Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia Indonesian Journal of Psychiatry and Mental Health
ISBN: 0000000
J P K J I , Vo l u m 1 ( 1 ) , Ag u s t u s 2 0 1 6
Volum 1, nomor 1 Agustus 2016 pp 1 - 35
Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia Indonesian Journal of Psychiatry and Mental Health Editorial: Disfungsi Kognitif pada Gangguan Depresi Mayor Hubungan Antara Fungsi Eksekutif Dengan Performa Fungsi Orang Dengan Skizofrenia di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Ungkapan Stres untuk Gejala Cemas dan Depresi pada Pasien di Puskesmas Gambir Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Triage Assestment System: Crisis Intervention (Tas-Ci) Komorbiditas Fisik pada Gangguan Bipolar di R.S. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Forensic Risk Assessment pada Dua Buah Kasus Terkait Dengan Tindak Pembunuhan Kompleksitas Skrining dan Diagnosis Gangguan Bipolar pada Anak dan Remaja Psikoanalisis dan Kita, Merdeka Tidak Gampang
Diterbitkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Alamat sekretariat: Gedung Cimandiri One Lantai 4 Jl. Cimandiri No.7, RT.5, Cikini, Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016
s u s u n a n r e da k s i Penanggung Jawab
Peer Review
Ketua Pengurus Pusat PDSKJI
dr. Albert Maramis, SpKJ(K) (Sie Publikasi PP PDSKJI) dr. AAAA. Kusumawardhani, SpKJ (Seksi Skizofrenia)
Pemimpin Usaha
DR. dr. Limas Sutanto, SpKJ(K) (Seksi Psikoterapi)
PP PDSKJI
dr. Al Bachri Husin, SpKJ(K) (Seksi Psikiatri Adiksi) dr. Hervita Diatri, SpKJ(K) (Seksi Psikiatri Komunitas)
Dewan Redaksi
dr. Charles E. Damping, SpKJ(K) (Seksi Psikogeriatri)
Prof. dr. Sasanto W, SpKJ(K)
dr. Gerald Mario Semen, SpKJ (Seksi Psikiatri Forensik)
dr. Jan Prasetyo, SpKJ(K)
dr. Nalini Muhdi, SpKJ(K) (Seksi Psikiatri Wanita)
Prof. dr. Syamsul Hadi, SpKJ(K)
dr. Ika Widyawati, SpKJ(K) (Seksi Psikiatri Anak dan Remaja)
Prof. Dr. Marlina Mahajudi, SpKJ(K) Prof. DR. Dr. R. Irawati, SpKJ(K), MEpid.
Prof. Dr. dr. Djayalangkara Tanra, SpKJ(K) (Seksi Psikiatri Biologi)
DR. dr. Nurmiati Amir, SpKJ(K)
Prof. Dr. dr. HM Syamsulhadi, SpKJ(K) (Seksi CLP) Dr. dr. Fidiansjah, SpKJ, MPH (Seksi Religi dan Spiritual)
Pemimpin Redaksi
DR. dr. Elmeida Effendi, SpKJ(K) (Seksi Ansietas)
DR. dr. Tjhin Wiguna, SpKJ(K)
DR. dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ (Seksi Psikiatri Budaya)
Sekretaris dr. Khamelia Malik, SpK
Mitra Bestari DR. dr. Elmeida Effendi, SpKJ(K) (Medan) DR. dr. Veranita Pandia, SpKJ(K), MKes (Bandung) dr. Ronny Tri Wirasto, SpKJ (Yogya) dr. Alifiati Fitrikasari, SpKJ (Semarang) Prof. Dr. dr. Aris Sudiyanto, SpKJ(K) (Solo) dr. Nalini Muhdi, SpKJ(K) (Surabaya) dr. Natalia Widiasih, SpKJ(K), MPedKed (Jakarta) dr. Wayan Westa, SpKJ(K) (Bali) DR. dr. Sonny Lisal, SpKJ(K) (Makassar)
i
Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia
ii
da f ta r i s i i
Susunan Redaksi
ii
Daftar Isi
iv
Pedoman Bagi Penulis Editorial
1
Nurmiati Amir
Disfungsi Kognitif pada Gangguan Depresi Mayor
Laporan Penelitian 3
Nindita Pinastikasari
Hubungan Antara Fungsi Eksekutif Dengan Performa
Khamelia Malik
Fungsi Orang Dengan Skizofrenia di RSUPN Dr. Cipto
Heriani
Mangunkusumo
Nurmiati Amir Suryo Dharmono
8
Chrisna Mayangsari
Ungkapan Stres untuk Gejala Cemas dan Depresi pada Pasien
Petrin Redayani
di Puskesmas Gambir
Hervita Diatri AAAA. Kusumawardhani
14
Taufik Ashal
Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Martina Wiwie
Triage Assestment System: Crisis Intervention (Tas-Ci)
Petrin Redayani Irmia Kusumadewi Khamelia Malik Fransiska Kaligis
21
Iriawan Rembak Tinambunan
Komorbiditas Fisik pada Gangguan Bipolar di R.S. Dr. H.
Richard Budiman
Marzoeki Mahdi Bogor
Nurmiati Amir Profitasari Kusumaningrum
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016
Laporan Kasus 25
Natalia Widiasih Raharjanti
Forensic Risk Assessment pada Dua Kasus yang Berkaitan
Adhitya Sigit Ramadianto
Dengan Tindak Pembunuhan
Tinjauan Pustaka 30
Tjhin Wiguna
Kompleksitas Skrining dan Diagnosis Gangguan Bipolar pada Anak dan Remaja
Perspektif dalam Psikiatri 33
vii
Limas Sutanto
Psikoanalisis dan Kita, Merdeka Tidak Gampang
Indeks Penulis
iii
iv
Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia
p e d o m a n b ag i p e n u l i s RUANG LINGKUP
ABSTRAK
Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia memuat publikasi naskah ilmiah yang dapat memenuhi tujuan penerbitan jurnal ini, yaitu menyebarkan teori, konsep, konsensus, petunjuk praktis untuk praktek psikiater Indonesia. Tulisan hendaknya memberi informasi baru, menarik minat dan dapat memperluas wawasan kesehatan jiwa, serta memberi alternatif pemecahan masalah, diagnosis, terapi, dan pencegahan. Jenis terbitan yang dimuat berupa tinjauan pustaka, laporan penelitian dan laporan kasus (case report).
Naskah tinjauan pustaka, artikel penelitian, laporan kasus, dan perspektif dalam psikiatri hendaknya disertai abstrak, ditulis pada halaman pertama dibawah nama dan institusi. Panjang abstrak 250 kata dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
BENTUK NASKAH Naskah disusun menggunakan bahasa Indonesia, diketik spasi ganda dengan garis tepi minimum 2,5 cm. Panjang naskah tidak melebihi 10 halaman yang dicetak pada kertas A4 (21X30cm). Kirimkan 2 (dua) kopi naskah beserta CD (Microsoft Word) atau melalui e-mail. Naskah dikirimkan ke email:
[email protected] JUDUL DAN NAMA PENGARANG Judul ditulis lengkap dan jelas, tanpa singkatan, serta dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Nama pengarang (atau pengarang-pengarang) ditulis lengkap disertai gelar akademiknya, institusi tempat pengarang bekerja, dan alamat pengarang serta nomor telpon, fax, atau e-mail untuk memudahkan korespondensi.
TABEL DAN GAMBAR Tabel harus singkat dan jelas, hendaknya judul ditulis diatas dan catatan dibawahnya. Jelaskan semua singkatan yang dipergunakan. Gambar hendaknya jelas, lebih disukai bila telah siap cetak, hendaknya judul gambar ditulis dibawahnya. Asal rujukan tabel atau gambar dituliskan dibawahnya. Tabel dan gambar hendaknya dibuat dengan program PowerPoint 95 atau 97, Free Hand versi 7 atau 8, Photoshop 4 atau 5 (dengan menggunakan format .jpeg). Pembiayaan cetak gambar berwarna menjadi tanggung jawab penulis. DAFTAR PUSTAKA Rujukan didalam nas (teks) harus disusun menurut angka sesuai dengan urutan penampilannya dalam nas, dan ditulis menurut sistem Vancouver. untuk singkatan nama majalah semua nama pengarang bila kurang dari tujuh; bila tujuh atau lebih, tuliskan hanya 3 pengarang pertama dan akhir. Akhir data kepustakaan menjadi tanggung jawab pengarang.
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016
v
Contoh-contoh Penulisan Daftar Rujukan Menurut Gaya Vancouver Di bawah ini diberikan contoh cara penulisan daftar rujukan dalam berbagai bentuk yang sesuai dengan gaya Vancouver edisi tahun 19971: A. ARTIKEL JURNAL BAKU (STANDARD JOURNAL ARTICLE )
Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of cancer patient and the effects of bloodtransfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993:32533.
1.a. Pengarang 6 atau kurang:
8. Tipe artikel yang perlu disebutkan
Mandrelli F, Annino L, Rotoli B. The GIMEMA ALL 0813 trial: analysis of 10-year follow-up. Br J Haematol 1996;92:665-72.
Enzensberger W, Fisher PA. Metronome in Parkinson’s disease [letter]. Lancet 1996;347:1337.
1.b. Pengarang lebih dari 6: Owens DK, Sanders GD, Harris RA, McDonald KM, Heidenreich PA, Dembitzer AD, et al. Cost-Effectiveness of Implantable Cardioverter Defibrillators Relative to Amiodarone for Prevention of Sudden Cardiac Death. Ann Intern Med 1997;126:1-12. 2. Organisasi sebagai pengarang The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical exercise stress testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996;164:282-4.
Clement C, De Bock R. Hematological complications of hantavirus nephropathy (HVN)[abstract]. Kidney Int 1992:42:1285. B. BUKU DAN MONOGRAF LAIN 1. Pengarang pribadi (personal author) Armitage P, Berry G. Statistical Methods in Medical Research. 2nd ed. Oxford (UK):Blackwell Science;1994. 2. Organisasi sebagai pengarang Institute of Medicine (US). Looking at the future of the Medicaid programs. Washington:The Institute;1992.
3. Pengarang tidak disebutkan Cancer in South Africa [editorial]. S Afr Med J 1994;84:15.
3. Buku ajar dengan editor dan bab yang mempunyai pengarang tersendiri Editor lebih dari 6
4. Volume dengan suplemen Aulitzky WE, Despres D, Rudolf G, Aman C, Peschel C, Huber C. Recombinant Interferon Beta in Chronic Myelogenous Leukemia. Semin Hematol 1993;30 Suppl 3:14-6. 5. Volume dengan bagian (part) Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6. 6. No penerbitan majalah (issue) tanpa nomor volume
Hillman S. Iron Deficiencies and Other Hypoproliverative Anemias. In: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, et al., editors. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 14th ed. New York: McGraw-Hill; 1998. p.634-7 Editor sampai dengan 6 Lee GR. Iron Deficiency and Iron - Deficiency Anemia. In: Lee GR, Foerster J, Lukens J, Paraskevas F, Greer JP, Rodgers GM, editors. Wintrobe’s Clinical Hematology. 10th ed. Baltimore: Williams & Wilkins; 1999. p. 979 - 1010. Catatan: gaya Vancouver sebelumnya memakai titik koma, bukan p sebelum nomor halaman.
Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995;(320):110-4
4. Prosiding pertemuan ilmiah
7. Tidak ada nomor penerbitan majalah (issue) maupun nomor volume
Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology:1995 Oct 15-19;
Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent advances in clinical neurophysiology.
vi
Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia
Kyoto, Japan. Amsterdam:Elsevier; 1996.
C. BAHAN PUBLIKASI LAIN
Yang tidak diterbitkan oleh penerbit resmi
1. Artikel surat kabar
Bakta IM. Aspek Imunologi anemia aplastik. Naskah Lengkap Kongres Nasional Ke-VIII Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia; 11 - 13 Oktober 1997; Surabaya, Indonesia.
Mullery S. Doctors must figth child labor.Asian Medical News September 1996; Sect. A:1 (col.1-3).
5. Makalah dalam suatu pertemuan ilmiah Bengstsson S, Solheim BG, Enforcement of data protection, privacy and security in medical informatics. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, Rienhoff O, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10;Geneva, Switzerland. Amsterdam: NorthHolland; 1992. p. 1561-5. 6. Laporan teknis atau laporan ilmiah Smith P, Golladay K. Payment for durable medical equiptment billed during skilled nursing facility stays. Final report. Dallas (TX): Dept. of Health and Human Services (US). Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct. Report No.: HHSI-GOEI69200860.WHO ScientificGroup. Intestinal protozoan and helminthic infection. Geneva: WorldHealth Organization; 1981. Technical Report Series No. 666. 7. Disertasi dan tesis Kaplan SJ. Post-hospital home health care: the elderly access and utilization. [dissertation]. St Louis (MO): Washington Univ.; 1995. Sutarga IM. Faktor-faktor risiko terjadinya anemia ibu hamil di wilayah Puskesmas Abiansemal II Kecamatan Abiansemal Kab, Dati II Badung, Bali [thesis]. Surabaya: Universitas Airlangga; 1994.
Joesoef D. Mendambakan Utopia. Kompas 1998 Jan 8;Sect. A:4(col.5). 2. Artikel jurnal dalam format elektronik Morse SS. Factors in the emergence of infectious diseases. Emerg Infect Dis [serial online] 1995 JanMar [cited 1996 Jun 5];1(1):[24 secreens]. Available from: URL: http://www.cdc.gov/ncidod/EID/eid.htm. 3. Monograf dalam format elektronik CDI, clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, Mailbach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0 San Diego: CMEA; 1995. 4. File komputer Hemodynamics III. The ups and downs of hemodynamics [computer program]. Version 2.2. Orlando (FL): Compuiterized Educational Systems; 1993. D. BAHAN YANG AKAN DIPUBLIKASIKAN 1. In press Leshner AI. Molecular mechanisms of coccaine addiction. N Eng J Med. In press 1996
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016
1
editorial
Disfungsi Kognitif pada Gangguan Depresi Mayor Nurmiati Amir1 Departemen Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. E-mail:
[email protected]
1
Kata kunci: gangguan depresi mayor, disfungsi kognitif, antidepresan
PENDAHULUAN Gangguan depresi mayor (GDM) merupakan penyakit kronik dengan angka kekambuhan yang tinggi dan menjadi beban ekonomi bagi penderita dan keluarga. Salah satu penyebab beban ekonomi adalah karena adanya disabilitas untuk bekerja, apalagi disabilitas tersebut biasanya terjadi pada kelompok usia kerja. Pada tahun 2020, GDM diperkirakan akan menjadi penyakit dengan beban terbesar kedua secara global.1 Depresi meningkatkan risiko terjadinya disfungsi kognitif. Sebaliknya, disfungsi kognitif juga berperan dalam kerentanan seseorang untuk menderita depresi. Disfungsi kognitif memberikan dampak yang buruk terhadap luaran fungsi penderita, baik fungsi sosial maupun pekerjaan. Disfungsi kognitif dapat pula ditemui pada fase remisi atau sebagai gejala sisa depresi. Sebagai gejala sisa, disfungsi kognitif menyebabkan rentannya seseorang mengalami kekambuhan. Semakin sering kambuh, maka semakin buruk fungsi kognitif, fungsi sosial, perkerjaan, dan kualitas hidup penderita.2 Penderita depresi dapat mengalami defisi berbagai fungsi kognitif, seperti atensi, pembelajaran verbal-nonverbal, memori jangka pendek, memori kerja, pengolahan visual dan auditorik, fungsi eksekutif, pembelajaran, kecepatan pengolahan informasi, dan fungsi motorik.3 ASPEK NEUROBIOLOGI DISFUNGSI KOGNITIF Gangguan Struktur Otak Sirkuit frontal-striatal-talamus dan limbik-talamus-frontal memiliki peranan penting dalam patogenesis depresi. Selain mengatur mood dan perilaku, sirkuit tersebut juga mengatur kognitif.4 Hiperintensitas massa putih dan abnormalitas massa abu-abu di dorsolateral prefrontal korteks (DLPFK), korteks singulat, korteks orbito-frontal, dan hipokampus sering dilaporkan pada kasus depresi. Gangguan pada regio otak itu dihubungkan dengan timbulnya disfungsi kognitif pada depresi.5 Gangguan Fungsional Otak Studi dengan neuroimaging fungsional yang dilakukan pada subjek dengan depresi menunjukkan adanya gangguan fungsional di korteks prefrontal saat subjek melakukan tugas-tugas kognitif apabila dibandingkan dengan kontrol. Subjek dengan depresi yang melakukan pemeriksaan kognitif dengan tingkat kesulitan rendah memperlihatkan adanya hiperaktivitas di DLPFK.6 Brain-Derived Neurotrophic factor (BDNF) Pada kasus depresi terjadi penurunan Brain-Derived
Neurotrophic Factor (BDNF) yang berperan dalam plastisitas neuron, pertumbuhan sinaps, dan neurogenesis. Berkurangnya jumlah BDNF dapat menyebabkan atrofi dan apoptosis neuron di hipokampus dan korteks prefrontal. Kedua regio tersebut berperan dalam fungsi kognitif sehingga disfungsi kognitif pada kasus depresi sering dikaitkan dengan berkurangnya BDNF pada regio tersebut.7 DISFUNGSI KOGNITIF DAN FUNGSI PEKERJAAN Gejala depresi yang terjadi pada pasien dapat berbeda-beda. Sebagai contoh, depresi tipe melankolis akan mengalami defisit memori serta fungsi eksekutif yang lebih berat dibandingkan dengan yang bukan melankolis.8 Beratnya gejala, durasi episode depresi, serta adanya komorbiditas, berhubungan terbalik dengan fungsi kognitif. Semakin banyak episode depresi, maka semakin lama durasi tidak terobatinya depresi. Semakin banyak komorbiditas, maka semakin buruk fungsi kognitif. 9 Sebanyak 79% pasien dengan GDM melaporkan bahwa fungsi atau produktivitas pekerjaannya berkurang. Berkurangnya produktivitas kerja dikaitkan dengan disfungsi kognitif, misalnya kesulitan konsentrasi, buruknya memori, kesulitan memahami percakapan, serta ketidakmampuan berpikir jernih.10 Disfungsi kognitif merupakan gejala residual yang sering dikeluhkan oleh pasien dengan depresi yang sudah mengalami remisi gejala. Sebanyak 30%-50% pasien dengan depresi yang sudah mengalami remisi gejala melaporkan bahwa gejala residual kognitif yang dideritanya memengaruhi fungsinya.11 PENILAIAN DISFUNGSI KOGNITIF PADA GDM Karena adanya ketidaksesuaian antara keluhan subjektif dengan ukuran objektif dari disfungsi kognitif, skrining fungsi kognitif secara klinis perlu dilakukan. Terdapat beberapa tes tunggal dan tes baterai yang dapat digunakan untuk menilai fungsi kognitif.12 Terapi dapat memperbaiki gejala mood namun disfungsi kognitif dapat tetap terdeteksi meskipun gejala mood sudah remisi. Sebuah penelitian yang dilakukan selama tiga tahun melaporkan bahwa pada fase akut sebanyak 94% subjek mengeluhkan adanya disfungsi kognitif dan keluhan ini menetap pada 44% subjek, meskipun gejala mood-nya sudah mengalami remisi selama terapi.13 Oleh karena itu, adanya disfungsi kognitif pada GDM perlu dievaluasi, baik pada fase akut maupun remisi, agar dapat
2
Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia
dilakukan tata laksana yang baik. Terapi yang komprehensif (farmakologi, psikoterapi, dan rehabilitasi kognitif) diperlukan agar disfungsi kognitif pada GDM dapat membaik sehingga fungsi pekerjaan, sosial, dan kualitas hidup juga dapat membaik. MANFAAT ANTIDEPRESAN Sebagian besar antidepresan dikaitkan dengan beberapa perbaikan kognitif pada uji neuropsikologi bila dibandingkan dengan plasebo. Terhadap perbaikan pembelajaran verbal, sertralin lebih superior bila dibandingkan dengan nortriptilin. Akan tetapi, sertralin tidak efektif untuk ranah kognitif lainnya.14
DAFTAR RUJUKAN 1. Murray CJ, Lopez AD. Evidence-based health policy-lessons from the Global Burden of Disease Study. Science. 1996;274:740-3. 2. Gotlib IH, Joormann J. Cognition and depression: current status and future directions. Annu Rev Clin Psychol. 2010;6:285–312. 3. McIntyre RS, Cha DS, Soczynska JK, Woldeyohannes HO, Gallaugher LA, Kudlow P, et al. Cognitive deficits and functional outcomes in major depressive disorder: determinants, substrates, and treatment interventions. Depress Anxiety. 2013;30:515–27.
4. Price JL, Drevets WC. Neurocircuitry of mood disorders. Neuropsychopharmacology. 2010; 35:192–216. 5. Kempton MJ. Structural neuroimaging studies in major depressive disorder: meta-analysis and comparison with bipolar disorder. Arch Gen Psychiatry. 2011;68:675-680.
Sebuah penelitian lainnya yang dilakukan pada pasien dewasa dengan depresi melaporkan bahwa duloksetin lebih efektif bila dibandingkan dengan esitalopram dalam perbaikan memori kerja dan episodik. Perbaikan terjadi pada minggu ke-24 (fase akut), 24 minggu setelah fase remisi (pulih), dan tetap berlanjut hingga pasien tidak lagi mendapat obat.15
6. Holmes AJ, Pizzagalli DA. Spatio temporal dynamics of
error processing dysfunctions in major depressive disorder. Arc Gen Psychiatry. 2008;65:179–88.
Sebuah penelitian yang dilakukan selama delapan minggu terhadap pasien lansia dengan tujuan mengevaluasi luaran empat ranah kognitif, yaitu memori, pembelajaran verbal, atensi selektif, dan fungsi eksekutif melaporkan bahwa terjadi perbaikan bermakna dari semua skor kognitif yang diuji pada pasien yang menerima duloksetin dibandingkan dengan plasebo. Efek tersebut lebih terlihat pada pembelajaran verbal dan mengingat.16
8. Withall A, Harris LM, Cumming SR. A longitudinal study of cognitive function in melancholic and non-melancholic subtypes of major depressive disorder. J Affect Disord. 2010;123:150–7.
Penelitian yang dilakukan pada lansia dengan GDM menyatakan bahwa vortioksetin (multimodal antidepresan yang bekerja sebagai serotonin reuptake inhibitor, agonis 5-HT1A, serta antagonis 5-HT3 dan 5-HT7) dan duloksetin memberikan manfaat yang bermakna terhadap pembelajaran verbal dan memori bila dibandingkan dengan plasebo. Hanya vortioksetin yang mempunyai efek bermakna pada kecepatan pengolahan informasi dan fungsi eksekutif. Vortioksetin juga bermanfaat untuk fungsi kognitif yang diukur secara objektif dan subjektif. Manfaat klinis vortiosetin tidak saja sebagai antidepresan, tetapi juga memiliki efek prokognitif. 17 MANFAAT PSIKOTERAPI Psikoterapi dapat membantu memperbaiki disfungsi kognitif pada pasien dengan depresi. Cognitive Behavior Therapy (CBT) tidak hanya memperbaiki gejala depresi tetapi juga fungsi sosial dari pasien dengan depresi. Perbaikan tersebut diduga dimediasi oleh perbaikan fungsi kognitif. Sebuah penelitian dilakukan oleh Dunn et al18 selama dua tahun di Layanan Primer dengan tujuan melihat manfaat psikoedukasi dibandingkan dengan psikoedukasi yang ditambah bersama CBT pada pasien GDM yang rekuren (≥empat episode). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kelompok yang mendapat psikoedukasi ditambah dengan CBT memperlihatkan perbaikan pada disfungsi kognitif (ragu-ragu, kurang konsentrasi, berpikir lambat, dan berpikir tidak jernih) secara bermakna.18
7. Frodi T, Schule C, Schmitt G, Born C, Baghai T, Zill P, et al. Association of the brain-derived neurotrophic factor Val66Mett polymorphism with reduced hippocampal volumes in major depression. Arch Gen Psychiatry. 2007;64: 410-6.
