ISBN :978–602–1681–03-9
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
i
Judul
:
FRAGMENTASI HUTAN : Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
ISBN
: 978–602–1681–03-9
Penulis
: Hendra Gunawan Lilik Budi Prasetyo
Penelaah Ilmiah
: Prof. Dr. Tukirin Partomiharjo, M.Sc.
Disain dan Tata Letak
: Tatang Rohana
Foto Sampul Depan
: Hendra Gunawan
Diterbitkan oleh
: Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jl. Gunung Batu No.5, Bogor 16610
© Copyright 2013 Hak cipta dilindungi oleh undang-Undang Dilarang memperbanyak buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Boleh dikutip dengan menyebutkan sumbernya. Saran pengutipan : Gunawan, H. dan L.B. Prasetyo. 2013. Fragmentasi Hutan : Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor. Saran tentang buku mohon disampaikan ke :
[email protected]
ii
PRAGMENTASI HUTAN
KATA PENGANTAR
KEPALA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILITASI, BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Salah satu tugas pokok lembaga penelitian adalah menghasilkan dan mempublikasikan buku buku, baik yang bersifat teoritis maupun praktis, baik hasil penelitian maupun hasil pemikiran dan pengkajian literatur. Buku berjudul ”Fragmentasi Hutan : Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan” merupakan salah satu produk Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi yang diharapkan dapat membantu para prakitsi kehutanan, khususnya dalam pengaturan tata ruang kawasan hutan. Kepada penulis disampaikan penghargaan dan terima kasih atas upayanya membukukan berbagai teori dalam sebuah buku yang mudah dimengerti, baik oleh para praktisi maupun akademisi sehingga dapat menjadi referensi, baik dalam penelitian maupun pengambilan keputusan. Kepada Penelaah Ilmiah juga disampaikan terima kasih atas telaah dan saran perbaikan untuk buku tersebut. Akhirnya, semoga buku ini dapat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas pengelolaan hutan dalam rangka pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Bogor, November 2013 Kepala Pusat,
Ir. Adi Susmianto, M.Sc. NIP.195712211982031002
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
iii
KATA PENGANTAR Isu kepunahan keanekaragaman hayati tropika menjadi isu krusial yang
menjadi
perhatian
internasional
pada
dua
dekade
terakhir.
Fragmentasi hutan merupakan salah satu penyebab utama punahnya keanekaragaman hayati di beberapa lokasi. Fragmentasi hutan merupakan proses dan hasil dari perilaku manusia dalam memanfaatkan sumbedaya hutan, seperti konversi, penebangan liar, pembakaran hutan, perladangan dan perambahan kawasan hutan. Keberhasilan pengelolaan keanekaragaman hayati di kantong kantong hutan yang telah terfragmentasi memerlukan pemahaman konsepkonsep yang lahir dari teori biogeografi pulau, seperti fragmentasi, koridor dan single large or several small (SLOSS). mahasiswa,
praktisi
konservasi,
manajer
Buku ini membantu para satwaliar
serta
pengambil
kebijakan penataan ruang pembangunan dalam memahami fragmentasi hutan dan kaitannya dengan pengelolaan dan konservasi keanekarag aman hayati. Buku ini merupakan kompilasi dari hasil terjemahan, penelaahan dan analisis dari berbagai buku teks dan website yang relevan. memahami dan mengetahui lebih detail, para
Untuk
pembaca dipesilakan
membaca buku-buku teks yang menjadi sumber penu lisan buku ini. Penulis menyadari, buku ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran-saran dari peminat akan dipertimbangkan untuk perbaikan. Akhirnya, semoga buku ini bermanfaat bagi para peminat dan pemerhati masalah konservasi keanekaragaman hayati.
Bogor, November 2013 Penulis
iv
PRAGMENTASI HUTAN
DAFTAR ISI Halaman BAB 1.
FRAGMENTASI: SUATU PENDAHUL UAN .....................
1
BAB 2.
MASALAH DAN PROSES FRAGMENTASI ......................
10
BAB 3.
TEORI BIOGEOGRAFI PULAU vs FRAGMENTASI HUTAN ...
16
BAB 4.
FRAGMENTASI HABITAT DIPANDANG DALAM SKALA LANSKAP ........................................................
BAB 5.
KONSEP KORIDOR DAN SI NGLE LARGE OR SEVERAL SMALL (SLOSS) .................................................
30
42
BAB 6.
DINAMIKA POPULASI PADA SKALA LANSKAP ................
52
BAB 7.
PENGARUH FRAGMENTASI TERHADAP SATWALIAR .......
71
BAB 8.
PERPINDAHAN SATWA DALAM LANSKAP ....................
95
BAB 9.
FRAGMENTASI DAN DINAMIKA METAPOPULASI .............
103
BAB 10.
IMPLIKASI PENGELOLAAN KONSERVASI .....................
109
BAB 11.
STUDI KASUS: Evaluasi Lanskap Kawasan Merapi – Merbabu Dan Telaah Kemungkinan Sebaran Macan Tutul Di Katong-Kantong Hutan Yang Terfragmentasi ...
112
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
v
DAFTAR GAMBAR Nomor
Teks
Halaman
Gambar 1.
Model konseptual pengaruh fragmentasi (Kupfer et al. 2004) ...............................................13
Gambar 2.
Jumlah jenis relatif pada (a) pulau-pulau kecil, dekat, (b) pulau-pulau besar, jauh atau kecil, dekat, dan (c) pulau-pulau besar, dekat (Mac Arthur and Wilson 1967) ..................................................
21
Gambar 3.
Mekanisme bekerjanya pengaruh isolasi .................
27
Gambar 4.
Klasifikasi rejim gangguan berdasarkan pada luas yang terganggu dan luas lanskap (diadaptasi oleh Shugart 1984; dari Shugart and West 1981)……………..............
32
Empat tipe gangguan yang ditunjukkan oleh derajat gangguan dan luas geografis yang dipengaruhinya (Morrison et al. 1992) .......................................
32
Fungsi insiden dari pelatuk totol besar (Picoides major) (Dari Moore dan Hooper dalam Wilcove et al. 1986) ...................................................
35
Contoh koridor perpindahan yang dibuat di pegunungan Costa Rica (Dari Stiles and Clark 1989) …
45
Gambar 8.
Perbandingan SLOSS (Dari berbagai sumber) ............
50
Gambar 9.
Gradien pertukaran di dalam metapoulasi dari berbagai struktur internal (Morrison et al. 1992) ......
56
Gambar 11a.
Batas Das dan sistem riparian (riverine) (Morrison et al. 1992) .......................................
58
Gambar 11b.
Kejadian sepuluh patches dari hutan tua (Morrison et al. 1992) .......................................
58
Kejadian vertebrata obligat dewasa di tujuh dari 10 patches (Morrison et al. 1992) .............................
59
Gambar 5.
Gambar 6.
Gambar 7.
Gambar 11c.
vi
PRAGMENTASI HUTAN
Gambar 11d.
Seleksi tiga patches untuk pemanenan tebang habis (Morrison et al. 1992) .......................................
Gambar 11e.
Akibat langsung dari ganguan pemanenan : hilangnya spesies pada tiga patches (Morrison et al. 1992) ......
60
Kehilangan spesies kemudian pada patch hutan yang jauh, terisolasi dan kecil (faunal relaxation) (Morrison et al. 1992) ...................................................
60
Masih kehilangan spesies kemudian pada suatu patch hutan lebih besar yang kini terisolasi (Morrison et al. 1992) .......................................
61
Contoh habitat yang terfragmentasi oleh: (1) jaringan listrik, (2) jalan raya, (3) tebang habis dan (4) pertanian (Foto: Hendra Gunawan, 2008) ...............
73
Sekumpulan patch hutan yang ditempati oleh populasi-populasi penghuni hutan. Tebal tipisnya panah menunjukkan laju pertukaran individu antar populasi (panah tebal menunjukkan lebih banyak pertukaran). Catatan: Laju pertukaran dikoreksi oleh seberapa dekat patch-patch dalam ruang (Sumber: http://chesapeake.towson. edulandscape/forestfrag/effects.asp ....................
76
Penghunian (occupancy) sekumpulan patch hutan yang mendukung suatu metapopulasi spesies penghuni hutan pada dua waktu yang berbeda. Patch hitam ditempati dan patch putih tidak ditempati. Catatan: penghunian pada patch individual berubah sepanjang waktu (seperti patch-patch dikolonisasi dan po pulasipopulasi di dalam patch punah), tetapi jumlah patchpatch yang ditempati tetap sama sepanjang waktu (Sumber: http://chesapeake. towson.edu/landscape/ forestfrag/effects.asp ......................................
76
Grafik menunjukkan hubungan antara kelembaban tanah dan edge dan core habitat dala patch hutan. Banyak spesies burung tidak dapat mentolerir kondisi tepi habitat (edge habitat) dan hanya ditemukan di core habitat (Sumber:http://chesapeake.towson. edulandscape/forestfrag/effects.asp) ...................
78
Berbagai bentuk fragment dan gambaran luas interior-nya ...................................................
80
Gambar 11f.
Gambar 11g.
Gambar 12.
Gambar 13.
Gambar 14.
Gambar 15.
Gambar 16.
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
59
vii
Gambar 17.
Pengaruh kehilangan dan fragmentasi habitat pada ukuran patch dan isolasi (Fahrig 1997) ……………………..
Gambar 18.
Ilustrasi zona pengaruh tepi (edge effect) suatu pulau habitat………………………………………………………….............
86
Koridor harus cukup lebar untuk memberikan manfaat positif lebih banyak bagi satwaliar. Koridor riparian yang sempit seperti yang tampak dalam gambar berpeluang menghasilkan damak negatif bagi satwaliar ………………………………………………………………………
101
Metapopulasi adalah suatu populasi sumber (source) dan populasi penerima (sink) (Barnes 2000) ……….………
106
Ukuran, bentuk, konfigurasi dan jumlah patch semua mempengaruhi jumlah habitat interior dalam patch kecil, tunggal, patch-patch persegi memberikan jumlah habitat interior yang kecil dan patch-patch lingkaran besar memberikan habitat interior terbesar (Barnes 2000) ................................................
110
Tahapan prosedur kajian evaluasi lanskap dan ana lisis spasial .........................................................
115
Komposisi luas setiap kelas penutupan lahan di kawasan lanskap Merapi Merbabu .........................
118
Gambar 24.
Jumlah patch setiap kelas penutupan lahan ………………
119
Gambar 25.
Luas patch rata-rata setiap kelas penutupan lahan ....
120
Gambar 26.
Total edge setiap kelas penutupan lahan ................
120
Gambar 27.
Edge density setiap kelas penutupan lahan .............
121
Gambar 28.
Mean patch edge setiap kelas penutupan lahan …………
121
Gambar 29.
Mean shape index setiap kelas penutupan lahan ….....
121
Gambar 30.
Mean patch fractal dimension untuk setiap kelas penutupan lahan …………………...............................
123
Lokasi dugaan habitat macan tutul terpilih (warna kuning) hasil query ..........................................
125
Gambar 19.
Gambar 20. Gambar 21.
Gambar 22. Gambar 23.
Gambar 31.
viii
PRAGMENTASI HUTAN
82
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel 1.
Teks
Halaman
Implikasi dispersi habitat pada skala berbeda untuk berbagai atribut lanskap terfragmentasi ....................
33
Klasifikasi faktor-faktor untuk dievaluasi dalam suatu studi gangguan lanskap ……………...............................
54
Tabel 3.
Komposisi pentutupan lahan AOI Kawasan Merapi-Merbabu
116
Tabel 4.
Hasil patch analyses pada skala lanskap kawasan MerapiMerbabu ............................................................
117
Hasil patch analyses skala kelas kawasan Merapi–Merbabu
117
Tabel 2.
Tabel 5.
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
ix
x
PRAGMENTASI HUTAN
1 FRAGMENTASI : SUATU PENDAHULUAN
PENDAH ULUAN
DEFINISI DAN PENGERTIAN
MENGAPA PERLU MEMPELAJARI FRAGMENTASI?
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN Mempelajari fragmentasi merupakan bagian dari ilmu ekologi lanskap. Ekologi lanskap merupakan ilmu baru yang diturunkan dari disiplin terdahulu sebagai suatu gabungan arsitektur lanskap, zoogeografi, geografi tumbuhan
dan sinekologi.
Ekologi
lanskap merupakan ilmu
yang
mempelajari respon spesies atau komunitas terhadap pola-pola (patterns) patch dalam suatu lanskap (Morrison et al. 1992).
Banyak prinsip-prinsip
dasar ekologi lanskap diturunkan dari biogeografi pulau, zoogeografi dan fitogeografi, yaitu ilmu yang mempelajari penyebaran dan pergerakan satwa dan tumbuhan melintasi pulau-pulau dan wilayah geografi yang lebih luas (Morrison et al. 1992). Ekologi lanskap banyak memfokuskan pada dinamika tumbuhan dan satwa di dalam patches (kantong habitat), khususnya di pulau-pulau dan lingkungan terisolasi lainnya.
Teori pulau k lasik menyatakan bahwa di
pulau, dinamika populasi dan struktur komunitas ditentukan oleh beberapa faktor : ukuran (pulau kecil memiliki resiko kepunahan lokal lebih besar); jarak dari sumber spesies yang mengkolonisasi (semakin jauh, semakin tinggi laju kepunahannya); dan atribut spesies meliputi kemampuan
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
1
dispersal,
demografik
(survivorship,
rekrutmen);
dan
spesialisasi
penggunaan habitat (Morrison 1992). Pemukiman manusia dan kegiatan terkait lainnya, seperti hutan tanaman dan pertanian telah mengubah lanskap alami menghasilkan suatu mosaik dari habitat yang terfragmentasi.
Fragmentasi habitat dapat
memberikan pengaruh merugikan pada flora dan fauna dari habitat alami yang sebelumnya masih utuh dan berkesinambungan.
Ada dua pengaruh
utama dari fragmentasi yaitu : mengurangi total luas dari habitat asal dan menciptakan wilayah tepi (edge area) di antara habitat asal dengan lanskap yang terganggu oleh manusia, yang dikenal sebagai efek tepi (edge effects). Dalam fragmentasi habitat ada enam proses terpisah yang dapat dipertimbangkan yaitu:
Berkurangnya luas total dari habitat
Meningkatnya jumlah wilayah tepi (edge)
Berkurangnya luasan habitat interior
Terisolasinya suatu fragment (potongan) habitat dari wilayah habitat lainnya
Terpecahnya satu patch (kantong) habitat menjadi beberapa patch (kantong) habitat yang lebih kecil
Berkurangnya ukuran rata-rata setiap patch (kantong) habitat
II. DEFINISI DAN PENGERTIAN A. Ekologi Lanskap Ekologi lanskap merupakan suatu bagian dari ilmu ekologi yang mempelajari bagaimana struktur lanskap mempengaruh kelimpahan dan distribusi organisme. Ekologi lanskap juga didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari pengaruh pola (pattern) dan proses, dimana pola di sini khususnya mengacu pada struktur lanskap.
Dengan demikian secara
lengkap ekologi lanskap dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana struktur lanskap mempengaruhi (memproses dan membentuk) kelimpahan dan distribusi organisme. Definisi lain menyebutkan, ekologi lanskap merupakan sub disip lin ekologi dan geografi yang khusus mempelajari variasi spasial dalam lanskap
2
PRAGMENTASI HUTAN
yang mempengaruhi proses-proses ekologi seperti distribusi, aliran energi, materi dan individu dalam lingkungannya (yang pada gilirannya mungkin mempengaruhi ditribusi elemen-elemen lanskap itu sendiri).
Teori
biogeografi pulau dari MacArtur dan Wilson merupakan fokus dari ekologi lanskap yang oleh Levin digunakan untuk menjelaskan model metapopulasi. Dalam ekologi lanskap dapat dipelajari bagaimana fragmentasi habitat mempengaruhi daya hidup suatu populasi (population viability).
Dalam
perkembangannya ekologi lanskap banyak meng gunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan banyak data habitat yang tersedia (seperti citra satelit dan foto udara. Sebagai bagian dari ekologi, ekologi lanskap ditujukan mempelajari sebab dan akibat dari heterogenitas spasial (Forman 1995). Heterogenitas merupakan ukuran bagaimana bagian-bagian suatu lanskap berbeda satu sama lain.
Ekologi lanskap melihat pada bagaimana struktur spasial
mempengaruhi kelimpahan organisme pada skala lansk ap, serta perilaku dan fungsi lanskap secara keseluruhan. Hal ini berarti juga mempelajari pola, atau keteraturan internal lanskap, proses atau operasi kontinu dari fungsi
organisme (Turner
1989).
Ekologi
lanskap juga
mencakup
geomorfologi dalam penerapannya untuk disain dan arsitektur lanskap (Allaby 1998). Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana formasi geologi mempengaruhi struktur lanskap. B. Fragmentasi Fragmentasi hutan terjadi karena hutan yang luas dan menyambung terpecah menjadi blok-blok
lebih kecil akibat
pembangunan jalan,
pertanian, urbanisasi atau pembangunan lain. Akibatnya mengurangi fungsi hutan
sebagai
habitat
berbagai
spesies
tumbuhan
dan
satwaliar.
Fragmentasi juga mempengaruhi struktur, temperatur, kelembaban dan pencahayaan yang akan mengganggu satwa hutan yang adpatasinya telah terbentuk selama
ribuan tahun.
Fragmentasi didefinisikan sebagai
pemecahan habitat organisme menjadi kantong-kantong (patches) habitat yang membuat organisme kesulitan melakukan pergerakan dari kantong habitat yang satu ke yang lainnya. penghilangan vegetasi pada
Fragmentasi dapat disebabkan oleh
areal yang
luas atau oleh jalan yang
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
3
memisahkan habitat bahkan oleh jaringan kabel listrik (Rusak & Dobson 2007). Fragmentasi adalah proses pemecahan suatu habitat, ekosistem atau tipe landuse
menjadi bidang-bidang lahan yang lebih kecil dan
fragmentasi juga merupakan sebuah hasil dimana proses fragmentasi mengubah atribut-atribut habitat dan karakteristik suatu lanskap yang ada. Fragmentasi habitat mengubah konfigurasi spasial suatu kantong habitat (habitat patches) besar dan menciptakan isolasi atau perenggangan hubungan antara kantong-kantong (patches) habitat asli karena terselingi oleh mosaik yang luas atau tipe habitat lain yang tidak sesuai bagi spesies yang ada (Wiens 1990). Franklin et al. (2002) mengembangkan definisi baru tantang fragmentasi sebagai hasil (outcome) dan proses.
Hasil (outcome) dari
fragmentasi habitat adalah diskontinuitas yang diperoleh dari serangkaian mekanisme, di dalam distribusi spasial suatu sumberdaya dan kondisi yang ada dalam suatu areal pada suatu skala
tertentu yang mempengaruhi
okupansi, reproduksi atau survival suatu spesies. didefinisikan
sebagai
serangkaian
mekanisme
Fragmentasi habitat yang
mengakibatkan
diskontinuitas distribusi spasial suatu habitat. Ada empat komponen kunci dari dua definisi tersebut yaitu : (1) diskontinuitas, (2) mekanisme, (3) distribusi spasial dari suatu sumberdaya dalam suatu area, dan (4) atribut demografik (Franklin et al. 2002). Konsep fragmentasi habitat diturunkan dari teori biogeografi pulau (MacArthur & Wilson 1967), yakni jumlah spesies meningkat dengan meningkatnya ukuran pulau (Haila 2002).
Fragmentasi penting mendapat
perhatian karena berpengaruh pada kekayaan spesies dari komunitas, trend populasi beberapa spesies dan keanekaragaman hayati ekosistem secara keseluruhan (Morrison et al. 1992). Menurut Wilcove (1987) dalam Morrison et al. (1992) ada empat cara fragmentasi dapat menyebabkan kepunahan lokal : (1) spesies dapat mulai keluar dari kantong habitat yang terlindungi; (2) kantong habitat gagal menyediakan habitat karena pengurangan luas atau hilangnya heterogenitas internal; (3) fragmentasi menciptakan populasi yang lebih kecil dan terisolasi yang memiliki resiko lebih besar terhadap bencana,
4
PRAGMENTASI HUTAN
variabilitas demografik, kemunduran genetik atau disfungsi sosial; (4) fragmentasi dapat mengganggu hubungan ekologis yang penting sehingga dapat menimbulkan sebab sekunder kepunahan dari hilangnya spesies kunci dan pengaruh merugikan dari lingkungan luar dan efek tepi (edge effect). C. Patch Patch, merupakan suatu terminologi dasar dalam ekologi lanskap didefinisikan sebagai sebuah area yang relatif homogen yang berbeda dengan sekelilingnya (Forman 1995). Patch merupakan unit dasar dari lanskap yang berubah dan berfluktuasi. Proses perubahan dan fluktuasi ini disebut sebagai dinamika patch.
Patch memiliki bentuk tertentu dan
konfigurasi spasial, dan dapat digambarkan dalam komposisi variabelvariabel internalnya seperti jumlah pohon, jumlah jenis pohon, tinggi pohon, atau variabel lainnya (Forman 1995). D. Matrix Matrix merupakan latar belakang (background) sistem ekologi dari suatu lanskap dengan derajat konektifitas yang tinggi. Konektivitas adalah ukuran bagaimana suatu koridor, jaringan (network) atau matrix terhubung atau
berkesinambungan (Forman, 1995). Sebagai contoh, suatu lanskap
berhutan (matrix) yang memiliki sedikit celah (gap) dalam tutupan hutannya berarti memiliki konektifitas lebih tinggi. Koridor memiliki fungsi penting sebagai jalur penghubung antara suatu tipe tutupan lahan yang berbeda dengan tetangga di kedua sisinya (Forman, 1995). Suatu jaringan (network) merupakan suatu sistem hubungan antar koridor, sementara mosaik menggambarkan pola (pattern) dari patch, koridor dan matrix yang membentuk suatu lanskap dalam suatu kesatuan (Forman 1995). E. Boundary dan Edge Patches bisa memiliki batas (boundary) yang jelas atau tidak jelas (kabur) (Sanderson & Harris 2000). Suatu zona yang tersusun atas ekosistem edge di perbatasan disebut boundary (Forman 1995). Edge (tepi) berarti bagian dari suatu ekosistem yang berdekatan dengan garis kelilingnya (perimeter), dimana pengaruh-pengaruh dari patch yang berdekatan dapat
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
5
menyebabkan perbedaan lingkungan antara interior suatu patch dengan tepiannya (edge). Efek tepi (edge effect) ini meliputi perbedaan komposisi spesies atau kelimpahan di bagian luar patch (Forman 1995).
Sebagai
contoh, ketika suatu lanskap merupakan sebuah mosaik dari tipe-tipe seperti hutan berdekatan dengan padang rumput, maka edge-nya adalah lokasi di mana kedua tipe tersebut bergabung.
Dalam lanskap yang
kontinu, seperti dari hutan ke kebun kayu, maka lokasi edge-nya menjadi kabur dan kadang-kadang dibedakan oleh gradien lokal ketika melampaui suatu ambang batas, misalnya penutupan pohonnya di bawah 35 persen (Turner and Gardner 1991). F. Habitat Habitat adalah suatu tipe komunitas biotik atau kesatuan komunitas biotik dimana spesies atau populasi hidup (Bailey, 1984). Habitat adalah suatu unit lingkungan, alami maupun tidak (meliputi iklim, makanan, cover dan air) dimana seekor satwa, tumbuhan atau populasi secara alami dan normal hidup dan berkembang (Helms, 1998). Definisi habitat terbaru yang relevan untuk pengelola satwa liar datang dari Hall et al. (1997) yaitu sumberdaya dan kondisi yang ada pada suatu tempat yang memberikan tempat hidup (occupancy), termasuk survival dan reproduksi organisme.
suatu
Definisi ini berimplikasi bahwa habitat adalah sejumlah
sumberdaya spesifik yang dibutuhkan oleh suatu spesies (Hall et al. 1997).
III. MENGAPA PERLU MEMPELAJARI FRAGMENTASI? Sampai saat ini para ahli satwa memiliki pandangan tradisioanal tentang edges dan ekoton sebagai sesuatu yang positif. Dalam buku-buku teks klasik (Leopold 1933; Thomas et al. 1979; Yoakum & Dasmann 1971 dalam Morrison et al. 1992) merekomendasikan bahwa pengelola satwa seharusnya meningkatkan jumlah edges, karena satwa melimpah pada pertemuan habitat (mereka menganggap habitat sebagai vegetasi atau lingkungan secara umum, bukan habitat spesifik suatu spesies yang memerlukan syarat khusus). Anggapan bahwa pembukaan dan pembersihan hutan menguntungkan satwa ternyata tidak selalu benar. Dalam beberapa dekade
6
terakhir
terbukti
bahwa
banyak
PRAGMENTASI HUTAN
hutan
yang
dulunya
berkesinambungan sekarang terancam karena dibuka untuk membuat ekoton sehingga berdampak negatif bagi satwa seperti meningkatnya pemangsaan dan overbrowsing. Anggapan bahwa menciptakan edges dan membuka hutan itu bermanfaat perlu diteliti lagi dengan seksama (Morrison et al. 1992). Jumlah spesies satwa dan tumbuhan berhubungan dengan kondisi yang ada dalam interior yang relatif luas dari vegetasi matang atau dipengaruhi oleh vegetasi terganggu dan pengaruh tepi.
Komposisi dan
kelimpahan relatif dari asosiasi spesies dalam komunitas biotik bervariasi antar lanskap menurut jumlah dan sebaran habitat secara spasial. Dengan demikian fragmentasi berpengaruh terhadap kekayaan spesies dari suatu komunitas, kecenderungan populasi spesies tertentu dan keanekaragaman hayati secara keseluruhan dari suatu ekosistem. Apakah pengaruh tersebut disukai atau tidak bergantung pada jumlah dan komposisi spesies yang ada pada suatu area. Hal ini memiliki implikasi kuat untuk pengelolaan lanskap (Morrison et al. 1992). Fragmentasi hutan juga menjadi perhatian di dalam hutan tropis. Klein (1989) dalam Morrison et al. (1992) yang melakukan penelitian terhadap kumbang bangkai dan organisme pada kotoran (feces) di hutan bersinambung dan hutan terfragmentasi, menyimpulkan bahwa fragmentasi menyebabkan berkurangnya spesies pengurai kotoran dan secara tidak langsung fragmentasi hutan berpengaruh pada
siklus hara dan proses -
proses ekosistem terkait lainnya, dan mungkin mempengaruhi produktivitas tapak dalam jangka panjang. Fragmentasi hutan temperate di Amerika Serikat bagian barat dapat mengurangi atau menghilangkan populasi pengerat kecil pemakan jamur (mycophagus) yang menjadi agen kunci penyebaran sejumlah spesies jamur hypogeous (di bawah tanah), khususnya mychorrizae yang penting bagi hutan konifer (Maser et al. 1978 dalam Morrison et al. 1992).
Jamur-
jamur michorrizae tumbuh di rambut-rambut akar pohon konifer dan membantu menyerap hara. Pengerat (rodent) kecil yang bertindak sebagai agen kunci penyebaran membutuhkan tegakan hutan yang tua atau pohon tumbang yang besar.
Fragmentasi hutan dapat mengurangi ketersediaan
tegakan hutan tua tersebut dan elemen-elemen vegetasi lainnya, yang
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
7
mungkin secara tidak langsung mengurangi produktivitas hutan dalam jangka panjang (Morrison et al. 1992). Fragmentasi lingkungan merupakan suatu isu perencanaan dan konservasi habitat, yakni peningkatan fragmentasi dapat mempengaruhi ketahanan populasi dan keragaman spesies dan komunitas.
Fragmentasi
dapat mengisolasi individu, unit berkembangbiakan, dan sub populasi dari spesies-spesies dalam patch interior. Isolasi ini dapat meningkatkan resiko kepunahan lokal karena peningkatan variasi ukuran populasi dalam peluang untuk hidup dan kesempatan berkembangbiak; fluktuasi di lingkungan dan kualitas dan kuantitas sumberdaya; peningkatan kerentanan untuk punah dari patch yang lebih kecil, lebih terisolasi jika menghadapi bencana seperti angin badai dan kebakaran (Morrison et al. 1992). Saat ini di banyak negara, perhatian publik terhadap perencanaan habitat telah meningkat karena adanya peningkatan isu terkait seperti penurunan keanekaragaman hayati, peningkatan fragmentasi lingkungan yang dianggap berdampak buruk bagi keanekaragaman hayati dan hilangnya hutan-hutan tua serta semakin langka dan berkurangnya habitat.
Oleh
karena itu, baik dari perspektif s osial dan perhatian publik maupun perspektif ilmiah, fragmentasi lingkungan dan pengelolaan habitat dalam skala lanskap perlu mendapat perhatian dan dipelajari secara benar.
DAFTAR PUSTAKA Allaby, M. 1998. Oxford Di ctionary of Ecology. Oxford University Press, New York, NY. Bailey, J.A. 1984. Princples of Wildlife Management. John Wiley and Sons. New York. Forman R.T.T. 1995. Land mosaics: the ecology of landscapes and regions. Cambridge University Press, Cambridge, 632 pp. Franklin, A.B., B.R. Noon, And T. L.George. 2002. What Is Habitat Fragmentation? Studies in Avian Biology No. 25:20-29. http://www. humboldt. edu/-tlg2/publications/whatis habitat20fragmentation.Pdf. Diakses Tanggal 11 Mei 2007.
8
PRAGMENTASI HUTAN
Haila, Y. 2002. A conceptual genealogy of fragmentation research: from island biogeography to landscape ecolog y. Ecological Applications 12:321–334. Hall, L. S., P. R. Krausman, And M. L.Morrison. 1997. The habitat concept and a plea for standard terminology. Wildlife Society Bulletin 25:173–182. Helms, J.a. (ed). 1998. The Dictionary of Forestry. The Society of American Forestry and CA BI Publishing. Bethesda, MD and Oxon, UK. http://www.everything bio.com/g los/definition.php?word=fragmentation. Diakses Tanggal 17 Oktober 2006. http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat_fragmentation. Oktober 2006.
Diakses Tanggal 17
http://en.wikipedia.org/wiki/Landscape ecology. Februari 2007.
Diakses Tanggal 24
http://www.carleton.ca/lands-ecol/whatisle.html. Februari 2007.
Diakses Tanggal 24
MacArthur, R. H., and E. O. Wilson. 1967. The theory of island biogeography. Princeton University Press, Princeton, New Jersey, USA. Morrison, M.L., B.G. Marcot and R.W. Mannan. 1992. Wi ldlife-Habitat Relationships. The University of Wisconsisn. Madison, Wisconsin. Rusak, H. and C. Dobson. 2007. Forest Fragmentation. www.ontarionature .org. Diakses tanggal 26 Februari 2007. Sanderson, J. and L. D. Harris (eds.). 2000. Landscape Ecology: A Top-Down Approach. Lewis Publishers, Boca Raton, Florida, USA. Turner, M.G. and R. H. Gardner (eds.). 1991. Quantitative Methods in Landscape Ecology. Springer-Verlag, New York, NY, USA. Wiens, J. A. 1989. Spatial scaling in ecology. Functional Ecology 3:385–397.
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
9
2 MASALAH DAN PROSES FRAGMENTASI
MASALAH FRAGMENTASI
PROSES FRAGMENTASI
PENGARUH FRAGMENTASI
MENGUKUR FRAGMENTASI
DAFTAR PUSTAKA
I. MASALAH FRAGMENTASI Fragmentasi habitat merupakan masalah penting di seluruh dunia. Penyempitan habitat secara luas memang cukup serius, tetapi ketika dikombinasikan dengan fragmentasi maka dapat meruntuhkan kesatuan ekosistem secara keseluruhan. Jalan, urbanis asi dan pertanian merupakan kegiatan utama manusia yang memecah-mecah wilayah alami yang seringkali diikuti oleh malapetaka bagi satwa. merupakan hutan yang
kompak
Wilayah yang sebelumnya
dan utuh menjadi
terpecah-pecah,
berukuran kecil dan terisolasi, sehingga beberapa jenis satwa tidak dapat melakukan perpindahan atau pergerakan untuk mencari makan atau untuk berkembang biak. Di sisi lain, ada beberapa jenis satwa dan tumbuhan yang lebih menyukai habitat interior berupa hutan yang rapat dan gelap, maka jika 50% hutan tersebut dibabat, misal untuk membuat jalan atau lapangan parkir dan sisanya terbelah oleh jalan, maka hutan yang lebat, sejuk dan gelap berubah menjadi terang benderang, kelembaban dan temperaturnya berubah dan tidak sesuai lagi sebagai habitat satwa dan tumbuhan tersebut. Dengan demikian, fragmentasi juga meningkatkan efek tepi (edge effect). Sejalan dengan itu area habitat interior dipengaruhi oleh kondisi berbeda
10
PRAGMENTASI HUTAN
dari habitat lainnya di sekitarnya. Semakin kecil suatu habitat, semakin besar proporsi yang terkena efek tepi dan hal ini dapat menyebabkan perubahan yang dramatis bagi komunitas satwa dan tumbuhan. Bila suatu populasi satwa menjadi kesulitan menyeberangi jalan raya yang menghalanginya untuk mencapai kantong habitat lainnya yang berjarak cukup jauh, maka satwa tersebut hanya dapat berkembang biak terbatas di kantong habitat tempatnya tinggal yang dapat dikatakan sebagai pulau dan populasinya akan menghadapi resiko inbreeding. Lebih jauh, jika populasi diserang wabah penyakit atau bencana alam lainnya, maka satwa tersebut akan mengalami kepunahan lokal dan sulit untuk rekolonisasi dari populasi lainnya.
