ISBN : 978-602-98841-0-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Disusun Oleh : Panitia Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia 2010
Diterbitkan Oleh : Ikatan Surveyor Indonesia Komisariat Wilayah Riau Prosiding
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
KATA PENGANTAR Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development adalah proses pembangunan yang berprinsip pada pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Intensitas pembangunan dewasa ini kerapkali mengesampingkan aspek kelestarian lingkungan dalam pelaksanaannya. Kerusakan hutan akibat pembalakan, kegiatan penambangan, atau untuk keperluan pertanian dan perkebunan bukan hanya menjadi masalah bagi Indonesia, tetapi juga menjadi isu internasional saat ini. Selain isu di atas, Indonesia juga termasuk kawasan dengan tingkat rawan bencana alam yang cukup tinggi dan bervariasi dari mulai banjir, longsor, kebakaran hutan dllsb. Posisi indonesia yang diapit oleh lempeng geologi yang dinamis mengakibatkan kawasan Indonesia memiliki tingkat resiko bencana gunung api, kegempaan, dan tsunami yang juga cukup tinggi. Penyebarluasan informasi mitigasi bencana yang akurat dan cepat akan sangat membantu meminimalisasi dampak bencana-bencana tersebut. Pada masa pemerintahan sentralistis, pemerintah daerah tidak memiliki peran besar dan juga tidak pernah mendapatkan keuntungan yang besar atas segala potensi yang ada di wilayahnya. Kondisi tersebut kemudian berubah drastis ketika era otonomi daerah mulai diberlakukan. Pemerintah daerah terutama kabupaten berpeluang untuk memperolah bagian atas kekayaan alam yang ada di daerahnya, sehingga mulai muncul saling klaim atas kawasan yang sama antara wilayah yang saling berbatasan dan rawan terjadinya konflik perbatasan. Disinilah penetapan batas wilayah menjadi penting sekali ditinjau dari berbagai aspek baik dari segi ekonom, sosial, maupun keamanan dalam negeri. Masalah-masalah tersebut di atas akan dapat diselesaikan secara efektif dan efisien, antara lain apabila ketersediaan dan pendayagunaan data geospasial (d/h peta) sudah terintegrasi di dalam tatakelola pemerintahan dan pengembangan lainnya. Peta tidak hanya dapat difungsikan sebagai tool untuk memudahkan proses komunikasi antara stakeholder terkait, namun lebih dari itu, peta dapat difungsikan untuk menunjang proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan penentuan kebijakan. Sayangnya, selama ini peta masih banyak diposisikan sebagai output proses saja dan belum dioptimalkan menjadi piranti pendukung perencanaan dan pengambilan keputusan untuk merespon permasalahan yang cukup kompleks. Forum Ilmiah Tahunan (FIT) Ikatan Surveyor Indonesia (ISI) merupakan forum tahunan yang mempublikasikan karya ilmiah serta tekonologi terbaru dibidang Informasi Geospasial dan Geomatika yang mempertemukan para surveyor, pengusaha, peneliti, praktisi, serta pengguna peta dan informasi geospasial di baik di level pemerintahan maupun swasta. Pada Tahun 2010 ini FIT ISI dirangkaikan dengan kegiatan seminar nasional dan workshop yang diselenggarakan oleh ISI Komisariat Wilayah Riau. Dan salah satu hasil dari FIT ISI 2010 ini adalah Buku Prosiding. Prosiding ini disusun dari sejumlah makalah yang disampaikan pada acara Forum Ilmiah Tahunan (FIT) Tahunan 2010 dengan mengambil tema “Optimalisasi Penggunaan Informasi Geospasial Dalam Perencanaan Pembangunan Nasional Untuk Peningkatan Kinerja Pembangunan Perekonomian Daerah Yang Berwawasan Lingkungan” yang diselenggarakan di Pekanbaru - Riau pada tanggal 10-11 Nopember 2010. Acara ini terselenggara atas kerjasama antara Ikatan Surveyor Indonesia (ISI) dengan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Selain itu sejumlah seponsor terutama dari beberapa perusahaan survey & pemetaan dan sejumlah vendor peralatan dan perangkat lunak terkait dengan Geodesi & Geomatika ikut juga berpartisipasi untuk mensukseskan acara FIT ISI 2010 ini.
Pekanbaru, Nopember 2010 Editor Prosiding
Page i
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................i DAFTAR ISI.....................................................................................................ii 1. Penyediaan Tanah untuk Pemukiman di Kab. Kendal Studi Kasus Pengkaplingan Tanah Kel. Langenharjo Oleh Irawan Sumarto, Priyono Nugroho, Aryono Prihandito……………………… A
2. SWEPOS, Sebuah Contoh Manajemen GPS CORS di Swedia Oleh Zamilul Muttaqien ………………………………………………………...… B
3. Metode Agregasi Sistem GRID Emisi Gas Rumah Kaca Untuk Kota Bandung Oleh Intan Sofiyanti, Ahmad Riqqi, R. Driejana..……………..……………………..C
4. Permodelan Prediksi Lokasi Tutupan Lahan Berbasis Proyeksi Alokasi Tutupan Lahan Metode MARKOV ( Wilayah Bandung) Oleh R. Akbar Muttaqin, Albertus Deliar, Agung Budi Harto ………………….….. D
5. Kajian Akurasi Geometrik Citra SPOT Hasil Orthorektifikasi dengan Titik Kontrol Hasil Triangulasi Citra Satelit Oleh Sarif Hidayat, Agung Budi Harto, Saptomo Handoro Mertotaruno …...…….... E
6. Penerapan Teknis Differential Interferometric Synthetic Aperture Radar (DlnSAR) untuk Kajian Pemantauan dan Pengukuran Penurunan Muka Tanah (Studi Kasus : Lembang Bandung) Oleh Yoga Prasetyo, A.Janisa ……………………………………………….…… F
7. Pengaturan Pemanfaatan Ruang di Atas Tanah Dalam Penerapaan Kadaster 3 Dimensi Oleh Hendriatiningsih, Bambang Edhi Leksono, Wisang Wisudanar ……………..G
