ISBN 978-979-3793-71-9
SANKSI PIDANA MATI TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA
Heni Susanti Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Universitas Islam Riau Jl. Kaharuddin Nasution 113 Perhentian Marpoyan Pekanbaru-Riau email :
[email protected]
Abstrak Peredaran narkotika di Indonesia semakin marak, hal itu dapat kita lihat fakta-fakta yang ada sekarang bahwa Indonesia tidak lagi sebagai tempat peredaran narkotika bahkan telah menjadi tempat untuk memproduksi narkotika. Hal ini dikarenakan Indonesia dengan jumlah penduduk yang tinggi menjadikan daya tarik tersendiri bagi para pelaku kajahatan narkotika. Yang melatarbelakangi terjadinya penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana narkotika adalah dikarenakan kejahatan narkotika menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat Indonesia juga terhadap eksistensi nilai nilai budaya dan kepribadian bangsa yang akhirnya akan melemahkan ketahanan dan kestabilan nasional dan juga sangat berdampak bagi kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya sehingga membahayakan bangsa Indonesia. Kata kunci: PENDAHULUAN Peredaran narkotika di Indonesia semakin marak, hal itu dapat kita lihat fakta-fakta yang ada sekarang bahwa Indonesia tidak lagi sebagai tempat peredaran narkotika bahkan telah menjadi tempat untuk memproduksi narkotika. Hal ini dikarenakan Indonesia dengan jumlah penduduk yang tinggi menjadikan daya tarik tersendiri bagi para pelaku kajahatan narkotika. Untuk mencegah kejahatan ini maka pemerintah mengeluarkan regulasi yang mengatur kejahatan ini secara maksimal. Undang-Undang yang mengatur tentang narkotika yang sekarang dipergunakan yaitu Undang-Undang No.35 Tahun 2009. Dalam Undang-Undang ini terdapat suatu hukuman yang menimbulkan polemik yaitu Pidana Mati, dimana diharapkan mampu memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan narkotika. Saat ini peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dengan sasaran potensial generasi muda sudah menjangkau berbagai penjuru daerah dan penyalahgunanya merata di seluruh strata sosial masyarakat. Pada dasarnya narkotika sangat diperlukan dan mempunyai manfaat di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, akan tetapi penggunaan narkotika menjadi berbahaya jika terjadi penyalahgunaan. Oleh karena itu untuk menjamin ketersediaan narkotika guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan di satu sisi, dan di sisi lain untuk mencegah peredaran gelap narkotika yang selalu menjurus pada terjadinya penyalahgunaan, maka diperlukan pengaturan hukum di bidang narkotika. Sepanjang tahun 2015 BNN telah mengungkap sebanyak 102 kasus Narkotika dan TPPU yang merupakan sindikat jaringan nasional dan internasional, dimana sebanyak 82 kasus telah P21. Kasus-kasus yang telah diungkap tersebut melibatkan 202 tersangka yang terdiri dari 174 WNI dan 28 WNA. Berdasarkan seluruh kasus Narkotika yang telah diungkap, BNN telah menyita barang bukti sejumlah 1.780.272,364 gram sabu kristal; 1.200 mililiter sabu cair; 1.100.141,57 gram ganja; 26 biji ganja; 95,86 canna chocolate; 303,2 gram happy cookies; 14,94 gram hashish; 606.132 butir ekstasi; serta cairan prekursor sebanyak 32.253 mililiter dan 14,8 gram. Sedangkan dalam kasus TPPU total asset yang berhasil disita oleh BNN senilai Rp 85.109.308.337 (Press Release BNN Akhir Tahun 2015). BNN melakukan penindakan tanpa pandang bulu, baik pria, wanita, warga negara Indonesia, warga negara asing, karyawan, mahasiswa, oknum aparat yang terbukti terkait dalam Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 48
ISBN 978-979-3793-71-9
kasus Narkotika. Hal ini dibuktikan dengan adanya tindakan yang tegas terhadap oknum yang terbukti terlibat kasus peredaran gelap Narkotika, yang saat ini sedang menjalani proses hukum dan kode etik. BNN juga tidak segan-segan menggunakan senjata untuk penegakan hukum dalam memerangi para kurir dan bandar. Kesungguhan BNN dalam menghentikan penyelundupan serta peredaran gelap Narkotika diharapkan dapat ditindaklanjuti dengan memberikan sanksi hukuman yang seberat-beratnya terhadap para tersangka, termasuk dalam penetapan hukuman mati. Berdasarkan data Direktorat Tindak Pidana Umum Lainnya, Kejaksaan Agung RI, sampai dengan pertengahan Desember 2015, terdapat 55 orang terpidana kasus Narkotika yang mendapatkan vonis hukuman mati, dimana 14 orang terpidana mati kasus Narkotika diantaranya sedang menunggu eksekusi hukuman mati. Berdasarkan data Direktorat Tindak Pidana Umum Lainnya, Kejaksaan Agung RI, sampai dengan pertengahan Desember 2015, terdapat 55 orang terpidana kasus Narkotika yang mendapatkan vonis hukuman mati di Indonesia. Dari jumlah tersebut sebanyak 4 orang mengajukan Banding, 14 orang mengajukan Kasasi, 9 orang mengajukan PK, 4 orang mengajukan Grasi, 10 orang belum menentukan sikap PK/Grasi, 10 orang PK sudah ditolak dan Grasi sudah lewat waktu, dan 4 orang lainnya PK dan Grasi yang diajukan sudah ditolak. Dengan demikian terdapat 14 orang terpidana mati kasus Narkotika yang sedang menunggu eksekusi hukuman mati.
