ISBN 978-979-3793-71-9
PEMBENTUKAN KABINET KERJA PRESIDEN JOKOWI
Wira Atma Hajri Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Universitas Islam Riau Jl. Kaharuddin Nasution 113 Perhentian Marpoyan Pekanbaru-Riau email:
[email protected]
Abstrak Salah satu kesepakatan MPR sebelum melakukan perubahan terhadap UUD 1945 adalah bahwa perubahan itu dalam rangka mempertegas sistem presidensial Indonesia. Ciri utama sistem presidensial itu adalah presiden memiliki otoritas penuh (hak prerogatif) dalam pengisian siapasiapa saja yang akan menjadi menterinya. Sebab, menteri-menteri adalah pembantu-pembantunya. Faktanya, pengisian posisi-posisi menteri di Kabinet Kerja Jokowi hari melenceng dari kerangka sistem presidensial itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan bagi-bagi kursi kementerian berdasarkan dukungan partai politik. Di samping itu, ironisnya lagi adalah intervensi Megawati yang merupakan ketua umum partai politik utama yang mendukung pencalonan Jokowi sebagai calon Presiden. Kata kunci: Sistem presidensial, Hak prerogatif, Menteri. PENDAHULUAN Ada 5 (lima) butir kesepatan dasar Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil Pemilu 1999 sebelum merumuskan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, (Amandemen UUD 1945, 2010) yaitu: 1. Tidak mengubah pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensial. 4. Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal (batang tubuh). 5. Melakukan perubahan dengan cara addendum (Panduan Pemasyarakatan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 2010) Salah satu dari lima butir kesepakatan di atas adalah mempertegas sistem presidensial. Alasannya adalah untuk memperkukuh sistem pemerintahan yang stabil dan demokratis yang dianut dan pada tahun 1945 telah dipilih oleh pendiri negara ini. 1 Sebab selama ini, sistem pemerintahan Indonesia di bawah naungan UUD 1945 sebelum amandemen, bukanlah sistem presidensial dalam pengertian jamak dipahami (Saldi Isra, 2010). Artinya, sistem pemerintahan Indonesia ketika itu ada nuansa parlementernya. Pertama, Presiden dipilih oleh lembaga parlemen (MPR), bukan dipilih secara langsung oleh rakyat. Pasal 6 Ayat (2) UUD sebelum amandemen menyatakan bahwa, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak”. Kedua, kekuasaan asli Presiden berasal dari MPR. Sebab Presiden adalah mandataris dari MPR. Implikasinya adalah MPR sebagai lembaga tertinggi negara ketika Di sisi lain, sistem pemerintahan Indonesia sebelum perubahan UUD 1945, juga ada nuansa sistem presidensialnya, yaitu, menteri-menteri diangkat dan bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden. Pasal 17 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa, ”Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”(Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945).
Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 38
ISBN 978-979-3793-71-9
Mencermati hasil Amandemen UUD 1945 tersebut, harus diakui secara normatif adanya penguatan terhadap sistem presidensial Indonesia. Pertama, Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat (Jimly Asshiddiqie, 2015). Pasal 6 A Ayat (1) menyatakan bahwa, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Kedua, pembatasan masa jabatan Presiden. Pasal 7 UUD 1945 menyebutkan menjadi“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam masa jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”. Ketiga, MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara. Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar”. Keempat, larangan bagi Presiden membubarkan DPR. Pasal 7C UUD1945 menyatakan bahwa, “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”. Kelima, pemberhentian Presiden lebih sulit. Pasal 7 B Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa: “Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Dalam praktiknya, sistem presidensial Indonesia tidak sekuat dan setegas apa yang diharapkan oleh para perumus amandemen pada tahun 1999-2002 dan UUD 1945 secara normatif (Ellydar Chaidir dan Sudi Fahmi, 2010). Salah satunya adalah Presiden “lemah” ketika berhadapan dengan partai politik dalam pengisian jabatan menteri. Presiden terbelenggu oleh barisan partaipartai politik pendukungnya. Hal ini terlihat jelas lebih ekstrem bagaimana besarnya belenggu PDIP (Megawati),(nasional.harian terbit.com, 2014) PKB, Partai Nasdem, dan Hanura dalam penyusunan Kabinet Kerja Presiden Jokowi pada tahun 2014 lalu (Hanta Yudha, 2010). Jokowi sebelum dilantik menjadi Presiden, pernah mengatakan bahwa tidak akan bagi-bagi jatah pos kementerian. Begitu juga dengan partai-partai politik pengusungnya. Bagi partai-partai politik pendukungnya ketika itu, dukungan kepada Jokowi-Jusuf Kalla adalah dukungan murni yang sama sekali tanpa balas jasa. Kendatipun dengan jargonnya yaitu “revolusi mental”, faktanya juga bagi-bagi jabatan di sana-sini. Pandangan yang menegaskan telah terjadi bagi-bagi jabatan tersebut bukanlah sesuatu yang mengada-ngada. Jatah menteri didasarkan kepada perolehan partaipartai politik pendukung Jokowi-Jusuf Kalla dalam Pemilu Legislatif. Sebagai partai politik pemenang pemilu dan juga partai utama pengusung Jokowi-Jusuf Kalla, PDIP mendapatkan jatah lima menteri, yaitu: Puan Maharani,( Menteri Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) Tjahjo Kumolo (Menteri Dalam Negeri), Rini M. Soemarno,(Menteri Badan Usaha Milik Negara), Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga, (Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Manusia) dan Yasonna H. Laoly (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) PKB mendapatkan empat jatah menteri, yaitu: Khofifah Indar Parawansa (Menteri Sosial), Imam Nahrawi (Menteri Pemuda dan Olahraga), Marwan Jafar (Menteri Desa, Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi), dan Hanif Dhakiri(Menteri Ketenagakerjaan), Partai Nasdem dijatahi tiga menteri, yaitu: Tedjo Edy Purdjiatno (Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan), Siti Nurbaya (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Ferry Mursyidan Baldan (Menteri Agraria dan Tata Ruang ), Partai Hanura mendapat dua jatah menteri, yaitu: Saleh Husin (Menteri Perindustrian) dan Yuddy Chrisnandi (Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi). Di samping itu, PPP juga mendapatkan jatah satu menteri, yaitu: Lukman Hakim Saifudin (Menteri Agama) kendatipun suaranya di atas Partai Hanura ( https://id.wikipedia.org/wiki/ ). Hal ini didasarkan kepada dukungan awal. Artinya PPP tidak ikut mengusung Jokowi-Jusuf Kalla pada waktu pencalonan Presiden. PPP mendukung Pasangan Prabowo-Hatta ketika itu. Dukungan PPP baru mengalir kepada Jokowi-Jusuf Kalla setelah Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Wira Hatma Hajri, 2016). Melihat realitas besarnya pengaruh Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 39
ISBN 978-979-3793-71-9
seorang Megawati dan partai-partai politik lainnya dalam pengisian jabatan menteri Kabinet Kerja Presiden Jokowi yang bertolak belakang dengan semangat sistem presidensial yang dibangun oleh UUD 1945 hasil amandemen tersebut, atau dalam bahasa Tjipta Lesmana bahwa, “Jokowi seolah tidak punya otoritas penuh ketika menyusun kabinet, walaupun ia Presiden RI yang dijamin oleh UUD 1945 tentang hak prerogatif yang dimilikinya untuk mengangkat dan memberhentikan menteri” (Bambang Sosatyo, 2015). HASIL DAN PEMBAHASAN Pengisian jabatan menteri di Indonesia pada masa pemerintahan Jokowi jauh dari apa yang diharapkan. Bahkan jauh lebih tidak baik dari masa pemerintahan sebelumnya, SBY-Budiono. Presiden Jokowi tidak menunjukkan bahwa ia punya otoritas penuh dalam pengisian jabatan menteri itu seperti yang penulis ungkapkan di Bab I terdahulu. Tentu saja hal ini tidak mencerminkan sistem presidensial yang kita anut sebagaimana yang dimanatkan oleh Pasal 17 UUD 1945. Ada beberapa alasan mengapa pengisian jabatan menteri kabinet kerja Jokowi keluar dari kerangka sistem presidensial itu, yaitu: 1. Presiden Jokowi bukanlah orang yang paling berpengaruh di internal partai politik pendukung utamanya. Berbeda halnya dengan SBY yang merupakan tokoh sentral di internal Partai Demokrat yang