9. Hasselbalch BJ, Knorr U, Hasselbalch SG, Gade A, Kessing LV. The cumulative load of depressive illness is associated with cognitive function in the remitted state of unipolar depressive disorder. Eur Psychiatry. 2013;28:349–355.
10. Buist-Bouwman MA, Ormel J, de Graaf R, de Jonge P, van Sonderen E, Alonso J, et al. Mediators of the association between depression and role functioning. Acta Psychiatr Scand. 2008;188:451–8. 11. Fava M, Graves LM, Benazzi F, Scalia MJ, Iosifescu DV, Alpert JE, et al. A cross-sectional study of the
prevalence of cognitive and physical symptoms during long-term
treatment. J Clin Psychiatry. 2006;67:1754–9. 12. Yatham LN, Torres IJ, Malhi GS, Frangou S, Glahn DC, Bearden CE, et al. The International Society for Bipolar Disorders—Battery for Assessment of Neurocognition (ISBD-BANC). Bipolar Disord. 2010;12:351–63 13. Conradi HJ, Ormel J, de Jonge P. Presence of individual (residual) symptoms during depressive episodes and periods of remission:
a 3-year prospective study. Psychol Med. 2011;41:1165–74. 14. Constant EL, Adam S, Gillain B, Seron X, Bruyer R, Seghers A. Effects of sertraline on depressive symptoms and attentional and executive functions in major depression. Depress Anxiety. 2005;21:78–89.Herrera-Guzman I, Gudayol-Ferré E, HerreraAbarca JE, Herrera-Guzmán D, Montelongo-Pedraza P, Padrós Blázquez F, et al. Major depressive disorder in recovery and neuropsychological functioning: effects of selective serotonin reuptake inhibitor and dual inhibitor depression treatments on residual cognitive deficits in patients with major depressive disorder in recovery. J Affect Disord. 2010;123:341–50. 15. Raskin J, Wiltse CG, Siegal A, Sheikh J, Xu J, Dinkel JJ, et al. Efficacy of duloxetine on cognition, depression, and pain in elderly patients with major depressive disorder: an 8-week, double-blind, placebo-controlled trial. Am J Psychiatry. 2007;164:900–9. 16. Stahl SM. Antidepressant. In: Stahl’s essential psychopharmacology: Neuroscientific basis and practical application. 4th ed. 2013. p.365. 17. Dunn TW, Vittengl JR, Clark LA, Carmody T, Thase ME, Jarrett RB. Change in psychosocial functioning and depressive symptoms during acute-phase cognitive therapy for depression. Psychol Med. 2011;25:1–10.
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016
3
laporan penelitian
Hubungan antara Fungsi Eksekutif dengan Performa Fungsi Orang dengan Skizofrenia di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Nindita Pinastikasari1; Khamelia Malik2; Heriani2; Nurmiati Amir2; Surya Dharmono2 1 Rumah Sakit Jiwa Rajiman Wedioningrat, Jalan Ahmad Yani, Lawang, Malang, Jawa Timur. E-mail:
[email protected] 2 Departemen Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Abstrak Latar Belakang: Menurut World Health Organization, populasi orang dengan skizofrenia (ODS) di dunia adalah 7 dari 1000 orang. Kelly (2002) menyatakan bahwa 25% dari total 138 ODS mengalami gangguan fungsi eksekutif. Pada meta-analisis Green (1996) dinyatakan bahwa fungsi eksekutif dapat memengaruhi performa fungsi. Telah ada penelitian Desmiarti (2010) yang meneliti hubungan antara defisit fungsi memori verbal dengan performa fungsi ODS. Namun, belum ada penelitian yang meneliti hubungan antara fungsi eksekutif dengan performa fungsi ODS di Indonesia. Metode: Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan potong lintang pada 160 ODS di Poliklinik Jiwa Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Structured Clinical Interview For the DSM-IV Axis I Disorders, Positive and Negative Symptoms Scale Excitement Components, Extrapyramidal Syndrome Rating Scale, tes kemampuan membaca, Trail Making Test (TMT) A dan B, Personal and Social Performance Scale (PSP). Hasil: Pada penelitian ini didapatkan adanya hubungan bermakna antara fungsi eksekutif (TMT B) dengan performa fungsi (PSP), yaitu p=0.014 dengan hasil analisis korelasi Spearman p=0.000 dan koefisien korelasi r=-0.345. Hasil analisis multivariat menunjukkan adanya hubungan bermakna antara pendidikan (OR=0.294, p=0.016), gejala penyakit (OR=0.271 ,p=0.006), status pernikahan (OR=0.166, p=0.002), pekerjaan (OR=0.079, p=0.000), jenis antipsikotika (OR=0.067, p=0.001) dengan performa fungsi (PSP). Kesimpulan: Semakin tinggi skor TMT B (fungsi eksekutif), maka semakin rendah skor PSP (performa fungsi) ODS. Defisit fungsi eksekutif (TMT B) berhubungan langsung dengan performa fungsi (PSP). Faktor yang juga berpengaruh pada performa fungsi (PSP) adalah pendidikan, gejala penyakit, status pernikahan, pekerjaan, dan jenis antipsikotika. Instrumen TMT B dapat lebih spesifik menilai fungsi eksekutif pada kelompok ODS sehingga dapat digunakan sebagai alat deteksi defisit fungsi kognitif di layanan psikiatri. Kata kunci: Orang dengan skizofrenia, fungsi eksekutif, performa fungsi.
Relationship Between Executive Function and Functional Performance in Schizophrenic Patients at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital Nindita Pinastikasari1; Khamelia Malik2; Heriani2; Nurmiati Amir2; Surya Dharmono2 Abstract Introduction: Based on World Health Organization, schizophrenic population in the world is 7 per 1000 people. Kelly (2002) said that 25% from 138 people with schizophrenia experienced executive function disorder. Green meta-analysis (1996) stated that executive function can influence functional performance. There is a research conducted by Desmiarti (2010) that examined relationship between verbal memory function deficit and functional performance in schizophrenic patients. However, there is no research that examines relationship between executive function and functional performance in schizophrenic patients in Indonesia. Method: This research was done by using cross-sectional design from 160 people with schizophrenia at Poliklinik Jiwa Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Instruments used in this research were Structured Clinical Interview For the DSM-IV Axis I Disorders, Positive and Negative Symptoms Scale Excitement Components, Extrapyramidal Syndrome Rating Scale, reading ability test, Trail Making Test (TMT) A and B, Personal and Social Performance Scale (PSP). Result: There is a significant relationship in this research between executive function (TMT B) and functional performance (PSP) with p=0.014. Spearman correlation analysis showed p=0.000 and correlation coefficient r=-0.345. There are significant relationships in this multivariate analysis of research between education (OR=0.294, p=0.016), schizophrenic symptoms (OR=0.271, p=0.006), marital status (OR=0.166, p=0.002), job (OR=0.079, p=0.000), antipsychotics (OR=0.067, p=0.001) and functional performance (PSP). Conclusion: The higher TMT B score (executive function), the lower PSP score (functional performance) of people with schizophrenia. Executive function deficit (TMT B) have a direct relation with functional performance (PSP). Other factors that have influence on functional performance (PSP) are education, schizophrenic symptoms, marital status, job, and antipsychotics. TMT B instrument was more specific to assess executive function at schizophrenic group, therefore TMT B can be used as a detection tool of cognitive function deficit in psychiatric care. Keyword: Schizophrenic people, executive function, functional performance.
PENDAHULUAN Orang dengan skizofrenia yang mengalami gangguan pada proses pikir, persepsi dan mood afek dalam waktu yang lama dapat mengalami kemunduran fungsi kognitif.1 Defisit fungsi kognitif pada orang dengan skizofrenia menyebabkan terganggunya adaptasi dalam kehidupan
sehari-hari karena berkaitan dengan keakuratan penerimaan dan proses informasi.2,3 Palmer (1997) menemukan bahwa terjadi gangguan fungsi kognitif pada ODS sebesar 75% dan komponen fungsi kognitif yang terganggu adalah atensi, memori, motorik, fungsi eksekutif, serta bahasa.4 Pada pemrosesan informasi dan emosi diperlukan kelima
Alamat Korespondensi: dr. Khamelia Malik, SpKJ; Staf Pengajar Departemen Medik Ilmu Kesehatan Jiwa, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta Rumah Sakit Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta. E-mail:
[email protected]
4
Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia
komponen kognisi tersebut untuk membentuk suatu perilaku yang terintegrasi.2,3 Hatfield (1988) menyatakan bahwa 72% ODS mengalami isolasi sosial dan 64% tidak mampu merawat diri sendiri karena terganggunya performa fungsi personalnya. Performa fungsi terdiri dari empat aspek, yaitu perawatan diri, aktivitas yang bermanfaat secara sosial, hubungan personal dan sosial, serta perilaku mengganggu dan agresif.5,6 Keempat aspek performa fungsi tersebut membutuhkan fungsi kognitif yang adekuat. Defisit neurokognitif berhubungan dengan luaran fungsi pada skizofrenia. Penilaian kognisi global menunjukkan adanya hubungan yang kuat dengan aktivitas sehari-hari sebesar 48%. Meta-analisis Green (1996) yang mengkaji tentang prediksi neurokognitif khususnya fungsi eksekutif terhadap luaran fungsi ODS dengan total sampel sebanyak 1002 didapatkan nilai p<0,001 dan r=0.23.7 Hal tersebut mendasari penulis untuk meneliti lebih dalam tentang hubungan antara fungsi eksekutif dengan performa fungsi ODS di Indonesia.8 TINJAUAN TEORI Fungsi eksekutif adalah kemampuan fungsi intelektual manusia tertinggi dalam melaksanakan keputusan sesuai masalah. Proses fungsi eksekutif antara lain: 1. Perumusan tujuan, yaitu proses kompleks seseorang dalam menentukan sesuatu yang diperlukannya dengan membuat konseptualisasi dan realisasi sesuai kebutuhan.9,10 Kapasitas seseorang dalam merumuskan tujuan dipengaruhi oleh niat, motivasi, dan kesadaran seseorang baik secara psikologis maupun fisik, serta hubungan seseorang dengan sekitarnya.11 2. Perencanaan, yaitu proses menentukan, mengorganisasi (keterampilan, materi, dan sumber daya), membuat pilihan, dan menyusun kerangka kerja untuk melaksanakan perencanaan.9,10,11 3. Pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan berdasarkan perencanaan. Bentuk dari aktivitasnya adalah penerjemahan niat atau perencanaan melalui suatu aktivitas yang produktif, melakukan sendiri tindakan awal, pengelolaan, penggantian, dan penghentian serangkaian perilaku kompleks secara teratur dengan cara yang terintegrasi. Aktivitas ini berkaitan dengan motivasi, pengetahuan, atau kapasitas terhadap performa aktivitasnya.11 4. Performa efektif, yaitu kemampuan memonitor, mengoreksi, mengatur intensitas waktu, dan aspek kualitatif lain yang diperlukan untuk melaksanakan perencanaan.9,10,11 Salah satu alat tes untuk menilai fungsi eksekutif yaitu trail making test part B. Tes ini dapat digunakan untuk menilai pelaksanaan aktivitas seseorang dalam mencapai tujuan berdasarkan perencanaan. Pada tes ini dinilai niat verbal dan perencanaan, serta tindakan seseorang dalam melakukan kegiatan yang bertujuan atau pergerakan yang kompleks.11 Diagnosis skizofrenia dapat ditegakkan bila terdapat hilangnya fungsi pekerjaan, kemandirian, dan sosial. Pengukuran fungsi pada ODS didasarkan pada perjalanan gangguan, terapi dan luaran rehabilitasi, serta faktor biososial. Disabilitas fungsi dinilai berdasarkan tiga dimensi fungsi, yaitu kapasitas fungsi,
performa fungsi, dan luaran fungsi.12 Performa fungsi atau kompetensi adalah kemampuan seseorang menunjukkan kemampuannya melalui performa dalam menyelesaikan kapasitas fungsi atau tugas kehidupannya.12 Neurokognisif yang diantaranya adalah fungsi eksekutif memiliki efek langsung pada performa fungsi seseorang didukung oleh kognisi sosial yang berfungsi sebagai mediator antara neurokognisif, dalam hal ini fungsi eksekutif, dengan performa fungsi.13 Pada penelitian ini, yang digunakan untuk mengukur performa fungsi adalah instrumen personal and social performance scale. METODOLOGI PENELITIAN Desain penelitian kuantitatif ini menggunakan rancangan penelitian potong lintang untuk melihat hubungan antara fungsi eksekutif dengan performa fungsi orang dengan skizofrenia. Penelitian dilakukan di Poli Jiwa Dewasa RSUPN Cipto Mangunkusumo (PJD RSCM) Jakarta sejak tanggal 1 September 2014 sampai dengan 14 April 2015. Sebanyak 160 subjek telah berpartisipasi dalam penelitian ini. Semua subjek merupakan penderita skizofrenia rawat jalan di PJD RSCM dan dipilih dengan non probability sampling yang terbaik yaitu consecutive sampling serta memenuhi kriteria inklusi penelitian. HASIL PENELITIAN Karakteristik Demografi Hasil analisis univariat terhadap karakteristik demografik pada tabel 1 menunjukkan adanya distribusi data tidak normal sehingga pada analisis usia digunakan median 36.5 tahun dengan minimal usia 18 tahun dan maksimal 59 tahun. Mayoritas subjek adalah laki-laki (108 orang atau 67.5%), masa menjalani pendidikan ≤ 12 tahun dengan pendidikan SD/SMP/SMA sederajat (121 orang atau 75.6%), tidak bekerja (92% atau 57.5%) dan belum menikah (114 orang atau 71.3%). Tabel 1. Karakteristik demografi subjek Variabel Data Karakteristik Demografi Usia Jenis Kelamin - Laki-Laki - Perempuan
Median (SD) atau Frekuensi (%) 36.5 (10.074) 108 (67.5%) 52 (32.5%)
Pendidikan - SD - SMP - SMA Sederajat - Perguruan Tinggi
11 (24.4%) 16 (6.9%) 94 (58.8%) 39 (24.4%)
Pendidikan - >12 Tahun - ≤12 Tahun
39 (24.4%) 121 (75.6%)
Pekerjaan - Bekerja - Sekolah - Tidak Bekerja
63 (39.4) 5 (3.1) 92 (57.5)
Status Pernikahan - Menikah - Cerai - Belum Menikah
29 (18.1) 17 (10.6) 114 (71.3)
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 Tabel 2. Karakteristik penyakit subjek
Tabel 4. Karakteristik terapi subjek
Mean
Median (SD)
Min
Max
Usia Awitan (Tahun)
25.34
23.00 (8.6)
10
52
Durasi Penyakit (Tahun)
11.41
10.00 (8.1)
1
39
Karakteristik Penyakit (Variabel Data Numerik)
Frekuensi Kekambuhan (Kali)
2.13
2.105 (2.1)
0
15
DUP (Bulan)
14.11
12.00 (15.7)
0
72
Tabel 3. Karakteristik penyakit subjek Karakteristik Penyakit (Variabel Data Kategorik)
5
Frekuensi (%)
Gejala Penyakit - Gejala Positif - Gejala Kombinasi
45 (28.1%) 115 (71.9%)
Jenis Skizofrenia - Paranoid - Non Paranoid
144 (90.0%) 16 (10.0%)
Karakteristik Penyakit Hasil analisis karakteristik penyakit subjek disajikan pada tabel 2. Median usia awitan 23 tahun dengan usia minimal 10 tahun dan maksimal 52 tahun. Median durasi penyakit 10 tahun, median frekuensi kekambuhan 2 kali, serta median DUP 12 bulan. Selain itu, gejala penyakit dikelompokkan menjadi dua, yaitu gejala positif dan gejala kombinasi (waham, halusinasi, gejala lain, dan gejala negatif). Pada tabel 3 didapatkan mayoritas gejala penyakit subjek adalah gejala kombinasi dengan jumlah subjek sebanyak 115 (71.9%). Jenis skizofrenia dikelompokkan menjadi dua, yaitu skizofrenia paranoid dan nonparanoid. Mayoritas subjek dalam penelitian ini adalah skizofrenia paranoid sebanyak 144 orang (90.0%). Karakteristik Terapi Karakteristik terapi subjek dalam tabel 4 menunjukkan bahwa subjek dalam penelitian ini mayoritas mendapatkan jenis antipsikotika atipik sebesar 112 subjek (70.0%), tidak mengalami gejala EPS sebesar 116 subjek (72.5%), dan jenis gejala EPS adalah tremor sebesar 24 subjek (15%). Jumlah subjek yang menggunakan obat Trihexyphenidil sebanyak 80 subjek (50%) dan yang tidak menggunakannya sebanyak 80 subjek (50%). Hubungan antara Fungsi Eksekutif dengan Performa Fungsi a. Komparasi Antara Fungsi Eksekutif Dengan Performa Fungsi Analisis bivariat ini menggunakan uji Chi-Square untuk menguji hipotesis komparatif pada variabel data kategorik tidak berpasangan tabel 2x2 dari fungsi eksekutif dan performa fungsi yang disajikan pada tabel 5. Untuk data variabel yang tidak memenuhi syarat uji Chi-Square dilakukan uji Fisher. Berdasarkan hasil analisis bivariat didapatkan adanya hubungan bermakna antara fungsi eksekutif (TMT B) dengan performa fungsi (PSP) yaitu p=0.014.
Karakteristik Penyakit (Variabel Data Kategorik)
Frekuensi (%)
Jenis Antipsikotika - Tipik - Atipik - Kombinasi (Tipik dan Atipik)
18 (11.3%) 112 (70.0%) 30 (18.8%)
Ekstra Piramidal Sindrom - Tanpa EPS - Dengan EPS
116 (72.5%) 44 (27.5%)
Jenis Ekstra Piramidal Sindrom - Tanpa EPS - Tremor - Sialorhea - Kombinasi Jenis EPS
116 (72.5%) 24 (15%) 5 (3.1%) 15 (9.4%)
Penggunaan Trihexyphenidil - Tanpa Trihexyphenidil - Dengan Trihexyphenidil
80 (50.0%) 80 (50.0%)
Tabel 5. Hubungan antara fungsi eksekutif (trail making test A dan B) dengan performa fungsi (personal and social performance) Fungsi Eksekutif (TMT A dan B)
Performa Fungsi (Skor PSP)
P
Tidak Defisit
Defisit
TMT A - Tidak Defisit - Defisit
47 (44.3%) 16 (29.6%)
59 (55.7%) 38 (70.4%)
0.072
TMT B - Tidak Defisit - Defisit
61 (96.8%) 2 (3.2%)
82 (84.5%) 15 (15.5%)
0.017*
*p<0.05 dengan uji Fisher
b. Korelasi antara Fungsi Eksekutif dengan Performa Fungsi Hasil analisis bivariat yang disajikan pada tabel 6 menggunakan uji korelasi Spearman untuk menguji hipotesis korelatif variabel numerik dengan distribusi data tidak normal dan didapatkan adanya korelasi bermakna (p=0.000) antara fungsi eksekutif (TMT A dan B) dengan performa fungsi (PSP). Korelasi dari kedua variabel ini memiliki kekuatan korelasi (r) lemah dan arah yang negatif atau berlawanan arah (semakin besar nilai satu variabel maka semakin kecil nilai variabel lainnya). Semakin tinggi skor TMT A dan TMT B maka semakin rendah skor performa fungsi subjek. Tabel 6. Korelasi fungsi eksekutif dengan performa fungsi Fungsi Eksekutif Performa Fungsi (PSP)
TMT A
TMT B
Correlation Coefficient (r)
-0.283
-0.345
P
0.000*
0.000*
*p<0.05 dengan uji Spearman
Analisis bivariat juga dilakukan untuk melihat hubungan antara fungsi eksekutif (TMT A dan B) dengan keempat ranah performa fungsi (PSP). Tabel 7 menunjukkan adanya korelasi dengan ranah A (perawatan diri), ranah B (aktivitas yang berguna secara sosial), dan ranah C (hubungan personal dan sosial). Akan tetapi, tidak ditunjukkan adanya korelasi antara fungsi eksekutif dengan ranah D (perilaku mengganggu dan agresif).
Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia
6
Tabel 7. Korelasi fungsi eksekutif dengan empat ranah performa fungsi Fungsi Eksekutif (TMT A dan B) TMT A
TMT B
Tabel 8. Hasil analisis multivariat regresi logistik
Ranah Performa Fungsi (PSP)
Variabel Step 7
Koefisien
S.E
Nilai p
OR
CI 95%
A
B
C
D
Min
Max
Correlation Coefficient (r)
-0.328
-0.250
-0.284
-0.075
Pendidikan
-1.224
.509
.016
.294
.108
.796
P
0.000*
0.001*
0.000*
0.347
Pekerjaan
-2.541
.476
.000
.079
.031
.200
Correlation Coefficient (r)
-0.381
-0.321
-0.344
-0.104
Status Pernikahan
-1.796
.574
.002
.166
.054
.511
P
0.000*
0.000*
0.000*
0.191
Jenis Antipsikotika
-2.709
.849
.001
.067
.013
.352
Gejala Penyakit
-1.307
.478
.006
.271
.106
.690
4.198
.785
.000
66.534
*p<0.05 dengan uji Spearman
Konstanta
c. Analisis Multivariat Pada penelitian ini dilakukan analisis multivariat regresi logistik untuk melihat hubungan antara fungsi eksekutif dan performa fungsi dengan menyingkirkan faktor perancu. Regresi logistik digunakan untuk melihat hubungan antara variabel independen dan dependen dalam skala kategorik. Analisis bivariat sudah dilakukan sebelumnya untuk menentukan variabel yang memenuhi syarat sebagai variabel pada analisis multivariat regresi logistik ini. Variabel dengan nilai p<0.05 yang bisa dianalisis dalam regresi logistik adalah variabel pendidikan (p=0.004), pekerjaan (p=0.000), status pernikahan (p=0.003), gejala penyakit (p=0.001), jenis antipsikotika (p=0.033), durasi (p=0.000), dan fungsi eksekutif TMT B (p=0.014). Variabel lain yang juga dapat dianalisis dalam regresi logistik karena memenuhi syarat p<0.25 adalah ekstrapiramidal sindrom (p=0.228), usia (p=0.053), usia awitan (p=0.198), dan fungsi eksekutif TMT A (p=0.072). Analisis multivariat regresi logistik ini menggunakan cara backward Likehood Ratio. Semua variabel yang memenuhi syarat dimasukkan ke dalam analisis ini dan terjadi dalam tujuh tahap yang disajikan pada tabel 8. Hasil akhir yang didapat adalah pendidikan, gejala penyakit, status pernikahan, pekerjaan ,dan jenis antipsikotika. Kekuatan hubungan dari yang terbesar ke yang terkecil adalah pendidikan (OR=0.294, p=0.016), gejala penyakit (OR=0.271, p=0.006), status pernikahan (OR=0.166, p=0.002), pekerjaan (OR=0.079, p=0.000), dan jenis antipsikotika (OR=0.067, p=0.001). PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis bivariat didapatkan adanya hubungan bermakna antara fungsi eksekutif (TMT B) dengan performa fungsi (PSP). Namun, kedua variabel ini memiliki korelasi yang lemah. Arah korelasi dari kedua variabel ini adalah negatif sehingga menunjukkan bahwa semakin rendah defisit performa fungsi ODS maka semakin tinggi hasil penilaian fungsi eksekutifnya. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan ODS untuk merumuskan tujuan, perencanaan, pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan berdasarkan perencanaan, dan performa efektif. Pada penelitian ini juga didapatkan adanya hubungan antara fungsi eksekutif (TMT A dan B) dengan tiga ranah performa fungsi (PSP) yaitu ranah perawatan diri, aktivitas yang berguna secara sosial, hubungan personal dan sosial. Namun, tidak didapatkan adanya hubungan bermakna antara fungsi eksekutif dengan ranah perilaku mengganggu dan agresif.