8. Analisis Korelasi Jumlah Penduduk dengan Tutupan Lahan Berbasis SIG (Area Studi Wilayah Bandung) Oleh Riantini Virtriana, Albertus Deliar, Agung Budi Harto ………………………...H
9. Survey Pemetaan Bangunan Rumah Susun untuk Pendaftaran Hak Milik Dalam Sistem Kadaster 3 Dimensi Oleh S Hendriatiningsih …………………………………………………………….I
Prosiding
Page ii
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
10. Penggunaan Analytical Hierarchy Process untuk Menentukan Prioritas Syarat Lokasi Pendaftaran Tanah Sistematik Ajudikasi LMPDP (studi Kasus Kabupaten Kulon Progo, DIY) Oleh Dody Hendriono, Prijono Nugroho, Yulaikhah ……..……..…………………..J
11. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Bandar udara di Indonesia Berbasis Spasial Oleh Yofri Furqoni Hakim, Dimas Hanityawan S, Suryanto, Edwin Hendrayana ......K
12. Pembuatan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Analisis dalam Pemberian Izin Tinggi Bangunan Di sekitar Bandara Ngurah Rai - Bali Oleh Suryanto, Yofri Furqoni Hakim, Dimas Hanityawan S, Edwin Hendrayana .......L
13. Kajian Penggunaan Citra Satelit Quickbird untuk Pemetaan Penggunaan Tanah Kelurahan Kutoarjo. Kec. Kutoarjo, Kab. Purworejo Oleh Sutrisno, Harintaka, Slamet Basuki ...........................................................M
14. Aplikasi SIG untuk Penghitungan Volume Galian Bukit Kerbau Terkait Kajian KKOP Pada Bandara Pattimura Ambon Oleh, Dimas Hanityawan S, Suryanto, Yofri Furqoni Hakim, Edwin Hendrayana .....N
15. Peranan Geomatika dalam Delimitasi, Demarkasi dan Managemen Batas Daerah di Darat Oleh Sumaryo, Subaryono, Sobar Sutisna, Djurdjani...........................................O
16. Sejarah dan Perkembangan Penginderaan Jauh di Indonesia Oleh Bangun Muljo Sukojo ………………………..………………………….........P
17. Perlukah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) IV ? Oleh Teguh Fayakun Alif, Khafid …………...……………………….…………......Q
18. Peta Dasar Zonasi Tingkat Peringatan Tsunami Oleh Eva Novita, Arry Agung Hanatyo ………………………..…….…………...…R
19. Aplikasi LIDAR, IFSAR dan Citra Hiperspektral dalam Pengelolaan Hutan HujanTropis di Indonesia Oleh Bobby Santoso D, Yan Mandari, Bambang Abednego……………….….……S
20. Kajian Awal Untuk Membangun Sistem Informasi Pertanahan Desa di Cimahi Jawa Barat Oleh Didik W, S , Hendriatiningsih, Marisa Mei Ling, Andri Hernandi……..….....T
Prosiding
Page iii
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
21. Studi Awal Penentuan Kemiringan Objek Bangunan Menggunakan Metode Survey Terestrial Oleh Andri Hernandi, Agoes S Soedomo, Marisa Mei Ling, Brawira F. Gazayana…U
22. Pembuatan Peta Zona Nilai Tanah di Kota Oksibil Kabupaten Pegunungan Bintang Provinsi Papua Oleh Goyandi Dwi Ammar, dkk……………………………………..……………….V
23. Pengembangan Sistem Basis Data Batas Laut Daerah Oleh Eka Djunarsjah, Irfan Khosirun, Riki Oktapiana,Angga Trysa Yuherdha……..W
24. Updating Zona Nilai Tanah Metode INDEKS Oleh Dian Novytasari…………………………………………………………....…..X
25. Aplikasi GIS untuk Sistem Peringatan Dini Bahaya Kebakaran (Fire Early Warning system) Oleh Amir Sabri…………………….………………………………………………..Y
26. Pengembangan GNSS CORS Network Untuk Penyediaan Data Geospasial Oleh Farid Hendro Adiyanto……………………………………….……………...Z 27. Pengelolaan Data Pertanahan Menjelang 2014 Oleh Irawan Sumarto, Suyus Windayana……………………………………...AA 28. Pemanfaatan Citra Satelit Landsat Untuk Analisis Pola Perubahan Lahan 1994-2001 di Wilayah Bandung Oleh Albertus Deliar, D Muhally H, Agung Budiharto…………………….…..AB 29. Kajian Ketelitian Pembuatan Digital Elevation Model (DEM) Menggunakan Foto Udara Non Metrik Oleh Bobby S.Dipokusumo, Ishak H Ismullah, Soni D, Miim W...................AC
Prosiding
Page iiii
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
PERANAN GEOMATIKA DALAM DELIMITASI, DEMARKASI DAN MANAGEMEN BATAS DAERAH DI DARAT* Oleh Ir.Sumaryo, M.Si. **, Ir.Subaryono, MA.,Ph.D**, Ir. Sobar Sutisna, M.Surv.Sc.,Ph.D..***, Ir.Djurdjani, MS.,M.Eng.,Ph.D.** Email :
[email protected]
INTISARI Batas daerah di darat baik daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota di Indonesia jumlahnya cenderung terus bertambah terutama sejak tahun 2000 seiring bergulirnya era otonomi daerah. Pembentukan daerah baru sebagai akibat pemekaran wilayah berarti bertambahnya jumlah segmen batas daerah yang saat ini mencapai 951 segemen batas (Subowo, E.,2009). Di sisi lain penambahan daerah melalui pemekaran wilayah berpotensi timbulnya konflik terutama akibat belum tegasnya keberadaan batas daerah. Penentuan batas daerah pada dasarnya adalah suatu proses yang cukup panjang sesuai dengan proses pembentukan suatu daerah. Merujuk pada Teori Boundary Making yang dikemukakan oleh Stephen B Jones (1945) menyebutkan bahwa penentuan batas wilayah meliputi tahapan utama sebagai berikut: alokasi, delimitasi, demarkasi dan manajemen. Dalam setiap tahapan, peta memiliki peranan yang penting. Pengadaan peta sangat tergantung pada perkembangan teknologi pemetaan pada zamannya. Pada dua dekade terakhir perkembangan teknologi komputer, satelit, teknologi komunkasi dan informasi berkembang sangat pesat dan berpengaruh pada semua bidang termasuk dalam bidang survey pemetaan sehingga muncul term baru teknolgi pemetaan yang disebut geomatika (geomatics) Makalah ini akan menganalisis tahapan penentuan batas daerah di darat di Indonesia dengan merujuk pada teori Boundary Making yang ditulis oleh Stephen B Jones tahun 1945 serta peranan peta dan teknologi geomatika terkini triple S (GPS, RS, GIS) dalam setiap tahapan tersebut.