merupakan partai utama yang mendukungnya pada waktu pencalonan maupun pada waktu menjalankan roda pemerintahan, Presiden Jokowi bukanlah “siapasiapa”. Kendatipun Presiden Jokowi diusulkan oleh PDIP, namun ia maju atas dukungan dan restu dari Megawati. Tak dipungkiri Megawati adalah tokoh sentral di PDIP itu. PDIP adalah Megawati. Megawati adalah PDIP. Meminjam bahasa Megawati, Jokowi hanyalah petugas partai. Ia dicalonkan oleh Megawati melalui PDIP karena memang dari sisi daya pikat bagi rakyat, Jokowi lebih memiliki daya pikat yang lebih dibandingkan dengan Megawati. Penulis yakin, Megawati pun juga menyadari akan hal itu. Tiga kali Megawati mencalonkan sebagai presiden, sama sekali Megawati tidak pernah memenangi kontestasi pemilihan itu. 2. Pencalonan Jokowi sebagai Presiden diusulkan diusulkan oleh beberapa partai. Pasal 9 Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menyebutkan bahwa: “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau GabunganPartai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”. Kendatipun secara kalkulasi dukungan partai politik Prabowo-Hatta lebih unggul dibandingkan dengan pasangan Jokowi-Kalla, namun rakyat berbicara lain dalam pemilihan Presiden tahun 2014 itu. Rakyat menjatuhkan pilihan mereka atas calon presiden dan wakil presiden yang diusung oleh PDI-P, Hanura, NasDem, dan PKB itu. Dukungan Hanura, NasDem, dan PKB terhadap Jokowi yang berasal dari PDIP itu tentu saja mendukung karena ada kompensasi. Tak mungkin mendukung kalau tidak mendapat apa-apa meskipun di berbagai kesempatan dikatakan dukungan tanpa syarat seperti yang telah Penulis uraikan di laman latar belakang Bab I penelitian ini. Mau tidak mau, Jokowi sebagai Presiden akan dan pasti tersandera oleh kepentingan politik partai pendukungnya itu. Hal tersebut sungguh sangat berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya terutama pada masa Presiden Soeharto. Soeharto punya otoritas penuh dalam pengisian jabatan menteri. Presiden tidak dibelenggu oleh partai-partai politik lainnya. Sebagai Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 40
ISBN 978-979-3793-71-9
partai pendukung, Golkar tidak butuh partai lainnya untuk mencalonkan Soeharto sebagi calon Presiden. Enam periode Soeharto menjadi presiden, dalam pemilihan tidak ada sedikitpun rintangan yang berarti. 3. Terpisahnya Pemilihan Presiden dengan DPR. Adanya bag-bagi jabatan menteri dalam kabinet kerja Jokowi ini juga tidak terlepas dari terpisahnya pemilihan Presiden dan DPR. Pemisahan dua kategori pemilihan ini tidaklah semudah yang dibayangkan. Ia punya konsekuensi-konsekuensi tertentu. Tidak hanya hukum, tetapi juga konsekuensi politik. Konsekuensi hukumnya adalah pemilihan presiden sangat bergantung dengan hasil pemilihan anggota legislatif. Ketergantungan ini seolah-olah kita tidak berada dalam sistem presidensial, akan tetapi sedang menjalankan atau mempraktikkan konsep pemerintahan yang menganut sistem parlementer. Padahal, Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Apa yang dimaksud dengan pemilihan umum itu?. Berdasarkan Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945, bahwa: “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Lagi pula Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Mencermati ketentuan-ketentuan di atas, sama sekali tidak menyebutkan bahwa pemilihan Presiden mestilah terlebih dahulu didahului dengan pemilihan anggota legislatif. Pemisahan ini menurut hemat penulis telah menjadi kebiasaan ketatanegaran selama ini di Indonesia. Lebih lanjut, tentu saja pemisahan pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif ini membawa konsekuensi politik. Salah satu adegium dalam dunia politik adalah tidak ada makan siang gratis dalam politik. Semuanya dibayar tanpa terkecuali. Memberikan dukungan tentu saja karena ada kepentingan dan juga akan ada konsekuensi lain yang akan diperoleh. Salah satu kepentingan dan konsekuensi itu adalah mendapatkan jatah kursi di kementerian. Inilah yang terjadi dengan periode Jokowi-Kalla ini. Presiden Jokowi tersandera dalam pengisian jabatan menteri itu.
