the Lunar Crescent”, Quarterly Journal of the Royal Astronomical Society, Volume 32, p:265-277. Sopwan, N., Raharto, M., 2012,”Hilal Metonik: Usulan Kriteria Visibilitas Hilal”, Prosiding Seminar Nasional Fisika III, Universitas Negeri Semarang, p:FT105-1–FT105-7. Sudioleho, M.M., 2012,”Data Observasi Hilaal 2007-2009 di Indonesia”, Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak Rukyatul Hilal Indonesia. Utama, J.A., Hilmansyah, 2013,”Penentuan Parameter Fisis Hilal Sebagai Usulan Kriteria Visibilitas di Wilayah Tropis”, Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Fisika, Universitas Negeri Semarang, 12 Oktober. Qureshi, M.S., 2010,”A New Criterion For Earliest Visibility Of Lunar Crescent”, Sindh Univ. Res. Jour. (Sci. Ser.). Volume 41, p:1-16. Yallop, B. D.,1997,“A Methode For Predicting the First Sighting of the New Crescent Moon”, NAO Technical Note No 69., p:1-14.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
91
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
HASIL PENGAMATAN DAN PENGOLAHAN DATA CALLISTO DI LOKA PENGAMATAN DIRGANTARA SUMEDANG BULAN SEPTEMBER 2014 (RESULTS OF OBSERVATIONS AND DATA PROCESSING OF CALLISTO AT LOKA DIRGANTARA SUMEDANG OBSERVATIONS IN SEPTEMBER 2014) Mumen Tarigan, Peberlin Sitompul, dan Yana Robiana Bidang Teknologi Pengamatan, Pusat Sains Antariksa, LAPAN e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Callisto adalah sebuah alat elektronik yang beroperasi pada frekuensi antara 45 dan 870 MHz yang telah digunakan untuk pengamatan solar flare dan radio burst. Hasil pengamatan yang berupa gambar dapat dilihat dengan menggunakan perangkat lunak dari Callisto yaitu RAAP Viewer Version 1.3, namun tidak menunjukkan data mentah secara lengkap. Dengan menggunakan program matlab, diperoleh data mentah yang lengkap pada frekuensi antara 45 sampai dengan 870 MHz dengan selang waktu pengamatan 0,25 detik selama 15 menit. Dengan menggunakan data Callisto di Loka Pengamatan Dirgantara (LPD) Sumedang (6,92o LS; 107,84o BT), Jawa Barat, tanggal 18 September 2014 diperoleh hasil bahwa adanya kesamaan bentuk gambar yang diperoleh dari perangkat lunak Callisto dan dari hasil pemrograman matlab. Kesamaan tersebut diketahui dari hasil pengolahan data pada jam 06:15:06 sampai dengan 06:30:06 dimana nilai maksimum kuat sinyal keduanya berada pada frekuensi 64.6250 MHz dengan standart deviasi 2.0096 mvolt. Pada jam 07:00:06 sampai jam 07:15:06 dan jam 08:30:06 sampai jam 08:45:06 keduanya berada pada frekuensi 105.3130 MHz dengan standart deviasi secara berurutan adalah 1,3061 mvolt dan 1,2289 mvolt. Kata kunci: Callisto, solar flare, radio burst, matlab, frekuensi dan kuat sinyal
ABSTRACT Callisto is an electronic instrument that operates at frequencies between 45 and 870 MHz that has been used for observations of solar flares and radio burst. The observation result that an image can be seen oleh using the software of Calisto is RAAP Viewer Version 1.3, but it does not show the complete raw data. Oleh using matlab program, it is obtained that the Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
92
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
complete raw data at a frequency of 45 to 870 MHz with 0.25 seconds of observation time interval for 15 minutes. Using data Callisto at Observation Center for Aerospace Sumedang (6.92 S; 107.84 E), West Java, on 18 September 2014 the results showed that the similarity in the shape of the images obtained from the software Callisto and of the results of matlab programming. The similarity is known from the data processing at 06:15:06 to 06:30:06 hours where the maximum value of signal strength both at 64.6250 MHz frequency with a standard deviation of 2.0096 mVolt. At 07:00:06 to 07:15:06 hours and 08:30:06 until 08:45:06 hours, both are at 105.3130 MHz frequency sequentially with standard deviation is 1.3061 and 1.2289 mVolt. Keywords: Callisto, Solar flare, radio Burst, matlab, frequency dan signal strength. 1.
PENDAHULUAN Jenis-jenis gelombang elektromagnetik yang dipancarkan matahari yang disebut tipe-I,
tipe-II, tipe-III, tipe-IV dan tipe-V sudah diteliti oleh Donal (1968), Wild dan Mc Cready (1950), Wild (1959). Banyak instrument yang digunakan untuk pengamatan gelombang radio matahari (Ebenezer, 2007., Yasuaki, 2006., Maroulis, 1997, Rohlfs
& Wilson, 1996).
Compound Low Cost Low Frequency Transportable Observatories (Callisto) adalah instrumen elektronik yang beroperasi antara 45 dan 870 MHz dan telah digunakan oleh beberapa negara (Gambar 1-1) untuk mengamati aktivitas matahari.
Gambar 1-1: Peta distribusi Instrument Callisto pada September 2014
Beberapa negara yang menggunakan Callisto diantaranya adalah lima spektrometer di India (dua di Ooty, satu di Gauribidanur, satu di Pune, satu di Ahmedabad), satu di Badary dekat Irkutsk, Federasi Rusia, dua di Korea Selatan, dua di Australia (Perth dan Melbourne), dua di Hawaii, satu di Meksiko, satu di Kosta Rika, dua di Brasil, tiga di Mauritius, empat di Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
93
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Irlandia, satu di Republik Ceko, dua di Mongolia, empat di Jerman, dua di Alaska, satu di Kazakhstan, satu di Kairo, satu di Nairobi, satu di Sri Lanka, tiga di Trieste, satu di Hurbanovo / Slovakia, dua di Belgia, dua di Finlandia, empat di Swiss, satu di Sardinia,dua di Spanyol, lima di Malaysia, dua di Indonesia, satu di Skotlandia / Inggris satu di Roztoky / Slovakia dan satu di Afrika Selatan (diakses 1 September 2014). Tujuan penelitian ini adalah mengamati solar flare dan radio burts dengan mengolah data Callisto di Loka Pengamatan Dirgantara (LPD) Sumedang (6,92oLS; 107,84oBT). Sasarannya adalah dapat memanfaatkan data Callisto di LPD Sumedang untuk pengamatan solar flare dan radio burst. 2.
LANDASAN TEORI Manfaat Callisto diantaranya adalah pengamatan solar flare dan pengamatan Radio Burst.
Ini diklasifikasikan dalam lima tipe utama (Tabel 1-1). Tabel 1-1: KLASIFIKASI TIPE SOLAR RADIO BURTS Tipe
I
II
III
IV
V
Karakteristik Short, narrow-bandwidth bursts. Usually occur in large numbers with underlying continuum. Slow frequency drift bursts. Usually accompanied oleh a (usually stronger intensity) second harmonic. Fast frequency drift bursts. Can occur singularly, in groups, or storms (often with underlying continuum). Can be accompanied oleh a second harmonic Stationary Type IV: Broadband continuum with fine structure Moving Type IV: Broadband, slow frequency drift, smooth continuum. Flare Continua: Broadband, smooth continuum. Smooth, short-lived continuum. Follows some type III bursts. Never occur in isolation.
Lamanya
Rentang Frekuensi
Single burst: ~ 1 detik 80 – 200 Storm: jam - MHz hari Fundamental: 20 – 150 3- 30 menit MHz Single burst: 1 - 3 detik Group: 1 -5 10 kHz – 1 menit GHz Storm: menit - jam
Fenomena terkait Active regions, flares, eruptive prominences. Flares, proton emission, magnetohydrodynamic shockwaves.
Active regions, flares
jam - hari
20 MHz – 2 GHz
Flares, proton emission
30 – 2 jam
20 – 400 MHz
Eruptive prominences, magnetohydrodynamic shockwaves
3 – 45 menit
25 – 200 MHz
Flares, proton emission
1-3 minutes
10 - 200 MHz
Same as type III bursts
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
94
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Dengan menggunakan Callisto diperoleh pengamatan burst tipe III, dalam rentang frekuensi 160 sampai dengan 260 MHz, di Banting Selangor Malaysia, pada tanggal 15 April 2012 jam 5:53:23 UT, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1-2. Walaupun burst ini sangat tipis (very tiny burst), namun hal ini sangat berarti karena merupakan deteksi burst type III yang pertama di Banting Selangor, Malaysia (Hamidi et al, 2014). Untuk pengamatan ditempat lain yang berupa gambar seperti yang telah ditunjukkan pada Gambar 1-2 dapat dilihat dengan menggunakan software dari Callisto yaitu RAAP Viewer Version 1.3 (http://www.ecallisto.org/Software/e CallistoManual.pdf, diakses 1 September 2014).
Gambar 1-2: Solar Radio Burst Type III yang terdeteksi di National Space Centre, Banting Selangor, pada tanggal 15 April 2012 pukul 5:53:23 UT.
Dengan menggunakan program matlab, file data kuat sinyal callisto diperoleh secara lengkap pada frekuensi antara 45 MHz sampai dengan 870 MHz dengan interval waktu pengamatan 0.25 detik selama 15 menit, sehingga diharapkan dapat digunakan untuk berbagai keperluan lainnya seperti nilai median, maksimum, minimum, rata rata dan standard deviasi dari suatu rentang data yang diteliti. 3.
DATA DAN METODOLOGI
3.1 DATA Beberapa metode pengolahan sinyal dari gelombang radio dibahas oleh (Brian D, 2008., Chang, 2005). Data kuat sinyal yang diolah dengan matlab (Edyanto, 2002) adalah data kuat sinyal saat terjadi burst, terlihat melalui kontur yang diperoleh dari penggunaan software Callisto. Data yang digunakan adalah data callisto di Loka Pengamatan Dirgantara (LPD) Sumedang (6.92oLS; 107.84oBT) tanggal 18 September 2014, pukul 06:15:06 (UT) sampai
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
95
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
dengan 06:30:06 (UT), pukul 07:00: 06 (UT) sampai dengan 07:05: 06 (UT) dan pukul 08:30:06 (UT) sampai dengan 08:45:06 (UT). 3.2 PENGOLAHAN DATA Data kuat sinyal hasil pengamatan dengan Callisto disimpan dalam bentuk file.FIT, dimana masing masing file merupakan hasil pengamatan kuat sinyal dalam rentang frekuensi antara 45 MHz sampai dengan 870 MHz dalam waktu pengamatan selama 15 menit. Adapun interval frekuensi pengamatan, yang tercakup dalam frq.cfg, berbeda beda untuk setiap waktu pengamatan (Tabel 3-1).
Tabel 3 -1: TABEL FREKUENSI CALLISTO (Scheduler.cfg) Waktu
Frekuensi
00:00 sampai dengan 1:30
frq00200.cfg
bekerja pada rentang frekuensi 45 MHz sampai 500 MHz
1:30 sampai dengan 3:00
frq00222.cfg
bekerja pada rentang frekuensi 45 MHz sampai 870 MHz
3:00 sampai dengan 8:00
frq00810.cfg
bekerja pada rentang frekuensi 45 MHz sampai 80 MHz; 115 MHz sampai 450 MHz; dan 802 MHz sampai 870 MHz
8:00 sampai dengan 11:00
frq00255
bekerja pada rentang frekuensi 200 MHz sampai 870 MHz
Bentuk file data terdiri dari 3600 x 200 pixel. Angka 3600 menunjukkan jumlah pengamatan kuat sinyal Callisto selama 15 menit atau 900 detik. Jadi interval waktu pengamatan adalah (900/3600) detik = 0.25 detik. Angka 200 adalah jumlah pengamatan frekuensi dalam rentang 45 MHz sampai dengan 870 MHz. Dalam mengolah data dengan matlab digunakan tabel frekuensi sebagai acuan untuk membuka file data yang tersedia sesuai dengan waktu pengamatan. Pengolahan data hasil pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode statistik (Sudjana, 1992). Digunakan software callisto untuk membuka file gambar hasil pengamatan data kuat sinyal callisto di LPD Sumedang tanggal 18 September 2014, pukul 06:15:06 (UT) sampai dengan 06:30:06 (UT), pukul 07:00: 06 (UT) sampai dengan dan pukul 08:30:06 (UT) sampai dengan 08:45:06 (UT). Matlab digunakan untuk membaca file data kuat sinyal dan menggambarkan hasil pembacaan data, dimana setiap”file data”berisi matriks berukuran 3600 baris dan 200 kolom. Setelah pembacaan data, kemudian dilakukan pengelompokkan dan pengevaluasian pola data kuat sinyal yang dibaca, serta diolah lebih lanjut untuk mengetahui
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
96
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
median dari setiap frekuensi. Frekuensi dengan median kuat sinyal yang maksimum selanjutnya ditentukan nilai maksimum, minimum, rata rata dan standar deviasinya untuk mengetahui ukuran penyebaran data. Hasil pengelompokan dan evaluasi pola data selanjutnya dianalisis dan disimpulkan. 4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan Callisto di LPD Sumedang pada tanggal 18 September 2014 pukul
06:15:06 (UT) sampai dengan 06:30:06 (UT), pukul 07:00: 06 (UT) sampai dengan 07:15:06 (UT) dan pukul 08:30:06 (UT) sampai dengan 08:45:06 (UT) menunjukkan adanya kejadian burst tipe III dimana waktu kejadian dalam interval detik dengan frekuensi 45 MHz sampai dengan 420.125 MHz, sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 1-1. Pada Gambar 3-1a tampak burst terjadi pada pukul 6:21:19 sampai pukul 6:21:26 dengan frekuensi antara 45 MHz sampai dengan frekuensi 420.15 MHz. Dengan membuka file data dan menggambarkannya menggunakan matlab (Gambar 3-1b), juga tampak hal yang sama. Dengan menggunakan Callisto di Banting Selangor Malaysia, pada tanggal 15 April 2012 pada pukul 5:53:23 UT juga diperoleh pengamatan burst type III, dalam rentang frekuensi 160 sampai dengan 260 MHz, seperti yang ditunjukkan pada gambar 1-2. Dari kedua gambar tampak bahwa kedua burst tipe 3 yang terjadi (gambar 3-1a dan gambar 1-2) merupakan burst kecil. Hasil pengelompokan kuat sinyal terhadap frekuensi (gambar 3-1c) menunjukkan pola yang hampir sama. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara umum tidak terjadi gangguan yang berarti dalam interval waktu pengamatan, kecuali pada saat terjadi burst yaitu pada pukul 6:21:19 sampai pukul 6:21:26. Median dari masing masing frekuensi dalam rentang 45 MHz sampai dengan 870 MHz ditunjukkan pada gambar 3-1a, hasil software Callisto dan yang ditunjukkan pada gambar 3-1d, hasil matlab berpola sama. Kedua software menunjukkan nilai median maksimum berada pada frekuensi 64.6250 MHz. Pada frekuensi 64.6250 MHz diperoleh nilai kuat sinyal maksimum sebesar 210, minimum sebesar 197 dan rata rata adalah 204.68 serta standar deviasi sebesar 2.01 mvolt (Tabel 3-1).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
97
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-1: (a) Hasil pengamatan Callisto di LPD Sumedang pada tanggal 18 September pukul 06:15:06 (UT) sampai dengan 06:30:06 (UT).
Gambar 4-1: (b) Hasil pengolahan data Callisto di LPD Sumedang pada tanggal 18 September pukul pukul 06:15:06 (UT) sampai dengan 06:30:06 (UT), dengan menggunakan matlab. 210
220
200 190
median Field strength (mvolt)
Field strength (mvolt)
200
180
160
180 170 160 150 140
140
130
120
0
100
200
300
400 500 Frekuensi(MHz)
600
700
800
900
Gambar 3-1c
120
0
100
200
300
400 500 Frekuensi(MHz)
600
700
800
900
Gambar 3-1d
Gambar 4-1: (c) Hasil pengelompokan data dan (d) Median, kuat sinyal pada pukul 06:15:06 sampai dengan 06:30:06. Pada gambar 3-2a tampak burst terjadi pada pukul 7:04:54 sampai pukul 07:05:26 dengan frekuensi antara 204.5 MHz sampai dengan frekuensi 359.75 MHz. Dengan membuka file data dan menggambarkannya dengan menggunakan matlab (gambar 3-2b), juga tampak hal yang Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
98
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
sama. Hasil pengelompokan kuat sinyal terhadap frekuensi (gambar 3-2c) menunjukkan pola yang hampir sama. Median dari masing masing frekuensi dalam rentang 45 MHz sampai dengan 870 MHz ditunjukkan pada gambar 3-2a, hasil software Callisto dan yang ditunjukkan pada gambar 3-2d, hasil matlab berpola sama. Kedua software menunjukkan nilai median maksimum berada pada frekuensi 105.3130 MHz. Diperoleh nilai kuat sinyal maksimum sebesar 211, minimum sebesar 201 dan rata rata adalah 206.63 serta standard deviasi sebesar 1.31 mvolt (Tabel 3-1).
Gambar 4-2: (a) Hasil pengamatan Callisto di LPD Sumedang pada tanggal 18 September pukul 07:00: 06 (UT) sampai dengan 07:15:06 (UT).
Gambar 4-2: (b)Hasil pengolahan data Callisto di LPD Sumedang pada tanggal 18 September pukul pukul 07:00: 06 (UT) sampai dengan 07:15:06 (UT), dengan menggunakan matlab.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
99
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
220 210 200 190 median Field strength (mvolt)
Field strength (mvolt)
200
180
160
140
180 170 160 150 140 130
120
0
100
200
300
400 500 600 Frekuensi(MHz)
700
800
900
Gambar 3-2c
120
0
100
200
300
400 500 Frekuensi(MHz)
600
700
800
900
Gambar 3-2d
Gambar 4-2: (c) Hasil pengelompokan data dan (d) Median, kuat sinyal pada pukul 07:00:06 sampai dengan 07:15:06 Pada gambar 3-3a tampak burst terjadi pada pukul 8:37:43 sampai pukul 08:38:37 dengan frekuensi antara 45 MHz sampai dengan frekuensi 420.125 MHz. Dengan membuka file data dan menggambarkannya dengan menggunakan matlab (gambar 3-3b), juga tampak hal yang sama. Hasil pengelompokan kuat sinyal terhadap frekuensi (gambar 3-3c) menunjukkan pola yang hampir sama. Median dari masing masing frekuensi dalam rentang 45 MHz sampai dengan 870 MHz yang ditunjukkan pada gambar 3-3a, hasil software Callisto dan yang ditunjukkan pada gambar 3-3d, hasil matlab juga berpola sama. Kedua software menunjukkan nilai median maksimum berada pada frekuensi 105.3130 MHz. Diperoleh nilai kuat sinyal maksimum sebesar 212, minimum sebesar 201 dan rata rata adalah 206.16 serta standard deviasi sebesar 1.21 mvolt (tabel 3-1).
Gambar 4-3: (a) Hasil pengamatan Callisto di LPD Sumedang pada tanggal 18 September pukul 08:30:06 (UT) sampai dengan 08:45:06 (UT).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
100
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-3: (b) Hasil pengolahan data Callisto di LPD Sumedang pada tanggal 18 September pukul pukul 08:30:06 (UT) sampai dengan 08:45:06 (UT), dengan menggunakan matlab. 220
210 200 190 median Field strength (mvolt)
Field strength (mvolt)
200
180
160
180 170 160 150 140
140
130
120
0
100
200
300
400 500 600 Frekuensi(MHz)
700
800
Gambar 3-3c
120
900
0
100
200
300
400 500 Frekuensi(MHz)
600
700
800
900
Gambar 3-3d
Gambar 4-3: (c) Hasil pengelompokan data dan (d) Median, kuat sinyal pada pukul 08:30:06 sampai dengan 08:45:06 Tabel 4-1: NILAI STATISTIK KUAT SINYAL CALLISTO DI LPD SUMEDANG TANGGAL 18 SEPTEMBER 2014 Waktu (UT)
Frekuen si (MHz)
Median
Maksimum
Minimum
Rata rata
Standard Deviasi
06:15:06 - 06:30:06
205
210
197
204.68
2.01
07:00: 06 - 07:15:06
64.6250 105.3130
207
211
201
206.63
08:30:06 - 08:45:06
105.3130
206
212
201
206.16
1.31 1.23
Dari hasil pengolahan data kuat sinyal dengan menggunakan matlab dan pembacaan data dengan software Callisto pada Tanggal 18 September 2014 pada pukul 06:15:06 (UT) Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
101
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
sampai dengan 06:30:06 (UT), pukul 07:00: 06 (UT) sampai dengan 07:15:06 (UT) dan pukul 08:30:06 (UT) sampai dengan 08:45:06 (UT), tampak bahwa ada kesamaan pola pada gambar yang dihasilkan yang mengindikasikan kejadian radio burst tipe 3. 5.
KESIMPULAN Hasil pengamatan Callisto di LPD Sumedang pada Tanggal 18 September 2014 pada
pukul 06:15:06 (UT) sampai dengan 06:30:06 (UT), pukul 07:00: 06 (UT) sampai dengan 07:15:06 (UT) dan pukul 08:30:06 (UT) sampai dengan 08:45:06 (UT) menunjukkan bahwa ada kejadian burst tipe 3. Pemrograman menggunakan matlab dapat digunakan untuk membaca dan mengolah data Callisto mengingat adanya kesamaan pola gambar yang diperoleh dari software callisto dan dari hasil pengolahan data dengan pemrograman menggunakan matlab. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ir. Timbul Manik M.Eng, yang telah memberi arahan dan membantu dalam ketersediaan dan terseleksinya data yang perlu diolah, khususnya data Callisto di LPD Sumedang, yang digunakan dalam makalah ini. DAFTAR RUJUKAN Brian, D. J., K. F. Warnick, J. Landon, J. Waldron, D. Jones, J. R. Fisher dan R. D. Norrod, 2008,”Signal Processing for Phased Array Feeds in Radio Astronomical Telescopes”, Sig. Proc, IEEE. Chang, C., J. Wawrzynek, and R. Brodersen, 2005, ”BEE2: a high-end reconfigurable computing system”, IEEE Design and Test of Computers, pp. 114-125. Donald, A. G. dan T. B. Burns, 1968, ”The Low Frequency Cutoff of ELF Emissions”, Journal of Geophysical Research, Space Physics, vol 73, No 23. Ebenezer, E., K. R. Subramanian, R. Ramesh, M. S. Sundararajan dan C. Kathiravan, 2007, ”Gauribidanur radio array solar spectrograph (GRASS)”, Bull. Astr. Soc. India 35, 111-119. Edyanto, J., 2002,”Matlab Bahasa Komputasi Teknis“, Yogyakarta Andi. Hamidi, Z. S., N. N. M. Shariff and C. Monstein, 2014, ”First Light Detection of A Single Solar Radio Burst Type III Due To Solar Flare Event”, International Letters of Chemistry, Physics and Astronomy., ISSN 2299 – 3843. Hiyama, Y., T. Ono, M. Iizima, H. Misawa, F. Tsuchiya, A. Morioka, and N. Sato, 2006, ”Initial results of Husafell solar radio spectrograph”, Adv. Polar Upper Atmsos. Res., National Institute of Polar Research.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
102
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Maroulis, D., G. Doumas, C. Caroubalos, J. L. Bougeret, X. Moussas, C. Alissandrakis, N. Patavalis, 1997, ”ARTEMIS MARK IV, the new Greek-French Digital Radio Spectrograph at Thermopyles”, Greece Solar Physics vol. 172, pp. 353-360. Rohlfs, K., T. Wilson, 1996, “Tools of Radio Astronomy”, Springer, pp. 105. Sudjana, M.A.,M.Sc., PhD, 1992, ”Metode Statistika”, Penerbit: Tarsito Bandung. Wild, J.P. dan L. L. McCready, 1950, ”Observations of the spectrum of high-intensity solar radiation at metre wavelengths-I”. The apparatus and spectral types of solar burst observed. Aust. J. Sci. Res., Ser. A, 3, 387-398. Wild, J.P., K. V. Sheridan, and A. A. Neylan, 1959, “An investigation of the speed of the solar disturbances responsible for Type III radio bursts”. Aust. J. Phys., 12, 369-398.
Anonim, 2014, “e-Calisto International Network of Solar Radio Spectrometers”, http://www.ecallisto.org/, diakses 1 September 2014. Anonim,
2006,
“RAAP
Viewer
Version
1.3,
http://www.e-callisto.org/Software/e
CallistoManual.pdf, diakses 1 September 2014.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
103
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
METODE EVALUASI KEAMANAN INFORMASI PADA JARINGAN LOKAL LAPAN BANDUNG (EVALUATION METHOD OF INFORMATION SECURITY ON LAPAN BANDUNG LOCAL NETWORK) Musthofa Lathif, Rizal Suryana dan Siti Maryam Pusat Sains Antariksa, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Dampak dari teknologi internet yang berkembang pesat saat ini banyak ditemukan lubang keamanan (security hole) pada sistem informasi. LAPAN Bandung sebagai pusat informasi tentang sains kedirgantaraan perlu menjaga keamanan informasi dari gangguan, ancaman maupun serangan dari pihak yang tidak bertanggung jawab yang menyebabkan kerusakan atau kehilangan data dan informasi. Dalam upaya pencegahan kerusakan informasi, LAPAN Bandung telah mengimplementasikan firewall filtering pada mikrotik pada jaringan lokal. Untuk itu dilakukan evaluasi keamanan informasi pada jaringan dengan metode penetration testing yaitu pengujian terhadap firewall pada jaringan lokal. Evaluasi ini bertujuan untuk menjamin informasi dan jaringan tetap aman dan stabil. Kata kunci: lubang keamanan jaringan, firewall filtering, penetration testing. ABSTRACT The impact of rapidly growing internet technology now is commonly found security holes in the information system. LAPAN Bandung as a center for aerospace science information must to maintain security of information from threats or attacks from those who are not responsible for damage or loss of data and information. To prevent damage for those, LAPAN Bandung has been implemented firewall filtering in mikrotik router on local network. So we evaluate information security oleh penetration testing method to test against firewall on the local network. This evaluation aims to ensure information and network remains secure and stable. Keywords: security holes, firewall filtering, penetration testing.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
104
ISBN: 978-979-1458-87-0
1.
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
PENDAHULUAN Informasi merupakan suatu sumber yang sangat penting bagi peneliti maupun karyawan
LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) Bandung. Berbagai informasi dan data tersebut digunakan untuk melaksanakan tugas dalam penelitian dan pengembangan khususnya dibidang sains keantariksaan. Perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat telah mengubah cara untuk mendapatkan informasi. Kini informasi yang dibutuhkan telah tersedia dan dapat diakses dengan cepat melalui jaringan internet. Kebutuhan akan koneksi internet semakin terasa sangat dibutuhkan baik untuk mencari informasi yang dibutuhkan maupun sebagai penunjang pekerjaan kantor seperti mencari data, pengiriman email, penyebaran informasi terkini hasil penelitian pada situs web LAPAN. Dengan teknologi jaringan internet hubungan komunikasi terasa semakin dekat yang memungkinkan setiap orang mencari dan berbagi informasi dengan lebih cepat, efisien serta dapat melakukan berbagai hal dengan siapapun, dimanapun dan kapanpun tanpa batas waktu dan tempat hingga menghilangkan batas-batas wilayah dalam sebuah negara, bahkan kepentingan regional maupun kepentingan internasional. Kebutuhan akan jaringan internet di LAPAN Bandung semakin meningkat. Kapasitas bandwidth saat ini mencapai 32 MBps yang terhubung dari Internet Service Provider (ISP) CNI-KSH Bandung dan Lintasarta Jakarta. Semakin meningkat jumlah pengguna internet di LAPAN Bandung semakin meningkat pula kapasitas akses internetnya sehingga dilakukan perubahan dan penataan topologi jaringan lokal LAPAN Bandung. Untuk itu diperlukan pengelolaan jaringan lokal yang baik agar kestabilan akses internet tetap terjaga. Dalam pengelolaan jaringan lokal hal yang sangat penting adalah masalah keamanan informasi dengan melindungi informasi terhadap ancaman atau gangguan virus, spam, maupun serangan dari pihak luar yang tidak bertanggung jawab. Salah satu caranya dengan menjaga keamanan jaringan (network security) yaitu keamanan informasi yang memfokuskan pada pengamanan peralatan jaringan, data, serta kemampuan untuk menggunakan jaringan tersebut dalam memenuhi fungsinya. Untuk itu perlu memonitor akses jaringan dan mencegah penyalahangunaan sumber daya jaringan serta menjaga kestabilan koneksi jaringan, baik yang berkaitan dengan perangkat keras seperti pengamanan fisik, maupun berkaitan dengan perangkat lunak yaitu sistem, konfigurasi, sistem akses dan lain-lain. Keamanan informasi pada jaringan lokal perlu dilakukan dengan cara mengevaluasi secara berkala terhadap semua aspek yang berkaitan dengan kondisi jaringan tersebut. Metode yang sering digunakan adalah Open-Source Security Testing Methodology Manual (OSSTMM) yaitu sebuah manual metodologi pengujian keamanan dengan piranti lunak bebas dengan prosedur Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
105
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
menggunakan security evaluation checklist yang terdiri dari evaluasi topologi jaringan yang digunakan, penetration testing dari sisi luar dan sisi dalam jaringan, evaluasi perangkat jaringan, evaluasi server dan evaluasi terhadap kebijakan dan prosedur pada jaringan (Rahardjo et al, 2005). Dalam pembahasan makalah ini akan dibatasi pada salah satu metode untuk mengevaluasi keamanan informasi pada sisi keamanan firewall pada router mikrotik yang sudah diimplementasikan pada jaringan lokal LAPAN Bandung yaitu dengan melakukan penetration testing. 2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep keamanan informasi Pada dasarnya keamanan informasi pada jaringan meliputi empat aspek, yaitu privacy/ confidentiality, integrity, authentication dan availability (Rahardjo, 2005). Privacy/Confidentiality (kerahasiaan) Privacy atau confidentiality adalah usaha untuk menjaga informasi dari orang yang tidak berhak mengakses. Privacy lebih kearah data-data yang sifatnya privat sedangkan confidentiality biasanya berhubungan dengan data yang diberikan ke pihak lain untuk keperluan tertentu dan hanya diperbolehkan untuk keperluan tertentu tersebut. Contoh hal yang berhubungan dengan privacy adalah e-mail seorang user tidak boleh dibaca oleh administrator. Contoh confidential information adalah data-data yang sifatnya pribadi (seperti nama, tempat tanggal lahir, social security number, agama, status perkawinan, penyakit yang pernah diderita, nomor kartu kredit, dan sebagainya) merupakan data-data yang ingin diproteksi penggunaan dan penyebarannya. Integrity (integritas) Aspek ini menekankan bahwa informasi tidak boleh diubah tanpa seijin pemilik informasi. Adanya virus, trojan horse, atau pemakai lain yang mengubah informasi tanpa ijin merupakan contoh masalah yang harus dihadapi. Sebuah e-mail dapat saja ditangkap di tengah jalan, diubah isinya kemudian diteruskan ke alamat yang dituju. Dengan kata lain, integritas dari informasi sudah tidak terjaga. Penggunaan enkripsi dan digital signature, misalnya, dapat mengatasi masalah ini. Authentication Pada aspek authentication, sistem harus memastikan bahwa pihak, oolehek, dan informasi yang berkomunikasi adalah asli dan bukan palsu, menyatakan bahwa informasi betul-betul asli, orang yang mengakses atau memberikan informasi adalah betul-betul orang yang dimaksud,
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
106
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
atau server yang kita hubungi adalah betul-betul server yang asli. Authentication biasanya diarahkan kepada pengguna yang sah dengan menggunakan password dan sejenisnya. Availability (ketersediaan) Aspek availability atau ketersediaan berhubungan dengan ketersediaan informasi ketika dibutuhkan. Sistem informasi yang diserang dapat menghambat atau meniadakan akses ke informasi. Contohnya adalah serangan yang sering disebut dengan denial of service attack (DoS attack), dimana server dikirimi permintaan (biasanya palsu) terus menerus atau permintaan yang diluar perkiraan sehingga tidak dapat melayani permintaan lain atau bahkan sampai down, hang, crash. Contoh lain adalah adanya mailbomb, dimana seorang pemakai dikirimi e-mail terus menerus dengan ukuran yang besar sehingga sang pemakai tidak dapat membuka emailnya atau kesulitan mengakses e-mailnya. 2.2. Keamanan dengan Firewall Firewall adalah sebuah sistem atau kelompok sistem yang menerapkan sebuah access control policy terhadap lalu lintas jaringan yang melewati titik-titik akses dalam jaringan. Tugas firewall adalah untuk memastikan bahwa tidak ada tambahan diluar ruang lingkup yang diizinkan. Firewall bertanggung jawab untuk memastikan bahwa acces control policy yang ditentukan telah diikuti oleh semua pengguna di dalam jaringan tersebut. Firewall sama seperti alat-alat jaringan lain dalam hal untuk mengontrol aliran lalu lintas jaringan. Namun, tidak seperti alat-alat jaringan lain, sebuah firewall harus mengontrol lalu lintas network dengan memasukkan faktor pertimbangan bahwa tidak semua paket-paket data yang dilihatnya adalah apa yang seperti terlihat. Firewall digunakan untuk mengontrol akses antara network internal sebuah organisasi internet. Sekarang ini firewall semakin menjadi fungsi standar yang ditambahkan untuk semua host yang berhubungan dengan network (Mulyana dan Purbo, 2011). Fungsi-fungsi umum firewall adalah static packet filtering (penyaringan paket secara statis), dynamic packet filtering (penyaringan paket secara dinamis), stateful filtering (penyaringan paket berdasarkan status) serta sebagai proxy. 2.3 Perangkat NMAP untuk penetration testing Tujuan penetration testing adalah untuk menentukan dan mengetahui serangan-serangan yang bisa terjadi terhadap kerentanan yang ada pada sistem, mengetahui dampak bisnis yang diakibatkan dari hasil ekpoitasi yang dilakukan oleh penyerang. Penetration testing bisa dilakukan dari sisi internal dan eksternal. Jika dari sisi eksternal bisa melakukan pengujian ke web server, mail server, firewall, router. Jika dari sisi internal, penetration testing bisa dilakukan untuk menguji jaringan access point, segmentasi logika, firewall, switch dan sistem otentikasi (Indri dan Mark, 2013). Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
107
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Salah satu metode pengujian pada penetration testing adalah menggunakan Nmap (Network Mapper) yaitu sebuah perangkat open source untuk eksplorasi dan evaluasi keamanan jaringan yang dirancang untuk memeriksa jaringan besar secara cepat. Nmap menggunakan paket IP raw dalam cara yang canggih untuk menentukan host mana saja yang tersedia pada jaringan, layanan (nama aplikasi dan versi) apa yang diberikan, sistem operasi (dan versinya) apa yang digunakan, apa jenis firewall/filter paket yang digunakan, dan sejumlah karakteristik lainnya. Meskipun Nmap umumnya digunakan untuk audit keamanan, namun banyak administrator sistem dan jaringan menganggapnya berguna untuk tugas rutin seperti inventori jaringan, mengelola jadwal upgrade layanan, dan melakukan monitoring layanan. Output Nmap adalah sebuah daftar target yang diperiksa, dengan informasi tambahannya tergantung pada opsi yang digunakan. Hal kunci di antara informasi itu adalah”tabel port menarik”. Tabel tersebut berisi daftar angka port dan protokol, nama layanan, dan status. Statusnya adalah terbuka (open), difilter (filtered), tertutup (closed), atau tidak difilter (unfiltered). Tabel port mungkin juga menyertakan secara rinci versi software ketika diminta melakukan pemeriksaan versi. Ketika sebuah pemeriksaan protokol IP diminta (-sO), Nmap memberikan informasi pada protokol IP yang didukung port-port yang sedang berjalan. Selain tabel port yang menarik, Nmap dapat pula memberikan informasi lebih lanjut tentang target, termasuk nama reverse DNS, prakiraan sistem operasi, jenis perangkat dan alamat MAC (http://nmap.org/man/id). 3 IMPLEMENTASI KEAMANAN INFORMASI DAN JARINGAN LOKAL LAPAN DENGAN MIKROTIK
Gambar 3-1: Topologi jaringan lokal LAPAN Bandung Jaringan
lokal
LAPAN
Bandung
dengan
topologi
pada
Gambar
1
telah
mengimplementasikan firewall packet filtering yaitu mekanisme yang dapat memblokir paketpaket data jaringan yang dilakukan berdasarkan peraturan yang telah ditentukan sebelumnya. Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
108
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Packet filtering adalah salah satu jenis teknologi keamanan yang digunakan untuk mengatur paket-paket apa saja yang diizinkan masuk ke dalam sistem atau jaringan dan paket-paket apa saja yang diblokir. Packet filtering umumnya digunakan untuk memblokir lalu lintas yang mencurigakan yang datang dari alamat IP, nomor port TCP/UDP, dan jenis protokol aplikasi yang mencurigakan, serta kriteria lainnya. Misalnya ingin memblok komputer client yang memiliki ip tertentu atau ketika melakukan blok terhadap web tertentu berdasarkan ip web tersebut. Firewall tersebut tidak hanya digunakan untuk melakukan blok client agar tidak dapat mengakses resource tertentu, namun juga digunakan untuk melindungi jaringan lokal dari ancaman luar, misalnya virus atau serangan hacker. Selain untuk melindungi jaringan, firewall juga difungsikan untuk melindungi komputer user atau host. Firewall digunakan sebagai sarana untuk mencegah atau meminimalkan risiko keamanan yang melekat dalam menghubungkan ke jaringan lain. Biasanya serangan dari internet ini dilakukan dari banyak IP sehingga akan sulit untuk melakukan perlindungan hanya dengan berdasarkan IP. Ada banyak cara filtering selain berdasar IP Address, misalnya berdasar protocol dan port (http://mikrotik.co.id/). Berikut implementasi firewall dengan packet filtering mikrotik yang dilakukan pada jaringan lokal LAPAN Bandung: /ip firewall filter add chain=virus protocol=udp action=drop dst-port=1 comment="Sockets des Troie" add chain=virus protocol=tcp action=drop dst-port=2 comment="Death" add chain=virus protocol=tcp action=drop dst-port=20 comment="Senna Spy FTP server" add chain=virus protocol=tcp action=drop dst-port=21 comment="Back Construction, Blade Runner, Cattivik FTP Server, CC Invader, Dark FTP, Doly Trojan, Fore, Invisible FTP, Juggernaut 42, Larva, MotIv FTP, Net Administrator, Ramen, Senna Spy FTP server, The Flu, Traitor 21, WebEx, WinCrash" add chain=virus protocol=tcp action=drop dst-port=22 comment="Shaft" add chain=virus protocol=tcp action=drop dst-port=23 comment="Fire HacKer, Tiny Telnet Server TTS, Truva Atl" add chain=virus protocol=tcp action=drop dst-port=25 comment="Ajan, Antigen, Barok, Email Password Sender EPS, EPS II, Gip, Gris, Happy99, Hpteam mail, Hybris, I love you, Kuang2, Magic Horse, MBT Mail Bombing Trojan, Moscow Email trojan, Naebi, NewApt worm, ProMail trojan, Shtirlitz, Stealth, Tapiras, Terminator, WinPC, WinSpy" add chain=virus protocol=tcp action=drop dst-port=30 comment="Agent 40421" add chain=virus protocol=tcp action=drop dst-port=31 comment="Agent 31, Hackers Paradise, Masters Paradise" add chain=virus protocol=tcp action=drop dst-port=41 comment="Deep Throat, Foreplay" add chain=virus protocol=tcp action=drop dst-port=48 comment="DRAT" # Barus Sampai Sini add chain=virus protocol=tcp action=drop dst-port=50 comment="DRAT" Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
109
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
add chain=virus protocol=tcp action=drop dst-port=58 comment="DMSetup" add chain=virus protocol=tcp action=drop dst-port=59 comment="DMSetup" add chain=virus protocol=tcp action=drop dst-port=79 comment="CDK, Firehotcker" add chain=virus protocol=tcp action=drop dst-port=80 comment="711 trojan, Seven Eleven, AckCmd, Back End, Back Orifice 2000 Plug-Ins, Cafeini, CGI Backdoor, Executor, God Message, God Message Creator, Hooker, IISworm, MTX, NCX, Reverse WWW Tunnel Backdoor, RingZero, Seeker, WAN Remote, Web Server CT, WebDownloader" ...... add chain=virus protocol=udp action=drop dst-port=65432 comment="The Traitor th3tr41t0r" add chain=virus protocol=tcp action=drop dst-port=65534 comment="sbin initd" add chain=virus protocol=tcp action=drop dst-port=65535 comment="RC1 trojan" add chain=forward action=jump jump-target=virus comment="jump to the virus chain"
Hasilnya port-port yang diblok akan terlihat pada mikrotik pada Gambar 2 sebagai berikut:
Gambar 3-2: Implementasi firewall dengan packet filtering mikrotik 4 PENGUJIAN DAN EVALUASI KEAMANAN INFORMASI PADA JARINGAN Untuk mengevaluasi terhadap firewall yang diimplementasikan pada jaringan lokal LAPAN Bandung, yaitu dengan melakukan penetration testing dari dalam jaringan (local host) dan dari luar jaringan. Perangkat yang digunakan adalah NMAP open-source yang tersedia di http://nmap.org/ untuk pengujian dari dalam jaringan lokal dan NMAP online yang tersedia di https://pentest-tools.com/discovery-probing/tcp-port-scanner-online-nmap# untuk pengujian dari luar jaringan. 4.1 Pengujian dari dalam jaringan lokal
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
110
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Perangkat yang digunakan adalah Zenmap, yaitu NMAP open-source untuk windows. Pengujian dilakukan terhadap firewall pada router mikrotik dengan alamat IP 172.16.12.2. Berikut hasil pengujian dari dalam jaringan lokal: Dengan perintah nmap -T4 -A -v 172.16.12.2 untuk menguji port scanning secara keseluruhan sebagai berikut: Starting Nmap 6.46 (http://nmap.org) at 2014-05-29 19:54 SE Asia Standard TimeNSE: Loaded 118 scripts for scanning.NSE: Script Pre-scanning.Initiating Ping Scan at 19:54 Scanning 172.16.12.2 [4 ports]Completed Ping Scan at 19:54, 0.15s elapsed (1 total hosts)Initiating Parallel DNS resolution of 1 host. at 19:54Completed Parallel DNS resolution of 1 host. at 19:54, 13.00s elapsedInitiating SYN Stealth Scan at 19:54Scanning 172.16.12.2 [1000 ports]Discovered open port 53/tcp on 172.16.12.2Completed SYN Stealth Scan at 19:54, 4.89s elapsed (1000 total ports)Initiating Service scan at 19:54Scanning 1 service on 172.16.12.2Completed Service scan at 19:54, 0.01s elapsed (1 service on 1 host)Initiating OS detection (try #1) against 172.16.12.2get_srcaddr: can't connect socket: An attempt was made to access a socket in a way forbidden oleh its access permissions. Initiating Traceroute at 19:54Completed Traceroute at 19:54, 0.02s elapsedInitiating Parallel DNS resolution of 2 hosts. at 19:54Completed Parallel DNS resolution of 2 hosts. at 19:54, 13.00s elapsedNSE: Script scanning 172.16.12.2.Initiating NSE at 19:54Completed NSE at 19:55, 16.07s elapsedNmap scan report for 172.16.12.2Host is up (0.0012s latency).Not shown: 998 filtered portsPORT STATE SERVICE VERSION53/tcp open domain?1723/tcp closed pptpDevice type: general purposeRunning: Linux 2.6.X|3.XOS CPE: cpe:/o:linux:linux_kernel:2.6 cpe:/o:linux:linux_kernel:3OS details: Linux 2.6.32 3.9Uptime guess: 4.240 days (since Mon May 26 14:09:02 2014)Network Distance: 2 hopsTCP Sequence Prediction: Difficulty=260 (Good luck!)IP ID Sequence Generation: All zerosTRACEROUTE (using port 1723/tcp)HOP RTT ADDRESS1 1.00 ms 10.10.10.12 1.00 ms 172.16.12.2NSE: Script Post-scanning.Read data files from: C:\Program Files\NmapOS and Service detection performed. Please report any incorrect results at http://nmap.org/submit/ Nmap done: 1 IP address (1 host up) scanned in 52.17 seconds Raw packets sent: 2036 (91.230KB) | Rcvd: 28 (1.502KB)
Mendeteksi adanya penggunaan firewall pada service yang berjalan, dengan menggunakan nmap -sA 172.16.12.2 sebagai berikut: Starting Nmap 6.46 (http://nmap.org) at 2014-05-29 20:02 SE Asia Standard TimeNmap scan report for 172.16.12.2get_srcaddr: can't connect socket: An attempt was made to access a socket in a way forbidden oleh its access permissions. Host is up (0.0011s latency).Not shown: 998 filtered portsPORT STATE SERVICE53/tcp unfiltered domain1723/tcp unfiltered pptpNmap done: 1 IP address (1 host up) scanned in 17.82 seconds
Dengan pengujian dengan Zenmap diperoleh hasil bahwa: a. Hostname/alamat IP 172.16.12.2 sebagai sasaran atau target pengujian pada sisi localhost. b. Port scanning adalah proses koneksi ke port-port TCP atau UDP pada host yang menjadi target untuk menentukan service apa yang sedang berjalan (listening).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
111
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
c. Ping host dilakukan untuk memeriksa apakah IP tersebut aktif. Verifikasi dilakukan dengan mengirimkan permintaan echo ICMP ke target dengan respon yang diterima. d. Penggunaan Firewall pada router mikrotik telah memfilter 998 port, kecuali pada port 53 dan port 1723. Port tersebut dalam status unfiltered yang artinya dimungkinkan sebagai celah untuk serangan orang yang tidak berhak menerobos ke dalam port tersebut sehingga administrator mungkin perlu mempertimbangkan untuk memblok dan melindungi port tersebut dengan firewall dan akan muncul dalam status filtered. e. Traceroute bisa dilakukan untuk menentukan paket atau jalan yang dilalui dari sisi penguji ke server target, termasuk alamat ip dari semua node jaringan/router. 4.2 Pengujian dari luar jaringan Perangkat yang digunakan adalah NMAP online yang tersedia di https://pentesttools.com/discovery-probing/tcp-port-scanner-online-nmap#.
Pengujian
terhadap
router
mikrotik dengan alamat IP 123.231.244.134. Berikut hasil pengujian dari luar jaringan lokal LAPAN Bandung: Starting Nmap 6.00 (http://nmap.org) at 2014-05-30 07:38 EEST NSE: Loaded 17 scripts for scanning. Initiating Ping Scan at 07:38 Scanning 123.231.244.134 [4 ports] Completed Ping Scan at 07:38, 0.24s elapsed (1 total hosts) Initiating SYN Stealth Scan at 07:38 Scanning 123.231.244.134 [22 ports] Discovered open port 80/tcp on 123.231.244.134 Completed SYN Stealth Scan at 07:38, 1.60s elapsed (22 total ports) Initiating Service scan at 07:38 Scanning 1 service on 123.231.244.134 Completed Service scan at 07:38, 6.63s elapsed (1 service on 1 host) Initiating OS detection (try #1) against 123.231.244.134 Retrying OS detection (try #2) against 123.231.244.134 Initiating Traceroute at 07:38 Completed Traceroute at 07:38, 0.59s elapsed NSE: Script scanning 123.231.244.134 Nmap scan report for 123.231.244.134 Host is up (0.22s latency). PORT STATE SERVICE VERSION 21/tcp closed ftp Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
112
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
22/tcp closed ssh 23/tcp closed telnet 25/tcp closed smtp 80/tcp open http MikroTik router config httpd 110/tcp closed pop3 143/tcp closed imap 179/tcp closed bgp 443/tcp closed https 465/tcp closed smtps 993/tcp closed imaps 995/tcp closed pop3s 1433/tcp closed ms-sql-s 1720/tcp closed H.323/Q.931 1723/tcp closed pptp 3306/tcp closed mysql 3389/tcp closed ms-wbt-server 5060/tcp closed sip 5900/tcp closed vnc 8000/tcp closed http-alt 8080/tcp closed http-proxy 8443/tcp closed https-alt Device type: WAP|media device|webcam|storage-misc|general purpose|firewall Running (JUST GUESSING): Netgear embedded (95%), Western Digital embedded (95%), AXIS Linux 2.6.X (94%), HP embedded (94%), Linux 2.6.X|3.X|2.4.X (93%), Linksys embedded (91%), Check Point embedded (91%) OS CPE: cpe:/o:axis:linux:2.6 cpe:/o:linux:kernel:2.6 cpe:/o:linux:kernel:3 cpe:/o:linux:kernel:2.4 cpe:/h:linksys:wrv54g cpe:/o:linux:kernel:2.4.26 Aggressive OS guesses: Netgear DG834G WAP or Western Digital WD TV media player (95%), AXIS 210A or 211 Network Camera (Linux 2.6) (94%), HP P2000 G3 NAS device (94%), Linux 2.6.38 - 3.2 (93%), Linux 3.0 (93%), Linux 3.0 - 3.1 (92%), Tomato 1.27 - 1.28 (Linux 2.4.20) (91%), Linux 2.6.32 - 2.6.39 (91%), Linux 2.6.38 - 3.0 (91%), Linksys WRV54G WAP (91%) No exact OS matches for host (test conditions non-ideal). Uptime guess: 4.893 days (since Mon May 26 10:13:08 2014) Network Distance: 13 hops TCP Sequence Prediction: Difficulty=263 (Good luck!) IP ID Sequence Generation: All zeros Service Info: OS: RouterOS; Device: router TRACEROUTE (using port 110/tcp) HOP RTT ADDRESS 1 0.81 ms bb0-vlan50-th1.59-bdp.TeenTelecom.net (86.107.58.33) 2 0.95 ms interlink-routers.use.TeenTelecom.net (172.16.0.177) Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
113
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
3 0.97 ms interlink-routers.use.TeenTelecom.net (172.16.0.169) 4 32.47 ms xe-0-3-0-4-704.r02.frnkge04.de.bb.gin.ntt.net (213.198.72.161) 5 37.47 ms ae-4.r21.frnkge03.de.bb.gin.ntt.net (129.250.4.53) 6 45.47 ms ae-3.r22.londen03.uk.bb.gin.ntt.net (129.250.3.137) 7 222.38 ms as-4.r21.sngpsi02.sg.bb.gin.ntt.net (129.250.6.238) 8 221.38 ms ae-6.r00.sngpsi02.sg.bb.gin.ntt.net (129.250.6.105) 9 224.39 ms 116.51.27.34 10 239.39 ms 202.152.3.116 11 587.19 ms G6144-BM-JKTCBRIGR1.idola.net.id (202.152.3.113) 12 244.51 ms gi0-1-138.bdgciuidr1.idola.net.id (202.152.14.46) 13 240.57 ms 123.231.244.134 OS and Service detection performed. Please report any incorrect results at http://nmap.org/submit/ . Nmap done: 1 IP address (1 host up) scanned in 36.79 seconds Raw packets sent: 159 (12.108KB) | Rcvd: 131 (10.853KB) Query finished [2014-05-31 04:38:50]
Dengan pengujian dengan NMAP online diperoleh hasil bahwa a. Hostname/alamat IP 123.231.244.134 sebagai sasaran atau target pengujian. b. Ping host dilakukan untuk memeriksa apakah IP tersebut aktif. Verifikasi dilakukan dengan mengirimkan permintaan echo ICMP ke target dengan respon yang diterima. c. Sistem operasi dapat terdeteksi pada port yang berstatus terbuka atau sedang berjalan. d. Servis atau layanan, pada port dengan status terbuka berarti bahwa aplikasi pada mesin target sedang mendengarkan (listening) untuk koneksi/paket pada port tersebut yaitu secara aktif menerima koneksi paket TCP atau UDP. Pada port ini seringkali merupakan tujuan utama scanning port. Setiap port terbuka dimungkinkan sebagai celah untuk serangan. Penyerang ingin mengeksploitasi port terbuka sehingga administrator perlu berusaha menutup atau melindungi dengan firewall tanpa mengganggu user yang berhak. Port terbuka juga menarik bagi scan bukan keamanan karena memberitahu layanan yang dapat digunakan pada jaringan. Sedangkan port tertutup dapat diakses (port menerima dan menanggapi paket probe Nmap), namun tidak ada aplikasi yang berjalan (listening). Yaitu dengan menunjukkan bahwa host up pada alamat IP tersebut (host discovery, atau ping scanning), dan sebagai bagian deteksi. Sedangkan port tertutup tidak memiliki aplikasi yang sedang berjalan. Difilter berarti bahwa sebuah firewall, filter, atau penghalang jaringan lainnya memblokir port sehingga Nmap tidak dapat mengetahui apakah terbuka atau tertutup pada port tersebut.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
114
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
e. Traceroute bisa dilakukan untuk menentukan paket atau jalan yang dilalui dari sisi penguji ke server target, termasuk alamat ip dari semua node jaringan/router. 5 KESIMPULAN Evaluasi terhadap keamanan informasi pada jaringan lokal LAPAN Bandung harus dilakukan terus menerus dikarenakan banyaknya celah atau lubang keamanan pada jaringan. Evaluasi yang dilakukan dengan penetration testing dengan menggunakan perangkat NMAP bisa dilakukan dengan hasil bisa mengidentifikasi port-port yang belum terfilter oleh firewall. Port tersebut perlu diblok atau dilindungi agar tidak diserang oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Evaluasi keamanan jaringan ini tidak sebatas pada penetration testing untuk menguji firewall saja, melainkan banyak hal-hal yang sangat penting dalam menjaga informasi pada jaringan tetap stabil dan aman dari ancaman dan gangguan pihak luar. DAFTAR RUJUKAN Rahardjo, B., A. Triwidada, dan M. Sutarman, 2005, ”Security Evaluation Checklist”, Proceedings of INA-CISC 2005: Indonesia Cryptology and Information Security Conference. pp. 135-138. Rahardjo, B., 2005, ”Keamanan Sistem Informasi Berbasis Internet”, Handbook Versi 5.4, PT.Insan Infonesia-bandung & PT.Indocisc Jakarta. Anonim, “Implementasi Firewall Filter”, http://mikrotik.co.id/artikel_lihat.php?id=57, diakses tanggal 17 Mei 2014. Anonim, “Panduan Referensi Nmap”, http://nmap.org/man/id, diakses tanggal 27 Mei 2014. Anonim, “TCP Port Scan with Nmap”, https://pentest-tools.com/discovery-probing/tcp-portscanner-online-nmap#, diakses tanggal 29 Mei 2014. Indri dan Mark, 2013, “Bagaimana Belajar Menjadi Seorang Penetration Tester (PenTest)”, http://www.sekuriti.web.id/2013/10/25/12.html, diakses tanggal 25 Mei 2014. Mulyana, Eueung, dan Onno W. Purbo, 2011,”Firewall: Sekuriti Internet”, Computer Network Research Group ITB, http://www.klik-kanan.com/fokus/firewall.shtml, diakses tanggal 17 Mei 2014.
TANYA JAWAB Pertanyaan: Selain yang diuraikan diatas, adakah metode lain untuk melakukan scanning port untuk evaluasi keamanan jaringan?
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
115
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Jawaban: Ada yaitu TCP DUMP, berbasis open source Free BSD, bekerja di jaringan dengan model konfigurasi berbasis proxy server, selanjutnya TCP DUMP akan mengamati setiap kiriman paket yang bekerja di jaringan.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
116
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
ANALISIS KORELASI KASUS ANOMALI SATELIT MELALUI VARIASI MAGNETIK BUMI (CORRELATION ANALYSIS OF ANOMALY CASES THROUGH GEOMAGNETIC VARIATION) Nizam Ahmad1,2) dan Dhani Herdiwijaya1) 1)
Program studi Astronomi ITB, Bandung, Indonesia 2)
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasion e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Dalam kajian interaksi matahari – bumi, parameter aktivitas geomagnet menjadi indikator variasi magnetik bumi. Terdapat beberapa indeks diantaranya Indeks AE yang menggambarkan kuat arus listrik yang mengalir di lapisan D dan E ionosfer, indeks Kp diukur rata-rata 3 jam dan skala dampak pada satelit adalah skala 5 (charging) hingga 9 (total/partial loss). Indeks Dst digunakan bahwa semakin rendah skala indeks ini maka badai magnetik di permukaan bumi akan semakin kuat dan dampaknya pada satelit juga akan semakin besar. Analisis dilakukan pada 5 kasus anomali satelit yaitu satelit ASCA, Fuse 1, Radarsat 1, Landsat 7 dan satelit Midori di orbit rendah bumi. Hasil analisis memperlihatkan variasi magnetik bumi terutama yang menghasilkan badai magnetik menjadi pemicu utama terjadinya anomali satelit dengan kerusakan yang beragam. Hal ini memperlihatkan kejadian anomali satelit berkorelasi kuat dengan variasi magnetik bumi. Kajian ini sangat penting dalam membangun sistem peringatan dini gangguan operasional satelit di angkasa. Kata Kunci: Variasi magnetik, anomali satelit ABSTRACT In the field of Solar-Terrestrial Interaction the parameter of geomagnetic activities can be used as indicator of variation on the level of magnetic. There are several indices such as AE index which depicts electrical current flowing on ionospheric D and E layers, Kp index measured in 3-hours resulting in impact scales on satellite from 5 (charging) to 9 (total/partial loss). In addition, Dst index is also used and the lower the scale the stronger magnetic storm affecting on satellite and its environment. The analysis was done on 5 anomaly cases of satellites such as ASCA, Fuse 1, Radarsat 1, Landsat 7 and Midori satellite at lower orbit. The results are candidate of magnetic variation triggered anomaly through storm time as well as Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
117
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
anomaly source with various failures. It can be inferred strong correlation of satelliet anomaly cases associated with magnetic variation. The study is very important to develop an early warning system of satellite operation in space. Key words: Magnetic variation, saetllite anomaly. 1.
PENDAHULUAN Satelit yang ditempakan di angkasa paling rawan terhadap cuaca antariksa terutama
akibat partikel bermuatan (charged particles). Partikel bermuatan dapat berinteraksi dengan satelit dan menimbulkan dampak bervariasi, bergantung pada energi dan fluks partikel bermuatan (Koskinen et al., 2001). Partikel bermuatan dengan energi rendah berinteraksi dengan permukaan satelit seperti selubung termal (thermal coatings), sel surya (solar cells) dan antena. Sumber partikel bermuatan energi rendah ini diantaranya angin matahari, atmosfer, ionosfer dan plasma di magnetosfer. Semakin tinggi energi partikel maka semakin besar dampaknya pada satelit karena partikel dapat menembus (penetrasi) bagian dalam satelit sehingga mempengaruhi kala hidup (life time) dan operasional satelit di angkasa. Pengaruh partikel bermuatan terhadap satelit terjadi pada seluruh wilayah penempatan satelit seperti di orbit rendah (Low Earth Orbit – LEO), orbit menengah (Medium Earth Orbit – MEO) dan orbit tinggi (Geosynchronous Earth Orbit – GEO). Ketinggian LEO membentang dari 200 km – 3000 km, ketinggian MEO dari 3000 km hingga 36.000 km dan ketinggian GEO sekitar 36.000 km dari permukaan bumi (Wertz dan Larson, 2001). Pada umumnya sumber partikel bermuatan berasal dari angin matahari dan ionosfer yang terdiri dari ion dan elektron dengan temperatur diatas orde ratusan keV. Partikel bermuatan dengan energi rendah tidak dapat menembus satelit secara spontan, namun dapat menimbulkan pemuatan pada permukaan satelit (surface charging) yang mengakibatkan properti material permukaan satelit berubah. Interaksi partikel bermuatan pada beragam material satelit lebih jauh mengakibatkan beda potensial sehingga terjadi lecutan listrik (discharge). Telah diketahui dengan baik bahwa gerak partikel bermuatan di lingkungan dekat bumi (~30.000 km dari permukaan bumi) dipengaruhi oleh medan magnet (Hasting dan Garret, 1996). Variasi medan magnet akan mempengaruhi karakteristik partikel bermuatan yang kemudian berdampak pada sistem satelit, bergantung pada orbit satelit (ketinggian, inklinasi), posisi satelit relatif pada suatu daerah tertentu di angkasa (lintang tinggi, menengah dan ekuator), waktu lokal satelit, tingkat aktivitas matahari dan jenis material (bahan) yang digunakan pada struktur satelit (www.swpc.noaa.gov/info/Satellites.html). Tingkat aktivitas
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
118
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
matahari terkait erat dengan variasi magnetik bumi dimana frekuensi gangguan magnetik lebih banyak dan lebih tinggi pada saat aktivitas matahari maksimum. Salah satu contoh kasus ekstrim terkait dengan variasi magnetik bumi saat matahari aktif adalah kejadian pada tanggal 20 Januari 1994. Pada kasus ini angin matahari berkecepatan tinggi menyebabkan kompresi lapisan magnetosfer dan menghasilkan badai magnetik bumi (geomagnetic storm). Fenomena ini mengakibatkan beberapa satelit komunikasi di ketinggian GSO mengalami kerusakan. Satelit Anik E-1 milik Kanada pada 17:35 UT mengalami kerusakan pada kontrol sikap (attitude control) satelit. Peristiwa sama juga dialami oleh satelit Anik-E2 dihari berikutnya pada 02:10 UT. Hal ini mengakibatkan Kanada mengalami kelumpuhan komunikasi via telepon, TV, radio dan lainnya selama beberapa hari (Baker, 1996). Di waktu yang bersamaan (20 Januari 1994), satelit Intelsat-K milik Belanda mengalami kegagalan komunikasi dengan stasiun bumi yang diduga akibat badai magnetik bumi. Kajian terhadap variasi magnetik bumi yang kemudian mempengaruhi operasional satelit sangat penting untuk mengurangi dampak kerusakan satelit melalui strategi rancangan sistem proteksi dan penggunaan material yang tepat pada satelit. Kajian dalam riset ini mencoba melihat korelasi beberapa kasus anomali satelit orbit rendah yang hingga sekarang belum banyak disentuh secara mendalam. 2.
DATA DAN METODOLOGI Data yang digunakan dalam kajian ini terdiri dari data orbit dan anomali satelit serta data
variasi medan magnet melalui tiga buah indeks yaitu indeks AE, indeks Kp dan indeks Dst. Data orbit satelit dapat diperoleh melalui situs http://space- track.org dan data anomali satelit diperoleh melalui situs http://www.sat-nd.com. Data variasi magnetik bumi melalui tiga buah indeks akan diuraikan dalam sub bab berikut. 2.1 Indeks AE Indeks AE (Auroral Electrojet) merupakan indeks yang diperoleh melalui pengamatan dari berbagai stasiun (10-13 observatorium) yang tersebar di belahan bumi utara. Auroral Electrojet merupakan fenomena dimana arus listrik yang kuat pada arah horizontal, mengalir di lapisan D (h~ 50-90 km) dan E (90-150 km) ionosfer (Casey, 2005). Fenomena ini dipicu oleh penetrasi partikel bermuatan (charged particles) dan aliran listrik sepanjang garis medan magnet (Field Aligned Current – FAC) selama badai magnetik (substorm) berlangsung di lapisan ionosfer belahan utara (Chen et al.,2003). Secara umum, arus AE mengalir ke arah timur pada sore dan malam hari dan kearah barat pada pagi hari serta memiliki konfigurasi yang cukup dinamik. Arus AE dapat diilustrasikan pada Gambar 1. Data indeks AE dapat diperoleh melalui situs http://omniweb.gsfc.nasa.gov/form/dx1.html. Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
119
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 2-1: Ilustrasi arus AE yang menggambarkan presipitasi partikel bermuatan di wilayah polar (Chen et al.,2003).
2.2 Indeks Kp Indeks Kp diperoleh melalui pengukuran oleh 13 buah stasiun pengamatan yang terletak di lintang menengah antara 44° dan 66° utara atau selatan lintang geomagnet seperti pada Gambar 2-2. Setiap rentang 3 jam, seluruh stasiun pengamatan tersebut mengukur perubahan terbesar magnet bumi setiap harinya. Hasil pengukuran di setiap stasiun pengamatan digabungkan dan kemudian dirata-ratakan sehingga menghasilkan suatu nilai indeks yang disebut indeks Kp (Planetary- K index) yang meng-indikasikan seberapa besar medan magnet bumi terganggu (http://sunearthday.nasa.gov/swac/tutorials/) .
Gambar 2-2: Lokasi pengukuran indeks Kp yang diukur dalam setiap rentang 3 jam (http://www.ingv.it/ufficio-stampa/research-areas/sun-earth/planetary-kpindex).
Indeks Kp dinyatakan dalam skala, dimulai dari skala 00 hingga 90. Lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2-1. Tabel 2-1: SKALA INDEKS Kp (Pisacane, 2008) Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
120
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Nilai Kp 0o
0+
1-
1o
1+
2-
2o
2+
3-
3o
3+
4-
4o
4+
5-
5o
5+
6-
6o
6+
7-
7o
7+
8-
8o
8+
9-
9o
Tingkat skala dalam indeks Kp menyatakan pengaruhnya pada medan magnet bumi yang bedampak pada infrastruktur manusia baik di angkasa (wahana antariksa) maupun di bumi (jaringan listrik). Dampak yang dicirikan oleh skala tersebut dapat dilihat pada Tabel 2-2. Data indeks Kp dapat diakses melalui situs http://omniweb.gsfc.nasa.gov/form/dx1.html.
Tabel 2-2: SKALA INDEKS KP YANG MENCIRIKAN DAMPAK TERHADAP INFRASTRUKTUR MANUSIA BAIK DI BUMI MAUPUN DI ANGKASA (www.swpc.noaa.gov/NOAAscales/)
Pada Tabel 2-2, NOAA membagi skala indeks yang mulai berdampak pada infrastruktur manusia mulai dari skala Kp= 5 (kecil /minor), Kp = 6 (menengah/moderate), Kp = 7 (kuat/strong), Kp = 8 dan 9- (parah/severe) dan Kp = 9 (Ekstrem/Extreme).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
121
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
2.3 Indeks Dst Indeks Dst (Disturbance storm) merupakan skala yang digunakan untuk mengukur variasi magnetik khususnya kekuatan badai magnetik bumi. Selain mengukur kekuatan badai magnetik, indeks ini juga digunakan untuk pengukuran secara tidak langsung arus cincin (ring current) di lintang menengah (ekuator). Indeks Dst diukur setiap jam dan merupakan rata-rata komponen horizontal medan magnet yang diamati melalui stasiun pengamatan yang ada di lintang menengah dan lintang rendah magnetik bumi seperti Honolulu, San Juan, Hermanus dan Kakioka. Lokasi stasiun pengukuran indeks Dst dapat dilihat pada Gambar 2-3.
Gambar 2-3: Lokasi pengukuran indeks Dst (Gannon dan Love, 2011).
Nilai negatif pada indeks Dst mengindikasikan bahwa pada saat tersebut sedang berlangsung badai magnetik. Semakin negatif nilai Dst, maka semakin kuat badai tersebut. Skala badai magnetik melalui indeks Dst dapat dilihat pada Tabel 3. Data indeks Dst dapat diperoleh melalui situs http://omniweb.gsfc.nasa.gov/cgi/nx1.cgi. Satelit-satelit orbit rendah yang ditinjau dapat dilihat pada Tabel 2-4. Tabel 2-3: TINGKAT SKALA BADAI MELALUI INDEKS Dst (http://roma2.rm.ingv.it/en/ themes/23/geomagnetic_in dices/27/dst_index) Skala indeks Dst
Tingkat badai
-50 nT
Lemah
-100 nT
Menengah
-200 nT
Kuat
Dst<-200 nT
Super
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
122
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Tabel 2-4: ANOMALI SATELIT ORBIT RENDAH YANG DITINJAU DISERTAI DENGAN DESKRIPSI SINGKAT KERUSAKANNYA. No Nama Satelit
1 2 3 4 5
ASCA FUSE Radarsat 1 Landsat 7 Midori
Waktu Anoamli (LT) 15-Jul-00 25-Nov-01 27-Nov-02 31-May-03 24-Oct-03
Ketinggian Deskripsi Anomali orbit (km) 140 752 792 702 805
Safe mode, total loss x-axis reaction wheel error loss of attitude Thematic Mapper failure total loss
Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah mencari korelasi antara variasi magnetik bumi dengan kejadian anomali satelit LEO yang terdapat pada Tabel 2-4 melalui beberapa langkah, diantaranya adalah melihat variasi magnetik yang menghasilkan fenomena badai magnetik mulai dari skala sedang hingga skala super dengan menggunakan indeks AE, Kp dan Dst dalam rentang
3 hari sebelum dan sesudah satelit dilaporkan mengalami
anomali. Langkah berikutnya adalah melihat secara kualitatif dugaan anomali baik dari fluktuasi medan magnet maupun dari tingkat badai magnetik yang dihasilkan dalam rentang waktu tersebut. 3
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis variasi magnetik bumi dalam rentang waktu
3 hari sebelum dan sesudah
kejadian anomali satelit dilaporkan dapat dilihat pada masing-masing uraian kasus anomali berikut. a. Satelit ASCA (Astro D) Satelit ASCA ditempatkan pada ketinggian sekitar 140 km dan inklinasi 31,07
ekuatorial) dan pertama kali dilaporkan mengalami anomali pada tanggal 15 juli
2000 yang mengakibatkan misi satelit tersebut gagal total. Variasi magnetik dalam rentang 3 hari sebelum dan sesudah satelit ASCA dilaporkan mengalami anomali dapat dilihat pada Gambar 3-1.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
123
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 3-1. Variasi magnetik sebelum dan sesudah satelit ASCA mengalami anomali. Anomali ASCA pada memperlihatkan nilai skala yang tinggi pada hari tersebut.
Pada saat anomali, satelit ASCA tengah melintasi wilayah ekuator dengan tingkat badai magnetik kejadian skala anomali super berasosiasi sehingga dengan diperkirakan badai magnetik bumi. b. Satelit Fuse 1 Satelit Fuse 1 ditempatkan pada ketinggian sekitar 752 km dan inklinasi sekitar 24,98
dan pertama kali dilaporkan mengalami anomali pada tanggal 25 Nopember 2001
yang mengakibatkan x-axis reaction wheel satelit berhenti berfungsi. Variasi magnetik bumi dalam rentang 3 hari sebelum dan sesudah anomali dapat dilihat pada Gambar 3-2.
Gambar 3-2. Variasi magnetik sebelum dan sesudah satelit Fuse 1 mengalami anomali. Anomali Fuse 1 pada DOY 329. Ketiga indeks magnetik memperlihatkan nilai skala yang tinggi sehari sebelum anomali dilaporkan.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
124
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Pada saat anomali, satelit Fuse 1 tengah melintasi wilayah ekuator dengan tingkat badai magnetik skala super sehingga diduga bahwa anomali pada satelit Fuse 1 juga berasosiasi dengan badai magnetik bumi. c. Satelit Radarsat 1 Satelit Radarsat 1 ditempatkan pada ketinggian 792 km dan inklinasi sekitar 98,58
serta pertama kali dilaporkan mengalami anomali pada tanggal 27 Nopember 2002
yang mengakibatkan kegagalan pada sistem kontrol sikap (attitude control) satelit. Variasi medan magnet bumi dalam rentang waktu
3 hari sebelum dan sesudah anomali dapat dilihat
pada Gambar 3-3.
Gambar 3-3. Variasi magnetik sebelum dan sesudah satelit Radarsat 1 mengalami anomali. Anomali Radarsat 1 pada DOY 331. Ketiga indeks magnetik memperlihatkan nilai skala yang tinggi pada hari tersebut. Saat anomali dilaporkan, Radarsat 1 tengah melintasi wilayah belahan utara dengan badai magnetik sedang. Diduga kejadian anomali pada satelit tersebut berasosiasi dengan badai magnetik bumi.
d. Satelit Landsat 7 Satelit Landsat 7 ditempatkan pada ketinggian sekitar 702 km dan inklinasi 98,21
dan pertama kali dilaporkan mengalami anomali pada tanggal 31 Mei 2003 yang
mengakibatkan sensor pemetaan pada satelit tidak dapat berfungsi sehingga proses pemindaian (scanning) tidak dapat dilakukan. Variasi medan magnet bumi dalam rentang waktu
3 hari sebelum dan sesudah anomali dapat dilihat pada Gambar 3-4.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
125
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 3-5. Variasi magnetik sebelum dan sesudah satelit Landsat 7 mengalami anomali. Anomali Landsat 7 pada DOY 151. Ketiga indeks magnetik memperlihatkan nilai skala yang tinggi pada hari tersebut.
Saat anomali dilaporkan, satelit Radarsat 1 tengah melintasi wilayah kutub utara dengan badai magnetik kuat. Terjadinya anomali pada satelit Radarsat 1 diperkirakan berasosiasi dengan fenomena badai magnetik bumi. e. Satelit Midori Satelit Midori yang juga dikenal dengan nama lain yaitu ADEOS II ditempatkan pada ketinggian 805 km dan inklinasi 98,47 serta pertama kali dilaporkan mengalami anomali pada tanggal 24 Oktober 2003 yang mengakibatkan sistem catu daya satelit tidak berfungsi sehingga misi satelit dinyatakan gagal total. Variasi medan magnet bumi dalam rentang waktu ± 3 hari sebelum dan sesudah anomali dapat dilihat pada Gambar 3-6. Saat anomali dilaporkan, satelit Midori tengah melintasi wilayah kutub selatan dengan badai magnetik sedang. Terjadinya anomali pada satelit Midori diperkirakan berasosiasi dengan fenomena badai magnetik bumi. Melihat kasus anomali pada 5 buah satelit orbit rendah di atas yang semuanya berasosiasi dengan kejadian badai magnetik mulai dari skala sedang hingga skala super semakin memperkuat dugaan bahwa variasi magnetik bumi terutama yang menghasilkan badai magnetik menjadi pemicu terjadinya anomali satelit. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3-1.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
126
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 3-6. Variasi magnetik sebelum dan sesudah satelit Midori mengalami anomali. Anomali Midori pada DOY 297. Ketiga indeks magnetik memperlihatkan nilai skala yang cukup tinggi pada hari tersebut.
Tabel 3-1: DUGAAN PEMICU KEJADIAN ANOMALI SATELIT-SATELIT ORBIT RENDAH YANG DITINJAU. No Nama Satelit
Waktu
Ketinggian Pemicu Anomali
Anoamli
orbit (km)
(LT) 1
ASCA
15-Jul-00
140
badai magnetik super
2
FUSE
25-Nov-01
752
badai magnetik super
3
Radarsat 1
27-Nov-02
792
badai magnetik sedang
4
Landsat 7
31-May-03
702
badai magnetik kuat
5
Midori
24-Oct-03
805
badai magnetik sedang
Pada Tabel 3-1 dapat dilihat bahwa diantara kelima satelit orbit rendah, satelit ASCA merupakan satelit yang memiliki ketinggian orbit paling rendah yaitu sekitar 140 km dari permukaan bumi, namun badai magnetik skala super sanggup mempengaruhi sistem satelit tersebut. Hal ini meng-indikasikan bahwa kekuatan tingkat badai magnetik pada skala tertentu mampu meng-induksi sistem satelit yang ditempatkan di ketinggian orbit paling rendah sekalipun. Hal ini menjadi informasi yang sangat penting dalam mitigasi kerusakan satelit akibat cuaca antariksa terutama terkait dengan fenomena badai magnetik bumi.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
127
ISBN: 978-979-1458-87-0
4.
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
KESIMPULAN Analisis yang dilakukan pada 5 kasus satelit-satelit anomali orbit rendah bumi
memperlihatkan bahwa variasi magnetik bumi, terutama yang menghasilkan badai, menjadi pemicu utama terjadinya anomali pada satelit. Dalam setiap kejadian anomali satelit, tidak selalu ditemukan peningkatan aktivitas magnetik yang tinggi di hari ketika anomali satelit dilaporkan. Hal ini menyiratkan bahwa dalam beberapa kasus tertentu, efek badai magnetik dapat memicu terjadinya anomali satelit secara spontan dan beberapa kasus lainnya memiliki efek tunda. Fluktuasi fluks magnetik juga diduga dapat memicu terjadinya anomali. Meskipun tingkat aktivitas magnetik bumi pada waktu anomali tidak terlalu tinggi, namun bila fluktuasi fluks magnetik sebelum dan sesudah terjadinya anomali sangat tinggi, maka hal ini dapat memicu terjadinya anomali pada satelit. Hasil kajian ini secara langsung memperlihatkan adanya korelasi kuat antara kasus anomali satelit dengan variasi magnetik bumi. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih pada LAPAN dan Prodi Astronomi ITB yang telah banyak memberikan kesempatan, baik dalam menimba ilmu maupun dalam menulis makalah ilmiah. Ucapan terimakasih juga ditujukan pada NOAA yang telah memberikan akses bebas terhadap penggunaan data cuaca antariksa. RUJUKAN Baker, D. N.,1996, “Solar wind-magnetosphere Drivers of Space Weather”, J. Atmos. Terr. Phys., 58, No. 14, 1509-1526. Casey, J. P., 2005, “Overview of The Equatorial Electrojet and Related Inospheric Current Systems”, Naval Undersea Warfare Center Division Newport (NUWC-NPT) Technical Report 11, 676. Chen, G. X., W. Y. Xu, Z. G. Wei, B. H. Ahn, Y. Kamide, 2003, “Auroral Electrojet Oval, Earth Planet Space”, 55,255-261, 2003. Gannon, J. L., J. J. Love, 2011, “USGS 1-min Dst index, Journal of Atmospheric and Solar – Terrestrial Physics”, 73, 323-334. Hasting, D ., H. Garret, 1996, “Spacecraft Environtment Interaction”, Cambridge University Press. Koskinen, H., E. Tanskanen, R. Pirjola, A. Pulkkinen, C. Dyer, D. Rodgers, P. Cannon, J. C. Mandeville, D. Boscher, 2001, “Space Weather Effects Catalogue”, ESWS-FMI-RP0001.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
128
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Pisacane, V. L., 2008, “The Space Environment and Its Effects on Space Systems”, AIAA Press, ISBN-10: 1563479265. Wertz, J. R., W. J. Larson, 2001, “Mission Geometry: Orbit and Constellation Design and Management”, Kluwer Academic Publishers.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
129
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
VARIASI HARIAN NILAI TEC DAN KONVERSI SLANT TEC MENJADI VERTICAL TEC DENGAN PENERIMA BEACON Peberlin Sitompul, Timbul Manik, Yana Robiana Pusat Sains Antariksa-LAPAN e-mail:
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Ionosfer mengandung plasma yang berubah setiap saat. Perubahan plasma tersebut akan mempengaruhi amplitudo dan fasa sinyal navigasi dan juga sinyal komunikasi dari satelit ke bumi. Perubahan amplitudo dan fasa tersebut akan mengurangi akurasi pengukuran sistem navigasi dan kualitas komunikasi. Penerima beacon merupakan sistem radio yang menerima sinyal radio yang dipancarkan satelit beacon, dengan frekuensi 150 MHz dan 400 MHz. Perbedaan fasa antara sinyal frekuensi 150 MHz dan 400 MHz akan memberikan informasi slant total electron content (TEC) sepanjang lintasan sinyal dari satelit ke penerima beacon. Untuk menentukan kerapatan elektron bujur dan lintang, maka nilai slant TEC dikonversi menjadi TEC vertikal. Tulisan ini akan menunjukkan variasi harian slant TEC dan hasil awal konversi nilai slant TEC menjadi vertical TEC. Kata Kunci: Beacon,Slant TEC, Slant TEC Relatif, TEC Vertikal
ABSTRACT The ionosphere contains plasma that changes at any time. Changes in the plasma will affect the amplitude and phase of navigation and communication signals from the satellites to the Earth. The amplitude and phase changes will reduce the accuracy of the measurement of navigation systemand quality of communication. Beacon receiver is a radio system that receives radio signals emitted oleh the satellite beacon, with a frequency of 150 MHz and 400 MHz. Phase difference between the signal which frequency of 150 MHz and 400 MHz will provide information of slant TEC along the signal path from the satellite to the beacons receiver. To determine the electron density of longitude and latitude, the slant TEC value is converted to vertical TEC. This paper will shows the initial results of the conversion of slant TEC into vertical TEC. Key Words: Beacon, Slant TEC, Relative Slant TEC, Vertical TEC
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
130
ISBN: 978-979-1458-87-0
1.
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
PENDAHULUAN Ionosfer mengandung plasma yang berubah setiap saat. Perubahan plasma tersebut akan
mempengaruhi amplitudo dan fase sinyal navigasi dan juga sinyal komunikasi dari satelit ke bumi. Perubahan amplitudo dan fase tersebut akan mengurangi akurasi pengukuran sistem navigasi dan kualitas komunikasi. Penerima beacon merupakan sistem radio yang menerima sinyal radio yang dipancarkan satelit beacon, dengan frekuensi 150 MHz dan 400 MHz. Peluncuran satelit akan memberikan peluang untuk memperoleh informasi ionosfer pada ketinggian di atas puncak F2 (Aitchison dan Weekes, 1959). Perbedaan hasil pengukuran TEC antara Global Positioning System (GPS) dan Navy Navigation Satellite System (NNSS) secara statistik menunjukkan perbedaan sekitar 2-4 TECu, dengan hasil GPS lebih tinggi dibanding hasil pengukuran NNSS (Ciraolo dan Spalla, 1997). Nilai rata-rata TEC menunjukkan variasi tahunan atau 6 bulanan, siklus matahari dan 27 hari (Liu, 2009). Perbandingan antara TEC harian dan median bulanan menunjukkan efek yang diinduksikan substroms dan aktivitas geomagnet (Michael Mendillo dan Klobuchar, 1975). Kondisi ionosfer di Indonesia yang terletak di lintang rendah geomagnet memiliki kerapatan electron yang tinggi (Dwiko dan Effendy, 2013). Sistem penerima berbasis penerima radio beacon sudah terpasang di Indonesia (Timbul dan Peberlin, 2012). Tulisan ini akan menunjukkan variasi harian slant TEC dan hasil awal konversi nilai slant TEC menjadi vertical TEC. 2.
LANDASAN TEORI
L
Gambar 2-1: Prinsip penerima beacon
Sinyal Very High Frequency (VHF) di frekuensi 150MHz dan sinyal Ultra High Frequency (UHF) di frekuensi 400 MHz dipancarkan dari satelit beacon dan diterima di bumi. Gelombang radio tersebut melalui ionosfer yang merupakan media yang bersifat disipatif terhadap gelombang radio. Satelit beacon seperti FORMOSAT, CNOFS, COSMOS, RADCALyang melintas di ketinggian antara 400-1000 km di atas permukaan bumi, yang melintas sekitar 6-9 kali per hari dengan period 10-15 menit. Lintasan gelombang radio kemudian dibelokkan dari Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
131
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
jalur terpendek. Lintasan gelombang radio bervariasi pada frekuensi gelombang radio yang berbeda.Perbedaan fasa antara ke-dua sinyal tersebut, dapat dikonversi menjadi jumlah Total Electron Content (TEC) sepanjang lintasan antara satelit dan penerima beacon. Persamaan (21) menunjukan persamaan gelombang radio yang dipancarkan satelit beacon. ………………… ……..(2-1)
Indeks refraksi dari ionosfer merupakan fungsi dari frekuensi gelombang radio seperti ditunjukkan persamaan (2-2). …………………………….. (2-2)
Fasa total
dengan jarak L antara satelit ke penerima beacon dijelaskan dengan persamaan
(2-3). …………………………… (2-3)
merupakan amplitudo, ms-1,
= posisi dan
frekuensi,
waktu,
kecepatan fase, c kecepatan cahaya = 2.998 x 108
merupakan indeks refraksi, N merupakan jumlah kerapatan
. A = 80.6 m3s-2ε0 = 8.854 x 10-12 Fm-1, e = -1.602 x 10-19 C, m = 9.109
elektron di plasma
x 10-31 kg, muatan dan massa elektron
merupakan jumlah elektron,
bias fase sistem
yang belum diketahui. L pada persamaan (2-3) dapat dihilangkan dengan menggunakan dua frekuensi gelombang radio dengan dan perbedaan fase
dan = 400
. Biasanya
=50
, =3 dan =8, sehingga
(Leitinger, 1984). Fase kedua frekuensi adalah
di frekuensi referensi
dan
=150 dan
ditulis seperti persamaan (2-4). ………………… (2-4)
∫ N dx merupakan TEC. Dalam teknik pengukuran ini, TEC diukur dengan menghitung perbedaan fase kedua sinyal radio yaitu 150 MHz dan 400 MHz sepanjang lintasan sinyal dari satelit ke penerima radio. Persamaan (2-4) merupakan perbedaan fase kedua sinyal. Terdapat ambiguitas yang dikarenakan kelipatan integer 2π. Fase bias sistem tetap seperti yang dijelaskan oleh
.TEC antara satelit dan penerima beacon, merupakan slant TEC, berubah-ubah
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
132
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
tergantung waktu dan posisi. Hal ini disebabkan perubahan sudut elevasi dari satelit dan juga disebabkan oleh variasi spasial dari plasma ionosfer. Slant TEC diubah menjadi vertical TEC ditunjukan pada persamaan (2-5) (Leitinger, 1984). …………(2-5)
Gambar 2-2: Diagram blok penerima beacon (Yamamoto, 2008) Gambar 2-2 menunjukkan diagram blok penerima beacon, yang terdiri dari antena, penguat sinyal, osilator, mixer, analog to digital converter (ADC) dan penyimpanan data. Proses ADC dilakukan dalam perangkat keras yang disebut Universal Software Radio Pheripheral (USRP) dan sebagian dilakukan dalam perangkat lunak GNU Beacon. 3.