Korelasi antara fungsi eksekutif dengan ketiga ranah performa fungsi yang berhubungan adalah lemah dan berarah negatif. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa fungsi eksekutif ini merupakan proses kognitif yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dan masingmasing aspeknya berkaitan dengan ranah-ranah performa fungsi. Adanya korelasi lemah antara fungsi eksekutif dan performa fungsi pada penelitian ini mungkin terjadi karena fungsi eksekutif (TMT B) tidak berperan langsung terhadap performa fungsi. Fungsi eksekutif harus berkombinasi dengan faktor-faktor lain (karakteristik demografik, penyakit, dan terapi) untuk dapat berkorelasi kuat dengan performa fungsi. Hasil analisis multivariat pada penelitian ini menunjukkan bahwa pada awal analisis fungsi eksekutif (TMT A dan B), pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, jenis antipsikotika, gejala penyakit memiliki hubungan bermakna dengan performa fungsi. Namun, pada akhir tahap analisis ketujuh, fungsi eksekutif tidak memiliki korelasi sekuat variabel pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, jenis antipsikotika, dan gejala penyakit terhadap performa fungsi. KESIMPULAN Setelah dilakukan analisis bivariat, penelitian ini mendapatkan adanya hubungan bermakna antara defisit fungsi eksekutif dengan defisit performa fungsi ODS yang berobat jalan di PJD RSCM. Korelasi antara defisit fungsi eksekutif (TMT A dan B) dengan defisit performa fungsi (PSP) adalah lemah dengan arah yang negatif atau berlawanan arah sehingga dapat dinyatakan bahwa semakin besar nilai fungsi eksekutif maka semakin kecil performa fungsinya dan begitu pula sebaliknya. Ranah performa fungsi (PSP) yang berhubungan dengan fungsi eksekutif (TMT A dan B) adalah perawatan diri, aktivitas yang berguna secara sosial, dan hubungan personal sosial. Hasil penelitian ini, setelah dilakukan analisis univariat menunjukkan bahwa proporsi ODS yang mengalami defisit fungsi eksekutif (TMT A dan B) lebih sedikit dibandingkan dengan ODS yang tidak mengalami defisit. Proporsi dari ODS yang mengalami defisit performa fungsi dalam penelitian ini lebih banyak daripada yang tidak mengalami defisit. Pada analisis multivariat juga didapatkan adanya hubungan antara fungsi eksekutif dan performa fungsi dengan menyingkirkan faktor perancu. Namun, korelasi antara keduanya lemah. Pada hasil analisis multivariat, variabel yang
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 lebih berhubungan dengan defisit performa fungsi adalah pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, gejala penyakit, dan jenis antipsikotika. Kekuatan hubungan dari yang terbesar ke yang terkecil adalah pendidikan, gejala penyakit, status pernikahan, pekerjaan, dan jenis antipsikotika. Pada hasil penelitian ini didapatkan bahwa prediksi probabilitas ODS akan mengalami defisit performa fungsi jika ODS memiliki pendidikan SD/SMP/SMA sederajat (masa pendidikan ≤ 12 tahun), gejala penyakit kombinasi (gejala positif, negatif, dan gejala lainnya), belum menikah, tidak bekerja, dan/atau menggunakan antipsikotika tipik atau kombinasi (tipik dan atipik). Prediksi probabilitas ODS mengalami defisit fungsi dengan kelima faktor tersebut akan lebih besar dibandingkan dengan yang tidak memiliki kelima faktor tersebut. Walaupun terdapat hubungan bermakna antara fungsi eksekutif dengan performa fungsi, defisit fungsi eksekutif tidak cukup kuat probabilitasnya untuk orang dengan skizofrenia mengalami defisit performa fungsi. SARAN Peneliti menyarankan pada penelitian lanjutan atau pemeriksaan di layanan psikiatri untuk melakukan wawancara dalam menentukan usia awitan, bentuk awitan, durasi penyakit, frekuensi kekambuhan, dan DUP dengan menggunakan instrumen bantuan wawancara parameter premorbid dan awitan (wawancara diagnosis untuk psikosis). Berdasarkan hasil penelitian, diperlukan adanya prosedur operasional standar pada layanan psikiatri untuk melakukan pemeriksaan fungsi kognitif dengan menggunakan instrumen yang sudah tervalidasi di Indonesia. Selain itu, disarankan juga untuk menggunakan obat antipsikotika atipik di layanan
7
psikiatri. Peneliti juga menyarankan perlunya diadakan penelitian lanjutan yang bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya pengaruh intervensi rehabilitasi kognitif terhadap perbaikan defisit performa fungsi atau fungsi eksekutif ODS sehingga para tenaga profesional kesehatan jiwa dapat melakukan tatalaksana yang mencakup aspek biopsikososial. DAFTAR PUSTAKA 1. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Comprehensive Textbook of Psychiatry. 9th ed. Philadelphia (US): Lippincott Williams and Wilkins; 2009. 2. Hodges JR. Cognitive assessment for clinicians. New York (US): Oxford University Press; 1995. 3. Ronawulan E. Tesis Penentuan Validasi dan Nilai Normal Uji Neurokognitif. Jakarta: Departemen Psikiatri FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo; 2004. 4. O’Carroll R. Cognitive impairment in schizophrenia. Advances Psychiatric Treatment. 2000. 5. Ardi D, Amir N, Budiman R, Ariawan I, Heriani. Penentuan validitas dan reliabilitas personal and social performance scale. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran. 2012 Feb;39(2). 6. Surilena. Intervensi psikososial dalam manajemen skizofrenia. JIWA Majalah Psikiatri. 2005 Jul: 38(3). 7. Green MF, Kern RS, Braff DL, Mintz J. Neurocognitive deficits and functional outcome in schizophrenia: are we measuring the “right stuff ”. Schizophr Bull. 2000;26(1):119-36. 8. Amir N. Makalah gangguan fungsi kognitif pada pasien skizofrenia dan uji neuropsikologiknya. Konfereni Nasional I Skizofrenia; 2000 Oct 11; Jakarta. 9. Cumming JL, Trimble MR. Neuropsychiatry and Behavioral Neurology: Memory and its disorders. Washington DC (US): American Psychiatric Press. 1995. 10. Lezak MD. Neuropsychological Assessment. 2nd ed. New York (US): Oxford University Press; 1983.
Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia
8
laporan penelitian
Ungkapan Stres untuk Gejala Cemas dan Depresi pada Pasien di Puskesmas Gambir (Studi Kualitatif) Chrisna Mayangsari1; Petrin Redayani2; Hervita Diatri2; AAAA. Kusumawardhani2 1 RSUD Bekasi, Jawa Barat. E-mail:
[email protected] 2 Departemen Psikiatri, RSUPN Dr. Cipto Manguskusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Abstrak Latar Belakang: Prevalensi gangguan cemas dan depresi di Jakarta Pusat sebesar 23.0% dan banyak yang mengalami kesenjangan pengobatan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mendalam mengenai ungkapan stres terhadap gejala cemas dan depresi, serta perilaku mencari pertolongan pada pasien yang berobat ke Puskesmas. Metode: Penelitian ini bersifat kualitatif dengan wawancara mendalam pada responden setelah penapisan dengan SRQ. Penelitian dilakukan di Puskesmas Gambir dari September 2013 sampai Juli 2014. Hasil: Data berasal dari tiga responden initial somatizer dengan keluhan somatik multipel. Ungkapan berupa bahasa daerah, bahasa Indonesia, bahasa asing, dan peribahasa. Responden memiliki stresor nyata dan meminta pertolongan ke fasilitas kesehatan, tetapi tidak pernah mengungkapkan keluhan terkait perasaan. Namun, tenaga kesehatan tidak pernah menanyakan perasaan responden. Diskusi: Keluhan somatik mungkin merupakan ungkapan stres yang lebih diterima secara sosial. Ungkapan dipengaruhi bahasa atau kebudayaan seseorang. Pola mencari pertolongan dipengaruhi keluhan fisik sehingga tidak mengakses ke layanan jiwa. Kata kunci: Cemas, depresi, kesenjangan pengobatan, ungkapan stres, budaya, perilaku mencari pertolongan
The Idioms of Distress Related to Anxiety and Depression Symptoms in Patients at Gambir Public Health Centre, Jakarta (Qualitative Study) Chrisna Mayangsari1; Petrin Redayani2; Hervita Diatri2; AAAA. Kusumawardhani2 Abstract Background/Aim: The prevalence of anxiety and depression in Central Jakarta is 23.0% and they have treatment gap. This study aims to gain understanding of idiom of distress for anxiety and depression’s symptoms. It also aims to knows help-seeking behavior of the patients in primary health care. Method: This is a qualitative study by taking in-depth interview of respondents after screening using SRQ. The data were collected at Puskesmas Gambir from September 2013 until July 2014. Result: The data were from three initial somatizer respondents with multiple somatic complaints. The phrase was given in local language, Indonesian language, foreign language, and proverbs. All respondents were known to have real stressors. They chose to ask for help at health facility, but they never told their feelings. Besides, the health personnel never asked them. Discussion: Somatic complaints may constitute the idiom that is socially more acceptable, influenced by personal language and culture. Help-seeking behavior of the patients are based on their physical complaints, therefore there is no access to mental services. Keyword: Anxiety, depression, treatment gap, idiom of distress, cultural, help-seeking behavior
PENDAHULUAN Gangguan cemas dan depresi terjadi di seluruh dunia dan menjadi global burden of disease.1,2 Penelitian yang dilakukan di beberapa layanan kesehatan primer di empat belas negara menunjukkan 24% pengunjung merupakan pasien dengan diagnosis psikiatri.3,4 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, prevalensi gangguan mental emosional (distress psikologis dan distress emosional) penduduk Indonesia yang berusia ≥ 15 tahun sebesar 11.6% atau sekitar 19 juta orang.5,6 Angka prevalensi gangguan serupa untuk penduduk Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta sebesar 14.1% dan tertinggi di Jakarta Pusat sebesar 23.0%.5 Gangguan tersebut menyebabkan hendaya pada kehidupan seseorang yang memengaruhi fungsi pendidikan, sosial ekonomi, dan keluarga, serta dapat meningkatkan angka mortalitas akibat bunuh diri.7
Sayangnya, banyak sekali orang yang mengalami cemas dan depresi tidak mendapatkan terapi atau dikenal dengan istilah kesenjangan pengobatan (treatment gap). Secara global, treatment gap gangguan depresi sebesar 56.3% dan gangguan cemas sebesar 57.5%.7 Menurut perhitungan utilisasi layanan kesehatan jiwa di tingkat primer, sekunder, dan tersier, kesenjangan pengobatan diperkirakan lebih dari 90% atau hanya 10% orang yang mendapat layanan kesehatan jiwa di Indonesia.8 Faktor yang menyebabkan terjadinya treatment gap adalah perilaku orang-orang dengan cemas dan depresi yang tidak tepat dalam mencari pertolongan. Pada umumnya, mereka kurang memiliki pengetahuan tentang gangguan mental dan berpikir bahwa terapi tidak efektif serta merasa gangguan tersebut akan hilang dengan sendirinya. Hal ini juga diperkuat dengan adanya stigma dalam masyarakat terhadap orang
Alamat Korespondensi: dr. Petrin Redayani, SpKJ(K), MPdKed; Staf Pengajar Departemen Medik Ilmu Kesehatan Jiwa, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta, Rumah Sakit Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta. E-mail:
[email protected]
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 dengan gangguan psikiatri. Oleh karena itu, mereka berusaha untuk mengatasi atau menerima masalahnya tanpa bantuan orang lain. Di samping itu, faktor penghambat langsung terhadap layanan kesehatan dan terapi adalah biaya dan akses yang terbatas di banyak negara atau beberapa populasi.7 Terjadinya gangguan mental dapat dipahami melalui suatu model komprehensif multifaktorial. Faktor biologi, genetik, psikologis, dan sosiokultural merupakan faktor-faktor penyebabnya.9,10 Keanekaragaman budaya sebagai bagian dari faktor sosiokultural yang menganggap bahwa gangguan akan hilang dengan sendirinya dapat memengaruhi tampilan klinis gangguan cemas dan depresi.11,12 Hal ini menyebabkan ekspresi, interpretasi, dan respons sosial terkait gejala tersebut pada setiap individu juga bervariasi dan mungkin menyebabkan seseorang tidak dapat mengekspresikan gejala cemas dan depresi yang sebenarnya ingin disampaikan.1 Pasien di negara berkembang atau “non-Western” dan status ekonomi lebih rendah lebih sering mengeluhkan gejala somatik dan menyangkal gejala psikologisnya karena mereka kurang bersedia atau kurang mampu mengekspresikan stres emosionalnya bila dibandingkan dengan pasien di negara maju atau “Western”.13,14 Gejala somatik yang sering ditemukan di layanan kesehatan primer merupakan suatu alternatif “ungkapan stres” yang lebih sering terdapat pada budaya yang memberi stigma pada gangguan psikiatri sehingga pasien mengungkapkan stresnya dengan gejala somatik.15 Hal ini
9
menyebabkan misinterpretasi dalam penegakan diagnosis oleh klinisi dan berdampak terhadap terjadinya treatment gap.16 METODE Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan wawancara mendalam pada responden yang telah diketahui mengalami gejala cemas dan depresi melalui penapisan dengan menggunakan instrumen Self-Reporting Questionnaire (SRQ). Penelitian ini melibatkan tiga orang responden wanita, usia paruh baya, sudah menikah dan memiliki anak, bekerja sebagai ibu rumah tangga, beragama Islam, serta berasal dari suku Jawa dan Betawi. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Gambir dari bulan September 2013 sampai Juli 2014. HASIL Data penelitian diperoleh dari tiga orang responden yang ketiganya tergolong dalam initial somatizer dengan keluhan somatik multipel. Ungkapan yang diberikan berupa bahasa daerah, bahasa Indonesia, peribahasa, dan bahasa asing (Belanda, Inggris). Ketiga responden juga diketahui memiliki stresor biologis, psikologis, sosial-ekonomi, dan agama/ budaya. Seluruh responden memilih untuk meminta pertolongan ke fasilitas kesehatan, tetapi tidak pernah mengungkapkan keluhan terkait perasaannya dan tenaga kesehatan tidak pernah menanyakan perasaan responden.
Tabel 1. Karakteristik responden penelitian wawancara mendalam Inisial Responden Jenis kelamin Usia (tahun)
AB
UY
A
Perempuan
Perempuan49
Perempuan
45
49
53
Suku
Jawa
Jawa
Betawi
Agama
Islam
Islam
Islam
Tamat SMP
Tamat SMP
Tidak tamat SD
Menikah
Menikah
Menikah
Pendidikan terakhir Status pernikahan Jumlah anak (orang) Pekerjaan
2
2
1
Ibu rumah tangga; mengasuh anak
Ibu rumah tangga
Ibu rumah tangga; buruh cuci; dagang
7
13
13
SRQ (jumlah gejala neurosis) Tabel 2. Kutipan wawancara mendalam Inisial Responden
Kutipan
Alasan berobat ke Puskesmas
“Ya karena saya ada penyakitnye. Pada waktu itu saya keluhannya pusing terus ternyata darahnya normal, saya kolesterol.”
Keluhan utama
“Saya pusing terus menerus.”
Persepsi responden mengenai sakitnya
“Saya gak ngerti kalo itu namanya vertigo terus tanya ama Ibu Posyandu katanya itu penyakit vertigo.”
Bahasa/ungkapan stres
“Vertigo. Pusing. Puyeng. Kliyeng. Cengeng. Kenceng. Manteng. Spaneng. Spaning. Nyesek. Engap. Ini hidup tak mau matipun segan. Ngedrop.”
Faktor penyebab sakit
“Posisi saya tidur. Mungkin kepikiran juga. Kalau buat bayar utangnya dia kan abis. Pengen punya tempat teduh. Saya sempet ditinggalin ama dia selama 5 tahun dari posisi saya hamil yang kedua. Pernikahan saya gak disetujuin.”
Hubungan keluhan dengan faktor penyebab sakit
“Bisa jadi ada hubungannye.”
Pernah/tidak menyampaikan ke petugas Puskesmas
“Nggak nyampein kecuali kalo nanya kehidupan saya sehari-hari baru saya jawab. Nanyanya tapi gak yang detaildetail.”
Tindakan untuk mengatasi sakitnya
“Pasti ke Puskemas, minum Neuralgin, ke klinik, ke UGD. Istighfar terus-terusan. Saya takut dibilang ngaco ke dokter kejiwaan.”
Komentar orang lain mengenai kondisi responden
“Sabar aja dan banyak Istighfar. Kalo lagi sakit ke dokter atau ke Puskesmas juga.”
10
Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia
Gambar 1. Analisis responden pertama
Gambar 2. Analisis responden kedua
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016
11
Gambar 3. Analisis responden ketiga
DISKUSI Keluhan somatik multipel merupakan suatu bentuk ungkapan stres yang terkait gejala cemas dan depresi yang lebih dapat diterima secara sosial. Ungkapan stres ini juga dipengaruhi oleh bahasa atau kebudayaan seseorang. Pola perilaku mencari pertolongan yang dipengaruhi keluhan fisik menyebabkan pasien mencari pertolongan medis dan tidak pernah mencari akses di layanan kesehatan jiwa.
Tabel 3. Idiom of distress untuk pusing Istilah/ungkapan
Asal bahasa
Arti/definisi17,18
Puyeng
Dialek Melayu Kata sifat; menunjukkan sakit kepala Jakarta atau pening
Kliyeng
Disebut juga kliyengan; kata sifat; tidak baku; menunjukkan sakit kepala atau pusing
Cengeng
Jawa
Kata sifat; menunjuk pada kaku leher atau tengkuk
Kenceng
Indonesia
Dalam Bahasa Indonesia disebut kencang; merupakan istilah untuk menunjukkan rasa nyeri seperti ditekan pada tension type headache
Manteng Spaneng
Tegang atau merentang Belanda
Spaning
Pikiran yang terlalu tegang Tekanan, tegangan, desakan; biasanya digunakan dalam istilah listrik
Ngebet
Kata yang sepadan adalah nyeri
Kusut
Indonesia
Tersimpul jalin-menjalin tidak keruan (rambut, benang); kacau, tidak teratur; rumit, rusuh dan bingung (hati, pikiran); kata yang sepadan adalah bingung
Bingung
Indonesia
Hilang akal (tidak tahu apa yang harus dilakukan); kurang mengerti, kurang jelas; tidak tahu arah jalan
Tujuh keliling
Indonesia
Merupakan kiasan; pusing sekali, sangat pusing, sangat kebingungan
Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia
12 Tabel 4. Idiom of distress untuk gejala depresi Istilah/ungkapan
Asal bahasa
Arti/definisi17,18
Hidup tak mau matipun segan
Indonesia
Peribahasa; menunjukkan perasaan; hidup yang merana karena terus menerus sakit
Drop
Inggris
Kata benda artinya penurunan, keadaan jatuh; kata kerja artinya turun, menjatuhkan, menurunkan
Malas
Indonesia
Tidak mau bekerja atau mengerjakan sesuatu; segan, tidak suka, tidak bernafsu
Kesel
Indonesia
Kesal; artinya mendongkol, sebal; kecewa (menyesal) bercampur jengkel; tidak suka lagi (jemu)
Tabel 5. Idiom of distress untuk gejala lainnya Istilah/ungkapan
Asal bahasa
Arti/definisi17,18
Krepek-krepek
Jawa
Krepyek-krepyek; suara pada sendi ketika berjalan; gejala pada penyakit rematik
Seueul
Sunda
Rasa kembung dan perih di lambung
Nyesek
Indonesia
Menunjuk pada sesak napas
Engap
Sunda
Susah bernapas, terengah-engah, tersengal-sengal
Gambar 4. Persepsi dan perilaku pencarian pertolongan
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 SIMPULAN Responden tergolong initial somatizer yang mengungkapkan keluhan somatik pada awal wawancara. Responden memiliki pemicu stress berupa biologis, psikologis, sosial-ekonomi, dan agama atau budaya. Ungkapan stres berupa gejala somatik mendorong perilaku mencari pertolongan ke fasilitas medis. Responden tidak menyampaikan gejala psikologisnya dan petugas puskesmas juga tidak menanyakannya. Pengenalan gejala dan akses ke layanan kesehatan jiwa mengalami kesulitan karena kurangnya pengetahuan dan terbatasnya biaya. DAFTAR PUSTAKA 1. Kirmayer LJ. Cultural variations in the clinical presentation of depression and anxiety: Implications for diagnosis and treatment. J Clin Psychiatry. 2001; 62(13): 22-28. 2. Andrews G, Sanderson K, Slade T, Issakidis C. Why does the burden of disease persist? Relating the burden of anxiety and depression to effectiveness of treatment. Bulletin of the World Health Organization. 2000; 78(4): 446-454. 3. Bhugra D, Mastrogianni A. Globalisation and mental disorders overview with relation to depression. The British Journal of Psychiatry. 2004; 184: 10-20. 4. Ormel J, VonKorff M, VanDenBrink W, Katon W, Brilman E, et al. Depression, anxiety, and social disability show synchrony of change in primary care patients. American Journal of Public Health. 1993; 83(3): 385-390. 5. Idaiani S, Suhardi, Kristanto AY. Analisis gejala gangguan mental emosional penduduk Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia. 2009; 59(10): 473-479. 6. Gani A. Seminar MDGs dan kesehatan jiwa. Menu Dekon Kesehatan Jiwa. Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Dirjen Bina Upaya Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2010.
13
7. Kohn R, Saxena S, Levav I, Saraceno B. The treatment gap in mental health care. Bulletin of the World Health Organization. 2004; 82(11): 858-864. 8. Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementrian Kesehatan RI. Hargailah penderita gangguan jiwa [Internet]. 2012. Diunduh pada hari Minggu, 2 Juni 2013 dari http://www. depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1669-hargailahpenderita-gangguan-jiwa.html 9. Murray RM. Essential psychiatry. 4th ed. Cambridge University Press. 2008; 215. 10.Ghaemi SN. The rise and fall of the biopsychosocial model. The British Journal of Psychiatry 2009; 195: 3-4. 11.Patel V. Cultural factors and internal epidemiology. British Medical Bulletin. 2001; 57: 33-45. 12.Good B, Good MD, Grayman J, Lakoma M. Psychosocial needs assessment of communities affected by the conflict in the districts of Pide, Bireuen and Aceh Utara. Local Idioms of Distress. 2006. 13.Kirmayer LJ. Overview culture, affect and somatization part 1. Transcultural Psychiatric Research Review. 1984; 21(4): 159-177. 14.Fernandez RL, Diaz N. The cultural formulation: A method for assessing cultural factors affecting the clinical encounter. Psychiatric Quarterly. 2002; 73(4): 271-295. 15.Simon GE, VonKorff M, Piccinelli M, Fullerton C, Ormel J. An international study of the relation between somatic symptoms and depression. The New England Journal of Medicine. 1999; 341(18): 1329-1334. 16.Goldberg DP, Bridges K. Invited review somatic presentations of psychiatric illness in primary care setting. Journal of Psychosomatic Research. 1988; 32(2): 137-144. 17.Sugono D. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. 18.Google search. Pencarian Definisi atau Istilah pada tanggal 28 Mei 2015.
Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia
14
laporan penelitian
Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Triage Assessment System: Crisis Intervention (TAS-CI) 1
Taufik Ashal1; Martina Wiwie2; Petrin Redayani2; Irmia Kusumadewi2; Khamelia Malik2; Fransiska Kaligis2 Staf Pengajar Psikiatri FK Universtas Andalas, Jalan Perintis Kemerdekaan Jati Padang; RS. Dr. M. Djamil Padang 2 Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Abstrak Latar Belakang: Krisis psikologis yang tidak terdeteksi dapat berkembang menjadi gangguan psikologis. Tidak tersedianya instrumen yang sahih mengakibatkan petugas kesehatan tidak memiliki panduan untuk menentukan derajat keparahan krisis psikologis. Akibatnya, intervensi diberikan tanpa panduan yang terstandarisasi. Instrumen Triage Assessment System; Crisis Intervention (TAS-CI) dapat digunakan untuk menentukan derajat keparahan krisis psikologis dan bentuk intervensi yang tepat bagi pasien. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan instrumen TAS-CI versi bahasa Indonesia. Metode: Instrumen TAS-CI diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Inggris (back-translation). TAS-CI versi bahasa Indonesia tersebut diujikan kepada subjek penelitian, yaitu tenaga medis Departemen Psikiatri RSCM (n=50). Kemudian, dilakukan uji realibilitas konsistensi internal, realibilitas antarrater, validitas isi, dan validitas konstruksi berdasarkan kasus yang ditayangkan melalui video. Hasil: Hasil uji validitas isi memberikan nilai koefisien sebesar 0.991 yang menunjukkan bahwa butir-butir pertanyaan dalam instrumen relevan dengan konsep derajat krisis psikologis. Uji validitas konstruksi membuktikan adanya korelasi antara butirbutir pertanyaan setiap subdomain dan nilai total instrumen. Uji realibilitas konsistensi internal mendapatkan nilai koefisien Cronbach’s alpha 0.772-0.861 sehingga dapat disimpulkan bahwa reliabilitas konsistensi internal instrumen TAS-CI adalah baik. Dari uji realibilitas antarrater membuktikan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara penilaian residen senior dan junior untuk kasus krisis psikologis ringan dan sedang. Namun, pada penilaian kasus krisis berat terdapat perbedaan yang bermakna. Kesimpulan: Penelitian ini menghasilkan instrumen TAS-CI versi bahasa Indonesia yang sahih dan reliabel dalam menilai derajat krisis psikologis. Namun, perlu berhati-hati dalam penggunaan instrumen untuk penilaian kasus krisis psikologis berat. Kata Kunci: Krisis, TAS-CI, validitas, reliabilitas
Reliability and Validity of Triage Crisis Assessment System: Crisis Intervention-Indonesian Version (TCA-CI-INA) Taufik Ashal1; Martina Wiwie2; Petrin Redayani2; Irmia Kusumadewi2; Khamelia Malik2; Fransiska Kaligis2
Abstract
Introduction: Psychological crisis may cause various kinds of psychological disorders. To perform the appropriate interventions, it needs the valid and reliable instrument for assess the severity of psychological crisis. Method: This was a diagnostic study. Research subjects were dr. Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital medical staffs (n=50). They run an assessing the crisis cases from vignette videos. The TCA – CI – INA was translated into Indonesian language and back-translated. Result: The study found the Cronbach`s alpha score was 0,772-0,861, Inter-rater reliability test showed the similarity between nurses, senior and junior doctors rating for light and mild video case crisis. Content validity test was 0,991 and construction validity showed the good correlation between components of instrument to total score instruments (p<0,001). Conclusion: The study revealed that the validity and reliability of TCA-CI-INA was good, but still needed a careful attention especially in rating severe crisis case. Key Words: Crisis, TAS-CI, validity, reliability
PENDAHULUAN Penanganan krisis psikologis yang tidak adekuat berisiko menimbulkan berbagai macam gangguan, yaitu masalah ingatan, kognitif, penyalahgunaan zat atau obat. Bahkan jika dibiarkan berlarut-larut dapat terjadi gangguan psikiatri, seperti gangguan penyesuaian, depresi, ansietas, atau gangguan stress pasca trauma (PTSD).1,2,3 Dalam berbagai kepustakaan yang membahas mengenai penanganan krisis psikologis, terdapat satu langkah awal yang penting, yaitu menilai derajat krisis psikologis yang dihadapi pasien. Namun, cara yang digunakan untuk menentukan derajat krisis psikologis masih berbeda-beda antarklinisi. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh faktor subjektivitas atau latar belakang masing-masing klinisi. Ketersediaan protokol pemeriksaan
krisis psikologis yang terstandarisasi secara empiris masih kurang. Selain itu, ketersediaan instrumen psikometri yang akurat juga masih terbatas. Tanpa adanya alat yang sahih dan andal, penilaian derajat krisis psikologis menjadi berbedabeda, tidak terukur, bahkan mungkin tidak teridentifikasi. Selanjutnya keadaan ini dapat menyebabkan tata laksana yang diberikan tidak adekuat.1,3,4 Instrumen Triage Assessment System; Crisis Intervention (TASCI) merupakan instrumen yang digunakan untuk menilai derajat krisis psikologis. Selain itu, instrumen ini juga dapat menentukan bentuk intervensi yang tepat untuk mengatasi krisis psikologis pasien. Sayangnya, instrumen ini masih belum tersedia dalam versi bahasa Indonesia sehingga instrumen TAS-CI masih belum rutin digunakan di Indonesia. Oleh
Alamat Korespondensi: DR. dr. Martina Wiwie, SpKJ(K); Staf Pengajar Departemen Medik Ilmu Kesehatan Jiwa, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta, Rumah Sakit Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta. E-mail:
[email protected]
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 karena itu, penelitian ini melakukan penerjemahan instrumen TAS-CI ke dalam bahasa Indonesia setelah terlebih dahulu meminta izin kepada pemilik instrumen. Kemudian dilakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen TAS-CI versi bahasa Indonesia untuk mengetahui kesahihan instrumen tersebut dalam menilai derajat krisis psikologis pasien di Indonesia. TINJAUAN PUSTAKA Krisis psikologis merupakan kondisi terganggunya ekuilibrium psikologis seseorang akibat adanya pengalaman yang dinilai sebagai hasil kejadian berbahaya atau situasi bermakna. Pengalaman tersebut tidak dapat diatasi dengan strategi koping yang selama ini dimiliki seseorang sehingga dapat berkembang menjadi krisis. Kejadian yang dapat menimbulkan situasi krisis adalah kejadian yang mengancam hidup, seperti bencana alam, pelecehan seksual, kekerasan fisik, peristiwa kriminal, perubahan tiba-tiba pada suatu hubungan, kehilangan, penyakit medik, gangguan mental, serta pikiran untuk bunuh diri atau melakukan kekerasan pada orang lain. Seseorang yang berada dalam kondisi krisis dapat terlihat inkoheren, kacau, agitasi, tak berpendirian, diam, menunduk, menarik diri, atau apatis. Pada periode tersebut, individu membutuhkan dan mencari pertolongan.1,3,4 Krisis psikologis yang tidak teridentifikasi dapat menjadi kasus yang tidak tertangani. Hal ini berisiko menimbulkan berbagai gangguan pada individu, yaitu masalah ingatan, kognitif, penyalahgunaan zat atau obat. Bahkan masalah psikiatri, seperti gangguan penyesuaian, depresi, ansietas, atau gangguan stres pasca trauma (PTSD) pun dapat terjadi.1,4 Penilaian triase psikiatri merujuk kepada proses pengambilan keputusan segera dalam keadaan gawat darurat. Dalam hal ini, tenaga medis harus segera menentukan tindakan yang harus dilakukan kepada pasien. Alternatif pilihan tindakan yang dapat diambil adalah sebagai berikut3: •• •• •• ••
Perawatan emergensi pasien psikiatri di rumah sakit Fasilitas rawat jalan dengan pemberian terapi oleh klinisi Grup terapi supportif atau agen pelayanan sosial Tidak diperlukan rujukan pasien
Melalui penilaian triase psikiatri, respon terhadap kegawatdaruratan psikiatri dapat segera diambil. Tenaga medis harus bertindak cepat dalam mengevaluasi reaksi klien dan memulai tata laksana. Oleh karena itu, dibutuhkan prosedur penilaian yang valid dan reliabel. TAS-CI merupakan instrumen yang digunakan untuk menentukan derajat krisis psikologis pada pasien. Instrumen ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 2001 oleh Rick A. Myer, seorang profesor di Department of Counseling, Psychology and Special Education, Duquesne University, Pittsburgh. Penggunaan instrumen ini tidak hanya terbatas pada seorang dokter spesialis psikiatri saja. Tenaga medis yang telah menjalani pelatihan singkat dan mampu menghadapi pasien dalam kondisi krisis psikologis, juga diperbolehkan untuk memakai instrumen ini. TAS-CI dapat memandu tenaga medis dalam mengambil keputusan dan memilih tingkat intervensi yang diperlukan. Selain itu, TAS-CI juga dapat menilai kecakapan petugas dalam menangani krisis psikologis.5,6,7
15
TAS-CI mengevaluasi adanya krisis yang dialami pasien melalui checklist yang terdapat di dalam instrumen. Derajat krisis psikologis dinilai dari tiga domain, yaitu afektif, perilaku, dan kognitif.5 Derajat keparahan masing-masing domain diinterpretasikan dalam 10 skala, sebagai berikut : • • • • • •
Skala 1: tidak ada gangguan Skala 2-3: gangguan minimal Skala 4-5: gangguan ringan Skala 6-7: gangguan sedang Skala 8-9: gangguan berat Skala 10: gangguan sangat berat
Formulir TAS-CI terdiri dari tiga bagian. Halaman pertama berisi informasi demografis, observasi, dan penilaian triase. Pada halaman berikutnya terdapat Skala Keparahan. Urutan pengisian formulir dimulai dari observasi, skala keparahan, penilaian triase, dan yang terakhir adalah informasi demografis.5 Kemudian, skor setiap skala dikombinasikan sehingga menghasilkan skor dalam rentang 3-30. Skor akhir inilah yang dijadikan dasar untuk perlu tidaknya memanggil bantuan segera, rawat inap, atau rawat jalan. Skor akhir dapat terbagi menjadi empat kategori, yaitu skor tunggal, belasan, dua puluhan, dan skor tunggal skala tinggi.5 METODE PENELITIAN Penelitian ini ditujukan untuk membuat TAS-CI versi bahasa Indonesia serta menguji validitas dan realibilitasnya. Langkahlangkah yang dilakukan meliputi penerjemahan instrumen, uji validitas, dan uji reliabilitas. Penelitian dilakukan di Departemen Psikiatri Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) mulai Februari sampai Mei 2014. Populasi target penelitian ini adalah para profesional kesehatan. Sementara itu, populasi terjangkaunya adalah tenaga medis di Departemen Psikiatri RSCM. Uji validitas dan reliabilitas antarrater dilakukan dengan mengikutsertakan seluruh residen dan perawat di Departemen Psikiatri RSCM. Jumlah sampel yang digunakan adalah 50 orang. Sampel tersebut telah memenuhi tiga kriteria inklusi, yaitu merupakan tenaga medis Departemen Psikiatri RSCM, mengikuti pelatihan singkat tentang krisis dan instrumen TAS-CI, serta bersedia menjadi responden. Kriteria eksklusi penelitian ini adalah sampel yang tidak mengisi lembaran penilaian dengan lengkap. Pelaksanaan penelitian diawali dengan fase persiapan, yaitu mengirim email kepada Prof. Rick A. Myer dari Department of Counseling, Psychology and Special Education, Duquesne University, Pittsburgh, selaku pemilik instrumen TAS-CI. Email tersebut merupakan permohonan izin untuk melakukan adaptasi instrumen TAS-CI ke dalam bahasa Indonesia serta melakukan uji kesahihan terhadap instrumen tersebut. Selanjutnya, instrumen dan panduan manual penggunaannya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh dua penerjemah. Hasil terjemahan didiskusikan oleh peneliti dengan bantuan pakar psikiatri sehingga dihasilkan satu versi terjemahan TAS-CI dalam bahasa Indonesia yang terbaik.
Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia
16
Kemudian, TAS-CI versi bahasa Indonesia diterjemahkan kembali ke dalam bahasa aslinya (bahasa Inggris) oleh dua penerjemah lain yang belum pernah mengetahui instrumen ini sebelumnya. Hasil terjemahan kembali (back-translate) tersebut dibandingkan dengan versi asli TAS-CI untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan bermakna pada butir-butir instrumen. Pada fase pelaksanaan penelitian dilakukan uji validitas isi melalui diskusi dan kesepakatan secara subjektif oleh tiga pakar ilmu psikiatri. Tiap pakar melakukan penilaian terhadap tiap butir pernyataan dan relevansinya dengan penentuan derajat keparahan krisis psikologis. Penilaian oleh pakar dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan empat skala poin Likert, yaitu nilai 1 (tidak relevan), 2 (agak relevan), 3 (cukup relevan), dan 4 (sangat relevan). Selanjutnya, dihitung koefisien reliabilitas isi menggunakan metode Martuza.8,9 Hasil penilaian dimasukkan ke tabel 2x2 yang merupakan penilaian kesepakatan validitas uji instrumen oleh dua orang pakar8. Pakar 1
Pakar 2
Relevansi Lemah (Poin 1 atau 2)
Relevansi Kuat (Poin 3 atau 4)
Relevansi Lemah (Poin 1 atau 2)
A
B
Relevansi Kuat (Poin 3 atau 4)
C
D
dalam beberapa kelompok, yaitu kelompok perawat, kelompok residen psikiatri, dan kelompok dokter muda dengan menggunakan uji one way anova. Uji validitas konstruksi dilakukan dengan menghitung nilai koefisien korelasi setiap hasil penilaian subdomain instrumen dan hasil penilaian total instrumen. Uji yang digunakan adalah uji korelasi Pearson atau Spearman. HASIL PENELITIAN Penelitian ini membutuhkan 50 sampel yang sebelumnya telah diberikan pelatihan mengenai krisis psikologis dan pengenalan instrumen TAS-CI. Namun, peserta yang menghadiri pelatihan tersebut hanya berjumlah 45 orang. Dua orang dikeluarkan karena tidak mengisi lembar instrumen secara lengkap sehingga terdapat 43 subjek yang awalnya diikutsertakan dalam penelitian. Kemudian, dilakukan pelatihan tambahan untuk mendapatkan jumlah sampel yang diinginkan. Dalam pelatihan kedua, didapatkan tambahan sebelas partisipan yang memenuhi syarat untuk dijadikan sampel penelitian sehingga pada penelitian ini didapatkan total sampel sebanyak 54 partisipan. Karakteristik Demografis Subjek Penelitian Karakteristik demografis subjek penelitian, meliputi usia, jenis kelamin, dan pekerjaan dapat dilihat pada tabel 4.2. Tabel 4.2. Karakteristik Demografis Subjek Penelitian
Berdasarkan tabel 2x2, koefisien validitas isi untuk TAS-CI versi bahasa Indonesia adalah D/(A+B+C+D).
Karakteristik Demografis
Pada penelitian ini digunakan pendapat oleh tiga pakar sehingga terdapat tiga kemungkinan kombinasi pasangan. Koefisien validasi isi merupakan hasil nilai rata-rata koefisien validitas isi dari tiga kombinasi pasangan tersebut.8
Jenis Kelamin
Uji reliabilitas melibatkan 50 partisipan yang merupakan tenaga medis Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa RSCM. Kemudian, partisipan diberi pelatihan mengenai model krisis, intervensi krisis, pengenalan instrumen TAS-CI, dan cara penggunaan instrumen TAS-CI sesuai dengan petunjuk pelatihan yang diberikan oleh Rick A. Myer. Selanjutnya, partisipan diminta untuk menilai kasus yang telah dipersiapkan melalui video case-vignette.
Pekerjaan
Kasus yang disajikan dalam video terdiri dari tiga tingkat keparahan krisis psikologis, yaitu ringan, sedang, dan berat. Video tersebut berdurasi sekitar lima menit dan akan ditampilkan secara acak (random). Setelah partisipan selesai menilai satu kasus video, barulah ditayangkan video berikutnya untuk dinilai. Cara yang sama dilakukan sampai selesai video ketiga. Selanjutnya, dilakukan pengumpulan data dan pengolahan data. Data yang dikumpulkan akan ditabulasi serta diolah secara statistik. Analisis statistik pada penelitian ini menggunakan perangkat lunak SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) versi 20. Uji reliabilitas konsistensi internal diukur secara statistik dengan menghitung nilai koefisien Cronbach’s alpha. Uji reliabilitas antarrater dilakukan dengan membandingkan penilaian yang dilakukan subjek penelitian. Subjek dibagi ke
Subjek
Persentase
Laki-laki
10
18.5
Perempuan
44
81.5
Residen Psikiatri
39
72.2
Perawat Psikiatri
9
16.7
Dokter muda
6
11.1
Mean Usia (tahun)
34.74
Median Usia (tahun)
35.00
Min-Max (tahun)
19-55
Hasil Pemeriksaan Derajat Krisis Psikologis dengan Instrumen TAS-CI Rata-rata penilaian derajat krisis yang dilakukan subjek penelitian untuk masing-masing kasus menunjukkan angka yang hampir sesuai dengan penilaian yang dilakukan oleh pemilik instrumen. Pada kasus pertama didapatkan skor rata-rata subdomain adalah 9.0-9.2 (SD: 1.1-1.4). Skor ini diinterpretasikan sebagai kasus krisis berat. Sementara itu, pada kasus kedua didapatkan skor rata-rata subdomain sebesar 3.1-3.6 (SD: 0.8-1.6) yang diinterpretasikan sebagai kasus krisis ringan, sedangkan pada kasus terakhir, skor rata-rata subdomain adalah 6.4-7.2 (SD: 1.5-1.8) yang sesuai dengan interpretasi kasus krisis sedang.
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016
Tabel 4.3. Penilaian Derajat Keparahan Krisis Kasus
17
Tabel 4.4. Reliabilitas Konsistensi Internal
Komponen
Skor
Mean
Standar
Penilaian
Penilaian
Kompo
Penilaian
Deviasi
Ahli
nen
Responden
Video
Afektif
1-10
9.28
1.106
9
1
Perilaku
1-10
9.02
1.473
8
Kognitif
1-10
9.26
1.403
9
Total
3-30
27.56
3.613
26
Video
Afektif
1-10
3.65
1.216
3
2
Perilaku
1-10
3.11
0.839
3
Kognitif
1-10
3.61
1.618
3
Total
3-30
10.35
2.693
9
Video
Afektif
1-10
6.48
1.501
7
3
Perilaku
1-10
7.02
1.807
5
Kognitif
1-10
6.83
1.830
6
Total
3-30
20.33
4.135
18
Reliabilitas Konsistensi Internal Pada uji reliabilitas konsistensi internal, kelompok responden menunjukkan nilai Cronbach’s alpha 0.861 untuk kasus pertama, 0.722 untuk kasus kedua, dan 0.827 untuk kasus ketiga. Nilai Cronbach’s alpha yang semakin mendekati angka 1 menandakan bahwa instrumen tersebut semakin konsisten. Nilai Cronbach`s alpha ≥0.70 dianggap baik dan ≥0.90 dianggap sangat baik.
Kasus
Nilai
Komponen
Cronbach’s
Cronbach’s
Penilaian
Alpha if item
Alpha Video 1
Video 2
Video 3
0.861
0.772
0.827
deleted Afektif
0.849
Perilaku
0.804
Kognitif
0.793
Afektif
0.756
Perilaku
0.763
Kognitif
0.709
Afektif
0.821
Perilaku
0.759
Kognitif
0.784
Nilai Cronbach’s alpha if item deleted merupakan suatu cara yang digunakan untuk menguji efek apabila variabel subdomain dihilangkan. Efek yang mungkin muncul akibat hilangnya subdomain adalah peningkatan atau penurunan konsistensi. Instrumen TAS-CI versi bahasa Indonesia memiliki tiga variabel subdomain, yaitu afektif, perilaku, dan kognitif. Ketiga penilaian subdomain tersebut secara umum berperan dalam meningkatkan nilai Cronbach’s alpha. Oleh karena itu, penghilangan ketiga subdomain tersebut akan menurunkan nilai Cronbach’s alpha. Meskipun demikian, nilai Cronbach’s alpha tanpa subdomain tersebut masih berada diatas 0.70. Dengan adanya peranan setiap subdomain untuk meningkatkan nilai Cronbach’s Alpha, maka tiap butir dalam instrumen ini tetap dipertahankan.
Tabel 4.5. Analisis Reliabilitas Antarrater dengan Uji One Way Anova Kasus
N
Nilai p
Video 1
54
0.012
Video 2
Video 3
54
54
0.445
0.131
Analisis post hoc Kelompok
Rerata selisih
Nilai p
Perawat vs residen
+3.871
0.010
Perawat vs dokter muda
+ 2.984
0.257
Residen vs dokter muda
+ 0.887
1.000
Perawat vs residen
+ 0.730
1.000
Perawat vs dokter muda
+ 1.460
0.866
Residen vs dokter muda
+ 1.387
0.653
Perawat vs residen
+ 1.058
1.000
Perawat vs dokter muda
+ 2.317
0.784
Residen vs dokter muda
+ 3.376
0.144
Reliabilitas Antarrater Reliabilitas antarrater dilakukan dengan membandingkan hasil penilaian kelompok perawat, residen psikiatri, dan dokter muda terhadap ketiga kasus dari video yang sama. Korelasi penilaian ketiga kelompok tersebut dihitung secara statistik menggunakan uji one way anova.
Pada penghitungan uji one way anova, didapatkan adanya perbedaan bermakna dalam penilaian kasus pertama yang dilakukan kelompok perawat, residen psikiatri, dan dokter muda (nilai p<0.05). Pada kasus kedua dan ketiga tidak ada perbedaan bermakna dari penilaian masing-masing kelompok (nilai p>0.05). Pada analisis post-hoc untuk kasus pertama, dapat dilihat terjadi perbedaan signifikan antara penilaian
Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia
18
yang dilakukan perawat dan residen psikiatri (nilai p<0.05). Namun, tidak ditemukan perbedaan bermakna (nilai p >0.05) antara penilaian yang dilakukan oleh dokter muda dan perawat atau residen. Selanjutnya, dilakukan analisis untuk membandingkan dua kelompok menggunakan uji metode Bland altman. Pada uji ini ditentukan kesesuaian penilaian antara residen senior (minimal residen semester 5) dan residen junior (maksimal residen semester 4 ke bawah dan dokter muda). Kemudian, dihitung selisih dan rerata penilaian. Kasus pertama menggunakan uji non parametrik karena distribusi data tidak normal. Kasus kedua dan ketiga menggunakan uji one sample t test. Dari uji tersebut, didapatkan nilai p dan ditentukan limit of agreement dengan rumus: Minimal = rerata selisih –(1.96 x simpang baku) Maximal = rerata selisih+(1.96 x simpang baku) Tabel 4.6. Analisis Reliabilitas Antarrater dengan Metode Bland Altman Nilai
Rerata
Simpang
Nilai
Nilai
P
Selisih
Baku
Minimal
Maximal
20
0.039
-1.850
3.437
-8.586
4.886
Video 2
20
0.184
0.850
2.758
-4.556
6.266
Video 3
20
0.330
-0.800
3.577
-7.810
6.211
Kasus
N
Video 1
Dari analisis tersebut, didapatkan perbedaan bermakna antara penilaian residen senior dan residen junior untuk kasus pertama (nilai p<0.05). Namun, tidak didapatkan perbedaan bermakna pada penilaian kasus kedua dan ketiga antara kedua kelompok.