Sejalan dengan itu, maka jelas bahwa kesinambungan
atau konektivitas dari hutan sangat penting. Suatu hutan yang sehat dan cukup besar akan mampu mendukung organisme dengan jelajah luas, seperti jenis-jenis satwa besar atau satwa pemangsa. Pengurangan luas dapat memiliki dampak langsung pada spesies ini dan karena predator sering memainkan peran penting sebagai pengatur populasi
spesies
lain,
maka
keseimbangan ekosistem
dapat sangat
terganggu. Dalam skala luas, perubahan ik lim juga mungkin memaksa suatu spesies untuk bermigrasi, jika habitat alaminya sangat terfragmentasi, banyak di antara mereka tidak dapat bermigrasi dan akan menghadapi resiko kepunahan. Ini juga membuktikan betapa pentingnya suatu lanskap yang berkesinambungan.
II. PROSES FRAGMENTASI Fragmentasi umumnya terjadi melalui hilangnya habitat (habitat loss), sebaliknya hilangnya habitat fragmentasi.
Tetapi
fragmentasi
dapat dipandang sebagai akibat dapat
disertai
hilangnya
habitat
(berkurangnya jumlah) seiring dengan pemecahan atau pembagian kantong habitat besar menjadi kantong-kantong habitat berukuran kecil dan lebih terisolasi (Hunter 1997; Haila 1999; Frank lin et al. 2002; Fahrig 2003). Jika hilangnya habitat dan fragmentasi dipandang secara terpisah, maka hilangnya habitat memiliki dampak lebih signifikan bagi kelangsungan hidup (viability) spesies daripada fragmentasi (Haila 2002; Fahrig 2003). Namun,
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
11
karena fragmentasi dan hilangnya habitat terjadi bersamaan maka sangat sulit untuk menentukan mana yang lebih penting bagi perubahan habitat (Haila 1999). Fragmentasi bekerja dalam empat cara ketika hilangnya habitat dan fragmentasi
digabung
untuk
menggambarkan
dan
mengkategorikan
prosesnya (Frank lin et al. 2002; Fahrig 2003) : (1) habitat hilang tanpa fragmentasi; (2) pengaruh kombinasi hilangnya habitat dan pemecahan habitat menjadi patches lebih kecil; (3) pemecahan habitat menjadi patchpatch lebih kecil tanpa kehilangan habitat; dan (4) hilangnya habitat dan pemecahan habitat menjadi patch-patch lebih kecil serta penurunan kualitas habitat. Contoh ini berlaku untuk lanskap yang terdiri lebih dari satu habitat dan dikelilingi oleh matriks di dalam suatu kesatuan lanskap. Kasus pertama dan kedua berlaku ketika lanskap keseluruhan berisi satu habitat dan tidak ada matriks di sekelilingnya. Dalam kenyataan, kasus dua dan empat merupakan cara yang paling umum dalam fragmentasi habitat. Fragmentasi habitat merupakan satu aspek dari tahapan proses yang secara spasial dan temporal mengubah habitat dan lanskap yang diakibatkan oleh sebab-sebab alami maupun antropogenik (Forman 1995). Tetapi, perubahan habitat tidak dapat dihindari karena tidak ada habitat atau lanskap yang tetap (Forman 1995). proses
spasial dengan berbagai
derajat
Lanskap berubah me lalui lima overlap sepanjang
periode
perubahan lahan (Forman 1995), dan fragmentasi hanyalah satu outcome. Proses ini dapat diakibatkan oleh penyebab alami dan antropogenik. Perforasi (Perforation) merupakan proses membuat lubang di dalam habitat. Pemotongan (Dissection) adalah pemotongan atau pembagian area menjadi habitat berbeda dengan lebar yang relatif sama.
Fragmentasi
(Fragmentation) adalah pemecahan habitat menjadi potongan-potongan yang lebih kecil. Penyusutan (Shrinkage) terjadi seiring potongan habitat berlanjut dengan penurunan luas. Erosi habitat (Attrition) adalah proses dimana kantong habitat yang tersisa berangsur hilang karena degradasi habitat atau suksesi. Fragmentasi dimulai dengan dissection ketika jalan, jaringan transmisi, sungai dan fitur linear lainnya menjadi penghalang pergerakan. Kemudian diikuti perforation ketika muncul kantong-kantong habitat
12
PRAGMENTASI HUTAN
(habitat patches) kecil yang dibuat oleh manusia atau sebab alami dan efek tepi menjadi nyata.
Fragmentasi merupakan tahap ketiga yang terjadi
ketika kantong habitat yang lebih kecil meningkat frekuensinya dan berkurang luasnya sampai pada tingkat di mana habitat yang terfragmentasi mulai mendominasi lanskap. Attrition merupakan tahap akhir dimana lahan alami atau habitat asli tersisa sebagai kantong yang kecil dan terisolasi di tengah-tengah lanskap yang sekarang didominasi oleh suatu mosaik habitat yang telah berubah dan terfragmentasi.
Proses fragmentasi membuat
habitat menjadi tidak sesuai atau memiliki kesesuaian rendah bersamaan dengan berkurangnya kualitas habitat satwaliar.
Sebaliknya, jika proses
gangguan mengubah mosaik habitat tetapi tidak ada perubahan kualitas habitat berarti tidak terjadi fragmentasi, atau habitatnya berubah teta pi tidak terfragmentasi (Hunter 1997)
III. PENGARUH FRAGMENTASI Ada empat cara primer fragmentasi hutan dapat mempengaruhi keanekaragaman hayati, yaitu: (1) keterwakilan (sample effect); (2) luas area (area effect); (3) isolasi (isolation effect) dan (4) pengaruh tepi (edge effect) (Gambar 1). Masing-masing pada gilirannya akan berpengaruh pada sebaran populasi, komunitas dan proses ekosistem (Kupfer et al. 2004).
Gambar 1. Model konseptual pengaruh fragmentasi (Kupfer et al. 2004).
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
13
Mekanisme
dan
proses
fragmentasi
menghasilkan
tiga
tipe
pengaruh: (1) ukuran patch; (2) pengaruh tepi (edge effect); dan (3) pengaruh isolasi (Fahrig, 2003).
Ahli satwa harus memperhatikan semua
karena ketiganya terjadi pada fragmentasi habitat dan masing-masing memerlukan penanganan yang berbeda (Franklin et al. 2002; Fahrig 2003). Fragmentasi habitat dapat dipandang dari segi positif dan negatif. Pengaruh positifnya adalah meningkatkan keragaman habitat, menciptakan penjajaran habitat yang bermanfaat, dan meningkatkan edge yang disukai spesies satwaliar generalis.
Fragmentasi mem berikan pengaruh negatif
ketika: (1) ada habitat yang hilang; (2) terbentuk kantong habitat lebih kecil yang mendorong pada kepunahan lokal dan isolasi; (3) habitat-habitat tidak lagi bersambungan, khususnya jika fragmentasi disebabkan oleh aktifitas non kehutanan; dan (4) jumlah
edge meningkat sehingga
fragmentasi habitat merugikan spesies interior (Barnes 2000).
IV. MENGUKUR FRAGMENTASI Mengukur fragmentasi sangat menarik, ada banyak ukuran yang dapat digunakan untuk mengkuantifikasikan fragmentasi habitat. Sebagai contoh dalam program FRAGSTATS tersedia 100 matrix fragmentasi habitat (McGarigal and Marks 1995), tetapi hanya sedikit kesepakatan matrik mana yang paling sesuai dan bisa diterjemahkan ke dalam tindakan manajemen konservasi (Garrison 2005). Indeks-indeks mengkuantifikasikan
struktur
lanskap
fragmentasi
seringkali
habitat.
digunakan
untuk
Indeks -indeks
telah
dikembangkan untuk mengukur tiga aspek struktur lanskap: (1) komposisi lanskap; (2) konfigurasi lanskap; dan (3) bentuk patch di dalam lanskap. Komposisi menunjukkan jumlah dari tipe penutupan (cover) yang berbeda yang ditemukan dalam lanskap. Konfigurasi menunjukkan bagaimana patch dari tipe cover yang sama atau berbeda tersusun di dalam lanskap dan hubungannya satu sama lain.
Lanskap dengan komposisi sama dapat
memiliki konfigurasi yang berbeda, sehingga diperlukan beberapa indeks aspek untuk menggambarkan suatu lanskap. Harus dicatat bahwa beberapa indeks tidak sesuai benar untuk ketiga kategori tersebut.
14
PRAGMENTASI HUTAN
Program Patch Anlayst yang kompatibel dengan ArcView 3.x cukup handal
untuk
menghitung
statistik
fragmentasi,
karena
merupakan
modifikasi dari program Fragstats dan dapat digunakan untuk menghitung statistik spasial, baik file poligon (seperti shape files) dan file raster (seperti Arc grids) (Elkie et al., 1999).
Penjelasan dan contoh aplikasi
program Patch Analyst dibahas secara terpisah pada Bab 11.
DAFTAR PUSTAKA Barnes, T.G. 2000. Landscape Ecology and Ecosystems M anagement. Cooperative Extension Services, University of Kentucky, College of Agriculture. UK. http://www.ca.uky.edu. Diakses Tangal 24 Februari 2007. Elkie, P.C., R.S. Rempel and A.P. Carr. 1999. Patch Analyst User’s Manual. Ontario Ministry of Natureal Resources, Northwest Science & Technology. Thunder Bay. Ontario. Fahrig, L. 2003. Effects of habitat fragmentation on biodiversity. Annual Reviews of Ecology and Systematics 34:487–515. Forman, R. T. T. 1995. Some general principles of landscape and regional ecology. Landscape Ecology 10:133–142. Franklin, A.B., B.R. Noon, and T. L.George. 2002. What Is Habitat Fragmentation? Studies in Avian Biology No. 25:20-29. http://www. humboldt. edu/-tlg2/publications/whatis habitat20fragmentation.Pdf. Diakses Tanggal 11 Mei 2007. Garrison, B.A. 2005. Fragmentation of Terrestrial Habitat : An Overview for Wildlife Biologists. Trans.W.Sect.Wildl. Soc. 41:2005. Haila, Y. 2002. A conceptual genealogy of fragmentation research: from island biogeography to landscape ecology. Ecological Applications 12:321–334. http://chesapeake.towson.edu/landscape/forestfrag/what_habitat.asp. Diakses Tanggal 1 Mei 2007. Hunter, M. L., JR. 1997. The biological landscape. Pages 57–67 in K. A. Kohm and J. Franklin (eds). Creating a Forestry for the 21st Century. Island Press. Washington, D.C. Kupfer, J.A., G.P. Malanson and S.B. Franklin. 2004. Identifying the Biodiversity Research Needs Related to Forest Fragmentation. A report prepared for the National Commission on Science for Sustainable Forestry (NCSSF) and funded by the National Council for Science and the Environment (NCSE). McGarigal, K., and B. J. Marks. 1995. Fragstats: spatial pattern analysis program for quantifying landscape structure. USDA For. Serv. Gen. Tech. Rep. PNW-351. http://www. innovativegis.com/basis/Supplements/BM_Aug_99/FRAG_expt.htm. Diakses Tanggal 12 April 2006.
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
15
3 TEORI BIOGEOGRAFI PULAU vs FRAGMENTASI HUTAN
PENDAH ULUAN
TIPE-TIPE PULAU
HUBUNGAN SPESIES-AREA
KEPUNAHAN LOKAL DAN PERUBAHAN KOMUNITAS
EFEK ISOLASI
PERBEDAAN ANTARA BIOGEOGRAFI PULAU SEJATI DENGAN PULAU HABITAT
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN Teori Biogeografi pulau pertama dikemukakan oleh Mac Arthur dan Wilson (1967). Dalam teorinya mereka memprediksi jumlah spesies yang mungkin akan bertahan pada suatu pulau yang baru ter bentuk. biogeografi
pulau
dipelajari
dan
dijelaskan
faktor-faktor
Dalam yang
mempengaruhi keragaman spesies dari sauatu komunitas tertentu. Dalam konteks ini, “pulau” dapat berupa areal habitat yang dikelilingi oleh areal lain yang tidak sesuai untuk spesies dalam “pulau” tersebut; bukan hanya pulau sesungguhnya yang dikelilingi lautan, tetapi juga gunung yang dikelilingi oleh gurun pasir, danau yang dikelilingi daratan, dan fragment hutan yang dikelilingi oleh lanskap yang terganggu oleh manusia. Model biogeografi pulau adalah suatu model kaidah umum mengenai penyebaran keanekaragaman hayati yang menjelaskan hubungan antara luas areal dan jumlah spesies (species-area relationship). Pulau-pulau yang luas memiliki jumlah spesies yang lebih banyak dari pada pulau-pulau kecil. Hal ini karena pulau-pulau yang lebih luas biasanya memiliki tipe habitat
16
PRAGMENTASI HUTAN
dan komunitas yang lebih banyak, menyediakan kemungkinan isolasi geografis dan jumlah populasi yang lebi h banyak untuk setiap spesies sehingga
memperbesar
kemungkinan
spesiasi
dan
memperkecil
kemungkinan kepunahan dari spesies yang baru terbentuk atau dari spesies yang baru datang (Primack et al. 1998).
Model biogeografi pulau
memperkirakan jika 50% dari wilayah pulau rusak, sekitar 10% spesies yang hidup di pulau tersebut akan punah. A pabila spesies ini endemik di wilayah tersebut, maka spesies akan punah. Apabila 90% dari habitat rusak, pulau akan kehilangan 50% spesiesnya, dan jika 99% habitatnya hilang, maka 75% spesies alami akan hilang (Primack et al. 1998). Biogeografi pulau dapat diaplikasikan pada fragmentasi lanskap sebagai model bagaimana “pulau-pulau” habitat kecil dapat berpengaruh buruk pada keragaman hayati habitat as linya (Harris 1984). Teori ini sangat penting dalam mendisain kawasan konservasi karena memberikan panduan kuantitatif tentang luas kawasan dan kesinambungan antara kawasan konservasi yang bertetangga, berdasarkan karakteristik ekologi di wilayah tersebut (Diamond 1975). Menurut teori biogeografi pulau (Mac Arthur & Wilson 1967), kekayaan spesies suatu pulau bergantung pada:
Isolasi pulau, karena isolasi mempengaruhi laju kolonisasi. Pulau yang terisolasi atau jauh, memiliki spesies yang lebih sedikit dari pada pulau yang dekat dengan sumber spesies yang mengkolonisasi.
Pulau yang
lebih jauh, lebih sedikit didatangi pengkoloni dibandingkan pulau yang lebih dekat. Jika ada pulau-pulau di antara sumber kolonisasi (daratan utama) dengan pulau, maka dapat berperan sebagai batu loncatan (stepping stones) dan dapat meningkatkan laju kolonisasi pulau yang jauh.
Jika ada dua pulau dengan jarak yang sama dari s umber
kolonisasi, maka pulau yang lebih besar akan memiliki laju kolonisasi yang lebih tinggi karena adanya Target Effect (The bigger targets are easier to hit).
Luas pulau, karena luas pulau mempengaruhi laju kepunahan.
Pulau
yang besar memiliki jumlah s pesies yang lebih banyak dibandingkan pulau yang kecil. Pulau kecil memiliki ukuran populasi yang lebih kecil,
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
17
lebih sedikit refugia (area untuk mengungsi) dan memiliki laju kepunahan lebih tinggi.
Dinamika kolonisasi dan kepunahan, kolonisasi menggantikan spesies yang punah (species turnover).
Kekayaan spesies mencerminkan suatu keseimbangan (equilibrium) antara kolonisasi dan kepunahan.
II. TIPE-TIPE PULAU Pulau adalah daratan yang dikelilingi air.
Kondisi fisik pulau
biasanya sempit, tipe habitatnya sedikit, sedangkan pengaruh laut sangat besar.
Pulau digunakan oleh para ahli ilmu pengetahuan alam sebagai
laboratorium lapangan untuk menelaah masalah biogeografi.
Darwin dan
Wallace membedakan antara pulau benua (continental island) dan pulau laut (oceanic island) (Haris 1984).
Pulau laut adalah pulau yang belum
pernah berhubungan dengan daratan lainnya (misalnya : P. Nias, P. Bawean, P. Natuna, P. Belitung, P. Sumba dan P. Aru). Pulau Benua adalah pulau yang pada masa lampau mempunyai hubungan dengan daratan atau benua lainnnya karena turunnya permukaan laut (misalnya : Pulau Sumatra, P. Jawa, P. Kalimantan, P. Papua, P. Simeulue, P. Enggano, P. Buru, P. Kai dan P. Tanimbar) (Primack et al. 1998). Ahli lain membagi pulau menjadi tiga tipe yaitu (Ripley 1985): 1. Pulau benua (continental island) yang dulunya merupakan bagian daratan benua tetapi sekarang terpisah dari daratan induknya, ciri -ciri kehidupan serupa dengan benua/daratan utamanya dan dekat dengan benua. 2. Pulau gunung berapi (volcanic island) yang berasal dari gunung berapi dan tidak terbentuk sebagai bagian benua. Pulau-pulau gunung berapi berada di dekat pulau-pulau besar membentuk busur pulau gunung berapi di laut.
Pulau-pulau gunung berapi di bagian sisi yang
menghadap benua biasanya dikelilingi perairan dangkal sedangkan di tepi luarnya selalu mempunyai tebing yang terjal yang turun ke bagian laut paling dalam.
18
PRAGMENTASI HUTAN
3. Pulau samudera (oceanic island) sejati yang terbentuk dari proses geologi.
Biasanya berukuran kecil dan seringkali letaknya jauh dari
daratan utama.
Pulau ini dapat berbentuk pulau tunggal atau
membentuk kepulauan kecil. Suksesi yang terjadi di pulau ini adalah suksesi primer Disamping ketiga tipe pulau tersebut juga ada tipe pulau lain yaitu (Whitten et al., 1988): 1. Pulau atol. Pulau atol terbentuk dari binatang karang yang telah mati, berukuran kecil, biasanya berbentuk cincin dan banyak terdapat di Lautan Pasifik (Contoh : Pulau Takabonerate dan Tukang Besi). 2. Pulau purba (ancient island). Pulau purba telah terpisah dari daratan utama sejak lama sekali (lebih dari 100 juta tahun) oleh karenanya memiliki tingkat endemisme tinggi (misalnya P. Madagaskar dan Kepulauan Selandia Baru). Pulau-pulau benua memperoleh keanekaragaman hayatinya ketika pulau-pulau tersebut berhubungan dengan benua. Selanjutnya pulau-pulau ini memperoleh tambahan dari hasil migrasi hewan/tumbuhan (Primack et al. 1998). Pulau laut asal mulanya merupakan substrat kosong, komunitas hewan berkembang dari kolonisasi awal yang kemudian berkembang semakin kaya dan kompleks (Haris 1984). Dengan perkataan lain, pulaupulau laut hanya dapat memperoleh keanekaragaman hayatinya dari kemampuan migrasi hewan dan tumbuhan yang berasal dari tempat-tempat lain (Primack et al. 1998). Laju imigasi dan kolonisasi serta faktor-faktor lingkungan laut sangat mempengaruhi karakteristik biota pulau-pulau laut, setidakya pada tingkat hunian awalnya (Haris 1984).
III. HUBUNGAN SPESIES-AREA Menurut teori biogeografi, jumlah spesies (jumlah equilibrium) yang terdapat di suatu pulau ditentukan oleh dua faktor, yaitu jarak dari daratan utama dan ukuran pulau.
Keduanya akan mempengaruhi laju
kepunahan di pulau dan tingkat imigrasi. Pulau-pulau yang dekat dengan daratan utama kemungkinan menerima imigran dari daratan utama lebih besar dari pada pulau-pulau yang jauh dari daratan utama.
Pada pulau-
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
19
pulau yang lebih kecil peluang kepunahan lebih besar dari pada pulau-pulau besar. Pulau-pulau besar memiliki jumlah spesies lebih banyak dari pada pulau-pulau kecil (Mac Arhtur & Wilson 1967). Kekayaan spesies suatu pulau juga tergantung pada: (1) isolasi, karena isolasi mempengaruhi laju kolonisasi dan (2) ukuran pulau karena ukuran pulau mempengaruhi laju kepunahan.
Kolonisasi dan kepunahan
adalah dinamis, kolonisasi menggantikan spesies yang punah, atau disebut turn over.
Kekayaan spesies suatu pulau menunjukkan keseimbangan
(equilibrium) antara kecepatan kolonisasi dan kecepatan kepunahan (Mac Arhtur & Wilson 1967). Hubungan antara jumlah spesies dan luas pulau digambark an dengan rumus sebagai berikut (Mac Arhtur & Wilson 1967):
Dimana S = jumlah spesies, A = luas pulau, z dan c adalah konstanta yang diperlukan untuk menyesuaikan data luas (dalam m 2, km2, dll) dengan jumlah spesies. Hubungan ini dapat dibuat linier dengan menggunakan log sehingga rumusnya menjadi (Mac Arhtur & Wilson 1967): Log S = Log c + z log A Laju kolonisasi lebih tinggi pada pulau yang dekat dengan daratan utama karena lebih banyak spesies yang dapat menyeberang laut yang relatif dekat.
Laju kepunahan lebih besar pada pulau yang lebih kecil
karena populasi-populasi berukuran lebih kecil dan kemungkinan terkena penyakit dan kejadian merugikan lainnya yang dapat menghabiskan populasi atau menurunkannya sampai tingkat yang tidak viable.
Hubungan ini
merupakan prinsip dasar teori biogeografi pulau seperti dtunjukkan pada Gambar 2. Hubungan antara ukuran pulau dan jumlah jenis relatif konstan untuk
kelompok-kelompok
hewan
atau
tumbuhan.
Secara
umum
berkurangnya sepuluh kali ukuran pulau mengurangi setengah jumlah jenis. Jika suatu pulau mendukung lebih sedikit jenis dari yang diharapkan sampai di bawah garis (Gambar 2), mungkin disebabkan oleh (Whitten et al. 1988): 1. Kelompok tersebut belum diketahui dengan baik.
20
PRAGMENTASI HUTAN
2. Keseimbangan jumlah jenis belum tercapai. 3. Pulau terdiri atas jumlah habitat yang relatif terbatas atau habitat tidak mendukung jumlah jenis yang banyak. 4. Pulau sangat jauh dan sulit dikolonisasi. Jika suatu pulau mendukung lebih banyak jenis dari pada yang diharapkan sampai di atas garis (Gambar 2), mungkin disebabkan oleh (Whitten et al. 1988): 1. Jumlah melebihi keseimbangan, namun beberapa jenis pada waktunya nanti akan hilang. 2. Pulau sangat kaya akan tipe-tipe habitat. 3. Pulau merupakan pusat penyebaran jenis kelompok tertentu.
Laju Kepunahan
Laju Imigrasi
Kecil
Dekat
Besar Jauh
a
b
c
Jumlah spesies pada sebuah pulau Gambar 2.
Jumlah jenis relatif pada (a) pulau-pulau kecil, dekat, (b) pulau-pulau besar, jauh atau kecil, dekat, dan (c) pulau-pulau besar, dekat (Mac Arthur and Wilson 1967).
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
21
Sebagai contoh, untuk total jenis, Sulawesi berada di bawah garis dari jumlah yang seharusnya untuk hewan dan tumbuhan, tetapi berada di atas garis untuk mamalia, hal ini mungkin disebabkan oleh sebaran jenis jenis tikus yang luar biasa dan juga ular. Sulawesi juga berada di atas garis untuk jenis endemik, hal ini disebabkan oleh sejarah geologinya (Whitten et al. 1988). Pengaruh ukuran pulau pada tingkat endemisitas juga sangat tinggi. Pulau-pulau besar mempunyai jumlah spesies dengan tingkat endemisitas yang jauh lebih tinggi, tetapi korelasinya tidak begitu tampak dengan kekayaan spesies.
Spesies endemik berkorelas i negatif dengan kekayaan
spesies dan berkorelasi positif dengan tingkat isolasi. Disamping itu juga ada perbedaan antara tumbuhan dan hewan dalam tingkat endemisitas. Tingginya jumlah hewan endemik tidak selalu diikuti oleh tingginya tumbuhan endemik, tetapi seringkali tingginya tumbuhan endemik diikuti oleh tingginya hewan endemik (Primack et al. 1998). Tumbuhan endemik lebih terpengaruh oleh ukuran pulau dari pada isolasi geografik. Sebaliknya endemisitas burung sangat bergantung pada isolasi geografik. Pulau-pulau yang jauh dan kecil dapat mempunyai tingkat endemisitas burung yang tinggi, tetapi tingkat endemisitas tumbuhannya dapat rendah (Primack et al. 1998).
IV. KEPUNAHAN LOKAL DAN PERUBAHAN KOMUNITAS Istilah pulau bisa diartikan mulai dari seb uah pulau kecil, pulau karang (atol) terpencil yang dikelilingi laut sampai pada kawasan hutan yang ditetapkan secara hukum. Suatu komunitas alami yang ada sebagai sebuah pusat dari suatu habitat regional yang lebih besar akan berisi banyak spesies langka yang tergantung pada sistem yang lebih besar untuk eksistensinya.
Seiring dengan cepatnya perubahan penggunaan lahan di
sekitarnya, maka akan tercipta suatu kantong pulau habitat (habitat patch) yang
terisolasi.
Seiring dengan pulau habitat yang semakin terisolasi
dengan cepat dari vegetasi di sekitarnya yang serupa, spesies langka dengan cepat akan hilang.
22
PRAGMENTASI HUTAN
Kepunahan mengurangi satwa di setiap pulau habitat sehingga memainkan peran penting dalam menentukan komposisi spesies.
Tidak
adanya kompensasi kolonisasi, proses tersebut menghasilkan kemiringan (slope) yang lebih tajam pada kurva species-area.
Dengan demikian
perbedaan nilai kemiringan antara pulau-pulau samudera dan pulau-pulau benua
dapat dijelaskan oleh ketidakseimbangan relatif
dari
proses
kepunahan dan kolonisasi (Harris 1984). Picton (1979) dalam Harris (1984) menganalisis perubahan populasi 10 spesies mamalia besar pada 24 wilayah pegunungan kontinental yang semi terisolasi di Rocky Mountains bagian utara. Luas arealnya bervariasi dari 11 – 4.480 mil persegi (29 – 11.600 km 2). Persentasi spesies asli yang telah hilang selama periode pembagunan pemukiman, pertanian dan peternakan ranch, perburuan subsisten, pembalakan dan penambangan berbanding terbalik dengan ukuran luas areal. Sementara a real yang lebih kecil kehilangan lebih dari 50% spesies aslinya, areal yang lebih besar kehilangan sekitar 4% dari spesies yang pernah ada (Picton 1979 dalam Harris 1984).
Dengan perkataan lain, faktor-faktor yang meningkatkan
perbedaan antara kepunahan dan kolonisasi menyebabkan kemiringan hubungan spesies-area meningkat seperti nilai yang ditunjukkan oleh pulaupulau sebenarnya. Kepunahan lokal atau hilangnya spesies dari taman nasional, cagar alam dan pulau-pulau habitat mempengaruhi kelompok spesies tertentu lebih dari lainnya. Secara umum, spesies yang paling rawan untuk hilang ditunjukkan oleh populasi yang kecil. Populasi kecil dapat dihasilkan oleh keterbatasan sumberdaya spasial dan temporal (seperti habitat yang sangat spesialis atau sumberdaya pakan), eksploitasi berlebih atau areal yang relatif lebih kecil dari pada dae rah jelajah spesies tersebut. Spesies yang sangat spesialis, yang menunjukkan jumlah terbesar dari kelas makanannya (seperti raptor, karnivora darat, pemakan serangga di batang pohon) dan yang berada pada tropic level yang lebih tinggi biasanya yang pertama mengalami kepunahan.
Walaupun spesies dengan jelajah luas memiliki
potensi kolonisasi yang lebih tinggi, laju kepunahan lokalnya lebih tinggi dari rata-rata untuk semua spesies dalam komunitas (Harris 1984).
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
23
Untuk berbagai alasan, fenomena yang digambarkan di atas sangat penting untuk mamalia. Beruang grizzly, srigala abu-abu, dan fisher telah hilang dari Oregon Barat dan wolverine (sejenis anjing hutan) dan Lynx menjadi sangat jarang.
Semua jenis tersebut adalah karnivora puncak.
Olterman & Verts (1982) dalam Harris (1984) meninjau status 41 spesies mamalia di Oregon. Tujuh dari 8 spesies (88%) yang pernah ada di fragment bagian barat dan dinyatakan ”punah”, ”jarang” atau ”terancam punah (endangered)” adalah karnivora.
Sebaliknya, lima dari delapan spesies
(62%) dalam kategori ”tidak jarang atau tidak endagered” adalah herbivora. Picton (1979) dalam Harris (1984) membatasi analisisnya untuk wialyah Rocky Mountains pada herbivora besar karena karnivora sudah sangat serius menurun sehingga analisisnya tidak dapat dijamin. Di Great Basin, spesies herbivora dengan kebutuhan habitat yang umum (generalis) dan berukuran tubuh kecil sampai sedang masih bertahan pada sebagian besa r pulau habitat, herbivora dengan ukuran tubuh besar dan/atau memerlukan habitat khusus (spesialis) serta karnivora memiliki laju kepunahan yang lebih tinggi dan hanya bertahan di sedikit areal dari 19 pulau habitat (Brown 1978 dalam Harris 1984).
V. EFEK ISOLASI Baik komunitas tropika maupun temperate sama-sama menghadapi masalah inbreeding dan hilangnya keragaman genetik yang disebabkan oleh sub populasi tumbuhan dan satwa yang terisolasi satu sama lain akibat fragmentasi.
Jika jarak yang memisahkan antara dua fragment terlalu
besar dan suatu spesies tidak dapat menyeberanginya, populasi di kedua fragment tersebut benar-benar terpisahkan. Inbreeding biasa terjadi jika sub populasi di fragment tersebut kecil.
Walaupun hal ini belum ada
catatannya tetapi potensial terjadi (Harvey and Lyles 1986). Hilangnya
keragaman
genetik
dapat
terjadi
bahkan
tanpa
inbreeding, dan homozigositas yang dihasilkan dalam gen-gen tertentu dapat
membawa
(evolusioner) fragment,
suatu
(Soule banyak
spesies
1986). pengelola
pada
Untuk satwa
kepunahan
perlahan
meningkatkan pertukaran antar memanfaatkan
menghubungkan dua atau lebih pulau habitat.
24
secara
PRAGMENTASI HUTAN
koridor
yang
Koridor meningkatkan
kekayaan spesies burung-burung yang sedang berkembangbiak (MacClintock et al. 1977) dan meningkatkan mobilitas satwa penyebar biji (Haris 1984). Koridor mungkin bisa menghambat hilangnya keragaman genetik dan memungkinkan penyebaran spesies antar fragment, tetapi pengurangan ekosistem alami ke dalam fragment-fragment terus saja terjadi. Penurunan luas ekosistem alami ini hanya dapat merugikan spesies yang bergantung padanya untuk bertahan hidup. Salah satu prinsip biogeografi yang telah lama dianut adalah pentingnya isolasi dalam menentukan karakteristik komunitas biotik. Walaupun jarak dianggap sebagai ukuran utama dari isolasi, tetapi konsepnya jauh lebih kompleks. Mungkin ukuran jarak absolut lebih mudah dipahami oleh pengelola, tetapi kenyataannya tidak selalu demikian karena yang dihadapi oleh spesies-spesies tumbuhan dan satwa berbeda.
Ada
ribuan perbedaan antara jarak tempuh normal rutin bulanan antara mamalia kecil seperti mole (sejenis tikus mondok) dan beruang grizzly atau srigala. Dengan demikian jarak 0,6 mil bisa 75 kali radius jelajah seekor tikus mondok, tetapi hanya 1% dari radius jelajah seekor coughar (Harris 1984). Alasan kedua mengapa ukuran jarak absolut tidak begitu menjadi perhatian, karena perilaku menetap (sedentary) versus berpindah-pindah (migratory) setiap spesies berbeda.
Suatu spesies migratory dengan
anggota yang menjelajahi ribuan kilometer secara musiman memiliki peluang lebih tinggi untuk mengkolonisasi pulau terisolasi dalam jarak tempuhnya dari pada penghuni yang memiliki sifat menetap. Untuk spesies seperti pika, jarak 1.000 feet (300 m) antara singkapan talus merupakan rintangan yang sulit dan sangat tidak mungkin menyebar dengan jarak lebih dari beberapa kilometer dari lingkungannya (Smith 1974 dalam Harris 1984). Pertimbangan ketiga adalah spesialisasi habitat dan toleransi terhadap variasi klimatik, edafik dan perubahan (gradient) vegetasi. Spesies tertentu (misalnya beruang hitam) menjelajah seluruh wilayah ketinggian, seluruh g radient kelembaban dan seluruh tahapan suksesi vegetasi. Spesies lain seperti red tree vole (sejenis tikus kecil) mungkin menghadapi rintangan besar yang tak terlihat (Grinnell 1941b dalam Harris
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
25
1984), hanya ada di tajuk beberapa spesies konifer (kecuali dalam situasi tidak umum), dan hanya terbatas di Oregon bagian barat dan California Barat Laut. Dengan demikian tebang habis yang luas dan hutan sekunder, bagi spesies tertentu bisa tidak berpengaruh tetapi bisa mengisolasi secara total bagi spesies lainnya (Harris 1984). Derajat isolasi harus dilihat sebagai suatu kontinum bagi spesies secara spesifik dan harus dilihat dari aspek biologi spesies tersebut dan kondisi lingkungannya.