DATA DAN METODOLOGI Tabel 3-1 dan Tabel 3-2 menunjukkan informasi yang bisa diperoleh dari satelit beacon.
Tabel 3-1 menunjukkan trajektori posisi satelit yang memberikan informasi waktu, azimut, elevasi, ketinggian dan kecepatan satelit. Tabel 3-2 menunjukkan hasil pengukuran penerima beacon yang merupakan besar daya sinyal, waktu, nilai slant TEC dan standar deviasi TEC. Kedua data tersebut disimpan dalam format dot txt.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
133
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Tabel 3-1: TRAJEKTORI SATELIT
Tabel 3-2: HASIL PENGUKURAN SATELIT BEACON
Untuk memperoleh nilai ɳ’ pada persamaan (2-4) dilakukan dengan metode dua stasiun, dengan melakukan evaluasi secara bersamaan hasil pengukuran perbedaan Doppler dan asumsi bahwa nilai TEC tidak berubah selama pengukuran.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
134
ISBN: 978-979-1458-87-0
4.
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 4-1: Besar daya sinyal dan slant TEC
Gambar 4-1 bagian atas, menunjukkan daya sinyal yang diterima di bumi dengan satuan dB. Grafik merah menunjukkan besar daya sinyal pada frekuensi 400 MHz dan yang biru merupakan frekuensi sinyal 150 MHz. Sumbu horizontal menunjukkan sample waktu yang telah dirata-ratakan, sehingga waktunya mendekati 1 detik. Pada sampel 0-100 terlihat sinyal masih rendah dan datar. Hal ini menunjukkan derau. Pada sampel 100-900, sistem penerima beacon menerima sinyal dengan besar daya sinyal yang bervariasi dari minimum sekitar –10 dB hingga maksimum 18 dB, kemudian menurun kembali sampai -10 dB dan seterusnya sampai menghilang kembali. Gambar 4-1 bagian bawah, menunjukkan nilai TEC. Penerima beacon akan menerima sinyal sekitar 7-8 kali per detik. Nilai slant TEC mempunyai nilai terendah disaat satelit mempunyai jarak terdekat dengan penerima beacon. Besar daya dan nilai slant TEC pada Gambar 4-1 merupakan hasil pengukuran dari satelit C/NOFS pada tanggal 10 Mei 2013 pukul 01:54’:22”di Loka Pengamatan Dirgantara (LPD) Sumedang (Lat: -6:54:43.2, Long: 107:50:16.8).
Gambar 4-2: Variasi nilai slant TEC
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
135
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-2 menunjukkan variasi nilai slant TEC relatif. Pada pukul 01.54’.22”(UT) yang ditunjukkan dengan garis warna biru, terlihat bahwa slant TEC sangat seragam. Pada pukul 03.37’.03”UT yang ditunjukkan dengan garis warna merah terlihat nilai TEC relatif masih seragam, tetapi nilai slant TEC terlihat lebih rendah. Pada pukul 15.36’.35”UT, yang ditunjukkan dengan garis warna hijau terlihat bahwa nilai TECnya mempunyai fluktuasi yang tidak seragam. Pada waktu sampel ke 1000 terlihat TECnya melebihi 20 (TECu) dan pada waktu sampel ke 2500 terlihat nilai TECnya relatif mendekati nilai terendah. Kemudian naik kembali sampai 60 TECu pada sampel ke 5000, dengan beberapa kali terjadi fluktuasi. Pada pukul 17.18’.12”UT, yang ditunjukkan dengan garis warna kuning terlihat bahwa nilai TECnya turun ke nilai terendah pada sampel 3000 dan kemudian naik kembali dengan nilai slant TEC terlihat lebih seragam secara spasial. Pada pukul 20.41’.58”UT, yang ditunjukkan dengan garis warna biru putus-putus terlihat bahwa nilai TECnya lebih seragam, tetapi nilai slant TEC nya lebih tinggi dari yang lain.
Gambar 4-3: Nilai TEC vertikal
Gambar 4-3 menunjukkan nilai TEC vertikal di atas pulau Jawa pada sepanjang bujur 105 dan 115, dengan penerima beacon dipasang di Yogyakarta dan Watukosek. Garis berwarna biru menunjukkan nilai TEC vertikal yang diperoleh dari data beacon yang dipasang di Balai Pengamatan Dirgantara (BPD) Watukosek (Long: -7:34:01.2, Lat: 112:40:30.0). Sedangkan garis yang berwarna merah menunjukkan nilai TEC yang diperoleh dari data beacon yang dipasang di stasiun YOGYA (Long: -7:46:56.7, Lat: 110:26:36.9). Dari Gambar 4-3 terlihat bahwa variasi TEC vertikal berkisar antara 38-47 TECu. Pada bujur 105-110 nilai TEC meningkat secara linier dengan kenaikan 1 TECu per derajat. Kemudian pada bujur 113, nilai vertikal TEC menurun kembali dengan penurunan 1 TECu perderajat. Pada bujur 110 terlihat ada perbedaan yang besar vertikal TEC pada kedua lokasi.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
136
ISBN: 978-979-1458-87-0
5.
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
KESIMPULAN Penerima beacon merupakan sistem penerima radio dengan menggunakan perbedaan fase
antara 2 frekuensi untuk menentukan jumlah kerapatan elektron di ionosfer. Telah diperoleh variasi kerapatan elektron di atas LPD Sumedang dengan nilai yang seragam pada pukul 01.54’.22’’ UT dan 03.37’.03”UT. Pada pukul 20.41’.58”UT, 17.18’.12”UT dan pukul 15.36’.35”UT nilai slant TEC relatif lebih variatif dan nilai slant TEC yang lebih tinggi. Nilai TEC vertikal di atas bujur 105 sampai 115 terlihat bervariasi dari 38 - 47 TECu. Dan besar TEC vertikal pada bujur 110 masih menjadi pertanyaan. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan di LPD Sumedang atas bantuan dan dukungannya dalam instalasi peralatan dan pengujiannya. Kegiatan ini merupakan bagian dari program penelitan Pusat Sains Antariksa tahu 2014 dan dibiayai oleh DIPA Pusat Sains Antariksa LAPAN. DAFTAR RUJUKAN Aitchison, G. J., Weekes K., 1959, “Some deductions of ionosphere information from the observations of emissions from satellite 19572-I”, Journal of atmospheric and Terrestrial Physics, vol 14, pp, 236 to 243. Ciraolo, L., and P. Spalla, 1997, “Comparison Of Ionospheric Total Electron Content from the Navy Navigation Satellite System and the GPS”, Radio Science, Volume 32, Number 3, Pages 1071-1080. Leitinger, R., G. K. Hartmann, F. J. Lohmar, and E. Putz, 1984, “Electron Content Measurement with Geodetic Doppler Receiver”, Radio Science, Volume 19, Number 3, pages 789-797. Liu, L., W. X. Wan, B. Q.Ning, and M. L. Zhang, 2009, “Climatology of the Mean Total Electron Content Derived From GPS Global Ionosphere Maps”,Journal of Geophisical Research, vol 114, A06308. Manik, T., dan P. Sitompul, 2012, “Hasil Awal TEC Ionosfir Indonesia Berbasis Penerima Beacon”, Prosiding SIPTEKGAN XVI-2012, hal 662-667. Mendillo, M., and J. A. Klobuchar, “Investigations of the Ionosheric F Region Using Multistation Total Electron Content Observations”, Journal of Geophysical Research, Vol 80, No 4. Prabowo, D. U., dan Effendy, 2013, “Pengamatan TEC dan Sintilasi dengan menggunakan GPS-SCINDA”, Prosiding SNSAA 2013, hal 277-283.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
137
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Yamamoto, M., 2008, “Digital Beacon Receiver for Ionospheric TEC Measurement Developed with GNU Radio”, Earth Planets Space, 60, e21–e24.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
138
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
FAKTOR-FAKTOR KECERAHAN LANGIT SENJA DAN PENGARUHNYA TERHADAP NILAI MINIMUM PARAMETER-PARAMETER FISIS VISIBILITAS HILAL (CONTRIBUTION OF SOME FACTORS TO THE SKY TWILIGHT BRIGHTNESS AND THEIR INFLUENCES ON MINIMUM VALUE OF THE PHYSICAL PARAMETERS OF THE LUNAR CRESCENT VISIBILITY) Rahayu Ningsih, Judhistira Aria Utama, Taufik Ramlan Ramalis Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, Indonesia. e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Belum disepakatinya suatu kriteria tunggal yang memiliki landasan ilmiah kokoh ditengarai menjadi penyebab Muslim Indonesia dalam beberapa kesempatan tidak serentak dalam menentukan awal dan akhir bulan Hijriyah. Pemerintah melalui Kementerian Agama menganut suatu kriteria yang disebut imkanur rukyat MABIMS. Kriteria ini masih dipertanyakan landasan ilmiahnya. Dalam naskah ini diinvestigasi kemudahan mengamati hilal dari wilayah tropis dan subtropis dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berkontribusi dalam mempengaruhi kecerahan langit senja, yaitu musim, elevasi, dan kondisi atmosfer setempat. Laporan pengamatan yang bersumber dari pangkalan data ICOP (Islamic Crescent Observation Program) dikelompokkan berdasarkan lintang geografis (tropis dan subtropis), selanjutnya dirinci berdasarkan musim, elevasi, dan polusi aerosolnya. Selanjutnya data dirajah ke dalam grafik umur hilal (AGE) terhadap elongasi (ARCL – Arc of Light) dan elongasi terhadap beda tinggi Bulan-Matahari (ARCV – Arc of Vision). Temuan yang didapatkan dalam modus pengamatan mata telanjang untuk wilayah tropis yaitu, umur hilal termuda 16,8 jam, elongasi terdekat 8,6o, dan beda tinggi terendah 8,4o dari pengamatan pada saat musim kering di ketinggian lokasi 0–600 meter dari permukaan laut di wilayah suburban. Sementara untuk wilayah subtropis dalam modus yang sama diperoleh umur hilal 15,5 jam, elongasi terdekat 7,6o, dan beda tinggi terendah 7,6o dari pengamatan saat musim dingin di ketinggian lokasi 1500–2500 meter dari permukaan laut di wilayah suburban. Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
139
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Kata kunci: kecerahan langit senja, kriteria visibilitas hilal, visibilitas hilal. ABSTRACT We investigate the ease of observing hilal for tropic and subtropic region oleh considering the factors that contribute to the sky twilight brightness, i.e. seasons, elevation and local atmospheric conditions. Observation reports come from the ICOP (Islamic Crescent Observation Program) database have been grouped based on geographical latitude (tropic and subtropic), to further detailed oleh season, elevation and aerosol pollution. Data is plot into the age of the hilal (AGE) and elongation (ARCL – Arc of Light) and elongation to altitude difference of the Moon-Sun (ARCV – Arc of Vision). The findings obtained in naked eye observation mode for tropic region are the youngest age of the hilal 16.8 hours, the nearest elongation 8.6o and lowest elongation to altitude difference 8.4o of observation during dry season at altitude 0-600 meters above sea level in suburban. For subtropical region in the same mode of observation, we obtained the youngest age of the hilal is 15.5 hours, the nearest elongation 7.6o and the lowest elongation to altitude difference 7.6o of observations during the winter in altitude from 1,500 to 2,500 meters above sea level in suburban. Keywords: sky twilight brightness, hilal visibility criterion, hilal visibility. 1. PENDAHULUAN Beberapa organisasi massa (ormas) Islam di Indonesia menggunakan metode berbeda dalam penentuan awal bulan Hijriyah, yaitu metode hisab (perhitungan model matematis) dan metode rukyat (observasi/pengamatan). Organisasi massa Muhammadiyah menggunakan metode hisab dengan kriteria wujudul hilal yang memiliki makna bahwa hilal (Bulan sabit pertama yang terlihat saat Matahari terbenam) sudah terbentuk pascakonjungsi sebelum Matahari terbenam. Selain itu diterapkan pula prinsip wilayatul hukmi yang berarti bahwa terbentuknya hilal di suatu wilayah akan berlaku untuk seluruh wilayah hukum yang sama (Djamaluddin, 2011). Sementara itu, organisasi massa Nahdhatul Ulama (NU) mengikuti ijtihad para ulama empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) menggunakan metode rukyatul hilal bil fi’li, yaitu dengan mengamati hilal secara langsung, baik dengan mata telanjang maupun menggunakan bantuan alat optik. Dalam hal hilal tertutup awan atau menurut perhitungan posisi hilal masih di bawah horison, kegiatan pengamatan tetap dilakukan untuk kemudian diambil keputusan menggenapkan (istikmal) bulan berjalan menjadi 30 hari. Dalam praktiknya, peran perhitungan model matematis dalam pandangan kelompok ini hanya sebagai alat bantu dan bukan penentu awal bulan dalam kalender Komariyah (Arkanuddin, 2007).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
140
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Diperlukan kontras yang cukup agar hilal dapat diamati, yaitu kontras dengan nilai yang lebih besar daripada suatu nilai ambang tertentu. Kontras didefinisikan sebagai rasio antara iluminansi (illuminance) hilal dengan kecerahan (brightness) langit. Dalam banyak kasus, posisi Bulan pascakonjungsi masih sangat dekat dengan Matahari dan ketinggiannya dari horison pun sangat rendah. Dengan kondisi yang demikian, kecerahan langit akan sangat mendominasi iluminansi hilal dan pada saat yang sama efek serapan atmosfer yang semakin kuat di dekat horison turut membuat hilal makin redup (nilai kontras rendah). Agar hilal dapat diamati, terdapat beberapa perameter yang digunakan untuk memprediksi ketampakan hilal. Dalam penelitian ini digunakan tiga parameter fisis visibilitas hilal, yaitu terkait posisi Bulan di langit harus sedemikian rupa yang membuatnya berada di jarak yang cukup jauh dari pengaruh efek silau (glare) Matahari (diwakili oleh besaran elongasi, ARCL – Arc of Light), sekaligus di jarak sudut yang cukup dari horison untuk meminimalkan serapan atmosfer (diwakili oleh besaran beda tinggi Bulan-Matahari, ARCV – Arc of Vision), dan dengan berlalunya waktu pascakonjungsi (diwakili oleh besaran umur hilal pascakonjungsi, AGE) sabit Bulan akan semakin tebal yang membuatnya menjadi lebih tidak terpengaruh efek silau dan serapan atmosfer di dekat horison. Oleh karena itu, mengamati hilal dengan umur pascakonjungsi yang lebih lama relatif lebih mudah dibandingkan untuk kasus hilal yang sangat muda (kurang dari 24 jam). Kriteria Odeh (2006) dan kriteria Yallop (1997) memberlakukan kriteria hilal secara global dengan menggunakan data tropis dan subtropis menjadi satu. Tidak terdapat pemilahan berdasarkan pendapat Hoffman (2003) yang menyatakan bahwa tidak ada kriteria yang berlaku universal untuk seluruh lintang pengamat. Perlu diberlakukan pemisahan data berdasarkan lintang tropis dan subtropis, hal ini karena di khatulistiwa Matahari terbenam secara tepat tegak lurus horison, sementara di wilayah lintang tinggi posisi Matahari terbenam akan semakin miring menyebabkan senja di wilayah lintang tinggi menjadi lebih lama daripada senja di wilayah khatulistiwa sehingga hilal akan lebih mudah diamati di wilayah lintang tinggi. Terkait elevasi lokasi pengamatan, di wilayah tropis Sultan (2006) mendapatkan bahwa best time dalam pengamatan hilal proporsional dengan elevasi, untuk tempat dengan elevasi rendah (< 1000 m) hilal dapat diamati lebih awal setelah Matahari terbenam. Sementara di wilayah subtropis, Mikhael et al (1995) mendapati hilal dapat diamati lebih awal dari tempat dengan elevasi yang lebih tinggi dibandingkan tempat pengamatan yang lebih rendah. Di Indonesia terdapat beberapa usulan untuk kriteria visibilitas hilal, di antaranya kriteria Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) (Sudioleho et al, 2009), kriteria LAPAN yang disempurnakan (Djamaluddin, 2011), maupun kriteria yang secara spesifik ditujukan untuk wilayah tropis Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
141
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
seperti yang diusulkan Utama dan Siregar (Utama & Siregar, 2013), Utama dan Hilmansyah (2013) sebagai kriteria UPI, dan Ramadhan et al (2014), serta kriteria yang disarikan oleh Siddiq (2009). Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Agama selama ini menganut suatu kriteria yang diadopsi dari musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), yang disebut sebagai kriteria imkanur rukyat (kebolehjadian hilal dapat diamati) MABIMS. Keputusan MABIMS ini diperkuat oleh keputusan musyawarah ulama dari berbagai organisasi, yang juga diikuti oleh astronom dan instansi terkait, yang dilaksanakan pada bulan Maret 1998 di Cisarua Bogor. Namun demikian, keputusan musyawarah ulama ahli hisab dan ormas Islam ini menghendaki agar kriteria tersebut dikaji ulang secara sistematis ilmiah. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh wakil-wakil negara MABIMS di Jakarta pada tanggal 21–23 Mei 2014, para pakar telah memberi kritik bahwa kriteria MABIMS tidak memenuhi kriteria visibilitas fisik hilal. Pertemuan tersebut juga merekomendasikan agar kriteria MABIMS diubah atau disesuaikan dengan kriteria visibilitas fisik hilal (Raharto, 2014). Bertolak dari hal di atas, penelitian mengenai kriteria imkanur rukyat memiliki posisi penting dan strategis dalam upaya memberikan kontribusi terhadap perolehan kriteria visibilitas hilal yang memiliki landasan ilmiah kokoh. Dalam memperoleh justifikasi ilmiah nilai-nilai yang terdapat pada kriteria imkanur rukyat, terdapat sejumlah faktor yang harus dipertimbangkan, yaitu faktor lintang geografis, musim, ketinggian lokasi pengamat di atas pemukaan laut (dpl), dan kondisi atmosfer setempat (wilayah urban atau suburban) (Mikhail et al, 1995). 2. LANDASAN TEORI Penelitian tentang visibilitas hilal sudah sangat berkembang, baik di dunia internasional maupun di Indonesia. Terdapat empat faktor yang berkontribusi terhadap tingkat kecerahan langit senja suatu daerah, yaitu letak geografis, ketinggian di atas permukaan laut, musim saat pengamatan, serta efek polusi aerosol (Mikhail et al, 1995). Faktor-faktor tersebut dapat menurunkan atau meningkatkan kecerahan langit senja dan mengubah nilai batas visibilitas hilal. Untuk menginvestigasi faktor pengaruh lintang geografis, Mikhail et al (1995) melakukan pengamatan hilal dari kota Maryland ( = 39o LU) dan Daraw ( = 24o LU) pada saat musim dingin. Kedua kota ini hampir memiliki kesamaan elevasi (h ~ 100 m dpl). Ketinggian optimum hilal untuk sudut depresi Matahari 5o di kota Daraw bernilai 4,8o lebih tinggi dari horison di kota Maryland, sehingga hilal dapat terlihat sekitar 19 menit lebih awal di Maryland dibandingkan Daraw. Dengan bertambah besarnya sudut depresi Matahari, selisih ketinggian optimum hilal dari kedua kota semakin berkurang. Meskipun demikian, ketinggian optimum hilal di Maryland tetap lebih rendah daripada Daraw. Hal ini membuktikan bahwa semakin jauh Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
142
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
dari khatulistiwa letak geografis suatu lokasi pengamatan, maka akan semakin mudah hilal untuk dapat terlihat di lokasi bersangkutan (nilai parameter visibilitas hilalnya semakin kecil). Lintasan peredaran semu harian Matahari di lokasi yang semakin jauh dari khatulistiwa akan semakin terlihat miring relatif terhadap garis khayal vertikal yang tegak lurus horison. Artinya, dari lokasi tersebut posisi Matahari akan lebih rendah dari horison dibandingkan dengan di tempat yang lebih dekat ke khatulistiwa. Dengan kondisi seperti ini iluminasi Matahari akan mengalami reduksi karena pelemahan atmosfer yang lebih kuat di dekat horison, yang memberi kesempatan hilal untuk dapat diamati lebih awal dari lokasi bersangkutan. Mikhail et al (1995) melanjutkan investigasi untuk dua tempat dengan elevasi yang berbeda, yaitu Sacramento Peak (h = 2800 m dpl) dan Misallat (h = 110 m dpl). Kedua kota memiliki lintang geografis yang hampir sama ( ~ 30o LU), dan pengamatan hilal dari kedua lokasi dilakukan pada musim panas. Kualitas atmosfer lokal di kedua tempat diasumsikan sama. Hasilnya adalah ketinggian optimum hilal lebih rendah di Sacramento Peak daripada di Misallat. Artinya, hilal dapat diamati lebih awal dari tempat dengan elevasi yang lebih tinggi dibandingkan tempat pengamatan yang lebih rendah. Tempat dengan elevasi yang lebih tinggi memiliki kondisi atmosfer yang relatif lebih bersih; bebas dari debu, kabut, dan polusi aerosol. Atmosfer yang bersih berarti pula minimnya sebaran cahaya Matahari di langit, yang berimbas terhadap peningkatan visibilitas. Untuk melihat pengaruh polusi aerosol terhadap visibilitas hilal, Mikhail et al (1995) memilih kota Helwan yang merupakan pusat industri (urban) dan Misallat sebuah desa kecil pertanian (suburban). Lintang geografis dan elevasi kedua lokasi hampir sama ( = 30o LU dan h = 110 m dpl). Pengamatan dilakukan pada saat yang sama pula, yaitu pada musim panas. Hasil yang diperoleh ketinggian optimum hilal di Misallat lebih rendah dibandingkan di Helwan. Hal ini menandakan bahwa asap serta debu yang disebabkan oleh industri yang terdapat di Helwan turut mempengaruhi visibilitas hilal di tempat tersebut. Pengaruh efek musim terhadap nilai parameter visibilitas hilal diinvestigasi untuk kota Maryland ( = 39o LU, pengamatan saat musim dingin) dan Misallat ( = 30o LU, pengamatan saat musim panas). Mikhail et al (1995) telah mengembangkan suatu prosedur untuk mengoreksi adanya perbedaan lintang geografis dari kedua lokasi di atas. Hasil yang diperoleh yaitu bahwa hilal telihat sekitar 2 menit lebih awal di Maryland (musim dingin) dibanding Misallat (musim panas), yang berarti bahwa kondisi visibilitas hilal relatif lebih baik saat musim dingin dibandingkan dengan musim panas. Untuk suatu lokasi di permukaan Bumi, ketinggian Matahari di atas horison akan berbeda dari musim ke musim. Untuk lokasi di belahan utara Bumi dan berada lebih utara dari garis balik utara ( = 23,5), Matahari akan terlihat lebih Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
143
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
rendah saat mencapai kulminasi atasnya pada musim dingin dibandingkan saat musim panas. Penjelasan yang sama untuk faktor lintang geografis dapat digunakan pula untuk faktor musim yang menyediakan kondisi lebih baik bagi visibilitas hilal pada musim dingin. Tentu saja kondisi berkebalikan terjadi untuk lokasi yang berada di belahan selatan Bumi dan berada lebih selatan dari garis balik selatan ( = –23,5). 3.
DATA DAN METODOLOGI Terdapat 578 data dalam penelitian ini yang bersumber dari pangkalan data Islamic
Crescent Observation Program (ICOP) hasil kompilasi Odeh (2006) yang dapat diakses di www.icoproject.org. Seleksi dilakukan dengan mengeliminasi data pengamatan hilal tua dan yang tidak menyertakan informasi visibilitas pada ketiga modus yang digunakan (mata telanjang (N), binokular (B), dan teleskop (T)). Dari proses seleksi ini diperoleh 517 data yang akan digunakan pada penelitian ini. Selanjutnya data dikelompokkan menurut lintang geografis, hanya terdapat 56 data yang berasal dari hasil pengamatan di wilayah tropis dan sisanya dari kawasan subtropis. Berikutnya
dilakukan
pengelompokan
untuk
masing-masing
kelompok
lintang
berdasarkan faktor musim, elevasi, dan polusi aerosol. Pengelompokan ini membagi data menjadi kelompok-kelompok sebagai berikut: a. Pengelompokan berdasarkan faktor musim: (i) Wilayah tropis terdiri atas musim kering dan musim basah (ii) Wilayah subtropis terdiri atas musim semi, panas, gugur, dan dingin b. Pengelompokan menurut faktor elevasi memanfaatkan 4 kelompok ketinggian dalam klasifikasi iklim Junghunh, yaitu 0–600 meter dpl, 600–1500 meter dpl, 1500–2500 meter dpl, dan > 2500 meter dpl. c. Pengelompokan berdasarkan faktor polusi aerosol membagi data ke dalam daerah urban dan suburban. Justifikasi penentuan daerah urban dan suburban dibantu menggunakan peta dunia virtual (www.itouchmap.com). Dengan mengisikan nilai lintang dan bujur lokasi pengamatan di jendela pencarian, dapat diperoleh peta lokasi yang dimaksud; lokasi pengamatan berada di tengah kota yang padat penduduk dan aktivitas industri atau berada di wilayah yang relatif”bersih”di luar kota. Justifikasi untuk faktor ini tidak seteliti faktor lintang dan musim, karena tidak terdapat akses data citra satelit untuk lokasi pengamatan yang dilakukan pada kurun waktu sebelum tahun 2014 sehingga tidak memungkinan untuk mengetahui keadaan polusi aerosol suatu wilayah saat pengamatan dilakukan. Citra satelit yang dihasilkan untuk lokasi yang bersangkutan merupakan citra pada tahun 2014 sehingga memungkinkan adanya Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
144
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
perubahan kondisi demografi sejak pengamatan dilakukan pada kurun waktu tahun 1859 hingga 2006. Nilai minimum parameter-parameter fisis hilal pada saat best time (Yallop, 1997) diperoleh berdasarkan rajah grafik umur hilal terhadap elongasi dan elongasi terhadap beda tinggi BulanMatahari dari masing-masing hasil pengelompokan yang telah dilakukan. Perbandingan dilakukan terhadap masing-masing kelompok lintang guna memperoleh karakteristik parameter-parameter fisis hilal dengan turut dipertimbangkannya faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kecerahan langit senja. 4. HASIL PEMBAHASAN 4.1. Subtropis Gambar 4-1(a) menunjukkan bahwa data relatif mengumpul di sekitar profil garis diagonal yang dibentuk oleh sebaran data. Sementara dalam Gambar 4-1(b), sebaran data juga membentuk profil garis diagonal yang menjadi pembatas bagi kombinasi nilai elongasi dan beda tinggi yang diizinkan. Diperoleh nilai-nilai minimal untuk parameter fisis umur hilal, elongasi, dan beda tinggi bagi visibilitas hilal dalam modus mata telanjang berdasarkan faktor musim, elevasi, dan kondisi atmosfer lokal seperti ditunjukkan dalam Tabel 4-1.
Gambar 4-1: Sebaran data hasil pengamatan dalam modus pengamatan mata telanjang (N) di kawasan subtropis.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
145
ISBN: 978-979-1458-87-0
Tabel 4-1:
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
KONDISI FAKTOR-FAKTOR
YANG
MENGHASILKAN
NILAI
MINIMUM PARAMETER-PARAMETER FISIS HILAL DALAM MODUS PENGAMATAN MATA TELANJANG DI KAWASAN SUBTROPIS Umur hilal
Elongasi
Beda tinggi
15.5 jam
7.6
7.6
Musim
Dingin
Dingin
Dingin
Elevasi (m dpl)
1,500–2,500
1,500–2,500
1,500–2,500
Polusi aerosol
Suburban
Suburban
Suburban
Faktor
Berdasarkan Gambar 4-1b, batas bawah yang dibentuk parameter elongasi dan beda tinggi memiliki hubungan yang linear. Semakin besar nilai beda tinggi Bulan–Matahari, semakin besar pula nilai elongasinya. Secara faktual beda tinggi minimum berdasarkan data yang tersedia adalah 5,9o yang diperoleh dari pengamatan saat musim gugur dan panas. Meskipun beda tinggi memiliki nilai yang rendah (5,9o) dan hilal dapat diamati dengan mata telanjang, namun kedua data ini tidak dipilih karena dipandang sebagai kasus khusus karena memiliki nilai elongasi > 19o dan umur hilal > 40 jam. Nilai umur hilal yang hampir mencapai dua hari serta nilai elongasi yang semakin besar memang berperan dalam mengurangi efek silau dari Matahari, sehingga kebolehjadian hilal dapat diamati pun semakin besar meskipun berada di ketinggian dari horison yang relatif rendah dengan kondisi polusi aerosol tipikal daerah urban. Nilai yang dipilih sebagai beda tinggi terendah dalam Tabel 4-1 merupakan data pengamatan pada hari yang sama dengan nilai untuk parameter umur hilal dan elongasi. Nilai beda tinggi 7,6° ini digunakan sebagai batas minimal karena dipandang ideal sebagai nilai terendah beda tinggi Bulan–Matahari bersamaan dengan nilai parameter umur hilal dan elongasi yang memperoleh nilai minimumnya untuk kondisi faktor yang sama dengan yang diperoleh Mikhail et al (1995), yaitu hilal lebih mudah diamati pada musim dingin dibandingkan saat musim panas dari lokasi pengamatan yang lebih tinggi di atas permukaan laut (1500–2500 m) untuk menghadirkan kondisi atmosfer yang relatif bebas dari debu, kabut, dan polusi aerosol. Nilai beda tinggi 7,6o dan umur hilal 15,5 jam yang diperoleh pada penelitian ini relatif lebih kecil daripada yang disarikan Siddiq (2009) berdasarkan sejumlah kriteria visibilitas yang penting, yaitu kriteria Maunder (beda tinggi–beda azimuth Bulan Matahari (DAZ)), Indian (beda tinggi–DAZ), Bruin (beda tinggi–lebar sabit bulan), SAAO (ketinggian dari horison (h)– beda azimut), Ilyas-C (h-DAZ), dan Odeh (beda tinggi–lebar sabit bulan (W)). Probabilitas ketampakan hilal dalam kriteria yang disarikan Siddiq(2009) memberikan kondisi hilal hanya dapat diamati dengan mata telanjang bila memenuhi nilai-nilai parameter fisis berikut: beda Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
146
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
tinggi > 11° atau h > 10,5°, tebal-tengah hilal W > 0,25 menit busur, Iluminasi > 1,0%, Lag > 35 menit, dan umur hilal > 25 jam. Selain itu nilai elongasi 7,6° yang diperoleh pada penelitian ini juga lebih kecil daripada nilai minimum yang diusulkan McNally (1983), yaitu sebesar 9,4o. 4.2. Tropis Dari Gambar 4-2a dan 4-2b terlihat profil garis diagonal oleh sebaran data meskipun tidak setegas profil dari kawasan subtropis. Hal ini semata-mata karena jumlah data kawasan tropis yang relatif jauh lebih sedikit. Pada gambar tersebut juga diperoleh nilai-nilai minimal untuk parameter fisis umur hilal, elongasi, dan beda tinggi bagi visibilitas hilal dalam modus mata telanjang berdasarkan faktor musim, elevasi, dan kondisi atmosfer lokal seperti ditunjukkan dalam Tabel 4-2. Parameter umur hilal, elongasi, dan beda tinggi memperoleh nilai minimumnya untuk kondisi faktor musim dan elevasi yang berbeda dengan kesimpulan di dalam Mikhail et al (1995). Data yang ada menunjukkan bahwa kesimpulan yang diperoleh untuk wilayah subtropis tidak dapat diberlakukan secara universal. Hal ini sejalan dengan Hoffman (2003) yang menyatakan bahwa tidak ada kriteria yang berlaku universal untuk seluruh lintang pengamat. Nilai umur hilal minimum sebesar 16,8 jam dan elongasi 8,6o yang telah diperoleh lebih besar daripada nilai minimum umur hilal dan elongasi dalam kriteria imkanur rukyat MABIMS yang digunakan oleh Kementerian Agama RI selama ini, yang memiliki nilai minimal masingmasing sebesar 8 jam dan 3o. Nilai-nilai umur hilal dan beda tinggi minimum dalam penelitian ini relatif dekat dengan hasil yang diperoleh Utama dan Siregar (2013), yaitu umur hilal > 15 jam dan elongasi > 8. Parameter beda tinggi Bulan-Matahari juga mensyaratkan nilai minimum yang relatif tinggi daripada nilai beda tinggi dalam kriteria imkanur rukyat MABIMS yang hanya (minimal) 3, yaitu 8,4. Kriteria usulan Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) dan disebut sebagai kriteria yang khas Indonesia (Sudioleho et al, 2009) menggunakan parameter beda tinggi sebagai fungsi beda azimut Bulan–Matahari (DAZ). Kondisi beda tinggi minimum ideal dalam kriteria RHI mengadopsi nilai 4,6 untuk DAZ sebesar 7,53. Hal ini berarti nilai minimum beda tinggi dalam penelitian ini hampir dua kali lebih besar daripada kriteria RHI. Nilai beda tinggi 8,4 juga lebih besar bila dibandingkan dengan hasil Djamaluddin (2011) yang dikenal sebagai kriteria LAPAN tersempurnakan yang diusulkan sebagai”Kriteria Hisab–Rukyat Indonesia”, yaitu beda tinggi 4o digunakan bersama-sama dengan nilai elongasi 6,4o. Meskipun demikian, nilai beda tinggi 8,4 relatif dekat dengan perolehan Sopwan & Raharto (2012), yang melalui studi teoretik hilal metonik mendapatkan rentang beda tinggi untuk kasus hilal yang mudah
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
147
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
diamati dengan mata telanjang sebesar 10–11. Utama dan Hilmansyah (2013) mendapatkan beda tinggi sebesar 11,45 pada saat best time yang dihitung menggunakan formula alternatif (Utama, 2013) sebagai usulan untuk nilai minimum dalam modus mata telanjang untuk wilayah tropis yang diperoleh melalui model visibilitas Kastner (1976).
Gambar 4-2: Sebaran data hasil pengamatan dalam modus pengamatan mata telanjang (N)
Tabel
4-2:
KONDISI FAKTOR-FAKTOR MINIMUM
YANG
PARAMETER-PARAMETER
MENGHASILKAN NILAI FISIS
HILAL
DALAM
MODUS PENGAMATAN MATA TELANJANG DI KAWASAN TROPIS Umur hilal
Elongasi
Beda tinggi
16.8 jam
8.6
8.4
Musim
Kering
Kering
Kering
Elevasi (m dpl)
0–600
0–600
0–600
Polusi aerosol
Suburban
Suburban
Suburban
Faktor
Terkait elevasi lokasi pengamatan di wilayah tropis, Sultan (2006) mendapatkan bahwa best time dalam pengamatan hilal proporsional dengan elevasi. Untuk ketinggian dari permukaan laut yang moderat (< 1000 m) hilal dapat diamati lebih awal setelah Matahari terbenam. Sementara untuk tempat dengan elevasi yang lebih tinggi (sekitar 2000 m), hilal Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
148
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
dimungkinkan untuk dapat diamati menjelang Bulan terbenam. Untuk ketiga parameter fisis yang digunakan, nilai-nilai minimum diperoleh untuk rentang elevasi lokasi < 1000 meter di atas permukaan laut. 5.
KESIMPULAN Telah diperoleh nilai-nilai minimum tiga parameter fisis (umur hilal, elongasi, dan beda
tinggi Bulan-Matahari) sebagai indikator visibilitas hilal untuk masing-masing wilayah tropis dan subtropis dalam modus pengamatan dengan mata telanjang dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang turut berkontribusi terhadap kecerahan langit senja. Untuk wilayah tropis, umur hilal minimum 16,8 jam, elongasi terdekat 8,6o, dan beda tinggi terendah 8,4o. Pengamatan yang menghasilkan laporan positif lebih mudah dilakukan pada musim kering daripada saat musim basah dari daerah suburban dengan elevasi antara 0–600 meter di atas permukaan laut. Sementara untuk wilayah subtropis, umur hilal minimum 15,5 jam, elongasi terdekat 7,6o dan beda tinggi terendah 7,6o. Menggunakan parameter umur hilal, elongasi, dan beda tinggi, laporan positif pengamatan hilal lebih mudah diperoleh pada musim dingin dibandingkan musim-musim lainnya dari daerah suburban dengan elevasi 1500–2500 meter di atas permukaan laut. Nilai minimum parameter-parameter fisis visibilitas hilal untuk wilayah tropis bernilai lebih besar daripada wilayah subtropis. Nilai-nilai minimal yang diperoleh dalam penelitian ini diusulkan sebagai kriteria visibilitas hilal yang berlaku di wilayah tropis dan subtropis. Kriteria yang memiliki landasan ilmiah kokoh serta teruji secara empirik hendaknya dipertimbangkan agar dapat diadopsi oleh Kementerian Agama dan semua ormas Islam guna mengakhiri perbedaan dalam memulai dan mengakhiri ibadah yang selama ini masih terjadi. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada M.S. Odeh atas publikasi data kompilasi pengamatan hilal internasionalnya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI yang memungkinkan dipublikasikannya naskah ini.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
149
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
DAFTAR RUJUKAN Arkanuddin, M., 2007, ”Modul Pelatihan Rukyatul Hilal (Observasi Bulan Sabit Muda)”, Rukyatul Hilal Indonesia. Djamaluddin, T., 2011, ”Astronomi Memberi Solusi Penyatuan Umat”, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Hoffman, R.E., 2003, ”Observing the New Moon”, Monthly Notice of Royal Astronomical Society, Volume 340. p:1039-1051. Kastner, S.O., 1976, ”Calculation of the Twilight Visibility Function of Near-Sun Objects”, The Journal of The Royal Astronomical Society of Canada, Volume 70, No.4, p:153-168. McNally, D., 1983, ”The Length of the Lunar Crescent”, Quarterly Journal of Royal Astronomical Society, Volume 24, p:417-429. Mikhail, et al, 1995, ”Improving the Crescent Visibility Limits Due To Factors Causing Decrease In the Sky Twilight Brightness”, Earth, Moon and Planets, Volume 70, p:109121. Odeh, M.S., 2006, ”New Criterion for Lunar Crescent Visibility”, Experimental Astronomy, Volume 18, p:39-64. Ramadhan, T.B., Djamaluddin, T., Utama, J.A., 2014, ”Re-Evaluation of Hilaal Visibility Criteria in Indonesia oleh using Indonesia and International Observational Data”, Prosiding: International Conference on Research, Implementation and Education of Mathematics and Sciences, Universitas Negeri Yogyakarta, p:87-92. Siddiq, S., 2009, ”Studi Visibilitas Hilal dalam Periode 10 Tahun Hijriyah Pertama (06220632 CE) sebagai Kriteria Baru untuk Penetapan Awal Bulan-bulan Islam Hijriyah”, Prosiding: Seminar Nasional Hilal, Observatorium Bosscha FMIPA ITB, p:3-26. Sopwan, N., Raharto, M., 2012, ”Hilal Metonik: Usulan Kriteria Visibilitas Hilal”, Prosiding: Seminar Nasional Fisika III, Universitas Negeri Semarang, p:FT101-1– FT101-7. Sudioleho, M.M., Arkanudin, M., & Riyadi, A.R.S., 2009, ”Observasi Hilaal 1427–1430 H (2007–2009 M) dan Implikasinya untuk Kriteria Visibilitas di Indonesia”, Prosiding: Seminar Nasional Hilal, Observatorium Bosscha FMIPA ITB, p:84-104. Sultan, A.H., 2006, “Best Time”for the First Visibility of the Lunar Crescent”, The Observatory, Volume 126, No.1191, p:115-118. Utama, J.A., 2013, ”Konsep”Best Time”dalam Observasi Hilal Menurut Model Kastner”, Prosiding: Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, p:F-93–F-98.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
150
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Utama, J.A., Hilmansyah, 2013, ”Penentuan Parameter Fisis Hilal sebagai Usulan Kriteria Visibilitas di Wilayah Tropis”, Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Fisika IV, Universitas Negeri Semarang, 12 Oktober. Utama, J.A & Siregar, S., 2013, ”Usulan Kriteria Visibilitas Hilal di Indonesia dengan Model Kastner”, Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia (JPFI), Volume 9, No. 2, p:197-205. Yallop, B.D., 1997, “NAO Technical Note No. 69”, HM Nautical Almanac Office, Royal Greenwich Observatory: Cambridge, p:1-14. Anonim, www.itouchmap.com Raharto, M., 2014, ”Awal Ramadan dan Awal Syawal 1435 H”, rujukan dari situs web www.langitselatan.com/2014/06/25/awal-ramadan-dan-awal-syawal-1435-h.html.
TANYA JAWAB Sesi poster: Tidak terdapat pertanyaan pada sesi poster, hanya terdapat saran untuk memperbaiki judul makalah. Maka dari itu penulis memperbaiki judul makalah dari ”Pengaruh Faktor-faktor yang Berkontribusi terhadap Kecerahan Langit Senja terhadap Nilai Minimum Parameter-parameter Fisis Visibilitas Hilal” menjadi ”Faktor-faktor Kecerahan Langit Senja dan Pengaruhnya terhadap Nilai Minimum Parameter-parameter Fisis Visibilitas Hilal”.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
151
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
MATERI DAN MEDIA EDUKASI SAINS ANTARIKSA (SPACE SCIENCE EDUCATION MATERIAL AND MEDIA) Rhorom Priyatikanto Pusat Sains Antariksa, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Edukasi masyarakat dalam bidang sains antariksa menjadi salah satu tanggung jawab yang diemban oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Setiap satuan kerja LAPAN berperan seperti miniatur LAPAN yang turut menjadi corong penyampai informasi dan pengetahuan kepada masyarakat dan siswa. Hanya saja, tidak seluruh satuan kerja memiliki kesiapan yang sama dari segi fasilitas dan sumber daya manusia. Untuk itu, perumusan dan penyediaan materi dan media edukasi perlu dilakukan secara terpusat untuk didistribusikan ke setiap satuan kerja. Makalah ini mendiskusikan inventaris materi edukasi berdasarkan kebutuhan siswa dan potensi peran LAPAN untuk meningkatkan taraf melek sains masyarakat. Materi tersebut dapat diimplementasikan ke dalam berbagai bentuk media edukasi, baik visual maupun audio visual. Kata kunci: sains antariksa, pendidikan, kurikulum.
ABSTRACT Education and public outreach regarding space science become an obligatory task to carry out oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Every working unit of LAPAN acts as its miniature, transmits information and knowledge to the people and students. However, the availability of education facility and human resource in every working unit is not the same. To deal with this shortage, it is a matter of urgency to formulate and provide educational materials and media which are developed centrally and distributed evenly to every working unit. This article discusses the inventory of educational materials formulated from the need of the students and the anticipated role of LAPAN in increase the level of science literacy among the people. Those materials can be implemented into various media, both visual and audio visual. Keywords: space science, education, curriculum.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
152
ISBN: 978-979-1458-87-0
1.
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
PENDAHULUAN Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) adalah lembaga yang
mengemban amanah undang-undang untuk melaksanakan kegiatan keantarisaan, baik dari aspek sains maupun teknologi (UU no. 21/2013). Lembaga ini memiliki 20 satuan kerja (satker) yang sebagian besar bersentuhan langsung dengan masyarakat, di antaranya berupa balai dan loka yang sering kali dianggap sebagai miniatur LAPAN di daerah. Dikatakan demikian karena setiap satuan kerja LAPAN dituntut menjadi portal bagi masyarakat untuk pelayanan di bidang keantariksaan. Dalam kaitannya dengan sains antariksa, LAPAN turut berperan sebagai sarana edukasi masyarakat, khususnya para siswa yang haus akan pengetahuan. Sejumlah besar siswa dari berbagai jenjang melakukan kunjungan studi ke satker atau balai LAPAN untuk menerima pengetahuan baru yang melengkapi apa yang telah diperoleh di sekolah. Media edukasi dikembangkan sebagai sarana diseminasi pengetahuan kepada siswa, diimbangi dengan pengembangan sumber daya pranata humas. Hanya saja, ketersediaan media semacam itu di setiap satker tidak sepenuhnya sama. Sebagai contoh, Pusat Sains Antariksa memiliki konsentrasi peneliti yang relatif tinggi sehingga ketersediaan media dan bahan edukasi cukup baik. Di sisi lain, beberapa balai dan loka mengalami keterbatasan dalam hal tersebut. Kondisi ini menunjukkan adanya urgensi untuk pengembangan materi dan media edukasi secara terpusat yang dapat didistribusikan ke setiap satuan kerja yang tersebar di penjuru nusantara. Dengan demikian, setiap miniatur LAPAN memiliki kesiapan yang sama dalam melakukan edukasi kepada siswa atau masyarakat secara luas. Pemetaan perlu dilakukan untuk menentukan materi edukasi yang esensial, sesuai dengan kebutuhan siswa serta dapat menjawab tantangan untuk mempersiapkan kader muda yang lebih melek sains dan teknologi. Hasil pemetaan tersebut dapat diimplementasikan ke dalam berbagai media edukasi, baik visual maupun audio visual. 2.
DASAR PENYUSUNAN MATERI EDUKASI Dalam setiap kunjungan yang dilakukan rombongan siswa ke kantor LAPAN, terdapat
menu utama berupa pengenalan LAPAN serta wawasan keantariksaan yang bersifat umum. Terkadang, sekolah menyampaikan permintaan khusus terkait materi yang diterimakan kepada siswa. Tema-tema khusus seputar Bumi dan antariksa sering kali diminta oleh sekolah mengingat pengajar memiliki keterbatasan dalam menyampaikan hal tersebut (Liliawati 2005, Liliawati 2011). Pada dasarnya, permintaan tersebut sesuai dengan kurikulum pendidikan yang berlaku. Dengan demikian, naskah Kurikulum 2013 menjadi salah satu acuan dalam memetakan kebutuhan materi edukasi yang dapat dijawab oleh LAPAN.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
153
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Tabel 2-1: DAFTAR KOMPETENSI DASAR ILMU PENGETAHUAN ALAM (DAN FISIKA), MENURUT KURIKULUM 2013, YANG MENJADI BAGIAN DALAM SAINS ANTARIKSA. Kompetensi Inti Kompetensi Dasar Sekolah Dasar Kelas VI Mendeskripsikan Tata Surya, Matahari sebagai pusat Tata Surya, serta posisi dan karakteristik anggota Memahami pengetahuan Tata Surya. faktual dengan cara meng Mendeskripsikan peristiwa rotasi Bumi, revolusi amati dan menanya. bumi, revolusi Bulan, dan peristiwa terjadinya gerhana bulan dan gerhana matahari. Sekolah Menengah Pertama Kelas VIII Mendeskripsikan sifat-sifat cahaya, pembentukan bayangan, serta aplikasinya. Memahami struktur bumi untuk menjelaskan fenomena gempa bumi dan gunung api. Mendeskripsikan karakteristik Matahari, Bumi, Bulan, planet, benda angkasa lainnya dalam ukuran, Memahami dan menerapkan struktur, gaya gravitasi, orbit, dan gerakannya, serta pengetahuan. pengaruh radiasi Matahari terhadap kehidupan di Bumi. Mendeskripsikan gerakan Bumi dan Bulan terhadap matahari serta menjelaskan perubahan siang dan malam, peristiwa gerhana Matahari dan gerhana Bulan, perubahan musim serta dampaknya bagi kehidupan di Bumi. Sekolah Menengah Pertama Kelas VIII Memahami konsep atom dan partikel penyusunnya, ion dan molekul, serta hubungannya dengan karakteristikmaterial yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Memahami dan menerapkan Mendeskripsikan konsep medan listrik, medan pengetahuan. magnet, induksi elektromagnetik, dan penggunaannya dalam produk teknologi, serta pemanfaatan medan listrik dan magnet dalam pergerakan/navigasi hewan untuk mencari makanan dan migrasi. Sekolah Menengah Atas Kelas XI Memahami, menerapkan, dan menjelaskan pengetahuan Menganalisis keteraturan gerak planet dalam Tata Surya faktual, konseptual, berdasarkan hukum-hukum Newton. prosedural, dan metakognitif. Sekolah Menengah Atas Kelas XII Memahami, menerapkan, dan menjelaskan pengetahuan Memahami radiasi elektromagnetik, dampaknya pada faktual, konseptual, kehidupan, dan pemanfaatannya dalam teknologi prosedural, dan metakognitif.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
154
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Topik sains antariksa disinggung dalam Kurikulum 2013 sebagai bagian dari kompetensi dasar ilmu pengetahuan alam yang harus dikuasai oleh siswa. Rincian kompetensi dasar terkait dapat dilihat pada Tabel 2-1, dibagi menurut jenjang pendidikan/kelas. Meningkatkan taraf melek sains dan membangun kecintaan siswa akan sains dan teknologi antariksa menjadi kejaran kedua dalam setiap proses edukasi yang dilakukan oleh LAPAN. Melalui proses ini, LAPAN secara aktif mempersiapkan generasi muda untuk menyongsong masa depan yang kental akan gebrakan dan inovasi. Karena itu, Project 2061 yang digulirkan oleh American Association for the Advancement of Science (AAAS) sejak tahun 1985 dapat digunakan sebagai acuan sekunder untuk memetakan materi edukasi seputar sains antariksa. Tabel 2-2: KARAKTER ILMIAH DAN PEMAHAMAN TENTANG SEMESTA YANG DIHARAPKAN DARI SISWA, MENURUT BENCHMARK FOR SCIENCE LITERACY (AAAS, 2009). Tingkat
TK – kls 2
kls 3 – kls 5
kls 6 – kls 8
kls 9 – kls 12
Karakter ilmiah Mendorong rasa ingin tahu, berani bertanya, mampu berhitung dan mengukur, dapat melakukan pengamatan kuantitatif hingga mendiskusikan temuannya.
Pemahaman tentang semesta
Melakukan observasi kualitatif terhadap objek Bumi dan langit.
Melakukan inventarisasi terhadap Mengembangkan kepekaan akan apa yang diamati. Mengetahui perbedaan proses dan perilaku komponen penyusun semesta dari benda di sekitarnya. lingkup terkecil hingga terbesar. Mempunyai gambaran mendetil Mengetahui bagaimana harus terkait skala dalam semesta serta bereaksi terhadap perbedaan. metode penelitian/pengamatan untuk mengetahuinya. Melakukan integrasi konsep: Mengalami proses wawasan sejarah ilmu pengetahuan, pengembangan sains: menguji, konsep fisika dan kimia, logika merevisi, atau bahkan berpikir matematis, hingga peran menyisihkan sebuah teori. teknologi.
AAAS beranggapan bahwa studi ilmiah merupakan bentuk usaha intelektual dan sosial yang harus mendapat tempat istimewa dalam kurikulum pendidikan yang salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan science literacy. Bila seseorang memahami bagaimana kerja sains, maka ia mampu mengikuti perkembangan sains sepanjang hidupnya, baik secara aktif maupun pasif. Pemahaman tersebut dapat diperoleh dari pengalaman maupun sejarah perkembangan sains yang penuh lika-liku. Dalam naskah Benchmark for Science Literacy (AAAS 2009), siswa dibagi menjadi empat tingkatan pendidikan: (1) Taman Kanak-kanak hingga kelas 2; (2)
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
155
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
kelas 3 hingga 5; (3) kelas 6 hingga 8; dan (4) kelas 9 hingga 12. Karakteristik yang diharapkan dari tiap tingkatan dapat dilihat pada Tabel 2-2. Terdapat beberapa patokan (benchmark) yang disebutkan dalam naskah tersebut, satu di antaranya tentang pemahaman fisika (nature of physical setting) yang meliputi pemahaman tentang semesta. Bagian tersebut erat kaitannya dengan sains antariksa. Selain patokan tersebut, terdapat penekanan pada apa yang perlu dipelajari oleh siswa. Pertama adalah komponen penyusun semesta. Kedua adalah hukum fisika yang mendasari dinamika semesta. Ketiga adalah pandangan terkini tentang alam semesta yang merupakan ramuan dari beragam penemuan yang telah dilakukan manusia selama ini. 3.
USULAN MATERI EDUKASI Berdasarkan acuan dan poin-poin yang telah disebutkan sebelumnya, materi edukasi sains
antariksa dapat disusun secara terstruktur (lihat Gambar 3-1). Materi tersebut terdiri atas tiga gugus materi, yakni lingkungan antariksa, cuaca antariksa, serta astronomi dan astrofisika. Gugus astronomi dan astrofisika meliputi beberapa materi yang dapat disampaikan kepada siswa sesuai jenjang pendidikannya. Siswa Sekolah Dasar (SD) dapat menerima materi tentang fenomena astronomis (pergantian siang-malam hingga gerhana), Tata Surya, serta benda jatuh Antariksa. Penyampaian materi fenomena astronomis bertujuan untuk membangun kesadaran siswa tentang alam semesta serta menekankan bahwa setiap fenomena yang ada memiliki penjelasan ilmiah di baliknya. Materi Tata Surya dan benda jatuh antariksa membangun inventaris siswa tentang komponen penyusun alam semesta, dimulai dari yang terdekat dengan Bumi.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
156
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 3-1: Gugus materi edukasi terkait sains antariksa yang telah dipetakan berdasarkan kurikulum. Jumlah bintang menandai tingkat pendidikan yang sesuai untuk menerima materi terkait: satu bintang untuk SD, dua bintang untuk SMP, dan tiga bintang untuk SMA.
Bagi siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP), materi yang lebih kompleks dapat dicerna berdasarkan pengetahuan yang telah mereka terima di sekolah. Materi tersebut meliputi Matahari sebagai bintang induk Tata Surya, radiasi elektromagnetik, teknologi pengamatan, medan magnet Bumi, sistem telekomunikasi, dan sistem navigasi. Penekanan terhadap cara kerja alam semesta dan bagaimana teknologi memudahkan kehidupan manusia menjadi pokok bahasan. Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) telah menerima beragam ilmu dan pengetahuan serta diharapkan mampu memahami dan menerapkan pengetahuan tersebut. Integrasi beragam konsep yang terkait dengan satu isu tertentu (tematic learning) menjadi ciri khas materi edukasi Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
157
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
untuk siswa SMA. Selain itu, jenjang pendidikan SMA sering kali dianggap sebagai gerbang menuju jenjang pendidikan tinggi yang lebih mengerucut pada bidang tertentu. Untuk itu, materi edukasi harus mampu membuka pandangan siswa tentang pentingnya sains dan teknologi dalam mendukung kemajuan bangsa serta peradaban manusia secara umum. Selain materi yang telah disebutkan dalam Gambar 3-1, sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi menu yang wajib disampaikan karena banyak hal yang dapat dipelajari dari perjalan sejarah tersebut. Informasi tentang pekerjaan seorang peneliti atau ilmuwan juga penting untuk disampaikan demi membuka wawasan siswa tentang profesionalisme di bidang sains. 4.
USULAN MEDIA EDUKASI Inventaris materi edukasi yang diilustrasikan dalam Gambar 3-1 dapat dikembangkan lebih
lanjut serta dituangkan dalam beragam media edukasi. Media tersebut dapat diproduksi secara terpusat dan didistribusikan ke setiap satuan kerja LAPAN, atau bahkan didistribusikan lebih luas lagi melalui website LAPAN. Dengan pengembangan media edukasi semacam ini, laman 'edukasi' dalam situs LAPAN diharapkan menjadi lebih hidup dan berisi. Beberapa media edukasi yang dapat dikembangkan adalah: a. Poster. Informasi visual yang diterima mata diproses 60.000 kali lipat lebih cepat dibandingkan informasi teks. Dengan demikian, media edukasi visual menjadi pilihan pertama. Poster berisikan gambar dan informasi terkait sains antariksa dapat disusun sebagai media edukasi yang bersifat pasif maupun aktif (lihat Gambar 4-1). Dikatakan sebagai media edukasi pasif ketika poster hanya ditampilkan dalam pameran. Gambar yang ditampikan dalam poster menarik perhatian pengunjung yang secara mandiri membaca informasi yang disediakan dalam poster. Media ini dapat berperan dalam edukasi aktif ketika ada seorang pemandu/pranata humas yang menjelaskan konten yang diilustrasikan dalam poster. Dalam hal ini, komunikasi menjadi lebih interaktif. b. Slide presentasi. Presentasi saat kunjungan sering kali dilakukan untuk menyampaikan informasi dan pengetahuan kepada siswa. Slide presentasi perlu dipersiapkan dengan baik supaya dapat menjawab kebutuhan siswa akan pengetahuan sekaligus membangun rasa cinta akan sains. Satu bahan presentasi dapat mencakup satu materi tertentu atau memuat materi integratif. c. Video. Media audio visual seperti video memang amat efektif dalam menyampaikan materi sains antariksa. Namun, proses pembuatan video bukan perkara mudah. Sejumlah video tematik yang banyak beredar di internet memang dapat disadur untuk dijadikan media edukasi, tentu dengan mempertimbangkan transfer hak cipta. Proses Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
158
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
editing dan subtitling perlu dilakukan supaya video, yang sebagian berbahasa Inggris, dapat dipahami oleh pemirsa Indonesia.
Gambar 4-1: Representasi poster tentang sains antariksa yang dirangkum dalam album astronomi picture of the day (APOD). Album ini telah dipamerkan dalam Festival Sains Antariksa 2014 dan berhasil menarik perhatian pengunjung.
d. Buku. Media cetak dapat dinilai sebagai media paling komprehensif karena dapat menampung lebih banyak informasi. Buku ini dapat dijadikan panduan bagi pranata humas di setiap satuan kerja LAPAN untuk menyampaikan informasi dan pengetahuan sains antariksa kepada masyarakat. Masyarakat juga dapat mengakses buku tersebut untuk mendapatkan pengetahuan sains antariksa. Pada tahun 2012, LAPAN pernah merilis buku berjudul Fenomena Cuaca Antariksa (Martiningrum et al. 2012), tapi cakupan materi buku tersebut belum lengkap sepenuhnya.
5.
KESIMPULAN Edukasi masyarakat tentang sains menjadi salah satu tugas yang diemban LAPAN sebagai
lembaga penelitian yang dibiayai oleh negara. Dalam proses edukasi tersebut, rancangan materi dan media edukasi menjadi amat penting untuk memastikan efektivitas penyampaian materi kepada khalayak, khususnya siswa sekolah yang sering kali berkunjung ke kantor LAPAN.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
159
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Makalah ini telah menginventarisasi materi-materi yang dinilai penting untuk disampaikan kepada siswa. Materi tersebut dikelompokkan ke dalam tiga gugus utama, yakni cuaca antariksa, lingkungan antariksa, dan astrofisika. Materi tersebut disampaikan sesuai dengan jenjang pendidikan sehingga siswa dapat mencerna informasi berdasarkan pengetahuan yang telah diperoleh di sekolah. Proses edukasi masyarakat bukan hanya tanggung jawab pranata humas yang ada di setiap satuan kerja LAPAN, melainkan juga tanggung jawab peneliti sebagai sumber informasi dan pengetahuan keantariksaan. Penyusunan materi dan produksi media edukasi secara terpusat dimaksudkan untuk memastikan kualitas pengetahuan yang disampaikan serta memastikan setiap satuan kerja memiliki fasilitas yang memadai dalam proses edukasi masyarakat. Apa yang didiskusikan dalam makalah ini merupakan ide dan usulan demi kemudahan LAPAN dalam melaksanakan tugasnya serta demi peningkatan taraf melek sains masyarakat. Semoga ide yang disampaikan menjadi sebuah realitas dalam waktu dekat, serta dapat diperluas pada sub-bidang keantariksaan yang lain. DAFTAR RUJUKAN AAAS, 2009, “Benchmark for Science Literacy”, diakses secara on-line melalui http://www.project2061.org/publications/bsl/online/index.php. Kemendikbud, 2013a, Kurikulum 2013: Kompetensi Dasar SD/MI. Kemendikbud, 2013b, Kurikulum 2013: Kompetensi Dasar SMA/MA. Kemendikbud, 2013c, Kurikulum 2013: Kompetensi Dasar SMP/MTs. Liliawati, W., Dawanas, D., Wardana, A., dan Aviyanti, L.: 2005, dalam Proceedings of The 9th Asian-Pacific Regional IAU Meeting 2005, pp 324–325 Liliawati, W. dan Herdiwijaya, D.: 2011, dalam Prosidings Seminar Himpunan Astronomi Indonesia, pp 23–26 Martiningrum, D. R., Purwono, A., Nuraeni, F., dan Muhamad, J.: 2012, “Fenomena Cuaca Antariksa”, Bandung: Andira Undang-undang no. 21 tahun 2013 tentang Keantariksaan.
TANYA – JAWAB [Clara Y. Yatini, LAPAN]: Ada ide apa saja untuk memasukkan materi sains ke siswa? [Penulis]: Kala memasukkan konten ke kurukulum sekolah, saya tidak tahu dan rasanya sulit. Di sini saya sudah menginventarisasi materi-materi dalam Kurikulum 2013 yang menyangkut sains antariksa. Materi tersebut dapat dikembangkan menjadi beragam
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
160
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
media edukasi, salah satunya lembar kerja siswa yang dapat diunduh melalui situs LAPAN. [Clara Y. Yatini]: Kalau begitu, perlu ada petunjuk untuk guru juga. Desember yang akan datang, akan ada pertemuan internasional di Jepang dan Biro KSH akan melaporkan kegiatan edukasi sains dalam forum tersebut. Tolong kirimkan foto poster dan penggunaannya ya, supaya dapat turut dilaporkan. [Aries Kurniawan, LAPAN]: Media edukasi yang dapat dikembangkan apa saja? [Penulis]: Sementara ini, yang terpikirkan adalah poster sebagai etalase sains antariksa, slide presentasi (terstandardisasi), serta buku panduan. Bila memungkinkan, media audio visual juga dapat ditambahkan. [Aries Kurniawan]: Saran saya, pikirkan juga tentang pembuatan alat beraga seperti yang ada di beberapa museum atau pusat peraga IPTEK. Dengan alat semacam itu, siswa mempunyai gambaran yang lebih jelas tentang apa yang ingin disampaikan. [Sri Kaloka P., LAPAN]: Idenya bagus. Apa saja yang sudah dilakukan? [Penulis]: Saya telah membuat poster untuk dipamerkan dalam Festival Sains Antariksa 2014. Dari pengalaman tersebut, muncul ide untuk memetakan materi sains antariksa yang sebaiknya disampaikan kepada masyarakat, terutama pelajar. [Siti Mariam, LAPAN]: APOD itu apa? [Penulis]: Astronomy Picture of the Day, sebuah situs internet yang dikelola NASA. Secara rutin menampilkan foto terbaik hari ini yang terkait dengan fenomena antariksa. Isinya adalah foto dan deskripsi yang relevan. Untuk Festival Sains Antariksa 2014, saya telah memyusun album poster ukuran A3 yang berisikan gambar-gambar APOD yang terkait fenomena cuaca antariksa serta membuat desrkipsi singkat dalam bahasa Indonesia. [Halimurrahman, LAPAN]: Media apa saja yang digunakan? Cetak? Elektronik? [Penulis]: Untuk media cetak, saya mengusulkan poster dan buku panduan edukasi, sedangkan untuk media elektronik, dapat berupa slide presentasi, lembar kerja siswa (PDF), atau media audio visual. [Buldan Muslim, LAPAN]: Sangat baik untuk disampaikan di hadapan guru-guru. [Penulis]: Terima kasih atas sarannya pak... Edukasi sebenarnya merupakan salah satu spektrum kegiatan yang perlu dilakukan oleh sebuah lembaga penelitian.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
161
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
[Jiyo, LAPAN]: Memang tidak murni penelitian karena tidak menggunakan, dsb. Tapi idenya sangat menarik, terutama bagi para pengambil keputusan. Saya sarankan untuk dipublikasikan di Media Dirgantara atau Berita Dirgantara. [Penulis]: Terima kasih atas saran Bapak. Saya memanfaatkan SNSAA sebagai ajang untuk menyampaikan ide, barangkali ada yang tertarik dengan ide tersebut. Setelah pengembangan, akan saya tulis di Media Dirgantara. [Sefria Anggarini, LAPAN]: Pembagian materinya bagaimana ya? Kalau bidang Ionosfer dan Telekomunikasi masuk di bagian mana? [Penulis]: Pembagian lingkungan antariksa dan cuaca antariksa memang agak kurang jelas. Di sini, saya masukkan sistem komunikasi dan navigasi ke dalam bagian lingkungan antariksa.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
162
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
KAJIAN PENGEMBANGAN DATA CENTER SAINS ANTARIKSA LAPAN BANDUNG STUDY DEVELOPMENT OF DATA CENTER SPACE SCIENCE OF LAPAN BANDUNG Rizal Suryana dan Yoga Andrian Pusat Sains Antariksa – Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
[email protected]
ABSTRAK Pengembangan data center meliputi aspek teknis dan non teknis yang tidak dapat dipisahkan. Pengembangan aspek teknis dalam sebuah data center terdiri dari ketersedian backup data secara sistem ke sistem ataupun berupa bentuk arsip kedalam media lain. Perangkat lunak baik sistem operasi maupun aplikasi pendukung, harus memenuhi kebutuhan akan sebuah sistem, ketersediaan dukungan dalam waktu yang relative panjang, kemudah dalam proses installasi dan konfigurasi, dan kestabilan. Faktor tersebut menjadikan penentu dalam penggunakan perangkat lunak di lingkungan data center. Pengaturan kondisi ruangan data center merupakan hal sederhana tetapi akan mempengaruhi kinerja pada masing-masing komputer server. Pengaturan kondisi ruangan data center mengatur penempatan posisi mesing pendingin, sumber dan candang listrik, pengkabelan dan pempatan posisi rak server. Keberadaan Sistem backup data dapat menjaga ketersedia data secara kontinyu, mengurangi terjadinya down time server, dan proses pemulihan data dapat dilakukan dengan mudah dan cepat. Pengaturan kondisi ruangan data center akan mempermudah pengelolaan, pemeliharaan, penelusuran gangguan, penambahan server dan meningkatan kinerja data center. Kata Kunci: pengembangan data center, sistem backup.
ABSTRACT Development of data center involve both of a technical and non-technical aspects that inseparable. Development of the technical aspect in data center consist of the availability data backup system or archiving to another media such as tape, CD and DVD. Operating system or the application must be supported to the systems data center, long term support, easy installation and configuration, and stability. It factors become a key in the use of the software in environment data center. Configuration conditions of the space location for data center are a Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
163
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
simple but it will have affect to server performance. Some requirements for data center room are a simple but it will have affect to server performance. These requirements are including positioning of air cooler, source and backup power, cabling, and server rack positioning. The existence of data backup system can be provide continuous data, reduce down time server, and easy and quickly to the recovery processing. The optimum setting of the data center room will simplify management, maintenance, trouble shooting, additional server and increase data center performance. Keywords: Development of Data Center, Backup system. 1.
LATAR BELAKANG Data center menjadi salah satu komponen penting dalam lingkungan teknologi informasi
dan komunikasi (TIK) pada saat ini. Data center sebagai inti dari layanan yang diharapkan mampu memberikan pelayanan optimal, sekalipun dalam keadaan terjadinya suatu bencana sehingga kerja dari satu perusahaan ataupun instansi tetap berjalan (Yulianti, 2008). Data center merupakan sebuah asset yang sangat berharga bagi organisasi yang menjadikan TIK sebagai tulang punggung untuk meningkatkan kinerja yang lebih efisien. Peranan sebuah data center menjadi sangat pital terhadap keberlangsungan TIK dalam sebuah organisasi. Penilaian terhadap sebuah data center sebagai suatu proses untuk menentukan hubungan antara sumber daya, pemulihan sistem dan daya kerja. Penilaian tersebut, termasuk dalam faktor teknis dan faktor non teknis, merupakan hal yang sederhana dalam sebuah data center, namun faktor tersebut akan sangat berpengaruh terhadap kinerja dari sebuah data center. Peranan TIK pada saat ini telah membawa perubahan penting dalam perkembangan peradaban, terutama perekonomian dunia (Kadiman, 2006). Data center sains antariksa pada saat ini belum sampai pada pemenuhan standar sebuah data center, tetapi sejauh ini baru sampai pada tahap ketersedian. Jika melihat dokument TIA942 (Telecommunication Industry Association) tentang standarisasi data center, maka data center sains antariksa masih jauh dari standar yang disebutkan dalam dokumen tersebut. Berdasarkan dokumen TIA-942 sebuah data center harus memiliki ruangan dan tata letak (Site space and layout), infrastruktur perkabelan (Cabling insfrastructure), Sistem backup (Tiered realiability) dan aspek lingkungan (Environmental considerations) (Diminico, 2006).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
164
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 1-1: Ruang Data Center Ideal (TIA-942)
Ruangan data center sains antariksa pada saat ini hanya berfungsi sebagai ruang server bukan ruang data center. Ruang server merupakan sebuah tempat untuk penyimpan komputer server yang beroperasi dengan tidak mempertimbangkan pertumbuhan jumlah komputer pada masa yang akan datang dan tidak tersedianya sistem backup data. Sedangkan ruang data center harus memperhatikan pertumbuhan jumlah komputer server baik yang ada saat ini maupun yang akan datang. Infrastruktur perkabelan telah tersedia, namun ketika kabel jaringan komputer terkoneksi dengan komputer server, kabel jaringan komputer tersebut menyatu dengan kabel sumber tetangan listrik. Salah satu elemen yang harus diperhatikan dalam mendesain ruang data center adalah infrastruktur perkabelan. Desain infrastruktur perkabelan harus memenuhi 3 unsur yaitu kabel Unshielded Twisted Pair (UTP) dan Fiber Optik (FO) dipisahkan dalam jalur yang berbeda, perangkat distribusi dan pusat koneksi ditempatkan sesuai dengan fungsinya dan jalur kabel antara UTP dan FO memiliki ruang kosong (Diminico, 2006). Sistem backup dalam sebuah data center menjadi sebuah kewajiban yang harus tersedia, sistem backup akan berfungsi sebagai sistem cadangan dan pemulihan (recovery). Sistem backup yang dimiliki pada saat ini masih bersifat insidensial dan dijalankan secara manual. Berdasarkan standar sistem backup ini harus berjalan setiap saat dan memiliki tingkatan, setiap tingkatan memiliki high availability dan down time yang berbeda beda.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
165
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 1-2: Sirkulasi Udara Ideal di Ruang Data Center (TIA-942)
Seiring dengan pertumbahan data dan kebutuhan TIK dalam meningkatkan kinerja pusat sains antariksa, maka data center yang ada pada saat ini diperlukan sebuah pengembangan untuk memenuhi kebutuhan pada masa yang akan datang. Berangkat dari kebutuhan akan sebuah data center yang handal, pemasalahan yang ada, berdasarkan dokumen TIA-942 mengenai standar yang harus dimiliki dalam sebuah data center, dan peranan penting dari data center. Pada makalah ini penulis akan memaparkan hasil kajian terhadap pengembangan data center sains antariksa. Kajian yang dilakukan dengan memperhatikan baik aspek teknis maupun non teknis. Hasil dari kajian ini dapat dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan pengembangan data center sains antariksa pada tahun yang akan datang. 2.
KONDISI SAAT INI Data center sains antariksa terdiri dari dua buah rak server, tiga unit pendingan ruangan,
satu buah Uninterruptibel Power Supply (UPS) sebagai sumber tegangan listrik cadangan selama 4 jam, ruangan kerja administrator dan satu lemari yang digunakan untuk menyimpan persediaan dan cadangan perangkat kebutuhan jaringan komputer. Kondisi lantai ruangan data center belum menggunakan Full Raised Floor, sehingga kabel sumber listrik dan kabel data (kabel jaringan komputer) masih tidak teratur. Seharusnya kabel sumber listrik dan kabel data di sediakan jalur khusus, hal ini untuk menghindari kabel listrik yang bocor sehingga menimbulkan short circuit, sedangkan kabel data terhindar dari injakan kaki yang menimbulkan kerusakan atau putus pada kabel data tersebut. Gambar 2-1 menunjukan kondisi ruangan data center pada saat ini.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
166
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 2-1: Layout Ruang Data Center Saat Ini
Posisi penempatan pendingin ruangan berada di samping rak server, pada kondisi ini sirkulasi udara yang masuk ke dalam server menjadi tidak optimal. Semua komputer server yang terdapat dalam rak merupakan sistem utama yang bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing. Belum tersedianya sistem backup yang berfungsi sebagai sistem recovery atau cadangan yang memiliki tingkat high availability sesuai dengan kebutuhan. Penempatan UPS dalam satu ruangan dengan server, seharusnya ruangan elektrik dengan server memiliki ruang yang berbeda, sehingga jika terjadi gangguan pada sistem kelistrikan, maka orang yang tidak berkepentingan tidak akan dapat masuk ruang data center. Keberadaan meja kerja administrator dan lemari perlengkapan manambah kondisi ruang data center jauh dari kondisi ideal. Ketika terjadi penambahan rak server akan menjadi sulit dalam pengaturan tata letak dan ruang data center menjadi sesak dengan barang yang seharus tidak boleh ada. 3.
METODOLOGI Proses pengembangan data center sains antariksa meliputi ruang dan tata letak,
infrastruktur perkabelan, sistem backup dan aspek lingkungan. Ruang dan tata letak data center harus mempertimbangkan perancanaan untuk pengembangan di masa yang akan datang minimal 5 tahun ke depan, ruangan data center tidak terlalu banyak dilalui orang, namun harus mudah dijangkau. Kondisi ruangan tidak terbuat dari bahan yang mudah terbakar, serta memperhatikan keamanan dan keselamatan. Pemisahan ruangan untuk sumber listrik, pendingin, administrator, ruang ujicoba dan perlangkapan. Sebuah ruang data center harus memiliki lima point utama yaitu pintu masuk (Entrance Room), area distribusi utama (Main Distribution Area), Area distribusi horizontal (Horizontal Distribution Area), zona area distribusi (Zone Distribution Area), dan Area distribusi peralatan (Equipment Distribution Area) (Chalasani, 2010).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
167
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Pada sistem pengkabelan baik yang berfungsi sebagai kabel sumber listrik atau jaringan komputer akan dipisahkan, khusus untuk kabel jaringan komputer dibedakan juga berdasar pendistribusian. Kabel fiber optik akan digunakan sebagai jaringan utama/backbone, kabel fiber optik multimode dan laser-optimised 50 µm digunakan untuk meningkatkan kemampuan transfer, kecepatan dan mengatasi jarak. Kabel UTP/STF katagori 6A yang digunakan untuk mengkoneksikan server ke dalam jaringan, dimana kabel ini memiliki kecepatan 10 Gigabit dan merupakan standar yang digunakan untuk lingkungan data center (TIA-942). Sistem backup merupakan fasilitas yang harus ada dalam sebuah data center. sistem backup ini akan berfungsi sebagai sistem arsip dan sistem recovery. Sistem backup yang akan digunakan pada data center sains antariksa yaitu menggunakan metode master to slave synchronous replication. Sistem ini akan melakukan duplikasi antara server data utama dengan server data cadangan. Pengembangan data center sains antariksa harus memperhatikan aspek lingkungan sekitar. Aspek lingkungan akan meninjau lokasi sekitar tempat data center berada yang meliputi kondisi fisik, keamanan lingkungan, kondisi genangan air pada saat hujan. Kondisi lingkungan sekitar lokasi data center akan menentukan akses keamanan secara fisik pada saat memasuki ruang data center dan pada saat diluar jam operasional. 4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem backup atau Disaster Recovery Center (DRC) merupakan duplikasi dari server
utama, sistem backup akan berfungsi jika server utama mangalami kegagalan sistem, bencana alam, pemeliharaan dan perbaikan. Sistem backup data dibangun dengan menggunakan replikasi metode master to slave synchronous replication. Data yang berada di server utama akan di distribusikan/sinkronisasikan melalui jaringan internet atau local are network (LAN) ke server backup (Suryana, 2014). Server utama berada di pusat sains antariksa dan server cadang akan di tempat disebuah Internet Service Provider (ISP) dengan menyewa layanan collocation.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
168
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-1: Sistem DRC LAPAN Bandung (Suryana, 2014)
Penempatan server cadangan dengan sistem collocation bertujuan untuk menghindari gangguan yang serupa pada server utama. Jika pada jaringan LAPAN Bandung mengalami gangguan koneksi internet atau gangguan lain, maka server cadangan mengambil alih tugas dari server utama. Sehingga sistem TIK LAPAN Bandung dapat berfungsi dengan normal meskinpun server utama mengalami gangguan. Sistem DRC sebaiknya memiliki tingkat high availability yang sama dengan server utama. Arsitektur sistem DRC dimulai dengan melihat arsitektur data center utama, arsitektur DRC akan menggunakan arsitektur yang sama dengan data center utama (Indrajani, 2010). Proses pengiriman data dari server utama ke server cadangan akan dilakukan ketika server utama mengalami penambahan atau perubahan data, sehingga data yang berada di server cadangan akan selalu sama seperti pada server utama (Suryana, 2014). Data center yang secara harfiah berarti pusat data, yaitu suatu fasilitas untuk menempatkan sistem komputer dan peralatan-peralatan terkait, seperti sistem komunikasi data dan penyimpanan data (Dewannanta, 2012). Tempat penempatan sebuah sistem komputer disebut dengan ruang data center, dimana ruang ini harus memenuhi standar sebuah data center. Gambar 4-1 diatas menunjukan ruang data center sains antariksa, ruangan tersebut masih belum memiliki standar yang diperuntukkan untuk sebuah data center. Pengembangan ruangan data center sains antariksa harus dilakukan untuk memenuhi standar TIA-942, pengembangan masa yang akan datang, meningkatan kinerja dan sistem keamanan ruangan data center. Gambar 4-2 menunjukkan pengembangan ruangan untuk data center sains antariksa.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
169
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-2: Desain Ruang Pusat Data
Desain ruangan data center memiliki tiga bagian, hal ini dilakukan karena keterbatasan ruangan yang tersedia. Pertama merupakan ruangan sumber tetangan listrik dan tempat UPS berada. Bagian kedua merupakan ruangan inti tempat penyimpanan semua komputer server yang beroperasi dalam mendukung kegiatan TIK dan bagian ketiga merupakan ruangan tempat administrator bekerja dan tempat melakukan ujicoba sebelum server di tempatkan di ruangan inti. Garis berwarna biru merupakan tempat saluran udara yang berasal dari pendingin ruangan sedangkan yang berwarna merah merupakan saluran udara keluar yang berasal dari dalam rak server. Penggunaan lantai Full Raised Floor sangat dibutuhkan karena udara dingin akan dilewatkan. Kondisi seperti ini akan membuat sirkulasi udara yang berasal dari pendingin ruangan masuk kedalam rak server secara optimal sehingga suhu dalam komputer server akan stabil. Garis yang berwarna kuning merupakan sumber listrik yang berasal dari ruangan elektrik. Sehingga akan terhindari interferensi yang berasal dari kabel sumber listrik dan menghindari terjadinya hubungan pendek antara kabel listrik dengan kabel jaringan komputer dan sebagai anti satis. Penggunaan full raised floor akan memberikan keuntungan, installasi kabel menjadi lebih mudah tanpa harus membuat jalur baru, karena penggunaan full raised floor menggunakan sistem buka tutup dan memberikan kemudahan dalam menyalurkan udara yang berasal dari sumber pendingin (Chalasani, 2010). Garis berwarna hijau merupakan sistem pengkabelan untuk jaringan komputer. Kabel jaringan tempat diatas dengan menggunakan sistem tracking kabel, penggunaan ini bertujuan untuk memudahkan dalam installasi, pemeliharaan, memisahkan kabel sesuai dengan koneksi dan menghindari kesalahan yang di sebabkan oleh manusia (Bouley, 2011). Sisitem pengkabelan jaringan akan menjadi seperti pada gambar 4-3. Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
170
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-3: Sistem Pengkabelan Ruang Data Center (http://www.rdkengineers.com/)
Sistem pengkabelan akan dikelompokan berdasarkan tingkat pendistribusian, masing-masing tingkatan memiliki fungsi tersendiri yang dibedakan menjadi 3 bagian yaitu Main Distribution Area (MDA), Horizontal Distribution Area (HAD) dan Zone Distribution Area (ZDA). Penggunaan kabel jaringan akan disesuai berdasarkan pendistribusian, standar penggunaan kabel untuk Main Distribution Area menggunakan kebal fiber optik dengan multimode fiber, 50µm laser-optimized, sedangkan untuk HDA dan ZNA menggunakan kabel UTP Cat 6A untuk koneksi dalam ruangan dan STP Cat 6A digunakan di luar ruangan yang memiliki kecepatan transfer data 10 Gigabit (TIA-942).
Gambar 4-4: Sistem Perkabelan Ruang Pusat Data Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
171
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
MDA merupakan koneksi antara router pusat sains antariksa dengan Internet Service Provider (ISP), menyediakan semua koneksi baik internet maupun Virtual Privare Network (VPN). Kabel fiber optik digunakan sebagai koneksi utama, hal dilakukan untuk meningkatkan kualitas jaringan dan mengatasi jarak antara ISP dengan pusat sains antariksa. HDA1 sebagai pusat koneksi antara private server, public server dan client, koneksi antara HDA1, HDA2 dan HDA3 mengunakan kabel UTP Cat 6A, namun sebaiknya jika anggaran mencukupi dapat menggunakan kabel fiber optik. Tujuan penggunaan kabel fiber optik yaitu untuk meningkatkan kualitas jaringan, karena fiber optik memiliki redaman yang kecil, loss yang terjadi pada kabel fiber optik 0,2 – 0,5 dB/Km (Aga, 2013) tidak terpengaruh gangguan gelombang elektromagnetik dan tahan pada suhu tinggi. Koneksi antara kabel HDA1, ZNA dan Equipment Distribution Area (EDA) menggunakan kabel UTP Cat 6A, koneksi ini berfungsi untuk menghubungkan jaringan dengan perangkat seperti server, patch panel, switch dan lain-lain. 5.
KESIMPULAN Pengembangan data center LAPAN Bandung sangat diperlukan untuk penambahan
fasilitas atau meningkatkan kemampuan dari pusat data tersebut. Hal tersebut dilakukan karena data center LAPAN Bandung belum memenuhi standar data center. Pengembangan pusat data harus memperhatikan ruang dan tata letak, sistem pengkabelan, distribusi koneksi jaringan dan kondisi lingkungan sekitar. Ruangan data center dipisahkan sesuai dengan fungsi mulai dari ruangan kelistrikan, ruangang komputer server dan ruangan administrator. Sistem pengkabelan dibedakan bersarkan koneksinya, fungsi, distribusi dan jenis kabel. Pembagian ruangan dan sistem pengkabelan akan memudah pada saat pemeliharaan, penelusuran masalah dan pengembangan data center. Perancangan data center sesuai dengan standar akan meningkatkan kualitas dan memudahkan pengembangan data center pada masa yang akan datang, baik dari sisi penempatan perangkat baru maupun dari sistem pengkabelan. DAFTAR RUJUKAN Bouley. D., 2011, “Creating Order from Chaos in Data Centers and Server Rooms”, White Paper 119, Schneider Electric. Chalasani, S., 2010, “TIA-942: Data Center Standards”, Merit Conference. Diminico, C., 2006, “Telecommunications Infrastructure Standard for Data Centers”, ANSI/TIA-942, IEEE. Indrajani dan Johan, 2010, “Analisis dan Perancangan Sistem High Availability Pada PT.A”, Konferensi Nasional Sistem dan Informatika, Bali
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
172
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Kadiman. K., 2006, “Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi”, Buku Putih Indonesia 2005 – 2025, Kementrian Riset dan Teknologi. Suryana. R., 2014, “Backup Data Menggunakan Metode Replikasi Pada Repositori Data Sains Antariksa”, Workshop Riset Medan Magnet Bumi dan Aplikasinya. TIA-942, Data Center Standards Overview. Anonim, www.rdkengineers.com, di akses tanggal 28 desember 2015. Dewannanta.
