ISBN: 978-602-17249-2-7 INOVASI SPESIFIK LOKASI DALAM RANGKA MEMBANGUN PERTANIAN YANG RAMAH LINGKUNGAN
Penyunting : Basri A. Bakar Yenni Yusriani Fantashir A. Fuqara Irvandra Fatmal Idawanni Nurbaiti Cut Nina Herlina
BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN (BPTP) ACEH
KEMENTERIAN PERTANIAN 2015
111i
INOVASI SPESIFIK LOKASI DALAM RANGKA MEMBANGUN PERTANIAN YANG RAMAH LINGKUNGAN
Hak Cipta @ 2015. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh Alamat Penerbit Jl.P. Nyak Makam No.27, Lampineung – Banda Aceh 23125 Telp. : (0651) 7551811 Fax. : (0651) 7552077 E-mail :
[email protected] Website : nad.litbang.pertanian.go.id Isi buku dapat disitasi dengan menyebutkan sumbernya
Inovasi Spesifik Lokasi dalam Rangka Membangun Pertanian Ramah Lingkungan/Basri dkk. Banda Aceh : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh, 2015 ISBN 978-602-17249-2-7 1.Hortikultura 2. Peternakan 3.Perkebunan 4.Tanaman Pangan 5.HPT 6. Pasca Panen 7. Peningkatan Produktivitas Lahan
Dicetak di Banda Aceh, Indonesia ii
KATA PENGANTAR
Dalam upaya membangun kerangka landasan yang kokoh bagi pencapaian pembangunan pertanian yang tangguh, dengan produk pertanian yang lebih berkualitas dan bernilai tambah diperlukan dukungan penerapan inovasi pertanian yang handal. Selain itu dalam pelaksanaannya perlu adanya keterpaduan yang harmonis mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Keterpaduan ini dapat diwujudkan melalui pelaksanaan program-program, baik lintas sektoral maupun antar sub sektor yang terkait. Dalam kaitan ini upaya yang mengarah kepada pemantapan koordinasi perlu mendapatkan perhatian dalam mendorong pembangunan pertanian. Ketersediaan dan penerapan inovasi pertanian di tingkat lapangan juga menjadi penentu keberhasilan pembangunan pertanian. Hasil-hasil penelitian dan pengkajian yang telah dihasilkan perlu secepatnya disebarluaskan. Untuk itu Forum Professional Peneliti Penyuluh (FORPI) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh dalam kiprahnya untuk mendukung pembangunan pertanian yang ramah lingkungan, menuangkan karyanya yang diramu dalam buku ini. Kami menyadari bahwa tulisan yang disajikan masih banyak kekurangan dan kelemahan. Untuk itu masukan dan saran-saran yang membangun sangat kami rahapkan untuk penyempurnaan, sehingga apa yang menjadi harapan dalam pembangunan pertanian dapat secepatnya terwujud. Akhir kata kepada semua pihak yang telah turut berperan dalam penyusunan dan memberikan masukan dalam penyusunan buku ini kami mengucapkan terima kasih. Banda Aceh,
April 2015
Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh
Ir. Basri AB, M.Si
NIP. 19600811 198503 1 001
iii
DAFTAR ISI Kata Pengantar .................................................................... ii Daftar Isi ............................................................................ iii Inovasi Mendukung Pengembangan Hortikultura Pendampingan Gapoktan Reje Keumala untuk Pengolahan Cabai dan Tomat Berbasis Agroindustri di Kabupaten Bener Meriah .......................................................................1 Mensiasati Tanaman Cabai Tumbuh Optimal dan Penuhi Permintaan Pasar ................................................................8 Penangkaran Benih Bawang Merah ..................................... 12 Efisiensi Pemupukan Melalui Pupuk Organik pada Sentra Produksi Kentang ............................................................... 21 Inovasi Mendukung Pengembangan Peternakan Sistem Pemberian Pakan pada Ternak Sapi Potong .............. 25 Pemanfaatan Limbah Jagung Sebagai Sumber Pakan Bagi Ternak ....................................................................... 32 Potensi Limbah Sawit Sebagai Sumber Nutrisi Pakan Ternak. 38 Obat-obatan Tradisional untuk Ternak................................. 45 Fermentasi Jerami Padi Probiotik Sebagai Pakan Ternak Sapi dan Pupuk Organik .......................................... 60 Inovasi Mendukung Pengembangan Perkebunan Memahami Rantai Nilai Kopi Arabika Gayo dari Petani ke Konsumen .................................................................... 71 Pengembangan Usaha Komoditi Pala Aceh .......................... 74 iv
Perbaikan Pembibitan Kopi Melalui Introduksi Varietas, Pupuk Cair dan Naungan .................................................... 84 Inovasi Mendukung Pengembangan Tanaman Pangan Azolla, Tanaman Paku Air yang Menguntungkan Padi Sawah........................................................................ 92 Peran Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) terhadap Peningkatan Produktivitas Padi di Kabupaten Pidie Jaya.................................................... 100 Inovasi Pertanian di Lahan Rawa ...................................... 110 Teknologi Beberapa Varietas Kacang Hijau pada Lahan kering.................................................................... 123 Inovasi Mendukung Pengembangan Hama Penyakit Tanaman Pengendalian Hama Tikus pada Tanaman Padi Melalui Pendekatan Secara Terpadu ............................................. 131 Teknologi Pengendalian Ulat Grayak pada Tanaman Kedelai ............................................................. 137 Tanaman Biopestisida ...................................................... 144 Teknik Pengendaian Gulma (Fisik, Biologi dan Kimiawi) pada Tanaman Kedelai ..................................................... 152
v
Inovasi Mendukung Pengembangan Pasca Panen Teknik Prosessing, Penyimpanan dan Teknologi Pasca Panen Benih Kedelai ............................................... 161 Mengenal Kualitas dan Mekanisme Pengawetan Daging...... 168 Teknologi Panen dan Pascapanen Bawang Merah .............. 176 Inovasi untuk Peningkatan Produktivitas Lahan Potensi Bahan Organik dalam Meningkatkan Produktivitas Lahan.......................................................... 182 Pasca Panen Buah Jambu Biji ........................................... 192 Mengenal Citra Rasa Berbagai Jenis Ubi Jalar .................... 203 Trichocompos .................................................................. 212 Konsep Pertanian Organik ................................................ 216 Panen dan Pasca Panen Padi Gogo.................................... 226
vi
PENDAMPINGAN GAPOKTAN REJE KEUMALA UNTUK PENGOLAHAN CABAI DAN TOMAT BERBASIS AGROINDUSTRI DI KABUPATEN BENER MERIAH Oleh: Basri A. Bakar Secara umum luas tanam cabai di Provinsi Aceh pada tahun 2011 mencapai 8.612 ha dengan produksi 49.525 ton dan tomat
mencapai 1.177 ha dengan produksi 17.358 ton
(BPS, 2012). Kabupaten Bener Meriah merupakan salah satu daerah potensi hortikultura sayuran di Aceh dan sentra tanaman cabai dan tomat yang memberi kontribusi penting bagi perekonomian daerah. Selama ini animo petani untuk menanam cabai dan tomat cukup
tinggi,
namun
sering
dihadapkan
pada
berbagai
permasalahan seperti 1) karakteristik kedua komoditi ini yang mudah rusak dan busuk, 2) fluktuasi harga yang cukup tinggi terutama pada saat panen raya, 3) minimnya teknologi pengolahan, dan 4) belum optimalnya peran Gapoktan dan pemerintah dalam pembinaan. Di lain pihak saat ini berbagai teknologi pascapanen telah dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian untuk membantu petani mengatasi permasalahan, melalui rekayasa kelembagaan agroindustri
yang
dipadukan
dengan
rekayasa
teknologi
pengolahan cabai dan tomat yang dipadukan dengan kebijakan pemasaran dan permodalan. Rekayasa kelembagaan dan 1111
teknologi tersebut mesti dilakukan dengan penuh perhitungan dan
efisiensi
yang
dapat
dimulai
di
Kabupaten
Bener
Meriah,untuk selanjutnya dikembangkan di daerah sentra cabai dan tomat lainnya. Oleh karena itu diperlukan adanya model agroindustri pengolahan cabai dan tomat dengan aplikasi teknologi yang tepat dan sesuai dengan karakteristik wilayah. Dengan demikian dapat diharapkan akan terwujudnya agroindustri cabai dan tomat yang menguntungkan dan berdaya saing secara berkelanjutan di Provinsi Aceh. Tujuan dari kegiatan pendampingan adalah membentuk model agroindustri pengolahan cabai dan tomat dengan memanfaatkan
dan
meningkatan
peran
Gapoktan
Reje
Keumala di Kabupaten Bener Meriah dan meningkatkan peran lembaga pemerintah dalam pembinaan Gapoktan melalui model kerjasama. Seperangkat alat dan mesin pengolahan diberikan ke Gapoktan melalui BB Pascapanen Bogor. Pendekatan program yang dilakukan meliputi validasi teknologi prosesing cabai dan tomat, dimana masih terdapat kelemahan berupa minimnya peralatan dan pendampingan teknologi pengolahan yang mengarah ke model agroindustri pengolahan cabai dan tomat serta pembinaan dan penguatan kelembagaan mencakup teknis prosesing dan manajemen. 2
Pendekatan yang digunakan yaitu business approach dengan melibatkan partisipasi aktif anggota gapoktan. Proses alih teknologi termasuk pembentukan model agroindustri dilaksanakan di Kabupaten Bener Meriah dari bulan Agustus
sampai Desember 2014.
Cakupan teknologi
olahan cabai meliputi cabai kering, tepung cabai, saus cabai dan pasta cabai. Sedangkan olahan tomat dilakukan dalam bentuk pasta tomat, sari buah tomat dan saos tomat. Hasil Kegiatan Berdasarkan
hasil
survey
dan
pengumpulan
data
sekunder, bahwa Kabupaten Bener Meriah memiliki potensi untuk
pengembangan
komoditas
pertanian
khususnya
hortikultura seperti kentang, cabai, tomat, bawang merah, bawang putih, kubis, markisa dan buncis. Adapun luas dan produksi beberapa komoditas hortikultura di Kabupaten Bener Meriah tahun 2011 pada Tabel 1. Khusus cabai dan tomat merupakan komoditi yang umum ditanam sepanjang tahun oleh petani di Kabupaten Bener Meriah, sehingga menjamin ketersediaan bahan baku hampir sepanjang tahun. Namun sejak tiga tahun terakhir trend penanaman tomat mengalami penurunan luas areal. Hal ini disebabkan karena harga yang berfluktuasi dan sering rentan gangguan hama penyakit. Akibatnya banyak petani yang 3
beralih ke tanaman lain seperti kentang dan kopi yang harganya relatif stabil. Varietas cabai yang sering ditanam adalah jenis lokal “Lanyoe” dan “Amando Lepaben” yang benihnya diproduksi sendiri oleh petani setempat. Sedangkan komoditi tomat, luas penanamannya cenderung stabil dari tahun ke tahun. Varietas yang sering ditanam
umumnya
varietas Hibrida “Martha” dan “Menara”. Tabel 1. Luas dan produksi beberapa komoditas hortikultura di Kabupaten Bener Meriah tahun 2011 Komoditi Luas Tanam Produksi Produktivitas (ha)
(ton)
(ton/ha)
1.048
8.972
9,99
99
860
9,35
Kentang
835
1.232
15,20
Bawang merah
220
1.565
7,28
60
189
4,20
406
9.218
23,22
92
675
7,76
Cabai besar Tomat
Bawang putih Kubis Buncis
Sumber : Kabupaten Bener Meriah (2012) Profil Gapoktan Reje Keumala Gapoktan Reje Keumala beralamat di Desa Blang Kucak Kecamatan Wih Pesam Kabupaten Bener Meriah, berdiri sejak 6 Pebruari 2009 dengan jumlah anggota 60 orang, terdiri dari 3 kelompok tani yaitu Kelompok tani Ceulala, Dedingin dan 4
Gegarang, masing-masing berjumlah 20 anggota. Unit usaha yang telah berjalan adalah unit usaha tani, unit sarana dan prasarana
serta
unit
simpan
pinjam,
sedangkan
unit
pengolahan hasil dan unit pemasaran masih belum berjalan sebagaimana mestinya. Kegiatan yang pernah dilakukan oleh Gapoktan Reje Keumala kerjasama dengan Dinas Pertanian antara lain SL Pengendalian Hama Terpadu Cabai (2009), SL PHT Tomat (2010 – 2011) untuk pemula dan lanjut, SL PHT padi untuk pemula dan lanjut dan beberapa kegiatan lain baik secara swadaya maupun kegiatan Dinas/ instansi pemerintah. Semua
anggota
kelompok
yang
bergabung
dalam
Gapoktan Reje Keumala bermata pencaharian sebagai petani dengan bidang usaha budidaya hortikultura dengan luas penguasaan lahan rata-rata 0,5 hektar. Dengan adanya pembinaan dan pendampingan prosessing cabai dan tomat dapat memicu anggota kelompok tani untuk mengolahnya menjadi produk yang bernilai. Pembentukan model agroindustri pengolahan cabai dan tomat merupakan penerapan model tripartet yang melibatkan lembaga penelitian (BB Pascapanen dan BPTP Aceh), lembaga pendidikan (STPP Medan) dan masyarakat (Gapoktan) selaku penerima manfaat. Pembinaan dengan model ini bertujuan untuk
meningkatkan
koordinasi
dan
peranan
lembaga 5
pemerintahan dalam pelaksanaan kegiatan demi mendapatkan hasil yang optimal. Kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui penguatan kelembagaan Gapoktan Reje Keumala, dapat dlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Bentuk pemberdayaan pembentukan agroindustri pengolahan cabai dan tomat No. Bentuk Dimensi Perberdayaan Pemberdayaan 1.
Peningkatan kapasitas SDM
2.
Penguatan modal
3.
Pengembangan jejaring
Kegiatan
a. Pemahaman dan keterampilan tentang pengolahan cabai dan tomat b. Peningkatan partisipasi anggota Gapoktan c. Uji produksi pengolahan cabai dan tomat a. Pemberian bantuan peralatandan mesin pengolahan cabai dan tomat b. Pemberian bantuan kemasan a. Pembinaan dan pembinaan terkait izin produksi b. Pembinaan dan pendampingan pemasaran c. Kemitraan dengan Dinas Pertanian Kabupaten Bener Meriah.
pendampingan
diarahkan
agar
terciptanya
kemandirian Gapoktan dalam mengembangkan agroindustri cabai dan tomat tersebut sebagai salah satu kegiatan Small 6
and Medium Enterprise. Pendampingan ini diharapkan menjadi model bagi pengembangan kelompok lain dalam upaya pengolahan cabai dan tomat. Dengan demikian kendala yang dirasakan petani selama ini berupa murahnya harga kedua komoditi ini saat panen raya dapat diatasi dengan mengolah dalam berbagai produk yang bernilai ekonomis dan tahan lama. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistika. 2012. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Bener Meriah Provinsi Aceh. Cahyono. 1998. Tomat, Usaha Tani dan Pascapanen. Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Penanganan
Prayudi, B. 2010. Budidaya dan Pascapanen Cabai Merah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. Stiadi. 2006. Bertanam Cabai. Penerbit Penebar Swadaya Bogor. Soetiarso, M., Ameriana dan Sumarni. 2006. Pertumbuhan, Hasil dan Kelayakan Finansial Penggunaan Mulsa dan Pupuk Buatan pada usahatani Cabai Merah di Luar Musim. Jurnal Hortikultura 16 (1) 2006. Trisnawati dan Setiawan. 1994. Tomat Pembudidayaan secara Komersial. Penerbit Penebar Swadaya
7
MENYIASATI TANAMAN CABAI TUMBUH OPTIMAL DAN PENUHI PERMINTAAN PASAR Oleh : Rini Andriani
Tanaman cabai (Capsicum annuum) merupakan tanaman sayuran buah semusim, yang diperlukan oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai penyedap masakan dan penghangat badan. Kebutuhan terhadap cabai semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah kebutuhan konsumen. Tanaman cabai bila dibandingkan dengan tanaman lain jumlahnya paling kecil, tetapi karena banyak diperlukan sehari-hari sebagai bumbu dapur, maka pengaruhnya terhadap stabilitas hargaharga di pasar sangat dirasakan, terutama pada hari besar (hari raya). Pada hari besar dan pada saat tanam harga cabai melonjak sampai beberapa kali harga pada waktu normal. Tetapi sebaliknya, pada saat panen harganya merosot jauh di bawah harga rata-rata pasar. Beberapa faktor yang menyebabkan berfluktuasinya harga cabai yaitu kebiasaan petani bertanam cabai mengikuti pola musim tanam yang menyebabkan pasokan ke pasar tidak kontinyu. Demikian pula cuaca ekstrem pada saat tanam dan rendahnya pengetahuan petani terhadap karakter tanaman cabai yang bisa ditanam pada musim-musim tertentu.
8
Teknologi pertanian yang memungkinkan untuk diadopsi agar tanaman cabai tumbuh optimal meskipun ditanam sepanjang tahun dan agar pasokan ke pasar relatif kontinyu di antaranya : 1. Teknologi Benih Benih adalah salah satu faktor penentu keberhasilan menanam cabai. Pemilihan benih yang tepat akan berdampak pada potensi hasil. Pilihan benih cabai di pasaran benih kini sudah banyak tersedia di toko-toko saprodi dengan berbagai jenis dan merek serta kualitasnya. Pada saat membeli benih, disesuaikan jenis benih yang akan ditanam dengan kondisi cuaca dan lokasi penanaman serta sasaran pemasarannya. 2.
Teknologi Mulsa Plastik Hitam Perak Beberapa manfaat dari penggunaan mulsa plastik yaitu
rumput dan gulma dapat dicegah sehingga zat makanan untuk tanaman
dapat
terpenuhi,
menekan
kelembaban
udara,
menjaga kelembaban, suhu dan kestabilan keasaman tanah. 3.
Aplikasi Teknologi EMP Mikroorganisme tanah memiliki peran sebagai penyedia
zat makanan tanaman dan berpengaruh terhadap perbaikan sifat fisik tanah. Teknologi EMP merupakan teknologi aplikasi inokulan mikroorganisme yang menguntungkan bagi tanah dalam proses budidaya pertanian.
9
4. Aplikasi Teknologi Bokasi Istilah bokasi bisa didefinisikan sebagai pupuk organik yang diperkaya dengan mikroorganisme yang menguntungkan bagi tanah dan tanaman. Aplikasi teknologi bokasi dianjurkan dikombinasikan dengan teknologi EMP jika kandungan bahan organik tanah dalam kondisi rendah atau sangat rendah. 5.
Pemilihan Lokasi dan Pola Tanam Tanaman cabai tidak menyukai kondisi tanah yang terlalu
lembab dalam waktu lama. Tanah seperti lahan persawahan cenderung jenuh air pada musim hujan. Pada situasi
ini
dianjurkan menanam pada musim kemarau. Tanah seperti lahan pertanian dataran menengah dan dataran tinggi biasanya memiliki drainase baik. Alternatif lainnya untuk menambah keuntungan dan meminimalisir kerugian-kerugian yang mungkin ada yaitu dengan menerapkan pola tanam tumpangsari. Gunanya yaitu untuk menghemat biaya pupuk, pestisida dan mulsa. Contoh tanaman yang dapat ditumpangsarikan dengan cabai merah seperti bawang merah, selada, bawang daun, atau kol bunga. Menurut Final Prajnanta (2011), seorang pakar hama penyakit tanaman menyarankan kepada petani cabai bahwa dalam bertanam cabai cukup satu periode saja. Pergiliran tanaman juga sebaiknya dipilih dari tanaman yang berasal dari keluarga nun solananceae seperti talas, edamame, padi, jagung, atau 10
kol. Tujuannya yaitu untuk menghambat perkembangan hama dan penyakit pada cabai, seperti phytophtora dan antraknosa. Bila kebutuhan terhadap cabai sedikit dibandingkan pasokannya, maka kenaikan harga akan terjadi. Hal ini tentunya akan menguntungkan petani. Oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum menanam cabai yaitu 1) menanam cabai pada saat harganya murah, 2) mengunjungi daerah sentra untuk melihat luasan penanaman cabai. Jika luasnya menyusut, maka saat itulah waktu yang tepat untuk menanam, 3) mengecek volume penjualan benih dari masing-masing produsen, jika penjualan melebihi tahun sebelumnya maka penanaman bisa ditangguhkan 4) melakukan kontrak penjualan dengan pabrik/pemakai bahan baku cabai 5) menanam varietas unggul agar produksinya tinggi. Dan tentunya dalam menanam tetap memperhatikan cara-cara menanam yang baik dengan menggunakan beberapa teknologi yang telah dijelaskan di atas. Di tahun 2014, kebutuhan akan cabai di Aceh mengalami kenaikan dari Rp. 20.000/Kg menjadi 60.000/Kg. Penyebabnya karena bencana banjir yang melanda Aceh beberapa hari terakhir. Cabai merah mengalami kenaikan harga cukup tinggi karena dipasok dari Meulaboh Aceh Barat dan Lamno, Aceh Jaya yang merupakan wilayah terparah direndam banjir. Pasokan yang mulai berkurang menyebabkan mahalnya harga. 11
Saat ini, di pasar Sigli, Kabupaten Pidie, harga cabai merah juga mengalami kenaikan dari Rp. 22.000/Kg menjadi 32.000/Kg. Penyebabnya adalah kurangnya pasokan ke pasar setempat akibat dari hasil panen cabai merah di Pidie dikirim ke Sumatera Utara dan banyaknya petani di Kabupaten ini belum panen, bahkan ada yang sudah panen tetapi kualitasnya kurang bagus. Dengan banyaknya permintaan akan cabai merah, hal ini menunjukkan
tingginya
potensi
cabai
merah
untuk
dikembangkan di daerah-daerah tertentu. Tentunya dengan penggunaan
beberapa
teknologi
pertanian
untuk
mengoptimalkan tanaman cabai merah agar kualitasnya bagus dan pasokan ke pasar berjalan lancar.
DAFTAR PUSTAKA Aya.
2015. Harga Cabai Merah Naik. http://aceh.tribunnews.com/2015/05/09/harga-cabaimerah-naik. Diakses 21 Mei 2015
Setyadi, Agus. 2014. Dampak Banjir Harga Cabai Merah Di Aceh Tembus Rp. 60.000/kg, Naik 50%. http://finance.detik.com/read/2014/11/07/153714/2. Diakses 21 Mei 2015 Tarmizi, Fadhil. 2014. Harga Cabai Merah Meroket Di Aceh Barat. 12
http://www.rri.co.id/post/berita/100346/ekonomi/harga_cabai_ merah_meroket_di_aceh_barat.html. Diakses 21 Mei 2015 Ir. Wahyudi. 2011. Panen Cabai Sepanjang Tahun. AgroMedia Pustaka. Jakarta. Trubus. My Potential Business. 2011. Cabai. PT. Trubus Swadaya. Depok.
13
PENANGKARAN BENIH BAWANG MERAH Oleh : Nurbaiti Setiap tahun pemintaan bawang merah untuk konsumsi dan benih dalam negeri terus mengalami peningkatan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka produksi dan mutu hasil bawang merah harus terus ditingkatkan, salah satunya penggunaan benih unggul bawang merah yang bersertifikat. Di Propinsi Aceh terutama pada sentra-sentra pengembangan bawang merah seperti di Kabupaten Pidie, Bener Meriah dan Aceh Tengah, produktivitas rata-rata masih rendah berkisar 7,87 ton/ha – 10,5 ton/ha (BPS, 2014). Salah satu penyebab rendahnya produktivitas antara lain karena tidak menggunakan bibit
unggul, atau bibit yang
digunakan bukan berasal dari bibit produksi yang diperbanyak secara khusus. Pada umumnya para petani menggunakan umbi bibit bawang merah yang berasal dari umbi konsumsi yang telah mengalami pecah dormansi, sehingga kemurnian serta daya
tahan
terhadap
produksinya
masih
sebelumnya
menyerang
penyakit
diragukan,
maupun
khususnya
pertanaman
kemampuan
penyakit
bawang,
yang
sehingga
dikhawatirkan akan terbawa pada generasi berikutnya.
14
Prosedur Produksi Benih Sumber Bawang Merah Lahan Lahan yang digunakan untuk produksi benih sumber, bukan bekas lahan penanaman bawang merah atau yang se famili, sebaiknya dilakukan rotasi dengan tanaman lain, lahan bebas dari nematoda dan busuk umbi. Lokasi penanaman bibit bawang merah harus memiliki kesesuaian agroklimat untuk pertumbuhan bawang merah antara lain pH berkisar 5,5 – 7,0. Jika pH di bawah kisaran tersebut maka dianjurkan melakukan pengapuran. Di samping itu harus tersedia sumber air untuk mengairi pertanaman saat dibutuhkan. Penyiapan Benih Benih yang digunakan berasal dari varietas unggul nasional
yang telah dilepas oleh Menteri Pertanian. Benih
unggul tersebut bemutu dan bersertifikat serta berlabel dengan kelas benih yang lebih tinggi dari yang akan diproduksi. Benih bawang yang akan ditanam sudah melewati masa dormansi (berumur 2-3 bulan setelah panen). Beberapa varietas bawang merah yang dikembangkan oleh Balitsa Lembang Jawa Barat antara lain adalah : Pikatan, umur panen normal 55 hari, potensi hasil 6,2 – 23,3 ton/ha, dengan keunggulan tahan simpan sampai 6 bulan 15
Pancasona, umur panen normal 57 hari, potensi hasil 6,9 – 23,7 ton/ha, dengan keunggulan tahan simpan sampai 3 - 4 bulan Trisula, umur panen normal 55 hari, potensi hasil 6,5 – 23,2 ton/ha, dengan keunggulan tahan simpan sampai 5 bulan Mentes, umur panen normal 58 hari, potensi hasil 7,1– 27,6 ton/ha, dengan keunggulan tahan simpan sampai
3 - 4
bulan
Gambar 1. Varietas bawang merah dari Balitsa Permohonan Pemeriksaan Lapangan Sebelum dilakukan perbanyakan benih, penangkar benih bawang harus mengajukan permohonan pemeriksaan lapangan pendahuluan kepada Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPSBTPH) Propinsi Aceh. Surat Permohonan ini harus diajukan paling lambat 1 (satu) minggu sebelum tanam. 16
Penyiapan Lahan - Pengolahan tanah dilakukan 15-20 hari sebelum tanam dengan kedalaman 20-30 cm, pembuatan bedeng dengan ukuran 100-110 cm sedangkan panjang menyesuaikan lahan, lebar parit 40-50 cm. - Pemupukan dasar dilakukan dengan menggunakan pupuk kandang 5 – 10 ton/ha dan pupuk NPK 1/3
takaran (150
kg/ha) dan bedengan ditutup dengan plastik MPHP. - Jarak tanam untuk pembibitan bawang merah 15x 15 cm dengan kedalaman 15 cm. Pemeliharaan Tanaman - Pupuk susulan NPK 300 kg/ha diberikan pada umur 15 dan 30 HST masing-masing sepertiga dosis dengan cara ditabur secara merata pada larikan yang telah dibuat di antara tanaman dan tutup dengan tanah. - Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dengan insektisida dan pengendalian penyakit dengan fungisida. Frekuensi penyemprotan dua kali seminggu atau sesuai dengan kebutuhan. Roguing dan Pemeriksaan Lapang Adalah kegiatan melakukan seleksi atau membuang tanaman yang bukan varietasnya (berdasarkan deskripsi varietas) dan tanaman terkena serangan hama dan penyakit
17
yang dilakukan oleh pengawas benih berwenang (Pemulia dan Bagian Hama dan Penyakit, BPSBTPH). Pemeriksaan lapangan dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pemeriksaan lapang pendahuluan, pemeriksaan fase vegetatif (20-25 HST) dan pemeriksaan menjelang fase panen (35-40 HST) Panen Pemanenan
umbi
bawang
merah
dilakukan
setelah
tanaman mempunyai ciri-ciri 80% daun rebah dan menguning, leher batang kosong/ gembos, umbi tersembul ke pemukaan tanah dan berwarna merah. Umumnya bawang merah dipanen pada saat berumur 5575 hari, tergantung pada varietasnya dan daerah penanaman (dataran rendah atau dataran tinggi). Umbi bawang dicabut dengan hati–hati dari dalam tanah, kemudian diletakkan dalam keranjang/ karung yang telah diberi label yang mencantumkan : nama varietas, tanggal tanam, tanggal panen, dan lokasi penanaman dan diangkut ke tempat penjemuran. Kemudian timbang berat umbi yang telah dipanen. Prosessing Benih Pengeringan umbi bawang merah dilakukan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari secara tidak langsung sampai daun menjadi kering (kadar air umbi kering antara 75-80%). Hasil panen umbi selanjutnya dibersihkan dari akar dan sisa 18
kotoran yang menempel pada bagian umbi dan memisahkan umbi yang baik dan yang rusak karena mekanis maupun yang terkena serangan hama dan penyakit. Ambil satu persatu umbi yang baik dan daunnya telah kering kemudian
ikat menjadi
satu kesatuan dengan umbi yang lain menggunakan tali. Penyimpanan Benih dan Pemeliharaan di Gudang Penyimpanan umbi bawang merah sebaiknya pada kondisi suhu 29-30o C dan RH 65 – 70 %.
Penyimpanan dilakukan
dengan cara diikat dan digantung. Pemeliharaan di gudang penyimpanan dilakukan setiap bulan dengan melakukan sortasi benih (membuang benih yang keropos dan busuk) dan pemeliharaan kebersihan gudang sehingga kualitas benih tetap terjaga. Permohonan
Pemeriksaan
Umbi
di
Gudang
dan
Pemasangan Label Umbi bawang yang dipanen dan disimpan selama 2-3 bulan,
penangkar
bawang
harus
mengajukan
surat
permohonan pemeriksaan umbi di gudang kepada Kepala Balai Sertifikasi Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura. Setelah pemeriksaan umbi bawang di gudang dan selanjutnya dilakukan pemasangan label sehingga benih bawang yang akan disalurkan memiliki identitas yang jelas 19
terutama tentang mutu benihnya, sehingga tidak bertentangan dengan perundangan dan peraturan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA BPS. 2014. Pidie dalam Angka. BPS. 2014. Aceh Tengah dalam Angka. Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi. 2009. Standar Prosedur Operasional Produksi Benih Bawang Merah. Direktorat Jendral Hortikultura. Kementrian Pertanian, Jakarta. Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi. 2013. Pedoman Teknis Sertifikasi Benih Tanaman Hortikultura. Direktorat Jendral Hortikultura. Kementrian Pertanian, Jakarta. Wiguna, G. Hidayat, IM. Dan Azmi, C. 2013. Perbaikan Teknologi Produksi Benih Bawang Merah melalui Pengaturan Pemupukan, Densitas dan Varietas. J. Hort. 23(2):137-142.
20
EFISIENSI PEMUPUKAN MELALUI PUPUK ORGANIK PADA SENTRA PRODUKSI KENTANG Oleh: Abdul Azis Pendahuluan Kendala utama peningkatan produksi kentang di Indonesia di antaranya yaitu : (1) rendahnya kualitas dan kuantitas bibit kentang, yang merupakan perhatian utama dalam usaha peningkatan
produksi
kentang
di
Indonesia,
(2)
teknik
budidaya yang masih konvensional, (3) daerah tropis Indonesia merupakan tempat yang optimum untuk perkembangbiakan hama dan penyakit tanaman kentang (Kuntjoro, 2000). Penanaman bibit kentang bermutu, tepat waktu dan tepat umur fisiologis adalah faktor utama penentu keberhasilan produksi kentang (Wattimena, 2000). Upaya penyediaan benih kentang bermutu perlu dilandasi dengan sistem perbenihan yang mapan. Biaya produksi yang tinggi antara lain diakibatkan oleh harga bibit kentang yang tinggi, karena bibit umumnya masih diimpor. Biaya untuk bibit mencapai 35 – 40% dari total biaya produksi (Puspitaningtias dan Wattimena, 1998). Oleh karena itu salah satu usaha untuk menurunkan biaya produksi yang tinggi adalah dengan mengadakan bibit kentang yang bermutu di dalam negeri secara kontinyu, sehingga dapat menghemat biaya yang digunakan untuk membeli bibit setiap tahunnya dan 21
merangsang petani untuk meningkatkan usahanya (Asandhi, 1992 dalam Hartus 2001). Sentra Produksi Tanaman Kentang Berdasarkan kesesuaian agroekosistem dataran tinggi daerah sentra produksi kentang di Provinsi Aceh adalah Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Gayo Lues. Tingkat produktivitas rata-rata agregat yang dicapai 11,91 ton/ha dan masih berada di bawah tingkat produktivitas nasional yaitu 12,6 ton/ha, (Dinas Pertanian dan Hortikultura
Aceh
Tengah,
2012).
Sementara
hasil
penelitian/pengkajian potensi dapat mencapai 25-30 ton/ha bila dikelola dengan baik dan menggunakan varietas yang sesuai. Senjang hasil ini perlu mendapatkan perhatian dari stakeholder dan para peneliti untuk melakukan pengkajian kentang di Provinsi Aceh. Bahan Organik dan Efisiensi Pemupukan Pemanfaatan
bahan
organik
sangat
penting
dalam
memperbaiki sifat-sifat fisika, kimia, dan biologi tanah, selain mampu memperbaiki sifat fisika dan biologi tanah, bahan organik juga berperan sebagai penyumbang unsur hara serta meningkatkan efisiensi pemupukan dan serapan hara oleh tanaman. Penggunaan pupuk organik, baik jenis maupun 22
takarannya, telah banyak diteliti, tetapi akhir-akhir ini telah banyak dikembangkan pupuk organik kotoran ternak dan pupuk organik lainnya hasil fermentasi. Penggunaan
pupuk
organik
bermanfaat
untuk
meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk kimia, sehingga dosis pupuk dan dampak pencemaran lingkungan akibat penggunaan pupuk kimia dapat secara nyata dikurangi. Kemampuan
pupuk
organik
untuk
menurunkan
dosis
penggunaan pupuk konvensional sekaligus mengurangi biaya pemupukan telah dibuktikan oleh beberapa hasil penelitian, baik untuk tanaman pangan (kedelai, padi, jagung, dan kentang) maupun tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet, kakao, teh, dan tebu) yang diketahui selama ini sebagai pengguna utama pupuk konvensional (pupuk kimia). Lebih lanjut, kemampuannya untuk mengurangi dampak pencemaran lingkungan
terbukti
sejalan
dengan
kemampuannya
menurunkan dosis penggunaan pupuk kimia. Beberapa hasil penelitian di daerah Pati, Lampung, Magetan,
Banyumas,
organik
terbukti
dapat
menekan
kebutuhan pupuk urea hingga 100 persen, SP-36 hingga 50 perse dan kapur pertanian hingga 50 persen. (Rukmana, 2002). Aplikasi pupuk organik yang dikombinasikan dengan separuh takaran dosis standar pupuk kimia (anorganik) dapat menghemat biaya pemupukan. 23
Pengujian lapang terhadap tanaman pangan (kentang, jagung,
dan
padi)
juga
menunjukkan
hasil
yang
menggembirakan, karena selain dapat menghemat biaya pupuk, juga dapat meningkatkan produksi khususnya untuk dosis 75 persen pupuk kimia (anorganik) ditambah 25 persen pupuk organik (Goenadiet. al., 1998). Pada kombinasi 75 persen pupuk kimia (anorganik) ditambah 25 persen pupuk organik, tersebut biaya pemupukan dapat dihemat sebesar 20,73 persen untuk tanaman kentang; 23,01 persen untuk jagung; dan 17,56 persen untuk padi. Produksi dapat meningkat masing-masing 6,94 persen untuk kentang, 10,98 persen
untuk
jagung,
dan
25,10
persen
untuk
padi.