Kata kunci : geomatika, delimitasi, demarkasi, manajemen dan batas daerah di darat
* Makalah disampaikan pada FIT Ikatan Surveyor Indonesia, 10-11 November di Pakanbaru. **Program Pascasarjana Teknik Geomatika Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik UGM *** Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal
Prosiding
Page O-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
I.PENDAHULUAN Batas daerah (propinsi dan kabupaten/kota) adalah pemisah wilayah penyelenggaraan kewenangan suatu daerah dengan daerah lain. Batas daerah di darat adalah pemisah wilayah administrasi pemerintahan antara daerah yang berbatasan berupa pilar batas di lapangan dan daftar koordinat di peta (Permendagri No.1/2006). Dalam ruang lingkup batas daerah tersebut dilaksanakan penyelenggaraan kewenangan masing-masing daerah, artinya kewenangan suatu daerah pada dasarnya tidak boleh diselenggarakan melampaui batas daerah yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan (Subowo, E.,2008), Batas daerah di darat baik daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota di Indonesia jumlahnya cenderung terus bertambah terutama sejak tahun 2000 seiring bergulirnya era otonomi daerah. Data jumlah daerah propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia sampai akhir Desember 2008 adalah seperti Tabel 1. Tabel 1: Perkembangan Jumlah daerah propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia Sampai dengan akhir Desember 2008. No.
Periode
1
1945 s.d. Desember 1999 27 (sebelum Otonomi Daerah) 2000 – 2008 33 (Setelah otonomi daerah) Sumber : Sutisna , 2008, Subowo, E.,2009
2
Propinsi
Kabupaten/ Kota 277 497
Total 304 530
Dari data pada Tabel 1 terlihat bahwa seiring dengan bergulirnya era Otonomi Daerah sejak berlakunya Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, jumlah penambahan daerah baru terutama daerah kabupaten/kota meningkat cukup signifikan yaitu dari 277 daerah menjadi 497 daerah (79,42 %). Pembentukan daerah baru sebagai akibat pemekaran wilayah berarti bertambahnya jumlah segmen batas daerah. Dari jumlah 33 daerah propinsi dan 497 daerah kabupaten/kota tersebut terdapat 951 segmen batas (Subowo, E.,2009). Di sisi lain penambahan daerah melalui pemekaran wilayah berpotensi timbulnya konflik terutama akibat tidak jelasnya keberadaan batas daerah. Menurut Departemen Dalam Negeri sampai tahun 2008 jumlah kasus sengketa perbatasan antar daerah mencakup 17 permasalahan yang melibatkan 19 Provinsi dan 50 permasalahan yang melibatkan 81 Kabupaten/kota (Subowo,E.,2008). Penentuan batas daerah pada dasarnya adalah suatu proses yang cukup panjang sesuai dengan proses pembentukan daerah itu sendiri. Proses pembentukan daerah diawali dari suatu proses yang dilakukan oleh para politisi dan pejabat pemerintah di tingkat daerah sampai tingkat pusat yang berakhir dengan terbitnya undang-undang pembentukan daerah. Dengan demikian para politisi dan pajabat di daerah dan di pusat yang terlibat dalam undang-undang pembentukan suatu daerah bisa dikatakan sebagai “arsitek batas daerah” atau ”The architecs of a boundary” (Alder, R.,2001). Secara tidak langsung arsitek batas sebenarnya memiliki kontribusi dan harus bertanggung jawab dalam menyelesaikan sengketa batas. bila suatu saat terjadi. Makalah ini akan membahas tahapan penentuan batas daerah di darat dengan merujuk pada teori Boundary Making yang ditulis oleh Stephen B Jones tahun 1945 dan peranan data dan teknologi geomatika dalam setiap tahapan Prosiding
Page O-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
tersebut. Dalam hal peranan data dan teknologi geomatika yang akan dibahas adalah teknologi geomatika terkini, bukan teknologi pada zaman teori Boundary Making yang ditulis tahun 1945 yang saat itu belum ada komputer, belum ada satelit dan penginderaan jauh, belum ada GPS (Global Positining System) dan belum ada GIS (Geographical Information Syatem). II. TEORI ” BOUNDARY MAKING” DALAM PENENTUAN BATAS DAERAH DI INDONESIA Stephen B. Jones (1945), di dalam bukunya A Handbook for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners, merumuskan sebuah teori tentang sejarah adanya batas wilayah suatu negara. Di dalam teorinya tersebut, Jones mengemukakan ada empat tahap utama proses sejarah adanya batas wilayah, yaitu: Allocation, Delimitation, Demarcation dan Administration. Ke-empat ruang lingkup tersebut saling terkait satu sama lainnya, menandakan bahwa ke-empatnya merupakan satu rangkaian pengambilan keputusan yang saling berkaitan dalam pelaksanaannya (lihat ilustrasi pada Gambar 1, Sutisna, 2008).