D.,
2012,
“Perancangan
Jaringan
Komputer
Data
Center”,
www.ilmukomputer.com diakses tanggal 10 November 2014. Yulianti, D. E. dan Nanda, H. B., 2008. Best Practice: Perancangan Fasilitas Data Center, http://opencontent.org/opl.shtml diunduh tanggal 23 November 2014.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
173
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
STUDI GELOMBANG ULF: KARAKTERISTIK PULSA MAGNET Pc3 PADA SAAT BADAI MAGNET TAHUN 1998-2000 (STUDY OF ULF WAVE: CHARAKTERISTIC OF Pc3 MAGNETIC PULSATION DURING MAGNETIC STORM ON 1998-2000) Setyanto Cahyo Pranoto Pusat Sains Antariksa, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Manifestasi interaksi antara angin surya dan magnetosfer Bumi secara umum dapat diamati melalui pulsa magnet. Selama peningkatan aktivitas di matahari maka akan diikuti dengan peningkatan energi kinetik angin surya. Hal ini mengindikasikan bahwa tekanan pada plasma angin surya bervariasi lebih cepat dan mengalami peningkatan. Sehingga eksitasi pulsa magnet Pc3 pada siang hari juga mengalami peningkatan. Dalam makalah ini telah dilakukan pengolahan dan analisis data pulsa magnet Pc3 terkait kejadian badai geomagnet selama tahun 1998-2000 dengan menggunakan data stasiun Biak. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa badai magnet dengan skala sangat kuat terkait dengan amplitudo ULF lebih besar dari 2 nT dan koefisien spektral () Pc3 < -0,5, sedangkan untuk badai dengan skala kuat terkait dengan amplitudo ULF lebih besar dari 1 nT dan koefisien spektral () Pc3 < -0,3. Selama terjadinya badai magnet dengan skala lemah dan sedang, perubahan pulsa magnet Pc3 teramati pada periode 10-25 detik sedangkan untuk badai magnet dengan skala kuat dan sangat kuat pada periode 25-45 detik. Hal ini menunjukkan bahwa pulsa magnet Pc3 dapat digunakan untuk memonitor pertumbuhan arus cincin. Kata kunci: pulsa magnet Pc3,ULF, angin surya ABSTRACT Manifestations of interaction between solar wind and Earth's magnetosphere in general can be observed through the appearance of magnetic pulses. During the solar activity increase kinetic energy of the solar wind also increased. This indicated that plasma pressure of the solar wind varies more rapidly and have increased. As a result, the excitation of magnetic pulse Pc3 Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
174
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
will increase at day side. In this paper has been carried out data processing and analysis of magnetic pulses Pc3 related of geomagnetic storm during 1998-2000 using Biak data. The results indicated that super storms has associated with ULF amplitude greater than 2 nT and spectral coefficients () of Pc3 <-0.5, while for a intense storms has associated with ULF amplitude greater than 1 nT and spectral coefficients () of Pc3 <- 0.3. During moderate storms the magnetic pulse Pc3 observed in range periode 10-25 seconds and for intense and super storm in range periode 25-45 second. This indicates that the magnetic pulses Pc3 can be used to monitor the growth of the ring current. Keyword: magnetic Pulse Pc3, ULF, solar wind 1.
PENDAHULUAN Matahari adalah sistem dinamis yang merupakan faktor utama penggerak perubahan di
lingkungan antariksa. Badai magnet terjadi melalui proses persambungan (merging) antara medan magnet antar-planet (IMF, Interplanetary Magnetic Field) dengan medan magnet Bumi sehingga mengakibatkan terjadinya injeksi partikel bermuatan yang terbawa oleh angin surya ke dalam magnetosfer Bumi dan berkembang membentuk arus cincin. Selama peningkatan aktivitas di matahari maka terjadi peningkatan energi kinetik angin surya. Hal ini mengindikasikan bahwa tekanan plasma angin surya bervariasi lebih cepat dan mengalami peningkatan. Sebagai akibatnya terjadi eksitasi berbagai gelombang hidromagnetik diantaranya pulsa magnet Pc3. Selama berlangsungnya badai magnet terjadi peningkatan penetrasi medan listrik yang terbawa angin surya dalam arah radial ke dalam magnetosfer dan mengakibatkan terjadinya peningkatan kekuatan pulsa magnet Pc3 poloidal yang terdeteksi pada komponen H medan magnet permukaan Bumi. Terkait hal tersebut, dalam penelitian ini akan diselidiki sifat-sifat pulsa magnet Pc3 selama berlangsungnya badai magnet. Pulsa magnet Pc3 akan dibandingkan dengan gangguan medan magnet yang diturunkan dari variasi medan magnet terhadap pola variasi hari tenang. Analisis badai magnet menggunakan eksponen spektral pulsa magnet Pc3 (Musafar, 2009), akan tetapi dalam penelitian tersebut belum dianalisis lebih mendalam sifat-sifat eksponen spektral Pc3 selama badai magnet berlangsung. Nilai eksponen spektral pulsa magnet Pc3 dihitung pada seluruh pita frekuensi pulsa magnet Pc3 yaitu pada periode antara 10 - 45 detik. Oleh karena eksitasi pulsa magnet Pc3 selama tumbuhnya arus cincin terkait resonansi drift partikel dengan osilasi garis medan, maka analisis juga dilakukan pada pita frekuensi yang lebih sempit dari pulsa magnet Pc3 untuk mengetahui rentang frekuensi pulsa magnet Pc3 yang sensitif untuk memantau pertumbuhan arus cincin. Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
175
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
2. LANDASAN TEORI Pulsa magnet Pc3 merupakan osilasi gelombang hidromagnetik pada frekuensi gelombang ULF (Ultra Low Frequency) dengan periode 10 - 45 detik. Pembangkitan pulsa ini diyakini terjadi pada magnetopause dan menyebar sampai magnetosfer dan ionosfer sehingga bisa diamati menggunakan magnetometer landas Bumi. Berdasarkan bentuk gelombang dan periodenya, gelombang ULF diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu pulsa kontinu (Pc) yang bersifat kuasi-sinusoidal dan pulsa irregular (Pi) yang memiliki bentuk gelombang tidak teratur (Jacobs dkk., 1964). Melalui variasi spasial dan temporal yang diamati dari kejadian pulsa magnetik Pc3 memberikan bukti sangat penting yang dapat dihubungkan dengan mekanisme pembangkitan gelombang ULF, baik di bagian dalam maupun luar magnetosfer. Dari penelitian mengenai karakteristik spasial dan temporal pulsa magnetik Pc3 (Vallee dkk., 2007) diketahui bahwa medan magnet antar planet berhubungan erat dengan pulsa magnet Pc3. Meskipun terdapat berbagai jenis gelombang ULF sebagai akibat interaksi medan magnet ruang antar-planet dengan medan magnet Bumi, namun jenis pulsa magnet yang berkaitan dengan proses di lintang rendah adalah pulsa magnet Pi2 dan Pc3 (Yumoto, 1986). Pulsa magnet Pi2 berkaitan dengan dinamika magnetosfer Bumi di magnetotail yang berada pada sisi malam, sedangkan pulsa magnet Pc3 berkaitan dengan interaksi medan magnet Bumi dengan medan magnet antar-planet pada sisi siang (Villante dkk., 2003; Yumoto dan Saito, 1984). Dengan kata lain, pulsa magnet Pi2 berkaitan dengan substorm magnetosfer sedangkan Pc3 berkaitan dengan badai magnet. Untuk mendapatkan pulsa magnet Pc3 dari data variasi medan magnet Bumi digunakan Butterworth filter dan Hamming windowing (Musafar, 2009). Fungsi Butterworth filter dan Hamming windowing ditunjukkan dalam persamaan (2-1) dan 2-2). B( z) b(1) b(2) z 1 ... b(n 1) z n A( z) 1 a(2) z 1 ... a(n 1) z n
, ............................... (2 - 1)
k w k 1 0 , 54 0 , 46 cos 2 n 1
, ............................... (2 - 2)
H ( z)
3. DATA DAN METODOLOGI Dalam penelitian ini digunakan data hasil rekaman magnetometer stasiun pengamatan Biak (1,08S dan 136,05E atau L=1,05) rentang waktu 1998-2000. Magnetometer ini melakukan pengukuran terhadap tiga komponen variasi medan magnet Bumi; H (arah utara-selatan), D (arah timur-barat), Z (arah vertikal) dengan resolusi 1 detik dan merupakan salah satu magnetometer pada jaringan magnetometer global CPMN (Circum-pan Pacific Magnetometer Network). Penelitian ini diawali dengan identifikasi terhadap pulsa magnet Pc3 dan badai Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
176
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
geomagnet dilanjutkan dengan menghitung nilai eksponen spektral pulsa magnet Pc3 serta melakukan uji statistik hubungan antara nilai eksponen spektral dan amplitudo pulsa magnet Pc3 dengan kekuatan badai magnet. Untuk mempelajari sifat-sifat pulsa magnet Pc3, maka digunakan data komponen H medan magnet dengan anggapan bahwa gangguan angin surya terhadap medan magnet bumi bersifat dominan pada komponen tersebut. Parameter yang berkaitan dengan pulsa magnet Pc3 diekstrak setiap 20 menit secara berturutan. Dalam penelitian ini digunakan metode eksponen spektral untuk mendeteksi pemunculan dampak badai magnet terhadap hasil pengukuran medan magnet di wilayah Indonesia (stasiun Biak). Ekstraksi signal ULF dari data variasi medan magnet dilakukan menggunakan Butterworth filter dan Hamming windowing pada rentang frekuensi pulsa magnet Pc3 (0,1 - 0,2 Hz). Sedangkan perhitungan spektrum daya signal ULF digunakan metode FFT (Fast Fourier Transform). Selain data medan magnet digunakan pula data indeks Dst pada rentang waktu yang sama. Indeks Dst merepresentasikan pemunculan dan kekuatan badai magnet yang merupakan manifestasi dari pertumbuhan arus cincin di daerah lintang rendah dan ekuator magnet sebagai akibat interaksi angin surya dengan magnetosfer Bumi. Akan tetapi, dampak badai magnet di suatu daerah bergantung pada skala badai magnet tersebut. Badai kuat dengan durasi yang cukup panjang biasanya memiliki dampak global sedangkan badai dengan durasi pendek akan memberi dampak pada medan magnet untuk kawasan yang terbatas. 4. HASIL PEMBAHASAN Badai magnet sangat kuat diidentifikasi untuk Dst lebih kecil dari -150 nT. Dalam Gambar 4-1 ditunjukkan salah satu contoh kasus badai magnet sangat kuat pada bulan September tahun 1999. Panel (a) menunjukkan data indeks Dst, (b) variasi medan magnet komponen H yang yang terekam di stasiun Biak, (c) amplitudo gelombang ULF komponen H pada periode antara 10-600 detik, (d) nilai eksponen spektral untuk pulsa magnet Pc3. Untuk kasus badai magnet dengan skala sangat kuat yang diamati di Biak, gelombang ULF memiliki amplitudo lebih besar dari 2 nT dengan nilai eksponen spektral pulsa magnet Pc3 lebih kecil -0,5. Sedangkan untuk kasus badai dengan skala kuat memiliki amplitudo lebih besar dari 1,5 nT dengan nilai eksponen spektral pulsa magnet Pc3 lebih besar -0,5 dan lebih kecil dari -0,25 seperti ditujukan pada Gambar 4-2.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
177
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
(a)
(b)
(c)
(d)
day of month Gambar 4-1: Badai magnet bulan September 1999; (a) indeks Dst, (b) variasi medan magnet komponen H, (c) amplitudo gelombang ULF (10-600 detik) komponen H, (d) nilai eksponen spektral Pc3.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
178
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
(a)
(b)
(c)
(d)
day of month Gambar 4-2: Badai magnet bulan Oktober 1998; (a) indeks Dst, (b) variasi medan magnet komponen H, (c) amplitudo gelombang ULF (10-600 detik) komponen H, (d) nilai eksponen spektral Pc3.
Analisis gelombang ULF juga dilakukan untuk berbagai kelas badai magnet dalam rentang pulsa magnet Pc3 untuk tiap pita frekuensi yang lebih sempit, dipilih 10-15 detik, 1520 detik, 20-25 detik, 25-30 detik, 30-35 detik, 35-40 detik, dan 40-45 detik. Selama badai magnet skala lemah dan sedang, perubahan pulsa magnet Pc3 teramati pada periode 10-15 detik, 15-20 detik dan 20-25 detik. Sedangkan untuk badai magnet kelas kuat dan sangat kuat peningkatan kekuatan gelombang Pc3 teramati pada semua periode. Akan tetapi, peningkatan paling jelas teramati pada periode 25-45 detik. Hal ini terjadi dikarenakan pada periode lebih
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
179
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
rendah dari 25 detik peningkatan gelombang Pc3 tertutupi oleh variasi yang sifatnya transien sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4-4. Dari semua peristiwa badai yang teramati, terjadi peningkatan signifikan kekuatan gelombang Pc3 beberapa saat setelah fase awal badai magnet yaitu pada saat fase ekspansi badai. Secara fisis peningkatan ini terjadi akibat peningkatan partikel bermuatan yang terbawa angin surya memasuki magnetosfer. Dengan kata lain magnetopause mengalami kompresi ke arah dalam diikuti oleh pembangkitan gelombang magnetohidrodinamika dan menjalar melewati anisotropi partikel di magnetosfer. Pada saat fase tersebut kemudian arus cincin mengalami pertumbuhan dan bergerak secara radial ke arah luar di bidang ekuatorial dan menciptakan arus cross-tail (cross-tail current) yang mendorong plasmapause menuju arah lebih dekat ke Bumi bahkan menutupi lapisan plasmapause. Sedangkan, setelah akhir fase ekspansi dan selama fase pulih badai magnet terjadi penurunan tingkat kekuatan gelombang Pc3 secara gradual kembali ke level normal dan diikuti pengurangan secara gradual ion arus cincin. 100
0
Dst (nT)
-100
-200
-300
29/07
25/07
21/07
17/07
13/07
09/07
05/07
-500
01/07
-400
Gambar 4-3: Plot Indek Dst Juli 2000. Terindikasi kemunculan badai magnet dengan skala sangat kuat dengan amplitudo sekitar -300 nT pada tanggal 15 Juli 2000.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
180
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gelombang ULF dalam Rentang Frekuensi 10-45 detik
Gelombang ULF dalam Rentang Frekuensi 25-30 detik
2
a
2
e
1.8
1.8
1.6
1.6
1.4
1.4
1.2
1.2
1
1
0.8
0.8
0.6
0.6
0.4
0.4
0.2
0.2
0
01/07
05/07
09/07
13/07
17/07
21/07
25/07
0
29/07
01/07
05/07
Gelombang ULF dalam Rentang Frekuensi 10-15 detik
f
1.6
1.4
1.4
1.2
1.2
1
1
0.8
0.8
0.6
0.6
0.4
0.4
05/07
09/07
13/07
17/07
21/07
25/07
0
29/07
01/07
05/07
Gelombang ULF dalam Rentang Frekuensi 15-20 detik
09/07
13/07
17/07
21/07
25/07
29/07
25/07
29/07
25/07
29/07
Gelombang ULF dalam Rentang Frekuensi 35-40 detik
g
1.8
1.8
1.6
1.6
1.4
1.4
1.2
1.2
1
1
0.8
0.8
0.6
0.6
0.4
0.4 0.2
01/07
05/07
09/07
13/07
17/07
21/07
25/07
0
29/07
01/07
05/07
Gelombang ULF dalam Rentang Frekuensi 20-25 detik
09/07
13/07
17/07
21/07
Gelombang ULF dalam Rentang Frekuensi 40-45 detik
2
2
h
1.8
1.8
1.6
1.6
1.4
1.4
1.2
1.2
1
1
0.8
0.8
0.6
0.6
0.4
0.4
0.2 0
29/07
2
0.2
d
25/07
0.2
01/07
2
0
21/07
1.8
1.6
0.2
c
17/07
2
1.8
0
13/07
Gelombang ULF dalam Rentang Frekuensi 30-35 detik
2
b
09/07
0.2
01/07
05/07
09/07
13/07
17/07
21/07
25/07
29/07
0
01/07
05/07
09/07
13/07
17/07
21/07
Gambar 4-4: Pulsa magnet Pc3 untuk tiap pita frekuensi yang lebih sempit, (a) 10-45s, (b) 1015s, (c) 15-20s, (d) 20-25s, (e) 25-30s, (f) 30-35s, (g) 35-40, dan (h) 40-45s, untuk stasiun Biak, Juli 2000.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
181
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
5. KESIMPULAN Penelitian tentang pulsa magnet Pc3 yang berkaitan dengan kejadian badai geomagnet di lintang rendah, telah dilakukan menggunakan data pengamatan di stasiun Biak selama tahun 1998-2000. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa badai magnet dengan skala sangat kuat terkait dengan amplitudo ULF lebih besar dari 2 nT dengan koefisien spektral () Pc3 < -0,5. Sedangkan badai dengan skala kuat terkait dengan amplitudo ULF lebih besar dari 1 nT dengan koefisien spektral () Pc3 < -0,3. Dari hasil analisis gelombang ULF, pulsa magnet Pc3 yang sensitif untuk memantau pertumbuhan arus cicin adalah pulsa dengan periode 10-15 detik, 1520 detik dan 20-25 detik untuk kasus badai skala lemah dan sedang, sedangkan untuk badai skala kuat dan sangat kuat adalah pulsa dengan periode 25-45 detik. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Kiyohumi Yumoto sebagai peneliti utama dari proyek CPMN yang telah menginstal magnetometer di Biak, Indonesia. Terimakasih pula kepada Team World Data Center for Geomagnetism, Kyoto atas sharing data medan magnet. DAFTAR RUJUKAN Jacobs, J. A.; Y. Kato; S. Matsushita, and V. A. Troitskaya, 1964, ”Classification of geomagnetic micropulsations”, J. Geophys. Res., 69, 180. Musafar, L. M., 2009, ”Pc3 Magnetic Pulsations Observed Oleh Ground-Based Magnetometer At Biak”, Prosiding Seminar Nasional, Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Vallee, M.A., et.al, 2007, ”The Spatial and Temporal Characteristic of Pc3 Geomagnetic”, Pure Appl. Geophys164, 161–176. Villante, U; P. Francia .M. Vellante and P. Di Giuseppe, 2003, ”Some Aspect Of The Low Latitude Geomagnetic Response Under Different Solar Wind Conditions”, Space Sci. Rev., 107,207-217. Yumoto, K. And Saito, T., 1984, ”Reationship between the IMF Magnitude and Pc3 Magnetic Pulsations in the Magnetosphere”, J. Geophys. Res.,89, A11, 9731-9740. Yumoto, K., 1986, ”Generation And Propagation Mechanisms Of Low-Latitude Magnetic Pulsations”, A review, J. Geophys., 60, 79-105.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
182
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
ANALISIS SINTILASI IONOSFER MENGGUNAKAN GPS DAN IONOSONDA DI ATAS MANADO, PONTIANAK DAN KOTOTABANG (IONOSPHERIC SCINTILLATION ANALYSIS USING GPS AND IONOSONDE OVER MANADO, PONTIANAK AND KOTOTABANG) Sri Ekawati Pusat Sains Antariksa, Lembaga Penerbangan dan Antariksa. e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Sintilasi ionosfer, yaitu fluktuasi yang sangat cepat dari amplitudo dan fase sinyal satelit saat melalui ionosfer, dapat disebabkan oleh plasma bubble yang tumbuh dan bergerak ke atas sehingga mengakibatkan ketidakteraturan ionosfer. Indonesia terletak di daerah crest of equatorial ionization anomaly (EIA) dimana fenomena sintilasi paling intensif dan paling sering terjadi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Penelitian ini bertujuan menganalisis kemunculan sintilasi ionosfer dari daerah yang berbeda secara longitudinal menggunakan penerima GPS dan Ionosonda. Data yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari penerima GPS di Kototabang (0,20oLS;100,32oBT), Pontianak (0,03oLS;109,33oBT) dan Manado (1,48oLU; 124,85oBT) tanggal 10 April 2013. Data indeks S4 dari GPS semua PRN satelit diidentifikasi kemudian dikonfirmasi dengan ionogram semua stasiun pengamatan. Hasil analisis menunjukkan bahwa ketidakteraturan ionosfer terdeteksi baik oleh GPS maupun ionosonda di semua stasiun pengamatan. Sintilasi kuat (S4 > 0,5) yang terdeteksi GPS terdekteksi juga oleh ionosonda berupa spread-F pada ionogram. Hal ini menunjukkan gangguan ionosfer dapat berpengaruh pada daerah frekuensi yang cukup lebar yaitu dari High Frequency (HF), Very High Frequency (VHF) sampai Ultra High Frequency (UHF). Kata kunci: Sintilasi Ionosfer, Plasma Bubbles, GPS, Ionosonda, Indeks S4, Spread-F.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
183
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
ABSTRACT Ionospheric Scintillation that refers to the rapid fluctuation of the amplitude and phase of satellite signal passing through ionospheric plasma could be caused oleh the presence of plasma bubbles which grow and move upward, resulting ionospheric irregularities. Indonesia is placed in the crest of equatorial ionization anomaly (EIA) region where ionospheric scintillation is most intense and frequent than the others region. This paper aims to analyze the occurrence of ionospheric scintillation of different areas longitudinally using a GPS receiver and ionosonde. Data was obtained from the GPS receiver at the Kototabang (-0.20oS; 100.32oE), Pontianak (0.03oS; 109.33oE) and Manado station (1.48oN; 124.85oE) on 10 April 2013. S4 Index from all PRN GPS satellite was identified then confirmed oleh ionogram. The results shows the ionospheric irregularities detected either oleh GPS and ionosonde at all observation stations. Strong scintillation (S4>0.5) were detected oleh GPS will be detected oleh ionosonde as spreadF at ionogram. This shows ionospheric disturbances can affect a wide range frequency from High Frequency (HF), Very High Frequency (VHF) to Ultra High Frequency (UHF). Keywords: Sintilasi Ionosfer, Plasma Bubbles, GPS, Ionosonda, S4 Index, Spread-F.
1.
PENDAHULUAN Ionosfer bumi, yang berisi ion-ion, elektron-elektron dan partikel-partikel bermuatan,
dapat mengganggu propagasi gelombang radio. Salah satu fenomena ketidakteraturan ionosfer adalah munculnya plasma bubbles yang dapat menyebabkan gangguan pada propagasi sinyal komunikasi radio dengan spektrum frekuensi yang lebar yaitu dari High Frequency (HF), Very High Frequency (VHF) sampai Ultra High Frequency (UHF). Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kemunculan sintilasi ionosfer dari daerah yang berbeda secara longitudinal menggunakan penerima GPS dan Ionosonda. Adapun sasaran penelitian ini adalah diperoleh pemahaman gangguan sintilasi ionosfer yang dideteksi oleh dua alat yang berbeda baik secara teknologi maupun frekuensinya. 2.
TINJAUAN PUSTAKA Ionosfer merupakan lapisan plasma yang melingkupi bumi berisi elektron-elektron dan
ion-ion. Densitas elektron di ionosfer bervariasi terhadap ketinggian. Namun, densitas elektron maksimum berada di ketinggian 300 – 400 km di atas permukaan bumi sekitar 1012 elektron/m2 seperti yang ditunjukkan pada gambar 2-1. Penelitian ionosfer, lebih spesifik gangguan ionosfer, terus dikembangkan karena ionosfer merupakan penentu keberhasilan propagasi sinyal komunikasi satelit dan sistem navigasi berbasis satelit.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
184
ISBN: 978-979-1458-87-0
Ionosfer
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
merupakan
medium
dispersif,
yaitu
medium
penjalaran
gelombang
elektromagnetik yang kecepatan propagasinya dan indeks refraksinya sangat dipengaruhi frekuensi sinyal yang melalui ionosfer. Supaya sinyal satelit dapat menembus ionosfer, maka frekuensi sinyal satelit harus lebih tinggi dari frekuensi plasma ionosfer. Pada gambar 2-1, besarnya Ne maksimum adalah sekitar 106 elektron/cm-3 atau 1012 elektron/m-3 maka f p 8,9 1012 10 7
Hz. Oleh karena itu, mayoritas sinyal satelit menggunakan frekuensi dalam
orde GHz = 109 Hz. Pengukuran ionosfer dapat dilakukan dengan berbagai macam teknik, beberapa diantaranya yaitu pengukuran in-situ dengan roket, radar HF (ionosonda), radar MF, radar VLF, dan GPS. Namun pada penelitian ini, pengukuran gangguan ionosfer hanya menggunakan teknologi GPS dan ionosonda (radar HF).
Gambar 2-1: Profil densitas elektron (Ne) ionosfer terhadap ketinggian pada siang dan malam hari (Kelley,2009)
Penerima GPS dapat mendeteksi gangguan ketidakteraturan ionosfer dengan parameter indeks S4. Parameter tersebut diperoleh untuk mengukur aktivitas amplitudo sintilasi ionosfer. Sintilasi ionosfer merupakan fenomena di ionosfer yang menyebabkan sinyal satelit yang melaluinya berfluktuasi sangat cepat baik amplitudo maupun fasenya. Fenomena ini disebabkan oleh berfluktuasinya indeks bias ionosfer sehingga gelombang elektromagnetik yang melaluinya berfluktuasi dengan cepat baik amplitudo maupun fasenya (Ekawati, 2008). Khusus Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
185
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
di daerah ekuator dan lintang rendah geomagnet, sintilasi ionosfer terjadi setelah matahari terbenam yang diakibatkan oleh kemunculan plasma bubbles. Indeks S4 memiliki nilai dari 0,0 – 1,0 dengan kategori: sintilasi tenang (0 ≤ S4 ≤ 0,25), sedang (0,25 < S4 ≤ 0,5) dan kuat (0,5 < S4 ≤1) (Butcher,2005). Ionosonda merupakan alat pengukur ionosfer landas-bumi (ground-base) yang merupakan radar dengan menggunakan frekuensi HF (High Frequency). Prinsip kerja perangkat ionosonda adalah memancarkan sinyal radio pada rentang frekuensi 1 MHz - 22 MHz, arah vertikal dan menerima kembali pantulannya oleh ionosfer di atas lokasi. Jadi, dalam perangkat ionosonda terdapat dua bagian utama yaitu pemancar dan penerima. Pemancaran sinyal dilakukan secara berurutan dari frekuensi terendah hingga batas atas dari rentang frekuensi, dengan beda frekuensi dan jeda waktu tertentu. Output dari ionosonda adalah ionogram yang menggambarkan kondisi ionosfer. Salah satu fenomena gangguan ionosfer yang terlihat pada ionogram adalah spread-F. Penelitian yang menganalisis keterkaitan sintilasi dengan spread-F telah banyak dilakukan oleh peneliti ionosfer, diantaranya korelasi yang baik antara kejadian spread-F dengan sintilasi di Hainan, Cina (Wang et. al, 2009 ; Shi et. Al, 2011) dan di Tucumán, Argentina (Alfonsi et. al., 2013). Penelitian serupa di Indonesia telah dilakukan dengan menganalisis keterkaitan spread-F di Loka Pengamat Dirgantara (LPD) Sumeudang dengan sintilasi menggunakan data Rate of TEC Index (ROTI) dari GISTM Bandung (aEkawati et.al., 2013). Pada penelitian ini keterkaitan keduanya akan lebih dipertajam karena menggunakan metoda penelitian dan tiga stasiun pengamatan yang berbeda. 3. DATA DAN METODOLOGI Pada penelitian ini akan digunakan data dari tiga stasiun pengamatan yaitu stasiun Manado (1,48oLU; 124,85oBT), Pontianak (0,03oLS;109,33oBT) dan Kototabang (0,20oLS;100,32oBT). Data sintilasi kuat yang diperoleh dari penerima GPS kemudian dikonfirmasi dengan data kejadian spread-F yang diperoleh dari ionosonda. GPS dan Ionosonda merupakan alat yang berbeda baik dari segi teknologi maupun frekuensi yang digunakan namun objek yang diukur sama yaitu gangguan ionosfer. Data pengukuran sintilasi ionosfer diperoleh dari penerima GPS Ionospheric Scintillation and TEC Monitoring (GISTM) di atas Universitas Samratulangi, Tomohon, Manado (1.48o LU; 124.85o BT), Balai Pengamatan Dirgantara (BPD) Pontianak (-0.03o LS; 109.33o BT), serta Ionospheric Scintillation Monitoring (ISM) di Loka Pengamatan Atmosfer (LPA) Kototabang (0,20o LS;100,32o BT). ISM menghasilkan data indeks S4. Sedangkan GISTM GSV4004B
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
186
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
menghasilkan data indeks S4 total dan indeks S4 correction. Sehingga untuk memperoleh indeks S4 yang terkoreksi digunakan perhitungan sebagai berikut (Dubey,2006): 2 2 S 4 S 4 total S 4 correction ……………………………. (3.1)
Data yang dianalisis pada penelitian ini adalah fenomena ketidakteraturan ionosfer pada tanggal 10 April 2013. Tanggal ini dipilih karena pada penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kemunculan sintilasi tertinggi pada periode Maret-Mei 2013 terjadi pada tanggal tersebut (Ekawati dkk, 2013b). Data sintilasi ionosfer dari semua stasiun pengamatan diseleksi dengan kategori sintilasi sedang/moderate (0,25< S4 ≤ 0,5) dan kuat/strong (0,5 < S4 ≤ 1) dari semua PRN satelit. Kemudian data tersebut dikonfirmasi dengan data ionogram pada waktu yang sama untuk dikaitkan dengan kejadian spread-F. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 4-1 merupakan ilustrasi pengukuran indeks S4 oleh satelit GPS PRN 23 yang diterima di ketiga stasiun pengamatan. Jarak penerima ke satelit GNSS/GPS adalah sekitar 22.000 kilometer dan titik temu ionosfer di sekitar 350 kilometer. Gambar 4-2 adalah plot indeks S4 yang diperoleh dari titip potong ionosfer atau Ionospheric Pierce Point (IPP) line of sight satelit PRN 23 dengan receiver GPS di ketiga stasiun pengamatan terhadap wilayah regional Indonesia. Titik potong ionosfer atau IPP adalah titik perpotongan antara garis lurus, yang menghubungkan penerima ke satelit GNSS/GPS, dengan garis lurus dari titik pusat bumi ke titik ionosfer 350 km dari permukaan bumi. Dengan IPP tersebut, pemetaan pengukuran sintilasi ionosfer di atas permukaan bumi dapat dengan mudah dilakukan.
Gambar 4-1: Ilustrasi pengukuran sintilasi ionosfer dari satelit PRN 23 terhadap penerima GPS di LPA Kototabang, BPD Pontianak dan Universitas Samratulangi, Manado.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
187
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-2 dapat disebut juga peta sintilasi ionosfer dari satelit PRN 23. Warna hijau menunjukkan 0 S4≤ 0,25 (sintilasi lemah), warna kuning menunjukkan 0,25 < S4 ≤ 0,5 (sintilasi sedang) dan warna merah menunjukkan 0,5 < S4 ≤ 1 (sintilasi kuat). Sintilasi ionosfer kuat (S4>0,5) sering terjadi pada daerah di sekitar ekuator bergerak kearah barat daya, yaitu di bawah ketiga stasiun pengamatan. Hal ini dapat memperjelas dimana tepatnya daerah anomali ionosfer. Selanjutnya akan dibandingkan pengukuran ionosfer yang diperoleh dari penerima GPS (bekerja pada frekuensi orde GHz) dengan ionosonda (bekerja pada frekuensi orde MHz). Gambar 4-3 adalah pengukuran sintilasi ionosfer oleh 32 satelit GPS. Warna merah adalah sintilasi ionosfer kuat dengan indeks S4>0,5 yang menunjukkan gangguan turbulensi ionosfer karena kemunculan plasma bubbles. Pada tanggal 10 April 2013, gangguan ionosfer terjadi mulai pukul 11:30 UT. Kemudian dibandingkan dengan ionogram yang ditunjukkan Gambar 4-4. Pada ionogram di stasiun yang sama, terjadi gangguan berupa Spread-F pada waktu yang sama, yaitu mulai pukul 11:30 UT.
Gambar 4-2: Pengukuran indeks S4 di atas Indonesia dari PRN 23 dengan warna menunjukkan aktivitas sintilasi.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
188
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Untuk analisis yang lebih dalam, metode yang sama dilakukan dari stasiun yang lain yang ditunjukkan oleh Gambar 4-5 dan Gambar 4-6 untuk BPD Pontianak dan oleh Gambar.47 dan Gambar 4-8 untuk LPA Kototabang. Gangguan sintilasi ionosfer di atas Pontianak terjadi mulai pukul 12:30 UT. Sedangkan ionogram pada Gambar 4-6 tidak dapat menunjukkan gangguan spread-F diduga karena keterbatasan alat untuk mendeteksi gangguan sintilasi ionosfer. Untuk gangguan sintilasi ionosfer di atas Kototabang dapat terdeteksi dengan baik oleh penerima GPS maupun ionosonda. Gambar 4-7 menunjukkan kemunculan sintilasi kuat (S4>0,5) di LPA Kototabang yang terjadi pada pukul 14:00 UT. Hal ini diperkuat dengan terjadinya spread-F pada waktu yang sama yang ditunjukkan Gambar 4-8.
Gambar 4-3 : Aktivitas sintilasi ionosfer di atas Manado yang ditunjukkan oleh semua PRN satelit GPS
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
189
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
10:00 UT
11:00 UT
11:15 UT
11:40 UT
13:00 UT
15:45 UT
Gambar 4-4: Ionogram dari ionosonda di Univ. Samratulangi, Manado menunjukkan SpreadF pada saat aktivitas sintilasi ionosfer kuat.
Gambar 4-5: Aktivitas sintilasi ionosfer di atas Pontianak yang ditunjukkan oleh semua PRN satelit GPS
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
190
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
11:00 UT
12:00 UT
13:00 UT
14:00 UT
15:00 UT
16:00 UT
Gambar 4-6: Ionogram dari ionosonda di BPD Pontianak menunjukkan Spread-F bahkan seperti fenomena absorpsi pada saat aktivitas sintilasi ionosfer kuat.
Gambar 4-7: Aktivitas sintilasi ionosfer di atas Pontianak yang ditunjukkan oleh semua PRN satelit GPS
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
191
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
12:3 5 UT
12:55 UT
13:15 UT
13:3 5 UT
13:55 UT
14:15 UT
Gambar 4-8: Ionogram dari ionosonda di LPA Pontianak menunjukkan Spread-F pada saat aktivitas sintilasi ionosfer kuat.
5. KESIMPULAN Ketidakteraturan ionosfer terdeteksi baik oleh GPS maupun ionosonda di semua stasiun pengamatan di atas seluruh wilayah Indonesia. Dengan teknik IPP, gangguan sintilasi ionosfer kuat terjadi di bagian selatan dari ketiga stasiun pengamatan. Sintilasi kuat (S4>0,5) yang terdeteksi oleh alat GPS terdekteksi juga pada ionogram dari alat ionosonda berupa spread-F. Hal ini menunjukkan gangguan ionosfer dapat berpengaruh pada daerah frekuensi yang cukup lebar yaitu dari High Frequency (HF), Very High Frequency (VHF) sampai Ultra High Frequency (UHF). UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua tim bank data (tim scalling) bidang ionosfer dan telekomunikasi, staff balai pengamatan Pontianak dan Manado yang telah membantu menyediakan data GISTM. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada P. Abadi dan Dr. Y. Otsuka, Nagoya University, Jepang yang telah menyediakan data Kototabang. DAFTAR RUJUKAN Butcher, N., 2005, “Daily Ionospheric Forecasting Service (DIFS) III”, Annales of Geophysicae,23:3591-3598. Dubey, S., R. Wahi, and A. K. Gwal, 2006, “Ionospheric effects on GPS positioning”, Adv. Space Res., 38(11), 2478–2484, doi:10.1016/j.asr.2005.07.030.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
192
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Ekawati, S., Asnawi, and Jiyo, 2013a, “Ionospheric Scintillation at the Anomaly Crest Region over Indonesia and It’s relationship with Spread-F”, Proceeding of the International BSS2013, Bath, UK. Ekawati, S., W. Srigutomo, dan Jiyo, 2013b, “Analisis Kemunculan Sintilasi Ionosfer di atas Pontianak dan Manado”, Prosiding Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa. Ekawati, S., Effendy, dan A. Kurniawan, 2008, “Sintilasi Ionosfer Ekuator Indonesia Berbasis GPS”, Prosiding Seminar Nasional Fisika 2008. ISBN: 978-979-98010-3-6. 2008. Kelley, M. C., 1989, “The Earth’s Ionosphere-Plasma Physics and Electrodynamics”, Academic Press, USA. Shi, J. K., G.J. Wang, B.W. Reinisch, S.P. Shang, X. Wang, G. Zherebotsov, and A. Potekhin, 2011, “Relationship between Strong Range Spread-F and Ionospheric Scintillation Observed in Hainan from 2003 to 2007”, Journal of Geophysical research, Vol. 116, A08306, doi:10.1029/2011JA16806. Wang, G. J., J. K. Shi, S-P. Shang, X. Wang, 2009, “Correlations between Strong Range Spread-F and GPS L-band Scintillations Observed in Hainan in 2004”, Chin. Phys. Lett. Vol. 26, No.1 (2009) 019401.
TANYA-JAWAB 1. Varuliantor Dear, M.T: Apa yang dimaksud absorpsi/tidak terlihat ada pengamatan pada ionogram pada saat terjadi sintilasi ionosfer? Mohon dijelaskan! Jawab: ionogram dari stasiun BPD Pontianak terlihat seperti fenomena absorpsi (ionogram tidak menerima kembali gelombang yang dipancarkan), padahal ionogram dari LPA Kototabang dan Manado menunjukkan spread-F. 2. Jiyo, M.Si: Dalam jangka waktu berapa lama terjadi spreaf-F pada ionogram? Apakah terjadi di semua stasiun pengamatan? Jawab: Dari 13:10 – 14:25 UT atau sekitar satu jam di atas LPA Kototabang, Dari 19:00 – 23:45 LT atau sekitar 5 jam 45 menit di atas Manado dan seperti absorpsi dari 13:00 – 16:00 UT atau sekitar 3 jam di atas BPD Pontianak. Saran: perlu diperhatikan kembali kemampuan alat ionosonda dalam mendeteksi gangguan ionosfer. 3. Prof. Gamantyo (ITS): Apa inti dari penelitian ini? Mohon dijelaskan! Jawab: Inti dari penelitian ini adalah mengetahui gangguan ionosfer sebagai objek penelitian dengan alat yang berbeda yaitu space based (GPS) dan ground base (ionosonda). Selain itu menggunakan frekuensi yang berbeda, GPS menggunakan Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
193
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
frekuensi UHF (1-2 GHz) sedangkan ionosonda menggunakan frekuensi HF (3 – 30 MHz). Hasilnya, semua alat tersebut mendeteksi adanya gangguan di ionosfer.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
194
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
PENGAMATAN BURST RADIO MATAHARI DENGAN SPEKTROMETER CALLISTO DI INDONESIA: HASIL SUKSES PERTAMA (OBSERVATION OF SOLAR RADIO BURST USING CALLISTO SPECTROMETER IN INDONESIA: FIRST SUCCESSFUL RESULT) Timbul Manik dan Peberlin Sitompul Pusat Sains Antariksa, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Spektrometer CALLISTO, peralatan pengamatan emisi radio matahari yang murah, sederhana dan dapat dipindahkan dengan mudah, telah diuji-cobakan di stasiun Sumedang sejak bulan Juli 2014. Spektrometer CALLISTO Lapan Sumedang telah berhasil mendeteksi burst radio matahari pada 5 November 2014 mulai pukul 09:43 UT. Radio burst matahari ini juga terdeteksi di beberapa stasiun CALLISTO yang termasuk dalam jaringan e-CALLISTO global. Burst radio burst ini merupakan burst tipe II kategori sedang. Perbandingan dengan data flux sinar-x dari GOES, Solar Weather Prediction Center (SWPC) NOAA menunjukkan bahwa burst radio ini merupakan kejadian flare type M7.9 terjadi akibat aktivitas matahari pada region 12205. Hasil ini menunjukkan bahwa peralatan CALLISTO Lapan yang diberi kode TRMC59LPN telah berfungsi dengan baik, dan dapat dioperasikan untuk pengamatan cuaca antariksa, khususnya emisi radio matahari. Pada makalah ini disampaikan konfigurasi sistem pengamatan CALLISTO, hasil sukses pertama yang diperoleh CALLISTO dari hasil pengembangan sendiri, serta beberapa hasil pengamatan dari stasiun lain. Kata Kunci: CALLISTO, burst radio, hasil sukses pertama ABSTRACT A CALLISTO spectrometer, an inexpensive, simple and moveable solar radio emission observation equipment was under tested in Sumedang station since July 2014. Lapan CALLISTO Spectrometer at Sumedang has been successfully detected solar radio burst on November 5th, 2014 starting at 09:43 UT. Solar radio burst was also detected in some CALLISTO stations included in the network of global e-CALLISTO. Radio burst is a burst
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
195
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
type II medium category. Compare with the data of x-ray flux from GOES Solar Weather Prediction Center (SWPC) NOAA, the radio burst corresponds to solar flare event the type M7.9 as a result of solar activity in the region of 12205. These result indicates that the equipment Lapan CALLISTO, codename TRMC59LPN has been worked good, and able to operate for space weather observation, in particular solar radio emission. This paper presents CALLISTO observation system, the first successful result obtained from the CALLISTO, as well as some observation results from other stations. Keywords: CALLSITO, radio burst, first successful results. 1.
PENDAHULUAN Matahari mengeluarkan dua jenis emisi yang berpengaruh terhadap bumi dan antariksa,
yaitu emisi massa dalam bentuk angin surya, CME (Coronal Mass Ejection) dan partikel bermuatan; dan emisi elektromagnetik dalam bentuk flare dan radiasi matahari yang mempengaruhi ionosfer dan atmosfer bumi (Gopalswamy, 2009). Fenomena CME dan flare yang sangat erat berkaitan dengan cuaca antariksa ini umumnya mengiringi kejadian emisi radio matahari dalam bentuk burst radio matahari. (Hamidi, 2014). Spektrometer CALLISTO, peralatan pengamatan burst radio matahari yang murah, sederhana dan dapat dipindahkan dengan mudah, diuji-cobakan di Stasiun Lapan Sumedang Jawa Barat (6,91o LS, 107,84o BT) sejak bulan Juli 2014. CALLISTO direncanakan akan dipasang dan dioperasikan di Biak Papua sebagai bagian dari rencana jangka panjang pembangunan jaringan pengamatan CALLISTO di Indonesia untuk mewujudkan waktu pengamatan matahari selama 14 jam atau sekitar 60 % dari waktu pengamatan global. (Manik dkk., 2014b) Dalam tahap pengujian yang dilakukan, CALLISTO dioperasikan berdasarkan observation scheduler (pengaturan jadwal pengamatan) yang ditentukan selama 12 jam pengamatan, selama kurang lebih 4 bulan. Berbagai hal telah dilakukan terkait perangkat keras maupun perangkat lunak untuk mendapatkan pengamatan emisi radio matahari yang baik. Dalam periode pengujian tersebut, pada 5 November 2014 CALLISTO Lapan Sumedang yang diberi kode TRMC59LPN berhasil mendeteksi burst radio matahari yang cukup baik dan jelas. Dalam penelitian ini, disampaikan konfigurasi sistem dan metoda pengamatan menggunakan CALLISTO yang dilakukan, keberhasilan pertama mendeteksi burst radio matahari yang jelas. Hasil yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan data dari NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) untuk mengetahui aktivitas matahari yang terjadi.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
196
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
2. KONFIGURASI SISTEM SPEKTROMETER CALLISTO Konfigurasi sistem Spektrometer CALLISTO untuk mengamati emisi radio matahari terdiri dari antena luar, low noise amplifier (LNA), modul Callisto, kabel dengan rugi-rugi yang rendah, komputer kontrol dan pemrosesan, dan perangkat lunak. Lightning Arrester (LA) digunakan untuk melindungi modul CALLISTO dari sambaran petir. Blok diagram Spektrometer CALLISTO pada pengujian di Sumedang adalah seperti pada Gambar 2-1. Gain = 80, 100…, 150
Gambar 2-1: Blok diagram pengujian Spektrometer CALLISTO di lokasi Sumedang (Manik dkk., 2014b)
Antena yang digunakan adalah CLP5130-1N, antena log periodic dengan gain yang tinggi 10 sampai 12 dBi dan VSWR antena 2:1, atau lebih rendah. Antena dirancang untuk digunakan pada stasiun terpolarisasi horizontal, tetapi dapat juga digunakan pada polarisasi vertikal dengan bantuan adaptor. Antena CLP5130 dapat dikombinasikan dengan motor untuk menggerakkannya. Antena dapat digunakan pada band amatir 50-1300 MHz dan juga digunakan pada beberapa frekuensi lain. Elemen antena menggunakan aluminium dengan panjang antena 2 meter dan lebar maksimum 3 meter. Penyambungan kabel menggunakan konektor Type N. (Creative Design Corp., 1994) LNA yang digunakan dalam perencaan ini adalah adalah ZFL-500LN+, dengan gain 24 dB pada tegangan 12 volt. Pre-amplifier ini memiliki tingkat kestabilan yang tinggi pada rentang frekuensi yang luas, VSWR 1,5:1 dan noise figure yang rendah 2,9 dB. Modul CALLISTO merupakan jantung dari sistem pengukuran ini. Penggunaan CALLISTO terutama adalah untuk pengamatan burst radio matahari dan juga untuk pengamatan interferensi radio untuk sains dan pendidikan astronomi. Bekerja pada frekuensi antara 45 – 870 MHz dengan resolusi frekuensi 62,5 KHz. Timing CALLISTO dikontrol dengan GPS clock, sehingga pengaturan waktunya sangat akurat hingga < 1 mili detik. GPS clock ini dapat mengatasi perubahan waktu sekitar beberapa milidetik yang disebabkan faktor Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
197
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
perlambatan internal. Data yang diperoleh dari CALLISTO adalah FITS-files dengan mencapai 400 frekuensi per sweep. Data ditransfer melalui kabel RS-232 ke komputer. Subroutine untuk operasional dibangun dengan menggunakan software IDL dan Phyton. CALLISTO dapat digunakan secara terus menerus untuk mengamati spektrum radio 24 jam/hari sepanjang tahun, dengan 13.200 kanal/spektrum. (Benz et al., 2005) Antena terhubung ke spektrometer CALLISTO dengan kabel koaksial jenis 5D-FB yang mempunyai rugi-rugi sangat rendah dan sangat fleksibel. Panjang kabel adalah 25 m, sehingga redaman kabel adalah 1,375; 3,025; dan 4,675 dB masing-masing pada frekuensi kerja 100, 400, dan 900 MHz. Spektrometer CALLISTO yang dibangun di LAPAN diberi nama TRMC59LPN, yang berarti Teleskop Radio Matahari (TRM), C59 adalah kode atau seri CALLISTO yang digunakan, eC59, dan LPN singkatan dari LAPAN. (Manik dkk., 2014a) Perangkat lunak sistem CALLISTO menggunakan CALLISTO-V117 yang dibuat oleh oleh ETH Zurich. Semua perangkat lunak dapat dijalankan pada Sistem Operasi Windows XP maupun Windows 7. 3.
METODE PENELITIAN Pengamatan emisi radio matahari dengan CALLISTO menggunakan antena log periodic
CLP5130-1N 21 elemen, statis yang diarahkan ke atas (ke zenith), dipasang di lapangan berjarak 10 m dari ruangan kontrol di Stasiun LAPAN Sumedang Jawa Barat (6,91o LS, 107,84o BT). Antena log periodic ini mampu menerima sinyal pada rentang frekuensi 45 – 870 MHz. Antena dihubungkan menggunakan kabel rendah rugi-rugi dari jenis RG-13 dengan panjang 3 m ke LNA. LNA digunakan untuk memperkuat sinyal yang diterima sebelum diteruskan ke modul CALLISTO menggunakan kabel yang kabel dengan rugi-rugi yang lebih rendah dari jenis 5D-FB, dengan panjang 25 meter. Komputer yang digunakan untuk kontrol dan pemrosesan data adalah komputer biasa yang terkoneksi dengan internet, dan tidak memerlukan spesifikasi khusus. Data yang diterima setiap 15 menit disimpan dalam bentuk file FITS (Flexible Image Transport System), yang merupakan penerimaan data dalam bentuk frekuensi sebagai fungsi waktu. Berdasarkan pengukuran intereferensi yang dilakukan sebelumnya, maka penerimaan data dibatasi dengan mengeliminasikan interferensi frekuensi yang dominan yaitu sinyal radio FM (rentang 80-120 MHz) dan sinyal DVB-T (Digital Video Broadcasting-Terrestrial) pada rentang frekuensi 500800 MHz, sehingga yang dipilih adalah data pada frekuensi 45-80 MHz, 120-500 MHz, dan 800-870 MHz. Pada tahap uji coba di Sumedang ini, data belum dimasukkan ke jaringan eCALLISTO global. Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
198
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Untuk keperluan analisis data, pada tahap awal file FITS perlu diproses untuk mendapatkan gambar yang dapat menunjukkan adanya aktivitas matahari. Untuk itu, pemrosesan data dilakukan dengan RAPP Viewer. Gambaran kejadian aktivitas matahari kemudian dibandingkan dengan data flux sinar-x yang dihasilkan satelit GOES dari Space Weather Prediction Center (SWPC) NOAA. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Sejak dipasang dan diuji di Stasiun Sumedang dari bulan Juli 2014 atau kurang lebih sekitar 4 bulan, berbagai upaya telah dilakukan baik di sisi pengembangan pada perangkat keras maupun pada perangkat lunak untuk mendapatkan hasil pengamatan emisi radio matahari yang baik dan jelas. Diskusi-diskusi sering dilakukan, termasuk juga diskusi dengan komunikasi pribadi dengan mentor CALLISTO di ETH Zurich, Swiss. Pengukuran interferensi, pengujian dan pengaturan sensitivitas, menyetel, mengatur dan menjadwal metoda pengamatan sudah dilakukan. Hasil-hasil pengukuran interferensi dan penerimaan sinyal yang lemah juga telah dilaporkan. (Manik dkk., 2014a, Manik dkk., 2014b) Pada 5 November 2014, sekitar pukul 09:40 UT hingga 09:50 UT, CALLISTO Sumedang mendeteksi dan menerima burst radio matahari yang jelas. Penerimaan ini kemudian dikuatkan dengan pemberitahuan dari mentor CALLISTO melalui jaringan komunikasi CALLISTO bahwa sinyal burst radio juga diterima di beberapa stasiun CALLISTO pada jaringan eCALLISTO, antara lain Trieste Italia, Mauritania, Almaty Kazakhstan, KARI Korea, Ooty India, Birr Castle Irlandia, Rwanda, dan lain-lain. Data burst radio yang jelas mulai diterima di stasiun Sumedang pada pukul 09:43 UT. Secara otomatis data akan disimpan setiap 15 menit, sehingga data tersimpan pada dua file FITS yang terpisah, yaitu periode I (09:30-09:45 UT), dan periode II (09:45-10:00 UT). Hasil pemrosesan data awal menggunakan RAPP Viewer masing-masing untuk data pada periode I, periode II dan gabungan kedua data yang dilakukan secara manual ditunjukkan pada Gambar 4-1(a), 4-1(b) dan 4-1(c).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
199
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
[a]
[b]
[c] Gambar 4-1: Hasil pemrosesan data awal menggunakan RAPP Viewer masing-masing untuk data pada periode I, periode II dan gabungan kedua data secara manual. Sumbu vertikal adalah frekuensi dari tinggi ke rendah, sedangkan sumbu mendatar adalah waktu.
Tabel 4-1: NOAA EVENT REPORT (http://www.swpc.noaa.gov/) 8440 0926 0947 0955 G15 5 XRA 1-8A M7.9 5.2E-02 2205 8440 + 0940 0944 0949 SVI G RBR 4995 680 CastelliU 2205 8440 + 0940 0941 0950 SVI G RBR 8800 1100 CastelliU 2205 8440 + 0940 0942 0951 SVI G RBR 15400 1300 CastelliU 2205 8440 + 0940 0941 0947 SVI G RBR 2695 240 CastelliU 2205 8440 + 0941 0941 0946 SVI G RBR 1415 140 CastelliU 2205 8440 + 0943 0946 0946 SVI G RBR 245 8900 CastelliU 2205 8440 0943 0943 0943 SVI G RBR 410 430 CastelliU 2205 8440 + 0943 //// 1002 LEA C RSP 034-180 II/2 639 2205 8440 + B0948 U0950 A1033 SVI 3 FLA N20E68 1N ERU 2205 Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
200
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Hasil ini diperjelas dengan data laporan kejadian oleh NOAA (NOAA Event Report) seperti ditunjukkan pada irisan tabel seperti ditunjukkan pada Tabel 4-1. Burst radio juga dilaporkan diterima oleh Solar Radio Spectograph di Learmoth Australia pada frekuensi kerja 25-180 MHz, jenis RSP = Sweep-frequency radio burst, mulai diterima pada 09:43 UT dan berakhir pada 10:02 UT, sedangkan waktu mencapai maksimun tidak tercatat. Burst radio yang dideteksi ini merupakan burst tipe II, kategori sedang/medium, dengan kecepatan kejut (shock speed) 639 km/jam. Aktivitas matahari terjadi pada region 12205, daerah Timur Laut (NE) matahari (http://www.solarmonitor.org). Penerimaan radio emisi matahari pada 5 November 2014 dari Solar Radio Spectograph Learmonth Australia ditunjukkan pada Gambar 4-2 [a], sedangkan Gambar 4-2. [b] adalah perbesaran penerimaan burst radio matahari pada waktu yang sama dengan penerimaan CALLISTO LAPAN Sumedang.
[a]
[b]
Gambar 4-2: Penerimaan radio emisi matahari pada 5 November 2014 dari Solar Radio Spectograph Learmonth Australia [a] dan perbesarannya [b]. (www.ips.gov.au) Sumbu vertikal adalah frekuensi dari rendah ke tinggi, dan sumbu mendatar adalah waktu.
Analisis lanjutan dilakukan menggunakan software SSW-IDL (Monstein, 2014) untuk menggabungkan data periode I dan periode II serta menghilangkan latar belakang ditunjukkan pada Gambar 4-3. Frekuensi penerimaan CALLISTO Sumedang dipilih adalah 45-80 MHz, 120-500 MHz, dan 800-870 MHz sesuai dengan hasil pengukuran interferensi di lokasi pengamatan. Fakta pengamatan ditemukan bahwa tingkat interferensi frekuensi di bawah 180 MHz sangat tinggi mengakibatkan penerimaan hampir seluruhnya tertutup oleh interferensi radio. Gambar 4-4. menunjukkan data yang diperoleh dengan mengeliminasikan interferensi dan memilih hanya pada frekuensi 185-400 MHz. Terlihat hasil pengamatan yang jauh lebih Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
201
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
baik. Hal ini menunjukkan bahwa untuk Stasiun Sumedang, pengamatan radio matahari menggunakan CALLISTO pada frekuensi FM (80-110 MHz), dan frekuensi dari 110 hingga sekitar 185 MHz tidak disarankankan untuk dilakukan mengingat interferensi radio yang sangat tinggi. Frekuensi yang disarankan adalah frekuensi 45-80 MHz, dan 185-400 MHz. untuk menghindari penerimaan data pada interferensi yang tinggi yang berhimpitan dengan data radio matahari.
Gambar 4-3: Hasil analisis data CALLISTO lanjutan, termasuk interferensi pada frekuensi di bawah 185 MHz.
Gambar 4-4: Hasil analisis data CALLISTO lanjutan, sudah mengeliminasikan interferensi pada frekuensi di bawah 185 MHz.
Gambar 4-5: Data flux sinar-x dari GOES-NOAA. http://www.swpc.noaa.gov/ Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
202
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Dari perbandingan dengan data flux sinar-x dari data satelit GOES-NOAA (Gambar 4-5) pada tanggal yang sama menunjukkan bahwa aktivitas matahari yang terjadi adalah kejadian flare tipe M7.9. terjadi antara pukul 09:00–12:00 UT.
Bleien Germany
HB9SCT, Swiss
Birr Castle Ireland
Mauritius
Angkasa, Malaysia
Ooty India
Humain, Belgium
Trieste Italy
Gambar 4-6: Hasil pengamatan di stasiun lain dalam jaringan e-CALLISTO global yang juga mendeteksi emisi radio matahari pada 5 November 2014. (e-CALLISTO, 2014)
Penerimaan burst radio juga dilaporkan dari beberapa stasiun CALLISTO lainnya seperti: Bleien, Germany, Ireland, Glasgow/UK, Mauritius, India, Rwanda, Kazakhstan, Belgium, Slovakia, Finland, Malaysia, Spain, Italy dan Crimea, juga Czech, dan Mongolia. Beberapa Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
203
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
hasil penerimaan burst radio matahari untuk stasiun lainnya yang diperoleh dari basis data jaringan e-CALLISTO global diperlihatkan pada Gambar 4-6. (e-CALLISTO, 2014). Seluruh stasiun pada jaringan e-CALLISTO mendeteksi burst pada waktu yang bersamaan dengan penerimaan pada CALLISTO LAPAN Sumedang. Perbedaan sensitivitas penerimaan burst radio sangat tergantung pada kondisi pada masing-masing stasiun CALLISTO. 5. KESIMPULAN Spektrometer CALLISTO Lapan telah berhasil mendeteksi burst radio matahari selama tahap pengujian di stasiun Sumedang Jawa Barat pada 5 November 2014 sebagai hasil sukses pertama penerimaan emisi radio matahari di Indonesia. Hasil ini menunjukkan bahwa CALLISTO Sumedang sudah dapat dioperasikan untuk pengamatan emisi radio matahari secara kontinu. Setelah dioperasikan secara tetap, CALLISTO Sumedang diharapkan dapat saling melengkapi dengan radio spektrograf yang telah dioperasikan di stasiun Sumedang sebelumnya. Burst radio yang dideteksi dengan CALLISTO Sumedang merupakan burst tipe II, dengan kategori sedang/medium. Perbandingan hasil yang diperoleh dengan data flux sinar-x dari GOES-NOAA menunjukkan bahwa burst radio ini terkait dengan kejadian flare tipe M7.9 yang terjadi pada region 12205. Penerimaan burst pada CALLISTO LAPAN Sumedang bersamaan dengan stasiun-stasiun lain pada jaringan e-CALLISTO. Pemilihan frekuensi penerimaan data yang disarankan untuk CALLISTO Sumedang adalah rentang frekuensi 45-80 MHz, dan 185-400 MHz. untuk menghindari penerimaan data dari interferensi radio yang tinggi. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan di Stasiun Sumedang atas bantuan dan dukungannya dalam instalasi peralatan dan dalam pengujian ini. Kegiatan ini merupakan bagian dari program penelitan Pusat Sains Antariksa tahun 2014 dan dibiayai oleh DIPA Pusat Sains Antariksa LAPAN. DAFTAR RUJUKAN Benz, A. O., C. Monstein, H. Meyer, 2005, ”CALLISTO - A New Concept for Solar Radio Spectrometers”, Solar Physics (2005) 226: 143-151, Springer. Creative Design Corp.,1994, ”V.UHV Log Periodic Antenna Assembly Manual”, Document number 871-920-21, Creative Design Corporation. Gopalswamy, N., 2009, ”Coronal Mass Ejection and Space Weather”, CAWSES, Selected Papers from 2007 Kyoto Symposium, edited oleh T. Tsuda et al., Terrapub, Tokyo. Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
204
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Hamidi, Z.S., N.N.M. Shariff, and C. Monstein, 2014, ”Comparison of the Radio Frequency Interferesnse (RFI) in the Region of Solar Burst Type III Data at Selected CALLISTO Network”, International Letters of Chemistry, Physics and Astronomy, 10 (2014) 3845, ISSN 2299-3843. Manik, T., P. Sitompul, dan D. U. Prabowo, 2014a, ”Development of Space Weather Observation System in Radio-Frequency-Based using CALLISTO”, Proceedings of the Third ICRAMET 2014, ISSN 1979-2921. Manik, T., P. Sitompul, Y. Robiana, 2014b, ”Peran Pengamatan Emisi Radio Matahari Dengan Callisto Di Indonesia Terhadap Jaringan E-Callisto Global dan Pengukuran Interferensi Radio”, telah dipresentasikan pada Seminar Nasional Siptekgan 2014, dalam proses penerbitan. Anonim, “e-Callisto, International Network of Solar Radio Spectrometers”, http://ecallisto.org/, diakses Oktober 2014. Anonim, “Solar Weather Prediction Center (SWPC) NOAA”, http://www.swpc.noaa.gov/, diakses November 2014. Anonim, “Solar Monitor”, http://www.solarmonitor.org, diakses 15 November 2014. Monstein, C., ”Komunikasi pribadi melalui e-mail”, November 2014. Anonim, “Solar Radio Spectrograph”, Learmonth Australia, www.ips.gov.au, diakses November 2014.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
205
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
PERBANDINGAN METODE ADAPTIVE SMOOTHING METHOD DAN FINNISH METEOROLOGICAL INSTITUTE UNTUK MENENTUKAN INDEKS K DI STASIUN GEOFISIKA TUNTUNGAN (COMPARISON OF ADAPTIVE SMOOTHING METHOD AND FINNISH METEOROLOGICAL INSTITUTE METHOD ON DERIVING K-INDICES AT TUNTUNGAN GEOPHYSICAL STATION) Yosi Setiawan1), I Gusti Ketut Satria Bunaga2) 1) 2)
Stasiun Geofisika Tuntungan, BMKG, Medan
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta email:
[email protected]
ABSTRAK Peningkatan instrumen dari analog variograph La Cour ke digital variograph LEMI-018 mengubah cara untuk mendapatkan nilai indeks K. Ada beberapa metode dalam menghitung indeks K dari data magnet digital, antara lain metode ASm dan FMI. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan metode yang lebih baik dalam menghitung indeks K di Stasiun Geofisika Tuntungan dengan cara membandingkannya dengan indeks K hasil pengukuran manual. Dengan menggunakan data bulan Januari sampai September 2010 tanpa bulan Juli, didapatkan hasil: distribusi indeks K pada metode FMI selalu lebih tinggi atau sama dengan metode ASm kecuali pada nilai K=0 dengan jumlah perbedaan sebesar 30,8%, secara keseluruhan metode FMI lebih baik dibandingkan metode ASm, namun metode FMI kurang baik dalam menghitung nilai indeks K pada kondisi tenang. Kata kunci: Geomagnetisme, Indeks K, Metode ASm, Metode FMI ABSTRACT Instrument upgrading from La Cour analog variograph to LEMI-018 digital variograph change the way to derive K-indices. There are many methods in calculating K-indices from digital magnetic data, such as ASm and FMI. This study is done to determine the better method in deriving K-indices at Tuntungan geophysical station oleh comparing with hand scaled Kindices. Using data from January until September 2010 minus July, confirm the results: KSeminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
206
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
indices distributions at FMI are always higher than or equal with ASm except for K=0 with the sum of difference 30,8%, overall FMI is better than ASm, but FMI has a poor performance while calculating K-indices at quiet condition. Keywords: Geomagnetism, K-indices, ASm method, FMI method 1.
PENDAHULUAN Indeks K adalah indeks yang menggambarkan kondisi geomagnetik lokal yang tercatat di
observatorium magnet bumi. Indeks ini penting dalam memahami variasi di lingkungan antariksa, bersama dengan indeks Kp yang menggambarkan gangguan medan geomagnetik global (Hwang et al., 2013). Satu-satunya masalah pada perhitungan indeks K adalah dalam menentukan kurva SR (Solar Regular) atau kurva variasi diurnal medan magnet pada hari tenang. Nilai indeks K akan sangat bergantung pada kurva SR. Ada beberapa metode dalam menentukan kurva SR dan menghitung indeks K, antara lain metode Adaptive Smoothing Method (ASm), Finnish Meteorological Institute (FMI), US Geological Survey (USGS), British Geological Survey (BGS), Linear-phase Robust Non-linear Smoothing (LRNS), serta beberapa metode lainnya (Menvielle et al., 1995). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui metode yang tepat dalam menghitung indeks K di Stasiun Geofisika Tuntungan dengan membandingkan antara indeks K hasil metode ASm dan FMI terhadap indeks K hasil pengukuran manual. 2. LANDASAN TEORI Nilai indeks K diperoleh dalam periode 3 jam berupa bilangan bulat dari 0 hingga 9. Indeks tersebut berupa indeks kuasi-logaritmik yang diukur berdasarkan amplitudo variasi medan magnet dari dua komponen horizontal, yaitu H dan D atau X dan Y yang telah dihilangkan variasi solar regular (SR)-nya (Jankowski & Sucksdorff, 1996). Skala indeks K di Stasiun Geofisika Tuntungan ditunjukkan pada Tabel 2-1. Tabel 2-1: SKALA INDEKS K DI STASIUN GEOFISIKA TUNTUNGAN. NILAI SKALA DALAM nT. Range K Value
0
4.5 0
9 1
18 2
36 3
63 4
108 5
180 6
297 7
450 8
9
Nilai K=0-2 menunjukkan periode aktivitas magnetik yang tenang, K=3-5 menunjukkan periode aktivitas magnetik menengah dan K=6-9 menunjukkan periode aktivitas magnetik kuat hingga sangat kuat (Menvielle et al., 2011). Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
207
ISBN: 978-979-1458-87-0
a.
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Metode Adaptive Smoothing Method (ASm) Pada metode Adaptive Smoothing Method (ASm) kurva SR diperoleh dari pencocokan
kuadrat terkecil dari nilai per menit, dengan tambahan pembatasan pada turunan kedua dan faktor pembobotan untuk membuat pengaruh dari periode tenang lebih besar daripada periode gangguannya (Nowożyński et al., 1991). Pada akhirnya, terdapat tiga parameter yang bisa diubah untuk tiap lokasi untuk mendapatkan nilai indeks K yang sesuai. Nilai SR diperoleh dari minimalisasi rumus: n S R min li2 yi xi 2 yi ,..., yn i 1
n 1
yi 1 2 yi yi 1 h
2
i 2
2
...........................(2-1)
dengan λ adalah koefisien smoothing, l=(li) (i=1,...n) adalah faktor pembobot, x=(xi) dan y=(yi) (i=1,...n) adalah nilai input (nilai variasi magnet yang teramati) dan output (SR); h=1, karena efek dari h dapat disatukan dengan λ. Perhitungan dilakukan pada data 1 hari dengan tambahan pembobotan pada data di malam hari (n=1440). Metode ini terdiri dari dua langkah. Pertama, li=1 untuk i=1,...1440, dan λ= λ1. Pada tiap jam, dihitung selisih antara nilai minimum dan maksimum dari (x-y). Vj adalah nilai selisih tersebut dengan j=1,...24. Pada langkah kedua, prosedur pertama diulangi lagi dengan faktor smoothing (λ1) yang sama, serta bobot didefinisikan sebagai: 1V j li exp M
.........................................................(2-2)
dengan j=1,...24 dan i=60(j-1)+1,...60j; λ1 dan M adalah dua parameter yang dapat diubah nilainya (Menvielle et.al, 1995). b. Metode Finnish Meteorological Institute (FMI) Pada metode ini kurva SR dihitung pada data 24 jam. Untuk tiap komponen, 24 nilai yang digunakan untuk menghitung kurva SR didapat dari nilai rata-rata dari semua data pada jam tersebut dan m+n menit pada setiap sisi jam. Sehingga rata-ratanya sama dengan titik tengah dari garis yang dicocokkan pada nilai yang dimaksud. m tergantung pada waktu lokal dan n tergantung pada aktivitas magnetik (n=K3.3 menit, di mana K adalah nilai pendahuluan). Metode ini memiliki dua langkah. Pada langkah pertama, nilai pendahuluan K yang digunakan untuk menghitung n didapat dari selisih nilai maksimum dengan minimum. Kemudian kurva SR didapat dengan melakukan harmonic fitting orde 5 pada nilai rata-rata yang telah dijelaskan sebelumnya. Langkah kedua, nilai K yang didapat dari langkah pertama digunakan untuk menentukan nilai n, dan kurva final SR didapat dari harmonic fitting orde 5
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
208
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
pada nilai tengah dari tiap-tiap window yang terpusat pada jam lokal. Program ini sama persis untuk semua lokasi (Bitterly et.al, 1997). 3. DATA DAN METODOLOGI Pengukuran indeks K dilakukan di Stasiun Geofisika Tuntungan (Gambar 3-1) sebagai salah satu observatorium magnet bumi di Indonesia. Pengukuran dilakukan pada magnetogram analog oleh pengamat. Pada perkembangannya, magnetometer di Stasiun Geofisika Tuntungan (kode IAGA: TUN) diganti dari analog variograph La Cour menjadi digital variograph LEMI018. Data digital memerlukan metode yang tepat dalam menghitung indeks K.
Gambar 3-1: Peta lokasi Stasiun Geofisika Tuntungan.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data variasi magnet bumi analog dari La Cour dan data digital dari LEMI-018 Stasiun Geofisika Tuntungan (3.517 °LU - 98.567 °BT) tahun 2010 bulan Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Agustus dan September. Bulanbulan tersebut dipilih karena pada bulan-bulan tersebut analog variograph La Cour dan digital variograph LEMI-018 beroperasi secara bersamaan. Data analog ini dijadikan sebagai data acuan. Dalam penelitian ini, indeks K hasil pengukuran manual La Cour disingkat dengan K(HS) untuk hand scaled. Sedangkan indeks K hasil perhitungan dengan metode ASm disingkat dengan K(ASm) dan K(FMI) untuk metode FMI. Untuk memberikan gambaran umum hasil perhitungan yang didapat dari metode ASm dan FMI, dibuat grafik distribusi indeks K. Selanjutnya dibuat distribusi nilai selisih DK = K(ASm) – K(HS) dan DK = K(FMI) – K(HS). Untuk mengetahui pola distribusi selisih data indeks K perhitungan komputer terhadap data indeks K acuan, maka nilai DK di plot terhadap nilai K(HS). Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
209
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
4. HASIL PEMBAHASAN 4.1 Distribusi indeks K Distribusi indeks K hasil pengukuran manual (hand scaled) dan perhitungan metode ASm dan FMI ditampilkan pada Gambar 4-1. Distribusi indeks K hasil pengukuran manual menunjukkan dua puncak yaitu pada nilai K=1 dan K=2. Sedangkan distribusi indeks K hasil perhitungan metode ASm dan FMI sama-sama memiliki puncak tunggal yaitu pada nilai K=1. Selain itu, distribusi indeks K pada metode FMI selalu lebih tinggi dibandingkan metode ASm kecuali pada nilai K=0. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan sistematis antara definisi SR yang digunakan oleh algoritma program ASm maupun FMI. Jumlah total perbedaan distribusi indeks K pada metode FMI terhadap ASm sebesar 30,8%. Menvielle et.al. (1995) menyebutkan bahwa nilai indeks K hasil perhitungan metode ASm dan FMI menunjukkan ketidaksesuaian dengan nilai indeks K hasil pengukuran manual pada nilai K yang kecil (K=0 dan K=1). Sehingga tingginya distribusi nilai K=0 pada metode ASm atau rendahnya distribusi nilai K=0 pada metode FMI tidak berarti bahwa metode ASm lebih baik dibandingkan metode FMI. Tingginya distribusi indeks K pada nilai K yang lain selain K=0 dan K=1 pada metode FMI menunjukkan bahwa metode FMI memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan metode ASm.
Distribution of K 50 ASm FMI La Cour
Percentage
40 30 20 10 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
K-index Gambar 4-1: Grafik distribusi nilai indeks K hasil pengukuran manual (La Cour) dan perhitungan metode ASm dan FMI.
4.2 Distribusi DK Distribusi nilai DK untuk metode ASm dan FMI ditampilkan pada Gambar 4-2. Metode yang baik akan memberikan nilai DK=0 yang besar dan nilai -1 > DK > 1 yang kecil. Gambar 4-2 menunjukkan bahwa metode FMI memberikan nilai DK=0 sebesar 34,9% dengan nilai -1 Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
210
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
> DK > 1 sebesar 13,6%. Sedangkan metode ASm memberikan nilai DK=0 sebesar 25,1% dan nilai -1 > DK > 1 sebesar 18,4%. Ini menunjukkan bahwa metode FMI memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan metode ASm. Selain itu, metode ASm memberikan nilai yang terlalu rendah dibandingkan hasil pengukuran manual, yaitu mencapai 48,7% pada nilai DK= -1. Sedangkan persentase nilai DK=-1 pada metode FMI sebesar 39,1%.
ASm
FMI
48,7
50
39,1 34,9
30
Axis Title
Percentage
40 25,1
20
14,4
8,9
7,9
10 2,4
1,3 0,2
0
<-2 -2 -1 0 1 2 >2 DK = K(ASm) - K(HS))
12,4
1,7
2,4
<-2 -2 -1 0 1 2 DK = K(FMI) - K(HS)
0,6 >2
Gambar 4-2: Grafik distribusi nilai DK.
4.3 Distribusi DK Terhadap indeks K Acuan Distribusi nilai DK terhadap data indeks K acuan (K(HS)) ditampilkan pada Gambar 4-3. Rata-rata persentase distribusi nilai DK terhadap data indeks K acuan (K(HS)) pada nilai DK=0 untuk metode FMI sebesar 36% dan metode ASm sebesar 34%. Detail persentase nilai DK=0 dan DK<0 terhadap nilai K(HS) ditampilkan pada Tabel 4-1. Terlihat bahwa nilai DK=0 pada metode FMI selalu lebih besar atau sama dengan metode ASM kecuali pada nilai K(HS)=0. Hal ini mengindikasikan bahwa metode FMI kurang baik untuk menghitung nilai indeks K pada kondisi tenang (quiet day). Meskipun metode FMI juga memberikan nilai yang terlalu rendah dibandingkan hasil pengukuran manual, namun persentasenya lebih kecil dibandingkan dengan metode ASm. Dalam hal ini metode FMI kembali memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan metode ASm.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
211
40
34
30
20
20 10
20
30
1315
10
1 0 0
30
20
20
20
20
10
10
0 0
<-2 -2 -1 0 1 2 >2
0 0 0
<-2 -2 -1 0 1 2 >2
8 6
<-2 -2 -1 0 1 2 >2
0 0
40
0
0
1
2
3
4
5
100
90
90
90
90
FMI 90
80
80
80
80
80
80
70
70
70
70
70
70
60
60
60
60
28
30
16
20
21
19 16 20
40
33
000
30
20
20
8
10
1 0
30 20
6
8
9
90
60 50
40 40 30
60 50 40 30
2020 20 1113 11
10
20
6
20
10
10
0 0
<-2 -2 -1 0 1 2 >2
<-2 -2 -1 0 1 2 >2
<-2 -2 -1 0 1 2 >2
<-2 -2 -1 0 1 2 >2
0 0 0
<-2 -2 -1 0 1 2 >2
0 0 0
0
<-2 -2 -1 0 1 2 >2
0 0 0
0
<-2 -2 -1 0 1 2 >2
0 0 0
0
<-2 -2 -1 0 1 2 >2
0
40
7
<-2 -2 -1 0 1 2 >2
0
10
25 23
50
6
<-2 -2 -1 0 1 2 >2
0 0
40
30
10 4
10
45
50
0 0 0
100
100
Percentage
40
48
50
100
Percentage
46
50
Percentage
40
100
58
0 0 0
0
100
Percentage
48
0
100
Percentage
60
Percentage
Percentage
16
50
3030
30
10
40
0
80
0
0
10
40
60
50
0
0
100
DK K(HS)
5
50
70
60
<-2 -2 -1 0 1 2 >2
0 0
31
20
10
3 0
42
40 30
21 22
20
12
50
60
<-2 -2 -1 0 1 2 >2
DK K(HS)
40 30
1010 0 00
50
60
<-2 -2 -1 0 1 2 >2
0
51
Percentage
50
60
80
70
<-2 -2 -1 0 1 2 >2
52
80
Percentage
60
58
Percentage
70
<-2 -2 -1 0 1 2 >2
80
70
Percentage
80
70
90
Percentage
80
70
100
100
<-2 -2 -1 0 1 2 >2
80
100
ASm 90
Percentage
90
<-2 -2 -1 0 1 2 >2
100
90
Percentage
35
40
100
90
Percentage
45
100
90
Percentage
60
Percentage
Percentage
80
100
Percentage
100
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Percentage
ISBN: 978-979-1458-87-0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0
0
0
Gambar 4-3. Distribusi nilai DK terhadap indeks K acuan (K(HS)).