Penggunaan pupuk organik hingga 25 persen akan mengurangi biaya produksi sebesar 17 hingga 25 persen dari total biaya produksi. Kesimpulan Penggunaan pupuk kimia berkadar hara tinggi seperti Urea, ZA, SP-36, dan KCl tidak selamanya menguntungkan karena dapat menyebabkan lingkungan menjadi tercemar jika tidak menggunakan aturan yang semestinya. Pemupukan dengan pupuk kimia hanya mampu menambah unsur hara tanah tanpa memperbaiki sifat fisika dan biologi tanah, bahkan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap tanah. Kombinasi 24
pupuk organik, NPK dan NK memberikan hasil terbaik (13,63 knol/rumpun) disebabkan tanaman kentang membutuhkan lebih banyak unsur Kalium (K) dalam pembentukan umbi. Menurut F. Agus dan J. Ruijter (2004) setiap ton hasil kentang membutuhkan unsur N, P dan K asing-masing 2,7; 0,3 dan 3,6 kg. DAFTAR PUSTAKA Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. Laporan Tahunan 2007 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Karjadi, 2002. Potensi Penerapan Teknik Kultur Jaringan dan Perbanyakan Cepat dalam Pengadaan Bibit Kentang Berkwalitas. Balai penelitian Tanaman Sayuran Lembang. Makalah seminar Sehari Pengembangan KSP Sayuran Sembalun NTB, Mataram, Oktober 2002. Kuntjoro, A. S. 2000. Produksi Umbi Mini Kentang Go Bebas Virus Melalui Perbanyakan Planlet Secara Kultur Jaringan di P.T. Intidaya Agro Lestari (Inagro) Bogor – Jawa barat. Skripsi Jurusan budidaya pertanian Fakultas Pertanian IPB.62 hal. Nur, M ; Frits H. Silalahi dan Edison Bangun. 1998. Pengkajian Sistem Usahatani kentang di Sumatera Utara. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengkajian di Sumut. Medan 23 – 25 Maret 1998. BPTP Gedung Johor – Medan Sumut. 25
Saliem, P. 2001. Kajian Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia. Disertasi Program Pasca sarjana Institut Pertanian Bogor. Simatupang, sortha. 2000. Pengkajian Usaha Pembentukan Pembibitan Kentang Bermutu di Sumatera Utara, Prosiding Seminar Nasional Spesifik Lokasi Menuju Desentralisasi Pembangunan Pertanian. Medan 13 – 14 Maret 2000. hal 65 – 72. Syafri Edi, Yardha, Mildaerizanti dan Mugtiyanto. 2005. Pengaruh Sumber Bibit terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kentang di Kabupaten Kerinci, Jambi. Juornal pengkajian dan Pengembangan teknologi pertanian Vol. 8. No. 2. Juli 2005. hal. 232 – 241. Wattimena, G.A. 2000. Perkembangan Propagul Kentang Bermutu dan kultivar Kentang Unggul dalam Mendukung Peningkatan Produksi Kentang di Indonesia. Desertasi ilmiah guru Besar Tetap Ilmu Hortikultura. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. 86 Hal.
26
SISTEM PEMBERIAN PAKAN PADA TERNAK SAPI POTONG Oleh: Yenni Yusriani Problem kuantitas pakan terjadi karena beberapa hal, yaitu kurang imbangnya laju pertambahan jumlah ternak dengan
laju
pertambahan
pertambahan lahan
untuk
pakan,
kurang
penanaman
intensifnya
tanaman
pakan
ruminansia, tidak ada kebijakan khusus dari pemerintah untuk meningkatkan kuantitas pakan, ketersediaan pakan yang kurang dan lain-lain yang menyebabkan Indonesia masih menggantungkan diri pada import pakan. Harga pakan cenderung selalu berubah setiap saat tergantung situasi dan kondisi politik, alam dan pasar. Masalah yang terjadi adalah kurangnya kuantitas dan kualitas pakan, harga yang cenderung tidak stabil dan tingkat ketersediaan yang secara simultan terus berkurang. Semuanya saling kait mengkait sehingga apabila problem ada di salah satu bagian, hal itu berarti juga menjadi problem bagian lain pula. Kondisi kualitas pakan di Indonesia masih memprihatinkan karena umumnya pakan kurang berkualitas, belum ada standarisasi kualitas pakan dan masih beragamnya kualitas masing-masing bahan pakan. Kualitas dan kuantitas pakan adalah salah satu faktor sangat berpengaruh terhadap keberhasilan usaha peternakan. 27
Pada usaha ternak ruminansia hampir 70 persen komponen biaya produksi berasal dari pakan. Untuk itu perhatian terhadap standar asupan nutrisi ini berperan penting untuk mencukupi kebutuhan pokok (maintenance), perkembangan tubuh dan untuk kebutuhan reproduksi dari ternak. Implikasi dari kondisi asupan nutrisi ternak yang kurang, tak jarang dijumpai ternak dengan pertambahan berat hidup (ADG/ average daily gain) yang masih sangat jauh dari hasil yang diharapkan baik di tingkat peternakan rakyat skala kecil maupun skala industri. Pengertian Pakan dan Ransum Pakan adalah semua yang bisa dimakan oleh ternak dan tidak mengganggu kesehatannya. Pada umumnya pengertian pakan (feed) digunakan untuk hewan yang meliputi kuantitatif, kualitatif, kontinuitas serta keseimbangan zat pakan yang terkandung di dalamnya. Menurut Hartanto, (2008),
pakan
merupakan aspek yang penting karena 70% dari total biaya produksi adalah untuk pakan. Pakan merupakan sumber energi utama untuk pertumbuhan dan pembangkit tenaga bagi ternak. Makin baik mutu dan jumlah pakan yang diberikan, makin besar tenaga yang ditimbulkan dan makin besar pula energi yang tersimpan dalam bentuk daging. Rasjid
(2012),
menyatakan
bahwa
pakan
dapat
digolongkan ke dalam sumber protein, sumber energi dan 28
sumber sumber serat kasar. Hijauan pakan ternak merupakan sumber serat kasar yang utama yang berasal dari tanaman yang berwarna hijau. Agar pakan tersebut dapat bermanfaat bagi ternak untuk menghasilkan suatu produk, pakan harus diketahui kandungan zat–zat yang terkandung didalamnya seperti air, karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Ransum adalah pakan jadi yang siap diberikan pada ternak yang disusun dari berbagai jenis bahan pakan yang sudah
dihitung
(dikalkulasi)
sebelumnya
berdasarkan
kebutuhan industri dan energi yang diperlukan. Retnani et al. (2010), menyatakan bahwa pakan merupakan faktor penentu produktivitas
ternak,
sehingga
ketersediaan
pakan
yang
berkualitas baik merupakan persyaratan untuk pengembangan ternak di suatu wilayah. Pemberian pakan berupa hijauan saja tidak mampu meningkatkan atau memaksimalkan produksi ternak. Selain karena
sifat
hijauan
yang
voluminous
ketersediaannya yang berfluktuasi
(bulky)
juga
sehingga perlu adanya
teknologi pengolahan pakan yang membuat pakan lebih tahan lama dan mudah disimpan serta memiliki palatabilitas tinggi. Lebih lanjut Tangendjaja (2009), menyatakan bahwa teknologi pakan mencakup semua teknologi mulai dari penyediaan bahan pakan sampai ransum diberikan kepada ternak.
29
Sistem Pemberian Pakan Dalam memilih bahan pakan, beberapa pengetahuan penting berikut ini harus diketahui sebelumnya yaitu : 1. Bahan pakan harus mudah diperoleh dan sedapat mungkin terdapat di daerah
sekitar sehingga tidak menimbulkan
masalah biaya transportasi dan kesulitan mencarinya; 2. Bahan pakan harus terjamin ketersediaannya sepanjang waktu dalam jumlah yang mencukupi keperluan; 3. Bahan pakan harus mempunyai harga yang layak dan sedapat mungkin
mempunyai fluktuasi harga yang tidak
besar; 4. Bahan pakan diusahakan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia
yang
sangat
utama.
Seandainya
harus
menggunakan bahan pakan tersebut maka usahakanlah agar digunakan satu macam saja; 5. Bahan pakan harus dapat diganti dengan bahan pakan lain yang kandungan zat-zat makanannya hampir setara; 6. Bahan pakan tidak mengandung racun dan tidak dipalsukan atau tidak menampakkan perbedaan warna, bau atau rasa dari keadaan normalnya. BPMPT (2011), melaporkan pakan ruminansia terdiri dari hijauan sebagai sumber serat. Hijauan merupakan bahan pakan pokok ternak ruminansia yang pada umumnya terdiri atas
daun-daunan
yang
berasal
dari
rumput-rumputan, 30
tanaman biji-bijian atau jenis kacang-kacangan. Pemberian pakan
dapat
dilakukan
penggembalaan (Pasture
dengan
fattening),
3
cara:
kereman
yaitu
(dry
lot
faatening) dan kombinasi cara pertama dan kedua : 1. Sistem Penggembalaan (Pasture Fattening), adalah sistem penggembalaan
dengan melepas sapi-sapi di padang
rumput, yang biasanya dilakukan di daerah yang mempunyai tempat cukup luas, dan memerlukan waktu sekitar 5-7 jam per hari untuk mengembalakan ternak. 2. Sistem kereman
(dry lot fattening) adalah sistem yang
menggembalakan ternak di dalam kandang, dilepas,
pakan
dapat
diberikan
dengan
Ternak tidak cara
dijatah/
disuguhkan. Sapi yang dikandangkan dan pakan diperoleh dari ladang, sawah/tempat lain. Setiap hari sapi memerlukan pakan kira-kira sebanyak 10% dari berat badannya dan juga pakan tambahan 1% - 2% dari berat badan. Ransum tambahan berupa dedak halus atau bekatul, bungkil kelapa, gaplek,
ampas
tahu
yang
diberikan
dengan
cara
dicampurkan dalam rumput di tempat pakan. Selain itu, dapat ditambah mineral sebagai penguat berupa garam dapur, kapur. Pakan sapi dalam bentuk campuran dengan jumlah dan perbandingan tertentu.
31
3. Sistem kombinasi cara pertama dan kedua adalah sistem ternak tersebut digembalakan dan dikandangkan. Pemberian pakan
sapi
yang
terbaik
adalah
kombinasi
antara
penggembalaan dan keraman. Menurut keadaannya, jenis hijauan dibagi menjadi 3 kategori, yaitu hijauan segar, hijauan kering, dan silase. Macam hijauan segar adalah rumput-rumputan,
kacang-kacangan
(leguminosa)
dan
tanaman hijau lainnya. Rumput yang baik untuk pakan sapi adalah rumput gajah, rumput raja (king grass), daun turi, daun lamtoro. Pemberian jumlah pakan berdasarkan periode sapi seperti anak sapi sampai sapi dara,
periode bunting, periode
kering dan laktasi. Pada anak sapi pemberian konsentrat lebih tinggi daripada rumput. Pakan berupa rumput bagi sapi dewasa umumnya diberikan sebanyak 10% dari bobot badan (BB) dan pakan tambahan sebanyak 1-2% dari BB. Sapi yang sedang menyusui (laktasi) memerlukan makanan tambahan sebesar 25% hijauan dan konsentrat dalam ransumnya.
32
DAFTAR PUSTAKA BPMPT Bekasi Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak Bekasi. 2011. Buku Hasil Uji Bahan Pakan. Bekasi (ID): BPMPT. Hartanto. 2008. Estimasi Konsumsi Bahan kering, Protein Kasar, Total Digestible Nutriens dan Sisa Pakan pada Sapi Peranakan Simmental. Agromedia 26 (2). Hal: 34-43. Rasjid Sjamsuddin. 2012. The Great Ruminant: Nutrisi, Pakan, dan Manajemen Produksi. Penerbit: Brilian Internasional Surabaya. Retnani Y, Kamesworo S, Khotidjah L, Saenab A. 2010. Pemanfaatan Wafer Limbah Sayuran Pasar Untuk Ternak Domba. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, 2010 Agustus 2-3; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm 503-510. Tangendjaja B. 2009. Teknologi pakan dalam menunjang industri peternakan di Indonesia. Pengembangan Inovasi Pertanian 2(3): 192-207. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
33
PEMANFAATAN LIMBAH JAGUNG SEBAGAI SUMBER PAKAN BAGI TERNAK Oleh : Yenni Yusriani Pendahuluan Jagung merupakan sumber makanan yang penting bagi manusia dan ternak, produksi jagung sebagai pakan di Indonesia ditujukan untuk unggas, ayam pedaging 54 persen, ayam petelur 47,14 persen (Tangendjaja, et al. 2002) dan sisanya
untuk
ternak
itik.
Jagung
memiliki
keunggulan
dibandingkan dengan bahan pakan lainnya, yakni sebagai pakan sumber energi. Jagung memiliki kandungan EM 3370 Kkal/kg, PK 8,6% dan Lemak Kasar 3,9% (Wahyu, 2004). Produksi jagung yang tidak mencukupi dalam negeri sehingga pemerintah melakukan impor jagung dalam jumlah besar
untuk
memenuhi
kebutuhan
jagung,
persaingan
penggunaan jagung sebagai bahan pangan konsumsi manusia dan pakan ternak berdampak pada meningkatnya harga jagung, sehingga meningkat pula biaya produksi pakan dalam suatu usaha peternakan itik pedaging hibrida, maka diperlukan bahan pakan alternatif pengganti jagung yang lebih murah namun memiliki kandungan nutrisi yang tidak jauh berbeda sehingga mampu menekan biaya pakan. Bahan pakan sebaiknya yang tersedia dalam jumlah cukup di daerah tersebut dan jika memungkinkan merupakan hasil 34
potensi daerah tersebut. Penyusunan pakan harus sesuai dengan kebutuhan ternak dan paling ekonomis (Sutawi, 2007). Bahan pakan yang dibeli selama penelitian banyak terdapat di daerah sekitar sehingga mampu menekan biaya pakan yang lebih murah. Tabel 1. Proporsi Limbah Tanaman Jagung, Kadar Protein Kasar dan Nilai Kecernaan Bahan Kering Limbah Jagung.
Peranan komoditi jagung sebagai bahan baku pakan ternak sampai saat ini belum tergantikan. Upaya untuk menggantikan jagung dengan biji-bijian lain tampaknya belum berhasil sehingga jagung tetap menjadi bahan baku utama pakan di seluruh dunia. Komponen jagung dalam bahan baku pakan ternak unggas memiliki proporsi yang paling tinggi dibandingkan dengan komponen penyusun lainnya. Dengan demikian fungsi jagung khususnya untuk pakan menjadi sangat penting. Penggunaan jagung yang relatif tinggi ini disebabkan oleh harganya yang relatif murah, mengandung kalori tinggi,
35
mempunyai protein dengan kandungan asam amino yang lengkap, mudah diproduksi dan digemari oleh ternak. Syamsu dan Abdullah (2009), melaporkan bahwa secara umum untuk pengembangan pakan memiliki permasalahan, antara lain: (a) kebutuhan bahan baku pakan tidak seluruhnya dipenuhi dari lokal sehingga masih mengandalkan impor, (b) bahan baku pakan lokal belum dimanfaatkan secara optimal, (c) ketersediaan pakan lokal tidak kontinyu dan kurang berkualitas, (d) penggunaan tanaman legum sebagai sumber pakan belum optimal, (e) pemanfaatan lahan tidur dan lahan integrasi masih rendah, (f) penerapan teknologi hijauan pakan masih rendah, (g) produksi pakan nasional tidak pasti akibat akurasi data yang kurang tepat, serta (h) penelitian dan aplikasinya tidak sejalan. Tabel 2. Kandungan Nutrisi Jerami Jagung pada Berbagai Umur Panen
Menurut Liana dan Febriana (2011), menyatakan bahwa limbah pertanian tidak semuanya dimanfaatkan oleh petani, penyebabnya adalah : a) umumnya petani membakar limbah tanaman
pangan
karena
secepatnya
akan
dilakukan
pengolahan tanah, b) limbah tanaman pangan bersifat kamba 36
sehingga menyulitkan peternak untuk mengangkut dalam jumlah banyak untuk diberikan kepada ternak, dan umumnya lahan pertanian jauh dari pemukiman peternak sehingga membutuhkan biaya dalam pengangkutan, c) tidak tersedianya tempat penyimpanan limbah tanaman pangan, dan peternak tidak
bersedia
menyimpan/menumpuk
limbah
di
sekitar
rumah/kolong rumah karena takut akan bahaya kebakaran, d) peternak menganggap bahwa ketersediaan hijauan di lahan pekarangan, kebun, sawah masih mencukupi sebagai pakan ternak. Kebutuhan produk pangan asal hewan terus meningkat yang
disebabkan
oleh
pertumbuhan
jumlah
penduduk,
peningkatan pengetahuan, pergeseran gaya hidup dan tingkat kesejahteraan
masyarakat
yang
semakin
membaik.
Peningkatan kebutuhan protein asal hewan menuntut sektor peternakan untuk dapat menyediakan pangan berupa protein hewani yang sehat. Tingginya produksi jagung menghasilkan jumlah limbah yang cukup banyak baik berupa jerami maupun tongkol jagung. Menurut McCutcheon dan Samples (2002), proporsi tongkol jagung dari jumlah buahnya sebesar 20%, sehingga jumlah tongkol jagung yang diproduksi di Indonesia sebesar 3.518.461,8 ton/tahun yang tidak termanfaatkan. Tongkol jagung belum ada pemanfaatan yang bernilai guna dan ekonomis. Seringkali limbah yang tidak tertangani akan 37
menimbulkan pencemaran lingkungan, padahal tongkol jagung berpotensi sebagai sumber prebiotik. Pemanfaatan Limbah Jagung Jerami jagung merupakan limbah pertanian yang banyak terdapat di pedesaan dan hampir merata di lahan kering. Hasil pertanian seperti jerami jagung jika dicampur dengan bahan pakan lain yang mempunyai kandungan nutrien lengkap akan menghasilkan susunan pakan yang rasional dan murah. Jerami jagung merupakan sisa dari tanaman jagung setelah buahnya dipanen dan dapat diberikan pada ternak baik dalam bentuk segar maupun dalam bentuk kering. Pemanfaatan jerami jagung sebagai pakan ternak telah dilakukan terutama untuk ternak sapi, kambing, dan domba (Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia 2006). DAFTAR PUSTAKA Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia. 2006. tanaman sebagai pakan ruminansia, Jakarta.
Limbah
Liana dan Febriana. 2011. Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ruminansia pada Peternak Rakyat di Kec. Rengat Barat Kab. Inragiri Hulu. Fakultas Pertanian Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Jurnal Peternakan Vol 5 No 1 Februari 2008 (28-37). 38
Mccutcheon, J. dan D. Samples. 2002. Grazing Corn Residues. Extension Fact Sheet Ohio State University Extension. Us. Anr 10-20. Syamsu, J.A. dan A. Abdullah. 2009. Analisis Startaegi Pemanfaatan Limbah Tanaman Pangan Sebagai Pakan Ruminansia Di Sulawesi Selatan. Jurnal Ekonomi Pembangunan FE Univ. Mihammadiyah Surakarta. Vo. 10, No. 2, Desember 2009, hl. 199-214. Sutawi, 2007. Kapita Selekta Agribisnis Peternakan. UMM Press. Malang.
39
POTENSI LIMBAH SAWIT SEBAGAI SUMBER NUTRISI PAKAN TERNAK Oleh : Yenni Yusriani Latar Belakang Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar nomor satu dunia setelah Malaysia. Menyumbang sebanyak 48 % dari total volume produksi minyak sawit di dunia, diikuti Malaysia sebagai penyumbang produksi minyak sawit sebesar 37% dari total volume produksi minyak sawit dunia. Sumatera dan Kalimantan adalah daerah penghasil lebih dari 96% persen produksi minyak sawit Indonesia. Sumatera menyumbang sebanyak 78% dan Kalimantan sebanyak 18% dari total produksi minyak sawit Indonesia. Di samping itu, beberapa pulau di luar Sumatera dan Kalimantan turut memberikan
kontribusi dalam
produksi
minyak sawit Indonesia. Sulawesi memproduksi sekitar 2-3% dan sisanya lagi berasal dari Papua dan Jawa. Riau tercatat sebagai provinsi yang menyumbang produksi sawit terbesar di pulau Sumatera. Riau tercatat memproduksi hampir dari 40% minyak sawit yang dihasilkan di Sumatera. Hal tersebut setara dengan produksi sebesar 6 juta ton minyak sawit per tahun atau 13% minyak sawit dari total produksi sawit di dunia.
40
Saat ini pembangunan bidang peternakan diarahkan pada peningkatan produksi ternak untuk pemenuhan kebutuhan daging. Dari tahun ke tahun, permintaan daging terus meningkat.
Meskipun, limbah selalu dikaitkan dengan harga
yang murah, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemanfaatannya sebagai pakan ternak. Faktor dimaksud adalah kontinuitas ketersediaan, kandungan gizi, kemungkinan adanya faktor pembatas seperti zat anti nutrisi serta perlu tidaknya bahan tersebut diolah sebelum dapat digunakan sebagai pakan ternak. Hasil-hasil penelitian tentang pemanfaatan beberapa limbah pertanian dan perkebunan seperti dedak padi, limbah singkong, bungkil kelapa, limbah kelapa sawit, ampas tahu, limbah udang, kakao pod, batang pisang dan daun rami dalam pakan ternak ruminansia (sapi dan domba) dan non-ruminansia (ayam ras, ayam buras dan itik) merupakan bagian dari konvensional. Djaenudin et al. (1996), menyatakan bahwa keberhasilan pengembangan peternakan sangat ditentukan oleh penyediaan pakan ternak. Upaya peningkatan produksi ternak tidak cukup hanya dengan memberikan rumput alam saja, tetapi perlu adanya pakan tambahan. Mahalnya harga pakan impor mendorong kita agar
mampu
memanfaatkan
berbagai
sumberdaya
lokal
sebagai sumber bahan pakan alternatif, terutama bahan baku 41
sumber protein dan energi. Bahan baku dimaksud, diharapkan tersedia secara kontinyu, melimpah, murah, tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, secara ekonomi menguntungkan, dan secara sosial dapat diterima masyarakat. Salah satu bahan pakan yang saat ini cukup potensial adalah produk samping perkebunan kelapa sawit. Nilai Nutrisi Limbah Sawit Ketaren,
(1986)
menjelaskan
bungkil
inti
sawit
mempunyai nilai nutrisi yang lebih tinggi dibanding limbah lainnya dengan kandungan protein kasar 15% dan energi kasar 4.230 kkal/kg, sehingga dapat berperan sebagai pakan penguat (konsentrat). Industri kelapa sawit menghasilkan limbah yang berpotensi sebagai pakan ternak, seperti bungkil inti sawit, serat perasan buah, tandan buah kosong, dan solid (Aritonang 1986; Pasaribu et al. 1998; Utomo et al. 1999). Menurut
penelitian
Utomo
dan
Widjaya
(2005)
menyatakan bahwa bungkil sawit mempunyai potensi sebagai sumber gizi, kandungan gizi dari solit adalah sebagai berikut : protein kasar (PK) 12,63-17,41%; serat kasar (SK) 9,9825,79%; lemak kasar (LK) 7,12-15,15%; energi bruto (GE) 3.217-3.454
kkal/kg
bahan
kering.
Produksi solid akan
bertambah seiring semakin meningkatnya produksi tandan
42
buah segar (TBS), dimana produksi solid yang dapat diperoleh sekitar 3% dari TBS yang diolah. Umumnya
pabrik
belum
memanfaatkan solid secara
optimal bahkan dibuang begitu saja. Solid adalah limbah padat hasil samping pengolahan buah kelapa sawit menjadi crude palm oil (CPO). Bentuk dan konsistensinya padat seperti ampas tahu namun berwarna coklat gelap, tidak berasa, lembut di lidah (lumer), berbau asam-asam manis. Tabel
1
memperlihatkan
hasil
penelitian
tentang
kandungan nutrisi yang ada dari limbah sawit, sedangkan Tabel 2 memperlihatkan kandungan senyawa kimia penyusun serat pada berbagai bahan pakan asal perkebunan sawit dan Tabel 3 menunjukkan kandungan hara limbah kelapa sawit. Tabel 1. Komposisi Kimia beberapa Hasil Perkebunan Sawit Bahan Komposisi Kimia
Bungkil Inti Sawit
Solid Decenter
Bahan Kering (%)
88-93
Protein Kasar (%)
Pelepah
Daun
Serat Perasan Buah
Bacang
84-92
85-90
85-87
86-92
85-92
16-18
12-15
4.0-5.0
13-15
4.0-5.8
1.6-3.2
Serat Kasar (%)
13-17
12-17
38-40
-
42-48
36-39
Lemak Kasar (%)
2.0-3.5
12-14
2.0-3.0
3.0-3.4
3.0-5.8
0.6-1.0
52-58
40-46
-
-
29-40
51-54
Abu (%)
3.0-4.4
19-23
3.2-3.6
3.8-4.2
6.0-9.0
2.8-3.2
GE (Mkal/kg)
4.1-4.3
3.8-4.1
-
5.0-5.5
4.0-4.6
4.3-4.6
ME (Mkal/kg)
2.8-3.0
2.9-3.1
2.5-2.7
-
1.8-2.2
2.0-2.5
BETN (%)
Sumber : Handayani (1987); Sutardi et al (1997): Hanafi (1999)
43
Tabel 2. Kandungan Senyawa Kimia Penyusun Serat Pada Berbagai Bahan Pakan Asal Perkebunan Sawit Unsur Kimia Fraksi Kelapa Sawit (%) Daun Pelepah Serat Perasan Batang Buah Selulosa 16.6 31.7 18.3 34 Hemiselulosa
27.6
33.9
44.9
35.8
Lignin
27.6
17.4
21.3
12.6
Silika
3.8
0.6
-
1.4
Total
75.6
83.6
84.5
83.8
Sumber : Shibata (1988) ; Aliman (1995)
Tabel 3. Kandungan Hara Limbah Kelapa Sawit
Kandungan atas dasar % bobot kering
Limbah Batang Pohon
N
P
K
Mg
Ca
0.488
0.047
0.699
0.117
0.194
0.373
0.066
0.873
0.161
0.295
2.38
0.157
1.116
0.287
0.568
0.350
0.028
2.285
0.175
0.149
0.320
0.080
0.470
0.020
0.110
0.330
0.010
0.090
0.020
0.020
Pelepah Daun a. Daun b.Pelepah Tandan Kosong Sabut buah Cangkang
Sumber : Suryahadi (2006)
44
DAFTAR PUSTAKA Aritonang, D. 1986. Perkebunan kelapa sawit sebagai sumber pakan ternak di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian V(4): 93-99. Djaenudin, D., H. Subagio, dan S. Karama. 1996. Kesesuaian lahan untuk pengembangan peternakan di beberapa propinsi di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Cisarua 7−8 November 1995. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 165 174. Pasaribu, T., A.P. Sinurat, J. Rosida, T. Purwadaria, dan T. Haryati. 1998. Pengkayaan gizi bahan pakan inkonvensional melalui fermentasi untuk ternak unggas. 2. Peningkatan nilai gizi lumpur sawit melalui fermentasi. Edisi Khusus Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Peternakan Tahun Anggaran 1996/1997. Buku III: Penelitian Ternak Unggas. Balai Penelitian Ternak, Bogor. Ketaren, P.P. 1986. Bungkil inti sawit dan ampas minyak sawit sebagai pakan ternak. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 8(4−6): 10-11. Utomo, B.N., E. Widjaja, S. Mokhtar, S.E. Prabowo, dan H. Winarno. 1999. Laporan Akhir Pengkajian Pengembangan Ternak Potong pada Sistem Usaha Tani Kelapa Sawit. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Palangkaraya, Palangkaraya.
45
Suryahadi. 2006. Manajemen Lingkungan dan Sumber daya Peternakan. [materi kuliah]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Widjaja, E. dan Utomo, B.N. 2005. Pemanfaatan limbah pengolahan minyak kelapa sawit yang berupa solid untuk pakan ternak (sapi, domba dan ayam potong). Success Story Pengembangan Teknologi Inovatif Spesifik Lokasi. Badan Litbang Pertanian. Buku I. hlm. 173-185.
46
OBAT-OBATAN TRADISIONAL UNTUK TERNAK Oleh: Saiful Helmy
Upaya
swasembada daging terus saja didengungkan,
namun arah pembangunan peternakan yang lebih baik masih jauh dari harapan. Oleh karena itu perlu upaya khusus yang dilakukan dengan semangat pantang menyerah, untuk tekat mensejahterakan bangsa. Salah satunya adalah pemanfaatan obat-obat herbal untuk mencegah ternak dari berbagai penyakit. Pengetahuan tentang ramuan obat ini telah diwariskan dari generasi ke generasi, apalagi dari hasil riset yang dilakukan, ternyata obat-obat yang diproduksi oleh farmasi terdapat
efek
samping,
karena
prosessingnya
banyak
menggunakan bahan pengawet. Melalui tulisan ini kita diajak kembali ke alam (back to natural) agar obat yang diberikan tidak berbahaya bagi hewan dan aman bagi manusia. 1.
Bawang Putih (Allium Sativum)
a.
Komposisi : Sulfur organic, Zat aktif Scordinin dan Allium sativum oil
b.
Indikasi : Sulfur organik mempunyai potensi sebagai antibiotic.
47
Parutannya dapat menyembuhkan luka karena gigitan serangga berbisa atau beracun. Oilnya dapat membunuh larva dari beberapa nyamuk. Zat aktif scordinin memiliki daya kerja memperlancar proses oksidasi dan reduksi dalam metabolise tubuh, sehingga pertumbuhan dan pergantian sel - sel tubuh meningkat. Dapat juga digunakan sebagai obat topical bagi ternak menderita Demodecosis. 2.
Buah Sawo Muda (Manilkara kauki)
a.
Indikasi : Mengobati diare pada sapi, Kerbau, Domba, dan Kambing.
b.
Cara Pemakaian : ▪ Buah sawo muda diparut 3 – 5 buah ▪ Peras dan derivatnya dimasukkan ke dalam labu takar ▪ Tambahkan air murni 10 – 20 ml aduk sampai homogen ▪ Aplikasi obat dapat diberikan per oral melalui selang
3.
Akar Tapak Dara (Catharanthi Radix)
a.
Komposisi : Alkaloid, Karotionoid dan Zat Aktif Sterol
b.
Indikasi :
48
▪ Kadar sari yang larut dalam air berguna untuk pengobatan penyakit malaria, sembelit, dan gangguan pencernaan. ▪ Alkaloid Karotinoid serta zat aktif sterol berpengaruh terhadap kelesterol dan gula darah. 4.
Daun Jambu Biji (Bidium Guagava Linn)
a.
Komposisi : Tannin, minyak atsiri, Flanoid, Lugenob, Pektin, Alkaloid, Saponin dan garam mineral
b.
Indikasi : ▪ Tannin secara farmalogi bermanfaat sebagai anti bakteri ▪ Absorbent dan Astringent bermanfaat sebagai antidiare dan melapisi dinding mukosa usus serta antispasmolitik
5.
Anggur Hutan (Vitis Tripolia)
a.
Indikasi : ▪ Mengobati Tympani pada sapi
b.
Cara Pemakaian : ▪ Batang dan daunnya dililitkan pada daerah kepala dan leher dengan maksud agar bau daun anggur dapat teresap dan merangsang alat digesti sehingga dalam udara dalam rumen keluar.
6.
Biji Sirsak (Annona Murricata)
a.
Komposisi : 49
Astringent dan Alkaloid yaitu maurine dan mauricine b.
Indikasi : ▪ Alkaloid
pada
biji
mempunyai
aktivitas
akresida
sehingga berkasiat untuk pengobatan scabies pada kambing ▪ Astringent pada kulit sirsak bermanfaat untuk diare. c.
Cara Pemakaian : Ambil kulit sebanyak dua jari dan rebus dengan air sebanyak 400 ml, setelah air tinggal setengahnya aplikasi per oral.
7.
Asam Jawa (tamarandus Indica)
a.
Komposisi Asam Sitrat, Asetat, Butitat, Tatrat dan Asam Oksalat
b.
Indikasi : ▪ Digunakan
pada
penderita
sukar
menelan
atau
obstipasi. c.
Cara Pemakaian : ▪ Ambil satu gemgam asam jawa dan tambahkan satu liter air hangat, lalu remas asam jawanya dan minumkan secukupnya pada ternak.
8.
Daun Bambu (Bambusa hama)
a.
Indikasi : 50
▪ Mengobati penderita distokia ( sukar Melahirkan) juga penderita retensio secundinarium b.
Cara Pemakaian : ▪ Daun bambu muda dilumuri dengan manisan tebu dan ditumbuk lalu diberikan per oral melalui bungkus daun pisang
9.
Bayam Berduri (Amaranthus spinosus)
a.
Indikasi : ▪ Mengobati ternak demam (fibris) ▪ Mengobati testis bengkak.
b.
Cara Pemakaian : ▪ Untuk demam : ambil daun bayam berduri secukupnya dan remas, tambahkan garam dapur dan air murni hangat, saring dan airnya diminumkan pada ternak yang sakit.
10. Bakung (Crinum Asiaticum) a.
Indikasi : ▪ Mengobati luka dan luka bakar
b.
Cara Pemakaian : ▪ Daun bakung yang segar ditumbuk sampai lumat. ▪ Oleskan pada luka dan bungkus dengan daun segar sebagai pengganti perban.
51
11. Ceplukan (Phyasalis Angulata) a.
Indikasi : ▪ Mengobati batuk
b.
Cara Pemakaian : ▪ Batang, daun dan akar serta buah di rebus dan airnya diminumkan pada ternak yang sakit.
12. Daun Durian a.
Indikasi : ▪ Mengobati demam ▪ Sariawan, Keracunan dan hipersalivasi.
b.
Cara Pemakaian : ▪ Daun durian di tumbuk sampai halus, tambahkan air dan saring, campurkan madu lebah ke dalam cairan. ▪ Minumkan setiap 3 jam sekali, cukup 2 – 3 kali pemberian.
13. Gadung (Dioscorea Bispida) a.
Indikasi : ▪ Hipersalivasi ▪ Anemia
b.
Cara Pemakaian : ▪ Ambil buah gadung secukupnya dan rebus. ▪ Berikan pada ternak dengan cara disulangkan.
52
14. Getah Jarak (Jafropho Curcas Linn) a.
Indikasi : ▪ Luka karena gigitan binatang berbisa ( Ular ).
b.
Cara Pemakaian : ▪ Tampung getah jarak sebanyak-banyaknya dan oleskan pada luka gigitan atau daerah infeksi.
15. Jahe (Zingerber Officinale Rose) a.
Indikasi : ▪ Gembung perut
b.
Cara Pemakaian : ▪ Jahe 3 gram tumbuk halus (parut), minyak kayu putih 15 tetes, dan minyak kelapa, kemudian lulurkan pada daerah phlank sinister ▪ Jahe 3 gram tumbuk halus, minyak kayu putih 10 tetes, dan air murni hangat 400 cc, kemudian minumkan saat suhu campuran 40 0C
16. Biji Pepaya a.
Indikasi : ▪ Obat cacing pada pedet.
b.
Cara Pemakaian : ▪ Ambil satu genggam biji pepaya kering dan tumbuk sampai halus, tambahkan gula jawa setengahnya
53
▪ Berikan peroral, pengobatan dapat diulang setiap bulannya satu kali. 17. Kelor (Moringa Oleifera) a.
Indikasi : ▪ Luka Borok
b.
Cara Pemakaian : ▪ Ambil daun kelor segar dan tumbuk sampai halus, tempekan pada luka barok tersebut sedemikian rupa. ▪ Ulangi setiap harinya sampai jadi keropeng kering.
18. Ketepeng (Cassia Alata Linn) a.
Indikasi : ▪ Obat kudis (scabies)
b.
Cara Pemakaian : ▪ Daun ketepeng di tumbuk sampai halus tambahkan air hangat dan gosokkan pada, kulit yang terinfeksi ▪ Ulangi selama 3 – 5 hari.
19. Kembang Sepatu (Hibiscus Scihizopetalus) a.
Indikasi : ▪ Pengobatan Sinutisis (keluar darah dari hidung) ▪ Kencing Berdarah.
b.
Cara Pemakaian : ▪ Untuk Sinusitis : remas bunga kembang sepatu dan tempelkan pada hidung 54
▪ Pada kencing berdarah : ambil daun dan bunga kembang sepatu, remas dan tambahkan air murni lalu minumkan sehari sekali selama beberapa hari. 20. Lidah Buaya (Aloe Vera Linn) a.
Indikasi : ▪ Pengobatan luka bakar ▪ Alergi (bercak merah pada kulit)
b.
Cara Pemakaian : ▪ Untuk luka bakar : daging lidah buaya yang dibelah dan dikorek diolesi pada luka bakar tersebut ▪ Ulangi beberapa kali setelah pemberian pertama dengan selang waktu 5 jam. ▪ Untuk alergi : belah daun lidah buaya dan dagingnya dikerok langsung tempelkan pada daerah bercak merah tersebut.
21. Mengkudu (Hamorinda Citofilia Linn) a.
Indikasi ▪ Batuk berdarah
b.
Cara Pemakaian : ▪ Buah mengkudu yang sudah siap masak di tumbuk halus lalu diperas dan disaring. ▪ Filtrat
mengkudu
ditambah
dengan
madu
lebah
sebanyak (1/4) bagian 55
▪ Minumkan kepada ternak yang batuk berdarah ini selama 3-5 hari berturut – turut satu kali sehari 22. Kunyit (Curcuma Demostica) a.
Indikasi : ▪ Digunakan oleh inseminator atau PKB untuk menolong kelahiran pada distokia luka minor ▪ Perangsang nafsu makan
b.
Cara Pemakaian : ▪ Filtrat kunyit dicampur dengan minyak kelapa.
23. Labu Merah (Cucurbita Maschata Duch) a.
Indikasi : ▪ Pengobatan cacingan
b.