Gambar 1. Teori Boundary Making1 ( Sutisna, 2008): Boundary Making Theory yang dikemukakan oleh Stephen B. Jones (1945) adalah teori untuk penentuan batas wilayah antar negara. Namun demikian teori ini menurut Sutisna,S.(2007) juga dapat diaplikasikan untuk batas daerah dalam konteks negara Indonesia seperti ilustrasi pada Gambar 2. Sobar Sutisna BAKOSURTANAL 3 September 2007
Teori BM KONTEKS INDONESIA BATAS ADMINISTRASI/POLITIK OTONOMI DAERAH
-Ekonomi -Sosial
Alokasi
Delimitasi
Demarkasi (Penegasan)
Pasal 18, 25A UUD1945 Pasal 2,4 UU No.32/2004 Pasal pada UU ttg Pembentukan Daerah
Keputusan Politik
Pasal 18 UU No.32/2004 Pasal 6(2) UU ttg Pembentukan Daerah
Administrasi -Budaya / Pengelolaan-Ling Hidup -Pertahanan -Keamanan
Sengketa Batas Daerah Pasal 6(3) UU ttg Pembentukan Daerah
Peta Lampiran UU
PerMenDagri
Kebijakan Publik
Survei dan Pemetaan
UU No.26/2007 PP No.38/2007 Berbagai PerUU Sektoral
TPBD: Pusat Prov Kab/kota
Pelayanan Publik KesRakyat Prov Kab/kota
PerDa MON EV
SS.03.09.07
Gambar 2 : Teori Boundary Making konteks Indonesia (Sutisna,S., 2007) 1
Diadopsi dari Theory of Boundary Making, Stephen B. Jones: A Handbook for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners (1945) Prosiding
Page O-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Dalam konteks berikut :
nasional,
keempat tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai
Alokasi. Alokasi adalah proses keputusan politik untuk menentukan batas wilayah territorial. Setelah pada tahun 1945 Indonesia menyatakan kemerdekaan, alokasi cakupan wilayah negara Indonesia adalah seluruh wilayah yang diwariskan dari penjajah Belanda. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum internasional Uti Possidetis Juris yang menyatakan bahwa suatu negara yang merdeka mewarisi wilayah penguasa penjajahnya. Kemudian untuk keperluan pengelolaan negara, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi dibagi atas daerah-daerah kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah dan diberi kewenangan mengelola daerah masingmasing. Dalam UU pembentukan daerah selalu ditentukan cakupan dan batas wilayah daerah. Penentuan cakupan wilayah daerah proipinsi dan kabupaten/kota ditetukan melalui proses keputusan politik dalam bentuk UU pembentukan daerah. Alokasi sebagai keputusan politik keberadaan daerah-daerah di Indonesia baik daerah propinsi maupun kabupaten/kota antara lain dicantumkan dalam UU Dasar 1945 Pasal 18, 25A, Pasal 4 UU No.32/2004 dan Pasal-pasal UU tentang Pembentukan masing-masing Daerah. Delimitasi. Delimitasi atau penetapan merupakan tahap selanjutnya setelah alokasi. Pada tahap delimitasi dilakukan penentuan batas wilayah sesuai kesepakatan antar daerah yang biasanya dilakukan secara kartometrik di atas peta. Dalam UU pembentukan Daerah, penetapan batas daerah menyebutkan batas-batas daerah yang dibentuk secara lebih jelas dan digambarkan dalam peta wilayah sebagai lampiran yang tidak terpisahkan dari UU pembentukan daerah tersebut. ). Ada tiga konsekwensi politik terhadap delimitasi batas daerah di Indonesia yang harus diperhatikan yaitu, pertama, delimitasi batas daerah bukan berarti membuat wilayah NKRI menjadi terkotak-kotak dan terpisah satu sama lain, tetapi sifatnya lebih pada penataan batas wilayah kerja pengelolaan administrasi pemerintahan, yang pada gilirannya mempermudah koordinasi pelaksanaan pembangunan maupun pembinaan kehidupan dan pelayanan masyarakat di daerah. Kedua, bangun semangat persaudaraan, kebersamaan sebagai bangsa dan kedepankan musyawarah. Ketiga, selesaikan delimitasi cakupan wilayah administrasi dengan sikap kenegarawanan dan tetap menjunjung tinggi supremasi hukum (Subowo,E.,2009). Demarkasi. Demarkasi atau penegasan batas adalah kegiatan pemasangan tanda batas daerah secara pasti di lapangan atas dasar hasil kesepakatan pada proses delimitasi. Penegasan batas daerah dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti baik dari aspek yuridis maupun fisik di lapangan. Penegasan batas dilakukan dalam rangka menentukan letak dan posisi batas daerah secara pasti di lapangan sampai dengan penentuan koordinat titik-titik batas dan pembuatan peta batas. Administrasi. Tahap akhir dari proses penentuan batas wilayah adalah mencatat dan mendokumentasikan batas. Dalam perkembangannya adiminstrasi tidak sekedar hanya mencatat dan mendokumentasikan batas tapi telah bergeser kearah pengelolaan atau managemen wilayah perbatasan (Pratt, 2006 dalam Sutisna, 2008). Dalam pengelolaan batas dan wilayah perbatasan yang baik menurut theory of boundary making, kegiatan Administration / management pembangunan wilayah perbatasan dapat dilaksanakan secara overlapping dengan demarkasi. Hal Prosiding
Page O-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
ini atas dasar pertimbangan dalam kenyataannya seringkali dihadapi kendala dan dinamika yang terjadi di lapangan menyangkut aspek ekonomi, sosial, budaya dan politik. Sehingga seringkali dilakukan secara segmentasi, dan kegiatan administrasi / management berjalan beriringan dengan pelaksanaan penegasan batas di lapangan. (Sutisna,2008).