Findley & Anderson (1956) dalam Harris (1984)
menyatakan bahwa spesies arboreal seperti tupai dan spesies lain seperti marten dan fisher yang sangat tergantung pada habitat hutan, akan sangat terbatasi oleh sungai besar dan ngarai.
Mereka juga menyatakan bahwa
penyebaran spesies mamalia di Colorado Rockies merupakan kebalikan dari ketergantungannya pada hutan.
Keberadaan hutan riparian yang dapat
digunakan sebagai koridor penyebaran sangat penting bagi penyebaran banyak spesies (Findley & Anderson 1956 dalam Harris 1984). Pengaruh tidak langsung tambahan dari isolasi adalah sangat penting bagi satwa, karena sebaran tumbuhan di habitat terisolasi juga masalah bagi sebaran satwa. mengurangi
keragaman
Isolasi mungkin
sumberdaya
(Johnson 1975 dalam Harris 1984).
tumbuhan
memiliki pengaruh dan
kualitas
habitat
Dengan demikian meskipun suatu
spesies satwa dapat mencapai suatu pulau habitat, habitat tersebut mungkin tidak cukup beragam dan kompleks untuk mendukung spesies tersebut.
Johnson (1975) dalam Harris (1984) menyimpulkan bahwa
pemiskinan spesies burung dan kerapatan yang lebih rendah spesies di Pegunungan Great Basin diakibatkan oleh pemiskinan tumbuhan dan serangga yang merupakan makanan dan habitatn ya. Pengaruh gabungan dari semua faktor tampaknya bekerja secara signifikan pada amfibia dan reptilia, diikuti oleh mamalia, burung penghuni tetap dan burung migran.
Dengan kata lain, burung secara proporsional
lebih melimpah di komunitas terisolasi seperti Mary’s Peak dan Steens Mountains dari pada rata-rata di habitat terfragmentasi lainnya.
Isolasi
juga kurang penting untuk menentukan di tipe habitat apa burung berada di pulau-pulau
26
habitat
pegunungan
tetapi
penting
PRAGMENTASI HUTAN
untuk
menentukan
keberadaan mamalia (Brown 1978 dalam Harris 1984). Secara grafis, efek isolasi diperlihatkan pada Gambar 3.
VI. PERBEDAAN ANTARA BIOGEOGRAFI PULAU SEJATI DENGAN PULAU HABITAT Disamping kemiripan antara biogeografi pulau samudera sejati dengan pulau-pulau habitat (habitat islands) dan pegunungan, terdapat beberapa perbedaan yang harus dijelaskan (Wilcox 1980 dalam Harris 1984). Pulau-pulau sejati dikelilingi oleh media yang bisa berfungsi sebagai agen penyebaran tetapi tidak akan cukup sebagai habitat spesies daratan. Puncak pegunungan Mesic dikelilingi oleh lingkungan yang sangat ekstrim perbedaannya seperti gurun pasir bisa menjadi analogi baik sebagai perbandingan. Tebang habis secara total di sekeliling suatu pulau tua juga berbeda dari habitat tua yang tidak sesuai bagi penghuni yang lama tinggal disana. Hal ini digunakan untuk membenarkan analogi, tetapi analogi ini tidak memiliki konsistensi kuat (Harris 1984).
Gambar 3. Mekanisme bekerjanya pengaruh isolasi. Perbedaan kedua antara pulau-pulau sejati dan pulau-pulau tua masa mendatang bisa memiliki konsekuensi yang lebih berat.
Pulau-pulau
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
27
sehati selalu dianggap dekat dengan benua yang berperan sebagai sumber imigran. Benua secara implisit berisi sejumlah besar dan pemasok jenisjenis potensial yang tak pernah habis menjadi pengkoloni.
Imigrasi dan
kolonisasi dari sumber spesies selalu mungkin. Tetapi, beberapa dekade mendatang ketika hutan terdiri dari tanaman monokultur rotasi pendek dan ketika banyak spesies terbatasi hanya di cagar alam yang terpisah jauh, maka tidak ada “benua” sumber spesies yang dapat mengkoloni.
Sama
halnya, tidak akan ada benua sumber spesies untuk memperkaya pulaupulau tua. Seperti halnya Burgess & Sharpe (1981) dalam Harris (1984) yang menganggap pulau-pulau tua akan terjadi di sebuah lautan tanpa “benua” di Amerika Serikat Bagian Timur.
Pulau-pulau tersebut menggambarkan
kantong-kantong habitat yang harus berperan sebagai satu-satunya sumber spesies. Tidak akan ada lagi cadangan spesies yang dapat menjadi sumber imigrasi (Harris 1984).
DAFTAR PUSTAKA Amos, W.H. 1980. Wildlife of Islands. H.arry N. Abrams, Incorporated. New York. Brown, J.H. and M.V. Lomolino. 1998. Biogeography. Sinauer Associates, Inc. Sunderland, Massachusetts. Diamond, J.M. 1975. The Island Di llema : Lessons of Modern Biogeograpgic Studies for the Design of Natural Reserves. Biological Conservation 7:129-146. Haris, L.D. 1984. The Fragmented Forest : Island Biogeography Theory and the Preservation of Biotic Diversity. The University of Chicago Press. Chicago. Harvey, P.H. and A.M. Lyles. 1986. Inbreeding in natural population of birds and mammals. In M.E. Soule (ed). Conservation Biology : The Science of Scarcity and Diversity. Sinauer Assoc. Inc., Sunderland, M.A. http://learning.turner.com/efts/rforest/habfrag.htm. Fragmnentation. Diakses Tanggal 17-10-2006.
Eco-Link Habitat
http://www.abdn.ac.uk/zoohons/lecture4/sld017.htm. Diakses Tanggal 611-2007.
28
PRAGMENTASI HUTAN
Mac Arthur, R.H. and E.O. Wilson. 1967. The Theory of Island Biogeography. Princeton University Press. Princeton, New Jersey. MacClintock, L., R.F. Whitcomb and B.L. Whitcomb. 1977. Island Biogeography and Habitat Island of Eastern Forests. II. Evidence for the Value of Corridors and Minimization of Isolation in Preservation of Biotic Diversity. American Birds 31: 6-16. Primack, R.B., J. Supriatna, M. Indrawan dan P. Kramadirata. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
1998.
Ripley, S.D. 1985. Tropical Asia. Time-Life Books Inc. U.S.A. Whitten, A.J., M. Mustafa dan G.S. Henderson. 1988. The Ecolog y of Sulawesi. Gadjahmada University Press. Yogyakarta. Wikipedia. 2007. Island Biogeography. http://en.wikipedia.org/ wiki/Island_ biogeography. Diakses Tanggal 30-01-2007. WWF. 1973. The Atlas of World Wildlife. Portland House. Barcelona.
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
29
4 FRAGMENTASI HABITAT DIPANDANG DALAM SKALA LANSKAP
DINAMIKA PATCH
DESKRIPSI POLA PATCH
PENGARUH UKURAN PATCH
PENGARUH FA KTOR-FAKTOR LAIN
DAFTAR PUSTAKA
I. DINAMIKA PATCH Kejadian (occurance) dan distribusi patch-patch dalam suatu lanskap adalah tidak statis.
Mereka terus berubah sepanjang waktu
dibawah kekuatan sistematis seperti suksesi dan erosi serta di bawah kekuatan bencana alam seperti badai dan gangguan jangka pendek oleh manusia.
Gangguan bencana alam umumnya menciptakan patch-patch
dengan suksesi awal di dalam suatu lanskap dan mengurangi patch-patch dengan suksesi lebih tua yang sudah ada.
Hal ini merupakan ciri khas
proses dimana hutan yang sudah matang terfragmentasi menjadi blok -blok. Gangguan bencana alam juga mempengaruhi ukuran patch, biasanya meningkatkan patch-patch dengan suksesi baru dan mengurangi ukuran patch-patch dengan suksesi lama. berpengaruh
di
dalam
patch
Tetapi beberapa gangguan bisa lebih
itu
sendiri
dari
pada
antar
patch.
Heterogenitas dalam patch vegetasi dapat meningkat dengan membuka kanopi, menciptakan pohon tumbang, dan meningkatkan pancaran cahaya dan panas ke strata kanopi yang lebih rendah dan permukaan tanah. Gangguan mengubah rejim energi dan aliran hara di dalam lanskap,
30
PRAGMENTASI HUTAN
walaupun juga dapat meningkatkan atau menurunk an aliran-aliran tertentu tergantung pada tipe gangguannya (Morrison et al. 1992). Shugart (1984) mengusulkan suatu cara untuk mengklasifikasi gangguan berdasarkan pada hubungan antara luas lanskap dan luas yang terganggu (Gambar 4).
Sistemnya mengkarakterisasi gangguan sebagai
rentang dari pohon kecil tumbang yang mempengaruhi kurang dari 1.000 m2 dalam hutan individual 100 ha sampai kebakaran hutan yang mempengaruhi lebih dari 100 ha di hutan wisata lebih dari 10.000 ha atau badai yang mempengaruhi 1.000.000 ha atau lebih dari suatu pulau.
Sughart
mengusulkan bahwa kondisi kesetimbangan dalam suatu lanskap yang sedang terganggu memerlukan sesuatu kurang lebih luas lanskap mendekati 50 kali dari ukuran gangguan.
Dengan demikian, suatu kumpulan pohon
kecil dapat menyerap gangguan pohon tumbang, tetapi luas hutan nasional atau taman nasional diperlukan untuk menyerap kebakaran acak untuk menjaga kesetimbangan
lanskap.
Pada
lanskap yang tidak dalam
kesetimbangan, dimana gangguan bervariasi ukurannya, mungki n diperlukan oleh manajer untuk mengubah skala gangguan atau untuk meningkatkan luas di bawah manajemen dalam rangka memberikan kondisi gangguan kesetimbangan (Morrison et al. 1992). Cara lain untuk mengkarakterisasi gangguan adalah dengan derajat perubahan lingkungan.
Empat tipe gangguan umum dapat digambarkan
dalam cara ini (Gambar 5).
Gangguan Tipe I adalah bencana lingkungan
seperti gunung meletus, kebakaran luas yang berdampak pada skala geografis luas. Gangguan Tipe II adalah bersifat lebih lokal dan meliputi pengaruh topan, serangga dan penyakit. Gangguan Tipe III tersebar luas tetapi relatif berdampak rendah per unit waktu dan meliputi pengaruh kronik dan sistematik dari predator dan kompetitor dan perubahan gradual dalam penggunaan lahan dalam suatu wilayah yang luas. Gangguan Tipe IV adalah bersifat setempat dan umumnya berdampak rendah dan meliputi perubahan kecil pada lingkungan yang disebabkan oleh kebakaran lokal dan pembangunan oleh manusia (Morrison et al. 1992). Kebanyakan perhatian tentang dampak dari fragmentasi hutan diturunkan dari pengurangan dan isolasi habitat lokal dari gangguan Tipe I dan Tipe I V.
Tetapi
dampak
sekunder dari
fragmentasi
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
seperti
31
meningkatnya pemangsaan atau spesies kompetitor, terjadi pada skala sebaran yang lebih luas dan sulit untuk diramalkan dan dimonitor secara lokal.
Sementara, para perencana ingin melacak dampak kumula tif dari
gangguan Tipe IV. Dam pak kumulatif ini mungkin bisa menjadi gangguan Tipe III pada wilayah yang lebih luas. Dampak yang menyebar lebih luas ini harus dipelajari sebagai bagian dari program monitoring fragmentasi atau penelitian (Morrison et al. 1992).
Gambar 4.
Klasifikasi rejim gangguan berdasarkan pada luas yang terganggu dan luas lanskap (diadaptasi oleh Shugart, 1984; dari Shugart & West 1981).
Gambar 5.
Empat tipe gangguan yang ditunjukkan oleh derajat gangguan dan luas geografis yang dipengaruhinya (Morrison et al. 1992).
32
PRAGMENTASI HUTAN
Kondisi lingkungan mencirikan edges dari patch-patch yang tersisa – sinar matahari langsung dan sering serta fluktuasi temperatur dan kelembaban yang besar – sering masuk ke suatu patch. Dengan demikian, ukuran patch yang secara ekologis efektif, dimana sejumlah lingkungan interior yang sebenarnya adalah lebih kecil dari pada ukuran fisik patch. Demikian juga bentuk patch dipengaruhi oleh fragmentasi. Gangguan dan fragmentasi bisa menciptakan edges, islands, rings, peninsulas dan bentuk patch-patch lainnya yang tidak kondusif bagi spesies interior tetapi menguntungkan spesies yang menyukai suksesi edges dan spesies suksesi awal.
Pada
umumnya,
jumlah
dan
konfigurasi
patch-patch
dan
perubahannya dari waktu ke waktu bervariasi menurut kondisi gangguan yang berbeda (Morrison et al. 1992). Kita juga dapat mengkarakterisasi fragmentasi lingkungan menurut skala spasial dimana terjadinya serta menurut ukuran dan pola penggunaan areal oleh spesies satwaliar.
Lord dan Norton (1990) memandang
fragmentasi sebagai suatu diskontinuitas gradient lingkungan dan skalanya bebas.
Mereka menyarankan agar sebaran patch-patch dipandang dalam
skala luas, dari struktural sampai geografik (Tabel 1). Tabel 1.
Implikasi dispersi habitat pada skala berbeda untuk berbagai atribut lanskap terfragmentasi. Dispersi
Atribut 2
Geografik
Struktural
Ukuran (m )
Besar > 1000
Kecil < 10
Isolasi
Biasanya sedang sampai besar
Biasanya kecil
Gradien batas
Curam
Dangkal
Dampak gangguan ekstrinsik
Terbatas pada edge dan sampai beberapa ratus meter masuk
Menyeluruh
Kerawanan terhadap gangguan fungsional
Sedang sampai kecil
Sedang sampai besar
Skala organisme yang dipengaruhi
Generalis besar sampai spesialis sedang
Spesialis sedang sampai spesialis kecil
M anfaat konservasi
Biasanya me milki interior yang utuh (intact)
Biasanya lebih besar dari luas total
Sumber: Lord dan Norton (1990).
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
33
II. DESKRIPSI POLA PATCH Memahami dampak gangguan dan proses -proses dalam fragmentasi lingkungan merupakan kunci untuk menggambarkan dan meramalkan pola pola patch.
Pada skala lanskap dari beberapa sampai lusinan patch,
penggambaran matematis konfigurasi patch, travel corridor (lintasan koridor) dan pathway serta struktur edge merupakan alat yang berguna untuk mengkarakterisasi pola patch pada suatu lanskap (Morrison et al. 1992). Forman & Gordon (1986)
me-review
sejumlah cara
untuk
menggambarkan pola patch. Hal ini meliputi menggambarkan patch-patch sebagai matrix dan jaringan (network).
Dengan penggambaran tersebut,
matematika network dapat digunakan untuk menganalisis bagaimana pola patch tertentu memberikan konektivitas (connectivity) – potensi pergerakan satwa – antar patch-patch.
Forman dan Gordon juga menyarikan dalam
sebuah matrix ada enam ukuran karakteristik patch meliputi: patch shape, isolation, accessibility, interaction dan dispersion (Morrison et al. 1992). Patch-patch juga telah dideskripsikan dari perspektif kehadiran edges dalam suatu lanskap.
Kemampuan satwa untuk bergerak melalui
berbagai tipe edge yang disebut porosity atau permeability dari suatu edge. Dari perspektif ini, beberapa model pergerakan satwa dalam suatu lanskap berhubungan
langsung
dengan
pola
patch-patch
sebagaimana
mempengaruhi jalan-jalan lebar (highways) untuk pergerakan, filters dan barriers. Model demikian berguna untuk menggambarkan kondi si spesifik spesies dari patch terisolasi dan terkoneksi (Buechner, 1987a,1987 b; Stamps et al. 1987).
Buechner (1987b) memodelkan pergerakan satwa melintasi
taman nasional semenanjung dan menyimpulkan bahwa arah dan magnitude pergerakan dapat dipengaruhi oleh ratio perimeter-area patch, edge permeability, tingkah laku dan preferensi habitat suatu spesies dan ukuran relatif menurunnya dispersal dan sumber asal satwa yang berpindah. Konektivitas patch dan permebilitas edge bervariasi menurut ukuran tubuh spesies, kekhususan habitat dan luas daerah jelajah (home range). Patch yang berperan sebagai kesesuaian habitat secara keseluruhan dalam tipe dan jumlah untuk melestarikan suatu satwa bertubuh kecil berhabitat spesifik seperti red tree vole (Arborimus longicaudus), suatu
34
PRAGMENTASI HUTAN
jenis spesialis pada Douglas fir, juga mungkin berperan, pada banyak skala lebih luas, hampir sebagai batu loncatan (stepping stone) dalam dispersal spesies bertubuh lebih besar dan tidak memerlukan habitat spesifik seperti singa gunung (Felis concolor) (Morrison et al. 1992). Spesies berbeda merespon lanskap dengan berbeda pula yang mencerminkan apa yang dimaksud environmental g rain size (ukuran hambatan lingkungan).
Satwa dengan perbedaan sumberdaya orientasi,
ukuran tubuh dan luas home range menerima dan menggunakan patch dan sumberdaya pada skala yang berbeda.
Serangkaian patch-patch spesifik
dapat muncul sebagai coarse grained (hambatan berat) bagi spesies dengan jelajah sempit dan fine grained (hambatan ringan) untuk spesies dengan jelajah luas.
Dengan demikian asesmen apakah suatu konfigurasi patch-
patch tertentu dan derajat fragmentasi menguntungkan atau merugikan sangat banyak tergantung pada karakteristik spesies dalam menggunakan lanskap (Morrison et al. 1992).
III. PENGARUH UKURAN PATCH Ukuran patch atau jumlah tipe lingkungan yang ada dalam suatu lanskap secara langsung mempengaruhi kolonisasi oleh individu, ketahanan (persistence) individu dan unit perkembang biakan (breeding unit) serta jumlah spesies dalam areal tersebut. Ukuran patch hutan di hutan gugur sebelah timur telah dihubungkan dengan peluang (propbability) kehadiran burung penyanyi dan jenis
jenis
burung
lainnya (Whitcomb et al.,
1981;
lihat
Gambar 6).
Gambar 6.
Fungsi insiden dari pelatuk totol besar (Picoides major) (Dari M oore & Hooper dalam Wilcove et al., 1986).
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
35
Kurva peluang demikian disebut sebagai fungsi insiden (incidence function).
Fungsi
insiden menggambarkan kemiripan spesies
yang
ditemukan di dalam suatu patch habitat dari suatu areal tertentu. Fungsi insiden dapat juga diinterpretasikan sebagai proporsi dari patch dengan ukuran tertentu mengandung spesies yang ada. Fungsi insiden juga digunakan untuk menggambarkan jumlah spesies berbeda yang ada pada suatu areal (island atau patch) dengan ukuran tertentu. Hubungan demikian disebut “hubungan kekayaan spesies - area” (species richness - area relationship) dan secara matematis digambarkan sebagai :
S
CA z
dimana S adalah jumlah spesies yang ada, A adalah luas pulau atau patch, C adalah konstanta skala yang nilainya bervariasi menurut takson dan lokasi, dan z adalah laju dimana jumlah spesies meningkat dengan meningkatnya luas. Dari sejumlah penelitian kekayaan spesies pada kepulauan samudera, z bervariasi dari 0,24 untuk lahan perkembangbiakan dan burung -burung air di West Indies dan vertebrata daratan di Kepulauan Danau Michigan, sampai 0,49 untuk lahan perkembangbiakan dan burung-burung air di teluk Guinea (MacArthur & Wilson 1967).
Preston (1962a, 1962b) menghitung sebuah
nilai teoritis 0,263. Ketika diplotkan pada sebuah hubungan log-log, dimana S = log C + z log A, fungsinya tampak sebagai sebuah garis lurus dan z menjadi slope dari garis tersebut.
Sebagai konsekuensi dari faktor z,
sebagai
lipat
hukum
umum,
dua
kali
jumlah
spesies
tampaknya
membutuhkan 10 kali luas (Darlington 1957; Haris 1984).
Hubungan
species-area melemah (nilai z menurun) dengan semakin terisolasinya pulau dan dengan spesies yang kurang vagil. Parameter atau ukuran-ukuran karakteristik patch dalam sebuah matrix antara lain (Morrison et al. 1992): Bentuk Patch (Shape of Patch)
36
PRAGMENTASI HUTAN
dimana Di adalah indeks bentuk dari patch i, P adalah perimeter patch dan A adalah luas patch. Isolasi sebuah Patch (Isolation of a Patch)
dimana ri adalah indeks isolasi patch i, n adalah jumlah bertetangga yang dipertimbangkan dan
di j adalah jarak
antara
patch i
dan
patch
tetangganya j. Isolasi Beberapa Patch (Isolation of Patches)
dimana D adalah indeks isolasi seluruh patch yang ada.
Patch-patch
diletakkan pada sebuah grid dengan koordinat x dan y. Rata-rata lokasi dan ragam (variance) untuk semua patch dihitung untuk kordinat y,
v x2
v y2 masing-masing adalah ragam pada koordinat x dan y.
Aksesibilitas sebuah patch (Accessibility of a Patch)
n
ai
d ij i 1
dimana ai adalah indeks aksesibilitas patch i; dij adalah jarak yang menghubungkan antara patch i dan patch manapun dari n patch tetangga j. Interaksi antara patch-patch (Interction among patches) n
Aj
i 1
d 2j
Ii
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
37
dimana I i adalah derajat interaksi dari patch i dengan n patch-patch tetangganya; A adalah luas patch tetangga j; dan d j adalah jarak antara edges dari patch i dan patch-patch j. Dispersi Patches (Dispersion of Pacthes)
Rc
2d c
dimana Rc adalah indeks dispersi; dc adalah jarak rata-rata dari suatu patch (pusatnya atau centroid) ke patch tetangga terdekatnya; dan
adalah
kepadatan rata-rata dari patch-patch. Rc =1 untuk patch-patch tersebar acak; Rc <1 untuk patch-patch menggerombol (aggregat); dan 1 < Rc ≤ 2,149 untuk patch-patch tersebar teratur (regularly). Dengan demikian Rc adalah ukuran penggerombolan (aggregation).
IV. PENGARUH FAKTOR-FAKTOR LAIN Peluang kehadiran spesies tertentu atau tingkat kekayaan spesies total tidak hanya dipengaruhi oleh luas (area) (Usher, 1985). Faktor kunci lainnya meliputi keberadaan sumberdaya esens ial seperti pakan, air dan bahan pembuat sarang; heterogenitas lingkungan; dan keberadaan pesaing, pemangsa dan penyakit (Morrison et al. 1992). Freemark & Merriam (1986) melaporkan bahwa keragaman avi fauna hutan di antara 21 fragment hutan pada suatu lanskap pertanian dekat Ottawa, Canada tergantung pada ukuran dan heterogenitas hutan tetapi bahwa fragment berukuran besar
penting untuk spesies interior
hutan dan penghuni tetap (resident). Askin (1984) dan Askin et al. 1987) melaporkan bahwa keragaman da n kelimpahan burung-burung interior hutan di tenggara Connecticut berkaitan dengan luas fragment hutan dan luas hutan regional dan bahwa sebaran hutan regional merupakan faktor yang lebih signifikan. Tempat yang lebih terisolasi dari hutan-hutan lainnya memiliki lebih sedikit spesies interior hutan.
38
PRAGMENTASI HUTAN
Lynch dan Whigham (1984) menghitung kembali kelimpahan lokal spesies burung yang berkembang biak di hutan interior upland di pantai Maryland ternyata secara signifikan dipengaruhi oleh luas hutan, isolasi, struktur dan floristik.
Mereka menemukan bahwa pengaruh fragmentasi
hutan adalah kompleks dan bersifat spesifik terhadp spesies.
Walaupun
fragmentasi secara umum memiliki pengaruh negatif pada spesies interior hutan, struktur hutan dan floristik ternyata lebih penting dari pada ukuran patch dan isolasi bagi banyak spesies. Keberadaa n spesies lain dapat sangat mempengaruhi efek prinsip species-area. Sebagai contoh, laba-laba orb (Aranae) mencapai kepadatan ekstrim sangat tinggi di pulau-pulau sub tropikal karena tidak ada predator (Schoener dan Toft, 1983). Soule et al. (1979) menyimpulkan bahwa laju kepunahan mamalia besar di 19 cagar alam di Afrika Timur akibat ukuran cagar yang kecil tetapi kenyataannya cagar terbesarpun gagal memberikan habitat yang cukup untuk memelihara viabilitas populasi selama beberapa abad.
Kushlan
(1979) mengingatkan bahwa ukuran saja tidak cukup sebagai kriteria untuk menetapkan cagar alam.
Ia mencontohkan kasus Taman Nasional
Everglades di Florida yang kehilangan spesies walaupun ukurannya relatif besar.
Taman nasional tersebut bukan ekosistem mandiri tetapi s angat
tergantung pada nutrien dan air yang diterima dari luar batas taman nasional. Soule et al. (1988) juga melaporkan bahwa empat variabel biotik dan
biogeografik
di
habitat
chaparral
di
California
Selatan,
bertanggungjawab atas 90% dari variasi dalam kekayaan spesies burung. Kekayaan spesies burung yang lebih besar berkorelasi dengan umur patchpatch yang lebih muda, chaparral-nya lebih luas, luas total lembah yang diteliti lebih besar dan keberadaan coyote (Canis latrans) dan ketiadaan rubah abu-abu (Urocyon cinereoargenteus).
Peneliti berhipotesis bahwa
keberadaan coyote menekan pemangsaan oleh rubah abu-abu, sementara coyote sendiri tidak memakan burung.
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
39
DAFTAR PUSTAKA Askins, R.A. 1984. Effect of regional Forest Configuration on the Species Richness and Density of Forest Birds. Abstract of Paper Presented at the 1984 Meeting of the American Ornitologists’ Union, August, in Lawrence, Kans. Askins, R.A., M.J.Philbrick dan D.S. Sugeno. 1987. Relationship Between the Regional Abudance of Forest and the Compposition of Forest Bird Comunities. Biological Conservation 39 : 129-152. Buechner, M. 1987a. Conservation in Insular Parks : Simulation Models of Factors Affecting the Movement of Animals Across Park Boundaries. Biological Conservation 41 : 57 – 76. Buechner, M. 1987b. A Geometric Model of Vertebrate Dispersal : Tests and Implications. Ecology 68 : 310-318. Forman, R.T.T. dan M. Gordon. 1986. Landscape E colog y. John Wiley and Sons. New York. Freemark, K.E. dan H.G. Merriam. 1986. Important of Area and Habitat Heterogenity to Bird Assemblages in Temperate Forest Fragments. Biological Conservation 36 : 115 -141. Kushlan, J.A. 1979. Design and Management of Continental Nature Reserves. Lessons from the Everglades. Biological Conservation 15 : 281-290. Lord, J.M. dan D.A. Norton. 1990. Scale and the Spatial Concept of Fragmentation. Conservation Biolog y 4 : 197-2002. Lynch, J.F. dan D.F.Whigham. 1984. Effects of Forest Fragmentation on Breeding Bird Communities in Maryland, USA. Biological Conservation 28 : 287-324. Morrison, M.L., B.G. Marcot and R.W. Mannan. 1992. Wildlife-Habitat Relationship: Consepts and Applications. The University of Wisconsisn Press. Madison, Wisconsin. Schoener, T.W. dan C.A. Toft. 1983. Spider Populations : Extraordinary high Densities on Islands Without Top Predator. Science 219 : 13531355. Shugart, H.H., Jr. 1984. A theory of Forest Dynamics. Springer-Verlag. New York. Shugart, H.H., Jr. dan D.C. West. 1981. Long-term Dynamics of Forest Ecosystems. American scientist 69 : 672-652.
40
PRAGMENTASI HUTAN
Soule, M.E., B.A.Wilcox dan C. Holtby. 1979. Benign Neglect : A Model of faunal Colapse in the Game Reserves of east Africa. Biological Conservation 15 : 259-272. Soule, M.E., D.T. Bolger, A.C. Alberts, J.Wright, M.Sorice dan S.Hill. 1988. Reconstructed Dynamics of Rapid Extinctions of Chaparral-Requiring Birds in Urban Habitat Islands. Conservation Biology 2 : 75-92. Stamps, J.A., M. Buechner dan V.V. Krishnan. 1987. The Effects of Edge Permeaability and Habitat Geometry on Emigration from Patches of Habitat. American Naturalist 129 : 533 – 552. Usher, M.B. 1985. Implication of Species -Area Relationship for Wildlife Conservation. Journal of Environmental Management 21 : 181-191. Whitcomb, R.F., C.S. Robbins, J.F. Lynch, B.L. Whitcomb, M.K.Klimkiewecz, and D.Bystrak. 1981. Effects of Forest Fragmentation on Avifauna of the Eastern Deciduous Forest. In Ed. R.L. Burgess and D.M. Sharpe (eds). Forest Island Dynamics in ManDominate Landscape. Pp.125-206. Springer-Verlag. Bew York. Wilcove, D.S., C.H. McLellan dan A.P. Dobson. 1986. Habitat Fragmentation in the Temperate Zone. In M.E.Soule (ed). Conservation Biology. Pp. 237-256. Sinauer Associates. Sunderland, Mass.
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
41
5 KONSEP KORIDOR DAN SINGLE LARGE OR SEVERAL SMALL (SLOSS)
KORIDOR
PERANAN KORIDOR
SINGLE LARGE OR SEVERAL SMALL (SLOSS)
DAFTAR PUSTAKA
I. KORIDOR Koridor merupakan komponen lanskap berbentuk strip atau jalur lahan yang berbeda dengan matrix di sekitarnya. Koridor merupakan areal yang menghubungkan antar patch-patch sehingga berperan sebagai lintasan atau saluran bagi organisme untuk bertukar atau berpindah dari suatu patch ke patch lain.
Koridor dapat menjadi saluran untuk perpindahan atau
penghalang (barrier) atau penyaring (filter), misalnya untuk aliran gen. Bentuk lain konektivitas habitat adalah batu loncatan (stepping stone) yaitu satu atau lebih kantong habitat (habitat patches) yang secara ekologis terisolasi yang memberikan sumberdaya dan tempat pengungsian bagi satwa dalam perpindahan menjelajahi suatu lanskap. Struktur dan fungsi koridor tergantung pada beragam faktor meliputi derajat liku-liku (semakin berliku-liku semakin banyak edges), perpotongan dengan matrix (bagi tumbuhan dapat menghambat aliran spesies, gen dan energi), penyempitan (dapat menghentikan perpindahan beberapa spesies), perpotongan antar koridor (kadang -kadang ditemukan banyak jenis interior) dan konektivitas yang harus dijaga agar tidak terputus. Hal paling penting dalam koridor adalah pola lanskap yang mampu
42
PRAGMENTASI HUTAN
mendukung konektivitas bagi spesies, komunitas dan proses ekologi sehingga konservasi populasi dan komunitas dapat efektif dan proses ekologi dalam lanskap terpelihara. Walaupun koridor dapat berupa jalur terisolasi, tetapi sering terhubungkan pada patch-patch dengan karakteristik vegetasi yang mirip (Forman & Godron 1986). Beberapa studi telah menunjukkan bahwa koridor dapat membantu organisme berpindah dari satu patch ke patch lainnya, karena menghubungkan habitat dengan kondisi yang sesuai. Koridor dapat dibagi ke dalam tiga kategori yaitu: koridor habitat, koridor perpindahan (movement) dan koridor penghalang (barrier) yang dideskripsikan sebagai berikut (Forman 1985) : 1. Koridor habitat – elemen lanskap linear yang memberikan daya survival, natalitas dan pergerakan, juga dapat memberikan habitat, baik sementara maupun permanen. meningkatkan konektivitas patch-patch.
Koridor ini secara pasif Contoh koridor habitat
adalah sabuk lahan basah bervegetasi yang dapat melestarikan populasi salamander. 2. Koridor yang memfasilitasi perpindahan–elemen lanskap linear yang memberikan daya survival dan perpindahan antara patch-patch habitat tetapi tidak sampai diperlukan untuk melahirkan di dalam koridor.
Koridor yang memfasilitasi perpindahan secara aktif
meningkatkan konektivitas.
Suatu lahan bervegetasi jalur yang
memiliki karakteristik edge dapat memberikan suatu lintasan untuk suatu jenis satwa hutan interior tetapi tdak memberikan habitat. Sebagai contoh, jalur vegetasi sepanjang jalan dapat memberikan sumber pakan untuk seekor vole tetapi tidak cukup memberikan lindungan untuk anak-anaknya. 3. Koridor penghalang (barrier) atau penyaring (filter) – elemen lanskap linear yang menghalangi (barrier) atau menghambat (filter) aliran energi, mineral, nutrien dan/atau spesies untuk melintasinya (seperti : aliran tegak lurus terhadap panjang koridor).