Berdasarkan penghitungan di atas, didapatkan koefisien validitas isi instrumen TAS-CI versi bahasa Indonesia adalah 0.991. Nilai keofisien validitas isi yang semakin mendekati angka 1 dianggap semakin baik. Oleh karena itu, koefisien validitas isi dalam penelitian ini dianggap baik. Validitas Konstruksi Dalam penelitian ini, validitas konstruksi dilakukan dengan menghitung nilai koefisien korelasi setiap subdomain instrumen terhadap penilaian total ketiga kasus. Uji korelasi yang digunakan adalah uji korelasi Spearman karena berdasarkan analisis homogenitas data, didapatkan bahwa data tidak terdistribusi secara normal. Setelah dilakukan penghitungan nilai koefisien korelasi (r), didapatkan nilai korelasi tertinggi adalah 0.840. Sementara itu, nilai koefisien korelasi terendah adalah 0.611 (lihat tabel 4.5). Nilai koefisien relasi 0.6 - <0.8 menunjukkan adanya korelasi kuat antara penilaian subdomain dan penilaian total. Sementara itu, korelasi sangat kuat didapatkan apabila nilai koefisien relasi berada dalam rentang 0.8 – 1.00. Berdasarkan analisis statistik yang dilakukan dalam penelitian ini, didapatkan adanya hubungan kuat dan sangat kuat antara penilaian masingmasing subdomain dan penilaian total. Korelasi tersebut merupakan korelasi positif yang menunjukkan semakin tinggi nilai variabel A, maka semakin tinggi pula nilai variabel B. Seluruh hasil uji korelasi memiliki nilai p sebesar 0.00. Nilai p<0.001 menunjukkan adanya korelasi bermakna antara penilaian masing-masing subdomain dan penilaian total. Tabel 4.7. Hasil Analisis Korelasi Spearman Skor Total Video 1
Validitas Isi Validitas isi ditentukan dengan melakukan penilaian secara kualitatif terhadap tiap butir pertanyaan instrumen berdasarkan kecocokan dengan konsep derajat krisis psikologis. Langkah ini dilakukan oleh tiga pakar psikiatri yang bertugas di poliklinik penanggulangan pasca trauma Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa RSCM. Ketiga pakar tersebut memberikan penilaian terhadap tiap butir pernyataan dengan skala Likert, yaitu 4 (sangat relevan), 3 (cukup relevan), 2 (agak relevan), dan 1 (tidak relevan). Hasil penilaian dari setiap pakar dibagi menjadi dua kelompok, yaitu relevansi lemah (nilai 1 atau 2) dan relevansi kuat (nilai 3 atau 4). Selanjutnya, kombinasi nilai relevansi tersebut dimasukkan ke dalam tabel 2x2. Setiap tabel berisikan kesepakatan dua pakar. Penelitian ini menggunakan tiga orang pakar sehingga kemungkinan akan timbul tiga macam kombinasi nilai relevansi, sebagai berikut: a. Kemungkinan 1: antara pakar 1 dan 2. Koefisien validitas isi: 71/ (0+1+0+71)= 0.986 b. Kemungkinan 2: antara pakar 2 dan 3. Koefisien validitas isi=72/(0+0+0+72) = 1 c. Kemungkinan 3: antara pakar 1 dan 3 Koefisien validitas isi=71/(0+0+1+71)= 0.986 Rata-rata nilai validitas isi = (0.986+1+0.986)/3 = 0.991
Video 2
Video 3
R
P
n
Afektif
0.827
<0.001
54
Perilaku
0.840
<0.001
54
Kognitif
0.834
<0.001
54
Afektif
0.718
<0.001
54
Perilaku
0.611
<0.001
54
Kognitif
0.800
<0.001
54
Afektif
0.710
<0.001
54
Perilaku
0.821
<0.001
54
Kognitif
0.825
<0.001
54
PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan 54 partisipan yang berprofesi sebagai tenaga medis Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa RSCM. Partisipan ini berasal dari tiga kelompok, yaitu residen psikiatri (70.4%), perawat (18.5%), dan dokter muda (11.1%). Jumlah responden berjenis kelamin perempuan adalah 81.5% dan laki-laki 18.5%. Rata-rata usia responden adalah 34.37 tahun dengan rentang usia 19-55 tahun. Instrumen TAS-CI secara luas dapat digunakan oleh petugas krisis hotline, dokter, paramedis, psikolog, guru konseling, polisi, pekerja sosial, dan sukarelawan. Pengguna instrumen TAS-CI sebelumnya telah mendapat pelatihan singkat mengenai cara penggunaan instrumen.
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 Beberapa penelitian uji reliabilitas dan validitas instrumen TAS-CI yang dilakukan di Amerika Serikat juga menggunakan responden yang variatif. Janis Pond Pazar (2005) melakukan penelitian untuk menguji validitas dan reliabilitas Instrumen TAS-CI dengan menggunakan sampel yang terdiri dari psikolog, pekerja sosial, pekerja krisis hotline, dan siswa yang telah lulus. Peneliti lain, Brownfield (2012) melakukan penelitian dengan menggunakan sampel guru konseling, guru baru, dan konsultan ahli krisis.10 Uji reliabilitas konsistensi internal dilakukan dengan menghitung nilai Cronbach’s alpha. Nilai Cronbach’s alpha instrumen TAS-CI versi Bahasa Indonesia adalah 0.861 untuk krisis berat, 0.772 untuk krisis ringan, dan 0.827 untuk krisis sedang. Hasil uji konsistensi internal pada penelitian ini cukup baik. Dari berbagai literatur, batasan nilai konsistensi internal yang dapat diterima (acceptable) adalah nilai Cronbach’s alpha di antara 0.7 dan 0.8. Jika nilai Cronbach alpha berada dalam rentang 0.8-0.9, maka dapat disimpulkan bahwa realibilitas instrumen adalah baik. Sementara itu, nilai di atas 0,9 menunjukkan reliabilitas yang sangat baik.31,32 Nilai reabilitas dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dibandingkan penelitian sebelumnya. Pazar (2005) mendapatkan koefisien reliabilitas instrumen TAS-CI adalah 0,885 untuk krisis ringan, 0,738 untuk krisis sedang, dan 0.690 untuk krisis berat. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Watters (1997) menyatakan instrumen TAS-CI sebagai instrumen yang valid dan reliabel. Dalam penelitian tersebut, didapatkan koefisien reliabilitas 0.53–0.79 untuk krisis berat, 0.63–0.86 untuk krisis sedang, dan 0.65–0.94 untuk krisis berat. Watters mendapatkan hasil yang bervariasi karena ia mengelompokkan subjek penelitiannya berdasarkan pekerjaan dan pengalaman.10,11 Uji reliabilitas antarrater menggunakan uji one way anova. Berdasarkan analisis statistik, didapatkan perbedaan bermakna antara penilaian yang dilakukan perawat dan residen psikiatri untuk kasus pertama, sedangkan pada kasus kedua dan ketiga, tidak ditemukan adanya perbedaan penilaian yang bermakna antar masing-masing kelompok. Kasus pertama merupakan contoh krisis dengan derajat berat. Dalam penelitian ini, kelompok perawat memberikan penilaian yang bervariasi sehingga penilaian yang dilakukan perawat berada dalam rentang yang lebar. Oleh karena itu, terjadi perbedaan yang signifikan dibandingkan penilaian oleh residen psikiatri yang cenderung memiliki rentang nilai lebih sempit. Berdasarkan hasil tersebut, perawat dinilai masih kesulitan dalam menilai krisis derajat berat. Kemudian, dilakukan analisis lebih lanjut menggunakan metode Bland altman. Dalam analisis ini, kelompok perawat tidak diikutsertakan. Kelompok yang dibandingkan adalah kelompok residen senior dan junior. Kedua kelompok tersebut menunjukkan kesesuaian penilaian pada kasus kedua dan ketiga. Namun, terdapat perbedaan bermakna pada pada kasus pertama. Dalam grafik Bland altman, secara umum hasil penilaian masih berada dalam limit of agreement. Namun, terdapat satu partisipan dengan penilaian yang berbeda. Hal inilah yang memengaruhi kesesuaian hasil penilaian. Penelitian serupa yang dilakukan Pazar (2005) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara penilaian yang dilakukan kelompok psikolog, pekerja sosial, atau sukarelawan
19
dibandingkan penilaian ahli.30 Pazar juga menyimpulkan bahwa jenis pekerjaan tidak mempengaruhi reliabilitas penilaian. Hal tersebut membuktikan bahwa seseorang dari berbagai latar belakang pekerjaan yang telah mendapat pelatihan mengenai cara menggunakan instrumen TASCI mampu memakai instrumen dengan hasil yang reliabel. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Brownfield (2012) menemukan tidak ada perbedaan bermakna antara penilaian yang dilakukan oleh guru konseling, guru yang baru ditraining, dan ahli.10,11 Watters (1997) membagi subyek penelitiannya ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok ahli yang sudah berpengalaman mengatasi krisis psikologis selama 10 tahun dan kelompok dengan pengalaman 1-5 tahun. Dalam penelitian tersebut, tidak ditemukan perbedaan bermakna antara penilaian yang dilakukan oleh kedua kelompok. Namun, Watters menemukan perbedaan bermakna pada penilaian yang dilakukan kelompok ahli dan responden yang tidak memiliki pengalaman dalam menilai krisis derajat sedang dan berat.5,10 Sementara itu, Blancett (2008) menemukan terdapat perbedaan bermakna antara penilaian guru yang baru mengikuti training krisis dengan ahli pada salah satu dari tiga kasus video yang ditayangkan. Bahkan, Blancett menyatakan adanya perbedaan bermakna pada semua subskala penilaian.12 Uji validitas isi dilakukan oleh tiga pakar dalam bidang psikiatri. Tiga pakar tersebut menilai tiap butir instrumen TASCI. Selanjutnya, dihitung koefisien validitas isi dari penilaian ketiga pakar menggunakan metode yang diperkenalkan oleh Martuza. Berdasarkan metode tersebut, didapatkan hasil koefisien validitas isi sebesar 0.991. Nilai yang mendekati angka satu ini menunjukkan bahwa instrumen TAS-CI versi bahasa Indonesia sahih dalam menilai derajat krisis psikologis. Pakar psikiatri cenderung memberikan penilaian sangat relevan pada setiap butir instrumen TAS-CI versi bahasa Indonesia. Terdapat satu butir yang dinilai cukup relevan oleh seorang pakar, yaitu pada butir pertanyaan nomor B2.1, yaitu “Kemampuan melakukan tugas untuk keperluan fungsi seharihari tidak terganggu” dalam korelasinya dengan subdomain perilaku. Adanya perubahan perilaku memperlihatkan adanya gangguan psikiatri pada seseorang. Banyak instrumen yang digunakan untuk mengidentifikasi adanya perubahan perilaku, salah satunya Behavior and Symptom Identification Scale (Basis 32). Pada instrumen tersebut, gangguan perilaku dinilai berdasarkan lima skala, yaitu relasi, fungsi sehari-hari, perilaku impulsif, perilaku adiktif, serta psikosis. Instrumen tersebut menilai gangguan perilaku berdasarkan berbagai skala, salah satunya adalah fungsi sehari-hari karena fungsi sehari-hari merupakan hal yang perlu diperiksa untuk menentukan gangguan perilaku.13 Uji validitas konstruksi dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi setiap subdomain dan nilai total instrumen. Nilai koefisien korelasi (r) yang semakin mendekati 1 menandakan korelasi yang semakin baik. Dalam penelitian ini, didapatkan nilai koefisien korelasi tertinggi 0.840 dan terendah 0.611. Secara keseluruhan, nilai koefisien korelasi instrumen TAS-CI versi bahasa Indonesia termasuk dalam kategori baik dan sangat baik. Interpretasi koefisien relasi adalah sebagai berikut : •
0.0- <0.2 = korelasi sangat lemah
Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia
20 • • • •
0.2-<0.4 = korelasi lemah 0.4-<0.6 = korelasi sedang, 0.6-<0.8 = korelasi kuat 0.8-1.00 = korelasi yang sangat kuat.
Pada penggunaan instrumen TAS-CI, pemilik instrumen melengkapinya dengan manual penggunaan dalam bahasa Inggris. Pada proses uji validitas dan reliabilitas ini, manual penggunaan instrumen turut ditranslasikan ke dalam bahasa Indonesia dan didiskusikan oleh para pakar psikiatri. Idealnya, manual penggunaan instrumen ini ditranslasikan kembali ke dalam bahasa Inggris. Sayangnya, hal ini masih belum dilaksanakan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, belum dilakukannya translasi balik manual penggunaan ke dalam bahasa Inggris merupakan keterbatasan dalam penelitian ini. SIMPULAN DAN SARAN Melalui penelitian ini dihasilkan instrumen Triage Assessment System: Crisis Intervention versi bahasa Indonesia yang sahih (valid) dan andal (reliable) dalam mengukur derajat krisis psikologis yang dialami oleh pasien. Kesahihan instrumen dibuktikan melalui uji validitas isi dengan hasil koefisien validitas isi yang baik, yaitu 0.991. Selain itu, kesahihan juga didukung dengan hasil uji validitas konstruksi yang menunjukkan adanya korelasi kuat antara nilai subdomain dan nilai total instrumen. Kehandalan instrumen ini terlihat dari uji reliabilitas konsistensi internal yang baik, yaitu nilai Cronbach’s alpha 0.861 untuk kasus krisis berat, 0.772 kasus krisis ringan, dan 0.827 untuk kasus krisis sedang. Uji reliabilitas antarrater menunjukkan adanya kesesuaian penilaian yang dilakukan kelompok residen senior, residen junior, dan perawat untuk kasus krisis derajat ringan dan sedang. Namun, terdapat perbedaan bermakna dalam penilaian ketiga kelompok tersebut untuk kasus krisis berat. Instrumen TAS-CI versi bahasa Indonesia dapat digunakan petugas kesehatan, khususnya dokter untuk meningkatkan kualitas pelayanan di rumah sakit atau pusat krisis. Sebelum menggunakan instrumen ini, petugas kesehatan harus mendapatkan pengenalan dan pelatihan singkat mengenai cara menggunakan instrumen TAS-CI. Namun, perlu berhati-hati untuk penilaian kasus krisis berat. Masih diperlukan penelitian lanjutan mengenai uji diagnostik untuk menentukan cut off tindakan yang akan dilakukan setelah melakukan penilaian krisis menggunakan TAS-CI versi bahasa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA 1. Flannery RB, Everly GS. Crisis intervention: a review. Int J Emerg Ment Health. 2000;2(2):121-5. 2. Lewis S, Roberts AR. Crisis assessment tools: the good, the bad, and the available. Oxford: Oxford University Press; 2001.p.1728. 3. Duncan AE, Sartor CE, Scherrer JF, Grant D, Heath AC, Nelson EC, et al. The association between cannabis abuse and dependence and childhood physical and sexual abuse: evidence from an offspring of twins design. Addiction. 2008;103(6):990– 7. 4. Curie CA. A Guide to managing stress in crisis response professions. Rockville: Mental Health Services Administration; 2005. 5. Myer RA. Assessment for crisis intervention a triage assessment model. California: Brooks/Cole; 2001. 6. Roberts AR. Crisis intervention handbook: assessment, treatmentand research. 3rd ed. New York: Oxford University Press; 2005. 7. Myer RA, Rice ND, Moulton P, James RK, Cogdal P, Allen S. Triage assessment system training manual higher education instructor’s manual. Pittsburgh; 2007. 8. Gregory RJ. Psychological testing, history, principle, and application. 5th ed. New York: Pearson Education Inc; 2007. 9. Gliem JA, Gliem RR. Calculating, interpreting, and reporting cronbach’s alpha reliability coefficient for likert-type scales; midwest research to practice conference in adult, continuing, and community education. Ohio: The Ohio State University; 2003; 82-7. 10. Pazar JP. Relialibility of triage assestment system for crisis intervention. PhD [dissertation]. Memphis: University of Memphis; 2005. 11. Bownfield JN. The reliability and validity of the triage assessment scale for students in learning environments: middle schools. PhD [dissertation] Pittsburgh: Duquesne University; 2012. 12. Blancett J. A reliability study of the triage assessment system for students in learning environments. PhD [dissertation]. Memphis: University of Memphis; 2008. 13. Blacker D. Psikiatric rating scale. In: Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P [editors]. Comprehensive textbook of psychiatry. 9th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Lippincot Williams and Wilkins; 2009.p.1032-8.
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016
21
laporan penelitian
Komorbiditas Fisik pada Gangguan Bipolar di R.S. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Iriawan Rembak Tinambunan1, Richard Budiman2, Nurmiati Amir,2 Profitasari Kusumaningrum2 1
RSJ dr H. Marzoeki Mahdi, Jalan dr. Semeru 114, Bogor, Jawa Barat, Indonesia. E-mail:
[email protected] 2 Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Abstrak Latar Belakang: Gangguan bipolar dikenal memiliki kaitan dengan berbagai komorbiditas klinis yang memengaruhi pekerjaan, kehidupan berkeluarga, dan fungsi interpersonal. Dua pertiga pasien dengan gangguan bipolar memiliki komorbiditas yang akan memperburuk luaran gangguan bipolar dan dapat menganggu penatalaksanaan terhadap penyakitnya. Belum ada penelitian yang menggambarkan frekuensi komorbiditas fisik yang terjadi pada penderita bipolar di Indonesia. Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi sebagai rumah sakit jiwa tertua di Indonesia juga belum memiliki data mengenai jenis dan frekuensi komorbiditas fisik, mengingat bahwa rumah sakit ini juga menangani rawat inap umum di samping rawat inap psikiatri Metode: Penelitian menggunakan rancangan potong lintang pada 100 orang dengan gangguan bipolar di Poliklinik Jiwa Dewasa dan Bangsal Psikiatri R.S. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Penelitian ini menggunakan instrument Structured Clinical Interview For the DSM-IV Axis I Disorders untuk menentukan gangguan bipolar dan kriteria diagnostik untuk masing-masing sepuluh komorbiditas fisik. Hasil: Pada penelitian ini didapatkan adanya hubungan bermakna antara umur dengan terjadinya komorbiditas fisik, yaitu p= 0.001 (p di bawah 0.005). Pada analisis tambahan didapatkan adanya hubungan bermakna antara pemberian obat polifarmasi/ monoterapi dengan terjadinya komobiditas fisik terbanyak, yakni hipertensi (nilai p= 0.0001). Di antara sepuluh komorbiditas fisik, migrain, hipertensi, dan dermatitis merupakan yang paling banyak terjadi. Kesimpulan: Hipertensi, migrain, dan dermatitis merupakan tiga besar komorbiditas fisik di R.S. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Terdapat hubungan bermakna antara umur dengan terjadinya komorbiditas fisik. Pemberian obat polifarmasi/monoterapi juga bermakna dalam terjadinya hipertensi. Diperlukan kewaspadaan psikiater dalam mengawasi terjadinya komorbiditas fisik pada gangguan bipolar di layanan psikiatri. Kata Kunci: Orang dengan gangguan bipolar, komorbiditas fisik, kewaspadaan
Comorbidity between Bipolar Disorder and physical illnesses at Dr. H. Marzoeki Mahdi Hospital Bogor, West Java, Indonesia Abstract
Iriawan Rembak Tinambunan1, Richard Budiman2, Nurmiati Amir,2 Profitasari Kusumaningrum2
Introduction: Bipolar disorders are known to cause various clinical comorbidities that may affect work, family, and interpersonal function. Two third of bipolar disorder have comorbidities that may worsen the outcome of bipolar itself and interfere its therapy. There has not been sufficient study about physical comorbidities in bipolar patients in Indonesia. As the oldest psychiatric hospital in Indonesia that treats physical and psychiatric inpatients, Dr. H. Marzoeki Mahdi hospital still lacks data concerning types and frequencies of physical comorbidities. Method: This research used cross-sectional design from 100 people with bipolar disorder at Psychiatric Clinic and Psychiatric Ward at Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Hospital. This research also used the Structured Clinical Interview For the DSM-IV Axis I Disorders to ensure the bipolar diagnosis and the criteria diagnostic for ten physical comorbidities from each of their field. Result: There is a significant relationship in this research between age and physical comorbidities p=0.001 (p below 0.005). In the additional analysis, there is a significant relationship in this research between polypharmacy/monotherapy and hypertension (p=0.0001). Migraine, hypertension, and dermatitis are the top three physical comorbidities in this research. Conclusion: Hypertension, migraine and dermatitis are the top three in our physical comorbidities in Dr. H. Marzoeki Mahdi Hospital. Age has a significant relationship with physical comorbidities. Polipharmacy and monotherapy also has significancies in hypertension. Therefore, psychiatrist must be aware the possibility of physical comorbidities in the psychiatric care. Keywords : Bipolar people, physical comorbidities, awareness.
PENDAHULUAN Gangguan bipolar memiliki kaitan dengan berbagai komorbiditas klinis yang memengaruhi pekerjaan, kehidupan berkeluarga, dan fungsi interpersonal. Gangguan bipolar sering berkomorbid dengan gangguan fisik dan bila tidak ditangani akan membuat komplikasi pada penatalaksanaannya. Kondisi umum seperti obesitas, sindrom metabolik, penyalahgunaan zat, dan gangguan cemas terbukti sering timbul bersama gangguan bipolar. Penyebab kematian paling besar berhubungan dengan penyebab kardiovaskular sehingga kasus komorbiditas harus mendapat perhatian khusus.
Belum ada penelitian yang menggambarkan frekuensi komorbiditas fisik yang terjadi pada penderita bipolar di Indonesia. Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi sebagai rumah sakit jiwa tertua di Indonesia juga belum memiliki data mengenai jenis dan frekuensi komorbiditas fisik mengingat bahwa rumah sakit ini juga menangani rawat inap umum di samping rawat inap psikiatri.1,2,3 Oleh karena itu, peneliti merasa perlu melakukan penelitian untuk memberikan gambaran mengenai keadaan komorbid fisik pada gangguan bipolar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran frekuensi komorbiditas fisik
Alamat Korespondensi: dr. Richard Budiman, SpKJ; Staf Pengajar Departemen Medik Ilmu Kesehatan Jiwa, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta, Rumah Sakit Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta. E-mail:
[email protected]
22
Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia
pada gangguan bipolar serta mencari hubungan antara faktor-faktor pada pasien gangguan bipolar dengan terjadinya komorbiditas fisik.2,3 TINJAUAN TEORI Beyer et al (2005) dalam penelitiannya terhadap 1397 pasien bipolar rawat jalan di departemen psikiatri di kota Zagreb (Kroasia) menghasilkan distribusi penyakit komorbid meliputi penyakit kardiovaskular/hipertensi (10.7%), PPOK/Asma (6.1%), diabetes (4.3%), HIV (2.8%), dan infeksi hepatitis C (1.9%). Data dari penelitian lain yang dilakukan oleh Moriera et al (2011) pada 195 pasien rawat jalan mendapatkan hasil berupa migrain (31.8%), hipotiroidisme (24.1%), hipertensi (11.3%), trauma kapitis (10.3%), asma (9.7%), epilepsi (8.2%), diabetes (5.1%), stroke (2.1%), dan hipertiroidisme (1%).4,5,6 Secara garis besar, komorbiditas fisik yang terjadi pada bipolar dibagi menurut beberapa sistem dalam tubuh kita, yakni sistem kardiovaskular (contoh: hipertensi), serebrovaskular (contoh: stroke), metabolik (contoh: diabetes melitus), saraf (contoh: migrain), respirasi (contoh : asma), infeksi (contoh: hepatitis), endokrin (contoh: hipotiroidisme), kulit ( contoh : dermatitis), dan sistem lain (seperti artritis). SCID atau Structured Clinical Interview for DSM IV Disorder merupakan salah satu standar baku emas diagnosis (gold standard diagnosis). SCID terdiri dari dua bentuk, yaitu SCID-I dan SCID-II. SCID-I adalah sebuah wawancara klinis terstruktur yang digunakan untuk membuat diagnosis Aksis I berdasarkan DSM IV, sedangkan SCID-II digunakan untuk membuat diagnosis Aksis II. Klinisi menggunakan seluruh validitas kriteria yang tersedia untuk mencapai diagnosis yang paling akurat. Penggunaan wawancara terstruktur dapat meningkatkan keakuratan diagnosis dibandingkan dengan menggunakan ketrampilan klinis saja. Reliabilitas data yang didapatkan menggunakan SCID lebih baik untuk gangguan mental berat (seperi gangguan bipolar) dibandingkan gangguan mental ringan. Validitasnya masih terbatas walaupun SCID-I sering digunakan sebagai bahan baku emas bagi instrumen-instrumen lain. Wawancara menggunakan SCID-I menghabiskan waktu kurang lebih satu hingga tiga jam. SCID-I telah diadaptasi dalam versi bahasa Indonesia oleh dr. AAAA Kusumawardhani, SpKJ(K), dr. Heriani, SpKJ(K), dr. Nurmiati Amir, SpKJ(K), dr. Irmansyah, SpKJ, dan Herlina Handoko, serta telah digunakan pada penelitian genetik di Departemen Psikiatri FKUI-RSCM. Pemilihan kriteria komorbiditas fisik mengacu pada jurnal internet dan konsensus bidang terkait (neurologi, penyakit dalam, kulit dan kelamin, dan sebagainya). Penentuan komorbiditas fisik dilakukan dengan penunjang laboratorium dan wawancara terhadap pasien dan keluarganya. Semua hal ini dibuat tabel dan diringkas untuk kepentingan pengolahan data. Riwayat komorbiditas fisik juga dilakukan melalui penelusuran rekam medik lama pasien. METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang deskriptif
(descriptive cross sectional) dan potong lintang analitik (analytic cross sectional) untuk mengetahui frekuensi dan hubungan komorbiditas fisik (kondisi medik umum) dengan pasien gangguan bipolar di bangsal dan poli psikiatri. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Bangsal Psikiatri dan Poli Psikiatri R.S. Dr. H. Marzoeki Mahdi, Bogor pada bulan Juli 2014 – Mei 2015 Sampel Sampel yang digunakan adalah pasien yang didiagnosis gangguan bipolar sebanyak 100 subjek yang kontrol ke Poli Rawat Jalan Psikiatri dan Rawat Inap Psikiatri R.S. Dr. H Marzoeki Mahdi Bogor. Diperlukan 118 subjek untuk mendapatkan 100 subjek yang terbukti bipolar menurut SCID-I. Subjek-subjek ini juga sudah dilakukan penapisan untuk kriteria inklusi dan eksklusi. Definisi Operasional Dalam menentukan komorbiditas fisik, dilakukan penetapan definisi operasional sesuai ilmu terkait. Misalnya, penentuan hipertensi dilakukan menurut JNC VII, sedangkan stroke menurut American Stroke Association. HASIL PENELITIAN Karakteristik Demografi Didapatkan 100 subjek penelitian sebagai berikut: Tabel 1. Karakteristik Responden Penelitian Variabel
N
%
18 - 25 Tahun
11
11.0
26 - 45 Tahun
67
67.0
22
22.0
Umur
> 45 Tahun Jenis kelamin Laki-laki
47
47.0
Perempuan
53
53.0
Menikah
31
31.1
Cerai/belum menikah
69
69.0
SMP – SMA
72
72.0
Sarjana
28
28.0
Pegawai
24
24.0
Non-pegawai
76
76.0
Status Pernikahan
Pendidikan
Pekerjaan
Jumlah subjek perempuan yang didapat adalah sebanyak 53.0%, sedangkan laki-laki sebanyak 47.0%. Kategori umur paling banyak ada pada rentang usia 26-45 tahun (67.0%). Pada status pernikahan terlihat persentase subjek yang cerai/ belum menikah lebih banyak, yaitu sebesar 69.0%. Tingkat pendidikan terbanyak pada subjek penelitian ini adalah SMA (72.0%). Pekerjaan paling banyak adalah non pegawai (76.0%).