Cara Pemakaian : ▪ Ambil segenggam biji labu merah yang dikeringkan dan tumbuk sampai halus. ▪ Tambahkan air murni hangat secukupnya ▪ Lalu minumkan 2x sehari pada penderita.
24. Nenas (Ananas sativus) a.
Indikasi : ▪ Oligo Urea (kencing sedikit – sedikit atau An Urea)
b.
Cara Pemakaian : ▪ Potong kecil – kecil buah nenas muda, lalu berikan melalui penyulangan pada mulut ternak sakit. 56
25. Temulawak (Curcama Anthoriza) a.
Indikasi : ▪ Anemia (Kekurangan Anthoriza)
b.
Cara Pemakaian : ▪ Campurkan temulawak diparut, ditambah
gula tebu
secukupnya dan tambahkan air murni ▪ Lalu minumkan kepada hewan ternak satu kali sehari selama 5 hari berturut – turut. 26. Pisang Biji/pisang wak (Musa Paradisiaca Linn) a.
Indikasi : ▪ Disentri (tinja berlendir dan berdarah) ▪ Panas Dalam
b.
Cara Pemakaian : ▪ Untuk disentrik : buah pisang muda dipotong – potong dan sulangkan ke mulut ternak sakit. ▪ Untuk panas dalam : diberikan daun pucuk pisang muda di tumbuk halus dan di berikan madu lebah, lalu diminumkan.
27. Rumbia (Metroxylon Sagus) a.
Indikasi : ▪ Diare dan cacingan ▪ Perbaikan laktari air susu
57
b.
Cara Pemakaian : ▪ Ambil beberapa biji buah rumbia dan tumbuk halus serta seduhkan air murni hangat. ▪ Minumkan kepada ternak yang menderita diare atau cacingan. ▪ Khusus bagi induk yang baru melahirkan dapat diberikan daun pucuk rumbia ditumbuk sampai lumat ▪ Kemudian tambahkan air murni hangat, aduk sampai homogen dan sarin.
28. Serai (Cymbopogon Citratus Dc) a.
Indikasi : ▪ Cacingan
b.
Cara Pemakaian : ▪ Batang dan akar serai ditumbuk, filtratnya ditambah dengan air murni hangat. ▪ Minumkan
pada
hewan
ternak
yang
menderita
cacingan. 29. Sirih (Piper Bitle Linn) a.
Indikasi : ▪ Batuk ▪ Luka
58
b.
Cara Pemakaian : ▪ Untuk batuk : daun sirih direbus dengan jumlah air 2 gelas/gayung air, setelah separuh airnya minumkan pada ternak. ▪ Daun sirih yang ditumbuk halus dan ditambah air murni hangat serta saring dengan kain tipis, minumkan 2x sehari yaitu pada pagi dan sore. ▪ Untuk
luka
tambahkan
:
ambil
sedikit
beberapa
kapur
sirih,
helai
daun
tumbuk
sirih, sampai
halus/lumat. ▪ Oleskan pada permukaan yang luka, ulangi bila ramuan tersebut telah kering. 30. Tembakau (Nicotiana Tabakum Linn) a.
Indikasi : ▪ Luka belatung, luka borok ▪ Membasmi kutu/caplak
b.
Cara Pemakaian : ▪ Campurkan
tembakau
dengan
minyak
premium,
gunakan untuk mengeluarkan belatung dari luka. ▪ Daun tembakau yang diolesi kapur sirih dan sedikit air, ditumbuk
sampai
lumat,
lalu
ditempelkan
pada
permukaan luka borok.
59
▪ Tembakau yang direndam dengan air hangat selama 1 jam dapat menghilangkan kutu/caplak dari badan ternak. 31. Tutup Bumi (Elephan Topu Scaber) a.
Indikasi : ▪ Diare ▪ Demam ▪ Sariawan
b.
Cara Pemakaian : ▪ Daun tutup bumi direbus dengan air murni sebanyak 2 gayung. ▪ Setelah air rebusan tinggal 1 gayung minumkan 2x sehari pada ternak.
60
DAFTAR PUSTAKA Buku Panduan Petugas Peternakan di Lapangan 2010, Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan propinsi Aceh. Manual Untuk Paramedic Kesehatan Hewan, Food And Agriculture Organization of The United Nations, 1991. Pengobatan Hewan Tradisional di Indonesia, FAO Regional Office for Asia and Pasific, Bangkok, Thailand, 1991. Perawatan Ternak Budidaya.blogspot.com/2013/08. hhtps//id-id.facebook.com/notes/etawa-farm parungpanjang/obat-tradisional-untuk-ternak kambing/102711266531419. https//www.facebook.com/permalink.php?id=30405945636823 &story_pbid:388682174572630.
61
FERMENTASI JERAMI PADI DENGAN PROBIOTIK SEBAGAI PAKAN TERNAK SAPI DAN PUPUK ORGANIK Oleh: Nani Yunizar Pendahuluan Hijauan pakan ternak yang tersedia dalam jumlah yang cukup dengan kualitas baik merupakan syarat pokok didalam mengembangkan
usaha
peternakan
khususnya
ternak
ruminansia. Hijauan pakan yang biasanya diberikan adalah berupa rumput-rumputan yang berasal dari lapangan/kebun rumput Tegal pematang atau pinggiran jalan. Hijauan sangat berpengaruh terhadap iklim terutama pada musim kemarau akan terjadi kekurangan hijauan pakan ternak terutama untuk daerah pertanian intensif. Kekurangan hijauan pakan
ternak
pada
musim
kemarau
juga
diikuti
oleh
kekurangan pula pada musim hujan karena pola pemanfaatan lahan yang lebih diutamakan untuk produksi tanaman pangan. Jerami padi merupakan salah satu limbah pertanian di Indonesia yang cukup tersedia serta diduga akan selalu meningkat ketersediannya. Umumnya jerami padi di negeri kita sebagian besar digunakan yaitu sekitar 36-62% dibakar dikembalikan ke tanah sebagai kompos dan 24-39% untuk makanan ternak, sisa yang digunakan untuk industri (7-15%).
62
Jerami padi agaknya dapat memberikan prospek yang lebih cerah khususnya subsektor peternakan, potensinya memang cukup besar untuk dikembangkan ke arah itu. Namun sejauh ini pemanfaatan jerami untuk makanan ternak masih kecil sekali dibandingkan produksi pertahun. Hal ini diduga bahwa jerami padi mempunyai nilai nutrisi yang sangat rendah untuk dimanfaatkan sebagai hijauan pakan ternak. Nilai kecernaan bahan kering jerami hanya mencapai 35-38% dengan kandungan protein kasar sekitar 3-4% sedangkan untuk hidup ternak membutuhkan bahan hijauan pakan dengan nilai kecernaan minimal 50-55% dan kandungan protein kasar 8% (Djayanegara 1989). Kekurangan nilai nutrisi
pada pemberian pakan ternak
dapat diatasi dengan penambahan rumput lapangan sekitar 25% dari kebutuhan dan hasil diikuti dengan penambahan pakan konsentrat seperti dedak padi. Produksi jerami padi dapat mencapai 5-8 ton/ha/panen bergantung pada lokasi dan jenis varietas yang ditanam. Jerami padi yang dihasilkan ini dapat digunakan sebagai pakan sapi dewasa sebanyak 2-3 ekor sepanjang tahun. Salah satu cara untuk mengatasi kekurangan bahan pakan tersebut
dapat
menggunakan
bahan
pakan
serat
hasil
63
sampingan pertanian seperti jerami padi sebagai pakan alternatif pengganti hijauan untuk makanan ternak. Strategi pemanfaatan jerami sebagai pakan sapi Untuk meningkatkan kualitas nutrisi jerami padi perlu dilakukan proses fermentasi terbuka selama 21 hari. Hal ini dilakukan dengan menggunakan probiotik sebagai pemacu proses degradasi komponen serat dalam jerami padi sehingga akan lebih mudah dicerna oleh ternak. Proses fermentasi terbuka ini dapat dilakukan sebagai berikut: Pembuatan jerami padi fermentasi dilakukan pada tempat terlindung dari hujan maupun sinar matahari langsung. Proses pembuatan dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap fermentatif dan
tahap
pertama,
pengeringan
jerami
dikumpulkan
padi
pada
dan yang
tempat
penyimpanan.
Pada
tahap
baru
dari
sawah
yang
dipanen telah
disediakan
dan
diharapkan masih mempunyai kandungan air sekitar 65 %. Bahan yang digunakan dalam proses fermentatif adalah Urea dan Probiotik, yaitu campuran dari berbagai mikroorganisme yang dapat membantu pemecahan komponen serat dalam jerami padi tersebut. Jerami padi segar yang akan dibuat menjadi jerami padi fermentasi ditimbun dengan ketebalan kurang lebih 20 cm kemudian ditaburi dengan urea dan probiotik setebal 20 cm. 64
Demikian seterusnya sehingga ketebalan tumpukan jerami padi mengikuti takaran sebanyak 5 kg urea untuk setiap ton jerami segar. Demikian pula takaran probiotik yang digunakan adalah 5 kg probiotik untuk setiap ton jerami padi segar. Setelah pencampuran urea dan probiotik pada jerami padi tersebut dilakukan secara merata, kemudian didiamkan selama 21
hari agar proses fermentatif dapat berlangsung dengan
baik. Pada tahap kedua adalah proses pengeringan dan penyimpanan jerami padi fermentasi tersebut. Tumpukan jerami padi yang telah mengalami proses fermentasi tersebut dikeringkan dibawah sinar matahari dan dianginkan-anginkan sehingga cukup kering disimpan pada tempat yang juga terlindung dari hujan dan sinar matahari langsung. Setelah proses pengeringan ini, maka jerami padi fermentasi tersebut dapat diberikan kepada sapi sebagai pakan menggantikan
rumput
segar.
Dengan
cara
demikian
pemanfaatan hijauan pakan ternak dalam bentuk jerami padi akan dapat dilakukan sepanjang tahun dan lebih efisien dalam pemanfaatan waktu dan tenaga peternak.
65
Jerami segar (kadar air 65%)
Tumpukan jerami + probiotik + urea Proses fermetasi dan amoniasi (3 minggu)
Pengeringan Sinar matahari selama 30 menit
Pengepresan Menggunakan alat
Penyimpanan
Pemberian pada ternak Gambar. Proses pembuatan jerami padi fermentasi untuk pakan ternak
Potensi Produksi Daging Dengan pola pemeliharaan sapi secara terintegrasi ini diharapkan akan dapat diperoleh pertambahan berat badan sapi sebesar 0,4-0,8 kg per hari, sehingga potensi produksi tambahan berat badan dapat diperkirakan sekitar 50 - 300 kg per ekor per tahun. Apabila dalam kawasan satu hektar dapat 66
menunjang kebutuhan 4-6 ekor sapi maka dapat diharapkan akan ada tambahan berat badan sapi sebesar 750-1500 kg yang setara dengan 200-400 kg daging sapi. Untuk kondisi harga sekarang, potensi produksi daging setara dengan pendapatan Rp. 4-8 juta per tahun per hektar sawah, sebelum dikurangi biaya pemeliharaan. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh BPTP Aceh pada tahun 2002 pemberian jerami padi hasil fermentasi harus diimbangi dengan pemberian sebagian rumput lapang diikuti dengan pemberian konsentrat. Konsentrat yang diberikan setiap hari sebanyak 0,5-1% dari berat badan. Tujuan dari penambahan konsentrat adalah untuk menutupi kebutuhan protein dalam pakan. Potensi Sapi Sebagai Pakan Penghasil Pupuk Organik Seekor sapi dapat menghasilkan kotoran (feses) sebanyak 8-10 kg setiap hari. Apabila kotoran sapi ini diproses menjadi pupuk organik dapat diharapkan akan menghasilkan 4-5 kg per hari. Dengan demikian, pada luasan sawah satu hektar dapat diharapkan akan menghasilkan sekitar 7,3 sampai dengan 11,0 ton pupuk organik pertahun. Sementara itu, penggunaan pupuk organik pada lahan persawahan adalah 2 ton perhektar untuk setiap kali tanam, sehingga potensi pupuk organik yang ada dapat menunjang kebutuhan pupuk organik untuk 1,8 sampai dengan 2,7 hektar 67
dengan dua kali tanam setahun. Penambahan bahan organik (pupuk hijau, pupuk kandang, kompos dan sisa-sisa tanaman) di
dalam
tanah
sangat
dibutuhkan
untuk
kehidupan
mikroorganisme di dalam tanah. Bahan organik berupa limbah pertanian (jerami padi, jerami jagung, dan lain-lain) dapat digunakan sebagai pupuk organik. Lahan pertanian memerlukan pupuk organik untuk mempertahankan kesehatan tanah serta kecukupan unsur hara tanaman. Pengggunaan pupuk anorganik secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama ternyata dapat menyebabkan kondisi
tanah
menjadi
tidak
sehat
untuk
pertumbuhan
tanaman. Hal ini berkaitan dengan perubahan fisik tanah dan mikrobiologi tanah sedemikian rupa sehingga pertumbuhan perakaran tanaman menjadi terganggu yang pada gilirannya akan
mempengaruhi
pertumbuhan
tanaman
secara
keseluruhan. Berkurangnya kandungan bahan organik pada lahan pertanian di Indonesia dewasa ini menunjukkan bahwa sebenarnya diperlukan tidak kurang dari 100% tambahan bahan organik untuk mengembalikan pada keadaan kesehatan tanah yang normal. Bahan organik terdiri dari berbagai limbah yang akan dijadikan pupuk organik. Keberadaan bahan organik di dalam tanah merupakan motivator adanya kehidupan di dalam tanah. Tanpa bahan 68
organik tanah akan mati, tanah yang mati bila dipupuk dengan bahan organik secara berkesinambungan dengan dosis yang benar, tanah akan mudah memiliki daya ikat air yang tinggi meningkatkan nilai tukar kation tanah, dan meningkatkan daya dukung tanah sehingga dapat meningkatkan kapasitas produksi hasil pertanian di Indonesia. Proses pembuatan pupuk organik dapat dilakukan dalam waktu relatif singkat dengan penambahan indikator EM4 yang disebut dengan Bokashi. Bahan utama (bahan organik) yang dibutuhkan untuk membuat Bokashi ada beberapa macam seperti jerami padi, pupuk kandang sekam atau serbuk gergaji. Bokashi adalah hasil fermentasi bahan organik dengan teknologi EM4 yang dapat digunakan sebagai pupuk organik untuk
menyuburkan
tanah
dan
meningkatkan
produksi
tanaman. Bokashi sangat berguna bagi petani sebagai sumber pupuk organik yang siap pakai dalam waktu singkat, yang berguna secara sinergis dapat menekan populasi hama dan penyakit tanaman, meningkatkan kesuburan tanah secara fisik, kimia dan biologi sehingga penggunaan pupuk anorganik dibidang pertanian dapat dikurangi. Adapun bahan pembuatan Bokashi terdiri dari: Jerami padi 200 kg (dipotong 5-10 cm), sekam 100 kg, kotoran sapi 100 kg, dedak 10 kg, gula pasir/gula merah 10 sdm, EM4 200 ml (20 sdm) dan air secukupnya. 69
Adapun teknik pembuatan Bokashi sebagai berikut: Larutan EM4 + gula + air dicampur merata, jerami yang telah dipotong ditambahkan dedak campurkan secara merata dengan sekam, larutan jerami yang telah tercampur disiramkan dengan larutan EM4. Pencampuran dilakukan secara perlahanlahan dan merata hingga kandungan air ± 30-40 %. Bahan yang telah tercampur diletakkan diatas tempat yang kering dengan tinggi 15 – 20 cm, kemudian bahan tersebut ditutup dengan plastik hitam. Tumpukan dipertahankan suhu antara 40-500 C untuk mengontrolnya setiap 5 jam sekali suhunya diukur. Apabila suhunya tinggi makanan bahan tersebut dibalik didiamkan sebentar agar suhu turun lalu ditutup kembali. Proses fermentasi ini berlangsung sekitar 4-7 hari. Setelah bahan tersebut menjadi Bokashi, tumpukan dibuka Dengan
cirikan dengan warna hitam gembur tidak
panas dan tidak berbau. Dalam kondisi seperti ini Bokashi dapat digunakan sebagai pupuk. Baru dapat dijadikan untuk pupuk dengan dosis 2kg/batang.
70
DAFTAR PUSTAKA
Bamualim A, Kuswandi, A. Azahari dan B. Haryanto. 2007. Sistem usahatani tanaman-ternak. Makalah disampaikan pada Seminar dan Expose Sistem Integrasi Tanaman Pangan dan Ternak 22-23 Mei 2007 di KP Muara, Bogor. Musofie, A. 2002.Peran Ternak Sapi Potong dalam Sistem Usaha Pertanian Organik. Lokakarya SIPT-2. Strategi dan Teknologi Sistem Integrasi Padi – Ternak. Dinas Pertanian-Pemerintahan Provinsi D I Yogyakarta. Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian. 2008. Pedoman Teknis integrasi Ternak Ruminansia – Tanaman. Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian, Jakarta. Diwyanto, K., dan B. Haryanto. 2003. Integrasi ternak dengan usaha tanaman pangan. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi di BPTP Kalimantan Selatan. Banjarbaru, 8-9 Desember 2003. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. 2005.Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Sapi. Departemen Pertanian, Jakarta. Djajanegara, A., B. Risdiono, A. Priyanti, D. Lubis dan K. Diwiyanto. 2001. Crop-Animal Systems Research Network (CASREN) Indonesia. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian. 2008. Pedoman Teknis Integrasi Ternak Ruminansia – Tanaman. Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian, Jakarta.
71
MEMAHAMI RANTAI NILAI KOPI ARABIKA GAYO DARI PETANI KE KONSUMEN Oleh : Rini Andriani
Sumber gambar: Google search Kopi Arabika di dataran tinggi Gayo merupakan komoditas penting bagi perekonomian masyarakat di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues. Areal yang cukup luas, kesuburan tanah dan iklim di kawasan ini sesuai untuk pengembangan
Agribisnis
kopi
Arabika.
Komoditas
ini
merupakan salah satu komoditas yang pengembangannya diprioritaskan oleh Pemerintah Indonesia saat ini dikarenakan memiliki cita rasa yang khas dan banyak digemari oleh pecinta kopi di tanah air bahkan ke negara-negara konsumen. Tahapan-tahapan sampainya biji-biji kopi ke tangan konsumen dalam bentuk kopi bubuk hingga menjadi kopi seduhan yang nikmat itulah yang dinamakan rantai nilai kopi. 72
Sedangkan pengertian dari rantai nilai itu sendiri adalah berbagai kegiatan kompleks yang dilakukan oleh berbagai pelaku (produsen utama, pengolah, pedagang, penyedia jasa) untuk membawa bahan baku melalui suatu rantai hingga menjadi produk akhir yang dijual (ACIAR, 2012). 1.
Penanaman Perbanyakan tanaman bisa dilakukan secara generatif dan
vegetatif dan penanaman dilakukan pada awal musim hujan. Tanaman
kopi
bisa
ditumpangsarikan
dengan
tanaman
semusim seperti kubis, tomat, cabai, dan kacang-kacangan serta dengan tanaman tahunan berupa pohon seperti jeruk, terong belanda, alpukat, kesemek. Hal ini untuk melindungi tanaman kopi dari angin yang dapat mematahkan dahan tanaman. Dalam hal pemeliharaan tanaman, petani juga harus rajin memberikan unsur hara tanah, membasmi hama dan penyakit serta melakukan pemangkasan batang tunggal. 2. Panen Warna buah adalah hal utama yang perlu diperhatikan pada saat panen, yaitu maksimum merah minimum kuning. Dengan melihat warna buah dapat diduga kualitas biji kopi yang akan diperoleh.
73
3. Pengangkutan Setelah dipanen hasilnya harus segera diangkut ke tempat pengolahan agar tidak terjadi pembusukan, paling lambat 12 jam harus sudah sampai di tempat pengolahan. 4. Sortasi Buah Sebelum melakukan pengolahan, buah kopi dibersihkan/ dipisahkan dari daun, ranting, kerikil dan kotoran lainnya. Dominan buah warna hijau 5%, buah busuk atau kering 5%. Perlu dilakukan sortasi sebelum digiling jika syarat tersebut tidak terpenuhi. Masing-masing warna buah (buah muda/hijau, busuk, terlalu masak, setengah kering, kering dan kotoran lain) dipisahkan untuk menjaga citarasa. 5.
Pengolahan Buah kopi yang telah disortasi dimasukkan ke dalam
pulping untuk memisahkan kulit buah dari biji. Kemudian di fermentasi sekitar 12 jam. Setelah itu dilakukan pencucian dan pengapungan,
penirisan
serta
penjemuran
kopi
gabah.
Penjemuran dilakukan paling sedikit 4 jam pada terik matahari, kemudian di huller dan dikeringkan lagi dalam bentuk kopi labu. 6. Penanganan biji kopi Pada tahap ini biji dikelompokkan sesuai dengan ukuran dan mutu fisik untuk menentukan jenis dan keseragamannya dan kualitas citarasa seduhan kopi. 74
7. Pengemasan Tahap
akhir
dari
proses
ini
bertujuan
untuk
mempertahankan mutu fisik dan citarasa, mengamankan dari serangan hama penyakit, mempermudah penanganan dan mempermudah proses pengangkutan. Untuk pemasaran, biji-biji kopi dari petani ditampung oleh koperasi ataupun pedagang
pengumpul untuk eksportir.
Harganya mencapai Rp. 23.000,-/Kg. Salah satu Koperasi yang sudah berkembang dalam pengolahan biji kopi di Aceh Tengah adalah Koperasi Babburrayan. Koperasi ini sudah memiliki peralatan pengolahan yang cukup modern dan berskala besar mulai dari mesin Huller, Grader, Desimetri, dll. Koperasi ini menampung biji kopi dari para petani anggotanya untuk kemudian diolah dan dipasarkan hasilnya baik untuk ekspor maupun untuk industri nasional melalui jalur khusus. DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Perkebunan. 2013. Kopi Gayo Tembus Pasar Amerika. http://ditjenbun.pertanian.go.id/pascapanen/berita-157kopi-gayo-tembus-pasaran-amerika-.html. Diakses 21 Mei 2015 Australian Centre for International Agricultural Reseach (ACIAR). 2012. Membuat Rantai Nilai Lebih Berpihak Pada kaum Miskin. Buku Pegangan Bagi Praktisi Analisis Rantai Nilai. Canberra. 146 halaman. 75
Buku Panduan Upaya peningkatan Produksi dan Kualitas Kopi Arabika Gayo Yang Berkelanjutan. 2012. Kerjasama IOM SEGA dan Universitas Gajah Putih. Didanai oleh Aceh Economic Development Financial Facility (AEDFF). Takengon. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Prosiding Simposium Kopi. 2006. Surabaya, 2-3 Agustus 2006. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 2008. Panduan Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika Gayo.
76
PENGEMBANGAN USAHA KOMODITI PALA ACEH Oleh : Idawanni
Pendahuluan Tanaman pala (Myristica fragrant Houtt) adalah tanaman rempah asli kepulauan Maluku (Purseglove et all., 1995). Selanjutnya tanaman pala terus menyebar dan berkembang di Sulawesi Utara sampai ke Aceh (Sunanto, 1993). Pala dikenal sebagai tanaman rempah yang memiliki nilai ekonomis dan multiguna karena setiap bagian tanaman dapat dimanfaatkan dalam berbagai industri makanan dan minuman. Biji beserta fulinya juga merupakan bahan ekspor hasil perkebunan yang cukup penting. Indonesia merupakan negara pengekspor biji pala dan fuli terbesar di pasaran dunia. Sampai saat ini diperkirakan 85% kebutuhan pala di pasaran dunia berasal dari Indonesia dan sisanya dipenuhi dari negara lainnya seperti Grenada, India, Srilangka dan Papua Newgini (Bachmid, 2008). Hasil pala Indonesia mempunyai keunggulan dipasaran dunia karena memiliki aroma yang khas dan memiliki rendemen minyak yang tinggi. Buah ini dikenal sebagai tanaman rempah yang memiliki nilai ekonomis dan multiguna. Setiap bagian tanaman, mulai dari daging, biji, hingga tempurung pala dapat dimanfaatkan untuk industri makanan, minuman maupun 77
kosmetika.
Tanaman
pala
sebagai
salah
satu
tanaman
perkebunan, yang dapat menghasilkan devisa yang cukup besar (Sunanto, 1993). Tinggi pohon pala dapat mencapai 20 m dan usianya bisa mencapai ratusan tahun. Akibat nilainya yang tinggi sebagai rempah-rempah, buah dan biji pala telah menjadi komoditas perdagangan yang penting sejak masa lampau. Istilah ‘pala’ juga
dipakai
untuk
biji
pala
yang
diperdagangkan
(Rismunandar, 1990). Tumbuhan ini berumah dua (Dioecious) dimana bunga jantan dan bunga betina terdapat pada individu/pohon yang berbeda. sehingga dikenal pohon jantan dan pohon betina. Untuk menentukan populasi tanaman dengan perbandingan jenis kelamin jantan dan betina optimum pada pertanaman pala harus menunggu sampai tanaman berbunga (± 5 tahun). Dari 100 biji pala yang ditanam rata-rata terdapat 55 pohon betina, 40 pohon jantan dan 5 pohon yang hermaphrodite. Daun pala berbentuk elips langsing, buahnya berbentuk lonjong seperti lemon, berwarna kuning, berdaging dan beraroma khas karena mengandung minyak atsiri pada daging buahnya. Bila masak, kulit dan daging buah membuka dan biji akan terlihat terbungkus fuli yang berwarna merah. Satu buah menghasilkan satu biji berwarna coklat.
78
Di Provinsi Aceh daerah penghasil minyak pala bersentral di Aceh Selatan. Di daerah Tapaktuan ini terdapat beberapa perusahaan atau industri penyulingan minyak pala dan merupakan salah satu industri yang tumbuh dan berkembang karena banyaknya buah pala yang terdapat di Kabupaten Aceh Selatan tersebut. Kualitas tanaman pala asal Aceh dan Maluku menjadi
primadona
dan
digemari
oleh
masyarakat
internasional. Kedua daerah itu telah dikenal mengembangkan tanaman pala sejak berabad lalu. Salah satu penyebab Maluku dan Aceh diserang oleh Belanda, karena kedua daerah ini menyimpan cadangan pala yang melimpah dan rempahrempah lainnya, seperti cengkeh dan lain-lainnya. Di Aceh Selatan, pala jenis myristica fragans paling banyak dibudidayakan. Pala jenis ini memiliki kualitas ekonomi lebih tinggi dan harga jual lebih mahal di pasaran internasional. Data dari Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Aceh Selatan menyebutkan bahwa di tahun 2001 Aceh Selatan mampu menghasilkan 4.937 ton pala dengan devisa sedikitnya Rp 6,5 milyar. Dari tahun 1995 sampai 2000 rata-rata terjadi penurunan produksi 320 ton setiap tahun. Pada tahun 2005, produksi pala hanya mencapai 4.321 ton, dan tahun 2011 hanya terjadi sedikit peningkatan produksi yaitu menjadi 4.650.
79
Adapun distribusi penghasil pala serta luas lahan yang dimiliki untuk komoditi ini masing-masing kabupaten dapat dilihat pada tabel berikut: Luas Lahan dan Produksi Pala di Aceh 2011 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Kabupaten/kota Luas/Area (ha) Simeulue 1.389 Aceh Singkil 64 Aceh Selatan 14.183 Aceh Tenggara 43 Aceh Timur 1 Aceh Barat 64 Aceh Besar 248 Pidie 109 Bireun 150 Aceh Utara 148 Aceh Barat daya 4.683 Nagan Raya 122 Aceh Jaya 135 Bener Meriah 12 Sabang 153 Pidie Jaya 18 Total 21.522 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh.
Produksi(Ton) 83 12 4.650 8 15 44 10 25 35 319 35 18 3 4 5.261
Tabel di atas menunjukkan produksi pala tahun 2011 terbesar dihasilkan oleh Kabupaten Aceh Selatan, seluas 14.183 Ha, dengan produksi 4.650 ton. Di bawahnya menyusul Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) dengan luas lahan 4.683 Ha dengan total produksi 319 ton per tahun.
80
Mengenal Tanaman Pala Umumnya pohon pala mulai berbuah pada umur 7 tahun dan
pada
umur
10
tahun
telah
berproduksi
secara
menguntungkan. Produksi pada akan terus meningkat dan pada umur 25 tahun mencapai produksi tertinggi. Pohon pala terus berproduksi sampai umur 60–70 tahun. Buah pala dapat dipetik (dipanen) setelah cukup masak (tua), yaitu sekitar 6–7 bulan sejak mulai bunga dengan tanda-tanda buah pala yang sudah masak adalah jika sebagian dari buah tersebut tersebut mulai merekah (membelah) melalui alur belahnya dan terlihat bijinya yang diselaputi fuli warna merah. Jika buah yang sudah mulai merekah dibiarkan tetap dipohon selama 2-3 hari, maka pembelahan buah menjadi sempurna (buah berbelah dua) dan bijinya akan jatuh di tanah. Pala dipanen biji dan salut bijinya (Arillus), dalam perdagangan salut biji pala dinamakan fuli, atau dalam bahasa Inggris disebut mace. Sebelum dipasarkan, biji dijemur hingga kering setelah dipisah dari fulinya. Pengeringan ini memakan waktu enam sampai delapan minggu. Bagian dalam, biji akan menyusut dalam proses ini dan akan terdengar bila biji digoyangkan. Cangkang biji akan pecah dan bagian dalam biji dijual sebagai pala. Biji pala mengandung minyak atsiri 7-14%. Bubuk pala dipakai sebagai penyedap untuk roti atau kue, puding, saus, 81
sayuran, dan minuman penyegar. Minyaknya juga dipakai sebagai campuran parfum atau sabun. Manfaat pala tidak hanya dari bijinya saja. Daging buahnya yang berair dan berasa asam yang selama ini juga telah dimanfaatkan dalam industri rumah tangga sebagai makanan ringan. Begitu pula dengan selubung biji pala yang berwarna merah, biasanya dijadikan bahan campuran ketika mengolah minyak pala. Manfaat dari Tanaman Pala Selain sebagai
rempah-rempah, tanaman pala
juga
banyak manfaat lainnya seperti kulit, batang, daun, fuli, biji, daging buah pala. a. Kulit batang dan daun Batang/kayu pohon pala yang disebut dengan “kino” hanya dimanfaatkan sebagai kayu bakar, sedangkan kulit batang dan daun tanaman pala dapat menghasilkan minyak atsiri b. Fuli Fuli adalah benda yang menyelimuti biji buah pala yang berbentuk seperti anyaman pala, disebut “bunga pala”. Bunga pala ini dalam bentuk kering banyak dijual di dalam negeri. Fuli ini sebaiknya dijemur pada panas matahari yang tidak terlalu panas selama beberapa jam, kemudian diangin-anginkan. Hal 82
ini dilakukan berulang-ulang sampai fuli itu kering. Warna fuli yang semula merah cerah, setelah dikeringkan menjadi merah tua dan akhirnya menjadi jingga. Dengan pengeringan seperti ini
dapat menghasilkan fuli yang kenyal (tidak rapuh) dan
berkualitas tinggi sehingga nilai ekonomisnya pun tinggi pula. Fuli ini juga bisa menghasilkan minyak atsiri dengan cara menyuling fuli. Minyak atsiri ini warnanya jernih dan mudah menguap. Minyak fuli juga dapat dipakai sebagai obat rubefacien dan minyak gosok balsam untuk penghangat kulit. c. Biji pala Dapat meringankan semua rasa sakit dan rasa nyeri yang disebabkan oleh kedinginan dan masuk angin dalam lambung dan usus. Biji pala sangat baik untuk obat pencernaan yang terganggu dan obat muntah-muntah. Lemak yang dikeluarkan oleh minyak pala sebagian besar diolah di Eropa dan diperdagangkan sebagai Volatile oil of nutmeg. Minyak digunakan untuk membuat minyak wangi, parfum dan sabun di Eropa, isi biji pala juga dibuat serbuk untuk bumbu masakan Barat dan Timur Tengah. d. Daging buah Daging buah pala sangat baik dan sangat digemari oleh masyarakat jika telah diproses menjadi makanan ringan, misalnya: asinan pala, manisan pala, selai pala, sirup pala, Manmelade daging buah pala yang masih muda. 83
Jenis Pala Tanaman pala memiliki beberapa jenis, antara lain: 1) Myristica fragrans Houtt 2) Myristica argentea Ware 3) Myristica fattua Houtt 4) Myristica specioga Ware 5) Myristica Sucedona BL 6) Myristica malabarica Lam Jenis pala yang banyak diusahakan adalah terutama Myristica fragrans, sebab jenis pala ini mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi daripada jenis lainnya. Disusul jenis Myristica specioga,
argentea Myristica
dan
Myristica
sucedona,
fattua.
dan
Jenis
Myristica
Myristica malabarica
produksinya rendah sehingga nilai ekonomisnya pun rendah pula. Pemasaran Jalur pemasaran pala sangat sederhana. Dimulai dari petani,
kemudian
ke
pedagang
pengumpul
di
tingkat
kecamatan, baru kemudian dibawa ke pedagang besar, biasanya di ibukota kabupaten. Sebelum dibawa ke Medan dalam bentuk minyak atsiri Pala (nutmeg oil), buah pala masuk ke pabrik penyulingan pala yang banyak terdapat di ibukota kabupaten seperti Tapaktuan atau Blang Pidie. 84
Peluang Usaha Peluang usaha di sektor ini dapat dibagi dalam 3 (tiga) jenis, yaitu pada bidang pembukaan perkebunan baru, bidang pemrosesan
lanjutan
dari
minyak
pala
dan
bidang
pemasaran/trade. Karena margin yang dinikmati oleh perantara selama ini cukup besar, maka usaha di bidang pemasarannya menjadi cukup menarik. Namun karena produksi minyak pala yang dihasilkan dari Aceh masih relatif kecil untuk memenuhi permintaan pasar internasional, maka usaha di bidang ini juga menjadi sangat terbatas karena sudah adanya pemain lama yang masih aktif. Oleh sebab itu untuk membuat industri ini lebih menarik, maka pembukaan perkebunan pala yang baru sangat disarankan untuk memperbesar volume produksi pala di 85
Aceh.
Setelah
itu
baru
pemrosesan
minyak
pala
dan
pembuatan produk turunannya baik yang berasal dari bunga, daging buah dan biji pala dapat dilakukan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2010. Aspek Budidaya-budidaya Tanaman Pala. http://ditjenbun.deptan.go.id/ budtanreyar. Sunanto,Hatta. Budidaya Pala Komoditas Ekspor . Yogyakarta: kanisius. 1993. Rismunandar, 1992. Budidaya dan Tataniaga Pala. Penebar Swadaya, Jakarta. Bachmid, 2008. Seks Rasio Pala di Blok Kebun Percobaan PT. Banda Permai Purseglove. 1995. Prospek dan Strategi Pengembangan Pala di Maluku.