Masalah Penelitian 1. Apakah yang melatarbelakangi penjatuhan pidana mati didalam uu no.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika?, 2. Siapakah yang dapat dijatuhi sanksi pidana mati menurut uu no.35 tahun 2009 tentang narkotika?
Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini, adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui latarbelakang penjatuhan pidana mati didalam uu no.35 tahun 2009 tentang narkotika, 2. Untuk Mengetahui siapakah yang dapat dijatuhi sanksi pidana mati menurut uu no.35 tahun 2009 tentang narkotika KAJIAN PUSTAKA Menurut Sahetapy dalam bukunya Pujiyono, ada tiga alasan utama diberlakukannya pidana mati di Indonesia, yaitu alasan berdasarkan faktor rasial; alasan berdasarkan faktor ketertiban umum; dan alasan berdasarkan hukum pidana dan kriminologi (Pijiyono, 2007). Pemberlakuan pidana mati secara umum terkait dengan tiga permasalahan pokok didalamnya, yaitu: 1.masalah landasan filosofis pemberlakuannya, 2. Penentuan jenis tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, 3. Cara pelaksanaan (eksekusi) pidana mati. Menurut teori absolut, pidana adalah suatu hal yang mutlak harus dijatuhkan terhadap adanya suatu kejahatan. Muladi dan Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa “pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri”. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Andi Hamzah bahwa pidana adalah hal yang mutlak diberikan sebagai pembalasan terhadap suatu kejahatan (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992). Teori ini menganggap bahwa hukuman yang diberikan kepada sipelaku tindak pidana menjadi suatu pembalasan yang adil terhadap kerugian yang diakibatkannya. Peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas Tindak Pidana penyalahgunaan dan peredaran Narkotika, sangat diperlukan karena kejahatan Narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi secara mantap, Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 49
ISBN 978-979-3793-71-9
rapi dan sangat rahasia. Di samping itu, kejahatan Narkotika yang bersifat transnasional dilakukan dengan menggunakan modus operandi dan teknologi canggih, termasuk pengamanan hasil-hasil kejahatan Narkotika. Perkembangan kualitas kejahatan narkotika tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia (Hadiman, 1999). Secara defenitif, Hukum Pidana dapat dibagi ke dalam Ius Poenale dan Ius puniendi. Ius Puniendi merupakan segi subjektif yang berarti hak untuk menjatuhkan pidana. Sedangkan Ius Poenale secara sederhana di defenisikan oleh oleh Zainal Abidin Farid sebagai sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi mereka yang mewujudkannya. Defenisi tersebut menyatakan bahwa ada keharusan dengan mengancamkan sanksi pidana terhadap pelanggarnya, sehingga dapat dikatakan bahwa sanksi pidana merupakan unsur yang sangat esensialnya dalam hukum pidana. Betapa pentingnya sanksi pidana juga dapat dilihat dari pendapat Herbet L.Packer berikut mengenai sanksi pidana: (Tongat, 2004). 1. Sanksi Pidana sangatlah diperlukan, kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana, 2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya, 3. Sanksi Pidana suatu kertika merupakan “ penjamin utama atau terbaik “ dan suatu ketika merupakan “ pengancam yang utama” dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam, apabila digunakan secarasembarangan dan secara paksa. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika juga mengatur mengenai sanksi yang diancamkan terhadap tindak pidana. Sanksi tersebut bertujuan untuk memaksimalkan peranan Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika dalam menanggulangi tindak pidana Narkotika. Adapun kebijakan hukum pidana terkait sanksi dan pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika adalah sebagai berikut : 1. Jenis Pidana yang digunakan adalah : pidana mati, penjara, kurungan, denda, pencabutan hak-hak tertentu, perampasan, 2. Pidana terberat yaitu pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidara penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (Iima puluh juta rupiah) diancamkan terhadap tindak pidana membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika, mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (4) dan (5) sedangkan pidana teringan yaitu berupa 1 (satu) tahun kurungan diancamkan terhadap tindak pidana saksi yang membuka identitas pelapor tindak pidana narkotika yang diatur dalam Pasal 47 Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976, 3. Mayoritas ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika merumuskan dua ( 2 ) jenis pidana pokok yaitu pidana penjara dan pidana denda secara kumulatif, 4. Pengenaan sanksi tindakan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika (pelaku yang melanggar pasal 36 ayat (7) ) dan sanksi tindakan berupa pengusiran dan larangan memasuki wilayah negara Indonesia bagi warga negara asing yang pernah melakukan tindak pidana narkotika. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang narkotika telah menggunakan double track system yang mengkombinasikan antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan, 5. Percobaan ( poging ) melakukan tindak pidana narkotika diancam dengan sanksi yang sama dengan tindak pidana narkotika. Hal ini merupakan kekhususan dari aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengurangi sanksi 1/3 terhadap percobaan ( poging ). Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 50
ISBN 978-979-3793-71-9