4. Sebagai Implikasi dari dikombinasikannya sistem presidensial dengan sistem multi partai Adanya bagi-bagi jatah menteri di kabinet Jokowi juga tidak bisa menafikan sebagai implikasi dari penerapan sistem muliti partai di tengah sistem presidensial yang kita anut. Logika salah ketika mengatakan semakin banyak partai, semakin baik karena membuka kran demokrasi. Yang terjadi malahan sebaliknya. Semakin banyak partai semakin tidak baik. Banyak partai, tentu saja banyak benturan kepentingan. Partai politik tidak dapat maju untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden dengan sendirinya. Koalisipun tidak terelakkan. Di Indonesia begitu bersemangatnya para elit untuk mendirikan partai politik. Sejarah mencatat bahwa kisruh di internal parpol, gugat-menggugat baik karena perbedaan pandangan maupun karena tidak lagi punya posisi kuat di parpol tersebut, terutama pada masa reformasi, bukanlah hal yang baru di negeri ini. Bahkan tak jarang kisruh itu kemudian melahirkan parpol baru, terutama di Golkar. Pertama, Prabowo Subianto. Tak mampu menjadi yang utama di internal Golkar, Prabowo mendirikan partai baru, yaitu Gerindra. Kedua, Wiranto. Mantan Panglima TNI ini juga alumni Golkar. Di tahun 2004 lalu, Wiranto adalah calon Presiden dari Golkar. Berikutnya, pada pilpres 2009, Wiranto dicalonkan Golkar sebagai calon wakil presiden yang Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 41
ISBN 978-979-3793-71-9
mendampingi Jusup Kalla. Tak lagi punya posisi yang begitu kuat di Golkar, Wiranto mendirikan partai baru, yaitu Hanura (Wira Atma Hajri, 2016). Ketiga, Surya Paloh. Seperti halnya Prabowo dan Wiranto, Surya Paloh juga merupakan alumni Golkar. Di tahun 2009, Munas Golkar di Pekanbaru, Surya Paloh kalah saing dari Aburizal Bakrie untuk memperebutkan kursi orang nomor satu di parpol yang berlambangkan pohon beringin itu. Tak lama setelah itu, Surya Paloh pun mendirikan ormas yang kemudian berubah haluan menjadi partai politik, yaitu Nasdem.2 Keempat, Sutiyoso. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga alumni Golkar. Seperti halnya Prabowo, Wiranto, dan Surya Paloh yang mendirikan partai baru, Sutiyoso kemudian juga mendirikan partai politik, yaitu PKPI. Kelima, Hary Tanoesoedibjo atau yang lebih dikenal dengan Hary Tanoe. Bos MNC Group ini adalah alumni Hanura. Sebelum alumni Hanura, Hari Tanoe adalah alumni Nasdem. Berbeda pandangan dengan Surya Paloh ketika itu mengenai struktur parpol, Hari Tanoe lalu kemudian berpindah hati ke Hanura. Hari Tanoe merumput dengan Hanura tak begitu lama. Tak dapat dipungkiri bahwa alasan Hari Tanoe keluar dari Hanura, tak terlepas dari bergabungnya Hanura dalam KIH yang di dalamnya juga terdapat Nasdem. Hari Tanoe pun melahirkan partai politik baru, Perindo. Hal ini sungguh amat berbeda dengan semangat elit di Amerika. Negara sebesar Amerika saja hanya terdiri dari dua partai besar, yaitu Republik Demokrat. Siapapun presidennya, amat akan kuat dan tidak banyak konflik kepentingannya saja. Kalau presidennya dari Partai Demokrat, maka andaikata ada benturan termasuk dalam pengisian jabatan menteri, paling tidak hanya benturan internal Partai Demokrat itu saja. Hal yang sama begitu juga terjadi dengan Partai Republik. Mencermati beberapa persoalan di atas, tidak ada masalah tanpa solusi. Begitu juga dengan dilema yang dihadapi oleh seorang Presiden dalam pengisian jabatan menteri. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan agar pengisian jabatan menteri di Indonesia pada masa yang akan datang tetap dalam kerangka sistem presidensial sehingga tidak sekedar bagi-bagi kekuasaan. 