Sebagai
contoh koridor barrier atau filter adalah suatu jalan tol yang menghalangi satwa melintasinya.
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
43
Koridor satwaliar menjadi pertimbangan dalam konservasi di populasi-populasi kecil yang terfragmentasi karena merupakan sarana untuk menghubungkan populasi-populasi tersebut.
Dengan memberikan lintasan
untuk perpindahan antar populasi tersebut melalui koridor maka dapat meningkatkan peluangnya
untuk
survival.
Koridor satwaliar dapat
berbentuk seperti tanaman pagar, kanal, selokan, pinggiran jalan dan rel, serta sungai (Meret 2007).
II. PERANAN KORIDOR Manfaat atau keuntungan potensial dari koridor satwaliar adalah (Meret, 2007): 1. Meningkatkan laju imigrasi antara populasi sehingga dapat memelihara keragaman, meningkatkan ukuran populasi, menurunkan kemungkinan kepunahan dan menghindarkan inbreeding. 2. Meningkatkan areal untuk mencari makan bagi spesies dengan jelajah yang luas. 3. Memberikan tempat melarikan diri dan bersembunyi dari predator, kebakaran dan gangguan lainnya. Koridor juga memiliki kerugian, seperti meningkatnya predasi terhadap spesies asli terutama jenis-jens satwa kecil serta meningkatnya perburuan atau perusakan oleh manusia karena lebih mudah dilakukan terutama di koridor yang sempit. Koridor juga dapat menjadi saluran bagi alien species yang bersifat invasif, penyakit dan patogen.
Prinsipnya
semakin lebar koridor adalah semakin baik karena menurunkan peluang predator menemukan mangsanya, memberikan habitat bagi jenis -jenis interior dan memberikan fungsi yang lebih baik bagi pergerakan satwa. Potensi merugikan lainnya dari koridor bagi satwaliar adalah (Meret 2007): 1. meningkatkan imigrasi dapat menyebarkan penyakit, hama, spesies asing,
menurunkan
tingkat
keragaman
outbreeding.
44
PRAGMENTASI HUTAN
genetik
dan
tekanan
2. Memfasilitasi penyebaran kebakaran dan meningkatkan keterbukaan terhadap predator, pemburu dan pencuri. 3. Biaya Koridor satwaliar telah diusulkan untuk Gunung Kilimanjaro di Tanzania. Meningkatnya pertanian di sekeliling kaki gunung telah banyak mengisolasi padang rumput dataran tinggi atau habitat moorland di gunung dari padang rumput dataran rendah atau habitat savana.
Isolasi ini telah
menjadi faktor dalam kepunahan dua spesies mamalia pegunungan. satu koridor yang
menghubungkan dua
Ada
areal dan banyak mamalia
menggunakannya. Gajah menggunakan koridor ini secara musiman untuk berpindah antara gunung dan taman nasional yang jauhnya sekitar 20 km. Kerbau, eland (antelop tanduk spiral) dan anjing liar telah diteliti menggunakan koridor ini. Pergerakan satwa dari habitat dataran tinggi ke dataran rendah melalui koridor ini,
barangkali
menjaga
penting
populasi
yang
dalam dapat
bertahan (viable population) dari spesies yang ada (Meret 2007). Sutcliffe
&
Thomas
(1996) dalam (Meret 2007) telah mempelajari kupu-kupu ikal kecil (ringlet
butterfly)
menggunakan
di
Inggris
metode
mark-
recapture, menunjukkan bahwa koridor dapat mengurangi resiko kepunahan dan dapat membantu rekolonisasi areal populasi kupukupunya
yang
telah
punah
(Gambar 7) Gambar 7. Contoh koridor perpindahan yang dibuat di pegunungan Costa Rica (Dari Stiles & Clark, 1989).
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
45
Haas (1995) dalam (Meret 2007) mempelajari persebaran burungburung dalam patch-patch berhutan. Tidak seperti yang diduga, ternyata koridor tidak penting bagi burung-burung migran (karena mereka dapat terbang melewati areal-areal yang tidak cocok dengan rute tahunan ke suatu areal perkembang biakan), Haas menemukan bahwa tempat-tempat bervegetasi adalah penting sebagai batu loncatan (stepping stone) dan dapat berfungsi sebagai koridor untuk burung robin dan trasher.
Dengan
demikian koridor ini menjadi penting bagi burung -burung di areal yang terisolasi.
III. SINGLE LARGE OR SEVERAL SMALL (SLOSS) Perdebatan
SLOSS
(Single
Large
Or Several Small)
adalah
perdebatan dalam ekologi dan biologi konservasi selama tahun 1970 -an dan 1980-an yang memperdebatkan apakah cagar tunggal besar (single large) atau kecil banyak (several small) yang terbaik untuk mengkonservasi keanekaragaman hayati pada suatu habitat terfragmentasi.
Pada Tahun
1975 Jared Diamond menyarankan beberapa “aturan” untuk mendisain kawasan konservasi berdasarkan teori Bogeografi pulau dari MacArthur dan Wilson (1967). Salah satu dari sarannya adalah bahwa suatu cagar tunggal besar lebih baik dari pada cagar banyak tetapi lebih kecil walaupun luas totalnya sama.
Karena kekayaan spesies meningkat seiring luas habitat,
suatu blok habitat yang lebih besar akan mendukung lebih banyak spesies dari pada beberapa blok habitat kecil-kecil.
Ide ini dipopulerkan oleh
banyak pakar ekologi lainnya, dan telah dimasukkan ke dalam sebagian besar buku teks standar dalam biologi konservasi, juga telah digunakan dalam praktek perencanaan konservasi di dunia.
Ide ini ditentang oleh
murid pendahulu Wilson, yaitu Daniel Simberloff yang menunjukkan bahwa ide ini didasarkan pada asumsi cagar lebih kecil memiliki suatu komposisi spesies yang terkumpul (nested) - dengan asumsi bahwa setiap cagar besar memiliki semua spesies yang ada di cagar-cagar yang lebih kecil.
Jika
cagar-cagar lebih kecil memiliki spesies yang tidak dimiliki oleh cagar lainnya, maka ada kemungkinan bahwa dua cagar kecil dapat memiliki lebih banyak spesies dari pada sebuah cagar besar tunggal.
46
PRAGMENTASI HUTAN
Debat terjadi karena cagar-cagar kecil berbagi spesies satu dengan lainnya
(memiliki
spesies
yang
sama),
sehingga
membawa
pada
pengembangan teori nested subset oleh Bruce Patterson dan Wirt Atmar pada tahun 1980-an dan pada pembentukan Biological Dynamics of Forest Fragment Project (BDFFP) dekat Manaus, Brazil pada tahun 1980 oleh Thomas Lovejoy. Bila masih ada peluang atau potensi untuk memilih single large, maka lebih baik memilih single large dari pada several small, tetapi bila dihadapkan pada keterbatasan kawasan hutan dan fragmentasi yang tidak dapat dihindarkan, mungkin several small menjadi pilihan. Masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan, dengan campur tangan manajemen kelemahan bisa dikurangi. Single large memang memiliki banyak kelebihan maka lebih banyak dianut para ahli dan praktisi konservasi.
Satu kelemahan fatal
adalah jika terjadi bencana hebat seperti tsunami, kebakaran hutan atau pandemi suatu penyakit atau hama, maka bisa memusnahkan seluruh spesies yang ada tanpa ada yang tersisa. Hal tersebut dapat dihindari jika habitat-habitat tersimpan dalam beberapa lokasi (several small), sehingga jika satu habis terkena bencana,
masih ada habitat lain yang tersisa di
tempat lain. Kelebihan lain several small adalah mewakili tipe habitat yang lebih beragam,
lebih banyak
menampung
populasi
spesies
langka.
Kelemahan pada several small antara lain meningkatnya resiko kepunahan lokal karena masalah genetik (menurun, inbreeding, hanyutan genetik), perubahan demografik (laju kelahiran dan kematian terkait variasi atau peluang
acak)
dan
perubahan
lingkungan
(pemangsaan,
kompetisi,
penyakit, bencana). Habitat yang terfragmentasi juga menurunkan peluang rekolonisasi dan meningkatnya efek tepi (edge effect). Untuk mengurangi efek tepi dan efek fragmentasi maka perlu dibuat koridor yang menghubungkan kantong-kantong habitat yang terpisah agar dapat saling berhubungan.
Namun koridor juga memiliki kelemahan
antara lain dapat menjadi jalan penularan penyakit, meningkatnya predasi dan perburuan di sepanjang koridor
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
47
Bagaimanapun juga single large merupakan pilihan prioritas karena dengan ukuran yang besar dapat mengurangi pengaruh edge, dapat mencakup lebih banyak spesies dan mempunyai keanekaragam an habitat yang lebih besar. Kelebihan ini dijelaskan dalam teori island biogeography. Dukungan awal penggunaan teori biogeografi pulau dengan argumen bahwa cagar besar tunggal umumnya lebih baik dalam melestarikan populasi lebih banyak dan lebih besar dari pada luasan yang sama tetapi terbagi ke dalam sekumpulan cagar kecil. Ada dua alas an untuk argumen tersebut yaitu:
Areal-areal berdekatan lebih bisa melestarikan komunitas utuh dari spesies-spesies yang saling bebas (interdependent).
Areal-areal lebih bisa untuk memelihara viable population dari spesies yang terjadi pada kepadatan populasi rendah, khususnya vertebrata besar. Meskipun demikian, sedikitnya ada dua masalah dengan dua
argumen tersebut yaitu:
Ukuran besar dipandang dari sudut mana?
Untuk tanaman tahunan,
untuk vegetasi perennial dan untuk satwa kecil penghuni tetap, beberapa
hektar mungkin memenuhi
semua
kebutuhan habitat,
misalnya suatu lumpur gambut atau singkapan tebing. Oleh karena itu, ahli konservasi yang ingin melindungi keanekaragaman tumbuhan, mungkin lebih memilih membeli beberapa cagar berukuran 10 – 100 hektar dengan beragam habitat, tipe tanah dan rejim geologi dari pada membeli satu cagar tunggal dengan luas 2.000 hektar. Tetapi jika kita tertarik pada burung-burung hutan, cagar-cagar kecil berukuran 100 – 200 hektar mungkin tidak cukup besar untuk mendukung populasi yang bersarang.
Beberapa kritik cepat menunjuk, bahwa menurut teori biogeografi pulau, spesies pada pulau kecil tidak perlu menjadi subset dari pulau besar.
Kenyataannya, jika teori kesetimbangan diinterpretasikan
dengan tegas, maka setidaknya mereka memang bukan subset. Sebagai hasilnya, kita mungkin menyelamatkan lebih banyak spesies dalam suatu sistem cagar-cagar kecil dari pada dalam cagar besar tunggal, walaupun setiap cagar bisa saja berisi lebih sedikit spesies.
48
PRAGMENTASI HUTAN
Sebagai tambahan, ada kritik mendasar pada pendekatan ini karena ada sedikit bukti bahwa perbedaan dalam keanekaragaman spesies dalam pulau adalah kesetimbangan (equilibrium) antara kolonisasi kepunahan.
dan
Secara spesifik, terdapat sedikit bukti untuk species
turnover. Meskipun demikian, debat tersebut secara keseluruhan seperti kehilangan arah yang menjadi perhatian.
Bagaimanapun, kita akan
membuat cagar dimana kita menemukan spesies atau komunitas yang ingin kita selamatkan.
Kita akan membuat cagar sebesar mungkin yang kita
dapat, atau sebesar yang diperlukan untuk melindungi elemen-elemen yang menjadi perhatian kita.
Kita biasanya tidak berhadapan dengan pilihan
optimasi seperti yang diperde batkan. Perdebatan panjang tentang SLOSS membawa implikasi dalam menetapkan luas cagar, dimana pemilihan single large beralasan karena cagar besar dapat mengurangi edge effect dan dapat mencakup lebih banyak spesies dan mempunyai keanekaragaman habitat yang lebih besar dibandingkan cagar kecil. Hal ini didasarkan pada teori biogeografi pulau yang berimplikasi praktis: (1) tetapkan kawasan perlindungan seluas mungkin agar dapat melestarikan spesies sebanyak mungkin, (2) bila memungkinkan lahan-lahan di sekitar kawasan tersebut diambil alih untuk meningkatkan luas kawasan yang telah ada (3) bila harus memilih maka pilih cagar yang lebih besar. Cagar kecil yang ditempatkan secara baik akan memiliki beberapa kelebihan antara lain : dapat mencakup tipe-tipe habitat yang lebih beragam, menampung lebih banyak populasi spesies langka, lebih mudah terhindar dari bencana seperti spesies asing, penyakit atau kebakaran. Cagar kecil yang dekat dengan pemukiman juga dapat berfungsi sebagai pusat pendidikan konservasi yang berguna untuk
mendukung usaha
konservasi jangka panjang. Daerah konservasi yang berbentuk membulat akan meminimalkan rasio atau perbandingan edge-to-area, sehingga mempunyai pusat yang berada relatif jauh dari tepi.
Kawasan yang berbentuk memajang akan
memiliki tepi atau pinggir yang luas dan seluruh lokasi di kawasan tersebut akan berada dekat tepi. Kawasan yang berbentuk segi empat bujur sangkar
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
49
lebih banyak memberikan perlindungan dibandingkan persegi panjang. Ide tersebut
belum
diterapkan
karena
kebanyakan
kawasan
konservasi
ditetapkan secara kebetulan sehingga bentuknya tidak beraturan. Untuk mengurangi efek fragmentasi, cagar sebaiknya dikelola sebagai sistem regional untuk memperlancar aliran genetik serta migrasi antar populasi dan menjamin perwakilan yang cukup bagi spesies dan habitat.
Bila memungkinkan, kawasan perlindungan perlu mencakup
keseluruhan ekosistem (misalnya DAS, danau maupun gunung) sehingga memungkinkan pengelola mempertahankannya secara lebih efektif dari pengaruh
luar
yang
bersifat
merusak. Untuk mengelola cagar-cagar kecil dan menyebar perlu dibuat koridor habitat yang menghubungkan kawasan-kawasan dilindungi tersebut sehingga membentuk suatu sistem yang lebih besar.
Koridor dapat
memungkinkan tumbuhan
perpindahan
dan
satwa
untuk
menyebar sehingga memungkinkan aliran gen serta koloniasasi lokasi yang sesuai. Koridor dapat berfungsi melestarikan
satwa
yang
harus
bermigrasi musiman di antara seri habitat
yang
berbeda.
Kendala
potensial dari koridor adalah dapat menjembatani hama
dan
mengancam
pergerakan
penyakit
yang
kepunahan
spesies dapat spesies
langka yang dilindungi dan resiko predasi yang lebih besar dari satwa lain atau pemburu yang biasanya terkonsentrasi di jalur lintasan satwa.
50
Gambar 8.
PRAGMENTASI HUTAN
Perbandingan SLOSS
(Dari berbagai sumber )
DAFTAR PUSTAKA Forman, R.T.T. and M. Gordon. 1986. Landscape Ecolog y. John Wiley and Sons. New York. Forman, R.T.T. 1985. Land Mosaics: The Ecolog y of Landscapes and Regions. Cambridge University Press, Cambridge, Uk. Meret,
J. 2007. Habitat Fragmentation and Wildlife Corridors. http://www.science. mcmaster.ca.htm. Diakses Tanggal 02-112007.
Stiles, F.G. and D.A. Clark. 1989. Conservation of Tropical rain Forest Birds : A Case Study from Costa Rica. American Birds 43 (Fall) : 420-428. Mac Arthur, R.H. and E.O. Wilson. 1967. The Theory of Island Biogeography. Princeton University Press. Princeton, New Jersey. http://en.wikipedia.org/wiki/SLOSS_Debat. Diakses Tanggal 10 Desember 2007.
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
51
6 DINAMIKA POPULASI PADA SKALA LANSKAP
PROSES-PROSES LANSKAP
DINAMIKA METAPOPULASI
PULAU SAMUDERA (OCEANIC ISLAND) DAN KANTONG HABITAT (HABITAT PATCH)
KESETIMBANGAN (EQUILIBRIUM ) POPULASI ANTAR KANTONG HABITAT (HABITAT PATCH) DAN SUBPOPULASI
DAFTAR PUSTAKA
I. PROSES-PROSES LANSKAP Untuk memberikan distribusi habitat yang mencukupi di dalam dan lintas lanskap, kita harus memahami agen-agen yang mengubah kondisi lingkungan.
Proses-proses lanskap terdiri atas abiotik dan biotik. Proses
abiotik mempengaruhi pola habitat dalam lans kap meliputi pembuangan massa, pembentukan tanah, kualitas air dan udara serta pengaruh bahan induk pada
perkembangan vegetasi.
Secara umum, proses abiotik
melibatkan pertukaran material - udara, gas, partikel, tanah dan air – di dalam dan di antara lanskap. Mengelola habitat pada skala lanskap harus menjawab bagaimana pertukaran material dari dan ke tapak mempengaruhi tujuan perencanaan tapak dan bagaimana kegiatan transport material di tapak tersebut ke areal lainnya.
Menilai dampak kumulatif dari kedua
aktivitas di dalam dan di luar tapak adalah penting ketika merencanakan jumlah dan konfigurasi habitat spesifik. Gangguan alami juga merupakan bagian dari proses abiotik dalam lanskap. Gangguan dapat bersifat kronik atau perlahan, contohnya meliputi suksesi vegetasi, perubahan iklim dan perubahan frekuensi dan intensitas
52
PRAGMENTASI HUTAN
kebakaran. Gangguan juga dapat bersifat katastropik atau cepat seperti kebakaran, badai, banjir dan gunung meletus. Karr and Freemark (1985) menawarkan suatu klasifikasi faktorfaktor
untuk dievaluasi dalam studi gangguan (Tabel 2).
Faktor-faktor
untuk dipertimbangkan meliputi tipe dan rejim gangguan, tipe sistem biologis, dan konteks regional (context).
Karr dan Freemark juga
menyebutkan bahwa respon biotik terhadap gangguan, bervariasi mulai dari kepunahan populasi sampai perubahan dalam laju pertumbuhan yang membawa perubahan perilaku dan ekologi dalam seleksi habitat. Shugart and Seagle (1985) memodelkan Okupansi patch (patch occupancy) oleh vertebrata dalam kehadiran distribusi di suatu ekosistem hutan hujan basah di Tanzania dan menyimpulkan bahwa keanekaragaman (diversity) hutan dan lingkungannya secara konstan sepanjang waktu mempengaruhi kekayaan spesies di dalam suatu lanskap. lanskap, semakin besar penyokong variasi lingkungan. juga,
kehadiran
interaksi
kompetitif
di
antara
Semakin besar Dalam modelnya
pengkoloni
sangat
menurunkan jumlah spesies potensial di dalam suatu lanskap. Proses-proses biotik meliputi peran invasi spesies sebagai parasit sarang dan kompetitor.
Karena habitatnya dieksploitasi manusia, burung
cowbird kepala cokelat (Molothrus ater) telah menginvasi Sierra Nevada, California sejak 1930. spesies
burung
Mereka sekarang menjadi parasit sarang dari 22
yang
menjadi
inangnya
dan
dapat
mengancam
keberlangsungan survival beberapa spesies di Sierra, khususnya burung warbling vireo (Vireo gilvus) (Rothstein et al., 1980). Proses-proses biotik lainnya seperti epidemi, meningkatnya atau invasi spesies hama yang menekan ukuran populasi atau trend spesies lain– juga mempengaruhi distribusi dan kelimpahan suatu populasi pada suatu lanskap.
Spesiasi
dan
subspesiasi
merupakan
proses
biotik
yang
mempengaruhi bagaimana spesies merespon kondisi lanskap di berbagai zona geografis yang luas selama ribuan tahun generasi.
Gang guan oleh
manusia, seperti eksploitasi, perburuan dan introduksi spesies eksotik dapat dipandang sebagai suatu proses biotik. Ekologi lanskap kebanyakan ditujukan pada bagaimana satwa menggunakan lingkungan yang heterogen.
Mempelajari pola seleksi
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
53
sumberdaya, perilaku mencari makan (foraging behaviour) serta pola dan derajat spesialisasi sumberdaya, semua memberikan informasi tentang penggunaan habitat.
Dinamika fauna berhubungan dengan bagaimana
satwa berpindah melalui lanskap. Dengan demikian, kita juga mempelajari tipe-tipe perpindahan, seperti dispersal satwa muda (juvenile), migrasi musiman dan tahunan satwa dewasa serta pola perpindahan kurang teratur (reguler). Yang menjadi perhatian dalam disain lanskap adalah pola, laju dan jarak pergerakan spesies, serta perilaku perkembangbiakan dan sosial spesies yang terkait. Tabel 2.
Klasifikasi faktor-faktor untuk dievaluasi dalam suatu studi gangguan lanskap.
Faktor Tipe Gangguan Faktor fisik
Faktor biologi
Interaksi faktor fisik dan biologi
Contoh Dampak kekeringan terhadap distribusi burung dan katak di hutan tropis Demam kuning menurunkan populasi monyet howler
Hujan musim semi dan distribusi burung mempengaruhi ikan di Everglades
Hasil Respon Biotik Perilaku dan ekologi seleksi habitat Evolusi resistensi penyakit, kepunahan indang, atau perubahan siklus kelimpahan monyet Laju pertumbuhan, survivorship dan reproduksi ikan
Rejim Gangguan Dimensi spasial
Dimensi temporal Frekuensi Waktu kejadian
Tipe Sistem Biologi Individu – populasi spesies
Tipe Kumpulan/ lingkungan ekosistem – biotik dan abiotik
54
Distribusi pohon tumbang vs badai di areal hutan yang luas
Waktu untuk rekolonisasi dan kumpulan vertebrata akan bervariasi
Serangan musim kering tahunan vs tidak menentu
Adaptasi fisiologi vs respon perilaku, ekologi dan evolusi
Pakan dan sedimentasi selama periode ikan bertelur (spawning)
Kepunahan kohort (populasi awal)
Burung dan kadal bervariasi dalam mobilitas, lamanya dan kemampuan untuk menghentikan reproduksi pada pulau jembatan (land bridge island)
Laju kepunahan burung tinggi, tetapi laju kepunahan kadal rendah di Pulau Barro Colorado, Panama.
Ikan lebih terbatasi oleh kimiawi lingkungan perairannya dari pada burung oleh kimiawi udara yang beracun
Rangkaian adaptasi fisiologi dan perilaku yang berbeda, tetapi polusi udara dari manusia mengubah kesetimbangan ini.
PRAGMENTASI HUTAN
Faktor
Contoh
Konteks Regional Dalam areal
Hasil Respon Biotik
Ukuran luas dan sifat internal mosaik habitat
Antara Areal dan wilayah didekatnya
Habitat pulau hutan pada samudera dan pulau hutan pada lahan pertanian
Survivorship, kolonisasi, pola kepunahan bervariasi antar pulau. Variasi kepunahan dan dinamika kolonisasi antar kelompok vertebrata; membedakan pengaruh kolonisasi dari patchpatch tetangganya dari rumput vs air
Sumber: Karr & Freemark (1985).
II. DINAMIKA METAPOPULASI Memahami dan memprediksi respon satwaliar terhadap konfigurasi patch dan fragmentasi pada skala lanskap memerlukan pemahaman dinamika
populasi.
metapopulasi.
Pada
bab ini
akan dibahas
konsep dinamika
Kita diskusikan implikasi dari konsep metapopulasi untuk
mendisain pola patch pada skala lanskap dalam rangka melestarikan viabilitas populasi.
Kemudian kita membandingkan konsep ekologi pulau
samudera dengan bagaimana populasi menggunakan patch-patch di suatu setting benua da n menggarisbawahi dinamika kedua setting tersebut saling memiliki persamaan.
Dengan cara demikian kita dapat memahami lebih
baik bagaimana populasi mungkin merespon pola patch-patch habitat dan kondisi pada tingkat lanskap. Kemudian kita dapat mendiskusi kan pengaruh pola juxtaposition, yang meliputi fragmentasi lingkungan.
Akhirnya kita
mendiskusikan bagaimana ukuran populasi dan trends yang mungkin mencapai kesetimbangan (equilibrium) di antara patch-patch (Morrison et al. 1992). Suatu metapopulasi adalah suatu spesies yang jelajahnya terdiri atas patch-patch yang berbeda secara geografis yang dihubungkan melalui pola aliran genetik, kepunahan dan rekolonisasi (Lande and Barrowclough 1987). Metapopulasi umumnya terjadi ketika kondisi lingkungan dan karakteristik spesies memberikan pertukaran yang kurang sempurna dari sumber individu dan genetik di antara sub populasi. Ini terjadi khususnya ketika habitat berada pada kondisi heterogen pada suatu wilayah, provinsi
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
55
atau
lanskap
yang
menyebabkan
isolasi
pars ial
individu
yang
berkembangbiak (Morrison et al. 1992). Metapopulasi secara khusus dipahami sebagai kantong atau sub populasi yang laju pertukaran material genetiknya lebih signifikan di dalam sub populasi dari pada dengan sub populasi lainnya.
Dengan demikian
metapopulasi dapat menunjukkan suatu gradien struktur internal berkisar dari seluruhnya interbreeding (panmictic) sampai interbreeding yang longgar, dengan kantong-kantong lokal sampai berisi hampir seluruhnya sub populasi terisolasi ya ng jarang interbreeding (Gambar 9) (Morrison et al. 1992).
Gambar 9.
Gradien pertukaran di dalam metapoulasi dari berbagai struktur internal (Morrison et al. 1992).
Dalam hal ini, struktur genetik metapopulasi dapat terdiri atas gen tunggal, mendekati panmictic genome;
demes (kelompok sekerabat; sub
populasi) lokal terisolasi jarak dari demes lainnya; atau hampir seluruh sub populasi terisolasi berbagi material genetik dengan sub populasi lainnya hanya jarang-jarang melalui kesempatan kejadian dispersal.
Secara
definisi, suatu populasi panmictic seluruhnya tidak memiliki struktur metapopulasi sendiri karena ia berperan sebagai genetik tunggal dan kesatuan demografik.
Perbedaan antara suatu struk tur metapopulasi
dengan kurang lebih sub populasi terputus (disjunction subpopulation) dan
56
PRAGMENTASI HUTAN
suatu
struktur
populasi
yang
kontinyu
(clinal
population)
dengan
intergrading sub populasi, bagaimanapun merupakan suatu masalah tingkat pertukaran di antara unit-unit sub populasi (Morrison et al. 1992). Suatu
contoh
distribusi
metapopulasi
terdiri
atas
hampir
seluruhnya sub populasi terisolasi terjadi pada spesies burung pegunungan di sepanjang pegunungan Great Basin (Johnson 1975; 1978).
Johnson
mengeksplorasi sumber keanekaragaman komunitas burung boreal (Gambar 10).
Ia melaporkan bahwa agen berikut diurutkan menurut korelasi
penurunannya, mempengaruhi jumlah spesies burung boreal; luas hutan woodland, latitude puncak tertinggi, elevasi puncak tertinggi, dan lebar barrier (derajat isolasi). Dengan demikian, distrubusi metapopulasi secara keseluruhan dari suatu spesies dipengaruhi oleh karakteristik lokal yang mempengaruhi kepunahan lokal seperti halnya isolasi mempengaruhi kolonisasi (Morrison et al. 1992).
Gambar 10. Sumber keragaman komunitas burung boreal di bagian barat daya Amerika Serikat (Sumber: Johnson 1975). Secara khusus, ilmuwan mempersepsikan metapopulasi sebagai kelompok-kelompok individu yang menempati luasan habitat terbatas secara lokal.
Dari waktu ke waktu, individu dalam patch-patch atau
kelompok patch mungkin menjadi punah dari peluang keragaman dalam survivorship dan rekrutmen atau dari penurunan katastropik atau sistematik berdasarkan sumbernya (Gambar 10)
Tapaknya mungkin bahkan menjadi
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
57
dikolonisasai oleh individu yang menyebar atau hanyut dari patch-patch di sekitarnya. Dengan cara ini, pola okupansi patch dalam luasan geografik yang besar mungkin berlaku sebagai suatu bank dari cahaya berkedip-kedip. Beberapa cahaya masih berkedip dalam periode waktu yang lebih lama karena mereka mewakili kondisi optimal, areal-areal dengan jumlah habitat yang banyak, atau patch-patch yang menjadi pusat dari sebaran geografik. Cahaya lainnya mungkin menjadi gelap dan berkedip secara jarang da n hanya untuk periode pendek karena mereka mewakili kondisi sub optimal, areal-areal dengan jumlah habitat lebih sedikit, atau patch-patch pinggiran untuk sebaran geografis secara umum.
Gambar 11a – 11g berikut ini
menunjukan gambaran skematik dinamika lanskap kolonisasi dan okupansi patch (Morrison et al. 1992).
11a. Batas Das dan sistem riparian (riverine) (Morrison et al. 1992).
11b. Kejadian sepuluh patches dari hutan tua (Morrison et al. 1992).
58
PRAGMENTASI HUTAN
11c. Kejadian vertebrata obligat dewasa di tujuh dari 10 patches (Morrison et al. 1992).
11d. Seleksi tiga patches untuk pemanenan tebang habis (Morrison et al. 1992).
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
59
11e. Akibat langsung dari ganguan pemanenan : hilangnya spesies.pada tiga patches (Morrison et al. 1992).
11f. Kehilangan spesies kemudian pada patch hutan yang jauh, terisolasi dan kecil (faunal relaxation) (Morrison et al. 1992).
60
PRAGMENTASI HUTAN
11g. Masih kehilangan spesies kemudian pada suatu patch hutan lebih besar yang kini terisolasi (Morrison et al. 1992).
Struktur metapopulasi dapat muncul dari beragam faktor, termasuk pengurangan populasi yang dulu berdekatan akibat fragmentasi atau kehilangan habitat; invasi tapak-tapak yang sampai kini tidak dihuni, karena ekspansi jelajah spesies karena habitatnya menjadi available atau tidak adanya kompetitor kunci, predator, atau penyakit; kejadian dan kolonisasi penggunaan
sink habitat (habitat yang
selama
ini tidak
digunakan), untuk reproduktif pada tahun-tahun yang baik; heterogenitas disribusi sumberdaya, seperti buah-buahan tropika, dari waktu ke waktu di berbagai ruang; heterogenitas atau distribusi habitat yang berkantong kantong (patchy), seperti
substrat lithic atau lingkungan akuatik; dan
introduksi populasi oleh manusia (Morrison et al. 1992). Dinamika metapopulasi adalah kompleks, mencakup dinamika spasial, temporal dan numerik, seiring kondisi biologis dan sumbedaya berubah dari waku ke waktu dan sejauh jelajah spesies. Dari perspektif manajemen,
resiko
potensial
terhadap
metapopulasi adalah sulit untuk dianalisis.
kepunahan
dari
struktur
Pertanyaan penting untuk
merencanakan habitat bagi konservasi viabilitas suatu metapopulasi memperhatikan perkiraan peluang bahwa populasi yang menyebar dengan
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
61
baik akan terpelihara sepanjang waktu.
Distribusi patch-patch dalam
lanskap, khususnya karena pengaruhnya terhadap aksesibiltas di antara individu dan sub populasi, adalah penting untuk membantu menjamin populasi terdistribusi dengan baik (Morrison et al. 1992). Apakah implikasi dari dinamika tersebut bagi perencanaan dan pengelolaan patch atau habitat? Satu panduan yang mungkin adalah untuk mengatur patch habitat-habitat sub optimal (sink) di sekelilingnya tetapi dekat
ke
habitat-habitat
memungkinkan
rekolonisasi
sumberdayanya baik.
(sumberdaya) sink
optimal.
habitat
selama
Hal
ini
periode
akan dimana
Namun seringkali kita tidak tahu apa penyusun
kondisi sub optimal dan optimal. Dalam kasus ini, ada dua kemungkinan penyebab kejadian. Kita dapat melihat pada professional judgement dan melakukan survei tipe Delphi mencari pendapat ahli untuk memulai membuat
penduan
perencanaan
patch-patch.
Panduan
harus
diimplementasikan dan respon individu dan populasi dimonitor. Atau kita dapat mendasarkan perencanaan awal panduan pada parameter-parameter habitat untuk memprediksi model seperti model indeks kesesuaian habitat (habitat suitability index model). Sekali lagi, respon individu dan populasi harus dimonitor (Morrison et al. 1992). Pickett
&
Thompson
(1978)
juga
menyimpulkan
bahwa
memelihara sumber kolonisasi adalah v ital untuk melestarikan spesies di dalam cagar alam.
Mereka merekomendasikan bahwa disain cagar alam
harus didasarkan pada ”minimum dynamic area” yaitu luas minimal dengan rejim gangguan alami yang menyeimbangkan laju emigrasi dari sumber eksternal dengan laju kepunahan internal. Pada skala home range individu atau unit reproduksi, pedoman lain adalah untuk memberikan kantong-kantong habitat (habitat patches) untuk makan dan istirahat di dalam jarak jelajah harian. Tetapi hal ini juga menyebabkan meningkatnya kebutuhan sumberdaya ketika merencanakan foraging habitat di dekat struktur atau habitat berkembangbiak; hal ini akan membantu perencanaan untuk ukuran patch-patch yang cukup dan pendekatan tipe habitat berbeda yang diperlukan untuk kebutuhan yang berbeda pada berbagai tahap kehidupan (Morrison et al. 1992).