Tabel 4-1: PERSENTASE NILAI DK=0 DAN DK<0 PADA METODE FMI DAN ASM TERHADAP INDEKS K ACUAN (K(HS)). K(HS)
DK=0
DK<0
FMI
ASm
FMI
ASm
0
16
35
0
0
1
46
34
28
52
2
33
22
58
73
3
23
16
76
82
4
11
8
83
87
5
20
20
80
80
6
100
100
0
0
7
-
-
-
-
8
-
-
-
-
9
-
-
-
-
5. KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini antara lain: (1) distribusi indeks K pada metode FMI selalu lebih tinggi atau sama dengan metode ASm kecuali pada nilai K=0. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan sistematis pada pendefinisian SR yang digunakan oleh algoritma program ASm maupun FMI. Jumlah total perbedaan distribusi indeks K pada metode FMI Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
212
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
terhadap ASm sebesar 30,8%; (2) perbedaan tersebut (DK dari FMI selalu lebih tinggi atau sama) menjadikan metode FMI lebih baik dibandingkan metode ASm. Yaitu menghasilkan nilai DK=0 sebesar 34,9% atau lebih besar dibandingkan metode ASm yang menghasilkan nilai DK=0 sebesar 25,1%; (3) metode FMI kurang baik untuk menghitung nilai indeks K pada kondisi tenang (quiet day). DAFTAR RUJUKAN Bitterly, M., M. Menvielle, J. Bitterly, and A. Berthelier, 1997, ”A Comparison Between Computer Derived (Fmi Method) and Hand Scaled K Indices at Port Aux Francais And Port Alfred French Observatories”, ISGI. Hwang, J., H. P. Kim, and Y.-D. Park, 2013, ”Comparison of K-index Calculations between Several Geomagnetic Stations during IQDs and IDDs”, J. Astron. Space Sci., vol. 30, no. 3, pp. 169-174, 2013. Jankowski, J., and C. Sucksdorff, 1996, “Guide For magnetic Measurements and Observatory Practice”, Warsaw. Menvielle, M., N. Papitashvili, L. Häkkinen, and C. Sucksdorff, 1995, ”Computer production of K indices: review and comparison of methods”, Geophys. J. Int., vol. 123, pp. 866886. Menvielle, M., T. Iyemori, A. Marchaudon, and M. Nosé, 2011, ”Geomagnetic Indices”, in Geomagnetic Observations and Models, M. Mandea dan M. Korte, Penyunt., Springer. Nowożyński, K., T. Ernst, and J. Jankowski, 1991, ”Adaptive smoothing method for computer derivation of K-indices”, Geophys. J. Int., vol. 104, pp. 85-93.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
213
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
PERBANDINGAN HASIL PREDIKSI WEATHER RESEARCH FORECAST DENGAN DATA OBSERVASI TRMM (STUDI KASUS: CURAH HUJAN) (COMPARISON BETWEEN WEATHER RESEARCH FORECAST PREDICTION RESULT AND TRMM OBSERVATION DATA) (CASE STUDY: PRECIPITATION) Aisya Nafiisyanti Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Email:
[email protected]
ABSTRAK Sistem prediksi kondisi atmosfer, yaitu WRF (Weather Research and Forecasting) yang digunakan Bidang Pemodelan Atmosfer PSTA telah berjalan sejak tahun 2010. Hal ini sejalan dengan berfungsinya aplikasi SADEWA yang menampilkan hasil olahan prediksi sistem WRF. Seiring dengan hal tersebut, perlu diketahui tingkat akurasi informasi yang ditampilkan di aplikasi SADEWA untuk memberi nilai kepercayaan kepada pengguna rangkaian aplikasi dan sistem tersebut. Informasi yang perlu diketahui akurasinya adalah hasil prediksi dari beberapa parameter atmosfer, yaitu curah hujan, awan, kelembapan, temperatur, angin, dan tekanan. Pada penelitian ini, parameter yang diuji adalah curah hujan. Hal ini menyesuaikan dengan ketersediaan data observasi dari TRMM sebagai data pembanding. Untuk melakukan perbandingan tersebut, digunakan metode pengukur tingkat kesamaan dari dua data yang dibandingkan, yaitu Canberra Distance. Hasil dari perbandingan tersebut dikeluarkan dalam bentuk persentase keakuratan. Hasil yang diperoleh adalah: secara keseluruhan rata-rata akurasi prediksi WRF terhadap observasi TRMM dengan parameter curah hujan sebesar 43,08% pada musim transisi dan 40,57% pada musim kering. Kata Kunci: akurasi, WRF, TRMM, Canberra Distance
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
214
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
ABSTRACT Atmospheric prediction system, WRF (Weather Research Forecast) has been used oleh Atmospheric Modeling Division of PSTA since 2010. This goes along with SADEWA application that has been running to show the prediction result. In line with the condition, the accuracy of the information that is shown in SADEWA needs to be known to create the value of trust from the users. The accuracy of information that has to be known is the prediction result of some atmosphere parameters. Those are precipitation, cloud, humidity, temperature, wind and pressure. In this research, only precipitation parameter was compared. This is because only precipitation data available from TRMM data observation as comparison. Canberra Distance was used in this research to measure the similarity of both data. Result of the comparison is shown in accuracy percentage. The result is: the average of WRF prediction accuracy toward TRMM data observation with precipitation data is 43.08% on transition season and 40.57% on dry season. Key words: accuracy, WRF, TRMM, Canberra Distance
1. PENDAHULUAN Kondisi atmosfer sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Hal yang paling dekat dan berdampak langsung pada kehidupan manusia sehari-hari adalah kondisi cuaca atmosfer (Ahrens, 2011). Cuaca atmosfer sendiri memiliki sifat yang dinamis dan mempunyai karakter tersendiri pada waktu-waktu tertentu. Selain itu, ada kalanya terjadi kondisi cuaca buruk yang dapat menimbulkan kerugian dan kerusakan alam. Maka dari itu, manusia dituntut untuk mampu mempelajari, beradaptasi, dan melakukan tindakan preventif sehubungan dengan kondisi cuaca tersebut. Salah satu usaha untuk mempelajari kondisi cuaca adalah dengan memodelkan proses fisis dan dinamis dari parameter-parameter atmosfer. Dengan model atmosfer, kondisi atmosfer pada masa lampau, saat ini dan masa depan dapat digambarkan. Memprediksi kondisi cuaca menggunakan model atmosfer adalah salah satu cara untuk mengoptimalkan kegiatan manusia sehari-hari dan melakukan tindakan preventif terhadap kondisi cuaca buruk. Bidang Pemodelan Atmosfer di Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) menjalankan salah satu model atmofer, yaitu WRF (Weather Research and Forcasting) sebagai salah satu usaha yang telah disebutkan sebelumnya. Hasil dari program tersebut dituangkan dalam bentuk informasi yang dapat diakses melalui sebuah website bernama SADEWA (Satellite Disaster Early Waring System). Informasi yang ditampilkan di website tersebut telah dilihat dan Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
215
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
digunakan oleh pihak eksternal maupun internal. Beberapa instansi luar yang telah memanfaatkan aplikasi SADEWA di antaranya adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung, Lembaga Swadaya Masyarakat Garda Caah Majalaya, dan TNI Angkatan Udara. Selain itu, terdapat pula masyarakat umum yang mengetahui aplikasi tersebut melalui kegiatan pameran yang menampilkan produk ini. Di samping itu, SADEWA sendiri digunakan untuk kepentingan internal LAPAN seperti menampilkan prediksi kondisi angin untuk perlombaan KOMBAT (Kompetisi Balon Atmosfer Tambat) dan kegiatan peluncuran roket. Hal ini menunjukkan bahwa informasi pada SADEWA memiliki potensi untuk dipercaya sehingga perlu diketahui akurasinya. Hingga saat ini, untuk mengetahui keakuratan informasi yang ditampilkan SADEWA, cara yang digunakan adalah pemeriksaan manual yaitu dengan membandingkan informasi dengan kondisi yang sebenarnya, baik menggunakan intuisi maupun dibantu dengan alat pengukur kondisi cuaca seperti AWS (Automatic Weather Station). Kelemahan dari cara ini adalah informasi yang dibandingkan hanya pada beberapa titik atau daerah tertentu. Contohnya kondisi yang dibandingkan adalah kondisi kota Bandung dengan informasi SADEWA pada daerah Bandung. Dengan cara ini, tidak seluruh informasi SADEWA yang mencakup seluruh wilayah Indonesia dapat diketahui keakuratannya. Selain itu, sebelumnya telah dilakukan perbandingan hasil informasi SADEWA dengan data observasi satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) secara kualitatif oleh Farid Lasmono (komunikasi personal). Penelitian tersebut telah mencakup seluruh wilayah Indonesia dengan membandingkan dua gambar secara kasat mata. Terdapat perbedaan di beberapa area dan persamaan di area yang lain, tetapi belum diketahui tingkat perbedaan yang terukur bila dihitung dari sisi kualitatif menggunakan persentase. Pada penelitian ini, akan dilihat hasil perbandingan dari dua data, yaitu hasil prediksi WRF (Michalakes et. al, 2001) dibandingkan terhadap data observasi TRMM secara kualitatif dengan mencari nilai selisih dua data tersebut. Kemudian nilai selisih tersebut dijadikan nilai error sehingga dapat diketahui presentase keberhasilan hasil prediksi WRF. Penelitian ini dilakukan untuk mengatasi kelemahan yang telah disebutkan sebelumnya. 2. TINJAUAN PUSTAKA Terdapat beragam motode untuk mengukur kesamaan (similarity measurement) dua buah set data. Beberapa metode yang memungkinkan untuk digunakan pada makalah ini adalah Euclidean Distance, SSIM (Structural Similarity Index) dan Canberra Distance. Berikut ini adalah ulasan dari ketiga metode tersebut
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
216
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Euclidean Distance pada dasarnya digunakan untuk mengukur jarak dari dua buah titik atau lebih dengan menarik garis lurus dari titik-titik yang akan diukur. Metode ini telah berkembang dan digunakan untuk komputasi geometri, pengolahan citra, komputer grafis dan pengenalan pola (Saddique et. al, 2005). Teknik-teknik tersebut pada dasarnya membandingkan dua buah set data (metric) dengan mencari nilai selisihnya. Formula Euclidean Distance adalah sebagai berikut
dengan n adalah jumlah pasangan titik yang akan dibandingkan, x adalah data yang akan dibandingkan dan y adalah data pembanding. SSIM merupakan singkatan dari Structural Similarity Index yang merupakan algoritma pengukur kemiripan dari dua buah gambar. Algoritma ini membandingkan gambar dengan mengambil nilai tingkat keabuan (grayscale) pada setiap pixel untuk dihitung (Wang et. al, 2004). Formula untuk algoritma ini disederhanakan sebagai berikut
dengan µx adalah intensitas cahaya per pixel pada gambar x dan µy adalah intensitas cahaya per pixel pada gambar y. C1 dan C2 adalah konstanta dan σ adalah standar deviasi dari masingmasing gambar. Canberra Distance mengukur selisih keseluruhan dari dua buah matriks dan hasilnya langsung ternormalisasi dengan rentang luaran 0 - 1, semakin mendekati 0 suatu nilai, semakin kecil tingkat kesalahannya, dengan demikian semakin tinggi tingkat keakuratannya, begitu pula sebaliknya. Berikut adalah persamaan Canberra Distance (Charulatha et. al, 2013) n
Ca ( x, y ) i 1
xi y i xi y i
............................................(2 3)
Ca(x,y) adalah nilai Canberra Distance yang merupakan jumlah keseluruhan selisih dari nilai pada data WRF dan data TRMM pada koordinat yang sama. N adalah jumlah titik yang dibandingkan, xi adalah nilai data WRF pada titik ke-i, dan yi adalah nilai data TRMM pada titik ke-i.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
217
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
3. DATA DAN METODOLOGI Data yang akan dibandingkan adalah hasil sistem prediksi WRF telah berjalan sejak tahun 2010 dan mengeluarkan hasil prediksi beberapa variabel cuaca dengan cakupan wilayah Indonesia. Sistem tersebut berjalan dua kali sehari, yaitu pada pukul 00.00 dan pukul 12.00. Proses pada pukul 00.00 mengolah data input yang tersedia mulai pukul 00 UTC hingga 23 UTC. Sedangkan proses pukul 12.00 mengolah data input yang tersedia mulai pukul 12 UTC hingga 11 UTC di hari berikutnya. Masing-masing proses membutuhkan waktu selama tiga jam yang kemudian ditampilkan di website SADEWA. Selanjutnya, untuk memudahkan pembahasan, kedua proses tersebut dinamai proses 00 dan proses 12. Hingga saat ini, prediksi variabel yang telah ditampilkan dalam aplikasi SADEWA antara lain, curah hujan, arah dan kecepatan angin, temperatur, tekanan, kelembaban, dan awan. Hasil tersebut dikeluarkan dalam bentuk matriks nilai yang setiap poin/titiknya mewakili satu rentang daerah Indonesia dengan ukuran latitude dan longitude 0,05° x 0,05°. Sedangkan untuk mempermudah penyampaian informasi di website SADEWA, hasil tersebut diubah ke dalam bentuk gambar dengan warna-warna tertentu yang diperjelas dengan legenda untuk mewakili nilai parameter. Data pembanding adalah data observasi TRMM 3B42RT yang diperoleh dari hasil pengamatan satelit TRMM terhadap seluruh wilayah bumi (Ebert et. al, 2007). Untuk penelitian ini, data dibatasi pada area dengan latitude 10°LS - 10°LU dan longitude 95°BT - 145°BT. Bentuk data tersebut sama seperti hasil prediksi WRF dengan ukuran grid 0,5° x 0.5°. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah membandingkan nilai pada titik yang sama dari dua data. Persamaan Euclidean Distance tidak dipilih karena menghabiskan waktu komputasi yang lebih lama dan menghasilkan nilai selisih yang menyamai data pembandingnya. Persamaan ini lebih tepat digunakan untuk mengukur peringkat kesamaan dua buah set data atau lebih terhadap satu set data tertentu (Kadir et. al, 2012). Sedangkan algoritma SSIM tidak dipilih karena algoritma tersebut mmbandingkan dua gambar secara global berdasarkan konten warna tanpa memperhatikan koordinat pixel yang dibandingkan (Wang et. al, 2004). Sehingga, persamaan pembanding yang digunakan adalah Canberra Distance. Metode ini dipilih karena persamaan tersebut secara langsung menghasilkan nilai yang ternormalisasi. Hal ini memudahkan pencarian akurasi dengan langsung mengkonversi tingkat keakuratan dalam bentuk persentase. Pada persamaan 2.3, terdapat kondisi dimana nilai xi dan yi sama-sama 0 sehingga akan menghasilkan nilai tak hingga pada perhitungan Ca(xi,yi). Untuk mengatasi hal tersebut,
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
218
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
diterapkan perlakuan khusus yaitu memberi nilai 0 pada Ca(xi,yi) bila menghadapi kondisi tersebut (Jurman et. al, 2009). Parameter yang dibandingkan adalah nilai curah hujan (precipitation). Untuk pengujian, diambil data selama enam bulan, yaitu bulan Maret, April, dan Mei tahun 2014 untuk mewakili musim transisi dari musim hujan ke musim kemarau serta bulan Juni, Juli, dan Agustus tahun 2014 untuk mewakili musim kering.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 60 50 40 30 20 10 PROSES 00
PROSES 12
0 1 6 11 16 21 26 31 5 10 15 20 25 30 5 10 15 20 25 30 4 9 14 19 24 29 4 9 14 19 24 29 3 8 13 18 23 28 MARET
APRIL
MEI
JUNI
JULI
AGUSTUS
Gambar 4-1: Rata-rata harian akurasi prediksi WRF selama bulan Maret-Agustus 2014 terhadap data TRMM. Garis biru untuk hasil prediksi pukul 00 dan garis merah untuk pukul 12 Hasil tersebut menunjukkan bahwa perbandingan antara dua data memiliki rentang akurasi antara 25% dan 55%. Pada musim transisi, rata-rata akurasi sebesar 43,66% pada proses pukul 00 dan 42,50% pada proses pukul 12. Sedangkan pada musim kering, proses pukul 00 memiliki rata-rata 41,08% dan 40,06% untuk proses pukul 12. Selisih akurasi cenderung konstan di bawah 10%, kecuali pada waktu-waktu tertentu. Selisih terbesar terjadi pada tanggal 31 Maret 2014 dengan besar 18,07%. Sedangkan, selisih terkecil terjadi pada tanggal 11 Juni sebesar 0,02%. Nilai akurasi pada bulan Maret dan April cenderung meningkat. Di awal bulan, nilai merangkak naik dari 40% ke 50% pada akhir bulan. Namun, peningkatan tersebut tidak diikuti pada bulan Mei yang cenderung konstan. Nilai akurasi pada awal bulan Mei merupakan nilai puncak yang kemudian diikuti oleh penurunan nilai hingga akhir bulan. Pada bulan basah, yaitu Juni, Juli dan Agustus, nilai akurasi cenderung konstan.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
219
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Persentase
ISBN: 978-979-1458-87-0
Pukul (UTC)
Gambar 4-2: Rata-rata akurasi 3 jam-an pada bulan Maret-Agustus 2014 Gambar 4-2 menunjukkan rata-rata akurasi pada setiap waktu dalam satu setengah hari selama satu bulan. Gambar tersebut menunjukkan bahwa akurasi hasil proses pukul 12 lebih baik dari hasil proses pukul 00 pada waktu yang beririsan (pukul 15.00 UTC, 18.00 UTC, 21.00 UTC, dan 24.00 UTC). Sedangkan akurasi hasil proses pukul 00 lebih baik pada pukul 3.00 UTC, 06.00 UTC, 09.00 UTC, dan 12.00 UTC. Bila dilihat secara harian, hasil prediksi proses pukul 00 dan proses pukul 12 akan terus saling beririsan pada tiap rentang 12 jam (gambar tidak ditampilkan). Secara keseluruhan, baik proses pukul 00 maupun proses pukul 12 memiliki hasil yang lebih baik pada 12 jam pertama pada rentang prediksi masing-masing.
Gambar 4-3: Perbandingan tren penurunan nilai akurasi pada proses pukul 00 dan proses pukul 12 pada tanggal 24 Maret, 21 April, 5 Mei, 22 Juni, 5 Juli, dan 9 Agustus 2014 Pada gambar 4-3, terlihat suatu pola penurunan akurasi pada setiap pertambahan jam dalam satu hari (tidak seluruh data ditampilkan). Pada proses pukul 00, akurasi tertinggi selalu terjadi pada pukul 03 dan akurasi terendah terjadi pada pukul 24 dan pola penurunannya adalah linier. Sedangkan, pada proses pukul 12, terdapat perbedaan pola penurunan, yaitu kurva. Nilai akurasi terendah terjadi pada pukul 24 dan 03. Secara umum, hasil prediksi system WRF Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
220
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
memiliki akurasi 60% atau lebih di awal prediksi dan menurun di bawah 40% pada akhir masa prediksi.
Gambar 4-4: Tren nilai akurasi pada setiap waktu pada musim transisi (Maret-Mei) dan musim basah (Juni-Agustus) tahun 2014 Gambar 4-4 menunjukkan bahwa terdapat variasi tren akurasi pada masing-masing waktu baik pada musim transisi maupun musim kering. Pada musim transisi, masing-masing waktu mengalami peningkatan akurasi. Sedangkan pada musim kering (Juli-Agustus), terjadi peningkatan akurasi meskipun tidak terlalu signifikan seperti pada musim transisi. Nilai akurasi pada pukul 03, 06, 09, dan 21 meningkat. Berlainan dengan kelompok waktu sebelumnya, tren pada pukul 12, 18, 15, dan 24 cenderung konstan.
5. KESIMPULAN DAN SARAN Pengujian akurasi hasil prediksi system WRF yang ditampilkan dalam aplikasi SADEWA telah dilakukan untuk bulan-bulan pada musim transisi (Maret - Mei) dan pada musim kemarau (Juni - Agustus). Pengujian dilakukan untuk hasil prediksi yang dimulai pada pukul 00 WIB dan yang dimulai pada pukul 12 WIB. Data observasi TRMM dipakai sebagai data pembanding. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai akurasi prediksi WRF adalah sebesar 43,66% pada proses pukul 00 dan 42,50% pada proses pukul 12 untuk musim transisi, dan sebesar 41,08% pada proses pukul 00 dan 40,06% pada proses pukul 12 untuk musim kemarau. Nilai akurasi pada awal prediksi bisa mencapai 60% atau lebih dan menurun pada akhir masa prediksi hingga Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
221
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
di bawah 40%. Perbedaan nilai akurasi prediksi yang signifikan ini (sekitar 20%) dalam waktu 24 jam perlu mendapatkan perhatian, karena nilai akurasi di bawah 40% termasuk sangat buruk. Hal yang dapat dilakukan untuk memperbaiki hasil prediksi ini antara lain adalah melakukan prediksi lebih sering (misalnya tiap 6 atau 3 jam sekali) atau menggunakan data asimilasi.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis berterima kasih kepada Farid Lasmono yang telah membantu memberi pandangan mengenai pengukuran akurasi sistem WRF secara kualitatif melalui diskusi dan kepada DR. Didi Satiadi atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada penelaah yang telah memberikan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini.
DAFTAR RUJUKAN Ahrens, C. D., 2011, “Essentials of Meteorology: An Invitation to the Atmosphere”, 6th Edition, ISBN-10: 0840049331, Cengage Learning: United States Charulatha, B.S., P. Rodrigues, T. Chitralekha, A. Rajaman, 2013, “A Comparative study of different distance metrics that can be used in Fuzzy Clustering Algorithms”, International Journal of Emerging Trend & Technology in Computer Science, ISSN 2278-6856 Ebert, E.E., J.E. Janowiak, C. Kidd, 2007, “Comparison of Near-Real-Time Precipitation Estimates from Satellite Observations and Numerical Models.”,Bull. Amer. Meteor. Soc.88(1), 47-64 Jurman, G., S. Riccadonna, R. Visintainer, C. Furlanello, 2009, “Canberra Distance on Ranked Lists”, Proceeding Advances in Ranking–NIPS 09 Workshop, 22-27 Kadir, A., L. E. Nugroho, A. Susanto, P. I. Santosa, 2012, “Experiments of Distance Measurements in a Foliage Plant Retrival System”, International Journal of Signal Processing and Pattern Recognition, 5, No. 2 Michalakes, J., S. Chen, J. Dudhia, L. Hart, J. Klemp, J. Middlecoff, W. Skamarock, 2001,"Development of a Next Generation Regional Weather Research and Forecast Model" in Developments in Teracomputing: Proceedings of the Ninth ECMWF Workshop on the Use of High Performance Computing in Meteorology. Eds. Walter Zwieflhofer and Norbert Kreitz. World Scientific, Singapore. pp. 269-276. Saddique, S., M. S. H. Khiyal, A. Khan, M. Khanum, 2005, “Modified Sequential Algorithm Using Euclidean Distance Function for Speed Filling”, Journal of Theoretical and Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
222
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Applied Information Technology Wang, Z. Bovik, A. C., H. R. Sheikh, E. P. Simoncelli, 2004, “Image Quality Assesment: From Error Visibility to Structural Similarity”, IEEE Transactions on Image Processing, 13, No.4
TANYA JAWAB SESI POSTER T:
Bagaimana cara membandingkan data? Menggunakan spasial atau akumulasi?
J:
Data dibandingkan secara spasial, dengan rentang koordinat 95 – 145 BT dan 10 LS – 10 LU. Data yang digunakan bukan data akumulasi, melainkan data 3 jam-an pada waktu tertentu
T:
Dari mana mendapatkan data?
J:
Data
observasi
diperoleh
dari
website
TRMM
yang
beralamat
di
http://gdata1.sci.gsfc.nasa.gov/daac-bin/G3/gui.cgi?instance_id=TRMM_3-Hourly. Sedangkan data WRF diperoleh dari hasil running sistem WRF yang sudah berjalan di cluster Bidang Pemodelan Atmosfer PSTA T:
Pernahkah hasil prediksi WRF dibandingkan dengan alat ukur langsung seperti AWS? Bagaimana hasilnya?
J:
Hasil prediksi WRF pernah dibandingkan dengan data dari AWS, tetapi hasilnya tidak tertulis
T:
Bagaimana nilai akurasi per daerah?
J:
Nilai akurasi per daerah tidak dicari lebih spesifik dalam makalah ini, tetapi nilai tersebut dapat dicari bila terdapat rentang koordinat yang dapat dibandingkan
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
223
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
KOMPOSISI KIMIA DAN VARIASI MUSIMAN DEPOSISI BASAH DI TEPI CEKUNGAN BANDUNG (CHEMICAL COMPOSITION AND SEASONAL VARIATION OF WET DEPOSITION IN BANDUNG BASIN EDGE) Asri Indrawati dan Dyah Aries Tanti Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Komposisi kimia air hujan daerah tepi Cekungan Bandung dipengaruhi oleh polutan yang berasal dari kota Bandung, dan begitu pula sebaliknya akibat transport polutan yang dibawa oleh hembusan angin dominan di daerah Bandung. Konsentrasi ion anion yang mendominasi daerah Soreang, Cililin, Padalarang dan Ciparay adalah NO3- dengan rata-rata konsentrasi sebesar 50,3 μmol/L, sedangkan untuk daerah Ciater dan Tanjung Sari adalah SO42dengan rata-rata konsentrasi sebesar 16,08 μmol/L. Konsentrasi kation yang mendominasi daerah Soreang, Cililin, Ciater dan Tanjung Sari adalah NH4+, sedangkan untuk daerah Padalarang yang mendominasi adalah Na+ dan untuk daerah Ciparay adalah Ca2+ dengan konsentrasi rata-rata untuk NH4+ sebesar 28, 01 μmol/L. Konsentrasi Na+ sebesar 37,36 μmol/L dan Ca2+ sebesar 33,26 μmol/L. Variasi musiman menunjukkan konsentrasi NO3- dan NH4+ merupakan konsentrasi ion tertinggi dibandingkan konsentrasi ion lainnya pada lokasi penelitian Kata kunci: konsentrasi, polutan, air hujan, anion, kation
ABSTRACT The chemical composition of rain water edge Bandung basin area affected oleh pollutants originating from the city of Bandung, and vice versa due to the transport of pollutants are carried oleh wind gusts dominant in Bandung. Anion ion concentration to the area dominated Soreang, Cililin, Padalarang and Ciparay is NO3- with an average concentration of 50.3 mol / L, whereas for Ciater area and Tanjung Sari is SO42- with an average concentration of 16.08 mol / L. Cation concentration is dominated NH4 + for Soreang area, Cililin, Ciater and Tanjung Sari, whereas for Padalarang area is dominated oleh Na + and for Ciparay area is Ca2 Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
224
ISBN: 978-979-1458-87-0
+
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
with an average concentration of NH4 + at 28, 01 mol / L. Na + concentration of 37.36 mol / L
and Ca2 + of 33.26 mol /. Seasonal variations showed a concentration of NO3- and NH4 + is the highest ion concentration compared to other ion concentration at the study site. Keywords: concentration, pollutants, rain water, anion, cation
1. PENDAHULUAN Hujan merupakan salah satu bagian terpenting dari siklus air di alam semesta ini, dimana hujan memainkan peranan penting dalam membawa polutan kimia dari atmosfer ke permukaan bumi.(Shen at al., 2012). Komposisi deposisi basah sebenarnya mengindikasikan komposisi dari atmosfer pada saat hujan jatuh di wilayah tersebut. Penentuan komposisi kimia air hujan membantu dalam mengevaluasi sumber-sumber polutan baik dalam bentuk gas maupun partikulat. Sehingga penelitian mengenai komposisi kimia air hujan telah menjadi sebuah fokus utama dalam masalah deposisi asam (Sillapapiromsuk dan Chantara, 2010). Deposisi asam dapat terjadi karena sumber alam seperti gunung berapi, tetapi pembakaran bahan bakar fosil adalah penyebab utama pelepasan sulfur dioksida dan nitrogen oksida. Ketika gas-gas tersebut dilepaskan ke atmosfer, mereka akan bereaksi dengan air, oksigen dan gas-gas lainnya yang sudah berada di atmosfer. Reaksi ini kemudian akan membentuk asam sulfat, asam nitrat dan ammonium nitrat. Asam ini kemudian akan terdispersi ke seluruh wilayah yang lebih luas karena pola angin dan jatuh ke permukaan tanah sebagai hujan asam atau ke dalam bentuk pengendapan yang lain (Dubey, 2013). Bandung memiliki topografi yang unik, yaitu suatu dataran tinggi yang berbentuk cekungan. Transport polutan dari pusat kota Bandung akan terbawa oleh angin dominan, untuk kemudian berbalik akibat benturan dengan lereng perbukitan (Soedomo, 2001). Penelitian ini dilakukan untuk melihat komposisi kimia air hujan di sekitar daerah yang berada di dekat lereng-lereng perbukitan yang mengelilingi kota Bandung (tepi Cekungan Bandung). Mengingat topografi kota Bandung yang berbentuk cekungan maka penyebaran polutan secara horizontal akan terhambat, dan akan terjadinya stagnasi polutan pada Cekungan Bandung. Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya komposisi kimia air hujan pada daerah tersebut yang dapat digunakan untuk mengevaluasi pengaruh transport polutan dari pusat kota Bandung ke daerah tepi Cekungan Bandung, dan begitu pula sebaliknya.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
225
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
2. TINJAUAN PUSTAKA Hujan asam adalah istilah popular yang mengacu pada pengendapan basah (hujan, salju, hujan es, kabut embun) dan kering (partikel dan gas) komponen asam. Air hujan yang “bersih” atau tidak terpolusi sudah mempunyai pH yang asam sekitar 5,6 karena reaksi antara karbon dioksida yang ada di atmosfer dengan air membentuk asam karbonat, tetapi air hujan yang tidak berpolusi juga mengandung bahan kimia lainnya (Dubey, 2013). H2O (l) + CO2 (g)
H2CO3 (aq)
Reaksi kimia yang menghasilkan pembentukan hujan asam melibatkan interaksi antara SO2, NOx dan O3. Ketika polutan SO2 dan NOx yang diemisikan ke atmosfer terbawa oleh hembusan angin, mereka akan berinteraksi dengan keberadaan sinar matahari dan uap air membentuk kabut asam sulfat dan asam nitrat. Asam ini tetap berada dalam keadaan uap pada kondisi temperatur yang tinggi (Dubey, 2013). O3
O2 + O
O + H2O
OH- (radikal hidroksil)
OH- + SO2
HSO3
HSO3 + OH-
H2SO4
OH- + NO2
HNO3
Oksidasi sulfat menjadi SO2 terjadi secara langsung dalam pembakaran, karena itu SO2 diemisikan ke atmosfer dalam bentuk asap. SO2 kemudian akan terbawa angin, dan secara perlahan teroksidasi menjadi SO32- pada temperatur standar. Sifat oksidan di atmosfer mempunyai peranan yang penting untuk konversi SO32- menjadi SO4 (Dubey, 2013).
3. DATA DAN METODOLOGI a.
Lokasi Sampling Lokasi sampling dilakukan di enam lokasi yaitu Soreang, Cililin, Padalarang, Ciater,
Tanjung Sari dan Ciparay. Karakteristik lokasi yang dominan yaitu pada daerah Padalarang terdapat gunung kapur sedangkan daerah Ciater, selain dipengaruhi oleh kegiatan pertanian, juga dipengaruhi oleh keberadaan gunung berapi yaitu Gunung Tangkuban Perahu. Sedangkan untuk daerah Soreang, Cililin, Tanjung Sari dan Ciparay masih banyak terdapat persawahan di sekitar lokasi pemantauan. Titik koordinat dan ketinggian untuk masing-masing lokasi dan peta lokasi terdapat pada Gambar 1-1.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
226
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 3-1: Lokasi Sampling
b. Pengumpulan Sampel dan Analisis Sampel air hujan dikumpulkan dengan menggunakan rain gauge setiap hari hujan selama 1 tahun dari bulan Januari – Desember 2013. Sampel air hujan selanjutnya dianalisa komposisi kimia yang meliputi pH diukur dengan pH meter, konduktivitas menggunakan konduktivitas meter dan konsentrasi anion dan kation menggunakan kromatografi ion. Pada pengukuran pH dan konduktivitas, suhu sampel dijaga pada temperature 25oC, kemudian selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas filter dan disimpan di lemari pendingin pada suhu 4oC sampai pemeriksaan ion-ion dilakukan. Selanjutnya dilakukan analisa statistika dengan menggunakan metode Spearman Rho untuk mengetahui signifikansi hubungan antara curah hujan dengan pH dan konduktivitas.
4. HASIL PEMBAHASAN a.
Nilai pH dan Konduktivitas (EC) 4.1.1 Nilai pH Nilai pH merupakan hasil dari keseluruhan pengaruh komponen keasaman dan kebasaan
yang berasal dari berbagai sumber, antropogenik (kegiatan manusia) ataupun sumber alam. Komponen asam seperti NO3- dan SO42- secara umum diemisikan dari kegiatan industri dan kendaraan, namun sumber SO42- mungkin juga dapat diemisikan dari soil dust. Sedangkan untuk komponen basa, sumber yang penting adalah Ca2+ yang berasal dari debu tanah dan NH3+ yang berasal dari penggunaan pupuk pada kegiatan pertanian (Budhavant at al., 2014). Frekuensi distribusi rentang nilai pH pada masing-masing lokasi dapat dilihat pada Gambar 4.1. Pada tahun 2013, hampir 77% nilai pH berada di atas nilai pH 5,5 untuk daerah Cililin, Padalarang, Ciater, Ciparay dan Tanjung Sari. Bahkan di daerah Cililin, Ciater, Tanjung Sari Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
227
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
dan Ciparay terdapat nilai pH yang berkisar dalam rentang nilai pH 7,1 – 7,5. Tingginya nilai pH menandakan banyaknya faktor penetral keasaman hujan di sekitar lokasi pemantauan. Pegunungan kapur pada daerah Padalarang dan kegiatan pertanian serta peternakan di sekitar daerah Cililin, Ciater, Ciparay dan Tanjung Sari dapat menyebabkan tingginya konsentrasi komponen penetral keasaman air hujan yaitu Ca2+ dan NH3+. Kondisi yang berbeda terjadi pada daerah Soreang, dimana hanya 20% saja frekuensi nilai pH berada di atas nilai pH 5,5, sedangkan 80% berada pada nilai pH dibawah nilai 5,5. Rendahnya nilai pH pada daerah Soreang berhubungan dengan sumber keasaman atmosfer yaitu NO3- dan SO42-
Gambar 4-1: Distribusi Frekuensi Rentang Nilai pH bulan Januari – Desember 2013
Jika dilihat berdasarkan profil musiman, nilai pH pada musim kemarau (JJA) dan musim peralihan kemarau ke musim penghujan (SON) memiliki kecenderungan nilai pH yang tinggi jika dibandingkan dengan musim penghujan (DJF) dan musim peralihan dari penghujan ke musim kemarau (MAM). Nilai pH yang rendah pada musim penghujan disebabkan polutan yang bersifat asam lebih banyak dibandingkan dengan polutan yang bersifat basa (Fang at al., 2013). Namun kondisi ini tidak sesuai untuk daerah Cililin, Tanjung Sari dan Padalarang, hal ini diduga pada daerah tersebut memiliki faktor penetral keasaman yang kuat seperti Ca2+ dan NH3+.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
228
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-2: Nilai pH dan Curah Hujan Musiman Tahun 2013
4.1.2 Nilai Konduktivitas (EC) Nilai konduktivitas (EC) berkorelasi positif dengan jumlah kontaminasi ion-ion yang terlarut dalam air hujan. Jika sampel air hujan memiliki nilai konduktivitas tinggi, maka kandungan konsentrasi ion-ion yang terlarut di dalamnya juga tinggi. Jika dihubungkan dengan jumlah curah hujan, maka nilai curah hujan akan berbanding terbalik dengan nilai konduktivitas (Sillapapiromsuk dan Chantara, 2010). Gambar 4-3, memperlihatkan hubungan antara curah hujan dengan nilai konduktivitas, pada saat musim kemarau, volume hujan sangat sedikit, sedangkan konsentrasi polutan yang terdapat di atmosfer cukup banyak, sehingga konsentrasi kelarutan ion-ion dalam air hujan akan tinggi maka tinggi pula nilai konduktivitas, kondisi sebaliknya akan terjadi pada musim penghujan.
Gambar 4-3: Nilai Konduktivitas dan Curah Hujan Musiman Tahun 2013
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
229
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Berdasarkan profil musiman, konduktivitas tertinggi terjadi pada musim kemarau (JJA) dan musim peralihan kemarau – penghujan (SON), untuk daerah Padalarang dan Ciparay, dimana nilai konduktivitas mencapai 3,7 mS/m. Sedangkan untuk nilai terendah terjadi pada musim penghujan (DJF) dan musim peralihan penghujan – kemarau (MAM) untuk daerah Ciater dan Tanjung Sari dengan nilai konduktivitas sebesar 0,9 mS/m. Analisisis statistika dilakukan dengan metode Spearman Rho untuk mengetahui tingkat signifikasi hubungan antara curah hujan dengan nilai pH dan konduktivitas. Hasil menunjukkan bahwa untuk kesemua lokasi (Soreang, Cililin, Padalarang, Ciater, Tanjung Sari dan Ciparay) untuk nilai pH mempunyai korelasi rata-rata sebesar 12,9 % dan tidak adanya signifikansi hubungan antara nilai pH dengan curah hujan (p value > 0,01). Sedangkan untuk nilai konduktivitas, mempunyai korelasi negatif yang artinya mempunyai hubungan yang berkebalikan antara nilai konduktivitas dengan curah hujan sebesar 42 % dan mempunyai hubungan yang signifikan antara nilai konduktivitas dengan curah hujan (p value < 0,01). b. Konsentrasi Anion dan Kation Konsentrasi anion dan kation yang terlarut di dalam air hujan merupakan informasi yang sangat berguna untuk mengindentifikasi atau mengevaluasi komposisi kimia yang terdapat di atmosfer. Pada gambar 4-4 dapat dilihat hasil dari analisis sampel air hujan dengan menggunakan kromatografi ion dan urutan konsentrasi dari masing-masing lokasi dapat dilihat pada tabel 4-1. Tabel 4-1 Urutan Konsentrasi Ion Lokasi
Urutan konsentrasi ion -
2-
Soreang
NO3 > SO4 > NH4+ > Na+ > Ca2+ > Cl- > Mg2+ > K+;
Cililin
NH4+> NO3- > SO42- > Na+ > Ca2+ > Cl- > K+ > Mg2+;
Padalarang
NO3- > Na+ > NH4+> SO42- > Ca2+ > Cl- > K+ > Mg2+;
Ciater
NH4+> SO42- > Cl- > NO3- > Na+ > K+ > Ca2+ > Mg2+;
Ciparay
NO3- > Ca2+ > NH4+> Na+ > SO42- > Cl- > K+ > Mg2+;
Tanjung Sari
NH4+> SO42- > Cl- > Na+ > NO3- > Ca2+ > K+ > Mg2+
Berdasarkan tabel 4-1 terlihat bahwa ion anion yang mendominasi untuk daerah Soreang, Cililin, Padalarang dan Ciparay adalah NO3- dengan rata-rata konsentrasi sebesar 50,3 μmol/L, sedangkan untuk daerah Ciater dan Tanjung Sari adalah SO42- dengan rata-rata konsentrasi sebesar 16,08 μmol/L. Oksida sulfur dan nitrogen diemisikan ke atmosfer terutama dari pembakaran bahan bakar fosil. Kedua unsur ini bereaksi di atmosfer dengan air, oksigen dan oksidan untuk membentuk asam sulfat, asam nitrat, partikel suflat dan partikel nitrat. Komponen asam yang dihasilkannya dapat bertahan lama di udara dan dapat terbawa jauh dari Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
230
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
sumbernya oleh angin dominan (Hand, at al., 2012). Konsentrasi NO3- dan SO42- yang tinggi pada daerah tepi Cekungan Bandung, selain pengaruh faktor alam seperti di Ciater (terdapat Gunung Tangkuban Perahu) kemungkinan dipengaruhi juga oleh polutan yang berasal dari pusat kota Bandung, dimana polutan tersebut terbawa oleh angin menuju daerah tepi Cekungan Bandung dan terdeposisi ke permukaan bumi karena terbawa oleh air hujan.
Gambar 4-4: Konsentrasi Anion dan Kation Pada gambar 4-4 terlihat bahwa konsentrasi kation yang mendominasi adalah NH4+ untuk daerah Soreang, Cililin, Ciater dan Tanjung Sari, sedangkan untuk daerah Padalarang yang mendominasi adalah Na+ dan untuk daerah Ciparay adalah Ca2+ dengan konsentrasi rata-rata untuk NH4+ sebesar 28, 01 μmol/L. Konsentrasi Na+ sebesar 37,36 μmol/L dan Ca2+ sebesar 33,26 μmol/L. Pola musiman untuk konsentrasi ion dapat dilihat pada gambar 4-5, dimana untuk musim kemarau dan peralihan musim kemarau ke musim penghujan di daerah Soreang, Cililin, Padalarang, Ciater dan Ciparay menunjukkan nilai yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
231
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
musim penghujan dan musim peralihan penghujan ke kemarau. Namun untuk daerah Tanjung Sari memperlihatkan pola yang lain, dimana konsentrasi ion hampir sama disetiap musimnya.
Gambar 4-5: Konsentrasi Anion dan Kation Musiman Tahun 2013
c.
Pola Angin dan Nilai pH Pola angin dominan sangat berpengaruh terhadap penyebaran polutan. Pada gambar 4-6
terlihat bahwa nilai pH di pusat kota Bandung pada tahun 2013 dipengaruhi oleh polutan yang berasal dari arah Utara Barat Laut, Barat Daya dan juga Selatan Barat Daya, yaitu daerah Padalarang, Cililin dan Soreang. Terlihat bahwa daerah Padalarang memiliki pengaruh yang kuat untuk menyumbang sifat penetralan pH karena pengaruh konsentrasi Na+, dan Ca2+. Sedangkan untuk nilai pH asam dipengaruhi oleh NO3- dan SO42- di daerah Cililin dan Soreang,
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
232
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-6: Hubungan antara nilai pH dengan arah angin
Sedangkan dari pusat kota Bandung angin dominan akan mempengaruhi keasaman air hujan di daerah Ciparay, Tanjung Sari dan Ciater, karena angin berlawanan yang berhembus dari arah Utara Barat Laut, Barat Daya dan juga Selatan Barat Daya. Komponen penetral keasaman air hujan dari daerah Padalarang akan melewati kota Bandung dan kemudian akan berhembus menuju daerah Ciparay. Sedangkan untuk daerah Ciater dan Tanjung Sari, angin yang berhembus dari daerah Soreang dan Cililin akan menuju pusat kota Bandung untuk selanjutnya berhembus ke arah Ciater dan Tanjung Sari.
5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa komposisi kimia air hujan daerah tepi Cekungan Bandung dipengaruhi oleh polutan yang berasal dari kota Bandung, dan begitu pula sebaliknya. Komponen penetral keasaman air hujan yang dominan yaitu Na+ ,Ca2+ dan NH4+ sedangkan untuk komponen keasaman yaitu NO3- dan SO42- . Volume curah hujan mempengaruhi besar atau kecilnya nilai konduktivitas, tetapi tidak mempengaruhi nilai pH.
DAFTAR RUJUKAN Budhavant K.B, P.S Prakasa Rao, P.D Safai, 2014, “Chemical composition of snow-water and scavenging ratio over costal Antartica”, Aerosol and Air Quality Research, 14: 666676
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
233
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Dubey, S, 2013, “Acid Rain-The Major Cause of Pollution: Its Causes, Effects and Solution”, International Journal of Scientific Engineering and Technology, Volume No2, Issue No.8, pp: 772-775 Fang, Yunting, Xuemei Wang, Feifei Zhu, Zhiyong Wu, Jiong Li, Luiju Zhong, Duohong Chen dan Muneoki Yoh, 2013, “ Three-decade changes in chemical composition of precipitation in Guangzhou city, southern China”, Tellus Series B Chemical and Physical Meteorology, Volume 6, 65 Hand J.L, B.A Schictecl, W.C Malm dan M.L Pitchford, 2012, “Particulate sulfate ion concentration and SO2 emission tyrends in United State from the early 1990s through 2010”, Atmospheric Chemistry and Physics, 12, 10353-10365 Sillapapiromsuk S, S. Chantara, 2010, “Chemical composition and seasonal variation of acid deposition in Chiang Mai, Thailand”, Environmental Engineering Research, Jun 15(2): 93-98 Shen Zhenxing, Leiming Zhang, Junji Cao, 2012, “ Chemical composition, sources and deposition fluxes of water soluble inorganics ion obtained from precipitation chemistry measurements collected at an urban site in northwest China”, Journal of Environmental Monitoring, 14, 3000-3008 Soedomo M., “Pencemaran Udara”, Bandung: ITB; 2001
TANYA JAWAB SESI POSTER 1. Ibu Novita Ambar Sari Pertanyaan : a. Mengapa ada perbedaan trend pada setiap musim pada masing-masing lokasi? b. Bagaimana hubungan antara tingginya konsentrasi dengan sumber dari polutan? Jawab : a. Perbedaan trend pada masing-masing lokasi dikarenakan perbedaan banyaknya sumber polutan yang mengemisikan polutan pada daerah tersebut. Sebagai contoh untuk daerah Padalarang dan Tanjung Sari, dimana pada daerah Padalarang sudah banyak industri yang berada disekitar lokasi pemantauan, sehingga pada musim kemarau (JJA) memiliki tren konsentrasi yang cukup tinggi di bandingkan dengan musim lainnya (DJF, MAM dan SON) sedangkan pada daerah Tanjung Sari berada di lokasi yang jauh dari sumber polutan sehingga pada setiap musim hampir memiliki trend konsentrasi yang sama. b. Konsentrasi SO42+ dan NO3- berhubungan dengan sumber pencemar yang berasal dari aktivitas industri dan kendaraan (pembakaran bahan bakar fosil), sedangkan konsentrasi Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
234
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
NH4+ berhubungan dengan sumber pencemar yang berasal dari aktivitas pertanian dan peternakan, sedangkan konsentrasi Ca2+ dan Na+ berasal dari sumber debu tanah. c. 2. Ibu Aisya Pertanyaan : a. Bagaimana pengaruh nilai pH air hujan pada kondisi lingkungan ? Jawab : Nilai pH pada air hujan mencerminkan besarnya konsentrasi asam-basa dari polutan yang ada di atmosfer yang larut ke dalam air hujan. Nilai pH 5,6 merupakan ambang batas nilai pH yang mengindikasikan terjadinya hujan asam pada suatu daerah, dimana hujan pada daerah tersebut memiliki konsentrasi asam yang tinggi. Nilai pH yang netral (nilai pH 6 – 7) mengindikasikan adanya keseimbangan antara konsentrasi asam-basa, namun perlu dicermati besarnya konsentrasi asam dan basanya, jika konsentrasi asam dan basanya tinggi, maka bukan berarti kondisi lingkungan berada dalam keadaan baik. Hal ini mengindikasikan besarnya pencemar asam dan basa yang mengakibatkan netralnya nilai pH. 3. Bapak Halim Pertanyaan : a. Berapa tahun data yang digunakan? Jawab : Data yang digunakan pada penelitian ini hanya dalam kurun waktu satu tahun, kedepannya akan dilakukan pengolahan data dari awal pemantauan untuk melihat perubahan yang terjadi Saran : Sebaiknya untuk data satu tahun tidak perlu dilihat musimannya, ditampilkan saja dalam bentuk bulanan. 4. Bapak Afif Budiyono Pertanyaan : a. Apakah dilakukan perhitungan laju deposisi atau laju pengasaman ? Jawab : Dalam penelitian ini tidak dilakukan perhitungan mengenai laju pengasaman, hanya melihat karakteristik dari konsentrasi ion-ion yang terlarut dalam air hujan, pH dan konduktivitasnya serta pengaruh curah hujan terhadap parameter pH dan konduktivitas Saran :
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
235
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Sebaiknya dilakukan juga perhitungan laju pengasaman untuk melihat karakteristik laju pengasaman pada masing-masing lokasi, dan dicoba untuk membandingkan laju pengasaman untuk daerah-daerah yang berbeda karakteristiknya seperti di daerah pantai.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
236
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
KONVERGENSI HORISONTAL PADA KASUS HUJAN LEBAT DI JAKARTA BERDASARKAN MODEL COSMO (HORIZONTAL CONVERGENCE IN JAKARTA HEAVY RAINFALL CASE BASED ON COSMO MODEL) Erma Yulihastin Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kejadian hujan lebat di wilayah Jakarta sering menyebabkan banjir yang parah, seperti yang terjadi pada tanggal 17 Januari 2013. Kejadian hujan lebat pada tanggal 17 kemungkinan besar disebabkan oleh faktor gangguan cuaca skala sinoptik, yaitu aliran angin dari utara di level permukaan yang sangat kuat atau disebut juga Cross-Equatorial Northerly Surge (CENS). Untuk mengetahui pola pembentukan konvergensi di atas Jakarta dan sekitarnya pada kejadian tersebut, dilakukan analisis spasial konvergensi dan menggunakan simulasi model prediksi cuaca numerik COSMO di atas Jawa Barat pada 17 Januari 2013. Hasil simulasi menunjukkan konvergensi terjadi pada pagi hari di utara Jakarta, lalu menyebar ke tenggara dan menumbuhkan pusat-pusat konvergensi baru di beberapa wilayah di Jawa Barat. Konvergensi di bagian tenggara persisten hingga malam hari di wilayah sekitar Garut. Kata kunci: konvergensi, vortisitas, hujan lebat, Jakarta, model COSMO
ABSTRACT Heavy rainfall in Jakarta often cause severe flood, as occurred on on January 17, 2013. The event is most likely caused oleh synoptic disturbance namely strong northerly so-called Cross Equatorial Northerly Surge (CENS). To determine propagation of convergence over Jakarta and surrounding areas at the event, we described spatial analysis of convergence oleh using numerical weather prediction of COSMO model over West Java on 17 January 2013. The simulation results show the convergence occurred in the morning in northern Jakarta, then spread to the southeast and generate new convergence centers in several areas in West Java. Convergence in the southeastern part (around Garut) occurred persistent until the night. Keywords: convergence, vorticity, heavy rainfall, Jakarta, COSMO model Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
237
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
1. PENDAHULUAN Beberapa kasus kejadian hujan lebat di wilayah Jakarta yang menimbulkan banjir hampir selalu disebabkan oleh aliran monsun dari utara yang sangat kuat, atau disebut juga CrossEquatorial Northerly Surge (CENS) (Wu dkk., 2007; Wu dkk., 2013; Trilaksono dkk., 2011; Trilaksono dkk., 2012; Yulihastin, 2014). Meskipun peneliti lain juga menyebutkan faktor lokal berupa angin darat dan angin laut juga ikut memperparah terbentuknya presipitasi yang tinggi di Jakarta dan ini terbukti pada kejadian banjir di Jakarta pada 2002 (Aldrian dkk., 2008). Kejadian hujan lebat pada 17 Januari 2013 menarik untuk dikaji. Bukti-bukti menunjukkan bahwa penyebab utama hujan lebat terjadi, karena terdapat gangguan cuaca dalam skala sinoptik yaitu aktivitas CENS (Yulihastin, 2014) dan MJO (Wu dkk., 2013) yang sebelumnya telah diketahui meningkatkan presipitasi pada periode monsun musim dingin Asia (Kang dkk., 2010; Kiladis dkk., 2005). Selain itu, banjir di Jakarta 2013 juga menimbulkan dampak terburuk kedua setelah banjir 2007 dalam hal korban meninggal dan evakuasi, yaitu menewaskan 38 orang dan mengakibatkan evakuasi 83.930 orang (BNPB, 2014). Hujan lebat di Jakarta pada 17 Januari 2013 tidak lepas dari faktor gangguan cuaca skala sinoptik yang terjadi karena penguatan monsun Asia (Yulihastin, 2014). Hal ini telah dibuktikan secara klimatologis oleh Chang dkk. (2004) melalui data Global Meteorology Satellite (GMS) yang memperlihatkan bahwa aktivitas konvektif di atas Pulau Jawa terkuat terjadi pada bulan Januari (Gambar 2.1). Demikian pula aliran monsun Asia yang direpresentasikan oleh angin utara-an yang berasal dari laut China Selatan menuju Pulau Jawa terjadi pada Januari. Selain itu, data klimatologis konvergensi angin di atas Jawa juga menggambarkan bahwa konvergensi cukup kuat terjadi pada bulan Januari, bersamaan dengan pelemahan pusat konvergensi sangat kuat yang terjadi di atas Pulau Sumatera yang terjadi pada bulan Desember.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
238
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 1.1: Indeks konvektif (panel atas) klimatologis bulan Desember (a), Januari (b), Februari (c) dan sama seperti panel atas tetapi untuk angin dan Divergensi (panel bawah, (d)(f)). Sumber: Chang et al., 2004. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pola konvergensi fluks kelembapan yang berada di atas wilayah Jakarta. Analisis konvergensi fluks kelembapan ini penting untuk menjelaskan penyebab evolusi dan pola pergerakan presipitasi pada saat kejadian banjir di Jakarta tersebut. Makalah ini merupakan bagian dari tesis magister penulis yang berjudul”Pengaruh CENS terhadap presipitasi pada Kasus Banjir Jakarta 2013,” dengan pengembangan pada eksplorasi parameter turunan berupa konvergensi fluks kelembapan berdasarkan data model COSMO, yang belum dilakukan dalam tesis sebelumnya.
2. LANDASAN TEORI Cold Surge yang berasal dari dataran Siberia menuju Laut China Selatan direpresentasikan dengan penurunan temperatur permukaan dan penguatan angin utara-an dari Laut China Selatan menuju Pulau Jawa. Kejadian tersebut telah diteliti Chang dkk. (2004) memperkuat monsun Asia sehingga meningkatkan curah hujan di pulau Jawa (Gambar 2.2). Cold Surge yang menjalar jauh ke selatan melintasi ekuator pada periode Monsun Asia aktif di DJF (Desember Januari Februari) selanjutnya disebut juga dengan CENS (Hattori et al., 2011).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
239
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 2.1: Indeks konvektif klimatologis pada musim hujan (DJF) dibandingkan antara tidak terjadi Cold Surge (a) dan terjadi Cold Surge (b); dan sama seperti panel atas tetapi untuk angin dan Divergensi (c) dan (d). Sumber: Chang et al. (2004). 3. DATA DAN METODOLOGI Untuk mempelajari pola penjalaran secara spasial presipitasi dan parameter fisis atmosfer yang terjadi di atas Jakarta pada 17 Januari 2013 diperlukan data dengan resolusi tinggi. Oleh karena itu data hasil simulasi model Consortium of Small Scale Modeling (COSMO) dengan resolusi spasial 7 km digunakan dalam penelitian ini. Model COSMO merupakan model cuaca non-hidrostatik yang dapat menggambarkan atmosfer yang lembap dan kompresibel. Ini berarti, efek non-hidrostatik merupakan faktor utama yang digunakan untuk menjelaskan evolusi aliran di atmosfer. Model yang dibangun dan dikembangkan oleh Deutscher Wetterdienst (DWD), Jerman pada 2007 ini menggunakan persamaan dasar termo-hidrodinamika yang dapat menggambarkan aliran kompresibel di atmosfer yang lembap. Model COSMO yang dijalankan dalam penelitian ini menggunakan data input dari Global Model (GME) dengan resolusi 20 km pada rentang 15-20 Januari 2013. Selain model, digunakan pula data presipitasi tiap 3-jam dari Satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) untuk mengetahui sifat hujan selama bulan Januari 2013. Metode yang digunakan dalam penelitian pertama yaitu melakukan analisis deret waktu presipitasi 3-jaman dari Satelit TRMM untuk mengetahui intensitas presipitasi yang terjadi pada 17 Januari 2013 dibandingkan hari-hari lainnya selama Bulan Januari. Selanjutnya, analisis spasial dilakukan terhadap presipitasi dan vektor angin dari hasil simulasi model. Hal Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
240
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
ini dilatarbelakangi oleh penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa pengaruh CENS pada kejadian hujan lebat di atas Jakarta sangat dominan (Yulihastin dkk., 2014). Analisis selisih temperatur (T) terhadap temperatur titik embun (Td) digunakan untuk memperkuat dugaan bahwa kondisi kelembapan atmosfer di level permukaan telah mencapai titik jenuh. Nilai selisih temperatur yang kecil (mendekati nol) menunjukkan udara telah tersaturasi menjadi embun (uap air). Langkah berikutnya adalah melakukan analisis transport kelembapan dan analisis divergensi fluks kelembapan yang diuraikan secara rinci di bawah ini.
3.1 Analisis Transpor Kelembapan Transpor kelembapan menunjukkan aliran penjalaran kelembapan yang direpresentasikan dengan besaran skalar kelembapan spesifik yang dikalikan dengan besaran vektor angin (persamaan 3.1; Webster dan Fasullo, 2003). Pada penelitian ini digunakan analisis transpor kelembapan hanya di level permukaan (1000 mb) saja. Ketinggian di level permukaan ini dipilih karena dugaan kejadian hujan lebat tersebut berhubungan dengan cold surge yang diasosiasikan dengan penguatan aliran yang terjadi di permukaan (Chang dkk., 1979; Love 1985; Compo dkk., 1999; Chang dkk., 2004; Hattori dkk., 2011). = di mana
⃗
…………………………………………(3.1)
adalah transpor kelembapan,
adalah kelembapan spesifik (dalam satuan g/g), ⃗
adalah vektor kecepatan angin horisontal (m/s), dan
adalah tekanan atmosfer (mb).
Analisis spasial transpor kelembapan digunakan untuk mengetahui aliran penjalaran kelembapan yang menuju ke wilayah Jakarta dan sekitarnya pada saat kejadian banjir tanggal 17 Januari 2013. 3.2 Analisis Divergensi Fluks Kelembapan Analisis divergensi fluks kelembapan ini dilakukan untuk mengetahui pembentukan pusat konvergensi fluks kelembapan di atas wilayah Jakarta. Perhitungan divergensi dilakukan terhadap data transpor kelembapan yang telah diperoleh pada perhitungan sebelumnya. Rumus divergensi fluks kelembapan di level rendah ditunjukkan pada persamaan berikut (Banacos dan Schultz, 2004).
Div. ( V) = ∇. ( ∇= ̂ di mana,
)= + ̂
. ∇ + ∇. ;
. ∇ merupakan suku adveksi, ∇.
………………......(3.2) =( , )
adalah suku divergensi horisontal. Persamaan
(3.2) jika dijabarkan menjadi:
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
241
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Div. ( V) = ∇. (
)=
+
+ (
+
)………..(3.3)
Maka, rumus divergensi horisontal yang digunakan adalah ruas kanan ketiga pada persamaan (3.3) di atas. Div.h = ( di mana (m/s),
+
)………………………………………….(3.4)
adalah kelembapan spesifik (g/g),
adalah vektor kecepatan angin komponen zonal
adalah vektor kecepatan angin komponen meridional (m/s),
angin zonal, dan
menyatakan perubahan
menyatakan perubahan angin meridional.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 4.1 adalah presipitasi selama bulan Januari di Jakarta bagian utara berdasarkan data Satelit TRMM. Gambar tersebut menunjukkan presipitasi tertinggi yang mencapai 24 mm/jam terjadi di atas Jakarta pada 17 Januari 2013. Intensitas presipitasi ini mengalami peningkatan hampir tiga kali lipat dibandingkan hari-hari lainnya di bulan Januari 2013, yang intensitasnya tak lebih dari 9 mm/jam.
Gambar 4.1: Presipitasi selama bulan Januari 2013 berdasarkan Satelit TRMM di lokasi sekitar Jakarta bagian utara (106,875oBT, 6,125oLS).
Gambar 4.2 memperlihatkan pola spasial akumulasi presipitasi total pada pukul 10, 13, 16 dan 19 WIB pada tanggal 17 Januari 2013. Gambar tersebut menunjukkan bahwa penjalaran presipitasi yang tinggi mula-mula terjadi di bagian pantai utara Jakarta pada pagi hari pukul 07.00 WIB, kemudian menyebar ke arah tenggara ke sebagian besar wilayah Jawa Barat. Pada malam hari (19.00 WIB) presipitasi yang cukup tinggi masih terjadi di tenggara pantai Jawa Barat (sekitar Garut). Selain itu presipitasi cenderung terkonsentrasi di atas daratan. Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
242
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Penyebaran presipitasi maksimum yang dimulai dari pagi hari tersebut menunjukkan bahwa proses konveksi yang terjadi di utara Jakarta bukan disebabkan oleh variasi diurnal dari pengaruh lokal yakni pengaruh angin darat dan angin laut, yang umumnya memodulasi pembentukan presipitasi pada siang hingga sore hari. Namun, proses pembentukan presipitasi ini terjadi karena pengaruh konvergensi dalam skala sinoptik. 10-07 WIB
13-16 WIB
13-10 WIB
16-19 WIB
Gambar 4.2: Akumulasi presipitasi total tiap 3-jam (a)-(d) pukul 07-10 WIB, 10-13 WIB, 1316 WIB, 16-19 WIB pada 17 Januari 2013, secara berturut-turut.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
243
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
4.1 Analisis Spasial Angin Meridional Untuk mengetahui pola spasial angin monsunal yang menyebabkan presipitasi, dilakukan analisis spasial vektor angin yang menuju kawasan Jakarta dan sekitarnya. Oleh karena itu penelitian ini difokuskan pada wilayah di sekitar Jawa Barat saja agar memperoleh deskripsi yang lebih rinci. Gambar 4.3 memperlihatkan aliran angin dari utara pada ketinggian 925 mb dan dioverlay dengan magnitudo angin meridional dari simulasi model COSMO pada tanggal 17 Januari 2013 pukul 10, 13, 16, dan 19 WIB. Ketinggian 925 ini dipilih untuk merepresentasikan lapisan permukaan dan bukan 1000 mb untuk meminimalkan pengaruh topografi dan dinamika atmosfer di lapisan batas permukaan karena merupakan lapisan yang relatif dekat dengan permukaan. Gambar tersebut menunjukkan bahwa angin dari utara bergerak dengan sangat kuat (>10 m/s) dari Laut Jawa melintasi Jakarta dan merasuk juah ke Jawa Barat bagian selatan hingga ke Samudera Hindia (7-8oLS). Aliran dari utara yang menuju Jakarta tersebut paling kuat terjadi pada pagi hari, bersamaan dengan presipitasi maksimum yang terjadi di Jakarta, sehingga menyebabkan banjir pada 17 Januari 2013. Analisis vektor angin ini memperjelas pengaruh CENS pada kejadian hujan lebat di Jakarta yang menimbulkan banjir.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
244
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
0310 WIB UTC
0613 WIB UTC
0916 WIB UTC
12 19 WIB UTC
Gambar 4.3: Vektor angin di-overlay dengan magnitudo angin meridional pada level 925 mb berdasarkan hasil model COSMO pada pukul 10, 13, 16, 19 WIB pada 17 Januari 2013, dari kiri ke kanan berturut-turut. 4.2 Analisis T-Td Gambar 4.4 menunjukkan selisih temperatur terhadap temperatur titik embun (T-Td) hasil simulasi model COSMO pada tanggal 17 Januari 2013 pukul 10, 13, 16, 19 WIB. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa kondisi udara jenuh atau mengandung uap air yang tinggi terjadi secara homogen di atas Jawa Barat. Pada pagi hari, uap air yang menuju utara Jakarta tampak berasal dari Laut Jawa. Uap air jenuh tersebut terbentuk pada pagi hari dan bertahan hingga malam hari saat kejadian hujan lebat. Hal ini membuktikan bahwa udara di dekat permukaan merupakan udara jenuh pada tanggal 17 Januari 2013, yang memungkinkan uap seluruhnya mengembun atau berubah menjadi air.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
245
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
10 WIB
03 UTC
09 UTC
16 WIB
13 WIB
06 UTC
12 UTC
19 WIB
Gambar 4.4: Sama seperti Gambar 4.3, tetapi untuk selisih temperatur terhadap temperatur titik embun (T-Td) di permukaan. 4.3 Analisis Transpor Kelembapan Gambar 4.5 menunjukkan transpor kelembapan di permukaan hasil simulasi model COSMO pada tanggal 17 Januari 2013 pukul 10, 13, 16, 19 WIB. Gambar tersebut menunjukkan bahwa transpor kelembapan maksimum berada di Laut Jawa utara Jakarta dan di pantai utara Jawa Barat. Hal ini memperkuat dugaan bahwa hujan lebat yang terjadi di atas Jakarta berhubungan dengan aliran kelembapan yang berasal dari Laut Jawa.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
246
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
10 WIB
03 UTC
16 WIB
06 UTC
13 WIB
06 UTC
19 WIB
12 UTC
Gambar 4.5: Sama seperti Gambar 4.4, tetapi untuk transpor kelembapan di permukaan.
4.4 Analisis Divergensi Horisontal Fluks Kelembapan Pola pergerakan dan pemusatan (convergence) kelembapan secara horisontal yang terjadi di atas wilayah Jakarta dijelaskan melalui analisis divergensi horizontal fluks kelembapan sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 4.6. Terlihat bahwa pada pagi hari mulamula konvergensi fluks kelembapan terbentuk di atas wilayah sekitar Jakarta, lalu menyebar luas menuju ke tenggara. Selain konvergensi memanjang dan berpindah ke tenggara, konvergensi-konvergensi kecil lainnya terbentuk pula di bagian tenggara wilayah Jawa Barat yang secara pola merupakan perluasan dari konvergensi Jakarta. Pada siang hari, konvergensi baru terbentuk di atas pantai tenggara Jawa Barat (sekitar Garut). Konvergensi di atas Garut tersebut mulai terbentuk pada siang hari dan bertahan hingga malam hari.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
247
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
10 WIB
03 UTC
13 WIB
16 WIB
19 WIB
09 UTC
06 UTC
12 UTC
Gambar 4.6: Sama seperti Gambar 4.5, tetapi untuk divergensi horisontal fluks kelembapan. Pola pergerakan konvergensi fluks kelembapan dari wilayah Jakarta menuju tenggara tersebut sangat bersesuaian dengan pola akumulasi presipitasi total sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 4.7. Presipitasi maksimum mula-mula terkonsentrasi di sekitar Jakarta pada pagi hari. Selanjutnya, presipitasi maksimum mulai bergerak dan meluas menuju tenggara Jawa Barat hingga siang hari. Pola pergerakan presipitasi ini terlihat menyambung dari utara Jakarta menuju tenggara. Lalu pada sore hingga malam hari, presipitasi maksimum terbentuk di bagian tenggara pantai Garut, Jawa Barat, yang diduga disebabkan oleh pembentukan konvergensi baru di wilayah ini sebagaimana telah dijelaskan di atas. Konvergensi baru yang terkonsentrasi di pantai Garut tersebut memiliki mekanisme yang berbeda dengan konvergensi di utara Jakarta, sehingga pola spasial terlihat tidak bersambung.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
248
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
13 WIB
10 WIB
03 UTC
06 UTC
16 WIB
19 WIB
12 UTC
09 UTC
Gambar 4.7: Sama seperti Gambar 4.6, tetapi untuk akumulasi presipitasi total pada 03 UTC (akumulasi 3 jam), 06 UTC (akumulasi 6 jam), 09 UTC (akumulasi 9 jam), 12 UTC (akumulasi 12 jam). 5. KESIMPULAN Hujan lebat yang menimbulkan banjir pada 17 Januari 2013 di Jakarta dipengaruhi oleh aliran utara-an yang sangat kuat. Penjalaran aliran tersebut membawa serta fluks kelembapan sangat tinggi sehingga terjadi konsentrasi kelembapan di atas wilayah Jakarta dan secara cepat meluas dan terdistribusi ke tenggara di atas Jawa Barat. Konvergensi fluks kelembapan yang menjalar secara besar-besaran tersebut merupakan bukti kuat bahwa hujan lebat di atas wilayah Jakarta pada tanggal tersebut bukan disebabkan oleh faktor lokal melainkan oleh konvergensi skala sinoptik. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pembimbing Dr. Nurjanna Trilaksono yang telah memberikan saran-saran konstruktif terkait pengembangan riset dalam tesis, di mana riset ini merupakan penegembangan dari tesis tersebut.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
249
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
DAFTAR RUJUKAN Aldrian, E., 2008, “Dominant factors of the Jakarta’s three largest floods”, Jurnal Hidrosfir Indonesia, ---, --BNPB, 2014, http://dibi.bnpb.go.id/, diunduh pada tanggal 27 April 2014
Chang, C.P., Harr P.A., dan Chen, H.J., 2004, “Synoptic Disturbance over the Equatorial South Cina Sea and Western Maritime Continent during Boreal Winter”, Monthly Weather Review, 133, 489-503 Kang, In S. dan Hye M.K., 2010, “Assessment of MJO Predictability for Boreal Winter with Various Statistical and Dynamical Models”, Journal of Climate, 23, 68–78 Kiladis, G.N., Katherine H.S., dan Patrick T.H., 2005, “Zonal and Vertical Structure of the Madden–Julian Oscillation”, Journal of the Atmospheric Sciences, 62, 2790–2809 Trilaksono, N.J., Otsuka, S., Yoden, S., Saito, K., Hayashi, S., 2011, “Dependence of Model-Simulated Heavy Rainfall on the Horizontal Resolution during the Jakarta Flood Event in JanuaryFebruary 2007”, SOLA, 7, 193-196 Trilaksono, N.J., Otsuka, S., Yoden, S., 2012, “A Time-Lagged Ensemble Simulation on the Modulation of Precipitation over West Java in January-February 2007”, Monthly Weather Review, 140, 601-616 Wu, P., Hara, M., Fudeyasu, H., Yamanaka, M.D., dan Matsumoto, J., 2007, “The Impact of Transequatorial Monsoon Flow on the Formation of Repeated Torrential Rains over Java Island”, SOLA, 3, 93-96 Wu, P., Arbain A.A., Mori, S., Hamada, J., Hattori, M., Syamsudin, F., dan Yamanaka, M.D., 2013, “The Effects of an Active Phase of the Madden-Juian Oscillation on the Extreme Precipitation Event over Western Java Island in January 2013”, SOLA, 9, 79-83
Yulihastin, E., 2014, “Pengaruh Cross-Equatorial Northerly Surge Terhadap Presipitasi Pada Kasus Banjir Jakarta 2013”, Tesis, Program Studi Sains Kebumian, ITB
TANYA JAWAB SESI POSTER PERTANYAAN:
Bagaimana dengan prediksi banjir Januari 2015?
JAWABAN:
Prediksi banjir Januari 2015 tidak bisa dilakukan dengan model cuaca numerik COSMO karena model cuaca hanya bisa memprediksi antara 14 hari ke depan. Namun demikian, pola kejadian CENS yang secara klimatologis menguat pada bulan Januari, dapat terus dipantau agar kita bisa memberikan peringatan dini terhadap hujan lebat yang dapat mengakibatkan banjir di Jakarta.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
250
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
PERTANYAAN:
Bagaimana cara menghitung CENS?
JAWABAN:
CENS dihitung dengan cara merata-ratakan angin meridional di ketinggian 850 mb di atas area yang dibatasai oleh 105-115oBT,0-5oLS. Di mana, nilai angin dari utara yang lebih besar dari 5 m/s menunjukkan CENS sedang aktif.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
251
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
ANALISIS CURAH HUJAN DASARIAN DAN VALIDASINYA BERBASIS DATA DOWNSCALING CCAM (CUBICAL CONFORMAL ATMOSPHERIC MODEL) DI PULAU JAWA (ANALYSIS AND VALIDATION OF 10-DAY RAINFALL BASED ON CUBICAL CONFORMAL ATMOSPHERIC MODEL DOWNSCALING DATA IN JAVA ISLAND) 1Haries
Satyawardhana, 2Armi Susandi, 1Bambang Siswanto dan 2Andi S. Muttaqien 1
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer,
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung 2
Prodi Sains Kebumian, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian mengenai analisis data curah hujan dasarian sangat penting dilakukan, karena berkaitan dengan penentuan awal musim, baik hujan dan kemarau. Pulau Jawa yang merupakan sentra produksi pertanian di Indonesia adalah salah satu daerah yang sangat memerlukan informasi iklim seperti awal musim. Maka dari itu penelitian ini melakukan kajian yang difokuskan untuk Pulau Jawa. Penelitian ini menggunakan metode dynamical downscaling yang dihasilkan dari Conformal Cubic Atmosferic Model (CCAM), dengan menggunakan input data Reanalisis NCEP/NCAR (National Centers for Environmental Prediction/National Center for Atmospheric Research). Data yang dihasilkan dengan menggunakan proses downscaling CCAM adalah data dengan resolusi spasial 15 km. Hasil yang didapatkan adalah data downscaling CCAM dan data TRMM mempunyai koefisien korelasi 0,76. Walaupun data hasil downscaling CCAM pada periode basah mempunyai nilai yang lebih rendah (under-estimate) dan pada periode kering masih menunjukkan nilai yang lebih tinggi (over-estimate) dengan curah hujan dasarian dari data TRMM, namun pola yang ditunjukkan secara temporal masih bersesuaian dengan curah hujan dasarian dari data TRMM. Pada periode basah, selisih yang besar antara nilai curah hujan dasarian hasil downscaling CCAM dihasilkan oleh nilai curah hujan di lautan yang jauh di bawah nilai curah hujan di lautan data TRMM. Kata kunci: CCAM, TRMM dan curah hujan dasarian
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
252
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
ABSTRACT Researches on the analysis of 10-days rainfall data are very important, because related to the determination of the onset monsoon, either for wet or dry seasons. This research focused on Java Island, because Java Island as the center of agricultural production in Indonesia is one of the areas that are in need of climate information such as the start of the season. This study used dynamical downscaling of Conformal Cubic Atmospheric Model (CCAM), with NCEP/NCAR (National Centers for Environmental Prediction / National Center for Atmospheric Research) reanalysis data for input. Downscaling process of CCAM produces data with a spatial resolution of 15 km. The results of this research are the correlation coefficient between downscaling CCAM data and TRMM is 0.76. Although the downscaling CCAM data describe lower value (under-estimate) in wet periods and the higher values (over-estimate) in dry period if compared with TRMM data, but the temporal pattern shown that downscaling CCAM data still corresponds with rainfall data from TRMM. In the wet period, a large difference between the values of 10-days rainfall data from downscaling CCAM was generated oleh rainfall in the ocean, which has values far below from TRMM data. Keywords: CCAM, TRMM and 10-days rainfall 1. PENDAHULUAN Pulau Jawa sebagai sentra produksi pangan memiliki peran yang sangat penting, karena sebagian besar kebutuhan pangan di Indonesia dihasilkan di Pulau Jawa. Adanya perubahan iklim seperti pergeseran musim sangat berpengaruh signifikan terhadap produktivitas pertanian di Pulau Jawa. Berdasarkan data BPS (2013), Pulau Jawa mempunyai kontribusi terbesar untuk pemenuhan kebutuhan pangan di Indonesia. Pulau Jawa menghasilkan sekitar 56 % produksi padi di Indonesia, sehingga berperan sebagai penyangga produksi beras nasional (Malian dkk., 2004). Pengaruh iklim sangat signifikan mempengaruhi sektor pertanian di Indonesia. Oleh sebab itu informasi iklim akan sangat penting untuk menunjang pertanian di Pulau Jawa, selain pengembangan teknologi di bidang pertanian. Contoh informasi iklim yang sangat penting bagi pertanian adalah penentuan awal dan panjang musim, baik musim kemarau maupun hujan (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2013). Sedangkan kriteria awal musim yang digunakan di Indonesia ditentukan oleh BMKG dengan menggunakan curah hujan dasarian. Penentuan awal musim menurut BMKG (2009), yaitu awal musim hujan (AMH) ditentukan jika curah hujan dasarian lebih dari atau sama dengan 50 mm dan diikuti dua dasarian berikutnya berturut-turut, sedangkan awal musim kemarau (AMK) ditentukan apabila curah
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
253
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
hujan dasarian kurang dari 50 mm dan diikuti dua dasarian berikutnya. Oleh karena itu penelitian mengenai analisis data curah hujan dasarian sangat penting dilakukan. Penelitian sebelumnya mengenai analisis curah hujan dengan menggunakan data dasarian berbentuk grid yang telah dilakukan (Avia dkk., 2010; Suryantoro dkk., 2010), memiliki dengan periode analisis yang relatif pendek dan resolusi spasialnya masih rendah (0,25°). Penelitian ini menggunakan metode dynamical downscaling yang dihasilkan dari Conformal Cubic Atmosferic Model (CCAM), dengan menggunakan input data Reanalisis NCEP/NCAR (National Centers for Environmental Prediction/National Center for Atmospheric Research). Hal ini dilakukan untuk dapat menggambarkan kondisi iklim dengan resolusi spasial yang lebih tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan data curah hujan dasarian yang memiliki resolusi spasial yang tinggi untuk analisis curah hujan di Pulau Jawa yang merupakan sentra produksi pangan di Indonesia. Wilayah kajian dalam penelitian ini adalah Pulau Jawa dengan batas 5.5˚ - 11,5˚ LS dan 105 -115˚ BT. Periode waktu yang digunakan adalah periode tahun 1998 – 2010 (20 tahun).
2. STUDI PUSTAKA Analisis curah hujan secara spasial yang dilakukan dalam penelitian ini mencakup daerah yang lebih kecil yaitu Pulau Jawa, sehingga data dari Reanalisis NCEP/NCAR yang mempunyai resolusi rendah tidak dapat langsung digunakan, namun harus melalui proses downscaling terlebih dahulu. Metode penurunan skala dari data spasial resolusi rendah menjadi data spasial dengan resolusi yang lebih tinggi disebut downscaling. Terdapat dua metode downscaling yaitu dynamical downscaling dan statistical downscaling (Benestad, 2004). Penelitian ini menggunakan metode downscaling dinamis dari model CCAM dengan tujuan mempertinggi resolusi data sehingga dapat digunakan dalam wilayah spasial yang lebih kecil (regional). CCAM adalah salah satu model atmosfer global yang dikembangkan secara efektif dimulai pada tahun 1994 oleh Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization (CSIRO), Australia (McGregor, 2005). CCAM merupakan model numerik atmosfer yang dikembangkan CSIRO, Australia yang sebelumnya mengembangkan Division of Atmospheric Research Limited Area Model (DARLAM). Model CCAM menggunakan conformal cubic grid yang setiap panel memiliki 48x48 titik grid (untuk format C48 grid), 6 sisi kubus, dan 18 level vertikal, sehingga jumlah titik grid-nya 248.832 (Thatcher dkk., 2010). Ilustrasi untuk conformal cubic grid yang digunakan dalam CCAM digambarkan di Gambar 21 (Corney dkk., 2010). Kelebihan lain dari CCAM adalah mempunyai kemampuan yang sangat Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
254
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
fleksibel untuk hasil dynamical downscaling dari data GCM dengan menggunakan data suhu permukaan laut (Thatcher dkk., 2010).
Gambar 2-1: Ilustrasi Conformal Cubical Grid dalam CCAM (Corney dkk, 2010) Hasil validasi data downscaling CCAM telah dilakukan pada beberapa penelitian sebelumnya (Ripaldi, 2013; McGregor dkk., 2009). Dimana antara data observasi dengan data hasil downscaling 6 GCM menggunakan CCAM periode 1971 – 2000, mempunyai korelasi 0,52 – 0,6, dengan korelasi tertinggi didapatkan dari Model MK3.5 (Ripaldi, 2013). Sedangkan secara rata-rata area, perbandingan data CMAP (The CPC Merged Analysis of Precipitation) dengan CCAM menunjukkan pola spasial yang hampir sama (McGregor dkk., 2009).
3. DATA DAN METODE Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Data Reanalisis NCEP/NCAR Data reanalisis digunakan untuk data baseline dari kondisi iklim saat ini. Data reanalisis mempunyai resolusi 2.5˚ (~260 km) pada periode 1998 – 2010. Data reanalisis akan dilakukan downscaling menggunakan CCAM sampai resolusi 15 km. Wilayah kajian dalam penelitian ini adalah Pulau Jawa dengan batas 5,5˚ - 10,5˚ LS dan 105˚ - 115˚ BT.
2. Data TRMM Data satelit TRMM dalam penelitian ini digunakan sebagai data pembanding (validasi) yang mewakili data observasi. Data TRMM mempunyai resolusi spasial 0,25 dengan resolusi temporal dasarian dan periode waktu 1998 – 2010. Hasil dari downscaling menggunakan CCAM mempunyai resolusi temporal 3 jam-an. Proses downscaling dari data reanalisis NCEP/NCAR membutuhkan dua kali downscaling, yaitu downscaling dari 200 km menjadi 60 km, dan dari 60 km menjadi 15 km. Ilustrasi dalam downscaling menggunakan CCAM dapat dilihat pada Gambar 3-1. Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
255
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 3-1: Ilustrasi downscaling menggunakan CCAM pada penelitian ini
Hasil dari downscaling terakhir (resolusi spasial 15 km) mempunyai 165 variabel, dengan resolusi temporal tiga jam-an dan harian. Namun dalam penelitian ini hanya digunakan satu variabel yaitu curah hujan harian yang kemudian akan dijadikan curah hujan dasarian untuk penentuan awal musim (baik hujan maupun kemarau). Setelah hasil downscaling didapatkan, maka nilai curah hujan dirata-ratakan menjadi nilai curah hujan dasarian. Nilai curah hujan dasarian inilah yang digunakan untuk analisis curah hujan di Pulau Jawa, namun terlebih dahulu dilakukan validasi menggunakan data satelit TRMM 3B42 dengan resolusi temporal yang sama, yaitu dasarian. Secara umum proses pengerjaan penelitian ini terdapat di diagram alir seperti pada Gambar 3-2.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
256
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
START
Setting runtopo (vegetasi, roughness, topografi, albedo)
Proses Downscaling CCAM
Perata-rataan CH dasarian Data TRMM 3B42 versi 6 dasarian
Validasi
No
Yes Analisis Curah Hujan Dasarian END
Gambar 3-2: Diagram alir penelitian 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Validasi hasil downscaling CCAM dilakukan dengan menggunakan data satelit TRMM. Periode yang diambil adalah 1998 – 2010, untuk wilayah Jawa dan sekitarnya. Validasi yang dilakukan meliputi scatter-plot rataan curah hujan area (Gambar 4-1), timeseries rataan curah hujan area (Gambar 4-2) dan perbandingan secara klimatologis rataan curah hujan area (Gambar 4-3) antara hasil downscaling CCAM dan TRMM. Gambar 4-1 menunjukkan bahwa antara data hasil downscaling CCAM dan TRMM mempunyai koefisien korelasi yang cukup baik (R=0.76), walaupun pada gambar tersebut terlihat bahwa data hasil downscaling CCAM mempunyai nilai curah hujan yang masih dibawah nilai curah hujan TRMM. Data hasil downscaling CCAM masih dapat mengikuti data TRMM pada curah hujan yang rendah, namun untuk nilai curah hujan yang tinggi, data hasil downscaling masih jauh di bawah (under-estimate) nilai curah hujan TRMM.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
257
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
225 200 R = 0,76 175
CH CCAM
150 125 100 75 50 25 0 0
25
50
75
100 125 CH TRMM
150
175
200
225
Gambar 4-1: Korelasi antara curah hujan TRMM dan CCAM di rata-rata area (5,5º - 9º LS dan 105º - 115º BT) dengan resolusi temporal dasarian pada periode 1998 – 2010.
Pengamatan pola curah hujan dasarian dilakukan menggunakan Gambar 4-2 yang menunjukkan deret waktu untuk rataan curah hujan area selama periode 1998-2010 dengan resolusi temporal dasarian. Secara umum, pola curah hujan dasarian hasil downscaling CCAM memiliki pola yang sama dengan curah hujan TRMM.
250
TRMM
CCAM
CH (mm)
200
150
100
50
0 1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 4-2: Time-series perbandingan curah hujan TRMM dan CCAM untuk rata-rata area (5,5º - 9º LS dan 105º - 115º BT). Untuk mengetahui deret waktu nilai rataan area klimatologis, perbedaan atau selisih dan pola umum curah hujan dapat dilihat pada Gambar 4-3. Nilai rataan area curah hujan dasarian secara klimatologis membentuk pola umum monsunal, dimana curah hujan maksimum terdapat pada bulan-bulan basah (DJF) dan curah hujan minimum terdapat pada bulan-bulan kering (JJA). Jika dilihat dengan periode dasarian dan menggunakan Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
258
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
penghitungan awal musim BMKG, maka bulan-bulan basah dimulai pada dasarian ke 28 (dasarian 1 bulan Oktober) sampai dengan dasarian 10 (dasarian 1 bulan April) dan bulanbulan kering yang dimulai dari dasarian 11 (dasarian 2 bulan April) sampai dasarian 27 (dasarian 3 bulan September). 150
150 CCAM
a) 125
b) 125
TRMM
CCAM
CCAM-TRMM
100
100
50 25 0
CCAM-TRMM
50 25 0
1
-25
TRMM
75 CH (mm)
CH (mm)
75
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
31
33
35
1
3
5
7
9
-25
-50
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
31
33
35
-50
-75
-75 Dasarian
Dasarian
Gambar 4-3: Perbandingan curah hujan klimatologis (periode 1998 – 2010) antara TRMM dan CCAM untuk rata-rata area Pulau Jawa (5,5º - 9º LS dan 105º - 115º BT) dengan: a) daratan dan lautan, dan b) daratan saja. Curah hujan rataan area Pulau Jawa untuk hasil downscaling CCAM cenderung terlihat di bawah (under-estimate) nilai curah hujan TRMM pada bulan-bulan basah, sebaliknya pada bulan-bulan kering nilai dari hasil downscaling CCAM justru cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai curah hujan TRMM. Meskipun terdapat perbedaan nilai curah hujan antara TRMM dan hasil downscaling CCAM, namun pada bulan-bulan kering selisihnya kecil, jika dibandingkan dengan periode bulan basah. Hal ini dapat dilihat dengan menggunakan Gambar 4-3 (b) dimana plot time series curah hujan klimatologis rataan area untuk daerah yang sama, namun hanya curah hujan daratan yang dihitung. Gambar 4-3 menunjukkan bahwa pola temporal sama dengan Gambar 4-3 (a), namun selisih curah hujan pada periode basah lebih kecil jika dibandingkan dengan Gambar 4-3 (a). Hal ini membuktikan bahwa selisih yang besar pada periode bulan basah di Gambar 4-4 (a) dihasilkan dari selisih curah hujan di lautan yang besar antara data TRMM dengan data hasil downscaling CCAM. Selisih yang besar pada periode bulan basah dapat juga dianalisis menggunakan pola spasial yang dapat dilihat pada Gambar 4-4. Curah hujan dasarian untuk rataan area Pulau Jawa (5,5º - 9º LS dan 105º - 115º BT) antara data hasil downscaling CCAM dan TRMM menunjukkan pola yang sama, namun terdapat selisih yang cukup besar pada dasarian 2 sampai dengan dasarian 9. Hal ini disebabkan adanya perbedaan nilai curah hujan dasarian di laut antara hasil downscaling dan TRMM, sedangkan di daratan curah hujan dasarian menunjukkan pola spasial yang hampir sama antara TRMM dan hasil downscaling. Hal ini diperjelas pada Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
259
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-4, dimana pada Gambar 4-4 (a) dan (b) terlihat pola spasial curah hujan CCAM di bawah nilai curah hujan TRMM. Sedangkan pada dasarian 13, 19 dan 29, curah hujan hasil downscaling CCAM sudah menyerupai pola spasial dari curah hujan TRMM. Curah hujan di lautan pada dasarian 3 antara TRMM dan hasil downscaling CCAM, menunjukkan bahwa nilai hasil downscaling CCAM sangat jauh di bawah nilai curah hujan TRMM. Hal ini menunjukkan bahwa selisih yang tinggi pada periode bulan basah di Gambar 4-3 (a) berasal dari curah hujan di lautan yang tidak bersesuaian antara TRMM dengan data downscaling CCAM. a)
b)
d)
c)
f)
e)
Gambar 4-4: Pola Spasial curah hujan rata-rata klimatologis (periode 1998 – 2010), dimana: a) curah hujan TRMM dan b) CCAM untuk dasarian 3; c) curah hujan TRMM dan d) CCAM untuk dasarian 13; e) curah hujan TRMM dan f) CCAM untuk dasarian 19; g) curah hujan TRMM dan h) CCAM untuk dasarian 29.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
260
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
5. KESIMPULAN Penelitian ini menghasilkan analisis curah hujan dasarian yang merupakan parameter penting dalam penghitungan penentuan awal musim, baik hujan dan kemarau di Pulau Jawa. Dengan menggunakan downscaling CCAM, diharapkan mendapatkan data dengan resolusi spasial yang lebih tinggi, namun tidak mengurangi ketepatan pada nilai curah hujan dasariannya. Hasil yang didapatkan adalah data downscaling CCAM mempunyai korelasi yang tinggi jika dibandingkan dengan data TRMM. Walaupun data hasil downscaling CCAM pada periode basah mempunyai nilai yang lebih rendah (under-estimate) dan pada periode kering masih menunjukkan nilai yang lebih tinggi (over-estimate) dengan curah hujan dasarian dari data TRMM, namun pola yang ditunjukkan secara temporal masih bersesuaian dengan curah hujan dasarian dari data TRMM. Pada periode basah, selisih yang besar antara nilai curah hujan dasarian hasil downscaling CCAM dihasilkan oleh nilai curah hujan di lautan yang jauh dibawah nilai curah hujan di lautan data TRMM. Sedangkan untuk pola spasial curah hujan dasarian, hasil downscaling CCAM menunjukkan pola yang hampir bersesuaian untuk daratan jika dibandingkan dengan data TRMM.