6. Ancaman Sanksi Pidana diperberat 1/3 dengan batasan maksimum 20 (dua puluh) tahun bagi pelaku yang membujuk anak dibawah umur melakukan tindak pidana yang diatur dalam pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat ( 7 ) . 7. Ancaman sanksi pidana penjara diperberat 1/3 tanpa batasan maksimum serta untuk pidana denda dikalikan 2 ( dua ) bagi pelaku yang melakukan pengulangan ( recidive ) terhadap tindak pidana yang diatur dalam pasal 36 ayat ( 1 ) sampai dengan ayat ( 7 ). 8. Pencabutan hak terhadap importir, pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik, rumah sakit, dokter, lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan, Nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi sebagimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) butir 1 sampai dengan 6 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Latar belakang diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dapat dilihat dalam penjelasan undang-undang tersebut, yakni peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Kejahatankejahatan narkotika pada umunya tidak dilakukan oleh secara perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi secara mantap, rapi, dan sangat rahasia. Kebijakan Hukum Pidana terkait sanksi, pemidanaan dan pemberatan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tidak begitu berbeda dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Dari segi jenis sanksi, sanksi yang digunakan dalam UndangUndang22 Tahun 1997 tentang Narkotika berupa sanksi pidana dan sanksi tindakan (maatregel). Sanksi pidana meliputi pidana pokok yaitu berupa : pidana mati, penjara seumur hidup, penjara dengan batasan waktu tertentu, pidana kurungan, pidana denda serta pidana tambahan berupa: pencabutan hak tertentu kecuali untuk tindak pidana yang dijatuhi pidana kurungan atau pidana denda tidak lebih dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan perampasan hasil tindak pidana narkotika. Sedangkan sanksi tindakan (maatregel) berupa : rehabilitasi yang meliputi pengobatan dan perawatan serta pengusiran dan pelarangan memasuki wilayah Indonesia bagi warga negara asing yang melakukan tindak pidana di Indonesia setalah menjalani sanksi pidana. Untuk sanksi tindakan (maatregel) berupa : rehabilitasi medis dan sosial serta pengusiran dan pelarangan memasuki wilayah Indonesia bagi warga negara asing yang melakukan tindak pidana di Indonesia setalah menjalani sanksi pidana. METODE PENELITIAN Tipe dan Pendekatan Penelitian Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif,( Soerjono Soekanto dkk, 2006) atau yang disebut juga dengan penelitian hukum doctrinal (Amiruddin dkk, 2004) yaitu pendekatan masalah yang menekankan pada peraturan-perundang undangan yang berlaku dan teori-teori yang relevan atau berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. Penelitian ini mengkaji sanksi pidana mati didalam uu no. 35 tahun 2009 tentang narkotika, dengan pendekatan konseptual yakni pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum, guna menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2007) Sumber Data dan Jenis Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini berasal dari: Penelitian kepustakaan (library research). Di dalam penelitian kepustakaan data yang diperoleh adalah data sekunder yakni data yang sudah terolah atau tersusun. Data sekunder mencakup dokumen-dokumen resmi, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan buku-buku yang relevan dengan penelitian ini (Soerjono Soekanto, 2006). Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 51
ISBN 978-979-3793-71-9
a. Data sekunder ini diperoleh dari : - Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri atas :Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Peraturan perundang-undangan yang terkait, seperti : Kitab Undang-undang Hukum Pidana, UU No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika, - Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang terkait dengan penelitian yang di lakukan, diantaranya : Hasil penelitian hukum sebelumnya dan teori-teori hukum dan pendapat-pendapat sarjana melalui literatur yang dipakai (Bambang Sunggono, 1997), - Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder, misalnya Kamus Hukum Soesilo Prajogo, Ensiklopedia dan sebagainya. b. Pengolahan dan Analisis Data - Pengolahan Data: Inventarisasi Data Hukum : Pengumpulan data yang berupa data sekunder meliputi peraturan perudang-undangan, buku atau literatur lain yang berkaitan dengan judul yang diperoleh penulis dari berbagai perpustakaan dan searching di internet terkait dan berurutan sesuai dengan permasalahan. - Editing: Editing ini dilakukan terhadap data awal atau data yang belum diolah. Hal ini bertujuan untuk mendeteksi kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan serta memperbaikinya untuk memperoleh data berkualitas.Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan data dilapangan sehingga siap pakai untuk dianalisis (Bambang Waluyo, 1999). Dalam penelitian ini setelah data yang diperlukan berhasil diperoleh, maka penulis melakukan pengolahan terhadap data tersebut. Dengan cara editing yaitu dengan cara meneliti kembali terhadap catatan-catatan, berkas-berkas, informasi dikumpulkan oleh para pencari data yang diharapkan akan dapat meningkatkan mutu kehandalan (reliabilitas) data yang hendak di analisis (Amirudin Zainal Asikin, 2004)
- Analisis Data Analisa data sebagai tindak lanjut proses pengolahan data, untuk dapat memecahkan dan menguraikan masalah yang akan diteliti berdasarkan bahan hukum yang diperoleh, maka diperlukan adanya teknik analisa bahan hukum. Data yang diperoleh dari penelitian kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Latar Belakang pidana mati didalam uu no.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Penjatuhan pidana mati tidaklah dijatuhkan kepada sembarangan orang melainkan khusus kepada pelaku kejahatan khusus (extraordinary crime), yang dianggap pelakunya telah memperlihatkan dari perbuatannya bahwa ia adalah individu yang sangat berbahaya bagi masyarakat, dan oleh karena itu harus dibuat tidak berbahaya lagi dengan cara dikeluarkan dari masyarakat atau pergaulan hidup (baca dipidana mati). Salah satu tokoh yang mendukung keberadaan lembaga pidana mati di negeri ini ialah ialah R. Santoso Poedjosoebroto yang merupakan mantan wakil ketua Mahkamah Agung, berpendapat pidana mati itu adalah merupakan Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 52
ISBN 978-979-3793-71-9