86
PERBAIKAN PEMBIBITAN KOPI MELALUI INTRODUKSI VARIETAS, PUPUK CAIR DAN NAUNGAN Oleh: Yufniati ZA, Rahman Jaya, Rini Andriani
Pendahuluan Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor penting yang diharapkan mampu memberikan nilai tambah penerimaan devisa baik bagi negara pada umumnya maupun untuk daerah sentra produksi khususnya. Perkebunan kopi di Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat dengan total areal 1,06 juta ha atau 94,14%, sementara areal perkebunan besar negara 39,3 ribu ha (3,48%) dan perkebunan besar swasta 26,8 ribu ha (2,38%). Areal perkebunan rakyat tersebut dikelola oleh sekitar 2,12 juta kepala keluarga petani (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004). Menurut International Coffee Organization (ICO) tahun 2004, Indonesia merupakan negara penghasil kopi terbesar keempat di dunia dengan kontribusi sebesar 60% produksi kopi dunia. Provinsi Aceh merupakan daerah penghasil kopi Arabika terbesar di Indonesia dengan pusat pengembangannya terletak di dataran tinggi Gayo yaitu di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah yang keseluruhannya merupakan 87
usaha perkebunan rakyat. Pada tahun 2009 luas perkebunan rakyat di dataran tinggi Gayo adalah 87.492 ha dengan rincian 48.001 ha di Kabupaten Aceh Tengah dan 39.491 ha berada di Kabupaten Bener Meriah (Dinas Perkebunan dan Kehutanan Provinsi NAD, 2009). Akan tetapi dari luasan areal perkebunan rakyat tersebut produksi yang dihasilkan hanya berkisar ±27.444 ton dengan tingkat produktivitas per hektarnya ±718 kg/tahun. Tingkat produksi dan produktivitas tersebut masih relatif rendah jika dibandingkan dengan produktivitas kopi Arabika nasional yang mencapai ±85.236 kg/tahun. Pembibitan merupakan tahapan yang sangat penting dalam budidaya tanaman kopi karena akan menentukan kemampuan
hidup
tanaman
pada
tahap
selanjutnya
di
lapangan. Bibit yang bermutu merupakan hasil interaksi tanaman dan faktor lingkungan. Rendahnya produktivitas kopi Arabika di dataran tinggi Gayo disebabkan oleh belum diterapkannya teknologi budidaya secara benar, sehingga berpengaruh besar terhadap hasil produksi. Karena itu, upaya peningkatan produktivitas, mutu dan citarasa melalui varietas– varietas unggulan terus ditingkatkan. Kebutuhan bibit bermutu dirasakan menjadi salah satu masalah dalam peremajaan dan pengembangan kebun petani. Keadaan ini dirasakan petani kopi di sentra produksi kopi
88
Arabika di dataran tinggi Gayo yang merupakan sentra produksi kopi Arabika di Provinsi Aceh. Untuk
itu
perbaikan
teknologi
budidaya
melalui
pembibitan harus dilakukan dengan tepat sehingga mampu menghasilkan bibit kopi varietas unggul bermutu sesuai dengan syarat teknis pembibitan. Pertumbuhan Tanaman Pengamatan pertumbuhan tanaman mencakup tinggi tanaman, diameter batang dan jumlah pasang daun dilakukan pada umur 1 BSP, 3 BSP dan 6 BSP. Tanaman dengan perlakuan naungan 20%, 40% dan 60% dan pupuk cair 2,5 ml, 5ml dan 7,5 ml/1 liter air yang lebih tinggi pada varietas Timtim dan Borbor bila dibandingkan dengan varietas P 88, meskipun secara statistik tidak berbeda nyata (1,2, dan 3). Dari tiga varietas yang diuji, diketahui bahwa varietas Timtim dan Borbor dapat menampilkan tinggi tanaman lebih tinggi dan diameter batang lebih lebar dibanding dengan varietas P 88. Jumlah pasang daun setiap bulan bertambah sepasang daun, pada umur 6 BSP tanaman kopi mempunyai 6 pasang daun. Penambahan jumlah pasang daun dikarenakan oleh sifat genetik dari tanaman kopi kedua varietas. Masing-masing jenis tanaman kopi tumbuh sesuai dengan karakteristik genetiknya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumiarsi dan Priyadi (2003), 89
yang
menyatakan
bahwa
pertumbuhan
awal
sangat
dipengaruhi oleh kondisi bibit di samping faktor genetik. Tabel 1.Rata-rata Tinggi tanaman (cm) 3 varietas kopi dengan penggunaan
naungan
dan
pupuk
cair
di
lahan
Kebun
Percobaan Pondok Gajah Gayo, Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah tahun 2013. Varietas/ Pupuk
N1
N2
N3
1 BSP
3 BSP
6 BSP
1 BSP
3 BSP
6 BSP
1 BSP
3 BSP
6 BSP
V1
17,25
52,66
90,24
17,96
55,62
118,57 16,98
54,32
115,23
V2
20,83
67,89
122,33 21,24
64,41
124,77 21,04
65,3
122,65
V3
22,19
71,87
126,69 22,48
63,96
124,93 22,73
64,13
123,63
Rata-rata
20,09a
64,14b 113c
20,56a 61,33b 122c
20,25a 61,25b 120c
varietas
Keterangan : Angka-angka sejajar yang diikuti huruf sama berbeda nyata pada taraf 0,05 Tukey.
Selanjutnya salah satu parameter pertumbuhan bibit kopi yang diamati adalah diameter batang, secara lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Rata-rata Diameter batang (mm) 3 varietas kopi dengan penggunaan naungan dan pupuk cair di lahan Kebun Percobaan Pondok Gajah Gayo, Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah tahun 2013.
90
Varietas/ Pupuk
N1 1
3 BSP
BSP
N2
N3
6
1
3
6
1
3
6
BSP
BSP
BSP
BSP
BSP
BSP
BSP
V1
3
3.09
3,18
3,06
3,15
3,24
3,03
3,12
3,21
V2
3
3.06
3,12
3,03
3,09
3,15
3
3,06
3,12
V3
3
3.06
3,12
3,03
3,09
3,15
3
3,06
3,12
Rata-rata
3a
3.07b
3,14c 3,04a 3,11b 3,18c 3,01a 3,08b 3,15c
varietas
Keterangan : Angka-angka sejajar yang diikuti huruf sama berbeda nyata pada taraf 0,05 Tukey
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa secara bersama pupuk dan kombinasi naungan memberikan respon yang sama terhadap diameter batang tanaman pada seluruh varietas. Penambahan diameter batang dari umur 30 HSP ke 60 HSP hanya berkisar 0,01 mm. Analisis kelayakan perlu dilakukan untuk melihat apakah usaha yang dilakukan layak atau tidak untuk dikembangkan. Hasil pengkajian didapat R/C Rationya adalah 1,82 dengan harga kopi ditingkat petani sebesar Rp. 1.100. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Secara umum pertumbuhan bibit kopi arabika dari ketiga varietas,
perlakuan
pupuk
dan
naungan
terlihat
baik.
Pertumbuhan paling tinggi terlihat pada varietas P 88 dengan 91
naungan 75%. 2. Terjadi interaksi antara varietas, dosis pupuk, dan naungan terhadap tinggi tanaman, diameter batang, dan jumlah daun. Saran 1. Untuk kesinambungan data yang telah diperoleh, perlu kegiatan lanjutan pada masa yang akan datang agar bibit yang ada di lapangan untuk dilihat tingkat produktivitas masing-masing perlakuan. 2. Diharapkan bibit varietas P-88 yang telah dihasilkan dari pengkajian ini dapat disalurkan kepada petani untuk dikembangkan di Dataran Tinggi Gayo. DAFTAR PUSTAKA AEKI, 1997. Statistik Kopi. Jakarta. Darmawijaya, I, 1975. Klasifikasi Tanah Kopi. Komisi teknis Perkebunan V. Budidaya Kopi-Coklat. Tretes. Dinas Perkebunan dan Kehutan Provinsi NAD, 2008. Laporan Tahunan. Banda Aceh. Karim, A. 1996b. Hubungan Antara Elevasi dan Lereng dengan Produksi Kopi Arabika Catimor di Aceh Tengah. Jurnal Penelitian Pertanian, Fakultas Pertanian, UISU, Medan. 92
Karim, A dan Darusman. 1997a. Potensi Bahan Baku Pupuk Organik Sumber Lokal pada Perkebunan Kopi Organik di Aceh Tengah. Makalah Disajikan pada Seminar Bulanan Fakultas Pertanian Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh, 22 September 1997. Nur, A.M, 1992, Pemangkasan Tanaman Kopi. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jawa Timur. Nur, A.M, 1996. Aspek Agronomi Diversifikasi Kopi Arabika dengan Tanaman Jeruk Keprok Gayo di Aceh Tengah. Renes, H. 1989. Arabika Coffee in Aceh Tengah, Projek PPWLTA 77- Canard/a. Small Holder Coffeee Development in Aceh Tengah, Consultan Report An Aplloed Arabika Coffee Research, May 1985 – Juni 1989. RetnoHulupi. 2008. Bahan Tanam Kopi Arabika Anjuran Nasional yang Sesuai Untuk Dataran Tinggi Gayo. Panduan Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika Gayo. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jakarta. Sarief, E S. 1989. Kesuburan dan Pemupukan tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung. 197 hal. Sitompul, S. M. Dan B. Guritno. 1995. Analisis pertumbuhan tanaman. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Soekadar Wiryadiputra, 2008. Hama-hama Utama pada Kopi Arabika. Panduan Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika Gayo.Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jakarta. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 217 hal. 93
Sofyan Souri, 2001. Penggunaan Pupuk Kandang Meningkatkan Produksi Padi. Folder ARMP. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Mataram. Mataram. Sumiarsi, N dan D. Priyadi. 2003. Interaksi antara Variasi Konsentrasi Hormon dan Interaksi Penyinaran Matahari pada Pertumbuhan Biji Serdang, Agrista 7 (3): 255-258. Winaryo, 2003. Standart dan Sertifikasi Perkebunan Organik. Makalah Disampaikan pada Ekspose Teknologi PHT di Jogya. Winaryo, Usmandan S. Mawardi. 1994. Pengaruh Komposisi Bahan Baku dan Lama Pengomposan Terhadap Kualiatas Kompos. Laporan Penelitian. Proyek Penelitian Kopi Arabika, Balai Penelitian Kopi Gayo, Pondok Gajah, Aceh Tengah.
94
Junal DEDIKASI Volume 3 Nopember 2005
AZOLLA, TANAMAN PAKU AIR YANG MENGUNTUNGKAN PADI SAWAH Oleh : Eka Fitria
Azolla berasal dari bahasa latin “azollaceae”, yang merupakan tanaman paku air yang termasuk ordo Salviniales, family Azollaceae. Azolla mempunyai beberapa spesies yaitu A. caroliniana, A. filiculoides, A. mexicana, A. microphylla, A. rubra, A. nilotica, dan A. Pinnata.
Spesies yang banyak
terdapat di Indonesia terutama di pulau Jawa adalah Azolla pinnata. Azolla banyak tumbuh di lahan sawah atau pada ketebalan air optimal 3-5 cm maupun pada permukaan tanah yang lembab. Selama hidupnya azolla bersimbiosis mutualistis dengan ganggang
hijau
memfiksasi
biru
nitrogen
(Anabaena (N2).
azollae),
Kemampuan
yang
simbiosis
mampu azolla
anabaena untuk mereduksi nitrogen dari atmosfer menjadi amonia
melalui
enzim
denitrogenase
cukup
efektif
(Kuncarawati, 2005). Jumlah unsur nitrogen yang dapat ditambat melalui simbiosis Azolla-Anabaena azollae cukup tinggi. Besarnya aktivitas penambatan nitrogen (N2) adalah 7,2 - 7,8 mg N2 per gram
berat/kering
(Kuncarawati,
2005).
Pada
kondisi
pertumbuhan azolla yang baik dapat dihasilkan 335 - 675 kg 95
N2/Ha/th atau setara dengan 333 ton berat basah Azolla sp, dengan kandungan nitrogen sebesar 840 kg per hektar luas tanah (Sugiharto dalam Maftuchah,1998 ). Azolla merupakan salah satu sumber bahan organik bagi lahan sawah. Biomassa azolla dapat dijadikan sebagai pupuk organik sumber Nitrogen (N) yang sangat cocok dikembangkan oleh para petani karena aplikasinya sangat mudah dan murah. Penggunaan azolla pada lahan sawah bisa dengan disebar langsung ataupun dibenamkan. Sebelum digunakan, azolla terlebih dahulu diperbanyak pada kolam. Bibit yang dipakai adalah yang masih muda (umur 2 minggu), hal ini mempengaruhi pada proses produktifitas. Pemberian pupuk tambahan seperti N, P dan K sangat penting untuk memacu pertumbuhan bibit azolla. Setelah jumlahnya cukup, azolla disebar atau dibenamkan di sawah dengan frekuensi empat kali yaitu pada saat pengolahan tanah pertama dan kedua, saat penyiangan kesatu dan kedua. Setelah dibenamkan azolla segar terdekomposisi dan melepaskan hara nitrogen dan hara lainnya. Dengan cara demikian dapat menghemat pupuk Urea 60 - 80% dari total kebutuhan pertumbuhan padi. Selain sebagai sumber N, azolla juga sebagai tanaman penutup (lapisan azolla) yang juga berpotensi untuk meningkatkan produksi padi.
96
Beberapa keuntungan penggunaan azolla pada padi sawah: 1) Mengurangi penggunaan pupuk kimia khususnya pupuk N, 2) Meningkatkan pendapatan petani karena lebih efisien dalam biaya pengelolaan budidaya padi sawah, 3) Meningkatkan kualitas mutu gabah, 4) Dalam jangka panjang akan menguntungkan kondisi tanah menuju sistem pertanian yang berkelanjutan. Tabel 1. Susunan hara Azolla (%) berdasarkan Berat Kering Unsur Kandungan Unsur Kandungan Abu 10,50 Magnesium 0,5-0,6 Lemak kasar 3,0-3,30 Mangan 0,11-0,16 Protein kasar 24-30 Zat Besi 0,06-0,26 Nitrogen 4,5 Gula Terlarut 3,5 Fosfor 0,5-0,9 Kalsium 0,4-1,0 Kalium 2-4,5 Serat Klorofil 9,1 Pati 6,54 Klorofil 0,34-0,55 Sumber : Maftuchah,1994
Pengganti Urea Berdasarkan
komposisi
kimia,
azolla
sangat
efektif
digunakan sebagai pupuk organik untuk mempertahankan kesuburan tanah, setiap hektar sawah memerlukan azolla sejumlah 20 ton dalam keadaan kering. Bila azolla diberikan setiap musim tanam, maka tingkat pemakaian pupuk buatan akan semakin berkurang. Hal ini dikarenakan pada pemberian pertama seperempat bagian unsur yang dikandung azolla langsung dimanfaatkan oleh tanah. Seperempat bagian ini, setara dengan 65 kg pupuk urea. Pada musim tanam ke-2 dan 97
ke-3, azolla mensubsitusikan
seperempat sampai sepertiga
dosis pemupukan. Penggunaan azolla sebagai pupuk, selain dalam bentuk segar, baik juga dalam bentuk kering dan kompos. Azolla sebagai Bahan Pakan Sebagai pakan ternak, kandungan gizi azolla cukup tinggi. Kandungan protein mencapai 31,25 %, lemak 7,5 %, karbohidrat 6,5 %, gula terlarut 3,5 % dan serat kasar 13 %. Untuk pakan bebek, penggunaan azolla segar yang masih muda (umur 2 - 3 minggu) dicampur dengan ransum pakan bebek. Berdasarkan hasil penelitian, campuran Azolla 15 % ke dalam ransum, terbukti tidak berpengaruh buruk pada bebek. Produksi telur, berat telur dan konversi pakan juga tetap normal. Ini berarti penggunaana azolla bisa menekan 15 % biaya pembelian pakan bebek. Hal ini tentunya menguntungkan bagi peternak karena bisa mengurangi biaya pembelian pakan. Tabel 2. Sifat pupuk kandang kambing dan azolla Parameter Satuan Kadar Air % pH H20 pH KCL DHL dS m-1 Bahan Organik % C-Organik % KPK Cmol (+) kg-1 N Total % Nisbah C/N P Total % K Total % Sumber: Utami, S.N.H, 2012
Kambing 16.63 8.47 6.66 0.85 70.12 30.06 54.05 1.49 20.31 0.53 3.58
Azolla 37.16 8.06 6.78 0.89 87.97 31.38 1.98 15.77 1.24 1.22
98
Penambahan nitrogen dengan pemberian bahan organik dapat dilakukan melalui pemberian pupuk kandang dan azolla. Kemampuan azolla menambat N mencapai 1,4 kg N/ha/hari (Sri Nuryani Hidayah Utami, 2012). Pemberian
dosis pupuk
nitrogen sebanyak 50 % (100 kg/ ha) dan pemberian Azolla michrophylla sebanyak 1,13 ton/ ha memberikan hasil yang baik pada parameter tinggi tanaman 2-6 MST, jumlah anakan 2-7 MST (Nurmayulis dkk, 2011).
Sumber: https://www.google.com/search?q=Utilization+of+Azolla+in+rice+paddy
Menurut (Haryanto, 2008) pemupukan buatan
yang
dikombinasikan
dengan
dengan
pupuk
azolla
dapat
meningkatkan produksi sekitar 10-30 % dibandingkan dengan pemupukan dengan pupuk urea pada takaran rekomendasi. BATAN menambahkan
bahwa
penggunaan
azolla dapat
menghemat penggunaan pupuk Nitrogen anorganik sebanyak 25-50 %. Tyasmoro (2006), menyatakan bahwa pemberian azolla mengakibatkan
peningkatan
pertumbuhan
tanaman
padi.
Untuk komponen luas daun dan berat kering total tanaman 99
juga lebih tinggi dibanding perlakuan azolla tanpa urea dan urea tanpa azolla (Rahmatika, 2009). Perhitungan nilai R/C ratio tertinggi terdapat pada perlakuan 75% N azolla + 25% N urea yakni sebesar 4,96 artinya setiap rupiah investasi pada usaha tani ini menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 4,96,-. Pemberian bahan organik dapat meningkatkan luas daun dan berat kering t a n a m a n . Nitrogen yang cukup tersedia pada fase vegetatif menghasilkan jumlah anakan yang banyak dan luas daun yang lebih tinggi. Unsur N, P dan K yang cukup tersedia pada perlakuan kombinasi persentase N azolla dan N urea menghasilkan luas daun dan indeks luas daun yang tinggi. Seiring dengan peningkatan luas daun, maka produk biomassa yang dihasilkan juga tinggi. Lapisan menghemat
azolla
di
penggunaan
perkembangan
azolla
atas permukaan lahan sawah dapat urea sangat
sebanyak tinggi
50 bisa
kg/ha,
jika
menghemat
penggunaan pupuk urea sampai 100 kg/ha (Kusumo, 2008). Selanjutnya pemberian kompos azolla dengan dosis 6 ton/ ha memberikan hasil terbaik tanaman padi sawah sebesar 12,05 ton/ ha atau meningkatkan berat produksi gabah sebesar 21,03% (Kaimuddin, Bachrul Ibrahim dan Lina Tangko. 2008; Anna Hedhiati. 2008 dalam Gunawan, 2014). Jumlah anakan pada umur umur 6 minggu tertinggi juga dicapai pada pemberian azolla sebanyak 400 gr/pot yaitu 100
sebanyak 24 anakan, sementara berat kering brangkasan tertinggi juga pada pemberian azolla sebanyak 400 gr/ pot yaitu sebesar 62,93 gram (Gunawan, 2014). DAFTAR PUSTAKA Badan Tenaga Nuklir Nasional, Kelompok Pemupukan dan Nutrisi Tanaman. PATIR-BATAN. Jakarta (2010), www.batan.go.id/patir/pert/pemupukan/pemupukan.ht ml. Diakses tanggal 13 -03-2010. Gunawan, I., 2014. Kajian Peningkatan Peran Azolla Sebagai Pupuk Organik Kaya Nitrogen pada Padi Sawah. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 14 (2): 134-138. Politeknik Lampung. Haryanto, Rasjid, H., Dan Sisworo, E.L., 2008. Azolla sumber N terbarukan bagi padi sawah, Prosiding Simposium dan Pameran teknologi Aplikasi Isotop dan Radiasi, Batan. Jakarta,145 – 149. http://sholihnugroho.blogspot.com/2011/03/manfaat-tanamanazolla-azolla-pinnata-r.html. Diakses tanggal 27-01-2015. http://dkwek.com/1551/membuat-pupuk-cair-dan-komposdari-azolla-microphylla/. Diakses tanggal 9-2-2015. Kuncarawati, I,.L., Husen, S., dan Rukhiyat, M., 2005. Aplikasi Teknologi Pupuk Organik Azolla Pada Budidaya Padi Sawah Di Desa Mandesan Kecamatan Selopuro Kabupaten Blitar. Jurnal Dedikasi Volume 3. 10-16 hal. Kusumo, D. 2008. Beberapa hasil penelitian tentang azolla. http://kolamazolla.blogspot.com/2009/10/penelitianazolla-di-faperta-ugm.html. 101
Maftuchah, 1994. Asosiasi Azolla Dengan Anabaena Sebagai Sumber Nitrogen Alami Dan Manfaatnya Sebagai Bahan Baku Protein. Pusat Bioteknologi Pertanian. Universitas Muhammadiyah Malang. Nurmayulis, Utama, P., Firnia, D., Yani, H, dan Citraresmini, A., 2011. Respons Nitrogen dan Azolla terhadap Pertumbuhan Tanaman Padi Varietas Mira I dengan Metode SRI.Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. 115-129 hal. Nurmansyah. 2009. Aplikasi azolla sebagai upaya mitigasi gas metan pada lahan padi sawah beririgasi. Institut Pertanian Bogor. Rahmatika,W., 2010. Pertumbuhan tanaman padi (Oryza sativa.L) akibat pengaruh persentase N (azolla dan urea). Primordia Volume 6 No.2. Kediri. 84-88 hal. Tyasmoro, S.Y. 2006. Sinergi Unsur Hara Fosfat dan Molibdenum pada Penyediaan N- Azolla (Azolla mycorphylla L.) untuk Padi Sawah dalam Upaya Efisiensi Penggunaan Pupuk Nitrogen (Urea). Disertasi S3 Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang. Utami, S.N.H., Purwanto, B.H. dan Putra R.C. 2012. Pengaruh pupuk kandang kambing dan azolla terhadap beberapa sifat tanah dan serapan padi di sawah organik Sambirejo, Sragen. UGM. Yogyakarta. 105-117 hal.
102
PERAN SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI DI KABUPATEN PIDIE JAYA Oleh: M. Nasir Ali dan Husaini Yusuf Pendahuluan Komoditi
tanaman
pangan
memiliki
peranan
pokok
sebagai pemenuhan kebutuhan pangan, pakan dan industri dalam negeri yang setiap tahunnya cenderung meningkat seiring
dengan
pertambahan
jumlah
penduduk
dan
berkembangnya industri pangan dan pakan. Dari sisi ketahanan pangan nasional fungsinya menjadi amat penting dan strategis. Sasaran produksi padi nasional tahun 2011 adalah 70,59 juta ton GKG atau meningkat 5,54% dibandingkan sasaran produksi sebelumnya, sasaran tanam 13,41 juta ha, sasaran panen 13,13 juta ha dengan sasaran produktivitas 53,77 ku/ha. Upaya peningkatan produksi padi, yang terfokus pada penerapan SLPTT tahun 2010 telah berhasil menjadi pemicu dalam meningkatkan produksi padi sebesar 5,91% (ARAM 2009). (Dirjen Tanaman Pangan, 2010). Balai Besar Penelitian Tanaman Padi telah menginisiasi aplikasi SL-PTT lahan sawah irigasi sejak 1999 di Sukamandi, peningkatan hasil padi yang diperoleh dengan penerapan SLPTT berbeda menurut tingkat dan skala luasan usaha. Pada 103
tingkat penelitian dan demonstrasi dengan luasan terbatas (1,0-2,5 ha) melalui model SL-PTT hasil padi dapat meningkat rata-rata 37% (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2009). Provinsi Aceh merupakan salah satu sentra produksi padi dalam negeri dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan, pakan dan industri nasional yang setiap tahunnya terus meningkat. Sekitar 2,40 % kebutuhan beras nasional dipenuhi dari Provinsi Aceh, dengan rerata produktivitas 4,6 ton/ha (Dinas Pertanian TPH Prov. Aceh, 2010). Produktivitas padi Provinsi Aceh mengalami peningkatan dari 4,26 ton per hektar pada 2008, meningkat jadi 4,32 ton per hektar pada 2009 atau meningkat sebesar 1,37 persen, sedangkan target peningkatan pada tahun 2012 sebesar 6,08% atau 4,6 ton per hektar (BPS, 2011). Ketersediaan lahan sawah potensial seluas 408.486 ha tersebar pada 21 kabupaten/kota. Ini menjadi peluang dalam peningkatan produksi dan produktivitas mengingat dewasa ini konversi lahan terus terjadi dari lahan produktif ke sektor non pertanian,
diperkirakan
mencapai
100
ribu
hektar/tahun
(Balitklimat, 2009). Disamping pula terjadi perubahan iklim yang menjadi ancaman utama pada sektor pertanian. Pidie
Jaya
merupakan
salah
satu
kabupaten
hasil
pemekaran dari induknya yakni Kabupaten Pidie yang terjadi pada tahun 2007 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 104
2007. Namun jika dilihat dari perkembangannya di sektor pertanian,
produksi
padi
malah
melampaui
kabupaten
induknya. Data yang dirilis Pidie Jaya Dalam Angka, pada tahun 2011, produktivitas padi di Kabupaten Pidie Jaya sebesar 7,99 ton/ha dengan total produksi 103.504 ton. Hasil kajian yang dilakukan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh 2010 pada beberapa demontrasi plot (demplot) mencapai 8,0 – 9,0 ton/ha. Demikian pula hasil demfarm dan demarea yang didampingi Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan dan Badan Penyuluhan Pertanian dan Ketahanan Pangan (BP2KP) pada MT 2009-2010 telah menghasilkan 7,0 – 9,0 ton/ha. Salah satu tujuan dari kegiatan diseminasi SL-PTT adalah meningkatkan adopsi teknologi, peningkatan produksi dan efisiensi biaya usahatani. Sekolah Lapang ini diharapkan dapat memberi suatu daya tarik tersendiri terhadap petani dalam memecahkan masalah. Dengan pendekatan SL-PTT juga diharapkan petani dapat berpartisipasi aktif sejak perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan menentukan paket yang terbaik. SL-PTT yang nantinya diharapkan dapat ditiru dan diadopsi oleh pengguna secara berkelanjutan.
105
Komponen Teknologi Unggulan PTT Adapun komponen teknologi yang dianjurkan dalam SLPTT adalah; (1) Penggunaan varietas unggul baru (VUB) berlabel yang berdaya hasil tinggi, bernilai ekonomi tinggi. (2) Pemupukan berimbang dan sesuai kebutuhan tanaman. (3) Penggunaan pupuk organik berupa kompos dan pupuk kandang sebagai penyedia hara dan pembenah tanah. (4) Penggunaan alat mesin (alsin) berupa alat pra panen dan pasca panen untuk menekan kerusakan hasil. (5) Pengairan dan pompanisasi dengan pemanfaatan air irigasi, air hujan. (6) Penggunaan benih bermutu dengan varietas unggul tahan terhadap hama dan penyakit, berpotensi hasil tinggi dan mutu hasil yang lebih baik. (7) Penanaman yang tepat waktu, serentak dan jumlah populasi yang optimal dapat menghindari serangan hama dan penyakit. (8) Pemberian pupuk secara berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan ketersediaan hara tanah dengan prinsip tepat jumlah, jenis, cara, dan waktu aplikasi. (9) Pemberian air pada tanaman secara efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan tanaman dan kondisi tanah. (10) Perlindungan tanaman dilaksanakan untuk mengantisipasi dan
mengendalikan
serangan
OPT
tanaman
dengan
meminimalkan kerusakan atau penurunan produksi akibat serangan OPT. (11) Penanganan panen dan pasca panen tepat waktu. (Pusbangluhtan, 2008). 106
Karakteristik Lokasi Desa Meunasah Raya merupakan desa terpilih untuk mendukung percepatan alih teknologi budidaya tanaman padi dalam pendampingan program SL-PTT padi sawah. Desa ini adalah termasuk kawasan sentra produksi padi dari 19 desa di kecamatan Meurah Dua kabupaten Pidie Jaya. Desa ini juga memiliki potensi dibidang tanaman pangan khususnya padi dan tanaman pangan lainnya. Luas lahan sawah irigasi
desa
Meunasah Raya 87 ha yang ditanam setahun dua kali dan desa ini merupakan desa binaan BPTP Aceh pada tahun 2012 dalam mengembangkan
sektor pertanian yakni tanaman pangan
kegiatan pendampingan program SL-PTT padi sawah. Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu Program pendampingan SL-PTT padi merupakan program nasional pendekatan inovasi spesifik lokasi pada padi sawah. Salah satu konsepnya adalah komponen teknologi yang diterapkan
disesuaikan
dengan
kondisi
spesifik
lokasi.
Penerapan konsep PTT pada usahatani padi sawah dimana salah satu komponen teknologinya adalah penggunaan varietas yang
sesuai
dengan
agroekosistem
diharapkan
dapat
meningkatkan hasil padi dan pendapatan petani, setiap program SL-PTT tersebut terdiri 25 ha dan didalamnya terdapat 1 ha laboratorium lapang (LL) sebagai tempat petani belajar, 107
menganalisa setiap masalah dan memecahkan masalah secara bersama. Dalam kegiatan SL-PTT adanya program Display Varietas Unggul Baru (VUB), yaitu kegiatan demontrasi di lapangan. Ketika kegiatan berjalan dilakukan pelatihan petani oleh BPTP dan Dinas Pertanian Kabupaten. Selain itu adanya kegiatan temu lapang (field day) atau hari tani. Kegiatan SL-PTT 2011 telah berjalan sangat baik, mulai perencanaan, persiapan, hingga persemaian. Ada beberapa kendala yang dihadapi dilapangan
termasuk
bergesernya
jadwal
tanam
karena
kekurangan air. Hal ini disebabkan terjadinya kekeringan panjang di provinsi Aceh pada umumnya. Tabel 1. Keragaan Usahatani Kegiatan SL-PTT di Kabupaten Pidie Jaya tahun 2011. Uraian Ekoregion: Tinggi tanaman Jumlah anakan Jumlah malai per rumpun Jumlah bulir per malai Penerapan komponen teknologi SL-PTT (%)
Sumber : Data sumber (diolah).
Demontrasi Plot NON SLLL SL-PTT PTT Lahan Lahan Lahan sawah sawah sawah 110 26 22 134
110 20 17 114
107 16 11 104
Benih Bermutu
Benih Bermutu
Benih antar lapang
108
Produktivitas Hasil Display VUB Pada unit areal SL-PTT dilaksanakan kegiatan percontohan (Display VUB) bagi petani peserta dan disediakan benih unggul bermutu dengan harapan dengan adanya display VUB dapat mempercepat alih teknologi. Adapun lokasi dan capaian hasil display
varietas
unggul
baru
(VUB)
dimana
inpari-10
produktivitas 8, 2 ton/ha diikuti inpari-20 dan ciherang. Tabel 2. Produktivitas Hasil pada Kegiatan Pendampingan SLPTT di Kabupaten Pidie Jaya tahun 2011.
No Kecamatan
1
2
Bandar Dua
Ulim
Desa
SL
LL
Seunong
7,2
8,4
NonSL 6,2
Poh Roh
7,1
7,8
6,4
Meuko Baroh
7,2
8,6
Reuleut
7,1
Meuko Baroh
Meurah Dua
Peningkatan produktivitas LL dibandingkan SL (t/ha)
SL
LL
1,0
2,2
1,2
0,7
1,4
0,7
5,5
1,7
3,1
1,4
8,2
6,4
0,7
1,8
1,1
6,8
7,3
6,1
0,7
1,2
0,5
Kiran Krueng
8,0
8,4
7,5
0,5
0,9
0,4
Lhok Gajah
8,5
9,5
8,2
0,3
1,3
1,0
Balee Ulim
8,0
8,5
7,0
1,0
1,5
0,5
Tanjong Ulim
8,5
9,5
7,8
0,7
1,7
1,0
8,2 Meunasah Raya 8,5
9,5 8,9
8,0 7,3
0,2
1,5
1,3
1,6
1,2
0,4
Ujin Daboh 3
Produktifitas (Ton GKP/Ha)
Peningkatan produktivitas Non SLPTT dibandingkan SL dan LL (t/ha)
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan 2011.
Rekomendasi VUB Padi Berdasarkan hasil display varietas unggul baru, uji adaptasi varietas dan demo plot di lahan petani dengan benih 109
unggul
bermutu
untuk
mempercepat
alih
teknologi
direkomendasikan untuk dikembangkan varietas inpari-10, inpari-13,
inpari-20,
inpari
3,
Cibogo
dan
Mekongga.
Sedangkan varietas ciherang hasil pengamatan sangat berisiko dikembangkan karena mulai terserang penyakit Blast leher malai.
Adapun
lokasi
dan
varietas
yang
dianjurkan
sebagaimana tabel berikut ini. Tabel 3. Komponen Teknologi yang telah diadopsi oleh petani di lokasi pengkajian, pada Kegiatan Pendampingan SL-PTT di Kabupaten Pidie Jaya tahun 2011. Komponen teknologi Penggunaan varietas unggul
Adopsi komponen teknologi (%) √ (80)
Keterangan Varietas Inpari-7, Inpari-10, Inpari-13,Inpari-20, cibogo dan ciherang Benih berlabel biru.
Penggunaan benih bermutu dan bibit sehat Umur bibit muda Sistem tanam jajar legowo (2 : 1)
√ (80) √ (75) √ (75)
15-20 hari setelah sebar Petani lainnya menggunakan legowo 4:1, 6:1 dan 10:1.
Pemupukan berimbang Pengendalian hama terpadu sesuai OPT sasaran
√ (50)
Perbaikan aerasi tanah
Belum (0)
Penambahan bahan organik
√ (70)
Petani sudah bisa menerapkan pemupukan berimbang Pengendalian hama masih belum kontinyu dan serentak/sebagian sudah menggunakan pestisida selektif Belum mengerti, belum semua bisa memahami tentang aerasi tanah dan sebagian sudah menerapkan irigasi berkala Manfaat penggunaan bahan organik sudah dirasakan oleh petani
√ (45)
110
Pupuk cair atau suplemen lainnya Penanganan panen dan pasca panen
√ (80) √ (90)
Penggunaan pupuk cair sangat kondisional Panen dilakukan bila 1/5 dari malai atau gabah pada bagian malai telah kuning. Perontokan gabah paling lama 1-2 hari setelah panen
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan 2011.
Tabel 4. Analisa Usahatani Padi MH pada Kegiatan Pendampingan SL-PTT di Kabupaten Pidie Jaya tahun 2011, dengan Luas: 1,0 ha. No. 1 2 3 4 5
Uraian Total Biaya Produksi Total Pendapatan Keuntungan R/C Rasio
Satuan Rp Rp Rp Rp
Teknologi PTT Petani 18.610.000 19.100.000 32.800.000 26.000.000 32.800.000 26.000.000 14.190.000 6.900.000 1,8 1,4
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2001. Pedoman Penyelenggaraan Kegiatan Diseminasi Teknologi Informasi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Badan Pusat Statistik, 2009. Statistik Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2009. Deskripsi Varietas Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Litbang, 2009. Rencana Strategis Departemen Pertanian 2009-2014. Departemen Pertanian.
111
Balitsereal, 2010. Teknologi PTT Jagung pada Lahan Sawah Sub-optimal. http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/ind//index.php?opti on=com_content&task=view&id=47&Itemid=137 (diakses tanggal 20 Maret 2010) Balitkabi, 2010. Deskripsi Varietas Unggul Kacang Tanah 1950 2008. http://balitkabi.litbang.deptan.go.id/images/PDF/deskripsi %20kacang%20tanah.pdf (diakses tanggal 20 Maret 2010). Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Aceh, 2008. Laporan Tahunan 2007 Provinsi Aceh. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Prov. Aceh, 2009. Laporan Tahunan 2008 Provinsi Aceh. Dirjen Tanaman Pangan, 2010. Pedoman Pelaksanaan SL-PTT Padi, Jagung, Kedelai dan Kacang Tanah 2010. Kementerian Pertanian. Jakarta. Kartaatmadja, S dan A.M. Fagi. 2000. Pengelolaan Tanaman Terpadu: Konsep dan Penerapan. Dalam Prosiding Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman Pangan. Konsep dan Strategi Peningkatan Produksi Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Hal. 75-89. Pusbangluhtan, 2008. Pedoman Umum Sekolah Lapangan PTT Padi. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian. Departemen Pertanian. Suryana A, dkk. 2008. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi. Departemen Pertanian.
112
INOVASI PERTANIAN DI LAHAN RAWA Oleh: Rini Andriani Kondisi
pangan
di
Indonesia
menghadapi
berbagai
permasalahan di antaranya yaitu pengaruh variabilitas dan perubahan iklim, maraknya serangan organisme pengganggu tanaman, hingga tingginya laju konversi lahan sawah menjadi nonsawah. Di sisi lain laju pertumbuhan penduduk kian meningkat. Pertambahan tersebut membutuhkan penambahan ketersediaan pangan, khususnya beras sebesar 2 juta ton per tahun. Terobosan yang sedang dilakukan oleh pemerintah saat ini yaitu dengan memanfaatkan lahan rawa untuk produksi pertanian. Berkurangnya lahan subur untuk usaha pertanian serta meningkatnya kebutuhan pangan nasional terutama beras akibat pertambahan jumlah penduduk menyebabkan pilihan pemenuhan kebutuhan pangan diarahkan pada pemanfaatan lahan rawa. Penggunaan lahan rawa untuk areal pertanian semestinya dapat dilakukan secara efisien dan merupakan alternatif
yang
sangat
pertanian
tanaman
tepat
pangan.
khususnya Saat
ini
untuk
produksi
pemerintah
telah
membuka lahan rawa untuk produksi pertanian seluas 2.270 ha atau 23,8% dari total luas rawa yang dapat digunakan untuk
113
pertanian. Ditargetkan pembukaan lahan rawa bisa mencapai 200.000-500.000 ha/tahun. Potensi Lahan Rawa di Indonesia Lahan rawa merupakan lahan yang berada di kawasan sepanjang pantai, aliran sungai, danau, atau lebak yang letaknya masuk ke pedalaman sampai sekitar 100 km atau sejauh dirasakannya pengaruh gerakan pasang. Jadi lahan rawa dapat dikatakan sebagai lahan yang mendapat pengaruh pasang surut air laut atau sungai disekitarnya. Di Indonesia terdapat dua pengertian istilah rawa, yakni rawa pasang surut dan rawa lebak. Rawa pasang surut diartikan
sebagai daerah rawa yang mendapatkan pengaruh
langsung atau tidak langsung oleh ayunan pasang surut air laut atau sungai disekitarnya. Sedangkan rawa lebak adalah daerah rawa yang mengalami genangan selama lebih dari tiga bulan dengan tinggi genangan terendah 25 – 50 cm. Tentu tidak semua jenis lahan rawa tersebut cocok digunakan untuk kegiatan budidaya pertanian. Bagi lahan rawa yang masih berselimutkan hutan primer, hutan sekunder dan hutan gambut tidak perlu di konversi dikarenakan di ekosistem lahan rawa tersebut menyimpan keanekaragaman hayati (biodiversity) yang tinggi. Lahan rawa yang akan dikonversi menjadi kawasan pertanian diprioritaskan pada lahan rawa 114
yang ditumbuhi semak belukar yang secara ekologi cocok untuk kegiatan budidaya pertanian. Sesuai kajian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, sekitar 7,9 juta ha memiliki potensi untuk dibuka (ekstensifikasi lahan). Prioritas lainnya adalah merevitalisasi rawa bokor yang mencapai 2 juta ha. Rawa bokor adalah lahan rawa yang pernah
dibuka
namun
belum
dibudidayakan.