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 Pada penelitian ini juga didapatkan tipe 1 bipolar sebanyak 81.0% dan tipe 2 sebanyak 19.0%. Sebesar 56.0% subjek memiliki riwayat satu episode bipolar sebelumnya dan sebanyak 44.0% lainnya memiliki riwayat lebih dari satu episode bipolar sebelumnya. Pada golongan obat, didapatkan bahwa sebanyak 40.0% subjek hanya mengonsumsi mood stabilizer, sedangkan yang menggunakan obat kombinasi lebih banyak yaitu 55.0%. Gambaran Jenis Komorbiditas Fisik pada Gangguan Bipolar Didapatkan hasil dari sepuluh komorbiditas fisik sebagai berikut. Tabel 2. Komorbiditas Fisik pada Gangguan Bipolar Variabel
n
(%)
Hipertensi
25
25.0
Stroke
7
7.0
Penyakit yang diderita
Diabetes Melitus
9
9.0
Migrain
36
36.0
Asma
5
5.0
Hipotiroid
3
3.0
Hipertiroid
1
1.0
Dermatitis Atopik
11
11.0
Hiperbilirubinemia
1
1.0
Atritis
5
5.0
Jenis penyakit fisik yang paling banyak diderita oleh pasien dengan gangguan bipolar adalah migrain (36.0%) diikuti oleh hipertensi (25.0%), dan dermatitis (11.0%). Hubungan Komorbiditas Fisik dengan Berbagai Faktor Gangguan Bipolar Didapatkan hubungan bermakna pada faktor umur terhadap terjadinya komorbid fisik. Tabel 3. Hubungan Komorbiditas Fisik terhadap Faktor Umur Komorbiditas (+)
Komordibitas (-)
3 (27.3)
8 (72.7)
26-45 tahun
38 (56.7)
29 (43.3)
> 45 tahun
21 (95.5)
1 (4.5)
Nilai p
Umur 18-25 tahun
0.001
Fisher’s Exact test
Didapatkan nilai p=0.001 (di bawah 0.05) yang menandakan adanya perbedaan bermakna. Hal ini menggambarkan bahwa ada hubungan bermakan antara kelompok umur dengan komorbiditas fisik. Akan tetapi, tidak didapat hubungan bermakna secara statistik pada faktor jenis kelamin, status pernikahan, status pendidikan, maupun pekerjaan. Pada analisis tambahan dilakukan analisis statistik pada migrain dan hipertensi (dua komorbid fisik paling banyak) terhadap pemberian obat kombinasi (polifarmasi) dan monoterapi.
23
Tabel 4. Analisis Hubungan Migrain terhadap Terapi Kombinasi (Polifarmasi) dan Monoterapi Polifarmasi
Monoterapi
Nilai p
Ya
24 (66.7)
12 (33.3)
0.121
Tidak
31 (48.4)
33 51.6)
Migrain
Chi-square test
Didapatkan nilai p=0.121 (di atas 0.05) yang menandakan tidak ada perbedaan bermakna. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara polifarmasi/monoterapi terhadap adanya migrain pada penelitian ini. PEMBAHASAN Jenis komorbiditas fisik yang paling banyak diderita pada gangguan bipolar adalah migrain (36.0%), diikuti oleh hipertensi (25.0%). Hal ini sesuai dengan penelitian Moriera et al (2011) yang menyimpulkan bahwa migrain dan hipertensi termasuk dalam tiga besar komorbiditas fisik bersama hipotiroid. Perbedaannya dibandingkan dengan penelitian ini adalah subjek gangguan bipolar yang menderita hipotiroid hanya sebesar 1% dan tidak masuk tiga besar komorbiditas fisik seperti halnya dalam penelitian Moriera. Beyer et al (2005) dalam penelitiannya mengatakan komorbiditas penyakit paling banyak adalah kardiovaskular/ hipertensi (10.7%). Migrain (36%) serta hipertensi (25%) terjadi dalam jumlah cukup besar pada penelitian ini, dan keduanya merupakan komorbiditas fisik bidang kardiovaskular. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna secara statistik terhadap faktor umur subjek dengan terjadinya komorbiditas fisik. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada gangguan bipolar tipe I terjadi komorbiditas hipertensi cukup banyak, yakni 80% dari seluruh responden gangguan bipolar yang mengalami hipertensi. Hal ini bertentangan dengan teori yang mengatakan bahwa pada hipertensi terjadi peningkatan kortisol sehingga akan lebih banyak pada penderita gangguan bipolar II. Perbedaan ini disebabkan karena responden yang diambil tidak didasari pada fase hipertensi, dan banyak sampel didapatkan dari riwayat hipertensi yang sudah mendapatkan antihipertensi. Pada penelitian ini didapatkan subjek sebanyak 83.3% bipolar tipe I dan 16.7% subjek bipolar tipe II mengalami migrain. Hal ini berbeda dengan beberapa jurnal yang menemukan bahwa migrain banyak terjadi pada gangguan bipolar II. Beberapa penelitian epidemiologi menunjukkan terjadi hubungan antara migrain dan depresi. Sebuah studi di Detroit, Amerika Serikat mengatakan terjadi prevalensi seumur hidup pada depresi mayor sebanyak tiga kali lebih besar dibandingkan pasien tanpa migrain (27% dibandingkan 9%). Gangguan bipolar I dan II juga timbul lebih sering di antara pasien dengan migrain, yakni 5% pada bipolar I dan 4% pada bipolar II.
24
Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa komorbiditas fisik yang terjadi pada pasien gangguan bipolar di Poli Psikiatri dan Bangsal Psikiatri R.S. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor adalah migrain, hipertensi, serta dermatitis. Didapatkan juga hubungan bermakna antara faktor umur penderita gangguan bipolar dengan terjadinya komorbiditas fisik. Pada analisis tambahan juga didapatkan hubungan bermakna secara statistik antara pemberian obat monoterapi/polifarmasi dengan terjadinya hipertensi.
1.
Parker BG. Comorbidities in bipolar disorder: models and management. MJA. 2010;193(4):18.
2.
Sagman D, Tohen M. Comorbidity in bipolar disorder [internet]. Psychiatric Times. 2009 Mar 23. Diakses dari: http://www. psychiatrictimes.com/bipolar-disorder/comorbidity-bipolar-disorder
3.
McElroy SL, Altshuler LL, Suppes T, Keck PEJ, Frye MA, Denicoff et al. Axis I psychiatric comorbidity and its relationship to historical illness variables in 288 patients with bipolar disorder. American Journal of Psychiatry. 2001 Mar;158(3):420-6.
4.
Andreasen NC. Brave New Brain: conquering mental illness in the era of the genome. Oxford (UK);New York (US): Oxford University Press; 2002. Bab 9, Mood Disorders; p.215-245.
5.
Vieta E. Managing Bipolar Disorder in Clinical Practice. 2nd ed. Newy York (US): Springer; 2009. 2009
6.
Oreski I, Jakovljevic M, Aukst-Margetic B, Orlic ZC, Vuksan-Cusa B.. Comorbidity and multimorbidity in patients with schizophrenia and bipolar disorder: similarities and differencies. Psyhiatria Danubina. 2012 Mar;24(1):80-5.
SARAN Psikiater yang mengobati dan memberikan obat gangguan bipolar dalam jangka waktu lama perlu memiliki kewaspadaan yang cukup tinggi mengingat besarnya jumlah komorbiditas fisik yang terjadi pada penelitian ini. Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium dan wawancara secara rutin untuk mengantisipasi timbulnya komorbiditas fisik pada penderita gangguan bipolar.
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016
25
laporan kasus
Forensic Risk Assessment pada Dua Buah Kasus Terkait Dengan Tindakan Pembunuhan Natalia Widiasih Raharjanti,1 Adhitya Sigit Ramadianto1 1 Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Cipto Mangunkusumo Abstrak Laporan kasus ini memberikan ilustrasi kasus yang menunjukkan adanya kegagalan dalam sistem penegakan hukum dan kesehatan jiwa di Indonesia dalam mendeteksi risiko keberbahayaan individu dan dalam menanggulangi risiko individu yang dinilai berisiko tinggi. Forensic risk assessment atau penilaian risiko keberbahayaan adalah sebuah proses analisis karakteristik seorang individu untuk menentukan probabilitas individu tersebut melakukan perilaku berbahaya. Saat ini belum ada instrumen penilaian risiko yang sahih, andal, dan akurat untuk digunakan secara spesifik pada populasi Indonesia. Pengembangan forensic risk assessment di Indonesia harus segera dilakukan dengan memperhatikan aspek klinis, legal, dan etika untuk mencapai tujuan akhir menurunkan risiko keberbahayaan dan mengurangi dampak negatif perilaku berbahaya.
Forensic Risk Assessment in Two Murder Related Cases Natalia Widiasih Raharjanti,1 Adhitya Sigit Ramadianto1 Abstract This case report presented two psychiatric cases that illustrate the shortcomings of Indonesian legal and mental health systems in detecting the risk of dangerousness in individuals and in responding to high-risk individuals. Forensic risk assessment is a process to determine an individual’s probability of committing dangerous act through analysis of his/her characteristics. Currently there is no risk assessment instrument that is valid, reliable, and accurate for use specifically in Indonesian population. The development of forensic risk assessment in the country is urgently needed, but it needs to carefully consider the clinical, legal, and ethical aspects in order to achieve the ultimate goal of reducing the risk and mitigating the impact of dangerous acts. Keywords: forensic risk assessment, forensic psychiatry, risk assessment instrument
LATAR BELAKANG Penilaian risiko keberbahayaan atau forensic risk assessment adalah sebuah upaya untuk mengevaluasi kemungkinan seseorang melakukan perilaku berbahaya.1,2 Forensic risk assessment umumnya dilakukan terhadap tersangka tindak pidana yang dikirim ke layanan psikiatri forensik untuk pembuatan visum et repertum psikiatrikum (VeRP). Walaupun demikian, penilaian risiko keberbahayaan dapat dilakukan dalam berbagai setting pelayanan kesehatan jiwa: rawat inap, rawat jalan, dan komunitas. Karena itu, pengetahuan dan keterampilan dasar mengenai penilaian risiko sudah sepatutnya dimiliki oleh seluruh dokter spesialis kedokteran jiwa serta tenaga kesehatan lainnya. ILUSTRASI KASUS Kasus 1 Ny. X, seorang ibu rumah tangga berusia 50 tahun, tiga kali melakukan pembunuhan terhadap asisten rumah tangga (ART) yang bekerja di rumahnya. Pada pembunuhan pertama, ia tidak dipidanakan karena dinyatakan mengalami gangguan kejiwaan dan dianggap tidak mampu mempertanggungjawabkan tindakannya. Ny. X tidak mendapatkan terapi psikiatrik yang adekuat hingga 4 tahun kemudian ia kembali melakukan pembunuhan. Ia kembali dinyatakan tidak mampu bertanggungjawab karena gangguan jiwa yang ia alami dan dikirim untuk perawatan di rumah sakit jiwa. Dalam perawatan, ia menolak tatalaksana dan hanya menjalani perawatan selama 1 tahun tanpa tatalaksana adekuat. Sekitar 12 tahun kemudian, ia membunuh ART yang ketiga. Ia dijatuhi pidana kurungan 6 tahun namun dibebaskan
setelah 3 tahun. Selama di penjara, ia tidak mendapatkan tatalaksana psikiatrik apapun. Setelah dibebaskan bersyarat, ia sempat menjalani pemeriksaan oleh konsultan psikiatri forensik. Pada saat itu ia dalam keadaan wajib lapor tetapi tidak menolak regimen pengobatan dan tetap mempekerjakan ART meski telah disarankan untuk tidak memiliki ART. Saat wajib lapor, diketahui ia kembali melakukan tindak kekerasan fisik dan psikologis terhadap asisten rumah tangga tersebut. Namun ketika hasil pemeriksaan ini disampaikan ke pihak berwenang, tidak ada tindakan yang diambil karena tidak ada aduan dari korban kekerasan itu sendiri. Pada pemeriksaan psikiatrik, didapatkan bahwa ia memiliki riwayat gangguan perilaku pada masa kanak dan saat ini ditegakkan diagnosis gangguan kepribadian antisosial. Ia sepenuhnya menyangkal bahwa dirinya mengalami gangguan psikologis, namun didapatkan adanya self-esteem yang rendah. Perilaku agresif selama ini ditujukan kepada orang yang berada di bawah pengaruh atau posisinya. Kecerdasan berada di atas rata-rata, serta ditemukan obsesi terkait kebersihan dan kerapihan. Kasus 2 RAr, 24 tahun; IH, 24 tahun; dan RA, 16 tahun, ditahan karena diduga melakukan pembunuhan terhadap seorang teman perempuan mereka. Pembunuhan ini diliput secara intensif oleh media massa karena cara pembunuhannya dianggap sangat sadis. Pada pemeriksaan psikiatrik, tidak didapatkan gangguan psikologis yang bermakna yang menganggu kecakapan mereka bertiga untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka. Namun dari penilaian risiko keberbahayaan pada ketiganya,
Alamat Korespondensi: dr. Natalia Widiasih Raharjanti, SpKJ(K), MPdKed; Divisi Psikiatri Forensik, Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – RS Cipto Mangunkusumo. E-mail:
[email protected]
26
Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia
didapatkan beberapa faktor risiko yang menandakan mereka berpotensi mengulangi perilaku kekerasannya tersebut. RA yang diduga sebagai ‘otak’ dari pembunuhan tersebut dan akan dituntut hukuman maksimal yaitu pidana kurungan 10 tahun. Bagaimana kemungkinan selanjutnya pasca ketiganya dikembalikan ke masyarakat pasca menjalani hukuman pidananya bila mereka tidak mendapatkan terapi psikiatrik? DISKUSI KASUS Kasus pertama menggambarkan kegagalan sistem penegakan hukum dan kesehatan jiwa untuk mendeteksi individu yang berisiko tinggi melakukan tindakan berbahaya dan melawan hukum, serta gagal untuk menanggulangi risiko tersebut ketika individu yang berisiko tinggi berhasil dideteksi. Pada kasus kedua, apabila individu tersebut benar dijatuhi pidana kurungan 10 tahun, maka ia akan dibebaskan pada usia 26 tahun. Apabila memperhatikan kasus pertama, maka kasus kedua akan memunculkan pertanyaan bagaimana sistem penegakan hukum dan kesehatan jiwa dapat memastikan bahwa ia tidak berisiko mengulangi perilaku kekerasan pada saat dibebaskan dari penjara, terutama apabila mereka tidak mendapatkan tatalaksana psikiatrik yang memadai selama menjalani hukuman penjara. Walaupun kerap tidak disadari, penilaian risiko keberbahayaan sebenarnya adalah bagian yang melekat pada praktik kedokteran jiwa1: dalam tatalaksana pasien, psikiater mempertimbangkan risiko yang mungkin terjadi apabila pasien diberikan atau tidak diberikan psikofarmaka. Penilaian risiko keberbahayaan juga dilakukan saat psikiater mempertimbangkan untuk mengambil keputusan rawat paksa pada seorang pasien. Dalam konteks tulisan ini, forensic risk assessment adalah proses penentuan tingkat probabilitas seseorang akan melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiri, membahayakan orang lain, dan/atau melawan hukum, baik untuk pertama kalinya ataupun berulang (residivisme).2 Hasil dari forensic risk assessment dapat menjadi dasar untuk melakukan intervensi tertentu demi menurunkan probabilitas tersebut atau meminimalisir dampaknya.3 Dasar Penilaian Risiko Keberbahayaan Pada prinsipnya, forensic risk assessment dilakukan dengan cara mengumpulkan data determinan terkait keberbahayaan seseorang dan menganalisis data tersebut untuk menghasilkan sebuah kesimpulan terkait tingkat keberbahayaannya.4,5 Determinan tingkat keberbahayaan dapat dikelompokkan menjadi faktor risiko yang meningkatkan probabilitas keberbahayaan dan faktor protektif yang menurunkan probabilitas keberbahayaan seseorang.2,4 Determinan tersebut dapat bersifat statis (tidak dapat dimodifikasi, contoh: usia, jenis kelamin, riwayat melakukan kekerasan), dinamis-stabil (dapat dimodifikasi tetapi cenderung menetap, contoh: status perkawinan, lingkungan tempat tinggal), dan dinamis-akut (dapat dimodifikasi dan relatif mudah berubah, contoh: tingkat stres, kepatuhan berobat).2 Determinan keberbahayaan dapat ditentukan dengan beberapa metode yang pada praktiknya saling terkait: empiris, teoritis, dan klinis. Pertama, metode empiris menggunakan
penelitian observasional untuk mendeteksi karakteristik yang terdapat pada populasi pelaku keberbahayaan dan bermakna secara statistik. Kedua, metode teoritis menggunakan kerangka teori perilaku manusia untuk merumuskan faktorfaktor yang dapat mendorong atau menghambat seseorang melakukan keberbahayaan. Sebagai contoh, melalui sudut pandang psikodinamik dapat dikatakan bahwa salah satu faktor risiko keberbahayaan adalah attachment yang tidak sehat. Terakhir, metode klinis menekankan penentuan determinan keberbahayaan yang dapat dilakukan intervensi untuk menurunkan risiko keberbahayaan.2 Penilaian risiko yang baik tidak hanya menentukan probabilitas seseorang melakukan perilaku tertentu, tetapi juga mampu menggambarkan derajat keparahan (severity) tindakan yang mungkin dilakukan, kesegeraan seseorang akan melakukan tindakan tersebut (imminency), dan keberulangannya (frequency).3 Dengan penilaian mencakup seluruh aspek tersebut, maka diharapkan tujuan akhir forensic risk assessment untuk menurunkan risiko keberbahayaan dapat dicapai dengan intervensi yang spesifik dan terarah. Metode Penilaian Risiko Keberbahayaan Pada awalnya, psikiater melakukan penilaian risiko keberbahayaan tanpa alat bantu apapun, hanya bergantung pada pengetahuan, pengalaman, dan persepsi yang ia miliki mengenai pasien tersebut. Seiring dengan tumbuhnya penelitian di bidang forensic risk assessment, dan untuk menghasilkan penilaian risiko keberbahayaan yang sahih, andal, serta etis, maka dibuatlah berbagai instrumen untuk membantu psikiater menganalisis determinan keberbahayaan.1,2 Instrumen-instrumen yang berkembang pun memiliki pendekatan yang berbeda untuk menentukan probabilitas keberbahayaan seseorang. Hingga saat ini sudah terdapat ratusan instrumen forensic risk assessment untuk berbagai perilaku berbahaya, populasi, dan setting penilaian.1,6-8 Sebagai hasil dari perkembangan bidang ilmu forensic risk assessment, penilaian risiko keberbahayaan umumnya digolongkan ke dalam tiga kelompok besar: unstructured clinical judgment, structured professional judgment, dan actuarial assessment.2 Unstructured clinical judgment (UCJ) adalah metode forensic risk assessment yang sepenuhnya bergantung pada pengetahuan dan keterampilan klinis pemeriksa tanpa dibantu instrumen terstruktur. Jenis data yang dikumpulkan sepenuhnya tergantung pada psikiater pemeriksa dan tidak terstandar dari satu pemeriksa ke pemeriksa lain. Karena itu, UCJ sangat rentan menghasilkan kesimpulan yang tidak sahih dan andal karena dipengaruhi oleh subjektivitas dan bias pemeriksa.9 Walau demikian, harus diakui bahwa UCJ memiliki kelebihan berupa fleksibilitas untuk menyesuaikan penilaian bagi tiap individu dan tidak memerlukan banyak biaya ataupun persiapan.2,3 Forensic risk assessment dengan metode aktuarial menggunakan instrumen untuk memberikan hasil kuantitatif mengenai tingkat probabilitas keberbahayaan seseorang menggunakan analisis statistik.2 Tiap determinan diberikan bobot tertentu dan tingkat keberbahayaan seseorang ditentukan dengan cara membandingkan skor keseluruhan dari instrumen
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 tersebut dengan probabilitas keberbahayaan dari populasi asal instrumen tersebut. Dengan demikian, maka metode aktuarial bersifat transparan karena determinan yang dipertimbangkan sudah jelas dan objektif karena penentuan probabilitas keberbahayaan dilakukan dengan metode statistik tanpa intervensi dari penilai.2 Hasil kuantitatif dari metode aktuarial juga kerap dianggap sebagai sebuah kelebihan karena menjadi sangat berguna untuk kepentingan hukum.2 Akan tetapi, ketergantungan metode aktuarial pada perhitungan statistik juga menjadi sebuah kelemahan. Masalah keandalan metode aktuarial dapat terjadi akibat penggunaan perhitungan dari sebuah populasi ke tingkat individu, penggunaan instrumen aktuarial pada populasi yang berbeda dengan populasi asal instrumen, serta tidak adanya ruang untuk mempertimbangkan determinan keberbahayaan yang bersifat spesifik untuk tiap kasus (case-by-case basis).3,9 Kekurangan lain dari metode aktuarial adalah penekanan pada faktor risiko yang bersifat statis sehingga hasilnya kurang dapat dijadikan panduan untuk menentukan intervensi yang sesuai.10 Structured professional judgment (SPJ) menggunakan daftar determinan yang ditentukan secara empiris dari penelitian sebelumnya, namun berbeda dengan metode aktuarial, SPJ tidak menggunakan metode statistik dalam penentuan tingkat probabilitas keberbahayaan seseorang.2 Instrumen dengan metode SPJ dapat dianggap sebagai pedoman umum agar proses penilaian lebih sahih, konsisten antarpemeriksa yang berbeda, dan terfokus. Di saat yang sama, SPJ tetap memberi ruang untuk pertimbangan individual dari tiap kasus dalam mengambil kesimpulan. Pertimbangan individual yang dimaksud dapat berupa faktor risiko selain yang ada dalam instrumen atau modifikasi pembobotan faktor risiko terhadap kesimpulan tingkat risiko.2 Analisis determinan keberbahayaan dilakukan secara naratif dan kesimpulan hanya berupa kategori besar seperti risiko rendah, sedang, dan tinggi. Karena itu, SPJ dapat dianggap memperbaiki kelemahan yang ada dalam metode aktuarial.3 Walaupun tidak memberikan hasil kuantitatif dan tidak menggunakan metode statistik, penelitian menunjukkan bahwa kesahihan dan keandalan SPJ setara dengan metode aktuarial.7,8 Kelebihan lain dari SPJ adalah adanya pertimbangan mengenai derajat keparahan, kesegeraan, dan keberulangan perilaku berbahaya yang dinilai. Penekanan pada faktor risiko dinamis juga mampu mengarahkan intervensi yang tepat bagi pasien.10 Kelemahan dari SPJ adalah prosesnya berpotensi menjadi kurang objektif karena dipengaruhi oleh subjektivitas penilai dan penggunaannya tidak semudah metode aktuarial karena perlu pelatihan khusus dan waktu yang lebih panjang. Dengan memperhatikan karakteristik tiap metode penilaian risiko, maka dapat dikatakan bahwa berbagai metode tersebut berada pada sebuah kontinuum dengan UCJ di satu sisi dan instrumen aktuarial di sisi lain. Instrumen dengan metode SPJ berada sepanjang spektrum tersebut karena penilaiannya terstruktur seperti metode aktuarial namun memperbolehkan adanya pertimbangan klinis (clinical override) dalam menentukan tingkat keberbahayaan.5 Penilaian Risiko Keberbahayaan dalam Perspektif Etika Forensic risk assessment sebagai tindakan medik dapat
27