1. Memilih Calon Presiden yang Taat Dalam Beragama Banyak orang yang melupakan faktor Tuhan dalam memilih pemimpin, termasuk dalam pemilihan presiden. Banyak muncul alasan yang dimainkan. Di antaranya, tidak ada hubungan agama dan negara, atau tak ada hubungan kepemimpinan seseorang dengan agama atau tanpa agama sama sekali, atau masalah agama adalah masalah individu atau orang perorangan, atau masalah agama dalah ranah privat, dan seterusnya. Menurut hemat Penulis, ini cara berfikir yang keliru. Pemikiran seperti di atas adalah pola pemikiran orang-orang sekuleris. MUI telah berfatwa masalah ini. MUI mengharamkan pemikiran seperti itu. Ketika Tuhan saja seorang Presiden tidak mengenalnya, apalagi kita yang hanya sebagai rakyat. Selama ini, pengisian jabatan menteri tidak terlepas dari bagi-bagi kekuasaan saja. Masalah rakyat rugi atau tidak, itu urusan lain. Parahnya lagi, di bawah kepemimpinan presiden Jokowi ini, Indonesia semakin tak berwibawa dan hinaan serta cercaan terjadi di mana-mana. Bak kata pepatah,“kalau tak ada api, maka tak akan ada asap”. Sebab Jokowi dipuja puji oleh rakyatnya ketika dulunya menjabat sebagai Walikota Solo. Karena itu, hanya orang yang kenal dengan Tuhannyalah akan mampu menjalankan amanah kekuasaan yang telah dipikulkan di pundaknya itu. Oleh karenanya, kita tidak hanya bisa mengandalkan bahwa kalau presiden dipilih oleh rakyat lalu kemudian hasilnya akan baik. Tidak akan ada bagi-bagi jabatan. Apalagi salah satu kelemahan yang sering diungkapkan adalah bahwa sistem
Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 42
ISBN 978-979-3793-71-9
demokrasi terlalu mengandalkan diri pada prinsip suara mayoritas sesuai dengan doktrin “one man one vote”. Pihak mana yang paling banyak suaranya, ialah yang paling menentukan keputusan (Jimly Asshiddiqie, 2008). Padahal suara mayoritas tidak selalu identik dengan suara kebenaran. Sebenarnya, sejak lama Islam telah menunjukkkan tentang tipe masyarakat yang baik, dan bagaimana cara memilih seorang pemimpin yang baik untuk masyarakat yang baik tersebut. Cara itu ada dalam syari’at sholat, dan sholat berjamaah. Pertama, nabi berkata bahwa sholat adalah tiang agama, siapa yang mendirikannya berarti mendirikan agama, siapa yang meninggalkannya berarti meruntuhkan agama. Kedua, beliau berkata bahwa sholat berjamaah jauh lebih tinggi derajat kebaikannya 25 derjat dibandingkan sholat berjamaah (Alaidin Koto, 2009). Jarang yang bisa menangkap, kenapa Nabi mengingatkan bahwa sholat itu tiang agama, terlebih lagi dalam sholat berjamaah, karena di samping semua aspek yang disebut tadi dipraktekkan secara bersama-sama dalam sebuah komunitas sosial, dalam sholat berjamaah kita diajarkan bagaimana cara yang baik dalam meyiapkan dan memilih pemimpin yang baik, sehingga pemimpin terlebih benar-benar memenuhi kriteria sebagai seorang pemimpin ideal seperti diungkap nabi dengan sebutan ra’in, pemimpin yang memaknai jabatannya sebagai amanah, dan bukan sebagai kesempatan dan keberuntungan. Cara itu adalah, pertama, pemimpin adalah orang yang integritas dan kredibilitas pribadinya terpuji di mata di masyarakat. Kedua adalah orang yang fasih lidahnya dalam melafalkan ayat-ayat Allah. Ketiga dalah orang yang faqih, berilmu pengetahuan terutama tentang keimanan dan segala hal yang berkaitan dengan sholat berjamaah. Keempat adalah tidak memiliki cacat indera yang dapat mengganggu ketika memimpin jamaah itu sendiri. Jika dikaitkan dengan calon presiden dan wakil presiden, maka faktor integritas, kefasihan, ilmu, dan kesehatan adalah yang lebih utama. Adapun faktor-faktor lain di luar itu, seperti gelar kebangsawanan, akademik, suku, kekayaan yang dimiliki dan keturunanan, sama sekali tidak termasuk ke dalam kriteria yang dipertimbangkan. 2. Menerapkan pemilihan umum serentak dan menghapus presidential threshold Praktik pemisahan pemilihan presiden dan legislatif yang selama ini di Indonesia kemudian dikoreksi MK melalui Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam Pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Kendatipun demikian, pemilihan umum serentak baru berlaku pada pemilihan umum nasional 2019. Patut juga disoroti bahwa putusan tersebut tetap menyatakan bahwa ambang batas pengajuan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) adalah konstitusional. Seharusnya, dengan adanya pemilu serentak maka ambang batas ini tidak relevan lagi (Khairul Fahmi, 2014).