Lahan
terbengkalai ini dapat diaktifkan dengan memperbaiki sistem tata air, baik makro maupun mikro. Alokasi biaya tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan membuka lahan rawa yang baru. Jadi dengan memperhatikan fakta tersebut, kita memiliki potensi lahan rawa untuk kegiatan pertanian seluas sekitar 9,9 juta. Strategi Membangun dan Mengembangkan Pertanian di Lahan Rawa Kunci keberhasilan pertanian di lahan rawa adalah dengan menerapkan kebijakan yang sistematis, terpadu dan terarah. Membangun pertanian di lahan rawa memiliki peluang yang sangat tinggi. Peluang tersebut seiring dengan masih luasnya lahan rawa yang tersebar di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Kebijakan
membangun
pertanian
lahan
rawa
di
Kementerian Pertanian difokuskan pada optimalisasi dari 115
berbagai hasil riset dalam sistem budidaya pertanian di lahan rawa, melalui: a. Penggunaan varietas unggul b. Peningkatan pengolahan tanah c. Pengendalian hama penyakit d. Pemupukan berimbang e. Pengelolaan pascapanen f. Pemanfaatan kearifan lokal Untuk strategi pengembangan pertanian lahan rawa harus berorientasi pada pembangunan berkelanjutan berdasarkan pada model yang telah dikaji dan diterapkan, baik di kebunkebun percobaan maupun lahan petani. Model pertanian di lahan rawa harus dilakukan secara terpadu atau terintegrasi dari hulu (penyediaan benih, pupuk dan sarana produksi pertanian lainnya), sistem budidaya sampai hilir (pengolahan pascapanen) tanpa meninggalkan limbah yang mengotori lingkungan. Kondisi ini dapat tercapai jika semua bagian tersebut menerapkan inovasi
teknologi, baik dari hasil riset
para peneliti, kearifan lokal para petani maupun gabungan di antara keduanya. Menanam Varietas Unggul Kendala utama lahan rawa lebak adalah pola genangan air yang sangat dinamis dan tak menentu. Di musim penghujan misalnya,
secara
mendadak
lahan
terendam
air
dan 116
menenggelamkan benih yang baru ditanam. Namun dilain waktu, lahan dapat menjadi kering kerontang. Jika petani telat tanam, benih tersebut dapat mati lantaran terkena cekaman (stress).
Untuk
mengatasinya
ada
beberapa
cara
yang
dilakukan. Pertama, jika memungkinkan dapat melalui reklamasi lahan secara benar. Walaupun membutuhkan investasi yang lumayan tinggi. Kedua, untuk mengatasi tergenangnya benih yang baru ditanam, usahakan menggunakan benih unggul yang tahan genangan dan berumur genjah (sekitar 3-4 bulan). Salah satu bibit yang mampu beradaptasi pada situasi ekstrem seperti itu adalah Inpara 3. Ada tiga varietas padi lainnya yang memiliki kemampuan memanjang jika terendam air, yakni Tapus, Nagara dan Alabio. Biosure dan Biotara, Inovasi Baru Pupuk Hayati untuk Lahan Rawa Tingkat kesuburan di lahan rawa tergolong rendah. Dengan menggunakan pupuk hayati Biosure dan Biotara, inovasi baru dari Badan Litbang Pertanian, ternyata mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah sehingga meningkatkan produktivitas pertanian secara signifikan. Pupuk hayati Biosure
dapat meningkatkan pH >40%,
mensubstitusi kebutuhan kapur >80%, menurunkan kadar 117
sulfat tanah >20% dan meningkatkan produktivitas tanaman >50% pada tanah sulfat masam. Pupuk
hayati
Biotara
dapat
meningkatkan
pemupukan nitrogen dan posfor lebih dari
efisiensi
30% serta
meningkatkan hasil padi di lahan rawa lebih dari 20%.
Sumber: Haryono, 2013. Pemupukan Berimbang
Kondisi miskinnya hara tanaman dapat diatasi dengan pemupukan yang berimbang, sesuai dengan kebutuhan tanaman dan tingkat ketersediaan hara di dalam tanah. Artinya, dosis pemberian pupuk yang akan diberikan disesuaikan dengan kondisi di setiap lokasi.
Jenis pupuk yang, digunakan juga bermacam-macam, mulai dari sintetis (pupuk buatan pabrik seperti urea, KCl, dan SP36), pupuk organik (kotoran ternak dan limbah biomassa), serta pupuk hayati (Biotara dan Biosure)
Jajar Legowo Terobosan untuk Pertanian Lahan Rawa Sistem
tanam
jajar
legowo
memudahkan
tanaman
mendapatkan lebih banyak sinar matahari, memudahkan tanaman yang berada di pinggir mendapatkan unsur hara yang 118
lebih banyak dibandingkan dengan rumpun tanaman di dalamnya, dan juga memudahkan petani dalam pemupukan susulan, penyiangan, pengendalian hama dan penyakit serta lebih mudah dalam mengendalikan hama tikus. Sistem tanam jajar legowo di lahan rawa memberikan andil yang cukup besar dalam peningkatan produksi padi. Di daerah Jambi membuktikan bahwa sistem tanam jajar legowo 5-1 mampu menaikkan produksi padi hingga 100%.
Sumber: Haryono, 2013.Sistem tanam jajar legowo 4:1
Integrasi Tanaman dan Ternak Pengembangan
sistem
usaha
pertanian
yang
mengintegrasikan antara ternak dan tanaman pangan memiliki prospek yang cerah. Petani yang mengusahakannya dapat memperoleh nilai ekonomi yang tinggi. Kotoran ternaknya dapat dipakai untuk pupuk organik yang dapat menyuburkan tanaman padinya, selain itu pupuk tersebut dapat dijual untuk menambah pendapatan. Begitu juga dalam pemberian pakan ternak sapi dan kerbau, sisa-sisa tanaman padi (jerami) dan batang jagung dapat dimanfaatkan untuk pakan. Dengan
119
begitu petani dapat menghemat biaya yang digunakan untuk membeli pakan hijauan ternak. Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman Salah satu hama yang paling ditakuti petani lahan rawa adalah tikus. Pada saat padi berumur muda, ia menyerang batang padi. Begitu juga ketika padi telah menguning, tikustikus ini menggasak bulir padi yang sedang menguning. Cara yang dapat dikembangkan petani di desa Talang Rejo, Kecamatan Muara Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, layak dipraktikkan petani lain di lahan pasang surut. Mereka memagar sekeliling sawahnya dengan sejenis plastik. Agar tikus tidak dapat memanjat, di sepanjang pagar bagian luar tersebut dibuat saluran yang selalu terisi air dengan lebar 100 cm. Jadi, untuk mencapai sawah yang sudah ditanami padi, tikus harus berenang di saluran tersebut. Meskipun ia mampu
berenang
namun
kakinya
tak
akan
mampu
mencengkeram plastik tadi. Padi pun aman dari serangan tikus.
Sumber: Haryono, (2013) 120
Potensi Lahan Rawa di Aceh Saat ini lahan sawah telah banyak beralih fungsi kepada pembangunan
pemukiman
penduduk
dan
pengalihan
komoditas yang ditanam. Hal ini menjadikan lahan-lahan rawa di Aceh dimanfaatkan untuk mengembangkan sumber daya pertanian dan untuk menghindari terjadinya krisis pangan. Sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat Daya. dilaporkan luas hutan gambut di Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat Daya 61,8 ribu hektar yang di tanami padi hanya 4.491 ha. Lahan gambut yang tidak tebal atau dangkal, kurang dari 3 m dapat dijadikan sebagai lahan untuk pertanian. Karena jika diusahakan dapat memberikan tambahan pendapatan bagi perusahaan maupun masyarakat di sekitarnya. Lahan gambut merupakan bagian dari lahan rawa. Ada 215.704 ha luas lahan gambut yang tercatat di Aceh yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat, seperti pengembangan komoditas padi lahan rawa, penanaman sayur-sayuran, ketela, ubi kayu dan kacang tanah. Secara ekonomi, hutan rawa gambut juga sangat kaya dengan berbagai jenis ikan dan hasil hutan non kayu
yang
secara
tradisional
dimanfaatkan
masyarakat
setempat sebagai sumber ekonomi keluarga dan sumber protein.
121
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2014. Hasil Survey : Nagan raya Bakal Berada di bawah Permukaan laut. http://bongkarnews.com/v1/view.php?newsid=5698. Diakses 18 Mei 2015. Aziz, Abdul dan Basri A. Bakar. 2012. Lahan Rawa Sangat Potensial Atasi Krisis Pangan. http://nad.litbang.pertanian.go.id. Diakses 18 Mei 2015. Foto-foto : Dokumen Badan Litbang Pertanian. Haryono, 2013. Lahan Rawa. Lumbung Pangan Masa Depan Indonesia. Bogor. Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian. Purwanto, Siwi.,2006. Kebijakan Pengembangan Lahan Rawa Lebak. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Terpadu. Banjarbaru, 28-29 Juli 2006.P.1
122
TEKNOLOGI BEBERAPA VARIETAS KACANG HIJAU PADA LAHAN KERING Oleh: Abdul Azis dan Basri A. Bakar
Kacang
hijau
(Vigna
radiata)
memiliki
kelebihan
dibandingkan tanaman pangan lainnya, yaitu: (1) berumur genjah (55-65 hari), (2) lebih toleran kekeringan dengan kebutuhan air untuk pertumbuhan kacang hijau relatif kecil, yakni 700-900 mm/tahun. Pada curah hujan yang lebih rendah dari itu masih dapat tumbuh karena ia berakar dalam, (3) dapat ditanam pada lahan yang kurang subur dan penyubur tanah karena bersimbiose dengan rhizobium dan menghasilkan biomasa banyak (11-12 t/ha), (4) cara budidayanya mudah, cukup olah tanah minimal dan biji disebar, (5) hama yang menyerang relatif sedikit dan (6) harga jual tinggi dan stabil, (Kasno.A 2007). Karena kelebihan tersebut kacang hijau dapat dipandang sebagai komoditas alternatif untuk dikembangkan di lahan sawah dan lahan kering, khususnya yang memiliki indeks panen rendah. Peran strategis dari kacang hijau adalah komplementer dengan beras dapat diperkaya oleh kacang hijau, sebab protein beras yang miskin lisin akan diperkaya oleh kacang hijau yang kaya lisin. Asam amino kacang hijau yang miskin sulfur akan diperkaya oleh asam amino beras yang kaya sulfur. Oleh 123
karena
itu
kombinasi
kacang
hijau
dan
tepung
beras
merupakan kombinasi yang serasi. Campuran tepung kacang hijau dan tepung beras masing-masing 50 % sangat baik untuk konsumsi anak balita karena kandungan lisin dan asam aminosulfur sangat serasi (Kasno. A 2007). Implikasi dari sosialisasi konsumsi kacang hijau hingga mencapai 2,5 kg/tahun/kapita, dengan jumlah penduduk kurang lebih 225 juta jiwa maka hal ini memerlukan tambahan produksi kacang hijau sekitar 200.000-215.000
ton.
Tambahan
produksi
tersebut
memerlukan tambahan areal tanam. Pengembangan areal tanam dapat diarahkan pada lahan sawah maupun lahan kering. Dampak dari pengembangan areal tersebut akan dapat menampung tenaga kerja yang besar. Pulau Jawa merupakan penghasil utama kacang hijau di Indonesia, karena memberikan kontribusi 61% terhadap produksi kacang hijau nasional. Sebaran daerah produksi kacang hijau adalah Aceh, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Total kontribusi daerah tersebut adalah 90 % terhadap produksi kacang hijau nasional dan 70 % berasal dari lahan sawah (Kasno. A 2007). Tantangan pengembangan tanaman kacang hijau adalah kesiapan teknologi dalam pengembangan kacang hijau belum tersedia dengan baik, keterbatasan modal, anggapan petani 124
terhadap
kacang
hijau
sebagai
tanaman
kedua,
dan
infrastruktur yang kurang memadai merupakan faktor biofisik dan sosial ekonomi yang menghambat pengembangan kacang hijau. Kacang hijau umumnya ditanam dilahan sawah pada musim kemarau setelah padi atau tanaman palawija yang lain. Ditingkat petani, rata-rata produktivitas baru mencapai 0,9 ton/ha. Sedangkan dari hasil percobaan dapat mencapai 1,60 ton/ha. Rendahnya hasil kacang hijau di tingkat petani antara lain disebabkan oleh praktek budidaya yang kurang optimal. Untuk meningkatkan produktivitas tanaman diperlukan teknik budidaya yang tepat. Teknik Budidaya Kacang Hijau a. Varietas Semua varietas kacang hijau yang telah dilepas cocok ditanam di lahan sawah maupun lahan kering. Varietas terbaru tahan penyakit embun tepung dan bercak daun seperti sriti, kenari, perkutut, murai dan kutilang dapat dianjurkan untuk ditanam di daerah endemik penyakit tersebut. Kebutuhan benih sekitar 25-30 kg/ha dengan daya tumbuh 90%.
125
b. Penyiapan Lahan Pada lahan sawah bekas tanaman padi, tidak perlu dilakukan pengolahan tanah (Tanpa Olah Tanah = TOT). Tunggul padi perlu dipotong pendek dan jerami padi dibersihkan. Apabila tanah becek, perlu dibuat saluran drainase. Pada lahan kering (tegalan) pengolahan tanah dilakukan intensif dibersihkan dari rumput, dicangkul hingga gembur (untuk tanah tegalan yang berat pembajakan dilakukan sedalam 15-20 cm), dibuat petakan 3-4 m. Pemberian mulsa jerami sekitar 5 ton/ha agar dapat menekan pertumbuhan gulma, mencegah penguapan air dan perbaikan struktur tanah. c. Penanaman Waktu tanam pada lahan sawah tanaman kacang hijau ditanam pada musim kemarau setelah tanaman padi. Sedangkan dilahan tegalan dilakukan pada awal musim hujan. Cara tanam Benih ditanam dengan cara tugal, dengan jarak 40 cm x 15 cm untuk musim hujan, sehingga populasinya sekitar 300400 ribu tanaman perhektar. Sedangkan untuk musim kemarau digunakan jarak tanam 40 cm x 10 cm, tiap lubang diisi 2 biji.
126
Sehingga populasinya sekitar 400-500 ribu tanaman perhektar. Penyulaman dapat dilakukan sebelum tanaman berumur 7 hari. d. Pemupukan Pada lahan sawah bekas tanaman padi yang subur, tanaman kacang hijau
pada umumnya tidak perlu
dilakukan pemupukan. Pada lahan kering diperlukan pemupukan dengan NPK. Pada tanah yang kurang subur dilakukan pemupukan 45 kg Urea, 45 - 90 kg TSP dan 50 kg KCL/ha yang diberikan pada saat tanam secara larikan di sisi lubang tanam sepanjang barisan tanaman. Penambahan pupuk organik seperti pupuk kompos, pupuk kandang dapat meningkat kapasitas menahan air didalam tanah. Pupuk organik diberikan dengan sebanyak 15-20 ton/ha. Abu dapur sangat baik digunakan sebagai penutup lobang tanam e. Penggunaan Mulsa Jerami Jerami padi dapat diaplikasikan sebagai mulsa, dengan takaran 5 ton jerami padi/ha. Penggunaan mulsa dapat menekan serangan lalat bibit, pertumbuhan gulma dan penguapan air.
127
f. Pengairan Tanaman kacang hijau relatif tahan kering, namun tetap memerlukan pengairan terutama pada periode kritis pada waktu perkecambahan, menjelang berbunga (umur 25 hari) dan pembentukan polong (umur 45-50 hari). g. Penyiangan Penyiangan dilakukan seawal mungkin karena kacang hijau
tidak
tahan
bersaing
dengan
gulma.
Penyiangan
dilakukan 2 kali pada umur 2 dan 4 minggu. h. Pengendalian hama dan penyakit Beberapa jenis hama tanaman kacang hijau antara lain : Lalat Kacang (Ophiomya phaseoli), Ulat Jengkal Hijou (Phusia chalcites), Ulat Grayak (Prodanio litura), Penggerek Polong (Maruca testulalis), Kutu Aphis (Aphis craccivora), Kepik Hijau (Nezara viridula), dan Kutu Thrips (Benusia tabaci).
Untuk
pengendalian ulat daun maupun penggerek polong dapat digunakan insektisida : Marshal, Fastac, Decis, Matador dan Atabron Untuk mengendalikan kutu dan kepik yang menyerang daun maupun polong dapat digunakan insektisida diantaranya : Decis, Basso, Kiltop, Ambush, Larvin. Penyakit yang sering muncul pada tanaman kacang hijau antara lain : a. Penyakit yang disebabkan oleh jamur/cendowan seperti bercak-bercak daun (Cercospora c.), karat daun (Uromycus sp), 128
Kudis (Elismoe iwatae), embung tepung (Erysipha p.) dan Rhizoctonia s. Pengendaliannya : - Menanam varietas tahan seperti Walet, Nuri, Gelatik dan Kenari. - Membuat saluran drainase/bedengan. - Menghindari tanah dan sisa tanaman yang terinfeksi jamur atau cendawan. - Aplikasi fungisida scat tanam (mencampur pada benih) dan pada pertanaman dengan Benlate, Dithene M 45, Bayleton, Bavistin, Topsin M, Cobox atau Cuprovit. b.
Penyakit : Virus Belong (Blackgram mottle) dan Mosaik
Kuning (Bean yellow). Pengendalian : a) penanaman varietas tahan dan bebas virus. b) mencabut dan membakar tanaman terserang. c) menggunakan insektisida untuk memberantas serangga vektor di lapangan. d) melakukan pergiliran tanaman. i. Panen dan Pasca panen a. Panen Kacang hijau dipanen sesuai dengan umur varietas, Tanda-tanda lain bahwa kacang hijau telah siap untuk di panen adalah berubahnya warna polong dari hijau menjadi hitam atau coklat dan kering. Keterlambatan panen dapat mengakibatkan polong pecah saat dilapangan. Panen dilakukan dengan cara dipetik. Panen dapat dilakukan satu, dua atau tiga kali 129
tergantung varietas. Jarak antar panen kesatu dan ke dua 3-5 hari. b. Pasca Panen Pengeringan polong dilakukan selama 2-3 hari dibawah sinar matahari. Pembijian dilakukan secara manual yaitu dipukul-pukul
didalam
kantong
plastik
atau
kain
untuk
menghindari kehilangan hasil. Pembersihan biji dari kulit polong dilakukan dengan tampi. Sebelum disimpan biji kacang hijau di jemur kembali sampai mencapai kering simpan yaitu kadar air 8 - 10 %. Hasil di Kebun Percobaan Tabel 1. Komponen yang digunakan dalam visitor plot Kacang Hijau di Lahan BPTP Aceh : No Komponen Teknologi I Agroekosistem Sasaran II Teknis Pelaksanaan Waktu Tanam
Lahan Kering
Uraian
Juni 2012 (Juni – September 2012)
Lokasi
Di kebun kantor BPTP NAD
Penyiapan Lahan
Pengolahan tanah secara optimal yaitu tanah diolah dengan sempurna Perkutut, Walet, Vima-1 dan varietas lokal 25 - 30 kg/ha
Varietas Benih Pemberian Bahan Organik
Dilakukan 15 hari sebelum tanam, Cara pemberiannya disebar merata di atas permukaan tanah. Dosis pemberiannya 15 ton/ha
Penanaman
Tanam dengan sistem tugal dengan 2-3 biji/lubang dengan jarak tanam 40 cm x 10 cm. Lubang tanam ditutup dengan tanah.
130
Pemupukan Pengendalian Hama Penyakit
Pengendalian Gulma
Panen
pupuk an organik (Urea, SP-36, KCl) dengan perbandingan 45 : 90 : 50 Kg/ha Penyemprotan dilakukan apabila populasi mencapai ambang kendali insektisida dosis disesuaikan dengan petunjuk. Pengendalian penyakit : penyemprotan apabila intensitas penularan mencapai 30% fungisida alternatif Dithane M-45, Baniate dan Beylevon. Gulma dikendalikan dua kali secara manual yaitu pada umur 21 dan 35 hari setelah tanam (hst) melalui kegiatan penyiangan dan pembubunan. Bila 95% polong telah berubah warna dari hijau menjadi kecoklatan atau hitam.
Sebelum dilakukan penanaman terlebih dahulu tanah dianalisis dengan menggunakan perangkat uji tanah kering (PUTK ) pada tanggal 5 Mei 2012. Hasil analisis PUTK dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel No
2.
Hasil Analisis PUTK Lahan Laboratorium BPTP Aceh
Analisis PUTK
Kadar Hara
Kacang
Rekom
Hijau
di
Dosis Pupuk
1
Hara P
Tinggi
SP-36
100 kg/ha
2
Hara K
Rendah
KCl
100 kg/ha
3
C-organik
Rendah
4
Nitrogen
Stabil
Pukan Jerami Urea
5
pH
Netral 6 – 7
2 t/ha Pukan 2 t/ha Jerami 25 kg/ha
131
Hasil pengamatan keragaan tanaman kacang hijau dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 3. Rata-rata Pengamatan Keragaan Tanaman Kacang Hijau di Kebun BPTP Aceh No
Varietas
Keragaan
Perkutut
Walet
Vima-1
Lokal
1.
Tinggi tanaman
56
55
61
51
2.
Jumlah cabang produktif
15
12
11
8
3.
Jumlah polong isi
9
7
6
4
4.
Jumlah polong hampa
3
2
2
2
5.
Berat ubinan (gr)
800
600
500
300
6.
Berat 100 biji (gr)
4,0
3,7
3,3
3,0
Ket: Data sebelum diolah
Kegiatan
visitor
plot
tanaman
kacang
hijau
yang
dilaksanakan pada bulan Mei 2012, diawali dengan pengolahan tanah. Tanah dibajak menggunakan hand traktor dan diratakan dengan cangkul selama 4 hari. Pelaksanaan tanam dilakukan pada tanggal 10 Mei 2012. Benih kacang hijau kelas Breder seed (BS) tersebut diperoleh dari Balitkabi-Malang, Jawa Timur. Pengujian varietas terdiri dari : Perkutut, Walet, Vima-1 dan varietas lokal. Salah satu penyebab keragaman hasil kacang hijau di tingkat petani Provinsi Aceh adalah belum diterapkannya teknologi kacang hijau secara tepat oleh petani. Hal ini terlihat dari 40 % tanaman kacang hijau masih ditanam dengan cara sebar, di samping komponen lain seperti sulitnya mendapatkan 132
varietas unggul yang sesuai dengan agroekosistem setempat, mutu benih belum memenuhi syarat, penyiangan, pengendalian hama dan penyakit belum dilakukan secara baik oleh petani, sehingga hasil yang diperoleh masih rendah (0,6 - 0,8 ton/ha). Dalam upaya peningkatan produksi kacang hijau, Badan Litbang Pertanian melalui Balitkabi Malang terus berupaya mendapatkan varietas unggul di masa datang. Uji multi lokasi dan adaptasi di daerah sentra produksi merupakan salah satu cara untuk mempercepat pelepasan benih unggul yang telah dihasilkan oleh Balitkabi. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan kacang hijau kurang baik, sedangkan umur panen kacang hijau kurang lebih 60 hari setelah tanam. Jumlah produksi yang dihasilkan dari tanaman kacang hijau di lahan Visitor Plot + 30 kg. Rendahnya produksi yang dihasilkan disebabkan pada saat penanaman terjadi musim kering sehingga mengganggu pertumbuhan kacang hijau. Berbagai upaya telah dilakukan dengan cara penyiraman setiap hari pada waktu sore hari, namun pertumbuhan kacang hijau tetap saja terganggu. Selain hal tersebut banyaknya serangan hama penyakit dan gangguan gulma pada saat pertumbuhan sehingga pertumbuhan kacang hijau terhambat. Disamping hal di atas, kendala yang dihadapi adalah kurangnya tenaga kerja di lapangan sehingga perawatan tanaman kurang baik. Dari 133
beberapa
kendala
yang
dihadapi
tersebut
sangat
mempengaruhi produksi kacang hijau. Apabila dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan maka secara ekonomi tanaman kacang hijau di lahan visitor plot tidak menguntungkan. DAFTAR PUSTAKA Anonimus.2009.http://sulsel.litbang.deptan.go.id/index.php?opt ion=com_content&task=view&id=207&Itemid=217 Astanto Kasno. 2007. Kacang Hijau Alternatif yang Menguntungkan Ditanam di Lahan Kering. Tabloid Sinar Tani, 23 Mei 2007. Jakarta. Balitkabi. 2005. Teknologi Produksi Kacang-kacangan dan umbi-umbian. Malang I Made MS. 2000. Teknik Produksi Benih Kacang Hijau. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Denpasar. Bali.
134
PENGENDALIAN HAMA TIKUS PADA TANAMAN PADI MELALUI PENDEKATAN SECARA TERPADU Oleh : Ahmad Adriani
PENDAHULUAN Tikus merupakan hama utama pada tanaman padi yang tidak boleh diremehkan malah sebagian besar petani di wilayah Aceh, hama tikus sudah dianggap hama paling penting, karena tingkat gangguannya yang sangat merugikan. Gangguan hama ini mulai terjadi dari persemaian sampai hasil panen. Hama ini cepat sekali berkembang bila mata rantai makanannya tidak pernah terputus, seandainya terputus pun hama ini dapat menyesuaikan diri secara cepat dengan makanan lain. Selain itu tikus juga disebut sebagai vektor penyakit pest yang berbahaya bagi manusia. Di benua Eropa tikus disebut dengan istilah rat dan mice. Rat adalah tikus ukuran besar sedangkan mice adalah tikus ukuran kecil. Binatang kecil ini termasuk cerdik karena memiliki adaptasi tinggi terhadap lingkungan, sebaliknya memiliki indra penglihatan yang lemah namun
diimbangi
dengan
indra
pencium,
peraba
dan
pendengar yang amat tajam (peka). Tikus juga mampu bertahan hidup di daerah dataran tinggi maupun dataran
135
rendah dalam keadaan musim paceklik makanan dan air selama 3 bulan. Perkembangan hama ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, terutama ketersediaan makanan. Pada daerah dengan musim hujan dan musim kemarau yang tidak terlalu jauh berbeda sepanjang tahun, faktor ketersediaan makanan tidak berbeda banyak, sehingga kepadatan populasi tikus juga stabil. Untuk daerah yang jelas antara musim hujan dan musim kemarau, kepadatan populasi tidak stabil. Pada musim hujan, bila persediaan makan cukup, populasi tikus akan berkembang pesat dan demikian pula sebaliknya malah terkadang dapat terhenti sama sekali. Tingkat serangan hama tikus di Provinsi Aceh Tahun 2014 mencapai 1.380 ha dengan luas tanam 239.038 ha, intensitas serangan hama tertinggi di Kabupaten Aceh Utara seluas 211 ha, diikuti oleh Aceh Besar 209 ha, Pidie 164 ha serta Bireuen seluas 134 ha. Dinas Pertanian Provinsi Aceh sudah berupaya melakukan pengendalian hama tersebut, yaitu dengan Upaya Gerakan Pengendalian Tikus pada tanaman padi di tiap Kabupaten/Kota.
Teknis
pengendalian
berupa
gropyokan,
emposan tikus dan bantuan umpan beracun. (Sumber : Dinas Pertanian Aceh). Kehilangan hasil tanaman padi akibat gangguan hama tikus sangat besar, sehingga memerlukan pengendalian yang 136
baik. Data dari Pusat Peramalan Hama dan Penyakit Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan menunjukan bahwa kehilangan hasil akibat serangan tikus di pertanaman sekitar 17 %/ tahun. Pada dasarnya dalam hal pengendalian menunjukkan bahwa
tidak
satupun
cara
pengendalian
tunggal
dapat
mengatasi hama tikus pada semua kondisi lingkungan. Kompenen pengendalian secara PHT, program serta manusia yang terkait di dalamnya yang merupakan kunci keberhasilan penanganan masalah
tikus bersinergi,
agar memberikan
pengendalian yang lebih efektif dan menguntungkan. Pengendalian Tikus pada Tanaman Padi Sudarmaji, (2006) menyebutkan beberapa penyebab hama tikus menyerang tanaman padi setiap tahun di beberapa daerah di Indonesia: 1). Pengendalian yang dilakukan petani berjalan sendiri-sendiri, 2). Monitoring yang lemah terhadap hama 3). Terlambat melakukan pengendalian dan sering tidak berlanjut
dan 4). Kurang pemahaman terhadap hama tikus
dan informasi teknologi dalam memberantas hama ini. Harus diingat bahwa membunuh seekor tikus betina pada waktu tanam sama dengan membunuh 80 ekor tikus setelah berkembang biak. Oleh karena itu dalam mengendalikan hama tikus diperlukan suatu strategi dengan metode pengendalian hama terpadu yaitu dengan memanfatkan semua teknik yang 137
kompatibel
dalam
suatu
sistem
yang
harmonis
untuk
mempertahankan atau menekan populasi di bawah batas ambang ekonomi. Beberapa cara pengendalian yang dipadukan dalam satu strategi hama terpadu yaitu sebagai berikut : a. Pengaturan waktu tanam Dianjurkan
untuk
penanaman
yang
serentak,
berdasarkan daya jelajah tikus sampai 2 km, maka penanaman serentak meliputi
300 ha, artinya serentak memasuki
fase
generatif dengan selang waktu kurang dari 10 hari. b.
Minimalisasi ukuran pematang dan tanggul Sedapat mungkin mempersempit
tanggul
di
sekitar
persawahan,
ukuran pematang dan sehingga
mengurangi
kesempatan sebagai tempat pembuatan liang (sarang tikus). c. Sanitasi Lingkungan Kebersihan lingkungan persawahan terhadap semak-semak dan rerumputan yang menjadi tempat
persembunyian tikus
dan menghindari penumpukan jerami di sekitar liang tikus. d. Pemasangan bubu perangkap di persemaian Pemagaran
persemaian
menggunakan
plastik
yang
dikombinasikan dengan bubu perangkap, jumlahnya 2 - 3 buah setiap persemaian, dipasang setiap sudut persemaian dengan tinggi pagar plastik 50 cm.
138
e. Pemasangan bubu perangkap di pertanaman Pemasangan pagar plastik yang dikombinasikan dengan bubu perangkap, jarak antara bubu perangkap 10-20 m. Pemasangan dilakukan setelah tanaman berumur 1-2 minggu. f. Pemanfaatan Musuh Alami Tindakan yang dilakukan adalah menjaga kelestarian musuh alami dengan jalan tidak menangkap dan membunuh serta memberi
perlindungan untuk
hidup bebas di alam, musuh
alam tersebut antara lain adalah ; kucing, anjing, ular sawah, burung hantu dan burung elang. g. Cara Fisik Mekanik Teknik pengendalian meliputi
cara seperti penggenangan
lahan, gropyokan (Pembongkaran liang dan menangkap tikus secara beramai-ramai), pemasangan bambu sebagai perangkap dan pemanfaatan jaring. h. Fumigasi atau pengomposan dengan asap beracun Pengomposan paling efektif pada stdia keluar malai karena pada saat itu tikus sedang masa berkembang biak dan banyak tinggal di liang. Apabila populasi tikus tinggi, pengomposan 2-3 minggu setelah panen atau menjelang saat pengolahan tanam. i. Umpan Beracun Penggunaan umpan beracun sangat efektif bila di lapangan tidak ada tanaman dan tingkat serangan sudah mencapai 10%, umpan diletakkan pada tempat-tempat yang banyak dikunjungi 139
atau dilewati tikus. Berdasarkan cepat dan lambat daya bunuh rodentisida dapat dibedakan 2 golongan yaitu ; racun akut dan kronis. Golongan racun akut daya kerja cepat, 3-14 jam setelah peracunan
menunjukkan gejala kematian sedangkan
racun kronis daya kerja lambat, 2-14 hari setelah peracunan mununjukkan gejala kematian. Contoh Klerat RM, dosis penggunaan 1 kg/ha per aplikasi.
KESIMPULAN Pengendalian tikus merupakan hama terpenting pada tanaman padi dan tanaman lainnya, harus disosialisasikan dan diimplementasikan dalam bentuk pengendalian terpadu. 2. Pada dasarnya tidak ada satupun cara pengendalian tunggal dapat mengatasi hama tikus pada semua kondisi ekosistem, upaya melalui pendekatan ekologi mutlak diperlukan sebagai komponen pengendalian spesifik lokasi yang terpadu. 3. Komponen-komponen non kimiawi merupakan komponen yang mudah diintegrasikan antara satu dengan yang 140
lainnya, apabila hal tersebut tidak serius ditangani maka penggunaan rodentisida yang tidak tepat dapat berakibat buruk pada lingkungan akan semakin berkembang.
DAFTAR PUSTAKA Abubakar, I. 1999. Vetebrata Hama. Diktat Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan. Banda Aceh. Hal 21-28. Anonim, 2007. Pedoman Rekomendasi Pengendalian Hama Terpadu Pada Tanaman Padi. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Jakarta. Dinas Pertanian Aceh, BPTPH, 2014. Data Perkembangan OPT Padi di Provinsi Aceh. Djafar Baco, 2008. Pengendalian Tikus Pada Tanaman Padi Melalui Pendekatan Ekologi. Gallagher, K.1991. Pengendalian Hama Terpadu untuk Padi. Proyek Prasarana Bappenas. Jakarta. Sudarmaji, 2007. Pengendalian Hama Tikus Terpadu untuk mendukung P2BN.
141
TEKNOLOGI PENGENDALIAN ULAT GRAYAK (Spodoptera litura F.) PADA TANAMAN KEDELAI Oleh : Ratnawati Tanaman kedelai
adalah
komoditas tanaman pangan
yang sangat dibutuhkan oleh penduduk Indonesia karena kedelai merupakan sumber protein, nabati, lemak, vitamin dan mineral yang murah dan mudah tumbuh di berbagai wilayah Indonesia.
Kedelai salah satu jenis tanaman palawija yang
cukup penting setelah kacang tanah dan jagung. Sebagai bahan makanan kedelai mempunyai kandungan gizi yang tinggi terutama protein (40%), lemak (20%), karbohidrat (35%) dan air (8%) (Suprapto, 1997). Di Indonesia, kedelai banyak diolah untuk berbagai macam bahan pangan, seperti: tauge, susu kedelai, tahu, kembang tahu, kecap, oncom, tauco, tempe, es krim, minyak makan, dan tepung kedelai. Selain itu, juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat, maka permintaan terhadap komoditas kedelai semakin meningkat dari tahun ke tahun
serta
adanya
kesadaran
masyarakat
terhadap
kebutuhan tentang gizi. Akan tetapi, kapasitas produksi dalam negeri belakangan ini cenderung menurun. Setiap tahunnya pemerintah melakukan impor kedelai yang belakangan ini 142
sudah mencapai 600 ribu ton per tahun (Arsyad dan Syam, 1998). Menurut Hilman, et al. (2004), proyeksi permintaan kedelai tahun 2018 sebesar 6,11 juta ton, tanpa upaya dan kebijakan khusus, hingga tahun 2018 kebutuhan kedelai nasional tetap akan bergantung pada impor. Hama merupakan salah satu faktor kendala dalam usaha meningkatkan produksi kedelai. Serangga hama kedelai di Indonesia sebanyak 111 jenis (13), beberapa di antaranya berstatus hama penting. Salah satu hama daun penting yang mengakibatkan kehilangan hasil panen sebesar 20-40 % adalah
Spodoptera litura F. (Lepidoptera, Noctuidae) yang
lebih dikenal dengan nama ulat grayak. Luas serangan ulat grayak berkembang dari tahun ke tahun, kehilangan hasil akibat serangan ulat grayak banyak ditentukan oleh populasi hama, fase perkembangan serangga serta varietas tanaman. Menurut Pracaya (2005) Spodoptera litura F. disebut ulat grayak karena ulat ini dalam jumlah yang sangat besar sampai ribuan menyerang dan memakan tanaman pada waktu malam hari sehingga tanaman akan habis dalam waktu yang sangat singkat. Spodoptera litura F. merupakan hama perusak daun yang bersifat polifag (mempunyai kisaran inang yang luas). Tanaman
inangnya
antara
lain
jagung,
tomat,
kapas,
143
tembakau, padi, kakao, jeruk, ubi jalar, kacang tanah, jarak, kedelai, kentang, kubis, dan bunga matahari (Holloway, 1989). Penggunaan pestisida sintetis yang berlebihan dan tidak tepat telah menyebabkan dampak negatif baik terhadap serangga dan juga terhadap lingkungan, misalnya timbulnya resistensi
hama.