62
PRAGMENTASI HUTAN
Dinamika kolonisasi patch-patch tampaknya tidak semua patch yang cocok (suitable) akan ditempati oleh satwa dalam satu waktu. Oleh karena itu, dari perspektif manajemen, tidak perlu mengkonservasi patchpatch yang potensial suitable jika tidak ditempati. Lebih baik memonitor patch-patch dari waktu ke waktu untuk mengetahui pola penghunian (occupancy) sebelum mengubah arah manajemen yang akan sangat menurunkan kualitas patch-patch.
Tampaknya patch-patch yang kosong
mungkin masih vital untuk dispersal dan distribusi.
Monitoring harus
digunakan untuk mengetahui frekuensi dan tipe penggunaan patch-patch untuk keperluan tersebut (Morrison et al. 1992). Konsep
dinamika
metaopulasi
dapat
bermanfaat
untuk
menetapkan kriteria dalam mencantumkan (listing) spesies yang terancam (threatened), dalam bahaya (endangered), jarang (rare) atau rawan (sensitive)
sebagaimana
dinamika
kepunahan
lokal
dan
kolonisasi
meningkatkan resiko menjadi viability. Sebaliknya, konsep tersebut juga bisa memberikan pedoman untuk mengeluarkan suatu spesies dari daftar (delisting). Membuat kriteria delisting akan memerlukan penetapan target tujuan recovery yang realistik untuk distribusi suatu populasi yang cukup, memungkinkan tingkat isolasi yang dikehendaki dan interaksi sub populasi dan derajat realistik penghunian patch (Morrison et al. 1992). Variasi kondisi dan kualitas patch mungkin diperlukan untuk menjaga populasi terdistrubusi dengan baik. Kita harus mempe rtimbangkan areal-areal yang digunakan secara musiman untuk migrasi, dispersal dan beristirahat dalam rangka membantu pertukaran individu di dalam dan antar sub populasi. Secara umum, hal tersebut mungkin yang terbaik untuk memberikan variasi kondisi habitat untuk menjag a keragaman genetik di seluruh ekotipe, sub populasi dan ras-ras metapopulasi. Memberikan hanya kondisi optimal – lingkungan dengan okupansi tertinggi atau konsisten – mungkin tidak memberikan untuk spesiasi jangka panjang dan diversifikasi stok genetik (Morrison et al. 1992). Secara umum, memahami dinamika metapopulasi merupakan kunci untuk memberikan koreksi jumlah, kualitas dan distribusi habitat pada berbagai skala. Hal tersebut harus dapat memberikan panduan dalam rehabilitasi habitat dan penambahan lahan, misalnya untuk penggunaan
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
63
musiman atau migrasi (Gambar 4).
Patch lebih besar, berdekatan lebih
disukai dari pada patch kecil dan terisolasi.
Tetapi dalam memberikan
sambungan antar patch-patch, hanya ada sedikit pilihan untuk disain (Morrison et al. 1992). Suatu struktur metapopulasi tidak selalu lebih buruk (inferior) dibandingkan suatu populasi panmictic secara keseluruhan.
Tidak jelas
apakah menghubungkan sub populasi dari suatu metapopulasi selalu bermanfaat.
Keuntungan yang diberikan oleh suatu struktur metapoulasi
meliputi pertahanan (buffering) yang lebih besar terhadap penyebaran penyakit dan kejadian-kejadian katastropik. Disamping itu, semakin besar keragaman lokasi tidak tersambung yang dihuni memungkinkan terjadinya manfaat evolusi yang lebih besar. Ekotipe lokal mungkin dapat berkembang menjadi lebih cocok dengan kondisi lingkungan lokal dari pada jika genome terbanjiri dari panmixia dengan semua sub populasi lainnya (Morrison et al. 1992).
III. PULAU SAMUDERA (OCEANIC ISLAND) DAN KANTONG HABITAT (HABITAT PATCH) Dalam beberapa hal, dinamika populasi dan metapopulasi pada kantong (patch) habitat benua (continental) menunjukkan karakteristik yang berbeda dengan pulau samudera (oceanic island).
Misalnya, pada
pulau samudera, laut di sekililingnya tidak dapat dihuni dan dispersal melaluinya adalah kejadian yang jarang. Sebaliknya, pada lanskap benua, lahan terganggu mungkin sub optimal tetapi dapat digunakan untuk dispersal, istirahat atau migrasi musiman atau tahunan (Whitcomb 1977). Oleh karena itu, pola perpindahan di antara kantong (patch) habitat pada lanskap benua dapat lebih kompleks dari pada di antara pulau. Disamping itu, ada perbedaan dalam pengaruh dari pola dan juxtaposition dari patch habitat.
Pada lanskap benua, pola patch secara
langsung mempengaruhi laju penghunian dan dinamika kolonisasi dan dengan demikian populasi bertahan (persistent) di dalam areal. Mengingat hal
ini
juga
benar
pada
pulau
samudera,
maka
dipertimbangkan dalam teori kesetimbangan pula u.
64
PRAGMENTASI HUTAN
umumnya
tidak
Dengan demikian
penggambaran proses kolonisasi dan kepunahan bisa lebih kompleks dalam lanskap hutan dari pada dalam pulau (Morrison et al. 1992). Juga
terdapat
perbedaan
dalam
pengaruh
ukuran
patch.
Walaupun sebuah patch kecil dalam lanskap benua dapat berhenti berfungsi sebagai habitat, sama halnya dengan pulau samudera yang kecil dan terisolasi,
ini
dapat
menyumbang
pada
kejadian
(occurance)
dan
keberadaan (persistence) dari suatu spesies dalam sebuah lanskap jika kondisi
di
dekatnya
atau
sekitarnya
suitable
untuk
spesies
yang
dipertanyakan. Patch-patch di dalam lanskap benua memiliki ciri mendapat tekanan invasi pengaruh tepi (edge effect) ke dalam interior patch. Semakin kecil patch, semakin besar fraksi patch dipengaruhi oleh edge. Tidak ada pesamaan yang jelas antara pengaruh tersebut dengan pulau samudera.
Demikian juga, bahkan jika patch lebih kecil dari yang
dibutuhkan untuk memberikan kebutuhan pokok bagi berbagai tahapan kehidupan suatu asosiasi spesies, patch-patch mungkin masih memberikan sumbangan berarti bagi dispersal, mencari makan, pelindung atau tempat istirahat, tergantung pada lanskap dimana patch itu ada. Di sisi lain, suatu pulau samudera yang kecil tidak memberikan sumbangan apa-apa (Morrison et al. 1992). Mungkin ada perbedaan dalam pengaruh kompetisi antara spesies dalam pulau dan spesies dalam lanskap benua.
Martin (1981) meneliti
burung-burung di 69 pulau hutan (shelterbelt) di Dakota selatan bagian timur menemukan bahwa ketidakhadiran spesies tidak sesederhana karena preferensi habitat atau isolasi.
Interaksi kompetitif antar spesies
mempengaruhi jumlah individu dan spesies dalam komunitas dan struKtur ekologi komunitas, sementara interaksi kondisi lingkungan, kesempatan dan kompetisi menentukan pola distribusi individu s pesies di antara komunitas. Sebaliknya, spesies mamalia kecil di pulau barrier Virginia menunjukkan tidak ada pengaruh dari kompetisi pada sumberdaya yang digunakan oleh setiap spesies, walaupun tingkat segregasi habitat yang tinggi teramati (Dueser & Porter 1986). Laju kepunahan spesies, baik di pulau samudera maupun kantong habitat dalam suatu lanskap merupakan fungsi dari meningkatnya isolasi, yang diakibatkan oleh fragmentasi dan menurunnya luasan.
Pada pulau-
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
65
pulau dan dalam lanskap benua, laju kepunahan umumnya lebih tinggi pada spesies dengan spesialisasi pada sumbe rdaya atau lingkungan tertentu dari pada spesies yang lebih generalis (Morrison et al. 1992). Schoener & Schoener (1983) yang meneliti kadal pada pulau-pulau kecil Bahama melaporkan bahwa waktu untuk kepunahan secara langsung meningkat dengan luas pulau.
Di atas suatu luasan tertentu, kolonisasi
cepat, tetapi di bawahnya, pengkoloni dengan cepat menjadi punah. Menurut Whitcomb et al. (1981) dalam kantong habitat benua, fungsi-fungsi insiden (incidence functions) menunjukkan hubungan yang serupa antara ukuran patch dan kehadiran spesies ketika patch cukup terisolasi dari sumber spesies pengkoloni (Gambar 3). Pengaruh-pengaruh tersebut kurang jelas ketika kantong habitat tenggelam dalam s uatu matrix lanskap patchpatch dengan berbagai kualitas lingkungan dan jarak antar patch. Suatu
konsep
yang
berhubungan
dengan
continental adalah laju penghunian (occupancy rate).
oceanic
maupun
Laju penghunian
suatu spesies dan kekayaan spesies dalam pu lau-pulau, seperti juga dalam patch-patch pada lanskap umumnya dipengaruhi tidak hanya oleh luas. Sebagai contoh, Howe et al. (1981) melaporkan bahwa sekitar 75% spesies burung di hutan hujan yang luas yang diteliti di New South Wales juga teramati di hutan-hutan sisa (remnant forest). Spesies yang tidak tercatat di remnant forest juga jarang di hutan hujan atau memiliki home range yang luas sehingga tidak didukung oleh fragment-fragment yang terisolasi. Ketidak hadiran spesies langka pada fragment-fragment tersebut mungkin disebabkan oleh pengaruh kombinasi ukuran fragment yang kecil dan isolasi, juga mungkin pengaruh sampling.
Karena ukuran populasi yang
rendah, peluang kepunahan spesies langka di dalam fragment-fragment tersebut mungkin tinggi, dan laju kolonisasi ke dalam fragment-fragment tersebut dari sumber spesies di hutan yang lebih luas adalah rendah. Dilaporkan juga beberapa spesies burung yang biasa di desa terbuka ditemukan di remnant forest dan tidak di hutan yang luas, hal ini membuktikan bahwa remnant forest berisi spesies edge dan suksesi awal (Morrison et al. 1992). Konsep relevan lainnya adalah prinsip founder (founder principle). Prinsip ini menyatakan bahwa suatu kumpulan individu yang bermigrasi
66
PRAGMENTASI HUTAN
dapat memulai sebuah sub populasi lokal pada suatu areal yang sebelumnya tidak berpenghuni. Berkaitan dengan prinsip founder adalah rescue effect yang terjadi ketika seekor imigran mengisi suatu patch-patch tidak berpenghuni tetapi sebelumnya berpenghuni (Brown & Brown 1977). Memahami bagaimana segment suatu populasi, seperti nonbreeding floaters dapat berperan sebagai founder dan penyelamat adalah penting dalam mendisain lanskap. Lomolino
(1984)
melaporkan
bahwa
rescue
effect
mungkin
mempengaruhi distribusi dalam pulau (insular distribution) dua spesies vole (Microtus pennsylbanicus dan Blarina brevicauda) di wilayah pulau seribu sungai St. Lawrence, New York. Distribusi spesies di pulau-pulau tersebut dihasilkan dari seleksi imigrasi – seleksi untuk untuk fenotip lebih vagile dari populasi di dalam daratan sumbernya – dan tidak adanya predator di pulau-pulau tersebut. Jika lingkungan terganggu pada laju yang lebih cepat dari pada yang dapat direspon oleh populasi secara demografik, maka faunal relaxation penurunan kekayaan spesies atau penghunian pulau atau patchpatch bisa terjadi. Faunal relaxation terjadi di dalam pulau atau lanskap yang mengalami isolasi. Penurunan terjadi karena laju kolonisasi menurun tetapi laju kepunahan lokal tidak.
Relaxation tejadi dengan isolasi
mendadak dari lingkungan yang kaya (Morrison et al. 1992). Faunal relaxation mungkin merupakan penyebab penurunan atau hilangnya tujuh spesies burung yang menjadi ciri hutan tua di fragment hutan oak-hemlock, di arboretum Connecticut antara tahun 1853 dan 1976. Meskipun demikian, pada beberapa tahun belakangan ini, fragmentfragment telah menjadi kurang terisolasi seiring suksesi vegetasi yang meluas di areal-areal sekitarnya yang menghasilkan kondisi yang kondusif untuk mendukung kembali spesies burung-burung hutan tua (Askin dan Philbrick, 1983). Faunal relaxation mungkin sekarang tejadi di beberapa taman nasional (Newmark 1986), walaupun bukti-buktinya diperdebatkan. Faunal relaxation juga dapat terjadi di alam liar setelah 50 tahun mendatang, seiring hutan tua menjadi berkurang pada lahan hutan produksi kayu komersial, jika kesinambungan patch tidak dibuat (Morrison et al. 1992).
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
67
Hasil dari faunal relaxation adalah kepunahan populasi lokal atau terjadinya populasi relict (populasi bertahan hanya di sedikit lokasi). Populasi relict tampaknya akhir-akhir ini terjadi di lokasi-lokasi yang terasing dan terputus dan mungkin merupakan hasil dari kondisi lingkungan sebelumnya.
Kejadian dan distribusi populasi relict mungkin tidak
mencerminkan kondisi lingkungan saat ini maupun kemampuan disperasl dari spesies.
Dengan demikian, akan menjadi salah bila mendefinisikan
kebutuhan manajemen habitat dan lanskap berdasarkan studi pola kejadian sekarang dan asosiasi lingkungan dari populasi relict tersebut (Morrison et al., 1992). Secara umum, pola kehadiran spesies pada patch-patch benua dan lanskap, seperti halnya pada pulau-pulau samudera, merupakan hasil turunan dari proses kolonisasi dan kepunahan.
Hal ini pada gilirannya
adalah fungsi dari faktor-faktor seperti kemampuan dispersal spesies, sejarah hidup dan karakteristik demografik; variasi dari kondisi iklim dan sumberdaya lokal; ukuran patch dan spacing; perubahan dalam koridor antar pacth dan tipe lingkungan yang digunakan untuk dispersal; dan kehadiran kompetitor, preda tor, parasit dan penyakit (Morrison et al., 1992). IV. KESETIMBANGAN (EQUILIBRIUM) POPULASI ANTAR KANTONG HABITAT (HABITAT PATCH) DAN SUB POPULASI Titik dimana suatu spesies menempati kantong-kantong habitat di dalam dan di antara lanskap bergantung dinamika pada dua skala; kesetimbangan antara kolonisasi dengan kepunahan antar patch-patch lokal dalam lanskap tertentu, dan kesetimbangan antar imigrasi (spesies yang masuk) dengan emigrasi (spesies yang keluar) dan kematian antar sub populasi dari suatu meta populasi.
Dua skala ini overlap antar spesies
dengan berbagai ukuran tubuh, areal yang digunakan, dan struktur populasi. Tetapi prinsip utamanya adalah keseimbangan (balance) antara laju kolonisasi
dan kepunahan.
Dengan demikian,
kesetimbangan
(equilibrium) populasi merupakan suatu fungsi dari dinamika dispersal, migrasi musiman, dan pergerakan (movement) lainnya dan menggambarkan
68
PRAGMENTASI HUTAN
suatu
keseimbangan
(balance)
antara
rekruitmen
dan
kehilangan
demografik (Morrison et al. 1992). Temple & Cary (1988) mengembangkan suatu model simulasi komputer dari suatu lanskap yang berisi populasi hipotetik burung -burung hutan
interior
kedekatannya
yang pada
fekunditasnya suatu
edge
berhubungan dalam
lanskap.
negatif
dengan
Model
ini
mendemonstrasikan jika beberapa spesies yang menunjukkan fekunditas yang lebih rendah di dekat edge, kemudian persistensi mereka dalam suatu lanskap dapat dikendalikan dengan mengatur jumlah keberadaan edge. Dengan suatu populasi yang sederhana, bila emigrasi dari wilayah lain yang reproduksinya lebih baik sama dengan nol atau sedikit, maka populasi yang bergantung pada interior dalam lanskap yang sangat terfragmentasi dapat menjadi punah secara lokal. Dalam suatu model dinamik patch yang serupa, Fahrig dan Merriam (1985) mengukur survival dari suatu populasi tikus kaki putih (Peromyscus leucopus) di antara kantong-kantong hutan (forest patches) dalam suatu lanskap pertanian. Model tersebut memprediksi bahwa tikus dalam arealareal berhutan yang terisolasi akan memiliki laju pertumbuhan lebih rendah dan akan lebih rawan terhadap kepunahan lokal dari pada di dalam arealareal berhutan yang berkesinambungan.
Prediksi ini telah diverifikasi
dengan observasi empiris terhadap populasi di alam liar (Morrison et al. 1992).
DAFTAR PUSTAKA Askin, R.A. and M. Philbrick. 1983. Changes in Bird Community as a Forest Fragment Becomes Less Isolated. Abstract of a paper presented at the 1983 meeting of the American Ornitologist’ Union, August, in New York. Brown, C.W. and A.K. Brown. 1977. Turnover Rates in Insular Biogeography : Effects of Immigration on Extinction. Ecology 58 : 445-449. Dueser, R.D. and J.H. Porter. 1986. Habitat Use by Insular Small Mammals. Relative Effects of Competition and Habitat Structure. Ecolog y 67 : 195-201. Fahrig, L. and G. Merriam. 1985. Habitat Patch Connectivity and Population Survival. Ecolog y 66 : 1762-1768.
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
69
Howe, R.W., T.D. Howe and H.A. Ford. 1981. Bird Distribution on Small Rainforest Remnants in New South Wales. Australian Wildlife Research 8 : 637-651. Johnson, N.K. 1975. Controls of Number of Bird Species on Montane Islands in Great Basin. Evolution 29:545-567. Johnson, N.K. 1978. Patterns of Avian Geography and Speciation in the intermountain. In Intermountain Biogeography : A Symposium. Pp.137-158. Great Basin naturalist Memoirs No. 2. Karr, J.R. and K.E. Freemark. 1985. Disturbance and vertebrates : An Integrative Perpective. In S.T.A.Picket and P.S.White (eds). The Ecology of Natural Disturbance and Patch Dynamics. Pp. 153-168. Academic Press. Orlando, Fla. Lande, R. and G.F.Barrowclough. 1987. Effective Population Size, Genetic Variation, and Their Use in Population Management. In M.E.Soule (ed). Viable Population for Conservation. Pp.189. Cambridge Univerity Press. Cambridge. Lomolino, M.V. 1984. Immigrant Selection, Predation, and the Distributions of Microtus pennsylvanicus and Blarina brevicauda on Islands. American Naturalist 123 : 468-483. Martin, T.E. 1981. Limitation in Small Habitat Islands : Chance or Competition? Auk 98 : 715-734. Morrison, M.L., B.G. Marcot and R.W. Mannan. 1992. Wildlife-Habitat Relationship: Consepts and Applications. The University of Wisconsisn Press. Madison, Wisconsin. Newmark, W. 1986. Mammalian Richness, Colonization, and Extinction in western North American National Parks. Ph.D. thesis University of Michigan, Ann Arbor. Pickett, S.T.A. dan J.N. Thomson. 1978. Patch Dynamics and The Design of Nature Reserves. Biological Conservation 13 : 27-37. Rothstein, S.I., J. Verner and E. Stevens. 1980. Range Expansion and Diurnal Changes in Dispersion of the Brown-Headed Cowbird in the Sierra Nevada. Auk 97 : 253-267. Schoener, T.W. and A. Schoener. 1983. The Time to Extinction of a Colonizing Propagule of Lizards Increases with Siland Area. Natural Resources Conference 45 : 245-251. Temple, S.A. dan J.R. Cary. 1988. Modeling Dynamcs of Habitat-Interior Bird Populations in Fragmented Landscapes. Conservation Biology 2 : 340-347. Wilcove, D.S., C.H. McLellan and A.P. Dobson. 1986. Habitat Fragmentation in the Temperate Zone. In M.E.Soule (ed). Conservation Biology. Pp. 237-256. Sinauer Associates. Sunderland, Mass.
70
PRAGMENTASI HUTAN
7 PENGARUH FRAGMENTASI TERHADAP SATWALIAR
PENDAH ULUAN
KERUSAKA N HABITAT
MENGURANGI DAYA HIDUP (VIABILITY)
PENGARUH PADA POPULASI
PENGURANGAN L UAS HABITAT
PERUBAHAN KEA NEKARAGAMAN HAYATI
PENGARUH ISOLASI PATCH
EFEK TEPI (EDGE EFFECT)
SPESIES, RELUNG MAKAN DAN FRAGMENTASI
FRAGMENTASI HABITAT DAN KEPUNAHAN
PEMANGSAAN DAN FRAGMENTASI
FRAGMENTASI HABITAT DAN PERILAKU SATWA
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN Fragmentasi habitat merupakan proses perubahan lingkungan yang penting dalam evolusi dan biologi konservasi. Fragmentasi menggambarkan terjadinya
ketidaktersambungan/
lingkungan (habitat)
discontinuity
suatu organisme.
(fragmentasi)
Fragmentasi
dalam
habitat dapat
disebabkan oleh proses-proses geologi yang secara perlahan mengubah tata letak lingkungan fisik atau oleh kegiatan manusia seperti konversi lahan yang dapat mengubah lingkungan dengan lebih cepat.
Proses g eologis
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
71
dianggap sebagai penyebab utama terjadinya spesiasi, sedangkan kegiatan manusia
dianggap
sebagai
penyebab
kepunahan
banyak
spesies
(http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat_fragmentation). Fragmentasi habitat seringkali disebabkan oleh manusia ketika vegetasi alami ditebang untuk kegiatan manusia seperti pertanian, pengembangan pedesaan atau perkotaan. Habitat-habitat yang sebelumnya kontinyu menjadi terpecah ke dalam fragment-fragment yang terpisah. Setelah penebangan yang intensif, fragment yang terpisah cenderung menjadi ”pulau-pulau” yang sangat kecil dan terisolasi satu sama lain oleh lahan budidaya, peternakan, jalan pengerasan atau bahkan lahan terbuka. Lahan terbuka seringkali merupakan hasil dari sistem pertanian tebas -bakar (slash and burn) di hutan-hutan tropika.
Di jalur lahan gandum di New
South Wales Tengah bagian barat, Australia, 90% dari vegetasi alami telah ditebang
dan
mengakibatkan
fragmentasi
habitat
yang
ekstrim
(http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat_fragmentation). Fragmentasi habitat dapat mencakup enam proses diskrit yaitu (http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat_fragmentation): Pengurangan luas total habitat Meningkatnya jumlah habitat pinggiran (edge) Menurunnya jumlah habitat bagian dalam (interior) Isolasi fragment habitat yang satu dari fragment habitat lainnya Memecah satu kantong habitat (habitat patch) menjadi beberapa kantong (patch) yang lebih kecil. Menurunnya luas rata-rata dari setiap kantong habitat (habitat patch).
II. KERUSAKAN HABITAT Salah
satu
cara
utama
bagaimana
fragmentasi
habitat
mempengaruhi keanekaragaman hayati adalah mengurangi jumlah habitat yang tersedia (available) bagi tumbuhan dan satwa seperti hutan hujan, hutan lainnya, samudera dan lain-lain.
Fragmentasi habitat selalu
menyebabkan sejumlah kerusakan habitat. Tumbuhan dan organisme lain yang tak dapat pindah (sessile) dalam areal ini biasanya langsung punah. Satwa
72
yang
dapat
bergerak
(khususnya
PRAGMENTASI HUTAN
burung
dan
mamalia)
menyelamatkan diri ke kantong habitat yang tersisa.
Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya pengaruh kerumuman (crowded effect) dan meningkatkan kompetisi. (http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat_fragmentation).
2 3
1
2
1
4
3
Gambar 12. Contoh habitat yang terfragmentasi oleh: (1) jaringan listrik, (2) jalan raya, (3) tebang habis dan (4) pertanian (Foto: Hendra Gunawan, 2008). Fragment habitat yang tersisa selalu lebih kecil dari habitat aslinya. Spesies yang tidak dapat berpindah antar fragment harus bertahan dengan sumberdaya yang ada pada fragment tunggal dimana mereka menghabiskan sisa hidupnya. Karena satu dari penyebab utama kerusakan habitat ada lah pembangunan pertanian, fragment habitat jarang mewakili lanskap semula (http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat_fragmentation).
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
73
III. MENGURANGI DAYA HIDUP (VIABILITY) Luas area merupakan petunjuk utama jumlah spesies di dalam sebuah fragment.
Ukuran fragment akan mempengaruhi jumlah spesies
ketika fragment terjadi, dan akan memepengaruhi kemampuan spesies tersebut untuk bertahan di dalam fragment itu. habitat yang
keci l hanya
dapat menduk ung
Fragment-fragment
populasi-populasi
kecil
tumbuhan dan satwaliar dan populasi-populasi kecil lebih rentan terhadap kepunahan. Fluktuasi kecil dalam ik lim, sumberdaya atau fakor-faktor lain yang dianggap tidak penting dan diharapkan bisa cepat terkoreksi dalam populasi-populasi besar dapat menjadi kastatropik dalam populasi-populasi kecil dan terisolasi. Dengan demikian fragmentasi habitat merupakan suatu penyebab penting dari kepunahan spesies. Dinamika dari populasi -populasi yang
telah
terbagi
cenderung
tidak
sama
satu
sama
lain
(http://en.wikipedia.org/wiki/Habit at_fragmentation ).
Dalam sebuah lanskap yang tidak terfragmentasi, penurunan populasi dapat diselamatkan oleh imigrasi dari limpahan populasi di dekatnya.
Dalam lanskap terfragmentasi, jarak antar fragment dapat
mencegah hal tersebut terjadi.
Sebagai tambahan, fragment-fragment
habitat yang tidak dihuni yang terpisahkan dari suatu sumber pengkoloni oleh beberapa penghalang memiliki peluang yang kecil untuk dihuni kembali (repopulated) dari pada fragment-fragment yang tersambung. Bahkan spesies kecil seperti katak totol Colombia tergantung pada rescue effect. Penelitian menunjukkan 25% juvenil menempuh jarak lebih 200m dibandingkan dengan 4% dewasa.
Sisanya, 95% di lokasi baru mereka,
menunjukkan bahwa perjalanan ini diperlukan untuk bertahan hidup. Dispersal yang tinggi pada amfibia lainnya mengindikasikan bahwa spesies langka
ini
terancam
kepunahan
dalam
kelasnya
(http://en.wikipedia.org/wiki/ Habitat_fragmentation). Sebagai tambahan, fragmentasi habitat membawa pada edge effect.
Perubahan iklim mikro dalam penyinaran, temperatur dan angin
dapat mengubah ekologi di sekitar fragment, di bagian interior dan eksterior fragment.
Kebakaran menjadi lebih berpeluang terjadi seiring
merosotnya kelembaban dan meningkatnya temperatur dan kecepatan angin. Spesies eksotik dan hama dapat berkembang dengan sendirinya lebih
74
PRAGMENTASI HUTAN
mudah dalam lingkungan yang terganggu tersebut, dan hewan ternak yang berdekatan sering mengganggu ekologi alami.
Demikian juga, habitat
sepanjang edge dari fragment memiliki iklim berbeda dan menyenangkan spesies yang berbeda dari habitat interior.
Oleh karena itu, fragment-
fragment kecil tidak disukai oleh spesies yang membutuhkan habitat interior (http://en.wikipedia.org/wiki/ Habitat_fragmentation ).
IV. PENGARUH PADA POPULASI Fragmentasi hutan mempengaruhi populasi-populasi tumbuhan dan satwa pada beberapa skala.
Pada skala lanskap yang lebih besar seperti
Daerah A liran Sungai (DAS) Teluk Chesapeake, populasi -populasi penghuni hutan yang sebelumnya berkesinambungan telah mengalami pemecahan menjadi sub populasi yang lebih kecil menempati fragment-fragment hutan yang tersisa. Ilmuwan percaya bahwa sub populasi-sub populasi ini dapat berperan sebagai metapopulasi. Suatu metapopulasi merupakan kumpulan dari populasi-populasi kecil yang menempati sejumlah kantong habitat (Gambar 13). (http://chesapeake.towson. dulandscape/forestfrag/effects.asp). Individu-individu secara tidak teratur berpindah antar patch, dan populasi dapat menjadi punah di dalam patch individual sebagai akibat dari peluang kejadian (chance events). Sebagai contoh, dua jantan dalam suatu populasi dari enam betina dapat dimakan predator. Jika tidak ada jantan lain yang imigrasi ke dalam patch tersebut dari patch lain, populasi di dalam patch tersebut akan mengalami kepunahan. Populasi-populasi kecil dianggap rawan mengalami tipe peluang kepunahan ini.
Tetapi, karena
individu-individu secara tidak teratur berpindah antar patch, maka patch yang kosong akhirnya akan dikolonisasi dan ditempati mendatang
(Gambar
14)
lagi di masa
(http://chesapeake.towson.edu/landscape/
forestfrag/effects.asp).
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
75
Gambar 13.
Sekumpulan patch hutan yang ditempati oleh populasi-populasi penghuni hutan. Tebal tipisnya panah menunjukkan laju pertukaran individu antar populasi (panah tebal menunjukkan lebh banyak pertukaran). Catatan : Laju pertukaran dikoreksi oleh seberapa dekat patch-patch dalam ruang (Sumber: http://chesapeake.towson. edulandscape/forestfrag/effects.asp).
Jika laju kolonisasi pada patch-patch kosong lebih tinggi dari laju kepunahan, metapopulasi akan bertahan. Hal ini karena ketika beberapa patch mengalami kepunahan, yang lainnya
dikolonisasi.
Akibatnya,
perpindahan individu-individu antar populasi mengikat semua populasi ke dalam suatu metapopulasi yang dapat bertahan dalam lanskap yang terganggu.
Gambar 14.
Penghunian (occupancy) sekumpulan patch hutan yang mendukung suatu metapopulasi spesies penghuni hutan pada dua waktu yan g berbeda. Patch hitam ditempati dan patch putih tidak ditempati. Catatan: penghunian pada patch individual berubah sepanjang waktu (seperti patch-patch dikolonisasi dan populasi-populasi di dalam patch punah), tetapi jumlah patch-patch yang ditempati tetap sama sepanjang waktu. Sumber: http://chesapeake.towson.edu/ andscape/forestfrag/effects.asp).
76
PRAGMENTASI HUTAN
Masalah bagi perencana lahan adalah bahwa laju perpindahan individu-individu antar
patch ditentukan oleh seberapa
dekat atau
bagaimana patch-patch itu terpisahkan. Patch-patch yang berjauhan dari patch lainnya tidak akan bertukaran individu denga patch-patch lainnya, dan populasi kecil yang tersisa dalam patch akhirnya akan mengalami kepunahan.
Patch-patch menjadi lebih terisolasi satu sama lain, laju
kolonisasi merosot ke titik dimana laju kepunahan lebih tinggi dari laju kolonisasi, dan seluruh metapopulasi akan mengalami kepunahan. Hal ini akan terjadi sebelum semua patch di dalam suatu lanskap hilang.
Yang
perlu digaris-bawahi adalah bahwa patch-patch yang berdekatan satu sama lain memberikan habitat yang lebih baik dari pada patch-patch yang terisolasi walau memiliki ukuran yang sama http://chesapeake.towson.edu/landscape/forestfrag/effects.asp ).
Pada skala patch hutan individual, beberapa faktor mempengaruhi nilainya sebagai habitat tumbuhan dan satwaliar.
Secara umum, patch-
patch yang lebih besar mendukung lebih banyak spesies.
Hal ini karena
patch hutan yang lebih besar memiliki lebih banyak variasi habitat dan mendukung populasi yang lebih besar sehingga kurang rawan terhadap peluang kepunahan. Lagipula, hanya patch-patch besar cenderung berisi habitat yang cukup untuk mendukung spesies seperti mamalia yang lebih besar
yang
membutuhkan
areal
yang
lebih
luas
(http://chesapeake.towson.edu/landscape/forestfrag/effe cts.asp). Patch hutan individual juga dipengaruhi oleh kondisi di sekitarnya. Pada tepi hutan (forest edge), angin dan sinar matahari mengakibatkan kondisi yang lebih kering dari pada di dalam interior patch hutan.
Tepi
hutan juga lebih mudah dicapai oleh predator dan parasit yang dapat terjadi di lahan tetangganya atau areal yang terbangun di sekitarnya. Sebagai contoh, kucing rumah yang membunuh burung kecil seringkali lebih umum ada di tepi hutan yang dekat dengan pemukiman.
Cowbird, yang
merupakan burung parasit sarang juga lebih umum terdapat di hutan yang dekat dengan lahan terbuka dimana mereka biasa mencari makan. Cowbird meletakkan telurnya di sarang burung lain (burung inang). Burung -burung inang akan merawat telur-telur burung cowbird.
Ketika telur menetas,
burung cow bird yang tubuhnya lebih besar akan berebut makanan dengan
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
77
anak burung inangnya dan bahkan dapat mendorong anak inangnya keluar dari sarang (http://chesapeake.towson.edu/landscape/forestfrag/effects.asp). Beberapa spesies burung interior hutan tidak toleran terhadap kondisi yang lebih kering atau terhadap predator dan parasit yang terjadi di tepi hutan.