Penetuan Batas Daerah di Indonesia. Keberadaan daerah propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia dibentuk melalui undang-undang. Pada kurun waktu 1945 sampai 1999 penentuan batas daerah propinsi dan kabupaten/kota hanya sampai tahap alokasi dan delimitasi kemudian meloncat ke tahap administrasi untuk pengelolaan daerah. Bahkan pada tahap delimitasipun cakupan wilayah dan penetapan batas wilayah daerah yang dibentuk pada umumnya tidak dilengkapi dengan peta lampiran atau dilampiri peta yang secara kartografis tidak memadai, tetapi hanya disebutkan dalam pasal-pasal undang-undang pembentukan daerah yang bersangkutan. (Ardian, 2010). Walaupun demarkasi batas di lapangan belum dilakukan namun pada era sebelum otonomi daerah hampir tidak ada masalah sengketa batas wilayah karena sistem pemerintahan yang sentralistik dan pembagian batas wilayah hanya bersifat untuk keperluan administrasi belaka (Salama, 2005). Penelitian awal yang dilakukan Sumaryo (2009) terhadap 60 kasus sengketa batas batas daerah dianalisis dengan teori lingkaran konflik C.W.Moore, 1986 (Vivian Louis Forbes, 2001) ditemukan bahwa sengketa batas pada umumnya disebakan oleh konflik hubungan (53%) yaitu dalam hal perbedaan persepsi tentang batas wilayah. Perbedaan persepsi ini disebabkan oleh konflik data spasial yaitu : kurang data/inforamsi, data dan informasi spasial yang salah, beda cara pandang terhadap data spasial yang relevan dan beda interpretasi terhadap batas yang termuat dalam peta lampiran undang-undang. Disamping itu sengketa batas wilayah juga disebabkan karena konflik struktural (45 %) seperti hubungan geografis dan psikis penduduk, konflik pemanfaatan sumberdaya alam dan situasi konflik yang sengaja di ciptakan untuk kepentingan tertentu. III. PERANAN GEOMATIKA DALAM DELIMITASI, DEMARKASI DAN MANAJEMEN BATAS DAERAH DI DARAT Dalam proses penentuan batas wilayah menurut Stephen B. Jones (1945) yang dimulai dari negosiasi untuk delimitasi batas , demarkasi dan berakhir pada kegiatan administrasi dan pengelolaan batas, diperlukan peta dan kegiatan survey pemetaan. Waktu teori Boundary Making ditulis tahun 1945 kegiatan survey pemetaan masih menggunakan teknologi konvensional. Dalam dua dekade terakhir, perkembangan teknologi khususnya teknologi satelit ruang angkasa untuk penentuan posisi dan perekaman data permukaan bumi, serta perkembangan teknologi komputer dan teknologi informasi telah mendorong perubahan paradigma survey pemetaan baik secara keilmuan maupun dalam aplikasinya. Perubahan tersebut dapat disaksikan kecenderungan umum bahwa survey pemetaan yang awalnya hanya dalam cakupan penyediaan peta, berkembang cangkupannya untuk memodelkan dan mengelola informasi yang terkait suatu lokasi mulai dari pengumpulan, penyajian, pengolahan, pengelolaan dan diseminasi data dan informasi geo-spasial yang dilakukan secara digital. Perkembangan paradigma tersebut melahirkan disiplin ilmu baru yang disebut Geomatika (Geomatics). Geomatika adalah sain dan teknologi yang mempelajari tentang pengukuran obyekobyek di muka bumi yang melibatkan pemakaian komputer dan teknologi komunikasi dan informasi dalam pengumpulan (survey), pengolahan dan analisis, presentasi Prosiding
Page O-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
(penggambaran), penyimpanan (storage) , managemen dan distribusi informasi ruang permukaan bumi untuk mendukung berbagai pengambilan keputusan . Peran geoamtika dalam penentuan batas dapat dilihat dari skema pada Gambar 3.
Gambar 3 : Diagram skema tahapan penentuan batas daerah (Sumber : Alder, R., 2001, dimodifikasi untuk batas daerah)
Peranan geomatika pada tahapan alokasi, delimitasi, demarkasi dan manajemen akan dibahas peranan peta dan teknologi geomatika. Peta akan dibahas karena peta merupakan suatu bagian yang sangat penting dari infrastruktur untuk penentuan batas (Adler, R.,1995), sedangkan peranan teknologi geomatika yang akan dibahas adalah teknologi terkini “Triple S” yaitu Remote Sensing, GPS/GNNS dan GIS. Peranan geomatika selengkapnya diuraikan sebagai berikut : Tahap Alokasi, Tahap alokasi pada penentuan batas daerah biasanya dilakukan oleh para politisi di lembaga legislatif dan pejabat pemerintah (eksekutif) mulai dari tingkat daerah sampai pusat dan berakhir pada disahkannya suatu undang-undang pembentukan daerah. Pada tahap ini dominasi kegiatan lebih pada kegiatan politik, lobi-lobi dan negosiasi antar berbagai kelompok dan kekuatan politik. Keperluan peta Prosiding
Page O-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
biasanya sebatas untuk bahan negosiasi dan biasanya tidak terlalu dipersoalan masalah ketelitian, skala, datum, sistem koordiant dan aspek kartografis lainnya. Yang diperlukan adalah posisi relatif daerah yang akan dibentuk terhadap daerah disekitarnya. Walaupun demikian tersedianya peta tetap sangat penting sebagai sumber informasi bagi para politisi dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk bernegosiasi. Data lain selain peta yang bisa digunakan untuk bahan negosiasi adalah foto udara/peta foto dan citra sateli. Untuk itu para politisi perlu mendapat masukan dan advis dari ahli dalam bidang geodesi, kartografi atau geografi (Blake, G, 1995). Tahap Delimitasi. Pada tahap ini, aloksi wilayah yang sudah disepakati selanjutnya harus dibagi untuk masing-masing pihak dengan mendeliniasi garis batas yang lebih tepat di peta dasar dan garis batas tersebut nantinya juga disepakati untuk demarkasi di lapangan. Dalam berbagai kasus batas internasional maupun sub nasional, tahap delimitasi merupakan tahapan yang paling kritis dan diperlukan kerja yang sungguh-sungguh dan akurat (Blake,G.,1995Hasil akhir dari kegiatan delimitasi adalah garis batas yang telah disepakati di peta yang akan dilampirkan dalam undang-undang pembentukan daerah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang pembentukan daerah. Sebagai lampiran yang tidak terpisahkan mengandung pengertian bahwa antara garis batas yang tergambar di peta dengan teks dalam pasal-pasalnya harus memiliki pengertian yang sama dan tidak boleh saling bertentangan. Dengan demikian peranan peta pada tahap delimitasi adalah sebagai instrumen dan sekaligus sebagai pedoman untuk tahap demarkasi selanjutnya. Oleh sebab itu peta yang perlu tersedia adalah peta yang memiliki kualitas yang baik dari aspek geometris dan kartografis. Aspek