DAFTAR RUJUKAN Avia, L.Q., A. Haryanto, N. Cholianawati dan B. Siswanto, 2010, “Identifikasi Awal Musim Kemarau dan Musim Hujan Berdasarkan Data Satelit TRMM”, Prosiding Seminar Penerbangan dan Antariksa 2010 Sub Seminar Sains Atmosfer dan Iklim. Serpong, 15 Nopember 2010 Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2009, “Prakiraan Musim Hujan 2009/2010 di Indonesia” Badan Pusat Statistik, 2013, “Data Tanaman Pangan”, http://www.bps.go.id. Diakses pada tanggal 27 Mei 2014 Benestad, R. E., 2004, “Empirical-Statistical Downscaling in Climate Modeling”, EosTrans.AmGeophys.Union, 85(42),417 Corney, S. P., Katzfey J., McGregor J. L., Grose M. R., Bennet J., White C. J., Holz G. K., Gaynor S. M., and Bindoff N. L., 2010, “Technical Report Climate Modeling: Climate Future for Tasmania, Copyright The Antarctic Climate & Ecosystems Cooperative Research Centre 2010. ISBN 978-1-921197-06-2 Malian, AH. Mardianto S., Ariani M., 2004, “Faktor-faktor yang mempengaruhi Produksi, Konsumsi dan Harga Beras serta Inflasi Bahan Makanan”, Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 22 no 2, Oktober 2004: 119 – 146 Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
261
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
McGregor, J. L., 2005, “CCAM: Geometric Aspects and Dynamical Formulation”, CSIRO Atmospheric Research Technical Paper No.70, CSIRO, Australia McGregor, J.L., 2009, “JMcG Lecture: Regional modelling with CCAM”, Ausaid Workshop Aspendale. 18 May 2009 Ripaldi, A., 2013, “Kajian Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kesesuaian Agroklimat Dan Produktivitas Tanaman Padi Di Provinsi Nusa Tenggara Barat Periode (2040-2069 dan 2070-2099)”, Tesis ITB. Bandung 2013 Suryantoro A., Krismianto dan Yulihastin E., 2010, “Penentuan Onset Monsun Di Jawa Barat, Banten,
Dan
Dki
Jakarta
Berbasis
Observasi
Satelit
TRMM”,
Prosiding Seminar Nasional Fisika 2010. ISBN: 978-979-98010-6-7, hal: 54-66 Tatcher, M., McGregor, J.L., and Nguyen, K., 2010, “CCAM Regional Climate Modeling. CSIRO, RCM Training Material”, Workshop Modeling Climate Change over Eastern Indonesia and Vietnam, CSIRO, 3-12 November. 2010
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
262
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
METODE KORELASI DALAM PENGISIAN DATA KOSONG UNTUK ANALISIS CURAH HUJAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG (CORRELATION METHOD TO FILLING EMPTY DATA FOR RAINFALL ANALYSIS IN CIKAPUNDUNG WATERSHED) Hary Pradiko1), Arwin2), Prayatni Soewondo2), Yadi Mulyadi2) 1)
Teknik Lingkungan Universitas Pasundan
2)
Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Data hujan bersifat acak dan stokastik, bersusun sesuai urutan kejadiannya, serta tercatat di setiap stasiun hujan. Analisis hidrologi memerlukan data hujan menerus dan tidak terputus. Akan tetapi tidak semua stasiun hujan memiliki catatan yang lengkap. Oleh karena itu diperlukan suatu metode untuk melengkapi data hujan yang kosong. Pengisian data kosong dilakukan dengan menganalisis kedekatan antara data stasiun yang kosong dengan data stasiun tetangga pada waktu yang sama. Metode yang digunakan adalah metode aljabar, pembanding normal, dan korelasi. Untuk metode korelasi, dikembangkan lagi menjadi metode korelasi data terpanjang, korelasi biner, korelasi quarterner, dan korelasi positif. Pemilihan metode dengan cara mencari korelasi terbesar antara data stasiun yang telah diisi dengan data stasiun tetangga yang paling lengkap datanya sebagai acuan (Stasiun Lembang, Dago Pakar dan Cemara). Data yang digunakan adalah data curah hujan maksimum pada 35 tahun data berurut (tahun 1978 – 2012) pada 5 stasiun hujan berdekatan, yaitu Lembang, Cikapundung, Dago Pakar, Cemara dan Margahayu. Analisis data menggunakan software SPSS 20. Hasil pengujian terhadap beberapa metode pengisian data menunjukkan bahwa metode korelasi data terpanjang adalah metode yang paling cocok untuk pengisian data kosong di DAS Cikapundung karena menghasilkan nilai korelasi yang terbesar, yaitu sebesar 0,93 terhadap Stasiun Acuan Cemara. Kata kunci: data kosong curah hujan, metode korelasi
ABSTRACT Rainfall data was random and stochastic, array with its event, and noted in each rainfall stations. The hydrological analysis need a continuous and series rainfall data. But no all of the Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
263
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
rainfall stations have a complete rainfall data. Its necessary to find a method which can fill the empty rainfall data. The filling empty data use data correlation analysis between the empty data station and the surounding stations in the same time. The methods are algebra, normal ratio, and correlation methods. The correlation methods were devided into longest data, biner, quarterner, and positive correlation methods. To choose the appropriate method, the highest correlation value between all filled rainfall data and the most complete real rainfall data which become a reference data might be used (Lembang, Dago Pakar and Cemara Stations). This research use 35 years array of the anual maximum rainfall data (1978 – 2012) from 5 closed rainfall stations, there is Lembang, Cikapundung, Dago Pakar, Cemara and Margahayu Stations. The data analysis use SPSS 20 software. The correlation test result is that longest data correlation method is the appropriate method to fill the empty data in Cikapundung Watershed with 0.93 correlation value to the reference Cemara Station. Keywords: rainfall empty data, correlation method
1. PENDAHULUAN Data hujan sangat diperlukan untuk beberapa analisis yang berkaitan dengan siklus hidrologi di suatu daerah pengaliran sungai. Data hujan tersebut tercatat pada stasiun-stasiun hujan yang tersebar di daerah pengaliran sungai. Data hujan bersifat acak dan stokastik, dimana data tersebut bersusun sesuai urutan kejadiannya (Arwin & Setiawan, 2009). Untuk analisis hidrologi diperlukan data hujan yang terus menerus dan tidak terputus agar hasil analisis sesuai dengan hasil yang diharapkan (Soemarto, 1987). Akan tetapi tidak semua stasiun hujan memiliki data hujan yang lengkap. Oleh karena itu diperlukan suatu metode untuk mengisi data hujan yang kosong sesuai dengan kondisi data yang ada. Pengisian data dapat dilakukan dengan menggunakan hasil catatan di beberapa stasiun hujan tetangga (Soewarno, 1995). Untuk mendapatkan data isian yang mendekati data sebenarnya diperlukan analisis kedekatan antara data stasiun yang akan diisi dengan data stasiun tetangga pada waktu yang sama (Kamiana, 2011). Dalam penelitian ini data yang akan diisi dan dilengkapi adalah data curah hujan maksimum dalam satu tahun yang tercatat di 5 stasiun hujan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
264
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
2. LANDASAN TEORI/TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Curah Hujan Endapan (presipitasi) didefinisikan sebagai bentuk air cair dan padat (es) yang jatuh ke permukaan bumi. Meskipun kabut, embun, dan embun beku (frost) dapat berperan dalam perpindahan kelembaban udara (moisture) dari atmosfer ke permukaan bumi, unsur tersebut tidak ditinjau sebagai presipitasi. Bentuk endapan adalah hujan, gerimis, salju, dan batu es hujan (hail). Hujan adalah bentuk presipitasi yang sering dijumpai, dan di Indonesia yang dimaksud dengan presipitasi adalah curah hujan (Tjasyono, 2004). Curah hujan merupakan unsur iklim yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Jumlah curah hujan dicatat dalam inci atau milimeter yang menunjukkan tinggi air hujan yang menutupi permukaan jika air hujan tersebut tidak meresap ke dalam tanah atau menguap ke udara. Di daerah tropis, hujan lebih lebat dibandingkan dengan daerah dengan lintang yang lebih tinggi. 2.2 Pengukuran Curah Hujan dan Permasalahannya Curah hujan diukur dengan menggunakan alat pengukur hujan (raingauge). Dalam prakteknya, terdapat 2 jenis alat pengukur hujan (Harto, 2000), yaitu penangkar hujan biasa (manual raingage) dan penangkar hujan otomatis (automatic raingage). Pengukuran curah hujan tidak selamanya berjalan baik. Hal ini dapat terjadi karena beberapa hal, seperti catatan data hilang, alat ukur rusak atau hilang, stasiun pencatat terbakar, dan ada bencana alam. 2.3 Pengisian Data Kosong Agar pengolahan data dapat dilakukan dengan baik diperlukan data yang cukup banyak, yang secara statistik perlu rentang waktu minimal 10 tahun. Selain itu, dalam analisis data hujan diperlukan satu seri data yang tidak terputus (Fakhrudin & Handoko, 2010). Untuk mendapatkan data seri yang lengkap dan tidak terputus, diperlukan pengisian data kosong. Pengisian data kosong dapat dilakuan dengan menggunakan beberapa metode, antara lain adalah : Metode Rata-rata Aljabar, metode Pembanding Normal, metode Korelasi Data Terpanjang, Metode Korelasi Data Biner, Metode Korelasi Data Quarterner dan Metode Korelasi Positif. 3. DATA DAN METODOLOGI Pembangkitan data curah hujan stasiun tinjauan dilakukan untuk mengisi data beberapa tahun yang kosong dengan menggunakan data stasiun hujan tetangga yang sama waktu kejadiannya. Pada penelitian ini, curah hujan pembangkit digunakan data curah hujan maksimum pada 35 tahun data berurut (tahun 1978 – 2012) pada 5 stasiun hujan berdekatan, yaitu Lembang, Cikapundung, Dago Pakar, Cemara dan Margahayu. Metode yang digunakan Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
265
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
untuk pembangkitan data hujan antara lain adalah metode aljabar, metode pembanding normal, maupun metode korelasi. 3.1 Data Penelitian Data curah hujan untuk analisis ini diperoleh dari BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika), Puslitbang SDA (Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air), Dinas SDA (Sumber Daya Air) Provinsi Jawa Barat, dan BBWS (Balai Besar Wilayah Sungai) Citarum. Stasiun-stasiun hujan yang diambil untuk diolah adalah Stasiun Lembang, Stasiun Cikapundung, Stasiun Dago Pakar, Stasiun Bandung (Cemara), dan Stasiun Margahayu. Sedangkan data yang diperlukan dari masing-masing stasiun hujan adalah data hujan harian maksimum setiap tahun, seperti terlihat pada Tabel 3-1.
Tabel 3-1: Stasiun Hujan dan Letaknya di DAS Cikapundung
3.2 Metodologi 3.2.1 Pengisian Data Kosong Pada penelitian ini, seluruh stasiun diharapkan memiliki 35 tahun data, sehingga data di Stasiun Cikapundung dan Stasiun Margahayu perlu dilengkapi datanya dengan melakukan pengisian data kosong. Berikut ini metode pengisian data kosong yang digunakan. A. Metode Rata-rata Aljabar Metode rata-rata aljabar ini digunakan bila kedekatan data antar stasiun hujan pada tahun yang sama adalah kecil (kurang dari 10%) (Suripin, 2004). Pengisian data kosong dilakukan dengan merata-ratakan data stasiun tetangga yang sama waktu datanya.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
266
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
B. Metode Pembanding Normal Metode pembanding normal ini digunakan bila perbedaan data antar stasiun hujan pada tahun yang sama adalah besar (lebih dari 10%) (Suripin, 2004). Pengisian data kosong dilakukan dengan digunakan persamaan:
(3-1) dengan rx adalah data hujan yang kosong pada stasiun X, rn adalah data hujan yang ada pada tahun yang sama di stasiun tetangga/ pembanding, Rx adalah harga rata-rata tinggi curah hujan pada stasiun pengukuran hujan yang dicari, dan Rn adalah harga rata-rata tinggi curah hujan pada stasiun tetangga/ pembanding. Semua dalam satuan milimeter (mm). Sedangkan n adalah jumlah stasiun curah hujan (termasuk stasiun yang kosong datanya) dan tidak bersatuan. C. Metode Korelasi Data Terpanjang Metode korelasi data terpanjang ini didasarkan pada tingkat korelasi (kedekatan) data dengan garis linier (regresi linier). Pengisian data kosong dilakukan dengan membuat regresi linier antara data stasiun yang datanya kosong dengan stasiun pembandingnya dimulai dari yang paling sedikit data kosongnya. Stasiun yang sudah terisi tersebut lalu digunakan sebagai stasiun pembanding pada penentuan data kosong stasiun berikutnya. Langkah-langkah dalam mengisi data kosong adalah sebagai berikut: 1.
Dilakukan pengisian data Stasiun Cikapundung menggunakan data stasiun lain yang lebih lengkap (Lembang, Dago Pakar dan Cemara) dengan metode regresi linier berganda. Metode regresi linier berganda digunakan untuk melihat kedekatan antar data dengan membuat persamaan linier yang menghubungkan antara data stasiun tinjauan sebagai variabel terikat (data Stasiun Cikapundung) dan data stasiun acuan sebagai variabel bebas (data Stasiun Lembang, Dago Pakar dan Cemara). Dalam membuat persamaan linier diperlukan data seri yang lengkap dari semua stasiun itu. Data yang digunakan adalah data antara tahun 1998 sampai 2012, seperti terlihat pada Tabel 3-2 bingkai (1) warna biru. Persamaan tersebut selanjutnya digunakan untuk mengisi kekosongan data di Stasiun Cikapundung pada tahun 1978 – 1997.
2.
Pengisian selanjutnya untuk Stasiun Margahayu menggunakan data lain (Lembang, Dago Pakar, Cemara dan Cikapundung). Seperti pada langkah ke-1, akan dibuat persamaan regresi linier dengan Stasiun Margahayu sebagai variabel terikat dan Stasiun Lembang, Dago Pakar, Cemara, dan Cikapundung sebagai variabel bebas. Untuk membuat persamaan linier dari kelima stasiun itu, maka data yang digunakan adalah data antara
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
267
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
tahun 2003 sampai 2012, seperti terlihat pada Tabel 3-2 bingkai (2) warna merah. Persamaan tersebut selanjutkan digunakan untuk mengisi kekosongan data di Stasiun Margahayu pada tahun 1978 – 2002. Cara pengisian dan hasil pengisiannya dapat dilihat pada Tabel 3-2.
Tabel 3-2: Metode Korelasi Data Terpanjang Curah Hujan Harian TAHUN
1
Maksimum (mm/hari) P1
P2
P3
P4
P5
2012
75
115
70
86
104
2011
140
70
45
92
132
2010
70
70
104
77
77
2009
78
85
73
89
145
2008
72
60
80
90
186
2007
79
84
113
81
55
2006
54
54
66
63
70
2005
88
91
50
73
56
2004
82
72
80
98
95
2003
81
71
105
77
50
2002
86
75
84
82
2001
90
65
62
54
2000
94
76
51
95
1999
86
65
70
71
1998
86
92
70
87
1997
64
90
68
1996
79
72
81
1995
50
89
67
1994
40
55
60
1993
36
95
78
1992
45
98
86
1991
37
60
113
1990
36
88
80
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
2
268
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Curah Hujan Harian TAHUN
Maksimum (mm/hari) P1
P2
P3
P4
1989
38
75
71
1988
36
81
49
1987
72
93
73
1986
78
78
68
1985
76
74
85
1984
72
65
57
1983
77
82
81
1982
61
51
110
1981
84
82
80
1980
61
77
64
1979
69
52
80
1978
76
60
91
P5
D. Metode Korelasi Biner Metode korelasi biner didasarkan pada tingkat korelasi (kedekatan) data antara 2 stasiun hujan. Pengisian data kosong dilakukan dengan mencari korelasi terbesar antara 2 stasiun hujan dan membuat regresi linier antara data stasiun yang datanya kosong dengan stasiun pembandingnya yang mempunyai korelasi terbesar. Perhitungan korelasi dilakukan dengan software SPSS 20 dengan metode Regresi Linier Berganda. Langkah-langkah dalam mengisi data kosong adalah sebagai berikut: 1.
Cari stasiun hujan berkorelasi terbesar dengan stasiun hujan yang ingin diisi datanya
2.
Pengisian data kosong Stasiun Cikapundung (P2) dan Stasiun Margahayu (P5) menggunakan data stasiun tetangga yang terbesar korelasinya dengan tiap stasiun.
E. Metode Korelasi Quarterner Metode korelasi quarterner didasarkan pada tingkat korelasi (kedekatan) data antara 4 stasiun hujan. Pengisian data kosong dilakukan dengan mencari korelasi terbesar antara 4 stasiun hujan dan membuat regresi linier antara data stasiun yang kosong datanya dengan 3 stasiun pembandingnya yang mempunyai korelasi terbesar. Perhitungan korelasi dilakukan
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
269
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
dengan menggunakan software SPSS 20 dengan metode Regresi Linier Berganda. Langkahlangkah dalam mengisi data kosong adalah sebagai berikut: 1.
Stasiun Lembang, Stasiun Dago Pakar, dan Stasiun Cemara dikorelasikan dengan Stasiun Cikapundung maupun Stasiun Margahayu. Korelasi terbesar antara Stasiun Cikapundung atau Stasiun Margahayu diisi terlebih dahulu.
2.
Kemudian pengisian data kosong stasiun berikutnya menggunakan cara kuarterner dengan data 3 stasiun lain yang mempunyai korelasi terbesar
F. Metode Korelasi Positif Metode korelasi positif didasarkan pada tingkat korelasi (kedekatan) data antara seluruh stasiun hujan. Pengisian data kosong dilakukan dengan mencari korelasi positif antara seluruh stasiun hujan dan membuat regresi linier antara data stasiun yang datanya kosong dengan stasiun pembandingnya yang mempunyai korelasi positif saja. Langkah-langkah dalam mengisi data kosong adalah sebagai berikut: 1.
Cari korelasi antara stasiun hujan dan gunakan data stasiun berkorelasi positif saja.
2.
Pengisian data kosong Stasiun Cikapundung (P2) dan Stasiun Margahayu (P5) menggunakan data semua stasiun lain yang memiliki korelasi positif.
3.2.2
Pemilihan Metode Pengisian Data Kosong
Pemilihan dilakukan dengan mencari korelasi data keseluruhan stasiun hujan yang telah diisi (1978-2012) dengan data stasiun acuan (dalam hal ini Stasiun Lembang, Stasiun Cemara dan Stasiun Dago Pakar). Nilai korelasi antar data hasil Regresi Linier menggunakan bantuan software SPSS 20 dan data asli stasiun acuan dicatat dan dibandingkan dengan nilai korelasi dari pengujian metode yang lain. Nilai korelasi terbesar menunjukkan kesesuaian data isian dengan data acuan. 4.
HASIL PEMBAHASAN
4.1 Pengisian Data Kosong Pengisian data kosong dilakukan secara statistik dengan menggunakan beberapa metode. Berikut adalah hasil perhitungan dari metoda-metoda yang digunakan.
A. Metode Rata-rata Aljabar Hasil pengisian data kosong dengan metode rata-rata aljabar dapat dilihat pada Tabel 4-4.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
270
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
B. Metode Pembanding Normal Hasil pengisian data kosong dengan metode Pembanding Normal terlihat pada Tabel 4-4. C. Metode Korelasi Data Terpanjang Pengisian data kosong dengan metode korelasi data terpanjang dilakukan dengan membuat persamaan dari data-data hujan yang ada di setiap stasiun pada tahun-tahun yang sama. Persamaan tersebut kemudian digunakan untuk mengisi data kosong dengan mengatur data independent dan dependent-nya. Tahapannya adalah sebagai berikut: 1. Pengisian pertama dilakukan untuk mengisi data kosong di Stasiun Cikapundung menggunakan persamaan linier yang diperoleh dari analisis regresi linier berganda terhadap data Stasiun Lembang, Dago Pakar dan Cemara. Pengisian data kosong Stasiun Cikapundung didahulukan, karena data Stasiun Cikapundung (15 data) lebih panjang/banyak daripada stasiun yang lain. Persamaan linier tersebut adalah sebagai berikut: P2=(-0,084)*P1+ (-0,07)*P3 +(0,429)*P4+53,943 (Korelasi= 0,107) 2. Pengisian selanjutnya untuk Stasiun Margahayu menggunakan data Stasiun Lembang, Dago Pakar, Cemara dan Cikapundung yang telah diisi. Pengisian data kosong Stasiun Margahayu juga menggunakan persamaan regresi linier berganda berikut: P5=(-0,777)*P1+(-0,926)*P3 +(3,576)*P4 +(-0,77)*P2 +2,674 (Korelasi= 0,636) Hasil pengisiannya dapat dilihat pada tabel 4-4.
D. Metode Korelasi Biner Pengisian data kosong dilakukan dengan mencari korelasi terbesar antara 2 stasiun hujan dan membuat regresi linier antara data stasiun yang datanya kosong dengan stasiun pembandingnya yang mempunyai korelasi terbesar. Tabel 4-1 memperlihatkan korelasi antara setiap stasiun hujan yang ada. Hasilnya menunjukkan bahwa Stasiun Cikapundung dan Stasiun Margahayu mempunyai korelasi terbesar dengan Stasiun Cemara.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
271
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Tabel 4-1: Korelasi Biner Antar Stasiun Hujan Nilai Korelasi Antar Stasiun Stasiun Hujan P1
P2
P3
P4
P5
Lembang, P1
1
0.075
-0.462
0.473
0.201
Cikapundung, P2
0.075
1
-0.104
0.178
-0.131
Dago Pakar, P3
-0.462
-0.104
1
-0.080
-0.329
Cemara, P4
0.473
0.178
-0.080
1
0.629
Margahayu, P5
0.201
-0.131
-0.329
0.629
1
Langkah-langkah berikutnya adalah sebagai berikut: 1.
Pengisian data kosong Stasiun Cikapundung menggunakan data Stasiun Cemara dengan korelasi terbesar (0,178) dan persamaan P2=(0,393)*P4+44,475
2.
Pengisian data kosong Stasiun Margahayu menggunakan data Stasiun Cemara dengan korelasi terbesar (0,629) dan persamaan P5=(2,723)*P4-127,89 Hasil pengisiannya dapat dilihat pada tabel 4-4.
E. Metode Korelasi Quarterner Pengisian data kosong dilakukan dengan mencari korelasi terbesar antara 4 stasiun hujan dan membuat regresi linier antara data stasiun yang kosong datanya dengan 3 stasiun pembandingnya yang mempunyai korelasi terbesar. Tabel 4-2 memperlihatkan korelasi antara Stasiun Cikapundung yang mempunyai data kosong dan 3 stasiun hujan lain. Sebelumnya data kosong Stasiun Margahayu diisi dengan menggunakan data Stasiun Lembang, Dago Pakar dan Cemara.
Tabel 4-2: Korelasi Quarterner Antar Stasiun Hujan No.
Stasiun Dependent
Stasiun Independent
1
P2
P1
P3
P4
0.107
2
P2
P1
P3
P5
0.007
3
P2
P1
P4
P5
0.185
4
P2
P3
P4
P5
0.203
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
Korelasi
272
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Hasilnya menunjukkan bahwa Stasiun Cikapundung mempunyai korelasi terbesar dengan Stasiun Dago Pakar, Cemara dan Margahayu. Langkah-langkah dalam mengisi data kosong adalah sebagai berikut: 1.
Stasiun Lembang, Dago Pakar, dan Cemara dikorelasikan dengan Stasiun Cikapundung (korelasi = 0,043) maupun Stasiun Margahayu (korelasi=0,551). Korelasi terbesar (Stasiun Margahayu) diisi terlebih dahulu.
2.
Pengisian data kosong Stasiun Margahayu menggunakan data Stasiun Lembang, Dago Pakar, dan Cemara dengan persamaan P5=(-0,73)*P1+(-0,85)*P3 +(3,31)*P4-49,83
3.
Pengisian data kosong Stasiun Cikapundung menggunakan cara kuarterner dengan data Stasiun Dago Pakar, Cemara dan Margahayu dengan korelasi terbesar (0,203) (lihat tabel 4-2) dan persamaan P2=(-0,13)*P3+(0,94)*P4+(-0,18)*P5+27,11 Hasil pengisiannya dapat dilihat pada tabel 4-4.
F) Metode Korelasi Positif Pada metode korelasi positif dibuat regresi linier antara data stasiun yang datanya kosong dengan stasiun pembandingnya yang mempunyai korelasi positif saja. Tabel 4-3 berikut ini memperlihatkan korelasi positif antara stasiun hujan.
Tabel 4-3: Korelasi Positif Stasiun Hujan Nilai Korelasi Antar Stasiun Stasiun Hujan P1
P2
P3
P4
P5
Lembang, P1
1
0.075
-0.462
0.473
0.201
Cikapundung, P2
0.075
1
-0.104
0.178
-0.131
Dago Pakar, P3
-0.462
-0.104
1
-0.080
-0.329
Cemara, P4
0.473
0.178
-0.080
1
0.629
Margahayu, P5
0.201
-0.131 -0.329
0.629
1
Hasilnya menunjukkan bahwa Stasiun Cikapundung dan Margahayu mempunyai korelasi positif dengan Stasiun Lembang dan Cemara. Langkah selanjutnya adalah sebagai berikut: 1.
Pengisian data kosong Stasiun Cikapundung menggunakan data Stasiun Lembang dan Cemara dengan persamaan P2 = (-0,01) * P1 +(0,31)*P4+52,79
2.
Pengisian data kosong Stasiun Margahayu menggunakan data Stasiun Lembang dan Cemara dengan persamaan P5 = (-0,25) * P1 +(2,977)*P4-128,414 Hasil pengisiannya dapat dilihat pada tabel 4-4.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
273
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Tabel 4-4: Hasil Pengisian Data Kosong P2
P5
TAHUN P1
P3 A)
B)
C)
D)
E)
P4
F)
A)
B)
C)
D)
E)
F)
2012
75
115 115 115 115 115 115 70
86 104 104 104 104 104 104
2011
140
70
70
70
70
70
70
92 132 132 132 132 132 132
2010
70
70
70
70
70
70
70 104 77
2009
78
85
85
85
85
85
85
73
89 145 145 145 145 145 145
2008
72
60
60
60
60
60
60
80
90 186 186 186 186 186 186
2007
79
84
84
84
84
84
84 113 81
55
55
55
55
55
55
2006
54
54
54
54
54
54
54
66
63
70
70
70
70
70
70
2005
88
91
91
91
91
91
91
50
73
56
56
56
56
56
56
2004
82
72
72
72
72
72
72
80
98
95
95
95
95
95
95
2003
81
71
71
71
71
71
71 105 77
50
50
50
50
50
50
2002
86
75
75
75
75
75
75
84
82
82 106 90
96
89
95
2001
90
65
65
65
65
65
65
62
54
68
19
11
10
2000
94
76
76
76
76
76
76
51
95
79 102 159 131 153 131
1999
86
65
65
65
65
65
65
70
71
73
1998
86
92
92
92
92
92
92
70
87
84 108 106 109 116 109
1997
64
74
75
71
73
70
73
90
68
74
52
58
1996
79
77
79
77
77
76
77
72
81
77 101 101 93 100
94
1995
50
69
70
72
73
67
73
89
67
69
89
60
54
59
58
1994
40
52
53
73
71
63
71
55
60
52
67
75
36
74
41
1993
36
70
70
78
76
69
76
95
78
70
89 101 85 102
95
1992
45
76
77
80
78
73
79
98
86
76
98 117 106 118 116
1991
37
70
70
95
86
80
87
60 113 70
89 244 180 246 199
1990
36
68
69
79
76
70
77
88
80
68
87 114 90 114 101
1989
38
61
62
76
74
67
74
75
71
61
79
93
65
93
73
1988
36
55
56
66
67
59
67
81
49
55
71
18
5
16
8
1987
72
79
81
73
74
73
75
93
73
79 103 61
71
60
71
1986
78
75
77
71
73
71
73
78
68
75
58
53
56
1985
76
76
80
79
78
77
78
74
85
76 102 113 104 113 106
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
45
77
77
88
94
96
97
77
13
69
52
54
77
65
57
77
63
77
61
274
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
P2
P5
TAHUN P1
P3 A)
B)
C)
D)
E)
F)
P4 A)
B)
C)
D)
E)
F)
84
1984
72
72
66
68
70
67
70
65
57
72
33
27
31
23
1983
77
77
82
76
77
76
77
82
81
77 104 92
93
92
93
1982
61
61
75
92
85
82
86
51 110 61
1981
84
84
84
75
76
76
77
82
80
84 107 84
90
84
89
1980
61
61
69
71
72
68
72
77
64
61
87
46
52
47
1979
69
69
68
79
76
73
77
52
80
69
87 121 90 120
92
1978
76
76
77
82
80
78
80
60
91
76
98 145 120 145 123
95 225 172 227 184
53
Keterangan: P1=Stasiun Hujan; A)=Metode Pengisian Data; 75=Data Asli; 74=Data Hasil Pengisian 4.2 Pemilihan Metode Pengisian Data Kosong Pemilihan dilakukan dengan mencari korelasi data keseluruhan stasiun hujan yang telah diisi (1978-2012) dengan data stasiun acuan, yaitu Stasiun Lembang, Cemara dan Dago Pakar. Nilai korelasi antar data hasil Regresi Linier dan data asli stasiun acuan dicatat dan dibandingkan dengan nilai korelasi dari pengujian metode yang lain. Nilai korelasi terbesar menunjukkan kesesuaian data isian dengan data acuan, seperti disajikan pada tabel 4-5.
Tabel 4-5: Hasil Uji Pemilihan Metode Pengisian Data Kosong Korelasi Stasiun Uji No
Metode P1
P4
P3
1
Aritmatik/Rata-rata Aljabar
0.330
0.223
0.153
2
Pembanding Normal
0.274
0.290
0.142
3
Korelasi Data Terpanjang
0.611
0.932
0.580
4
Korelasi Data Biner
0.125
0.870
0.180
5
Korelasi Data Quarterner
0.539
0.928
0.529
6
Korelasi Positif
0.258
0.896
0.206
Tabel 4-5 di atas menunjukkan bahwa Metode Korelasi Data Terpanjang merupakan metode yang mempunyai korelasi terbesar terhadap semua stasiun acuan.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
275
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
5. KESIMPULAN Beberapa metode pengisian data antara lain adalah metode aljabar, metode pembanding normal, dan metode korelasi. Pemilihan metode pengisian data tersebut dapat dilakukan dengan menguji korelasi antara data stasiun yang telah diisi terhadap data stasiun yang lebih lengkap datanya yang dijadikan acuan menggunakan metode Regresi Liner Berganda dengan software SPSS 20. Dalam penelitian ini, Metode Data Terpanjang merupakan metode yang paling cocok untuk pengisian data kosong Stasiun Cikapundung dan Stasiun Margahayu karena mempunyai korelasi terbesar terhadap stasiun acuan, yaitu Stasiun Lembang dengan korelasi 0,61, Cemara dengan korelasi 0,93 dan Dago Pakar dengan korelasi 0,58. DAFTAR RUJUKAN Arwin, dan Setiawan, D., 2009, “Pengembangan Model Indeks Konservasi Sebagai Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penerapan Drainase Lingkungan”, Bandung: Institut Teknologi Bandung Fakhrudin, M., dan Handoko, U., 2010, “Curah Hujan Untuk Antisipasi Perubahan Iklim Global: Studi Kasus DAS di Jabodetabek” Prosiding Seminar Nasional Limnologi V tahun 2010. Bandung: LIPI Harto, S., 2000, “Hidrologi, Teori, Masalah, Penyelesaian”, Yogyakarta: Nafiri Offset Kamiana, I. M., 2011, “Teknik Perhitungan Debit Rencana Bangunan Air”, Edisi Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu Soemarto, C., 1987, “Hidrologi Teknik”, Surabaya: Usaha Nasional Soewarno, 1995, “Hidrologi, Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data, Jilid 1”, Bandung: Penerbit Nova Suripin, 2004, “Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan”, Yogyakarta: Andi Tjasyono, B., 2004, “Klimatologi”, Bandung: Penerbit ITB
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
276
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
ANALISIS VARIASI DEKADAL CURAH HUJAN DAN TEMPERATUR DI SUMATERA (ACEH, MEDAN, BENGKULU, PADANG DAN PALEMBANG) (DEKADAL VARIATION ANALYSIS OF RAINFALL AND TEMPERATURE IN SUMATERA (ACEH, MEDAN, BENGKULU, PADANG AND PALEMBANG)) Juniarti Visa Bidang Pemodelan Atmosfer - Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer - LAPAN Jl. Dr. Djundjunan 133 Bandung, 40173 Email:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana data curah hujan dan suhu bervariasi sepanjang waktu dan mengalisis secara statistik apakah ada kecendrungan dan perbedaan variasi data curah hujan dan suhu pada rentang waktu yang berbeda yaitu dalam periode dekade. Lokasi penelitian adalah Aceh (5.31 N; 95.25 E), Medan (3.34 N; 98.41 E), Bengkulu (3.53 S; 102.20 E), Padang (0.53 S; 100.21 E dan Palembang (2.54 S; 104.42 E). Curah hujan di Sumatera selain dipengaruhi oleh sirkulasi monsoon, juga dipengaruhi oleh posisinya yang dilalui garis khatulistiwa serta kondisi topografi lokal yang berpegunungan. Data yang diperlukan untuk penelitian ini adalah data curah hujan dan suhu yang diperoleh dari BMKG selama periode 30 tahun (1983-2012). Hasil penelitian menunjukkan, bahwa selama periode penelitian terjadi penurunan curah hujan untuk Aceh, Bengkulu dan Padang, sedangkan untuk Medan dan Palembang terjadi peningkatan curah hujan. Pola curah hujan perdekade untuk setiap lokasi penelitian (Aceh, Medan, Bengkulu, Padang dan Palembang) tidak terjadi perubahan atau pergeseran pola yang signifikan. Sedangkan suhu untuk setiap lokasi penelitian, dalam periode dekade terjadi peningkatan suhu, suhu maksimum mencapai 280 C terjadi di Palembang.
Kata kunci: curah hujan, suhu, dekade
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
277
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
ABSTRACT This study aims to explain how the data of rainfall and temperatures vary over time and statistically analyze whether there are trends differences in variation of rainfall data and temperature at different time spans are in period of decades ocationof study was Aceh (5:31 N; 95.25 E), Medan (3:34 N; 98.41 E), Bengkulu (3:53 S; 102.20 E), Padang (0:53 S; 100.21 E and Palembang (2:54 S; 104.42 E). Rainfall in Sumatera in addition affected oleh the monsoon circulation, is also influenced oleh the position through which the equator and the local topography mountainous conditions. The data required for this study rainfall and temperature data is obtained from BMKG over a period of 30 years (1983-2012). The results showed that during the study period decreased rainfall for Aceh, Bengkulu and Padang, while weeks to Medan and Palembang an increase in rainfall. Precipitation patterns for each decade and for each study site (Aceh, Medan, Bengkulu, Padang and Palembang) no change or a significant shift in the pattern. As for the temperature for each study site every decade an increase in temperature, the maximum temperature in Palembang at 280 C.
Keywords: rainfall, temperature, decade.
1.
PENDAHULUAN Indonesia terletak di wilayah yang dilewati oleh garis katulistiwa dan terletak di antara
dua benua dan dua samudra. Posisi ini menyebabkan wilayah indonesia dipengaruhi oleh sirkulasi Hadley dan sirkulasi Walker, dua sirkulasi yang sangat mempengaruhi tingkat variabilitas hujan di Indonesia (Aldrian et al., 2007). Pergerakan matahari dari 23.50 LU ke 23.50 LS selama setahun menghasilkan aktivitas monsun yang juga berperan penting terhadap variabilitas hujan di Indonesia. Selain itu, adanya pengaruh kondisi lokal seperti topografi juga tidak bisa diabaikan karena merupakan salah satu kondisi penting yang mempengaruhi tingkat variabilitas hujan pada skala mikro (Haylock and McBride, 2001; Aldrian and Djamil, 2008). Secara umum curah hujan di wilayah Indonesia didominasi oleh adanya pengaruh beberapa fenomena, antara lain sistem monsun Asia-Australia, El-Niño, sirkulasi Timur-Barat (Walkel Circulation) dan sirkulasi Utara-Selatan (Hadley Circulation) serta beberapa sirkulasi karena pengaruh lokal (Mc Bridge, 2002). Variabilitas curah bujan di Indonesia sangatlah kompleks dan merupakan suatu bagian chaostic dari variabilitas monsun (Ferranti,1997 dalam Aldrian, 2003). Pola fluktuasi curah hujan di Indonesia secara umum sangat dipengaruhi oleh pergerakan ITCZ (Intertropical Convergence Zone), disamping itu dipengaruhi pula oleh kondisi lokal setempat Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
278
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
seperti topografi. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang curah hujannya dipengaruhi oleh sistem monsoon, yaitu sistem sirkulasi udara yang berbalik arah secara musiman yang disebabkan oleh perbedaan sifat termal antara benua dan lautan (Aldrian, 2003). Namun demikian akibat dari posisinya secara geografis dilalui oleh garis khatulistiwa (00 lintang), yang dikenal dengan pola ekuatorial, sehingga bentuk pola curah hujannya memiliki 2 puncak (bimodal). Selain itu, kondisi topografi Sumatera bagian barat yang berpegunungan juga turut mempengaruhi karakteristik curah hujannya. Sumatera Barat merupakan wilayah yang sebagian besar topografinya pegunungan dan dataran tinggi. Bukit Barisan yang membujur dari barat laut ke tenggara Pulau Sumatera terdiri 63.8% dari luas daerah Pegunungan Bukit Barisan dengan ketinggian 3.000 meter di atas permukaan laut. Satuan bentuk fisiografis daerah Sumatera Barat umumnya mengikuti garis pantai Barat dengan arah barat laut ke tenggara. (Turyanti, 2007) Iklim dapat didefinisikan sebagai kondisi rata-rata suhu udara, curah hujan, tekanan udara, arah angin, kelembaban udara dan parameter iklim lainnya dalam jangka waktu yang panjang (Bayong Tjasyono, 2004). Apabila terjadi perubahan dari kondisi rata-rata parameter iklim, maka hal tersebut dikatakan sebagai perubahan iklim. Perubahan iklim tidak terjadi secara mendadak atau dalam jangka waktu yang singkat, tetapi berlangsung secara perlahan dalam jangka waktu yang sangat panjang (Panjiwibowo dkk, 2003)
2. DATA DAN METODOLOGI Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan dan temperatur yang diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Dengan lokasi penelitian sebagai berikut daerah Aceh (5.31 N; 95.25 E), Medan (3.34 N; 98.41 E), Bengkulu (3.53 N; 102.20 E), Padang (0.53 N; 100.21 E dan Palembang (2.54 S; 104.42 E). Data data curah hujan dan temperatur, untuk daerah Aceh 1983-2012, Medan 1983-2012, Bengkulu 19822011, Padang 1973-2012 dan Palembang 1982-2011. Data ini di analisis dalam periode dekade (10 tahun).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
279
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 2-1: Lokasi daerah penelitian 1. Aceh, 2. Medan, 3. Bengkulu, 4. Padang dan 5. Palembang Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda regresi linear untuk mengetahui seberapa jauh perubahan curah hujan maupun temperatur selama periode penelitian. Peta lokasi seperti yang terlihat pada gambar 2.1 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis data curah hujan selama periode penelitian untuk daerah Aceh menunjukkan kecenderungan menurun yang diperlihatkan dalam persamaan Y = -0.038X + 186.2. Untuk curah hujan daerah Medan mempunyai kecenderungan naik, yang ditunjukkan dalam persamaan Y = 0.0926X + 180.92, curah hujan daerah Bengkulu mempunyai kecenderungan menurun seperti yang terdapat dalam persamaan Y= - 0.056X + 297.21, sedangkan curah hujan untuk daerah Padang memperlihat kecenderungan menurun yang ditunjukkan dalam persamaan Y = -0.0158X + 358.7, dan curah hujan daerah Palembang mempunyai kecenderungan naik seperti yang terdapat dalam persamaan Y = 0.0188X + 213.81. Selanjutnya intensitas curah hujan maksimum untuk Aceh sebesar 610.2 mm/bulan, suhu maksimum 28.30C, Medan curah hujan 773.2 mm/bulan,suhu maksimum sebesar 28.80C, Bengkulu curah hujan maksimum 1065 mm/bulan dan suhu maksimum sebesar 29.40C, Padang curah hujan maksimum 953 mm/bulan, suhu maksimum 27.90C dan intensitas curah hujan Palembang sebesar 653.1 mm/bulan dengan suhu maksimum sebesar 28.40C. (lihat Gambar 3.1). Berikutnya analisis dalam periode dekadal diperoleh hasil untuk daerah Aceh seperti yang tersaji pada gambar 3.2 yang menjelaskan bahwa intensitas curah hujan rata-rata 10 tahun yang disebut periode dekadal-1 (1983-1992) dan dekadal-2 (1993-2002) lebih rendah dibandingkan periode dekadal-3 (2003-2012). Dan dari rata-rata dekadal pola curah hujan menunjukkan pola ekuatorial. Kemudian untuk daerah Medan pada dekadal-1 (1983-1992) dan dekadal-2 (1993-2002) mempunyai intensitas curah hujan yang lebih rendah dari pada Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
280
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
periode dekadal-3 (2003-2012). Pada periode dekadal-3 (2003-2012) intensitas curah hujan minimum daerah Medan terjadi pada bulan Februari sebesar 88 mm/bln. Dan maksimum pada bulan September dengan nilai 345 mm/bln. Kesimpulan yang diperoleh dari rata-rata ke tiga periode dekadal ini, pola curah hujan daerah Medan menunjukkan pola ekuatorial. Untuk daerah Bengkulu intensitas curah hujan minimum terjadi pada bulan Juni periode dekadal-2 (1992-2001) dan pada bulan Juli periode dekadal-1 (1982-1991) juga pada bulan Agustus untuk periode dekadal-3 (2002-2011).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
281
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
y = -0.0158x + 358.7
Suhu ( C)
2011
2008
2006
2004
2002
1999
1997
1995
1993
1990
2012
2010
2008
2006
2004
2002
1999
1997
1995
1993
1991
26 25 y = 0.0019x + 25.742
24 23
2011
2008
2006
2003
2001
1998
1996
1993
1991
1988
1986
Waktu (Tahun)
3
1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
1983
1981
1978
1976
1973
1971
2012
2009
2007
2004
2002
2000
1997
1995
1992
1990
1987
1985
1983
1980
1978
1975
1973
22
29
28.4
28 y = 0.0188x + 213.81
27
Suhu ( C)
653,1
26 25
y = 0.0011x + 26.649
24 23
Waktu ( Tahun)
2011
2009
2007
2005
2003
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
Waktu (Tahun)
4
1100 1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
1986
1984
1982
1980
1978
2010
2008
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
22 1978
30
1065.0
29,4
29
y = -0.056x + 297.21
y = 0.0014x + 25.865
28
28,0
Suhu ( C)
27 26 25 24 23 2010
2008
2005
2003
2001
1998
1996
1994
1991
1989
1987
1984
1980
1977
1975
1973
2011
2009
2006
2004
2002
2000
1997
1995
1993
1991
1988
1986
1984
1982
1979
1977
1975
1973
22 1982
Ch (mm/bulan)
1989
27.9
28 27
1971
Ch (mm/bulan)
29
2
953.0
Waktu (Tahun)
Ch (mm/bulan)
1988
1986
1981
1984
1987
1985
1983
Waktu (Tahun)
Waktu (Tahun) 1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
28,8
y = 0.0021x + 26.401
1977
Suhu (C) 2012
2010
2008
2006
2004
2002
1999
1997
1995
1993
1991
1989
1987
1985
1983
1981
28,8
29 28 27 26 25 24 23 22 21 20 1981
733.2
1979
1979
1975
Suhu (C) 2011
2008
2006
2004
2002
1997
1995
1993
1990
1988
1986
1984
1981
1979
1977
1999
1
y = 0.0926x + 180.92
1977
Ch (mm/bulan)
28,3
y = 0,003x + 22,49
Waktu(Tahun)
Waktu (Tahun) 750 700 650 600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
29 28 27 26 25 24 23 22 21 20 1977
610,2
y = -0.038x + 186.2
1979
650 600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 1975
Ch (mm/bulan)
ISBN: 978-979-1458-87-0
Waktu (Tahun)
Waktu (Tahun)
5
Gambar 3.1: Variasi Curah hujan dan suhu bulanan untuk daerah 1. Aceh, 2. Medan, 3. Padang, 4. Palembang dan 5. Bengkulu selama periode penelitian. Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
282
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Jadi perubahan intensitas curah hujan di Bengkulu terjadi pada setiap periode dekadal-1 (19821991), dekadal-2 (1992-2001) dan periode dekadal-3 (2002-2011) di bulan Juni, Juli, dan Agustus. Untuk pola curah hujan Bengkulu mempunyai pola monsunal. Sedangkan Padang mempunyai pola ekuatorial, akan tetapi curah hujan pada periode dekadal-3 (2003-2012) lebih kecil dibandingkan periode dekadal-1 (1983-1992) dan dekadal-2 (1993-2002). Selanjutnya untuk Palembang pola curah hujan periode dekadal-3 (2002-2011) lebih tinggi dibandingkan pola periode dekadal-1 (1982-1991) dan dekadal-2 (1992-2001), dan mempunyai pola curah hujan ekuatorial. Suhu udara untuk semua lokasi penelitian pada periode-3 (2003-2012) lebih tinggi dibandingkan periode dekadal-1 (1983-1992) dan dekadal2 (1993-2002). Jadi suhu udara selama 30 tahun terakhir bertambah tinggi (lihat gambar 3.2) Selanjutnya menurut penelitian Aldrian (2003), Tjasyono (2004) dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) membagi pola curah hujan Indonesia menjadi tiga tipe, yaitu tipe curah hujan monsunal, tipe curah hujan ekuatorial, dan tipe curah hujan lokal. Tipe curah hujan monsunal sangat kuat dipengaruhi oleh fenomena monsun Asia dan monsun Australia. Tipe monsunal memiliki satu puncak pada bulan Desember hingga Februari (DJF) dan satu lembah pada bulan Juni hingga Agustus (JJA). Tipe curah hujan ekuatorial memiliki dua puncak pada bulan Oktober hingga November (ON) dan pada bulan Maret hingga Mei (MAM). Tipe pola curah hujan lokal memiliki bentuk yang terbalik dengan tipe curah hujan monsunal. Tipe ini dipengaruhi oleh faktor lokal. Pulau Sumatera dengan daerah kajian Aceh, Medan, Padang, dan Palembang mempunyai pola curah hujan ekuatorial, sedangkan daerah Bengkulu mempunyai pola curah hujan monsunal. Namun hasil dari pengolahan data untuk pola curah hujan diperoleh daerah Aceh dan Medan tidak murni mempunyai pola equatorial akan tetapi ada pengaruh monsunal.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
283
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
28,5 28,0 27,5 27,0 26,5 26,0 25,5 25,0 24,5 24,0 23,5 23,0 22,5 22,0
Ave, 1983-1992 Ave, 1993-2002
Suhu(C)
Ave, 2003-2012
1 Ave 1983-1992 Ave 1993-2002 Ave 2003-2012 Ave-30 tahun
28,5 28,0 27,5 27,0 26,5 26,0 25,5 25,0 24,5 24,0 23,5 23,0 22,5 22,0
Waktu (bulan)
Suhu (C)
Ch(mm/bulan)
Ave, 2003-2012 Ave-30 tahun
Ave 1973-1982 Ave 1983-1992
Ave 1983-1992 Ave 1993-2002 Ave 2003-2012 Ave-30 tahun
Waktu (Bulan)
2 600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Ave, 1993-2002
Waktu (Bulan), Aceh
Suhu(C)
Ch(mm/bulan)
Waktu (Bulan)
600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Ave, 1983-1992
Des
Okt
Nov
Sept
Jul
Agt
Jun
Mei
April
Feb
Mart
Ave-30 tahun
Jan
Ch(mm/bulan)
ISBN: 978-979-1458-87-0
Ave 1993-2002 Ave 2002-2012 Ave-30 tahun
28,5 28,0 27,5 27,0 26,5 26,0 25,5 25,0 24,5 24,0 23,5 23,0 22,5 22,0
Waktu (bulan)
Ave 1973-1982 Ave 1983-1992 Ave 1993-2002 Ave 2002-2012 Ave-30 tahun
Waktu (Bulan)
600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Ave 1982-1991 Ave 1992-2001 Ave 2002-2011 Ave-30 tahun
Suhu (C)
Ch(mm/bulan)
3 28,5 28,0 27,5 27,0 26,5 26,0 25,5 25,0 24,5 24,0 23,5 23,0 22,5 22,0
Waktu (Bulan)
Ave 1982-1991 Ave 1992-2001 Ave 2002-2011 Ave-30 tahun
Waktu (Bulan)
600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Ave 1982-1991 Ave 1992-2001 Ave 2002-2011 Ave-30 tahun
Suhu (C)
Ch(mm/bulan)
4 28,5 28,0 27,5 27,0 26,5 26,0 25,5 25,0 24,5 24,0 23,5 23,0 22,5 22,0
Ave 1982-1991 Ave 1992-2001 Ave 2002-2011 Ave-30 tahun
Waktu (Bulan)
Waktu (Bulan)
5
Gambar 3.2 : variasi curah hujan dan temperatur selama periode dekadal untuk daerah 1. Aceh, 2. Medan, 3. Padang, 4. Palembang dan 5. Bengkulu
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
284
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan tidak terjadi pergeseran pola curah hujan hanya yang terjadi perubahan nilai intensitas curah hujan disetiap lokasi penelitian. Sedangkan pola curah hujan Aceh memperlihat nilai intensitas curah hujan minimum dibulan kering sekitar 50 mm/bulan namun mempunyai puncak pada bulan Mart dan November. Jadi untuk Aceh terlihat jelas perbedaan antara musim basah dan musim kering. Oleh karena itu Aceh mempunyai pola monsunal. Demikian juga untuk Medan dan Padang hasil analisis data menunjukan pola ekuatorial, sedangkan Palembang menunjukkan pola monsunal. Untuk daerah penelitian ini pengaruh lokal, topografi dan pengunungan sangat mempengaruhi variabilitas curah hujan. Sedangkan untuk suhu udara selama periode penelitian pada setiap lokasi penelitian dan pada setiap periode dekadal bertambah tinggi.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Erma Yulihastin, M.Si, dan Dra. Iis Sofiati, M.Sc yang telah memberikan masukan dan partisipasinya dalam penulisan makalah ini.
DAFTAR RUJUKAN Aldrian, E., L.D. Gates, and F.H.Widodo, 2007, “Seasonal variability of Indonesian rainfall in ECHAM4 simulations and in the reanalyses: The role of ENSO”, Theoretical and Applied Climatology, 87. 41–59 Aldrian, E., and Y.S. Djamil, 2008, “Spatio-temporal climatic change of rainfall in East Java Indonesia”, International Journal of Climatology, 28. 435–448 Aldrian E., 2003, “Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature”, Int. Journal of climatology Haylock, M., and J.L. McBride, 2001, “Spatial coherence and predictability of Indonesian wet season rainfall”, Journal of Climate, 14. 3882–3887 McBride, 2002, “Kapan Hujan Turun?. Dampak Osilasi Selatan dan El-Niño di Indonesia?”, Departement Of Primary Industries, Queensland Turyanti,A., Sunarsih,I., dan Hermawan,E., 2007, “Analisa potensi curah hujan berdasarkan data distribusi awan dan data temperature blackbody di Kototabang Sumatera Barat”, Jurnal. Agromet Indonesia 21 (2) : 39– 45, 2007 Bayong Tjasyono, H.K., 2004, “Klimatologi”, Penerbit ITB. Bandung Panjiwibowo, C., R.Wisnu, H. S. Moekti, dan T. Olivia, 2003, “Mencari Pohon Uang: CDM Kehutanan di Indonesia”, Yayasan Pelangi. Jakarta Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
285
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
TANYA JAWAB SESI POSTER Pertanyaan dari Kapus PSTA : Kenapa pola curah hujan di daerah penelitian Aceh, Medan, Padang, Bengkulu dan Palembang tidak persis mencerminkan pola yang seperti telah di ditentukan. Jawab : Sebab disepanjang pulau Sumatera terdapat pegunungan bukit barisan sehingga hal ini sangat mempengaruhi curah hujan. Juga disebabkan pengaruh lokal.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
286
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
POLA DIURNAL SUHU PUNCAK AWAN DAN CURAH HUJAN UNTUK TIGA DAERAH TIPE HUJAN DI INDONESIA (DIURNAL PATTERNS OF CLOUD TOP TEMPERATURE AND RAINFALL FOR THREE TYPES OF RAINFALL IN INDONESIA) Lely Qodrita Avia Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional e-mail :
[email protected]
ABSTRAK Penelitian pola diurnal suhu puncak awan dan curah hujan untuk tiga daerah tipe hujan di Indonesia telah dilakukan. Data inframerah IR1 dari pengukuran Multifunctional Transport Satellites-2 (MTSAT-2) digunakan untuk mengetahui pola diurnal suhu puncak awan. Data MTSAT-2 ini memiliki resolusi spasial 0,05x0,05 derajat lintang bujur dan resolusi temporal jam-an. Sedangkan data Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM 3B42V7) digunakan untuk mengetahui pola diurnal curah hujan. Data TRMM 3B42V5 ini memiliki resolusi spasial 0,25x0,25 derajat lintang bujur dan resolusi temporal 3 jam-an Periode data penelitian ini adalah selama musim hujan (DJF) dan musim kemarau (JJA) tahun 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola diurnal suhu puncak awan memiliki kaitan yang kuat dan signifikan dengan pola diurnal curah hujan. Karakteristik waktu pembentukan hujan di Surabaya (tipe monsunal) mirip dengan di Padang (tipe ekuatorial) yaitu terjadi sekitar pukul 14.00 sampai 20.00 LST. Namun di Ambon (tipe lokal) tampak berlangsung pada sore sampai malam hari pukul 16.00 sampai 01.00 LST.
Kata kunci: pola diurnal, awan, curah hujan, musim hujan, musim kemarau
ABSTRACT The research about diurnal pattern of cloud top temperature and rainfall for the three types of rainfall areas in Indonesia has been done. Data infrared (IR1) from measurements of Multifunctional Transport Satellite-2 (MTSAT-2) is used to determine the diurnal pattern of the cloud top temperature MTSAT-2 data have a spatial resolution 0,05x0,05 latitude-longitude Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
287
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
degrees and hourly temporal resolution. While data Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM 3B42V7) is used to determine the diurnal pattern of rainfall. TRMM 3B42 V5 data has a spatial resolution 0,25x0,25 latitude-longitude degrees and 3-hourly temporal resolution. Period of this research data is during the rainy season (DJF) and dry season (JJA) in 2010. The results show a diurnal pattern of peak temperature cloud has a strong and significant association with the diurnal pattern of rainfall during the study period. The characteristics of the formation of rain in Surabaya (monsoonal type) similar to that in Padang (equatorial type) which occurred at around 14.00 to 20.00 LST. But in Ambon (local type) appears took place on the afternoon till night 16.00 to 01.00 LST.
Keywords: diurnal patterns, clouds, rainfall, rainy season, dry season
1. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia memiliki banyak keunikan sebagai negara kepulauan terbesar di bumi yang mempunyai garis pantai 80,791 km dan terdiri dari pulau besar dan kecil, terletak antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Pasifik dan Hindia). Disamping itu, posisi Indonesia yang terletak di daerah tropis mendapat surplus energi sepanjang musim, berbeda dengan daerah lintang tinggi yang mendapat surplus energi pada musim panas dan defisit energi pada musim dingin. Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai daerah yang konveksinya paling aktif dibandingkan dengan daerah-daerah ekuatorial lainnya sehingga memiliki jumlah curah hujan yang besar (Ramage, 1968). Atmosfer di atas wilayah Indonesia memainkan peranan penting dan unik dalam sirkulasi atmosfer global. Hampir 70% wilayah Indonesia merupakan daerah perairan, maka jumlah uap air yang dapat dihasilkan sangat besar. Pembentukan awan dan jumlah hujan di Indonesia berfluktuasi dari bulan ke bulan, dari musim ke musim dan dari tahun ke tahun (Kato, 1994; Tjasyono, 1994). Kerumitan dinamika atmosfer dan keunikan atmosfer wilayah Indonesia menyebabkan kesulitan dalam membuat prediksi cuaca dengan tingkat akurasi yang tinggi. Dalam upaya peningkatan akurasi prediksi hujan di Indonesia, penelitian mengenai pola diurnal awan dan hujan ini menjadi penting dan perlu dilakukan. Penelitian ini dilakukan dalam upaya mempelajari karakteristik diurnal awan dan hujan di Indonesia dengan menggunakan data kanal inframerah dari satelit Multifunctional Transport Satellites-2 (MTSAT-2) dan data curah hujan dari satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM 3B42V7). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman yang lebih baik mengenai konveksi atmosfer untuk wilayah Indonesia dan dapat meningkatkan akurasi Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
288
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
estimasi prediksi hujan berbasis data satelit. Batasan daerah penelitian dilakukan khusus untuk tiga daerah yang mewakili tiga tipe hujan di Indonesia yaitu Surabaya mewakili daerah tipe hujan monsunal, Padang mewakili daerah tipe hujan ekuatorial dan Ambon yang mewakili daerah tipe hujan lokal.
2. LANDASAN TEORI Awan dan hujan merupakan unsur iklim yang penting dalam siklus hidrologi dan memiliki peran penting bagi kehidupan di bumi. Siklus diurnal adalah salah satu variasi paling signifikan dari curah hujan dan aktivitas konvektif di daerah tropis. Variasi diurnal konveksi di atas wilayah Benua Maritim telah dilakukan dengan menganalisis data inframerah (IR) dari satelit GMS (Geostationary Meteorological Satellite), misalnya, Murakami (1983), Nitta dan Sekine (1994), dan Ohsawa et al. (2001). Konveksi di atas pulau besar tampak maksimum sore dan malam hari. Sedangkan wilayah laut di sekitar pulau besar, aktivitas konvektif maksimum umumnya terjadi pagi hari. Berdasarkan hasil pengukuran menggunakan gelombang mikro pada data TRMM, Nesbitt et al. (2000) menunjukkan bahwa daerah tropis termasuk Indonesia merupakan bagian dari sistem konvektif skala meso. Sistem konveksi skala meso ini didefinisikan sebagai sistem awan cumulonimbus yang menghasilkan area yang berbatasan sekitar 100 km atau lebih sekurang-kurangnya pada satu arah (Houze, 1993). Wilayah Indonesia juga merupakan daerah pertemuan sirkulasi zonal (sirkulasi Walker) dan sirkulasi meridional (sirkulasi Hadley). Hal ini menyebabkan dinamika atmosfer di atas wilayah Indonesia semakin kompleks. Pola diurnal awan dan curah hujan merupakan topik penelitian yang penting dalam ilmu atmosfer. Beberapa penelitian mengungkapkan hubungan antara ketidakpastian dalam perkiraan curah hujan dan tahap pengembangan sistem awan (Rajendran dan Nakazawa, 2005). Pemahaman yang komprehensif tentang hubungan ini akan membantu meningkatkan prediksi curah hujan dari berbagai instrumen penginderaan jauh. Pemahaman siklus diurnal konveksi di lingkungan pantai penting karena banyak curah hujan yang terjadi disana dan model global tidak dapat mewakili secara benar siklus diurnal konveksi (Yang dan Singo, 2001). Sistem pembentukan curah hujan diduga dari suhu puncak awan dingin. Di daerah monsun Asia, data satelit mengindikasikan penjalaran curah hujan ke arah selatan di atas Teluk Benggala yang tampak dari diagram waktu–lintang kecerahan temperatur (Webster et al., 2002). Penelitian ini menggunakan data inframerah (IR1) dari satelit MTSAT-2. Pengamatan inframerah geostasioner dengan metode pelacakan awan telah banyak digunakan dalam analisis siklus hidup awan (Mathon dan Laurent, 2001 dan Kondo et al., 2006). Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
289
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
3. DATA DAN METODOLOGI Penelitian ini menggunakan dua data utama, yaitu pertama data kanal inframerah (IR1) satelit MTSAT-2 untuk variabel suhu puncak awan, dan kedua data satelit TRMM 3B42V7 untuk variabel curah hujan. Untuk penelitian pola diurnal ini periode data yang digunakan adalah selama musim hujan (Desember Januari Februari / DJF) dan musim kemarau (Juni Juli Agustus / JJA) tahun 2010. Data satelit MTSAT-2 ini memiliki resolusi spasial 0.05 x 0.05 derajat lintang bujur dan resolusi spasial jam-an. Sedangkan Data satelit TRMM 3B42V7 memiliki resolusi spasial 0,25 x 0,25 derajat lintang bujur dan resolusi temporal 3 jam-an. Batasan lokasi penelitian, seperti tampak pada Gambar 3-1, adalah daerah yang mewakili tiga tipe hujan di Indonesia. Dalam penelitian ini tiga daerah yang dipilih adalah sekitar stasiun Surabaya Perak (7,22oLS ; 1112,72oBT, 21 mdpl) mewakili daerah tipe hujan monsunal, sekitar stasiun Tabing Padang (0,88oLS ; 100,35 oBT, 64.3 mdpl) mewakili daerah tipe hujan ekuatorial, dan sekitar stasiun Pattimura Ambon (3.7oLS ; 128.08oBT, 31,8 mdpl) dan Ambon yang mewakili daerah tipe hujan lokal.
Gambar 3-1: Batasan daerah penelitian (kotak merah) untuk tiga daerah tipe hujan di Indonesia yaitu Surabaya untuk tipe monsunal, Padang untuk tipe ekuatorial dan Ambon untuk tipe lokal
Metodologi penelitian yang dilakukan adalah melakukan data dan untuk wilayah Indonesia. Untuk data IR1 dari MTSAT-2, kalibrasi data perlu dilakukan terlebih dahulu. Data kalibrasi ini berisi nilai konversi dari tingkatan level pixel warna tertentu pada setiap pixel citra menjadi nilai temperatur benda hitam atau Tbb (dalam K). Selanjutnya data IR1 dikonversi dari nilai pixel citra menjadi menjadi nilai Tbb yang diinterpretasikan sebagai nilai suhu puncak awan. Data baik dari satelit MTSAT-2 maupun TRMM 3B42V7 dirata-ratakan pada jam tertentu setiap harinya selama periode penelilitiandan waktunya dikonversi menjadi LST (Local
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
290
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Solar Time). Selanjutnya analisis pola diurnal dilakukan terhadap kedua data tersebut untuk setiap lokasi penelitian.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengolahan data yang dilakukan selama periode penelitian ini menghasilkan informasi rata-rata musiman pola diurnal suhu puncak awan dan hujan untuk tiga lokasi tipe hujan di Indonesia. Suhu puncak awan ini direpresentasikan oleh nilai Tbb dari data kanal IR1 satelit MTSAT-2. Semakin dingin suhu puncak awan semakin besar potensi curah hujannya. Curah hujan yang tinggi selalu terkait dengan suhu rendah, tetapi tidak berlaku pernyataan sebaliknya karena suhu rendah tidak selalu berarti curah hujan tinggi (Negri and Adler, 1987). Hasil pengolahan data untuk suhu puncak awan dari satelit MTSAT ini memiliki resolusi jam-an, namun untuk kemudahan analisis pada penelitian ini ditampilkan dalam bentuk nilai rata-rata 3 jam-an disesuaikan dengan data curah hujan dari satelit TRMM 3B42 yang memiliki resolusi temporal 3 jam-an. Untuk lokasi Surabaya (tipe monsunal) tampak suhu puncak awan pada musim hujan lebih rendah daripada musim kemarau sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 4-1 (atas). Selama periode musim kemarau tampak suhu puncak awan di Surabaya berkisar antara 275,30 K dan 285,78 K. Sedangkan pada musim hujan tampak suhu puncak awan lebih bervariasi berkisar antara 238,27 K dan 278,60 K.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
291
suhu puncak awan (K)
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
290 280 270 260 SURABAYA MTSAT DJF SURABAYA MTSAT JJA
250 240 230 2
5
8
11
14
17
20
17
20
23
waktu (LST)
curah hujan (mm)
6
Surabaya TRMM DJF
5
Surabaya TRMM JJA
4 3 2 1 0 2
5
8
11
14
23
waktu (LST)
Gambar 4-1: Rata-rata musimam pola diurnal suhu puncak awan (atas) dan curah hujan (bawah) di Surabaya.
Semakin kecil suhu puncak awan ini mengindikasikan awan dingin yang berpotensi menjadi hujan. Pola diurnal suhu puncak awan yang kecil di Surabaya berlangsung pada sore sampai malam hari yaitu sekitar pukul 14.00-23.00 LST. Pola diurnal suhu puncak awan terlihat mirip dengan pola diurnal curah hujan di Surabaya. Selama DJF curah hujan maksimum terjadi setelah tengah hari yaitu pukul 14.00 LST dan pukul 11.00 LST untuk periode JJA, sebagaimana yang tampak pada Gambar 4-1 (bawah). Gambar 4-2 menunjukkan variasi diurnal distribusi suhu puncak awan di Surabaya dan sekitarnya untuk periode musim hujan (atas) dan musim kemarau (bawah). Pada Gambar 4-2 (atas) tampak bahwa suhu puncak awan pada musim hujan mencapai minimum (kurang dari 243 K) pada pukul 17.00 dan 20.00 LST. Demikian juga pada musim kemarau seperti tampak pada Gambar 4-2 (bawah), nilai minimum (kurang dari 273 K) berlangsung pada pukul 14.00 dan 17.00 LST.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
292
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-2: Distribusi rata-rata suhu puncak awan di Surabaya dan sekitarnya untuk periode musim hujan (atas) dan musim kemarau (bawah).
Untuk lokasi Padang (tipe ekuatorial), pola diurnal suhu puncak awan antara musim hujan dan musim kemarau tampak sangat mirip sekali nilainya, yaitu berkisar antara 250 K sampai 280 K. Suhu puncak awan yang kecil mengindikasikan potensi hujan terjadi pada sore sampai malam hari sekitar pukul 14.00 sampai 02.00 LST, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4-3. Hal yang menarik adalah pola diurnal curah hujan di Padang ini juga memiliki kemiripan antara selama musim hujan dan musim kemarau, seperti ditunjukkan pada Gambar 4-3. Curah hujan cenderung terjadi dari siang sampai malam hari. Pada Gambar 4-3 (bawah) curah hujan maksimum terjadi pada pukul 17.00 LST baik untuk periode JJA (2,40 mm) maupun periode DJF yang tampak lebih kecil (1,43 mm). Gambar 4-4 menunjukkan variasi diurnal distribusi suhu puncak awan di Padang dan sekitarnya untuk periode musim hujan (atas) dan musim kemarau (bawah). Pada Gambar 4-4 (atas) tampak suhu puncak awan minimum (kurang dari 248 K) pada musim hujan di Padang dan sekitarnya pada malam hari pukul 20.00 dan 23.00 LST. Pada musim kemarau (Gambar 44 bawah), nilai minimum suhu puncak awan (kurang dari 270 K) berlangsung pada pukul 17.00 sampai 02.00 LST.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
293
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
suhu puncak awan (K)
290 280 270 260 250
PADANG MTSAT DJF
240 230 2
5
8
11 14 waktu (LST)
curah hujan (mm)
6
17
20
23
Padang TRMM DJF Padang TRMM JJA
5 4 3 2 1 0 2
5
8
11 14 waktu (LST)
17
20
23
Gambar 4-3: Rata-rata musimam pola diurnal suhu puncak awan (atas) dan curah hujan (bawah) di Padang
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
294
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-4: Distribusi rata-rata suhu puncak awan di Padang dan sekitarnya untuk periode musim hujan (atas) dan musim kemarau (bawah).
Sedangkan untuk lokasi Ambon (tipe lokal), pola diurnal suhu puncak awan pada musim hujan dan musim kemarau mempunyai variasi yang relatif kecil, yaitu 265 K sampai 280 K (Gambar 4-5 atas). Pola diurnal suhu puncak awan selama musim kemarau konsisten lebih rendah nilainya dari pada musim hujan untuk setiap waktunya, sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 4-5 (atas). Pola diurnal suhu puncak awan ini memiliki kecenderungan nilai yang kecil pada malam dan dini hari yaitu sekitar pukul 19.00 sampai 04.00 LST. Sedangkan pola diurnal curah hujan di Ambon seperti yang tampak pada Gambar 4-5 (bawah) juga menunjukkan kemiripan dengan pola suhu puncak awan, dimana tampak selama JJA konsisten curah hujan yang berlangsung setiap waktunya lebih tinggi dibanding pada DJF. Pola diurnal curah hujan di Ambon menunjukkan kecenderungan hujan maksimum terjadi malam hari sekitar pukul 22.00 LST yaitu sebesar 1,16 mm pada DJF dan sebesar 3,51 mm pada JJA.
suhu puncak awan (K)
290 280 270 260 250
AMBON MTSAT DJF
240
AMBON MTSAT JJA
230 1
4
7
10 13 waktu (LST)
6
19
22
Ambon TRMM DJF
5 curah hujan (mm)
16
Ambon TRMM JJA
4 3 2 1 0 1
4
7
10
13
16
19
22
waktu (LST)
Gambar 4-5: Rata-rata musimam pola diurnal suhu puncak awan (atas) dan curah hujan (bawah) di Ambon
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
295
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-6 menunjukkan variasi diurnal distribusi suhu puncak awan di Ambon dan sekitarnya untuk periode DJF (atas) dan JJA (bawah). Suhu puncak awan di Ambon dan sekitarnya selama DJF tampak cukup tinggi, yaitu berkisar antara 263 K dan 283 K Gambar 46 atas). Suhu puncak awan minimum terjadi pada siang hari pukul 13.00 LST ( antara 263 K dan 273 K). Sedangkan pada JJA (Gambar 4-6 bawah), nilai suhu puncak awan yang kecil (kurang dari 270 K) terjadi pada pagi sampai siang hari sekitar pukul 10.00 sampai 13.00 LST. Berdasarkan hasil penelitian untuk ketiga daerah tersebut, karakter pola diurnal suhu puncak awan dan curah hujan bervariasi. Curah hujan maksimum di Surabaya dan Padang umumnya terjadi lewat tengah hari, sedangkan curah hujan maksimum di Ambon terjadi dua kali, yaitu siang hari dan malam hari. Peran sirkulasi udara pada pola diurnal di ketiga lokasi tersebut ditunjukkan oleh angin laut yang berhembus pada pagi hari dengan membawa massa uap air menuju daratan dan mencapai maksimum pada siang hari. Hal ini menyebabkan proses konveksi di atas daratan berlangsung dan selanjutnya menghasilkan curah hujan pada sore hari. Pola diurnal curah hujan ini menunjukkan hujan konvektif cenderung mencapai puncak pada sore hari yang merupakan respon langsung terhadap pemanasan pada siang hari di permukaan dan lapisan batas troposfer. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Wallace (1975) bahwa pemanasan permukaan siang hari memberikan kontrol termodinamika skala besar konveksi dan curah hujan, tetapi efek dinamis di beberapa daerah secara substansial dapat mengubah fase konveksi dari sore sampai tengah malam atau pagi hari. Penelitian ini juga mendukung analisis Qian (2008) bahwa siklus diurnal curah hujan dan angin di wilayah Benua Maritim sebagian besar disebabkan oleh konvergensi angin laut di atas pulau, diperkuat oleh angin gunung-lembah dan oleh proses penggabungan kumulus. Suhu puncak awan yang rendah juga tidak selalu menghasilkan curah hujan tinggi di permukaan sebagaimana yang dikemukakan Negri dan Adler (1987). Hal ini menunjukkan faktor pembentukan curah hujan pada suatu lokasi tidak hanya tergantung pada suhu puncak awan melainkan juga dipengaruhi oleh faktor lainnya, seperti kondisi topografi dan komposisi atmosfer suatu daerah, mekanisme pembentukan dan pertumbuhan awan, sirkulasi dan dinamika atmosfer lokal, jenis, morfologi dan proses-proses di permukaan dan lapisan batas, dan waktu yang bervariasi.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
296
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-6: Rata-rata musimam pola diurnal suhu puncak awan di Ambon dan sekitarnya untuk periode musim hujan (atas) dan musim kemarau (bawah).
5. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas, secara umum pola diurnal suhu puncak awan mempunyai kaitan erat dengan pola diurnal curah hujan pada tiga lokasi penelitian ini, yaitu sekitar Surabaya (tipe monsunal), Padang (tipe ekuatorial) dan Ambon (tipe lokal). Curah hujan tinggi terjadi bersamaan waktunya dengan suhu puncak awan yang kecil atau dingin, yaitu cenderung terjadi pada sore sampai malam hari. Curah hujan di Surabaya dan Padang umumnya berlangsung sekitar pukul 14.00 sampai 20.00 LST, namun curah hujan di Ambon cenderung berlangsung pada malam hari sekitar pukul 19.00 sampai 01.00 LST yang kemungkinan disebabkan oleh pengaruh lokal yang lebih dominan. Berdasarkan analisis diatas, puncak curah hujan yang umumnya terjadi sore hari tersebut disebabkan oleh sirkulasi angin laut dan hasil respon terhadap pemanasan yang terjadi pada siang hari di permukaan dan lapisan batas troposfer.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
297
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat Sains Dan Teknologi Atmosfer LAPAN yang telah mendanai penelitian terkait variabilitas diurnal parameter atmosfer di wilayah Indonesia.
DAFTAR RUJUKAN Houze, R. A., Jr., 1993, “Cloud Dynamics”, Academic Press Kato S., 1994, “Atmosfer in motion over Indonesia and global climate”, PIT-HAGI XIX, Bandung. Kondo, Y., A. Higuchi, and K. Nakamura, 2006, “Small-scale cloud activity over the Maritime Continent and the Western Pacific as revealed oleh satellite data”, Mon. Wea. Rev., 134, 1581-1599 Mathon, V., and H. Laurent, 2001, “Life cycle of the Sahelian mesoscale convective cloud systems”, Quart. J. Roy. Meteor. Soc., 127, 377–406 Murakami, M., 1983, “Analysis of the deep convective activity over the western Pacific and southwest Asia. Part I: Diurnal variation”, J. Meteor. Soc. Japan, 61, 60–76 Negri, A.J. and R.F. Adler, 1987, “Infrared and Visible Satellite Rain Estimation. Part I: A Grid Cell Approach”, Journal of Climate and Applied Meteorology, 26, 1553-1565 Nesbitt, S. W., E. J. Zipser, and D. J. Cecil, 2000, “A census of precipitation features in the tropics using TRMM: radar, ice scattering, and lightning observations”, J. Climate. 13, 4087-4106 Nitta, T., and S. Sekine, 1994, “Diurnal variation of convective activity over the tropical western Pacific”, J. Meteor. Soc. Japan, 72, 627–641 Ohsawa, T., H. Ueda, T. Hayashi, A. Watanabe and J. Matsumoto, 2001, Diurnal variations of convective activity and rainfall in tropical Asia”, J. Meteor. Soc. Japan, 79, 333‒352 Qian J. H., 2008, “Why precipitation is mostly concentrated over islands in the Maritime Continent”, J. of the Atmospheric Sciences 65/4, 1428-1441 Ramage, C. S., 1968, “Role of a tropical ‘‘Maritime Continent’’ in the atmospheric circulation”, Mon. Wea. Rev., 96, 365–369 Rajendran, K., and T. Nakazawa, 2005, “Systematic differences between TRMM 3G68 PR and TMI rainfall estimates and the possible association with life cycle of convection”, SOLA, 1, 165-168
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
298
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Tjasyono, B., 1994, “Riset dan Pengembangan Meteorologi di Indonesia”, Forum Komunikasi Bidang MIPA-DPPM-DIKTI, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Cisarua-Bogor Wallace, J. M., 1975, “Diurnal variations in precipitation and thunderstorm frequency over the conterminous United States”, Mon. Weather Rev., 103, 406–419 Webster, P.J. and Coauthors, 2002, “The jasmine pilot study”, Bull. Am. Metrol. Soc., 1603– 1630 Yang, G. Y. and J. Slingo, 2001, “The diurnal cycle in the tropics”, Mon. Wea. Rev., 129, 784801
TANYA JAWAB SESI POSTER T:
Kenapa skala untuk hasil spasial tidak dibuat sama?
J:
Skala sudah dibuat sama untuk setiap lokasi pada periode musim yang sama, artimya periode DJF untuk ketiga lokasi memiliki skala yang sama, demikian juga periode JJA untuk ketiga lokasi memiliki skala yang sama. Tetapi antara musim hujan dan musim kemarau skala sengaja tidak dibuat sama agar diperoleh gambaran hasil yang lebih detail untuk analisis karena perbedaan nilai yang cukup besar antara 2 periode tersebut.
T:
Kenapa skala waktu untuk Ambon tidak dibuat sama dengan Surabaya dan Padang?
J:
Mengingat periode data yang diolah ini berdasarkan waktu UTC, yang pada penelitian ini dikonversi menjadi LST. Sehingga untuk Surabaya dan Padang yang termasuk dalam WIB (Waktu Indonesia Barat) akan memiliki perbedaan waktu dengan Ambon yang termasuk dalam WIT (Waktu Indonesia Timur)
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
299
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
ANALISIS PENGARUH KONDISI ATMOSFER TERHADAP NILAI REFLEKTANSI PADA CITRA LANDSAT 8 (AN ANALYSIS OF THE INFLUENCE OF ATMOSPHERIC CONDITIONS ON REFLECTANCE VALUES LANDSAT 8 IMAGE) Liana Fibriawati dan Haris Suka Dyatmika Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh kondisi atmosfer terhadap reflektansi pada citra Landsat 8. Digunakan empat data Landsat 8 yang divariasikan dari data yang bersih sampai data yang sangat berkabut. Data citra Landsat 8 LDCM dengan resolusi spasial 30 meter, path 117 row 65 dikoreksi Top of Atmosfer (ToA) untuk menghilangkan pengaruh jarak bumi matahari dan sudut matahari, kemudian dipotong pada Area of Interest (AoI) daerah kabupaten Barito Timur, dengan variasi kondisi atmosfer yang bersih sampai yang berkabut secara merata. Selanjutnya, dianalisis perbandingan reflektansi antar kanal yang mewakili panjang gelombang tertentu, pada setiap citra Landsat 8. Dari analisis, dapat disimpulkan kanal yang dipengaruhi perubahan kondisi atmosfer adalah kanal near blue, kanal biru, kanal hijau, dan kanal merah. Sementara, kanal yang kurang dipengaruhi perubahan kondisi atmosfer yaitu kanal Near Infrared (NIR), kanal Short Wave Infrared (SWIR) 1 dan kanal Short Wave Infrared (SWIR) 2. Pada umumnya, semakin pendek panjang gelombang, semakin mudah dihamburkan sehingga lebih mudah dipengaruhi perubahan kondisi atmosfer. Kata kunci : Kondisi atmosfer, Panjang Gelombang, Landsat 8
ABSTRACT The research about the influence of atmospheric conditions on the reflectance of Landsat 8 bands image have been done. Four Landsat 8 image is used and varied from clean data until the foggy data. The data Landsat 8 LDCM with spatial resolution 30 meters path 117 row 65 corrected with Top of Atmosphere (TOA) correction to eliminate the influence of the earth sun distance and the angle of the sun, then cut in the Area of Interest (AOI) around East Barito Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
300
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
district. Furthermore, it’s analyzed the reflectance ratio between bands that represent specific wavelengths, on each Landsat 8 image. From the analysis, it can be concluded that the sensitive bands with the atmospheric conditions were near blue, blue, green and red band. Meanwhile, the less sensitive with the atmospheric conditions were Near Infrared (NIR), Short Wave Infrared (SWIR) 1 and Short Wave Infrared (SWIR) 2 band. In general, the shorter the wavelength, the greater energy, but the more easily dissipated thus more sensitive to the atmospheric conditions. Keywords: Atmospheric Conditions, Wavelength, Landsat 8
1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang dikelilingi laut dan mempunyai iklim tropis, sehingga kelembaban udaranya tinggi. Kelembaban udara yang tinggi sangat berpengaruh terhadap kondisi atmosfer yaitu menyebabkan atmosfer Indonesia sering diselimuti awan dan kabut. Pada pengambilan citra penginderaan jauh dengan sensor optis, kondisi atmosfer yang berawan dan berkabut mempengaruhi kondisi citra yang dihasilkan. Atmosfer berperan sebagai salah satu media penghantar energi (gelombang elektromagnetik) dari matahari yang dipantulkan oleh objek di bumi ke sensor satelit. Hamburan dan penyerapan yang disebabkan oleh gas atmosfer, aerosol dan uap air sangat mempengaruhi energi pantulan objek yang direkam oleh sensor satelit. Selain karena kondisi media penghantar, hamburan dan penyerapan gelombang elektromagnetik, besarnya energi pantulan objek yang diterima sensor satelit juga bergantung pada panjang gelombangnya sendiri. Penjalaran gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang yang berbeda mempunyai karakteristik yang berbeda juga terhadap berbagai kondisi atmosfer. Kondisi atmosfer hanya berpengaruh pada cahaya tampak dan sinar infra merah (Tyagi, 2011). Koreksi atmosfer merupakan langkah penting dalam koreksi radiometrik citra satelit. Selama ini, penelitian mengenai koreksi atmosfer baik secara relatif maupun absolut hanya dilakukan pada area tertentu, belum mencakup seluruh wilayah Indonesia. Keragaman kondisi akuisisi juga menyebabkan perbedaan penyerapan dan hamburan atmosfer, juga perbedaan posisi matahari terhadap bumi. Untuk menghilangkan pengaruh perbedaan jarak bumi matahari dan posisi matahari dilakukan koreksi radiometrik Top of Atmosfer (ToA). Koreksi ToA dilakukan dengan cara mengonversikan nilai digital number (DN) ke nilai reflektansi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi atmosfer , tetapi tidak dilakukan koreksi atmosfer. Hasilnya, dapat diketahui kanal yang sensitif terhadap perubahan kondisi atmsofer pada citra Landsat 8. Hipotesisnya adalah variasi panjang gelombang (dengan menggunakan Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
301
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
beberapa kanal Landsat 8) dan perubahan kondisi atmosfer akan mengakibatkan karakteristik penjalaran gelombang yang berbeda. Hal ini diamati melalui nilai reflektansi tiap-tiap kanal dan tanggal akuisisi dari citra di Area of Interest (AoI) tertentu.
2. TINJAUAN PUSTAKA Energi pantulan objek yang diterima oleh sensor pada satelit dipengaruhi oleh perubahan kondisi atmosfer (komposisi gas atmosfer, aerosol dan uap air). Hal ini biasanya menghasilkan distorsi reflektansi dari nilai objek sebenarnya yang kemudian mempengaruhi ekstraksi informasi dari citra (Teillet, 1986). Oleh karena itu, koreksi atmosfer perlu dilakukan. Metode koreksi atmosfer dibagi dua yaitu relatif dan absolut. Metode koreksi atmosfer relatif memerlukan citra bebas kabut dan awan, serta tidak ada perubahan tutupan lahan sebagai data referensi (Mahlny et al., 2007). Sedangkan, metode koreksi atmosfer absolut memerlukan informasi mengenai reflektansi permukaan dan kondisi atmosfer (Vermote et al., 2007). Metode koreksi atmosfer relatif terkendala karena terbatasnya citra yang bebas dari awan dan kabut. Kondisi tutupan lahan di Indonesia yang sering berubah juga menyebabkan sulitnya penentuan area referensi. Metode koreksi absolut juga sulit diterapkan di seluruh Indonesia karena belum tersedianya data reflektansi tiap objek dan keterbatasan informasi mengenai kondisi atmosfer. Perbedaan waktu akuisisi menyebabkan keragaman jarak bumi matahari dan sudut matahari. Oleh karena itu, diperlukan koreksi koreksi Top of Atmosfer (ToA) untuk menghilangkan pengaruh tersebut. Berdasarkan USGS (2014), data Landsat 8 dikonversi ke radiansi spektral ToA, dengan persamaan : =
+
(2.1)
dimana : L
= radiansi spektral ToA
ML
= (koefisien pengali radiansi x, dimana x adalah nomor kanal)
AL
= (koefisien penambah radiansi x, dimana x adalah nomor kanal)
Qcal
= nilai Digital Number (DN)
Selanjutnya, dikonversi ke reflektansi ToA (tanpa koreksi sudut matahari) dengan faktor skala radiansi dan reflektansi yang ada di metadata menggunakan persamaan : ′=
+
(2.2)
dengan : Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
302
ISBN: 978-979-1458-87-0
’
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
= reflektansi ToA (tanpa koreksi sudut matahari)
M
= (koefisien pengali reflektansi x, dimana x adalah nomor kanal)
A
= (koefisien penambah reflektansi x, dimana x adalah nomor kanal) Selanjutnya citra dikonversi ke reflektansi ToA (dengan koreksi sudut matahari)
menggunakan persamaan koreksi sudut matahari yaitu :
=
′ (cos(
))
=
′ (
(
))
(2.3)
dengan : = reflektansi ToA (dengan koreksi sudut matahari) θSE
= sudut elevasi matahari
θSZ
= sudut zenith matahari (θSZ = 90̊ - θSE)
3. DATA DAN METODOLOGI 1.1. Data Data yang digunakan adalah citra Landsat 8 dengan resolusi spasial 30 meter, path 117 row 65, wilayah kabupaten Barito Timur dengan tanggal akuisisi yang berbeda yaitu 9 April, 19 Juni, 22 Agustus dan 23 September 2013. Pemilihan data dilakukan secara visual. Data yang dipilih adalah data yang kondisi atmosfernya bervariasi. Untuk menganalisis kondisi atmosfer, digunakan kanal 1 sampai 7, yaitu kanal near blue (kanal 1), kanal biru (kanal 2). Kanal hijau (kanal 3), kanal merah (kanal 4), kanal NIR (kanal 5), kanal SWIR 1 (kanal 6) dan kanal SWIR 2 (kanal 7). 1.2. Metode Penelitian Untuk menganalisis kondisi atmosfer, masing-masing citra di potong pada Area of Interest (AoI) yang sama, yaitu dengan koordinat pojok kiri atas 115.27 E, -2.05 N dan kanan bawah 115.32 E, -2.10 N wilayah Barito Timur dengan kondisi atmosfer yang berbeda secara visual (Gambar 3-1).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
303
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 3-1 : Daerah Kajian Citra Landsat 8 dengan kombinasi kanal 432.