senjata pamungkas atau akhir dalam keadilan, namun dalam penjatuhan pidana mati haruslah diperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak si terpidana dan eksekusinya pun dilakukan dengan cara yang patut dan berprikemanusiaan. Masalah pidana mati, telah menjadi perhatian para ahli hukum pidana, krimonologi, dan victimologi, terutama berhubungan dengan falsafah pemidanaan, bahwa pemidanaan bukan hanya bertujuan agar terpidana menjadi jera, tetapi juga harus memperhatikan korban, sehingga berkembanglah pendekatan teori restrtoaktif justice. Arief Bernard Sidharta, mengemukakan pandangannya tentang pidana mati yaitu; 1. Pandangan hidup Pancasila berpangkal pada kenyataan bahwa alam semesta dengan segala hal yang ada di dalamnya yang merupakan suatu keseluruhan yang terjalin secara harmonis diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Tidak suatu pun yang ada di dalam alam semesta yang berdiri sendiri terlepas dari perakitannya dengan isi alam semesta yang lainya 2. Juga manusia diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir kehidupannya adalah untuk kembali kepada sumber asalnya, yakni Tuhan. Tiap manusia individual dilengkapi dengan akal budi dan nurani yang memungkinkan manusia membedakan yang baik dari yang buruk, yang adil dari yang tidak adil, yang manusiawi dari yang tidak manusiawi yang perlu dari yang tidak perlu, yang harus dan yang tidak harus dilakukan, yang boleh dan yang dilarang, dan dengan itu manusia individual memiliki kebebasan dan kemampuan untuk menentukan sendiri pilihan tindakan yang (akan) dilakukannya serta kehidupan yang ingin dijalaninnya. Karena itu, tiap manusia individual bertanggung jawab untuk perbuatan yang telah atau akan dilakukannya. Adanya akal budi dan nurani itu menjadi landasan dari bermartabatan manusia, 3. Telah dikemukakan bahwa eksistensi manusia dikodratkan dalam kebersamaan dengan sesamanya. Dengan demikian penyelenggaraan kehidupan manusia atau proses Inerealisasikan diri dari setiap manusia berlangsung di dalam kebersamaannya itu, yakni di dalam masyarakat. Untuk dapat Inerealisasikan dirinya secara wajar, manusia memerlukan adanya ketertiban dan keteraturan (berehenbaarheid, prediktabilitas, hal yang dapat diperhitungkan terlebih dahulu) di dalam kebersamaannya itu; 4. Terbawa oleh kodrat kebersamaan dengan sesamanya itu maka hukum harus bersifat kekeluargaan; 5. Penyelenggaraan ketertiban itu adalah penghormatan atas martabat manusia, maka rujuan hukum berdasarkan Pancasila adalah pengayoman terhadap manusia dalam arti pasif maupun aktif. Dalam arti pasif meliputi upaya mencegah tindakan sewenang-wenang dan pelanggaran hak. Dalam arti aktif meliputi upaya menumbuhkan kondisi sosial yang manusiawi dan mendorong manusia merealisasikan diri sepenuh mungkin. Tujuan hukum itu meliputi juga pemeliharaan dan pengembangan budi pekerti kemanusiaan dan cita-cita moral yang luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa; 6. Sanksi Pidana adalah salah satu bentuk dari sanksi hukum, yakni akibat tertentu yang dapat (seharusnya) dikenakan kepada seseorang karena perbuatannya yang memenuhi syaratsyarat yang ditetapkan dalam kaidah Hukum Pidana. Perbuatan yang memenuhi syaratsyarat tertentu itu pada dasarnya adalah perbuatan yang langsung menindas martabat manusia dan atau membahayakan eksistensi masarakat manusia. Karena itu, sanksi pidana (biasa disebut hukuman) adalah merupakan pengenaan penderitaan atau hal yang dirasakan sebaga hal yang tidak enak (merugikan) bagi yang dikenai. Pengenaan penderitaan kepada seseorang oleh negara menuntut pertanggungjawaban; 7. Agar dapat dipertanggungjawabkan, maka pertama-tama sanksi pidana itu harus merupakan pernyataan secara konkrit tentang penilaian masyarakat terhadap perbuatannya yang dilakukan oleh terpidana: bahwa perbuatan itu buruk, menindas martabat sesamanya dan membahayakan eksistensi masyarakat manusia yang sehat. Kedua, sanksi pidana harus merupakan peringatan agar orang menjauhi perbuatan yang dapat membawa akibat pengenaan pidana itu (perbuatan yang dinilai burukjdst). Ketiga, pengenaan pidana itu harus diarahkan untuk mendorong terpidana agar mengaktualisasikan nilai-nilai kemanusiaannya sehingga akan mampu mengendalikan kecenderungan-kecenderungan Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 53
ISBN 978-979-3793-71-9
yang negatif. Hukuman mati sebagai sanksi pidana tidak memenuhi aspek pertama dan aspek ketiga yang harus ada pada sanksi pidana seperti yang dikemukakan diatas. Jadi, hukuman mati hanya mempunyai aspek untuk mendeter (menangkal) orang lain agar jangan melakukan perbuatan yang menyebabkan pidana dikenakan hukuman mati. Jadi, pada hakikatnya, hukuman mati menetapkan manusia hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu yang bukan manusia yang dikenainya. Ini berarti bahwa hukuman mati segera langsung bertentangan dengan titik tolak dan tujuan dari hukum itu sendiri, yakni penghormatan atas martabat manusia dalam kebersamaannya. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan hakwa pada hakikatnya hukuman mati tidak mempunyai tempat dalam gagasan hukum berdasarkan Pandangan Hidup Pancasila (Kekeluargaan).. Badan Narkotika Nasional (BNN) terus optimalisasikan kinerja di seluruh lini dalam Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN). Langkah-langkah perbaikan, loyalitas, serta dedikasi dilakukan oleh seluruh anggota BNN dalam rangka pencapaian sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Hal tersebut berjalan linier dengan adanya penurunan prevalensi pecandu dan penyalah guna Narkotika yang menurut hasil penelitian pada tahun 2008 oleh BNN bersama pusat penelitian dan kesehatan (Puslitkes) Universitas Indonesia,diproyeksikan pada tahun 2015 mencapai angka 2,8%, namun pada penelitian terbaru pada tahun 2015 tercatat angka prevalensi hanya sekitar 2,2% yang berarti terdapat adanya penurunan sebanyak 0,6%. Sepanjang tahun 2015 BNN telah mengungkap sebanyak 102 kasus Narkotika dan TPPU yang merupakan sindikat jaringan nasional dan internasional, dimana sebanyak 82 kasus telah P21. Kasus-kasus yang telah diungkap tersebut melibatkan 202 tersangka yang terdiri dari 174 WNI dan 28 WNA. Berdasarkan seluruh kasus Narkotika yang telah diungkap, BNN telah menyita barang bukti sejumlah 1.780.272,364 gram sabu