Spesies ini hanya ada di pusat habitat dari patch hutan
(Gambar 15).http://chesapeake.towson. edulandscape/forestfrag/effects.asp). Gambar 15. Grafik menunjukkan hubungan antara kelembaban tanah dengan edge dan core habitat dalam patch hutan. Banyak spesies burung tidak dapat mentolerir kondisi tepi habitat (habitat edge) dan hanya ditemukan di dalam core habitat (Sumber:http://chesapeake.towson. edulandscape/forestfrag/ effects.asp).
V. PENGURANGAN LUAS HABITAT Fragmentasi habitat, meskipun terjadi secara alami tetap saja mengurangi luas total suatu habitat asli.
Keller and Anderson (1992)
menyatakan bahwa kehilangan habitat absolut dari suatu habitat asli dan pengurangan kepadatan sumberdaya
sehubungan dengan fragmentasi
berpotensi mempengaruhi biota lebih dari faktor-faktor tunggal lainnya. Fragmentasi habitat mempengaruhi flora dan fauna dari suatu ekosistem dengan mengganti ekosistem alami dengan lanskap yang didominasi manusia yang mungkin tidak cocok bagi sejumlah spesies asli tertentu. Meskipun
demikian,
berbeda
dengan
samudera
sebagai
penghalang
geografik, matrix lanskap buatan manusia dapat dicapai/dilewati oleh flora dan fauna, karena mereka dapat dengan mudah menyebar melewatinya, jika tidak tinggal di dalamnya http://learning.turner.com/efts/rforest/habfrag.htm).
Di sisi lain, lanskap buatan manusia dapat secara langsung menyumbang pada kepunahan spesies di dalam “pulau habitat” (habitat
78
PRAGMENTASI HUTAN
island) dengan menggangu keseimbangan ekosistem yang disukai oleh spesies yang sangat beradaptasi dengan kondisi yang berubah. contoh,
meningkatnya
jumlah
lanskap
yang
didominasi
Sebagai manusia
memungkinkan spesies tertentu untuk tumbuh secara fenomenal, tetapi dapat membahayakan spesies yang secara ekslusif tergantung pada patch habitat interior.
Contoh yang sering dikutip adalah burung parasit
cowbird kepala cokelat (Molothrus ater) yang populasinya meningkat secara dramatis sejak manusia mulai mengganggu lanskap pada skala luas di Amerika Utara.
Cow bird kepala cokelat merupakan parasit sarang, yaitu
mengganti telur-telur burung inangnya dan menggantikannya dengan telurnya sendiri dan membiarkan burung inang yang tidak menyadarinya mengerami dan membesarkannya.
Peningkatan jumlah burung cowbird
tersebut berdampak negatif terhadap keberhasilan perkembangbiakan banyak burung-burung penyanyi penghuni tetap hutan (Mayfield 1977). Disamping gangguan keseimbangan ekosistem yang disukai oleh spesies yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi, kehilangan habitat akibat fragmentasi dengan mudah dapat menyebabkan populasi dan jelajah spesies interior berkurang.
Saunders (1989) mencatat satu contoh yang
jelas, bagaimana perubahan areal yang luas dari habitat yang utuh menjadi pulau-pulau yang terfragmentasi mempengaruhi avifauna.
Ia meneliti
perubahan avifauna di jalur ladang gandum Australia bagian barat sebagai akibat dari fragmentasi. Ia menunjukkan bahwa 41% burung -burung asli di wilayah tersebut telah menurun kelimpahan dan jelajahnya sejak 1900 -an dan menunjukkan bahwa hampir semua perubahan ini secara langsung diakibatkan oleh fragmentasi habitat dan penurunan kelimpahan vegetasi alami.
Walaupun
beberapa
spesies
meningkat
kelimpahannya,
ia
menekanankan bahwa lebih banyak spesies yang dirugikan dari pada yang diuntungkan. Bentuk fragment hutan mempengaruhi
luasan interior yang
terkandung di dalamnya, seperti diperllihatkan pada Gambar 16, dimana luas dari seluruh fragment hutan contoh adalah sekitar 50 ha. Fragment hutan mungkin cukup besar tetapi memiliki interior yang kecil karena bentuknya linear.
Bentuk fragment seperti lingkaran atau bujur sangkar
memiliki proporsi interior terbesar dibandingkan terhadap luas totalnya dan
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
79
dapat memiliki hampir dua kali lipat luas interior fragment berbentuk persegi
panjang
sempit
dengan
luas
total
yang
sama
(http://www.lrconline.com).
Sumber: http://www.lrconline.com
Gambar 16. Berbagai bentuk fragment dan gambaran luas interior-nya.
Spesies yang meningkat kelimpahan dan jelajahnya ketika terjadi fragmentasi habitat adalah spesies yang mampu beradaptasi.
Dengan
perkataan lain, kebutuhan sumberdayanya dapat dipenuhi oleh berbagai kondisi sehingga sering diuntungkan oleh kegiatan manusia yang mengurangi kompetisi dengan spesies lain.
Karena hal ini, spesies yang diuntungkan
oleh kegiatan manusia bukanlah spesies yang harus kita kelola dan lindungi. Sebaliknya, kita perlu melindungi spesies yang berjuang sendiri untuk bertahan dalam habitat yang terus menghilang dengan cepat (Harris 1984). Kita
dapat
membuat
prediksi
skala
lanskap tentang
efek
kehilangan hutan dari efek isolasi skala patch, karena isolasi patch merupakan fungsi khas dari jumlah hutan dalam suatu lanskap.
Prediksi
skala lanskap berdasarkan pada efek ukuran patch tidak lah jelas karena ukuran patch dapat dikurangi oleh kehilangan atau oleh kombinasi kehilangan habitat dan fragmentasi (Gambar 17).
80
PRAGMENTASI HUTAN
VI. PERUBAHAN KEANEKARAGAMAN HAYATI Disamping mengubah fisik bagian habitat as li, berkurangn ya luas habitat as li dapat menurunkan keanekaragaman hayati suatu areal melalui beberapa cara.
Menurunnya keanekaragaman hayati suatu areal dapat
terjadi jika fragment habitat lebih kecil dari pada home range satwa yang memiliki home range terbesar yang ada di dalam ekosistem utuhnya. Banyak burung memiliki home range besar karena mereka membutuhkan sumberdaya yang terdistribusi dalam patch-patch.
Sebagai contoh,
sepasang burung pelatuk paruh gading (Campephilus principalis) yang berkembangbiak membutuhkan hutan dataran bawah (bottomland) kontinyu yang tak terganggu seluas 6,5-7,6 km2, dan Elang goshawk Eropa (Accipiter gentilis) membutuhkan 30-50 km2 untuk home range-nya (Wilcove et al. 1986). Jika fragment habitat yang ada lebih kecil dari pada luas minimum yang dibutuhkan oleh suatu spesies, individu-individu spesies tersebut berpeluang tidak akan ditemukan di dalam fragment habitat tersebut. Sebagai contoh, sejenis burung wabler Lousiana waterthrush (Seirus motacilla) jarang ditemui di tegakan pohon yang sempit karena mereka membutuhkan perairan terbuka di dalam home range mereka, dan hampir semua tegakan pohon yang sempit tidak memiliki sungai atau kolam yang sepanjang tahun berair (Robbins, 1980). Jika suatu spesies membutuhkan dua atau lebih tipe habitat, mereka sering dianggap dapat mengalami kepunahan lokal akibat fragmentasi habitat, karena seringkali mereka tidak dapat dengan bebas berpindah antara tipe habitat yang berbeda. Burung blue-grey gnatcatcher (Polioptila caerulea) berpindah dari hutan deciduous ke padang chaparral selama musim berkembangbiak, dan jika satu dari kedua habitat tersebut tidak dapat dijangkau, mereka diduga kuat akan mengalami kepunahan lokal (Wilcove et al. 1986).
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
81
Gambar 17.
Pengaruh kehilangan dan fragmentasi habitat pada ukuran patch dan isolasi (Fahrig, 1997).
Hilangnya beberapa spesies dari suatu komunitas bisa memiliki pengaruh sekunder yang beruntun di seluruh ekosistem. Sebagai contoh, hilangnya predator puncak dari suatu areal karena fragment terlalu kecil dapat menyebabkan meningkatnya omnivora kecil, yang pada gilirannya nanti dapat menyebabkan tekanan pemangsaan yang berlebihan pada telur dan anak burung-burung penyanyi, akhirnya menyebabkan penurunan keberhasilan perkembangbiakan burung-burung tersebut. Komunitas tropika sering dianggap kehilangan keanekaragaman hayati dari pada komunitas daerah temperate karena spesies tropika biasanya ditemukan dalam kepadatan yang
lebih rendah dan tidak
terdistribusi secara luas, dan sering memiliki kemampuan dispersal yang lebih lemah (Wilcove et al. 1986). Banyak spesies tropika terlibat dalam
82
PRAGMENTASI HUTAN
hubungan
mutualisme
yang
kompleks
seperti
hubungan
tumbuhan-
penyerbuk, tumbuhan-penyebar biji, dan parasit-inang, sehingga tidak dapat dihindari kepunahan lokal salah satu spesies menyebabkan kepunahan spesies lainnya.
Burung kasuari (Casuarius casuarius), pemakan buah di
hutan hujan di Australia, diduga kuat mengalami kepunahan lokal akibat fragmentasi habitat karena kebutuhan habitatnya berupa hutan hujan kontinyu yang luas berkaitan dengan hubungan mutualisme yang unik antara keduanya yaitu tumbuhan-penyebar biji.
Burung besar yang tak dapat
terbang ini mengembara secara nomaden dalam mencari musim berbuah. Kasuari berfungsi sebagai satu dari sedikit penyebar bi ji-biji berukuran besar, yang banyak diantaranya perlu dikupas dan dipecah (dicerna) sebelum berkecambah.
Kepunahan kasuari dari fragment hutan hujan tak
dapat dihindarkan akan membawa kepunahan pohon-pohon atau tumbuhan yang tergantung padanya sebagai penyebar/pemecah biji. Disamping menjadi rumah bagi spesies terancam punah, komunitas tropika terancam kerusakan dan fragmentasi karena lokasi fisiknya overlap dengan batas-batas geografis negara-negara dunia ketiga. Dalam negaranegara ini, masyarakatnya seringkali terantung pada penghasilan yang didapatkan dari kayu hutan hujan atau ternak yang dibudidayakan dengan menebang habis hutan hujan. Tekanan yang konstan pada komunitas hutan hujan ini mengakibatkan fragmentasi habitat yang sangat luas. Fragmentfragment kecil terisolasi yang dihasilkan menyebabkan ganguan pada keseimbangan ekosistem. Ahli ekologi Thiollay dan Myberg (1988) meneliti status dari semua burung pemangsa (raptor) yang ditemukan tersisa di habitat hutan hujan di pulau tropika Jawa, dimana hampir semua habitat asli hanya tersisa di cagar-cagar alam. Hampir semua raptor sangat jarang ditemukan di luar cagar-cagar alam sebagaimana telah diduga sebelumya. Mereka juga menemukan bahwa semakin besar ukuran cagar, semakin padat populasi raptor di dalamnya. Menariknya, Lovejoy et al. (1986) menemukan fenomena yang serupa dengan burung-burung Amazon dalam proyek dinamika biologi fragment hutan (Biological Dynamics of Forest Fragments = BDFF; sebelumnya Minimum Critical Size of Ecosystem) di Brazil. Tujuan utama proyek BDFF adalah untuk menemukan bagaimana komunitas hutan hujan
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
83
merespon setelah suatu ekosistem utuh terpecah menjadi fragmentfragment dengan ukuran berbeda.
Mereka menemukan suatu crowding
effect, dimana kelimpahan burung-burung dalam fragment hutan langsung meningkat
secara
signifikan
setelah
terjadi
deforestasi
di
areal
tetangganya. Meningkatnya jumlah burung disebabkan oleh migrasi burung burung dari areal yang baru saja ditebang habis ke dalam fragment hutan tersebut.
Crow ding effect menurun dengan meningkatnya ukuran suatu
fragment hutan.
VII. PENGARUH ISOLASI PATCH Isolasi kantong-kantong habitat (habitat patches) terjadi seiring lanskap yang terus terfragmentasi. Areal-areal dari tipe yang sama menjadi terisolasi, tidak hanya oleh jarak tetapi juga oleh ketidakcocokan karena gangguan lingkungan, memposisikan tumbuhan dan satwa tanpa adaptasi untuk perpindahan jarak panjang pada situasi yang tidak menguntungkan. Ketidakmampuan
spesies
untuk
berpindah
antar
kantong
habitat
menyebabkan hilangnya variasi genetik dan keanekaragaman yang akhirnya dapat mengakibatkan hilangnya spes ies tersebut di dalam habitat yang tefragmentasi itu.
Seiring dengan lingkungan yang terganggu menjadi
meningkat ketidakcocokannya, bahkan spesies yang lebih mobile pun dapat terhambat dalam perpindahan antar pulau habitat.
Saat ini banyak
komunitas dan fragment-fragment ekosistem yang terpisah jauh dan sangat berkurang populasinya.
luasnya
sehingga
banyak
satwa
gagal
mempertahankan
Komunitas-komunitas tersebut menjadi sistem tertutup
sehingga rawan menghadapi perubahan katastropik dari kejadian-kejadian seperti penyakit, kekeringan, angin topan atau banjir. Beberapa contoh paling penting isolasi yang dihasilkan dari fragmentasi habitat atau komunitas dapat ditemukan adalah ada pada apa yang tertingal dari ekosistem prairie.
Ekosistem ini sekarang sangat
berkurang menjadi fragment-fragment kecil yang terisolasi dan terpencar di tengah ”lautan” pertanian dan lahan yang tidak cocok lainnya bagi banyak spesies prairie, khususnya invertebrata dan tumbuhan. koridor
84
penghubung
atau
stepping
stones,
PRAGMENTASI HUTAN
spesies-spesies
Tanpa tersebut
menghadapi ancaman inbreeding yang berlanjut pada penurunan jumlah dan bahkan kepunahan dari kantong habitatnya. Baik komunitas tropika maupun temperate menghadapi masalah yang sama yaitu inbreeding dan kehilangan keanekaragaman genetik, yang dihasilkan oleh sub populasi tumbuhan dan satwa yang terisolasi satu sama lain akibat dari fragmentasi habitat.
Jika ada jarak yang terlalu be sar
antara dua fragment dan suatu spesies tidak dapat menyebar melintasi areal di antaranya, populasi tersebut secara prinsip telah terpecah. Inbreeding bisa terjadi jika sub populasi pada fragment yang ada kecil. Hal ini tidak langsung didokumentasikan, tetapi potensial terjadi. Hilangnya keanekaragaman genetik dapat terjadi bahkan tanpa inbreeding dan hasilnya homosigositas pada gen-gen tertentu dapat menyebabkan evolusi yang berakhir pada kematian suatu spesies (Soule 1986). Dalam rangka meningkatkan pertukaran antara fragment-fragment, banyak
manajer
satwaliar
menghubungkan dua
atau
mengaplikasikan
koridor-koridor
lebih pulau-pulau habitat.
yang
Berdasarkan
penelitian MacClintock et al. (1977) koridor-koridor meningkatkan kekayaan spesies burung-burung yang berkembangbiak dan meningkatkan perjalanan satwa penyebar biji (Harris 1984).
Koridor-koridor dapat mencegah
hilangnya keanekaragaman genetik dan memungkinkan dispersal spesies antar fragment,
tetapi hilangnya
fragment terus saja terjadi.
ekosistem asli menjadi fragment-
Berkurangnya luas ekosistem alami hanya
dapat merugikan spesies yang tergantung padanya untuk hidup.
VIII. EFEK TEPI (EDGE EFFECT) Edge adalah bagian luar dari batas (boundary) suatu kantong habitat (habitat patch).
Efek tepi (Edge effect) adalah suatu kondisi
dimana habitat yang sesuai menjadi kurang sesuai atau sebaliknya bagi suatu spesies karena bersebelahan dengan lahan bukan habitat (non habitat).
Degradasi habitat ini dapat terjadi karena pemangsaan dari
spesies yang hidup di luar patch, atau meningkatnya kompetisi dengan spesies yang hidup di luar kantong habitat.
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
85
Edge effect terjadi di dekat perbatasan dua atau lebih tipe habitat yang berbeda.
Edge effect menguntungkan bagi banyak spesies
tumbuhan dan satwa karena edge memberikan mereka manfaat dari dua atau lebih tipe habitat untuk survival mereka. Tetapi banyak spesies lain yang mendapatkan pengaruh negatif akibat terlalu banyaknya edge. Konsentrasi
banyak
spesies
dekat
edge
menyebabkan meningkatnya
kompetisi, pemangsaan dan parasitisme. sangat berkaitan dengan dinamika edge.
Perambahan spesies eksotis Di hutan-hutan, banyak spesies
eksotik masuk ke interior, bermula dari zona tergangu yang berkaitan dengan gangguan yang ditimbulkan oleh manusia. Satu aspek lain areal yang harus dipertimbangkan adalah batas (boundary) menjadi
antara
habitat
perhatian
dan
yang
habitat-
habitat di sekelilingnya (Gambar 18). Hal
ini
melahirkan
pertanyaan
tentang edge effect, karena boundary umumnya
gradual,
tidak
tajam
http://faculty.plattsburgh.edu/thom as. wolosz/extinction.htm. Gambar 18. Ilustrasi zona pengaruh tepi (edge effect) suatu pulau habitat (Sumber:http://faculty.plattsburgh.edu/thomas.wolosz/ extinction.htm ).
Kita tertarik pada edge bagian luar (outer edge) atau zone edge effect akan memiliki beberapa kondisi yang berbeda dengan kondisi di dalam habitat. Jika kita membicarakan tentang boundary antara hutan dan ladang, misalnya, edge effect dapat meliputi derajat yang lebih tinggi dari penyinaran matahari di edge hutan, kecepatan angin yang lebih besar, dan kondisi yang lebih kering dan teduh. Zona edge ini dapat berfungsi sebagai jebakan ekologi dimana ia menggambarkan habitat yang diinginkan untuk beberapa satwa, tetapi mungkin tidak diinginkan oleh sejumlah besar
86
PRAGMENTASI HUTAN
pemangsaan oleh satwa yang tinggal di habitat sekelilingnya.
Di anta ra
burung-burung, masalah umum sepanjang zona edge meliputi pemangsaan sarang dan parasit terhadap anakan oleh spesies seperti burung cowbird.
IX. SPESIES, RELUNG MAKAN DAN FRAGMENTASI Beberapa spesies sensitif terhadap uk uran habitat dan disebut “area-sensitive” (sensitif terhadap luas). Dengan demikian spesies interior hutan yang berkembagbiak seperti burung oven dan wabler Kentucky menurun populasinya jika terjadi fragmentasi (Gibbs & Faarborg 1990). Pengaruh fragmentasi hutan tropika pada komunitas k umbang kotoran dan bangkai telah dipelajari oleh Klein (1989) di Amozonia Tengah. Fragment-fragment memiliki spesies lebih sedikit, lebih jarang dan lebih tersebar.
Perbedaan ini merupakan bukti ketika fragment satu hektar
dibandingkan
dengan hutan tak
terganggu.
Perpindahan kumbang
terinterupsi oleh penebangan habis dan hanya setelah hutan sekunder tumbuh kembali, bebera pa kumbang dapat berpindah di dalam fragmentfragment, walaupun jaraknya hanya beberapa meter. Mungkin iklim mikro dan khususnya pengeringan di batas tegakan kayu menciptakan kondisi penghalang untuk kumbang-kumbang hutan bagian bawah (understorey) (Farina 2000). Peranan kumbang kotoran dan bangkai sebagai pemusnah larva nematoda (cacing) dan parasit gastrointestinal lainnya dari vertebrata adalah sangat penting dalam pengendalian penyakit. Dengan meningkatnya fragmentasi
hutan tropika
dan konsekuensinya
pengurangan jumlah
kumbang tersebut, kita dapat menduga akan terjadi peningkatan penyakit vertebrata (Farina 2000). Ketika pengaruh-pengaruh fragmentasi habitat diteliti pada skala spesies tunggal atau kelompok spesies yang berkerabat/berhubungan, adalah mungkin untuk menemukan hasil yang mengejutkan, menarik dan tak terprediksi. Contohnya adalah kalajengking Cercophonius squama dan Amphipoda, famili Tallitridae, sebagaimana dilaporkan oleh Margules et al. (1994). Dalam waktu jeda 8 tahun yaitu 3 tahun sebelum fragmentasi dan 5 tahun setelah fragmentasi dalam plot yang diberi perlakukan dan terkontrol
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
87
dari
hutan kayu keras
Australia
yang
didominasi
oleh Eucalyptus,
fragmentasi tidak memberikan pengaruh pada kelimpahan kalajengking. Berbeda untuk Amphipoda, yang menurun dengan jelas setelah fragmentasi, penurunan lebih besar terjadi di sisa hutan yang kecil dibandingkan di sisa hutan yang luas (Farina 2000). Kemungkinan kalajengking, sebagai hewan purba menggunakan perilaku membuat lubang selama periode kering, dan memiliki kemampuan untuk menghindar dari tekanan lingkungan akibat fragmetasi. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh Amphipoda, yang lebih sensitif terhadap ik lim mikro dan memiliki sejarah evolusi yang lebih muda. Ini merupakan ilustrasi yang baik bahwa ketika kita mempelajari fragmentasi pada level spesies, hasilnya bisa sangat berbeda sama sekali (Farina 2000). Tindakan pengelolaan harus diambil sehubungan dengan tingkah laku populasi dan skala lanskap dan populasi di dalam hutan-hutan sisa (remnant),
daripada
hanya
mempertimbangkan
jumlah
spesies.
Malacosoma disstria merupakan larva kupu-kupu yang berlindung di hutan yang
mengalami
outbreak
(meledak)
selama
periode
berbeda
dan
berhubungan dengan struktur hutan (Roland 1993). Jumlah edge hutan per kilometer persegi merupakan penduga yang baik bagi periode outbreak. Parasitoid mungkin kurang efisien dalam mengendalikan Malacosoma disstria
sepanjang
fragment.
Sebagaimana
dengan banyak
Lepidoptera, Malacosoma disstria meletakkan lebih banyak
spesies telurnya
sepanjang edge dan pemangsaan telur spesies ini tampaknya pada tingkat yang lebih rendah dari pada di dalam hutan interior (Farina 2000). Sepanjang edge, kondisi iklim mikro yang lebih disukai dan temperatur yang lebih tinggi menurunkan periode perkembangan larva, sehingga mengurangi resiko pemangsaan dibandingkan dengan larva di tegakan yang kontinyu (Farina 2000). Spesies yang sensitif terhadap fragmentasi habitat kurang efisien dalam berpindah dan mengkolonisasi habitat baru, dan konsekuensinya memiliki kemampuan dispersal yang lebih rendah (Villard & Taylor 1994; Villard et al. 1995). khususnya sensitif
Burung-burung understorey hutan tropis Afrika
pada fragmentasi (Newmark 1990).
Spesies interior
hutan dan langka merupakan satu yang paling terkena pengaruh buruk oleh
88
PRAGMENTASI HUTAN
pengurangan habitat, dan pemeliharaan koridor bisa menjadi langkah penceghan kepunahan lokal (Farina 2000). Serangga-serangga penyerbuk di hutan kering sub tropika di Argentina bagian utara berkurang, menurunkan ukuran fragment-fragment, tetapi
sebaliknya
lebah madu
(Apis
melifera)
meningkat frekuensi
kunjungannya ke bunga (Aizen & Feinsinger 1994). Walaupun diduga kuat adanya laju yang tinggi pada alien species di tegakan hutan yang kecil dan terisolasi, penginvasi dihentikan oleh konkurensi cahaya (rendah di interior) dan oleh isolasi tanaman budidaya, digabung dengan kapasitas yang rendah alien species untuk berpindah. Fragment-fragment tersebut memiliki edge dan vegetasi semak yang lebat yang mencegah alien species masuk, walaupun pada waktu yang sama edge yang hangat ini menarik alien species (Brother & Spingarn 1992).
X. FRAGMENTASI HABITAT DAN KEPUNAHAN Pengaruh fragmentasi pada keanekaragaman jenis burung telah didokumentasikan di hutan dataran tinggi San Antonio, Colombia oleh Kattan et al. (1994).
Di wilayah ini hasil sensus burung tahun 1911
dibandingkan dengan data tahun 1959, 1963 dan 1989-1990. Hilangnya 24 spesies atau 31% dari spesies burung-burung asli, merupakan informasi yang relevan tentang pemiskinan (impoverishment) fauna di lanskap ini. Peneliti yang melakukan sensus dan perbandingan terkini memberikan alasan bahwa tingginya laju kepunahan terutama disebabkan oleh posisi banyak spesies pada batas atas dari sebaran menurut ketinggiannya, dan kelompok yang lebih rawan adalah burung pemakan serangga pada understorey dan burung pemakan buah di tajuk-tajuk besar. Kerja Kattan et al (1994) tersebut penting
dari berbagai sudut
pandang, pertama karena sejarah penurunan keanekaragaman jenis burung secara lengkap terdokumentasikan, kedua karena pengaruh fragmentasi tergantung di bagian besar biogeografi spesies dan pada kompleksitas dari struktur foraging.
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
89
XI. PEMANGSAAN DAN FRAGMENTASI Tegakan-tegakan
hutan
(woodlots)
mengalami lebih banyak pemangsaan.
yang
terisolasi
umumnya
Wilcove (1985) menemukan laju
pemangsaan yang lebih tinggi pada tegakan-tegakan hutan yang kecil dari pada tegakan-tegakan hutan yang besar, tetapi pemangsaan juga lebih tinggi di daerah sub-urban tetangganya dari pada di tegakan-tegakan hutan yang terisolasi oleh lahan pertanian.
Ketika sarang cawan terbuka
ditempatkan di tanah dan pada ketinggian 1-2 m di atas tanah, pemangsaan ditemukan lebih tinggi di kedua kasus tersebut dari pada di sarang -sarang percobaan berbentuk lobang.
Mengingat kebanyakan burung -burung
penyanyi migran neotropikal membangun sarang -sarang cawan terbuka, maka penurunan spesies ini yang disebabkan oleh pemangsaan bisa jadi lebih dari yang diduga. Pada kelompok-kelompok hutan besar di Virginia, pemangsaan pada sarang buatan bervariasi dari 5 sampai 40%, tergantung pada banyak variabel vegetasi dan tekanan komunitas pemangsa (Leimgruber et al. 1994). Fragmentasi prairie dan marshland terus terjadi dengan sangat cepat di beberapa wilayah di dunia, seperti di Canada, karena tekanan dampak agroindustri modern. Walaupun banyak burung -burung air memiliki kemampuan memulihkan diri (resilient cappacity) dari dampak kehilangan habitat,
namun
hilangnya
sebagian
besar
habitat
alami
tempat
berkembangbiak sangat meningkatkan resiko pemangsaan. Pasitschniak dan Messier (1995) menggunakan sarang-sarang buatan yang ditempatkan pada jarak yang berbeda, untuk mensimulasikan resiko pemangsaan di edge. Resiko pemangsaan sarang itik liar berhubungan dengan jarak dari edge di dalam cover sarang yang rapat, tetapi tidak ada pengaruh edge yang teramati di dalam peternakan yang terbengka lai atau ladang pakan ternak yang belum dipanen. Hal ini bisa jadi karena edge yang tiba-tiba antara lahan budidaya tersebut dan aksesibilitas yang lebih besar untuk pemangsa. Oleh karena itu, pada lanskap buatan manusia bisa jadi kurang penting dibandingkan struktur vegetasi. Argumen ini dipertanyakan oleh peneliti-peneliti lain. Pemangsaan sarang di tanah pada fragment-fragment prairie di Missouri diteliti oleh
90
PRAGMENTASI HUTAN
Burger et al. (1994). Sarang-sarang buatan di prairie < 15 ha lebih banyak dimangsa daripada di sisa-sisa prairie yang besar (37% vs 13,9%). Sarangsarang yang ditempatkan pada jarak < 60 m dari tegakan hutan (woodlots) kurang berpeluang untuk berhasil
dari pada sarang -sarang buatan yang
ditempatkan lebih jauh (28,7% vs 7,9% dari pemangsaan). Fragmentasi hutan-hutan holarctic (nearctic dan palearctic) telah mengganggu dinamika banyak herbivora kecil dibandingkan dengan hutan tak terganggu.
Menghilangnya siklus dalam kelimpahan berpindah ke
selatan terutama disebabkan oleh meningkatnya tekanan dari pemangsa. Andren et al. (1985) meneliti tekanan pemangsa terhadap tetranoidae menggunakan sarang-sarang model.
Tekanan pemangsa tinggi di selatan,
seperti yang telah diduga, dan pemangsa utamanya adalah corvidae yang lebih melimpah di wilayah selatan.
Burung-burung ini berkorelasi positif
dengan sistem pertanian, fragmentasi hutan dan dengan rejim gangguan manusia yang lebih besar.
XII. FRAGMENTASI HABITAT DAN PERILAKU SATWA Fragmentasi habitat mengubah beberapa aspek perilaku satwa, seperti perpindahan dan pencarian makan. Respon mamalia kecil terhadap fragmentasi telah diuji oleh Diffendorfer et al. (1995) pada tiga plot 0,5 hektar dengan patch yang lebih besar 5.000 m 2, patch medium 288 m 2 dan patch kecil 32 m2 dari tahun 1984 sampai 1992; spesies yang diteliti adalah tikus kapas (Sigmodon hispidus), tikus rusa (Peromyscus maniculatis) dan vole (sejenis tikus) prairie (Microtus ochrogaster).
Seperti yang sudah
diduga, satwa berpindah menempuh jarak yang panjang dan satwa dalam proporsi yang lebih rendah berpindah, sehingga meningkatkan fragmentasi. Burung
hantu
oranye kecokelatan
(Strix
aluco)
merupakan
pemangsa nokturnal di Eropa, tampaknya sensitif terhadap fragmentasi hutan (woodland).
Perilaku foraging 24 ekor burung hantu yang diberi
radio tracking oleh Redpath (1992) telah dianalisis baik di hutan kontinyu maupun di lahan pertanian dengan tegakan hutan (woodlots) yang terpencar.
Di dalam tegakan hutan yang terfragmentasi burung hantu
memiliki jarak antar perch (tempat istirahat/roosting) lebih jauh dan waktu
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
91
perch (beristirahat/ roosting) yang lebih lama.
Jantan memiliki waktu
perch yang lebih lama dari pada betina, dan jantan di hutan yang terfragmentasi menggunakan waktu untuk terbang 40% lebih banyak dari pada betina di hutan kontinyu.
Dengan demikian fragmenta si sangat
berpengaruh terhadap aktifitas dan perilaku burung hantu. Pada beberapa spesies, adaptasi terhadap fragmentasi bisa jadi merupakan naluri/bawaan sejak lahir, seperti yang terjadi pada kambing gunung penghuni padang pasir (Ovis canadensis).
Spesies ini teradaptasi
untuk hidup di pegunungan yang terjal, dataran terbuka, terfragmentasi alami, dan telah mengembangkan kemampuan yang tinggi di habitat terfragmentasi dalam keadaan dimana koridor yang sesuai tersedia (Bleich et al. 1990). Persebaran (dispersion) mengurangi efek isolasi tetapi mendukung penyebaran penyakit dan kematian yang lebih besar pada organisme yang berpindah (Burkey 1995).
DAFTAR PUSTAKA Aizen, M.A. dan P. Feinsinger. 1994. Habitat Fragmentation, Naive Insect Polllinators and Feral Honey Bee in Argentine, Chaco Serrano. Ecological Application 4 : 378-392. Andren, H., P. Angelstam, E. Lindtstrom, dan P. Widen. 1985. Difference in Predation Pressure in Relation to Habitat Fragmentation : An Experiment. Oikos 45 : 273-277. Bleich, V.C., J.D. Wehausen, dan S.A. Holl. 1990. Dessert Dwelling Mountain Sheep : Conservation Implication of a Naturally Fragmented Distribution. Conservation Biolog y 4 : 383-390. Brothers, T.S. dan A. Spingarn. 1992. Forest Fragmentation and A lien Plant Invasion of Central Indiana Old-Growth Forests. Conservation Biology 6: 91-100. Burger, L.D., L.W. Burger, J. Faaborg. 1994. Effects of Prairies Fragentation on Predation on Artificial Nests. Journal of Wildlife Management 58 : 249-254. Burkey, T.V. 1995. Extinction Rates in Archipelagoes : Implication for Population in Fragmented Habitats. Conservation Biology 9 : 527541.
92
PRAGMENTASI HUTAN
Farina, A. 2000. Principles and Methods in Landscape Ecology. Academic Publisher. Dordrecht, The Netherlands.
Kluwer
Gibbs, J.P. dan J. Faarborg. 1990. Estimating the Viability of Oven Bird and Kentucky Wabler Populastions in Forest Fragment. Conservation Biology 4 : 193-196. Harris, L.D. 1984. The Fragmented Forest. Chicago, IL.