menimbulkan dilema etik yang harus dicermati. Berbeda dengan tindakan atau pemeriksaan medis lain, dalam forensic risk assessment yang menjadi prioritas utama bukanlah kepentingan pasien, melainkan keselamatan dan keamanan publik.3,11 Di lain sisi, forensic risk assessment dapat menjadi ancaman bagi hak pasien atas kerahasaiaan medik (confidentiality) dan hak-hak sipil (civil liberties) pasien. Dilema etik ini harus selalu dipertimbangkan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa yang melakukan forensic risk assessment dan menentukan rekomendasi intervensi berdasarkan hasil penilaian risiko tersebut. Pertama, apabila forensic risk assessment dianggap sebagai tindakan medis, maka sudah sepatutnya pasien mendapatkan penjelasan dan dimintakan informed consent sebagaimana dilakukan sebelum tindakan medis lainnya, terutama karena forensic risk assessment menimbulkan risiko yang nyata bagi pasien.3 Walaupun penilaian risiko tanpa persetujuan partisipasi dari pasien dapat dibenarkan apabila dilakukan sesuai hukum yang berlaku, pemeriksa sebaiknya tetap memberikan penjelasan mengenai tujuan dan konsekuensi dari penilaian risiko yang dilakukan terhadap pasien.3 Kedua, psikiater yang melakukan forensic risk assessment mungkin harus melanggar prinsip kerahasiaan medik saat menyampaikan hasil penilaian pada pihak yang berwenang. Selain itu, rahasia medik yang dibuka mungkin menyebabkan hilangnya hak-hak sipil pasien karena ia harus menjalani rawat paksa atau tindakan lainnya tanpa informed consent dari pasien tersebut. Tindakan membuka rahasia medik dalam konteks penilaian risiko dan konsekuensi dari tindakan tersebut umumnya sudah dimaklumi dan bahkan direkomendasikan oleh organisasi profesi demi mencegah kerugian yang dapat dicegah (preventable harm), namun harus didasari oleh besarnya risiko keberbahayaan pasien tersebut.3 Dilema etik ketiga berhubungan dengan akurasi forensic risk assessment dan kemungkinan hasil positif palsu. Seperti uji diagnostik lainnya, tiap instrumen penilaian risiko memiliki nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif positif (NP+), dan nilai prediktif negatif (NP-). Instrumen yang lazim digunakan memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang baik dan tidak dipengaruhi prevalensi keberbahayaan yang diprediksi.7,8 Akan tetapi prevalensi keberbahayaan (contoh: kekerasan fisik, kekerasan seksual) yang relatif sangat rendah dapat mempengaruhi NP+ dan NP- suatu instrumen. Ketika memprediksi suatu luaran dengan prevalensi sangat rendah, nilai NP+ menjadi rendah juga sehingga meningkatkan risiko terjadinya positif palsu. Tabel 1 mengilustrasikan risiko positif palsu dengan membandingkan nilai NP+ suatu instrumen dengan sensitivitas dan spesifisitas 90% pada prevalensi yang berbeda. Positif palsu memang berpotensi terjadi pada uji diagnostik apapun, namun pada konteks forensic risk assessment, positif palsu menimbulkan suatu masalah etika karena konsekuensi yang terjadi apabila seseorang dinyatakan memiliki risiko tinggi melakukan perilaku berbahaya. Seperti diilustrasikan dalam Tabel 1 Skenario 2, pada prevalensi rendah maka lebih banyak didapatkan positif palsu dibadingkan dengan positif sejati. Psikiater, tenaga kesehatan jiwa lainnya, dan seluruh pihak yang terlibat dalam penilaian risiko keberbahayaan perlu menjawab pertanyaan apakah merampas hak-hak sipil
Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia
28
sekian banyak orang yang sebenarnya tidak membahayakan (positif palsu) sepadan untuk mencegah sebuah tindak keberbahayaan (positif sejati).1,3,5 Tabel 1. Ilustrasi Nilai Prediktif Positif
Keempat, tanpa instrumen penilaian risiko maka psikiater dan tenaga kesehatan jiwa lainnya tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk menginformasikan pihak berwenang mengenai pasien berpotensi melakukan perilaku berbahaya. Berkaca dari kasus Tarasoff di Amerika Serikat, psikiater dapat diminta pertanggungjawaban apabila pasien mereka melakukan tindakan berbahaya dan kemudian terbukti bahwa sebelumnya tidak dilakukan penilaian risiko atas pasien tersebut. Adanya instrumen penilaian risiko dapat menjadi bukti konkrit bahwa forensic risk assessment telah dilakukan.1,2
Skenario 1 dengan n = 1000 dan prevalensi 25% Hasil tes
Hasil standar baku Positif
Negatif
Positif
225
75
Negatif
25
675
NP+ = 225/300 = 0,75 Skenario 2 dengan n = 1000 dan prevalensi 5% Hasil tes
Hasil standar baku Positif
Negatif
Positif
45
95
Negatif
5
855
NP+ = 45/140 = 0,32
Pengembangan Indonesia
Penilaian
Risiko
Keberbahayaan
penilaian risiko dilakukan dengan metode yang sahih dan andal. Perampasan hak tersebut semakin sulit mendapatkan justifikasi apabila metode yang digunakan untuk menilai risiko ternyata tidak akurat dan sangat berpotensi merampas hak orang-orang yang sebenarnya tidak berisiko melakukan tindakan berbahaya.3
di
Karena dinilai bermanfaat bagi dokter, pasien, dan masyarakat umum, berbagai instrumen forensic risk assessment sudah banyak digunakan di berbagai negara maju dan mulai dipraktekkan di negara berkembang.7,12 Publikasi mengenai forensic risk assessment, baik dalam bentuk laporan penelitian ataupun systematic review dan meta-analisis, dapat dikatakan tersedia melimpah.6,7 Sebagaimana digambarkan dalam ilustrasi kasus, di Indonesia sudah terdapat kebutuhan akan layanan forensic risk assessment yang profesional serta instrumen penilaian risiko yang sahih dan andal. Mengingat keterbatasan jumlah dan distribusi dokter spesialis kedokteran jiwa di Indonesia, seluruh psikiater mungkin akan diminta untuk melakukan penilaian risiko karena dapat digunakan dalam berbagai konteks dan setting layanan.1 Tanpa adanya instrumen, maka psikiater terpaksa bergantung pada metode UCJ dengan berbagai kelemahannya.1,2,8 Kondisi tersebut dapat menimbulkan serangkaian masalah atau dilema. Pertama, akurasi forensic risk assessment di Indonesia menjadi sangat rendah karena berdasarkan berbagai penelitian, termasuk sebuah systematic review of reviews, metode UCJ memiliki kesahihan dan keandalan di bawah metode aktuarial dan SPJ.8,5,13 Dengan akurasi penilaian risiko keberbahayaan yang rendah, maka tujuan akhir dari forensic risk assessment untuk mencegah preventable harm tidak dapat dicapai. Kedua, penggunaan UCJ dinilai sudah tidak layak lagi, mengingat pesatnya perkembangan instrumen aktuarial dan SPJ di berbagai belahan dunia. Sebagai tindakan medis, forensic risk assessment sepatutnya dilaksanakan sebagai evidence-based practice berdasarkan bukti yang mutakhir.9 Ketiga, ketiadaan instrumen penilaian risiko yang sahih dan andal memperbesar dilema etik yang dihadapi dalam forensic risk assessment. Hilangnya hak sipil pasien dan dilanggarnya kerahasiaan medik hanya dapat dibenarkan jika
Memperhatikan masalah-masalah tersebut, maka sudah selayaknya tenaga kesehatan jiwa Indonesia mengembangkan instrumen FRA yang sahih, andal, dan akurat untuk digunakan pada populasi Indonesia. Kestabilan akurasi instrumen FRA saat digunakan pada populasi yang berbeda memang masih menjadi kelemahan.2,3,9 Sebuah penelitian di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mengenai penggunaan instrumen penilaian risiko di negara tersebut menunjukkan keandalan yang cukup baik namun kesahihannya rendah. Salah satu kemungkinan penyebab rendahnya kesahihan instrumen FRA di RRT adalah karena instrumen yang digunakan berasal dari populasi dengan karakteristik yang sangat berbeda sehingga tidak mampu menggambarkan determinan yang spesifik untuk populasi di RRT.12 Selain sekedar mengejar ketertinggalan dalam bidang forensic risk assessment, psikiater dan tenaga kesehatan jiwa di Indonesia juga harus mengikuti perkembangan dan perubahan paradigma yang senantiasa terjadi dalam bidang ini. Salah satu kritik terhadap paradigma forensic risk assessment saat ini adalah terlalu terfokus pada faktor risiko psikososial saja dan belum mempertimbangkan faktor genetik dan neurobiologi, padahal kemajuan penelitian neurosains telah menunjukkan adanya hubungan antara faktor neurobiologi dengan risiko perilaku berbahaya.14 Instrumen penilaian risiko di masa depan harus mampu menggambarkan faktor neurobiologi, faktor psikososial, dan interaksi antara keduanya.15 Namun harus diakui bahwa masih dibutuhkan banyak penelitian sebelum faktor neurobiologi dapat diintegrasikan ke dalam forensic risk assessment yang sahih, andal, akurat, dan etis.16 Pengembangan instrumen penilaian risiko bukan tujuan akhir dari forensic risk assessment karena penilaian risiko hanyalah satu dari sekian banyak komponen manajemen risiko.5 Pengembangan forensic risk assessment sepatutnya diiringi oleh pengembangan sistem intervensi multidisiplin yang optimal, termasuk dasar hukumnya, untuk menurunkan probabilitas keberbahayaan dan memitigasi dampak negatif akibat tindakan berbahaya tersebut.11,17 Tanpa adanya sistem yang mampu menindaklanjuti hasil penilaian risiko secara optimal, maka forensic risk assessment tidak akan membawa manfaat selain menyematkan label ‘berbahaya’ pada pasienpasien tertentu. Selain itu, melakukan pemeriksaan yang tidak akan atau tidak dapat ditindaklanjuti dapat menjadi masalah etika tersendiri.
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 Selain itu, sesuai dengan paradigma praktik kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine), penelitian mengenai instrumen penilaian risiko harus terus berkembang agar tidak hanya menunjukkan akurasi dari tiap instrumen, namun juga membuktikan bahwa intervensi terhadap faktor risiko yang dinilai oleh instrumen mampu menurunkan tingkat risiko keberbahayaan seseorang.5 KESIMPULAN
29
5. Monahan J, Skeem JL. The evolution of violence risk assessment. CNS Spectr. 2014;19(5):419–24. 6. Singh JP. Five opportunities for innovation in violence risk assessment research. J Threat Assess Manag. 2014;1(3):179–84. 7. Fazel S, Singh JP, Doll H, Grann M. Use of risk assessment instruments to predict violence and antisocial behaviour in 73 samples involving 24 827 people: systematic review and metaanalysis. BMJ. 2012;345:e4692. 8. Singh JP, Fazel S. Forensic risk assessment: a metareview. Crim Justice Behav. 2010;37(9):965–88.
Kemajuan bidang forensic risk assessment di Indonesia sangat dibutuhkan untuk menjawab kebutuhan pasien dan masyarakat. Untuk menunjang kemajuan tersebut, dibutuhkan pengembangan instrumen penilaian risiko yang sahih, andal, dan akurat untuk digunakan pada populasi masyarakat Indonesia. Ketiadaan instrumen penilaian risiko, seperti kondisi saat ini, berpotensi merugikan pasien dan masyarakat serta menempatkan tenaga kesehatan dalam posisi yang dilematis dari sudut pandang etika.
9. Nadelhoffer T, Bibas S, Grafton S, Kiehl KA, Mansfiel A, SinnottArmstrong W, et al. Neuroprediction, violence, and the law: setting the stage. Neuroethics. 2012;5(1):67–99.
DAFTAR PUSTAKA
13. Lidz CW, Mulvey EP, Gardner W. The accuracy of predictions of violence to others. JAMA. 1993;269:1007–11.
1. Mossman D. Understanding risk assessment instruments. In: Simon RI, Gold LH. Textbook of forensic psychiatry. 2nd ed. American Psychiatric Publishing, 2010. 2. Brown J, Singh JP. Forensic risk assessment: a beginner’s guide. Arch Forensic Psychol. 2014;1(1):49–59. 3. Roychowdhury A, Adshead G. Violence risk assessment as a medical intervention: ethical tensions. Psychiatr Bull. 2014;38:75–82. 4. Kraemer HC, Kazdin AE, Offord DR, Kessler RC, Jensen PS, Kupfer DJ. Coming to terms with the terms of risk. Arch Gen Psychiatry. 1997;54:337–43.
10. Douglas KS, Skeem JL. Violence risk assessment: getting specific about being dynamic. Psychol, Public Policy, Law. 2005;11(3):347–83. 11. Brundtland GH. Violence prevention: a public health approach. JAMA. 2002;288(13):1580. 12. Zhou J, Witt K, Xiang Y, Zhu X, Wang X, Fazel S. Violence risk assessment in psychiatric patients in China: a systematic review. Aust New Zeal J Psychiatry. 2016;50(1):33–45.
14. Siever LJ. Neurobiology of aggression and violence. Am J Psychiatry. 2008;165(4):429–42. 15. van der Gronde T, Kempes M, van El C, Rinne T, Pieters T. Neurobiological correlates in forensic assessment: a systematic review. PLoS One. 2014;9(10):e110672. 16. Rothstein MA. Science and society: applications of behavioural genetics: outpacing the science? Nat Rev Genet [Internet]. 2005;6:793–8. 17. Higgins N, Watts D, Bindman J, Slade M, Thornicroft G. Assessing violence risk in general adult psychiatry. Psychiatr Bull. 2005;29:131–3.
Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia
30
t i n jaua n p u s ta k a
Kompleksitas Skrining dan Diagnosis Gangguan Bipolar pada Anak dan Remaja Dr. dr. Tjhin Wiguna, SpKJ(K)1 1 Divisi Psikiatri Anak dan Remaja, Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa FKUI - RSCM, Jakarta. E-mail:
[email protected] Abstrak Gangguan bipolar pada anak dan remaja merupakan suatu gangguan mood dengan gambaran klinis yang bervariasi, baik dari aspek gejala maupun durasi perubahan mood itu sendiri. Variasi ini lebih luas jika dibandingkan dengan individu dewasa. Sampai saat ini, belum ada kriteria diagnosis yang spesifik untuk gangguan bipolar pada anak dan remaja sehingga masih digunakan kriteria diagnosis gangguan bipolar untuk individu dewasa. Karena anak dan remaja masih dalam masa perkembangan, seringkali penegakkan diagnosis tersebut menjadi sulit dan cenderung mengalami misdiagnosis, baik itu berupa under- atau overdiagnosis. Dengan demikian, perlu adanya konsensus untuk skrining maupun penegakkan diagnosis gangguan bipolar pada anak dan remaja. The Juvenile Bipolar Research Foundation (JBRF) sejak dua dekade yang lalu telah berupaya untuk mengembangkan kuesioner skrining dan upaya diagnosis yang lebih akurat untuk kondisi ini. Saat ini, mereka menganjurkan untuk menggunakan the Child Bipolar Questionnaire’ (CBQ) dan Jeanne/Jeffrey Questionnaire for Children (self-report questionnaire) sebagai alat skrining yang dilaporkan cukup akurat. Untuk klinisi, dapat digunakan Child Bipolar Screening Interview (CBSI) sebagai pedoman wawancara dalam penegakkan diagnosis gangguan bipolar pada anak dan remaja, terutama dalam aspek penelitian agar keseragaman dan akurasi diagnosis dapat dicapai dengan lebih tepat. Namun, sayangnya, semua alat ukur tersebut masih belum tersedia dalam bahasa Indonesia. Makalah ini bertujuan untuk menggambarkan kompleksitas terkait skrining dan diagnosis gangguan bipolar pada anak dan remaja, serta mendiskusikan beberapa alat ukur yang sudah ada saat ini. Kata kunci: gangguan bipolar, anak dan remaja, skrining, diagnosis
The Complexity of Screening and Diagnosis in Pediatric Bipolar Disorder Dr. dr. Tjhin Wiguna, SpKJ(K)1 Abstract Pediatric bipolar disorder is a multifaceted disorder that shows a wide range of mood as the symptoms. Compared to adult bipolar disorder, pediatric cases are much more complex due to their developmental stages. Currently, there are no specificic diagnostic criteria tools available for pediatric bipolar disorder. The diagnosis is based on the standardized diagnostic criteria for adult bipolar disorder, therefore misdiagnosis might happen more often as children are still developing. As a result, consensus for diagnostic and screening for pediatric bipolar disorder have to be made. In the past two decades, the Juvenile Bipolar Research Foundation (JBRF) has done a lot of studies related to screening and diagnostic guideline for pediatric bipolar disorder. They explained that the Child Bipolar Questionnaire’ (CBQ) dan Jeanne/Jeffrey Questionnaire for Children (self-report questionnaire) could be used as a screening questionnaire with good reliability and validity. In addition, they also suggested clinician to use the Child Bipolar Screening Interview (CBSI) as a standardized guideline interview for diagnosing pediatric bipolar disorder particularly for research. Unfortunately, all of the instruments are not translated or validated in Indonesian language. This paper discusses the complexity of screening and diagnosing pediatric bipolar disorder; secondly, this paper is also intended to increase the awareness of using standardized tools for screening and diagnosing pediatric bipolar disorder particularly in Indonesian language amongst clinicians. Keywords: pediatric bipolar disorder, child and adolescent, screening, diagnosis
PENDAHULUAN Skrining merupakan proses untuk mengidentifikasi suatu penyakit dengan menggunakan berbagai uji yang dapat diterapkan secara tepat dalam suatu populasi sehingga dengan cepat dapat mengelompokkan individu yang mengalami penyakit dan individu lainnya yang sehat. Skrining bukan bertujuan untuk menegakkan diagnosis, namun bermanfaat untuk melakukan deteksi dini dalam populasi atau dalam populasi yang rentan untuk mengalami suatu penyakit atau kondisi tertentu (population at risk). Hasil skrining positif pada seseorang merupakan indikasi untuk dilakukannya penelusuran lebih lanjut terhadap masalah tersebut sampai didapatkan diagnosis yang tepat sehingga tatalaksana dapat diberikan sejak dini untuk menghindari keterlambatan dalam pengobatan serta mengurangi disabilitas yang mungkin terjadi. Diagnosis klinis gangguan bipolar pada anak dan remaja merupakan hal yang kompleks sehingga menimbulkan berbagai kondisi seperti kesalahan atau keterlambatan diagnosis. Kondisi ini terjadi karena sampai saat ini belum ada konsensus yang pasti mengenai gejala klinis gangguan
bipolar pada anak dan remaja sehingga diagnosis pada umumnya ditegakkan dengan mengacu pada kriteria diagnosis gangguan bipolar untuk orang dewasa.1-3 Sebagai contoh, dalam suatu penelitian dilaporkan bahwa selama periode 1995 – 2005 diagnosis gangguan bipolar pada anak dan remaja meningkat 40 kali lipat. Hal ini disebabkan oleh belum adanya kriteria diagnosis yang pasti pada saat itu sehingga para klinisi menegakan diagnosis tersebut sesuai dengan pemahamannya masing-masing.3 Sejak tahun 2000, ketika diagnosis gangguan bipolar pada anak mulai mengacu pada kriteria diagnosis gangguan bipolar pada dewasa, rasio prevalensi gangguan bipolar pada anak dan remaja tampaknya tidak ada peningkatan yang signifikan dan dilaporkan sama dengan rasio prevalensi pada kelompok usia dewasa.4 Dilain pihak, awitan dini gangguan bipolar yang terjadi pada anak dan remaja merupakan penanda yang buruk terhadap perjalanan penyakit tersebut. Awitan dini dikaitkan dengan peningkatan risiko bunuh diri, perilaku kekerasan dan labilitas mood yang lebih tinggi5-9, serta mempunyai komorbiditas gangguan jiwa lain yang lebih banyak seperti gangguan psikotik, gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 (GPPH), gangguan perilaku menentang, gangguan cemas, gangguan obsesif, kompulsif serta gangguan tingkah laku.5,10 Disamping itu, onset gangguan bipolar pada usia anak dan remaja juga menunjukkan angka yang lebih besar pada derajat kekambuhan dan layanan rawat inap. Oleh karena itu, skrining terhadap gejala klinis gangguan bipolar pada anak dan remaja penting dilakukan agar gejala awal dapat dideteksi secara dini dan diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan tepat. Dengan begitu, diharapkan tatalaksana diberikan pada saat yang lebih awal dan kualitas hidup anak dapat dipertahankan seoptimal mungkin. BERBAGAI ISU TERKAIT DENGAN KOMPLEKSITAS SKRINING DAN DIAGNOSIS GANGGUAN BIPOLAR PADA ANAK DAN REMAJA Identifikasi gejala klinis gangguan bipolar pada anak dan remaja merupakan tantangan yang besar karena gejala klinisnya seringkali bertumpang tindih dengan gejala gangguan psikis lain yang umum dijumpai pada anak dan remaja, misalnya GPPH, gangguan depresi, gangguan perilaku menentang, gangguan tingkah laku, gangguan spektrum autisme, gangguan cemas, dsb.5,11,12 Tanda perkembangan normal seorang anak dan remaja juga seringkali disalahartikan sebagai suatu bentuk psikopatologi sehingga diinterpretasikan sebagai bagian dari sindrom gangguan bipolar, misalnya iritabilitas mood yang mungkin dijumpai saat memasuki usia pubertas dipersepsikan sebagai episode manik atau depresi. Oleh karena itu, konsensus dalam menegakkan diagnosis gangguan bipolar pada anak dan remaja sangat penting untuk diadakan. Namun, sampai saat ini konsensus tersebut masih belum ada dan hanya mengacu pada konsensus untuk individu dewasa.1,3 Dalam Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder IV dan V (DSM IV dan V), dijelaskan bahwa gangguan bipolar merupakan suatu gangguan yang bersifat episodik. Episode manik pada gejala gangguan bipolar merupakan episode kunci untuk penegakkan diagnosis. Episode tersebut digambarkan sebagai episode yang ditandai oleh elevasi mood atau mood iritabel yang menetap untuk satu periode waktu tertentu (7 hari untuk gangguan bipolar I dan 4 hari untuk gangguan bipolar II). Selain itu, gejala lainnya adalah perilaku manik lainnya seperti perilaku impulsif, hiperaktif, dan sebagainya.13,14 Kondisi ini seringkali tidak sesuai dengan gambaran klinis gangguan bipolar pada anak dan remaja. Pada anak dan remaja dengan gangguan bipolar, episode elevasi mood atau mood iritabel tersebut berlangsung sangat pendek dan berakhir dalam hitungan jam sehingga sulit untuk memenuhi kriteria ‘episode’ seperti yang dimaksudkan dalam DSM tersebut. Selain itu, perubahan mood yang dijumpai juga dapat bersifat ekstrem, dari mulai elevasi mood sampai mood yang sangat depresi. Perubahan tersebut terjadi dalam periode waktu yang sangat singkat dan kadangkala disertai pula dengan gejala psikotik. Oleh karena itu, pada tahun 2001, ditambahkan satu kriteria diagnosis dalam DSM yaitu gangguan bipolar NOS (not otherwise specified) sehingga dapat digunakan untuk menentukan diagnosis gangguan bipolar pada anak dan remaja yang tidak memenuhi kriteria diagnosis gangguan bipolar yang ada, terutama dalam kaitan perlu adanya ‘episode’