kristal; 1.200 mililiter sabu cair; 1.100.141,57 gram ganja; 26 biji ganja; 95,86 canna chocolate; 303, gram happy cookies; 14,94 gram hashish; 606.132 butir ekstasi; serta cairan prekursor sebanyak 32.253 mililiter dan 14,8 gram. Sedangkan dalam kasus TPPU total asset yang berhasil disita oleh BNN senilai Rp 85.109.308.337. BNN melakukan penindakan tanpa pandang bulu, baik pria, wanita, warga negara Indonesia, warga negara asing, karyawan, mahasiswa, oknum aparat yang terbukti terkait dalam kasus Narkotika. Hal ini dibuktikan dengan adanya tindakan yang tegas terhadap oknum yang terbukti terlibat kasus peredaran gelap Narkotika, yang saat ini sedang menjalani proses hukum dan kode etik. BNN juga tidak segan-segan menggunakan senjata untuk penegakan hukum dalam memerangi para kurir dan bandar. Kesungguhan BNN dalam menghentikan penyelundupan serta peredaran gelap Narkotika diharapkan dapat ditindaklanjuti dengan memberikan sanksi hukuman yang seberat-beratnya terhadap para tersangka, termasuk dalam penetapan hukuman mati. Berdasarkan data Direktorat Tindak Pidana Umum Lainnya, Kejaksaan Agung RI, sampai dengan pertengahan Desember 2015, terdapat 55 orang terpidana kasus Narkotika yang mendapatkan vonis hukuman mati, dimana 14 orang terpidana mati kasus Narkotika diantaranya sedang menunggu eksekusi hukuman mati. Berdasarkan data pada tahun 2015, BNN bersama bersama lembaga rehabilitasi instansi pemerintah dan komponen masyarakat telah melaksanakan program rehabilitasi kepada 38.427 pecandu, penyalah guna, dan korban penyalahgunaan Narkotika yang berada di seluruh Indonesia dimana sejumlah 1.593 direhabilitasi melalui Balai Besar Rehabilitasi yang dikelola oleh BNN, baik yang berada di Lido – Bogor, Baddoka – Makassar, Tanah Merah – Samarinda, dan Batam – Kepulauan Riau. Angka tersebut mengalami peningkatan, dimana pada tahun sebelumnya hanya sekitar 1.123 orang pecandu dan penyalah guna yang direhabilitasi. Berangkat dari data yang menunjukan adanya peningkatan pecandu dan penyalah guna yang direhabilitasi berbanding dengan penurunan prosentase prevalensi angka penyalah guna, maka langkah yang akan diambil BNN ke depan adalah upaya menghentikan penyalahgunaan Narkotika dengan membendung imun masyarakat terhadap penyalahgunaan Narkotika dan mempersempit ruang peredarannya. Penangulangan kejahatan dengan hukum pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Ada pula yang menyebutnya sebagai older philosophy of crime control. Dilihat sebagai suatu masalah kebijakan, maka ada yang mempermasalahkan apakah perlu Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 54
ISBN 978-979-3793-71-9
kejahatan ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan, dengan menggunakan sanksi pidana (Muladi dkk, 2010). Sanksi pidana merupakan peninggalan dari kebiadaban kita di masa lalu (a vestige of our savage past) yang seharusnya di hindari pendapat itu ternyata berdasarkan pada pandangan bahwa pidana merupakan tindakan perlakuan atau pengenaan penderitaan yang kejam (Muladi dkk, 2010) Roeslan Saleh mengemukakan tiga alasan mengenai masih perlunya pidana dan hukum pidana adapun intinya adalah sebagai berikut (Roeslan Saleh, 1974). a. Perlu tidaknya hukum pidana terletak pada persoalan tujuan- tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan masingmasing, b. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi seorang terhukum, dan di samping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaranpelanggaran norma yang telah dilakukannya itu tidaklah dapat di biarkan begitu saja. c. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga negara masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat. Marc Ancel menyatakan, bahwa modern criminal science terdiri dari tiga komponen Crimonlogy, Criminal Law dan Penal Policy dikemukakan olehnya, bahwa penal policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang tetapi juga pada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Selanjutnya dinyatakan olehnya: (Barda Nawawi Arief, 2010) “Diantara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan studi mengenai tekhnik peraturan perundang-undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelediki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional,dimana para sarjana dan praktisi, para ahli krimonologi dan para sarjana hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang berlawanan atau saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat di dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis dan berpikiran maju (progresif) lagi sehat” Kebijakan hukum pidana pada hakekatnya merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (ius constituendum). Konsekuensi logisnya, kebijakan hukum pidana identik dengan penal reform dalam arti sempit, karena sebagai suatu sistem, hukum terdiri dari budaya (cultural), struktur (structural), dan substansi (substantive) hukum. Undang-undang merupakan bagian dari substansi hukum, pembaharuan hukum pidana, disamping memperbaharui perundang-undangan, juga mencakup pembaharuan ide dasar dan ilmu hukum pidana (Marc Ancel, 2011). Didalam hukum pidana, tidaklah cukup seseorang yang terbukti melakukan perbuatan pidana dapat dipidana, tetapi harus ada dan terpenuhinya unsur kesalahannya (schuld). Sebuah adagium dikenal didalam hukum pidana yaitu actus non facit reum, nisi men sit rea ( perbuatan tidak membuat orang bersalah kecuali jika terdapat sikap batin yang salah) (Lilik Mulyadi, 2008). Hal ini menegaskan bahwa pernyataan terhadap seseorang telah melanggar hukum pidana dan dikenakan sanksi harus memenuhi dua syarat pokok : 1. Orang tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa ia benar-benar telah melakukan suatu tindak pidana, dan Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 55
ISBN 978-979-3793-71-9