University of Chicago Press.
http://chesapeake.towson.edu/landscape/forestfrag/effects.asp. Diakses Tanggal 01-02-2008. http://chesapeake.towson.edu/landscape/forestfrag/g lossary.asp. Diakses Tanggal 01-02-2008. http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat_fragmentation. Diakses Tanggal 0102-2008. http://faculty.plattsburgh.edu/thomas. wolosz/extinction.htm. Diakses Tanggal 01-02-2008. http://learning.turner.com/efts/rforest/habfrag.htm. Diakses Tanggal 1710-2006. http://www.brocku.ca/epi/lebk/ lebk.html. Diakses Tanggal 01-02-2008. http://www.dnr.state. wi.us/org/land/er/biodiversity/concepts/ fragmentation.htm. Diakses Tanggal 01-02-2008. http://www.Lrconline.Com. Conserving The Forest Interior: A Threatened Wildlife Habitat. Diakses Tanggal 01-02-2008. Kattan, G.H., H. Alvares-Lopez, M. Giraldo. 1994. Forest Fragmentation dan Kepunahan Burung : San Antonio Eighty Years Later. Conservation Biology 8 : 138-146. Keller, M.E. dan S.H. Anderson. 1992. Avian Use of Habitat Configurations Created by Forest cutting in Southestern Wyoming. Condor 94: 55-65. Klein, B.C. 1989. Effect of Forest Fragmentation on Dung and Carrion Beetle Communities in Central Amazonia. Ecology 70 : 17151725. Leimgrurber, P., W.J. McShea, dan J.H. Rappole. Artificial Nests in Large Forest Blocks. Management 58 : 254-260.
1994. Predation on Journal of Wildlife
MacClintock, L., R.F. Whitcomb dan B.L. Whitcomb. 1977. Island Biogeography and “Habitat Island” of Eastern Forest. II. Evidence for The Value of Corridors and Minimization of
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
93
Isolationin Preservation of Biotic Diversity. American Birds 31 : 616. Mayfield, H. 1977. Brown-headed Cowbird : Agent of Extermination? American Birds 31 : 107-112. Newmark, W. 1986. Mammalian Richness, Colonization, and Extinction in western North American National Parks. Ph.D. thesis University of Michigan, Ann Arbor. Pasutschniak, M. dan F. Messier. 1995. The Fragility of Ecosystems : A Review. Journal of Applied Ecology 32 : 677-692. Redpath, S.M. 1995. Impact of Habitat Fragmentation on Activity and Hunting Behaviour in The Tawny Owl, Strix aluco. Ecology 6 : 410-415. Robbins, C.S. 1980. Effects of Forest Fragmentation on Breeding Bird Populations in the Piedmont of the Mid-Atlantic Region. Atlantic Naturalist 33 : 31-36. Roland, J. 1993. Large Scale Forest Fragmentation Increases the Duration of tent Caterpilar Outbreak. Oecologia 93 : 25-30. Soule, M.E. 1986. The Fitness and Viability of Populations. Pp. 13-18 in M.E. Soule (ed). Conservation Biology : The Science of Scarcity and Diversity. Sinauer Assoc. Inc., Sunderland, MA. Thiollay, J.M. dan B.U. Meyburg. 1988. Forest Fragmentation and the Conservation of Raptors on the Island of Java. Biological Conservation 44 : 229 – 250. Villard, M.A. dan Taylor, P.D. 1994. Tolerance to Habitat Fragmentation Influences the Colonization of New Habitat by Forest Birds . Oecologia 98 : 393-401. Villard, M.A., G. Merriam, B.A. Maurer. 1995. Dynamics in Subdivided Population of Neotripocal Migratory Birds in a Fragmented Temperate Forest. Ecology 76 : 27-40. Wilcove, D.S. 1985. Nest Predation in Forest Tracts and the Decline of Migratory Songbirds. Ecology 66 : 1211-1214. Wilcove,
94
D.S., C.H. McLellan dan A.P. Dobson. 1986. Habitat Fragmentation in the Temperate Zone. Pp 237-285 in M.E. Soule (ed). Conservation Biology : The Science of Scarcity and Diversity. Sinauer Assoc. Inc., Sunderland, MA.
PRAGMENTASI HUTAN
8 PERPINDAHAN SATWA DALAM LANSKAP
POLA PERGERAKAN
SALTATORY MOVEMENT
HOME RANGE
DISPERSAL
MIGRASI
DAFTAR PUSTAKA
I. POLA PERGERAKAN Suatu
obyek
berpindah
di
antara
dua
titik
menunjukkan
pergerakan sinambung (continuous movement) jika kecepatanya tidak pernah turun sampai nol, tetapi mungkin memiliki kecepatan yang tetap, meningkat signifikan atau melambat.
Teta pi umumnya suatu obyek
menunjukkan pergerakan melompat atau bertahap (saltatory movement), yaitu berhenti sekali atau beberapa kali selama dalam perpindahannya antara dua titik (Forman dan Gordon, 1986). Jika kita memandang aspek spasial dari suatu lanskap, kita temukan bahwa dua pola perpindahan menggambarkan dua tipe utama aliran spesies, energi dan materi. Partikel, gas dan energi panas berpindah secara kontinu melintasi suatu lanskap dalam aliran yang tetap (steady). Banyak
spesies
menunjukkan
perpindahan
yang
sepanjang koridor atau melalui matrix lanskap.
seragam
(uniform)
Perpindahan pada
kecepatan yang relatif konstan cenderung terjadi di areal-areal yang heterogenitasnya rendah. Elemen-elemen lanskap seperti padang rumput,
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
95
hutan atau jalan setapak yang disukai oleh spesies akan membuat perpindahan kontinyu jika heterogen, karena
tidak ada
penghalang
(barrier) atau areal yang tidak cocok yang dapat menurunkan kecepatan organisme yang berpindah (Forman & Gordon, 1986). Percepatan atau perlambatan perpindahan bisa terjadi ketika satu bagian rute relatif homogen dan bagian lainnnya heterogen. Seekor sa twa mulai dari areal heterogen dimana beberapa elemen lanskap tidak cocok atau sulit ditinggali sehingga rata-rata bergerak dengan lambat (walaupun mungkin juga bergerak cepat ketika melintasi tempat berbahaya seperti jalan). Ketika ia memasuki lintasan (tract) yang lebih homogen atau lahan yang cocok ditinggali, ia dapat berpindah melewati lintasan (tract) ratarata dengan lebih cepat (kecuali tract tersebut adalah tujuannya, dimana satwa memperlambat mungkin untuk makan).
Sebaliknya, seekor satwa
memulai di habitat homogen yang disukai seringkali memperlambat ketika menghadapi lahan heterogen dengan patch-patch yang tidak disukai (Forman & Gordon 1986). Pengaruh-pengaruh
dibalik
digambarkan atau diukur lebih tepat.
pola
perpindahan
ini
dapat
Pada level resolusi pertama, kita
dapat mengukur derajat heterogenitas lanskap.
Sebagai tambahan
terhadap ukuran heterogenitas, adalah bermanfaat untuk memperkirakan derajat kontras yang ada di antara elemen-elemen lanskap yaitu bagaimana perbedaan berbagai tipe yang dilewati satwa. dapat dikategorikan pada
suatu skala
Elemen-elemen lanskap
misalnya
dari
1
sampai
10
berdasarkan kemiripannya dengan matrix (Forman & Gordon 1986). Sebuah pendekatan lain dalam memahami pengaruh-pengaruh dibalik pola perpindahan adalah dengan mempertimbangkan peran batas batas (boundaries) antara elemen-elemen lanskap.
Batas (boundaries)
adalah tempat-tempat dimana satwa harus melewati dari satu elemen ke elemen lainnya. Berbeda dengan konektivitas (connectivity) yaitu derajat kemana suatu tipe elemen lanskap tertentu terpisah atau menyambung di dalam lanskap, di sini kita menggunakan konsep yang agak mirip yaitu frekuensi melintasi batas (boundary crossing frequency).
Pada dasarnya
merupakan ukuran dari jumlah boundary per unit panjang dimana suatu obyek melewatinya dalam perpindahannya melintasi lanskap. Satwa yang
96
PRAGMENTASI HUTAN
menghadapi ruang yang lebih heterogen memiliki boundary crossing frequency (BCF)
yang lebih rendah dan mungkin berpindah lebih cepat
melintasi suatu areal.
BCF dapat dikombinasikan dengan ukuran derajat
kontras elemen lanskap untuk memberikan perkiraan yang sangat tepat kecepatan relatif dari satwa melintasi lanskap (Forman & Gordon 1986). Kemudahan mengukur BCF
menjadikannya
digunakan dalam
perencanaan dan manajemen, karena dapat dihitung untuk sejumlah rute alternatif yang mungkin antara dua titik. Dengan cara ini, sebagai contoh, kita dapat langsung membandingkan sebuah garis lurus dengan suatu rute menggunakan koridor dan dengan suatu rute yang menghindarinya.
BCF
menjadi perhatian khusus dalam memahami perpindahan spesies interior, termasuk spesies yang sulit ditemui (secretive) yang melintasi sedikit boundary dan membutuhkan areal yang jauh dari edge (Forman & Gordon 1986).
II. SALTATORY MOVEMENT Suatu obyek dapat berpindah untuk sementara, berhenti dan berpindah lagi.
Selagi ia berpindah melintasi suatu lanskap antara dua
titik, tempat-tempat tertentu sepanjang rute perpindahannya berfungsi sebagai titik pemberhentian bagi obyek tersebut.
Tipe perpindahan ini
disebut saltatory movement (perpindahan melompat) atau dalam hal spesies disebut jump dispersal (pemencaran melompat) (Pielou 1979). Jika hujan deras mengguyur ladang yang dibajak di atas bukit, air mengalir melalui permukaan tanah membawa butiran-butiran partikel (erosi),
membawanya
menuruni
lereng
bukit
mengumpulkannya segera setelah hujan berhenti.
beberapa
jauh
dan
Butiran partikel tetap
tinggal sampai hujan besar berikutnya turun yang akan mengerosi lagi dan membawanya menuruni lereng bukit lebih jauh.
Proses perpindahan dan
penghentian ini terus berlangsung di lereng bukit sampai butiran partikel tertumpuk ke dalam sungai di bawah. Dalam contoh saltatory movement ini, partikel memiliki sedikit interaksi dengan obyek -obyek sepanjang jalur yang dilewatinya tetapi bisa memiliki interaksi yang signifikan pada titik titik
pemberhentian,
misalnya
memberikan
nutrisi
mineral
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
kepada
97
tumbuhan pada titik-titik tersebut atau bisa menghaluskan tanah untuk satwa atau biji.
Dengan demikian nilai penting saltatory movement
terutama terletak pada seringnya interaksi utama antara obyek yang berpindah dengan obyek-obyek pada titik pemberhentian. Pada continuous movement, interaksi seperti ini sedikit, atau setidaknya tersebar sepanjang rute dan tidak terkumpul pada titik-titik (Forman & Gordon 1986). Contoh di atas juga menekankan bagaimana struktur lanskap mempengaruhi aliran. Jika ladang tunggal yang dibajak sangat luas dengan galur vertikal lurus menutupi bukit turun ke arah sungai, hujan besar pertama dapat mengangkut partikel dalam jarak yang jauh, bahkan sampai ke sungai. Di sisi lain, jika petani mengerjakan bajakan sesuai kontur, laju air aliran permukaan dan erosi menjadi lambat, dan butiran tanah tidak berpindah sampai jauh menuruni bukit, atau memiliki tanama n pagar sejajar dengan kontur lereng bukit, butiran partikel berpindah dalam jarak yang lebih pendek setiap kali hujan. Tiga perubahan yang dihasilkan dari heterogenitas tambahan dalam struktur la nskap adalah (Forman dan Gordon 1986): 1. Perubahan partikel dari continuous movement ke saltatory movement. 2. Dengan
bertambahnya
bertambah pula
jumlah
interaksi
antara
pembehentian
sepanjang
rute,
partikel dengan lingkungan di
sepanjang rute, 3. Penurunan laju perpindahan dari bukit ke sungai – sebagai bagian dari bertambahnya boundary yang dilewati – dari beberapa jam, barangkali menjadi beberapa tahun atau bahkan abad. Demikian
juga,
seekor
satwa
berpindah
secara
kontinyu
(continuous movement) melintasi suatu lanskap biasanya memiliki dampak minimal pada lanskap tersebut, sementara pada satwa dengan saltatory movement terdapat banyak interaksi sering terjadi pada pemberhentian. Satwa tersebut mungkin banyak makan dedaunan (browsing) di tempat tersebut, menginjak/merusaknya, memupuknya, bersarang di dalamnya atau dimakan predator di tempat tersebut (Forman and Gordon 1986). Dua
kemungkinan
interaksi
ini
memberikan
dua
pemberhentian penting yang dibuat oleh spesies yang menyebar.
tipe Ketika
individu satwa sampai pada suatu tempat (spot), tinggal untuk periode yang
98
PRAGMENTASI HUTAN
singkat, dan berpindah lagi, tempat tersebut dapat disebut pemberhentian untuk istirahat (rest stop). Sebaliknya, suatu tempat yang dikolonisasi oleh suatu spesies – dimana spesies tersebut datang kemudian tumbuh dan berkembangbiak dengan berhasil – disebut ba tu loncatan (stepping stone) (Kimura & Weiss 1964; MacArthur & Wilson 1967). Pada beberapa kasus, seekor individu mungkin tinggal untuk waktu yang lama pada rest stop tanpa berkembangbiak, misalnya ketika individu mamalia membuat rumah, atau suatu benih tumbuh menjadi tumbuhan dewasa tanpa menghasilkan bunga dan buah. Apa yang penting dari dua tipe pemberhentian ini adalah ketika suatu spesies menggunakan suatu tempat (spot) tertentu sebagai stepping stone, spesies tersebut memperluas distrbusinya sebagai individu yang berkembangbiak. Hal ini memberikan sumber baru untuk penyebaran individu berikutnya. spesies.
Sebaliknya, rest stop hanya lokasi sementara untuk
Penyebaran banyak spesies tumbuhan dari Amerika Selatan ke
utara melintasi Laut Karibia bisa terjadi karena adanya serangkaian pulau sebagai stepping stones.
Suatu penyebaran serupa terjadi melintasi
Samudera Pasifik, karena adanya beberapa stepping stones (Forman dan Gordon, 1986).
III. HOME RANGE Satwa di dalam suatu lanskap berpindah dengan tiga cara – di dalam suatu home range, dalam dispersal, dan dalam migrasi (Swingland and Greenwood, 1983).
Home range seekor satwa adalah suatu areal
sekitar rumahnya (seperti sarang, tempat tinggal atau lubang) yang digunakan untuk mencari makan dan kegiatan harian lainnya.
Umumnya
sepasang satwa dan anak-anak mereka menggunakan suatu home range bersama, walaupun ada beberapa spesies yang berbagi home range dalam kelompok besar.
Territory adalah suatu areal yang dipertahankan dari
masuknya individu lain dari spesies yang sama.
Satwa-satwa memiliki
territory yang dipertahankan, home range mereka biasanya lebh besar, karena
mereka
biasanya
mencari
makan
di
luar
batas
yang
dipertahankannya (Forman dan Gordon, 1986).
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
99
IV. DISPERSAL Dispersal satwa adalah perpindahan satu arah seekor individu dari home range dimana ia dilahirkan ke home range yang baru. Home range baru biasanya jauh dari asalnya, normalnya berjarak beberapa kali dari diameter home range.
Satwa-satwa dewasa muda (sub adult) yang
meninggalkan induknya dan membuat home range sendiri merupakan sebagian besar dari satwa-satwa yang melakukan dispersal, walaupun ada juga beberapa dewasa yang menyebar dengan cara ini. Dispersal bisa juga memperluas distribusi suatu spesies secara keseluruhan.
Sebagai contoh,
vole (sejenis tikus) padang rumput (Microtus pennsylvanicus) memperluas jelajahnya secara cepat ke Illinois tengah (Amerika Serikat) ketika super highway dibangun (Getz et al. 1978). Jelaslah, bahu jalan yang berumput kontinyu sepanjang super highway berfungsi menjadi saluran dispersal. Sebelumnya, dispersal dilakukan melewati koridor berumput dari sisi jalan yang lebih kecil, namun adanya perkampungan menjadi penghalang yang menghambat dispersal (Forman & Gordon 1986).
V. MIGRASI Migrasi adalah siklus perpindahan satwa antar areal yang terpisah yang digunakan selama musim yang berbeda. Spesies yang bermigrasi telah teradaptasi dengan iklim dan kondisi lainnya yang berhubungan dengan perubahan musim dan dengan demikian cenderung untuk menghindari kondisi lingkungan yang tidak disukainya dan menggunakan lingkungan yang disukainya.
Contoh k lasik adalah migrasi sejumlah besar burung -burung
antara wilayah lebih dingin dan lebih hangat dan kelompok besar caribou yang bermigrasi antara tundra dan batas (edge) hutan boreal.
A liran
beberapa kelelawar dan kupu-kupu dari utara ke selatan dan sebaliknya merupakan kasus yang sama menariknya yang disebut latitudinal migration. Migrasi seperti ini umumnya melintasi beberapa atau banyak lanskap (Forman & Gordon 1986). Migrasi vertikal merupakan perpindahan spesies satwa antara elevasi lebih tinggi dan elevasi lebih rendah pada suatu gunung yang umum terjadi untuk menghindari kondisi tidak disukai dan memilih kondisi yang
100
PRAGMENTASI HUTAN
disukai. Sebagai contoh di pegunungan A lpin, Swis, ibex Eropa (Capra ibex L.) mencari makan di vegetasi alpine pada musim panas dan pada musim dingin di padang rumput dengan elevasi yang lebih rendah. Banyak spesies burung di Rocky Mountains berkembang biak di elevasi tinggi pada musi m panas dan di elevasi rendah pada musim dingin. Elk (Cervus canadensis), rusa mule (Odocoileus hemionus) dan herbivora berkuku lainnya pada musim dingin dalam kawanan yang besar berada di areal terbuka dengan elevasi rendah.
Pada awal musim panas kawanan tersebut pecah.
Kelompok-kelompok kecil mengikuti salju mencair sampai melalui beberapa zona hutan ke padang-padang rumput di elevasi tinggi. Pada musim gugur mereka turun lagi ke tempatnya mencari makan waktu musim dingin. Hal yang sama terjadi pada beberapa lanskap pegunungan, domba domestik berkelompok melewati sistem lembah dari elevasi rendah pada musim dingin ke wilayah elevasi tinggi pada musim panas (Forman & Gordon 1986).
Foto: Doc. Hendra Gunawan
Gambar 19. Koridor harus cukup lebar untuk memberikan manfaat positif lebih banyak bagi satwaliar. Koridor riparian yang sempit seperti yang tampak dalam gambar berpeluang menghasilkan dampak negatif bagi satwaliar.
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
101
Beberapa perpindahan satwa musim dingin-musim panas dapat dianggap sebagai transisi antara migrasi dan penjelajahan home range. Home range spesies tertentu menyempit selama musim dingin ketika penjelajahannya
terhalangi
oleh salju.
Padahal,
beberapa
spesies
membutuhkan home range musim dingin yang lebih luas karena distribusi makanan yang jarang.
Pada kedua kasus tersebut, tempat tinggal atau
sarang ada di dalam home range musim dingin dan musim panas. Spesies lainnya berpindah ke habitat berbeda di dalam suatu lanskap pada musim dingin dan panas dengan mudahnya, seperti migrasi vertikal.
Sebagai
contoh di Maine, rusa (Odocoileus virginiana) terkumpul di rawa cedar (Thuja, sejenis konifer yang selalu hijau) selama musim dingin karena rawa ini memberikan persediaan makanan serta melindungi dari predator dan cuaca. Pheasant (sejenis burung buruan) di Texas berpindah dari tekanan basah (playas yaitu daerah datar yang mengering) pada musim panas ke daerah tanaman musim sejuk pada musim semi, dan kemudian ke suatu lajur tanaman campuran, biji kecil, dan tekanan basah di mus im panas dan gugur (Whiteside & Guthery 1983).
DAFTAR PUSTAKA Forman, R.T.T. dan M. Gordon. 1986. Landscape Ecology. John Wiley and Sons. New York. Getz, L.L., R. Cole dan D.L. Gates. 1978. Interstates Roadsides as Dispersal Routes for Microtus Pennsylvanicus. J. Mammal 59 : 208-212. Kimura, M. dan G.H. Weiss. 1964. The Stepping Stone Model of Population Structure and the Decrease of Genetic. Correlation with Distance. Genetics 49 : 561-576. MacArthur, R. H., and E. O. Wilson. 1967. The theory of island biogeography. Princeton University Press, Princeton, New Jersey, USA. Pielou, E.C. 1979. Biogeography. Wiley. New York. Swingland, I.R. dan P.J. Greenwood (eds). 1983. The Ecology of Animal Movement. Clarendon Press. Oxford. Whiteside, R.W. dan F.S. Guthery. 1983. Ring-Necked Pheasant Movement, Home Range, and Habitat Us in Wst Texas. J. Wildlife Management 47 : 1097-1104.
102
PRAGMENTASI HUTAN
9 FRAGMENTASI DAN DINAMIKA METAPOPULASI
Levins (1970) merupakan orang pertama yang menggunakan istilah metapopulasi dan memperkenalkan konsep metapopulasi sebagai suatu populasi yang tersusun atas populasi-populasi lokal yang dianggap akan mati dan dikolonisasi lagi secara lokal. Ia memperkenalkan model matematik untuk menggambarkan metapopulasi: dp/dt = m p (1 - p) - e p , dimana p adalah proporsi (fraksi) pusat-pusat populasi (seperti pulau habitat atau patch), m adalah laju migrasi (kolonisasi), dan e adalah laju dimana populasi lokal menjadi punah. Pada equilibrium p*=1 – e/m. Metapopulasi akan terjadi (yaitu p* > 0) hanya jika e < m. Suatu metapopulasi dapat hidup di suatu wilayah hanya jika laju rata-rata kepunahan lebih kecil dari laju rata-rata migrasi.
Populasi-
populasi lokal terbangun pada patch habitat tertentu yang bisa ditempati atau kosong pada suatu waktu.
Beberapa individu yang menyebar dapat
meninggalkan suatu patch pergi untuk mengkolonisasi suatu elemen kosong atau mengisi kembali (reinforce) suatu populasi kecil.
Populasi-populasi
yang terbentuk di dalam sebuah patch dapat menghilang megikuti kejadian lingkungan
(kebakaran,
(epidemik, penuaan).
pohon
tumbang)
atau
kejadian
Model Levins sangat sederhana.
demografik
Ia memberikan
setiap patch nilai yang sama sebagai sumber individu yang menyebar dan
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
103
memiliki peluang kepunahan yang sama, dan peluang keberhasilan dispersal adalah sama di semua patch (Burel dan Baudry, 2003). Model dan konsep Levins telah menjadi metapopulasi klasik. Yang lebih baru didefinisikan oleh Hanski dan Gilpin (1991), metapopulasi didefinisikan sebagai
sekumpulan
(set)
populasi-populasi
lokal
yang
berinteraksi melalui perpindahan individu antar populasi-populasi tersebut. Hanski
dan
Simberloff
(1997)
mendefinisikan
metapopulasi
sebagai
sekumpulan (set) populasi-populasi lokal di dalam beberapa area yang lebih besar, dimana ditandai migrasi dari satu populasi lokal ke beberapa patch lain yang memungkinkan. Dengan
demikian,
suatu
metapopulasi
minimal
merupakan
sekumpulan populasi-populasi lokal yang relatif terisolasi, terdistribusi secara spasial yang terikat bersama karena peristiwa dispersal antar populasi. Peristiwa dispersal yang jaraknya relatif panjang mungkin tidak sering, tetapi harus terjadi cukup sering untuk memberikan rekolonisasi populasi yang telah mengalami kepunahan lokal.
Metapopulasi regional
menghadapi kepunahan lokal dengan pasti karena dispersal yang cukup antar populasi.
Jika dispersal antar populasi begitu sering
dimana
kepunahan lokal tidak terjadi, konsep metapopulasi tidak diperlukan (berlebihan), dan populasi regional lebih baik dipandang secara s ederhana sebagai sebuah populasi tunggal yang terdistribusi secara spasial (walaupun berkantong-kantong/patchily). Di sisi lain, jika dispersal terlalu jarang dan peluang kepunahan lokal tidak nol, metapopulasi regional tidak dapat berlangsung dan akan punah. Sebuah metapopulasi biasanya dianggap terdiri dari beberapa populasi berbeda bersama dengan areal-areal habitat yang cocok yang saat ini tidak dihuni. Setiap populasi bersiklus dengan relatif bebas dari populasi lainnya dan ak hirnya menjadi punah sebagai akibat stokastiksitas demografi (fluktuasi dalam ukuran populasi akibat kejadian demografik random); populasi yang lebih kecil lebih rentan menghadapi kepunahan. Walaupun populasi-populasi secara sendiri-sendiri memiliki masa hidup terbatas, populasi secara keseluruhan seringkali stabil karena imigrasi dari satu populasi (misalnya, yang mungkin mengalami ledakan populasi) berpeluang merekonlonisasi habitat yang telah ditinggalkan populasi lain
104
PRAGMENTASI HUTAN
karena punah.
Mereka dapat juga emigrasi ke populasi keci l dan
menyelamatkan populasi tersebut dari kepunahan (disebut rescue effect). Gangguan
manusia
pada
lanskap
seringkali
menyebabkan
fragmentasi dan isolasi (insularization) dari habitat satwaliar yang pernah kontinyu. Persamaan antara patcth-patch yang tidak kontinyu dari habitat terfragmetasi dan populasi lokal yang relatif terisolasi
dari suatu
metapopulasi adalah jelas. Paling tidak secara prinsip, dinamika populasi dapat memungkinkan keberadaan spesies regional yang menempati suatu jaringan patch atau pulau habitat yang tidak kontinyu. Tidak mengejutkan bila biologi konservasi telah berpaling ke dinamika metapopulasi sebagai solusi yang mungkin untuk keberlangsungan spesies di lanskap yang terfragmentasi. Meskipun demikian, banyak asumsi yang diberik an untuk kesederhanaan dan kebaikan model k lasik metapopulasi dari Levins (yaitu ukuran dan ruang populasi yang sama) berpeluang terlalu membatasi aplikasi pada spesies tertentu dan lanskap atau wilayah dimana ukuran patch dan jarak antar patch bisa sangat bervariasi. Populasi pulau (insular) saat kini terbentuk oleh fragmentasi habitat mungkin tidak berfungsi sebagai metapopulasi menurut definisi klasik, tetapi mungkin lebih menggambarkan suatu metapopulasi tidak setimbang (non equilibrium). Sesungguhnya, mereka mungkin tidak mengambarkan metapopulasi sama sekali, tetapi lebih sebagai kumpulan populasi terisolasi yang tidak saling berinteraksi. Dalam dinamika metapo pulasi, individu populasi individual bisa menjadi punah, tetapi mereka juga dapat dikolonisasi lagi dari populasipopulasi lain (Gambar 20).
Jika kita membuat populasi-populasi ini
menurun sampai jumlah yang cukup rendah dan tidak ada perpindahan antara populasi-populasi tersebut, maka masalah genetik yang serius bisa terjadi untuk melestarikan spesies. Walaupun sejumlah kecil perpindahan antara populasi akan memelihara keadan genetik agak stabil (Barnes, 2000). Pengembangan teori metapopulasi, dalam hubungannya dengan pengembangan dinamika Source-Sink, menekankan pentingnya konektivitas antara populasi-populasi yang tampaknya terisolasi.
Walaupun tidak ada
populasi tunggal yang dapat menjamin survival jangka panjang dari suatu spesies, pengaruh kombinasi dari banyak populasi dapat melakukan ini.
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
105
Jika tidak ada perpindahan, populasi-populasi tersebut berpeluang untuk punah, tergantung apakah mereka merupakan patch sumber (source) atau patch penerima (sink) dari suatu metapopulasi. Patch-patch sumber akan selalu tetap dalam kondisi lokalnya dan menyumbang individu-individu ke semua patch lain di dalam lanskap. Patch-patch penerima (sink) membiarkan populasi-populasi atau indvidu-individu menjadi punah karena mereka tidak memiliki habitat yang kondusif bagi spesies untuk bertahan. Contohnya seringkali terjadi dengan spesies satwaliar daratan, suatu patch sumber habitat atau populasi akan penuh atau mencapai daya dukungnya sehingga beberapa satwa harus berpindah ke patch sink. Walaupun patch itu mungkin bukan habitat terbaik untuk beberapa spesies, misalnya burung-burung mungkin dapat bersarang dan bertahan di sana (Barnes 2000).
Gambar 20.
106
Metapopulasi adalah suatu populasi sumber (source) dan populasi penerima (sink) (Barnes 2000).
PRAGMENTASI HUTAN
Manfaat lain dari populasi sink adalah jika beberapa kejadian katastropik terjadi di satu patch sink dan memusnahkan anggotanya, patch lainnya
dapat membantu mengisi kembali populasinya
(repopulate).
Dengan demikian, patch-patch sink membantu menstabilkan populasi dari waktu ke waktu. Apa yang terjadi dalam satu patch tidak sama dengan apa yang terjadi dalam patch-patch lainnnya (Barnes 2000). Atribut penting lainnya dari metapopulasi adalah bahwa pada beberapa kasus mereka sebenarnya dapat mencegah spesies dari kepunahan karena patch-patch sumber dan patch-patch sink yang relatif terlindungi dan terisolasi.
Sebagai contoh, jika suatu penyakit di satu patch
memusnahkan semua individu di sana, karena tidak ada konektivitas antar patch, maka tidak ada jalan penyebaran penyakit tersebut ke semua populasi.
Oleh karena itu, konsep metapopulasi memainkan peran yang
sangat penting dalam manajemen satwaliar saat ini. memberikan
gambaran
pentingnya
pemahaman
mengelola satwaliar pada level lanskap.
Sebuah contoh
metapopulasi
ketika
Bobwhite qail (sejenis burung
puyuh) di Amerika Utara masih ada dalam serangkaian metapopulasi. Saat ini, mereka hidup dalam fragment-fragment habitat dengan beberapa perpindahan satwa antar fragment. Kadang-kadang perpindahannya sangat sedikit.
Pada musim dingin 1976 dan 1977 di Kentucky, terjadi musim
dingin yang sangat dingin dengan banyak salju dan es yang mengakibatkan beberapa patch quail kehilangan seluruh populasinya.
Dari waktu ke
waktu, walaupun dengan perpindahan yang sangat sedikit, patch-patch tersebut akhirnya berpopulasi lagi, walaupun memerlukan 20 tahun untuk memulihkan beberapa populasi lokal (Barnes 2000). Dalam kasus-kasus lain, perubahan habitat yang signifikan terjadi sehingga menghambat quail untuk me-repopulasi beberapa areal, dan menyebabkan populasi-populasi tersebut menjadi punah. Dalam kas us ini, metapopulasi
memungkinkan
spesies
untuk
survive
dan
akhirnya
memulihkan populasi-populasi keci l melalui penyebarannya (Barnes 2000). Seringkali ahli biologi membuat keputusan berdasarkan pada level populasi pada saat ini. Tetapi, dengan dinamika metapopulasi, kita harus mempetimbangkan kepunahan dan indikasi dari total areal yang potensial. Seperti pada kasus quail yang memerlukan 20 tahun untuk merestorasi
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
107
beberapa populasi lokal, walaupun masih banyak yang belum terpulihkan dan mungkin tidak akan pernah terpulihkan karena degradasi habitat yang terus berlangsung (Barnes 2000).
DAFTAR PUSTAKA Barnes, T.G. 2000. Landscape Ecology and Ecosystems Management. Cooperative Extension Services, University of Kentuck y, College of Agriculture. UK. http://www.ca.uk y.edu. Diakses Tangal 24 Februari 2007. Burel, F., dan J. Baudry. 2003. Landscape Ecology : Consepts, Methods and Application. Science Publishers, Inc. Enfield (NH), USA. Hanski, I., and D. Simberloff. 1997. The metapopulation approach, its history, conceptual domain, and application to conservation. pp. 5–26. In I. A. Hanski and M. E. Gilpin (eds.), Metapopulation Biology. Academic Press, San Diego, Californina. Hanski, I., and M. Gilpin. 1991. Metapopulation dynamics: brief history and conceptual domain. Biological Journal of the Linnean Society 42:3–16. http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat_fragmentation. Diakses Tanggal 0102-2008. http://www.esd.ornl.gov/programs/SERDP/EcoModels/metapop.html. Diakses Tanggal 06-02-2008. http://en.wikipedia.org/wiki/ Metapopulation . Diakses Tanggal 01-02-2008.
108
PRAGMENTASI HUTAN
10 IMPLIKASI PENGELOLAAN KONSERVASI Dengan
memahami
dinamika
metapopulasi
dapat
membuat
kebijakan pengelolaan konservasi spesies pada level lanskap lebih baik. Seiring kita mengubah patch-patch habitat yang relatif seragam di dalam matrix lanskap, perubahan fisik terjadi dan menciptakan efek pulau (island effect) pada fragment-fragment yang tercipta.
Perubahan-perubahan
tersebut meliputi: (1) penurunan ukuran patch; (2) peningkatan proporsi edge dan (3) perubahan ik lim mikro pa da patch, meliputi peningkatan penyinaran matahari, fluktuasi temperatur yang lebih besar dan terpaan angin yang lebih besar. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat menyebabkan: (1) kepunahan organisme secara lokal; (2) mengurangi dispersal dan rekolonisasi patch-patch habitat; (3) invasi spesies eksotis atau tidak asli; (4) meningkatnya parasitisme sarang atau pemangasaan pada burung; dan (5) menurunnya keanekaragaman spesies satwa interior hutan (Barnes 2000). Walaupun dinamika metapopulasi dan konsep ekologi lanskap rumit dan sulit dipahami oleh orang awam, kita harus berupaya memahami konsep ini karena pentingnya konsep tersebut untuk menentukan keputusan pada level lanskap dan pengelolaan satwaliar (Barnes, 2000). Fragmentasi menjadi
terancam
habitat seringkali atau
dalam
merupakan penyebab spesies
bahaya
kepunahan
(endangered).