geometris peta meliputi : skala peta, datum, sistem koordinat dan sistem proyeksi peta. Persoalan yang sering terjadi adalah tidak tersedianya peta yang memadai atau kurang perhatiannya dari para pihak tentang arti pentingnya peta. Pada tahap ini peta yang diperlukan sebaiknya disiapkan oleh komisi teknis perbatasan dari lembaga-lembaga resmi survey pemetaan seperti Bakosurtanal, Dinas Topografi TNI-AD atau Dinas Hidrografi-Oceanografi TNI-AL. Untuk kegiatan survey pendahuluan dan pelacakan batas, teknologi GPS merupakan teknologi terkini penentuan posisi yang cepat dan mudah yang dapat segera mendapatkan koordinat titik-titik batas untuk dicantumkan dalam uandang-undang pembentukan daerah. Selain peta topografi sebagai peta dasar untuk penarikan garis batas, sering diperlukan peta-peta tamatik dan informasi spasial lain untuk mendukung tercapainya kesepakatn. Tahap Demarkasi. Hasil delimitasi batas daerah, selanjutnya dituliskan dalam dokumen undang-undang pembentukan daerah. Selain dalam bentuk peta batas daerah sebagai dokumen yang tidak terpisahkan dari undang-undang pembentukan daerah, klausal cakupan wilayah daerah juga dituliskan dalam pasal-pasalnya. Bila sudah diundangkan, maka hasil kegiatan delimitasi sudah memiliki aspek legal. Tahap selanjutnya adalah kegiatan demarkasi atau penegasan batas, yaitu memasang tanda-tanda batas di lapangan (Jones, 1945, Prescott, 1979). Penegasan batas daerah dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti baik dari aspek yuridis maupun fisik di lapangan. Penegasan batas dilakukan dalam rangka menentukan letak dan posisi batas secara pasti di lapangan sampai dengan penentuan titik koordinat batas di atas peta. Penegasan batas daerah berpedoman pada batas-batas daerah yang ditetapkan dalam Undang-undang Pembentukan Daerah (Permendagri No1/2006). Peranan peta pada tahap demarkasi adalah untuk menampilkan batas daerah yang telah ditegaskan di lapangan dan sebagai lampiran dalam keputusan Menteri Dalam Negeri tentang penegasan batas daerah. Prosiding
Page O-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Dalam pelacakan batas untuk demarkasi, sering peta lampiran undang-undang yang sulit digunakan karena petanya sudah lama sehingga banyak ketidaksesuaian dengan kondisi lapangan saat dilakukan pelacakan. Atau di dalam peta yang ada tidak terdapat garis kontur sehingga sulit mengidentifikasi batas yang berupa watershed. Untuk itu beberapa produk teknologi remote sensing bisa digunakan. Remote Sensing Remote Sensing didefinisikan sebagai sains dan teknologi yang dipergunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, atau menganalisisi karakteristik dari suatu obyek tanpa melakukan kontak langsung dengan obyek tersebut.(Lillesand dan Kiefer, 2000). Prinsip kerjanya didasarkan atas pengukuran energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh sumber energi (matahari) merambat mengenai obyek, dipantulkan oleh obyek yang kemudian direkam oleh sensor (Harintaka, 2007 dalam Arsana ,2007). Sumber energi matahari dapat berupa cahaya tampak, panas dan sinar ultra violet (Kerle, dkk.,2004). Dalam konteks ini, fotogrametri, Radar, Lidar termasuk bagian dari Remote Sensing. Karakteristik utama citra penginderaan jauh umumnya ditinjau dari 4 aspek, yaitu : resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik dan resolusi temporal (Harintaka, 200, dalam Arsana, 2007). Untuk kegiatan delimitasi batas daerah citra satelit yang saat ini banyak tersedia di pasaran merupakan suatu data yang potensial dapat digunakan. Citra satelit yang digunakan sebaiknya yang memiliki resolusi spasial tinggi dan resolusi temporal yang pendek seperti IKONOS atau Quickbird yang memiliki resolusi 1 m sehingga sangat membantu untuk mengenali terrain dalam proses deliniasi garis batas.
Gambar 4 : Citra satelit IKONOS, resolusi 1 meter. ( Sumber Williamson, I, 2009) Citra sateli lain yang dapat digunkan adalah SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission ). SRTM merupakan suatu misi internasional pertama yang dikembangkan National Aeronautics and Space Administration (NASA) dan the Prosiding
Page O-8
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
National Geospatial-Intelligence Agency (NGA) yang bertujuan untuk menghasilkan Digital Elevation Model (DEM) secara global di seluruh permukaan bumi. Uji coba penggunaan data DEM dari SRTM telah dilakukan oleh Ilham, dkk. tahun 2009 untuk delimitasi pada suatu segmen batas antara Propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Segmen batas batas antara Propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah telah dilakukan penetapan batas melalui Kepmendagri No. 185. 5 - 486 tahun 1989 tentang penegasan garis batas antara propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Segmen garis batas tersebut pada umumnya berupa punggung bukit (watershed). Menggunakan peta lampiran Kepmendagri No. 185. 5 486 tahun 1989 yang tersedia pelacakan garis batas di atas peta tersebut mengalami kesulitan karena di dalam peta tersebut tidak ada informasi garis kontur. Kemudian dicari alternatif menggunakan data DEM dari SRTM. Penggunaan DEM dari data SRTM sangat membantu dalam menentukan posisi dari garis batas, karena kondisi geomorfologis wilayah perbatasan di daerah penelitian dapat diidentifikasi dengan lebih jelas. DEM tersebut memperkuat kenampakan terrain dari permukaan bumi khususnya kenampakan watershed seperti gambar berikut :
Gambar 5 : Penarikan garis batas di punggung bukit dengan data DEM dari SRTM (Sumber Ilham, dkk.,2009)
GPS/GNNS GPS (Global Positioning System) adalah metode penentuan posisi dan waktu berbasis satelit yang dikembangkan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat sejak tahun 1978. Saat ini pemakaian GPS sangat populer di masyarakat untuk berbagai aplikasi. Sistem ini terdiri atas 3 segmen, yaitu segmen satelit kepunyaan Amarika berjumlah 24 satelit yang mengorbit pada 6 bidang orbit pada ketinggian Prosiding
Page O-9
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
20.200 km dari permukaan bumi. Segmen kontrol satelit di Hawai, Ascension, Diego Garcia, dan Kwajalein. Segmen pengguna yang berupa reciever yang dapat digunakan secara umum untuk menangkap sinyal L1 dan L2 yang dipancarkan oleh setiap satelit secara terus menerus . Tiga segmen sistem GPS dapat diilustrasikan seperti Gambar 6.