2. Pada saat orang tersebut melakukan tindak pidana harus dibuktikan bahwa ia benar-benar merupakan orang yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Pemerintah dalam menjalankan hukum pidana senantiasa dihadapkan suatu paradoxalitiet yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut: “pemerintah Negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tetapi, kadang-kadang sebaliknya pemerintah Negara menjatuhkan hukuman, dan justru menjatuhkan hukuman itu, maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah Negara diserang misalnya, yang bersangkutan dipenjarahkan. Jadi, pada pihak satu, pemerintah Negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serabgan siapapun juga, sedangkan pada pihak lain pemerintah Negara menyearang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu” (Woro Winandi, 2010). Teori pemidanaan dibagi dalam tiga golongan besar, dapat diuraikan sebagai berikut: a. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorieen); Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. b. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen); Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mampunyai tujuan tertentu yang bermafaat. Dasar pembenar adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang yang membuat kejahatan (quia peccatum est) melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan (nepeccetur). Menurut teori ini, pemidanaan merupakan sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. c. Teori gabungan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pidana itu mempunyai tiga macam sifat,yaitu: Bersifat menakut-nakuti (afschrikking), Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering), Bersifat membinasakan (onschadelijk maken). Orang yang dapat dijatuhi sanksi pidana mati menurut UU no.35 tahun 2009 tentang Narkotika Ketentuan Pidana dalam Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika yang diatur dalam pasal 110 sampai dengan pasal 148, tindak pidana narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orangyang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik ditingkat nasional maupun internasional. Sehingga sangatlah wajar apabila cara-cara pemberantasan tindak pidana narkotika perlu pula dilakukan dengan sangat serius. Yaitu tidak hanya mengatur pemberantasan sanksi pidana bagi penyalahgunaan narkotika saja, tetapi juga penyalahgunaan prekusor narkotika untuk pembuatan narkotika. Pemberatan sanksi pidana ini ini diwujudkan dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati yang didasarkan pada golongan jenis, ukuran dan jumlah narkotika, dengan harapan adanya pemberatan sanksi pidana ini maka pemberantasan tindak pidana narkotika menjadi efektif serta mencapai hasil maksimal (Sudjono Boni, 2009). Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika 2009), pada dasarnya mengklasifikasi pelaku tindak pidana (delict) penyalahgunaan narkotika menjadi 2 (dua), yaitu : pelaku tindak pidana yang berstatus sebagai pengguna (Pasal 116, 121 dan 127) dan bukan pengguna narkotika (Pasal 112, 113, 114, 119 dan 129), untuk status pengguna narkotika dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua), yaitu pengguna untuk diberikan kepada orang lain (Pasal 116 dan 121) dan pengguna narkotika untuk dirinya Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 56
ISBN 978-979-3793-71-9
sendiri (Pasal 127). Yang dimaksud dengan penggunaan narkotika untuk dirinya adalah penggunaan narkotika yang dilakukan oleh seseorang tanpa melalui pengawasan dokter. Jika orang yang bersangkutan menderita kemudian menderita ketergantungan maka ia harus menjalani rehabilitasi, baik secara medis maupun secara sosial, dan pengobatan serta masa rehabilitasinya akan diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana, sedangkan, pelaku tindak pidana narkotika yang berstatus sebagai bukan pengguna diklasifikasi lagi menjadi 4 (empat), yaitu : pemilik (Pasal 111 dan 112), pengolah (Pasal 113), pembawa dan pengantar (Pasal 114 dan 119), dan pengedar (Pasal 129). Yang dimaksud sebagai pemilik adalah orang yang menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai dengan tanpa hak dan melawan hukum. Yang dimaksud sebagai pengolah adalah orang memproduksi, mengolah mengekstrasi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika dengan tanpa hak dan melawan hukum secara individual atau melakukan secara terorganisasi. Yang di kualifikasi sebagai pembawa atau pengantar (kurir) adalah orang yang membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika dengan tanpa hak dan melawan hukum secara individual atau secara teroganisasi. Sedangkan, yang dimaksud pengedar adalah orang mengimpor, pengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjadi pembeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli. Atau menukar narkotika dengan tanpa hak dan melawan hukum secara individual maupun secara terorganisasi (Undang-undang No 35 Tahun 2009). Pembahasan unsur-unsur dari pasal ke pasal 111 sampai dengan pasal 148 Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika dapat dikemukakan sebagai berikut : 1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menananm, memelihara, memiliki, menyimpan, mengusai, atau menyediakan Narkotika Golongan 1 dalam bentuk tanaman, dipidanan dengan pidana penjara paling singkat 4(Empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan dipidana denda paling sedikit Rp.800.000.000.00 (delapan ratus jutah rupiah) dan paling banyak Rp. (delapan milyar rupiah), 2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan 1 dalam bentuk tanaman sebagai dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1(satu) kilogram atau melebihi 5(lima) batang pohon, pelaku dipidana paling singkat 5(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Unsur – unsur pasal 111 adalah : a. Setiap orang, b. Tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan, c. Narkotika Golongan 1 dalam bentuk tanaman. Tindak pidana Narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam Undang-Undang Narkotika bahwa tindak pidana yang diatur didalamnya adalah kejahatan,akan tetapi tidak perlu disangsikan lagi bahwa semua tindak pidana didalam undangundang tersebut merupakan kejahatan. Alasannya, kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingankepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan daripemakaian narkotika secara tidak sah sangat membahayakanbagi jiwa manusia. Menurut Soedjono Dirjosisworo, penggunaan Narkotika secara legal hanya bagi kepentingan kepentingan pengobatan atau tujuan ilmu pengetahuan. Menteri Kesehatan dapat memberi ijin lembaga ilmu pengetahuan dan atau lembaga pendidikan untuk membeli atau menanam, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan ataupun menguasai tanaman papaver, koka dan ganja. Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 57