Keberadaan habitat yang viable adalah penting untuk survival spesies dan dalam banyak kasus fragmentasi habitat yang tersisa dapat menyulitkan pengambilan keputusan bagi para ahli biologi konservasi.
Sumberdaya
tersedia yang terbatas untuk konservasi, lebih baik untuk melindungi patchpatch habitat terisolasi yang ada atau untuk membeli kembali lahan untuk mendapatkan lahan yang lebih luas dan kontinyu sebanyak mungkin. Satu
solusi
untuk
masalah
fragmentasi
habitat
adalah
menghubungkan fragment-fragment dengan cara menanami koridor dengan
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
109
vegetasi asli. Hal ini potensial untuk mencegah masalah isolasi tetapi tidak mencegah kehilangan habitat interior. Dalam beberapa kasus suatu spesies terancam mungkin mendapatkan keuntungan terlindungi dari penyakit karena tersebar di habitat-habitat yang terisolasi. Upaya pencegahan lainnnya adalah memperluas sisa habitat kecil untuk meningkatkan jumlah habitat interior. Hal ini mungkin tidak dapat dilakukan karena
lahan-lahan terbangun seringkali
lebih mahal dan
membutuhkan waktu dan usaha yang tidak sedikit untuk merestorasi. Solusi terbaik umumnya tergantung pada spesies tertentu atau ekosistem yang sedang menjadi perhatian.
Spesies yang lebih mobile,
seperti burung tidak memerlukan habitat yang tersambung, sementara beberapa satwa yang lebih kecil seperti pengerat mungkin lebih terbuka terhadap pemangsaan di lahan terbuka. Dari pemahaman konsep-konsep terkait dengan
fragmentasi
habitat dan metapopulasi dapat dirangkum seperti disajikan pada Gambar 21 sebagai pertimbangan dalam pengelolaan populasi pada level lanskap dan pengelolaan satwaliar (Barnes 2000).
Gambar 21.
110
Ukuran, bentuk, konfigurasi dan jumlah patch, semua mempengaruhi jumlah habitat interior dalam patch kecil, tunggal, patch-patch persegi memberikan jumlah habitat interior yang kecil dan patch-patch lingkaran besar memberikan habitat interior terbesar (Barnes 2000).
PRAGMENTASI HUTAN
DAFTAR PUSTAKA Barnes, T.G. 2000. Landscape Ecology and Ecosystems Management. Cooperative Extension Services, University of Kentuck y, College of Agriculture. UK. http://www.ca.uk y.edu. Diakses Tangal 24 Februari 2007. http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat_fragmentation. Diakses Tanggal 0102-2008.
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
111
11 STUDI KASUS:
Evaluasi Lanskap Kawasan Merapi – Merbabu Dan Telaah Kemungkinan Sebaran Macan Tutul Di Kantong-Kantong Hutan Yang Terfragmentasi1)
PENDAH ULUAN
METODOLOGI
HASIL DAN PEMBAHASAN
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bentang lanskap Gunung Merapi – Gunung Merbabu merupakan kawasan yang sedang terancam karena terkepung oleh daerah pemukiman dan budidaya yang terus berkembang pesat akibat pertumbuhan penduduk yang tinggi.
Pelan tetapi pasti kedua gunung tersebut seperti dikuliti
vegetasinya dari kaki hingga mendekati puncaknya.
Dalam skala lanskap
kedua gunung tersebut tampak seperti bertelanjang kaki, atau dengan perkataan lain vegetasinya hanya mengumpul di sekitar puncak yang sulit dijangkau sehingga belum dimanfaatkan. Kawasan Merapi – Merbabu dikelilingi oleh beberapa kabupaten yang sedang berkembang cepat seperti Sleman, Magelang, Klaten, Boyolali 1)
Tulisan pada Bab ini merupakan Paper Hendra Gunawan untuk Mata Kuliah Ekologi Lanskap yang diasuh oleh Prof. Dr. Lilik Prasetyo, M.Sc. pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian bogor.
112
PRAGMENTASI HUTAN
dan Semarang.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan perkembangan
pembangunan yang pesat telah menyebabkan ekspansi wilayah sampai ke kaki Gunung Merapi dan Merbabu.
Akibatnya kawasan ini mengalami
kehilangan habitat yang parah dan tingkat fragmentasi yang tinggi. Hal ini tentu saja tidak menguntungkan bagi konservasi keanekaragaman hayati dan perlindunguan sistem penyangga kehidupan yang menjadi peran utama dari kawasan tersebut. Mengingat pentingnya kawasan Merapi – Merbabu sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan dan konservasi keanekaragaman hayati, maka kedua Gunung tersebut telah ditetapkan sebagai taman nasional sejak tahun 2004. TN. Merapi ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor : 134/Menhut-II/2004, tanggal 4 Mei 2004
dengan luas luas ± 6.410 Ha dan TN. Merbabu berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 135/Kpts -II/2004, tanggal 4 Mei 2004 dengan luas ± 5.725 hektar. Kawasan Merapi – Merbabu, dari tahun ke tahun terus mengalami perubahan struktur, komposisi dan konfigurasi lanskapnya akibat adanya gangguan dan perkembangan pembangunan yang tidak dapat dihindarkan. Untuk mengetahui kondisi lanskap secara statistik, perlu dilakukan evaluasi atau analisis spasial dari citra landsat. B. Tujuan Kajian ini bertujuan un tuk mengevaluasi kondisi lanskap kawasan Merapi-Merbabu pada tahun 2005 dan memprediksi kemungkinan sebaran populasi macan tutul berdasarkan syarat kecukupan luas dan tipe vegetasi di kantong-kantong habitat (habitat patches) yang ada.
II. METODOLOGI A. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan adalah seperangkat komputer (laptop) dan printer.
Software yang digunakan adalah ERDAS Imagine 8.5 dan
ArcView GIS 3.2. Bahan yang digunakan adalah citra landsat TM
(tahun
2005), band 3, 4 dan 5 yaitu:
L7G120065_06520050509_B30.TIF
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
113
L7G120065_06520050509_B40.TIF
L7G120065_06520050509_B50.TIF
untuk wilayah Jawa Tengah yang di dalamnya mencakup kawasan Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, yang akan dijadikan Area Of Interest (AOI). Panduan yang digunakan adalah ERDAS IMAGINE Tour Guides dari ERDAS Inc. Atlanta, Gorgia (1997). B. Metod e 1. Analisis Citra Untuk kepentingan interpretasi citra, band combination yang digunakan adalah 5-4-3.
Penutupan lahan (land cover) diklasifikasikan
menjadi delapan kelas yaitu : (1) hutan primer; (2) hutan sekunder; (3) kebun; (4) lahan terbuka; (5) lahar; (6) pemukiman (7) sawah dan (8) sungai. Areal yang akan dikaji dipilih menjadi Area Of Interest (AOI) yaitu kawasan lanskap Gunung Merapi–Gunung Merbabu.
AOI ini kemudian
diklasifikasikan tipe penutupan lahannya (land cover). Klasifikasi dilakukan secara unsupervised dan bertahap dari 90 kelas pada tahap pertama direklaifikasi lagi sampai akhirnya menjadi 8 kelas.
Hasil klasifikasi
diekspor ke shape file untuk kemudian dilakukan opearasi spasial dengan program ArcView GIS.
Secara skematis tahapan prosedur kajian ini
disajikan pada Gambar 22. 2. Evaluasi Lanskap Untuk mengetahui struktur lanskap dilakukan analisis patch dengan extension Patch Analyst yang ada dalam program ArcView GIS. Analisis dilakukan pada skala lanskap dan skala kelas. 3. Analisis Spasial Dari literatur diketahui bahwa macan tutul dapat hidup di berbagai ketinggian dan di berbagai tipe hutan. Oleh karena itu, yang akan dijadikan persyaratan dalam analisis spasial ini hanyalah tipe vegetasi, dimana yang diangap cocok untuk habitat macan tutul adalah hutan primer dan hutan sekunder.
114
Sementara ketinggian tidak dijadikan penentu karena macan
PRAGMENTASI HUTAN
tutul masih dapat hidup sampai ketinggian 6.700 m dpl, sementara Gunung Merapi hanya 2.911 m dpl dan Gunung Merbabu 3.142 m dpl. Dalam analisis spasial ingin diketahui patch dengan tutupan lahan hutan primer dan hutan sekunder dengan luas 1.000 hektar atau lebih sebagai persyaratan habitat macan tutul.
Dengan tutupan lahan berupa
hutan primer dan luas minimal 1000 hektar, diduga macan tutul dapat hidup di dalam patch tersebut.
Untuk itu dilakukan query dengan query
builder. CITRA LANDSAT TM
ERDAS IMAGINE 8.5 Image Pre Processing Georeference Subset/AOI
Band Combination 5–4–3 Unsupervised Classification Peta Tipe Penutupan Lahan Export ke Arcview GIS 3.2 Convert ke Gr id
Extension Patch Analyst Evaluasi Lanskap
Query Builder Hutan Primer ≥ 2000 Ha Peluang Okupansi Macan Tutul
Gambar 22.
Tahapan prosedur kajian evaluasi lanskap dan ana lisis spasial.
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
115
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Klasifikasi Penutupan Lahan Hasil klasifikasi terhadap
Area
of
penutupan
Interest
lahan
(AOI)
dengan cara
seluas
73.620,83
unsupervised hektar
dapat
dikelompokkan dalam delapan kelas dengan luas masing-masing kelas sepeti disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi pentutupan lahan AOI Kawasan Merapi-Merbabu. Kelas Penutupan Lahan
Jumlah Lokasi
Total Luas (Ha)
Persentase
1. Hutan Primer
2,611
8,298.83
11.27
2. Hutan Sekunder
1,542
1,658.52
2.25
3. Kebun
5,219
45,438.78
61.72
4. Lahan Terbuka
1,872
1,673.41
2.27
5. Lahar (Merapi)
73
494.70
0.67
6. Pemukim an
6,727
12,587.94
17.10
7. Saw ah
3,942
2,819.52
3.83
8. Sungai Jumlah
413
649.14
0.88
22,399
73,620.83
100.00
Dari Tabel 3 tampak bahwa hutan primer yang tersisa di kawasan Merapi – Merbabu hanya 11,27 %. Lanskap secara umum telah didominasi oleh kebun (61,72%). Luas pemukiman di kawasan tersebut baru mencapai 17,10% yang tersebar terutama di kaki-kaki gunung. Sawah tidak terlalu signifkan, hanya 3,83% dari total luas dan umumnya ters ebar di kaki-kaki kedua gunung tersebut. Dalam citra satelit ini juga tampak adanya lahar di puncak merapi dengan luas 494,70 hektar (lihat peta pada lampiran). B. Evaluasi Lanskap Paramater-parameter struktur lanskap AOI dalam skala lanskap disajikan pada Tabel 4. Dari Tabel 4 terlihat bahwa bentang lanskap AOI Merapi – Merbabu dengan luas 73.618,92 hektar terdiri dari 22.399 patches dengan ukuran rata-rata 3,29 hektar/patch dan standar deviasi 256,57. Total edge 13.097.558,52 meter dengan rata-rata edge setiap patch 584,74 meter/patch dan kerapatan edge 177,91 meter/hektar.
116
PRAGMENTASI HUTAN
Tabel 4. Hasil patch analyses pada skala lanskap kawasan Merapi- Merbabu. TLA
NumP
MPS
MedPS
PSCoV
PSSD
TE
ED
73,618.92
22,399.00
3.29
0.1972
7,806.28
256.57
13,097,558.52
177.91
MPE
MSI
AWMSI
584.74
1.3357
CA 73,618.92
25.0335
MPAR
MPFD
1,062.61
1.3966
AWMPFD
SDI
1.4468
SEI
1.5790
0.7593
Indeks bentuk rata-rata (Mean Shape Index) pada skala lanskap ini adalah 1,3357.
Indeks bentuk ideal adalah 1 untuk yang berbentuk
lingkaran sempurna (McGarigal & Marks 1995).
Hal ini berarti, semakin
tinggi nilai indeks bentuk maka semakin banyak memiliki edge dan hal ini dapat berarti semakin tidak baik dipandang dalam konteks konservasi keanekaragaman hayati. Indeks Shannon untuk keanekaragaman patch (Shannon’s Diversity Index) pada lanskap Merapi – Merbabu adalah 1,5790. Nilai terendah adalah 0 jika hanya ada satu patch dalam lanskap, nilai ini semakin besar dengan semakin banyaknya tipe patch atau meningkat secara proporsional dengan distribusi patch (McGarigal & Marks 1995). keseragaman
Indeks Shanon untuk
patch (Shannon’s Evennes Index) adalah 0,7593.
Indeks
keseragaman mendekati nol jika distribusi patch rendah dan mendekati satu jika distribusi patch semakin tinggi (McGarigal & Marks 1995). Untuk kasus ini, baik nilai indeks keanekaragaman maupun indeks keseragaman termasuk sedang. Parameter-paremeter struktur lanskap kawasan Merapi – Merbabu pada skala kelas disajikan pada Tabel 5 Tabel 5. Hasil patch analyses skala kelas kawasan Merapi – Merbabu. Class
CA
NumP
MPS
MedPS
PSCoV
PSSD
2034.0509
255.07803
18242. 48
1330783.1
87063. 119
900
6080.1411
5293560.5
5141951.7
18711. 774
2900.5908
559.25734
104646.97
3579670.7
1872
8938.4709
2700
646.68564
57803. 808
647774.29
6491018.9
413
15716. 753
2781.6902
890.84809
140012.39
192236.24
82985824
2611
31783. 157
1800
2007.1677
637941.27
1551770.7
Hutan Sekunder
16584 002
1542
10754. 865
2467.5327
687.82708
73974. 876
610193.86
Lahar
4946920.7
73
67766. 037
1228.8443
785.0915
532025.4
43177. 901
Sawah
28192101
3942
7151.7251
Kebun
454382416
5219
Pemukiman
125874100
6727
Lahan Terbuk a
16732817
Sungai Hutan Primer
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
TE
117
Class
ED
MPE
MSI
AWMSI
MPAR
MPFD
AWMPFD
Sawah
0.0018077
337.59084
1.1753858
1.5932474
0.1064781
1.0358913
1.0753844
Kebun
0.0069846
985.23696
1.1743595
33.639594
0.1188159
1.0333634
1.338805
Pemukiman
0.0048624
532.13479
1.2044895
2.4834018
0.097942
1.0377723
1.109076
Lahan Terbuk a
0.0008799
346.03328
1.15755
2.0174635
0.1016752
1.0329523
1.0920544
Sungai
0.0002611
465.46305
1.1800859
3.5735501
0.0991964
1.0345259
1.1488919
Hutan Primer
0.0021078
594.32046
1.1835092
6.9835049
0.1082887
1.0345488
1.2068266
Hutan Sekunder
0.0008289
395.71586
1.1789416
2.4164773
0.1027523
1.0354675
1.1118753
Lahar
5.865E -05
591.47809
1.1814022
2.6891076
0.1225719
1.0381473
1.1282568
1. Class Area Class
area
Komposisi Luas Setiap Kelas Penutupan Lahan Di Kawasan Lanskap Merapi - Merbabu
(CA)
menunjukkan luas masingmasing kelas penutupan lahan Tabel
disajikan 3,
komposisinya
Hutan Primer Sungai 11%
pada
sedangkan dapat
Hutan Sekunder 2%
Lahar 1%
Sawah 4%
1% Lahan Terbuka 2%
di-
lihat pada Gambar 23.
Pemukiman 17%
Kebun 62%
Gambar 23. Komposisi luas setiap kelas penutupan lahan di kawasan lanskap Merapi Merbabu. Dari Gambar 23, tampak bahwa kawasan lanskap Merapi – Merbabu sudah didominasi oleh kebun (62%) dan pemukiman (17%). Sementara hutan primer yang tersisa tinggal 11%. Dari segi konservasi, tampaknya kawasan ekosistem Merapi – Merbabu sedang mengalami tekanan yang sangat berat. Akibatnya kawasan budidaya berkembang pesat dan kawasan lindung mungkin akan terus menurun.
Pada kondisi seperti ini, penataan ruang
perlu menjadi perhatian, mengingat kawasan Merapi–Merbabu merupakan kawasan yang memiliki fungsi lindung, ter utama sebagai daerah tangkapan air dan dikelilingi oleh kota-kota penting yang setiap saat dapat terancam banjir, tanah longsor dan kekeringan.
118
PRAGMENTASI HUTAN
2. Number of Patch Dari Gambar 24 tampak bahwa kelas pen utupan (penggunaan) lahan berupa pemukiman memiliki jumlah patches atau Number of Patches (NumP) terbanyak yaitu 6.727 (30,03%), disusul oleh kebun 5.219 patches (23,30%) dan sawah 3942 patches (17,60%).
Hutan primer dengan luas
8,298.83 hektar tersebar dalam 2.611 patches atau rata-rata luas setiap patches hanya 3,18 hektar. Hal ini merupakan indikator yang buruk bagi kepentingan konservasi keanekaragaman hayati maupun sebagai tempat perlindungan satwaliar. Lahan terbuka walaupun hanya menempati 2.27% wilayah namun memiliki jumlah
patches yang
cukup besar yaitu 1.872.
Hal ini
mengindikasikan banyaknya okupasi hutan yang dilakukan secara sporadis, hal ini pula yang mungkin menjadi salah
Number of Patches 8000
satu
penyebab
6000
menjadi
Jumlah Patch
primer
7000
hutan
terfragmentasi dan
memiliki
jumlah
5000 4000 3000 2000
patches
1000
yang relatif tinggi
0
dibandingkan
Series1
Sawah
Kebun
Pemukiman
Lahan Terbuka
Sungai
Hutan Primer
Hutan Sekunder
Lahar
3942
5219
6727
1872
413
2611
1542
73
Kelas Penggunaan Lahan
luasnya.
Gambar 24. Jumlah patch setiap kelas penutupan lahan. 3. Mean Patch Size Dari Gambar 25 terlihat jelas bahwa luas rata-rata patch atau Mean Patch Size (MPS) yang terbesar adalah kebun yaitu 8,71 hektar.
Lahar
merapi juga terkumpul dalam patch dengan luas rata-rata 6,78 hektar. Hutan primer dan hutan sekunder terpecah dalam patches dengan rata-rata luas masing-masing 3,18 hektar dan1,08 hektar. Ukuran patches hutan yang kecil-kecil ini kurang baik untuk konservasi keanekaragaman hayati, khususnya satwaliar, karena satwa liar memerlukan luasan minimum untuk areal jelajahnya (home range) agar bertahan hidup.
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
119
Mean Patch Size 10.00
Hektar
8.00 6.00 4.00 2.00 0.00
Series1
Sawah
Kebun
Pemukiman
Lahan Terbuka
Sungai
Hutan Primer
Hutan Sekunder
Lahar
0.72
8.71
1.87
0.89
1.57
3.18
1.08
6.78
Kelas
Gambar 25. Luas patch rata-rata setiap kelas penutupan lahan. 4. Total Edge Total Edge (TE) atau keliling dari patch yang terpanjang adalah pada kelas penutupan lahan kebun yaitu 5.142 km, diikuti oleh pemukiman 3.142 km dan hutan primer 1.552 km.
Semakin panjang edge dapat
menjadi indikasi bentuk patch yang semakin tidak beraturan (kompleks) dan jumlah patch yang semakin banyak (Gambar 26).
Total Edge 6,000 5,000 Km
4,000 3,000 2,000 1,000 0
Series1
Sawah
Kebun
Pemukiman
Lahan Terbuka
Sungai
Hutan Primer
Hutan Sekunder
Lahar
1,331
5,142
3,580
648
192
1,552
610
43
Kelas
Gambar 26. Total edge setiap kelas penutupan lahan.
120
PRAGMENTASI HUTAN
5. Edge Density Edge density (ED) adalah jumlah edge relatif terhadap luas lanskap. Edge density terbesar pada AOI lanskap Merapi – Merbabu adalah kebun yaitu 69,85 meter/hektar, disusul oleh pemukiman 48,62 meter/hektar dan hutan primer 21,08 meter/hektar. indikasi tidak
semakin
baik
untuk
Edge Density
habitat satwa yang
80.00
terhadap
edge (Gambar 27).
60.00 Per Ha
sensitif
Semakin tinggi edge density menjadi
40.00 20.00
Gambar 27. Edge density setiap kelas penutupan lahan.
0.00
Series1
Sawah
Kebun
Pemukiman
Lahan Terbuka
Sungai
Hutan Primer
Hutan Sekunder
Lahar
18.08
69.85
48.62
8.80
2.61
21.08
8.29
0.59
Kelas
6. Mean Patch Edge Mean patch edge (MPE) adalah jumlah rata edge per patch. Pada AOI lanskap Merapi – Merbabu, nilai MPE tertinggi adalah kebun dengan 985,24 meter/ patch. Hutan primer juga memiliki MPE yang relatif tinggi dibandingkan kelas penutupan lahan lain, yaitu 594,32 mater/ patch dibandingkan dengan
sawah,
pemukiman,
lahan terbuka dan hutan
sekunder (Gambar 28). Mean Patch Edge 1200.00 Meter/Patch
1000.00
Gambar 28. Mean patch edge setiap kelas penutupan lahan.
800.00 600.00 400.00 200.00 0.00
Series1
Sawah
Kebun
Pemukiman
Lahan Terbuka
Sungai
Hutan Primer
Hutan Sekunder
Lahar
337.59
985.24
532.13
346.03
465.46
594.32
395.72
591.48
Kelas
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
121
7. Mean Shape I ndex Mean shape index (MSI) menggambaran kompleksitas bentuk patch. Tingkat kompleksitas
bersifat relatif
dibandingkan terhadap bentuk
lingkaran atau bujur sangkar. Nilai MSI lebih dari 1, nilai MSI sama dengan 1 ketika semua patches berbentuk lingkaran atau bujur sangkar (MacGarigal and Marks, 1995). Nilai MSI diperoleh dengan membagi jumlah keliling setiap patches dengan akar kuadrat dari luas patch (hektar) dan disesuaikan untuk standar lingkaran (poligon) atau bujur sangkar (grid), dibagi dengan jumlah patches (MacGarigal and Marks, 1995). Hal ini berarti semakin tinggi nilai MSI suatu kelas penutupan lahan maka semakin kompleks bentuk -bentuk patches-nya dan semakin besar juga edge-nya.
Hal ini untuk satwa-satwa yang tidak
menyukai edge dapat berakibat buruk karena mengurangi luas habitatnya.
Mean Shape Index 1.2200
Index
1.2000 1.1800 1.1600 1.1400 1.1200
Series1
Sawah
Kebun
Pemukiman
Lahan Terbuka
Sungai
Hutan Primer
Hutan Sekunder
Lahar
1.1754
1.1744
1.2045
1.1576
1.1801
1.1835
1.1789
1.1814
Kelas
Gambar 29. Mean shape index setiap kelas penutupan lahan. 8. Mean Patch Fractal Dimension Mean Patch Fractal Dimension (MPFD) juga merupakan ukuran kompleksitas bentuk patch.
Nilai MPFD mendekati satu untuk b entuk
dengan keliling (perimeter) sederhana dan mendekati dua jika bentuknya lebih kompleks (MacGarigal and Marks, 1995).
122
PRAGMENTASI HUTAN
Mean Patch Fractal Dimension 1.0400 1.0380 1.0360 1.0340 1.0320 1.0300
Series1
Sawah
Kebun
Pemukiman
Lahan Terbuka
Sungai
Hutan Primer
Hutan Sekunder
Lahar
1.0359
1.0334
1.0378
1.0330
1.0345
1.0345
1.0355
1.0381
Kelas
Gambar 30.
Mean patch fractal dimension untuk setiap kelas penutupan lahan.
Untuk studi kasus ini, kompleksitas bentuk patches tertinggi dimiliki oleh patch lahar Gunung Merapi dengan nilai MPFD 1,0381 disusul oleh pemukiman dengan nilai 1,0378, sawah 1,0359 dan hutan sekunder 1,0355. Secara umum nilai MPFD pada lanskap Merapi – Merbabu ini lebih mendekati nilai satu, yang berarti lebih dekat ke bentuk sederhana. C. Potensi S ebaran Habitat Macan Tutul Dari hasil query diperoleh hanya ada dua lokasi yang memenuhi syarat sebagai habitat macan tutul (Gambar 11), masing -masing dengan luas 1.784,039 hektar dan 2.690,736 hektar yang bera da di sekitar puncak Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Keduanya merupakan hutan primer, sementara hutan sekundernya tidak ada yang memenuhi syarat luas minimal.
Namun karena hutan sekunder yang berada di Gunung Merapi
(warna hijau muda) berada bersambungan dengan hutan primer maka, secara bersama-sama dengan hutan primer dapat berfungsi sebagai habitat macan tutul. Berdasarkan Tabel 3 dan Tabel 5 tampak bahwa ada 2.611 patches hutan primer dan 1.542 patches hutan sekunder, masing-masing dengan luas patches rata-rata 3,18 ha untuk hutan primer dan 1,08 untuk hutan sekunder.
Total hutan primer sendiri hanya 8.298,83 hektar, sementara
hutan sekunder 1.658,5 hektar, sehingga areal berhutan di lanskap Merapi
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
123
Merbabu pada tahun 2005 (saat pengambi lan citra) hanyalah 9.957,35 hektar. Ukuran home range macan tutul sangat bervariasi dan sangat tergantung pada ketersediaan jumlah dan penyebaran satwa mangsa (IUCN The World Conservation Union
1996).
Ukuran home range macan tutul
2
rata-rata berkisar antara 30 – 78km (jantan) dan 23 – 33 km2 (betina) di kawasan yang dilindungi (Bailey 1993). Tetapi home range mungkin jauh lebih besar ketika ketersediaan makanan berkurang dan kepadatan macan tutul rendah. Di Taman Nasional Royal Chitwan, Nepal, jumlah ungulata per kilometer persegi sangat tinggi, macan tutul betina menjelajahai wilayah antara 6 – 13 km2. Di Taman Nasional Serengeti dan Tsavo, Afrika Timur, teritori mereka berkisar antara 11 – 121 km2.
Tetapi di Pegunungan
Stellenbosch, Afrika Selatan, di Kalahari dan di Pegunungan Sikhote A lin, Rusia Timur, macan tutul jantan berburu di teritori yang kadang -kadang lebih dari 400 km 2 (IUCN - The World Conservation Union, 1996). Berdasarkan informasi home range dan bukti bahwa di Cagar A lam Pulau Sempu (Kabupaten Malang) dengan luas 877 ha ditemukan macan kumbang (Surabaya Post Hot News, Selasa, 17/09/1996), maka pada studi ini, diasumsikan seekor macan tutul memiliki daerah jelajah antara 600 – 1.000 hektar.
Dengan demikian kawasan ekosistem Gunung Merapi –
Gunung Mebabu tersebut hanya mampu mendukung 10 - 17 ekor macan tutul. Jika dilihat dari Gambar 31, tampak bahwa kecil kemungkinan masih adanya pertukaran genetik antara populasi macan tutul di Gunung Merapi dan populasi macan tutul di Gunung Merbabu. Hal ini disebabkan tidak adanya konektivitas berupa koridor yang menghubungkan kedua populasi tersebut.
Bila diperhatikan dengan seksama, hutan primer yang
tampaknya sebelumnya pernah menyatu antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, kini sudah terpecah-pecah dan terpotong oleh pemukiman dan kebun.
Pemukiman dan kebun ini merupakan barrier bagi pergerakan
macan tutul antar kedua populasi.
124
PRAGMENTASI HUTAN
G. Merbabu
G. Merapi
Gambar 31.
Lokasi dugaan habitat macan tutul terpilih (warna kuning) hasil query.
Meskipun demikian, masih ada harapan untuk membuat koridor antara Gunung Merapi dan Merbabu.
Kemungkinan koridor dapat dibuat
dengan merekonstruksi tutupan hutan melalui tepi sungai yang saling bertemu dari Gunung Merapi dan dari Gunung Merbabu atau melalui jarak terdekat melalui kawasan Selo (sela antara G. Merapi dan G. Merbabu) (Gambar 31). Tanpa adanya koridor, bila macan tutul dari Gunung Merapi akan menjelajah ke Gunung Merbabu, maka harus melewati kebun dan pemukiman.
Hal ini dapat membahayakan macan tutul itu sendiri dan
masyarakat.
Dengan kondisi habitat macan tutul (hutan) yang dikepung
oleh pemukiman dan kebun, dikhawatirkan akan sering terjadi konflik
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
125
antara macan tutul dan masyarakat.
Hal ini bisa terjadi jika di habitat
alaminya (hutan) kekurangan persediaan satwa mangsa, maka m acan tutul dikhawatirkan akan masuk ke kampung dan memangsa hewan ternak dan bila bertemu dengan manusia bisa melukai manusia atau manusia yang membantai macan tutul. Kondisi
kawasan
lanskap
Merapi-Merbabu
dengan
struktur,
komposisi dan konfigurasi lanskap seperti saat ini, tampaknya kurang menguntungkan bagi kepentingan konservasi keanekaragaman hayati, khususnya satwa langka dengan home range luas seperti macan tutul. Fragmentasi habitat dan habitat loss telah membatasi pergerakan macan tutul dan menurunkan kualitas habitatnya sehingga dapat mengancam kelestariannya. Upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mengindari kehancuran ekosistem Merapi – Merbabu dan kepunahan berbagai jenis spesies langka antara lain dapat dilakukan dengan : 1. Segera menetapkan kawasan-kawasan hutan negara yang memiliki fungsi lindung hidrologi dan konservasi keanekaragaman hayati sebagai kawasan konservasi. 2. Melakukan restorasi ekosistem hutan, terutama di sepanjang kawasan penghubung antara Merapi dan Merbabu. 3. Menghentikan
okupasi
hutan
yang
dilakukan
secara
ilegal
dan
merehabilitasi kawasan hutan yang rusak serta melakukan revegetasi lahan-lahan terbuka di kawasan hutan negara. 4. Meninjau kembali rencana tata ruang wilayah regional, khususnya yang menyangkut wilayah penyangga kehidupa n di bentang lanskap Merapi – Merbabu. 5. Melakukan
perluasan
habitat
dengan
membangun
daerah-daerah
penyangga di sekitar kawasan konservasi Taman Nasional Merapi dan Taman Nasional Merbabu.
126
PRAGMENTASI HUTAN
IV. SIMPULAN DAN SARAN 1. Kawasan Merapi – Merbabu sedang mengalami tekanan perubahan struktur, komposisi dan konfigurasi lanskap. 2. Parameter-parameter lanskap hasil patch analyses menunjukkan kondisi yang
kurang
menguntungkan
bagi
kepentingan
konservasi
keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. 3. Kawasan berhutan yang tersisa tinggal 13,52% (9.957,35 hektar) dari sekitar total lanskap seluas 73.620,83 hektar. Kebun dan pemukiman sudah mendominasi lanskap ini, masing-masing dengan penutupan lahan 61,72% dan 17,10%. 4. Tingkat fragmentasi dan isolasi hutan juga tinggi yang ditunjukkan oleh banyaknya patches hutan yaitu 2.611 untuk hutan primer dari luasnya 8.298,83 hektar dan 1.542 patches untuk hutan sekunder dari luasnya 1.658,52 hektar. 5. Peluang keberadaan macan tutul (Panthera pardus melas) di lanskap Merapi – Merbabu hanya berada di dua lokasi yaitu di sekitar puncak kedua gunung tersebut dengan luas total 8.298,83 hektar hutan primer. Bila ditambah dengan hutan sekunder 1.658,5 hektar maka luasnya menjadi 9.957,35 hektar. 6. Dengan asumsi home range seekor macan tutul berkisar 600 – 1.000 hektar maka kawasan tersebut diperkirakan hanya mampu mendukung populasi 10 – 17 ekor. 7. Untuk mencegah kehancuran ekosistem Merapi – Merbabu lebih parah, perlu segera dilakukan peninjauan dan pembenahan rencana tata ruang regional dan penetapan kawasan-kawasan hutan negara menjadi kawasan konservasi sebagai perluasan TN Merapi dan TN Merbabu. 8. Ekspansi wilayah pemukiman dan budidaya dengan mengokupasi hutan perlu segera dihentikan dan kawasan hutan yang sudah terlanjur rusak perlu segera direstorasi.
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan
127
DAFTAR PUSTAKA http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2002/Friedm an/socialsystem.html. Diakses Tanggal 4 Mei 2007. IUCN - The World Conservation Union. 1996. Leopard Panthera pardus Linnaeus 1758. IUCN - The World Conservation Union. McGarigal, K., and B. J. Marks. 1995. Fragstats: spatial pattern analysis program for quantifying landscape structure. U.S. Forest Service General Technical Report PNW-GTR-351. Surabaya Post Hot News, Selasa, 17/09/1996. Perburuan Liar Ancam Kelestarian Pulau Sempu dan Satwa Langka. http://www.wp.com/64257/170996/05sempu.htm. Diakses 01-022007.
128
PRAGMENTASI HUTAN