Segmen-segmen GPS
SEGMEN PENGGUNA
SEGMEN SATELIT
Hermitage MCS Colorado Springs Bahrain Kwajalein
Hawaii
Ascension Ou ito
Diego Garcia Smithfield
Buenos Aires
SEGMEN KONTROL SATELIT
SEGMEN PENGGUNA
Gambar 6 : Tiga segmen sistem GPS (satelit, kontrol dan pengguna) Prinsip dasar penentuan posisi titik P di bumi dengan GPS dapat digambarkan seperti Gambar 7. Pada Gambar 7, R adalah satelit yang memancarkan sinyal (L1,L2) secara terus menerus, sinyal tersebut ditangkap oleh reciever di P. Koordinat satelit R1, R2, R3, R4 pada sistem koordinat geosentris dengan datum geodetik WGS-84 diketahui. Karena kecepatan sinyal (c) yang dipancarkan satelit diketahui dan waktu rambat sinyal (ΔT) dari R sampai ke P diketahui (diukur), maka jarak PR dapat ditentukan. Bila koordinat P yang akan dicari adalah X P,YP,ZP dan koordinat R adalah XR,YR,ZR maka dapat dibentuk persamaan sebagai berikut (Craig,R.,2010) :
[(X1 – XP) + (Y1 – YP) + (Z1 – ZP) + c.ΔT] 1/2 = PR1 [ (X2 – XP) + (Y2 – YP) + (Z2 – ZP) + c.ΔT] 1/2 = PR2 .................... (1) [ (X3 – XP) + (Y3 – YP) + (Z3 – ZP) + c.ΔT] 1/2 = PR3 [ (X4 – XP) + (Y4 – YP) + (Z4 – ZP) + c.ΔT] 1/2 = PR4 Prosiding
Page O-10
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Diperlukan paling sedikit data dari pengamatan 4 satelit untuk dapat menyelesaiakan persamaan 1 guna menentukan XP,YP,ZP
PRINSIP DASAR PENENTUAN POSISI DENGAN GPS
Z
= lintang geodetis = bujur geodetis h = tinggi elipsoid
S
Elipsoid acuan
h
x1 x2 y1 y2 z1 z2 c.T PR1 x2 x2 y2 y2 z2 z2 c.T PR2 Ekuator
O
x3 x2 y3 y2 z3 z2 c.T PR3 x4 x2 y4 y2 z4 z2 c.T PR4
X
Y
Gambar 7 : Prinsip penentuan posisi dengan GPS Dalam perkembangannya berbagai negara mengembangkan teknologi penentuan posisi berbasis satelit, seperti GLONASS (Rusia), Galilieo ( Uni Eropa), sehingga saat ini dikenal istilah GNSS (Global Navigation Satellite System) sebagai istilah generik metode penentuan berbasis satelit. Menggunakan teknologi GPS/GNNS ini dapat diperoleh akurasi yang sangat teliti tergantung jenis reciever dan metode observasi dan pemrosesan data yang digunakan. Sebagai contoh, metode differensial GPS (observasi GPS menggunakan lebih dari satu reciever), dapat menhasilkan ketelitian sampai sub sentimeter menggunakan data fase, sedang penentuan posisi absolut dengan satu reciever dapat
menghasilkan ketelitian 5 – 10 meter (Abidin, dkk., 2005). Penggunaan tenologi GPS/GNSS pada penentuan batas daerah sebenarnya dapat digunakan pada tahap delimitasi yaitu untuk menentukan koordinat titik-titik batas yang akan dilampirkan dalam undang-undang pembentukan daerah. Pada undangundang pembentukan daerah yang sekarang sudah ada pada umumnya tidak dilakukan, apalagi undang-undang pembentukan daerah era sebelum otonomi daerah (sebelum tahun 2000) karena teknologi GPS belum ada atau kalau ada tapi belum luas pemakaiannya. Namun demikian, karena batas daerah yang dibentuk sebelum otonomi daerah pada umumnya belum dilakukan demarkasi di lapangan, maka teknologi GPS seharusnya dipakai pada saat demarkasi. Pamakaian teknologi Prosiding
Page O-11
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
GPS/GNSS pada tahap demarkasi bisa digunakan untuk pelacakan batas menggunakan GPS Navigasi sehingga dihasilkan koordinat sementara dan tahap pengkuran koordinat titik-titik batas dengan GPS tipe geodetik untuk mendapatkan koordinat yang definitip sebagai dasar keputusan Menteri Dalam Negeri tentang penegasan batas daerah. Bebrapa contoh pemakaian teknologi GPS pada tahap demarkasi batas daerah Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul tahun 2007 pada Gambar berikut ( Hafid, 2007) : Aplikasi GPS untuk kegiatan Batas wilayah dirangkum pada Tabel 2 berikut. Tabel 2 : Aplikasi GPS untuk kegiatan Batas wilayah No. 1
2
3
4
Data akusisi untuk Demarkasi Delimitasi Fenomena yang Pelacakan batas hasil menonjol/spesifik di delimitasi dan pengukuran sekitar garis batas (GPS koordinat smentara (GPS Navigasi) Navigasi)
Administrasi/ Manajemen Penentuan posisi kejadian-kejadian penting di kawasan perbatasan (GPS Navigasi) Penentuan koordinat titik Penentuan posisi pilar Perapatan di foto udara atau citra batas ( GPS Geodetik) tanda/pilar batas satelit (GPS Navigasi) (GPS Geodetik) Survey garis batas yang Survey pemetaan koridor Pemeliharaan diusulkan dalam batas (GPS Pemetaan) tanda-tanda batas delimitasi (GPS (rekonstruksi kalau Navigasi) ada yang hilang) Klarifikasi terhadap Titik kontrol untuk Titik kontrol dalam kemajuan berbagai hal pemetaan batas pelaksanaan selama negosiasi konstruksi dan proyek pembangunan (GPS Geodetik)
8. a
8.b.