31
tersebut.15 Dalam DSM V saat ini terdapat satu diagnosis baru yang disebut sebagai Disruptive Mood Dysregulation Disorder (DMDD) yang menggambarkan anak dan remaja dengan iritabilitas kronik atau perubahan mood ekstrem dan cepat (rapid cycling) sehingga memberikan alternatif penegakkan diagnosis lain selain gangguan bipolar NOS tersebut.16 PENGGUNAAN KUESIONER UNTUK SKRINING GANGGUAN BIPOLAR PADA ANAK DAN REMAJA Sebagaimana dijelaskan diatas, gangguan bipolar pada anak merupakan gangguan dengan gejala yang kompleks dan beragam sehingga skrining dan diagnosis memerlukan penelusuran yang lebih mendalam dengan mempertimbangkan usia perkembangan anak dan remaja tersebut. Kuesioner yang digunakan saat ini untuk skrining gangguan bipolar pada anak dan remaja adalah ‘The Child Bipolar Questionnaire’ (CBQ) yang terdiri dari 65 butir pernyataan dan 10 subskala. Butirbutir pernyataan tersebut diambil dari kriteria yang ada dalam DSM untuk gejala manik, depresi, dan gejala komorbiditas lainnya untuk gangguan bipolar, seperti gejala cemas, gangguan tidur, dan gangguan tingkah laku. Kuesioner CBQ ini dikembangkan oleh the Juvenile Bipolar Research Foundation (JBRF) dan digunakan sejak tahun 2003. CBQ dalam bahasa Inggris tersebut dilaporkan mempunyai uji reliabilitas yang baik dan dapat diisi baik oleh orangtua, pengasuh, maupun klinisi yang melakukan pemeriksaan terhadap anak dan remaja tersebut. Dengan berjalannya waktu, dikembangkan instrumen diagnosis gangguan bipolar pada anak dan remaja yang terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian yang diisi oleh orangtua/pengasuh (sama dengan CBQ), bagian yang diisi oleh klinisi (Child Bipolar Screening Interview/CBSI), dan bagian yang diisi oleh anak/remaja itu sendiri (Jeanne/Jeffrey Questionnaire for Children).17,18 CBSI dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk mendapatkan kriteria diagnosis alternatif di samping yang ada dalam DSM-IV, terutama untuk diaplikasikan dalam riset terkait gangguan bipolar pada anak dan remaja. CBSI merupakan suatu panduan wawancara yang dapat digunakan oleh seorang klinisi maupun peneliti. Instrumen ini didesain untuk mendapatkan informasi yang lebih detail mengenai gejala gangguan mood yang dialami anak serta gejala penyerta lain yang berkaitan dengan perubahan mood. Gejala dilaporkan oleh orangtua melalui pengisian CBQ dengan nilai tinggi atau dari anak sendiri melalui hasil pengisian Jeanne/ Jeffrey Questionnaire for Children dengan nilai yang tinggi pula. CBSI tidak memasukkan kriteria durasi episode maupun tipe spesifik dari episode mood tersebut untuk menentukan diagnosis gangguan bipolar pada anak dan remaja, namun lebih menitikberatkan pada tipe dan kualitas mood, frekuensi, dan periode dari gejala mood serta kelompok gejala yang kemudian akan membentuk siklus dan timbul dalam berbagai situasi. Tidak hanya itu, instrumen CSBI juga menekankan pada kondisi lain yang menyertai gangguan bipolar pada anak dan remaja. Instrumen ini dapat membantu para klinisi dalam menegakkan diagnosis gangguan bipolar pada anak dan remaja secara lebih akurat dan tepat. Selain itu, melalui CBSI dapat ditelusuri berbagai komorbiditas yang berpotensi menyertai gangguan bipolar pada anak dan remaja walaupun belum memenuhi kriteria yang ada di DSM IV-TR atau DSM
32
Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia
V. Disamping itu, CBSI juga dapat dilakukan oleh klinisi nonpsikiater sehingga gangguan tersebut dapat dideteksi lebih dini dan rujukan ke layanan yang lebih kompeten dapat lebih cepat dilakukan.17 Versi lain dari CBQ adalah kuesioner yang dapat dilengkapi oleh anak dan remaja itu sendiri (Jeanne/Jeffrey Questionnaire for Children, self-report questionnaire) dan berlaku sebagai kuesioner skrining. Pengembangan kuesioner ini diadakan berdasarkan model Martinez dan Richters pada tahun 1993 saat mereka mengembangkan suatu program komunitas terkait dengan kekerasan pada remaja. Kuesioner ini memuat banyak gejala subjektif dari gangguan bipolar, gangguan depresi mayor, dan gangguan psikotik yang mungkin terlewat dari observasi orangtua. Setiap butir dari kuesioner ini menggambarkan gejala klinis dan perilaku yang dipersepsi oleh Jeanne (untuk anak laki-laki) atau Jeannie (untuk anak perempuan). Uniknya, kuesioner ini juga disertai dengan gambar-gambar yang membantu anak untuk memahami setiap gejala dan perilaku yang ada pada gangguan bipolar tanpa menggunakan kata-kata sehingga dapat digunakan untuk anak berusia di bawah 12 tahun.17 KESIMPULAN Gangguan bipolar pada anak dan remaja merupakan suatu gangguan yang kompleks sehingga skrining dan penegakan diagnosis masih merupakan suatu tantangan sampai saat ini. Beberapa alat bantu sudah dikembangkan, seperti CBQ, Jeanne/ Jeffrey Questionnaire for Children, self-report questionnaire dan CBSI, namun instrumen-instrumen tersebut masih belum divalidasi dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, penerjemahan dan validasi dalam bahasa Indonesia perlu segara dilakukan sehingga dapat membantu dalam skrining maupun diagnosis gangguan bipolar pada anak dan remaja secara tepat dan akurat. REFERENSI 1. Carlson GA, Glovinsky I. The concept of bipolar disorder in children: a history of the bipolar controversy. Child Adolesc Psychiatr Clin N Am. 2009; 18:257–271; vii 2. Freeman AJ, Youngstrom EA, Michalak E, et al. Quality of life in pediatric bipolar disorder. Pediatrics. 2009; 123:e446–e452. 3. Moreno C, Laje G, Blanco C, et al. National trends in the outpatient diagnosis and treatment of bipolar disorder in youth. Arch Gen Psychiatry. 2007; 64:1032–1039
4. Angst J. The emerging epidemiology of hypomania and bipolar II disorder. J Affect Disord. 1998; 50:143–151. 5. Demeter CA, Townsend LD, Wilson M, Findling RL. Current research in child and adolescent bipolar disorder. Dialogues Clin Neurosci. 2008; 10:215–228 6. Roybal DJ, Singh MK, Cosgrove VE,et al. Biological evidence for a neuro- developmental model of pediatric bipolar disorder. Isr J Psychiatry Relat Sci. 2012; 49:28–43 7. Papolos D, Hennen J, Cockerham MS. Factors associated with parent-reported suicide threats by children and adolescents with community diagnosed bipolar disorder. J Affect Disord. 2005; 86:267–75 8. Goldstein TR, Birmaher B, Axelson D,et al. History of suicide attempts in pediatric bipolar disorder: factors associated with increased risk. Bipolar Disord. 2005; 7:525–35 9. Wittchen HU, Frohlich C, Behrendt S, et al. Cannabis use and cannabis use disorders and their relationship to mental disorders: a 10-year prospective-longitudinal community study in adolescents. Drug Alcohol Depend. 2007; 88 (Suppl. 1):S60–S70 10. Kupfer DJ. The increasing medical burden in bipolar disorder. JAMA. 2005; 293:2528–30 11. Dunner DL. Clinical consequences of under-recognized bipolar spectrum disorder. Bipolar Disord. 2003; 5:456–63 12. Marchand WR, Wirth L, Simon C. Delayed diagnosis of pediatric bipolar disorder in a community mental health setting. J Psychiatr Pract. 2006;12:128–133 13. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. 4th ed. Text Revision (DSM-IV-TR). American Psychiatric Association, Copyright 2000, Psychiatry Online.com Online. ISBN 0-89042334-2, Hardcover ISBN 0-89042-024-6. 14. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. 5th ed. American Psychiatric Association, Copyright 2000, Psychiatry Online.com Online. 15. National Institute of Mental Health research roundtable on prepubertal bipolar disorder J Am Acad Child Adolesc Psychiatry. 2001; 40:871–78 16. Sala R, Axelson D, Birmaher B. Phenomenology, longitudinal course, and outcome of children and adolescents with bipolar spectrum disorders. Child Adolesc Psychiatr Clin N Am. 2009; 18:273–89 17. Juvenile Bipolar Research Foundation. The diagnostic instruments [internet]. [cited 2017 August 1]. Available from: http://www.jbrf. org/resources-for-professionals/the-diagnostic-instruments/. 18. Geller B, Zimerman B, Williams M, Bolhofner K, Craney JL, Delbello MP, et al. Diagnostic characteristics of 93 cases of a prepubertal and early adolescent bipolar disorder phenotype by gender, puberty and comorbid attention deficit hyperactivity disorder. J Child Adolesc Psychopharmacol. 2000;10(3):157-64.
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016
33
p e r s p e k t i f da l a m p s i k i at r i
Psikoanalisis dan Kita Merdeka Tidak Gampang Limas Sutanto1 Psikiater Konsultan Psikoterapi, Pengajar Psikiatri Dinamik Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang E-mail:
[email protected]
1
Abstrak Psikoanalis kelahiran Frankfurt, Erich Fromm, membedakan “kemerdekaan dari” (lengkapnya, “keterbebasan dari belenggu penjajahan fisik”), dan “kemerdekaan untuk” (paripurnanya, “kemerdekaan untuk mewujudnyatakan secara spontan pribadiberintegrasi-penuh ke dalam tindakan-tindakan kreatif”). Pada konteks Indonesia hari kini, kemerdekaan yang mengandung unsur kreatif itu perlu sungguh diwujudnyatakan dalam keterhubungan, kerja sama, solidaritas, dan persatuan di antara anggota-anggota bangsa yang majemuk dan berbeda satu sama lain. Perwujudan kebebasan yang seperti itu memang melahirkan ansietas, karena itulah banyak orang menghindarinya, mereka lari dari kemerdekaan, dan menebar efek-efek yang sesungguhnya anti-kebebasan, yaitu otoritarianisme, destructiveness, dan konformitas. Ketiga efek tersebut agaknya telah menebari kehidupan bangsa ini di sepanjang sejarahnya. Sesungguhnya, mengejawantahkan kemerdekaan bermaknakan menghadapi dan mengatasi ansietas itu. Para pemimpin perlu meneladankan hal itu.
Psychoanalysis and Us Freedom is not Easy Limas Sutanto1 Abstract The Frankfurt-born psychoanalyst, Erich Fromm, distinguishes two types of freedom, i.e. “freedom from” and “freedom to”. The “freedom from” refers to emancipation from restrictions such as colonization, but the “freedom to” has a deeper meaning than that, since its essential meaning is spontaneous employing of the totally integrated personality in creative acts. In the context of nowadays Indonesia, that kind of creative-containing freedom should be realized in cooperation, solidarity, connectedness, togetherness, and unity among diverse members of the pluralist nation. Such realization of the creative elements of freedom will normally result in anxiety, thus many people would like to escape from freedom in order to avoid the anxiety. Such escape from freedom results in the growing of authoritarianism, destructiveness, and conformity, which have been scattering along the history of our nation. Realizing our freedom means facing and overcoming anxiety related to the consummation of its creative elements. Indonesian contemporary leaders should be exemplars of persons transcending that anxiety.
PENGANTAR
ANTARA “MERDEKA DARI” DAN “MERDEKA UNTUK”
Jurnal ini terbit pertama di bulan Kemerdekaan Republik Indonesia. Mungkin cukup beralasan apabila dalam edisi perdana, ditampilkan pula sebuah tulisan yang berisi semacam renungan tentang kehidupan bangsa di masa kini, yang ditinjau dengan perspektif psikoanalitik.
Berpikir dan berbuat merdeka itu tidak gampang, bahkan ia menimbulkan ansietas. Tidak mengherankan jika ada banyak orang yang menolak untuk merdeka. Tak aneh pula apabila efek-efek kemerdekaan dapat begitu mencemaskan bagi hamparan orang, dan karenanya insan-insan itu menjelma menjadi pribadi-pribadi yang justru berbuat merusak manusia merdeka dan buah-buah kemerdekaan. Psikoanalis kelahiran Frankfurt, Erich Fromm, menegaskan betapa kecemasan hamparan manusia terhadap konsekuensikonsekuensi kemerdekaan mendorong mereka untuk mewujudkan beberapa keadaan yang sebenarnya antikemerdekaan, tetapi dilakukan seolah demi meminimalkan efek-efek buruk kemerdekaan. Fromm mencatat tiga kondisi yang sejatinya melawan kemerdekaan itu: otoritarianisme, destructiveness, dan konformitas1. Setidaknya kita boleh merenungkan bahwa dalam perjalanan kehidupan kita sebagai bangsa, corak-corak otoritarianisme pernah meresap secara mendalam, dan di tengah suasana seperti itu, sebagian besar dari kita pun memilih untuk mewujudkan konformitas, dengan menjadi patuh dan menerima keadaan itu sebagai “kebaikan”.
Barangkali tulisan pendek tentang kontekstualisasi dan pengharikinian kemerdekaan ini bermaksud memenuhi hal itu. Di samping buat kembali mempertebal kecintaan pada bangsa dan negara yang sedang berulang tahun, juga untuk menegaskan betapa psikiatri, khususnya “psikoanalisis dalam psikiatri” – dalam World Psychiatric Association pun terdapat Section on Psychoanalysis in Psychiatry atau Seksi Psikoanalisis dalam Psikiatri – adalah peduli tidak hanya pada kehidupan kejiwaan individual, tetapi juga terhadap kehidupan psikis masyarakat dan bangsa. Dengan demikian kita boleh melihat bahwa psikiatri dan psikoanalisis dalam psikiatri dekat dengan persoalan-persoalan masyarakat, dan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan bangsa dalam lingkup yang luas.
34
Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia
Setidaknya pada setiap bulan Agustus kita mengeluelukan kebebasan. Tetapi kebebasan yang mana? Fromm membedakan freedom from atau “kemerdekaan dari” (lengkapnya, kemerdekaan dari belenggu lama, semisal penjajahan dan perbudakan fisik, sebagaimana pernah digambarkan dalam eksistensialisme Sartre), dan freedom to atau “kemerdekaan untuk” (paripurnanya, kemerdekaan untuk mewujudnyatakan secara spontan pribadiberintegrasi-penuh ke dalam tindakan-tindakan kreatif)2. Unsur kreatif dalam kebebasan hanya terdapat dalam freedom to, dan tidak ada dalam freedom from. Kekuatan kreatif dalam “kemerdekaan untuk”, justru sungguh terealisasi dalam penciptaan keterhubungan, kerja sama, persahabatan, persatuan, dan kebersamaan antarmanusia, di tengah keadaan hidup setiap individu manusia yang bebas, merdeka, dalam rangkuman masyarakat yang anggotaanggotanya beragam atau berbeda satu sama lain. Sepertinya kebebasan yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 adalah “kemerdekaan dari (penjajahan)”; dan kemudian kedua pemimpin bersama tokoh-tokoh bangsa lainnya memperjuangkan “kemerdekaan untuk (menciptakan kebersamaan di antara unsur-unsur bangsa Indonesia yang serbaneka)” – sebuah tugas sulit yang pelaksanaannya banyak ditebari kecemasan. MAKNA KONTEKSTUAL PEKIK “MERDEKA!” Terdapatnya elemen kreatif dalam kebebasan itu menjamin kebaikan kebebasan itu sendiri. Unsur kreatif itu menempatkan kemerdekaan atau kebebasan dalam ikatan tak terpisahkan dari keterhubungan, persatuan, kerja sama, persahabatan, kebersamaan, solidaritas antarorang, keadaan bahu-membahu, perilaku “ringan sama dijinjing, berat sama dipikul”. Dan sesungguhnya tatkala setiap warga bangsa berani berteriak, “Merdeka!”, ia seperti berada di depan cermin besar terang benderang yang menelanjangi dirinya di hadapan fakta sejauh mana dia sungguh berandil mewujudnyatakan keterhubungan, persahabatan, dan solidaritas antarwarga, antarsuku, antara ras yang satu dan ras yang lain, serta antara pribadi-pribadi yang berbeda agama. Tentulah cermin besar itu tidak senantiasa memantulkan gambar yang koheren dengan pekik “Merdeka!” yang lantang diteriakkan seseorang. Setidaknya, justru pada ulang tahun ketujuh puluh satu Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, kita dapat menyaksikan kenyataan-kenyataan di tengah bangsa, yang mewakili destruksi terhadap keterhubungan, kebersamaan, persatuan, dan solidaritas antara sesama warga bangsa Indonesia. Pada tingkat yang paling kasat mata, kita menyaksikan masih gampangnya kelompok-kelompok membakar rumah milik warga bersuku beda dan tempat ibadah dari orang-orang beragama lain. Penyerangan dan pembakaran seperti itu
tentu mudah menjalar menjadi pengejaran dan pembinasaan oleh kelompok yang satu terhadap kelompok yang lain. Keadaan yang menyulut perpecahan dalam bangsa ini secara hakiki adalah penentangan terhadap Kemerdekaan Republik Indonesia. Keterhubungan, kebersamaan, dan solidaritas pun acap kali menuntut pemaknaan yang kian abstrak, mendasar, dan mendalam. Dalam pengartian seperti itu, kemerdekaan adalah penggunaan uang rakyat yang dihimpun oleh negara dalam bentuk penerimaan pajak, benar-benar untuk kesejahteraan semua anggota bangsa, dan dengan demikian menciptakan keadilan yang menyatupadukan. Dalam konteks kebebasan yang kreatif, uang rakyat tidak dipakai buat menebalkan kantong kelompok-kelompok, tak pula untuk menguntungkan beberapa pihak belaka. Tetapi sekurangkurangnya hingga hari kini, bangsa ini tampak belum berhasil memberikan makna yang lebih abstrak, sekaligus mendasar dan mendalam, terhadap Kemerdekaan yang mereka sebutsebut di sepanjang hidup dan mereka teriakkan ulang pada akhir pertemuan khalayak. Kegagalan yang paling telak pada perspektif ini mewujud dalam korupsi. Di hari-hari ketika Komisi Pemberantasan Korupsi sedemikian garang, galak, dan sigap menangkap tangan pelaku korupsi pun, sepertinya warga bangsa ini tetap giat berkorupsi. Efek jahat korupsi yang sudah sering dibicarakan adalah pemiskinan warga terpinggir yang tidak memiliki peluang untuk ikut berkorupsi; tetapi seyogianya tidak dilupakan, betapa akibat yang lebih telak dari korupsi, terhadap bangsa Indonesia, adalah keterkoyakan, perpecahan, dan ketercabikan dirinya. Dalam zaman sekarang yang ditandai secara tandas oleh gaya hidup konsumtif dengan gawai melekat di tangan dan komputer di bawa ke mana-mana, kemerdekaan yang berpretensi kreatif sungguh mendapatkan tantangan. Kini banyak warga seperti hampir menjadi “autistik” alias hidup dalam dunianya sendiri, bagaikan terlepas dari orangorang lain dan lingkungannya yang nyata. Tidak jarang didapati sebuah keluarga Indonesia di kota, yang terdiri dari ibu, ayah, dan tiga orang anak, misalnya, datang bersamasama ke restoran untuk makan bersama, tetapi kemudian pemandangan yang kita dapati sungguh absurd, kelima insan itu masing-masing menunduk, kadang senyumsenyum sendiri, matanya memandangi layar gawai yang ada di genggaman masing-masing. Bukankah ini sebuah wujud mikro dari keterpecahbelahan yang parah? Di layar televisi pun dapat disaksikan beberapa legislator yang sibuk dengan telepon genggam masing-masing, dan dengan demikian mereka tidak terhubung satu sama lain. Paus Fransiskus meneropong efek autistik zaman gawai dan komputer ini, dengan mengutarakan menggejalanya hidup yang lari dari realitas dan keterhubungan antarinsan, yang ia sebut sebagai eskapisme modern3. Melalui hidup autistik dalam resapan komputer dan gawai, sesungguhnya individu menghindar dari ansietas, rasa sakit, dan penderitaan yang secara sah
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016
35
dapat teralami di tengah perjuangannya untuk menjamin, meneruskan, merawat, dan menumbuhkembangkan persatuan, keterhubungan, kebersamaan, dan solidaritas antarmanusia.
hari kini niscaya memberikan teladan.
Menjadi merdeka bukanlah gampang, terutama jika merdeka dimaknai tidak saja sebagai bebas dari perbudakan fisik oleh kaum penjajah, tetapi sebagai panggilan untuk memperjuangkan keterhubungan, kebersamaan, persatuan, dan solidaritas antara semua warga bangsa, bahkan antara seluruh manusia. Perjuangan itu pasti meresapkan kecemasan, dan keberanian warga bangsa untuk mentransendensi ansietas itulah yang menjamin kemerdekaan. Para pemimpin
1. Fromm, E. Escape from freedom. New York: Open Road Integrated Media; 1994. Chapter V, Mechanisms of Escape; P. 254-384.
REFERENSI
2. Fromm, E. Escape from freedom. New York: Open Road Integrated Media; 1994. Chapter IV, The Two Aspects of Freedom for Modern Man; P. 195-253. 3. Harian Kompas. Paus: Tinggalkan kenyamanan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara; 1 Agustus 2016. P. 9.
vii
Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia
indeks penulis
A AAAA.
M JPKJI 2016; 1 (1): 8-13
Martina Wiwie
JPKJI 2016; 1 (1): 25-9
N
Kusumawardhani Adhitya Sigit Ramadianto
Natalia Widiasih
Nindita Pinastikasari JPKJI 2016; 1 (1): 3-7 JPKJI 2016; 1 (1): 8-13
Nurmiati Amir
JPKJI 2016; 1 (1): 1-2
JPKJI 2016; 1 (1): 3-7
F Fransiska Kaligis
JPKJI 2016; 1 (1): 25-9
Raharjanti
C Chrisna Mayangsari
JPKJI 2016; 1 (1): 14-20
JPKJI 2016; 1 (1): 21-4 JPKJI 2016; 1 (1): 14-20
H
P Petrin Redayani
JPKJI 2016; 1 (1): 8-13
Heriani
JPKJI 2016; 1 (1): 3-7
JPKJI 2016; 1 (1): 14-20
Hervita Diatri
JPKJI 2016; 1 (1): 8-13
Profitasari Kusumaningrum
I Iriawan Rembak
JPKJI 2016; 1 (1): 21-4
Tinambunan Irmia Kusumadewi
JPKJI 2016; 1 (1): 14-20
JPKJI 2016; 1 (1): 3-7
L JPKJI 2016; 1 (1): 33-4
JPKJI 2016; 1 (1): 21-4
S Suryo Dharmono
JPKJI 2016; 1 (1): 14-20
Limas Sutanto
R Richard Budiman
K Khamelia Malik
JPKJI 2016; 1 (1): 21-4
JPKJI 2016; 1 (1): 3-7
T Taufik Ashal
JPKJI 2016; 1 (1): 14-20
Tjhin Wiguna
JPKJI 2016; 1 (1): 30-2