Data diurutkan berdasarkan keragaman kondisi atmosfer, dari yang paling bersih sampai yang paling berkabut. Kemudian dilakukan perhitungan statistik, untuk memperoleh nilai ratarata reflektansi tiap kanal. Selanjutnya dibuat grafik perbandingan nilai rata-rata reflektansi dengan perubahan kondisi atmosfer. Dari grafik perubahan kondisi atmosfer tersebut, diperoleh nilai gradiendan korelasi. Nilai gradien dan korelasi digunakan untuk menganalisis kanal yang dipengaruhi terhadap kondisi atmosfer. Untuk memperjelas, dihitung selisih nilai reflektansi maksimum minimum dan dibuat grafik perbandingan nilai selisih maksimum minimum dengan kanal-kanal Landsat 8. Dibuat grafik perbandingan nilai reflektansi dengan panjang gelombang tiap kanal untuk analisis lebih lanjut. Dari grafik tersebut, dianalisis kanal yang secara signifikan dipengaruhi oleh perubahan kondisi atmosfer.
4. HASIL PEMBAHASAN Data Landsat 8 telah dikoreksi ToA dan di potong pada AoI yang sama. Data di AoI ini diurutkan berdasarkan variasi kondisi atmosfer, dari citra yang paling bersih sampai citra yang paling berkabut. Data pertama adalah citra Landsat 8 tanggal 19 Juni 2013, data kedua adalah citra Landsat 8 tanggal 22 Agustus 2013, data ketiga adalah citra Landsat 8 tanggal 9 April 2013 dan yang terakhir adalah citra Landsat 8 tanggal 23 September 2013 (Gambar 4-1). Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
304
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-1 : Area of Interest (AoI) dari (a) bersih, (b) sedikit berkabut, (c) berkabut dan (d) sangat berkabut.
Dari perhitungan statistik, diperoleh nilai rata-rata reflektansi untuk tiap kanal pada setiap citra. Kemudian dibuat grafik hubungan rata-rata antara reflektansi dengan kondisi atmosfer, untuk mengetahui kanal yang sensitif terhadap perubahan kondisi atmosfer, seperti tampak pada gambar berikut (Gambar 4-2 ).
(a) Kanal near blue, kanal biru, kanal hijau dan kanal merah
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
305
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
(b) Kanal NIR, kanal SWIR 1 dan kanal SWIR 2 Gambar 4-2 : Grafik hubungan rata-rata antara reflektansi dengan kondisi atmosfer.
Dari grafik dapat dilihat bahwa kanal near blue dan cahaya tampak mempunyai kenaikan yang curam. Hal ini menunjukkan penurunan kondisi atmosfer (semakin berkabut) membuat nilai reflektansinya semakin meningkat. Sedangkan grafik kanal NIR, kanal SWIR 1 dan kanal SWIR 2 mempunyai grafik yang relatif lebih landai dibandingkan kanal near blue dan cahaya tampak dapat diartikan bahwa perubahan kondisi atmosfer tidak terlalu berpengaruh terhadap nilai reflektansinya. Berdasarkan (Kemenhut, 2013) wilayah Barito Timur yang berada di provinsi Kalimantan Tengah memiliki jumlah bulan basah yang lebih banyak dari bulan kering. Musim penghujan dimulai pada bulan September sampai bulan Mei, sedangkan bulan Juni sampai Agustus iklim relatif lebih kering. Hal ini sesuai dengan hasil bahwa citra Landsat 8 pada bulan kering yaitu, bulan Juni (data 1) dan Agustus (data 2) kondisi atmosfernya lebih bersih, sehingga tidak banyak perubahan nilai reflektansinya. Sedangkan pada citra Landsat 8 pada bulan basah, yaitu bulan April (data 3) dan September (data 4) kondisi atmosfer lebih berkabut, sehingga perubahan nilai reflektansinya besar. Untuk analisis lebih lanjut, dihitung nilai gradien (m) dan korelasi (R2) masing-masing kanal seperti tampak pada tabel berikut (Tabel 4-1).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
306
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Tabel 4-1 : Tabel gradien (m) dan korelasi (R2) m
R2
Kanal 1 (near blue)
0.0099
0.9165
Kanal 2 (biru)
0.0097
0.9328
Kanal 3 (hijau)
0.0083
0.9791
Kanal 4 (merah)
0.0081
0.9880
Kanal 5 (NIR)
0.0055
0.8951
Kanal 6 (SWIR 1)
0.0048
0.9963
Kanal 7 (SWIR 2)
0.0038
0.9726
Dari data diatas, perubahan kondisi atmosfer tidak benar-benar mempunyai korelasi linear karena pemilihan data dari citra yang bersih sampai citra yang paling berkabut dilakukan secara visual. Dari tabel, kanal near blue (panjang gelombang terpendek) mempunyai nilai gradien yang paling tinggi, sedangkan kanal SWIR 2 (panjang gelombang terpanjang) mempunyai gradien yang paling rendah. Gradien merupakan perbandingan antara nilai reflektansi dengan penurunan kondisi atmosfer. Semakin tinggi nilai gradien menunjukkan semakin besarnya selisih nilai reflektansi antar data. Untuk menunjukkan perbedaannya, dihitung selisih nilai maksimum minimum reflektansi pada setiap kanal dengan cara nilai reflektansi pada data paling berkabut dikurangi dengan nilai reflektansi pada data paling bersih. Diperoleh selisih untuk kanal near blue (kanal 1) adalah 0.031, selisih kanal biru (kanal 2) adalah 0.029, selisih kanal hijau (kanal 3) adalah 0.028, selisih kanal merah (kanal 4) adalah 0.027, selisih kanal NIR (kanal 5) adalah 0.016, selisih kanal SWIR 1 (kanal 6) adalah 0.015 dan selisih kanal SWIR 2 (kanal 7) adalah 0.013. Hasil tersebut, dibuat grafik perbandingan selisih reflektansi terhadap kanal (Gambar 4-3).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
307
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-3 : Grafik hubungan Max-Min Reflektansi terhadap kanal Semakin besar selisih nilai maksimum dan minimumnya, maka semakin besar peningkatan nilai reflektansinyayang disebabkan oleh pengaruh perubahan kondisi atmosfer. Dari grafik terlihat bahwa titik-titik data terbagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama adalah kanal near blue, kanal biru, kanal hijau dan kanal merah yang mempunyai nilai selisih maksimum minimum antara 0.026 sampai 0.031. Kelompok kedua adalah kanal NIR, kanal SWIR 1 dan kanal SWIR 2 yang mempunyai selisih nilai maksimum minimum antara 0.013 sampai 0.016. Kanal near blue dan cahaya tampak (biru, hijau, merah) mempunyai selisih maksimum minimum yang lebih besar, berarti lebih terpengaruh oleh perubahan kondisi atmosfer. Hal ini sesuai teori bahwa adanya partikel di atmosfer menyebabkan gelombang elektromagnetik dari matahari tidak dapat mencapai objek dengan sempurna. Gelombang elektromagnetik tersebut dihamburkan diserap dan dipantulkan oleh partikel di atmosfer. Ukuran dan jumlah partikel di atmosfer mempengaruhi kekuatan hamburan dan pantulan dari gelombang tersebut. Pada umumnya semakin pendek panjang gelombang, semakin mudah dihamburkan. Kanal near blue dan kanal cahaya tampak memiliki panjang gelombang yang lebih pendek dari NIR dan SWIR, maka kanal near blue dan kanal cahaya tampak tersebut lebih mudah dihamburkan oleh partikel di atmosfer, sehingga pada Landsat 8, kanal near blue dan kanal cahaya tampak dipengaruhi oleh perubahan kondisi atmosfer. Untuk memperjelas, dibuat grafik hubungan reflektansi ToA dengan panjang gelombang pada kanal-kanal Landsat 8 (Gambar 4-4). Kanal near blue dan cahaya tampak mempunyai panjang gelombang 0.4 - 0.7 µm, sedangkan kanal NIR, SWIR 1 dan SWIR 2 mempunyai panjang gelombang 0.8 - 2.3 µm.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
308
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-4 : Grafik hubungan reflektansi ToA dengan panjang gelombang pada kanal-kanal Landsat 8
Data 1 adalah citra bersih, data 2 citra sedikit berkabut, data 3 citra berkabut dan data 4 citra sangat berkabut. Dari grafik, pada panjang gelombang 0.4 - 0.7 µm (kanal near blue dan cahaya tampak) terlihat adanya selisih nilai reflektansi yang cukup besar antar data. Kondisi atmosfer yang semakin berkabut menyebabkan nilai reflektansinya semakin tinggi. Sedangkan pada kanal NIR, kanal SWIR 1 dan kanal SWIR 2 (0.8 - 2.3 µm), selisih nilai reflektansi antar datanya relatif kecil. Terlihat pada panjang gelombang 1 µm (kanal NIR), data 3 dan data 4 berhimpit berarti nilai reflektansinya sama walaupun dengan kondisi atmosfer yang berbeda. Sedangkan data 1, data 2 dan data 3 mempunyai selisih yang besar. Pada panjang gelombang 1.6 µm ( kanal SWIR 1), tidak ada data yang berhimpit tetapi selisih nilai reflektansi antar data lebih kecil dibandingkan pada kanal NIR. Pada panjang gelombang 2.3 µm (kanal SWIR 2), data 3 dan data 4 hampir berhimpit, sedangkan selisih data 1 dan data 2 masih sama seperti pada kanal SWIR 2. Dari pola perubahan yang tidak teratur tersebut, dapat disimpulkan bahwa perubahan nilai reflektansi pada kanal NIR, SWIR 1 dan SWIR 2 kurang dipengaruhi oleh perubahan kondisi atmosfer.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
309
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
5. IMPLEMENTASI Pada penelitian ini belum dilakukan koreksi atmosferik untuk menghasilkan data yang lebih baik. Pun begitu, penelitian ini dapat dijadikan sebagai penelitian awal untuk melakukan penelitian koreksi atmosfer.
6. KESIMPULAN Dari hasil analisis pengaruh kondisi atmosfer terhadap perbedaan panjang gelombang antar kanal pada citra Landsat 8, diperoleh bahwa kanal cahaya tampak (kanal near blue, kanal biru, kanal hijau dan kanal merah) mempunyai gradien antara 0.0081 - 0.0099 dan selisih nilai maksimum minimum reflektansi antara 0.027 - 0.031. Sedangkan kanal NIR, kanal SWIR 1 dan kanal SWIR 2 mempunyai gradien antara 0.0038 - 0.0055 dan selisih maksimum minimum reflektansi antara 0.013 - 0.016. Hal ini membuktikan bahwa perubahan kondisi atmosfer pada citra multitemporal Landsat 8 dapat dideteksi dengan gradien dan selisih nilai maksimum minimum reflektansi. Kanal yang perubahan nilai reflektansinya paling signifikan adalah kanal cahaya tampak (near blue, kanal biru, kanal hijau, kanal merah). Kanal cahaya tampak lebih dipengaruhi oleh kondisi atmosfer dibanding kanal NIR, kanal SWIR 1 dan kanal SWIR 2.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kustiyo selaku kepala bidang Teknologi Pengolahan Data, yang telah membimbing penulis dalam hal sistematika, teori dasar.
DAFTAR RUJUKAN Kementerian
Kehutanan,
“Profil
Kehutanan
Provinsi
Kalimantan
Tengah”,
http://www.dephut.go.id/uploads/files/c31773af5d4ff15ebbfe60d7af949727.pdf Mahlny, Abdolrassoul and Turner, Brian, 2007, “A Comparison of Four Common Atmospheric Correction Methods”, Photogrammetric Engineering & Remote Sensing Vol. 73 : 361–368 Teillet, P.M., 1986, “Image correction for radiometric effects in remote sensing”, International Journal of Remote Sensing, 7:1637 – 1651 Tyagi, Priti and Bhosle, Udhav, 2011, “Atmospheric Correction of Remotely Sensed Images in Spatial and Transform Domain”, International Journal of Image Processing (IJIP), Volume (5) : 564 – 579 USGS,
2014,
“Using
the
USGS
Landsat
8
Product”,
http://
landsat.usgs.gov/Landsat8_Using_Product.php [Oktober 2014] Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
310
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Vermote, E.F., D. Tanre, J.L. Deuze, M. Herman, and J.J. Morcrette, 1997, “Second simulation of the satellite signal in the solar spectrum, 6S: An overview”, IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, 35:675–686
TANYA JAWAB SESI POSTER Ahmad Zulfiana, LAPAN : Apa itu reflektansi ? Jawaban : perbandingan intensitas cahaya yang datang dengan cahaya yang dipantulkan.
Sri kaloka, LAPAN : 1. Semakin tinggi reflektansinya kondisi atmosfernya semakin bagus/jelek ? 2. Spektral apa yang nilai reflektansinya tinggi ? 3. Bisa dibandingkan data yang diambil pada bulan basah dan bulan kering ? Jawaban : 1. Dari hasil penelitian yang diperoleh semakin tinggi nilai reflektansi, kondisi atmosfernya semakin jelek (semakin berkabut), sesuai dengan grafik hubungan reflektansi ToA dengan panjang gelombang pada kanal kanal Landsat 8 tersebut. 2. Spektral yang nilai reflektansinya tinggi dan lebih peka terhadap perubahan kondisi atmosfer adalah spektral cahaya tampak. 3. Sesuai data dari Kementerian Kehutanan, daerah Kalimantan Tengah yang merupakan area yang dikaji memiliki bulan kering pada bulan Juni sampai Agustus, sedangkan bulan basah mulai September sampai Mei. Dari 4 data yang digunakan, dibagi menjadi data bulan kering ( data Juni dan data Agustus) dan bulan basah (April dan September). Dari hasil penelitian diperoleh bawah untuk bulan kering, nilai reflektansinya rendah karena gangguan pada atmosfer yang berupa kabut sedikit. Sedangkan pada bulan basah, nilai reflektansinya cenderung lebih tinggi, karena gangguan atmosfer yang secara visual pada citra tampak sebagai kabut lebih banyak.
Saran
: Bisa dilakukan penelitian lebih lanjut, mengenai komposisi kandungan atmosfer, seperti komposisis uap air nya.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
311
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
KAJIAN CLEAR AIR TURBULENCE DI INDONESIA (STUDY OF CLEAR AIR TURBULENCE IN INDONESIA) Muhammad Arif Munandar KK Sains Atmosfer, Institut Teknologi Bandung email:
[email protected]
ABSTRAK Clear Air Turbulence (CAT) menjadi salah satu perhatian dalam penerbangan karena dapat mengurangi kenyamanan penerbangan, kehilangan bahan bakar bahkan cedera penumpang. Penelitian tentang CAT telah banyak dilakukan di berbagai wilayah baik menggunakan observasi maupun model numerik. Namun untuk daerah tropis penelitian tentang CAT masih sangat terbatas sehingga perlu dilakukan kajian. Kajian dilakukan dengan menggunakan simulasi numerik menggunakan model WRF-ARW karena keterbatasan data observasi dan permasalahan yang cukup kompleks. Data turbulensi berasal dari data PIREPs yang diproleh dari petugas LLU. Syarat batas dan kondisi awal untuk simulasi model menggunakan data FNL (Final Global Assimilation System). Keluaran model telah divalidasi menggunakan data radiosonde pada titik pengamatan terdekat yaitu Surabaya dan Makassar dimana hasilnya dianggap mewakili kondisi sebenarnya. Berdasarkan hasil simulasi model WRF-ARW diperoleh nilai Richardson Number (Ri) <1 pada wilayah yang dilaporkan terjadinya CAT. Ini disebabkan adanya windshear akibat perubahan kecepatan angin pada lokasi tersebut. Kata kunci: Clear Air Turbulence, WRF-ARW, Richardson Number, windshear.
ABSTRACT Clear Air Turbulence (CAT) became concerns in aviation because can reduce comfort, loss of fuel and injured passengers. CAT research has been widely applied in various regions through observation and numerical models. For the tropics research on CAT still limited so necessary to study. The study using numerical simulation model WRF-ARW because limitations of observational data and the problems are quite complex. Turbulence data derived from PIREPs from ATC staff. Boundary and initial conditions for the simulation model using FNL (Final Global Assimilation System) data. Output models have been validate using radiosonde data at the point nearest observation of Surabaya and Makassar in which the results are considered representative of actual conditions. From the results of simulation models WRFSeminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
312
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
ARW values obtained Richardson Number (Ri) <1 in the region reported the occurrence of CAT. This is due to the presence of wind shear due to changes in wind speed on the site. Keywords: Clear Air Turbulence, WRF-ARW, Richardson Number, windshear.
1. PENDAHULUAN Penelitian terkait Clear Air Turbulence (CAT) telah dimulai sejak tahun 1960an dengan menggunakan pesawat untuk menganalisis CAT (Endlich, 1964). Adanya fenomena skala meso seperti jetstream mempengaruhi kondisi vertikal yang memicu ketidakstabilan yang menyebabkan fenomena CAT. Untuk meningkatkan kemampuan dalam memprakirakan CAT dilakukan penelitian tentang mekanisme CAT yang terjadi dengan menggunakan simulasi numerik. Adanya front, wind shear dan gelombang gravity memicu terjadinya ketidakstabilan di atmosfer yang memicu fenomena CAT (Kim dan Chun, 2010). Penelitian ini penting dilakukan karena penjelasan tentang CAT di daerah subtropis disebabkan oleh adanya front dan jet stream sedangkan di daerah tropis seperti di Benua Maritim Indonesia (BMI) front dan jet stream jarang terjadi sehingga mekanismenya belum diketahui secara jelas. Kurangnya data observasi dan permasalahan yang cukup kompleks, kajian detail mengenai mekanisme CAT melibatkan simulasi numerik menggunakan model cuaca skala meso (Kim dan Chun, 2010; Trier dan Sharman, 2012). Penggunaaan model numerik ini dapat mengatasi keterbatasan data observasi terkait proses dinamika cuaca yang kompleks. Dalam penelitian mekanisme fenomena CAT dikaji berdasarkan simulasi numerik menggunakan model WRF. Model ini telah digunakan oleh Fovell dkk. (2007), Feltz dkk. (2009), Lane dan Sharman (2008), Kim dan Chun (2010) dan Trier dkk. (2012) yang terbukti merepresentasikan mekanisme terjadinya CAT. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan kajian identifikasi penyebab terjadinya CAT di BMI dengan simulasi menggunakan model cuaca numerik WRF-ARW V3.3
2. TINJAUAN PUSTAKA a. Deskripsi Clear Air Turbulence (CAT) Beckwith (1971) menyatakan bahwa CAT didefinisikan sebagai turbulensi yang bukan berasal dari aktivitas konvektif dan berbeda dengan turbulensi yang terjadi di permukaan. Dimensi CAT secara horizontal adalah 80-500 km, sedangkan dimensi secara vertikal 500-1000 meter dengan waktu kejadian 30 menit hingga 1 hari (Meteorogical Office College, 1997 dalam Overeem, 2002). Fenomena turbulensi diperoleh melalui Pilot Reports (PIREPs) yang
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
313
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
dirasakan dalam suatu penerbangan. PIREPs ini bersifat subjektif karena bergantung dari pilot, tipe serta ukuran pesawat (Wolf dan Sharman, 2008). Distribusi horizontal turbulensi di benua Amerika tahun 1994-2005 terjadi hampir pada seluruh daratan Amerika kecuali Amerika bagian Utara (berwarna putih) karena tidak adanya laporan akibat daerah tersebut merupakan daerah militer yang terlarang. Turbulensi terjadi lebih banyak di daratan bagian tengah (Gambar 2.1a). Karakteristik yang hampir sama terjadi di Korea Selatan yaitu sebagian besar turbulensi terjadi didaratan namun ada beberapa kejadian yang terjadi di laut (Gambar 2.1b). Adanya faktor topografi berperan pada jumlah kejadian yang ada (Kim dan Chun, 2011).
(b)
(a)
a)
Gambar 2.1: Distribusi horizontal total turbulensi: (a) Turbulensi diatas FL180 dari tahun 1994-2005 di Amerika (Sumber:Wolf dan Sharman, 2008), (b) Turbulensi dari data PIREPs dari tahun 2003-2008 di Korea Selatan (Sumber: Kim dan Chun, 2011).
b. Keterkaitan Nilai Richardson Number (Ri) Terhadap Fenomena CAT Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa turbulensi terjadi ketika nilai Ri kurang dari 0,5 dan 1. Seperti hasil analisis yang dilakukan oleh Endlich (1964) menunjukkan bahwa wilayah CAT sering ditemukan pada daerah yang memiliki nilai Ri 0,5 dan 1. Hal serupa juga ditemukan oleh Kronebuch (1964) yang menyimpulkan dari data pengamatan pada bulan Maret dan Oktober 1962 menyatakan bahwa 30% turbulensi terdapat pada nilai Ri 0,5 dan 49% pada nilai Ri 1. Selain itu Glover dkk (1969) menyatakan bahwa pada 117 kasus turbulensi, intensitas light to moderate dan moderate terjadi pada nilai Ri dan angin geser yang kecil .
c. Mekanisme Terjadinya CAT Terdapat dua mekanisme utama yang menjadi penyebab terjadinya CAT yaitu KelvinHelmholtz Instability (KHI) dan gelombang gravity (Ellrod dan Knapp 1992, Overeem, 2002). Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
314
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Fenomena ini terjadi ketika terdapat Vertical Wind Shear (VWS) yang cukup besar pada lapisan stabil sehingga menghasilkan breaking wave yang memicu terjadinya CAT. Akibat adanya keterkaitan antara VWS dan kestabilan atmosfer, Richardson Number (Ri) dapat dijadikan parameter untuk menjelaskan kemunculan dari KHI. Kejadian CAT dapat dijelaskan menggunakan KHI dimana ketika nilai Ri kurang dari 0,25 pada lapisan stabil terstratifikasi dan kurang dari 1 pada aliran non linear (Arbarbanel dkk., 1984 dalam Kim dan Chun, 2010). Di atmosfer, kejadian CAT dipengaruhi oleh KHI lebih sering terjadi di atas atau di bawah jet stream ketika angin geser vertikal yang kuat masuk pada lingkungan yang stabil. KHI dapat diamati di atmosfer pada awan cirrus. Kim dan Chun (2010) melakukan simulasi WRF dengan resolusi 30, 10, 3 dan 0.37 km pada tiga wilayah di Selatan Korea yang dilaporkan terjadi CAT dari data PIREPs (Pilot Reports). Pada skala sinoptik terdapat front pada lapisan atas yang berkaitan dengan penguatan gradien suhu dan adanya jet stream yang melewati Korea bagian tengah. Dari hasil simulasi model, terdapat mekanisme yang berbeda pada tiga lokasi yang ada. Pada pantai barat, adanya penguatan kecepatan angin akibat front pada lapisan atas (Gambar 2.2b) dibandingkan dengan sebelumnya (Gambar 2.2a) sehingga menghasilkan turbulensi yang bersifat lokal.
(a)
(b)
Gambar 2.2: Hasil simulasi pada domain 2 (kiri) 18.00UTC 1 April 2007 dan (kanan) 07.00UTC 2 April 2007 vektor angin horizontal dan tekanan (kontur) disuperimposed dengan kecepatan angin horizontal (shading; m/s) pada z=9 km. Lokasi kejadian CAT pada wilayah pantai barat yang ditandai dengan tanda bintang (Sumber: Kim dan Chun, 2010).
3. DATA DAN METODOLOGI a. Data Pada penelitian ini data turbulensi yang digunakan berasal dari PIREPs yang disampaikan oleh petugas Lalu Lintas Udara (LLU) baik melalui informasi langsung lewat telepon atau berupa laporan pada tahun 2008-2014. Selain itu digunakan data MTSAT berupa kanal Infrared (IR1) yang digunakan untuk identifikasi tutupan awan dan kanal watervapour (IR3) untuk melihat Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
315
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
kadar uap air. Data MTSAT tersedia dengan interval 1 jam yang dapat di unduh dari website http://weather.is.kochi-u.ac.jp/sat/GAME/. Data lain yang digunakan adalah data Final Analysis (FNL) dari National Centers for Enviromental Prediction-National Center for Atmoshperic Research (NCEP-NCAR) dengan resolusi spasial 1o dan resolusi temporal 6 jam pada saat sebelum, sessat dan setelah terjadinya kejadian CAT. Data ini digunakan sebagai kondisi awal input dan kondisi batas model WRF-ARW. Data FNL dapat diunduh dari http://rda.ucar.edu/datasets. Digunakan juga data radiosonde yang diamati pada jam di Surabaya dan Makassar pada jam 00.00 dan 12.00 UTC (Universal Time Coordinat) yang digunakan untuk verifikasi hasil keluaran model WRF-ARW. Data dapat diunduh dari website http://weather.uwyo.edu/upperair/sounding.html.
b. Metodologi 1. Distribusi kejadian turbulensi Untuk mengetahui karakteristik fenomena turbulensi yang terjadi, data laporan turbulensi dari PIREPs diplot secara horizontal untuk mengetahui penyebarannya. Kemudian dilihat posisi, ketinggian dan waktu dari setiap kejadian serta dibandingkan dengan kejadian CAT pada penelitian sebelumnya. Ini dilakukan untuk melihat apakah karakteristik kejadian turbulensi di wilayah BMI memiliki kesamaan dengan kejadian turbulensi di wilayah lain atau tidak. 2. Identifikasi kejadian menggunakan satelit MTSAT Untuk memastikan fenomena turbulensi merupakan CAT seperti definisi Beckwitch (1971) maka dilakukan identifikasi tutupan awan dari satelit MTSAT IR1 dan IR3 pada waktu kejadian CAT. Penggunaan kanal IR1 untuk melihat suhu puncak awan dimana jika puncak awannya sangat dingin maka dikategorikan sebagai awan jenis cumuliform sedangkan jika suhu puncaknya panas maka dikategorikan sebagai awan jenis stratiform. Ini dilakukan untuk memastikan keberadaan awan di lokasi terjadinya turbulensi menggunakan metode kualitatif dengan melihat ada tidaknya awan pada lokasi yang dilaporkan (Kim dan Chun, 2010) pada saat kejadian CAT. Digunakan juga kanal IR3 untuk melihat kandungan uap air yang ada di sekitar wilayah terjadinya turbulensi. Pada penelitian ini, lokasi CAT yang dipilih merupakan lokasi yang memiliki waktu terjadinya CAT paling lama dari data yang ada yaitu tanggal 8-10 Juli 2011. Untuk proses identifikasinya dilakukan pada saat terjadinya CAT yaitu 8 Juli 2011 jam 08.00 UTC, 9 Juli 2011 jam 05.00 UTC dan 10 Juli 2011 jam 11.00 UTC.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
316
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
3. Simulasi Model 3.1 Pengaturan Model Simulasi model dengan WRF-ARW menggunakan proyeksi merkator. Waktu simulasi dilakukan selama 30 jam dengan 6 jam pertama sebagai waktu inisiasi model (spin up time). Hal ini dilakukan untuk memperoleh performa model yang terbaik. Grid vertikal pada model dibuat sebanyak 56 lapisan dengan koordinat Eta default. Penelitian dilakukan dengan cara multiple nesting dengan 2 nested domain. Domain satu (D1) memiliki resolusi 30 km, kemudian untuk domain dua (D2) di downscaling pada 10 km dengan two way nesting (online) seperti pada Gambar 3.1. Resolusi 10 km menurut Kim dan Chun (2010) dapat digunakan untuk melihat fenomena CAT. Simulasi dengan model numerik merupakan bentuk downscaling secara dinamik. Downscaling adalah usaha untuk menurunkan resolusi suatu data dari resolusi yang besar menjadi lebih detail halus atau kecil (Pielke, 2002).
Pada model cuaca numerik, terdapat penyederhanaan dari dinamika atmosfer yang belum dipahami prosesnya yang disebut dengan parameterisasi. Setiap skema paramaterisasi memiliki dasar penyederhanaan yang berbeda sehingga perlu disesuaikan agar mampu dapat menyimulasikan fenomena atmosfer dengan baik. Resolusi spasial,temporal, geografi dan jumlah grid untuk domain 1 adalah 30 km, 3 jam, 5’ dan 211 x 162 sedangkan untuk domain 2 adalah 10 km,1 jam, 2’ dan 199 x 148.
Gambar 3.1 Domain daerah penelitian. Skema parameterisasi yang digunakan adalah skema Kain Fritsch (KF) untuk parameterisasi cumulus, skema WRF Single Momet 3 Class (WSM3) untuk parameterisasi mikrofisika skema Yonsei University (YSU) untuk parameterisasi lapisan batas planeter (PBL). Sedangkan skema Noah untuk LSM, skema RRTM untuk parameterisasi Radiasi Longwave dan skema Dudhia untuk skema radiasi Shortwave. Parameterisasi ini merupakan parameterisasi default. Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
317
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
3.2 Validasi Model Sebelum dilakukan analisis, data keluaran model berupa suhu, RH dan kecepatan angin dihitung nilai korelasi dan RMSE (Root Mean Square Error) terhadap data radiosonde pada ketinggian standar. Setiap nilai korelasi dan RMSE pada setiap ketinggian dijumlahkan kemudian dibagi dengan jumlah ketinggian yang ada sehingga diperoleh satu nilai korelasi dan RMSE pada satu lokasi. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai korelasi yang cukup tinggi antara keluaran model dengan nilai radiosonde dan nilai RMSE relatif kecil. Adanya kesesuaian antara keluaran model dengan nilai radiosonde mengindikasikan bahwa hasil simulasi model numerik WRF ini dapat digunakan untuk analisis selanjutnya.
4. Nilai Richardson Number (Ri) Saat Kejadian CAT Untuk mengetahui adanya turbulensi digunakan indikator berupa nilai Richardson Number (Ri) yang berasal dari keluaran model numerik WRF dengan nilai <1 sesuai penelitian sebelumnya (Endlich, 1964; Kronebuch, 1964; Glover, 1969; Kim dan Chun, 2010). Nilai Ri diplot sesuai dengan ketinggian dari laporan PIREPs yaitu 10.000 m dan 12.000 m juga 9.000 m serta 13.000 m untuk melihat keberadaan turbulensi pada ketinggian lainnya. Untuk melihat adanya perubahan, digunakan waktu sebelum dilaporkan kejadian CAT yaitu 8 Juli 2011 jam 00.00 UTC, saat kejadian pada 8 Juli 2011 jam 08.00 UTC, 9 Juli 2011 jam 05.00 UTC dan 10 Juli 2011 jam 11.00 UTC. Nilai Ri diperoleh menggunakan persamaan: Ri ( g / z )( v / z ) 2 ................................................................................(3.1)
Dimana Ri adalah Richardson Number, g adalah percepatan gravitasi bumi, adalah suhu potensial, / z adalah perubahan temperatur potensial terhadap elevasi (menggambarkan stabilitas udara pada elevasi tersebut) dan v / z adalah angin geser vertikal. 5.
Mekanisme CAT
Keluaran model domain dua digunakan untuk menganalisis mekanisme terjadinya turbulensi. Analisis spasial dilakukan dengan melihat hasil keluaran model berupa angin horizontal (Kim dan Chun, 2010) pada ketinggian awal dilaporkannya fenomena CAT yaitu 10.000 m pada waktu yang sama dengan waktu untuk analisis nilai Ri. Analisis penampang vertikal berupa kecepatan horizontal, suhu potensial serta nilai Ri untuk melihat perubahan keluaran model pada tiap ketinggian pada waktu yang sama dengan waktu analisis nilai Ri.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
318
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
4.1 Distribusi Kejadian Turbulensi Pada tahun 2008-2014 terdapat beberapa kejadian turbulensi yang diperoleh dari data PIREPs di BMI. Waktu kejadian, posisi, ketinggian, intensitas dan sumber data dari kejadian turbulensi (Tabel 4.1). Terlihat bahwa kejadian turbulensi terjadi pada bulan Februari, Juli, Agustus dan September. Hal ini sesuai dengan penelitian Kim dan Chun (2011) bahwa turbulensi terjadi pada semua musim. Sedangkan untuk ketinggian kejadian turbulensi yang dilaporkan lebih dominan terjadi pada ketinggian sekitar 32.000-40.000 kaki (sekitar 10-12 km). Ketinggian turbulensi ini mirip dengan ketinggian turbulensi yang telah diteliti oleh Ellrod dan Knapp (1992), McCann (2001), Lane dkk. (2009) dan Kim dan Chun (2010). Sedangkan waktu kejadian lebih banyak terjadi pada siang hingga sore hari (Trier dan Sharman, 2009 dan Kim dan Chun, 2010). Distribusi kejadian turbulensi di Indonesia menarik diteliti lebih lanjut karena terjadi paling banyak terjadi di sekitar Laut Jawa (Gambar 4.1). Hal ini berbeda dengan kejadian turbulensi di Amerika dan Korea dimana lokasi kejadian paling banyak terjadi di daratan (Gambar 2.1). Tiga dari kejadian yang ada yaitu tanggal 8-10 Juli 2011 terjadi secara berurutan. Waktu kejadiannya pun relatif lebih lama dari kejadian lainnya sehingga kejadian ini yang akan dikaji lebih lanjut.
Gambar 4.1 Distribusi horizontal kejadian CAT di Indonesia 2008-2014.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
319
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Tabel 4.1 Waktu kejadian, posisi, ketinggian, intensitas dan sumber data dari kejadian turbulensi. N O 1
Waktu Kejadian Jam Tanggal (UTC) 20 September 05.20 2008
Posisi Lintan Bujur g 11.15 -4.02 -4.75
2
8 Juli 2011
08.4010.40
-6.02 -6.08 -5.08 -4.03 -4.02 -4.75
3
9 Juli 2011
05.3009.30
-6.02 -6.08 -5.08 -4.03 -4.02 -4.75
4
10 Juli 2011
11.3012.10
-6.02 -6.08 -5.08 -4.03
5 6
7 September 2011 8 Agustus 2012
05.3806.25 00.0002.30
-4.03 -4.06
Ketinggia n (kaki)
Intensitas
Sumber
116.5 5
30.00036.000
Moderate
Sasmito,201 1
109.9 3 110.8 2 112.5 8 110.3 7 115.0 5 114.9 3 109.9 3 110.8 2 112.5 8 110.3 7 115.0 5 114.9 3 109.9 3 110.8 2 112.5 8 110.3 7 115.0 5 114.9 3 114.9 3 122.4 5
34.00040.000 34.00040.000 34.00040.000 34.00040.000 34.00040.000 34.00040.000 32.00038.000 32.00038.000 32.00038.000 32.00038.000 32.00038.000 32.00038.000 34.00038.000 34.00038.000 34.00038.000 34.00038.000 34.00038.000 34.00038.000 38.00040.000 34.00038.000
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
Moderate Moderate Moderate Telpon Moderate Moderate Moderate Moderate Moderate Moderate Telpon Moderate Moderate Moderate Moderate Moderate Moderate Telpon Moderate Moderate Moderate Moderate
Laporan
Moderate
Telpon
320
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
-3.6
7
20 Februari 2014
07.50 08.20
-0.38 -3.31
128.1 8 111.1 1 107.6 1
34.00038.000 38.00041.000 33.00035.000
Moderate Moderate SMS Moderate
4.2 Identifikasi Kejadian CAT menggunakan satelit MTSAT Untuk mengetahui kejadian turbulensi merupakan kejadian CAT sesuai definisi Beckwitch (1971) dimana jika pada lokasi kejadian tidak terdapat awan konvektif disebut sebagai CAT, maka dilakukan identifikasi keberadaan awan. Identifikasi ini menggunakan temperature black body (TBB) dari MTSAT kanal IR1 (Kim dan Chun, 2010) dan kanal IR3. Waktu yang diambil dari kejadian adalah waktu awal pada saat dilaporkannya fenomena CAT yaitu tanggal 8 Juli 2011 jam 08.00UTC, tanggal 9 Juli 2011 jam 05.00UTC dan 10 Juli 2011 jam 11.00 UTC (Gambar 4.2). Berdasarkan MTSAT kanal IR 1, terlihat nilai TBB yang lebih kecil dibandingkan daerah lain yang berada disekitar wilayah Sulawesi yang menandakan adanya awan jenis cumuliform. Pada lokasi kejadian yaitu sekitar Laut Jawa nilai TBB relatif lebih tinggi dibandingkan pada daerah sekitar Sulawesi yang menandakan adanya awan jenis stratiform yang berada di atas laut Jawa (Gambar 4.2a). Pada Gambar 4.2b dan c, pada Laut Jawa nilai TBB lebih tinggi. Yang menarik disini adalah satu dari tiga waktu kejadian yang ada yaitu pada tanggal 8 Juli 2011 jam 08.00 UTC (Gambar 4.2a) terlihat adanya billow clouds yang menandakan adanya turbulensi disekitar wilayah tersebut menggunakan kanal IR 1.
(a)
(b)
(c)
Gambar 4.2: Nilai TBB MTSAT kanal IR1 (shaded; C). (a) 8 Juli 2011 jam 08.00UTC, (b) 9 Juli 2011 jam 05.00UTC, (c) 10 Juli 2011 jam 11.00 UTC. Lokasi kejadian CAT ditandai dengan bintang merah.UTC (Universal Time Coordinat) adalah standar waktu dunia.
Untuk melihat kandungan uap air, digunakan citra MTSAT kanal IR3. Waktu yang diambil sama dengan waktu pada kanal IR1. Pada waktu lain, tidak tidak terdapat tutupan awan baik Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
321
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
jenis cumuliform maupun stratiform pada lokasi kejadian. Berdasarkan IR3 kondisi udara cenderung kering pada lokasi kejadian sehingga sulit terbentuk awan cumuliform (Gambar 4.3b dan 4.3c).
(a)
(b)
(c)
Gambar 4.3: Nilai TBB MTSAT kanal IR3 (shaded; C). (a) 8 Juli 2011 jam 08.00 UTC, (b) 9 Juli 2011 jam 05.00UTC, (c) 10 Juli 2011 jam 11.00 UTC. Lokasi kejadian CAT ditandai dengan bintang merah.
Pada penelitian ini dapat dinyatakan bahwa kejadian turbulensi pada tanggal 8-10 Juli 2011 merupakan kejadian CAT. Ini dibuktikan dengan tidak adanya awan konvektif pada lokasi dilaporkannya turbulensi yang berasal dari PIREPs walaupun pada tanggal 8 Juli 2011 terdapat awan jenis stratiform. Hal ini sejalan dengan definisi Beckwicth (1971) dimana CAT didefinisikan sebagai turbulensi yang terjadi dimana tidak terdapat aktifitas konvektif. 4.3 Nilai Richardson Number (Ri) Saat Kejadian CAT Pembahasan mengenai nilai Richardson Number (Ri) dan mekanisme CAT di BMI menggunakan hasil dari eksperimen model. Berdasarkan kemampuan model tersebut, maka hasil model cukup dipercaya untuk digunakan dalam pembahasan. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa nilai Richardson number digunakan sebagai indikator untuk mengetahui adanya turbulensi. Pada tanggal 8 Juli 2011 terlihat adanya kemunculan Ri yang rendah (<1) di sebelah Barat Kalimantan sampai sebagian Laut Jawa dan sekitar NTT pada ketinggian 10 km (Gambar 4.4a). Kemudian terlihat semakin meluas pada ketinggian 12 km pada hampir seluruh Laut Jawa sampai ke sebagian Jawa Barat (Gambar 4.4b ). Hampir sama dengan tanggal 8 Juli 2011, pada 9 Juli nilai Ri masih tinggi pada ketinggian 10 km (Gambar 4.4c) dan mulai rendah pada ketinggian 12 km pada lokasi yang dilaporkan terjadinya CAT (Gambar 4.4d). Sedangkan pada tanggal 10 Juli 2011, nilai Ri rendah pada ketinggian 10 km yang sesuai dengan laporan lokasi terjadinya CAT (Gambar 4.4e) sedangkan pada ketinggian 12 nilai Ri sudah tinggi. Dari nilai Ri yang ada, fenomena CAT terjada pada nilai Ri yang rendah (<1). Hal
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
322
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
ini sesuai dengan penelitian Endlich (1964), Kronebuch (1964) Glover (1969) dan Kim dan Chun (2010).
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 4.4: Nilai Richardson Number (shaded) pada 8 Juli 2011 ketinggian (a) 10 km (b) 10 km, pada 9 Juli 2011 (c) 10 km (d) 12 km dan pada 10 Juli 2011 (e) 10 km (f) 12 km. Lokasi kejadian CAT ditandai dengan bintang merah. 4.4 Mekanisme CAT di BMI Setelah diketahui daerah yang dilaporkan merupakan daerah turbulensi dari nilai Ri yang kecil (<1), selanjutnya dilakukan analisis parameter atmosfer. Analisis parameter atmosfer ini dilakukan untuk mengetahui kemungkinan mekanisme yang menyebabkan fenomena tersebut. Beberapa parameter yang digunakan antara lain berupa suhu potensial, arah dan kecepatan angin, dan nilai Richardson number (Kim dan Chun, 2010). Analisis dilakukan dengan melihat perubahan yang terjadi pada waktu kejadian dengan waktu sebelum kejadian. Enam jam sebelum dilaporkan adanya CAT yaitu 8 Juli 2011 jam 00.00 UTC, terlihat adanya sirkulasi antisiklonik di atas Jawa dimana arah angin di Selatan Jawa menuju ke Timur (Gambar 4.5a). Mulai menghilangnya sirkulasi antisiklonik dan adanya perubahan arah angin pada tanggal 8 Juli 2011 jam 08.00 UTC yang awalnya menuju ke Timur berbelok menuju ke Utara yang disebabkan adanya perubahan kecepatan di Selatan Jawa (Gambar 4.5b). Hal ini mengakibatkan kecepatan angin daerah di sekitar Laut Jawa menjadi lebih cepat dari sebelumnya (Gambar 4.5c). Perubahan kecepatan ini menyebabkan adanya windshear yang memicu fenomena CAT di Laut Jawa yang sesuai dengan laporan CAT (Gambar 4.5d).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
323
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
(a)
(c)
(b)
(d)
Gambar 4.5: Vektor angin horizontal superimposed dengan kecepatan horizontal ketinggian 10.000 m pada (a) 8 Juli 2011 pukul 00.00 UTC (b) 8 Juli 2011 pukul 08.00 UTC, (c) 9 Juli 2011 pukul 05.00 UTC dan (d) 10 Juli 2011 pukul 10.00 UTC. Lokasi kejadian CAT ditandai dengan bintang merah.
5. KESIMPULAN Turbulensi yang terjadi pada daerah laporan merupakan fenomena CAT. Hal ini didentifikasi dari satelit MTSAT IR1 yang menunjukkan tidak adanya awan konvektif. Berdasarkan hasil simulasi model WRF-ARW diperoleh nilai Richardson Number (Ri) <1 pada wilayah yang dilaporkan terjadinya CAT. Fenomena ini disebabkan adanya windshear akibat perubahan kecepatan angin pada lokasi tersebut. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Bapak Dr. Nurjanna Joko Trilaksono selaku dosen pembimbing dalam penelitian ini dan Bapak Dr Tri Wahyu Hadi atas segala masukan dan sarannya.
DAFTAR PUSTAKA Beckwith, W. B., 1971, “The Effect of Weather on The Operations and Economics of Air Transportation Today”, Bull. Amer. Meteor. Soc, 52, 863–868
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
324
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Cornman, L. B., Meymaris, G. dan Limber, M., 2004, “An Update on The FAA Aviation Weather Research Program’s in Situ Turbulence Measurement and Reporting System”, Preprints, 11th Conf. on Aviation, Range, and Aerospace Meteorology, Hyannis, MA, Amer. Meteor. Soc., P4.3 Ellrod, G. P. dan Knapp, D.I., 1992, “An Objective Clear-Air Turbulence Forecasting Technique: Verification and Operational Use”, Weather and Forecasting, 7,150-165 Endlich, R. M., 1964, “The Mesoscale Structure of Some Regions of Clear-Air Turbulence”, J. Appl. Meteor., 3, 261–276 Feltz, W. F., Bedka, K. M., Otkin, J. A., Greenward, T, dan Ackerman, S. A., 2009, ”Understanding Satellite-Observed Mountain-Wave Signatures Using High-Resolution Numerical Model Data”, Weath. Forecasting, 24,76–86 Fovell, R. G., Sharman, R. D., dan Trier, S. B., 2007, “A Case Study of Convectively-Induced Clear Air Turbulence” Preprints, 12th Conf. on Mesoscale Processes,Waterville Valley, NH,Amer. Meteor. Soc., 13, 4 Glover, M. K., Boucher, R .J., Hans, O. dan Hardig, K .R., 1969, “Simulatenous Radar, Aircraft and Meteorogical Investigations of Clear Air Turbulence”. J. of Appl. Met., 8, 634-640 Kim, J. H. dan Chun, H. Y., 2010, “A Numerical Study of Clear Air Turbulence (CAT) Encounters Over South Korea on 2 April 2007”, Journal of Applied Meteorology and Climatology, 49, 2381–2403 Kim, J. H. dan Chun, H. Y., 2011, ”Statistic and Possible Sources of Aviation Turbulence over South Korea” Journal of Applied Meteorology and Climatology, 50, 311-324 Kronebuch, G. W., 1964, ”An Automated Procedure for Forecasting Clear Air Turbulence”, J. Appl. Meteor., 3, 119-125 McCann, D.W. 2001, ”Gravity Waves, Unbalanced Flow and Aircrfat Clear Air Turbulence”National Weather Digest, 25, 3-14 Lane, T. P., dan Sharman, R. D., 2008, “Some Influences of Background Flow Conditions on The Generation of Turbulence Due to Gravity Wave Breaking Above Deep Convection”. J. Appl. Meteor. Climat., 47, 2777-2796 Lane, T. P., Doyle, J. D., Sharman, R. D., Shapiro, M. A., dan Watson, C. D., 2009, “Statistics and Dynamics of Aircraft Encounters of Turbulence Over Greenland”, Mon. Wea. Rev., 137, 2687–2702 Overeem, A., 2002, “Verification Of Clear Air Turbulence Forecast”. Technisch Rapport. KNMI
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
325
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Pielke, Roger A., 2002, “Mesoscale Meteorological Modeling 2th Edition”. Academic Press, San Diego, California Sasmito, A., 2011, ”Peringatan Dini dan Diagnosis Munculnya Turbulensi Cuaca Cerah dan Dampaknya Pada Pesawat”, Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 3, 291 – 302 Trier, S. B. dan Sharman, R. D., 2009, “Convection-Permitting Simulations of The Environment Supporting Widespread Turbulence Within The Upper-Level Outflow of A Mesoscale Convection System”. Mon. Wea. Rev., 137, 1972–1990 Trier, B. Sharman, Robert D. Sharman dan Todd P. Lane.,2012, ”Influences of Moist Convection on A Cold-Season Outbreak of Clear-Air Turbulence (CAT)”. Mon. Wea. Rev., 140, 2477-2496 Wolf, J.K dan Sharman, R.D., 2008, ”Climatology of Upper Level Turbulence over the Contigous United States” Journal of Applied Meteorology and Climatology, 47, 21982214
TANYA JAWAB SESI POSTER 1. Pertanyaan
: Bagaimana memperoleh informasi Turbulensi yang digunakan dalam
penelitian ini? Jawaban
: Informasi turbulensi diperoleh dari Pilot Reports (PIREPs) yang
diberikan oleh penerbang kepada Pengatur Lalu Lintas Udara (ATC) setempat. Kemudian, para ATC tersebut menginformasikan berita PIREPs tersebut kepada pihak meteorologi untuk dianalisis. Ini terkait dengan ijin Flight Level yang diberikan oleh ATC kepada penerbang.
2. Pertanyaan
: Apa hubungan citra MTSAT dengan data keluaran model numerik
WRF-ARW? Jawaban
: Sebenarnya citra MTSAT dan keluaran model numerik WRF-ARW
tidak berhubungan. Masing-masing data digunakan untuk keperluan yang berbeda. Citra MTSAT kanal Infrared digunakan untuk mendeteksi tutupan awan sebagai dasar melakukan identifikasi CAT dan citra MTSAT kanal watervapour (IR3) untuk melihat kadar uap air yang ada disekitar lokasi kejadian. Namun demikian, citra MTSAT kanal watervapour (IR3) juga digunakan untuk validasi keluaran model WRF-ARW.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
326
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
PROFIL VERTIKAL O3 DAN CO PADA LAPISAN TROPOPAUSE TROPIKAL DI INDONESIA HASIL OBSERVASI MLS/AURA (VERTICAL PROFILE OF O3 AND CO AT THE TROPICAL TROPOPAUSE LAYER IN INDONESIA OBSERVED OLEH MLS/AURA) Novita Ambarsari dan Ninong Komala Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian mengenai komposisi atmosfer Indonesia (CO dan ozon) di lapisan Tropical Tropopause Layer (TTL) menggunakan data hasil pengukuran instrument Microwave Limb Sounder (MLS) satelit AURA telah dilakukan. Wilayah kajian dalam penelitian ini meliputi wilayah Indonesia (6 LU – 11 LS dan 95 BT – 145 BT). Data yang digunakan meliputi data harian profil vertikal ozon dan CO dari tahun 2005 hingga 2013. Data harian profil vertikal CO dan ozon seluruh Indonesia dirata-ratakan dalam bentuk area average menghasilkan satu profil harian CO dan ozon. Analisis variasi bulanan terhadap ketinggian untuk CO dan ozon, variasi bulanan dan musiman profil vertikal CO dan ozon, trend konsentrasi pada ketinggian 14 km dan 16,8 km, serta hubungan CO dengan ozon pada lapisan troposfer, TTL, dan stratosfer telah dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan karakteristik CO dan ozon di lapisan TTL ditandai dengan adanya penurunan konsentrasi sebagai titik transisi dari troposfer ke TTL. Penurunan konsentrasi CO terjadi pada ketinggian 14 km, sedangkan konsentrasi ozon menurun drastis dimulai pada ketinggian 12-14 km. Hasil korelasi CO dan ozon di lapisan troposfer, TTL, dan stratosfer menunjukkan adanya pencampuran udara stratosfer di lapisan TTL. Kata kunci: Tropical Tropopause Layer (TTL), ozon, CO, MLS, AURA
ABSTRACT Research on the composition of the atmosphere of Indonesia (CO and ozone) Tropical tropopause layer (TTL) using data from the Microwave Limb Sounder (MLS) instrument Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
327
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
measurements on AURA satellite has been done. Study area in this study are the territory of Indonesia (6 N – 11 S dan 95 E – 145 E). The data used are daily data of vertical profiles of ozone and CO from 2005 to 2013. The daily data of vertical profiles of CO and ozone averaged over Indonesia in the form of area average daily yield of CO and ozone profiles. Monthly variation of the height of CO and ozone, monthly and seasonal variations in the vertical profiles of CO and ozone, the concentration trends at an altitude of 14 km and 16.8 km, and the relationship of CO with ozone in the troposphere, TTL, and the stratosphere has been done. The results show the characteristics of CO and ozone in the TTL is characterized oleh a decrease in concentration of a transition point from the troposphere to the TTL. Decreasing the concentration of CO occurs at an altitude of 14 km, while ozone concentrations declined rapidly begins at an altitude of 12-14 km. The correlation of CO and ozone in the troposphere, TTL, and the stratosphere indicate mixing layer of the stratospheric air in the TTL. Keywords: Tropical Tropopause Layer (TTL), ozone, CO, MLS, AURA.
1. PENDAHULUAN Lapisan tropopause tropical atau Tropical Tropopause Layer (TTL) adalah suatu lapisan transisi antara troposfer dan stratosfer di wilayah tropis. Penelitian mengenai lapisan tropopause tropical telah menjadi fokus banyak penelitian saat ini terutama selama 10 tahun terakhir. Hal ini disebabkan karena lapisan ini menjadi jalur utama sumber senyawa kimia dan aerosol di troposfer untuk dapat mencapai stratosfer (Marecal et al., 2011). TTL menjadi wilayah dimana terjadi perubahan karakteristik dinamika dan kimia di dasar TTL dari karakter troposfer menjadi karakter stratosfer di bagian atas TTL (Liu, 2009). TTL sebagai lapisan batas antara troposfer dan stratosfer telah banyak dipelajari dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Beberapa diantaranya mempelajari mengenai transport vertikal ke atas (upward) flux massa, lapse rate temperature, konveksi yang melampaui batas buoyancy netral (overshooting convection), dan perubahan kesetimbangan atmosfer dari kesetimbangan konvektif menjadi kesetimbangan radiatif (Liu, 2009). Level batas atas dan bawah lapisan tropopause tropical telah banyak ditentukan berdasarkan beberapa kriteria. Daerah dengan fenomena konveksi overshoot pada ketinggian 17-19 km menjadi nilai batas atas lapisan TTL dan wilayah dengan buoyancy netral (14 km) menjadi batas bawahnya. Kriteria lainnya adalah batas atas TTL berada pada ketinggian 17-19 km saat terjadi cold point temperature (CPT) atau saat temperatur mencapai titik terendah dan batas bawahnya adalah level dimana terjadinya lapse rate minimum (10-12 km). Konsentrasi ozon mencapai nilai Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
328
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
minimum di troposfer di wilayah tropis pada ketinggian 12-14 km juga dapat menjadi penentu batas bawah lapisan transisi yang berada pada range yang sama dengan batas bawah TTL yang dijelaskan sebelumnya. Konsentrasi ozon yang melebihi nilai minimum di TTL memungkinkan terjadinya pengaruh dari stratosfer di wilayah tersebut atau bisa juga karena adanya produksi insitu ozon di lapisan tersebut (Marcy et al., 2007). Pada penelitian ini telah dilakukan analisis profil vertikal ozon dan CO di lapisan sekitar tropopause tropical di Indonesia hasil observasi instrument Microwave Limb Sounder (MLS) yang ditempatkan pada satelit AURA milik NASA. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik ozon dan CO di TTL di Indonesia berdasarkan variabel waktu (bulanan, musiman, trend), dan variabel ketinggian (vertikal), juga disajikan scatter plot korelasi CO dengan ozon di tiga lapisan (troposfer, TTL, dan stratosfer) untuk melihat kemungkinan adanya pencampuran udara antara troposfer dan stratosfer di daerah TTL di wilayah tropis.
2. LANDASAN TEORI/TINJAUAN PUSTAKA Penelitian yang dilakukan oleh Marcy et al. (2007) mengenai pengukuran trace gases di lapisan tropopause tropikal menjadi dasar dari penelitian ini. Penelitian tersebut memuat hasil pengukuran trace gases yang meliputi HCl, O3, HNO3, H2O, CO, CO2, dan CH3Cl di lapisan tropopause tropical pada lintang 10 N hingga 3 S menggunakan pesawat terbang di daerah Costa Rica. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa profil vertikal gas-gas tersebut sesuai dengan konsep TTL yang berbeda dari troposfer bawah dan stratosfer bawah. Kombinasi dari profil vertikal dan korelasi dengan ozon menunjukkan adanya sejumlah yang terukur dari udara stratosfer yang tercampur di TTL. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Marecal et al. (2011) yang mengkaji mengenai pengaruh konveksi tinggi terhadap komposisi di lapisan tropopause tropical di daerah ekuator Brazil. Penelitian tersebut mengukur CO, ozon, dan temperatur di lapisan tropopause tropical di daerah ekuator Brazil. Pengukuran dilakukan menggunakan wahana balon. Tinggi TTL untuk batas atas dan bawah ditentukan dari profil senyawa kimia. Analisis terhadap tebal lapisan 1 km pada ketinggian antara 17-18 km, saat ozon dan temperatur memiliki nilai yang sama secara vertikal menunjukkan suatu lapisan, dimana pencampuran udara terjadi dengan baik. Secara umum terdapat tiga proses yang dapat berkontribusi terhadap jumlah trace gases di TTL yaitu pertama adalah transport udara dari troposfer bawah, membawa gas-gas yang berasal dari sumber di troposfer. Kedua adanya transport udara dari stratosfer yang membawa
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
329
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
gas-gas dengan sumber yang berasal dari lapisan atas TTL atau stratosfer bawah, dan yang terakhir adalah terjadinya produksi atau destruksi oleh proses fotokimia ataupun proses penghilangan secara fisik (Marcy et al., 2007).
3. DATA DAN METODOLOGI Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data profil vertikal ozon dan CO hasil observasi instrument Microwave Limb Sounder (MLS) pada satelit AURA yang dapat diperoleh dari website MIRADOR (www.mirador.gsfc.nasa.gov). Data tersedia dalam format HDF (Hierarchical Data Format) yang memuat data konsentrasi, lintang, bujur, dan ketinggian (pressure). Data terlebih dahulu diekstrak dengan software MATLAB untuk mendapatkan datadata yang diperlukan tersebut. Data yang disediakan merupakan data harian profil vertikal ozon dan CO dengan rentang data yang digunakan yaitu dari tahun 2005 hingga 2013. Wilayah kajian pada penelitian ini meliputi wilayah Indonesia (6 LU – 11 LS dan 95 BT – 145 BT). Resolusi data adalah sebesar 3 km untuk resolusi vertikal dan 200 km untuk resolusi horizontal (http://mls.jpl.nasa.gov/eos/instrument.php). Resolusi horisontal ini menghasilkan cakupan wilayah observasi MLS meliputi 82 derajat lintang Selatan hingga 82 derajat lintang Utara. MLS mengukur profil vertikal pada 3500 lokasi di dunia setiap 24 jam. MLS menyediakan data hasil pengukuran di siang hari dan malam hari secara global untuk profil vertikal beberapa komponen kimia atmosfer (O3, HCl, ClO, HOCl, BrO, OH, H2O, HO2, HNO3, N2O, CO, HCN, CH3CN, vulkanik SO2), awan es, dan temperatur atmosfer (Ahmad et al., 2006). Data profil vertikal ozon dan CO di semua lokasi yang dilewati oleh satelit yang melintasi wilayah Indonesia kemudian dirata-ratakan menjadi satu profil vertikal ozon dan CO untuk seluruh wilayah Indonesia (area average). Setelah itu dilakukan analisis profil vertikal variasi bulanan, musiman, variasi bulanan terhadap ketinggian, trend konsentrasi ozon dan CO pada ketinggian 14 km dan 16,8 km yang digunakan sebagai batas lapisan transisi (saat ozon mulai mengalami peningkatan konsentrasi) dan batas atas lapisan tropopause tropical, serta korelasi CO dan ozon pada lapisan troposfer, TTL, dan stratosfer untuk melihat kurva pola hubungan CO dan ozon. Bila kurva antara O3 dan CO membentuk huruf “L” tegak lurus, maka tidak ada pencampuran yang terjadi di TTL. Akan tetapi, bila kurva tidak membentuk huruf “L” yang tegak lurus, maka kemungkinan terjadi pencampuran udara di TTL (Marecal et al., 2011 dan Marcy et al., 2007).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
330
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
4. HASIL PEMBAHASAN Lapisan tropopause tropical pada penelitian ini dilihat dari profil vertikal komposisi kimia yaitu CO dan ozon, serta dilihat juga dari nilai CPT (Cold Point Temperature) dari data profil vertikal temperature (Marecal et al., 2011). Pada Gambar 4-1 (a) ditunjukkan profil vertikal temperatur dari lapisan troposfer (200 m dpl) hingga ketinggian 20 km.
Gambar 4-1: Rata-rata bulanan profil vertikal temperatur di Indonesia (dalam Kelvin) (a) Variasi bulanan profil vertikal temperatur (dalam Kelvin) terhadap ketinggian (b) tahun 20052010.
Penurunan temperatur terjadi pada ketinggian antara 16 km hingga 18 km, tepatnya terjadi pada ketinggian 16,8 km dengan nilai terendah sebesar 190 K atau -83 C. Gambar 4-1 (b) menunjukkan variasi bulanan temperatur terhadap ketinggian yang memperlihatkan adanya wilayah dengan temperatur sangat rendah (190 K) pada ketinggian antara 16 km hingga 18 km sehingga wilayah ini dapat digunakan sebagai batas atas lapisan tropopause tropical (TTL) (Marecal et al., 2011). Profil komposisi kimia juga dapat digunakan untuk melihat tinggi batas atas dan batas bawah TTL di Indonesia. Pada Gambar 4-2 diperlihatkan variasi bulanan konsentrasi CO dan ozon terhadap ketinggian. Konsentrasi CO tampak tinggi mencapai 0,2 ppmv pada ketinggian di daerah troposfer hingga ketinggian sekitar 10 km (Gambar 4-2 (a)). Konsentrasi CO menurun dengan semakin meningkatnya ketinggian. Pada ketinggian sekitar 14 km hingga 16 km tampak konsentrasi CO konsisten memiliki nilai yang hampir sama. Hal yang hampir sama ditunjukkan pada Gambar 4-2 (b). Konsentrasi ozon mengalami penurunan dari ketinggian 10 km hingga ketinggian sekitar 12-14 km dimana konsentrasi ozon menjadi sangat kecil hanya sekitar 0.01 Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
331
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
hingga 0.05 ppmv atau 10 hingga 50 ppbv. Nilai ini tampak seragam (ditunjukkan dengan warna biru tua) hingga ketinggian sekitar 16 km kemudian ozon mengalami peningkatan kembali. Batas lapisan troposfer, TTL, dan stratosfer nampak lebih jelas pada variasi bulanan konsentrasi ozon terhadap ketinggian (Gambar 4-2 b) karena di bawah ketinggian 12-14 km karakteristik ozon dengan konsentrasi yang lebih tinggi sekitar 0,25 ppmv lebih dominan dari troposfer, kemudian ozon mengalami penurunan saat mencapai lapisan bawah TTL hingga lapisan atas TTL dengan konsentrasi hanya sekitar 0,01 hingga 0,05 ppmv, lalu meningkat kembali saat mencapai ketinggian lebih dari 17 km saat memasuki wilayah stratosfer bawah dimana konsentrasi ozon sangat tinggi mencapai 0,7 ppmv pada ketinggian di atas 18 km.
Gambar 4-2: Variasi bulanan terhadap ketinggian konsentrasi CO (dalam ppmv) (a) dan ozon (dalam ppmv) (b) di Indonesia tahun 2005-2013.
Profil vertikal rata-rata bulan untuk CO dan ozon ditunjukkan pada Gambar 4-3 (a) dan (b). Profil vertikal CO menunjukkan adanya penurunan konsentrasi CO yang cukup besar dari troposfer hingga ketinggian 14 km dengan penurunan sebesar 0.03 ppmv hingga 0.1 ppmv atau 30 ppbv hingga 100 ppbv. Dari ketinggian 14 km hingga 16.8 km, penurunan CO yang terjadi lebih kecil dibandingkan penurunan yang terjadi dari troposfer (±10 km) hingga 14 km yaitu hanya sekitar 0,01 ppmv atau 1 ppbv. Konsentrasi minimum CO terjadi pada ketinggian 14 km dengan konsentrasi antara 0,07 hingga 0,1 ppmv. Penurunan konsentrasi CO di lapisan TTL ini menunjukkan semakin berkurangnya pengaruh dari troposfer. Selain itu, penurunan konsentrasi CO yang bertahap dengan meningkatnya ketinggian juga akibat kecepatan reaksi destruksi secara fotokimia yang berjalan lambat serta kemungkinan adanya pencampuran dengan udara di stratosfer (Marcy et al., 2007). Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
332
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Profil vertikal rata-rata bulanan untuk ozon pada Gambar 4-3(b) menunjukkan karakteristik ozon di TTL (12 km – 16,8 km) yang ditandai dengan penurunan konsentrasi ozon dari troposfer hingga ketinggian antara 12 – 14 km yang menjadi titik terendah nilai konsentrasi ozon yang hanya sebesar 0,01 hingga 0,05 ppmv. Lapisan ini menandai lapisan bawah TTL saat ozon dengan karakteristik troposfer mengalami perubahan menjadi ozon dengan karakteristik stratosfer di bagian atas TTL ditandai dengan meningkatnya kembali konsentrasi ozon.
Gambar 4-3: Rata-rata bulanan profil vertikal CO (a) dan ozon (b) di TTL Indonesia (ditandai dengan garis putus-putus warna merah) tahun 2005-2013.
Variasi musiman profil vertikal CO dan ozon ditunjukkan pada Gambar 4-4 (a) dan (b). Keduanya menunjukkan pola yang sama yaitu paling tinggi di musim penghujan (DesemberJanuari-Februari) dan minimum di musim kemarau (Juni-Juli Agustus). Hal ini terlihat dari konsentrasi di titik terendah untuk CO (ketinggian 14 km) pada DJF sebesar 0,086 ppmv dan pada JJA sebesar 0,07 ppmv. Konsentrasi ozon di titik terendah untuk DJF (ketinggian 14 km) sebesar 0,04 ppmv dan untuk JJA (ketinggian 12 km) sebesar 0,02 ppmv. Konsentrasi CO dan ozon lebih tinggi di musim hujan kemungkinan karena aktivitas konveksi lebih tinggi, sehingga lebih banyak CO dan ozon yang terbawa dari troposfer ke TTL, sedangkan pada musim kemarau aktivitas konveksi lebih rendah sehingga CO dan ozon dari troposfer yang terbawa ke TTL menjadi berkurang (Fierly et al., 2011).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
333
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-4: Rata-rata musiman profil vertikal CO (a) dan ozon (b) di TTL Indonesia (ditandai dengan garis putus-putus warna merah) tahun 2005-2013.
Trend konsentrasi CO dan ozon pada ketinggian 14 km dan 16,8 km ditunjukkan pada Gambar 4-5 (a) dan (b). Konsentrasi CO pada ketinggian 14 km tampak lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi CO pada ketinggian 16,8 km. Hal ini disebabkan masih banyak CO yang terbawa dari troposfer yang berpengaruh pada konsentrasi CO pada ketinggian 14 km, sedangkan pada ketinggian 16,8 km pengaruh dari troposfer semakin berkurang sehingga konsentrasi CO lebih rendah. Hal yang berbeda tampak pada trend konsentrasi ozon yang lebih tinggi pada ketinggian 16,8 km dibandingkan konsentrasi ozon pada ketinggian 14 km. Hal ini disebabkan konsentrasi ozon pada ketinggian 16,8 km atau TTL atas telah dipengaruhi oleh konsentrasi ozon di stratosfer yang sangat melimpah, sedangkan pada ketinggian 14 km, ozon lebih dipengaruhi oleh konsentrasi yang lebih kecil yang ada di troposfer. Variasi bulanan konsentrasi CO dan ozon pada ketinggian 14 km dan 16,8 km ditunjukkan pada Gambar 4-6 (a) dan (b). Pola bulanan CO pada kedua level ketinggian tersebut menunjukkan pola yang sama yaitu sangat tinggi di bulan-bulan Oktober-November-Desember dan Maret-April-Mei, sebaliknya sangat rendah di bulan-bulan Juli-Agustus. Pola berbeda pada konsentrasi ozon yang menunjukkan satu puncak maksimum di bulan Juni (ketinggian 14 km) dan di bulan Agustus (ketinggian 16,8 km). Pola yang sama juga dihasilkan oleh Folkins et al. (2006) yang melakukan analisis variasi musiman CO dan ozon pada 14 dan 16,8 km menggunakan data profil vertikal CO dari MLS/AURA di wilayah ekuator (20 LS – 20 LU).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
334
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-5: Trend konsentrasi CO (a) dan ozon (b) pada ketinggian 14 km dan 16,8 km di Indonesia tahun 2005-2013.
Gambar 4-6: Variasi bulanan konsentrasi CO (a) dan ozon (b) pada ketinggian 14 km dan 16,8 km di Indonesia tahun 2005-2013.
Menurut Folkins et al. (2006), pola CO pada ketinggian 14 km dipengaruhi oleh variasi musiman kebakaran biomassa (hutan) di wilayah tropis yang dominan terjadi di bulan Oktober serta variasi musiman konvektif yang sudah dijelaskan sebelumnya. Peningkatan konsentrasi ozon tampak jelas terjadi dari ketinggian 14 km ke ketinggian 16,8 km. Menurut Folkins et al. (2006) juga, pola bulanan konsentrasi ozon ini juga dipengaruhi oleh aktivitas konvektif di ketinggian 14 km dan adanya pengaruh dari konsentrasi ozon yang tinggi di stratosfer terhadap konsentrasi ozon pada ketinggian 16,8 km. Scatter plot hubungan CO dengan ozon pada lapisan troposfer, TTL, dan stratosfer ditunjukkan pada Gambar 4-7. Pola hubungan CO dengan ozon untuk keempat musim (DJF, MAM, JJA, SON) menunjukkan plot berbentuk eksponensial negatif, CO menurun sedangkan ozon meningkat seiring dengan meningkatnya ketinggian. Hal ini sejalan dengan hasil yang Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
335
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
diperoleh Marecal et al. (2011) yang menunjukkan efek dari transport vertikal dari troposfer menurun di TTL dengan meningkatnya ketinggian.
a
b
c
d
Gambar 4-7: Scatter plot CO dan ozon pada lapisan tropopause, TTL, dan stratosfer untuk DJF (a), MAM (b), JJA (c), dan SON (d)
Selain itu, dengan melihat plot hubungan CO dengan ozon dapat dipelajari transisi yang terjadi antara lapisan troposfer dan stratosfer dengan menggunakan pendekatan korelasi antara senyawa kimia yang ada di troposfer (CO) dengan senyawa yang ada di stratosfer (ozon) (Marecal et al. (2011) dan Marcy et al. (2007)). Bila plot membentuk huruf “L” yang tegas menunjukkan tidak adanya pencampuran antara troposfer dan stratosfer di TTL, dengan bagian vertikal dari huruf “L” menunjukkan udara di stratosfer, dan bagian horisontalnya menunjukkan udara di troposfer. Akan tetapi, bila plot tidak membentuk huruf “L” menunjukkan adanya pencampuran antara udara troposfer dengan udara stratosfer di TTL, sesuai dengan teori bahwa di wilayah tropis tidak adanya perbedaan yang jelas antara troposfer dan stratosfer.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
336
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
KESIMPULAN Profil vertikal ozon dan CO di lapisan tropical tropopause di Indonesia hasil observasi MLS/AURA menunjukkan adanya suatu transisi konsentrasi kedua senyawa tersebut dari konsentrasi yang tinggi di troposfer kemudian menurun dan mencapai nilai terendah di lapisan batas TTL. Profil vertikal CO menunjukkan titik transisi terjadi pada ketinggian 14 km saat konsentrasi CO minimum sebesar 0,07 hingga 0,1 ppmv, sedangkan profil vertikal ozon menunjukkan penurunan drastis pada ketinggian 12-14 km dengan konsentrasi hanya sebesar 0,01 hingga 0,05 ppmv. Variasi konsentrasi ozon terhadap ketinggian menunjukkan adanya lapisan transisi saat ozon mengalami nilai sangat kecil yaitu pada ketinggian 12-16,8 km juga menandai karakteristik ozon di TTL. Scatter plot hubungan CO dengan ozon di lapisan troposfer, TTL, dan stratosfer menunjukkan adanya pencampuran udara dari stratosfer dengan kurva hubungan eksponensial negatif dimana saat CO menurun, ozon meningkat, seiring dengan meningkatnya ketinggian. Hal ini sesuai dengan teori bahwa di wilayah tropis, lapisan batas antara troposfer dan stratosfer tidak tampak jelas sehingga disebut sebagai Tropical Tropopause Layer (TTL).
DAFTAR RUJUKAN Ahmad, S. P., Waters, J. W., Johnson, J. E., Gerasimov, I. V., Leptoukh, G. G., & Kempler, S. J., 2006 “Atmospheric composition data products from the EOS Aura MLS”, Proc. Amer. Meteorological Soc. Eighth Conf. on Atmospheric Chemistry, Atlanta, Georgia, 1-8 F. Fierli., E. Orlandi., K. S. Law., C. Cagnazzo., F. Cairo., C. Schiller., S. Borrmann., G. Di Donfrancesco., F. Ravegnani., and C. M. Volk., 2011, “Impact of deep convection in the tropical tropopause layer in West Africa: in-situ observations and mesoscale modeling”, Atmos. Chem. Phys., 11, 201–214 Folkins, I., Bernath, P., Boone, C., Lesins, G., Livesey, N., Thompson, A. N., Walker, K., and Witte, J. C., 2006, “Seasonal Cycle of O3, CO, and Convenctive Outflowat the Tropical Tropopause”, Geophysical Research Letter (33), p: 1-5 Liu, Y., 2009, “Langrangian Studies of Troposphere to Stratosphere Transport”, Disertasi Doctor of Philosophy, University of Cambridge Marcy, T.P., Popp, P. J., Gao, R. S., Fahey, D. W., Ray, E.A., 2007, “Measurement of Trace Gases in The Tropical Tropopause Layer”, Atmospheric Environment (41), p: 72537261
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
337
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Marecal, V., Krysztofiak, G., Mebarki, Y., Catoire, V., Lott, F., 2011, “Impact of Deep Convection on the Tropical Tropopause Layer Composition in Eqautorial Brazil”, Atmos. Chem. Phys. Discuss., (11), p: 16147-16183 http://mls.jpl.nasa.gov/index-eos-mls.php, Microwave Limb Sounder, tanggal akses 10 Juni 2014 www.mirador.gsfc.nasa.gov, MIRADOR NASA
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
338
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
DETEKSI CLEAR AIR TURBULENCE MENGGUNAKAN INDEKS TURBULENSI DAN BILANGAN RICHARDSON (DETECTION OF CLEAR AIR TURBULENCE USING TURBULENCE INDEX AND RICHARDSON NUMBER) Ristiana Dewi1, Heri Ismanto2 1
Stasiun Meteorologi Rahadi Osman Ketapang, BMKG.
2
Pusat Meteorologi Penerbangan dan Maritim, BMKG. e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Clear Air Turbulence (CAT) merupakan turbulensi yang tidak terjadi akibat kegiatan konvektif di luar lapisan batas planet. CAT berbahaya bagi penerbangan karena menyebabkan kecelakaan pesawat. Skalanya yang kecil membuat CAT sulit untuk dimodelkan. Oleh karena itu, studi ini mencoba mendeteksi kejadian CAT melalui simulasi model Weather Research And Forecasting – Advanced Research (WRF-ARW) yang sudah memiliki resolusi tinggi. Keluaran model tersebut tidak dapat menunjukkan kejadian CAT secara langsung tetapi membutuhkan perhitungan indeks – indeks turbulensi. Studi ini mencoba membandingkan beberapa indeks turbulensi seperti Indeks Turbulensi 1 (TI1), Indeks Turbulensi 2 (TI2) dan Bilangan Richardson (Ri) untuk mengetahui indeks terbaik dalam mendeteksi CAT. Dalam penelitian ini, indeks TI2 memiliki performa terbaik karena lebih akurat dalam mendeteksi intensitas CAT. Selain itu, pola billows ditemukan pada awan dari citra satelit MTSAT kanal visible (VIS), profil horizontal TI dan profil horizontal Convective Available Potential Energy (CAPE) keluaran model WRF-ARW. Pola tersebut dapat digunakan sebagai indikator dalam mengidentifikasi adanya CAT. Kata kunci: Clear Air Turbulence (CAT), Turbulence Index 1 (TI1), Turbulence Index 2 (TI2), Richardson Number (Ri), billows.
ABSTRACT Clear Air Turbulence (CAT) is defined as non-convective turbulence in cloud free area in the troposphere outside the planetary boundary layer. CAT is dangerous for flight because it can cause accidents. It hard to be modeled becouse have small scale. Therefore, this study tried
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
339
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
to detect CAT phenomenon through a simulation model of Weather Research And Forecasting - Advanced Research (WRF-ARW) that already has a high resolution. The model output can not show CAT events directly but requires calculation of turbulence index. This study attempts to compare several indices such as Turbulence Index 1 (TI1), Turbulence Index 2 (TI2) and Richardson Number (Ri) to determine the best index in detecting CAT. In this study, TI2 has the best performance because it is more accurate in detecting intensity of CAT. In addition, billows’s pattern found in the cloud from MTSAT satellite imagery visible channel (VIS), the horizontal profile of TI and Convective Available Potential horizontal profile Energy (CAPE) from WRF-ARW model output. The pattern can be used as an indicator to identify the presence of CAT. Keywords: Clear Air Turbulence (CAT), Turbulence Index 1 (TI1), Turbulence Index 2 (TI2), Richardson Number (Ri), billows.
1.
PENDAHULUAN Fenomena CAT menarik untuk diteliti. Hampir 60% CAT terjadi di dekat jet stream yang
identik dengan daerah lintang tinggi (Overeem, 2002). CAT juga menyebabkan kerugian seperti kecelakaan, kerusakan pesawat, kerugian bahan bakar, dan penundaan penerbangan (Kim dan Chun, 2010). ICAO (Molarin, 2013) menyatakan bahwa CAT dengan intensitas ringan hingga sedang dapat menyebabkan goncangan dalam pesawat. CAT dengan intensitas hebat dapat menyebabkan pesawat sulit untuk mempertahankan ketinggian, dan penumpang dapat terlempar dari tempat duduknya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performa WRF-ARW dalam menyimulasikan kejadian CAT melalui indeks TI1, TI2, dan Ri. Indeks – indeks tersebut akan dibandingkan untuk mengetahui indeks terbaik dalam mendeteksi CAT di Indonesia. CAT membutuhkan pemodelan dengan resolusi tinggi. Hal ini disebabkan CAT memiliki skala yang kecil. WRFARW merupakan model generasi lanjutan sistem simulasi cuaca numerik skala meso yang didesain untuk melayani simulasi operasional dan kebutuhan penelitian atmosfer (NCAR, 2014).
2.
LANDASAN TEORI Turbulensi merupakan aliran yang bergerak tidak teratur ke segala arah (Tjasyono, 2008).
Turbulensi di atmosfer meliputi turbulensi lapisan bawah berkaitan dengan turbulensi termal, Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
340
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
turbulensi di dalam awan konvektif, turbulensi cuaca cerah (Clear Air Turbulence), dan turbulensi gelombang gunung. CAT adalah turbulensi yang tidak berasal dari kegiatan konvektif dan tidak berhubungan dengan turbulensi mekanis di lapisan gesekan dekat permukaan (Beckwith, 1971). Dua mekanisme umum penyebab terjadinya CAT yaitu Kelvin Helmholtz Instability (KHI) dan gelombang gunung (Overeem, 2002). KHI terjadi ketika adanya perubahan kecepatan angin vertikal (VWS) yang cukup besar pada kondisi atmosfer stabil. CAT akibat gelombang gunung terbentuk ketika angin bertiup melewati gunung dengan kecepatan 10 m/s atau lebih pada kondisi atmosfer yang stabil di atasnya (Belson, 2004). Ketika parsel udara dipindahkan secara vertikal melewati gunung, maka terjadi ketidakseimbangan antara gaya gravitasi dan gaya apung. Ketidakseimbangan tersebut menyebabkan parsel mengalami percepatan vertikal hingga mencapai level tertentu untuk mencapai keseimbangan. Situasi tersebut menyebabkan parsel mengalami osilasi secara vertikal dan lateral.
Beberapa indeks yang dapat digunakan untuk mendeteksi CAT adalah TI1, TI2 dan Ri. TI1 dan TI2 memperhitungkan deformasi horizontal dan VWS. TI2 hampir sama dengan TI1 dengan tambahan unsur konvergensi. Indeks Ri memperhitungkan nilai VWS dan stabilitas udara. a) Turbulence Index (TI) Ellrod dan Knapp (1992) mengembangkan indeks – indeks yang dikenal sebagai Indeks Turbulensi 1 (TI1) dan Indeks Turbulensi 2 (TI2) untuk melakukan prediksi turbulensi.
TI1 VWS DEF
(2-1)
TI 2 VWS.(DEF CVG)
(2-2)
dengan VWS adalah geser angin vertikal (( u / z ) 2 (v / z ) 2 ) 1 / 2 dalam satuan s-1, DEF adalah deformasi horizontal (DST2 + DSH2)1/2 dalam satuan s-1, DST adalah peregangan ( u / x v / y ) dalam satuan s-1, DSH adalah geser angin horizontal (v / x u / y ) dalam
satuan s-1, dan CVG adalah konvergensi (u / x v / y ) dalam satuan s-1.
b) Richardson Number (Ri) Indeks Ri adalah rasio perbandingan antara stabilitas dengan kuadrat VWS. Hal ini menyebabkan Ri dianggap ideal untuk menggambarkan mekanisme KHI sebagai penyebab CAT.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
341
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Ri ( g / / z ) ( V / z ) 2
(2-3)
dengan Ri adalah bilangan Richardson, g adalah percepatan gravitasi bumi (ms-2), adalah suhu potensial (K), / z adalah perubahan suhu potensial terhadap ketinggian (K m-1), dan
V / z adalah VWS (( u / z ) 2 (v / z ) 2 ) 1 / 2 dalam satuan s-1.
3. DATA DAN METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus 2 kejadian turbulensi pada tanggal 7 September 2011 yang berlokasi di titik KEVOK (4,200 LS dan 114,580 BT) pada jam 06.00 UTC dan 9 Juli 2011 yang berlokasi di titik SABIL (4,020 LS dan 109,940 BT) pada jam 08.00 UTC. Titik KEVOK dan SABIL merupakan titik persimpangan jalur penerbangan (Directorate of Air Traffic Services, 2006). Turbulensi di titik KEVOK terjadi pada ketinggian 200 mb sampai 180 mb. Turbulensi di titik SABIL pada ketinggian 270 mb sampai 200 mb. Kedua kejadian turbulensi dilaporkan berkekuatan sedang. 3.2 Data dan Alat Data yang digunakan sebagai masukan awal model WRF-ARW adalah data Final Global Assimilation System (FNL) dari National Centers for Environmental Prediction – National Center for Atmospheric Research (NCEP-NCAR) dengan resolusi 1o x 1o. Data pendukung lainnya adalah citra satelit Multifunctional Transport Satellites (MTSAT) kanal infrared (IR) dan visible (VIS) dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah WRF Domain Wizard v1.30, model WRF-ARW V.3.1.1, dan Grid Analysis and Display System (GrADS). 3.3 Langkah Kerja 3.3.1 Identifikasi Kejadian Kejadian turbulensi diidentifikasi untuk memastikan bahwa yang terjadi adalah CAT (tidak disebabkan oleh awan konvektif) melalui citra satelit MTSAT kanal IR dan VIS. Menurut Wirohamidjojo (2012), suhu yang hangat atau positif pada kanal IR menunjukkan permukaan bumi tanpa tutupan awan dan sebaliknya suhu yang dingin atau negatif menunjukkan awan konvektif. Awan tinggi seperti Cirrus juga menunjukkan suhu yang dingin. Untuk itu, albedo dari kanal VIS diperlukan untuk membedakan jenis awan tersebut. Awan – awan tipis memiliki albedo rendah sekitar 30 %. Awan tebal seperti Cumulus, Altocumulus memiliki albedo antara 40 – 70 %, dan awan Cumulonimbus memiliki albedo > 70%. Selain itu, citra satelit juga dapat
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
342
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
menunjukkan adanya CAT melalui pola awan yang melintang dan tegak lurus dengan arah angin yang biasa disebut billows.
Gambar 3-2: Citra satelit GOES kanal VIS menunjukkan billows yang mengidentifikasi adanya CAT (Molarin, 2013).
CAT terjadi pada kondisi atmosfer yang stabil. Indeks stabilitas diperlukan untuk mendukung identifikasi kejadian CAT. Convective Available Potential Energy (CAPE) merupakan total energi dari gaya apung pada kolom udara yang tersedia untuk mengangkat parsel udara (Blanchard, 1998). Klasifikasi CAPE (Zakir et al, 2010) dibagi menjadi 3 yaitu konvektif lemah (< 1000 J/Kg), konvektif sedang (1000 - 2500 J/Kg), dan konvektif kuat ( > 2500 J/Kg).