Keberadaan ambang batas ini menurut “.... rezim ambang batas sengaja dipelihara terutama oleh parpol yang memiliki kursi besar di DPR. Bahkan, apabila dilacak perkembangan sepanjang munculnya desakan menghapus rezim itu di DPR tahun lalu, sulit dibantah, parpol besar tetap berada di balik penolakan ini. Celakanya, ide melestarikan ambang batas tak dibaca MK sebagai bentuk pengingkaran nyata UUD 1945” (Saldi Isra, 2016). Saldi juga menambahkan bahwa “....melihat bobot konstitusional pemilu serentak dan penghapusan ambang batas, semestinya MK memberikan perlakuan tak berbeda antara pemenuhan makna dan semangat Pasal 22E Ayat (1) dan (2) UUD 1945 serta Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. Bahkan, sekiranya rezim ambang batas tidak hadir, sangat mungkin Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 43
ISBN 978-979-3793-71-9
uji materi pemisahan pemilu legislatif dan pemilu presiden tidak pula diajukan ke MK. Karena itu, ketika permohonan Yusril tidak diterima, hakim MK gagal memaknai amanah yang diberikan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Tidak hanya itu, hakim MK sekaligus tengah mempertontonkan kegagalan menjaga UUD 1945”. Terlepas itu semua, paling tidak dengan pemilihan umum serentak di tahun 2019 nantinya dapat meminimalisir bagi-bagi jabatan menteri oleh Presiden yang terpilih. Sebab setiap partai dapat mengajukan calon presiden mereka masing-masing. Sehingga tidak ada kewajiban untuk berkoalisi. Apalagi mencermati potret koalisi selam ini adalah mencerminkan koalisi pragmatis. 3. Membuka Peluang Bagi Calon Presiden yang Berasal Dari Calon Independen Membuka jalur calon presiden berasal dari jalur independen juga patut dipertimbangkan. Penulis meprediksi bahwa Presiden terpilih melalui jalur independen akan jauh lebih baik bilamana kita membandingkan dengan calon presiden yang diusung oleh banyak partai koalisi pendukungnya. Apa yang terjadi terutama 10 tahun kepemimpinan SBY (2004-2014) maupun Jokowi untuk periode 2014-2019 sudah cukup memberikan pejajaran yang amat sangat berharga dalam mempraktikkan sitem presidensial di republik ini, terutama dalam hal pengisi jabatan menteri. Semakin banyak partai pendukung, semakin banyak pula orang-orang yang akan menyandera. Gagasan calon presiden independen ini untuk merealisasinya memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Paling tidak karena dua alasan utama. Pertama, sudah ada putusan MK Nomor 56/PUU-VI/2008 Tentang Pengujian Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang menolak permohonan calon presiden indpenden. Merujuk UUD 1945, putusan MK ini benar adanya. Sebab Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Kedua, membuka calon independen membutuhkan amandemen UUD 1945. Tanpa itu, rasanya tidak akan mungkin. Tapi lagi lagi, amandemen UUD 1945 bukanlah hal yang mudah. Butuh sepertiga anggota MPR yang mengusulkan, dua pertiga yang hadir, dan disetujui minimal seperdua tambah satu dari keseluruhan anggota MPR. Lebih lanjut, mencermati ketika tidak dibenarkannya calon independen untuk Presiden, memang patut dipertanyakan konsistensi kita bernegara ketika dibandingkan dengan pemilihan kepala daerah, baik untuk bupati/walikota, maupun gubernur yang dimungkinkan maju melalui jalur independen (Putusan MK, 2007). Paling tidak, dengan dilegalkannya calon kepala daerah independen ini menjadi bahan pertimbangan ke depan untuk calon presiden independen andaikata terjadi amandemen kelima yang rada-rada mustahil itu. 4. Penyederhanaan jumlah partai politik di Indonesia Cara konstitusional yang dapat ditempuh untuk menyederhanakan jumlah partai politik adalah dengan menaikkan ambang batas parlemen. Pemilu 2014 lalu, ambang batasnya itu adalah 3,5 persen. Menurut hemat Penulis, angka 3,5 persen ini adalah angka yang sangat kecil. Ini perlu dinaikkan lagi. Tak dipungkiri hal inipun akan menuai polemik, terlebih lagi ketika didekati dengan kepentingan pragmatis para elit politik. Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 44
ISBN 978-979-3793-71-9