Untuk
itu
pengendalian Spodoptera
litura dapat dilakukan dengan Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
yakni
merupakan
langkah
pengendalian
dengan
mengikutsertakan beberapa komponen pengendalian, termasuk komponen biologi yaitu predator, parasitoid dan patogen serta pemanfaatan pestisida nabati. Di dalam konsep PHT, tindakan pengendalian hama ditujukan
untuk
menurunkan
kemudian
mempertahankan
populasi hama di bawah ambang ekonomi, yaitu tingkat populasi hama yang pada tingkat tersebut harus dilakukan pengendalian untuk mencegah meningkatnya populasi hama mencapai tingkat yang membahayakan tanaman. Prinsip pengendalian
hama
pada
ambang
ekonomi
telah
dikembangkan oleh para ahli sebagai dasar dalam menentukan keputusan. Nilai ambang ekonomi ulat grayak disajikan dalam Tabel 1. Pada keadaan tanaman diserang oleh kompleks hama daun,
144
ambang ekonominya setara dengan kerusakan daun sebesar 12,5% . Tabel 1. Ambang Ekonomi Ulat Grayak Pada Tanaman Kedelai (Mojosari , 1987). No 1 2 3 4
Stadia Serangga Telur Ulat Instar I Ulat Instar II Ulat Instar III
Nilai Ambang Ekonomi 1 Kelompok /57 Tanaman 58 Ekor/ 12 Tanaman 58 Ekor/ 12 Tanaman 58 Ekor/ 12 Tanaman
Komponen Pengelolaan Terpadu Ulat Grayak Prinsip operasional yang digunakan dalam PHT meliputi : 1. Budidaya tanaman sehat Tanaman yang sehat mempunyai ketahanan ekologi yang tinggi terhadap gangguan hama. Oleh karena itu, penerapan paket teknologi produksi harus diarahkan kepada terwujudnya tanaman yang sehat. 2. Pelestarian musuh alami a. Musuh alami (parasit, predator, dan patogen serangga) merupakan faktor pengendali hama penting yang perlu dilestarikan dan dikelola agar mampu berperan secara maksimum dalam pengaturan populasi hama di lapang. Penggunaan pestisida nabati biji mimba yang mengandung azadirachtin terbukti dapat menekan serangan ulat grayak 145
(Nathan dan Kalaivani 2005).
Penggunaan agen hayati
(pengendalian biologis). b. Pengendalian biologis pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan hama. Musuh alami seperti parasitoid, predator, dan pathogen serangga hama merupakan agens hayati yang dapat digunakan sebagai pengendali ulat grayak (Marwoto 1999). 3. Pengelolaan ekosistem Pengelolaan ekosistem melalui usaha bercocok tanam yang bertujuan untuk membuat lingkungan tanaman menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan pembiakan hama, serta mendorong berfungsinya agensia pengendali hayati. Beberapa teknik bercocok tanam yang dapat menekan populasi hama meliputi : a. Penanaman varietas tahan terhadap hama dan penyakit c. Penggunaan benih sehat dan berdaya tumbuh baik. d. Pergiliran tanaman untuk memutus siklus hidup hama e. Sanitasi f. Penetapan masa tanam dan penanaman secara serempak g. Penanaman tanaman perangkap atau penolak hama
146
4. Petani sebagai ahli PHT Petani harus mampu mengambil keputusan dan memiliki keterampilan dalam menganalisis ekosistem untuk menetapkan cara pengendalian hama secara tepat sesuai dengan dasar PHT. DAFTAR PUSTAKA Arifin, M., F. Djapri dan I M. Samudra. 1986. Kematian, perkembangan dan daya rusak ulat rayak, Spodoptera litura F. akibat residu monokrotofos pada kedelai. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. 1 (Palawija): 69-73. Arsyad , D.M dan M. Syam. 1998 Kedelai Sumber Pertumbuhan Produksi dan Teknik Budidaya. Jakarta. Hilman, Y. A. 2004. Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian Kontribusi Terhadap Ketahanan Pangan dan Perkembangan Teknologinya. Dalam Makarim, et al. (penyunting). Inovasi Pertanian Tanaman Pangan. Puslitbangtan Bogor; 95-132 hlm.\\ Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of crops in Indonesia. Direvisi dan diterjemahkan oleh P.A. van der Laan. PT. Ichtiar Baru – van Hoeve, Jakarta. 701 p. Marwoto dan Bedjo, 1996. Status resistensi hama ulat daun terhadap insektisida di daerah sentra produksi kedelai di Jawa Timur. Laporan Teknis Balitkabi Tahun 1995/1996. p. 114-121.
147
Marwoto dan Suharsono. 2008. Pengendalian dan Komponen Teknologi Pengendalian Ulat Grayak (Spodoptera litura Fabricus) Pada Tanaman Kedelai. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Jalan Raya Kendalpayak, Kotak Pos 66, Malang 65101. Nathan, Sentil S. and K. Kalaivani. 2005. Efficacy of nucleopolyhedrosis virus and azadirachtin on Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae). Biol. Control 34: 93-98. Pracaya 2011. Hama dan Penyakit Tanaman Penebar Swadaya Depok.
148
TANAMAN BIOPESTISIDA Oleh: Fenty Ferayanti Biopestisida adalah bahan yang berasal dari alam, seperti tumbuh-tumbuhan
yang
digunakan
untuk
mengendalikan
Organisme Pengganggu Tanaman atau juga disebut dengan pestisida hayati. Biopestisida merupakan salah satu solusi ramah lingkungan dalam rangka menekan dampak negatif akibat penggunaan pestisida non hayati yang berlebihan. Saat ini Biopestisida telah banyak dikembangkan di masyarakat khususnya para petani. Namun belum banyak petani yang menjadikan biopestisida sebagai penangkal dan pengendali hama penyakit untuk tujuan mempertahankan produksi. Untuk
itulah,
menggunakan
sudah
pestisida
saatnya organik
para (Bio
petani Pestisida)
beralih yang
sebenarnya banyak terdapat di sekitar kita. Penggunaan bio pestisida, adalah alternatif paling aman untuk mewujudkan pertanian organik, karena pestisida organik ini nyaris tidak menimbulkan dampak bahaya (hazard) baik bagi konsumen maupun bagi lingkungan. Berikut ini beberapa tanaman yang mempunyai potensi sebagai biopestisida :
149
Kapasan (Abelmoschus moschatus [L.] Medic.) Daun, bunga, dan biji bisa digunakan sebagai insektisida (membasmi serangga). Minyak atsiri yang terdapat di dalam akar kapasan berfungsi sebagai insektisida dan larvasida (Dalimartha, 1999). Kemangian/Selasih (Ocimum basilicum Linn.) Daun
kemangi/selasih
mengandung
minyak atsiri dengan bahan aktif eugenol dan
sineol
yang
mempunyai
potensi
sebagai larvasida dan hormon juvenil yang menghambat perkembangan larva nyamuk
(Anopheles
aconitus).
Abu
kemangi bisa digunakan untuk menghalau serangan nyamuk (Fatimah, 1997). Selain nyamuk, daun kemangi juga dapat digunakan untuk membasmi lalat buah, kutu daun, laba-laba merah, dan tungau (Simon et al., 1990; Panhwar, 2005). Mimba (Azadirachta indica A. Juss) Produk mimba selain dapat digunakan sebagai pupuk hijau juga merupakan alternatif substitusi pestisida kimia yang berfungsi
sebagai
insektisida.
Zat 150
azadirachtin yang terkandung di dalam biji dan daun mimba efektif sebagai insektisida. Biji mimba yang berumur 3-8 bulan memiliki kandungan azadirachtin paling tinggi. Selain berperan sebagai
penurun
mengakibatkan
nafsu
daya
makan
rusak
(anti
serangga
feedant) sangat
yang
menurun,
mehantriol berperan sebagai penghalau (repellent) yang mengakibatkan hama serangga enggan mendekati zat tersebut. Nimbin dan nimbidin berperan sebagai anti mikroorganisme, bakterisida, dan fungisida. WIDURI (Calotropis gigantea R. Br.) Akar dan daun widuri berfungsi sebagai insektisida. Penelitian Siswanto (2000) membuktikan bahwa dapat
ekstrak
daun
digunakan
widuri sebagai
insektisida nabati untuk membasmi nyamuk Aedes aegypti. Penelitian Pujihastuti (2000) membuktikan bahwa getah batang widuri dapat digunakan untuk membunuh lalat rumah (Musca domestica).
151
BABADOTAN (Ageratum conyzoides Linn.) Babadotan memiliki senyawa bioaktif yang berfungsi sebagai insektisida dan senyawa
nematisida. bioaktif
Kandungan di
antaranya
saponin, flavanoid, polifenol, dan minyak atsiri yang mampu mencegah hama mendekati tanaman (penolak) dan menghambat pertumbuhan. TUBA (Derris elliptica) Kandungan toxicarol
Rocetone,
deguelin
dan
dalam
tanaman
ini
(khususnya bagian akar) sangat efektif untuk mengendalikan berbagai hama tanaman
seperti
jenis
serangga,
berbagai jenis ulat, tungau, lalat buah dan mollusca (jenis siput-siputan, keong). SEMBUNG (Blumea balsamifera) Tanaman ini merupakan jenis tanaman liar yang mudah ditemui disekitar kebun atau pinggiran hutan. Daun dan bunga dari tanaman ini efektif sebagai pengendali hama tanaman terutama jenis ulat dan kutu. 152
SIRIH (Piper bettle) Aroma dan rasa daun Sirih yang khas, rupanya merupakan disukai
oleh
pengganggu
hal yang tidak
banyak
serangga
tanaman.
Dengan
campuran kapur barus, larutan daun sirih ini dapat mengendalikan berbagai jenis hama terutama dari jenis kutu-kutuan seperti tungau, kutu daun dan sebagainya. TEMBAKAU (Nicotinae tobacum L) Kandungan toksin (racun) dalam daun tembakau
cukup
efektif
untuk
mengendalikan berbagai jenis ulat dan belalang
yang
menyerang
tanaman
semusim.
pada
Penggunaannya
cukup mudah, cukup dihaluskan dan dicampur dengan bahan perekat kemudian disemprotkan pada tanaman yang terserang hama.
153
SIRSAK ( Anona murricata L ) Bagian tanaman sirsak yaitu akar, kulit batang dan daunnya ternyata sangat efektif
untuk
mengusir
berbagai
serangga pengganggu tanaman. Daun Sirsak
mengandung
bahan
aktif
Annonain dan Ressin yang sangat efektif untuk mengendalikan hama Kutu daun dan hama Balst.
MAJA (Aegle marmaros) Tanaman ini termasuk tanaman liar dengan batang berkayu, dan bentuk buah besar menyerupai jeruk bali dan bergelantungan di ujung cabang. Buahnya berwarna hijau muda dengan bagian dalam berwarna kehitaman. Buah dan daun Maja yang rasanya pahit sangat tidak disukai oleh semua serangga maupun berbagai jenis ulat. Tanaman ini juga dapat dimanfaatkan sebagai alternative pengendalian berbagai hama tanaman semusim maupun tanaman tahunan.
154
CENGKIH (Eugenia aromatica ) Daun dan kulit batang mengandung
minyak
Cengkeh atsiri
yang
aromanya tidak disukai oleh berbagai jenis serangga. Minyak atsiri dari daun dan kulit batang cengkih ini dapat digunakan sebagai campuran untuk membuat biopestida. Dengan tambahan kapur barus atau belerang, bagian dari tanaman cengkih ini dapat mengendalikan hama yang berada di bawah permukaan tanah. Campuran ini juga dapat dipergunakan untuk mengendalikan dan mencegah serangan jamur akar pada tanaman tahunan.
GADUNG (Dioscorea hispida). Umbi dari tanaman gadung ini sangat beracun karena mengandung toksin jenis sianida yang sangat mematikan. Racun yang terkandung dalam umbi gadung
ini
dapat
sebagai
pengendali
dimanfaatkan hama
dan
penyakit tanaman.
155
DAFTAR PUSTAKA Dalimartha, S. 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Trubus Agriwidya. Ungaran. Fatimah, S. 1997. Studi Laboratorium Uji Kepekaan Larva Anopheles aconitus terhadap Ekstrak Daun Selasih (Ocimum basilicum). Universitas Diponegoro. Semarang. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Panhwar, F. 2005. Using Plants to Control Pests. www. Farming solutions.org/successtories/stories.asp?id=163. Diakses pada bulan Januari 2015. Pujihastuti , T. E. 2000. Uji Efikasi Getah Batang Tumbuhan Widuri (Calotropis gigantea) untuk Membunuh Lalat Rumah (Musca domestica). Universitas Diponegoro. Semarang. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Simon, J.E., J. Quinn and R.G. Murray. 1990. Basil: A Source of Essential Oils. Timber Press,Portland.http://www.hort.purdue.edu/newcrop/proc eedings1990/V1484. html. Diakses pada bulan September 2014. Siswanto, B. 2000. Uji Efektivitas Ekstrak Daun Widuri (Calotropis gigantea) sebagai Insektisida Nabati Nyamuk Endophagus (Aedes aegypti). Universitas Diponegoro. Semarang. Skripsi. Tidak Diterbitkan.
156
TEKNIK PENGENDAIAN GULMA (FISIK, BIOLOGI DAN KIMIAWI) PADA TANAMAN KEDELAI Oleh: Ratnawati Kedelai merupakan sumber protein dan lemak nabati yang sangat penting peranannya dalam kehidupan. Kandungan kedelai terdiri dari 35 % Protein sedangkan kadar protein kedelai pada varietas unggul dapat mencapai 40-43 %. Kebutuhan protein sebesar 55 gram perhari dapat dipenuhi dengan makanan yang berasal dari kedelai 157,14 gram (Radiyati, 1992). Di samping itu kedelai juga mengandung lemak sekitar 20%, dibagi menjadi lemak jenuh dan tidak jenuh dan jumlah kandungan mineral di antaranya kalium, kalsium fosfor, dan magnesium. Dan beberapa sejumlah vitamin adalah vitamin A, B1, B2, B3, B5, B6, dan sedikit vitamin C. Gulma
adalah
tumbuhan
yang
kehadirannya
tidak
diinginkan pada lahan pertanian karena menurunkan hasil yang bisa dicapai oleh tanaman produksi. Batasan gulma bersifat teknis dan plastis. Teknis, karena berkait dengan proses produksi suatu tanaman pertanian. Keberadaan gulma dapat menurunkan hasil karena mengganggu pertumbuhan tanaman produksi melalui kompetisi, beberapa jenis tumbuhan dikenal
157
sebagai gulma utama, seperti teki dan alang-alang (Wikipedia, 2010). Pada Budidaya tanaman kedelai, gulma sangat berpotensi mengganggu pertumbuhan vegetatif tanaman yang akhirnya berdampak pada penurunan peningkatan kuantitas dan kualitas hasil tanaman kedelai itu sendiri. Menurut Soetikno S. Sastroutomo (1990), penurunan hasil akibat kompetisi gulma pada pertanaman kedelai dapat mencapai 10-50%pada populasi 20% dari populasi tanaman kedelai, oleh karena itu teknik pengendalian gulma pada budidaya kedelai sangat diperlukan. Pada
tempat-tempat
yang
telah
ditumbuhi
gulma,
tanaman kedelai tidak dapat tumbuh dengan baik. Jenis gulma yang biasa tumbuh di pertanaman kedelai sekitar 56 spesies yang terdiri atas 20 jenis rerumputan, 6 jenis teki-tekian, dan 30 jenis berdaun lebar di antaranya terdapat jenis-jenis gulma yang sangat merugikan. Pada lahan dengan indeks pertanaman 300% atau tidak mengalami masa istirahat lama, ragam dan jumlah gulma relatif sedikit. Sebaliknya, pada lahan yang mengalami masa istirahat lama (bera), ragam dan jumlah gulma relatif banyak. Beberapa jenis gulma yang dominan pada pertanaman kedelai antara lain adalah Amaranthus sp. (bayam), Digitaria ciliaris (rumput jampang), Echinochloa colonum (rumput 158
jejagoan), Eragrotis enioloides (rumput bebekan), Cyperus kyllingia (rumput teki), Cyperus iria (rumput jeking kunyit), Portulaka sp. (krokot), Ageratum conyzoides (wedusan), Molluge penaphylla (daun mutiara), dan Mimosa pudica (puteri malu). gulma Amaranthus sp, Digitaria ciliaris, dan Cyperus rotundus dapat menurunkan hasil kedelai masing-masing sebesar 35%, 21%, dan 15%.Dilahan kering masam yang didominasi oleh gulma Barreria alata dengan kerapatan nisbi sebesar 79% dapat menurunkan hasil biji kedelai sebesar 60%. Selain kerugian dari sisi kompetisi, ada beberapa jenis gulma yang mempunyai sifat alelopati yaitu kemampuan mengeluarkan zat yang bersifat racun dan dapat menghambat pertumbuhan tanaman tertentu. Misalnya Imperata cylindrica menghasilkan zat phenol, Juglans nigra dapat memproduksi hydroksi
juglon,
Artemisia
absinthium
mengeluarkan
zat
absintin yang dapat mempengaruhi pertumbuhan vegetatif. Keberhasilan pengendalian gulma merupakan salah satu faktor penentu tercapainya tingkat hasil kedelai yang tinggi, pengendalian gulma dapat dilakukan secara kultur teknis, mekanis, biologis, dan khemis,
oleh karena harus dilakukan
secara intensif (Widiyati et al. 2001 dalam Fadhly, 2004). Gulma pada tanaman kedelai umumnya dikendalikan dengan cara fisika, biologi dan kimiawi. Pengendalian gulma
159
secara kimiawi berpotensi merusak lingkungan sehingga perlu dibatasi memalui pemaduan dengan cara pengendalian lainya. Teknik Pengendalian Gulma Pengendalian gulma dapat dilakukan dengan cara: 1. Preventif (pencegahan) Cara pencegahan antara lain : a. Dengan pembersihan bibit-bibit pertanaman dari kontaminasi biji-biji gulma b. Pencegahan pemakaian pupuk kandang yang belum matang c. Pencegahan pengangkutan jarak jauh jerami dan rumputrumput makanan ternak d. Pemberantasan gulma di sisi-sisi sungai dan saluran-saluran pengairan e. Pembersihan ternak yang akan diangkut f. Pencegahan pengangkutan tanaman berikut tanahnya dan lain sebagainya. 2. Pengendalian gulma secara fisik Pengendalian gulma secara fisik ini dapat dilakukan dengan jalan : a.
Pengolahan tanah Pengolahan tanah menggunakan alat-alat seperti cangkul,
garu, bajak, traktor yang gulma.
Efektifitas
alat-alat
berfungsi untuk memberantas pengolah
tanah
di
dalam 160
memberantas gulma tergantung beberapa faktor seperti siklus hidup dari gulma, penyebaran akar, umur dan ukuran infestasi, b. Pembabatan (pemangkasan, mowing) Pembabatan umumnya hanya efektif untuk mematikan gulma setahun dan relatif kurang efektif untuk gulma tahunan. Efektivitas cara ini tergantung pada waktu pemangkasan, interval (ulangan) Pembabatan sebaiknya dilakukan pada waktu gulma menjelang berbunga atau pada waktu daunnya sedang tumbuh dengan hebat. c.
Penggenangan Penggenangan efektif untuk memberantas gulma dengan
menggenangi sedalam 15 – 25 cm selama 3 – 8 minggu. harus cukup terendam sehingga pertumbuhan gulma tertekan. d. Pembakaran Suhu kritis yang menyebabkan kematian pada kebanyakan sel adalah 45 – 550 C, kematian dari sel-sel yang hidup pada suhu di atas disebabkan oleh koagulasi pada protoplasmianya. Pembakaran secara terbatas masih sering dilakukan untuk membersihkan tempat-tempat dari sisa-sisa tumbuhan setelah dipangkas. Pembakaran juga dapat mematikan insekta dan hama lain serta penyakit seperti cendawan, bakteri kekurangan dari sistem ini dapat
mengurangi kandungan humus atau
mikroorganisme tanah, dapat memperbesar erosi.
161
e.
Mulsa (mulching, penutup seresah) Penggunaan mulsa untuk mencegah cahaya matahari
tidak sampai ke gulma, sehingga gulma tidak dapat melakukan fotosintesis, akhirnya akan mati dan pertumbuhan yang baru (perkecambahan) dapat dicegah. Bahan-bahan yang dapat digunakan untuk mulsa antara lain jerami, pupuk hijau, sekam, serbuk gergaji, kertas dan plastik. 3. Pengendalian gulma secara biologis Pengendalian gulma secara biologis (hayati) dengan menggunakan organisme lain, seperti insekta, fungi, bakteri sebagainya. Pengendalian biologis yang intensif dengan insekta atau fungi dapat erpotensi mengendalikan gulma secara biologis 4. Pengendalian gulma secara kimiawi Pengendalian gulma secara kimiawi adalah pengendalian gulma dengan menggunakan herbisida. Yang dimaksud dengan herbisida adalah senyawa kimia yang dapat digunakan untuk mematikan atau menekan pertumbuhan gulma, baik secara selektif maupun non selektif. Macam herbisida yang dipilih bisa kontak maupun sistemik, dan penggunaannya bisa pada saat pratanam,
pratumbuh
atau
pasca
tumbuh.
Keuntungan
pengendalian gulma secara kimiawi adalah cepat dan efektif, terutama untuk areal yang luas. Beberapa segi negatifnya ialah bahaya keracunan tanaman, mempunyai efek residu terhadap 162
pencemaran lingkungan. Sehubungan dengan sifatnya ini maka pengendalian gulma secara kimiawi ini harus merupakan pilihan terakhir apabila cara-cara pengendalian gulma lainnya tidak berhasil. Gulma Tanaman Kedelai
Sumber : Gulma teki Sumber: http://wanuabone.blogspot.com
Tanaman kedelai yang didominasi gulma
163
DAFTAR PUSTAKA Ashton, F. M. adnd T. J. Monaco. 1991. Weed Science: Principles and Pratice. 3rd Ed. John Wiley and Sons, Inc.: New York. 466 p. Eprim, Yeheskiel Sah. 2006. Periode Kritis Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) Terhadap Kompetisi Gulma Pada Beberapa Jarak Tanam di Lahan Alang-alang (Imprata cylindrica (L.) Beauv.). Skripsi. Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Fadhly, A.F. dan Tabri, F. 2004. Pengendalian Gulma pada Pertanaman Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. Goldsworthy, P. R. dan N.M. Fischer. 1992. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. 874 hal. Pusat Penelitian dan Pengembangan tanaman Pangan, 2007, Kedelai Teknik Produksi dan Pengembangannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan tanaman Pangan,1985, Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tanggal Artikel : 08-12-2014. Radiyati, T., 1992. Pengolahan Kedelai. Subang : BPTTG Puslitbang Fisika Terapan-LIPI. Smith, J. R. 1981. Weed of Majpr Economic Importance in Rice and Yields Loisses Due to Weed Competition. P 19-36. In Procidings of The Conference on Weed Control of Rice. IRRI. Manila. Philippines.
164
Sutikno, Sastroutomo. 1990. Ekologi Gulma. Gramedia Pustaka Utam, Jakarta. Tyas 2010. Persaingan Gulma Teki dengan Tanaman. Kedelai.http://breederlifeblogspot.com/2010/02/persaing an-gulma-teki-dengan tanamanhtml/ (diakses 3 Maret 2015)
165
TEKNIK PROSESING, PENYIMPANAN DAN TEKNOLOGI PASCA PANEN BENIH KEDELAI Oleh : Cut Maisyura Latar Belakang Teknik prosessing benih kedelai adalah tahapan kegiatan yang dimulai sejak pemanenan sampai siap disimpan atau dipasarkan. Teknik prosessing yang tepat dapat membantu mengurangi kehilangan hasil dan mempertahankan viabilitas benih kedelai (mendekati viabilitas seperti pada saat panen) sehingga didapat harga jual yang tinggi. Untuk menghasilkan benih bermutu tinggi, perbaikan mutu fisik, mutu fisiologis, dan mutu genetik juga harus dilakukan selama penanganan pascapanen. Menjaga mutu fisik dan genetik terutama dilakukan selama masa prosesing, sedangkan menjaga mutu fisiologis dilakukan pada saat panen hingga penyimpanan bahkan hingga benih siap tanam. Kehilangan hasil pada usahatani kedelai secara umum masih tinggi. Perkiraan kehilangan hasil kedelai yang dipanen pada kadar air tinggi (30 – 40 % basis basah (bb) mencapai 15,5 % dan yang dipanen pada kadar air rendah (17 – 20 % bb) sebesar 10 %. Di samping kehilangan hasil secara fisik (kuantitas), susut mutu/ viabilitas (kualitas) benih kedelai dalam penanganan pascapanen juga cukup tinggi yaitu 2,5 – 166
8,0 % (Purwadaria, 1989). Hal ini disebabkan karena benih kedelai mudah rusak dan cepat turun daya tumbuhnya, sehingga memerlukan penanganan yang cepat, tepat dan teliti. Oleh karena itu tujuan dari teknik processing benih kedelai adalah menjaga
viabilitas benih kedelai supaya tetap sama
seperti pada waktu panen dan mengurangi kehilangan hasil pada semua proses kegiatan pascapanen yang dilakukan (panen, perontokan, pengeringan, sortasi,
pengemasan dan
penyimpanan). Waktu dan Cara Panen Panen kedelai hendaknya dilakukan pada saat mutu fisiologis benih mencapai maksimal, yang ditandai bila sekitar 95 % polong telah berwarna coklat atau kehitaman (warna polong masak) dan sebahagian besar daun sudah rontok (Harnowo, dkk. 2007). Untuk mendapatkan mutu benih yang baik dan memperkecil pecahnya
polong
di
lapang, serta
menghindari
benih
bercendawan, panen kedelai sebaiknya dilakukan segera setelah kadar air benih di bawah 18 % bb, sebelum terjadi pembasahan benih kembali oleh air hujan. Panen dapat dilakukan dengan sabit tajam atau bergerigi dengan memotong pangkal batang. Cara panen ini lebih menguntungkan dibandingkan dengan cara dicabut, karena 167
cepat, dapat diterapkan dalam kondisi kering maupun basah, Rhizobium tetap tertinggal dalam tanah dan berangkasan bersih dari tanah (Sumardi dan Ridwan Thahir, 1985). Berangkasan kedelai hasil panen langsung dikeringkan (dihamparkan) di bawah sinar matahari dengan ketebalan 25 cm selama 2 – 3 hari (tergantung cuaca) menggunakan alas terpal plastik, tikar, atau anyaman bambu. Pengeringan dilakukan sampai kadar air benih mencapai sekitar 14 %. Usahakan untuk tidak menumpuk berangkasan lebih dari 2 hari karena dapat menyebabkan benih berjamur, kusam dan bermutu rendah.
Perontokan Berangkasan kedelai yang telah kering (kadar air 14 %) perlu segera dirontok. Perontokan dapat dilakukan secara manual atau secara mekanis. Perontokan
harus
dilakukan
secara
hati-hati
untuk
menghindari benih pecah kulit, benih retak, atau kotiledon terlepas karena akan mempercepat laju penurunan daya tumbuh dan vigor benih selama penyimpanan. 168
Sortasi Benih hasil perontokan dibersihkan dari kotoran, seperti potongan batang, cabang tanaman dan tanah. Pembersihan dapat dilakukan dengan cara manual (ditampi) atau secara mekanis (blower) Sortasi
diperlukan
untuk
mendapatkan
benih
yang
berukuran seragam dengan cara memisahkan sekitar 5 % benih yang berukuran kecil. Selain memisahkan benih yang berukuran kecil, sortasi juga diperlukan untuk membuang biji yang menyimpang dengan deskripsi varietas yang ditanam.
Pengeringan Benih yang sudah bersih dan ukurannya seragam harus dikeringkan hingga mencapai kadar air 9 – 10 %. Pengeringan benih dilakukan dengan menjemur di bawah sinar matahari, menggunakan alas terpal plastik atau tikar pada lantai jemur yang kering, dengan ketebalan sekitar 2-3 lapis benih. Benih yang dijemur harus dibalik setiap 2–3 jam agar benih kering secara merata. 169
Usahakan jangan menyimpan benih dalam kondisi yang masih panas dalam karung tertutup karena benih setelah dijemur perlu diangin-anginkan selama 30 menit untuk menyeimbangkan suhu benih dengan suhu udara ruang simpan. Pengemasan Benih dikemas dengan menggunakan bahan pengemas kedap udara untuk menghambat masuknya uap air dari luar kemasan ke dalam benih . Kantong plastik benih yang bening atau buram (kapasitas 2 atau 5 kg) dengan ketebalan 0,08 mm cukup baik digunakan untuk mengemas benih kedelai hingga 8 bulan simpan pada kondisi ruang alami dengan kadar air awal sekitar 9 – 10 %. Kemasan yang telah berisi benih harus tertutup rapat dengan cara diikat erat menggunakan tali atau bagian atas kantong dipres dengan kawat nikelin panas/sealer. Penyimpanan Benih dalam kemasan dapat disimpan dalam ruangan beralas kayu atau pada rak-rak agar kemasan tidak bersinggungan langsung dengan lantai. Benih dalam penyimpanan harus terhindar dari serangan tikus atau hewan lain yang dapat merusak kantong kemasan maupun benih. 170
Usahakan menyimpan benih dalam ruangan tersendiri dan tidak bercampur dengan bahan bahan lain yang dapat menyebabkan ruangan menjadi lembab. Benih disimpan secara teratur, dipisahkan sesuai dengan varietasnya. Penyimpanan benih perlu ditata sedemikian rupa agar tidak roboh, tidak mengganggu keluar masuknya barang yang lain dan mudah dikontrol. Setiap tumpukan benih sebaiknya dilengkapi dengan kartu pengawasan yang berisi informasi : o Nama Varietas o Tanggal Panen o Asal Petak Percobaan o Jumlah/kuantitas
benih
asal
(pada
saat
awal
penyimpanan) o Jumlah/kuantitas pada saat pemeriksaan stok terakhir o Hasil uji daya kecambah terakhir (tanggal, persentase daya kecambah) Penanganan benih dengan teknologi pasca panen yang tepat (mulai dari panen hingga ke penyimpanan), diharapkan viabilitas benih dapat bertahan hingga delapan bulan dengan daya tumbuh lebih dari 80 %.
171
DAFTAR PUSTAKA Ana, N.H.; R. Thahir dan D.A. Nasution. 2001. Mesin Sortasi Pendukung perbenihan Kedelai. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian (23) 4 : 9 – 10 Departemen Pertanian. 2007. Peraturan Mentri Pertanian no 28/Permentan/SP.120/3/2007 tentang pedoman Produksi Benih Kedelai. Harnowo, D. ; J. R. Hidayat dan Suyamto. 2007. Kebutuhan dan teknologi produksi benih kedelai. Hlm. :383 – 415. Dalam Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Kementerian Pertanian. 2013. Pedoman Umum Produksi dan Distribusi Benih Sumber Kedelai. Purwadaria, H. K. 1989. Teknologi Penanganan Pasca Panen Kedelai (buku pegangan edisi kedua). Deptan–FAO, UNDP. Development and Utilization of Postharvest tools and equipment, INS/088/007.
172
MENGENAL KUALITAS DAN MEKANISME PENGAWETAN DAGING Oleh : Saiful Helmy Pendahuluan Daging merupakan salah satu produk hasil ternak yang sangat disukai masyarakat karena mempunyai nilai gizi tinggi yang diperlukan tubuh, bercita rasa kuat, mengenyangkan dan beragam variasi pengolahan dapat dilakukan. Di samping keistimewaannya, daging juga memiliki kekurangan, yaitu merupakan media tumbuhnya mikroorganisme, sehingga bahan baku olahan daging sangat rentan terhadap pembusukan yang berakibat daging menjadi rusak dan sangat tidak layak dikonsumsi serta mengganggu kesehatan. Beberapa
upaya
yang
dapat
dilakukan
untuk
mempertahankan kualitas daging dimulai sejak bahan baku diproduksi
hingga
olahan
daging
yang
siap
dikonsumsi
masyarakat adalah dengan cara melakukan diversifikasi olahan daging yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal). Untuk itu maka harus diterapkan metode pengolahan yang memberikan keuntungan
bagi
pelaku
(produsen)
dan
pelanggan
(konsumen). Syarat utama memilih daging sebagai bahan baku olahan adalah daging yang berasal dari ternak oleh dokter hewan yang berwenang dinyatakan aman dari bahaya-bahaya fisik, kimia 173
dan biologi, sehat dikonsumsi karena tidak membawa penyakit menular, tidak ada pencampuran dan pemalsuan dari bahan hewan lainnya, halal dalam proses penyembelihan sesuai ketentuan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Daging yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal) dapat diperoleh dengan cara mengidentifikasi kriteria beberapa jenis daging sebagai berikut: 1. Teknik menentukan kualitas daging, dibagi dalam dua kelompok. a. Daging yang bersal dari ternak unggas di antaranya ayam, itik, puyuh, merpati dan lain-lain. b. Daging yang berasal dari ternak besar di antaranya sapi, kerbau, kambing, domba, rusa dan lain-lain. Hasil utama dari ternak adalah karkas yaitu bagian tubuh ternak penghasil daging yang telah dipisahkan dari bagianbagian isi perut, kepala, kaki dan kulit. Kualitas karkas sangat dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah penyembelihan (Ante dan Post Mortem Inspektion) antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan dan bahan tambahan dan kondisi ternak pra dan pasca penyembelihan. Faktor setelah penyembelihan
antara lain pemisahan karkas
dari bagian kotor atau sumber kontaminasi, proses pelayuan, pengempukan, pengawetan, pengemasan dan distribusi.