Gambar 8 : (a) Penggunaan GPS Hendheld untuk pelacakan batas (b) Penggunaan GPS Geodetik untuk pengukuran koordinat pilar batas. (Sumber Hafid, 2007). Prosiding
Page O-12
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Tahap Administrasi/Manajemen. Proses panjang penentuan batas daerah yang dimulai dari negosiasi oleh para arsitek batas (the boundary architecs), dilanjutkan dengan delimitasi dan pengesahan undang-undang pembentukan daerah kemudian dilakukan tahap demarkasi oleh ”the boundary engineers” akan diakhiri dengan tahap manajeman batas dan kawasan perbatasan daerah oleh masing-masing pemerintah daerah yang berbatasan. Proses panjang tersebut merupakan kulminasi dari proses politik, hukum dan teknis dan merupakan proses awal pengelolaan kawasan perbatasan, yang tujuannya untuk mempermudah koordinasi dan kerjasama pelaksanaan pembangunan maupun pembinaan kehidupan dan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di kawasan perbatasan di daerah. Untuk proses manajemen perbatasan, kedua daerah memerlukan berbagai informasi baik informasi spasial maupun non spasial. Berbagai data dan informasi yang diperlukan untuk manajemen perbatasan : 1. Data garis batas : a. Spasial : Koordinat titik-titik batas, peta batas (koridor 100 m) sepanjang garsis batas, deskripsi pilar batas. b. Non spasial : UU pembentukan daerah, Permendagri tentang penegasan batas daerah yang bersangkutan 2. Kawasan perbatasan (wilayah kecamatan sepanjang garis batas) : berbagai peta tematik, data penduduk, data ekonomi, pendidikan, infrastruktu, dll. Basis Data Dijital Perbatasan Data dan informasi geografis tersebut disusun dalam basis data dijital. Data dan informasi geografis tersebut diklasifikasi dalam tiga bentuk yaitu : titik, garis dan poligon. Hasil pengamatan semua kejadian yang direferensikan dengan lokasi dapat disusun menjadi “layer-layer” , misalnya layer batas, jalan, land use, aliran (sungai), bidang-bidang tanah, dll. GIS (Geographical Information System) Selanjutnya untuk kepeluan manajemen wilayah perbatasan, basis data dijital perbatasan diolah, dianalisis, ditampilkan, disimpan menggunakan GIS. GIS adalah integrasi sistematis dari perangkat keras dan perangkat lunak komputer, data geografis dan personalia yang dirancang untuk mengumpulkan, mengolah, menyimpan, memutakhirkan dan menyajikan segala bentuk informasi yang bergeorefensi (ESRI, http://www.esri.com/). Fungsi SIG adalah mengorganisir data spasial. Dasar pemikirannya sedarhana, bahwa semua kejadian baik alam maupun oleh aktivitas manusia dapat dihubungkan dengan lokasinya. Lokasi bisa berati nama tempat atau koordinat di bumi, sehingga semua kejadian pada dasarnya dapat diikatkkan kepada nama tempat atau koordinatnya di bumi (georeferenced). GIS dapat dimanfaatkan dalam kegiatan yang terkait batas wilayah terutama pada manajemen batas dan wilayah perbatasan. Dalam manajemen wilayah perbatasan, perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaannya tentunya harus disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dari daerah yang bersangkutan (propinsi, kabupaten/kota). Analaisi spasial dengan GIS untuk tata ruang wilayah perbatasn dapat digambarkan sebagai berikut :
Prosiding
Page O-13
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 9 : Proses analisis GIS Perbatasan.
IV. KESIMPULAN
Dari uraian yang telah disampaikan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Peta sangat penting keberadaanya karena peta merupakan infrastruktur dalam seluruh tahapan penentuan batas wilayah mulai dari tahap alokasi, delimitasi, demarkasi dan manajemen. 2. Teknologi geomatika terkini yang sering disebut Triple S (GPS/GNNS, Remote Sensing dan GIS) dapat dimanfaatkan dalam tahapan-tahapan penentuan batas daerah untuk menggantikan teknologi konvensional, sehingga penegasan batas daerah di lapangan dapat lebih dipercepat. 3. Sengketa batas wilayah pada umumnya disebakan oleh konflik hubungan yaitu dalam hal perbedaan persepsi tentang batas wilayah. Perbedaan persepsi ini disebabkan oleh konflik data spasial yaitu : kurang data/inforamsi, data dan informasi spasial yang salah, beda cara pandang terhadap data spasial yang relevan dan beda interpretasi terhadap batas yang termuat dalam peta lampiran undang-undang.
Prosiding
Page O-14
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
DAFTAR PUSTAKA Alder, R., 1995, Positioning and Mapping International Land Boundaries, IBRU Boundary & Territory Briefing, Vol.2, No.1, ISBN 1-897643-19-5, Durham, UK. Alder, R., 2001, Geographical Information in Delimitation, Demarcation and Management of International Land Boundaries, IBRU Boundary & Territory Briefing, Vol.3, No.4, ISBN 1-897643-40-3, Durham, UK. Direktorat Jendral Pemerintahan Umum, Depdagri, 2008, Rekapitulasi Permasalahan Perbatasan antar Provinsi , Laporan , Tidak dipublikasi, Jakarta. Jones, Stephen, B.,2000, Boundary Making, A Handbook for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners , William S. Hein & Co.,Inc, Buffalo, New York. Kausar dan Eko Subowo , 2008, Kebijakan Penataan Batas Antar Daerah, Modul pelatihan Penegasan Batas Daerah, Jurusan Teknik Geodesi FT UGM, tidak dipublikasi, Yogyakarta. Rushworth, D., 1997, Mapping in Support of Frontier Arbitration : Delimitation and Demarcation, IBRU Boundary and Security Bulletin Spring 1997, Durham, UK. Sumaryo, 2009, "Boundary Making Theory, Pada Penentuan Batas Daerah di Indonesia Dan Sengketa Batas Wilayah Pada Era Otonomi Daerah" , Karya Ilmiah yang dipublikasikan dalam Prosiding F Sutisna Sobar (ed), 2006, Pandang Wilayah Perbatasan: Aspek Permasalahan Batas Maritim Indonesia, Pusat Pemetaan Batas Wilayah, BAKOSURTANAL, Cibinong. Sutisna Sobar (ed), 2004, Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia, Pusat Pemetaan Batas Wilayah BAKOSURTANAL, Cibinong. Sutisna Sobar, Sora Lokita dan Sumaryo, 2008, Boundary Making Theory dan Pengelolaan Perbatasan Di Indonesia, Workshop Pengelolaan Wilayah Perbatasan, Jurusan Ilmu HI/UPN Veteran, Yogyakarta, 18 – 19 November ,2008. Vivian Louis Forbes, 2001, Conflict and Cooperation in Managing Maritime Space in Semi-enclosed Seas, Singapore University Press, Yusof Ishak House, Singapore.
Prosiding
Page O-15