Bagi “partai kecil” atau partai yang kurang atau tidak yakin akan memenuhi ambang batas bilamana dinaikkan angka ambang batas itu, mereka akan menolaknya. Sebab, ketika partai tidak mencapai ambang batas DPR yang telah ditentukan, maka partai tersebut tidak dapat mendudukkan satupun wakilnya di DPR kendatipun di perhelatan pemilu tersebut ada atau beberapa calon legislatif mereka yang mendulang suara terbanyak di daerah pemilihan tertentu. Dengan demikian, suara pemilih mereka akan terbuang. Tentu saja sal ini menguntungkan “partai besar”. Itulah mengapa PBB dan PKPI tidak memiliki satupun wakil di DPR periode 2014-2019. Pada pemilu 2014 lalu, PBB dan PKPI tidak mencapai ambang batas 3,5 persen. PBB hanya sanggup mengumpulkan 1,46 persen suara secara nasional. Lebih menyedihkan lagi adalah PKPI, yaitu 0,91 persen. Terlepas itu semua, menaikkan ambang batas DPR menjadi 7 persen bahkan 10 persen, menurut hemat Penulis, inilah yang ideal dan rasional ketika kita punya citacita untuk Indonesia lebih baik. Tapi kalau tidak, akan selalu banyak alasan terlebih lagi ketika menggunakan kacamata kepentingan partai. Mereka akan beralasan, 3,5 persen saja ambang batas DPR, banyak suara pemilih yang terbuang, apalagi 7 persen sampai 10 persen. Tentu, suara pemilih akan jauh lagi banyak yang terbuang. Mengenai hal ini Penulispun tidak memungkirinya. Kendatipun demikian, jauh lagi tidak baiknya jika ambang batas DPR itu terlalu rendah seperti pemilu-pemiulu yang sebelumnya. Pada pemilu 2009, ambang batas DPR hanyalah 2,5 persen. Ketika itu terdapat 9 partai yang lolos dari 24 partai yang ikut kontestasi yaitu Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PKS, PAN, PPP, PKB, Partai Gerindra, dan Partai Hanura. Sedangkan pada pemilu 2014, terdadapat 10 partai yang lolos ambang batas dari 12 partai, yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, PKB, PAN, PKS, Nasdem, PPP, dan Hanura. Dengan terlalu rendahnya ambang batas DPR, bahwa orang-orang tidak akan “tobat” untuk mendirikan partai. Jangan kira semakin banyak partai, maka semakin baik. Malahan, semakin banyak partai, semakin tidak baik. Banyak partai, banyak pula kepentingan. Banyak kepentingan, banyak pula konflik. Sehingga sulit untuk menemukan titik temu atau kesepakatan. Tentu saja hal ini mengganggu efektivitas pemerintahan seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Jokowi dan sebelumnya. Bagi Penulis, jumlah partai di DPR periode 2014-2019 dan periode-periode sebelumnya, Indonesia sudah keblabasan. Negara sebesar Amerika Serikat saja, hanya terdiri dari dua kelompok partai besar, yaitu Partai Republik dan Partai Demokrat. Karena itu, sudah seharusnya menaikkan ambang batas tersebut dari 3,5 persen menjadi 7-10 persen. Lagi pula, ambang batas 7-10 persen itu bukanlah ambang batas yang terlalu tinggi. Kalau ambang batasnya terlalu tinggi, misalkan 15 persen, itu juga tidak baik. Sebab masyarakat kita adalah masyarakat majemuk. Khawatirnya nanti tidak terwakili di pemerintahan. Kalau merujuk pemilu yang lalu andaikata 15 persen itu digunakan berarti hanya satu partai yang ada di DPR, yaitu PDIP dengan mengantongi 18,95 persen. Sedangkan Golkar dan partai yang lainnya di bawah 15 persen. Tentunya ini tidak baik terhadap perkembangan demokrasi di tanah air. Andaikata 7 persen yang dipakai, berarti ada 6 partai hari ini di DPR, yaitu PDIP (18,95), Golkar (14,75), Gerindra (11,81), Demokrat (10,19), PKB (9,04), dan PAN (7,59). Sebagai catatan juga, secara hukum ambang batas telah dikuatkan oleh MK melalui Putusan Nomor 52/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu legislatif. Di dalam putusan itu, MK mengatakan persoalan ambang batas adalah kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Sehingga, berapapun angka ambang batas yang akan disepakati nantinya, termasuk 7-10 persen tetap dapat dibenarkan. Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 45
ISBN 978-979-3793-71-9