174
2. Berdasarkan warna daging, terdiri atas dua kategori. a. Daging putih, dengan ciri mempunyai serat lebih besar dan lebar, mengandung sedikit pigmen (myoglobin), warna daging tampak pucat sehingga dalam proses pengolahan tidak diperlukan penguat warna atau pemutih. b. Daging merah dengan ciri serat yang kecil dan rapat dan kaya pigmen (mioglobin). Dalam proses pengolahan daging diperlukan sendawa atau bahan alami seperti daun jati, kulit bawang merah dan daun salam. Beberapa kriteria daging yang baik a. Secara umum untuk mendapatkan daging yang baik sebagai bahan baku adalah dengan memperhatikan ciri-ciri antara lain : daging masih mengkilat, warna cerah tidak pucat, berbau khas daging, tidak busuk, daging masih elastis tidak kaku dan bila dipegang daging tidak lengket di tangan serta terasa kebasahannya.. b. Daging sehat adalah daging yang berasal dari hewan yang sehat yang disembelih pada tempat pemotongan resmi, diperiksa dan diangkut dengan kendaraan khusus dan dijual di tempat yang bersih. c. Setiap 100 gram daging sapi mengandung antara lain 207 kalori, 18,8 gram protein, 14 gram lemak, 11 miligram kalsium, 170 miligram fosfor dan 2,8 miligram zat besi. 175
Ciri dan Karakteristik Daging antar Ternak 1. Daging Ayam a. Warna putih kekuningan, bersih dan tidak memar b. Serat halus dan konsistensi lunak c. Tidak tampak lemak didalam daging d. Mengandung protein 18,2 persen dan lemak total 25 persen e. Aroma khas daging ayam segar dan tidak busuk 2. Daging sapi muda. a. Warna agak pucat b. Serat halus dan konsistensi lunak c. Bau dan rasa lembut. 3. Daging sapi dewasa a. Warna merah cerah dan tidak memar b. Serat halus dan sedikit berlemak. c. Konsistensi padat mengkilat d. Mengandung protein 18,8 persen dan lemak total 14 persen e. Aroma khas daging segar dan tidak berbau busuk 4. Daging kerbau a. Warna merah tua lebih gelap dibanding daging sapi b. Serat kasar dan berlemak c. Rasa hampir sama dengan daging sapi hanya saja lebih kasar 176
d. Aroma lebih khas dibanding sapi 5. Daging kambing a. Warna lebih pucat dibanding domba b. Lemak berwarna putih c. Memiliki aroma khas kambing d. Mengandung protein 16,6 persen dan lemak 9,2 persen 6. Daging domba. a. Warna merah khas daging domba b. Serat daging halus dan sangat rapat c. Konsistensi padat d. Antara otot dan bawah kulit terdapat banyak lemak e. Daging jantan beraroma khas f. Mengandung protein 17,1 persen dan lemak 14,8 persen Penanganan Daging Higienis Penanganan terjadinya
daging
penurunan
higienis
kualitas
bertujuan
daging
mencegah
sehingga
dapat
memperpanjang masa simpan, perubahan fisik seperti warna dan bau dan cita rasa yang berakibat terjadinya gangguan kesehatan bagi konsumen. Usaha-usaha yang dilakukan agar kualitas daging dapat bertahan lebih lama antara lain: 1. Pilih bahan baku olahan daging yang bermutu, dengan cara memilih daging yang tidak rusak, terutama oleh mikroba. Daging yang terkontaminasi mikroba dapat diamati dengan ciri-ciri tengik dan berbau busuk, berlendir, berubah warna 177
dan rasa asam atau pahit, tumbuh jamur sekitar pinggiran daging. Bila daging tidak langsung diolah dapat dilakukan pembersihan dan pencucian lalu simpan pada suhu rendah, yaitu sekitar 5
0
C dengan masa simpan yang berbeda
tergantung jenis daging. Umumnya bertahan 3-7 hari. 2. Menjaga sarana pengolahan daging agar tetap higienis. 3. Menjaga kebersihan lingkungan pengolahan daging agar terhindar dari hama seperti tikus, kecoa dan binatang penyebar penyakit lainnya. 4. Tetap utamakan personality higienis petugas. Pengempukan Daging Salah satu kualitas daging yang baik ditetapkan dengan tingkat keempukan daging. Faktor yang mempengaruhinya antara lain komposisi daging berupa tenunan pengikat, serabut daging dan sel-sel lemak diantara serabut serta rigor mortis daging setelah ternak disembelih. Teknik pengempukan daging
namun nilai gizinya
tetap
bertahan dapat dilakukan dengan cara: a. Pelayuan daging pada suhu 10 0C b. Merebus daging dengan suhu rendah (60 – 70 0C) dalam waktu lama. c. Menggunakan enzim protenase papain dari getah daun pepaya dengan cara melumurkan atau merendam daging sebelum daging diolah. 178
d. Menggunakan enzim bromelin dari nenas masak. Bahan tambahan pengolahan daging yang diizinkan antara lain: a. NaCl
(garam
dapur)
yang
berfungsi
menghambat
b. Sodium tripolypospat (STPP) 0,5 persen
berfungsi
pertumbuhan khamir. menurunkan jumlah bakteri. c. Perendaman karkas dalam larutan disodium pospat 6,23 persen selama 6 jam. Dapat meningkatkan masa simpan 12 hari. d. Gula pasir 3 persen dapat juga dipakai sebagai pengawet daging. e. Sodium nitrit dapat digunakan untuk curing (peraman) daging, dianjurkan tidak lebih dari 155 ppm. f. Sodium laktat 2,9 persen, digunakan untuk menetralisir pertumbuhan patogen g. Sendawa (kalium, kalsium dan natrium nitrat 0,1 persen dapat juga dilakukan untuk pengawet. DAFTAR PUSTAKA Pedoman Standar Prosedur Pengolahan Hasil Peternakan. 2009 Deptan Jakarta. Teknis Pengolahan Daging. 2010 Dirjen Pengolahan Hasil Pertanian. 179
Hhtp Daging Word Press.Com 2013/10/09/7[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1995. SNI 01-3947-1995, Daging Sapi/Kerbau. BSN, Jakarta. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1995. SNI 01-3948-1995, Daging Kambing/Domba. BSN, Jakarta. Aberle, E.D., J.C. Forrest, D.E. Gerrard, E.W. Mills, H.B. Hendrick, M.D. Judge, R.A. Merkel. 2001. Principles of Meat Science. Edisi ke-4. Kendall/Hunt, Iowa. Anonymous. 2000. Teknologi Tepat Guna: Pengawetan dan Bahan Kimia. Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Kemenegristek. Anonymous. 2006. Bahaya Formalin dan Boraks. Anonimous, 2006. Pedoman Standar Prosedur Operasional Pengolahan Hasil Peternakan (Daging). Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.
180
TEKNOLOGI PANEN DAN PASCAPANEN BAWANG MERAH Oleh: Nurbaiti
Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang memiliki arti penting bagi masyarakat, baik dilihat dari penggunaannya sebagai bumbu masak yang dibutuhkan sehari-hari maupun dari nilai ekonominya yang tinggi. Budidaya bawang merah yang dilakukan petani di propinsi Aceh
umumnya
belum
menerapkan
sepenuhnya
kaidah
budidaya yang benar. Hal ini mengakibatkan usaha agribisnis bawang merah belum memberikan hasil yang optimal bagi petani bawang merah. Oleh sebab itu perbaikan cara-cara budidaya mulai dari persiapan lahan, penerapan teknik budidaya, perbaikan penanganan panen dan pascapanen, prosessing, dan pemasaran perlu dilakukan agar hasil panen bawang merah mempunyai nilai tambah, menghasilkan produk yang bermutu dan berdaya saing. Kegiatan Panen Bawang Merah Umur panen bawang merah cukup bervariasi, tergantung varietas, tempat penanaman, tingkat kesuburan, dan tujuan penanaman. Ada varietas bawang merah yang memang 181
mempunyai umur pendek dan ada juga yang berumur panjang. Bawang merah yang ditanam di dataran tinggi seperti di Aceh Tengah dan Bener Meriah biasanya mempunyai umur panen yang lebih panjang dari pada yang ditanam di dataran rendah. Sementara itu tanaman yang sangat subur pertumbuhan umumnya mempunyai umur relatif panjang. Di lain pihak, jika penanaman dimaksudkan untuk menghasilkan umbi untuk bibit, pemanenan harus dilakukan setelah bawang merah cukup tua, sedangkan untuk bawang konsumsi dapat di panen sedikit lebih cepat. Usahakan panen bawang merah dilakukan pada pagi hari dalam kondisi cerah dan tidak hujan. Pemanenan dilakukan dengan mencabut bawang merah dari tempat penanaman dan kemudian diletakkan diatas bedeng lalu kemudian sekelompok umbi diikat bagian daunnya kemudian diangkut ketempat pengeringan.
Gambar 1. Hasil panen merah yang dijemur diatas bedengan
182
Kegiatan Pascapanen Bawang merah 1.
Pelayuan dan pengeringan Setelah bawang merah di panen tindakan yang harus
segera dilakukan adalah pelayuan dan pengeringan. Hal ini mencegah kerusakan umbi akibat busuk atau serangan penyakit. Cara yang dapat ditempuh untuk mengeringkan bawang merah yaitu dengan penjemuran dan menggunakan teknologi sistem pengeringan dan penyimpanan (Instore Drying). a.Pengeringan Cara pengeringan bawang merah yang dilakukan petani adalah dengan menjemurnya di bawah matahari. Ikatan-ikatan bawang merah dijajarkan dengan posisi umbi bawang di bawah dan daun diatas, dalam keadaan demikian, daun akan mendapat panas matahari langsung dan akan mengalami pengeringan lebih dulu. Pengeringan dengan penjemuran ini ada kelemahannya, untuk menjemur bawang merah
diperlukan tempat terbuka
yang cukup luas. Disamping itu jika panen dilakukan kebetulan musim hujan sehingga penjemurannya tidak dapat dilakukan dengan sempurna maka dapat menyebabkan infeksi bakteri pembusuk sehingga bawang yang dihasilkan mutunya rendah, dan tidak dapat disimpan lama.
183
b.Teknologi Sistem Pengeringan dan Penyimpanan Agar proses pengeringan dapat berjalan terus tanpa terkendala cuaca dan tidak memerlukan tempat yang terlalu luas maka Balai Besar Pascapanen menggunakan suatu teknologi sistem pengeringan-penyimpanan (Instore Drying), dimana dalam sistim ini kondisi ruang dapat diatur sesuai dengan
kondisi
optimum
untuk
proses
pengeringan
penyimpanan bawang. Ukuran bangunan penyimpanan
-
6 m
panjang x 6 m lebar x 3 m tinggi dapat menampung 5 – 10 ton. Atap bangunan terdiri dari fibre glass transparan yang dilengkapi
dengan
aerasi
bangunan dari fibre glass,
udara
(ballwindow),
dinding
rak pengering – penyimpanan
berupa rak gantung yang dibuat dari bambu. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengeringan bawang merah dengan Instore Drying dapat dilakukan dalam waktu 3 hari. Hal ini berarti pengeringan bawang merah dengan
Instore
Drying
lebih
cepat
jika
dibandingkan
pengeringan cara petani(penjemuran) yang bisa mencapai 9 hari. Selain itu pengeringan dengan Instore Drying juga tidak menyebabkan kerusakan yang berarti yaitu hanya berkisar antara 0,24%-0.72%
jauh lebih bila dibandingkan dengan
penjemuran, dimana kerusakannya bisa mencapai 1,68%.
184
Gambar 2. Instore Drying yang digunakan untuk pengeringan dan penyimpanan bawang merah (sumber: BB Pasca Panen)
2.
Pembersihan dan Sortasi Pembersihan
bawang
merah
merupakan
kegiatan
menghilangkan kotoran yang menempel pada umbi seperti tanah dan akar serta memperoleh umbi yang berkualitas baik. Sedangkan kegiatan sortasi dilakukan untuk memisahkan antara umbi yang baik (bernas, tidak cacat fisik atau busuk, berukuran seragam) dengan umbi yang jelek, rusak atau busuk. 3.
Penyimpanan Pada umumnya para petani bawang menyimpan bawang
merah dengan menggantung ikatan bawang merah pada parapara diatas perapian dapur, namun jumlah bawang yang dapat disimpan dengan cara ini terbatas, tergantung seberapa luas dan seberapa besar tempat di atas perapian dapur. Untuk jumlah bawang yang banyak dibutuhkan ruang penyimpanan yang lebih luas dengan kondisi bersih, kering dan 185
tidak lembab dengan ventilasi yang baik dan cukup banyak sehingga dapat memberikan pergantian udara dalam ruang dengan baik. Suhu yang baik untuk penyimpanan bawang merah adalah 30-340C dan kelembaban 65-75%.
DAFTAR PUSTAKA Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi. 2009. Standar Prosedur Operasional Produksi Benih Bawang Merah. Direktorat Jendral Hortikultura. Kementrian Pertanian, Jakarta. Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi. 2010. Standar Prosedur Operasional Budidaya Bawang Merah. Direktorat Jendral Hortikultura. Kementrian Pertanian, Jakarta. Litbang Pertanian. 2012. 50 Teknologi Inovatif Pascapanen. Balai Besar Pascapanen, Bogor.
Litbang
Nugraha, S. 2008. Teknologi Sistem Pengeringan dan Penyimpanan Bawang Merah. Balai Besar Pascapanen, Bogor, diunduh 2 Maret 2015, http://pascapanen.litbang.pertanian.go.id. Wibowo Singgih. 2009. Budidaya Bawang merah. Penebar Swadaya, Jakarta.
186
POTENSI BAHAN ORGANIK DALAM MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS LAHAN Oleh: Elviwirda
Pendahuluan Salah satu upaya yang telah dilakukan selama ini dalam usaha meningkatkan produktivitas tanaman hortikultura
yaitu
ekstensifikasi.
melalui
Berkaitannya
program dengan
pangan dan
intensifikasi intensifikasi,
dan maka
teknologi pemupukan memegang peranan yang sangat penting terutama penggunaan pupuk kimia seperti urea, SP-36 dan KCl. Intensifikasi tanaman pangan dan hortikultura dengan asupan pupuk kimia dalam jumlah besar dan dalam jangka waktu lama, serta kurangnya memperhatikan penggunaan bahan
organik
dalam
sistem
produksi
pertanian
telah
mengakibatkan terganggunya keseimbangan hara tanah yang mengakibatkan penurunan kualitas sumberdaya lahan. Kondisi saat ini lahan pertanian di Indonesia baik lahan sawah maupun lahan kering mempunyai bahan organik yang rendah (<2%). Terabaikannya pengembalian bahan organik telah menyebabkan kondisi fisik dan kimia tanah telah menurun
187
yang orang awam disebut gejala tanah menjadi “sakit” atau kelelahan lahan (land fatigue) (Siswono, 2006). Model intensifikasi tanaman pangan dan hortikultura dimasa mendatang sudah selayaknya untuk tidak bertumpu kepada penggunaan pupuk kimia guna mencapai target produksi, namun perlu dipikirkan dan dikembangkan upayaupaya untuk mengembalikan kesuburan lahan. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk memperbaiki kondisi tersebut adalah pemasyarakatan kembali penggunaan bahan organik pada lahan usahatani. Bahan organik merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang sangat penting bagi ekosistem tanah, yaitu sebagai sumber (source) dan pengikat (sink) hara dan sebagai substrat bagi mikroba tanah. Praktek pertanian secara terus-menerus akan mengurangi cadangan total karbon dan nitrogen dalam tanah. Untuk mendapatkan kondisi tanah yang optimal bagi pertumbuhan tanaman, diperlukan adanya bahan organik tanah (C-total) di lapisan atas paling sedikit 2 % (Young, 1989 dalam Hairiah. K., et.al, 2006). Peranan Bahan Organik Bahan organik tanah merupakan sumber hara tanaman dan sumber energi bagi sebagian jasad renik tanah. Di dalam tanah
bahan
organik
akan
mengalami
degradasi
dan 188
mineralisasi sehingga senyawa komplek akan diuraikan menjadi senyawa yang lebih sederhana dan sejumlah unsur hara essensial seperti nitrogen (N), fosfat (P), belerang (S) dan sejumlah unsur hara mikro (Shiddieq dan Partoyo, 2000). Pemberian bahan organik ke dalam tanah baik dalam bentuk pupuk kandang, kompos, maupun pupuk hijau, dapat berperan ganda karena dapat memperbaiki sifat-sifat fisika, kimia dan biologis tanah (Sitompul dan Setijono, 1991). Dekomposisi bahan organik yang cepat yang diikuti oleh peningkatan populasi mikroorganisme, untuk sementara dapat menyebabkan fosfat diikat dalam tubuh mikroorganisme. Selanjutnya hasil dekomposisi berupa asam-asam organik dan humus dapat secara efektif bereaksi dengan Fe dan Al membentuk senyawa kompleks. Pengikatan Fe dan Al oleh asam-asam organik dapat mengurangi pengikatan P anorganik (Soepardi, 1983; Benito, Purwanto dan Sutanto 1997; Chairani 2003). Bahan organik berperan meningkatkan daya menahan air (water holding capacity), memperbaiki struktur tanah menjadi gembur, mencegah pengerasan tanah, serta menyangga reaksi tanah dari kemasaman, kebasaan, dan salinitas (Tisdale et al. 1993; Dobermann dan Fairhurst 2000). Kandungan bahan organik tanah yang tinggi juga memudahkan pengolahan tanah serta
dapat
menahan
butiran
tanah
dari
proses
erosi 189
permukaan (Chen dan Yung, 1990). Perbaikan sifat fisik tanah tersebut merupakan nilai guna dan manfaat yang sangat besar dalam sistem produksi pertanian. Bahan organik meningkatkan kapasitas tukar kation tanah, berfungsi sebagai cadangan sekaligus sumber hara makro dan mikro, mengikat kation yang mudah tersedia bagi tanaman tetapi menahan kehilangan hara akibat pencucian (leaching), berfungsi dalam pembentukan chelat (ikatan organik) terhadap unsur mikro Fe, Zn, Mn sehingga tetap tersedia bagi tanaman (Tisdale et al. 1993; Dobermann dan Fairhurst 2000). Bahan organik juga meningkatkan ketersediaan beberapa unsur hara dan efisiensi penyerapan P (Hsieh, 1990). Kandungan bahan organik yang tinggi dalam tanah mendorong pertumbuhan mikroba secara cepat sehingga dapat memperbaiki aerasi tanah, menyediakan energi bagi kehidupan mikroba tanah, meningkatkan aktivitas jasad renik (mikroba tanah), dan meningkatkan kesehatan biologis tanah (Tisdale et al.1993; Dobermann dan Fairhurst 2000). Bahan organik yang telah mengalami proses dekomposisi dapat mensuplai unsur hara bagi tanaman, sedangkan peran lainnya dari bahan organik antara lain: (1) memberikan warna gelap sehingga mampu mempengaruhi serapan energi panas matahari, (2) meningkatkan daya retensi air tanah karena bahan organik mampu menyerap air hingga 20 kali bobotnya, 190
(3) membentuk khelat dengan ion logam dari unsur hara mikro seperti Cu, Al, dan Mn, sehingga menjadi bentuk yang stabil dalam
tanah
dan
pada
kondisi
tanah
tertentu
dapat
dimanfaatkan oleh tanaman atau mikroorganisme tanah, (4) meningkatkan ketersediaan unsur hara dari hasil dekomposisi, (5) memantapkan agregat tanah karena asosiasi senyawa organik dengan partikel primer tanah, (6) sebagai penyangga perubahan pH tanah, (7) meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah, dan (8) sebagai sumber energi bagi aktivitas mikroorganisme tanah tertentu Stevenson (1994), Shiddieq dan Partoyo (2000), serta Sutanto (2000). Berdasarkan hasil penelitian Arsyad (1992) menunjukkan pemberian bahan organik sebagai suatu perlakuan, dapat memberikan peningkatan hasil pada bobot biji dan bobot kering bagian atas tanaman serta jumlah polong yang terisi. Pemberian bahan organik merupakan faktor kesuburan tanah yang dapat mempengaruhi produksi dan kualitas produksi (Sutanto , 2000). Beberapa
Cara
yang
Dapat
Dilakukan
untuk
Mendapatkan Bahan Organik : 1. Pengembalian sisa panen Limbah
hasil
panen
tanaman
pangan
yang
dapat
dikembalikan ke dalam tanah berkisar 2 - 5 ton ha-1, dan 191
jumlah ini tidak dapat memenuhi kebutuhan bahan organik minimum dalam tanah. Oleh karena itu masukan bahan organik dari sumber lain tetap diperlukan. 2. Pemberian kotoran hewan atau pupuk kandang Kotoran hewan bisa berasal dari hewan peliharaan seperti sapi, kerbau, kambing dan ayam, atau juga bisa berasal dari hewan liar seperti kelelawar dan burung. Pupuk kandang adalah pupuk yang berasal dari kandang ternak, baik berupa kotoran padat (feces) yang bercampur sisa makanan maupun air kencing (urine), sehingga kualitas pupuk kandang beragam tergantung pada jenis, umur serta kesehatan ternak, jenis dan kadar serta jumlah pakan yang dikonsumsi, jenis pekerjaan dan lamanya ternak bekerja, lama dan kondisi penyimpanan, jumlah serta kandungan haranya (Soepardi,1983). Secara kimia pupuk kandang dapat menambah unsur hara terutama NPK dan meningkatkan KTK dan secara biologi dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah. Pupuk kandang tidak saja mengandung
nitrogen, asam fosfat, dan kalium saja, tetapi
juga mengandung hampir semua unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan tanaman serta berperan dalam memelihara keseimbangan hara dalam tanah. Namun demikian kandungan haranya lebih rendah daripada pupuk kimia. Selain itu hara dalam
pupuk
kandang
tidak
mudah
tersedia
bagi
tanaman.
Ketersediaan hara sangat dipengaruhi oleh tingkat dekomposisi 192
dari bahan-bahan tersebut. Rendahnya ketersediaan hara dari pupuk kandang antara lain disebabkan karena bentuk N, P serta unsur lain terdapat dalam bentuk senyawa kompleks organo protein atau senyawa asam humat atau lignin yang sulit terdekomposisi.
Adapun
kandungan
hara
yang
terdapat
didalam beberapa pupuk kandang dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 1. Kandungan hara yang terdapat pupuk kandang N P K Ca Sumber Pupuk Kandang % Sapi perah 0,53 0,35 0,41 0,28 Sapi daging 0,65 0,15 0,30 0,12 Kuda 0,70 0,10 0,58 0,79 Unggas 1,50 0,77 0.89 0.30 Domba 1,28 0,19 0,93 0,59
di dalam beberapa Mg
S
Fe
0,11 0,10 0,14 0.88 0,19
0,05 0,09 0,07 0.00 0,09
0,004 0,004 0,010 0,100 0,020
Sumber : Tan (1993)
3.
Pemberian pupuk hijau Pupuk hijau bisa diperoleh dari serasah dan dari
pangkasan tanaman penutup yang ditanam selama masa bera atau pepohonan dalam larikan sebagai tanaman pagar. Pangkasan tajuk tanaman penutup tanah dari keluarga kacangkacangan (LCC = legume cover crops ) dapat memberikan masukan bahan organik
sebanyak 1.8 – 2.9 ton ha-1 untuk
yang berumur umur 3 bulan dan 2.7 – 5.9 ton ha-1 untuk yang berumur 6 bulan. 193
Usaha lain untuk memperoleh tambahan bahan organik adalah dengan menanam pepohonan berbaris sebagai pagar di antara
tanaman
semusim.
Pada
tajuk
tanaman
pagar
dipangkas secara rutin bila telah mulai menaungi tanaman semusim. Semua hasil pangkasan dikembalikan ke dalam petak lahan sebagai mulsa, kecuali cabang yang garis tengahnya lebih dari 5 cm diangkut keluar lahan. DAFTAR PUSTAKA Arsyad, A.R. 1992. Usaha perbaikan sifat fisik tanah Ultisol dengan kapur dan bahan organik dalam hubungannya dengan pengikisan tanah dan produksi kacang tanah . Tesis Pendidikan Pasca Sarjana KPK IPB – UNAND. Padang. Benito, H. Purwanto dan Sutanto, R. 1997. Gugus fungsional bahan organik berperan aktif di dalam penekanan Al3+ dan peningkatan ketersediaan P di dalam tanah. Prosiding Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Departemen Pertanian. Jakarta. Chairani. 2003. Pengaruh organisme pelarut P, VAM, dan beberapa sumber P terhadap ketersediaan P tanah, serapan P tanaman, dan pertumbuhan tanaman lamtoro (Leucaena diversifolia) pada tanah Typie Paleudult. Kongres Nasional HITI VIII. Padang. Chen, S.S. and T.C. Yung. 1990. The effects of organic matter on soil properties. Paper presented at Seminar on the 194
Use of Organic Fertilizers in Crop Production, Suweon, South Korea, 18-24 June 1990. Dobermann, A. and T. Fairhurst. 2000. Rice nutrient disorders and nutrient management. Potash & Phosphate Institute (PPI), Potash & Phosphate Institute of Canada (PPIC) and IRRI. p. 2- 37. Hairiah K, Utami SR, Lusiana B and van Noordwijk M. 2006. Neraca Hara dan Karbon Dalam Sistem Agroforestri. In: Hairiah K, Widianto and Lusiana B,eds. WaNuLCAS Model Simulasi Untuk Sistem Agroforestri. Bahan Ajar 6. Bogor, Indonesia. International Centre for Research in Agroforestry, SEA Regional Research Programme. 105123 p. Hsieh, S.C. and C.F. Hsieh. 1990. The use of organic matter in crop production. Paper presented at Seminar on the Use of Organic Fertilizers in Crop Production Suweon, South Korea, 18-24 June 1990 Shiddieq, J. & Partoyo. 2000. Suatu pemikiran mencari pradigma baru dalam pengelolaan tanah yang ramah lingkungan. Prosiding. Kongres Nasional VII. HITI. Bandung. Simanungkalit et,al., 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Siswono, W.H. 2006. Swasembada pangan dan pertanian berkelanjutan tantangan abad dua satu: Pendekatan ilmu tanah, tanaman dan pemanfaatan iptek nuklir. Dalam A.
195
Hanafiah WS, Mugiono, dan E.L. Sisworo. Badan Tenaga Nuklir Nasional, Jakarta. 207 hlm Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Sutanto, R. 2000. Penerapan Pertanian Pemasyarakatan dan Pengembangannya. Kanisius. Yogyakarta.
Organik. Penerbit
Tan, K. H. 1993. Dasar dasar Kimia tanah. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Tisdale, S.L., W.L. Nelson, J.D. Beaton, and J.L. Halvlin. 1993. Soil fertility and fertilizers. Fifth Edition. Macmillan Pub. Co. New York, Canada, Toronto, Singapore, Sidney. p. 462-607
196
PASCA PANEN BUAH JAMBU BIJI (Psidium guajava L.) Oleh : Idawanni Pendahuluan Produk hortikultura pada umumnya sangat mudah rusak dan membusuk baik pada saat panen maupun setelah panen. Hal tersebut yang menyebabkan produk hortikultura memiliki daya simpan yang relatif rendah. Mutu produk hortikultura setelah panen dapat dipertahankan dengan penanganan pasca panen yang baik. Produk hortikultura yaitu buah dan sayuran segar saat ini mendapat perhatian lebih dari masyarakat karena kesadaran akan manfaat nilai nutrisinya bagi kesehatan. Banyak publikasi yang menyatakan bahwa dengan mengkonsumsi buah dan sayuran sebagai salah satu komponen utama makanan akan dapat memperlambat atau menyembuhkan berbagai penyakit degeneratif. Perhatian terhadap kegemukan dan penyakit jantung koroner mengarahkan promosi terhadap pengurangan konsumsi lemak dan merekomendasikan untuk mengkonsumsi buah dan sayuran yang umumnya rendah akan lemak. Kandungan
serat yang
tinggi
pada
buah
dan sayuran
dipandang dapat mengurangi atau mencegah kondisi medis yang kurang baik.
197
Kerusakan mekanis selama panen bisa menjadi masalah yang serius karena kerusakan tersebut menentukan cepatnya produk untuk membusuk, meningkatnya kehilangan cairan dan meningkatnya
laju
respirasi
serta
produksi
etilen
yang
berakibat pada cepatnya kemunduran produk. Selain itu produk hortikultura segar juga sangat mudah mengalami kerusakan yaitu kerusakan fisik akibat berbagai penanganan yang dilakukan. Kerusakan fisik ini terjadi karena secara fisik-morfologis, produk hortikultura segar mengandung air tinggi (85-98%) sehingga benturan, gesekan dan tekanan sekecil apapun dapat menyebabkan kerusakan yang dapat langsung dilihat secara kasat mata dan dapat tidak terlihat pada saat aktifitas fisik tersebut terjadi. Hal
yang
penting
untuk
dipahami
adalah
produk
pascapanen buah dan sayuran segar apapun bentuknya masih melakukan aktivitas metabolisme penting yaitu respirasi. Aktivitas respirasi berlangsung untuk memperoleh energi yang digunakan untuk aktivitas hidup pascapanennya. Setelah panen, sebagian besar aktivitas fotosintesis yang dilakukan saat masih melekat pada tanaman induknya berkurang atau secara total tidak dapat dilakukan. Cara penanganan yang tepat untuk mengurangi proses metabolisme setelah panen yang senantiasa menimbulkan
198
penurunan mutu yang menyebabkan berkurangnya minat konsumen atas produk tersebut perlu dilakukan. Salah satu Produk hortikultura yang tingkat keringkihan relatifnya tinggi yaitu salah satunya buah jambu biji degan potensi masa simpan kurang lebih hanya 2 - 4 minggu setelah panen. Jambu biji sudah dikenal luas oleh masyarakat sehingga jambu biji sudah merambah kesegala lapisan masyarakat, baik yang tinggal di kota-kota besar maupun pedesaan. Namun seperti halnya buah jambu biji merah memiliki keterbatasan umur simpan yaitu berkisar antara 1-2 minggu setelah buah matang penuh (Ali dan Lazan, 2001). Keterbatasan umur simpan inilah yang mendorong upaya pengolahan buah jambu biji merah agar dapat tetap dikonsumsi. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mempertahankan umur simpan buah tersebut yaitu dengan pelilinan, pengemasan yang baik, dan menyimpan buah pada suhu dingin. Jambu biji (Psidium guajava
L.) adalah salah satu
tanaman buah jenis perdu, dalam bahasa Inggris disebut Lambo guava. Tanaman ini berasal dari Brazilia Amerika Tengah, menyebar ke Thailand kemudian ke negara Asia lainnya seperti Indonesia. Hingga saat ini telah dibudidayakan dan menyebar luas di daerah-daerah Jawa. Jambu biji sering disebut juga jambu klutuk, jambu siki, atau jambu batu (Anonymous, 2011). 199
Jambu biji adalah salah satu buah heksotis dan dikenal dengan nama lain seperti jambu klutuk atau jambu batu. Jambu biji merupakan salah satu buah yang digemari karena daging buahnya yang lunak, memiliki rasa manis, dan aroma harum ketika matang. Jambu biji merah termasuk dalam kelompok
jambu
biji
bersama
dengan
jambu
bangkok,
jambu paris, dan jambu susu (Satuhu, 1993). Buah jambu biji berbentuk bulat dengan diameter kurang dari 5 cm dan panjang 4-12 cm. Kulit buah berwarna kuning kehijauan dengan daging buah berwarna merah muda sampai merah. Buah jambu biji cocok untuk buah meja atau di olah sebagai minuman segar. Jambu biji juga bermanfaat bagi kesehatan. Ketika membeli jambu biji, konsumen selalu menghendaki buah yang berpenampilan baik, yaitu buah yang bentuknya sempurna, ukurannya besar, dan kulitnya mulus tanpa bercak. Oleh karena itu, saat tanaman jambu biji mulai berbuah dilakukan perawatan untuk menjaga agar buah berpenampilan baik dan memiliki bentuk yang sempurna (Noorbaiti et al , 2013). Di antara berbagai jenis buah, jambu biji mengandung vitamin C yang paling tinggi dan cukup mengandung vitamin A. Dibanding buah-buahan lainnya seperti jeruk manis yang mempunyai kandungan vitamin C 49 mg/100 gram bahan, 200
kandungan vitamin C jambu biji 2 kali lipat. Menurut Nag et al., (2011)
jambu biji kaya vitamin C (260 mg /100 g) dan juga
sumber kalsium, fosfor, zat besi dan vitamin A . Vitamin C ini sangat baik sebagai zat antioksidan. Sebagian besar vitamin C jambu biji terkonsentrasi pada kulit dan daging bagian luarnya yang lunak dan tebal. Kandungan vitamin C jambu biji mencapai puncaknya menjelang matang. Selain pemasok andal vitamin C, jambu biji juga kaya serat, khususnya pektin (serat larut air), yang dapat digunakan untuk bahan pembuat gel atau jeli.
Manfaat
pektin
lainnya
adalah
untuk
menurunkan
kolesterol yaitu mengikat kolesterol dan asam empedu dalam tubuh dan membantu pengeluarannya, selain itu juga jambu biji dapat menurunkan kadar kolesterol total dan trigliserida darah serta tekanan darah penderita hipertensi essensial (Tiara 2011). Selain itu buah ini juga sangat kaya sumber serat larut (5,4 g per 100 g buah, sekitar 14% dari kebutuhan harian), yang membuatnya menjadi pencahar massal yang baik. Kandungan serat membantu melindungi usus besar selaput lendir dengan mengurangi waktu terkena racun serta mengikat bahan kimia penyebab kanker di usus besar (Anonymous, 2010).
201
Sebagai komoditas hortikultura, buah jambu biji segar pada
umumnya
memiliki
sifat
mudah
rusak
karena
mengandung banyak air dan setelah dipanen komoditas ini masih
mengalami
transpirasi
dan
proses
hidup,
pematangan.
yaitu
Buah
proses
jambu
respirasi, biji
harus
mendapatkan teknologi pascapanen yang tepat agar kesegaran sekaligus
umur
Kegiatan pascapanen
simpannya
dapat
merupakan
bertahan
bagian
lama.
integral
dari
pengembangan agribisnis, yang dimulai dari aspek produksi bahan mentah sampai pemasaran produk akhir. Peran kegiatan pascapanen menjadi sangat penting, karena merupakan salah satu sub-sistem agribisnis yang mempunyai peluang besar dalam upaya meningkatkan nilai tambah produk agribisnis. Pengolahan buah jambu biji merupakan salah satu upaya untuk menyelamatkan harga jual buah terutama pada saat panen raya. Dibandingkan dengan produk segar, produk olahan mempunyai umur simpan yang lebih lama sehingga dapat mengurangi resiko penjualan akibat perubahan harga. Salah satu produk olahan jambu biji merah yang potensial untuk dikembangkan adalah dalam bentuk sari buah. Produk sari buah jambu biji merah yang memiliki rasa segar dan aroma yang
khas,
selain
itu
menurut
Khalil
et
tingkat permintaan akan produk sari buah
al.,
(2000)
menunjukkan
kecenderungan yang semakin meningkat, dimana produsen 202
berlomba-lomba untuk menghasilkan produk dengan kualitas terbaik yang disukai oleh konsumen.
Cara pemberian Lapisan lilin juga bisa dilakukan seperti hasil penelitian Wijewardane, (2013) dimana pemberian lapisan lilin dapat membantu untuk memperpanjang umur simpan dan mengurangi
penyusutan
buah
karena
terjadinya
proses
respirasi .
1. Penanganan Pasca Panen Pada Buah Jambu Biji A. Panen Jambu Biji Kebanyakan buah-buah segar dipanen secara manual kemudian
dimasukkan
ke
dalam
keranjang
penampung
sementara, dan kemudian ditempatkan atau dikumpulkan di suatu tempat dekat lapang penanaman. Pemanenan dilakukan 203
terhadap buah-buah yang telah menunjukkan Kriteria yang ditetapkan. Namun demikian, pemanenan pada kondisi matang optimal merupakan kondisi terbaik bagi buah-buah agar diperoleh kualitas buah masak yang maksimal (Santoso, 2011). B. Ciri dan Umur Panen Buah jambu biji umumnya pada umur 2-3 tahun akan mulai berbuah, berbeda dengan jambu yang pembibitannya dilakukan dengan cangkok/ stek umur akan lebih cepat kurang lebih 6 bulan sudah bisa buah, jambu biji yang telah matang dengan ciri-ciri melihat warna yang disesuikan dengan jenis jambu biji yang ditanam dan juga dengan mencium baunya serta yang terakhir dengan merasakan jambu biji yang sudah masak dibandingkan dengan jambu yang masih hijau dan belum masak, dapat dipastikan bahwa pemanenan dilakukan setelah jambu bewarna hijau pekat menjadi muda ke putihputihan dalam kondisi ini maka jambu telah siap dipanen . C. Cara Panen Cara pemanenan yang terbaik adalah dipetik beserta tangkainya, yang sudah matang (hanya yang sudah masak) sekaligus melakukan pemangkasan pohon agar tidak menjadi rusak, waktunya setelah 4 bulan umur buah kemudian dimasukkan ke dalam keranjang yang dibawa oleh pemetik dan setelah penuh diturunkan dengan tali yang telah disiapkan sebelumnya,
hingga
pemanenan
selesai
dilakukan. 204
Pemangkasan
dilakukan
sekaligus
panen
supaya
dapat
bertunas kembali dengan baik dengan harapan dapat cepat berbuah kembali (Anonymous, 2011). D. Periode Panen Periode pemanenan setelah buah jambu biji dilakukan pembatasan buah dalam satu rantingnya kurang lebih 2-3 buah, hal ini dimaksudkan agar buah dapat berkembang besar dan merata. Dengan sistem ini diharapkan pemanenan buah dapat dilakukan dua kali dalam setahun (6 bulan) atau sekitar 2-3 bulan setelah berbuah, dengan dicari buah yang masak, dan yang belum masak supaya ditinggal dan kemudian dipanen kembali. Apabila buah sudah masak tetapi tidak dipetik maka akan berakibat datangnya binatang pemakan buah seperti kalong, tupai dll. E. Pasca Panen Jambu Biji Penanganan buah dilakukan untuk tujuan penyimpanan, transportasi dan kemudian pemasaran. Langkah yang harus dilakukan dalam penanganan buah setelah dipanen meliputi pengumpulan, pemilihan (sorting), pemisahan berdasarkan ukuran
(sizing),
pemilihan
berdasarkan
mutu
(grading),
penyimpanan, kemudian pengemasan dan pengangkutan. Setelah dilakukan pemanenan yang benar buah jambu biji harus dikumpulkan secara baik, biasanya dikumpulkan tidak jauh dari lokasi pohon sehingga selesai pemanenan secara 205
keseluruhan. Hasil panen selanjutnya dimasukkan dalam keranjang
dengan
diberi
dedauan
menuju
ke
tempat
penampungan yaitu dalam gudang.
DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2010. Pemasakan wordbiology.wordpress.com /2010/01/20/ buah. Anonymous. 2011. Jambu http://www.warintek. /jambu_biji.pdf
Buah.tp:// pemasakan-
Biji / Jambu Batu. ristek.go.id/ pertanian
Khalil, S.H., M.K. Aroua, and N.M. Sulaiman, 2000. A Study on The Retention of the Volatile Components of Simulated Guava Juice during Ultrafltration. Department of Chemical Engineering, Faculty of Engeneering, University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Noorbaiti Indah, Trisnowati Sri, Mitrowihardjo Suyadi. 2013. Pengaruh Warna Plastik dan Umur Pembrongsongan Terhadap Mutu Buah Jambu Biji (Psidium Guajava L.).Yogyakarta: Vegetalika Vol 2, No.1:44-53 (2013). Santoso, Bambang. B. 2011. Penanganan Pasca Panen Buah. http://fp.unram.ac.id/data/DR.Bambang%20B%20Santos o/Bahan Ajar-PascapanenHortikultura/ BAB-8-PascaPanen-Buah.pdf. Situhu, S., 1994. Penanganan dan Pengolahan Buah. Penebar Swadaya, Jakarta. 206
Wijewardane, R.M.N.A. 2013. Application of Polysaccharide Based Composite Film Wax Coating for Shelf Life Extension of Guava (var. Bangkok Giant) Institute of Postharvest Technology, Jayanthi Mawatha , Anuradhapura, Sri Lanka , Journal of Postharvest Technology. Tiara N Vonny. 2011.Studi Kelayakan Bisnis Tanaman Buah Jambu Kristal Pada Kelompok Tani Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor . Bogor: IPB. [Skripsi].
207
MENGENAL CITRA RASA BERBAGAI JENIS UBI JALAR Oleh : Mehran
Pendahuluan Ubi jalar (Ipomoea batatas (L.) Lamb) merupakan salah satu komoditi pertanian yang mempunyai prospek untuk dikembangkan di lahan yang kurang subur dan sebagai bahan olahan
ataupun
sebagai
bahan
baku
industri.
Menurut
sejarahnya, tanaman ubi jalar berasal dari Amerika Tengah tropis, namun ada yang berpendapat lain yaitu dari Polinesia. Tanaman ubi jalar masuk ke Indonesia diduga dibawa oleh para saudagar rempah-rempah (Iriani, E dan Meinarti N, 1996). Ubi
jalar
merupakan
komoditi
yang
potensial
dikembangkan di Indonesia sebagai sumber bahan pangan, pakan dan bahan baku industri. Kandungan nutrisi ubi jalar tidak hanya ada pada ubi tetapi juga pada bagian daun yang mempunyai kandungan antioksidan dengan kualitas sangat tinggi (Manrique dan Roca , 2008; Truong et al., 2007; Rumbaoa et al., 2009). Menurut Manrique dan Roca (2008), Indonesia menyumbang 2% produksi ubi jalar di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu komoditas bahan pangan yang
unik
karena
memiliki
beberapa
varietas
dengan
karakteristik dan keunggulan masing-masing, ada ubi jalar 208
Adin, ubi jalar Cilembu, ubi jalar Sari, ubi jalar Lokal Saree dan Sawentar. Potensi ubi jalar sebagai bahan baku industri pangan sangat
besar,
mengingat
sumber
daya
bahan
tersedia
melimpah, karena budi daya yang mudah dan masa panen yang singkat, selain itu ubi jalar juga memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam pengolahan, kandungan zat gizinya cukup lengkap bahkan beberapa zat di antaranya sangat penting bagi tubuh karena berfungsi fisiologis yaitu anthosianin dan karatenoid sebagai anti oksidan serta serat rapinasa yang berfungsi prebiotik. Potensi lain dari ubi jalar adalah daya terima masyarakat terhadap produk dari ubi jalar yang akan disukai masyarakat karena bahan dasar sudah cukup dikenal di masyarakat hanya perlu inovatif. Diversifikasi ubi jalar yang dapat dikembangkan oleh industri pangan di antaranya ; aneka cookies, cake, chip, ice cream dan bubur bayi. (Rasidah, 2010) Dewasa
ini
ada
kecenderungan
konsumen
untuk
mengonsumsi pangan alami dan menyehatkan, serta dalam bentuk produk pangan siap saji. Mengingat lengkapnya kandungan gizi pada ubi jalar tersebut maka komoditi ini dapat digolongkan sebagai pangan fungsional. Pangan fungsional merupakan pangan yang tidak hanya memberikan zat-zat gizi essensial
pada
tubuh
tetapi
juga
memberikan
efek
perlindungan pada tubuh atau bahkan penyembuhan terhadap 209
beberapa gangguan penyakit. Dilaporkan bahwa senyawa metabolit sekunder seperti beta karoten dan antosianin dalam ubi jalar dapat bertindak sebagai anti oksidan yang berfungsi sebagai anti kanker, antidiabet, antimutagen, dan anti radikal. Salah satu pengolahan ubi jalar menjadi produk setengah jadi (intermediate product), seperti mashed sweet potato (granula umbi).
Kelebihan
mashed
sweet
potato
adalah
dapat
dikonsumsi langsung, mempunyai umur simpan yang lama, serta fleksibel dalam penggunaannya yaitu dapat digunakan sebagai bahan pencampur (mixed product) berbagai produk pangan lainnya seperti es krim, roti dan donat, serta berbagai kultivar kue. Tekstur utama ubi jalar dapat dibedakan setelah umbinya dimasak, ada tiga tipe tekstur umbi, yaitu : a. Daging umbi padat, kesat, dan bertekstur baik; b. Daging umbi lunak, lembab dan lengket; serta c. Daging umbi kasar, dan berserat. Sebagian besar produksi ubi jalar ditujukan untuk tipe tekstur pertama dengan sebagian besar kultivar berdaging putih. Di samping untuk pangan manusia, tipe tekstur umbi ubi jalar pertama juga banyak digunakan untuk pakan ternak dan bahan baku produk industri. Produksi ubi jalar tipe tekstur kedua
terutama
untuk
pangan
manusia.
Berdasarkan
210
volumenya, produksi ubi jalar tipe kedua jumlahnya sangat kecil. Produksi ubi jalar tipe tekstur ketiga umumnya digunakan untuk pakan ternak, bahan baku industri pati, dan alkohol (Sarwono, 2005). Berdasarkan warna umbi, ubi jalar dibedakan menjadi beberapa golongan sebagai berikut : a. Ubi jalar putih yakni ubi jalar yang memiliki daging umbi berwarna putih. Misalnya, varietas tembakur putih, varietas tembakur ungu, varietas Taiwan dan varietas MLG 1265920P. b. Ubi jalar kuning, yaitu jenis ubi jalar yang memiliki daging umbi
berwarna
kuning,
kuning
muda
atau
putih
kekuningan. Misalnya, varietas lapis 34, varietas South Queen 27, varietas Kawagoya, varietas Cicah 16 dan varietas Tis 5125-27. c. Ubi jalar orange yaitu jenis ubi jalar yang memiliki daging umbi berwarna jingga hingga jingga muda. Misalnya, varietas Ciceh 32, varietas mendut dan varietas Tis 3290-3. d. Ubi jalar ungu yakni ubi jalar yang memiliki daging umbi berwarna ungu hingga ungu muda (Juanda, Dede dan Bambang Cahyono, 2000). Berdasarkan bentuk umbi, ubi jalar mempunyai 9 tipe umbi, yaitu bulat (round), bulat elips (round elliptic), elip (elliptic), oval di bawah (ovale), oval di atas (obote), bulat 211
panjang ukuran kecil (oblong), bulat panjang ukuran besar (long oblong), elip ukuran panjang (long elip) dan panjang tak beraturan (long irregulaer). Berdasarkan bentuk permukaan umbi, terdiri dari 4 tipe yaitu alligator like skin, vein, horizontal contriction dan longitudinal grooves. Berdasarkan warna kulit, terdiri dari 9 tipe, yaitu putih (white), krem (crem), kuning (yellow), jingga (orange), jingga kecoklatan (brown orange), merah muda (pink), merah tua (red), merah ungu (purple red), dan biru tua (dark purple). Berdasarkan warna daging, terdiri dari 9 tipe yaitu melingkar tipis dekat kulit (narrow ring), melingkar lebar dekat kulit (board ring in cortex), noda menyebar dalam daging (scartered spots in flesh), melingkar tipis dalam daging (narrow ring in flesh), melingkar lebar dalam daging (broad ring in flesh), beberapa lingkaran dalam daging (ring and other areas in flesh), bentuk membujur (in longitudinal section), sebagian dari lingkaran penuh dalam daging (covering most of the flesh),dan lingkaran penuh dalam daging (covering all flesh) (Huaman, 1990 dalam Suismono, 2001).
212
Beberapa Jenis Ubi Jalar : 1. Ubi Jalar Sari : Umbi varietas Sari berbentuk bulat hingga elip dengan permukaan halus, warna kulit merah cerah, warna daging kuning
agak
merah
muda
(mengandung β-karoten), tangkai umbi pendek, susunan umbi tertutup, dan berat umbi 650 g/tanaman. Berdasarkan karakter morfologi tersebut, ubi jalar varietas Sari identik dengan tipe Gunung Kawi. Bedanya, kulit ubijalar tipe Gunung Kawi berwarna merah dan berumur dalam (3-3,5 bulan lebih lama dibanding varietas Sari). 2. Ubi Jalar Lokal Saree : bentuk umbi cenderung
lonjong,
permukaan
kulitnya tidak rata, warna daging jingga/kuning dan lebih lunak (basah) sehingga
kandungan
patinya
juga
lebih rendah yaitu sekitar 13 – 19% (Pantastico,1986). Rasanya kurang manis tetapi kandungan vitamin A dan C tinggi. 3. Ubi Jalar Adin : bentuk umbi cenderung bulat, permukaan kulit umumnya tidak rata, daging umbi lebih keras dan warnanya merah di 213
bagian tengah dan putih di bagian dekat kulit, rasa tidak semanis ubi putih, permukaan kulit cenderung tidak rata. Ubi jalar merah memiliki kandungan vitamin A (retinol) paling tinggi di antara ubi jalar yang lain dan tidak hilang dengan proses perebusan, selain itu serat yang terdapat pada ubi jalar merah maupun
ungu
merangsang
berfungsi
sebagai
prebiotik
pertumbuhan
bakteri
yang
baik
yaitu bagi
untuk usus
sehingga penyerapan zat gizi menjadi lebih baik dan usus lebih bersih. 4. Ubi Jalar Sewentar : Warna daging: Krem; Bentuk umbi: Elips panjang; Potensi hasil : 30 t/ha; Rasa
umbi:
Enak,
manis;
Kandungan nutrisi: Pati 32,48%, Bahan kering 38%, Beta karoten 398,11 mg/100g; Agak peka hama boleng dan , toleran kudis dan bercak daun, agak toleran kekeringan.
214
5. Ubi cilembu ini berbeda dengan ubi lainya karena jika dipanaskan dengan oven, apalagi jika ubi mentah sudah disimpan lebih dari satu minggu, akan mengeluarkan cairan sejenis cairan lengket seperti madu dan rasanya tersebut tenaga
manis.
Rasa
merupakan bagi
orang
manis sumber yang
memakannya, sehingga ubi ini cocok sebagai hidangan sahur ataupun buka puasa. Bentuk ubi cilembu yaitu panjang, kulit dan daging umbinya saat mentah berwarna krem kemerahan dan akan menjadi kuning saat dimasak, dan akan muncul lelehan-lelehan lengket seperti madu. Kulit ubi cilembu berurat-urat panjang sehingga tidak mulus. DAFTAR PUSTAKA Buckle dkk. 1987. Ilmu Pangan,. Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono. Jakarta: Universitas Indonesia Press Rasidah, 2010., Potensi Ubi Jalar sebagai Bahan baku Industri Pangan, Universitas UNNES hlm. 45-52. Suismono. 2001. Teknologi Pembuatan Tepung dan Pati UbiUbian untuk Menunjang Ketahanan Pangan. Majalah pangan nomor: 37/X/Juli/2001 Hal. 37-49
215
Indriyani S (2008) Panduan Pengembangan Industri Buah Nanas di Industri Kecil. http://sriindri. tripod.com [16 April 2014]. Nugroho (2007) Karbohidrat dalam Indus-tri Pangan. http://nugrohob. Wordpress. com/2007/12/page/3 [16 April 2014]. Juanda,D. dan Bambang C. 2000. Ubi Jalar Budidaya dan Analisis Usaha Tani. Kanisius. Yogyakarta.
216
TRICHOKOMPOS Oleh: Fenty Ferayanti
Ketersediaan pupuk sebagai sumber
unsur hara bagi
tanaman adalah merupakan hal yang mutlak, agar tanaman menjadi sehat, tahan terhadap serangan OPT dan dengan demikian diharapkan mampu mencapai produksi yang optimal. Perbaikan kondisi kesuburan tanah yang paling praktis adalah dengan penambahan pupuk ke tanah. Namun perlu diperhatikan keseimbangan kesuburan tanah sehingga pupuk yang diberikan dapat efektif dan efisien. Penambahan pupuk anorganik yang menyediakan ion mineral siap saji saja akan merusak kesuburan fisik tanah, di mana tanah menjadi keras dan kompak. Dengan demikian, aplikasi pupuk organik akan sangat memperbaiki kondisi tanah. Namun pupuk organik lebih lambat untuk terurai menjadi ion mineral, apalagi jika aplikasinya hanya berupa penambahan bahan organik mentah saja. Maka dari itu kandungan mikroorganisme tanah juga perlu diperkaya untuk mempercepat dekomposisi, sehingga kesuburan tanah dapat terjaga. Alternatif yang cukup memberikan harapan bagi petani dalam mengatasi hal di atas adalah dengan memanfaatkan kotoran ternak, arang sekam dan trichoderma sebagai kompos 217
(Trichokompos). Dengan sentuhan teknologi, maka kompos akan menjadi berkualitas.
Sumber : saungurip.blogspot.com
Trichokompos
Sumber : Penyuluhthl.wordpress.com
merupakan salah satu bentuk pupuk
organik kompos yang mengandung cendawan antagonis Trichoderma sp. Trichoderma yang terkandung dalam kompos ini berfungsi sebagai dekomposer bahan organik dan sekaligus sebagai pengendali OPT penyakit tular tanah seperti : Sclerotium sp, Phytium sp, Fusarium sp, Phythoptora sp dan Rhizoctonia sp. Trichoderma sp disamping sebagai organisme pengurai, dapat pula berfungsi sebagai agen hayati dan stimulator
pertumbuhan
tanaman.
Trichokompos
yang
diberikan ke dalam tanah dapat memberikan manfaat antara lain : 1. Mengandung unsur hara makro dan mikro 2. Memperbaiki struktur tanah 218
3. Memudahkan pertumbuhan akar tanaman, menahan air 4. Meningkatkan aktivitas biologis mikroorganisme tanah yang menguntungkan. 5. Meningkatkan PH pada tanah asam 6. Sebagai pengendalian OPT penyakit tular tanah Teknik Pembuatan Trichokompos
+ Air Secukupnya
+
+
Kotoran Ternak
Arang sekam
Trichoderma padat
100 kg
10 kg
250 gr
- semua
bahan
dicampur
dan
aduk
hingga
rata
dan
dilembabkan dengan air secukupnya. - Tutup dengan plastik hitam/karung dan inkubasi 7 - 10 hari - Trichokompos siap diaplikasikan. Berdasarkan
uji
Laboratorium,
kandungan
hara
Trichokompos dari bahan organik kotoran sapi adalah sebagai berikut : N 0,50%, P 0,28%, K 0,42%, Ca 1,035 ppm, Fe 958 ppm, Mn 147 ppm, Cu 4 ppm, Zn 25 ppm.
219
Rata-Rata Kandungan Hara dari Beberapa Bahan Organik Bahan
N (%)
P (%)
K (%)
Kotoran sapi
0,5
2,5
0,5
Kotoran ayam
1,0
9,5
0,3
Kotoran kerbau
0,7
2,5
4,0
Kotoran kuda
1,7
3,9
0,2
Guano
0,5
27,5
0,4
Daun Lamtoro
4,0
0,3
2,5
Jerami Padi
0,8
0,2
3,7
Azolla
3,5
1,2
2,5
Sumber : BPTP Jambi
220
KONSEP PERTANIAN ORGANIK Oleh: Cut Nina Herlina
Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang bertujuan untuk tetap menjaga keselarasan (harmoni) dengan sistem alami, dengan memanfaatkan dan mengembangkan semaksimal mungkin proses-proses alami dalam pengelolaan usaha tani (Kasumbogo Untung, 1997). Pertanian organik menghindari penggunaan pupuk dan pestisida sintetik, ZPT dan perangsang lainnya yang mengandung bahan-bahan kimia buatan (Saragih. 2008). Dengan kata lain pertanian organik suatu sistem pertanian yang tidak menggunakan bahan kimia buatan;
mewujudkan
sikap
dan
perilaku
hidup
yang
menghargai alam; dan berkeyakinan bahwa kehidupan adalah anugerah Tuhan yang harus dilestarikan (Joko Prayogo dkk., 1999). Kegunaan budidaya organik pada dasarnya adalah untuk membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan oleh budidaya kimiawi atau yang seringkali disebut sebagai pertanian konvensional. Meskipun sistem pertanian organik dengan segala aspeknya jelas memberikan keuntungan banyak kepada
pembangunan
pertanian
rakyat
dan
penjagaan
lingkungan hidup, termasuk konservasi sumber daya lahan, namun penerapannya tidak mudah dan akan menghadapi 221
banyak kendala. Faktor-faktor kebijakan umum dan sosiopolitik
sangat
menentukan
arah
pengembangan
sistem
pertanian sebagai unsur pengembangan ekonomi (Sutanto, 2002). Sistem pertanian organik mengajak manusia kembali ke alam, sambil tetap meningkatkan produktivitas hasil tani melalui perbaikan kualitas tanah dengan tidak memakai atau mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia. Pertanian organik menghargai kedaulatan dan otonomi petani berdasarkan nilainilai lokal. Rosenow, et all (1996) menyatakan pertanian organik dalam versi lain, yaitu merupakan sistem pertanian yang mempromosikan aspek 8 lingkungan, sosial, ekonomi, dengan memproduksi pangan dan serat. Sistem ini memperhatikan kesuburan tanah sebagai dasar kapasitas produksi dan sifat alami tanaman, hewan, biofisik, landscap, sehingga mampu mengoptimalkan kualitas semua faktor-faktor yang saling terintegrasi
atau
tergantung
tersebut.
Pertanian
organik
menekankan praktek rotasi tanaman, daur ulang limbah-limbah organik secara alami tanpa input kimia. Tingkat persediaan optimal bahan-bahan organik tersebut dibutuhkan untuk mencapai siklus nutrisi unsur hara dalam tanah. Oleh karena itu, pertanian organik bisa dikatakan sebagai dasar produksi hasil pertanian, dasar untuk peternakan hewan, dasar untuk keseimbangan ekologi secara alami. 222
Filosofi
pertanian
organik
adalah
siklus
kehidupan
menurut hukum alam, kembali ke alam, selaras dengan alam, melayani alam secara ikhlas, utuh, holistik, sehingga alam pun akan memberikan hasil produksi pertanian yang maksimal kepada manusia. Jadi, hubungan ini bersifat timbal balik. Terdapat perbedaan yang mencolok antara pertanian organik dan konvensional, baik secara anatomi maupun ekonomi. Jenis-jenis Pupuk Menurut
Hamida
(2010)
Pupuk
dapat
dibedakan
berdasarkan bahan asal, senyawa, fasa, cara penggunaan, reaksi fisiologi, jumlah dan macam hara yang dikandungnya. Adapun jenis – jenis pupuk adalah sebagai berikut : a. Berdasarkan asal :
Pupuk alam, merupakan pupuk yang terdapat di alam atau dibuat dengan bahan alam tanpa proses yang berarti. Misalnya, pupuk kompos, pupuk kandang, pupuk guano, pupuk hijau, dan pupuk batuan P.
Pupuk buatan, merupakan pupuk yang dibuat oleh pabrik. Misalnya, TSP, urea, rustika, dan nitrophoska. Pupuk ini dibuat oleh pabrik dengan mengubah sumber daya alam melalui proses fisika atau proses kimia.
223
b. Berdasarkan senyawa :
Pupuk organik, merupakan pupuk yang berupa senyawa organik. Kebanyakan pupuk alam tergolong pupuk organik, seperti pupuk kandang, pupuk kompos, dan pupuk guano. Pupuk alam tidak termasuk pupuk organik, seperti rock phosphate, umumnya berasal dari batuan sejenis apatit (Ca3(PO4)2)
Pupuk anorganik atau mineral merupakan pupuk dari senyawa anorganik. Hampir semua pupuk buatan tergolong pupuk anorganik.
c. Berdasarkan fasa :
Pupuk padat, merupakan kelarutan yang beragam, mulai yang mudah larut dalam air sampai yang sukar larut.
Pupuk cair, merupakan pupuk yang dilarutkan dulu ke dalam air, umumnya pupuk ini disemprotkan ke daun. Karena mengandung banyak hara, baik makro mikro,
harganya
relatif
mahal.
Pupuk
maupun
amoniak
cair
merupakan pupuk cair yang kadar N-nya sangat tinggi sekitar 83%, penggunaannya dapat diinjeksikan melalui tanah. d. Berdasarkan cara penggunaan :
Pupuk daun, merupakan pupuk yang cara pemupukan dilarutkan dalam air dan disemprotkan pada permukaan daun. 224
Pupuk akar atau pupuk tanah, merupakan pupuk yang diberikan ke dalam tanah di sekitar agar diserap oleh akar tanaman.
e. Berdasarkan reaksi fisiologi :
Pupuk yang mempunyai reaksi fisiologis masam, artinya bila pupuk diberikan ke dalam tanah, menimbulkan kecenderungan tanah menjadi lebih masam (pH menjadi rendah). Misalnya, Za dan urea.
Pupuk yang mempunyai reaksi fisiologis basis, merupakan pupuk yang bila diberikan ke dalam tanah menyebabkan pH tanah cenderung naik, misalnya pupuk chili saltpeter, calnitro, kalsium sianida.
f. Berdasarkan jumlah hara yang dikandung :
Pupuk yang hanya mengandung satu jenis hara tanaman saja. Misalnya, urea hanya mengandung hara N, TSP hanya mengandung hara P saja (meskipun ada mengandung hara Ca)
Pupuk majemuk, merupakan pupuk yang mengandung 2 atau lebih hara tanaman. Contoh : NPK, amophoska, dan nitrophoska.
g. Berdasarkan macam hara tanaman :
Pupuk makro, merupakan pupuk yang hanya mengandung hara makro saja.
Contohnya NPK dan nitrophoska. 225
Pupuk mikro, merupakan pupuk yang hanya mengandung hara mikro saja.
Contohnya mikrovet, mikroplek, metalik.
Pupuk campuran makro dan mikro, misalnya pupuk gandasil, bayfolan, rustika.
Syarat-syarat Pupuk Organik Pupuk organik merupakan pupuk yang berasal dari sisa tanaman, hewan, atau manusia, seperti pupuk kandang, pupuk hijau, dan kompos yang berbentuk cair maupun padat. Pupuk organik bersifat bulky dengan kandungan hara makro dan mikro rendah sehingga diperlukan dalam jumlah banyak. Keuntungan utama menggunakan pupuk organik adalah dapat dapat memperbaiki kesuburan kimia, fisik, dan biologis tanah, selain sebagai sumber hara bagi tanaman (Suriyadikarta, 2006). Syarat-syarat yang harus dimiliki pupuk organik, yaitu : a). Zat N atau zat lemasnya harus terdapat dalam bentuk persenyawaan
organik,
jadi
harus
mengalami
peruraian
menjadi persenyawaan N yang mudah dapat diserap oleh tanaman.
b).
Pupuk
tersebut
dapat
dikatakan
tidak
meninggalkan sisa asam organik di dalam tanah. c). Pupuk organik tersebut seharusnya mempunyai kadar persenyawaan C organik yang tinggi, seperti hidrat arang (Sutejo dan Kartasaputra, 1990). 226
Manfaat Pupuk Organik Berbagai hasil penelitian mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif menurun produktivitasnya dan telah mengalami degradasi lahan, terutama terkait dengan sangat rendahnya kandungan karbon organik dalam tanah, yaitu 2%. Padahal untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan karbon organik sekitar 2,5%. Pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan. Sumber bahan untuk pupuk organik sangat beraneka ragam, dengan karakteristik fisik dan kandungan kimia yang sangat beragam sehingga pengaruh dari penggunaan pupuk organik terhadap lahan dan tanaman dapat bervariasi. Selain itu, peranannya cukup besar terhadap perbaikan sifat fisika, kimia biologi tanah serta lingkungan. Pupuk organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan mengalami beberapa kali fase perombakan oleh mikro organisme tanah untuk menjadi humus. Bahan organik juga berperan sebagai sumber energi dan makanan mikroba tanah sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroba tersebut dalam penyediaan hara tanaman.
227
Rosmarkam dan Nasih (2002), menyatakan sifat-sifat baik yang dimiliki pupuk organik terhadap kesuburan tanah antara lain sebagai berikut : a. Bahan organik dalam proses mineralisasi akan melepaskan hara tanaman yang lengkap (N, P, K, Ca, Mg, S, serta hara mikro) dalam jumlah tidak terlalu banyak dan relatif kecil. b.
Bahan
organik
dapat
memperbaiki
struktur
tanah,
menyebabkan tanah menjadi ringan untuk diolah, dan mudah ditembus akar c.
Bahan organik dapat mempermudah pengolahan tanah-
tanah yang berat. d.
Bahan organik meningkatkan daya menahan air, sehingga
kemampuan tanah untuk menyediakan air menjadi lebih banyak san kelengasan air lebih terjaga. e.
Bahan organik membuat permeabilitas tanah menjadi lebih
baik, menurunkan permeabilitas pada tanah bertekstur kasar (pasiran)
dan
meninggalkan
permeabilitas
pada
tanah
bertekstur sangat lembut (lempungan). f.
Bahan organik meningkatkan KPK (kapasitas pertukaran
kation) sehingga kemampuan mengikat kation menjadi lebih tinggi. Akibatnya, jika tanah yang dipupuk dengan bahan organik dengan dosis tinggi, hara tanaman tidak mudah tersusun.
228
g.
Bahan organik memperbaiki kehidupan biologi tanah (baik
hewan tingkat tinggi ataupun tingkat rendah) menjadi lebih baik karena ketersediaan makan lebih terjamin. DAFTAR PUSTAKA Hamidah. (2010). http://hamidahmamur.wordpress.com/ 2010/05/28/jenis-dankegunaan–unsur –hara. Joko Prayogo, Toni Suyono, Michael Berney. 1999. Apa itu pertanian Organik? Pusat Pengembangan Penataran Guru Pertanian (VEDCA) Cianjur. Indah Offset Malang. Kasumbogo Untung. 1997. Pertanian Organik Sebagai Alternatif Teknologi dalam Pembangunan Pertanian. Diskusi Panel Tentang Pertanian Organik. DPD HKTI Jawa Barat, Lembang 1996. Rosmarkam, A dan N.W Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius. Yogyakarta. Rosenow, Soltysiak, dan Verschuur. 1996. Organic Farming, Sustainable Agriculture Put Into Practice. Jerman: IFOAM. Sutanto, Rachman. 2002. Penerapan Pertanian Organik, Pemasyarakatan & Pengembangannya. Yogyakarta: Kanisius. Suryadikarta, DidiArti. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
229
Sutedjo, M. M., dan A.G. Kartasaputra, 1990. Pupuk dan Pemupukan. Rineka Cipta, Jakarta. Sutanto, Rachman. (2002). Pertanian organik: Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Kanisius. ISBN 979-21-0187-X, 9789792101874
Menuju Jakarta:
230
PANEN DAN PASCAPANEN PADI GOGO Oleh: Idawanni
Pendahuluan Dalam peningkatan ketahanan pangan nasional, peran padi gogo tidak kalah pentingnya. Meskipun memiliki umur yang lebih panjang, namun dari segi kualitas hasil tidak kalah dengan jenis padi sawah. Agar diperoleh hasil yang maksimal penanganan pasca panen padi merupakan salah satu upaya sangat
strategis
dalam
rangka
mendukung
peningkatan
produksi padi. Konstribusi penanganan pasca panen terhadap peningkatan produksi padi dapat tercermin dari penurunan kehilangan hasil dan tercapainya mutu gabah/ beras sesuai persyaratan mutu. Mejio (2008), pascapanen adalah serangkaian kegiatan yang meliputi pemanenan, pengolahan, sampai dengan hasil siap dikonsumsi. Penanganan pascapanen bertujuan untuk menekan simpan,
kehilangan daya
hasil,
guna
meningkatkan
komoditas
kualitas,
pertanian,
daya
memperluas
kesempatan kerja, dan meningkatkan nilai tambah. Berkaitan dengan hal tersebut maka kegiatan pascapanen padi meliputi (1)
pemanenan,
pengeringan,
(4)
(2)
perontokan,
pengangkutan,
(3)
perawatan
(5)penggilingan,
atau (6) 231
penyimpanan,(7) standardisasi mutu, (8) pengolahan, dan (9) penanganan limbah. Dalam
penanganan
pasca
panen
padi,
salah
satu
permasalahan yang sering dihadapi adalah masih kurangnya kesadaran dan pemahaman petani terhadap penanganan pascapanen yang baik. Masalah utama dalam penanganan pascapanen padi adalah tingginya kehilangan hasil (BPS 1996), serta gabah dan beras yang dihasilkan bermutu rendah (Baharsyah 1992; Setyono et al.2001). Hal ini terjadi pada tahapan pemanenan, perontokan, dan pengeringan sehingga perbaikan teknologi pascapanen padi sebaiknya di titik beratkan pada ketiga tahapan tersebut (Setyono 1990). Proses Penanganan Pasca Panen Padi Tahapan proses penanganan
pascapanen padi yang
dilakukan oleh petani dimulai dengan penentuan umur panen. Penentuan umur panen dapat dilakukan secara visual dengan melihat kenampakan padi, melihat umur tanaman berdasarkan diskripsi masing-masing varietas. Umur panen optimum sangat menentukan mutu maupun kehilangan hasil saat panen. Padi yang dipanen sebelum masak optimal akan menghasilkan kualitas gabah maupun beras yang kurang baik.
232
Penanganan pasca panen padi meliputi beberapa tahap kegiatan
yaitu
penentuan
saat
panen,
pemanenan,
penumpukan sementara di lahan sawah, pengumpulan padi di tempat
perontokan,
penundaan
perontokan,
perontokan,
pengangkutan gabah ke rumah petani, pengeringan gabah, pengemasan
dan
penyimpanan
gabah,
penggilingan,
pengemasan dan penyimpanan beras. A. Penentuan Saat Panen Penentuan saat panen merupakan tahap awal dari kegiatan penanganan pasca panen padi. Umur panen optimal padi dicapai apabila 90 sampai 95 % butir gabah pada malai padi sudah berwarna kuning atau kuning keemasan. Padi yang dipanen pada kondisi tersebut akan menghasilkan gabah berkualitas baik sehingga menghasilkan rendemen giling yang tinggi. B. Pemanenan Pemanenan padi harus dilakukan pada umur panen yang tepat, ketidaktepatan dalam melakukan pemanenan padi dapat mengakibatkan kehilangan hasil yang tinggi dan mutu hasil yang rendah. Pada tahap ini, kehilangan hasil dapat mencapai 9,52 % apabila pemanen padi dilakukan secara tidak tepat.
233
Umur panen padi gogo bervariasi tergantung varietas dan lingkungan tumbuh. Panen sebaiknya dilakukan pada fase masak panen yang dicirikan dengan kenampakan >90% gabah sudah menguning (33-36 hari setelah berbunga), bagian bawah malai masih terdapat sedikit gabah hijau dan kadar air gabah 21-26 %. Panen yang dilakukan pada fase masak lewat panen, yaitu pada saat jerami mulai mengering, pangkal mulai patah, dapat mengakibatkan banyak gabah yang rontok saat dipanen. C. Penumpukan dan Pengumpulan Penumpukan
dan
pengumpulan
merupakan
tahap
penanganan pasca panen setelah padi dipanen. Ketidaktepatan dalam
penumpukan
dan
pengumpulan
padi
dapat
mengakibatkan kehilangan hasil yang cukup tinggi. Untuk menghindari atau mengurangi terjadinya kehilangan hasil sebaiknya pada waktu penumpukan dan pengangkutan padi menggunakan alas. Penggunaan alas dan wadah pada saat penumpukan dan pengangkutan dapat menekan kehilangan hasil antara 0,94 – 2,36 %. D. Pengangkutan Pengangkutan
adalah
kegiatan
memindahkan
gabah
setelah panen dari sawah ke rumah atau ke unit penggilingan
234
padi
untuk
dikeringkan
atau
memindahkan
beras
dari
penggilingan ke gudang atau ke pasar. E. Perontokan Perontokan merupakan tahap penanganan pasca panen setelah pemotongan, penumpukan dan pengumpulan padi. Pada tahap ini, kehilangan hasil akibat ketidaktepatan dalam melakukan perontokan dapat mencapai lebih dari 5 %. Cara perontokan padi telah mengalami perkembangan dari cara digebot menjadi menggunakan pedal thresher dan power thresher. Perontokan dengan pengebotan (memukul-mukul batang
padi
pada
papan)
sebaiknya
dihindari
karena
kehilangan hasilnya cukup besar, bisa mencapai 3,4%. F. Pengeringan Pengeringan merupakan proses penurunan kadar air gabah sampai mencapai nilai tertentu sehingga siap untuk diolah/digiling atau aman untuk disimpan dalam waktu yang lama. Kehilangan hasil akibat ketidaktepatan dalam melakukan proses pengeringan dapat mencapai 2,13 %. Pengeringan gabah dilakukan selama 3-4 hari selama 3 jam per hari sampai kadar airnya 14%. Secara tradisional padi dijemur di lantai semen atau alas dari plastik,tikar anyaman bambu di halaman, tetapi pada saat ini cara pengeringan padi telah berkembang dari cara penjemuran menjadi pengering buatan. 235
G. Penyimpanan Penyimpanan
merupakan
tindakan
untuk
mempertahankan gabah/beras agar tetap dalam keadaan baik dalam jangka waktu tertentu. Kesalahan dalam melakukan penyimpanan gabah/ beras dapat mengakibatkan terjadinya respirasi, tumbuhnya jamur, dan serangan serangga, binatang mengerat dan kutu beras yang dapat menurunkan mutu gabah/beras. Cara penyimpanan gabah/beras dapat dilakukan dengan cara
menggunakan kemasan/wadah seperti karung
plastik karung goni, dan lain-lain. Tempat penyimpanan juga sangat mempengaruhi kesukaan serangga gudang terhadap gabah yang disimpan. Tempat penyimpanan yang tidak baik dengan kelembaban tinggi dan temperatur yang tidak sesuai akan memacu perkembangbiakan serangga. Walaupun kadar air gabah sudah memenuhi standar setelah dikeringkan, akan tetapi jika tempat penyimpanan tidak sesuai justru akan meningkatkan kembali kadar air gabah.
236
H. Penggilingan Penggilingan merupakan proses untuk mengubah gabah menjadi beras. Proses penggilingan gabah meliputi pengupasan sekam, pemisahan gabah, penyosohan, pengemasan dan penyimpanan. Kehilangan hasil dalam proses penggilingan disebabkan oleh gabah ikut terbuang bersama sekam, gabah dan beras tercecer.
237
DAFTAR PUSTAKA BPS (Biro Pusat Statistik). 1996. Survei Susut Pascapanen MT. 1994/1995. Kerja sama Biro Pusat Statistik, Ditjen Pertanian Tanaman Pangan, Badan Pengendali Bimas, Badan Urusan Logistik, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Institut Pertanian Bogor, dan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Baharsyah S. 1992. Pidato Pengarahan Menteri Pertanian pada Pembukaan Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Dalam M. Syam, Hermanto, M. Karim, dan Sunihardi (Ed.). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan, Buku 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Mejio, D.J. 2008. An overview of rice postharvest technology: Use of small metallic for minimizing losses. Agricultural Industries Officer, Agricultural and Food Engineering Technologies Service, FAO, Rome. FAO Corporate Document Repository. p. 1-16. Setyono A, Sutrisno, Nugraha S. 2001. Pengujian pemanenan padi sistem kelompok dengan memanfaatkan kelompok jasa pemanen dan jasa perontok. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Setyono A. 1990. Untuk menekan tingkat kehilangan hasil panen sistem pemanenan di jalur pantura perlu diperbaiki.
238