3.3.2 Pemodelan WRF-ARW Model dijalankan dalam 3 domain (Gambar 3-3). Domain 3 (DO3) digunakan untuk daerah penelitian dengan resolusi 4 km. Model dijalankan dengan memakai skema boundary layer MRF, skema microphysics Kessler, dan skema cumulus Grell Devenyi. Skema MRF mampu menunjukkan korelasi yang baik dalam simulasi gelombang gravitasi (suhu potensial dan kecepatan angin) (Putriningrum et al, 2012). Skema Kessler mampu menyimulasikan proses terbentuknya awan dan hujan serta mekanisme gelombang gunung dalam skala meso (Chaumerliac et al, 1990). Skema Grell Devenyi mampu menggambarkan pergerakan awan dan indikasi hujan yang berkaitan denga stabilitas udara (Santriyani et al, 2010).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
343
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
D01 D01
D02
D02 D03
D03
a
b
Gambar 3-3: Domain penelitian untuk a) KEVOK dan b) SABIL.
Tabel 3-1: Konfigurasi opsi fisis model WRF-ARW Opsi Fisis Model WRF-ARW
Area Running WRF-ARW Domain 1
Domain 2
Domain 3
History Interval
180 menit
60 menit
60 menit
Resolusi
36 km
12 km
4 km
Rapid
Rapid
Radiative
Radiative
Rapid Radiative
Transfer
Transfer
Transfer Model
Model
Model
Dudhia
Dudhia
Scheme
Scheme
MM5
MM5
MM5 Similarity
Similarity
Similarity
Noah Land
Noah Land
Noah Land
Surface Model
Surface Model
Surface Model
MRF Scheme
MRF Scheme
MRF Scheme
Kessler
Kessler
Longwave Radiation
Shortwave Radiation
Surface Layer Land Surface
Dudhia Scheme
Planetary Boundary Layer
Microphysics
Kessler Scheme
Scheme
Scheme
Cumulus
Grell Devenyi
Grell Devenyi
Grell Devenyi
3.3.3 Penentuan Threshold Intensitas turbulensi ditentukan melalui threshold. Indeks TI2 menggunakan threshold dari Air Force Global Weather Central (AFGWC) dan TI1 menggunkan threshold dari The Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
344
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
National Meteorology Center (NMC). NMC memiliki 2 model yang masing – masing memiliki threshold sendiri yaitu Nested Grid Model (NMG) dan Aviation Model (AVN).
Tabel 3-2 Threshold intensitas turbulensi untuk Turbulence Index (TI) NMC-
NMC-
AFGWC
NGM
AVN
(TI2)
(TI1)
(TI1)
Ringan
4
-
-
Sedang
8
4
2
Hebat
12
8
4
Intensitas Turbulesi
Threshold yang digunakan untuk Ri berdasarkan penelitian dari McCann (2001). McCann menyatakan bahwa nilai Ri < 0 menunjukkan adanya turbulensi konvektif saat kondisi udara labil. KHI yang memicu turbulensi dapat terbentuk apabila nilainya 0 < Ri < 0,25. Ketika Ri > 0,25 KHI tidak dapat terbentuk sehingga CAT tidak terjadi. 4. HASIL PEMBAHASAN 4.1 Hasil Identifikasi Kejadian CAT Gambar 4-1 menunjukkan hasil identifikasi kejadian untuk titik KEVOK dan SABIL. Citra satelit kanal IR di titik KEVOK menunjukkan suhu sebesar 23,20C. Citra satelit kanal VIS menunjukkan albedo sebesar 6% dan terdeteksi adanya pola awan berbentuk billows di sebelah tenggara titik KEVOK. CAPE pada titik KEVOK sebesar 332,8 J/Kg. Untuk titik SABIL, citra satelit kanal IR menunjukkan suhu puncak awan sekitar 23,30C. Citra satelit kanal VIS memberikan informasi nilai albedo yang cukup rendah yaitu 3%. CAPE sebesar 1612,2 J/Kg. Profil horizontal CAPE pada kedua lokasi menunjukkan adanya pola billows di lokasi kejadian.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
345
ISBN: 978-979-1458-87-0
LOKASI
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
IR
VIS
Profil Horizontal
Profil Vertikal CAPE
Suhu (oC)
Albedo (%)
CAPE (J/Kg)
(J/Kg)
KEVOK (06.00 UTC) billows
SABIL (08.00 UTC)
Gambar 4-1: Hasil identifikasi (kiri ke kanan) citra satelit kanal IR, VIS, profil horizontal CAPE, dan profil vertikal CAPE. Baris atas untuk lokasi KEVOK dan bawah untuk lokasi SABIL. Kotak hitam merupakan area penelitian untuk analisis profil vertikal; KEVOK (4,00 s.d 4,40 LS) dan SABIL (3,80 s.d 4,20 LS). Titik atau kotak merah merupakan lokasi kejadian.
4.2 Hasil Perhitungan Indeks Turbulensi Gambar 4-2 menunjukkan indeks TI1 di titik KEVOK berkisar antara 2 sampai 4 x 10-7 s2
. Indeks TI2 antara 6 sampai 8 x 10-7 s-2. Indeks Ri berkisar antara 2 sampai 2,5. Pola billows
terlihat pada profil horizontal indeks TI1 dan TI2. Selain itu, terlihat adanya intensitas turbulensi yang lebih kuat di sebelah timur laut titik KEVOK. Profil vertikal menunjukkan adanya turbulensi di lapisan kejadian dan di lapisan permukaan.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
346
ISBN: 978-979-1458-87-0
Profil
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
TI1(10-7 s-2)
TI2 (10-7 s-2)
Ri
Horizontal
Vertikal
Gambar 4-2: Profil horizontal (baris atas) pada ketinggian antara 200 s.d 150 mb dan profil vertikal (baris bawah) indeks TI1,TI2, Ri di KEVOK pada saat kejadian. Kotak hitam merupakan area penelitian untuk analisis profil vertikal (4,00 s.d 4,40 LS). Gambar 4-3 menunjukkan indeks TI1 di titik SABIL berkisar antara 6 sampai 8 x 10-7s-2. Indeks TI2 besarnya 8 sampai 10 x 10-7 s-2. Indeks Ri berkisar antara 1,5 sampai 2. Pola billows terlihat pada profil horizontal indeks TI. Pola tersebut terdapat pada seluruh area penelitian. Profil vertikal menunjukkan adanya turbulensi di lapisan kejadian dan di lapisan permukaan.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
347
ISBN: 978-979-1458-87-0
Profil
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
TI1(10-7s-2)
TI2 (10-7s-2)
Ri
Horizontal
Vertikal
Gambar 4-3: Profil horizontal (baris atas) pada ketinggian antara 250 s.d 200 mb dan profil vertikal (baris bawah) indeks TI1, TI2, Ri di SABIL pada saat kejadian. Kotak hitam merupakan area penelitian untuk analisis profil vertikal (3,80 s.d 4,20 LS).
4.3 Pembahasan Hasil identifikasi menunjukkan bahwa turbulensi yang terjadi di KEVOK dan SABIL adalah CAT. Suhu yang hangat pada citra satelit kanal IR menandakan suhu puncak awan berasal dari awan rendah atau permukaan tanpa tutupan awan. Albedo yang rendah menandakan tutupan awan tipis di wilayah tersebut. CAPE di KEVOK menunjukkan udara cenderung stabil atau konveksi lemah. CAPE di SABIL menunjukkan adanya konvektivitas sedang. Hal ini menunjukkan adanya potensi pertumbuhan awan konvektif. Akan tetapi, citra satelit tidak menunjukkan adanya awan konvektif di lokasi kejadian. Pada citra satelit kanal VIS terlihat adanya pola awan berbentuk billows di sebelah tenggara titik KEVOK. Pola billows mengindikasikan adanya turbulensi di wilayah tersebut. Perbedaan lokasi kejadian CAT antara yang dilaporkan pilot dengan hasil temuan pada citra satelit memungkinkan CAT dilaporkan setelah pesawat melalui area turbulensi tersebut. Profil horizontal memperlihatkan adanya pola yang unik pada sebaran indeks TI dan CAPE dari keluaran WRF-ARW. Pola tersebut berbentuk billows pada kedua area kejadian. Pola tersebut mengindikasikan adanya turbulensi. Pola billows dapat terjadi akibat osilasi parsel udara secara vertikal pada lingkungan yang stabil. Parsel udara yang dinaikkan ke atas akan
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
348
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
kembali ke level semula ketika suhu lingkungan sama dengan suhu parsel. Kejadian ini terus berulang sehingga membentuk suatu pola gelombang. Gambar 4-2 memberikam informasi adanya daerah turbulensi dengan intensitas yang lebih besar di luar daerah pengamatan. Lokasi tersebut berada di sebelah timur laut titik KEVOK. Hasil ini berbeda dengan hasil citra satelit yang menangkap adanya pola awan berbentuk billows di sebelah tenggara titik KEVOK. Keluaran model WRF-ARW dapat menangkap fenomena CAT namun lokasi sesungguhnya belum dapat dipastikan. Profil vertikal pada ketiga indeks mampu menggambarkan adanya turbulensi yang diduga sebagai CAT di lapisan kejadian. Selain itu, profil vertikal juga menunjukkan adanya turbulensi di permukaan. Turbulensi yang terjadi di permukaan merupakan turbulensi konvektif akibat pemanasan oleh matahari. Indeks Ri di permukaan menunjukkan nilai negatif (Ri < 0) dengan gradasi warna merah magenta. Hal ini sesuai pernyataan McCann (2001) bahwa nilai Ri < 0 menujukkan adanya turbulensi konvektif di permukaan yang berkaitan dengan turbulensi termal. Tabel 4-1 menunjukkan perbandingan intensitas CAT antara kondisi riil dengan hasil simulasi model. Dalam penelitian ini, indeks TI2 memiliki performa terbaik dalam mendeteksi CAT. Indeks Ri kurang dapat mempresentasikan CAT dengan baik karena nilainya berada di luar threshold. Indeks Ri pada penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang menyatakan turbulensi dapat terjadi ketika Ri > 0,25 (Hermawan dan Abidin, 2006). Akan tetapi, hasil ini tidak mendukung penelitian Sasmito (2010) yang menyatakan nilai Ri antara 200 sampai 290 saat terjadi turbulensi di Pulau Lulbu Philipina. Perbedaan model, data, dan metode menyebabkan perbedaan hasil penelitian.
Tabel 4-1: Perbandingan intensitas turbulensi antara kondisi riil dan hasil simulasi model TI1
TI1
TI2
Threshold NMC
Threshold NMC
Threshold
NGM
AVN
AFGWC
Lokasi
MODE OBS KEVO
Sedan
K
g
L
Sedan SABIL
g
OBS
L
g
g
MODE OBS
MODEL
Sedan Hebat
Sedan Hebat
( < 0,25)
MODE
Sedan Sedang
Ri
g
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
g
L
Sedan Sedang
Sedan Hebat
OBS
g
Tidak
Sedan Sedang
g
Tidak
349
ISBN: 978-979-1458-87-0
5.
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
KESIMPULAN Hasil identifikasi menunjukkan bahwa turbulensi yang terjadi adalah CAT. Model WRF-
ARW mampu menyimulasikan kejadian CAT melalui indeks TI1 dan TI2. Indeks Ri kurang mampu menunjukkan adanya turbulensi. Dalam penelitian ini, indeks TI2 memiliki performa terbaik dalam mendeteksi CAT. Indeks Ri kurang dapat mempresentasikan CAT dengan baik karena berada di luar threshold yang ditentukan. Akan tetapi, hasil penelitian Ri mendukung hasil penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa turbulensi dapat terjadi ketika Ri > 0,25. Dalam penelitian ini, adanya pola billows pada awan citra satelit kanal VIS, profil horizontal CAPE dan TI menandakan adanya KHI yang menyebabkan CAT. Pola tersebut dapat digunakan sebagai indikator terjadinya CAT.
DAFTAR RUJUKAN Beckwith, W. B., 1971, “The Effects of Weather On The Operations and Economics of Air Transportation Today”, Bulletin of American Meteorologycal Society, Vol. 52, No. 9, 863-868 Belson, B. L., 2004, “An Automated Method of Predicting Clear Air Turbulence”, Thesis. Department of The Air Force, Air University, Air Force Institute of Technology, Ohio Blanchard, D. O., 1998, “Notes And Correspondence: Assessing The Vertical Distribution Of Convectine Available Potential Energy”, Weather And Forecasting, Vol. 13, 870 - 877 Chaumerliac, N., Richard, E., dan Rosset, R., 1990, “A Comparative Study Of Two Microphysical Scheme For Mesoscale Modelling Of Pollutant Transport And Deposition”, Physico-Chemical Behaviour Of Atmospheric Pollutants, 452 – 456 Directorate of Air Traffic Services, 2006, “Enroute Chart Indonesia Flight Information Region”, Angkasa Pura 2, Jakarta Ellord, G. P., dan Knapp, D. I., 1992, “An Objective Clear Air Turbulence Forecasting Technique: Verification and Operational Use”, Weather and Forecasting, Vol. 7, 150 – 165 Hermawan, E., dan Abidin, Z., 2006, “Estimasi Parameter Turbulensi Untuk Jasa Penerbangan Berbasis Hasil Analisis Beberapa Data Radiosonde Di Kawasan Barat Indonesia”, Jurnal Dirgantara, Vol. 3, No. 2, 155 – 165 Kim, J. H, dan Chun, H. Y, 2010, “A Numerical Study of Clear Air Turbulence CAT Encounters Over South Korea On 2 April 2007”, Journal of Applied Meteorology and Climatology, Vol. 49, 2381 – 2403
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
350
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
McCann, D. W., 2001, “Gravity Waves, Unbalanced Flow, And Aircraft Clear Air Turbulence”, National Weather Digest, Vol. 25, No. 1,2, 3 – 14 Molarin, K., 2013, “Case Study of CAT Over The North Atlantic Ocean”, Stockholm University NCAR, 2014, “User’s Guide For The Advanced Research WRF (ARW) Modeling System Version”, (http://www2.mmm.ucar.edu/wrf/users/docs/user_guide_V3/contents.htm,
3.6, diakses
tanggal 5 September 2014) Overeem, A., 2002, “Verification Of Clear Air Turbulence Forecast”, Technisch Rapport. KNMI Putriningrum, D. A., Trilaksono, N. J., dan Noersomadi, 2012, “Simulasi Temperatur Potensial dan Kecepatan Angin untuk Identifikasi Gelombang Gravitasi di Wilayah Sumatera Barat Menggunakan Model WRF-ARW”, Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung Santriyani, M., Octarina, D. T., Budaya, B. J., Choir, U., dan Suradi, 2010, “Sensitivitas Parameterisasi Konveksi Dalam Prediksi Cuaca Numerik Menggunakan Model WRFARW (Studi Kasus Hujan Ekstrem di Jakarta Tanggal 7 April 2009)”, Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung Sasmito, A., 2011, “Peringatan Dini Dan Diagnosis Munculnya Turbulensi Cuaca Cerah Dan Dampaknya Pada Pesawat”, Jurnal Meteorologi dan Geofisika, Volume 12, No. 3, Desember 2011, 291 – 302 Tjasyono, B. H. K., 2008, “Sains Atmosfer”, Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta Wirohamidjojo, S., 2012, ”Menaksir Sifat Fisis dan Dinamik Awan Dari Citra Satelit”, Workshop BMKG 11 – 15 Juni 2012 Zakir, A., Widada S., dan Mia K. K., 2010, ”Perspektif Operasional Cuaca Tropis”, Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
351
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
STUDI AWAL PERILAKU UMUM PERTUMBUHAN AWAN DAN CURAH HUJAN AKIBAT PERUBAHAN KONSENTRASI AEROSOL MENGGUNAKAN PENDEKATAN MODEL PREDATOR-MANGSA (A PRELIMINARY STUDY OF THE GENERAL BEHAVIOR OF CLOUDS AND PRECIPITATION GROWTH DUE TO CHANGES IN AEROSOL CONCENTRATIONS USING PREDATOR-PREY MODEL APPROACH) Rita Sulistyowati1,2, Rizal Kurniadi3, Wahyu Srigutomo1 1
Laboratorium Fisika Bumi dan Sistem Kompleks
Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung 2
Jurusan Pendidikan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas PGRI Palembang 3
Laboratorium Fisika Nuklir dan Biofisika
Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung e-mail :
[email protected]
ABSTRAK Telah dilakukan studi awal terhadap perilaku umum pertumbuhan awan dan curah hujan akibat perubahan konsentrasi aerosol menggunakan pendekatan model predator-mangsa. Model ini diinisiasi oleh Koren-Feingold (2011) untuk kasus awan dangkal dan merupakan sistem persamaan diferensial terkopel dengan fungsi waktu tunda. Pemecahan model dilakukan secara numerik dengan metode beda hingga. Dalam studi ini, penerapan model dilakukan untuk contoh kasus dan input data hasil pengukuran konsentrasi aerosol dan ketebalan awan yang teramati di SPD LAPAN Kototabang pada tanggal 1 Maret 2011 serta meninjau informasi konsentrasi aerosol PM10 yang terukur SPAG BMKG Bukit Kototabang (Update : 19 Maret 2014). Hasil studi menunjukkan bahwa perilaku umum pertumbuhan awan dan presipitasi menggambarkan adanya pola osilasi. Selain itu, pendekatan model juga cukup mampu menggambarkan Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
352
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
pengaruh konsentrasi aerosol terhadap ketebalan awan dan curah hujan secara kualitatif. Pada potensial kedalaman awan (H0) rendah dan konsentrasi aerosol (N0) yang relatif tinggi (> 250 cm-3), terjadi curah hujan yang rendah (1-2 mm/hari) dan ketebalan awan dapat mencapai lebih dari 250 m. Sebaliknya pada potensial kedalaman awan (H0) tinggi dan konsentrasi aerosol (N0) yang relatif rendah (< 50 cm-3) terjadi curah hujan yang tinggi, sehingga awan hanya dapat memiliki ketebalan yang relatif rendah, yaitu kurang dari 250 m.
Kata Kunci : Model Predator-Mangsa, Konsentrasi Aerosol, Ketebalan Awan, Waktu Tunda, Metode Beda-Hingga.
ABSTRACT A preliminary study of the general behavior of clouds and precipitation growth due to changes in aerosol concentrations has been conducted using predator-prey model approach. This model was initiated oleh Koren-Feingold (2011) for the case of shallow clouds and as a system of coupled differential equations with time delay function. The model has been solved numerically oleh finite difference method. In this study, the application of the model is done for the case sample and the input data is the measurement of aerosol concentration and cloud depth observed in SPD Lapan Kototabang on March 1, 2011 and to review the information of measured concentrations of PM10 aerosol SPAG BMKG Bukit Kototabang (Update: March 19, 2014). The study shows that the general behavior of cloud and precipitation growth describe a pattern of oscillation. In addition, the model approach is also quite able to describe the effect of aerosol concentration on cloud and precipitation qualitatively. At low potential of cloud depth (H0) and relatively high concentration of aerosols (N0) (> 250 cm-3), low rainfall occurs (1-2 mm/day) and the cloud depth can reach more than 250 m. In contrast with high potential of the cloud depth (H0) and relatively low aerosol concentration (N0) (< 50 cm-3) high rainfall occurs, so that clouds can only have a relatively low depth, which is less than 250 m.
Keywords: Predator-Prey Model, Aerosol Concentration, Cloud Depth, Delay Time, Finite Difference Methods.
1. PENDAHULUAN Peran aerosol dalam proses pertumbuhan awan serta interaksinya dengan awan dan presipitasi merupakan kunci penting untuk memahami fenomena cuaca dan iklim (Ramanathan dkk, 2001). Namun demikian, mekanisme dampak aerosol terhadap cuaca dan iklim masih menjadi Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
353
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
misteri besar dan belum dipahami dengan baik (NRC, 2005; SEAC4RS, 2012), padahal diyakini bahwa
aerosol merupakan inti kondensasi awan (IKA) dan secara tidak langsung akan mempengaruhi jumlah anggaran (budget) radiasi dan keseimbangan energi permukaan bumi (IPCC, 2001; Tao dkk, 2012). Secara alami, aerosol berasal dari peristiwa alam seperti penguapan air laut, badai pasir ataupun erupsi vulkanik. Namun, konsentrasi aerosol yang dilepaskan ke atmosfer juga dapat meningkat secara antropogenik akibat aktivitas industri, transportasi, kebakaran hutan, lahan dan padang rumput dan lain-lain (IPCC, 2001) yang diproduksi secara kontinu. Perilaku perubahan sifat awan dan presipitasi terkait peningkatan aerosol antropogenik ini menjadi sangat penting dalam upaya memahami pola perubahan serta prediksi cuaca dan iklim.
2. TINJAUAN PUSTAKA Aerosol merupakan partikel padat atau cair yang mempunyai ukuran yang sangat kecil yaitu antara 0,001 m -1 m . Partikel-partikel aerosol ini mengapung di udara dan terbentuk oleh pemadatan gas atau oleh disintegrasi cairan atau material padat. Aerosol disebut sebagai inti kondensasi awan karena aerosol memiliki gaya gabung (affinity) untuk air sehingga fasa uap di atmosfer berkondensasi menjadi butiran awan dengan aerosol sebagai intinya. Butiran-butiran awan akan mengalami tumbukan satu sama lain dan selanjutnya bergabung membentuk awan melalui pengumpulan uap air di sekelilingnya. Interaksi aerosol dengan sistem iklim terjadi dalam beberapa cara berbeda. Secara langsung partikel aerosol akan menghamburkan/memantulkan dan menyerap radiasi sinar matahari yang berinteraksi dengannya serta memanaskan lapisan atmosfer yang di dalamnya terkandung aerosol. Semakin tinggi konsentrasi butiran awan maka total luas permukaan semakin besar sehingga menyebabkan awan menjadi reflektif atau memantulkan lebih banyak radiasi matahari dan albedo dari total kandungan air awan meningkat (IPCC, 2001; Lee dkk, 2008). Dengan kata lain, aerosol memberikan efek pendinginan pada iklim. Secara tidak langsung, aerosol berperan sebagai IKA sehingga mempengaruhi pembentukan awan. Dampak tidak langsung aerosol mengacu pada dampak radiatif terhadap sifat awan. Peningkatan konsentrasi aerosol akan menyebabkan peningkatan konsentrasi jumlah IKA dan butiran awan serta reflektansi awan (Twomey, 1977; Twomey dkk, 1984). Di sisi lain, bila dinamika dan kandungan air awan dianggap konstan, peningkatan konsentrasi aerosol akan menurunkan jari-jari efektif butiran awan. Tingginya konsentrasi butiran awan berukuran kecil ini menyebabkan efisiensi koalesensi berkurang dan pembentukan hujan menjadi terhambat, karena efisiensi koalesensi sebanding dengan ukuran butiran awan (Albrecht, 1989). Akibatnya
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
354
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
fraksi awan bertambah dan waktu hidup awan menjadi lebih lama (Albrecht, 1989; Ramanathan dkk, 2001). Interaksi aerosol-awan-presipitasi merupakan sebuah sistem yang sangat kompleks. Hal tersebut karena masih terdapat ketidakpastian mengenai efek tidak langsung aerosol antropogenik terhadap presipitasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa efek peningkatan aerosol akan menghambat pembentukan awan, begitupun presipitasi. Namun beberapa penelitian lain menunjukkan peningkatan aerosol dalam lingkungan updraft yang besar justru akan meningkatkan terjadinya presipitasi. Salah satu sarana untuk memahami perilaku interaksi sistem kompleks adalah dengan pendekatan komputasi. Pada kasus sistem interaksi aerosol-awan-hujan, metode yang digunakan diantaranya adalah model predator-mangsa Koren-Feingold (KF) (2011). Model predator-mangsa sendiri merupakan sebuah model matematika yang membahas perilaku pertumbuhan populasi predator dan mangsa yang saling berinteraksi, secara sederhana. Pada kasus interaksi aerosol-awan-hujan, awan dianalogikan sebagai mangsa, hujan sebagai predator sedangkan aerosol bertindak sebagai modulator. Secara singkat, model predator-mangsa KF dapat dijelaskan sebagai berikut. Aerosol yang bersifat sebagai IKA akan membentuk butiran-butiran awan. Butiran-butiran tersebut selanjutnya bergabung satu sama lain untuk membentuk awan dengan ketebalan tertentu. Bila ketebalan awan telah mencukupi dan di dalamnya terdapat tetes-tetes hujan yang banyak maka terjadilah presipitasi. Pembentukan tetes hujan sendiri terjadi melalui peristiwa koleksi butiran awan, sehingga dikatakan tetes hujan mengkonsumsi butiran-butiran awan dan setelah beberapa waktu, akibat curah hujan yang turun ke permukaan maka hal ini juga akan membuat ketebalan awan menjadi berkurang. Dalam hal ini terjadi umpan balik. Dengan demikian, dapat dikatakan hujan merusak awan dan secara tidak langsung mengkonsumsi aerosol yang berperan sebagai inti kondensasi awan. Setelah periode waktu tertentu pada akhirnya terjadi keadaan tunak yaitu keadaan ketika konsentrasi butiran awan dan ketebalan awan ini sangat rendah sehingga tidak memungkinkan terjadinya presipitasi dan siklus proses terbentuknya awan dengan bantuan aerosol mulai terjadi lagi. Model yang digagas oleh Koren-Feingold terdiri dari dua persamaan terkopel, yang secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut (Koren & Feingold, 2011):
dH H 0 H H r (t T ) dt 1
1 H 2 R , dengan H r c1 H c1 N d
(2-1)
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
355
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
dN d N 0 N d N d (t T ) , dengan N d c2 N d R dt 2 (2-2)
R(t )
H 3 (t T ' ) N d (t T ' ) (2-3)
Suku pertama ruas kanan persamaan (2-1) menunjukkan besarnya laju pertumbuhan awan sebelum terjadinya hujan. H o menyatakan daya dukung pertumbuhan awan atau carrying capacity, sehingga bila tidak ada hujan, jumlah maksimum pertumbuhan awan H yang dapat dicapai setelah beberapa waktu ( 1 ) akan mendekati limit asimtotik dari H o . Konstanta 1 merepresentasikan resultan gaya dinamik yang diasumsikan mengandung beberapa jenis gaya, antara lain kalor laten yang berhubungan dengan perubahan fasa, divergensi fluks radiatif, ketidakstabilan atmosfer, gaya skala meso, dan lain-lain. c1 adalah nilai konstanta sebuah fungsi temperatur dan tekanan dasar awan, untuk awan adiabatik hangat c1 bernilai 2 x 10-3 m-1. merupakan sebuah konstanta terkait untuk awan stratokumulus hangat (Pawlowska & Brenguier, 2003; Konstinski, 2008). Suku kedua H r (t T ) menunjukkan laju berkurangnya awan akibat terjadinya hujan, atau terkait peristiwa terjadinya konversi butiran awan menjadi tetes hujan melalui proses stokastik dalam periode waktu yang relatif singkat ( T 15 menit). Bentuk tunda (t T ) merupakan fungsi waktu yang dihitung untuk proses produksi hujan, yaitu keadaan dari awan pada beberapa periode waktu sebelum tahap waktu pengukuran yang sedang berlangsung. Dalam hal ini, bentuk tunda terkait dengan waktu terbentuknya butiran awan sampai menjadi tetes hujan melalui proses kolisi dan koalesensi. Pada persamaan (2-2), N0 diasumsikan sebagai konsentrasi awal aerosol yang dimiliki oleh sistem (carrying capacity) dan 2 adalah waktu konstan karakteristik penambahan aerosol (Koren & Feingold, 2011). Suku terakhir mewakili terjadinya proses koalesensi. Berkurangnya
Nd
disebabkan oleh terjadinya konversi butiran awan menjadi hujan melalui pengumpulan
tetesan (koleksi butiran) dan dihitung menggunakan ekspresi sederhana berdasarkan persamaan koleksi stokastik, dengan konstanta c2 bernilai 3 x 10-1 m-1 (Wood, 2006).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
356
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
3. DATA DAN METODOLOGI Persamaan-persamaan terkopel dalam model predator-mangsa KF diselesaikan dengan menggunakan metode beda-hingga dan diproses dengan bantuan software MatLab. Beberapa parameter konstanta yang digunakan untuk perhitungan numerik dalam penyelesaian persamaaan model predator-mangsa KF adalah berdasarkan literatur, yaitu 1 = 2 = 60 menit, -3 -1 -1 -1 c 1 = 2 x 10 m , c 2 = 3 x 10 m ,
= 2 mm.m-6/hari. Sedangkan parameter input untuk
potensial ketebalan awan (H0) dan konsentrasi aerosol awal (N0) dipilih berdasarkan nilai-nilai yang diperoleh dari hasil pengamatan Ceilometer dan LIDAR di Stasiun Pengamat Dirgantara (SPD) LAPAN Kototabang, Bukit Tinggi pada tanggal 1 Maret 2011 (gambar 3-1).
a)
b)
Gambar 3-1: a) Hasil Pengamatan dengan LIDAR, b) Hasil Pengamatan dengan Ceilometer (SPD LAPAN Kototabang, 1 Maret 2011)
Dari pengukuran LIDAR, data aerosol dipilih pada daerah untuk beberapa waktu sebelum terlihatnya awan atau sebelum pukul 02.00 WIB. Hal tersebut karena aerosol sebagai inti kondensasi awan muncul sebelum terbentuknya awan. Nilai konsentrasi aerosol ini diukur pada beberapa ketinggian awan, sesuai pengamatan Ceilometer dan digunakan sebagai input nilai N0. Sementara, karena data H0 tidak dimiliki maka dipilih beberapa nilai ketinggian awan, mulai dari perkiraan ketinggian dasar awan sampai puncak awan yang teramati pada gambar 3-1.b. Sebagian data yang diperoleh dapat dilihat dari tabel 3-1.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
357
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Tabel 3-1: Nilai konsentrasi aerosol pada beberapa ketinggian H0 (m)
N0 (cm-3)
N0 (cm-3)
400
13
106
410
20
113
420
24
126
430
27
142
440
29
148
450
32
161
460
35
174
470
37
186
480
40
192
490
41
204
500
50
250
Nilai-nilai tersebut nantinya akan digunakan sebagai input untuk perhitungan numerik dalam penyelesaian persamaaan model KF. Input nilai konsentrasi aerosol tertinggi pada model diperoleh dari hasil review terhadap konsentrasi aerosol PM10 yang terukur SPAG BMKG Bukit Kototabang, yaitu mencapai sekitar 550 cm-3. Dari hasil simulasi model KF tersebut akan diperoleh gambaran perilaku ketebalan awan dan curah hujan yang terjadi akibat peningkatan konsentrasi aerosol.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Solusi persamaan terkopel selanjutnya disimulasikan dalam bentuk time series dan potret fasa. Simulasi untuk solusi persamaan-persamaan terkopel (2-1), (2-2) dan (2-3) adalah sebagai berikut
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
358
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
30 0
400
H (m)
150
Ho (m)
500
300
300
250
200
250 200
200
200
150
150
100
100 20
40
150 100
100
60
80
100
120
140
160
180
200
No (cm-3)
Ho (m)
500 400
Nd
40
20
(cm-3)
40
60
300 20
200 20
40
80 100
60
40
100
60
60 80 100 120 140 160 180
120
80
100
120
140
160
180
200
No (cm-3)
Ho (m)
500
1.8 2 1.6 1.4 1.2 0.8 0.6 0.4 0.2
400 R (mm/hr) 1
300 200
1.8 2 1.6 1.4 1.2 0.8 0.6 0.4 0.2
1
1.8 1.6 1.4 1.2 0.8 0.6 0.4 0.2
1
1
100 20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
No (cm-3)
Gambar 4-1: Solusi Keadaan Bergantung Waktu untuk a) H, b) R dan c) Nd untuk kisaran H0 dan N0. Input 1 = 2 = 60 menit, waktu tunda T’ = 12 menit.
Gambar 4-1.a menunjukkan gambaran untuk kondisi presipitasi lemah, potensial ketebalan awan (H0) rendah ( 100 m) dan konsentrasi aerosol awal (N0) tinggi ( 180 cm-3), ketebalan awan (H) dapat mencapai maksimum potensial kedalaman awan (H0). Sedangkan dari gambar 4-1.b terlihat bahwa pada kondisi H0 rendah ( 100 m) dan N0 rendah ( 40 cm-3), ketebalan awan yang terbentuk sangat tergantung pada N0 (peran aerosol sebagai inti kondensasi awan sangat dominan). Dapat dikatakan, konsentrasi butiran awan (Nd) yang terbentuk hampir sebanding dengan nilai awal N0. Kondisi presipitasi kuat dapat dilihat dari gambar 4-1.c, yaitu kondisi di saat H0 tinggi (150 m) dan N0 rendah ( 40 cm-3). Dalam kasus ini kedalaman (H) sangat tergantung pada peningkatan H0 dan N0. Untuk contoh kasus, dipilih tiga variasi H0 dan N0, diperoleh diagram time series dan potret fasa dari solusi terkopel persamaan (2-1), (2-2) dan (2-3) seperti yang ditunjukkan oleh gambar 4-2, 4-3 dan 4-4 berikut:
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
359
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
a) Input H0 = 500 m ; N0 = 50 cm-3
Gambar 4-2: Diagram time series untuk (a) kedalaman awan, H (m), (b) Konsentrasi Butiran Awan, Nd (cm-3) dan (c) Curah Hujan, R (mm/hari). dengan input H0 = 500 m ; N0 = 50 cm3. Dari gambar 4-2.c terlihat curah hujan cukup tinggi, yaitu sekitar 3.8 mm/hari. Curah hujan seperti ini menyebabkan laju pengurangan konsentrasi butiran awan dan ketebalan awan berlangsung cukup cepat, seperti yang terlihat pada gambar 4-2.a dan 4-2.b. Konsentrasi butiran awan (Nd) yang semula mencapai sekitar 30 cm-3, setelah hujan menjadi berkurang sampai ke nilai ±5 cm-3 dan begitu pula ketebalan awan (H), dari sekitar 250 m, lalu berkurang sampai ke nilai ±200 m. Perilaku osilasi yang terjadi juga cukup banyak sehingga sistem memerlukan waktu yang cukup lama (t 600 menit) untuk menuju keadaan tunak. b) Input H0 = 500 m ; N0 = 250 cm-3
Gambar 4-3.a, b dan c memperlihatkan perilaku osilasi teredam menuju ke keadaan tunak. Dari gambar 4-3.c terlihat curah hujan (R) yang terjadi lebih rendah dari kasus pada gambar 4-2.c, yaitu sekitar 2 mm/hari. Ketebalan awan dapat mencapai sekitar 400 m dengan konsentrasi butiran awan sekitar 150 cm-3. Pada kasus ini terlihat pula gambaran bahwa akibat bertambahnya konsentrasi aerosol membuat waktu pembentukan presipitasi berlangsung lebih lama (sekitar 120 menit) dari kejadian sebelumnya (kasus gambar 4-2) yaitu sekitar 60 menit.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
360
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-3: Diagram time series untuk (a) kedalaman awan, H (m), (b) Konsentrasi Butiran Awan, Nd (cm-3) dan (c) Curah Hujan, R (mm/hari). dengan input H0 = 500 m ; N0 = 250 cm-3. c) Input H0 = 400 m ; N0 = 550 cm-3
Gambar 4-4: Diagram time series untuk (a) kedalaman awan, H (m), (b) Konsentrasi Butiran Awan, Nd (cm-3) dan (c) Curah Hujan, R (mm/hari) dengan input H0 = 400 m ; N0 = 550 cm-3.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
361
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 4-4.b memperlihatkan adanya pembentukan butiran-butiran awan dengan konsentrasi yang cukup tinggi (sekitar 400 cm-3). Presipitasi terbentuk sangat lama (sekitar 300 menit) dan curah hujan yang terjadi sangat rendah, yaitu <1 mm/hari seperti yang terlihat pada gambar 4-4.c. Awan dapat mencapai ketebalan cukup tinggi sekitar 400 m (gambar 4-4.a). Perilaku osilasi hampir tidak terjadi dan kasus ini menggambarkan kemungkinan adanya pengaruh konsentrasi aerosol yang sangat tinggi terhadap terhambatnya presipitasi.
5.
KESIMPULAN Pendekatan model predator-mangsa yang diterapkan pada data yang teramati di
Kototabang dapat memberikan gambaran mengenai perilaku umum mengenai pengaruh aerosol terhadap pertumbuhan awan dan curah hujan, secara kualitatif. Konsentrasi aerosol yang teramati di Kototabang mempengaruhi curah hujan dan ketebalan awan yang terbentuk. Untuk kasus di mana konsentrasi aerosol rendah-sedang (≤ 250 cm-3), curah hujan yang terjadi cukup tinggi (2-4 mm/hari) dengan laju pengurangan ketebalan awan yang cukup besar. Sedangkan bila konsentrasi aerosol meningkat maka laju pembentukan presipitasi atau curah hujan semakin berkurang dan awan yang terbentuk dapat mencapai ketebalan yang cukup tinggi. Secara sederhana, hal ini diperkirakan karena keberadaan aerosol antropogenik menghalangi proses pembentukan presipitasi sehingga awan dapat mencapai ketebalan maksimum yang dapat terbentuk.
UCAPAN TERIMA KASIH. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) atas ijin dalam menggunakan data LIDAR dari Stasiun Pengamat Dirgantara (SPD) Kototabang serta kepada Bapak Syafrijon dan Bapak L.M. Musafar untuk diskusi dan kerjasama dalam pengolahan data pada penelitian ini.
DAFTAR RUJUKAN Albrecht, B. A., 1989, “Aerosols, cloud microphysics, and fractional cloudiness”, Science, 245(4923), 1227-1230 IPCC Third Assessment Report, 2001, “Climate change 2001: The scientific basis”, J.T. Houghton et al., Eds., Cambridge Univ. Press, Cambridge, 994 pp Kostinski,
A.
B.,
2008,
“Drizzle
rates
versus
cloud
depths
for
marine
stratocumuli”, Environmental Research Letters, 3(4), 045019
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
362
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Koren, I., & Feingold, G., 2011, “Aerosol–cloud–precipitation system as a predator-prey problem”, Proceedings of the National Academy of Sciences,108(30), 12227-12232 Lee, S. S., Donner, L. J., Phillips, V. T. J., & Ming, Y., 2008, “The dependence of aerosol effects on clouds and precipitation on cloud system organization, shear and stability”, Journal
of
Geophysical
Research:
Atmospheres
(1984–2012),113(D16).
doi:10.1029/2007JD009224 National Research Council (NRC), 2005, “Radiative forcing of climate change: Expanding the concept and addressing uncertainties”, The National Academies Press, Washington, D.C Pawlowska, H., & Brenguier, J. L., 2003, “An observational study of drizzle formation in stratocumulus clouds for general circulation model (GCM) parameterizations”, Journal of Geophysical Research: Atmospheres (1984–2012), 108(D15) Ramanathan, V., Crutzen, P. J., Kiehl, J. T., & Rosenfeld, D., 2001, “Aerosols, climate, and the hydrological cycle”, Science, 294(5549), 2119-2124 SEAC4RS Science Overview, 2012, “Southeast Asia Composition, Cloud, Climate Coupling Regional
Study
(SEAC4RS)
Planning
Document”,
diakses
di
URL
http://espo.nasa.gov/missions/seac4rs Tao, W. K., Chen, J. P., Li, Z., Wang, C., & Zhang, C., 2012, “Impact of aerosols on convective clouds and precipitation”, Reviews of Geophysics, 50(2) Twomey, S., 1977, “The influence of pollution on the shortwave albedo of clouds”, Journal of Atmospheric Science, 34:1149–1152 Twomey, S., Piepgrass, M. & Wolfe, T. L., 1984, “An assessment of the impact of pollution on global cloud albedo”, Tellus, 36B, 356-366 Wood, R., 2006, “Rate of loss of cloud droplets oleh coalescence in warm clouds”, Journal of Geophysical Research: Atmospheres (1984–2012), 111(D21)
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
363
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
PENGARUH SINAR KOSMIK TERHADAP TUTUPAN AWAN (COSMIC RAYS EFFECT ON CLOUD COVER) Riza Adriat Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung email:
[email protected]
ABSTRAK Sinar kosmik merupakan salah satu dari beberapa faktor dari luar angkasa yang mempengaruhi pemanasan global melalui pengaruhnya terhadap proses pembentukan tutupan awan. Sinar kosmik dapat mempengaruhi proses pembentukan tutupan awan melalui mekanisme ion-aerosol clear-air dan mekanisme ion-aerosol near-cloud. Sinar kosmik berperan sebagai sumber energi yang mengionisasi aerosol sehingga mempercepat pembentukan inti kondensasi awan. Sinar kosmik dikorelasikan dengan awan global menggunakan klasifikasi ISCCP yang membagi awan menjadi sembilan jenis dari tahun 1984 sampai 2008. Sinar kosmik memiliki korelasi positif dengan tutupan awan rendah (untuk jenis Stratocumulus dan Stratus) dan tutupan awan tinggi (untuk jenis Cirrus).
Kata kunci: pemanasan global, sinar kosmik, tutupan awan
ABSTRACT Cosmic rays is one of several factors from space that can influence global warming oleh the process of cloud formation. Cosmic rays can affect the formation of cloud cover through the ion-aerosol clear-water mechanism and ion-aerosol near-cloud mechanism. The role of cosmic rays as a source of energy is ionizing aerosols and charging near cloud which may accelerate the process of the formation of cloud condensation nuclei. We study the correlation of cosmic rays and global cloud cover following the ISCCP classification that can be divided into 9 types of cloud from year 1984 to 2008. We confirm that cosmic rays had high positive correlation with low cloud cover (for the types of Stratocumulus and Stratus) and high cloud cover (for the type Cirrus).
Keywords: global warming, cosmic rays, cloud covers.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
364
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
1. PENDAHULUAN Perubahan temperatur permukaan bumi tidak hanya melalui peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer namun juga bisa disebabkan oleh aktivitas matahari. Ada tiga mekanisme utama yang menghubungkan variabilitas matahari dengan perubahan iklim yaitu perubahan laju pemanasan atmosfer yang mengakibatkan perubahan di stratosfer oleh peningkatan radiasi ultraviolet, aktivitas magnetik, dan efek sinar kosmik yang mempengaruhi temperatur permukaan melalui tutupan awan ( HYPERLINK \l "Car02" Carslaw dkk., 2002 ). Awan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi temperatur global dan salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah sinar kosmik. Oleh karena itu perlu dikaji hubungan sinar kosmik terhadap variasi spasial dan temporal tutupan awan. Selain itu peningkatan aktivitas matahari juga menyebabkan berkurangnya radiasi sinar kosmik yang berpengaruh terhadap proses pembentukan awan Dickinson, 1975). Kemudian intensitas fluks sinar kosmik juga dimodulasi oleh variasi aktivitas matahari. Hal ini dapat mempengaruhi tutupan awan global dan dengan demikian juga mempengaruhi suhu permukaan global dengan mengubah inti kondensasi awan ( HYPERLINK \l "Sve97" Svensmark dan Friss-Christensen, 1997 ). Sinar kosmik sendiri terdiri dari 90% proton, 9% partikel alpha seperti hidrogen, helium dan sisanya adalah partikel kecil lainnya seperti elektron. Selain itu sinar kosmik dan aktivitas geomagnetik yang mempengaruhi sirkuit listrik atmosfer global mempengaruhi proses pembentukan awan lewat proses mikrofisika Carslaw dkk., 2002). Awan dipengaruhi radiasi yang terintegrasi vertikal dari atmosfer yang mengalami pendinginan melalui refleksi gelombang pendek yang masuk, dan melalui pemanasan oleh gelombang panjang yang terperangkap ( HYPERLINK \l "Sve00" Svensmark, 2000 ). Menurut Yu (2002) hubungan sinar kosmik dan pembentukan awan dipengaruhi mekanisme ion-aerosol clear-air mechanism dan mekanisme lain yang diajukan oleh Carslaw (2002) adalah ion-aerosol near-cloud mechanism. Marsh dan Svensmark (2000) menambahkan bahwa sinar kosmik lebih berkorelasi dengan awan rendah, hal ini dikarenakan awan rendah sangat sensitif terhadap distribusi aerosol. Jika terjadi peningkatan sinar kosmik maka akan menyebabkan meningkatnya aerosol dan meningkat pula inti kondensasi awan yang menyebabkan semakin banyak proses pembentukan awan. Dengan demikian sinar kosmik memiliki pengaruh terhadap sifat awan global dan sangat berpotensi terhadap iklim bumi melalui perubahan temperatur yang disebabkan oleh awan. Oleh karena itu hal ini perlu untuk dikaji lebih lanjut untuk mengetahui hubungan sinar kosmik terhadap variasi spasial dan temporal tutupan awan.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
365
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
2. TINJAUAN PUSTAKA a. Hubungan Bumi dengan Matahari Matahari adalah sumber utama energi bagi bumi yang berperan dalam memanaskan bumi dan mendorong gerakan atmosfer. Radiasi matahari selama sebelas tahun terakhir memiliki variasi hanya 0,1% dan dapat mendorong perubahan besar dalam pola cuaca di bumi dan cukup untuk perubahan suhu rata-rata global sekitar 0,1 K D'Aleo, 2011). Selain itu peningkatan radiasi matahari dapat berpengaruh terhadap sinar kosmik yang dapat mempengaruhi proses pembentukan awan, badai elektrifikasi dan proses termodinamika ( HYPERLINK \l "Pal00" Palle dan Butler, 2000 ).
Fluks sinar kosmik dimodulasi dalam ruang antarplanet oleh perubahan medan magnet yang terdapat dalam angin matahari dengan modulasi yang lebih besar untuk energi yang lebih rendah Fluckiger dkk., 1986). Medan magnet bumi membatasi partikel berenergi rendah untuk lintang geomagnet yang lebih tinggi, jadi hanya sinar kosmik dengan 10GeV/nukleon yang dapat menembus atmosfer magnetik ekuator ( HYPERLINK \l "Baz00" Bazilevskaya dkk., 2000 ). Sebuah aspek kunci dari efek matahari pada iklim adalah efek tidak langsung pada fluks sinar kosmik ke atmosfer. Medan magnet sebagai pelindung atmosfer dari radiasi matahari ketika angin matahari meningkat yang kemudian akan mempengaruhi tutupan awan rendah begitu juga sebaliknya D'Aleo, 2011).
b. Hubungan Sinar Kosmik dengan Tutupan Awan Komponen utama sinar kosmik terdiri dari proton energi tinggi yang dihasilkan oleh supernova dan sumber energi lainnya di galaksi ini ( HYPERLINK \l "Car02" Carslaw dkk., 2002 ). Awan dipengaruhi radiasi yang terintegrasi vertikal dari atmosfer yang mengalami pendinginan melalui refleksi gelombang pendek yang masuk, dan mengalami pemanasan oleh gelombang panjang yang terperangkap Svensmark, 2000). Dengan demikian pengaruh matahari melalui sinar kosmik signifikan terhadap sifat awan global dan sangat penting untuk iklim bumi ( HYPERLINK \l "Sve97" Svensmark dan Friss-Christensen, 1997 ). Sebuah korelasi positif ditemukan antara fluks sinar kosmik dan tutupan awan di bumi Svensmark dan FrissChristensen, 1997). Marsh dan Svensmark (2000) juga mengatakan bahwa 3-4% perubahan tutupan awan rendah berkorelasi dengan sinar kosmik di seluruh periode, sedangkan untuk awan menengah dan tinggi memiliki korelasi yang tidak jelas seperti ditunjukkan pada gambar 2.1. Hal ini dikarenakan awan rendah bersifat hangat terdiri dari inti tetes air dan aerosol. Radiasi awan rendah sangat sensitif terhadap distribusi aerosol. Jika terjadi peningkatan sinar kosmik, laju Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
366
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
ionisiai aerosol akan meningkat dan inti kondensasi awan juga akan meningkat yang menyebabkan semakin banyak proses pembentukan awan ( HYPERLINK \l "Har93" Hartmann, 1993 ). Peningkatan laju ionisasi sinar kosmik menyebabkan peningkatan produksi Condensation Nuclei (CN) di troposfer yang lebih rendah (>680 hPa), tetapi mengalami penurunan produksi CN di troposfer atas (<440 hPa). Troposfer yang lebih rendah laju ionisasinya rendah dan konsentrasi asam sulfat relatif tinggi sehingga formasi partikel dibatasi oleh laju ionisasi dan peningkatan laju ionisasi menyebabkan peningkatan nukleasi. Sedangkan di troposfer atas laju ionisasi sangat tinggi namun konsentrasi asam sulfat relatif rendah sehingga formasi partikel dibatasi oleh konsentrasi asam sulfat dan penurunan laju ionisasi menyebabkan penghambatan nukleasi Clarke dkk., 1999).
Gambar 2.1:
Rata-rata global anomali awan bulanan untuk (a) tinggi (<440 hPa), (b) tengah
(440-680 hPa), dan (c) rendah (>680 hPa) tutupan awan (biru) dan sinar kosmik (merah) merupakan jumlah neutron yang diamati di Huancayo dan dinormalisasi ( HYPERLINK \l "Mar001" Marsh dan Svensmark, 2000 )
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
367
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 2.2: Hubungan antara sinar kosmik, CN, CCN dan awan Yu, 2002)
Gambar 2.2 menunjukkan tiga proses kunci yang terlibat dalam hipotesis sinar kosmikCN-CCN-awan. Proses kunci yang pertama adalah bahwa modulasi sinar kosmik oleh siklus matahari akan menyebabkan variasi penting dalam produksi aerosol dan populasi CN di bagian bawah atmosfer melalui proses ionisasi. Proses kunci yang kedua adalah bahwa perubahan sistematis dalam tingkat produksi partikel ultrafine dengan ukuran 0,001 μm yang mempercepat laju pertumbuhan populasi Cloud Codensation Nuclei (CCN). Proses ketiga ialah bahwa perubahan dalam populasi CCN akan mempengaruhi pembentukan awan ( HYPERLINK \l "YuF02" Yu, 2002 ).
3. DATA DAN METODOLOGI a. Data 1) Sinar Kosmik Data
sinar
kosmik
diperoleh
dari
http://www.ngdc.noaa.gov/stp/space-
weather/interplanetary-data/cosmic-rays. 2) Tutupan Awan Data tutupan awan diperoleh dari ftp://ftp.cgd.ucar.edu/archive/ISCCP/. Klasifikasi awan menurut ISCCP (International Satellite Cloud Climatology Project) ditunjukkan gambar berikut:
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
368
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
ISCCP Cloud Classification
Gambar 3.1: Klasifikasi awan ISCCP ( HYPERLINK \l "Ros99" Rossow dan Schiffer, 1999 ).
b. Metode Metode yang digunakan adalah desktriptif analitis. Langkah-langkah penelitian yang dilakukan meliputi persiapan dan pengolahan data seperti ditunjukkan Gambar 3.2.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
369
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Gambar 3.2: Diagram alir penelitian
1) Anomali Data Deret data dikurangi dengan rata-rata deret data dengan menggunakan persamaan (3-1) ( , ) = ( , ) − ̅( , )
(3-1)
( , ) adalah variabel data setelah anomali.
2) Ekstraksi Pola Spasial dan Temporal Tutupan Awan Ekstraksi pola spasial dan temporal dapat dilakukan dengan menggunakan analisis EOT (Empirical Orthogonal Teleconnection). EOT digunakan untuk menggambarkan, berturutturut, pola spasial seperti yang dilakukan oleh Dool (1999). Untuk korelasi temporal dilakukan perata-rataan secara global dari hasil korelasi spasial.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 4.1 menunjukkan korelasi spasial dan temporal sinar kosmik dengan tutupan awan. Gambar tersebut mengindikasikan adanya korelasi positif antara sinar kosmik dan tutupan awan rendah.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
370
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
a.)
b.)
c.)
Gambar 4.1:
Korelasi spasial antara sinar kosmik dan tutupan awan rendah a.) cumulus, b.) strato cumulus, c.) stratus
Hal ini disebabkan oleh mekanisme ion-aerosol clear-air (Gambar 2.3) dan sesuai dengan pernyataan Marsh dan Svensmark (2000) bahwa sinar kosmik lebih berkorelasi dengan awan rendah. Menurut Marsh dan Svensmark (2000) sinar kosmik berkorelasi positif dengan tutupan awan rendah karena awan rendah sangat sensitif terhadap distribusi aerosol. Jika terjadi peningkatan sinar kosmik maka laju ionisasi aerosol akan meningkat dan inti kondensasi awan juga akan meningkat yang menyebabkan semakin banyak proses pembentukan awan. Korelasi antara sinar kosmik dan tutupan awan rendah untuk jenis cumulus, strato cumulus, dan stratus setelah dirata-ratakan global berturut-turut adalah -0,229;, 0,309;, dan 0,232. Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
371
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
a.)
b.)
c.)
Gambar 4.2:
Korelasi spasial antara sinar kosmik dan tutupan awan tengah a.) alto cumulus, b.) alto stratus, c.) nimbo stratus
Tutupan awan tengah hampir di seluruh dunia memiliki korelasi negatif, karena tutupan awan tengah dan sinar kosmik tidak memliki korelasi yang jelas seperti ditunjukkan oleh Gambar 4.2. Korelasi temporal antara sinar kosmik dan tutupan awan menengah untuk jenis alto cumulus, alto stratus, dan nimbo stratus berturut-turut adalah -0,519;, -0,296;, dan 0,047. Untuk awan tinggi hanya awan cirrus yang memiliki korelasi positif yang tinggi. Seperti ditunjukkan oleh Gambar 4.3.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
372
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
a.)
b.)
c.)
Gambar 4.3:
Korelasi spasial antara sinar kosmik dan tutupan awan tinggi a.) cirrus, b.) cirro stratus, c.) deep convection
Mekanisme ion-aerosol near-cloud ditengarai menjadi penyebab korelasi positif antara sinar kosmik dan awan cirrus. Mekanisme ini diusulkan oleh Carslaw (2002). Mekanisme ini menunjukkan adanya gangguan di daerah elektrisitas yang disebabkan bagian atas dari lapisan awan yang tipis menjadi lebih bermuatan positif daripada udara di sekitarnya yang berada di sekitar 200 m di atas awan. Di dalam awan ion yang kecil akan dihapus oleh tetes awan dan konduktivitas listrik juga berkurang. Meskipun efek elektrisitas lemah di dalam awan, namun efek elektrisitas ini dan medan magnet akan terus ada karena pengaruhi sinar kosmik. Efek dari ionisasi sinar kosmik pada partikel aerosol di batas awan adalah laju ionisasi lokal sebanding Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
373
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
dengan intensitas sinar kosmik. Dengan demikian ruang bermuatan secara langsung dipengaruhi oleh laju ionisasi. Hal ini kemudian mempengaruhi elektrisitas atmosfer, sehingga kecepatan gerak ion ke dalam batas awan juga dipengaruhi oleh sinar kosmik dan ionisasi sinar kosmik memodulasi muatan aerosol di sekitar awan (Carslaw, 2002).
Gambar 4.4: Mekanisme ion-aerosol near-cloud yang memperlihatkan perkembangan aerosol bermuatan di lapisan awan, yang mungkin berpindah ke dalam awan dan memungkinkan meningkaatkan formasi partikel es. (Carslaw, 2002)
5. KESIMPULAN Secara global, variasi sinar kosmik mempunyai korelasi positif dengan fraksi tutupan awan rendah jenis Stratocumulus dan Stratus, serta awan tinggi jenis Cirrus dalam periode 1984 sampai tahun 2000. Hasil ini konsisten dengan temuan Marsh dan Svensmark (2000) yang menggunakan data dari tahun 1984 sampai 1995. Selebihnya, kajian ini mengungkapkan bahwa nilai korelasi positif yang tinggi antara sinar kosmik dengan tutupan awan hanya berlaku di wilayah yang fraksi tutupan awannya secara rata-rata rendah (kurang dari 10%), di mana pengaruh dinamika atmosfer lokal dalam proses pembentukan awan dapat dianggap cukup lemah sehingga sinar kosmik dapat secara efektif mempercepat/memperbanyak proses pembentukan proses pembentukan inti kondensasi awan.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Bapak Dr. Tri Wahyu Hadi dan Bapak Dr. Dhani Herdiwijaya sebagai pembimbing penelitian ini.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
374
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
DAFTAR PUSTAKA Bazilevskaya, G.A., Krainev, M.B., dan Makhmutov, V.S., 2000, "Effects of cosmic rays on the Earth's environment", J. Atmos. Solar-Terr. Phys., 62, 1577-1586 Carslaw, K.S., Harrison, R.G., dan Kirkoleh, J., 2002, "Cosmic rays, clouds, and climate", Science, 298, 1732-1737 Clarke, A.D., Kapustin, V.N., Eisele, F.L., Weber, R.J., dan McMurry, P.H., 1999, "Particle production near marine cloud's: Sulfiuric acid and predictions from classical binary nucleation", Geophys. Res. Lett., 26, 2425-2428 D'Aleo, J., 2011, "Solar changes and the climate", Climate Science, 10, 253-276 Dickinson, R.E., 1975, "Solar variability and the lower atmosphere", Bull. Amer. Meteor. Soc., 56, 1250-1248 Fluckiger, E.O., Smart, D.F., dan Shea, M.A., 1986, "A procedure for estimating the changes in cosmic ray cutoff rigidities and asymptotic directions at low and middle altitudes during periods of enhanced geomagnetic activity", J. Geophys. Res., 91, 7925-7930 Hartmann, D.L., 1993, Radiative effects of clouds on Earth's climate", Aerosol Cloud-Climate Interaction, 33-73 Marsh, N.D. dan Svensmark, H., 2000, "Low cloud properties influenced oleh cosmic rays", Phys. Rev. Lett., 85, 5004-5007 Palle, E. dan Butler, C.J., 2000, "The influence of cosmic rays on terrestrial cloud and global warming", Astron. Geophys., 41, 18-22 Rossow, W.B. dan Schiffer, R.A., 1999, "Advances in understanding clouds from ISCCP", Bull. Amer. Meteor. Soc, 80, 2261-2287 Svensmark, H., 2000, "Cosmis rays and earth's climate", Spa. Scie. Rev., 93, 155-166 ___________ dan Friss-Christensen, E., 1997, "Variation of cosmic ray flux and global cloud coverage-a missing link in solar-climate relationship", J. Atmos. Solar-Terr. Phys, 59, 1225-1232 Yu, F., 2002, "Altitude variations of cosmic ray induced production of aerosol: Implication for global cloudiness and climate", Geophys. Res. Lett, 107, 1-10
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
375
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
SUHU EKSTRIM TINGGI DARATAN AUSTRALIA SEBAGAI INDIKATOR MUSIM KEMARAU BASAH DI PULAU JAWA (THE AUSTRALIA CONTINENT EXTREMELY HIGH TEMPERATURE AS INDICATOR OF WET DRY SEASON OVER JAVA ISLAND) Santi Oktariyandari, Afendi Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah II Ciputat E-mail:
[email protected];
[email protected]
ABSTRAK Suhu ekstrim tinggi daratan Australia 2013 menandakan radiasi matahari diterima wilayah tersebut sangat tinggi, begitu juga dengan yang diterima oleh samudera Hindia Selatan Jawa (lautan) pada lintang geografis yang sama. Seiring berjalannya waktu suhu daratan Australia cepat berubah menurun, namun pada lautan radiasi yang diterima tersebut dilepaskan kembali secara perlahan, sehingga suhu lautan tetap hangat dalam waktu relatif lebih lama. Metode analisis data suhu permukaan laut (SPL) dan anomalinya selama periode AprilSeptember 2014 digunakan pada penelitian ini. Hasil menunjukkan bahwa SPL sangat hangat sekitar 29 °C -31 °C dan anomaly +1 °C hingga +1,5 °C. Kondisi ini mengakibatkan lautan menjadi sumber pasokan uap air. Berdasarkan analisis wind gradient dan angin rata-rata bulanan pada ketinggian 850 hPa serta anomalinya selama periode tersebut diperoleh hasil bahwa pola-pola angin timuran (Timur dan Tenggara) adalah yang menunjang transfer uap air ke arah pulau Jawa. Berdasarkan analisis kedua jenis data tersebut maka pasokan uap air yang ada di lautan berpindah ke Jawa. Hal ini berakibat Jawa bagian Barat dan Tengah mengalami curah hujan di atas normal, meskipun pada musim kemarau periode April-Agustus 2014. Frekuensi kejadian curah hujan di atas normal terbanyak terjadi pada bulan Juli sebesar 70% seperti terlihat pada hasil analisis data hujan bulanan dari 217 pos-pos pengamatan hujan utama yang tersebar di wilayah tersebut. Kata Kunci: Gradien wind, SPL, Anomali, Suhu ekstrim tinggi, Di atas normal
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
376
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
ABSTRACT The Australia continent extremely high temperature in 2013 indicate the very high solar radiation received oleh the region. With a similar latitude, the Indian Ocean that is located in south of Java also have the same condition. A long the time, temperature of Australia continent rapidly decreases, but the ocean gradually, so sea surface temperature steady warm for longer time. The analysis of sea surface temperature data (SST) and its anomalies during April to September 2014 were used in this research and the result shows that the SST over the region was very warm at around 25°C to 30 °C and the anomalies between +1°C to +1.5 °C that produced abundant water vapour. Based on the analysis of gradient wind, monthly wind average of 850 hPa and its anomalies during the period shows the easterlies pattern (east and southeast), that support water vapour transfered toward over Java Island, and make the rainfall over West and Central Java at above normal condition. The observational data from 217 rain gauges shows that the highest rainfall was recorded in July with 70 % frequency of above normal condition. Key words: Gradient wind, SST, Anomaly, Extremely high temperature, Above normal
1. PENDAHULUAN Sepanjang tahun 2013 daratan Australia mengalami suhu tinggi hingga mencapai 1,2 °C di atas rata-rata periode 1961-1990. Penyimpangan terendah yang pernah terjadi tidak pernah kurang dari 0,5 °C dan tertinggi terjadi pada periode Juli-Oktober. Puncak suhu terjadi pada September yang mencapai 2,7 °C. Keadaan ini menyatakan tahun 2013 merupakan tahun terpanas sepanjang catatan iklim Australia meskipun tanpa adanya kejadian El-Nino di Pasifik tropis. Pada kondisi normal suhu tinggi di daratan Australia selalu bersamaan dengan adanya fenomena El-Nino di Pasifik tropis (BOM Australia, 2014). Suhu tinggi daratan Australia 2013 memberikan kontribusi atas terjadinya curah hujan sangat lebat (> 100 mm/hari) pada musim hujan 2013/2014 di pulau Jawa bagian Barat dan Tengah (Afendi et al, 2014), dan diindikasi memberikan dampak yang sama terhadap intensitas curah hujan pada musim kemarau (AprilSeptember) 2014 di lokasi yang sama. Kondisi ini berpengaruh pada musim kemarau 2014 yang bersifat lebih basah dari keadaan rata-rata periode 1981-2010 meskipun pada waktu yang bersamaan di samudera Pasifik tropis terlihat ada gejala pertumbuhan El-Nino yang konotasinya mengakibatkan curah hujan di Jawa berkurang. Pancaran radiasi matahari terhadap permukaan bumi yang tidak homogen (daratan dan lautan) mengakibatkan terjadinya perbedaan suhu (panas) di daratan dan lautan. Daratan relatif lebih cepat menyerap dan melepaskan kembali panas yang diterima dari pada lautan. Lautan memiliki sifat menyerap panas yang diterima secara perlahan, mengumpulkan dan kemudian Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
377
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
melepaskannya kembali secara perlahan juga. Ketika daratan Australia mengalami suhu tinggi yang berarti perairan Australia dan samudera Hindia Selatan telah menerima pemanasan dan mengakumulasikannya sampai dengan kapasitasnya, disamping sebagian dilepaskannya kembali. Pada waktu suhu daratan Australia mencapai 41.8-45.8 °C di Hobart 4 Januari dan Sydney pada 18 Januari dan 49.6 °C di Moomba pada 12 Januari yang merupakan suhu terpanas sejak 1998 (BOM Australia, 2014). Pada waktu yang sama suhu permukaan laut samudra Hindia mencapai sekitar 29-30 °C dengan anomali +0,5 hingga +1 °C, dan terdapat sebagian anomali negatif -0,5 hingga -1 °C. Pada bulan Juni ketika matahari berada di BBU suhu daratan Australia sudah menurun drastis tercatat sekitar 35 °C (BOM Australia, 2014), sementara di samudera Hindia Selatan SPL masih sekitar 29-30.°C. Secara perlahan samudera Hindia Selatan melepaskan kembali panas yang telah diterimanya. SPL di samudera Hindia Selatan tetap hangat dan ada dalam keadaan lebih hangat dari keadaan rata-rata periode 1981-2010, dengan anomali sekitar +1 °C hingga +1,5 °C. Anomali positif ini diindikasi secara tidak langsung sebagai penyebab musim kemarau 2014 di Jawa bagian Barat dan Tengah bersifat basah (di atas normal), karena anomali positif tersebut terkait dengan fenomena suhu tinggi daratan Australia 2013. Munculnya fenomena Dipole Mode (DM) negatif dengan indeks berkisar antara -0,5 hingga -0,75 pada bulan-bulan musim kemarau (Juni, Juli, Agustus) juga diindikasi sebagai implikasi dari anomali positif SPL samudera Hindia Selatan (perairan Barat Sumatera), yang mengakibatkan tekanan udara perairan Barat Sumatera lebih rendah dari tekanan udara di pantai Timur Afrika. Hal ini berakibat terjadinya fenomena DM negatif yang membuat sifat curah hujan di Indonesia lebih basah. Secara tidak langsung fenomena DM negatif pada bulanbulan musim kemarau 2014 merupakan dampak kejadian suhu tinggi daratan Australia 2013. Tujuan penelitian ini dilakukan adalah menganalisis kebenaran pernyataan dari Bureau of Meteorology Australia (BOM) bahwa kejadian suhu tinggi daratan Australia tanpa disertai fenomena El Nino di Pasifik tropis diprediksi akan lebih sering terjadi (BOM Australia, 2014) . Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan peringatan dini akan terjadinya curah hujan musim kemarau di atas normal dari keadaan rata-ratanya di wilayah Jawa bagian Barat dan Tengah.
2. LANDASAN TEORI/ TINJAUAN PUSAKA Permukaan laut akan mengalami tegangan (stress) apabila tertiup oleh angin. Stress yang dialami terdiri atas dua komponen, yaitu: stress rotasional dan divergence atau disebut Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
378
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
dengan wind stress curl dan wind stress divergence. Angin permukaan yang terus menerus (prevailing wind) mempengaruhi permukaan laut maka stress yang ditimbulkannya akan mengakibatkan pergerakan air laut. Gerakan-gerakan air laut akibat pengaruh kedua komponen stress tersebut merupakan gerakan dalam arah horizontal dan vertical. Gerakan horizontal air laut membentuk pola sirkulasi siklonik dan anti-siklonik, sedangkan gerakan vertical membentuk pergerakan air laut dari lapisan bawah ke permukaan (upwelling) dan dari permukaan ke lapisan bawah (downwelling), sehingga akibat prevailing wind mengakibatkan suatu sirkulasi air laut yang sangat kompleks (Sverdrup et al, 1942). Efek lebih lanjut yang ditimbulkan dari stress dan pergerakan air laut tersebut mengakibatkan transport air laut dari satu tempat ke tempat yang lain. Gerakan horizontal yang membentuk pola sirkulasi siklonik merupakan daerah tumpukan massa air laut yang lebih ringan dan panas yang pada akhirnya akan bergerak ke bawah sebagai downwelling. Gerakan yang membentuk pola sirkulasi anti-siklonik merupakan daerah penyebaran massa air laut permukaan yang ditransfer ke daerah downwelling tersebut. Daerah ini mengalami defisit massa air laut dibanding sekitarnya dan diisi oleh massa air laut yang lebih berat dan dingin di bawahnya karena perbedaan suhu terhadap kedalaman lapisan air laut tersebut. Prevailing wind mengakibatkan distribusi SPL bervariasi. Daerah gerakan siklonik merupakan daerah downwelling dengan SPL lebih panas (lebih hangat), sedangkan anti-siklonik merupakan daerah upwelling dengan suhu lebih dingin (Sverdrup et al, 1942). SPL yang hangat atau dan memiliki anomali positif mengindikasikan bahwa persediaan uap air di atmosfer cukup memenuhi untuk terbentuknya awan dan hujan (BMKG, 2014). Hangatnya SPL samudera Hindia Selatan diawali dengan terjadinya suhu tinggi ekstrim di daratan Australia karena daratan menerima dan memantulkan kembali panas yang diterimanya lebih cepat dari pada lautan. Disamping itu dengan memperhatikan karakteristik lautan seperti tersebut di atas, maka memungkinkan untuk memprediksi bahwa dalam beberapa bulan berikutnya akan terjadi suhu panas di samudera Hindia Selatan. Sehingga Fenomena suhu tinggi ekstrim daratan Australia dapat dijadikan indikator dalam memprediksi curah hujan di atas normal pada musim kemarau di Jawa.
3. DATA DAN METODOLOGI Data yang digunakan pada penelitian merupakan data sekunder yang terdiri atas data curah hujan bulanan yang berasal dari pos pengamataan hujan selama bulan April-September 2014 di wilayah Jawa bagian Barat dan Tengah, Gradient Wind wilayah Australia-IndonesiaAsia bulan April-September 2014, pola angin rata-rata bulanan dan anomali bulan AprilSeminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
379
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
September 2014 pada lapisan 850 hPa wilayah Australia-Indonesia-Asia, SPL global mingguan dan anomali bulan April-September 2014, suhu daratan Australia bulan Januari-Agustus 2014. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitik. Analisis yang dilakukan dengan mengidentifikasi pola SPL mingguan dan anomalinya, gradient wind dan pola angin rata-rata serta anomalinya serta sebaran curah hujan di wilayah Jawa bagian Barat dan Tengah. Analisis terhadap suhu udara tinggi daratan Australia, pola SPL atau anomalinya di samudera Hindia Selatan, pola gradient wind wilayah Australia-Indonesia-asia yang bersifat prevailing, maka dapat diketahui faktor-faktor signifikan yang mempengaruhi kondisi sifat hujan pada musim kemarau di pulau Jawa.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Secara umum gradient wind membentuk pola gerakan angin Timur-Tenggara (timuran) dengan kecepatan 15-30 knots di wilayah samudera Hindia Selatan Jawa pada periode MeiSeptember 2014. Pada bulan April angin bervariasi antara Timur-Tenggara dan Barat-Barat Laut khususnya di atas pulau Jawa dengan kecepatan 5-15 knots. Gradient wind sangat berpengaruh terhadap sirkulasi air laut. Angin ini yang mengakibatkan terjadinya upwelling dan downwelling di lautan. Sebagai contoh terlihat pola upwelling pada gambar anomali SPL 12 Januari 2014.
Sumber: weather.unisys.com. Gambar 4-1: Anomali SPL yang merepresentasikan sirkulasi upwelling di samudra Hindia selatan Jawa (dalam lingkaran garis merah).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
380
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Angin rata-rata bulanan lapisan 850 hPa periode April-September di wilayah samudera Hindia Selatan Jawa secara umum memiliki pola serupa yaitu angin timuran, pada domain ≥ 10 °S memiliki kecepatan 5-10 knots, sedangkan pada 10 °LU-equator kecepatan 0-5 knots. Sedangkan anomali pada domain ≥ 10 °LS antara 0-5 knots dan 10 °LU-equator memiliki anomali arah variabel dengan kecepatan 0-5 knots, sebagai ilustrasi terlihat pada Gambar 4-2. Angin timuran lapisan ini mentransfer uap air samudra Hindia Selatan Jawa ke Utara (pulau Jawa). Apabila persediaan uap air samudra Hindia Selatan Jawa cukup banyak maka akan terjadi banyak hujan di Jawa.
Sumber: www.bom.gov.au Gambar 4-2: Pola angin rata-rata bulanan (kiri) dan anomali (kanan) lower level 850 hpa bulan Juli 2014. Analisis terhadap SPL samudera Hindia Selatan bulan April-September 2014 memperlihatkan bahwa secara garis besar selama periode tersebut SPL terbagi dalam 3 periode, yaitu: periode April-Juni (sebagai ilustrasi periode tersebut diperlihatkan gambar pada tanggal 13 April 2014); Juli-Agustus (9 Agustus 2014), dan September (13 September 2014).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
381
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Sumber: weather.unisys.com Gambar 4-3: SPL 13 April 2014 (kiri); Gambar 4-4: SPL 9 Agustus 2014 (kanan).
Pada April-Juni memperlihatkan bahwa SPL bervariasi antara 29-31°C (Gambar 4-3); Juli-Agustus antara 27- 28°C (Gambar 4-4); dan September antara 25- 26°C (Gambar 4-5). SPL April-Juni termasuk dalam katagori tinggi (hangat) sehingga dapat memberikan suplai uap air yang banyak dan memungkinkan terjadi banyak hujan, Juli-Agustus suplai uap air yang cukup, dan September kurang.
Sumber: weather.unisys.com Gambar 4-5: SPL 13 September 2014
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
382
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Sumber: weather.unisys.com Gambar 4-6: Anomali SPL 1 Juni 2014 (kiri); Gambar 4-7: Anomali SPL 24 Agustus (kanan) Sedangkan Anomali SPL samudera Hindia Selatan terbagi dalam 2 periode, yaitu: Aprilpertengahan Agustus dengan anomali bervariasi antara +1°C hingga +1,5°C dan di perairan Australia barat antara +2°C hingga +2,5°C (sebagai ilustrasi periode tersebut diperlihatkan gambar anomaly SST tanggal 1 Juni 2014/Gambar 4-6); pada pertengahanAgustusSeptember anomali menurun drastis antara -1°C hingga -1,5°C (24 Agustus 2014/Gambar 47). Berdasarkan analisis kedua unsur tersebut di atas memperlihatkan bahwa pasokan uap air dari samudera Hindia Selatan Jawa pada April-Juli masih cukup untuk menjadikan hujan, sedangkan Agustus-September kurang. Pos pengamatan hujan di Jawa bagian Barat dan Tengah yang digunakan dalam penelitian berjumlah 217 pos, yang tersebar di propinsi Banten-DKI (6 kabupaten) sebanyak 36 pos, Jawa Barat (16 kabupaten) 85 pos, dan Jawa Tengah (27 kabupaten) 96 pos. Pos pengamatan hujan yang digunakan tersebut sebagian besar merupakan pos-pos hujan utama, artinya pos-pos tersebut digunakan BMKG dalam menentukan analisis dan prakiraan hujan dan musim di Indonesia baik mengenai kuantitas maupun sifatnya. Hasil pengolahan data hujan periode April-September 2014 memperlihatkan bahwa di Jawa bagian Barat dan Tengah pada umumnya mengalami curah hujan di atas normal dengan jumlah kejadian bervariasi pada setiap bulannya, kecuali daerah Jawa Barat pada bulan Sepember tidak ditemui catatan hujan dengan sifat di atas normal. Daerah Banten-DKI curah hujan di atas normal terbanyak (maksimum) terjadi pada bulan Juli dengan 25 kejadian dan tersedikit (minimum) 3 kejadian pada September. Jawa Tengah (Jateng) maksimum 68 pada Juli dan minimum 3 pada September, sedangkan Jawa Barat (Jabar) maksimum 58 pada Juli. Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
383
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Secara prosentase baik untuk masing-masing propinsi maupun keseluruhan Banten-DKI-JabarJateng kejadian maksimum di atas normal terjadi pada bulan Juli dan minimum pada September. Prosentase kejadian maksimum di Banten-Jabar-Jateng mencapai 70% dan minimum 3%. Masing-masing propinsi kejadian maksimum di Banten-DKI 69% dan minimum 3%, Jabar maksimum 68% minimum 0%, dan Jateng maksimum 68% minimum 3%. Hasil selengkapnya terlihat seperti pada Tabel 4-1.
Tabel 4-1: Jumlah kejadian dan prosentase curah hujan di atas normal di propinsi Banten-DKI, Jawa Barat dan Jawa Tengah
Propinsi
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
Sep
Jumlah Pos
Jml
%
Jml
%
Jml
% Jml
%
Jml
%
Jml
%
Banten-DKI 12
33
18
50
24
67
25
69
14
39
3
8
36
Jabar
46
54
34
40
47
55
58
68
41
48
0
0
85
Jateng
40
42
23
24
63
66
68
71
28
29
3
3
96
Total
98
45
75
35
134 62 151
70
83
38
6
3
217
Seperti data yang terlihat pada Tabel 4-1 dapat dinyatakan bahwa pada bulan-bulan musim kemarau tahun 2014 wilayah Jawa bagian Barat dan Tengah mengalami curah hujan di atas normal, atau dapat dikatakan musim kemarau basah kecuali pada bulan September. Tingkat prosentase basah di wilayah tersebut pada periode April-Agustus bervariasi antara 35% hingga 70%, sedangkan September hanya 3% di atas normal, selebihnya di bawah normal sehingga tidak dapat dikatakan bulan kemarau basah. Prosentase kejadian di atas normal ≥ 55% terjadi pada bulan Juni dan Juli, dengan prosentase maksimum terjadi pada bulan Juli 70%. Prosentase tertinggi ini terjadi baik secara keseluruhan wilayah (Banten-DKI-Jabar-Jateng) maupun kejadian per propinsi. Sesuai dengan kondisi gradient wind, lower level 850 hPa yang bertiup dari arah TimurTenggara dan anomalinya yang variabel, serta SPL samudera Hindia Selatan yang mencapai suhu tertinggi sekitar 29-31 °C pada bulan April-Juni dengan anomali April-pertengahan Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
384
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Agustus +1 hingga +1,5 °C, maka curah hujan maksimum di Jawa bagian Barat dan Tengah terjadi pada bulan Juli. Selanjutnya pada periode Juli-Agustus SPL menurun sekitar 27-28 °C dengan anomali pertengahan Agustus-September mencapai -1 °C hingga - 1,5 °C. Keadaan seperti ini mengakibatkan pasokan uap air dari samudra Hindia Selatan ke Jawa berkurang, sehingga pada Agustus hujan agak bekurang dan September sangat kurang . Japan Meteorology Agency (JMA) dalam laporannya pada Monthly Highlights on the Climate System (July 2014) pada 15 Agustus 2014 menyatakan bahwa telah terjadi curah hujan ekstrim tinggi (extremely heavy precipitation) di Jawa (BOM Australia, 2014). seperti pada Gambar 4-8.
Sumber: Japan Meteorology Agency (JMA) Gambar 4-8: Distribusi kejadian curah hujan ekstrim tinggi bulan Juli 2014 Selain itu, BOM melaporkan bahwa Madden Julian Oscillation (MJO) aktif di wilayah Maritime-Continent dari tanggal 8-11 Juli 2014, berarti pada periode tanggal tersebut
MJO aktif di wilayah Indonesia dan terjadi banyak hujan karena enhance convection. Meskipun terdapat laporan data pendukung yang menyatakan curah hujan di atas normal bulan Juli 2014 di Jawa bagian Barat dan Tengah adalah karena fenomena MJO, namun penulis masih dapat mengatakan bahwa faktor pasokan uap air samudera Hindia Selatan Jawa karena SPL yang hangat tetap memiliki pengaruh dominan. Keadaan ini terlihat dari pencatatan data hujan harian di Stasiun Meteorologi Cilacap, yang memperlihatkan jumlah hari hujan bulan Juli sebanyak 26 hari, dengan total hujan 708 mm (Lihat Tabel 4-2). Hujan pada periode MJO tanggal 9, 10, 11 (warna kuning pada Tabel 4.2) 230 mm, sehingga di luar periode MJO jumlah hujan 478 mm dengan jumlah hari hujan 23 hari. Jumlah hujan 478 mm di musim kemarau merupakan jumlah yang sangat besar dan masih jauh di atas normal untuk Stasiun Meteorologi Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
385
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Cilacap dengan angka normal antara 122-164 mm. Dengan demikian SPL samudera Hindia Selatan Jawa yang hangat sangat berpengaruh.
Tabel 4-2: Curah hujan harian Stasiun Meteorologi Cilacap bulan Juli 2014 Tgl.
CH
Tgl.
CH
1
56
16
1
2
21
18
9
3
52
19
16
4
4
20
3
6
10
21
30
7
14
22
ttu
9
8
23
61
10
28
24
31
11
194
25
23
12
9
26
45
13
87
27
ttu
14
4
Total
708
15
2
5. KESIMPULAN Fenomena terjadi suhu sangat tinggi daratan Australia merupakan pertanda bahwa akan terjadi SPL hangat di samudera Hindia Selatan Jawa, yang akan menjadikan wilayah tersebut sebagai sumber pasokan uap air di pulau Jawa. Sehingga mengakibatkan curah hujan di Jawa bagian Barat dan Tengah di atas normal meskipun pada musim kemarau.
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga tulisan ini dapat diselesaikan. Secara khusus kepada: Ibu Reni Kraningtyas di Stasiun
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
386
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Klimatologi Semarang, ibu Leni Jantika di Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor, Bpk Heri Setiadi di Stasiun Meteorologi Cilacap, dan Stasiun Klimatologi Pondok Betung Tangerang atas segala bantuannya.
DAFTAR RUJUKAN Afendi., Oktariyandari Santi., “Analisis kejadian curah hujan sangat tinggi di Jawa pada Januari 2014”, Prosiding Seminar Sains Atmosfer Sverdrup H. U., Martin W. Johnson, Richard H. Fleming, 1942, “The Ocean”, Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, N. J Standard Operating Procedures (SOP), 2014, “Tahapan Pembuatan Prakiraan dan Peringatan Dini Cuaca”, BMKG http://www.bom.gov.au/climate/current/annual/aus/, diakses tanggal 9 Mei 2014 http://ds.data.jma.go.jp/tcc/index.html, diakses tanggal 20 September 2014 http://www.bom.gov.au/climate/mwr/, diakses tanggal 5 Nopember 2014
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
387
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
PEMANFAATAN MODEL PREDIKSI IKLIM MUSIMAN CLIMATE PREDICTABILITY TOOL (CPT) PADA CURAH HUJAN INDONESIA SAAT KONDISI ENSO (STUDI KASUS: SUMATERA BARAT DAN NUSA TENGGARA BARAT) (UTILIZATION OF SEASONAL CLIMATE PREDICTION MODELS CLIMATE PREDICTABILITY TOOL (CPT) ON INDONESIAN RAIFALL CURRENT ENSO CONDITIONS) (STUDY CASE: WEST SUMATERA AND WEST NUSA TENGGARA) Shailla Rustiana1 dan Eddy Hermawan2 1. Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB 2.Bidang Pemodelan Atmosfer, Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN Bandung e-mail:
[email protected] dan
[email protected] 2
ABSTRAK Perubahan iklim global salah satunya fenomena ENSO berdampak pada berbagai sektor pembangunan termasuk sektor pertanian di Indonesia. Dua provinsi yang merupakan sentra produksi pangan nasional yaitu Sumatera Barat yang beriklim tropis basah dan Nusa Tenggara Barat yang beriklim tropis, rentan terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis dampak ENSO terhadap keragaman curah hujan di kedua provinsi tersebut selama 31 tahun (1982-2012). Hasil komposit anomali curah hujan, ASPL dan anomali kecepatan angin horizontal di ketinggian 850 hPa pada tahun-tahun terjadinya El Nino dan La Nina secara spasial dengan software GrADS, menunjukkan terjadi penurunan dan penambahan curah hujan dari kondisi normal di kedua provinsi tersebut pada musim SON (September-OktoberNovember). Model prediksi curah hujan musiman menggunakan software CPT dengan analisis Principal Component Regression (PCR), menghasilkan nilai koefisien komponen utama dengan variabel penduga Nino3.4 di tiga wilayah Provinsi Sumatera Barat tertinggi pada bulanbulan ASO (Agustus-September-Oktober) yang berarti kondisi El Nino dan La Nina mempengaruhi curah hujan pada musim tersebut dengan pengaruh paling tinggi di Kota Padang (0.53), sementara koefisien komponen utama pada tiga wilayah di Provinsi Nusa Tenggara Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
388
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Barat tertinggi pada bulan-bulan OND (Oktober-November-Desember) dengan pengaruh paling tinggi di Kabupaten Sumbawa (0.69). Kata kunci : CPT, Curah Hujan, El Nino, GrADS, La Nina, PCR.