Lagi pula, menaikkan ambang batas DPR bukan berarti pembungkaman untuk berserikat dan berkumpul seperti yang tertera di dalam Pasal 28 UUD 1945. Namun, untuk menyinkronkan sistem kepartaian dengan sistem pemerintahan yang kita anut. Tak hanya secara teori, bahkan secara praktik bahwa sistem presidensial tidak akur bilamana dikombinasikan dengan sistem multipartai apalagi multipartai yang tidak sederhana seperti yang kita anut pasca tumbangnya rezim orde baru. Secara teori, idealnya memang dua partai, namun realitasnya karena masyarakat kita majemuk, maka itu tidaklah mungkin. Paling tidak, partai yang ada di DPR adalah 4 sampai 6 partai. Jadi lebih mudah “sepakat untuk sepakatnya”. Kalau hari ini 10 partai, tentu “sepakat untuk tidak sepakatnya” yang lebih banyak. Namun lagi-lagi, semuanya itu tergantung kesepakatan DPR dan Presiden. Sebab, baik secara akademik, belum tentu menjadi pilihan DPR dan Presiden. Apalagi kalau kesepakatan itu hanya didekatkan dengan kepentingan sesaat, “kamu dapat apa dan aku dapat apa”. PENUTUP
Adapun beberapa hal yang dapat direkomendasikan di dalam tulisan ini, yaitu: Hendaknya Presiden konsisten menjalankan sistem presidensial yang kita anut. Apalagi di dalam UUD 1945 posisi Presiden adalah posisi yang kuat dan tidak mudah dijatuhkan. Karena itu, Presiden bekerja saja dan jadikan jabatan itu sebagai amanah. Hendaknya DPR, Presiden, dan MPR memilih sistem kepartaian dan sistem pemilu yang cocok dengan sistem presidensial yang kita anut. Sebab sistem pemerintahan, sistem kepartaian, dan sistem pemilu adalah tiga hal yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie. Jimly. 2008. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia. PT. Bhuana Ilmu Populer. Jakarta. Chaidir. Ellydar & Fahmi .Sudi. 2010. Hukum Perbandingan Konstitusi. Total Media. Yogyakarta. Fahmi. Khairul (Ed). 2011. Pemilihan Umum dan Kedaulatan Rakyat. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Hajri. Wira Atma . 2016. Quo Vadis Negara Hukum dan Demokrasi Indonesia Ketika Negara Dijalankan di Alam Kepura-puraan. Genta Press. Yogyakarta. http://nasional.harianterbit.com/nasional/2014/09/14/ 8266/42/25/Peran-Mega-Sangat-PentingDalam-Penyusunan-Kabinet-Jokowi-JK. diakses tanggal 5 Juni 2016. http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/16/03/02/o3ej40361-joko para-menteri-yang-suka-ribut. diakses 30 Oktober 2016.
wi-akan-panggil-
http://news.okezone. com/ read/ 2014/10/24/337 /1056294/jokowi-jadikan-kpk-tameng-intervensimegawati. diakses tanggal 5 Juni 2016. http://www. cnnindonesia. com/politik/ 20141027090901-32-8233/ terpental-dari-kabinet/. diakses tanggal 5 Juni 2016.
para-kader-pdip-yang-
http://www. gatra.com/ politik1/85768-eva-sundari.-pramono-anung-dan-ara-gagal-jadimenteri.html. diakses tanggal 5 Juni 2016.
Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 46
ISBN 978-979-3793-71-9
https: //id. wikipedia .org/ wiki/ Pemilihan_ umum_ legislatif_ Indonesia_ 2014. diakses tanggal 29 Mei 2016. Isra. Saldi 2010. Pergeseran Fungsi Legislasi. Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Isra.
Saldi. “Kegagalan Menjaga Konstitusi”. http://www.saldiisra.web.id/index. Option=com_content&view=article&id=567:-kegagalan-menjagakonstitusi&catid=1:artikel komp s&Itemid=2. diakses tanggal 8 Desember 2016.
php?
Koto. Alaidin 2009.Islam. Indonesia dan Kepemimpinan Nasional. PT. Ciputat Press. Jakarta. 2009. Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai Dengan Urutan Bab. Pasal. dan Ayat. Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta. 2010. Soesatyo. Bambang. 2015. Republik Komedia ½ Presiden. Wahana Semesta Intermedia. Jakarta. Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 194. 2010. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Latar Belakang. Proses. dan Hasil Pembahasan 1999-2002. Buku I Latar Belakang. Proses. dan Hasil Perubahan. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Jakarta. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yuda. Hanta. 2010. Presidensialisme Setengah Hati. dari Dilema ke Kompromi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia” 47