ISBN 978-979-3793-71-9
Dalam Undang-Undang no. 35 tahun 2009 tentang Narkotika terdapat sanksi pidana mati pada pasal 113, 114, 118, 119, 121, 144 yang akan penulis sebutkan sebagai berikut: Pasal 113 Ayat 1: Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengeksor atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Ayat 2: dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 114 Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Ayat 2: dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (Sepertiga). Pasal 118 Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan dipidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Ayat 2: dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 119 Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak melawan hukum menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan dipidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah), Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 58
ISBN 978-979-3793-71-9
Ayat 2: dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 121 Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Ayat 2: dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II untuk di gunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku di pidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 144 Ayat 1: setiap orang yang jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan pengulangan tindak pidana sebagaimana di maksud dalam pasal 111, pasal 112, pasal 113, pasal 114, pasal 115, pasal 116, pasal 117, pasal 118, pasal 119, pasal 120, pasal 121, pasal 122, pasal 123, pasal 124, pasal 125, pasal 126, pasal 127 ayat (1), pasal 128 ayat (1), dan pasal 129, pidana maksimum ditambah dengan 1/3 (sepertiga) Ayat 2: ancaman dengan tambahan 1/3 (sepertiga) sebagaimana dimaksud pada pasal 113 ayat (1) tidak berlaku bagi pelaku tindak pidana yang di jatuhi dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun. Dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada pasal 114 ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati. Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada pasal 118 ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, PENUTUP Yang melatarbelakangi terjadinya penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana narkotika adalah dikarenakan kejahatan narkotika menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat Indonesia juga terhadap eksistensi nilai nilai budaya dan kepribadian bangsa yang akhirnya akan melemahkan ketahanan dan kestabilan nasional dan juga sangat berdampak bagi kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya sehingga membahayakan bangsa Indonsia. Penerapan pidana mati terhadap tindak pidana narkotika dilatarbelakangi oleh persoalan tujuan- tujuan yang hendak dicapai oleh bangsa Indonesia yaitu demi mewujudkan ketertiban dan kemaslahatan masyarakat, juga dalam pertimbangan antara nilai –nilai yang hidup dan tumbuh dalam kehidupan masyarakat. Setiap orang yang dapat dijatuhi pidana mati dalam tindak pidana narkotika haruslah yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi subjek tindak pidana, untuk itu hanya orang yang Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 59
ISBN 978-979-3793-71-9
sehat jiwannya yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam Undang-Undang no. 35 tahun 2009 tentang Narkotika terdapat sanksi pidana mati pada pasal 113, 114, 118, 119, 121, 144. dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati. Dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada pasal 119 ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati. Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II untuk di gunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada pasal 121 ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku di pidana dengan pidana mati. Saran Dengan latar belakang bangsa yang memiliki budaya, hukum, keragaman masyarakat dan kepribadian yang luhur, sudah Seharusnya penjatuhan tindak pidana mati terhadap para pelaku kejahatan narkotika lebih digencarkan lagi, hal ini dikarenakan begitu luar biasanya dampak yang diakibatkan oleh peredaran gelap narkotika. Didalam draf rancangan KUHP yang baru hendaknya tetap mengakomodir sanksi pidana mati terhadap pelaku kejahatan narkotika, guna mewujudkan bangsa Indonesia dari ancaman bahaya narkotika, khususnya terhadap masa depan generasi penerus bangsa dan terhadap ketahanan nasional Indonesia, Terhadap orang yang dapat dijatuhi sanksi pidana mati terhadap kejahatan peredaran gelap narkotika di Indonesia, hendaknya semakin diperluas cakupan unsurnya dan lebih dinamis sehingga mampu mengikuti dinamisnya para pelaku kejahatan serta meminimalisir kejahatan narkotika, dan sudah seharusnya mengenai siapa saja yang dapat dijatuhi sanksi pidana mati diatur juga didalam draf rancangan KUHP yang baru dengan lebih maksimal dan komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA Abidin. Zainal .2007. Hukum Pidana I. Sinar Grafika. Jakarta.. Amiruddin dan Asikin.Zainal. 2004.Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.. Amiruddin dan Asikin. Zainal. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Amirudin dan Asikin .Zainal. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Ancel. Marc. 2011. Di kutip dalam Buku Barda Nawawi Arief. Kebijakan Hukum Pidana. Kencana. Semarang. Ancel.Marc. 2011. Di kutip dalam Buku Barda Nawawi Arief. Kebijakan Hukum Pidana. Kencana. Semarang. Arief. Bernard Sidharta. Analisis Filosofikal Terhadap Hukuman Mati di Indonesia. Makalah disampaikan dalam lokakarya yang diselenggarakan oleh Komisi Hak Asasi Manusia. (Bandung. 7 Desember 2005).
Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 60
ISBN 978-979-3793-71-9
Ashshofa. Burhan. 2004. Metode Penelitian Hukum. PT. Rineka Cipta. Jakarta. BNN. Press Release Akhir Tahun 2015. Jakarta 23 Desember Tahun 2015B/PR 153/XII/2015/HUMAS. Darmodiharjo. Darji dan Shidarta. 2006. Pokok-pokok Filsafat Hukum. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hadiman. 1999. Menguak Misteri Maraknya Narkoba. Yayasan Sosial Usaha Bersama. Jakarta Hamzah. Andi .1993. dan A. Sumangelipu. Pidana Mati Di Indonesia Di Masa Lalu. Kini Dan Di Masa Depan. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hamzah. Andi. dan A. Sumangelipu. 1993. Pidana Mati Di Indonesia Di Masa Lalu. Kini Dan Di Masa Depan. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hamzah. Andi. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia. Pradnya Paramita. Jakarta. J.E. Sahetapy. 2007. Pidana Mati dalam Negara Pancasila. P.T. Citra Aditya Bakti. Bandung. J.E. Sahetapy. 2007. Pidana Mati dalam Negara Pancasila. P.T. Citra Aditya Bakti. Bandung. J.M van Bemmelen. 2008. Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Material Bagian Umum). Terjemahan Hasnan. Bina Cipta. Bandung 1987. h. 128. dalam Mahrus Ali. Kejahatan Korporasi Kajian Relevansi Sanksi Tindakan Bagi Penanggulangan Kejahatan Korporasi. Arti Bumi Intaran. Yogyakarta. Kholik. Abdul.2002.Hukum Pidana (buku panduan kuliah). Fakultas Hukum Unmiversitas Islam Indonesia. Yogyakarta. Kholik.Abdul. 2002. Hukum Pidana (buku panduan kuliah). Fakultas Hukum Unmiversitas Islam Indonesia. yogyakarta. KUH Pidana. Makarao. Taufik. 2003. Tindak pidana narkotika. Ghalia Indonesia. Marpaung. Leden. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. Marpaung.Leden. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. Marpaung.Leden. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. Moeljatno. 2005. Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Bumi Aksara. Jakarta. Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2010.Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung. Muladi dan Nawawi Arief .Barda. 2010. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung.. Muladi dan Nawawi Arief. Barda. 1992. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung. Muladi dan Nawawi. Barda .1998. Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung.
Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 61
ISBN 978-979-3793-71-9
Mulyadi. Lilik . .2008. Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif. Teoretis. dan Praktik. PT Alumni. Bandung. Mulyadi. Lilik .2008. Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif. Teoretis. dan Praktik. PT Alumni. Bandung. Pijiyono. 2007. Kumpulan Tulisan Hukum Pidana. Mandar Maju. Bandung. Poernomo .Bambang. 1982. Hukum Pidana. Kumpulan Karangan Ilmiah. Jakarta Bina Aksara. Prakoso. Djoko & Nurwachid. 1984. Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini. Ghalia Indonesia. Jakarta. Prakoso. Djoko dan Nurwachid. 1984.Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini. Ghalia Indonesia. Jakarta. Prakoso.Djoko & Nurwachid. 1984. Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini. Ghalia Indonesia. Jakarta. Prasetyo. Teguh dan Barkatullah.Abdul Halim. 2005. Politik Hukum Pidana. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.. Prasetyo. Teguh dan Halim Barkatullah.Abdul. 2005. Politik Hukum Pidana. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Raharjo. Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Saleh .Roeslan. 1968. Perbuatan Pidana Dan Pertanggung jawaban Pidana. Centra. Jakarta. Saleh. Reoeslan.1974.Di kutip dalam Buku Nawawi Arief. Pemidanaan dan Masalah-Masalah Hukum. Sinar Baru. Bandung. Saleh.Reoeslan. 1974.Di kutip dalam Buku Nawawi Arief. Pemidanaan dan Masalah-Masalah Hukum. Sinar Baru. Bandung. Singgih D. Gunarsa. 1991 Psikologi Remaja. Gunung Mulia. Jakarta: Soekanto .Soerjono dan Madmuji. 2006. Sri. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sujono & Boni. 2011.Komentar dan Pembahasan UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Sinar Grafika. Jakarta. Sunarso. Siswantoro. 2004. Penegakan Hukum Psikotropika. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sunggono.Bambang. 1997. Metodologi Penelitian Hukum.. PT Raja Grafindo. Jakarta. Tongat. 2004. Pidana Seumur Hidup dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia. (Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang. Undang-undang Dasar 1945. UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 62
ISBN 978-979-3793-71-9
Waluyo. Bambang. 1999.Penelitian Hukum Dalam Praktek. Sinar Grafika. Jakarta. Winandi. Woro dan Lukito. Indra Rukmana .Penjatuhan Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Narkotika.Jurnal Hukum. Vol. XIX. No. 19. Oktober 2010: 49 - 62 ISSN 1412 – 0887.
Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 63