ABSTRACT ENSO phenomenon is one of global climate change have an impact on various sectors including the agricultural sector in Indonesia. Some of the province which is one of the national food production centers West Sumatera are wet tropical climate and West Nusa Tenggara are tropical climate, vulnerable to climate change. Therefore it is necessary to analyze the impact of ENSO on rainfall variability in both provinces for 31 years (1982-2012). Results composite anomalies of rainfall, SST and horizontal wind speed at an altitude of 850 hPa in years condition of El Nino and La Nina spatially with software GrADS, showed a decrease and increase rainfall than normal conditions in both provinces in the SON(September-October-November) season. Seasonal rainfall prediction model using software CPT with Principal Component Regression (PCR) analyze, results coefficient principal component with variable estimation Nino3.4 in three region of the province of West Sumatra highest in ASO(August-September-October) season which means the condition of El Nino and La Nina affect precipitation in that season with highest impact in the Padang (0.53), while the coefficient principal component in three region of the West Nusa Tenggara Province highest in OND(October-November-December) season with the highest impact in Sumbawa (0.69). Keywords: CPT, El Nino, GrADS, La Nina, PCR, Rainfall
1.
PENDAHULUAN Iklim di Indonesia tidak selalu berlangsung dengan normal setiap tahunnya. Suatu saat
terjadi penurunan curah hujan sehingga mengalami kekeringan dan peningkatan curah hujan sehingga menyebabkan banjir. Salah satu penyebab perubahan curah hujan di Indonesia adalah ENSO (El Nino Southern Oscillation) dengan dua kemungkinan kejadian yaitu El Nino dan La Nina. Fenomena El Nino ditandai oleh terjadinya pergeseran kolam hangat yang diiringi oleh pergeseran lokasi pembentukan awan pada kondisi normal berada di perairan Indonesia bergerak ke arah Timur Pasifik Tengah hingga Timur). Pergeseran ini menimbulkan kekeringan yang berkepanjangan di Indonesia. Kejadian La Nina adalah kebalikan dari kejadian El Nino. Studi tentang pengaruh ENSO terhadap curah hujan di Indonesia sudah banyak dikaji. Adanya
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
389
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
pola curah hujan yang berbeda – beda pada tiap wilayah di Indonesia, maka pengaruh ENSO terhadap curah hujan di suatu wilayah juga berbeda – beda dan sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Wilayah pengamatan pada penelitian ini dilakukan di dua provinsi yang berbeda pola curah hujannya yaitu provinsi Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat. Provinsi Sumatera Barat merupakan wilayah berpola curah hujan ekuatorial dengan periode rentan terhadap perubahan iklim biasanya terjadi pada bulan Agustus - Oktober. Provinsi Nusa Tenggara Barat yang berpola curah hujan monsunal rentan terhadap perubahan iklim pada musim transisi kemarau ke musim penghujan, biasanya terjadi pada bulan September - Desember. Data yang digunakan pada penelitian ini dari Januari 1982-Desember 2012 berdasarkan tahun-tahun terjadinya El Nino dan La Nina kuat. Beberapa adaptasi terhadap dampak perubahan iklim sudah banyak dilakukan termasuk prediksi iklim salah satunya menggunakan teknik Principal Component Regression (PCR). Model prediksi iklim keluaran perangkat lunak Climate Predictability Tool (CPT) merupakan model prediksi iklim musiman berdasarkan Model Output Statistic (MOS) yang menawarkan analisis PCR. Teknik PCR merupakan teknik statistika peubah ganda yang digunakan untuk menentukan hubungan antara dua himpunan variabel (variabel penduga (x) dan variabel respon (y)). Penggunaan prediksi iklim dengan perangkat lunak CPT masih jarang dikaji di Indonesia. Keluaran perangkat ini cukup menggambarkan hasil yang simultan baik secara spasial maupun temporal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui manfaat prediksi iklim musiman dengan perangkat lunak CPT terhadap curah hujan Indonesia saat kondisi ENSO (El Nino dan La Nina) di provinsi Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat. Kedua provinsi tersebut merupakan wilayah sentra pangan nasional yang memerlukan informasi iklim yang handal.
2. LANDASAN TEORI/TINJAUAN PUSTAKA ENSO (El Nino Southern Oscilation) merupakan fenomena gabungan interaksi lautan atmosfer yang menyebabkan variasi iklim tahunan di dunia (Aldrian, 2008). Komponen lautan dari ENSO adalah El Nino dan La Nina, sedangkan komponen atmosfernya adalah Southern Oscillation (Trenberth, 1997). Istilah El Nino awalnya digunakan untuk menggambarkan keadaan tahunan arus hangat lemah yang menyusuri pantai selatan Peru dan Ekuador yang menyebabkan turunnya tangkapan ikan (Trenberth, 1997; BOM, 2014). Turunnya tangkapan ikan tersebut disebabkan oleh nutrisi yang biasanya dimunculkan ke permukaan oleh umbulan (upwelling) melemah (BOM, 2014). Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
390
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Perkembangan selanjutnya El Nino merupakan keadaan peningkatan suhu permukaan lautan (SPL) dari suhu normalnya di Pasifik Ekuator timur. La Nina adalah kejadian berkebalikan dengan El Nino yakni penurunan suhu permukaan lautan di kawasan ekuator Samudera Pasifik dari suhu normalnya (Prabowo dan Nicholls, 2002). Ketika terjadi El Nino maupun La Nina, keduanya berasosiasi dengan Southern Oscillation, sehingga fenomena ini lebih dikenal sebagai ENSO (Trenberth, 1997; Aldrian, 2008; Prabowo dan Nicholls, 2002). Aldrian dan Susanto (2003) mengelompokkan curah hujan di Indonesia menjadi 3 kelompok pola, yaitu monsunal, ekuatorial, dan lokal. Propinsi Sumatera Barat merupakan wilayah berpola curah hujan ekuatorial yang dicirikan dengan dua puncak curah hujan yaitu bulan Maret-April dan Oktober-November (saat ekuinoks), dengan curah hujan rata-rata pertahun antara 3.000 - 7.929 mm dan iklimnya termasuk tropis basah (Bappenas, 2009). Nusa Tenggara Barat merupakan wilayah beriklim tropis dan berpola curah hujan monsunal yang dicirikan dengan puncaknya berada pada bulan Januari dan Desember sementara curah hujan terendah pada bulan Juli dan Agustus. Curah hujan rata-rata Provinsi ini antara 1.000 - 2.000 mm/tahun (Bappenas, 2009). Climate Predictability Tool (CPT) adalah suatu perangkat lunak berbasis windows yang digunakan untuk mengembangkan model prediksi iklim musiman berdasarkan Model Output Statistic (MOS) (Mason, 2011). Terdapat beberapa analisis yang ditawarkan pada perangkat lunak tersebut, namun dalam penelitian ini analisis yang digunakan adalah Principal Component Regression (PCR) atau Regresi Komponen utama. PCR adalah teknik statistika peubah ganda yang digunakan untuk menentukan hubungan antara dua himpunan variabel (variabel penduga (x) dan variabel respon (y)). PCR digunakan terutama untuk mengatasi masalah multikolinieritas yang sering ditemukan akibat adanya ketergantungan peubah bebas (dependence) tanpa harus mengeluarkan peubah bebas yang terlibat hubungan kolinier (Mamenun, 2012). PCR menggunakan sejumlah komponen hasil PCA (Principle Component Analysis/Analisis Komponen Utama) dari peubah bebas dan peubah tak bebas (independence). PCA mereduksi data set yang mengandung jumlah peubah data yang besar menjadi sebuah data set yang mengandung beberapa peubah baru (koefisien PC). Koefisien PC setiap peubah bebas tersebut kemudian dilihat berdasarkan musim yang paling berpengaruh terhadap peubah tak bebas. 3. DATA DAN METODOLOGI Data yang digunakan merupakan data sekunder yang terdiri dari: data series anomali ERSST
wilayah
Niño
3.4
diperoleh
dari
website
http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/sstoi.indices; data curah hujan estimasi bulanan Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
391
ISBN: 978-979-1458-87-0
Climate
Research
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Unit
(CRU)
yang
dapat
diperoleh
di
website:
(http://badc.nerc.ac.uk/browse/badc/cru/data/cru_ts/). Data CRU memiliki resolusi 0,5ᵒ x 0,5ᵒ (Mitchell & Jones 2005); data satelit Extended Reconstructed Sea Surface Temperature V3B (ERSST), kecepatan angin zonal (Barat-Timur), meridional (Utara-Selatan) pada ketinggian 850hPa yang diperoleh dari situs resmi NOOA (http://www.esrl.nooa.gov/psd/data/gridded/); Data yang digunakan memiliki periode pengamtan bulan Januari 1982 – Desember 2012. Sementara alat yang digunakan adalah seperangkat komputer dengan perangkat lunak Microsoft Office, The Grid Analysis and Display System (GrADS) versi 2.0 yang dapat diunduh di (http://www.iges.org/) dan Climate Predictability Tools (CPT) versi 14 diperoleh dari website IRI. Wilayah pengamatan pada penelitian ini bertempat di Provinsi Sumatera Barat (Pasaman Barat, Padang, dan Solok Selatan) dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (Mataram, Sumbawa, dan Bima) seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 1. Kota Mataram
Kabupaten Sumbawa
Kota Bima
Kab. Pasaman Barat
Kota Padang Kab. Solok Selatan
Gambar 3-1: Wilayah pengamatan di Provinsi Sumatera Barat (kiri) dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (kanan).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
392
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Metodologi penelitian digambarkan melalui diagram alir di bawah: Data bulanan: anomali CH Provinsi Sumbar (Pasaman Barat, Padang, Solok Selatan) dan Provinsi NTB (Mataram, Sumbawa, Bima) yang telah diekstrak ASPL Nino 3.4 (Januari 1982-Desember 2012), anomaliCH satelit CRU, ASPL, dan anomali kecepatan angin horizontal 850 hPa perode
Analisis tahun-tahun terjadinya kondisi El Nino dan La Nina
Analisis komposit musiman curah hujan Provinsi Sumbar dan NTB saat kondisi El Nino dan La Nina secara spasial
Analisis prediksi curah hujan musiman (3 bulanan) curah hujan tiap wilayah di Provinsi Sumbar (Pasaman Barat, Padang, Solok Selatan) dan Provinsi NTB (Mataram, Sumbawa, Bima) terhadap penduga ASPL Nino3.4
Selesai Gambar 3-2: Diagram alir penelitian. 4. HASIL PEMBAHASAN Pola curah hujan di Indonesia seperti yang telah dikemukakan oleh Aldrian dan Susanto (2003), memiliki 3 kelompok pola yaitu monsunal, ekuatorial, dan lokal. Pola curah hujan pada 3 wilayah di provinsi Sumatera Barat merupakan ekuatorial yang ditunjukkan oleh Gambar 41 (kiri). Pada Gambar 4-1 tersebut terdapat dua puncak curah hujan yaitu pada bulan Maret dan November, sementara pola curah hujan 3 wilayah di provinsi Nusa Tenggara Barat adalah monsunal dengan puncak curah hujan pada bulan Januari dan Desember (Gambar 4-1 – kanan).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
393
ISBN: 978-979-1458-87-0
Pasaman Barat
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Padang
Solok Selatan
Mataram
Sumbawa
Bima
Gambar 4-1: Pola rataan curah hujan wilayah di Provinsi Sumatera Barat (kiri) dan Provinsi Nusa tenggara Barat (kanan).
Gambar 4-2: Time series anomali curah hujan wilayah pengamatan dan ASPL Nino3.4.
Data time series indeks Anomali Suhu Permukaan Laut (ASPL) Nino 3.4 menunjukkan temporal kejadian El Nino dan La Nina. Kondisi ASPL pada periode Januari 1982 hingga Desember 2012 (Gambar 4-2) menunjukkan bahwa ASPL memiliki kondisi tersendiri. Kejadian El Nino pada Gambar 4-2 tersebut ditandai dengan nilai ASPL Nino 3.4 di atas 0,5⁰C, sedangkan kejadian La Nina ditandai dengan nilai ASPL Nino 3.4 di bawah 0,5⁰C. Tabel 4-1 menyajikan tahun-tahun kejadian La Nina dan El Nino berdasarkan hasil analisis Gambar 4-2.
Tabel 4-1: TAHUN – TAHUN TERJADINYA KONDISI EL NINO DAN LA NINA BERDASARKAN HASIL ANALISIS GAMBAR 4 Kondisi
Tahun-Tahun Kejadian
El Nino
1982/1983, 1987/1988, 1997/1998, 2006/2007, 2009/2010
La Nina
1984/1985, 1988/1989, 1998/1999, 2007/2008, 2010/2011
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
394
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Tahun–tahun kejadian El Nino dan La Nina dari Tabel 4-1 tersebut kemudian dikompositkan terhadap anomali curah hujan wilayah kajian. Analisis komposit pada anomali curah hujan di Provinsi Sumatera Barat baik pada kondisi El Nino maupun La Nina maksimum terjadi pada bulan-bulan SON (September-Oktober-November), terlihat pada bulan-bulan SON adanya anomali negatif curah hujan pada kondisi El Nino hingga mencapai -200 mm/bulan dan anomali positif curah hujan hingga mencapai +200 mm/bulan (Gambar 4-3).
E l
JJA
SON
DJF
MAM
L a Gambar 4-3: Komposit anomali curah hujan (mm/bulan) musiman Provinsi Sumatera Barat saat kondisi El Nino (atas) dan La Nina (bawah).
El Nino
La Nina JJA SON DJF MAM
Gambar 4-4: Komposit anomali curah hujan (mm/bulan) musiman Provinsi NusaTenggara Barat saat kondisi El Nino (kiri) dan La Nina (kanan).
Anomali curah hujan pada provinsi Nusa Tenggara Barat juga menunjukkan hal yang sama seperti pada provinsi Sumatera Barat. Kondisi El Nino dan La Nina menurunkan dan meningkatkan anomali curah hujan dari kondisi normalnya pada bulan-bulan SON (Gambar 44). Pada bulan-bulan DJF (Desember-Januari-Februari) dari hasil analisis komposit terdapat perbedaan pada anomali curah hujan di provinsi Sumatera Barat yaitu anomali positif saat kondisi El Nino, sedangkan untuk bulan-bulan yang sama saat kondisi El Nino di provinsi Nusa Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
395
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Tenggara Barat menunjukkan penurunan curah hujan hingga mencapai -200 mm/bulan. Hal tersebut disebabkan posisi lintang dan bujur provinsi Nusa Tenggara Barat yang dekat dengan Samudera Pasifik yang merupakan pusat aktivitas ENSO. Analisis komposit juga dilakukan pada anomali suhu permukaan laut (ASPL) dan anomali kecepatan angin horizontal 850 hPa (u,v) yang ditampilkan pada Gambar 4-5. Saat kondisi El Niño (Gambar 4-4 kiri), perairan Indonesia mengalami pendinginan ASPL sedangkan perairan di Samudera Pasifik mengalami peningkatan ASPL hingga +2 oC pada bulan-bulan SON. Angin akan membawa uap air yang berpotensi menjadi awan hujan bergerak dari wilayah Indonesia yang bertekanan tinggi menuju perairan yang bertekanan rendah (perairan di Pasifik Timur hingga Tengah). Pada bulan-bulan DJF tidak semua wilayah Indonesia mengalami pendinginan ASPL. Wilayah Indonesia yang mengalami pendinginan ASPL hanya wilayah Indonesia bagian Tenggara, termasuk provinsi Nusa Tenggara Barat. Hal tersebut yang menyebabkan anomali curah hujan di provinsi Nusa tenggara Barat negatif tinggi pada bulan-bulan DJF seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4-4.
El Nino
La Nina JJA SON DJF MAM
Gambar 4-5: Komposit anomali suhu permukaan laut (oC) (kontur) dan anomali kecepatan angin horizontal (u,v;cm/s) (vektor) musiman saat kondisi El Nino (kiri) dan La Nina (kanan).
Analisis komposit ASPL dan anomali angin horizontal 850 hPa pada kondisi La Nina (Gambar 4-5 kanan) menunjukkan hal yang sebaliknya pada kondisi El Nino. Perairan Indonesia mengalami peningkatan ASPL sedangkan perairan di Samudera Pasifik mengalami pendinginan ASPL hingga -2 oC pada bulan-bulan SON. Angin horizontal membawa uap air berpotensi menjadi awan hujan bergerak dari wilayah Samudera Pasifik bagian Tengah hingga
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
396
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
ke Timur yang bertekanan tinggi menuju perairan Indonesia yang bertekanan rendah, sehingga Indonesia mendapatkan curah hujan yang lebih tinggi dari kondisi normalnya. Berdasarkan hasil spasial pada analisis komposit di atas, diketahui bahwa kondisi El Nino maupun La Nina mempengaruhi penurunan curah hujan di Indonesia terutama provinsi Sumatera Barat dan provinsi Nusa Tenggara Barat pada bulan-bulan SON. Analisis lebih lanjut terkait pengaruh ENSO terhadap curah hujan Indonesia dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak CPT. Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah Principal Component Regression (PCR) atau Regresi Komponen utama. Himpunan variabel penduga yang digunakan pada penelitian ini berupa ASPL Nino3.4 bulanan (1 bulan sebelum musim yang akan diprediksi), sedangkan variabel responnya yaitu curah hujan bulanan pada 3 wilayah di provinsi Sumatera Barat dan provinsi Nusa tenggara Barat periode Januari 1982-Desember 2012 dengan tahun prediksi 2013. Tabel 4-2: KOEFISIEN KOMPONEN UTAMA (PC) 12 PERIODE BULAN (3 BULANAN) DENGAN PENDUGA ASPL NINO3.4 PADA CURAH HUJAN DI WILAYAH PROVINSI SUMATERA BARAT Koefisien PC Musim
Pasaman Barat
Padang
Solok Selatan
JJA
0.12
0.15
0.06
JAS
0.35
0.41
0.47
ASO
0.51
0.53
0.49
SON
0.48
0.48
0.43
OND
0.25
0.32
0.34
NDJ
0.02
-0.05
-0.12
DJF
-0.13
-0.12
-0.27
JFM
-0.19
-0.26
-0.26
FMA
-0.13
-0.18
-0.15
MAM
-0.34
-0.3
-0.23
AMJ
-0.15
0.02
-0.08
MJJ
-0.32
-0.2
-0.21
Nilai koefisien PC tertinggi positif pada ketiga wilayah pengamatan di provinsi Sumatera Barat berada pada periode bulan ASO (Agustus, September, Oktober) ditunjukkan oleh Tabel 4-2. Tingginya nilai PC tiap wilayah tersebut menunjukkan tingkat responsif variabel respon terhadap variabel penduga (Adiningsih dkk., 2004). Hasil model prediksi CPT pada periode Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
397
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
bulan ASO di provinsi Sumatera Barat ditujukkan pada Gambar 4-6. Korelasi pearson pada Gambar 4-6 untuk ketiga wilayah pengamatan bernilai positif, yaitu 0,50 (Pasaman Barat), 0,53 (Padang), dan 0,47 (Solok Selatan) secara berurutan. Nilai korelasi pearson tertinggi berada pada kota Padang, sebanding dengan nilai koefisien komponen utama paling tinggi di wilayah Padang pada periode bulan ASO. Korelasi pearson yang positif menandakan curah hujan model berbanding lurus dengan curah hujan observasi, yang berarti model yang dihasilkan baik. Sebaliknya, korelasi pearson negatif menandakan curah hujan model berbanding terbalik dengan curah hujan observasi, yang berarti model yang dihasilkan buruk (Valli dkk., 2013).
Pasaman Barat Padang Solok Selatan Pasaman Barat
Padang
Solok Selatan
Gambar 4-6: Model prediksi CPT dengan penduga ASPL Nino3.4 pada periode bulan ASO di wilayah Pasaman Barat, Padang, dan Solok Selatan.
Korelasi pearson tersebut juga sebanding dengan kurva ROC (Relative Operating Caracteristic). Kurva ROC merupakan tingkat kehandalan model. Garis lurus linier pada kurva ROC merupakan garis non skill. Kurva di atas garis non skill merupakan skill positif (handal), sementara kurva dibawah garis non skill merupakan skill negatif (tidak handal) (Kadarsah, 2010). Garis series berwarna hijau dan merah merupakan perbandingan curah hujan observasi (merah) dengan curah hujan hasil simulasi model (hijau), sedangkan tanda x (cross) warna hijau merupakan nilai prediksi curah hujan tahun 2013 yang dikeluarkan model. Lapisan merah, hijau dan biru pada series menandakan batas atas normal, normal, dan bawah normal dari curah hujan berdasarkan rata-rata ketiganya. Series curah hujan model pada Gambar 4-6 hampir berhimpitan dan sama tinggi dengan curah hujan CRU pada ketiga wilayah pengamatan di provinsi Sumatera barat, begitu juga dengan kurva ROC atas normal (biru) ataupun bawah normal (merah) untuk ketiga wilayah pengamatan yang berada di atas garis non skill yang berarti model handal. Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
398
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Tabel 4-3: KOEFISIEN KOMPONEN UTAMA (PC) 12 PERODE MUSIM (3 BULANAN) DENGAN PENDUGA ASPL NINO3.4 PADA CURAH HUJAN DI WILAYAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Musim
Koefisien PC Mataram
Sumbawa
Bima
JJA
0.14
0.25
0.42
JAS
0.37
0.43
0.53
ASO
0.52
0.57
0.61
SON
0.51
0.59
0.59
OND
0.51
0.69
0.65
NDJ
0.46
0.5
0.51
DJF
0.41
0.27
0.32
JFM
0.47
0.06
0.21
FMA
0.31
0.1
0.23
MAM
-0.05
-0.01
0.08
AMJ
-0.12
0.04
0.18
MJJ
-0.07
0.05
0.29
Nilai koefisien PC tertinggi positif pada ketiga wilayah pengamatan di provinsi Nusa tenggara Barat berada pada periode bulan OND (Oktober, November, Desember) ditunjukkan oleh Tabel 3. Hasil model prediksi CPT pada periode bulan ASO di provinsi Nusa Tenggara Barat pada Gambar 4-7 menunjukkan nilai korelasi pearson untuk ketiga wilayah pengamatan bernilai positif, yaitu 0,3 (Mataram), 0,7 (Sumbawa), dan 0,65 (Bima) secara berurutan.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
399
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Mataram
Bima Sumbaw a
Mataram
Sumbawa
Bima
Gambar 4-7: Model prediksi CPT dengan penduga ASPL Nino3.4 pada periode bulan ASO di wilayah Mataram, Sumbawa, dan Bima.
Nilai korelasi pearson tertinggi berada di kabupaten Sumbawa, sebanding dengan nilai koefisien komponen utama paling tinggi di wilayah Pasaman Barat pada periode bulan OND. Series curah hujan model pada Gambar 4-7 hampir berhimpitan dan sama tinggi dengan curah hujan CRU di ketiga wilayah pengamatan di provinsi Nusa Tenggara Barat, begitu juga dengan kurva ROC atas normal (biru) ataupun bawah normal (merah) untuk ketiga wilayah pengamatan yang berada di atas garis non skill yang berarti model handal, sementara curah hujan prediksi tahun 2013 ditunjukkan dengan tanda x (cross) berwarna hijau yang berada pada lapisan normal. 5. IMPLEMENTASI Hasil keluaran model prediksi iklim musiman dengan teknik PCR pada perangkat lunak CPT ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat provinsi Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat terutama petani untuk menyusun pola tanam, mengingat kedua provinsi tersebut merupakan wilayah sentra produksi pangan nasional. 6. KESIMPULAN Kondisi ENSO (El Nino dan La Nina) mempengaruhi curah hujan di provinsi Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat pada periode bulan SON. Hasil model CPT signifikan dengan hasil analisis komposit spasial (bulan Oktober). Hasil analisis teknik PCR dengan variabel penduga Nino3.4 menghasilkan nilai koefisien komponen utama di 3 wilayah provinsi Sumatera Barat tertinggi pada periode bulan ASO yang berarti kondisi El Nino dan La Nina mempengaruhi
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
400
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
curah hujan pada periode bulan tersebut dengan pengaruh paling tinggi di kota Padang (0,53), sementara koefisien komponen utama di 3 wilayah provinsi Nusa Tenggara Barat tertinggi pada periode bulan OND dengan pengaruh paling tinggi di kabupaten Sumbawa (0,69). Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi serta diaplikasikan oleh masyarakat di kedua provinsi tersebut, terutama para petani. UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih kepada NOAA dan website http://badc.nerc.ac.uk/ yang telah memberikan data series anomali suhu permukaan laut Nino3.4 dan data CRU secara gratis dalam format GrADS. Terimakasih kepada peneliti PSTA LAPAN Bandung yang telah memberikan pelatihan cara mengekstrak data .nc ke data .txt dan membuat peta sebaran spasial dengan menggunakan perangkat lunak GrADS. Terimakasih kepada IRI yang telah memberikan perangkat lunak CPT beserta tutorial dan penjelasannya secara gratis, juga terimaksih kepada Laode Nurdiansyah yang telah memberikan diskusi serta pelatihan terkait pengolahan data dengan perangkat lunak CPT.
DAFTAR RUJUKAN Adiningsih ES, Mahmud, Effendi I., 2004, “Aplikasi analisis komponen utama dalam pemodelan penduga lengas tanah dengan data satelit multispektral”, Jurnal Matematika dan Sains Vol. 9 No. 1: 215 – 222 Aldrian E dan Susanto RD, 2003, “Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature”, Int J Clim 23: 1435– 1452 Aldrian, E., 2008, “Meteorologi Laut Indonesia”, Jakarta : Badan Meteorologi dan Geofisika Bappenas,
2009,
“Pembangunan
Daerah
Tingkat
I-Bab
27”,
(Diakses
dari
www.bappenas.go.id pada tanggal 12 November 2014) BOM (Bureau of Meteorology), 2014, “El Nino, La Nina dan Australia’s Climate”, (Diakses dari www.bom.gov.au pada tanggal 9 November 2014) Kadarsah, 2010, “Aplikasi ROC untuk uji kehandalan model HYBMG”, Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 11 No 1:32-42 Mamenun, 2012, “Prediksi anomali curah hujan bulanan di wilayah Makassar menggunakan teknik statistical downscaling”, Jurnal Meteorolgi dan Geofisika Vol. 13 No. 3 : 169178
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
401
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Mason SJ., 2011, “Seasonal forecasting using the Climate Predictability Tool (CPT)”, Science and technology infusion Climate Bulletin. Di dalam: Mason S.J. editor. 36th NOAA Annual Climate Diagnostics and Prediction Workshop [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [diunduh 1 April 2014] Mitchell TD and Jones PD, 2005, “An improve method of constructing a database of monthly climate observations and associated high-resolution grids”, Int. J. Climatol 25: 693712 Prabowo, M. dan Nicholls, N, 2002, “Kapan Hujan Turun ? Dampak Osilasi Selatan di Indonesia”, Brisbane : Publishing Services Trenberth KE, 1997, “The definition of El Niño”, Bull Amer Meteor Soc 78:2771–2777 Valli M, Sree KS, Krishna IVM, 2013, “Analysis of precipitation concentration index and rainfall prediction in various agro-climatic zones of Andhra Pradesh”, India. Int. Res. J. Environment Sci Vol 2(5). 53-61 ISSN 2319–1414
TANYA JAWAB SESI POSTER Berdasarkan hasil prediksi iklim musiman dengan CPT, lebih baik diterapkan pada wilayah dengan pola curah hujan ekuatorial (Sumatera Barat) atau monsunal (Nusa Tenggara Barat)?
Jawaban: Model prediksi iklim musiman dengan teknik PCR pada perangkat lunak CPT lebih baik diterapkan pada wilayah dengan pola curah hujan monsunal, terlihat dengan nilai koefisien komponen utama paling tinggi dan nilai korelasi pearson paling tinggi terdapat pada Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa tenggara Barat sebesar 0.70.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
402
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
DISTRIBUSI FREKUENSI TIPE AWAN CUMULONIMBUS (CB) DI INDONESIA DARI PENGAMATAN SATELIT MTSAT (FREQUENCY DISTRIBUTION OF TYPE CB FROM SATELLITE OBSERVATION MTSAT IN INDONESIA) Sinta Berliana Sipayung dan Risyanto Peneliti Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian dan pengembangan yang terkait dengan teknologi pengamatan atmosfer merupakan bagian dari tugas Bidang Teknologi Atmosfer diantaranya adalah pengembangan metoda pengamatan awan. Indonesia merupakan wilayah yang sangat potensial bagi pertumbuhan awan-awan konvektif dikarenakan posisinya yang unik. Indonesia merupakan tempat pertemuan dua sirkulasi umum yaitu sel Hadley dan Walker. Selain itu, Indonesia juga optimal menerima radiasi matahari. Hal ini dikarenakan posisi Indonesia di ekuator, sehingga memiliki kandungan uap air yang melimpah, menjadikan wilayah Indonesia hampir selalu diliputi oleh awan. Salah satu tipe awan konvektif yang banyak menjadi perhatian masyarakat awam maupun peneliti atmosfer adalah Cumulonimbus (Cb). Cumulonimbus tidaklah berdiri sendiri, melainkan berkelompok atau berakumulasi, maka pada makalah ini difokuskan kepada analisis kumpulan awan-awan Cb yang dikenal dengan istilah Super Cloud Clusters (SCCs). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi distribusi SCCs berbasis hasil analisis data MTSAT di atas kawasan Indonesia dengan menggunakan metode modifikasi. Data MTSAT yang digunakan adalah data harian per-jam (00.00 – 23.00 UTC) selama Desember 2011 hingga November 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara spasial, distribusi kumpulan awan-awan Cb (SCCs) berasal dari Lautan Hindia dan mulai aktif memasuki kawasan Indonesia, khususnya pulau Sumatera bagian Barat dan Selatan dan juga pulau Jawa sejak Desember 2011 hingga Maret 2012. Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa SCCs tadi bergerak secara perlahan (gradual), baik menuju belahan bumi Utara ataupun belahan bumi Selatan kawasan Indonesia mengikuti gerak semu matahari terhadap bumi, yaitu berbentuk gerak sinusoidal yang hampir sempurna. Kata kunci: MTSAT, SCCs
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
403
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
ABSTRACT The research and development related to technology atmospheric observations are part of the task of Atmospheric Technology Division include the development of cloud observation method. Indonesia is a region with huge potential for growth of convective clouds due to its unique position. Indonesia is the meeting place of two general cell Hadley and Walker circulation. In addition, Indonesia is also optimal receive solar radiation. This is because the position of Indonesia at the equator, so it has abundant moisture content, making the territory of Indonesia is almost always covered oleh clouds. One of the many types of convective clouds to the attention of the general public and researcher atmosphere is Cumulonimbus (Cb). Cumulonimbus does not stand alone, but in groups or accumulate, so in this paper focused on the analysis of a collection of Cb clouds are known as Super Cloud Clusters (SCCs). This study aims to identify the distribution of SCCs taken from the MTSAT data analysis over the Indonesian region using the modified method. MTSAT data used is the daily per-hour (00:00 to 23:00 UTC) during December 2011 to November 2013. The results showed that the spatial distribution of a collection of Cb clouds (SCCs) is derived from the Indian Ocean and began to actively enter the Indonesian region, particularly West and South of Sumatra Island, and also Java Island since December 2011 to March 2012. Furthermore analysis is showing SCCs was moving slowly (gradually), both leading northern hemisphere or southern hemisphere Indonesian region follow the movements of all of the sun to the earth, because the motion or amendment almost follow an almost perfect sinusoidal motion. Keywords: MTSAT, SCCs. 1. PENDAHULUAN Penelitian tentang atmosfer yang berkaitan dengan tipe (jenis) awan merupakan hal yang sangat penting diteliti. Hal ini mengingat Indonesia memiliki banyak kandungan panas laten dan uap air. Wilayah Indonesia diduga sebagai kawasan penghasil awan dan hujan yang terbesar di dunia. Deteksi awan dan klasifikasinya berdasarkan data satelit secara otomatis dan akurat akan bermanfaat untuk beragam aplikasi iklim, hidrologi dan atmosfer (Liu et al., 2009). Pengamatan tipe awan melalui data satelit memiliki perbedaan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan pengamatan dari permukaan seperti yang dilakukan (Han et al., 2001). Bidang Teknologi Atmosfer adalah salah satu bidang yang berada dibawah Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer-LAPAN, memiliki tugas melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang teknologi atmosfer, pengelolaan data atmosfer dan pengamatan data atmosfer. Karakteristik awan dapat dinilai dari nilai albedo bergantung pada banyaknya radiasi
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
404
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
gelombang panjang yang dipantulkan dan diteruskan yang ternyata bergantung dari posisi semu matahari terhadap bumi (Risyanto dan Krismianto, 2012). Multi-functional Transport Satellite (MTSAT) merupakan salah satu satelit geostasioner yang dikembangkan dan dikelola oleh Japan Meteorological Agency (JMA). MTSAT-IR (Infra Red) diorbitkan di atas equator 140° Bujur Timur dan mulai beroperasi sejak Februari 2005. MTSAT mampu memberikan informasi untuk lebih dari 30 negara dan teritorial di wilayah cakupan. MTSAT melakukan monitoring distribusi/gerak awan, suhu permukaan laut dan distribusi uap air, dengan mengambil gambar setiap 30 menit. Tiga misi meteorologi yang dibawa MTSAT antara lain akuisisi citra bumi, diseminasi data citra dan koleksi data meteorologi dari Data Collection Platform (DCP). MTSAT telah dilengkapi sebuah sensor baru dengan kanal 3.7µm (IR4), selain peningkatan pada tiga kanal infra merah dari 8 bit menjadi 10 bit, serta kanal visible dari 6 bit menjadi 10 bit. Data diunduh dari web site.
: dengan format data pgm. Berdasarkan format data diekstrak menjadi data pgm yang kemudian dikompilasi menjadi suhu puncak awan (Tbb) dalam derajat Kelvin dan karakteristik sensor satelit MTSAT (Tabel 1). Tabel 1-1. Karakteristik sensor satelit MTSAT Tingkat Kecerahan
Fungsinya
Bands
Panjang Gelombang (μm)
Resolusi Spasial
Visible (VIS)
0.55 - 0.80
1 km
Infrared (IR1)
10.3 - 11.3
4 km
Memantau fenomena meteorologi. 1,024 gradasi Pengamatan puncak awan.
Infrared (IR2)
11.5 - 12.5
4 km
Memantau fenomena meteorologi. 1,024 gradasi Pengamatan puncak awan.
Water Vapour (IR3)
Near Infrared (IR4)
6.5 - 7.0
3.5 - 4.0
4 km
4 km
10 bit
Memantau kondisi daratan, lautan, dan awan pada siang hari.
Memantau kandungan uap air di 1,024 gradasi awan. 1,024 gradasi Mengidentifikasi awan rendah di malam hari. Mengidentifikasi awan tinggi. Mendeteksi kebakaran. Mengidentifikasi sifat mikrofisika awan (ukuran partikel).
Sumber: http://www.jma.go.jp/jma/jmaeng/satellite/about_mt/8.Major_Characteristics_of_the_ meteorological _payload.html.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
405
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Penentuan tipe awan menggunakan data MTSAT salah satunya dilakukan oleh Suseno dan Yamada (2012). Keduanya menetapkan nilai ambang (treshold) pada diagram dua dimensi yang terdiri dari Tbb (suhu kecerahan) IR1 dan selisih Tbb IR1 – IR2. Kanal IR1 menggambarkan suhu puncak awan, semakin rendah suhunya, maka semakin tinggi potensinya untuk menjadi hujan. Penggunaan dua kanal infra merah MTSAT ini ditujukan untuk mendapatkan algoritma komputasi yang sederhana dan mudah diaplikasikan. Klasifikasi awan yang dihasilkan terdiri dari: cumulonimbus (Cb), mature Cb (MCb), cirrus tebal (TkCi), cirrus tipis (TiCi), awan menengah (MC), serta awan rendah (LC). Berdasarkan verifikasi, tipe awan yang dihasilkan MODIS memiliki pola yang hampir sama dengan tipe awan MTSAT dengan persentase kemiripan sebesar 79,8% (Risyanto dan Sipayung, 2013). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi frekuensi tipe awan Cb dengan menggunakan data hasil pengamatan satelit MTSAT serta mengetahui distribusinya secara spasial maupun temporal dari kejadian terbentuknya awan Cb di wilayah Indonesia. 2. DATA DAN METODOLOGI Data yang digunakan adalah data MTSAT harian jam-jaman pada jam pukul 07.00 s.d 06.00 WIB atau 00.00 – 23.00 UTC dengan rentang waktu 24 bulan yaitu bulan Desember 2011 hingga November 2013 dari tingkat kecerahan (brightness level) untuk wilayah Indonesia. Data didapatkan dari sistem penerima satelit yang dikelola Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA), LAPAN Bandung. Tipe awan Cb dihasilkan berdasarkan kombinasi dua kanal infra merah, yaitu IR1 dan IR2 dengan menggunakan metode modifikasi Suseno dan Yamada (2012), dimana awan Cb memiliki batas nilai suhu kecerahan TIR1 = 200 – 224 0K sedangkan dalam kegiatan ini menggunakan batas nilai suhu kecerahan TIR1 = 90 – 1150K dan ∆TIR1-IR2 = -2 – 2 K. Gambar 2-1.a adalah cakupan observasi hingga saat ini salah satu stasiun penerima, yang dikelola oleh LAPAN Bandung. Gambar 2-1.b adalah pengelompokan tipe awan-awan yang dilakukan Suseno dan Hamada (2012), dimana awan Cb memiliki suhu berkisar 200 – 224 0K. Metode ini dimodifikasi sehingga diperoleh frekwensi kejadian awan Cb yang ada di Indonesia seperti yang akan diuraikan pada makalah ini. Data per kanal ataupun kombinasinya dapat diturunkan menjadi data-data atmosfer seperti data indeks konveksi, curah hujan, liputan awan.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
406
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
b
a
Gambar 2-1.a, Cakupan Observasi dan gambar 1.b, klasifikasi tipe awan MTSAT berdasarkan penelitian Suseno dan Yamada (2012)
3. HASIL PEMBAHASAN Berikut ditampilkan hasil olahan data citra satelit MTSAT rata-rata bulanan (monthly) yang merupakan akumulasi dari data skala harian jaman (00.00 – 23.00 UTC atau 07.00 – 06.00 LT), selama Desember 2011 sampai dengan November 20013. Hal ini sengaja ditempatkan di awal panel agar mudah dianalisis pola sebaran awan Cumulonimbus (Cb) yang didapat sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3-1. Pada Gambar 2 terlihat dengan jelas bahwa sejak bulan Juni 2012 dan Juli 2013, kawasan Indonesia sudah mengalami musim kemarau yang ditandai dengan frekwensi kumulatif SCCs yang bernilai di bawah 0 (negatif). Ini pertanda bahwa musim kemarau sudah dimulai dan diawali dari kawasan Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), termasuk Bali. Memang tiga kawasan inilah yang mengalami musim kemarau relatif paling panjang, sekitar 9 bulanan. Walaupun agak sulit dianalisis mengingat waktu pengamatan yang relatif singkat dengan periode pengamatan yang hanya dua tahun lamanya, namun jika diperhatikan dengan seksama, maka diperoleh adanya satu pola keteraturan yaitu bahwa distribusi awan Cb kumulatif yang tersebar di atas wilayah Indonesia yang memang didominasi fenomena monsun terjadi secara teratur, mengikuti pola pergerakan semu matahari terhadap bumi. Artinya ketika matahari berada di Belahan Bumi Utara (BBU) yang secara otomatis pusat tekanan rendah berada di BBU, maka akan terjadi pergerakan atau pergeseran kumpulan awan Cb (biasanya digunakan istilah Super Cloud Clusters, SCCs) yang menuju BBU kawasan Indonesia. Begitupun sebaliknya, ketika matahari terletak di Belahan Bumi Selatan (BBS), maka SCCs tersebut pun akan bergerak menuju BBS. Fokus pada kegiatan ini adalah adanya tenggang waktu (biasa diistilahkan dengan lag-time) bergesernya kumpulan SCCs tadi terhadap Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
407
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
variabilitas curah hujan yang terjadi di permukaan. Inilah yang dinamakan kejadian atau fenomena monsun dengan ciri khas utama, yakni adanya perbedaan yang tegas dan jelas, bila musim hujan dimulai dan bila musim kemarau berakhir ataupun sebaliknya.
Gambar 3-1. Frekwensi kumulatif kejadian awan Cb di wilayah Indonesia selama bulan Desember 2011 dan Januari hingga November 2012 dalam skala harian jaman (00.00 – 23.00 UTC atau 07.00 – 06.00 LT).
Fenomena musim kemarau atau kering yang diawali dari kawasan ini terus merangkak naik seiring dengan bergeraknya matahari menuju BBU. Jadi, sejak Juli, Agustus, September 2012 dan Agustus, September 2013, kawasan Indonesia, khususnya pulau Jawa berdasarkan data MTSAT mengalami musim kemarau, dan mencapai puncaknya di bulan September 2012 serta Agustus 2013. Tidak hanya pulau Jawa yang hampir semuanya mengalami musim kemarau, namun kawasan Sumatera Selatan bagian Selatan terutama juga mengalami musim Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
408
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
kemarau, walaupun tidak separah pulau Jawa. Secara teori dikatakan bahwa puncaknya matahari di BBU sekitar tanggal 22 Juni, namun distribusi maksimum SCCs tadi justru di bulan September. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut bahwa matahari sebenarnya mengalami dua kali dalam setahun melintasi batas garis katulistiwa (equator), sehingga timbullah istilah equinox (menggambarkan posisi matahari yang sedang tepat berada di garis ekuator) khususnya pukul 12.00 LT, yakni pada tanggal 21 Maret dan 21 September. Jadi pada bulan September merupakan puncak musim kemarau, khususnya di pulau Jawa karena memang relatif dekat dengan garis ekuator. Perubahan yang cukup signifikan adalah terjadi pada bulan Oktober 2012 tentang distribusi SCCs, khususnya yang terdapat di pulau Jawa yang secara tiba-tiba berkurang dengan drastis. Agak sulit dijelaskan, mengapa ini bisa terjadi. Hanya satu teori yang kiranya dapat dipahami, bahwa sejak bulan Oktober hingga November 2012 sebagai musim transisi (peralihan) dari musim kemarau menuju musim hujan (penghujan). Kasus serupa juga terjadi, yakni adanya musim transisi kedua (berikutnya) yang terjadi pada Maret, April dan Mei 2012. Disebut transisi, disebabkan periode ini merupakan peralihan dari musim hujan ke musim kemarau. Musim hujan sudah dapat diduga, yakni sejak Desember 2011 yang ditandai dengan bergeraknya SCCs dari Lautan Hindia menuju kawasan barat Indonesia, kawasan barat Sumatera Barat dan Selatan merupakan pintu masuk pergerakan awan. Kumpulan awan Cb atau SCCs ini memang sejak Desember 2011 sudah memasuki kawasan barat Indonesia, bahkan hampir menyebar melintasi pulau Jawa dan laut Utara pulau Jawa dan terus merangkak hingga Januari 2012. Namun, sejak Maret 2012 walaupun sebagian pulau Jawa, khususnya Jawa Barat dan Jawa Tengah masih diselimuti SCCs tadi, namun jumlah atau frekwensinya sudah mulai berkurang. Perubahan atau pergeseran SCCs lebih teramati dengan baik jika informasi satu rangkaian data time-series yang relatif panjang (lebih dari 10 tahun decadal). Juga perlu dilakukan uji validasi mengingat faktor lokal setempat juga amat sangat berperan. Distribusi SCCs yang sudah hampir mendekati garis ekuator, maka pada saat itu diduga hampir seluruh kawasan Indonesia bagian Selatan (NTT, NTB, Bali dan P. Jawa) terbebas dari SCCs. Dengan kata lain, frekwensi kumulatif kejadian awan-awan Cb negatif atau di bawah nilai nol. Gambar 3 menyajikan frekwensi kumulatif kejadian awan Cb di wilayah Indonesia selama bulan Februari 2013 hingga Desember 2013 dalam skala harian jaman (00.00 – 23.00 UTC atau 07.00 – 06.00 LT). Menurut Gambar 3-2 diketahui bahwa fenomena musim kemarau atau kering diawali dari bulan Agustus dan September 2013. Selama pengukuran data MTSAT tahun 2013 terdapat kerusakan penerimaan data khususnya pada bulan Januari 2013 sehingga tidak Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
409
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
ditampilkan pada Gambar 3-2. Hal yang sama terjadi pada data harian yaitu data bulan Februari, Maret dan November 2013 terdapat missing data.
Frekuensi Kumulatif Awan Cb Bulan November 2013
Gambar 3-2. Frekwensi kumulatif kejadian awan Cb di wilayah Indonesia selama bulan Februari 2013 hingga Desember 2013 dalam skala harian jaman (00.00 – 23.00 UTC atau 07.00 – 06.00 LT). 4. KESIMPULAN Satelit MTSAT dapat digunakan untuk penentuan awal musim hujan dan musim kemarau di Indonesia, khususnya pulau Jawa dan pulau Sumatera bagian Selatan. Awal musim baik penghujan maupun kemarau dapat diketahui berdasarkan distribusi frekuensi tipe awan cumulonimbus (CB). Hasil menunjukkan bahwa di Indonesia, khususnya curah hujan di pulau Jawa dan pulau Sumatera bagian Selatan yang memang secara teori didominasi oleh faktor
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
410
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
monsun. Bila kumpulan awan-awan Cb yang disebut dengan istilah SCCs melebihi batas ambang (threshold) normal (dalam hal ini digambarkan mendekati garis ekuator), maka diduga pada saat itu, hampir seluruh kawasan Indonesia, khususnya pulau Jawa dan pulau Sumatera bagian Selatan akan dilanda musim kemarau. Hal ini ditunjukkan oleh data MTSAT yang nilai frekwensi kumulatif kejadian awan Cb di bawah nol. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terima kakasih pada pimpinan Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis pertama makalah ini. Makalah ini merupakan bagian dari hasil kegiatan riset In House LAPAN tahun anggaran 2013.
DAFTAR RUJUKAN Hahn C. J, W B. Rossow and S G. WARREN, 2001, “ISCCP Cloud Properties Associated with Standard Cloud Types Identified in Individual Surface Observations”, AMS Journal of Climate Vol.14 Liu Y, Xia J, Shi CX, Hong Y, 2009, “An Improved Cloud Classification Algorithm for China’s FY-2C Multi-channel Images Using Artificial Neural Network”, Sensor, 9, pp. 5 558– 5579 Risyanto dan Krismianto, 2012, “Identifikasi Pengaruh Posisi Matahari terhadap Data Albedo Awan Hasil Pengamatan Satelit MTSAT”, Buku Ilmiah PSTA Jilid II, CV Andira, ISBN : 978-979-1458-59-7 Risyanto dan Sinta Berliana S., 2013, “Identifikasi Tipe Awan ISCCP Menggunakan Data MODIS Terra/Aqua”, Prosiding Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, ISBN : 978979-1458-73-3 Suseno D, YP dan Yamada T, 2012, “Two-dimensional, Threshold-based Cloud Type Classification Using MTSAT Data”, Remote Sensing Letters, 3:8, 737-746
TANYA JAWAB SESI POSTER 1. Pertanyaan : Apa bedanya dengan penelitian yang sebelumnya yang sudah ? Jawab
: a. Penelitian sebelumnya menggunakan data 1 tahun (MTSAT 2012) dan
fokus terhadap distribusi frekuensinya. b. Pada kegiatan ini ditambah data menjadi 2 tahun (2012 dan 2013), dan diterapkan untuk mengetahui penentuan musim penghujan dan musim kemarau. Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
411
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
2. Pertanyaan : Bagaimana mengantisipasi data yang kosong (bolong-bolong) Jawab
: Hingga saat ini melum ada yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi data
yang kosong, namun peneliti sudah mulai mengarahkan merger menggunakan data satelit yang lain. 3. Pertanyaan : Apakah dari data MTSAT ini bisa digunakan untuk prediksi curah hujan? Jawab : Bidang pemodelan atmosfer sudah mengaplikasikan data MTSAT untuk prediksi curah hujan tujuh hari kedepan yang disebut SADEWA sebagai produk Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA).
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
412
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
ANALISIS NITROGEN DIOKSIDA (NO2), SULFUR DIOKSIDA (SO2) DAN AMONIA (NH3) DI CEKUNGAN BANDUNG DAN DAERAH PANTAI PAMEUNGPEUK-GARUT (ANALYSIS OF NITROGEN DIOXIDE (NO2), SULFUR DIOXIDE (SO2) AND AMMONIA (NH3) IN BANDUNG BASIN AND COASTAL AREAS PAMEUNGPEUK-GARUT) Tuti Budiwati dan Dyah Aries Tanti Pusat Sains Dan Teknologi Atmosfer -LAPAN e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Gas NO2 dan SO2 adalah prekursor pembentukan hujan asam dalam bentuk senyawa sulfat dan nitrat. Sedangkan NH3 adalah pembentuk senyawa amonium sebagai penetral dalam hujan. Pengukuran gas-gas tersebut secara sampling dengan menggunakan passive sampler berdasarkan rata-rata bulanan di Cekungan Bandung yang terdiri dari daerah urban yaitu Kotamadya Bandung enam lokasi dan rural dekat gunung berapi di Kabupaten Bandung tujuh lokasi, dan Pameungpeuk di Garut merupakan daerah pantai untuk wisata. Selanjutnya sampel gas NO2, SO2, dan NH3 bulanan dianalisa di laboratorium Lembaga Penerbangan Dan Antariksa Nasional (LAPAN) dari 2001 sampai 2013. Hasil memperlihatkan variasi musiman dan peta konfigurasi dari model Euclidean Distance berupa pola kedekatan antar lokasi/kota berdasarkan gas NO2, SO2, dan NH3 dalam empat kelompok. Konsentrasi rata-rata NO2 bervariasi dari 1,72±1,10 ppb di Pameungpeuk sampai 40,95 ±8,26 ppb di Cipedes daerah Kotamadya Bandung. Konsentrasi rata-rata SO2 bervariasi dari 0,33±0,22 ppb di Pameungpeuk sampai 4,01±1,23 ppb di Cipedes daerah Kotamadya Bandung. Konsentrasi rata-rata NH3 bervariasi dari 7,90±5,15 ppb di Pameungpeuk sampai 44,62±6,99 ppb di Kebon Kalapa Kotamadya Bandung. Pada sebagian besar lokasi, NO2 dan SO2 mencapai puncaknya di musim peralihan September Oktober Nopember dan nilai rendah di musim hujan Desember Januari Februari, sedangkan NH3 memperlihatkan nilai maksimum pada musim panas Juni Juli Agustus dan nilai rendah pada musim hujan Desember Januari Februari. Kata Kunci: urban, rural, pantai, nitrogen dioksida, sulfur dioksida, amonia
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
413
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
ABSTRACT NO2 and SO2 gas is the formation of acid rain precursors in sulfate and nitrate compounds. While NH3 gas is forming ammonium compounds as a neutralizer in the rain. Measurement of these gases in the sampling oleh using passive samplers based on monthly average in Bandung Basin consisting of urban areas, namely Bandung City (six sites) and rural near the volcano in Bandung (seven sites), and Pameungpeuk in Garut is a beach area for tourism. Further samples NO2, SO2 and NH3 monthly were analyzed in the laboratory of the National Institute of Aeronautics and Space from 2001 to 2013. The results show seasonal variations and map of configurations of a pattern proximity Euclidean Distance model between cities based gas NO2, SO2, and NH3 in the four groups. The mean concentrations of NO2 varied from 1.72 ± 1.10 ppb in Pameungpeuk to 40.95 ± 8.26 ppb in Cipedes Bandung City area. The mean concentrations of SO2 varied from 0.33 ± 0.22 ppb in Pameungpeuk to 4.01 ± 1.23 ppb in Cipedes of Bandung City. The mean concentrations of NH3 varied from 7.90 ± 5.15 ppb in Pameungpeuk to 44.62 ± 6.99 ppb in Kebon Kalapa of Bandung City. In most locations, NO2 and SO2 peaked in September October November transitional season and lower values in December January February rainy season, while NH3 showed maximum values in June July August of dry season and lower values in December January February rainy season. Keywords: urban, rural, coastal, nitrogen dioxide, sulfur dioxide, ammonia
1. PENDAHULUAN Emisi gas-gas SO2 dan NO2 sebagai hasil dari proses pembakaran bahan bakar minyak akan menimbulkan keasaman lingkungan atmosfer (Seinfeld dan Pandis, 1998). Potensi industri pengguna batubara dan minyak berkadar sulfur tinggi akan sangat besar dalam menyumbangkan SO2 ke udara (Graedel and Crutzen, 1993). Polutan-polutan ini relatif stabil di atmosfer dan dapat berpindah bersamaan dengan masa udara untuk jarak jauh (Milukaite et al., 2000). Polutan akan tinggal beberapa waktu di udara dan kemudian musnah terdeposisi, baik deposisi kering maupun deposisi basah (Draaijers et al., 1998; Seinfeld and Pandis, 1998). SO2 dan NO2 adalah gas-gas prekursor asam di atmosfer dan berpotensi dalam mempengaruhi terbentuknya deposisi asam. Adanya ozon di atmosfer berperanan pula sebagai oksidator SO2 dan NO2 untuk membentuk asam sulfat dan nitrat. Isu hujan asam telah menjadi masalah nasional di Indonesia, daerah remote atau back ground Kototabang untuk Indonesia ternyata juga telah terkena hujan asam (Ministry of Environment-Indonesia (KLH), 2007). Dampak SO2 dan turunannya seperti bisulfit dan sulfit terhadap kesehatan adalah bronkokonstriksi pada penderita asma (Lester, 1995). SO2, bisulfit, dan sulfit adalah racun dan Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
414
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
sesampainya di saluran sirkulasi darah dan semua organ tubuh dapat merusak DNA dalam selsel di berbagai organ (Meng dan Zhang, 2002; Meng et al., 2002). NO2 dalam konsentrasi tinggi sangat berbahaya bagi kesehatan. Organ tubuh yang peka terhadap pencemaran NO2 adalah paru-paru, akibatnya paru-paru yang terkontaminasi akan membengkak sehingga penderita sulit bernafas (Tugaswati, 2008). Sedangkan emisi alkali (partikel debu dan gas NH3) akan mempengaruhi keasaman air hujan secara signifikan, dengan menetralkan beberapa faktor asam (Mouli et al., 2005), seperti senyawa sulfat, nitrat, chlorida. Sumber emisi NH3 berasal dari kotoran binatang, pembakaran biomasa, kebakaran lokal, kebakaran hutan, industri, dan pemupukan tanaman. Emisi N-NH3 adalah N yang berasal dari NH3 pada 2001 di Asia meliputi sejumlah 33,1% (19,4 Tg N) dari total global dunia yang berasal dari daratan dan 6,3% (3,7 Tg N) dari total global dunia yang berasal dari pantai dan jumlah terbesar berasal dari Asia Timur (Vet et al., 2013). Emisi N-NH3 dari Asia lebih besar dibandingkan daratan Eropa, Amerika dan Australia. Deposisi nitrogen berasal dari nitrat dan amonium dalam air hujan dan deposisi kering dalam asam nitrit dan partikel-nitrat. Nilai pH rendah berarti dipengaruhi sangat kuat oleh SO2 dan NO2 (Sanusi et al., 1996; Narita et. al., 2000), sebaliknya nilai pH tinggi terdapat netralisasi keasaman air hujan oleh CaCO3 dan atau NH3 yang melimpah di atmosfer (Al-Momani et al., 1995). Di daerah industri, nitrogen oksida adalah kontributor terbesar deposisi basah dibandingkan nitrogen yang menjadi bentuk lain. Deposisi basah dari nitrogen adalah tinggi di Amerika Utara bagian timur, Eropa bagian selatan, India bagian timur laut, Asia bagian tenggara, dan Oceania bagian utara (Vet et al., 2013). Hasil pengamatan di Cina oleh Meng et al. (2010) memperlihatkan konsentrasi rata-rata SO2 bervariasi 0,7±0,4 ppb di Waliguan dari Qinghai Plateau yang merupakan daerah lengang (remote) sampai 67,3±31,1 ppb di Kaili dari provinsi Guizhou yang merupakan daerah dengan penduduk 450.000 dimana emisi SO2 berasal dari pembakaran batubara (Zhao et al., 2008), sedangkan konsentrasi rata-rata NO2 di banyak tempat di Cina lebih rendah bervariasi dari 0,6±0,4 ppb di Waliguan sampai 23,9±6,9 ppb di Houma di Shanxi selatan. Pengunaan batubara untuk pembangkit listrik menyumbangkan pula SO2 ke atmosfer di Cina. Begitu juga konsentrasi NH3 bervariasi lebih rendah dari SO2 dan NO2 yaitu dari 2,8±3,0 ppb di Shangdianzi di timur laut Beijing sampai 13,7±8,4 ppb di Houma (Meng et al., 2010). Pada skala mikro/lokal, pencemaran udara hanya mempengaruhi kualitas udara setempat, dalam lingkup yang relatif terbatas, misalnya pencemaran udara oleh debu. Selain itu terdapat pula pencemaran udara dalam skala meso atau regional, yang dampaknya dapat mempengaruhi areal yang lebih luas contohnya hujan (Stern et al., 1984). Dampak dari emisi Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
415
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
gas yang berasal dari kota dan industri di kota Bandung akan mempengaruhi komponen kimia air hujan dalam skala meso yaitu wilayah di sekitarnya. Hasil emisi transportasi dan industri di perkotaan dan pembakaran biomasa seperti SO2, NH3, dan NO2 ke udara akan mempengaruhi kadar keasaman air hujan melalui proses pencucian atmosfer. Mengingat peningkatan penggunaan bahan bakar yang terus meningkat mengikuti peningkatan jumlah transportasi di kota-kota besar, maka tentunya berpotensi meningkatkan jumlah SO2 dan NO2. Hasil penelitian Hamonangan et al. (2003) memperlihatkan konsentrasi NO2 yang tinggi di pusat kota Jakarta berhubungan dengan jumlah kendaraan yang tinggi pula. Hal ini terjadi di Kota Bandung sebagai kota wisata dan dagang dan tentunya menggeliatkan pula daerah-daerah wisata di luar Kota Bandung (Kompas, 2003) yaitu Kabupaten Bandung. Terutama kawasan wisata Ciater, Lembang di utara Bandung, wisata Kawah Putih di selatan Bandung yang dipadati pengunjung saat liburan maupun akhir minggu (Sabtu dan Minggu). Pada makalah ini akan dijelaskan pengelompokan lokasi atau kota di daerah urban dan rural di Cekungan Bandung dan pantai di Pameungpeuk Garut dengan pendekatan kondisi komposisi atmosfer menggunakan multidimensional scaling. Selain itu untuk melihat pengaruh musim terhadap distribusi NO2, SO2, dan NH3, maka dianalisis variabilitas musiman di wilayah yang sama.
2 DATA DAN METODOLOGI 2.1 Lokasi monitoring Cekungan Bandung yang terdiri dari daerah urban yaitu Kotamadya Bandung (6o 54’ LS, 107o 35’ BT) pada ketinggian 743 m di atas permukaan laut dan rural dekat gunung berapi di Kabupaten Bandung (cukup tinggi dengan adanya prekursor gas-gas SO2). Kota Bandung dibagi enam lokasi yang diwakili oleh Kebon Kalapa (Kb. Kalapa) di Bandung Pusat sebagai daerah padat perumahan dan dagang, Cipedes tepatnya Jl. Dr. Djundjunan di Bandung Barat sebagai daerah padat transportasi dan perdagangan, Jl. Riau (Martadinata) daerah padat transportasi dengan wisata kuliner dan dagang di Bandung Timur, Cikadut sebagai daerah perumahan yang masih hijau dan terdapat area pemakaman di Bandung sebelah Timur Laut, Dago di Bandung Utara merupakan daerah perumahan dan bersih, Kopo di Bandung Selatan mewakili daerah industri garment/ringan dan perumahan. Kabupaten Bandung terdiri tujuh daerah di tepi cekungan yaitu bagian selatan: Soreang, Ciparay, Cililin dekat vulkanik (danau Kawah Putih yang kaya sulfur), dan bagian utara yaitu Ciater terdapat gunung vulkanik Tangkuban Perahu, Lembang dekat Ciater, dan sebelah timur yaitu Tanjungsari, serta sebelah barat yaitu Padalarang daerah padat transportasi. Pameungpeuk Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
416
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
di Garut merupakan daerah pantai untuk wisata. Total lokasi pemantauan adalah empat belas lokasi.
2.2 Monitoring dan Analisa Sampel Pengambilan sampel gas secara kontinu untuk NO2, SO2 dan NH3 dilakukan dengan metode sampling Passive Sampler dari SCIRO. Monitoring dilakukan selama satu bulan untuk periode 2011-2013, selanjutnya sampel yang terkumpul dari lokasi monitoring dianalisis di Laboratorium Kimia Pusat Sains Dan Teknologi Atmosfer (LAPAN). SO2 diserap oleh larutan aktif NaCH3 dalam filter Whatman no 40. Filter yang mengandung gas SO2 dan NH3 dilarutkan dalam air murni dan selanjutnya konsentrasi SO2 ditentukan dengan ion chromatografi. NO2 diserap atau diabsorb oleh larutan NaOH +NaI+ methanol yang diteteskan pada kertas filter Whatman no 40. Konsentrasi NO2 ditentukan oleh metode NEDA dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm.
2.3 Pengolahan Data Pengelompokan kota-kota/lokasi untuk menyatukan lokasi dalam kedekatan yang sama dengan menggunakan multidimensional scaling (MDS) yaitu model Euclidean Distance. Model didasarkan pada tiga variabel untuk komposisi atmosfer yaitu SO2, NO2 dan NH3 untuk tiga belas lokasi di Cekungan Bandung dan Pameungpeuk Garut. Tujuan MDS adalah membuat peta/konfigurasi posisi objek dalam ruang berdimensi rendah (umumnya 2 dimensi) berdasarkan data jarak antar objek atau data multivariate yang sebelumnya diubah dulu menjadi matriks jarak (Pontoh, 2014). Jarak Euclidean adalah jarak antara dua objek yang dibandingkan. Analisis MDS berdasarkan stress yaitu ukuran kesalahan dengan perhitungan Alternatif Least Square Scaling (ALSCAL) dengan SPSS. 15. Mengingat adanya perbedaan musim di Indonesia maka dilakukan analisis variabilitas musim terhadap gas-gas tersebut. Musim dibagi dalam empat musim yaitu musim hujan Desember Januari Februari (DJF), musim peralihan hujan ke kemarau Maret April Mei (MAM), musim kemarau Juni Juli Agustus (JJA) dan musim peralihan kemarau ke hujan September Oktober Nopember (SON) (Mc. Gregor, and Nieuwolt, 1998).
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Distribusi Lokasi Pada peta konfigurasi kota di Gambar 3-1 dapat dilihat pola kedekatan antar kota/ lokasi dengan nilai stress sebesar 0,0045 sebagai berikut : Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
417
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Kelompok I: Kebon Kalapa (Kb.Kalapa), Kelompok I ditempati Kb.Kalapa di Bandung Pusat yang mempunyai kecenderungan NO2 tinggi 38,20 ppb adalah daerah perdagangan dan lokasi pengamatan dekat pusat perdagangan (Bandung Trade Center (ITC) Kebon Kalapa) yang padat dengan transportasi. Selain itu mempunyai nilai NH3 yang tinggi sebesar 44,62 ppb, kemungkinan dikarenakan pembuangan limbah atau kotoran ternak. Kelompok II: Cililin, Tanjungsari, Lembang, Pameungpeuk (NO2: 1,72-13,34 ppb; SO2:0,33-1,16 ppb; NH3:7,90-18,22 ppb). Kelompok II mempnyai kesamaan yaitu nilai rendah untuk NO2 dan SO2, tetapi tinggi untuk NH3. Hal ini didukung oleh adanya lokasi daerah-daerah tersebut yang merupakan daerah pedesaan dengan kebun dan pesawahan di sekitarnya. Kelompok III: Dago, Cikadut, Ciater, Ciparay (NO2:12,83-20,47 ppb; SO2: 1,06-2,17 ppb; NH3: 8,48-12,18 ppb). Kelompok III mempunyai kesamaan yaitu nilai cukup tinggi atau menengah untuk NO2, SO2, dan NH3. Daerah-daerah ini adalah daerah hijau dengan jumlah transportasi yang sedang (di bawah daerah padat di kota), tetapi dekat dengan gunung berapi . Kelompok IV: Kopo, Padalarang, Soreang, Martadinata, Cipedes (NO2: 24,32-40,95 ppb; SO2:1,23-4,01 ppb; NH3:10,01-15,81 ppb). Kelompok IV mempunyai kesamaan yaitu nilai NO2 dan SO2 adalah tinggi. Kondisi seperti ini dapat dimengerti karena daerahdaerah tersebut adalah pintu masuk ke Kota Bandung dari selatan (Kopo), barat (Padalarang dan Cipedes), daerah perdagangan Martadinata, dan Soreang tidak begitu padat transportasinya. Jadi terlihat pengaruh sumber antropogenik yang dominan. Klasifikasi nilai tinggi, menengah dan rendah untuk NO2; SO2 dan NH3 diperlihatkan pada tabel 3-1. Tabel 3-1. Klasifikasi nilai untuk NO2; SO2 dan NH3 berdasarkan nilai statistik. Klas
NO2 (ppb)
SO2 (ppb)
NH3 (ppb)
Tinggi
40,95
4,01
44,62
Menengah
19,93
1,33
11,91
Rendah
1,72
0,33
7,90
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
418
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
II
I
III
IV
Gambar 3-1. Peta konfigurasi kedekatan antar kota dengan model jarak Euclidean
Pengelompokan kota-kota pada peta konfigurasi diatas didasarkan pada tiga variabel dengan komposisi atmosfer yaitu SO2, NO2 dan NH3. Kelompok I adalah daerah yang didominasi transportasi dan limbah yang memproduksi ammonia. Adapun kelompok II adalah daerah yang dominan dipengaruhi sumber NH3, untuk daerah pedesaan seperti Tanjungsari, Cililin, Lembang, dan Pameungpeuk karena pemupukan, Kelompok ini adalah wilayah yang tidak dipengaruhi sumber polutan yang tidak begitu tinggi, karena letaknya yang jauh dari transportasi dan Pameungpeuk sebagai daerah pantai hanya ramai pada hari Sabtu sore dan Minggu. Kelompok III adalah daerah yang dekat volkanik seperti Ciater, Dago, Cikadut di utara Bandung. Ciparay di selatan dekat dengan transportasi. Kesamaannya mempunyai konsentrasi SO2 yang cukup tinggi dikarenakan daerah ini dipengaruhi oleh sumber-sumber secara signifikan dari gunung berapi Tangkuban Perahu, transportasi dan kondisi wilayah yang masih hijau sebagai sumber amonia. Kelompok IV adalah daerah padat transportasi dan tentunya emisi NO2 dan SO2 adalah tinggi.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
419
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
3.2 Variabilitas NO2, SO2, dan NH3
b DJF
MAM
JJA
SON
Konsentrasi NO2 (ppb)
Konsentrasi NO2 (ppb)
a 80 70 60 50 40 30 20 10 0
80 70 60 50 40 30 20 10 0
Rata-rata
Max
Min
Gambar 3-2. a. Variasi musiman NO2 (DJF, MAM, JJA, SON) dan b. Nilai rata-rata NO2 selama 2011-2013 Variasi musiman konsentrasi rata-rata NO2 adalah tinggi di semua lokasi pada musim SON dibandingkan musim lainnya berturutan seperti JJA, MAM, dan DJF. Konsentrasi ratarata NO2 adalah tinggi pada musim SON yaitu peralihan musim kemarau ke musim penghujan kemungkinan dikarenakan adanya peningkatan transportasi. Berbeda dengan di Eropa, Amerika dan Cina yang memerlukan pembakaran bahan bakar pada musim dingin, sehingga emisi NO2 mencapai puncaknya pada musim dingin (Meng et al., 2010). Perbedaan konsentrasi NO2 pada musim SON dibandingkan musim lainnya tidak begitu tinggi yaitu kurang dari 50%. Kondisi konsentrasi rata-rata NO2 mininum terdapat pada musim DJF. Konsentrasi rata-rata NO2 bervariasi dari 1,72±1,10 ppb di Pameungpeuk sampai 40,95±8,26 ppb di Cipedes daerah Kotamadya Bandung. Pameungpeuk terletak di Kabupaten Garut merupakan daerah pantai dan pedesaan, jauh dari kegiatan industri dan transportasi, maka emisi NO2 secara signifikan adalah rendah dibandingkan daerah lainnya. Sebaliknya konsentrasi NO2 yang tinggi di Cipedes berasal dari sumber transportasi yang sangat padat melintasi Jl. DR. Djundjunan dimana lokasi monitoring berada dari pagi sampai malam, juga merupakan pintu gerbang lalu lintas dari Bandung ke wilayah barat seperti Jakarta, Bogor, Cianjur dan sebagainya. Konsentrasi rata-rata NO2 tinggi terdapat di Cipedes, Jl. Riau (Martadinata), Kb. Kalapa, Soreang, Padalarang secara berurutan, sebagai daerah padat transportasi. Padalarang merupakan celah barat dari Cekungan Bandung, sehingga sumber emisi polutan tinggi di daerah ini. Angin membawa massa udara yang mengandung gas-gas polutan menerobos celah ini.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
420
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
b DJF
MAM
JJA
SON
Konsentrasi SO2 (ppb)
Konsentrasi SO2 (ppb)
a 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Rata
Max
Min
Gambar 3-3. a. Variasi musiman SO2 (DJF, MAM, JJA, SON) dan b. Nilai rata-rata SO2 selama 2011-2013
Variasi musiman konsentrasi rata-rata SO2 terlihat mencapai puncaknya pada musim SON di hampir semua lokasi, sama dengan NO2. Konsentrasi rata-rata SO2 mengalami nilai rendah atau mencapai minimum pada musim DJF. Pada musim SON kemungkinan terjadi kegiatan transportasi yang tinggi seperti terlihat di Cipedes, Kopo, Kb. Kalapa, Riau, dan Padalarang. Sedangkan di Ciater mempunyai nilai SO2 yang tinggi karena pengaruh dari gunung berapi Tangkuban Perahu. Hal ini berbeda dengan di Cina dimana SO2 mencapai puncaknya pada musim dingin dikarenakan penggunaan batubara (Meng et al., 2010). Tingginya SO2 di Cina disebabkan oleh penggunaan batubara untuk energy dan industri. Perbedaan nilai SO2 pada musim SON dibandingkan musim lainnya seperti DJF, MAM, dan JJA tidak begitu besar yaitu dibawah 50%, kecuali Padalarang, Cililin dan Pameungpeuk sebesar 52%, 63%, 56% terhadap DJF, secara berurutan. Konsentrasi rata-rata SO2 mencapai puncaknya pada musim JJA, yang mempunyai perbedaan lebih tinggi 40% dibandingkan musim SON. Hal ini sangat mungkin disebabkan penyebaran polutan SO2 dari Bandung, mengingat angin pada musim JJA berasal dari timur dan tenggara bertiup ke barat dimana daerah Padalarang terdapat di celah barat cekungan Bandung. Adanya penyebaran polusi dari kota Bandung karena pada musim tersebut angin dari timur menuju barat (Sumaryati et al., 2002). Konsentrasi rata-rata SO2 bervariasi dari 0,33±0,22 ppb di Pameungpeuk sampai 4,01±1,23 ppb di Cipedes daerah Kotamadya Bandung. Konsentrasi rata-rata SO2 yang rendah di Pameungpeuk dapat dimengerti karena kondisi sumber yang rendah seperti tingkat transportasi dan industri. Sedangkan Tanjungsari yang terletak di celah timur Cekungan Bandung sangat dipengaruhi oleh sumber lokal dari gunung berapi Calancang dan konsentrasi SO2 tinggi pada musim DJF. Hal ini sangat dimungkinkan adanya penyebaran polusi dari kota Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
421
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Bandung karena pada musim tersebut angin dari barat menuju timur (Sumaryati et al., 2002). Nilai SO2 maksimum terdapat di Cipedes dikarenakan wilayah Cipedes adalah daerah padat transportasi, maka sumber SO2 dari pembakaran bahan bakar minyak.
80 70 60 50 40 30 20 10 0
b DJF
MAM
JJA
SON
Konsentrasi NH3 (ppb)
Konsentrasi NH3 (ppb)
a
80 70 60 50 40 30 20 10 0
Rata-rata
Max
Min
Gambar 3-4. a. Variasi musiman NH3 (DJF, MAM, JJA, SON) dan b. Nilai rata-rata NH3 selama 2011-2013
Variasi musiman konsentrasi rata-rata NH3 memperlihatkan nilai maksimum pada musim Juni Juli Agustus dan nilai rendah pada musim Desember Januari Februari. Hal ini sama dengan di Cina dimana NH3 mencapai maksimum pada musim panas dan nilainya rendah pada musim dingin (Meng et al., 2010). Produksi NH3 berasal dari pembakaran biomasa, pembuangan kotoran ternak, pemupukan dengan pupuk urea atau pupuk hewan adalah tinggi di daerah pedesaan dibandingkan kota. Di daerah pedesaan (rural) seperti Tanjungsari, Cililin dan Lembang yang merupakan daerah pertanian, konsentrasi NH3 terlihat tinggi adalah signifikan dengan pengunaan pupuk atau terjadi produksi nitrogen pada tanaman. Perbedaan konsentrasi NH3 pada musim JJA dibandingkan musim lainnya dibawah nilai 40%, kecuali Lembang 45%. Kecuali Pameungpeuk justru tinggi pada musim DJF dengan perbedaan 54% terhadap musim JJA. Konsentrasi rata-rata NH3 bervariasi dari 7,90±5,15 ppb terdapat di Pameungpeuk sampai 44,62±6,99 ppb di Kebon Kalapa Kotamadya Bandung. Nilai terendah di Pameungpeuk karena hanya berasal dari tanaman dan daerah pemantauan relatif bersih kondisi atmosfernya. Berbeda dengan Kb.Kelapa yang merupakan daerah padat perumahan di pusat Kota Bandung, kemungkinan sumber NH3 berasal dari kotoran ternak di sekitar lokasi.
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
422
ISBN: 978-979-1458-87-0
4
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
KESIMPULAN Hasil memperlihatkan variasi musiman dan peta konfigurasi dari model Euclidean
Distance berupa pola kedekatan antar lokasi/kota berdasarkan gas NO2, SO2, dan NH3 dalam empat kelompok. Kelompok-kelompok tersebut: I. kelompok dengan nilai tinggi untuk NO2, dan NH3, II. kelompok yang didominasi nilai NH3 yang tinggi.dibandingkan NO2 dan SO2, III. kelompok yang mempunyai kesamaan yaitu nilai cukup tinggi atau menengah untuk NO2, SO2, dan NH3, dengan sumber polutan yang rendah, karena letaknya yang jauh dari transportasi dan industri, IV. kelompok dengan konsentrasi NO2 dan SO2 yang tinggi karena sumber transportasi yang tinggi kapasitasnya. Konsentrasi rata-rata NO2 bervariasi dari 1,72±1,10 ppb di Pameungpeuk sampai 40,95 ±8,26 ppb di Cipedes daerah Kotamadya Bandung. Konsentrasi rata-rata SO2 bervariasi dari 0,33±0,22 ppb di Pameungpeuk sampai 4,01±1,23 ppb di Cipedes daerah Kotamadya Bandung. Konsentrasi rata-rata NH3 bervariasi dari 7,90±5,15 ppb di Pameungpeuk sampai 44,62±6,99 ppb di Kebon Kalapa Kotamadya Bandung. Pada sebagian besar lokasi, NO2 dan SO2 mencapai puncaknya di musim September Oktober Nopember dan nilai rendah di musim hujan yaitu bulan Desember Januari Februari, sedangkan NH3 memperlihatkan nilai maksimum pada musim panas bulan Juni Juli Agustus dan nilai rendah pada musim hujan yaitu bulan Desember Januari Februari.
UCAPAN TERIMA KASIH. Kami mengucapkan terima kasih kepada Pusat Sains Dan Teknologi Atmosfer LAPAN yang telah mendanai pemantauan deposisi asam di Cekungan Bandung.
DAFTAR RUJUKAN Al-Momani I.F., Tuncel S., Eler U., Ortel E., Sirin G., and Tuncel G., 1995, “Major Ion Composition of Wet and Dry deposition in The Eastern Mediterranean Basin”, The Science of the Total Environment 164: 75-85 Draaijers, G., Erisman J., Lovblad G., Spranger T., and Vel E., et al., 1998, “Quality and uncertainty aspects of forest deposition estimation using throughfall, stemflow and precipitation measurements”, TNO Institute of Environmental Sciences, Energy Research and Process Innovation. TNO-MEP Report 98/003 Graedel T.E., and Crutzen P.J., 1993, “Atmospheric Change and Earth System Perspective”, WH Freeman and Company, New York, hal. 238
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
423
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Hamonangan, E., Kondo A., Kaga A., Inoue Y., Soda S., and Yamaguchi K., 2003, Retrieval of Emission Loads from Measured Nitrogen Oxide Concentrations in Jakarta City”, Clean Air and Environmental Quality 37 No. 2, p: 32-37 Ministry of Environment-Indonesia (KLH), 2007, “State of Environment Report in Indonesia 2006”, pp. 336-349 Kompas, 2003, ”Profil Daerah Kabupaten Dan Kota, PT Kompas Media Nusantara”, jilid 2, hal.237-244 Lester M.R., 1995, “Sulfite sensitivity significance in human health”, Nutr. 14: 229-232 Mc. Gregor, G.R. and Nieuwolt, S., 1998, “Tropical Climatology: An Introduction To The Climates Of The Low Latitudes”, second edition, John Wiley & Sons, 125-133 Meng, Z., dan Zhang, B., 2002, “Induction effects of sulfur dioxide inhalation on chromosomal aberrations in mouse bone marrow cells”, Mutagenesisi 17: 215-217 Meng, Z., Sang N., dan Zhang, B., 2002, “Effects of derivaties of sulfur dioxide on micronuclei formation in mouse bone marrow cells in vivo”, Bull. Environ Contam. Toxico, 69: 257-264 Meng, Zhao-Yang, Xiao-Bin Xu, Tao Wang, Xing-Ying Zhang, Xiao-Lan Yu, Shu-Feng Wang, Wei-Li Lin, Yi-Zhen Chen, Yi-An Jiang, Xing-Qin An, 2010, “Ambient sulphur dioxide, nitrogen dioxide, and ammonia at ten background and rural sites in China during 2007-2008”, Atmospheric Environment 44 (2010) 2625-2631 Milukaite A., Mikelinskiene A., and Giedraitis B., 2000, “Acidification of the world: Natural and Anthropogenic”, Acid Rain 2000, Proceeding from the 6 th International Conference on Acidic Deposition: Looking back to the past and thinking of the future, Tsukuba, Japan, 10-16 December 2000, Vol.I, 1553-1558 Mouli P.C, Mohan S.V, and Reddy S.J, 2005, Rainwater chemistry at a regional representative urban site: influence of terrestrial sources on ionic composition”, Atmospheric Environment, No. 39, hal 999 – 1008 Narita Y., Satoh K., Hayashi Keiichi., Iwase T., Tanaka S., Dokiya Y., Hosoe M., and Hayashi Kazuhiko, 2000, “Long Term Of Chemical Constituents In Tokyo Metropolitan Area In Japan”, Acid Rain 2000, Proceedings from the 6 th International Conference on Acidic Deposition: Looking back to the past and thinking of the future, Tsukuba, Japan, 10-16 December 2000, Editor-in-Chief Satake Kenichi, Kluwer Academic Publishers, Vol. III(2000): 1649-1654 Pontoh, R.S., 2014, Pelatihan Analisis Hubungan Dengan Multidimensional Scaling Untuk Kasus Parameter Atmosfer di LAPAN”, Bandung, 13 Oktober 2014 Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
424
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
Sanusi Astrid, Wortham H., Millet M., and Mirabel P., 1996, “Chemical Composition Of Rain Water In Eastern France”, Atmospheric Environment Vol. 30, No. 1, 59-71 Seinfeld J.H. and Pandis S.N., 1998, “Atmospheric Chemistry and Physics from Air Pollution to Climate Change”, John Wiley and Sons. INC., New York, hal.1030-1033 Stern A.C., Boubel R.W., Turner D.B., and Fox L.N., 1984, “Fundamentals of Air Pollution”, second edition, Academic Press INC, Orlando-Florida, 35-45 Sumaryati, Afif Budiyono, Tuti Budiwati, Dessy Gusnita, M. Pariyatmo dan Sucipto, 2002, “Kajian Penyebaran Polusi Udara Dari Daerah Industri Di Cekungan Bandung”, Program Penelitian Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer Dan Iklim tahun 2002 Tugaswati, T., 2008, “Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor dan Dampaknya Kesehatan”, http://www.kpbb.org, 2008 Vet, R., Richard S. Artz, Silvina Carou, Mike Shaw, Chul-Un Ro, Wenche Aas, Alex Baker, Van C. Bowersox, Frank Dentener, Corinne Galy-Lacaux, Amy Hou, Jacobus J. Pienaar, Robert Gillett, M. Cristina Forti, Sergey Gromov, Hiroshi Hara, Tamara Khodzher, Natalie M. Mahowald, Slobodan Nickovic, P.S.P. Rao, Neville W. Reid, 2013, “A global assessment of precipitation chemistry and deposition of sulfur, nitrogen, sea salt, base cations, organic acids, acidity and pH, and phosphorus”, Atmospheric Environment, Available online 12 December 2013 Zhao, Y., Wang, S.X., Duan,L., Lei,Y., Cao, P.F., Hao, J.M., 2008, “Primary air pollutant emissions of coal-fired power plants in China: current status and future prediction”, Atmospheric Environment 42, 8442-8452
TANYA JAWAB SESI POSTER 1.
Novita Ambarsari, SSi., MT: Apakah metode multidimensional scaling (MDS) yaitu
model Euclidean Distance bisa juga diaplikasikan untuk data-data yaitu NO2, SO2 dan NH3 pada pengelompokan musim (empat musim). Jawaban: Bisa digunakan dengan cara mengelompokan data-data yaitu NO2, SO2 dan NH3 dari banyak lokasi berdasarkan musimnya. 2.
Wiwiek Setyawati, BEng., MT: Bagaimana metode multidimensional scaling (MDS)
pada pengelompokan kota-kota dengan data-data yaitu NO2, SO2 dan NH3. Jawaban: Dengan metode MDS maka kota kota akan mengelompok berdasarkan kedekatan nilai konsentrasi NO2, SO2 dan NH3. Pengelompokan kota-kota pada peta konfigurasi diatas didasarkan pada tiga variabel dengan komposisi atmosfer yaitu SO2, NO2 dan NH3. Kelompok I adalah daerah yang Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
425
ISBN: 978-979-1458-87-0
Peran Sains dan Teknologi Atmosfer-Antariksa Untuk Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan
didominasi transportasi dan limbah yang memproduksi ammonia. Adapun kelompok II adalah daerah yang dominan dipengaruhi sumber NH3, untuk daerah pedesaan seperti Tanjungsari, Cililin, Lembang, dan Pameungpeuk karena pemupukan, Kelompok ini adalah wilayah yang tidak dipengaruhi sumber polutan yang tidak begitu tinggi. Kelompok III adalah daerah yang dekat volkanik seperti Ciater, Dago, Cikadut di utara Bandung. Ciparay di selatan dekat dengan transportasi. Kesamaannya mempunyai konsentrasi SO2 yang cukup tinggi dikarenakan daerah ini dipengaruhi oleh sumber-sumber secara signifikan dari gunung berapi Tangkuban Perahu, transportasi dan kondisi wilayah yang masih hijau sebagai sumber amonia. Kelompok IV adalah daerah padat transportasi dan tentunya emisi NO2 dan SO2 adalah tinggi. 3.
DR. Ina Juaeni: Apakah kondisi saat ini sudah membahayakan atau masih normal untuk
NO2, SO2 dan NH3? Jawaban: Kondisi NO2, SO2 dan NH3 masih aman untuk kesehatan karena kisarannya masih dibawah nilai ambang batas NO2 = 100 ug/Nm3: SO2 = 60 ug/Nm3 dan NH3 = 500 (ug/m3) (PP. No. 41 Tahun 1999, Pengendalian Pencemaran Udara, KLH) Klas
NO2
SO2
NH3
(ug/m3)
(ug/m3)
(ug/m3)
NO2 (ppb)
SO2 (ppb)
NH3 (ppb)
Tinggi
40,95
4,01
44,62
76,98
10,50
31,01
Menengah
19,93
1,33
11,91
37,47
3,49
8,28
Rendah
1,72
0,33
7,90
3,24
0,85
5,49
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa (SNSAA) 2014 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung 25 November 2014
426